Mikro Air Acara 1 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • okpit
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI AIR



ACARA I PEMBENTUKAN BIOFILM



Disusun oleh : Nama



: Okvita Musdalifah



NIM



: 11/318158/PN/12465



Kelompok



: 6 (enam)



Jurusan



: Mikrobiologi



Asisten



: Martha Retnaning Tyas Yudi Kusnadi Nabila Dias F



LABORATORIUM MIKROBIOLOGI AIR JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014



ACARA I PEMBENTUKAN BIOFILM



Abstraksi Praktikum Mikrobiologi Air Acara III mengenai Biofilm Organik dan Anorganik dilaksanakan pada hari Kamis, 27 Maret 2014 dilanjutkan dengan pengamatan hingga pada hari Senin, 31 Maret 2014 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Air, Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan selama praktikum berlangsung adalah cawan petri, gelas beker, jarum ose, dryglasky dan pipet. Untuk bahan yang diperlukan selama praktikum adalah larutan garam fisiologis, medium TSA 1x, medium TSA 0,1x, medium TSA 0,01x, sampel biofilm organik (daun tanaman, dahan tanaman dan cangkang bekicot) dan sampel biofilm anorganik (batu sungai, batu kolam dan plastik penyumbat bak kamar mandi)...



I.PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Di alam, bakteri cenderung menempel pada permukaan padat dan apabila kondisi lingkungan



memungkinkan, bakteri tersebut dapat tumbuh dan berkembang biak serta membentuk biofilm. Biofilm adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu lingkungan kehidupan yang khusus dari sekelompok mikroorganisme, yang melekat ke suatu permukaan. Hal ini menjadi mikrolingkungan yang unik dimana mikroorganisme dalam biofilm berbeda secara struktural maupun fungsional dengan yang hidup bebas (planktonik). Biofilm memberi dampak kepada berbagai kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu riset mengenai biofilm menjadi penting. Biofilm dapat tumbuh di berbagai permukaan, termasuk batu dan air, gigi, makanan, pipa, alat-alat medis dan jaringan implant. Walaupun biofilm biasanya mengakibatkan kerugian seperti infeksi, adakalanya dia juga menguntungkan. Dampak ini sudah menyita perhatian banyak peneliti dari negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Inggris terutama bidang-bidang terkait dengan mikrobiologi untuk menggali proses terjadinya biofilm, keaneka ragaman spesies, faktor-faktor pemacu, akibat dan pengendalian biofilm. B.



Tujuan



1. Mengetahui konsep dasar biofilm 2. Mengetahui proses terbentuknya biofilm dan faktor-faktor yang mempengaruhinya 3. Mengetahui keuntungan dan kerugian biofilm di lingkungan bagi manusia II.



TINJAUAN PUSTAKA



Biofilm adalah komunitas mikroorganisme dari spesies yang sama atau berbeda terbungkus dalam matriks polimer ekstraseluler dan biasanya ditemukan pada kedua kehidupan yang hidup dan tidak hidup. Umumnya, pembentukan biofilm dimulai dengan kepatuhan dari sel-sel individual



dengan prakondisi lapisan permukaan biotik dan abiotik. Adanya larutan terbesar atau cairan pada permukaan tersebut menjadi dasar atau landasan bagi pembentukan biofilm. Ini diikuti dengan keterikatan reversibel yang biasanya dimediasi oleh migrasi gravitasi sel-sel individual, motilitas bakteri dan gaya geser dari fase gerak sekitarnya (Muhammed et al., 2013). Biofilm adalah kumpulan sel-sel mikroba yang dihubungkan ireversibel (tidak tergeser oleh pembilasan yang lembut) dengan permukaan dan tertutup dalam matriks bahan utama polisakarida. Bahan nonselular seperti kristal mineral, partikel korosi, partikel tanah liat atau lumpur, atau komponen darah, tergantung pada lingkungan di mana biofilm telah dikembangkan, juga dapat ditemukan dalam matriks biofilm. Biofilm-kumpulan organisme juga berbeda dari planktonik (bebas tersuspensi) mitranya sehubungan dengan gen yang ditranskripsi. Biofilm dapat terbentuk pada berbagai permukaan, termasuk jaringan hidup, peralatan medis berdiamnya, industri atau minum sistem air perpipaan, atau sistem air alami (Donlan, 2002). Secara luas bahwa cara hidup biofilm menguntungkan bagi mikroorganisme dalam berbagai kondisi. Namun, seperti biofilm tumbuh dalam ukuran, sel-sel yang berada di lapisan paling dalam dari biofilm dimungkinkan tidak memiliki akses untuk mendapatkan nutrisi atau mungkin mengalami akumulasi produk limbah beracun. Oleh karena itu, lingkungan mikro mereka bisa menjadi tidak menguntungkan. Selain itu, jika kondisi lingkungan berubah, tempat tinggal di biofilm dapat berkurang. Pada salah satu dari kedua kasus ini, bakteri harus mampu mendeteksi dan merespon kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dengan kembali ke kehidupan mode planktonik (Karatan and Watnick, 2009). Secara umum, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan biofilm antara lain laju penetrasi nutrient, kelembaban lingkungan terutama daerah permukaan substrat, pH, aerobisitas area dalam biofilm, tegangan permukaan, serta keheterogenan dan homogenan populasi (Beech, 2005). Mikroba mengembangkan berbagai mekanisme untuk melekat pada substrat. Menurut Aparna dan Yadav (2008), perlekatan mikroba pada substrat tampaknya diinduksi oleh sinyal lingkungan seperti perubahan nutrien, konsentrasi nutrien, pH, temperatur, konsentrasi oksigen, osmolaritas, dan besi. Namun jenis sinyal yang dibutuhkan berbeda pada setiap jenis mikroba. III.



METODOLOGI



Praktikum Mikrobiologi Air Acara I mengenai Pembentukan Biofilm dilaksanakan pada hari Senin, 17 Maret 2014 dilanjutkan dengan pengamatan hingga pada hari Senin, 7 April 2014 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Air, Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan selama praktikum berlangsung adalah cawan petri, tabung erlenmeyer, deckglass, pinset dan bunsen. Untuk bahan yang diperlukan selama



praktikum adalah sampel air (air kolam, air selokan mataram, air sumur, air sawah, air sungai Gajah Wong dan air kolam renang) dan medium NA + yeast extract 0,5%. Cara kerja pada praktikum ini adalah diawali dengan ke dalam cawan petri steril dituang medium NA (cair) hingga mencapai ketinggian ± 0,5 cm ditunggu hingga memadat. Kemudian 6 buah deckglass ditancapkan secara tegak lurus pada medium NA. Sampel air dituang ke tiap cawan petri sampai dengan 3/4 dari tinggi cawan petri. Lalu cawan petri diinkubasi di suhu kamar selama 3 minggu untuk kemudian dilakukan pengamatan setiap minggu dengan cara 1 deckglass dicabut tiap minggu lalu diamati dengan menggunakan mikroskop. IV.



HASIL DAN PEMBAHASAN



Bakteri adalah kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti sel. Organisme ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik). Bakteri memiliki peran besar dalam kehidupan, beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan manfaat dibidang pangan, pengobatan, dan industri. Bakteri dapat ditemukan di hampir semua tempat seperti di tanah, air, udara, dalam simbiosis dengan organisme lain maupun sebagai agen parasit (patogen), bahkan dalam tubuh manusia. Bakteri dapat menempel pada permukaan benda padat melalui beberapa tahap. Beberapa tahap tersebut antara lain adalah : 1.



Adsorbsi senyawa organik oleh permukaan padat. Pada tahap ini molelul organik akan ditransport dari cairan ke permukaan benda padat. Dimana



beberapa dari molekul tersebut akan diadsorbsi oleh permukaan yang kemudian akan menyebabkan kondisi permukaan memungkinkan untuk penempelan bakteri (Gambar 1).



Gambar l. Transport dan adsorpsi dari molekul Organik pada permukaan benda padat Adsorbsi senyawa organik oleh suatu permukaan padat dapat terjadi bila permukaan tersebut bersentuhan langsung dengan cairan, yang dapat terjadi segera setelah kontak antara keduanya berlangsung. Senyawa organik yang teradsorbsi oleh permukaan dan mampu memodifikasi sifat



permukaan adalah glikoprotein. Beberapa makromolekul yang teradsorbsi menghambat penempelan bakteri sedangkan beberapa makromolekul lainnya memiliki efek yang kecil pada penempelan bakteri. 2.



Transport bakteri ke permukaan Pada tahap ini beberapa sel planktonik rnikroba akan berpindah dari cairan ke permukaan



benda padat dimana permukaan tersebut sudah memiliki kondisi yang memungkinkan untuk penempelan adsorbsi senyawa organik (Gambar 2).



Gambar 2. Transport sel ke permukaan benda padat, dan adsorbsi, desorbsi, dan irreversible adsorbtion dari sel ke permukaan. Bakteri berflagela cenderung bergerak untuk mencapai makanan yang dibutuhkannya, sehingga terjadi transpor bakteri dari suspensi ke permukaan benda padat. Peristiwa ini mengawali terjadinya penempelan ke permukaan yang bersifat dapat balik. 3.



Adsorbsi bakteri oleh pemukaan dan penempelan awal Pada tahap ini sel planktonik teradsorbsi ke permukaan untuk jangka waktu yang terbatas dan



kemudian lepas kembali ke suspensi cairan. Tahap ini disebut penempelan dapat balik atau reversible adsorbtion (Gambar 2). 4.



Pelepasan sel awal Bakteri yang teradasobsi secara dapat balik mudah sekali berpindah ke fase cair. Pelepasan sel



dari pemukaan padat dapat terjadi dikarenakan adanya tekanan dari laju aliran fluida di suspensi dan beberapa faktor fisik, kimia dan biologi. (Gambar 2). 5.



Penempelan tidak dapat balik. Pada tahap ini sel planktonik bakteri yang tidak mengalami pelepasan akan tetap menempel



untuk jangka waktu yang lama. Tahap ini disebut penempelan tidak dapat balik atau lrreversible adsorbtion. (Gambar 2). Adsorbsi tidak dapat balik ini dapat terjadi karena adanya gaya jarak pendek yang melibatkan ikatan kimia, interaksi dipole, dan interaksi hidrofobik antar komponen ekstraseluler dari bakteri dengan permukaan.



Biofilm merupakan suatu agregat mikroba sejenis maupun berbeda jenis yang melekat pada permukaan substrat biologis maupun non biologis, dimana satu sel dengan sel yang lainnya saling terikat dan melekat pada substrat dengan perantaraan suatu matrik extracellular polymeric substance (EPS) atau disebut juga exopolysaccharide. Biofilm juga dapat didefinisikan sebagai lapisan yang terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat pada permukaan substrat, berada dalam keadaan diam, karakter berlendir, dan tidak mudah terlepas. Satu komponen biofilm dapat terdiri dari berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, archaea, protozoa, fungi, dan alga. Setiap jenis mempunyai peranan matabolik yang berbeda selama tahap pembentukan biofilm. Namun, kebanyakan biofilm terbentuk oleh sel dari spesies yang sama dibawah kondisi tertentu. Biofilm sangat penting artinya bagi mikroba itu sendiri yaitu sebagai sistem proteksi terhadap lingkungan fisik yang ekstrim misalnya kekurangan nutrien, perubahan pH, suhu, dan kekeringan juga terhadap senyawa kimia yang merugikan seperti antibiotik, deterjen, desinfektan, dan agen anti biofouling. Bila lingkungan berubah menjadi ekstrim, pertumbuhan sel-sel dalam biofilm akan bertahan pada fase stationer. Matriks biofilm berfungsi sebagai 1) protektan bagi populasi, 2) memfasilitasi komunikasi antar sel melalui sinyal biokimia, serta 3) membantu distribusi nutrien dan sinyal kimia seperti yang ditemukan pada beberapa biofilm pada saluran air. Begitu kuatnya matriks tersebut dalam memproteksi mikroba, sehingga tidak jarang biofilm juga dapat memfosil (Beech, 2005). Terdapat perbedaan signifikan pada spesies mikroba yang sama, antara yang hidup dalam biofilm dengan yang hidup planktonik. Biofilm membantu mikroba dalam meningkatkan daya resistensinya. Sel-sel mikroba sesil tersebut melepaskan antigen yang dapat menstimulasi antibodi host, namun antibodi tersebut tidak efektif membunuh biofilm meskipun pada host yang memiliki reaksi imunseluler dan humoral yang berkembang dengan baik (Aparna and Yadav, 2008). Sejalan dengan itu, populasi dalam biofilm dapat mengembangkan kemampuan resistensinya bahkan dapat meningkat 1000 kali lipat (Stewart and Costerton, 2001). Dengan kata lain bahwa matriks biofilm melindunginya dari pengaruh senyawa kimia merugikan sehingga mereka lebih kooperatif dan dapat berinteraksi dengan lingkungan. Namun tidak semua jenis mikroba biofilm mempunyai resistensi yang kuat terhadap senyawa antimikroba. Contohnya, Pseudomonas aeruginosa, bentuk biofilmnya tidak lebih resisten bila dibandingkan dengan bentuk sel planktoniknya pada phase stasioner, meskipun biofilm lebih resisten dibandingkan dengan sel planktonik pada phase logaritmik. Kemampuan sesistensi pada phase stasioner dan biofilm kemungkinan karena adanya sel-sel yang memang menjadi lebih resisten saat memasuki phase tersebut atau bahkan sel tersebut memang bersifat resisten (Spoering and Lewis, 2001).



Tingkat ketahanan mikroba dalam biofilm terhadap berbagai antibiotik yang diujikan dapat dilihat dari hasil penelitian Merle et al, (2002) sebagai berikut: -



Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes, Staphylococcus aureus, Staphylococcus hyicus, Streptococcus agalactiae, Corynebacterium renale, atau Corynebacterium pseudotuberculosis yang terorganisasi dalam biofilm, tidak dapat terbunuh oleh antibiotik yang diujikan, namun bentuk planktoniknya sensitif antibiotik pada konsentrasi rendah.



-



Streptococcus dysgalactiae dan Streptococcus suis, baik dalam bentuk biofilm maupun panktonik tetap sensitif terhadap penicillin, ceftiofur, cloxacillin, ampicillin, dan oxytetracycline.



-



Escherichia coli planktonik sensitif terhadap enrofloxacin, gentamicin, oxytetracycline dan trimethoprim/ sulfadoxine. Enrofloxacin dan gentamicin masih efektif terhadap E. coli dalam bentuk biofilm.



-



Salmonella spp. dan Pseudomonas aeruginosa planktonik diketahui sensitif dengan enrofloxacin, gentamicin, ampicillin, oxytetracycline, dan trimethoprim/ sulfadoxine, namun dalam bentuk biofilm, bakteri tersebut hanya sensitif terhadap enrofloxacin. Biofilm juga merupakan bentuk pertahanan mikroba terhadap phagosit dan sistem imun. Contoh mekanisme kimia yang dikembangkan untuk bertahan dapat dilihat pada bakteri yang hidup di laut. Beberapa jenis bakteri laut menghasilkan pigmen violacein yang dapat mengubah warna biofilm menjadi ungu muda (soft purple). Violacein merupakan antibiotik yang mempunyai banyak kemampuan termasuk bersifat bactericidal (Rettori and Duran, 1998). Bila biofilm diinvasi oleh organisme lain, maka invader akan memakan sel-sel biofilm bersama dengan pigmen violacein. Oleh karena itu, violacein menjadi salah satu mekanisme membunuh dengan dampak paralisis pada invader. Biofilm juga telah dijadikan strategi penting untuk dispersi membentuk niche yang baru. Mikroba dalam bentuk biofilm sangat cepat mendominasi lingkungan yang baru dengan adanya sinergi antara spesies dan metabolisme yang dihasilkan. Bila biofilm telah mencapai tahap maturitas tertentu, maka sel akan menghasilkan enzim seperti dispersin B, deoxyribonuclease, dan asam lemak cis-2-decenoic acid yang berperan dalam menghambat terbentuknya biofilm sehingga sel dapat terlepas ke lingkungan sebagai planktonik maupun membentuk biofilm yang baru. Substansi biofilm sangat mungkin untuk dijadikan sebagai sumber agen bioaktif baru karena pada saat terorganisasi dalam biofilm, mikroba menghasilkan substansi yang sangat efektif yang tidak dapat diproduksi sendiri secara individu. Oleh sebab itu, banyak peneliti yang mengatakan bahwa biofilm dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan obat parasiticidal baru. Terdapat lima tahap pembentukan biofilm pada substrat.



Tahap pertama. Terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel mikroba planktonik pada permukaan substrat. Meskipun mikroba mempunyai kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, namun sifat permukaan yang kasar lebih disenangi, dan lebih cepat terbentuk pada material hidrofobik seperti teflon dan plastik dibandingkan pada gelas dan logam (Aparna and Yadav, 2008). Sel-sel pada tahap perlekatan awal tidak melekat dengan kuat karena hanya mengandalkan kekuatan ikatan van der Waals. Setelah itu, koloni akan mengikatkan diri lebih kuat pada permukaan dengan menggunakan pili. Selama tahap ini, sel bakteri mengalami pertumbuhan logaritmik. Koloni awal berperan sebagai fasilitator bagi sel lainnya untuk mencari sisi perlekatan selanjutnya sebagai tempat pembuatan matriks biofilm. Bagi sel-sel yang tidak mampu melekat pada permukaan, melalui suatu quorum sensing (QS), sel tersebut berperan memacu sel-sel dalam koloni untuk pembentuk matriks. Pada Pseudomonas aeruginosa, N-Acyl homoserine lactones (AHL) diketahui merupakan molekul sinyal yang berperan penting dalam pensinyalan sel (Aparna and Yadav, 2008). Perlu diketahui bahwa perkembangan dan integritas struktur biofilm sangat tergantung pada QS yaitu molekul ekstraseluler, pheromon, yang dapat meningkatkan komunikasi diantara bakteri. Viabilitas atau kelangsungan hidup komunitas biofilm tergantung pada respon gen terhadap stres dan penghantaran sinyal yang diterima melalui QS yang didifusikan (Aparna and Yadav, 2008).



Gambar 3. A) Perkembangan biofilm pada substrat. B) Photomicrograph perkembangan biofilm. Terdapat 5 tahap pembentukan biofilm yaitu 1) perlekatan awal pada substrat, 2) perlekatan irreversibel, 3) maturasi I, 4) maturasi II, dan 5) dispersi. Matrik biofilm tersusun dari EPS, protein, dan DNA, dimana EPS tersusun dari 50-90% karbon organik. Pada masing-masing tahap diperlukan komponen dan molekul yang berbeda dalam peranannya membentuk biofilm, misalnya flagellae, pili type IV, DNA, dan eksopolisakarida. (Image: http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm) Tahap kedua, bakteri mengalami multiflikasi sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk berkomunikasi secara internal. Substansi EPS mulai dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. EPS kemudian akan mentrap nutrien dan bakteri planktonik. Agregat sel terbentuk sementara



motilitas sel menjadi semakin menurun sejalan dengan semakin progresifnya lapisan agregat (Aparna and Yadav, 2008). Tahap ketiga. Selama tahap maturasi, biofilm terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan koloni. Semakin lama biofilm semakin berkembang dengan pertambahan ukuran dan perubahan bentuk (Gambar 3). Pada tahap ini, ketebalan biofilm lebih dari 10 µm (Aparna and Yadav, 2008). Tahap keempat. Ketebalan lapisan biofilm pada tahap ini mencapai lebih dari 100mm (Aparna and Yadav, 2008) dan dapat mencapi 300-400 mm seperti yang dibentuk oleh algal mats (Characklis, 1990). Pada tahap dispersi, sel-sel dalam koloni akan terlepas sendiri atau bersama sebagian komponen matriks. Pada tahap ini, matriks ekstraseluler biofilm akan didegradasi oleh enzim dispersin B dan deoxyribonuclease (Kaplan et al, 2003; Izano et al, 2008), sekaligus enzim tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agen anti-biofilm (Kaplan et al, 2004; Xavier et al, 2005). Pada Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans, asam lemak cis-2-decenoic acid diketahui mampu menginduksi dispersi dan menghambat pertumbuhan koloni biofilm (Davies et al, 2009). Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa biofilm memiliki struktur yang kompleks dan dinamis. Tahap kelima. Biofilm akan memasuki tahap kelima beberapa hari setelah tahap keempat. Pada tahap ini .terjadi disperse sel sehingga memungkinkan beberapa bakteri meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik. Biofilm adalah sekelompok mikroorganisme yang terimobilisasi (menempel) pada permukaan padat oleh senyawa ekstraseluler yang diproduksi oleh mikroorganisme yang terlibat. Ketahanan bakteri terhadap senyawa kimia, dehidrasi, kekurangan nutrisi akan lebih baik bila terdapat dalam bentuk biofilm dibandingkan dengan sel bakteri yang tumbuh dalam fase cair (sel planktonik). Secara umum, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan biofilm antara lain laju penetrasi nutrient, kelembaban lingkungan terutama daerah permukaan substrat, pH, aerobisitas area dalam biofilm, tegangan permukaan, jenis permukaan asal isolat, kondisi media pertumbuhan, kondisi anaerobik serta keheterogenan dan homogenan populasi. Faktor yang bertanggungjawab terhadap penempelan beberapa jenis di sel epitel adalah karbohidrat. Lactobacillus menempel pada dinding usus melalui zat ekstraseluler yang mengandung polisakarida, protein dan lipid.



V. KESIMPULAN 1.



Biofilm



2.



Biofilm



DAFTAR PUSTAKA Aparna, M.S. and S. Yadav. 2008. Biofilm: microbes and disease. Brazilian Journal of Infectious Diseases 12 : 526. Beech, I.B. 2005. Biofilm. . Diakses pada 4 April 2014. Characklis. 1990. Size, Proportions, and Watering Systems. . Diakses pada 6 April 2014.



Davies, D.G., and C.N.H. Marques. 2009. A fatty acid messenger is responsible for inducing dispersion in biofilms. Journal of Bacteriology 191 : 1393-1403. Donlan, R.M. 2002. Biofilms: microbial life on surfaces. Emerging Infectious Diseases 8 : 881. Izano, E.A., M.A. Amarante, W.B. Kher, and J.B. Kaplan. 2008. Differential roles of poly-nacetylglucosamine surface polysaccharide and extracellular dna in Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis biofilms. Applied and Environmental Microbiology 74 : 470-476. Kaplan, J.B., C. Ragunath, N. Ramasubbu, and D.H. Fine . 2003. Detachment of Actinobacillus actinomycetemcomitans biofilm cells by an Endogenous ß-hexosaminidase activity. Journal of Bacteriology 185 : 4693-4698. Kaplan, J.B., C. Ragunath, K. Velliyagounder, D.H. Fine, and N. Ramasubbu. 2004. Enzymatic detachment of Staphylococcus epidermidis biofilms. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 48 : 2633-2636. Karatan, E. and P. Watnick. 2009. Signals, regulatory networks and materials that build and break bacterial biofilms. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 73 : 334. Merle, E.O., H. Ceri, W. Douglas, Morck, A.G. Buret, and R.R. Read. 2002. Biofilm bacteria: formation and comparative susceptibility to antibiotics. Canadian J. Veterinary Res. 66 : 86– 92. Mohammed, J.N., B.M. Abubakar, H. Yusuf, M. Sulaiman, H. Saidu, A. Idris and H.I. Tijani. 2013. Bacterial biofilm: a major challenge of catheterization. Journal of Microbiology Research 3 : 213-223. Rettori, D. and N. Durán. 1998. Production, extraction and purification of violacein: an antibiotic pigment produced by Chromobacterium violaceum. Journal of Microbiology and Biotechnology 4 : 685-688. Spoering, A. and K. Lewis. 2001. biofilms and planktonic cells of Pseudomonas aeruginosa have similar resistance to killing by antimicrobials. Journal of Bacteriology. 183 : 6746–6751. Stewart, P. and J. Costerton. 2001. Antibiotic resistance of bacteria in biofilms. Lancet 358 : 135– 138. Xavier, J.B., C. Picioreanu, S.A. Rani, M.C.M.V. Loosdrecht, and P.S. Stewart. 2005. Biofilm-control strategies based on enzymic disruption of the extracellular polymeric substance matrix – a modelling study. Microbiology 151 : 3817-3832.



LAMPIRAN