Min Rev - Neo [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MINI REVIEW ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN PADA KEJANG NEONATUS (Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktik Klinik Stase VIII Program Studi Pendidikan Profesi)



Disusun Oleh: EUIS KARTINA NIM: P2.06.24.8.21. 047 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA JURUSAN KEBIDANAN TASIKMALAYA 2022



ABSTRAK MINI REVIEW: ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN PADA KEJANG NEONATUS EUIS KARTINA Profesi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Tasikmalaya Jl. Cilolohan No. 35 Kel. Kahuripan, Kec. Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat Kode Pos 46115 No Telp. (0265) 340186 Email: ABSTRAK Pendahuluan : Kejang merupakan kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada



neonatus. Sekitar 2,2% hingga 5% anak mengalami kejang sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini namun pendapat yang dominan saat ini kejang pada neonates tidak menyebabkan akibat buruk atau keru sakan pada otak namun kita tetap berupaya untuk menghentikan kejang secepat mungkin. Metode : Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah systematic literature review dari artikel tahun 2015 sampai tahun 2022. Artikel atau jurnal tersebut dicari dengan menggunakan sistem search engine pada Google scholar. Hasil: Pengkajian Literatur review penelitian yang



telah dibahas sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa : Suhu, Riwayat kejang dalam keluarga, Usia, Jenis kelamin, dan Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) merupakan faktor penyebab kejadian kejang demam pada neonatus. Kata Kunci : Neonatus, Kejang Neonatus,Faktor penyebab kejang ABSTRACT Introduction: Seizures are the most common neurological disorders in neonates. About 2.2% to 5% of children have seizures before they reach 5 years of age. Until now there are still differences of opinion about the consequences of this disease, but the current dominant opinion in neonates does not cause bad effects or damage to but we are still trying to delay it as soon as possible. Methods: The method used in data collection is a systematic literature review of articles from 2015 to 2022. The articles or journals are searched using the search engine system on Google Scholar. Results: Literature review reviews the research that has been discussed previously, the authors conclude that: Temperature, history of seizures in the family, age, sex, and birth weight (LBW) are factors that cause seizures in neonates. Keywords: Neonates, Neonatal Seizures, Factors that cause seizures



PENDAHULUAN Kejang merupakan kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada neonatus. Sekitar 2,2% hingga 5% anak mengalami kejang sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini namun pendapat yang dominan saat ini kejang pada neonates tidak menyebabkan akibat buruk atau keru sakan pada otak namun kita tetap berupaya untuk menghentikan kejang secepat mungkin (Marlian L, 2015) Kejang pada neonates sering ditemukan dan merupakan satu satunya gejala disfungsi susunan saraf pusat pada neonatus, sulit dideteksi, sukar diberantas serta berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas seperti epilepsi, palsiserebral dan keterlambatan perkembangan dikemudian hari. Deteksi dini,mencari etiologi dan memberikan tatalaksana yang adekuat sangat penting pada kejang neonatus. Kejang umumnya berkaitan dengan penyakit berat yang memerlukan terapi spesifik, kejang mempengaruhi tindakan suportif seperti alat bantu nafas dan alimentasi yang sering diberikan pada neonates dengan penyakit tertentu, kejang dapat menyebabkan kerusakan otak (Sari Pediatri, Vol. 9, No. 2, Agustus 2017). TINJAUAN KASUS 1. Pengertian Kejang Neonatus Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurology baik fungsi motorik maupun fungsi otonomik karena kelebihan pancaran listrik pada otak (Buku Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar 2008). Kejang pada neonatus adalah kejang yang terjadi pada 4 minggu pertama kehidupan dan paling sering terjadi pada 10 hari pertama kehidupan.Kejang tersebut berbeda pada anak atau orang dewasa karena kejang tonik klonikumum cenderung tidak terjadi pada bulan pertama kehidupan (Johnstons, 2007). 2. Etiologi Etiologi kejang pada neonatus perlu segera diketahui karena menentukan terapi dan prognosis. 1) Metabolik



    



Hipoglikemia Hipokalsemia Hipomagnesemia Hiponatremia dan hipernatremia Defisiensi piridoksin dan dependensi piridoksin  Asfiksia 2) Perdarahan intrakranial 3) Infeksi 4) Genetik/kelainan bawaan 3. Tanda Dan Gejala 1) Tremor 2) Hiperaktif 3) Kejang-kejang 4) Tiba-tiba menangis melengking 5) Tonus otot hilang disertai atau tidak dengan kehilangan kesadaran. 6) Gerakan yang tidak menentu (involuntary movements) 7) Nistagmus atau mata mengedip-edip proksismal 8) Gerakan seperti mengunyah dan menelan METODE Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah systematic literature review dari artikel tahun 2015 sampai tahun 2022. Artikel atau jurnal tersebut dicari dengan menggunakan sistem search engine pada Google scholar PEMBAHASAN 1.



Hubungan Asfiksia Neonatorum Dan Kejang Neonatorum Di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto Periode 2016-2017. Studi lain memaparkan bahwa terdapat pengaruh asfiksia neonatorum terhadap kejang. Dimana pada kejadian asfiksia neonatorum yang diikuti dengan kejang terjadi proses pengeluaran asam dengan cara memblok kanal Na/H pada Blood Brain Barrier (BBB). Akan tetapi proses tersebut berlangsung secara berlebihan, sehingga menyebabkan kondisi alkalosis dalam otak. Perubahan pH ini mempengaruhi sel pada otak, sehingga menyebabkan kegagalan pompa eksitasi natrium, akibatnya terjadi eksitasi neurotransmitter yang berlebihan



dan diikuti dengan peningkatan glutamat, serta akan berakhir dengan terjadinya kejang (Helmy et al, 2012). 2.



Profil kejang demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni 2016. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kasus kejang demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni 2016 dapat disimpulkan bahwa kejang demam lebih banyak ditemukan pada usia 1 - 38oC, riwayat penyakit yang mendasari infeksi saluran pernapasan akut, tipe kejang demam kompleks, status gizi normal, riwayat berat badan lahir normal, serta riwayat jenis persalinan normal.



3.



Literatur Review : Analisis Faktor Resiko Kejadian Kejang Demam Pada Anak. Hasil penelitian setelah dilakukan terlebih dahulu analisis data, pemaparan hasil penelitian tersebut disajikan untuk mengetahui faktor yang memiliki resiko kejadian kejang demam. a. Suhu Kenaikan suhu tubuh diatas 38° dapat mengubah keseimbangan membrane sel neuron sehingga dalam waktu yang singkat mengakibatkan disfusi dari ion kalium membrane tersebut dan menyebabkan lepasnya muatan listrik meluas ke sel membrane sekitarnya dengan “Neurotransmitter” sehingga terjadi kejang (Ngastiyah, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amalia, Fatimah, & Bennu, (2015), mengemukakan bahwa anak dengan demam lebih dari 37,80C berisiko untuk mengalami 42,3 kali lebih besar dibandingkan yang suhu tubuhnya kurang dari 37,80C. b. Riwayat kejang dalam keluarga Anak yang keluarga terdekatnya memiliki riwayat kejang demam (first degree relative)



mempunyai risiko untuk menderita bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih besar dibanding yang tidak. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati, Susilawati, & Amatiria (2015), yang mengemukakan bahwa genetik tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian kejang demam. karena sebagian responden hanya menderita komplikasi pada sistem syaraf otak yang disebabkan oleh bakteri, Kenyataan pada hasil penelitian ini sejalan dengan suatu konsep yang dikemukakan oleh (Rudianto Sofwan, 2011) yang menegaskan bahwa kejang demam lazimnya terjadi ketika anak menderita infeksi yang ringan- ringan saja. c. Usia Perkembangan otak terdiri dari beberapa fase. Fase perkembangan organisasi dan mielinasasi masih berlanjut sampai pascanatal. Kejang demam lebih rentan terjadi pada masa development window atau fase perkembangan otak di usia kurang dari 2 tahun. (Chen Y, 2012). Pada usia kurang dari dua tahun keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya resep-tor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam (Chen Y, 2011) Anak dibawah usia 2 tahun memiliki nilai ambang kejang (threshold) rendah, sehingga mudah terjadi kejang demam. d. Jenis kelamin Laki-laki memiliki resiko terjadi kejang demam, dua kali lebih banyak dari perempuan dari perbandingan 2:1. Hal tersebut dikarenakan pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Maulani 2014). Hasil penelitian dari Mahdalena, Mariana, & firman (2015), dari analisa data faktor jenis kelamin pada laki-laki sebanyak 26 orang (68,5%) yang memiliki hubungan



signifikan dengan kejadian kejang demam, Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati, Susilawati, & Amatiria (2016), yang menunjukkan tidak ada pengaruh antara jenis kelamin dengan kejadian kejang demam. Peneliti berasumsi jenis kelamin laki-laki merupakan salah satu faktor kejang demam. Laki-laki lebih beresiko terjadi kejang demam, dua kali lipat lebih banyak dari pada perempuan, karena pada wanita di dapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki dan juga dilihat dari beberapa penelitian yang mengemukakan bahwa jenis kelamin laki-laki adalah salah satu faktor resiko terjadinya kejang demam. e. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) Bayi dengan berat lahir rendah yaitu bayi lahir kurang dari 2500 gram, dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak yang dapat menyebabkan kejang, Bayi dengan BBLR dapat mengalami hipoglikemia dan hipokalsemia yang dapat menyebabkan kerusakan otak sehingga dapat mengakibatkan kejang pada perkembangan selanjutnya (Harimoto 2016). Bayi Berat lahir sangat rendah atau amat sangat rendah mempunyai resiko keadaan hipoksia pada bayi dan dapat memudahkan berulangnya kejang demam (Yuana, 2015). 4.



Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak. Status epileptikus (SE) merupakan kondisi dengan kejang yang berlangsung lama dan berisiko mengakibatkan mortalitas dan morbiditas jangka panjang. Status epileptikus membutuhkan intervensi medis yang cepat dan tepat. Beberapa panduan dan obat-obatan terhadap kejang akut dan status epileptikus pada anak telah tersedia dengan berbagai tingkatan bukti. American Epilepsy Society menyusun pedoman berbasis bukti yang komprehensif namun tidak semua obat tersedia di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia telah juga membuat rekomendasi tatalaksana SE yang disesuaikan dengan



kondisi dan ketersediaan obat di Indonesia. Sebanyak 90% pasien akan terkontrol kejangnya dengan menggunakan obat lini pertama atau kedua, sisanya mengalami SE refrakter yang membutuhkan perawatan intensif. Semua petugas kesehatan diharapkan memiliki pengetahuan mengenai pedoman tatalaksana SE dan obat-obatan yang digunakan agar dapat melakukan penanganan yang efektif 5.



Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di Ruang Perawatan Anak Rsu Anutapura Palu. Mekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut ekstabilitas neuron dapat mencetuskan timbulnya kejang. Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul kejang merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbedabeda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C– 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah. Penelitian ini sesuai dengan pendapat Fuadi (2010) yang mengatakan bahwa BBLR dapat menyebabkan afiksia atau iskemia otak dan pendarahan intraventrikuler, iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalesemia. Keadaan ini dapat



menyebabkan kerusakan otak pada perinatal, adanya kerusakan otak dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi pendarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan manisfestasi kejang. 6.



Pengaruh Terapi Hipotermi terhadap Kejadian Kejang pada Bayi Asfiksia di ruang Alamanda RSUD Bangil. Hipotermia (cooling) merupakan terapi nonspesifik yang dapat mempengaruhi proses kematian neuron pada fase kegagalan energi primer maupun sekunder. Hipotermia melindungi neuron dengan mengurangi kecepatan metabolik serebral, mengurangi pelepasan asam amino eksitatorik (glutamat, dopamin), memperbaiki ambilan glutamat yang terganggu oleh iskemik, serta menurunkan produksi NO dan radikal bebas. Efek hipotermia paling baik jika dilakukan segera setelah cedera hipoksia iskemia. Setelah 6 jam proses apoptosis telah terjadi dan bersifat ireversibel. Terapi hipotermia menurunkan metabolisme sel untuk mempertahankan ATP seluler. Hal ini menghambat produksi asam amino perangsang dan sitokin pro-inflamasi serta mengubah aktivitas reseptor glutamat dalam sel otak. Selain itu, terapi hipotermia juga meredam ambang batas untuk kejang listrik pada hipoksik iskemik ensefalopati dan kombinasi dari efek-efek ini semua mencegah perkembangan cedera sel primer menjadi sekunder (Hendra dkk, 2017). Terapi hipotermia yang diberikan pada bayi asfiksia yang memenuhi indikasi, mampu mencegah timbulnya kejang dengan mengurangi kecepatan metabolik serebral, menghambat aktivitas glutamat dan dopamine dan meningkatkan ambang batas kejang listrik pada otak. Glutamat adalah asam amino eksitator. Kadar glutamat yang tinggi menyebabkan peningkatan kepekaan neuron terhadap stimulus yang diterima,



sehingga menimbukan kejang. Hambatan pada aktivitas glutamat mampu menurunkan resiko terjadinya kejang pada bayi serta mencegah terjadinya komplikasi pada otak akibat hipoksia. Sebanyak 10 orang bayi asfiksia yang diberikan terapi hipotermia tidak mengalami kejang, dengan apgar skor berkisar antara 3-5 pada 10 menit pertama. Sedangkan 1 orang bayi yang mengalami kejang kemungkinan disebabkan karena apgar skor bayi pada 10 menit pertama sangat rendah yakni 2. Apgar skor memastikan kondisi kesiapan bayi dalam memulai kehidupan diluar perut ibu. Rendahnya nilai apgar skor menunjukkan beratnya derajat asfiksia. Rendahnya nilai apgar skor dikaitkan dengan tingginya resiko kematian bayi akibat hipoksik iskemik ensefalopati yang ditandai dengan timbulnya kejang. Tindakan resusitasi sesuai dengan derajat asfiksia telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang berlaku di RSUD Bangil. Timbulnya kejang pada beberapa orang bayi bisa dipengaruhi oleh kondisi awal janin. Rata-rata bayi yang mengalami kejang memiliki nilai apgar skor rendah dan masuk kategori asfiksia berat. Apgar skor memastikan kondisi kesiapan bayi dalam memulai kehidupan diluar perut ibu. Rendahnya nilai apgar skor dikaitkan dengan tingginya resiko kematian bayi akibat hipoksik iskemik ensefalopati yang ditandai dengan timbulnya kejang. 7.



Hubungan asfiksia dengan kejang pada neonatus di ruang perinatologi dan NICU RSUD Wangaya kota Denpasar. Periode neonatus merupakan insiden terbesar terjadinya kejang dan di dalam beberapa penelitian dari Levene dan Trounce, Lien dkk, Mizrahi dan Kellaway bahwa penyebab tersering terjadinya kejang adalah HIE (30-53%) yang disebabkan akibat asfiksia. Prevalensi bayi dengan asfiksia dalam satu tahun sebanyak 214 (29%), hampir sama dengan yang didapatkan pada penelitian yang dilakukan



oleh Garba Illah dkk yaitu frekuensi bayi dengan asfiksia sebanyak 31%. Pada penelitian ini didapatkan bayi dengan kejang sebanyak 8 dari 214 bayi asfiksia (3,7%), lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Garba Illah dkk mendapatkan bayi dengan kejang sebanyak 6 dari 47 bayi asfiksia (12,8%) dan dari 223 kelahiran selama 1 tahun. Dalam studi ini, lebih sedikit perempuan yang menderita asfiksia sebanding dengan studi yang dilakukan Port Harcourt, Warri, Iran, Johannesburgm dan India namun berkebalikan dengan yang dilakukan oleh Illah dkk. Berdasarkan penelitian ini, menunjukkan adanya hubungan signifikan antara asfiksia dengan terjadinya kejang pada neonatus. Hal ini didasarkan pada hasil uji fisher yang diperoleh p-value=0,000 (p< 0,05). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian uji klinis lain, dimana asfiksia merupakan penyebab paling sering terjadinya kejang terlepas dari usia gestasi. Berdasarkan Evans dan Levene, penyebab kejang lainnya pada neonatus adalah infeksi susunan saraf pusat (17%), perdarahan intrakranial (10%), gangguan metabolik akut (5%), dan idiopatik (2%).14 Sedangkan berdasarkan penelitian oleh Talebian dkk, pada 2015 menemukan penyebab kejang diantaranya HIE (36%), hiponatremia (12%), hipoglikemia (11%), perdarahan intrakranial (11%), infeksi (10%), hipokalsemia (8%), gangguan metabolisme (7%), anomali struktural (5%), dan hipomagnesemia (4 %). Jenis kelamin laki-laki memiliki persentase kejang paling tinggi yaitu 8 (88,9%) sejalan dengan studi yang dilakukan Costea, dan Visa tahun 1995 di Sibiu hingga 2005 yang menemukan frekuensi laki-laki 2 kali lebih tinggi (68,9%) dibandingkan perempuan. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dilihat dari berbagai latar belakang seperti usia gestasi kurang, cukup, dan lebih, frekuensi laki-laki 2 kali lebih tinggi.



8.



Incidence of neonatal seizures, perinatal risk factors for epilepsy and mortality after neonatal seizures in the province of Parma,Italy. Untuk tujuan penelitian, hanya rekaman EEG dengan kejang pertama dipertimbangkan; namun, untuk tujuan klinis, kami biasanya memantau neonatus yang kejang dengan v-EEG berulang pada hari yang sama dan di hari-hari berikutnya dalam untuk memantau aktivitas EEG latar belakang, kemanjurannya terapi, kekambuhan kejang, dan kebutuhan klinis. Kesimpulannya, NS adalah kondisi klinis yang cukup umum pada populasi umum dan berhubungan dengan risiko kematian dan morbiditas yang lebih tinggi pada orang yang selamat. Itu kejadian NS berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan saat lahir. Ada beberapa faktor perinatal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan dievaluasi lebih lanjut karena mereka tampaknya memiliki nilai prognostik untuk kematian dan epilepsi pada anak dengan NS.



9.



Epilepsy after neonatal seizures: Literature review. Tinjauan literatur ini memeriksa studi yang mencakup jangka waktu yang diperpanjang. Bahkan dengan keterbatasan yang terkait dengan desain studi yang berbeda dan untuk perbaikan pada neonates perawatan, jelas bahwa epilepsi merupakan hasil umum dari NS, terutama pada subjek dengan kerusakan otak parah dan cacat perkembangan saraf tambahan. Apalagi parah jenis kejang dan sindrom tampaknya sangat terwakili dalam subkelompok pasien ini, mungkin menunjukkan terapi tantangan. Dalam periode waktu studi upaya yang signifikan telah telah dibuat untuk mencapai reproduktifitas hasil yang lebih tinggi, melalui definisi NS yang lebih akurat, implementasi pemantauan dan protokol pengobatan. Namun demikian, gambaran klinis ini akan memerlukan evaluasi lebih lanjut di masa mendatang untuk menilai



apakah dan sejauh mana epidemiologi kondisi ini akan berubah? dengan ketersediaan diagnostik dan pemantauan yang inovatifperangkat, kemajuan dalam pemahaman epileptogenesis dan pengembangan pengobatan alternatif atau aditif strategi 10.



Characterisation of neonatal seizures and their treatment using continuous EEG monitoring: a multicentre experience Tinjauan retrospektif rekaman cEEG di enam NICU Eropa mengungkapkan beban kejang yang tinggi pada banyak neonatus, terlepas dari etiologi. Kejang neonatus umumnya dimulai lebih awal setelah lahir di neonatus cukup bulan, bertahan selama beberapa hari dan tetap relative tahan terhadap beberapa AED. Meskipun ketersediaan kedua cEEG dan aEEG di pusat kami, banyak kejang tidak diobati dan oleh hak cipta. pada 15 Februari 2022 oleh tamu. Kejadian non-kejang protother diobati dengan AED. Hanya 11% dari semua episode kejang elektrografi diobati dalam 1 jam dari awal. Ini menyoroti kesulitan yang dihadapi dalam menafsirkan EEG neonatal secara real time di NICU. Ada kebutuhan mendesak akan alat pendukung keputusan otomatis untuk membantu mendeteksi kejang neonatus sehingga dapat diobati lebih akurat dan tepat.



No 1.



2.



Penulis Abdul Khanis, Mustika Ratnaningsih Purbowati (2016)



Judul Hubungan Asfiksia Neonatorum Dan Kejang Neonatorum Di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto Periode 2016-2017



Metode



Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode case control. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok kasus terdiri dari 32 kejang neonatorum dan kelompok kontrol terdiri dari 32 neonatorum tidak kejang Jenyfer P. Profil kejang demam Jenis penelitian ialah Kakalang, di Bagian Ilmu deskriptif retrospektif Nurhayati Kesehatan Anak untuk mengetahui profil Masloman, RSUP Prof. Dr. R. D. kejang demam di Jeanette I. Ch. Kandou Manado Bagian Ilmu Kesehatan Manoppo (2016) periode Januari 2014 – Anak RSUP Prof. Dr. Juni 2016 R. D. Kandou periode Januari 2014 sampai Juni 2016



Hasil Terdapat hubungan antara asfiksia neonatorum dan kejang neonatorum di Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto tahun 2016-2017 (P < 0,05; OR 2,79). Asfiksia neonatorum memiliki risiko 2 kali lebih besar menyebabkan kejang neonatorum dibandingkan kelompok tidak asfiksia neonatorum.



Hasil penelitian mendapatkan 150 anak yang didiagnosis kejang demam. Kejang demam paling sering ditemukan pada usia 1 - 380C berjumlah 76 anak (50,7%); adanya riwayat keluarga 104 anak (69,3%); penyakit yang mendasari infeksi saluran pernafasan berjumlah 68 anak (45,3%); jenis kejang demam kompleks 91anak (60,7%); berat badan lahir normal 135 anak (90%); status gizi normal 101 anak (67,3%); riwayat jenis persalinan spontan LBK 127 anak (84,7%)



Kelebihan



Kelemahan



1. Metode penelitian 1. Tidak disebutkan yang digunakan persetujuan dari penelitian Komite Etik observasional 2. Tidak disebutkan dengan metode case instrument control penelitian. 2. Jumlah sampel 3. Terdapat referensi sebanyak 64 bayi yang digunakan 3. Terdapat saran bagi kurang dari 5 tahun pembaca dan peneliti. 4. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti 1. Metode penelitian yang digunakan penelitian rancangan case control 2. Jumlah sampel sebanyak 150 3. disebutkan kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian. 4. Terdapat group control 5. Terdapat saran bagi pembaca dan peneliti. 6. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti



1. Tidak disebutkan persetujuan dari Komite Etik 2. Tidak disebutkan instrument penelitian. 3. Terdapat referensi yang digunakan kurang dari 5 tahun



3.



Rianti Literatur Review : Benyamin , Analisis Faktor Mikawati (2017) Resiko Kejadian Kejang Demam Pada Anak



4.



R.M. Indra (2019)



Metode penelitan ini dilakukan dengan cara menyeleksi jurnal sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dan dilakukan dengan menggunakan Diagram Flow Literature Review PRISMA.



Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak



Berdasarkan dari 10 jurnal didapatkan bahwa faktor resiko kejadian kejang demam pada anak disebabkan oleh suhu, riwayat kejang, usia, jenis kelamin, dan berat badan bayi lahir rendah.



Status epileptikus (SE) merupakan kondisi dengan kejang yang berlangsung lama dan berisiko mengakibatkan mortalitas dan morbiditas jangka panjang. Status epileptikus membutuhkan intervensi medis yang cepat dan tepat. Beberapa panduan dan obat-obatan terhadap kejang akut dan status epileptikus pada anak telah tersedia dengan berbagai tingkatan bukti. American Epilepsy Society menyusun pedoman berbasis bukti yang komprehensif namun tidak semua obat tersedia di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia telah juga membuat rekomendasi tatalaksana SE yang disesuaikan dengan kondisi dan ketersediaan obat di Indonesia. Sebanyak 90% pasien akan terkontrol kejangnya dengan



1. Metode penelitian literature review 2. Dijelaskan cara mencari literature review 3. Terdapat kriteria inklusi dan eksklusi 4. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti



1. Rentang waktu literature 20102017 2. Referensi yang digunakan sedikit 3. Terdapat referensi yang digunakan kurang dari 5 tahun 4. Tidak dijelaskan cara melakukan pengkajian literature 1. Metode 1. Rentang waktu pembahasan literature 2014tatalaksana 2019 tindakan 2. Referensi yang 2. Bahasa yang digunakan sedikit digunakan mudah 3. Terdapat dimengerti referensi yang 3. Penjelasan digunakan kurang mengenai dari 5 tahun tatalaksana lebih detail



5.



Adhar Arifuddin (2016)



Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di Ruang Perawatan Anak Rsu Anutapura Palu



Jenis penelitian yang digunakan ialah survei analitik dengan rancangan case control. Sampel dalam penelitian ini ialah anak usia 6-60 bulan sebanyak 153 anak yang diambil secara accidental sampling



6.



Adhar Arifuddin (2019)



Pengaruh Terapi Hipotermi terhadap Kejadian Kejang pada Bayi Asfiksia di ruang Alamanda RSUD Bangil



Penelitian ini menggunakan desain pra eksperimen bentuk static group comparison. Sampel dalam penelitian ini adalah bayi asfiksia



menggunakan obat lini pertama atau kedua, sisanya mengalami SE refrakter yang membutuhkan perawatan intensif. Semua petugas kesehatan diharapkan memiliki pengetahuan mengenai pedoman tatalaksana SE dan obat-obatan yang digunakan agar dapat melakukan penanganan yang efektif Hasil penelitian ini diuji secara statistik dengan uji Chi-square menggunakan rumus Odds ratio (OR) pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Riwayat Kejang Keluarga (OR=3,902), Suhu Tubuh (OR=87,838) dan BBLR (OR=2,830) merupakan faktor risiko kejadian kejang demam pada anak. Diharapkan agar institusi kesehatan lebih mensosialisasikan tentang penanganan dan pencegahan kejadian kejang demam kepada orang tua anak.



Dari hasil uji Fisher dengan tingkat kemaknaan 95% (α=0.05) didapatkan nilai p=0,032 (