Referat Bunuh Diri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan masalah-masalahserius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi tersebut merupakan sebagian dari pelbagaikondisi kedaruratan psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa kasus-kasustersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan segera, menyebabkan dokter akan lebih banyak menemui kassuskasus kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat disebabkan oleh penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki dalam pemehaman diagnosis gangguan jiwa sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi. Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi untuk membuatdiagnosis kerja. dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik sertalaboratorium yang sesuai dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayananyang paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan



Consultation-Liaison



Psychiatry



bermanfaat



untuk



beberapa



penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,delirium, sindrom neuroleptik maligna, dan lain-lain. Kasus bunuh diri di negara kita makin mewabah. Berdasar data terakhir WHO terdapat 1 juta kasus dalam satu tahun didunia. Di Propinsi DKI Jakarta, kasus mencapai 5,8% dari jumlah penduduk. Di Kabupaten Gunung Kidul Propinsi DIY,terdapat lebih dari 30 kasus setiap tahun. Kasus bunuh diri sebagian besar menimpa golongan dewasa, dan sedikit yang menimpa remaja. Hal ini sebenarnyabanyak berkaitan dengan status orang dewasa tersebut. Banyak penelitian yang menemukan bahwa sebagian besardari orang-orang yang bunuh diri berlatarbelakang keluarga broken home. Selain itu, tuntutan kebutuhan ekonomi seringmenjadi alasan bunuh diri Penyakit yang tidak kunjung sembuh menjadi alasan berikutnya. Jangan remehkan suasana hati kita, sebab kalau sedang dalam kondisi sangat buruk, seseorang bisa mengakhiri nyawanya sendiri. Kasus 1



bunuh diri di kalangan remaja belakangan mulai meningkat. Data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, selama 2003 tercatat 62 kasus bunuh diri. Jumlah ini merupakan kelipatan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Usia pelaku bunuh diri, tidak main-main, ada yang masih belasan tahun.Ilmuwan Amerika belum lama ini menemukan bahwa kasus bunuh diri di kalangan remaja justru dipicu akibat suasana hati yang buruk.



2



BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Percobaan Bunuh Diri 2.1.1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt) Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000) Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).



Menurut Corr, Nabe, dan Corr



(2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain: 1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional.



3



2. Bunuh diri dilakukan dengan intense. 3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri. 4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian. 2.1.2. Metode Bunuh Diri Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.



4



Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 1. Obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap). 2. Menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas). 3. Senjata api dan peledak. 4. Menenggelamkan diri. 5. Melompat. 6. Memotong (menyayat dan menusuk). 2.1.3. Faktor Penyebab Bunuh Diri Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000). Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008): 1. Major-depressive illness, affective disorder.



5



2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif). 3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri. 4. Sejarah percobaan bunuh diri. 5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga. 6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan. 7. Hopelessness dan cognitive rigidity. 8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal) 9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas. 10. Rendahnya tingkat 5-HIAA. 11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah). 12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri). 13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri. 14. Penyakit fisik dan komplikasinya. 15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas. 2.1.4. Penjelasan Bunuh Diri Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks. 1) Penjelasan Psikologis Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau



6



objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi. Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif. Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri. Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut



7



menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati. Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan. 2) Penjelasan Biologis Banyak



penelitian



telah



dilakukan



untuk



menemukan



penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri. 3) Penjelasan Sosiologis Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan



8



masyarakatnya.



Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu: a) Egoistic Suicide Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku bunuh diri. b) Altruistic Suicide Individu overintegration.



di



sini



Pada



mengalami situasi



overinvolvement



demikian,



hubungan



dan yang



menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas. c) Anomic Suicide Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya. d) Fatalistic Suicide



9



Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak. 2.2. Tanda dan Gejala Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial. Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental pada remaja, dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia. Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri, tidak bekerja, perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor kepribadian: implisit, agresif, rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif, keputusasaan, harga diri rendah, batasan/ gangguan kepribadian antisosial. 2.3. Terapi 2.3.1. Pendekatan Psikodinamika Psikoanalisa tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk memahami perasaan mereka yang ambivalen terhadap orang-orang (objek) penting dalam hidup mereka yang telah atau terancam hilang. Dengan menggali perasaan-perasaan marah terhadap objek yang hilang, mereka dapat mengarahkan rasa marah keluar—melalui ekspresi verbal dari perasaan.



2.3.2. Pendekatan Behavioral



10



Pendekatan penanganan behavioral beranggapan bahwa perilaku depresi dipelajari dan dapat dihilangkan(unlearned). Terapis perilaku bertujuan secara langsung memodifikasi perilaku dan bukan untuk menumbuhkan kesadaran terhadap kemungkinan penyebab yang tidak disadari dari perilaku-perilaku ini. Terapi ini telah terbukti berhasil dalam menangani depresi untuk orang dewasa dan juga anak (Craighead& Ilardi, 1998). Salah



satu



program



behavioral



yang



ilustratif



telah



dikembangkan oleh Lewinshon dan koleganya. Program ini terdiri dari sebuah program terapi kelompok dengan 12 sesi selama 8 minggu yang diorganisasikan sebagai suatu kursus—coping with depression (CWD) course. Kursus ini membantu klien memperoleh keterampilan relaksasi, membangun



meningkatkan keterampilan



aktivitas sosial



yang



menyenangkan,



yang memungkinkan



dan



mereka



mendapatkan reinforcement sosial. 2.3.3. Pendekatan Kognitif Teoretikus kognitif percaya bahwa pikiran yang terdistorsi memainkan suatu peran kunci dalam perkembangan depresi. Terapi kognitif yang dikembangkan Aaron Beck dan koleganya telah mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang multikomponen. Orang yang depresi cenderung untuk berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada pikiran-pikiran yang mungkin mendasari kondisi perasaan mereka. Artinya, mereka biasanya memberikan lebih banyak perhatian pada bagaimana buruknya perasaan mereka dibanding pada pikiran-pikiran yang kemungkinan memicu atau mempertahankan mood yang depresi. 2.3.4. Terapi Dengan Pendekatan Biologis Pendekatan biologis dalam penyembuhan perilaku abnormal berpendapat bahwa gangguan mental, seperti penyakit fisik disebabkan oleh disfungsi biokimiawi atau fisiologis otak. Terapi fisiologis dalam



11



upaya



penyembuhan



perilaku



abnormal



meliputi



kemoterapi,



elektrokonvulsif dan prosedur pembedahan. 1. Kemoterapi (Chemotherapy) Chemotherapy atau Kemoterapi dalam kamus J.P. Chaplin diartikan sebagai penggunaan obat bius dalam penyembuhan gangguan atau penyakit-penyakit mental. Adapun penemuan obatobat ini dimulai pada awal tahun 1950-an, yaitu ditemukannya obat yang menghilangkan sebagian gejala Schizophrenia. Beberapa tahun kemudian ditemukan obat yang dapat meredakan depresi dan sejumlah obat-obatan dikembangkan untuk menyembuhkan kecemasan. a. Antianxiety Drugs Yaitu obat yang dapat menurunkan kecemasan dan termasuk pada golongan yang dinamakan benzodiazepin. Obatobatan ini sering dikenal dengan transkuiliser (penenang). b. Anti Depressant Obat anti depressant sering diberikan pada pasien yang mengalami depresi mayor. Selain itu juga untuk membantu meningkatkan mood individu yang terdepresi. Obat ini lebih memberikan efek pada membangkitkan energi. Obat anti depressant cenderung mengurangi depresi pada aspek fisik. Contohnya, mereka cenderung untuk meningkatkan tingkat aktivitas pasien untuk mengurangi gangguan makan dan tidur. Orang yang mengalami depresi berat sering mengalami insomnia oleh karena itu pemberian anti depressant harus mempertimbangkan



waktu



pemberian.



Hal



ini



menjadi



pertimbangan manakala beberapa pasien yang berada di rumah sakit selama periode tertentu mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Akan tetapi pemberian obat anti depressant yang berlebihan akan menyebabkan kematian.



12



c. Antipsychotic Obat anti psikotik sangat efektif untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi dari satu episode schizophrenia ikut serta membantu pemulihan proses berpikir yang rasional. Obat ini tidak menyembuhkan schizophrenia, akan tetapi membantu pasien agar dapat berfungsi diluar rumah sakit. Anti psikotik dapat mempersingkat masa perawatan pasien dan mencegah kekambuhan. Walaupun demikian obat ini memiliki efek samping terhadap mulut menjadi kering, pandangan kabur, konsentrasi berkurang hingga gejala neurologis. d. Lithium Bangsa Yunani pertama kali menggunakan metal lithium untuk



obat-obatan



psycho



active.



Mereka



menentukan



kandungan air mineral untuk pasien dengan gangguan bipolar afektif, walaupun demikian mereka belum memahami mengapa hal ini kadang-kadang bisa menghasilkan kesembuhan. Akibat ini



kemungkinan



besar



dikarenakan



air



mineral



yang



mengandung lithium. Metal lithium dalam bentuk tablet dapat meratakan hasil periode tingkah laku depresif pada tingkat sedang dari persediaan norephinephrin. e. Transkuiliser (1) Transkuiliser Minor Obat-obat ini biasanya diberikan pada pasien yang mengeluh cemas atau tegang, walaupun beberapa orang sering menggunakannya sebagai pil tidur. Yang termasuk golongan ini adalah valium, librium, miltown, atarax, serax dan equamil. Valium dan transkuiliser lainnya digunakan untuk menekan aktivitas sistem saraf pusat, mengurangi aktivitas



13



simpatis,



mereduksi



kecepatan



jantung,



kecepatan



pernafasan dan perasaan gelisah serta ketegangan. Masalah yang diasosiasikan pada beberapa trankuiliser adalah kecemasan yang mengganjal. Beberapa pasien yang telah menggunakan obat ini secara tidak teratur berakibat pada kecemasannya muncul kembali dan rasa sakitnya bertambah. (2) Transkuiliser Mayor Transkuiliser Mayor dianggap pada bagian yang luas untuk mengurangi bentuk-bentuk kebutuhan yang bervariasi dari pengendalian dan pengawasan. Dalam beberapa kasus dapat mengurangi agitasi, delusi dan halusinasi. Yang termasuk golongan ini thorazine, mellaril, dan stelazine. Transkuiliser Mayor diberikan pada pasien schizophrenia untuk memimpin sebagian besar kehidupannya secara normal dalam komunitas masyarakat, tempat kerjanya, dan mempertahankan kehidupan keluarganya. 2. Electroconvulsive Terapi elektrokonvulsif (electroconvulsive therapy) dijelaskan oleh psikiater asal Itali Ugo Carletti pada tahun 1939. Pada terapi ini dikenal electroschot therapy, yaitu adanya penggunaan arus listrik kecil yang dialirkan ke otak untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Pada saat ini ECT diberikan pada pasien yang mengalami depresi yang parah dimana pasien tidak merespon pada terapi otak. Secara khusus, pasien dengan terapi ECT mendapatkan satu treatment



dalam



tiga



atau



beberapa



minggu.



ECT dapat



menyebabkan ketidaksadaran, walaupun demikian arus listrik yang dialirkan sangatlah lemah. Arus listrik dialirkan melalui pelipis menuju ke sisi hemisfer serebral non dominan. Individu akan



14



terbangun dalam beberapa menit kemudian dan tidak ingat apapun tentang terapi. Efek samping dari terapi ECT ini adalah gangguan memori yang menimbulkan kekosongan memori sehingga pasien mengalami gangguan kemampuan untuk menambah informasi baru selama beberapa waktu. 3. Psychosurgery Pada terapi ini, tindakan yang dilakukan adalah adanya pemotongan



serabut



saraf



dengan



penyinaran



ultrasonik.



Psychosurgery merupakan metode yang digunakan untuk pasien yang menunjukan tingkah laku abnormal, diantaranya pasien yang mengalamai gangguan emosi yang berat dan kerusakan pada bagian otaknya. Pada pasien yang mengalami gangguan berat, pembedahan dilakukan terhadap serabut yang menghubungkan frontal lobe dengan sistim limbik atau dengan area hipotalamus tertentu. Terapi ini digunakan untuk mengurangi simptom psikotis, seperti disorganisasi proses pikiran, gangguan emosionalitas, disorientasi waktu ruang dan lingkungan, serta halusinasi dan delusi.



BAB III



15



KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Bunuh diri adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. 2.



Beberapa kelompok beresiko yang didiagnostik dalam usaha bunuh diri: Depresi (dalam bentuk apapun), Gangguan kepribadian (kepribadian anti sosial dan borderline dengan sifat yang impulsif, agresif dan perubahan mood yang sering), Alkoholisme (dan/atau penyalahgunaan zat lain dalam masa remaja);, Schizophrenia;, Gangguan mental organik, Gangguan mental lainnya. Karakteristik pemikiran dari orang yang ingin bunuh diri :ambivalensi dan impulsitas



3. Bunuh diri-sociodemografik dan faktor-faktor lingkungan: Jenis kelamin, umur, status pernikahan, pekerjaan, pengangguran, kehilangan pekerjaan lebih beresiko daripada status penganggguran 4. Terapi bagi yang mengalami gangguan perasaan dan bunuh diri adalah dengan pendekatan psikodinamika, behavioral, kognitif dan biologis.



DAFTAR PUSTAKA



16



Maris,



R.W.;



Berman, A.L.;



Silverman,



M.M.;



Bongar,



B.M.



2000.



Comprehensive Textbook Of Suicidology. Belmont: Guilford Press. Corr, C.A.; Corr, D.M.; Nabe,C.M. 2003. Death and Dying Live and Living (4th ed). USA: Wadsworth. Salkovskis,P.M. 1996. Frontiers Of Cognitive Psychology. Belmont: Guilford Press. Meichenbaum, D. 2008. 35 Years Of Working With Suicidal Patients: Lessons Learned. Washington: Apa.org.books. Pervine, L.A.; Cervone, D.; John, O.P. 2005. Personality: Theory And Research. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sadock J. Benjamin, Sadock A. Virginia. 2010. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Alih bahasa, Profitasi, Tiara Mahatmi Nisa ; editor edisi bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Retna Neary Elseria Sihombing. Ed 2. Jakarta : EGC.



17