Referat Endometriosis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Endometriosis merupakan kelainan ginekologis jinak dimana stroma dan kelenjar endometrium berada diluar lokasi normal. Lokasi utama ditemukannya endometriosis adalah peritoneum pelvis, ovarium, dan septum rektovaginal. Beberapa kasus ditemukan endometriosis pada diafragma, pleura, dan perikardium. Penyakit ini ditemukan oleh Carl Rokitansky pada tahun 1860 namun nama endometriosis diberikan oleh John A. Sampson pada tahun 1921. Walaupun sudah lama dan banyak dilakukan penelitian, endometriosis tetap menjadi penyakit yang proses patofisiologisnya merupakan misteri.1,2,3 Endometriosis merupakan penyakit yang berhubungan dengan hormon dan ditemukan terutama pada wanita usia reproduktif. Diperkirakan 6 hingga 10% wanita usia reptroduktif mengalami endometriosis. Wanita dengan endometriosis dapat tidak memilik gejala, subfertil, atau nyeri pelvis. Endometriosis menjadi penyebab utama disabilitas dan penurunan kualitas hidup wanita.1,2 Keseluruhan prevalensi endometriosis masih belum diketahui secara pasti, terutama karena operasi merupakan satu-satunya metode yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis pasti endometriosis. Selain itu, operasi umumnya tidak dilakukan tanpa gejala atau ciri-ciri fisik yang mengacu pada dugaan endometriosis. Prevalensi endometriosis tanpa gejala didapat sekitar 4% pada wanita yang pernah menjalani operasi sterilisasi. Kebanyakan perkiraan prevalensi endometeriosis berkisar antara 5% - 20% pada para wanita penderita nyeri pelvik, dan antara 20% - 40% pada wanita subfertil. Prevalensi umum berkisar antara 3% - 10%, terutama pada wanita dalam usia reproduktif. Usia rata-rata wanita yang menjalani diagnosis bervariasi antara 25 – 30 tahun. Endometriosis jarang ditemui pada gadis yang berada pada tahap menjelang haid (premenarcheal), tetapi dapat diidentifikasi pada minimal 50% gadis atau wanita muda berusia kurang dari 20 tahun yang mempunyai keluhankeluhan seperti nyeri pelvik dan dyspareunia. Kebanyakan kasus yang terjadi pada wanita muda berusia kurang dari 17 tahun berkaitan dengan anomali duktus mullerian dan gangguan servik atau vagina. Kurang dari 5% wanita postmenopause membutuhkan operasi endometriosis, dan kebanyakan wanita 1



pada usia tersebut telah menerima terapi estrogen. Di sisi lain, prevalensi endometriosis tanpa gejala mungkin lebih rendah pada wanita berkulit hitam dan lebih tinggi pada wanita berkulit putih di wilayah Asia.4 Faktor resiko endometriosis meliputi obstruksi aliran menstrual (anomali mullerian), paparan uterus pada diethylstilbestrol, paparan jangka panjang terhadap estrogen (menarche awal, menopause terlambat, atau obesitas), siklus menstrual yang singkat, berat badan lahir rendah, dan paparan terhadap bahan kimia yang mempengaruhi hormon. Komponen genetik diduga memiliki peran dalam terjadinya endometriosis yang ditemukan dalam penelitian pada riwayat keluarga dan wanita kembar. Faktor nutrisi memiliki hubungan dengan kejadian endometriosis dimana konsumsi lemak trans dan daging merah berhubungan dengan peningkatan angka kejadian sedangkan konsumsi buah-buahan, sayuran hijau, dan asam lemak rantai panjang berhubungan dengan penurunan angka kejadian. Proses menyusui jangka panjang dan kehamilan multiple merupakan agen protektif.2 Tatalaksana dari penyakit ini dapat berupa terapi dengan medikamentosa atau dengan operasi. Terapi medikamentosa yang digunakan adalah analgetik sebagai penurun rasa nyeri pada endometriosis atau hormonal. Beberapa teknik operasi untuk endometriosis sudah banyak berkembang sejak pertama kali endometriosis ditemukan.1,3



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Definisi Pada tahun 1921 dr. Sampson pertama kali menemukan terminologi “endometriosis” . Endometriosis didefinisikan sebagai adanya kelenjar endometrial dan jaringan stroma diluar dari uterus.5 keberadaan dari jaringan ektopik ini menginduksi suatu proses inflamasi kronis yang tergantung pada estrogen yang berdampak pada morbiditas, nyeri pelvis, operasi berulang dan infertilitas.6 proses yang menyimpang ini memicu adanya perdarahan mikroskopis internal, terbentuknya endometriomas yang nyeri, inflamasi, skar fibrotik, dan terbentuknya adesi, serta adanya distorsi orggan pelvis.



Gambar 1. Struktur Pelvis Tersering Munculnya Endometriosis. 2.2. Insiden dan Prevalensi Insidensi dan prevalensi endometriosis secara keseluruhan terjadi pada 5 – 10% wanita di usia reproduktif. 5 Insididensi tertinggi endometriosis terjadi pada wanita yang menjalani prosedur laparoskopi karena infertilitas atau nyeri pelvis. Prevalensi gejala endometriosis dengan infertilitas sekitar 20-50%. 1 Prevalensi endometriosis dengan nyeri pelvis kronis 71 -81%.8 2.3. Faktor Resiko 3



Dalam suatu penelitian disebutkan kemungkinan endometriosis 3 – 10 kali lebih besar pada wanita dengan riwayat endometriosis pada satu tingkat keluarga. Selain itu wanita dengan anomali traktus reproduksi dan adanya obstruksi aliran menstruasi juka meningkatkan risiko terjadinya endometriosis. Nuliparitas, subfertilitas, dan panjangnya jarak antara kehamilan juga berhubungan



dengan



meningkatnya



risiko



endometriosis.5



Sedangkan



banyaknya paritas dan siklus haid yang panjang atau tidak teratur menurunkan risiko terjadinya endometriosis. 2.4. Etiologi Etiologi endometriosis tergantung pada interaksi yang kompleks dari beberapa faktor yaitu genetik, imunologi, lingkungan dan hormonal.  Genetik Genetik berperan penting pada patogenesis endometriosis, Endometrium wanita dengan endometriosis memperlihatkan ativitas enzim aromatase yang membuat implantasi endometriosis membuat sendiri estrogen dan memicu proliferasi dan pertumbuhannya. Pada endometriosis juga terdapat ekspresi dari molekul adhesif VEGF dan matriks metalloproteinase-2 dimana memicu penempelan , vaskularisasi dan daya invasif dari 







endometriosis ektopik.8 Imunologi Pada endometrioss terjadi penurunan



aktivitas makrofag yang akan



memicu toleransi imunologis dari endometriosis.8 Hormonal Seperti pada endometrium yang normal, implan endometriosis berespon pada fluktuasi hormon ovarium siklik juga stimulasi estrogen dan







mengalami perdarahan pada setiap siklus menstruasi. Lingkungan Endometriosis akan berdampak pada inflamasi kronik milieu dengan peningkatan jumlah dari sitokin inflamasi (TNF α dan interleukin 1,6,8) dan makrofag pada rongga peritoneum.



Sitokin menginduksi produksi



prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri. Selain itu juga terjadi peningkatan serabut saraf dan NGF ditemukan pada lesi endometriosis yang akan meningkatkan intensitas nyeri. Respon inflamasi ini juga memicu terbentuknya adhesi atau perlengketan yang membuat strukturnya menjadi imobilisasi dan mengganggu anatomi norml yang menyebabkan pada



4



infertilitas dan nyeri tambahan pada organ non genital seperti usus dan kandung kemih. 7,8 2.5. Etiopatogenesis 2.5.1. Histopatogenesis Sejak ditemukannya terminologi endometriosis pada tahun 1921, banyak penelitian dilakukan untuk meneliti patogenesis dari penyakit ini, namun tidak ada satu teori yang cukup terbukti untuk menjelaskan patogenesis secara memuaskan. Konsep terkini yang dipercayai adalah multifaktorial meliputi imun, hormonal, genetik, lingkungan dan faktor anatomis. Ada tiga teori yang berbeda yang mencoba menjelaskan patogenesis dari endonmetriosis, diantaranya



yaitu teori metaplasia



coelomic, teori sisa embrionik, teori menstruasi retrograde. Proses terbentuknya dapat dibagi menjadi lima proses dasar yaitu adhesi, invasi, perekrutan, angiogenesis dan proliferasi. Penyimpangan biomolekuler pada eutopik endometrium, disfungsi respon imun, distorsi anatomikal, dan lingkungan peritoneal proinflamasi juga terlibat.6 a. Teori Metaplasia coelomic Konsep tertua yaitu “teori epitel germinal dari ovarium” yang diajukan oleh Heinrich von Wadeyer pada awal tahun 1870an mengasumsikan endometriosis muncul in situ



dari sisa duktus wolffian atau mullerian atau dari



metaplasia dari jaringan peritoneum atau ovarium, teori ini terus berkembang dan lebih populer dikenal dengan teori metaplasia. Prinsip dari teori ini adalah peritoneum parietal merupakan jaringan pluripoten yang dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi jaringan yang secara histologis tidak dapat dibedakan dengan endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor endometrium yaitu duktus mullerian berasal dari epitel coelomic, metaplasia dapat menjelaskan terbentuknya endometriosis pada ovarium. Endometriosis ditemukan pada kantong culdesac pada ligamen uterosakral dan ligamen broad, dibawah permukaan ovarium, diatas peritoneum, pada omentum dan sepanjang 5



nodus limfatik retroperitoneal yang sering disbut dengan mullerianosis. Penyakit ini didiagnosis saat menjelang dewasa sebelum atau sesudah menarche yang kemudian mendukung patogenesis dari sisa embrionik mullerian.1,5 b. Teori Induksi Teori berikutnya adalah teori induksi yang merupakan perkembangan dari teori metaplasia dimana epitel germinal dari peritoneal serosa dan ovarium dapat mengalami transformasi



melalui



metaplasia.



Pada



teori



induksi



menyebutkan satu atau beberapa endogen, biokimia, faktor imunologis dapat menginduksi diferensiasi endometrium menjadi sel yang tak diferensiasi. Hal ini menegaskan substansi



yang



dilepaskan



oleh



endometrium



ditransportasikan oleh darah dan sistem limfe untuk menginduksi endometriosis pada beberapa area pada tubuh. Sehingga subtansi tersebut dapat menginduksi endometriosis melalui jalur iatrogenik, limfogenik, hematogenik, yang dapat ditemukan pada daerah ekstrapelvis yang tidak umum.1,5,6 c. Teori menstruasi retrograde Pada tahun 1921 dikenal teori sampson yaitu teori menstruasi retrograde dimana dinyatakan lesi tersebut merupakan hasil benih dari ovarium. Dan pada tahun 1927 Ia menyatakan penyakit ini merupakan hasil dari refluks menstruasi , dimana endometrium didorong kebelakang menuju peritoneum dan ovarium yang bertahan disana dan berimplantasi. Namun teori ini tidak menjelaskan mengapa endometriosis hanya terjadi pada 5 -10% populasi wanita.10 Pada saat ini tidak ada konsensus yang membahas tentang asal endometriosis, gagalnya mekanisme imun untuk menghancurkan jaringan ektopik dan diferensiasi abnormal dari jaringan endometriotik diperkirakan menjadi mekanisme



6



penyebab endometriosis pada defek sel stromal yang berhubungan dengan peningkatan estrogen dan progesteron . Daya tahan , pertumbuhan dan inflamasi dari sel endometriosis bertanggung jawab pada gejala klinis dari infertilitas dan nyeri. Inflamasi merupakan gambaran predominan dari lesi endometriosis dicirikan dengan produksi berlebih



dari



sitokin,



prostaglandin,



dan



substansi



proinflamasi lainnya yang nmemodilasi nyeri dan dapat berhubungan dengan sub fertilitas. Estrogen memicu daya tahan dan persistensi dari lesi endometrium dimana dapat mengganggu proses imun dan inflamasi.5,6



Gambar 2. Hubungan teori dan hormon dalam patogenesis Endometriosis 2.5.2. Ketergantungan Hormonal Estrogen telah secara definitif dinyatakan memiliki peran penting dalam pembentukan endometriosis. Sebagian besar estrogen diproduksi secara langsung oleh ovarium, namun beberapa organ perifer juga memproduksi hormon ini melalui aromatisasi dari androgen ovarium dan adrenal. Implan endometriotik ditemukan mengekspresikan aromatase 7



dan 17ß-hydroxysteroid dehydrogenase type I yang adalah enzim yang bertanggung jawab dalam konversi androstenedione menjadi estrome dan kemudian menjadi estradiol. Dan implan endometriosis kekurangan 17ßhydroxysteroid dehydrogenase type 2 yang menghambat estrogen. Kombinasi enzimatik ini memastikan implan endometrius selalu terpapar lingkungan yang estrogenik. Dan adanyanya proses intracrinologi dimana di dalam jaringan endometriosis sendiri memiliki estrogen yang semakin memberikan efek biologik pada jaringan yang memproduksi hormon itu sendiri. Sebagai perbandingannya,



endometrium



mengekspresikan



memiliki



aromatase



dan



normal



tidak



17ß-hydroxysteroid



dehydrogenase type 2 dalam jumlah tinggi yang merupakan repson dari progesteron. Sebagai akibatnya, progesteron bekerja antagonis dengan efek estrogen pada endometrium normal selama fase luteal dari siklus menstruasi. Endometriosis bermanifestasi sebagai resisten relatif progesterone yang mencegah penurunan stimulasi estrogen dalam jaringan ini. Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan penginduksi pling poten dalam aktivitas aromatase pada sel stromal endometrium. Estradiol diproduksi sebagai respon untuk meningkatkan aktivitas aromatase yang kemudian akan menambakan produksi PGE2 dengan stimulasi enzim cyclooxygenase tipe 2 (COX-2) di sel endotel uterus.10



8



Gambar 3. Ketergantungan hormonal pada endometriosis



Gambar 4. Bagan interaksi terjadinya endometriosis. 9



2.5.3. Inflamasi Seiring berkembangnya konsep bahwa endometriosis merupakan kondisi inflamasi pada pelvis. Pada wanita dengan endometriosis, cairan peritoneal berperan dalam peningkatan jumlah makrofag yang terkativasi dan penting untuk membedakan profil sitokin dan kemokin. Pada suatu penelitian ditemukan protein yang secara struktur ubik dan mirip dengan protein haptoglobin pada cairan peritoneal pada pasien endometriosis. Protein ini ditemykan berlekatan dengan makrofag, menurunkan kapasitas fagositik dan meningkatkan produksi Interleuikin 6. Sitokin atau kemokin lain yang ditemukan meningkat pada cairan peritoneal pada pasien endometriosis termasuk macrofage migration inhibitory factor, TNF α, IL1ß, IL6, IL8, regulasi pada aktivasi sel T normal dan protein



kemotaktik



1.



Selanjutnya



terdapat



kemotraktan



yang



memfasilitasi perekrutan makrofag. Pada lingkungan peritoneum dengan endometriosis kaya akan prostaglandin, dan medator ini berperan penting pada patofisiologi sekuele klinis dari nyeri dan infertilitas.9 2.6. Patofisiologi Endometriosis dengan Nyeri Makrofag peritoneal dari wanita dengan endometriosis mengekresikan Cyclo-oxygenase-2



(COX-2)



dalam



jumlah



tinggi



juga



melepaskan



prostaglandin lebih banyak dibandingkan dengan makrofag dibandingkan dengan wanita normal. Pada tingkat lesi TNF α memicu prduksi prostaglandin F2α dan PGE2 oleh sel endometrium. Aktivasi IL 1ß dab COX-2 meningkatkan produksi PGE2, dimana akan mengaktifasi protein regulator steroidogenik akut dan aromatase. Dengan meningkatnya regulasi sintesis PGE2, estrogen menyempurnakan umpan balik positif yang akan memicu peningkatan bioavailabilitas lokal dari E2. Jalur ini menjelaskan peran estrogen dan inflamasi pada endometriosis. Serabut saraf pada implant endometriosis mempengaruhi neuron kornu dorsalis pada sistem saraf pusat yang akan meningkatkan persepsi nyeri pada pasien.9



10



Gambar 5. Mekanisme respon nyeri pada endometriosis 2.7. Patofisiologi Endometriosis dengan Infertilitas 2.7.1. Rongga Pelvis Inflamasi pelvis yang merupakan gambaran klasik pada endometriosis tidak hanya merupakan hasil dari lesi endometriotik tetapi juga faktor yang memulai proliferasi ektopik dan pertumbuhan jaringan endometrium. Bukti perubahan inflamasi pada endometriosis yang dapat berdampak pada cairan peritoneal adalah proliferasi, aktivasi dan disfungsi fagosit dari makrofag; sekresi dari proinflamasi, faktor pertumbuhan dan faktor angiogenik; peningkatan dan disfungsi sel natural killer dan sel limfosit T termasuk reduksi aktivitas sitotoksik. Beberapa penelitian menyebutkan cairan peritoneum dari wanita dengan endometriosis menyebabkan imobilisasi sperma terutama karena peran makrofag. Interleukin 1 dan 6 secara langsung mempengaruhi mobilitas sperma. Tumor necrosis factor TNF α menyebabkan rusaknya DNA sperma . Cairan peritonium ini dapat menghalangi interaksi sperma dengan oosit, dengan mencegah perlekatan sperma pada zona pelucida melalui TNF α, Ilterleukin 1, migrasi faktor inhibitor. Stres oksidatif juga mengganggu reaksi akrosom dan fusi antara sperma dan oosit. 2.7.2. Ovarium Terkadang



endometrium



dapat



mencapai



ovarium



dan



membentuk kista atau endometrioma yang akan menimbukan reaksi lokal. Kista dapat menurunkan jumlah jaringan ovarium yang fungsional 11



2.7.3. Uterus Gangguan pada endometrium tergantung pada konsentrasi estradiol dan progesteron dalam sirkulasi . Ada 2 anomali yang terjadi yaitu produksi estradiol yang abnormal yang berhubungan dengan inflamasi, dan resistensi terhadap efek progesteron. Produksi prostaglandin E2 dan F2α oleh uterus terjadi selama menstruasi. Peningkatan pabrik prostaglandin merupakan temuan tipikal pada dysmenorrhoea suatu gangguan yang terkadang berespon pada cyclo-oxygenase (COX) inhibitor.7



Gambar 6. Hubungan endometriosis dengan infertilitas.



2.8. Klasifikasi American Society for Reproductive Medicine (ASRM) membuat revisi sistem klasifikasi endometriosis (1997). Klasifikasi ini dapat mendeskripsikan luas penyakit, deferensiasi, korelasi penemuan saat operasi dan hasil akhir, dan deskripsi morfologi. Kelemahan



sistem klasifikasi ini adalah tidak dapat 12



memprediksikan kehamilan setelah pengobatan dan tidak terdapat hubungan dengan gejala nyeri. Pada sistem klasifikasi ini, endometriosis terbagi dalam 4 derajat dimana derajat I adalah minimal, derajat II adalah ringan, derajat III adalah menengah, dan derajat IV adalah berat.1



Gambar 7. Derajat Endometriosis



13



Gambar 8. ASRM Revised Classification of Endometriosis. 2.9. Manifestasi Klinis  Nyeri pelvis siklik atau kronis  Dismenorrhea  Dyspareunia  Disuria  Nyeri saat defekasi  Nyeri nonsiklik 14



    2.10.



Infertilitas Gangguan pembentuka folikel dan embriogenesis Perubahan Endometrium Obstruksi intestinal dan ureteral Diagnosa Metode utama diagnosa endometriosis adalah laparoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan patologi, namun terdapat beberapa pemeriksaan







yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosa. Pemeriksaan Fisik o Pemeriksaan Spekulum  Lesi biru atau kemerahan yang mungkin terlihat pada serviks atau fornix posterior vagina. Lesi ini dapat berdarah dengan kontak. o Palpasi Bimanual  Teraba nodul atau rasa nyeri yang termobilisasi ataupun



 



melekat pada suatu sutruktur Pemeriksaan Laboratorium o Serum CA 125 o Serum CA 19-9 Pemeriksaan Pencitraan o USG  Pervaginal atau perabodminal  Jelas terlihat bila diameter lebih dari 20mm  Gambaran struktur kistik dengan echo internal rendah  Merupakan the great mimicker karena dapat menampilkan 



gambaran lain Pada color Doppler transvaginal terlihat aliran pada perikistik



namun tidak intrakistik o CT-scan o MRI 2.11.



Komplikasi endometriosis Beberapa komplikasi pada endometriosis antara lain transformasi maligna, ruptur endometrioma, dan infeksi endometrioma. Insidensi malignansi pada endometriosis ovarium diperkirakan sebanyak 1% dan pada wanita dengan riwayat endometriosis risiko kanker ovarium meningkat sebanyak 4 kali. Faktor yang menyebabkan transformasi maligna masih diperdebatkan namun pengaruh estrogen diduga sebagai faktor yang mempengaruhi. Ruptur endometrioma biasanya terjadi pada saat kehamilan di mana stroma endometrium bertumbuh pesat akibat stimulasi hormonal. Ruptur endometrioma dapat menyerupai ruptur kista ovarium maupun massa hemoragik lainnya sehingga menyebabkan 15



hemoperitoneum. Endometriosis dapat berhubungan dengan asites hemoragik masif biasanya disertai adhesi multipel dan endometrioma ovarium. Infeksi endometrioma dapat terjadi setelah drainase, aspirasi, penyebaran dari organ sekitar yang inflamasi atau penyebaran hematogen pada pasien dengan bakterimia.10 2.12.



Managemen nyeri pada endometriosis Managemen nyeri pada endometriosis diawali dengan evaluasi nyeri yang berhubungan dengan endometriosis yaitu dismenorea, dispareunia, disuria, diskezia, nyeri punggung bawah, nyeri rongga panggul kronis. Terapi nyeri dapat dibagi menjadi farmakoterapi dan terapi bedah.



16



Gambar 9. Algoritma managemen nyeri pada suspek endometriosis



Suspek endometriosis dapat diberikan farmakoterapi dengan kontrasepsi oral secara terus-menerus atau secara siklus (7 hari stop kontrasepsi oral). Apabila terapi ini gagal maka dapat berikan farmakoterapi lainnya seperti progestin, agonis GnRH, intrauterine progestin-releasing system, dan danazol atau dapat dilakukan laparoskopi untuk diagnosis dan terapi. Jika farmakoterapi atau terapi bedah gagal maka dapat dipertimbangkan diagnosis lainnya dan dapat diberikan managemen nyeri kronis.11 Prinsip farmakoterapi pada endometriosis adalah menginduksi amenorea dan menciptakan keaddan hipoestrogenik sehingga pertumbuhan endometrium terhambat dan terjadi regresi penyakit. Farmakoterapi yang dapat digunakan untuk terapi endometriosis antara lain adalah terapi hormonal dengan menggunakan Gonadotropinreleasing hormone agonists (GnRH), kontrasepsi oral, Danazol, inhibitor aromatase, dan progestrin.11 Kontrasepsi oral pada digunakan untuk mengatasi gejala dismenorea, Kombinasi kontrasepsi oral yaitu estrogen dan progestin merupakan lini pertama managemen nyeri pada endometriosis. Menurut beberapa penelitian penggunaan kontrasepsi oral tanpa adanya fase istirahat dapat menghindari terjadinya perdarahan berulang.11 Inhibitor aromatase mensupresi produksi estrogen lokal oleh massa endometriotik, ovarium, otak dan jaringan adiposa. Selain itu inhibitor aromatase mengurangi nyeri pada endometriosis secara signifikan dibandingkan dengan agonis GnRH. Dosis aromatase yang digunakan letrozole 2.5 mg/hari dan Anastrazole 1 mg/hari. Inhibitor aromatase dikombinasikan dengan norethindrone asetat dosis tinggi atau kontrasepsi oral selama 6 bulan dapat meredakan nyeri panggul kronis.11 Progestin tunggal digunakan untuk terapi nyeri kronis pada penderita endometriosis. Contoh terapi progestin adalah norethindron asetat, dienogest, DMPA, dan intrauterine progestin-releasing system. Dosis pemberian norethindron asetat adalah 5-20 mg/hari, dosis tersebut efektik untuk mengatasi dismenorea dan nyeri panggul kronis.11 Dienogest adalah progestin dengan aktivitas 19-nortestosteron dan progesteron yang selektif. Dienogest dengan dosis harian 2 mg secara signifikan mengurangi nyeri panggul kronis dan dismenorea yang berhubungan dengan endometriosis. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan efektivitas dienogest dan agonis GnRH, dosis dienogest 17



2 mg/hari memiliki efektivitas yang sama dengan agonis GnRH leuprolide asetat 3.75 mg IM yang diberikan setiap 4 minggu dalam mengurangi dismenorea, dispareunia, dan nyeri panggul.11 Intrauterine progestin-releasing system (IUS) yang merupakan derivate 19-nortestosteron-progestin yang memiliki efek anti-estrogenik terhadap endometrium sehingga dengan dosis levonogestrel 20µg/hari dapat menyebabkan atrofi endometrium dan amenorea. Keuntungan dari penggunaan IUS adalah dapat digunakan selama 5 tahun tanpa perlu diganti, konsentrasi progestin lokal yang tinggi menyebabkan sedikit progestin yang disekresikan ke sirkulasi sistemik sehingga efek samping berkurang.11 Danazol adalah androgen lemah yang dapat mensupresi sekresi gonadotropin dan menginduksi amenorea. Meskipun danazol efektif untuk mengatasi nyeri yang berhubungan dengan endometriosis namun terdapat efek samping androgenik yaitu peningkatan berat badan, acne, hirurtism dan atofi mammae.11 Agonis GnRH menginduksi terjadinya keadaan hipoestrogen yang efektif mengurangi nyeri panggul. Namun penggunaan GnRH menyebabkan gejala-gejala defisiensi estrogen seperti merah pada wajah, insomnia, vagina kering, dan penurunan libido.11 Mekanisme kerja GnRH antagonis bersifat kompetitif untuk menempati reseptor GnRH, namun tidak seperti agonis GnRH yang menstimulasi pelepasan gonadotrophin sehingga terjadi supresi gonadotrophin secara reversibel. Terapi GnRH antagonis contonya dengan Elagolix yang merupakan terapi oral kerja singkat menghasilkan supresi pada pituitary dan hormon ovarium. Terapi dengan Elagolix dapat meredakan dismenorea dan dispareunia dalam 12 minggu pertama pengobatan.12 2.13.



Terapi bedah sebagai terapi nyeri pada endometriosis Indikasi terapi bedah pada endometriosis adalah:  Pasien dengan nyeri pelvis  Tidak merespon atau mempunyai kontraindikasi terhadap terhadap farmakoterapi.  Akibat terjadinya gangguan adneksa akut contohnya torsi adneksa atau ruptur kista ovarium.  Penyakit berat invasif pada saluran cerna, saluran kemih, ureter atau saraf panggul. 



Pasien dengan/suspek endometrioma  Pasien dengan diagnosis yang belum pasti sehingga mempengaruhi terapi contohnya nyeri panggul kronis. 18



 Pasien dengan infertilitas contohnya akibat nyeri atau massa panggul. Sebelum tindakan operasi dilakukan pada penderita nyeri akibat endometriosis harus dilakukan evalusi preoperatif yang meliputi gejala klinis, modalitias pencitraan dan efektivitas farmakoterapi. Modalitas pencitraan yang dapat digunakan untuk mendeteksi endometriosis adalah ultrasonografi transvaginal, kolonoskopi, barium enema radiografi, dan MRI.11 Terapi bedah konservatif bertujuan untuk memperbaiki anatomi dan mengatasi nyeri.Terapi bedah konservatif dipertimbangkan pada wanita reproduktif yang berharap memiliki keturunan dasn mencegah terjadinya menopause dini. Terapi bedah definitif terdiri dari oophorektomi bilateral untuk menginduksi menopause, bisa dilakukan histerektomi dansalphingektomi serta eksisi seluruh nodul dan lesi endometriosis. Metode bedah ini dipertimbangkan bagi wanita dengan nyeri hebat akibat endometriosis yang tidak merespon terapi konservatif, tidak ingin memiliki anak lagi, histerektomi dengan indikasi kondisi rongga panggul lainnya seperti fibroid dan menoragia. Pembedahan secara laparoskopi maupun laparotomy dapat dilakukan, namun teknik laparoskopi lebih banyak dilakukan karena visualisasi lapangan operasi lebih luas, masa penyembuhan lebih cepat sehingga pasien dapat lebih cepat beraktivitas normal.11 Endometriosis infiltratif didefinisikan sebagai lesi endometriosis dengan penetrasi >=5 mm. Lesi dengan dalam dari > 10 mm dapat menyebabkan nyeri. Terapi eksisi pada lesi endometriosis infiltratif berperan besar dalam mengatasi nyeri.



2.14.



Terapi bedah pada endometriosis untuk mengatasi infertilitas Terapi untuk mengatasi ingertilitas terdiri dari pengangkatan jaringan endometriotik dengan adhesiolisis untuk mempertahankan anatomi normal atau dengan menggunakan bantuan teknologi reproduktif. Indikasi laparoskopi antara lain tidak nyeri dan hasil pemeriksaan pelvis normal atau nyeri dan hasil pemeriksaan pelvis abnormal. Beberapa kondisi nyeri dan hasil pemeriksaan pelvis abnormal antara lain dispareunia, dismenorea, diskezia atau nyeri panggung kronis yang menyebabkan hendaya, nodul yang teraba pada ligamentum uterosakralis merupakan tanda adanya kemungkinan endometriosis yang infiltratif, massa adneksa persisten dengan diameter > 3 cm. Laparoskopi merupakan salah satu metode operasi yang dapat digunakan untuk mengangkat lesi endometriosis dan mempertahankan anatomi normal dengan adhesiolisis dan preservasi ovarium dan tuba.11 19



2.15.



Farmakoterapi pada endometriosis untuk mengatasi infertilitas Endometriosis berhubungan dengan infertilitas, pada endometriosis tingkat lanjut yaitu terjadinya distorsi pada anatomi pelvis akibat adhesi menghasilkan blokade mekanik pada tuba falopi sehingga dapat terjadi gangguan ovulasi. Terapi hormonal pada wanita dengan endometriosis untuk mensupresi fungsi ovarium untuk meningkatkan fertilitas tidak efektif. Supresi hormon setelah dan sebelum tindakan operatif tidak memberikan keuntungan dan dapat menunda terjadinya konsepsi. Beberapa teknik reproduksi bantuan dapat dilakukan contohnya inseminasi dan fertilisasi in vitro (IVF). Inseminasi dengan stimulasi ovarium dapat meningkatkan fertilitas pada penderita endometriosis. Suspresi hormon dengan agonis GnRH selama 3-6 bulan sebelum IVF dapat meninkatkan presentase keberhasilan konsepsi.11



20