Makalah Teater Postdramatik-UNTUK DKJ [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laboratorium Teater Kampus dan Teater Postdramatik Oleh Autar Abdillah (Universitas Negeri Surabaya) (Dewan Kesenian Jakarta, 2016) Laboratorium teater Kampus nyaris terkubur dalam puing-puing kemegahan kampus sebagai rumah kapitalis pendidikan. Dunia intelektual kampus terbunuh perlahan oleh kebutuhan akreditasi kampus yang hanya mengandalkan bukti-bukti kuantitatif. Artinya, banyak Seminarseminar dan lahir akademisi-akademisi cap kecap nomor satu. Penelitian-penelitian sampah betebaran di lemari-lemari pejabat kampus. Para pelaku teater kampus adalah peserta kontestasi seperti ini, berhadapan dengan kapitalis pendidikan, dan pemikiran-pemikiran yang hanya untuk kebutuhan sesaat. Tanpa masa depan. Tanpa menghargai kreativitas dan menjadi budak Amerika, karena seolah-olah dengan adanya standardisasi ISO, TOEFLE, ILPT, ITP bagi lulusan dan seterusnya, seakan-akan apa yang dihasilkan dunia kampus adalah suatu yang terbaik. Laboratorium dalam Teater Kampus pun masih sebatas kegagahan bahasa yang menjadikan seolah-olah Laboratorium Teater Kampus sudah berada di jalan yang semestinya. Laboratorium (Teater) Kampus, sebaiknya dilakukan melalui serangkaian riset atau penelitian yang pijakannya dapat diukur atau dapat diuji oleh siapapun makhluk di dunia ini. Bukan hanya oleh masyarakat kampus. Kebermanfaatan luaran dari labortorium Kampus juga dapat memberikan nafas yang segar bagi berlangsungnya proses berkesenian, berteater bagi semua orang. Bisa dirasakan adanya semangat untuk berjuang menghadapi ketidakadilan dan rendahnya upaya mensejahterakan masyarakat kampus. Bukan justru meratapi nasib ditindas dan dijajah oleh birokrasi kampus yang kapitalistik itu. Proses dialektik berlangsung dengan keras. Bukan berdamai untuk sekedar bisa berteater. Dengan demikian, terbukalah untuk bekerja dalam teater Postdramatik. Postdramatic Theatre, sebuah buku yang ditulis Hans-Thies Lehmann (1999/2006). merupakan contoh menarik untuk Laboratorium Teater dalam arti bahwa dunia kampus, seperti Universitas JW Goethe di Frankfurt meriset dan melahirkan pemikiran tentang Teater Postdramatik. Bagi Lehmann, Drama adalah to govern the reception atau mengatur penerimaan/persepsi. Dan, Teater dramatis adalah subordinasi untuk keunggulan teks. Ini artinya, Lehmann memandang bahwa telah terjadi pergeseran dari pengaturan terhadap penerimaan, dimana penonton atau pembaca teks tidak lagi membutuhkan pengaturan secara



verbal dan teks menjadi subordinasi, sehingga penonton tidak lagi objek semata. Objektivikasi penonton melalui verbalisasi teks, hanya mampu menenangkan. Tetapi, kobaran api dari hasrat, kehendak dan personalisasi penonton membutuhkan kepenuhsesakan dan keterdesakan juga – bukan sekedar keheningan dan ketenangan. Pada abad 20 menurut Lehmann, 'Drama' bukan hanya model estetika tetapi disertai dengan epistemologis penting dan implikasi sosial: pentingnya tujuan pahlawan, individu; kemungkinan mewakili realitas manusia melalui bahasa, yaitu melalui bentuk dialog panggung; dan relevansi perilaku individu manusia dalam masyarakat. Gerakan seni kira-kira tahun 1970-an hingga 1990 –melahirkan teater postmodern yang telah menjadi mapan. Hal ini dapat diurutkan dalam banyak cara: teater dekonstruksi, teater multimedia, restoratisi teater tradisional, teater tubuh dan teater gerak. Disini, Lehmann hendak menunjukkan bahwa sedemikian antusiasnya para pelaku teater untuk menerobos dinding-dinding dramatik yang menebalkan dirinya untuk verbalisasi tindakan diatas panggung. Lehmann juga mengindikasikan beberapa kata-kata kunci diskusi postmodernisme internasional, yakni ambiguitas; merayakan seni sebagai fiksi; merayakan teater sebagai proses; pemegatan; heterogenitas; non-tekstualitas; kemajemukan; kodefikasi; subversi; semua situs; pemutarbalikan; pemain dan tokoh utama sebagai tema; deformasi; teks sebagai bahan dasar saja; dekonstruksi; mengingat teks menjadi otoriter dan kuno; pertunjukan sebagai istilah ketiga antara drama dan teater; anti-mimesis; menolak interpretasi. Postmodern teater, kita mendengar, adalah tanpa wacana melainkan didominasi oleh mediasi, gestuality, ritme, nada. Selain itu: nihilistik dan bentuk aneh, ruang kosong, hening. Teater Postdramatik dikenal tidak hanya ruang 'kosong' tetapi juga ruang penuh sesak. Lehmann mencoba untuk mengatakan bahwa teater postdramatik tidak hanya bicara soal ruang panggung, tapi ruang dramatik, epik hingga patahan dan diskontinuitas yang terbentuk oleh sejarah. Beberapa Catatan Akademisi Teater Sejak kehadiran buku Teater Postdramatik dari Lehmann, para akademisi Teater Eropa khususnya (sebagian kecil bagi akademisi Teater di Amerika dan Australia) memberikan respon yang luar biasa. Selain catatan dalam bentuk blog, Jurnal, Prosiding Konferensi, juga terdapat Tesis dan Disertasi Doktoral yang melakukan kajian dari berbagai sudut pandang. Sebut saja misalnya, Tesis Master di Universitas Birmingham oleh Samuel Bicknell berjudul (Re)presenting Drama: Adaptation in Postdramatic Theatre, Juli 2011), Disertasi Doktoral Paulo



Ricardo Berton berjudul Committed Drama within Postdramatic Theatre: A Study of Contemporary German Language Plays (2010), Artikel paling menarik menurut Saya datang dari Catharine Bouko berjudul The Musicality of Postdramatic Theater: Hans-Thies Lehmann’s Theory of Independent Auditory Semiotics, Artikel dalam Jurnal Scenario Volume VIII Issue 2 Year 2014 (2014) ditulis oleh Morgan Koerner berjudul Beyond Drama: Postdramatic theater in upper level, performance-oriented foreign language, literature and culture courses yang dilengkapi dengan latihan seni peran dan penyutradaraan, Artikel Eleni Gemtou (National & Kapodistrian University of Athens, Greece) dalam International Journal of Education & the Arts Volume 15 Number 12 berjudul Exploring the Possibilities of Postdramatic Theater as Educational Means. Prosiding Konferensi di Belgrade berjudul Dramatic and Post-Dramatic Theatre: Ten Years After (2009), Blog milik Jo Scott (2010) berjudul Postdramatic Theatre, dan Markus Wessendorf (University of Hawaii di Manoa, 2003) yang menulis tentang The Postdramatic Theatre of Richard Maxwell, dan masih banyak lagi. Tapi satu hal, bahwa buku Lehmann menjadi trigger bagi munculnya diskusi panjang maupun kajian tentang Teater Postdramatik, tak bisa dipungkiri. Catatan Saya tentu tidak akan mampu merangkum semua karya-karya tulis diatas. Namun, paling tidak dapat membuka pintu dalam memahami dan menjelaskan perjalanan teater Postdramatik yang sedang kita bicarakan. Ada dua hal penting yang bisa ditulis disini: Pertama, kontestasi konseptual. Kedua, Tafsir Praktik-praktik Seni Peran dan Penyutradaraan teater Postdramatik, terutama merujuk pada apa yang coba dilakukan Jo Scott dan Morgan Kroener sambil membandingkan dengan praktik-praktik Dramaturgi, Seni Peran dan Penyutradraan Bertolt Brecht, Antonin Artaud dan Jerzy Grotowski. Dalam kontestasi konseptual, pertama Saya membedakan antara akademisi teater Eropa dan Amerika. Dalam pandangan akademisi Amerika, yang mengamati Teater Postdramatik Richard Maxwell, dihadapkan pada pertentangan antara gagasan Lehmann dan Szondi. Markus Wessendorf (University of Hawaii di Manoa, 2003) menulis “Buku Lehmann dalam banyak hal tampaknya merupakan kelanjutan dari proyek Szondi, tapi kelanjutan yang pada saat yang sama berdasarkan revisi utama dan penilaian ulang model dominan Hegelian Szondi ini. Postdramatisches Theater, jika dibandingkan dengan esai Szondi ini, juga menunjukkan pergeseran paradigma besar yang telah terjadi dalam studi teater sejak 1960-an, sebagian besar sebagai akibat dari perubahan praktik teater, tetapi juga dari meningkatnya dampak studi



pertunjukan teater. Lehmann dalam performativitas, tidak berakar dalam teks dramatik, sebagai unsur utama teater. Gagasan 'postdramatik', bagaimanapun, tidak berarti bahwa teater tidak lagi menggunakan teks, atau bahwa menulis drama tidak lagi mungkin (atau relevan), hanya menunjukkan bahwa komponen lain dari mise en scène tidak lagi tunduk pada teks”. Beginilah paham Teater Postdramatik di Amerika, dan akan berbeda dengan paham atau tafsir yang dibuat Catharine Bouko. Richard Maxwell sebagai contoh postdramatik Amerika adalah dramawan, sutradara dan penulis lagu yang memperkenalkan teater Postdramatik di Amerika. Markus Wessendorf berpendapat bahwa perkenalan dan penggunaan teater postdramatik sudah digunakan Richard Schechner pada 1970-an untuk menggambarkan suatu kejadian/ peristiwa. Lehmann merupakan teoritisi yang mengembangkan dan membuatnya menjadi kajian teoritik yang komprehensif. Nama Schechner memang selalu dikaitkan dengan kajian Teater Postdramatik, bahkan Catherine Bouko membuat diagram perbandingan kajian Schechner hingga menemukan alternatif diagram baru untuk kajian Teater Postdramatik. Menurut Bouko, antara Lehmann dan Schechner memiliki sejumlah perbedaan pandangan. Bagi Lehman, pertunjukan yang postdramatik tidak lagi berkhazanah dramatik. Semua disiplin bernilai tunggal dan bukan sebuah seni transdisiplin, seperti drama. Teater, tari, musik dan seni visual. Bagi Schechner, teater berada dalam dua dimensi, yakni transmisi dan manifestasi. Dua diagram Schechner menunjukkan bahwa drama sebagai pusat dari teater. Secara berurutan diagramnya menunjukkan hubungan drama, skript, teater dan pertunjukan (Drama, script, theater, performance (Schechner 1988: 72, 2008: 31) dalam Bouko (hal. 25). Diagram kedua menunjukkan drama bukan lagi pusat, tetapi keempat komponen drama, skript, teater dan pertunjukan sama pentingnya. Inilah diagram baru hasil elaborasi dua diagram Schechner oleh Catharine Bouko (hal. 30).



Diagram ini hendak menunjukkan bahwa Drama merupakan teks sebagai diskursus, bukan lagi panduan untuk diterima sebagai satu-satunya kenyataan. Skrip merupakan elemen dramatik yang melibatkan objek-objek, tema, asumsi hingga kemungkinan interrelasi visual. Pertunjukan merupakan teks sebagai suara atau bisa sekedar bunyi, tari, musik, visual hingga transaksi tanpa agunan diantara aspek-aspek seni yang berkontetasi. Bunyi juga bisa menjadi Diskursus. Kesemuanya merupakan ruang bagi teater postdramatik yang terbuka dan memiliki makna semiotik dan reseptif bagi penonton, sehingga terjadi interaksi yang bersifat intim dan subjektif. Disinilah pertalian Jerzy Grotowski dengan Lehmann yang menempatkan drama sebagai pelengkap, dan yang terpenting adalah pertemuan aktor dan penonton. Aktor melepaskan diri dari karakter yang given atau diterimanya begitu saja dan cenderung ahistoris. Beberapa Pelatihan Keaktoran dan Penyutradaraan Koerner 1. Memisahkan Tubuh dari Karakter



Tubuh dalam teater postdramatik tidak lagi terutama melayani makna, pesan, atau representasi mimesis, melainkan digunakan untuk menekankan kehadiran fisik dan dampaknya pada penonton (Lehmann 1999: 366-70; Koerner, 2014). Koerner memulai dengan memosisikan aktor untuk merasa nyaman dengan diri mereka, membangun relasi tubuh dengan penonton, dan membangun tanda-tanda kinetic teater secara sederhana. 2. Memisahkan Bunyi (Suara) dan Gerakan dari Bahasa Koerner melakukan distorsi atas teks-teks yang digunakan, seperti pembacaan puisi Brecht melalui vokal, nada, bunyi dan irama. Distorsi dilakukan untuk menemukan kemungkinan bekerjanya relasi tubuh dan lingkungannya. Lingkungan bisa berupa suasana maupun ruang pertunjukan 3. Heterogenitas dan Simultanitas Kode Teater Kode teater bukanlah sesuatu yang tunggal, tapi hadir bersamaan sejarah yang tumbuh dan menciptakan keragaman dan merangsang pengkodean-pengkodean dalam kehidupan nyata. Simultanitas juga penting dalam pelatihan Joe Scott. Dalam beberapa hal berbeda dengan Koerner, Joe Scott meyakini bahwa ”teater postdramatik bukanlah permainan karakter. Tapi, komposisi pertunjukan dengan potensi fragmen bermakna, yang menggemakan dan membangkitkan berbagai situasi, perasaan dan pernyataan. Saya berpikir, pekerjaan semacam ini sebagai komposisi teks, gambar, suara dan gerakan” (2011-2012:44). Langkah pelatihan yang ditawarkan Joe Scott berdasarkan dua workshop yang dijalaninya, yakni dari Karen Christopher of Goat Island (www.goatislandperformance.org) dan Matt Adams of Blast Theory (www.blasttheory.co.uk) at Central School of Speech and Drama. 1. Proses perancangan Proses perancangan merupakan eksplorasi dan eksperimen tanpa penilaian. Disini, kesepakatan awal untuk merancang pertunjukan postdramatik. 2. Membersihkan ruang Proses yang dilakukan adalah melakukan tanggapan dengan cara tertentu, misalnya memilih sesuatu yang difavoritkan didalam suatu ruangan, mendekati suatu pusat ruangan, menemukan ruang di pinggir, melihat seseorang dalam satu ruangan, berhubungan dengan berjabat tangan seseorang dalam ruangan. Dalam latihan ini bisa ditambahkan dengan musik dan beberapa komposisi tindakan yang dapat menjadikan



kelompok berlatih menciptakan sesuatu bersama. ‘Sesuatu’ yang dimaksudkan disini adalah segala kemungkinan yang dapat ditemukan dalam proses latihan bersama. 3. Mendislokasi Dongeng (bekerja dengan ‘ruangteks’/’textscape’) Latihan diawali dengan berpasangan, siswa diminta untuk memberitahu satu sama lain suatu cerita (nyata atau tidak) yang berlangsung di kota atau menggambarkan bagian yang sangat spesifik dari kota yang mereka tahu secara rinci dengan baik. 4. Gerakan-Intertekstualitas dan penggunaan material yang ditemukan Pada bagian ini, latihan dimulai dengan membagi dua kelompok. Di tengah-tengah diletakkan sebuah layar televisi. Layar televisi yang menyala menampilkan aktivitas kota yang sibuk selama 3-4menit. Para peserta melakukan identifikasi hingga menyalin adegan dalam layar televisi dalam bentuk gerak. Kelompok lainnya menebak apa yang disaksikan kelompok pertama dan melakukan gerakan dengan berbagai temuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Secara perlahan, masing-masing individu masuk dalam kelompok dan membentuk urutan-urutan pertunjukan secara alamiah. Jadi, disini Scott memaknai intertekstualitas adalah proses transformasi teks dari dari sebuah media (Televisi) sebagai material yang membentuk gerak berdasarkan salinan dan tafsiran diantara para peserta latihan. 5. Urutan berdasarkan peran atau gerakan ‘non matriks’ Pada latihan ini hampir sama dengan sebelumnya. Hanya saja, pada latihan ini seseorang memikirkan atau menggunakan pikiran untuk menemukan sesuatu yang dapat memberi efek dari pikiran yang dibangunnaya. 6. Membuat lanskap Suara Sebagai kegiatan akhir pembangkit dan penggabungan fragmen tekstual, berfokus pada indra - gambar, suara, selera, dan tekstur. Di sini, seseorang menulis terus menerus selama 3 menit tentang kota atau pengalamannya tentang kota. Tidak diperlukan narasi, tetapi pecahan atau kolase. Latihan juga bisa dengan melakukan perekaman suara dan menyusunnya menjadi teks. 7. Menggabungkan unsur-unsur Pada bagian ini, tema ditentukan untuk menggantikan pencarian yang sudah dilakukan sebelumnya. Instruksi berikut dapat membantu untuk memandu proses ini.



a) Berikan siswa waktu yang sangat spesifik untuk komposisi mereka dan meminta mereka untuk tidak mencari keutuhan dan kesatuan, tetapi fokus montase / kolase, ditambah layering suara, gambar dan teks. b) Dalam menggabungkan fragmen mereka dari teks, suara dan gerakan, mereka harus berpikir, seperti dalam semua latihan sebelumnya, dalam hal prinsip-prinsip komposisi; ritme, mondar-mandir, dinamika, kontras dan tandingan, pengulangan, singularitas dan chorality. c) Juga meminta mereka untuk merakit potongan di kedua waktu dan ruang dan berpikir tentang layering dan isolasi, kecepatan dan durasi, posisi dalam kaitannya dengan penonton, dimediasi dan non-dimediasi suara dan bunyi. d) Akhirnya mereka harus bermain dengan kemungkinan praktis dan dibimbing oleh firasat dan perasaan seperti apa rasanya dan terlihat benar - tidak mencari makna, tetapi menggunakan visual dramaturgi sebagai pedoman. Pembicaraan tentang jenis merancang umumnya tidak bekerja - mereka harus bangun dan mencobanya. e) Terakhir, beberapa aturan dapat membantu untuk memfokuskan proses kreatif misalnya. mereka harus menyertakan pengheningan cipta dan keheningan, momen serempak dll f) Jenis karangan dapat bekerja dengan baik dengan siswa. Namun, hal ini tentunya benar bahwa itu bukan untuk semua orang dan bahwa siswa memiliki berbagai reaksi bekerja dan merancang lewat sini. Seperti halnya tradisi asing atau praktek, mereka kadang-kadang perlu didorong hanya mencoba latihan, mengambil dari mereka apa yang berguna bagi mereka, baik sebagai siswa dan praktisi. Teater Postdramatic adalah cukup panas topik dalam studi kinerja kontemporer, dengan elemen jenis pekerjaan lebih dan lebih lazim di tahap di seluruh dunia. Bisa tentu dieksplorasi sebagai kinerja spesifik berlatih dalam kursus IB Theatre, tapi sama teknik yang terkait dengan itu dapat menjadi berguna Pendekatan alternatif untuk merancang dalam konteks apapun dalam kurikulum. Demikianlah gambaran singkat dan mungkin sederhana yang dapat dilakukan atau telah dilakukan oleh sejumlah pelaku teater postdramatik. Sebagian Teater Indonesia sudah menjalankan proses teater Postdramatik. Mungkin perlu sejumlah peneliti menulis Teater Postdramatik Indonesia. Karena keterbatasan waktu, hanya ini –untuk sementara bisa



dieksplorasi mekanisme kerja dan proses Teater Postdramatik. Selamat mencoba. Semoga bermanfaat. Dr. Autar Abdillah, S.Sn., M.Si Universitas Negeri Surabaya



DAFTAR PUSTAKA



Berton., Paulo Ricardo, 2010, Committed Drama within Postdramatic Theatre: A Study of Contemporary German Language Plays (Disertasi 2010). Bicknell., Samuel, 2011, (Re)presenting Drama: Adaptation in Postdramatic Theatre, Tesis, Juli 2011). Bouko., Catharine, 2014, The Musicality of Postdramatic Theater: Hans-Thies Lehmann’s Theory of Independent Auditory Semiotics. Gemtou., Eleni, tt, “Exploring the Possibilities of Postdramatic Theater as Educational Mean”, International Journal of Education & the Arts Volume 15 Number 12 (National & Kapodistrian University of Athens, Greece). Koerner., Morgan, 2014, Beyond Drama: Postdramatic theater in upper level, performanceoriented foreign language, literature and culture course, Jurnal Scenario Volume VIII Issue 2 Year 2014 (2014). Wessendorf., Markus, 2003, The Postdramatic Theatre of Richard Maxwell, Manoa: University of Hawaii di Manoa