Referat Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT DIAGNOSA DAN TATALAKSANA EPILEPSI



PRESENTAN Syafnira Defiari Putri Muhammad Zikra Ane Laura Wahdatul Fitri Candra Firnando OPPONENT



PRESEPTOR dr.Yulson, Sp.S



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD SOLOK FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BAITURRAHMAH 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Epilepsi”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Neurologi. Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun referat ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang membangun sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Yulson, Sp.S selaku preseptor Kepaniteraan Klinik Neurologi di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam penyusunan referat ini. Akhir kata penulis berharap sekiranya referat ini dapat menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya tentang Epilepsi.



Solok, 24 Maret 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................i DAFTAR GAMBAR..............................................................................................ii DAFTAR ISI.........................................................................................................iii BAB I.......................................................................................................................1 1.1Latar Belakang................................................................................................1 1.2Tujuan Penulisan.............................................................................................2 BAB II.....................................................................................................................3 2.1.Definisi...........................................................................................................3 2.2 Epidemiologi..................................................................................................4 2.3 Patofisiologi...................................................................................................5 2.4 Klasifikasi......................................................................................................6 2.5 Etiologi...........................................................................................................9 2.6 Gejala Klinis................................................................................................12 2.7 Diagnosis......................................................................................................13 2.8 Pemeriksaan penunjang................................................................................13 2.9 Terapi...........................................................................................................16 2.9.1Penghentian OAE...................................................................................20 2.10 Prognosa.....................................................................................................21 2.11 Pencegahan.................................................................................................21 BAB III..................................................................................................................23 iii



3.1 Kesimpulan..................................................................................................23 3.2 Saran.............................................................................................................23 Daftar Pustaka



iv



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system saraf. Epilepsi juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak setelah mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti kecanduan alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Menurut International League Against Epilepsy, epilepsi dapat didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui (Carold,2008). Lebih dari 5% populasi didunia mungkin mengalami satu kali kejang dalam hidup mereka. Kurang lebih sebanyak 60 juta orang didunia menderita epilepsi. Anak-anak dan remaja lebih cenderung menderita epilepsi dengan sebab yang tidak diketahui atau murni genetik daripada orang dewasa. Epilepsi dapat terjadi pada semua usia. Pada penelitian terbaru memperlihatkan bahwa 70% kejang yang terjadi pada anak-anak dan dewasa yang baru terdiagnosis epilepsi dapat dikontrol dengan baik oleh pengobatan dan 30% orang yang mengalami kejang tidak memberikan respon yang baik dengan pengobatan yang tersedia (steven,2006). Di kalangan masyarakat awam masih terdapat pandangan keliru (stigma) terhadap epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit akibat kutukan, gunaguna, kerasukan, gangguan jiwa/mental, dan penyakit yang menular melalui air liur. Hal ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di samping itu di negara-negara yang sedang berkembang, pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang sudah diidentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana pelayanan, dana dan kemampuan



masyarakat.



Berbagai



keterbatasan 1



tadi



dapat



menurunkan



optimalisasi penanggulangan epilepsi. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi dari epilepsi 2. Untuk mengetahui etiologi dari epilepsi 3. Untuk mengetahui gejala klinis dari epilepsi 4. Untuk dapat menegakkan diagnosa epilepsi 5. Untuk mengetahui penatalaksanaan epilepsi 6. Untuk mengetahui komplikasi epilepsy



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2



2.1.



Definisi Epilepsi Epilepsi adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang



diartikan sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel saraf diotak yang menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik, sensorik dan mental (Stephen,2005). Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2005, secara konseptual, epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Maramis (1980) menyatakan epilepsi adalah perubahan kesadaran yang mendadak, dalam waktu yang terbatas dan terjadi secara berulang-ulang dengan atau tanpa gerakan yang tidak teratur (involuntar), bukan disebabkan kelainan seperti gangguan peredaran darah, kadar glukosa darah yang rendah, gangguan emosi, pemakaian obat tidur, atau keracunan. Sementara itu Mardjono (1989) berpendapat bahwa epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai penyebab namun dengan gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik pada neuron-neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Otak yang terdiri atas 10 milyar sel secara fungsional dapat dipandang sebagai suatu organ yang



dapat



menerima



dan



menyimpan



energi



serta



kemudian



dapat



mendistribusikan energi ke tempatyang tepat dan pada waktu yang tepat pula. Pada penderita epilepsi, mekanisme yang mengatur kacau sehingga energi dikeluarkan sewaktu-waktu ke sembarang tempat atau ke seluruh tubuh. 2.2 Epidemiologi Epilepsi Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan distribusi geografis yang hampir sama., tetapi beberapa negara berkembang didapatkan prevalensi yang lebih tinggi daripada di negara industri. Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa faktor yang 3



diperkirakan sebagai penyebab adalah prematuritas, trauma persalinan, kejang demam pada anak-anak, rnalnutrisi dan infeksi. Agak sulit mengestimasi jumlah kasus epilepsi pada kondisi tanpa serangan, pasien terlihat normal dan semua data lab juga normal, selain itu ada stigma tertentu pada penderita epilepsi malu/enggan mengakui . Insiden paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovaskular. Pada 75% pasien, epilepsi terjadi sebelum umur 18 tahun. Prevalensi epilepsi di banyak tempat di luar negeri berkisar antara 1,5-6,2 per 1000 penduduk (Shorvon, 1988). Apabila diasumsikan bahwa prevalensi epilepsi di Indonesia sama dengan angka tersebut, diperkirakan terdapat sekitar 700.0001.200.000 penderita epilepsi. Epilepsi tipe umum jenis tonik-kolonik (grand-mal) merupakan jenis epilepsi yang paling banyak diderita oleh pasien. Epilepsi umum tonik-klonik tipe grand-mal ini dapat terjadi pada setiap saat atau pada semua golongan umur, walaupun usia awitannya lebih sering pada anak-anak dan usia dewasa muda (Ossetin, 1987). 2.3 Patofisiologi Epilepsi Secara umum, epilepsi terjadi kerena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal telepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak selama tidur.



4



Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanisme epilepsi fokal yang biasanya simptomatik. Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan muatan listrik dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti centrecephalic. Inti merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, dimana etiologinya belum diketahui, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal yang dikenal sebagai petit mal. 2.4 Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi. Klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi menurut gambaran kliniknya adalah sebagai berikut: Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi: 1. Bangkitan parsial/fokal 5



a. Bangkitan parsial sederhana i. Dengan gejala motorik ii. Dengan gejala somatosensorik iii. Dengan gejala otonom iv. Dengan gejala psikis b. Bangkitan parsial kompleks i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti oleh gangguan kesadaran ii. Bangkitan parsial yang disertai dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder i. Parsial sederhana yang menjadi umum ii. Parsial kompleks menjadi umum iii. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum 2. Bangkitan umum a. Lena (absence) i. Tipikal lena ii. Atipikal lena b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik e. Tonik-Klonik f. Atonik/astatik 3. Bangkitan tak tergolongkan Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi: 1. Fokal/partial (localized related) a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) i. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes) 6



ii. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital iii. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy) b. Simtomatis i. Epilepsi parsial kontinuyang kronis progresif pada anakanak (kojenikow’s syndrome) ii. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan



(kurang



tidur,



alkohol,



obat-obatan,



hiperventilasi, reflek epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) iii. Epilepsi lobus temporal iv. Epilepsi lobus frontal v. Epilepsi lobus parietal vi. Epilepsi lobus oksipital c. Kriptogenik 2. Epilepsi umum a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan dengan usia awitan) i. Kejang neonatus fanilial benigna ii. Kejang neonatus benigna iii. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi iv. Epilepsi lena pada anak v. Epilepsi lena pada remaja vi. Epilepsi mioklonik pada remaja vii. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga viii. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas ix. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivitas yang spesifik b. Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) i. Sindrom west (spasme infantil dan spasme salam) 7



ii. Sindrom lennox-gastaut iii. Epilepsi mioklonik astatik iv. Epilepsi mioklonik lena c. Simtomatis i. Etiologi nonspesifik 1. Ensefalopati mioklonik dii 2. Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression 3. Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak temasuk diatas ii. Sindrom spesifik iii. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum a. Bangkitan umum dan fokal i. Bangkitan neonatal ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi iii. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam iv. Epilepsi afasia yang didapat (sindrom landau-kleffner) v. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Sindrom Khusus a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu i. Kejang demam ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat



kejadian



metabolik akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)



8



2.5 Etiologi Epilepsi 1. Idiopatik Dimana penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Pada sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan juga tidak bodoh. Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka golongan idiopatik makin berkurang. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistem talamik-intralaminar dari substansia grisea basal dan mencakup reticular activating system dalam sinkronisasi lepas muatan. Sebagai akibatnya dapat terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat (absens murni, petit mal), atau lebih lama dan disertai kontraksi otot tonik-klonik (tonik-klonik umum, grand mal). Pada serangan fokal atau psikomotor atau yang mempunyai aura yang menyatakan bahwa bangkitan bermula pada sekelompok populasi neuron yang bersifat epileptik, dengan pemeriksaan yang teliti dan fasilitas yang lebih baik, umumnya penyebabnya dapat diketahui. Dalam praktek, kata epilepsi idiopatik digunakan secara longgar, yaitu pasien yang tidak menunjukkan manifestasi patologi otak dan penyebabnya tidak diketahui. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Pengaruh faktor genetik atau hereditas memang ada pada epilepsi, tetapi kecil. Pada epilepsi idiopatik pengaruh ini lebih besar. Telah dilakukan beberapa penelitian anak kembar untuk mengungkapkan hal ini. Lennox dan Lennox mendapatkan bahwa bila pada proband yang epilepsi tidak didapatkan manifestasi cedera otak, maka konkordans pada kembar telur tunggal ialah 70,2% (33 dari 47), sedang pada kembar telur ganda angka ini ialah 5,6% (3 dari 54), menunjukkan dengan jelas adanya pengaruh genetik.



9



Pada proband yang epilepsi dengan manifestasi cedera otak, konkordans pada kembar telur tunggal ialah 10,8% (4 dari 47), sedang pada kembar telur ganda ialah 7,5% (5 dari 67). Tsuboi dan Okada mengumpulkan 6 laporan penelitian besar mengenai epilepsi pada kembaran dan mendapatkan bahwa konkordans untuk epilepsi ialah 60% bagi kembar telur tunggal dan 13% untuk kembar telur ganda. 2. Kriptogenik Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus. 3.Simptomatik Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya trauma kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik alkohol, metabolik, kelainan neurodegeneratif. Epilepsi simtomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian juga mengganggu fungsi otak, misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemi,



hiperglikemi,



uremia),



gangguan



keseimbangan



elektrolit,



intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Hampir semua penyakit otak dapat mengakibatkan kelainan pada sekelompok sel neuron dengan gangguan kelistrikan dan merupakan sumber epileptogen. Bentuk serangan epilepsi yang diakibatkannya bergantung pada letak serta fungsi kelompok neuron tersebut, misalnya kelompok neuron yang di korteks motor dapat mengakibatkan bangkitan fokal motor, dengan gerakan konvulsif pada ekstremitas kontralateral.



10



Bangkitan ini dapat terlokalisasi, atau dapat menjalar, menyebar sepanjang gyrus, melibatkan bagian tubuh lainnya, atau dapat pula menyebar ke formasio retikularis dan diikuti oleh bangkitan kejang umum. Pemeriksaan EEG biasanya dapat menentukan letak fokus epilepsi. Jaringan patologis, seperti jaringan tumor, bukanlah epileptogenik, namun sel neuron di sekitarnya yang menjadi terganggu fungsi dan metabolismenya, dapat merupakan fokus epileptik. Jejas otak oleh trauma lahir dan defek perkembangan dapat disertai epilepsi. Untuk membangkitkan epilepsi dibutuhkan beberapa faktor yang bekerja bersama. Kelainan struktural saja, seperti tumor atau sikatriks trauma, tidak dapat membangkitkannya. Diketahui bahwa jaringan abnormal tersebut selalu berada di dalam otak penderitanya, namun bangkitan epilepsi tidak setiap saat muncul, melainkan sesekali. Demikian pula, tidak semua orang yang mempunyai jaringan abnormal di otak, seperti tumor, akan menjadi epilepsi. Dari segi praktis, harus dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, yang disebut faktor pencetus. Contoh faktor pencetus, yang mungkin berbeda pada tiap pasien, ialah stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional. Pada anak, faktor usia dan perkembangan ikut mempengaruhi apakah akan ada epilepsi atau tidak. Bangkitan kejang lebih jarang didapatkan pada bayi prematur, karena sistem sarafnya belum berkembang, dan lebih sering dijumpai pada bayi cukup umur. Bangkitan epilepsi lebih jarang dijumpai pada usia bulanbulan pertama, dan lebih sering antara usia 4 bulan sampai 4 tahun, kemudian menurun frekuensinya sampai remaja. Dari beberapa faktor etiologi yang dapat menyebabkan bangkitan epilepsi di atas, pemeriksa berpendapat bahwa bangkitan epilepsi yang di alami oleh pasien tersebut disebabkan oleh riwayat trauma kepala yang sering dialami oleh pasien (etiologi simptomatik). 2.6 Gejala Klinis Epilepsi 



Kejang kaku bersamaan dengan kejutan – kejutan ritmis dari anggota badan.







Hilangnya untuk sementara kesadaran dan tonus. Pada umunya serangan diawali suat perasaan khusus (aura). Hilangnya tonus menyebabkan penderita 11



terjatuh, kejang hebat dan ototnya menjadi kaku. Fase tonis berlangsung kirakira 1 menit disusul oleh fase klonis dengan kejang-kejang dari kaki tangan, rahang dan muka. 



Penderita kadang mengigit lidahnya sendiri dan juga dapat terjadi inkontinensia urin atau feses.







Gerakan ritmis dari kaki tanga secara tak sadar, sering kali dengan jeritan, mulut berbusa, mata terbuka lebar.







Lamanya serangan berkisar antara 1 dan 2 menit disusul dengan keadaan pingsan selama beberapa menit dan sadar kembali dengan perasaan kacau serta depresi.







Serangan myoclonis yaitu kontraksi otot-otot simetris dan sinkron yang tak ritmis dari bahu dan tangan (tidak dari muka), berlangsung berurutan dengan jangka waktu singkat  kurang dari 1 detik.







Status epileptikus serangan yang bertahan lebih dari 30 menit berlangsung beruntun dengan cepat tanpa diselingi keadaan sadar. Situasi ini bisa fatal karena kesulitan pernafasan dan kekurangan oksigen di otak. Umumnya disebabkan ketidakpatuhan penderita minum obat, menghentikan pengobatan secara tiba-tiba atau timbulnya demam.



2.7 Diagnosis 



Anamnesis Pola/bentuk bangkitan, lamabangkitan, gejala sebelumselama dan pasca



bangkitan, faktor pencetus,ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, usia pada saat terjadinya bangkitan pertama, riwayat saat dalam kandungan, kelahiran, perkembangan bayi dan anak, riwayat terapi epilepsi sebelumnya, riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.



12







Pemeriksaan fisik umum dan neurologi Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan



epilepsi seperti: trauma kepala, infeksi telinga, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal dan difus, kecanduan alkohol dan obat terlarang, kanker. 2.8 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan terdiri atas pemeriksaan darah, urin, cairan serebrospinalis, elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan. Pemeriksaan penunjang dilakukan atas dasar indikasi. 1.Pemeriksaan Urin Kadang-kadang serangan epilepsi disebabkan oleh kelainan ginjal yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan urin rutin. Pemeriksaan urin lain ialah untuk mengetahui adanya asam amino dalam urine. Misalnya pada pasien epilepsi yang disebabkan oleh fenilketonuria atau histidinuria. Pemeriksaan ini dilakukan atas dasar indikasi. 2.Pemeriksaan Darah Kelainan-kelainan darah tertentu dapat menyebabkan serangan epilepsi umumnya normal, pungsi lumbal dilakukan pada pasien yang diduga menderita meningitis. Pada pasien epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan tanda peninggian tekanan intrakranial sangat berbahaya apabila dilakukan pungsi lumbal. Pada pasien dengan proses degeneratif pemeriksaan cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan diagnosis, misalnya pada Subacut Sclerosing Panencephalitis (SSPE). Bila ditemukan zat anti terhadap morbili, dalam cairan serebrospinal berarti pasien menderita SSPE. 3.Pemeriksaan EEG Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya 13



lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin pada rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang nyata-nyata menderita kelainan otak, dan sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi normal, dan kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG normal. Untuk mendapatkan hasil EEG yang lebih positif, perlu dilakukan beberapa prosedur aktivasi, misalnya tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik dan lainlain. Aktivasi tidur akan memberikan hasil positif terutama pada pasien dengan epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis). Aktivasi hiperventilasi akan memberikan hasil positif terutama pada pasien dengan epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis). Aktivasi hiperventilasi akan memberikan hasil positif terutama pada pasien epilepsi absence (petit mal). Stimulasi fotik akan memberikan hasil positif terutama pada epilepsi sentrasephalik. Ada jenis epilepsi yang timbul apabila ada rangsangan atau suara tertentu. Aktivasi dapat dilakukan dengan rangsangan yang sesuai, yang dapat menyebabkan timbulnya epilepsi. Rekaman EEG dapat dikatakan abnormal bila terdapat: 



Asimetri irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.







Irama gelombang tidak teratur.







Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya, misal gelombang delta.







Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal. Bentuk serangan epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,



misalnya spasme infantil mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal mempunyai gambaran EEG gelombang paku-ombak 3 siklus per detik,



14



epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serempak (sinkron). Pada pasien dengan intractable atau bentuk serangannya tidak khas, dapat dilakukan pemantauan EEG disertai pemantauan video. Pasien dirawat dalam suatu ruangan yang ada videonya sambil dipasang alat EEG telemetri (jarak jauh). Dari rekaman video, dapat dilihat bentuk serangannya dan apakah sesuai dengan bentuk serangan yang terlihat. Pada saat perekaman ini, pasien dapat melakukan aktivitas biasa. 4.Pemeriksaan Radiologi Dapat dilakukan foto polos kepala, angiografi serebral, Computed Tomography (CT) Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Positron Emision Tomography (PET). Foto polos kepala biasanya dibuat pada posisi antero-posterior dan lateral. Dengan foto polos kepala, dapat dilihat adanya tanda peningkatan



tekanan



intra



kranial,



adanya



asimetri



tengkorak,



adanya



pengkapuran abnormal misalnya pada toksoplasmosis kongenital, sindrom SturgeWeber



dan



tuberosklerosis.



Walaupun



pemeriksaan



ini



sudah



banyak



ditinggalkan. Angiografi serebral dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang akan dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa tumor, kelainan pembuluh darah atau jaringan parut atrofik di otak. Angiografi serebral sangat jarang dilakukan. CT-scan otak dan MRI kedua-duanya dapat mendeteksi kelainan otak dengan baik, tetapi MRI lebih baik apabila digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi otak kongenital, sedangkan CT-scan lebih sensitif untuk mendeteksi adanya fokus kalsifikaasi yang kecil. Berbeda dengan CT-scan dan MRI, melalui PET kelainan otak dapat terlihat secara 3 dimensi, tetapi pemeriksaan ini masih dalam penelitian. Pemeriksaan pencintraan pada pasien epilepsi dilakukan atas dasar indikasi.



15



2.9 Terapi Tujuan terapi : menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE. Prinsip terapi : 1. OAE diberikan bila: diagnosis epilepsi telah dipastikan, pasien dan keluarga pasien telah mendapatkan informed consent. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan atau jenis sindrom epilepsi 3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. 4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka perlu di tambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama di tappering off perlahan-lahan. 5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama 6. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila: 1) Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG 2) Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes. 3) Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak. 4) Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung. 5) Riwayat bangkitan simtomatik 6) Riwayat trauma kepala terutama dengan penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP. 16



7) Bangkitan pertama berupa status epileptikus 7. Perhatikan efek samping OAE dan interaksi farmakokinetik antar OAE. Pemilihan obat didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, dan interaksi antar obat anti-epilepsi. Jenis bangkitan



OAE linipertama



OAE linikedua



OAE lain yang



OAE yang



dapatdipertimba



sebaiknyadihin dari



Bangkitan



Sodium valproate



Clobazam



ngkan Clonazepam



Umum



Lamotrigine



Levetiracetam



Phenobarbital



Tonik



Topiramate



Oxcarbazepine



Phenytoin



Klonik



Carbamazepine



Bangkitan lena



Sodium valproate



Acetazolamide



Clobazam



Carbamazepine



Lamotrigine



Oxcarbazepine Gabapentin



Bangkitan



Sodium valproate



Clobazam



Carbamazepine



mioklonik



Topiramate



Topiramate



Oxcarbazepine



Bangkitan tonik



Sodium valproate



Levetiracetam Clobazam



Phenobarbital



Gabapentin Carbamazepine



Lamotrigine



Topiramate



Phenytoin



Oxcarbazepine



Sodium valproate



Levetiracetam Clobazam



Phenobarbital



Carbamazepine



Lamotrigine



Topiramate



Acetazolamide



Oxcarbazepine



Bangkitan fokal



Sodium valproate



Levetiracetam Clobazam



Clonazepam



dengan/tanpa



Lamotrigine



Levetiracetam



Phenobarbital



umum sekunder



Topiramate



Phenytoin



Acetazolamide



Carbamazepine



Gabapentin



Bangkitan atonik



Phenytoin



Tiagabine



Obat Carbamazepine



Dosisawal



Dosisrumatan



(mg/hari) 400 – 600



(mg/hari) 400-1600 17



Jumlahdosis per hari 2 – 3X (untuk yang



Phenytoin Sodium valproate



200 – 300 500-1000



200-400 500-2500



CR 2X) 1-2 X 2 – 3X (untuk yang



Phenobarbital Clonazepam Oxcarbazepine Clobazam



50-100 1 600-900 10



50-200 4 600-3000 10-30



CR 1-2X) 1 1 atau 2 2-3X 2 – 3X (untuk yang



Levetiracetam Topiramate Gabapentin Lamotrigine



1000-2000 100 900-1800 50-100



1000-3000 100-400 900-1800 20-200



CR 2X) 2X 2X 2-3X 1-2X



Dosis obat anti epilepsy untuk orang dewasa



18



2.9.1 Penghentian OAE Hal yang harus diperhatikan dalam penghentian OAE yaitu syarat untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan. 1. Syarat umum untuk menghentikan OAE a) Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun b) Gambaran EEG normal c) Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam waktu 3-6 bulan d) Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama 2. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut: a) Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin tinggi b) Epilepsi simtomatik c) Gambaran EEG yang abnormal d) Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan e) Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom epilepsy benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25% pada epilepsy lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsy parsial kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsy mioklonik pada anak f) Penggunaan lebih dari satu OAE g) Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi h) Mendapat terapi 10 tahun atau lebih i) Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir, kemudian di evaluasi kembali.



19



2.10 Prognosa Faktor yang mempengaruhi remisi antara lain : lamanya bangkitan, etiologi, tipe bangkitan, umur awal terjadinya bangkitan, kepatuhan penderita. Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas bangkitan minimal 2 tahun. 60-70% dapat terkontrol dengan obat epilepsi first line. 10% terkontrol dengan golongan obat baru Kolaborasi, Komunikasi, Kepastian, Kepedulian, Kemudahan, Komprehensif. Bila lebih dari 5 tahun sesudah bangkitan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami bangkitan lagi, maka dikatakan telah mengalami remisi. Sekitar 30% penderita tidak akan mengalami remisi. Sesudah terjadinya remisi masih terdapat kemungkinan terjadinya bangkitan ulang atau relaps di kemudian hari. 2.11 Pencegahan  Upaya sosial luas yang mengembangkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan aktikonvulsan yang digunakan sepanjang kehamilan, ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi harus dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cidera akhirnya menyebabkan kejang yang terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.   Infeksi pada masa kanak-kanak harus dikontrol dengan vaksinasi yang benar, orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan pada metode untuk mengkontrol demam (kompres dingin, obat anti peuretik).   Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah, tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala.   Untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi daya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. 20



21



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obatobat lini pertama untuk epilepsi antara lain karbamazepine, lamotrigine, asam valproat, fenobarbital, fenitoin. Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan lesionektomi). Diharapkan pada penderita untuk terapi secara rutin untuk meminimalisir angka kekambuhan



22



DAFTAR PUSTAKA 1. Levitt LP,Weiner HL. Buku saku neurologi. 2001. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 2. Fakultas kedokteran Indonesia. Kapita selekta kedokteran jilid I.2005. Edisi VII. Jakarta : Media Aesculapics 3. Bradley J,Wayne D,Rubenstein D. Kedokteran klinis. Edisi Keenam. 2008. Jakarta : Penerbit Erlangga. 4. Price SA,Wilson L.M. Patofisiologi. Edisi Keenam. 2006. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.



23