Referat Endometriosis  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI “Endometriosis”



Pembimbing : dr. Wahyu Widoyoko, Sp.OG (K)



Oleh : Ni Putu Sintya Radhayanti 20710111



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia- Nya sehingga referat yang berjudul “Endometriosis” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan segala pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan referat ini, khususnya pihak dokter pembimbing Kepaniteraan Klinik SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo yang telah memberikan dasar materi yang dapat membantu mengarahkan penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi terciptanya kesempurnaan referat ini. Harapan penulis adalah referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.



Sidoarjo, Juli 2021



Ni Putu Sintya Radhayanti



DAFTAR ISI ii



Halaman Halaman Judul..............................................................................................



i



Kata Pengantar ............................................................................................



ii



Daftar Isi......................................................................................................



iii



Daftar Gambar..............................................................................................



iv



Daftar Tabel.................................................................................................



v



BAB I PENDAHULUAN...........................................................................



1



1.1 Latar Belakang...........................................................................



1



1.2 Tujuan........................................................................................



2



1.3 Manfaat .....................................................................................



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................



3



2.1 Definisi......................................................................................



3



2.2 Lokasi Anatomi ........................................................................



4



2.3 Epidemiologi.............................................................................



5



2.4 Patogenesis ...............................................................................



5



2.5 Faktor Risiko.............................................................................



16



2.6 Klasifikasi.................................................................................



17



2.7 Gejala Klinis...............................................................................



19



2.8 Penegakkan Diagnosis...............................................................



23



2.9 Diagnosis Banding....................................................................



27



2.10 Tatalaksana..............................................................................



28



2.11 Prognosis.................................................................................



35



iii



BAB III PENUTUP....................................................................................



36



3.1 Kesimpulan ..............................................................................



36



DAFTAR PUSTAKA.................................................................................



38



DAFTAR GAMBAR



iv



Halaman Gambar 2.1 Organ Internal Sistem Reproduksi Wanita..............................



3



Gambar 2.2 Lokasi dari implant endometriosis................................................



4



Gambar 2.3 Teori aliran balik darah haid....................................................



7



Gambar 2.4 Teori metaplasia ......................................................................



8



Gambar 2.5 Teori hormon............................................................................



9



Gambar 2.6 Teori hormon resistensi progesteron .......................................



11



Gambar 2.7 Teori inflamasi pada patogenesis endometriosis .....................



13



Gambar 2.8 Teori defek sistem imun ..........................................................



14



Gambar 2.9 Teori defek sistem imun sistem imunsurveilen........................



14



Gambar 2.10 Klasifikasi endometriosis..........................................................



18



Gambar 2.11 Stadium dari endometriosis ...................................................



19



Gambar 2.12 Kista endometriosis pada USG transvaginal..........................



24



Gambar 2.13 Nodul endometriotik pada kandung kemih............................



25



Gambar 2.14 Endometriosis pada septum rectovaginal...............................



25



Gambar 2.15 Lesi endometriosis di peritoneum, uterus, dan ovarium........



27



Gambar 2.16 Laparoskopi kista endometriosis............................................



34



DAFTAR TABEL



v



Halaman Tabel 2.1 Teori patogenesis dan mekanisme endometriosis........................



6



Tabel 2.2 Klasifikasi endometriosis.............................................................



17



Tabel 2.3 Diagnosis banding endometriosis................................................



28



Tabel 2.4 Dua prinsip terapi endometriosis.................................................



28



vi



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Sel-sel endometrium yang melapisi kavum uteri sangat dipengaruhi hormon wanita. Dalam keadaan normal, selsel endometrium kavum uteri akan menebal selama siklus menstruasi berlangsung agar nantinya siap menerima hasil pembuahan sel telur oleh sperma. Bila sel telur tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endometrium yang menebal akan meluruh dan keluar sebagai darah menstruasi. Endometriosis adalah suatu penyakit ginekologis yang sering terjadi pada sedikitnya 10% wanita usia reproduksi. Pada wanita dengan keluhan nyeri panggul, infertilitas atau massa adneksa 35-50% diantaranya adalah penderita endometriosis. Diperkirakan bahwa 8% hingga 10% wanita di dunia menderita endometriosis. Endometriosis pada pelvis terdapat pada 6% hingga 43% wanita yang dilakukan sterilisasi, 12% hingga 32% wanita yang menjalani laparoskopi dengan indikasi nyeri panggul, dan 21% hingga 48% wanita yang menjalani laparoskopi pada infertilitas. Endometriosis biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi dan lebih jarang pada wanita pascamenopause. Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita yang belum pernah memiliki anak. Banyak wanita dengan endometriosis tidak menunjukkan gejala, dan diagnosis ditemukan hanya saat dilakukan pembedahan untuk indikasi lain (Luqyana, 2019). Beberapa bukti menunjukkan bahwa endometriosis mungkin memiliki faktor genetik. Wanita dengan orang tua yang mengalami endometriosis memiliki peningkatan risiko 7 - 10 kali lipat untuk terjadinya endometriosis. Mekanisme genetik pada kasus ini adalah poligenik dan multifaktorial (Luqyana, 2019).



1



1.2 Tujuan Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Kebidanan dan Kandungan dan untuk mengetahui tentang Endometriosis.



1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan penyusun referat ini yaitu: a.



Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan penyusunan karya ilmiah lainnya.



b.



Bagi Dokter Muda Dokter muda mampu memahami dan mengaplikasikan semua ilmu yang telah diperoleh selama proses penyusunan referat ini.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Jaringan yang terdiri atas kelenjar - kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus. Penyakit ini bersifat jinak dan dapat mengadakan invasi ke jaringan sekitar. Bentuk bervariasi, bisa berupa lesi tipikal, plaque atau nodul berwarna hitam, cokelat gelap, kebiruan (Suparman, 2012). Jaringan



endometrium



berlokasi



ektopik,



diluar



cavum



uteri,



lesi



endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat, yaitu peritonemum panggul, ovarium, tuba falopii, dinding uterus, kavum douglas, septum rektovagina, ureter, vesical urinaria, bahkan dapat ditemukan pada lokasi yang jauh walaupun jarang dapat misalnya pada anus, usus, apendik, pleura, dan sebagainya. Endometriosis disebut sebagai estrogent dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi hormone estrogen (Hendarto, 2015).



Gambar 2.1. Organ Internal Sistem Reproduksi Wanita (sumber: Wahyuni, 2010)



3



2.2 Lokasi Anatomi Secara patologi endometriosis paling sering ditemukan pada ovarium dan biasanya bilateral. Struktur pelvis yang lain yang sering terdapat endometriosis yaitu daerah cavum Douglas (terutama ligamen uterosakral dan septum rektovaginal), ligamentum rotundum, tuba falopi, dan kolon sigmoid. Daerah yang jarang, endometriosis jauh ditemukan pada bekas luka operasi di abdomen, umbilikus, dan berbagai organ di luar rongga panggul, termasuk paru-paru, otak, dan bagian ureter (Luqiana, 2019). Penampilan kasar endometriosis sangat bervariasi dan mencakup bentukbentuk berikut (Luqiana, 2019) : a.



Lesi kecil (1 mm), bening, atau putih.



b. Lesi kecil, merah tua ("mulberry"), atau coklat ("seperti debu"). c. Kista yang diisi dengan cairan yang mengandung hemosiderin berwarna merah tua atau coklat (kista "coklat"). d. "Kubah" merah tua atau biru yang bisa mencapai 15 sampai 20 cm.



Gambar 2.2 Lokasi dari implant endometriosis Sumber : (Luqiana, 2019).



Fibrosis reaktif sering mengelilingi lesi-lesi ini, yang memberikan penampilan tampak mengerut. Penyakit yang bermetastasis lebih lanjut menyebabkan fibrosis parah dan dapat menyebabkan perlekatan yang padat. Wanita dengan endometriosis



4



menunjukkan berbagai gejala. Sifat dan keparahan dari gejala mungkin tidak sesuai dengan lokasi atau luasnya penyakit (Luqiana, 2019).



2.3 Epidemiologi Data studi epidemiologi menunjukkan bahwa endometriosis terjadi pada 515% wanita usia 15-49tahun serta 3-5% wanita usia > 49 tahun. Wanita yang mengalami endometriosis dilaporkan sebanyak 7 juta di Amerika Serikat dan > 70 juta secara global. Hingga saat ini angka tersebut ditinjau terus menunjukkan peningkatan (Pramesti et al., 2020). Di Indonesia Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang paling banyak dihadapi pada saat ini. Angka kejadian endometriosis pada populasi umum seluruh wanita di dunia mencapai 5-20%. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenorea (nyeri haid) adalah 40-80%, sedangkan pada perempuan dengan infertilitas sekitar 20-50% (Hanina et al., 2018).



2.4 Patogenesis Terdapat tiga teori tentang etiologi dari endometriosis. Teori Halban menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui system limfatik ke beberapa daerah di pelvis, dimana kemudian ia bertumbuh secara ektopik. Teori Meyer mengatakan bahwa sel multipotensial di jaringan peritoneal melakukan transformasi metaplastik menjadi jaringan endometrial fungsional. Lalu, teori Sampson menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui tuba fallopi selama menstruasi retrogard dan akhirnya terjadi implantasi di intra-abdominal pelvic. Teori ini dibuktikan dengan ditemukan adanya darah haid dalam rongga peritoneum pada waktu haid dengan laparoskopi, dan sel endometrium yang ada dalam darah haid itu dapat dikultur dan dapat hidup menempel serta bertumbuh kembang pada sel mesotel peritoneum.



5



Tabel 2.1 Teori patogenesis dan mekanisme endometriosis. TEORI Aliran balik darah Aliran



balik



MEKANISME darah haid berisi



jaringan



haid



endometrium menuju rongga panggul sehingga



Metaplasia



terjadi implantasi menjadi jaringan endometriosis Transformasi sel-sel peritoneum menjadi jaringan endometriosis melalui stimulasi factor hormone



Homon



dan imunologi Proliferasi jaringan endometriosis distimulasi oleh hormone esterogen dan di kontrol resistensi



progesteron Inflamasi dan stress Produksi sel oksidatif Defek sistem imun



imun



dan



beberapa



sitokin



mempromosi pertumbuhan jaringan endometriosis Menghambat eliminasi debris menstruasi dan mempromosi pertumbuhan dan implantasi menjadi



Genetik



jaringan endometriosis Penyakit poligenik/multifactor



melibatkan



beberapa gen kandidat yang berpotensi keterkaitan Stem Cell



biologis dengan kejadian endometriosis Inisiasi deposit jaringan endometriosis oleh sel-sel yang belum berdiferensiasi dengan kemampuan melakukan regenerasi



Teori Aliran Balik Darah Haid termasuk teori paling tua menerangkan etiologi endometriosis. Pada teori tersebut digambarkan bahwa terdapat aliran balik darah haid yang berisi jaringan endometrium melalui saluran tuba falopii kemudian tumpah keluar dan melakukan implantasi di rongga peritoneum. Teori yang dikembangkan oleh Sampson pada tahun 1927 ini telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laparoskopi yang memang terbukti bahwa terdapat aliran balik darah haid pada sebagian besar perempuan. Beberapa bukti mendukung teori Sampson, yaitu meningkatnya kejadian endometriosis pada perempuan dengan anomali duktus Mulleri berupa obstruksi pada kanalis serviks sehingga darah haid tidak bisa keluar secara normal di uterus. Berdasarkan teori ini endometriosis merupakan konsekuensi dari aliran balik darah haid melalui saluran telur yang berlanjut dengan implantasi dan tumbuh di peritoneum dan ovarium.



6



Beberapa bukti pendukung teori John Sampson di atas adalah sebagai berikut. a. Pada pemeriksaan laparoskopi saat haid terlihat aliran darah keluar dari fimbria. b. Endometriosis tampak di ovarium, kavum douglasi, ligamentum sakrouterinum, dinding belakang uterus dan ligamentum latum.



Gambar 2.3 Teori aliran balik darah haid (retrograde menstruation) melalui tuba falopii (Teori Sampson) (sumber: Burney, 2012)



Teori Metaplasia menyatakan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra uteri yang secara abormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel endometriosis. Teori metaplasia celomic mempostulasikan bahwa endometriosis berasal dari metaplasia sel-sel yang sudah terspesialisasi di lapisan mesotel di peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga hormon dan faktor imunologi yang berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip endometrium. Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis pada remaja putri prepubertas yang belum mendapat haid. Ternyata endometriosis juga ditemukan pada fetus perempuan, keadaan ini diduga merupakan hasil defek embriogenesis. Berdasarkan teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan Mulleri tetap persisten dan karena pengaruh hormon estrogen menjadi berkembang menjadi endometriosis. Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis pada remaja bahkan selanjutnya berkembang menjadi endometriosis stadium berat dan progresif. Faktor biokimia dan imunologi endogen berperan menginduksi sel- sel



undifferentiated



endometrium di lokasi ektopik.



7



berdiferensiasi



menjadi



sel



mirip



Gambar 2.4 Teori metaplasia pada patogenesis endometriosis; Hormone-dependent transformation dari sel peritoneum menjadi Mullerian-type cells. (sumber: Burney, 2012)



Teori Hormon terkait dengan teori sebelumnya bahwa kejadian endometriosis sebagian besar didapatkan pada perempuan usia reproduksi dan tidak terjadi pada perempuan usia pascamenopause yang sudah tidak mempunyai hormon estrogen lagi. Hormon seks steroid berperan sentral pada patogenesis endometriosis. Pada siklus haid normal hormon estrogen berperan pada proliferasi endometrium, keadaan ini sama dengan endometriosis dimana hormon estrogen menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan meningkatkan respon jaringan endometriosis terhadap estrogen. Perubahan hormon tersebut berpengaruh pada proliferasi sel endometrium ektopik, penempelan pada mesotelium dan penghindaran dari clearance sistem imun tubuh. Keadaan di atas mendukung konsep bahwa endometriosis adalah estrogen dependent disease. Di dalam jaringan endometriosis didapatkan formasi estrogen yang tinggi. Hormon estrogen yang berada di dalam jaringan endometriosis dapat berasal dari tiga sumber, yaitu dari ovarium, jaringan ekstraovarium (jaringan adiposa dan kulit) dan berasal dari produksi jaringan endometriosis itu sendiri. Sumber utama estradiol adalah androstenedion (A) yang berasal dari adrenal dan ovarium, kemudian dikonversi menjadi estron (E1) dan selanjutnya menjadi estradiol (E2). Telah terbukti terdapat peningkatan ekspresi enzim 17b hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 di jaringan endometriosis yang mengkatalisis konversi dari E1 ke E2. Didapatkan bukti pula bahwa estradiol dan sitokin Interleukin (IL)-1b dan Tumor Necrosis Factor



8



(TNF)-a



yang meningkat pada endometriosis akan mengaktivasi enzim siklo-



oksigenase-2 (COX-2) hingga akan meningkatkan prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 ini adalah stimulator paling poten untuk aktivitas aromatase di stroma jaringan endometriosis. Selain itu didapatkan perbedaan aktivitas enzim 17b hidroksisteroid dehidrogenase (17b-HSD) antara di jaringan endometrium eutopik (endometrium yang berada didalam kavum uteri) dan di jaringan endometrium ektopik (endometriosis). Di jaringan endometrium eutopik terdapat keseimbangan antara 17bHSD tipe 1 dan tipe 2. Perlu diketahui sebagai respons adanya hormon progesteron pada siklus normal endometrium, enzim 17β-HSD tipe 2 akan melakukan inaktivasi estradiol dengan cara mengkonversi menjadi estron yang lebih tidak poten.



Gambar 2.5 Teori Hormon: Biosintesis hormon estrogen di jaringan endometriosis. Androstenedion (A) di jaringan endometriosis berasal dari adrenal dan ovarium. A mengalami proses aromatisasi menjadi estron dan selanjutnya dikonversi menjadi estradiol (E2). Kadar IL-1b, TNF- a dan E2 yang tinggi di jaringan endometriosis akan mengaktivasi enzim COX-2 sehingga terjadi peningkatan PGE2 yang berasal dari asam arakhidonat. PGE2 merupakan stimulator poten proses aromatisasi. Di jaringan endometriosis terjadi resistensi progesteron sehingga terjadi penurunan enzim 17b-HSD tipe 2. (sumber: Burney, 2012)



9



Berbeda dengan kejadian di jaringan endometriosis, yaitu terdapat penurunan ekspresi enzim 17β-HSD tipe 2 yang berakibat tidak mampu melakukan konversi E2 ke E1 seperti pada siklus normal sehingga kadar estradiol yang poten tetap tinggi pada jaringan endometriosis. Keadaan ini karena terjadi resistensi progesteron di jaringan endometriosis. Jaringan endometriosis tidak mampu mengaktivasi enzim 17β-HSD tipe 2 karena terdapat “down-regulation” RP-B sehingga gagal melakukan metabolisme estradiol menjadi estron yang lebih tidak poten. Konsekuensi adalah pasien akan terpapar dengan Estradiol kadar tinggi terus-menerus. Pemahaman terhadap mekanisme molekuler yang mendasari defisiensi RP-B menjadi salah satu pemikiran penting pada patogenesis endometriosis. Konsep resistensi progesteron pada endometriosis melibatkan ekspresi abnormal reseptor estrogen (RE)α dan reseptor estrogen (RE)β yang berdampak pada penurunan ekspresi reseptor progesteron (RP). Suatu mekanisme kompleks yang melibatkan regulasi promoter pada gen reseptor estrogen bertanggung jawab terhadap keadaan patologis di stroma jaringan endometriosis tersebut. Berbeda dengan kejadian di jaringan endometrium normal, di jaringan endometriosis terjadi hipometilasi CpG island pada regio promoter gen REβ. Selanjutnya daerah hipometilasi tersebut diduduki oleh co-activator (Co-Act) berupa enhancer transcriptional complex, kemudian akan mengaktivasi ekspresi REb. Peningkatan ekpresi REb akan menekan ekspresi REa yang selanjutnya membuat terjadi penurunan ratio REa : REb. Kondisi rasio REa : REb yang rendah di stroma jaringan endometriosis akan memicu pergeseran dari estradiol stimulasi menjadi estradiol inhibisi ke ekspresi reseptor progesteron.



10



Gambar 2.6 Teori hormon resistensi progesteron. (A) Terjadi hipometilasi CpG island di regio promoter gen REb di stroma jaringan endometriosis sehingga terjadi aktivasi dan peningkatan ekspresi REb. (B) Peningkatan REb akan menekan REa. (C) Rasio REa: REb yang rendah akan memicu inhibisi RP-B. (sumber: Burney, 2012)



Mekanisme ini yang menjadi jawaban etiologi penurunan RP-B di stroma jaringan endometriosis yang berkontribusi pada patogenesis resistensi progesteron pada perempuan dengan endometriosis. Ekspresi RP-B yang rendah di stroma jaringan endometriosis akan mengganggu interaksi epitel-stroma normal sehingga sel epitel akan rusak dan selanjutnya terjadi defisiensi enzin 17β-HSD tipe 2 dan pada gilirannya terjadi resistensi progesteron. Teori Inflamasi Dan Stres Oksidatif beberapa studi membuktikan telah terjadi peningkatan penanda inflamasi di serum dan zalir peritoneum perempuan penderita endometriosis. Selain itu, keluhan nyeri pada penderita endometriosis dapat berkurang dengan pemberian obat nonsteroid antiinflamasi. Bukti diatas mendukung inflamasi kronis terlibat pada patogenesis endometriosis.



11



Di zalir peritoneum perempuan dengan endometriosis ditemukan banyak makrofag aktif dan sejumlah sitokin. Suatu protein mirip haptoglobin ditemukan berikatan dengan makrofag di zalir peritoneum sehingga membuat makrofag tersebut kehilangan kemampuan fagositosis dan justru akan mengeluarkan beberapa sitokin pro-inflamasi, yaitu interleukin (IL)-6, macrophage migration inhibitory factor (MIF), TNF-α, IL-1β, IL-8, regulated on activation normal T expressed and secreted (RANTES) dan monocyte chemotactic protein (MCP)-1. Di jaringan endometriosis TNF-α memicu sel endometriosis memproduksi prostaglandin (PG)F2α dan PGE2, sedangkan makrofag di zalir peritoneum juga mensekresi enzim cyclo-oxigenase (COX)-2 yang memproduksi PGE2 dan selanjutnya akan mengaktivasi steroidogenic acute reguatory protein dan aromatase. Aktivasi PGE2 akan menyebabkan terjadi peningkatan estradiol lokal di jaringan endometriosis. Mekanisme di atas yang mendasari interaksi estrogen-dependent dengan proses inflamasi di endometriosis. Selain itu patogenesis endometriosis juga terkait dengan oksidasi lipoprotein dan selanjutnya Reactive Oxygen Species (ROS) akan menyebabkan peroksidasi lipid yang mengakibatkan kerusakan DNA sel endometrium. Volume zalir peritoneum perempuan dengan endometriosis meningkat lebih tinggi dari normal yang ditandai dengan peningkatan air dan elektolit sebagai sumber ROS. ROS akan menyebabkan terjadi pelepasan produk pro-inflamasi dan stres oksidatif sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, selanjutnya mengakibatkan penumpukan limfosit dan makrofag yang kaya dengan produksi sitokin. Beberapa sitokin tersebut akan menginduksi oksidasi enzim dan mempromosi pertumbuhan sel endotel. Akumulasi ROS berkontribusi pada perkembangan penyakit endometriosis beserta keluhannya.



12



Gambar 2.7. Teori inflamasi pada patogenesis endometriosis. Makrofag di zalir peritoneum menjadi aktif dan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi untuk menstimuli lingkungan mikro yang ideal bagi pertumbuhan jaringan endometriosis. (sumber: Burney, 2012)



Teori Defek Sistem Imun kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respons imun penderita yang abnormal. Sampai sekarang belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai sebab atau akibat kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi perubahan imunitas seluler maupun humoral pada penderita endometriosis sehingga respons imun yang abnormal ini akan menghasilkan eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik darah haid. Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit endometriosis. Regurgitasi jaringan endometrium kedalam rongga peritoneum memicu respon inflamasi sehingga menyebakan penumpukan makrofag dan leukosit lokal. Pada penderita endometriosis makrofag peritoneum akan teraktivasi, sedangkan sel NK akan terepresi karena ada perubahan ekspresi reseptor killer. Keadaan ini menyebabkan penyakit endometriosis menjadi berkembang melalui peningkatan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan penghambatan fungsi scavenger. Respons inflamasi pada endometriosis akan



menyebabkan



defek



imunsurveilen sehingga menghambat eliminasi debris darah haid dan memicu implantasi serta pertumbuhan sel endometrium di lokasi ektopik.



13



Gambar 2.8 Teori defek sistem imun. Pada perempuan dengan endometriosis aktivitas sitotoksik sel NK terrepresi. (sumber: Burney, 2012)



Gambar 2.9 Teori defek sistem imun sistem imunsurveilen. Sistem imunsurveilen tidak mampu mengenali sel endometriosis karena terjadi peningkatan ekspresi sICAM-1 sehingga tidak terjadi interaksi LFA-1/ICAM-1. (sumber: Burney, 2012)



Teori Genetik pada patogenesis endometriosis adalah laporan terkait agregasi famili dan risiko tinggi pada first degree relative serta kejadian endometriosis pada saudara kembar. Dengan menggunakan linkage analysis beberapa candidate genes yang mempunyai potensi keterkaitan biologis dengan kejadian endometriosis telah ditemukan. Beberapa gen tersebut antara lain gen yang mengkode detoksifikasi 14



enzim, polimorfisme reseptor estrogen dan gen yang berhubungan dengan sistem imun tubuh. Polimorfisme komponen reseptor dioksin bersama-sama dengan gen terkait detoksifikasi berkontribusi pada kejadian endometriosis tingkat lanjut. Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan hormon estrogen. Sangat mungkin bahwa variasi genetik yang menghasilkan peningkatan pengaruh estrogen pada lesi endometriosis akan memengaruhi perkembangan endometriosis. Telah terbukti bahwa perempuan dengan polimorfisme REα allele mempunyai prognosis buruk dibandingkan dengan perempuan dengan wild-type genotype. Kondisi ini menunjukkan bahwa polimorfisme gen REα merupakan faktor risiko genetik untuk endometriosis dan terkait dengan kekambuhan endometriosis. Selain itu polimorfisme gen yang mengkode sitokin dan protein imunomodulator berimplikasi juga pada patogenesis endometriosis. Predisposisi genetik ternyata meningkatkan kejadian kerusakan seluler, misal mutasi genetik dapat menyebabkan kerusakan sel yang berimplikasi pada progresivitas endometriosis. Hal ini tampak pada penderita endometriosis berupa perubahan perilaku sel endometrium yang memungkinkan dapat tumbuh di lingkungan ekstrauteri. Teori sTem Cell sejak teori Sampson dikemukakan telah banyak pendapat maupun teori lain dikembangkan, namun penjelasan etiologi dan patogenesis endometriosis tetap belum tuntas dan penuh teka-teki. Saat ini dikemukakan teori stem cell yang membuka wacana lanjut terkini untuk mengetahui etiologi endometriosis. Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai dua sifat, yaitu mampu berdiferensiasi menjadi sel lain dan mampu memperbarui atau meregenerasi diri sendiri (self renewal). Secara spesifik telah diketahui eksistensi stem cell pada regenerasi endometrium setiap bulan setelah haid dan pada reepitelialisasi endometrium pascapersalinan dan kuret. Stem cell tersebut ditemukan berada pada lapisan basalis endometrium. Saat ini sel klonogenik yang merupakan representasi populasi stem cell pada endometrium manusia telah diidentifikasi dan diduga kuat berkaitan dengan tumbuhnya formasi jaringan endometrium ektopik. Teori kombinasi lebih bisa diterima untuk patogenesis endometriosis, yaitu eksistensi stem cell endometrium pluripoten dan kontribusi bone marrow sebagai sumber lain stem cell endometrium. Stem cell endometrium yang lepas melalui



15



saluran tuba falopii saat menstruasi bertanggung jawab terhadap terjadinya implan endometriosis dan juga stem cell yang bersirkulasi berasal dari bone marrow dapat mencapai rongga peritoneum ikut berperan pada patogenesis endometriosis. Observasi dilakukan pada hewan baboon yang dilakukan induksi pemberian jaringan endometrium lapisan basalis yang kaya stem cell ternyata menghasilkan 100% jaringan endometriosis pada seluruh hewan coba. Lapisan basalis endometrium yang berisi stem cell/sel progenitor mampu bertahan tetap hidup menjadi deposit endometriosis karena kemampuan untuk regenerasi dibandingkan dengan sel endometrium lapisan fungsional. Ternyata saat terjadi aliran balik darah haid perempuan penderita endometriosis melepaskan lebih banyak lamina basalis dibandingkan perempuan sehat tanpa endometriosis. Stimulasi sitokin dan faktor pertumbuhan pada sel endometrium lapisan basal ektopik akan terjadi aktivasi renewal invasi, dan kemudian berdiferensiasi menjadi jaringan endometriosis. Sebagai alternatif lain stem cell yang berasal dari bone marrow akan berkontribusi diseminasi hematogen melalui pembuluh darah atau secara limpatik menuju lokasi ektopik. Perlu diketahui bahwa stem cell tersebut agar dapat berdiferensiasi menjadi sel matur harus dalam koordinasi dengan lingkungan niche untuk memicu regenerasi menjadi jaringan endometriosis. Lingkungan niche diperlukan sebagai pembuat sinyal kepada stem cell bone marrow homing menuju lokasi ektopik.



2.5 Faktor Resiko Faktor risiko endometriosis ialah riwayat keluarga seperti wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis, wanita usia produktif yaitu 15-49 tahun, siklus menstruasi kurang dari 28 hari, usia menarche yang lebih awal (menarche dini) dari normal (40



18



Keterangan



Implantasi superfisial dan dalam yang multipel, terdapat endometrioma ovarium yang besar. Terdapat perlengketan yang yang hebat.



Gambar 2.10. Klasifikasi endometriosis. Menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi pada tahun 1997. (Sumber : Hoffman 2016)



19



Gambar 2.11. Stadium dari endometriosis (Sumber : DeCherney, 2007)



2.7 Gejala Klinis Sekitar 25 persen pasien dengan endometriosis tidak memiliki gejala, yang secara tidak sengaja ditemukan baik selama laparoskopi atau laparotomi. Gejala tidak berhubungan dengan luasnya lesi. Bahkan ketika endometriosis tersebar luas, mungkin tidak ada gejala apapun. Sebaliknya, mungkin ada gejala khas dengan endometriosis minimal. Kedalaman penetrasi lebih berkaitan dengan gejala daripada penyebaran. Lesi menembus lebih dari 5 mm dapat menimbulkan nyeri yaitu dismenore dan dispareunia. Gejala sebagian besar terkait dengan lokasi lesi dan kemampuannya untuk merespons hormon. Derajat nyeri tidak berhubungan dengan beratnya endometriosis (Konar, 2013). Wanita dengan endometriosis yang besar mungkin memiliki beberapa gejala, sedangkan dengan endometriosis minimal mungkin akan mengalami nyeri yang parah. Endometriosis juga dapat asimtomatis. Rasa sakit pada endometriosis diperkirakan lebih bergantung pada kedalaman invasi lesi daripada jumlah atau luasnya lesi (Luqiana, 2019). Gejala klasik endometriosis meliputi dismenorea progresif dan dispareunia. Pada beberapa pasien dengan gejala kronis, biasanya mengalami ketidaknyamanan pada panggul yang tidak ada henti-hentinya dengan dismenore dan dyspareunia. Nyeri panggul kronis mungkin terkait dengan adhesi dan jaringan parut panggul yang ditemukan berhubungan dengan endometriosis (Luqiana, 2019). a. Chronic Pelviv Pain (CPP) Perempuan dengan endometriosis bisa saja tidak bergejala, namun nyeri panggul kronis (CPP/Chronic Pelviv Pain) atau subfertilitas merupakan gejala yang umum terjadi terjadi pada endometriosis. Endometriosis yang berhubungan dengan CPP, dismenore, dispareunia (nyeri pada saat senggama), dan nyeri nonsiklik sering terjadi pada pasien endometriosis. Perempuan yang mengalami endometriosis mungkin juga mengeluhkan diskezia (nyeri pada saat buang air besar), disuria (nyeri pada saat buang air kecil), ataupun sakit di dinding perut



20



(Hoffman et al, 2016). Rasa sakitnya bervariasi dari ketidaknyamanan panggul, sakit perut bagian bawah atau sakit punggung. Penyebabnya mungkin multifaktorial. Beberapa teori menyebutkan pertama, peradangan pada implan peritoneum dan pelepasan PGF, dan juga karena perlengketan dan kista ovarium. Kedua, aksi sitokin inflamasi yang dilepaskan oleh makrofag. Ketiga, invasi saraf atau keterlibatan kandung kemih dan usus. Rasa sakit bertambah parah selama periode (Konar, 2013). b. Dispareunia Dispareunia sering dikaitkan dengan penyakit ligamen rektovaginal dan uterosakral. Fiksasi uterus atau ovarium oleh perlengketan, terutama jika ditemukan endometrioma, juga berhubungan dengan dispareunia. Nyeri panggul kronis dan berulang yang terkait dengan endometriosis seringkali merupakan keluhan yang membuat penderita datang ke rumah sakit (Murphy, 2002). Dispareunia 20–40% dikeluhkan oleh penderita endometriosis. Dispareunia biasanya dalam. Kemungkinan karena peregangan struktur kantong Douglas atau nyeri tekan kontak langsung. Dengan demikian, sebagian besar ditemukan pada endometriosis septum rektovaginal atau kantong Douglas dan dengan uterus retroversi tetap (Konar, 2013). c. Nyeri haid (Dismenorea) Dismenorea yang terjadi 1-3 hari sebelum haid, dan dengan makin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea akan mereda. Setiap bulan jaringan endometriosis di luar kavum uteri mengalami penebalan dan perdarahan mengikuti siklus menstruasi. Perdarahan ini tidak mempunyai saluran keluar seperti darah menstruasi yang normal, tetapi terkumpul dalam rongga panggul dan menimbulkan nyeri. Hebatnya nyeri tergantung pada lokasi endometriosis, dapat berupa nyeri pada saat menstruasi, serta nyeri selama dan sesudah hubungan intim (Suparman, 2012). Dismenore sekunder semakin meningkat. Rasa sakit dimulai beberapa hari sebelum menstruasi, memburuk selama menstruasi dan membutuhkan waktu, bahkan setelah penghentian periode, untuk menghilangkan rasa sakit, nyeri biasanya terletak dalam dan di punggung atau rektum. Peningkatan sekresi PGF 2α, tromboksan 2 dari jaringan endometriotik adalah penyebab nyeri (Konar, 2013).



21



d. Nyeri Perut Mungkin ada berbagai tingkat nyeri perut di sekitar periode tersebut. Terkadang, rasa nyeri bisa akut karena pecahnya kista coklat (Konar, 2013). e. Abnormal menstruation (20%): Menoragia adalah kelainan yang dominan. Jika ovarium juga terlibat, dapat terjadi polimenorea atau epimenorrhagia. Mungkin ada bercak pramenstruasi (Konar, 2013). f. Infertilitas Endometriosis ditemukan pada 25% wanita infertil, dan diperkirakan 50%60% dari kasus endometriosis akan infertil. Endometriosis yang invasif akan mengakibatkan kemandulan akibat berkurangnya fungsi kavum uteri dan adanya perlengketan



pada



tuba



dan



ovarium.



Terdapat



beberapa



teori



yang



mengemukakan bahwa endometriosis menghasilkan prostaglandin dan materi proinflamasi lainnya, yang dapat mengganggu fungsi organ reproduksi dengan menimbulkan



kontraksi



atau



spasme.



Juga



dikemukakan



bahwa



pada



endometriosis fungsi tuba Fallopi menjadi terganggu dalam hal pengambilan sel telur dari ovarium, bahkan dapat merusak epitel dinding kavum uteri dan menyebabkan kegagalan implantasi hasil pembuahan. Sebagai akibat, pasien dengan endometriosis memiliki riwayat abortus tiga kali lebih sering dari pada wanita normal (Suparman, 2012). g. Gejala Lain Endometriosis



pada



ovarium



akan



menyebabkan



terjadinya



kista



endometriosis. Bila ukuran kista endometriosis tersebut sudah >5 cm, sering menimbulkan gejala penekanan. Gejala-gejala lain yang mengarah pada endometriosis ialah nyeri pelvis, nyeri senggama, nyeri perut merata, nyeri suprapubik, disuria, hematuria, benjolan pada perut bawah, serta gangguan miksi dan defekasi (Suparman, 2012). Gejala endometriosis lain yang jarang terjadi adalah gejala gastrointestinal (GI), seperti perdarahan rektum dan diskezia (motilitas usus yang nyeri) pada pasien dengan endometriosis pada usus, dan gejala hematuria biasanya terjadi pada pasien dengan endometriosis pada vesika urinaria atau ureter. Kadangkadang, pasien datang dengan nyeri abdomen akut, yang mungkin terkait dengan endometrioma terjadi adalah gejala yang ruptur atau terpuntir (Luqyana et al,



22



2019). Endometriosis, pada pasien dengan bekas luka, lebih sering terjadi pada kulit perut dan jaringan subkutan dibandingkan dengan otot dan fasia. Endometriosis yang hanya melibatkan otot rektus dan selubungnya sangat jarang. Terjadinya endometriosis panggul secara simultan dengan bekas luka endometriosis jarang terjadi. Endometriosis parut jarang terjadi dan sulit didiagnosis, sering dikacaukan dengan kondisi bedah lainnya. Scar endometrioma diyakini sebagai hasil inokulasi langsung fasia abdomen atau jaringan subkutan dengan sel-sel endometrium selama intervensi bedah dan kemudian dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan endometrioma. Teori ini secara meyakinkan ditunjukkan oleh eksperimen di mana efluen menstruasi normal yang ditransplantasikan ke dinding perut menghasilkan endometriosis subkutan. Endometriosis parut jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Hal ini sering salah didiagnosis sebagai granuloma jahitan, hernia inguinalis, lipoma, abses, kista, hernia insisional, tumor desmoid, sarkoma, limfoma, atau kanker primer dan metastasis (Al-Jabri, 2009). 2.8 Penegakkan Diagnosis 1) Anamnesis Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan berhubungan dengan endometriosis (Limbong, 2012). 2) Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi Pada inspeksi kasus endometriosis, sebagian besar ditemukan di dalam rongga panggul, sehingga sering tidak ditemukan kelainan saat pemeriksaan fisik inspeksi. Namun, pada endometriosis bekas luka yang ditimbulkan akibat episotomi atau operasi dapat terlihat saat inspeksi. Endometriosis



23



jarang berkembang demgan spontan di daerah perineum atau perianal (Hoffman et al, 2012). b. Pemeriksaan abdomen Palpasi abdomen sering tidak menunjukkan kelainan. Massa dapat dirasakan pada bagian bawah abdomen yang timbul dari panggul akibat adanya kista cokelat yang membesar atau massa tubo-ovarium karena perlengketan endometriotik, dapat teraba massa lunak dengan mobilitas terbatas (Konar, 2013). c. Pemeriksaan panggul  Pemeriksaan bimanual : kemungkinan tidak terdapat kelainan. Temuan positif yang diharapkan adalah nyeri tekan panggul, nodul di kantong Douglas, teraba nodular pada ligamen uterosakral, uterus retroversi terfiksasi atau massa adneksa unilateral atau bilateral dengan berbagai ukuran (Konar, 2013).  Pemeriksaan speculum : ditemukan bintik-bintik kebiruan di forniks posterior.



Dapat



dikonfirmasi



dengan



pemeriksaan



rektal



atau



rectovaginal (Konar, 2013). 3) Pemeriksaan Penunjang a) Serum marker CA 125 Peningkatan moderat CA 125 serum terlihat pada pasien dengan endometriosis berat. Tetapi tidak spesifik untuk endometriosis, karena meningkat secara signifikan pada karsinoma ovarium epitel. Namun, sangat membantu untuk menilai respon terapeutik dan dalam tindak lanjut kasus dan untuk mendeteksi kekambuhan setelah terapi. Kadar Monocyte Chemotactic Protein (MCP-1) meningkat dalam cairan peritoneum wanita dengan endometriosis (Konar, 2013). b) Pemeriksaan Radiologi 1. Ultrasonografi (USG) USG hanya digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista endometriosis) > 1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik – bintik endometriosis ataupun perlengketan. Endometrioma dideteksi menggunakan



USG



transvagina



didapatkan



13-38%



adalah



endometriosis dengan gambaran ground-glass, homogen, internal echo



24



difus dengan latar belakang hypoechoic. Sensitivitas 64-89%, spesivisitas 89-100%. Dengan menggunakan USG transvaginal dapat pula melihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan bentuk kistik dan adanya interval echo di dalam kista (Hendarto, 2015).



Gambar 2.12. Kista endometriosis (endometrioma) dengan pemeriksaan USG transvaginal dengan gambaran homogen, internal echo difus dengan latar belakang hypoechoic. (Dokumentasi Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr Soetomo Surabaya) (Sumber : Hendarto 2015.)



Gambar 2.13 Nodul endometriotik pada kandung kemih (Sumber : Exacoustos et al., 2009)



2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa



25



ekstraperitoneal, adanya invasi ke usus dan septum rektovagina. MRI terutama digunakan untuk diagnostik deep endometriosis yaitu infiltasi dari endometriosis yang dalam. Namun MRI membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak dianggap sebagai alat diagnostik yang cost-effective (Carbognin et al., 2004).



Gambar 2.14. Endometriosis pada septum rectovaginal. (A) Bidang sagital, (B) bidang coronal. Dapat dilihat bagian proksimal dari septum rectovaginal yang menebal. Sumber : Carbognin et al., 2004



c) Laparoskopi Laparoskopi adalah gold standart untuk diagnosis endometriosis. Sebagian besar tindakan laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di abdomen atau panggul menggunakan insisi kecil 0,5 – 1,5 cm dengan memasukkan kamera ke dalamnya. Laparoskopi dapat digunakan untuk diagnostik dan sekaligus tindakan operasi. Keuntungan laparoskopi adalah:  Konfirmasi lesi dengan lokasi, ukuran dan luasnya.  Biopsi dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan.  Staging dapat dilakukan  Tingkat adhesi dapat dicatat  Kesempatan



untuk



melakukan



operasi



laparoskopi



jika



diperlukan  Temuan dapat direkam dalam video atau DVD (RCOG- 2006) Terdapat 3 tipe lesi endometriosis yang terlihat saat visualisasi dengan



26



laparoskopi, yaitu : 1. Lesi superfisial Lesi berlokasi di peritoneum dan permukaan ovarium. Lesi dapat berbentuk blue-black powder burn, subtle lesion: petechial, vesicular, polypoid, dan haemorrhagic lesion. 2. Kista endometriosis atau endometrioma Lesi endometriosis berbentuk kista berisi cairan kecoklatan kental yang mengelompok pada permukaan peritoneum (fossa ovarium). Endometrioma terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium setelah terjadi akumulasi debris darah haid. 3. Deep infiltrating endometriosis atau lesi infiltrasi dalam Lesi endometriosis melakukan infiltrasi lebih dalam 5 mm di bawah permukaan peritoneum, dapat juga penetrasi atau melekat pada struktur lain, misalnya kandung kemih, usus, ureter dan vagina.



Gambar 2.15 Lesi endometriosis di peritoneum, uterus, dan ovarium. (1) Tampilan lesi merah dan hiperemi di peritoneum. (2) Tampilan blue-black lesion dan adesi di uterus. (3) Perlekatan (adesi) di uterus. (4) Kista endometriosis (endometrioma) di ovarium. (Dokumentasi Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr Soetomo Surabaya). Sumber : Hendarto, 2015.



d) Pemeriksaan Patologi Anatomi



27



Karena endometriosis memiliki bentuk yang kasar, biopsi jaringan untuk konfirmasi kelenjar dan stroma endometrium diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Kehadiran dua atau lebih gambaran histologis berikut digunakan sebagai kriteria untuk menegakkan diagnosis oleh ahli patologi: 



Epitel endometrium







Kelenjar endometrium







Stroma endometrium







Makrofag yang sarat Hemosiderin Konfirmasi jaringan untuk diagnosis endometriosis memerlukan



prosedur bedah (Luqyana et al, 2019).



2.9 Diagnosa Banding Diagnosa banding bergantung pada gejalanya, diagnosis banding akan berubah. Pada pasien dengan nyeri perut kronis, diagnosis seperti penyakit radang panggul kronis, adhesi panggul, disfungsi GI, dan etiologi lain dari nyeri panggul kronis harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan dismenore, baik dismenore primer dan dismenore sekunder harus difikirkan. Pada pasien dengan dispareunia, diagnosis banding meliputi penyakit radang panggul kronis, kista ovarium, dan retroversi uterus simtomatik. Nyeri perut yang tiba-tiba dapat mungkin disebabkan oleh pecahnya endometrioma atau kehamilan ektopik, penyakit radang panggul akut, torsio tuba, dan pecahnya kista corpus luteum atau neoplasma ovarium (Luqyana et al, 2019). Tabel 2.3 Diagnosis banding endometriosis. Gangguan Ginekologi 



   



Penyakit inflamasi pelvis : abses tubo-ovarium, salpingitis, endometriosis Perdarahan kista ovarium Torsio ovarium Dismenore primer Leiomyoma



Gangguan Non-Ginekologi       



28



Interstitial cystitis ISK kronik Batu ginjal Inflammatory bowel disease Irritable bowel syndrome Divertikulitits Mesenteric lymphadenitis







Kelainan muskoloskeletal



2.10 Tatalaksana Endometriosis perlu diobati karena merupakan penyakit progresif (30-60%). Pilihan pengobatan ditentukan dengan melihat usia pasien, ukuran dan luas lesi, tingkat keparahan gejala, lokasi penyakit, Keinginan untuk kesuburan dan hasil terapi sebelumnya. Namun, sulit untuk mencapai tujuan karena etiologi yang tidak jelas dan riwayat hidup yang tidak dapat diprediksi. Hasil pengobatan sulit untuk dievaluasi karena staging atau grading yang tidak seragam (Tosti et al., 2017). Tabel 2.4 Dua prinsip terapi yang dilakukan pada endometriosis : Terapi Preventif - Untuk menghindari uji patensi tuba segera setelah kuretase atau sekitar waktu menstruasi. - Pemeriksaan panggul secara paksa tidak boleh dilakukan selama atau segera setelah menstruasi. - Wanita menikah dengan riwayat keluarga endometriosis didorong untuk tidak menunda konsepsi pertama.



Terapi Kuratif - Untuk menghilangkan atau meminimalkan gejala (nyeri panggul dan dyspareunia). - Untuk meningkatkan kesuburan - Untuk mencegah kekambuhan.



A. Expectant Management Protokol untuk expectant management adalah observasi dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) atau obat penghambat prostaglandin sintetase digunakan untuk meredakan nyeri. Ibuprofen 800-1200 mg atau asam mefenamat 150-600 mg sehari cukup efektif. Wanita yang sudah menikah dianjurkan untuk memiliki konsepsi. Kehamilan biasanya menyembuhkan kondisi tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya pelepasan dan perubahan desidua pada endometrium ektopik yang menyebabkan nekrosis dan absorpsinya. Eexpectant management dianjurkan pada beberapa kondisi



yaitu penderita dengan



endometriosis minimal tanpa temuan panggul abnormal lainnya, belum menikah, menikah muda yang siap memulai keluarga atau pada wanita yang mendekati menopause (Konar, 2013). B. Analgetika



29



Pengobatan dengan memberikan anti nyeri seperti parasetamol, 500 mg 3 kali sehari, Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs (NSAID) seperti ibuprofen 400 mg tiga kali sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari. Tramadol, parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti gabapentin (Sarwono, 2011). C. Terapi Medikamentosa Hormonal Untuk menekan hormon steroid ovarium yaitu estrogen, agar terjadi kondisi hipoestrogen sehingga menyebabkan atrofi lesi endometrium ektopik. Pemberian terapi medis akan mempengaruhi kondisi keseimbangan hormone pada siklus haid sehingga terajadi anovulasi kronis dan amenore yang selanjutnya akan menginduksi desidualisasi endometrium hingga timbul keadaan



pseudo-



pregnancy. Selain itu, akan memicu atrofi endometrium hingga timbul pseudomenopause. Keadaan patologis yang terjadi di endometrium eutopik dan ektopik akan berdampak pada penekanan sel endometrium, peningkatan apoptosis dan penurunan pertumbuhan jaringan endometrium. Hal tersebut menjadi dasar terapi medis yang dipakai untuk menekan pertumbuhan sehingga terjadi regresi lesi endometriosis (Hendarto, 2015). Tatalaksana medis endometriosis menggunakan tatalaksana hormonal yaitu menginduksi atropi dari endometrium ektopik dengan mengubah efek estrogen pada jaringan ektopik atau mengurangi kadar estrogen dalam darah. Efeknya dapat mengurangi perdarahan pada saat menstruasi atau sampai amenorea. Pilihan tatalaksana obat hormonal seperti kontrasepsi oral atau progestogen berkelanjutan, danazol dan analog GnRH (Grandi et al., 2019). 1. Kontrasepsi Oral Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi dosis rendah untuk mengurangi keluhan nyeri haid (dismenore). Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6-12 bulan) merupakan pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan kondisi kehamilan palsu dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi jaringan endometrium. Kombinasi pil kontrasepsi apapun dalam dosis rendah yang mengandung 30-35 ug etinilestradiol yang digunakan terus – menerus bisa menjadi efektif terhadap penanganan endometriosis dan dapat digunakan pada pasien muda dengan penyakit ringan yang ingin menunda kehamilan. Tujuan pengobatan itu sendiri adalah induksi amenorea, dengan



30



pemberian lanjut selama 6-12 bulan. Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri panggul dirasakan 60-95% pasien. Tingkat kambuh pada tahun pertama terjadi sekitar 17-18% (Sarwono, 2011). Kombinasi monofasik dengan estrogen dosis rendah biasanya memiliki hasil terbaik untuk pengobatan nyeri endometriosis dan ditoleransi lebih baik daripada kombinasi trifasik atau dosis estrogen yang lebih tinggi. Kontrasepsi oral biasanya merupakan pilihan pengobatan awal untuk pasien yang gagal NSAID (Lindsay et al., 2015). 2. Progestin Progestin



memungkinkan



efek



antiendometriosis



dengan



menyebabkan desidualisasi awal pada jaringan endometrium dan diikuti dengan atrofi. Progestin dapat dianggap sebagai pilihan utama terhadap penanganan endometriosis karena efektif mengurangi rasa sakit seperti danazol, lebih murah, tetapi memiliki efek samping lebih ringan dibandingkan danazol. Hasil pengobatan telah dievaluasi pada 3-6 bulan setelah terapi. Medroxyprogesteron Acetate (MPA) adalah hasil yang paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan rasa nyeri. Dimulai dengan dosis 30 mg per hari kemudian ditingkatkan sesuai dengan respons klinik dan pola perdarahan. MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler setiap 3 bulan, juga efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada endometriosis (Sarwono, 2011). Pengobatan dengan suntikan progesterone. Pemberian suntikan progesterone depot seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan perdarahan. Pilihan lain dengan menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mengandung progesterone, levonorgestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat digunakan untuk pengobatan endometriosis. Strategi pengobatan lain meliputi didrogestion (20-30 mg perhari baik itu terus menerus maupun pada hari ke 5-25) dan lynesterol 10 mg per hari. Efek samping progestin meliputi nausea, bertambahnya berat badan, depresi, nyeri payudara dan perdarahan lecut (Sarwono, 2011). 3. Danazol



31



Danazol adalah androgen sintetik 2,3-isoksazol turunan dari 17 alpha ethinyltestosteron yang menyebabkan level androgen dalam jumlah tinggi dan level esterogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan berkembangnya endometriosis dan timbul amenorea yang diproduksi untuk mencegah implant baru pada uterus sampai ke rongga peritoneal. Danazol



menginduksi



penghambatan



pelepasan



gonadotropin,



menentukan penghambatan kompetitif enzim steroidogenik, memodulasi fungsi imunologi, dan menekan proliferasi sel dan secara klinis mengurangi gejala nyeri terkait endometriosis (Tosti el al., 2017). Cara praktis menggunakan danazol adalah memulai perawatan dengan 400-800 mg per hari, dapat dimulai dengan pemberian 200 mg dua kali sehari selama enam bulan. Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk mencapai amenorea dan menghilangkan gejala – gejala. Tingkat kambuh endometriosis berkisar antara 5-20% per tahun sampai ke tingkay kumulatif yaitu 40% setelah 5 tahun. Efek samping paling umum adalah peningkatan berat badan, akne, hirsutisme, vagina atrofi, kelelahan, pengecilan payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar LDL kolesterol, dan kolesterol total (Sarwono, 2011). 4. Gestrinon Gestrinon



adalah



19



nortesteron



termasuk



androgenik,



antiprogestagenik, dan anti gonadotropik. Gestrinon bekerja sentral dan perifer untuk meningkatkan kadar testosterone dan mengurangi kadar Sex Hormone Binding Globuline (SHBG, menurunkan nilai serum estradiol ke tingkat folikulat awal (antiesterogenik), mengurangi kadar Luitinezing hormone (LH), dan mengurangi lonjakan LH. Amenorea sendiri terjadi pada 50-100% wanita. Gestrinon diberikan dengan dosis 2.5-10 mg, dua sampai tiga kali seminggu, selama enam bulan. Efek sampingnya sama dengan danazol tetapi lebih jarang (Sarwono, 2011). 5. Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa) GnRHa menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga hipofisis mengalami desentisisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid yang berarti GnRHa



32



menginduksi amenore dan atrofi endometrium ektopik secara progresif (Hendarto, 2015). Pemberian GnRHa dapat diberikan intramuskuler, subkutan dan intranasal. Pemberian intranasal dilakukan dengan semprot hidung setiap hari (Nafarelin Asetat 200 mcg) dan injeksi formula jangka pendek yang disuntikkan setiap hari (Buserelin asetat 1 mg) atau injeksi formula jangka panjang yang disuntikan setiap 1 – 3 bulan sekali (Leuprolide asetat 3,75 mg). GnRHa diberikan selama 6-12 bulan (Sarwono, 2011). Efek samping antara lain hipoestrogen akibat pemberian GnRHa, yaitu hot-flushes, vagina kering, penurunan libido, penurunan mood, nyeri kepala, deplesi atau penurunan densitas tulang. Untuk mengurangi efek samping dapat disertai denga terapi add back dengan esterogen dan progesterone alamiah. Terapi add back didasarkan pada estrogen threshold hypothesis yaitu pemberian estrogen dosis rendah ditujukan untuk mengatasi keluhan hipoestrogen tetapi tidak menstimulasi pertumbuhan dari endometriosis. Sediaan yang sering digunakan adalah norethindrone asetat atau kombinasi estrogen dan progesterone (Hendarto, 2015). 6. Aromatase Inhibitor Aromatase inhibitor mengganggu konversi androgen menjadi estrogen dengan menghambat aktivitas aromatase, dan menekan produksi estrogen ovarium dan lokal pada jaringan endometriotik dengan cara menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang berfungsi sebagai katalisator konversi androgen menjadi estrogen. Aromatase inhibitor generasi ketiga (anastrozole, letrozole, exemestane, dan vorozole) lebih poten dan lebih spesifik untuk enzim aromatase (Tosti et al., 2017). Terapi ini belum disetujui untuk pengobatan endometriosis karena dapat menyebabkan bone loss, rasa semburan panas (hot flashes), nausea dan vomiting, dan penggunannya harus dikombinasikan dengan OCPs dan GnRHa untuk mencegah perkembangan kista folikular. Aromatase P450 banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi seperti endometriosis, adenomiosis dan mioma uteri (Sarwono, 2011). D. Penanganan pembedahan pada endometriosis



33



Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek endometriosis itu sendiri yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista. Pembedahan bertujuan menghilangkan bintik – bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju kekambuhan. Indikasi terapi pembedahan pada pasien endometriosis adalah : a) Endometriosis dengan gejala parah yang tidak responsif terhadap terapi hormone. b) Endometriosis yang parah dan menginfiltrasi untuk memperbaiki distorsi anatomi panggul. c) Endometriosis > 1 cm. Pembedahan bisadilakukan secara konservatif ataupun definitif. Metode pembedahan apapun yang digunakan harus disesuaikan dengan usia pasien, tingkat kesuburan pasien, dan respon pasien terhadap perawatan medis (Konar, 2013). 1. Penanganan Pembedahan konservatif



Pembedahan ini bertujan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepeskan perlengketan sera memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter, ataupun laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter dinding kista, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang sehat (Hendarto, 2015). Penanganan pembedahan dapat dilakukan dengan laparotomy maupun laparoskopi. Penanganan dengan laparoskopi menawarkan keuntungan lama rawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan, visulaisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik – bintik endometriosis. Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan – perempuan yang masih muda, menginginkan keturunan, memerlukan hormone reproduksi, mengingat endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat progresif, tidak cenderung ganas, dan akan regesi saat menopause (Sarwono, 2011).



34



Gambar 2.16 Tindakan bedah laparoskopi pada kista endometriosis (endometrioma) menggunakan two-atraumatic grasping forceps (Dokumentasi Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr Soetomo Surabaya). Sumber : Hendarto, 2015



Teknik ablasi adalah tindakan bedah destruksi lesi endometriosis dengan koagulasi menggunakan sumber tenaga termal. Teknik ini juga dapat dilakukan memakai cara vaporisasi dengan sumber tenaga laser. Desktruksi akan merusak lesi sehingga tidak tersedia specimen untuk konfirmasi pemeriksaan hitologipatologi. Teknik eksisi yaitu tindakan bedah mengangkat lesi endometriosis dengan cara memotong dan memisahkan lesi dari jaringan sektar menggunakan gunting dengan termal atau laser. Teknik ini tidak merusak lesi endometriosis sehingga specimen lesi dapat digunakan untuk konfirmasi pemeriksaan hitologipatologi. Namun tindakan eksisi membutuhkan keterampilan operator karena terdapat resiko trauma pada organ vital misalnya usus, kandung kemih, dan ureter di bawah lesi yang di eksisi (Hendarto, 2015). 2. Penanganan pembedahan radikal



Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi. Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis maupun bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormon (Sarwono, 2011). Histerektomi



dengan salpingo-ooforektomi bilateral merupakan pilihan



perawatan yang berguna pada wanita yang tidak berusaha untuk hamil, tetapi menghasilkan menopause bedah (Maharani et al., 2021). 3. Penanganan pembedahan simptomatis Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation) (Sarwono, 2011). LUNA dilakukan ketika rasa sakit sangat parah. Keuntungan laser adalah untuk memotong jaringan dengan tepat dengan kemungkinan kerusakan yang paling kecil pada struktur vital yang mendasarinya (Konar, 2013).



35



2.11 Prognosis Pada kasus endometriosis, salah satu yang terpenting adalah penderita harus diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya secara tepat. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan kesembuhan total, sekalipun resiko relaps (kambuh) sangat rendah yaitu hanya 3%. Resiko relaps lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormon estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat kekambuhan dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi rata - rata melebihi 10% dalam tiga tahun dan 35 % dalam lima tahun (Evans et al., 2017).



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai dengan tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Penyakit ini bersifat jinak dan dapat mengadakan invasi ke jaringan sekitar. Endometriosis disebut sebagai estrogent dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan 36



endometrium



ektopik



tersebut



membutuhkan



stimulasi



hormone estrogen.



endometriosis terjadi pada 5-15% wanita usia 15-49tahun serta 3-5% wanita usia > 49 tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenorea (nyeri haid) adalah 40-80%, sedangkan pada perempuan dengan infertilitas sekitar 20-50%. Terdapat tiga teori tentang etiologi dari endometriosis yaitu teori Halban menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui system limfatik ke beberapa daerah di pelvis, dimana kemudian ia bertumbuh secara ektopik. Teori Meyer mengatakan bahwa sel multipotensial di jaringan peritoneal melakukan transformasi metaplastik menjadi jaringan endometrial fungsional. Lalu, teori Sampson menyebutkan bahwa jaringan endometrial ditransport melalui tuba fallopi selama menstruasi retrogard dan akhirnya terjadi implantasi di intra-abdominal pelvic. Faktor risiko endometriosis ialah riwayat keluarga seperti wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis, wanita usia produktif yaitu 15-49 tahun, siklus menstruasi kurang dari 28 hari, menarche dini (40). Endometriosis dapat diduga berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan. Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Gejala klasik endometriosis meliputi dismenorea progresif dan dyspareunia yang menyebabkan ketidaknyamanan pada panggul. Terdapat pula gejala lainnya seperti siklus menstruasi yang abnormal yaitu menoragia, hematuria, gangguan miksi, gangguan defekasi. Perempuan yang mengalami endometriosis mungkin juga mengeluhkan diskezia (nyeri pada saat buang air besar), disuria (nyeri pada saat buang air kecil), ataupun sakit di dinding perut. Pada pemeriksaan fisik abdomen sering tidak menunjukan gejala. Dapat teraba massa lunak dengan mobilitas pada bagian bawah abdomen. Pada pemeriksaan



37



panggul dengan cara bimanual dapat ditemukan nyeri tekan panggul, nodul di kantong Douglas, dan teraba nodular pada ligamen uterosacral. Sementara dengan speculum dapat ditemukan bintik-bintik kebiruan di forniks posterior. Diagnosa endometriosis juga dapat menggunakan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan serum CA 125, USG, MRI, laparoskopi yang merupakan gold standart untuk diagnosis endometriosis, dan pemeriksaan patologi anatomi. Terapi secara medikamentosa pada endometriosis dapat diberikan NSAIDs sebagai anti-nyeri, terapi hormonal seperti kontrasepsi oral, progestin, danazol, gestrinon, agonis GnRH, dan aromatase inhibitor. Sementara tatalaksana pembedahan pada endometriosis dapat secara konservatif, untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepeskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi dengan cara eksisi, ablasi kauter, ataupun laser. Dapat pula dengan pembedahan radikal yaitu dengan histerektomi dan bilateral salfingooovorektomi. Operasi harus segera diikuti dengan terapi medis untuk menunda kekambuhan implantasi endometrium dan nyeri. Konseling dan pengertian tentang penyakit perlu dilakukan kepada penderita endometriosis. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi tidak dapat memberikan kesembuhan total, terdapat resiko relaps 3%.



DAFTAR PUSTAKA



Al-Jabri K. 2009. Case Repport;Endometriosis at Caesarian Section Scar. Oman Medical Journal. Vol 24. Issue 4. Pp 294-295 Burney R.O., Guidice L.C. 2012. Pathogenesis and pathophysiology of endometriosis. Fertility and Sterility. Vol 98. No 3. Pp 511-519.



38



Carbognin G., Guarise A., Minelli L., Vitale I., Malago R., Zamboni G., & Procacci C. 2004. Pelvic endometriosis: US and MRI features. Adbominal Imaging. 29:609– 618. DeCherney, AH, Nathan L, Goodwin, Murphy, Laufer, Neri. 2007. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10



th



Edition. New York : McGraw-Hill



Companies, Chapt.43. Evans M.B., & Decherney A. 2007. Fertility and Endometriosis. Clinical Obstetrics and Gynecology. Vol. 60. No. 3. Pp 497-502. Exaxoustos C., Zupi E., Carusotti C., Rinaldo D., Marconi D., Lanzi G., & Arduini D. . 2003. Staging of Pelvic Endometriosis: Role of Sonographic Appearance in Determining Extension of Disease and Modulating Surgical Approach. The Journal of the American Association of Gynecologic Laparoscopists. Vol. 10. No 3. Pp 378-382. Grandi G., Barra F., Ferrero S., Sileo F.G., Bertucii E., Napolitano A., & Facchinetti F. 2019. Hormonal Contraception In Women With Endometriosis: A Systematic Review. The European Journal of Contraception & Reproductive Health Care. Pp 1-10. Hanina S.M., Fauzi A., & Krisna R. 2018. Hubungan Obesitas Dengan Kejadian Endometriosis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 1 Januari 2015-31 Desember 2016. Majalah Kedokteran Sriwijaya. Th 50. No. 4. Pp 107113. Hendarto H, 2012. Pathomechanism of Infertility in Endometriosis in : Chaudhury K and Chakravarty B. Endometriosis–Basic Concepts and Current Research Trends. Intech, Croatia 2012: 343-354. Hemmings R., Rivard M., Olive D., Poliquin-Fleury J., Gagne D., Hugo P., & Gosseline D. 2004. Evaluation Of Risk Factors Associated With Endometriosis. Fertility and Sterility. Vol. 81. No. 6. Pp 1513-1521. Hoffman LB, Schorage JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG, 39



2012. Williams Gynecology. 2



nd



Edition. New York : McGraw-Hill Companies,



285. Konar, H. (ed.). 2013. DC DUTTA‟s: Textbook of Gynecology Including Contraception‟, 6th Ed, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, pp. 306-313. Leibson C., Good A.E., Hass S.L., Ransom J., Yawn B., O’Fallon W.M., & Melton L.J. 2004. Incidence And Characterization Of Diagnosed Endometriosis In A Geographically Defined Population. Fertility and Sterility. Vol. 82. No. 2. Pp 314321. Limbong, Vinanda MA, 2012. Profil Gambaran Endometriosis di RSUP H. Adam Malik Periode 2008-2011. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Lindsay S.F., Luciano D.E., & Luciano A.A. 2015. Emerging Therapy For Endometriosis. Informa Healthcare. Pp 1-20. Luqyana S.D., & Rodiani. 2019. Diagnosis Dan Tatalaksana Terbaru Endometriosis. JIMKI Vol. 7. No. 2. Pp 67-74. Maharani C.R., Yeni C.M., & Sinaga J.L. 2021. Pemilihan Terapi Konservatif dan Operatif pada Endometriosis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 21. No.1. Pp 64-73. Murphy A.A. 2002. Clinical Aspect of Endometriosis. Annals New York Academy Of Sciences. Pp 1-10. Pramesti P.A.W., Dewi S.M., Sumadi I.W., & Sriwidyani P. 2020. Karakteristik Klinikopatologi Penderita Endometriosis Di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2017-2018. Jurnal Medika Udayana. Vol. 9. No. 2. Pp 100-106. Suparman E. 2012. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik. Vol. 4. No. 2. Pp 69-78. Tendean H.M., Wu I.B., & Mewengkang M.E. 2017. Gambaran Karakterisktik Penderita Endometriosis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurna e-Clinic (eCI). Vol



40



5. No. 2. Pp 279-285. Wahyuni A., 2008. Endometriosis dan Infertilitas. Mutiara Medika. Vol. 8. No 1. Pp 6271.



41