Pedoman Tuntutan Pidana Umum Yg Sudah Direvisi PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEDOMAN NOMOR 3 TAHUN 2019 TENTANG TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA UMUM



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilakukan untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan tetap menghargai nilai dan prinsip hukum dalam peraturan perundangundangan.



Pengajuan



tuntutan



pidana



dilakukan



dengan



mempertimbangkan tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan hukum yang dilindungi, kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan rasa keadilan masyarakat termasuk kearifan lokal. Sebagai implementasi dari pelaksanaan kewenangan Kejaksaan di bidang penuntutan maka disusun pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum yang dapat juga dipedomani dalam mengajukan tuntutan pengenaan tindakan. Pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum tersebut diharapkan mampu mengakomodasi tujuan hukum dan pertimbangan dimaksud dengan tetap menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan masyarakat oleh karenanya pembaruan substansi hukum dengan mengganti pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum yang ada menjadi suatu kebutuhan. Pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum dimaksud hendaknya juga perlu memperhatikan mekanisme yang lebih efektif dan efisien dengan tetap mengedepankan kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab dari penuntut umum tanpa mengurangi unsur pengendalian dan pengawasan dari pimpinan.



-2-



Sehubungan dengan hal tersebut maka Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-013/A/JA/12/2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum dicabut dan diganti dengan pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum yang baru yang dapat juga dipedomani dalam mengajukan tuntutan pengenaan tindakan. B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Pedoman



ini



dimaksudkan



sebagai



acuan



atau



pedoman



dalam



mengajukan tuntutan pidana untuk perkara tindak pidana umum. 2. Tujuan Pedoman ini ditujukan untuk menjamin kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab dari penuntut umum dalam mengajukan tuntutan pidana, menyederhanakan mekanisme pengajuan tuntutan pidana dan menghindari disparitas tuntutan pidana. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup Pedoman ini meliputi pendelegasian kewenangan pengendalian tuntutan pidana, kriteria perkara penting berskala nasional, kriteria perkara penting berskala daerah, keadaan dan faktor yang mempengaruhi tuntutan pidana, materi rencana tuntutan pidana, ketentuan tuntutan pidana, dan sikap Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan serta penutup. D. Dasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401).



-3-



BAB II TUNTUTAN PIDANA



1. Pendelegasian Kewenangan Pengendalian Tuntutan Pidana (1) Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan pada prinsipnya mendelegasikan pengendalian tuntutan pidana perkara tindak pidana umum kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri. (2) Untuk perkara yang termasuk dalam kriteria perkara penting berskala



daerah,



Jaksa



Agung



mendelegasikan



pengendalian



tuntutan pidana perkara tindak pidana umum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (1) dan butir (2) dikecualikan terhadap tuntutan: a. bebas; b. lepas dari segala tuntutan; c. pidana mati; d. pidana penjara seumur hidup; e. pidana dengan syarat untuk perkara yang termasuk dalam kriteria perkara penting berskala nasional atau berskala daerah; f.



pidana pokok lain selain pidana penjara untuk perkara yang termasuk dalam kriteria perkara penting berskala nasional atau berskala daerah;



g. perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan. (4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada butir (3) dikendalikan oleh Jaksa Agung dan diajukan secara berjenjang melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (3) dan butir (4) juga berlaku bagi perkara yang penuntutannya dilakukan secara terpisah (splitzing), baik yang tuntutannya diajukan sendiri-sendiri maupun diajukan bersama-sama dalam hal salah satu perkara yang penuntutannya dilakukan secara terpisah tersebut dituntut dengan tuntutan sebagaimana dimaksud pada butir (3). (6) Pengendalian tuntutan pidana perkara tindak pidana umum dengan prinsip kesetaraan yang ditangani Kejaksaan Agung atau Kejaksaan



-4-



Tinggi dilaksanakan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri sebagaimana dimaksud pada butir (1) dengan tetap memperhatikan ketentuan pada butir (2), butir (3), dan butir (4). (7) Laporan penanganan perkara tindak pidana umum dengan prinsip kesetaraan sebagaimana dimaksud pada butir (6) disampaikan secara berjenjang kepada Kejaksaan Agung atau Kejaksaan Tinggi yang melimpahkan penanganan perkara. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada butir (7) meliputi: a. Laporan tahap penuntutan; dan b. Laporan tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (9) Laporan tahap penuntutan sebagaimana dimaksud pada butir (8) huruf a meliputi pelimpahan perkara ke Pengadilan, pemeriksaan di sidang pengadilan, tuntutan penuntut umum, putusan pengadilan, dan upaya hukum. (10) Laporan



tahap



pelaksanaan



putusan



pengadilan



yang



telah



memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada butir (8) huruf b termasuk grasi. 2. Kriteria Perkara Penting Berskala Nasional Perkara penting berskala nasional merupakan perkara tindak pidana umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Pelaku atau korban tindak pidana merupakan pejabat pemerintah pusat, tokoh agama, tokoh masyarakat, atau seseorang yang menarik perhatian media massa nasional atau masyarakat luas atau yang mendapat perhatian dari negara sahabat; (2) Menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih yang berdampak luas baik secara nasional atau internasional, mendapat perhatian media massa, dunia akademik, atau forensik; (3) Menimbulkan korban jiwa dalam jumlah banyak atau yang dilakukan secara sadis atau merusak bangunan atau objek vital nasional; (4) Perkara tindak pidana terhadap keamanan negara atau ketertiban umum yang berdampak luas atau meresahkan masyarakat; (5) Perkara



yang



dalam



penanganannya



diduga



telah



terjadi



penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh



-5-



aparat penegak hukum yang menarik perhatian media massa atau masyarakat luas; dan/atau (6) Perkara dengan dampak luas, meliputi 2 (dua) atau lebih daerah hukum Kejaksaan Tinggi. 3. Kriteria Perkara Penting Berskala Daerah Perkara penting berskala daerah merupakan perkara Tindak Pidana Umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Pelaku atau korban tindak pidana merupakan pejabat pemerintah daerah, tokoh agama, atau tokoh masyarakat yang berpengaruh di daerah; (2) Perkara dengan dampak luas, meliputi dua atau lebih daerah hukum Kejaksaan Negeri. 4. Keadaan dan Faktor yang Mempengaruhi Tuntutan



Pidana



(1) Pengajuan tuntutan pidana dilakukan dengan mempertimbangkan: a. keadaan yang memberatkan; dan b. keadaan yang meringankan berdasarkan fakta persidangan. (2) Keadaan yang memberatkan sebagaimana dimaksud pada butir (1) huruf a terdiri dari: a. mengganggu stabilitas dan keamanan negara; b. mengandung sentimen, perlakuan diskriminatif, pelecehan, atau penggunaan kekerasan terhadap orang berdasarkan identitas, keturunan, agama, kebangsaan, kesukuan, atau golongan tertentu; c. terdakwa tidak menyesali perbuatannya; d. menimbulkan keresahan yang meluas bagi masyarakat; e. menimbulkan kerugian bagi negara dan/atau masyarakat; f.



menimbulkan penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan bagi korban dan keluarganya;



g. merusak generasi muda; h. dilakukan secara sadis; i.



terdakwa telah menikmati hasil tindak pidana; dan/atau



j.



keadaan memberatkan lain yang bersifat kasuistis berdasarkan fakta persidangan atau faktor pertimbangan lain yang diatur dalam perundang-undangan.



-6-



(3) Keadaan yang meringankan sebagaimana dimaksud pada butir (1) huruf b terdiri dari: a. terdakwa dalam keadaan hamil; b. terdakwa dan korban sudah melakukan perdamaian; c. terdakwa menyesali perbuatannya; d. terdakwa telah mengganti kerugian atau telah melakukan perbaikan akibat tindak pidana seperti keadaan semula; e. terdakwa masih muda dan diharapkan masih dapat memperbaiki perilakunya; f.



terdakwa belum menikmati hasil tindak pidana;



g. terdakwa menyerahkan diri setelah melakukan tindak pidana; h. terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator); dan/atau i.



keadaan meringankan lain yang bersifat kasuistis berdasarkan fakta persidangan atau faktor pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.



(4) Selain keadaan yang memberatkan dan keadaan yang meringankan, faktor yang harus dipertimbangkan dalam tuntutan pidana terdiri dari: a. kesalahan dan peran terdakwa; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana; d. keadaan jasmani dan rohani terdakwa, antara lain kondisi fisik dan psikis terdakwa, termasuk karakter, kepribadian, keadaan sosial, dan ekonomi terdakwa; e. riwayat hidup terdakwa, termasuk jabatan, pekerjaan, profesi dan/atau pendidikan terdakwa; f.



pengaruh pidana terhadap masa depan terdakwa;



g. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan/atau h. kondisi sosial masyarakat dan/atau kearifan lokal. (5) Keadaan yang memberatkan, keadaan yang meringankan, dan faktor yang harus dipertimbangkan dalam tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada butir (2), butir (3), dan butir (4) dicantumkan dan/atau diuraikan dalam surat tuntutan. (6) Dalam hal undang-undang juga mengatur sanksi tindakan selain sanksi pidana maka ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku



-7-



atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana atau yang terjadi kemudian



dapat



dijadikan



dasar



pertimbangan



untuk



tidak



menuntut pidana namun menuntut untuk dikenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. (7) Dalam hal ketentuan pidana juga mengancam alternatif sanksi pidana



selain



pidana



penjara,



Penuntut



Umum



dapat



mempertimbangkan menerapkan sanksi pidana yang lebih ringan dibandingkan pidana penjara atau mengenakan tindakan untuk lebih mendekatkan



pada



tercapainya



tujuan



pemidanaan



kepada



perbaikan diri dan masa depan pelaku dengan tetap memperhatikan fakta hukum di persidangan dan mempertimbangkan keadaan dan faktor sebagaimana dimaksud pada butir (2), butir (3), dan butir (4). (8) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada butir (6) dan (7) juga berlaku bagi tuntutan pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, dengan tetap memperhatikan: a. pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir; b. Anak telah berusia 14 (empat belas tahun) dan tindak pidana diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun ke atas; c. pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan dengan pidana penjara terhadap Anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa; d. minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak; dan e. jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 5. Materi Rencana Tuntutan Pidana (1) Kasus posisi dalam rencana tuntutan pidana dibuat secara ringkas dan jelas sesuai perbuatan materil terdakwa berdasarkan fakta hukum di persidangan dengan menyebutkan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana.



-8-



(2) Dalam hal ada unsur “berencana” atau unsur pemberat pidana lainnya dalam tindak pidana juga diuraikan dalam kasus posisi dan tidak diuraikan kembali dalam keadaan yang memberatkan. (3) Tolok ukur yang digunakan dalam mengajukan rencana tuntutan pidana adalah tindak pidana sejenis untuk perkara dengan kondisi atau peran pelaku yang sebanding atau memiliki fakta hukum yang kurang lebih sama, dengan jangka waktu yang masih relevan. (4) Berat ringannya tuntutan pidana atau tindakan disesuaikan dengan keadaan dan faktor sebagaimana dimaksud pada angka 4 butir (2), butir (3), dan butir (4). (5) Dalam hal penuntut umum dalam tuntutannya akan mengembalikan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana yang memiliki nilai ekonomis kepada saksi atau pihak ketiga yang beritikad baik, penuntut umum menguraikan pertimbangannya dalam rencana tuntutan pidana dengan melampirkan bukti atau fakta hukum yang mendukung. 6.



Ketentuan Tuntutan Pidana (1) Penuntut Umum mengajukan tuntutan bebas (vrijspraak) dalam hal: a. kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan; b. tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terpenuhinya unsur tindak pidana; dan/atau c. tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang sah karena alat bukti yang diajukan di depan persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah. (2) Penuntut Umum mengajukan tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) dalam hal berdasarkan fakta hukum di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. (3) Dalam hal Penuntut Umum mengajukan tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dimaksud pada butir (2) maka Penuntut Umum dalam tuntutannya tetap wajib membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan menguraikan alasan mengapa perbuatan itu meskipun terbukti tetapi tidak merupakan suatu tindak pidana, antara lain sebagai berikut:



-9-



a.



adanya alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya atau adanya alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan sehingga perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak merupakan tindak pidana;



b.



perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak termasuk dalam ranah hukum pidana; dan/atau



c.



terdapat



perubahan



peraturan



perundang-undangan



yang



mendekriminalisasi atau menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan yang didakwakan (4) Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana dengan syarat dalam hal tindak pidana yang dilakukan terdakwa layak dituntut pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kurungan, pengawasan pelaksanaan pidana dengan syarat oleh Jaksa dapat berjalan, dan berdasarkan fakta hukum di persidangan: a. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; b. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; c. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; d. pidana



penjara



tidak memberi manfaat bagi terdakwa untuk



berubah menjadi warga negara yang lebih baik di masa depan; e. terdakwa tulang punggung keluarga; f.



profesi terdakwa sangat dibutuhkan di daerah tempat tinggal atau lingkungan kerjanya;



g. tindak pidana yang dilakukan tidak berkaitan dengan etika profesi; dan/atau h. telah terjadi perdamaian antara terdakwa dengan korban. (5) Tuntutan pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada butir (4) tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam dengan pidana minimum khusus. (6) Penuntut Umum mengajukan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dalam hal terdapat keadaan: a. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap terdakwa atas perkara yang sama (ne bis in idem); b. terdakwa meninggal dunia; atau c. kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa.



- 10 -



(7)



Dalam hal Penuntut Umum mengajukan tuntutan bebas, tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, terhadap barang bukti yang telah disita dituntut: a. dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak; atau b. dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan, dalam hal benda sitaan bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan.



(8) Untuk



perkara



tindak



pidana



pencucian



uang,



dalam



hal



terdakwanya meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang, Penuntut Umum mengajukan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan terhadap barang bukti harta kekayaan yang telah disita dituntut untuk dirampas untuk negara. (9) Dalam hal terdakwa telah dijatuhi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau 20 (dua puluh) tahun karena keadaan sebagaimana diatur dalam undang-undang atau dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kemudian terdakwa dinyatakan bersalah



lagi



karena



kejahatan



atau



pelanggaran



lain



yang



dilakukannya sebelum ada putusan pidana itu (delik tertinggal), terhadap terdakwa/terpidana tetap dapat dituntut pidana penjara. (10) Tuntutan pidana penjara sebagaimana dimaksud pada butir (9) diajukan dengan ketentuan bahwa pidana itu tidak perlu dijalani kecuali jika pengadilan tingkat terakhir atau hakim yang memeriksa peninjauan kembali, menjatuhkan: a. putusan bebas; b. putusan lepas dari segala tuntutan hukum; c. tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (karena ne bis in idem atau daluwarsa); atau d. pidana penjara yang lebih ringan dan tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun; atau Presiden mengabulkan grasi atau amnesti terpidana. (11) Dalam hal terhadap terdakwa/Anak dilakukan penahanan namun Penuntut Umum mengajukan tuntutan bebas, tuntutan lepas dari



- 11 -



segala tuntutan hukum, tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, tuntutan pidana selain pidana mati atau pidana penjara, atau menuntut tindakan, Penuntut Umum dalam tuntutannya juga meminta



kepada



Hakim/Majelis



Hakim



agar



memerintahkan



mengeluarkan terdakwa/Anak dari tahanan. (12) Dengan mempertimbangkan fakta hukum di persidangan, dalam hal terdapat keadaan yang bertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan atau kemanfaatan, Penuntut Umum mengajukan tuntutan dengan mengedepankan keadilan atau kemanfaatan. (13) Keadaan sebagaimana dimaksud pada butir (12) diuraikan Penuntut Umum dalam pendapat Penuntut Umum pada rencana tuntutan pidana. (14) Pimpinan wajib mempertimbangkan pendapat Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada butir (13) dan menguraikannya dalam pendapat pimpinan pada rencana tuntutan pidana. (15) Dalam hal pimpinan sebagaimana dimaksud pada butir (14) sependapat



dengan



mencantumkan



Penuntut



pertimbangan



Umum, keadilan



Penuntut atau



Umum



kemanfaatan



sebagaimana dimaksud pada butir (12) dalam surat tuntutan sebagai keadaan yang memberatkan atau meringankan. (16) Dalam hal terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborators) dan telah memberikan kerja sama yang substanstial dalam mengungkap tindak pidana terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lain yang bersifat terorganisir yang telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, Penuntut Umum dapat menuntut pidana dengan syarat. (17) Tuntutan pidana terhadap anak disesuaikan dengan jenis pidana atau tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur



mengenai



sistem



peradilan



pidana



anak



dengan



menerapkan pedoman tuntutan pidana Anak sebagai berikut: a.



kriteria tuntutan pidana atau tindakan;



b.



perumusan tuntutan pidana atau tindakan;



c.



cara pelaksanaan putusan pidana atau tindakan.



(18) Pedoman tuntutan pidana Anak sebagaimana dimaksud pada butir (17) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pedoman ini.



- 12 -



7. Sikap Penuntut Umum Terhadap Putusan Pengadilan (1) Apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dari tuntutan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dan dalam putusannya mempertimbangkan analisis yuridis Penuntut Umum serta mengambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan dalam putusannya maka: a. dalam hal Penuntut Umum menuntut pidana mati, Penuntut Umum wajib mengajukan upaya hukum; atau b. dalam hal Penuntut Umum menuntut pidana penjara seumur hidup, Penuntut Umum wajib melaporkan kepada Pimpinan secara



berjenjang



pada



kesempatan



pertama



dengan



menggunakan sarana tercepat dalam rangka untuk mengambil sikap. (2) Apabila Hakim menjatuhkan pidana ½ (satu per dua) dari tuntutan pidana Penuntut Umum dan dalam putusannya mempertimbangkan analisis yuridis Penuntut Umum serta mengambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan dalam putusannya maka Penuntut Umum tidak wajib mengajukan upaya hukum. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (2) tidak berlaku terhadap perkara: a. pencurian dengan kekerasan yang disertai dengan pemberatan; b. tindak



pidana



yang



dilakukan



secara



terorganisir



atau



berkelompok; c. tindak



pidana



yang



mengandung



sentimen,



perlakuan



diskriminatif, pelecehan, atau penggunaan kekerasan terhadap orang berdasarkan identitas, keturunan, agama, kebangsaan, kesukuan, atau golongan tertentu; d. pencurian tas atau bagasi yang terjadi di bandara, kereta api, bus, dan kapal penumpang; e. kekerasan seksual terhadap anak maupun perempuan; f.



tindak pidana dengan modus pembiusan dan/atau hipnotis; dan/atau



g. tindak pidana yang berdampak pada kerugian kekayaan atau aset negara yang besar.



- 13 -



(4) Apabila Hakim menjatuhkan pidana 2/3 (dua per tiga) dari tuntutan pidana Penuntut Umum maka Penuntut Umum tidak wajib mengajukan upaya hukum. (5) Dalam hal perkara yang pasalnya dinyatakan terbukti oleh Hakim berbeda dengan pasal yang dibuktikan Penuntut Umum maka Penuntut Umum wajib mengajukan upaya hukum. (6) Dalam hal putusan yang dijatuhkan Hakim berupa pidana dengan syarat sedangkan tuntutan Penuntut Umum adalah pidana penjara, pidana kurungan, atau pidana denda maka Penuntut Umum wajib mengajukan upaya hukum, kecuali: a. Tuntutan pidana penjara atau pidana kurungan yang diajukan Penuntut Umum tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau tuntutan pidana denda tidak lebih dari ½ (satu per dua) maksimum pidana denda yang diancamkan; b. Terdakwa belum pernah dipidana; dan c. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan keadaan tertentu dalam menjatuhkan pidana dengan syarat misalnya terdakwa tulang



punggung



keluarga



atau



profesi



terdakwa



sangat



dibutuhkan di daerah tempat tinggal atau lingkungan kerjanya, tindak pidana yang dilakukan tidak berkaitan dengan etika profesi, atau pengawasan atas pidana bersyarat dapat dilakukan untuk memastikan bahwa terdakwa memenuhi syarat umum dan/atau syarat khusus. (7) Dalam hal putusan pidana yang dijatuhkan atau tindakan yang dikenakan oleh Hakim dalam perkara Anak berbeda dengan tuntutan pidana atau tindakan yang diajukan Penuntut Umum maka Penuntut Umum tidak wajib mengajukan upaya hukum kecuali jika Hakim tidak mempertimbangkan asas proporsional dan kepentingan terbaik Anak. (8) Dalam hal putusan pengadilan tidak mengabulkan sebagian atau seluruh permintaan restitusi yang diajukan Penuntut Umum dalam tuntutannya maka Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum terhadap restitusi mengingat restitusi merupakan hak reparasi korban tindak pidana yang mewajibkan pelaku mengganti penderitaan/kerugian character).



korban



dalam



perkara



pidana



(penal



- 14 -



(9) Dalam hal terdakwa mengajukan banding, Penuntut Umum wajib mengajukan banding dengan membuat memori banding dan kontra memori banding apabila terdakwa membuat memori banding. (10) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada butir (9) menjadi dasar



untuk



mengajukan



kasasi



sebagaimana



diatur



dalam



ketentuan peraturan perundang-undangan. (11) Upaya hukum Kasasi diajukan oleh Penuntut Umum dalam hal: a. Hakim menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum; dan/atau b. Terdapat alasan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; (12) Dalam hal terdapat permasalahan atau keadaan tertentu yang bersifat kasuistis atau pemenuhan rasa keadilan masyarakat dan/atau kearifan lokal yang patut dipertimbangkan sehingga menyimpang dari Pedoman ini maka Kepala Cabang Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi, atau Direktur pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum segera melaporkan dan



meminta petunjuk kepada Pimpinan



berjenjang disertai dengan saran/pendapat



secara



- 15 -



BAB III PENUTUP



Pada saat Pedoman ini berlaku ketentuan atau petunjuk teknis yang mengatur pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana umum, pengendalian rencana tuntutan pidana, tuntutan pidana, penetapan suatu tindak pidana menjadi perkara penting serta ketentuan petunjuk teknis sejenis lainnya, yaitu: 1.



Instruksi



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



INS-



004/JA/03/1994 tanggal 9 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum; 2.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



SE-



001/JA/04/1995 tanggal 27 April 1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana; 3.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



SE-



002/JA/04/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain; 4.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



SE-



006/A/JA/08/2003 tanggal 25 Agustus 2003 perihal Tuntutan Bebas; 5.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



SE-



002/A/JA/02/2009 tanggal 26 Pebruari 2009 tentang Pedoman Tuntutan Pidana; 6.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia



Nomor:



SE-



003/A/JA/02/2009 tanggal 26 Pebruari 2009 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum; 7.



Surat



Edaran



Jaksa



Agung



Republik



Indonesia Nomor:



SE-



013/A/JA/12/2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum, Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum; 8.



Surat Jaksa Agung Nomor: B-093/A/Ft.2/12/2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Pengendalian dan Percepatan Tuntutan Perkara Tindak Pidana Perikanan;



- 16 -



9.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R16/E/03/1994 tanggal 11 Maret 1994 perihal Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum;



10.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B572/E/10/1994



tanggal



7



Oktober



1994



perihal



Kegagalam



Penuntutan; 11.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R05/E/Es/2/1995 tanggal 9 Pebruari 1995 perihal Pelaporan Pengendalian Perkara Tindak Pidana Umum;



12.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B188/E/05/1995 tanggal 3 Mei 1995 perihal Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lingkungan;



13.



Ketentuan angka 2 huruf d dan angka 3 dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995 perihal Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Kehutanan;



14.



Ketentuan angka 2 huruf c dan angka 3 dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-190/E/05/1995 tanggal 3 Mei 1995 perihal Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara HAKI/IPR;



15.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B265/E/Epk/08/1995 tanggal 22 Agustus 1995 perihal Penanganan Pelumas Bekas;



16.



Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R148/F/Fpe.2/07/1996 tanggal 11 Juli 1996 perihal Kasus-Kasus Penangkapan Ikan oleh Asing Tanpa Izin/Ilegal di Perairan Indonesia;



17.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B219/E/Epl.1/06/1997 tanggal 6 Juni 1997 perihal Tindak Lanjut Kampanye Pemberantasan Perdagangan Satwa yang Dilindungi secara Tidak Sah;



18.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R07/E/02/1999 tanggal 17 Pebruari 1999 perihal Tuntutan Pidana atas Perkara Kerusuhan;



19.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B08/E/05/2000 tanggal 11 Mei 2000 perihal Pemahaman dan Pelaksanaan Surat Edaran Jaksa Agung R.I tentang Pedoman Tuntutan Pidana;



- 17 -



20.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B06/E/EJP/05/2001



tanggal



15



Mei



2001



perihal



Laporan



Penanganan Penyelesaian Perkara Penting (PK. Ting); 21.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B08/E/EJP/05/2001 tanggal 15 Mei 2001 perihal Tindak Pidana Kehutanan sebagai Perkara (PK. Ting);



22.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B12/E/Ejp/07/2000 tanggal 17 Juli 2000 perihal Penanganan/ Penyelesaian Perkara Pidana tentang Hak atas Kekayaan Intelektual;



23.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B09/E/EJP/05/2001 tanggal 15 Mei 2001 perihal Laporan KasusKasus Peledakan Bom;



24.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B11/E/EJP/06/2001 tanggal 11 Juni 2001 perihal Rencana Tuntutan Pidana Perkara Menarik Perhatian Masyarakat Berskala Nasional;



25.



Ketentuan nomor 4 dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-12/E/EJP/06/2001 tanggal 27 Juni 2001 perihal Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999;



26.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B13/E/EJP/06/2001



tanggal



27



Juni



2001



perihal



Upaya



Memperberat Tuntutan Pidana terhadap Kejahatan Kehutanan; 27.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B16/E/EJP/12/2001 tanggal 24 Desember 2001 perihal Pembajakan Produk Karya Rekaman Suara;



28.



Ketentuan angka 13 Lampiran Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-60/E/EJP/01/2002 tanggal 29 Januari 2002 perihal Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup;



29.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B16/E/EJP/03/2002 tanggal 11 Maret 2002 perihal Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum;



30.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B02/01/E/04/2002 tanggal 2 April 2002 perihal Penanganan Kasus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI);



31.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R47/E/QP/06/2002 tanggal 25 Juni 2002 perihal Laporan Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain;



- 18 -



32.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B410/E/EJP/08/2003 tanggal 5 Agustus 2003 perihal Petunjuk tentang Rencana Tuntutan (P-41);



33.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B1241/E/EJP/06/2010 tanggal 18 Juni 2010 perihal Rencana Tuntutan Pidana Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga;



34.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B2236/E/Ep.2/10/2010



tanggal



27



Oktober



2010



perihal



Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum; 35.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B2257/E/E.1/Es/10/2010



tanggal



29



Oktober



2010



perihal



Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum; 36.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B31/E/Ep.2/01/2011 tanggal 4 Januari 2011 perihal Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum;



37.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B92/E/Ep.2/01/2011 tanggal 5 Januari 2011 perihal Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum;



38.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R78/E/Ep.2/01/2011 tanggal 27 Januari 2011 perihal Tolok Ukur Tuntutan Pidana Perkara Narkotika;



39.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B362/E/Ep/01/2011 tanggal 28 Januari 2011 perihal Petunjuk tentang Pengajuan Surat Rencana Tuntutan Pidana;



40.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B637/E/Ep.2/02/2011



tanggal



28



Februari



2011



perihal



pengendalian rencana tuntutan pidana oleh Jaksa Agung Republik Indonesia; 41.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: R374/E/Ep.2/05/2011 tanggal 10 Mei 2011 perihal Tolok Ukur Rencana Tuntutan Pidana Perkara Narkotika;



42.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B1053/E/EJP/04/2012 tanggal 4 April 2012 perihal Tuntutan Pidana Terhadap Perkara Anak ½ (satu per dua) dari ancaman minimum bagi orang dewasa;



- 19 -



43.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B895/E/EJP/03/2012 tanggal 21 Maret 2012 perihal Pengiriman Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum;



44.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B1641/E/EJP/05/2012 tanggal 24 Mei 2012 perihal Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum;



45.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B1657/E/EJP/05/2012 tentang 25 Mei 2012 perihal Penggandaan Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum;



46.



Ketentuan angka 2 huruf c dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana



Umum



Nomor:



B-3358/E/EJP/11/2013



tanggal



12



Nopember 2013 perihal Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual/IPR; 47.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B3841/E/EJP/12/2012 tanggal 14 Desember 2012 perihal Masukan dalam rangka Revisi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE013/A/JA/12/2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum;



48.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B458/E/EJP/02/2016 tanggal 19 Februari 2016 perihal Pemberatan Tuntutan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana yang Meresahkan Masyarakat;



49.



Ketentuan huruf B angka 6 dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-2899/E/Es/09/2016 tanggal 21 September 2016 perihal Optimalisasi Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum pada Tahap Prapenuntutan, Penuntutan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;



50.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B3874/E/Ejp/10/2017 tanggal 27 Oktober 2017 perihal Laporan Penanganan dan Rencana Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Sumber Daya Alam Lintas Negara;



51.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B2112/E/Ejp/05/2018 tanggal 24 Mei 2018 perihal Pengendalian Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum;



52.



Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B2486/E/Eku/05/2019 tanggal 20 Mei 2019 perihal Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Umum;



- 20 -



dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pedoman ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Desember 2019 JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,



BURHANUDDIN