Peristiwa Kudatuli [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERISTIWA KUDATULI: PERPECAHAN INTERNAL PDI DAN CAMPUR TANGAN SOEHARTO (diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Ilmu Politik)



Dosen : Dr. Widyo Nugrahanto, M.Si



oleh : Rizky Khairina 180310120007 Siti Aisyah Safe 180310120010 Etty Rofiqotul Wakhidah 180310120035



PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyusun tugas akhir dari mata kuliah Ilmu Politik ini dengan baik. Di dalam tugas akhir ini kami mencoba mendeskripsikan tentang Peristiwa 27 Juli 1996/Kudatuli dimana ketika itu Soeharto berupaya untuk menggulingkan saingan-saingan politiknya. Menyadari akan keterbatasan kemampuan dalam bidang pengetahuan, keterampilan serta pengalaman, maka kami menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, kami berharap semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Amin yaa Rabbal ‘alamin.



Jatinangor, 15 Juni 2014



Tim Penyusun



BAB I JALANNYA KONFLIK



Pada tahun 1996, Soeharto, yang pada saat itu menjabat sebagai presiden Republik Indonesia selama 30 tahun merasakan adanya ancaman terhadap kekuasaan yang dia pegang. Saingan politik terberat Soeharto adalah Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Oleh karena Megawati Soekarnoputri yang waktu itu menjadi Ketua Umum PDI dianggap mengancam kekuasaan Soeharto, maka penguasa Orde Baru pun memutuskan untuk mengkudeta Megawati dari kursi Ketua Umum PDI. Pada tanggal 20 – 24 Juni 1996 mereka merekayasa kongres di Medan untuk menggulingkan Megawati. Para pimpinan cabang di kota-kota dipaksa oleh para Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) serta kantor Sosial Politik setempat untuk mendatangi kongres tersebut. Pada saat itu, Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum. Soerjadi sendiri merupakan ‘boneka’ dari pihak Soeharto. Akhirnya terciptalah perpecahan internal di PDI, yaitu Megawati Soekarnoputri yang sah dan kelompok boneka Orde Baru. Sesuatu yang tampak seperti pergeseran lempeng-lempeng bumi dalam patahan politik Indonesia itu memancing sebuah ledakan vulkanik, untuk mencari titik keseimbangan baru. Inilah saatnya retakan-retakan kecil ketidakpuasan yang merambat di tembok kekuasaan kian menyatu dengan kegelisahan di luar sistem. Pada tahun 1992, pergerakan mahasiswa sudah melangkah ke tuntutan agar Soeharto mundur. Itulah yang terjadi dalam demonstrasi FAMI. Orang harus sudah dewasa pada saat itu untuk bisa membayangkan betapa “gilanya” tuntutan tersebut. Situasi represif memang mengakibatkan langkahnya



keberanian. Betapa berharganya keberanian yang ada bagi Indonesia. Dan celakanya, yang sedikit itu pun akhirnya dipenjarakan. Pergerakan petani juga muncul, bahkan kian intensif menuntut keadilan dalam pengelolaan tanah mereka. Pemogokan-pemogokan kaum buruh pun meletus dimana-mana. Di lain pihak, bukan cuma rakyat biasa yang jadi sasaran represi Soeharto. Tokoh-tokoh masyarakat yang tidak sejalan dengan Orde Baru juga menjadi sasaran. Berbeda dengan tahun 1980-an, pada dekade 1990-an tokoh-tokoh yang menjadi sasaran represi adalah tokoh yang memiliki massa pengikut yang besar. Salah satu tokoh yang disasar oleh Soeharto selain Megawati adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berasal dari Nadhlatul Ulama. Upaya menggulingkan Gus Dur didalangi oleh Orde Baru akhirnya gagal setelah mendapat perlawanan dari dalam institusi NU itu sendiri. Gus Dur pun tetap menjadi Ketua Umum PB NU, dan tetap menjadi tokoh terdepan dalam menyemai nilai-nilai pluralisme. Tidak lama setelah rencana penggulingan Gus Dur gagal, Megawati hendak digulingkan dari posisinya sebagai Ketua Umum PDI. Rencana penggulingan Megawati hanya menambah daftar frustrasi penguasa. Hal ini justru meledakkan detonator titik perlawanan rakyat yang lain. Kali ini secara besar-besaran, bergelombang dan melibatkan simpul-simpul pergerakan dari luar sistem. Rezim Soeharto salah berhitung. Mereka gagal mengisolir kasus penggusuran Megawati sebagai “kasus internal PDI”. Ia sudah menyebar kemana-mana. Rupanya Orde Baru tengah mengalami krisis kepercayaan diri yang luar biasa. Dalam krisis tersebut, mereka pun melakukan kesalahan-kesalahan yang selalu dilakukan oleh diktator-diktator di seluruh dunia. Dikendalikan oleh Orde Baru, kelompok Soerjadi melakukan pengkhianatan terhadap PDI. Para royalis Megawati bergerak, menguasai kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro 58. Jalan ini adalah jalan yang berada di pusat kota Jakarta, dimana sebuah wilayah yang



strategis tempat arus manusia dari sisi barat dan sisi timur Jakarta berlalu lalang setiap harinya. Sebuah tempat yang ideal bagi pusat propaganda perlawanan. Sejak kongres rekayasa di Medan, muncul mimbar bebas di kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro. Mimbar bebas tersebut dilakukan oleh orang-orang Megawati. Operasi di Jalan Diponegoro untuk mendukung aksi mimbar bebas di kantor pusat PDI kemudian dilancarkan. PRD ikut serta bergabung dalam aksi tersebut. PRD bersama dengan berbagai organisasi pro-demokrasi seperti serikat buruh, LSM, organisasi mahasiswa, dan lain-lain membentuk Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Delegasi MARI menemui Megawati untuk memberikan dukungan kepadanya. Mimbar bebas pun terus dilakukan setiap hari dan menjadi episentrum gerakan perlawanan rakyat. Mimbar bebas tersebut juga menjadi ruang publik yang berhasil direbut oleh rakyat dari Orde Baru. Selama berminggu-minggu, kantor DPP PDI menjadi akademi demokrasi tempat rakyat dari berbagai kalangan datang untuk mendengarkan pidato (bahkan juga ikut berpidato), menempelkan poster-poster, spanduk, instalasi seni rupa, dan sebagainya untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sebuah kasus politik yang pada awalnya terkesan sebagai pertarungan dalam partai ternyata membuka kesadaran bagi banyak orang tentang represi rezim Soeharto. Di mimbar bebas tersebut, kaum intelektual marah-marah karena kebebasan mengeluarkan pendapat sering dibatasi. Para aktivis mengutuk sejarah Orde Baru dengan kejahatan kemanusiaan dan korupsi yang melilitnya. Sejumlah pengusaha ikut berbicara dan memprotes praktik kolusi dan nepotisme yang menguntungkan keluarga Soeharto



• Kronologi peristiwa 27 Juli 1996 Pukul 01:00 Di markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga--suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang bermain catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal. Pukul 03:00 Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini. Pukul 04:00 Tim yang bermarkas di Jalan Diponegoro sudah ada di lokasi. Di sana banyak massa di Jalan Diponegoro, tim Soerjadi sedang tidur. Dilihat dari Jalan Surabaya dan dari Megaria, naik kendaraan. Pukul 05:00 Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk. Pukul 06:00 Tim Soerjadi bergegas pulang. Jalan Diponegoro pun kosong, hanya ada massa sekitar 100an. Tim Megawati pun masuk. Dan sisa massanya berada di Jalan Surabaya. Terjadi juga negosiasi antara satgas dan pihak Megawati, satgas meminta pihak Megawati agar segera meninggalkan kantor itu. Tapi pihak Megawati bilang akan mempertahankan kantor sampai



titik darah penghabisan. Jadi ketika mereka mau negosiasi, tim Soerjadi itu sudah dilempari. Pada saat negosiasi ke dua, datang polisi. Lalu dilakukanlah negosiasi dengan polisi sekitar pukul 06:30. Polisi minta supaya yang di dalam, massa Mega keluar meninggalkan gedung tersebut. Polisi pun meminta satgas tim Soerjadi untuk pergi. Massanya Mega tidak mau pergi. Akhirnya diambil alih oleh tim Soerjadi. Pukul 06:15 Tujuh truk bak terbuka berwarna kuning, seperti truk sampah , berhenti di depan markas PDI. Truk itu menurunkan “pasukan merah” yang membawa pentungan dan batu. Mereka langsung melempari markas PDI. Sebagian satgas PDI yang di luar halaman lari ke Jalan Pegangsaan Barat. Pukul 06:30 Pasukan anti huru-hara, sekitar 500 personil, datang di depan markas PDI, dengan peralatan lengkap: tameng, tongkat dan kaleng gas air mata. Mereka langsung memecah menjadi dua, memblokir Jalan Diponegoro di depan markas PDI. Belasan massa PDI Megawati dari arah Megaria berupaya membantu satgas yang berada di dalam markas, namun berhadapan dengan pasukan anti huru-hara. Sepuluh menit kemudian datang tentara serta dua panser, ditempatkan di bawah jembatan layang KA. Perang batu terus berlangsung di depan markas PDI. Pukul 07:30 Kapolres Jakarta Pusat, Letkol Abubakar Nataprawira menghentikan perang batu, berunding dengan satgas PDI Megawati, meminta pendukung Megawati keluar dari markas, tetapi ditolak. Dua ambulans polisi didatangkan untuk mengangkut yang luka-luka, namun ditolak. Pasukan Gegana siap masuk, tetapi tidak jadi.



Pukul 08:15 – 09:00 Serangan batu dimulai lagi. Pasukan anti huru-hara merapat ke pagar halaman, di belakang “pasukan merah” yang dikomandoi Dandim Jakarta Pusat Letkol Jul Efendi. “Semangat, semangat” ujarnya seraya mendorong “pasukan merah” untuk melempar batu. Polisi anti huru-hara menyuplai batu. Mereka menjebol pagar dan menyerbu masuk, mengobrak-abrik markas PDI. “Pasukan merah” membakar spanduk dan ban-ban di halaman. Massa yang marah karena diblokir aparat di Jalan Surabaya membakar satu bus. Satgas PDI yang tertahan di dalam gedung digelandang ke truk aparat, yang luka barat ditandu ke ambulan polisi. Markas PDI sepenuhnya dikuasai aparat. Pukul 11:00 – 14:00 Massa yang tertahan blokade aparat semakin banyak, mereka berhasil menembus blokade di samping Megaria. Mimbar bebas digelar di bawah jembatan layang. Ditunjuk lima wakil untuk menengok markas PDI. Perang intifadah melawan gebukan rotan terjadi lagi. Ratusan tentara dengan belasan panser tiba. Pukul 14:30 – 15:00 Massa dibubarkan aparat, terpecah ketiga arah: Salemba, Cikini, dan Proklamasi. Aparat terus memburu, massa melawan dengan lemparan batu di Cikini. Tiga bus dibakar di Salemba. Pukul 15:00 – 17:00 Gedung Persit Chandra Kirana, Ditjen Perikanan, Bank Swansarindo, Wisma Honda, Show Room Toyota 2000, Bank Mayapada, di Jalan Kramat Raya dibakar. Aparat di depan Polsek Matraman menembak ke udara, massa terpecah ke tiga arah: kembali ke arah Kramat, ke Pramuka dan ke Proklamasi. Gedung Darmek dibakar. Pasukan Kostrad dan Marinir datang di Jalan Kramat.



Pukul 17:10 – 20:30 Massa menghentikan kereta api di Jalan Pramuka. Tentara mengejar massa di sekitar TIM. Massa di Proklamasi membakar sederetan toko dan dua mobil. Massa yang lari ke arah Senen membakar gedung BDN, BBD, dan PT Pertamina.



BAB II PENYEBAB, TIPE, DAN STRUKTUR POLITIK



1. Penyebab Peristiwa Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi. Pada awalnya (Kompas 29/7/96, 30/9/96), menunjukkan adanya indikasi, ini bukan sekadar masalah internal PDI. Tetapi ada oknum-oknum yang menunggangi PDI untuk menciptakan kemakaran seperti yang dijelaskan oleh Pangab, Jenderal Faisal Tanjung. Pernyataan ini juga diikuti dan diulang kembali oleh beberapa pejabat tinggi ABRI, dan satu di antaranya yang paling banyak bersuara mengenai penyebab kerusuhan 27 Juli adalah Letjen Syarwan Hamid. Menurut versi pemerintah, dalam hal ini ABRI, adalah bahwa kerusuhan di kantor DPP PDI di dalangi oleh oknum-oknum yang tidak suka pada pemerintah Orde Baru dengan menggunakan masalah interen PDI. Mereka pada dasarnya (menurut pemerintah) adalah antipemerintah, anti-Pancasila, dan anti-stabilitas, atau dengan kata lain mereka adalah musuh utama pemerintah. Dalam menunjuk oknum atau dalang kerusuhan, pemerintah rupanya sudah menyiapkan sebuah calon yaitu PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang belum lama sebelum peristiwa mengeluarkan deklarasi partainya. Siapa yang bertanggung jawab?



Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati Soekarnoputri hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.



2. Tipe Konflik Ada dua tipe konflik politik, yakni konflik antar partai dan konflik secara personal. Konflik antar partai bisa menjelma menjadi konflik terbuka antar elite. Ini sangat ditentukan oleh suhu dan tekanan politiknya. Konflik antar elite secara personal biasanya terjadi secara terbuka di ruang publik melalui media massa. Namun konflik tersebut mulanya hanya berasal dari perbedaan sikap partai politik. Konflik yang terjadi pada peristiwa 27 Juli 1996 merupakan konflik yang pada awalnya merupakan konflik personal antara presiden Soeharto dengan saingan-saingan politiknya yaitu Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun Soeharto hanya memfokuskan serangan pada Megawati saja. Soeharto mengadu domba tokoh-tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia sehingga partai ini pecah secara internal. Selanjutnya yang terjadi adalah konflik internal antara kader di PDI sendiri. Megawati berseteru dengan Soerjadi. Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya pada tahun 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, pemerintah (termasuk Soeharto) tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI tersebut. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996,



yang kemudian memilih Soerjadi yang dimotori oleh Soeharto yang merupakan sebagai Ketua Umum PDI. Di sinilah perpecahan di antara internal PDI sendiri dimulai. Puncaknya pada tanggal 27 Juli 1996, kelompok Soerjadi melakukan perebutan kantor DPP PDI dari pendukung Megawati. Megawati sendiri kemudian mendirikan partai baru yaitu PDI Perjuangan. Jadi kesimpulannya, peristiwa 27 Juli 1996 ini merupakan konflik personal yang terjadi di antara internal partai PDI sendiri yang juga dilatarbelakangi oleh campur tangan pihak ketiga, yakni Soeharto.



3. Struktur Konflik Struktur politik selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Dengan demikian struktur politik meliputi baik struktur hubungan antara manusia dengan manusia maupun struktur hubungan antara manusia dengan negara/pemerintah. Seperti yang kita ketahui peristiwa 27 Juli 1996 merupakan penyerangan dilakukan oleh pendukung Ketua Umum PDI versi kongres Medan Soerjadi dengan dibantu oknum aparat. Lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu. Dan hingga kini belum jelas siapa dalang yang berada di belakang penyerangan tersebut. Peristiwa ini berawal dari pembicaraan-pembicaraan tentang Megawati yang akan menggantikan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia. Kemudian dari sinilah kemudian Soeharto membuat perpecahan diantara partai PDI yang diusung Megawati ini. PDI kemudian pecah menjadi dua kubu, yaitu PDI versi Megawati dan PDI kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi. Soerjadi ini merupakan boneka yang dipakai Soeharto untuk membuat partai PDI pecah. Soerjadi yang merupakan pemimpin PDI kongres Medan,



menyeleksi masyarakat untuk masuk kedalam kongres tersebut, banyak yang masuk ke kongres tersebut ialah dari kalangan orang yang pengangguran dan mereka diberi upah untuk menjalani penyerangan tersebut. Setelah itu terjadilah penyerangan 27 Juli 1996 itu. Dari peristiwa itu banyak masyarakat yang ditahan dan sekarang tidak tahu keberadaan mereka dimana. Kemudian, kubu Megawati akhirnya keluar dari partai PDI dan secara resmi partai PDI dibubarkan pada tahun 2003 dan kemudian lahirlah PDIP. Dari peristiwa tersebut struktur politik yang dipakai yaitu “menang-kalah”, terbukti bahwa pada 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001 Megawati menjadi wakil Presiden Republik Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya partai PDI tersebut harus menjaga kekompakan sehingga tidak mengundang pihak-pihak eksternal untuk masuk dan mengintervensi serta merusak kekompakan.



BAB IV KESIMPULAN



Insiden di kantor PDI hanya sebuah elemen bukan inti dari cerita 27 Juli. Malah cerita mengenai PDI sendiri sepertinya hanyut dibawa cerita penangkapan tokoh PRD (yang anti pemerintah atau pro-demokrasi?). Misalnya kasus tuntutan Megawati kepada pemerintah



kurang mendapat sorotan yang cukup banyak. Sebaliknya alur cerita pengejaran orang-orang yang dianggap 'dalang' peristiwa 27Juli menjadi sorotan utama liputan media massa. Bahkan berita tentang korban 27 Juli sempat 'tenggelam' sampai Komnas HAM mengumumkan hasil temuan kontroversial mereka tentang 74 orang yang hilang.



SUMBER REFERENSI



- 1997. Tempo Interaktif. Pusat Data dan Analisa TEMPO. - Ajidarma, Gibran. Irawan Saptono. 1997. Peristiwa 27 Juli. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. - Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.



- Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Serambi. - Sudjatmiko, Budi. 2013. Anak Anak Revolusi. Jakarta: PT Kompas Gramedia.



Kompas 29/7/96, 30/9/96 http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2253/Peristiwa-27-Juli-1996