Referat Katamenial Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BEKALANG Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum yang ditandai dengan kejadian kejang yang tidak terduga dan berbeda dalam jenis, penyebab, juga tingkat keparahannya. Namun, kejang tidak terjadi secara acak pada banyak wanita dengan epilepsi. Cluster kejang terjadi dengan periodisitas temporal mengikuti periodisitas sirkadian atau bulanan (Reddy, D. S., 2014). Wanita dengan epilepsi mungkin memiliki pola kejang yang terkait dengan perubahan kadar estrogen dan progesteron. Faktanya, estrogen dan progesteron telah terbukti memiliki efek pada rangsangan neuron. Dalam epilepsi katamenial, cenderung dikelompokkan karena keterkaitannya dengan siklus menstruasi, ini dapat ditafsirkan sebagai peningkatan kejang dengan frekunesi kejadian terjadi selama fase tertentu dari siklus menstruasi (Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012). Kejang katamenial dapat memengaruhi 10% hingga 70% wanita subur dengan epilepsi. Variabilitas yang luas dalam prevalensi epilepsi katamenial ini mungkin disebabkan karena kriteria yang berbeda yang digunakan untuk menentukan eksaserbasi kejang. (Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012). Diagnosis epilepsi secara umum dapat melalui anamnesis disesuaikan dengan klasifikasi dari epilepsi kemudian dievaluasi dari frekeunesi terjadinya serangan dan evaluasi fisik dan kondisi neurologic pasien selanjutnya melakukan pemeriksaan lanjutan seperti EEG, MRI, dan tes lainnya (Brust, J. C. M., 2019). Epilepsi katamenial sendiri ditegakkan dengan penilaian yang cermat terhadap buku harian menstruasi dan kejang pada pasien serta karakterisasi jenis dan durasi siklus yang terjadi (Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012). Pola katamenial lebih sering terjadi pada wanita dengan epilepsi fokal, tetapi dapat terjadi pada semua tipe epilepsi. Satu penelitian terhadap 100 wanita dengan epilepsi fokal yang sulit diatasi mengidentifikasi pola katamenial lebih sering pada pasien dengan fokus lobus temporal kiri aktivitas. Pada epilepsi katamenial, aktivitas kejang cenderung mengelompok selama tiga fase siklus menstruasi yang terkait dengan rasio progesteron yang lebih rendah terhadap estrogen: periode pramenstruasi, saat ovulasi, atau selama siklus fase luteal anovulasi atau tidak memadai (ILP) (Khishfe, B. F. 2017).



1



1.2 TUJUAN Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana mendiagnosis dan penatalaksanaan dari katamenial epilepsi.



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. KATAMENIAL EPILEPSI 2.1 DEFINISI Kejang adalah episode disfungsi otak sementara akibat aktivitas listrik abnormal. Epilepsi sendiri didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang tidak diprovokasi (yaitu, tidak memiliki penyebab proksimal akut yang dapat diidentifikasi). Individu dengan epilepsi memiliki risiko peningkatan kejang berulang yang signifikan (Brust, J. C. M., 2019). Sedangkan katamenial sendiri berasal dari bahasa Yunani “katamenios” yang artinya



“bulanan” (Hutahaean, Y. O., 2018). Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi katamenial adalah jenis epilepsi spesifik gender di mana kejang muncul di sekitar fase tertentu dari siklus menstruasi (Reddy, D. S., 2016). 2.2 EPIDEMIOLOGI Menurut WHO, epilepsi adalah gangguan primer otak yang paling umum. Lebih dari 2,3 juta orang di Amerika Serikat menderita epilepsi, dan diperkirakan 181.000 orang Amerika didiagnosis menderita gangguan ini setiap tahunnya. Terlepas dari ketersediaan berbagai macam obat, hampir 30% orang dengan epilepsi mengalami kejang refrakter yang tidak berpengaruh dengan satu pun obat dari opsi pengobatan yang tersedia saat ini (Reddy, D. S., 2016). Beberapa wanita dengan epilepsi tampaknya berisiko tinggi mengalami disfungsi ovulasi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, siklus anovulasi ditemukan secara signifikan lebih umum pada wanita dengan epilepsi umum idiopatik (27%) dibandingkan pada mereka dengan epilepsi fokus (14%), atau pada kontrol (11%). dan penggunaan asam valproat saat ini atau penggunaan asam valproat dalam waktu 3 tahun, merupakan prediktor kegagalan ovulasi. Namun, dalam penyelidikan lain terhadap 100 wanita dengan epilepsi fokal, 39 memiliki siklus anovulasi. Beberapa wanita memiliki siklus ovulasi dan anovulasi yang membutuhkan analisis beberapa siklus; dalam kelompok ini, frekuensi kejang tampaknya lebih besar selama siklus anovulasi (Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012). Meskipun prevalensi epilepsi katamenial tinggi, namun para klinisi sering kali kurang memperhatikan laporan pasien epilepsi perempuan tentang perburukan atau peningkatan jumlah kejang terkait dengan siklus menstruasi. Hal tersebut kemungkinan karena laporan pribadi dari pasien (self-reporting) dianggap tidak dapat dipercaya sebagai kriteria diagnostik, pilihan terapi



3



belum dikenal secara luas, dan adanya keyakinan bahwa kondisi tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang pasti (Hutahaean, Y. O., 2018). 2.3 SIKLUS HORMON REPRODUKTIF PADA PEREMPUAN Sistem reproduksi dalam tahun-tahun reproduksi normal perempuan memiliki perubahan siklik yang reguler. Perubahan tersebut ditandai dengan perubahan ritmik bulanan dari kecepatan sekresi hormon-hormon seksual perempuan dan juga perubahan pada ovarium serta organ-organ seksual. Hal tersebut dianggap sebagai persiapan periodik untuk pembuahan dan kehamilan. Pada manusia dan primata lainnya siklus tersebut disebut menstruasi (Ganong, W. F. 2002). Sistem hormon reproduktif perempuan terdiri dari tiga hirarki yaitu: (1) Hormon hipotalamus yaitu gonadothropin releasing hormon (GnRH); (2) Hormon hipofisis anterior yaitu folicular stimulating hormon (FSH) dan luteinezing hormon (LH); dan (3) Hormon ovarium yaitu estrogen dan progesteron.



Keterangan : FSH = Folicular Stimulating Hormon; LH= Luteinezing Hormon Gambar 2.3 Level Hormon Reproduksi selama Siklus Menstruasi Normal. (Guyton, A. C. and J. E. Hall. 2007).



Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium mengatur interaksi antara GnRH, gonadotropin hipofisis (LH dan FSH) dan steroid yang dihasilkan gonad (estrogen dan progesteron) melalui 4



mekanisme umpan balik. GnRH disintesis di hipotalamus regio basal medial dan disekresi secara pulsatile (episodik), menstimulasi sekresi pulsatil FSH dan LH pada hipofisis anterior. Sekresi pulsatil ini penting dalam perkembangan folikular normal yang nantinya akan bertanggung jawab dalam fase luteal dari siklus menstruasi. FSH dan LH mengatur produksi estrogen dan progesteron, yang kemudian akan mempengaruhi pelepasan FSH dan LH melalui mekanisme umpan balik terhadap sel-sel hipofisis (Ganong, W. F. 2002). Fungsi menstruasi normal tergantung pada sekresi pulsatil GnRH dengan rentang amplitudo dan frekuensi yang sempit. Durasi siklus menstruasi dihitung mulai dari permulaan satu periode yaitu hari pertama terjadi menstruasi sampai permulaan periode berikutnya. Durasi siklus ini sangat bervariasi tetapi angka rata-rata adalah 28 hari. Ovulasi terjadi 14 hari sebelum onset menstruasi periode berikutnya. Siklus juga dapat berlangsung singkat yaitu 20 hari atau panjang yaitu hingga 40 hari pada perempuan normal, namun panjang siklus yang abnormal kadangkadang berhubungan dengan keadaan menurunnya kesuburan. Hormon-hormon reproduksi tidak disekresikan dalam jumlah konstan sepanjang siklus seksual bulanan perempuan, tetapi disekresi dengan kecepatan yang sangat berbeda selama berbagai bagian yang berbeda dalam siklus tersebut. (Guyton, A. C. and J. E. Hall. 2007). Sekresi abnormal FSH selama fase folikular mengakibatkan terhambatnya perkembangan folikel, diikuti formasi dan fungsi korpus luteum yang inadekuat. Keadaan tersebut dikenal sebagai fase luteal inadekuat. Korpus luteum pada fase luteal inadekuat tidak efektif dalam memproduksi progesteron, sedangkan fungsinya dalam memproduksi estrogen tidak terganggu. Fase luteal inadekuat terjadi pada lebih dari 25% perempuan dalam usia reproduktif (Guyton, A. C. and J. E. Hall. 2007).



2.5 KLASIFIKASI Secara umum, siklus reproduksi wanita diperkirakan berlangsung 29 hari. Hari 1 adalah awal menstruasi, dan ovulasi terjadi 14 hari sebelum timbulnya menstruasi. Siklus menstruasi dibagi menjadi empat fase: 1. fase menstruasi, hari -3 hingga +3; 2. fase folikuler, hari +4 hingga +9; 3. fase ovulasi, hari +10 hingga +16; dan 4. fase luteal, hari +17 hingga -4.



Fase folikel awal dikaitkan dengan rendahnya kadar estrogen dan Progesteron. Sintesis dan sekresi estrogen dan Progesteron dari ovarium dikendalikan terutama oleh GnRH hipotalamus dan 5



gonadotropin hipofisis, FSH dan LH. Ketika ovulasi mendekati, tingkat estrogen meningkat dan memicu pelepasan LH besar yang mengarah ke ovulasi. Setelah ovulasi, folikel yang pecah luteinizes dan membentuk corpus luteum yang mengeluarkan Progesteron dan estrogen. Estradiol disekresikan pada paruh kedua fase folikuler dan meningkat ke puncaknya di pertengahan siklus, sementara Progesteron meningkat selama fase luteal dan menurun sebelum menstruasi dimulai. AP neurosteroid meningkat secara paralel dengan prekursornya, Progesteron (Reddy, D. S., 2009).



Gambar 2.4.1 Hubungan temporal antara hormon ovarium dan terjadinya kejang katamenial selama siklus menstruasi (Reddy, D. S., 2014).



Panel di atas menggambarkan hubungan yang kuat antara frekuensi kejang dan tingkat estradiol / P (progesterone). Panel bawah menggambarkan tiga jenis epilepsi katamenial. Batang abu-abu vertikal (kiri dan kanan) mewakili periode kemungkinan untuk jenis perimenstrual (C1), sedangkan batang abu-abu vertikal (tengah) mewakili periode kemungkinan untuk jenis periovulatori (C2). Bilah abu-abu gelap horizontal (bawah) mewakili tipe luteal (C3) yang tidak memadai yang kemungkinan terjadi mulai dari awal ovulasi hingga fase menstruasi.



6



Tabel 2.4.1 Rangkuman mekanisme potensial neuroendokrin pada katamenial epilepsi



2.5 PATOFISIOLOGI Kejang Cluster, dapat terjadi dengan ritme temporal dalam proporsi yang signifikan pada pria (29%) dan wanita (35%) dengan epilepsi. Ketika periodisitas eksaserbasi kejang sejajar atau sesuai dengan siklus menstruasi, maka umumnya dikenal sebagai katamenial epilepsi. Hingga saat ini, katamenial epilepsi kemungkinan disebabkan oleh 1) sifat neuroaktif dari hormon steroid reproduksi, 2) variasi siklik dalam kadar serumnya, dan 3) kerentanan fokus epilepsi terhadap efek steroid neuroaktif (Herzog, A. G. 2016) Katamenial epilepsi lebih umum terjadi pada wanita dengan bentuk epilepsi fokal, terutama epilepsi pada lobus temporal, dibandingkan dengan mereka yang memiliki epilepsi general. Banyak wanita dengan katamenial epilepsi menunjukkan peningkatan siklus eksaserbasi kejang meskipun telah diobati dengan Obat Anti-Epileptik (OAE), dan oleh karena itu, epilepsi katamenial dapat dianggap sebagai bentuk epilepsi yang sulit diprediksi atau dapat dianggap sebagai bentuk epilepsi dengan farmako resisten. Meskipun menggunakan pengobatan obat terbaik yang tersedia, banyak wanita tidak merespon atau gagal menunjukkan resolusi dari katamenial epilepsi (Reddy, D. S., 2014). Steroid hormon reproduksi wanita dapat mempengaruhi rangsangan saraf. Estrogen umumnya dianggap memiliki efek eksitatori, terutama melalui reseptor eksitatori glutamat; sementara progesteron dan metabolitnya (terutama allopregnanolon) memberikan efek penghambatan melalui reseptor GABAA inhibitor di post sinaptik. Oleh karena itu, fluktuasi hormon sepanjang siklus menstruasi dapat memengaruhi kontrol terhadap terjadinya kejang (Stephen, L. J., C. Harden., et al. 2019). Sifat Neuroaktif dari Steroid Hormon Reproduksi Bukti praklinis yang paling konsisten dan meyakinkan sehubungan dengan sifat neuroaktif dari steroid hormon reproduksi yang mungkin berkaitan dengan epilepsi katamenial adalah 7



berkurangnya metabolit progesteron, allopregnanolon, yang merupakan modulator alosterik positif yang kuat dari neurotransmisi GABAA dan bahwa penarikan progesteron atau allopregnanolon, seperti yang mungkin terjadi sebelum menstruasi, mengubah komposisi subunit GABAA menjadi subtipe a4d yang tidak sensitif terhadap benzodiazepine akan tetapi GABA tetap sensitif terhadap neurosteroid. Sehingga menunjukkan mekanisme untuk eksaserbasi kejang perimenstrual dan alasan untuk melakukan uji coba pengobatan dengan suplemen progesteron siklik yang diberikan secara bertahap (Herzog, A. G. 2015). Pendapat mengenai efek proconvulsant dari estradiol, eksaserbasi siklus pertengahan kejang berkorelasi sementara dengan dan diduga didapat dari hasil lonjakan estradiol pra-ovulasi. Seluruh eksaserbasi kejang fase luteal dalam siklus anovulasi dan siklus ovulasi, dengan level serum estradiol yang lebih tinggi dibandingkan dengan rasio level progesterone, sehingga tidak dapat dipungkiri dampak yang akan dihasilkan dari lebih tingginya kadar srrum estradiol tersebut. Estradiol memberikan respons depolarisasi terhadap pulses iontophoretic eksogen glutamat (Herzog, A. G. 2015). Sebagai dasar untuk efek neuroeksitasi ini, ada sejumlah dugaan mekanisme. Estradiol dapat mempotensiasi rangsangan saraf dengan mengatur plastisitas (gangguan penyesuaian) neuron, khususnya dengan meningkatkan kepadatan sinapsis yang mengandung reseptor NMDA pada dendrit apikal dari neuron piramidal h1-campal CA1 melalui mekanisme yang bergantung pada reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Estradiol, bagaimanapun, dapat mempotensiasi kainate, dan quiqualate yang dimediasi neurotransmisi, sehingga melibatkan reseptor non-NMDA dalam aksi jangka pendek estrogen. Secara khusus, estradiol dapat menghasilkan peningkatan amplitudo Kolateral Schaffer yang diaktifkan secara cepat dan reversible yang dapat diblokir oleh nonNMDA, tetapi bukan NMDA (Herzog, A. G. 2015). Dampak Hormon Reproduksi pada Epilepsi Estradiol Peran estrogen dalam kerentanan kejang kompleks. Secara umum, estrogen memiliki sifat proconvulsant dan epileptogenik pada hewan dan manusia. Ada juga penelitian yang mendukung efek perlindungan estrogen, dan mungkin juga antikonvulsan dalam beberapa keadaan (Reddy, D. S., 2014). Bagaimanapun, efek estrogen pada kerentanan kejang sangat bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor seperti durasi pengobatan, dosis, status hormonal dan model kejang. Studi awal pemberian estradiol pada tikus yang diovariektomi menunjukkan efek prokvulsan (Reddy, D. S., 2014). 8



Pada wanita dengan epilepsi, korelasi positif antara kerentanan kejang dan rasio Estrogenke-Progesteron diamati, memuncak pada periode pramenstruasi dan preovulasi dan menurun selama fase midluteal (Reddy, D. S., 2014). Progesteron Progesteron memainkan peran penting dalam epilepsi katamenial. Progesteron memiliki sifat antikonvulsan dan antiepilepsi yang konsisten pada hewan dan manusia. Progesteron telah lama diketahui memiliki aktivitas anti kejang dalam berbagai model hewan epilepsi (Reddy, D. S., 2014). Pada wanita dengan epilepsi, variasi siklik alami pada Progesteron selama siklus menstruasi dapat mempengaruhi kerentanan kejang katamenial (gambar 2.4.1). Kejang menurun pada fase pertengahan luteal ketika kadar Progesteron serum tinggi dan meningkat sebelum menstruasi ketika kadar Progesteron turun dan ada penurunan rasio serum Progesteron -terhadap-estrogen (Reddy, D. S., 2014). Neurosteroids Neurosteroid adalah steroid yang disintesis di dalam otak dengan efek cepat dan tidak konvensional pada rangsangan saraf (lihat tabel 2.5.1). Neurosteroid dan hormon steroid prekursor mereka memainkan peran penting dalam rangsangan saraf, kerentanan kejang, dan patofisiologi kondisi neurologis seperti epilepsi katamenial. Bukti terbaru menunjukkan bahwa neurosteroid hadir terutama di neuron utama di banyak daerah otak yang relevan dengan epilepsi fokal, termasuk hippocampus dan neocortex. Distribusi neurosteroid yang sangat terbatas ke neuron perangsang menunjukkan bahwa mereka terutama berasal dari sintesis lokal, meskipun jelas bahwa neurosteroid perifer mudah melintasi sawar darah-otak (Reddy, D. S., 2014). Biosintesis neurosteroid dikendalikan oleh protein translocator (18kDa; TSPO), yang sebelumnya disebut reseptor benzodiazepine perifer atau mitokondria. Aktivasi TSPO oleh sinyal dan ligan endogen memfasilitasi fluks kolesterol intramitochondrial dan dengan demikian meningkatkan sintesis neurosteroid. Neurosteroid terlokalisasi pada neuron yang mengandung reseptor target mereka, yang konsisten dengan konsep bahwa neurosteroid berfungsi secara otokrin di mana mereka mencapai target dengan difusi membran lateral (Reddy, D. S., 2014). Neurosteroid endogen dapat berperan dalam kerentanan kejang katamenial pada wanita dengan epilepsi. Ketika tingkat neurosteroid berfluktuasi, kehilangan kontrol kejang dapat terjadi. Neurosteroid telah terlibat dalam eksaserbasi kejang perimenstruasi pada wanita dengan siklus menstruasi normal. Dihipotesiskan bahwa penarikan neurosteroid yang diturunkan dari progesteeron menyebabkan peningkatan rangsangan yang merupakan predisposisi kejang. Selain 9



itu, plastisitas pada subunit reseptor GABA-A dapat berperan dalam peningkatan kerentanan kejang pada epilepsi katamenial perimenstrual (Reddy, D. S., 2014). Tabel 2.5.1 Ringkasan modulasi hormon steroid dari kerentanan kejang (Reddy, D. S., 2014).



2.1.6 DIAGNOSIS Pasien dengan presentasi kejang sering mencari perawatan di unit gawat darurat. Evaluasi dan manajemen orang-orang tersebut harus berjalan bersama. Jaminan bahwa aktivitas kejang telah dihentikan dan dikendalikan terlebih dahulu harus dicapai, dan pencarian untuk Gangguan CNS serius yang mendasarinya sebagai penyebab kejang harus dimulai (Brust, C. M. 2019). Skenario klinis umum lainnya adalah skenario di mana pasien terlihat di kantor dokter beberapa hari setelah kejang. Dalam hal ini, hasil evaluasi berbeda, dengan riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan pengujian klinis bertujuan untuk memenuhi hal-hal berikut (Brust, C. M. 2019): 1.



Konfirmasikan bahwa episode tersebut adalah kejang



2.



Klasifikasikan kejangnya



3.



Tentukan apakah kasus tersebut memenuhi kriteria untuk diagnosis epilepsi 10



4.



Klasifikasi sindrom epilepsi



5.



Cari penyebab yang mendasarinya



Riwayat (Brust, C. M. 2019). 1. Pertanyaan yang diajukan – Suspect onset Fokal: a.



Apakah ada kejang di satu sisi tubuh?



b.



Apakah ada pandangan disatu sisI atau deviasi posis kepala ke satu sisi?



c.



Apakah ada kelemahan fokus kejang pasca atau masalah berbicara (juga dikenal sebagai kelumpuhan Todd)?



d.



Bisakah pasien berinteraksi atau berbicara selama kejang?



2. Cari penyebab akut , dan penyebab yang terjadi baru baru ini: a.



Adakah riwayat demam baru-baru ini, perubahan status mentak, atau sakit kepala?



b.



Adakah keracunan alkohol, kokain, atau obat-obatan lain belakangan ini?



c.



Apakah kejang mengikuti trauma yang signifikan?



d.



Apakah para pasien menderita diabetes, HIV / AIDS, atau gagal ginjal?



Untuk mendiagnosis epilepsi katamenial dibutuhkan penilaian yang cermat terhadap buku harian menstruasi, kejang dan karakterisasi jenis dan durasi siklus pasien (Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012). Evaluasi: Pemeriksaan Fisik dan Status Neurologis (Brust, C. M. 2019) Pemeriksaan fisik dan neurologis harus fokus pada ciri-ciri berikut: a)



Deformitas tengkorak atau tanda-tanda trauma eksternal (menunjukkan trauma lama atau baru);



b)



Lingkar kepala abnormal (mikrosefali atau makrosefali);



c)



dysmorphism (menunjukkan cacat kromosom);



d)



Tanda lahir atau stigmata dermatologis (tanda kelainan neurokutan yang mendasari atau alkoholisme kronis); dan



e)



Ekstremitas asimetri dalam hal ukuran, kekuatan, refleks, atau nada.



Pemeriksaan Penunjang (Brust, C. M. 2019) Pada anamnesis atau pemeriksaan fisik yang menunjukkan kelainan struktural SSP sehingga mengarahkan dokter untuk mencari melalui brain imaging secara dini dengan computed tomography (CT) atau MRI kepala dan otak. Setiap riwayat demam, perubahan status mental, atau sakit kepala yang selanjutnya dapat dilakukannya punksi lumbal untuk mencari infeksi SSP yang mendasarinya. Tes darah



11



yang memeriksa natrium serum, glukosa, nitrogen urea darah dan kreatinin, jumlah darah lengkap, dan kadar alkohol dalam darah, serta urin untuk skrining toksikologi, harus diperoleh secara rutin.



a) Electroencephalography Ini adalah alat penting untuk diagnosis dan klasifikasi sindrom kejang dan epilepsi. Kedua temuan interical (antara kejang), seperti pelepasan fokus atau pelepasan epileptiformis, dan temuan iktal (selama kejang) digunakan dalam klasifikasi kejang dan epilepsi. EEG juga merupakan alat diagnostik penting. Jika diagnostik kejang atau epilepsi sedang dipertimbangkan, potensi epileptoform pada EEG dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis. Namun, EEG normal tidak menyingkirkan kemungkinan epilepsi dan kejang. Jika diagnosis diragukan, pencatatan kejang menggunakan EEG tetap menjadi standar emas untuk diagnosis. Kadang-kadang, EEG bisa normal selama kejang focal karena orientasi aktivitas listrik dan / atau volume otak yang terlibat dalam aktivitas listrik abnormal tidak tercermin dengan baik oleh rekaman kulit kepala.



b) Structural Imaging MRI saat ini merupakan cara yang lebih disukai dari pencitraan struktural untuk pasien dengan epilepsi yang mendasarinya. Ini sangat sensitif dalam mengungkap tumor barin, malformasi vaskular, stroke, sclerosis temporal mesial, dan kelainan perkembangan, yang semuanya merupakan penyebab umum kejang dan epilepsi. Namun, urutan spesifik lebih baik daripada yang lain dalam menunjukkan kelainan tertentu; misalnya, sklerosis temporal mesial adalah taruhan yang terlihat menggunakan sekuens koronal T2 dan cairan inversi pemulihan (FLAIR), sedangkan imegasi gradientecho (GRE) diperlukan untuk menentukan perdarahan sebelumnya dan tingkat deposisi hemosiderin dalam kasus malformasi vaskuler.



c) Functional Imaging Interictal positron emission tomography (PET; dilakukan antara kejang) menggunakan radiolabeled glukosa untuk mempelajari fungsi metabolisme berbagai daerah otak. Di bidang epilepsi, area fokus dari penurunan metabolisme mungkin penting dalam menjelaskan belahan otak dan lobus yang bertanggung jawab untuk kejang pasien, bahkan jika pencitraan struktural normal. Ictal single-photon emission tomography (SPECT; dilakukan saat kejang) adalah proses pencitraan menggunakan radioisotop yang mengikat saat pertama kali melewati otak. Perannya dalam evaluasi epilepsi didasarkan pada anggapan bahwa area peningkatan 12



aliran darah selama kejang sesuai dengan wilayah otak yang bertanggung jawab untuk kejang pasien. SPECT dan PET terutama digunakan dalam evaluasi pasien untuk masingmasing pembedahan, terutama jika pencitraan struktural normal.



d) Tes Lainnya Bergantung pada riwayat klinis, status neurologis, dan pemeriksaan fisik pasien, pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan, termasuk rujukan ke ahli genetika untuk kariotipe kromosom (misalnya, fragile X, sindrom Down) atau pengujian genetik spesifik (misalnya, epilepsi mioklonik progresif tertentu , neurofibromatosis). Pemeriksaan serum metabolik, urin, atau cairan serebrospinal (misalnya, untuk mengungkap kelainan dalam transportasi glukosa atau metabolisme asam amino atau asam organik) juga dapat dipertimbangkan. 2.7 TATALAKSANA TATALAKSANA HORMONAL (Herzog, A. G. 2016)



Keterangan: AED – Antiepileptic drugs; C1 - Perimenstrual pattern C2 - Periovulatory pattern C3 - Luteal pattern Gambar 2.7.1 Algoritma manajemen katamenial epilepsi (Lukić, S. 2018).



Terapi Progestin Parenteral depo medroxyprogesterone dapat menurunkan frekuensi kejang ketika diberikan dalam dosis yang cukup untuk menginduksi amenore. Efek samping termasuk yang ditemui dengan progesteron alami. Namun, pemberian depot juga umumnya dikaitkan dengan hot flash, perdarahan vagina terobosan yang tidak teratur, dan penundaan yang lama 6 sampai 12 bulan atau lebih sebagai imbalan dari siklus ovulasi reguler. Efek hipoestrogenik jangka panjang pada status kardiovaskular dan emosional perlu dipertimbangkan dengan penggunaan kronis. Kepadatan tulang hanya dipertahankan sebagian (Herzog, A. G. 2016). 13



Terapi Progesteron



Terapi Cyclic-Progesterone



Terapi gonadothropin releasing hormone Analog GnRH pada dasarnya menciptakan ooforektomi (pengangkatan indung telur) medis. Efek samping yang umum adalah pembilasan, kekeringan pada vagina, dan dispareunia. Risiko jangka panjang yang serius termasuk osteoporosis dan penyakit kardiovaskular. Baru-baru ini penggunaan hormon paratiroid telah dibahas untuk mencegah keropos tulang pada wanita yang menjalani pengibatan dengan analog GnRH (Herzog, A. G. 2016). TATALAKSANA NON-HORMONAL Sebagian besar obat-obatan berbasis non-hormonal dievaluasi dalam pola epilepsi katamenial pramenstruasi (C1). Wanita dengan siklus menstruasi teratur adalah kandidat yang baik untuk intervensi ini, karena obat harus diambil dalam jumlah tertentu terhitung dari hari setelah timbulnya perdarahan menstruasi. Secara umum, pengobatan dimulai pada suatu kondisi selama fase kedua dari siklus (14-26 hari), bergantung pada bentuk tersendiri dari kejang tersebut, mengingat bahwa fase luteal berlangsung selama 14 hari (Lukić, S. 2018).



14



Beberapa obat non-hormonal yaitu; 1.



Acetazolamide Dosis 250-500 mg per hari telah efektif bila diberikan 3-7 hari sebelum dimulainya siklus (Lukić, S. 2018).



2.



Benzodiazepine Digunakan terutama untuk penghentian kejang cluster tetapi diberikan perlahan-lahan karena risiko resisten dan / atau toleransi selama penggunaan dalam jangka panjang (Lukić, S. 2018). Clobazam adalah satu-satunya benzodiazepin yang secara formal dievaluasi untuk pengobatan epilepsi katamenial (Lukić, S. 2018)



3.



Terapi Peningkatan dosis dari AED (Anti-epileptic drugs) Pada waktu tertentu selama siklus seksual merupakan pilihan rasional lainnya. Ini adalah bentuk pendekatan empiris, meskipun fenitoin tidak boleh ditingkatkan karena risiko efek toksik yang terkait (Lukić, S. 2018).



15



DAFTAR PUSTAKA Brust, C. M. 2019. CURRENT Diagnosis & Treatment: Neurology, 3rd Ed. McGraw-Hill Education. United States. p 50-52. Ganong, W.F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 20th Ed: Gonad, Perkembangan dan Fungsi Sistem Reproduksi. EGC: Jakarta. p 417-430. Guyton A.C. and J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC: Jakarta. p 1285. Herzog, A. G. 2015. Catamenial epilepsy: Update on Prevalence, Pathophysiology and Treatment from the Findings of the NIH Progesterone Treatment Trial. Elsvier Inc 28 (2015): 18-25. Herzog, A. G. 2016. Current Concepts of Catamenial Epilepsy. Epilepsi 22 (3) :75-85. Hutahaean, Y. O. 2018. Epilepsi Katamenial. Jurnal Kedokteran Mulawarman 6(3): 59-74. Khishfe, B. F. 2017. Catamenial Epilepsy: The menstrual cycle as a clue to predict future refractory seizures. Elsevier 52 (2): 235 – 237. Lukić, S. 2018. Catamenial Epilepsy – Update on Practical Management. Acta Medica Medianae 57 (4) : 117-121. Reddy, D.S. and M.A. Rogawski. 2009. Neurosteroid replacement therapy for catamenial epilepsy. Neurotherapeutics 6 (2009): 392-401. Redyy, D.S. 2014. Neuroendocrine aspects of catamenial epilepsy. Elsevier Inc 63 (2) :254-266. Redyy, D.S. 2016. The Neuroendocrine Basis of Sex Difference in Epilepsy. Elsevier Inc 152 (2017): 97-104. Stephen, L. J., C. Harden., et al. 2019. Management of Epilepsy in Women. Lancet Neurol 2019 (18): 481-491. Verroti, A., S. Agostinelli., et al. 2012. Diagnosis and Management of Catamenial Seizures: a review. International Jounral of Women’s Health 2012 (4): 535-541.



16



Lampiran 1 GLOSARRIUM 



Estradiol



: hormone steroid dari estrogen.







Modulator



: sisi penagatur enzim alosterik, sisi positif (stimulasi enzim), sisi negative



(menghambat sisi aktif enzim) 



Kainat reseptor



: reseptor ionotropic yang menerima respon dari neurotransmitter



glutamate. 



Kolateral schaffer : salah satu bagian dari hipokampus yaitu Cornu Ammonis (CA) yang meneruskan informasi aferen yang di dapat oleh gyrus dentatus kemudian di proyeksikan dalam bentuk serabut eferen utama dari neuron CA3 ke daerah CA1 hipokampus.



17