Paradigma Pmii [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BIODATA DIRI Nama



:



Alamat



:



Delegasi



:



No Hp



:



2



SEKEDAR MENGAWALI Alhamdulillaahirobbil alamin wassholatu wassalamu ala sayyidil anbiyai walmursalin, wa ala alihi washohbihi ajma’in. Rodlitubillaahirobba wabil islamidiina wabimmuhammadin nabiyyauwarosuula wabil qur’aaniimama. Salam sejahtera kami sampaikan semoga rahmat, taufiq serta hidayahnya selalu menyertai langkah dan aktivitas kita. Sahabat – sahabat seperjuangan yang kami banggakan dalam rangka menyusun agenda kaderisasi yang perlu kita persiiapkan yang pertama, basis intelektual kader yang mumpuni dalam rangka survive jangka panjang, Pertama kali haruslah menyediakan SDM yang berkualitas maka dari itu PMII Grobogan mengadakan Pelatihan Kader Dasar (PKD). Mahasiswa sebagai elemen pemuda memiliki posisi, potensi, dan peran khusus di dalam masyarakat. Posisi manusia di masyarakat bisa dibagi menjadi tiga, antara lain masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil. PMII sebagai wadah pergerakan haruslah mampu memasuki ketiga elemen tersebut. Seorang Aktivis bisa menempati lebih dari satu posisi masyarakat tersebut, bahkan mampu untuk yang berada di ketiga tempat tersebut. Masyarakat politik adalah masyarakat yang memperjuangkan sesuatu demi posisi dalam kekuasaan. Mereka mulai dari politikus-politikus sampai karyawan yang ingin naik jabatan di dalam sebuah perusahaan. Masyarakat ekonomi adalah mereka yang berusaha mengejar sesuatu untuk mendapat sebuah keuntungan materi atau modal. Mereka dihuni oleh para pengusaha-pengusaha baik yang kapitalis sampai kekoperasian. Tergantung kombinasi masyarakat yang mereka huni. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang berjuang dalam pembangunan bangsa tanpa menginginkan sebuah posisi di Dalam kekuasaan ataupun keuntungan materi. Ini dihuni oleh kebanyakan manusia, dari rakyat biasa sampai mahasiswa yang aktif dalam organisasi. Warga PMII minimal mampu sedikitnya memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain sebab di dalam pergerakan kita di ajarkan NDP. Untuk mahasiswa sebagai pemuda bisa dikatakan sebagai masyarakat sipil. Akan tetapi masyarakat sipil memiliki kekhususan buat mahasiswa apa lagi seorang aktivis. Jadi mahasiswa merupakan masyarakat sipil yang khusus. Ini disebabkan karena mahasiswa mempunyai potensi yang lain dibanding masyarakat sipil seperti biasanya. Potensi kader sebagai seorang pemuda antara lain adalah kritis. Kritis itu adalah tanggap terhadap masalah dan berusaha menyelesaikan masalah dengan pemikiran-



pemikiran yang benar. Selain kritis kader juga punya potensi idealis, idealis disini karena mahasiswa yang tergabung sebagai manusia-manusia yang dididik dalam suasana pergerakan yang ideal. Kader juga memiliki potensi sebagai penggerak yang independen. Independen maksudnya kader mampu bergerak sendiri dengan Internal di dalam ranah rel pergerakan asal tidak melanggar AD/ART, kader di wajibkan memiliki ilmu-ilmu yang variatif bisa saling berkoordinasi membentuk sebuah gerakan yang mandiri tanpa campur tangan oknum lain termasuk pemerintahan. Selain itu juga warga PMII haruslah mampu memiliki kreatifitas dan daya juang yang tinggi. Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh kader, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa yang ikut dalam PMII hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. kader itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Kader penggerak memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Ini yang kadang sering di salah artikan oleh shabat kita, karena merasa lebih di bandingkan dengan masyarakat sekitar akhirnya mereka cuek melihat apa yang terjadi di sekitarnya.Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi aktivis untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi yang seharusnya mampu kita bangun.



Ketua Umum PC. PMII Grobogan



Intan Yuli R



SUSUNAN PANITIA



3



Pembina kegiatan Penanggung Jawab



: Majlis Pembina Cabang : Ketua Umum PC. PMII GROBOGAN



SC (Stearing Commite) Ketua Sekretaris Anggota Tim Fasilitator



: Sulistyowati : Ahmat Sahri : Ahmad Harir : 1. Rinduwan 2. Khotimul Wilda 3. Tri Agus Utomo 4. Sulistiyowati 5. Rina Listiana Sari



OC (Organizing Commite) Ketua Sekretaris Bendahara Seksi – seksi Keseketariatan Konsumsi Perlengkapan Humas Pub, Dek, Dok



: Ahmad Harir : Afif Humam : Hasan Mubarok



: Nur Rohman Des Tsalis Nurul Fajri : Didik Mahmudi Pujo Handoyo : Nur Rohman Binty Khoiriyah : Ali Mahmudi M. Badrut Tamam : Rifan Rosyid Bibit Nur Hidayatullah PARADIGMA PMII



1. PENGERTIAN



Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuan. Paradigma tidak hanya membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuan satu dengan yang lainnya. Paradigma merupakan konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru. Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan. Paradigma, juga merupakan pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog dengaan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang. 2. PERAN PARADIGMA Dengan paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi modal gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan “jalanan” dan gerakan “pemikiran “. Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah yang lainnya, termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif. Perbedaan antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi yang berimplikasi pada objek dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan pemikiran dan begitu sebalikmya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan. Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model jalanan dengan intelektual-intelektual. Begitu juga sejarah gerakan PMII selalu diwarnai dengan “pertentangan” yang termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural dengan gerakan intelektual-struktural dengan gerakan intelektual-kultural. Semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting untuk dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung. Letak paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan lokalitas dan kecenderungan masing-masing.



4 3. PENERAPAN Sepanjang sejarah PMII dari Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang telah dan sedang digunakan. Masing-masing menggantikan model paradigma sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan sesuai perubahan dengan konteks ruang dan waktu. Ini bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi taghoyyuril azminati wal amkinati. Bahwa hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Berikut ada beberapa jenis paradigma yang disinggung pada pembahasan di atas: a. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend) 1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam bidang sosiologi digunakan dalam PMII. Paradigma pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergeraan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional. Era pra reformasi di PMII menganut paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran. Paradigma ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru telah menghasilkan format poltik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di beberapa negara Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah. 1. Munculnya negara sebagai agen otonom yang perannya kemudian “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya. 2. Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik. 3. Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat (termasuk kaum intelektual). 4. Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jarigan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politis. 5. Penggunaan secara efektif hegemoni idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada. Rezim Orde Baru adalah lahan subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara yang hegemonik. Sikap perlawanan itu didorong pula oleh teologi antroposentrisme transendental yang memposisikan manusia sebagai Kholifatullah fil ardh. Hal penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial yang dilakukan PMII. Rekayasa sosial yang dilakukan melalui dua pola, pertama, melalui advokasi masyarakat, kedua, melalui Free Market Idea. Advokasi dilakukan untuk korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga yakni, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta pendampingan.



Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagan dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society. Kemudian yang diinginkan dari Free Market Idea adalah tejadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. b. Paradigma Kritis Transformatif Pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll. Di lapangan terdapat konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya, gerakan PMI terkonsentrasi di aktivitas jaanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan terhadap negara dan dengan kapitalisme global masih mewarnai gerakan PMII. Kedua paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid (almarhum) terpilih menjadi presiden ke-4 RI pada November 1999. para aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society Indonesia naik ke tampuk kekuasaan. Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlementer, atau bersikap sebagaimana pada presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsurunsur orba yang memusuhi preiden ke-4 ini. Pilihan tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian secara rasional sikap PB. PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas terbuka mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur. c.



Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan kapitalis internasional. Sehingga ruang taktisstrategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada impian membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.



5 Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektualpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme. Dengan kata lain dalam upaya melawan neoliberalisme banyak gerakan terperangkap dalam knsep-konsep Liberalsme, Demokrasi, HAM, Civil Society, Sipil vs Militer, Federalisme, dll yang dipakai sebagai agenda substansial padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, ke semuanya nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal. Persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis realitas paralel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusuan paradigma semacam ini adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari gerakan mainstream. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan kenyataan dari pada logos.



1. Analisis social menggali realitas, sebagai fenomena dalam keberagaman dimensinya, seperti; • Masalah-masalah khusus, seperti pengangguran, kelaparan, inflasi dll • Kebijakan-kebijakan (policies) seperti pelatihan kerja, pengawasan moneter, program bantuan pangan, pelayanan publik, dsb. • Menyelidiki struktur-struktur yang lebih luas, lebih dalam, atau lebih spesifik dari isntitusi-institusi (pranata) ekonomi, politik, social budaya. • Memfokuskan diri pada system-sistem yang berada dibalik dimensi-dimensi kebijakan dan struktur, seperti system politik sebagai subsistem dari system social tertentu; atau tananan politik (political order) sebagai sebuah system dengan landasan kulturalnya. 2. Menganalisis social dalam artian waktu (analisis histories) berupa studi tentang perubahan-perubahan system social dalam kurun waktu tertentu 3. Menganalisis system social dalam artian ruan (analisis structural), yang menyajikan aspek tertentu, dari keseluruhan kerangka kerja sebuah system pada suatu momen waktu. (hal yang disebut dalam no.2 dan 3, biasanya digunakan secara bersama untuk suatu analisis yang menyeluruh) 4. Analisis yang membedakan (1) dimensi obyektif, dan (2) dimensi subyektif dari realitas social. Pertama menyangkut aneka ragam organisasi, pola-pola perilaku, dan pranata-pranata (institusi), yang kedua meliputi kesadaran, nilai, ideology. Melakukan analisis social, dalam hal ini adalah menganalisis unsure-unsurnya, supaya bisa memahami gerak perubahan dari asumsi-asumsi yang mendasarinya pada situasi social tertentu. Pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam analisis social, berusaha membuka tabir hal-hal; nilai, pandangan, keputusan dari para pelaku (aktor social) pada suatu situasi tertentu. B. LANGKAH-LANGKAH 1. Membangun perumusan masalah, yang menjadi pusat perhatian 2. Membangun konsep-teoritis atas konteks realitas 3. Mengenali struktur-struktur kunci yang mempengaruhi situasi yang ada 4. Menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk membangun sebuah konteks 5. Menghimpun fakta-fakta, data-data yang berkorelasi dan melatarbelakangi 6. Menyusun model-model, mengkaji-menguji relevansinya 7. Menguji beberapa jawaban pada korelasi dan keabsahan 8. Menggali masalah lain yang muncul



ANALISI SOSIAL Holland-Henriot, mendefinisikan analisis sosial sebagai …..”usaha memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi social dengan menggali hubunganhubungan histories dan strukturalnya” ( Social analysis : 30)



RUANG LINGKUP ANSOS Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan perubahan. Secara umum objek sosial yang dapat dianalisis antara lain;



6 -



Masalah-masalah sosial, seperti : kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas. Sistem sosial, seperti : tradisi, usaha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem pertanian. Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan. Kebijakan publik seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.



objektif. Pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut.



PENTINGNYA TEORI SOSIAL Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah dianalisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Sosial Theory ; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive. Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial. Pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan aktor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang diproduksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial. LANGKAH-LANGKAH ANSOS Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain : Memilih dan menentukan objek analisis : Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalisis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi. Pengumpulan data atau informasi penunjang : Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung di lapangan. Recek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data. Identifikasi dan analisis masalah : Merupakan tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya , dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek. Mengembangkan presepsi : Setelah diidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang



TEKNIK LOBBY DAN MEMBANGUN JARINGAN Sesi ini akan membahas ketrampilan manajerial untuk melakukan lobbying atau melobi dalam organisasi. Bagaimana menerapkan strategi lobby yang efektif. Serta mengenali tehnik dan karakteristik lobbbying. Teknik ini diperlukan oleh manajer lembaga sosial dalam berhubungan dengan para stakeholders untuk mencapai tujuan dan sebagai salah satu upaya yang diperlukan untuk menunjang kegiatan organisasi



7 A, Materi Istilah lobbying atau kemudian menjadi “Lobi” dalam bahasa Indonesia sering dikaitkan dengan kegiatan politik dan bisnis. Perkembangan dewasa ini Lobi-melobi tampaknya tidak terbatas pada kegiatan tersebut namun mulai dirasakan oleh manajer organisasi untuk menunjang kegiatan manajerialnya baik sebagai lembaga birokrat maupun lembaga usaha khususnya dalam pemberian pelayanan Kesehatan B, Pengertian Lobbying Menurut Anwar (1997) definisi yang lebih luas adalah suatu upaya informal dan persuasif yang dilakukan oleh satu pihak (perorangan, kelompok, Swasta, pemerintah) yang memiliki kepentingan tertentu untuk menarik dukungan dari pihak pihak yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang, sehingga target yang diinginkan tercapai. Pendekatan secara persuasif menurut pendapat ini lebih dikemukakan pada pihak pelobi dengan demikian dibutuhkan keaktifan untuk pelobi untuk menunjang kegiatan tersebut Menurut Pramono (1997) lobi merupakan suatu pressure group yang mempraktekkan kiat-kiat untuk mempengaruhi orang-orang dan berupaya mendapatkan relasi yang bermanfaat. Pola ini lebih menekankan bahwa lobby untuk membangun koalisi dengan organisasiorganisasi lain dengan berbagai tujuan dan kepentingan untuk melakukan usaha bersama. Digunakan pula untuk membangun akses guna mengumpulkan informasi dalam isu-isu penting dan melakukan kontak dengan individu yang berpengaruh. Maschab (1997) lebih menekankan bahwa lobbying adalah segala bentuk upaya yang dilakukan oleh suatu pihak untuk menarik atau memperoleh dukungan pihak lain. Pandangan ini mengetengahkan ada dua pihak atau lebih yang berkepentingan atau yang terkait pada suatu obyek, tetapi kedudukan mereka tidak sama. Dalam arti ada satu pihak yang merasa paling berkepentingan atau atau paling membutuhkan, sehingga kemudian melakukan upaya yang lebih dari yang lain untuk memcapai sasran atau obyek yang diinginkan. Pihak yang paling berkepentingan inilah yang akan aktif melakukan berbagai cara untuk mencapai obyek tersebut dengan salah satu caranya melakukan lobbying.



Dengan demikian ada upaya dari pihak yang berkepentingan untuk aktif melakukan pendekatan kepada pihak lain agar bisa memahami pandangan atau keinginanmya dan kemudian menerima dan mendukung apa yang diharapkan oleh pelaku lobbying. Meskipun betuknya berbeda, pada esensinya lobbying dan negosiasi mempunyai tujuan yang sama yaitu menggunakan tehnik komunikasi untuk mencapat target tertentu. Dibandingkan dengan negosiasi yang merupakan suatu proses resmi atau formal, lobbying merupakan suatu pendekatan informal. C. Karakteristik Lobbying 1. Bersifat tidak resmi/ Informal dapat dilakukan diluar forum atau perundingan yang secara resmi disepakati . 2. Bentuk dapat beragam dapat berupa obrolan yang dimulai dengan tegursapa, atau dengan surat 3. Waktu dan tempat dapat kapan dan dimana saja sebatas dalam kondisi wajar atau suasana memungkinkan. Waktu yang dipilih atau dipergunakan dapat mendukung dan menciptakan suasan yang menyenangkan, sehingga orang dapat bersikap rilek dan 4. Pelaku /aktor atau pihak yang melakukan lobbying dapat beragam dan siapa saja yakni pihak yang bekepentingan dapat pihak eksekutif atau pemerintahan, pihak legislatif, kalangan bisnis, aktifis LSM, tokoh masyarakat atau ormas, atau pihak lain yang terkait pada obyek lobby. 5. Bila dibutuhkan dapat melibatkan pihak ketiga untuk perantara 6. Arah pendekatan dapat bersifat satu arah pihak yang melobi harus aktif mendekati pihak yang dilobi. Pelobi diharapkan tidak bersikap pasif atau menunggu pihak lain sehingga terkesan kurang perhatian. D. Target Kegiatan Lobi :  Mempengaruhi kebijakan.  Menarik dukungan  Memenangkan prasyarat kontrak/ dalam kegiatan /bisnis  Memudahkan urusan  Memperoleh akses untuk kegiatan berikutnya.  Menyampaikan informasi untuk memperjelas kegiatan. E. Strategi Lobbying.



8 Mengingat sifatnya yang informal, tidak ada strategi baku atau yang sudah terpola dalam kegiatan ini, melainkan sangat beragam dan tergantung berbagai faktor aktual dan suasana setempat yang berpengaruh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi lobbying adalah : 1. Sistim Politik. Kondisi sistem akan berpengaruh pada cara- cara lobi yang yang dilakukan. Pada sistem Politis yang demokratis dimana pendelegasian wewenang dan keterbukaan menjadi salah satu cirinya maka lobi mudah dilakukan karena sasaran lobi lebih jelas, dalam arti pejabat atau stakeholder sebagi obyek lobi berada pada posisi yang telah diketahui mempunyai wewenang, aspek aspek yang perlu diperhitungkan lebih pasti. Dalam sistim poliitik yang demokratis selama berada dalam kerangka aturan main yang telah ditentukan, maka orang tidak perlu takut mendapatkan resiko politik yang tidak diperhitungkan Berbeda dengan sistim politik yang demokratis, dalam sistem politik yang otoriter melakukan lobbying merupakan hal yang sulit diperkirakan kadang pada moment yang tepat lobby dapat mudah dilakukan namun bisa menjadi hal yang sulit. Dapat terjadi lobbying pada suatu pihak atau seorang tokoh telah dihasilkan dukungan tertentu, tetapi kemudian hal itu dianulir (dibatalkan atau dimentahkan oleh pihak lain yang lebih berkuasa tanpa alasan yang jelas) sehingga lobbying yang dilakukan menjadi sia-sia. Dalam sistim seperti ini maka berbagai peraturan dan perhitungan-perhitungan rasional menjadi sulit dijadikan pegangan, karena hukum dan peraturan ditangan pemegang kekuasaan yang bisa berubah setiap saat sesuai kehendaknya sendiri. 2. Norma dan Etika. Lobbying pada intinya adalah suatu upaya untuk memaksimalkan penggunaan tehnik komunikasi untuk mempengaruhi pihak lain yang semula cenderung menolak, agar menjadi setuju atau untuk memperoleh dukungan. Namun tidak berarti harus menghalalkan semua cara, norma dan etika harus tetap dihormati dan menjadi pegangan, karena apabila tidak dilakukan lobi akan menjadi arena atau media perantara adanya korupsi dan kolusi. Bagi orang yang menjujung tinggi norma dan etika, lobbying tidak perlu disertai janji janji yang seharusnya tidak boleh diberikan ataupun dengan mendiskreditkan pihak



ketiga apalagi fitnah agar memperoleh simpati dan dukungan dari pihak yang dilobby. Dalam praktek banyak hal yang bisa terjadi seiring dengan dinamika masyarakat. Pada lobbying yang melibatkan pihak pihak yang sama sama kurang menghormati etika dan moral maka kesesuaian yang berubah menjadi [saling] mendukung bisa saja terjadi. Namun hampir bisa dipastikan bahwa model seperti itu akan merugikan kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih besar norma dan etika selalu dimaksudkan untuk kebaikan dan kepentingan tidak saja diri pribadi tetapi juga orang lain dan masyarakat luas 3. Norma Hukum dan peraturan Hukum yang dibuat untuk mengatur masyarakat agar diperoleh ketertiban dalam kehidupan bersama harus dihormati dan dipatuhi oleh semua warga negara. Dalam lobbying batas batas hukum juga harur tetap dihormati dan ditaati, lobbying tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan batas batas hukum, misalnya dengan melakukan atau memanipulasikan data dan informasi sedemikian rupa agar yang dilobby menjadi percaya dan kemudian mendukungnya demikian juga cara cara lain yang menipu atau menyesatkan pihak yang dilobby sehingga memperoleh kesan atau kesimpulan yang salah/keliru yang tentunya dilarang oleh hukum/tidak boleh dilakukan Dengan demikian maka kejelasan batas batas hukum dan juga tegaknya hukum itu sendiri ikut mempengaruhi praktek lobbying Sama halnya dengan norma dan etika pelanggaran dan atau penyimpangan terhadap hukum yang dilakukan dalam lobbying mungkin saja malah melancarkan pendekatan yang dilakukan namun demikian hampir pasti hasil yang diperoleh lebih banyak menguntungkan pihak pihak tertentu saja ketimbang bagi kebaikan dan manfaat orang banyak 4.Memperhatikan adat istiadat Adat dan istiadat yang berkembang dalam masyarakat perlu juga diperhatikan, lebih lebih bagi pihak yang melakukan lobbying harus dijaga agar tidak ada tindakan yang dianggap bertentangan dengan adat istiadat yang dihormati oleh sasaran lobby karena akan menimbulkan antipati atau paling perasaan kurang simpati misalnya lobbying dilakukan pada orang yang sedang berduka cita atau sedang terkena musibah 5. Mengetahui siapa yang akan dilobby



9



 Dalam hal seperti ini maka satu hal yang sangat penting diperhatikan oleh pihak yang melobby adalah kepercayaan atau kredibilitas pihak ketiga yang dijadikan perantara atau penghubung tersebut  Kendala lain jangan sampai gara gara lobbying yang dilakukan dengan menggunakan jasa pihak lain [pihak ketiga] justru merusak hubungan yang sudah ada, karena kesalahan atau ulah pihak ketiga tersebut  Kendala lain dalam menggunakan cara tidak langsung adalah pihak ketiga atau perantara tersebut tidak selalu menguasai atau mengerti permasalahan atau obyek yang jadi sasaran. Disamping itu apabila obyek yang jadi sasaran bersifat rahasia maka akan membuka kemungkinan bagi kebocoran terhadap rahasia tersebut.



Keberhasilan lobbying juga dipengaruhi oleh siapa yang akan dilobby, karena sifat dan perilaku orang bermacam macam. Ada orang yang kompromatis ada yang kaku ada yang suka bercanda dan terbuka sementara juga ada yang mudah tersinggung. Latar belakang pendidikan sosial dan ekonomi juga beragam demikian pula pandangan dan visinya terhadap suatu hal sehingga sikapnya terhadap lobby juga bisa berbeda beda Bagi pihak yang melakukan lobbi adalah sangat penting untuk memahami siapa yang akan dilobby sehingga bsa mengatur dan merancang teknik komunikasi yang sebaik baiknya sesuai dengan sifat, pandangan, kegemaran, dan lainnya dari pihak yang dilobby, sehingga dapat mengundang simpati dan dukungan yang diharapkan



-



6. Siapa yang melobi - Pelaku Lobi adalah mereka yang berada pada pihak yang paling memerlukan sehingga harus aktif, melakukan pendekatan tidak sekedar menunggu. Dengan demikian maka peranan atau pihak yang melobi sangat penting. Sedemikian pentingnya sehingga orang yang melakukan lobi haruslah orang yang mempunyai kemampuan tertentu. Kemampuan tersebut bukan saja bersifat intelegensia berupa kecerdasan, penguasaan terhadap masalah yang dihadapi, keleluasaan pengetahuan dan wawasan, mempunyai sikap yang baik dan penampilan yang menarik dalam arti menyenangkan, serta mempunyai kredibilitas. Orang yang integritasnya diragukan atau kurang dipercaya, akan mengalami kesulitan apabila melakukan lobbying . Disamping itu sesuai dengan esensi lobbying itu sendiri maka pelaku lobby harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik , sabar, dan telaten ( tidak mudah tersinggung dan marah) F. Cara- Cara Melobi Terdapat 4(empat) macam cara melobi : 1. Tidak langsung :  Lobby bisa dilakukan dengan cara tidak langsung hal ini mengandung pengertian tidak harus satu pihak atau satu orang yang berkepentingan menghubungi mendekati sendiri pihak lain yang mau dilobby.  Pendekatan itu bisa dilakukan dengan perantaraan pihak lain [terutama yang dianggap punya akses atau mempunyai hubungan yang dekat dengan pihak yang dilobby].



2.



Langsung Berbeda dengan cara tidak langsung maka disini pihak yang berkepentingan [berusaha] harus bisa bertemu atau berkomunikasi secara langsung dengan pihak yang dilobby dengan kata lain pihak pihak yang terlibat bertemu atau berkomunikasi secara langsung tidak menggunakan perantara atau pihak ketiga cara langsung ini jelas lebih baik dari pada cara tidak langsung tetapi kendalanya adalah bahwa : a. Pihak pihak yang terlibat tidak selalu saling mengenal b. Tidak semua orang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan baik c. Kesan terhadap pribadi tidak selalu sama dengan dengan kesan terhadap lembaga. Jelasnya seseorang mungkin saja kurang suka atau kurang menghormati orang tertentu tetapi terhadap lembaga yang dipimpinnya dia tidak ada masalah dalam hal seperti ini tentu akan lebih baik apabila yang melakukan lobby adalah orang lain atau staf pada lembaga tersebut 3. Terbuka Yang dimaksud dengan cara terbuka adalah lobbying yang dilakukan tanpa ketakutan untuk diketahui orang lain Lobby yang dilakukan secara terbuka memang tidak harus berarti dengan sengaja diekspose atau diberitahukan kepada khalayak, tetapi kalaupun diketahui masyarakat bukan merupakan masalah. Lobbying dengan cara terbuka ini biasanya dilakukan oleh dan diantara kelompok misalnya pendekatan yang dilakukan oleh OPP atau partai politik tertentu pada salah satu Organisasi Massa atau sebaliknya dan antara suatu Ormas pada Ormas yang lain 4. Tertutup - Yang dimaksud lobbying dengan cara tertutup adalah apabila lobbying dilakukan secara diam diam agar tidak diketahui oleh pihak lain apalagi masyarakat



10 - Lobbying dengan cara ini biasanya bersifat perorangan yaitu yang dilakukan secara pribadi atau oleh seseorang pada orang tertentu Lobbying cara ini dilakukan karena apabila sampai diketahui oleh pihak lain maka bisa berakibat negatif atau merugikan pihakyang melakukan lobby tersebut maupun pihak yang dilobby



ANTROPOLOGI DAN PENGORGANISASIAN KAMPUS. PENGERTIAN ANTROPOLOGI Kata Dasar dari Antropologi berasal dari Yunani yaitu anthros yang berarti manusia dan logos berarti ilmu. Sederhanya, Antropologi merupakan Ilmu yang mempelajari tetang manusia. Para ahli Antropolog mendefinikan antropologi sebagai berikut: 1.William A. Haviland (seorang antropolog Amerika) “ Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia ”



2.David Hunter “ Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia ”. 3.Koentjaraningrat (bapak antropolog Indonesia) “ Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dari ketiga definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa Antrologi merupakan Ilmu/ bidang studi yang mempelajari tentang segala sesuatu/ apa-apa yang berkaitan dengan manusia baik berupa fisik maupun budaya sehingga dapat disimpulkan kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial. PENGERTIAN KAMPUS (PENULIS) Istilah kampus sudah sangat familier sekali tentunya di kalangan civitas akademika. Kampus merupakan deretan gedung yang ada di perguruan tinggi sebagai sarana tempat kuliah bagi mahasiswa. Tetapi pengertian gedung diatas apabila disandingkan dengan kampus untuk era modern ini sepertinya sudah tidak relevan lagi seiring dengan perkembangan Ilmu komunikasi. Alasan penulis adalah kuliah jarak jauh (model/ sistem perkulihan yang sejenis) sekarang sudah tidak asing lagi. Dengan memanfaatkan kecanggihan dunia maya maupun internet ternyata bermanfaat sekali untuk berbagai macam aktifitas, mulai dari dunia politik, ekonomi bisnis, hankam dan tentunya dunia pendidikan. Jadi hemat penulis adalah kampus merupakan tempat (wujud maupun ghaib). PENGERTIAN ANTROPOLOGI KAMPUS Antropologi sebenarnya kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita apabila di sematkan dengan kata antropologi budaya, antropologi politik, antropologi agama dan lain sebagainya. Namun begitu asing ketika kata antrologi itu sendiri disandingkan dengan kata kampus. Karena memang belum ada suatu cabang yang secara terstruktur dan pembahasan yang tuntas mengenai antropologi kampus. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai organisasi gerakan mahasiswa menganggap bahwa kader-kadermya seharusnya dapat memahami bahkan membaca kampus mereka sendiri. Hal ini penting sebagai pijakan mereka berproses si bangku perkuliahan. Secara garis besar sudah dipaparkan bahwa antrologi adalah bidang Ilmu yang mempelajari tentang manusia. Dalam studi kajian antropologi (manusia) mencakup tentang sejarah, perilaku, bentuk fisik masyarakat, tradisi-tradisi, nilai-nilai dan interaksi antar manusia sampai budaya baru yang dihasilkan karena interaksi tersebut. Kampus



11 sudah diutarakan diatas bahwa tempat sebagai sarana maupun prasarana wahana untuk belajar mahasiswa. Jadi secara garis besar antropologi kampus adalah kajian ilmu yang mempelajari tetang kebudayaan, perilaku, tradisi, nilai-nilai, interaksi dan lain sebagainya yang dianggap penting dalam dinamika dunia kampus ataupun lingkungan sekitar yang berhubunagn kampus. Esensial Antropologi Kampus Untuk Dunia Pergerakan Sejarah telah mencatat bahwa perjalanan panjang bangsa Indonesia tidak lepas dari peran serta mahasiswa Pengorganisasian sebetulnya tidak jauh beda dengan manajeman organisasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh pakar organisasi Hanry Fayol bahwa organisasi harus mempunyai perencanaan (planning), Pengorganisasian (organizing), aktualisasi (actuating) dan proses evaluasi (controling). Sedangkan menurut James D. Mooney, Organisasi adalah setiap bentuk perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Pengorganisasian ada 2 pengertian, yaitu; Pertama; Sebuah organisasi adalah pola hubungan banyak hubungan yang saling terjalin secara simultan yang menjadi jalan bagi orang, dengan pengarahan dari manajer, untuk mencapai sasaran bersama. Kedua; Proses manajerial dari pengorganisasian termasuk pembuatan keputusan, penciptaan kerangka kerja, sehingga organisasi tersebut dapat bertahan dari keadaan yang baik pada masa kini hingga masa depan. Menurut Koontz & O’Donnel, Fungsi pengorganisasian meliputi penentuan penggolongan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk tujuan perusahaan, pengelompokkan kegiatan tersebut ke dalam suatu bagian yang dipimpin oleh seorang manajer, serta melimpahkan wewenang untuk melakukannya. Pengorganisasian kampus dimaknai sebagai upaya dalam mengelola dan mengontrol kekuatan-kekuatan yang ada di dalam kehidupan kampus. Dalam konteks organisasi ekstra kampus baik di kampus PTN/PTS tentu mempunyai tingkat kesulitan yang beragam dalam mengelola dan mengembangkan sebuah organisasi. Akan tetapi, dengan kualitas kader PMII sekarang ini, sebagaimana yang di utarakan oleh James D. Money bahwa organisasi adalah setiap bentuk perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama, maka PMII sebagi organisasi kader yang besar berkomitmen untuk mampu mencapai tujuan bersama dengan sumber daya yang telah dimilikinya. PMII sebagai organisasi yang berbasis kampus, agaknya tidak berlebihan jika dinamika kehidupan sosial dan politik kampus menjadi garapan secara dialogiskonstrukstif dalam proses perumusan kebijakan (decision making) kampus dalam



mengatasi problem dalam konteks akademik atau non-akademik. Pula dengan organisasi ekstra kampus semacam PMII independensi organisasi sangat menguntungkan bagi profesionalisme organisasi, sebab tidak mempunyai kepentingan politik (conflict of interest) yang berafiliasi terhadap penguasa kampus (Senat Universitas), kecuali kepentingan keadilan dan kebenaran menjadi gerakan yang dominan untuk diperjuangkan. Kekuatan, informasi dan startegi menjadi harga mati yang harus dimiliki bagi organisasi ekstra (PMII), jika ingin mengelola sebuah kampus dan dianggap organisasi ektstra yang lebih mudah tingkat keterterimaannya (akseptabilitas) dimata para mahasiswa dan organisasi lainnya. Pergerakan Mahassiswa Islam Indonesia (PMII) juga harus mampu memposisikan diri secara proporsional baik personal atau institusionalnya, agar pola komunikasi organisasi ekstra dengan kampus tetap kritis, rasionalis dan objektif dalam menjaga keprofesionalan organisasi. Pemaknaan kritis, rasionalis dan objektif perspektif politik adalah bagaimana organisasi ektra kampus tidak terjerembab dalam kubangan kepentingan politik sesaat, yang dalam sejarahnya justru akan mengakibatkan PMII kehilangan jati dirinya sebagai organisasi yang berjalan dalam real politik yang sebenarnya Pembangkangan sipil, sebagai aksi intelektual dalam mempengaruhi sebuah kebijakan sah untuk dilakukan selama proses dialektika tidak memberikan ruang bagi keadilan (justice) untuk bermain di dalamnya. Tetapi selama proses dialogis masih cukup relevan, maka yang demikian itu menjadi tidak relevan lagi disematkan pada organisasi sekelas PMII.



PETA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA Teori Masuknya Islam ke Idonesia Menurut para sejarawan, pada abad ke-13 Masehi islam sudah masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagan muslim. Namun untuk lebih pastinya para ahli masih terdapat perbedaan pendapat dari para sejarawan. Namun setidaknya 3 tiga teori tentang masuknya Islam ke Indonesia 1. Teori Gujarat Teori ini dipelopori oleh ahli sejarah Snouck Hurgronje, menurutnya agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Gujarat pada abad ke-13 masehi.



12 2. Teori Persia P.A Husein Hidayat mempelopori teori ini, menyatakan bahwa agama Islam dibawa oleh pedagang Persia (Iran), hal ini berdasarkan kesamaan antara kebudayaan islam di Indonesia dengan Persia.



4. Kesenian Wayang merupakan warisan budaya yang masih terjagan hingga saat ini, dalam penyebaran ajaran islam wayang memiliki perang yang sangat konkrit. Contohnya sunan kalijaga yang merupakan salah satu tokoh islam menggunakan pementasan wayang untuk berdakwah.



3. Teori Mekkah Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dibawa para pedagah Mekkah, teori ini berlandaskan sebuah berita dari China yang menyatakan jika pada abad ke-7 sudah terdapat perkampungan muslim di pantai barat Sumatera. Proses Masuknya Islam ke Nusantara Masuknya islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan dengan adat serta istiadat penduduk lokal. Ajaran islam yang tidak mengenal perbedaan kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya islam dilakukan melalui cara berikut ini. 1. Perdagangan Letak Indonesia yang sangat strategis di jalur perdagangan di masa itu membuat Indonesia banyak disinggahi para pedagang dunia termasuk pedagang muslim. Banyak dari mereka yang akhirnya tinggal dan membangun perkampungan muslim, tak jarang mereka juga sering mendatangkan para ulama dari negeri asal mereka untuk berdakwah. Hal inilah yang diduga memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di nusantara. 2. Perkawinan Penduduk lokal beranggapan bahwa para pedagang muslim ini adalah kalangan yang terpandang, sehingga banyak penguasa pribumi yang menikahkan anak mereka dengan para pedagang muslim. Sebagai sayarat sang gadis harus memeluk islam terlebih dahilu, hal inilah yang diduga memperlancar penyebaran ajaran islam. 3. Pendidikan Setelah perkampungan islam terbentuk, mereka mulai mendirikan fasilitas pendidikan berupa pondok pesantren yang dipimpin langsung oleh guru agama dan para ulama. Para lulusan pesantren akan pulang ke kampung halaman dan menyebarkan ajaran islam di daerah masing-masing.



ASWAJA Sebagai Manhajul Harakah Pendahuluan Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) pada awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam, dimana ada beberapa hadits nabi yang menjelaskan tentang kata-kata “Ahlussunnah wal Jama’ah, kalau mau selamat harus mengikuti pola keagamaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegangan teguh terhadap al-Qur’an, As-sunnah, mengikuti jejak sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin. ASWAJA menjadi rumit adalah pada tahap berikutnya ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan tidak ada model pemecahannya pada zaman Rasul; dari mulai masalah politik kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam, mantiq, motodologi hukum Islam, dan problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah arus dimana perpecahan antar kelompok ummat Islam tidak bisa dihindari, terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran sudah menjadi ideologi, maka



13 konsekuensinya adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman berfikir, teori pengetahuan yang akan difungsikan untuk mengawal, mengamalkan dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir hayat. Apabila kita cermati akan tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan terlihat terbagi dalam Lima (5) tahapan, Pertama, Masa awal Islam, pada masa ini teks keagamaan masih hidup, dimana ada Rasulullah yang masih bisa menjadi pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul. Semua persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung kepada sumbernya. Tetapi pada masa ini hasil ijtihad sahabat sudah diakui dan direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi pada sahabat Mu’adz bin Jabal. Kedua, Munculnya perpecahan ummat Islam, ini terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi pertanyaan-pertanyaan, soal dosa besar; bagaimana hukumnya orang mukmin membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula mulai muncul firqah-firqah; Khawarij, Murji’ah, Syi’ah. Ketiga, Masa munculnya ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada abad.....ketika ilmu kalam dan filsafat bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran Mu’tazilah yang merupakan arus dominan bahkan menjadi madzhab resmi negara pada waktu itu, setelah itu perbedaan pendapat pun tidak bisa dihindari, munculah Asy’ariyah dan Maturidiyah. keempat, runtuhnya khilafah Utsmani di Turki. Keruntuhan khilafah ini membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal sikap keagamaan, pemerintahan. Pada masa ini terjadi dua persoalan besar apakah perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim menentukan sendiri jalan hidupnya, dari sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab Saudi dan Mesir dan memunculkan aliran Wahabi penganut Abdul Wahab, di Indonesia berdirinya “Nahdlatul Ulama” sebagai benteng kaum tradisional, Kelima, mencuatnya gerakan–gerakan Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya gerakan-gerakan Islam ini adalah persoalan “pemurnian ajaran Islam dari unsur Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam”. Terhadap sistem politik Islam terbagi dua, mereka yang memaksakan Islam harus menjadi negara dan sebagian lagi Islam cukup menjadi syariah, ibadah dan etika sosial. Apa yang terjadi pada perkembangan ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami sejarah yang serupa. Sejarah perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan, pertama, terjadinya proses penyebaran Islam oleh walisongo, pada fase ini terjadinya proses dialog antara kebudayaan lokal dan Islama, proses ini terus “menjadi” yang akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia. Kedua, pada awal abad 20, munculnya organisasi-organisasi massa islam, Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad, baik yang berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi ini adalah sebagai bagain dari upaya membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonial dan



menyebarkan faham keagamaan menurut pemahaman organisasinya masing-masing. Ketiga, Fase perumusan konstitusi dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya perdebatan ideologi tentang perlu tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila. Keempat, munculnya Islam politik. Kelima, mencuatnya gerakan-gerakan Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan, maupun karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jama’ah, dll. Keenam, pada fase ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi, pembangunan, demokratisasi, keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme. Disamping dihadapkan pada isu, muncul pula gerakan-gerakan Islam puritan yang mengetengahkan isu politik Islam dan “pemurnian ajaran Islam”, seperti ; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (FKAWJ). Pada saat ini varian isu dan gerakannnya lebih luas. ASWAJA menjadi kata kunci dalam membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana nilainilai ASWAJA bisa ditransformasikan keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA menjadi ruh dari Islam Indonesia itu sendiri. Kiranya perlu untuk mengkaji beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA dapat diformulasikan menjai manhajul harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Achmad Siddiq, KH. Bisri Musthofa, KH. Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH. Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz, KH. Tolchah Hasan dan Kh. Said Aqil Siradj ASWAJA dan Tradisi Berfikih Kalau pada masa Asy’ariyyah dan Maturidiyyah perdebatan ASWAJA lebih banyak pada persoalan teologi, maka pada fase munculnya jam’iyyah Nahdlatul Ulama perdebatan ASWAJA lebih pada persoalan fiqih (persoalan furu’) termasuk bagian di dalamnya adalah persoalan khilafiyah (variable-variable furu’). Secara definisi ilmu fiqih adalah: “Ilmun bi al-ahkam al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah”, (fiqih adalah ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci). Definisi ini mengandung tiga substansi dasar yang sangat krusial, pertama, ilmu fiqih adalah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’alul mukallafin) yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu fiqih sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian, analisis, penelitian, generalisasi, konklusiasi). Di sini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental (adillah) dan rasionalitas (mujtahid). Ketiga, fiqih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, real action, atau bisa dikatakan amaliyah, bersifat praktis



14 sehari-hari. Fiqih juga harus berhubungan erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena fungsi fiqih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada wilayah ibadah mahdhah yang sangat terbatas, namun juga mencakup aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan dan sosial tersebut. Fiqih harus tampil menjadi solusi atas berbagai problem sosial tersebut. ASWAJA dan Tradisi Tasawwuf Kemunculan tasawuf bukan baru terjadi pada generasi muta’akhirin, tetapi sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bedanya, istilah ke-tasawuf-an baru dikenal pada generasi muta’akhirin, sementara pada masa Rasulullah istilah ke-tasawuf-an belumlah dikenal, melainkan yang disebut “ke-zuhud-an”. Dalam tradisi NU, ada empat puluh lima (45) Thariqat Mu’tabarah (Tarekat yang diakui dan dianggap pegangan), dan dianggap sanadnya muttashil (bersambung) ke rasulullah SAW, yaitu; 1) Rumiyyah, 2) Rifa’iyyah, 3) Sa’diyah, 4) Bakriyah, 5) Justiyah, 6) Umariyah, 7) Alawiyah, 8) Abbasiyah, 9) Zainiyah, 10) Dasuqiyah, 11) Akbariyah, 12) Bayumiyah, 13) Malamiyah, 14) Ghaibiyah, 15) Tijaniyah, 16) Uwaisiyah, 17) Idrisiyah, 18) Samaniyah, 19) Buhuriyah, 20) Usyaqiyah, 21) Kubrawiyah, 22) Maulawiyah, 23) Jalwatiyah, 24) Baerumiyah, 25) Ghazaliyah, 26) Hamzawiyah, 27) Haddadiyah, 28) Matbuliyah, 29) Sunbuliyah, 30) ‘Idrusiyah, 31) Utsmaniyah, 32) Syadziliyah, 33) Sya’baniyah, 34) Kalsyaniyah, 35) Khadhiriyah, 36) Syathariyah, 37) Khalwatiyah, 38) Bakdasyiyah, 39) Syahrawardiyah, 40) Ahmadiyah (Thariqah), 41) ‘Isawiyah Gharbiyah, 42) Thuruqi Akabiril Auliya’, 43) Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, 44) Khalidiyah wa Naqsyabandiyah, 45) Ahli Mulazamat al-Qur’an was Sunnah wa Dalailil Khairati wa Ta’limi Fathil Qaribi aw Kifayat al-Awami. Thariqat-thariqat tersebut dijadikan pegangan dan rujukan oleh organisasi “Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”, Organisasi Tarekat seIndonesia, yang berada di bawah payung organisasi Nahdlatul Ulama. NU dan Wawasan Strategis Konsepsi Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) yang telah diintegrasikan ke dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan dijadikannya sebagai pedoman, dalam perkembangannya bukan hanya melandasi sebatas persoalan-persoalan keagamaan (baik itu menyangkut aqidah maupun masalahmasalah fiqihiyyat) tetapi lebih dari itu menjadi landasan dalam bersikap, bertindak, berpikir dan beragama. Dalam beberapa kali Muktamar NU, ASWAJA selalu menjadi pembahasan yang sangat hangat dan menarik, bahkan forum-forum kaum muda NU non-struktural (mereka adalah anak-



anak muda NU yang berada di jalur kultural) selalu menyita perhatian dan menjadikannya topiktopik diskusi yang menarik. Pembahasan yang cukup menghangat adalah apakah ASWAJA ini sebagai teologi-dogmatik, ataukah sebagai Manhajul Fikr, Manhajun Nahdlah, atau mungkin sebagai Harakah? Cukup menarik mencermati berbagai pertanyaan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), bagaimana sikap ASWAJA dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana ASWAJA dalam berpolitik, dalam berekonomi dan berbudaya? Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ASWAJA diartikan sangat sederhana sekali, baik itu oleh kalangan para da’i-da’i NU; orang NU yang berhaluan ASWAJA adalah yang mengikuti salah satu dari empat madzhab, yang bertasawuf mengikuti Thariqat Imam Junaid alBaghdadi dan Imam al-Ghazali, yang suka tahlilan, barjanzian, ziarah kubur, manakiban, qunutan, tarawih 20 rakaat. Kekhawatiran ini bisa dipahami, karena memang Nahdlatul Ulama dari awal pendiriannya, termasuk dalam “Qanun Asasi”-nya KH. Hasyim Asy’ari tidak menyebutkan secara jelas mengenai konsepsi ASWAJA, yang dijelaskan hanya Madzhab al-‘Arba’ah (madzhab yang empat), selebihnya, tidak ada rumusan baik dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Tafsiran-tafsiran ASWAJA berikutnya dilandaskan pada nilai-nilai, manhajul fikr, sehingga menjadi rumusan yang hadir seperti sekarang ini. Pelembagaan ASWAJA sehingga menjadi seperti sekarang ini, disusun setelah Mbah Hasyim wafat, pada eranya KH. Bisyri Samsuri yang kemudian disistematisir lagi pada eranya KH. Achmad Siddiq. Karena dari awalnya ASWAJA bukan sebagai lembaga, hanya sebagai landasan berfikir dan landasan bergerak, maka lebih tepat lagi kalau disusun ASWAJA sebagai manhajul harakah yang akan berfungsi untuk menggerakkan roda jam’iyyah dan jama’ah NU. Harus dipahami, bahwa ASWAJA dalam tubuh NU selama ini masih menjadikan NU stagnan dengan segala potensinya yang ada, baik itu potensi ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dari banyak potensi ini semuanya belum menggerakkan NU menjadi sebuah organisasi yang solid, rapih dan sejahtera. Selama ini yang menjadikan NU mengakar adalah karena adanya ikatan-ikatan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari hubungan guru-murid maupun ulama-rakyat. Sistem patronase kepemimpinan ulama inilah yang menguatkan kelembagaan ASWAJA dalam masyarakat NU. PBNU pernah melakukan rumusan-rumusan ASWAJA dalam empat wawasan strategis dalam Muktamar NU ke-27 No. 002/MNU/1984, yaitu: wawasan tentang ke-NU-an sendiri, wawasan tentang ke-Islam-an, wawasan tentang ke-Indonesia-an. Dan wawasan tentang ke-Semesta-an (universalitas = internasionalitas = seluruh kemanusiaan). Empat wawasan strategis inilah yang



15 coba menghadirkan NU pada setiap masa dan dengan wawasan inilah NU masih dianggap sebagai organisasi massa Islam yang moderat, meskipun anggapan ini terkadang ada untungnya tetapi juga ada ruginya. Untungnya adalah dengan dianggapnya NU sebagai organisasi yang moderat maka percaturan politik ekonomi dan sosial nasional tetap harus melibatkan NU, tetapi nilai ruginya adalah dengan anggapan ini menjadikan NU selalu berada pada pihak yang dikorbankan, baik oleh negara, pemilik modal maupun kekuatan jaringan internasional. Aswaja dari Madzhabi ke Manhaji Sebagai sebuah organisasi massa yang besar, NU dalam pengambilan segala keputusannya memang cenderung sangat hati-hati, selalu dipikirkan akibat, resiko dan maslahatnya. Keputusannya selalu mendasarkan pada teks-teks keagamaan, baik itu dari al-Qur’an, al-Hadits, al-Qiyas, al-Ijma’, Qawa’id Ushul Fiqh, Istihsan, dan metodologi-metodologi lainnya. Maka konsep-konsep strategis yang diputuskan NU seyogyanya menjadi panduan dan pegangan kita untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan alur dari madzhabi ke manhaji adalah sebuah landasan konsepsional dan teoritis, dimana madzhab adalah aliran yang di dalamnya memuat seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai, normanorma, metodologi, dan dalam prakteknya sudah diamalkan oleh seluruh warga NU dengan mengikuti madzhab teologi, madzhab fiqih, dan madzhab tasawuf. Sementara manhaji adalah sebuah konsep metodologis yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman, dalam hal ini perubahan-perubahan ini tidak sebatas pada persoalan “Fiqih-Ushul Fiqihnya” saja, tetapi juga harus mampu mengembangkan fiqih-fiqih sektoral, detail seperti fiqih perburuhan, pertambangan, perempuan, fiqih trafficking, fiqih nelayan, fiqih agraris, dan lain-lain. Tetapi fiqihfiqih sektoral ini sekali lagi, tidak terlepas dari konteks memperkuat Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan bukan sebaliknya memperkeruh dan memporak-porandakan konsep-konsep fiqhiyyat yang sudah baku, terutama yang sudah diamalkan oleh kalangan pesantren dan kalangan-kalangan ulama NU. Apa yang telah tersusun dalam madzhab teologi, fiqih dan madzhab tasawuf sudah memuat aturan yang sudah baku, maka yang kita kembangkan dalam hal ini hanya menyangkut persoalanpersoalan fiqih baik itu pada persoalan kaidah ushul fiqih maupun substansi fiqih dengan tetap melandaskan pandangan intinya pada ketentuan yang sudah baku. Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi umat saat ini membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tepat yang bukan hanya berkutat pada persoalan ‘ubudiyah saja, melainkan pada aspek penataan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Bagaimana menyelesaikan sengketa buruh-majikan dalam sebuah kasus perusahaan dalam perspektif fiqih, bagaimana fiqih menyusun konsep-konsep



keadilan ekonomi masyarakat kecil yang saat ini dilanda berbagai kesulitan ekonomi karena dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan dan pasar yang tidak berpihak, bagaimana penyelesaian para TKW/TKI yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, sementara negara dan kalangan pengusaha PJTKI swasta hanya memeras keringat para TKW/TKI tersebut, bagaimana menyelesaikan persoalan trafficking perempuan, anak, dan apa konsep-konsep konkrit menurut fiqih, termasuk bagaimana menyelesaikan kemelut politik dalam tubuh partai politik seperti PKB dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) ditantang untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, secara individual maupun secara organisatoris. Landasan itu adalah paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondsi kemasyarakatan Indonesia. Khittah ini juga digali dari sejarah perjuangan NU. Muatan isi Khittah adalah ; Dasar-dasar paham keagamaan NU, Sikap Kemasyarakatan NU, Perilaku keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, Ikhtiar-ikhtiar yang sudah dilakukan NU, Fungsi organisasi dan pelayanan kepemimpinan ulama, Hubungan NU dan Kehidupan bernegara. Nilai-nilai Khittah sendiri sebenarnya menemukan momentumnya saat ini, pertama, adanya kampanye perlawanan terhadap ideologi transnasional yang saat ini sudah merasuk ke dalam sendi-sendi bangsa Indonesia, kedua, adanya krisis kebangsaan yang cukup akut, dimana kesadaran kebangsaannya mulai luntur, Pancasila tidak lagi dijadikan landasan atau falsafah hidup dan bernegara, pelaksanaan otonomi yang berlebihan sehingga hampir-hampir kita tidak hafal lagi berapa jumlah propinsi di Indonesia, berapa jumlah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia, dan berapa jumlah lembaga-lembaga ataupun komisi tinggi negara. Kaitannya dengan pengamalan Khittah saat ini adalah sudah saatnya Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow-nya merumuskan dan menentukan langkah-langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI dan juga mempertahankan ke-nusantara-an kita yang saat ini sudah terkoyak-koyak dengan adanya berbagai proyek internasionalisasi kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri. Sekali lagi, bahwa Khittah adalah “pedoman” yang merupakan induk dari konsep-konsep turunannya; “Mabadi Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyah dan berbagai konsep Maslahah ummah” yang harus diimplementasikan dan dijadikan rujukan dengan tetap menggunakan asas-asas kepeloporan, kemandirian dan kesinambungan. Artinya, bagaimana dengan Khittah NU mampu menjadi garda depan dalam merespon setiap perkembangan zaman, bukan sebagai kuda tunggangan kekuasaan atau kepentingan kelompok-kelompok lain. Meminjam istilah Ahmad Baso, NU harus menjadi “Fa’il” bukan “Maf’ul” menjadi subyek bukan obyek.



16 Sementara Konsepsi Dasar Mabadi Khaira ummah adalah sebuah konsep yang berangkat dari kegagalan membangun perekonomian NU, penataan organisasi dan memperkuat pola silaturahmi antara warga NU dan para pimpinan NU.



5. Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.



Pada mulanya, prinsip dasar Mabadi Khaira Ummah hanya mengenal tiga prinsip dasar, yaitu; asSidq (kejujuran), al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi (dapat dipercaya dan teguh memegang janji) dan at-Ta’awun (gotong royong), tetapi dalam perjalanannya, penjabaran atas konsep ini semakin sistematis dan terumuskan, sehingga terjadi penambahan prinsip menjadi lima prinsip, yaitu: AsSidq, al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi, al-‘Adalah, at-Ta’awun, dan Istiqomah.



Selain “Fikrah Nahdliyah” yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu mengemukakan “beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah Nahdliyyah”. KH. Achmad Siddiq merumuskan “Lima Dalil Perjuangan dan Lima Dalil Hukum”, hasil rumusan ini ditujukan untuk; 1) Mempersamakan alam pikiran di dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan, 2) Menjaga alam pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme, dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan kepribadian NU, 3) Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.



Lima nilai di atas tersebut jika dilaksanakan, maka akan menjadi seorang muslim yang sempurna, dimana seorang muslim yang sempurna adalah yang terdapat kesesuaian antara ucapan, pikiran dan tindakan. Segala perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berkesinambungan, jangan setengah-setengah, diperlukan adanya totalitas dan kesungguhan, karena itulah kunci dari keberhasilan. Diperlukan sebuah nilai ketulusan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang diyakini benar dan akan bermanfaat buat diri sendiri dan masyarakat. Keberadaan Fikrah Nahdliyyah sendiri dilandaskan pada beberapa hal, pertama, adanya landasan historis mengenai berdirinya Nahdlatul Ulama, bahwa berdirinya NU adalah respon terhadap adanya pertarungan ideologi, antara ideologi Islam tradisional dan Islam modernis, kedua, banyaknya kejadian-kejadian yang berkembang, dimana banyak kelompok-kelompok atau individu-individu yang mengatasnamakan NU tetapi sikap, pikiran dan tindakannya sudah tidak lagi mencerminkan kepentingan jam’iyyah NU. Oleh karena itu Fikrah Nahdliyyah ini adalah semacam panduan yang dinetralisasi dari nilai-nilai ASWAJA NU. Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijadikan landasan berfikir Nahdlatul Ulama (Khittah Nahdliyyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlah-ummah (perbaikan umat). Khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyyah adalah: 1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap Tawazun (seimbang) dan I’tidal (adil) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath. 2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan budayanya berbeda. 3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah). 4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.



Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi, kolonialisasi dan komunisme masih menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan khususnya kepentingannya dalam memperkuat jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun “Fikrah Nahdliyah” versi KH. Achmad Siddiq ini belum resmi menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan termasuk dalam “Fikrah Nahdliyah” hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan “amar ma’ruf nahi munkar” dalam klausulnya. KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan hakikatnya, dengan cara: 1. Menelaah latar belakang perkembangannya. 2. Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen. 3. Watak imperialismenya. 4. Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam. 5. Proyek-proyek imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam dengan cara mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama ”al-Kulliyyah al-Injliziyyah alSyarqiyyah al-Muhammadiyah” dan membina seorang yang bernama “Mirza Ghulam Ahmad”, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH QADIAN. 6. Imperialisme barat melakukan pembinaan terhadap “Orang-orang Islam”, salah satunya adalah MUSTHAFA KAMAL AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki. Bahwa modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilainilai ajaran Islam, semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan



17 mental pemujaan terhadap barat dan segala yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejalagejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme, terutama di bidang culture (kebudayaan, peny), civilitation (peradaban, peny) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme, di bidang filsafat, politik dan ekonomi. Pembentengan terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dari bahaya-bahaya ini, haruslah dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan hakikat modernisme-westernisme yang jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian “Pedoman Berfikir Positif” ala Islam, ala Ahlussunnah wal Jama’ah, ala Nahdlatul Ulama (Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah Nahdliyah).



strategis ke-Aswaja-an; tradisi nusantara, Menggerakkan kaum mustadh’afin, Menggerakkan pribumisasi Islam dan Menggerakkan semangat kebangsaan



Sikap yang harus diambil oleh kalangan generasi ASWAJA adalah:



Kedua, ASWAJA dalam lingkup dan tradisi NU menjadi sebuah konsep “pelembagaan ASWAJA” yang di dalamnya menyangkut rumusan fiqih, akidah, dan rumusan tasawuf. Rumusan-rumusan ini membentuk “rumusan pemikiran dan gerakan”. Disebut pemikiran, karena NU dengan konsep ASWAJAnya mampu mengembangkan berbagai metodologi hukum-hukum syari’ah yang sebelumnya tidak ada. Sementara disebut sebagai gerakan, karena ASWAJA selalu menjadi ruh pergerakan para ulama, dari mulai membuat gerakan ekonomi, gerakan politik, gerakan kebudayaan, gerakan keagamaan, gerakan pendidikan dan gerakan keba



1. MENILAI MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu (sahabat dan ulama mujtahidin), b) Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam. 2. MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti: a) Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang tidak bertentangan dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, b) Menolak dan mencegah hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam. 3.



MERINTIS MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang teknik perjuangan yang tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, b) Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup atau mempersempit jalan berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.



Aswaja dari Manhajul Fikr ke Manhajul Harakah Untuk mensistematisir dan menyusun secara konsepsional dari fikroh ke harakah maka basis argumentasinya harus melandaskan pada akar-akar historis Nahdlatul Ulama dengan menyusun secara lebih sistematis dan konsepsional gagasan-gagasan baru yang bersifat kritis, dan kontektual, diantaranya adalah; bagaimana upaya menggerakkan Trilogi NU yang pernal muncul dalam sejarah ke-NU-an; Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathon dan Taswirul afkar, menggerakkan wawasan



Pertama, bahwa secara historis ASWAJA adalah sebuah “proses” yang lahir bukan terus “menjadi” tetapi terus “berkembang” mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah. ASWAJA secara historis kelahirannya terbagi dalam dua fase; sebagai sebuah ajaran dan pemikiran yang sudah lahir dari masa Rasulullah SAW, hal ini dibuktikan dengan adanya hadits nabi yang menyebut kata “Ahlussunnah wal Jama’ah” sebagai golongan umat yang akan selamat dari 72 golongan yang akan masuk neraka. Tetapi secara pelembagaan, ASWAJA mulai hadir pada masa muculnya perpecahan aliran-aliran ilmu kalam yang berujung pada “munculnya perumusan ilmu-ilmu fiqih”.



Ketiga, dalam perjalanannya, ASWAJA Nahdlatul Ulama menjadi ruh dalam menuangkan gagasangagasan strategis, yang kemudian gagasan-gagasan ini juga diakui diakomodir sebagai agenda pembangunan nasional, seperti; a) dengan adanya gagasan kembali ke Khittah Nahdliyah 1926, NU berhasil membangun kemandirian organisasi, NU berhasil menjaga stabilitas pembangunan, dan NU berhasil menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin melalui gerakan Islam damai, dan Islam kebangsaan. Dengan konsep pribumisasi Islam, NU telah menghadirkan dirinya menjadi kekuatan tradisional yang progressif, transformatif, kritis dan konstruktif. Dan pada akhirnya NU menjadi pelopor bagi terbentuknya “Islam Indonesia” dan menjadikannya sebagai model bagi pengembangan Islam di negara-negara muslim lainnya di dunia, b) dengan adanya gagasan strategis “Mabadi Khaira Ummah”, telah berimplikasi pada adanya penataan kembali struktur organsiasi NU dari mulai tingkat ranting sampai pengurus besar, membagun kembali pola komunikiasi antara NU dengan warganya dan membangun gerakan ekonomi kerakyatan, c) dengan adanya gagasan “Fikroh Nahdliyah”, NU mensistematisir dirinya menjadi sebuah sistem yang meberikan kerangka metodologis dan solusi-solusi yang konkrit dalam memecahkan kebekuan dan kejumudan umat, d) dan dengan adanya gagasan “Maslahah Ummah”, NU berupaya menegaskan dirinya sebagai organisasi pemberdayaan umat dan perjuangan umat menuju umat yang sejahtera dan pelopor bagi pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman dan bertaqwa.



18 Keempat, dalam perkembanganya, ASWAJA harus mampu menjadi garda terdepan dalam menggerakkan sendi-sendi kebangsaan. Semuanya demi kemaslahatan, kemajuan bangsa dan kejayaan Islam. Dalam tataran ini ASWAJA harus memiliki kemampuan untuk menyusun wawasan strategis ke-ASWAJA-an yang meliputi; bagaimana tradisi ke-nusantara-an, bagaimana menggerakkan kaum mustadz’afin, bagaimana menggerakkan pribumisasi Islam, dan bagaimana menggerakkan solidaritas kebangsaan. Kelima, ASWAJA dituntut kemampuannya untuk merumuskan strategi-strategi konkrit, realistis dan visioner, dimana dalam hal ini ASWAJA dapat menjadi panduan, pedoman dan pandangan masyarakat umum, seperti halnya “Madilognya Tan Malaka yang mampu menyusun gerakan nasionalisme-kiri atau Das Kapitalnya Karl Marx yang mampu menyusun pedoman gerakan komunis”. Aswaja dalam Praksis Gerakan Bagaimanakah membumikan ASWAJA dalam praksis gerakan?. Pertanyaan ini menjadi penting untuk di jawab, agar ASWAJA selalu menjadi landasan dan pedoman dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA) sebagaimana telah disebutkan dalam bab-bab awal, bukan hanya sebagai konsep teologi, melainkan juga sebagai konsep berpikir dan bergerak. Oleh karena itu, harus ada hubungan sinergis antara ajaran, landasan, sikap, pola pikiran dan tindakan sehingga manjadi satu kesatuan yang integral sebagai wujud dari pembuman ASWAJA. Dalam membumikan ASWAJA, terdapat enam (6) pola pengembangan; landasan keagamaan, konsepsi dasar, orientasi, pola ukhuwah, penduan berpikir, dan panduan bergerak I.



Landasan keagamaan Ø Berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas Ø Memantapkan ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ø Mengembangkan kontektualisasi dan aktualisasi fiqh Ø Menggerakkan fungsi-fungsi ushul fiqh II. Konsepsi dasar Ø Apresiasi terhadap tradisi-tradisi lokal Ø Menggelorakan semangat kebangsaan III. Orientasi Ø Melakukan penilaian-penilaian masa lalu Mempertahankan nilai-nilai positif masa lalu dan memurnikannya dari pengaruh dan pencampuran unsur-unsur khurafat, israiliyyat, dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam



Ø Mengembangkan masa kini Menerima hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan islam dan mengembangkannya sesuai dengan Islam dan menolak hal-hal baru yang tidak sesuai dengan islam atau membahayakan Islam Ø Merintis masa depan Menciptakan konsepsi-konsepsi baru yang sesuai Islam, mendorong inisiatif-inisiatif dan ikhtiar dan mengembangkan azas dan haluan perjuangan tersebut, mengadakan usaha dan langkah preventif terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Islam IV. Pola Ukhuwah Ø Mengembangkan pola ukhuwah Islamiyah (ke-Islama-an) Ø Mengembangkan pola ukhuwah Basyariyah (ke-manusia-an) Ø Mengembangkan pola ukhuwah wathoniyah (ke-bangsa-an) Ø Mengembangkan pola ukhuwah nahdliyah (ke-NU-an) V. Panduan Berpikir Ø Mengembangkan pola pikir Tawassuthiyah (pola pikir moderat dengan tetap mengedepankan keseimbangan dan keadilan) Ø Mengembangkan pola pikir Tasamuhiyah (pola pikir toleran) Ø Mengembangkan pola pikir Ishlahiyah (pola pikir reformatif) Ø Mengembangkan pola pikir Tathowwuriyah (pola pikir dinamis) Ø Mengembangkan pola pikir manhajiyyah (pola pikir metodologis) VI. Panduan bergerak Ø Mengembangkan aspek-aspek Maslahah Melakukan advokasi kebijakan, meminimalisir bahaya, menghindari kerusakan, melakukan gerakan preventif, menjadi kader pelopor, mewujudkan multi effect maslahat Ø Melakukan pembelaan terhadap kaum Mustadh’afin



19 Melakukan pembelaan terhadap kelompok/ perorangan yang dilemahkan dan ditindas secara struktur sosial-budaya, ekonomi dan politik serta memberdayakan, memperkuat dan mengembangkan sepuluh kelompok; faqir, miskin, ‘amil, mu’allaf



NAHDHOTUN NISA’ Dalam perjalanan sejarah bangsa, gerakan perempuan mewarnai perjuangan berdirinya bangsa Indonesia. Beberapa tokoh perempuan berada di garis depan perjuangan melawan penjajah. Pada masa mempertahankan kemerdekaan tokoh-tokoh perempuan berpartisipasi dan menyebar di berbagai bidang. Masa orde baru pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-intansi dan mewarnainya dengan isu-isu keperempuanan. Pada masa reformasi hingga saat ini, pergerakan perempuan justru semakin nyata dalam menancapkan kukuhnya di dunia politik. Gerakan perempuan Indonesia mencatat tanggal 22 Desember adalah sebuah titik awal sebuah gerakan perempuan secara nasional. Gagasan itu dicerna kaum perempuan yang aktif dalam gerakan Kebangkitan Nasional 1908. Gejolak rasa nasionalisme dibulatkan dalam bentuk Sumpah Pemuda tahun 1928, kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Pada waktu itu resolusi penting yang dideklarasikan adalah “tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi perempuan”. Selayaknya kita mengambil spirit perjuangan perempuan Nusantara terdahulu, seperti Cut Nyak Dien pernah memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada Tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Kemudian Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan bentengbenteng sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Perempuan lain yakni



Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani. KOPRI PMII belajar dari kepemimpinan dan kegigihannya dalam membangun bangsa. Bicara soal kepemimpinan perempuan ditingkatan mahasiswa, data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi mahasiswi di organisasi kemahasiswaan tidak lebih dari 20% dari jumlah seluruh aktitifis organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan mahasiswi hanya menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara, bidang kewanitaan, atau seksi konsumsi dan administrasi jika dalam kepanitiaan. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi. Fakta ini juga dapat dengan mudah kita lihat pada aksi-aksi mahasiswa, seperti aksi mahasiswa tahun 1998 yang lalu. Aksi tersebut lebih banyak melibatkan mahasiswa. dan jarang maju kedepan menjadi orator dilapangan. Kita dapat bandingkan gerakan kaum ibu dengan gerakan mahasiswi dalam aksi mahasiswa pada tahun yang sama, mereka mengambil inisiatif turun kejalan. Dalam sejarah kepengurusan Senat atau pemerintahan Mahasiswa sulit ditemukan seorang perempuan yang mampu berada di garis terdepan pergerakan mahasiswa. Namun mulai reformasi bergulir banyak aktifis perempuan yang menjadi garda depan dalam kepemimpinan, jumlah ini masih sangat terbatas dan butuh perjuangan. Ada beberapa indikasi yang dapat kita lihat lemahnya kepemimpinan perempuan yaitu dunia politik belum menjadi pilihan menarik bagi perempuan kalangan intelektual. Mahasiwi belum maksimal dalam melakukan bargaining dengan para mahasiwa/lakilaki dalam hal pengambilan keputusan. Mahasiswi cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa. Mahasiswi kebanyakan termasuk dalam golongan mahasiswa kutu buku atau gaul/hedonis namun minus ideology. Mahasiswa dan Gerakan Intelektual perspektif Gender Dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa, mahasiswa adalah elemen penting terhadap perubahan-perubahan yang radikal. Pada awal abad ke-12 dengan berdirinya Universitas Bologna di Paris. Lebih dikenal dengan semboyan “Gaudeamuslgtiur, juvenes dum sumus” (kita gembira, selagi masih muda). Sedangkan di Indonesia, Gerakan mahasiswa dan pemuda dimulai dengan Sumpah Pemuda 1928. Selanjutnya mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98, mahasiswa sebagai The agent of sosial control sebagai pejuang penyalur aspirasi rakyat. Peran mahasiswa berulang kali telah menjadi tumpuan harapan demi sebuah kehidupan bernegara yang lebih baik. Runtuhnya rezim orde lama menjadi orde baru dan orde baru menjadi reformasi adalah hasil daya kritis mahasiswa yang mampu melihat kondisi yang tidak ideal di masyarakat. Peran aktif



20 mahasiswa sebagai kontrol sosial, agen perubahan ini diwujudkan melaui wadah-wadah organisasi mahasiswa seperti PMII. Gerakan Mahasiswa adalah gerakan intelektual, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus yang mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi permasalahan. Gerakan intelektual bermuara dari tiga hal: Pertama, Tradisi membaca (Reading Tradition) adalah tradisi pengembangan wacana, memperluas wawasan. Mahasiswa harus selalu mengetahui perkembangan pengetahuan “Buku adalah Jendela Dunia”. Membaca adalah pintu masuk awalnya pengetahuan. Tidak hanya berhenti dalam membaca tetapi mahasiswa juga harus mampu mentransformasikannya kepada masyarakat. Kedua, Membangun tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus banyak membuka ruang diskusi dan sharing. Ini adalah upaya membuka cakrawala pengetahuan dan mendorong mahasiswa untuk selalu belajar dan belajar. Ketiga, Tradisi menulis (Writing Tradision) adalah gerbang intelektual. Menulis bisa bermacam-macam, menulis karya ilmiah, ataupun menulis berita. Kritik social hari ini banyak didengungkan melalui media dan perjuangan aktivis dapat melalui media. Ini jauh efektif setelah gerakan melalui pengorganisiran massa. Gerakan Intelektual berbasis gender dimulai dari tiga tradisi tersebut yakni, membaca, diskusi dan menulis. Tidak hanya membaca melalui literatur semata tetapi juga membaca dan menganalisa kondisi sosial perempuan di masyarakat. Selanjutnya mendiskusikan, menyususun strategi, menganalisa, mendorong munculnya kebijakan yang sensitive terhadap gender dan menulisnya sebagai upaya transformasi sosial. Ketiga tradisi ini harus diperkuat dalam dunia gerakan kampus. Peran penting Mahasiswi dalam organisasi kampus diantaranya: 1. Dunia kampus adalah penghasil pemikiran-pemikiran yang jadi sumbangsih peradaban bangsa. Hasil pemikiran-pemikiran mahasiswi tentu menjadi sudut pandang tersendiri. Sumbangsih pemikiran dari dunia kampus khususnya dari mahasiwi sendiri masih sangat langka kita temukan bagi perubahan kondisi masyarakat, dan kaum perempuan khususnya. 2. Potensi kedudukan strategis mahasiwa dimasyarakat yang dapat masuk ke semua struktur sosial baik kelas atas (high class), menengah (middle class), dan bawah (low class), adalah peluang bagi mahasiswi sebagai mediator yang menyatukan berbagai kepentingan bersama dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. 3. Mahasiswi adalah sumberdaya yang sangat potensil bagi gerakan perempuan. Mahasiswi adalah calon-calon tokoh profesional dan intelektual ketika di masyarakat. Pemilu yang lalu, ketika peran politik perempuan begitu gencar di suarakan oleh para aktivis perempuan, dalam realisasinya terkendala dalam sumber daya perempuan di dunia



politik yang ternyata tak mencukupi. Meskipun dari data tingkat pendidikan perempuan sudah cukup seimbang antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki. Bahkan pengalaman di bangku perkuliahan, kaum perempuan biasanya menonjol dalam nilai akademis, namun dalam hal terjun ke dunia politik hal ini masih langka. Ditambah lagi pengalaman mahasiswi dalam berpolitik ketika masih di dunia kampus yang masih kurang memadai sebagai bekal berpolitik di masyarakat. Peran strategis KOPRI dalam mengawal Gerakan Intelektual dan Kepemimpinan Perempuan Nusantara Wadah yang menaungi kader puteri PMII atau lebih dikenal dengan KOPRI (Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri). Sejak berdiri dalam kongres ketiga Tahun 1967, KOPRI merupakan wadah pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kader dan mengawal isu-isu perempuan. Wadah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kader dan potensial kader puteri. Sebuah gerakan yang memiliki Paradigma Kritis Transformatif (PKT) dalam melihat realitas kebangsaan dan berpijak pada Ahli sunnah Waljama’ah. Selain itu memandang bahwa berbagai bentuk penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan berakar pada adanya cara berfikir dan bertindak yang merendahkan martabat dan kemanusiaan kaum perempuan. Oleh karena itu, harus ada perubahan cara berfikir dan bertindak bersama secara sadar dan terorganisir untuk menegakkan kembali martabat dan kemanusiaan tersebut melalui proses penyadaran ditingkat mahasiswa dan semua elemen masyarakat. Dengan adanya Kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di seluruh Indonesia, ini adalah sebuah potensi besar untuk melahirkan kepemimpinan perempuan yang berkarakter, cerdas dan dan visioner. Hal ini diperlukan kerja keras dan kerja cerdas Peningkatan Capacity buiding melalui penataan kaderisasi dan pengawalan menjadi sangat penting. Pada periode 2011-2013, visi KOPRI PB PMII adalah membangun sinegitas KOPRI dalam mengawal dan memperkuat kepemimpinan perempuan Nusantara. Oleh karena itu KOPRI sebagai kawah candradimuka (tempat pengkaderan, tempat penggodokan) pemimpin perempuan. Kerja ini dimulai dengan penguatan sistem kaderisasi KOPRI dimulai dari Sekolah Kader KOPRI (SKK) dengan tiga tahapan. SKK I dilakukan setelah Masa penerimaan anggota baru (Mapaba), SKK II setelah Pelatihan Kader Dasar (PKD) dan SKK III setelah Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Selain itu dilakukan juga Konsolidasi Kepemimpinan di lima region yaitu, Sunda Kecil, Kalimantan, Indonesia Timur, Sumatera dan Jawa. Konsolidasi ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepemimpinan bagi kader perempuan PMII yang ada di seluruh Indonesia. Setelah purna Konsolidasi Regional dikukuhkan kembali dalam Konsolidasi Nasional. Kerja-kerja ini dibingkai dengan nama Konsolidasi Kepemimpinan Perempuan Nusantara. Karena gerakan Intelektual dan Kepemimpinan perempuan Nusantara harus dilahirkan dari rahim PMII. Selain itu mengawal proses penyadaran berkeadilan Gender



21 dikalangan mahasiswa dan masyarakat dan memperjuangkan lahirnya kebijakan yang berperspektif Gender berlandaskan nilai-nilai keadilan dan penghargaan. Pada periode 2014-2016 masih melanjutkan visi-misi KOPRI periode sebelumnya, akan tetapi ada perubahan sedikit dalam sistem kaderisasinya yaitu, SKK1 dan II (Sekolah Kader Kopri), SIG (Sekolah Islam Gender), dan SKKN (Sekolah Kader Kopri Nasional) Salam Pergerakan…!!!