Referat Hiv Aids Blok MPT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH TUGAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT REFERAT HIV/AIDS



Disusun Oleh : Kelompok



: 2-MPT



Telisa Humenia Niftia



(1102019212) 



Siti Nadzirotul Munawaroh



(1102019232)



Syifa Ulfana Mulyani



(1102018234)  



Muhammad Razih



(1102018335)



Putri Eka Irjayanti



(1102019223)



Ryan Rizki



(1102019246)



Vera Lidia Efriyani



(1102019247)



PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI



i



DAFTAR ISI JUDUL........................................................................................................................................ i A. PENDAHULUAN HIV/AIDS............................................................................................. ii EPIDEMIOLOGI....................................................................................................................... 1 PATOGENESIS......................................................................................................................... 3 FAKTOR RISIKO DAN PREDISPOSISI................................................................................. 4 DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS........................................................................... 5 PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................................... 6 STIGMA DI MASYARAKAT.................................................................................................. 8 PANDANGAN ISLAM TERHADAP PEMERIKSAAN/TES PADA SUSPEK HIV/AIDS. 10 B. TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI...................... 12 C. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS................................................................................... 28 D. PENCEGAHAN.................................................................................................................. 28 E. PENUTUP........................................................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 32



ii



A. PENDAHULUAN HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000 orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017 secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global diperkirakan terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV (WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14% sejak tahun 2010. Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS (UNAIDS, 2017). Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kemenkes RI menyatakan bahwa jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus HIV di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 48.300 kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 10.146 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus. Presentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,2%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun (7,6%), kelompok umur 15-19 tahun sebesar 4%, dan umur  15 tahun sebesar 2.5%. kejadian HIV mengalami peningkatan sementara untuk kejadian AIDS mengalami penurunan. Adanya penurunan tersebut bukan berarti HIV dan AIDS merupakan penyakit yang tidak berbahaya lagi. Mengingat dalam kasus ini berlaku Teori Ice Berg atau disebut juga Teori Gunung Es, artinya bahwa angka-angka yang tersaji dari sumber adalah 25% dari fakta yang ada dan 75% lainnya tersembunyi karena berbagai macam faktor. (Dirjen P2P Kemenkes RI, 2017) EPIDEMIOLOGI



1



Sindrom AIDS pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat pada tahun 1981. Sejak saat itu jumlah Negara yang melaporkan kasus AIDS meningkat yaitu 8 negara pada tahun 1981 ada 53 negara, dan 153 pada tahun 1996, begitu pula halnya dengan jumlah kasus AIDS meningkat cepat, pada tahun 1981 sebanyak 185 kasus menjadi 237.100 kasus pada tahun 1990 dan tahun 2013 sebanyak 35,3 juta kasus. Menurut para ahli epidemiologi Internasional, di Amerika Serikat dan Eropa bagian Utara epidemi terutama terdapat pada pria yang berhubungan seksual dengan pria, sementara di Eropa bagian Selatan dan Timur, Vietnam, Malaysia, India Timur Laut, dan Cina insidensi tertinggi adalah pada pengguna obat suntik. Di Afrika, Amerika Selatan dan sebagian besar Negara di Asia Tenggara jalur penularan yang dominan adalah secara heteroseksual dan vertical. Di



Indonesia



kajian



tentang



kecenderungan



epidemi



HIV/AIDS



memproyeksikan pada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2012 jumlah kasus HIV/ AIDS ada 39 ribu jiwa, sementara itu 3.541 kasus baru muncul pada Januari- September 2012, dengan kematian 100.000 orang dan pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari sub- populasi berperilaku berisiko kepada istri atau pasangannya akan terus berlanjut. Di Timor Leste kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 2003, dengan total kumulatif 235 kasus positif HIV, kasus tersebut dilaporkan kepada bagian program Surveilans Nasional pada Desember 2011, di antaranya 51% terjadi pada umur antara 15-49 tahun dan 8% pada anak-anak dibawah umur 5 tahun, di antara kasus yang dilaporkan 43% positif HIV pada laki-laki sedangkan pada wanita 57%, hampir semua yang ditemukan hidup dengan HIV berada di daerah perkotaan terutama di Ibu kota Dili. Pada epidemiologi AIDS akan diuraikan mengenai faktor agent, faktor host dan faktor environment. 1. Penyebab penyakit (Agent) HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk golongan retrovirus yang muda mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Virus HIV sangat lemah dan muda mati di luar tubuh. HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan. 2. Tuan Rumah (Host) 2



Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika, Eropa, Afrika maupun di Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 1545 tahun, mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan seksual. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Kelompok masyarakat berisiko tinggi adalah mereka yang melakukan hubungan seksual dengan banyak mitra seks, kaum homoseksual atau biseksual. Di Cina 2009-2010 ada 57,9% 2011-2012 menjadi 69,0% kelompok homoseksual sangat meningkat dan menjadi rute dominan transmisi HIV di Cina, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) antara kelompok usia 21-30 tahun yang sudah menikah 42,4%, sedangkan yang belum menikah 61,6%. 3. Faktor lingkungan (Environment) Faktor



lingkungan



adalah



agregat



dari seluruh



kondisi luar yang



mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi,seperti halnya penyakit HIV/AIDS. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kejadian HIV/AIDS pada laki-laki umur 25-44 tahun adalah: transfusi darah (pendonor maupun penerima), penggunaan narkoba, kebiasaan konsumsi alkohol, ketersediaan sarana di pelayanan kesehatan (kondom), faktor sosial budaya dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, akses ke tempat PSK, akses ke pelayanan kesehatan. PATOGENESIS Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas



terhadap



molekul



permukaan



CD4.



Limfosit



CD4+



berfungsi



mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cell (APC) ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang 3



mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8+. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan ‘steady-state’ beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif tabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level ‘steady-state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktivitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai antibodi tidak dapat terjadi. FAKTOR RISIKO DAN PREDISPOSISI Faktor Risiko HIV dan AIDS 



Orang yang melakukan hubungan intim tanpa kondom, baik hubungan sesama jenis maupun heteroseksual.







Orang yang sering membuat tato atau melakukan tindik.







Orang yang terkena infeksi penyakit seksual lain.







Pengguna narkotika suntik.







Orang yang berhubungan intim dengan pengguna narkotika suntik.



DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS 4



a. Infeksi HIV Diagnosis laboratorium infeksi HIV tergantung pada penemuan antibodi anti HIV dan deteksi HIV atau salah satu komponennya. Ditemukannya anti bodi HIV dengan pemeriksaan ELISA perlu di konfirmasikan dengan western immunoblot. Tes HIV Elisa (+) sebanyak tiga kali dengan reagen yang berlainan merek menunjukan pasien positif mengidap HIV. WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan Rapid Test (dipstik) sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Ada beberapa gejala dan tanda mayor dan minor menurut WHO, antara lain : 1. Gejala dan Tanda Mayor : 1. Kehilangan berat badan (BB) > 10 % 2. Diare kronik > 1 bulan 3. Demam > 1 bulan 2. Gejala dan Tanda Minor : 1. Batuk menetap > 1 bulan 2. Dermatitis pruritis (gatal) 3. Herpes zoster berulang 4. Kandidiasis orofaring 5. Herpes simpleks yang meluas dan berat 6. Limfadenopati yang meluas 7. Tanda lainnya adalah sarkoma kaposi yang meluas dan meningitis triptokokal. Manisfestasi klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut: 1. Stadium pertama Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala I biasanya asimtomatik ditandai dengan aktivitas yang masih normal disertai persistent generalized lymph adenopathy (PGL) atau pembesaran getah bening. 2. Stadium Dua Pada stadium ini penampilan atau dikenal aktivitas fisik skala II ditandai dengan penurunan berat badan (BB) < 10% yang didak dapat dijelaskan. Selain itu juga terjadi infeksi saluran pernafasan yang berulang-ulang seperti sinusitis, bronchitis, 5



otitis media dan faringitis. Tanda klinis yang lain yaitu terjadinya herpes zoster, angular chelitis, ulserasi mulut yang terjadi secara berulang, erupsi, popular pruritic, eruptions, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur di kuku. 3. Stadium Tiga Pada stadium ini aktivitas fisik skala III ditandai dengan pasien tampak lemah, dan hanya berada di tempat tidur < 50% per hari dalam bulan terakhir, penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, anemia dengan kadar hemoglobin (Hb) < 8 3 3 g/dl, neutropenia (< 500/ mm ), serta trombositopenia (< 50.000/mm ) > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan. Pada pemeriksaan mulut didapatkan kandidiasis mulut serta mulut dan lidah dilapisi selaput berwarna putih. Selain itu juga terjadi tuberculosis paru (TB) yang di diagnosis pada 2 tahun terakhir. 4. Stadium Empat Pada stadium ini, tanda klinis pada stadium sebelumnya masih ditemukan seperti sindrom penurunan BB, penemonia berulang, kandidiasi esophagus, TB ekstra pulmoner, sarkoma kaposi, dan enselopati HIV. Aktivitas fisik skala IV ditandai dengan selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir, HIV wasting syndrome sesuai dengan CDC, diare > 1 bulan karena cryptosporidiosis serta infeksi herpes simpleks kronis > 1 bulan. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang untuk HIV berupa pemeriksaan baseline, antigen P24, sel CD4, dan viral load. 1. Pemeriksaan Baseline Pemeriksaan yang dilakukan untuk mempelajari kondisi penderita yang baru saja terdeteksi mengidap HIV dan melihat apakah memiliki koinfeksi dari beberapa infeksi berikut: a) Tuberkulosis b) Hepatitis (terutama B dan C) c) Infeksi menular seksual lainnya (gonorea, klamidia, sifilis) d) Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit – hitung jenis leukosit, eritrosit, laju endap darah) 6



e) Fungsi Hati (SGOT/SGPT) f) Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin, BUN) g) Urinalisis h) Profil Lipid Pemeriksaan-pemeriksaan di atas juga bertujuan sebagai pemeriksaan penyaring untuk menilai apakah penderita dapat segera memulai terapi ARV, karena kondisikondisi yang berkaitan dengan pemeriksaan tersebut, dapat dipengaruhi oleh pemberian ARV. 2. Antigen P24 Merupakan pemeriksaan yang sifatnya lebih spesifik karena mendeteksi infeksi HIV melalui protein pembungkus HIV, dapat  terdeteksi lebih cepat yakni 1-3 minggu setelah infeksi awal, sehingga membantu efektivitas deteksi dini HIV. 3. Sel CD4 Pemeriksaan dilakukan umumnya dilakukan pada penderita yang telah terbukti positif terinfeksi HIV, untuk mendapatkan gambaran imunitas seseorang, melalui jumlah sel CD4, juga bermanfaat sebagai kontrol keberhasilan pengobatan ARV (Antiretroviral). Nilai normal berkisar antara 500-1500 sel/mm3. Dokter perlu memperhatikan jumlah sel CD4 karena bila di bawah 200 sel/mm3 mengarah kepada kondisi imunokompromais, salah satu tanda fase acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). 4. Viral Load Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah virus HIV dalam darah. Nilai hasil pemeriksaan viral load akan menjadi penanda tingkatan virulensi penderita. Pemeriksaan ini menjadi indikator dan sebagai target dalam terapi antiretroviral (ARV). Diharapkan setelah menjalani ARV, nilai viral load dapat turun hingga tidak terdeteksi. Hal ini menandakan konsumsi ARV berhasil menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi tergolong rendah.



7



STIGMA DI MASYARAKAT Stigma masyarakat Hasil penelitian menunjukkan stigma dari masyarakat bisa berasal dari keluarga terdekat, teman dan tetangga, serta dari akses layanan publik. Stigma dari keluarga diterima ODHA pecandu narkoba suntik dalam bentuk diskriminasi dan pembiaran. Diskriminasi terjadi karena keluarga merasa takut tertular infeksi virus HIV. Bentuk deskriminasi seperti barangbarang yang dipisahkan penggunaannya, barang yang disentuh ODHA langsung dibersihkan, dan dikucilkan dengan tidak membolehkan anak-anak bermain bersama ODHA. Pembiaran oleh keluarga yang diterima ODHA pecandu narkoba suntik berupa anggapan oleh keluarga bahwa ODHA bersangkutan dianggap tidak ada dalam keluarga meskipun secara fisik ia ada dalam lingkungan keluarga. Stigma dari teman atau tetangga yang diterima ODHA pecandu narkoba suntik berbentuk diskriminasi dan intimidasi (bullying). Diskriminasi tidak hanya pada saat ODHA masih hidup, tetapi juga pada saat sudah meninggal. ODHA juga menerima intimidasi dalam bentuk kata-kata yang merendahkan. Perlakuan berbeda kepada ODHA pecandu narkoba suntik menurut keluarga merupakan reaksi dari penerimaan kondisi ODHA dan kurangnya informasi tentang HIV/AIDS yang diderita anggota keluarganya. Reaksi keluarga saat mengetahui anggota keluarganya terinfeksi HIV adalah kaget, marah dan sedih. Perasaan ini kemudian diekspresikan secara beragam. Ada keluarga yang bisa menerima kondisi ODHA dan mendukung pengobatannya. “Ya agak kaget sedikit tapi kita kan bersyukur pada Allah, ya habis bagaimana, jalannya kalau sudah mengidap virus HIVnya masa mau didiamkan. Harus kita diobati, ya ada obatnya untuk menidurkan virus-virusnya, bukan untuk menyembuhkan”. Ibu Fr – Keluarga ODHA di Jakarta. Namun ada pula keluarga yang tidak bisa menerima kondisi anggota keluarganya yang terinfeksi HIV. Sering kali kekerasan fisik menjadi cara untuk mengekspresikan kondisi tersebut. “Saya marah sambil nangis, kalau bapak sering marah, sering mukul juga” Ibu Ha – Keluarga ODHA di Jakarta. Stigma juga diterima ODHA pecandu narkoba suntik dari pelayanan kesehatan danpanti rehabilitasi pecandu narkoba. Stigma yang diterima berupa kata-kata dan tindakan yang merendahkan, perlakuan kasar, disamakan dengan pasien gangguan mental, dan pendapat yang tidak dipercaya. Akibat perlakuan tersebut, beberapa informan mengaku tidak ingin melanjutkan pengobatan. Menurut petugas kesehatan, tidak ada perlakuan yang berbeda yang diberikan kepada pasien biasa dengan pasien ODHA 8



pecandu narkoba suntik. Perlakuan berbeda hanya diberikan kepada pasien ODHA pecandu narkoba suntik yang tidak patuh pada tahapan terapi atau yang memberikan sikap kasar. Self Stigma Pecandu narkoba suntik yang menyandang ODHA selain menerima stigma dari masyarakat atau lingkungannya juga stigma dari dalam dirinya (self stigma). Sebagian besar informan mengungkapkan bahwa mereka merasa takut terhadap kondisinya dan takut terhadap penerimaan masyarakat. Ketakutan terhadap kondisi pribadi seperti pemahaman ODHA bahwa selama masih aktif sebagai pecandu maka pengobatan untuk HIV tidak akan efektif. “Palingan yah gimana masih make (narkoba), ya gak bisa (ikut program terapi HIV) karena masih pake”, Aj – ODHA di Jakarta. Terapi HIV dengan mengkonsumsi obat antiretroviral tertentu setiap hari seumur hidup juga menimbulkan ketakutan ketidakpatuhan minum obat. Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai Hambatan ... (Irfan Ardani dan Sri Handayani) 85 “Takut, wah ini minum obat seumur hidup, sempet mikirin terus, pikirannya ah nanti aja gue masih sehat nanti aja kalau udah ngedrop baru minum”, Fr – ODHA di Jakarta. Selain ketakutan terhadap proses terapi obat, informan juga mengaku takut terhadap penerimaan masyarakat tentang kondisinya sebagai ODHA. Seorang informan berusia remaja mengaku bahwa ia belum memberi tahu statusnya sebagai ODHA kepada keluarga maupun lingkungan sosialnya. “Saya belum open status, ada ketakutan tersendiri buat open status. Masalahnya saya belum siap, saya masih mikir gitu entar kalau saya lagi nongkrong ya kan, jam sembilan saya bilang mau minum obat dulu, obat apan nih, obat ARV, ya gimana ya masih belum siap lah”, Al – ODHA di Jakarta. Selain dari rasa takut, self stigma juga berupa internalisasi ODHA terhadap cap negatif dari lingkungan sosialnya. ODHA menerima dan meyakini bahwa cap negatif dari masyarakat terhadap dirinya memang merupakan sifat aslinya. “Mau saya lakuin apa aja sedangkan orang-orang di lingkungan saya enggak percaya sama saya maupun keluarga gitu. Akhirnya saya udah dicap emang lo mah nggak bakalan berhenti lo percuma lo. Akhirnya timbul rasa putus asa,… ini karena apa ya, image pikiran gitu ya. Oh ternyata orang nggak suka sama saya, enggak ada dukungan apa pun”, Ha – ODHA di Jakarta. Pada ODHA pecandu narkoba suntik di Jakarta hampir semua informan mengalami self stigma berupa ketakutan untuk memulai pengobatan. Alasan paling banyak adalah takut tidak bisa konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan lainnya adalah penerimaan masyarakat tentang statusnya sebagai ODHA. Seorang informan remaja mengatakan bahwa ia 9



belum berniat membuka statusnya sebagai ODHA, akibatnya adalah ia juga belum akan memulai melakukan pengobatan. PEMBAHASAN Permasalahan yang dihadapi ODHA bukan hanya permasalahan kondisi fisik yang semakin menurun, namun juga timbul permasalahan sosial seperti penerimaan label negatif dan berbagai bentuk diskriminasi dari lingkungan. HIV dan AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan akibat perbuatan menyimpang karena penyakit HIV dan AIDS begitu melekat pada orang-orang yang melakukan penyimpangan seperti PSK (Pekerja Seks Komersial), gay, pelaku seks bebas dan pengguna narkoba suntik.9 HIV dan AIDS masih dianggap sebagai sesuatu penyakit yang tabu yang tidak dibicarakan secara terbuka dengan para orang tua, guru, masyarakat dan bahkan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Anggapan tabu inilah yang membuat ODHA dan keluarganya rentan terhadap stigma dan diskriminasi,11 yang berakibat pada berkurangnya akses ke layanan, kehilangan martabat dan meningkatnya deskriminasi. Stigma yang dialami ODHA pecandu narkoba di Jakarta menghambat mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan. PANDANGAN ISLAM TERHADAP PEMERIKSAAN/TES PADA SUSPEK HIV/AIDS Ajaran



Islam



menganjurkan



umatnya



untuk



memperhatikan



dan



memperlakukan dengan baik kepada orang-orang yang sakit, termasuk orang yang menderita HIV/AIDS. Namun, para ulama mengingatkan agar jangan sampai perlakukan yang baik itu justru akan mengorbankan orang lain yang tak terkena menjadi tertular HIV AIDS. Hal itu dibenarkan dalam kaidah Islam. ''Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.'' Ulama yang tergabung dalam MUI dalam tuntunan bersikap, bergaul dan merawat penderita AIDS telah menfatwakan agar penderita HIV/AIDS yang tinggal di tengah keluarga dirawat dan diperlakukan secara baik. Para ulama meminta agar pihak keluarga  diberi penyuluhan  secara medis sehingga dapat merawat dan menghindarkan diri dari penularan. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Kasih sayangilah orangorang yang ada di atas bumi, maka Yang Ada di langit akan sayang dan mengasihimu.''  Islam pun menghormati janin yang di kandung oleh seorang ibu yang menderita HIV/AIDS. Menurut Kia Ma'ruf, seorang ibu hamil yang menderita HIV/AIDS, tak boleh menggugurkan kandungannya. 10



Dalam proses kelahiran bayinya, para ulama menganjurkan agar ditangani tim medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Hal itu didasarkan pada hadis Nabi SAW. ''Allah membantu hambanya-Nya, selama hambaNya membantu saudaranya.'' Selain itu, para ulama menganjurkan agar anak yang menderita HIV/AIDS tetap wajib di khitan. Tentunya, sepanjang tidak membahayakan dirinya. Proses khitan juga dianjurkan untuk dilakukan oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari penularan.  Para ulama juga menganjurkan umat untuk merawat penderita HIV/AIDS akibat seks bebas alias perzinaan.  Selain dirawat dengan baik, penderita HIV/AIDS itu juga harus diajak untuk bertobat kepada Allah SWT. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Israa ayat 70, ''Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.'' Begitu pun juga dengan penderita HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik narkoba. Ulama meminta agar mereka diperlakukan secara manusiawi, serta dibimbing dan disadarkan untuk bertobat. Bahkan, Islam mengajarkan umatnya untuk menolong penderita HIV/AIDS yang mengalami kecelakaan, misalnya, kecalakaan lalu lintas, tetap wajib ditolong dengan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan dengan menggunakan alat pencegahnya. Bahkan, ketika menginggal dunia, penderita HIV/AIDS wajib diurus sebagaimana layaknya jenazah, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.  Cara memandikannya dianjurkan mengikuti petunjuk Departemen Kesehatan tentang pengurusan jenazah.  Sesungguhnya, Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam.   Dalam pandangan Islam, sakit marupakan musibah yang dapat menimpa siapa saja, termasuk orang-orang saleh dan berakhlak mulia sekalipun. Artinya, orang yang terkena penyakit belum tentu sakitnya itu akibat perbuatan dosa yang dilakukannya, tetapi boleh jadi merupakan korban perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman : Artinya : Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. ( QS Al-Anfal : 25 ) Islam memiliki beberapa mekanisme untuk menyelesaikan persoalan ini yakni pertama, melakukan pencegahan munculnya perilaku beresiko HIV Aids dengan melakukan pendidikan dan pembinaan kepribadian Islam. Hal ini bisa dilakukan 11



melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial. Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat, larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, dan lain-lain. Selain itu perlu juga upaya menciptakan lingkungan yang kondusif, dan memberantas lingkungan yang tidak kondusif. Kedua, memberantas perilaku beresiko penyebab HIV Aids (seks bebas dan penyalah gunaan Narkoba) yakni dengan menutup pintu-pintu yang mengakibatkan munculnya segala rangsangan menuju seks bebas. Negara wajib melarang pornografipornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Begitu juga dengan narkoba, hal-hal yang dapat membuat peredaran dan penggunanya semakin luas akan ditutup. Selain itu pemberian sanksi tegas akan diberlakukan oleh negara kepada pelaku perzinahan, seks menyimpang, penyalahguna narkoba, konsumen khamr, beserta pihak-pihak  terkait yang menjadikan seks bebas dan narkoba sebagai bisnis mewah. Sanksi yang diberikan mampu memberikan efek jera atau dengan kata lain menegakkan sistem hukum dan sistem persanksian Islam. B. TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI Farmakoterapi A. Antiretrovirus 1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus rnenjadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obatobat golongan ini menghambat terjadinya lnfeksl akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma. Karena NRTI tidak memlliki gugus 3'-hidroksil, inkorporasi NRTI ke DNA akan menghentikan perpanjangan rantai. FARMAKO DINAMIK NRTI 12



1. ZIDOVUDIN Mekanlsme kerja Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudine bekerja derngan cara menghambat enzim reverse transciptase virus. setelah .gugus azidotimidin (AZT) pada zidovudine mengaiami fosforilasi. Gugus AZT 5'- monofosfat akan bergabung pada ujung 3' rantai DNA virus dan · menghambat reaksi reverse transciptase. Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse transcriptase. Terdapat laporan resistensi silang dengan analog nukleosida lainnya. Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (Seperti lamivudin dan abakavir.



Dosis Tersedia dalam bentuk kapsul 100mg, tablet 300mg dan sirup 5mg/5mL Dosis per oral 600mg perhari Efek Samping Anemia, neutropenia, sakit kepala, mual. 2. DIDANOSIN



13



Mekanlsme kerja Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus Resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse transcriptase. Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya Dosis Tablet dan kapsul salut enterik. Per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau terbagi Efek Samping Diare, pankreatitis, neuropati perifer 3. ZALSITABIN Mekanlsme kerja Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus



Resistensi terhadap Zalsitabin disebabkan oleh mutasi pada reverse transcriptase. Dilaporkan ada resistensi silang dengan lamivudin 14



Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak responsiv terhadap zidovudin, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya kecuali didanosin. Dosis Diberikan per oral 2.25 mg per hari (satu tablet 0,75 mg setiap 8 jam) Efek Samping Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan pankreatitis 4. STAVUDIN Mekanlsme kerja Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus Resistensi Resistensi terhadap stavudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan kodon 50. Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV, terutama tingkat lanjut, dikombinasi dengan anti-HIV lainnya Dosis Per oral 80 mg per hari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam) 15



Efek Samping Neuropati perifer. Asidosis laktak, peningkatan enzim transaminase, sakit kepala, mual, dan ruam 5. LAMVUDIN Mekanlsme kerja Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan oembentukan rantai DNA virus Resistensi Mutasi terhadap lamivudin disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184. Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalcitabin Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi lnfeksi HIV dan HBV; untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (seperti zidovudin dan abakavir). Dosis Per oral 300 mg per hari (satu tablet 150 mg dua kali sehari, atau satu tablet 300 mg sekali sehari). Untuk terapi HIV, lamivudin dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau dengan zidovutlin dan abakavir. Efek Samping pernah terdapat laporan asidosis laktat dan hepatomegali dengan steatosis. Efek samping lain adalah sakit kepala dan mual. 6. EMTRISTABIN 16



Mekanlsme kerja Emtrisitabin merupakan derivat 5-fluorinated lamivudin. · Obat inf diubah ke bentuk trifosfat oleh



enzim selular. Mekanisme kerja



selanjutnya sama dengan lamivudin. Resistensi Terdapat laporan resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin. Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV dan HBV (untuk infeksi HBV saat ini sedang dilakukan studl klinis dalam kombinasi dengan tenofovir disoproksil fumarat dalam tablet tunggal sekali sehari)



Dosis Per oral sekali sehari 200mg kapsul. Efek Samping Efek samping yang paling sering adalah nyeri abdomen dengan rasa keram, diare, kelemahan otot, sakit kepala, lipodistrofi; mual, rinitis, pruritus dan ruam. Yang lebih jarang. terjadi adalah reaksi alergi, asidosis laktat, mimpi buruk, parestesia, pneumonia, steatosis hati. 7. ABAKAVIR Mekanlsme kerja Bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi 17



Terhadap abakavir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184, 65, 7 4 dan 115 Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya Dosis Per oral 600 mg perhari Efek Samping Mual, muntah, diare, reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal.



2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI) Tenofovir



disoproksil



fumarat



merupakan



nucleotide



reverse



transcriptase inhibitor (NtRTI) pertama yang ada untuk terapi infeksi HIV-1 . Obat jni digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya. Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fOsforilase intraselular untuk menjadi bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap saja fosforilasi saja. Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara mengentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi terhadap tenofovir disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65. Obat ini dapat digunakan untuk HIV tipe 1 dan 2 serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV. Infeksi HIV dalam kombinasi dengan efavirenz dan tidak boleh dikombinasi dengan lamivudin dan abakavir. Diberikan per oral sekali sehari 300mg. Efek samping obat ini berupa mual, muntah, flatulens, dan diare. 3. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)



18



Non-nucleoside reverse transcrlptase inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang menghambat aktlvltas · enzlm reverse transcriptase dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan tempat aktif enzlm dan menginduksi perubahan konformasl pada situs aktif ini. Obat-obat golongan ini tldak hanya memilikl kesamaan mekanisme ~erja, namun juga kesamaan toksisitas dan profil resistensi FARMAKODINAMIK 1. NEVIRAPIN Mekanlsme kerja Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Resistensi Resistensi terhadap nevirapin disebabkan oleh mutasi pada RT Spektrum Aktivitas HIV (tipe 1 dan 2) Indikasi Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI. Dosis Per oral sekali sehari 200 mg per hari selama 14 hari pertama (satu tablet 200 mg per hari), kemudian 400 mg perhari (dua kali 200 mg tablet) Efek Samping Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolen, mual, mual dan peningkatan enzim hati. 2. DELAVIRDIN Mekanlsme kerja Sama dengan nevirapin 19



Resistensi Resistensi disebabkan oleh mutasi RT. Tidak ada resistensi silang dengan nevirapin dan efavirenz Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 Indikasi Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI. Dosis Per oral 1200 mg perhari (2 tablet 200mg 3x sehari). Obat ini juga tersedia dalam bentuk tablet 100 mg Efek Samping Ruam, peningkatan tes fungsi hati, neutropenia. 3. EFAVIRENZ Mekanlsme kerja Sama dengan nevirapin Resistensi Resistensi disebabkan oleh mutasi RT kodon 100, 179, dan 181. Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 Indikasi Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI. Dosis 20



Per oral 600 mg perhari (Sekali sehari tablet 600 mg, sebaiknya sebelum tidur untuk mengurangi ES SSPnya. Efek Samping Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, dan ruam



4. Protease Inhibitor Semua Pl bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan situs aktif HIV-protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim protease sehingga menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partlkel virus yang imatur dan tidak virulen.



1. SAKUINAVIR Mekanlsme kerja Sama dengan nevirapin Resistensi Resistensi disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistansi silang dengan PI lainnya. Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 dan 2 Indikasi lnfeksi HIV, dalam kombinasi dengan antiHIV lain (NRTI dan beberapa Pl seperti ritonavir). Dosis 21



Per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg soft capsule 3 kaii sehari) atau 1800 mg per hari (3 hard gel capsules 3 kali sehari), diberikan bersama dengan makanan atau sampai dengan dua jam setelah makan lengkap. Efek Samping Diare, mual, nyeri abdomen 2. RITONAVIR Mekanlsme kerja Sama dengan sakuinavir Resistensi Resistensi disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82 Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 dan 2 Indikasi lnfeksi . HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya (NRTI dan Pl seperti sakuinavir) Dosis Per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg, dua kali sehari bersama dengan makanan). Efek Samping Mual, muntah, diare 3. INDINAVIR Mekanlsme kerja Sama dengan sakuinavir 22



Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 dan 2 Indikasi Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti NRTI. Dosis Per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg setiap 8 jam, dimakan dalam keadaan perut kosong, ditambah dengan hidrasi (sedikitnya 1,5 L air per hari). Obat ini tersedia dalam kapsul 100, 200, 333, dan 400 mg. Efek Samping Mual, hiperbilirubinemia, batu ginjal.



4. NELFINAVIR Mekanlsme kerja Sama dengan sakuinavir Resistensi Resistensi terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi pada protease kodon 30. Spektrum Aktivitas HIV tipe 1 dan 2 Indikasi



23



Infeksi HIV-1, dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya, seperti NRTI. Dosis per oral 2250 rn~ per hari (3 tablet 250 mg 3 kali sehari) atau 2600 rng per hari (5 tablet 250 mg 2 kali sehari), bersama deng 90%. Rata-rata jangka waktu sejak infeksi hingga kematian adalah 8-10 tahun (tanpa intervensi ARV). Terapi ARV membantu mengontrol dan mengurangi replikasi HIV hingga aktivitas virus (viral load) tidak terdeteksi dalam darah melalui pemeriksaan laboratorium, sehingga memberi kesempatan untuk tubuh melakukan restorasi dari sistem imun hingga mencapai tingkat aman dan menghindari progresifitas HIV. Terapi ARV juga mengurangi tingkat transmisi dan penularan dari HIV, terutama melalui paparan darah maupun hubungan seksual. Tanpa pemberian terapi ARV, penderita infeksi HIV akan dapat mengalami penurunan sistem imun secara konstan sehingga dapat mencapai kondisi yang dikenal sebagai AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang umumnya ditandai dengan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan dengan kadar sel CD4