Perda RTRW Kab - Tapteng [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 - 2033



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPANULI TENGAH,



Menimbang



:



a.



b.



c.



Mengingat



:



1.



2.



3.



bahwa untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu disusun rencana tata ruang kabupaten; bahwa dalam rangka mewujudkan visi dan misi Pemerintah Kabupaten, keterpaduan pembangunan antar sektor daerah dan masyarakat, dengan memanfaatkan ruang wilayah secara serasi, selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan perlu disusun rencana tata ruang wilayah kabupaten; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2013-2033; Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1092); Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);



Hal 1 dari 87



4.



5.



6.



7.



8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



16.



Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5254); Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817); Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 – 2030; Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 4 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.



Hal 2 dari 87



Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH dan BUPATI TAPANULI TENGAH



MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 – 2033



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Tapanuli Tengah. 2. Kecamatan adalah wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah. 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 4. Bupati adalah Bupati Tapanuli Tengah. 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana unsur penyelenggara Pemerintah Daerah. 6. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Provinsi adalah Provinsi Sumatera Utara. 8. Wilayah adalah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau fungsional. 9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya; 10. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 11. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 12. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 13. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 14. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. 15. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang. Hal 3 dari 87



16. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. 17. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 18. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 20. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 21. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 22. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 23. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang selanjutnya disebut RTRW Kabupaten adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah Kabupaten, yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah Kabupaten, rencana struktur ruang wilayah Kabupaten, rencana pola ruang wilayah Kabupaten, penetapan kawasan strategis Kabupaten, arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten. 24. Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 25. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun. 26. Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten. 27. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten adalah rencana yang mencakup sistem perkotaan wilayah Kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah Kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala Kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya. 28. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 29. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten atau beberapa Kecamatan. 30. Pusat Kegiatan Lokal promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah Pusat Pelayanan Kawasan yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL. 31. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 32. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 33. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. 34. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang Hal 4 dari 87



35.



36.



37.



38.



39.



40.



41. 42.



43. 44.



45.



46.



47.



48.



49.



berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan wilayah, antar pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disebut LLAJ adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Daerah Irigasi yang selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah Kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW Kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengolahan sumber



Hal 5 dari 87



50.



51.



52.



53. 54.



55.



56. 57. 58. 59.



60.



61. 62.



63.



64. 65.



66.



67.



daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan Strategis Kabupaten yang selanjutnya disebut KSK adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya alam. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah, untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi, untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian akuifer yang berguna bagi sumber air baku. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kawasan sekitar waduk dan situ adalah kawasan di sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Kawasan rawan bencana adalah kawasan dengan kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis dan geografis pada satu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Hutan Produksi Terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan budidaya hortikultura adalah kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembangan tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari. Kawasan budidaya perkebunan adalah kawasan yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan baik pada lahan basah dan atau lahan kering untuk komoditas perkebunan. Kawasan budidaya peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan berakses dari hulu sampai hilir Hal 6 dari 87



68. Kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. 69. Kawasan peruntukan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang, baik di wilayah darat maupun perairan. 70. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 71. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. 72. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah ruang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.. 73. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 74. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 75. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 76. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan RTRW Kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan Kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan Kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana dan waktu pelaksanaan. 77. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang Kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang. 78. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah ketentuanketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten agar sesuai dengan RTRW Kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah Kabupaten. 79. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem Kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten. 80. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. 81. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.



Hal 7 dari 87



82. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. 83. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 84. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi; 85. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 86. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 87. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mempunyai fungsi membantu tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah. BAB II LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN DAN SUBSTANSI Bagian Kesatu Lingkup Wilayah Perencanaan Pasal 2 (1)



(2)



(3)



Lingkup wilayah perencanaan RTRW Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dengan luas daratan kurang lebih 2.194,98 Km2 (dua puluh tiga ribu seratus lima puluh lima kilometer persegi) dan luas lautan kurang lebih 4.000 Km2 (empat ribu kilometer persegi) sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini. Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan, wilayah pesisir dan laut, perairan lainnya, serta wilayah udara dengan batas wilayah meliputi a. Sebelah utara berbatas dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam ; b. Sebelah selatan berbatas dengan Kabupaten Tapanuli Selatan; c. Sebelah timur berbatas dengan Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasudutan dan Kabupaten Pakpak Bharat; dan d. Sebelah barat berbatas dengan Kota Sibolga dan Samudera Hindia. Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi ; a. Kecamatan Suka Bangun; b. Kecamatan Sibabangun; c. Kecamatan Lumut; d. Kecamatan Pinangsori; e. Kecamatan Badiri; f. Kecamatan Pandan; g. Kecamatan Tukka; h. Kecamatan Sarudik; i. Kecamatan Tapian Nauli; j. Kecamatan Sitahuis; k. Kecamatan Kolang; l. Kecamatan Sorkam; m. Kecamatan Sorkam Barat; n. Kecamatan Pasaribu Tobing; o. Kecamatan Sosor Gadong; p. Kecamatan Barus; q. Kecamatan Barus Utara; Hal 8 dari 87



r. Kecamatan Andam Dewi; s. Kecamatan Sirandorung; dan t. Kecamatan Manduamas. Bagian Kedua Substansi Pasal 3 Substansi RTRW Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi: a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah; b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah; c. rencana pola ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya; d. penetapan kawasan strategis kabupaten yang merupakan bagian wilayah kabupaten yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial budaya, dan/atau lingkungan; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang terdiri dari indikasi program utama, jangka menengah lima tahun; dan f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi peraturan zonasi kawasan, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta sanksi. Bagian Ketiga Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Pasal 4 (1) Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah adalah untuk mewujudkan ruang kabupaten sebagai salah satu pusat perdagangan, jasa, perikanan, industri, dan pariwisata di Kawasan Barat Sumatera Utara (2) Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten Tapanuli Tengah meliputi: a. pengembangan prasarana wilayah kabupaten; b. pengembangan pusat-pusat pelayanan yang mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan perkembangan ekonomi wilayah; c. pengembangan dan pembangunan kawasan-kawasan perdagangan dan jasa; d. peningkatan produksi dan produktivitas hasil perikanan; e. pengembangan kawasan-kawasan industri yang mendukung kegiatan perikanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan; f. pengembangan sektor pariwisata; g. pengembangan sistem pencegahan dan penanganan bencana yang terintegrasi; dan h. pengembangan sumber daya manusia dengan pengembangan bidang pendidikan dan kesehatan. (3) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. meningkatkan kualitas jaringan jalan yang menghubungkan simpul-simpul kawasan produksi dengan kawasan pusat pemasaran; b. meningkatkan pelayanan sistem energi dan telekomunikasi yang berada di kawasan perdesaan; c. mengembangkan sistem prasarana sumberdaya air; d. mengembangkan sistem jaringan limbah yang berada di permukiman perkotaan dan kawasan peruntukan industri; e. mengembangkan jalur dan ruang evakuasi bencana alam; dan



Hal 9 dari 87



(4)



(5)



(6)



(7)



(8)



(9)



f. mengembangkan sistem sanitasi lingkungan yang berada di kawasan perkotaan. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. membagi wilayah fungsional Kabupaten berdasarkan morfologi dan kondisi sosial ekonomi Kabupaten; b. mengembangkan pusat pelayanan baru yang mampu berfungsi sebagai PKLp; c. mengoptimalkan peran ibukota kecamatan sebagai PPK dan PPL. d. membentuk pusat pelayanan permukiman perdesaan pada tingkat dusun dan permukiman perdesaan yang berbentuk kluster; e. mengembangkan pusat kawasan perdesaan secara mandiri; f. mengembangkan kawasan perdesaan potensial secara ekonomi dan desa pusat pertumbuhan; dan g. meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara berjenjang. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf c terdiri atas: a. meningkatkan potensi kawasan perkotaan sebagai pusat perdagangan dan jasa yang utama di Kabupaten; b. meningkatkan pengembangan sarana transporatasi udara, laut, dan darat; dan c. menyediakan lahan bagi pengembangan kawasan industri, perdagangan, jasa, dan pariwisata. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. mengembangkan lokasi pengolahan hasil perikanan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukung yang lengkap; b. mengembangkan perekonomian kelautan dan perikanan dengan pendekatan minapolitan; dan c. meningkatkan hasil perikanan dengan memperluas teknologi penangkapan ikan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf e terdiri atas: a. mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan pada kawasan industri; b. mengembangkan dan membangun pusat industri dan simpul transportasi pemasaran hasil produksi sebagai kawasan strategis ekonomi; c. meningkatkan produksi hasil perkebunan dan pertanian melalui pendekatan agropolitan; d. melakukan revitalisasi dan pembangunan prasarana pertanian dan perkebunan secara memadai; dan e. melakukan survei pertambangan dan memanfaatkannya secara maksimal dengan tetap memperhatik an kelestarian lingkungan. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf f terdiri atas: a. memperluas kawasan-kawasan wisata dengan memanfaatkan potensi alam dan laut; b. membangun sarana dan prasarana di kawasan pariwisata; dan c. menciptakan jaringan antar kawasan wisata. Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf g terdiri atas: a. menetapkan kawasan-kawasan lindung; dan b. menetapkan jalur-jalur evakuasi bencana.



Hal 10 dari 87



(10) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf h terdiri atas: a. pengembangan pendidikan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan non formal; dan b. pendekatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah kawasan-kawasan miskin dan terpencil. BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten meliputi: a. sistem pusat kegiatan; b. sistem jaringan tranportasi; c. sistem jaringan energi; d. sistem jaringan telekomunikasi; e. sistem jaringan sumber daya air; dan f. sistem jaringan prasarana wilayah lainnya. (2) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta rencana struktur ruang kabupaten dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Sistem Pusat Kegiatan Pasal 6 Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. sistem perkotaan; dan b. sistem perdesaan. Pasal 7 (1) Sistem perkotaan terdiri atas: a. penetapan sistem pusat kegiatan; dan b. fungsi pelayanan pusat kegiatan. (2) Penetapan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. PKL; b. PPK; dan c. PPL. (3) Penetapan batas kawasan PKL, PPK, dan PPL diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.



Hal 11 dari 87



Pasal 8 (1) PKL sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf a diarahkan pada kawasan perkotaan yang meliputi: a. pusat Kecamatan Pandan; dan b. pusat Kecamatan Barus. (2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PKL meliputi: a. PKL Pandan, dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, perdagangan, jasa, pariwisata, pendidikan, kesehatan, olah raga, permukiman, transportasi; b. PKL Barus dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan, jasa, pariwisata, perikanan, pelabuhan, kesehatan, pendidikan, permukiman dan transportasi; Pasal 9 (1) PPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: a. Pusat Kecamatan Pinangsori b. pusat Kecamatan Manduamas; c. pusat Kecamatan Sorkam Barat; d. pusat Kecamatan Tapian Nauli; dan e. pusat Kecamatan Sarudik. (2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PPK meliputi: a. PPK Pinangsori diarahkan dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan jasa, pariwisata, perhubungan, perkebunan, kesehatan, pendidikan dan permukiman b. PPK Manduamas dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pertanian perkebunan, pariwisata, perdagangan, permukiman, pendidikan dan kesehatan, industri c. PPK Sorkam Barat dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pertanian, perkebunan, pariwisata, perikanan, permukiman, pendidikan, dan kesehatan d. PPK Tapian Nauli dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan industri, perikanan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, pariwisata dan permukiman; e. PPK Sarudik dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, industri, perdagangan, jasa, perikanan, pariwisata dan permukiman; (3) PPK Kecamatan Tapian Nauli dan Kecamatan Sarudik diarahkan untuk ditingkatkan menjadi PKLp Pasal 10 (1) PPL sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi: a. Kecamatan Sibabangun; b. Kecamatan Sukabangun; c. Kecamatan Lumut; d. Kecamatan Badiri; e. Kecamatan Tukka; f. Kecamatan Sitahuis; g. Kecamatan Kolang; h. Kecamatan Sorkam; i. Kecamatan Pasaribu Tobing; j. Kecamatan Sosorgadong; k. Kecamatan Barus Utara



Hal 12 dari 87



l. Kecamatan Andam Dewi; dan m. Kecamatan Sirandorung. (2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PPL meliputi fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan, permukiman, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pariwisata. Pasal 11 (1) Sistem perdesaan terdiri atas: a. penetapan sistem pusat kegiatan; dan b. fungsi pelayanan pusat kegiatan. (2) Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf (a) terdiri atas PPL Kecamatan Kolang, PPL Kecamatan Sukabangun dan PPP Kecamatan Pasaributobing (3) Fungsi pelayanan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf (b) terdiri atas kawasan agropolitan di Kecamatan Kolang dan Kecamatan Sibabangun serta kawasan minapolitan di Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Sorkam Barat dan Kecamatan Barus Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Paragraf 1 Sistem dan Pengembangan Jaringan Transportasi Pasal 12 (1) Sistem jaringan tranportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf b meliputi: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara. (2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana ayat (1) huruf a meliputi: a. jaringan jalan; b. jaringan jalur kereta api (perkeretaapian) c. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan barang dan penumpang; dan d. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. (3) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana ayat (1) huruf b meliputi: a. tatanan kepelabuhanan; dan b. alur pelayaran. (4) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana ayat (1) huruf c meliputi: a. tatanan kebandarudaraan; dan b. ruang udara untuk penerbangan. Paragraf 2 Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 13 (1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) huruf a meliputi: a. jaringan jalan nasional; b. jaringan jalan provinsi; c. jaringan jalan kabupaten; d. jaringan jalan strategis kabupaten ;dan e. jaringan jalan bebas hambatan kabupaten. (2) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi: a. jalan K 1 Saragih – Manduamas - Barus (SP. Husor) sepanjang 50,015 Km; Hal 13 dari 87



(3)



(4) (5)



(6)



(7)



b. jalan K 1 Barus - Batas Kota Sibolga sepanjang 60,607 Km; c. jalan K 1 batas Kota Sibolga – Batangtoru sepanjang 31,484 Km;dan d. jalan K 1 rampa – Poriaha/Mungkur sepanjang 18,500 Km. Jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b meliputi: a. ruas jalan K2 Barus – Batas Humbahas sepanjang 19,60 Km; b. ruas jalan K2 Sorkam Kiri – Sigambo-gambo – Barus sepanjang 27,85 Km. Jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi: kolektor skunder dan jalan strategis kabupaten Jaringan jalan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d meliputi: a. ruas jalan lingkar perkotaan pandan (tugu ikan – terminal pandan – aek horsik); b. ruas jalan lingkar pinangsori (pinangsori – karet merah – sijagojago – lopian). Jaringan jalan bebas hambatan kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e meliputi: a. ruas jalan pondok batu – sibolga – rampa – sitahuis; b. ruas jalan labuan angin – sibolga – tugu ikan – terminal pandan – aekhorsik – pinangsori. Ketentuan tentang sistem jaringan jalan kabupaten lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan bupati Pasal 14



(1) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b merupakan bagian dari rencana pengembangan jaringan Kereta Api Trans Sumatera terdiri atas: a. jalur kereta api antar kota bagian barat yang menghubungkan batas Aceh – Sibolga – batas Sumatera Barat; b. jalur kereta api antar kota di bagian tengah utara yang menghubungkan Rantau parapat – Gunung Tua – Padangsidimpuan – Sibolga; (2) Rencana pengembangan sistem jaringan perkeretapian mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang perkeretaapian. Pasal 15 (1) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan barang dan penumpang sebagaimana dimaksud pada pasal 12 ayat (2) huruf c terdiri atas: a. pengembangan dan pembangunan terminal; b. penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan; dan c. pengembangan perlengkapan jalan. (2) Pengembangan dan pembangunan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. penetapan terminal angkutan barang yaitu Terminal Kargo Labuan Angin b. penetapan terminal angkutan penumpang yaitu Terminal Pandan c. pembangunan terminal pembantu di Kecamatan Pinangsori, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Barus, dan Kecamatan Manduamas. (3) Penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pembangunan jembatan timbang berada di Kecamatan Barus dan Kecamatan Badiri. (4) Pengembangan perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. rambu lalu lintas; b. rambu pendahulu penunjuk jurusan; c. marka parkir; Hal 14 dari 87



d. e. f. g. h.



marka jalan; zebra cross; cermin tikungan; penerangan jalan umum;dan pengaman jalan / guard rail. Pasal 16



(1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf d berupa pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang. (2) Pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Angkutan Penumpang Antar Kota Luar Provinsi (AKLP) melayani angkutan penumpang dari Kabupaten Tapanuli Tengah ke luar Provinsi Sumatera Utara meliputi: 1. Pandan - Bukit Tinggi - Padang - Bengkulu; 2. Pandan - Pekanbaru - Jambi - Palembang; 3. Pandan - Manduamas - Singkil - Banda Aceh; dan b. Angkutan Penumpang Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) melayani Kota Pandan ke kota-kota lain di dalam Provinsi Sumatera Utara meliputi: 1. Pandan - Sibolga - Tarutung – Tobasa - Siantar – Tebing Tinggi - Medan; 2. Pandan – Sibolga – Tarutung – Tobasa – Siantar – Kisaran – BatuBara Tanjung Balai; 3. Pandan - Sidimpuan – Padang Lawas Utara - Rantauparapat 4. Pandan - Batangtoru – Sidempuan - Panyabungan 5. Sibabangun - Penyabungan; 6. Sibabangun - Gunungtua; 7. Sibabangun - Rantau Parapat 8. Sibabangun - Sipirok; 9. Sibabangun - Natal; 10. Barus - Humbanghasudutan - Sidikkalang - Kabanjahe - Medan; 11. Barus - Doloksanggul - Balige - Siantar; Paragraf 3 Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 17 (1) Pengembangan tatanan kepelabuhan adalah pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) huruf a, meliputi: a. pelabuhan pengumpan regional; dan b. pelabuhan pengumpan lokal. (2) Pelabuhan pengumpan regional sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi: a. Barus; b. Labuan Angin. (3) Pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi: a. Manduamas b. Muara Tapus (4) Alur pelayaran laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) huruf b ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal 15 dari 87



Paragraf 4 Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 18 Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pasal 12 ayat (4) terdiri atas: a. tatanan kebandar udaraan; dan b. ruang udara untuk penerbangan. Pasal 19 (1) Tatanan kebandar udaraan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 huruf a meliputi pengembangan dan pembangunan fasilitas Bandara Dr. Ferdinand Lumban Tobing di Kecamatan Pinangsori sebagai bandara pengumpan. (2) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 huruf b terdiri atas ruang udara diatas bandar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan. (3) Ruang udara di sekitar bandara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. kawasan pendaratan dan lepas landas; b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; c. kawasan di bawah permukaan transisi; d. kawasan di bawah permukaan horizontal dalam; e. kawasan di bawah permukaan kerucut; f. kawasan di bawah pemukaan horizontal luar; dan g. kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi penerbangan. (4) Pengembangan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengacu terhadap rencana induk bandar udara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan penerbangan. Bagian Keempat Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi Paragraf 1 Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Energi Pasal 20 Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c terdiri atas: a. pembangkit tenaga listrik dan gardu induk; b. jaringan transmisi tenaga listrik; dan c. jaringan minyak dan gas bumi. Paragraf 2 Rencana Pengembangan Jaringan Energi Pasal 21 (1) Pembangkit tenaga listrik dan gardu induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a terdiri atas: a. pembangkit tenaga listrik; dan b. gardu induk.



Hal 16 dari 87



(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Labuhan Angin, Kecamatan Tapian Nauli dengan kapasitas daya terpasang sebesar 230 (dua ratus tiga puluh) MW; b. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sipan Sihaporas dengan kapasitas daya terpasang 50 (lima puluh) MW; c. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Aek Raisan I dan Aek Raisan II di Kecamatan Sitahuis; (3) Rencana pembangunan pembangkit listrik baru berbasiskan pertambangan batubara, panas bumi meliputi: a. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan Angin; b. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sitardas; (4) Rencana pengembangan energi listrik berupa energi terbaru yang bisa dikembangkan meliputi energi gelombang laut, energi surya, energi angin, Bioenergy, Microhydro, dan Biomasa tersebar di wilayah kabupaten. (5) Gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Tapian Nauli; b. Kecamatan Sitahuis; c. Kecamatan Pandan d. Kecamatan Pinangsori; dan e. Kecamatan Barus. (6). Rencana pengembangan gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlokasi pada pusat-pusat kegiatan. Pasal 22 (1) Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada pasal 20 huruf b terdiri atas: a. Saluran Udara Tenaga Energi Tinggi (SUTET) dengan kapasitas 150 kV, meliputi: 1. Kecamatan Tapian Nauli; dan 2. Kecamatan Pandan. b. peningkatan dan pengembangan jaringan transmisi listrik berupa pemerataan pelayanan listrik di seluruh desa dalam wilayah kabupaten; dan c. pengembangan sistem jaringan kabel listrik bawah tanah pada kawasan perkotaan dalam wilayah kabupaten. (2) Jaringan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada pasal 20 huruf c berupa stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tersebar di wilayah kabupaten. Bagian Kelima Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi Paragraf 1 Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Pasal 23 (1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf d meliputi: a. jaringan terestrial meliputi sistem kabel dan sistem nirkabel; dan b. jaringan satelit. (2) Jaringan terestrial, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diarahkan pada: a. pengembangan secara berkesinambungan untuk menyediakan pelayanan telekomunikasi di seluruh wilayah kabupaten; b. menata lokasi menara telekomunikasi dan Base Transceiver Station (BTS) untuk pemanfaatan secara bersama sama antar operator; dan Hal 17 dari 87



c. pemanfaatan jaringan terestrial sistem nirkabel dengan penutupan wilayah blankspot pada wilayah berbukit, pegunungan atau wilayah terpencil. (3) Jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikembangkan untuk melayani kawasan perkotaan nasional, kawasan andalan, kawasan perbatasan negara, kawasan tertinggal dan terisolasi, termasuk pulau-pulau kecil serta melengkapi sistem jaringan telekomunikasi melalui satelit komunikasi dan stasiun bumi. (4) Pengembangan jaringan telekomunikasi bertujuan untuk mewujudkan sarana komunikasi dan informasi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara. Paragraf 2 Rencana Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Pasal 24 (1) Pengembangan sistem jaringan telekomunikasi meliputi: a. Pengembangan sistem jaringan teristerial kabel serat optik di kawasan perkotaan b. pengembangan sistem jaringan terestrial kabel dan nirkabel di jaringan pusat pelayanan wilayah pantai. c. pengembangan menara bersama telekomunikasi dikawasan perkotaan, daerah komersil, dan blankspot jaringan wilayah perdesaan; dan d. peningkatan sinergi dan integrasi prasarana jaringan telekomunikasi Bagian Keenam Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya air Paragraf 1 Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Sumber Daya Air Pasal 25 (1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf e, meliputi: a. jaringan sumber daya air; dan b. Prasarana sumber daya air. (2) Jaringan sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a, meliputi: a. Sistim jaringan daerah aliran sungai; b. Sistem jaringan irigasi; c. Sistem air baku untuk air bersih; d. Sistem jaringan air bersih untuk kelompok pengguna; dan e. Sistem pengendalian banjir. (3) Prasarana sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b meliputi: a. prasarana irigasi; b. prasarana air minum; dan c. prasarana pengendalian daya rusak air. (4) Pengembangan jaringan sumber daya air dan prasarana sumber daya air bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan, ketersediaan air baku, pengendalian banjir dan pengamanan pantai



Hal 18 dari 87



Paragraf 2 Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 26 (1) Sistem jaringan daerah aliran sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf a meliputi: a. Pengembangan jaringan sumber daya air permukaan yang terdiri dari induk sungai, anak sungai dari Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi: 1. DAS Bangop seluas kurang lebih 27.065 (dua puluh tujuh ribu enam puluh lima) hektar; 2. DAS Batang Toru seluas kurang lebih 55 (lima puluh lima) hektar; 3. DAS Batu Gerigis seluas kurang lebih 39.404 (tiga puluh sembilan ribu empat ratus empat) hektar; 4. DAS Garoga seluas kurang lebih 17.236 (tujuh belas ribu dua ratus tiga puluh enam) hektar 5. DAS Kalimantong Nagodang seluas kurang lebih 134 (seratus tiga puluh empat) hektar; 6. DAS Lau Kandang seluas kurang lebih 10 (sepuluh) hektar; 7. DAS Kolang seluas kurang lebih 58.218 (lima puluh delapan ribu dua ratus delapan belas) hektar; 8. DAS Lumut seluas kurang lebih 43.298 (empat puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh delapan) hektar ; 9. DAS Mursala seluas kurang lebih 7.551 (tujuh ribu lima ratus lima puluh satu) hektar; 10. DAS Nabirong seluas kurang lebih 43.919 (empat puluh tiga ribu sembilan ratus sembilan belas) hektar ; 11. DAS Sibin seluas kurang lebih 12.305 ; (dua belas ribu tiga ratus lima) hektar; 12. DAS Sibundong seluas kurang lebih 116.790(seratus enam belas ribu tujuh ratus sembilan puluh) hektar; 13. DAS Silabu-labu seluas kurang lebih 22 (dua puluh dua) hektar; 14. DAS Silabu-labu na menek seluas kurang lebih 29 (dua puluh sembilan)hektar; 15. DAS Silabu-labu nagodang seluas kurang lebih 168 (seratus enam puluh delapan) hektar; 16. DAS Sitaban Barat seluas kurang lebih 257 (dua ratus lima puluh tujuh) hektar; dan 17. DAS Tungka seluas kurang lebih 7.185 (tujuh ribu seratus delapan puluh lima) hektar. b. pengembangan sumber daya air meliputi danau dan waduk yang meliputi Danau Pandan di Kecamatan Pinangsori, Danau Sorkam di Kecamatan Sorkam dan Waduk Sipan Sihaporas di Kecamatan Pandan; c. pengembangan sumber daya air pada kawasan rawa tersebar di Kecamatan Suka Bangun, Kecamatan Lumut, Kecamatan Badiri, Kecamatan Tapian Nauli,, Kecamatan Kolang, Kecamatan Sorkam Barat, Kecamatan Sosorgadong,, Kecamatan Andamdewi, dan Kecamatan Manduamas, (2) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf b meliputi: a. DI kewenangan pemerintah yaitu DI Badiri Lopian kurang lebih 1.283 (seribu dua ratus delapan puluh tiga) hektar di Kecamatan Badiri. b. DI kewenangan pemerintah provinsi yang meliputi : 1. DI Siaili Tukka seluas kurang lebih 1.057 (seribu lima puluh tujuh) hektar; 2. DI Pandurungan/Sitandiang seluas kurang lebih 1.769 (seribu tujuh ratus enam puluh sembilan) hektar di kecamatan pinangsori; 3. DI Sihiong seluas kurang lebih 2.000 (dua ribu) hektar di Kecamatan Lumut;



Hal 19 dari 87



4. DI Mombang boru seluas kurang lebih 890 (delapan ratus sembilan puluh)hektar di kecamatan sibabangun yang merupakan lintas kabupaten/kota dengan batangtoru. c. DI kewenangan pemerintah kabupaten yang meliputi: 1. DI Sitakurak seluas kurang lebih 1.057 (seribu lima puluh tujuh) hektar di kecamatan barus. (3) Sistem air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf c dilakukan dengan cara: 1. perlindungan terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air; dan 2. optimalisasi pemanfaatan potensi air baku. (4) Sistem jaringan air bersih untuk kelompok pengguna sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf d meliputi: a. jaringan air bersih di PKL Pandan dan Barus; b. jaringan air bersih di PPK Manduamas, Sorkam Barat, Pinangsori, Sarudik dan Tapian Nauli;dan c. jaringan air bersih di PPL Sirandorung, Andam Dewi, Barus Utara, Sosorgadong, Pasaribu Tobing, Sorkam, Kolang, Sitahuis, Tukka, Badiri, Lumut, Sibabangun, dan Sukabangun. (5) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (2) huruf e meliputi: a. rehabilitasi dan reboisasi kawasan hulu dan DAS; b. normalisasi sungai, pengerukan sungai, pengaturan sistem drainase, sumur resapan, penghijauan dan pemberdayaan masyarakat; c. menetapkan sebagian dari kawasan banjir sebagai kawasan lindung karena merupakan bagian dari ekosistem rawa/tanah basah (wet land); d. pengembangan tanggul untuk abrasi pada jalur pantai Bagian Ketujuh Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Lainnya Paragraf 1 Pasal 27 Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf f meliputi: a. Rencana sistem penyediaan dan pengelolaan air minum; b. Rencana sitem jaringan drainase c. Rencana sistem pengelolaan persampahan; d. Rencana sistem pengelolaan air limbah; dan e. Rencana sistem pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana alam . Paragraf 2 Pasal 28 (1) Rencana sistem penyediaan dan pengelolaan air minum, dikembangkan pada pusatpusat permukiman dengan memanfaatkan air permukaan pada kawasan pusat kegiatan wilayah, lokal dan kawasan, yaitu ; a. PKL Pandan dan Barus; b. PPK Manduamas, Sorkam Barat, Pinangsori, Sarudik dan Tapian Nauli; c. PPL Sirandorung, Andam Dewi, Barus Utara, Sosorgadong, Pasaribu Tobing, Sorkam, Kolang, Sitahuis, Tukka, Badiri, Lumut, Sukabangun, dan Sibabangun.



Hal 20 dari 87



(2) Rencana sistem jaringan drainase di Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi ; a. pembangunan saluran drainase skala tersier di PKL dan PPK; b. pemeliharaan saluran drainase; c. perbaikan dan normalisasi saluran drainase; dan d. perencanaan drainase terpadu dengan jaringan jalan. (3) Rencana sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi: a. pembangunan Tempat Penampungan Sementara (TPS) 3 R di setiap wilayah kecamatan sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah tangga; b. optimalisasi tempat pemrosesan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah Regional di Aek Nabobar Kecamatan Pinangsori dan TPA sampah di Kecamatan Sosorgadong dengan sistem sanitari landfill ; c. pengembangan sistem pengelolaan dan pemrosesan sampah secara terpadu, mandiri dan berkelanjutan di sumber penghasil sampah; dan d. pengelolaan persampahan rumah tangga berbasis masyarakat dengan konsep 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recyle (mendaur ulang). (4) Rencana sistem pengembangan pengelolaan air limbah meliputi: a. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga b. Pengelolaan Limbah Cair dan Limbah B3 (5) Pengelolaan Limbah Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi : a. peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga di kawasan permukiman; b. penyediaan sarana pendukung pengelolaan limbah rumah tangga; c. penanganan limbah secara on site dengan pembangunan jamban keluarga, jamban komunal dan Mandi Cuci Kakus umum; d. penanganan limbah secara off site dengan sistem perpipaan dengan membangun Instalasi Pengolah Air limbah (IPAL) Komunal; e. penanganan limbah tinja dengan Instalasi Pengolah Lumpur Tinja (IPLT); dan f. menyediakan sarana pengangkutan limbah ke lokasi pengolahan limbah. (4) Pengelolaan limbah cair dan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi: a. pengembangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu untuk kegiatan industri besar dan menengah di Kecamatan Tapian Nauli b. pengembangan instalasi pengelolaan limbah B3 di kawasan industri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Rencana sistem pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana di Kabupaten Tapanuli Tengah adalah : a. jalur evakuasi diarahkan pada jalan poros desa dan jalan kolektor; b. pengembangan ruang evakuasi bencana diarahkan pada balai desa/keluarahan, lapangan terbuka, bangunan sekolah, dan bangunan fasilitas umum lainnya. BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 29 (1) Rencana pola ruang wilayah kabupaten meliputi: a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya. (2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan hutan lindung;



Hal 21 dari 87



b. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya ; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; f. kawasan lindung geologi; dan g. kawasan lindung lainnya. (3) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan dan kelautan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman;dan h. kawasan peruntukan lainnya. (4) Penetapan kawasan lindung dilakukan dengan mengacu pada pola ruang kawasan lindung yang telah ditetapkan secara nasional sebagaimana tercantum dalam lampiran III merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini (5) Rencana pola ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digambarkan dalam peta rencana pola ruang kabupaten dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagai tercantum dalam lampiran IV peta rencana pola ruang yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini. Bagian Kedua Rencana Pengembangan Pola Kawasan Lindung Paragraf 1 Rencana Pengembangan Kawasan Hutan Lindung Pasal 30 Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a berupa hutan lindung dengan luas kurang lebih 58.647 (lima puluh delapan ribu enam ratus empat puluh tujuh) hektar meliputi: a. Kecamatan Badiri seluas kurang lebih 3.038 (tiga ribu tiga puluh delapan) hektar; b. Kecamatan Sibabangun seluas kurang lebih 988 (sembilan ratus delapan puluh delapan) hektar; c. Kecamatan Lumut seluas kurang lebih 939 (sembilan ratus tiga puluh sembilan) hektar; d. Kecamatan Tukka seluas kurang lebih 6.811 (enam ribu delapan ratus sebelas) hektar; e. Kecamatan Sarudik seluas kurang lebih 3.644 (tiga ribu enam ratus empat puluh empat) hektar; f. Kecamatan Tapian Nauli seluas kurang lebih 7.768 (tujuh ribu tujuh ratus enam puluh delapan) hektar; g. Kecamatan Sitahuis seluas kurang lebih 6.114 (enam ribu seratus empat belas) hektar; h. Kecamatan Kolang seluas kurang lebih 5.797 (lima ribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh) hektar; i. Kecamatan Sorkam Barat seluas kurang lebih 1.010 (seribu sepuluh) hektar; j. Kecamatan Pasaribu Tobing seluas kurang lebih 1.136 (seribu seratus tiga puluh enam) hektar; k. Kecamatan Sosor Gadong seluas kurang lebih 16.353 (enam belas ribu tiga ratus lima puluh tiga) hektar; l. Kecamatan Andam Dewi 2.341 (dua ribu tiga ratus empat puluh satu) hektar; m.Kecamatan Maduamas 182 (seratus delapan puluh dua) hektar; n. Kecamatan Sirandorung 632 (enam ratus tiga puluh dua) hektar; o. Kecamatan Barus Utara 316 (tiga ratus enam belas) hektar; dan p. Kecamatan Pandan 1.578 (seribu lima ratus tujuh puluh delapan) hektar. Hal 22 dari 87



Paragraf 2 Rencana Pengembangan Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Dibawahnya Pasal 31 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b meliputi: a. kawasan bergambut; dan b. kawasan resapan air; (2) Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Badiri; b. Kecamatan Kolang; c. Kecamatan Sosorgadong; d. Kecamatan Andamdewi; e. Kecamatan Manduamas. (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Sibabangun; b. Kecamatan Tukka; c. Kecamatan Sarudik; d. Kecamatan Sitahuis; e. Kecamatan Tapian Nauli; f. Kecamatan Kolang; g. Kecamatan Pasaributobing; h. Kecamatan Sorkam; dan i. Kecamatan Manduamas. Paragraf 3 Rencana Pengembangan Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 32 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c terdiri atas: a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar waduk dan danau; d. kawasan sekitar mata air ;dan e. Ruang Terbuka Hijau kawasan perkotaan. (2) Sempadan pantai, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: a. daratan sepanjang tepian pantai ditetapkan minimal 200 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. Pengecualiannya adalah kawasan-kawasan terbangun, seperti pelabuhan, TPI, dan lain sebagainya, dikeluarkan dari kawasan sempadan pantai dan merupakan bagian dari kawasan budidaya; b. kawasan pesisir Pantai Barat yaitu Kecamatan Badiri, Kecamatan Pandan, Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Kolang, Kecamatan Sorkam, Kecamatan Sorkam Barat, Kecamatan Sosorgadong, Kecamatan Barus, Kecamatan Andam Dewi, Kecamatan Sirandorung dan Kecamatan Manduamas. (3) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi seluruh sungai yang melewati Kabupaten Tapanuli Tengah. (4) Kawasan sekitar waduk atau danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. Danau Pandan meliputi Kecamatan Pinangsori; dan b. Waduk Sipan Sihaporas meliputi Kecamatan Pandan. c. Kawasan sekitar mata air kurang lebih radius 200 meter. Hal 23 dari 87



(5) RTH kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dengan luas RTH kurang lebih 30% (tiga puluh persen) dari luas seluruh perkotaan meliputi: a. RTH Perkotaan Pandan; b. RTH Perkotaan Pinangsori; c. RTH Perkotaan Tapian Nauli; d. RTH Perkotaan Sarudik; e. RTH Perkotaan Sorkam Barat; f. RTH Perkotaan Barus;dan g. RTH Perkotaan Manduamas. Paragraf 4 Rencana Pengembangan Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pasal 33 (1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. kawasan suaka alam; b. kawasan pelestarian alam; c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan d. kawasan lindung wilayah laut. (2) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hutan bakau yang meliputi : a. Kecamatan Pinangsori; b. Kecamatan Badiri; c. Kecamatan Tapian Nauli; d. Kecamatan Sosorgadong; e. Kecamatan Sirandorung; dan f. Kecamatan Manduamas. (3) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan Hutan Batangtoru dan kawasan jajaran Bukit Barisan. (4) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. situs bersejarah islam di Barus b. benteng portugis di Barus c. perairan laut d. pegunungan bukit barisan (5) Kawasan lindung wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi a. Kawasan Konservasi Kekayaan Laut Daerah (KKLD); b. Kawasan perlindungan mangrove (bakau) di kecamatan Badiri dan Kecamatan Sosorgadong serta diseluruh muara sungai besar; c. Kawasan perlindungan pulau-pulau kecil dan terumbu karang. Paragraf 5 Rencana Pengembangan Kawasan Rawan Bencana Pasal 34 (1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, terdiri atas: a. kawasan rawan longsor; b. kawasan rawan banjir; c. kawasan rawan gelombang pasang surut; d. kawasan rawan gempa bumi; Hal 24 dari 87



e. kawasan rawan tsunami;dan f. kawasan rawan gerak tanah. (2) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud dalam ayar (1) huruf a meliputi : a. Kecamatan Andam Dewi; b. Kecamatan Badiri; c. Kecamatan Kolang; d. Kecamatan Lumut; e. Kecamatan Maduamas; f. Kecamatan Pandan; g. Kecamatan Pasaribu Tobing; h. Kecamatan Pinangsori; i. Kecamatan Sarudik; j. Kecamatan Sibabangun; k. Kecamatan Sirandorung; l. Kecamatan Sitahuis; m. Kecamatan Sorkam; n. Kecamatan Sorkam Barat; o. Kecamatan Sosorgadong; dan p. Kecamatan Tukka. (3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Pandan; b. Kecamatan Sarudik; c. Kecamatan Sorkam; d. Kecamatan Barus; e. Kecamatan Sorkam Barat;dan f. Kecamatan Kolang. (4) Kawasan rawan gelombang pasang surut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. Kecamatan Badiri; b. Kecamatan Pandan; c. Kecamatan Sarudik; d. Kecamatan Sorkam; e. Kecamatan Sosorgadong; f. Kecamatan Barus;dan g. Kecamatan Andamdewi. (5) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi : a. Kecamatan Andam Dewi; b. Kecamatan Badiri; c. Kecamatan Kolang; d. Kecamatan Lumut; e. Kecamatan Manduamas; f. Kecamatan Pinangsori; g. Kecamatan Sibabangun; h. Kecamatan Sirandorung; i. Kecamatan Sorkam; j. Kecamatan Sosorgadong; k. Kecamatan Tukka; dan;dan l. Kecamatan Tapian Nauli. (6) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e , meliputi : a. Kecamatan Andam Dewi; b. Kecamatan Badiri; c. Kecamatan Barus; d. Kecamatan Kolang; e. Kecamatan Manduamas; f. Kecamatan Pandan; Hal 25 dari 87



g. Kecamatan Pinangsori; h. Kecamatan Sarudik; I . Kecamatan Sirandorung; j . Kecamatan Sorkam; k. Kecamatan Sorkam Barat; l. Kecamatan Sibabangun; m. Kecamatan Sosorgadong; dan n. Kecamatan Tapian Nauli. (7) Kawasan rawan gerak tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berada disepanjang ruas jalan Sibolga-Tarutung meliputi Kecamatan Sitahuis. Paragraf 6 Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Geologi Pasal 35 (1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf f, terdiri atas kawasan rawan bencana alam geologi. (2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. kawasan rawan bencana gempa bumi; b. kawasan rawan tsunami.; c. kawasan rawan gerakan tanah. Paragraf 7 Kawasan Lindung Lainnya Pasal 36 (1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf g, terdiri atas: a. Kawasan terumbu karang; dan b. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang meliputi : a. Kawasan Pulau Pulau Mursala di Kecamatan Tapian Nauli b. Kecamatan Badiri. (3) Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b akan diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) kabupaten. Bagian Ketiga Rencana Pengembangan Pola Kawasan Budi Daya Paragraf 1 Rencana Pengembangan Pola Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 37 (1) Kawasan peruntukkan hutan produksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan produksi terbatas; dan b. kawasan hutan produksi tetap. (2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 52.280 (lima puluh dua ribu dua ratus delapan puluh) hektar meliputi: a. Kecamatan Manduamas; b. Kecamatan Sirandorung; Hal 26 dari 87



c. Kecamatan Andam Dewi; d. Kecamatan Sosorgadong; e. Kecamatan Pasaribu Tobing; ; f. Kecamatan Sorkam Barat; g. Kecamatan Sorkam; h. Kecamatan Kolang;dan i. Kecamatan Tapian Nauli. (3) Hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 7.662 (tujuh ribu enam ratus enam puluh dua) hektar meliputi: a. Kecamatan Kolang; b. Kecamatan Tapian Nauli c. Kecamatan Tukka;dan d. Kecamatan Sibabangun. Paragraf 2 Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 38 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b terdiri atas pertanian lahan basah seluas 12.458 (dua belas ribu empat ratus lima puluh delapan) hektar dan pertanian lahan kering seluas 26.653 (dua puluh enam ribu enam ratus lima puluh tiga) hektar yang meliputi: a. kawasan budidaya tanaman pangan; b. kawasan budidaya hortikultura; c. kawasan budidaya perkebunan; dan d. kawasan budidaya peternakan. (2) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Kolang; b. Kecamatan Sorkam; c. Kecamatan Sorkam Barat; d. Kecamatan Tukka; dan e. Kecamatan Sibabangun. (3) Kawasan budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Kolang; dan b. Kecamatan Sibabangun. (4) Kawasan budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan komoditas unggulan terdiri atas mangga dan durian. (5) Kawasan budidaya perkebunan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan luas kurang lebih 40.386 (empat puluh ribu tiga ratus delapan puluh enam) hektar meliputi: a. Kecamatan Kolang b. Kecamatan Sibabangun; c. Kecamatan Pinangsori; d. Kecamatan Tukka; e. Kecamatan Sosorgadong; f. Kecamatan Manduamas. (6) Kawasan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan komoditas unggulan terdiri atas kelapa sawit, coklat, karet, kelapa, dan kopi. (7) Kawasan budidaya peternakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas: a. Ternak besar yang dikelola rakyat dengan jenis hewan sapi potong, sapi perah dan kerbau meliputi:



Hal 27 dari 87



1. Kecamatan Tapian Nauli; 2. Kecamatan Tukka ;dan 3. Kecamatan Barus. b. Ternak kecil yang dikelola rakyat dengan jenis hewan kambing, dan babi meliputi: 1. Kecamatan Sitahuis 2. Kecamatan Tukka 3. Kecamatan Lumut; dan 4. Kecamatan Barus Utara. c. Ternak unggas meliputi: 1. Kecamatan Badiri; dan 2. Kecamatan Barus. Paragraf 3 Rencana Kawasan Peruntukan Perikanan dan Kelautan Pasal 39 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf c, terdiri atas: a. Kawasan perikanan tangkap; b. Kawasan budidaya perikanan; dan c. kawasan peruntukan pengolahan ikan. (2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Sarudik; b. Kecamatan Tapian Nauli; c. Kecamatan Pandan; d. Kecamatan Badiri; e. Kecamatan Sorkam; f. Kecamatan Sorkam Barat; g. Kecamatan Barus; h. Kecamatan Andam Dewi; dan i. Kecamatan Manduamas. (3) Kawasan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Tapian Nauli; b. Kecamatan Badiri; c. Kecamatan Andam Dewi; d. Kecamatan Pinangsori; e. Kecamatan Lumut; dan f. Kecamatan Sibabangun. (4) Kawasan peruntukan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berada di Kecamatan Sarudik dan Kecamatan Tapian Nauli (5) Kawasan Pengembangan Pangkalan Ikan (PPI) dan Tempat Penangkapan Ikan (TPI) yaitu di TPI Labuan Angin, PPI Sorkam dan PPI Barus Paragraf 4 Rencana Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 40 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf d, terdiri atas: a. kawasan pertambangan mineral logam; b. kawasan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan; c. kawasan pertambangan batubara; d. kawasan pertambangan rakyat. Hal 28 dari 87



(2) Kawasan pertambangan mineral logam sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas emas, timah, seng dan perak meliputi: a. Kecamatan Manduamas, b. Kecamatan Barus Utara, c. Kecamatan Sirandorung, d. Kecamatan Sorkam Barat, e. Kecamatan Sorkam, f. Kecamatan Kolang, g. Kecamatan Tapian Nauli, h. Kecamatan Sitahuis, i. Kecamatan Tukka, j. Kecamatan Badiri, k. Kecamatan Pinangsori, l. Kecamatan Lumut, m. Kecamatan Sibabangun, n. Kecamatan Sukabangun, o. Kecamatan Andam Dewi. (3) Kawasan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas batu gamping, batu cadas dan pasir sedimen meliputi: a. Kecamatan Manduamas, b. Kecamatan Andamdewi, c. Kecamatan Sirandorung, d. Kecamatan Barus, e. Kecamatan Sosorgadong, f. Kecamatan Pasaributobing, g. Kecamatan Sorkam, h. Kecamatan Sorkam Barat, i. Kecamatan Kolang, j. Kecamatan Tapian Nauli, k. Kecamatan Sarudik, l. Kecamatan Pandan, m. Kecamatan Tukka, n. Kecamatan Badiri, o. Kecamatan Pinangsori, p. Kecamatan Lumut, q. Kecamatan Sibabangun, dan r. Kecamatan Sukabangun. (4) Kawasan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Kecamatan Badiri; b. Kecamatan Kolang; dan c. Kecamatan Sosorgadong. (5) Kawasan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d meliputi: a. Kecamatan Sibabangun; b. Kecamatan Pinangsori; dan c. Kecamatan Tukka; d. Kecamatan Tapian Nauli; e. Kecamatan Sitahuis; f. Kecamatan Kolang; g. Kecamatan Manduamas; h. Kecamatan Andamdewi; i. Kecamatan Barus; j. Kecamatan Sorkam; k. Kecamatan Sorkam Barat; Hal 29 dari 87



l. Kecamatan Pasaributobing; m. Kecamatan Sosorgadong; n. Kecamatan Pandan; o. Kecamatan Sarudik; p. Kematan Badiri; dan (6) Pengembangan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 5 Rencana Kawasan Peruntukan Industri Pasal 41 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf e, terdiri atas: a. kawasan peruntukan industri besar; b. kawasan peruntukan industri menengah; dan c. kawasan peruntukan industri kecil dan mikro. (2) Kawasan peruntukan industri besar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Pusat Industri Labuan Angin Kecamatan Tapian Nauli. (3) Kawasan peruntukan industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan pesisir berlokasi di : a. Kecamatan Sarudik; dan b. Kecamatan Barus; (4) Kawasan peruntukan industri kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tersebar di seluruh kecamatan; (5) Penetapan jenis komoditas dan lokasi kawasan peruntukan industri besar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 6 Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 42 (1) Kawasan peruntukkan pariwisata, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf f terdiri atas: a. pariwisata alam b. pariwisata budaya dan sejarah;dan c. pariwisata buatan. (2) Pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Pinangsori dengan objek wisata adalah danau pandan, pemandian sungai lubuk nabolon, sungai ramayana, dan air terjun aek nabobar; b. Kecamatan Badiri dengan objek wisata adalah pantai ujung batu pari, pantai kampung sawah sitandus, pantai maloko, pantai sikapas, pantai kampung danau, pulau situngkus, pulau batu mandi, pulau batu layar,pantai bottot, pantai monyet, pulau bakar, pulau ungge dan pantai sijago-jago; c. Kecamatan Pandan dengan objek wisata adalah pantai bosur, bukit pondok batu, air terjun labuan nasonang, sungai sibuluan, pantai labuan mandailing, pantai sibuluan, pantai muara sibuluan, pantai muara nibung, pantai kalangan, pantai hajoran, pantai pandan cerita; d. Kecamatan Sarudik dengan objek wisata adalah bukit pondok batu, sungai sarudik, pantai ujung batu, pantai labuan nasonang, pantai batu lubang, pulau poncan gadang, pulau poncan ketek, air terjun sibuni-buni;



Hal 30 dari 87



e. Kecamatan Sitahuis dengan objek wisata adalah bukit anugerah, puncak bonan dolok, sungai aek maranti, sungai aek raisan, air terjun batu lobang dan air terjun bonan dolok; f. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata pantai labuan angin, pantai mela, pulau mursala, air terjun mursala, pulau silaban barat, pulau talam, pulau silabu na menek, pulau silabu na godang, pulau kalimatung na menek, pulau kalimatung na godang, pulau putri runduk, pulau raja janggi, pulau putih, air terjun aloban dan pantai kuta; g. Kecamatan Kolang dengan objek wisata adalah air terjun silaklak, sungai aek sibundong, pantai muara kolang, pantai kayu putih, pantai tanah hitam, pantai rintis, pantai bandang; h. Kecamatan Sorkam Barat dengan objek wisata adalah pantai aek raso, pantai binasi,pantai pasar sorkam i. Kecamatan Barus dengan objek wisata adalah pantai pasar tarandam, pantai pasar batu gerigis, pantai kade gadang, j. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah sungai aek sibundong, pantai teluk roban/bottot, pulau sorkam. k. Kecamatan Andam Dewi dengan objek wisata adalah sungai aek husor, pantai sitiris-tiris, pantai sipaubat, pantai aek busuk, pantai kinati, pantai kedai tiga, pulau karang, pulau panjang, pulau dundun l. Kecamatan Manduamas dengan objek wisata adalah pantai sitiris tiris, pantai simanuk manuk. (3) Pariwisata budaya dan sejarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa situs sejarah meliputi: a. Kecamatan Sitahuis dengan objek wisata adalah tugu peringatan perang gerilia, makam raja panggabean,batu lobang; b. Kecamatan Kolang dengan objek wisata adalah liang gorga, makam pahlawan Dr. Ferdinan Lumbantobing; c. Kecamatan Barus dengan objek wisata adalah makam papan tinggi, makam mahligai, makam tuan madhdud, makam ibrahim syeh, makam tuan ambar, benteng portugis, pasar tarandam, rumah tradisional barus, desa nelayan pasar tarandam; d. Kecamatan Barus Utara dengan objek wisata adalah batu cawan perjamuan kudus; e. Kecamatan Andamdewi dengan objek wisata adalah batu ping, makam raja uti, lobu tua, sungai aek busuk, permandian putri andam dewi, dan aek raja; f. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah makam tuan hidayat; g. Kecamatan Tukka dengan objek wisata adalah liang pagar gunung; h. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata adalah makam raja sasi hutagalung. (4) Pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa taman rekreasi meliputi: a. Kecamatan Pinangsori dengan objek wisata adalah bandara Dr. Ferdinan L.Tobing; b. Kecamatan Pandan dengan objek wisata adalah PLTA Sipansihaporas; c. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata adalah kawasan labuan angin; d. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah lapangan terbang sat radar TNI. Paragraf 7 Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 43 (1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf g dengan luas kurang lebih 15.247 (lima belas ribu dua ratus empat puluh tujuh) hektar terdiri atas:



Hal 31 dari 87



a. kawasan permukiman perkotaan; dan b. kawasan permukiman perdesaan. (2) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. kawasan permukiman perkotaan ibukota Kabupaten; b. kawasan permukiman perkotaan ibukota kecamatan; dan c. pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus. (3) Kawasan permukiman perkotaan ibukota Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa kawasan permukiman perkotaan Pandan. (4) Kawasan permukiman perkotaan ibukota Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berada di seluruh kecamatan. (5) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa kawasan pengembangan perumahan skala besar mencakup perumahan mewah, menengah dan sederhana yang ditunjang dengan fasilitas rekreasi, olahraga dan fasilitas sosial umum lainnya secara terpadu. (6) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada di Kecamatan Sarudik (7) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tersebar di seluruh wilayah Kabupaten. Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 44 (1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf h berupa kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kawasan pangkalan militer angkatan laut berada di Kecamatan Tapian Nauli. b. Kawasan Sat Radar Angkatan Udara di Kecamatan Sorkam BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Bagian Kesatu Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 45 (1) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) terdiri atas: a. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; b. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan sosial budaya; dan c. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. (2) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. KSK Labuan Angin berada di Kecamatan Tapian Nauli; b. KSK Minapolitan berada di Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Sorkam Barat dan Kecamatan Barus; dan c. KSK Agropolitan meliputi Kecamatan Manduamas, Kecamatan Kolang, Kecamatan Badiri dan Kecamatan Sibabangun.



Hal 32 dari 87



(3) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Cagar Budaya Barus berada di Kecamatan Barus dan Kecamatan Barus Utara. (4) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Pulau Mursala berada di Kecamatan Tapian Nauli. (5) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (6) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) digambarkan dalam peta sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 46 (1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten merupakan perwujudan rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama yang memuat uraian program atau kegiatan, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan tahapan pelaksanaan. (2) Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas: a. arahan perwujudan struktur ruang; b. arahan perwujudan pola ruang ; c. arahan perwujudan kawasan strategis; dan d. indikasi program. (3) Pelaksanaan RTRW Kabupaten terbagi dalam 4 (empat) tahapan terdiri atas: a. tahap I (tahun 2013-2017); b. tahap II (tahun 2018-2022); c. tahap III (tahun 2023-2027); dan d. tahap IV (tahun 2028-2033). (4) Dalam setiap tahapan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah dilaksanakan penyelenggaraan penataan ruang secara berkesinambungan yang meliputi : a. sosialisasi RTRW; b. perencanaan rinci; c. pemanfaatan ruang; d. pengawasan dan pengendalian; dan e. evaluasi dan peninjauan kembali. (5) Dalam hal pemanfaatan ruang yang telah mendapatkan hak pemanfaatan ruang yang sah, sebelum diterbitkan perda ini, masih dibenarkan untuk melakukan kegiatan hingga akhir massa haknya dan dapat mengajukan kembali perjanjian sesuai dengan rencana pola ruang sebagaimana ditetapkan Perda ini (6) Matrik indikasi program utama pemanfaatan ruang kabupaten tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Perwujudan Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 47 Perwujudan rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a terdiri atas: Hal 33 dari 87



a. perwujudan sistem pusat kegiatan; dan b. perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah. Pasal 48 (1) Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a terdiri atas: a. penyusunan rencana rinci tata ruang untuk setiap PKL, PPK, PPL; dan b. penataan PKL, PPK, dan PPL. (2) Perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud Pasal 47 huruf b terdiri atas: a. perwujudan sistem jaringan transportasi; b. perwujudan sistem jaringan energi; c. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi; d. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan e. perwujudan sistem prasarana wilayah lainnya (3) Perwujudan sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. program pembangunan jalan dan jembatan meliputi: 1. pembangunan jalan bebas hambatan; 2. peningkatan jalan nasional; 3. pembangunan dan peningkatan jalan provinsi; 4. pembangunan dan peningkatan jalan kabupaten; 5. pembangunan dan peningkatan jalan desa; dan 6. pembangunan dan peningkatan jembatan. b. program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan meliputi: 1. rehabilitasi/pemeliharaan jalan nasional; 2. rehabilitasi/pemeliharaan jalan provinsi; 3. rehabilitasi/pemeliharaan jalan kabupaten; 4. rehabilitasi/pemeliharaan jalan desa; dan 5. rehabilitasi/pemeliharaan jembatan. c. program pembangunan sarana dan prasarana perhubungan meliputi: 1. pembangunan terminal; 2. peningkatan pelayanan angkutan melalui pengembangan trayek angkutan umum; 3. optimalisasi sarana pengawasan dan pengamanan jalan; 4. peningkatan ketersediaan dan kualitas perlengkapan jalan; 5. pembangunan jalan pintas jalur kereta api; 6. peningkatan kualitas fisik jalur kereta api; 7. pengembangan stasiun kereta api; 8. peningkatan dan rehabilitasi sarana dan prasarana angkutan laut; dan 9. Peningkatan dan rehabilitasi sarana dan prasarana angkutan udara. (4) Perwujudan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. program pengembangan ketenagalistrikan meliputi: 1. pengembangan pembangkit tenaga listrik dan gardu induk; dan 2. pengembangan transmisi tenaga listrik; b. program pengembangan energi berupa pengembangan prasarana energi lainnya. (5) Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: a. pengembangan jaringan serat optik; dan b. pengembangan sistem telekomunikasi nirkabel. (6) Perwujudan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas :



Hal 34 dari 87



a. program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumber daya air lainnya meliputi: 1. pengelolaan DAS; 2. pengelolaan danau; dan 3. pemeliharaan waduk. 4. pengembangan sistem pengendalian banjir. b. program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk air bersih meliputi: 1. penyediaan dan pengelolaan jaringan air baku untuk air bersih; dan 2. penyediaan dan pengelolaan air bersih ke kelompok pengguna. c. program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya meliputi: 1. pengelolaan daerah irigasi kewenangan Pemerintah; 2. pengelolaan daerah irigasi kewenangan provinsi; dan 3. pengelolaan daerah irigasi kewenangan kabupaten. (7) Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e terdiri atas: a. program pengembangan pengelolaan persampahan meliputi: 1. penyusunan rencana induk pengelolaan persampahan kabupaten; 2. penyediaan TPS di setiap pusat kegiatan; dan 3. pengkajian dan pengembangan TPPAS. b. program pengembangan pengelolaan drainase meliputi: 1. perencanaan drainase terpadu; 2. pembangunan saluran drainase skala tersier; dan 3. perbaikan dan normalisasi saluran drainase. c. program pengembangan pengelolaan penyediaan air bersih meliputi: 1. pengembangan dan peningkatan air minum perkotaan; dan 2. peningkatan prasarana dan perluasan air bersih perdesaan. d. program pengembangan pengelolaan limbah meliputi: 1. peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga; 2. pengembangan instalasi pengolahan air limbah terpadu; 3. pengembangan instalasi pengolahan limbah B3; dan 4. pengembangan kerjasama pengelolaan limbah lintas Kabupaten/Kota. e. program pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana meliputi: 1. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam gerakan tanah; 2. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam longsor; 3. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam banjir; 4. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam gempa bumi; dan 5. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam tsunami. Bagian Ketiga Perwujudan Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 49 Perwujudan rencana pola ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. perwujudan kawasan lindung; dan b. perwujudan kawasan budidaya.



Hal 35 dari 87



Pasal 50 (1) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a terdiri atas: a. perwujudan kawasan hutan lindung; b. perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. perwujudan kawasan perlindungan setempat; d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. perwujudan kawasan rawan bencana alam; f. perwujudan kawasan lindung geologi; dan g. perwujudan kawasan lindung lainnya. (2) Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penetapan batas kawasan hutan lindung; b. rehabilitasi fungsi-fungsi lindung pada kawasan lindung; c. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan hutan lindung; d. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; e. pemberian insentif pengelolaan kawasan; dan f. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan hutan lindung. (3) Perwujudan kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya berupa kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. penetapan batas kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; b. pengendalian kegiatan budidaya; c. pemberian insentif terhadap kegiatan budidaya yang menunjang fungsi lindung kawasan; d. pengaturan kegiatan di kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya yang dimiliki masyarakat; e. pengendalian kegiatan yang bersifat menghalangi masuknya air hujan ke dalam tanah; f. pengolahan sistem terasering dan vegetasi yang mampu menahan dan meresapkan air; dan g. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan. (4) Perwujudan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. perlindungan sempadan sungai dan saluran irigasi meliputi : 1. penetapan sempadan sungai dan irigasi di kawasan perkotaan dan perdesaan; 2. penetapan pemanfaatan ruang sempadan sungai dan irigasi; 3. penertiban bangunan di atas saluran irigasi; 4. penghijauan; dan 5. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan. b. perlindungan kawasan sekitar danau dan waduk meliputi: 1. penetapan batas kawasan danau, waduk dan embung serta sempadannya; 2. penetapan batas kawasan pasang surut; 3. penghijauan; dan 4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan. c. perlindungan kawasan sekitar mata air meliputi: 1. penetapan batas sempadan sumber mata air; 2. penghijauan; dan 3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan. (5) Perwujudan kawasan lindung suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: Hal 36 dari 87



a. perlindungan kawasan pantai berhutan bakau meliputi: 1. penetapan batas kawasan pantai berhutan bakau; 2. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; 3. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan pantai berhutan bakau; dan 4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar alam. b. perlindungan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan meliputi: 1. penetapan batas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 2. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; 3. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;dan 4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. (6) Perwujudan kawasan lindung rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas: a. perlindungan kawasan rawan bencana alam banjir meliputi: 1. penetapan batas kawasan rawan banjir; 2. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya; 3. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; 4. perkuatan lereng; 5. pembangunan jaringan drainase lereng; dan 6. pengaturan geometri lereng dengan pelandaian lereng atau pembautan terasering pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan banjir. b. perlindungan kawasan rawan bencana alam longsor meliputi: 1. penetapan batas kawasan rawan bencana alam longsor; 2. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya; 3. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; dan 4. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana alam longsor. (7) Perwujudan kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas kawasan rawan bencana alam geologi meliputi: a. penetapan batas kawasan rawan bencana alam geologi; b. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; c. penyediaan sistem peringatan dini; d. penggunaan bangunan peredam bencana; e. penyediaan fasilitas penyelamatan diri; f. penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana; g. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan; h. vegetasi pantai; dan i. pengelolalan ekosistem. j. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan rawan bencana alam geologi; k. perlindungan jenis batuan dan tanah yang berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan kawasan; l. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan rawan bencana alam geologi. (8) Perwujudan kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas: a. kawasan terumbu karang meliputi: 1. penetapan batas kawasan terumbu karang; 2. pengendalian kegiatan budidaya di kawasan terumbu karang; dan 3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan perlindungan terhadap kawasan terumbu karang.



Hal 37 dari 87



b. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi: 1. penetapan batas kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; 2. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan perlindungan terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 51 (1) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b terdiri atas: a. perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi; b. perwujudan kawasan peruntukan pertanian; c. perwujudan kawasan peruntukan perikanan; d. perwujudan kawasan peruntukan pertambangan; e. perwujudan kawasan peruntukan industri; f. perwujudan kawasan peruntukan pariwisata; g. perwujudan kawasan peruntukan permukiman; dan h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya. (2) Perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penetapan kawasan dan strategi penanganan kawasan hutan produksi; b. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan; c. mensinergikan pengelolaan hutan produksi dengan kegiatan pertanian dan peternakan bagi masyarakat sekitarnya; dan d. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan hutan produksi. (3) Perwujudan kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan agrobisnis tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan; b. pengembangan sentra-sentra pertanian berbasis agropolitan; c. peningkatan produksi tanaman perkebunan; d. pengendalian secara ketat kegiatan budidaya lainnya yang merusak fungsi pertanian; e. pemberian insentif kepada petani yang pengelolaannya menunjang program pertanian pangan berkelanjutan; f. peningkatan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil pertanian; g. mensinergikan kegiatan budi daya pertanian campuran; h. pemberian insentif kepada petani hortikultura; dan i. sosialisasi dan workshop pengelolaan pertanian pangan berkelanjutan. (4) Perwujudan kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. pengembangan agribisnis perikanan; b. peningkatan pengelolaan budidaya perikanan; c. peningkatan pengolahan perikanan tangkap; d. penetapan batas kawasan; e. pengembangan kawasan minapolitan; f. pengendalian baku mutu perairan kawasan; dan g. pengembangan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil perikanan. (5) Perwujudan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana pada ayat (1) huruf d meliputi: a. identifikasi potensi tambang; b. penetapan kawasan pertambangan yang dapat dieksploitasi; c. reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang; d. pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan tambang; e. penyusunan program penelitian deposit sumber daya mineral dan energi; f. pemantauan dan pengendalian kegiatan usaha penambangan; Hal 38 dari 87



(6)



(7)



(8)



(9)



g. pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan secara berkelanjutan; dan h. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan. Perwujudan kawasan peruntukan industri sebagaimana pada ayat (1) huruf e meliputi: a. identifikasi dampak lingkungan kegiatan industri; b. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kawasan; c. pengembangan dan pengelolaan kawasan peruntukan industri secara berkelanjutan; d. pemberian insentif terhadap pengelolaan industri secara berkelanjutan; dan e. peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal untuk mendukung penyediaan tenaga kerja. Perwujudan kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana pada ayat (1) huruf f meliputi: a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA); b. pengoptimalan potensi budaya, alam dan keunikan lokal sebagai potensi obyek wisata; c. peningkatan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan; d. mensinergikan kegiatan lainnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata; e. peningkatan sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas untuk menunjang kepariwisataan; dan f. peningkatan sistem informasi wisata. Perwujudan kawasan peruntukan permukiman sebagaimana pada ayat (1) huruf g meliputi: a. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang permukiman; b. identifikasi permasalahan kawasan permukiman di kawasan perkotaan dan perdesaan; c. penyusunan masterplan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan; dan d. penyediaan berbagai fasilitas pendukung yang mampu mendorong perkembangan kawasan permukiman. Perwujudan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana pada ayat (1) huruf h berupa kawasan pertahanan dan keamanan negara meliputi: a. penetapan batas kawasan; b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan; c. pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan; d. mensinergikan dengan kegiatan budidaya masyarakat sekitar; dan e. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan pertahanan dan keamanan negara. Bagian Keempat Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 52



Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf c terdiri atas: a. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; b. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan sosial budaya; dan c. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan lingkungan hidup. Pasal 53 (1) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a terdiri atas: a. penyusunan rencana rinci kawasan; b. penyusunan peraturan zonasi; c. pembangunan infrastruktur air bersih, limbah, sampah, drainase; d. pembangunan perumahan; dan Hal 39 dari 87



e. pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi. (2) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b terdiri atas: a. penyusunan rencana rinci kawasan; b. penyusunan peraturan zonasi; c. peningkatan fungsi kawasan; dan d. pengawasan fungsi pemanfaatan kawasan. (3) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c terdiri atas: a. penyusunan rencana rinci kawasan; b. penyusunan peraturan zonasi; c. peningkatan fungsi konservasi kawasan; dan d. pengawasan fungsi pemanfaatan kawasan untuk air baku. BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan d. arahan pengenaan sanksi. Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 55 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan perizinan. (4) Indikasi arahan peraturan zonasi Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis yang meliputi : a. sistem pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana wilayah; c. kawasan lindung; d. kawasan budidaya;dan e. kawasan strategis kabupaten. (5) Indikasi arahan peraturan zonasi lebih lanjut akan ditetapkan menjadi Peraturan Zonasi yang diatur melalui Peraturan Daerah. Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Pusat Kegiatan Pasal 56 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf a terdiri atas: Hal 40 dari 87



a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem perkotaan dan jaringan prasarana; b. diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perkotaan; dan c. intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur dengan intensitas kepadatan tinggi hingga menengah. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem perdesaan dan jaringan prasarana; b. diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perdesaan; dan c. intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur dengan intensitas kepadatan rendah. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Pasal 57 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf b terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi; b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi; c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi; d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air; dan e. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan; b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api; c. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang; d. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan; dan e. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana bandara. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri; b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum; d. pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan; e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan



Hal 41 dari 87



(5)



(6)



(7)



(8)



(9)



f. tidak diperbolehkan kegiatan lalu lintas lokal yang mengganggu lalu lintas jarak jauh. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum; d. diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan; e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan f. jalan kolektor yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah hingga rendah; b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai sarana fasilitas umum; d. diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta penerangan jalan; e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan; dan f. jalan lokal yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus. Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api disusun dengan intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; c. diperbolehkan secara terbatas pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api; d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api. Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan untuk prasarana terminal bagi pergerakan orang dan kendaraan; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang dapat mengganggu kegiatan tersebut; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang harus memperhatikan kebutuhan ruang, agar tidak menggangu pergerakan kendaraan lainnya. Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan angkutan pelabuhan; b. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran pelabuhan; Hal 42 dari 87



c. tidak diperbolehkan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan angkutan pelabuhan; d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran, termasuk pemanfaatan ruang di pelabuhan; e. Pembatasan pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan f. Pembatasan pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana bandara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang bandara disusun dengan intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan angkutan penerbangan; c. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara untuk operasi penerbangan; d. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja bandara sisi darat yang harus memperhatikan kebutuhan ruang. e. pemanfaatan ruang untuk ruang udara untuk penerbangan disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar tidak mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Pasal 58 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit tenaga listrik dan jalur transmisi; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan minyak dan gas bumi; (2) Ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit listrik dan jalur transmisi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit tenaga listrik yang tidak sesuai dengan fungsinya; dan b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan pipa gas dan minyak bumi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan : a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan minyak dan gas bumi yang tidak sesuai dengan fungsinya; dan b. pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan minyak dan gas bumi dengan memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya. Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan serta ruang terbuka hijau dengan syarat tidak menganggu batas yang ditetapkan; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sekitar stasiun bumi dan menara pemancar; dan c. pembatasan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya.



Hal 43 dari 87



Pasal 60 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih; b. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana waduk/bendungan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sumber daya air yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai dan waduk. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar Daerah Irigasi yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai agar tetap dapat dijaga kelestariannya. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana waduk/bendungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan perikanan sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar waduk/bendungan yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah waduk agar tetap dapat dijaga kelestariannya. Pasal 61 (1)Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf e terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana persampahan; b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana drainase; c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana pengelolaan limbah; dan d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang evakuasi bencana. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan daur ulang sampah sepanjang tidak merusak lingkungan dan bentang alam maupun perairan setempat; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar TPPAS yang dapat mengganggu kualitas lingkungan; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar TPPAS. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian/RTH sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu badan air; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sungai/saluran utama untuk kegiatan yang akan merusak perairan; dan



Hal 44 dari 87



c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar sungai dan saluran utama agar tetap dapat dijaga kelestariannya. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu unit pengolahan limbah domestik; b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar pengolahan limbah dengan radius 100 (seratus) meter persegi; dan c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar pengolahan limbah agar tetap dapat dijaga keberlanjutannya. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; b. dibolehkan kegiatan perhubungan dan komunikasi; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang menghambat kelancaran akses jalur evakuasi. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Pasal 62 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 ayat (4) huruf c meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air; c. ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai; d. ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar waduk/danau; f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air; g. ketentuan umum peraturan zonasi ruang terbuka hijau kawasan perkotaan; h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau; i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir; k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam gerakan tanah; m. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana letusan gempa bumi; n. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tsunami; o. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan terumbu karang; dan p. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang budidaya bagi penduduk asli dengan syarat luasan tetap dan tidak mengurangi fungsi kawasan lindung; dan c. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk mendukung sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air dan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya yang diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku d. tidak diperbolehkan kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;



Hal 45 dari 87



(4)



(5)



(6)



(7)



b. diperbolehkan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; c. penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan (zero delta Q policy) terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya; dan d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengurangi daya serap tanah terhadap air. Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. garis sempadan pantai ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan pantai berupa Ruang Terbuka Hijau; c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi; d. diperbolehkan pendirian bangunan di sempadan pantai dengan syarat untuk pengelolaan kegiatan perikanan, pelabuhan, dan pariwisata; e. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam, kondisi fisik kawasan, serta kelestarian lingkungan hidup; dan f. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan kegiatan perikanan, pelabuhan, dan pariwisata. Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan sungai berupa Ruang Terbuka Hijau; b. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air /sungai; c. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi; dan d. diperbolehkan pendirian bangunan dengan syarat hanya untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar waduk/danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. garis sempadan waduk/danau ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan waduk/danau berupa Ruang Terbuka Hijau; c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air waduk/danau; d. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi; e. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; dan f. bila sempadan waduk/situ juga berfungsi sebagai taman rekreasi, maka dapat didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan: a. garis sempadan mata air ditetapkan sekurang-kurangnya dengan radius 200 (dua ratus) meter di sekitar mata air; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk RTH; c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah longsor/erosi dan mempertahankan bentuk mata air; d. tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan hasil tegakan; e. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam, kondisi fisik kawasan dan daerah tangkapan air, serta kelestarian lingkungan hidup; dan f. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi perlindungan air tanah.



Hal 46 dari 87



(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan izin pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai konservasi lingkungan, peningkatan keindahan kota, rekreasi, dan sebagai penyeimbang guna lahan industri dan permukiman; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam, keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup; c. ketentuan pendirian bangunan yang menunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan d. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bersifat permanen. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan lain yang menunjang budidaya; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan pantai berhutan bakau; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan pariwisata; b. tidak diperbolehkan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan; c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat merusak kekayaan budaya; d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan; e. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar peninggalan sejarah; dan f. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu upaya pelestarian budaya masyarakat setempat. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j disusun dengan ketentuan: a. penetapan batas dataran banjir; b. diperbolehkan pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting. (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan: a. penetapan batas rawan bencana longsor; b. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kelerengan lebih besar dari 40 (empat puluh) persen; c. pembatasan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah sekitar rawan bencana longsor; d. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi; dan e. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam/gerakan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kelerengan lebih besar dari 40 (empat puluh) persen; b. tidak diperbolehkan melakukan penggalian dan pemotongan lereng pada kelerengan lebih besar dari 40 (empat puluh) persen; c. diperbolehkan pengembangan hunian terbatas pada kelerengan 20-40 (dua puluh sampai dengan empat puluh) persen;



Hal 47 dari 87



d. diperbolehkan transportasi lokal dan wisata alam dengan ketentuan tidak mengganggu kestabilan lereng dan lingkungan; dan e. diperbolehkan kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, hutan kota dan hutan produksi dengan penanaman vegetasi yang tepat. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pada jalur sesar untuk kegiatan permukiman, industri, perdagangan dan jasa; b. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya. d. diperbolehkan kegiatan hutan produksi; e. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi. (15) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n disusun dengan ketentuan: a. penetapan deliniasi kawasan rawan bencana tsunami b. pengendalian izin kegiatan wisata alam, pendidikan, penelitian dalam rangka mengembangkan ilmu penegetahuan; c. tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengubah dan/atau merusak bentang alam; d. diperbolehkan penyediaan sistem peringatan dini; e. diperbolehkan penggunaan bangunan peredam tsunami; f. diperbolehkan penyediaan fasilitas penyelamatan diri; g. diperbolehkan penyediaan prasarana dan sarana kesehatan;dan h. diperbolehkan penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami; (16) Ketentuan umum peraturan zonasi peruntukan kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf o ditetapkan dengan ketentuan: a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian flora, fauna dan ekosistem unik kawasan; dan c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan terumbu karang. (17) Ketentuan umum peraturan zonasi peruntukan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf p ditetapkan dengan ketentuan: a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian flora, fauna dan ekosistem unik kawasan; c. pengelolaan ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan. Paragraf 4 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya Pasal 63 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 ayat (4) huruf d meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap; c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan; d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya hortikultura; e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya perkebunan f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya peternakan; g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan; Hal 48 dari 87



h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan; i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri; j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata; k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan; l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan; dan m. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan; b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan; c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung; d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; dan e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung. f. dilarang aktivitas pengembangan budidaya lainnya yang mengurangi luas hutan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan: a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan; b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan; c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung; d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung; f. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; dan g. ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan adalah: 1. lebih dari 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk; 2. lebih dari 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air; 3. kiri kanan sungai di daerah rawa; 4. lebih dari 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai; 5. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 6. lebih dari 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 7. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap DAS minimal 30 (tiga puluh) persen dari luas daratan; dan 8. ketentuan luas hutan kurang dari 30 (tiga puluh) persen perlu menambah luas hutan, dan luas hutan lebih dari 30 (tiga puluh) persen tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan mendirikan rumah tinggal dengan syarat tidak mengganggu fungsi pertanian dengan intensitas bangunan berkepadatan rendah; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; c. diperbolehkan aktivitas pendukung pertanian; d. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi luas kawasan sawah beririgasi; e. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan; f. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kawasan sawah irigasi yang terkena saluran irigasi; dan



Hal 49 dari 87



(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan pertanian lahan basah dan kering; dan b. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk hortikultura. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan mendirikan perumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi perkebunan; b. diperbolehkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya penyelenggaraan aktivitas pembenihan; dan c. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk perkebunan. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan potensi peternakan di wilayah pemeliharaan; b. diperbolehkan pengkajian daur kehidupan ternak dan pengukuran produktivitas ternak komersial; c. diperbolehkan peningkatan nilai tambah peternakan melalui pengembangan industri pengelolaan hasil peternakan; d. tidak diperbolehkan pengelolaan yang merusak kawasan lingkungan; dan e. tidak diperbolehkan pengembangan dan pemeliharaan ternak pada kawasan permukiman perkotaan. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pembudidaya ikan air tawar; b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di perairan umum; c. diperbolehkan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan memperhatikan kelestariannya; d. diperbolehkan pemanfaatan kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air deras, kolam jaring apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk melakukan pengawasan volume produksi; b. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk mengendalikan dampak lingkungan dan sosial; c. diperbolehkan pemanfaatan sumber daya mineral, energi, dan bahan galian lainnya untuk kemakmuran rakyat; d. diperbolehkan upaya rehabilitasi lahan pasca kegiatan pertambangan; e. diperbolehkan kegiatan usaha pertambangan sumber daya mineral, energi, dan bahan galian lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup; f. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan; g. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan-lahan bekas galian/penambangan; h. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budi daya lainnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup; i. pada kawasan yang teridentifikasi keterdapatan minyak dan gas bumi serta panas bumi yang bersifat strategis nasional dan bernilai ekonomi tinggi, sementara lahan pada bagian atas kawasan tersebut meliputi kawasan lindung atau kawasan budi daya sawah yang tidak boleh alih fungsi, maka pengeboran eksplorasi dan/atau Hal 50 dari 87



eksploitasi minyak dan gas bumi serta panas bumi dapat dilaksanakan, namun harus disertai AMDAL; j. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya terdapat mata air penting atau pemukiman; k. tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai yang terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan; l. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain diperbolehkan sejauh mendukung atau tidak merubah fungsi utama kawasan; dan m. penambangan pasir atau sirtu di dalam badan sungai hanya diperbolehkan pada ruas-ruas tertentu yang dianggap tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan: a. kegiatan industri yang dikembangkan diprioritaskan pada industri yang menyerap tenaga kerja, menggunakan bahan baku lokal dan tidak menggunakan air bawah tanah; b. untuk rencana pengembangan kegiatan industri yang baru diarahkan berada di dalam kawasan industri sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat memberikan dampak merusak/menurunkan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan limbah industri; d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan yang dapat berdampak pada kualitas lingkungan sebagai kawasan peruntukan industri; e. diperbolehkan pengembangan jenis industri yang ramah lingkungan dan memenuhi kriteria ambang limbah; f. diperbolehkan pengelolaan limbah terpadu dengan syarat sesuai standar keselamatan internasional bagi industri yang lokasinya berdekatan; g. diperbolehkan secara terbatas pembangunan perumahan baru di sekitar kawasan peruntukan industri; h. tidak diperbolehkan pengembangan industri yang menyebabkan kerusakan kawasan resapan air; dan i. diperbolehkan pengembangan industri yang tidak mengakibatkan kerusakan atau alih fungsi kawasan lindung dan lahan pertanian basah. j. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman; k. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; l. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; m. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau sebagai usaha penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah; n. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; o. setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan limbah dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL; dan p. limbah industri dilarang dibuang ke perairan atrau dipendam di dalam tanah secara langsung tanpa melalui proses pengolahan limbah terlebih dahulu; dan q. instalasi pengolahan limbah mutlak ada. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j disusun dengan ketentuan: a. pembatasan kegiatan dan pendirian bangunan hanya untuk yang menunjang kegiatan wisata pada lokasi yang bersangkutan; b. diperbolehkan untuk pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat;



Hal 51 dari 87



c. penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak mengganggu fungsi kawasan lindung; d. pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang mengganggu fungsi kawasan lindung, terutama resapan air; e. tidak diperbolehkan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur setempat, bentang alam dan pandangan visual; f. persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sesuai ketentuan perundang-undangan; dan g. pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan pariwisata sesuai prinsip-prinsip pemugaran. (12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan: a. diperbolehkan kegiatan perkotaan didukung fasilitas dan prasarana yang sesuai dengan skala pelayanannya b. Intensitas pemanfaatan ruang tinggi hingga menengah, dan mulai dikembangkan bangunan vertikal/bertingkat serta kasiba/lisiba; c. pengembangan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas kawasan perkotaan; d. tidak diperbolehkan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan perkotaan; e. pembatasan terhadap kegiatan budidaya bukan perkotaan yang dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan perkotaan; dan f. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan. (13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan: a. kegiatan permukiman perdesaan dengan intensitas pemanfaatan rendah-sedang; b. tidak diperbolehkan kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas lingkungan permukiman perdesaan; c. pembatasan terhadap kegiatan budidaya yang dapat mengurangi fungsi sebagai kawasan permukiman perdesaan; d. ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang sehat dan aman dari bencana alam, serta kelestarian lingkungan hidup dengan memperhatikan kaidah konservasi dan ekoarsitektur; dan e. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan. (14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dengan ketentuan: a. diperbolehkan peningkatan dominasi hunian dengan fungsi utama sebagai kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan negara; b. diperbolehkan peningkatan akses menuju pusat kegiatan pertahanan dan keamanan negara baik yang terdapat di dalam maupun di luar kawasan; c. diperbolehkan mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya tidak terbangun sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan dan keamanan dengan kawasan budi daya terbangun; dan d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan budi daya di dalam dan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan negara untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan negara.



Hal 52 dari 87



Paragraf 5 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Kabupaten Pasal 64 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (4) huruf e terdiri atas : a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan sosial budaya; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup (2) ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi harus ditunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga menimbulkan minat investasi yang besar; b. pada setiap bagian dari kawasan harus diupayakan untuk mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai kondisi kawasan masing-masing; c. diperbolehkan mengalokasikan ruang atau zona secara khusus untuk industri, perdagangan-jasa dan jasa wisata perkotaan sehingga secara keseluruhan menjadi kawasan yang menarik; d. diperbolehkan mengalokasikan kawasan khusus pengembangan sektor informal pada pusat-pusat kegiatan masyarakat; e. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk memberikan kesegaran di tengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona tersebut harus tetap dipertahankan; f. diperbolehkan diadakan perubahan ruang pada zona yang bukan zona inti (untuk pergadangan–jasa, dan industri) tetapi harus tetap mendukung fungsi utama kawasan sebagai penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi zona utama yang telah ditetapkan; g. diperbolehkan melakukan perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang terbuka di kawasan ini sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan ruang terbuka (tetapi tidak boleh untuk RTH kawasan perkotaan); h. tidak diperbolehkan melakukan perubahan fungsi dasar zona yang dinilai penting; i. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu (misalnya industri) permukiman harus disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh bertentangan secara langsung pada zona yang berdekatan; dan j. tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pembangunan di luar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan pada kawasan terbangun. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah: a. kawasan ini harus dilindungi dengan salah satu fungsi yang ditingkatkan adalah untuk wisata budaya dan penelitian. Untuk itu pada radius tertentu harus dilindungi dari perubahan fungsi yang tidak mendukung keberadaan kawasan atau dari kegiatan yang intensitasnya tinggi sehingga menggagu estetika dan fungsi kawasan; b. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya perumahan harus dibatasi pengembanganya;



Hal 53 dari 87



c. diperbolehkan menambahkan fungsi penunjang untuk kepentingan pariwisata misalnya souvenir shop atau atraksi wisata yang saling menunjang tanpa menghilangkan identitas dan karakter kawasan; d. tidak diperbolehkan melakukan perubahan dalam bentuk peningkatan kegiatan atau perubahan ruang disekitarnya yang dimungkinkan dapat mengganggu fungsi dasarnya; dan e. tidak diperbolehkan melakukan penambahan fungsi tertentu yang bertentangan, misalnya perdagangan dan jasa yang tidak terkait dengan fungsi kawasan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah: a. pada kawasan ini yang termasuk dalam kategori zona inti harus dilindungi dan tidak dilakukan perubahan yang dapat mengganggu fungsi lindung; b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan terdapat kerusakan baik pada zona inti maupun zona penunjang harus dilakukan pengembalian ke rona awal sehingga kehidupan flora dan fauna dilindungi dapat lestari; c. dilakukan percepatan rehabilitasi lahan untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam jangka panjang; d. diperbolehkan melakukan kegiatan pariwisata alam sekaligus menanamkan gerakan cinta alam; e. pembuatan sumur-sumur resapan pada kawasan yang didalamnya memiliki kemampuan tanah untuk peresapan air; f. pada kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau fungsi produksi tertentu (misalnya terdapat komoditas durian, manggis) boleh dimanfaatkan buah atau getahnya tetapi tidak boleh mengambil kayu yang mengakibatkan kerusakan fungsi lindung; g. tidak diperbolehkan melakukan alih fungsi lahan yang mengganggu fungsi lindung apalagi bila didalamnya terdapat kehidupan berbagai satwa maupun tanaman langka yang dilindungi; dan h. pada zona inti maupun penunjang bila terlanjur untuk kegiatan budidaya khususnya permukiman dan budidaya tanaman semusim, tidak boleh dikembangkan lebih lanjut atau dibatasi dan secara bertahap dialihfungsikan kembali ke zona lindung. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 65 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b merupakan proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana struktur ruang dan pola ruang sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini;. (2) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. izin prinsip; b. izin lokasi; c. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT); d. izin Mendirikan Bangunan Gedung; dan e. izin lainnya. (3) ketentuan perizinan lebih lanjut diatur melalui peraturan daerah



Hal 54 dari 87



Pasal 66 (1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh izin pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW Kabupaten. (2) Izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum adat dan kebiasaan yang berlaku. (3) Pelaksanaan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas pertimbangan dan tujuan sebagai berikut: a. melindungi kepentingan umum (public interest); b. menghindari eksternalitas negatif; dan c. menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas minimum yang ditetapkan pemerintah daerah. (4) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman modal wajib memperoleh izin pemanfaatan ruang dari Bupati. (5) Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil forum koordinasi BKPRD. Pasal 67 (1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a merupakan persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah. (2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya, yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 68 (1) Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b merupakan izin yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk memperoleh tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. (2) Izin lokasi diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk luas 1 (satu) hektar sampai 25 (dua puluh lima) hektar diberikan izin selama 1 (satu) tahun; b. untuk luas lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar sampai dengan 50 (lima puluh) hektar diberikan izin selama 2 (dua) tahun; dan c. untuk luas lebih dari (lima puluh) hektar diberikan izin selama 3 (tiga) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Pasal 69 (1) Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf c adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah lebih dari 5.000 (lima ribu) meter per segi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah akan ditetapkan dengan peraturan Bupati.



Hal 55 dari 87



Pasal 70 (1)



(2)



Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d merupakan izin yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan ditetapkan dengan peraturan perundang – undangan tersendiri. Pasal 71



(1)



(2)



(3)



Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf e merupakan ketentuan izin lingkungan serta izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan. Setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa manfaatnya jauh lebih besar dari kerugiannya bagi semua pihak terkait sebelum dapat diberikan izin. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan dengan peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif Pasal 72



(1) Pemerintah daerah dapat memberikan insentif dan disinsentif terhadap kegiatan yang memanfaatkan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 huruf c. (2) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang. (3) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Paragraf 1 Insentif Pasal 73 (1) Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau insentif non fiskal. (2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. keringanan atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi; b. kompensasi; c. subsidi silang; d. imbalan; e. sewa ruang; dan f. kontribusi saham. (3) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. pembangunan dan pengadaan prasarana; b. kemudahan prosedur perizinan; dan c. penghargaan. (4) Insentif yang diberikan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) terdiri atas:



Hal 56 dari 87



a. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang; dan b. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang. (5) Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas: a. keringanan biaya sertifikasi tanah; b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan c. pemberian penghargaan kepada masyarakat. (6) Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas: a. kemudahan prosedur perizinan; b. kompensasi; c. subsidi silang; d. imbalan; e. sewa ruang; f. kontribusi saham; dan g. pemberian penghargaan. Paragraf 2 Disinsentif Pasal 74 (1) Pemberian disinsentif diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. (2) Disinsentif yang diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengenaan pajak daerah dan/atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; b. pembatasan penyediaan infrastruktur; c. penghentian izin; dan d. penalti. Pasal 75 (1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi berwenang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Keempat Arahan Pengenaan Sanksi Pasal 76 Arahan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf d merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi; c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; Hal 57 dari 87



d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten; f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Pasal 77 (1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. (2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c dikenakan sanksi administratif terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam peraturan bupati. Pasal 78 (1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten. (2) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar dan atau tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, dibatalkan oleh pemerintah menurut kewenangan masing-masing sesuai ketentuan perundang-undangan. (3) Izin pemanfaatan ruang yang telah diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, termasuk akibat adanya perubahan RTRWK, dapat dibatalkan dan / atau dapat dimintakan perbaikan sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan.



Hal 58 dari 87



BAB VIII HAK KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 79 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk: a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Pasal 80 (1) Untuk mengetahui rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf a masyarakat dapat memperoleh melalui: a. lembaran daerah kabupaten; b. papan pengumuman di tempat-tempat umum; c. penyebarluasan informasi melalui brosur; d. instansi yang menangani penataan ruang; dan/atau e. Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten. (2) Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten dikembangkan secara bertahap melalui berbagai media elektronik untuk mempermudah akses informasi tata ruang dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Pasal 81 (1) Untuk menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf b didasarkan pada hak atas dasar pemilikan, penguasaan atau pemberian hak tertentu yang dimiliki masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, ataupun atas hukum adat dan kebiasaaan atas ruang pada masyarakat setempat. (2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang melembaga pada masyarakat secara turun temurun dapat dilanjutkan sepanjang telah memperhatikan faktor daya dukung lingkungan, estetika, struktur pemanfaatan ruang wilayah yang dituju, serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 82 Dalam pemanfaatan ruang, masyarakat wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; Hal 59 dari 87



c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 83 (1) Pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf d untuk kawasan milik umum yang aksesibilitasnya memenuhi syarat: a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud. (2) Kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang terbuka publik dan fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku. Bagian Ketiga Peran Masyarakat Pasal 84 Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain melalui: a. partisipasi dalam perencanaan tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 85 Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a terdiri atas: a. memberi masukan mengenai: 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; 4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5. penetapan rencana tata ruang. b. bekerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Pasal 86 Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b terdiri atas: a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Hal 60 dari 87



Pasal 87 Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c terdiri atas: a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; c. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 88 Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 89 (1) Penyelesaian sengketa penataan ruang diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan BAB X PENYELIDIKAN Pasal 90 (1) Selain pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana dalam bidang pentaan ruang; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam penataan ruang; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang; d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang; e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidik tindak pidana dalam bidang penataan ruang. Hal 61 dari 87



(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian Republik Indonesia. (4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidik kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang undangan. BAB XI KELEMBAGAAN Pasal 91 (1) Kelembagaan pemanfaatan ruang dilakukan secara terpadu dan komprehensif melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan ruang dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. (2) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang di wilayah Kabupaten dan kerjasama antar sektor/ antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). (3) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 92 (1) RTRW Kabupaten berlaku untuk jangka 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial wilayah kabupaten, yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten. (4) Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten dilengkapi dengan Buku Rencana dan Album Peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (5) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Peraturan Daerah ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan. Pasal 93 (1) Untuk operasionalisasi RTRW Kabupaten, disusun rencana rinci tata ruang terdiri atas: a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten; dan b. Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten. (2) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: Hal 62 dari 87



a. kawasan perkotaan Pandan; b. kawasan perkotaan Pinangsori; c. kawasan perkotaan Barus; d. kawasan perkotaan Tapian Nauli; e. kawasan perkotaan Sarudik; f. kawasan perkotaan Manduamas; dan g. kawasan perkotaan Sorkam Barat. (3) Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. KSK Labuan Angin; b. KSK Minapolitan Sarudik; c. KSK Agropolitan Kolang; d. KSK Agropolitan Sibabangun; e. KSK Cagar Budaya Barus; dan f. KSK Pulau Mursala. (4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 94 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; dan b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan: 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, ijin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak. (3) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan revisi penunjukan, tidak dapat terbitkan alas hak dan perijinan apapun hingga diterbitkan penunjukan kawasan hutan yang baru. (4) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan revisi penunjukan, pemanfaatannya tidak diperbolehkan dilakukan perluasan dan peningkatan pemanfaatan hingga diterbitkannya penunjukan kawasan hutan yang baru (5) Setelah diterbitkan revisi penunjukan kawasan hutan yang baru, rencana peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya akan diintegrasi ke dalam rencana pola ruang melalui peraturan gubernur.



Hal 63 dari 87



BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 95 Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan PerundangUndangan. BAB XV PENCABUTAN Pasal 96 Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KETENTUAN PENUTUP Pasal 97 (1)RTRW Kabupaten Tapteng sebagaimana digambarkan pada peta-peta dan tabel yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (2)Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati. Pasal 98 (1)Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (2)Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah. Ditetapkan di Pandan pada tanggal 31 Desember 2013 BUPATI TAPANULI TENGAH, ttd RAJA BONARAN SITUMEANG Diundangkan di Pandan Pada tanggal 31 Desember 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH



HENDRI SUSANTO LUMBANTOBING PEMBINA UTAMA MUDA NIP. 19680321 199402 1 001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH TANGGAL 31 DESEMBER 2013 NOMOR 8 TAHUN 2013 SERI E Hal 64 dari 87



PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013–2033



I. UMUM Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota, disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang perairan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dalam `Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa wilayah Kabupaten yang berkedudukan sebagai wilayah administrasi, terdiri atas wilayah darat dan wilayah perairan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain disebutkan bahwa pemberian kedudukan Kabupaten sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi dilakukan dengan pertimbangan untuk memelihara hubungan serasi antara pusat, propinsi dan daerah, untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas Kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom menyebutkan bahwa kewenangan Kabupaten sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kewenangan dalam bidang tertentu, termasuk bidang penataan ruang. Dalam menentukan kewenangan Kabupaten digunakan kriteria yang berkaitan dengan pelayanan pemanfaatan ruang dan konflik kepentingan pemanfaatan ruang di setiap wilayah Kecamatan. Ruang merupakan suatu wadah atau tempat bagi manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola. Ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. Ruang sebagai salah satu sumberdaya alam tidak mengenal batas wilayah. Berkaitan dengan pengaturannya, diperlukan kejelasan batas, fungsi dan sistem dalam satu ketentuan. Wilayah Kabupaten meliputi daratan, perairan dan udara, meliputi wilayah kecamatan yang merupakan suatu ekosistem. Wilayah kecamatan sebagai suatu subsistem memiliki kegiatan meliputi aspek politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya. Penataan Ruang Kabupaten meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten di wilayah yang menjadi kewenangan Kabupaten, dalam rangka optimalisasi dan mensinergikan pemanfaatan sumberdaya daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten . Penataan ruang Kabupaten yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lainnya dan pada pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lainnya, sehingga akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan Hal 65 dari 87



serta dalam pengaturan ruang yang dikembangkan perlu suatu kebijakan penataan ruang Kabupaten yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Selanjutnya dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di Kabupaten harus sesuai dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang disepakati. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pengertian yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan untuk menghindari pemahaman yang multi tafsir dalam peraturan daerah ini. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4 Tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten disesuaikan dengan visi dan misi pembangunan daerah. Yang dimaksud “tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah untuk mewujudkan kabupaten sebagai salah satu pusat perdagangan, jasa, perikanan, industri, dan pariwisata di kawasan barat sumatera. Yang dimaksud dengan “kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten”adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan pemanfaatan ruang darat, laut, dan udara termasuk ruang didalam bumi untuk mencapai tujuan penataan ruang. Yang dimaksud “strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah langkahlangkah dalam pelaksanaan kebijakan penataan ruang. Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas Ayat 9 Cukup jelas Ayat 10 Cukup jelas



Hal 66 dari 87



Pasal 5 Ayat 1 Yang dimaksud “rencana struktur ruang” adalah memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat 1 Pusat kegiatan disusun secara berhierarki menurut fungsi dan besarannya sehingga pengembangan sistem pusat kegiatan yang meliputi penetapan fungsi wilayah dan hubungan hierarkisnya berdasarkan penilaian kondisi sekarang dan antisipasi perkembangan di masa yang akan datang sehingga terwujud pelayanan prasarana dan sarana yang efektif dan efisien, yang persebarannya disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan ruang yang ada. Pengembangan pusat kegiatan dilakukan secara selaras dan seimbang, saling memperkuat, dalam ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah sehingga membentuk satu sistem yang menunjang pertumbuhan serta penyebaran berbagai usaha dan/atau kegiatan dalam ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Pengembangan pusat kegiatan Kabupaten Tapanuli Tengah diserasikan dengan sistem jaringan transportasi, sistem jaringan prasarana dan sarana, dengan memperhatikan peruntukan ruang kawasan budi daya di wilayah sekitarnya, baik yang ada sekarang maupun yang direncanakan sehingga pengembangannya dapat meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang. Dalam pusat kegiatan Kabupaten Tapanuli Tengah dikembangkan kawasan untuk peningkatan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian lingkungan hidup secara harmonis, serta jaringan prasarana dan sarana pelayanan penduduk yang sesuai dengan kebutuhan dalam menunjang fungsi pusat kegiatan di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, adapun pusat kegiatan Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu sebagai pusat produksi dan pengolahan barang; b. jasa perekonomian, yaitu sebagai pusat pelayanan kegiatan keuangan/bank, dan/atau sebagai pusat koleksi dan distribusi barang, dan/atau sebagai pusat simpul transportasi, pemerintahan, yaitu sebagai pusat jasa pelayanan pemerintah; dan c. jasa sosial, yaitu sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan pendidikan, kesehatan, kesenian, dan/atau budaya. Ayat 2 Huruf a Penetapan PKL perkotaan di Kabupaten Tapanuli Tengah mengacu pada draft RTRW Provinsi Sumatera Utara. Kriteria PKL perkotaan adalah kawasan perkotaan yang berperan sebagai pusat kegiatan lokal dengan fungsi ekonomi utama berupa perdagangan dan jasa. Penetapan Kota Pandan sebagai PKL perkotaan memperhatikan potensi dengan kegiatan-kegiatan utama saat ini yang sudah berciri perkotaan seperti permukiman perkotaan, perdagangan/jasa, pusat jasa pemerintahan dan pusat jasa publik lainnya. Fasilitas minimum yang tersedia di PKL adalah: a. Sarana pendidikan setingkat SMA b. Rumah sakit umum tipe C Hal 67 dari 87



c. Sarana olahraga Penetapan Pandan, Pinangsori dan Barus sebagai PKL perkotaan memperhatikan peran dan fungsinya sebagai pusat koleksi dan distribusi lokal yang menghubungkan desa sentra produksi baik di kecamatan yang bersangkutan maupun kecamatan yang berdekatan atau sebagai pusat kegiatan koleksi dan distribusi bagi wilayah-wilayah belakangnya. Huruf b Kriteria Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah : Kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau beberapa desa. Fasilitas minimum yang tersedia di PPK adalah: a. Sarana pendidikan setingkat SMP b. Puskesmas rawat inap c. Sarana olahraga Huruf c Kriteria Pusat Pelayanan Kawasan (PPL) adalah : Kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau beberapa desa. Ayat 3 Cukup jelas Pasal 8 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 9 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 10 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 11 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 12 Ayat 1 Untuk meningkatkan kinerja dan keterpaduan antar moda sistem transportasi serta meningkatkan pelayanan transportasi umum kepada masyarakat maka dikembangkan keterpaduan sistem antar moda secara terintegrasi. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Yang dimaksud tatanan kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan nasional yang memuat hirarkis, peran, fungsi, klasifikasi, jenis Hal 68 dari 87



penyelenggaraan kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda, serta keterpaduan dengan sektor lainnya. Yang dimaksud alur pelayaran adalah bagian dari perairan baik yang alami maupun buatan yang terdiri dari segi kedalaman, lebar dan hambatan pelayaran lainnya yang dianggap aman untuk dilayari. Ayat 4 Yang dimaksud dengan ketata bandara udaraan adalah suatu sistim kebandara udaraan nasional yang memuat hirarkis, peran, fungsi, klasifikasi, jenis penyelenggaraan kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda, serta keterpaduan dengan sektor lainnya. Yang dimaksud dengan ruang udara untuk penerbangan adalah ruang udara yang dimanfaatkan untuk kegiatan transportasi udara atau kegiatan penerbangan sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional. Pasal 13 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 14 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 15 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 16 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 17 Ayat 1 Yang dimaksud pelabuhan laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai



Hal 69 dari 87



Ayat 2 Yang dimaksud pelabuhan pengumpan regional adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam dan luar negeri, alih muat angkutan laut, merupakan pengumpul bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul dan sebagai tempat asal tujuan penumpang atau barang Ayat 3 Yang dimaksud pelabuhan pengumpan lokal adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut, merupakan pengumpul bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul dan sebagai tempat asal tujuan penumpang atau barang Ayat 4 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 20 Yang dimaksud dengan pembangkit listrik adalah fasilitas untuk kegiatan memproduksi tenaga listrik Pembangkit listrik antara lain, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH)) Pasal 21 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Pasal 22 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 23 Ayat 1 Jaringan terrestrial antara lain meliputi jaringan mikrodigital, fiber optic, mikro analog dan kabel laut Ayat 2 Cukup jelas



Hal 70 dari 87



Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 24 Ayat 1 Cukup jelas Pasal 25 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 26 Ayat 1 Cukup jelas Ayat2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat 1 Cukup jelas Ayat2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 29 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya buatan. Ayat 3 Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Penetapan kawasan budi daya dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan dan pemantauan kegiatan Hal 71 dari 87



termasuk penyediaan prasarana dan sarana maupun penanganan dampak lingkungan penerapan, mekanisme, insentif, dan sebagainya akibat kegiatan budi daya. Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 30 Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata guna air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah itrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pasal 31 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Gambut adalah tanah organik atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya sedikit mengalami perombakan yang umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marina tau payau. Ayat 3 Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang berguna sebagai sumber air. Pasal 32 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Kawasan sempadan pantai yang meliputi daratan sepanjang tepian pantai ditetapkan minimal 200 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Ayat 3 Kawasan sempadan sungai ditetapkan dengan ketentuan : a. sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman; b. untuk sungai di kawasan permukiman sempadan sungai diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter; c. daratan sepanjang aliran sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar sempadan minimal 50 meter dari tepi sungai, sedang untuk sungai bertanggul lebar sempadan minimal 100 meter dari tepi sungai; d. Pada sungai bertanggul di kawasan perdesaan sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul; e. Pada sungai bertanggul di kawasan perkotaan ditetapkan sekurangkurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul; f. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berdasarkan kriteria: - Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3 meter, garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai. - Sungai yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai. - Sungai yang mempunyai kedalam maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai. Hal 72 dari 87



g. Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan. Ayat 4 Kawasan sempadan danau ditetapkan dengan ketentuan : a. daratan dengan jarak 50 meter dari titik pasang tertinggi air danau/waduk ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik tepian danau/waduk. Ayat 5 Cukup jelas Pasal 33 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami Kriteria kawasan adalah : a. Kawasan darat dan atau perairan yang ditunjuk mempunyai luas tertentu yang menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga cukup luas serta mempunyai kekhasan jenis tumbuhan bakau. b. Kondisi alam, baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia c. Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melindungi kekhasan biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alam yang khas. Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah : a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. b. Lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsa berupa peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, bangunan monumental dan adat istiadat yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia. Ayat 5 Cukup jelas Pasal 34 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas



Hal 73 dari 87



Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Kawasan sekitar pantai yang memiliki kecepatan gelombang 10-100 km yang diakibatkan oleh angin, dan grafitasi bulan atau matahari. Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 35 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 36 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 37 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Hutan produksi terbatas adalah hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan itensitas rendah Ayat 3 Hutan produksi tetap merupakan hutan yang di eksploitasi dengan pola cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis Pasal 38 Ayat 1 Yang dimaksud dengan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Pengembangan kawasan perkebunan diarahkan dengan pemanfaatan potensi lahan yang memiliki kesesuaian untuk perkebunan, berada pada kawasan budidaya, dan menghindarkan timbulnya konflik pemanfaatan lahan dengan kawasan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan produksi terbatas, kawasan industri, dan kawasan permukiman. Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertanian secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang dapat memberikan manfaat berikut: a. memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional; b. meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padi gogo, palawija, kacangkacangan, dan umbi-umbian), c. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; d. meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya alam untuk pertanian; e. menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat;



Hal 74 dari 87



f. g. h. i.



meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek kaitan; mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian; melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan perdesaan; dan/atau j. mendorong pengembangan sumber energi terbarukan. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Tanaman lahan berkelanjutan merupakan bidang lahan tanaman yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten. Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 39 Ayat 1 Penerapan kriteria kawasan peruntukan perikanan secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan perikanan yang dapat memberikan manfaat berikut: a. meningkatkan produksi perikanan dan mendayagunakan investasi; b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; c. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; d. meningkatkan pendapatan masyarakat; e. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; f. meningkatkan kesempatan kerja; g. meningkatkan ekspor; dan/atau h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Perikanan budidaya merupakan kegiatan untuk memelihara, membesarkan atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkannya. Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 40 Ayat 1 Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertambangan secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertambangan yang diharapkan dapat memberikan manfaat berikut: a. meningkatkan produksi pertambangan dan mendayagunakan investasi; b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; c. tidak mengganggu fungsi lindung; d. memperhatikan upaya pengelolaan kemampuan sumber daya alam; Hal 75 dari 87



e. f. g. h. i.



meningkatkan pendapatan masyarakat; meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; menciptakan kesempatan kerja; meningkatkan ekspor; dan/atau Meningkatkan kesejahteraan masyarakat



Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Pasal 41 Ayat 1 Yang dimaksud dengan jenis atau klasifikasi industri pada kawasan peruntukan industri pada ayat tersebut, diantaranya: a. Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar, teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional. Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri transportasi, dan industri persenjataan. b. Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif besar, teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang, tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas (berskala regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri mainan anak-anak. c. Industri kecil dan mikro, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan lokasi pemasarannya masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri makanan ringan. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 42 Ayat 1 Penerapan kriteria kawasan peruntukan pariwisata secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pariwisata yang diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. meningkatkan devisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi; b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan subsektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya; c. tidak mengganggu fungsi lindung; d. tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; e. meningkatkan pendapatan masyarakat; f. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah; g. menciptakan kesempatan kerja; Hal 76 dari 87



h. melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian dan mutu keindahan lingkungan alam; dan/atau i. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 43 Ayat 1 Kawasan peruntukan permukiman adalah kawasan yang diperuntukan untuk tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung bagi perikehidupan dan penghidupan. Ayat 2 Pengembangan kawasan permukiman perkotaan, ditetapkan dengan ketentuan berikut : a. Memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; b. Memiliki kelengkapan prasarana, sarana dan utilitas pendukung; c. Sesuai dengan kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan d. Pengendalian perkembangan permukiman perkotaan, melalui: 1. Pengembangan Kasiba/Lisiba; 2. Penyediaan lingkungan siap bangun (lisiba) untuk pembangunan hunian vertikal dengan peran serta swasta dan masyarakat; dan 3. Revitalisasi kawasan permukiman kumuh. e. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan diarahkan untuk: 1. Mengembangkan kawasan permukiman vertikal pada kawasan perkotaan dengan intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi; dan Mengendalikan kawasan permukiman horizontal pada kawasan perkotaan dengan intensitas pemanfaatan ruang menengah. Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Pengembangan kawasan permukiman pedesaan, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Optimalisasi potensi lahan budidaya dan sumber daya alam setempat guna mendorong pertumbuhan sosial ekonomi di wilayah-wilayah yang belum berkembang; b. Menata kawasan permukiman perdesaan dengan prinsip konservasi dan penanggulangan bencana; c. Meningkatkan sarana dan prasarana dasar permukiman di desa tertinggal/terpencil, desa perbatasan dengan kabupaten/kota, permukiman kumuh dan kawasan rawan bencana; dan Mengembangkan ruang permukiman horizontal dengan mempertimbangkan keserasian dengan kegiatan perdesaan, mencakup kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pengelolaan sumber daya alam, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi



Hal 77 dari 87



Pasal 44 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 45 Ayat 1 Kawasan strategis adalah kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan yang berpengaruh terhadap ekonomi, sosial, budaya atau lingkungan yang dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, atau mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis. Ayat 2 Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan pertumbuhan ekonomi ditetapkan dengan kriteria : a. memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh; dan atau b. memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi; c. berpotensi ekspor d. didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi; e. berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan; f. diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal dalam wilayah Kabupaten. Ayat 3 Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan sosial budaya ditetapkan dengan kriteria : a. merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya; b. prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya; c. aset yang harus dilindungi dan dilestarikan; d. tempat perlindungan peninggalan budaya; e. tempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; atau f. tempat yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial Ayat 4 Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria : a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; c. kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian; d. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; e. kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup; f. kawasan rawan bencana alam; atau g. kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan. Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas



Hal 78 dari 87



Pasal 46 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Indikasi program utama menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan rencana struktur dan pola ruang wilayah. Selain itu juga terdapat kegiatan lain, baik yang dilaksanakan sebelumnya, bersamaan dengan, maupun sesudahnya, yang tidak disebutkan dalam peraturan daerah ini. Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas



Hal 79 dari 87



Pasal 51 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas Ayat 9 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 56 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 57 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas



Hal 80 dari 87



Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas Ayat 9 Cukup jelas Ayat 10 Cukup jelas Pasal 58 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 61 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 62 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas



Hal 81 dari 87



Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas Ayat 9 Cukup jelas Ayat 10 Cukup jelas Ayat 11 Cukup jelas Ayat 12 Cukup jelas Ayat 13 Cukup jelas Ayat 14 Cukup jelas Ayat 15 Cukup jelas Ayat 16 Cukup jelas Ayat 17 Cukup jelas Pasal 63 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayatl 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Ayat 8 Cukup jelas Ayat 9 Cukup jelas Ayat 10 Cukup jelas Ayat 11 Cukup jelas Ayat 12 Cukup jelas Ayat 13 Cukup jelas Ayat 14 Cukup jelas Hal 82 dari 87



Pasal 64 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 65 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 66 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 67 Ayat 1 Prinsip dasar penerapan mekanisme perizinan dalam pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: a. setiap kegiatan dan pembangunan yang berpeluang menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum, pada dasarnya dilarang kecuali dengan izin dari pemerintah daerah; b. setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon izin dari pemerintah setempat yang akan memeriksa kesesuaiannya dengan rencana, serta standar administrasi legal; dan c. setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa manfaatnya jauh lebih besar dari kerugiannya bagi semua pihak terkait sebelum dapat diberikan izin Jenis perizinan yang harus dimiliki ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Organisasi perangkat daerah yang menerbitkan perizinan harus sesuai dengan pemberian kerja dan kompetensinya, dan tidak boleh tumpang tindih. Ketentuan lembaga/dinas pemberi izin adalah sebagai berikut: a. perizinan kegiatan menjadi kewenangan dinas sektoral yang sesuai dengan kegiatan yang dimohon; b. perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan menjadi kewenangan dinas yang menangani perencanaan, perancangan, penataan, dan lingkungan wilayah Kabupaten; c. perizinan konstruksi menjadi kewenangan dinas yang menangani bangunan; d. perizinan lingkungan menjadi kewenangan dinas/badan yang menangani lingkungan hidup;



Hal 83 dari 87



e. perizinan kegiatan khusus menjadi kewenangan dinas sektoral yang sesuai dengan kegiatan yang dimohon; f. untuk efisiensi perizinan, pemerintah daerah perlu mengefektifkan pelayanan perizinan terpadu satu atap. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 68 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 69 Ayat 1 Izin Prinsip adalah surat izin yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan atau beroperasi, dengan ketentuan: a. Izin prinsip merupakan pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek teknis, politis dan sosial budaya sebagai dasar dalam pemberian izin lokasi. b. Izin prinsip dapat berupa surat penunjukan penggunaan lahan (SPPL). c. Izin prinsip diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 70 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 71 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 72 Ayat 1 Penerapan insentif atau disintensif secara terpisah dilakukan untuk perizinan skala kecil/individual sesuai dengan peraturan zonasi. Adapun penerapan insentif dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk perizinan skala besar/kawasan karena di dalam skala besar/kawasan dimungkinkan adanya pemanfaatan ruang yang dikendalikan dan didorong pengembangannya secara bersamaan. Insentif dapat diberikan antar-pemerintah daerah yang saling berhubungan berupa subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang. Pemberian insentif ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pengenaan pemberian insentif dan disintensif yang selanjutnya diatur dalam peraturan bupati dan atau keputusan bupati dalam Hal 84 dari 87



bentuk tata cara dan prosedur, norma, standar, pedoman dan kebijakan daerah. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 73 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Pasal 74 Ayat 1 Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP) sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi. Pengenaan disintensif ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pengenaan pemberian insentif dan disintensif yang selanjutnya diatur dalam peraturan bupati dan atau keputusan bupati dalam bentuk tata cara dan prosedur, norma, standar, pedoman dan kebijakan daerah. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 75 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 78 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Hal 85 dari 87



Pasal 80 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 81 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 90 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Pasal 91 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 92 Ayat 1 Cukup jelas Hal 86 dari 87



Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 93 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Pasal 94 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas Pasal 98 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 SERI E



Hal 87 dari 87