Prosiding TPT Ix Perhapi 2015 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISBN 978-979-8826-25-2



P RO S I D I N G



ISBN 978-979-8826-25-2



PROSIDING TEMU PROFESI TAHUNAN (TPT) XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015 JAKARTA, 26-28 OKTOBER 2015



“Strategi Pengelolaan Mineral dan Batubara untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional”



2015



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES XIV PERHAPI 2015



Salam PERHAPI, Indonesia terkenal akan kekayaan sumberdaya alam, terutama sumberdaya mineral dan batubara mulai dari emas, timah, tembaga, nikel, bauksit, dan batubara. Berdasarkan data USGS pada tahun 2013, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia, sedangkan produksinya sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat keenam dunia. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia menduduki peringkat kelima dunia, yakni sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga dunia, dan merupakan peringkat ketujuh dunia dengan peringkat produksi adalah 10,4% dari produksi dunia dan merupakan peringkat kedua. Begitu pula dengan potensi nikel. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat kedelapan dunia, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan peringkat keempat dunia. Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy pada tahun 2014, cadangan batubara Indonesia berkisar 3,1% cadangan batubara dunia, dengan jumlah ekspor terbesar di dunia. Dalam kurun waktu 2011 sampai 2013, sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan Negara setelah sektor pengolahan, perdagangan, dan sektor perantara keuangan. Hal ini menjadikan sektor pertambangan dan penggalian batubara merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketahanan ekonomi merupakan aspek utama dalam mewujudkan ketahanan nasional. Oleh karena itu, pemanfaatan komoditas mineral dan batubara Indonesia perlu ditingkatkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun dalam faktanya masih terdapat perbedaan persepsi antar sektor dalam mengaplikasikan kebijakan pengelolaan minerba yang ada. Disamping itu pemahaman masyarakat terhadap penggunaan produk dalam negeri masih dinilai kurang. Untuk mencapai ketahanan nasional, harus dimulai dengan kedaulatan sumber daya alam terutama sumber daya mineral dan batubara. Esensi terpenting dari kedaulatan sumber daya mineral dan batubara adalah penentuan arah kebijakan pembangunan oleh bangsa sendiri yang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Kemudian berlanjut ke tahap kemandirian, yaitu mampu mengelola dan mengolah sumberdaya alam sendiri. Kemandirian ini, selanjutnya akan menciptakan individu-individu yang kompeten, inovatif, dan kompetitif serta mampu bersaing dengan negara lain. Berdasarkan uraian diatas TPT XXIV PERHAPI dan Kongres IX kali ini mengambil tema “Strategi Pengelolaan Mineral dan Batubara untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional” dengan harapan diperolehnya suatu strategi sedemikian rupa sehingga pengelolaan mineral dan batubara Indonesia benar-benar akan memberikan hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketahanan nasional.. Dalam Acara ini, 55 makalah terpilih untuk dipresentasikan oleh anggota PERHAPI dan 4 makalah disampaikan dalam diskusi interaktif oleh pakar-pakar terkait. Prosiding ini berisi 68 makalah yang dibagi menjadi, Kelompok Eksplorasi, Kelompok Kebijakan, Kelompok Geoteknik, Kelompok Hidrogeologi, Kelompok Operasi Penambangan, Kelompok Peledakan, Kelompok Lingkungan, Kelompok K3L, Kelompok Metalurgi dan Student Paper Contest.



i



Diharapkan Prosiding ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan, khususnya dalam hal konservasi bahan tambang untuk masa depan industri pertambangan Indonesia yang lebih baik. Dalam kesempatan yang berbahagia ini pula, segenap Pengurus PERHAPI ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara TPT XXIV dan Kongres IX PERHAPI 2015.



Jakarta, Oktober 2015



Prof. Dr. Ir. Budi Sulistianto, MT Plt. Ketua Umum PERHAPI



ii



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015 DAFTAR ISI



Kata pengantar



i



Daftar Isi



ii



KELOMPOK I : EKSPLORASI 1



Eksplorasi Timah Indonesia, Seting Geologi, Eksplorasi Dan Estimasi Sumber Daya Timah, Setiawan Raharjo, PT. Timah (Persero) Tbk.



1



2



Karakteristik Laterisasi Nikel Daerah Konawe Sulawesi Tenggara, Adi Tonggiroh, Asri Jaya HS, Prodi Geologi Universitas Hasanuddin



13



3



Tinjauan Terhadap Realisasi Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (Reklamasi) Lahan Bekas Penambangan Timah Di Bangka, Wahyu Garinas, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)



18



4



Studi Potensi Hidrokarbon Batubara Formasi Muara Enim: Total Organic Carbon dan Rock Eval Pyrolysis, Mulyono Dwiantoro1, Komang Anggayana2, Sudarto Notosiswoyo2, Dwiwahju Sasongko3, 1Program Studi Doktor Rekayasa Pertambangan, FTTM, ITB Indonesia, 2Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi, FTTM, ITB Indonesia,3Kelompok Keahlian Energi dan Sistem Pemroses Teknik Kimia, FTI, ITB Indonesia



29



5



Studi Parameter Penentu Cokeability Batubara Formasi Batu Ayau Kalimantan Tengah Berdasarkan Hasil Analisis Crucible Swelling Number, Proximate, Total Sulphur dan Calorific Value, Komang Anggayana1, Wahyudi Zahar2, Agus HarisWidayat1, Mulyono Dwiantoro2, 1Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, ITB Indonesia, 2 Program Studi Magister dan Doktor Rekayasa Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, ITB Indonesia



40



6



Identifikasi Logam Berat Pada Lapisan Batubara Cekungan Kutai di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur, Sri Widodo1*, Sufriadin1, Anshariah2, Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin1, Jurusan



50



iii



Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia2 7



Karakterisasi Mineralogi dan Kimia Bijih Mangan Daerah Ponre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Irzal Nur, Sufriadin, Sri Widodo, Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin



59



8



Olistostrome Dan Batu Mulia Kompleks Tektonik Bantimala Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan, Kaharuddin MS, Asri Jaya, Haerany Sirajuddin, Program Studi Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Makassar



65



9



Hubungan Antara Logam Emas Dan Perak Dengan Pembentukan Jenis Mineral Ubahan Yang Berbeda Di Tambang Emas PT. Cibaliung Sumberdaya, “Sebuah Tantangan Untuk Penemuan Cebakan Tipe Porfiri”, Ir. M. Johaness Djuharlan, PT. Cibaliung Sumberdaya, Banten



77



10



Deep Mill Level Zone (DMLZ) of East Ertsberg Skarn System (EESS), Papua; Geology Factors of Disking Core in DMLZ Mine, Budirumantyo1, P. Silalahi1, F. Meiriyanto1, B. Antoro1, W. Sunyoto1, L. Soebari2, G. De Jong1, Ruswanto1, M. Siahaan1, E.Wibowo1, 1Underground Geology Operation Department – PTFI 2 Principal Consultant – PT. Mamberamo Mineral Services



90



11



Petrologi Endapan Bijih Besi Di Daerah Tojo Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah, Yanto Sudiyanto, Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral, TPSA-BPPT



99



12



Optimasi Sumberdaya Dan Cadangan Batubara PT. Bukit Asam (Persero), Tbk Melalui Eksplorasi Pengembangan Berbasis Kode KCMI (2011) & SNI 5015:2011 Untuk Rencana Operasional Tambang Bawah Tanah Diwilayah IUP Tambang Air Laya, Eko Pujiantoro, Monang Sianturi, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk.



112



KELOMPOK II : KEBIJAKAN 13



Optimalisasi Penggunaan Batubara Nasional Untuk Keperluan Pembangkit Listrik Dan Industri Dalam Negeri Demi Ketahanan Energi Nasional, Cahyo Tri Laksono, Chani Pradasara, Mahasiswa Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral - UPN “Veteran” Yogyakarta



123



14



Strategi Pembangunan PLTU Mulut Tambang Dalam Meningkatkan Profitabilitas Low Rank Coal Di Tambang Muara Tiga Besar Unit Pertambangan Tanjung Enim PT Bukit Asam (Persero) Tbk,



128



iv



Febriansyah, Bagus Totok Purnomo, Arya Gustifram, Taupan Ariansyah P. , PT Bukit Asam (Persero) Tbk 15



Kewajiban Usaha Pertambangan Batubara Membangun Pembangkit Listrik Untuk Kemandirian Energi, Ir. Amirrusdi,M.Si., Asesor Kompetensi LSP PERHAPI



137



16



Optimasi Cadangan Batubara, Efisiensi & Pemanfaatan Lahan (Metode Analisis Menentukan Nilai Tambah Pengelolaan Ijin Usaha Pertambangan, Kasus IUP Tambang Air Laya, Unit Pertambangan Tanjung Enim, PTBA), Wali Al Hasunah, PT Bukit Asam (Persero) Tbk,



142



17



Pengaturan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Undang-Undang Mineral Dan Batubara, Dr. Busyra Azheri, SH., M.Hum, Fakulatas Hukum Universitas Andalas Padang



152



18



Ekspor Dan Impor Industri Tembaga Di Asia Tenggara Menjelang Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean, Hidir Tresnadi, BPPT



162



KELOMPOK III : GEOTEKNIK 19



Pengelolaan & Pengendalian Pergerakan Lereng Untuk Memaksimalkan Recovery Batubara Di Area Rawan Longsor Menggunakan Slope Stability Radar PT Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam, Jioni Santo Frans1, Endang Wawan2, Rachmat Hamid Musa3, 1Geotechnical Engineer PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam Asam, 2Geologist & Geotechnical Supervisor PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam Asam, 3Geotechnical Engineer PT GroundProbe Indonesia



175



20



Managing Instability Issues At Push Back 9S3-Grasberg Mine Papua, Indonesia, E. Widijanto, R. Gautama, P. Siburian, D. Tebay, and I. Anggrika, Surface Mine GeoEngineering Department – PT Freeport Indonesia



188



21



New Perspective Of Wet Muck Risk Map : Lesson Learned From Wet Muck Spill In Coarse Fragmentation At Deep Ore Zone (DOZ) Block Caving Mine, Papua, Indonesia, Mochamad Ramadhan, Danny Wicaksono, Dhani Haflil, Bambang Antoro, Underground Mine Geology Department, PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua



198



22



Studi Kemantapan Lereng Dengan Metode Analisis Kinematika Pada Tambang Batupasir, Kelurahan Tani Aman, Kecamatan Loa Janan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Study Of Slope Stability



208



v



Based On Kinematica Analysis At Sandstone Mines, Tani Aman Villages, Loa Janan Sub District, Samarinda, East Kalimantan), Tommy Trides, Puguh Laksono, Farah Dinna Zainuddin, Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman 23



Analisis Probabilitistik Kestabilan Lereng Timbunan Bijih Nikel Kadar Rendah Nuspera Probability Analysis Of Slope Stability In Nuspera Low Grade Ore Dumpsite, Dezania Mersyifa Anggie1, Masagus Ahmad Azizi1, Irfan Marwanza1, Yoseph Kristianto1, 1 Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Kebumian & Energi Universitas Trisakti, 2PT Weda Bay Nickel, Halmahera



218



24



Ambang Batas Indikator Kestabilan Lereng Tunggal Pada Tambang Batubara (Acceptable Criteria Of Single Slope Stability Indicator In Coal Mining), Masagus Ahmad Azizi1*, Suseno Kramadibrata2, Ridho Kresna Wattimena3, Indra Djati Sidi4, 1Prodi Teknik Pertambangan, FTKE Universitas Trisakti, Indonesia, 2Presiden Direktur, PT Bumi Resources Mineral, 3Prodi Teknik Pertambangan, FTTM Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 4 Prodi Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung



227



25



Perbandingan Aplikasi Limit Equilibrium (LEM) vs Finite Element (FEM) untuk Analisa Kestabilan Lereng, Deki Nirrambodo, Lufi Rachmad, GEOMINE Mining and Geotechnical Consultant, Bandung



242



26



Predicting Wetmuck Spills Based On Packmuck Distribution In Doz Block Cave Mine, Papua, Dody Olua, Bambang Antoro, Geoffrey De Jong, Chris Aloysius, PT. Freeport Indonesia



253



27



Pengaruh Ukuran Dan Karakteristik Batuan Pada Penentuan Fracture Toughness Mode Rekahan I Dengan Metode Uji Brazilian Disc Dan Chevron Bend. I Dewa Gede Oka Raghunatha1, Nuhindro Priagung Widodo2, 1mahasiswa Program Studi Terknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung, 2dosen Program Studi Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung



261



28



Studi Laju Penembusan Pada Batuan Menggunakan Metode Pengeboran Rotari Di Laboratorium, Marihot Panindangi Siburian*, Nuhindro Priagung Widodo, Ganda Marihot Simangunsong, Suseno Kramadibrata, Program Studi Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung



271



Evaluasi Rasio Nilai Cumulative Displacement Terhadap Kelas Kerusakan Pada Sistem Pemetaan Kerusakan (Damage Mapping) Di Extraction Level DOZ PT Freeport Indonesia, Sandi Firmanulhaq1,



281



29



vi



Anwar Sjadat1, Yali Gidion Irab2, 1underground Geotechnical & Hydrology Department – PT Freeport Indonesia, 2mahasiswa Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Dan Sains Jayapura (ISTJ) 30



Kajian Terintegrasi Penanggulangan Longsoran PIT Inul East, PT Kaltim Prima Coal, Anwar, Khairul; Iswanto; Sugara, Tambar; Prabawa, Dodi; Prabowo, Andrianus; Sitinjak, Bistok, PT. Kaltim Prima Coal



290



31



Dampak Kondisi Atmospheric Terhadap Kualitas Data Pemantauan Lereng Di Tambang Batu Hijau - PT Newmont Nusa Tenggara, Armandho Atma Pramadhani dan Yan Adriansyah, PT Newmont Nusa Tenggara



300



32



Analisis Karakteristik Longsor Lereng Lowwall Tambang Terbuka Batubara Ditinjau Dari Monitoring Radar, Rachmat Hamid Musa, Singgih Saptono, Program Studi Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta



310



33



Pengelolaan Dan Mitigasi Potensi Bahaya Ketidakstabilan Lereng Tambang - Studi Kasus PT. Berau Bara Energi, Jamal Musta’in1, Yasser Taufik2, 1Program Studi Magister Teknik Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta, 2Exploration Division, PT. Atlas Resources



318



KELOMPOK IV : HIDROGEOLOGI 34



Kajian Geoteknik Desain Penambangan Kembali Ex PIT E1g1, Blok B1 Tambang Sambarat PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Syamsul Bahri1), Lukman Hakim2), Welly Turupadang3), 1)Geotechnic Engineer,2)Geotechnic Superintendent, 3) Geotechnic & Hydrology Manager



329



35



Dedicated Underground Drainage Drift For Dewatering Wanagon Overburden Stockpile, Grasberg Mine – PT. Freeport Indonesia, E. Widijanto, I. Setiawan, and G. Prasetyo, PT. Freeport Indonesia, Papua



338



36



Mining Hydrogeological Problems Inunderground Excavation Of Vein-Typed Gold Deposit Under Hydraulic Inter-Connection With Surface Water Body The Concept And Frame Work, Lilik Eko Widodo, Lecturer at Dept. of Mining Engineering, Institute Technology of Bandung



348



37



Dewatering Area Bekas Pit E1g1 Menggunakan Kombinasi Slurry Pump Di Blok B1 Sambarata Mine Operation PT. Berau Coal, Wandi, Arief Hudiantoro, PT Berau Coal



355



vii



38



Dewatering Drilling Program And Groundwater Level Monitoring In Big Gossan Mine, Papua, Indonesia, Jaka Satria Budiman, Fari Putra, Unggul Barito, PT Freeport Indonesia affiliated FreeportMcMoRan Copper & Gold



365



39



Strategi Pond Maintenance Di PT. Kaltim Prima Coal, Doris Antoni, ST, MBA, PT. Kaltim Prima Coal



373



40



Technical And Economic Assessment Study Of Constructed Wetlands In Storm Water Management Of Coal Mining, Gede Abdi Dharma Pribadi, Maulana Ibrahim Rau, PT Quantus Consultants Indonesia



382



41



Pemilihan Metode Intensitas Hujan Yang Sesuai Dengan Karakteristik Data Pos Hujan Tambang Pt. Berau Coal, Kabupaten Berau Kalimantan Timur, Hanafi, Ahmad Baiquni, PT Berau Coal



392



KELOMPOK V : OPERASI PENAMBANGAN 42



Integrated Quality Control Sistem In Bauxite Mining, Gembong Suryo Wibowo, PT ANTAM (Persero) Tbk. Bauxite Mining Business Unit, West Borneo, Indonesia



403



43



Penentuan Pola Dan Frekuensi Penyebaran Batupack IUP OP Tambang Air Laya Dan Bankobarat PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., Willson Chani S, Suhendra, Fajar Ardiansyah, PT. Bukit Asam (Persero) Tbk



410



44



Rekonsiliasi Perencanaan Tambang Tahunan Dan Pengaruhnya Terhadap Target EBITDA Perusahaan Di PIT H,Tambang Satui PT Arutmin Indonesia, Fera Fajar Nurhidayat, Abdul Kahar, PT.Arutmin Indonesia



420



45



Penentuan Arah Penambangan Berdasarkan Hasil Optimasi PIT X Dengan Parameter NPV, Abdul Kahar, Senior Mine Engineer, PT Arutmin Indonesia



432



46



Optimalisasi Penambangan Batubara Di Area Perbatasan IUP Dengan Metode Joint PIT Antara PT. Bhumi Rantau Energi Dan PT. Energi Batubara Lestari (Joint Pit Blok Ambalat), Cecep H Setiadi, Sumarwan, PT. Bhumi Rantau Energi



444



47



Estimating The Number Of Trucks Required Using Surpacminesched Scheduling For MT. Rawdon Gold Mine, Patar Simbolon, Mining One Consultants Pty Ltd



451



viii



48



Implementasi Fatigue Monitoring Alert System Terintegrasi dengan Teknologi Dispatch (GOIC) Pada Overburden Truck di PT. Kaltim Prima Coal, Andry, Nalendro Sutri, Vita Perdana, PT. Kaltim Prima Coal



462



49



Typical Mine Planning For The Combination Of Cast Blast, Dozer Push, Dragline, And Truck/Shovel Mining Method, Ievan Ludjio, Mining One Consultants Pty Ltd



472



50



Studi Mengenai Ventilasi Tambang Batubara Bawah Tanah PT XYZ Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Ventsim Visual 3, Muhammad Ihsan1, Nuhindro Priagung Widodo1, Darius Agung Prata2, 1Program Studi Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung, 2Balai Diklat Tambang Bawah Tanah



482



51



Kajian Pengaruh Overbreak Terhadap Biaya Ground Supporting Di BC-613 Tail Access Dan BC-612 Transfer Access, Grasberg Block Cave, PT. Freeport Indonesia, Bagea Kriska1, Arjuna Putra Ginting2,Singgih Saptono1,Barlian Dwinagara1, 1Magister Teknik Pertambangan, Konsentrasi Geomekanika, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”Yogyakarta, Indonesia, 2 Underground Geotech and Hidrology Dept, PT. Freeport Indonesia



493



KELOMPOK VI : PELEDAKAN 52



Kajian Teknis Pengontrolan Tingkat Getaran Tanah (Ground Vibration Level) Pada Operasi Peledakan Di PIT Pinang South PT Kaltim Prima Coal, Hadiid Ilman Rahman, Untung Pramana, PT. Kaltim Prima Coal



503



53



Manajemen Sistem Drilling Dan Blasting Melalui Aplikasi Leica Jigsaw® Di PT. Newmont Nusa Tenggara, Imansah, PT. Newmont Nusa Tenggara



513



54



Analisis Ukuran Fragmentasi Batuan Hasil Peledakan Berdasarkan Penggunaan Stemtite, Di PIT Pinang South PT. Kaltim Prima Coal, Sangatta Kalimantan Timur, Wildan Rahdyas1, Windhu Nugroho1, Tommy Trides1, Iwan Purba2, 1Prodi S1 Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman, 2PT. Kaltim Prima Coal



522



55



Analisis Pengaruh Kondisi Massa Batuan Terhadap Blast Damage Di Tambang Bawah Tanah, Grasberg Block Cave, PT. Freeport Indonesia, Bagea Kriska1, Arjuna Putra Ginting2,Singgih



532



ix



Saptono1,Barlian Dwinagara1, 1Magister Teknik Pertambangan, Konsentrasi Geomekanika, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”Yogyakarta, Indonesia, 2PT. Freeport Indonesia KELOMPOK VII : LINGKUNGAN TAMBANG 56



Penggunaan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Dalam Menunjang Proses Revegetasi Lereng, N. Iman Suansa, PT ANTAM (Persero) Tbk.



539



57



Penetapan Kriteria Keberhasilan Reklamasi Tambang, Antitesis Konsep Pembangunan Berkelanjutan, Rezki Syahrir, Ondos N. Saragih, Indonesian Institute for Sustainable Mining



546



58



Potensi Zeolit Alam Dalam Prospektif Remediasi Pencemaran Merkuri Pada Pertambangan Emas Rakyat Serta Pengaruhnya Terhadap Sektor Primer Di Formasi Kebo Butak, Gedang Sari, Daerah Istimewa Yogyakarta, Hafidha Dwi Putri Aristien1, Syaifful Amri2, Hedi Hastriawan3, 1Mahasiswa Program Sarjana, Jurusan Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung, 2 Mahasiswa Program Sarjana, Jurusan Teknik Pertambangan, UPN Veteran Yogyakarta, 3Mahasiswa Program Sarjana, Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Sriwijaya



554



59



Wetland : Eko-Teknologi Pengolahan Pasif Air Asam Tambang, Faisal Danu Tuheteru1, Edy Jamal Tuheteru2, 1jurusan Kehutanan Universitas Halu Oleo, Kendari, 2jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Trisakti



562



KELOMPOK VIII : K3L 60



Implementasi ISO 50001:2011 (Sistem Manajemen Energi) Pada Industri Pertambangan. Sebuah Terobosan Efisiensi – Penurunan Signifikan Biaya Operasional, Gilbert Markus Nisahpih, PT Gilbert Management (Geology & Mining Consultant)



575



61



Elemen-Elemen Program Industrial Hygiene Pada Kegiatan Pertambangan PT Freeport Indonesia, Ir. Eka Sumarna, M.Kes, Manager, Occupational Health & Safety, PT Freeport Indonesia



581



x



62



Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan Mineral Dan Batubara Sesuai Dengan Peraturan Menteri Esdm Nomor 38 Tahun 2014 Di PT. Kaltim Jaya Bara, Geniusman Sidabutar, PT. Kaltim Jaya Bara



591



KELOMPOK IX : METALURGI 63



Kajian Teknis Dan Ekonomis Kinerja Washing Plant Bijih Bauksit PT. ANTAM (Persero), Tbk UBPB Tayan, A. Taufik Arief, Hedi Hastriawan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya



599



64



Perbandingan Proses Pengolahan Dan Hasil Produk Smelter Grade Alumina (SGA) Dan Chemical Grade Alumina (CGA), Rinto Dwihartanto, PT Antam (Persero), Tbk, PT Indonesia Chemical Alumina



610



65



Low Quality Coal Processing Technology Innovation and Development for Cokes and Carbon Raiser Production and Its Application for Metallic Mineral Reduction (Pengembangan Teknologi Inovasi Pengolahan Batubara Berkualitas Rendah untuk Produksi Kokas dan Carbon Raiser serta Aplikasinya pada Reduksi Mineral Logam), Anggoro Tri Mursito, Aditya Wibawa, Bagus Dinda Erlangga, Research Centre for Geotechnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)



620



66



Dampak keekonomian kebijakan nilai tambah tembaga dan mineral ikutannya,Aryo Prawoto WIBOWO1) dan Said Salem AL HAMID2) 1Staf



627



Pengajar Program Studi Rekayasa Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan IT B



KELOMPOK X : STUDENT PAPER CONTEST 67



Perbandingan Metode CaO Dan Metode Biostimulan Terhadap Keefektifan Pengelolaaan Air Asam Tambang, Muhammad Adli Fikri1, Riri Rahmahwati Joni1, Dwi Hariana Pane1, Yahdi Azzuhry2, Tri Gamela Saldy2, 1mahasiswa Teknik Pertambangan, Universitas Negeri Padang



68



“Analisis Kestabilan Lereng Berdasarkan Slope Mass Rating Pada Tambang Batupasir, Kelurahan Loa Janan Ulu, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur”, (Analysis of slope stability based on slope mass rating at sandstone mines, Loa Janan Ulu Village, Loa Janan Sub district, Kutai Kartanegara, East Kalimantan), Nurfaizah Rohmah, Muhammad Fitra, Sony Mahardika, Azarya Ardfensone Depari1, Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman,



xi



69



xii



Pemanfaatan Fly Ash Dan Bottom Ash Batubara Untuk Reklamasi Lahan Asam Bekas Tambang, Mori Ferdiansyah, Jurusan Teknik Pertambangan -FTMK, Institut Teknologi Adhi Tama



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



EKSPLORASI TIMAH INDONESIA SETING GEOLOGI, EKSPLORASI DAN ESTIMASI SUMBER DAYA TIMAH SETIAWAN RAHARJO, PT. TIMAH (PERSERO) TBK. JL. JEND. SUDIRMAN NO. 51 PANGKALPINANG, BANGKA, INDONESIA ABSTRACT Geological deposition of tin in Indonesia is part of the Tin Belt zone of Southeast Asian , which stretched from China - Myanmar / Thailand - Malaysia to Indonesia. The precipitate tin is the result of a process that is controlled by sub duction process that cause "lifting" on the Indochina crust and East Malaya crust which was part of Gondwana. Magmatism processes of continental crust produces S Type granite which brought tin. This rock can be classified as biotite granite which later by Ishihara classified as "Ilmenite Series". In Indonesian, tin deposits can be found in Bangkinang (Riau), Kundur - Bintan - Singkep (Riau Islands), Bangka Belitung until West Kalimantan. Tin deposits could be discovered as a primary tin deposits and alluvial tin deposits (placer). The existence of precipitated deposits of tin primary is controlled by the geological structure prior to the Triassic-Jurassic age that form openings trap for quartz veins associated with mineral casiterite. In addition there is also a tin deposition is spread on the body of granitic rocks. Thus the primary tin deposition which we have encountered generally in the form greisen on the granite body and in the vein of country rock. The existence of alluvial tin deposits (placer) is controlled by the global climatic conditions during the period of 1.9 million years until 500, 000 years ago (Pliocene-Pleistocene) which has the characteristics of a fluctuating global climate change between wet and dry climate. These conditions cause rock Granitic experience the process of weathering, erosion and transportation. The existence of ancient valleys in the Indonesian Tin islands and seabed between the Riau Islands until Borneo became a trap for deposition tin alluvial (placer). Thus tin placer deposits can be found in the colluvial deposit, elluvia deposit and alluvial deposit (river and coastal). Moreover, it can be found at the location of the trap and "sink hole". Characteristics of primary tin deposit and tin placer deposit is somewhat different, so that in conducting exploration activities and in making estimates of resources and reserves of tin had to use a slightly different method. Primary tin deposit exploration activities using the search method for distributing rocks undergo mineralization process, using the IP geophysical equipment - Resistivity and gravity are then conducted core drilling activities at the location indicated by the tin deposits. Drilling sample preparation in the form of rocks made by way of mashed, then conducted laboratory analysis with XRF equipment.



1



Alluvial tin deposit exploration activity (placer) using seismic equipment to map the spread of paleo-channel and gravel were then carried out drilling with counter flash system ( disturbed sample ) at the location indicated by the gravel. Sample drilling results in the form of sand and then carried out the preparation of samples by panning . Further laboratory analysis by XRF methods, microscopy and chemistry. Primary tin resource estimate done by making the block models for the spread of veins containing lead, then do the calculations, as for tin placer deposition using half of the area of influence. Keywords: characteristics of tin deposit , exploration, primary tin, alluvial tin



RINGKASAN Geologi endapan timah di Indonesia merupakan bagian dari Jalur Timah Asia Tenggara yang membentang dari China – Myanmar / Thailand - Malaysia hingga Indonesia. Endapan timah merupakan hasil proses mamatisme yang dikontrol oleh sunduction yang kemudian terjadi proses pengangkatan (lifting) pada kerak Benua Indochina dan East Malaya yang berupakan bagian dari Gondwana. Magmatisasi kerak benua menghasilkan batuan granit tipe ”S” yang membawa timah. Batuan pembawa timah ini dapat diklasifikasikan sebagai Biotit Granit yang kemudian oleh Ishihara diklasifikasikan sebagai ”Ilmenite Series”. Di Indonesia endapan timah dapat dijumpai di Bangkinang (Riau), Kundur – Bintan - Singkep (Kepri), Bangka Belitung hingga Kalimantan Barat. Endapan timah masih dapat kita jumpai sebagai endapan timah primer dan endapan timah alluvial (placer). Keberadaan cebakan endapan timah primer sangat dikontrol oleh struktur geologi berumur sebelum Trias-Jura yang membentuk bukaan perangkap bagi urat-urat kuarsa yang bersosiasi dengan mineral kasiterit. Selain itu endapan timah juga ada yang tersebar pada tubuh batuan granit. Dengan demikian endapan timah primer yang telah kita jumpai umumnya tersebar pada tubuh batuan granit dan urat pada batuan yang diterobos. Keberadaan cebakan endapan timah alluvial (placer) sangat dikontrol oleh kondisi iklim global pada kurun waktu 1.9 juta tahun hingga 500, 000 tahun lalu (Pliocene-Pleistocene) yang memiliki karakteristik perubahan iklim global yang fluktuatif antara iklim basah dan kering. Kondisi ini mengakibatkan batuan granitis mengalami proses pelapukan , erosi dan transportasi. Keberadaan lembah-lembah purba di Kepulauan Timah Indonesia dan dasar laut antara Kepulauan Riau hingga Kalimantan menjadi perangkap bagi endapan timah alluvial (placer). Dengan demikian endapan timah placer dapat dijumpai berupa endapan kollovial, elluvial dan alluvial (sungai dan pantai). Selain itu dapat ditemukan pada lokasi graben dan “sink hole”. Karakteristik endapan timah primer dan endapan timah placer agak berbeda, sehingga dalam melakukan kegiatan eksplorasi maupun dalam melakukan estimasi sumber daya dan cadangan timah harus menggunakan metode yang sedikit berbeda. Kegiatan eksplorasi endapan timah primer menggunakan metode penelusuran penyebaran batuan yang mengalami proses meneralisasi, dengan menggunakan peralatan geofisika IP – Restivity dan gravity yang kemudian dilakukan kegiatan pemboran inti pada lokasi yang terindikasi adanya cebakan timah. Sampel pemboran yang berupa batuan dilakukan preparasi dengan cara dihaluskan , kemudian dilakukan analisa laboratorium dengan peralatan XRF.



2



Kegiatan eksplorasi endapan timah alluvial (placer) menggunakan peralatan seismik untuk memetakan penyebaran lembah purba dan gravel yang kemudian dilakukan pemboran dengan sistem couter flas (sampel terganggu) pada lokasi yang terindikasi adanya gravel. Sampel hasil pemboran berupa pasir kemudian dilakukan preparasi conto dengan cara didulang. Selanjutnya dilakukan analisa laboratorium dengan metode XRF, mikroskop dan kimia. Estimasi sumber daya timah primer dilakukan dengan pembuatan blok model atas penyebaran urat yang mengandung timah, kemudian dilakukan perhitungan, adapun untuk endapan timah placer menggunakan metode setengah daerah pengaruh.



Kata kunci: karakteristik endapan timah, eksplorasi, timah primer, timah alluvial



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia belum banyak perusahaan pertambangan yang secara serius melakukan kegiatan eksplorasi. Hanya oleh PT Timah dan beberapa perusahaan swasta, itupun hanya PT Timah yang secara terus menerus melakukan kegiatan eksplorasi dari 50 tahun lalu hingga saat ini. Kondisi tersebut tidak seperti kegiatan eksplorasi mineral lain (seperti emas dan nikel) dan batubara yang begitu banyak perusahaan baik BUMN maupun swasta telah melakukan kegiatan eksplorasi maupun penambangan. Oleh karena itu melalui makalah ini, penulis mencoba memberikan gambaran sedikit tentang eksplorasi timah di Indonesia. Dengan demikian diharapkan akan menambah wawasan bagi para penggiat kegiatan eksplorasi minera di Indonesia.



1.2 Sejarah Eksplorasi Timah Sesungguhnya kegiatan eksplorasi timah di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum tahun 1830, namun pada periode tahun 1830 s.d. 1860, perusahaan belanda melakukan kegiatan eksplorasi secara besar besaran di Riau, Singkep, Anambas, Bangka dan Belitung. Kegiatan eksplorasi masih difokuskan di darat. Pada periode tahun 1960, kegiatan eksplorasi mulai dilakukan ke laut menggunakan ponton bor dan kapal bor. Kegiatan eksplorasi selanjutnya dilakukan baik oleh perusahaan Belanda (setelah dinasionalisasi bernama PN Timah) maupun oleh Direktorat Geologi Bandung ke Kandawang Kalimantan Barat, Longlai Kalimantan Timur, Flores, Sulawesi hingga daerah Anggi Irian Jaya (Sutedjo Sujitno), Gambar 1.1.



3



Dari rententan kegiatan eksplorasi tersebut, akhirnya diyakini bahwa keberadaan timah yang memiliki nilai ekonomis hingga saat ini adalah pada daerah Riau-Kepulauan RiauSingkep-Bangka-belitung dan sedikit di daerah Ketapang Kalimantan Barat, yang merupakan bagian kepenerusan dari Sabuk Timah Asia Tenggara.



1.3 Kondisi Terkini Kondisi terkini kegiatan eksplorasi hanya dilakukan di wilayah IUP milik PT Timah (Persero) Tbk dan sedikit di blok IUP milik perusahaan swasta maupun di beberapa lokasi yang dilakukan oleh Badan geologi Bandung. Meskipun dari hasil kajian geologi, baik yang dilakukan oleh PT Timah, Badan geologi maupun PPGL meyakini masih banyak daerah potensi timah, namun pengembangan kegiatan eksplorasi tidak dapat dilakukan secara maksimal, karena terkendala peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Indonesia kesulitan menyiapkan diri untuk dapat mencapai kejayaan timah kembali, akibat minimnya cadangan timah yang dimiliki.



4



BAB 2 SETING GEOLOGI ENDAPAN TIMAH 2 .1 Geologi Regional Geologi endapan timah di Indonesia merupakan bagian dari Jalur Timah Asia Tenggara yang membentang dari China – Myanmar / Thailand - Malaysia hingga Indonesia. Endapan timah merupakan hasil proses magmatisme yang dikontrol oleh sunduction yang kemudian terjadi proses ”lifting” pada kerak Benua Indochina dan East Malaya yang berupakan bagian dari Gondwana. Kerak benua yang didonimasi oleh batuan sedimen, selanjutnya diterobos oleh magma sehingga terjadi proses magmatisasi terhadap tubuh batuan yang diinterusi, yang selanjutnya menghasilkan batuan granit tipe ”S” (tipe sedimen). Di lapangan banyak ditemukan adanya xenolith batuan metasedimen pada batuan granit,sebagai salah satu penciri batuan granit tipe ”S”. Penyebaran batuan granit memanjang dari china-Thailand-Malaysia hingga indonesia kemudian dikenal dengan nama ”Tin Belt Zone”, Gambar 2.1. Umum batuan pembawa timah adalah Granit tipe ”S” yang dapat diklasifikasikan sebagai Biotit Granit yang kemudian oleh Ishihara diklasifikasikan sebagai ”Ilmenite Series”.



5



Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa keberadaan timah berasosiasi pada tubuh batuan granit Tipe “S” maupun tipe endapan granit campuran tipe “S “ tipe I (“I-S” Type). Sedangkan pada batua granit tipe “I” tidak dijumpai keberadaan endapan timah.



Di Indonesia penyebaran batuan granit yang mengandung timah dapat dijumpai di Bangkinang (Riau), Kundur – Bintan - Singkep (Kepri), Bangka Belitung hingga Kalimantan Barat. Endapan timah dapat kita jumpai sebagai endapan timah primer maupun endapan timah alluvial (placer). 2 .1 Endapan Timah Primer Keberadaan cebakan endapan timah primer sangat dikontrol oleh struktur geologi berumur sebelum Trias-Jura yang arah umumnya tenggara-barat laut. Struktur ini membentuk bukaan yang diterobos oleh tubuh batuan granit dan urat-urat kuarsa, turmalin, oksida besi dan kaolin (feldspar), dengan arah umum barat laut – tenggara, Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.



Endapan timah berada tersebar pada tubuh batuan granit, maupun urat. Dengan demikian endapan timah primer yang telah kita jumpai umumnya tersebar pada tubuh batuan granit dan urat pada batuan yang diterobos baik pada zona sulfide maupun zona oksida. Hhal tersebut dapat kita temukan adanya timah pada urat yang berasosiasi dengan Hematit (Fe2O3),Siderite (Fe CO3) Markasit (FeS2),Pyrite (FeS2) dan lain-lain.



6



2 .2 Endapan Timah Alluvial



Genesa terbentuknya endapan timah alluvial (placer) sangat ditentukan oleh 3 faktor Utama yaitu: adanya sumber batuan yang mengandung timah, proses (perubahan muka laut  perlapukan, erosi, transportasi) dan adannya perangkap tempat terendapannya material (sungai,graben dll.) Keberadaan cebakan endapan timah alluvial (placer) sangat dikontrol oleh kondisi muka laut dan iklim global pada kurun waktu 1.9 juta tahun hingga 500, 000 tahun lalu (Pliocene-Pleistocene) yang memiliki karakteristik perubahan iklim global yang fluktuatif antara iklim basah dan kering. Kondisi ini mengakibatkan batuan granitis mengalami proses pelapukan, erosi dan transportasi.



7



Keberadaan lembah-lembah purba di Kepulauan Timah Indonesia dan dasar laut antara Kepulauan Riau hingga Kalimantan merupakan bagian hulu dari lembah dari sitem lembah utama yang bermuara ke laut China Selatan (Pleistocene sea-level maps of Southeast Asia, Molengraff, 1921). Lembah ini menjadi perangkap bagi endapan timah alluvial (placer). Dengan menggabugkan pola lembah Molengraff dan Pratetiary Sunda Platform And Ridge Sumatera-Jawa (Koesoemadinata & Pulunggono, 1971) serta kondisi muka laut saat ini, dapat kita ketahui bahwa keberadaan lembah yang menjadi perangkap terbentuknya endapan timal placer sebagian besar berada di wilayah yang saat ini telah menjdi wilayah laut, Gambar 2.4. Tipologi endapan timah placer dapat dijumpai berupa endapan kollovial, elluvial dan alluvial (sungai dan pantai). Selain itu dapat ditemukan pada lokasi graben dan “sink hole”. Selain itu secara teoritis dapat juga berupa endapan kipas aluvial, namun sampai saat ini penulis belum dapat menemukan tipe endapan yang memiliki cirri-ciri sebagai eandapan kipas aluvial, Gambar 2.5. Dalam dunia pertimahan dikenal istilah “kong” endapan “kaksa” dan endapan “mincan”. Kong adalah lapisan tidak bertimah lagi (batuan dasar), kaksa’adalah endapan timah yang secara vertikal berada di atas kong, sedangkan “mincan” adalah endapan timah yang berada menyisip pada lapisan lempung yang berada di atas kaksa berupa endapan pasir dan kerikil. Keberadaan kaksa dan mincan ini sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka laut dan iklim global, Gambar 2.6.



8



BAB 3 METODE ESPLORASI Secara umum kegiatan eksplorasi endapan timah primer maupun endapan timah placer memiliki kesamaan, mulai dari perencanaan, survey geologi, survey geofisika, pemboran, pengukuran, analisa laboratorium dan penggolahan data, Gambar 3.1 namun secara detail terdapat perbedaan dalam pendekatan geologi, penggunaan peralatan maupun metode preparasi samplenya Gambar 3.2. 3.1 Eksplorasi Timah Primer Kegiatan eksplorasi endapan timah primer menggunakan metode penelusuran penyebaran batuan yang mengalami proses meneralisasi, dengan menggunakan peralatan geofisika IP – Restivity dan gravity yang kemudian dilakukan kegiatan pemboran inti pada lokasi yang terindikasi adanya cebakan timah. 9



Sampel pemboran yang berupa batuan, dilakukan preparasi dengan cara dihaluskan , kemudian dilakukan analisa laboratorium dengan peralatan XRF dan kimia.



3.2 Eksplorasi Timah Placer Kegiatan eksplorasi endapan timah alluvial (placer) menggunakan peralatan seismik untuk memetakan penyebaran lembah purba dan gravel, yang kemudian dilakukan pemboran dengan sistem couter flas (sampel terganggu) pada lokasi yang terindikasi adanya gravel yang mengandung timah. Sampel hasil pemboran berupa pasir kemudian dilakukan preparasi conto dengan cara didulang. Selanjutnya dilakukan analisa laboratorium dengan metode XRF, mikroskop dan kimia.



10



BAB 4 ESTIMASI SUMBER DAYA TIMAH Tahapan dalam melakukan estimasi sumber daya timah baik primer maupun placer secara umum memiliki kesamaan, perbedaannya haya pada saat membuat model geologi dan perhitungannya. Diagram alur tahapan estimasi sumber daya dapat dilihat pada Gambar 4.1. Estimasi sumber daya timah primer dilakukan dengan pembuatan blok model atas penyebaran urat yang mengandung timah, kemudian dilakukan perhitungan, adapun untuk endapan timah placer dalam perhitungannya menggunakan metode setengah daerah pengaruh.



DAFTAR PUSTAKA



- Hamdan Z. Abidin, 1998 Hasil Penelitian Geologi Di Daerah Penagan Dan Mangkol, Pulau Bangka, Puslitbang Geologi , Bandung - Ishihara dkk, 1979 The Magnetite-series And Ilmenite-series Granitoids And Their Bearing On Tin Mineralization, Particularly Of The Malay Peninsula Region, Bulletin , Malaysia



11



- Koesoemadinata,R.P., 1996, “Sequenstratigraphy” Pergeseran Paeadigma dalam Ilmu geologi, Proceedings of The 15th annual Convention of the Association of Geologist. - Hosking, 1969, Major types of primary tin deposits in Cornwall , dalam The Cornubian Ore Province - a Review, http://myweb.tiscali.co.uk/geologyofcornwall - Raharjo, Setiawan, 2004 , Evaluasi Geologi Eksplorasi Timah di Perairan Belitung, Bangka, Singkep, Kundur, Bangka Indonesia - Raharjo, Setiawan, 2005 , Prospek Timah Di Lepas Pantai Kepulauan Timah Indonesia, Bangka Indonesia - Sujitno, Sutedjo, 2015 , Timah Indonesia Sepanjang Sejarah, Bangka Indonesia - Tjia H.D., 1989. Workshop on Quartenary Sea-Level Changes and Related Geological Processes In relation To Secondary Tin Deposits, Bangka Indonesia



12



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



KARAKTERISTIK LATERISASI NIKEL DAERAH KONAWE SULAWESI TENGGARA Adi Tonggiroh 1), Asri Jaya HS 2) 1) & 2)* Prodi Geologi Universitas Hasanuddin



ABSTRAK Meskipun saat ini aktifitas kegiatan eksplorasi nikel laterit di Sulawesi menurun tajam, namun kondisi ini justru meningkatkan penelitian dibidang eksplorasi mineral, salah satunya adalah mengevaluasi kembali karakteristik lapisan endapan nikel laterit melalui data pemboran. Hal ini cukup menarik untuk dikaji, utamanya profil lapisan endapan nikel laterit, molase dan batuan metamorf yang relatif dipengaruhi oleh sesar lokal Koawe dan regional Lasolo dengan arah baratlaut tenggara. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa, secara horisontal sebaran endapan nikel laterit relatif bersentuhan dengan batuan metamorf, sedimen dan endapan molase, mempengaruhi kondisi geologi vertikal horisontal endapan laterit yang memiliki potensi kadar nikel cukup rendah apabila dikaitkan dengan kebutuhan nilai kadar nikel pada saat itu. Pendekatan metode penelitian diawali pada pengamatan singkapan, analisis XRF dan petrografi digunakan pada data pemboran sampel laterit dan batuan ultramafik. Penelitian ini merupakan kajian terhadap beberapa data singkapan, data titik bor dan pemetaan geologi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik lapisan endapan nikel laterit yang erat kaitannya dengan struktur geologi regional lasolo. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) laterisasi pembentukan lapisan limonit dipengaruhi oleh batuan metamorf, sedimen dan molase sehingga Intensitas pembentukan lapisan saprolit relatif kuat dibanding lapisan limonit (2) Kontrol struktur geologi menghasilkan bentangalam dengan intensitas laterisasi yang berbeda. Kata Kunci : laterisasi nikel, Konawe Sulawesi Tenggara.



A.



PENDAHULUAN Umumnya endapan nikel laterit dipengaruhi oleh proses geologi, iklim, air dan topografi. Proses ini terjadi pada batuan ultramafik dan membentuk endapan laterit, diantaranya terdapat unsur logam dan non logam seperti nikel, besi dan silika. Tinjauan tektonik menunjukkan bahwa endapan nikel laterit dapat dijumpai pada kondisi geologi regional tertentu terutama erat kaitannya dengan ofiolit batuan ultramafik. Kondisi ini dapat dijumpai pada endapan nikel laterit yang dipengaruhi oleh sesar regional di daerah penelitian yang masuk wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Tulisan ini merupakan kajian terhadap beberapa data singkapan batuan ultramafik, batuan metamorf dan molase, data titik bor dan pemetaan geologi yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik lapisan endapan nikel laterit.



13



B.



KONDISI GEOLOGI



 Bentangalam Rekaman aktvitas struktur geologi regional lasolo dapat dilihat di lapangan terutama pada bentuk bentangalam yang tidak beraturan mengikuti arah yang sejajar maupun imbasan dari pergerakan sesar lasolo. Aspek perbedaan sudut lereng maupun batuan penyusun ultramafik dan non ultramafik, merupakan pendekatan pengamatan lapangan dalam menginterpretasi profil endapan nikel laterit. Bentangalam bergelombang denudasional, disusun oleh batuan batuan ultramafik, batupasir, batugamping, fragmen campuran berbagai bentuk dan berukuran lebih kecil dari kerikil, soil berwarna abu-abu kecoklatan. (Gambar 2). Proses pelapukan aktif diketahui dari kondisi soil residual dan transported, berwarna coklat sampai coklat kehitaman. Bentangalam pedataran denudasional, disusun oleh residual soil terbentuk dari hasil lapukan batuan dan mengalami transportasi, tebal 0,2 meter sampai < 1 meter, warna coklat, coklat kehitaman. Secara megaskopis dijumpai proses pengelupasan lapisan fragmen soil yang disebabkan oleh proses erosi dan pelapukan (Gambar 3). Analisa morfogenesa terhadap kondisi di lapangan menunjukkan proses genetik yang berkembang yaitu terbentuknya endapan kolovium yang merupakan campuran material endapan molase, material lepas hasil pelapukan batuan metamorf berukuran lempung hingga kerakal.  Litologi Batuan Ultramafik Petrografis nikol sejajar pada batuan ultramafik menunjukkan warna coklat tua dan coklat-abu-abu pada nikol silang, terdapat tekstur mesh, ukuran sedang- kasar, telah mengalami ubahan dengan intensitas intensif (serpentinisasi). Meskipun tekstur batuan telah terubah, namun masih memperlihatkan jejak pola mineral mafik piroksen dan olivin. Mineral serpentin, klorit, karbonat (kalsit) hadir sebagai mineral ubahan tersebar acak dengan bentuk anhedral. Kenampakan lapangan menunjukkan warna segar memperlihatkan warna segar abuabu kehijauan, lapuk warna coklat kemerahan, kristanilitas hipokristalin, granularitas faneritik, relasi inequigranular, bentuk euhedral-subhedral, struktur masif, komposisi mineral limonit, kuarsa berupa urat (vein), serpentin, piroksin. Hasil pelapukan menunjukkan perubahan warna pada soil yaitu abu-abu kecoklatan, coklat kemerahan dan coklat tua. Perubahan Warna ini menunjukkan perbedaan proses pelapukan dan alterasi pada batuan ultramafik. Proses pelapukan dicirikan oleh perubahan batuan menjadi soil dan terdapat fragmen batuan ultramafik, sedangkan alterasi menunjukkan perubahan warna abu-abu bersifat lempungan. Tipe sheared dijumpai pada zona sesar lokal,memperlihatkan slip-fibre serpentinit, urat kuarsa tidak beraturan, tebal 1 – 2 mm. Karakteristik slip-fibre serpentinit umumnya memperlihatkan permukaan yang tipis dan berwarna kuning kehijauan, kuning kecoklatan, abu-abu kehijauan sampai hijau pucat atau kuning kehijauan (Gambar 4).



14







Struktur Geologi Regional Lasolo



Sesar Lasolo berarah baratlaut – tenggara, membagi Kendari menjadi dua bagian. Sebelah timurlaut sesar disebut Lajur Hialu dan sebelah baratdaya disebut Lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1985). Lajur Hialu umumnya merupakan himpunan batuan yang bercirikan asal kerak samudera, dan Lajur Tinondo merupakan himpunan batuan yang bercirikan asal paparan benua. (Rusmana, dkk, 1993). 



Profil Endapan Nikel Laterit 1. Profil Umum



Secara vertikal, dijumpai pada bagian atas terdapat lapisan limonit dengan ketebaan sampai 8 meter, berwarna coklat tua, dengan nilai nikel 0,4% sampai 0,8% dan besi 32% sampai 47%. Selanjutnya terdapat lapisan saprolit dengan ketebalan rata-rata 12 meter, berwarna abu-abu, abu-abu kehijauan, nilai nikel 0,9% sampai 2,2%. 2. Profil Fracture Lapisan limonit menyebar horisontal mengikuti topografi bergelombang. Berwarna coklat, coklat tua, coklat kuning, ketebalan maksimum 6 meter dan minimum 4 meter, kadar nikel rata 0,9 %. Rekahan ultramafik tidak beraturan, lebar (2 cm - 9 cm), pelapukan kuat warna abu-abu, dibatasi oleh limonit dan saprolit. Perbedaan nikel pada limonit (0,8 % 1,06%) menerus saprolit (1,2%- 2,51%) dan sona rekahan nikel meningkat (2,73 % - 3,0%). 3.



Profil Kolovium



Kenampakan lapangan, kolovial menutupi laterisasi batuan ultramafik terdiri dari fragmen skis menunjukkan warna abu-abu, abu-abu kecoklatan, berukuran relatif 35 ppb Au, sedangkan dari hasil analisis AAS mempunyai kadar lebih dari 15 ppb Au. Analisis stream sediment sampling dan soil sampling memperlihatkannilai kadar Au > 35 ppb dengan pola berarah N315ºE, sejajar dengan pola utama Cibitung-Cikoneng. Ubahan yang berkembang di area ini didominasi oleh argilik (lempungan) dan juga propilitik. Pada zona mineralisasi berkembang ubahan silisifikasi dimana terjadi distribusi mineral penunjuk bijih (ore bearing minerals) yang berarah sama dengan struktur utama yang berkembang sejajar dengan trend Cibitung-Cikoneng (N315ºE). Kadar Au tinggi berada pada smectite, gipsum muncul sebelum zona smectite pembawa kadar Au tinggi. Pada zona dengan kadar Au tinggi dengan tingkat absorpsi Fe²⁺ rendah (berkisar antara 1 – 1,008). Terlihat juga adanya gradasi mulai dari monmorilonit, paligorskit sampai klorite di bagian bawahnya. Gambar 4. Sekwen Mineralisasi Cibitung - Cikoneng



Illite terbentuk dari hasil pemanasan lapisan smectite-kaolinite (K/S barrier). Illite yang terbentuk adalah ilit muskovit, merupakan fluida berkomposisi potasik. Kecil kemungkinan membawa kadar Au tinggi, karena fluida berkomposisi potasik, walau terjadi peningkatan temperatur, kecil kemungkinan terbentuk mineralisasi yang membawa kadar tinggi. Mineral yang dominan adalah monmorilonit dan paligorskit, ditambah mika putih berkomposisi sodik (paragonite dan paragonitic illite)



81



Dari data beberapa lubang pemboran teridentifikasikan adanya laluan fluida berkomposisi sodik sehingga berpotensi membawa mineralisasi yang memiliki kadar Au tinggi, namun tidak terdapat lapisan karbonat seperti Gipsum yang menjadi semacam barrier bagi lapisan sodik tersebut. Mineral berkomposisi sodik biasanya dapat membawa mineralisasi dengan kadar Au tinggi apabila dibatasi oleh lapisan (barrier) gypsum.



Gambar 5. Posisi Cikoneng - Cibitung dalam konsep sulfidasi hidrotermal (Corbett and Leach, 1996)



Menurut Corbett dan Leach (1996), ada enam faktor yang mempengaruhi proses alterasi hidrotermal, yaitu : 1. Suhu 2. Komposisi kimiawi fluida 3. Konsentrasi/kepekatan 4. Komposisi batuan induk 5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan 6. Permeabilitas Temperatur dan pH fluida merupakan dua faktor yang paling utama yang mempengaruhi mineralogi sistem hidrotermal (Corbett and Leach, 1996) . Kelompok alterasi dibagi menjadi 7 group utama, yaitu: 1. Group Mineral Silika/Kuarsa 2. Group Mineral Alunit 3. Group Mineral Kaolinit 4. Group Mineral Illit 5. Group Mineral Klorit 6. Group Mineral Kalk-silikat



82



Tabel 1. Pembagian tipe Alterasi (Corbett and Leach, 1996)



Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100˚C-500˚C) hasil dari sisa pendinginan magma, yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral tertentu, terbentuk pada fase akhir suatu siklus pembekuan magma. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (host rock) menyebabkan terubahnya mineral-mineral penyusun batuan samping dan membentuk mineral alterasi (ubahan) dan terendapkan pada suatu tempat dan terbentuklah proses mineralisasi.



83



Gambar 6. Sistem volkanik hidrotermal (Hedenquist, 1997 dalam Negel, 2008)



Tipe epitermal terbentuk di lingkungan dangkal dengan temperatur 4 Mohs Scale (hard minerals) and rock with hardness mineral < 4 Mohs Scale (soft minerals) more than 10% has contribute with the disking core forming.Disking core also observed near the contact of lithology and/or alteration with supported by layer of different hardness mineral composition/mineralogy and/or different grain size. Fault with clay gouge characteristic will increase soft minerals in the rock, create layer of different hardness mineral composition/mineralogy and contribute with the disking core forming. Keywords: disking, DMLZ Mine, East Ertsberg Skarn System, composition/mineralogy, lithology contact, alteration contact, grain size, fault



90



INTRODUCTION The East Ertsberg Skarn System (EESS) is located in the Ertsberg Mining District, Papua, Indonesia. As a part of the Ertsberg Mining District, EESS lies within 100 km2 of PT Freeport Indonesia Contract of Work A (COW A) where the sub-vertical zone of Cu-Au mineralized zone formed in diorite and sedimentary rock-hosted skarn (Figure 1). Cu-Au mineralization in diorite of Ertsberg Intrusion (Te) is dominated by stockwork style mineralization with endoskarn replacement mineralization in some places. The skarn orebody are associated with intrusive rocks which mainly developed in the New Guinea Limestone Groups and most particularly within the dolostones of the Waripi Formation (Tw), but also within the Cretaceous Upper Kembelangan Unit likes shale of the Ekmai Shale Member (Kkeh), limestone of the Ekmai Limestone Member (Kkel) and sandstone of the Ekmai Sandstone Member (Kkes).



Figure 1. East Ertsberg Skarn System (EESS) Geological Map EESS consist of several parts (Figure 2) which the first part being mined is Gunung Bijih Timur (GBT) Surface Open Pit Mine. The GBT Mine is the upper part reserve betauthorsen 4000 and 3626 m elevations with production rate 28.000 t/d. After the mine life of GBT done, PT Freeport Indonesia started to mine the EESS with different method called underground block caving system. This system mainly focused on the gravity flow material. 1. Intermediate Ore Zone (IOZ) Underground Block Caving Mine is the middle part reserve betauthorsen 3626 and 3472 m elevations, with mine life from 1994 to 2003 and production rate 10.000 – 26.000 t/d 2. Deep Ore Zone (DOZ) Underground Block Caving Mine is the middle part reserve betauthorsen 3626 and 3126 m elevations, with mine life from 2000 to 2020 and production rate up to 60.000 – 80.000 t/d by the end of 2009 until now. The DOZ Mine



91



has produced about 140 Mt of ore with percentage Cu = 1.06% and Au=0.81 g/t. In 2006, due to similar level and practice mining reason, PT Freeport Indonesia decided to combine the pre-2006 DOZ reserve and the Ertsberg Stockwork Zone (ESZ) reserve into the DOZ Mine reserve. 3. Deep Mill Level Zone (DMLZ) Underground Block Caving Mine is the loauthorsr part reserve betauthorsen 3125 and 2590 m elevations, with will start to production in the end of Q3-2015 to 2043 and production rate target 60.000 t/d. The DMLZ Mine orebody will extract 472 Mt of ore (with percentage Cu = 0.87%; Au=0.71 g/t; Ag=4.36 g/t) produced from diorite-hosted stockwork (vein-style mineralization) and sediment rock-hosted skarn (disseminated and vein style mineralization).



Figure 2. Section View of EESS Mining District Reserve The DMLZ Mine orebody geologically resembles of the DOZ Mine and other predecessor mines in the EESS, as the DOZ Mine reserve rock types extend down into the DMLZ Mine reserve. Cu mineralization occurs mainly as chalcopyrite and bornite, with lesser amounts of covellite, digenite and chalcocite, along with the Cu-barren sulphides, pyrite and marcasite. The host rock comprises nine different types, with the dominant host rocks including diorite, magnetite (and magnetite-forsterite), forsterite, undifferentiated skarn and marble. Ongoing delineation drilling asses the DMLZ Mine reserve present many disking core in both of diorite-hosted stockwork and sedimentary rock-hosted skarn. Relation of the disking core with the underground development mining activity that authors found in the DMLZ Mine indicate locally high stress area (Figure 3).



92



Figure 3. Core Disking in DMLZ Mine (Drill Hole DMLZ05-04 and AB2-04-01) DISKING CORE IN THE ERTSBERG MINING DISTRICT In order to investigate the failure mechanisms of core disking, Jaeger and Cook (1963) conducted experiments on three types of rock: dolerite, marble and sand quartzite. The experiments, in which hydrostatic pressure was applied to a portion of the length of a circular cylinder with free ends, had been repeated for jacketed and unjacketed rock materials. The failure took place when the applied stress is greater than the tensile strength of the material. The surface of failure was plane and perpendicular to the axis and the failure was violent. They believed that tensile fracture occurred. Obert and Stephenson (1965) set up a system which allowed drilling rock cylinders under triaxial stress condition. They tested six different rock types (granite, marble, et.al), by summarizing the curves obtained from experiments, they found that the failure always initialed at the outer periphery of core. They believed that disking was completely results from shear stress. Durelli (1968) and Hast (1979) also believed that core disking was a rock failure phenomenon induced by shear stress. Haozhe, Pengxian, Kaifeng and Ang (2013) concluded rock core disking is the failure characteristics differ due to different geological conditions and drilling technology. Based on the available drilling data intersect in the DMLZ Mine from 2475 to 2600 m elevations, total of 279 disking core data observed from 66 drill holes. From the observation showing that the disking core occured in diorite-hosted stockwork and sediment rock-hosted skarn. Based on our research, drilling activity with up hole inclination create bigger stress than down hole inclination that form the disking core. The up hole inclination will create bigger stress due to law of gravity. Total of 53 drill holes form the disking core in up hole inclination and only 13 drill holes form the disking core in down hole inclination. Besides that, drilling activity at initial depth also form the disking core. Total of 30 holes observe the disking core forming at the initial depth (Figure 4).



93



Figure 4. (1) Photo of drill hole DMLZ06-05 showing disking core in diorite (Te); (2) Photo of drill hole AB-05-01 showing disking core in dolostones (Tw) Authors believe that geological rock properties like composition/mineralogy, lithology/alteration contact, grain size and fault also influences and create a local stress which formed core disking. Therefore, disking research in all DMLZ drilling very important to prove that assumption. GEOLOGICAL ROCK PROPERTIES CONTRIBUTED FOR DISKING CORE Authors observed 279 disking core data from 66 drill holes in the Waripi Formation (New Guinea Limestone Groups) with dolostones protolith (169 disking core data), Ertsberg Intrusion with diorite protolith (95 disking core data), Ekmai Limestone Member (Cretaceous Upper Kembelangan Unit) with limestone protolith (14 disking core data) and Ekmai Sandstone Member (Cretaceous Upper Kembelangan Unit) with sandstone protolith (1 disking core data) (Table 1).



Table 1. Total of Disking Core Data in DMLZ Mine Most of the disking core data distribution is formed in the sedimentary rock-hosted skarn, where the hardness is less than diorite-hosted stockwork. Beside that, there is also heterogeneous of alteration in disking core data distribution. Hardness of rock and heterogeneous of alteration have correlation in process of the disking core forming.



94



COMPOSITION/MINERALOGY Hardness of rock have relationship with composition/mineralogy of the rock. The harder rock with dominantly hard mineral composition can be more resist from stress than the soft rock (Table 2 and 3). The difference of rock composition/mineralogy between rock with dominant soft mineral and rock with dominant hard mineral create a local stress zone for disking core forming. Based on our research, total of 189 disking core data observed in layer of rock with dominant hardness mineral > 4 Mohs scale (hard minerals) and rock with hardness mineral < 4 Mohs scale (soft minerals ≥ 10%).



Table 2. List of Soft Minerals Observed in Disking Core with Hardness 4 Drill hole DMLZ07-04 showing disking core at 216.1 – 216.3m in diorite with potassic – propylitic alteration. In this hole, composition/mineralogy of hard mineral of quartz in potassic – propylitic alteration suddenly increase being dominant 95%, then being potassic – propylitic alteration with composition/mineralogy of soft mineral 18.5% (increase biotite mineral) and finally composition/mineralogy of hard mineral of quartz increase being dominant 95% again. The disking core forming when composition/mineralogy of soft mineral changes from only ≤



95



5% into 18.5% (increase biotite mineral). Another evidence in drill hole TE05-15, showing disking core at 541.3 – 541.8 m in exoskarn with magnetite skarn alteration. In this hole, composition/mineralogy of soft mineral of chalcopyrite in magnetite skarn suddenly increase being 40% which previously only ≤ 10%. The disking core forming when composition/mineralogy of soft mineral changes from only ≤ 10% into 40% (increase chalcopyrite mineral) (Figure 5).



Figure 5. (1) Disking core in drill hole DMLZ07-04 showing changing composition of soft minerals from quartz dominant into quartz-biotite dominant; (2) Disking core in drill hole TE05-15 showing influences by changing composition of soft mineral (chalcopyrite) CONTACT LITHOLOGY/ALTERATION AND GRAIN SIZE Disking core observed as heterogeneous of alteration showed near the contact of lithology/alteration. The contact also create a local stress zone for the disking zone forming. Based on our research, total of 44 holes observed the disking core near the contact of lithology/alteration. Distribution of disking core which is formed near the contact of lithology/alteration also supported by grain size of the rock. The possibility of disking core distribution is decreasing if the grain size is coarser. Drill hole TE04-28 showing disking core at 431.5 – 432.5m in finer grain size of sedimentary rock-hosted exoskarn, near alteration contact between exoskarn and marbleized alterations. Another evidence in drill hole DMLZC07-02 showing disking core at 606.5 – 607.2 m in finer grain size of sedimentary rock-hosted exoskarn, near lithology contact between sedimentary rock-hosted exoskarn and diorite-hosted endoskarn (Figure 6).



96



Figure 6. (1) Photo of drill hole TE04-28 showing disking core in finer grain size of exoskarn near alteration contact between exoskarn and marbleized alterations; (2) Photo of drill hole DMLZC07-02 showing disking core in finer grain size of exoskarn near lithology contact between sedimentary rock-hosted exoskarn and diorite-hosted endoskarn FAULT Fault with clay gouge characteristic in the core has correlation with suddenly increasing composition/mineralogy of soft mineral (hardness mineral < 4 Mohs scale) in a rock with dominant hard mineral (hardness mineral > 4 Mohs scale). As mentioned before, the difference of rock composition/mineralogy between rock with dominant hard mineral and rock with soft mineral ≥ 10% create a local stress zone for the disking core forming. For example, drill hole DMLZC07-02 showing disking core at 644.3 – 652.35m in finer grain size of diorite with endoskarn alteration. Composition/mineralogy of soft mineral of clay suddenly increase and being dominant ≥ 90% due to fault with clay gouge characteristic at 643 – 644.3m (Figure 7).



Figure 7. Photo of drill hole DMLZC07-02 showing core at 644.3 – 652.35m in fine grain size of diorite near fault with clay gouge characteristic at 643 – 644.3m



97



CONCLUSIONS Disking core formed in the Ertsberg Mining District is influenced by drilling activity stress which come from drill hole inclination and the start up drilling. In addition of drilling activity, geology factors also influence the disking core forming. Geological rock properties such as composition/mineralogy between dominant hard mineral and soft mineral ≥ 10%, lithology/alteration contact with supported finer grain size and fault with gouge characteristic also create a local stress and influence disking core forming. The difference between drilling activity related disking core and geological rock properties related disking core can be observed during drift opening. The drilling activity related disking core shows no indication of local stress in drift opening, in contrary with geological rock properties related disking core which show local stress in drift opening (such as intense joint, rock popping, etc.). ACKNOWLEDGEMENTS The authors would like to thank the management PT Freeport Indonesia especially Geoservices Division for giving permission to publish this paper. The authors also like to thank DMLZ Geologist for constructive supporting that improved quality of this paper.



REFERENCES Durelli, A J, Obert, L and Parks, V J, 1968. Stress required to initiate core discing, in Transaction SME, pp 241:269-276. Freeport-McMoRan Copper & Gold, Inc., 2015. Feasibility study for the DMLZ mine, Executive summary and report. Jaeger, J C and Cook, N G W, 1963. Pinching off and discing of rocks, in Journal of Geophysical Research, pp 68:1759-1765. Haozhe, X, Pengxian, F, Kaifeng, J, and Ang, L, 2013. Reviews on the failure mechanism and stress condition of rock core discing, in EJGE, pp 4211-4212. Hast, N, 1979. Limits of stress measurements in the Earth’s crust, in Rock mechanic, pp 11:143150. Obert, L and Stephenson, D E, 1965. Stress conditions under which core discing occurs, in Society Mining Engineering Trans, pp 232:227-235. This Minerals Ebook by Name, version 2005 (by Mr. Le Hong Tam)



98



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



PETROLOGI ENDAPAN BIJIH BESI DI DAERAH TOJO KABUPATEN TOJO UNA UNA, SULAWESI TENGAH Yanto Sudiyanto Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral, TPSA-BPPT, Jl. MH. Thamrin No. 10 Jakarta E-mail : [email protected] Abstraks Penelitian ini dilakukan di Daerah Tojo, Sulawesi Tengah yang mempunyai potensi bijih besi dengan jenis endapan berbentuk laterit dan primer. Satuan batuan terdiri atas Kompleks Ultramafik dan Batuan Sedimen Formasi Bongka dan Endapan Aluvium. Litologi batuan pada Kompleks Ultramafik terdiri atas gabro dan peridotit. Endapan bijih besi terdapat pada Kompleks Ultramafik yang tersusun oleh mineral bijih kromit (FeO.Cr2O3), magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3) dan besi hidroksida (hydrous iron oxides). Karakteristik kimia bijih besi mempunyai kandungan unsur Fe total berkisar 37,18% - 44,62%, Al2O3 12,31%-16,28%, MgO 1,08% - 3,34% dan CaO 0,05% - 0,34%, Ni 0,415% - 0,5898%, Cr 0,63% - 0,79% dan TiO2 0,33% - 0,62%. Berdasarkan karakteristik mineralogi dan kimia, pembentukan endapan bijih besi diduga bersamaan dengan pembentukan bijih kromit selama proses early magmatic - late magmatic dengan cara gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa, kemudian endapan tersebut mengalami proses replacement dan oksidasi. Kata Kunci : Bijih besi, Batuan mafik-ultramafik, mineralogi, komposisi kimia dan genesa bijih besi



99



1. PENDAHULUAN Ketergantungan industri hulu dan hilir baja nasional terhadap bahan baku impor, masih sangat tinggi, padahal negeri ini menyimpan deposit sumber daya bijih besi yang sangat besar.Kondisi ini akibat tidak berkembangnya teknologi dan industri pengolahan bijih besi di dalam negeri. Proses pengolahan bijih besi sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan jenis endapan bijih besi. Bijih besi yang ekonomis umumnya berupa Magnetit (Fe3O4), Hematit (Fe2O3), Limonit (Fe2O3.H2O) dan Siderit. (FeCO3). Endapan bijih besi dapat terbentuk secara primer maupun sekunder. Endapan-endapan mineral yang muncul sesuai dengan bentuk asalnya dan umumnya berasosiasi dengan aktivitas magma disebut endapan primer (hypogen). Jika mineral-mineral primer telah terubah melalui pelapukan atau proses-proses luar (superficial processes) disebut endapan sekunder (supergen). Pembentukan bijih besi primer terjadi oleh proses magmatik, metasomatik kontak, replacement, dan volkanik; sedangkan endapan bijih besi sekunder terbentuk oleh proses sedimentasi, residual, dan oksidasi(5). Jenis endapan bijih besi primer didominasi magnetit dan hematit, sebagian berasosiasi dengan kromit – garnet, yang terdapat pada batuan ultrabasa(10). Jenis endapan bijih besi di Indonesia bervariasi, terdiri atas skarn (metasomatik kontak), placer, laterit dan sedimen; di beberapa tempat terdapat tipe magmatik dan greisen (15). Setiap jenis endapan tersebut memiliki karakteristik kimia dan mineralogi yang berbeda, karena proses dan kondisi lingkungan pembentukannya berbeda. Makalah ini memaparkan hasil penelitian karakteristik kimia dan mineralogi bijih besi serta batuan induknya yang kemudian diintepretasi proses genesa (asal mula jadinya) dan lingkungan pembentukannya. Lokasi endapan bijih besi yang diteliti terletak di Daerah Tojo, Kabupaten Tojo Una Una, Propinsi Sulawesi Tengah. 2. TEORI DAN METODA PENELITIAN 2.1. Geologi Regional Pulau Sulawesi telah mengalami paling sedikit 4 kali aktifitas tektonik pada periode Kapur Tengah, Oligo-Miosen, Miosen Tengah dan Pliosen Awal(17). Akibat aktivitas tektonik tersebut, di Sulawesi Tengah terbentuk 4 busur geologi dengan karakteristik litologi dan fase tektonik yang berbeda, yaitu Busur Plutonik-Volkanik Sulawesi Barat, Busur Metamorf Sulawesi Tengah, Busur Ofiolit Sulawesi Timur dan Banggai-Sula Platform. Daerah penelitian termasuk kedalam zona fisiografi Busur Ofiolit Sulawesi Timur.Busur ini tersusun oleh satuan batuan ultramafik yang terdiri atasdunit, peridotit, piroksenit, serpentinit, harzburgite, lezorlit dan gabro. Satuan ini juga disebut Kompleks Ultramafik yang telah mengalami beberapa kali pengalihtempatan selama Kapur-Miosen Tengah. Kompleks ini berumur Jura Akhir – Eosen yang berasal dari kerak samudera, merupakan produk proses tumbukan(13). Berdasarkan data geokimia diduga Busur Ofiolit Sulawesi bagian Timur berasal dari mid-oceanic ridge(14). Daerah penelitian terletak dibagian tepi utara peta geologi lembar Poso (Gambar 2) yang merupakan bagian dari Kompleks Ultramafik. Hasil studi petrologi batuan peridotit pada Kompleks Ultramafik di Daerah Tojo Una una menyebutkan bahwa batuan peridotit tersusun oleh mineral olivin, ortopiroksen, klinopiroksen, dan garnet; dalam beberapa kristal besar olivin mengandung sejumlah kecil bijih ilmenit dan magnetit serta lamelae kromit(6). Endapan bijih besi di Daerah Poso terbentuk bersama nikel dan kromit dalam batuan ultrabasa(11).



100



Gambar 1. Peta geologi lembar Poso(11) Kompleks Ultramafik ditutupi tidak selaras oleh batuan sedimen Formasi Bongka. Formasi ini tersusun oleh perselingan batupasir, konglomerat, napal, batulempung dan lignit; diendapkan pada lingkungan laut dangkal – payau, sebagian terendapkan di kipas bawah laut selama Kala Miosen Tengah. Struktur geologi yang terbentuk merupakan hasil dari beberapa fase tektonik yang berbeda, terdiri atas struktur lipatan, sesar mendatar, sesar naik dan sesar normal. Struktur geologi tersebut mengontrol zona-zona mineralisasi. 2.2. Proses Pembentukan Bijih Besi Proses terbentuknya endapan mineral baik jenis endapan logam maupun non logam sangat komplek. Sering lebih dari satu proses bekerja bersama-sama. Meskipun dari satu jenis mineral logam, apabila terbentuk oleh proses yang berbeda-beda, maka akan menghasilkan tipe endapan yang berbeda pula. Demikianpun halnya dengan endapan bijih besi dapat terbentuk oleh lebih dari satu proses dan selalu berasosiasi dengan unsur lainnya. Pembentukan endapan bijih besi dapat terjadi akibat pengaruh faktor endogen atau akibat aktivitas magma disebut sebagai endapan primer dan akibat faktor eksogen seperti proses pelapukan, sedimentasi anorganik, dan sedimentasi organik,disebut endapan sekunder. Endapan bijih besi primer terjadi pada saat terjadinya diferensiasi magma (Gambar 2) melalui proses konsentrasi dan injeksi magmatik akhir, metasomatik kontak, replacement, dan eksalasi volkanik; sedangkan endapan bijih besi sekunder terbentuk oleh proses sedimentasi, konsentrasi residual, dan oksidasi(5). Endapan bijih besi magmatik terbentuk dari magma mafik-ultramafik pada stadium likwido magmatis karena proses kristalisasi pada temperatur tinggi (diatas 600o C) dengan cara gravity settling. Tipe endapan magmatik secara langsung berhubungan dengan evolusi magma induk(8). Mineral-mineral berat yang mengandung kalsium, magnesium dan besi, cenderung memperkaya resevoir magma yang terletak di bagian bawah reservoir dengan unsur-unsur tersebut(2). Proses ini menghasilkan tubuh bijih besi masif dan disiminasi, bentuk lensa memanjang (podform), lensa, tumpukan lapisan dalam batuan induk(2). Lapisan paling bawah diperkaya dengan mineral-mineral yang lebih berat seperti mineral-mineral bijih kromit,



101



platina, dan besi-titan, dan lapisan diatasnya diperkaya dengan mineral-mineral silikat yang lebih ringan. Proses metasomatik kontak terjadi pada temperatur yang tinggi (± 600ºC - 450ºC) terutama pada kontak terobosannya antara magma yang masih cair dengan batuan di sekitarnya(8). Suhu di daerah kontak akan berkisar 500-1.100oC. Akibat dari kontak ini, pengaruh temperatur tanpa adanya perubahan kimia pada batuan sekitarnya akan terbentuk batuan metamorf, sedangkan jika terjadi perubahan kimia oleh pertukaran dan penambahan ion akan terbentuk endapan metasomatik(8). Mineral logam hasil kontak metasomatik sangat bervariasi seperti magnetit dan hematit, serta mineral aditifnya yaitu spinel, wolframit, kasiterit, arsenopirit, pirit, sfalerit, kalkopirit dan galena.



Gambar 2. Hubungan diferensiasi magma dengan proses pembentukan endapan mineral logam(12) Proses hidrotermal merupakan produk akhir dari proses diferensiasi magmatik, dimana larutan hidrotermal ini banyak mengandung logam-logam yang relatif ringan. Larutan ini makin jauh dari sumber magma, akan makin kehilangan temperaturnya sehingga dikenal endapan Hipotermal (T 3000C-5000C) Mesotermal (T 1500C-3500C), dan Epitermal (T 00C-2000C). Berdasarkan bentuk endapannya dikenal 2 jenis endapan hidrotermal yaitu cavity filing dan metasomatic replacement(5). Pada Gambar 3 memperlihatkan korelasi unsur-unsur logam dan non logam dengan proses pembentukannya(5). Jika kedua diagram diintegrasikan terlihat unsur-unsur logam berat dapat terbentuk oleh pengaruh differensiasi magma (endapan primer) dan proses pengayaan serta pengaruh media lainnya (endapan sekunder). Logam Cr, Pt, Ni dan Ti terbentuk melalui proses early magmatism – late magmatism pada kondisi temperatur dan tekanan tinggi. Logam Cu dan Fe dapat terbentuk melalui proses early magmatism, pegamatit, metasomatik kontak hingga hidrotermal. Sedangkan Au, Pb, Zn dan Ag mulai terbentuk pada proses metasomatik kontak-hidrotermal.



102



Gambar 3. Klasifikasi mineral ekonomis dan proses pembentukannya(5) Endapan bijih besi sekunder terjadi karena proses pelapukan, transportasi dan sedimentasi. Terbentuknya endapan ini dipengaruhi empat faktor yaitu komposisi dan struktur batuan sumber, keadaan topografi, temperatur dan iklim, medium transportasi dan waktu/lamanya proses(5). Proses eksternal atau eksogen pembentukan endapan mineral yaitumeliputi: proses sedimentasi, konsentrasi residual, dan oksidasi. Batuan pembawa bijih besi atau tubuh bijih yang muncul di permukaan atau dekat permukaan akan mengalami pelapukan dan pelarutan oleh rembesan air dan udara. Rombakan hasil pelapukan batuan pembawa bijih besi atau tubuh biji besi terbawa air permukaan kemudian mineral-mineral berat yang lepas terkonsentrasi oleh proses sedimentasi membentuk endapan eluvial dan aluvial plaser seperti endapan plaser Au, Pt, Ti, Cr, dan gemstone. Proses residual terjadi akibat pelarutan dan pelindian (leaching) elemen-elemen tertentu pada batuan/tubuh bijih besi meninggalkan konsentrasi elemen-elemen yang tidak mobile dalam material sisa, seperti endapan laterit Ni, Fe, dan Al. Selama proses pelindian (leaching), elemen-elemen tertentu dari bagian atas suatu endapan mineral bijih besi akan mengalami oksidasi sampai batas muka air tanah, kemudian terjadi proses oksidasi dan pengayaan pada zona oksidasi menghasilkan endapan bijih besi dengan konsentrasi yang lebih tinggi, contoh endapan limonit.



103



2.3. Metoda Penelitian Pada penelitian ini secara umum metoda yang dilakukan meliputi review geologi regional, survey geologi, analisa mineralogi dan komposisi kimia bijih besi dan batuan pembawanya (host rock) di daerah penelitian untuk interpretasi genesa (asal mula pembentukan) endapan bijih besi. Dalam survei geologi kegiatan yang dilakukan meliputi pengamatan dan pemerian morfologi, jenis dan sebaran batuan, struktur geologi serta sampling batuan yang terdapat di daerah penelitian.Pad analisa mineralogi dilakukan uji petrografi dan mineragrafi, sedangkan pada analisa kimia dlakukan pengujian unsur Fe total, FeO, Fe2O3, SiO2, Al2O3, CaO, MgO, TiO2, K2O, Na2O, P2O5, Cr,Ni,Pb dan H2O-. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Geologi Daerah Penelitian Perbukitan bergelombang mendominasi morfologi daerah penelitian dengan elevasi 25 m - 267 m diatas permukaan air laut. Punggungan perbukitan umumnya relative sempit dengan kemiringan lerengnya berkisar antara 30° to 80°. Morfologi ini terbentuk oleh Kompleks Ultramafik dan Formasi Bongka. Kondisi punggungan yang relative sempit dengan lerenglerengnya yang terjal kemungkinan menjadi penghambat terbentuknya endapan laterit yang tebal di daerah penelitian.



Gambar 4. Peta geologi daerah penelitian Batuan yang tersingkap di daerah penelitian terdiri atas batuan ultramafik-mafik, batuan sedimen, batuan bijih besi dan aluvial (Gambar 4). Singkapan batuan ultramafik – mafik berwarna hitam-kelabu, kehijauan, tampak kilap kaca, kompak, keras, rekahannya terisi silika, bagian yang lapuknya bersifat lepas-lepas, sebagian lunak dan mudah dipecah. Hasil analisa petrografi pada 3 sampel menunjukkan bahwa jenis batuan ultramafik-mafik di daerah penelitian terdiri atas gabro, gabroter serpentinisasi, dan peridotitter serpentinisasi. Mineral utama dalam gabro terdiri atas olivin, piroksen, plagioklas, serpentin dan garnet (Foto 1). Pada peridotitter serpentinisasi tersusun oleh olivin, piroksen, serpentin, mineral opaq (Foto 2).



104



Px Ol



Ol



PLg Gnt



Ol



Px



Ol Px



Foto 1. Sayatan gabro, tampak olivin (Ol), piroksen (Px), plagioklas (Plg) sebagai penyusn utama, serta inklusi garnet (Gnt).



Foto 2. Sayatan peridotit tersusun oleh mineral utama olivin (Ol), piroksen (Px), serpentin pada retakan olivin dan piroksen.



Pada mineral olivine dan piroksen sebagai mineral penyusun utama dalam gabro dan peridotit, sebagian telah mengalami ubahan dengan hadirnya mineral serpentinit menggantikan mineral tersebut. Batuan ultramafik-mafik merupakan batuan yang sangat tidak stabil dan mudah lapuk, karena mineral olivine dan piroksen mudah bereaksi cepat dengan air pada temperature tertentu akibat proses metamorfis atau hidrotermal, kemudian terubah menjadi mineral serpentinit(16). Pada seluruh kristal mineral yang berukuran besar telah mengalami deformasi fisik berupa retakan-retakan yang rapat membentuk tekstur mortar (hancuran kristal mineral). Deformasi yang melibatkan proses mekanik demikian disebut deformasi kata klastik akibat proses metamorfisme pada tekanan dan temperature tinggi atau metamorfisme regional(1),(18). Batuan kompleks ofiolit berasal dari mantel atas yang telah mengalami tekanan tinggi – sangat tinggi berkaitan dengan proses subduksi dan tumbukan selama Kapur TengahMiosen(6). Kehadiran mineral garnet mengindikasikan batuan tersebut telah mengalami proses metamorfisme. Mineral garnet terbentuk dalam fasies granulit pada kondisi temperature dan tekanan tinggi, akibat proses metamofisme regional atau pada kontak sesar pada kedalaman tertentu(6),(18). Hadirnya mineral opaq pada peridotite mengindikasikan terbentuknya mineral logam pada batuan tersebut. Dalam batuan peridotiterusun oleh mineral olivin, ortopiroksen, klinopiroksen, dan garnet; pada beberapa Kristal besar olivinnya mengandung sejumlah kecil bijih ilmenit dan magnetit serta lamelae kromit(6). Batuan sedimen yang tersingkap terdiri atas breksi, batulempung, batupasir dan batugamping terumbu. Dalam breksi tersusun oleh beragam fragmen batuan seperti batuan ultramafik, batuan beku dan bijih besi. Pada batupasir memperlihatkan struktur perlapisan dan gradasi butiran. Jenis batuan tersebut termasuk kedalam Formasi Bongka yang diendapkan pada lingkungan payau hingga laut dangkal dan sebagian dalam kipas bawah laut, pada Kala Miosen Tengah. Formasi ini menutupi secara tidak selaras diatas komplek ultramafik(11). Satuan aluvial merupakan hasil pengendapan sungai dan pantai, butirannnya berukuran lempung hingga kerakal dengan komponen batuan beragam.



105



Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian berupa sesar normal dan sesar mendatar diperkirakan (Gambar 7). Sesar-sesar tersebut mempunyai arah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya. Indikasi adanya struktur tersebut adalah kelurusan gawir yang terlihat di lapangan, kelurusan dan pembelokan alur sungai serta perubahan arah punggungan perbukitan serta breksiasi. Struktur sesar normal mengontrol beberapa endapan bijih besi. Pembentukan sesar normal diperkirakan akibat pengaruh aktivitas tektonik Miosen Tengah, kemudian dipotong oleh sesar mendatar yang diduga terbentuk oleh aktivitas tektonik akhir Miosen-Pliosen, berkaitan dengan tumbukan Banggai-Sula. Pembentukan struktur di lengan timur Sulawesi karena pengaruh aktivitas tektonik regional yang berkaitan dengan tumbukan platform Banggai-Sula kearah baratlaut dengan lengan barat dan timur Sulawesi selama Kapur hingga Pliosen(11),(17). 3.2. Endapan Bijih Besi di Daerah Penelitian Di daerah penelitian mempunyai potensi endapan bijih besi, baik berupa endapan primer maupun sekunder. Pada zona endapan bijih besi (Gambar 7) terdapat 2 jenis bijih besi, yaitu magnetit dan hematit. Keduanya secara fisik tidak dapat dibedakan, hanya dapat dibedakan dengan sifat kemagnetannya dimana hematit mempunyai sifat kemagnetan lemah. Bijih besi banyak ditemukan di punggungan, lereng, lembah perbukitan, serta di alur sungai, berukuran kerikil-bongkah, berbentuk angular–sub-angular, merupakan hasil proses rombakan, erosi, dan transportasi (Foto 3 dan 4).



Foto 3. Bongkah hematit masif Foto 4. Singkapan magnetit masif dengan sifat kemagnetan lemah dengan sifat kemagnetan kuat Beberapa singkapan bijih besi yang diduga in situ terdapat di lereng dan lembah perbukitan serta di zona struktur sesar. Umumnya bijih besi berwarna hitam, coklat kemerahan, berat, teroksidasi, pada bongkahannya terdapat retakan dan rekahan, di beberapa lokasi sifat kemagnetan tubuh bijih besi terdisiminasi, namun umumnya memperlihatkan bentuk masif (Foto 4) dan kadang berbentuk layer-layer tipis. Fragmen bijih besi yang berukuran kerikilbongkah sebagian besar tertanam dalam matrik soil limonit bersama dengan pecahan batuan ultramafik. Di beberapa tempat, rombakan fragmen bijih besi tersebar di atas permukaan soil pada punggungan dan lereng perbukitan. Berdasarkan bentuk fragmennya yakni angular-subangular, diduga fragmen batu bijih besi tersebut dekat dengan sumbernya. Di daerah penelitian juga tersingkap endapan laterit di beberapa tempat pada lereng perbukitan atau bekas kupasan. Kondisi fisik limonit memperlihatkan warna coklat – coklat kemerahan, lepas-lepas, fragmen batuan ultramafik dan bijih besi tertanam dalam matriks, teroksidasi, dengan ketebalan 1 meter – 3 meter ( Foto 5). Singkapanya memperlihatkan horizon paling atas dari urutan vertikal endapan laterit.



106



Foto 5. Profil limonit tipis dengan fragmen kerikil batuan ultramafik dan bijih magnetit Hasil analisa mineragrafi pada 5 sampel bijih besi menunjukan komposisi mineral bijih besi terdiri atas kromit (FeO.Cr2O3), magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3) dan besi hidroksida (hydrous iron oxides). Pada setiap sampel bijih besi, bijih kromit selalu muncul meskipun tidak dominan, isotrop, bentuk anhedral hingga subhedral, rounded, tersebar, sebagian nampak telah digantikan oleh magnetit. Magnetit selalu muncul dominan, isotrop, bentuk granular berbutir halus, subhedral hingga anhedral, beberapa nampak dengan bentuk yang masif berongga, tersebar dan menggantikan kromit, maupun mengisi retakan bersama silikat, sebagian tampak terubah ke hematit dan hidrous iron oxide (gutit).



Mag Crt



Mag Crt



Hem



Foto 6. Fotomikrografi sampel Fmg-3, Foto 7. Fotomikrograf sampel Oc-1, tampak tampak bijih kromit dan magnetit magnetit dengan bentuk massif dan menggantikan kromit, rongga pada berongga terisi hematit dan gutit magnetit terisi hematit dan gutit Hematit, anisotrop, subhedral, berbutir halus, terdapat bersama magnetit menggantikan magnetit, sebagian telah terubah ke hydrous iron oxides. Besi hidroksida diinterpretasikan sebagai mineral bijih gutit. Mineral gutit terbentuk oleh proses oksidasi yang paling dekat dengan permukaan. Hasil analisa kimia pada 5 sampel bijih besi (Tabel 1) menunjukkan kandungan unsur Fe total berkisar 37,18% - 44,62%, unsur Ni berkisar 0,415% - 0,5898% dan unsur Cr berkisar



107



0,63% - 0,79%. Kadar SiO2 rendah, kadar unsur MgO (1,08% - 3,34%) dan CaO (0,05% 0,34%) signifikan, serta kandungan unsur K2O dan Na2O sangat rendah diperkirakan bijih besi di daerah penelitian berasal dari magma induk yang berkomposisi basa-ultrabasa. Tabel 1 Hasil analisa kimia bijih besi



Kandungan unsur-unsur pada ke 5 sampel bijih besi bervariasi, pada Gambar 6 terlihat adanya korelasi negatif antara Fe total, Fe2O3 dan TiO dengan SiO2 . Terjadinya proses pengayaan Fe dan Ti dengan penurunan SiO2 akan memerlukan tekanan tinggi; kondisi ini kemungkinan terbentuk oleh diferensiasi magma yang berasal dari mantel pada dasar kerak dibawah tekanan 10 kbar(9).



Gambar 6. Korelasi unsur TiO2 vs SiO2,unsur Fe total vs SiO2danunsur Fe2O3 vs SiO2 Selain kandungan SiO2 rendah, dalam bijih besi juga terkandung unsur MgO dan CaO serta tidak atau sangat kecil mengandung unsur K2O dan Na2O mengindikasikan bijih besi berasal dari magma induk yang berkomposisi basa-ultrabasa. Bijih kromit (FeO.Cr2O3) selalu muncul pada sampel bijih besi, meskipun tidak dominan. Kehadirannya berkorelasi dengan kandungan unsur Cr yang relatif rendah (0,63% – 0,79%). Rendahnya kandungan bijih kromit kemungkinan karena proses replacement menjadi magnetit.



108



Mineral bijih magnetit (Fe3O4) muncul dominan dalam setiap sampel, selain sebagai hasil proses pergantian mineral bijih kromit, kemungkinan juga merupakan hasil pengendapan langsung bersama kromit dari proses gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa. Kehadiran magnetit yang dominan dibuktikan oleh kandungan FeO dan Fe2O3 yang tinggi (Tabel 1). Selain itu terdapat korelasi yang cenderung positip antara Al2O3, MgO dan FeO dengan TiO2 (Gambar 7) yang merupakan karakteristik bijih besi yang pembentukannya berasosiasi dengan batuan ultrabasa (9).



Gambar 7. Korelasi TiO2 dengan Al2O3, MgO, dan FeO Kehadiran hematit umumnya terlihat menggantikan magnetit dan terdapat bersama dengan magnetit. Kandungan unsur Fe2O3 yang tinggi berasosiasi dengan terbentuknya mineral bijih tersebut. Tidak menutup kemungkinan terbentuknya hematit di daerah penelitian langsung dari proses magmatik. Dalam pengendapan magnetit dan hematit dengan magma induk mafikultramafik terdapat 2 tipe oksida besi yaitu magnetit kromian dan hematit titanian kromian(4). Besi hidroksida tampak menggantikan magnetit dan hematit yang diinterpretasikan sebagai mineral gutit. Mineral gutit terbentuk pada zona limonit dalam endapan laterit. Pembentukan endapan bijih besi di daerah penelitian berasosiasi dengan batuan mafik dan ultramafik, dan diperkirakan terbentuk oleh proses gravity settling dalam magma yang berkomposisi basa-ultrabasa, yang diindikasikan oleh munculnya mineral bijih kromit dan magnetit. Dalam magma ultrabasa, unsur-unsur berdaya larut rendah akan mengkristal pertama, termasuk beberapa mineral asesori seperti apatit, zirkon, ilmenit, magnetit dan kromit(5). Proses pembentukan kromit dan magnetit berasosiasi dengan batuan mafik-ultramafik selama proses early magmatic - late magmatic(5)atau dalam fasa liquid magmatic(16).



109



4. KESIMPULAN 1. Satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian terdiri atas batuan ultramafik-mafik,



batuan sedimen dan aluvial. Satuan batuan ultramafik-mafik tersusun oleh jenis batuan peridotit dan gabro; batuan sedimen tersusun oleh jenis batuan breksi, batulempung, batupasir dan batugamping terumbu. 2. Endapan bijih besi di daerah penelitian terdapat dalam Satuan Batuan Ultramafik-mafik yang disusun oleh gabro dan peridotit. 3. Bijih besi berkomposisi mineral bijih kromit, magnetit, dan hematit, dengan kadar Fe dalam bijih besi berkisar 37,18% - 44,62% dan Cr berkisar 0,63% - 0,79%. 4. Berdasarkan karakteristik mineralogi dan kimia, pembentukan endapan bijih besi diduga bersamaan dengan pembentukan bijih kromit selama proses early magmatic - late magmatic dengan cara gravity setlling dalam cairan magma basa-ultrabasa, kemudian endapan tersebut mengalami proses replacement dan oksidasi DAFTAR PUSTAKA 1. Deer, W.A., Howie, R.A., & Zussman, J., 1992. An Introduction to the rock-forming minerals (2nd ed). London : Longman. 2. Gross, G.A., Gower, C.F., &Lefebure, D.V., 1998. Magmatic Ti-Fe±Voxide deposits.British Columbia Ministry of Employment and Investment, 1, 24J-1 - 24J-3. http://www.unalmed.edu.co/rrodriguez/magmaticTi-Fe oxide deposits.htm 3. Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geol. Survey Prof. pp. 1078. 4. Hwang, S.L. et al., 2008. Hematite and magnetite precipitates in olivine from the Sulu peridotite. American Mineralogist, 93, 1051-1060. http://www.earth.sinica.edu.tw/~epma/papers/2008 /Hwang-AmMin-93.pdf 5. Jensen, M., & Bateman, A.M., 1981. Economic Mineral Deposits. Canada :Jhon Wiley and Sons Inc. 6. Kadarusman, A., & Parkinson, C.D., 2000. Petrology and P-T evolution of garnet peridotites from Central Sulawesi. Journal Metamorphic Geology,18, 193-209. 7. Katili, J.A., 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics, 45, 289-322. 8. Mondal, S.K., 2008. Orthomagmatic ore deposites related to ultramafic-mafic rocks. Journal of the Geological Society of India, 72, 583-594. http://sisirgeology. googlepages.com/contents.pdf 9. Pang, K.N., Zhou, M.F., Lindsley, D., Zhao, D., &Malpas, J., 2007.Origin of Fe–Ti oxide ores in mafic intrusions. Evidence from the Panzhihua Intrusion, SW China. Journal of Petrology, 10, 1 – 26.http://earthsci.org/mineral 10. Pardiarto, B., & Widodo, W., 2007. Genesa besi dan alumina laterit. Kelompok Kerja Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi Bul.,3,14-24. 11. Simandjuntak, T.O., Surono, & Supandjono, J.B., 1997. Peta geologi lembar Poso, Sulawesi. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. 12. Sudradjat, M.D.,1987. Geologi Ekonomi. Jurusan Geologi. ITB. Bandung : Laboratorium Geologi Ekonomi.



110



13. Sukamto, R., &Simandjuntak, T.O., 1983. Tectonic relationship between geologic provinces of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai-Sula in the light of sedimentological aspects.IGRDC Bull 7, 1-12. 14. Surono&Sukarna, D., 1995. The Eastern Sulawesi Ophiolite Belt, Eastern Indonesia. A review of it's origin with special reference to the Kendari Area. Journal of Geology and Mineral Resources, 46, 8-16. 15. Sutisna, D.T., 1995. Tinjauanumumpotensidanpemanfaatancebakanbijihbesi di Indonesia. KelompokKerja Mineral.PusatSumberDayaGeologi Bul., 3, 1-13 16. Tanner, U., Henrik., S., Emil, M., & Sonmez., S.,1995. Genesis of the Divrigi iron ore deposits. Turkey: Mineral Resources Bull., 117, 17-28. http://www.mta.gov.tr /v2.0/eng/dergi_pdf/117/3.pdf 17. Villeneuve, M., Gunawan,W., Cornee J.J, & Vidal, O., 2001. Geology of the Central Sulawesi Belt (Eastern Indonesian): constraints for geodynamic model. Paris: International Journal Earth Science, 91, 524-537. 18. Williams, H., Turner, F.J., & Gilbert, C.M., 1954. Petrography, An introduction to the study of rocks in the sections. San Francisco : W.H. Freeman and company.



111



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



OPTIMASI SUMBERDAYA DAN CADANGAN BATUBARA PT. BUKIT ASAM (PERSERO), TBK MELALUI EKSPLORASI PENGEMBANGAN BERBASIS KODE KCMI (2011) & SNI 5015:2011 UNTUK RENCANA OPERASIONAL TAMBANG BAWAH TANAH DIWILAYAH IUP TAMBANG AIR LAYA Eko Pujiantoro Monang Sianturi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Jl. Parigi No. 1 Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan



Abstrak PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) memiliki 5 (lima) wilayah IUP Operasi Produksi yaitu Tambang Air Laya (±7.621 Ha), Banko Barat (±4.500 Ha), Muara Tiga Besar (±3.300 Ha), Banko Tengah Blok Barat (±2.423 Ha) dan Banko Tengah Blok Timur (±22.937 Ha) dengan luas total : ±40.781 Ha. Ke-5 IUP Operasi Produksi tersebut di atas seluruhnya merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Bagian Selatan dengan Formasi Pembawa Batubara (coal bearing measured formation) utama yaitu Formasi Muara Enim berumur Miosen yang terbagi menjadi 4 Sub Member (tua ke muda) yaitu M4, M3, M2 dan M1. Saat ini yang PTBA UPTE hanya berfokus pada ekstraksi atau penambangan secara tambang terbuka (open pit) untuk Sub Member M-2 yang terdiri dari 3 seam batubara (coal seam) utama yaitu A/Mangus, B/Suban dan C/Petai. Adapun untuk Sub Member M-1 yang memiliki 2 seam batubara yaitu seam D (Merapi) dan E (Keladi) belum direncanakan untuk dilakukan penambangan karena data eksplorasi belum mencukupi (suitable) untuk dilakukan pembuatan desain tambang yang berorientasi ke arah tambang bawah tanah (underground mine). Wilayah IUP Operasi Produksi (IUP) Tambang Air Laya saat ini merupakan daerah tambang terbuka PTBA UPTE yang memiliki nilai keekonomian yang paling tinggi dikarenakan terdapatnya potensi sumberdaya dan cadangan batubara dengan rentang kualitas mulai dari Sub Bituminus hingga Semi Antrasit (nilai CV, adb : 6.300 s/d > 8.000 Kkal/kg). Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh atau faktor non sedimentasi berupa intrusi (sill and dyke). Pekerjaan eksplorasi pengembangan lanjutan di wilayah IUP Operasi Produksi Tambang Air Laya (TAL) untuk rencana operasional tambang bawah tanah mulai dilaksanakan pada bulan Juli 2014 dengan rencana 27 titik bor dengan total kedalaman ± 14.840 meter (sebelumnya pada tahun 2006-2007 sebanyak 7 titik bor). Dengan mengacu kepada data yang ada saat ini dimana tebal untuk seam D : ±2,3 m dan seam E : ±6,4 m, maka dengan berpedoman pada Kode KCMI (2011) dan SNI 5015:2011 diperoleh estimasi sumberdaya batubara (tertunjuk + tereka) ±29 juta ton untuk seam D/Merapi dan ±72juta ton untuk seam E/Keladi. Nilai kalori (calorific value) dari data sementara berada pada kisaran 6.800-6900 Kkal/kg (basis adb) dan mengacu kepada ASTM Standard termasuk ke dalam rank Bituminus.



112



Dengan optimasi sumberdaya dan cadangan batubara di wilayah IUP Operasi Produksi Tambang Air Laya melalui pengelolaan pekerjaan eksplorasi untuk rencana pengembangan operasi tambang bawah tanah (underground mine), maka diharapkan pada masa yang akan datang terdapat penambahan produksi batubara dalam kerangka ketahanan energi nasional yang berkelanjutan danmendukung keberlanjutan konservasi sumberdaya energi (UU No. 30 Tahun 2007).



LATAR BELAKANG PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan batubara dari tahun ke tahun berupaya meningkatkan produksi dan penjualan batubara baik ditujukanuntuk kebutuhan dalam negeri/domestik (utamanya untuk PLTU/Domestic Market Obligation) maupun permintaan dari luar negeri (ekspor). Salah satu aspek pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendukung ketersediaan cadangan batubara dalam nilai yang pasti (certainty) baik dari sisi volume/tonase maupun kualitas adalah aktivitas eksplorasi.Pekerjaan eksplorasi pengembangan utamanya kegiatan pemboran yang dilaksanakan di wilayah IUP Operasi Produksi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) saat ini terus dilakukan secara berkesinambungan untuk mengoptimalkan perolehan sumberdaya batubara (coal resources) baik yang ditujukan untuk penambangan secara tambang terbuka (open pit) maupun yang menggunakan metode tambang bawah tanah (underground mine). Hal ini tentunya sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam hal kedaulatan sumberdaya alam diantaranya batubara (energi fosil yang tidak dapat diperbaharui/unrenewable) dalam kerangka untuk menjaga ketahanan energi nasional melalui optimalisasi potensi endapan batubara. PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE) memiliki 5 (lima) wilayah IUP Operasi Produksi (Gambar1)yaitu Tambang Air Laya (±7.621 Ha), Banko Barat (±4.500 Ha), Muara Tiga Besar (±3.300 Ha), Banko Tengah Blok Barat (±2.423 Ha) dan Banko Tengah Blok Timur (±22.937 Ha) dengan luas total : ±40.781 Ha. Ke-5 IUP Operasi Produksi tersebut di atas seluruhnya merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Bagian Selatan dengan Formasi Pembawa Batubara (coal bearing measured formation) utama yaitu Formasi Muara Enim berumur Miosen yang terbagi menjadi 4 Sub Member (tua ke muda) yaitu M4, M3, M2 dan M1. Saat ini yang PTBA UPTE utamanya di IUP Operasi Produksi Tambang Air Laya (TAL) sementara hanya berfokus pada ekstraksi atau penambangan secara tambang terbuka (open pit) untuk Sub Member M2 yang terdiri dari 3 seam batubara (coal seam) utama yaitu Seam A/Mangus, Seam B/Suban dan Seam C/Petai. Adapun untuk Sub Member M1 yang merupakan Sub_Member paling bawah dan sebagai target kegiatan eksplorasi pengembangan (pemboran) memiliki 2 seam batubara yaitu seam D (Merapi) dan E (Keladi) dimana dari sisi target kedalaman perolehan seam batubara dari permukaan lebih layak diperuntukkan untuk rencana penambangan secara tambang bawah tanah.



113



TUJUAN Pelaksanaan pekerjaan eksplorasi pengembangan lanjutanyang operasionalnya dilakukan oleh Pihak III direncanakansebanyak 27 titik bor ditujukan untuk mendapatkan data seam D (Merapi) dan E (Keladi)di wilayah IUP Operasi Produksi Tambang Air Laya (TAL). Pelaksanaannya dimulai padabulan Juli 2014 (setelah sebelumnya pada Tahun 2007 telah dilakukan sebanyak 7 titik bor di daerah In Pit)dan evaluasi geologi terhadap perolehan data pemboran (inti bor/core) digunakan untuk mendapatkan besaran sumberdaya (tereka/inferred, tertunjuk/indicated dan terukur/measured) dan cadangan batubara (terkira/probable dan terbukti/proved), sehingga dapat dijadikan dasar atau acuan untuk pembuatan Pre Studi Kelayakan penambangan dengan menggunakan metode tambang bawah tanah (underground mine). Kejelasan :



1



2 TAL



1. 2. 3. 4. 5.



5



3



Muara Tiga Besar (3.300 Ha) Tambang Air Laya (7.621 Ha) Banko Barat (4.500 Ha) Banko Tengah Blok A (2.423 Ha) Bank Tengah Blok B (22.937 Ha)



5



4



5



Gambar 1Peta IUP Operasi Produksi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. UPTE



GEOLOGI TAMBANG AIR LAYA A. Struktur Geologi Struktur geologi yang terbentuk pada endapan batubara di Tambang Air Laya secara umum menyerupai dome ellipsoidal yang memiliki kemiringan (dipping)landai (gentle) dengan sumbu berarah relatif timurlaut-baratdaya. Dome ellipsoidal tersebut secara genesa dipengaruhi oleh terbentuknya intrusi (sill and dyke) batuan beku andesit dan secara langsung menyebabkan terjadinya peningkatan kualitas (nilai panas/kalor) batubara (hingga semi antrasit) di sekitar terbentuknya tubuh intrusi andesit. Suatu seri struktur lipatan berupa antiklin yang memiliki kemiringan terjal (steep) dan sinklin dengan kemiringan landai (gentle) dengan arah sumbu lipatan dominan timur-barat yang mempengaruhi endapan batubara di bagian barat dan batas/limit bagian utara dari Tambang Air Laya dibentuk oleh struktur lipatan utama (a major fold structure) yang dikenal sebagai Antiklin Klawas. Ke arah utara dari antiklin Klawas terdapat bekas tambang (mined out) kecil yang disebut sebagai tambang Klawas Tengah Utara.



114



Di bagian selatan dari konsesi TAL, tersingkap seri batuan intrusi andesit yang membentuk 3 (tiga) bukit utama yaitu Bukit Asam, Bukit Munggu dan Bukit Tapuan.Intrusi andesit dalam bentuk sill teramati pada interburden seam batubara B2 dan C yang merupakan bagian dari daerah Suban (selatan dari Tambang Air Laya).Kemiringan lapisan batuan-batubara pada sisi daerah intrusi tersebut sangat mempengaruhi bentuk dari batubara di daerah ini. Sejumlah sesar dengan arah umum relatif utara-selatan juga teramati di Tambang Air Laya. Bagian timur TAL dibatasi oleh adanya zona sesar normal utama denganbagian yang turun (downthrows) hingga 50 meter adalah sisi timur.Sesar-sesar yang terdapat di Tambang Air Laya biasanya berbentuk minor dengan pergeseran (displacement) beberapa meter dan tidak mempengaruhi atau menjadi kendala terhadap operasional tambang.



TAL



Gambar 2 Peta Geologi Regional Daerah Tanjung Enim dan sekitarnya (Bamco, 1983 & Gafoer et al, 1986)



B. Stratigrafi dan Seam Batubara Di Tambang Air Laya terdapat 5 (lima) seam batubara utama yang bernilai ekonomis yaitu seam A1, A2, B1, B2 dan C (Gambar 3). Seam A1 yang merupakan seam batubara paling atas memiliki ketebalan sekitar 7 meter dimana di bagian timur tebal batubara menjadi lebih dari 12 meter.Tebal batubara A1 yang lebih tipis ( 6000 kcal/kg (GAR) di lokasi pemukiman Townsite”, Tanjung Ernim, 2013. 3. Eksplorasi Pengembangan & Perencanaan Jangka Panjang PTBA, “Elektrisasi peralatan dengan Semi Mobile Continues Mining di TAL”, Tanjung Ernim, 2013.



151



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



PENGATURAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM UNDANG-UNDANG MINERAL DAN BATUBARA Dr. Busyra Azheri, SH., M.Hum Fakulatas Hukum Universitas Andalas Padang



Latar Belakang Semenjak tahun 1970-an masalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility (selanjutnya disingkat CSR) telah menjadi isu penting, baik di kalangan profesional, akademisi, aktivis LSM dan masyarakat pada umumnya. Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial). CSR harus berpijak pada triple bottom lines (3BL) yang tidak hanya aspek finansial atau ekonomi, tetapi juga meliputi aspek sosial dan lingkungan. Dinamika ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat menuntut hak atas keadilan sosial, lingkungan hidup, Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum (law enforcement) serta transparansi dan informasi terbuka (well imformed) berkaitan dengan aktivitas dunia usaha, khususnya di bidang pertambangan. Secara politis tuntutan masyarakat tersebut sangat wajar, karena kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil atau kelompok tertentu saja serta menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak lingkungan. Sehingga Carolyn Marr mengungkapan dalam kata-kata yang paradoks yaitu “Indonesia of fabulously rich and Indonesia is desperately poor”.1 Pada hal, Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai dasar filosofis pengelolaan sumber daya alam menegaskan bahwa sumber daya alam yang ada harus dijadikan sebagai upaya meningkatkan kesejateraan masyarakat melalui pembangunan yang berlandaskan pada prinsip demokrasi ekonomi. Persoalantersebut berkaitan dengan paradigma dunia usaha, khususnya industri pertambangan yang masih mengedepankan profit oriented, belum mengarah pada corporate image. Perusahaan tidak lebih sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri (selfish), alienasi dan atau eklusifitas dari lingkungan masyarakat. Perusahaan belum menyadari bahwa ia sebagai entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial di mana ia berada dan bertanggung jawab atas segala kerusakan serta dampak lingkungan sebagai akibat aktivitas usahanya. Pada sisi lain, perusahaan harus menyadari bahwa suatu perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan bertahan serta memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak.2 Sehingga perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat (sense of belonggings) terhadap kehadiran perusahaan tersebut.3 1 Carolyn Marr, 1993, Digging Deep the Hidden Cost of Mining in Indonesia, Down to Eart & Minewatch, Penang, Malaysia, halaman 1. 2Busyra Azheri, 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Aktivitas Pertambangan di Sumatera Barat, Disertasi, Pascasarjana FH Unibraw, halaman 27. 3 Ibid.



152



Berbagaitulisan, survei, dan penelitian menunjukkan bahwa CSR bukanlah murni atas dasar kesadaran perusahaan, tetapi merupakan tuntutan dalam menghadapi arus globalisasi dan tuntutan pasar bebas (free market). Kondisi ini dipertajam lagi dengan terbentuknya ikatanikatan ekonomi seperti WTO, AFTA, APEC, UE dan lain-lain yang mencantumkan berbagai persyaratan untuk berkompetisi, seperti ISO 14000 dan 14001 serta ISO 260004. Selain itu, dengan semakin cepatnya arus dinamika sosial kemasyarakatan menyebabkan semakin berkurangnya peran pemerintah, dan semakin dominannya peran sektor swasta dalam pembangunan suatu negara.5 Faktamenunjukan bahwa perusahaan skala besar telah menerapkan CSR sebagai kegiatan yang bersifat voluntary yang diwujudkan dalam bentuk kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity) dan lain sebagainya. Agar CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi mandatory(legal responsibility).Hal ini terlihat dengan dinyatakannya CSR sebagai kewajiban pelaku usaha, sebagaimana diatur pada Pasal 15 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Aturan ini telah diejawantahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Berkaiatan deskripsi tersebut, dirumuskanlah permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa perusahaan pertambangan diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) dalam kegiatan usahanya. 2. Bagaimana prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dalam Undang-undang Mineral dan Batubara. Pembahasan 1. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Sampai saat ini belum adanya kesatuan bahasa terhadap CSR, hal ini dapat dilihat dari berbagai pengertian atau definisi CSR sebagai berikut :6 a. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)7 WBCSD merumuskan CSR sebagai “The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large to improve their quality of life”. b. World Bank Lembaga keuangan global ini merumuskan CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their



4 ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini bersifat sukarela dan hanya memuat petunjuk (guideline) tentang standar CSR. 5 Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006. 6 Isa Wahyudi & Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, Intrans Publishing dan Inspire Indonesia, Malang, halaman 28. 7www.wbcsd.org. Corporate Social Responsibility : Making Framework for Corporate Social Responsibility, Washington, 2001. WBCSD adalah lembaga internasional sebagai asosiasi perusahaan yang beranggotakan ± 180 perusahaan transnasional yang berasal ± 35 negara yang mempunyai komitmen “Making Good Business Sense”, diakses September 2007.



153



representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”. c. European Union Europen Union atau Uni Eropa sebagai lembaga perhimpunan negara-negara di benua Eropa merumuskan pengertian CSR dalam EU Green Papaer on CSR sebagai “....... is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholderss on a voluntary basic”. Lebih lanjut The Europen Commission juga menjelaskan kembali bahwa CSR adalah “Being socially responsibility means not only fulfilling legal expectations, but also going beyond compliance and investing more into human capital, the enviroment and relations with stakholders”. d. CSR Forum juga memberikan merumuskan pengertian tentang CSR yaitu “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employeses, communities and enviroment”. e. Business for Social Responsibility Merumuskan CSR sebagai “Operating a business in a manner that meets or exceeds the ethical, legal, commercial and public expectations that society has of business. Social Responsibility is a guiding principle for every decision made and in every area of a business”. Sedangkan dalam konteks ketentuan peraturan perundang-undangan, pengertian CSR dapat dilihat pada : a. Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (disingkat UUPM) yang menegaskan bahwa “tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”. b. Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas (disingkat UUPT) juga menegaskan bahwa “tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”. Sehingga CSR diartikan sebagai komitmen dalam berusaha secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara luas.8 Kemudian John Elkingston’s menegaskan sebagai berikut :9 “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation, especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interests of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspects af their operations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”.



8



Abdul Rasyid Idris, 2006, Corporate Social Responsibility(CSR), Sebuah Gagasan dan Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006. 9 John Elkington,1997, dalam Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR Suatu Keharusan, dalam Investasi Sosial, Puspinsos, Jakarta,halaman 19.



154



Menurut Benerjee yang menyatakan “....corporate social responsibility is “too broad in its scope to be relevant to organizations”.10Apa yang diungkapkan Benerjee ini semakin memperjelas bahwa ruang lingkup CSR begitu luas bagi suatu perusahaan (organisasi). Lebih lanjut Gobbels, Votaw dan Sethi lebih memperjelas dengan menyatakan “….considered social responsibility a brilliant term : “it means something, but not always the same thing to everibody”.11 Begitu pula Michael Hopkins dalam Working Paper-nya yang disampaikannya kepada Policy Integration Departement World Commission on the Social Dimension of Globalization International Labour Office, Genewa tahun 2004 menjelaskan bahwa CSR adalah :12 “CSR is concerned with treating the stakeholders of the firm ethically or in a responsible manner. ‘Ethically or responsible’ means treating stakeholders in a manner deemed acceptable in civilized societies. Social includes economic responsibility, stakeholders exist both within a firm and outside. The natural environment is a stakeholder. The wider aim of social responsibility is to create higher and higher standards of living, while preserving the profitability of the corporation, for people both within and outside the corporation”. Dari penjelasan Michael Hopkins tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR berkaitan dengan perlakukan perusahaan terhadap stakeholders baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan termasuk lingkungan secara etis atau secara bertanggung jawab, dengan memperlakukan stakeholders dengan cara yang bisa diterimanya. Sedangkan secara sosial CSR meliputi tanggung jawab di bidang ekonomi dalam upaya menciptakan standar hidup lebih baik dengan tetap menjaga profitabilitas perusahaan. Certo sebagai pakar etika mendefinisikan CSR sebagai ”... managerial obligation to take action that protects and improves both the welfare of society as a whole and the interest of organization.” Sementara itu, Lawrence, Weber dan Post menyatakan bahwa ”CSR means that a corporation should be held accountable for any of its actions affect people, their communities and their environment.” Sedangkan Kotler and Lee “…a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources.” Dan Wineberg dan Rudolph memberi definisi Corporate Social Responsibillity (CSR) sebagai: The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy”13. Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa CSR adalah sebagai komitmen perusahaan untuk melaksanakan kewajiban yang didasarkan atas keputusan untuk mengambil kebijakan dan tindakan dengan memperhatikan kepentingan para stakeholdersdan lingkungan dimana perusahaan melakukan aktivitasnya yang berlandaskan pada ketentuan hukum yang berlaku. Untuk itu perlu adanya prinsip yang dijadikan sebagai pegangan dalam penerapannya. Atas fakta tersebut, pada tahun 1997 Prince of Wales International Business Forum, menetapkan 5 (lima) prinsip dasar dalam penerapan CSR yang meliputi :14



10 Marcel van Marrewijk,. 2003, Concepts and Definitions of CSR and Corporate Sustainability : Between Agency and Communion.Journal of Business Ethics 44, page 19. 11 Marcel van Marrewijk, Ibid., page19. 12 Michael Hopkins, 2003, The Business Case for CSR : Where are we ? International Journal for Business Performent Management,Volume 5. Number 2.3. page 125.. 13 Danette Wineberg & Phillip H. Rudolph, 2004, Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know, dalam ACC Docket, page 72. 14http://www: ibl.or.id, diakases 8 Oktober 2008.



155



a. Building human capital adalah berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal, sedangkan secara eksternal perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat. b. Strengthening economies adalah perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri sementara komunitas di lingkungannya miskin. Perusahaan harus memberdayakan ekonomi sekitarnya. c. Assesing social chesion adalah upaya untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik. d. Encouraging good governance adalah perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, harus mengacu pada Good Corporate Governance (GCG). e. Protecting the environment adalahperusahaan harus berupaya keras menjaga kelestarian lingkungan. Dari kelima prinsip tersebut, terlihat bahwa ruang lingkup CSR begitu luas yang mencakup 3 (tiga) aspek yaitu aspek ekonomo, sosial dan lingkungan. Namun dalam penerapannya harus memperhatikan konsep sustainable yang didasarkan atas monitoring dan evaluasi program, bahkan laporan (reporting) harus dijadikan sebagai umpan balik (feedback) untuk merumuskan kegiatan CSR ke depan.15 2. Alasan Diwajibkannya Perusahaan Pertambangan Menerapkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, kegiatan CSR baru marak dilakukan pada beberapa tahun belakangan, dan kegiatan itu dilaksanakan atas motif kemurahan hati (charity) dan kedermawanan (philanthropy) yang bersifat kesukarelaan (voluntary). Namun pada saat DPR mengulirkan wacana CSR dalam pembahasan RUUPT, kalangan dunia usaha mulai terusik karena paradigma CSR yang semula bersifat voluntary bergeser menjadi keharusan (mandatory), sehinga penolakan dari berbagai kalangan dunia termasuk KADIN dengan beberapa asosiasi dunia usaha melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan Pasal 74 UUPT dengan gugatan Nomor 53/PUU-VI/2008. Gugatannya sendiri didasarkan pada ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. berdasarkan putusan MK tanggal 15 Arip 2009 menyatakan menolak gugatan tersebut. Perkembanganglobal juga menunjukkan perubahan pardigma dalam pengelolaan perusahaan. Kalau selama ini perusahaan hanya dipandang sebagai instrumen ekonomi dalam makna untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya (profit orientate), maka kedepan perusahaan harus dipandang sebagai institusi sosial (corporate image). Oleh karena itu perusahaan tidak hanya mengakomodasi kepentingan pemegang saham (shareholders), tetapi juga kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Secara teoritis perusahaan merupakan representasi dari subyek hukum dalam makna rechtpersoon. Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, perusahaan diwakili oleh organnya yaitu manusia (naturljkpersoon)yang ”nota bene”-nya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Atas dasar tersebut, perusahaan pun dapat dibebani tanggung jawab sosial sebagai subyek hukum.



15 Karena belum ada standarisasi pelaporan dan masih bersifat sukarela, maka banyak istilah pelaporan dalam aktivitas CSR. Ada environmental report, citizenship report, sustainability report, social report, environmental and social report, corporate responsibility report ataupun corporate social responsibility report. Yang cukup banyak jadi rujukan adalah Global Compact yang dirintis PBB, dan Global Reporting Initiative (GAl) yang diluncurkan pada tahun 1997.



156



Rasionalitas ini mengilhami lahirnya rumusana Pasal 1 angka 3 UUPT, meskipun di dalam risalahnya menunjukan bahwa lahirnya rumusan pasal ini melalui perdepadan yang sangat alot antar fraksi maupun dengan pemerintah, akhirnya diselesaikan melalui lobby pada masa sidang IV tahun sidang 2006-2007 dalam rapat panitia kerja (panja) Komisi VI DPR RI. Dalam risalah RUUPT, secara eksplisit terungkap bahwa RUUPT yang diberikan oleh pemerintah ke DPR tidak ditemukan satu pasal pun yang berkaitan dengan CSR. Atas inisiatif Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) diusulkanlah agar dalam RUUPT dimasukkan tentang CSR agar sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD sebagai dasar filosofi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Melalui perdebatan yang sangat alot, akhirnya disepakati agar CSR diatur dalam UUPT dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Berdasarkan prinsip keberlanjutan (sustainability), dimana prinsip ini bermakna bahwa pengelolaan sumber daya alam ini tidak hanya untuk dinikmati oleh satu generasi atau generasi tertentu saja, tetapi pengelolaannya harus bisa diwariskan dan dinikmati oleh generasi akan datang. b. Berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan, dimana prinsip ini bermakna bahwa dalam pembangunan perekonomian nasional aspek lingkungan harus menjadi perhatian setiap pelaku usaha, sehingga setiap aktivitas usaha dapat diminimalisir dampaknya terhadap lingkungan. Biladilihat dari law making proces-nya, konsep CSR dalam UUPT tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat serta LSM dengan berbagai alasan. Padasisi lain fakta menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat yang terjadi pada berbagai daerah. Selain pertimbangan konstitusional dan fakta empiris dari dampak pembangunan selama ini sebagaimana diakui pemerintah dalam RPJMN 2004-2009, maka sangat rasional sekali CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Atas pertimbangan tersebut dirumuskanlah Pasal 74 UUPT sebagai berikut : a. Pasal 74 ayat (1) UUPT Perseroan menegaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Secaramakna gramatikal perusahaan yang tidak menjalankan dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak wajib menerapkan TJSL dalam aktivitas usahanya. b. Pasal 74 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kata-kata “kepatutan” dan “kewajaran” merupakan terminologi yang bermakna pada asas hukum yang perlu penafsiran yang tegas. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip akuntabilitas dalam CSR.



157



c. Pasal 74 ayat (3) UUPT menegaskan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini semakin mempertegas bahwa TJSL telah dinyatakan sebagai kewajiban dalam makna liability karena diikuti sanksi bagi perseroan yang tidak menerapkannya. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip taat hukum dalam CSR. d. Pasal 74 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Secara teoritis, perubahan paradigma CSR dari voluntary manjadi mandatory sejalan dengan ungkapan Roberto Mangabeira Unger sebagaimana dikutip Eka Wenast yang menyatakan bahwa dalam masyarakat “paska-liberal”, organisasi-organisasi swasta semakin diakui dan dipandang sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan, pada hal menurut doktrin tradisional kekuasaan dipandang sebagai hak prerogatif pemerintah. Kaum neo-liberal tidak menerapkan kritik atas pemerintah, tapi justru memusatkan diri pada kekuatan pemerintah itu sendiri. Sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab utama untuk menentukan dan menerapkan standar tanggung jawab sosial dengan memperhatikan kondisi masyarakat setempat”.16 Sehingga secara filosofis, teori tanggung jawab sosial yang bersifat radikal dan konservatif dari segi programnya, tetapi memiliki pandangan liberal terhadap hak-hak publik. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma CSR dari voluntary menjadi mandatory dalam pengelolaan kekayaan mineral dan batubara di Indonesia, sebagai amanat Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang dituangkan dalam UU Minerba. Kebijakan ini tidak terlepas dari fungsi negara di bidang ekonomi sebagaimana diungkapkan oleh W. Friedman yaitu mencakup 4 (empat) hal yaitu :17 a. b. c. d.



Sebagai penjamin (provider) kesejahteraan rakyat. Sebagai pengatur (regulator). Sebagai pengusaha (entrepreneur). Sebagai pengawas (umpire).



Dari ke empat fungsi negara tersebut, fungsi yang esensial terletak pada fungsi pengatur (regulator). Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi pengaturan, pemerintah harus memperhatikan norma moral yang akan dipositivakasikan ke dalam bentuk norma hukum dengan memposisikan kebebasan positif yang bersifat accountable kepada stakeholders-nya. 3. Pengaturan Prinsip Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Undang-undang Mineral dan Batubara Penjelasan UU Minerba secara implisit juga mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan pengusahaan sumber daya alam sesuai dengan konsep hukum “kausalitas”, dimana keberlajutan perusahaan pertambangan tergantung pada pemeliharaan sumber daya alam itu sendiri. Sebaliknya, jika daya dukung sumber daya alam rusak, musnah, dan atau tidak ada lagi, maka akan berdampak langsung pada pendapatan masyarakat, sehingga mereka akan menganggap perusahaan sebagai penyebabnya.18Atas dasar tersebut, UU Minerba telah berusaha 16Ibid. 17



W. Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens and Sons, London, page 3. Bandingkan dengan Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, halaman 16. 18 Wilian Wordworth, 2008, Kata Pengantar dalam “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam praktek di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, halaman X



158



mengakomodir dan mengembangkan ke lima (5) prinsip dasar CSR dalam pengelolaan atas sumber daya alam yang terdapat di bumi Indonesia. Untuk lebih jelasnya prinsip CSR dalam UU Minerba dapat di lihat pada tabel berikut :19 No



Pasal



1



Pasal 2



Substansi Asas pengelolaan pertambangan



7



Kewajiban pemegang izin Pasal 65 ayat (1) pertambangan untuk memenuhi berbagai persyaratan Penerapan kaedah pertambangan Pasal 96 yang baik Penerapan standar dan baku mutu Pasal 97 lingkungan Kewajiban melakukan dan Pasal 99 dan 100 menyediakan dana reklamasi Mengutamakan pemanfaatan Pasal 106 tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri Pasal 107 Mengikut sertakan UKM



8



Pasal 108



Community development



9



Pasal 145 ayat (1)



Hak masyarakat menuntut ganti rugi



2 3 4 5 6



19



Prinsip CSR Human capital, disclosure, akuntabilitas, keberlanjutan, dan berwawasan lingkungan GCG GCG Berwawasan lingkungan Disclosure dan teknologi ramah lingkungan. Human capital Kemitraan Disclosure dan akuntabilitas Stakeholders Concept



Busyra Azheri, Op., Cit., halaman 357-361.



159



KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) di Bidang Pertambangan dalam Konteks Hukum Perusahaan di Indonesia dapat simpulkan sebagai berikut : 1. Sejalan dengan perubahan paradigma perusahaan dalam aktivitasnya dari profit orientate ke coporate image serta berbagai dampak negatif dari pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan sumber daya alam selama ini, maka perusahaaan sebagai representasi subyek hukum merupakan lembaga yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Oleh karena itu setiap perusahaan yang bergerak dan atau berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana dimaksud Pasal 74 UUPT diwajibkan menerapkan CSR. Ketentuan ini sekaligus sebagai pengejawantahan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang sekaligus juga sebagai dasar pilosifinya. Dengan diaturnya CSR ini sebagai suatu keharusan bagi perusahaan dalam upaya penyelenggaraan pembangunan yang didasarkan pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip keberlanjutan dan prinsip berwawasan lingkungan. Sehingga pada gilirannya nanti sumber daya alam yang ada sekarang dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. 2. UU MInerba sebagai pengejawantahan dari amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 dan Pasal 74 UUPT telah berusahan mengakomodir ketentuan CSR sedemikian rupa. Dalam UU Minerba terdapat berbagai prinsip CSR yang dikembangkan dari kesepakan Prince of Wales International Business Forum pada tahun 1997 yaitu prinsip human capital, akuntabilitas, keterbukaan (disclosure), transparansi, pendidikan, pelatihan, perilaku etis, non – diskriminatif, berwawasan lingkungan, teknologi ramah lingkungan, Good Corporate Gavernance (GCG), keberlanjutan, taat hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM). B. Saran Berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan dapat disaran beberapa hal sebagai berikut : 1. Pemerintah sesegera mungkit menerbitkan PP yang diamatkan oleh Pasal 74 ayat (4) UUPT dan Pasal 109 UU Minerba. Substansi PP yang berkaitan dengan Pasal 74 UUPT minimal harus memuat rincian tentang bidang usaha dalam makna yang berkaitan dengan sumber daya alam, sistem pelaporan karena dimasukan sebagai biaya perusahaan, ukuran kepatutan dan kepantasan, serta konsep penghargaan dan sanksi (reward and punisment). Sedangkan Substansi PP yang berkaitan dengan Pasal 109 UU Minerba harus menjelaskan makna pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, bagimana bentuk dan polanya, serta bagimana konsep reward and punishment-nya. 2. Agar penerapan CSR betul-betul tepat sasaran dan bersifat berkelanjutan, sudah seyogyanya pemerintah membentuk komisi dan atau badan yang berkaitan dengan pengawasan, penilaian, evaluasi, penegakan hukum, dan pengembangan serta sosialisasi CSR. 3. Bagi kalangan pengusaha jangan melihat CSR sebagai biaya (cost), tetapi jadikanlah CSR sebagai investasi dalam upaya mendapatkan keuntungan yang kompetitif (competitive advantage) serta dalam menghadapi persaingan global dengan mengacu pada standarisasi tertentu, seperti ISO 9000 untuk sistem manajemen (quality management system), ISO



160



14000 untuk manajemen lingkungan (environmental management system), dan OHSA 18000 untuk manajemen kesehatan dan keselamatan (health and safety management), serta ISO 26000 untuk manajemn tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility management). DAFTAR PUSTAKA A. Buku, Tesis, dan Disertasi Abdul Rasyid Idris, 2006, Corporate Social Responsibility(CSR), Sebuah Gagasan dan Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006. Busyra Azheri, 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Aktivitas Pertambangan di Sumatera Barat, Disertasi, Pascasarjana FH Unibraw. Carolyn Marr, 1993, Digging Deep the Hidden Cost of Mining in Indonesia, Down to Eart & Minewatch, Penang, Malaysia. Isa Wahyudi & Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, Intrans Publishing dan Inspire Indonesia, Malang. ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini bersifat sukarela dan hanya memuat petunjuk (guideline) tentang standar CSR. John Elkington,1997, dalam Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR Suatu Keharusan, dalam Investasi Sosial, Puspinsos, Jakarta. Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006. Marcel van Marrewijk,. 2003, Concepts and Definitions of CSR and Corporate Sustainability : Between Agency and Communion.Journal of Business Ethics 44. Michael Hopkins, 2003, The Business Case for CSR : Where are we ? International Journal for Business Performent Management,Volume 5. Number 2.3. Danette Wineberg & Phillip H. Rudolph, 2004, Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know, dalam ACC Docket. http://www: ibl.or.id, diakases 8 Oktober 2008. W. Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens and Sons, London, page 3. Bandingkan dengan Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Wilian Wordworth, 2008, Kata Pengantar dalam “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam praktek di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta. B. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara C. Wab Sade http://www.wbcsd.org. Corporate Social Responsibility : Making Framework for Corporate Social Responsibility, Washington, 2001. WBCSD adalah lembaga internasional sebagai asosiasi perusahaan yang beranggotakan ± 180 perusahaan transnasional yang berasal ± 35 negara yang mempunyai komitmen “Making Good Business Sense”, diakses September 2007. http://www: ibl.or.id, diakases 8 Oktober 2008. http//www:csrindonesia.com., diakses pada tanggal 16 Pebruari 2009.



161



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



EKSPOR DAN IMPOR INDUSTRI TEMBAGA DI ASIA TENGGARA MENJELANG DIBERLAKUKANNYA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Hidir Tresnadi [email protected]



Abstrak Industri Tembaga merupakan salah satu industri di Indonesia yang berbasis bahan baku mineral khususnya tembaga, yang dapat menjadi modal untuk pengembangan industri hilirnya. Industri Pertambangan sesuai dengan UU No 4 2009 mewajibkan kepada para pelaku industri tambang untuk meningkatkan nilai tambah pada produk tambangnya, sehingga dapat memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar nasional dan global. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan salah satu masukan dalam pengembangan industri tembaga nasional. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder ekspor dan impor kemudian dilakukan analisis secara time series dan cross section. Objek penelitian adalah ekspor dan impor konsentrat dan produk tembaga di kawasan ASEAn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan ASEAN industri tembaga yang berbasis tambang tembaga terdapat di Indonesia, Philipina dan Laos. Di kawasan ini ekspor konsentrat tembaga pada tahun 2014 mengalami penurunan di Indonesia menjadi 714.950 ton , Philipina 357.501 ton, dan laos naik menjadi 256.188 ton. Indonesia mengalami kenaikan ekspor produk utama tembaga 7403 di ASEAN, namun penurunan pada 7408. Jelang MEA maka Indonesia memiliki keunggulan komparatif industri konsentrat tembaga pada pasar nasional. Dalam melakukan terobosan pasar produk tembaga di ASEan maka harus mempertimbangkan faktor harga, distribusi, promosi, diferensiasi produk yang dapat memberikan kontinyuitas kuantitas dan kualitas produk tembaga yang diekspor. Terobosan pasar produk tembaga sebaiknya dilakukan juga di kawasan global untuk Kata Kunci : Tembaga, ASEAN, Ekspor, Impor, MEA Abstract Indonesia has copper-mining-base industry to develope downstream industry, mainly copper industry. The objective of the research is to characterize the export and import of the copper concentrate and copper product in ASEAN Country. The data is analyzed statistically therough time series and cross section analysis. The results show that copper mining based copper indsutries in ASEAN are only Indonesia, Philipine and Lao. Generally In Asean copper concentrate export decreased in 2014 compared to previous years, Indonesia 714.950 ton , Philipina 357.501 ton, and only lao increase to 256.188 ton. The export of The copper product of Indonesia, 7403, incrrease in 2014, but 7408 decreased. In MEA Indonesia has comparative advantage in the copper concentrate as raw material compared to the other Asean Countries, so it can be attratactive to investor for doing business, but it depends on the incentives and financial infrastucture of Indonesia to provide the advantage for the better business. In the peneteration of the export and impor market in the ASEAN countries, should use the market strategy, such price, promotion, distribution, product, packaging, diferentiation product and conitinuity of the quantity and The quality product. To compete and to win the competition in the market. Keyword : Copper, ASEAN, Eksport, Import, MEA



162



I.



Latar Belakang



Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan salah satu dari pilar-pilar impian masyarakat ASEAN yang dicetuskan dalam kesepakatan Bali Concord II. ASEAN berharap dapat membentuk sebuah pasar tunggal dan basis produksi sebelum tahun 2015. Artinya sebelum tahun 2015, pergerakan barang, jasa, investasi dan buruh trampil di ASEAN akan dibuka dan diliberalisasikan sepenuhnya Sebuah pasar tunggal dan basis produksi pada dasarnya adalah sebuah kawasan yang secara keseluruhan dilihat oleh negara anggota ASEAN. Khusus dalam kerangka ASEAN, maka UMKM di Negara-negara ASEAN akan menghadapi era baru liberalisasi ,termasuk liberalisasi pasar keuangan, yang dicanangkan sebagai salah satu tujuan dalam ASEAN Economic Comumunity (AEC) atau masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Dengan MEA 2015 maka diharapkan ASEAN akan memiliki 4 karakteristik utama yaitu sebagai (1) pasar tunggal dan kesatuan basis produksi , (2) kawasan ekonomi yang berdaya saing, (3) pertumbuhan ekonomi yang merata, dan (4) meningkatkan kemampuan untuk berintegrasi dengan perekonomian global. Menuju pasar tunggal dan kesatuan basis produksi tersebut , akan diberlakukan aliran bebas barang, jasa, investasi dan modal. Di pasar keuangan, liberalisasi sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2015 dan 2020. Pada tahun 2015 Indonesia berkomitmen untuk melakukan liberalisasi di sub sektor asuransi dan pasar modal. Pada tahun 2015 diharapkan liberalisasi seluruh subsektor pada sektor jasa keuangan dapat terlaksana. Terbukanya pasar keuangan ASEAN tersebut memberikan peluang untuk semakin terbukanya akses bagi Industri Hulu Tembaga kepada sumber-sumber keuangan, tidak saja di dalam negeri tetapi juga pasar keuangan internasional. Dilain pihak, Industri Hulu Tembaga di Negara ASEAN menghadapi tantangan yang cukup berat, karena persaingan yang semakin ketat. Mengingat belum setaranya kondisi ekonomi di masing-masing Negara maka diharapkan setiap Negara termasuk Indonesia dapat meningkatkan daya saing agar dapat mengambil manfaat dari liberalisasi. Indonesia bagian terbesar dari pelaku ekonomi adalah Industri Hulu Tembaga, kiranya dapat dan perlu dipersiapkan menghadapi era liberalisasi tersebut. Dalam kerangka pengembangan Industri Hulu Tembaga, semua instansi yang terkait dan terlibat pada kegiatan ASEAN perlu memperhatikan pengembangan Industri Hulu Tembaga, pada (1) peningkatan dan pengembangan industri ini, (2) peningkatan dan pengembangan pasar regional ASEAN dan Global, (3) peningkatan akses terhadap infrastruktur keuangan, (4) peningkatan akses terhadap teknologi dan (5) terciptanya dukungan kebijakan yang kondusif pada industri hulu dan hilir tembaga. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diimplentasikan tahun 2015. Untuk mengantisipasi dan sekaligus memanfaatkan peluang MEA pada tahun 2015 diperlukan kesiapan Industri Hulu Tembaga. Selain peluang pasar yang besar, karena jumlah penduduk ASEAN telah mencapai lebih dari 590 juta jiwa, beberapa potensi yang dimiliki Indonesia sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh Industri Hulu Tembaga di Indonesia guna menggarap peluang pasar ASEAN yang ada. Ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Industri Hulu Tembaga,untuk mengisi pasar dan peluang investasi di kawasan ASEAN, yang akan sia-sia kalau Industri Hulu Tembaga,tidak diberdayagunakan. Oleh karena itulah, maka tantangan yang besar dalam memanfaatkan MEA pada tahun 2015 adalah bagaimana memperkuat atau memberdayagunakan kemampuan Industri Hulu Tembaga agar lebih maju dan berkembang dibandingkan pelaku ekonomi sejenis di luar negeri, kawasan ASEAN



163



khususnya dan global umumnya. Untuk memperkuat posisi Industri Hulu Tembaga di Indonesia, perlu beberapa upaya yang harus dilakukan. Upaya-upaya tersebut menyangkut: (1) meningkatkan kualitas dan standarisasi produk Industri Hulu Tembaga yang setara di kawasan ASEAN; (2) memperluas dan meningkatkan akses pembiayaan dan infrastruktur keuangan lain bagi Industri Hulu Tembaga; (3) meningkatkan kualitas SDM dan bisnis Industri Hulu Tembaga; (4) memperkuat dan meningkatkan akses dan transfer teknologi bagi Industri Hulu Tembaga untuk pengembangan Industri Hilir Tembaga yang inovatif; serta (5) fasilitasi Industri Hulu Tembaga berkaitan akses informasi dan promosi di luar negeri. Dalam Cetak Biru Pasar Ekonomi ASEAN, maka kerjasama pertambangan berusaha meningkatkan perdagangan dan investasi serta kerjasama dan kapasitas sektor geologi dan mineral untuk pembangunan sektor mineral yang berkelanjutan di kawasan ASEAN, melalui tindakan :  Memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan dan investasi di sektor mineral.  Meningkatkan pengembagan kelembagaan dan kapasitas SDM di sektor geologi dan mineral ASEAN.  Mendorong pembangunan sektor mineral yang nerkelanjutan ,dan ramah lingkungan.  Mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan sektor mineral Untuk menghadapi MEA 2015 ini maka pemerintah harus mencari peluang bagi pengembangan potensi sumberdaya mineral yang ada yang mendukung pembangunan bangsa sesuai dengan yang diamanahkan oleh UUD 45 serta berbagai peraturan yang berlaku pada industri ini agar siap bersaing MEA yang akan diberlakukan Desember 2015.



II.



METODOLOGI PENELITIAN



Dalam melakukan penelitian pasar tembaga ASEAN yang dapat menopa perkembangan indsutri pertambangan Tembaga di Indonesia, maka dilakukan berbagai tahapan :  Melakukan studi literatur pasar industri tembaga di Indonesia dan ASEAN  Melakukan pengumpulan data-data sekunder statistik perdagangan internasional antara negara, yang terkait dengan pasokan dan permintaan konsentrat tembaga dan produk tembaga di pasar ASEAN  Melakukan analisis dan interpretasi terhadap informasi statistik yang disajikan dengan statistik deskriptif. Analsis dilakukan berdasarkan time series dan cross section  Mengambil kesimpulan dan saran terhadap analisis dan intepretai informasi yang telah dilakukan Dalam melakukan penelitian ini, maka cakupan dibatasi pada ekspor dan impor konsentrat dan produk tembaga yang berlangsung di negara-negara ASEAN. III.



TINJAUAN UMUM



Industri pertambangan Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun pemanfaatannya saat ini belum optimal - beberapa komoditi tambang di ekspor tanpa pengolahan maksimal dan tanpa ada peningkatan nilai tambah maksimal karena masih sedikit sentuhan teknologinya pada bahan tambang yang diambil dari okasi-lokasi tambang. Dengan adanya peraturan untuk melakukan peningkatan nilai tambah pada bahan tambang, maka sejak tahun lalu terjadi penurunan ekspor bahan tambang seperti konsentrat tembaga, bijih nikel, dll.



164



Pertimbangan lain dalam upaya peningkatan nilai tambah adalah sumber daya mineral dan cadangan tersebar dan keberadaan di alam pada umumnya terbatas, Tdak dapat diperbaharui (Non Renewable), merupakan bahan baku vital bagi industri primer dan sekunder, namun dapat menjadi penggerak mula (prime mover) pembangunan suatu negara melalui penghasilan devisa, lapangan kerja, pengembangan wilayah dan infrastruktur, serta investasi. Sumber daya tembaga Indonesia sebesar 4.925 juta ton bijih dengan cadangan sebesar 4.161 juta ton bijih. Saat ini produksi tembaga dilakukan oleh dua perusahaan besar yaitu PT Freeport Indonesia di Tembagapura dan PT Newmont di Batu Hijau. Namun hanya 30% dari total produksinya yang dapat di olah di dalam negeri, konsentrat tembaga diproses lebih lanjut menjadi katoda tembaga yang saat ini satu-satunya tempat pemrosesan tersebut dilakukan oleh PT Smelting yang berada di Gresik Jawa Timur dengan kapasitas total 300.000 ton per tahun. Pasar ekspor produk konsentrat tembaga Indonesia ditujukan dengan konsumen utama Jepang, India, Koarea, Spanyol dan China. Selain itu ekspor dilakukan juga terhadap kawasan ke ASEAN. Pada tahun 2014, ekspor bijih dan konsentrat tembaga sebesar 488.999 ton, tiga besar negara utama tujuan ekspor konsentrat tembaga adalah Jepang sebesar 447.744 ton, India sebesar 326.478 ton dan China sebesar 185.903 ton. Sejak diberlakukanya Permen No 1 tahun 2014, yang mengharuskan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, terjadi penurunan bahan tambang beserta penghasilan ekspornya. Karena pemerintah melarang ekspor dalam bentuk produk yang belum mengalami peningkatan nilai tambah yang dipersyaratkan oleh peraturan tersebut. Sesuai pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, perlu diketahui tentang struktur pasar mineral. Karena struktur pasar menentukan dalam perencanaan, evaluasi, dan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian. Investor akan membangun industri pengolahan dan pemurnian bila ada permintaan pasar. Pasar adalah tempat pihak pembeli dan penjual dari barang/jasa bertemu untuk menetapkan harga dalam bertransaksi. Transaksi mineral biasanya berlangsung sejak dari lokasi penambangan ke konsumen. Bahkan sebelum produksi berjalan terutama pada saat kontsruksi penambangan, konsumen sudah terikat perjanjian dengan persetujuan penjualan, bahkan kadang ikut serta dalam pembiayaan kegiatan penambangan. Menurut Gocht WR (1988), bursa logam London (London Metal Exchange), mengenal beberapa jenis produk tembaga yang terbagi atas beberapa produk yang harganya tergantung pada tingkat pengolahannya seperti :  Pasar komoditas bijih tembaga berkadar tinggi hasil penambangan langsung dalam jumlah terbatas. Umumnya komoditas ini tanpa diolah dan diperlukan oleh industri tertentu.  Pasar komoditas konsentrat tembaga berasosiasi dengan emas, perak atau molibden dan mineral berat lainnya seperti magnetit, ilminit, silika, zirkon dan sebagainya. Umumnya, konsentrat ini berasal tambang tembaga yang berasosiasi dengan emas, perak, dan atau molibden (Porfiri Cu-Au/Cu-Mo).  Pasar komoditas tembaga mentah (crude copper, produk dari smelting yang berasal dari negara industri), dan  Pasar komoditas tembaga elektrolit produk dari pemurnian (refining) yang terdiri dari kabel tembaga, balok tembaga, katode dan tembaga murni. Kadar tembaga mencapai 99,9%. Selanjutnya komoditas ini dijual untuk bahan baku industri logam, kabel tembaga, industri otomotif, elektronik dan sebagainya. Ditinjau dari aspek pasar, hasil penambangan bijih tembaga dari Tambang Grasberg (Timika, Provinsi Papua) dan Tambang Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (Provinsi Nusa Tenggara Barat) diolah hingga tahap konsentrat, dengan tujuan untuk memudahkan pengangkutan ke konsumen.



165



IV.



ANALISIS DAN PEMBAHASAN



Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulakan dari penelitian, maka informasi disajikan dalam bentuk statistik deskriptip dalam bentuk grafik secara time series. Lalu dianalisis secara cross section dengan membandingkan grafik-grafik terkait, maka dapat diperoleh informasi sebagai berikut : 1. Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia Pasar Global Ekspor konsentrat Indonesia ke luar negeri yang terdapat pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kuantitas ekspor konsentrat tembaga Indonesia ke berbagai negara pada tahun 2014 yang besarnya 714.950 ton dibandingkan tahun 2013 sebesar 1.453.732 ton , sehingga penghasilan devisa negara pun menurun (Gambar 2). Nilai ekspor konsentrat tembaga Indonesia pada tahun 2014 bernilai 1.683.588.000 Us $, turun dari tahun sebelumnya (2013) yang mencapai 3.006.810.000 US $. Negara psar global tujuan ekspor konsentrat adalah Jepang, China, Indida dan Spanyol. Dari tahun 2010 hingga 2014 negara tujuan ekspor konsetrat tembaga Indonesia yang berada di kawasan ASEAN, yang tetap bertahan hanya ditujukan Philipina. Ekspor yang pernah dilakukan ke Thailand, Viet Nam, Singapore dan Malaysia berhenti sebelum tahun 2013. Penurunan ekspor yang ditujukan ke Philipina diperkirakan disebabkan oleh penerapan pelarangan ekspor konsentrat tembaga, karena keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang di dalam negeri sesuai dengan amanah UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pelaku utama ekspor dan impor konsentrat tembaga di ASEAN adalah Philipina, Indonesia dan Malaysia. 2. Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke ASEAN Gambar 3 memperlihatkan ekspor kuantitas konsentrat tembaga Indonesia ke negara ASEAN dan penghasilan devisa yang diperoleh oleh ekspor tersebut juga menurun (Gambar 4). Ekspor konsentrat tembaga Indonesia pada tahun 2014 hanya dilakukan ke Philipina, yang ekspornya semakin menurun. Nilai ekspor pada tahun 2014 tersebut adalah 24.509.000 US $, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan impor tahun sebelumnya, 2013 sebesar 223.137.000 US $ 3. Impor Konsentrat Tembaga ASEAN Negara pengimpor utama konsentrat tembaga ke Asean adalah Philiphina, Indonesia dan Malaysia, yang memiliki kecenderungan menurun dari tahun 2010 hingga 2014. Nilai Impor konsentrat Tembaga yang dilakukan Philipina pada tahun 2014 mencapai 218.535.000 US$ yang nilainya turun daripada tahun sebelumnya, 2013, yang besarnya 940.857.000 US $. Sedang nilai impor konsentrat yang ilakukan oleh Malaysia dan Indonesia berturut-turut sebesar 49.590.000 US $ dan 42.829.000 US $. Gambar 5 memperlihatkan kuantitas konsentrat yang diimpor. Sedang Gambar 6 nilai impor konsentrat tersebut. Negara pengimpor lain adalah Thailand Vietnam dan Singapore, walaupun jumlah nya kecil.



4. Ekspor Konsentrat Tembaga ASEAN Pada tahun 2014 negara yang menjadi pengekspor konsentrat tembaga di ASEAN adalah Indonesia, Philipina, Laos dan Malaysia, dengan nilai ekspor berturut-turut : 1.683.588.000 US $, 914.404.000. US $, 428.636.000 US $, 62.401.000 US $ (Gambar 7.)



166



5. Ekspor produk Tembaga ASEAN Gambar 11 menunjukkann grafik ekspor berbagai produk tembaga negara ASEAN. Pada tahun 2014 ini maka 5 negara ASEAN pengekspor produk tembaga adalah Malaysia, Indonesia, Thailand dan Singapore, dan Philiphines dengan nilai ekspor berturut-turut 2.198.034.000 US $, 1.967.400.000 US $, 1.357.800.000 US $, 741.679.000 US $, 658.882.000 US $ Selain itu Laos, Vietnam, Myanmar dalam jumlah sedikit. Pada tahun 2014 semua negara utama pengekspor produk tembaga di Asean mengalami penurunan eskpor, kecuali Indonesia (Gambar 11), yang mengalami kenaikan dari tahun 2013 sebesar 1.737.564.000 US $ menjadi 1.967.400.000 US $ pada tahun 2014 . 6. Impor Produk Tembaga ASEAN Gambar 12 memperlihatkan nilai impor produk tembaga negara ASEAN. Enam negara ASEAN pengimpor utama adalah Malaysia, Thailand, dan Indonesia, Singapura dan Pilipina, yang nilainya pada tahun 2014 berturut-turut 3.477.806.000 US $, 3.236.676.000 US $, 1.456.803.000 US $, 1.373.393.000 US $, 960.643.000 US $, 383.832.000 US $. Umumnya pada tahun 2014 ini negara-negara ASEAN importir utama produk tembaga ini mengalami penurunan nilai impor produk tembaganya. 7. Impor Produk Tembaga Antara ASEAN Gambar 13 memperlihatkan impor produk tembaga di antara negara ASEAN. Pengimpor utama produk tembaga di ASEAN adalah Thailand, Malaysia, disusul oleh Vietnam, Singapura dan Indonesia, dengan nilai impor berturut-turut : 1.132.098.000 US $, 585.071.000 US $, 323.445.000 US $, 308.666.000 US $, 258.873.000 US $, dan Philipina 65.507.000 US $. Yang mengalami penuruna dari tahun-tahun sebelumnya. 8. Ekspor Produk Tembaga Antara ASEAN Gambar 14 memperlihatkan ekspor produk tembaga di antara negara ASEAN. Pengekspor utama produk tembaga di ASEAN adalah Indonesia, Laos, Malaysia, Thailand, Singapura, Myanmar, Philipina, Viet Nam, dengan nilai ekspor berturut-turut : 1.069.933.000 US $, 516.427.000 US $, 455.272.000 US $, 302.950.000 US $, 209.183.000 US $, 80.465.000 US $, 33.848.000 US $ dan 18.372.000 US $. 9. Nilai Ekspor Produk Tembaga Indonesia ke Negara ASEAN Tujuan ekspor berbagai Produk tembaga Indonesia ke negara Asean adalah Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Philipna, Brunai Darussalam, yang nilainya berturut-turut adalah 419.983.000 US $, 349.954.000 US $, 208.699.000 US $, 56316.000 US $, 33.889.000 US $, 51.000 US $, yang dapat dilihat pada Gambar 15. 10. Nilai Impor Produk Tembaga Indonesia dari Negara ASEAN (US $) Negara ASEAN asal impor berbagai Produk tembaga ke Indonesia adalah Malaysia, Thailand, Myanmar, Singapura, Philipina, Viet Nam, yang nilai berturut-turut adalah 75.960.000 US $, 70.733.000 US $, 47.823.000 US $, 46.272.000 US $ 14.558.000 US $, 3.503.000 US $, yang diperlihatkan pada Gambar 16



167



11. Nilai Berbagai Produk Tembaga yang Diekspor Indonesia dari negara ASEAN (US $) (Berdasarkan Kode Produk) Nilai berbagai produk tembaga yang diekspr Indonesia ke negara negara ASEAN meliputi produk tembaga yang berkode 7403, 7408, , 7404, 7415, 7409, 7412, 7419 , 7413, 7410 yang nilai ekspornya berturut-turut adalah 511.542.000 US $, 483.444.000 US $, 39.315.000 US $, 30.540.000 US $, 1.225.000 US $, 1.085.000 US $, 995.000 US $, 481.000 US $, 215.000 US $., yang grafiknya dapat dilihat pada Gambar 17. Rincian kode dapat dilihat pada Tabel 1. 12. Nilai Berbagai Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia dari negara ASEAN (US $) (Berdasarkan Kode Produk) Nilai berbagai produk tembaga yang dimpor Indonesia dari negara negara ASEAN meliputi produk tembaga yang berkode 7403, 7404, 7409, 7411, 7407, 7408, 7410, 7419, 7415, 7412, yang niainya meliputi 71.890.000 US $. 48.893.000 US $, 30.316.000 US $, 24.489.000 US $, 24.199.000 US $, 18.886.000 US $,16.398.000 US $, 11.050.000 US $, 6.494.000 US $, 4.435.000 US $, yang grafiknya dapat dilihat pada Gambar 18. Rincian kode dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tahun 2014 di Indonesia mengalami penurunan ekspor konsentrat tembaga, baik kuantitas maupun nilainya. Begitu pula halnya pada pasaran di Asean maupun pasar global. Namun di Asean Indonesia pada tahun 2014 mengalami kenaikan nilai ekspor produk tembaga, dibandingkan negara lain yang mengalami penurunan. Begitu pula halnya dengan nilai impor berbagai produk tembaga negara ASEAN pada tahun 2014 secara umum mengalami penurunan. Hal yang sama terjadi pada nilai ekspor dan impor produk tembaga di antara sesama negara ASEAN mengalami penurunan. Namun nilai ekspor produk tembaga Indonesia ke negara ASEAN, khususnya Thailand, Viet Nam dan Singapura mengalami kenaikan, sedang nilai impor produk tembaga dari Asean mengalami penurunan kalau pun ada yang mengalami kenaikan maka naiknya tidaklah begitu besar. Kenaikan nilai ekspor produk tembaga di ASEAN terjadi pada produk berkode 7403, yang merupakan refined copper dan copper alloy, unwrought. Sedang pada produk lainnya, 7408, mengalami penurunan niai ekspor. Pada produk tembaga yang diimpor Indonesia, maka produk utama tembaga yang diimpor oleh Indonesia berkode 7403 dan 7409 dan 7404. Dalam melakukan terobosan pasar ekspor produk tembaga Indonesia, selain kajian peluang dan potensi Pasar produk tembaga di Asean, maka menjelang pemberlakukan MEA adalah teknik pemasaran yang sistimatis dan fokus. Strategi pemasaran produk seperti harga, kemasan, distribusi, promosi , kualitas dan kuantitas produk yang kontinyu merupakan faktor utama yang harus diperhatikan. Indonesia memiliki bahan mentah konsentrat tembaga yang merupakan keunggulan komparatif dibanding dengan negara ASEAN lainnya, kecuali Philipina dan Laos. Dengan adanya pelarangan ekspor konsentrat tembaga, maka daya serap konsentrat tembaga harus ditingkatkan antara lain dengan melakukan peningkatan nilai tambah konsentrat tembaga melalui capacity building nasional dalam bentuk usaha menarik investor smelter tembaga. Dari tahun 2013 ke 2014 akibat pelarangan ekspor konsentrat tembaga telah menurunkan penghasilan penjualan konsentrat tembaga perusahaan yang menambangya. Dengan diberlakukannnya MEA maka diharapkan pemerintah dapat memberikan insentif dan infrastruktur keuangan yang kondusif, yang dapat meningkatkan industri hilir tembaga yan dapat menjadi serapan bagi produk tembaga yang dihasilkan smelter tembaga nasional, baik yang teah ada maupun yang akan didirikan..



168



V.



KESIMPULAN DAN SARAN



Berdasarkan penelitian pasokan dan permintaan pada industri tembaga yang berada di kawasan Asia Tenggara, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut. Kesimpulan  Di kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia dan Philipina yang memiliki industri tembaga yang berbasis pada industri tambang tembaga dan smelter tembaga.  Impor konsentrat tembaga di kawasan ini mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga 2014  Impor produk tembaga dan ekspor produk tembaga negara-negara kawasan ini umumnya mengalami penurunan. Namun pada tahun 2014 produk utama tembaga Indonesia, 7403, yang diekspor ke Asean mengalami kenaikan, sedang produkk utama tembaga lainnya berkode 7408 mengalami penurunan.  Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam industri hulu tembaga, dibandingkand negara ASEAN lainnya, selain Philipina dan Laos. Karena memiliki potensi konsentrat tembaga yang besar yang dapat digunakan oleh para investor untuk membangun smelter dan industri hilir tembaga lainnya di kawasan Asean.



Saran  Pada saat MEA mulai diberlakukan maka diharapkan bahwa negara-negara di kawasan ini sedapat mungkn memanfaatkan bahan baku konsentrat tembaga yang terdapat di kawasan ini, khususnya Indonesia dan Philipina dibandingkan dengan konsentrat tembaga yang berasal dari kawasan benua lain. Namun faktor harga, logistik, dan kontinyuitas permintaan dan pasokan akan berperan dalam terjalinnya hubungan kerjasama industri baru, yang dapat dibina dalam MEA pada desember 2015.



169



VI.



Daftar Pustaka



1.



Dipta, I Wayan; Memperkuat Ukm Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean Tahun 2015; INFOKOP VOLUME 21 - Oktober 2012 : 1-12 . Cetak Biru Komunitas Ekonomi Asean (Asean Economic Community Blueprint), Nov 2007 Arah Kebijakan Pertambangan Mineral, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara Dan Panas Bumi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Kajian Supply dan Demand Mineral, Des 2012; Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementrian ESDM Ishlah, Teuku; Fenomena Industri Mineral Dan Prospek Pendirian Pengolahan Dan Pemurnian Mineral; Bul Vol 4 no. 3 thn 2009, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi.



2. 3. 4. 5.



170



3500000



1200000 1000000 800000



Japan



3000000



China



2500000



India



2000000



Spain 600000



Korea, Republic of Bulgaria



400000



Sweden 200000 0



1500000 1000000 500000 0 2001



2002



2003



2004



2005



2006



2007



2008



2009



2010



2011



2012



Philippines



Japan



China



India



Spain



Korea, Republic of



Australia



Bulgaria



Philippines



Sweden



Australia



Belgium



Brazil



Canada



Faroe Islands



Finland



91244



2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014



Gambar 1 Ekspor Kosentrat Tembaga Indonesia ke Pasar Global (Ton) (Sumber ITC)



2013



2014



Gambar 2 Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke Pasar Global ($ US) (Sumber ITC)



120000 100000 Philippines



80000



Malaysia 60000



Singapore Viet Nam



40000



Thailand 20000 0 2010



2011



2012



2013



2014



Gambar 3 Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke ASEAN (ton) (Sumber ITC)



Gambar 5 Impor Konsentrat Tembaga ASEAN (ton) (Sumber ITC)



Gambar 4 Ekspor Konsentrat Tembaga Indonesia ke ASEAN (US $) (Sumber ITC)



Gambar 6 Impor Konsentrat Tembaga ke ASEAN (dalam US $) (Sumber ITC)



171



Gambar 8 Ekspor Konsentrat Tembaga Negara-negara ASEAN (Ton) (Sumber ITC)



Gambar 7 Ekspor Konsentrat Tembaga Negara ASEAN (US $) (Sumber ITC)



Gambar 10 Impor Konsentrat Tembaga ASEAN dalam Ton (Sumber ITC) Gambar 9 Impor Konsentrat Tembaga ASEAN dalam US $ (Sumber ITC)



Gambar 12 Impor Berbagai produk Tembaga ASEAN dalam US Dollar (Sumber ITC)



Gambar 11 Ekspor Berbagai Produk Tembaga ASEAN dalam Dollar US (Sumber ITC)



172



Gambar 13 Impor Berbagai produk Tembaga Antara ASEAN dalam US Dollar (Sumber ITC)



Gambar 15 Nilai Ekspor US Dollar Produk Tembaga Indonesia ke negara ASEAN (Sumber ITC)



Gambar 14 Ekspor Berbagai produk Tembaga Antara ASEAN dalam US Dollar (Sumber ITC)



Gambar 16 Nilai Impor Berbagai Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia dari Negara ASEAN



Tabel 1 Kode Berbagai Produk Tembaga yang Diekspor Indonesia Ke Negara ASEAN



Gambar 17 Nilai ekspor berbagai Produk Tembaga Indonesia ke Negara Asean Berdasarkan Kode Produk Tembaga (Sumber ITC)



'7403



Refined copper and copper alloys, unwrought



'7408



Copper wire



'7407



Copper bars, rods and profiles



'7404 '7415



Copper waste and scrap Nail,tack, etc of copper or iron, with head of copper



'7409



Copper plates, sheets and strips, of a thickness exceeding 0.15mm



'7412



Copper tube or pipe fittings



'7419



Articles of copper nes



'7413



Copper strandd wire,cables,plaitd bands, not elect insulatd



173



Tabel 2 Kode Produk Tembaga yang Diimpor Indonesia dari ASEAN Product code



Gambar 18 Nilai Impor US Dollar Berbagai Produk Tembaga Indonesia dari negara ASEAN Berdasarkan Kode Produk Tembaga (Sumber ITC)



174



Product label



'7403



Refined copper and copper alloys, unwrought



'7404



Copper waste and scrap



'7409



Copper plates, sheets and strips, of a thickness exceeding 0.15mm



'7411



Copper tubes and pipes



'7407



Copper bars, rods and profiles



'7408



Copper wire



'7410



Copper foil of a thickness not exceeding 0.15mm



'7419 '7415



Articles of copper nes Nail,tack, etc of copper or iron, with head of copper



'7412



Copper tube or pipe fittings



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



PENGELOLAAN & PENGENDALIAN PERGERAKAN LERENG UNTUK MEMAKSIMALKAN RECOVERY BATUBARA DI AREA RAWAN LONGSOR MENGGUNAKAN SLOPE STABILITY RADAR PT ARUTMIN INDONESIA TAMBANG ASAM ASAM Jioni Santo FRANS1, Endang WAWAN2, Rachmat Hamid MUSA3 1 Geotechnical Engineer PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam Asam 2 Geologist & Geotechnical Supervisor PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam Asam 3 Geotechnical Engineer PT GroundProbe Indonesia Sari Penurunan harga batubara secara global dalam dua tahun terakhir ini mendorong setiap perusahaan untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan ini. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah melakukan perubahan pada design tambang dengan melakukan optimasi design pada cadangan batubara dan melakukan penambangan di area-area yang memiliki resiko geoteknik yang tinggi. Strategi ini harus didukung dengan manajemen resiko geoteknik yang baik untuk menjamin keselamatan pekerja dan peralatan tambang dari bahaya longsoran. Pemantuan lereng yang terintegrasi secara real time dilakukan untuk memberikan informasi terpercaya dan akurat dari pergerakan lereng kepada tim geoteknik dan operasional tambang. Dengan kondisi Pit 2 Asam Asam Barat yang semakin mendekati desain final, tantangan operasi tambang terbuka akan semakin meningkat menjelang akhir life of mine dalam hal stabilitas pit dan keamanan operasi. Makalah ini mencakup ikhtisar kondisi geologi dan geoteknik, kontrol air tanah, pemantauan stabilitas lereng tambang, peningkatan umur tambang dengan menggunakan pemantauan lereng dalam hubungannya dengan prosedur manajemen resiko, dan peran tim geo-mekanik dalam pelaksanaan slope control management untuk memaksimalkan recovery batubara pada area operasi beresiko longsor di PT Arutmin Indonesia, Tambang Asam Asam. Daerah yang sebelumnya dianggap terlalu berbahaya untuk dilakukan operasi penambangan, dengan adanya informasi yang akurat dari monitoring lereng yang real time yang didukung oleh staf yang berkompeten dan kerjasama dengan operasional tambang, optimasi batubara dapat dilakukan dengan aman dan dinding tambang dapat dibuat lebih curam.



Kata kunci: optimasi, manajemen resiko geoteknik, pemantauan terintegrasi, peningkatan umur tambang, slope control management, area rawan longsor



175



Latar Belakang PT Arutmin Indonesia (PTAI) merupakan salah satu perusahaan yang memiliki Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari Pemerintah Republik Indonesia. PT Arutmin Indonesia memiliki empat wilayah pertambangan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yaitu Tambang Asam asam, Tambang Satui, Tambang Batulicin, dan Tambang Senakin. Pit 2 Asam Asam Barat merupakan salah satu pit aktif yang dikerjakan di bawah manajemen PT Arutmin Indonesia, Kantor Tambang Asam Asam.



Gambar 1 Wilayah Kerja PT. Arutmin Tambang Asam Asam Secara umum, wilayah kerja Tambang Asam Asam berada pada Formasi Warukin, dengan endapan batubara yang memiliki arah jurus realtif Barat Daya – Timur Laut.Litologi di Tambang Asam Asam termasuk dalam Formasi Warukin (Supriatna, dkk., 1995). Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa formasi ini memiliki nilai kekerasan yang relatif rendah dalam sistem Point Load Index. Ketidakstabilan lereng di Tambang Asam Asam ditandai dengan terdapatnya lapisan massa batuan lokal carbonaceous mudstone yang lemah dan kondisi air tanah yang relatif jenuh. Aktivitas in pit dump pada Pit 1 dan finalisasi Pit 2 memerlukan perhitungan dan analisis geoteknik yang akurat untuk memastikan aktivitas penambangan berjalan dengan aman dan lancar serta target produksi batubara bisa dicapai. Mengingat gejala ketidakstabilan lereng pada pit aktif Tambang Asam Asam sering terjadi, khususnya pada area low wall, maka hal ini



176



menjadi tantangan tersendiri bagi Tambang Asam Asam untuk mengoptimalkan produksi dengan tetap memperhatikan kestabilan lereng tambang. Sebuah sistem pemantauan lereng terintegrasi, yang terdiri dari sistem radar real time, dikombinasikan dengan total station untuk memantau prisma, dan piezometer, digunakan untuk memastikan stabilitas lereng dan kondisi aman pertambangan bawah lowwall tersebut. Batasan Masalah Batasan masalah pada artikel ini adalah seputar pengelolaan pemantauan kestabilan lereng tambang dalam rangka memaksimalkan recovery batubara pada lantai tambang low wall Pit 2 Tambang Asam Asam. Dasar teori yang digunakan adalah metode prediksi waktu longsoran dengan menggunakan invers kecepatan. Metode ini dikembangkan oleh Fukuzono (1985) dengan melakukan percobaan pada massa tanah pada skala laboratorium. dan telah dibuktikan dilapangan dengan pengukuran data dari pemantauan konvensionalseperti prisma (Rose and Hungr, 2007). Metode yang sama dapat dilakukan dengan menggunakan data pemantauanreal time dari radar pada massa batuan lemah. Persamaan matematika yang dikembangkan oleh Fukuzono mengindikasikan bahwa waktu longsoran dapat didekati ketika nilai dari invers kecepatanmendekati aksis horizontal (waktu). −1



1 1)]𝛼−1 (𝑡𝑓



1 𝛼−1 𝑡)



𝑉 = [𝐴(𝛼 − − di mana t adalah waktu, A dan α adalah konstanta dan tf adalah waktu terjadinya longsoran. Aplikasi sederhana dari metode ini adalah dengan melakukan ekstrapolasi linier dari pola data invers kecepatan terbaru sampai dapat dilakukan projeksi dan berpotongan dengan aksis horizontal (waktu). Perpotongan inilah yang kemudian diasumsikan sebagai prediksi waktu terjadinya longsoran.



Gambar 2 Grafik waktu vs invers kecepatan, Fukuzono (1985)



177



Sebuah analisis grafik yang komprehensif telah dilakukan oleh Mercer (2006), menyimpulkan bahwa untuk prediksi waktu terjadinya longsoran didasarkan pada perubahan pola laju deformasi daripada mengidentifikasi mode ketidakstabilan atau membuat perbandingan laju deformasi sesaat. Grafik ini ditandai oleh lima tahap yang berbeda dari perilaku deformasi: Tahap 1 mode rayapan massa batuan primer Tahap 2 mode rayapan massa batuan sekunder Tahap 3 mode perilaku setelah permulaan keruntuhan sampai terjadi runtuh Tahap 4 mode perilaku setelah keruntuhan Tahap 5 mode perilaku setelah penambangan Meskipun perilaku keseluruhan selama tahap 1 dan 2 adalah regresif, pada tahap 2 massa batuan akan menjadi lebih tertekan dan laju deformasi rata-rataakan semakin tinggi untuk jangka waktu yang lama. Perubahan sifat laju deformasi dan fungsi peluruhan diterjemahkan menjadi perubahan dalam hubungan eksponensial negatif. Ada kemungkinan bahwa retakan dapat terjadi di puncak lereng sebelum terjadinya tahap 3. Dalam hal ini massa batuan di belakang retakan mungkin mulai menunjukkan perlambatan dan rebound yang elastis. Selama perilaku regresif dalam tahap 3, massa batuan yang stabil di belakang badan longsoran akan mulai mengalamirebound elastis. Rebound ini biasanya berhubungan dengan skala besar perkembangan pembentukan retakan dan ditandai dengan laju deformasi horizontal negatif pada puncak maupun setelah titik keruntuhan.



Gambar 3 Grafik kecepatan deformasi (Savely, 1993)



Gambar 4 Perincian tiga fase keruntuhan lereng (Broadbent dan Zavodni, 1981) (Sullivan, 1993)



178



Gambar 4Waktu dan peristiwa berdasarkan model deformasi massa batuan (Mercer, 2006) Pokok Bahasan Dengan penurunan harga batubara global, PT Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam mengembangkan strategi untuk mengatasi tantangan ini. Engineering Department PT Arutmin Indonesia Tambang Asam Asam melihat potensi peningkatan recovery batubara di area low wall Pit 2 yang memiliki risiko geoteknik yang cukup signifikan. Sejumlah perubahan desain pit dilakukan untuk mengoptimalkan cadangan batubara. Pemantauan dan analisis pergerakan lereng tambang dilakukan untuk memberikan informasi status pergerakan lereng yang kemudian disinergikan dengan operasional tambang untuk mengendalikan resiko geoteknik.Hal tersebut merupakan upaya menjaga keselamatan pekerja dan peralatan operasional tambang. Kondisi Pit Pit 2 Tambang Asam Asam memiliki dimensi kedalaman 155 m, dengan crest lereng low wall berada pada elevasi RLP60 sedangkan lantai tambang berada pada elevasi RLM95. Litologi batuan pembentuk lereng low wall Pit 2 Tambang Asam Asam pada umumnya adalah sandstone, mudstone, silstsone, dan batubara.Rata-rata massa batuan tersebut, kecuali lapisan batubara, memiliki kekuatan sekitar 120 kPa. Selain itu terdapat lapisan bidang gelincir berupa carbonaceous mudstone, yang memiliki ketebalan ±20 cm. Kondisi ini ditambah dengan



179



kondisi air tanah yang relatif jenuh, sangat mempengaruhi kekuatan lereng low wall Pit 2 Tambang Asam Asam. Sepanjang tahun 2015 ini telah terjadi beberapa kali gejala ketidakstabilan lereng tambang di area low wall Pit 2 Tambang Asam Asam. Pada tanggal 24 Februari 2015 ditemukan retakan sepanjang ±290 meter di area low wall Blok 08-11 Pit 2, yang mana pada tanggal 19 Maret 2015, retakan ini semakin memanjang ke arah relatif Barat dengan panjang akumulatif ±500 meter. Pada tanggal 15 Februari 2015, terjadi pergerakan di floor lapisan batubara CU3 Blok 07 RLM45-RLM72 Pit 2. Dan pada tanggal 16 April 2015 terjadi pergerakan di area low wall Blok 09-10 RLP55-RLP15 Pit 2.



Gambar 5 Peta historical resiko geoteknik Pit 1-3 Tambang Asam Asam Pada Gambar 7 di bawah ini menunjukkan kondisi lereng low wall Blok 09 Pit 2 Tambang Asam Asam, di mana saat ini terdapat 3 retakan, masing-masing di RLP52, RLM25, dan RLM45. Hal ini akan banyak mempengaruhi kestabilan lereng low wall terkait dengan rencana optimasi coal seam CU2 dan CU3 pada RLM80 – RLM95.



180



Gambar 6Penampang melintangA-A’ Pit 2 Blok 09 Tambang Asam Asam Evaluasi Metode Kesetimbangan Batas Evaluasi secara numerik dengan menggunakan metode kesetimbangan batas pada perangkat lunak SlopeW dan Slide. Estimasi kekuatan massa batuan yang digunakan pada analisis ini berdasarkan pada hasil pengujian di laboratorium dan mengikuti kriteria Hoek & Brown.



Gambar 7 Hasil analisis balik Pit 2 Blok 09 Tambang Asam Asam Sesuai hasil analisis balik di atas, didapatkan estimasi bidang gelincir dan properties material yang cukup lemah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kestabilan lereng low wall ini memerlukan sistem monitoring yang memadai untuk untuk mengawal optimasi penambangan batubara. Berdasarkan historical kejadian pergerakan tanah yang pernah terjadi di sepanjang low wall Pit 1-2 Tambang Asam Asam adalah pergerakan tanah tipe rayapan (creeping) dengan rata-rata kecepatan pergerakan mulai 1 cm/hari sampai dengan 1,5 m/hari. Sehingga tim Geoteknik PT AI Tambang Asam Asam optimis dapat melakukan optimasi pengambilan batubara di daerah rawan longsor low wall Pit 2 ini.



181



Pemantauan Pergerakan Lereng Menggunakan Radar Slope Stability Radar (SSR) merupakan instrumen untuk melakukan pemantauan lereng (monitoring) yang mengukur deformasi dari beda fase gelombang secara real time. SSR melakukan pemindaian suatu area dalam waktu tertentu dan membandingkannya dengan pemindaian sebelumnya untuk menghasilkan nilai pergerakan suatu lereng. Keunggulan SSR dibandingkan dengan metoda pemantauan lainnya adalah mampu melakukan pemantauan area luas tanpa menempatkan reflektor di dinding lereng. SSR mampu mengukur pergerakan lereng sampai sub-milimeter tanpa terpengaruh hujan, kabut, debu, maupun asap. Peralatan ini mampu melakukan pemindaian 270° secara horizontal dan 120° secara vertikal, serta mudah berpindah tempat dan memiliki mobilitas yang tinggi. Pada Tabel 1 berikut ditunjukkan beberapa kemampuan teknologi yang digunakan untuk pemantaun kestabilan lereng dengan Slope Stability Radar (SSR) Tabel 1 Spesifikasi kemampuan Slope Stability Radar



Dari Tabel 1 diatas, ditunjukkan bahwa dengan menggunakan radar kita dapat melakukan pengukuran dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi namun data yang diperoleh hanya berupa data deformasi 2D (belum memperhitungkan deformasi kearah vertikal/elevasi dari suatu lereng). Pada sisi lain, akurasi data yang didapatkan dari pengukuran dengan radar masih jauh lebih baik dibandingkan akurasi yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan alat ukur lainnya.



182



Selain itu radar lebih optimal digunakan untuk pemantauan kestabilan lereng yang sifatnya berkelanjutan (dilihat dari limitasi jangka waktu pengamatan yang mencapai 12 minggu). Hal ini dikarenakan data radar dikelola dengan perangkat lunak SSRViewer 8.1 dan otomatis tersimpan ke dalam server yang disedikan khusus sebagai media penyimpanan data radar.Data dari radar dikirim ke kantor melalui WLAN tambang. SSR dilengkapi perangkat lunakSSRViewer untuk mengetahui deformasi dengan gambar visual dan dapat digunakan untuk mengatur alarm guna memperingatkan kondisi lereng yang tidak stabil dan aktif bergerak. Grafik deformasi memberikan definisi spasial yang jelas tentang lokasi, jumlah, kecepatan, waktu dan estimasi kapan dinding akan runtuh/longsor terhadap volume massa batuan yang bergerak. Untuk pemantauan pergerakan dinding low wall Pit 2 dalam rangka optimasi batubara CU2 dan CU3, radar ditempatkan di top crest high wall pada elevasi RLP 20 dengan jarak 500 meter dari toe low wall sampai dengan 1400 meter dari crest low wall.



Gambar 8 Visual image area low wall Pit 2



Gambar 9 Radar image area low wall Pit 2 Hasil pemantauan pergerakan akumulatif dinding low wall Pit 2 dari SSR pada piksel-piksel yang tersebar pada area dengan elevasi RLM 60 – RLM 95 mulai tanggal 27 Juli 2015 sampai dengan03 September 2015 dapat dilihat pada Gambar 11. Sedangkan Gambar 12 merupakan grafik invers kecepatan pergerakan dinding low wall Pit 2.



183



Gambar 10 Grafik waktu vs total pergerakan dan kecepatan Blok 09 Pit 2 Tambang Asam Asam



Gambar 11 Grafik waktu vs total pergerakan dan invers kecepatan Blok 09 Tambang Asam Asam Dari data pergerakan lereng tersebut berikut adalah karakter pergerakan LW Pit 2 : 1. Tipe pergerakan lereng LW Pit 2 ini merupakan rayapan/creeping dengan kecepatan pergerakan berkisar 15mm/hari hingga 222 mm/hari



184



2. Trend pergerakan secara umum menunjukan trend yang relatifprogresif, yang terbagi beberapa fase yaitu fase linier/konstan, fase regresif, dan fase progresif. 3. Prilaku pergerakan lereng yang dinamis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, curah hujan, karakter material penyusun lereng, dan pola pemotongan lereng. Dari hasil analisis dan prediksi longsoran diatas dapat diklasifikasikan perilaku deformasi lereng menjadi empat tahap utama, yang terdiri dari tiga tahap sebelum longsoran(Broadbent dan Zavodni, 1982, Mercer, 2006) dan satu tahap setelah longsoran (Mercer,2006). Tahap sebelum longsor terdiri dari tahap perilaku perpindahan linier, tahap perilakuperpindahan progresif dan terjadinya longsor. Tahap setelah longsorterdiri dari tahap rebound dimana perilaku material menjadi regresif mendekati stabil. Pada perilaku tipe linierdibutuhkan pemicu yang kuat untuk menjadi longsorseperti adanya hujan, peledakan, peningkatan muka air tanah secara drastis. Sementara pada perilakutipe progresif dibutuhkan pemicu kecil untuk berkembang menjadi longsor. Kedua jenisperilaku deformasi akan tetap regresif, jika peristiwa pemicu stabilitas lereng dihilangkan.Data perpindahan dari lereng yang tidak stabil menunjukkan terjadinya perilaku deformasikompleks dan bervariasi, terutama pada tahap progresif sampai tahap rebound setelah longsor.Terjadinya perilaku deformasi yang kompleks tidak terbatas pada tahap progresif tetapi dapatdimulai pada tahap regresif. Perilaku deformasi pada lereng bersifat kompleks dan bervariasidi lokasi yang berbeda dan menunjukkan reaksi beragam pada massa batuan. Pengelolaan dan Pengendalian Kestabilan Lereng Tambang Rencana pengelolaan dan pengendalian kestabilan lereng tambang merupakan panduan yang menjelaskan langkah-langkah untuk mengelola bahaya dan risiko yang berkaitan dengan kestabilan lereng tambang. Dimulai dengan analisis desain tambang, identifikasi bahaya yang berkaitan dengan pelaksanaan desain, dan monitoring pergerakan lereng. Hal ini diikuti dengan proses analisis resiko dari bahaya selama pelaksanaan desain, yang meliputi mitigasi identifikasi kontrol sampai pemilihan kontrol mitigasi dan implementasi pengendalian mitigasi serta pemantauan pelaksanaan pengendalian mitigasi. Analisispergerakanle reng Linier Trendpergerakan



Regresif



Kontinyu monitoring



Progresif



Analisislanjutan (estimasi waktu longsor)



≤ 2 hari



Bahaya



2-7 hari



Waspada



≥ 7 hari



Hati-hati



Gambar 12 Diagram alir penilaian kriteria bahaya pergerakan lereng tambang Asam Asam



185



Tabel 2 Penilaian kriteria bahaya pergerakan lereng tambang Hari sebelum longsor



Kriteria



≤2 hari



Bahaya



Respon Evakuasi & sterilisasi area kritis.



2-7 hari



Waspada Critical monitoring, koordinasi rencana evakuasi.



≥7 hari



Hati-hati



Intensif monitoring baik melalui alat maupun pengamatan langsung secara visual, sosialisasi kondisi pergerakan lereng.



Tim geoteknik terus memantau kondisi dinding dengan menggunakan SSR dan pemeriksaan visual di lapangan. Dari data pergerakan lereng ini, tim geoteknik memberikan beberapa rekomendasi sesuai dengan kondisi perilaku pergerakan lereng. Pada saat fase pergerakan progresif yang sudah melebihi ambang batas, maka operasional penambangan dihentikan terlebih dahulu atau dialihkan ke area yang lebih aman. Karakter pergerakan low wall Pit 2 ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik berupa faktor alami maupun operasional tambang. Faktor pengaruh yang bisa dikendalikan kemudian dikontrol sedemikian rupa sehingga penambangan batubara di area ini belangsung dengan aman. Hasil Recovery Batubara Dengan menerapkan pengelolaan dan pengendalian kestabilan lereng tambang di Pit 2 Tambang Asam Asam, PT Arutmin berhasil melakukan optimasi penambangan batubara di Blok 07 – 11 low wall Pit 2 Tambang Asam Asam sebanyak 229 Kton dengan pemantauan intensif. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kombinasi slope control management dan real time monitoring dapat memberikan keyakinan kepada geotechnical engineeruntuk mengambil keputusan dalam memberikan rekomendasi kepada operasional di daerah yang memiliki resiko geoteknik dan rawan longsor. 2. Slope monitoring untuk mengetahui perilaku batuan merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan optimasi perolehan batubara di area yang rawan longsor. 3. Perilaku progresif, linear dan regresif dapat diidentifikasi selama proses pemantauan lereng. Perilaku progresif umumnya dipicu oleh hujan dan pola pemotongan bagian lereng yang telah mengalami retakan.



186



Daftar Pustaka Broadbent, C.D., dan Zavodni, Z.M., 1982, Influence of Rock Structure on Stability, Stability in Surface Mining, Volume 3, Society of Mining Engineers, Chap. 2. Fukuzono, T., 1985,A new method for predicting the failure time of a slope, Proceedings of the fourth international conference and field workshop on landslides, Tokyo: Japan Landslide Society, pp. 145–50. Mercer, K.G., 2006, Investigation into the time dependent deformation behaviour and failure mechanisms of unsupported rock slopes based on the interpretation of observed deformation behaviour, Doctoral Thesis, Universityof the Witwatersrand, Johannesburg. Sullivan, T.D., 1993,Understanding Pit Slope Movements. Geotechnical Instrumentation and Monitoring in Open Pit and Underground Mining, T. Szwedzicki (editor). Balkema, Rotterdam, ISBN 90 5410 321 3. Supriatna, S., Sukardi, dan Rustandi, E., 1995, Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. PT Arutmin Indonesia, 2011, Sistem Manajemen Geoteknik PT Arutmin Indonesia. Zavodni, Z.M., 2001,Time-Dependent Movements of Open-Pit Slopes, SME Proceedings, Denver, Colorado, pp. 81-87



187



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES IX PERHAPI 2015



MANAGING INSTABILITY ISSUES AT PUSH BACK 9S3-GRASBERG MINE PAPUA, INDONESIA E. Widijanto, R. Gautama, P. Siburian, D. Tebay, and I. Anggrika Surface Mine GeoEngineering Department – PT Freeport Indonesia



Push Back 9S3 (PB9S3) is one of critical area at Grasberg Open Pit Mine, PT Freeport Indonesia. Most of existing shovels are allocated in this working area. Instability issue was identified on November 2014 which involve approximately 100 meters of slope height and 25,000 m2 of moving area. This situation created significant challenges from technical and operation point of view. Remediation program had to be executed in several geotechnical constraints, very high precipitation and limited working space. Geotechnical working criteria was developed base on geotechnical monitoring analysis, rainfall data, run-out simulation, and our historical information to ensure safe working area during remediation program and production activities underneath unstable slope. Refining geological model in this area was proceeded as well to define more accurate slope stability analysis and mine design up to the final pit (life of mine). Remediation program is successfully executed to provide more stable slope, improved drainage system, and less pit design modification. Currently remediation program is still on-going however geotechnical monitoring already showed stable and less movement on the rock mass which means our work plan is effective to deal with this situation. This paper elaborate how the team managed this instability issues in critical working area through systematic geotechnical and hydrology monitoring program, run-out simulation to determine impacted areas, remediation program by unloading material-drainage improvementgeotextile coverage, and working criteria application (conservative blasting criteria and mining sequences).



Keywords: Critical area, instability, remediation, geotechnical constraints, high precipitation, limited working space, geotechnical working criteria, run-out simulation, refining geological model, slope stability analysis, mine design, final pit.



188



Introduction Grasberg Open Pit Mine, PT Freeport Indonesia is located in Papua, Indonesia and passed by equator line with coordinates 4o LS and 137oBB on highest top point 4285masl. The weather condition as it is the tropical climate is different from highland areas in other tropical regions in Indonesia. The weather is unique, where the sun shining just in the morning until noon and then shrouded in thick fog and rain. The temperature range is from 1o- 20oC and cumulative rainfall is about 4000 mm/year. The unique weather especially the presence of heavy rainfall, affecting the condition of soil and rock in the Grasberg Open Pit Mine. Highly rainfall has increased the surface runoff and infiltration intensity and given bad impact to the soil and rocks strength that will cause the slope instability. There arethree active Push Back (PB) in Grasberg Open Pit Mine for instance: Push Back 9 South 3 (PB9S3), Push Back 9 South 4 (PB9S4) and Push Back 9 North 2 (PB9N2), these named based position area against wind directions. The ore production is coming from PB9S3 (161 kT per day) and PB9N2 (35 kT per day). PB9S3 is located at South of Grasberg and above PB9N2. Many geotechnical issues are found in PB9S3 including uncontrolled surface and ground water, weak material properties, and major geological structure control. The PB9S3 production target is 260 kT per day (161 kT ore and 99 kT waste). All mining activities in PB9S3 is mining to final pit design, any significantgeotechnical issues above PB9S3 will be highly impacting PB9S3 mining activities itself and PB9N2/pit bottom below. Slope monitoring tools (Radar, Prisms, GPS, rainfall station, and Piezometer) are deployed to monitoring the PB9S3 wall movement. Slope movement was first detected by Radar (SSR-XT#133 and IBIS#1) on November 28, 2014 signaling of sudden increasing of deformation with velocity 0.5 mm/hr on an area Push Back 9S3 Final Wall 3625 to 3700L involving approximately 100 m of slope height and 25,000 m2 of moving area. Then it started to progressively increase to 2.1mm/hr and 3.1mm/hr after high precipitation on 26 Dec 2014. The moving area expanded by 300% (from 8,600 m2 to 25,300 m2) due to high precipitation on 4-5 January 2015, with peak velocity of 9.9mm/hr. The PB9S3 slope was designed with 400 ISA following its material.Inadequate drainage system has impacted the movement since water infiltrate into GTRCK#4 with high sericite content (15-20 %). Sericite mineral which fill the structure is very sensitive to water, where the sericite will be acting like clay (sticky and very low strength material). The double bench on 3595L-3625L slope at the toe of moving area also contributed to create over steep slope design in low strength material (deteriorated material) at the toe of moving area.



Figure 1. PB9S3 Final wall movement (Nov 2014).



189



Figure 2. PB9S3 Movement development. The movement area located in dalam coarse material (GTRCK#4) with high sericite (20%) and is controlled by series of structures: - N 240˚E/50˚, in density 3-5/m, filled by clay gouge, sericite-pyrite - N 315˚E/60˚, in density 2-3/m, - N 010˚E/58˚, in density 1-2/m (X1) - N 350°E/70°, in density 1-2/m (X2) Crack series were found around moving area following the structure orientation.



Figure 3. Cracks series atPB9S3 3700-3610L (November 29, 2015). During high rainfall in November 2014 – January 2015, drainage system improvement (short term remediation) was done level by level to reduce water infiltration, they are: - Phase 1 ( 3655/B-3540/B): - Grading ramp 3655/B with gradient 4% (total 80m long). - Installing conveyor ditch (375m) - Concrete ditch 3655/B (160m) - Phase 2 (3670/B): - Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%). - Concrete ditch and sump 3670/B (100m) - Installing drop drain from sump 3670/B to sump 3640/B - Phase 3 (3685/B) - Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%). - Concrete ditch and sump 3670/B (80m) - Installing drop drain from sump 3685B to 3670B. - Phase 4 (3700/B) - Directing run off to left and right side (total length 100m gradient 4%).



190



-



Concrete ditch and sump 3670/B (80m) Installing drop drain from sump 3700B to 3685B



Figure 4. Piezometer data on PPB9S3 (Jan 2015). Howeverdue to manpower disruptionadded with water infiltration,increasing movement still occurred and the moving area was expanded following the mining progression to bench below (3610 and 3595). In February 2015, increasing movement was still recorded by radar and is confirmed by extended crack series.



Figure 5. PB9S3 displacement data (10 Feb 2015). Slope Remediation and Risk Management Since the unstable final wall located above active push back, working criteria was provided to mitigate slope failure. The evacuation limit was defined using run out prediction of DAN3D. The total volume of failure prediction is 26.000 m3.The first working criteria was made as a precaution and gather more information of displacement trend, they are: - Velocity 5 mm/s over 4 pixels. - Or - No accelerate movement.



191



Figure 6. Evacuation Limit for PB9S3 Slope Movement in first working criteria (1 Dec 2014) However, since the moving area developed into larger scale then new working criteria was provided with more failure prediction volume (283,000 m3) and new evacuation limit (including pit bottom). The new working criteria are: - Movement velocity (radar) >10mm/hrs, 20 contiguous pixels (~2800m2), 4 hrs moving average of moving area. - Or - acceleration of movement occurred - Or - Rainfall Criteria: Cumulative 24hrs rainfall >45mm, 48hrs>65mm, 72hrs>90mm (Yapen)



Figure 7. Evacuation Limit for PB9S3 Slope Movement in second working criteria (1 Jan 2015) Since blasting activities still continued below moving area, Geotech provided blasting criteria to avoid excessive energy toward the unstable wall. The criteria are: - Must have enough free face - Echelon tie up and use proper time delay (62*90 for GTRCK 2/pockerchip and 62*89 for hardzone material) - For trim shot blasting, row#1 must be acting as line drilling (buffer) and the explosive charge on row#2 must be reduced to prevent more back break on the final catch bench. The long term remediation plan was discussed with GRS Engineering to determine the most suitable plan by considering the impact to operation activities at push backs below, cost, unit capabilities, and final pit design. There were two options for PB9S3 remediation, they are; - Unload all moving material starting from 3700L with 340 ISA below 3700L and 420 ISA on 3715L-3685L (total material unloaded 200 kT)



192



-



Unload all moving material starting from 3915 (Q3 road) following ISA recommendation for actual material (total material unloaded 6.4 MT) Slope Stability Analysis is completed for those options by geotechnical team based on geological data, hydrology data & monitoring data for those two options. Refining geological model was done to find the actual condition of PB9S4 in terms of structures, material, and sericite content. It is found that the moving area located on deteriorating material, the GTRCK#4 high sericite contain material has deteriorated into GTRCK#3. This changing is applied into material strength that used for slopeW analysis, and the slope design as well. Based on piezometer reading on PB9S3, the phreatic line is still located behind heavy sulfide zone (HSZ) while the moving area located in front of the HSZ. That’s why the material behind moving area is assumed as dry. Therefore to analyze the remediation options, the water condition is assumed dry since the moving material will be removing and leaving original material (dry) on PB9S3 final wall.



Figure 8. Result of SlopeW analysis for first option.



Figure 9. Result of SlopeW analysis for second option. Based on slopeW analysis, both options provide FoS>1.0. In terms of geotechnical aspect, the second option is the best option and provide guarantee of the slope stability. However it will take 6 months to complete the remediation design and highly impacted Grasberg production planning. To complete the second option, it will utilize shovel, trucks, excavators, and dozers. The cost will be higher as well. While the first option will need smaller number of equipment utilized and faster to complete than the second one (2 months). The challenge of the first option is limited working space, the access to the top of moving area is very small (catch bench with 8m width). Therefore to unload the moving area, it’s decided to cast material from top to bottom (PB9S3 – 100m) then load the casting material from the bottom. To accommodate this activities, 30m of PB9S3 width below remediation will be closed. The total time used for remediation will impact the production of PB9S3 below.



193



Since the FoS of first option is not as big as the second, good drainage system on the remediation wall is planned. The drainage system design is: - Grading all the catch bench to the east sump before connected to GDW 10. - Grading the catch bench to the toe. - Construct ditch at the toe covered with conveyor belt. - Cover all the remediated slope using geo-textile to avoid slope erosion. Based on those considerations, GRS management decided to use the first option. If the first option not succeeded (acceleration still occurred) then there’s still time to do the second option (since material moving on first option is all included in the second one). The remediation was started on 12 February 2015 by casting and dozing material from 3700L to 3595L. Dedicated equipment and manpower were allocated to this project in order to achieve target. The working criteria used for remediation activities are: - No blasting used during remediation process. - Supervised by operation, safety, and geotech spotter. - Movement velocity (radar) >10mm/hrs, 20 contiguous pixels (~2800m2), 4 hrs moving average of moving area. - Or - acceleration of movement occurred. - Or – rainfall criteria < 3 mm/hr - Or - Rainfall Criteria: Cumulative 24hrs rainfall >45mm, 48hrs>65mm, 72hrs>90mm (Yapen)



Figure 10. PB9S3 remediation activities (Feb 2015). During remediation projects, continuous analysis was done to update the actual condition. Hard material (fresh GTRCK#4) was found after 5m cutting, indicated that the deteriorated material is not very bad, design adjustment was immediately taken on the field by leaving hard material as it is and continue to unload the rest of deteriorated material. The slope deformation was getting slower since remediation started. At 24 February 2015, high precipitation occurred (reached 110.6 mm/ 24 hrs) at Grasberg. The remediation activities was evacuated following working criteria. At this time, remediation has reached 3670L. Radar recorded no acceleration on the remediated wall (3700L-3670L) after this event. Since no accelerate occurred, the thick of the moving area is assumed 5m following the fresh GTRCK#4 material position.



194



Figure 11. High Rainfall Event vs Impact of Remediation Progress after high precipitation (25 Feb 2015) Further analysis was done after the high precipitation with considerations: - New boundary of moving area - Since no deformation recorded from remediated slope (3700-3685) during high precipitation on 24 Feb 2015 (total cumulative rainfall 110.8 mm/24hrs) then the moving material is assumed as thick as material casted from 3700-3670/L during remediation process (5m) - Failure started from 3655/B From the latest run outsimulation, the total volume of the failure predicted is 121.000 m3. The simulation shows that most of failure material will be trapped in PB9S3 while some of it will reach pit bottom area A and D (not the whole pit bottom). New evacuation limit at pit bottom by reducing 260m from previous one was applied.



Figure 12. Evacuation limit in latest Working Criteria. Rainfall analysis also done to re-check the existing rainfall criteria. It is found that using the existing criteria, the closure time was 5.4% of the time (during Nov 2015- Feb 2015). But considering the total rainfall occurred during that period, it was recommended to increase the cumulative rainfall criteria to 65 mm/24 hrs. This new rainfall criteria will reduce the closure time to 2.4%. New working criteria was developed after this event following the run out and rainfall analysis, they are: - Movement Velocity (radar) > 10mm/hr - Or – Acceleration of Movement occurred



195



Or – Rainfall Criteria: Cumulative 24 hrs>65mm



-



At the end of April 2015, the unloading has reached 3595L and no acceleration movement recorded during and after remediation. All the casting material was loaded by hydraulic shovel from 3595L. Dedicated team also assigned to complete the drainage system design. Around 1.8 km ditch has been layered with conveyor belt and still continued to the rest of PB9S3 remediation ditch. A total of 32,000 m2 of remediated slope has been covered with geo-textile. The drainage system completion is still being conducted by the team to maintain good drainage system at the remediation area.



Figure 12. PB9S3 Remediation Line Up.



Figure 13. PB9S3 remediation area with geo textile coverage (April 2015). Lesson learned Good monitoring system is requiredto detect slope movement and determine the boundary of moving area. The movement occurred due to combination of structures, deteriorated material, and uncompleted drainage system because of manpower disruption at Grasberg. Good coordination between Engineering, Operation, geology, and Geotechnical group has led to good result in providing and analyzing remediation options that consider final slope design and mine production. Remediation program by unloading moving material is successfully stopping the PB9S3 deformation by providing more stable slope, improved drainage system, and less pit design modification.Dedicated manpower assigned for this remediation program also become one of success key to achieve the remediation target.



196



References 1. McDougall, S. and Hungr, O., 2004. A model for the analysis of rapid landslide motion across three-dimensional terrain. Canadian Geotechnical Journal, 41(6): 1084-1097. 2. PT Freeport Indonesia, 2009, Grasberg Geotechnical Working Criteria-Action Plan and Emergency Communication – Standard Operating Procedure, Internal Document. 3. PT Freeport Indonesia, 2009, Grasberg Pit Slope Study – Recommended Slope Angles, Internal Report prepared by Call and Nicholas Inc. (CNI) 4. PT Freeport Indonesia, 2015, Slope Movement at PB9S3 3700L-3610L, Internal memorandum from Surface Mine GeoServices Department. 5. Read J. and Stacey P., 2009, Guidelines for Open Pit Slope Design, CSIRO – CRC Balkema, pp. 381-400.



197



PROSIDING TPT XXIV DAN KONGRES PERHAPI IX 2015



NEW PERSPECTIVE OF WET MUCK RISK MAP : LESSON LEARNED FROM WET MUCK SPILL IN COARSE FRAGMENTATION AT DEEP ORE ZONE (DOZ) BLOCK CAVING MINE, PAPUA, INDONESIA Mochamad Ramadhan, Danny Wicaksono, Dhani Haflil, Bambang Antoro Underground Mine Geology Department, PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Email :[email protected];[email protected];[email protected] m;[email protected] ABSTRACT Deep Ore Zone (DOZ) Block Caving Mine is one of mine location in COWA PT Freeport Indonesia which contains 175 million tons at 0.57% Cu and 0.71 g/ton Au, operated since 2000 with average production about 60k tons/day. DOZ Block Caving Mine consist of two different deposits, East Ertsberg Skarn System (EESS) is a calcium-magnesium silicate skarn which located north-east at DOZ Mine, and Erstberg Stockwork Zone (ESZ), stockwork zone emplaced inside Ertsberg diorite, located southwest and adjacent to EESS. Production rate and mine pattern in DOZ Mine have resulted numerous mine operational challenges and one of the most dangerous one is wetmuck spill hazard. Wet muck is defined as a mixture of fine grained material and water which has potential to result in a sudden outflow from draw point or other underground excavation and triggered by mining activities.One of the DOZ Mine Geology Group’s effort to determine and anticipate potential wetmuck spill is by creating potential wetmuck risk map. DOZ potential wetmuck risk map is calculated fromwetness, fragmentation(fine materials < 5cm)and halo percentage,materials from previous mine, height of draw (HOD) and number of days no mucking activity.Parameterscollected from weekly drawpoints data and historical database from wetmuck spill event at middle to north in DOZ Mine. Parallel with cave development and mine production to southern-west panels (ESZ reserve), wetmuck also occurred in drawpoint which consist of dominant coarse fragmentation(more than 50% material of grain size >5cm). Drilling data showed thatsouthern-west panels of DOZ Mine (ESZ reserve), lies below zone of diorite rocktype with RQD less than 30%- 50%, also known as Fractured Diorite Zone. Based on RQD characterization, Fractured Diorite Zone is become water trap that potentially trigger massive water inflow into DOZ Mine.High debit water occurrences, hung up and pack muck drawpoints, lateral movement and rilling material (from fine grain material in the north) are triggering factor which influence wetmuck flow in drawpoints with coarse fragmentation. Combination of new parameter triggering wetmuck spill at southern area and parameter in previous wetmuck risk map will provide better understanding and help Operation Group to increase awareness of wetmuck concern area especially at southern DOZ Mine. Keywords :Block Caving Mine, Wetmuck Spill Hazard, Wetmuck Risk Map.



198



INTRODUCTION Deep Ore Zone (DOZ) mine is underground block caving mine located in PT. Freeport Indonesia contract of work (COW) A, in Ertsberg mining district within central highlands of Papua, after Gunung Bijih Timur (GBT) Mine and Intermediate Ore Zone (IOZ) Mine (Figure. 1).GBT block cave was in operation from 1980 to 1993 and produced about 60 million tons of ore. IOZ block cave was started in 1994 and produced over 50 million tons of ore till 2003DOZ mine has produced about 175 million tons of ore with 0.57% Cu and 0.71 g/tonAu, operated since 2000 with production was about 60,000 tons/day.



Figure.1 – The EESS map (red circle at Papua legend) showing location of GBT Surface, IOZ, DOZ, and DMLZ Block Cave Mines. DOZ block caving mine is an underground mine that utilizes gravity flow system at three main levels, which are (1) Undercut Level at 3146 meters, (2) Extraction Level at 3126 meters, and (3) Haulage Level at 3076-3079 meters. Undercut level is useful for induce a cave and provide a facility to reduce effects of induced abutment stress. Extraction level is production area which is composed of drawpoints with columns height up to 500 meters. ore is mucking from drawpoints, dumping into grizzly, and through to haulage level by gravity flow system for transports ore to conveyor (Laubscher, D., 2000). There are 39 panels at the extraction level with a total of 1352 drawpoints designed in a herringbone layout.Undercutting was initiated in 2000 in the central section of the DOZ and the mine initially developed and cave propagated towards the southeast. From about 2004, DOZ mine developed towards the northwest in forsterite-magnetite skarn and endoskarn material. From about 2009, DOZ mine also started developing towards the south and southwest in mainly ESZ diorite and stockwork ore with minor endoskarn and more recently EESS low grade forsterite skarn material.



199



The production level of the DOZ block cave lies at a depth of about 1200 meters below the surfaceand has column heights up to 500 meters. Occurrences of finematerial as a result of increased column height, along with increasing production rate and unbalancedmine pattern makes DOZ mine has special condition which raises different challenges in block caving operational issues, and the most dangerous one is wet muck spill.Wet muck is defined as a mixture of fine grained material and water which has potential to result in a sudden outflow from draw point or other underground excavation and triggered by mining activities.Potential impacts of wet muck spill are relative to fatality (loss of live) and economic loss (loss of reserve, production, and property).



GEOLOGICAL, GEOTECHNICAL, AND HYDROLOGY CONDITION IN DOZ MINE DOZ Block Caving Mine consist of two different deposits, East Ertsberg Skarn System (EESS) is a calcium-magnesium silicate skarn which located north-east at DOZ Mine, and Erstberg Stockwork Zone (ESZ), stockwork zone emplaced inside Ertsberg diorite, located southwest and adjacent to EESS. EESS is calcium-magnesium silicate skarn which formed by alteration reaction of carbonate rock from Tertiary Waripi and Faumai Formations. Both of formations were deposited on northern margin of the Australian passive shelf which collision with Pacific Plate from about 15-12Ma ago to about 3Ma caused shortening and formed regionally extensive NW-SE trending central mountain belt. Early formed thrusts and related folds were later steepened and thrusts reactivated as strike-slip faults. Localized igneous bodies were intruded in a relatively narrow period at the end of deformation between about 4.5Ma and 2.7Ma.Second stage of deformation began after 4 million ages and resulted in some local zones of NW trending strike slip faults with left lateral offset andbrecciated zones for about 10 meters. In DOZ Block Cave Mine, left strike slip faults are known as Erstberg 1, Erstberg 2, and South Fault. Those faults controlled emplacements of Ertsberg Diorite, a 3.25 Ma intrusive, which intruded southern flank of syncline and obliterating those pre-existing faults. Intrusion of Ertsberg Diorite initiate contact metamorphism and followed by metasomatic alteration (Coutts et al, 1999). Copper and gold solutions migrated into and controlled by faults to produce EESS complex of mineralization from GBT Surface, IOZ, DOZ, and DMLZ Block Cave Mines.The stockwork part, Ertsberg Stockwork Zone (ESZ), is hosted entirely within Ertsberg intrusion approximately 50-200m south to southwest of EESS. ESZ deposit contains copper and gold. ESZ veining system is formed by a hydrothermal event generated by intrusion of late porphyry dikes in the barren equigranular Ertsberg Diorite. Based on geology condition and mineral deposition, DOZ reserve divided in two Rock mass characteristic, (1) DOZ East Ertsberg Skarn System (EESS) characterized by forsteritediopside, forsterite-magnetite, and marble generally fair-poor RQD condition and Q value ranged to 0.1-40 (2) DOZ Ertsberg Stockwork Zone (ESZ) characterized by diorite and endoskarn rocktype with joint infill by quartz, chalcopyrite, pyrite and anhydrite generally good RQD and Q value ranged 20-45 (Table. 1). Two rocktypes in DOZ with two different hardness/competency, therefore form different fragmentation character, (1) fine-medium fragmentation at northern DOZ area and (2) coarse-medium fragmentation in southern DOZ.



200



Table. 1 – RQD and Q-system for rock types of the DOZ Block Cave Mine (Sahupala et al., 2008) Rock Type



RQD



Q-System



Diorite



80 – 90



20 – 45



Forsterite Skarn



50 – 80



10 – 40



Magnetite Skarn



70 – 80



8 – 40



Forsterite - Magnetite Skarn



50 – 60



8 – 30



DOZ Breccia / HALO



10 – 40



0.1 – 4



Marble



10 – 40



0.1 – 4



Three main sources of water have potential to flow into DOZ mine are groundwater in water bearingzones/aquifers, surface water, and water trapped in the old mines (Syaifullah et al., 2006).EESS hydrogeology is controlled by geology features which are related to structural zones andcontact zones between rock units, water-bearing zone, and associated with existing structureswithin the area.



WET MUCK SPILL ANALYSIS Wet muck is defined as a mixture of fine grained material and water which has potential to result in a sudden outflow from draw point or other underground excavation. Wet muck spills or mud rush can occur when there is more than 20% material of sand-size particles ( 5cm, 2. The material has to be loose grain (less than 90% optimum density), 3. The material must be saturated or near saturated (80%). Fine and loose grains come from low RQD rocks in the DOZ Block Cave Mine reserve such as Forsterite Skarn, Marble, and DOZ Breccia / HALO. Rate of saturation is influenced by the water appearance. High rate of rainfall inflow through the subsidence surface at the top of the EESS area is the main source of the water. In general, the water bearing zones around the DOZ could be divided as follows:  Sedimentary units and its associated structures at north side.  Fractured Diorite and its associated structures at south side.  Cave Boundary zones.



201



Surface water is related to the high rainfall 5500 mm/year which infiltrates from the catchment area (approximately 3 km2) through the cave. Tracer tests have been conducted to determine travel time from subsidence to the extraction level. Tracer test has shown that the rate of rainwater percolation down the approximately 1200 m to the DOZ extraction level has increased over time. This has changed from 14 days in 2000 to 4 days in September 2005 and 2007, to 24 hours in September 16th 2011 (Barito, 2012) . In the inaccessible, abandoned upper mines (GBT and IOZ), some minor water traps are created due to development elevation change where rainfall or peripheral groundwater can accumulate and flow before infiltrating to the current DOZ mine (Widijanto et al., 2012). Since 2012, EESS material has been found in drawpoints where only ESZ material was expected.About 10-30% EESS low grade forsterite skarn is consistently found in the central actively mined drawpoints and is spreading southwards. Forsterite skarn is a white fine-grained granular material type and occurs in drawpoints as small fragments (5cm) diorite, endoskarn and ESZ material. This indicates that lateral movement and rilling is moving EESS material into the southern drawpoints where ESZ ores should predominate (Figure. 2) (Haflil et al.,2014).



Figure.2 – Comparison of forsterite skarn distribution during 3rd quarter (left) and 4th quarter (right) 2013. Forsterite skarn ore increases in abundance and distance towards the southwest in diorite dominant drawpoints Besides lateral migration of EESS skarn material into southern drawpoints, wetness and fine grained material in those drawpoints have also increased. Wet drawpoints were previously only found in mature northern high HOD drawpoints, where secondary EESS material fragmentation size is fine and clay, sticky material is common. Studies in DOZ mine on mud-rush events and wetmuck spills show that mud-rush potential increases when drawpoint is wet, contains abundant fine grained (5cm) with low HOD (Figure. 3).First wetmuck spill event in southern part of DOZ mine occurred in July 2013 when approximately 200m3 of wet mud materials spilled from adjacent drawpoints. Visual analysis of mud-rush material identified 105% EESS forsterite skarn material together with85-90% ESZ diorite and endoskarn material (Figure. 4). Since then, repeated spill events have occurred and are spreading to more southerly drawpoints.



Figure.3 – Rocktype versus Spill events graphic, showing increase of wetmuck spill events in diorite and endoskarn rocktype dominated drawpoints since 2013. Based on current evidence of wetmuck spill, Underground Geology department formulate new calculation factor in wetmuck risk map which improve prediction at southern panel (ESZ reserves with coarse fragmentation). New wetmuck risk map will include more specific drawpoints zonation below water trap (Fractured Diorite Zone, Structural Zone, and Cave Boundary Zone), and calculate drawpoint adjacent/around Hung Up and/or Pack Muck Drawpoints.



203



Figure.4 – Wetmuck spill event sampling at P02-21W, showing diorite-endoskarn dominated rocktype and coarse fragmentation (65% > 5cm).



Based on this study we include zonation below water trap (Fractured Diorite Zone, Structural Zone, and Cave Boundary Zone) in our New Potential Hazard Map for Wet Muck flow. Drilling data showed that southern-west panels of DOZ Mine (ESZ reserve), lies below zone of diorite rocktype with RQD less than 30%- 50%, also known as Fractured Diorite Zone (Figure. 5). Based on RQD characterization, Fractured Diorite Zone is become water trap that potentially trigger massive water inflow into DOZ Mine. Wetness and days no mucking activity already include in calculation and we insert mucking pattern and water trap zonation to showing distribution of mucking and water in drawpoint area.



Figure. 5 – Section view wetmuck spill event at P03-31W, showing diorite-endoskarn dominated rocktype with low HOD, located below Fractured Diorite Zone (left), section view of Fractured Diorite Zone, showing water intersected by drilling and general RQD