Modul Sogiesc Print [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

.



Modul Pendidikan Dasar



SOGIESC



Bahan Bacaan Bagi Peserta



Federasi Arus Pelangi



3



TIM PENYUSUN Modul ini disusun oleh Tim Pendidikan Federasi Arus Pelangi yang berasal dari Anggota Biasa dan Anggota/Calon Anggota Luar Biasa, melalui 2 (dua) Pertemuan Konsolidasi Tim Pendidikan Federasi Arus Pelangi di Yogyakarta pada tanggal 2428 Juli dan 5-9 September 2017, dilanjutkan dengan rangkaian diskusi dan uji coba wilayah hingga Agustus 2018, dan perbaharuan modul oleh Editor. Tim Penyusun Penanggung Jawab: Yuli Rustinawati Editor Akhir: Renate Arisugawa, Dika, Anna Editor Penulisan: Mario Prajna Pratama, Lintang SR Design & Layout: Muhammad Donri Tim Penulis: 1. Abhi Muchtar 2. Ame 3. Andi Pangeran 4. Anna 5. Bara 6. Bie 7. Buubu 8. Caesar Abrisam 9. Coco



10. Dika 11. Ebby 12. Hanung 13. Hendri 14. Ines 15. Joe 16. Kanzha 17. Lintang SR 18. Lulu



19. Lutfi 20. Mario Prajna Pratama 21. Oriel 22. Queer Sage 23. Renate Arisugawa 24. Raiz 25. Rebecca



26. Sam 27. Sartika 28. Sheila 29. Titin 30. Vania 31. Vivi 32. Yan 33. Yuli 34. Zahira



Organisasi yang terlibat dalam penyusunan modul: 1. Cangkang Queer 2. Ikatan Waria Yogyakarta 3. Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan 4. Komunitas Sehati Makassar 5. Learning Together 6. PLUSH Yogyakarta



7. Rumah Pelangi Indonesia 8. Sanubari Sulawesi Utara 9. Sanggar SWARA 10. Srikandi Patriot 11. TARENA 12. Transvoice 13. Violet Grey



Penerbit & Hak Cipta: Arus Pelangi, 2017 Sekretariat Arus Pelangi Jakarta, Indonesia [email protected] https://ArusPelangi.Org







Arus Pelangi



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



4



DAFTAR ISI TIM PENYUSUN DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK 1. PENGANTAR MODUL 2. METODE PENYUSUNAN MODUL 3. PRINSIP DAN NILAI BELAJAR 4. KONSEP DASAR ORIENTASI SEKSUAL, IDENTITAS GENDER, EKSPRESI GENDER DAN SEX CHARACTERISTICS (SOGIESC) PENGANTAR SEKS & SEX CHARACTERISTICS GENDER IDENTITAS GENDER EKSPRESI GENDER IDENTITAS SEKSUAL ORIENTASI SEKSUAL PERILAKU SEKSUAL QUEER TRANSFEMINISME QUEER FEMINISME PERBEDAAN KATA WANITA, PEREMPUAN, PRIA DAN LAKI-LAKI SEJARAH SINGKAT ISTILAH WADAM/WARIA/TRANSPUAN 5. AKAR PENINDASAN PADA LGBTI PENGANTAR PATRIARKI SEBAGAI AKAR PENINDASAN LGBTI 6. PENINDASAN BERBASIS SOGIESC PENGANTAR BENTUK-BENTUK PENINDASAN BERBASIS SOGIESC 7. KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA PENGANTAR DEFINISI SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM TENTANG HAM PERBEDAAN HAM DAN KEINGINAN PRINSIP-PRINSIP HAM Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



3 4 6 6 6 7 10 12 13 13 14 15 15 15 16 16 17 17 17 18 18 19 21 21 22 26 26 26 34 34 35 36 37 38



5 INSTRUMEN HAM KLASIFIKASI HAM PADA DUHAM RATIFIKASI KONVENAN HAK EKOSOB MELALUI UU No.11 tahun 2005 RATIFIKASI KONVENAN HAK SIPOL MELALUI UU No. 12 Tahun 2005 KEWAJIBAN DALAM HAM HAK-HAK YANG TIDAK BISA DITANGGUHKAN (NON-DEROGABLE RIGHTS) HAK ASASI KOLEKTIF LGBTI DI INDONESIA PRINSIP-PRINSIP YOGYAKARTA PERKEMBANGAN HAK-HAK LGBTI DI PBB DAN DI INDONESIA PELANGGARAN HUKUM, PELANGGARAN HAM, DAN PELANGGARAN HAM BERAT PEMBELA HAM 8. KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS HIDUP LGBTI KONSEP DIRI PENERIMAAN DIRI (COMING IN)



39 40 42 43 44 45 45 47 49 50 52 57 57



60 MELELA (COMING OUT) 62 CITRA TUBUH 65 OTORITAS TUBUH 67 TRANSISI 67 9. MATERI TAMBAHAN 80 1. KEAMANAN DASAR & CARA MENCARI BANTUAN 80 2. MANAJEMEN STRES & PEMULIHAN TRAUMA 85 3. RELASI SEHAT 94 4. KEKERASAN SEKSUAL 99 5. Bullying 107 6. NAPZA 112 7. PERILAKU BUNUH DIRI 115 8. KEIMANAN & KERAGAMAN SEKSUALITAS 122 Kristen & Keragaman Seksualitas 122 Islam & Keragaman Seksualitas 128 DAFTAR PUSTAKA 131



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



6



DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar



1: Pengaruh Patriarki Pada Konsep Diri Individu LGBTI 2: Sumber Stres 3: Kedalaman Stres 4: Rapid Stress Healing 5: Lingkaran Kekerasan Dalam Relasi



58 85 86 89 98



DAFTAR TABEL Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel



1: Perbedaan HAM dan Keinginan 2: Hak-Hak Ekosob Menurut UU No. 11 Tahun 2005 3: Hak-Hak Sipol Menurut UU N0. 12 Tahun 2005 4: Perubahan Permanen oleh Penggunaan Hormon 5: Perubahan Sementara oleh Penggunaan Hormon 6: Efek Samping Penggunaan Hormon 7: Unsur-Unsur Persekusi 8: Bercanda, Konflik atau Bullying



37 42 43 73 74 74 84 111



DAFTAR GRAFIK Grafik 1: Jumlah Publikasi Terkait LGBTI di Media Grafik 2: Jumlah Publikasi Terkait LGBTI di Media Lokal



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



32 33



7



1. PENGANTAR MODUL



p



endidikan adalah salah satu pilar dan/atau fondasi sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Pilar ini menjadi corong pengetahuan teoretis maupun praktis bagi setiap individu atau kelompok yang menjadi target dari gerakan sosial itu sendiri. Pilar ini juga menjadi ‘oli’ penggerak pilar yang lain agar bisa berjalan baik dan sesuai dengan harapan dan cita-cita gerakan itu sendiri. Oleh karena itu, pilar pendidikan membutuhkan perhatian, evaluasi dan perubahan secara berkala yang disesuaikan dengan perubahan waktu, pola pikir, kondisi politik, ekonomi sosial dan budaya. Arus Pelangi sebuah organisasi federasi dengan 12 anggota organisasi tersebar di beberapa provinsi di Indonesia yang fokus utama gerakannya adalah advokasi hak-hak individu serta kelompok LGBTI dan kelompok dengan SOGIESC (Sexual



Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristics) yang beragam. Sebagai bagian dari sebuah gerakan sosial, Arus Pelangi juga menjadikan pendidikan menjadi salah satu pilar perjuangannya di antara pilar-pilar lain yaitu Advokasi, Kampanye, Penelitian dan Pengembangan, Pengorganisasian. Pada konsolidasi besar Federasi Arus Pelangi yang dilakukan di Parung, 7-11 Desember 2016 dihasilkan 8 (delapan) rekomendasi, salah satunya adalah rekomendasi untuk pilar pendidikan dimana pilar ini didorong menjadi media dan alat untuk membangun kesadaran kritis individu LGBTI. Salah satu langkah praktis yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan perbaharuan modul pendidikan secara berkala, khususnya modul pendidikan dasar untuk individu dan komunitas LGBTI. Berdasarkan latar belakang di atas, modul pendidikan ini lahir hingga sampai ke tangan teman-teman. Modul pendidikan ini adalah modul pendidikan dasar untuk individu dan komunitas LGBTI yang dibangun atas dasar kekuatan pengalaman, cerita, pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas LGBTI itu sendiri. Modul ini adalah pembaharuan dari modul yang ada sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2013. Terdapat beberapa perbedaan modul ini dengan modul sebelumnya yaitu pada proses pembuatan, prinsip belajar, metodologi, alur materi hingga substansi materi. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



8 Hal yang menarik pada modul ini adalah substansi materi, seperti definisi dan konsep, sangat menekankan pada semangat perlawanan dan pembantahan atas realitas yang biner dan partiarkal. Hal ini akan sangat membantu peserta (dalam hal ini individu dan komunitas LGBTI) belajar mengaitkan sebuah definisi atau konsep terhadap dua realitas yang saling bertentangan yaitu realitas sosial yang biner dan realitas sosial non-biner (berkaca pada diri sendiri dan komunitas). Materi akar penindasan terhadap LGBTI menjadi materi baru yang sebelumnya belum pernah ada di dalam modul pendidikan Federasi Arus Pelangi. Materi ini dijadikan pemantik awal untuk memahami materi selanjutnya, tujuannya untuk membangun kesadaran kritis peserta didik sejak awal. Modul ini juga dilengkapi dengan materi-materi tambahan yang dianggap relevan dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh individu dan komunitas LGBTI. Kami menyadari ada ketakutan tersendiri terhadap modul ini, karena modul adalah pendidikan dasar untuk individu dan komunitas LGBTI. Adanya penggunaan istilah baru, asing dan serapan, ada juga gap pemahaman dan pengalaman diantara individu, hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam penyampaian modul ini. Meskipun demikian, kami berusaha menggunakan bahasa-bahasa yang lebih sederhana serta memperbanyak penggunakan contoh dalam kehidupan sehari-hari ketika menjelaskan istilah atau konsep asing yang ada di dalamnya. Lahirnya modul tercinta ini tidak lepas dari perdebatan panjang selama berhari-hari hingga berbulan-bulan, energi yang hampir tak bersisa, rasa marah, rasa penuh perlawanan hingga hampir mati rasa. Tetapi, akumulasi dari rasa dan energi itu membangun semangat, daya juang, kolektivitas dan solidaritas dalam terciptanya modul ini. Terima kasih kepada semua teman-teman yang sudah terlibat dan berproses baik langsung maupun tidak langsung. Ini adalah salah satu literasi yang akan menjadi sejarah nantinya buat kita dan generasi selanjutnya. Modul ini adalah modul pendidikan dasar yang diperuntukkan kepada individu LGBTI dimanapun berada. Sesungguhnya dalam melakukan perlawanan tidaklah cukup hanya sebatas pendidikan dasar, karena semakin hari lawan semakin kuat dan bergerak semakin cepat. Oleh karena itu, pastilah ke depannya akan lahir modul-modul lanjutan yang mempertajam daya kritis individu dan komunitas LGBTI di Indonesia. Sesungguhnya tim penyusun sangat berharap teman-teman individu dan komunitas LGBTI yang nantinya sudah mendapatkan dan memahami materi pada pendidikan dasar ini, untuk terlibat pada pembuatan modul-modul lanjutan, karena salah satu kekuataan terciptanya alat perang ini adalah solidaritas, kolektivitas dan daya kritis yang kita punya. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



9 Melalui modul ini kami berharap terbangunnya kesadaran kritis bagi setiap orang yang membacanya sehingga lahirnya semangat-semangat perlawanan baru dengan fondasi kebersamaan, solidaritas, kolektivitas, penghargaan atas otoritas individu untuk menciptakan sebuah perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan dan keberagaman Orientasi Seksual, Identititas Gender, Ekspresi dan Sex Characteristics.



“ SELAMAT MEMBACA DAN BELAJAR UNTUK BERLAWAN, KARENA KATA ADALAH



SENJATA!



Salam Juang, Yogyakarta, 9 September 2017



Tim Penyusun



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



10



2. METODE PENYUSUNAN MODUL



T



ujuan utama lahirnya modul ini adalah untuk mewujudkan pembebasan, penghargaan dan pemenuhan hak-hak kelompok yang memiliki SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristics) yang beragam dan berbeda dari apa yang diharapkan oleh konstruksi mayoritas dalam skema gender biner dan heteronormatif. Mereka sering disebut dan dikenal sebagai LGBTI. Oleh karena itu, mau tidak mau, situasi mereka yang berbeda dari konstruksi mayoritas ini akan mempengaruhi prinsip, metodologi dan cara pendidikan. Lahirnya modul ini didasarkan dari beberapa pendekatan dan metodologi, di antaranya adalah: Pertama, metodologi feminisme. Pemilihan metodologi ini karena sadar atau tidak sadar, kelompok LGBTI memiliki akar penindasan yang sama dengan kelompok perempuan, yaitu patriarki. Prinsip utama dari metodologi feminisme adalah penekanan pada pengalaman personal dan kolektif sebagai dasar dari pengetahuan. Pengalaman individu dan/atau kelompok LGBTI menjadi dasar pemikiran yang digunakan dalam menganalisis struktur yang lebih besar serta dalam pembangunan definisi-definisi dan konsep-konsep yang ada di dalam modul ini. Metodologi feminisme yang digunakan menjadikan modul pendidikan ini sangat menghargai subjektivitas dan pengalaman hidup individu LGBTI. Penghargaan akan subjektivitas dan pengalaman ini menolak pendekatan keilmuan yang objektif karena feminisme percaya tidak ada yang objektif dan netral dalam realitas pengetahuan itu sendiri. Kedua, metodologi cultural studies. Sebagai sebuah cabang interdisiplin ilmu, cultural studies berkontribusi dalam membantu pembuatan modul ini. Seperti yang diungkapkan oleh Barker, salah satu metodologi kunci dalam cultural studies adalah berkonsentrasi pada pembangunan makna yang dibangun oleh para aktor yang dikumpulkan melalui keterlibatan langsung, pengalaman, wawancara, focus groups discussion dan analisis tekstual (Barker, 2000). Dalam hal ini metodologi etnografis digunakan sebagai panduan utama dalam menggali pengalaman yang nyata dengan pendekatan kultural. Pendekatan inilah yang dilakukan dalam proses pembuatan modul ini. Pengalaman individu LGBTI dituangkan ke dalam diskusi-diskusi (dalam hal ini dengan teknik konsolidasi) kemudian bersama-sama membangun sebuah makna dengan menganalisis teks kata demi kata. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



11 Ketiga, pengalaman yang tertuang dalam modul ini semakin dikuatkan dengan hasil-hasil penelitian terkait kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh individu dan kelompok LGBTI di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan metode ilmiah dan telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dalam konteks akademik. Dalam modul ini akan banyak dipaparkan hasil penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya untuk mendukung keabsahan data pada modul ini. Hasil penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian Menguak Stigma, Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap LGBT di Indonesia (Laazulva, 2013), Laporan Penelitian, Pendokumentasian dan Pemantauan Situasi HAM dan Akses Keadilan Kelompok LGBTI di Indonesia (Purba, 2017) dan lain-lain. Keempat, studi kepustakaan juga berperan penting dalam pembuatan modul ini. Beberapa materi dalam modul ini ditulis dengan referensi dari buku dan modul yang ada sebelumya. Seperti Modul Pendidikan Anti-Bullying Berbasis SOGIE (Rustinawati et al., 2013), Manual Pelatihan Dasar HAM Komnas HAM (Widodo, 2015) dan lain-lain. Penggabungan metodologi-metodologi di atas melahirkan beberapa prinsip pendidikan pada modul ini, yaitu daya juang, solidaritas, kolektivitas, inklusivitas, kesadaran kritis dan otoritas. Penerapan prinsip-ini ini sangat terlihat jelas dalam proses pembuatan modul ini, yaitu pada Konsolidasi Pendidikan I dan II Federasi Arus Pelangi. Perdebatan demi perdebatan dalam tiap kata dan kalimat semakin menguatkan solidaritas dan kolektivitas di antara tim penyusun. Melalui prinsip ini, pendidikan ini berorientasi untuk mendorong individu dan kelompok LGBTI untuk melihat dirinya sebagai pembuat sejarah tidak hanya menjadi objek pasif dalam proses sejarah. Modul pendidikan ini menekankan bahwa tubuh, identitas dan orientasi seksual adalah media penindasan sekaligus sebagai alat perlawanan bagi individu dan kelompok LGBTI, dimana patriarki yang melahirkan heteronormativitas, gender biner dan gender superior diletakkan sebagai musuh utama. Sehingga dari awal hingga akhir, modul pendidikan ini akan terus mengaitkan materi modul dengan penindasan oleh patriarki tersebut.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



12



3. PRINSIP DAN NILAI BELAJAR



u



ntuk mencapai tujuan modul ini, ada beberapa prinsip yang harus dianut dalam seluruh proses pembelajaran, yakni: 1. Daya Juang Proses pembelajaran harus menghormati dan mendorong tumbuhnya semangat kelompok LGBTI untuk memperjuangkan haknya.



2. Solidaritas Kesadaran bahwa setiap individu LGBTI dan orang-orang dengan SOGIESC yang beragam adalah individu yang unik serta memiliki pengalaman dan tingkat penindasan yang berbeda satu sama lain. Proses pembelajaran secara konsisten perlu membangun empati dan keberpihakan kepada kelompok LGBTI yang paling tertindas. 3. Kolektivitas Mengutamakan kepentingan bersama, khususnya kepentingan kelompok LGBTI dan orang-orang dengan ragam SOGIESC yang berbeda. Proses pembelajaran perlu membangun semangat persatuan di dalam kelompok LGBTI. 4. Inklusivitas Proses pembelajaran harus terbuka bagi semua kelompok LGBTI, khususnya kelompok yang paling tertindas, yang selama ini menghadapi pembatasan akses belajar, misalnya LGBTI difabel, LGBTI yang hidup di jalan dan sebagainya. 5. Kesadaran Kritis Proses pembelajaran mesti terus-menerus mendorong munculnya pertanyaan-pertanyan kritis terhadap sistem yang menindas orang-orang dengan SOGIESC yang berbeda. 6. Otoritas Setiap individu memiliki kuasa untuk menyatakan dirinya, serta mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Proses pembelajaran perlu dilandaskan pada pengakuan dan penghormatan terhadap otoritas tersebut, serta mendorong keterbukaan informasi seluas-luasnya yang menjadi bekal bagi seseorang untuk mengambil keputusan atas dirinya.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



13



4. KONSEP DASAR ORIENTASI SEKSUAL, IDENTITAS GENDER, EKSPRESI GENDER DAN SEX CHARACTERISTICS (SOGIESC) PENGANTAR



M



enurut definisi kerja World Health Organization, seksualitas adalah aspek sentral sepanjang hidup manusia yang mencakup seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, kebiasaan, peran dan relasi. Meskipun seksualitas bisa mencakup semua dimensi ini, tidak semuanya selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, sejarah, agama dan spiritual (World Health Organization, 2006). Melengkapi pendekatan lain seperti feminisme dan Hak Asasi Manusia, SOGIESC hadir menjadi sebuah pendekatan yang mampu menjelaskan keberagaman seksualitas manusia yang sebelumnya tidak bisa dijelaskan oleh pendekatan lain. Kehadiran pendekatan SOGIESC ini juga membantu memperkuat pendekatan feminisme dan Hak Asasi Manusia untuk menghancurkan penindasan oleh patriarki terhadap manusia. Pendekatan SOGIESC muncul sekitar tahun 2015. Memang harus diakui, ini merupakan sebuah pendekatan baru. Gerakan LGBTI terus memperbaharui dan mencari berbagai pendekatan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari perjalanan konsep SOGIESC. Pada tahun 2007 pendekatan yang digunakan adalah SOGI. Saat itu, pakar-pakar HAM dunia merumuskan sebuah panduan hukum berdasarkan SOGI, yang dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Yogyakarta. Selanjutnya, pada tanggal 15 Juni 2011, Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk pertama kalinya meloloskan Resolusi PBB tentang Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Gender (SOGI). Pasca tahun tersebut, gerakan LGBTI merasa pendekatan SOGI tidak bisa mengakomodasi ragam seksualitas yang lain, yaitu ragam ekspresi manusia yang tidak biner. Harus diakui bahwa ada kelompok manusia yang mengalami kekerasan karena memiliki ragam ekspresi yang tidak memenuhi standar ekspresi patriarki. Oleh karena itu, sekitar tahun 2012-2013 muncul pendekatan SOGIE.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



14 Pada tahun 2015, pendekatan SOGIE dirasa belum cukup inklusif dengan ragam seksualitas yang lain lagi yaitu ragam karakteristik biologis manusia. Faktanya, manusia lahir dengan struktur dan karakteristik biologis yang beragam, sehingga tidak selalu bisa memenuhi standar medis/dokter tentang definisi laki-laki atau perempuan. Sering sekali kelompok ini mengalami penentuan sepihak oleh keluarga atau medis, apakah harus menjadi perempuan atau laki-laki. Akhirnya muncul 2 (dua) pendekatan baru yaitu SOGIESC dan SOGIEB. Kata SC (Sex Characteristics) merujuk pada ragam karakteristik biologis, sedangkan kata B (Bodies) merujuk pada ragam tubuh secara keseluruhan manusia. Hingga saat ini kedua pendekatan ini masih digunakan, tetapi Federasi Arus Pelangi dan beberapa organisasi LGBTI di dunia sepakat menggunakan SOGIESC. Pendekatan ini dianggap lebih spesifik merujuk pada karakteristik biologis, tidak merujuk pada tubuh manusia secara luas. Alasan utamanya adalah untuk memisahkan lapis penindasan yang dialami oleh kelompok LGBTI difabel, agar mudah dilihat lapisan penindasannya. Sedangkan pendekatan SOGIEB dianggap menyamakan penindasan berbasis ketubuhan punya derajat yang sama dengan penindasan berbasis keragaman seksualitas. Sehingga dengan pendekatan SOGIEB, kita sulit melihat penindasan berlapis terhadap kelompok LGBTI difabel. SOGIESC memberikan kontribusi penting dalam wacana seksualitas manusia. Bahkan, pendekatan ini mampu menarik keterkaitan penindasan antara beragam isu seperti, buruh, perempuan, masyarakat adat dan lain-lain. Karena SOGIESC pada akhirnya tidak lagi spesifik berbicara kelompok LGBTI tetapi berbicara keberagaman seksualitas manusia yang ada di setiap lapisan masyarakat. Keterkaitan pendekatan SOGIESC dengan pendekatan lain pada akhirnya diharapkan mampu menghancurkan akar penindasan yaitu patriaki. Oleh karena itulah, SOGIESC menjadi materi paling dasar yang wajib dipahami oleh manusia, khususnya LGBTI. SEKS & SEX CHARACTERISTICS [noun, kata benda] • Seks adalah karakteristik biologis yang digunakan untuk mengkategorikan manusia sebagai bagian dari kelompok betina atau jantan. Kelompok betina kemudian ditetapkan sebagai perempuan, sementara kelompok jantan ditetapkan sebagai laki-laki. Faktanya, karakteristik biologis ini berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. • Karakteristik biologis di atas merujuk pada kromosom, gonad dan bentuk anatomis seseorang termasuk di dalamnya ciri primer seperti organ reproduksi, genitalia dan/atau struktur kromosom dan hormon dan ciri sekunder seperti massa otot, distribusi rambut, payudara dan/atau strukturnya.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



15 • Karakteristik biologis di atas, biasa disebut juga sex characteristics. • INTERSEKS [adj. kata sifat], kondisi individu yang memiliki sex characteristics yang berbeda dengan norma medis tentang tubuh betina atau jantan. Interseks berbeda dengan hermafrodit. Faktanya, individu interseks selalu ditetapkan sebagai betina atau jantan. • TRANSEKSUAL [adj. kata sifat], kondisi individu trans yang memutuskan melakukan tindakan medis untuk mendapatkan gambaran tubuh yang dibutuhkannya. Tindakan medis tersebut merupakan pilihan personal dan bukan kewajiban. Hanya sebagian individu trans membutuhkan tindakan medis. GENDER [adj., kata sifat] Gender adalah konstruksi sosial yang biner yang membedakan ciri, sifat dan peran antara laki-laki dan perempuan secara tegas berdasarkan seksnya. Faktanya, setiap individu memiliki ciri, sifat dan peran yang tidak biner. IDENTITAS GENDER [noun, kata benda] • Identifikasi pribadi seseorang tentang dirinya, apakah sebagai perempuan, laki-laki atau lainnya yang didasari pada perasaan yang sangat personal. Identitas gender ini bisa sama atau berbeda dengan gender yang ditetapkan saat lahir. • Ketika identitas gender tersebut berbeda dengan gender dan/atau seks yang ditetapkan saat lahir, disebut TRANSGENDER. Ketika identitas gender tersebut sama dengan gender dan/atau seks yang ditetapkan saat lahir, disebut CISGENDER. • Beberapa identitas gender yang populer di Indonesia antara lain perempuan, laki-laki, transpuan (trans women), waria, trans laki-laki (trans men), priawan, calalai, calabai dan bissu. • Banyak individu trans yang melakukan transisi tidak aman karena berusaha untuk memenuhi norma tentang tubuh betina atau jantan. EKSPRESI GENDER [noun. kata benda] • Bagaimana seseorang menampakkan gendernya melalui penampilan fisik, pakaian dan perilaku saat berinteraksi dengan orang lain. Seseorang dapat memiliki ekspresi gender yang beragam seperti feminin, maskulin, androgini dan lain-lain. • Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi ekspresi gender seseorang. Semakin banyak individu Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



16 yang menggunakan ekspresi gender sebagai bentuk perlawanan. IDENTITAS SEKSUAL [noun, kata benda] Bagaimana seseorang menyatakan seksualitasnya. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi identitas seksual seseorang. Semakin banyak individu yang menggunakan identitas seksual sebagai bentuk perlawanan. ORIENTASI SEKSUAL [noun. kata benda] Ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakan orientasi seksualnya atau tidak. • HETEROSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lain yang memiliki gender dan/atau seks yang berbeda dengannya. • HOMOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lain yang memiliki gender dan/atau seks yang sama dengannya. • LESBIAN [adj. kata sifat], merujuk pada perempuan homoseksual; perempuan yang tertarik terhadap perempuan lain, yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. • GAY [adj. kata sifat], merujuk pada laki-laki homoseksual; laki-laki yang tertarik terhadap laki-laki lain, yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. • BISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual, yang tidak terbatas pada satu gender dan/atau seks tertentu. • PANSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, misalnya: −− DEMISEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap manusia lainnya tanpa memandang gender dan/atau seksnya, dimana ketertarikan seksual tidak muncul tanpa adanya ikatan emosi dan romantis yang kuat. −− SAPIOSEKSUAL [adj. kata sifat], ketertarikan manusia terhadap kecModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



17 erdasan manusia lainnya yang melibatkan rasa emosi, romantis dan/ atau seksual tanpa memandang gender dan/atau seksnya. • ASEKSUAL [adj. kata sifat], manusia yang tidak memiliki ketertarikan yang melibatkan rasa seksual kepada manusia lainnya. Aseksual merupakan bagian dari keragaman orientasi seksual. PERILAKU SEKSUAL [noun, kata benda] • Segala aktivitas manusia, baik sendiri maupun melibatkan orang lain yang didorong oleh hasrat seksual, yang umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan seksual. Bila dilakukan dengan orang lain harus melalui kesepakatan yang dibuat secara sadar, sukarela dan tanpa paksaan. • Perilaku seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak merupakan kekerasan seksual dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. QUEER [adj. kata sifat] • Istilah yang dulunya digunakan untuk merendahkan orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma seksualitas, di antaranya komunitas non-heteroseksual, non-monogamus, individu trans, interseks, aseksual dan sebagainya. • Queer kemudian direbut maknanya oleh gerakan LGBTI menjadi payung istilah bagi kelompok non-heteroseksual dan kelompok yang tidak mengkonfirmasi identitas gender atau identitas seksual tertentu secara kaku, untuk melawan heteronormativitas dan gender biner. TRANSFEMINISME • Berasal dari kata trans dan feminisme. Trans adalah kelompok orang yang identitas gendernya tidak sama dengan apa yang diberikan atau dilekatkan saat lahir. Feminisme adalah sebuah alat perjuangan untuk melawan patriarki. • Transfeminisme sebuah pendekatan atau alat perjuangan yang digunakan untuk merekonstruksi makna dan ragam identitas biner yang dibentuk oleh patriarki. • Transfeminisme hadir untuk memberikan konfirmasi bahwa identitas gender seseorang tidak ada hubungannya dengan sex characteristics seseorang serta tidak hanya ada perempuan dan laki-laki.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



18 QUEER FEMINISME Berasal dari kata queer dan feminisme. Queer adalah sebuah terminologi sekaligus alat perjuangan untuk menghancurkan rezim heteroseksual serta rezim biner dan menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara sex characteristics, orientasi seksual, ekspresi gender dan identitas gender manusia. Feminisme sebagai sebuah terminologi sekaligus alat perjuangan untuk melawan patriarki. • Queer feminisme menggabungkan dua alat perjuanganan menjadi satu, yang digunakan untuk menghancurkan patriarki beserta alat penindasnya yaitu gender biner, gender superior dan heteronormativitas. • Queer feminisme hadir untuk melengkapi perjuangan feminisme yang masih terfokus pada perjuangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan mengabaikan binerisasi yang menimbulkan penindasan baru pada LGBTI. PERBEDAAN KATA WANITA, PEREMPUAN, PRIA DAN LAKI-LAKI • Wanita berasal dari keratabasa atau etimologi rakyat jawa yaitu wani ditoto yang berarti ‘bisa diatur’, ‘tunduk pada aturan’, ‘tunduklah pada ayah dan suami’. Makna ini menyiratkan bahwa kata wanita sangat bergantung kepada laki-laki dan sesuatu yang harus diatur, artinya tidak diberikan kebebasan untuk mengatur tubuh dan sikapnya sendiri (Sudarwati, 1997). • Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’; maka, kita kenal kata empu jari ‘ibu jari’, empu gending ‘orang yang mahir mencipta tembang’ (Sudarwati, 1997) • Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu ‘sokong’, ‘meme rintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga keselamatan’, bahkan ‘wali’; kata mengampu artinya ‘menahan agar tak jatuh’ atau ‘menyokong agar tidak runtuh’; kata mengampukan berarti ‘memerintah (negeri)’; ada lagi pengampu ‘penahan, penyangga, penyelamat’, sehingga ada kata pengampu susu ‘kutang’ alias ‘BH’ (Sudarwati, 1997) • Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan kata tuan ‘sapaan hormat pada lelaki’ (Sudarwati, 1997) • Pria berasal dari kata sansekreta yaitu priayi yang berarti kekasih atau golongan bangsawan/darah biru (Arifin, 2013)



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



19 • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (KBBI) laki-laki adalah orang yang memiliki zakar, jantan, pemberani atau orang yang pemberani. SEJARAH SINGKAT ISTILAH WADAM/WARIA/TRANSPUAN • Penggunaan kata wadam untuk pertama sekali ditetapkan oleh Ali Sadikin, gubernur Jakarta tahun 1966-1977 (Hanggoro, 2016). Pada akhir tahun 1968 Ali Sadikin mengundang beberapa perwakilan kelompok untuk mendengarkan pengaduan dari kelompok tersebut. Menurut Ali Sadikin, penggunaan kata wadam (wanita adam) tidak bernada kebencian seperti istilah yang digunakan sebelumnya, yaitu bencong dan banci. Pada tahun 1973 wadam membentuk organisasi wadam pertama bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang bertujuan untuk memperjuangkan hidup yang layak, melalui pelatihan salon, merancang busana dan make-up. • Pada tahun 1978, kata wadam diubah menjadi waria (wanita pria) bersamaan diubahnya HIWAD menjadi Himpunan Waria (HIWARIA). Ini atas keberatan Alamsjah Ratu Prawiranegara, yang menjabat sebagai Menteri Agama (1978 - 1983), karena kata wadam menggunakan nama ‘Adam’, salah satu nabi dalam Islam. Hal ini disetujui oleh Presiden Soeharto saat itu. Sejak saat itu, penggunaan istilah waria menjadi populer di Indonesia hingga diadopsi oleh pemerintah dan kelompok waria itu sendiri. Sejak dulu isitilah untuk menyebutkan kelompok yang ditetapkan seks/gendernya sebagai laki-laki sejak lahir tetapi mendefinisikan dirinya perempuan selalu diberikan dan dilabelkan oleh orang lain di luar kelompok itu sendiri. Mulai dari istilah banci, bencong, wadam hingga waria. Pada tahun 2000-an mulailah muncul istilah yang diciptakan oleh kelompok itu sendiri seperti trans woman (global), transperempuan dan transpuan (Indonesia). Istilah ini dianggap lebih ramah daripada beberapa isitilah sebelumnya karena diciptakan oleh kelompok itu sendiri. Alasan lain mengapa kelompok ini tidak menggunakan istilah wadam dan waria karena pada kata wadam (wanita adam) dan waria (wanita pria) masih menggunakan kata ‘wanita’. Dimana kata ‘wanita’ sudah sejak lama ditolak oleh gerakan perempuan karena berasal dari kata jawa kuno “wani ditoto” yang artinya bisa diatur. Penggunaan kata adam dan pria pada kata tersebut juga memunculkan kritik dari kelompok transpuan bahwa mereka tidak ingin disebut sebagai pria atau adam.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



20 Penggunaan kata transpuan juga menunjukan bahwa ada kelompok perempuan lain yang ditindas karena memiliki ragam SOGIESC yang tidak normatif dan biner. Sehingga penggunaan istilah ini diharapkan mampu memberi warna pada gerakan dan perjuangan perempuan yang selama ini mengacu pada pembedaan jenis kelamin biologis saja.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



21



5. AKAR PENINDASAN PADA LGBTI PENGANTAR



K



etika kita duduk di Sekolah Dasar (SD) kita sering diajarkan tentang sebuah cerita keluarga yang bernama keluarga Budi. Budi digambarkan seorang anak laki-laki yang memiliki ibu bernama Ibu Budi, ayahnya bernama Ayah Budi dan saudara perempuannya biasanya bernama Ani. Keluarga Budi adalah keluarga yang bahagia, ayahnya bekerja di kantor, ibunya mengurus rumah tangga, sesekali pergi ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan makanan. Budi dan Ani adalah kakak beradik yang masih bersekolah. Sepulang sekolah, Ani akan membantu ibunya menyiapkan makan malam sedangkan Budi biasanya bermain sepak bola bersama teman-teman sebayanya. Selain bekerja di kantor, biasanya rutinitas lain Ayah Budi adalah membaca koran dan minum kopi pada pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Pada hari libur, biasanya keluarga ini akan bergotong royong membersihkan rumah. Ayah Budi dan Budi akan membersihkan pekarangan rumah. Ani dan Ibu Budi akan membersihkan rumah dan menyiapkan makanan agar mereka bisa makan bersama. Balada kebahagiaan keluarga Budi ini telah diajarkan kepada kita sejak kecil, khususnya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Keluarga Budi ini juga sering menjadi contoh keluarga ideal dan bahagia yang seharusnya ada di masyarakat kita. Tetapi, apakah kita pernah bertanya tentang keluarga Budi ini dari mana asalnya? Mengapa harus dimulai dengan Budi, seorang anak laki-laki? Mengapa bukan dimulai dari Ani yang merupakan anak perempuan? Mengapa Ayah Budi harus bekerja di kantor sedangkan Ibu Budi harus di rumah untuk mengurus rumah dan memasak? Mengapa bukan Ibu Budi yang bekerja di kantor dan Ayah Budi yang tinggal di rumah untuk mengurus rumah dan memasak? Mengapa Ani yang harus membantu Ibu di dapur? Mengapa bukan Budi yang membantu Ibu di dapur? Atau, dengan pertanyaan yang lebih mendasar, apa yang membentuk konsep keluarga itu dan siapa pula yang mencetuskannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sesungguhnya bentuk keluarga Budi di atas dan peran-peran atau pekerjaan yang dilekatkan kepada anggota keluarga Budi pada dasarnya telah diatur dan dibentuk oleh sesuatu yang disebut dengan sistem. Sistem itu sendiri adalah sekumpulan bentuk, pola, elemen, Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



22 cara, sifat yang digabungkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem itu pastinya dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Cerita tentang keluarga Budi, yang di dalamnya ada konsep tentang tugas, sifat dan peran masing-masing anggota keluarga dan pada akhirnya menggambarkan tentang konsep keluarga bahagia, adalah contoh sistem itu sendiri. Artinya, jika ada keluarga yang tidak sesuai dengan peran, tugas dan fungsi seperti keluarga Budi maka itu bukanlah keluarga bahagia. Sistem itu banyak macamnya, lalu apa nama sistem yang mengatur dan membentuk keluarga Budi di atas? Itu adalah SISTEM PATRIARKI. Patriarki adalah sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemeran utama dalam kehidupan keluarga, masyarakat hingga negara. Patriarki membagi peran, tugas dan fungsi laki-laki sebagai yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki diajarkan dan dibentuk menjadi pemimpin dan bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan perempuan ditempatkan di rumah sebagai pengurus rumah tangga. Jika kita menghubungkan cerita keluarga Budi dengan pengertian patriarki, kita akan mendapatkan jawaban bahwa cerita tentang keluarga Budi tersebut sesungguhnya adalah cerita tentang keluarga patriarki itu sendiri. Patriarki sebagai sebuah sistem telah lama lahir jauh sebelum si Budi dan keluarganya ada, bahkan jauh sebelum kita ada. Usianya sudah mencapai ribuan tahun. Tetapi, dia terus eksis hingga saat ini karena hampir semua manusia yang ada di dunia ini, dari dulu hingga sekarang, mengamini bahwa itu adalah sebuah kebenaran dan harus terus dirawat. Tapi apakah faktanya demikian? Apakah patriarki tidak menimbulkan masalah? Jawabannya, iya! Patriarki menimbulkan masalah. Kita akan membahasnya selanjutnya masalah apa yang dilahirkan oleh patriarki, khususnya kepada orang-orang yang tidak bisa memenuhi standar peran-peran, ciri dan fungsi seperti yang ada dalam cerita keluarga Budi, lebih khususnya lagi, kepada orang-orang yang bahkan tidak bisa membentuk keluarga antara Bapak Budi (laki-laki) dengan Ibu Budi (perempuan) lalu melahirkan Budi (laki-laki) dan Ani (perempuan). PATRIARKI SEBAGAI AKAR PENINDASAN LGBTI Patriarki pertama sekali muncul di masyarakat manusia di bumi ini, tepatnya, saat manusia tidak lagi melakukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and food gathering). Artinya konsep patriarki belum ada pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan sekitar 200.000 tahun yang lalu, dimana manusia masih hidup berpin-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



23 dah-pindah tempat (belum menetap), belum ada konsep tentang laki-laki sebagai sosok superior sehingga harus menjadi pemimpin. Sederhananya, semua orang berperan dalam berburu dan mengumpulkan makanan lalu hasilnya dimakan bersama. Tetapi, pada saat manusia sudah meninggalkan kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan lalu beralih pada kegiatan bercocok tanam sederhana (12.000 tahun yang lalu), saat itulah pembagian kerja mulai muncul, dimana laki-laki bertugas untuk mengelola pertanian sedangkan perempuan bertugas untuk melahirkan dan merawat anak untuk dibesarkan agar bisa membantu mengelola pertanian (khususnya anak laki-laki, sedangkan anak perempuan dirawat dan dibesarkan untuk memberikan keturunan selanjutnya). Saat laki-laki mengambil alih peran mengelola pertanian itulah patriarki mulai eksis, dimana kekuasaan berada di tangan laki-laki karena merekalah pemilik hasil pertanian. Patriarki terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah aturan, sistem dan kebenaran di tengah-tengah masyarakat kuno saat itu. Untuk mempertahankan eksistensi patriarki, maka patriarki melahirkan 3 (tiga) konsep alat penindas: Gender Superior, Gender Biner dan Heteronormativitas. Gender Superior adalah sebuah tatanan sosial yang menempatkan maskulinitas, dimana ini adalah laki-laki sebagai penguasa dan pemimpin serta lebih unggul (superior). Sedangkan perempuan ditempatkan lebih rendah (inferior), berada di bawah laki-laki. Maskulinitas dipandang sebagai sesuatu yang kuat, pemberani dan pengambil keputusan. Laki-laki dapat memimpin perempuan dan laki-laki lainnya. perempuan hanya dapat memimpin perempuan lainnya. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin bagi laki-laki karena posisinya yang dianggap lebih rendah (inferior) daripada laki-laki. Seorang laki-laki boleh kalah dari laki-laki lain, tetapi tidak boleh kalah dari perempuan. Gender superior ini menggunakan beberapa mitos untuk melanggengkan dirinya, misalnya, perempuan itu lebih lemah daripada laki-laki sehingga harus dilindungi oleh laki-laki dan tidak boleh menjadi pemimpin bagi laki-laki. Laki-laki itu lebih cerdas karena lebih sering menggunakan logika, dibandingkan perempuan yang lebih sering menggunakan perasaan. Mari kita renungkan, apakah faktanya demikian? Tidak. Namun para pendukung patriarki percaya hal tersebut dan terus menerus mengajarkannya pada orang lain. Menurut konsep gender superior ini, kesetaraan gender adalah konsep yang menyimpang dan membahayakan. Gender Biner adalah tatanan yang mengatur pembagian sifat, peran dan ciri antara laki-laki dan perempuan secara tegas dan tidak bisa ditawar-tawar untuk menjalankan roda patriarki. Pembagian sifat, peran dan ciri antara laki-laki dan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



24 perempuan ini dapat kita lihat dalam cerita keluarga Budi dan atau dalam cerita keluarga kita saat ini. Laki-laki bekerja di luar dan mencari nafkah, perempuan menjadi ibu rumah tangga. Laki-laki pemimpin, perempuan pendukung, laki-laki harus maskulin, perempuan harus feminin dan lain-lain. Sifat, peran dan ciri ini tidak bisa ditawar-tawar, dan tidak bisa dibalik. Jika seseorang mengambil sifat, peran atau ciri yang tidak sesuai dengan gender biner ini, maka oleh masyarakat, orang tersebut akan dianggap aneh, salah, menyimpang dan harus ‘dikoreksi’. Heteronormativitas adalah sebuah tatanan yang mewajibkan serta mengharuskan perempuan dan laki-laki saling berpasangan. Hanya ini pasangan yang dianggap sah dan benar. Keduanya diharuskan untuk bersama, menikah dan memiliki keturunan. Tujuannya sederhana, untuk menghasilkan keturunan sebagai caloncalon pekerja selanjutnya. Pada saat itu, anak laki-laki bekerja di pertanian bersama ayah dan anak perempuan bekerja di rumah bersama ibu. Karena, jika tidak ada keturunan, mereka akan merasa takut kehilangan hasil-hasil pertanian yang sudah dikumpulkannya. Konsep heteronormativitas melihat tujuan dari sebuah hubungan (pernikahan) adalah untuk menghasilkan keturunan semata, agar ada yang bekerja dan mewarisi hasil-hasil kerja. Akibatnya, mereka yang tidak menikah, menikah tetapi tidak ingin atau tidak bisa memiliki keturunan akan dianggap sebagai sesuatu yang salah atau tidak sempurna. Tiga konsep di atas yang menjadikan patriarki menjadi kuat dan terus eksis, karena 3 (tiga) konsep alat penindas itu terus diajarkan, diberitahukan hingga diyakinkan kepada setiap orang baik melalui ajaran agama, budaya hingga pendidikan. Konsep tersebut diajarkan oleh keluarga, masyarakat hingga negara. Individu LGBTI adalah individu yang tidak bisa memenuhi standar 3 alat penindas patriarki di atas. Ketidakmampuan LGBTI memenuhi syarat-syarat yang diajarkan patriarki, khsusunya 3 konsep tersebut menjadi dasar orang-orang ini mengalami penindasan, kekerasan hingga pembunuhan. Mengapa sekelompok orang ditindas hanya karena tidak bisa memenuhi standar tersebut? Pastinya karena patriarki dan ketiga konsep alat penindas itu sudah tertanam di dalam hati, jiwa dan pikiran banyak orang yang meyakini bahwa itu adalah sebuah kebenaran dan kebaikan. Akibatnya, LGBTI dianggap sebagai perusak kebenaran atau pembangkang sebuah kebenaran, maka menjadi sah-sah saja untuk ditindas. Padahal faktanya, patriarki muncul bukan sejak manusia ada di dunia ini, tetapi pada satu zaman dimana adanya satu kelompok mengambil alih kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri, seperti sejarah singkat di atas. Sayangnya, banyak dari orang-orang LGBTI juga mengamini bahwa ketertindasan yang mereka alami itu adalah hal Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



25 yang wajar. Padahal sesungguhnya itu tidak wajar, karena tidak selamanya apa yang masyarakat ciptakan pada zaman dulu harus terus diikuti dan dianggap sebagai sebuah kebenaran, terutama jika hal tersebut menyebabkan ketidakadilan. Berdasarkan paparan di atas kita bisa memahami bahwa patriarki tidak pernah menyukai individu yang memiliki keberagaman SOGIESC. Oleh karena itu, patriarki beserta 3 konsep alat penindasannya adalah akar penindasan terhadap kelompok LGBTI.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



26



6. PENINDASAN BERBASIS SOGIESC PENGANTAR



P



enindasan bukanlah sesuatu yang lahir dan datang tanpa alasan. Adanya penindasan didasari oleh sebab dan akibat, tak terkecuali penindasan berbasis SOGIESC. Oleh karena itu, untuk memahami penindasan berbasis SOGIESC kita harus mundur kembali pada pembahasan materi Akar Penindasan LGBTI yang sudah dibahas sebelumnya. Pada materi akar penindasan LGBTI, kita telah temukan bahwa patriarki adalah akar paling dasar mengapa terjadi penindasan yang berujung pada ketidakadilan. Tiga konsep alat penindas yang dilahirkan oleh patriarki, yaitu: gender superior, gender biner dan heteronormativitas, dianggap menjadi patokan dan kebenaran sehingga secara otomatis meniadakan keberagaman manusia berdasarkan SOGIESC-nya, bahkan secara sengaja menganggapnya tidak ada. Hal ini melahirkan penindasan berbasis SOGIESC. Penindasan berbasis SOGIESC adalah proses/sikap/tindakan/situasi/kondisi yang menghilangkan derajat kemanusiaan individu yang memiliki SOGIESC yang berbeda dari apa yang diharapkan oleh patriarki. Penindasan juga harus terus dilanggengkan karena dianggap sebagai salah satu cara untuk mempertahankan patriarki. Cara yang paling ampuh untuk melanggengkan penindasan berbasis SOGIESC adalah melalui STIGMA. Stigma adalah perspepsi negatif yang dilekatkan pada individu/kelompok dengan tujuan untuk merendahkan individu/kelompok tersebut. Misalnya, persepsi orang bahwa homoseksual adalah pendosa, waria sakit jiwa, homoseksual adalah penyakit menular danlain-lain. Stigma sebagai sebuah persepsi negatif tertuang menjadi sebuah aksi/tindakan/cara/perlakuan penindasan berbasis SOGIESC.



BENTUK-BENTUK PENINDASAN BERBASIS SOGIESC 1. DISKRIMINASI (Laazulva, 2013) Diskriminasi berbasis SOGIESC adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan atas dasar orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan karakteristik bi-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



27 ologis yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kelompok dalam bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Secara umum diskriminasi dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Diskriminasi langsung yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik biologis, orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender sehingga menghambat peluang yang sama bagi individu yang mempunyai SOGIESC berbeda untuk mendapatkan haknya. 2. Diskriminasi tak langsung yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan. 2. KEKERASAN Kekerasan adalah sebuah tindakan yang merendahkan martabat manusia, baik melalui fisik, psikis, ekonomi serta tindakan lain yang merusak integritas moral manusia (Laazulva, 2013). Kekerasan dilarang dalam situasi apapun, meskipun dalam situasi perang, baik oleh pejabat publik, aparat keamanan atau oleh pribadi, di lingkungan publik maupun di lingkungan domestik. Data penelitian Arus Pelangi menunjukan 89,3% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan (Laazulva, 2013). Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh individu yang memiliki keragaman SOGIESC antara lain; 1. Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh. Kekerasan yang sering dialami oleh LGBTI adalah dilempar benda ke arah tubuh, ditarik/dijambak, ditendang, ditampar, didorong, diserang dengan pisau atau senjata tajam. Penelitian Arus Pelangi 2013 menunjukan 46,3% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik. 2. Kekerasan psikis yaitu bentuk kekerasan yang tidak melibatkan kontak langsung namun dilakukan dengan cara menundukkan atau mengekspos perilaku lain yang dapat mengakibatkan trauma psikologis, termasuk kecemasan, depresi kronis, atau gangguan stres pascatrauma. Kekerasan psikis yang dialami LGBTI antara lain dirampas barangnya, diusir, diawasi, disakiti, dikirimi surat (SMS, BBM, e-mail, telpon) gelap, diserang dengan



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



28 senjata tajam atau pistol, dikuntit, dirusak barangnya. Kekerasan psikis dalam bentuk verbal seperti dihina, dimaki, diludahi, dilecehkan secara seksual dengan kata-kata. Penelitian Arus Pelangi 2013 menunjukan 79,1% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan psikis. Kekerasan psikis yang sering terjadi karena perbedaan SOGIESC adalah outing dan bullying (Laazulva, 2013). Outing adalah suatu tindakan atau perlakuan yang disengaja bertujuan untuk menginformasikan, memberitahu kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui media sosial, telepon atau SMS) tentang SOGIESC seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Bullying adalah bentuk perlakuan agresif yang dilakukan secara berulang atau berpotensi untuk terulang, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan tujuan merendahkan dan menjatuhkan martabat orang lain atas dasar SOGIESC, usia, ras, kepercayaan, kelas, profesi, bentuk tubuh, status perkawinan, ODHA atau difabel. 3. Kekerasan ekonomi adalah segala bentuk kekerasan dengan cara melakukan kontrol, pembatasan atau pengurangan atas akses sumber daya ekonomi seseorang. Kekerasan ekonomi yang sering dialami oleh LGBTI adalah dirampas uang dan barang, ditolak kerja di suatu perusahaan/kantor, dipotong gaji, dipecat atau dihentikan uang saku atau uang makan oleh orang tua. Secara lebih luas, kekerasan ekonomi berdampak pada status ekonomi dan masa depan seseorang. Penelitian Arus Pelangi 2013 menunjukan 26,3% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan ekonomi (Laazulva, 2013). 4. Kekerasan seksual adalah tindakan seksual yang diarahkan terhadap seseorang menggunakan paksaan tanpa memandang hubungan mereka dengan korban, dalam pengaturan apapun dan tidak terbatas pada rumah dan pekerjaan (Laazulva, 2013). Pemerkosaan, yang didefinisikan sebagai penetrasi yang dipaksakan secara fisik melalui vulva atau anus, dengan menggunakan penis, bagian tubuh lain atau benda, termasuk dalam kekerasan seksual. Upaya untuk melakukannya disebut sebagai percobaan perkosaan. Kekerasan seksual yang sering dialami oleh LGBTI adalah percobaan perkosaan, penghinaan yang berkaitan dengan seksual dan aksi pemerkosaan karena SOGIESC-nya. Penelitian Arus Pelangi 2013 menunjukan 45,1% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual (Laazulva, 2013). 5. Kekerasan budaya menggunakan aspek budaya atau bentuk simbolis yang ada di lingkungan tempat tinggal, untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk kekerasan langsung atau struktural. Aspek budaya bukan menjaModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



29 di akar penyebab masalah kekerasan, namun digunakan untuk melakukan kekerasan pribadi (langsung) dan simbolik (tidak langsung). Dalam setiap budaya, legitimasi kekerasan bisa dipengaruhi oleh nilai, sosial, politik,ekonomi, agama, ideologi, kosmologi, seni dan ilmu pengetahuan. Kekerasan budaya yang sering dialami oleh LGBTI antara lain pengusiran dari rumah atau kos karena ketahuan sebagai LGBTI, pertanyaan tentang kapan menikah dan paksaan untuk menikah dengan orang yang tidak disukai (Laazulva, 2013). 3. MARJINALISASI Marginalisasi berbasis SOGIESC adalah bentuk dari peminggiran berbasis SOGIESC secara struktural yang dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-negara. Bentuk dari peminggiran tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah: a. Aspek Keamanan (Purba, 2017) Stigma dan diskriminasi dialami oleh kelompok LGBTI secara berkelanjutan. Hal ini berdampak pada keamanan dan kenyamanan hidup kelompok tersebut. Dalam menghadapi diskriminasi dan kekerasan, kelompok LGBTI seharusnya mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum serta mendapatkan keadilan melalui sistem peradilan yang transparan dan non-diskriminatif. Namun demikian, stigma dan perspektif negatif yang dimiliki oleh aktor negara, termasuk aparat penegak hukum, menimbulkan bias yang berakibat pada pengabaian aspek keamanan bagi komunitas LGBTI. Tidak jarang aparat penegak hukum tercatat sebagai pelaku diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok dengan keberagaman SOGIESC. Catatan pemantauan media Arus Pelangi di tahun 2016 mengemukakan fakta bahwa aktor negara dan non-negara memiliki porsi yang sama sebagai pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas LGBTI. Dengan demikian, kelompok LGBTI tidak mendapatkan rasa aman seperti yang seharusnya disediakan dan dijamin oleh negara terhadap warganya. b. Aspek Pekerjaan (Purba, 2017) Ketidakadilan berbasis SOGIESC di lingkungan pekerjaan terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pembatasan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, pembatasan cara berpakaian dan berperilaku, pembatasan peningkatan karir (tidak mendapatkan promosi karena stigma terhadap identitas Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



30 seksual, atau yang dikenal dengan istilah Lavender Ceiling), hingga pemecatan. Stigma dan disrkiminasi di tempat kerja menyebabkan banyak individu dari kelompok LGBTI tidak tahan bekerja di sektor formal dan memilih untuk bekerja di sektor informal maupun industri kreatif. Ketidakadilan berbasis SOGIESC di tempat kerja seringkali dianggap normal bahkan sering tidak disadari oleh individu LGBTI itu sendiri. Hal ini disebabkan karena mereka tidak diberikan informasi yang transparan terkait penyebab mereka mengalami ketidakadilan tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dan dokumentasi Arus Pelangi di 8 provinsi, hanya 24% responden yang memiliki pekerjaan di sektor formal. Sebanyak 45% terpaksa bekerja di sektor informal seperti wirausaha ataupun kerja paruh waktu. Hal ini menunjukan bahwa sektor formal tergolong sulit untuk diraih oleh kelompok LGBTI, terutama yang memilih untuk mengutarakan identitas seksual mereka. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa tingkat pengangguran di kalangan kelompok LGBTI mencapai 17%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional yakni 5.8% (data tahun 2017) Dengan demikian, kelompok LGBTI memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk menjadi pengangguran. c. Aspek Kelayakan Hidup/ Ekonomi (Purba, 2017) Dalam aspek kelayakan hidup, stigma dan diskriminasi menjadi halangan bagi kelompok LGBTI untuk mengakses pekerjaan dengan upah standar minimum. Hal ini berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan kelompok LGBTI untuk memperoleh standar hidup yang layak. Hasil penelitian Arus Pelangi di 8 provinsi menunjukan bahwa 38% dari kelompok LGBTI memperoleh penghasilan 1 – 2.5 juta rupiah per bulan. Sebanyak 31% responden memperoleh pendapatan di bawah 1 juta rupiah per bulan. Upah minimum yang menjadi standar nasional saat itu adalah Rp 1.813.396,-. Dengan demikian sebagian besar kelompok LGBTI mendapatkan upah di bawah standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, dan hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap bulannya. Dengan mayoritas tingkat pendapatan yang belum memenuhi standar yang tepat tersebut, temuan ini menambahkan lapisan kerentanan lainnya untuk



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



31 kelompok LGBTI, yaitu kerentanan yang disebabkan oleh kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan potensi risiko mereka terhadap kekerasan. d. Aspek Kesehatan (Purba, 2017) Ketidakadilan berbasis SOGIESC dalam aspek kesehatan banyak dialami kelompok LGBTI terutama dalam hal mengakses dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan bebas stigma serta diskriminasi. Berdasarkan penelitian Arus Pelangi, sekitar 41% dari kelompok LGBTI tidak memiliki asuransi kesehatan baik dalam bentuk asuransi kesehatan nasional atau asuransi kesehatan lainnya. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat tingginya jumlah individu LGBTI yang hidup di bawah standar minimum kehidupan layak, yang berarti memiliki kerentanan untuk terinfeksi penyakit terkait kemiskinan, seperti tuberkulosis, infeksi paru-paru, malnutrisi dan penyakit tropis. Bagi individu LGBTI yang bekerja sebagai pekerja seks, risiko infeksi menular seksual juga cukup tinggi. Dengan risiko kesehatan yang sangat besar yang dimiliki oleh komunitas LGBTI, belum lagi potensi risiko yang terkait dengan kekerasan, asuransi kesehatan sangat penting bagi kelompok LGBTI. Namun, masih banyak LGBTI yang merasa takut untuk mengurus asuransi kesehatan karena pengalaman diskriminasi dalam pelayanan yang dialami oleh LGBTI lainnya. Terkait dengan pelayanan kesehatan, banyak kasus terjadi dimana anggota kelompok LGBTI mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan maupun tenaga medis dikarenakan SOGIESC serta status terkait kesehatan (seperti status HIV) mereka. Dalam hal ini, belum ada panduan terkait layanan kesehatan yang ramah SOGIESC diterapkan di Indonesia. e. Sikap Negara terhadap LGBTI (Purba, 2017) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, negara yang seharusnya memberikan perlindungan serta menjamin pemenuhan hak-hak warga negaranya tanpa terkecuali justru menjadi pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTI. Jumlah keterlibatan pejabat negara yang terlibat aktif dalam pelanggaran hak terhadap kelompok LGBTI, terutama pada masa Januari-Maret 2016, meningkat pesat. Pemantauan media Arus Pelangi pada periode tersebut



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



32 mencatat bahwa sebanyak 27% (mayoritas) kasus diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBTI dilakukan oleh aktor negara. Peningkatan keterlibatan negara dalam melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBTI diduga terkait erat dengan sikap pejabat tinggi tingkat nasional yang secara terbuka menentang keberadaan komunitas LGBTI. Sikap ini dapat diartikan sebagai bentuk legitimasi bagi pejabat yang berada di bawah kewenangan mereka, baik yang berada di tingkat nasional maupun lokal, untuk bersikap keras terhadap komunitas LGBTI. "Dengan demikian, terjadi internalisasi homofobia secara kultural di dalam sistem kelembagaan negara." f. Penindasan Berbasis SOGIESC oleh Media (Simarmata and Aji, 2017) Media yang seharusnya berperan dalam menyuarakan demokrasi dan memprioritaskan akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya telah menjadi salah satu katalisator untuk mengabadikan stigma dan bias terhadap kelompok LGBTI. Dari hasil pemantauan yang dilakukan Arus Pelangi sepanjang Januari hingga Februari 2016, publikasi yang bersifat bias dan menyudutkan kelompok LGBTI telah memperkuat stigma dan bahkan menimbulkan kekerasan terhadap LGBTI di berbagai wilayah di Indonesia. Grafik 1 di bawah ini, yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kemitraan, menunjukkan ada peningkatan jumlah publikasi tentang LGBTI di media, yang sebagian besar cakupannya telah mengadopsi sudut pandang oposisi (menentang) terhadap komunitas LGBTI di Indonesia.



Grafik 1: Jumlah Publikasi Terkait LGBTI di Media



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



33 Lonjakan jumlah publikasi terkait LGBTI juga terjadi di beberapa media lokal di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang digambarkan oleh Grafik 2 berikut.



Grafik 2: Jumlah Publikasi Terkait LGBTI di Media Lokal



4. BEBAN BERLAPIS Identitas SOGIESC seringkali bersinggungan dengan identitas lain yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini disebabkan karena satu orang dapat memiliki berbagai identitas ditinjau dari berbagai aspek seperti budaya, etnis, agama, seksualitas dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seseorang laki-laki beretnis jawa, beragama Islam dan heteroseksual. Campuran identitas bersinggungan dalam diri tiap orang. Ini merupakan suatu konsep yang dinamakan interseksionalitas. Interseksionalitas memiliki sisi positif dalam hal menunjukan keragaman identitas yang dimiliki oleh seseorang. Namun interseksionalitas juga dapat menimbulkan beban berlapis apabila seseorang memiliki dua atau lebih identitas yang tergolong minoritas dan termarginalkan oleh sistem patriarki. Seorang perempuan lesbian memiliki beban lebih dibandingkan seorang perempuan heteroseksual, namun seorang perempuan lesbian yang difabel akan memiliki beban yang lebih besar lagi dibandingkan kedua perempuan sebelumnya. Inilah yang disebut dengan beban berlapis.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



34



7. KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA (HAM) PENGANTAR



P



ada materi sebelumnya kita sudah diperkenalkan pada 2 (dua) hal besar, pertama keberagaman seksualitas manusia khususnya SOGIESC. Pada materi tersebut kita diajak untuk memahami bahwa seksualitas manusia itu pada dasarnya unik dan beragam, tidak hanya ada hitam dan putih. Kedua, ada sebuah sistem yang tidak bisa menerima keberagaman tersebut, sehingga ia menjadi sumber kekerasan, stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTI. Sistem tersebut bernama patriarki. Bahkan, kita telah belajar mengenai sistem tersebut beserta alat penindasnya. Pada materi kali ini, kita akan berkenalan dengan sebuah pendekatan yang menguatkan bahwa tidak seharusnya keberagaman seksualitas menjadi dasar terjadinya kekerasan, stigma dan diskriminasi. Karena sesungguhnya setiap orang seharusnya tidak didiskriminasi, distigma atau diperlakukan semena-mena atas dasar apapun. Pendekatan itu dikenal dengan sebutan Hak Asasi Manusia (HAM). Biasanya akan muncul pertanyaan mengapa kita harus belajar HAM? Apakah belajar HAM itu sulit? Apakah HAM adalah tentang undang-undang? Apa benar LGBTI punya hak? Kita akan mencoba menjawab semua pernyataan tersebut pada bab ini. Hal yang paling penting untuk kita pahami di awal adalah bahwa Hak Asasi Manusia bukan sesuatu yang jauh dari kita, melainkan sesuatu yang kita punya, bahkan melekat dalam setiap diri kita, siapapun kita, selama kita adalah manusia. Untuk itulah materi ini menjadi penting untuk dipahami. Materi ini juga menjadi sebuah pijakan kita untuk berjuang dan melawan segala bentuk kekerasan, stigma dan diskriminasi yang kita alami sehari-hari sebagai kelompok LGBTI. Tidak hanya LGBTI, setiap individu ataupun kelompok tertindas menggunakan pendekatan ini untuk mewujudkan mimpi-mimpi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan bagi setiap manusia di seluruh dunia. HAM sangat pentig untuk dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai anggota dari lembaga dunia yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkewajiban untuk menegakan dan memajukan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu seharusnya undang-undang yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan Hak Asasi Manusia. Meskipun dalam prakteknya masih terjadi pelanggaran HAM Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



35 di Indonesia. Tetapi dengan kita memahaminya, kita bisa memiliki alat untuk menuntut pemerintah agar melaksanakan kewajibannya dalam pernghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM kepada seluruh warga negara Indonesia. Materi ini akan dibatasi pada pemahaman dasar tentang Hak Asasi Manusia, karena pemahaman mendalam tentang Hak Asasi Manusia sesungguhnya cukup kompleks. Sehingga pada modul ini kita akan berkenalan dengan ‘kulit’ nya saja. Pemahaman yang lebih mendalam bisa kita pelajari pada lain kesempatan atau pada Modul Pendidikan Lanjutan ataupun belajar dari buku, modul terkait Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh para pakar ataupun lembaga HAM negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan lain-lain. DEFINISI Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 1 tentang HAM menyatakan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.” Menurut Harahap, Hak Asasi Manusia adalah hak seorang manusia yang sangat asasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia lain di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga-lembaga manapun untuk meniadakannya (Harahap and Sutardi, 2006). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat sejak lahir sejak lahir yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Definisi ini adalah definisi utama yang digunakan oleh Arus Pelangi karena definisi tersebut berlandaskan pada prinsip inklusivitas (khususnya terhadap ragam keimanan) dan pro-choice (atau otoritas diri). Perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia itu berlaku universal untuk semua orang dan di semua negara.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



36 SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM TENTANG HAM Konsep HAM muncul karena adanya beragam peristiwa penindasan atau kesewenangan-wenangan yang menimbulkan korban umat manusia di berbagai belahan dunia. Proses pembentukan konsep HAM membutuhkan waktu yang sangat lama, ratusan bahkan ribuan tahun. Secara umum pembentukan konsep HAM terjadi melalui tahapan berikut: adanya peristiwa penindasan, penemuan hak, pengakuan hak, kodifikasi (pengaturan) hak, penegakan (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan) hak. Penemuan hak muncul ketika para korban penindasan berani menuntut dan memperjuangkan hak-haknya. Sedangkan pengakuan hak terwujud saat kalangan di luar korban (kaum terpelajar, bangsawan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain) ikut tampil memperjuangkan hak-hak korban. Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948. Kelahiran DUHAM itu sendiri tidak terlepas dari kebiadaban perang dunia kedua, yang mencatat kejahatan genosida yang dilakukan oleh rezim Nazi Hitler. Penegakan (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan) HAM mulai terlihat sejak pemberlakuan secara efektif dua kovenan utama HAM yaitu Kovenan Hak Sipil & Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (keduanya ditandatangani tahun 1966 dan diberlakukan efektif mulai tahun 1976). Sementara itu jejak catatan sejarah HAM dapat ditelisik dari Piagam Hammurabi (sekitar 1750 SM), peraturan tertulis pertama yang menjamin hak-hak kepada warga negara. Lalu bisa juga dijumpai di Piagam Madina (sekitar 622 Masehi) dan Magna Charta. Magna Charta (1215) dianggap sebagai tonggak awal dari kelahiran HAM (versi pakar sejarah Eropa). Dokumen penting lainnya yang bicara tentang HAM adalah Konstitusi Amerika (1789) yang mengakomodasi hak-hak yang tidak dapat dicabut (Hak-Hak Sipil Politik/sipol) dan Konstitusi Prancis (1791) yang mengatur tentang penyediaan bantuan bagi masyarakat miskin dan pendidikan gratis bagi publik, inilah muncul Hak Ekonomi Sosial dan Budaya/ekosob). Sejarah HAM di Indonesia bisa ditelisik sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Budha, lalu era tahun 1200-an Masehi (era masuknya Islam ke nusantara). Tapi secara ringkas sejarah HAM Indonesia sejak era kebangkitan nasional dapat dikategorikan menjadi empat periode waktu. Pertama, zaman penjajahan (19081945) dengan fokus perjuangan mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



37 terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Kedua, zaman pemerintahan orde lama (1945-1966) dengan fokus perjuangan mewujudkan kehidupan negara yang berdemokrasi. Ketiga, zaman pemerintahan orde baru (1966-1998) dengan fokus perjuangan melawan pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan militeristik. Keempat, zaman reformasi (1998 - sekarang), dengan fokus perjuangan menegakan Hak Sipil Politik (sipol) dan mulai menjangkau aspek yang lebih luas, terutama menyangkut pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ekosob). Secara legal-formal, Indonesia telah membuat beragam langkah konkret dalam upaya pemajuan HAM. Sampai tahun 2014, Indonesia telah menandatangani 10 (sepuluh) konvensi dan kovenan internasional. Indonesia juga telah memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 melalui Amandemen 1 sampai Amandemen 4 UUD 1945, memiliki UU tentang HAM (UU No. 39 tahun 1999) dan UU tentang Pengadilan HAM (UU No. 26 tahun 2000), memiliki Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan lain-lain. Di masa depan, upaya penegakan HAM akan terus maju dan berkembang sesuai dinamika kehidupan yang terjadi di masyarakat. Diprediksi eksistensi HAM akan mendapat tempat yang layak di benak masyarakat internasional, ditinjau dari perspektif konsep, kebijakan, institusi, dan sumber daya manusia. PERBEDAAN HAM DAN KEINGINAN Berikut adalah perbedaan antara HAM dan keinginan: HAM Jumlahnya terbatas Sama setiap orang Penerapannya universal Wajib dipenuhi oleh negara, hukum dan pemerintah Diatur oleh konstitusi (Undang-Undang)



Keinginan Jumlahnya tidak terbatas (banyak) Tidak sama setiap orang Penerapannya personal Tidak wajib dipenuhi oleh negara, hukum dan pemerintah. Tergantung si pemilik keinginan Tidak diatur oleh konstitusi (Undang-Undang)



Tabel 1: Perbedaan HAM dan Keinginan



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



38 PRINSIP-PRINSIP HAM Ada 11 (sebelas) prinsip-prinsip HAM yang terdapat di sejumlah instrumen HAM (Widodo, 2015), yaitu: 1. Universal (universality). Universalitas HAM berarti HAM berlaku sama kepada seluruh manusia dimanapun dia berada. 2. Martabat Manusia (human dignity). HAM merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap manusia di dunia. Prinsip-prinsip HAM ditemukan pada setiap individu apapun umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, identitias gender, orientasi seksual, ekspresi gender, bahasa, kemampuan atau kelas sosial. Setiap manusia, oleh karenanya harus dihormati dan dihargai hak asasinya/ tidak digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hierarkis. 3. Tidak dapat dicabut (inalienability). Semua orang dimanapun di dunia ini memiliki HAM. Seseorang tidak dapat memberikan HAM, karena itu, seseorang tidak dapat mencabut, merenggut, melepaskan HAM tersebut dari orang lain. 4. Tidak dapat dibagi (indivisibility). HAM tidak dapat dibagi, baik itu hak sipil, budaya, ekonomi, politik, atau sosial. Hak tersebut melekat terhadap martabat setiap manusia. Sebagai akibatnya, semua orang memiliki kesetaraan hak, dan mereka tidak dapat dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan atau aturan-aturan yang bersifat hierarkis. 5. Non diskriminasi (non-discrimination). Prinsip non diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan status kelahiran atau lainnya. 6. Kesetaraan (equality). Semua orang adalah setara sebagai manusia. Secara spesifik Pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa: “Setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”. 7. Saling terkait dan bergantung (interrelated and interdependent). Pemenuhan dari satu hak sering kali bergantung pada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi terModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



39 tentu, hak atas pendidikan atau hak atas informasi, adalah hak yang saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, pelanggaran HAM saling bertalian: hilangnya satu hak akan mengurangi hak lainnya. 8. Partisipasi (participation). Semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam dan mengakses informasi yang berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan yang berpengaruh terhadap hidup mereka. Pendekatan berbasis hak memerlukan partisipasi yang tinggi dari masyarakat, masyarakat sipil, minoritas, perempuan, orang muda, kelompok masyarakat adat, dan kelompok lainnya. 9. Inklusivitas (inclusivity). Prinsip ini berkaitan dengan prinsip partisipasi. Prinsip ini pada dasarnya adalah mengikutsertakan elemen masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. 10. Akuntabilitas/Tanggung Jawab Negara (accountability/state obligations). Negara dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai kepatuhannya terhadap HAM. Negara dan pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati Hak Asasi Manusia. 11. Penegakan hukum (rule of law). Negara harus menyesuaikan dengan norma dan standar hukum yang ada di dalam instrumen HAM internasional. Bilamana negara gagal melakukannya, pemegang hak yang dirugikan berhak untuk melakukan tindakan redress tertentu sebelum ke pengadilan atau proses hukum lain dalam kesesuaiannya dengan peraturan dan prosedur yang ada di dalam hukum.



INSTRUMEN HAM Instrumen yang paling penting adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditandatangani pada tahun 1948, Kovenan International tentang Hak Ekonomi, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966) dan Kovenan International tentang Hak sipil dan Hak Politik (International Convenant on Civil and Political Rights, 1966).



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



40 Beberapa bentuk instrumen HAM di Indonesia adalah: • UUD 1945 • UU Nomor 5 Tahun 1998, tentang ratifikasi terhadap aturan anti kekejaman, penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak berperikemanusiaan, dan merendahkan martabat. • UU Nomor 9 TAhun 1998, tentang kebebasan menyatakan pendapat • UU Nomor 11 Tahun 1998, tentang hak dan kewajiban buruh di Indonesia • UU Nomor 8 Tahun 1999, tentang hak dan perlindungan konsumen. • UU Nomor 19, 20, dan 21 Tahun 1999, tentang perburuhan. Dalam hal ini UU mengatur tentang penghapusan kerja paksa, upah minimum pekerja, dan diskriminsai dalam pekerjaan. • UU Nomor 26 Tahun 1999, tentang pencabutan hukum subsversi yang dianggap membatasi hak berpendapat. • UU Nomor 39 Tahun 1999, tentang HAM. • UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang pers, hak dan kewajibannya. • UU Nomor 26 Tahun 2006, tentang pengadilan terhadap pelanggar HAM. KLASIFIKASI HAM PADA DUHAM Berikut ini adalah klasifikasi HAM yang tercantum dalam DUHAM menurut Rene Cassin (seorang diplomat Prancis) dan Charles Malik (Penyusun DUHAM dari Lebanon): 1. HAK SIPIL: “Biarkan saya menjadi diri saya sendiri” 1. Hak atas kesetaraan (setiap orang terlahir merdeka dan memiliki persamaan martabat dan hak) 2. Hak atas kebebasan dari diskriminasi dan pembedaan perlakuan dalam bentuk apapun 3. Hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu 4. Hak untuk bebas dari perbudakan dan perhambaan 5. Hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman secara keji yang merendahkan martabat kemanusiaan 6. Hak atas pengakuan sebagai manusia pribadi di depan hukum 7. Hak atas persamaan di depan hukum 8. Hak atas pemulihan hak yang efektif oleh pengadilan yang kompeten 9. Kebebasan dari penangkapan, penahan atau pengasingan sewenang-wenang 10. Hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang indepeden serta tidak berpihak 11. Hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



41 2. HAK SOSIAL: “Jangan campuri urusan kami” 12. Hak untuk bebas dari intervensi sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah, dan hubungan surat menyurat serta dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik 13. Hak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal dalam batas-batas, setiap negara, meninggalkan negaranya termasuk kembali ke negaranya sendiri 14. Hak atas suaka di negara lain 15. Hak atas kewarganegaraan dan hak untuk menggantinya 16. Hak untuk menikah dan membangun keluarga 17. Hak untuk memiliki harta 3. HAK POLITIK: “Biarkan kami turut berpartisipasi” 18. Hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan beragama atau kepercayaan 19. Hak untuk bebas menyatakan pendapat, informasi dan ekspresi 20. Hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai 21. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan pemilihan umum serta hak atas pelayanan umum 4. HAK EKONOMI: “Beri kami mata pencaharian” 22. Hak atas jaminan sosial 23. Hak atas pekerjaan, pemilihan pekerjaan, syarat-syarat kerja, perlindungan dari pengangguran, upah yang adil dan layak, serta pendirian dan keanggotaan serikat pekerja 24. Hak atas istirahat dan hiburan 25. Hak atas standar hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian perumahan, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang perlu, hak atas jaminan saat menganggur, sakit, menyandang ketunaan, menjadi janda, lanjut usia, atau kekurangan penghasilan, hak ibu dan anak mendapatkan perawatan dan bantuan khusus 26. Hak mendapatkan pendidikan, orang tua memiliki hak pertama untuk memilih jenis pendidikan untuk anaknya 27. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat setempat, menikmati seni serta mengenyam kemajuandan manfaat ilmu pengetahuan (pasal hak budaya)



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



42 5. Kewajiban Negara (yang menjadi payung dari semua pasal): “Kita membutuhkan satu atap untuk membuat semuanya bersatu” 1. Hak atas keterlibatan dan tatanan sosial dan internasional yang menjamin hak dan kebebasan dalam deklarasi ini 2. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat setempat yang memungkinkan ia untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas dan penuh 3. Hak untuk bebas dari keterlibatan negara, kelompok, atau seseorang yang dapat merusak hak dan kebebasan dalam deklarasi ini RATIFIKASI KONVENAN HAK EKOSOB MELALUI UU No.11 tahun 2005 Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya atau yang sering disebut ekosob telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan KIHESB (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). KIHESB menjadi undang-undang, diatur kewajiban negara untuk mengakui, mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan) hakhak ekosob sesuai Undang-Undang 11 Tahun 2005 (Pattiradjawane, 2014) sesuai pada tabel berikut: No 1 2 3



Pasal Pasal 1 ayat (2) Pasal 6 Pasal 7



4



Pasal 8



5 6



Pasal 9 Pasal 10



7



Pasal 11 jo.pasal 12 Pasal 13 Pasal 14



8 9



Hak Ekosob Hak atas lingkungan hidup Hak atas pekerjaan Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan Hak untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat buruh Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak dan orang muda Hak atas standar kehidupan yang memadai (hak atas kesehatan dan hak atas perumahan) Hak atas pendidikan Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya



Tabel 2: Hak-Hak Ekosob Menurut UU No. 11 Tahun 2005



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



43 RATIFIKASI KONVENAN HAK SIPOL MELALUI UU No. 12 Tahun 2005 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau sering disebut dengan sipol telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik). Hak-hak yang diakui, dihormati, dilindungi dan harus dipenuhi dalam KIHSP (Pattiradjawane, 2014), yaitu: No Pasal 1 Pasal 6 2



Pasal 7



3



Pasal 8



4



Pasal 9



5



Pasal 10



6



Pasal 11



7



Pasal 12



8



Pasal 13



9



Pasal 14



10



Pasal 15



11



Pasal 16



12



Pasal 17



13



Pasal 18



Hak Sipol Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun) Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa) Hak untuk tidak diperbudak (larangan segala bentuk perbudakan, perdagangan orang dan kerja paksa) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana) Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi) Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual (utang atau perjanjian lainnya) Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negeranya sendiri) Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang menyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional) Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalahannya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama) Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (Jika keluar ketentuan hukum sebelum pidana, si pelaku harus mendapatkan keringanan) Hak sebagai subjek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan) Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasian, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat menyurat atau komunikasi pribadi) Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



44 14



15 16 17 18 19



20 21 22



Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lain) Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan) Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan atau keramaian) Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh) Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak) Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kelahiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa diskriminasi) Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih) Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa diskriminasi) Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus) Tabel 3: Hak-Hak Sipol Menurut UU N0. 12 Tahun 2005



KEWAJIBAN DALAM HAM Kewajiban dalam kerangka Hak Asasi Manusia hanya menekankan pada peran negara, pemerintah, hukum dan aparat penegak hukum. Karena merekalah yang memiliki kewajiban dalam Hak Asasi Manusia. International Law Commission menetapkan kewajiban negara terkait Hak Asasi Manusia yaitu: • Mempromosikan (to promote) • Menghormati (to respect) • Melindungi (to protect) • Memenuhi (to fulfill) • Memfasilitasi (to facilitate) • Menyediakan (to provide).



Selain kewajiban di atas, negara juga berkewajiban untuk menyampaikan laporan kepada Sekretariat Jenderal PBB mengenai pelaksanaan Hak Asasi Manusia.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



45 HAK-HAK YANG TIDAK BISA DITANGGUHKAN (NON-DEROGABLE RIGHTS) Hak-Hak yang tidak dapat ditangguhkan (non-derogable rights) adalah hak-hak yang tidak dapat dikurangi jaminannya oleh negara, bahkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa (Pattiradjawane, 2014). Hak-hak tersebut adalah: • Hak untuk hidup terbebas dari penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia serta dari percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuan • Kebebasan dari perbudakan atau perbudakan paksa • Hak untuk tidak dipenjara karena hutang kontijensi • Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang lebih berat berdasarkan undang-undang pidana retroaktif • Hak untuk mendapatkan pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum • Kebebasan berpikir, berkepercayaan dan berkeyakinan Seluruh hak yang tersebut di atas tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun bahkan untuk tujuan melestarikan kehidupan bangsa. Negara sebagai pihak yang terlibat dalam kovenan berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut bagi setiap orang dalam bentuk mengambil langkah-langkah untuk melakukan pemulihan bila terjadi pelanggaran dan melakukan pencegahan agar khusus kepada publik dalam situasi darurat untuk memastikan pihak resmi maupun pihak tidak resmi tidak melakukan praktek pembunuhan sewenang-wenang dan penghilangan paksa. Negara harus memastikan memberikan perlindungan bagi tahanan dari praktek penyiksaan serta hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan tidak terjadinya penghukuman berdasarkan undang-undang yang bersifat retroaktif. Pengadilan harus bisa menjaga yuridiksinya, bahkan dalam situasi darurat publik, untuk mengadili setiap keluhan tentang pelanggaran terhadap hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan ini. HAK ASASI KOLEKTIF LGBTI DI INDONESIA Hak asasi kolektif adalah hak-hak yang diakui sebagai Hak Asasi Manusia secara universal, yang dimiliki secara bersama-sama oleh individu-individu di dalam kelompok (Purba, 2017). Purba melanjutkan bahwa ada 3 persyaratan untuk memenuhi definisi hak kolektif: • Persyaratan 1: Hak kolektif lahir karena adanya suatu aspek kepentingan orang-orang tertentu yang dapat menimbulkan kewajiban bagi pihak lain.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



46 • Persyaratan 2: Kepentingan tersebut adalah kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok terhadap suatu komoditas/pelayanan publik tertentu, karena komoditas/pelayanan publik tersebut bermanfaat bagi mereka sebagai sebuah kelompok; • Persyaratan 3: Kepentingan atas komoditas/pelayanan publik tersebut tidak dapat menimbulkan kewajiban bagi orang lain, apabila si pemilik kepentingan tersebut memperjuangkannya sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk diskriminasi atas dasar SOGIESC adalah sebuah hak kolektif kelompok LGBTI yang harus diperjuangkan bersama-sama sebagai sebuah kolektif agar dapat menimbulkan kewajiban bagi pihak pemerintah untuk memenuhinya. Bentuk- bentuk hak kolektif LGBTI 1. Hak untuk bebas berekspresi (penampilan fisik, pakaian) 2. Layanan transisi medis 3. Hak atas identitas (foto, nama, jenis kelamin) Aturan atau kebijakan yang spesifik menjadi tantangan bagi kelompok LGBTI 1. Identitas & UU Administrasi kependudukan 2. Perda ketertiban umum (tibum) 3. Peraturan Menteri tentang PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) 4. Undang-undang pornografi 5. KUHP RKUHP Hal yang diatur pada KUHP saat ini terkait LGBTI 1. Hubungan seksual dengan anak di bawah 18 tahun 2. Zina di bawah ikatan perkawinan 3. Perdagangan manusia mucikari



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



47 PRINSIP-PRINSIP YOGYAKARTA Prinsip-Prinsip Yogyakarta adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender (Asmini, 2015). Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan, dimana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta terpenuhinya hak berharga yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan. Pelanggaran HAM terhadap seseorang, dikarenakan oleh persepsi atau orientasi seksual mereka, telah mengakibatkan kekhawatiran yang serius secara global. Bentuk pelanggaran HAM tersebut mencakup eksekusi di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan buruk, penyerangan seksual dan pemerkosaan, pelanggaran privasi, penahanan sewenang-wenang, penolakan dalam kesempatan bekerja dan mendapatkan pendidikan serta diskriminasi dalam hal mempergunakan hak asasi mereka. Mekanisme HAM PBB telah menegaskan kewajiban negara dalam memastikan tersedianya perlindungan dari diskriminasi yang disebabkan oleh orientasi seksual atau identitas gender bagi setiap orang. Sayangnya, respon internasional telah terfragmentasi dan tidak konsisten sehingga diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai undang-undang HAM dan aplikasinya terkait dengan isuisu orientasi seksual dan identitas gender. Inilah yang dilakukan oleh Prinsip-Prinsip Yogyakarta. Prinsip-Prinsip Yogyakarta disusun dan secara sepakat diadopsi oleh sekelompok ahli HAM, dari berbagai wilayah dan latar belakang, termasuk hakim, akademisi, mantan komisioner tinggi PBB untuk HAM, Prosedur khusus PBB, Anggota lembaga perjanjian, LSM dan lain-lain. Pembuat laporan dalam proses tersebut, profesor Michael O’Flaherty, telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembuatan draf dan revisi Prinsip-Prinsip Yogyakarta. Satu acara kunci dalam penyusunan prinsip-prinsip tersebut adalah seminar internasional yang dihadiri berbagai ahli hukum dan diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 6-9 November 2006. Seminar ini menjelaskan dasar, cakupan dan implementasi kewajiban Negara atas HAM terkait dengan isu orientasi seksual dan identitas gender di bawah perjanjian dan undang-undang HAM. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyingkap besarnya kisaran standar HAM dan aplikasinya dalam isu orientasi seksual atau identitas gender. Hal ini mencakup Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



48 eksekusi di luar hukum, kekerasan dan penyiksaan, akses pada keadilan, privasi, non diskriminasi, hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, mendapatkan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, imigrasi dan isu pengungsian, partisipasi publik dan berbagai macam hak lainnya. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menegaskan kewajiban utama negara untuk mengimplementasikan HAM. Setiap prinsip dilengkapi dengan rekomendasi terperinci bagi negara. Prinsip-prinsip ini juga menekankan bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab untuk mengajukan dan melindungi HAM. Karena itu disusun juga rekomendasi tambahan bagi sistem HAM PBB, Lembaga HAM nasional, media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lain-lain. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyingkap masalah standar internasional HAM dan aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual dan identitas gender. Tinjauan ini memberikan garis besar secara singkat mengenai prinsip-prinsip tersebut, serta beberapa contoh aplikasinya. Ada 29 • • • • • • • • • • • • • • • •



Prinsip-Prinsip Yogyakarta, yaitu: Prinsip 1: Hak atas penikmatan HAM secara universal Prinsip 2: Hak atas kesetaraan dan non diskriminasi Prinsip 3: Hak atas pengakuan di mata Hukum Prinsip 4: Hak untuk hidup Prinsip 5: Hak atas keamanan seseorang Prinsip 6: Hak atas privasi Prinsip 7: Hak atas kebebasan dari kesewenang-wenangan terhadap perampasan kebebasan Prinsip 8: Hak atas pengadilan yang adil Prinsip 9: Hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi selama dalam tahanan Prinsip 10: Hak atas kebebasan dari siksaan dan kekejaman, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan Prinsip 11: Hak atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi, penjualan dan perdagangan manusia Prinsip 12: Hak untuk bekerja Prinsip 13: Hak atas keamanan sosial dan tindakan perlindungan sosial lainnya Prinsip 14: Hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak Prinsip 15: Hak atas perumahan yang layak Prinsip 16: Hak atas pendidikan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



49 • • • • • • • • • • • • •



Prinsup 17: Hak atas pencapaian tertinggi Prinsip 18: Hak atas perlindungan dari kekerasan medis Prinsip 19: Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi Prinsip 20: Hak atas kebebasan berkumpul dan berasosiasi dengan damai Prinsip 21: Hak atas kebebasan berpikir, memiliki kesadaran dan agama Prinsip 22: Hak atas kebebasan untuk berpindah Prinsip 23: Hak untuk mencari perlindungan Prinsip 24: Hak untuk membangun keluarga Prinsip 25: Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik Prinsip 26: Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya Prinsip 27: Hak untuk memajukan HAM Prinsip 28: Hak atas pemulihan dan ganti rugi yang efektif Prinsip 29: Akuntabilitas



PERKEMBANGAN HAK-HAK LGBTI DI PBB DAN DI INDONESIA Istilah yang digunakan PBB untuk membahas keragaman SOGIESC adalah SOGI. Perbedaan ini terjadi karena ketika PBB menentukan sikap dukungannya pada tahun 2011, pembahasan yang terjadi belum mencakup pembahasan tentang ekspresi gender dan sex characteristics. Pada tahun 2011, Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council/UNHRC) mengadopsi resolusi SOGI & HAM (HRC/RES/17/19) yang menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Sejak resolusi tersebut disahkan, terjadi banyak perubahan di ranah hukum internasional khususnya di PBB. Pada UPR tahun 2012, pemerintah Indonesia mendapat beberapa rekomendasi terkait pemenuhan hak-hak kelompok minoritas LGBTI di Indonesia, namun semua rekomendasi tersebut ditolak. Pada ICCPR review tahun 2013, pemerintah Indonesia juga mendapat banyak pertanyaan terkait keberadaan instrumen negara yang melindungi kelompok LGBTI di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dijawab dengan keberadaan pasal anti diskriminasi pada UUD 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, walaupun semua pihak tahu bahwa kedua kebijakan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan anti diskriminasi terhadap kelompok LGBTI maupun anti diskriminasi berbasis SOGI. Oleh karena itu, masih sangat dibutuhkan komitmen tertulis dari negara agar pemenuhan, dan perlindungan hak-hak LGBTI bisa dijadikan prioritas. Pada bulan September 2014, UNHRC menyepakati perbaharuan resolusi tersebut (A/ HRC/27/L.27/Rev.1) dan menekankan semua pihak untuk terus memerangi keModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



50 kerasan dan diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Indonesia yang saat itu masuk dalam Dewan HAM PBB berada di barisan 14 negara yang menolak resolusi tersebut. Untungnya ada 25 negara yang mendukung sehingga resolusi tersebut tetap diadopsi. Selain itu, pada tahun 2014, Indonesia juga menolak istilah SOGI dalam pertemuan regional persiapan Review Beijing+20 di Bangkok.



PELANGGARAN HUKUM, PELANGGARAN HAM, DAN PELANGGARAN HAM BERAT Banyak sekali kasus yang terjadi pada LGBTI di Indonesia baik dalam bentuk pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu penting untuk memahami perbedaan antara pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, dan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran Hukum/Tindak Pidana adalah pelanggaran yang dilakukan oleh individu dengan individu, kelompok dengan individu atau individu dengan kelompok yang bertentangan dengan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Hukum Pidana. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Undang-undang No. 39 Tahun 1999). Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun karena kelalaiannya (acts of omission). Maka dari itu, kunci dari pelanggaran HAM adalah, harus ada kewajiban negara yang tidak terpenuhi disitu. Yang bertanggungjawab adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya (Pamflet, 2017). Beberapa contoh kasus pelanggaran HAM pada LGBTI di Indonesia antara lain: Kasus penggerebekan Klub Atlantis Jakarta, Eksekusi di Aceh, penangkapan 2 lesbian di Aceh, Surat Edaran anti LGBTI di Aceh, pembubaran Porseni Waria di Soppeng Sulsel, Pembubaran Pelatihan di Hotel Grand Cemara Jakarta, Pembentukan Satgas Anti LGBTI di Jawa Barat, Pembatalan Acara diskusi di Semarang, Kasus Ayu di Sulawesi, Penutupan Paksa Ponpes Waria Yogya dan lain-lain.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



51 Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat meliputi dua bentuk, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid. Contoh Kasus Pelanggaran HAM Berat pada LGBTI di Indonesia adalah kasus Pembantaian Komunitas Bissu di Sulawesi Selatan. Dalam melihat pelanggaran hukum/pidana harus lebih jeli karena bisa berdampak pada pelanggaran HAM. Seperti contoh berikut:



Si A membunuh Si B. Karena kasus itu terjadi antara satu individu terhadap individu lainnya, tidak ada pelanggaran HAM disitu, karena tidak ada kewajiban negara yang dilalaikan. Insiden itu termasuk tindak pidana atau tindakan kriminal, bukan pelanggaran HAM. Prinsip yang sama juga berlaku untuk tindakan individu ke individu lainnya seperti perundungan, kekerasan seksual, hingga merokok di tempat umum.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



52 Bila kasus pembunuhan B yang kita bahas di atas tidak diusut oleh aparat negara seperti kepolisian dan pengadilan karena alasan apapun (entah mereka lalai, atau misalnya pelaku ternyata berteman dengan Kepala Polisi) barulah terjadi pelanggaran HAM. Kenapa? Karena ada kewajiban negara, yakni menyelesaikan kasus pidana, yang tidak dilakukan. Di sinilah negara melakukan pelanggaran HAM karena kelalaian, atau acts of omission.



PEMBELA HAM Pembela HAM adalah orang-orang, baik secara individu maupun berkelompok, yang melakukan aksi nyata untuk mempromosikan atau melindungi Hak Asasi Manusia (OHCHR, 1996). Tanggung jawab Pembela HAM yaitu: • Mendukung HAM untuk siapa saja • Mendukung HAM dimana saja • Melakukan aksi tingkat lokal, nasional, regional dan internasional • Mengumpulkan dan mendiseminasikan informasi pelanggaran HAM • Memberikan dukungan bagi korban pelanggaran HAM • Melakukan aksi untuk menjaga akuntabilitas dan mengakhiri kekebalan hukum • Mendukung tata kelola pemerintahan dan kebijakan pemerintah yang lebih baik • Berkontribusi pada pelaksanaan instrumen-instrumen HAM • Melakukan pendidikan dan pelatihan HAM Tantangan yang Dihadapi Pembela HAM (OHCHR, 1996) Tidak semua kerja-kerja pembela HAM menempatkan mereka dalam bahaya. Di beberapa negara, para pembela HAM umumnya dilindungi dengan baik. Namun, tingkat risiko dan keparahan tindakan pembalasan yang dilakukan terhadap para pembela HAM adalah salah satu alasan utama munculnya Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia dan pembentukan mandat Pelapor Khusus tentang Situasi Pembela Hak Asasi Manusia. Pelapor Khusus PBB telah menyatakan keprihatinannya terhadap situasi para pembela Hak Asasi Manusia di semua negara, termasuk di negara-negara yang demokrasinya yang baru muncul maupun di negara-negara dengan institusi, praktek dan tradisi demokrasi yang sudah lama terbentuk. Namun demikian, penekanan khusus diberikan pada negara-negara di mana: (a) terdapat konflik



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



53 bersenjata dalam negeri atau terdapat kerusuhan sipil yang parah; (b) perlindungan hukum dan institusional dan jaminan Hak Asasi Manusia tidak sepenuhnya dijamin atau bahkan tidak ada sama sekali. Banyak pembela Hak Asasi Manusia, di setiap wilayah di dunia, telah mengalami pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia mereka. Mereka menjadi sasaran eksekusi, penyiksaan, pemukulan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, ancaman pembunuhan, pelecehan dan pencemaran nama baik, serta mendapatkan pembatasan kebebasan bergerak, berekspresi, berasosiasi dan berkumpul. Tidak jarang pembela HAM menjadi korban dari tuduhan palsu dan persidangan yang tidak adil. Pelanggaran paling sering ditujukan kepada pembela HAM itu sendiri atau organisasi dan tempat mereka bekerja. Kadang-kadang, pelanggaran juga menargetkan anggota keluarga pembela HAM, sebagai sarana untuk memberikan tekanan kepada pembela HAM. Beberapa pembela HAM memiliki risiko yang lebih besar karena sifat hak-hak yang ingin mereka lindungi. Para perempuan pembela HAM kadang-kadang menghadapi risiko yang lebih besar, yang spesifik terkait gender mereka sehingga memerlukan perhatian khusus. Dalam banyak kasus, tindakan yang dilakukan terhadap pembela HAM merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan nasional. Namun beberapa negara memiliki undang-undang nasional yang bertentangan dengan hukum Hak Asasi Manusia internasional, yang digunakan untuk melawan para pembela HAM Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia Resolusi Majelis Umum PBB nomor A/RES/ 53/144 berbicara tentang Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia Pembuatan Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia dimulai pada tahun 1984 dan diakhiri dengan pengadopsian teks oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998, pada kesempatan peringatan 50 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Upaya kolektif oleh sejumlah organisasi non-pemerintah yang bekerja di isu Hak Asasi Manusia dan delegasi beberapa negara membantu memastikan bahwa hasil akhirnya adalah teks yang kuat, sangat berguna dan praktis. Mungkin yang paling penting, Deklarasi tersebut tidak hanya ditujukan untuk negara dan para pembela HAM, tetapi untuk semua orang. Ini mengingatkan kita bahwa kita semua memiliki peran sebagai pembela HAM dan menekankan bahwa ada gera-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



54 kan HAM yang melibatkan kita semua. Nama lengkap Deklarasi tersebut adalah “Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok, dan Organ Masyarakat untuk Mempromosikan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui Secara Universal” - atau dapat disingkat menjadi “Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia” . 1. Karakter Hukum Deklarasi itu sendiri bukanlah instrumen yang mengikat secara hukum. Namun, deklarasi ini berisi serangkaian prinsip dan hak yang didasarkan pada standar HAM yang diabadikan dalam instrumen internasional lainnya yang mengikat secara hukum - seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Selain itu, Deklarasi ini diadopsi oleh konsensus dalam Majelis Umum PBB dan oleh karena itu merupakan komitmen yang sangat kuat bagi negara untuk pelaksanaannya. Semakin banyak negara yang mempertimbangkan mengadopsi Deklarasi sebagai undang-undang nasional yang mengikat. 2. Ketentuan Deklarasi Deklarasi tersebut memberikan dukungan dan perlindungan bagi para pembela HAM dalam konteks kerja mereka. Deklarasi ini tidak menciptakan hak baru tetapi mengartikulasikan hak-hak yang ada dengan cara yang membuatnya lebih mudah untuk diterapkan pada peran praktis dan situasi pembela HAM. Deklarasi ini memberikan beberapa perhatian, misalnya, terkait akses pendanaan oleh organisasi pembela HAM dan pengumpulan dan pertukaran informasi tentang standar HAM dan pelanggarannya. Deklarasi tersebut menguraikan beberapa tugas khusus dari negara dan tanggung jawab semua orang yang berkaitan dengan pembelaan HAM, selain menjelaskan hubungannya dengan hukum nasional. Penting untuk ditegaskan kembali bahwa para pembela HAM memiliki kewajiban di bawah Deklarasi untuk melakukan kerja-kerjanya dengan cara yang damai (tidak menggunakan kekerasan). Sebagian besar ketentuan Deklarasi dirangkum dalam paragraf berikut: (A) Hak dan Perlindungan yang Diberikan Kepada Pembela HAM Pasal 1, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12 dan 13 dari Deklarasi memberikan perlindungan khusus untuk para pembela HAM, termasuk hak-hak: • Untuk mencari perlindungan dan implementasi HAM di tingkat nasional dan internasional;



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



55 • Untuk melakukan kerja-kerja pembelaan HAM secara individu maupun dengan orang lain; • Untuk membentuk asosiasi dan organisasi non-pemerintah; • Untuk mengadakan pertemuan atau berkumpul secara damai; • Untuk mencari, mendapatkan, menerima dan menyimpan informasi yang berkaitan dengan HAM; • Untuk mengembangkan dan mendiskusikan ide-ide dan prinsip-prinsip HAM yang baru dan untuk mengadvokasi penerimaan ide-ide dan prinsip-prinsip baru tersebut; • Untuk menyerahkan kritik dan usulan urusan publik kepada badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi-organisasi terkait dengan agar meningkatkan kinerja mereka, dan untuk menarik perhatian pada setiap aspek pekerjaan mereka yang dapat menghambat implementasi HAM; • Untuk membuat pengaduan tentang kebijakan resmi dan tindakan yang berkaitan dengan HAM dan meminta pengaduan semacam itu untuk ditinjau kembali; • Untuk menawarkan dan memberikan bantuan hukum yang berkualifikasi profesional atau nasihat dan bantuan lain dalam membela HAM; • Untuk menghadiri audiensi publik, persidangan dan pengadilan untuk menilai kepatuhan mereka terhadap hukum nasional dan kewajiban HAM internasional; • Untuk mendapatkan akses tanpa hambatan dalam berkomunikasi dengan organisasi non-pemerintah dan organisasi antar pemerintah; • Untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif; • Untuk mendapatkan pengakuan yang sah secara hukum atas praktek atau profesi pembelaan HAM; • Untuk mendapatkan perlindungan yang efektif di bawah hukum nasional ketika bereaksi melawan atau menentang, melalui cara-cara damai, tindakan atau kelalaian yang disebabkan negara yang mengakibatkan pelanggaran HAM; • Untuk meminta, menerima, dan memanfaatkan sumber daya untuk tujuan melindungi HAM (termasuk menerima pendanaan dari luar negeri). (B) Tugas Negara Negara memiliki tanggung jawab untuk menerapkan dan menghormati semua ketentuan dalam deklarasi ini. Namun, pasal 2, 9, 12, 14 dan 15 memberikan acuan khusus tentang peran negara dan menunjukkan bahwa setiap negara memili-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



56 ki tanggung jawab dan tugas berikut: • Untuk melindungi, mempromosikan, dan menerapkan semua HAM; • Untuk memastikan bahwa semua orang di bawah yurisdiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial, ekonomi, politik dan hak serta kebebasan lainnya; • Untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif, administratif dan lainnya yang mungkin diperlukan untuk memastikan pelaksanaan yang efektif dari hak dan kebebasan; • Untuk memberikan ganti rugi yang efektif bagi orang-orang yang mengklaim telah menjadi korban pelanggaran HAM; • Untuk melakukan investigasi yang cepat dan tidak memihak terhadap dugaan pelanggaran HAM; • Untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan perlindungan semua orang terhadap setiap kekerasan, ancaman, pembalasan, diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari pelaksanaan haknya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini; • Untuk meningkatkan pemahaman publik tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya; • Untuk memastikan dan mendukung pembentukan dan pengembangan lembaga nasional independen untuk promosi dan perlindungan HAM, seperti Ombudsman atau Komisi HAM; • Untuk mempromosikan dan memfasilitasi pengajaran HAM di semua tingkat pendidikan formal dan pelatihan profesional. (C) Tanggung Jawab Semua Orang Deklarasi ini menekankan bahwa setiap orang memiliki tugas terhadap dan di dalam komunitas, dan mendorong kita semua untuk menjadi pembela HAM. Pasal 10, 11 dan 18 menguraikan tanggung jawab semua orang untuk mempromosikan HAM, untuk melindungi demokrasi dan institusi-institusinya dan tidak melanggar HAM orang lain. Pasal 11 memberikan acuan khusus tentang tanggung jawab orang-orang yang menjalankan profesi yang dapat mempengaruhi HAM orang lain. Pasal ini sangat relevan untuk petugas polisi, pengacara, hakim, dan lain-lain. (D) Peran Hukum Nasional Pasal 3 dan 4 menguraikan hubungan Deklarasi ini dengan hukum nasional dan internasional dengan maksud untuk memastikan penerapan standar hukum tertinggi Hak Asasi Manusia.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



57



8. KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS HIDUP LGBTI



KONSEP DIRI



P



enerimaan diri seseorang sangat bergantung pada bagaimana seseorang membangun konsep dirinya. Konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya yang mempengaruhi hubungan dengan orang lain (Gail and Sandra, 1995). Konsep diri seseorang tidak terbentuk waktu lahir, tetapi merupakan sebuah proses pembelajaran seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan realitas dunianya. Konsep diri akan masuk ke pikiran bawah sadar dan akan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran seseorang pada suatu waktu. Semakin baik atau positif konsep diri seseorang maka akan semakin mudah pula ia memiliki kualitas hidup yang baik. Dengan konsep diri yang baik/positif, seseorang akan bersikap optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses dan berani pula gagal, penuh percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, serta bersikap dan berpikir secara positif. Sebaliknya, semakin jelek atau negatif konsep diri seseorang, maka akan semakin sulit orang tersebut untuk berhasil, sebab konsep diri yang jelek/negatif akan mengakibatkan tumbuhnya rasa tidak percaya diri, takut gagal sehingga tidak berani mencoba hal-hal yang baru dan menantang, merasa bodoh, merasa rendah diri, merasa diri tidak berguna, pesimis, serta berbagai perasaan dan perilaku inferior lainnya. Patriarki, melalui tiga alat penindasan yang dipromosikan melalui negara, agama, dan budaya kepada masyarakat dan keluarga untuk mempengaruhi atau membentuk konsep diri Individu LGBTI (lihat gambar 1 berikut).



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



58



Gambar 1: Pengaruh Patriarki Pada Konsep Diri Individu LGBTI



Memahami konsep diri sebagai sesuatu yang privat dan individual (inner self) dapat menjadi sesuatu yang universal, tetapi ada aspek konsep yang lain, yang spesifik dalam fakta-fakta budaya. Diri dapat dibentuk dan dikonsep melalui berbagai sumber seperti budaya dan ilmu pengetahuan. Karena itu, konsep diri adalah produk sosial (public self). Struktur inner self barangkali akan berbeda dalam budaya yang berbeda. Selanjutnya public self didapatkan dari relasi masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, ilmu pengetahuan dan institusi sosial (agama, adat dan negara) yang memberikan aturan dan norma dalam budaya. Sementara itu, budaya kita sangat kental dengan sistem patriarki. Sistem ini membuat maskulinitas sangat berpengaruh pada ilmu pengetahuan dan budaya atau biasa disebut dengan Phallogocentrism (Derrida, 1981). Maskulinitas menjadi privilege sehingga memiliki kontrol terhadap yang lain. Dari situ berkembang persepsi bahwa laki-laki memiliki kemampuan logika dan fisik yang tinggi serta agresif sementara perempuan perasa, pasif dan penurut. Persepsi ini memunculkan stratifikasi dimana lelaki, karena persepsi logis dan agresif, diberikan strata paling atas sehingga berkuasa atas lainnya. Persepsi inilah yang berkembang menjadi stereotip biner yang mengotak-kotakkan lelaki dan perempuan. Stereotip ini kemudian dilekatkan dalam konsep diri lalu membentuk konsensus dalam pembentukan konsep diri. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri adalah social desirability, yaitu kecenderungan subjek untuk menghubungkan sifat atau karakteristik mereka dengan konsensus yang menginModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



59 dikasikan sifat-sifat yang diinginkan masyarakat (Burns, 1978). Dengan adanya faktor social desirability ini, semakin jelas bahwa nilai-nilai gender yang dikonstruksi masyarakat mempengaruhi konsep diri, baik laki-laki maupun perempuan (Sutaryo, 2008). Pengaplingan dan pemisahan karakteristik merupakan salah satu bentuk aplikasi kekuasaan seseorang atau sekelompok orang terhadap lainnya. Intervensi kekuasaan ini kemudian dilanggengkan dengan disiplin tubuh. Pada abad ke-17 dan 18, disiplin tubuh adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktek disiplin tubuh diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya. Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hierarkis atau kemampuan instrumen untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Panopticon yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pembentukan konsep diri orang-orang LGBTI. Konsensus masyarakat terkait stereotip gender yang biner membuat orang-orang LGBTI terasingkan. Teori penjara panopticon yang diungkapkan Foucault di atas membuat mereka bermasalah dengan konsep dirinya. Konsep ideal yang dibuat oleh masyarakat menjadi jauh dengan kenyataan dirinya. Kesenjangan antara konsep ideal dengan kenyataan dirinya ini membuat mereka merasa takut karena menjadi berbeda di masyarakat. Perasaan berbeda dan menyimpang ini membuat banyak individu-individu LGBTI mempunyai konsep diri yang negatif. Tetapi ilmu pengetahuan terus berkembang, teori-teori yang menegaskan keberagaman gender dan seksualitas mulai menegasikan stereotip-stereotip terkait gender yang sudah terlanjur meracuni urat nadi kita. Dengan mempelajari teori-teori SOGIESC, kita bisa memulai mencoba memperbaiki konsep diri kita dan mendukung penerimaan diri kita.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



60 PENERIMAAN DIRI (COMING IN)



P



enerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak mempunyai masalah dengan diri sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan (Hurlock, 1973). Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Tahapan penerimaan diri terjadi dalam 7 fase, antara lain: 1. Penyangkalan (Denial) Tidak bisa dipungkiri bahwa kita memang lahir dan tumbuh dalam budaya yang komunal dan seragam, sehingga menjadi berbeda adalah sebuah masalah. Kita pasti langsung dihadapkan pada penolakan, kebencian dan eksklusi dari kelompok masyarakat. Saat kita remaja, perasaan seperti “Hati saya berdebar ketika melihat cowok itu, sementara teman-teman saya yang lain sibuk mengejar cewek kelas sebelah” atau “Saya ini lelaki, tapi orang tua saya selalu keukeuh memakaikan saya rok dan gaun” menjadi sangat tidak menyenangkan. Reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan adalah menyangkal (denial). Respon yang dilakukan dalam proses ini biasanya ada dua: Melawan (fight) yaitu dengan berusaha keras melawan perasaannya sendiri dengan mengatakan “Saya yakin saya tidak berbeda, kalau teman-teman saya bisa memacari perempuan, saya pasti juga bisa” atau menyembunyikan (hide) yaitu dengan berusaha keras menekan perasaannya seolah dia tidak mengalami atau merasakan itu.



2. Kemarahan (Anger) Pada fase ini, perasaan yang direpresi atau ditekan akan datang semakin kuat, sehingga yang muncul adalah kemarahan. Dalam kemarahan ini kita akan cenderung menginternalisasikan stigma yang berkembang di masyarakat. “Saya menyimpang” atau “Saya berdosa”, kata-kata itu mulai terngiangngiang dalam benak setiap hari. Sehingga, dalam fase ini kita biasanya akan mulai mencari sesuatu untuk disalahkan atas permasalahan ini. Mulai dari menyalahkan pola didik orang tua, pengalaman masa kecil, lingkungan, bahkan Tuhan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



61 3. Keingintahuan (Curiosity) Ada masanya dimana kita mengalami rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang kita hadapi sehingga kita ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut. Mulai mencari buku dan artikel, atau mulai mencari di mesin pencari google dengan keyword “gay” atau “lesbian” atau “homoseksual” atau transgender”. Kita ingin mencari validasi diri walau masih cemas dan galau menyimpulkan hasilnya dan takut ketahuan orang lain. 4. Menawar (Bargaining) Pada fase ini, riset kecil sudah kita lakukan, banyak informasi yang sudah kita baca, walau tak jarang kita jatuh ke website porno dan ayat-ayat agama yang bikin kita tambah galau di browser yang bersebelahan. Kita mengerti diri kita, tapi stigma sosial terlalu kuat, sehingga kita membuat penawaran terhadap diri kita atas nama sosial. Kita cenderung melakukan perbuatan “baik” menurut sosial, seperti menjadi rajin beribadah, rajin beramal, menjadi berprestasi untuk membayar “dosa” kita pada sosial. 5. Toleransi (Tolerance) Fase ini bisa terjadi berbarengan dengan fase menawar, karena diakui atau tidak, kita mulai haus untuk mengaktualisasikan ini dalam berbagai bentuk, seperti penampilan dan afeksi. Lalu kita mulai download aplikasi kencan, membuat akun pseudo di media sosial demi mengekspresikan perasaan ini sambil dalam hati berkata “Tenang, ini hanya sementara, nanti pada waktunya aku akan menjadi normal lagi” 6. Membiarkan Begitu Saja (Allowing) Bisa dibilang masa ini adalah masa transisi. Kita mulai nyaman dengan perasaan ini, meskipun masih galau tapi kita berusaha mengikis perasaan takut ini pelan-pelan. Mulai bertemu dengan teman-teman dengan latar belakang yang sama, mulai membicarakan ini kepada mereka, mulai cari pacar dan lain-lain. Intinya mulai membiarkan ini mengalir begitu saja. 7. Persahabatan (Friendship) Seiring dengan berjalannya waktu, kita akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Ternyata ini diriku sendiri dan aku sangat nyaman men-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



62 jadi seperti ini. Di masa ini kita mulai bersahabat dengan kita sendiri. Tidak ada yang salah menjadi berbeda, perasaan takut sudah berganti jadi perasaan syukur atas proses perjalanan kita yang lalu-lalu sehingga sekarang kita telah menemukan diri kita sendiri. Proses-proses tersebut merupakan teori yang diterjemahkan dalam pengalaman individu LGBTI di Indonesia, namun kita tidak lantas membuat ini menjadi panduan. Sebagai individu tentunya wajar bagi kita untuk mempunyai proses yang berbeda-beda. Kebanyakan individu LGBTI justru hanya berhenti di fase toleransi, karena tekanan sosial yang sangat kuat dan makin masif dilakukan. Penerimaan diri sangatlah berkaitan dalam pembentukan harga diri. Harga diri penting karena seseorang perlu merasa baik tentang dirinya, dan ini mempengaruhi kesehatan mental dan perilakunya. Orang dengan harga diri yang baik mengenal dirinya sendiri dengan baik, biasanya mereka realistis dan menemukan teman-teman atau orang yang suka dan menghargai mereka apa adanya. Orang dengan harga diri yang baik dapat memiliki kendali atas kehidupan mereka, juga mengenal kekuatan dan kelemahan mereka dengan baik.



Beberapa tips terkait penerimaan diri : 1. Kamu tidak sendiri. Cari Support system (untuk support system: minimalkan bullying) 2. Cari informasi yang tepat. Berbagai organisasi LGBTI menyediakan berbagai informasi yang mungkin sedang kamu cari. 3. Berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain 4. Tidak perlu ragu



MELELA (COMING OUT)



C



oming out adalah proses menunjukan diri, memberitahu tentang SOGIESC kita kepada orang lain. misalnya teman dekat, rekan kerja, pasangan, orang tua. Merujuk pada makna tersebut kata ‘melela’ dapat digunakan sebagai padanan kata coming out dalam bahasa Indonesia. Kata ‘melela’ sempat digunakan penulis Pramoedya Ananta Toer di dalam novelnya berjudul Bukan Pasar Malam yang terbit pada 1951. Kata ‘melela’ bermakna ‘menunjukkan diri dengan cara yang elok’



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



63 Melela dapat menjadi proses yang kompleks dan kerap melibatkan perasaan bingung, takut, rasa bersalah, malu, gembira, hingga lega. Kegiatan ini tidak ada rumus bakunya. Hanya individu terkait yang tahu cara dan waktu yang tepat untuk membuka diri kepada orang-orang di sekitarnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses melela ini: 1. Personal dan individual Melela bersifat personal dan individual. Kita percaya bahwa setiap individu memiliki proses yang berbeda-beda, termasuk proses melela. 2. Pahami Risiko Sebelum melela, kita perlu meahami betul risiko-risiko yang kemungkinan akan terjadi. Tidak disarankan untuk melela karena alasan yang impulsif atau ikut-ikutan. 3. Pilihan (jangan outing, jangan memaksa) Karena sifatnya sangat individual, melela jadi sebuah murni pilihan personal individu, bukan intervensi dari luar. Kita harus menghargai pilihan seseorang untuk melela atau tidak. Bila individu memutuskan untuk tidak melela, kita tidak boleh memaksa. 4. Ruang aman dan nyaman Ruang aman dan nyaman sangat berpengaruh dalam proses melela. Ketersediaan ruang aman mendukung proses melela. Masukkan pertimbangan ini ketika kita memutuskan untuk melela. 5. Coming in dan coming out bukan satu paket Banyak dari kita yang berpikir bahwa ketika sudah bisa menerima diri harusnya bisa langsung melela. Tapi yang perlu dipahami adalah, ini bukan satu paket. Kalau kita sudah nyaman dengan diri kita, tapi tidak merasa perlu untuk memberitahukannya kepada orang lain, itu sah-sah saja. 6. Coming out ≠ all out Banyak orang yang membuat tulisan atau video melela mereka lalu mengunggahnya di media sosial. Kita tidak harus ikut-ikutan mereka. Melela tidak berarti seluruh dunia harus tahu orientasi seksual atau identitas gender



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



64 kita. Kalau kita memilih untuk melela hanya terhadap teman-teman dekat kita saja, itu tidak apa apa. Kembali lagi, melela sangat personal dan individual. Jadi ini terserah kita. Kita yang memutuskan.



Kamu bisa melela kepada orang-orang berikut: • Komunitas LGBTI • Pendukung komunitas LGBTI dan sudah memahami isu-isu LGBTI • Orang yang menghargaimu dan segala pilihan hidup yang kamu pilih • Orang yang mendengarkanmu tanpa menghakimi maupun memberikan tekanan tentang keputusan yang kamu ambil • Orang yang akan menghargai privasimu dan tidak menyebarluaskannya pada orang lain • Orang yang mungkin mengetahui dimana kamu bisa mendapatkan informasi lebih banyak Penting untuk merasa aman ketika kamu membuka identitasmu pada orang lain. Hal ini menyangkut rasa aman dari bullying maupun kekerasan seksual. Melela mungkin lebih sulit dilakukan pada orang lain ketika kondisimu masih bergantung pada mereka dalam hal dukungan finansial maupun lainnya, misalnya orang tua atau pasangan. Beberapa pertanyaan ini dapat membantumu untuk mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melela: • Apakah kamu merasa aman untuk melela pada mereka? Jika tidak, dukungan apa yang kamu butuhkan agar kamu merasa aman? • Apakah kamu didukung oleh orang lain yang dihormati atau didengarkan pendapatnya oleh orang tuamu? • Jika kamu mengetahui orang tua lain yang mendukung anaknya yang LGBTI, apakah keluargamu mau berbicara dengan mereka? • Apakah kamu memiliki tempat lain untuk berlindung jika respon keluargamu tidak seperti yang kamu harapkan? • Jika keluarga, pasangan, atau teman dekatmu adalah orang yang religius, berikan informasi tentang perspektif tokoh agama yang memahami isu LGBTI Dalam beberapa situasi, mungkin orang-orang tidak memahami dampaknya ketika mereka membuka identitasmu tanpa izin. Hal ini dapat membuatmu semakin rentan terhadap stigma dan diskriminasi. Jika hal ini dilakukan oleh badan pe-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



65 merintah, organisasi, lembaga pendidikan, atau perusahaan, kamu bisa meminta mereka untuk menunjukkan kebijakan privasi yang mereka buat. Hak atas privasi dan kebebasan dari diskriminasi diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.



CITRA TUBUH



S



etiap individu pasti memiliki gambaran tentang tubuhnya, yang diikuti dengan perasaan, pikiran, dan penilaian tertentu terhadap tubuhnya sendiri. Gambaran tersebut dikenal dengan istilah citra tubuh. Meskipun bersifat sangat personal, citra tubuh sebetulnya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor di luar diri seseorang. Dalam bab-bab sebelumnya kita telah mempelajari bahwa masyarakat memiliki standar-standar tertentu tentang manusia, termasuk di antaranya tentang gambaran tubuh ideal. Standar tersebut dijaga dan dipelihara dengan baik, lalu dimunculkan terus-terusan dalam kehidupan kita sehingga manjadi sesuatu yang kita yakini sebagai kebenaran.



Dimana kita dapat menemukan standar tubuh ideal masyarakat? Pertama, dan yang utama, di media dan budaya pop. Saat mendengarkan radio, membaca majalah atau koran, menonton televisi dan film, lengkap dengan segala iklan di dalamnya, kita akan terus menerus disajikan gambaran tubuh perempuan yang langsing, tinggi, berambut panjang dan berkulit putih. Atau laki-laki dengan perut six pack, berjambang, berkumis dan tinggi. Bentuk tubuh yang terus dimunculkan itu kemudian kita yakini sebagai bentuk tubuh yang ideal dan sempurna. Kalaupun kita menemukan bentuk tubuh lain di media, misalnya laki-laki yang gemuk berkulit cokelat, kita akan cenderung mendapati mereka sebagai sosok yang dianggap jelek, bodoh, tidak laku dan sebagainya. Kedua, standar tubuh ideal masyarakat juga muncul dalam literatur akademik yang digunakan sebagai pegangan ilmu pengetahuan. Misalnya, tentang tonjolan kelamin sebagai penentu sex characteristics seseorang Dan ketiga, standar tubuh ideal itu jelas muncul dalam interaksi sosial antar manusia. Siapa sih yang belum pernah mendapat komentar atau pertanyaan dari orang lain terkait tubuhnya? Teman di sekolah bilang kita gendut. Orang tua melarang anak laki-lakinya memanjangkan rambut. Anak yang bermata buta di-bully di sekolah dan dikatai cacat dan seterusnya. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



66



Standar masyarakat tentang tubuh ideal dan sempurna benar-benar memenuhi hidup kita. Akibatnya, kita mulai membandingkan tubuh kita dengan standar tubuh ideal itu. Kita juga mulai percaya bahwa tubuh kita jelek, sakit dan tidak sempurna. Proses membandingkan tubuh kita dengan standar masyarakat menyebabkan kita merasa tidak percaya diri dan bahkan membenci tubuh atau bagian tubuh tertentu milik kita. Rasa tidak suka atau benci terhadap tubuh sendiri kemudian disebut citra tubuh negatif. Citra tubuh negatif akan semakin parah ketika seseorang tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang bagaimana tubuh berkembang, khususnya di masa pubertas. Contohnya adalah seorang anak perempuan merasa buruk karena belum mendapatkan mesntruasi ketika teman-temannya sudah, atau seorang transgender laki-laki remaja merasa tidak sempurna karena mendapat menstruasi dan payudaranya tumbuh. Rasa buruk itu kemudian mengakibatkan hal-hal yang lebih fatal lagi, misalnya, banyak orang yang melakukan diet habis-habisan demi mendapatkan tubuh yang langsing, tanpa mempertimbangkan kebutuhan gizinya. Atau, banyak juga orang yang membayar sangat mahal untuk perawatan kulit, suntik silikon dan vitamin, lagi-lagi tanpa mempertimbangkan efek samping bagi tubuhnya. Berikutnya, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak berani melaporkan kekerasan yang dialaminya karena terlanjur merasa bahwa kekerasan tersebut diakibatkan oleh tubuhnya. Pertanyaannya kemudian, salahkah jika kita memiliki citra tubuh yang mirip dengan gambaran tubuh ideal masyarakat? Tentu tidak. Selama citra tubuh itu murni datang dari dirimu sendiri, tak ada yang salah dengannya. Kesetiaan dan ketelatenan untuk selalu mengecek dan mempertanyakan citra tubuh kita adalah kunci penerimaan diri terkait ketubuhan. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengecek adalah saat kita merasa tubuh kita buruk atau tidak sempurna, pertanyakan kenapa dan dari mana rasa buruk itu muncul. Apakah ini benar-benar tentang tubuh kita atau tentang bagaimana masyarakat memandang, menilai, dan menghakimi tubuh kita?



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



67 OTORITAS TUBUH



S



elain citra tubuh, kita juga mengenal yang namanya otoritas tubuh. Artinya, setiap orang memiliki kekuasaan penuh atas tubuhnya sendiri. Namun lagi-lagi perlu diingat bahwa agar bisa mengambil keputusan terbaik bagi dirinya, seseorang membutuhkan informasi yang cukup dan tepat, misalnya saat kita ingin melakukan suntik pemutih agar memiliki kulit yang putih. Maka, hal-hal dasar yang harus kita pahami adalah zat apa yang akan disuntikkan ke tubuh kita, bagaimana zat itu bekerja bagi tubuh, apa kelebihannya, apa saja efek sampingnya bagi tubuh, dan berapa biaya yang harus kita keluarkan untuk melakukannya. Perlu juga memastikan apakah tubuh kita memiliki alergi terhadap zat tersebut. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, kita kemudian dapat menimbang apakah keputusan tersebut baik dan sesuai dengan keadaan kita. Baik juga jika kita dapat menemukan alternatif pilihan lain untuk mencapai tujuan yang kita inginkan tersebut. Sebagai contoh, selain suntik pemutih, kita bisa melakukan lulur dan scrubbing rutin.



TRANSISI



S



aat bicara tentang tubuh, khususnya pada komunitas trans, kita sering mendengar istilah transisi. Transisi adalah proses perubahan yang umumnya dilakukan individu trans secara sosial, estetika, medis, dan/atau legal untuk mendapatkan gambaran tubuh dan identitas yang dibutuhkan. Transisi merupakan pilihan personal, bukan kewajiban. Transisi merupakan bagian dari otoritas atas tubuh, sehingga individu trans memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan apakah mau bertransisi atau tidak. Bila bertransisi, individu tersebut berhak untuk menentukan transisi seperti apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, individu trans yang melakukan transisi berhak mendapat cukup informasi sebelum membuat keputusan yang terbaik baginya. Banyak individu trans melakukan transisi tidak aman karena usaha untuk memenuhi norma betina atau jantan dan norma tentang laki-laki dan perempuan. Dalam proses transisi penting bagi individu trans untuk terus membangun citra tubuh yang positif dan konsep diri yang ideal menurut diri sendiri. Hal ini mempengaruhi individu trans untuk mengambil keputusan-keputasn terbaik pada tubuhnya.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



68 Penjelasan dari beberapa bentuk transisi yang umumnya dilakukan individu trans: 1. Transisi Sosial Transisi sosial adalah proses perubahan dalam interaksi sosial. Transisi sosial dilakukan untuk mendapatkan pengakuan sosial. Pengakuan sosial itu sendiri sangat penting bagi seorang individu trans, karena sangat mempengaruhi kepercayaan dan penerimaan dirinya. Bentuk transisi sosial antara lain coming out (melela), mengganti nama panggilan, meminta untuk dipanggil dengan sebutan yang sesuai (mbak/mas/lainnya), mulai menggunakan toilet sesuai identitas gendernya, dan sebagainya. Transisi sosial juga bisa berbentuk aktivitas-aktivitas yang oleh masyarakat diasosiasikan dengan gender tertentu, misalnya, seorang trans perempuan bertransisi sosial dengan cara mulai melakukan peran-peran yang dipercaya merupakan peran perempuan seperti memasak, ikut pengajian ibu-ibu dan seterusnya. Melela di tempat kerja merupakan salah satu isu penting bagi trans terkait transisi sosial, khususnya ketika melamar kerja ataupun saat bertransisi di lingkungan kerja. Berikut beberapa tips untuk menghadapi dua stiuasi tersebut.



Tips ketika melamar kerja: • Sebelum melamar kerja, lakukan riset sederhana tentang perusahaan yang akan kamu lamar. Beberapa perusahaan memiliki kebijakan privasi dan kesetaraan tenaga kerja yang di dalamnya mencantumkan orientasi seksual dan identitas gender. • Kamu tidak harus mengatakan bahwa kamu seorang trans. Namun, terkadang kamu tidak memiliki pilihan ini karena penampilanmu tidak sesuai dengan asumsi secara umum mengenai identitas gender yang tertera dalam dokumen-dokumen resmimu, misalnya, KTP, ijazah, dan beberapa referensi yang menunjukkan detail nama lahir atau jenis kelaminmu. • Ketika diwawancarai, ceritakan lebih banyak tentang kompetensi dan pengalamanmu. Yakinkan mereka bahwa identitasmu tidak mempengaruhi kedua hal tersebut. Tips bertransisi di lingkungan kerja: • Beberapa perusahaan internasional memiliki Kebijakan Kesetaraan Tenaga Kerja, dimana mereka menghargai keberagaman dan memiliki kebijakan untuk mencegah diskriminasi. • Jika kamu tidak menemukan kebijakan ini di tempat kerjamu, pertimbangkan manfaat dan risiko dari melela yang akan kamu lakukan. Akan



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



69 bermanfaat bagimu jika kamu bisa menjadi diri sendiri di lingkungan kerja. Namun, kamu juga bisa mendapatkan diskriminasi, kekerasan, pelecehan, bahkan kehilangan pekerjaanmu. • Jika kamu bergabung dengan serikat pekerja, cobalah berbicara pada mereka mengenai isu trans agar mereka lebih memahami dan bisa memberikan dukungan padamu. • Beberapa trans memilih untuk pindah kerja ketika sudah bertransisi untuk mendapatkan lingkungan kerja yang baru. Selain tantangan di tempat kerja, ketika melakukan transisi sosial individu trans sering takut mengalami penolakan saat mengungkapkan identitas gendernya kepada orang lain (melela). Saat orang lain tidak mengerti atau tidak mempercayai hal tersebut, mereka akan mencoba berpura-pura bahwa hal tersebut tidak terjadi. Salah satunya dengan menyatakan bahwa individu trans tersebut bukanlah trans berdasarkan kenangan masa lalu mereka terhadap individu tersebut. Sikap ini bisa jadi sangat sulit bagi individu trans, terutama jika individu trans tersebut sangat mengharapkan dukungan mereka. Selain itu, banyak orang yang secara keliru menganggap identitas gender trans sebagai ‘pilihan gaya hidup’ atau ‘kebiasaan buruk’ yang harus dirubah. Faktanya, identitas gender adalah inti dari siapa diri individu trans tersebut. Pakar-pakar kesehatan dan organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa terapi konversi yang dirancang untuk memaksa individu trans kembali ke identitas gender yang diberikan ketika lahir adalah tindakan yang tidak etis dan melanggar Hak Asasi Manusia. Beberapa tips menghadapi hal ini: • Individu trans tidak bisa mengontrol persepsi atau respon orang lain terhadap dirinya, tetapi, individu trans bisa memilih bagaimana menanggapinya. • Jika perbincangan menjadi terlalut berat bagi individu trans, pertimbangkan untuk berhenti. Perbincangan tersebut dapat dilanjutkan di lain waktu. • Individu trans bisa meminta bantuan dari teman yang dipercaya atau konselor. • Penting bagi individu trans untuk terus memberikan informasi kepada orang-orang di sekitarnya.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



70 PMKS – Sebuah Tantangan Dalam Transisi Sosial Dalam perspektif sosial, penting untuk diketahui bahwa negara masih memandang sebagian komunitas LGBTI sebagai patologi (penyakit) sosial. Pandangan ini tertuang melalui Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan pengelolaan Daya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), dimana pada bagian “Jenis, Definisi dan Kriteria PMKS”, gay,waria dan lesbian masuk dalam Kelompok 14 atau Kelompok Minoritas. Secara spesifik, Permensos No. 8 Tahun 2012 mendefinisikan bahwa Kelompok Minoritas adalah kelompok yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi dan marginalisasi yang diterimanya, sehingga keterbatasannya menyebabkan dirinya rentan mengalami masalah sosial, seperti gay, waria dan lesbian. Selain itu dijelaskan ada 4 kriteria dari kelompok minoritas, yaitu: a. Gangguan keberfungsian sosial b. Diskriminasi c. Marginalisasi d. Berperilaku seks menyimpang Dengan label PMKS tersebut dilekatkan pemerintah kepada kelompok waria (trans woman/transpuan) Kemensos menawarkan banyak program yang sasarannya adalah kelompok transpuan. Perlu dipahami secara kritis bahwa program-program pemerintah yang aliran dananya berasal dari Kemensos pada akhirnya bertujuan untuk melakukan rehabilitasi (penyembuhan) sosial pada kelompok LGBTI karena LGBTI dianggap sebagai penyakit sosial. Akhir-akhir ini banyak organisasi LGBTI yang menolak menjalankan program-program tersebut. PMKS menjadi sebuah mekanisme pemerintah yang menyulitkan proses transisi sosial kelompok trans. Dengan adanya PMKS dalam Permensos ini, negara mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa tidak sepatutnya transisi sosial dilakukan oleh kelompok trans karena itu adalah sebuah bentuk penyimpangan atau patologi (penyakit) sosial. Label PMKS menjadi sebuah tantangan yang sistematis dalam proses transisi sosial kelompok trans karena label tersebut tertulis dalam peraturan yang dibuat oleh negara.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



71 2. Transisi Estetika Idealnya, setiap manusia memiliki pilihan untuk mengenakan pakaian apa saja yang mereka inginkan. Namun karena sebagian besar orang di dunia menganggap bahwa setiap orang adalah laki-laki atau perempuan, mereka kemudian menggunakan penampilan seseorang untuk memasukkan orang itu ke dalam salah satu dari dua kotak biner tersebut. Mengubah cara berpakaian bisa membuat perbedaan besar antara bagaimana orang menganggap kita sebagai laki-laki atau perempuan, atau mempertanyakan identitas gender kita. Ada keragaman manusia di dunia. Tidak semua laki-laki sangat maskulin dan tidak semua perempuan sangat feminin. Di beberapa tempat, orang-orang mengenal androgini atau gaya busana gender-netral yang bisa dipakai oleh siapa saja, seperti jeans atau t-shirt. Sering kali merubah cara berpakain menjadi kebutuhan beberapa trans, oleh sebab itu, tidak menjadi masalah jika kamu melakukan adaptasi atau meniru cara berpakain dari orang di sekelilingmu seperti yang kamu inginkan. Beberapa contoh transisi estetika yang dilakukan oleh trans men/trans laki-laki adalah penggunaan chest binder dan prosthesis. Beberapa hal yang penting diperhatikan terkait penggunaan chest binder adalah: jangan menggunakan chest binder lebih dari 8 jam! Penggunaan chest binder yang terlalu lama dapat merusak jaringan dada, menimbulkan iritasi kulit, dan mengganggu pernapasan. Jangan menggunakan chest binder saat tidur. Tubuh membutuhkan istirahat. Selain itu, chest binder juga tidak didesain untuk berolahraga, karena dapat mengganggu pernapasan dan mempercepat iritasi kulit saat berkeringat, dan sebaiknya jangan menggunakan perban atau lakban untuk membebat dada karena barang-barang tersebut dapat mengganggu untuk bernapas secara wajar. Semakin ketat, maka akan semakin membahayakan. Penggunaan chest binder bukanlah kewajiban dan tidak semua trans men/trans laki-laki menggunakannya. Berhentilah jika merasa sakit, karena kenyamanan dan kesehatan adalah hal yang utama. Beberapa alternatif lainnya adalah menggunakan sport bra atau compression shirts. Penggunaan prosthesis, yang biasanya terbuat dari bahan plastik atau silikon, perlu memperhatikan syarat penggunaan yang baik dan benar serta pertimbangan akan efek samping seperti alergi. Selain itu, sebagai alternatif penggunaan prosthetis, ada yang meletakkan kaos kaki di dalam celana dalam; meletakkan gel rambut di dalam kondom dan membungkusnya dengan stocking; dan menggunakan packer atau stand-to-pee (STP) yang bisa digunakan untuk buang air kecil di urinoir. Sayangnya, perangkat prosthesis yang baik dan multifungsi harganya masih cukup mahal. Tidak semua trans men/trans laki-laki, melakukan transisi estetika sesuai contoh yang diberikan di atas karena contoh-contoh tersebut adalah pilihan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



72 Beberapa contoh transisi estetika yang dilakukan oleh trans women/trans perempuan/transpuan adalah menggunakan bra untuk memberikan kesan tonjolan payudara pada dada. Bra juga sering digunakan untuk memberikan sugesti memiliki payudara yang menonjol. Selain itu ada yang menggunakan celana khusus yang dirancang untuk memberikan kesan pinggul dan pantat yang lebih besar. Sama seperti trans men/trans laki-laki, tidak semua trans women/trans perempuan/transpuan melakukan transisi estetika sesuai contoh-contoh di atas karena contoh-contoh tersebut adalah pilihan. 3. Transisi Medis Transisi medis dapat menjadi alternatif bagi trans untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kesehatan mental. Transisi medis terdiri dari beberapa langkah, namun kamu bebas memilih mana yang ingin kamu ambil berdasarkan kebutuhanmu. Berikut adalah beberapa bentuk transisi medis: a. Konseling Kesehatan Jiwa Proses ini merupakan langkah pertama untuk mempersiapkan kondisi mental dalam transisi medis. Proses ini dilakukan oleh psikolog dan psikiater. Di Indonesia, transisi medis membutuhkan diagnosis medis. Berdasarkan PPDGJ III, diagnosis ini disebut Gangguan Identitas Jenis Kelamin. Penting untuk diperhatikan bahwa terjadi salah penerjemahan dari istilah Gender Iden-



tity Disoreder (GID) di DSM III menjadi Gangguan Identitas Jenis Kelamin di PPDGJ III; dimana Gender diterjemahkan menjadi Jenis Kelamin. Beberapa psikiater juga menggunakan istilah Harry Benjamin Syndrome dan Gender Dysphoria. Diskursus kesehatan jiwa yang berkembang di Indonesia cukup tertinggal; karena praktisi Kesehatan Jiwa di Indonesia masih menggunaakan PPDGJ III sebagai acuan, padahal sudah ada DSM IV dan V. DSM IV dan V memperbaharui istilah Gender Identity Disoreder (GID) menjadi Gender Dysphoria (GD). Bahkan, akhirnya pada Juni 2018, WHO mengeluarkan ICD-11 yang menghapuskan baik GD maupun Gender Non-Kongruen pada klasifikasinya, dan Transgender bukanlah sebagai penyakit baik dari sudut pandang medis maupun mental. Kemajuan istilah yang digunakan secara global tidak lepas dari perjuangan komunitas trans di dunia untuk menghapus segala bentuk patologi pada identitas gender yang beragam. Banyak individu trans yang berpikir bahwa konseling kejiwaan hanya dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosa (ini adalah mitos yang umumnya terdapat di komunitas trans). Faktanya, konseling kejiwaan harus berjalan secara berkelanjutan selama proses transisi medis hingga proses transisi leModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



73 gal. Praktisi kesehatan harus memberikan informasi yang dibutuhkan agar individu trans secara sukarela dapat memilih untuk menerima atau menolak perawatan. Hal ini berasal dari hak legal dan etis yang memungkinkan kita memutuskan pengobatan apa ingin dijalani untuk mengubah tubuh kita. Hal ini juga didasarkan pada tugas etis para profesional kesehatan untuk melibatkan kita dalam keputusan tentang perawatan kesehatan. Informed consent harus mencakup manfaat dan kemungkinan risiko perawatan apapun. Praktisi kesehatan mungkin juga menggambarkan manfaat medis dari melakukan beberapa langkah transisi sebelum langkah lainnya. b. Terapi hormon (Hormone Replacement Therapy/HRT) Untuk trans laki-laki, hormon yang digunakan adalah testosteron, sedangkan untuk trans perempuan hormon yang digunakan adalah estrogen. Sebelum melakukan terapi hormon, beberapa pemeriksaan medis dibutuhkan untuk menentukan dosis dan jenis hormon yang sesuai dengan tubuh masing-masing. Pemeriksaan medis secara berkala dibutuhkan untuk menyesuaikan dosis dan jenis obat untuk mencegah dan menanggulangi efek samping yang terjadi. Tabel 4 dan 5 berikut memberikan gambaran tentang perubahan oleh penggunaan hormon. Penggunaan hormon bukanlah proses tanpa efek samping. Tabel 6 menunjukkan beberapa contoh efek samping penggunaan hormon. Perubahan Permanen oleh Penggunaan Hormon Trans men/Trans laki-laki Trans women/Trans perempuan/ Transpuan • Suara menjadi lebih berat • Suara menjadi lebih lembut • Klitoris memanjang • Payudara membesar • Penyempitan dinding vagina • Cairan sperma menjadi lebih encer • Muncul pola kebotakan laki-laki. • Batang penis agak susah ereksi Tabel 4: Perubahan Permanen oleh Penggunaan Hormon



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



74 Perubahan Sementara oleh Penggunaan Hormon Trans men/Trans laki-laki Trans women/Trans perempuan/ Transpuan • Dorongan seks (libido) sedikit • Dorongan seks (libido) meningkat, • Tumbuh rambut di wajah (kumis, menurun jenggot) • Berkurangnya bulu di wajah dan tubuh • Menstruasi berhenti, • Jaringan payudara sedikit menyusut, • Kulit menjadi lebih berminyak dan pori-pori membesar • Area distribusi lemak berpindah. Misalnya, lemak di pinggul akan berpindah ke perut Tabel 5: Perubahan Sementara oleh Penggunaan Hormon



Efek Samping Penggunaan Hormon Trans men / Trans laki-laki Trans women / Trans perempuan/ Transpuan • Kulit berjerawat (muka, dada, pung- • Mood swing • Peningkatan risiko hipertensi gung) • Peningkatan risiko diabetes • Mood swing • Peningkatan risiko hipertensi • Peningkatan risiko gangguan • Peningkatan risiko diabetes prostat • Peningkatan risiko stroke • Peningkatan risiko kista dan mioma • Peningkatan risiko kanker rahim dan kanker ovarium Tabel 6: Efek Samping Penggunaan Hormon



Banyak individu trans yang percaya bahwa menambah dosis hormon dapat mempercepat perubahan fisik (ini juga mitos yang umumnya terdapat di komunitas trans). Faktanya: 1. Testosteron yang berlebihan di dalam tubuh akan diubah menjadi estrogen. Hal ini justru akan menghambat perubahan fisik menuju maskulin dan meningkatkan risiko efek samping. 2. Estrogen yang berlebihan di dalam tubuh akan berubah menjadi testosteron yang akan menghambat perubahan fisik menuju feminin dan meningkatkan risiko efek samping 3. Trans men masih dapat hamil bahkan setelah terapi hormon, selama masih memiliki rahim dan ovarium. Berhenti menggunakan testosteron dapat mengembalikan produksi sel telur, tergantung usia kita dan lama penggunaan testosteron. Kamu juga bisa menyimpan sel telur sebelum melakukan terapi hormon, seperti halnya menyimpan sperma di bank sperma.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



75 c. Gender Affirming Surgery atau Genitalia Reassignment/Reconstruction Surgery Gender Affirming Surgery (GAS) adalah istilah yang digunakan oleh Asia Pacific Transgender Network (APTN) untuk memperbaharui istilah Sex Reassignment Surgery (SRS). Sementara, Trans Student Educational Resources (TSER), selain menggunakan istilah GAS juga menggunakan istilah Genitalia Reassignment/Reconstruction Surgery. Sementara, istilah yang dikenal di dunia kedokteran di Indonesia adalah Operasi Penyesuaikan Kelamin. Namun semakin banyak komunitas trans yang menentang penggunaan istilah ini karena tidak ramah pada ragam gender dan tubuh. Hingga saat ini belum ada padanan istilah yang disepakati oleh komunitas trans di Indonesia. Ada komunitas trans yang menggunakan istilah Operasi Penegasan Gender atau Operasi Penyesuaian Genitalia, dan juga masih ada yang menggunakan istilah Operasi Penegasan Kelamin. Ada beberapa tindakan untuk Gender Affirming Surgery atau Genitalia Reassignment/ Reconstruction Surgery bagi individu trans, yaitu: • Trans men/trans laki-laki: Operasi rekonstruksi dada (top surgery/mastectomy), Pengangkatan rahim (hysterectomy) dan/atau ovarium (oophorectomy), Pengangkatan vagina (vaginectomy), Pembuatan micropenis dari rekonstruksi klitoris (metoidioplasty), Rekonstruksi phallus (phalloplasty), Pembuatan skrotum & implan testis (scrotoplasty). • Trans women/Trans perempuan/Transpuan: Pengangkatan testis (orchiectomy), Pengangkatan penis (penectomy), Rekonstruksi vagina (vaginoplasty), Rekonstruksi vulva (labiaplasty); dan Pembentukan wajah yang feminin (facial feminization surgery), Implan payudara (breast augmentation), Pengangkatan jakun (tracheal shave), Pembentukan pinggul dan pantat yang feminin (buttock augmentation) "Hingga saat ini, transisi medis untuk transgender di Indonesia tidak ditanggung oleh asuransi, baik BPJS maupun asuransi swasta." Dalam pembahasan terkait transisi medis, penting untuk memahami dysphoria dan transisi medis yang tidak aman. Dysphoria, baik body dysphoria maupun gender dysphoria bila digabungkan dengan tindakan transisi medis yang tidak aman akan dapat mengakibatkan hal-hal berikut: • Nekat melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dan cukup informasi • Terburu-buru melakukan transisi tanpa membuat perencanaan yang matang



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



76 • • • • • •



Tidak pernah puas dengan hasil transisi yang sudah ada Ekspektasi yang tinggi terhadap kecepatan dan hasil transisi Tidak menghargai tubuh dan diri Tidak produktif Menimbulkan masalah pada kesehatan fisik dan psikis Berhutang karena menjadikan medis sebagai kebutuhan primer



4. Transisi Legal/ Identitas Resmi Individu trans dapat melakukan transisi hukum dengan mengganti identitas resmi. Prosedur tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 dan pembaharuannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Data yang dapat diubah adalah nama dan jenis kelamin. Perubahan dapat dilakukan setelah mendapat keputusan penetapan dari Pengadilan Negeri setempat. Hal-hal yang penting dipahami bagi individu trans yang akan melakukan penggantian nama pada identitas resmi: • Memahami dan memenuhi persyaratan administratif penggantian nama, di antaranya: mengisi formulir pengajuan perkara, melampirkan Akta Kelahiran, Surat Nikah (bagi yang sudah menikah), KTP dan KK (asli dan fotokopi), dan membayar biaya persidangan. Persyaratan administratif dapat dipastikan kembali di Pengadilan Negeri sesuai identitas individu trans yang akan melakukan penggantian nama. • Individu trans yang bersangkutan tidak perlu didampingi oleh pengacara. • Individu trans yang bersangkutan tidak perlu menghadirkan saksi ahli (seperti saksi dari pihak medis). • Individu trans yang bersangkutan perlu menghadirkan saksi dari pihak keluarga dan/atau teman-teman terdekat. Kesaksian dari keluarga kandung khususnya orang tua adalah kesaksian yang kuat. • Sertifikat/ijazah yang menggunakan nama baru yang diinginkan dapat digunakan sebagai alat bukti pendukung persidangan. • Di Indonesia, ketidakberutungan atas nama yang digunakan saat ini masih umum digunakan sebagai alasan bagi seseorang untuk mengajukan penggantian nama secara hukum.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



77 Hal-hal yang penting dipahami bagi individu trans yang akan melakukan penggantian jenis kelamin pada identitas resmi: • Landasan hukum/nomenklatur yang mengatur tentang pergantian jenis kelamin adalah “Peristiwa Penting”pada UU no. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, yang definisinya adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Definisi tersebut tidak eksplisit menyatakan penggantian jenis kelamin sehingga norma penerapan UU Adminduk sangat dipengaruhi oleh putusan persidangan pertama di Indonesia tentang penggantian jenis kelamin (kasus Vivian) pada 11 November 1973. Kasus Vivian mendorong pemerintah menggelar Seminar Operasi Pergantian Kelamin di Jakarta, 27-29 Maret 1978 yang membahas operasi pergantian kelamin dari sudut pandang medis, hukum, dan agama. Hasil seminar menunjuk enam rumah sakit pemerintah di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujungpandang, dan Medan, sebagai rujukan pasien yang mau melakukan operasi penggantian kelamin (Isnaeni, 2010). • Memahami dan memenuhi persyaratan administratif penggantian kelamin, di antaranya: mengisi formulir pengajuan perkara, melampirkan Akta Kelahiran, Surat Nikah (bagi yang sudah menikah), KTP dan KK (asli dan fotokopi), dan membayar biaya persidangan. Persyaratan administratif dapat dipastikan kembali di Pengadilan Negeri sesuai identitas individu trans yang akan melakukan penggantian kelamin. • Bunyi pasal yang tidak eksplisit tersebut menyebabkan persyaratan menjadi berbeda-beda untuk setiap kasus. Beberapa pengadilan mensyaratkan harus sampai melakukan operasi rekonstruksi penis, ada juga yang mengesahkan penggantian jenis kelamin tanpa terapi hormon dan operasi, namun hal ini sangat jarang terjadi. • Individu trans yang bersangkutan perlu menghadirkan saksi dari pihak keluarga dan/atau teman-teman terdekat. Kesaksian dari keluarga kandung khususnya orang tua adalah kesaksian yang kuat. Selain itu saksi ahli (medis) yang menangani proses transisi medis individu trans yang bersangkutan juga wajib dihadirkan. Ada beberapa pengadilan yang meminta menghadirkan saksi ahli agama (ulama, pendeta dan lain-lain) atau perwakilan dari organisasi agama untuk menjadi saksi. • Setelah mendapatkan Surat Putusan Sidang, surat tersebut dibawa ke Kantor Catatan Sipil sesuai tempat pembuatan akta kelahiranmu untuk



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



78 mendaftarkan pergantian data individu yang bersangkutan. Akta kelahiran tidak akan diganti, namun akan diberikan lampiran berupa catatan pinggir yang menjelaskan mengenai pergantian data sesuai Surat Putusan Sidang. Setelah perubahan data terdaftar di Kantor Catatan Sipil, individu yang bersangkutan bisa membawa akta kelahiran yang sudah dilampiri catatan perubahan data ke Kelurahan untuk mengganti KTP dan KK baru. Proses ini juga berlaku untuk pembuatan/pembaharuan data pada paspor, asuransi dan lain-lain. Beberapa instansi pendidikan tidak akan menerbitkan ijazah baru untuk mengganti identitasmu, namun, mereka bisa memberikan surat keterangan pernah sekolah atau kuliah. • Individu trans yang bersangkutan tidak perlu didampingi oleh pengacara, namun disarankan untuk didampingi pengacara karena kompleksitas kasus yang dihadapi. Jasa pengacara yang ditawarkan pengadilan umumnya bersifat komersial. Jangan berasumsi setiap pengacara akan membuat proses lebih cepat dan lancar bahkan ada kemungkinan individu trans akan dipermainkan agar pengacara mendapat lebih banyak honor. Penting untuk memastikan pengacara yang mendampingi individu trans tersebut adalah pengacara yang ramah SOGIESC. Bila tidak mampu membiayai pengacara, individu trans yang bersangkutan dapat meminta bantuan pada Lembaga Bantuan Hukum setempat (disarankan ke LBH jaringan YLBHI, LBH Apik, PBHI, Yayasan Satu Keadilan, dan LBH Masyarakat). Pendampingan hukum dari lembaga-lembaga tersebut tidak memungut biaya apabila individu trans yang bersangkutan memenuhi persyaratan tidak mampu. • Banyak individu trans yang berpikir bahwa bila didampingi LBH proses persidangan akan sulit dan dipublikasikan oleh media (ini juga mitos yang umumnya terdapat di komunitas trans). Faktanya, LBH akan mengawal dan memastikan agar perkara persidanganmu tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak lain. Selain itu, penting bagi individu trans untuk memahami risiko mengganti identitas tanpa menempuh jalur hukum, yaitu: • Tidak ada pegangan dasar hukum atas pergantian data. Hal ini membuat individu trans rentan dijebak tuduhan hukum oleh beberapa oknum, yaitu tuduhan pemalsuan identitas. • Rentan di-outing oleh lingkungan sekitar, misalnya dengan penggrebekan atau publikasi media. • Nomor identitas ganda saat dicek ulang oleh Kantor Catatan Sipil.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



79 • Kebanyakan pergantian non-persidangan tidak mengganti identitas sampai ke akta kelahiran, hanya sampai KTP dan KK. Identitas baru ini tidak tembus sampai Kantor Catatan Sipil, hanya sampai tahapan kecamatan. • Tidak bisa membuat paspor, visa, surat nikah atau asuransi.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



80



9. MATERI TAMBAHAN 1. KEAMANAN DASAR & CARA MENCARI BANTUAN



P



enyerangan dan pembubaran pada training yang diselenggarakan oleh Arus Pelangi di salah satu hotel di Jakarta pada Februari 2016 adalah salah satu contoh kerentanan yang dimiliki oleh kelompok dengan SOGIESC beragam. Selain itu, sering kali juga kita dapati penyerangan yang terjadi di tempat-tempat lain bahkan di tempat paling privat sekalipun, misalnya penggerebekan di tempat tongkrongan, hingga penyerangan di tempat tinggal. Penyerangan dan penangkapan sewenang-wenang baik yang dilakukan oleh kelompok sipil maupun aparat penegak hukum ini tidak dapat dihindarkan seiring dengan dijadikannya kelompok LGBTI sebagai kelompok sasaran. Oleh karena itu, penting untuk memahami risiko dan memiliki strategi untuk mengurangi risiko yang mungin terjadi dan memahami hal-hal yang dapat dilakukan. Relasi antara ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko dapat disajikan dalam rumusan berikut:



Risiko =



(Ancaman X Kerentanan) Kapasitas



Penting untuk diingat: • Kerentanan & kapasitas adalah faktor internal dan biasanya saling mempengaruhi satu sama lain. • Perlu mempertimbangkan kerangka waktu risiko, yaitu: sebelum kejadian – saat kejadian – sesudah kejadian. • Tiga faktor penunjang insiden keamanan adalah: sumber daya, impunitas (kekebalan hukum), dan akses. • Dalam menghadapi ancaman, perlu dilakukan analisis terhadap Fakta, Pola, Tujuan, Pelaku, dan Kesimpulan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



81 Contoh: • Ancaman: penelpon gelap, SMS gelap, surat kaleng, akses terbuka ke lokasi kegiatan dan lain-lain. • Insiden Keamanan: penyerangan, pembubaran kegiatan, dll. • Kerentanan: pagar kantor tidak dikunci, tabung pemadam kebakaran tidak diperbaharui, tidak ada SOP keamanan, tidak ada security focal point, banyak orang asing yang keluar masuk kantor, tidak mengenal peserta acara, tidak memiliki rencana keamanan dan lain-lain. • Kapasitas: dapat membuat rencana keamanan, memiliki security focal point, memiliki hubungan yang baik dengan tetangga, memiliki hubungan baik dengan lembaga bantuan hukum dan lain-lain. • Strategi keamanan: memberi pelatihan keamanan, memperbaharui SOP Keamanan, memiliki security focal point dan lain-lain.



Berikut ini adalah tips-tips pencegahan terjadinya penyerangan: Tips Offline 1. Tidak membagikan alamat tempat tinggalmu kepada semua orang, meskipun orang yang sudah kamu kenal. 2. Memasang gembok/kunci pengaman pada pagar (jika ada) dan pada setiap pintu dan jendela untuk menghindari orang yang akan masuk mencuri barang, data atau mengintai tempat tinggalmu 3. Membuat pola waktu maupun pola jalan yang berbeda dari hari ke hari saat menuju pulang ke rumahmu. Misal, bila hari ini kamu pulang jam 12 malam, maka pulanglah esok malamnya jam 9 malam. Bila hari ini kamu pulang atau pergi dari arah utara rumahmu, maka pulang atau pergi dari arah selatan pada keesokan harinya. 4. Membangun hubungan yang baik dengan tetangga tempat tinggalmu. Bila ada kerja gotong royong di lingkungan tempat tinggalmu, upayakanlah untuk turut serta. Jangan lupa lapor domisili saat kamu baru menempati tempat tinggal. 5. Tidak membagikan nomor teleponmu kepada sembarang orang, serta tidak menanggapi telepon maupun pesan dari orang yang tidak dikenal. 6. Tidak tidak memberitahu dimana kamu bekerja dan dimana tempatmu bekerja kepada semua orang. 7. Tidak mengumbar kemesraan dengan pasangan jika sedang berada di ruang publik karena akan memancing kecurigaan terkait SOGIESC-mu 8. Menyimpan kontak darurat teman dekat/organisasi LGBTI di wilayahmu



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



82 yang memungkinkan memberi bantuan jika terjadi insiden keamanan. 9. Membawa alat pelindungan sederhana, misalnya semprotan air merica dan lain-lain. 10. Sebaiknya tidak terlalu sering atau jika memungkinkan tidak menjadikan rumah tempat kumpul komunitas 11. Jika kamu bekerja di selain organisasi LGBTI, petakan rekan kerjamu, atasamu dan klien kantormu untuk menjaga risiko terjadinya outing di tempat kerja yang mengakibatkan pemecatan atau pemberhentian kerja. Tips Online 1. Jangan memajang nomor telepon, alamat rumah, serta tempat bekerjamu di akun media sosialmu. 2. Jangan melakukan geo-tagging atau Tanda Lokasi dimana kamu berada, misalnya “Siang ini bobok cyantikz di Apartemen Kalibata City Tower Jasmin” sembari menandai lokasi via google lokasi. Atau, “Janji ngopi



3. 4.



5.



6.



7.



bareng atau ketemu si A, si B di warung kopi CINTA” sambil menandai lokasi warung kopi tersebut. Kontrol pengaturan GPS di handphone-mu. Ketahui dimana kamu harus mematikan GPS dan dimana kamu boleh menghidupkan GPS. Bila hendak mengunggah foto di media sosial bersama dengan teman-temanmu maka mintalah ijin dan persetujuan teman yang ada di dalam fotomu dan jangan menandai temanmu dalam unggahan foto di media sosial saat bersamamu. Jangan memasang foto wajahmu di dalam aplikasi kencan (dating apps) dan pastikan teman kencanmu adalah orang yang aman untuk ditemui. Beritahu teman terdekatmu saat kamu akan bertemu dengan teman kencan melaluli aplikasi kencan. Jangan membawa teman kencan barumu ke rumah atau sekretariatmu. Gembok (lock) semua akun media sosialmu dan pastikan hanya orang yang kamu kenal yang kamu setujui untuk menjadi temanmu. Jangan ijinkan orang yang tidak dikenal untuk mengikuti akun media sosialmu. Walaupun akun media sosialmu tergembok, pastikan untuk tetap menjaga privasi dengan tidak mengunggah foto yang terlalu vulgar karena outing bisa saja dilakukan oleh orang yang kamu kenal atau kamu percayai atau akun-akun yang menyamar sebagai orang yang kamu kenal.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



83 Tips Keamanan Sekretariat/Ruang Kumpul Komunitas 1. Membuat strategi keamanan dan kesepakatan bersama seluruh staf di kantor/organisasimu. 2. Tidak memberitahu lokasi kantormu secara detail kepada sembarang orang. Apabila ada yang menghubungi kantormu dengan kepentingan apapun, usahakan bertemu di luar kantor terlebih dahulu. Jika dirasa aman (setelah screening) maka barulah bisa dibawa ke kantor (sesuai kesepakatan bersama terkait profiling individu/organisasi) 3. Menentukan security focal point organisasi 4. Membuat mekanisme Ring 1 dan Ring 2. Ring 1 menyimpan semua dokumen penting dan hanya internal yang bisa mengakses. Ring 2 hanya bisa diakses orang yang dipercaya, misalnya tamu atau teman-teman komunitas. 5. Melakukan pemetaan lingkungan sekitar sekretariat (analisis situasi) 6. Tidak memilih sekretariat di lokasi yang sering diakses publik, misalnya taman kota, tempat ibadah, toko swalayan, kantor pemerintahan atau sekolah/universitas. 7. Melakukan sosialisasi dengan tetangga dan ikut serta dalam kegiatan sosial bermasyarakat Tips Keamanan di Tempat Nongkrong 1. Petakan lokasi nongkrong apakah cukup jauh dari perkampungan warga atau basis-basis kelompok anti LGBTI. Bila ramai dengan basis anti LGBTI maka hindari untuk nongkrong di tempat tersebut. 2. Buat strategi jalur evakuasi bersama dengan teman lain tempat nongkrong. 3. Bawa alat-alat pelindung diri sederhana, misalnya semprotan air merica. 4. Miliki kode bahasa tertentu untuk situasi darurat atau membuat grup whatsapp atau media sosial lainnya untuk saling berkabar. 5. Jangan membuang sampah sembarangan. Buat jadwal piket yang disepakati bersama untuk menjaga kebersihan tempat nongkrong. 6. Bekerja samalah dengan tokoh kunci setempat atau jalin komunikasi dengan orang-orang di sekeliling, misalnya warung terdekat dan lain-lain. 7. Membuat focal point apabila terjadi insiden keamanan dan menyimpan nomor penting (lembaga-lembaga HAM) sesuai wilayah tempat kamu berada.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



84 Tips Menghadapi Persekusi Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas (KBBI Daring, 2016). Unsur-unsur persekusi menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) adalah: Istilah Bentuk



Pelaku Sifat Sasaran



Dasar



Kejahatan Terhadap Kemanusiaan • Serangan yang membuat penderitaan parah yang bertentangan dengan hukum internasional atau hak-hak fundamental, seperti diskriminasi, pelecehan atau penganiayaan • Individu • Kelompok/organisasi • Meluas • Sistematis • Populasi sipil • Dengan identitas kelompok tertentu • Politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, gender atau dasar lainnya



Pengungsi • Ancaman terhadap hidup atau kemerdekaan seseorang



• • • • •



Individu Kelompok/ organisasi Ketakutan yang mendalam Tingkat keseriusan Situasi orang-orang yang sama



• ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial atau pendapat politik



Tabel 7: Unsur-Unsur Persekusi



Selain offline, persekusi juga dapat terjadi secara online seperti melalui Facebook page yang melacak orang-orang yang diduga menghina suatu agama, ras atau golongan tertentu. Target kemudian diburu, dicari foto, alamat rumah atau kantornya. Selanjutnya digerebek lalu dibawa ke kantor polisi dengan untuk didakwa dengan UU ITE atau pasal 156a KUHP Sehubungan dengan kelompok LGBTI, akhir-akhir ini terjadi meningkat kasus persekusi berbasis SOGIESC. Misalnya saja pada tahun 2017 ada kasus penggrebekan Club Atlantis yang dituduh sebagai tempat prostitusi gay, kasus 2 orang gay di Aceh yang dicambuk karena dianggap melakukan perbuatan mesum dan masih banyak lagi. Ruang-ruang privat komunitas LGBTI saat ini rentan dengan tindakan persekusi. Berikut ini beberapa tips yang dapat dilakukan ketika mengalami atau menghadapi persekusi: • Menghubungi kontak-kontak darurat yang ada di daerahmu, yaitu lembaga-lembaga yang fokus di isu Hak Asasi Manusia. • Tidak memberikan pernyataan atau keterangan apapun kepada polisi Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



85



• • • •



atau warga sebelum didampingi oleh pengacara/kuasa hukum. Menghubungi hotline Koalisi Anti Persekusi yang bisa kamu hubungi melalui nomor 081286938292 atau email [email protected]. Meminta surat penangkapan jika polisi yang melakukan penangkapan. Menolak jika disuruh untuk melakukan hal-hal yang tidak kamu inginkan, misalnya telanjang dan lain-lain. Sebisa mungkin menjalankan tips-tips keamanan offline dan online yang sudah disebutkan di atas untuk menghindari tindakan persekusi



Semua tips di atas dapat diterapkan sebagai upaya mitigasi penyerangan, penangkapan maupun persekusi yang akan menimpamu. Tips-tips di atas sangat penting, karena: • Semakin kamu dikenal dan membawa hal-hal privatmu ke wilayah publik, maka semakin rentan dirimu terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. • Semakin kamu sering kamu memberi tahu dimana keberadaanmu, dimana tempat tinggalmu, maka akan semakin mudah bagi orang untuk menyerangmu ke wilayah privatmu • Semakin kamu senang mengumbar segala sesuatu di media sosialmu, maka semakin mudah orang untuk melakukan kekerasan terhadapmu.



2. MANAJEMEN STRES & PEMULIHAN TRAUMA



S



tres adalah respon adaptif seseorang terhadap perubahan yang terjadi baik secara internal maupun eksternal. Stres dapat berupa Eustress maupun Distress. Eustress adalah perubahan yang berdampak positif terhadap seseorang, sedangkan distress adalah perubahan yang berdampak negatif terhadap seseorang. Manajemen stres adalah kemampuan menggunakan segala sumber daya secara efektif untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Sumber stres



Gambar 2: Sumber Stres Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



86 Ketika dalam kondisi stres seringkali seseorang tidak memahami sumber stres yang sesungguhnya dihadapi. Sumber stres tersebut bisa berasal dari fisik, sosial, spiritual, emosi, maupun gabungan di antaranya. Ketika seseorang mengalami stres pada umumnya dapat mengalami respon pada lima aspek, yaitu: 1. Fisik, contohnya jantung berdebar-debar, sulit bernapas, mual, muntah, nyeri perut, diare, konstipasi, pusing, nyeri kepala dan lain-lain. 2. Kognitif, contohnya mudah lupa, sulit memproses informasi yang baru, sulit berkonsentrasi, mengungkapkan penilaian yang negatif terhadap diri sendiri dan lain-lain. 3. Emosi, contohnya mudah marah, mudah panik, takut berlebihan, sering menangis, enggan melakukan hobinya dan lain-lain. 4. Sosial, contohnya cenderung menarik diri, curiga berlebihan terhadap orang lain dan lain-lain. 5. Spiritual, contohnya tidak dapat beribadah, kehilangan makna hidup, mempertanyakan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan, menyalahkan Tuhan dan lain-lain. Kedalaman Stress



Gambar 3: Kedalaman Stres



Stressor yang sama dapat memberikan dampak yang berbeda pada individu yang berbeda. Pada kondisi tertentu permasalahan yang sama bisa saja mempengaruhi seseorang sebatas gangguan fisik, hubungan, emosi, pikiran, dan tindakan. Namun pada kondisi dan/atau individu yang berbeda, permasalahan yang sama dapat berdampak sampai ke tujuan atau makna hidup dan iman.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



87 Tahapan dalam stres: 1. Stres Ringan. Pada tahap ini tubuh mulai mengalami perubahan. Seperti jantung berdebar-debar, kulit menjadi kering, mual, pusing dan lain-lain. 2. Stres Sedang. Pada tahap ini tubuh akan berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Namun jika gagal maka akan muncul gejala lebih lanjut seperti perubahan pola tidur, perubahan kebiasaan makan, penurunan minat terhadap sekitar dan lain-lain. 3. Stres Berat. Pada tahap ini tubuh sudah tidak mampu lagi menyesuaikan diri sehingga membutuhkan bantuan lebih lanjut dari pihak lain seperti sahabat, pasangan, keluarga, dll. Pada tahap tertentu kita membutuhkan bantuan profesional yang ramah SOGIESC seperti psikolog, psikiater atau pendamping spiritual. Gejala yang mungkin muncul adalah kecemasan, depresi, insomnia, tukak lambung, keinginan untuk bunuh diri dan lain-lain. Cara menghadapi stres: 1. Menggali dan mengidentifikasi sumber stres. Dengan cara mengungkapkan sumber permasalahan melalui curhat, menulis, melukis dan lain-lain. Sharing dengan orang yang dipercayai akan membuat kita tidak merasa sendiri 2. Mengenali kebiasaan yang konstruktif dan destruktif dalam menghadapi stres. Contoh kebiasaan konstruktif adalah lebih memperhatikan penampilan, rajin beribadah, lebih mendekatkan diri dengan keluarga dan lain-lain. Contoh kebiasaan destruktif adalah terlalu banyak tidur, makan berlebihan, merokok berlebihan, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, belanja berlebihan dan lain-lain. 3. Menggali potensi diri dalam menghadapi stres. Penting bagi kita untuk menyadari kekuatan diri kita sendiri, kelompok dukungan yang kita miliki, sahabat dan keluarga yang siap membantu, guru atau pendamping spiritual, sumber bacaan dan media informasi yang bermanfaat. 4. Melakukan hal-hal yang disukai dan menyenangkan yang mugkin sudah lama tidak dilakukan, contohnya : a. Melakukan kegiatan fisik seperti jogging, jalan kaki, olahraga permainan, berkebun, memasak, bersih-bersih lingkungan, yoga, meditasi dan lainlain. Aktifitas ini akan merangsang pelepasan hormon endorfin ke dalam darah, sehingga tubuh akan merespon dengan rasa tenang dan menurunkan stres. b. Melakukan permainan asah otak. Dengan melakukan permainan otak seperti TTS, sudoku dan lain-lain. Kita bisa melatih otak untuk berpikir dalam pola yang logis dan menantang fungsi kognitif kita dalam memahami



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



88 sesuatu. c. Bersosialisasi dengan orang lain. Dengan tetap berkomunikasi dengan orang lain maka kita mampu mempertahankan potensi diri untuk menghadapi stres dan kita menjadi tidak merasa sendirian. 5. Menentukan strategi yang terbaik untuk menghadapi stres. Di antaranya adalah 4A yaitu: • Avoid, yaitu menghindari sumber stress, misalnya perkelahian dan kontak fisik. • Alter, yaitu merubah sumber stres menjadi hal yang positif. Dengan kata lain, kita merubah distress menjadi eustress. • Adapt, yaitu menyesuaikan diri terhadap sumber stres. • Accept, yaitu menerima stres sebagai realitas yang tidak bisa dirubah. Penerimaan akan realitas ini akan menolong kita untuk bangkit dan optimalisasi diri dalam menghadapi stres. 6. Menyediakan waktu untuk bersantai dan istirahat yang cukup, melakukan halhal spiritual dan menyeimbangkan waktu untuk bekerja dan beristirahat. Tidur dapat menghindarkan seseorang dari stres. Dengan memiliki waktu istirahat yang cukup, tubuhpun akan merasa lebih fit dalam melakukan pekerjaan dan aktivitas lain. 7. Melakukan gaya hidup sehat. Dengan melakukan pola hidup yang sehat akan meningkatkan kualitas dan potensi diri dalam menghadapi stres. Baik secara fisik maupun mental. Kondisi tubuh yang tidak sehat akan menjadi beban tambahan terhadap stres itu sendiri.



Rapid Stress Healing Apabila mengalami stres (ringan), kita dapat melakukan hal-hal berikut ini : a. Menekan jari jempol ketika merasa cemas, b. Menekan jari telunjuk ketika merasa takut c. Menekan jari tengah ketika merasa marah, d. Menekan jari manis ketika merasa sedih e. Menekan jari kelingking untuk membantu melancarkan darah f. Menekan telapak tangan untuk membantu untuk berpikir positif. Melakukan hal di atas sangat membantu mengalirkan darah ke jantung dan membantu kembali berkonsentrasi, serta mengurangi perasaan-perasaan di atas. Selain itu, bisa juga kita mengambil nafas lewat hidung dan mengeluarkan lewat mulut secara perlahan dan berkali-kali. Jangan lupa melakukan hubungan seks yang aman dan berkala.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



89



Gambar 4: Rapid Stress Healing



Stres Pascatrauma dan pemulihannya Stress pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa mengerikan. Gejala yang mungkin muncul di antaranya kilas balik, mimpi buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran tak terkendali tentang kejadian tersebut. Banyak orang yang dalam hidupnya pernah melewati peristiwa traumatis, mengalami untuk sementara waktu, kesulitan menyesuaikan diri dan mengatasi hal tersebut. Tapi dengan berjalannya waktu dan upaya mengendalikan dan mengontrol diri sendiri, reaksi trauma tersebut biasanya berangsur-angsur menjadi lebih baik. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, gejala dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Bila suatu kejadian traumatis benar-benar terjadi dan mengguncang hidup kamu, maka mungkin kamu akan menderita gangguan stres pascatrauma. Pengobatan gangguan stres pascatrauma sesegera mungkin akan dapat mencegah berlarutnya dan berkembangnya gangguan stres pascatrauma menjadi kronis. Gejala gangguan stres pascatrauma ini biasanya dimulai dalam waktu tiga bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Gejala gangguan stres pascatrauma umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: ingatan yang tidak menyenangkan (intrusive memories), penghindaran dan mati rasa, serta kecemasan atau ketidakstabilan emosi (hyperarousal).



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



90 Gejala dalam ingatan yang tidak menyenangkan (intrusive memories) antara lain: a. Kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama beberapa menit atau bahkan berhari-hari. b. Mengalami mimpi buruk tentang peristiwa traumatis. Gejala penghindaran (avoidance) dan mati rasa (numbing) emosional dapat mencakup: a. Mencoba untuk menghindari dari berpikir atau berbicara tentang peristiwa traumatis b. Merasa mati rasa emosional c. Menghindari aktivitas yang dulu kamu pernah sukai d. Keputusasaan tentang masa depan e. Gangguan memori (susah mengingat/blank) f. Kesulitan berkonsentrasi g. Kesulitan mempertahankan hubungan dekat Gejala kecemasan dan ketidakstabilan emosi meliputi: a. Mudah marah b. Rasa bersalah atau malu yang berlebihan/self-stigma. c. Perilaku merusak diri sendiri, seperti minum alkohol berlebihan, mengudrugs nakan obat-obatan/ d. Sulit tidur e. Paranoid, halusinasi Gejala gangguan stres pascatrauma bisa datang dan pergi. Kamu mungkin memiliki gejala gangguan pasca-trauma ketika kamu sedang mengalami stres secara umum, atau ketika kamu mengalami kejadian yang lalu dari apa yang kamu alami. Mungkin saja kamu mendengar suara- suara pada saat kejadian dan menghidupkan kembali pengalaman ketika itu. Adalah normal untuk memiliki berbagai perasaan dan emosi setelah terjadi peristiwa traumatis. Kamu mungkin mengalami rasa takut dan kecemasan, kurangnya fokus, kesedihan, perubahan dalam pola tidur atau pola makan, atau menangis. Kamu mungkin mengalami mimpi buruk atau tidak dapat berhenti berpikir tentang kejadian tersebut. Ini tidak berarti kamu menderita stres pascatrauma. Dalam beberapa kasus, gangguan gejala stres pascatrauma mungkin begitu parah sehingga kamu membutuhkan bantuan darurat, terutama jika kamu berpikir tentang menganiaya diri sendiri atau orang lain. Jika ini terjadi, hubungi layanan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



91 darurat medis, atau minta anggota keluarga atau teman untuk membantu. Tapi jika kamu memiliki pikiran-pikiran dan perasaan yang mengganggu selama lebih dari sebulan, parah, atau jika kamu merasa kamu mengalami kesulitan mengontrol hidup kamu kembali, maka lebih baik bila kamu pergi menemui dokter. Pengobatan sesegera mungkin dapat membantu mencegah gejala gangguan stres pascatrauma menjadi semakin buruk. Faktor Risiko dan Diagnosis Orang dari segala usia dapat terkena gangguan stres pascatrauma. Namun, beberapa faktor dapat membuat kamu lebih mungkin untuk terkena gangguan stres pascatrauma setelah peristiwa traumatis. Faktor tersebut antara lain: a. LGBTI/kelompok minoritas lain b. Mengalami trauma intens atau trauma jangka lama c. Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi d. Tidak memiliki sistem pendukung yang baik dari keluarga dan teman e. Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental, termasuk gangguan stres pascatrauma f. Memiliki kerabat dekat dengan riwayat depresi Jenis-Jenis Peristiwa Traumatis Stres pascatrauma ini sangat umum di antara mereka yang telah ikut dalam ‘pertempuran’. Ini kadang-kadang disebut ‘shell shock’, atau stres karena pertempuran. Peristiwa yang paling umum mengarah ke pengembangan gangguan stres pascatrauma meliputi: a. Kekerasan dalam relasi termasuk intimidasi berkepanjangan. b. Kekerasan seksual. c. Kekerasan fisik (penyiksaan dan lain-lain) d. Teror e. Kebakaran f. Perampokan g. Kecelakaan h. Bencana alam dan lain-lain



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



92 Selain itu, gangguan stres pascatrauma dapat meningkatkan risiko terkena penyakit medis tertentu, seperti: • Jantung Koroner • Sakit kronis • Penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis dan penyakit tiroid • Penyakit musculoskeletal Stres pascatrauma didiagnosis berdasarkan gejala dan evaluasi psikologis yang menyeluruh. Dokter atau profesional kesehatan mental akan meminta kamu menjelaskan gejala yang kamu alami – apa dan kapan hal tersebut terjadi, bagaimana intens dan berapa lama berlangsung. Dokter juga mungkin akan meminta kamu untuk menggambarkan peristiwa yang mengarah ke gejala. Kamu mungkin juga akan mendapat pemeriksaan fisik untuk mengetahui setiap masalah medis lainnya. Untuk dapat didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma, Kamu harus memenuhi kriteria yang dijabarkan dalam Diagnostik dan Statistik Manual of Mental



Disorders (DSM), diterbitkan oleh American Psychiatric Association. Pedoman ini digunakan oleh profesional kesehatan mental untuk mendiagnosis kondisi mental dan oleh perusahaan asuransi untuk menentukan penggantian biaya perawatan. Pengobatan dan Penanganan Gangguan Stres Pascatrauma Pengobatan gangguan stres pascatrauma dapat membantu kamu memperoleh kembali rasa kendali atas kehidupanmu. Dengan suksesnya pengobatan gangguan stres pascatrauma, kamu juga dapat merasa lebih baik tentang diri sendiri dan belajar cara untuk mengatasi jika gejala gangguan stres pascatrauma muncul lagi. Pengobatan gangguan stres pascatrauma sering meliputi pengobatan dan psikoterapi. Menggabungkan perawatan ini dapat membantu mengurangi gejala dan mengajarkan keterampilan untuk mengatasi lebih baik terhadap peristiwa traumatis dan kehidupan secara umum. Obat Beberapa jenis obat dapat membantu gejala stress pascatrauma membaik. −− Antipsikotik. Dalam beberapa kasus, kamu mungkin diresepkan pengobatan singkat antipsikotik untuk meredakan kecemasan yang parah dan masalah yang terkait, seperti sulit tidur atau ledakan emosional. −− Antidepresan. Obat-obat ini dapat membantu gejala depresi dan kecemasan. Anti depresan juga dapat membantu membantu mengatasi



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



93 masalah tidur dan meningkatkan konsentrasi Kamu. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), obat sertraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil) disetujui FDA untuk pengobatan gangguan stres pascatrauma. −− Anti-kecemasan. Obat ini juga dapat mengurangi perasaan cemas dan stres. −− Prazosin. Jika gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang, obat yang disebut prazosin (Minipress) dapat membantu. Prazosin, yang telah digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan hipertensi, juga menghambat respon otak untuk bahan kimia otak seperti adrenalin yang disebut norepinefrin. Meskipun obat ini tidak secara khusus disetujui untuk pengobatan gangguan stres pascatrauma, prazosin dapat mengurangi atau menekan mimpi buruk pada banyak orang dengan gangguan stres pascatrauma. Kamu dan doktermu perlu bekerja sama untuk menemukan pengobatan yang terbaik, sesuai dengan gejala-gejala dan situasimu, dengan efek samping paling sedikit. Kamu mungkin mengalami peningkatan mood dan gejala lain dalam beberapa minggu. Pastikan untuk memberitahu ahli kesehatan tentang efek samping atau masalah yang kamu miliki dengan obat tersebut, karena doktermu mungkin dapat menyarankan hal lain. Psikoterapi Beberapa jenis terapi dapat digunakan untuk mengobati anak-anak dan orang dewasa dengan stress pascatrauma. Kamu dapat mencoba lebih dari satu, atau menggabungkan jenis, sebelum menemukan yang sesuai atau tepat untukmu. Kamu juga dapat mencoba terapi individu, terapi kelompok atau keduanya. Terapi kelompok dapat menawarkan cara untuk terhubung ke orang lain melalui pengalaman yang sama. Beberapa jenis terapi yang digunakan dalam pengobatan gangguan stres pascatrauma meliputi: 1. Terapi kognitif. Jenis terapi bicara membantumu mengenali cara berpikir (pola kognitif) yang membuat kamu terjebak – misalnya, cara-cara negatif atau tidak akurat dalam memahami situasi normal. Dalam pengobatan gangguan stres pascatrauma, terapi kognitif sering digunakan bersama dengan terapi perilaku yang disebut terapi paparan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



94 2. Terapi Paparan (exposure) Teknik terapi perilaku membantumu secara aman menghadapi hal yang sangat menakutkan yang kamu temukan, sehingga kamu dapat belajar untuk mengatasi secara efektif. Sebuah pendekatan baru untuk terapi paparan adalah menggunakan program “virtual reality” yang memungkinkan kamu untuk masuk kembali ke pengaturan di mana kamu mengalami trauma -misalnya, sebuah program “Virtual Irak”. 3. Gerakan Desensitisasi Mata dan Pengolahan Ulang (EMDR). Jenis terapi ini menggabungkan terapi pemaparan dengan serangkaian gerakan mata dipandu yang membantumu memproses kenangan traumatis. Semua pendekatan ini dapat membantumu menguasai rasa takut berkelanjutan setelah peristiwa traumatis. Jenis terapi yang mungkin terbaik untukmu tergantung pada sejumlah faktor yang dapat kamu diskusikan dengan ahli kesehatan. Obat-obatan dan psikoterapi juga dapat membantumu jika kamu memiliki masalah lain yang berkaitan dengan pengalaman traumatismu, seperti depresi, kecemasan, kecanduan alkohol, atau atau penyalahgunaan zat narkoba. Kamu tidak harus mencoba untuk menangani beban gangguan stres pascatrauma sendiri.



3. RELASI SEHAT Apa yang Dimaksud dengan Relasi Sehat?



S



etiap orang bebas untuk mendefinisikan bagaimana relasi dijalankan dengan cara-cara yang berbeda, tapi untuk membuat relasi menjadi sehat kamu membutuhkan beberapa tips di dalamnya. Relasi adalah bagian dari kehidupan yang kita hidupi sehari-hari, bentuknya bermacam-macam. Relasi cinta & romantis, relasi kerja, relasi pertemanan dan lain-lain. Namun demikian, tidak ada relasi yang sempurna karena setiap relasi selalu saja dalam dinamika yang naik dan turun tapi jika relasi sudah membahayakanmu maka, relasi sudah tak lagi sehat. Relasi sehat adalah ketika dua orang atau lebih membangun prinsip-prinsip yang dapat disepakati, antara lain, kepercayaan, kejujuran, kesetaraan, kesepakatan, dukungan dan penghormatan kepada satu sama lain.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



95 Bagaimana Caranya? Berikut tips yang bisa kamu pertimbangkan agar relasimu menjadi sehat: 1. Membangun kesepakatan 2. Komunikasi yang sehat Keterbukaan, kejujuran dan cara komunikasi yang aman adalah kunci agar komunikasimu menjadi sehat. Sebelum kamu membangun relasi, pastikan terlebih dahulu bahwa kamu berdua atau lebih memiliki pemahaman yang sama pada kebutuhan dan harapan. Ingat, berada dalam kesamaan paham sangat penting. Itu artinya kamu butuh untuk terus menerus berkomunikasi. Ada tips agar komunikasi sehat ini bisa terbangun antara lain: • Bicaralah ketika ada sesuatu yang menganggumu dalam relasi. • Hargai pendapat. Perasaan dan harapan pasanganmu adalah sebuah nilai tersendiri. Dengarkan dan hargai, begitu juga dengan perasaan dan harapanmu. • Kompromi. Ketidaksepakatan atas segala sesuatu adalah bagian dari dinamika relasi tapi penting untuk mencari titik dimana ketidaksepakatan itu dapat dikompromikan. • Supportif. Tawarkan penghiburan dan saling menguatkan satu sama lain. • Hargai privasi satu sama lain. Meskipun kamu dalam relasi tapi masing-masing individu tetap memiliki privasi dan tidak berarti kamu harus membagikan semua hal tentang dirimu dengan pasanganmu, misalnya, berbagi pin ATM, pin HP dan lain-lain. 3. Batasan yang sehat Batasan yang sehat antara kamu dan siapapun dalam relasimu adalah penting. Dengan menyepakati bersama batasan-batasan yang jelas, kamu tidak akan merasa terbebani satu sama lain. Cobalah untuk belajar mengelola harapan dan sadari bahwa pasanganmu memiliki otoritas, begitu juga dirimu. Contoh batasan yang bisa kamu lakukan adalah: • Bila dalam relasi cinta dan romantis, tetaplah nongkrong dengan teman atau kolegamu atau keluargamu tanpa harus diikuti pasanganmu. • Tetaplah menjalani hobimu sesuai keinginanmu • Jangan membagikan atau mengatur kesepakatan untuk keharusan saling mengetahui password semua akun media sosial maupun perangkat elektronik kalian yang bertujuan untuk dapat mengecek segala aktifitas kalian. • Hargai kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



96 4. Semangat yang sehat Dalam setiap relasi pasti kamu akan menemui saat-saat kebuntuan dan kejenuhan bahkan merasa terputus koneksi cinta dan romantisme. Maka kondisi itu perlu ditantang dengan dorongan-dorongan yang sehat, seperti jadwalkanlah liburan bersama, cari kesamaan-kesamaan yang membuat masing-masing kamu merasa bahagia, seperti nonton bareng, makan malam bareng, atau apapun yang bisa memunculkan kembali koneksi cinta dan romantisme sehingga masa jenuh dan buntu teratasi. Apa Dampaknya Bila Berada Dalam Relasi Sehat? Tips-tips di atas bila kamu jalankan tentu saja akan membuatmu bahagia. Relasi yang sehat akan melahirkan banyak kebahagiaan ketimbang perasaan terbebani dan tertekan. Upaya yang kamu lakukan di atas akan melahirkan dampak-dampak yang membahagiakan antara lain; • Tetap memperhatikan dirimu sendiri dan memiliki kepercayaan diri yang tetap baik • Saling menghargai satu sama lain • Tetap akan memiliki hubungan baik dengan teman, kolega dan keluarga tanpa terbebani • Akan tertarik pada apa yang digeluti oleh masing-masing • Tidak khawatir akan terjadinya kekerasan baik fisik maupun non-fisik yang akan terjadi dalam relasimu • Tetap memiliki privasi satu sama lain • Dapat jujur dan membedakan antara aktivitas seksual dengan relasi seksual • Menerima, memberi dan berbagi dalam relasi • Memecahkan permasalahan dengan adil tanpa harus ada pertengkaran bahkan kekerasan fisik. Relasi Tidak Sehat? Bila dampak relasi sehat itu tak lagi kamu rasakan, ketertekanan dan ketidaknyamanan serta tidak aman lebih mendominasi ketimbang kenyamanan dan kebahagiaan, maka kamu sedang berada dalam relasi yang tidak sehat. Bagaimana ciri-cirinya bila relasimu sudah tidak sehat? Ini di antaranya: • Mengabaian satu sama lain baik dirimu maupun pasanganmu. • Merasa tertekan untuk mengubah dirimu atau pasanganmu sesuai dengan harapan-harapan yang diinginkan. • Merasa takut ketika terjadi ketidaksepakatan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



97 • Memaksakan kehendak satu sama lain untuk mengubah diri dengan tujuan menjadi lebih baik • Menyadari bahwa hubungan seksual adalah suatu kewajiban sehingga muncul keterpaksaan. • Memanipulasi keinginan dengan ketidakjujuran. • Menolak melakukan aktifitas seksual yang aman. • Tidak meluangkan waktu satu sama lain. • Terjadi kekerasan dengan alasan apapun, baik kekerasan fisik berupa pukulan, cekikan, gigitan, dilempar barang atau lainnya. Pasanganmu melukai dirinya sendiri sehingga terhindar dari melakukan kekerasan terhadapmu. • Mengharuskan ijin satu sama lain untuk melakukan sesuatu hal, termasuk bertemu dengan keluarga, teman atau mantan. • Dan segala hal yang membuat kamu tidak aman atau nyaman. Mengapa Relasi Tidak Sehat Terjadi? 1. Mengapa relasi tidak sehat sering kali terjadi di setiap hubungan yang dibangun oleh siapapun? Ini kira-kira sebabnya: 2. Sering kali memaknai relasi sebagai sebuah kepemilikan atas satu sama lain. Kamu merasa pasanganmu adalah milikimu, begitu pula sebaliknya. Padahal, relasi adalah koneksi yang dijaga dan dipupuk bersama dengan upaya-upaya yang disebut di atas. 3. Antara kemampuan dan harapan ternyata tidak dalam lembar yang sama. 4. Sering kali harapan diatur melampaui kemampuan yang ada, sehingga paksaan demi paksaan dilakukan untuk memenuhi harapan yang dibangun. 5. Janji pernikahan dan ikatan perkawinan yang dilembagakan seperti halnya perkawinan heteroseksual sering kali menjadi acuan relasi yang sukses dan sehat. 6. Mengamini dan menyepakati serta menelan mentah-mentah bahwa dalam relasi harus ada pihak yang memberi dan memenuhi serta pihak lain yang menerima dan menjalankan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



98



Gambar 5: Lingkaran Kekerasan Dalam Relasi



Bagaimana Bila Kamu Berada Dalam Relasi Tidak Sehat? 1. Putuskan bahwa kamu berhak untuk merasakan aman, nyaman dan bahagia 2. Bicarakan ulang kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibangun dan ambil titik kompromi bila masih dapat dikompromikan 3. Jangan pernah merasa takut kehilangan dan jangan menyalahkan diri dengan berpikir bahwa tidak ada lagi yang akan menerimamu sebagai seorang pasangan 4. Hidup dan tubuhmu jauh lebih berharga dari siapapun, maka dirimulah pemilik paling tinggi atas hidupmu. Bila tidak dapat keluar dari lingkar relasi yang tidak sehat, maka carilah bantuan. Hubungi teman terdekatmu atau lembaga pengada layanan yang dapat mendengarkan suaramu



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



99



4. KEKERASAN SEKSUAL



K



ekerasan seksual adalah berbagai bentuk aktivitas seksual yang tidak dikehendaki dan dipaksakan kepada seseorang atau beberapa individu, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis. Tindakan seperti ancaman, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi dengan tujuan untuk menurutkan derajat kemanusian seseorang secara seksual adalah bentuk dari kekerasan seksual. Ada beberapa kata kunci yang harus diwaspadai. Pertama, ada jenis-jenis agresi seksual yang membuat kamu sendiri tidak nyaman, misalnya tidak nyaman dicium, tidak nyaman dipeluk, tidak nyaman diajak chat atau ngobrol yang sensual. Lalu selanjutnya ada tindakan agresi yang membuat kamu terpaksa dan dipaksa melakukan aktivitas seksual. Kekerasan Seksual Verbal Salah satu bentuk kekerasan seksual yang dianggap lumrah adalah catcalling, yaitu memanggil, memberikan siulan atau memberikan komentar tentang seseorang di depan publik yang membuat orang tersebut menjadi tidak nyaman, terganggu, malu dan takut, contohnya seperti “Cewek, godain kita dong” atau “Kok jalan sendirian aja sih? Mau ditemenin, nggak?” dan lain sebagainya. Sebenarnya ini sudah merupakan bentuk pelecehan seksual non-kontak. Perlakuan catcalling harus dihentikan karena dapat menjadi gerbang atau pintu masuk untuk bentuk kekerasan seksual lainya. Kekerasan Seksual Non-Verbal Berawal dari verbal, kekerasan seksual dapat berlajut menjadi tindakan kekerasan seksual non-verbal. Merupakan tindakan untuk memenuhi kepuasan seksual yang tidak senonoh terhadap korban, seperti tindakan tanpa kontak dengan cara memandang penuh nafsu atau bergaya seolah-olah memberikan ciuman jarak jauh, serta tindakan eksibisionis dengan memperlihatkan kelaminnya di tempat umum dan tindakan fisik seperti meraba, mencium, menyentuh bagian tubuh, hingga pemerkosaan. Kekerasan Seksual Bisa Terjadi pada Siapa saja, Kapan Saja dan Dimana Saja Kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja tanpa memandang kelas, agama, pakaian, orientasi seksual dan identitas serta ekpresi gender. Namun demikian, Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



100 kelompok yang dianggap lemah atau dilemahkan lebih rentan menjadi korban. Kelompok rentan ini sering kali adalah perempuan, anak-anak dan laki-laki dengan ekspresi gender feminin. Selain itu, kelompok LGBTI juga sering menjadi target sasaran. Dalam konstruksi sosial masyarakat, seseorang yang terlahir sebagai laki-laki seolah diberikan kemewahan dan kewenangan untuk melemahkan orang lain secara seksual. Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual Kekerasan seksual yang terjadi baik secara verbal maupun non-verbal ada dalam berbagai macam bentuk antara lain: 1. Perkosaan Serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau pun benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis, atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. 2. Pelecehan seksual Tindakan seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuasa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. 3. Eksploitasi seksual Aksi atau percobaan penyalahgunaan kekuatan yang berbeda atau kepercayaan, untuk tujuan seksual namun tidak terbatas untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial maupun politik dari orang lain. Termasuk di dalamnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, yang kerap disebut oleh lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan sebagai kasus “ingkar janji”.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



101 Iming-iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya sehingga perempuan merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. 4. Penyiksaan seksual Perbuatan yang secara khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, rohani, maupun seksual pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga, untuk mengancam atau memaksanya atau orang ketiga dan untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat pemerintahan maka termasuk dalam pelanggaran HAM. 5. Perbudakan seksual Sebuah tindakan penggunaan sebagian atau segenap kekuasaan yang melekat pada “hak kepemilikian” terhadap seseorang, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak- anak dipaksa untuk menikah, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja paksa yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa termasuk perkosaan oleh penyekapnya. 6. Intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis. Serangan dan intimidasi seksual disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, SMS, e-mail dan lain-lain. 7. Prostitusi paksa. Situasi dimana seseorang dikondisikan dengan tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Pengondisian ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat orang tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan hutang atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



102 8. Pemaksaan kehamilan. Ketika perempuan melanjutkan kehamilan yang tidak ia kehendaki akibat adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya akibat perkosaan tersebut. Pemaksaan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam Statuta Roma, yaitu pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya. 9. Pemaksaan aborsi Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain. 10. Pemaksaan perkawinan Situasi dimana seseorang terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri, termasuk di dalamnya situasi seseorang merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orangtuanya agar ia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang ia inginkan atau dengan orang yang tidak ia kenali, untuk tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga maupun tujuan lainnya. Pemaksaan perkawinan juga mencakup situasi dimana perempuan dipaksa menikah dengan orang lain agar dapat kembali pada suaminya setelah dinyatakan tiga talak dan situasi dimana perempuan terikat dalam perkawinannya sementara proses perceraian tidak dapat dilangsungkan karena berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Ini tidak termasuk dalam perhitungan jumlah kasus, meskipun merupakan praktek kawin paksa. 11.



Perdagangan manusia untuk tujuan seksual. Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atau orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi atau eskploitasi seksual lainnya.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



103 12. Kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Mencakup berbagai tindak kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, dan tidak hanya melalui kontak fisik, yang dilakukan untuk mengancam atau memaksakan perempuan mengenakan busana tertentu atau dinyatakan melanggar hukum karena cara ia berbusana atau berelasi sosial dengan lawan jenisnya. Termasuk di dalamnya adalah kekerasan yang timbul akibat aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. 13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Termasuk dalam penghukuman tidak manusiawi adalah hukuman cambuk dan hukuman yang merendahkan martabat manusia yang ditujukan bagi mereka yang dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 14. Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. Kebiasaan berdimensi seksual yang dilakukan masyarakat, terkadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang dapat menimbulkan cedera secara fisik, psikologis, maupun seksual pada perempuan atau dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan



Dampak Bagi Korban Beberapa dampak akibat dari kekerasan seksual adalah: • Trauma secara seksual • Perubahan perilaku • Dampak psikologis • Luka secara fisik • Infeksi Menular Seksual • Stigma dari masyarakat • Kehamilan yang tidak diinginkan • Dorongan untuk bunuh diri • Gangguan fungsi reproduksi



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



104 Bagaimana Mencegah Kekerasan Seksual? Salah satu solusi yang dapat dilakukan dengan menjadi bagian masyarakat yang aktif untuk selalu menolong para penyintas dan #MulaiBicara jika terjadi kekerasan seksual (Lentera Sintas Indonesia, 2016). Berdasarkan survey Lentara Sintas Indonesia (Juli 2016) 93% korban tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi karena merasa malu, takut disalahkan, dan takut tidak dipercaya. Hanya 1% penyintas yang memilih jalur hukum. Semakin cepat untuk #MulaiBicara semakin cepat pelaku kekerasan seksual untuk ditindak secara hukum. Jangan ragu untuk bicara kepada orang terdekat atau konsultasi melalui lembaga perlindungan seperti Komnas Perempuan atau kelompok pendukung seperti Lentera. Bagi kelompok LGBTI dapat menghubungi Arus Pelangi, Angsa Merah atau Ardhanary Institute. Jika Menjadi Korban Siapapun pasti tidak akan pernah senang jika menjadi korban dari kekerasan seksual. Hal pertama yang harus dilakukan adalah jangan menyalahkan diri sendiri, bangun keyakinan bahwa pelakulah yang bersalah, sehingga anda memiliki kekuatan untuk menghadapi dan mengambil pilihan tepat dalam menyelesaikan kasus. Langkah selanjutnya adalah jangan langsung membersihkan anggota badan karena dengan membersihkan anggota badan atau mandi hal ini akan menghilangkan bukti utama. Selanjutnya mulai kumpulkan barang-barang yang dapat menjadi alat bukti, seperti pakaian, benda-benda yang dimiliki anda atau pelaku dan jangan menyentuh alat bukti dengan tangan, tapi gunakan sarung tangan agar tidak menghilangkan sidik jari pelaku. Ketiga, upayakan untuk mencari dukungan, seperti teman, keluarga, pendamping atau lembaga pelayanan yang dipercaya, karena mereka penting dalam membatu dalam proses pemulihan dan proses hukum. Terakhir, segera laporkan ke pihak berwajib atau datang ke layanan kesehatan agar korban dapat lapor secara hukum dan dapat meminta dokter untuk memeriksa tubuh korban jika terdapat bukti visum (sperma pemerkosa dan lain-lain) yang masih bisa ditemukan sekitar 24-36 jam.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



105 Jika Orang Dekat Menjadi Korban Bila mengetahui adanya perkosaan, jangan tinggal diam. Dengarkan korban dan berikan waktu dan telinga anda untuk menjadi tempat bagi korban untuk mencurahkan perasaannya dan merasa didengar serta merasa aman. Lalu yakinkan korban untuk melaporkan kepada pihak berwajib, rumah sakit untuk pemeriksaan visum, atau menghubungi lembaga terpercaya untuk mendapakan dukungan. Jangan lupa untuk tidak menyalahkan atau menghakimi korban, yakinkan bahwa kejadian tersebut adalah salah pelaku, bukan akibat tindakan atau perilaku dari korban. Hindari kata seperti “Seharusnya kamu...” atau “Seandainya saja kamu...”



Jadilah orang yang mempercayai korban, salah satu penyebab korban kekerasan seksual tidak ingin bercerita adalah karena takut tidak dipercaya. Penting bagi kita untuk langsung mengatakan “Saya percaya.” Sedapat mungkin hindari pertanyaan yang mempertanyakan kebenaran ceritanya, seperti “Kamu yakin?” ketika korban merasa dipercaya, anda telah membantu mulainya proses pemulihan. Percayai pula keputusan korban, meskipun anda merasa kurang setuju. Lebih baik menanyakan “Apakah kamu mau ke Rumah sakit?” daripada “Kamu harus pergi ke Rumah Sakit”. Jika Melihat Seseorang Melakukan Kekerasan Seksual, Apa Yang Sebaiknya Dilakukan? Intervensi adalah tindakan pertama yang bisa anda lakukan, namun perlu diingat perhatikan situasi anda, memastikan apa yang anda lakukan ada dalam posisi yang aman. Cari bantuan dengan melihat sekitar anda untuk menolong korban kekerasan seksual. Berteriaklah meminta tolong untuk menarik perhatian orang banyak agar menghentikan kekerasan seksual yang sedang berlangsung. Temani korban setelah pelaku lari atau korban meloloskan diri untuk memastikan korban aman dan dalam keadaan tidak sendirian. Tidak menutup kemungkinan korban membutuhkan sosok yang dapat mendampinginya saat melapor atau bercerita dan menentukan apa yang ingin dilakukan dan siapa yang dapat dihubungi oleh korban. Intervensi lain dapat dilakukan dengan melaporkan kepada pihak berwajib atau keamanan atau mengalihkan perhatian atau tindakan langsung seperti menegur pelaku. Sekali lagi hal ini perlu pertimbangan pada situasi yang ada, apakah



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



106 dapat diatasi sendiri atau butuh bantuan orang lain atau pihak yang berwajib. Satu hal yang terpenting adalah mengambil komitmen untuk menyadari ketika kekerasan seksual terjadi dan menolak untuk diam sehingga terjadi reaksi terhadap kejadian tersebut. Mengambil tindakan dan menunjukan anda melawan kekerasan seksual dan tidak mendiamkannya, adalah kunci dalam mengakhiri kekerasan seksual



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



107 5. Bullying



D



efinisi Bullying



Bullying adalah bentuk perlakuan agresif yang dilakukan secara berulang atau berpotensi untuk terulang, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan tujuan merendahkan dan menjatuhkan martabat orang lain atas dasar SOGIESC usia, ras, kepercayaan, kelas, profesi, bentuk tubuh, status perkawinan, ODHA atau disabilitas. Terdapat beberapa bentuk bullying (UNICEF Malaysia Communications, 2007) yaitu: • Bullying secara langsung seperti menggoda, menyerang, mengejek, mendorong, memeras dan merusak barang-barang. • Bullying secara tidak langsung seperti mengucilkan, menyebarkan gosip, mengatakan lelucon yang menyakitkan, dan melakukan pelecehan verbal serta perilaku sosial lainnya. • Cyber bullying adalah bullying dengan menggunakan teknologi internet termasuk jejaring sosial, SMS dan e-mail.



Bullying terjadi apabila memenuhi unsur: 1. Perilaku yang dilakukan dengan tujuan menghina dan merendahkan. 2. Perilaku yang menyebabkan seseorang sakit hati, terintimidasi, takut, terisolasi. 3. Perilaku yang dilakukan berulang-ulang baik verbal, fisik, dan psikis, yang membuat korban merasa tertekan. 4. Adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Bentuk bullying yang biasa terjadi di komunitas LGBTI biasanya terjadi atas ciri ekspresi gender, bentuk tubuh warna kulit, role/peran dalam relasi dan nama lahir. Memanggil seseorang dengan ucapan yang merendahkan seperti “banci”, “bencong” adalah salah satu bentuk bullying. Ekspresi feminin kerap menjadi objek bullying di kalangan komunitas LGBTI. Ekspresi feminin sering kali dikenal dengan istilah ngondek. Ekspresi ini dianggap rendah daripada ekspresi maskulin sehingga sering dijadikan sebagai bahan hinaan. Ini sering terjadi di komunitas gay, lesbian, biseksual dan transgender laki-laki. Merendahkan ekspresi feminim adalah bentuk dari sikap misogynist. Bullying atas ekspresi gender biasanya kemudian berkembang menjadi bullying



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



108 atas peran (role) dalam relasi. Peran-peran yang tidak sesuai standar biasanya punya posisi tawar yang rendah sehingga rawan terhadap bullying. Hinaan karena role contohnya antara lain “BNI (butchy numpang hidup)”, “Dasar bottom”, “Kamu bottom, ya?”, “Perempuan kok suka nempong.” Memanggil orang-orang transgender dengan nama lahir membuat mereka merasa terganggu dan tidak nyaman. Sehingga, hal ini juga masuk dalan kategori bullying. Aktor-Aktor Dalam Bullying • Pelaku Pelaku memiliki kuasa yang lebih tinggi sehingga mereka dapat mengatur orang lain yang lebih lemah, seperti anggota komunitas yang lebih senior, komunitas dengan ekspresi gender maskulin yang mudah terbawa emosi dan lebih tertarik pada kekerasan. • Korban Korban biasanya adalah seseorang yang memiliki posisi tawar yang lebih rendah dalam sebuah komunitas atau kelompok sehingga diremehkan dan dianggap lemah, contohnya adalah anak baru dalam komunitas, anggota komunitas yang memiliki ciri fisik, tingkah laku, tingkat pendidikan, kelas sosial yang dianggap berbeda atau lebih rendah di komunitas. • Pendukung (Supporter) Adalah orang-orang yang berada di sekitar bullying dan membantu pelaku melancarkan aksinya. Pendukung menganggap bahwa perbuatan pelaku adalah sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Pendukung biasanya tidak menyentuh atau menyerang korban secara langsung. Mereka tahu bahwa dengan menyentuh atau menyerang korban secara langsung, mereka akan dianggap sebagai pelaku juga, terutama jika kejadian bullying tersebut kemudian diperkarakan secara hukum. Jadi mereka memilih untuk ikut ‘bersenang-senang’ tanpa mengotori tangan mereka secara langsung. Pendukung bisa secara aktif terlibat dalam bullying, misalnya dengan menyediakan alat-alat yang digunakan pelaku untuk melakukan aksinya, atau dengan merekam kejadian bullying tersebut untuk nantinya disebarkan lebih luas. Namun, pendukung bisa juga terlibat secara pasif dalam bullying, yaitu dengan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



109 tertawa, bertepuk tangan, atau menyemangati pelaku dalam melakukan aksinya. Dengan mengapresiasi perbuatan pelaku, pendukung membuat pelaku lebih bersemangat dan kadang membuat pelaku meningkatkan level kekerasan yang dia lakukan kepada korban. • Penonton (bystander) Penonton merupakan seseorang atau sekelompok orang di luar pihak pelaku dan korban dimana penonton ini biasanya hanya diam membiarkan kejadian berlangsung, tidak melakukan apapun untuk menolong korban. Penonton berbeda dengan pendukung. Biasanya penonton menganggap bahwa perbuatan pelaku itu salah. Mereka merasa kasihan kepada korban, namun mereka tidak berani untuk menolong korban, karena takut kalau menolong korban, mereka justru akan dijadikan korban berikutnya oleh pelaku. Mereka tidak tertawa apalagi membantu, namun juga tidak melakukan apa-apa. Penonton biasanya berharap bahwa ada orang lain yang akan melakukan sesuatu untuk menolong korban, namun orang itu bukanlah mereka karena mereka lebih takut pada risikonya. Dalam banyak kejadian selain bullying, misalnya kecelakaan lalu lintas, kejahatan atau kejadian lain yang menimbulkan korban, orang-orang yang tahu tapi mendiamkannya juga disebut sebagai bystander. Mereka berpikir, “Nanti akan ada orang lain saja yang menolong, tidak harus aku”. Ketika semua orang berpikir seperti ini, pada akhirnya korban jadi tidak tertolong. Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah bystander effect. • Pembela (defender/upstander) Orang atau sekelompok orang yang membantu atau membela korban bullying saat atau setelah bullying berlangsung. Sama seperti penonton, pembela juga merasa bahwa perbuatan pelaku dan pendukung itu salah. Bedanya, pembela tidak diam saja seperti penonton. Pembela melakukan tindakan-tindakan yang mencegah terjadinya bullying atau menghentikan tindakan bullying. Pencegahan terhadap bullying dilakukan dengan aktif mendampingi korban. Ketika korban terlihat tidak sendirian secara fisik, pelaku cenderung mempertimbangkan ulang untuk melakukan aksinya, terutama jika yang mendampingi korban jumlahnya banyak. Ketika terjadi bullying, pembela biasanya akan mengatakan dengan tegas bahwa perbuatan pelaku salah dan dia meminta pelaku (dan pendukung) menghentikan



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



110 perbuatan mereka. Pembela bisa juga membawa korban keluar dari situasi bullying tersebut. Pembela tidak selalu orang yang gagah berani tanpa takut pada risiko. Kadang pembela mengalami ketakutan yang sama dengan korban atau penonton, namun mereka memutuskan untuk bertindak. Jika menurut mereka mencegah pelaku secara langsung dianggap membahayakan diri, pembela dapat pula secara diam-diam melaporkan kejadian bullying ini dan meminta tolong pada pihak lain yang dihormati atau ditakuti oleh pelaku untuk menghentikan pelaku. Dalam proses menciptakan ruang aman bagi semua orang, pembela juga memberikan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan anti-bullying dalam komunitas atau lingkungannya. Baik secara langsung atau diam-diam, seorang pembela akan mengambil tindakan, bukan diam saja Dampak bullying bagi korban • Depresi • Minder / Rendahnya kepercayaan diri • Menjadi pemalu dan penyendiri • Merosotnya produktivitas • Merasa terisolasi dalam pergaulan • Berpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri Dampak bullying bagi pelaku • Para pelaku bullying akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang terlampau tinggi dan merasa harga dirinya tinggi pula sehingga menyebabkan mereka berwatak keras, tidak memiliki empati dan emosi yang tidak terkontrol. Mereka mempunyai keinginan untuk mendominasi dalam segala hal sehingga menghalalkan segala cara agar itu dapat diwujudkan. • Merasa memiliki kekuasaan. Bila perilaku bullying terus didiamkan tanpa intervensi dari pihak lain maka dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lainnya. Seperti tindakan penyalahgunaan wewenang antar sesama teman. Yang harus dilakukan ketika bullying terjadi • Jangan diam saja, ungkapkan bahwa kamu terganggu dan tidak suka terhadap perkataan atau hinaan yang ditujukan padamu. • Jika membela diri tidak cukup kuat, segera mencari bantuan dengan mengadukan ini pada orang terdekat. • Jika melihat bullying, jangan hanya diam. Ikut meneruskan pesan fitnah atau hanya diam dan tak berbuat apa-apa akan menyuburkan aksi bullying dan menyakiti perasaan korban. Suruh pelaku menghentikan akModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



111 sinya atau jika pelaku tidak diketahui, bantu korban menenangkan diri dan laporkan kasus tersebut ke pihak berwenang. Apa bedanya Bercanda, Konflik dan Bullying? Dalam konteks pertemanan dan komunitas, kadang sangat sulit membedakan mana yang bullying dan mana yang bukan. Tabel 5 di bawah ini menjelaskan perbedaannya. Bercanda • Semua pihak setara/tidak ada ketimpangan kuasa • Semua pihak merasa senang



• •



• •



Konflik Bullying Kedua pihak setara • Kedua pihak tidak setara Kedua pihak merasa • Ada pihak yang merasa tidak senang karesenang, ada pihak yang terluka atau ketakutan na ada perbedaan pendapat atau ketidak • Dilakukan secara berulang cocokan di antara mereka Kedua belah pihak menginginkan resolusi Resolusi dapat diusahakan



Tabel 8: Bercanda, Konflik atau Bullying



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



112 6. NAPZA



N



APZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainya) adalah bahan/zat/obat yang apabila dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh manusia akan menciptakan sebuah efek yang mempengaruhi tubuh terutama sistem kerja otak dan susunan syaraf pusat. Sehingga jika dikonsumsi dalam waktu yang lama maka akan menyebabkan gangguan fisik, psikis dan fungsi sosial lainnya. Penggunaan NAPZA pada kelompok LGBTI didasari oleh banyaknya permasalahan yang dialami oleh kelompok LGBTI, misalnya karena sering medapatkan pelecehan dan ancaman yang menimbulkan rasa takut pada saat bekerja, komunitas transpuan menggunakan obat-obatan (penenang) dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan efek nge-fly agar dapat mengatasi rasa takut tersebut. Cara ini dianggap manjur untuk mengatasi ketakutan, walau ada juga kelompok LGBTI yang menggunakan NAPZA untuk bisa mendapatkan pengakuan di dalam masyarakat agar tidak dianggap “berbeda”. Dalam penelitian yang dilakukan Arus Pelangi dalam buku Menguak stigma, Diskriminasi, dan kekerasan pada LGBTI di Indonesia menyatakan penggunaan narkoba sebagai bentuk manifestasi kecemasan dilakukan oleh 80 responden (23,9%) LGBTI (Laazulva, 2013). Yang terbanyak adalah pada kelompok transpuan 31,9% (38 responden) yang menggunakan NAPZA jenis minuman beralkohol. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berbagai tekanan lingkungan khususnya lingkungan keluarga sering menyebabkan komunitas LGBTI merasa tertekan dan memutuskan pergi dari rumah (minggat). Ada sebanyak167 responden LGBTI (49,9%) pernah minggat dari rumah, terutama kelompok gay (56,9%) dan transpuan (55,5%) yang merasa ekspresi gendernya terbatasi di rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggal yang nyaman justru menjadi lokasi yang dihindari untuk ditinggali oleh kelompok LGBTI, itulah mengapa kelompok LGBTI lebih banyak yang tinggal di rumah sewaan (kos, kontrak, mess), salah satu alasan yang diungkapkan karena tidak mendapatkan kenyamanan di rumah atau bahkan sengaja pergi dari rumah (minggat).



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



113 Jenis-Jenis NAPZA 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009). Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan sebagaimana tertuang dalam lampiran 1 undang-undang tersebut. Yang termasuk jenis narkotika adalah: ganja, morfin, dan kokaina. 2. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-Undang No. 5 tahun 1997). 3. Zat yang termasuk psikotropika, antara lain: ekstasi, shabu-shabu dan lain-lain. 4. Bahan Adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti morfin atau kokaina yang dapat mengganggu sistem syaraf pusat, seperti minuman beralkohol, lem, tinner, bensin, tembakau dll Penggunaan NAPZA pada komunitas LGBTI merupakan sebuah fakta yang sering ditemui di lapangan. Banyak komunitas menjadi korban penggunaan NAPZA. Hal disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain: • NAPZA dipercaya dapat meningkat rasa percaya diri • NAPZA dianggap sebagai solusi ketika depresi • NAPZA dianggap sebagai penambah stamina • NAPZA Dianggap sebagai gaya hidup Dampak penggunaan NAPZA sangatlah kompleks. Pada aspek kesehatan, NAPZA tentunya akan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi sistem syaraf, jantung, paru-paru, organ reproduksi, bahkan menimbulkan risiko kematian. Penggunaan NAPZA yang lama juga mempengaruhi psikis seperti lambat bekerja, merasa cemas, hilang rasa percaya diri, penuh curiga, sulit berkonsentrasi, merasa tidak aman, cenderung menyakiti diri sendiri, brutal, bahkan mencoba bunuh diri. Selain itu, dalam aspek sosial, penggunaan NAPZA dalam jangka lama membuat pemakai cenderung menjadi anti sosial, bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Selain itu penyalahgunaan NAPZA juga diancam dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sehingga semua ini perlu dipertimbangkan sebelum mencoba menggunakan NAPZA.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



114 Individu yang ingin berhenti menggunakan NAPZA dapat mencoba beberapa hal yang bisa dilakukan, misalnya: 1. Berniat berhenti. Menumbuhkan kesadaran dalam diri dan berjanji pada diri sendiri untuk berhenti menggunakan NAPZA. 2. Mencari bantuan. Pengguna NAPZA dapat meminta orang-orang terdekat yang dapat dipercaya untuk membantu, mengingatkan dan mendukungnya untuk berhenti menggunakan NAPZA. 3. Berolahraga 4. Melakukan kegiatan positif Cari kegiatan yang positif seperti menjadi volunteer di organisasi yang kamu minati atau memulai olahraga yang rutin membuat hari-harimu tidak terasa kosong dan kesepian. 5. Menghargai tubuh. Mulailah berlaku adil terhadap tubuhmu, karena tubuh adalah organ yg paling dekat dengan diri kita, tapi sering kali kita abaikan. Mulai saat ini berjanjilah bahwa kamu akan selalu menyayangi tubuh dan dirimu dan menjaganya agar tetap sehat. Jangan sungkan untuk memberi apresiasi kepada tubuhmu, misalnya dengan berlibur atau menikmati hal-hal yang bisa membuat tubuhmu segar kembali.



Catatan: Jangan pernah mencoba NAPZA karena NAPZA bukan sebuah pilihan yang tepat. Selain buruk bagi kesehatan, NAPZA juga buruk bagi keuangan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



115 7. PERILAKU BUNUH DIRI



P



rasangka Dan Masalah Kesehatan Kelompok LGBTI



Kelompok LGBTI seringkali dianggap memiliki masalah kejiwaan. Beberapa penelitian memang menemukan bahwa individu LGBTI rentan memiliki beragam masalah perilaku dan kejiwaan. Beberapa contoh di antaranya adalah kerentanan depresi dan ketergantungan pada zat adiktif (Poulders, 2009), gangguan makan (Siever, 1994), rentan bermasalah dengan ketidakpuasan tubuh (Tiggemann, Martins and Kirkbride, 2007), memiliki gaya kedekatan yang tidak aman dalam hubungan interpersonal (Jellison and McConnell, 2003), berperilaku sabotase diri seperti meninggalkan pekerjaan dan pendidikan (Gonsiorek, 1995), memiliki perilaku seks berisiko (Stokes and Peterson, 1998), cenderung melakukan bunuh diri (Macdonald and Cooper, 1998), dan kekerasan dalam level domestik (Pharr, 1988). Semua penelitian yang telah disebutkan di atas, menyoroti lebih jauh bahwa orientasi seksual bukanlah sebagai faktor risiko masalah kejiwaan itu sendiri. Memiliki orientasi seksual yang berbeda dari heteroseksual tidak serta-merta membuat seseorang menjadi rentan terhadap masalah kejiwaan. Prasangka terhadap orientasi seksual yang beredar di masyarakat menjadi faktor risiko yang memicu adanya masalah kesehatan ini. Prasangka bekerja dari luar hingga ke dalam diri seorang individu yang menjadi objek prasangka (Allport, 1954). Sebagai akibat dari prasangka yang terus bermunculan terhadap kelompok LGBTI di masyarakat ini, banyak sekali masalah kesehatan yang akhirnya terjadi. Faktor lingkungan sosial yang penuh prasangka homofobik dan memberikan tekanan minoritas kepada kelompok LGBTI yang menjadi penyebab tingginya distress sehingga memicu gangguan kejiwaan (Poulders, 2009), Faktor lingkungan sosial ini, antara lain kurangnya dukungan sosial, tidak adanya keterbukaan atas orientasi seksual yang semakin mengurangi kemungkinan mendapatkan dukungan sosial, viktimisasi dalam bentuk ujaran kebencian dan viktimisasi fisik. Teori sindemik menjelaskan bagaimana akhirnya semua permasalahan ketidakadilan sosial dan permainan kuasa dari heteroseksual ke LGBTI ini akhirnya menghasilkan berbagai masalah kesehatan seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, bunuh diri dan penularan HIV menjadi saling berkaitan erat dan tumpang tindih hingga akhirnya menurunkan keseluruhan status kesehatan dari kelompok LGBTI (Ferlatte et al., 2015)



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



116 Sebagai bagian dari masyarakat, pandangan individu LGBTI terhadap dirinya sendiri ini dapat dipengaruhi oleh prasangka yang mengakar di masyarakat. Hal ini mewujud dalam bentuk homofobia terinternalisasi. Pemaparan terhadap diskriminasi institusional (contoh: tidak adanya kebijakan yang melindungi LGBTI dan ditampilkannya LGBTI secara negatif di media) dan interpersonal (contoh: kekerasan dan viktimisasi dari keluarga, teman dan rekan kerja) dapat menyebabkan munculnya homofobia terinternalisasi (Davis, 2012). Sebagaimana prasangka yang berasal dari luar individu, prasangka berupa homofobia terinternalisasi yang ada di dalam diri LGBTI juga menjadi potensi masalah kesehatan. Homofobia terinternalisasi memicu kebencian kepada diri sendiri sehingga sering kali menjadi potensi untuk munculnya masalah kesehatan fisik dan kejiwaan pada LGBTI (Szymanski and Kashubeck-West, 2008) (Newcomb and Mustanski, 2010). Pencegahan Bunuh Diri Pada LGBTI Banyak tantangan yang muncul bagi seorang individu LGBTI akibat dari prasangka di masyarakat. Seluruh tantangan ini, seperti marginalisasi, diskriminasi hingga kekerasan fisik, verbal, seksual hingga bullying di sekolah terhadap kelompok LGBTI, berpotensi menyebabkan perilaku bunuh diri (Pereira and Rodrigues, 2015) (Ferlatte et al., 2015) (Van Bergen et al., 2013) (Mavhandu-Mudzusi and Sandy, 2015) (Wang et al., 2015) (Manalastas, 2013) (Liu and Mustanski, 2012) (Hatzenbuehler, 2011). Akibatnya, kelompok LGBTI seringkali ditemukan memiliki tingkat pemikiran dan percobaan bunuh diri lebih tinggi daripada kelompok heteroseksual (Stone et al., 2014) (King et al., 2008) (Hatzenbuehler, 2011). Bunuh diri menjadi masalah kesehatan yang sangat krusial dikarenakan dapat menghilangkan nyawa dengan seketika. Namun, sebagaimana masalah kesehatan lainnya, bunuh diri sangat dapat dicegah. Pencegahan bunuh diri adalah upaya untuk menurunkan faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seorang individu untuk bunuh diri dan meningkatkan faktor pelindung yang menurunkan kemungkinan seorang individu untuk bunuh diri (Johnson et al., 2013). Hal ini berarti sangatlah penting untuk membentuk lingkungan sosial yang dipenuhi dukungan sosial terhadap LGBTI, memiliki keterbukaan atas orientasi seksual berbeda, serta mengurangi viktimisasi seperti bullying, cyber bullying serta kekerasan homofobik lainnya. Selain itu, homofobia terinternalisasi juga harus diperhatikan dari individu LGBTI. Mendorong adanya penerimaan diri terhadap SOGIESC yang dimiliki menjadi langkah penting untuk mengurangi kecenderungan bunuh diri pada individu.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



117 Tingginya diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBTI di Indonesia (Oetomo and Suvianita, 2013) (Human Rights Watch, 2016) memungkinkan potensi untuk melakukan bunuh diri ini semakin tinggi. Apa yang harus dilakukan ketika muncul perilaku bunuh diri pada individu LGBTI? Berikut adalah langkah yang dapat diambil: 1. Kenali Tanda Peringatan Bunuh Diri • Orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri biasanya memberikan tanda peringatan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakannya. Beberapa tanda peringatan bunuh diri adalah: • Merasa seperti terperangkap di masa kini. • Menarik diri dari pergaulan dengan teman dekat. • Merasa tidak memiliki masa depan yang akan lebih baik. • Merasa dirinya menjadi beban, tidak berharga dan tidak berguna • Mulai sering membicarakan topik terkait kematian seperti berharap mengalami kecelakaan. Terkadang membicarakan kematian ini juga melalui cara tidak langsung yaitu berharap tidak pernah dilahirkan atau tidak pernah bangun dari tidurnya. • Adanya upaya mencari cara untuk mati. • Meninggalkan pesan perpisahan, ucapan terima kasih dan minta maaf setelah adanya tekanan hebat dalam hidup. • Terkadang juga dapat dilihat dari akun media sosial seperti mendadak meninggalkan grup, mengubah profile picture menjadi hitam dan terus menerus mengirim status yang depresif atau bicarakan kematian. 2. Berhati-Hati dengan Asumsi dan Nilai Pribadi Asumsi dan nilai pribadi yang berkaitan dengan SOGIESC individu, terutama individu yang tidak anda ketahui secara pasti SOGIESC-nya, dapat menyebabkan seorang individu dengan SOGIESC yang berbeda dengan mayoritas merasa dihakimi. Hindari pertanyaan dipenuhi asumsi heteroseksis seperti,”Kamu punya (menyebutkan jenis kelamin pasangan yang berbeda dari individu)?” di saat anda tidak tau orientasi seksualnya. Pertanyaan seperti,”Mengapa kamu menjadi homoseksual?” juga dapat membingungkan, karena seringkali individu juga tidak tahu pasti dan bahkan tidak mau menjadi seorang homoseksual sehingga akhirnya mereka membuat-buat alasan terkait orientasi seksualnya. Apabila anda merasa tidak yakin dapat menangani seorang LGBTI, ada baiknya anda meminta orang lain yang memiliki pandangan yang tidak menghakimi atau lebih kompeten untuk menangani mereka.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



118 3. Mulai Pembicaraan Perhatikan tanda peringatan yang sudah muncul, utarakan bahwa anda khawatir dengan kondisinya. Contoh : 1. “Sepertinya belakangan ini kamu depresif sekali, jika ada yang mau diceritakan, aku akan ada di sini untukmu,” 2. “Kok belakangan ini jarang gaul sama kita lagi, ada apa denganmu?” 3. “Aku agak khawatir lihat update statusmu. Kamu baik-baik sajakah di sana?” Kecenderungan bunuh diri biasanya muncul dalam kondisi tertekan. Reaksi individu yang sedang tertekan dapat menjadi sangat emosional, sehingga anda harus mempersiapkan diri anda dalam menerima reaksi marah atau menolak bantuan. Hal ini juga terkait dengan SOGIESC yang masih distigma sehingga individu berpotensi untuk menutupi identitas dan cerita terkait identitasnya. Apabila ini terjadi, cukup beritahukan saja bahwa anda akan anda untuk mendengarkannya jika dia sudah siap. 4. Mendengarkan Secara Aktif Saat individu mulai bercerita, pastikan anda mendengarkan dengan empati dan secara aktif. Hal ini dapat anda tunjukkan dengan melakukan parafrase dan refleksi. Parafrase adalah upaya untuk memahami inti pembicaraan dari lawan bicara dengan menggunakan bahasa anda sendiri. Sedangkan refleksi adalah upaya untuk menampilkan emosi yang dialami oleh lawan bicara.



Contoh: Kata si X: “Aku ini sejak kecil sudah di-bully karena kemayu, sampai sekarang berusaha sebisa mungkin keliatan lebih maskulin, tapi gak bisa. Akhirnya tetap saja di-bully sampai sekarang, orang-orang bener-bener gak ada yang paham seberapa kerasnya aku coba itu semua,” Parafrase anda: “Kamu sudah berusaha keras sekali yah, tapi tampaknya usaha untuk jadi jantan ini tidak berhasil, jadinya kamu terus dibully.” Refleksi anda: “Sepertinya kamu sudah lelah ya dengan semua usahamu, apalagi kamu juga merasa gak dimengerti oleh orang sekitar.” Ketika individu LGBTI dengan kecenderungan bunuh diri ini akhirnya mulai bicara mengenai tekanan yang dialaminya, anda juga perlu memperhatikan gerak tubuh, kontak mata, intonasi suara serta hal-hal di luar verbal lainnya. Hal ini akan dapat membantu anda untuk melakukan refleksi terhadap emosi yang dialami, karena emosi seringkali ditampilkan melalui ekspresi non-verbal.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



119 Contoh : Si X: (belum bercerita namun sudah menangis) Refleksi anda: “Kamu sedih sekali ya saat ini. Ada hal yang membuatmu sedihkah belakangan ini?” 5. Menjauhkan dari Rencana Bahaya Apabila tanda peringatan bunuh diri sudah nampak banyak dan kondisi dari individu terlihat mengkhawatirkan, terutama ketika ada pembicaraan mengenai kematian, maka anda harus segera menanyakan apakah ada pemikiran mengenai kematian pada individu bersangkutan. Anda tidak perlu takut akan membuat individu tersebut terpicu untuk memiliki pemikiran bunuh diri dengan menanyakannya. Justru, sangat penting untuk anda bertanya agar individu tersebut dapat mengutarakan mengenai pemikiran bunuh dirinya, dijauhkan dari rencana bunuh diri jika ada, dan merasa lega karena telah membicarakannya tanpa distigma.



Contoh: X: “Aku sudah capek dengan hidup ini. Siapa juga yang mau lahir ngondek dan tertarik dengan sesama jenis yang gak normal gini.” Anda: “Okay, dalam kondisi capek dengan hidup ini, apa kamu ada terpikir hendak mati?” X: “Iya, rasanya pengen mati aja” Anda: “Sejak kapan rasa pengen mati ini muncul?” X: “Sudah dari sejak di-bully pas SD. Sekarang aku sudah kuliah pun masih saja begini,” Anda: “Berarti sudah cukup lama ya. Apa kamu sempat berpikir hendak mati dengan cara tertentu?” X: “Belakangan ini, ada. Rasanya pengen loncat dari gedung rektorat di kampus, biar sekalian semua orang lihat akibat dari apa yang telah mereka lakukan ke aku.” Anda: “Ada rencana kapan melakukannya atau saat ini masih terpikir sejauh itu saja?” X: “Gak tau kapan, tapi bisa aja aku lakukan sewaktu-waktu kalau memang terus-terusan begini kondisinya.” Anda: “Baik, untuk saat ini, kamu tolong menjauhkan diri terlebih dahulu yah dari gedung tinggi. Kalau pemikiran ingin matinya muncul, kamu bisa langsung kontak aku yah,”



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



120 6. Meyakinkan Orang yang Memiliki Kecenderungan Bunuh Diri Melihat Alasan Untuk Hidup Anda dapat menggunakan alasan untuk hidup ini, yang biasanya dapat ditanyakan dari tujuan di masa depan serta apa yang membuat orang tersebut bertahan hingga masa kini.



Contoh : Anda : “Selama ini kan kamu memiliki pemikiran hendak mati, apa sih yang membuat kamu tidak melaksanakannya?” X : “Yah, biasanya muncul sekilas aja sih, aku cuma kepikiran nanti ibuku gimana kalau aku mati bunuh diri, aku gak mau beliau sedih” Anda : “Selain tidak mau membuat ibu sedih, kira-kira kamu ada hal tertentu gak yang hendak kamu capai ke depannya?” X : “Entahlah, aku cuma pengen lulus kuliah aja, tapi yah kalau setelah itu orang masih bully aku, aku rasa aku juga gak tahan juga lama-lama,” Anda : “Okay, itu berarti kamu masih pingin lulus kuliah yah. Coba deh, setiap kali pemikiran bunuh diri ini muncul, kamu ingat kembali kelulusanmu dan kondisi ibumu, barangkali nanti akan membantu untuk melalui pemikiran bunuh diri tersebut”. 7. Merujuk ke Profesional Masalah yang menjadi tekanan pemicu bunuh diri dari individu juga harus diatasi agar dapat membantu individu ke kondisi yang lebih baik. Seringkali, masalah keinginan bunuh diri terjadi karena diiringi oleh gangguan jiwa. Anda harus mengetahui siapa psikolog/psikiater yang dapat menjadi daftar rujukan di sekitar individu. Pastikan juga bahwa psikolog/psikiater yang akan menangani individu ini memiliki pemahaman berbasis bukti ilmiah dan sikap positif terhadap kelompok LGBTI. Perihal perujukan ini biasanya menjadi sulit karena adanya stigma terhadap pelayanan kesehatan jiwa itu sendiri. Anda dapat berusaha meyakinkan bahkan mendampingi orang tersebut untuk memastikan bahwa ia tidak sendirian dan tidak perlu malu untuk ke psikolog/psikiater.



Contoh: Anda: “Kamu sudah sejak dulu memiliki pemikiran bunuh diri seperti ini, sudah pernah coba ke psikiater atau psikolog?” X: “Aku mau tapi malu sebenarnya. Aku takut dianggap orang gila.” Anda: “Masalah seperti pemikiran bunuh diri ini wajar dialami karena kamu terus menerus menghadapi tekanan sosial begitu. Masalah seperti ini ha-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



121 rus segera ditangani oleh professional lho, agar dapat diatasi dengan baik. Takutnya kalau kamu biarkan ke depan, kamu akan jadi semakin kesulitan nantinya.” X: “Hmmm…biar aku pikirkan dulu yah.” Anda: “Ok, nanti kalau kamu siap, aku bersedia untuk temani kamu juga, kok.” 8. Menghubungkan ke Dukungan Sosial Untuk setiap kasus personal, anda tidak dapat melakukan pendampingan pada individu secara sendirian. Anda membutuhkan tim terutama dari orang terdekat agar dapat mengawasi perilaku bunuh diri yang dapat saja muncul secara tiba-tiba ketika individu masih dalam proses pemulihan. Permasalahan kejiwaan terkait prasangka kelompok LGBTI tidak hanya dapat diselesaikan di klinik psikiatri ataupun psikoterapi, namun juga harus diperhatikan aspek lingkungan sosialnya. Masalahnya, pihak keluarga dan lingkaran terdekat seringkali menjadi sumber penolakan terhadap SOGIESC mereka. Dalam hal ini, anda dapat membantu dengan memberitahukan akses ke komunitas LGBTI. Sama seperti memilih psikolog/ psikiater untuk direkomendasikan, anda juga harus memastikan bahwa komunitas LGBTI yang dirujuk dapat berperilaku konstruktif dalam kesehatan jiwa si individu seperti memiliki pengetahuan mengenai LGBTI, dapat memberikan dukungan sosial dan mendorong penerimaan diri dari individu LGBTI. 9. Menjaga Diri Anda Sendiri Mendampingi orang dengan kecenderungan bunuh diri bukanlah hal yang mudah, apalagi jika orang tersebut berasal dari identitas yang distigma masyarakat. Hal ini tentunya dapat menjadi melelahkan bagi anda. Untuk mencegah anda merasa kelelahan, maka ada beberapa hal yang dapat anda lakukan. • Anda harus meletakkan batasan terhadap orang yang anda dampingi terkait kapan anda dapat dihubungi, misalnya pada jam selesai kantor. Hanya di saat krisis bunuh diri terjadi di luar yang disepakati, anda boleh melakukan pengecualian ini. • Anda juga dapat melakukan hal-hal yang menyenangkan untuk diri anda disela-sela pendampingan. • Anda juga dapat berbagi tanggung jawab pendampingan dengan orang sekitarnya dengan cara memastikan bahwa kerahasiaan mengenai SOGIESC-nya terjaga dengan rapat dari orang terdekat yang hendak bertanya-tanya mengenai kondisi individu tersebut. Namun anda juga harus memberitahukan kondisi bahaya bunuh diri yang mungkin terjadi kepada orang terdekat tanpa mem-



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



122 beritahukan detail mengenai SOGIESC-nya ini. Bunuh diri sangat dapat dicegah namun sering kali sulit untuk diprediksi secara pasti. Jika ada upaya percobaan bunuh diri atau kematian bunuh diri setelah anda melakukan pendampingan, anda bisa saja mengalami kekagetan, kesedihan dan segala macam emosi negatif lainnya. Jika hal ini terjadi, anda harus kembali mengingatkan diri anda bahwa ada-ada hal di luar kendali anda, sehingga anda tidak perlu merasa bertanggungjawab terhadap hal-hal di luar kendali tersebut. Tanggung jawab adalah sebatas membantu mendengarkan, namun hasil pada akhirnya berada pada orang dengan kecenderungan bunuh diri tersebut dalam menjalani proses kehidupannya.



8. KEIMANAN & KERAGAMAN SEKSUALITAS



K



risten & Keragaman Seksualitas



Banyak kaum agamawan dan masyarakat agamis mengatakan bahwa Allah membenci dan melaknat individu LGBTI. Lantas pertanyaannya adalah “Apakah orangorang LGBTI bukan bagian dari Konsep Penciptaan Allah?” Manusia diciptakan sebagai klimaks dari karya penciptaan Allah atas semesta alam ini. Manusia diciptakan berbeda dibandingkan dengan ciptaan lainnya, diawali dengan sabda: “Baiklah, Kita menjadikan Manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Kesegambaran manusia dengan Allah ditegaskan sampai 3 kali (Kej 1:26-27) dan ucapan ini tidak diucapkan ketika menciptakan ciptaan lainnya. Kebencian terhadap kelompok LGBTI seringkali didasarkan atas penafsiran Kitab Suci (Alkitab). Oleh karena itu, selanjutnya akan dibahas beberapa ayat kontroversial yang sering dikaitkan dengan LGBTI. Mengkaji Ulang Ayat Alkitab Banyak teks-teks dalam Alkitab yang seringkali dirujuk oleh jemaat sebagai teks yang menolak keberadaan LGBTI. Sebelum menafsirkan sebuah teks, kita harus mengetahui konteks yang menjadi latar belakang penulisan teks tersebut. Jangan membaca teks dengan cara harfiah. Akan repot jika kita membaca Alkitab dengan harfiah. Seperti contohnya dalam 1 Korintus 10:34-35 dikatakan bahwa perempuan dilarang berbicara dalam pertemuan-pertemuan Jemaat, lantas bagaimana dengan banyaknya pendeta perempuan? Apakah itu berarti kita harus menolak pendeta perempuan, majelis dan aktivis perempuan? Tentu tidak. Oleh karena itu, lewat tulisan ini kita bersama-sama belajar mengenai beberapa teks yang Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



123 sering digunakan untuk menolak LGBTI dengan sebuah perspektif baru: tafsiran yang tidak berpusat pada heteroseksual.



Berikut ini tafsiran ayat-ayat Alkitab yang Non-Heterosentris (Ichwan, 2015): 1. Sodom dan Gomora (Kejadian 19)



“Tetapi sebelum mereka tidur, orang-orang lelaki dari kota Sodom itu, dari yang muda sampai yang tua, bahkan seluruh kota, tidak ada yang terkecuali, datang mengepung rumah itu. Mereka berseru kepada Lot: “Di manakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka.” Lalu keluarlah Lot menemui mereka... dan ia berkata: “Saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat. Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang-orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di dalam rumahku.” (Kejadian 19:4-8)



Ayat ini sering ditafsirkan dan dipahami sebagai hukuman atas orang-orang yang melakukan hubungan seksual sesama jenis. Kata sodomi diduga muncul dari teks ini. Dalam bahasa Inggris, kelompok homoseksual di masa lalu disebut sebagai “sodomite”. Benarkah penduduk Sodom dihukum Tuhan karena dosa homoseksual? Benarkah mereka semua adalah gay? Pemerkosaan terhadap tamu-tamu Lot adalah ekspresi kebencian masyarakat terhadap orang asing yang diwujudkan dalam bentuk pelecehan seksual, yang bertujuan merendahkan martabat dari etnis/suku/bangsa dari orang yang dilecehkan. Acuan terhadap kisah Sodom dan Gomora dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain. Menurut Emanuel Gerrit Singgih, jika kita mengandalkan keterangan pada Yeremia 23:14; Yehezkiel 16:46,48 dan Amos 4:11 maka dosa Sodom bukan sodomi, melainkan ketidakadilan sosial (Singgih, 2009: 131). Kisah Sodom dan Gomora bukan mempersoalkan hubungan seksual sesama jenis, melainkan kekerasan seksual yang dilakukan untuk merendahkan martabat seseorang. Kekerasan seksual dalam bentuk apapun - heteroseksual atau homoseksual - adalah dosa.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



124 2. Larangan dalam Hukum Kesucian



“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian” (Imamat 18:22) “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.” (Imamat 20:13) Dalam pandangan Israel kuno, sperma adalah sakral karena diangap benih yang mengandung proses generatif. Maka pengeluaran sperma yang tidak bersifat generatif dianggap najis. Itulah alasan mengapa dalam teks ini tidak disinggung soal hubungan seksual sesama perempuan (lesbian). Pemahaman kuno ini tidak lagi kita pegang, sebab itu berarti pemakaian alat kontrasepsi harus dilarang, begitu pula seks antara suami-istri yang tidak bersifat prokreatif. Bandingkan konteks ayat-ayat yang mengapit Imamat 18:22,



“Janganlah kauserahkan seorang dari anak-anakmu untuk dipersembahkan kepada Molokh, supaya jangan engkau melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN.” (ay.21). “Janganlah engkau berkelamin dengan binatang apapun, sehingga engkau menjadi najis dengan binatang itu.” (ay.23) Hubungan seks sejenis dalam Imamat 18 dan 20 juga berhubungan dengan ritus penyembahan kepada dewa Molokh (artinya benih/keturunan). Untuk meminta berkah pada dewa kesuburan ini, ada dua cara: mengorbankan anak sulung sebagai korban bakaran dan melakukan ritual seks sesama jenis atau dengan binatang di hadapan patungnya. Umat Allah dilarang melakukan penyembahan berhala yang dilakukan oleh bangsa di sekitarnya. Hal serupa muncul di ayat-ayat sebelum dan sesudah Im 20:13 (lihat 20:2-8 serta 20:22-23). Intinya: “Janganlah kamu hidup menurut kebiasaan bangsa yang akan Kuhalau dari depanmu.” (20:22). 3. Pemburit tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah



“Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



125 penyembah berhala, orang berzinah, banci (malakoi = orang yang halus), orang pemburit (arsenokoitai = penyemai benih laki-laki), pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (1Kor 6:9-10) Dari ayat di atas terdapat dua kata yang merujuk pada aktivitas seksual sejenis: banci (Yun: malakoi = halus; kemayu) dan pemburit (Yun: arsenokoitai). Dalam masyarakat Yunani, pelaku erotisme seks sejenis dibedakan antara laki-laki yang lebih tua dan berperan aktif (arsenokoitai) dan laki-laki muda yang pasif (malakoi). Bandingkan dengan 1 Timotius 1:10,



“Bagi orang cabul (Yun: pornoi = pekerja seks laki-laki) dan pemburit (arsenokoitai), bagi penculik (Yun: andropodistai = pedagang budak), bagi pendusta, bagi orang makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat.” Disini disinyalir adanya pedagang budak (andropodistai) yang menjual pekerja seks laki-laki (orang cabul) kepada orang yang lebih tua (arsenokoitai). Jelas pada konteks ini adalah transaksi jual-beli budak seks, dimana hubungan seks sejenis dilakukan dalam konteks pelacuran, perbudakan, eksploitasi dan pelecehan seksual. Disini pihak yang kuat mengeksploitasi yang lemah dan menjadikan orang lain sebagai objek pemuas nafsu. Ini jelas adalah dosa! Sama berdosanya jika dilakukan oleh kelompok heteroseksual. 4. Teguran Rasul Paulus di Roma 1



“Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Roma 1:25-27) Disini Rasul Paulus berbicara tentang aktivitas seks sejenis yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan seks hanya sebagai stimulasi eksotik. Demi melamModul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



126 piaskan hasrat seksual, orang-orang di Roma mengeksplorasi segala kemungkinan kenikmatan yang bisa mereka dapatkan. Ini disebut “tidak wajar” karena pelakunya orang heteroseksual, yang telah menikah namun melakukan seks sejenis sebagai variasi atau eksplorasi seksual. Dikatakan bahwa mereka “meninggalkan” apa yang wajar bagi mereka. Dari pembahasan ayat-ayat Alkitab di atas, disimpulkan bahwa ayat-ayat yang selama ini dipandang melarang eksistensi LGBTI sebenarnya mempunyai konteks sosial dan latar belakangnya sendiri yang perlu untuk diteliti sebelum tiba pada kesimpulan apakah ayat-ayat tersebut melarang atau menerima LGBTI. Dalam masa penulisan Alkitab dan setting sosial (sitz im leben), LGBTI tidaklah menjadi sorotan persoalan yang utama. Lagipula konsep masyarakat masa Alkitab berbeda dengan konsep LGBTI di masa kini (SOGIESC). Alkitab dan Hermeneutik Plus Seringkali orang Kristen mengutip ayat Alkitab untuk melihat suatu permasalahan. Sehingga ada guyonan: “Untuk segala sesuatu ada ayatnya”. Salah satu prinsip tradisi Kekristenan adalah Sola Scriptura (hanya karena Firman Allah), namun pada prakteknya tidak pernah kita menerapkan prinsip ini tanpa mempertimbangkan konteks. Menurut Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Guru Besar Hermeneutik Alkitab dan Teologi Kontekstual Universitas Kristen Duta Wacana, prinsip Sola Scriptura dalam penerapannya ditambahi dengan beberapa hal lain, minimal Sola Scriptura Plus. Menurutnya, hal ini bukan karena kita lalai melainkan karena memang demikianlah seharusnya teks Alkitab dibaca. Dalam kenyataannya, selain Sola Scriptura masih ada Sola Fide (hanya karena iman) dan Sola Gratia (hanya karena anugrah). Singgih menambahkan Sola Caritate yang berarti hanya cinta kasih saja. Sola Caritate tidak biasa dalam tradisi Calvinis, namun sarat dengan muatan Alkitabiah. Selain itu menurut Singgih masih ada lagi plus-nya, yaitu pertimbangan-pertimbangan berdasarkan aras ilmu pengetahuan, aras HAM dan aras budaya. Dalam menghayati seluruh kehidupan sebagai umat beriman atau beragama, kita tidak hanya mengandalkan pada Kitab Suci saja. Rasul Paulus juga mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh karena iman (Roma 3:28), bukan oleh Alkitab. Gereja dan LGBTI (Ichwan, 2015) Apa yang gereja akan lakukan jika ada anggota jemaat yang coming out sebagai LGBTI? Semua bergantung pada pandangan teologi kita terhadap kasus ini. Patricia Beattie Jung dan Ralph F. Smith dalam Heterosexism: An Ethical Challenge



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



127 memberikan berbagai kemungkinan sikap gereja: 1. Imoral: orientasi sejenis dipandang sebagai sebuah pilihan berdosa yang dengan sengaja dan sadar dipilih dan dilakukan. LGBTI dipandang sebagai godaan seksual sama seperti perselingkuhan. Konsekuensinya mereka harus bertobat, orientasi seksualnya harus diubah menjadi heteroseksual dan menikah. Mereka juga tidak boleh mengikuti Perjamuan Kudus atau terlibat dalam pelayanan gerejawi. 2. Penyakit: dipandang bukan sebagai dosa melainkan sebagai penyakit/kebiasaan yang menjerat (sama seperti orang kecanduan narkoba). Konsekuensinya adalah mereka harus direhabilitasi agar kembali “normal”. Dengan mengatakan bahwa LGBTI adalah penyakit maka gereja harus menunjukkan cara/ metode/terapi untuk menyembuhkan penyakit ini. Sayangnya, sejarah medis menunjukkan belum ada yang berhasil. 3. Cacat: berpandangan bahwa LGBTI cacat dan tidak bisa diubah, sama halnya seperti orang difabel. Konsekuensinya karena tidak diubah adalah mereka tidak perlu mengikuti reparative therapy. Mereka harus belajar menerima kenyataan dan berusaha untuk hidup sebaik-baiknya dengan kondisi yang ada. Caranya adalah dengan tidak menikah dan hidup selibat. Gereja memandang mereka sebagai orang yang dipaksa untuk selibat. Pertanyaannya adalah: “Apakah mereka semua mendapatkan karunia selibat?” Hal ini membuat mereka meninggalkan gereja. 4. Normal: LGBTI dipandang sebagai keberagaman, berbeda-beda setiap manusia dan unik. Maka kita perlu untuk menerima mereka apa adanya. Konsekuensinya adalah gereja memberikan kesempatan penuh dan sama bagi mereka untuk melayani, bersaksi dan bersekutu. Jika mereka mempunyai masalah dalam relasi yang mereka bangun, gereja turut memberikan pendampingan pastoral serta memberikan dukungan. Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 2016 mengeluarkan surat pernyataan pastoral tentang LGBT. Dalam pernyataan pastoral PGI ini dikemukakan data ilmu pengetahuan, terutama psikologi yang tidak lagi menggolongkan homoseksualitas sebagai penyakit atau kelainan jiwa. Pernyataan ini diprotes banyak orang. Disini Prof. Emanuel Gerrit Singgih melihat bahwa orang yang saintifik bisa bersikap tidak saintifik, karena meneruskan pandangan dari zaman pra-modern bahwa sains harus tunduk dan tidak boleh berlawan dengan agama. Di lain pihak, kalangan agama sudah juga memeriksa perbendaharaan kepustakaan dan menemukan bahwa daripada menentang LGBTI, agama malah tidak anti terhadap LGBTI.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



128



I



slam & Keragaman Seksualitas (Disarikan dari Tulisan-tulisan eLSA/ Lembaga Studi Agama UIN Walisongo Semarang) 1. Apakah Al-Qur’an membahas tentang Homoseksualitas? Dalam Al-Quran tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menolak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBTI). Pun sebaliknya, tidak ada ayat yang secara terang benderang menerimanya. Karena itu setiap orang berhak untuk menggali makna yang lebih relevan dan humanis tentang persoalan yang kerap menuai pro dan kontra ini. 2. Apakah Luth membahas tentang Homoseksualitas? Pendapat yang menolak LGBTI semuanya berdasarkan pada ayat-ayat yang menceritakan tentang kisah Nabi Luth, seperti dalam QS. Al-A’raf 80-81. Pesan yang hendak disampaikan dalam kisah ini bukan sebagai larangan LGBTI, tapi sebagai “cerita penghibur” untuk menguatkan mental Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah yang ditolak masyarakatnya dari suku Quraisy. Pesan demikian dapat ditangkap apabila ayat di atas dibaca secara utuh, yakni dengan memperhatikan konteks historisnya (sabab an-nuzûl), dan hubungannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya (munâsabah baina al-âyi). Ayat tersebut diturunkan di Makkah pada saat dakwah nabi ditolak, terutama dari para pembesar suku Quraisy. Karena itu, melalui serangkaian ayat sebelum dan sesudahnya yang berisi tentang kisah para rasul yang mengalami penolakan dari umatnya, Nabi Muhammad SAW dimotivasi untuk tidak patah semangat dalam berdakwah menegakkan Hak Asasi Manusia dan membela kaum lemah yang termarginalkan (mustadl’afîn) sebagaimana para pendahulunya1. Pemahaman ini dibuktikan juga dengan penyebutan kata “Luth” dalam Al-Quran yang diungkapkan sebanyak 27 kali, semuanya muncul dalam narasi kisah perjuangan seorang rasul yang ditolak umatnya2. 1 [1] Baca: QS. Al-A’râf 34-186 2 [1] Lihat dalam QS. Hûd 70, 74, 77, 81, 89, QS. Al-Hijr 59, 61, QS. Al-Hajj 43, QS. Asy-Syu’arâ` 160, 161, 167, QS. An-Naml 56, QS. Al-‘Ankabût 26, QS. Shâd 13, QS. Qâf 13, QS. Al-Qamar 33, 34, QS. At-Tahrîm 10, QS. Al-An’âm 86, QS. Al-A’râf 80, QS. Al-Anbiyâ` 71, 74, QS. An-Naml 54, QS. Al-‘Ankabût 28, 32, 33, QS. Ash-Shâffât 133 Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



129 3. Apakah agama Islam menerima keberagaman Seksualitas? Dalam Al-Quran, keberagaman seksualitas justru mendapatkan tempatnya jika kita menyadari bahwa keragaman tersebut bagian dari sesuatu yang bersifat fitrah/bawaan (alamiah, tabiat). Dalam QS. Al-Isrâ` 84 dinyatakan: “Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (syâkilatih) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” Kata syâkilah dalam kamus Lisânu al-‘Arab memiliki makna ciptaan (khalîqah), bentuk (asy-syakl), haluan (tharîqah), orientasi (jadîlah)3. Dalam Al-Quran juga ada janji bahwa kelak penghuni sorga akan didampingi oleh anak-anak muda yang tampan yang tak akan pernah berubah menjadi tua atau disebut dengan wildân mukhalladûn (lihat misalnya QS. Al-Wâqi’ah 17, QS. Al-Insân 19, Ath-Thûr 24). Jadi, janji al-Quran tentang kehidupan di sorga kepada masyarakat Arab masa Nabi Muhammad, tidak hanya bidadari atau hunian yang di bawahnya ada sungai mengalir, tapi disediakan juga anak-anak muda berwajah tampan. Janji Al-Quran erat kaitannya dengan kondisi masyarakat yang diajak berbicara, artinya disesuaikan dengan imajinasi masyarakat dimana Al-Quran diturunkan. Dalam perkataan lain, ketika Al-Quran diwahyukan ada banyak lelaki yang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak muda tampan. Karena itu Al-Quran menjanjikan demikian. Dalam QS. An-Nur 31 yang berbicara perintah menutup aurat disebutkan bahwa perempuan beriman boleh membuka auratnya antara lain di hadapan “ghairi ulil irbah minar rijal (lelaki yang tidak punya nafsu syahwati terhadap perempuan)”. Para mufassir berbeda pendapat tentang maksud dari makna ini, yakni siapa yang berhak mendapat label istilah itu. Sebagian mufassir memaknainya sebagai lelaki tua yang tidak punya gairah lagi terhadap perempuan. Sedangkan menurut mujahid, sebagai orang bodoh atau pandir (al-ablah), menurut ‘Ikrimah bermakna lelaki yang tidak memiliki hasrat secara seksual dengan perempuan atau waria (al-mukhannats)4.



3 [1] Ibnu Mandhûr, Lisân al-‘Arab, cet. III, 1414 H., Beirut: Dâr Shâdir, vol. XI, hal. 357 4 [1] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, cet. I, 2000, Mu`assasah ar-Risâlah, vol. XIX, hal. 161-163



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



130 4. Apakah Pada Jaman Rasul ada Homoseksualitas? Seperti dikutip Muhammad Jalal Kisyk dalam bukunya, Khawâthir Muslim fî alMas`alah al-Jinsiyyah, Ibnu Haz, yang menginformasikan bahwa Muhammad putra dari Abdurrahman bin al-Hakam, pahlawan perang, ketika memegang tampuk kerajaan menggantikan ayahnya, memiliki menteri (al-wazîr) dua anak muda berwajah tampan yang setiap malam salah satu darinya menemani tidur bersamanya. Hal ini pernah diketahui Abî ‘Abbâs ketika menginap di istananya. Malam itu Abî ‘Abbâs menyaksikan dua anak muda tampan dipanggil oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam. Muhammad bin Abdurrahman mengundang salah satu dari menteri yang berwajah tampan itu masuk ke dalam kamarnya, dan Muhammad dalam keadaan baju terbuka. Lalu setelah anak muda tampan itu masuk ke kamar tempat tidur Muhammad, Muhammad menutup pintu. Keduanya berada dalam satu kamar5. Kisah-kisah roman homoseksualitas dalam literatur Arab Islam, khususnya Âdab (humaniora) sangat mudah dijumpai. Cinta dengan sesama, homoseksualitas, atau dalam istilah yang lebih kekinian dan mencakup banyak ragam seksualitas, merupakan bagian dari keragaman yang tak perlu disingkirkan. Itu bagian dari titah Tuhan seperti yang diserukan Al-Quran. 5. Jika Kita Trans, Apakah Kita Dimakamkan Menurut Identitas Gender kita atau Sex Characteristics kita? Dalam mengkafani dan mengurus jenazah, jika mengacu pada haqqulah (Hak Allah) semata, maka kain yang dibutuhkan hanya sebatas penutup aurat. Bagi mereka yang trans, maka pengkafanan dan mengurus jenazah disesuaikan dengan identitas seksualnya, dan jika dia memiliki pesan sebelum meninggal untuk dimakamkan sebagai salah satu identitas gendernya maka dimakamkan sesuai dengan permintaanya tersebut.



5 [1] Muhammad Jalâl Kisyk, Khawâthir Muslim fî al-Mas`alah al-Jinsiyyah, cet. III, 1992, Kairo: Maktabah at-Turâts al-Islâmî, hal. 161-162



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



131



DAFTAR PUSTAKA • Allport, G. (1954) The Nature of Prejudice: Reading, MA: Addison-Wesley. • Arifin, R. (2013) Asal kata ‘Perempuan’, ‘Wanita’, ‘Pria’, 07 Jun, [Online], Available: https://ridwanbahasa.wordpress.com/2013/06/07/ asal-kata-perempuan-wanita-pria [07 Jun 2018]. • Asmini, Y. (2015) Prinsip-prinsip Yogyakarta: Prinsip-prinsip Pemberlakuan Hukum HAM Internasional Dalam Kaitannya Dengan Orientasi Seksual dan Identitas Jender, Jakarta: Komnas HAM. • Barker, C. (ed.) (2000) Cultural Studies: Teori dan Praktek, Bantul: Kreasi Wacana. • Burns, R. (1978) The Self Concept: Theory, Development and Behavior, London: Longman Group UK Ltd. • Davis, E. (2012) Internalized Homophobia among Lesbian, Gay, Bisexual and Transgendered Person: Contributing Factors and Effect, Thesis: Auburn University. • Departemen Agama RI (2015) Al Quran Terjemahan, Bandung: CV Darus Sunnah. • Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (2011) Teks Alkitab Terjemahan Baru, 28th edition, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. • Ferlatte, O., Dulai, J., Hottes, T., Trussler, T. and Marchand (2015) ‘Suicide-Related Ideation And Behavior Among Canadian Gay And Bisexual Men: A Syndemic Analysis’, BMC Public Health, vol. 15, p. 597. • Gail, S. and Sandra, J. (1995) Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta: EGC. • Gonsiorek, J.C. (1995) ‘Gay male identities: Concepts and issues’, in D’Augelli, A. and Patterson, C. (ed.) Lesbian, Gay, And Bisexual Identities Over The Lifespan: Psychological Perspectives, New York: Oxford Press. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



132 • Hanggoro, H.T. (2016) Cara Bang Ali Hadapi Waria, 25 Feb, [Online], Available: https://historia.id/kota/articles/cara-bang-ali-hadapi-wariaP3eRk [12 Jun 2018]. • Harahap, B. and Sutardi, N. (2006) Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Jakarta: Pericindo. • Hatzenbuehler, M. (2011) ‘The Social Environment and Suicide Attempts in Lesbian, Gay, and Bisexual Youth’, Pediatrics, vol. 128, pp. 896-903. • Human Rights Watch (2016) These Political Games Ruin Our Lives: Indonesia’s LGBT Community Under Threat, Aug, [Online], Available: https:// www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_1.pdf [12 Jul 2017]. • Hurlock (1973) Adolescent Development, 4th edition, Japan: McGraw-Hill Inc. • Ichwan, J. (2015) ‘Gereja dan LGBT’. • Isnaeni, H.F. (2010) Viva Vivian!, 03 Nov, [Online], Available: https://his-



toria.id/budaya/articles/viva-vivian-6a8JP [12 Jul 2017]. • Jellison, W. and McConnell, A. (2003) ‘The Mediating Effectsof Attitudes Toward Homosexuality Between Secure Attachment and Disclosure Outcomes Among Gay Men’, Journal of Homosexuality, vol. 46, no. 1/2, pp. 159-177. • Johnson, R., Oxendine, S., Taub, D. and Robertson, J. (2013) ‘Services, Preventing College Student Suicide (New Directions for Student Services)’, in Taub, D. and JO, R. (ed.) Suicide Prevention for LGBT Students, San Francisco, CA: Jossey-Bass. • JYE (2017) Tips For Coming Out, 09 Nov, [Online], Available: https:// www.minus18.org.au/index.php/articles/itemlist/tag/coming%20out [12 Jul 2017]. • KBBI Daring (2016) KBBI Daring: Persekusi, [Online], Available: https:// kbbi.kemdikbud.go.id/entri/persekusi [12 Jul 2017]. Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



133 • King, M., Semlyen, J., Tai, S., Killaspy, H., Osborn, D., Popelyuk, D. and Nazareth, I. (2008) ‘A Systematic Review of Mental Disorder, Suicide, and Deliberate Self Harm in Lesbian, Gay and Bisexual People’, BMC Psychiatry, vol. 8. • Laazulva, I. (2013) Menguak Stigma, Kekerasan dan Diskriminasi pada LGBT di Indonesia: Studi Kasus di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar, Jakarta: Arus Pelangi. • Lentera Sintas Indonesia (2016) Panduan #Mulai Bicara, Jakarta: Lentera Sintas Indonesia. • Liu, R. and Mustanski, B. (2012) ‘Suicidal Ideation and Self-Harm in Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Youth’, American Journal of Preventive Medicine, vol. 42, no. 3, pp. 221-228. • Macdonald, R. and Cooper, T. (1998) ‘Young Gay Man and Suicide : A Report of A Study Exploring Which Young Men Give for Suicide’, Youth Studies Australia, vol. 17, no. 4, pp. 23-27. • Manalastas, E. (2013) ‘Sexual Orientation and Suicide Risk in the Philippines : Evidence from a Nationally Representative Sample of Young Filipino Men’, Philippine Journal of Psychology, vol. 46, pp. 1-13. • Mavhandu-Mudzusi, A. and Sandy, P. (2015) ‘Religion-Related Stigma and Discrimination Experienced by Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender Students at a South African Rural-Based University’, Culture, Health and Sexuality An International Journal for Research, Intervention and Care, vol. 17, no. 8, pp. 1049-1056. • Newcomb, M. and Mustanski, B. (2010) ‘Internalized Homophobia And Internalizing Mental Health Problems: A Meta-Analytic Review’, Clinical Psychology Review, vol. 30, pp. 1019-1029. • Oetomo, D. and Suvianita, K. (2013) Laporan LGBT Nasional Indonesia: Hidup sebagai LGBT di Asia, Jakarta: UNDP.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



134 • OHCHR (1996) Challenges They Face, [Online], Available: https://www. ohchr.org/EN/Issues/SRHRDefenders/Pages/Challenges.aspx [30 Aug 2018]. • OHCHR (1996) Who is a defender, [Online], Available: https://www. ohchr.org/EN/Issues/SRHRDefenders/Pages/Defender.aspx [12 Jul 2017]. • Pamflet (2017) Apa Beda Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana?, 15 Feb, [Online], Available: https://pamflet.or.id/portfolio/pelanggaran-ham-vs-tindak-pidana-apa-bedanya [12 Jul 2017]. • Pattiradjawane, S. (ed.) (2014) Mengenal Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi dan Undang-Undang, Jakarta: YLBHI. • Pereira, H. and Rodrigues, P. (2015) ‘Internalized Homophobia and Suicid-



al Ideation Among LGB Youth’, Journal of Psychiatry, vol. 18, no. 2, pp. 1-6. • Pharr, S. (1988) Homophobia: A Weapon of Sexism, Little Rock: Chardon. • Poulders, L.A. (2009) ‘Factors affecting vulnerability to depression among gaymen and lesbian women in Gauteng, South Africa’, South African Journal of Psychology, vol. Vol 38, no. 4, pp. 673-687. • Purba, Y. (ed.) (2017) Laporan Penelitian, Pendokumentasian dan Pemantauan: Situasi HAM dan Akses Keadilan Kelompok LGBT di Indonesia, Jakarta: Arus Pelangi. • Rustinawati, Y., Nuringdyah, E., Agustine, R.S., Hartanto, D., Sulistyowati, E. and Arifin, A. (2013) Modul Pelatihan untuk Fasilitator : Pendidikan Anti-Bullying Berbasis SOGIE & HAM, Jakarta: Arus Pelangi. • Siever, M. (1994) ‘Sexual orientation and gender as factors in socioculturally acquired vulnerability to body dissatisfaction and eating disorders’, Journal of Consulting & Clinical Psychology, vol. 62, pp. 252-260. • Simarmata, H. and Aji, T. (2017) Pemetaan Terhadap Pemberitaan dan Media Komunitas Terhadap LGBTI, Jakarta: Kemitraan.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



135 • Stokes, J. and Peterson, J. (1998) ‘Homophobia, Self-Esteem, And Risk For HIV Among African-American Men Who Have Sex With Men’, AIDS Education and Prevention, vol. 10, pp. 278-292. • Stone, D., Luo, F., Ouyang, L., Lippy, C., Hertz, M. and Crosby, A. (2014) ‘Sexual Orientation and Suicide Ideation, Plans, Attempts, and Medically Serious Attempts: Evidence From Local Youth Risk Behavior Surveys, 2001-2009’, American Journal of Public Health, Feb. • Sudarwati, J. (1997) Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik, July, [Online], Available: http://www. angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html [12 Juni 2018]. • Sutaryo (2008) Strategi Pembelajaran Active Knowledge Sharing, Bondowoso: KGPAI Kabupaten Bondowoso. • Szymanski, D. and Kashubeck-West, S. (2008) ‘Mediators Of The Relation-



ship Between Internalized Oppressions And Lesbian And Bisexual Women’s Psychological Distress’, The Counseling Psychologist, vol. 39, pp. 575594. • Tiggemann, M., Martins, Y. and Kirkbride, A. (2007) ‘Oh To Be Lean And Muscular: Body Image Ideals In Gay And Heterosexual Men’, Psychology of Men and Masculinity, vol. 8, no. 1, pp. 15-24. • UNICEF Malaysia Communications (2007) Stop Violence In Schools!: The Scope and Impact of Bullying, [Online], Available: https://www.unicef. org/malaysia/UNICEF_-_Fact_Sheet_-_Impact_and_Scope_of_Bullying. pdf [12 Jul 2017]. • Van Bergen, D., Bos, H., Van Lisdonk, J., Keuzenkamp, S. and Sandfort, T. (2013) ‘Victimization and Suicidality Among Dutch Lesbian, Gay, and Bisexual Youths’, American Journal of Public Health, vol. 103, no. 1, pp. 70-72. • Wang, J., Ploderl, M., Hausermann, M. and Weiss, M. (2015) ‘Understanding Suicide Attempts Among Gay Men From Their Self-perceived Causes’, The Journal of Nervous and Mental Disease, vol. 203, no. 7, pp. 499-506.



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



136



• Widodo, R. (ed.) (2015) Manual Pelatihan Dasar Ham: Pegangan Partisipan, Jakarta: Komnas HAM. • World Health Organization (2006) Sexual and Reproductive Health: Defining Sexual Health, [Online], Available: http://www.who.int/reproductivehealth/topics/sexual_health/sh_definitions/en/ [25 July 2017].



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017



137 “Saya bangga dengan keberanian Arus Pelangi, penerima Felipa De Souza Award 2016, yang berhadapan dengan banyak retorika kebencian, ancaman dan kekerasan di Indonesia. Kalian adalah contoh dan inspirasi bagi semua untuk terus mendorong penghormatan, penerimaan, dan hak asasi manusia bagi LGBTI, Interseks dan Queer di manapun berada” -Ban Ki MoonSekretaris Jenderal PBB (Mei 2016)



“Dalam upaya memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas LGBTI. Negara harus hadir. Jadi rekomendasi atas penelitian ini perlu mendapat perhatian” -Muhammad NurkhoironKomisioner Komnas HAM, Pelapor Khusus Komnas HAM untuk Isu Hak Minoritas



(Desember 2016)



“Waktu berlalu, gerakan berubah, manusia berubah, dan tantangan baru muncul. Kadang kita kalah, kadang situasi menjadi lebih buruk, kadang musuh yang merayakan kemenangan. Tetapi kami tidak akan pernah lelah, kami tidak akan kehilangan harapan dan kami tidak akan pernah menyerah. Karena kami yakin kami tidak sendiri. Ada banyak yang mendukung, ada banyak yang menjadi teman kami. Jangan pernah menyerah PELANGI! #YouAreNotAlone" -Federasi Arus Pelangi(Desember 2016)



Modul Pendidikan Dasar SOGIESC: Bahan Bacaan Bagi Peserta Arus Pelangi, 2017