OCT Pada Glaukoma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



PAPER OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA GLAUKOMA



Disusun oleh: Setia Ningrum Wibisana 140100120



Pembimbing: Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph), Sp. M(K)



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



KATA PENGANTAR



Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT., atas berkat , rahmat dan hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Optical Coherence Tomography pada Glaukoma”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph), Sp. M(K) selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam system pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.



Medan, Maret 2019



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................. i DAFTAR ISI ................................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................ 2 1.3 Manfaat ...................................................................................... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Mata............................................................................. 3 2.2 Optical Cohorence Tomography ................................................ 9 2.2.1 Definisi Optical Cohorence Tomography .......................... 9 2.2.2 Prinsip Dasar Optical Cohorence Tomography ................. 9 2.2.3 Jenis Optical Cohorence Tomography ............................... 10 2.2.4 Indikasi dan Kontraindikasi .............................................. 11 2.2.5 Cara Penggunaan Optical Cohorence Tomography........... 11 2.2.6 Interpretasi Optical Cohorence Tomography..................... 12 2.2.7 Optical Cohorence Tomography pada Glaukoma ............. 14 BAB III. KESIMPULAN ........................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Anatomi Mata ……………………………………………………………



3



Gambar 2. Konjungtiva ……………………………………………………………...



5



Gambar 3. Lapisan Kornea …………………………………………………………



6



Gambar 4. Optical Cohorence Tomography pada Mata Normal



13



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata merupakan satu diantara organ terpenting tubuh manusia dimana mata memiliki fungsi sebagai indera penglihatan. Jika terjadi kerusakan atau gangguan pada fungsi dan peran dari mata, maka pengaruhnya



sangatlah



besar pada penglihatan. Gangguan penglihatan adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan atau menurunnya luas lapangan pandang yang dapat mengakibatkan kebutaan. Satu diantara banyak kerusakan atau gangguan pada mata adalah glaukoma. 1 Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah katarak di seluruh dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) 2010 menunjukkan bahwa diperkirakan sebanyak 3,2 juta orang mengalami kebutaan akibat glaukoma.2,3 Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang pernah di diagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar 0,46% dan tertinggi di Provinsi DKI Jakarta, dapat diduga bahwa sebagian besar penderita glaukoma belum terdeteksi / terdiagnosis dan tentunya belum tertangani. 4 Perkembangan teknologi semakin cepat sesuai dengan tuntutan kemajuan jaman dan salah satu teknologi untuk mendeteksi kejadian glaukoma adalah Optical Coherence Tomography (OCT). Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan teknologi pencitraan yang menampilkan gambaran resolusi mikron, cross sectional, pada jaringan invivo, termasuk mikrosutruktur okuli.5 Di bidang glaukoma, OCT lebih memberikan konstribusi yang besar untuk mendeteksi dini adanya glaukoma sebelum didapatkan gangguan lapangan pandang.6



1.2. Tujuan



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Tujuan dari penulisan paper yang berjudul “Optical Coherence Tomography pada Glaukoma” ini antara lain: -



Membahas mengenai prinsip dasar, jenis, indikasi, kontra indikasi, cara penggunaan, dan interpretasi hasil Optical Coherence Tomography.



-



Menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.



1.3. Manfaat Hasil paper ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan, baik bagi penulis maupun pembaca terkait dengan Optical Coherence Tomography, serta dapat menjadi sumber referensi untuk makalah selanjutnya.



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Anatomi Mata



Gambar 1. Anatomi Mata



Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24 mm. Segmen anterior dibatasi oleh kornea yang jernih di depan, serta lensa dan penggantung lensa di belakang. Sedangkan segmen posterior terletak di belakang lensa.7 Segmen anterior sendiri terbagi dua, yang terletak di antara lensa dan iris disebut sebagai kamera okuli posterior, dan yang di antara iris dan kornea disebut kamera okuli anterior. Bola mata di bagian depan mempunyai kelengkungan yang lebih tajam. Kelengkungan yang lebih besar dari normal akan membuat indeks bias kornea meningkat sehingga bayangan benda yang dilihat jatuh di depan retina. Sedangkan kornea yang kurang lengkung akan menyebabkan bayangan jatuh di belakang retina. Keduanya akan dipersepsi sebagai suatu kekaburan.8 Kamera okuli anterior berbatasan dengan lapisan endotelial kornea di anterior, iris dan kapsul anterior lenda di posterior. Apabila pupil tidak miosis, maka ujung pupiler iris tidak menyentuh kapsul anterior lensa, sehingga humor aquous di



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



kamera okuli anterior bisa berhubungan dengan humor aquous di kamera okuli posterior. Dengan demikian pupil bisa dianggap sebagai pintu penghubung antara kamera okuli anterior dan posterior.8 Kamera okuli posterior berbatasan dengan tepi belakang iris di anterior, dengan kapsul anterior lensa dan ligamenta suspensorialentis (zonula) di posterior, dan dengan perlekatan zonula zinn pada badan siliar. 8 



Palpebra Berfungsi untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra juga merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bolamata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan mata. Bola mata, pada orang dewasa, diameter antero-posterior sebesar 24,5 mm.7







Konjungtiva



Merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : 7 -



Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus.



-



Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera dibawahnya.



-



Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Gambar 2. Konjungtiva







Kornea



Yaitu selaput bening mata, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan dan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari sumber cahaya. Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu.9 1. Epitel Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.9



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Gambar 3. Lapisan Kornea



2. Membran Bowman Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.9 3. Stroma Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Stroma menyusun 90% dari kornea.9 4. Membrane descement Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.9 5. Endotel Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 2040µm. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.9 



Uvea Terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid, bagian ini adalah lapisan tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian ini ikut mensuplai darah ke retina: 9



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



- Pupil dan Iris Pupil menetukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi ruangan terang. Sedangkan iris adalah perpanjangan dari korpus siliare ke anterior. Iris mengendalikan banyaknya



cahaya



yang



masuk



kedalam



mata,



ukuran



pupil



pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang di hantarkan melelui n.kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik. - Korpus siliaris Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal, sirkuler dan radial. Fungsinya untuk kontraksi dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris, otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat menyesuaikan berbagai fokus dengan baik. - Koroid, adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.







Lensa Suatu struktur bikonveks, avaskuler, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna, tebal 4 mm, diameter 9 mm. Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai Zonula zinn, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip dalam ekuator lensa. Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang dekat (cahaya dari dekat), lensa mata menebal.9







Retina



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Terdiri dari selembar tipis jaringan tipis yang semi transparan dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua sepertiga posterior dinding bola mata. Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya, khususnya bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan ke saraf optik. Lapisan retina dari dalam: 9 1. Membrana limitans interna 2. Lapisan serat saraf 3. Lapisan sel ganglion 4. Lapisan pleksiform dalam 5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar (amakrin dan sel horizontal) 6. Lapisan pleksiform luar 7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor 8. Membrana limitans eksterna 9. Lapisan fotoreseptor, segmen dalam/luar batang dan kerucut 10. Epitelium pigmen retina







Badan Vitreous Suatu badan gelatin yang jernih atau avaskuler, yang membentuk 2/3 dari volume dan berat mata, vitreous merupakan ruangan yang di batasi lensa, retina dan diskus optikus. Vitreous berisi 99 % air, 1 % meliputi 2 komponen, kolagen dan asam hialuranat yang memberikan bentuk dan konsistensi mirip gelombang pada vitreous karena kemampuannya mengikat banyak air.9



2.2 Optical Coherence Tomography 2.2.1 Definisi Optical coherence tomography (OCT) merupakan teknik pencitraan nonkontak dan non-invasif yang dapat memperlihatkan gambaran retina, koroid, saraf optik, lapisan serat saraf retina, dan struktur anterior mata.5, 10



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan teknologi pencitraan yang menampilkan gambaran resolusi mikron, cross sectional, pada jaringan invivo, termasuk mikrosutruktur okuli. Seperti pada CT-scan yang menggunakan sinar X, MRI yang menggunakan resonasi elektron, OCT dapat dianalogikan



dengan



ultrasonografi.



OCT



dapat



digunakan



sebagai



pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosa karena kemudahannya pada mata baik pada segmen anterior maupun segmen posterior. 5, 11



2.2.2



Prinsip Dasar Optical Coherence Tomography Optical coherence tomography (OCT) merupakan suatu alat pemeriksaan



imaging dengan prinsip kerja mirip dengan pemeriksaan ultrasonografi Bmode, namun OCT lebih sensitif dan akurat. Ultrasonografi dengan resolusi 150 mikron, sedangkan OCT 10 mikron untuk time-domain OCT (TD-OCT) dan 5 mikron untuk spectral-domain OCT (SD-OCT). Alat ini memakai gelombang cahaya, berbeda dengan ultrasonogafi yang memakai gelombang suara, sehingga OCT tidak memerlukan kontak dengan mata. Pemeriksaan OCT ini hanya memerlukan waktu beberapa detik, OCT mudah dilakukan dan mudah interpretasinya, cepat, reliabel, sensitif, dan non-kontak.5 Prinsip kerja OCT dimulai dari adanya cahaya koheren rendah yang berasal dari diode superluminan (SLD) digabungkan dengan interferometer fiber, kemudian dipisahkan oleh. serabut splitter pada suatu coupler menjadi ke dalam jalur acuan (reference) dan sampel (measurement). Sinar dikombinasikan dalam coupler dengan cahaya pantulan (backscattered) dari mata penderita. Kemudian kembali melalui sample arm (retina) dan mencapai detektor. Sinar yang terkirim ke reference arm (mirror) dipancarkan dengan sejajar oleh lensa pada keluaran reference arm, direfleksikan dari cermin, dan ditangkap kembali oleh lensa dan dikombinasi dengan sinar . Sinyal yang terbentuk diamati hanya bila panjang lintasan optik sesuai dengan panjang koheren dari sumber cahaya foto dioda yang kemudian diproses . Didapatkan gambaran serupa dengan ultrasound A-scan.12, 13



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



2.2.3



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Jenis Optical Coherence Tomography Secara umum telah dikenal mesin OCT yang dikelompokkan menjadi 2



jenis tipe OCT yaitu time-domain OCT (TDOCT) dan spectral-domain OCT (SDOCT). Pada TDOCT, sinar dengan koherensi rendah mirip sinar infra merah dari dioda sumber cahaya dipancarkan ke retina dan kaca sebagai perbandingan. Setelah itu sinar hasil pantulan dari kaca dan mata akan membentuk pola gabungan yang akan ditangkap dan dianalisis oleh detektor sinar sehingga terbentuk gambaran potong lintang. Untuk melihat kedalaman, kaca digerakkan dan perubahan pola pantulan diamati dan diambil gambarnya secara sekuensial. 5,14 Sedangkan pada spectral-domain OCT (SDOCT) menampilkan gambar cross sectional , segmen anterior dan gambaran retina dalam 3D. Jenis spectral-domain OCT (SDOCT) ini merupakan suatu pemeriksaan yang reliabel dan sensitif. 5,14



2.2.4



Indikasi dan Kontraindikasi Optical Coherence Tomography



Optical Coherence Tomography memberikan analisis kualitatif (morfologi dan reflektifitas) dan kuantitatif (ketebalan, pemetaan dan volume) dari jaringan yang diperiksa. Sehingga dapat dijadikan alat bantu diagnostik penyakit mata seperti: 15, 16 



Cystoid macular edema (CME)







Retinal vascular disease dan Edema makula







Myopia degenerative







Mengevaluasi hasil dari pengobatan dari waktu ke waktu.







Mengukur ketebalan dan volume lesi.







Mengetahui progresivitas penyakit.







Mengevaluasi keadaan setelah operasi.



Kontraindikasi untuk dilakukannya pemeriksaan OCT adalah : 



Media pengelihatan yang buruk (kontra indikasi relatif)



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN







2.2.5



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Pasien yang kurang kooperatif (kontra indikasi relatif)



Cara Penggunaan Optical Coherence Tomography Disaat melakukan pemeriksaan pasien dengan menggunakan OCT sebaiknya pasien dan keluarga diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan. Pasien diberi gambaran tentang alat yang akan digunakan dengan demikian mengurangi stress sebelum waktu prosedur dilakukan. Dilakukan pemantauan melalui komputer dan pengambilan gambar dari beberapa sudut yang dicurigai adanya kelainan: 17 a) Dilatasi pupil guna mengoptimalkan pemeriksaan. Pemindaian dapat diperoleh secara memadai melalui pupil yang tidak berdilatasi, namun gambar yang dihasilkan terkadang kurang jelas atau terpotong. b) Pasien duduk dan meletakan dagu di tempat dagu pada mesin OCT c) Saat pasien duduk dengan nyaman, mesin OCT secara perlahan



digerakkan



terhadap



mata



pasien,



dengan



menggunakan joystick sampai gambar terlihat jelas pada monitor. d) Selama prosedur berlangsung pasien diharapkan untuk dapat kooperatif dalam pemeriksaan. Kerja sama pasien yang buruk dapat membatasi kualitas pemindaian karena fiksasi yang buruk



2.2.6



Interpretasi Optical Coherence Tomography Analisa Kualitatif Studi morfologi yang mengukur variasi morfologi: 5,6 



Deformasi retina, yaitu konkaf, misalnya pada kasus miopia dan stafiloma posterior, serta konveks pada RPE dan kista subretina.







Deformasi profil retina, yaitu hilangnya depresi dari fovea pada edema makula, mengetahui diameter dan dalamnya macular hole.



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN







NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Perubahan struktur intraretina, misalnya pada pada edema makula sistoid ,cotton wool spot yang terdiri dari nodul retina hiperefleksi yang melekat di lapisan serabut saraf, hard exudate yang terjadi di batas antara area edema dan normal.







Perubahan struktur posterior, yaitu terlepasnya Retinal pigment epithelium (RPE) yang membentuk sudut dengan kariopkapiler, ablasio retina serosa yang membentuk sudut yang sempit dengan RPE.







Studi reflektivitas, yaitu hiperefleksi, hiporefleksi, dan area bayangan. Saat didapatkan kelainan, akan terjadi perubahan reflektivitas. Bayangan di anterior, misalnya perdarahan, eksudat, dan pembuluh darah Bayangan di posterior, misalnya jaringan parut pada retina, hipertropi atau hiperplasia epitel pigmen.



Analisa Kuantitatif Program software OCT dapat mengukur ketebalan retina beserta volumenya. Analisa kuantitatif terdiri dari pengukuran ketebalan atau volume retina, dengan tampilan ketebalan retina pada bagian atas berwarna, disertai skalanya.. Dengan menentukan permukaan anterior dan posterior retina, maka dapat diketahui ketebalan retina. 5,6



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



Gambar 4. Ophtical Coherence Tomography pada mata normal



2.2.7



Optical Coherence Tomography pada Glaukoma Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokular yang disertai oleh pencekungan discus optikus dan pengecilan lapangan pandang. Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intra ocular ini disebabkan oleh bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar dan berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil.7, 9 Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi serta degenerative papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan. 7, 9



Dengan demikian perjalanan progresif awal harus segera dideteksi dengan melakukan pemeriksaan TIO di masyarakat. Di rumah sakit dapat dilakukan pemeriksaan biomikroskopik metode van-herick, gonioskopi, dan optical coherence tomography (OCT) untuk menilai serabut saraf retina. 18



Retina Nerve Fiber Layer (RNFL) mempunyai reflektivitas tinggi yang dimulai dari permukaan vitreoretinal. Glaukoma mempunyai predileksi untuk terjadi hilangnya RNFL yaitu pada interior dan superior. Dengan



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



teknologi ini, kita dapat menentukan ketebalan Retina Nerve Fiber Layer (RNFL) dan membandingkan dengan yang normal karena telah ditegaskan bahwa hilangnya RNFL dapat mendeteksi adanya glaukoma sebelum terjadi defek pada lapang pandang dan perubahan saraf optik. Kemampuan OCT yang dapat menggambarkan struktur RNFL merupakan alat yang handal untuk diagnosa dini dan monitoring perjalanan glaukoma. Tentu saja penting menginterpretasikan hasil OCT dengan membandingkan gejala klinis.5,19 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketebalan RNFL pada pasien glaukoma lebih tipis dibanding mata normal.6 Analisa OCT yang sering digunakan pada glaukoma adalah RNFL thickness analysis, RNFL map, dan optic nerve head analysis. RNFL analysis dan RNFL map berdasarkan scan sirkular dari diskus optik. Fast RNFL thickness meliputi tiga lingkaran scan dengan diameter 3.4 mm mengelilingi diskus optik dalam 1.92 detik.19 Pada suatu hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemeriksaan alat canggih optical coherence tomography (OCT)



dapat mengevaluasi secara kuantitatif



perubahan ketebalan lapisan sel ganglion dengan presisi baik.20



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



BAB 3 KESIMPULAN Gangguan penglihatan adalah suatu kondisi yang



ditandai



dengan



penurunan tajam penglihatan atau menurunnya luas lapangan pandang yang dapat mengakibatkan kebutaan. Satu diantara banyak kerusakan atau gangguan pada mata adalah glaucoma. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah katarak di seluruh dunia dapat diduga bahwa sebagian besar penderita glaukoma belum terdeteksi / terdiagnosis dan tentunya belum tertangani. Dengan demikian perjalanan progresif awal harus segera dideteksi dengan melakukan Optical Coherence Tomography (OCT) untuk menilai serabut saraf retina. Optical



Coherence



Tomography



(OCT)



merupakan



teknologi



pencitraan



yang



menampilkan gambaran resolusi mikron, cross sectional, pada jaringan invivo, termasuk mikrosutruktur okuli. Pemeriksaan OCT ini hanya memerlukan waktu beberapa detik, OCT mudah dilakukan dan mudah interpretasinya, cepat, reliabel, sensitif, dan non-kontak. Kemampuan OCT yang dapat menggambarkan struktur RNFL merupakan alat yang handal untuk diagnosa dini dan monitoring perjalanan glaukoma.



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



DAFTAR PUSTAKA 1. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015. Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta Selatan ; ISSN 2442-7659 2. Tham YC, Li X, Wong TY, Quigley HA, Aung T, Cheng CY. Global prevalence of glaucoma and projections of glaucoma burden through 2040: a systematic review and meta-analysis. Ophthalmology. 2014;121(11):2081-90. 3. Asia Pacific Glaucoma Society. APGS Guidline 2016. 4. Riset Kesehatan Dasar RI. 2007. Responden yang Pernah di Diagnosis Glaukoma oleh Tenaga Kesehatan. Jakarta 5. Bracato R, Lumbroso B. 2004. Guide to Optical Coherence Tomography Interpretation. I.N.C Innovation-News-Comunnication: Italy



6. Novita HD Moestidjab. Optical coherence tomography (OCT) segmen posterior. Jurnal Oftalmologi Indonesia V.ol. 6, No. 3, Desember 2008 : Hal. 169 – 177 7. Ilyas,H. Yulianti,S. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Penerbit: universitas Indonesia. Bab 1: Anatomi mata. P.1-10 8. Sardjito.2007. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Penerbit: Universitas Gadjah Madha. Bab 1: anatomi dan fisiologi bola mata. p.13-16 9. Riordan-eva, P., Withcher, J.P., 2007. Vaughan and Asbury’s General Opthalmology. 17th Edition. New York: McGraw Hill-Lange. 10. Major JC, Wykoff CC, Mariani AF, Chen E, Croft DE, Brown DM. 2014. Comparison of Spectral-domain and Time-domain Optical Coherence Tomography in the detection of neovascular age-related macular degeneration activity. 34 (1): 48-54. 11. Sitompul R. Peran Pencitraan dalam Diagnosis Uveitis. 2016. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FK Universitas Indonesia RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Vol. 4, No. 2.



12. Huang D, et al. 2006. Retinal Imaging. Chapter 3 In: Optical Coherence Tomography. Mosby Elsevier Inc. Philadephia



PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN



NAMA : Setia Ningrum Wibisana NIM : 140100120



13. Rashed H, Izatt J, Toth C. 2002. Optical Coherence Tomography of the retina. Optic and Photonic News ; 48-51. 14. Ricardo Y Abe, Caroline P B, Felipe A M. 2015. The Use of Spectral Domain Optical Coherence Tomography to Detect Glaucoma Proggression. The Open Ophtalmology Journal (Suppl 1) 78-88. 15. American Academy of Ophtalmology. 2011. Retina and Vitreous. San Francisco: The Eye M.D. Association. 16. Thiago Trindade Nesi, Daniel Amorim Leite, dkk. Indications of Optical Coherence Tomography in Keratoplasties: Literature Review. Journal of OphthalmologyVolume 2012 (2012), Article ID 989063, 6 pages http://dx.doi.org/10.1155/2012/989063 17. Regatieri CV, Alwassia A, Zhang JY, Vora R, Duker JS. 2012. Use of Optical Coherence Tomography in the Diagnosis and Management of Uveitis.



International



Ophtalmology



Clinics.



52(4):33-43.



doi:10.1097/IIO.0b013e318265d439. 18. Lowe R. 1970. Aetiology of the anatomical basis for primary angle closure glaucoma. Biometrical comparisons between normal eyes and eyes



with



primary



angle‐closure



glaucoma.



Br



J



Ophthalmology.54:161-9. 19. Bressler MN, Ahmed JK. 2006. The Stratus OCT Primer: Essensial OCT 1st edition. Carl Zeiss Meditec Inc. Germany 20. Artini W. 2017. ARTIKEL PENELITIAN : Ketebalan Lapisan Serabut Saraf dan Sel Ganglion Retina pada Pasien dengan Bilik Mata Depan Sudut Tertutup Primer. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Indonesia. Vol 5 No 1. DOI: 10.23886/ejki.5.7463.6-11