Penyakit Penting Tanaman Hortikultura [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENYAKIT PENTING TANAMAN HORTIKULTURA Oleh : Tim Asisten HPPT 2016 PENYAKIT TANAMAN KUBIS 1. Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae) a. Klasifikasi Kingdom : Protozoa Filum : Plasmodiophoromycota Ordo : Plasmodiophorales Famili : Plasmodiophoraceae Genus : Plasmodiophora Spesies :Plasmodiophora brassicae (Woronin , 1877) Penyakit akar gada (clubroot) yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. merupakan salah satu penyakit tular tanah yang sangat penting pada tanaman kubiskubisan (Brassica spp.) di seluruh dunia penyakit ini juga sering disebut penyakit akar pekuk atau penyakit akar bengkak (Agrios 1997).



b. Siklus hidup Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Plasmodium yang berkembang dari zoospora sekunder memenetrasi jaringan akar muda secara langsung. Hal ini dapat mempertebal akar dan batang luka yang terletak di bawah tanah. Setelah itu, plasmodium menyebar ke sel kotikal hingga ke kambium. Setelah seluruh kambium terserang, plasmodium kemudian menyebar ke korteks kemudian ke xilem. Patogen ini kemudian berkelompok membentuk gelendong yang meluas dan berangsur-angsur menyebar. Jumlah sel kemudian bertambah banyak dan membesar. Infeksi ini dapat menyebabkan sel 5-12 kali lebih besar dari sel yang tidak terinfeksi. Sel yang berkembang abnormal ini dapat menjadi stimulus bagi patogen untuk menyebar lebih cepat dan bahkan dapat menyebabkan sel yang awalnya tidak



terifeksi menjadi terifeksi. Sel yang tumbuh abnormal ini dapat digunakan oleh plasmodium sebagai sumber makanannya. Infeksi oleh plasmodium tidak pertumbuhan



abnormal



pada



tanaman



hanya tetapi



menyebabkan juga



dapat



terjadinya



menyebabkan



terhambatnya absorbsi dan translokasi air dan nutrisi dari dan menuju akar. Hal ini menyebabkan tanaman kerdil san layu secara perlahan-lahan. Lebih lanjut lagi, pertumbuhan yang cepat dan sel yag membesar dapat menyebabkan tidak terbentuknya jaringan gabus dan dapat menyebabkan kemudahan bagi mikroorganisme lain untuk menginfeksi tanaman. Penyakit akar gada berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7. Menurun dengan drastis pada pH tanah 5,8-6,2 dan gagal berkembang pada pH 7,8. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,7-7,5 dan tidak akan berkecambah pada pH 8. Tetapi pH tanah yang rendah tidak menjamin terjadinya infeksi untuk semua kejadian. Kisaran temperatur yang optimum untuk bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8-25 oC dengan temperature minium 12,2-27,2 oC. Kelembaban optimum selama 18-24 jam mengakibatkan perkecambahan dan penetrasi pathogen ke dalam inang kubis kemudian infeksi hanya terjadi jika kelembaban tanah di atas 45 % dan kelembaban di atas 50 % akan menyebabkan penyakit bertambah cepat. Kelembaban tanah di bawah 4 % dapat menyebabkan terhambatnya infeksi. Kelembaban yang tinggi dapat disebakan dengan meningkatnya curah hujan. Intensitas cahaya sangat berpengaruh pula terhadap perkembangan penyakit. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan serangan pathogen akan menurun, sebaliknya intensitas cahaya yang rendah dapat menyebabkan berkembangnya patogen dengan cepat sehingga penyakit akibat serangan patogen juga semakin besar. Jumlah spora rehat akan menentukan tingkat infeksi pada inang. Susensi yang mengandung paling sedikit 106-108 sel spora setiap ml sangat efektif untuk mengadakan infeksi. Disamping itu, kondisi inang turut mempengaruhi perkembangan P.brassicae, seperti kisaran inang,inang yang rentan, dan morfologi dari sistem perakaran serta peran mikroba yang lain. c. Gejala serangan Gejala infeksi yang tampak di atas permukaan tanah adalah daun-daun tanaman layu jika hari panas dan kering, kemudian pulih kembali pada malam hari, serta kelihatan normal dan segar pada pagi hari. Jika penyakit berkembang terus, daun-daun menjadi kuning, tanaman kerdil, dan mungkin mati atau hidup



merana (Widodo 1993). Pembengkakan akar merupakan ciri khas penyakit akar gada. Bentuk dan letaknya bergantung pada spesies inang dan tingkat infeksi. Akar yang membengkak akan makin besar dan biasanya hancur sebelum akhir musim tanam karena serangan bakteri dan cen- dawan lain (Agrios 1997). Apabila infeksi terjadi pada akhir musim tanam, ukuran gada biasanya kecil dan tanaman dapat bertahan hidup.



d. Pentingnya penyakit Kerugian yang disebabkan oleh P. brassicae pada tanaman kubis-kubisan di Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Asia, dan Afrika Selatan mencapai 50–100%. Di Australia, patogen ini menyebabkan kehilangan hasil sekitar 10% setiap tahun dengan kehilangan pendapatan sebesar US$13 juta. Di Indonesia, penyakit ini menyebabkan kerusakan pada kubis kubisan sekitar 88,60% dan pada tanaman caisin sekitar 5,42% dan 64,81% (Munir 2003). e. Pengendalian 1) Penggunaan Varitas Resisten Seaman dalam Voorrips (1995) mengemukakan bahwa penurunan resistensi kubis cv. Badger Shipper dalam beberapa tahun setelah pelepasan kemungkinan disebabkan oleh seleksi dari genotipe patogen. Hal yang sama dikemukakan oleh Kuginuki et al. (1999) bahwa sejumlah kultivar caisin yang resisten dapat menjadi peka pada beberapa daerah pertanaman di Jepang karena seleksi patogenesitas dalam populasi P. brassicae. 2). Kultur Teknis Pengapuran tanah dapat mengendalikan penyakit jika kepadatan spora rehat rendah, namun aplikasinya tidak efektif pada tanah yang terkontaminasi sangat. Aplikasi 60 t/ha kalsium karbonat, sodium karbonat, dan gipsum selama 3 tahun dapat mengendalikan penyakit dan meningkatkan hasil kubis dengan memuaskan, tetapi kepadatan inokulum di dalam tanah tidak menurun secara nyata, dan



jika kandungan kalsium tanah kembali rendah dapat menginduksi penyakit. Pengapuran tanah dengan CaO 11,20 t/ha atau 20 t/ha belum mampu menekan kejadian dan intensitas se- rangan penyakit dengan nyata pada tanaman kubis (Herdian 2000). Menurut Myers et al. (1981), pengapuran pada jenis tanah yang berbeda memberikan hasil pengendalian penyakit yang berbeda pula. Efektifitas pengapuran tanah dipengaruhi oleh distribusi atau redistribusi kapur dalam tanah, tetapi peranan kapur dalam menekan penyakit belum diketahui secara pasti. Namun demikian peningkatan pH tanah setelah aplikasi kapur diduga dapat mengontrol patogen. Menurut Agrios (1997), serangan penyakit akar gada paling parah terjadi pada pH tanah 5,70 Perkembangan penyakit akan menurun pada pH tanah 5,70 sampai 6,20 dan tertekan pada pH 7,80. Selanjutnya ditekankan penting- nya memerhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan distribusi kapur, termasuk persiapan tanah, kelembapan tanah, tekstur tanah, interval inkubasi antara aplikasi kapur dan penanaman serta jenis pupuk yang digunakan serangan dan indeks (keparahan) penyakit akar gada baik pada tanah yang diberi kapur maupun yang tidak diberi kapur. Ca(NO ) merupakan sumber pupuk nitrogen yang paling baik pada tanah yang diberi kapur cocok digunakan pada lahan yang terinfeksi, khususnya pada tanah yang tidak diberi kapur, karena tingkat serangan dan indeks penyakit akar gada cukup tinggi. 3). Pengendalian Kimia Fumigasi tanah dengan metil bromida dapat mematikan P. brassicae, tetapi cara ini tidak dianjurkan di lapangan karena berbahaya dan mahal. Pengendalian dengan fungisida tidak selalu menunjukkan hasil yang memuaskan. Pencelupan akar bibit dalam cairan fungisida yang mengandung pentachloronitrobenzene atau derivat benzimidazole dapat mengurangi intensitas penyakit akar gada dalam beberapa kasus saja, tetapi tidak efektif jika digunakan pada tanah yang mengandung banyak pupuk kandang. Hal ini disebabkan fungisida yang diapli kasikan tidak dapat mencapai tanah yang mengandung patogen karena terhalang oleh pupuk kandang, atau dengan kata lain sebagian fungisida yang diaplikasikan hanya menempel pada pupuk kandang. Penggunaan dazomet di beberapa negara dapat menanggulangi serangan penyakit akar gada, tetapi penelitian Djatnika (1990) menggunakan bahan yang



sama dengan dosis 40 g/m2



tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.



Pengendalian dengan pestisida sulit diterapkan pada lahan yang ditanami tanaman kubis-kubisan secara terus-menerus. Penanaman tanaman sejenis secara berulang pada lahan yang sama akan meningkat- kan populasi dan virulensi patogen sehingga patogen makin sulit dikendalikan, termasuk dengan pestisida. Beberapa fungisida mempunyai efikasi yang terbatas bila kepadatan spora rehat dan virukasi P. brassicae tinggi (tanaka 1997). Flusulfamida telah digunakan secara luas dalam produksi cruciferae di Jepang. Flusulfamida mempengaruhi stadia awal dari siklus hidup P. brassicae, dan diduga menghambat perkecambahan spora rehat atau menurunkan viabilitas spora primer yang terlepas dari spora rehat, namun tidak efektif mengen dalikan



P. brassicae yang sudah ada dalam sel



korteks. 4). Pengendalian Hayati Pengendalian hayati patogen tular tanah menggunakan mikroba antagonis telah banyak dilaporkan. Pengendalian hayati dengan mikroba tanah Mortierella sp. yang dikombinasikan kapur setara 2 t CaO/ha pada percobaan semilapangan dapat menekan persentase dan intensitas serangan penyakir akar gada serta meningkatkan bobot daun kubis, sedangkan peranan Gliocladium sp. dan Chaetomium sp. tidak tampak, Sebaliknya Gliocladium sp. dapat mengurangi serangan penyakit akar gada pada tanaman petsai walaupun hasilnya belum memuaskan (Labuan 1999). Widodo et al. (1993) melaporkan bahwa penggunaan mikroba antagonis Pseudomonas spp. kelompok fluoresen dapat menekan serangan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah tanaman caisin. Namun, perlakuan benih dan penyiraman tanah dengan isolat-isolat mikroba tersebut di lapangan tidak berpengaruh nyata terhadap luas serangan, indeks penyakit, dan bobot basah krop kubis (Primawardona 1995). Pengendalian hayati dengan Phoma glomerata menunjukkan aktivitas bio kontrol terhadap penyakit akar gada pada tanaman caisin dan turnip yang ditanam pada media sekam tanah yang terinfestasi P. brassicae, tetapi pengendalian tersebut kurang efektif dibanding dengan Epoxydon dari DAFTAR PUSTAKA



P. Glomerata.



Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology. 4th London



ed. A- cademic Press, San Diego, California,



Djatnika, I. 1990. Pemanfaatan mikroba tanah untuk pengendalian Plasmodiophora brassicae Wor. pada kubis (Brassica oleracea Linn). Buletin Penelitian Hortikultura. Herdian, A. 2000. Pengaruh mulsa, sistem tanam tumpang sari dan pengaturan pH tanah terhadap penyakit akar gada (Plas- modiophora brassicae Wor.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kuginuki, Y., H. Yoshikawa, and M. Hirai. 1999.Variation in virulence of Plasmodiophora brassicae in Japan tested with clubroot- resistant cultivars of chinese cabbage (Brassica rapa L. sp. pekinensis) Labuan, K.S. 1999. Kemampuan antagonisme Gliocladium sp. terhadap Plasmodiophora brassicae Wor. penyebab penyakit bengkak akar pada tanaman petsai (Brassica campestris L.). Laporan Masalah Khusus. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Munir, H. 2003. Penyakit-penyakit Tana- man Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Primawardona, Y.F. 1995. Uji kemampuan Pseu- domonas spp. kelompok fluoresen dalam menekan Plasmodiophora brassicae Wor. penyebab penyakit akar bengkak pada kubis. Skripsi Fakultas Pertanian Institut Perta- nian Bogor.Reyes, A.A., T.R. Devidson, and C.F. Marks. Tanaka, S. 1997. Recent progress in studies on clubroot disease of crucifers. Shokubutsu Boeki/Plant Prot. Voorrips, R.E. 1995. Plasmodiophora brassi- cae: Aspects of pathogenesis and resistance in Brassica oleracea Euphytica. Widodo, M.S. Sinaga, I. Anas, dan M. Mahmud.1993. Penggunaan Pseudomonas spp. kelompok fluoresen untuk pengendalian penyakit akar gada.



2. Busuk Hitam a. Klasifikasi Kingdom : Proteobacteria Kelas : Zymobacteria Ordo : Xanthomonadales Famili : Xanthomonadaceae Genus : Xanthomonas Spesies : Xanthomonas campestris pv. campestris



(Pammel 1895) Dowson 1939 Penyakit busuk hitam adalah salah satu penyakit yang paling merusak kubis dan silangan lain. Kembang kol, kubis, dan kale adalah salah satu silangan paling rentan terhadap busuk hitam. Brokoli, kecambah brussels, kubis cina, collard, kohlrabi, mustard, rutabaga, dan lobak juga rentan. Beberapa gulma silangan juga dapat menjadi inang patogen. Penyakit ini biasanya paling lazim di daerah yang rendah dan dimana tanaman tetap basah untuk waktu yang lama. Kondisi yang menguntungkan untuk tersebarnya bakteri menyebabkan kerugian total tanaman crucifer (Pracaya, 2001). b. Siklus Penyakit Sumber utama bakteri untuk pengembangan busuk hitam di bidang produksi benih penuh, transplantasi terinfeksi, dan gulma silangan terinfeksi. Bakteri ini disebarkan dalam panen terutama oleh angin-angin dan percikan air dan oleh para pekerja, mesin, dan kadang-kadang serangga. X. campestris dapat bertahan hidup pada permukaan daun selama beberapa hari sampai tersebar ke hidatoda atau luka di mana infeksi dapat terjadi. Bakteri masuk ke daun melalui hidatoda saat memancarkan air melalui pori-pori di tepi daun pada malam hari, ditarik kembali ke dalam jaringan daun pada pagi hari (Soeroto, 1994). Bakteri dapat masuk ke daun dalam 8 sampai 10 jam, dan gejala yang terlihat layu secepat 5-15 jam kemudian. Luka, termasuk yang dibuat oleh serangga makan pada daun dan cedera mekanik ke akar selama tanam, juga menyediakan situs masuk. Gerakan bakteri ke tanaman melalui hidatoda dibatasi dalam varietas tahan; akibatnya, ada situs infeksi yang lebih sedikit dan / atau bagian yang terkena jauh lebih kecil dalam varietas tahan daripada varietas rentan. Penyebab penyakit busuk hitam adalah Xanthomonas campestris pv. Campestris. Bakteri ini bersel tunggal, berbentuk batang, 0,7-3,0 x 0,4-0,5 µm, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, bersifat gram negatif, bergerak dengan satu flagel polar. Pada kondisi yang hangat dan basah kerugian busuk hitam dapat melampaui 50% karena penyebaran penyakit ini. Hujan dan kabut tebal atau embun dan suhu hari 75° sampai 95° F yang paling menguntungkan bagi patogen. Di bawah dingin, kondisi basah infeksi dapat terjadi tanpa gejala perkembangan. Akibatnya, transplantasi



tumbuh pada temperature rendah mungkin terinfeksi tetapi tanpa gejala. Bakteri tidak menyebar di bawah 50° F atau selama cuaca kering (Permadi,1993).



c. Gejala Penyakit Tanaman dapat terserang busuk hitam pada setiap tahap pertumbuhan. Pada pembibitan, infeksi yang pertama kali muncul dengan menghitamkan sepanjang kotiledon. Bibit terserang patogen akan berwarna kuning sampai coklat, layu, dan runtuh. Pada tanaman yang memasuki pertumbuhan vegetatif lanjut akan menunjukkan gejala kerdil, layu, daun yang terinfeksi berbentuk wilayah-V. Wilayah V ini kemudian membesar dan menuju dasar daun, berwarna kuning sampai coklat, dan kering. Gejala ini dapat muncul pada daun, batang, akar, dan berubah menjadi hitam akibat patogen yang berkembang biak. Daun muda yang terinfeksi mengalami pertumbuhan yang terhambat, warna kuning sampai coklat, layu, dan mati sebelum waktunya. Kadang-kadang, tanaman berpenyakit gundul memiliki panjang tangkai atasnya dengan seberkas kecil daun.



Bakteri ini dapat menyebar ke jaringan pengangkutan tanaman dan dapat berpindah secara sistematis dalam jaringan pengangkutan tanaman tersebut. Jaringan angkut yang terserang warnanya menjadi kehitaman yang dapat dilihat sebagai garis hitam pada luka atau bisa juga diamati dengan memotong secara melintang pada batang daun atau pada batang yang terkena infeksi. Busuk hitam juga dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak.



d. Pengendalian Menurut Rukmana (1994), pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman yang bukan jenis kubis-kubisan, sehingga akan memberikan waktu yang cukup bagi serasah dari tanaman kubis-kubisan untuk melapuk. Lalu menggunakan benih bebas hama dan penyakit yang dihasilkan di iklim yang kering. Hindari untuk bekerja di lahan saat daun tanaman basah. Menggunakan varietas kubis yang tahan terhadap busuk hitam. Penyemprotan bakterisida Kocide 77 WP sangat dianjurkan, terutama untuk budidaya di musim penghujan. Tanaman dan daun sakit dipendam dalam tanah. Menutup tanah dengan jerami untuk mengurangi penyakit. Perlakuan benih dengan cara merendam benih dalam air hangat bersuhu 52ºC selama 30 menit. Tanaman yang terserang bakteri busuk hitam dicabut dan dimusnahkan. Dalam pemanenan kubis diikutsertakan dua helai daun hijau untuk melindungi krop. Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak terjadi luka. Daun-daun yang terinfeksi dikumpulkan untuk dimusnahkan (Soeroto,1994).



Daftar Pustaka Permadi, A. H. dan S. sastrosiswojo.1993. Kubis. Kejasama antara Badan Penellitian dan Perkembangan Pertanian. Lembang: Balai Penelitian Holtikultura. Pracaya. 2001. Kol alias Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Yogyakarta: Kanisius. Soeroto, dkk. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.



PENYAKIT TANAMAN CABAI 1. Penyakit Antraknose (Capsicum spp.) Menurut Ika Rochdjatun (2013) kerugian akibat penyakit secara kualitatif dapat mencapai 40% dalam musim kemarau dan 90% pada musim penghujan. Kerugian secara ekonomis sampai saat ini banyak dilaporkan. Kerugian akan semakin membesar dengan meningkatnya umur tanaman, varietas, dan kondisi tanaman. Di 



India kerugian akibat penyakit ini bisa mencapai 75%. Gejala Penyakit Menurut Ika Rochdjatun (2013) pada buah cabai baik cabaik kecil (rawit) maupun besar yang terserang di lapang, mula-mula terdapat bercak kecil berwarna kehitaman yang dikelilingi oleh warna kuning kecoklatan. Pada tingkat selanjutnya bercak kelihatan bertambah besar dan terlihat mengendap. Pada serangan hebat, apabila buah diamati secara mikroskopis tampak massa stromatik dari jamur.



Gejala yang tampak dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan pada buah cabai yang telah diinokulasi dengan jamur G. Piperatum pada awal gejala adalah terdapat bintik gelap dan sedikit cekung yang umumnya menyerang permukaan buah. Setelah beberapa hari bintik tersebut berkembang menjadi bercak dengan adanya masa berwarna kekuningan atau jingga yang merupakan masa spora patogen. Lama-kelamaan bercak meluas dengan bentuk memanjang searah dengan bentuk buah dan berwarna cokelat. Dalam fase ini patogen akan mampu bertahan di dalam biji untuk fase yang lama (Nayaka et al., 2009). Disamping pada buah, patogen juga mampu menyerang pada pucuk tanaman sehingga menyebabkan mati pucuk (dieback). Pada fase ini tanaman terlihat berwarna cokelat muda dan terjadi nekrotis, sehingga daun-daunnya layu.







Penyebab Penyakit + Klasifikasi Dari hasil pengamatan terhadap buah cabai yang sakit, didapat adanya dua jenis patogen penyebabnya yang menurut Thaung (2008), yakni jamur Colletotrichum capsici (Syd.) dan Gloeosporium piperatum Ell. & Ev (Rhind & Seth 1945) Ciri-ciri morfologi dan klasifikasi dari jamur Colletotrichum capsici penyebab penyakit adalah sebagai berikut: Morfologi: 1. Bentuk konidium bulat memanjang, hialin, meruncing pada ujungnya. 2. Setae terlihat diantara konidiofora 3. Memanjang dan gelap dengan uk. panjang 75-90 mikron 4. Ukuran konidium 5,1-6,8 x 17-20,4 mikron 5. Panjang tabung kecambah berkisar 34x ukuran konidium Sementara itu pengamatan terhadap 6. Hifa bersepta



Klasifikasi: Singh (1998)       



Divisio Sub-divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies capsici



Gloeosporium



: Ascomycotina : Eumycota : Pyrenomycetes : Sphaeriales : Polystigmataceae : Colletotrichum : Colletotrichum



piperatum,



secara



makroskopis pada media PDA menunjukan bahwa warna koloninya pada awal pertumbhan membentuk koloni miselium berwarna putih dan apabila dilihat dari bawah cawan petri miselium berwarna kuning atau jingga. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa bentuk konidia jamur G. piperatum hialin pada ujung-ujung hifa, konidia berbentuk tabung (silindris). Miselium bercabang yang berwarna hialin dan bersekat.







Klasifikasi: Singh (1998)



 Kingdom : Fungi  Divisi : Ascomycota  Sub-Divisi : Pezizomycetes  Kelas : Sordariomycetes  Ordo : Glomerellales  Famili : Glomerellaceae  Genus : Colletotrichum  Spesies : Colletotrichum coccodes Daur Infeksi  Sinonim : Gloeosporium piperatum Seperti halnya penyakit antraknose pada tanaman lainnya, pada Colletotrichum



capsici dan Gloeosporium piperatum juga sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan lama penyinaran. Keadaan lingkugan yang lembab (90-100%) akan menyebabkan berkembangnya bercak-bercak pada buah cabai. Keadaan yang terlindung sangat baik untuk perkembangan patogen, sedang keadaan yang kering patogen sedikit seklai enimbulkan kerusakan. Suhu memberikan pengaruh yang positif yakni memperbesar terjadinya penguapan. Untuk perkembangan patogen kondisi yang optimal adalah apabila suhu udara berkisar antara 25º-28º C.







Pengendalian Penyakit Menurut Ika Rochdjatun (2013) untuk penanggulangan penyakit antraknose di daerah endemi pada kondisi cuaca yang lembab, khususnya pada musim penghujan sebaiknya menggunakan fungisida yang bersifat protektan berperekat. Perlu pula adanya pergiliran tanaman dengan jenis famili lain untuk beberapa periode tanam untuk mengurangi inokulum.



PENYAKIT TANAMAN WORTEL 1. Busuk Erwinia  Klasifikasi Penyakit Kingdom : Bacteria Filum : Protobacteria Kelas : Gammaproteobacteria Ordo : Enterobacterialles Famili : Enterobacteriaceae Genus : Erwinia Spesies : Erwinia carotovora Genus ini pada umumnya terbagi menjadi tiga kelompok, sbb: 1. Kelompok Amylovora, misalnya E. amylovora yang memerlukan nitrogen organik untuk pertumbuhan dan menyebabkan penyakit wilt pembuluh atau nekrotik kering pada tanaman. 2. Kelompok Carotovora, misalnya E. carotovora yang mereduksi menjadi nitrit dan menyebabkan busuk lembut pada tanaman. 3. Kelompok Herbicola, misalnya E. herbicola yang tipikalnya membentuk pigmen kuning (karotenoid) dan tidak secara normal bersifat patogen.







Gejala Serangan Gejala yang umum pada tanaman kubis-kubisan adalah busuk basah berwarna coklat atau kehitaman, pada daun, batang dan umbi. Pada bagian terinfeksi mula-mula terjadi bercak kebasahan. Bercak membesar dan mengendap (melekuk),bentuknya tidak teratur, coklat tua kehitaman. Jika kelembaban tinggi, jaringan yang sakit tampak kebasahan, berwarna krem atau kecoklatan, dan tampak agak berbutir-butir halus. Disekitar bagian yang sakit terjadi pembentukan pigmen coklat tua atau hitam. Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau tapi adanya serangan bakteri sekunder jaringan tersebut menjadi berbau khas yang mencolok hidung.







Ciri Umum Bakteri Sebagai bakteri mesofilik, E. catovora menghabiskan hidupnya pada temperatur berkisar 27º-30º C. Suhu optimal untuk perkembangan bakteri adalah 27ºC. Sel bakteri berbentuk batang dengan ukuran (1,5-2,0) x (0,6-0,9) mikron, umumnya membentuk rangkaian sel-sel seperti rantai, tidak mempunyai kapsul, dan tidak berspora. Bakteri bergerak dengan menggunakan flagella yang terdapat di sekeliling bakteri. E. catovora adalah bakteri bergram negatif, berbentuk batang yang hidup soliter atau berkelompok dalam pasangan atau







rantai. Ekologi, Daur Hidup dan Patologi (ekologi) Dalam lingkup tanaman terinfeksi,



E.



catovora



dapat



juga



ditemukan pada perut serangga air yang dibawa oleh udara genangan air sungai dan timbunan kentang. Setelah terjadi hujan diatas tanaman yang terinfeksi udara yang mengandung bakteri terbentuk 80% dari bakteri yang tersuspensi di udara dapat bertahan hidup antara 5-10 menit dan dapat terbawa udara sejauh 1 mil. (daur hidup) Bakteri dapat menyerang bermacam-macam tanaman pertanian maupun hasilnya, khususnya tanaman hortikultura. Bakteri dapat mempertahankan diri dalam tanah dan dalam sisa-sisa tanaman lapang. Pada umumnya infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri dalam tubuhnya. Di dalam simpanan dan pengangkutan infeksi terjadi melalui luka karena gesekan, dan sentuhan antara bagian tanaman yang sehat dengan yang sakit. (patologi) E. catovora adalah patogen tanaman yang dapat enyebabkan kematian sel melalui perusakan dinding sel tanaman dengan membuat sel secara osmosis mudah pecah. Hal ini bisa terjadi akibat produksi PCWDE seperti enzim pectic ekstraselluler dan sellulase yang menghancurkan pektin dan sellulase. Organisme ini dapat menyebabkan penyakit busuk lunak pada banyak tanaman dan 



sayuran yang dapat dikenali bau busuk dan bagian luar yang lembek. Teknik Pengendalian



Di Indonesia pengetahuan mengenai penyakit busuk lunak masih sangat terbatas, sehingga anjuran yang mantap untuk mengendalikan penyakit ini belum dapat diberikan. Untuk sementara Machmud (1984) memberikan anjuran sbb: 1. Sanitasi = menjaga kebersihan kebun dari sisa-sisa tanaman sakit sebelum penanaman 2. Menanam dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindarkan kelembaban yang terlalu tinggi, terutama di musim hujan. 3. Pada waktu memelihara tanaman diusahakan untuk sejauh mungkin menghindari terjadinya luka yang tidak perlu 4. Pengendalian pasca panen yang perlu dilakukan diantaranya; a. mencuci tanaman dengan air yang mengandung chlorin b. mengurangi terjadinya luka pada waktu penyimpanan dan pengangkutan c. menyimpan dalam ruangan yang cukup kering, mempunyai ventilasi cukup dan sejuk, dan melakukan fumigasi sebelumnya.



PENYAKIT TANAMAN TOMAT 1. Layu Fusarium Jamur Fusarium oxysporum (Fo) merupakan salah satu jenis jamur yang sangat penting untuk diketahui dalam melaksanakan budidaya tanaman. Jamur jenis ini, menjadi inang demikian banyak jenis tanaman, mulai dari tanaman yang berarti strategis sampai tanaman pagar di kebun petani. Fo mempunyai variasi spesies yang tinggi, yaitu sekitar 100 jenis dan menyebabkan kerusakan secara luas dalam waktu singkat dengan intensitas serangan mencapai 35% (Sudantha,2010). Jamur Fo adalah salah satu jenis patogen tular tanah yang mematikan, karena patogen ini mempunyai strain yang dapat dorman selama 30 (tiga puluh) tahun sebelum melanjutkan virulensi dan menginfeksi tanaman. a. Bioekologi Jamur Fo dalam perkembangbiakannya membentuk dua jenis spora aseksual yaitu spora mikrokonidium dan spora makrokonidium. Spora mikrokonidium bersel tunggal, tidak bersekat, tidak berwarna, berdinding tipis, bentuknya bulat telur sampai lurus dengan ukuran 2 – 5 x 2,3 – 3,5 µm



Gambar 1.



Spora makrokonidium bentuknya lancip, ujungnya melengkung seperti bulan sabit, bersekat 3–5, ukurannya 20–46 x 3,2–8 µm. Pada keadaan tertentu menghasilkan klamidospora berwarna coklat muda, dindingnya tebal, ukuran 6– 10 µm, dibentuk di ujung terminal atau di tengah hifa (Semangun, 2000). Menurut Blaney, (1991) dalam Auliya’, (2008), Fo merupakan fungi berfilamen yang memiliki 3 macam konidia, yaitu klamidiospora, makrokonidia yang berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan kedua ujung yang lancip dan mikronidia yang berbentuk bulat, tidak bersekat dan tidak berwarna, berdinding tebal dan sangat resisten terhadap keadaan lingkungan yang buruk. Spora ini terbentuk dari penebalan bagian-bagian tertentu dari suatu hifa somatik. Inokulum Foc terdiri atas makrokonidium, mikrokonidium, klamidospora dan miselia.



Gambar 2. Makrokonidium



Gambar 3. Klamidospora



b. Gejala Serangan Gejala awal yang terlihat akibat serangan pathogen ini yaitu memucatnya tulang-tulang daun terutama daun-daun atas kemudian diikuti dengan menggulungnya daun yang lebih tua selanjutnya tangkai daun akan merunduk dan akhirnya tanaman menjadi layu secara keseluruhan.. jika tanaman sakit dipotong maka dekat pangkal batang akan terlihat suatu cincin dari berkas pembuluh (Semangun, 1996). Jamur ini menyerang pada setiap tingkat umur. Menginfeksi tanaman melalui luka-luka yang terjadi pada akar, kemudian berkembang di berkas pembuluh sehingga terganggunya pengangkutan air dan zat-zat hara (Cahyono, 1998 dalam Henuk 2002).



Jamur ini merupakan parasit lemah artinya hanya dapat menyerang tanaman yang sedang berada pada kondisi lemah (peka) karena kekeringan, kekurangan unsur hara, terlalu banyak sinar matahari dan tanaman terlalu banyak buah [Childers dan Cibes, (1948) dalam Semangun, (2000)]. Sebagai patogen primer, jamur dapat menginfeksi jaringan inang sebelum ada serangan jamur patogen lain dan dapat menimbulkan gejala. Sebagai patogen sekunder bila jamur menginfeksi tanaman inang setelah ada serangan jamur patogen lain, sehingga tingkat serangan menjadi sedemikian parah [Joffe, (1973) dalam Isnaini, dkk. (2004)]. Jamur dapat menyebar melalui pengangkutan bibit dan tanah yang terbawa angin atau air atau alat pertanian. Populasi patogen dapat bertahan secara alami di dalam tanah dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat tanaman yang peka maka bila terdapat luka pada akarnya, Foc akan segera menginfeksinya. c. Inang dan gejala serangan Jamur Fo merupakan penyebab penyakit layu dan busuk batang pada berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Inang dari patogen ini adalah sayuran, bawang, kentang, tomat, kubis, lobak, petsai, sawi, temu-temuan, semangka, melon, pepaya, salak, krisan, anggrek, kacang panjang, cabai, ketimun, jambu biji, dan jahe. Tanaman lain yang diketahui menjadi inang patogen ini adalah kelapa sawit, kelapa, lada, vanili, dan kapas (Semangun, 2004). Miseliumnya dapat ditemukan di sekitar jaringan tanaman dan umumnya dapat diisolasi dari jaringan yang sakit atau di dalam pembuluh xylem tanaman yang diserang [Frank, (1972) dalam Isnaini, dkk. (2004)]. Seperti serangan pada tanaman pisang sebagai penyakit busuk batang pisang yaitu dengan menanam bagian tanaman yang bergejala pada media PDA (potato dextrose agar). d. Pentingnya Penyakit Kerusakan yang ditimbulkan meliputi rebah benih, busuk akar, busuk batang dan busuk tangkai yang terjadi ketika tanaman berada pada kondisi stress atau ketika terjadi luka pada bagian luar jaringan tanaman. Fusarium sangat berbahaya bagi tanaman pangan karena menyebabkan kerusakan seperti kematian bibit, busuk akar dan busuk tangkai (Bacon dan Hinton, 1999 dalam Auliya’, 2008). Faktor yang berpengaruh adalah cuaca lembab sehingga penyakit banyak dijumpai di kebun yang terlalu rapat, terutama pada musim hujan karena banyak terjadi infeksi baru. Kebun yang peteduhnya ringan kurang mendapat gangguan penyakit (Semangun, 2004). Jamur Fo juga dapat bertahan lama di dalam tanah. Tanah yang sudah terinfeksi sukar dibebaskan kembali dari jamur ini. Fo adalah cendawan tanah yang dapat bertahan lama dalam tanah sebagai klamidospora yang terdapat banyak dalam akar-akar yang sakit. Cendawan dapat bertahan juga pada akar bermacam-macam rumput, dan pada tanaman jenis Heliconia. Fo menyerang melalui akar, terutama akar yang luka. Baik luka mekanis maupun luka yang disebabkan nematoda Radophulus similis. Tetapi tidak bisa masuk melalui batang atau akar rimpang, meskipun bagian ini dilukai (Semangun, 2004). e. Pengendalian



Upaya pengendalian yang dapat dilakukan untuk penyakit layu fusarium diantaranya cara kultur teknis dengan pemberian pupuk organik (kompos, pupuk kandang), rotasi dengan tanaman bukan inang (misalnya : pepaya, nenas, jagung dan lain-lain), pembuatan drainase, sanitasi lingkungan pertanaman, menghindari terjadinya luka pada akar, menggunakan benih sehat (bukan dari daerah serangan atau rumpun terserang, benih dari kultur jaringan) atau benih baru setiap musim tanam Pengendalian dengan cara biologi yaitu dengan aplikasi agens hayati misalnya Trichoderma spp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescent, Bacillus subtilis sebelum/pada saat tanam. Sedangkan cara kimia semua alat yang digunakan didisinfektan dengan kloroks satu persen (bayclean yang diencerkan 1 : 5), atau dicuci bersih dengan sabun, (Djatnika et al., 2003). Cara kimiawi dengan fungisida sistemik berbahan aktif benomil, metalaksil atau propamokarb hidroklorida dengan dosis/konsentrasi sesuai petunjuk.



Daftar bacaan: Agrios, G.N. 1996. Plant Pathology. Penerjemah Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Auliya, Nur Hikmatullah, Hikmatul Ilmi, Handa Muliasari, 2008. Pemanfaatan Alkaloid Lombine dalam Ekstrak Kasar Daun Kumbi (Voacanga foetida) sebagai Fungisida alami. Makalah tidak dipublikasikan. Universitas Mataram. Mataram. Djaenuddin, N : tanpa tahun, Bioekologi dan Pengelolaan Penyakit Layu Fusarium Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Isnaini, M. Rohyadi, dan Murdan, 2004. Identifikasi dan Uji Patogenitas Jamur-jamur Penyebab Penyakit Busuk Batang Tanaman Vanili di Lombok Timur. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram. Juniawan, 2015. Fungitoksisitas Eugenol terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense.Artikel tidak dipublikasikan. Universitas Brawijaya.Malang. Semangun, 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.



PENYAKIT TANAMAN KENTANG 1. Hawar Daun Phytophthora a. Klasifikasi



Sistematika Penyakit Hawar Daun pada tanaman family Solanaceae (Phytophthora infestans (Mont.) de Bary) sebagai berikut : Kingdom



:



Chromalveolata



Divisio



:



Eukaryota



Kelas



:



Oomycetes



Ordo



:



Peronosporales



Famili



:



Pyhtiaceae



Genus



:



Phytophthora



Spesies



:



Phytophthora infestans (Mont.) de Bary



Penyakit hawar daun sangat merusak dan sulit dikendalikan, karena P. infestans merupakan jamur pathogen yang memiliki patogenisitas beragam. Pada umumnya pathogen ini berkembang biak secara aseksual dengan oospora. Jamur ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau pembentukan oospora ahanya terjadi bila terjadi perkawinan silang (matting) antar dua isolate P.infestans yang memiliki matting tipe beda (Purwanti, 2002). b. Gejala Serangan Gejala pertama dari penyakit hawar daun dilapang adalah terdapatnya luka pada daun dengan bentuk yang tidak beraturan dan berwarna gelap setelah 3-5 hari terinfeksi. Gejala tersebut biasa terlihat pada daun-daun sebelah bawah, dekat titik pangkal petioles atau pada bagian pinggir daun. Serangan pada pinggir daun menyebabkan bentuk daun tidak normal, dan warna berubah terang kemudian mati setelah beberapa hari. Serangan pada bagian batang menyebabkan daun-daun gugur, batang terlihat terang dan kehilangan warna. Gejala serangan ini akan terus terjadi disepangjang batang dan tetap aktif pada kondisi panas atau cuaca kering. (Semangun, 1991). Serangan pada umbi menyebabkan bercak yang berwarna coklat atau hitam ungu, masuk sampai 3-6 mm kedalam umbi dan tampak waktu digali maupun waktu penyimpanan. Gejala lebih jelas tampaksetelah penyimpanan dan dapat menutupi seluruh umbi, menyebabkan busuk, karena perkembangan pathogen dan aadanya organism sekunder. Selain kentang, penyakit ini juga menyerang tanaman tomat. (Purwanti, 2002).



c. Siklus penyakit Pembentukan dan perkecambahan sporangium selain tergantung pada suhu dan kelembapan relatif pada saat tersebut, juga kematangan sporangium. Sporangium dibentuk pada suhu 3-260C dengan kelembaban relative diatas 90%. Sporangium akan berkecambah apabila ada air bebas pada permukaan infeksi dnegan suhu 10150C, setelah berkecambah berbentuk kecambah yang akan mempenetrasi jaringan pada suhu 15-250C dan memerlukan waktu sekitar 2-2,5 jam, segera setelah itu akan terbentuk miselium di dalam jaringan dnegan suhu optimum sekitar 14-210C, suhu di atas 300C menghentikan perkembangan dari cendawan sporangium akan kehilangan viabilitasnya setelah 3-6 jam pada kelembaban di bawah 80% (Purwantisari, 2009).



d. Pengendalian 1. Kultur teknis, menanan varietas tahan, penggunaan benih sehat atau tidak menggunakan benih dari pertanaman yang terserang. 2. Pembersihan tanaman yang terserang dan dimusnahkan. 3. Pengendalian secara biologi menggunakan agen hayati cendawan Trichoderma sp atau Glicladium sp dengan dosis penyemprotan 100 gr/10 liter air, ditambah dengan zat perekat. 4. Pengendalian secara kimiawi dengan penyemprotan fungisida berbahan aktif Ziflo 90 WP dengan konsentrasi 2-4 g/l air.



Pengendalian terhadap penyakit hawar daum yang paling efektif yang ramah lingkungan adalah dengan mengupayakan mekanisme ketahanan yang bersifat alami. Metode klasik untuk menghasilkan tanaman yang memiliki ketahanan terhadap penyakit yaitu dengan melibatkan gen ketahanan melalui program pemuliaan baik dengan pemuliaan konvensional melalui hibridisasi antara tanaman kentang budidaya yang resisten terhadap penyakit dengan tanaman kentang tipe liar yang memiliki ketahanan alami terhadap penyakit Hawar daun, atau melalui pendekatan teknologi DNARekombinan untuk mengasilkan tanaman transgenic yaitu dengan memasukkan gen tahan penyakit HD pada tanaman kentang Budidaya (Semangun, 1991). Daftar Pustaka Purwanti, H. 2002. Penyakit Hawar Daun (Phytophthora infestans (Mont.) de Bary) pada Kentang dan Tomat: Identifikasi Permasalahan di Indonesia. Buletin AgroBio 5(2):67-72. Purwantisari, S. dan Rini B.H, 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyaki Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. BIOMA Vol. 11(1),Hlm. 24-32 Semangun, H., 1991. Penyakit - Penyakit Penting Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.