Referat Sindrom Neuroleptik Maligna [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



REFERAT SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA Oleh : dr. Indah Kusuma Dewi Pembimbing : Lynna Lidyana, dr.,SpKJ



BAB I PENDAHULUAN



Kemajuan psikofarmakologis terus berkembang secara dramatis, memperluas parameter pengobatan psikiatri. Sejak antipsikotik diperkenalkan pada pertengahan tahun 1950-an, dan merevolusi pengobatan skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Seiring dengan pemahaman yang makin luas tentang bagaimana fungsi dan cara kerja otak, telah mendorong untuk menciptakan antipsikotik yang lebih efektif, efek toksik yang rendah, toleransi yang lebih baik dan mempunyai target terapeutik yang lebih spesifik. 1 Namun demikian, resiko efek samping penggunaan antipsikotik tetap ada, seperti kardiovaskuler, endokrin, metabolik, otonom, gangguan ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna.1,2 Sindroma Neuroleptik Maligna (SNM) diperkenalkan pertama kali oleh psikiater Perancis Delay dan kawan-kawan pada tahun 1960 pada pasien yang mendapat terapi antipsikotik potensiasi tinggi.3 SNM merupakan salah satu efek samping penggunaan antipsikotik. Biasanya terjadi setelah 4 – 14 hari setelah memulai terapi antipsikotik. 90% kasus terjadi dalam 10 hari. Namun SNM dapat pula terjadi setelah bertahun-tahun penggunaan antipsikotik. SNM dapat berlangsung selama 24 – 72 jam. Sering dihubungkan dengan antipsikotik potensi tinggi, generasi pertama seperti haloperidol, chlorpromazine, tetapi dapat pula terjadi pada pemberian antipsikotik atipikal seperti risperidone, quetiapine dan olanzapine.6 Antipsikotik konvensional (antipsikotik generasi pertama) memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya SNM dibanding antipsikotik generasi kedua. 2 Antipsikotik generasi kedua,



2



saat ini menjadi sorotan karena cenderung menyebabkan SNM dalam bentuk atipikal (gejala hipertermia dan rigiditas otot kurang sering terjadi), terutama SNM yang diinduksi clozapin.12,13 Baru-baru ini diketahui bahwa SNM juga dapat diakibatkan oleh obat-obat lain yang memperngaruhi dopamin seperti TCA, SSRI dan withdrawal L-DOPA, penggunaan secara bersamaan multipel dan neuroleptik dan lithium, dehidrasi dan peningkatan temperatur lingkungan.9 SNM meskipun jarang terjadi namun berpotensi mengancam kehidupan sehingga dianggap sebagai kegawatdaruratan dibagian psikiatri. SNM ditandai dengan 4 gejala kardinal yaitu rigiditas otot, demam, disfungsi otonom dan perubahan status mental. 2 ,9 Banyak faktor telah diselidiki terkait dengan resiko timbulnya SNM. Kondisi agitasi, katatonia yang sudah ada sebelumnya, dehidrasi, post restraint, kelelahan fisik, kerentanan pasien dan karakteristik obat telah dikaitkan dengan terjadinya SNM.2 Secara epidemiologi, SNM dapat mengenai 0,01-0,02% pasien yang diterapi dengan antipsikotik.1,2 dengan tingkat kematian pada SNM 10-20%.3,6 Morbiditas dan mortalitas SNM diakibatkan oleh komplikasi pada kardiopulmonal dan ginjal. Sehingga deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat sangat penting.5,6 Sementara beberapa faktor risiko SNM yang jelas telah diidentifikasi, insidensi yang relatif rendah mengakibatkan kesulitan dalam mempelajari SNM secara terpadu. Cara prospektif dalam membuat gambaran klinis, menentukan faktor predisposisi, pengobatan, dan prognosis sulit didefinisikan. Suksesnya pengobatan memerlukan deteksi segera, penghentian agen neuroleptik, menyingkirkan kondisi medis lainnya, perawatan suportif agresif, dan pemberian farmakoterapi tertentu.5 Judul referat ini dipilih karena SNM berpotensi mengancam kehidupan, apabila tidak segera ditangani, mengingat penggunaan antipsikotik pada pasien psikiatri mungkin akan diberikan jangka panjang, sehingga resiko efek samping selalu ada, sehingga dibutuhkan



3



kewaspadaan klinis yang tinggi untuk dapat menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pasien SNM secara cepat dan tepat.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. DEFINISI Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) merupakan reaksi idiosinkratik yang disebabkan oleh penggunaan neuroleptik/pengobatan dengan antipsikotik, timbul akibat blokade dopamin yang terjadi pada penggunaan antipsikotik, non-antipsikotik dopamin antagonis dan withdrawal dopamin agonis, dapat terjadi kapan saja selama penggunaan antipsikotik, biasanya terjadi segera setelah inisiasi pengobatan neuroleptik atau setelah kenaikan dosis, meskipun kasusnya jarang terjadi, namun dapat mengancam kehidupan. SNM ditandai dengan demam, rigiditas otot, perubahan status mental, disfungsi otonom dan peningkatan kadar creatinin phos-phokinase, leukositosis, enzim hati, mioglobin plasma dan myoglobinuria.1,2,3 Pada DSM V dikatakan bahwa, SNM mudah dikenali bila dalam bentuk klasik full-blown, sering heterogen dalam onset, presentasi, progresifitas dan outcome. 4 Onset terjadinya SNM adalah 4-14 hari setelah dimulai terapi, 90% kasus terjadi dalam 10 hari. Begitu sindrom dimulai, dapat berkembang selama 24 sampai 72 jam. Namun, SNM dapat pula terjadi setelah bertahun-tahun penggunaan antipsikotik.5



2.2. EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1980an, estimasi awal prevalensi SNM sekitar 2,44%, namun data tahun 2004 menyebutkan bahwa prevalensi SNM adalah 0,01-0,02% pada pasien yang diresepkan obat psikotropik,2



sekitar 0,167–32,6 kasus per 1000 penduduk.



4



Berdasarkan studi metaanalisis, estimasi secara keseluruhan adalah 0,991 kasus per 1000 penduduk.11 Frekuensi SNM secara internasional meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan antipsikotik, khususnya neuroleptik. Insidensi SNM di Amerika Serikat berkisar antara 0,2-1,9% (Khaldarov, 2000) dan 0,07-3,23% (Moscovich et al.2011).9 Pada studi RCT di Cina, didapatkan bahwa insidensi SNM mencapai 0,12%. 6,7,11 Antipsikotik konvensional (antipsikotik generasi pertama) memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya SNM dibanding antipsikotik generasi kedua.2 Namun insidensi SNM yang disebabkan antipsikotik tipikal sama dengan insidensi SNM yang disebabkan antipsikotik atipikal.11 Angka mortalitas SNM dapat mencapai 10-20%.1,2 Bahkan pernah dilaporkan 20-30%. Saat ini estimasi mortalitas akibat SNM 5-11,6%. Mortalitas meningkat menjadi 50% bila terjadi komplikasi gagal ginjal. 5 Secara demografi, SNM lebih banyak pada laki-laki (ratio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1) dan usia < 40 tahun,1,5,8 namun penelitian terbaru menyatakan bahwa usia dan jenis kelamin tidak ada korelasi dengan terjadinya SNM.2



2.3. ETIOLOGI Trigger primer yang dianggap menjadi pencetus terjadinya SNM adalah blokade pada reseptor dopamin yang disebabkan oleh agen antipsikotik. Semua golongan antipsikotik baik tipikal maupun atipikal berpotensi untuk terjadinya SNM, baik yang potensi rendah, potensi tinggi. SNM banyak dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat haloperidol dan klorpromazine. Keracunan lithium juga dilaporkan dapat menyebabkan SNM.5,8,12 SNM yang disebabkan oleh antipsikotik atipikal (second generation antipsikotik) ditandai dengan tingkat keparahan dan resiko kematian yang



5



rendah dibandingkan SNM yang diinduksi oleh antipsikotik tipikal (first generation antipsikotik).8 Penggunaan antipsikotik dosis tinggi, terutama antipsikotik potensi tinggi, aksi cepat, peningkatan dosis antipsikotik secara cepat, pemberian dalam bentuk depo long acting (seperti fluphenazine decanoat, fluphenazine enanthate, haloperidol decanoat, risperidal consta), adanya riwayat SNM sebelumnya dan episode katatonia yang baru terjadi dianggap sebagai pencetus terjadinya SNM.5 SNM dikaitkan dengan antagonis dopamin, misalnya pada penghentian secara tiba-tiba obat antiparkinson tanpa menghentikan antipsikotik.1,2,10,12. Tabel 2.1 Obat-obatan yang berhubungan dengan resiko terjadinya SNM adalah :2 Table 2. Neuroleptic and Nonneuroleptic Medications Associated With Neuroleptic Malignant Syndrome A. Neuroleptic B. Nonneuroleptic With antidopaminergic Activity (1) Typical (1) Metoclipromide a. Haloperidol (2) Tetrabenazine b. Fluphenazine (3) Reserpine c. Chlorpromazine (4) Droperidol d. Prochlorpromazin (5) Promethazine e. Trifluoperazine (6) Amoxapine f. Thioridazine (7) Diatrizoate g. Thiothixene h. Loxapine C. Dopaminergics (Withdrawal) i. Perphenazine (1) Levadopa j. Bromperidol (2) Dopamine Agonists k. Clopenthixol (3) Amantadine l. Promazine (4) Tolcapone (2)



Atypical a. Clozapine b. Risperidone c. Olanzapine d. Quetiapine e. Ziprasidone f. Aripiprazole



D.



Others (1) Lithium (2) Phenelzine (3) Dosulepin (4) Desipramine (5) Trimipramine



Abbreviation: NMS, neuroleptic malignant syndrome. Sumber : Journal Neuroleptic Malignant Syndrome : A Review fof Neurohospitalists



2.4. FAKTOR RESIKO Meskipun SNM merupakan reaksi idiosinkratik dan tidak dapat diprediksi, yang berhubungan dengan pemberian dopamin antagonis.11 Faktor resiko yang paling sering untuk terjadinya SNM antara lain :3,5



6 -



Agitasi psikomotor



-



Exhaustion



-



Kondisi dehidrasi



-



Penggunaan neuroleptik dosis tinggi, peningkatan dosis neuroleptik dalam dosis besar dalam waktu singkat (peningkatan dosis dalam 5 hari dan pemberian secara parenteral, khususnya sediaan depo yang diberikan intramuskuler), penggunaan dua atau lebih neuroleptik secara bersamaan dengan obat yang mempredisposisi terjadinya SNM (contohnya lithium, obat-obatan antikolinergik).



-



Meningkatnya suhu lingkungan (lingkungan yang hangat dan lembab)



-



Riwayat sindrom otak organik



-



Gangguan afektif



-



Genetik (laporan kasus SNM terjadi pada pasien yang kembar identik, juga terjadi pada seorang ibu dan dua putrinya)



-



Usia muda (< 40 th)



-



Jenis kelamin laki-laki



-



Riwayat SNM sebelumnya



-



Riwayat trauma, infeksi, malnutrisi, alkoholism



-



Fase premenstruasi dan periode post partum pada wanita



-



Tirotoksikosis



Faktor resiko terjadinya SNM dikelompokkan menjadi 4 katagori, seperti tampak pada tabel 2.2 berikut :11 Table 1. Risk factors, as grouped into distinct categories



Pharmacological Treatment



     



Risk Factors Initial phases of treatment or,change of dosage High dose of antipsychotic Parenteral administration (i.v. or i.m.) Polypharmacy Antipsychotic treatment Other compounds: antidepresan, mood stabilizer, anti parkinsonism



7



Environmental Factors



Demographics



Genetic Liability



  



Dehidrasi, Restrain fisik Temperatur tinggi



    



Age Multi morbidities Previous NMS Family history of Catatonic Syndrome Muscle channelopathy



Sumber : Journal Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review from a Clinically Oriented Perspective



2.5. PATOFISIOLOGI Sampai saat ini belum ada bukti patofisiologi yang menjelaskan bagaimana SNM berkembang. Hipotesis yang banyak diterima adalah penurunan aktivitas reseptor dopamin D2 yang disebabkan oleh adanya blokade jalur nigrostriata, hipothalamus dan mesolimbik/mesocotikal yang dipresipitasi oleh antipsikotik. Blokade tersebut menimbulkan manifestasi berupa perubahan status mental, rigiditas otot dan ketidakstabilan sistem otonom.2,3,5 Selanjutnya, hipotesis yang menjelaskan terjadinya SNM adalah teori dopamin reseptor. Dimana blokade dopamin reseptor di ganglia basalis khususnya jalur nigrostriata menyebabkan rigiditas otot yang kemudian menyebabkan rhabdomiolisis. Secara perifer, antipsikotik menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari reticulum sarcoplasmik, mengakibatkan meningkatnya kontraktilitas, yang dapat menyebabkan hipertermia, kekakuan, dan kerusakan sel otot.5 Reseptor dopamin di hipotalamus mengatur suhu tubuh dan blokade pada reseptor tersebut menyebabkan hipertermia, hilangnya menkanisme yang menurunkan panas (seperti vasodilatasi kulit dan keringat, dan ketidakstabilan sistem otonom.2,5 Mekanisme terjadinya SNM pada level seluler, merupakan reaksi fase akut dan peningkatan tonus simpatis yang menyebabkan ketidakstabilan membran dan pecahnya mitokondria terutama di di ganglia basalis dan hemisfer serebral, hal ini



8



dimanifestasikan dengan gejala ketidakstabilan otonom, hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan serum level pada fase akut dan norepinefrin pada LCS. Selain itu, reseptor serotonin menghambat pelepasan dopamin ditemukan pada axon terminal neuron dopaminergik namun mekanisme yang mendasarinya belum dapat dijelaskan.2 Hipertermia yang lama juga dapat menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis dan hemisfer serebri, menyebabkan kerusakan membran lipid, denaturasi protein dan kerusakan mitokondria, terutama bila terjadi peningkatan suhu yang ekstrim (>39.5oC – 40oC).2 Figure 26.1. Basic Pathophysiology of neuroleptic malignant syndrome. CPK, creatinine pshosphokinase; HR, heart rate; BP, blood pressure.



Dopamine Blockade or Withdrawal



Nigrostriatal Dopamin ↓



Mesocortical Dopamin ↓



Hypothalamic Dopamin ↓



Extrapiramidal Symptoms



Muscle Rigidity



Myonecrosis, Rhabdomyolisis



↑ CPK, Myoglobinurea, Renal Failure



Tremor



↑ Symphathatic Nervous System Tone



↑ Adrenal Tone



Autonomic Dysfunction & Inflammation



Altered Mental Status



Basal Ganglia & Cerebellar Damage



Fever, Diaphoresis, Leukocytosis, ↑ HR, Labile BP



↑ Acute Phase Reactants



9



Dopamine Blockade + Other Cause Source : Behavioral Emergencies for the Emergency Physician Flow chart 1: Pathophysiology of neuroleptic malignant syndrome (NMS)



Figure 1: Brain dopaminergic pathways: nigrostriatal, mesocortical/ mesolimbic and tuberoinfundibular (hypothalamic pituitary)



10



Figure 2: Drugs acting at presynaptic, synaptic and postsynaptic levels in a dopamine neuron may cause neuroleptic malignant syndrome (NMS) Abbreviations: DA, Dopamine; D2 Receptors, Dopamine type 2 receptors; COMT, Catechol-O-methyltransferase; 3MT, 3-methoxytyramine; HVA, Homovanillic acid; MAO, Monoamine oxidase



2.6. GAMBARAN KLINIS SNM lebih sering terjadi pada awal pemberian terapi neuroleptik atau peningkatan dosis terapi neuroleptik. Onset terjadinya SNM dapat terjadi dalam beberapa jam pemberian neuroleptik, rata-rata 4-14 hari setelah dimulai terapi neuroleptik.3 Empat gejala kardinal yang menggambarkan karakteristik SNM :2,3 -



Simptom motorik : katatonia, rigiditas otot



-



Perubahan status mental : mulai dari bingung, delirium, stupor sampai koma



-



Hipertermi : Demam akut lebih dari 38oC bahkan sampai 41 oC



-



Ketidakstabilan otonom dengan manifestasi respirasi ireguler, takipneu, takikardi, aritmia, fluktuasi tekanan darah, inkontinensia dan diaporesis.



11



Sebagai ringkasan, manifestasi klinis SNM dimana terdapat gejala sebagai berikut : 3,5,6 -



Rigiditas otot (tipikal, rigiditas seperti pipa timbal “ lead pipe rigidity “), seperti opisthotonus. Peningkatan tonus otot fokal dapat bermanifestasi dalam bentuk blefarospasme, krisis okulogirik, trismus, nistagmus, disfagia. Kelainan motorik lainnya meliputi akinesia/bradikinesia, distonia, mutism, chorea, disarthria dan tremor.



-



Hipertermia



-



Diaporesis



-



Sialorrhea



-



Pallor (muka pucat)



-



Dispneu, takipnea, respiratory distress (31% kasus)



-



Takikardia



-



Tekanan darah dapat meningkat atau labil



-



Hipoksemia (low pulse oximeter)



-



Inkontinensia



-



Shuffling gait (langkah diseret)



-



Agitasi psikomotor



-



Delirium progresif menjadi letargi, stupor dan koma



SNM juga dapat bermanifestasi dalam bentuk atipikal, dimana gejala kardinal seperti EPS, demam dan disfungsi otonom kurang menonjol, biasanya disebabkan oleh antipsikotik atipikal seperti clozapine, aripiprazol dan amisulpiride.12 Gejala ekstrapiramidal seperti rigiditas dan tremor kurang terlihat pada SNM yang diinduksi oleh Clozapine.5,12



12



Terdapat perbedaan gejala awal yang muncul dari onset gejala terjadinya SNM yang diinduksi oleh antipsikotik generasi kedua, meskipun tidak ada perbandingan statistik yang signifikan. Untuk olanzapine dan clozapine, gejala awal yang muncul adalah gangguan otonom (mual, muntah dan inkontinensia urin dan feses), sedangkan risperidone dan aripiprazole, gejala awal yang muncul adalah EPS (akatisia, diskinesia, bradikinesia, myoclonus, hiperrefleks dan hiporeflek). Quetiapine menginduksi SNM dengan gejala yang muncul mendadak, menunjukkan gejala terbanyak pada hari yang sama, kecuali diaphoresis dan tremor. Dalam banyak kasus, rigiditas dan tremor muncul lebih cepat, khususnya yang diinduksi oleh risperidon (rata-rata 1.5 dan 1.7 hari sebelum masing-masing didiagnosis SNM) sementara SNM yang diinduksi clozapine, hiperpireksia dan takikardi merupakan gejala awal (2.2 dan 1.4 hari sebelum masingmasing didiagnosis SNM). Peningkatan CK selalu diikuti SNM, khususnya pada golongan aripiprazole.12



2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada dasarnya, tidak ada tes laboratorium khusus untuk mendiagnostik SNM. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menilai tingkat keparahan dan komplikasi atau untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa yang lain. Pada pemeriksaan laboratorium pasien yang dicurigai SNM ditemukan adanya : 3,5,6 -



Peningkatan creatinephospokinase 1.000 IU/L bisa mencapai 100.000 IU/L (50100% kasus)



-



Leukositosis dengan jumlah leukosit 10.000-40.000/mm3 gambaran shift to the left (70-98% kasus)



-



Trombosistosis



-



Peningkatan laktat dehidrogenase (LDH)



13



-



Peningkatan alkaline phosphatase (hiperphosphatemia)



-



Peningkatan liver transaminase



-



Gangguan elektrolit : Hipokalsemia, hipo atau hipernatremia, hiperkalemia, asidosis metabolik.



-



Mioglobinemia



-



Penurunan Fe serum. Konsentrasi zat besi dalam serum yang rendah (rata-rata 5,71µmol/L), meskipun sensitif namun bukan marker spesifik untuk SNM pada kondisi akut



-



Peningkatan protein pada cairan serebrospinal



-



Mioglobinuri, pada pasien SNM dengan komplikasi gagal ginjal akut akibat terjadinya rhabdomiolisis, hiperuricemia.



Pasien SNM yang berat berat sehingga terjadi penurunan kesadaran, stupor bahkan sampai koma, dapat disarankan untuk pemeriksaan imaging dan cairan serebrospinal (LCS). Hal ini dilakukan untuk membedakan apakah SNM disertai dengan cerebral oedem saat berlangsungnya gangguan metabolik. Pada SNM, pemeriksaan LCS, CT scan dan MRI normal.3 Pemeriksaan EEG ditemukan aktivitas umum gelombang lambat pada SNM dengan metabolik encephalopati.



2.8. KRITERIA DIAGNOSIS Karena tidak ada tanda patognomonik atau tes diagnosa “gold standar”, SNM didiagnosa berdasarkan kriteria diagnostik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat standarisasi kriteria diagnostik SNM sejak pertengahan 1980. Kriteria diagnostik SNM tersebut diantaranya : 2,3,10,11 a. Kriteria Levenson’s b. Kriteria Pope c. Kriteria Addonizio



14



d. Kriteria Adityanjee dan Aderbigbe e. Kriteria DSM IV f. Bahkan saat ini yang terbaru adalah kriteria DSM V.



Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan fleksibilitas dalam menegakkan diagnostik SNM, misalnya pada kriteria Levenson’s tidak memasukkan riwayat pemberian antipsikotik, sedangkan pada kriteria Lazarus terdapat pemberian antipsikotik. Pada diagnosa retrospektif kriteria Pope, hipertermia tidak esensial, sementara kriteria lain memasukkan hipertermia untuk membedakan gejala SNM. Namun pada prinsipnya semua kriteria yang ada mengindikasikan bahwa kriteria tersebut diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding dan semua kriteria memasukkan rigiditas otot dan hipertermia sebagai gejala kardinal untuk mendiagnosa banding SNM. 11 Table 2.3. Comparison of diagnostic criteria. Criteria



Levenson Criteria (1985)



Pope Criteria (1986)



Symptoms All three major, or two major and four minor criteria suggest a high probability of NMS. Major Criteria: 1. Hyperthermia 2. Rigidity 3. Elevated CPK (usually > 1000 UI/L) Minor Criteria: 1. Altered consciousness level 2. Tachycardia 3. Labile arterial pressure 4. Tachypnea 5. Diaphoresis 6. Leukocytosis Allows for prospective and retrospective diagnoses. a. Prospective diagnoses (all three required): 1. Hyperthermia (oral temperature >37.5°C) 2. EPS with at least two of the following: - Leadpipe muscular rigidity - Cogwheeling, sialorrhea - Oculogyric crisis - Retrocollis - Opisthotonos - Trismus - Dysphagia - Choreiform movements - Dyskinetic movements - Festinating gait - Flexor-extensor posturing



15 3.



Autonomic dysfunction with two or more of the following: - Hypertension (>20mmHg rise in diastolic above baseline) - Tachycardia (>30 beats/min above baseline) - Tachypnea (>25 respirations/min) - Prominent diaphoresis - Incontinence



b. Retrospective diagnoses (if one of the three criteria above are not documented, a probable diagnosis is still permitted if both of the following criteria are met): 1. Clouded consciousness (e.g., delirium, mutism, stupor, coma) 2. Leukocytosis (>15,000 WBC/mm3) 3. CPK >300 U/mL 1. 2. 3. 4. Addonizio Criteria (1987)



5. 6. 7. 8.



Hyperthermia Rigidity Dystonia Blood pressure elevation (>140 mmHg systolic, >90 mmHg diastolic, or both) Tachycardia Diaphoresis Elevated CPK Leukocytosis



Requires all three major criteria, plus three minor criteria. Major Criteria: 1. Neuroleptic administration in past 7 days 2. Hyperthermia 3. Rigidity Lazarus Criteria (1989)



Minor Criteria: 1. Altered consciousness 2. Tachycardia 3. Labile arterial pressure 4. Tachypnea 5. Elevated CPK or myoglobinuria 6. 6. Leukocytosis Classifies diagnoses according to Type I, II, III, and IV subclasses of NMS. Also indicates use of rating scales to measure symptom severity for research purposes.



Adityanjee & Aderibigbe Criteria (1999)



Type I (Classical NMS): 1. Must be induced by oral or parental ingestion of typical or atypical neuroleptic, dopamine depleter/ antagonist, or a psychoactive agent in past 2 weeks, or by intramuscular administration of a neuroleptic in past 8 weeks; may also be induced by withdrawal of antiparkinsonian or anticholinergic agent in the past 1 week 2. Altered consciousness (rated on the Glasgow Coma Scale) 3. EPS (rated on the Simpson-Angus Rating Scale)



16 4. 5.



6. 7. 8.



Hyperthermia (oral temperature >38.5°C for at least 48 hours) Autonomic dysfunction, with at least two of the following: tachycardia (>100 beats/min), tachypnea (>25 respirations/min), blood pressure fluctuations (at least 30mmHg change in systolic, or 15mmHg change in diastolic) Diaphoresis Incontinence Any two of the following: elevation in CPK, leukocytosis, low serum iron levels, elevation of liver enzymes, myoglobinuria



Type II (Atypical NMS) : 1. Must be induced by the same agents as Type I NMS (above) 2. Altered consciousness 3. Hyperthermia 4. Autonomic dysfunction 5. Any one of the following: elevation in CPK, leukocytosis, low serum iron levels, elevation of liver enzymes, myoglobinuria Note that EPS is not necessary for Type II NMS. Type III (Impending/ threatened/ incipient/ aborted NMS) : Induced by exposure to either typical or atypical neuroleptic, but condition does not meet criteria for either Type I or II; otherwise strongly suspected to be NMS. Type IV (miscellaneous conditions as NMS): Includes miscellaneous conditions resulting from withdrawal of antiparkinsonian agents, or exposure to psychostimulants, or dopamine depleters / antagonists



DSM-4 Criteria (1994)



 The development of severe muscle rigidity and elevated temperature associated with the use of antipsychotic medication.  Two or more of the following: - Diaphoresis - Elevated or labile blood pressure (BP) - Tachycardia - Incontinence - Dysphagia - Mutism - Tremor - Changes in the level of consciousness ranging from confusion to coma - Leukocytosis - Laboratory evidence of muscle injury [e.g. elevated creatine kinase (CK)]  The symptoms in Criteria A and B are not due to another substance (e.g. phencyclidine), neurological or other medical conditions (e.g. viral encephalitis).  The symptoms in Criteria A and B are not better accounted for by a mental disorder (e.g. mood disorder with catatonic features).



17 1. 2. 3. 4. 5.



Hyperthermia (oral temperature >38°C on at least 2 occasions) Rigidity CPK >4-times the upper limit Changes in mental status (delirium, altered consciousness) Autonomic activation, including: - Tachycardia (>25% above baseline) DSM-5 Criteria - Diaphoresis (2013) - Blood pressure elevation (systolic or diastolic ≥25% above baseline), or fluctuation (≥20mmHg Diastolic change or ≥25mmHg - Systolic change) - Urinary incontinence - Pallor - Tachypnea (>50% above baseline) Sumber : Neuroleptic Malihnant Sindroma : A review from a Clinically Oriented Perspective



2.9. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding SNM secara umum dibagi menjadi 2 katagori : 2,3,9,10 a. Kondisi yang berhubungan dengan SNM -



Serotonin sindrom (SS) Terdapat riwayat penggunaan SSRIs, TCAs dan MAOIs. CPK normal, tidak ada leukositosis dan rigiditas. SS lebih sering dikarakteristikkan dengan gejala mioklonus. Hiperrefleks dan hiperkinesia lebih menonjol pada saat-saat akhir. Kelainan gastrointestinal seperti diare, mual, muntah lebih sering ditemukan pada SS dibanding SNM.



-



Hipertermi maligna Terdapat riwayat anestesi menggunakan fluronnade



anesthesia seperti



sevoflurane. Gejala dan kematian berkembang lebih cepat dibanding SNM (bisa terjadi dalam hitungan jam setelah pemberian anestesi) -



Acute Lethal Catatonia (ALC) Secara semiologi mirip dengan SNM, hanya tidak ada riwayat pemberian antipsikotik. Gejala psikiatri yang muncul seminggu sebelum onset adalah



18



psikotik dan agitasi. Pasien dengan katatonia dapat menunjukkan gejala gerakan yang berulang-ulang dan tidak terdapat kenaikkan nilai CPK -



Central Cholinergic Syndrome Tidak ada rigitas otot, nilai CPK normal



b. Kondisi yang tidak berhubungan dengan SNM -



Infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis) : Cairan serebrospinal tidak normal, biasanya terdapat gejala neurologi fokal. Infeksi lain seperti sepsis dan tetanus juga dapat menyebabkan rhabdomiolisis, demam dan perubahan gejala otonom seperti takikardia dan perubahan tekanan darah



-



Heat stroke : Tidak terdapat diaporesis dan rigiditas, terdapat riwayat kepanasan dan terpapar sinar matahari



-



Delirium tremens



-



Parkinsonism



-



seizures (status epileptikus)



-



Porphiria akut



-



Syok sepsis



-



Tetanus



-



Pheochromocytoma.



19



Secara lebih lengkap, diagnosa banding SNM dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut :10 Table 2.4. Differential Diagnosis for Neuroleptic Malignant Syndrome Differential Diagnosis



Distinguishing Features



Infectious (1) Meningitis or encephalitis (2) Brain abscess (3) Sepsis (4) Rabies



History of prodromal viral illness, headaches or meningeal signs Presence of seizures or localizing neurological signs Brain imaging CSF studies



Metabolic (1) Acute renal failure (2) Rhabdomyolysis (3) Thyrotoxicosis (4) Pheochromocytoma



Renal or thyroid function tests Absence of neuroleptic treatment Presence of severe hypertension Significantly elevated catecholamines and metanephrines



Environmental (1) Heat stroke (2) Spider envenomations



History of exertion or exposure to high temperatures Hot dry skin, skin lesion suggestive of spider bite Absence of rigidity Abrupt onset



Drug-induced (1) Malignant hyperthermia (2) Neuroleptic-induced syndromes a. Parkinsonism b. Acute dystonia c. Acute akathisia d. Tardive dyskinesia e. Postural tremor (3) Nonneuroleptic-induced syndromes a. Serotonin syndrome b. Anticholinergic delirium c. Monoamine oxidase inhibitor toxicity d. Lithium toxicity e. Salicylate poisoning f. Strychnine poisoning g. Drugs of abuse (cocaine, amphetamine, methamphetamine, MDMA, phencyclidine) Drug-withdrawal syndrome (1) Alcohol (2) Benziodiazepine (3) Baclofen (4) Sedatives (5) Hypnotics



History of inhalational anesthetics Family history of malignant hyperthermia Presence of hyperkinesias Positive toxicology/drug-level screen Low or normal CPK Presence of nausea, vomiting, diarrhea Presence of anticholinergic signs (dilated pupils, dry mouth, dry skin, urinary retention) Presence of rash, urticaria, or eosinophilia History of drug dependence, abuse, or overdosages



History of drug dependence, abuse, or overdosages Absence of neuroleptic treatment Toxicology screen



Neurological or psychiatric disorder (1) Parkinsonism (2) Nonconvulsive status epilepticus (3) Lethal catatonia



Absence of fever or leukocytosis Presence of hyperkinesias, later emergence of rigidity Prior history of catatonic states Absence of neuroleptic treatment EEG



Autoimmune (1) Polymyositis



Proximal weakness Abnormal EMG or muscle biopsy Presence of cancer or interstitial lung disease



Abbreviations: CPK, creatinine phosphokinase; CSF, cerebrospinal fluid; EEG, electroencephalography; EMG, electromyography; MDMA, 3,4-Methylenedioxymethamphetamine.



20



2.10. TATALAKSANA SNM merupakan kondisi emergensi yang dapat menyebabkan kematian jika tidak diterapi segera, sehingga langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengenalan /diagnosis segera dan menghentikan segera agen neuroleptik. Perawatan medis suportif, farmakoterapi spesifik dan Electroconvulsive Therapy (ECT) dipandang sangat berguna. Monitoring dan tatalaksana pasien SNM di ICU sangat direkomendasikan. 1,3,6 a. Perawatan Medis Suportif Kondisi SNM secara umum dapat menimbulkan komplikasi yang berat dan fatal seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, gagal ginjal akut yang disebabkan rhabdomyolisis, cardiac aritmia seperti torsade de pointes dan cardiac arrest, miokardial infark, cardiomiopati, respiratory failure akibat kekakuan otot dada.3 Bila sudah ada kecurigaan terjadinya SNM, maka pemberian dopamin reseptor antagonis segera dihentikan, monitoring tanda vital, keseimbangan cairan dan elektrolit, renal output, terapi simptomatis untuk demam. b. Pemberian farmakoterapi spesifik Obat-obatan yang sering digunakan adalah dantrolene, bromocriptine dan amantadine, levodopa (L-DOPA) dan carbidopa, apomorphine subkutan, clonidine dan benzodiazepin. Terapi diberikan selama 5 – 10 hari. Bila antipsikotik akan diberikan kembali, pertimbangkan untuk memberi antipsikotik generasi kedua atau antipsikotik yang potensinya rendah, meskipun tetap berpotensi SNM. Pemberian farmakoterapi adalah sebagai berikut : -



Dantrolene (Dantrium) sebagai muscle relaxant dapat menurunkan panas dan mengurangi rigiditas, namun pemberiannya harus hati-hati terutama bila terdapat gangguan fungsi hati, diberikan dengan dosis 0,8 – 2,5mg/kgBB intravena setiap 6 jam dan dapat dinaikkan sampai dosis total 10mg/hari. Bila



21



pasien sudah perbaikan dan gejala berkurang dapat diberikan secara peroral, dantrolen dapat diberikan dengan dosis 100-200mg per hari. -



Bromocriptine merupakan agonis dopamin dapat diberikan 20 – 30mg per hari dibagi menjadi 4 dosis.



-



Amantadine merupakan dopaminergik dan antikolinergik, digunakan sebagai alternatif dari bromocriptine. Dosis yang diberikan 100mg peroral, dosis maksimum 200mg setiap 12 jam.



-



L-Dopa dengan dosis 100mg per hari.



-



Benzodiazepine (clonazepam atau lorazepam 0,5-1mg) untuk mengontrol agitasi jika diperlukan. TABLE 2.5 │ Specific pharmacotherapy: Commonly used agents and drugs Category



Bromocriptine



Mechanis m of action



Central dopamine (DA) agonist



Dantrolene



Amantadine



Levodopa and carbidopa Dopamine agonist



Skeletal muscle Release DA from relaxation via dopaminergic inhibition of terminals and calcium release other central from sarcoplasmic sites reticulum Secondary to muscle relaxation; it may decrease body temperature, oxygen consumption, heart rate and respiratory rate Dose Oral: 2.5–10 mg/d four Oral: 50–200 mg/d 100–300 mg bd 25–250 mg times a day with tds or qid increments of 2.5 mg tid every 24 hours until a response is seen or up to 60 mg/d Intravenous: 2–3 mg/kg/d up to a dose of 10 mg/kg/d Adverse Dose-limiting Hepatotoxicity Hepatotoxicity, MI, effects hypotension, psychosis, (especially with uncontrolled arrhythmia, nausea and so forth doses > 10 psychosis, asthma, mg/kg/d) seizures peptic ulcer, dyskinesia Abbreviations: tid, Ter in die (Three times a day); bd, Bis in die (Twice a day); tds, Ter die sumendus (Three times a day); qid, Quater in die (Four times each day); MI, Myocardial infarction



Sumber : Jurnal Neuroleptic Malignant Syndrome Chapter 118



22



c. Electroconvulsive Therapy (ECT)3,5,6,11 Terapi ECT pada SNM masih menjadi perdebatan. ECT dapat memperbaiki beberapa dari gejala SNM, seperti demam, berkeringat dan tingkat kesadaran. Hal ini diduga karena ECT bekerja dengan cara memfasilitasi aktifitas dopamin di otak. Indikasi ECT adalah SNM berat, pengobatan medis yang sulit diatasi (>48 jam) dan ketika gejala nya sulit dibedakan dengan Akut Lethal catatonia (ALC). 3 ECT juga dapat diberikan pada pasien yang sangat membutuhkan pengobatan antipsikotik kronis namun memiliki riwayat SNM yang tidak memungkinkan untuk diberikan antipsikotik lagi.11 Namun pada sumber lain mengatakan bahwa riwayat ECT sebelumnya, menjadi faktor resiko potensial untuk terjadinya SNM. 5 Selain itu, ECT juga dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler seperti fibrilasi ventrikel dan serangan jantung dengan permanent anoxic brain injury, terjadinya kejang spontan pada pasien dengan riwayat status epileptikus.6



d. Pemberian kembali neuroleptik Pada pasien yang pernah mengalami episode SNM, risiko kekambuhan sangat terkait dengan waktu yang telah berlalu antara episode terjadinya SNM dan saat memulai kembali antipsikotik. Menunda reintroduksi obat antipsikotik sampai setidaknya 2 minggu setelah resolusi gejala biasanya direkomendasikan untuk pasien yang telah menggunakan antipsikotik oral dan setidaknya 6 minggu untuk mereka yang menggunakan sediaan depo long acting.5 Mayoritas pasien yang berkembang menjadi SNM akan dapat mentoleransi antipsikotik di beberapa titik di masa depan. Mengingat sifat SNM yang berpotensi mengancam



jiwa,



evaluasi



kembali



keuntungan



pemberian



antipsikotik



23



dibandingkan resikonya. Risiko kekambuhan dapat dikurangi dengan beralih ke kelas antipsikotik yang berbeda dan jika mungkin, menggunakan antipsikotik atipikal dan bukan agen tipikal.5 Jika neuroleptik sangat dibutuhkan, mengikuti pedoman yang sudah ada dapat meminimalisir resiko terulangnya SNM. Meskipun tidak satupun menjamin keberhasilan atau kegagalan, diantaranya adalah : -



Menunda pemberian antipsikotik minimal 2 minggu



-



Gunakan antipsikotik potensi rendah



-



Mulai dengan dosis rendah dan titrasi untuk meningkatkan dosis perlahan



-



Hindari pemberian bersama lithium



-



Cegah jangan sampai terjadi dehidrasi



-



Monitoring gejala SNM



e. Edukasi Pasien Saat meresepkan obat neuroleptik, dokter harus menjelaskan dan mengedukasi pasien dan keluarga tentang kemungkinan dampak buruk obat tersebut. Setelah episode SNM, edukasi dapat membantu pasien dan keluarga mereka untuk memahami apa yang telah terjadi pada pasien, mengapa SNM terjadi, dan kemungkinan kekambuhan jika terapi antipsikotik dimulai kembali.5 Edukasi juga dapat membantu pasien dan keluarga memutuskan tentang pemberian izin untuk memulai kembali antipsikotik. Jika mereka memberikan persetujuan, mereka harus menyadari tanda-tanda awal SNM (misalnya kekakuan, hipertermia, dan perubahan kesadaran) dan pentingnya segera mencari perawatan medis jika hal ini muncul. 5



24



2.11. KOMPLIKASI SNM berpotensi menimbulkan kondisi yang fatal. Ketidakstabilan sistem otonom dapat timbul segera, menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik. Komplikasi



yang



mengancam kehidupan perlu diidentifikasi segera, monitoring ketat, penatalaksanaan secara agresif dalam perawatan intensif. Jika pasien sudah dicurigai SNM, segera rujuk ke RS yang memiliki peralatan yang lebih lengkap. 3 Komplikasi yang potensial dapat terjadi pada SNM meliputi :5 -



Dehidrasi akibat asupan oral yang buruk



-



Gagal ginjal akut akibat rhabdomyolysis



-



Deep Venous Thrombosis (DVT)



-



Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)



-



Emboli paru akibat kekakuan dan imobilisasi



-



Infeksi paru akibat aspirasi pneumoni bahkan sampai respiratory failure



-



Cardiovascular arrhythmias and collapse, bahkan akibat keterlibatan sistem saraf otonom menyebabkan dilatasi miokardiopati reversibel yang dikenal sebagai “Takotsubo myocardiopati”



-



Hepatic failure



-



Seizure (kejang)



-



Dekompensasi gangguan psikiatri karena withdrawal antipsikotik



2.12. PROGNOSIS Prognosis pada pasien SNM tergantung pada seberapa cepat pengobatan dilakukan dan terjadinya komplikasi terkait. Bila tidak terjadi komplikasi seperti rhabdomyolysis, gagal ginjal, atau pneumonia aspirasi, pasien dilakukan perawatan suportif yang baik, maka prognosis untuk pemulihan akan baik.5



25



Pasien yang berkembang menjadi SNM setelah mendapat antipsikotik oral, gejalanya akan berkurang setelah 7-10 hari antipsikotik dihentikan, atau 3-14 hari setelah komplikasi teratasi, namun pada pasien yang mendapat antipsikotik depo long acting (fluphenazine), gejala perbaikan didapat setelah lebih dari 1 bulan. 3,5 Sebagian besar SNM mengalami perbaikan dalam 2 minggu dan pemulihan rata-rata setelah 7-11 hari. Kasus menetap selama 6 bulan dengan residual katatonia dan gejala motorik. Faktor resiko untuk gejala yang menetap lama adalah penggunaan antipsikotik depo bersamaan dengan adanya kerusakan struktur otak. Sebagian besar pasien dapat pulih tanpa gejala sisa neurologis, kecuali jika ada hipoksia berat atau peningkatan temperatur yang sangat tinggi untuk jangka waktu yang lama. Peningkatan kadar CPK yang sangat tinggi dapat memperburuk prognosa SNM



26



BAB III KESIMPULAN



SNM merupakan kasus kegawatdaruratan psikiatri yang disebabkan karena penggunaan antipsikotik baik tipikal maupun atipikal. Meskipun jarang terjadi, SNM dapat mengancam kehidupan. SNM ditandai dengan 4 gejala kardinal yaitu rigiditas otot, hipertermia, perubahan status mental, disfungsi otonom. Pada pemeriksaan penunjang selain ditemukan leukositosis, peningkatan kadar CPK, dapat pula disertai dengan peningkatan kadar LDH, alkaline



phosphatase,



liver



transaminase,



hipokalsemia,



hipo



atau



hipernatremia,



hiperkalemia, asidosis metabolik. Penting untuk dipertimbangkan diagnosa banding dari SNM, diantaranya meningitis, encefalitis, metabolik encefalopati, serotonin sindrom, infeksi sistemik, heat stroke. Farmakoterapi spesifik seperti bromocriptine, dantrolene, amantadine, levadopa dan carbidopa dapat diberikan untuk mengatasi kondisi SNM. Deteksi dan tegakkan diagnosis segera, hentikan pemberian antipsikotik serta penanganan tepat dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi resiko kematian.



27



DAFTAR PUSTAKA



1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 11th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2015. P 974 2. Zun LS, Chepenik LG, Mallory MNS. Behavioral Emergencies for The Emergency Physician : Cambridge University Press ; 2013. P 190-195 3. Bhandari G. Neuroleptic Malignant Syndrome. Journal of Associations of Physicians of India. 2013. Chapter 118. www.apiindia.org/medicine_update_2013/chap118.pdf diunduh tanggal 5 Mei 2017 4. Hales RE, Yudofsky SC, Roberts LW. The American Psychiatric Publishing Textbook of Psychiatry, 6th ed. DSM-5 Edition. Washington DC ; 2013. P 949 5. Practice



Essential NMS.



emedicine.medscape.com/article/816018-clinical diunduh



tanggal 6 Juni 2017 6. Wijdicks EFM. Neuroleptic Malignant Syndrome Up To Date. June 2014. http://www.uptodate.com/contents/neuroleptic-malignant-syndrome?topi. Diunduh pada tanggal 2 Juni 2017 7. Sindrom



Neuroleptik







Maligna



Seputar



Kedokteran.



medlinux.blogspot.com/2007/08/sindrom-neuroleptik-maligna.html. Diunduh tanggal 2 Juni 2017 8. Murri



MB,



Gualianone



A,



Bugliani



M,



Calcagno P,



Respino M,



et



all



Second Generation Antipsychotic and Neuroleptic Malignant Syndrome : Systematic Review and Case Report Analysis. NCBI Journal. 2015 9. Manu P, Zysman CK. Handbook of Medicine in Psychiatry. 2 nd ed. American Psychiatric Publishing. Washington DC, London England : 2015. P339-352



28



10. Berman BD. Neuroleptic Malignant Syndrome. A Review for Neurohospitalists. SAGE Journal : 2012 11. Tse L, Barr AM, Scarapicchia V, Rodriguez FV. Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review from a Clinically Oriented Perspective. NCBI Journal : 2015 12. Trollor JN, Chen X, Chitty K and. Sachdev PS. Comparison of Neuroleptic Malignant Syndrome Induced by First- and Second-Generation Antipsychotics. The British Journal of Psychiatry : 2014 13. Leonardo QF, Juliana GR, and Juan Fernando CA. Case Report Atypical Neuroleptic Malignant Syndrome Associated with Use of Clozapine. Emergency Department, Hospital Universitario San Ignacio, Pontificia Universidad Javeriana, Bogot´a, Colombia ; 2017