Novel Hati Suhita Episode 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Episode 7 (Pov Aruna) Namaku Aruna. Aruna Citrawati. Kata Alina yang penggemar wayang, Citrawati adalah putri kerajaan Magada yang terkenal mengamalkan kesucian trilaksita, yakni terjaga ucapannya, tingkah lakunya, dan hatinya. Alina juga bilang, Citrawati adalah titisan dewi Widowati yang jatmika, cantik, molek dan ramah. Tapi aku tidak akan membahas itu. Aku adalah perempuan biasa saja. Dengan kehidupan rumah tangga yang biasa saja. Dan bisnis yang biasa saja. Sama lah dengan orang kebanyakan. Keberuntunganku adalah, aku lahir dari keluarga yang hangat, boleh memilih jodohku sendiri, dan menentukan sendiri bisnis apa yang ku kembangkan. Tidak seperti Alina Suhita. Alina itu cantik penuh pesona. Tapi hidupnya penuh beban. Hanya bersamaku dia tertawa terbahak sampai rongga mulutnya kelihatan. Hanya bersamaku dia berani bersendawa. Hanya bersamaku sendoknya berdenting saat makan. Selain denganku, dia kalem sekali. Aku sendiri tidak tahu, kalemnya itu nitis dari siapa. Aku kenal Alina karena dia temanku sekamar, dia datang dua tahun lebih awal. Sebenarnya sih, kami seumuran. Aku terlambat mondok karena butuh bertahun tahun untuk berpikir. Bisa tidak ya aku tinggal di pesantren. Jauh dari orang tua. Kumpul banyak orang



yang beda beda karakter dan latar belakang. Aku juga tidak yakin bisa menjalani kegiatan pesantren yang seabrek abrek. Maka, aku bilang sama Ibuku, datangkan saja guru diniyah ke rumah. Aku mau saja walaupun jadwal lesku sudah padat. Aku mau digembleng dengan pelajaran persis seperti yang diajarkan pesantren, asal ya itu tadi, aku gak usah mondok. Tapi ayahku, yang alumni pesantren, malah ceramah panjang lebar. Dia bilang, meski dia bisa membayar seratus guru diniyah untuk datang ke rumah, aku harus mondok sebab di sanalah aku akan belajar ilmu hidup. Kata ayahku, ilmu hidup di pesantren, tidak akan kudapat di sekolah manapun. Masku yang mbarep malah nambah nambahi, aku harus dimasukkan pesantren yang tua dan besar. Sebab pesantren pesantren besar jaringan alumninya kuat dan ini akan sangat berharga di kehidupan kami kelak. Waktu itu, aku mengajukan syarat, aku mau mondok asal mbak siti, pembantuku, ku bawa. Hehe. Kalau aku tidak salah ingat, sepuluh hari mbak siti ikut mondok. Abah yai memperbolehkan sebab beliau termasuk akrab dengan ayahku yang juga seorang donatur. Kata abah Yai, aku butuh penyesuaian. Aku baru mau ditinggal mbak Siti setelah aku dapat teman baru. Dialah Alina Suhita. Dia cantik. Baik. Kalem. Dan pintar. Kami seperti dwi tunggal. Aku menyukai sifat kalemnya, dia menyukai keceriaanku. Kami runtang runtung berdua. Kalau kiai Hannan ke pondok bersama bunyai dan mengajak Alina ke luar untuk di belikan ini itu, aku pasti ikut dan menyaksikan sendiri betapa beruntung seorang Alina. Calon mertuanya kiai besar. Kaya raya. Calon suaminya anak tunggal pula.



Alina mencubitku keras sekali saat aku diajak ke rumah kiai Hannan untuk bertemu gus Birru. Ya ampuuuun gus Birru begitu cakep. Waktu itu rambutnya masih gondrong. Ia memakai kaos kuning. Wajahnya memang angkuh tapi air mukanya memikat. Kulitnya putih bersih. Baunya harum sekali. Bibir, mata, dan hidungnya proporsional sekali. Kalau dia tertawa lalu matanya menyipit dan barisan giginya terlihat, duh, dunia serasa berhenti berputar. Kubilang pada Alina, "lin, aku lin, kalau aku yang jadi istrinya, akan ku kunci dia di dalam kamar dan akan kunikmati sendiri. Ta kurung pokoknya." Mendengar itu, alina mencubitku sampai aku menjerit sebab baginya tak pantas perempuan membahas hal hal semacam itu. Habis bagaimana lagi? Gus Birru itu sangat menggairahkan. Dia tidak ramah memang. Tapi auranya memang minta ditakluklan. Sebenarnya kurang cocok kalau sama Alina. Sama sama jaimnya sih. Tapi ya bagaimana lagi, wong mereka sudah di jodohkan dari dulu. Setelah pertemuan itu, aku selalu terbayang, tapi ya terbayang wajar sih sebagaimana orang awam melihat artis. Alina justru tampak biasa saja. Enggak kangen atau gimana. Mungkin karena gus Birru juga selalu mengindar. Malah beberapa kali Alina menyebut nyebut nama kang Dharma yang sering mengiriminya buku. Kang Dharma memang penyayang. Pengayom. Penuh perhatian. Entah dia punya senjata atau kesaktian apa. Setiap di dekatnya, siapa pun merasa aman. Saat Alina menghayalkan kalau kelak ingin ke candi Sukuh dan Candi Ceta bersama kang Dharma, aku tahu, Alina diam diam menikmati perhatian kang Dharma.



Candi Sukuh dan candi Ceta adalah peninggalan Dyah Suhita, salah satu pemimpin kerajaan Majapahit yang namanya persis nama sahabatku ini. Letaknya di lereng gunung lawu. Alina sendiri yang bersemangat menjelaskannya padaku. Hubunganku dengan Alina akrab sekali. Sampai kang Dharma, menjuluki kami seperti Niken Tambangraras dan Centini. Jelas aku centininya. Tapi Alina tidak pernah menganggapku sub Ordinat, dia justru menganggapku orang dekat, dia bercerita soal apapun, soal kang Dharma yang diam diam ia rindukan, dan soal tunangannya, gus Birru, yang cuek, angkuh, dan selalu menghindar. Waktu itu, hanya ku jawab, ya wajar kalau gus Birru dingin, wong dia di jodohkan. Mana ada laki laki di jodohkan langsung hangat? Semuanya hanya soal waktu. Jadi waktu kulihat pada pernikahan mereka berdua suasana bisa begitu romantis, aku langsung meledeknya kalau tak lama lagi, dia pasti langsung hamil sebab dua duanya sama sama terlihat saling mencintai. Aku tidak tahu kalau itu hanya akting mereka berdua di depan fotografer dan ribuan tamu. Tahuku ya mereka sudah saling mencintai. Maka, aku membiarkannya dan tak menemuinya selama berbulan bulan karena ku pikir mereka berdua sedang bulan madu. Tapi pada suatu sore, entah kenapa, feelingku mengatakan kalau Alina sedang galau. Aku kaget saat kulihat wajahnya begitu kacau dan kubawa dia ke salon. Aneh. Dia yang seperti bulan purnama, setelah menikah kog seperti rembulan karinan, nglentrih, pucat, tidak ada gairah. Setelah mengajaknya ke salon, aku sudah tidak ngecek lagi. Ndilalah kog ya kesibukanku menumpuk, aku bahkan ta sempat lagi melukis alisku setiap keluar.



Sampai suatu sore, dia menelponku dengan suara parau. Waktu itu, aku sedang berburu batu ruby. Aku memang penggemar batu ruby. Bagiku, ruby adalah batuan paling special. Konon, Marcopolo pernah menulis bahwa saking istimewanya batu Ruby, Kublai Khan sampai ingin menukar sebuah kota dengan batuan ini. Kutinggalkan semua urusanku karena kudengar tangisnya begitu gawat. Lalu sore ini, di serambi masjid tegal sari, tangisnya pecah. Pasti sudah lama ia merindukan waktu dan tempat yang pas untuk menceritakan seluruh nelangsanya. Asli, aku tidak tega sampai aku ikut menangis. Kemana saja aku, sampai tak tahu sahabatku sendiri terseok seok menghadapi keangkuhan suaminya? Kupikir, Alina adalah perempuan yang sempurna. Ternyata, dugaanku salah. Ia sangat menderita di banding perempuan manapun. Coba, adakah yang lebih pedih dari diabaikan suami sendiri? Tidak dianggap? Tidak dilihat? Tidak disentuh? Dan sudah berbulan bulan? Kalau aku di posisi Alina, sudah pasti kuadukan pada mertua. Atau pada ibuku sendiri. Minimal biar ada yang menasihati. Bisa bisa malah aku pulang minggat ke rumah orang tuaku. Tapi aku bukan Alina, dan Alina bukan aku. Walau jiwanya meranggas dan badannya habispun, ia tidak akan lapor ke orang tuanya, apalagi mertuanya. Aku faham wataknya. Dia benar-benar seorang princess. Di tengah keluarganya, dia bersedia menjadi lilin, habis, leleh, sakit, asal cahaya tidak redup. Maka, saat dia terbata dan menangis menceritakan malam malamnya yang pilu, aku tersedu seperti mengalaminya sendiri. Kenapa gus Birru begitu tega menyakiti sahabatku ini?



Aku sangat khawatir kalau Alina stress. Orang orang yang memendam duka dan dendamnya, sangat rentan tertekan dan depresi. Aku takut itu terjadi. Alina yang malang, yang sejak muda sudah tertekan. Kini belum temukan kebahagiaan. Aku merangkulnya. "Aku minta tolong sama kamu, run. Cari tahu yang namanya Renggangis." bahunya naik turun, menahan isak. Mendengar nama Rengganis, hatiku ikut sakit. Tapi aku tidak bisa serta merta menyalahkannya. Aku belum tahu cerita yang sebenarnya. Setiap orang kan punya masa lalu. Yang kusalahkan ya Gus Birru, kenapa dia sampai tidak bisa menjaga perasaan sahabatku. Kenapa dia terang terangan melukainya. Sahabatku tidak punya salah apapun sama dia. Dan tidak semestinya dia memperlakukan begitu. Aku juga penasaran sama Rengganis, tapi aku tidak tertarik untuk menemuinya. Pikiranku sederhana, aku faham batas tipis hati Alina. Apa Alina kuat ketemu kekasih suaminya? Kalau Alina putus asa lalu menyerah, bagaimana kalau ia memilih pergi? Kau bisa bayangkan kan? betapa senyapnya sebuah kerajaan kalau permaisurinya pergi? "Aku capek, Run. Aku gak tau sampai kapan aku bisa bertahan." Tangisnya menjadi jadi. Aku berpikir keras. "lin, dengarkan aku. Pernahkah kamu cuek sama gus Birru?" Dia menggeleng. "Gini deh. Kamu gak usah urus keperluannya. Cuekin balik dia itu. Fokus aja urus pondok. Urus mertuamu." Isaknya terhenti. Alisnya terangkat.



"maksudku, tunjukkan sama dia kalau kamu itu gak butuh." Dia menggeleng. Waduh. Aku lupa dia keras kepala dan sangat menjaga prinsipnya. "Run, aku harus menemui Rengganis. Kalau mas Birru tetap begitu, aku akan pergi, dan.. dan memilih tinggal di pedesaan. Damai. Bersama kang Dharma." Kalimat terahirnya membuatku terhenyak. Mungkin dia masih emosi. Dan masih sentimentil karena pertemuan dengan kang Dharma tadi. Mungkin dia butuh waktu untuk tenang. Duh, Alina Suhita, lupakan soal Rengganis dan kang Dharma. Serahkan padaku. Kau adalah seorang Ratu. Inilah perangmu. Hadapi sendiri. Taklukkan gus Birru. "Kang Dharma tidak mungkin menyakitiku, Run. " desahnya lirih. Aku termangu.