Mekanisme Obat Antiaritmia [PDF]

  • Author / Uploaded
  • shaee
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT I MEKANISME OBAT ANTIARITMIA



Penyaji : dr. Fidya Mayastri C165171002 Pembimbing : Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD, SP.JP (K)



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………… 1 DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… 2 DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………...… 3 DAFTAR TABEL …………………………………………………………………………… 4 I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………………… 5 II. ISI ………………………………………………………………………………………… 8 2.1 Potensial Aksi Jantung …………………………………………………………………... 8 2.2 Mekanisme Aritmogenesis ……………………………………………………………... 15 2.3 Klasifikasi dan Mekanisme Obat Anti Aritmia ………………………………………… 18 III. KESIMPULAN ………………………………………………………………………… 31 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 32



2



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1. Potensial Aksi Jantung …………………………………………………………... 9 Gambar 2. Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization …………………… 16 Gambar 3. Perkembangan klasifikasi obat anti aritmia …………………………………….. 16 Gambar 4. Klasifikasi obat antiaritmia berdasarkan Vaughan Williams system …………… 16 Gambar 5. Efek obat anti aritmia kelas I …………………………………………………… 17 Gambar 6. Efek obat antiaritmia kelas II …………………………………………………... 20 Gambar 7. Efek obat anti aritmia kelas III …………………………………………………. 21 Gambar 8. Efek obat anti aritmia kelas IV …………………………………………………. 23 Gambar 9. Mekanisme kerja Adenosine …………………………………………………… 25 Gambar 10. Mekanisme kerja Digoxin …………………………………………………….. 26



3



DAFTAR TABEL Tabel 1. Farmakologis Klinis obat anti aritmia …………………………………………… 27



4



BAB I PENDAHULUAN



Quinine (cinchona bark) dianggap efektif dalam menangani palpitasi dimulai pada tahun 1800-an. Namun, Wenckebach secara pribadi melakukan observasi pada tahun 1914 dan menjelaskan tentang penggunaan isomer dari Quinine, yaitu Quinidine. Quinidine kemudian digunakan walaupun dengan toksisitasnya berupa gejala gastrointestinal berat, efek samping atropinik dan aritmia jantung lethal. Setelah penggunaan Quinidine, pengenalan terhadap obat anti aritmia yang baru sangat terbatas hingga beberapa dekade. Selama periode ini, aksi anti aritmia dari digitalis glycosides menjadi lebih dikenal dan penggunaan efektif dalam pengobatan aritmia atrial menjadi rasional (Walker,2006). Pengenalan Procainamide pertama kali pada perang dunia ke II, dan kehilangan Indonesia sebagai sumber Quinine/Quinidine. Hal ini menyebabkan penelitian baru tentang obat antimalaria baru seiring dengan antiaritmia sebagai alternative daripada Quinidine. Procaine dikenal pada tahun 1936 memiliki aksi anti aritmia namun dengan keterbatasan yaitu half-life obat yang pendek. Procainamide secara cepat digunakan sebagai alternative daripada Quinidine. Toksisitasnya mirip dengan Quinidine. Progresifitas yang lambat tampak pada edisi ke-4 dari Goodman and Gilman tahun 1970 yang menyebutkan hanya 5 obat anti aritmia yang tersedia, yaitu glycosides, quinidine, lidocaine, propranolol



dan diphenylhydantoin



(Walker,2006). Setelah Procainamide, terdapat penelitian untuk anti aritmia baru dan ini berasal dari anestesi local lainnya seperti lignocaine yang mana cepat diterima walaupun saat ini sudah sangat terbatas penggunaannya. Di luar studi elektrofisiologis, seperti yang telah dikemukakan oleh Vaughan Willians, pemahaman tentang aksi elektrofisiologi dari obat anti aritmia, dan peranan kanal sodium mulai berkembang. Penelitian fokus dalam penemuan anti aritimia baru yang lebih poten dan spesifik pada blok kanal natrium. Beberapa dari anti aritmia baru ini ( seperti disopyramide) memiliki aksi dan toksisitas yang mirip dengan quinidine dan procainamide atau lignocaine. Obat blok kanal sodium poten diperkenalkan namun terdapat masalah setelahnya. Seperti yang telah diprediksi oleh Hondeghem pada tahun 1987, dan secara klinis tampak pada CAST trial pada tahun 1989, obat anti aritmia kelas IC dan obat lainnya, menunjukkan peningkatan mortalitas pada pasien dengan resiko kematian jantung mendadak meskipun mereka diberikan obat tersebut untuk mencegah kematian akibat artimia. 5



Hasil tersebut merupakan “deep gloom” dalam penelitian obat anti aritmia meskipun pada periode tersebut, beta blocker menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien post infark miokard (Walker,2006). Saat Sir James Black menemukan kegunaan beta blocker untuk pengobatan angina, Sir James Black tidak mengetahui kegunaan potensial lainnya. Kepentingan stimulasi adrenoreseptor beta pada kecepatan dan irama jantung telah diketahui bertahun-tahun. Contoh eksperimental yang nyata saat adrenalin diberikan pada anjing yang tersedasi halothane. Kombinasi ini menyebabkan aritmogenik pada anjing, walaupun tidak pada spesies lainnya, termasuk manusia (Walker,2006). Investigasi awal dalam aksi anti aritmia klinis dan eksperimental dari beta blocker dilakukan. Pada pertengahan 1960-an disebutkan bahwa beta blocker bermanfaat pada infark miokard. Namun, perbincangan tentang topik ini menurun, mungkin disebabkan karena efek samping yang berkaitan dengan dosis besar beta blocker yang diberikan secara parenteral pada pasien infark miokard. Bertahun-tahun kemudian, beta blocker dikontraindikasikan pada pasien infark miokrad dengan gagal jantung kongestif, namun saat ini telah berubah. Di sisi lain, efek anti aritmia moderate dari beta blocker secara konsisten dipaparkan (Walker,2006). Pengenalan potassium channel blockers, yang saat ini dikenal dengan anti aritmia kelas III, disebabkan oleh studi Vaughan Willians dan Singh tentang efek pelebaran potensial intraseluler jantung dalam menurunkan fungsi tiroid, amiodarone, dan kemudian sotalol. Penelitian farmakologi selanjutnya fokus pada sotalol sebagai anti aritmia selektif dan poten. Selanjutnya mengarahkan pada obat lain seperti dofetilide (Walker,2006). Terapi obat antiaritmia berkembang dengan penemuan komponen-komponen baru serta identifikasi ion, seluler, dan mekanisme aksi jaringan. Pengklasifikasian telah berkembang pula dalam mengatur informasi-informasi yang banyak tentang obat antiaritmia sesuai dengan aksi mekanisme nya. Disamping daripada keterbatasannya, klasifikasi obat antiaritmia masih digunakan secara luas. Klasifikasi yang paling banyak digunakan adalah sistem yang dikembangkan oleh Singh dan Vaughan Williams pada awal tahun 1970 dan dimodifikasi oleh Singh dan Hauswirth serta Harrison. Klasifikasi ini membagi obat berdasarkan aksinya menjadi kelas I sodium-channel blockade (IA,IB,dan IC), kelas II adrenergic antagonism, kelas III action-potential prolongation, dan kelas IV calcium-channel blockade. Perkembangan obat kelas I dibatasi saat study menunjukkan bahwa sodium-channel blockers poten (agen kelas IC) dapat meningkatkan kematian pada pasien dengan coronary artery disease. Perhatian kemudian beralih pada agen kelas III, tetapi penggunaannya telah dibatasi karena resiko induksi takiaritmia ventrikel berkaitan dengan QT prolongation. (Nattel dan Singh,1999). 6



BAB II ISI



7



2.1 Potensial Aksi Jantung Aksi potensial jantung menggambarkan keseimbangan antara aliran masuk dan keluar dari ion-ion. Saat sebuah stimulus depolarisasi (aliran listrik dari sel yang berdekatan) secara tiba-tiba mengubah potensial transemembran (Em) daro kardiomiosit istirahat mencapai level threshold, membrane sel dan konduktansi ion berubah secara dramatis, menyebabkan influks dan efluks ion multiple yang bersamasama menghasilkan aksi potensial dari sel. Dalam keadaan ini, stimulus listrik dikonduksikan dari satu sel ke sel-sel lainnya yang berdekatan (Katz,2011). Saat sebuah stimulus eksitatori menyebabkan Em menjadi lebih negative dan mencapai level threshold ( hampir mencapai -65 mV ), kanal Na+ teraktivasi dan terjadi aliran masuk Na+ (INa), menyebakan perubahan Em menjadi voltase positif. Hal ini mencetuskan tertutup dan terbukanya kanal ion permeable selektif selanjutnya. Arah dan besarnya pergerakan ion pasif pada voltase transmembrane ditentukan oleh perbandingan antara konsentrasi intraseluler dan extraseluler dan potensial reversal dari ion tersebut, dengan net flux lebih besar saat ion bergerak dari sisi dengan konsentrasi yang lebih tinggi (Grant,2009). Thershold (nilai ambang) adalah Em terendah yang mana cukup untuk membuka kanal Na+ (atau kanal Ca2+ pada sel nodal) yang selanjutnya dapat menginisiasi pembukaan kanal yang diperlukan untuk menghasilkan aksi potensial. Stimulus depolarisasi yang kecil (subthreshold) dapat mendepolarisasi membrane dan hanya menyebabkan respon local karena tidak cukup membuka kanal Na+ untuk menghasilkan depolarisasi pada sel istirahat di sekitarnya ( insufisien untuk inisiasi potensial aksi regeneratif). Di pihak lain, saat stimulus cukup intens untuk mengurangi Em hingga mencapai threshold, terjadi potensial aksi regenerative, dimana pergerakan intraseluler Na+ semakin mendepolarisasi membran, sehingga meningkatkan konduktansi Na+ dan semakin banyak Na+ yang masuk, dan seterusnya (Katz,2011). Perubahan listrik pada aksi potensial mengikuti hubungan waktu dan voltase yang berbeda tergantung dari tipe sel spesifiknya. Potensial aksi seluruhnya berlangsung beberapa mili second pada sel neuron dan potensial aksi jantung berlangsung beberapa ratus mili second. Aksi potensial dapat terbagi menjadi 5 fase. Fase 4 merupakan fase istirahat Em dan menggambarkan saat Em tidak terstimulasi. Selama aksi potensial, voltase merman fluktuatif antara -94 hingga +30 mV, dengan voltase K+ eksternal fisiologis (EK) sekitar -94 mV, dan pergerakan pasif K+ 8



selama aksi potensial adalah keluar dari sel. Selain itu, karena potensial kanal Ca2+ (ECa) yaitu +64 mV, maka Ca2+ pasif masuk ke dalam sel (Bodi et al,2005). Pada miosit atrium dan ventrikel normal serta serat His-Purkinje, aksi potensial memiliki upstroke yang sangat cepat, dimediasi oleh aliran masuk cepat dari INa. Potensial ini disebut dengan potensial respon cepat. Kebalikannya, potensial aksi pada sinus normal dan sel AV node serta banyak tipe dari jaringan yang rusak memiliki upstroke yang sangat lambat, dimediasi oleh aliran masuk lambat, terutama aliran Ltype voltage-gated Ca2+ (ICaL) daripada melalui aliran masuk cepat INa. Potensial ini disebut potensial respon lambat (Katz,2011; Bodi et al,2005).



Gambar 1. Potensial Aksi Jantung (Katzung,2012) Potensial Aksi Respon Cepat a) Fase 4: Resting Potential Membrane Em pada kardiomiosit atrium dan ventrikel istirahat tetap stabil selama diastole. Em istirahat disebabkan oleh perbedaan konsentrasi ion melewati membrane dan permeabilitas membrane (konduktansi) selektif terhadap berbagai macam ion. Gradien konsentrasi yang besar dari Na+, K+, Ca2+ dan Clmelewati sel membrane diatur oleh pompa dan exchangers ion.



9



Di dalam kondisi normal, membrane istirahat paling permeable terhadap K+ dan relative impermeable terhadap ion lainnya. K+ memiliki konduktansi membrane istirahat paling besar (gK 100 kali lebih besar daripada gNa) karena banyaknya kanal K+ yang terbuka saat istirahat, di mana kanal Na+ dan Ca2+ tertutup. Jadi, K+ memiliki pengaruh yang besar pada Em istirahat. Sebagai konsekuensi, Em hampir selalu mirip dengan potensial K+. Em istirahat sesungguhnya sedikit lebih negative daripada EK karena sel membrane sedikit permeable terhadap ion lainnya (Katz,2011). Aliran masuk kanal K+ (Kir) mengikuti aliran keluar K+ (IK1) menjaga potensial istirahat mendekati EK di sel atrium, His-Purkinje, dan ventrikel, di dalam kondisi normal. Kanal Kir mengakibatkan aliran ion K+ untuk masuk ke dalam sel dengan voltase yang secara kuat menurunkan efluks K+ (pengurangan aliran keluar) pada membrane depolarisasi. Kebalikannya, IKl hampir tidak ada pada sel SA dan AV node, sehingga potensial diastolic istirahat lebih terdepolarisasi dibandingkan dengan miosit atrium dan ventrikel (Katz,2011). Em istirahat juga dipengaruhi oleh Na+-K+ adenosine triphosphatase (ATPase) (Na+-K+ pump), di mana membantu membentuk gradient konsentrasi dari Na+ dan K+ melewati membrane sel. Di dalam kondisi fisiologis, Na+-K+ pump mentransport 2 ion K+ ke dalam sel melawan gradient dan 3 ion Na+ ke luar sel melawan gradient dengan menggunakan 1 adenosine triphosphate (ATP) (Grant,2009). b) Fase 0: Upstroke (Rapid Depolarization) Pada saat eksitasi kardiomiosit karena stimulus elektrikal dari sel berdekatan, Em istirahat (sekitar -85 mV) terjadi depolarisasi, menyebabkan pembukaan (aktivasi) kanal Na+ dan terjadi influx cepat dan besar dari ion Na+ (inward INa) ke dalam sel menurukan gradient elektrokimia. Sebagai konsekuensi dari peningkatan konduktansi Na+, membrane tereksitasi tidak lagi seperti elektroda K+ (eksklusif permeable terhadap K+), tetapi lebih mendekati elektroda Na+. Sekali stimulus mengeksitasi dan mendepolarisasi Em melewati threshold untuk aktivasi kanal Na+ (sekitar -65 mV), INa yang teraktivasi akan regenerative dan tidak lagi bergantung pada stimulus depolarisasi inisial. Influks ion Na+ semakin mendepolarisasi membrane dan semakin 10



meningkatkan konduktansi Na+ sehingga lebih banyak Na+ yang masuk (Andavan dan Lemmens,2011). Secara normal, aktivasi kanal Na+ bersifat transient; inaktivasi cepat ( penutupan pori) dimulai secara simultan dengan aktivasi, tetapi karena inaktivasi sedikit terlambat relative terhadap aktivasi, kanal secara transient tetap terbuka (kurang dari 1 milisecond) untuk mengonduksi INa selama fase 0 dari potensial aksi sebelum kanal tertutup. Sebagai tambahan, influx Na+ ke dalam sel meningkatkan voltase positif intraseluler dan mengurangi driving force dari Na+. Saat ENa tercapai, tidak ada lagi ion Na+ yang memasuki sel (Andavan dan Lemmens,2011). Nilai ambang untuk aktivasi dari ICal sekitar -30 hingga -40 mV. Walaupun ICal secara normal diaktivasi selama fase 0 melalui depolarisasi regenerative disebabkan oleh INa cepat, namun ICal jauh lebih kecil daripada puncak INa. Amplitudo ICal tidak maksimal di dekat puncak potensial aksi kerena aktivasi ICal yang time-dependent dan driving force yang rendah dari ICal. Sehingga, ICal hanya sedikit berkontribusi dalam aksi potensial hingga INa cepat tidak aktif lagi, setelah fase 0 selesai. Sebagai akibatnya, ICal berpengaruh terutama pada plateau dari potensial aksi (Katz,2011). c) Fase 1: Early Repolarization Fase 0 diikuti oleh fase 1, dimana selama membrane repolarisasi secara cepat dan secara transient hingga hampir 0 mV, karena inaktivasi dari INa dan aktivasi beberapa aliran keluar. Pengeluaran aliran K+ transient (Ito) secara utama bertanggung jawab untuk fase 1 potensial aksi. Ito secara cepat teraktivasi (kurang dari 10 milisecond) karena depolarisasi dan secara cepat inaktif (25-80 milisecond untuk komponen cepat dari Ito (Itof) dan 80-200 milisecond untuk komponen lambat dari Ito (Itos)). Influks ion K+ melalui kanal Ito secara parsial merepolarisasi membrane (Tamargo et al, 2004). d) Fase 2: The Plateau Fase 2 (plateau) menunjukkan keseimbangan antara aliran depolarisasi masuk (ICal) dan komponen residual kecil yang masuk (INa) dan aliran repolarisasi keluar (ultrarapidly (IKur), rapidly (IKr) dan slowly (IKs)). Fase 2 merupakan fase terpanjang dari potensial aksi, bertahan puluhan (atrium) 11



hingga ratusan millisecond (sistem His-purkinje dan ventrikel). Fase plateau unik diantara sel eksitabel dan ditandai dengan fase masuknya Ca2+ ke dalam sel. Fase ini yang paling membedakan potensial aksi jantung dengan potensial aksi syaraf dan otot (Katz,2011). ICal diaktivasi oleh depolarisasi membrane, merupakan faktor yang paling berpengaruh pada fase plateau. ICal juga berhubungan dengan kontraksi miokardial. Kanal L-type Ca2+ mengaktivasi depolarisasi membrane ke potensial positif hingga -40 mV. Puncak ICal pada sebuah Em 0-+10 mV dan cenderung terbalik pada +60-+70 mV, mengikuti hubungan bell-shaped current-voltage (Grant,2009). Kanal Na+ juga memiliki kontribusi pada fase plateau walaupun sangat kecil. Setelah fase 0 potensial aksi, beberapa kanal Na+ gagal untuk inaktivasi atau membuka lebih lama atau terbuka kembali secara repetitive selama ratusan millisecond, menyebabkan aliran masuk kecil INa (kurang dari 1% dari puncak INa) (Amin, Tan dan Wilde,2010) e) Fase 3: Final Rapid Repolarization Fase 3 merupakan fase repolarisasi cepat untuk mengembalikan Em pada keadaan istirahat. Fase 3 dimediasi oleh peningkatan konduktansi dari aliran keluar lambat (delayed) (IKr dan IKs), aliran masuk K+ (IKi dan acetylcholine-activated K+ currents(IKAch)), dan inaktivasi time-dependent dari ICal. Repolarisasi akhir selama fase 3 dihasilkan dari efluks K+ melalui kanal IK1, dimana terbuka saat potensial negative hingga -20 mV (Amin, Tan dan Wilde,2010). f) Fase 4: Restoration of Resting Membrane Potential Selama potensial aksi, Na+ dan Ca2+ memasuki sel dan mendepolarisasi Em. Walaupun Em secara cepat terepolarisasi oleh efluks ion K+, restorasi gradien konsentrasi ion transmembrane kembali ke asal saat istirahat diperlukan. Hal ini dicapai dengan Na+-K+ ATPase (Na+-K+ pump, dimana menukar 2 ion K+ ke dalam sel dan 3 ion Na+ ke luar sel) dan dengan Na+-Ca2+ exchanger (INa-Ca, dimana menukar 3 ion Na+ untuk 1 ion Ca2+). Pengurangan konsentrasi Ca2+ sitosolik selama diastole dicapai dengan reuptake Ca2+ oleh retikulum sarcoplasmic melalui kativasi retikulum 12



sarcoplasmic/endoplasmic Ca2+- ATPase Ca2+ pump (SERCA), sebagai tambahan untuk ekstrusi melalui sarcolemma dengan Na+-Ca2+ exchanger. Pada jantung manusi dalam kondisi istirahat, waktu yang diperlukan miosit jantung untuk depolarisasi, kontraksi, relaksasi dan recovery sekitar 600 milisecond (Bodi et al, 2005). Potensial Aksi Respon Lambat Potensial aksi pada sel SA dan AV nodal memiliki upstroke yang sangat lambat, dimediasi lebih utama oleh aliran masuk lambat ICal, daripada alian masuk cepat INa. Potensial ini disebut potensial respon lambat (Bodi et al,2005). Sebagai catatan, potensial aksi dari sel pacemaker di SA dan AV nodal berbeda secara signifikan dari miokard atrium dan ventrikel. Potensial aksi respon lambat memiliki karakteristik Em lebih terdepolarisasi pada onset fase 4 (-50 hingga -65 mV), depolarisasi diastolok lambat selama fase 4, penurunan amplitude potensial aksi, dan kecepatan yang jauh lebih lambat dari depolarisasi fase 0 daripada sel miokradium, sehingga menghasilkan kecepatan konduksi lambat dari impuls jantung pada regio nodal. Sel pada serat His-Purkinje juga dapat menghambat depolarisasi fase 4 dalam keadaan tertentu (Tamargo et al,2004). a) Fase 4: Diastolic Depolarization Kebalikan daripada miosit atrium dan ventrikel, serta serat sistem His-Purkinje, dimana level Em diastolic tetap sekitar -85 mV, pada sel eksitabel SA dan AV nodal terjadi penurunan progresif, lambat, dan spontan dari Em selama diastole ( depolarisasi diatolik spontan atau depolarisasi fase 4) yang mendasari fungsi pacemaker dan automatisasi normal. Sekali depolarisasi spontan mencapai threshold (sekitar -40 mV), potensial aksi baru terbentuk (Mangoni dan Margeot, 2008). Mekanisme ionik dalam depolarisasi diastolic dan aktivitas pacemaker normal pada sinus nodal masih menjadi kontroversial. Sebenarnya, peran utama disebabkan oleh penurunan dari konduktansi delayed K+ (aliran keluar) selama potensial aksi sebelumnya (the IK-decay theory). Bentuk depolarisasi pacemaker ini menjadi tidak popular dengan ditemukannya “funny” current (If), terkadang disebut pacemaker current. Aliran ion lainnya (seperti ICal dan T-type Ca2+



13



currents), nongated dan nonspecific current, dan aliran yang dihasilkan oleh Na+Ca2+ exchanger juga terlibat dalam proses pacemaking. If merupakan hyperpolarization-activated inward current, yang diaktivasi oleh hiperpolarisasi daripada depolarisasi, diatur lebih oleh Na+ dan sedikit oleh ion K+. Kanal If dideaktivasi selama upstroke potensial aksi dan fase plateau inisial saat repolarisasi. Namun, mereka mulai aktif pada akhir potensial aksi saat repolarisasi mengembalikan Em pada level yang lebih negative dari -40 hingga -50 mV, dan mereka aktif penuh saat sekitar -100 mV. Sekali teraktivasi, If mendepolarisasi membrane ke level dimana aliran Ca2+ aktif untuk menginisiasi potensial aksi. Pada akhir repolarisasi, karena aktivasi If terjadi akibat penurunan aliran keluar timedependent K+, aliran secara cepat berubah dari keluar menjadi ke dalam, sehingga menyebabkan peningkatan mendadak dari voltase ( dari repolarisasi menjadi depolarisasi) pada potensial diastolic maksimum (DiFrancesco,2010). Di sisi lain, beberapa studi menunjukkan bahwa If bukan satu-satunya yang dapat menginisiasi proses depolarisasi diastolic pada sinus nodal. Sebagai tambahan untuk voltase dan waktu, molekul regulatori dan elektrogenik pada membrane permukaan dari sel sinus nodal secara kuat dimodulasi oleh Ca2+ dan fosforilasi, sebuah penemuan yang menyebutkan bahwa Ca2+ intraseluler memiliki peran penting dalam mengatur automatisasi sel pacemaker. Bukti terbaru menunjukkan bahwa retikulum sarcoplasmic, penyimpanan Ca2+ terbesar pada sel sinus nodal, dapat berfungsi sebagai physiological clock pada sel pacemaker jantung dan memiliki pengaruh substansial pada depolarisasi diastolic akhir (Mangoni dan Margeot, 2008). b) Fase 0: Upstroke: Slow Depolarization IK1 hampir tidak ada pada sel SA dan AV nodal, sehingga relative lebih terdepolarisasi potensial diastolic istirahatnya (-50 hingga -65 mV) dibandingkan dengan miosit atrium dan ventrikel dan memfasilitasi depolarisasi diastolic yang dimediasi oleh aliran masuk (seperti If). Pada potensial diastolic maksimum dari sel pacemaker, kebanyakan kanal Na+ inaktif dan tidak tersedia untuk depolarisasi fase 0. Sebagai konsekuensi, upstroke potensial aksi terutama oleh karena ICal (Tamargo et al, 2004). L-type Ca2+channels aktif pada depolarisasi potensial positif hingga -40 mV, dan puncak ICal pada 0 hingga +10 mV. Puncak amplitude ICal kurang dari 10% dari 14



INa, dan waktu yang diperlukan untuk aktivasi dan inaktivasi ICal lebih lambat daripada INa. Sebagai konsekuensi, kecepaan depolarisasi pada fase 0 lebih lambat dan puncak amplitude potensial aksi lebih rendah daripada sel miokard (Bodi et al,2005). 2.2 Mekanisme Aritmogenesis Banyak faktor yang dapat mempresipitasi atau mengeksaserbasi aritmia: iskemia, hipoksia, asidosis atau alkalosis, elektrolit abnormal, paparan katekolamin berlebihan, pengaruh otonom, toksisitas obat (digitalis atau obat antiaritmia), regangan berlebihan pada serat jantung, dan adanya jaringan parut atau gangguan jaringan lainnya. Namun, semua aritmia diakibatkan oleh (1) gangguan formasi/pembentukan impuls, (2) gangguan konduksi/penjalaran impuls, atau (3) keduanya (Hume dan Grant,2012). 1.



Gangguan formasi/ pembentukan arus listrik jantung/ impuls. Interval antara depolarisasi sel pacemaker adalah total durasi potensial aksi dan



durasi interval diastolic. Pemendekan masing-masing durasi dapat berakibat pada peningkatan kecepatan pacemaker. Interval diastolic ditentukan terutama oleh slope depolarisasi



fase



4



(potensial



pacemaker).



Obat-obat



β-receptor–blockers



memperlambat kecepatan pacemaker normal dengan mengurangi slope fase 4 (acetylcholine juga membuat potensial diastolic maksimum menjadi lebih negative). Percepatan dari pacemaker discharge sering kali terjadi dengan penigkatan slope depolarisasi fase 4, yang mana dapat disebabkan oleh hipokalemia, stimulasi βadrenoceptor, obat-obat kronotropik positif, peregangan serat otot jantung, asidosis dan depolarisasi parsial akibat injuri (Hume dan Grant,2012). Pacemaker laten (sel-sel yang menunjukkan depolarisasi fase 4 yang lambat meskipun dalam keadaan normal, seperti beberapa serat Purkinje) umumnya cenderung mengalami percepatan melalui mekanisme di atas. Namun, seluruh sel-sel jantung, termasuk sel-sel ventrikel dan atrium yang tidak bergerak, dapat menunjukkan aktivitas pacemaker yang berulang saat terdepolarisasi dalam beberapa kondisi, terutama jika terdapat hypokalemia (Hume dan Grant,2012). a) Kelainan automatisasi Pada keadaan normal, depolarisasi spontan hanya terjadi di nodus SA. Hal ini disebabkan karena impuls yang dicetuskan di nodus SA sangat cepat sehingga menekan proses automatisasi di sel-sel lain. Apabila terjadi perubahan tonus



15



susunan syaraf otonom, atau karena suatu gangguan di nodus SA, maka dapat terjadi aritmia (Lilly, 2011). b) Triggered activity Dasar mekanisme ini adalah adanya early dan delayed afterdepolarizations, yaitu suatu voltase kecil yang timbul setelah sebuah potensial aksi (Lilly, 2011). Afterdepolarization adalah depolarisasi transient yang menginterupsi fase 3 (early



afterdepolarizations,



EADs)



atau



fase



4



(delayed



afterdepolarizations,DADs). EAD biasanya mengalami eksaserbasi pada kecepatan jantung yang lambat dan dikatakan berkontribusi pada terbentuknya long QT-related arrhythmias. DAD, di sisi lain, sering terjasi saat kalsium intraseluler meningkat. DAD tereksaserbasi oleh kecepatan jantung yang cepat dan bertaggungjawab pada kejadian beberapa aritmia yang berhubungan dengan digitalis, katekolamin, dan iskemia miokard (Hume dan Grant,2012).



Gambar 2. Early afterdepolarization dan Delayed afterdepolarization (Hume dan Grant,2012)



2.



Gangguan penjalaran arus listrik jantung/ konduksi Adanya hambatan pada konduksi dapat menyebabkan block, seperti blok AV nodal atau bundle branch block. Karena kontrol parasimpatis pada konduksi AV signifikan, maka blok AV parsial terkadang dapat membaik dengan atropine. Abnormalitas konduksi lainnya yaitu reentry (disebut juga “circus movement”), di



16



mana satu impuls masuk kembali dan mengeksitasi area jantung lebih dari sekali (Hume dan Grant,2012). a) Blok konduksi b) Reentry Jalur impuls reentry terbatas pada area yang kecil, seperti di sekitar AV nodal, atau dapat melibatkan area yang luas dari dinding atrium atau ventrikel. Beberapa bentuk reentry ditentukan secara anatomi, sebagai contoh pada WolffParkinson-White syndrome, sirkuit reentry melibatkan jaringan atrium, AV nodal, jaringan ventrikel, dan jaras tambahan (bundle of Kent). Dalam kasus lainnya (seperti atrial atau ventrikular fibrilasi), sirkuit reentry multipel, impuls berjalan dengan jalur yang random. (Hume dan Grant,2012). Untuk terjadinya proses reentry, 3 kondisi yang harus terjadi: 1. Adanya hambatan (anatomi/fisiologis) pada konduksi homogen, sehingga membentuk sirkuit yang dapat mempropagasi terjadinya gelombang reentrant. 2. Adanya unidirectional block pada beberapa titik sirkuit, yang mana konduksi akan mati di satu arah, namun tetap berlanjut pada arah berlawanan. 3. Waktu konduksi di sekitar sirkuit harus cukup lama sehingga impuls retrograde tidak memasuki jaringan refrakter saat berjalan di sekitar hambatan. Waktu konduksi harus melampaui periode refrakter. Perlambatan konduksi dapat disebabkan karena depresi dari aliran natrium, depresi aliran kalsium, atau keduanya. Obat-obatan yang meniadakan reentry biasanya bekerja dengan memperlambat konduksi (dengan menghambat aliran natrium atau kalsium) dan menyebabkan bidirectional block. Secara teori, percepatan konduksi ( dengan meningkatkan aliran natrium atau kalsium) juga dapat efektif (Hume dan Grant,2012). Pemanjangan (atau pemendekan) dari periode refrakter juga dapat mengurangi reentry. Semakin Panjang periode refrakter pada jaringan di dekat area blok, semakin besar kemungkinan jaringan masih dalam refrakter saat reentry akan terjadi (Hume dan Grant, 2012). 2.3 Klasifikasi dan Mekanisme Obat Anti Aritmia Terdapat 2 sistem klasifikasi untuk obat anti aritmia yang berkembang di awal tahun 1970an. Skema pertama dikembangkan oleh Singh adan Vaughan Williams. Mereka mengkategorikan obat-obatan berdasarkan aksi elektrofisiologis menjadi 4 17



grup. Agen kelas I merupakan anestetik local yang mengurangi peningkatan kecepatan maksimum depolarisasi (Vmax) dengan mengurangi aliran natrium pada sel-sel jantung. Agen kelas II mengurangi efek sistem syaraf simpatis pada jantung, dimana agen kelas III, seperti sotalol dan amiodaron, memperpanjang APD dan meningkatkan periode refrakter pada jaringan jantung. Sebagai tambahan, studi tentang verapamil mengembangkan obat anti aritmia kelas IV yang mana menghambat aliran kalsium pada jaringan jantung (Pugsley,2002). Bersamaan dengan itu, Hoffman dan Bigger (1971) mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan beberapa studi tentang agen anti aritmia baru saat itu. Mereka mengusulkan 2 grup berdasarkan efeknya pada potensial aksi jantung. Grup I termasuk agen seperti quinidine dan procainamide, di mana menurunkan Vmax dengan menghambat aliran natrium pada sel, menekan eksitabilitas otot jantung, dan memperpanjang APD. Grup II tidak menurunkan Vmax (tidak menghambat influx natrium ke dalam sel) dan tidak menekan eksitabilitas miokard. Namun, grup II memperpendek APD (Pugsley,2002). Klasifikasi saat ini yang digunakan secara utama berdasarkan Singh and Vaughan Williams, namun sebenarnya gabungan dari 2 sistem. Jadi, pada tahun 1974, Singh dan Hauswirth membahas komponen yang penting dari sistem Hoffman-Bigger (Pugsley,2002).



Gambar 3. Perkembangan klasifikasi obat anti aritmia (Pugsley,2002)



18



Gambar 4. Klasifikasi obat anti aritmia berdasarkan Vaughan-Williams system (Opie,2004)



a) Obat anti aritmia Kelas I Obat anti aritmia kelas I lebih jauh dibagi berdasarkan efek pada durasi potensial aksi (APD). Obat kelas IA (prototype procainamide) memperpanjang APD. Obat kelas IB (prototype lidocaine) memperpendek APD pada beberapa jaringan jantung. Obat kelas IC (prototype flecainide) tidak memiliki efek pada APD (Katzung,2012). Seluruh obat kelas I memperlambat konduksi pada sel yang terdepolarisasi dan iskemia dan memperlambat/meniadakan pacemaker abnormal dimanapun proses ini bergantung pada kanal natrium. Agen yang paling selektif ( yaitu pad akelas IB) memiliki efek signifikan pada kanal natrium di jaringan iskemik, tetapi efek yang tidak berarti pada kanal di sel yang normal. Kebalikannya, agen yang tidak selektif pada kelas I (IA dan IC) menyebabkan beberapa pengurangan dari INa bahkan pada sel yang normal (Katzung,2012). Kegunaan dari obat-obat sodium channel-blocking berikatan dengan reseptornya lebih bermanfaat saat kanal terbuka/inaktif daripada saat repolarisasi sempurna dan saat istirahat. Sehingga, obat anti aritmia menghambat kanal pada jaringan abnormal lebih efektif daripada kanal pada



19



jaringan normal. Mereka menggunakan use dependent atau state dependent dalam aksinya ( mereka secara selektif menekan jaringan yang berdepolarisasi secara frekuen, seperti selama takikarida atau jaringan yang mengalami depolarisasi selama istirahat misalkan selama hipoksia).



Gambar 5. Efek obat anti aritmia kelas I (Katzung,2012) Semua obat kelas I mengurangi aliran natrium pada fase 0 dan fase 4 pada sel yang bermasalah. Obat kelas IA juga mengurangi aliran kalium (IK) pada fase 3 dan memperpanjang durasi aksi potensial (APD). Hal ini menghasilkan perpanjangan signifikan dari periode refrakter efektif (ERP). Obat kelas IB dan kelas IC memiliki perbedaan (atau tidak ada) efek pada aliran kalium sehingga memperpendek atau tidak memiliki efek pada APD. Namun, seluruh obat kelas I memperpanjang ERP dengan memperlambat recovery kanal natrium dari inaktivasi (Katzung,2012). Procainamide Procainamide memperlambat upstroke potensial aksi, memperlambat konduksi dan memperpanjang durasi QRS pada EKG dengan menghambat kanal natrium. Obat ini juga memperpanjang APD (kerja agen kelas III) dengan penghambatan non spesifik pada kanal kalium. Obat ini kurang efektif dari quinidine dala menekan aktivitas pacemaker ektopik banormal tetapi lebih efektif dalam memblok kanal natrium pada sel depolarisasi. 20



Procainamide memiliki kerja depresan langsung pada SA dan AV nodal, dan kerja ini hanya sedikit diseimbangkan oleh obat induced vagal block. Procainamide memiliki kerja menghambat ganglion. Aksi ini mengurangi resistensi vaskular perifer dan dapat menyebabkan hipotensi, terutama dengan penggunaan intravena. Namun, pada konsentrasi terapeutik, efek vaskular perifer kurang prominen dibandingkan dengan quinidine. Hipotensi biasanya berhubungan dengan infus procainamide cepat yang berlebihan atau adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Quinidine Quinidine memilik karja yang mirip dengan procainamide, yaitu memperlambat upstroke potensial aksi, memperlambat konduksi, dan memperpanjang durasi QRS pada EKG, dengan menghambat kanal natrium. Obat ini juga memperpanjang durasi potensial aksi dengan menghambat beberapa kanal kalium. Efek kardiak toksik termasuk pemanjangan QT interval yang berlebihan dan menginduksi torsades de pointes. Konsentrasi toksis quinidine juga menghasilkan hambatan berlebihan pada hambatan kanal natrum dengan memperlambat konduksi di seluruh jantung. Lidocaine Lidocaine memiliki insidensi yang rendah untuk efek toksik dan efektivitas tinggi untuk aritmia berkaitan dengan infark miokard. Obat ini hanya diberikan secara intravena. Lidocaine menghambat aktivasi dan inaktivasi kanal natrium dengan kinetic yangcepat, hambatan pada inaktivasi memberikan efek yang besar pada sel dengan potensial aksi yang Panjang seperti Purkinje dan sel ventrikel, dibandingkan dengan sel atrium. Kinetik yang cepat pada potensial istirahat normal menyebabkan recovery dari blok antara potensial aksi dan tidak ada efek pada konduksi. Peningkatan inaktivasi dan unbinding kinetics yang lebih lambat menyebabkan depresi selektif pada konduksi di sel depolarisasi. Flecainide Flecainide merupakan penghambat kanal kalium dan natrium yang poten dengan memperlambat unblocking kinetics. Walaupun obat ini



21



menghambat kanal kalium tertentu, namun tidak memperpanjang potensial aksi atau QT interval. Saat ini digunakan pada pasien dengan jantung normal yang memiliki aritmia supraventricular. Obat ini tidak memiliki efek muskarinik. Flecainide sangat efektif dalam menekan kontraksi ventrikel premature. Namun, dapat menyebabkan eksaserbasi aritmia yang berat meskipun saat dosis normal diberikan pada pasien dengan takiaritmia ventrikel pre-existing dan yang sebelumnya memiliki infark miokard dan ventrikel ektopik. Hal ini terbukti pada Cardiac Arrhytmia Supression Trial (CAST), yang mana diterminasi secara premature karena 2,5 kali meningkatkan mortalitas pada pasien yang mendapatkan flecainide dan agen IC yang mirip. b) Obat anti aritmia Kelas II Propranolol dan esmolol merupakan prototype dari obat anti aritmia βblockers. Mekanismenya dalam anti aritmia secara utama dengan menghambat β-adrenoreceptor dan mengurangi cAMP, di mana menghasilkan pengurangan dari aliran natriumdan kalsium dan menekan pacemaker abnormal. AV nodal terutama sensitive pada β- blockers dan interval PR biasanya memanjang akibat obat Kelas II. Dalam beberapa kondisi, obat-obat ini dapat memiliki efek anestetik lokal langsung (sodium channel-blocking) pada jantung, tetapi hal ini jarang terjadi pada konsentrasi yang diterima secara klinis. Sotalol dan amiodarone, secara umum diklasifikasikan ke dalam obat kelas III, namun juga memiliki efek kelas II yaitu efek β- blockers (Katzung,2012).



22



Gambar 6. Efek obat anti aritmia kelas II (Opie, 2004) Propranolol Propranolol memiliki efek kerja menghambat reseptor- β dan efek membrane langsung. Beberapa obat ini memiliki selektivitas pada reseptot β1, beberapa memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsic, beberapa menunjukkan efek membrane langsung, dan beberapa memperpanjang aksi potensial. Kontribusi relative dari hambatan reseptor β dan efek membrane langsung untuk efek anti aritmia belum sepenuhnya dipahami. Walaupun β-blocker dapat ditoleransi dengan baik, efikasinya untuk menekan depolarisasi ektopik ventrikel lebih rendah daripada sodium channel blockers. Namun, terdapat bukti bahwa agen ini dapat mencegah rekurensi infark dan kematian mendadak pada pasien post infark miokard. Esmolol Esmolol merupaka short acting β-blocker yang digunakan utamanya sebagai obat anti aritmia untuk intraoperative dan aritmia akut. Sotalol merupakan obat β-blockers non selektif yang memperpanjang potensial aksi (kerja kelas III)



23



c) Obat anti aritmia Kelas III Obat-obat ini memperjangan potensial aksi, dengan menghambat kanal kalium pada otot jantung atau dengan menambah aliran masuk (inward current), seperti melalui kanal natrium. Pemanjangan potensial aksi oleh kebanyakan obat ini sering menunjukkan efek yang tidak diinginkan “reverse use-dependence”, pemanjangan potensial aksi tidak tampak pada kecepatan yang cepat (dimana kondisi ini yang diharapkan) dan tampak jelas pada kecepatan lambat, di mana dapat beresiko terjadinya torsades de pointes (Katzung,2012). Walaupun kebanyakan obat pada kelas ini menyebabkan pemanjangan QT, terdapat beberapa pertimbangan di antara obat-obatan ini dalam kecenderungan proaritmia untuk menyebabkan torsades de pointes meskipun terdapat pemanjangan QT. Studi terbaru menunjukkan bahwa pemanjangan QT berlebihan sendiri bukan prediktor terbaik dalam drug-induced-torsades de pointes. Faktor-faktor penting lainnya dalam pemanjangan QT termasuk stabilitas potensial aksi dan pemebentukan triangular shape, reverese usedependence, dan penyebaran repolarisasi (Katzung,2012).



Gambar 7. Efek obat anti aritmia kelas III (Katzung,2012)



24



Seluruh obat kelas III memanjangkan durasi potensial aksi (APD) pada sel jantung yang bermasalah dengan menurunkan aliran keluar (repolarisasi) aliran kalium (IK) pada fase 3. Efek utamanya yaitu dengan memperpanjang periode refrakter efektif (ERP). Aliran kalium diastolic pada fase 4 (IK1) tidak dipengaruhi oleh obat ini (Katzung,2012). Hambatan pada IK dapat menginduksi torsades de pointes, terutama saat terdapat concomitant bradycardia dan gangguan ion. Terdapat 2 mekanisme yang dapat menyebabkan torsades de pointes: yang pertama yaitu pemanjangan aksinpotensil menyebabkan after-potensial,yang mana dapat menginisiasi aritmia. After-potensials merupakan akibat dari peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Penjelasan lainnya yaitu adanya interaksi antara konduksi dan periode refrakter di mana pada denyut normal tidak berubah menjadi chaos (fibrilasi) karena keseimbangan intrakardiak normal antara konduksi dan periode refrakter membentuk denyutan yang stabil. Sehingga, gangguan pada salah satu hal ini dapat menyebabkan aritmia. Jadi, pemanjangan dari gambaran intrakardiak normal dari periode refrakter dapat menyebabkan torsades (Walker,2006). Amiodarone Amiodarone merupakan agen anti aritmia spektrum luas yang unik, secara utama merupakan kelas III dan sebagai tambahan memiliki aktivitas kelas II dan kelas IV. Secara umum, status obat ini telah berubah dari agen “last ditch” menjadi agen yang mengalami peningkatan untuk digunakan saat aritmia mengancam jiwa. Perkembangan keunggulan anti aritmia dan potensial untuk penurunan mortalitas perlu untuk diseimbangkan dengan beberapa hal, pertama, onset yang lambat dengan terapi oral sehingga membutuhkan dosis loading oral yang besar. Kedua, terdapat banyak efek samping serius, terutama infiltrate pulmonal dan masalah tiroid, sehingga perlu keseimbangan yang baik antara efek obat anti aritmia maksimum dan potensiasi untuk efek samping. Ketiga, terdapat banyak interaksi obat serius, beberapa dapat mempredisposisi terjadinya torsades de pointes, namun jarang saat amiodarone digunakan sebagai agen tunggal (Opie, 2004). Amiodarone merupakan agen anti aritmia kompleks, predominan kelas III,dan memiliki property pada 3 kelas anti aritmia lainnya. Aktivitas kelas III 25



berarti amiodarone memperpanjang periode refrakter efektif dengan memperpanjang durasi potensial aksi pada seluruh jaringan jantung, termasuk jaras tambahan (bypass tract). Selain itu juga memiliki kekuatan kelas I (efek menghambat inaktivasi kanal natrium pada frekuensi stimulasi yang tinggi. Amiodarone secara non kompetitif memblok reseptor  dan reseptor adrenergik (efek kelas II), efek ini menambah inhibisi reseptor kompetititf oleh



-blockers. Efek antagonis kalsium yang lemah (kelas IV) dapat menjelaskan bradikardia dan inhibisi AV nodal dan insiden yang relative rendah dari torsades de pointes. Selain itu, terdapat aksi vasodilator perifer dan koroner yang relative lemah (Opie, 2004). d) Obat anti aritmia Kelas IV Obat anti aritmia kelas IV memperlambat konduksi pada area di mana upstroke potensial aksi merupakan calcium-dependent, seperti pada SA dan AV nodal. Obat-obat kelas IV menngurangi aliran masuk kalsium selama potensial aksi dan selama fase 4. Sebagai hasilnya, kecepatan konduksi diperlambat pada AV nodal dan masa refrakter diperpanjang. Depolarisasi pacemaker selama fase 4 diperlambat seperti saat aliran kalsium berlebihan.



Gambar 8. Efek obat anti aritmia kelas IV (Katzung,2012) Calcium-channel-blockers memiliki keselektifan terhadap vascular atau jaringan jantung, meskipun keduanya memiliki L-type-calcium channel. Hanya calcium-channel-blockers yang sedikit selektif pada vaskular yang dapat



26



digunakan sebagai anti aritmia secara klinis. L-type-channel jantung merupakan hal penting untuk konduksi pada jaringan nodal, sepenting dalam hal eksitasi/contraction coupling. Jadi, tidak mengherankan jika anti aritmia kelas IV



digunkan



untuk



mengurangi



konduksi



atrioventricular,



sehingga



menterminasi paroxysmal supraventricular tachycardia, atau mengurangi kecepatan ventrikel pada fibrilasi atrial (Walker, 2006). Verapamil Verapamil menghambat aktivasi dan inaktivasi dari L-type-calciumchannels. Jadi, efeknya lebih tampak pada jaringan yang “fire” secara frekuen, yang lebih sedikit terrepolarisasi sempurna saat istirahat, dan yang aktivasinya bergantung hanya pada aliran kalsium, seperti SA dan AV nodal. Waktu londuksi AV nodal dan periode refrakter efektif secara konsisten diperpanjang oleh konsentrasi terapeutik. Verapamil biasanya memperlambat SA nodal dengan kerja langsung, namun efek hipotensi terkadang menghasilkan reflex kecil yang meningkatkan kecepatan SA. Verapamil dapat menekan baik early maupun delayed afterdepolarizations dan dapat melawan respon lambat yang terbentuk pada jaringan yang terdepolarisasi. Diltiazem Diltiazem memiliki efikasi yang mirirp dengan verapamil dalam penanganan supraventricular aritmia, termasuk kontrol rate pada fibrilasi atrium. e) Lain-lain (miscelanneous) a. Adenosine Adenosine merupakan nucleoside yang terbentuk secara alami di seluruh tubuh. Half-life di dalam darah kurang dari 10 detik. Mekanismenya melibatkan aktivasi dari aliran masuk kalium dan penghambatan aliran kalsium. Hal ini menyebabkan hiperpolarisasi dan penekanan pada potensial aksi calcium-dependent. Saat diberikan dosis bolus, adenosine secara langsung menghambat konduksi AV nodal dan meningkatkan periode refrakter AV nodal tetapi efek yang lebih kecil pada SA nodal. Adenosine saat ini merupakan pilihan untuk konversi 27



pada supraventricular tachycardia ke irama sinud karena efikasi nya yang tinggi (90-95%) dan durasi aksi yang sangat pendek. Bentuk takikardia ventrikel yang uncommon merupakan adenosine-sensitive. Obat ini kurang efektif pada adanya reseptor adenosine blockers seperti teofilin/ kafein, dan efeknya dipotensiasi oleh adenosine uptake inhibitors seperti dipyridamole (Hume dan Grant,2012).



Gambar 9. Mekanisme kerja Adenosine (Opie,2004) b. Cardiac Glycosides Perlambatan sinus dan inhibisi pada AV nodal merupakan hasil dari aktivasi parasimpatis. Besarnya efek inhibisi pada AV nodal bergantung sebagian pada tonus vagal, di mana berbeda setiap orangnya. Depresi langsung pada jaringan nodal juga masih ditemukan setelah blokade vagal. Gejala toksik digitalis disebabkan oleh efek parasimpatomimetik, seperti nausea, muntah, dan anoreksia (Opie, 2004). Kerja digoxin pada konduksi AV, yang mana memperlambat dan pada periode refrakter AV, yang mana memperpanjang, utamanya tergantung pada peningkatan tonus vagal dan hanya merupakan tingkat minor dalam efek langsung dari digoksin (Opie, 2004).



28



Gambar 10. Mekanisme kerja Digoxin (Opie,2004) Digoksin memiliki efek seluler neural dan miokardial. Efek inotropic digoksin karena inhibisi sodium pump pada sel miokard. Perlambatan kecepatan denyut jantung dan inhibisi AV nodal dengan stimulasi vagal dan penurunan pelepasan syaraf simpatis merupakan keuntungan terapeutik yang penting. Aritmia toksik masih sedikit dipahami, tetapi dapat disebabkan oleh calcium-dependent afterpotentials (Opie, 2004). c. Ion Potassium Efek peningkatan serum K+ yaitu (1) aksi depolarisasi potensial istirahat dan (2) aksi stabilisasi potensial membrane, yang selanjuutnya disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kalium. Hipokalemia menyebabkan



peningkatan



resiko



early



dan



delayed



afterdepolarizations, dan aktivitas pacemaker ektopik, terutama dengan penggunaan digitalis. Hiperkalemia menekan pacemaker ektopik (hiperkalemia berat dapat menekan SA nodal) dan memperlambat konduksi. Karena baik insufisensi maupun jumlah berlebihan dari kalium



potensial



aritmogenik,



terapi



kalium



ditujukan untuk



menormalkan gradien kalium di dalam tubuh (Hume dan Grant,2012).



d. Ion Magnesium Magnesium yang digunakan untuk pasien dengan digitalis-induced arrhythmias yang mengalami hipomagnesemia, infus magnesium 29



ditemukan memiliki efek anti aritmia pada beberapa pasien dengan kadar magnesium serum normal. Mekanisme dari efek ini tidak diketahui, namun magnesium diketahui mempengaruhi Na+/K+ATPase, kanal natrium, kanal kalium tertentu, dan kanal kalsium. Terapi magnesium diindikasikan pada pasien dengan digitalis-induced arrhythmias jika terdapat hypomagnesemia. Ini juga diindikasikan pada beberapa pasien dengan torsades de pointes jika serum magnesium normal. Pemahaman lebih jauh dari aksi dan indikasi penggunaan magnesium sebagai obat anti aritmia membutuhkan investigasi lebih jauh (Hume dan Grant,2012). Tabel 1. Farmakologis Klinis obat anti aritmia (Hume dan Grant,2012)



BAB III KESIMPULAN



30



Sebagian besar obat antiaritmia yang tersedia dipasaran terklasifikasi berdasarkan cara kerja dimana memblok kanal ion tertentuu seperti natrium, kalsium dan kalium. Klasifikasi obat antiaritmia yang disusun oleh Vaughan Williams yang paling banyak dipakai secara medis, walapun klasifikasi ini memiliki kelemahan karena hanya berdasarkan pada efek elektrofisiologi. Pada kondisi realitas mekanisme kerja obat antiaritmia sangat kompleks dan tergantung dengan tipe jaringan tertentu, derajat kerusakan jaringan, denyut jantung, potensial membrane serta pengaruh saraf autonom.



DAFTAR PUSTAKA



31



Amin AS, Tan HL, Wilde AA: Cardiac ion channels in health and disease, Heart Rhythm 7:117–126, 2010. Andavan GS, Lemmens GR: Voltage-gated sodium channels: mutations, channelopathies and targets, Curr Med Chem 18:377–397, 2011. Bodi I, Mikala G, Koch SE, et al: The L-type calcium channel in the heart: the beat goes on, J Clin Invest 115:3306–3317, 2005. DiFrancesco D: The role of the funny current in pacemaker activity, Circ Res 106:434– 446, 2010. Grant AO: Cardiac ion channels, Circ Arrhythm Electrophysiol. 2009. 2:185–194. Hume JR dan Grant AO. Agents Used in Cardiac Arrhythmias in Basic & Clinical Pharmacology 12th Edition. McGrawHills Company. 2012. 14; 227-247. Katz AM: The cardiac action potential. In Katz AM, editor: Physiology of the heart, ed 5, Philadelphia, 2011, Lippincott Williams & Wilkins, pp 369–400. Katzung BG, Trevor AJ, Hall MK, et al. Antiarrhythmic Drug in Pharmacology Examination & Board Review. McGrawHills Company. 2013. 14;131-141. Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease. Lippincott Williams & Wilkins, 2011. Mangoni ME, Nargeot J: Genesis and regulation of the heart automaticity, Physiol Rev 88:919–982, 2008. Nattel S and Singh BN. Evolution, mechanisms, and classification of antiarrhythmic drugs: focus on class III actions. The American Journal of Cardiology. 1999. 84;9;11-19. Opie, LH, Gersh BJ, DiMarco JP. Antiarrhythmic Drugs and Strategies. In: Drugs for the Heart 6th Edition. Elsevier Saunders. 2004; 8: 247-49.



32



Pugsley, MK. Antiarrhythmic Drug Development: Historical Review and Future Perspective. Drug Development Research.2002. 55:3-16. Tamargo J, Caballero R, Gomez R, et al: Pharmacology of cardiac potassium channels, Cardiovasc Res 62:9–33, 2004. Walker MJA. Antiarrhytmic drug research. British Journal of Pharmacology. 2006. 147; 222-231.



33