Reformasi Hukum Islam Di Indonesa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFORMASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA : KAJIAN A. QADRI AZIZY



Oleh : MUHAMMAD FARIH AL HUSNA 20020148010



PROGRAM MAISTER ILMU FALAK PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2021



A. Pendahuluan Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sekalipun tingkat dan sifat perubahan di antara mereka tidak sama. Perubahan yang tengah terjadi di masyarakat dapat melahirkan berbagai bentuk nilai baru yang berbeda dengan nilai-nilai yang berlaku sebelumnya. Keadaan seperti ini terkadang mengharuskan masyarakat untuk mengadakan perubahan hukum demi menyesuaikan tuntutan zaman. Sama halnya dengan hukum islam (fikih) yang notabene merupakan hasil ijitihad dari para ulama. Tentunya juga memerlukan perubahan maupun pembaharuan seiring berjalannya waktu. Hukum islam yang berlaku di arab belum tentu bisa diterapkan seutuhnya di Indonesia. Faktor budaya menjadi faktor utama akan hal tersebut. Maka dari itu perlu adanya perubahan hukum islam yang sesuai dengan keaadaan dan budaya bangsa Indonesia yang tentunya tidak melanggar syariat islam. A. Qodri Azizy merupakan salah satu pemikir yang berperan dalam reformasi hukum islam di Indonesia. Beberapa karyanya, yaitu Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-Modern dan Hukum Nasional, Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum.



B. Pembahasan 1. Reformasi hukum islam di Indonesia Gerakan pembaruan dalam Islam secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun kolektif, pada kurun dan dalam situasi tertentu, untuk melakukan perubahan terhadap persepsi dan praktik keber-Islaman yang telah mapan (established) kepada pemahaman dan praktik keberIslaman yang baru.1 Sementara secara spesifik pembaruan hukum Islam berarti rangkaian aktivitas berpikir dalam ijithad fiqh Islam untuk merubah pemahaman, adat istiadat, dan institusi-institusi lama agar sesuai dengan situasi dan kondisi baru yang muncul (terutama) karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.2



1



Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 97; Lihat juga, Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.11. 2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.174.



Lazimnya, setiap bentuk pembaruan bertitik tolak dari asumsi atau pandangan bahwa Islam sebagai realitas dalam lingkungan sosial tertentu tidak lagi sesuai atau bahkan menyimpang dari apa yang dinilai sebagai Islam yang sebenarnya.3 Hukum memiliki beberapa macam fungsi, antara lain: pertama, sebagai standar perilaku (standart of conduct) yang harus ditaati oleh setiap orang baik dalam aktivitas pribadinya maupun dalam interaksi social dengan lingkungannya; kedua, sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat (a tool of social engineering) agar bergerak kearah yang lebih baik; ketiga, sebagai alat control sosial (a tool of social control) agar mereka tidak melakukan perbuatan yang terlarang; dan keempat, sebagai sarana untuk memperlancar interaksi sosial dalam masyarakat (facility of human interaction).4 Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sekalipun tingkat dan sifat perubahan di antara mereka tidak sama. Perubahan yang tengah terjadi di masyarakat dapat melahirkan berbagai bentuk nilai baru yang berbeda dengan nilai-nilai yang berlaku sebelumnya. Keadaan seperti ini terkadang mengharuskan masyarakat untuk mengadakan perubahan hukum demi menyesuaikan tuntutan zaman.5 Faktor-faktor yang mendorong perlunya dilakukan pembaruan hukum antara lain yaitu faktor social buday, politik, ekonomi, pendidikan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa prinsip dan dasar penetapan hukum Islam adalah kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Kemaslahatan yang ingin diraih dan diwujudkan oleh hukum Islam dalam wadah fiqih kontemporer adalah bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi,lahir-batin, material spiritual, maslahah individu dan umum, maslahah hari ini dan esok tanpa membedakan jenis dan golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah atau orang kuat, penguasa atau rakyat. Hukum Islam semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat dan membawa hikmat. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kepada kedzaliman, dari rahmat ke laknat, dari maslahat ke mafsadat (kehancuran) dan dari hikmah kepada



3



Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia..., h. 97 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.3. Lihat: Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung; PT Alumni, 2002), h.88. Lihat: Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi 5 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm 76 4



sesuatu yang hampa tidaklah termasuk hukum Islam. Hukum Islam adalah keadilan Allah di antara hamba-hambaNya, kasih sayang Allah terhadap mahlukNya, naungan Allah di atas bumi, dan hikmah Allah yang menunjukkan kepadaNya, dan kebenaran RasulNya secara tepat dan benar.6 Pada masa sejarah perkembangan fikih masa awal sampai terbentuknya mazhab terlihat jelas perbedaan hukum Islam di suatu wilayah dengan wilayah lain. Muncullah mazhab Madinah, mazhab Kufah, mazhab Basrah, dan lainnya yang tersohor, kemudian bertransformasi menjadi mazab Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Namun, periode setelahnya mazhab-mazhab tersebut dianggap telah cukup untuk menjadi referensi hukum Islam di wilayah manapun. Inilah yang menjadi awal munculnya karakter transnasional dalam fikih. Karakter ini kian menguat dengan masuknya kepentingan politik ideologis yang menyertai perkembangan mazhab fikih.7 Mazhab akhirnya bersifat doktrin dogmatis-apologis dan taqlid oriented. Namun di sisi lain, terdapat ‘kaum-kaum kiri’ yang menafikkan warisan khazanah intelektual klasik karena dianggap out of the date dan menyerukan ijtihad yang sama sekali baru. ‘Mazhab kiri’ ini akhirnya bersifat liberal a historis-polemis dan unhistorical continuity oriented. Oleh karena itu perlu dilakukan dekonstruksi (konsep) ijtihad dan reformasi bermazhab yang mereposisi dan membuka jalan tengah dua kutub haluan pemikiran yang berseberangan tersebut.8 Teori yang akan digunakan untuk memahami persoalan penelitian ini adalah teori pembaruan hukum Islam, dengan asumsi lahirnya pemikiran ijtihad A. Qodri Azizy adalah dalam kerangka mengurai stagnansi hukum Islam terhadap dinamika sosial budaya dengan berbagai konteks terkait. Teori ini adalah teori menengah dari teori perubahan hukum (taghayyur al-ahkam) yang bersifat makro, berdasarkan kaidah taghayyur al-ahkam bi taghyur al-amkinah wa al-azminah wa al-ahwal, wa al-niyat wa al-‘awaid. Dalam kaidah



6



A. Qadri Azizi, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004, h. 110-125 Mawardi, Ahmad Imam. Fikih Minoritas: Fikih Al-Aqliyat dan Evolusi Maqs }id Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 271 8 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-Modern. Cet II. Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 72 7



ini terdapat hubungan kausal antara hukum dengan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan. Hukum sebagai akibat, yang lainnya (konteks) sebagai sebab atau al-‘illah.9 Fikih yang tumbuh dan berkembang di negara Timur Tengah tidak dengan serta merta dapat diterapkan di negara lain karena ada kemungkinan perbedaan kondisi, permasalahan, kebutuhan, kebiasaan, dan faktor lainnya yang membutuhan respon fikih kontemporer. Oleh karena kuatnya orientasi kemaslahatan dalam fikih kontemporer menjadi titik utama tujuan hukum Islam (maqasid al-shari’ah) dan dipengaruhi oleh pertimbangan tempat dan waktu sehingga membuka lebar kemungkinan lahirnya ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berbeda di suatu kawasan dengan kawasan lainnya, karena pertimbangan kemaslahatan. Keanekaragaman bangsa Indonesia meniscayakan asimilasi hukum Islam dengan sosial budaya masyarakat Indonesia. Perrbedaan pendapat dan juga perbedaan mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) tentu ada pengaruh faktor budaya kedaerahan atau yang biasa disebut ‘urf atau ‘adah (adat kebiasaan), meskipun pengaruhnya itu tidak sematamata kepada esensi hukumnya. Namun lebih berpengaruh terhadap mujtahid/faqih yang kemudian berdampak pada hasil pemikiranr atau ijtihadnya. Oleh karena itu, di Indonesia juga muncul pendapat untuk menciptakan “mazhab ala Indonesia”. Atau setidaknya agar berusaha menemukan hukum Islam yang sesuai sosio-kultural bangsa Indonesia, yang dalam banyak hal terdapat masyarakat di negara-negara Arab. Bahkan yang terjadi bukan saja untuk mewujudkan mazhab Indonesia, namun sekaligus pemikiran Hukum Islam secara mendasar yang sesuai dengan sosio-kultural bangsa Indonesia.10 Prof. Dr. H. A. Qadri Abdillah Azizy lahir di Kendal 24 Oktober 1955,11 dalam orasi ilmiahnya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Islam di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, memperkenalkan formula ijtihad baru yang ia sebut dengan al-Ijtihâd al-’Ilmiy al-’Ashriy (Modern Scientific Ijtihad). Melalui ide besarnya itu Qodri Azizi menyerukan perlunya melakukan ijtihad secara tematik (mawdlû’iy) atau kasus per kasus. Gagasan ini pada dasarnya merupakan respon terhadap 9



Bisri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm 201 10 A. Qodri Azizi, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern..., h. 19-20 11 Lihat http://justisia.com/2017/mengenal-prof-qodri-azizi.html diakses pada Senin 8 Juni 2021 pada pukul 20:58.



realitas sosial dan intelektual umat Islam yang melakukan dikotomi secara tajam antara aktivitas bermadzhab dan berijtihad. Dalam anggapan banyak pihak, seorang yang bermadzhab seolah tidak pernah bersentuhan dengan praktik ijtihad. Sebaliknya, orang yang mengklaim sebagai pendukung ijtihad seolah tidak pernah mengikuti pendapat ulama lain.12 Menurutnya, bermadzhab bukan hanya taklid mengikuti tanpa berupaya untuk berfikir dan mengetahui alasan penetapan hukum, baik ber-talid melalui ulama ulama madzhab maupun talid melalui karya imam suatu madzhab. Bermadzhab dengan ittiba’ mengikuti dan mengetahui alasan alasan dan dalil pengambilan hukum-pun masih tetap dapat disebut bermadzhab, meskipun masih menjalankan ijtihad terutama pada kasus-kasus kontemporer dan mengembangkan metodologinya yangmana memungkinkan terjadi perbedaan pendapat dengan imam madzhabnya.13 Selanjutnya ada konsep bermazhab fil manhaj , yaitu mengikuti metodologi atau manhaj yang dipakai oleh imam pendiri mazhab, katakanlah imam Syafi’i. Dalam tingkatan ini seseorang harus berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat dengan imam Syafi’i dalam tataran hasil pemikirannya, meskipun manhajnya mengikutinya. Ulama yang mengikuti metodologi yang dipakai oleh imam Syafi’i, masih tetap dianggap sebagai pengikut mazhab Syafi’i, meskipun dalam pendapat operasionalnya mempunyai perbedaan dengan imamnya. Dalam mempraktekkan mazhab fil manhaj berarti sudah mempraktekkan ijtihad, Namun masih terbatas dengan manhaj yang dipakai oleh imam Syafi’i, dan belum melangkah lebih jauh lagi dengan mengembangkan metodologi berijtihad. Dalam kenyatannya, praktek ijtihad ini selalu ada dan tidak pernah berhenti, sesuai dengan kasus yang muncul di zamannya. Artinya para fuqaha tidak pernah membiarkan kasus ini tidak mendapatkan jawaban hukum Islam. Sudah barang tentu ketika melakukan ijtihad para ulama pengikut mazhab itu akan selalu menggunakan metodologi



12



A. Qodri Azizi, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai SaintifikModern (Bandung; Teraju, 2003), hlm. 126. 13 A. Qodri Azizi, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad..., h. 23



yang telah dipakai dan dibakukan oleh imamnya. Di sini ulama mempraktekkan ijtihad, namun belum sampai mengembangkan metodologi.14 Formula ijtihad hasil rumusan Qodri Azizi menggunakan piranti ilmu-ilmu modern sebagai pendekatan. Beberapa rasyarat seperti history of ideas (sejarah pemikiran), penggunaan primary sources (sumber primer) dalam madzhab, historical continuity (kesinambungan historis), living knowledge (pengetahuan kehidupan), dan lain-lain merupakan upaya untuk memenuhi prosedur standar dalam dunia keilmuan yang berskala internasional. Misalnya masalah sistem ekonomi yang berkembang di masyarakat, tidak bisa hanya diselesaikan dengan perspektif fiqih muamalah, kaidah fiqih dan usul fiqih saja, tetapi juga harus melibatkan ilmu-ilmu ekonomi, akuntansi dan lain sebagainya. Sehingga perspektif dalam melihat hukum Islam yang terjadi di masyarakat lebih komprehensif dan kontekstual.15 Qodri Azizy menawarkan dekonstruksi dengan memberikan empat hal, yakni pertama, hukum Islam merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin masa lalu yang hendaknya di tempatkan pada posisi yang sebenarnya. Untuk itu dapat digunakan istilah Humanisasi hukum Islam, sehingga doktrin yang dianggap sakral menjadi sesuatu yang bisa disentuh oleh akal manusia. Kedua, melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai. Ketiga, setelah mampu menciptakan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi oleh kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut, bukan penolakan kepadanya dan dilanjutkan dengan reinterpretasi, dan pada waktunya akan ada tuntutan reformasi atau pembaruan terhadap ajaran dalam tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap waktu. Keempat, meneliti hukum Islam yang sudah ada memerlukan disiplin ilmu lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan memerlukan lebih dari satu disiplin ilmu, sehingga terjadi



14



A. Qodri Azizi, Redefinisi Madzhab dan Ijtihad, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar tanggal 16 Semarang: IAIN Walisongo, 2003, hlm. 4 15 A. Qodri Azizi, Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad..., h. 126.



pendekatan multidisipliner. Tambahan lagi ketika akan mengembangkan pemikiran hukum Islam, juga diperlukan beberapa disiplin ilmu terlebih ilmu sosial dan humaniora.16 Dari 4 poin tersebut, Ijtihâd al-’Ilmiy al-’Ashriy (Modern Scientific Ijtihad) menawarkan 4 langkah sebagai berikut : 1. Mendahulukan sumber primer/ primary source (Alqur’an dan sunnah) dalam menentukan rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam bermadzhab ketika berhadapan dengan masalah hukum kontemporer 2. Berani



mengkaji



pemikiran



ulama



atau



keputusan



hukum



organisasi



kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history of ideas dan tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis. 3. Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik produk deduktif maupun empiric sehingga bisa diuji ulang. 4. Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek maupun budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa menjastifikasi sesuatu yang baru dengan landasan emosional. 5. Responsif terhadap permasalah yang muncul 6. Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban masalah hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dijalani umat Islam. 7. Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar dijadikan sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyarakat. 8. Menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fiqih dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum umum dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar. 9. Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah dengan segala metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana memberikan peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan akhirat bagi umat Islam. 16



Qodri Azizi, Reformasi Bermadzhab, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 75-77



10. Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam membangn fiqih. 11. Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan induktif dan bukan deduktif.17



C. Penutup Reformasi hukum islam di Indonesia oleh A. Qodri Azizy menyerukan perlunya melakukan ijtihad secara tematik (mawdlû’iy). Dengan menawarkan konsep model ijtihad yang ia beri nama al-ijtihad al-’ilmy al-‘ashriy (modern scientific ijtihad). Konsep tersebut mengutamakan history of ideas (sejarah pemikiran), penggunaan primary



sources



(sumber



primer)



dalam



madzhab,



historical



continuity



(kesinambungan historis) dan living knowledge (pengetahuan kehidupan). Gagasan ini pada dasarnya merupakan respon terhadap realitas sosial dan intelektual umat Islam yang melakukan dikotomi secara tajam antara aktivitas bermadzhab dan berijtihad. Karena pada dasarnya hukum islam disini merupakan produk dari pemikiran para fuqaha yang mana harus dikaji secara kontekstual dan didukung oleh disiplin ilmu terkait.



17



A. Qadri Azizi, Reformasi bermadzhab, Jakarta; khalista, 2004, h. 110-125



DAFTAR PUSTAKA Ahmad Imam. Mawardi, Fikih Minoritas: Fikih Al-Aqliyat dan Evolusi Maqsid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKiS. 2010 Azizi, A. Qodri. Reformasi Bermadzhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern Bandung; Teraju, 2003 Azizi, A. Qadri. Reformasi bermadzhab. Jakarta; khalista. 2004 Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik-Modern. Cet II. Jakarta: Teraju, 2003 Bisri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung; PT Alumni, 2002 Manan, Abdul. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2006 Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Rofiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2001 Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999



http://justisia.com/2017/mengenal-prof-qodri-azizi.html A. Qodri Azizi, Redefinisi Madzhab dan Ijtihad, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar tanggal 16 Semarang: IAIN Walisongo, 2003