Makalah Tentang Niat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TENTANG NIAT



BAB I PENDAHULUAN



Kaidah asasiyyah sering dikenal dengan Panca Kaidah asasiyyah, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini dipergunakan untuk menyelesaikan masalah furuiyyah, walaupun dasar dasar hukum secara tafsili belum disepakati oleh para Mujtahid. Dalil ( sumber sumber ) yang dipergunakan adalah Alquran, al Hadits, dan dalil istinbath. Hasil dari ijtihadh yang berdasarkan kaidah ini dipergunakan sebagai standar hukum fiqh. Ulama salaf maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada masalah niat. Oleh karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat merupakan hal yang sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan kualitas ibadah seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak. Ada banyak hal tentang niat. Misalnya adalah dasar-dasar pengambilan nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang mengenai niat, definisi para ulama mengenai niat, fungsi niat serta sub-sub kaidah fiqih tentang niat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.



BAB II PEMBAHASAN



A. Kaidah yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan a)



Teks kaidahnya



َ‫صددهها‬ ‫اولررموورر بدهمهقاَ د‬



“setiap perkara tergantung pada tujuannya.”



b)



Dasar-dasar nash kaidah



Firman Allah SWT:



Artinya : “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”. (QS. Al bayyinah:5)



Dan dalam surat Al-imran :145



Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. Sabda nabi: ‫إنماَ العأماَل باَلنياَت وإنماَ لكل امرئ ماَنوي‬ “(sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati).” Menurut ulama ahli tahliq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqh telah tercakup dalam hadits ini. Apa sebab bias begitu? Sebab perbuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yaitu: Dengan hati Dengan ucapan Dengan tindakan Dan semua itu terhubung dengan hati tercakup oleh hadits ini. Malahan imam syafi’I, ada 70 bab yang tercakup dalam hadits ini, seperti: wudhu, mandi, qashor, jama’, makmum, imam, sujud tilawah, puasa, I’tikaf, nadzar, wakof dan sebagainya.([1])



c)



Eksistensi niat



Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan, sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan. Jalaludin abdurrahman as syuyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (amaliyah qolbiyah) yang bersamaan dengan perbuatan (amaliyah fi’liyah). Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan niat adapula yang tidak membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang memerlukan penjelasan secara khusus, misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau sunah. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, karena bukan ibadah amaliyah yang diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan bacaan syahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat bila beriman kepada Allah SWT.([2])



v Niat termasuk rukun apa syarat? Ulama berbeda pendapat tentang apakah niat itu termasuk rukun apa syarat: Segolongan ulama berpendapat, bahwa niat itu termasuk rukun, sebab niat shalat misalnya, adalah termasuk dalam dzat shalat itu. Ulama yang lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati, jadinya niat diniati. Menurut imam Al-Ghazaliy, “di perinci”. Kalau puasa niat termasuk rukun, kalau shalat niat termasuk syarat. Imam Nawawiy dan Rafi’iy berpendapat sebaliknya, bagi shalat, niat termsuk rukun, sedangkan bagi puasa, niat termasuk syarat. § Tempat niat Niat itu tidak pada ucapan, melainkan dalam hati, meskipun demikian, karena gerakan hati itu sulit, maka para alim menganjurkan agar di samping niat dalam hati, juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong gerakan hati. Sebaliknya apabila niat hanya diucapkan dimulut saja, sedang hati bergerak, maka niat itu tidak shah, sehingga kalau seseorang terlanjur bersumpah umpamamnya, padahal didalam hati, ia tidak ada niat bersumpah, maka ia tidak wajib membayar kaffarah dan tidak berdosa.



Jadi apabila ada perbedaan antara ucapan dengan bunyi hati, maka yang diperhintungkan adalah bunyi hati. Misalnya: Seseorang mengucap: “ aku niat shalat fardu duhur”, sedang dalam hatinya tergerak : “ aku niat shalat fardu asar”, maka yang jadi tertunaikan adalah shalat ashar.([3]) Hal semacam ini gerak hati sebagai pegengan kalau memang masalahnya tidak berhubung dengan kepentingan sesama manusia. Jika hanya hubungannya dengan kepentingan sesama manusia, seperti: ikrar, wasiyat, thalak dan sebagainya, maka yang jadi pedomannya adalah ucapan, sebab kalau gerak hati yang dipegangi, orang akan dengan mudahnya mengingkari apa yang telah tergerak dalam hatinya. § Waktu niat Ada beberapa ketentuan tentang waktu niat ini: 1. Niat harus bebarengan/bersamaan dengan permulaan ibadiat, seperti wudhu, niatnya dilakukan pada waktu membasuh sebagian muka, shalat niatnya harus bebarengan/bersamaan dengan takbirotul ihram dan sebagainya. Hal ini, mengecualikan beberapa amal ibadah yang niatnya tidak harus dibarengkan dengan permulaan amalnya, seperti: puasa dan zakat. 2. Jika permulaan ibadah itu berupa dzikir, maka berbarengannya niat itu harus bersamaan dengn lengkapnya dzikir itu misalnya: shalat, permulaan shalat adalah takbir. Jadi niatnya harus berbarengan dengan lengkapnya bacaan “Allah Akbar” dan tidak cukup hanya bersamaan dengan ”Allah” atau ”Akbar” saja. Hal demikian tentu sulit bagi orang awam, karna itu imam Haramain dan imam Al-Ghazali memperbolehkan tidak berbareng seratus persen, bahkan sebagian ulama fiqh berpendapat: niat itu mendahului atau terlambat sedikit dari takbir boleh. 3. Jika ibadah itu berupa perbuatan, maka niatnya cukup berbarengan dengan permulaan ibadah itu. Hanya saja disunahkan untuk selalu mengingat samai ibadah itu selesai di kerjakan. Umpamanya: wudhu, niatnya cukup dilakukan pada permulaan wudhu, sedang pada waktu membasuh tangan dan seterusnya, hanya disunahkan untuk selalu ingat, bahwa ia sedang mengerjakan wudhu. § Syarat sah niat Syarat sahnya niat, yaitu: 1)



Harus islam



2) Harus tamyiz, yakni bagi orang islam harus sudah dapat makan, minum dan mensucikan dirinya sendiri. 3)



Harus ada yang diniati.



Masalnya: seseorang melakukan shalat duhur, maka niatnya batal. 4)



Harus tidak ada munafi, yakni hal-hal yang membatalkan niat, seperti: murtad,



5) Di perkirakan harus dapat melaksanakan apa yang diniati, misalnya: dalam bulan rajab, kita telah berniat shalat hari raya, niat kita tidak sah, sebab belum tahu dengan pasti apakan nanti bias mengerjakannya atau tidak. § Maksud niat Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah, adalah: a. Untuk membedakan antara ibadah dan pekerjaan/perbuatan biasa, misalnya: antara mandi biasa yang kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub, yang membedakannya adalah niat. Karna itu, amalan ibadah yang tidak serupa dengan amalan biasa, tidak disyaratkan niat, seperti: iman, untuk iamn ini tidak perlu harus niat, sebab tidak ada perbuatan sehari-hari yang menyerupainya. Begitu pula, ibadah yang berupa meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti meninggalkan zina, meninggalkan minum arak dan sebagainya. Menurut sebagian ulama tidak diwajibkan niat, sedangkan sebagian ulamalain, tetap mewajibkannya, namun mereka sepakat tentang sunahnya niat dalam hal ini. b. Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Niat sajalah yang membedakan antara mandi untuk menghindari jum’atan dengn mandi karena akan ihram.([4]) Dalam pada itu, niat pada setiap ibadah mempunyai maksud-maksud tertentu sesuai dengan ibadah yang diniatinya, misalnya: a) Wudhu, maksud niat adalah untuk menghilangkan hadas, yakni sesuatu yang menjadi sebab haramnya melakukan shalat dan sebagainya. b) Shalat, niat dimaksudkan untuk memasuki amalan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam. c) Haji, niat berarti memasuki suasana, dimana hal-hal yang sebelumnya dihalalkan, setelah niat menjadi haram. d)



Puasa, niat dimaksudkan untuk imsak diwaktu siang hari.



e)



Zakat, niat untuk mengeluarkan sebagian dari pada harta kekayaan.



§ Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: o Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. o Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. o Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.



d)



7 kaidah yang berkaitan dengan niat



Kaidah pokok ini sangat luas, karena itu daripadanya dibentuk patokan-patokan yang lebih terperinci. Dibawah ini akan diberikan beberapa patokan tersebut berserta contohnya.



1.



‫ماَ ل يشتر ط ا لتعر ض له جملة وتفصيل اذا عأينه وا خطاَء لم يضر‬



Artinya: Apa yang tidak disyaratkan menghadapkan niat secara jumlah dan tidak disyaratkan untuk merincinya, jika ia menentukannya dan menyalahi maka tidak menjadi madharat. Contoh-contoh : 1. Kesalahan dalam menentukan tempat shalat, maka kalau ia berniat shalat dhuhur di Mesir ternyata di Mekah maka tidak batal shalatnya karena niatnya masih ada, sedang menentukan tempat tidak ada hubungan dengan niat shalat 2. Kesalahan dalam menentukan waktu shalat, kalau niat shalat ashar hari kamis ternyata hari jumat maka tidak batal shalatnya 3. Kesalahan Imam menetukan orang yang shalat dibelakangnya, kalau berniat mengimami si Zaid ternyata si Umar maka tidak madharat karena tidak disyaratkan kepada Imam menentukan mamum dan tidak niat mengimami.([5])



2.



‫وماَ يشتر ط فيه ا لتعرض فاَ لخطاَء فيه مبطل‬



Artinya : Dalam amal yang disyaratkan menyatakan / menghadapkan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amal.



Contoh-contoh: 1. Kesalahan dari shalat dhuhur kepada shalat ashar dan sebaliknya. Kalau shalat dhuhur niat shalat ashar maka tidak sah 2. Kesalahan dari kifarat dhihar kepada kifarat kothli 3. Kesalahan dari rawathib dhuhur kepada rawathib ashar



4. Kesalahan dari shalat idul fitri kepada shalat idul Adhha 5. Kesalahan dari shalat dua rakaat ihram kepada dua rakaat thawaf 6. Kesalahan dari shaum arafah kepada shaum asyura.



3.



‫وماَ يجب ا لتعرض له جملة ول يشتر ط تعينه تفصيلاذاعأينه فاَ خطاَء ضر‬



Artinya: apa yang wajib diterangkan kalimatnya, dan tidak disyaratkan menentukan perinciannya, ketika diucapkan dan salah maka itu menjadikannya bahaya. 4.



‫ا لنية فى ا ليمين تخصص ا للظ العاَم ول تعماَم ا لخاَ ص‬



Artinya: niat didalam sumpah menghususkan (yang diucapkan) dengan kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus. Bersumpah dengan tidak menyebut seseorang maka harus dijelaskan. Yang diniatkan itu siapa?, tidak sebaliknya yang diniatkan kepada seseorang, maka tidak bisa di generalisasi. Bahasa tentang khusus-khusus tertentu secara khusus yang bersabar dalam kitab-kitab fikih mazhab syafi’i. 5.



ِ‫صرد اللفدظ هعأهلى نديهدة اللهدفﻇ‬ ‫همهقاَ د‬



“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai niat orang yang mengucapkan”. Umpamaya: Seseorang dalam keadaan junub mengucapkan : ‫إ نناَ ل وإنناَ إليه را جعون‬ Kalau dalam mengucapkan itu, ia berniat berzikir karna datangnya musibah, hukumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca Al-Quran, maka hukumnya haram. Hal seperti itu “ maksud lafad tergantung niat yang menglafadkan” terkecuali kalimat sumpah yang diucapkan dihadapan hakim, sebab kalimat sumpah dihadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim. Maka jika seorang terdakwa bersumpah dihadapan hakim : “Demi Allah, saya tidak makan harta anak yatim”, meskipun ketika mengucapkannya, ia meniatkan “ tidak makan harta” dengan arti yang sebenarnya, namun diperhitungkan adalah niat hakim yang mengartikan kata makan harta dengan “ menggunakan” sehingga ia dianggap melanggar sumpah, apabila ia menggunakan harta itu untuk kepentingannya.([6])



6.



‫ا لعبرة فى العقود للمقاَ صد والمعاَنى ل لل ءلفاَظو المباَنى‬



Artinya: “pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata dan ungkapannya’’.



Contoh: Apabila seseorang berkata, “ saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang 1.000.000 ”. Meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan pernyataan uang, maka akad tersebut bukan hibah ( pemberian ), tapi akad jual beli dengan segala akibatnya.([7])



7.



َ‫المنقطع عأن العباَدة لعذر من اعأذارهاَ اذانوى حضور هاَ لول العذر حصل له ثو ابها‬



Artinya: gugur untuk melakukan ibadah karena ‘udzur dari beberapa ‘udzur, ketika niat untuk ibadah jikalau karena ‘udzur maka itu menghasilkan pahala.



BAB III KESIMPULAN



A. Kaidah yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan a)



Teks kaidahnya



َ‫صددهها‬ ‫اولررموورر بدهمهقاَ د‬ “setiap perkara tergantung pada tujuannya.”



b)



Dasar-dasar nash kaidah



c)



Eksistensi niat



Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam abu hanifah dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan, sedangkan rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan. Jalaludin abdurrahman as syuyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (amaliyah qolbiyah) yang bersamaan dengan perbuatan (amaliyah fi’liyah). d)



7 kaidah yang berkaitan dengan niat