Pengharapan Eskatologis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengharapan eskatologis kristiani dalam zaman patristik, skolastik, dan modern: Sebuah refleksi menurut pandangan Agustinus dari Hippo, Thomas Aquinas, dan Karl Rahner



PENGANTAR Pengharapan adalah rahasia dari iman kristiani 1. Pengharapan ini bersifat eskatologis karena apa yang diharapkan berhubungan dengan akhir dunia yang sekarang. Eskatologi sendiri adalah sebuah cabang ilmu dalam teologi yang mempelajari tentang akhir zaman dan keadaan semua ciptaan di masa yang akan datang. Diambil dari Bahasa Yunani: ἔσχατα (eskata), yang berarti terakhir. Karena ini adalah ilmu yang mempelajari tentang masa depan yang akan terjadi dan yang masih dinanti-nantikan semua umat beriman, maka pengharapan adalah landasan dari eskatologi. Kejadiannya yang belum terjadi dan mengharuskan dunia yang sekarang berlalu terlebih dahulu membuat cabang teologi ini sangat bersifat ‘spekulatif’. Namun kendati demikian, spekulasi-spekulasi yang ada tidaklah lepas dari penafsiran akan Wahyu Ilahi yang dinyatakan sejak semula. Oleh sebab itu, Kitab Suci menjadi dasar dan sumber utama dalam pengembangan pemahaman eskatologi. Seperti halnya wahyu yang dipahami secara progresif dalam sejarah, demikian pula halnya eskatologi. Maka, dengan bertolak dari pengalamanpengalaman umat manusia, khususnya umat Israel yang menerima wahyu secara istimewa dari Allah, kemudian tentunya kedatangan Yesus Kristus, serta pengalaman-pengalaman para murid Kristus setelah peristiwa wafat dan kebangkitan Sang Guru, eskatologi sendiri berkembang dalam pemahamannya dari masa ke masa. Meskipun cabang teologi ini merenungkan tentang apa yang akan datang, tentang yang baru dan definitif, namun dari sana kita yang mempelajarinya diajak untuk menginterpretasikan masa kini serta memotivasi diri kita untuk bertindak saat ini2. Dalam perjalanan sejarah, pemahaman eskatologi kristiani pun turut berkembang seturut interpretasi Kitab Suci serta ajaran para Bapa Gereja. Adanya perkembangan pemahaman eskatologi dari masa ke masa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari dalam, adanya faktor seperti berkembangnya teologi katolik dalam sejarah serta faktor luar seperti ide-ide tentang eskatologi dari luar Gereja. Dengan paper ini, penulis hendak mendalami tentang pengharapan eskatologis kristiani dan perkembangannya dari masa patristik, skolastik, hingga kontemporer yang secara berturut-turut diwakili oleh pemikiran Agustinus dari Hippo (354-430), Thomas Aquinas (1225-1274), dan Karl Rahner (1904-1984). Kontribusi dari setiap tokoh tersebut pada zamannya diharapkan dapat membuka cakrawala kita semua dalam memahami tentang apa yang menjadi pengharapan eskatologis kristiani.



1 2



Paul O’Callaghan, Christ our hope, Catholic University of America Press, 2011. Hlm. Viii (Preface). Bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius: Yogyakarta, 2004. Hlm. 503.



ISI Sekilas tentang perkembangan eskatologi dalam sejarah teologi Dari masa para rasul hingga hari ini (tahun 2022), Gereja senantiasa mengalami perkembangan dalam pemahaman akan wahyu yang ditanggapi oleh umat beriman. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan teologi dalam sejarah. Selama kurang lebih 2000 tahun, dapat dikatakan bahwa teologi memiliki wajah yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh karakter zamannya. Dalam hal eskatologi pun demikian dan tidak terkecuali. Meskipun kata ‘eskatologi’ sendiri baru muncul pada sekitar abad ke-193, namun pengharapan akan kedatangan Tuhan sudah dibahas sejak Gereja awali. Mulai dari masa apostolik di mana murid-murid yang memiliki kontak langsung dengan Yesus Kristus mengharapkan kedatangan Yesus kembali yang segera. Dilanjutkan masa patristik awal tentang paham khiliasme4 yang berkembang. Lalu, masih di masa patristik, di mana para bapa Gereja berhadapan dengan bidaah, paganisme, serta sektesekte lain yang berkembang pada zaman itu. Sehingga para bapa harus berusaha dengan keras untuk merumuskan isi iman kristiani (termasuk eskatologi) dengan berfilsafat dan eksegese. Puncak eskatologi pada masa patristik adalah pada ajaran Agustinus dari Hippo, hal ini terlihat dari ajarannya yang terus digunakan berabad-abad setelahnya oleh para teolog bahkan setidaknya sampai abad ke-16. Jauh setelah Agustinus, muncullah era baru dalam teologi, yaitu yang disebut masa skolastik, atau abad pertengahan di mana teologi mengalami puncak kedewasaan dalam hal kesatuan iman dan akal budi. Pada masa yang sama juga, teologi mengalami kemajuan sistematisasi yang pesat. Sehingga cabang teologi seperti eskatologi pun berkembang khususnya setelah sumbangsih pemikiran dari Thomas Aquinas bagi perkembangan teologi katolik. Pemahaman eskatologis Thomas tidak lepas dari pencarian akan pengetahuan yang benar tentang Allah dan kebijaksanaan-Nya yang didasari oleh pengharapan akan visio beatifica. Seluruh teologi Thomas Aquinas pada dasarnya adalah pengharapan eskatologis. Pada akhirnya, mulai abad ke-20, hingga hari ini, dapat dikatakan bahwa kita berada di kategori masa kontemporer di mana karakter teologi yang paling nampak adalah skeptisme atau pandangan yang ‘curiga’ akan kebenaran-kebenaran iman. Masa di mana otoritas Kitab Suci dan Tradisi tidak begitu saja diterima. Di masa kontemporer, manusia menjadi pusat dari ilmu pengetahuan yang berkembang. Maka dampaknya, pengharapan akan kedatangan Tuhan sudah mulai dilupakan. Teologi sendiri mengembangkan ilmu antropologinya guna memahami misteri ilahi. Maka, tokoh seperti Karl Rahner yang memiliki ciri khas dalam berteologi secara transsendental, perlu menjadi sorotan dalam perkembangan eskatologi kontemporer. Sebab baginya eskatologi hanya dapat dipahami dalam misteri transendental antara manusia dan Allah. 3



Bdk. Wikipedia: Dari Bahasa Yunani khilian yang berarti ‘seribu’. Khilianisme adalah sebuah kepercayaan tentang kedatangan Kristus yang ke-2 untuk memimpin Kerajaan Seribu Tahun. Paham ini menyebar di masa awal Gereja karena kedatangan Kristus yang dipahami bersifat ‘segera’ dan ‘Kerajaan Allah’ yang akan datang di atas bumi. 4



Pengharapan eskatologis pra-Agustinus Eskatologi kristiani bersumber pada kepercayaan pasti akan kesetiaan Allah Israel yang terwujud dalam iman akan Yesus Kristus5. Ajaran-ajaran Yesus tentang kedatangan kerajaan Allah yang bersifat ‘segera’ dan ‘dekat’ bahkan ‘sudah tiba’ menuntut sikap yang juga ‘segera’ dalam tanggapan praksisnya. Itulah sebabnya orang-orang memandang sosok Yesus sebagai mesias yang dinanti-nantikan untuk merestorasi kerajaan Israel. Namun, yang terjadi adalah Yesus wafat disalib. Sekejap harapan orang-orang tentang pemulihan kerajaan Israel menjadi sirna6. Tetapi kemudian mata para murid terbuka setelah menyaksikan peristiwa kebangkitan. Pengalaman tersebut membuat mereka menafsirkan kembali tentang pengharapan akan kedatangan Allah tadi. Mereka meyakini bahwa Yesus akan kembali 7. Hal ini Nampak dari karakter Gereja Perdana dalam seruan ekaristisnya “Maranatha” (Datanglah, Tuhanku!).



Pengharapan Eskatologis menurut Agustinus Agustinus adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh bukan hanya dalam eskatologi, tetapi juga dalam dunia filsafat dan teologi secara umum. Buah-buah pemikirannya sangatlah berkontribusi besar dalam sejarah perkembangan filsafat dan teologi bahkan sebagian besar di antaranya sampai hari ini pun masih sangat relevan. Sangatlah mustahil membahas keseluruhan hidup Agustinus dan karya-karyanya yang besar serta merangkumnya menjadi satu tulisan sederhana. Salah satu karyanya yang monumental dan berkontribusi besar dalam perkembangan eskatologi adalah De civitate Dei (Kota Allah). Karyanya yang lain, seperti Confessiones juga merupakan karya Agustinus yang penting dalam pemikirannya tentang eskatologi (terutama tentang ‘waktu’: saat ini dan ‘masa depan’), namun De civitate Dei menjadi rujukan utama para teolog post Agustinus dalam merumuskan tentang pengharapan eskatologis kristiani. De civitate Dei sendiri adalah sebuah karya intelektual Agustinus yang menjadi basis dari Teologi Agustinian yang kemudian berkembang menjadi Teologi dunia barat. De civitate Dei terdiri dari 22 buku (volume) yang dapat dikategorikan menjadi 2 bagian besar8. Bagian pertama (buku I – X), Agustinus menampilkan polemik yang bertujuan untuk melawan paganisme pada masanya dan berusaha untuk menunjukkan kekurangan paganisme tersebut dibandingkan kristianisme. Sedangkan pada bagian kedua (buku XI – XXII), ia menjabarkan dan mempertahankan doktrin kristiani dengan cara menjelaskan sejarah penebusan9. Konsep dasar dari De civitate Dei adalah ketegangan antara dua negara, yaitu negara ilahi dan negara duniawi. Negara ilahi tercipta dari cinta Allah dan demi pujian bagi nama-Nya, sedangkan negara 5



Bdk. Nico Syukur Dister, “eskatologi” dalam Teologi Sistematika 2, Kanisius: Yogyakarta, 2004. Hlm. 506-512. Bdk. Lukas … 7 Bdk. Didakhè atau “ajaran Kedua Belas Rasul” yang diperkirakan ada sejak sekitar tahun 150. 8 Bdk. Thomas Merton dalam kata pengantar The City of God by Saint Augustine (diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Marcus Dods), Randomn House: New York, 1950. Hlm ix – xv. 9 Ibid. 6



duniawi tercipta dari cinta akan diri sendiri dan mencari pujian orang lain bagi diri sendiri. Singkat kata, negara ilahi adalah Kerajaan Allah sendiri, di mana semua unsur duniawi tidak mendapatkan tempat di sana, dan kerajaan tersebut akan memperoleh kepenuhannya pada hari setelah Penghakiman Terakhir. Sedangkan negara duniawi akan lenyap dalam api yang menyalanyala. Dari karyanya ini, kita dapat melihat sumbangsih Agustinus dalam eskatologi. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana ia merumuskan dan menjelaskan dogma-dogma kristiani tentang pengadilan khusus dan pengadilan umum, kehidupan kekal, api penyucian, serta neraka. Hal ini bukan ingin mengatakan bahwa sebelum Agustinus tidak ada ajaran-ajaran teologis tentang tema-tema tersebut, melainkan Agustinuslah yang menyempurnakannya dengan lebih ekspresif apa yang telah diajarkan oleh para pendahulunya. Tentang pengadilan individual / pengadilan khusus Para bapa Gereja sebelum Agustinus mengajarkan tentang konsep ‘pengadilan individual’, yang terjadi seketika setelah kematian seseorang. Misalnya, Hieronimus yang pernah mengajarkan tentang ‘pengadilan individual’ dan ‘pengadilan terakhir’10. Di zaman itu juga, ajaran Plato sudah menyebar dan diterima dengan baik oleh orang banyak. Kejeniusan Agustinus adalah bahwa ia berhasil menyatukan ajaran tentang pengadilan seperti yang telah disampaikan oleh pendahulunya, Hieronimus, dengan pengajaran Plato yang menyebar pada zaman itu, khususnya tentang keterpisahan jiwa dari tubuh setelah kematian. Bagi Agustinus, dari momen setelah kematian seseorang sampai sebelum kebangkitan, jiwa manusia terpisah dari tubuhnya dan memasuki pengadilan terlebih dahulu11. Meskipun ini adalah suatu pencerahan baru tentang pengadilan individual, namun nampaknya Agustinus tidak sampai kepada ujung dari ajarannya. Beberapa hal masih belum terjawab. Dari ajarannya ini, ia menolak juga konsep reinkarnasi dan hibernasi jiwa. Tentang kehidupan kekal Hal lain yang berhubungan langsung dengan pengharapan eskatologis kristiani adalah tema kehidupan kekal. Agustinus sendiri tidak terlalu jelas dalam mendeskripsikan kehidupan kekal. Masih berhubungan dengan pengadilan, Agustinus tidak secara jelas mengatakan apakah setelah pengadilan individual, jiwa-jiwa orang benar dapat langsung dibangkitkan dan masuk ke dalam kemuliaan Allah atau hak tersebut hanya dikhususkan bagi para martir saja. Namun dari kedua kasus tersebut, yang sama adalah untuk mencapai kepenuhan hidup dalam kemuliaan Allah tetap harus menunggu pengadilan terakhir terlebih dahulu12. Menurut Agustinus, kehidupan kekal adalah hari sabat atau hari ke-7 yang tidak lain hanya diisi oleh ucapan syukur kepada Allah dan puji-pujian bagi-Nya bersama semua orang kudus dan para malaikat13. 10



Bdk. Dalibor Kraljik, “Review of the Central Themes of the Eschatological Thought of Augustine of Hippo”, Kairos: Evangelical Journal of Theology, Vol. V, No. 1, 2011. Hlm. 131. 11 Ibid. Hlm. 132. 12 Ibid. Hlm. 133. 13 Ibid.



Tentang api penyucian Agustinus mungkin adalah teolog pertama yang dengan jelas menetapkan pengajaran tentang api penyucian (purgatorium). Ia sama sekali tidak ragu akan keberadaan api penyucian ini meskipun ia tidak yakin akan bagaimana seseorang masuk kesana maupun dimana tempat itu berada. Namun, yang ia yakini adalah bahwa aka nada ‘hukuman sementara’ di mana seseorang harus menderita setelah kematian, namun hanya sampai pengadilan terakhir. Maka, api penyucian bagi Agustinus adalah sebuah tempat antara pengadilan individual dan pengadilan terakhir. Tentunya dasar pemikiran Agustinus tidak lepas dari konteks zamannya pada saat itu, terutama paham klisiasme. Agustinus menentang khiliasme yang sempat berkembang pada pendahulu-pendahulunya seperti Yustinus Martir, Ireneaeus dari Lyon, Tertulianus, dll14.



KESIMPULAN



14



Bdk. Nico Syukur Dister, “eskatologi” dalam Teologi Sistematika 2, Kanisius: Yogyakarta, 2004. Hlm. 522-532.