Peran Sosiologi Kehutanan Dan Lingkungan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan Oleh Pengelola Kawasan Dan Masyarakat Desa Hutan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERAN SOSIOLOGI KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PENGELOLA KAWASAN DAN MASYARAKAT DESA HUTAN



Disusun Oleh: Fadilla Fardhani (18/430126/KT/08815)



FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2020



ABSTRAK



Sosiologi kehutanan dan lingkungan merupakan suatu bentuk keterkaitan antara etika lingkungan, ekoloig politik, dan pekerja industri dengan lingkungan dan kesehatan pekerja. Sosiologi kehutanan dan lingkungan dapat diartikan sebagai interaksi antara manusia dengan manusia lain yang kaitannya erat dengan bidang kehutanan dan lingkungan. Sumberdaya hutan merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai guna yang dapat diambil dari dalam hutan. Sosiologi kehutanan dan lingkungan diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya hutan sebagai bentuk penyeimbang antara kepentingan berbagai pihak dalam upaya pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya hutan, penengah jika terjadi konflik, dan sebagai wadah penghubung antarmasyarakat pengguuna sumberdaya hutan.



I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat desa hutan terhadap hutan sudah mencakup berbagai kehidupan, berupa ketergantungan ekonomi, kawasan buru untuk kebutuhan protein, areal perladangan dan perkebunan, bahan bangunan, dan fungsi lain yang berhubungan dengan kelembagaan sosial tradisional di masyarakat. Indikator sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan sangat erat kaitannya dengan kegiatan perambahan hutan yang terjadi. Kriteria faktor sosial ekonomi yang paling relevan yaitu penyebab perambahan hutan. Hasil hutan sangat bernilai ekonomi bagi kehidupan masyarakat, baik itu secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat dan sekitar kawasan hutan, dengan adanya pendapatan tersebut untuk menambah kebutuhan sehari-hari masyarakat, dalam masyarakat di sekitar hutan dan dalam hutan. Pendapatan masyarakat merupakan salah satu indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan. Rendahnya tingkat pendapatan di pedesaan tidak terlepas dari produktivitas yang rendah, kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani. Aspek ekonomi desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Ekonomi pedesaan ditentukan oleh pola berusaha dari masyarakatnya. Dengan adanya usaha pertanian, kehutanan, peternakan, serta perikanan merupakan mata pencaharian utama masyarakat pedesaan sekitar kawasan hutan (Damanik, 2019). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan masyarakat di sekitar hutan dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Program ini bertujuan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani sekitar hutan. Tujuan diadakan program PHBM adalah untuk meningkatkan kesejahteraan,



kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi sosial masyarakat, serta meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat di sekitar hutan, dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya (Utami, 2010). Menurut Hidayat (2015), pengelolaan hutan yang bersifat partisipatif dapat disusun sebuah perundang-undangan pengelolaan hutan yang disusun bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat dan nantinya dapat dijadikan rambu-rambu yang harus dipatuhi bersama. Dengan adanya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengaturan peraturan perundang-undangan, diharapkan dapat memunculkan sense of belonging dan sense of responsibility sehingga mereka dapat diharapkan turut aktif mengelola hutan dan bertanggung jawab, seumpama dalam menanggulangi kebakaran hutan. Dengan demikian, fungsi kontrol yang selama ini dipegang pemerintah dengan jumlah aparatur dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas dapat terdistribusi kepada masyarakat sehingga fungsi kontrol itu dapat berjalan lebih efisien dan efektif. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana menyikapi ketimpangan yang terjadi antarmasyarakat pemanfaat sumberdaya hutan dari sisi sosiologi kehutanan? 2. Solusi apakah yang diambil dalam pemilihan keputusan pengelolaan sumberdaya hutan agar tetap seimbang di antara berbagai pihak yang berkepentingan? C. Tujuan Pembahasan 1. Mampu mengetahui peran sosiologi kehutanan dan lingkungan kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. 2. Mampu mencari solusi permasalahan atas ketimpangan kepentingan oleh pihakpihak yang terkait dengan tetap kondusif, adil, dan bijaksana.



II.



ISI



Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2007, 2009), menunjukkan adanya 19.420 desa di dalam kawasan hutan di 32 provinsi. Desa-desa tersebut terindikasi berada di dalam kawasan hutan lindung sebanyak 6.243 desa, di dalam hutan konservasi sebanyak 2.270 desa, di dalam hutan produksi sebanyak 7.467 desa, dan di dalam akwasan hutan produksi konversi sebanyak 3.848 desa. Data tersebut menunjukkan bahwasannya banyak desa yang dihuni oleh masyarakat tradisional yang berada di kawasan hutan. Desa-desa tersebut umumnya dihuni oleh masyarakat tradisional. Kebijakan kehutanan belum memberi kesempatan bagi masyarakat tradisional dengan kearifan adatnya untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. Padahal, kearifan adat lokal telah ada selama ratusan atau bahkan ribuan tahun dalam melindungi kawasan hutan. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan



formal kehutanan. Kemiskinan dan ketertindasan masyarakat desa hutan yang ada saat ini justru bersumber dari proyek-proyek pembangunan sperti HPH atau HTI. Contoh pengabaian terhadap hak masyarakat lokal misalnya masyarakat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Dayak sering dituduh sebagai perusak hutan karena mereka menerapkan perladangan berpindah. Perladangan berpindah sering dituding sebagai cara perusakan hutan. Padahal menurut penelitian Moelinono dkk (2008), ternyata masyarakat Dayak tradisional melakukan perladangan daur ulang, bukannya membabat hutan dengan membabi buta. Perladangan berpindah justru merupakan cara mereka untuk tetap memelihara kesuburan tanah. Tradisi berladang daur ulang ini selalu menyaratkan penanaman jenis tumbuhan yang beraneka ragam sebagai strategi persediaan pangan. Berladang daur ulang ternyata memperkaya variasi jenis tumbuhan lain, seperti tumbuhan obat, racun, serta bahan peralatan dan bangunan. Jadi, pada hakekatnya masyarakat Dayak melalui praktek ladang daur ulang membantu melestarikan keanekaragaman plasma nutfah. Pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sebagai pihak yang menggunakan dan memanfaatkan kawasan hutan memiliki fungsi masing-masing yang saling berhubungan satu sama lain untuk menghindari penguasaan oleh salah satu komponen terhadap komponen yang lain. Usaha untuk memperoleh keuntungan satu pihak dengan pihak yang lain yaitu kemitraan antara KPH/HPH dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Lahan yang dikelola Perhutani diberikan kepada masyarakat untuk dikelola sebagai bentuk penghargaan terhadap masyarakat desa hutan atas wilayahnya yang sudah sejak lama ditempati. Pada tahun 1999, pemerintah melakukan revisi atas undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Revisi tersebut membuka peluang untuk dilakukannya tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia. Akses informasi kepada masyarakat diberi landasan hukum yakni pada pasal 68 (2) poin b yang menyatakan bahwa masyarakat dapat: “Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan”. Namun sangat disayangkan bahwa implementasi dari ketentuan tersebut seringkali menjadi sebuah proses birokrasi yang sulit. Salah satu tantangan yang sangat kompleks dalam konteks kehutanan adalah mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Seharusnya, dengan sebuah sistem informasi kehutanan yang mapan dan partisipasi penuh dari segenap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, tantangan mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola dapat diselesaikan. Namun ternyata permasalahannya lebih dari itu, karena pada saat penyusunan peraturan perundang-undangan kehutanan masih terdapat kepentingan sektoral yang membatasi ruang gerak masyarakat dalam mendapatkan keadilan. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sesuatu sistem kegiatan pengelolaan hutan dengan pola berkolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani



dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH) atau dengan stake holder yang terkait. Masyarakat desa hutan tersebut mempunyai interaksi dan ketergantungan hidup yang sangat tinggi terhadap hutan baik dari sumber pangan maupun pekerjaan. Upaya untuk menjaga kelestarian hutan beserta kesejahteraan masyarakat desa hutan dapat dilakukan dengan menekankan prinsip kemitraan, yaitu dengan saling mengerti kebutuhan satu sama lain. Kegiatan yang bersifat partisipatif dapat menggerakkan kegiatan yang dijalankan dan menjaga keseimbangan kesejahteraan antar pelaku. Dengan adanya partisipasi antara kedua belah pihak tersebut contohnya saja LMDH dan masyarakat bisa berpartisipasi secara penuh dengan mengelola hutan dengan baik, menjaga hutan dari ancaman lingkungan terutama masalah warga yang mengambil dan mengelola tanpa izin di kawasan hutan dan Perhutani memberikan pertisipasinya dengan memberikan fasilitas yang memudahkan kinerja masyarakat beserta membantu pengelolaan sekitar hutan dengan mendorong sarana-sarana pembangunan melalui pemerintah daerah ataupun dinas-dinas terkait, contohnya saja membangun tempat wisata karena keberadaan masyarakat dekat dengan pantai, ataupun pembangunan pembuatan tambak bagi masyarakat. Dengan hal itu memberikan dampak yang baik yaitu masyarakat menjaga keadaan lingkungan hutan dan Perhutani memberikan bantuan infrastuktur sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi. Keberhasilan dari kerjasama ini menjadi terwujud dan berjalan dengan baik melalui diskusi/hubungan bersama tanpa adanya perselisihan pendapat sehingga dapat disetujui bersama dan berjalan dengan baik. Dimana ada suatu hal yang dianggap sebagai permasalahan harus diselesaikan oleh kedua belah pihak bertemu dalam acara rapat diskusi bersama.



III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Untuk menyikapi ketimpangan yang terjadi diantara masyarakat pemanfaat sumberdaya hutan dari sisi sosiologi kehutanan dapat dengan cara melakukan tugas dan fungsi dari masing-masing stake holder tanpa mengganggu pihak lain agar pengelolaan sumberdaya hutan dapat tetap seimbang. 2. Solusi yang dapat diambil dalam pemilihan keputusan pengelolaan sumberdaya hutan agar tetap seimbang di antara berbagai pihak yang berkepentingan yaitu dengan cara kemitraan yang sifatnya partisipatif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat desa hutan sehingga setiap pihak dapat berperan aktif dan saling membantu kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan bersama agar pengelolaan sumberdaya hutan dapat berjalan efektif dan efisien. B. Saran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu solusi yang baik bagi permasalahan ketimpangan pengelolaan sumberdaya hutan oleh beberapa pihak terkait. Program ini harus terus dilaksanakan dan dikembangkan lagi agar dapat mewadahi seluruh kepentingan pihak pengelola dan pengguna kawasan



hutan karena program yang diberikan sudah baik. Jika dapat diterapkan dengan tepat dan bijaksana, maka permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan oleh berbagai pihak yang terkait dapat diatasi dengan mudah.



DAFTAR PUSTAKA Damanik, Sarintan Efratani. 2019. Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Hutan. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. Hidayat, Herman. 2015. Pengelolaan Hutan Lestari: Partisipasi, Kolaborasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Moeliono, Moira., Eva Wollenberg, dan Godwin Limberg. 2008. Desentralisasi Tata Kelola Hutan. Bogor: CIFOR Utami, Lintang Purboningtyas. 2010. Pendapatan dan Konsumsi Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Studi Kasus di Kecamatan Junrejo Kota Batu.