REFERAT SBS Shintiagi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT SICK BUILDING SYNDROME



Disusun oleh: Shintiagi Ekawidy 1815145



Pembimbing : dr. July Ivone, MKK, M.Pd.Ked



BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA 2020



1



DAFTAR ISI



COVER.....................................................................................................................................1 DAFTAR ISI.............................................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................4 2.1 Definisi.............................................................................................................................4 2.2 Etiologi.............................................................................................................................4 2.3 Faktor Risiko....................................................................................................................6 2.4 Gejala Klinis.....................................................................................................................7 2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................8 2.5 Diagnosis .........................................................................................................................9 2.6 Penatalaksanaan ...............................................................................................................9 2.7 Pencegahan.....................................................................................................................10 BAB III PENUTUP................................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13



2



BAB I PENDAHULUAN Dua puluh tahun belakangan ini di dunia banyak sekali dibangun gedung bertingkat tertutup rapat lengkap dengan ventilasi udara yang tergantung sepenuhnya pada mesin. Salah satu contohnya yaitu tempat kerja atau kantor yang menggunakan ventilasi dengan sistem Air Conditioner (AC) untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman. Hal kualitas



tersebut dapat mengganggu



udara di dalam ruangan (indoor air quality atau IAQ) karena ventilasi sistem Air



Conditioner mempunyai sirkulasi udara sendiri. Udara luar yang masuk ke dalam sistim ventilasi gedung akan berkurang bahkan bisa mencapai titik nol, sehingga hanya udara resirkulasi yang digunakan untuk bernapas. Hal tersebut menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality atau IAQ). Menurut Javari dkk, orang-orang menghabiskan sekitar 90% hidupnya di dalam ruangan (kantor, rumah, pusat olahraga, kendaraan transportasi, dan lain-lain). Sumber polusi udara dalam ruangan juga meningkat karena penggunaan peralatan kantor, dekorasi, dan fasilitas baru. Peralatan kantor modern seperti printer laser, mesin faks, mesin fotokopi, dan lain-lain juga menghasilkan polutan udara. Studi telah menunjukkan bahwa paparan penghuni polutan udara dalam ruangan adalah 100 kali lebih tinggi daripada paparan polutan udara luar. Konsentrasi polusi udara dalam ruangan ditemukan 2-4 kali lebih tinggi daripada polusi udara luar.  WHO mengemukakan hingga 30% bangunan baru dan yang direnovasi mungkin memiliki masalah dengan IAQ yang cukup untuk menyebabkan gejala kesehatan. Banyak orang, termasuk WHO, percaya bahwa SBS adalah penyebab utama ketidakhadiran di tempat kerja dan rendahnya efisiensi staf dan karyawan. Salah satu fenomena gangguan kesehatan yang berkaitan dengan kualitas udara di dalam ruangan adalah Sick Building Syndrome (SBS). Pada tahun 1983, WHO menggunakan istilah "Sick Building Syndrome" untuk pertama kalinya untuk menggambarkan situasi di mana penghuni gedung mengalami efek kesehatan dan kenyamanan akut yang tampaknya terkait dengan waktu yang dihabiskan di sebuah gedung, tetapi tidak ada. penyakit atau penyebab spesifik dapat diidentifikasi. Sick Building Syndrome adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam ruangan serta kualitas udara. Gejala-gejala yang timbul dapat berupa iritasi pada kulit dan mata, nyeri tenggorok, nyeri kepala, kelelahan, mual, batuk dan sesak nafas. Gejala tersebut dapat berkurang atau hilang bila para pekerja tidak di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu gedung atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Menurut National Institutes of Health America, Sick Building Syndrome (SBS) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sebuah situasi saat penghuni sebuah gedung mengalami penyakit atau efek yang tidak nyaman, saat menghabiskan waktu yang lama di dalam sebuah gedung. Disebut seperti itu dikarenakan sindrom ini umumnya dijumpai dalam ruangan gedung – gedung pencakar langit. SBS adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran pernafasan. Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau di rumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik. SBS merupakan kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan sistem ventilasi. Sick Building Syndrome adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam ruangan serta kualitas udara. Keluhan dapat berkurang atau hilang bila para pekerja tidak di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu gedung atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.



2.2 Etiologi Terjadinya fenomena Sick Building Syndrome berkaitan dengan kondisi gedung, terutama buruknya kualitas udara dalam ruangan. Sick building syndrome juga disebabkan oleh multifaktor termasuk faktor fisik, kimia, biologis dan fisiologis. Berikut keadaan yang menyebabkan Sick Building Syndrome: a. Ventilasi ruangan Menurut



American Society of Heating, Refrigerating and Air-conditioning Engineers



(ASHRAE) menganjurkan ventilasi dalam gedung minimum 15 m3/menit sampai 20 m3/menit pada ruangan tertentu, seperti ruang khusus merokok. Ventilasi yang ideal untu suatu ruangan apabila ventilasi dalam keadaan bersih, luas memenuhi syarat, sering dibuka, dan adanya pertukaran udara. Buruknya ventilasi dapat terjadi bila sistem pemanasan atau



4



heating, ventilasi and air conditioning (HVAC) tidak efektif mendistribusikan udara dan menjadi sumber polusi udara dalam ruangan, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan para pekerja. b. Sumber polusi Sumber polusi terdiri 2, yaitu dari dalam ruangan maupun luar ruangan. Polusi udara yang berasal dalam ruangan seperti lem, karpet, mesin fotokopi dan bahan pembersih yang mengandung gas toksik dan mudah menguap seperti formaldehid. Partikel-partikel yang biasanya terdapat dalam ruangan udara meliputi partikel hasil pembakaran dari proses memasak dan asap rokok, debu dari pakaian, kertas dan karpet, serat asbes dari bahan bangunan, serat fiberglass yang terdapat dalam saluran pipa AC. Sedangkan polusi dari luar ruangan seperti partikel yang melekat pada pakaian para pekerja yang berasal dari luar dapat disebarkan ke dalam lingkungan kantor, pipa ledeng, lubang angin dan semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat masuk melalui lubang angin atau ventilasi dekat sumber polutan. Asap rokok merupakan sumber terbesar partikel kimia iritatif di dalam gedung. Tabel 1. Asal polusi dan polutan yang mempengaruhi AIQ lingkungan kantor Asal polusi



Polutan Polusi dari ruang udara Lalu lintas Nox, CO, SO2, partikel Industri Nox, CO, SO2, partikel Polusi dari dalam gedung Alat tulis kantor Formaldehid (VOCs) Pembersih Formaldehid (VOCs) Bahan lembab Jamur Kontruksi gedung Mempengaruhi penetrasi dan dilusi dari luar ke dalam gedung Sistem HVAC (heating, ventilasi and air conditioning) Ventilasi Mempengaruhi distribusi dan dilusi polutan Pemanas Mempunyai efek pada suhu Pelembab Berpotensi sebagai sumber mikroba Penghuni gedung Virus, bakteri, asap rokok



c. Lingkungan kantor Konsep lingkungan kantor terbagi 2 yaitu lingkungan fisik yang terdiri dari faktor-faktor fisik, kimia dan lingkungan sosial terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma yang mana keduanya berpengaruh pada kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi



5



antara penerangan, suhu, kelembaban, kualitas udara dan tata ruang. Hubungan antara pekerja dengan lingkungan kantor dapat menimbulkan keluhan fisik (objektif) dan mental (subjektif). Jika faktor tersebut terpelihara baik maka lingkungan kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja. Sick building syndrome disebabkan beberapa faktor seperti faktor fisik, kimia biologis dan fisiologis, bila faktor ini dapat terpelihara dengan baik maka tercipta lingkungan kantor menjadi tempat yang lebih sehat dan nyaman untuk bekerja. Sistim pendingin juga merupakan penyebab terbanyak SBS karena tidak dapat terjadi pertukaran udara optimal dan menjadi sumber infeksi mikroorganisme serta menambah kontaminasi tempat kerja. d. Suhu dan kelembapan udara dalam gedung Manusia dapat bekerja nyaman pada suhu 20-26°C dengan kelembapan 40-60%. Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung saraf sensorik membran mukosa dan kulit serta dapat memberikan respons neurosensoral secara tidak langsung yang mengakibatkan perubahan sirkulasi darah. SBS dan terdapat hubungan signifikan antara udara kering, lembap, suhu dengan gejala pada membran mukosa. Polutan kimia dan partikel pada kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata, gangguan saluran nafas dan kelembapan di atas 60% menyebabkan kelelahan dan sesak. Perubahan tingkat kelembapan dan suhu mempengaruhi emisi dan absorpsi VOCs. Akumulasi uap pada konstruksi gedung menyebabkan kelembapan dan pertumbuhan mikroba. Perubahan warna, pengelupasan permukaan meterial, noda basah, perlekatan dan bau jamur merupakan tanda kelembapan. Sumber kelembaban berasal dari air hujan, air permukaan, air tanah, air lokal yang tidak terdrainase baik dan mengalami kondensasi.



2.3 Faktor Risiko Faktor-faktor yang berhubungan dengan Sick Building Syndrome, yaitu: -



Usia Semakin bertambahnya usia akan diikuti proses regenerasi dari organ sehingga kemampuan fungsi organ akan menurun. Hal ini akan menyebabkan daya tubuh menurun sehingga akan lebih mudah terserang Sick Building Syndrome.



-



Status Gizi



6



Status gizi merupakan faktor yang berhubungan dengan Sick Building Syndrome yang akan mempengaruhi pekerja dalam melakukan kegiatannya. Status gizi baik jika Indeks Massa tubuhnya antara 18,5-25, status gizi kurus jika IMT nya < 18,5, sedangkan seseorang dikatakan gemuk jika IMT nya >25. Jika status gizi baik maka akan meningkatkan produktivitas, tetapi jika status gizinya buruk maka akan menurunkan produktivitas kerjanya. -



Masa Kerja Masa pekerjaan yang di lakukan dalam waktu yang lama, maka dapat menyebabkan kemampuan dan stamina akan mengalami penurunan sehingga lebih mudah terserang Sick Building Syndrome.



-



Stress Stres akibat lingkungan kerja mekanismenya belum jelas diketahui, diduga karena tidak ada keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan. Stres merupakan gabungan antara beban kerja di kantor dengan lingkungan sosial dan faktor ini dapat memberikan fenomena fisiologis maupun psikologis.



2.4



Gejala Klinis Sick Building Syndrome (SBS) Pada umumnya gejala SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi dalam jangka waktu



tertentu menunjukkan gejala yang berulang. Gejala atau keluhan tersebut dirasakan pada saat pekerja berada di dalam gedung atau ruangan dan menghilang secara wajar setelah meninggalkan gedung atau ruangan pada akhir minggu atau hari libur. Gejala dan keluhan tersebut sering dialami pada individu yang memiliki tingkat stressor yang tinggi sehingga akan mempengaruhi produktivitas kerjanya. Membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagai berikut: a. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair. b. Iritasi hidung. Seperti iritasi tenggorokkan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering c. Gangguan neorotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi d. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada



7



e. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal f. Gangguan saluran cerna, seperti diare g.



Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing dll



Keluhan SBS yang diderita oleh pekerja antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakkan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung.



2.5



Patofisiologi Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS, antara lain:



1. Hipotesis kimia Bahwa volatile organic compounds (VOCs) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon monoksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas. 2. Hipotesis bioaerosol Penelitian cross sectional menunjukkan bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. 3. Faktor pejamu Kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala. Stres karena pekerjaan dan faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS. Building related illness (BRI) berbeda dengan SBS, adalah suatu penyakit yang dapat didiagnosis dan diketahui penyebabnya berkaitan dengan kontaminasi udara dalam gedung



8



2.6



Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis Sick Building Syndrome terdapat dua komponen. Pertama,



apakah gejala terjadi pada satu atau beberapa pekerja dalam gedung yang sama. Karena untuk menegakkan diagnosis adanya Sick Building Syndrome maka berbagai keluhan tersebut harus dirasakan oleh sekitar 20-50% pengguna suatu gedung dan keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu. Kedua, apakah gejala muncul saat berada di dalam gedung dan menghilang bila berada di luar gedung. Sick building syndrome bukan merupakan penyakit tunggal yang dapat didiagnosis segera pada pekerja di dalam gedung. Pengenalan gejala, pemeriksaan fisik dan laboratorium jika tersedia adalah langkah awal dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan SBS yang bertujuan untuk menyingkirkan kondisi lain yang mempunyai gejala sama. Pekerja dengan SBS lebih sensitif terhadap stimulasi dibandingkan dengan pekerja tanpa SBS. Keluhan seperti dada tertekan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelainan maka tidak terdapat penyakit. Waktu saat timbulnya penyakit merupakan salah satu faktor penting pada SBS. 2.7



Penatalaksanaan Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi



penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan. Non-medika mentosa o Meningkatkan laju ventilasi dan distribusi udara. Ini dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi terhadap sistem ventilasi yang telah ada disesuaikan dengan standar baku yang telah ada. Laju ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/ orang. Pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. o Larangan merokok di ruangan harus dilaksanakan, karena dapat memperberat penyakit



9



o Menghilangkan sumber polutan. Jika suatu gedung tekah dinyatakan telah terkena SBS, maka perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari sumber polutan yang dominan. Setelah sumber tersebut ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah menghilangkan sumber polutan tersebut. o Membersihakan udara yang disirkulasikan di dalam gedung. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan filter yang dapat menyaring udara, meskipun sangat terbatas. o Menjaga temperature dan kelembapan ruangan dalam rentang dimana kontaminasi biologis susah bertahan hidup. Biasanya dalam temperature 70 oF dan kelembapan 40-60%. Salah satunya dengan memasang ionizer o Membuka jendela sebelum menggunakan pendingin dan jendela sedapat mungkin dibuka berkala untuk membantu proses pertukaran udara dalam dan udara luar. 



Medika mentosa Pengobatan dilakukan berdasarkan gejala simptom:  Decongstan: membantu melancarkan pernafasan dan pengeluaran mucus atau lendir dari hidung.  Dextromethorpan



atau



ambroxol:



membantu



mengeluarkan



dahak



atau



mengencerkan dahak.  Paracetamol, ibuprofen, aspirin: demam, sakit kepala dan nyeri seluruh badan.  Antibiotik erythromycin: untuk penyakit seperti Legionnaire.



2.8



Pencegahan Pencegahan Sick Building Syndrome (SBS) dengan menentukan: 



Lokasi dan arsitektur gedung yang sehat. Perlu diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih ramah lingkungan (green washing,non toxic, natural, ecological friendly).







Jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah lingkungan agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam gedung.







Merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai penyebab tersering SBS. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah suplai udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan, demikian pula harus diperhatikan jumlah



10



suplai udara segar yang cukup apabila ada penambahan-penambahan karyawan baru dalam jumlah yang signifikan. 



Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS







Edukasi tentang penyakit SBS agar penghuni atau pekerja lebih aware







Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai.







Keluar gedung saat istirahat untuk menghirup udara segar.







Alokasikan ruangan khas untuk merokok dan buat jalur ventilasi untuk asap buangannya demikian sehingga tidak bercampur dengan sirkulasi udara segar menuju ruangan lainnya.



BAB III PENUTUP



11



Sick Building Syndrome berkaitan dengan kondisi gedung, terutama buruknya kualitas udara ruangan. Sick building syndrome merupakan kumpulan gejala yang akut pada pekerja di gedung perkantoran dapat berupa nyeri kepala, batuk, sesak, iritasi kulit, membran mukosa dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Sick building syndrome terjadi karena buruknya kualitas udara dalam ruangan (IAQ). Pengenalan SBS



mencakup



penilaian



terhadap



faktor individu



dan



lingkungan. Pencegahan



penatalaksanaan SBS bersifat komprehensif, melibatkan pekerja, manager dan organisasi.



DAFTAR PUSTAKA



12



dan



1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Sick Buildig Syndrome. 2018. [cited 2020 July



20]; Available from: URL: http://yankes.kemkes.go.id/read--sick-building-syndrome4890.html#:~:text=Sick%20Building%20Syndrome%20(SBS)%20menurut,lama%20di %20dalam%20sebuah%20gedung. 2. Yulianti D, Ikhsan M, Wiyono W. H. Sick Building Syndrome. Tinjauan Pustaka Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia CDK-189/ vol. 39 no. 1, th. 2012 3. Endah Aryadni, Juanda Juanda, Imam Santoso. Faktor Fisik dan Biologi dengan Keluhan



Sick Building Syndrome. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2018 July; 15(2): Page: 673-678. [cited



2020



July



20];



Available



from:



URL:



https://ejournal.kesling-



poltekkesbjm.com/index.php/JKL/article/view/50 4. Javari, M. J. et.al. Asosiasi Sindrom Bangunan Sakit dengan Parameter Udara Dalam



Ruangan. Journal of Respiratory Diseases, Thoracis Surgery, Intensive Care and Tuberculosis. 2015; 14 (1): 55–62. cited 2020 July 20]; Available from: URL: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4515331/ 5. Sujayanto G. Gedung tertutup bisa menyebabkan sakit. [cited 2020 July 20]; Available from: URL:http//www.indomedia.com/intisari/ewi/sept/airud/htm. 6. Sumedha M. Joshi. The Sick Building Syndrome. Indian J Occup Environ Med. 2008



August;



12(2):



61-64.



[cited



2020



Juli



20];



Available



from



:



URL:



https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2796751/ 7. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building syndrome headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003;12: 171-2.



13