Resensi Buku Sejarah Buton Yang Terabaikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESENSI BUKU SEJARAH BUTON YANG TERABAIKAN1 “Labu Rope Labu Wana”



Oleh Ali Guntur (7126150369) [email protected] PPS Pendidikan Sejarah



Buton merupakan daerah yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara, kota BauBau. Nama Buton kini di jadikan sebagai wilayah kabupaten yang terdiri dari kabupaten Buton, kabupaten Buton Utara, kabupaten Buton Tengah, kabupaten Buton selatan, kabupaten Wakatobi dan kota BauBau. Secara historis nama Buton dikenal untuk sebutan nama pulau, dimana kerajaan/kesultanan Buton berdiri dan berkembang. Buku sejarah Buton yang terabaikan merupakan hasil karangan Prof. Dr. Susanto Zuhdi, kelahiran Banyumas pada tahun 1953. Buku ini berasal dari disertasi beliau yang dipertahankan dalam ujian promosi Doktor di program pascasarjana universitas Indonesia pada tahun 1999 yang berjudul “Labu Rope Labu Wana Sejarah Butun dalam Abad XVIIXVIII”. Setelah melewati kurun waktu sepuluh tahun kemudian hasil disertasi itu diterbitkan dengan judul “Sejarah Buton Yang Terabaikan, labu rope labu wana”. Sepengetahuan dan sepemahaman penulis, buku yang ditulis oleh Susanto Zuhdi ini menggunakan pendekatan cultural dan struktural. Secara garis besar, Susanto Zuhdi menjelaskan mengenai sejarah Buton yang terbaikan ini sebagai angggapan sejarah yang keliru. Disini disebutkan bahwa anggapan setiap kerajaan yang bekerja sama dengan VOC/Belanda di cap sebagai “penghianat”, jelas merupakan pandangan sejarah yang keliru. Oleh karena itukah maka sejarah Buton terabaikan? Dan karena itu pula Buton nyaris dilupakan oleh sejarah Indonesia?. Sebuah pertanyaan besar yang perlu diklarifikasi dan diluruskan. Maka buku ini hadir sebagai



1



Resensi buku susanto zuhdi., sejarah buton yang terabaikan, labu rope labu wana. (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2010)



jawaban daripada kekeliruan tersebut. Membaca buku ini bukan hanya diperoleh pengetahuan tentang karakteristik dan potensi daerah yang unik, melaingkan juga bertambahnya pemahaman kita tentang kemaritiman Indonesia. Membangun negara maritim Indonesia yang kuat kiranya memerlukan acuan dari model kerajaan-kerajaan bahari yang pernah eksis di Nusantara diantaranya adalah Buton, sebuah kesultanan yang menggunakan perahu sebagai prinsip kenegaraannya. PENDAHULUAN labu rope labu wana adalah ungkapan dalam bahasa wolio (bahasa kaum penguasa di Kesultanan Buton) yang berarti “ berlabuh haluan, berlabuh buritan”. Ungkapan ini diangkat dari historiografi tradisional berbentuk kabanti, berjudul ajonga inda malusa (harfiah berarti pakaian yang tidak luntur) karya Abdul Ganiyu. Yang di maksud dengan berlabuh buritan adalah akhir dari proses panjang yang di alami Buton untuk melepaskan diri dari ancaman Ternate, sedangkan berlabuh haluan adalah akhir dari upaya untuk melepaskan diri dari ancaman Gowa. Dengan kata lain, maksud yang terkandung adalah kondisi Buton yang sudah aman, ibarat sebuah perahu dengan tenang dapat menempatkan sauhnya, baik di bagian buritan maupun di haluan. Dalam pandangan dunianya, sebagai terungkap dalam tradisi lokal, Buton menganggap dirinya satu dari empat pusat “dunia” selain negeri Rum, Ternate, dan Solor. Ini boleh dikatakan sebagai kebebasan kultural (cultural freedom), yakni dasar pijak menentukan sikap dan jawab atas persoalan yang muncul dari lingkungannya yang bersifat struktural. Di pihak lain memang persepsi, sikap, dan tindakan tidak selamanya dapat dipertahankan ketika tantangan dan ancaman datang sebagai kendala-kendala struktural (structural constraints) yang terlalu kuat. Dalam perkembangannya Buton menghadapi tantangan dan ancaman dari buritan dan haluan, yakni perwujudan dari politik ekspansi Ternate dan Gowa. Ada tiga hal yang membuat terpojoknya Buton sebagai pulau sejarah yang terabaikan, pertama, terjepit di antara Gowa dan Ternate. Kedua, karena Buton bersekutu dengan VOC. Ketiga, sebagai konsekuensi persekutuan itu berakibat pada posisi keterkucilan Buton dalam historiografi yang cenderung berpihak pada pihak yang “menang”. Jelas bahwa



stigmatisasi seperti mengecap Buton sebagai penghianat belum terhapus sepenuhnya hingga sekarang. ALAM BUTON Asal usul nama Buton perlu diterangkan karena adanya berbagai versi yang dikenal. Akan tetapi, secara spesifik ada empat pengertian mengenai nama Buton: pertama, nama yang diberikan untuk sebuah pulau, kedua, nama kerajaan atau kesultanan, ketiga, nama sebuah kabupaten, dan keempat, nama untuk menyebut orang Buton. Nama Buton telah terungkap dalam kakawin negarakartagama (1365) yang disebutkan bergandengan dengan Benggawi. Disebutkan juga bahwa daerah ini telah berpenghuni dan lebih dari itu bahkan sudah ada suatu tatanan social dan politik. Selain nama Buton nama Wolio juga diletakkan dalam kerangka pembentukan permukiman dan nama kerajaan yang sama. Tradisi lisan menyebutkan bahwa pemukiman awal masyarakat di Buton dibangun oleh empat pendatang dari Johor (Melayu) pada awal abad ke-15. Empat orang dari Johor ini disebut Mia Patamiana. Kedatangan keempat orang ini nantinya akan membangun pemukiman yang namanya Welia, kemudian wilayah ini berkembang menjadi empat kampung, yakni Baluwu, Gundu-Gundu, Peropa, Barangkatopa. Dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah Patalimbona (empat kampung) dan setiap kampung dipimpin oleh seorang Menteri atau Bonto. Dengan demikian, nama Buton mengacu pada keutuhan pulau, sedangkan nama Wolio menunjuk pada suatu tempat yang menjadi pusat pmerintahan berbentuk kraton yang dikelilingi benteng. Tampaknya ada kesesuian antara kata welia dan wolio untuk menunjuk tempat yang sama. Karena dari sinilah kegiatan menebang dan membuka hutan dimulai dan dari sini pula cikal bakal kraton ditetapkan. Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang-Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang di Islamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama



isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton. Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam. Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. Buton juga disebutkan telah memiliki pengalaman sebagai pelaut pada abad ke-19, dalam tradisi lokal diterangkan bahwa ada dua pelabuhan penting sebagai jaringan pelayaran ke dunia Maluku yakni Batauga di bagian Barat, dan Kamaru dibagian Timur. Bahkan J.P. Coen dalam kunjungan ke Ambon dan Buton pada tahun 1613 mengatakan bahwa Buton merupakan pulau besar yang dikenal dengan kayu yang diminati orang sebagai bahan pembuat perahu. Buton dalam pembahasan mengenai penduduk dilihat dari segi etnis, bahasa, kehidupan ekonomi, dan golongan sosial. Penyebutan orang Buton sebagai suatu kesatuan kelompok etnis, sebenarnya tidaklah tepat karena mereka yang mendiami wilayah kesultanan Buton merupakan penduduk yang beragam. Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu



Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum. Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik. KESULTANAN BUTON DALAM PERGULATAN HEGEMONI Buton Dalam Tiga Pusat Kekuasaan (Makassar, Ternate, VOC) Buton adalah istilah untuk mengacu kepada nama kesultanan yang pernah hidup di Pulau Buton. Selain Buton, ada beberapa istilah yang dipakai untuk mengacu daerah tersebut misalkan Butun. Istilah Butun pertama kali digunakan dalam naskah Negarakertagama sebagai salah satu daerah vassal Majapahit. Selain Butun adapula istilah Butung yang kerap digunakan oleh orang Makassar. Namun untuk selanjutnya digunakan Buton untuk mempermudah pelafalan dan lebih akrab di telinga. Kesultanan Buton memiliki daerah yang mencakup sekarang menjadi wilayah Sulawesi Tenggara. Ibukotanya bernama Wolio dan sekarang menjadi nama benteng dan kraton. Sejak abad XVI pengaruh Islam datang dan mengubah legitimasi dari kerajaan menjadi berbentuk kesultanan. Pengaruh Islam dari Ternate ini pula mengubah pola pandang Buton terhadap Labu Rope nya tersebut pada kemudian hari. Abad XVII-XVIII merupakan abad emporium dimana hampir wilayah yang sekarang menjadi Indonesia diintegrasikan. Mengutip analisis dari A.B. Lapian bahwa perairan adalah pemersatu yang mengintegrasikan keberadaan wilayah-wilayah pulau di Indonesia pada



sekitar abad tersebut. Dari perairan tersebut muncul pelabuhan dan jalur-jalur perdagangan. Jalur-jalur tersebut membentuk pola interaksi antara daerah-daerah pelabuhan dan transit pedagang. Dari unsur pelabuhan-pelabuhan tersebut memunculkan sebuah satuan bahari (sea system). Pada masa emporium inilah Makassar muncul sebagai penguasa di daerah Sulawesi bagian selatan atau sebelah barat dari Buton. Ternate berada di daerah Maluku Utara yang berbatasan dengan Buton sebelah timur. Jalur-jalur perdagangan di Indonesia bagian timur juga menarik setelah kehadiran VOC untuk berkunjung. Bahkan dengan jalur perdagangan tersebut, VOC mempermudah usaha VOC untuk semakin giat melakukan pendekatan terhadap sumber rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Buton adalah salah satu daerah yang dikunjungi oleh VOC. Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa Makassar adalah salah satu pelabuhan perdagangan yang ramai pada abad XVII. Setidaknya ada beberapa hal yang mendasari hal tersebut, yakni jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, memudarnya kekuatan pelabuhan-pelabuhan Jawa, dan juga kemampuan Makassar menjadi daerah transit yang menarik banyak para pedagang. Kepandaian Makassar mengadakan “politik pintu terbuka” adalah salah satu hal yang menarik para pedagang. Dengan keadaan seperti itu, maka monopoli daerah Indonesia bagian timur akan sulit dilaksanakan VOC. Untuk melakukan monopoli setidaknya Makassar harus ditaklukan oleh VOC. Sebab keberadaan pelabuhan Makassar membuat pelabuhan yang dibuat VOC menjadi tidak mampu menarik para pedagang. Beberapa cara yang dilakukan VOC untuk meredam kekuatan Makassar, ialah membuat kontrak kerjasama dengan Buton pada tahun 1613. Dengan kontrak tersebut ada dua pihak yang merasa diuntungkan yakni Buton dan VOC. Disatu pihak ialah Buton yang merasa aman dari kekhawatiran akan politik ekspansinya Makassar yang terus bergerak ke arah timur. Selain merasa aman, Buton mendapatkan pula bantuan keamanan dari VOC berupa bantuan senjata dan pasukan. Namun dengan kontrak tersebut, setidaknya VOC juga mendapat keuntungan yakni dapat mematahkan hegemoni Makassar. Meski begitu isi dari kontrak tersebut seringkali dianggap lebih menguntungkan pihak VOC daripada pihak Buton itu sendiri. Isi dari kontrak tersebut ialah bahwa VOC tidak akan mengganggu terhadap jalannya pemerintahan Kesultanan Buton dan juga adanya



perlindungan keamanan dari VOC seandainya Buton menghadapi serangan maupun gangguan ancaman lainnya. Namun begitu sebagai balasannya VOC memperoleh hak bahwa Buton harus membantu pelayaran ke kepulauan Solor untuk menghadapi Portugis, berhak menentukan harga barang dagang dan kebutuhan hidup dan juga Buton tidak boleh berdagang dengan bangsa asing lainnya. Hegemoni Makassar dan Ternate ternyata mampu diredam oleh Buton melalui kontrak tersebut. Kemampuan diplomatik VOC juga mengambil keuntungan dari perang hegemoni antara Makassar, Buton, dan Ternate. Namun seringkali dengan kontrak perjanjian VOC dengan Buton membuat stigma Buton adalah antek dari VOC. Sebenarnya hal demikian tidak ada pengaruhnya dengan pengkhianatan bahwa Buton memihak VOC. Dalam sejarah diplomatik seringkali harus ada perjanjian atau kontrak untuk menjaga kedaulatan sebuah wilayah. Buton adalah salah satu kesultanan yang melakukan kontrak tersebut untuk menjaga kedaulatan mereka. Makassar pun melakukan ekspansi politik tentu dengan berbagai alasan. Salah satunya memperkuat hegemoni sebagai kerajaan maritim. Dengan menguasai wilayah Buton tentu akan mempermudah pasokan rempah-rempah dari Maluku. Dalam ranah perpolitikan, pengaruh Makassar kental terhadap Buton hingga tahun 1667 atau setelah kemunculan Arung Palakka yang membantu VOC menghancurkan Makassar sehingga diadakannya Perjanjian Bongaya. Dari tahun 1626 setelah terjadi ekpansi dari Makassar terhadap Buton, praktis tidak ada perlawanan yang seimbang dari Buton. Kontrak yang ditandangani tahun 1613 ternyata tidak membawa kepentingan yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Selain itu dari tahun 1615-1633 terjadi banyak gangguan dari dalam salah satunya perebutan kekuasaan di Buton sendiri setelah meninggalnya Sultan Abdul Wahib atau La Balawo. Dengan meninggalnya pemimpin Buton tersebut, praktis stabilitas politik menjadi tidak terlalu aman. Hingga pada tahun 1634 ditandai dengan kemunculan Arung Palaka dari Bone yang juga membantu keadaan politik dan ekonomi di Buton menjadi lebih baik. Arung Palaka adalah seorang bangsawan Bugis yang melarikan diri dari daerahnya di Bone karena diserang oleh Makassar. Arung melarikan diri dan mendapat perlindungan di Pulau Butung (Buton). Setelah mendapat ijin untuk menjadi serdadu VOC di Batavia, Arung kembali ke Sulawesi dan berusaha menggulingkan Makassar. Hingga akhirnya Makassar menyerah dan memaksakan untuk hadir di meja perundingan dan berakhir dengan Perjanjian Bongaya. Dan Arung Palaka mendapat gelar arumpone atau arung Bone.



Dengan Perjanjian Bongaya tersebut praktis daerah Sulawesi dan taklukan Kerajaan Makassar dapat terlepas dari pengaruh Makassar. Buton adalah satu kesultanan yang terlepas dari pengaruh Makassar. Setelah perjanjian Bongaya antara Makassar dan VOC terjadi, praktis Buton tidak menghadapi lagi politik ekspansi dari Makassar. Namun hegemoni daerah Indonesia timur masih diperebutkan dengan kesultanan lainnya yakni Ternate. Ternate adalah saudara sekaligus “musuh” yang harus dihadapi oleh Buton. Dikatakan saudara karena dalam penyebaran agama Islam pun Buton meminta bantuan Ternate yang sudah dianggap saudara sendiri untuk mengirimkan orang yang fasih dalam agama. Adapun dikatakan musuh dalam kaitan konstilasi politik dalam masalah pengaruh kekuasaan khususnya masalah wilayah. Selain dengan Ternate, sahabat lamanya sendiri, beban Buton ialah masih memiliki perjanjian atau kontrak dengan VOC. Pada dasarnya hubungan Ternate dan Buton adalah sahabat erat, namun adanya poin-poin tertentu dalam perjanjian dengan VOC membuat hubungan tersebut mejadi renggang dan mengalami masa kritis. Isi poin dari perjanjian tersebut ialah setiap sultan dan pembesar Kesultanan Buton yang dipecat dan diangkat menjadi pejabat sultan atau jabatan kesultanan lainnya terlebih dahulu berkonsultasi dengan Ternate dan Kompeni. Tahun 1668, ketika Sultan La Tangkaraja berkuasa adalah saat ketika masa kritis dengan Ternate terjadi. Banyaknya peristiwa mulai dari pengangkatan Sultan Kaimudin (La Tangkaraja) tanpa memberi tahu Ternate dahulu ditambah adanya pembesar Kerajaan Ternate yang terbunuh di Buton dalam perjalanan kembali ke Ternate tanpa dilaporkan kepada pihak Ternate. Ketegangan antara Buton dan Ternate bertambah dengan adanya gejolak di kawasan Muna. Salah satu kerajaan kecil yang berada di wilayah Buton. Muna tersebut diperebutkan oleh Ternate dan Buton, hingga akhirnya VOC menunjuk David Harthovwer untuk menyelesaikan permasalah tersebut. Dalam peristiwa pertentangan Ternate dan Buton masih berupa perebutan hegemoni, salah satunya mengenai kesamaratan dan kesaudaraan. Buton menganggap Ternate saudara namun harus setara dimata VOC sehingga poin mengenai keharusan Buton untuk berkonstultasi mengenai sultan atau jabatan kesultanan dianggap tidak mencerminkan kesamarataannya. Keinginan Buton ialah penghapusan poin tersebut. Meskipun Buton masih membayar berupa “upeti” namun itu dilakukan bak adik kandung yang membantu kakaknya. Tanpa menaifkan keberadaannya, VOC hadir dalam



kisah Buton sebagai bandar dagang, teman sekutu dan juga lawan. Bagaimanapun, sebagai bandar dagang tujuan utama dari VOC adalah mendapatkan keuntungan. Untuk mendapatkan keuntungan setidaknya VOC harus melakukan penjualan komoditas yang tentu akan dicapai jika terciptanya keadaan yang kondusif. Maka keinginan menciptakan daerah yang kondusif, salah satunya berusaha menaklukan Makassar dan Ternate, tidak lain adalah untuk mendapatkan barang-barang komoditas dagang. Perdagangan di Buton Dalam beberapa karangan seringkali wilayah Buton hanya berhubungan sebagai tempat transit namun apakah ada komoditi yang didagangkan di Buton? Jika ada, komoditas apakah yang menjadi primadona perdagangan di Buton? Komoditi yang paling menarik ialah budak (slaves trade). Dari analisis Markus Vink, perdagangan budak adalah salah satu jenis perdagangan tertua dan yang paling menguntungkan. Budak dibutuhkan selain sebagai pasukan untuk berperang juga sebagai jongos para bangsawan. Seringkali budak tersebut tidak hanya dibawa ke Batavia, namun juga mencapai Afrika Selatan (Tanjung Harapan). Budak sebagai komoditas pada saat itu dihasilkan pula di daerah Buton sehingga hal itu menarik Ternate untuk menguasainya. Namun yang menjadi menarik adalah adanya tulisan dari Heather Sutherland mengenai komoditas budak di Buton ini. Dalam tulisannya, Heather mengemukakan bahwa hingga 1686, seorang Nahkoda kapal sering berlayar setiap tahun menuju Buton untuk menukarkan barang dagangan dengan budak. Setelah Makassar dapat dikuasai VOC, perdagangan budak menjadi komoditas yang sangat laku dipasaran dan Makassar adalah salah tempat transit dari para pedagang budak di wilayah Sulawesi. Selain budak ada juga komoditi laut yang dihasilkan di daerah Buton yakni teripang (Holothuroidea). Teripang ini laku sebagai obat khususnya untuk daerah China. Meskipun merupakan penghasil teripang, Buton tidak memiliki teripang dengan jumlah yang banyak. Meski menghasilkan teripang dan budak yang laku, namun dalam bidang pertanian maupun tanaman komoditi lainnya, Buton tidak termasuk dalam penghasil yang baik. Meski memiliki hutan yang lebat namun Buton tidak memiliki tanaman cengkeh yang laku dipasaran dunia. J. P. Coen dalam suratnya mengemukakan bahwa Buton merupakan daerah yang cocok untuk



orang-orang yang membuat perahu karena terdapat banyak pohon yang cocok dalam pembuatan perahu. Pada umumnya tanah di Buton merupakan tanah berbatu karang dan tanaman yang banyak tumbuh adalah jagung dan singkong (cassava). Akan tetapi Buton dianggap sebagai daerah yang memiliki potensi mutiara dengan orang-orang yang mahir menyelam untuk mengambil mutiara. Selain itu hal menarik dalam perdagangan di Buton ialah mengenai air bersih. Air bersih mutlak diperlukan bagi kebutuhan minum pada pelayar. Seringkali pelayar berhenti di sebuah pelabuhan atau tempat transit untuk mengambil air minum. Pedagang EIC (East India Company) memuji air bersih di Buton. Mereka menganggap bahwa air bersih di Buton bahkan jauh lebih bersih daripada air di Banten. Sampai akhir abad XVIII perkembangan Buton tidak lepas dari hegemoni Hindia Belanda. Keberadaan Buton menjadi hilang sebagai sebuah daerah yang besar hingga abad XX. Kekuatan maritim Buton pun tidak berkembang, seolah tidak mencerminkan bahwa Buton pernah mematahkan hegemoni Makassar dan Ternate. Buton menjadi daerah yang mengalami penyakit lost identity. Penutup Buton tidak semata-mata sebagai tempat persinggahan dari Maluku ke Makassar ataupun sebaliknya, namun juga sebagai kesultanan yang mampu mereduksi hegemoni Makassar dan Ternate. Pada realitanya Makassar dengan ekspansi politik dan dagangnya ternyata mampu menguasai perdagangan khususnya untuk hubungan dengan Indonesia bagian timur. Sedangkan Buton merupakan tempat yang strategis karena seandainya Makassar menguasi Buton maka perdagangan di Sulawesi bagian selatan hingga ujung utara mutlak akan dikuasai oleh Makassar. Namun kemampuan diplomasi dan adanya konflik Makassar dengan Arung Palakka mengubah keadaan itu. Arung Palakka, dibantu VOC mampu menggulingkan Makassar dan membuat hegemoni Makassar hancur. Buton akhirnya tidak tersentuh lagi dengan Makassar.



Lain Makassar, lain dengan Ternate. Jika dengan Makassar hal yang dihadapi adalah ekspansi wilayah, maka dengan Ternate Buton menghadapi semacam perlawanan pengaruh dengan saudara tua. Ternate dianggap sebagai saudara tua, karena banyaknya penduduk dari kesultanan Buton yang beragama Islam karena disebarkan oleh Ternate. Bahkan kedatangan Islam ke Buton diperkirakan berasal dari Ternate. Oleh karena itu, ada perjanjian yang justru membuat Buton merasa menjadi vassal dari Ternate. Hal ini tak lain karena poin tersebut mengharuskan pemilihan sultan dan pejabat kesultanan harus dirundingkan dengn Ternate dan VOC. Setelah poin itu dihapuskan akhirnya Buton menjadi merasa sama rata dimata VOC. VOC adalah kekuatan asing yang menurut sumber historiografi tradisi Buton adalah semacam Ratu Adil. Keberadaanya, menurut sudut pandang Buton, adalah sebagai penolong salah satunya dari politik ekspansi Makassar dan menyamaratakan status dengan Ternate. Namun tentu dibalik itu, VOC hadir di Buton dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari penjualan komoditas dagangan. Meski begitu, setidaknya hingga 1890an, Buton masih diakui sebagai native state menurut perjanjian dengan VOC. Komoditi budak (slaves) adalah alasan yang menarik Ternate dan Makassar untuk menguasai Buton. Pada saat itu Makassar salah satu transit para penjual budak yang utama untuk wilayah Indonesia timur selain Bali. Makassar merupakan transit para pedagang budak yang berasal dari Buton. Buton menawarkan budak dengan harga jauh lebih murah. Budak adalah salah satu komoditi yang sangat laku dipasaran. Budak tersebut tidak hanya dibawa ke Batavia, namun juga hampir memenuhi pesanan dari wilayah koloni Belanda lainnya di luar wilayah Indonesia, seperti Tanjung Harapan di Afrika Selatan.