Revisi Refrat TB-HIV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFRAT & CASE TB PARU dengan HIV



PENULIS Annisa Trisna Widiany 030.07.029 PEMBIMBING Dr. Taufik, Sp.P KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI PERIODE 12 September 2011- 19 November 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA BAB I PENDAHULUAN



Perkembangan HIV di Indonesia temasuk tercepat di asia, sementaa sejumlah kasus TB masih menempatkan Indonesia sebagai Negara kelima dengan kasus TB terbanyak.(1) 1



Tuberculosis Paru adalah suatu penyakit infeksi kronis yang sudah sangat lama dikenal pada manusia. Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi masih sampai saat ini TB masih tetap menjai problem kesehatan dunia yang utama. Hingga pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan di dunia karena 1/3 penduduk dunia teinfeksi oleh mikrobakterium TB.(2) HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama dari limfosit T, yang dapat mengakibatkan penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. Infeksi HIV dapat mengenai semua golongan usia, jenis kelamin maupun pekerjaan. Sebagian besar terjadi pada usia produktif, remaja pengguna narkotika karena pengaruh pergaulan dan pada ibu rumah tangga.



2



BAB II TB HIV



2.1 DEFINISI



TB paru adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.(3) HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang T helper atau CD4, terutama dari limfosit T, yang dapat mengakibatkan penurunan imunitas seluler dan peningkatan terjadinya infeksi oportunistik. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang memiliki satu atau lebih infeksi oportunistik dan keganasan dengan jumlah CD4 sel T kurang dari 200 sel per mm3. Berdasarkan pengertian TB Paru dan HIV diatas, dapat dikatakan bahwa TB Paru dengan HIV adalah infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis pada penderita HIV.



2.2 EPIDEMIOLOGI



Pada WHO Region Number of people coinfected % of global with TB & HIV (thousands) total Africa 7979 70 Americas 468 4 Eastern Mediterranean 163 1 Europe 133 1 South-East Asia 2269 20 Western Pacific 427 4 Total 11440 100



akhir



tahun



2000,



terdapat sekitar 11,5 juta penderita HIV



yang



terinfeksi



M.



Tuberculosis. 70% adalah penderita berada di sub-sahara Afrika, 20% berada di asia tenggara, 4% di Amerika latin dan caribian.(4)



Penderita TB HIV usia 15-49 tahun pada akhir tahun 2000(4)



3



2.3 ETIOLOGI



Seperti yang sudah diketahui, TB Paru disebabkan oleh Basil TB (Mycobacterium tuberculosis humaniz ). M. Tuberculosis termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobacterium, yang salah satu speciesnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya secara khusus. Oleh karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Basil TB sangat rentan terhadap sianr matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama pada sinar ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100°C. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%.(5) HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah RNA menjadi DNA setelah masuk ke dalam sel penjamu. (6) Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik family Retroviridae, subfamily Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV trmasuk family retrovirus, termasuk virus RNA dengan berat molekul 9.7 kb (kilobase). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas inti dan selubung. Inti dari virus tediri atas suatu protein sedang selubungnya tediri dari atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim reverse tanskriptase. HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus, gp 120 disebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Gp 120 memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga betanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target. Sedngkan gp 41 betanggung jawab dalam poses internalisasi atau adsorpsi.



4



2.4 FAKTOR RISIKO



Karena daya tahan tubuh terhadap penyakit TB terutama ditentukan oleh imunitas seluler, maka setiap keadaan yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB, seperti AIDS, pemakaian kortikosteroid sistemik jangka panjang, diabetes mellitus, kurang gizi. Juga diketahui orang memiliki bekas TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan secara spesifik lengkap memiliki kemungkinan menderita TB lebih besar.(5) Faktor risiko penderita HIV antara lain perilaku seks bebas pada homoseksual dan heteroseksual yang tidak menggunakan kondom, pemakai narkotika dengan jarum suntik secara bersamaan, orang-orang yang memiliki PMS (penyakit menular seksual), pada bayi dengan ibu yang terinfeksi HIV.(6) Penderita HIV positif kemungkinan terinfeksi M.Tuberkulosis akan meningkat. Penderita HIV akan meningkatkan progresivitas dari perjalan penyakit TB. Risiko menderita TB pada pasien HIV meningkat dengan apabila imunitas semakin menurun. Berikut ini adalah efek dari terinfeksi HIV dengan progresivitas penyakit TB: (4) HIV Status Negative Positive



Lifetime risk of developing TB 5-10% >50%



2.5 IMUNOLOGI(7) 5



Imunitas Terhadap Bakteri Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri intraselular. Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh antibody dalam sirkulasi, sehinnga untuk mengeleminasinya memerlukan imun selular. 1. Imunitas nonspesifik Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraselular adalah fagosit dan sel NK. Fagosit menelan dan mencoba menghancurkan mikroba tersebut, namun mikroba dapat resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri intraselular dapat mengaktifkan sel NK secara direk atau melalui aktivasi makrofag yang memproduksi IL-2, sitokin poten yang mengaktifkan sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ yang kembali mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri dan memakan bakteri. Jadi sel NK memberikan respon dini dan terjadi interaksi antara sel NK dan makrofag. 2. Imunitas spesifik Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular berupa imunitas selular. Imunitas seluler terdiri atas 2 tipe reaksi yaitu, sel CD4 Th1 yang mengaktifkan makrofag (DTH) yang memproduksi IFN-γ dan sel CD 8/CTL yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel yang terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba intraselular dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan jaringan seperti yang terjadi pada DTH terhadap protein PPD M.Tuberkulosis. sel CD4 dan CD8 bekerja sama dalam pertahanan terhadap mikroba. Bakteri intraselular dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4 memberikan respon terhadap peptide antigen MHC II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. Sel CD4 naif dapat berdiferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang dimakan dan sel Th2 yang mencegah aktivasi oleh maktofag. CD8 memberikan respon terhadap molekul MHC-1 yang mengikat antigen sitosol dan 6



membunuh sel terinfeksi. Perbedaan dalam respon sel T terhadap mikroba intraselular pada berbagai individu merupakan determinan dalam perkembangan penyakit dan gambaran klinis.



Imunitas Terhadap Virus Virus merupakan organisme obligat umumnya terdiri dari potongan DNA atau RNA yang diselubungi mantel dari protein atau lipoprotein. Respon imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus yang menginduksi antibody dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus. Virus merupakan obligat intraselular yang berkembang biak di dalam sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukoeat dan protein penjamu. Degan reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel dan penyakit melalui berbagai mekanisme. Hal tersebut disebabkan oleh replikasi virus yang mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal serta efek sitopatik virus. Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam sel penjamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel.



7



8



1. Imunitas nonspesifik humoral dan selular Prinsi mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe 1 dan sel NK yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang merangsang sel terinfeksi untuk sekresi IFN tipe 1, mungkin mencegah replikasi virus dalam sel yang menginduksi lingkungan anti viral. IFN α dan IFN β mencegah replikasi virus dalam sel yang terinfeksi. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus sebelum respon imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang todak mengekspresikan MHC-I. untuk membunuh virus, sel NK tidak memerlukan bantuan molekul MHC-I. 2. Imunitas spesifik a. Imunitas spesifik humoral Respon imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam pejamu. Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus. Antibody diproduksi dan hanya efektif terhadap virus dalam fase ekstraselular. Virus dapat ditemukan ekstraselular pada awal infeksi sebelum virus masuk dalam sel atau bila dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Antibody dapat menetralkan virus mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke sel pejamu. Antibody dapat berperan sebagai opsosnin yang meningkatkan eleminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan fagositosis dan menghancurkan virus dengan envelop lipid secara langsung. IgA yang disekresikan di mukosa berperan terhadap virus yang masuk tubuh melalui mukosa saluran pernapsan dan pencernaan.



9



b. Imunitas spesifik selular



Virus yang berhasil masuk ke dalam sel tidak lagi rentan terhadap efek antibody. Respon imun terhadapa virus intrasel tergantung dari sel CD8/CTL yang membunuh sel terinfeksi. Fungsi fisiologi utama CTL adalah pemantauan terhadap infeksi virus. Kebanyakan CTL yang spesifik untuk virus mengenal antigen virus yang sudah dicerna dalam sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-1 dalam setiap sel yang bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8 memerlukan sitokin yang diproduksi sel CD4 Th dan kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi dalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC professional seperti



sel



dendritik



yang



selanjutnya



memproses



antigen



virus



dan



mempresentasikannya bersama molekul MHC-1 ke sel CD8 naif di KGB. Sel yang akhir akan berpoliferasi secara masif yang kebanyakan merupakan sel spesifik untuk beberapa peptide virus. Sel CD8 naif yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi sel CTL efektor yang dapat membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi. Patologi yang diinduksi virus merupakan efek direk yang menimbulkan kematian sel pejamu dan kerusakan jaringan. Hamper semua virus tanpa envelop menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Lisis sel terjadi selama terjadi replikasi dan penyebaran virus ke sel sekitar. Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih merupakan akibat respon imun aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada pernukaan sel yang terinfeksi.



10



2.6 IMUNOPATOLOGI HIV(8)



Berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, tetapi HIV virion cenderung menyerang limfosit T karena terdapat reseptor CD4 pada permukaannya. Pada HIV terdapat tonjolan eksternal yang terdiri dari protein gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap reseptor CD4. Meskipun demikian kompleks gp 120 dan reseptor CD4 tersebut masuh belum memungkinkan HIV unuk masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi. Internalisasi ke dalam limfosit T di tubuh host perlu dibantu oleh peran coreseptor CCR5 dan CXCR4 yang juga terdapat di permukaan limfosit T. dengan peran gp41 transmembran maka permukaan luar dari HIV terjadi fusi dengan dengan membrane plasma limfosit T-CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma limfosit T-CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi double stranded DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polymerase, terbentuklah cDNA atau proviral DNA. Proses selanjutnya adalah upaya masuk ke dalam inti 11



limfosit T dengan bantuan enzim integrase. Terjadilah rangkaian proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus serta replikasi HIV virion. Jumlah HIV virion yang berlipat ganda kemudian meninggalkan inti dan sel host. Setelah mengalami modifikasi, saling melengkapi , kemudian berusaha keluar menembus membrane limfosit (budding). Virion yang baru terbetuk siap menginfeksi limfosit T-CD4 berikutnya. Demikian proses ini berlanjut sehingga jumlah limfosit T-CD4 cenderung terus menurun. Begitu proses internalisasi limfosit T oleh HIV selain terjadi perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIV, juga membangkitkan timbulnya protein stress termasuk heat shock protein 70 (hsp70). Inductor sintesis Hsp adalah lingkungan stress, ROS, serta banyaknya polipeptida yang tidak terlipat. Intervensi dan internalisasi HIV dapat berpengaruh terhadap limfosit T-CD4 yang terpapar. Begitu kontak dengan limfosit T, maka HIV sebagai stressor biologis akan memicu limfosit T sehingga mengalami stress dengan berbagai perubahan. Perubahan diawali dari ekspresi reseptor CD43 (sialophorin) pada permukaan limfosit T. reseptor CD43 yang tereksresi tersebut kemudian menjadi activator, baik terhadap limfosit TCD4 sendiri maupun terhadap HIV. Selain itu rCD43 juga berpengaruh terhadap peningkatan ekspresi reseptor CD69 dan CD40 L. CD40 merupakan ligand untuk Hsp 70. Peningkatan aktivitas limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIV tersebut menginduksi Th-1 untuk mensekresikan IL-1β, IL-2, TNF- α dan IFN-γ sehingga kadar nya meningkat dalam darah serta berpengaruh terhadap peningkatan kadar ROS. IL-1β, IL-2, TNF- α dan IFN-γ serta CD69 dan CD40 L yang terekspresi tersebut secara stimultan meningkatkan aktivitas berbagai protein yang terlibat dalam proses sinyaling termasuk protein kinase C (PKC). Meningkatnya aktivitas PKC dan mobilisasi kalsium transmembran dalam sirkulasi tersebut berpengaruh terhadap mitokondria sehingga meningkatkan produksi ATP dan memproduksi reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ROS juga terjadi sebagai efek toksik langsung HIV virion melalui gp41, maupun secara tidak langsung oleh efek bifasik dari nitrit oxide (NO). HIV yang telah berada di dalam limfosit TCD4 tersebut juga teraktivasi oleh pengaruh rCD43, kemudian menginduksi pembentukan kompleks TCR-CD3 dan bersama-sama CD28 mempegaruhi HIV menjadi lebih aktif. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadi peningkatan aktivitas NkKB, aktivitas transkripsi, translasi protein, dan replikasi HIV lebih progresif sehingga di dalam sirkulasi mencapai jumlah yang sangat tinggi, terbentuk berjuta-juta genom HIV perml. Penurunan jumlah limfosit T-CD4 12



menyebabkan terjadinya imunodefisiensi pada infeksi HIV, membuka peluang munculnya infeksi sekunder dari kehadiran mikroorganisme yang berasal dari eksternal maupun internal. Terdapat tiga mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah HIV mencapai sel target yang mampu mengekspresikan CD4. Pertama, opsonisasi Komplemen yaitu berusaha untuk memusnahkan virus. Tetapi dampaknya akan terjadi peningkatan histamin. Dampaknya pasien akan merasa gatal-gatal pada kulitnya dan disebut dermatitis HIV. Kedua, interferon α dan β berusaha mencegah replikasi virus. Ketiga pada sel target, akan terjadi 3 mekanisme : 1.Sel NK, akan segera memusnahkan sel yang terinfeksi yang dihadapkan sendiri maupun didukung oleh ADCC (antibody dependent cell cytotoxic). 2. Apoptosis patologis, sel yang terinfeksi akan dimusnahkan secara perlahan melalui apoptosis. Apabila HIV diikuti oleh ko-infeksi lain maka akan terjadi kematian sel yang lebih cepat dan difus, disebut apoptosis patologis difus dipercepat. Proses inilah yang dapat menyebabkan penderita HIV dapat meninggal mendadak tanpa didahului petanda kegawatan klinis lainnya. 3. Sel yang terpapar HIV dapat hidup dan menjelajahi tubuh mengikuti sirkulasi sistemik. Sel yang terinfeksi megalami aktivasi sehingga terjadi peningkatan produksi dan sekresi sitokin proinflamasi (IL-1b dan TNF α ), enzim posfolipase A2 (PLA2), meningkatnya kadar ROS akibat tuntutan terhadap mitokondria untuk meningkatkan ATP . sitokin proinflamatori yang akan memicu peningkatan produksi dan sekresi prostaglandin sehingga mempengaruhi sentral termoregulasi maka terjadi gangguan homeostatis dan timbulah demam. Dampak dari IL-1b selain memicu panas juga memicu pusing, mialgia,artralgia, mual, muntah, nafsu makan menurun, sulit tidur. Sekresi PLA2



dapat memicu produksi dan sekresi mediator sekunder seperti



leukotrien, rostaglandin E2, prostasiklin, tromboksan A2 yang dapat mempengaruhi penderita ke dalam kondisi sepsis, syok septic akibat infeksi HIV. Dampak ROS berlebihan adalah terbukanya pore MPT (mitochondrial permeability transition), memicu terjadinya apoptosis. Sel yang paling potensial mengalami apoptosis adalah limfosit T.



13



Pada penderita infeksi HIV antibodi terhadap HIV menjadi tidak protektif. Hal ini terjadi akibat antibody tidak menempel dengan tepat tetapi menempel di gp120 yang lain sehingga tetap tidak menghambat penempelan antara HIV dan CD4. Antibodi yang protektif adalah antibody yang menempel tepat pada gp120 yang akan berikatan dengan molekul CD4. Salah satu mekanisme HIV untuk menghindar dari system pertahan tubuh adalah HIV mencegah ekspresi molekul MHC1 dari sel yang terinfeksi sehingga tidak dapat dikenali oleh CD8. Pengaruh HIV terhadap system imun: i.



Imunitas Seluler Respon imunitas alamiah yang berperan adalah makrofag, CD8, dan NK sel. Tetapi akibat terinfeksi oleh HIV, komponen imunitas seluler tidak dapat berfungsi secara normal : 1.



Makrofag: fungsi fagositosis dan menghancurkan organisme intraseluler menurun, sehingga jika terinfeksi oleh kandida albikan dan toksoplasma gondii tidak dapat difagosit.



2. CD8: kemampuan untuk menghancurkan sel yang terinfeksi menurun, terutama



pada stadium lanjut. Dan juga sering terjadi differensiasi sel kearah keganasan. Normalnya CD8 mampu mengenal berbagai peptide dari berbagai komponen protein HIV termasuk enzim reverse transcriptase, kapsul, inti, dan protein khusus (nef dan vif). Respon CD 8 mampu mengenal langsung epitop yang dikodekan oleh gag dan env. Sel CD8 juga mengenal strain HIV lebih efisien dari pada respon CD4. Dengan demikian bahwa CD8 mempunyai peranan yang penting dalam mengendalikan HIV. 3. NK sel: kemampuan sel NK untuk langsung menghancurkan antigen asing dan sel yang terinfeksi virus menurun. ii. Imunitas Humoral



HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG sehingga limfosit B pada ODHA tidak memberikan respon yang tepat akibatnya masalah infeksi bakteri dan parasit intrasel menjadi masalah yang berat akibat respon yang tidak tepat tersebut..



14



iii. Reaksi Autoantibodi Reaksi ini cenderung terjadi saat fase awal infeksi pada saat imunitas masih relatif baik. Hal ini dapat terjadi akibat respon limfosit B yang tidak tepat



sehingga terbentuk



autoantibody terhadap beberapa protein tubuh yaitu, antibody terhadap platelet, neutrofil, limfosit dan myelin sehingga akan menyebabkan terjadinya penyakit autoimun. iv. Reaksi Hipersensitivitas



Biasanya berkaitan dengan obat-obatan, dan semakin lama semakin bertambah daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi hipersentivitas pada ODHA. Selain itu HIV juga berdampak pada Limfosit T dan B. Pada infeksi HIV, limfosit T selain terinfeksi juga dirusak akhirnya cenderung jumlahnya semakin menurun. Sejalan dengan penurunan jumlah Limfosit T , respon dari limfosit T yang tersisa juga berkurang terhadap stimulasi antigen. Yaitu menjadi lebih rentan terhadap mikroorganisme, yang ada pada kondisi normal dilindungi oleh system imun melalui perantara sel. Sedangkan kelainan sel B dapat terjadi akibat adanya pengaturan dan induksi sel T terhadap sel B. Seperti telah disebutkan sebelumnya, infeksi HIV dapat mengakibatkan peingkatan kadar ROS. Peningkatan kdar ROS maupun CA+2 intraseluler mengakibatkan terbukanya MPTP (mitokondrial permeability transition pore). Disamping itu juga berdampak pada penurunan potesial membrane mitokondria, pelepasan factor pro-apoptotik yaitu sitokrom C dan AIF (apoptosis Inducing Factor), aktivase kaskade caspases, penurunan enzim DNA repair dan aktivasi endonukleoses, serta fragmetasi DNA. Caspases merupakan cystein aspartic acid specific proteases, merupakan interleukin 1β converting enzyme (ICE/CED3) atau CPP32, yaitu enzim penting dalam proses apoptosis. Dalam kondisi normal caspases diproduksi dalam sitoplasma sel sebagai proenzim inaktif. Aktivasi capases terjadi sebagai respon terhadap sinyal apoptotic, menyebabkan pro-caspases menjadi enzim aktif. Dari 11 caspases yang ada dalam tubuh manusia, caspases 3 merupakan caspase utama dalam rangkaian proses apoptosis. Caspases dapat diaktifkan melalui dua jalur. Jalur pertama, dimulai bila molekul sinyal (secara kolektif disebut ligand kematian) terikat dengan reseptor spesifik (kolektif disebut reseptor kematian) terjadi ligand kematian terhadap reseptor kemudian mengaktifkan molekul transduksi pada sel membrane yang diaktifkan melalui caspases. Ada dua contoh ligand kematian yaitu Fasl dan TNF-α debfab reseptor yaitu Fas reseptor (CD95) dan TNFr (TNF receptor). Jalur kedua, 15



dimulai bila molekul tertentu seperti oksidan, senyawa oksidatif reaktif, kerusakan mitokondria. Kerusakan mitikondria diikuti sitokrom C dan molekul lain yang disebut Apaf-1 (apoptosis protease activating factor 1). Bersama d-ATP kemudian mengaktivasi caspases.



Apoptosis diregulasi baik oleh molekul pro-apoptotik seperti Bad dan molekul antiapoptotik seperti Bcl-2. Keseimbangan antar keduanya menentukan terjadi sensitive atau resisten terhadap pencetus apoptosis. Infeksi HIV, peningkatan mobilisasi Ca dan ROS dapat meninduksi terjadinya lesi DNA mitokondria. DNA mitokondria yang lesi dapat memicu epigenetic atau mutasi sehingga kualitas control terhadap protein terganggu. Akibatnya chaperonin mengalami perubahan perilaku yang potensial mendorong terjadinya perubahan epigenetic atau mutasi DNA inti. DNA mitokondria yang lesi juga potensial memicu aktivitas sitokrom C, Apaf-1, pro caspases-9 yang inaktif amenjad caspase-9 aktif. Caspases-9 aktif menginduksi pro caspases-3 inaktif menjadi caspases 3 aktif yang kemudian bertindak sebagi eksekutor terhadap DNA sehingga terjadi fragmentasi DNA. Perubaan epigenetic atau mutasi DNA inti serta peningkatan aktivitas caspases-3 mendorong kearah terjadinya apoptosis limfosit T-CD4 sehingga jumalah CD4 lambat laun terdegradasi dan terdesak semakin menurun. 16



17



2.7 PATOFISIOLOGI (6,8,9)



HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertical, horizontal, dan transeksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk pilek dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunana hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS. Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Untuk bisa masuk ke sel target, gp120 HIV harus berikatan dengan reseptor CD4. Selain itu untuk masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti proses interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membrane HIV dengan membrane sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membrane, seluruh isi sitoplasma HIV tremasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single stranded RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonukleasa dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga double strand DNA yang disebut provirus. Provirus masuk ke dalam nucleus menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi, kondisi ini disebut sebagi keadaan laten. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin, atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor kB (NF-kB) sehingga menjafi aktif dan berikatan pada 5’LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. Inductor NF-kB akan menginduksi replikasi DNA. Inductor NF-kB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Enzim 18



polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalai translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengakap virion baru ini membentuk tonjolan seperti permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease mrnjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengakpi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengakp ini keluar dari dalam sel akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampi melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: 1. Kematian sel secara langsung karena kehilangan integritas membrane plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nucleus dan terjadinya gangguan sintesis makromolekul. 2. Syncintia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan limfosit T-CD4 yang terinfeksi. 3. Respon imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel



yang terinfeksi. Namun respon ini dapat menyebabkan disfungsi imun akibat eleminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-bystander). 4. Mekanisme autoimun dengan pembetukan autoantibody yang berperan untuk mengeleminasi sel yang terinfeksi. 5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). 6.



Kematian sel target yang terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi miss folding dan denaturasi protein, jejas dan kematian sel. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun sehingga pertahanan



individu terhadap mukroorganisme pathogen menjadi lemah dan meningkatkan risikoterjadinya infeksi sekunder sehingga masuk stadium AIDS. 19



2.8 PERJALANAN INFEKSI HIV(8) Fase infeksi akut Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang mengahsilkan virus baru (virion) jumlahnya berjuta-juta. Viremia begitu banyak virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Sindrom infeksi akut terjadi selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia dan penurunan berta badan. HIV juga sering menyebabkan gangguan pada system saraf seperti meningitis, ensefalitis, neuropati perifer, dan mielopati. Gejala dermatologi yaitu ruam makropapular erimatosa dan ulkus mukokutan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respon imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/mm dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. Fase infeksi laten Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikular di pusat germinativum kelenjar limfe mengakibatkan virion dapat dikendaliakn, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion dalam plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe. Sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion dalam plasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500-200 sel/mm3, meskipun telah terjadi serokonversi positif individu umumnya belum menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Beberapa pasien terdapat sarcoma Kaposi, herpes simpleks, sinusitis bacterial, herpes zoster dan pneumonia yang sering berlangsung tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung merata sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, peyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupaan tanda awal munculnya infeksi oportunistik. 20



Fase infeksi kronis Selama berlangsung dalam fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan menghilang dan virus dicurahkan ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Terjadi penuruan jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah 200sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan penurunan system imun dan pasien semakin rentan terinfeksi berbagai penyakit infeksi sekunder. Infeksi sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocytis carinii, tuberculosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitsi, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esophagus, kandidiadisis bronkus serta infeksi jamur lainnya. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening, da kanker sarcoma Kaposi. Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela yaitu peiode dimana pemeriksaam antibody HIV masih menunjukan hasil negative walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibody terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer.



21



Stadium Klinis 1 •



Tanpa gejala (asimtomatis)







Limfadenopati generalisata persisten



22



Stadium Klinis 2 •



Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasanii (10% berat badan diperkirakan atau diukur)







Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan







Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)







Kandidiasis mulut berkepanjangan







Oral hairy leukoplakia







Tuberkulosis paru







Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis atau







bakteremia)







Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut







Anemia (1bulan)







Nyeri retrosternal pada saat menelan (kemungkinan kandidiasis oesophagial)







Sensasi rasa panas di kaki (neuropati sensoris perifer)







Batuk ≥3 minggu







Batuk berdahak







Sesak nafas







Nyeri dada







Malaise, lemah







Nafsu makan turun







Keringat malam







Demam



Signs : •



Herpes zoster scar







Pruritic papular skin rash







Kaposa sarcoma







Pembesaran KGB







Oral candidiasis







Chelitis







Oral hairy leukoplakia







Nekrosis ginggivitis







Giant aphthous ulceration







Nyeri ulserasi genital.



27







Pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda konsolidasi: redup, fremitus mengeras / melemah, suara nafas bronkhial / melemah, ronkhi basah / kering)



Laboratorium : •



Pemeriksaan sputum : BTA positif (sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum)







Pemeriksaan darah : LED meningkat, pemeriksaan anti HIV reaktif, pemeriksaan CD4. Infeksi



dini



(CD4 Infeksi



lanjut



>200/mm3



(CD4