Pemikiran Ikhwan Al-Shafa-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM: Pemikiran Ikhwan Al-Shafa Tentang Pendidikan Islam Dan Relevansinya Dengan Dunia Modern



Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendikan Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Maragustam, M.A.



Disusun Oleh : Muh. Akmal Ahsan (19204010014)



PROGRAM STUDI PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2019



PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA MODERN



Muh. Akmal Ahsan Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]



Abstrak Dalam peradaban, pertentangan antar satu gagasan dengan gagasan lainnya adalah pertentangan yang diskursif serta argumentatif. Demikian peradaban berjalan hingga kita tiba dalam masa modern. Makalah ini mencoba mengupas dan menelaah peikiran Ikhwan al-Shafa khususnya dalam dunia pendidikan. Makalah ini disusun untuk (1) mengetahui biografi Ikhwan al-Shafa, (2) pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang Pendidikan, (3) ciri-ciri pendidikan modern, serta (4) mengetahui relevansi pemikiran Ikhwan al-Shafa di era modern. Metode yang digunakan ialah library research atau penelitian keupstakaan dengan mencoba mengaji buku, jurnal dan karya tulis lainnya untuk menghasilkan kesimpulan. Makalah ini menyimpulan bahwa, pertama, Ikhwan al-Shafa merupkan kelompok gerakan Islam yang menaruh perhatian besar dalam diskursus pendidikan. Kedua, Ikhwan al-Shafa sangat memperhatikan integrasi antara kekuatan pikiran dan batin. Ketiga,pemikiran Ikhwan al-Shafa masih relevan dengan era modern dengan menjadikan religius-rasional sebagai basic epistemologis dan dengan demikian ia bisa menjadi referensi dan kekuatan untuk mengadakan counter hegemony atas pemikiran material-sekularistik dari Barat.



Kata Kunci: Pendidikan, Islam, Ikhwan al-Shafa, Modern



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam peradaban, pertentangan antara satu gagasan dengan gagasan lainnya merupakan pertentangan yang diskursif dan argumentatif. Pada proses berjalannya zaman, narasi dan gagasan yang mampu diterima oleh publik akan bertahan sepanjang dirasa bermanfaat bagi kehidupan, sementara gagasan kecil yang hanya bersifat cemoohan dan suara sumbang tentu tak mampu untuk merajai pikiran ummat manusia. Kini tampak barat menjadi kekuatan paling hegemonik dalam proses berjalannya kehidupan manusia, namun perlu disadarai barat dan gaung modernitasmya bukan sebagai kekuatan tunggal, sebab geliat pemikiran kaum muslim selalu datang untuk mengoreksi pemikiran modernitas barat yang cenderung banyak mereduksi hal-hal yang bersifat subtantif dalam kemanusaiaan. Hegemoni pemikiran barat ini telah nampak juga dalam perjalanan keilmuan, rasionalitas sebagai senjata keilmuan menjadi adidaya dibandingkan dengan aspek metode lainnya. Stephen Mason sebagaimana dikutip oleh Anggit (2018) menggambarkan betapa dalam dunia modern dan sains telah membawa pikiran manusia dalam sekularitas dan pengembangan yang bersifat utiliarian, ia juga berpengaruh dalam standar



3



penilaian dan nilai-nilai kemanusiaan.1 Hasilnya, keilmuan mengalami pengkerdilan dimana manusia hanya mampu mendeteksi kebenaran dengan rasionalitas-empirik saja. Lebih lanjut, Seyyed Hossein Nasr sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayatullah mendeskrispikan sains Barat dengan melihat dari sudut pandang negatifnya yang dianggap menjadi pemicu bagi krisis spiritual, kemanusiaan, krisis lingkungan serta mengkerangkeng manusia dalam keterkungkungan, kesempitan dan keterbatasan sains Barat2. Reduktif, peradaban barat telah banyak mereduksi banyak aspek lain dalam kehidupan manusia. Suasana demikian berpengaruh dalam keseluruhan aspek manusia, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan sebagai ruang menyemai manusia dengan kualitas jiwa dan batin. Maka makalah ini mencoba untuk mengupas dan menelaah pemikiran Ikhwan Al-Shafa, khususnya dalam dunia pendidikan untuk selanjutnya merelevansikan dengan pendidikan di era modern. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Biografi Ikhwan Al-Shafa? 2. Bagaimana Pemikiran Ikhwan Al-Shafa tentang Pendidikan? 3. Bagaimana Ciri-Ciri Pendidikan Modern? 4. Bagaimana Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa di Era Modern?



1



Anggit, F. N. Krisis Sains Modern dan Problem Keilmuan. JPA, Vol. 19 No. 01, Juli 2019, Hal. 86 Syarif, H. Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussain Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains dan Agama. Jurnal Filsafat, Vol. 28, N0. 1, Februari 2018, hal. 122 2



4



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui biografi Ikhwan Al-Shafa 2. Untuk memahami pemikiran Ikhwan Al-Shafa tentang pendidikan 3. Untuk memahami ciri-ciri pendidikan modern 4. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Ikhwan Al-Shafa di era modern D. Metodologi Penelitian 1. Dasar Penulisan Kara tulis ilmiah ini dirulisakan dalam rangka memahami pemikiran Ikhwan Al-Shafa dan relevansi pemikirannya di zaman modern. 2. Fokus Penulisan Makalah ini berfokus pada pembahasan mengenai tujuan pendidikan Islam, ciri-ciri pendidikan modern, kurikulum, sumber pengatahuan serta konsep pendidik. 3. Sumber Data Makalah ini mengumpulkan dan mengkaji dari sumber data berupa buku dan jurnal-jurnal yang masih relevan dengan pembahasan. 4. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumber-sumber yang berhubungan dengan pembahasan, yakni pemikiran Ikhwan Al-Shafa yang berada dalam buku dan jurnal.



5



BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Ikhwan Al-Shafa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok mujtahidin yang bergerak dalam wacana filsafat dan sangat memperhatikan bidang pendidikan. Kelompok sejatinya bukan nama seseorang, namun istilah yang melekat pada sebuah kelompok gerakan dalam Pendidikan Islam. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok sarjana yang hingga kini masih tetap diragukan. Berkembang di Basrah pada sekitar abad ke-4/ke-10 M, menerbitkan ikhtisar seni dan sains pada 52 risalah juga terdapat risalat al-Jami’ah. Risalah yang diterbitakan oleh Ikwan al-Shafa ini cenderung mampu mempermudah ide yang sukar sehingga ia bisa populer dan mampu memantik untuk mempelajari kembali sains filosofis dan alam3. Kemunculan gerakan ini ditandai dengan kondisi sosial-politik yang memprihatinkan, pemerintah yang menguasai daerah itu cenderung intoleran pada perbedaan pandangan kegamaan dan faham. Kondisi ini menyeruak pada tekanan terhadap rasionalisme serta sikap mengutuk pada filosof dengan cap bid’ah dan merusak akidah agama. Dalam keadaan demikian, Ikhwan al-Shafa mendambakan kebangkitan ilmu pengetahuan yang dimulai dengan pemurnian syariat Islam yang dijalankan mula-mula dengan membangkitkan kembali rasa cinta pada pengetahuan di kalangan 3



Seyyed, H. N. (1968). Sains dan Peradaban di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pusataka.



6



ummat Islam dengan filsafat. Dengan tujuan itu, mengutip IAIN Syarif Hidayatullah, Ikhwan al-Shafa mendalami pelajaran filsafat Yunani, Persia serta dipadukan dengan ajaran agama4 Gerakan ini muncul dari keprihatinan atas pelaksanaan ajaran Islam yang cenderung dicemari oleh pemikiran diluar Islam. Sangat tertutup, kelompok ini bergerak secara diam-diam (rahasia) sebab khawatir akan tindakan-tindakan dari penguasa pada zamannya 5 . Gambaran penjelasan di atas menandakan pengaruh besar dari kelompok Ikhwan al-Shafa dalam menyebarkan ajarannya meskipun bergerak dalam keadaan rahasia. Kelompok ini adalah gerakan yang konsisten menebarkan ajaran agama Islam. Kelompok Ikhwan al-Shafa sangat selektif dalam memilih anggota kelompok dan sangat menjaga kelompoknya dengan tetap menjadikan moral sebagai jati diri kelompok. Maka Ikhwan al-Shafa mengharuskan anggota kelompoknya untuk berlaku yang sesuai dengan prinsip kesusilaan, menjaga ketulusan dan rasa kasih sayang kepada makhluk. Sebaliknya kelompok ini mewajibkan anggotanya untuk menghindari perilaku yang tidak berprinsip kesusialaan seperti keras kepala dan keras hati, sifat memuji diri sendiri, bertengkar, pendendam serta pendengki 6. Kelak, landasan etika moralnya ini akan menjadi standar moral bagi interpretasinya tentang pendidikan. 4



Samsul, H.Filsafat Ikhwan Ash-Shafa. Ulul Albab, Vol. 8 No. 2, tahun 2007, hal 120. Furqon, S. H Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan. Jurnal Ta'dib,Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013, hal. 45. 6 Mustain. Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim Tentang Kebahagiaan. Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 17 Nomor 1 Juni 2013, Hal. 198. 5



7



B. Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa Pada prinsipnya, pemikiran Ikhwa al-Shafa merupakan upaya rekonsiliasi dan integrasi antara definisi rasional, psikologis, moral, etik dan sosiologi bagi jalannya proses kependidikan. Meski demikian, kelompok ini memiliki kecondongan untuk mengembangkan pemikiran rasional-religius, yakni berpikir idealis-agamis sehingga semua disiplin ilmu yang berkaitan secara nyata dengan kebutuhan manusia, baik kebutuhan rohani dan jasmani diintegrasikan dalam satu orientasi7. Secara demikian, dapat digambarkan bahwa kelompok ini sangat memperhatikan integrasi antar kekuatan pikiran dan batin serta tanpa mengasikan aspek moralitas dalam diri manusia. Hal ini juga menunjukkan perhatiannya kepada binaan moral dalam diri peserta didik, namun bukan hanya itu, harapannya hal ini berimbas dalam penerapan laku keseharian yang kemudian dibantu oleh disiplin ilmu lainnya. Dalam konteks filsafat Islam, Ikhwan al-Shafa adalah kelompok utama yang mewakili pemikiran religius-rasional. Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendekatan religius-rasional ini merupakan perpaduan antara keyakinan akan sesuatu yang bersifat transenden dan keyakinan rasional objektif. Maka muaranya ialah cara pandang bahwa pendidikan merupakan garapan ukhrawi dan duniawi dalam konsep ontologis,



7



La, R. Konsep Pendidikan Islam Ikhwan As-Shafa (Suatu Kajian Analisis Kritis). al-iltizam, Vol. 2, No.1 Juni 2017, hal. 75-76.



8



epistemologis maupun aksiologis 8. Hal itu menandakan bahwa Ikhwan alShafa mengupayakan adanya integrasi dan interkoneksi antara basic epitemologi wahyu, akal dan indera. 1. a.



Konsep Dasar Pendidikan Sumber Pengetahuan dan Klasifikasi Ilmu Muniron menggambarkan pemikiran Ikhwan al-Safa mengenai



sumber pengetahuan dan menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan internal manusia adalah indra, lahir (eksternal) maupun batin (dalam) serta akal dan intelek9. Dalam wacana pemikiran epistemologi barat, basic epistemologi sering diindentikkan dengan rasionalitas dan empirik. Ikhwan al-Shafa sendiri mengklasifikasi ilmu menjadi tiga kelompok, yakni: (1) Pengetahuan tentang adab/sastra, pengetahuan syariat yang didapatkan dengan perjuangan jiwa dan akal secara mendalam, (2) Pengetahuan syariat, yakni pengetahuan mulia, merupakan pengetahuan yang disampaikan para Nabi melalui wahyu, (3) Pengetahuan filsafat. Ikhwan al-Shafa dalam hal ini membagi empat bagian lagi, yakni pengetahuan matematika, logika, fisika serta metafisika10. Literatur lain menyebutkan, Ikhwan al-Shafa membagi ilmu umum dalam dua kelompok. Pertama, disiplin ilmu umum yang mempelajari baca tulis, arti kata dan gramatika, perhitungan, sadta, tanda-tanda serta isyarat, ilmu sihir



8



Fajar, K. Pengembangan Teori Pendidikan Islam Perspektif Muhammad Jawwad Ridla (Teligius Konservatif, Religius Rasional, Pragmatis Instrumental). Jurnal At-Ta'lim,Vol. 18, No. 1, Juni 2019. Hal. 236. 9 Muniron. (2011). Epistemologi Ikhwan al-Shafa. Yogyakarta: Pustaka Belajar, hal. 163. 10 Mutty, H., & Fistiyanti, I. Sejarah Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman dan Perkembangannya dalam Ilmu Pengetahuan. Pustakaloka,Vol. 9 No. 1, Juni 2017, hal. 158.



9



serta jimat, kimia, sulap, dagang, keterampilan, jual beli, komersial, pertanian, peternakan, biografi serta kisah. Kedua,ilmu filosofis yang membahas matematika, logika, ilmu angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum geometri, ilmu alam, antropologi zat, bentuk, ruang, waktu, gerakan kosmologi produksi, peleburan, elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoologi, anatomi, antropologi, persepsi indrawi, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib11 Karenanya, kurikulum pendidikan Ikhwan al-Shafa ialah logika, kejiwaan, pengkajian kitab agama samawi, ilmu kenabian, ilmu syariat serta ilmu pasti. Dari seluruh klasifikasi keilmuan yang diberikan, tampak pengetahuan agama merupakan pengetahuan yang diutamakan sebab merupakan cita-cita transendental manusia12. Kelompok ini memandang bahwa pengetahuan paling mulia adalah syariat lalu filsafat. Bila dipandang dari segi objek pengetahuan, pengetahuan yang paling mulia ialah pengetahuan mengenai Tuhan serta sifat-sifatnya, kemudian pengetahuan mengenai hakikat jiwa dan dengan raga, pelepasannya dari raga itu sendiri, keberadaannya dalam alam jiwa, mengenai kebangkitan, hari berkumpul, perhimpunan amal, surga/nearaka 11



Aep, S. A., & Nani, M. Kurikulum Pendidikan Dalam Lintasan Sejarah. Jurnal Genealogi PAI, Vol. 5, No. 1 Januari-Juni 2018, hal. 5-6. 12 Rahman, A. (2019). Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa dan Relevansinya Dengan Dunia Postmodern. Jurnal Insania, 156.



10



serta perjumpaan dengan Tuhan. Maka kelompok ini mengajarkan agar anggotanya mempelajari segala pengetahuan serta tidak terjebak fanatisme pada salah satu mazhab13. Gambaran penjelasan demikian paling tidak mengambarkan situasi sosial di zamannya yang penuh tekanan dan batasan atas wacana pemikiran. b.



Tujuan Pendidikan Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa pendidikan adalah aktualisasi



potensi jiwa manusia maka tujuan pendidikan adalah untuk membawa jiwa manusia menjadi bersih dengan dayanya. Potensi jiwa diaktualisasikan dengan ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga teraktulisasi dalam pandangan kejiwaannya, keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik mengenai realita maupun tentang apa yang mesti dibiarkan manusia14. Demikian halnya dengan pencarian ilmu, ia diperjuangkan demi mengenal diri sendiri, namun tujuan pencarian ilmu sebagai pencarian identitas diri bukanlah merupakan akhir sebab tujuan akhir dari pencarian ilmu adalah peningkatan harkat dan martabat manusia kepada tingkat transendenal, yakni menggapai keridhaan Allah SWT. Tujuan ini dapat digapai dengan kekuatan moral dalam tujuan mencapai puncak harkat dan martabat manusia serta mendekati tingkatan malaikat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT 15. Hal ini dapat dicapai dalam empat tahap, yakni pertama penanaman aklhlak dan penghalusan budi 13



Drajat, A. (2006). Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Medan: Penerbit Erlangga, hal. 37-38. Abdul, M. F., & Khoirudin, A. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam: Kajian Konsep Manusia dan Tujuan Pendidikan Berbasis Filsafat Islam Klasik. Jurnal Afkaruna,Vol. 14 No. 1, Juni 2018, Hal. 88. 15 Nur, A. Ideologi Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Islamika,Vol. 13, No.2, 2013, hal. 128-129. 14



11



(Tahdzib),kedua



mensucikan



jiwa



dari



kotoran(Tathhir),



ketiga



penyempurnaan jiwa dengan pengetahuan eksoterik dengan menggunakan pemahaman ayat kauniyyah (Tatmim), serta keempat ialah penyempurnaan jiwa agar mampu menerima pengetahuan esoterik/ilham (Takmil).16 c.



Pendidik Sebagai ujung tombak dari prosesi pendidikan, proses pengajaran



sangat bergantung kepada cara menyajikan ilmu pengetahuan. berkenaan dengan hal itu, Ikhwan al-Shafa memiliki kriteria dan aturan mengenai jenjang seorang pendidik yang kemudian diistilahkan oleh mereka dengan Ashhab al-Namus (malaikat). Kriteria tersebut dijelaskan Abuddin Nata sebagaimana dikutip oleh Rahman Afandi sebagaimana berikut17: 1) Al-Abrar dan al-Ruhana, yakni memiliki kebersihan hati dan penampilan batin serta berumur kira-kira 25 tahun. 2) Al-Ru’asa danal-Malik, yakni memiliki kuasa serta telah berumur kira-kira 30 tahun dan ditandai dengan kemampuan memelihara



persaudaraan



dan



mampu



menjaga



sikap



kedermawanan. 3) Muluk dan Sulthan, mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berumur 40 tahun. 4) Mengajak manusia untuk sampai pada tingkatan masingmasing; berserah dan menerima pembiasaan, melihat kebenaran



16



Abdul, M. F., & Khoirudin, A. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam... Hal. 88. Rahmat, A. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa dan Relevansinya Dengan Dunia Postmodern... hal. 156. 17



12



yang nyata srta memiliki kekuatan, kriteria ini kira kira berada dalam kisaran usia 50 tahun



C. Ciri-Ciri Pendidikan Modern Modernitas ditandai dengan optimisme besar untuk keluar dari kemandegan berfikir sebab dominasi gereja. Maka akal yang pada era sebelumnya disangsingkan, tetiba menjadi alat paling setia pada perkembangan manusia modern. Soekanto sebagaimana dikutip oleh Elly Rosana menjelaskan syarat suatu ruang dan masa dapat dikatakan sebagai modern (modernisasi) ialah: (1) Cara berfikir ilmiah (Scientific thinking) yang dilembagakan dalam kelas pengusaha dan masyarakat. Maka kondisi ini dapat ditandai dengan suatu sistem pendidikand dan pengajaran yang terencana, (2) sistem administrasi negara yang baik, selalu berupaya mewujudkan birokrasi, (3) terdapat sistem pengumpulan data yang teratur serta terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu, (4) upaya menciptakan iklim yang favourable dari masyarakat kepada modernisasi dengan penggunakaan alat komunikasi massa, (5) tingkat organisasi yang tinggi, (6) sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial18. Sementara



masyarakat



modern



ditandai



dengan



sifat



proaktif,



individualistik dan kompetitif.



18



Ellya, R. (2011). Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs,Vo. 7 No. 12 Januari-Juli 2011, hal. 37-38.



13



Dalam ranah individu, dijelaskan oleh Bauman sebagaimana dikutip robert robertus, kondisi modernitas dan logika percepatan telah secara negatif menghasilkan individualisme dan keterasingan yang tidak dapat dielakkan. Manusia lalu mengalami ‘atomisasi’ yang pada gilirannya telah melepaskan manusia dari ikatan subtantif apapun19. Logika percepatan dan hadirnya prinsip globalisasi kian membuka keramaian dunia namun manusia semakin individual. Dalam



konteks



pendidikan,



modernisasi



sebagai



upaya



pembahaharuan dan transformasi ke arah yang lebih baik adalah keharusan bagi lembaga pendidikan. Bilamana tidak mampu terintegarsi dengan dunia modern perlahan pendidikan akan diasingkan dalam percaturan dunia lalu didominasi oleh aspek lainnya. Hal itu juga menimpa dunia pendidikan Islam. Bersama dengan hegemoni modernitas barat, dunia pendidikan Islam dituntut untuk membuka dirinya untuk menyambut perubahan tanpa menghilangkan prinsipnya. Munzir Hitami sebagaimana dikutip oleh Ach Sayyi, modernisasi pendidikan Islam harus terus berdiri di atas prinsipnya, yakni: pertama, prinsip integrasi, yakni prinsip untuk memandang dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Apapun yang didapatkan dari kehidan layaknya diabdikan dan terutama untuk memenuhi keinginan Tuhan. Kedua, Prinsip keseimbangan, yakni upaya untuk menyeimbangkan aspek material dan spiritual, iman dan amal secara bersamaan. Ketiga,prinsip persamaan. 19



Robertus, R. Modernitas dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zymunt Bauman. Jurnal Sosiologi, Vol. 20, No. 2, Juli 2015. Hal 145.



14



Sebagaimana konsepsi dasar tentang asal manusia yang memiliki kesatuan akal, maka tidak ada pembedaan derajat karena jenis kelamin, keudukan sosial, suku, agama, ras dan budaya. Karenanya, maka budak sekalipun memiliki hak untuk berpendidikan. Keempat, prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini berasal dari pandangan tentang kebutuhan dasar manusia dalam keterbatasan sepanjang hidup. Karenanya pendidikan harus mengakomodasi kehidupan manusia seumur hidup. Kelima, prinsip keutamaan yang menegaskan bahwa pendidikan tidak saja merupakan proses yang mekanistik, melainkan juga memiliki ruh. Maka pendidikan harus bergerak kepada keutamaan-keutamaan20. Ciri dari konsepsi pendidikan modern ialah gerak pendidikan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia (peserta didik); pendidikan merupakan proses belajar yang bersifat terus menerus, pendidkan dipengaruhi oleh pengalaman, di dalam maupun luar sekolah21.



D. Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa di Era Modern Poin pemikiran Ikhwan al-Shafa tak akan lekang oleh waktu. Hal ini disebabkan dasar pemikirannnya yang selalu sesuai dengan zaman, paradigma rasional-religius yang melekat dalam diri kelompok ini tampak menjadi dasar epistemologi yang akan selalu sesuai dengan setiap manusia, khususnya kaum beragama, lebih-lebih lagi ummat Islam. 20



Ach, S.. Modernisasi Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Persepektif Azyumardi Azra. Jurnal Tadris, Vol. 12, Nomor 1, Juni Tahun 2017, hal. 25-26 21 Miftaku, R. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibn Sina dan Relevansinya Dengan Pendidikan Modern. Jurnal Episteme, Vol. 8, No.2, Desember 2013, hal. 297.



15



Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam dan pendidikan modern,



berikut



adalah



beberapa



poin



yang merupakan



upaya



merelevansikan pemikiran Ikhwan al-Shafa dengan era modern. Pertama, paradigma rasional-religius adalah akar paradigma yang dapat digunakan sebagai dasar/fundamen kemanusiaan. Suatu dasar pemikiran yang diwariskan kepada peserta didik agar selalu mampu mengawinkan antara akal dan wahyu, intelektual dan spiritual sehingga akan dilahirkan modal intelektual dari peserta didik yang tidak lahir sebagai manusia yang sekuler-materialistik juga tidak condong kepada konservatisme dan fanatisme buta pada konsepsi keislaman. Epistemologi Ikhwan al-Shafa ini jualah yang akan bertindak sebagai



counter



hegemony



atas



pemikiran



barat



yang



pada



perkembanganya menegasikan aspek religiusitas. Hal ini berimbas panjang kepada kekosogan spiritualitas masyarakat modern. Dengan beberapa kutipan literatur, Ngainun Naim meenggambakan bahwa problem mendasar di era modern ialah persoalan keyakinan atau spiritulitas. Krisis demikian berujung pada pergeseran realitas ilahi sebagi sentral kehidupan. Dalam modernitas, dilupakan untuk meartikulasikan realitas kehidupan dunia22. Kedua,perhatian Ikhwan al-Shafa terhadap pijakan etika moral sangat relevan dengan dunia modern yang justru pada sisi yang lain mengalami kriris moral. Masyarakat modern memang berhasl dalam 22



Ngainun, N. Kebangkitan Spiritualitas Masyarakat Modern. Jurnal Kalam,Vol. 7 No.2 Tahun 2013, hl. 245,



16



pengembangan pengetahuan dan teknologi, namun dunia modern tak menjamin tumbuhnya moralitas. Di Indonesia misalnya, modernitas berjalan seiring dengan gejala kekhawatiran kemerosat akhlak. Geja;a tersebut dapat dilihat dari tertutupnya kebenaran, kejujuran dan keadilan dan digantikan oleh sikap yang menyeleweng, penindasan, penipuan serta saling merugikan23. Ketiga, melalui tujuan pendidikannya agar manusia mengenal dirinya sangat relevan dengan keadaan manusia yang yang tengah mengalami krisis eksistensial justru oleh proklamasi kebebasannya dari Tuhan. Berkembang pesatnya kapitalisme serta liberalisme era modern dengan produksi konsumerisme serta hedonism dalam beragam sisi kehidupan manusia telah melahirkan krisis eksistensial. Oleh dominasi rasionalitas instrumental, telah terjadi degradasi nala dan kesadaran transendendtal yang merupakan tujuan dari Pendidikan Agama Islam 24.



23



Sri, W. R. Kontribusi Filsafat Ilmu Terhadap Etika Keilmuan Masyarakat Modern. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, th. XVII, Desember 2015, hal.534. 24 Sutikno. Pendidikan Islam dalam Krisis Manusia Modern. Madinah Jurnal Studi Islam, Vol. 4, No. 2 Tahun 2017, hal. 70.



17



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Uraian karya tulis diatas merupakan upaya pengkajian pemikiran kelompok gerakan Ikhwan al-Shafa dan relevansi pemikirannya dengan dunia pendidikan modern. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan: Pertama, Ikhwan al-Shafa merupkan kelompok gerakan Islam yang menaruh perhatian besar dalam diskursus pendidikan, kemunculan gerakan ini bersamaan dengan kondisi sosial politik zamannya yang cenderung anti terhadap perbedaan pandangan. Kelompok ini menerbitkan ikhtisar seni dan sains dalam 52 risalah. Kedua, Ikhwan al-Shafa sangat memperhatikan integrasi antara kekuatan pikiran dan batin. Dalam konteks filsafat Islam, Ikhwan al-Shafa mewakili pemikiran religius-rasional yang menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan internal manusia adalah indra, lahir maupun batin serta akal dan intelek. Kelompok ini memandang bahwa tujuan pendidikan ialah aktualisasi potensi jiwa manusia serta upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagai ujung tombak pendidikan, mestinya ada standarisasi yang ideal untuk menciptakan guru yang ideal yang dibangun diatas landasan etika dan moral. Ketiga, pemikiran Ikhwan al-Shafa masih relevan dengan era modern dengan menjadikan religius-rasional sebagai basic epistemologis dan dengan demikian ia bisa menjadi referensi dan kekuatan untuk 18



mengadakan counter hegemony atas pemikiran material-sekularistik dari Barat. Melalui tujuan pendidikan yang diusungnya maka manusia akan kembali mencari jati dirinya setelah dunia modern menyebabkan krisis eksistensial.



19



Daftar Pustaka Abdul, M. F., & Khoirudin, A. (2018). Tipologi Filsafat Pendidikan Islam: Kajian Konsep Manusia dan Tujuan Pendidikan Berbasis Filsafat Islam Klasik. Jurnal Afkaruna. Ach, S. (2017). Modernisasi Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Persepektif Azyumardi Azra. Jurnal Tadris. Aep, S. A., & Nani, M. (2018). Kurikulum Pendidikan Dalam Lintasan Sejarah. Jurnal Genealogi PAI. Alfon, T. (1991). Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R Popper. Jakarta: Gramedia. Anggit, F. N. (2018). Krisis Sains Modern dan Problem Keilmuan. JPA. Bertens, K. (2003). Filsafat Barat Kontmporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia. Chalmers, A. (1983). Apa Yang Dimaksud Ilmu? Jakarta: Hasta Karya. Drajat, A. (2006). Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu. Medan: Penerbit Erlangga. Driyakarya, S. (1977). Sebuah Bunga Rampai dari Sudut-Sudut Filsafat. Jakarta: Yayasan Kanisius. Ellya, R. (2011). Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs. Fajar, K. (2019). Pengembangan Teori Pendidikan Islam Perspektif Muhammad Jawwad Ridla (Teligius Konservatif, Religius Rasional, Pragmatis Instrumental). Jurnal AtTa'lim. Furqon, S. H. (2013). Relevansi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan. Jurnal Ta'dib. Komarudin. (2014). Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinan Penerapannya Dalam Keilmuan Islam. Jurnal at-Taqaddum, 453-454. La, R. (2017). Konsep Pendidikan Islam Ikhwan As-Shafa (Suatu Kajian Analisis Kritis). aliltizam. Miftaku, R. (2013). Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibn Sina dan Relevansinya Dengan Pendidikan Modern. Jurnal Episteme. Muhammad, A. (2011). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.



20



Muhammad, M. (2006). Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar. Muniron. (2011). Epistemologi Ikhwan al-Shafa. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Mustain. (2013). Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam: Pemikiran Para Filosof Muslim Tentang Kebahagiaan. Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Mustansyir, Rizal, & Munir, M. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pusataka Pelajar. Mutty, H., & Fistiyanti, I. (2017). Sejarah Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman dan Perkembangannya dalam Ilmu Pengetahuan. Pustakaloka. Ngainun, N. (2013). Kebangkitan Spiritualitas Masyarakat Modern. Jurnal Kalam. Nur, A. (2013). Ideologi Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Islamika. Nur, M. (2012). Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Rahman, A. (2019). Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa dan Relevansinya Dengan Dunia Postmodern. Jurnal Insania. Robertus, R. (2015). Modernitas dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zymunt Bauman. Jurnal Sosiologi. Samsul, H. (2007). Filsafat Ikhwan Ash-Shafa. Ulul Albab. Seyyed, H. N. (1968). Sains dan Peradaban di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pusataka. Sri, W. R. (2015). Kontribusi Filsafat Ilmu Terhadap Etika Keilmuan Masyarakat Modern. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Sumantri, & Dysmala, E. (2007). Kritik Terhadap Paradigma Positivis. Jurnal Wawasan hukum. Sutikno. (2017). Pendidikan Islam dalam Krisis Manusia Modern. Madinah Jurnal Studi Islam. Syarif, H. (2018). Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussain Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains dan Agama. Jurnal Filsafat.



21