Robbins S Basic Pathology 9th Ed [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Buku Ajar Patologi Robbins



Halaman ini sengaja dikosongkan



Buku Ajar Patologi Robbins EDISI KESEMBILAN



Vinay Kumar, MBBS, MD, FRCPath Donald N. Pritzker Professor Chair, Department of Pathology Biologic Sciences Division and Pritzker School of Medicine University of Chicago Chicago, Illinois



Abul K. Abbas, MBBS Distinguished Professor and Chair Department of Pathology University of California San Francisco San Francisco, California



Jon C. Aster, MD, PhD Professor of Pathology Harvard Medical School Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts ILUSTRATOR



James A. Perkins, MS, MFA



1600 John F. Kennedy Blvd. Ste 1800 Philadelphia, PA 19103-2899







978-1-4377-1781-5 Edisi Internasional: 978-0-8089-2432-6



Copyright © 2013, 2007, 2003, 1997, 1992, 1987, 1981, 1976, 1971 by Saunders, an imprint of Elsevier Inc. Dilarang menerbitkan atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun, baik secara elektronik maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau sistem penyimpanan dan pengambilan informasi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Rincian tentang bagaimana untuk mencari izin, informasi lebih lanjut tentang Penerbit kebijakan perizinan dan persiapan kami dengan organisasi seperti Copyright Clearance Center dan Copyright Licensing Agency, dapat ditemukan di website kami: www.elsevier.com/permissions. Buku ini dan kontribusi individu yang terkandung di dalamnya dilindungi oleh hak cipta oleh Penerbit (selain sebagai dapat dicatat di sini).



Perhatian Pengetahuan dan praktik terbaik dalam bidang ini yang terus berubah. Sebagai penelitian dan pengalaman baru memperluas pemahaman kita, perubahan dalam metode penelitian, praktik profesional, atau perawatan medis mungkin menjadi perlu. Praktisi dan peneliti harus selalu bergantung pada pengalaman dan pengetahuan mereka dalam mengevaluasi dan menggunakan informasi, metode, senyawa, atau percobaan yang dijelaskan di sini. Dalam menggunakan informasi atau metode tersebut mereka harus memperhatikan keselamatan mereka sendiri dan keselamatan orang lain, termasuk pihak untuk siapa mereka memiliki tanggung jawab profesional. Sehubungan dengan obat atau farmasi produk diidentifikasi, pembaca disarankan untuk memeriksa informasi terbaru yang tersedia (i) prosedur fitur atau (ii) oleh produsen masing-masing produk yang akan diberikan, untuk memverifikasi dosis yang dianjurkan atau formula, metode dan durasi administrasi, dan kontraindikasi. Ini adalah tanggung jawab praktisi, mengandalkan pengalaman dan pengetahuan pasien mereka sendiri, untuk membuat diagnosis, untuk menentukan dosis dan pengobatan terbaik untuk setiap pasien, dan mengambil semua tindakan pencegahan keselamatan yang tepat. Untuk sepenuhnya hukum, baik Penerbit maupun penulis, kontributor, atau editor, bertanggung jawab atas setiap cedera dan / atau kerusakan pada orang atau properti sebagai masalah produk kewajiban, kelalaian atau sebaliknya, atau dari penggunaan atau pengoperasian setiap metode, produk, petunjuk, atau ide-ide yang terkandung dalam materi ini. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan data Robbins basic pathology / [edited by] Vinay Kumar, Abul K. Abbas, Jon C. Aster. – 9th ed. p. ; cm. Basic pathology Includes bibliographical references and index. ISBN 978-1-4377-1781-5 (hardcover : alk. paper) – ISBN 978-0-8089-2432-6 (International ed. : hardcover : alk. paper)   I.  Kumar, Vinay, 1944–  II.  Abbas, Abul K.  III.  Aster, Jon C.  IV.  Robbins, Stanley L. (Stanley Leonard), 1915–2003.  V.  Title: Basic pathology. [DNLM:  1.  Pathology. QZ 4] 616.07–dc23 2011048699 Executive Content Strategist: William Schmitt Content Development Manager: Rebecca Gruliow Publishing Services Manager: Patricia Tannian Senior Project Manager: Sarah Wunderly Design Direction: Louis Forgione Printed in Canada Last digit is the print number:  9  8  7  6  5  4  3  2  1



Working together to grow libraries in developing countries www.elsevier.com | www.bookaid.org | www.sabre.org



DEDIKASI Untuk Anak-anak kami dan cucu tercinta Kiera Chapman Kumar



halaman ini sengaja dikosongkan



Kontributor Charles E. Alpers, MD



Professor and Vice Chair Department of Pathology University of Washington Seattle, Washington Ginjal dan Sistem Pengumpul



Jonathan Epstein, MD



Professor of Pathology, Urology, and Oncology The Reinhard Professor of Urological Pathology Director of Surgical Pathology The Johns Hopkins Medical Institutions Baltimore, Maryland Sistem Genitalia Pria dan Saluran Kemih Bawah



Mark W. Lingen, DDS, PhD



Associate Professor Department of Pathology The University of Chicago, Chicago, Illinois Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis



Anirban Maitra, MBBS



Professor of Pathology and Oncology The Johns Hopkins University School of Medicine Pathologist The Johns Hopkins Hospital Baltimore, Maryland Genetik dan Penyakit Pediatri; Pankreas; Endocrine System



Agnes B. Fogo, MD



Alexander J. McAdam, MD, PhD



Matthew P. Frosch, MD, PhD



Richard N. Mitchell, MD, PhD



John L. Shapiro Chair of Pathology Professor of Pathology, Microbiology, Immunology, Medicine, and Pediatrics Director, Renal/EM Division of Pathology Vanderbilt University School of Medicine Nashville, Tennessee Ginjal dan Sistem Pengumpul



Lawrence J. Henderson Associate Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Harvard Medical School Director, C.S. Kubik Laboratory for Neuropathology Massachusetts General Hospital Boston, Massachusetts Sistem Saraf Pusat



Aliya Noor Husain, MBBS Professor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Paru



Alexander J.F. Lazar, MD, PhD



Associate Professor Departments of Pathology and Dermatology The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center Houston, Texas Kulit



Associate Professor of Pathology Harvard Medical School Medical Director, Infectious Diseases Diagnostic Laboratory Children’s Hospital Boston, Massachusetts Patologi Umum Penyakit Menular Lawrence J. Henderson Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Department of Pathology Harvard Medical School Staff Pathologist Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Gangguan Hemodinamika, Tromboembolisme, dan Syok; Pembuluh Darah; Jantung



Peter Pytel, MD



Assistant Professor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Saraf Perifer dan Otot



Andrew E. Rosenberg, MD



Clinical Professor of Pathology Director, Bone and Soft Tissue Pathology Department of Pathology Miller School of Medicine University of Miami Miami, Florida Tumor-tumor Tulang, Sendi dan Jaringan Lunak



viii



Kontributor



Husain A. Sattar, MD



Assistant Professor of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara



Arlene H. Sharpe, MD, PhD



Professor of Microbiology and Immunobiology, and Pathology Harvard Medical School and Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Patologi Umum Penyakit Menular



Thomas Stricker, MD, PhD Instructor Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Neoplasia



Jerrold R. Turner, MD, PhD



Sara and Harold Lincoln Thompson Professor Associate Chair Department of Pathology The University of Chicago Chicago, Illinois Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis



Wei-Lien Wang, MD



Assistant Professor of Pathology Section of Soft Tissue and Dermatopathology The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center Houston, Texas Kulit



Neil D. Theise, MD



Professor Departments of Pathology and Medicine (Digestive Diseases) Beth Israel Medical Center of Albert Einstein College of Medicine New York, New York Hepar, Kandung Empedu, dan Saluran Biliaris



Edward C. Klatt, MD



Professor and Academic Administrator Department of Pathology Florida State University College of Medicine Tallahassee, Florida Editor Fotografi



Raminder Kumar, MBBS, MD



Chicago, Illinois Editor Klinis untuk Penyakit-penyakit pada Jantung, Paru, Pankreas, Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinalis, dan Hepar



Richard N. Mitchell, MD, PhD



Lawrence J. Henderson Professor of Pathology and Health Sciences & Technology Department of Pathology Harvard Medical School Staff Pathologist Brigham and Women’s Hospital Boston, Massachusetts Editor Targeted Therapy Online



Kata Pengantar



EMPAT PULUH TAHUN PATOLOGI DASAR Ketika kita mencapai tahun ke-40 dari publikasi Buku Ajar Patologi Robbins, perlu kiranya mengutip pesan Stanley Robbins dari edisi pertama (1971): "Dari buku-buku demikian juga manusia, dapat diamati bahwa barang yang tebal berisi bagian yang tipis yang berupaya untuk muncul. Dalam kenyataannya, buku ini mempunyai, hubungan dengan sumbemya yang lebih Juas, Robbins Pathology. Hal itu terjadi karena memperhatikan dilema yang dialami mahasiswa kedokteran akhir-akhir ini. Sejalan dengan restrukturisasi kurikulum yang memberi penekanan lebih besar kepada pengalaman klinis, sehingga kesempatan membaca buku Jebih sedikit. Dalam penulisan buku ini, kelainan-kelainan yang jarang dan kurang relevan terpaksa ditiadakan dan hal-hal yang tidak sering dijumpai atau merupakan peristiwa sehari-hari hanya dibahas singkat. Walaupun demikian, karni menganggap penting memberikan perhatian lebih lengkap tentang jenisjenis penyakit yang utama." Sasaran dari edisi ini sebagai "Robbins mungil" tetap merupakan gagasan dari Stanley Robbins. Kesempatan ini merangsang para mahasiswa kedokteran karena mekanisma dasar dari penyakit sedang diungkapkan dalam waktu yang selalu dinantikan. Patologi merupakan ilmu utama untuk mengerti dasar molekuler dari suatu penyakit, dan kami telah mencoba untuk menangkap intisari pengetahuan baru tersebut daJam edisi kesembilan dari Buku Ajar Patologi Robbins. Kami sangat yakin bahwa patologi membentuk landasan ilmiah dalam kedokteran, dan kemajuan dalam ilmu dasar akhirnya membantu kita dalam mempelajari penyakit pada tiap penderita. Oleh karena itu, disamping banyak penemuan dalam bidang genomic dan kedokteran yang disesuaikan kepada individu (personalized medicine) dibahas di dalam bab-bab permulaan dari patologi umum, kami berupaya untuk memasukkan dampak kemajuan ilmiah pada penyakit dari system organ yang diuraikan sepanjang naskah. Untuk menekankan pentingnya mekanisma penyakit dalam praktik kedokteran, kami telah memberikan pencerahan pada bagianbagian yang menyangkut patogenesis. Dalam tahun-tahun terakhir pengertian tentang dasar molekuler dari penyakit telah menciptakan pengembangan cara pengobatan tersasar (targeted therapy). Hal ini ditampilkan dalam bentuk kotak-



kotak Targeted Therapy dalam edisi online dari buku ini. Kami harap gambaran baru ini menjadi contoh dari kedokteran yang dibangun dari penemuan laboratorium dan diterapkan di tempat perawatan pasien (bench to bedside medicine). Walaupun banyak " terobosan-terobosan" laboratorium yang belum dapat diterapkan di tempat perawatan pasien, kami mencanturnkannya secara proporsional sehingga mahasiswa dapat mengikuti harapan besar yang menjadi masa depan dalam bidang pekerjaannya. Melihat kenyataan bahwa mahasiswa kedokteran masa kini merasa belum mantap dalam mencoba memadukan hal-hal penting dengan state of the art, kami meneruskan penggunaan kotak-kotak Ringkasan yang dirancang agar dapat memberikan pesan-pesan kunci untuk pahami (take home messages). Hal ini tetap diberikan walaupun berakibat menambah halaman, karena para mahasiswa menyampaikan kepada kami bahwa itu berguna. Banyak bagian-bagian baru berupa gambar dengan empat warna - skema, bagian alur, dan d iagram perjalanan penyakittelah ditambahkan untuk membantu pengertian tentang konsep yang sulit seperti pengendalian siklus sel, fungsi gengen kanker, interaksi HIV dengan reseptomya, dan dasar biokirnia dari kematian sel yang terprogram (apoptosis). Lebih banyak ilustrasi ditambahkan sampai mencapai jumlah keseluruhan lebih dari 1000. Perubahan diberikan terhadap format dan tata warna dari table-tabel demi menambah kejelasan. Banyak perubahan dan revisi dibuat namun sasaran utama kami tetap tidak berubah. Walaupun kita telah memasuki era genomic, cara pendekatan makroskopik dan mikroskopik yang menyita waktu berharga, tetap berguna dan perubahan morfologik ditampilkan khusus sebagai rujukan yang siap pakai. Penekanan kuat pada korelasi klinikopatologis dipertahankan, dan dampak patologi molekuler pada praktik kedokteran juga ditekankan. Kami senang bahwa semua hal ini dapat ditunaikan tanpa membebani naskah. Kami selanjutnya percaya bahwa kejelasan penulisan dan penggunaan bahasa yang tepat meningkatkan pengertian dan menunjang proses pembelajaran. Berbagai generasi mahasiswa menyampaikan kepada kami bahwa mereka menikmati membaca buku ini. Kami berharap edisi ini akan berguna dan mungkin meningkatkan tradisi pendahulunya.



Ucapan Terima Kasih Pertama kali, kami ingin menyampaikan terima kasih dan memberi tahukan kawan lama dan kolega Dr. Nelson Fausto untuk kontribusinya pada edisi sebelumnya dari buku llli. Kami memperoleh manfaat yang berlangsung terus dari penulisan dan penyuntingan yang dilakukan. Suatu karya besar semacam ini tidak dapat dilengkapi tanpa bantuan banyak pihak. Kami berterima kasih kepada kontributor dari berbagai bab. Banyak di antaranya adalah pewaris dari anak yang lebih tua dari naskah ini, yang disebut "Big Robbins", dan mereka dicantukan pada daftar isi. Kepada masing-masing kami sampaikan rasa terima kasih yang khusus. Kami beruntung dapat meneruskan kerjasama dengan Jim Perkins, yang ilustrasinya menuangkan gagasan untuk hidup dan menjelaskan konsep yang sulit, dan kami menyambut baik Dr. Raminder Kumar yang menyunting beberapa bab dengan kecermatan dan ketepatan dari muatan yang bersifat klinis. Kami berhutang budi kepada pembantu-pembantu kami, Valerie Discoll dari Chicago, Ana Narvez dari San Francisco, dan Muriel Goutas dari Boston, dalam koordinasi tugas. Banyak kolega yang memperkaya naskah dengan memberikan kritik yang membantu dari bidang minat masingmasing. lni termasuk Dr. Rick Aster, yang menyumbangkan "late breaking news" da lam bidang ilmu perubahan cuaca. Banyak yang lain menyampaikan kritik dari berbagai bab. Mereka termasuk Drs. Tony Chang dan Neeraj Jolly dari University of Chicago; Drs. Andrew Horvai, Marta Margeta, Arie Perry, dan Mike Rosenblum dari University of California, San Francisco; Dr. John Stone dari Massachusetts General Hospital, Harvard Medical School; Dr. Diego H. Castrillon dari UT Southwestern Medical School; dan Dr. Victor J. Thannickal dari University of Alabama, Birmingham. Kepada yang lainlain yang telah memberikan bahan-bahan fo tografik dari koleksi pribadinya, kami ingi n memberikan penghargaan yang tidak terhingga demi sumbangsihnya yang bersifat otentik dan dokumenter dalam ilmu patologi. Terimalah permintaan maaf kami bagi yang tidak tercantum namanya secara tidak sengaja.



Banyak mitra dari Elsevier yang berperan dalam penerbitan buku ini. Naskah ini dapat ditangani dengan baik berkat bantuan Rebecca Gruliow (Manager, Content Development) yang kebetulan merupakan mitra untuk beberapa edisi. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Sarah Wunderly (Senior Project Manager) dan Lou Forgione (Senior Book Designer). Tidak terlupakan kontribusi Dill Schmitt, Executive Content Strategist, di samping berperan sebagai "cheer leader" juga sebagai teman. Penghargaan khusus ingin kami sampaikan kepada tim produksi untuk kesabaran yang diberikan kepada kami yang kadang-kadang mempunyai tuntutan "yang tidak mungkin" dan dukungan moralnya selama masa yang penuh kelelahan fisik dan mental yang dialami semua penulis dalam menghadapi tugasnya yang seolah-olah tidak pemah berakhir. Kami sangat berterima kasih kepada seluruh tim Elsevier yang telah berbagi rasa dalam pencapaian kesempurnaan. Upaya besar semacam ini sebenarnya merupakan beban berat bagi keluarga para penulis. Kami sampaikan terima kasih untuk kesabarannya ketika kami tidak berada di antara mereka, baik secara fisik maupun dalam ha! emosi. Kami bersyukur dan memperoleh kekuatan berkat dukungan tanpa parnrih dan cinta mereka, dan untuk pengertiannya bahwa upaya kami membawa kebaikan dan berguna. Penghargaan khusus kami sampaikan kepada mitra istri Rarninder Kumar, Ann Abbas, dan Erin Malone, yang terus menerus memberikan dukungan ketat. Akhirul kalam, Vinay Kumar dan Abu! Abbas menyambut baik Jon Aster, yang telah bersedia pada edisi ke-8 dari Pathologic Basis of Disease, sebagai penulis-pendamping dan penyunting. Kemitraan kami bertahan karena pandangan yang saling menunjang dalam mengajar walaupun terdapat perbedaan pendapat dan gaya pribadi. VK AKA JCA



Daftar Isi



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



29



BAB 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik, Tromboemboli dan Syok



75



1



Richard N. Mitchell



BAB 4



Penyakit Sistem lmun



99



BAB 5



Neoplasia



161



BAB 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



215



Anirban Maitra



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



269



BAB 8



Patologi Umum Penyakit lnfeksi



309



Alexander J. McAdam, Arlene H. Sharpe



BAB 9



Pembuluh Darah



327



Richard N. Mitchell



BAB 10



Jantung



365



Richard N. Mitchell



BAB 11



Sistem Hematopoietik dan Limfoid



407



BAB 12



Paru



459



Aliya Noor Husain



BAB 13



Ginjal dan Sistem Pengumpul



517



Charles E. Alpers, Agnes B. Fogo



BAB 14



Rongga Mulut dan Saluran Cerna



551



Jerrold R. Turner, Mark W. Lingen



BAB 15



Hati, Kandung Empedu dan Saluran Bilier Neil D. Theise



Bab tanpa nama penulis (edisi asli) dituJis oleh para editor



603



xii



Daftar Isi



BAB 16



Pankreas



645



Anirban Maitra



BAB 17



Sistem Kelamin Laki-Laki dan Saluran Kemih Bawah



657



Jonathan Epstein



BAB 18



Sistem Genitalia Wanita dan Payudara



681



Husain A. Sattar



BAB 19



Sistem Endokrin



715



Anirban Maitra



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor-Tumor Jaringan Lunak



765



Andrew E. Rosenberg



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



797



Peter Pytel



BAB 22



Sistem Saraf Pusat



811



Matthew P. Frosch



BAB 23



Kulit Alexander J.F. Lazar, Wei-Lien Wang



851



1 BAB



Jejas Sel, Kematian Sel, dan Adaptasi DAFTAR ISI BAB Pendahuluan tentang Pathologi 1 Sekilas tentang Respons Sel terhadap Stres dan Stimulus yang Merusak 1 Adaptasi Sel Terhadap Stres 3 Hipertrofia 3 Hiperplasia 3 Atrofia 4 Metaplasia 5



Ikhtisar Jejas Sel dan Kematian Sel 5 Penyebab Jejas Sel 6 Morfologi Jejas pada Sel dan Jaringan 7 Jejas Reversible 8



Nekrosis 8 Gambaran Nekrosis Jaringan 9



Mekanisme Jejas pada Sel 11



Deplesi ATP 12 Kerusakan dan Disfungsi Mitokondria 13 Masuknya Aliran Kalsium 13 Akumulasi Radikal Bebas Asal-Oksigen (Stres Oksidatif) 14 Defek pada Permeabilitas Membran 16 Kerusakan DNA dan Protein 16



Hubungan klinikopatologis: Contoh Jejas Sel dan Nekrosis 16



PENDAHULUAN TENTANG PATOLOGI Terjemahan harfiah, patologi adalah ilmu (logos) tentang penyakit (pathos). llmu itu meliputi penelitian mengenai penyebab penyakit dan kelainan terkait dengan perubahan pada tingkat sel, jaringan dan organ, yang menyebabkan munculnya tanda dan gejala pada pasien. Ada dua istilah penting yang akan dihadapi mahasiswa selama pendidikan mereka tentang patologi dan kedokteran: • Etiologi adalah penyebab penyakit, termasuk penyebab utama dan faktor tambahan lain. Sekarang jelas bahwa penyakit yang sering dijumpai seperti hipertensi, diabetes dan kanker disebabkan oleh gabungan berbagai kerentanan genetik yang diturunkan dan faktor lingkungan. Pemahaman mengenai genetik dan faktor lingkungan yang merupakan penyebab penyakit merupakan topik utama ilmu kedokteran mutakhir. • Patogenesis ialah mekanisme tahapan timbulnya penyakit. Mekanisme ini menjelaskan bagaimana faktor etiologi memicu perubahan sel dan molekul dan mengakibatkan kelainan fungsi dan struktur khusus yang merupakan tanda khas suatu penyakit. Apabila etiologi menjawab mengapa suatu penyakit terjadi, maka patogenesis menjawab bagaimana timbulnya suatu penyakit. Mendefinisikan etiologi dan patogenesis suatu penyakit penting tidak hanya untuk memahami penyakit tetapi juga merupakan dasar pemberian terapi yang rasional. Sehingga dengan menjelaskan penyebab dan mekanisme suatu penyakit patologi memberikan dasar ilmiah untuk kegiatan ilmu kedokteran. Untuk membuat diagnosis dan pedoman terapi dalam kegiatan klinis, dokter spesialis patologi mengidentifikasi perubahan makroskopik ataupun mikroskopik (morfologi) sel dan jaringan, perubahan biokimia dalam cairan tubuh (seperti darah dan urin) .



Jejas Iskemia dan Jejas Hipoksia 17 Reperfusi Jejas Iskemia 17 Jejas Kimia (Toksis) 17



Apoptosis 18



Penyebab Apoptosis 18 Mekanisme Apoptosis 19 Contoh Apoptosis 20



Autofag 22 Akumulasi Intrasel 23 Kalsifikasi Patologi 25 Penuan Sel 26



Dokter spesialis patologi memakai berbagai jenis teknik morfologik, molekuler, mikrobiologis dan imunologi untuk menentukan kelainan biokimia, struktur dan fungsi yang terjadi pada sel, jaringan dan organ terhadap akibat adanya jejas. Secara tradisional disiplin ilmu ini dibagi dalam patologi umum dan patologi khusus; patologi umum menitik beratkan pada kelainan sel dan jaringan diakibatkan oleh stimulus patologis pada jaringan secara umum, sedangkan patologi khusus mempelajari reaksi dan kelainan pada organ khusus tertentu. Pada buku ini karna akan membicarakan prinsip dasar patologi umum secara luas dan kemudian beranjak pada proses perkembangan penyakit tertentu pada berbagai organ.



SEKILAS TENTANG RESPONS SEL TERHADAP STRES DAN STIMULUS YANG MERUSAK Sel merupakan peserta aktif dari lingkungan yang selalu menyesuaikan struktur dan fungsi untuk mengakomodasi tuntutan perubahan kebutuhan dan terhadap stres ektrasel. Sel cenderung mempertahankan lingkungannya yang disebut homeostasis yaitu suatu keadaan dimana lingkungkan intrasel dipertahankan dalam rentang parameter fisiologis. Ketika sel menghadapi stres fisiologis atau rangsang patologis sel dapat beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan viabilitas dan fungsinya. Respons adaptasi utama adalah hipertrofi, hiperplasia, atrofia, dan metaplasia. Apabila kemampuan adaptif berlebihan atau stres eksternal berbahaya, maka sel mengalami jejas (Gambar 1-1). Dalam batas tertentu cedera bersifat reversibel dan sel akan kembali ke kondisi stabil semula; namun apabila stresnya berat atau berkepanjangan dan terjadi secara tiba-tiba akan mengakibatkan cedera ireversibel dan kematian pada sel



2



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



yang terkena. Kematian sel merupakan hasil yang penting pada perjalanan penyakit di jaringan atau di organ. Hal tersebut terjadi karena berbagai sebab, termasuk iskemia (aliran darah yang berkurang), infeksi, toksin, dan reaksi imunologi. Kematian sel merupakan kejadian normal dan penting pada proses embriogenesis, pertumbuhan organ dan mempertahankan homeostasis. Hubungan antara sel normal, sel yang mengalami adaptasi jejas reversibel dan ireversibel tertera pada Gambar 1-2 yang sesuai dengan respons jantung terhadap berbagai stres. Miokardium yang menerima peningkatan beban yang berkepanjangan, misalnya seperti pada keadaan hipertensi atau dengan katup yang menyempit (stenotik), beradaptasi dengan hipertrofi penambahan ukuran sel secara individu dan akhirnya seluruh jantung untuk menghasilkan peningkatan tekanan kontraktil yang dibutuhkan. Apabila kebutuhan yang meningkat tidak terpenuhi atau apabila miokardium mengalami iskemia dari arteri koronaria yang tersumbat maka sel otot akan mengalami jejas. Miokardium akan mengalami jejas reversibel apabila stres ringan atau penyumbatan arteri terbatas dan gangguan tersebut singkat. Sel akan mengalami jejas ireversibel dan kematian sel (infark) apabila terjadi sumbatan lengkap atau sumbatan yang berkelanjutan. Penting diketahui bahwa stres dan jejas tidak hanya berpengaruh pada gambaran morfologik tetapi juga pada status fungsional sel dan jaringan. Jadi miosit yang mengalami jejas reversibel tidak mati dan mirip dengan miosit normal. Namun miosit itu sementara tidak dapat berkontraksi sehingga jejas ringan pun dapat memberikan dampak klinis yang signifikan. Apakah suatu stres mengakibatkan adaptasi atau menyebabkan jejas reversibel atau ireversibel tidak hanya tergantung pada sifat dan keparahan stres tetapi juga pada beberapa variabel lain, termasuk metabolisme basal sel dan suplai darah dan status nutrisi. Pada bab ini akan dimulai



JEJAS REVERSIBEL



SEL NORMAL



Stimulus merugikan



Stress



ADAPTASI



Ringan



JEJAS SEL Ketidakmampuan beradaptasi



Berat



JEJAS IREVERSIBEL



NEKROSIS



KEMATIAN SEL



APOPTOSIS



Gambar 1-1 Tahap-tahap respons sel terhadap stres dan stimulus yang merugikan.



dengan menguraikan bagaimana sel beradaptasi terhadap stres dan kemudian penyebab, mekanisme dan akibat berbagai kerusakan akut pada sel, termasuk jejas reversibel, perubahan subseluler dan kematian sel. Diakhiri dengan tiga proses lain pada sel dan jaringan: penimbunan intrasel, klasifikasi patologis dan penuaan sel.



Miosit Normal



Adaptasi: respons terhadap beban yang bertambah



Jejas Sel



Jejas miosit reversibel



Miosit yang telah beradaptasi (hipertrofia) Kematian Sel



Gambar 1-2 Hubungan antara sel normal, sel yang mengalami adaptasi, sel yang mengalami jejas reversibel, dan sel miokardium yang mati. Adaptasi sel yang digambarkan di sini ialah hipertrofi, jenis jejas reversibel ialah iskemia, dan jejas ireversibel nekrosis koagulativa iskemik. Pada contoh hipertrofi miokardium (bawah kiri), tebal dinding ventrikel kiri lebih dari 2 cm (normal, 1- 1 ,5 cm). Efek fungsional yang terjadi akibat jejas reversibel miokardio tidak menunjukkan perubahan pada gambaran makroskopik maupun mikroskopik, tidak dijumpai pembengkakan sel atau degenerasi lemak (tampak pada gambar). Pada sediaan yang menunjukkan nekrosis (kanan bawah) daerah terang transmural pada ventrikel kiri area posterolateral menunjukkan infark akut miokardium. Ketiga potongan melintang pada miokardium telah diwarnai dengan trifeniltetrazolium klorida, suatu substrat enzim yang akan memberikan warna magenta pada miokardium yang masih viabel. Kegagalan pewarnaan terjadi akibat hilangnya enzim setelah kematian sel.



Adaptasi Sel Terhadap Stres



ADAPTASI SEL TERHADAP STRES Adaptasi adalah perubahan reversibel dari jumlah, ukuran, fenotipe, aktivitas metabolit atau fungsi sel dalam memberikan respons terhadap perubahan lingkungan. Adaptasi fisiologis umumnya merupakan respons sel terhadap stimulus normal oleh hormon atau mediator kimia endogen (misal: pembesaran payudara dan uterus selama kehamilan akibat pengaruh hormon). Adaptasi patologis merupakan respons terhadap stres yang memungkinkan sel untuk menyesuaikan struktur dan fungsi sehingga dapat menghindari jejas. Adaptasi tersebut dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda.



Hipertrofia Hipertrofia adalah meningkatnya ukuran sel yang mengakibatkan organ bertambah besar. Sebaliknya hiperplasia (dibahas berikut) adalah penambahan jumlah sel yang terjadi karena proliferasi sel yang telah mengalami diferensiasi dan penggantian sel oleh sel punca (stem cell). Dengan kata lain pada hipertrofia murni tidak dibentuk sel baru, hanya sel bertambah besar mengandungi protein dan organel struktural yang meningkat. Hiperplasia merupakan respons adaptasi pada sel yang dapat melakukan replikasi, sedangkan hipertrofia terjadi pada set yang mempunyai kemampuan pertambahan yang terbatas. Hipertrofia dan hiperplasia juga dapat terjadi bersama-sama dan keduanya akan mengakibatkan organ bertambah besar. Hipertrofia dapat terjadi secara fisiologis atau patologis dan disebabkan oleh kebutuhan fungsional yang meningkat atau stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal. • Pembesaran fisiologis uterus selama kehamilan terjadi karena hipertrofia otot polos dan hiperplasia otot polos akibat pengaruh estrogen (Gambar 1-3). Keadaaan berlawanan dalam respons terhadap tuntutan meningkat terjadi pada otot serat lintang di otot skeletal dan jantung yang hanya dapat melakukan hipertrofia karena set otot dewasa mempunyai kapasitas bertambah yang terbatas, sehingga seorang atlet angkat besi pembesaran ototnya karena proses hipertrofia. • Contoh hipertrofia sel patologis adalah pembesaran jantung akibat hipertensi atau penyakit katup aorta (Gambar 1-2).



A



B



3



Mekanisme yang mengakibatkan hipertrofia jantung melibatkan setidaknya dua jenis rangsangan: rangsangan mekanik, seperti peregangan, dan rangsangan trofik, yang merupakan mediator yang mudah larut dan merangsang pertumbuhan sel, misalnya faktor pertumbuhan dan hormon yang bersifat seperti adrenalin. Stimulus ini akan merangsang jalur yang mengakibatkan terjadinya induksi sejumlah gen, yang kemudian akan merangsang sintesa berbagai protein sel, termasuk faktor pertumbuhan dan protein struktural. Hasilnya akan terjadi pertambahan sintesa protein dan miofilamen tiap sel, yang akan memperkuat kemampuan pada tiap kontraksi, memungkinkan sel memenuhi peningkatan kebutuhan yang dihadapi. Dapat pula terjadi perubahan protein kontraktil dari bentuk dewasa ke fetal atau neonatal. Contoh, selama masa hipertrofia otot, miosin alfa rantai berat akan diganti dengan miosin beta rantai berat yang akan menghasilkan kontraksi yang lebih lambat dan lebih menghemat energi. Walaupun terjadi mekanisme hipertrofia, akan dicapai batas di mana pembesaran massa otot tidak mampu lagi mengkompensasi beban yang meningkat. Apabila hal ini terjadi di jantung, beberapa perubahan degeneratif akan terjadi pada serat miokardium, yang terpenting ialah terjadinya fragmentasi dan hilangnya elemen kontraktil miofibril. Variabel yang membatasi terjadinya hipertrofia dan mengakibatkan kelainan regresif tidak seluruhnya dipahami. Serat yang membesar mengakibatkan terjadinya keterbatasan vaskular mitokondria untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP), atau gangguan biosintesa untuk menghasilkan protein kontraktil atau elemen sitoskeletal lain. Hasil akhir kelainan ini adalah dilatasi ventrikel dan disusul dengan gagal jantung, suatu urutan kejadian yang menggambarkan bagaimana suatu adaptasi terhadap stres dapat berakhir dengan kerusakan fungsi sel, apabila stres tidak dapat ditanggulangi.



Hiperplasia Seperti pembahasan sebelumnya, hiperplasia terjadi apabila jaringan mengandungi populasi sel yang mampu bereplikasi. Hal tersebut dapat terjadi bersama dengan hipertrofia dan sering terjadi karena stimulus yang sama.



C



Gambar 1-3 Hipertrofia fisiologis pada uterus selama kehamilan. A, Gambaran makroskopik uterus normal (kanan) dan uterus gravid (kiri) yang diangkat setelah perdarahan postpartum. B, Sel otot polos uterus bentuk spindel kecil dari sebuah uterus normal. C, Sel otoc polos uterus besar, hipertrofia dari uterus gravid; bandingkan dengan B. (B dan C, Pembesaran yang sama.)



4



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



BAB 1



ngalami gangguan atau menjadi tidak efektif (Bab 5). Sekalipun demikian, dalam banyak kasus, hiperplasia patologis merupakan lahan yang subur untuk timbulnya kanker. Contoh, pasien hiperplasia endometrium mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi kanker endometrium (Bab 18).



Hiperplasia dapat terjadi fisiologis ataupun patologis. Pada kedua keadaan proliferasi sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel. • Dua jenis hiperplasia fisiologis ialah: (1) hiperplasia hormonal, contoh pada proliferasi epitel kelenjar-kelenjar payudara saat pubertas dan saat kehamilan dan (2) hiperplasia kompensatorik, keadaan dimana jaringan sisa akan bertambah setelah pengeluaran atau hilangnya bagian dari suatu organ. Contoh apabila sebagian organ hati direseksi, aktivitas mitosis pada sel yang tersisa akan dimulai dalam waktu 12 jam, sampai terjadi pemulihan hati mencapai berat normal semula. Stimulus untuk hiperplasia pada proses ini adalah faktor pertumbuhan polipeptida yang dihasilkan oleh sel hati dan juga oleh sel non parenkim di hati (Bab 2). Setelah proses restorasi jaringan hati, proliferasi sel akan dihentikan oleh berbagai inhibitor pertumbuhan. Umumnya hiperplasia patologis disebabkan oleh stimulus hormon • dan faktor pertumbuhan yang meningkat. Contoh setelah siklus haid normal akan terjadi pertambahan proliferasi epitel uterus yang biasanya dipengaruhi ketat oleh hormon hipofisis dan hormon estrogen ovarium dan dihambat oleh progesteron. Namun apabila terjadi gangguan keseimbangan estrogen dan progesteron akan terjadi hiperplasia endometrium, yang merupakan penyebab tersering dari gangguan siklus haid. Hiperplasia juga merupakan respons penting sel jaringan ikat pada penyembuhan Iuka, di mana proliferasi fibroblas dan pembuluh darah menopang terjadinya pemulihan jaringan (Bab 2). Pada proses ini faktor pertumbuhan dihasilkan oleh sel darah putih (leukosit) dalam respons terhadap jejas dan matriks ekstrasel. Rangsangan faktor pertumbuhan juga terjadi pada hiperplasia yang dikaitkan dengan infeksi virus; contoh virus papiloma yang mengakibatkan kutil kulit dan lesi mukosa yang terjadi atas hiperplasia epitel. Pada keadaan ini faktor pertumbuhan disandi oleh gen virus atau gen sel pejamu yang terkena infeksi.



Atrofia Melisutnya ukuran sel akibat hilangnya substansi sel disebut atrofia. Apabila mengenai jumlah sel yang cukup banyak, seluruh jaringan atau organ akan mengecil ukurannya, menjadi atrofik (Gambar 1-4). Walaupun sel-sel atrofik menurun fungsinya, sel tersebut tidak mati. Termasuk penyebab atrofia, ialah berkurangnya beban kerja (misal: imobilisasi tungkai untuk memungkinkan penyembuhan fraktur), hilangnya persarafan, berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat, hilangnya stimulasi endokrin, dan penuaan (atrofia senilis). Walaupun beberapa stimulus tersebut bersifat fisiologis (misal: berkurangnya stimulasi hormonal pada menopause) dan lainnya patologis (misal: denervasi), kelainan dasar sel bersifat identik. Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel menjadi ukurannya lebih kecil namun sel dapat bertahan hidup; suatu keseimbangan baru terwujud antara ukuran sel dan berkurangnya suplai darah, nutrisi atau stimulasi trofik. Mekanisme atrofia merupakan kombinasi antara sintesa protein yang menurun dan degradasi protein dalam sel. • Sintesa protein menurun karena aktivitas metabolit menurun. • Degradasi protein sel terutama terjadi melalui jalur ubiquitinproteasome. Defisiensi nutrien dan kurang dipakai akan mengaktifkan ligase ubiquitin, yang akan menggabungkan beberapa peptida ubiquitin kecil dengan protein sel agar terjadi degradasi dalam proteasomes. Jalur ini diperkirakan berperan pada peningkatan proteolisis pada berbagai kondisi katabolik, termasuk keadaan kaheksia pada kanker. • Pada banyak keadaan, atrofia juga diiringi dengan peningkatan autofagia, yang meningkatkan vakuol autofagia. Autofagia ("memakan diri sendiri") merupakan proses yaitu sel yang kelaparan akan memakan komponennya sendiri dalam usaha untuk bertahan hidup. Hal ini akan dibahas kemudian pada bab ini.



Hal penting pada semua keadaan di atas, proses hiperplasia tetap terkendali; apabila sinyal yang memulai kejadian itu menghilang, maka hiperplasia juga akan berhenti. Kemampuan merespons terhadap mekanisme regulasi normal ini yang membedakan hiperplasia patologis dengan kanker. Pada kanker, mekanisme pengaturan pertumbuhan me-



A



B



Gambar 1-4 Atrofia otak. A, Otak normal dewasa muda. B, Atrofia otak pada seorang laki-laki usia 82 tahun dengan penyakit aterosklerosis. Atrofia otak terjadi karena proses penuaan dan menurunnya suplai darah. Perhatikan bahwa berkurangnya jaringan otak akan menyempitkan girus dan melebarnya sulkus. Jaringan meningen telah dilepas dari dasar pada tiap sediaan untuk menunjukkan permukaan otak.



lkhtisar Jejas Sel dan Kemat ian Sel



5



Metaplasia Metaplasia adalah perubahan reversibel yaitu satu jenis sel dewasa (sel epitel atau mesenkim) digantikan oleh sel dewasa jenis lain. Dalam adaptasi sel ini, suatu sel yang sensitif terhadap suatu stres tertentu diganti oleh sel lain yang lebih mampu bertahan terhadap lingkungan yang tidak menopang. Metaplasia diperkirakan terjadi karena sel punca (stem) diprogram kembali agar mengikuti jalur baru dan bukan perubahan fenotipe (perubahan diferensiasi) daripada set yang telah mengalami diferensiasi. Metaplasia epitel ditunjukkan dengan perubahan epitel skuamosa yang terjadi pada epitel saluran napas seorang perokok menahun (Gambar 1-5). Sel epitel kolumnar bersilia normal pada trakea dan bronkus akan diganti setempat atau mengenai daerah luas dengan epitel berlapis skuamosa. Epitel berlapis skuamosa yang tebal ini dapat bertahan terhadap zat kimia yang membahayakan pada asap rokok dibandingkan epitel bronkus semula yang tidak mampu bertahan. Walaupun epitel skuamosa metaplastik mempunyai daya pertahanan hidup yang menguntungkan, beberapa mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi mukus dan silia pembersih terhadap benda partikel. Walaupun epitel skuamosa metaplastik mempunyai daya pertahanan hidup yang menguntungkan, beberapa mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi mukus dan silia pembersih terhadap benda partikel. Metaplasia epitel merupakan pedang bermata dua. Akibat lain, pengaruh yang menginduksi perubahan metaplastik, apabila menetap, merupakan predisposisi perubahan keganasan pada epitel. Kenyataanya, metaplasia skuamosa epitel saluran pernapasan sering dijumpai bersamaan dengan kanker paru yang terdiri atas epitel skuamosa yang ganas. Diperkirakan merokok akan mengakibatkan metaplasia skuamosa pada tahap awal dan kanker akan timbul pada daerah ini kemudian. Karena vitamin A dibutuhkan untuk diferensiasi normal epitel, defisiensi vitamin ini akan mengakibatkan metaplasia skuamosa pada epitel saluran napas. Metaplasia tidak harus mengakibatkan epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa; pada refluks gaster kronik, epitel skuamosa esofagus bagian bawah mengalami transformasi metaplastik menjadi epitel gaster atau epitel kolumnar intestinal. Metaplasia dapat pula terjadi pada sel mesenkim, tetapi keadaan ini biasanya terjadi akibat reaksi terhadap perubahan patologis dan bukan respons adaptif terhadap stres. Contoh, tulang kadang-kadang dibentuk pada jaringan ikat, terutama pada lokasi jejas.



RINGKASAN Adaptasi Sel Terhadap Stres • Hipertrofia: penambahan ukuran sel dan organ, sering merespons terhadap beban kerja yang bertambah; diinduksi oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan akibat stres mekanik atau stimulus lain; terjadi pada jaringan yang tidak mampu melakukan pembelahan sel. • Hiperplasia: penambahan jumlah sel untuk merespons hormon dan faktor pertumbuhan lain; terjadi pada jaringan yang mempunyai sel yang mampu membelah atau mempunyai persediaan cukup sel punca (stem). • Atrofia: melisutnya ukuran sel dan organ, akibat suplai nutrien yang kurang atau tidak/kurang digunakan; dikaitkan dengan menurunnya sintesa blok pembangun sel dan meningkatnya kerusakan organel sel.



Membran basalis



A



Epitel kolumnar normal



Metaplasia skuamosa



B Gambar 1–5 Metaplasia epitel kolumnar normal (kiri) menjadi epitel skuamosa (kanan) pada bronkus, secara skematis (A) dan secara histologis (B).



• Metaplasia: perubahan fenotipe sel yang telah berdiferensiasi, sering akibat iritasi kronik, sehingga sel lebih mampu menghadapi stres; biasanya diinduksi melalui jalur diferensiasi sel stem yang berubah; dapat mengakibatkan fungsi yang menurun atau peningkatan kecenderungan transformasi menjadi ganas.



IKHTISAR JEJAS SEL DAN KEMATIAN SEL Seperti tercantum pada awal bab ini, jejas sel akan terjadi apabila sel mengalami stres yang berat sehingga sel tersebut tidak dapat lagi beradaptasi atau apabila sel terpapar pada agen yang merusak atau mengalami abnormalitas intrinsik (misal: pada DNA atau protein). Berbagai stimulus yang mencederakan akan mengakibatkan gangguan jalur metabolisme dan organel sel. Jejas akan berkembang dari stadium reversibel dan berakhir pada kematian sel (Gambar. 1–1). • Jejas sel reversibel. Pada stadium awal atau pada cedera yang ringan kelainan fungsi dan morfologi masih reversibel apabila stimulus yang merusak dihilangkan. Pada stadium ini walaupun terjadi kelainan struktur dan fungsi yang penting yang signifikan, jejas itu umumnya tidak berkembang mengakibatkan kerusakan membran dan kerusakan inti. • Kematian sel. Apabila cedera berkelanjutan, jejas menjadi ireversibel, sel tidak dapat pulih kembali dan menjadi mati. Ada dua jenis kematian sel nekrosis dan apoptosis yang berbeda dalam mekanisme, morfologi dan peran pada penyakit dan Fisiologi (Gambar 1-6 dan Tabel 1-1). Apabila kerusakan membran amat parah, enzim akan keluar dari lisosom, memasuki sitoplasma dan mencerna sel,mengakibatkan nekrosis. lsi sel akan keluar dari membran plasma yang rusak dan memasuki rongga ekstrasel, dan



6



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



memicu reaksi pejamu (peradangan). Nekrosis merupakan jalur utama kematian sel pada berbagai cedera yang sering dijumpai, misalnya akibat iskemia, toksin, berbagai infeksi, dan trauma. Apabila sebuah sel kehilangan faktor pertumbuhan, atau DNA sel atau protein rusak tanpa dapat diperbaiki, sel tersebut akan bunuh diri melalui suatu jenis kematian sel, yang disebut apoptosis, ditandai dengan hilangnya inti tanpa kerusakan membran dengan karakterisasi berupa disolusi inti tanpa kehilangan total intergritas membran. Apabila nekrosis selalu merupakan proses patologis, maka apoptosis berfungsi normal dan tidak selalu dikaitkan dengan jejas patologis sel. Juga dalam perannya pada proses fisiologis tertentu, apoptosis tidak mengakibatkan reaksi radang. Gambaran morfologik, mekanisme dan peran kedua jalur kematian sel ini dibicarakan lebih lanjut pada bab ini.



PENYEBAB JEJAS SEL Jejas sel dapat terjadi mulai dari trauma fisis pada kecelakaan kendaraan bermotor hingga defek sebuah gen yang mengakibatkan enzim tidak berfungsi pada suatu penyakit metabolit. Umurnya stimulus yang merusak itu dapat dikelompokkan dalam kategori berikut.



Kekurangan Oksigen Hipoksia, atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi erobik oksidatif dan merupakan penyebab jejas dan kematian sel yang sangat penting dan tersering. Hipoksia perlu dibedakan dengan iskemia yang merupakan berkurangnya suplai darah ke jaringan akibat terganggunya aliran arteri atau menurunnya aliran vena. Apabila iskemia merupakan penyebab hipoksia tersering, defisiensi oksigen juga dapat terjadi karena oksigenasi yang tidak memadai, misalnya pada pneumonia, atau pada menurunnya kemampuan darah membawa oksigen, contohnya pada anemi akibat kekurangan darah atau keracunan karbon monoksida (CO). (CO membentuk kompleks stabil dengan hemoglobin yang mencegah ikatan dengan oksigen).



Agen Kimia Peningkatan jumlah beberapa zat kimia yang bisa mengakibatkan jejas sel mulai dikenal; zat yang dijumpai sehari-hari pun misalnya glukosa, garam, maupun air apabila diserap atau diberikan secara berlebihan akan menganggu lingkungan osmotik sehingga mengakibatkan jejas sel atau kematian sel. Agen yang biasanya dikenal sebagai racun akan mengakibatkan kerusakan sel dengan mengganggu permeabilitas membran, homeostasis osmotik, dan integritas dari enzim atau kofaktor dan kemudian paparan pada racun tersebut dapat mengakibatkan kematian seluruh organisme. ada agen yang berpo-



SEL NORMAL



SEL NORMAL



Pemulihan



Jejas Reversibel



Kondensasi kromatin Pembengkakan retikulum endoplasma dan mitokondria



Benda mielin



Gelembung membran



Gelembung Membran



Fragmentasi sel



Jejas progresif Benda mialin



Kerusakan membran plasma, organel, dan inti; kebocoran isi sel



Radang



NEKROSIS



Benda apoptotik



Fagosit



Densitas amorf di



Gambar 1–6



Gambaran sel pada nekrosis (kiri) dan apoptosis (kanan).



APOPTOSIS



Fagositosis sel apoptotik dan fragmen sel



Molfologi Jelas pada Sel dan Jaringan



7



Tabel 1–1 Gambaran Nekrosis dan Apoptosis



Gambaran



Nekrosis



Apoptosis



Besar sel



Membesar (bengkak)



Mengecil (melisut)



Inti



Utuh; struktur berubah, terutama orientasi lemak



Isi sel



Piknosis → karioreksis → kariolisis Rusak Pencernaan enzimatik bisa menghilangkan sel



Radang sekitarnya



Sering



Peran fisiologis atau patologis



Patologi (diakhiri jejas sel ireversibel)



Membran plasma



Fragmentasi menjadi fragmen sebesar nukleosom Utuh; mungkin ditampilkan pada badan-badan apoptotik Tidak Sering fisiologis; upaya untuk mengeliminasi sel yang tidak diinginkan; bisa patologis setelah berbagai cedera sel, khususnya kerusakan DNA dan kerusakan protein



DNA, asam deoksiribonukleat.



tensi toksik yang dijumpai sehari-hari dalam lingkungan; termasuk di antaranya polutan udara, insektisida, CO, asbes, dan "stimulan sosial" misalnya etanol. Banyak obat-obatan dapat mengakibatkan jejas pada sel atau jaringan pada pasien yang sensitif atau apabila dipakai berlebihan atau tidak tepat (Bab 7). Oksigen pun apabila dipakai dengan tekanan tinggi bisa merupakan racun.



  Agen penyebab infeksi bervariasi mulai dari yang berukuran virus submikroskopik hingga cacing pita yang panjangnya beberapa meter; di antaranya adalah riketsia, bakteri, jamur, dan protozoa. Cara-cara infeksi patogen mengakibatkan penyakit akan dibahas dalam (Bab 8).



Reaksilmunologi Walaupun sistem imun melindungi tubuh terhadap mikrobakteri patogen, reaksi imun juga dapat mengakibatkan cedera sel dan jaringan. Contoh reaksi imun yang merugikan adalah reaksi autoimun terhadap jaringannya sendiri dan reaksi alergi terhadap substansi lingkungan pada penderita dengan gangguan genetik (Bab 4).



  Gangguan genetik dapat mengakibatkan kelainan patologis yang mencolok seperti malformasi kongenital berhubungan dengan sindrom Down atau kelainan ringan seperti pergantian satu asam amino pada hemoglobin S yang mengakibatkan anemia sel sabit (sickle) (Bab 6).Defek genetik dapat mengakibatkan jejas sel karena defisiensi protein fungsional seperti defisiensi protein fungsional yang menyebabkan gangguan metabolisme bawaan, atau penimbunan beberapa kerusakan DNA atau kesalahan pelipatan protein, yang keduanya bisa mengakibatkan kematian sel apabila terjadi dalam proses perbaikan. Variasi genetik (polimorfisme) ikut menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dan dapat mengakibatkan kerentanan sel terhadap jejas akibat zat kimia atau pengaruh lingkungan lain.



  Pada perkembangan dunia yang maju ini defisiensi nutrisi tetap menjadi penyebab tersering jejas pada sel. Kekurangan protein kalori pada negara yang sedang berkembang merupakan contoh yang mencolok; defisiensi vitamin tertentu dapat dijumpai pada negara berkembang pun dengan standar hidup yang tinggi (Bab 7). Amat ironis bahwa gangguan nutrisi dan bukan kekurangan nutrisi merupakan penyebab penting pada morbiditas dan mortalitas; contoh obesitas akan meningkatkan diabetes melitus tipe 2. Juga, diet yang mengandungi lemak hewan diduga kuat akan mengakibatkan aterosklerosis dan kerentanan yang meningkat terhadap kelainan lain termasuk kanker.



Agen Fisis Trauma, suhu yang ekstrem, radiasi, syok listrik dan perubahan yang tiba-tiba pada tekanan atmosfir mengakibatkan efek yang luas pada sel (Bab 7).



  Penuaan pada sel akan mengakibatkan gangguan replikasi dan kemampuan perbaikan pada sel dan jaringan. Seluruh perubahan ini bisa mengakibatkan menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap kerusakan sel dan kemudian bisa berakhir dengan kematian sel dan organisme. Mekanisme tentang penuaan sel akan dibicarakan dalam akhir bab ini.



MORFOLOGI JEJAS PADA SEL DAN JARINGAN Penting untuk diketahui tentang perubahan struktural yang terjadi pada sel yang mengalami cedera, sebelum kita membicarakan mekanisme biokimia yang mengakibatkan perubahan tersebut. Semua stres dan zat berbahaya mula-mula akan memberikan pengaruh pada tingkat molekuler atau biokimia. Hilangnya fungsi sel terjadi jauh sebelum kematian sel, dan kelainan morfologi terjadi jauh sesudahnya (Gambar. 1–7). Contoh, sel miokardium tidak dapat berkontraksi setelah terjadinya iskemia satu sampai dua menit, walaupun set tersebut baru akan mati 20 sampai 30 menit setelah iskemia terjadi. Dengan mikroskop elektron, sel tidak tampak mati dalam jangka waktu 2 sampai 3 jam, sedangkan dengan mikroskop cahaya setelah 6 sampai 12 jam. Kelainan sel pada jejas reversibel dapat dikoreksi dan apabila stimulus tersebut menghilang maka set dapat kembali menjadi normal. Cedera yang terus menerus dan berat, akan mengakibatkan sel melampaui "point of no return" menuju jejas ireversibel dan kematian sel. Keadaan yang mengakibatkan jejas reversibel menjadi ireversibel dan mengakibatkan kematian sel tetap tidak dimengerti dengan jelas. Relevansi klinis terhadap keadaan ini sangat penting; karena apabila kelainan biokimia dan molekuler yang mengakibatkan kematian sel dapat diidentifikasi dengan tepat, maka dapat diperoleh cara untuk mencegah terjadinya perubahan jejas reversibel menjadi ireversibel. Walaupun tidak ada kelainan morfologi atau biokimia pasti yang berkaitan dengan ireversibilitas, dua hal menjadi ciri khas irevisibilitas: pertama ketidakmampuan untuk memperbaiki disfungsi mitokondria (tidak terjadinya fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP) walaupun telah tetjadi resolusi jejas asal, dan kedua ialah gangguan pada fungsi membran. Seperti telah dibicarakan sebelumnya, jejas pada membran lisosom mengakibatkan kerusakan enzim pada sel yang cedera yang berakhir dengan nekrosis.



8



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Seperti telah di bicarakan sebelumnya, berbagai stimulus yang membahayakan dapat mengakibatkan kematian sel melalui nekrosis atau apoptosis (Gambar 1–6 and Tabel 1–1). Berikut kita akan membicarakan jejas irreversibel dan nekrosis; sekuens akibat kelainan morfologi pada proses ini tertera pada Gambar 1–6. Apoptosis mempunyai berbagai gambaran khusus dan akan dibicarakan tersendiri pada bab ini.



Jejas Reversibel



suatu obat mempunyai kapasitas lebih untuk melakukan metabolisme komponen lain yang dilakukan oleh sistem yang sama. Jadi apabila pasien yang menggunakan phenobarbital untuk epilepsi meningkatkan pemakaian alkohol, mereka dapat mengalami penurunan konsentrasi obat anti kejang hingga tingkat subterapeutik karena induksi ER dalam merespons kepada alkohol.



MORFOLOGI



Dua kelainan morfologik penting yang berkaitan dengan jejas reversibel pada sel ialah pembengkakan sel dan degenerasi lemak. Pembengkakan sel merupakan akibat kegagalan pompa ion yang tergantung tenaga/ energi dependen pada membran plasma, mengakibatkan sel tidak mampu mempertahankan homeostasis ion dan cairan. Degenerasi lemak terjadi akibat jejas hipoksia dan berbagai cedera toksik dan metabolit yang tampak sebagai vakuol kecil atau besar di dalam sitoplasma. Mekanisme degenerasi lemak akan dibahas pada Bab 15. Pada beberapa keadaan, yang berpotensi menimbulkan jejas akan mengakibatkan perubahan spesifik pada organel sel, seperti ER (endoplasmic reticulum). ER terlibat dalam metabolisme berbagai zat kimia, dan sel yang mengalami paparan pada zat kimia tersebut akan menunjukkan hipertrofia ER sebagai upaya adaptasi yang dapat mengakibatkan perubahan fungsional penting. Contoh, barbiturat di metabolisme di hati oleh sistem gabungan sitokrom P-450 dan oksidase pada ER normal. Pemakaian barbiturat yang berkepanjangan akan mengakibatkan keadaan toleransi, sehingga pengaruh obat akan menurun dan dibutuhkan dosis yang lebih tinggi. Adaptasi ini terjadi karena volume yang bertambah (hipertrofia) dari ER sel hepar dan peningkatan aktivitas enzim P-450. Walaupun modifikasi yang dimediasi P-450 diperkirakan sebagai upaya "detoksifikasi", banyak komponen mengalami cedera pada proses ini; contoh ialah karbon tetraklorida (CCl4), akan dibicarakan kemudian. Sebagai tambahan, hasil yang terbentuk akibat metabolisme oksidatif ini ialah spesies oksigen reaktif (ROS), yang akan mengakibatkan cedera pada sel. Sel yang mengadaptasi



Pembengkakan sel (Gambar. 1–8, B),manifestasi pertama jejas pada sel, ialah perubahan reversibel yang sulit dikenal pada mikroskop cahaya. tetapi lebih tampak pada tingkat organ. Apabila keadaan itu mengenai banyak sel pada suatu organ, akan mengakibatkan warna pucat (akibat dari tekanan pada kapiler), turgor meningkat, dan berat organ akan meningkat. Gambaran mikroskopik menunjukkan vakuol kecil jernih dalam sitoplasma; menandakan segmen retikulum endoplasmik (ER) yang melebar dan terlepas. Pola jejas nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidrofik atau degenerasi vakuolar. Degenerasi lemak tampak sebagai vakuol lemak dalam sitoplasma. Biasanya dijumpai pada sel yang terlibat dalam metabolisme lemak (contoh sel hati, sel miokardium) dan bersifat reversibel. Sel cedera juga akan menunjukkan pulasan eosinofil yang bertambah, dan akan lebih menonjol apabila terjadi nekrosis (dibicarakan kemudian). Perubahan intrasel berkaitan dengan jejas reversibel (Gambar. 1–6) termasuk (1) perubahan membran plasma seperti penonjolan, distorsi mikrovilli dan lepasnya unsur intersel; (2) gangguan mitokondria misal nya pembengkakan dan timbulnya benda amorf mengandungi fosfolipid; (3) dilatasi ER dan lepasnya ribosom serta disosiasi polisom; dan (4) perubahan inti, berupa penggumpalan kromatin. Sitoplasma dapat mengandungi massa fosfolipid, disebut benda mielin, terbentuk dari membran sel yang rusak.



Nekrosis Jejas sel reversibel



Kematian sel



Perubahan Perubahan ultrastruktur mikroskop cahaya



Perubahan makroskopik



EFEK



Fungsi sel



Jejas sel ireversibel



Nekrosis merupakan jenis kematian sel yang dihubungkan dengan hilangnya integritas membran dan bocornya isi sel sehingga terjadi kerusakan sel, terutama akibat pengaruh enzim yang merusak sel yang mengalami jejas fatal. Isi sel yang bocor keluar akan mengakibatkan reaksi lokal pejamu yang disebut radang yang merupakan upaya untuk menghilangkan sel yang mati dan memulai proses perbaikan (Bab 2). Enzim yang mengakibatkan pencernaan sel berasal dari lisosom sel mati dan dari lisosom leukosit yang dikerahkan sebagai bagian dari reaksi radang karena adanya sel yang mati.



MORFOLOGI LAMA JEJAS



Gambar 1–7 Hubungan fungsi sel, kematian sel, dan perubahan moriologik pada jejas sel. Perhatikan bahwa sel menjadi tidak berfungsi segera setelah terjadinya jejas, walaupun masih viabel, dan dapat mengakibatkan kerusakan reversibel, dengan bertambah lamanya waktu terjadinya jejas, dapat mengakibatkan jejas ireversi bel dan kematian sel. Juga agar diperhatikan bahwa kematian sel mendahului perubahan ultrastruktural, mikroskop cahaya dan perubahan moriologik yang dapat dilihat.



Nekrosis ditandai dengan adanya perubahan pada sitoplasma dan inti sel yang mengalami jejas (Gambar 1–6, kiri, dan 1–8, C). • Perubahan sitoplasma. Sel nekrotik akan menunjukkan peningkatan warna eosin (contoh warna merah jambu dari zat warna eosin-E pada pulasan hematoksilin dan eosin [H&E]), terjadi sebagian oleh karena peningkatan ikatan eosin dengan protein sitoplasma yang mengalami



Morfologi Jejas pada Sel dan Jaringan



A



B



9



C



Gambar 1–8 Perubahan morfologik pada jejas sel reversibel dan ireversibel (nekrosis). A, Tubulus ginjal normal dengan sel epitel viabel. 8 , Jejas dini (reversibel) iskemik menunjukkan tonjolan permukaan, peningkatan eosinofilia di sitoplasma, dan pembengkakan beberapa sel. C, jejas nekrotik (ireversibel) sel epitel, dengan hilangnya inti dan fragmentasi sel dan bocornya isi sel. (Penghormatan kepada Drs. Neal Pinckard dan MA. Venkatachalam. University of Texas Health Sciences Center San Antonio, Tex.)



denaturasi dan akibat hilangnya warna basofil yang biasanya dijumpai pada asam ribonukleat (RNA) pada sitoplasma (basofil adalah warna biru pada pewarnaan hematoksilin H pada "H&E"). Dibandingkan dengan sel viabel maka sel ini memberikan gambaran jernih, homogen terutama akibat hilangnya partikel glikogen. Gambaran mielin lebih mencolok pada sel nekrotik dibandingkan saat jejas reversibel. Apabila enzim telah mencerna organel sitoplasmik, sitoplasma bervakuol dan mirip gambaran seperti "digigit rayap". Dengan elektron mikroskop sel nekrotik ditandai dengan diskontinuitas pada plasma dan membran organel, dilatasi mencolok pada mitokondria dengan gambaran benda amorf, kerusakan lisosom dan gambaran mielin dalam sitoplasma. • Perubahan inti. Perubahan inti berbentuk satu dari tiga buah pola yang semua disebabkan oleh kerusakan DNA dan kromatin. Warna basofil dari kromatin akan memudar (kariolisis), kemungkinan terjadi sekunder akibat aktivitas deoksiribonuklease (DNase). Gambaran kedua adalah piknosis, berupa inti yang mengecil dan warna basofil meningkat; DNA berubah menjadi suatu massa padat melisut. Gambaran ketiga adalah kario reksis, inti piknotik mengalami fragmentasi. Dalam satu atau dua hari inti sel yang mati akan menghilang. Gambaran mikroskop elektron menunjukkan perubahan inti yang berakhir dengan disolusi inti. • Nasib sel nekrotik. Sel nekrotik dapat bertahan beberapa saat atau kemudian dicerna oleh enzim dan menghilang. Sel mati akan diganti oleh benda mielin yang akan difagositosis oleh sel lain atau mengalami degradasi menjadi asam lemak. Asam lemak ini akan mengikat garam kalsium, mengakibatkan sel mati mengalami proses klasifikasi.



Gambaran Nekrosis Jaringan Ada berbagai gambaran morfologi pada nekrosis jaringan yang dapat menjelaskan penyebabnya. Walaupun terminologi yang menggambarkan pola ini tidak menjelaskan mekanisme penyebab, istilah tersebut lazim digunakan dan dimengerti oleh dokter spesialis patologi dan dokter spesialis klinis. Umumnya jenis nekrosis ini memberikan gambaran makroskopik yang jelas; nekrosis fibrinoid dideteksi hanya melalui pemeriksaan histologis.



MORFOLOGI • Nekrosis koagulatifa. Merupakan jenis nekrosis yang arsitektur jaringannya tetap dipertahankan untuk beberapa hari (Gambar. 1–9). Jaringan yang terkena mempunyai bentuk padat. Kemungkinan jejas merusak tidak hanya protein tetapi juga enzim, sehingga tidak terjadi proteolisis sel mati; akibatnya sel menjadi eosinofilik tanpa nukleus dan bisa bertahan beberapa hari hingga beberapa minggu. Leukosit akan menuju tempat nekrosis dan sel mati akan dicerna oleh enzim lisosom dari leukosit . Sisa-sisa sel akan dihilangkan melalui proses fagositosis. Nekrosis koagulatif adalah karakteristik infark (daerah nekrosis iskemik) dan terjadi pada semua organ padat kecuali otak. • Nekrosis liquefaktifa dijumpai pada infeksi bakteri setempat, atau kadang-kadang infeksi jamur, karena mikroba akan mengakibatkan akumulasi sel radang dan enzim leukosit yang mencerna ("liquefy") jaringan. Karena alasan tertentu, kematian akibat hipoksia sel dalam sistem saraf pusat sering mengakibatkan nekrosis liquefaktifa (Gambar. 1–10). Apa pun patogenesisnya, sel mati seluruhnya akan dicerna sehingga jaringan berubah menjadi massa yang cair. Akhirnya jaringan



10



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



I



N



A



B



Gambar 1–9 Nekrosis koagulativa. A, lnfark bentuk baji pada ginjal (kuning) dengan preservasi batas luar. B , Gambaran mikroskopik tepi infark, dan ginjal normal (N) dan sel nekrosis dalam infark (I). Sel nekrosis menunjukkan preservasi batas sel dengan hilangnya inti, dan infiltrat radang di jumpai (sulit melihatnya pada pembesaran ini).



tersebut akan dihilangkan oleh fagosit. Apabila proses ini terjadi pada radang akut, seperti pada infeksi bakteri, terbentuk cairan berwarna kuning kental dan disebut nanah (Bab 2). • Walaupun nekrosis gangrenosa bukan merupakan gambaran tertentu sel yang mati, terminologi ini masih dipakai pada keadaan klinis sehari-hari. Kelainan tersebut terjadi pada tungkai terutama tungkai bawah yang mengalami kekurangan aliran darah dan terjadi nekrosis koagulatifa meliputi berbagai lapisan jaringan. Apabila kemudian diikuti infeksi bakteri, nekrosis koagulatifa akan berubah menjadi nekrosis liquefaktifa dan akan didatangi oleh leukosit (mengakibatkan keadaan yang disebut gangren basah). • Nekrosis kaseosa, sering dijumpai pada fokus infeksi tuberkulosa. Kaseosa berarti "mirip keju" menyatakankan gambaran putih kekuning-kuningan pada daerah nekrosis yang rapuh (Gambar 1-11). Pada gambaran mikroskopik fokus nekrotik menunjukkan kumpulan sel yang berfragmentasi dan sel yang hancur dengan gambaran merah muda granuler pada pewarnaan jaringan H&E. Berbeda dengan nekrosis koagulatifa, arsitektur jaringan dirusak secara menyeluruh dan gambaran sel tidak dapat dikenal lagi. Daerah nekrosis kaseosa biasanya dikelilingi oleh jaringan radang; gambaran ini merupakan gambaran khas dari fokus radang yang disebut granuloma (Bab 2). • Nekrosis lemak merupakan daerah setempat yang mengalami destruksi lemak, suatu kelainan khas akibat pelepasan enzim lipase pankreas yang teraktifkan ke dalam jaringan pankreas dan rongga peritoneum. Hal ini terjadi pada keadaan darurat abdomen dan dikenal sebagai pankreatitis akuta (Bab 16). Pada kelainan ini enzim pankreas yang keluar dari sel asinus dan duktusakan mencairkan sel lemak peritoneum, dan lipase akan memecah ester trigliserida pada sel lemak. Asam lemak yang terbentuk akan mengikat kalsium dan menghasilkan daerah putih seperti kapur (saponifikasi lemak), memudahkan dokter spesialis bedah dan dokter spesialis



patologi untuk mengidentifikasi lesi tersebut (Gambar. 1–12). Pemeriksaan histologis fokus nekrocik menunjukkan gambaran samar sel lemak yang nekrosis dengan deposit kalsium basofilik, dikelilingi reaksi radang. • Nekrosis fibrinoid merupakan nekrosis khusus, tampak dengan mikroskop cahaya, umumnya terjadi pada reaksi imun dimana kompleks antigen dan antibodi mengendap pada dinding arteri. Endapan kompleks imun bersama dengan fibrin yang keluar dari pembuluh, akan memberikan gambaran merah muda amorf yang mencolok pada sediaan H&E dan disebut fibrinoid (mirip fibrin) oleh dokter spesialis patologi (Gambar. 1–13). Penyakit akibat gangguan imunologi (misal: poliarteritis nodosa) jenis nekrosis ini dibicarakan pada Bab 4.



Gambar 1–10 Nekosis liquefaktif. lnfark di otak menunjukkan disolusi jaringan.



Mekanisme Jejas pada Sel



11



Gambar 1-13 Nekrosis fibrinoid pada arteri seorang penderita poliarteritis nodosa. Dinding arteri menunjukkan daerah melingkar merah muda akibat nekrosis dengan deposisi protein dan peradangan. Gambar 1–11 Nekrosis kaseosa. Tuberkulosis paru, dengan daerah nekrosis kaseosa yang luas mengandungi sisa jaringan berwarna kuning-keputihan (mirip keju)



RINGKASAN Perubahan Morfologi pada Jejas Sel dan Jaringan •



Jejas reversibel sel: pembengkakan sel, degenerasi lemak, penonjolan membran plasma dan hilangnya mikrovili, pembengkakan mitokondria, pelebaran ER, eosinofilia (terjadi karena berkurangnya RNA sitoplasma)







Nekrosis: bertambahnya warna eosinofil, pelisutan inti, fragmentasi dan disolusi; rusaknya membran plasma dan membran organel; benda mielin sangat bertambah; keluarnya isi sel dan pencernaannya oleh enzim.







Gambaran nekrosis jaringan: pada beberapa keadaan berbeda, nekrosis jaringan memberi gambaran khusus: nekrosis koagulatifa, liquefaktifa, gangren, perkijuan, perlemakan dan fibrinoid.



Gambar 1–12 Nekrosis lemak pada pankreatitis akuca. Daerah yang berwarna putih mirip kapur menandakan fokus nekrosis lemak den pembencukan sabun kalsium (saponifikasi) pada daerah penghancuran lemak di mesenterium.



Keluarnya atau bocornya protein intrasel melalui membran sel yang rusak dan masuk aliran darah memungkinkan dilakukannya deteksi nekrosis khusus jaringan dengan pemeriksaan darah atau serum. Otot jantung, misalnya, mempunyai jenis isoform unik dari enzim keratin kinase dan protein kontraktil troponin, sedangkan epitel duktus biliaris mengandungi isoform enzim fosfatase alkali yang resistan terhadap temperatur dan set hepar mengandungi transaminase. Jejas ireversibel dan kematian set pada jaringan tersebut akan meningkatkan kadar serum protein terkait dan kadar yang dijumpai dipakai untuk memberikan gambaran klinis kerusakan pada jaringan tersebut.



MEKANISME JEJAS PADA SEL Setelah kita bicarakan penyebab jejas pada sel dan perubahan morfologi pada nekrosis, kita akan lanjutkan lebih terperinci tentang dasar kelainan molekuler pada jejas sel dan menggambarkan prinsipprinsip penting dalam beberapa contoh jejas yang sering dijumpai. Mekanisme biokimia yang menghubungkan suatu jejas dengan manifestasi sel dan jaringan amat kompleks, saling terkait dengan berbagai jalur metabolisme intrasel. Namun demikian, beberapa prinsip umum relevan pada kebanyakan bentuk jejas sel: • Respons sel terhadap stimulus yang membahayakan tergantung pada jenis, lamanya dan, parahnya jejas. Sehingga toksin dengan dosis rendah atau iskemia yang singkat akan mengakibatkan jejas sel reversibel, sedangkan toksin dengan dosis tinggi atau iskemia yang lama akan mengakibatkan jejas ireversibel dan kematian sel. Akibat dari stimulus yang membahayakan tergantung • pada jenis, status, daya adaptasi dan dasar genetik sel yang cedera. Jejas yang sama akan mengakibatkan kelainan sangat berbeda bergantung pada jenis sel; misalnya otot serat lintang pada tungkai tahan terhadap iskemia total selama 2-3 jam tanpa timbulnya jejas ireversibel, sedangkan otot jantung akan mati hanya dalam waktu 20-30 menit. Status nutrisi (atau hormonal) juga menentukan; jelas, sel hati yang penuh dengan glikogen akan lebih toleran pada iskemia jauh lebih baik dibanding sel hati yang telah membakar habis persediaan molekul glukosanya. Perbedaan genetik jalur metabolisme akan mengakibatkan berbagai respons berbeda pada stimulus yang membahayakan.



12



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Contoh, apabila terpapar pada dosis toksin yang sama, seseorang yang mempunyai varian gen penyandi sitokrom P-450 mampu melakukan katabolisme toksin dengan kemampuan berbeda, sehingga menimbulkan hasil berlainan. Banyak penelitian saat ini ditujukan untuk memahami peran polimorfisme genetik dalam respons terhadap obat dan toksin. Penelitian tentang interaksi tersebut disebut farmakogenomik. Dasarnya variasi genetik mempengaruhi akibat pada berbagai penyakit dan juga respons terhadap tindakan pengobatan. Pemanfaatan pengetahuan genetik pada pasien secara individu untuk petunjuk terapi merupakan contoh dari kedokteran individu ("personalized medicine"). • Jejas sel terjadi akibat kelainan fungsional dan biokimia pada satu atau beberapa komponen sel yang penting (Gambar 1-14). Tujuan utama dan mekanisme biokimia jejas sel ialah: (1) mitokondria dan kemampuannya untuk menghasilkan ATP dan ROS pada keadaan patologis; (2) gangguan homeostasis kalsium; (3) kerusakan pada membran sel (plasma dan lisosome); dan (4) kerusakan DNA dan salah pelipatan protein. • Berbagai perubahan biokimia dapat dipicu oleh setiap penyebab yang membahayakan. Sehingga sulit untuk menentukan mekanisme pada suatu sebab atau keadaan klinis tertentu yang mengakibatkan jejas sel yang mencolok. Atas dasar alasan ini, terapi yang mentargetkan mekanisme jejas sel individu tidak akan efektif.



Deplesi ATP yang signifikan mengakibatkan efek luas pada berbagai sistem sel yang penting (Gambar 1-15): • Berkurangnya aktivitas ATP membran plasma yang bergantung pada pompa sodium menyebabkan tertimbunnya sodium di dalam sel dan keluarnya kalium dari dalam sel. Hasil akhir penambahan air yang iso osmotik menyebabkan pembengkakan sel dan dilatasi ER. • Sebagai upaya untuk mempertahankan sumber energi sel terjadi kegiatan kompensasi berupa peningkatan glikolisis anerobikenergi. Hal ini mengakibatkan timbunan glikogen intrasel dengan cepat terkuras, dan akumulasi asam laktat, mengakibatkan menurunnya pH intrasel dan menurunnya aktivitas berbagai enzim sel. • Kegagalan pompa Ca2+ yang bergantung pada ATP menyebabkan masuknya Ca2+, dengan akibat kerusakan berbagai komponen sel, yang akan dibicarakan kemudian. • Deplesi ATP yang berkepanjangan atau memburuk mengakibatkan rusaknya struktur alat sintesis protein dan akan tampak sebagai lepasnya ribosom dari ER kasar (RER) serta terpisahnya polisom menjadi monosom, sehingga sintesis protein berkurang. Akhirnya terjadi kerusakan ireversibel pada membran mitokondria dan lisosom, dan akan menjadi nekrotik.



Dengan latar belakang ini, kami akan membahas mekanisme biokimia utama pada jejas sel.



Deplesi ATP ATP adalah sumber energi sel yang dibentuk terutama melalui fosforilasi oksidatif adenosin difosfat (ADP) pada waktu reduksi oksigen dalam sistem transportasi elektron pada mitokondria. Di samping ATP juga bisa dihasilkan melalui jalur glikolisis tanpa oksigen dengan memakai glukosa yang diperoleh dari sirkulasi atau hidrolisa glikogen intrasel. Penyebab utama deplesi ATP adalah menurunnya suplai oksigen dan nutrisi, kerusakan mitokondria dan akibat toksin (misal: sianida). Jaringan dengan kemampuan glikolisis yang tinggi (misal: hati) dapat lebih mampu menghadapi kekurangan oksigen dan menurunnya fosforilasi oksidatif dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai kapasitas glikolisis yang terbatas (misalnya, otak). Fosfat energi tinggi dalam bentuk ATP dibutuhkan untuk hampir seluruh proses sintesa dan proses degradasi dalam sel, termasuk transpor membran, sintesis protein, lipogenesis, dan reaksi deasilasireasilasi yang dibutuhkan untuk pembentukan fosfolipid. Diperkirakan sel pada manusia sehat membakar 50 hingga 75 kg ATP setiap hari!



KERUSAKAN MITOKONDRIA



MASUKNYA Ca2+ Ca



ATP



ROS



Ca



KERUSAKAN MEMBRAN



Ca Membran plasma



Efek multipel selanjutnya



Kerusakan lemak, protein DNA



Permeabilitas mitokondria



PROTEIN SALAH LIPAT, KERUSAKAN DNA



Aktivasi enzim sel multipel



Hilangnya komponen sel



Membran lisosom Pencernaan enzimatik komponen sel



Gambar 1-14 Mekanisme biokimia dasar dan daerah kerusakan pada jejas sel.ATP, adenosin trifosfat; ROS, spesies oksigen reaktif.



Aktivasi protein pro-apoptotik



Mekanisme Jejas pada Sel



13



• Mitokondria juga mengandungi beberapa protein yang apabila dilepaskan ke sitoplasma, akan memberikan tanda pada sel bahwa telah terjadi jejas internal dan akan mengaktifkan jalur apoptosis, yang akan dibicarakan kemudian.



Iskemia



Masuknya Aliran Kalsium Mitokondris Fosforilasi oksidatif ATP Pompa Na+ Masuknya Ca2+ H2O, dan Na+ Efflux of K+ Pembengkakan ER Pembengkakan sel Hilangnya gelembung mikrovili



Glikolisis anaerobik



Glikogen



Asam laktat



Pelepasan ribosom pH



Sintesa protein



Pengelompokan kromatin inti



Gambar 1-15 Akibat fungsional dan morfologik berkurangnya adenosin trifosfat intrasel (ATP). ER, retikulum endoplasmik.



Pentingnya peran Ca2+ pada jejas sel diketahui dari penelitian bahwa pengurangan Ca2+ ekstrasel akan menunda kematian sel setelah hipoksia dan paparan terhadap beberapa toksin. Kalsium sitosol bebas dalam keadaan normal diatur oleh transporter kalsium yang bergantung pada ATP dengan kadar 10.000 kali lebih rendah daripada kadar kalsium ekstrasel atau dari sekuester mitokondria intrasel dan kalsium ER. Iskemia dan beberapa toksin akan menyebabkan meningkatnya kadar kalsium sitosol, mula-mula karena keluarnya Ca2+ dari tempat penimbunan intrasel, dan kemudian berakibat peningkatan masuknya aliran Ca2+ melalui membran plasma. Peningkatan Ca2+ sitosol akan mengaktifkan sejumlah enzim, dengan efek potensial merugikan pada sel (Gambar 1-17) Termasuk enzim ini ialah fosfolipid (yang mengakibatkan kerusakan membran), protease (yang merusak membran dan protein sitoskeletal), endonuklease (yang menyebabkan fragmentasi DNA dan kromatin), dan adenosin trifosfatase (ATPase) (yang mempercepat deplesi ATP). Peningkatan kadar Ca2+ intrasel akan memicu apoptosis, melalui aktivasi langsung kaspase dan peningkatan permeabilitas mitokondria.



Suplai O2 Toksin Radiasi



Kerusakan dan Disfungsi Mitokondria Mitokondria bisa dianggap sebagai "pabrik mini" yang menghasilkan energi untuk mempertahankan hidup dalam bentuk ATP. Maka, tidak mengherankan mitokondria mempunyai peran penting pada jejas sel dan kematian sel (Gambar 1-16). Mitokondria amat rentan terhadap jejas yang membahayakan, termasuk hipoksia, toksin, dan radiasi. Kerusakan mitokondria dapat mengakibatkan berbagai kelainan biokimia: • Kegagalan fosforilasi oksidatif akan mengakibatkan deplesi ATP yang progesif, berakhir dengan nekrosis sel, seperti dibahas sebelumnya. • Fosforilasi oksidatif abnormal akan menghasilkan pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS), yang akan memberikan efek merugikan, dibahas di bawah ini. Kerusakan pada mitokondria sering dikaitkan dengan • dibentuknya jalur konduksi tinggi pada membran mitokondria, disebut pori transisi permeabilitas mitokondria. Terbukanya jalur ini menyebabkan hilangnya potensial membran mitokondria dan perubahan pH, sehingga memudahkan terjadinya fosforilasi oksidatif.



Signal pertahanan DNA kerusakan protein



Protein pro-apoptotik Protein anti-apoptotik



Kerusakan mitokondria atau disfungsi



Pembentukan ATP



Produksi ROS



Bocornya protein mitokondria



Abnormalitas sel multipel NEKROSIS



APOPTOSIS



Gambar 1-16 Peran mitokondria pada jejas sel dan kematian sel. Mitokondria dipengaruhi stimulus yang meruagikan dan gangguan abnormalitas tersebut akan mengakibatkan nekrosis atau apoptosis. Jalur apoptosis akan dibicarakan lebih rinci kemudian.ATP, adenosin trifosfat; ROS, spesies oksigen reaktif.



14



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi Ca2+



Akumulasi Radikal Bebas Asal Oksigen (Stres Oksidatif)



Ca2+ ekstrasel



Agen merugikan



Mitokondria



ER halus



Ca2+



Ca2+



Ca2+ Peningkatan Ca2+ sitosolik Aktivasi enzim sel



Fosfolipase Phospholipids



protease



Ca2+



endo ATPase nuklease



Transisi permeabilitas mitokondria



Disruption of membrane and cytoskeletal proteins



KERUSAKAN MEMBRAN



KERUSAKAN INTI



ATP



Gambar 1-17 Sumber dan akibat peningkatan kalsium sitosolik pada jejas sel.ATP, adenosin trifosfat;ATPase, adenosin trifosfatase.



A



Radikal bebas merupakan spesies kimia mengandungi sebuah elektron tanpa pasangan pada orbit luar. Situasi kimia demikian amat tidak stabil, dan radikal bebas akan segera bergabung dengan zat kimia anorganik atau organik; apabila timbul dalam sel, radikal bebas tersebut akan menyerang asam nukleat dan juga berbagai protein sel dan lipid. Di samping itu, radikal bebas mengakibatkan molekul yang bereaksi dengannya akan berubah menjadi radikal bebas lain, sehingga terjadi suatu rangkaian kerusakan. Spesies oksigen reaktif (ROS) ialah radikal bebas yang berasal dari oksigen berperan jelas pada jejas sel. Jejas sel terjadi akibat kerusakan oleh radikal bebas; keadaan ini termasuk reperfusi iskemia (dibicarakan kelak), jejas kimia dan radiasi, toksin dari oksigen dan gas lain, penuaan sel, kematian mikroba oleh sel fagosit, dan kerusakan jaringan akibat sel radang. Terdapat beberapa jenis ROS, yang dibentuk melalui dua jalur utama (Gambar 1-18). • ROS dibentuk dalam jumlah kecil pada semua sel selama reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang terjadi selama proses respirasi mitokondria dan pembentukan energi. Pada proses ini molekul oksigen akan berkurang di mitokondria karena terjadinya penambahan empat elektron untuk menghasilkan air. Namun, reaksi ini tidak lengkap, dan sejumlah kecil toksin yang amat reaktif tetapi berusia singkat akan dibentuk ketika oksigen menurun secara parsial. Hasil sementara ini termasuk superoksida (O2), yang akan diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2) secara spontan dan dengan pengaruh enzim superoksida dismutase. H2O2 lebih stabil dari O2 dan dapat melalui membran biologis. Adanya unsur logam, misalnya Fe2+, maka H2O2 diubah menjadi hidroksil radikal yang amat reaktif ●OH melalui reaksi Fenton.



B MITOKONDRIA



FAGOSOM Fegosit oksidase



Rantai transpor elektron O2



+ NO



O2



ONOO– Peroxynitrite



NADPH



2O2 2O2



H2O2 ONOO–



MPO SOD H2O2



Reaksi Fenton



OH



HOCl



Gambar 1-18 Jalur pembentukan spesies oksigen reaktif. A, Pada semua sel, superoksida (O2.) dibentuk selama respirasi mitokondria melalui rangkaian transpor elektron dan akan diubah menjadi H2O2 dan radikal bebas hidroksil ('OH) atau menjadi peroksinitrat (ONOO-). B, Pada leukosit (terutama neutrofil dan makrofag), enzim fagosit okasidase di membran fagosom menghasilkan superoksida, yang dapat berubah menjadi radikal bebas lain. Myeloperoksidase (MPO) di fagosom juga menghasilkan hipoklorit dari spesies oksigen reakatif (ROS). NO, oksida nitrit; SOD, superoksida dismutase.



Mekanisme Jejas pada Sel • ROS dihasilkan oleh leukosit fagositik, terutama neutrofil dan makrofag, sebagai senjata untuk menghancurkan mikroba yang telah dicerna dan substansi lain pada radang dan pertahanan tubuh (Bab 2). ROS dihasilkan difagosom dan fagolisosom leukosit melalui proses yang mirip respirasi mitokondria dan disebut erupsi respirasi (atau erupsi oksidasi). Pada proses ini, sebuah membran fagosom akan mengkatalisasi terbentuknya superoksida, yang akan diubah menjadi H2O2 H2O2 kemudian akan diubah menjadi komponen hipoklorit yang amat reaktif (merupakan komponen utama untuk obat pemutih di rumah tangga) oleh enzim mieloperoksidase, yang dijumpai pada leukosit. Peran ROS pada radang akan dibahas pada Bab 2. • Oksida nitrit (NO) merupakan radikal bebas lain yang dibentuk oleh leukosit dan sel lain. Dapat bereaksi dengan O2 untuk membentuk komponen yang amat reaktif, peroksida nitrit, yang juga berperan dalam jejas sel. •



Kerusakan akibat radikal bebas ditentukan oleh kecepatan produksi dan proses pengeluarannya (Gambar 1-19). Apabila produksi ROS meningkat atau sistem pemusnahan tidak efektif, akibatnya ialah terjadi penumpukan radikal bebas, sehingga terjadi keadaan yang disebut stres oksidasi. Pembentukan radikal bebas meningkat pada beberapa keadaan: • Absorpsi energi radiasi (misal: sinar ultraviolet, sinar x). Radiasi ion akan menghidrolisa air menjadi radikal bebas hidroksil (•OH) dan hidrogen (H•) • Metabolisme enzim zat kimia eksogen (misal: karbon tetraklorida lihat kemudian) • Radang, dimana radikal bebas dihasilkan oleh leukosit (Bab 2) Sel membentuk berbagai mekanisme untuk menghilangkan radikal bebas dan dengan demikian akan mengurangi jejas. Radikal bebas tidak stabil dan akan rusak dengan sendirinya. Juga ada sistem nonenzim dan enzim yang berperan sehingga radikal bebas menjadi nonaktif. (Gambar 1- 19). • Kecepatan kerusakan oleh superoksida sangat meningkat karena superoksida dismutase ((SODs) yang dijumpai pada berbagai jenis sel.



Reperfusi Radiasi Toksin



15



• Peroksidase glutathione (GSH) merupakan kelompok enzim yang mempunyai tugas utama melindungi sel dari kerusakan oksidatif. Kelompok terbanyak ialah peroksidase glutathione 1, yang dijumpai pada sitoplasma semua sel. Sifatnya melakukan katabolisme H2O2 melalui reaksi 2 GSH (glutathione) + H2O2 GS-SG + 2H2O. Rasio intrasel dari glutathione yang teroksidasi (GSSG) menjadi glutathione (GSH) merupakan refleksi aktivitas enzim ini dan kemampuan sel untuk melakukan katabolisme radikal bebas. • Katalase, dijumpai pada peroksisom, melakukan katabolisme hidrogen peroksida (2H2O2 —> O2 + 2H2O). Merupakan enzim paling aktif yang diketahui, mampu mendegradasi jutaan molekul H202 tiap detik. • Antioksidan endogen atau eksogen (misal: vitamin E, A, dan C dan (βkarotene) dapat menghalangi pembentukan radikal bebas atau memusnahkannya apabila telah dibentuk. Spesies oksigen reaktif menyebabkan jejas sel melalui tiga reaksi utama (Gambar 1-19): • Peroksidasi lemak membran. Ikatan rangkap pada membran lemak poliunsaturated sangat rawan terhadap serangan radikal bebas asal oksigen. Interaksi lemak dengan radikal menghasilkan peroksidase, yang tidak stabil dan reaktif sehingga akan terjadi reaksi rantai autokatalitik. • Reaksi silang dan perubahan lain pada protein. Radikal bebas mengakibatkan reaksi silang pada protein yang dimediasi sulfhydryl, terjadi peningkatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzim. Radikal bebas bisa juga langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. • Kerusakan DNA. Reaksi radikal bebas dengan thymin pada DNA inti dan mitokondria akan menyebabkan kerusakan pita tunggal. Kerusakan DNA tersebut dijumpai pada proses kematian sel, penuaan, dan transformasi keganasan sel. Di samping peran ROS sebagai penyebab jejas sel dan kematian mikroba, kadar ROS yang rendah juga dijumpai pada berbagai jalur sinyal sel dan pada reaksi fisiologis. Dengan demikian, molekul ini juga diproduksi pada keadaan normal, tetapi untuk menghindari efek yang merugikan, kadar intrasel pada sel sehat diatur ketat.



Efek patologis Production of ROS: O2 Superoksida



H2O2 Hidrogen peroksida



OH Radikal hidroksil



Peroksida cair



Kerusakan membran



Modifikasi protein



Penguraian, salah lipat



Kerusakan DNA



Mutasi



Dekomposisi menjadi Konversi menjadi H2O2 H2O oleh peroksidase glutathione, katalase oleh SOD Pengeluaran radikal bebas



Gambar 1-19 Pembentukan, pembuangan, dan peran spesies oksigen reaktif (ROS) pada jejas sel. Produksi ROS bertambah akbiat berbagai stimulus yang merugikan. Radikal bebas ini dihilangkan melalui kerusakan spontan dan sistem enzim khusus. Produksi yang berlebihan atau pembuangan yang tidak adekuat akan mangakibatkan akumulasi radikal bebas dalam sel, yang akan merusak lemak (melalui peroksidase), protein, dan asam deoksiribonukleat (DNA), berakibat cedera sel.



16



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Defek pada Permeabilitas Membran Permeabilitas membran yang meningkat dengan akibat kerusakan membran yang nyata merupakan perubahan tersering yang dijumpai pada jejas sel dan akan berakhir dengan nekrosis. Plasma membran bisa rusak akibat iskemia, berbagai toksin mikroba, komponenkomponen titik, dan bermacam agen fisis dan kimia. Berbagai mekanisme biokimia berperan dalam kerusakan membran (Gambar 1-20): • Sintesa fosfolipid yang menurun. Produksi fosfolipid dalam sel akan berkurang apabila tejadi penurunan kadar ATP, yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim penopang energi. Berkurangnya sintesa fosfolipid akan mempengaruhi semua membran sel, termasuk membran mitokondria, sehingga meningkatkan jumlah kehilangan ATP. • Penambahan kerusakan fosfolipid. Jejas sel yang berat dikaitkan dengan degradasi membran fosfolipid yang meningkat, kemungkinan akibat aktivasi fosfolipase endogen karena peningkatan kadar sitosolik Ca2+. • ROS. Radikal oksigen bebas menyebabkan jejas pada membran sel melalui peroksidase lipid, yang telah dibahas sebelumnya. • Abnormalitas sitoskeletal. Filamen sitoskeletal merupakan jangkar yang menghubungkan membran plasma dan bagian dalam sel, fungsinya bermacam-macam, masih mempertahankan arsitektur sel normal, motilitas, dan pemberi sinyal. Aktivasi protease dengan peningkatan Ca2+ sitosolik dapat menyebabkan kerusakan elemen sitoskeleton, dan menyebabkan kerusakan membran. • Produk penguraian lipid. Termasuk produk ini ialah asam lemak bebas tidak berester, asil karnitin, dan lisofosfolipid, semuanya akan berkelompok pada sel yang cedera sebagai akibat degradasi fosfolipid. Hasil katabolisme ini mempunyai efek detergen pada membran. Dapat pula menyusup di antara lapis rangkap lipid atau mengganti membran fosfolipid, sehingga terjadi perubahan permeabilitas dan perubahan elektrofisiologis.



O2



Spesies oksigen reaktif Peroksidase lipid



Ca2+ sitosolik



ATP Aktivasi fosfolipid Reasilasi fosfolipid sintesis Lenyapnya fosfolipid



Degradasi fosfolipid



Aktivasi protease Kerusakan sitoskeletal



Produk pemecahan lipid



KERUSAKAN MEMBRAN



Gambar 1-20 Mekanisme kerusakan membran pada jejas sel. Menurunnya O2 dan meningkatnya Ca2+ sitosolik yang dijumpai pada iskemia tetapi dapat juga dijumpai pada keadaan lain jejas sel. Spesies oksigen reaktif, yang sering diproduksi pada reperfusi jaringan iskemik, juga akan mengakibatkan kerusakan membran (tidak ditampilkan).



Kerusakan terpenting membran pada jejas sel, ialah membran mitokondria, membran plasma, dan membran lisosom. • Kerusakan membran mitkondria. Seperti sudah dibahas sebelumnya, kerusakan membran mitokondria mengakibatkan turunnya produksi ATP, dengan berbagai efek merugikan dan berakhir pada nekrosis. • Kerusakan membran plasma Kerusakan membran plasma akan berakibat pada hilangnya keseimbangan osmotik, masuknya cairan dan ion, dan juga hilangnya isi sel. Metabolit akan bocor keluar, padahal metabolit ini merupakan unsur vital untuk pembentukan ATP, sehingga memperberat berkurangnya sumber energi. • Kerusakan pada membran lisosom akan mengakibatkan masuknya enzim ke dalam sitoplasma dan mengaktifkan hidrolase asam pada pH intrasel yang asam pada sel yang cedera (misal: iskemia). Lisosom mengandungi enzim ribonuklease (Rnase), DNase, protease, glukosidase, dan enzim lain. Aktivasi enzim-enzim ini akan mengakibatkan pencernaan enzimatik komponen sel dan sel akan mati karena nekrosis.



Kerusakan DNA dan Protein Sel mempunyai mekanisme perbaikan kerusakan DNA, tetapi apabila kelainan ini terlalu parah untuk diperbaiki (misal: setelah jejas radiasi atau stres oksidatif), maka sel akan memulai program bunuh diri dan mati akibat apoptosis. Reaksi serupa bisa terjadi apabila ada pemicu berupa protein salah rangkaian, yang dapat timbul dari mutasi bawaan atau pengaruh eksternal seperti radikal bebas. Karena mekanisme jejas sel ini khas mengakibatkan apoptosis, hal ini akan dibahas kemudian pada bab ini.



RINGKASAN Mekanisme Jejas Sel • •



• • •







Deplesi ATP: kegagalan fungsi yang bergantung pada energi → jejas reversibel → nekrosis Kerusakan mitokondria: deplesi ATP → kegagalan fungsi sel yang bergantung pada energi → terjadi nekrosis; pada beberapa keadaan kebocoran protein mitokondria yang menyebabkan apoptosis Aliran masuk kalsium: aktivasi enzim yang merusak komponen sel juga akan memulai terjadinya apoptosis. Akumulasi spesies oksigen reaktif modifikasi kovalen protein sel, lipid, asam nukleat Peningkatan permeabilitas membran sel: mempengaruhi membran plasma, membran lisosom, membran mitokondria, biasanya berakhir dengan nekrosis Akumulasi DNA yang rusak dan protein salah rangkaian: mengakibatkan apoptosis



HUBUNGAN KLINIKOPATOLOGIS: CONTOH JEJAS SEL DAN NEKROSIS Untuk menggambarkan evolusi dan mekanisme biokimia jejas sel, kami akan mengakhiri bab ini dengan beberapa contoh yang sering dijumpai pada jejas sel reversibel dan nekrosis.



Hubungan Klinikopatologis: Contoh Jejas Sel Dan Nekrosis



Jejas Iskemia dan Jejas Hipoksia Iskemia, atau berkurangnya aliran darah menuju jaringan, merupakan penyebab tersering pada jejas sel akut yang mendasari penyakit pada manusia. Berbeda dengan hipoksia, di mana energi dapat terus terbentuk melalui glikolisis anerobik (walaupun kurang efektif dibanding jalur oksidatif), iskemia, karena berkurangnya suplai darah, juga mempersulit penyediaan zat untuk glikolisis. Akibatnya, energi anerobik juga berhenti di jaringan iskemik setelah bahan terkuras habis, atau saat glikolisis terhambat oleh akumulasi metabolit yang biasanya dapat dihilangkan melalui aliran darah. Oleh karena itu, iskemia memberikan cedera jaringan lebih cepat dan lebih buruk dibanding hipoksia. Abnormalitas utama pada sel yang kekurangan oksigen adalah berkurangnya pembentukan ATP, kerusakan mitokondria, akumulasi ROS, dengan konsekwensi pada jalur selanjutnya. Kelainan biokimia terpenting pada sel hipoksia yang mengakibatkan jejas sel adalah berkurangnya pembentukan ATP intrasel, sebagai akibat dari menurunnya suplai oksigen. Seperti sudah diterangkan di atas, kekurangan ATP akan mengakibatkan kegagalan sistem sel yang bergantung pada energi, termasuk: (1) pompa ion (menyebabkan pembengkakan sel, dan aliran masuk Ca2+, dengan pengaruh yang merugikan); (2) berkurangnya simpanan glikogen dan akumulasi asam laktat, sehingga pH intrasel menurun; dan (3) penurunan sintesis protein. Konsekwensi fungsional pada stadium ini bisa gawat. Contoh, otot jantung berhenti berkontraksi dalam 60 detik setelah penyumbatan koroner. Apabila hipoksia berkelanjutan, kekurangan ATP yang makin parah berakibat kerusakan lebih lanjut, hilangnya mikrovili dan terbentuknya "gelembung" (Gambar 1-6). Pada saat ini, seluruh sel dan organel (mitokondria, ER) membengkak, dengan peningkatan kadar air, natrium, dan klorida serta menurunnya kadar kalium. Apabila oksigen pulih kembali, semua gangguan ini reversibel, dan pada kasus miokardium, kontraktilitas otot akan kembali. Apabila iskemia tetap berlangsung, terjadi jejas ireversibel dan terjadi nekrosis. Jejas ireversibel dikaitkan dengan pembengkakan mitokondria, kerusakan luas pada membran plasma, dan pembengkakan lisosom. ROS tertimbun dalam sel, dan terjadi aliran masuk kalsium. Kematian terutama terjadi akibat nekrosis, namun apoptosis juga berperan, aktivasi jalur apoptosis terjadi karena dilepaskannya molekul proapoptotik dari mitokondria. Terjadi degradasi progesif pada komponen sel dan terjadi kebocoran enzim luas dari sel ke dalam rongga ekstrasel. Akhirnya sel mati akan diganti oleh massa terdiri atas fosfolipid dalam bentuk benda mielin. Benda ini akan difagositosis oleh leukosit atau selanjutnya mengalami degradasi menjadi asam lemak yang kemudian dapat mengalami klasifikasi.



Reperfusi Jejas Iskemia Apabila sel mengalami jejas reversibel, restorasi aliran darah dapat memulihkan sel. Namun, pada keadaan tertentu, restorasi aliran darah pada jaringan iskemia yang masih viabel, sebaliknya akan mengakibatkan kematian sel, pada sel yang mengalami cedera ireversibel. Hal ini disebut reperfusi jejas iskemia merupakan proses klinis penting yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan jaringan pada iskemia miokard dan serebrum.



17



Beberapa mekanisme berperan terhadap timbulnya jejas sel akibat reperfusi jaringan iskemik: • Kerusakan baru bisa timbul saat reoksigenisasi dengan terbentuknya ROS yang berasal dari sel parenkim dan sel endotel dan dari infiltrasi leukosit. Apabila suplai oksigen bertambah, akan terjadi juga peningkatan produksi ROS, terutama karena kerusakan mitokondria yang menyebabkan reduksi oksigen yang tidak lengkap, dan pengaruh oksidase pada leukosit, sel endotel, atau sel parenkim. Mekanisme defensif antioksidans pada sel bisa juga diperburuk pada iskemia, yang akan menunjang akumulasi radikal bebas. • Peradangan yang terjadi pada jejas iskemik dapat meningkat pada reperfusi karena ada aliran masuk leukosit dan potein plasma. Hasil dari aktivasi leukosit akan menyebabkan jejas tambahan pada jaringan (Bab 2). Aktivasi sistem komplemen juga berperan pada reperfusi jejas iskemia. Protein komplemen akan menempel pada jaringan yang cedera, atau mengikat antibodi yang berada di jaringan, dan aktivasi komplemen ini kemudian akan menghasilkan produk samping yang memperburuk jejas sel dan peradangan.



Jejas Kimia (Toksik) Zat kimia menyebabkan jejas sel melalui salah satu di antara dua mekanisme umum: • Beberapa zat kimia berakibat langsung dengan mengikat komponen molekul penting atau organel sel. Contoh, keracunan merkuri klorida (terjadi melalui mengkonsumsi makanan laut yang terkontaminasi)(Bab 7), air raksa akan berikatan dengan kelompok sulfhydryl berbagai protein membran sel, menyebabkan inhibisi transportasi yang bergantung pada ATP dan peningkatan permeabilitas membran. Banyak kemoterapi antineoplasma juga menyebabkan kerusakan sel akibat dari efek sitotoksik langsung. Pada keadaan tersebut, kerusakan terbesar terjadi pada sel yang memakai, mengabsorbsi, ekskresi, atau menimbun obat tersebut. • Banyak zat kimia secara intrinsic tidak aktif tetapi harus diubah menjadi zat metabolit toksik reaktif, yang kemudian mempengaruhi sel target. Modifikasi ini biasanya dilakukan oleh sitokrom P-450 pada ER halus hati dan organ lain. Walaupun metabolit mengakibatkan kerusakan membran dan jejas sel melalui ikatan kovalen langsung dengan protein dan lipid, mekanisme terpenting pada jejas sel ialah terbentuknya radikal bebas. Karbon tetraklorida (CCl4) dahulu digunakan pada industri pencucian kering tetapi kini telah dilarang dan obat analgesik acetaminophen juga termasuk kategori ini. Pengaruh CCl4 tetap menjadi contoh nyata dari jejas kimia. CCl4 diubah menjadi radikal bebas CCl3 , terutama di hati, dan radikal bebas inilah menyebabkan jejas sel, terutama melalui peroksidasi membran fosfolipid. Dalam jangka waktu kurang dari 30 menit setelah paparan dengan CCl4, terjadi kerusakan membran ER dengan penurunan sintesa enzim protein hati dan protein plasma; dalam waktu 2 jam, telah terjadi pembengkakan ER halus dan disosiasi ribosom ER halus. Terjadi penurunan ekspor lipid dari hepatosit, karena ketidakmampuannya melakukan sintesa apoprotein untuk membentuk kompleks dengan



18



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



trigliserida dan membantu sekresi lipoprotein; akibatnya ialah terjadi "perlemakan hati" karena keracunan CCl4. Kemudian terjadi jejas mitokondria yang diikuti berkurangnya simpanan ATP sehingga transpor ion berkurang dan pembengkakan sel berlanjut terus; kemudian membran plasma akan dirusak oleh aldehida lemak yang terbentuk dari peroksidase lipid pada ER. Hasil akhir ialah kalsium masuk ke dalam sel dan terjadi kematian sel.



APOPTOSIS Apoptosis merupakan jalur kematian sel dengan mengaktifkan enzim yang merusak DNA inti sel itu sendiri dan protein pada inti dan sitoplasma. Fragmen sel yang mengalami apoptosis akan terlepas, memberikan gambaran yang sesuai dengan namanya (apoptosis, "lepas"). Membran plasma sel apoptotik tetap utuh, tetapi berubah sehingga sel dan fragmen yang terlepas akan menjadi target fagosit. Sel yang mati dan fragmennya akan segera dibersihkan sebelum isi sel bocor keluar, sehingga tidak menimbulkan reaksi radang pada pejamu. Apoptosis dalam hal ini berbeda dengan nekrosis, yang memberikan gambaran kerusakan integritas membran, pencernaan enzimatik sel, bocornya isi sel, dan sering terjadi reaksi pejamu (Gambar 1-6 dan Tabel 1-1). Namun, apoptosis dan nekrosis kadangkadang dijumpai bersamaan, dan apoptosis yang diinduksi oleh stimulus patologis dapat berkembang menjadi nekrosis.



Penyebab Apoptosis Apoptosis terjadi pada keadaan normal dan berperan untuk menghilangkan sel yang potensial berbahaya dan sel yang telah selesai masa fungsinya. juga timbul pada kejadian patologis, di mana sel rusak tidak dapat diperbaiki lagi, khususnya apabila kerusakan mengenai DNA sel atau protein sel; dalam keadaan ini, sel yang tidak dapat diperbaiki tersebut akan dieliminasi.



Apoptosis pada Situasi Fisiologis Kematian melalui apoptosis merupakan fenomerta normal yang berfungsi menghilangkan sel yang tidak diperlukan lagi dan untuk mempertahankan jumlah sel yang tetap pada berbagai jaringan. Hal tersebut penting untuk situasi fisiologis berikut: • Destruksi sel terprogram saat embriogenesis. Pertumbuhan normal dikaitkan dengan kematian sejumlah sel dan munculnya sel serta jaringan baru. Istilah kematian sel yang terprogram tadinya dihubungkan dengan kematian sel tertentu pada saat tertentu pada perkembangan organ. Apoptosis merupakan istilah generik untuk pola kematian sel, tidak tergantung pada konteks yang dimaksud, tetapi sering disebut sebagai kematian sel • Involusi jaringan yang bergantung hormon pada saat terjadi kekurangan hormon, misalnya luruhnya sel endomtrium saat siklus haid, dan regresi payudara laktasi setelah masa sapih. • Hilangnya sel pada populasi sel yang sedang proliferatij misalnya epitel kripta pada usus, agar jumlah sel tetap sama. • Eliminasi sel yang telah selesai melakukan tugasnya, misal neutrofil pada reaksi radang akut dan limfosit pada akhir respons



imunologi. Pada situasi ini, sel mengalami apoptosis karena kehilangan sinyal yang dibutuhkan untuk hidup, misalnya faktor pertumbuhan. • Eliminasi limfosit reaktif yang berpotensi merugikan diri pada saat sebelum atau sesudah masa maturasi, untuk mencegah reaksi terhadap jaringan tubuh sendiri (Bab 4). • Kematian sel oleh limfosit T sitotoksik, merupakan mekanisme pertahanan terhadap virus dan tumor untuk membinasakan sel yang terkena infeksi virus dan sel neoplasma (Bab 4).



Apoptosis pada Kondisi Patologis Apoptosis mengeliminasi sel yang telah mengalami gangguan genetik atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, tanpa menimbulkan reaksi tubuh berlebihan, sehingga kerusakan jaringan yang terjadi dibatasi serendah mungkin. Kematian akibat apoptosis menyebabkan hilangnya sel pada beberapa keadaan patologis: • Kerusakan DNA. Radiasi, obat sitotoksik anti kanker, temperatur yang ekstrem, dan bahkan hipoksia dapat merusak DNA, secara langsung atau melalui pembentukan radikal bebas. Apabila proses perbaikan tidak dapat mengatasi jejas, sel akan memicu mekanisme intrinsik yang menyebabkan apoptosis. Pada situasi ini, eliminasi sel merupakan alternatif yang lebih baik, daripada mengambil risiko terjadinya mutasi di dalam DNA rusak yang dapat berubah mengalami transformasi keganasan. Stimulus yang merugikan ini bisa menyebabkan apoptosis apabila kerusakan ringan, tetapi apabila jumlah dosis stimulus yang sama lebih besar akan berakhir dengan kematian sel nekrotik. Induksi apoptosis pada sel kanker merupakan efek yang diinginkan pada pemakaian obat kemoterapi, yang sebagian besar terjadi dengan merusak DNA. • Akumulasi dari protein yang salah bentuk. Protein salah bentuk dapat terjadi akibat mutasi gen yang menyandi protein tersebut atau karena pengaruh faktor ekstrinsik, misalnya kerusakan karena radikal bebas. Akumulasi berlebihan protein ini di ER akan menyebabkan stres ER, yang berakhir dengan kematian sel apoptotik. • Jejas sel pada beberapa infeksi, khususnya infeksi virus, yang kematian sel terutama akibat apoptosis yang diinduksi oleh virus(misal: adenovirus dan infeksi virus imunodefisiensi manusia) atau sebagai reaksi imun tubuh (misal: pada virus hepatitis). • Atrofia patologis di organ parenkim setelah obstruksi duktus, seperti yang terjadi pada pankreas, kelenjar parotis, dan ginjal.



MORFOLOGI Pada sediaan dengan pewarnaan H&E, inti sel apoptotik menunjukkan berbagai tingkat pengelompokkan kromatin dan penggumpalan, dan akhirnya inti hancur (karioreksis) (Gambar 1-21); pada tingkat ini molekul tampak sebagai fragmentasi DNA menjadi ukuran sebesar nukleosom. Sel akan melisut dengan cepat,membentuk tonjolan sitoplasma, dan menjadi fragmen berupa benda apoptotik terdiri atas vesikel sitosol dan organel yang terikat pada membran (Gambar 1-6). Karena fragmen ini cepat terlepas dan difagositosis tanpa terjadinya reaksi radang, maka apoptosis yang besar pun bisa tidak terdeteksi secara histologis.



Apoptosis



19



hanya mengandungi sepertiga dari daerah konservasi multipel ("multiple conserved domains") dari kelompok Bcl-2. Sebaliknya mereka akan mengaktifkan dua jenis dari kelompok pro apoptotik yang disebut Bax dan Bak, yang mengalami dimerisasi, masuk ke dalam membran mitokondria, dan membentuk terowongan tempat sitokrom c and protein mitokondria lain keluar menuju sitosol. Sensor ini akan menghambat molekul anti apoptopik Bcl-2 dan Bc1-xL (lihat lanjut), sehingga memudahkan bocornya protein mitokondria. Sitokrom c, dengan beberapa kofaktor, mengaktifkan kaspase-9. Protein lain yang keluar dari mitokondria akan menghalangi aktivitas antagonis kaspase yang berfungsi sebagai inhibitor apoptosis fisiologis. Hasil akhir ialah aktivasi kaskade kaspase, dengan akibat terjadinya fragmentasi inti. Sebaliknya apabila sel terpapar pada faktor pertumbuhan dan sinyal ketahanan hidup ("survival") lain, akan terjadi sintesa anti apoptotik dari kelompok Bc1-2, dan ada dua jenis terpenting adalah Bcl-2 sendiri dan Bc1-xL. Protein ini melawan Bax dan Bak, dan menghambat keluarnya protein pro apoptotik mitokondria. Sel yang kekurangan faktor pertumbuhan tidak saja mengaktifkan Bax dan Bak yang proapoptotik tetapi juga menunjukkan kadar Bcl-2 dan Bc1-xL yang menurun, sehingga menggiring sel menuju kematian. Jalur mitokondria agaknya merupakan jalur penyebab apoptosis yang tersering, dan akan dibahas kemudian.



Jalur Reseptor Kematian (Ekstrinsik) Apoptosis Gambar 1-21 Gambaran morfologik sel apoptosis. Dipertunjukkan sel apoptotik (beberapa ditunjukkan dengan panah) pada kripta normal epitel kolon. (Persiapan untuk sediaan kolonoskopi sering menimbulkan apoptosis pada sel epitel, menjelaskan terdapatnya banyak sel mati pada jaringan normal). Perhatikan fragmen inti dengan kromatin padat dan badan sel yang melisut, sebagian terlepas.



(Penghargaan kepada Dr. Sanjay Kakar, Department of Pathology, University of California San Francisco, San Francisco, Calif)



Mekanisme Apoptosis Apoptosis terjadi karena aktivasi enzim kaspase (disebut demikian karena merupakan protease sistein yang membelah protein setelah menjadi sisa aspartik). Aktivasi kaspase tergantung dari keseimbangan antara produksi protein pro dan anti-apoptotik. Dua jalur berbeda akan bersatu untuk mengaktifkan kaspase: jalur mitokondria dan jalur reseptor kematian (Gambar 1-22). Walaupun kedua jalur ini dapat bertemu, namun masing-masing diinduksi dalam kondisi berbeda, melibatkan molekul berbeda, dan mempunyai peran tersendiri pada fisiologi dan penyakit.



Jalur Mitokondria (Intrinsik) pada Apoptosis Mitokondria mengandungi beberapa protein yang mampu menginduksi apoptosis; yang termasuk protein ini ialah sitokrom C dan protein lain yang akan menetralkan penghambat apoptosis endogen. Pilihan antara kehidupan dan kematian sel ditentukan oleh permeabilitas mitokondria, yang diatur oleh keluarga yang terdiri atas lebih dari 20 protein, dengan prototip Bcl-2 (Gambar 1-23). Apabila sel tidak mengandungi faktor pertumbuhan dan sinyal ketahanan hidup ("survival") lainnya, atau disampaikan pada agen yang merusak DNA, atau mengakumulasi protein salah bentuk yang jumlahnya tidak bisa diterima, maka, sejumlah sensor akan diaktifkan. Sensor ini merupakan bagian dari kelompok Bcl-2 disebut "protein BH3" (sebab



Banyak sel mengekspresikan molekul permukaan, disebut reseptor kematian, yang memicu apoptosis. Umumnya sel tersebut termasuk golongan reseptor faktor nekrosis tumor (TNF), yang mengandungi "daerah kematian" pada sitoplasmanya, disebut demikian karena terjadi interaksi dengan protein lain yang terlibat dalam kematian sel. Reseptor kematian prototipik adalah reseptor TNF tipe 1 dan Fas (CD95). Ligan Fas (FasL) merupakan protein membran yang berekspresi terutama pada limfosit T yang aktif. Apabila sel T ini mengenali target yang mengekspresikan Fas, maka molekul Fas akan diikat silang oleh FasL dan mengikat protein adaptor melalui daerah kematian. Kemudian terjadi pengumpulan dan aktivasi kaspase-8. Pada banyak jenis sel kaspase-8 akan terbelah dan mengaktifkan proapoptotik kelompok Bcl-2 yang disebut Bid, dan mengisi jalur mitokondria. Kombinasi aktivasi kedua jalur akan merupakan pukulan telak yang mematikan pada sel. Protein sel, khususnya antagonis kaspase yang disebut FLIP, akan menghambat aktivitas kaspase pada bagian hilir dari reseptor kematian. Menarik adalah bahwa beberapa virus membentuk homolog dari FLIP, dan diperkirakan hal ini merupakan mekanisme virus agar sel yang terinfeksi tetap hidup. Jalur reseptor kematian terlibat dalam eliminasi limfosit reaktif dan dalam mematikan sel target oleh limfosit T sitotoksik.



Aktivasi dan Fungsi Kaspose Jalur mitokondria dan reseptor kematian diawali dengan mengaktifkan kaspase initiator, yaitu kaspase-9 dan -8. Kemudian bentuk aktif enzim tersebut diproduksi, yang akan membelah dan mengaktifkan seri kaspase lain yang disebut kaspase eksekutor. Kaspase yang diaktifkan ini akan membelah sejumlah besar target, dan akhirnya terjadi aktivasi nuklease yang akan merusak DNA dan nukleoprotein. Kaspase juga merusak komponen matriks inti dan sitoplasma, sehingga sel akan hancur.



20



BAB 1



Jejas Sel Kematian Sel dan Adaptasi JALUR MITOKONDRIA (INTRINSIK)



JALUR RESEPTOP KEMATIAN (EKSTRINSIK)



Interaksi reseptor-ligan • Fas • Reseptor TNF Jejas sel • Penarikan faktor pertumbuhan • Kerusakan DNA (oleh radiasi, toksin, radikal) • Salah lipat protein (stres ER)



Mitokondria



Efektor kelompok Bcl-2 (Bax, Bak) Sensor kelompok Bcl-2



Regulator (Bcl-2, Bcl-xL)



Fragmentasi inti



Adaptor protein Sitokrom c dan protein pro-apoptotik lain



Aktivasi endonuklease



Inisiator kaspase



Fagosit



Pengeksekusi kaspase



Pemecahan sitoskeleton



Ligan reseptor sel fagosit Gelembung sitoplasma



Benda apoptotik



Gambar 1-22 Mekanisme apoptosis. Dua jalur apoptosis berbeda dalam hal induksi dan regulasi, dan keduanya berakhir dengan aktivasi kaspase. Pada jalur mitokondria, protein dari kelompok Bcl-2, yang mengatur permeabilitas mitokondria, menjadi tidak seimbang dan kebocoran berbagai substansi asal mitokondria mengakibatkan pengaktifan kaspase. Pada jalur reseptor kematian, signal dari reseptor membran plasma mengakibatkan terkumpulnya adaptor protein membentuk "kompleks induksi signal kematian," yang mengaktifkan kaspase, dan berakhir dengan hasil yang sama.



Pembersihan Sel Mati Sel apoptotik membujuk fagosit dengan cara membuat sinyal "makansaya". Pada sel normal phosphatidylserine dijumpai pada bagian dalam membran sitoplasma, tetapi pada sel apoptopik fosfolipid ini pindah ke bagian luar, sehingga dapat dikenali oleh makrofag jaringan dan terjadi fagositosis sel apoptopik. Sel yang mati karena apoptosis juga mensekresi faktor yang larut air yang akan menarik fagosit. Hal ini memudahkan pembersihan sel mati dengan cepat, sebelum sel tersebut mengalami kerusakan membran sekunder dan keluarnya isi sel (yang dapat menimbulkan reaksi radang). Beberapa partikel apoptotik mengekspresikan glikoprotein yang dikenal oleh fagosit, dan makrofag sendiri dapat menghasilkan protein yang mengikat sel apoptotik (tetapi bukan sel hidup) dan targetnya adalah sel mati terselubung secara utuh. Sejumlah besar reseptor makrofag diketahui terlibat dalam pengikatan dan engulfment sel apoptotik. Proses fagositosis terhadap sel apoptotik ini berjalan demikian efisien sehingga sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan reaksi radang seolah-olah tidak terjadi. Walaupun telah ditekankan perbedaan nekrosis dan apoptosis, kedua jenis kematian sel ini dapat dijumpai bersamaan dan saling berhubungan secara mekanik. Contoh, kerusakan DNA (yang tampak pada apoptosis) akan mengaktivasi enzim poly-ADP (ribose) polymerase, yang akan mengurangi suplai nicotinamide adenine dinucleotide ke dalam sel, dengan akibat penurunan kadar ATP dan



terjadi nekrosis. Pada dasarnya, dalam keadaan umum seperti iskemia, diperkirakan bahwa kematian sel dini sebagian terjadi karena apoptosis, yang diikuti dengan timbulnya nekrosis apabila keadaan iskemia memburuk.



Contoh Apoptosis Pada banyak keadaan kematian sel disebabkan oleh apoptosis. Contoh di bawah ini menggambarkan peranan kedua jalur apoptosis pada keadaan fisiologi normal dan pada penyakit.







Sel yang sensitif terhadap hormon dan kehilangan hormon yang bersangkutan, limfosit yang tidak distimulasi oleh antigen dan sitokin, dan neuron yang kehilangan faktor pertumbuhan saraf akan mati melalui apoptosis. Pada seluruh keadaan di atas, apoptosis dipicu oleh jalur mitokondria dan diakibatkan oleh aktivasi kelompok proapoptotik keluarga Bcl-2 dan penurunan sintesis Bcl-2 dan Bcl-xL.







Paparan sel terhadap radiasi atau agen kemoterapi akan menginduksi kerusakan DNA, yang apabila terjadi kerusakan berat, akan menyebabkan kematian apoptotik. Apabila DNA rusak, akan terjadi akumulasi protein p53 di dalam sel. Mula-mula akan terjadi penghentian siklus sel (pada fase G1) agar terjadi perbaikan DNA sebelum terjadi replikasi (Bab 5) Namun, apabila kerusakan terlalu berat untuk dapat



Apoptosis A



SEL VARIABEL



Signal pertahanan (misal: faktor pertumbuhan)



Bcl-2 (atau Bcl-xL)



B



Tidak adanya signal iradiasi pertahanan



Produksi prtoein anti-apoptotik (misalnya, Bcl-2, Bcl-XL Sitokrom c



diperbaiki, p53 akan memicu apoptosis, terutama dengan stimulasi sensor yang akan mengaktifkan Bax dan Bak, dan dengan meningkatkan sintesa pro apoptotik kelompok Bc1-2. Apabila terjadi mutasi p53 atau tidak dijumpai p53 (seperti pada keadaan kanker tertentu), sel yang mengandungi DNA rusak, yang seharusnya akan mengalami apoptosis, dapat bertahan hidup. Pada sel demikian, kerusakan DNA akan mengakibatkan mutasi atau pengaturan kembali DNA (misalnya translokasi) yang dapat mengakibatkan transformasi neoplastik (Bab 5).



APOPTOSIS



Kerusakan DNA



Protein salah lipat



Aktivasi sensor



Antagonis Bcl-2



Tidak ada kebocoran sitokrom c



Aktivasi saluran Bax/Bak



Kebocoran sitokrom c, protein lain Aktivasi kaspase



KETAHANAN SEL



21



APOPTOSIS



Gambar 1-23 Jalur apoptosis mitokondria. induksi apoptosis melalui jalur mitokondria bergantung pada keseimbangan antara protein pro dan antiapoptotik pada kelompok Bcl. Protein pro apoptotik mendeteksi beberapa (sensor) kerusakan DNA dan kerusakan protein dan memicu apoptosis serta yang lain (efektor) yang berada dalam membran mitokondria dan menimbulkan kebocoran protein. A, Pada sel viabel, anti apoptotik kelompok Bcl-2 mencegah kebocoran protein mitokondria. B, Berbagai stimulus akan mengaktivasi sensor sitoplasma dan mengakibatkan menurunnya produksi protein anti apoptotik protein dan meningkatnya jumlah protein pro apoptotik, mengakibatkan kebocoran protein yang biasanya di sekuester dalam mitokondria. Protein mitokondria yang bocor akan mengaktivasi berbagai seri kaspase, dimulai dengan inisiasi kemudian eksekusi, dan enzim ini menimbulkan fragmentasi inti dan fragmentasi sel.



Akumulasi Protein Salah Bentuk: Stres ER Selama sintesa protein berjalan normal, pengawal ER memastikan agar protein yang baru disintesis mengalami pelipatan yang benar sedangkan polipeptida dengan bentuk yang salah akan tersebar dan menjadi target untuk proteolisis. Namun, apabila protein salah bentuk ini terakumulasi di ER yang disebabkan oleh mutasi bawaan atau pengaruh gangguan lingkungan maka akan terjadi respons sel protektif yang disebut respons protein salah bentuk (Gambar 1-24). Respons ini akan mengaktifkan sinyal jalur yang meningkatkan produksi pengawal dan memperlambat translasi protein, sehingga kadar protein salah bentuk akan menurun dalam sel. Pada keadaan di mana akumulasi protein salah bentuk sedemikian besarnya sehingga tidak dapat ditanggulangi, maka akan terjadi stres ER, yang akan menyebabkan aktivasi kaspase dan kemudian apoptosis. Akumulasi protein salah bentuk akibat mutasi, di dalam sel, penuaan, atau faktor lingkungan yang tidak diketahui, akan menyebabkan penyakit dengan berkurangnya persediaan protein normal atau terjadinya jejas sel (Tabel 1-2). Kematian sel karena protein salah bentuk dikenal sekarang sebagai gejala penyakit neurodegeneratif, termasuk penyakit Alzheimer, Huntington, dan Parkinson, dan mungkin juga diabetes tipe 2. Kekurangan glukosa dan oksigen dan stres serta infeksi juga akan mengakibatkan protein salah bentuk, dan berakhir dengan jejas sel dan kematian sel.



  Limfosit yang mampu mengenali antigen badan sendiri biasanya akan dibentuk pada semua individu. Apabila limfosit ini melawan antigen badan sendiri (self), sel akan mati melalui apoptosis. Kedua jalur mitokondria dan jalur reseptor kematian Fas terlibat dalam proses ini (Bab 4) Kegagalan apoptosis pada limfosit reaktif badan sendiri merupakan salah satu penyebab penyakit autoimun.



Tabel 1-2 Penyakit Akibat Protein Salah Lipat



Penyakit



Protein Terlibat



Patogenesis



Fibrosis sistika



Regulator konduktans transmembran fibrosis sistik



Hilangnya CFTR menyebabkan defek transpor klorida



Famillial hiperkolesterolemia



(CFTR)



Penyakit Tay-Sachs



Subunit hexosaminidase β



Hilangnya reseptor LDL mengakitbatkan hiperkolesterolemia Tidak adanya enzim lisosom mengakibatkan penimbunan gangliosida GM2 di neuron



Defisiensi α-l -antitripsin



α-1antitripsin



Penimbunan protein non-fungsional di sel hepar mengakibatkan apoptosis; idak adanya aktivitas enzim di paru menyebabkan destruksi jaringan elastik menimbulkan emfisema



Penyakiy Creutzfeld-Jacob



Prion



Lipatan abnormal PrPsc mengakibatkan kematian sel neuron



Penyakiy Alzheimer



Aβ peptide



Lipatan abnormal Aβ peptida menyebabkan agregasi antar neuron dan apoptosis



Ditampilkan ilustrasi terbatas penyakit dimana protein salah lipatan diperkirakan menjadi mekanisme penyebab gangguan fungsional atau jejas sel atau jejas pada jaringan



BAB 1



22



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



NORMAL



A



Pendamping



Protein terlipat matur



RNA



• • • •



Alterasi metabolit penyimpanan energi Mutasi genetik di protein, pendamping Infeksi virus Kelemahan kimia



Kelebihan protein salah lipat



“STRESS ER ” Kapasitas Kebutuhan >> protein terlipat pembuatan protein terlipat



KEGAGALAN ADAPTASI



ADAPTASI SEL RESPONS PROTEIN TIDAK TERLIPAT Sintesa protein



APOPTOSIS



Produksi pendamping Protein terlipat matur



B Gambar 1-24 Respons protein terlipat abnormal dan stres ER. A, Pada sel sehat, sintesa protein baru akan terlipat dengan bantuan pendamping dan akan masuk dalam sel atau terjadi sekresi. B, Berbagai stres eksternal atau mutasi akan menginduksi suatu keadaan yang disebut stres ER, keadaan di mana sel tidak dapat menanggulangi banyaknya beban protein yang terlipat abnormal. Akumulasi protein ini di ER akan memicu respons protein abnormal, yang berupaya mengembalikan homeostasis protein, apabila respons ini tidak memadai, sel akan mati melalui apoptosis.



Apoptosis yang Dimediasi Limfosit T Sitotoksik Limfosit T sitotoksik (CTL) megenali antigen asing yang terdapat pada permukaan sel pejamu yang terinfeksi dan sel tumor (Bab 4) Pada saat aktivasi, protease granula CTL yang disebut granzyme akan masuk ke sel target. Granzyme membelah protein pada sisa aspartat dan mampu mengaktifkan kaspase dalam sel. Dengan cara ini CTL mematikan sel target dengan langsung menginduksi fase efektor apoptosis, tanpa melibatkan mitokondria atau reseptor kematian. CTL juga mengekspresikan FasL di permukaan dan mematikan sel target melalui ligasi reseptor Fas.



RINGKASAN Apoptosis •











Merupakan mekanisme yang mengatur kematian sel dengan tujuan mengeliminasi sel yang tidak diinginkan dan sel rusak yang tidak dapat diperbaiki, dengan reaksi tubuh seminimal mungkin Ditandai dengan degradasi enzimatik protein dan DNA, diawali dengan kaspase; dan dengan pengenalan dan pembuangan sel mati oleh fagosit. Diawali melalui 2 jalur utama : 



Jalur mitokondria (intrinsik) dipicu oleh hilangnya sinyal ketahanan hidup (survival), kerusakan DNA dan akumulasi dari protein salah bentuk (stres ER); dihubungkan dengan bocornya protein pro apoptotik dari membran mitokondria ke dalam sitoplasma, dimana terjadi pemicuan aktivasi kaspase; dihambat oleh unsur anti apoptotik dari kelompok Bcl, yang diinduksi dengan sinyal ketahanan hidup termasuk faktor pertumbuhan.







Jalur reseptor kematian (ekstrinsik) berperan pada eliminasi limfosit reaktif badan sendiri dan kerusakan limfosit T sitotoksik; dipicu oleh ikut sertanya reseptor kematian (termasuk dalam kelompok reseptor TNF) melalui ikatan sel yang berdekatan.



AUTOFAG Autofag ("memakan diri sendiri") diartikan dengan pencernaan lisosomal atas komponen sel itu sendiri. Merupakan upaya agar tetap hidup pada saat terjadi kekurangan nutrisi, sehingga sel yang kelaparan tetap hidup dengan memakan isi selnya sendiri dan mendaur-ulangnya untuk menghasilkan nutrisi dan energi. Pada proses ini, pertama terjadi pemecahan organel intrasel dan bagian dari sitosol di dalam vakuol autofag, yang terbentuk dari daerah bebas ribosom pada ER (Gambar 1-25). Vakuol akan bersatu dengan lisosom untuk membentuk autophagolysosome, dimana enzim lisosom mencerna komponen sel. Autofag dipicu oleh kompleks multi protein yang mendeteksi adanya kekurangan gizi dan menstimulasi pembentukan vakuol autofag. Dengan berjalannya waktu, sel yang kelaparan akhirnya tidak dapat mencukupi kebutuhannya hanya dengan memakan dirinya; pada stadium ini, autofag juga akan memberikan sinyal kematian sel melalui apoptosis. Autofag juga terlibat dalam pembersihan protein salah bentuk, misalnya pada neuron dan sel hepar. Karena itu, autofag yang defek dapat mengakibatkan kematian neuron yang terjadi karena akumulasi protein ini dan kemudian mengakibatkan penyakit neurodegeneratif. Sebaliknya, aktivasi farmakologik autofag akan membatasi penimbunan protein salah bentuk di sel hati pada binatang percobaan



Klasifikasi Patologis



23



Kurang nutrisi Signal autofagia Organel sitoplasma



Lisosom



Degradasi



Pembentukan vakuol autofag



Dipakai sebagai sumber nutrisi



Gambar 1-25 Autofag. Stres sel, misalnya kekurangan nutrisi, akan mengaktivasi gen autofag (Gen Atg), yang akan memulai pembentukan vesikel dalam membran dimana terjadi sekuester organel sel.Vesikel ini menyatu dengan lisosom dan organel akan dicerna, dan produk yang terbentuk dipergunakan untuk nutrisi sel. Proses yang sama dapat memicu apoptosis, melalui suatu mekanisme yang kurang jelas.



sehingga mengurangi fibrosis hati. Polimorfisme gen yang terlibat pada autofag dikaitkan dengan penyakit radang usus, tetapi hubungan mekanisme antara autofag dan radang usus tidak jelas. Peran autofag pada kanker akan dibahas di Bab 5. Dengan demikian, jalur ketahanan hidup pada sel yang dulu dianggap remeh terbukti berperan luas pada penyakit manusia. Kita telah mengakhiri pembicaraan mengenai jejas sel dan kematian sel. Sebagaimana kita lihat, proses ini merupakan penyebab dasar dari banyak penyakit. Kita menutup bab ini dengan pertimbangan singkat mengenai tiga proses lain: akumulasi intrasel berbagai substansi dan deposit kalsium ekstrasel, keduanya sering dikaitkan dengan jejas sel, dan penuaan.



AKUMULASI INTRASEL Pada beberapa keadaan, sel akan mengakumulasi berbagai zat dalam jumlah abnormal yang mungkin tidak berbahaya atau dikaitkan dengan berbagai tingkat jejas. Zat dapat dijumpai di sitoplasma, dalam organel (biasanya lisosom) atau di dalam inti, dan zat tersebut bisa disintesa oleh sel yang terkena atau dibuat di tempat lain. Ada empat jalur utama terjadinya akumulasi intrasel yang abnormal (Gambar 1-26): • Pembuangan kurang baik dari zat normal akibat dari defek mekanisme pengumpulan dan pengiriman, seperti degenerasi lemak di hati. • Akumulasi zat endogen abnormal akibat defek genetik atau defek didapat dalam pelipatan, pengumpulan, pengiriman, atau pengeluaran, seperti terjadi pada bentuk mutasi tertentu otrantitripsin. • Kegagalan mendegradasi metabolit akibat defisiensi enzim bawaan (inherited). Kelainan ini disebut penyakit timbunan (Bab 6). • Penempatan dan pengumpulan yang abnormal zat eksogen, ketika sel tidak mempunyai peralatan enzimatik untuk mendegradasi zat itu atau tidak memiliki kemampuan membawa zat itu ke tempat lain. Akumulasi partikel karbon atau silika adalah contoh dari kelainan ini.



  Perubahan lemak adalah akumulasi abnormal trigriserida di dalam sel parenkim. Sering dijumpai di hati, karena merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme lemak, tetapi hal ini dapat juga terjadi di jantung, otot lurik, ginjal, dan organ lain. Steatosis bisa terjadi akibat toksin, malnutrisi protein, diabetes melitus, obesitas, atau anoksia. Salah penggunaan alkohol dan diabetes akibat obesitas merupakan penyebab tersering dari perubahan lemak pada hati (perlemakan hati) di negara industri. Proses ini akan dibahas lebih lanjut di Bab 15.



  Metabolisme kolesterol sel teratur sangat ketat agar terjadi sintesa membran sel normal tanpa terjadinya akumulasi intrasel yang berarti. Namun, sel fagosit bisa menerima beban berlebihan dari lemak (trigliserida, kolesterol, dan ester kolesterol) pada berbagai proses patologis yang berbeda. Di antara semuanya, yang terpenting adalah aterosklerosis. Peran penempatan lemak dan kolesterol dalam patogenesis aterosklerosis dibahas di Bab 9.







Secara morfologik akumulasi protein jauh lebih jarang dijumpai dibanding akumulasi lemak; hal tersebut dapat terjadi apabila ada penimbunan berlebihan atau sel mensitesa jumlah yang berlebihan. Di ginjal sebagai contoh, sejumlah sangat kecil albumin difiltrasi melalui glomerulus dan biasanya diabsorbsi kembali oleh pinosit pada tubulus proksimal. Namun apabila ada kelainan di mana terjadi kebocoran besar dari protein di filter glomerulus (misalnya sindrom nefrotik), maka timbul reabsorbsi protein berlebihan dan akumulasi vesikel yang mengandungi protein tersebut, dengan gambaran histologis berwarna merah muda, atau bercak hialin di sitoplasma. Proses ini reversibel: apabila proteinuria menyusut, maka bercak protein akan dimetabolisme dan menghilang. Contoh lain adalah akumulasi menonjol dari imunoglobulin baru hasil sintesa yang dapat terjadi pada RER di sel plasma, dalam bentuk benda Russell yang eosinofilik dan bulat. Contoh lain dari agregasi protein dibicarakan di bagian lain buku ini (misal: "hialin alkohol" di hati di Bab 15; kusutnya neurofibril pada neuron di Bab 22).



24



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi  



Deposit intrasel glikogen yang berlebihan dikaitkan dengan metabolisme abnormal glukosa atau glikogen. Pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik, yang merupakan contoh utama dari penyakit gangguan penimbunan glikogen, atau glycogenoses (Bab 6). metabolisme glukosa abnormal, glikogen akan tertimbun di epitel tubulus ginjal, otot jantung, dan sel pulau Langerhans. Glikogen juga berakumulasi dalam sel kelompok gangguan genetik yang dikenal sebagai



1



Metabolisme abnormal



Sel normal



Mutasi protein



Perlemakan hati



2 Defek pada pelipatan protein transpor



Akumulasi protein abnormal



3



Kekurangan enzim



Substrat Produk kompleks larut air Enzim



Substrat kompleks Penyakit gangguan penimbunan lisosom: akumulasi materi endogen



4



Pencernaan materi yang tidak dapat dicerna



Akumulasi materi eksogen



Gambar 1-26 Mekanisme akumulasi intrasel: (I) Metabolisme abnormal, seperti pada degenerasi lemak di hati. (2) Mutasi mengakibatkan gangguan lipatan protein dan transpor, sehingga molekul yang defek terakumulasi intrasel. (3) Defisiensi enzim penting untuk menghancurkan beberapa komponen, sehingga terjadi akumulasi substrat dalam lisosom, seperti pada penyakit gangguan penimbunan lisosom. (4) Ketidakmampuan mendegradasi partikel yang telah difagositosis, seperti pada akumulasi pigmen karbon.



Pigmen Pigmen adalah zat berwarna yang bisa eksogen, yaitu berasal dari luar tubuh, misalnya karbon, atau endogen, hasil sintesa tubuh sendiri, misalnya lipofusin, melanin, dan derivat hemoglobin tertentu. • Pigmen eksogen yang tersering dijumpai ialah karbon (contoh debu batubara), sebagai polusi udara kehidupan kota yang bertebaran. Apabila dihirup, akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan disalurkan melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional trakeobronkial. Kumpulan pigmen akan membuat kelenjar getah bening yang dilalui dan parenkim paru menjadi hitam (anthracosis) (Bab 12). • Lipofusin, atau "pigmen habis pakai," merupakan granula coklatkekuningan yang tidak larut air dan dikumpulkan di berbagai jaringan (terutama jantung, hati, dan otak) sebagai akibat fungsi penuaan dan atrofia. Lipofusin mewakili kompleks lemak dan protein yang berasal dari katalisasi radikal bebas yaitu peroksidase lemak polyunsaturated di membran subsel. Tidak berbahaya terhadap sel tetapi merupakan petanda telah terjadinya jejas radikal bebas. Pigmen coklat (Gambar 1-27), yang dijumpai dalam jumlah besar, akan memberikan gambaran sebagai atrofia coklat. Dengan mikroskop elektron, pigmen akan tampak sebagai granula padat elektron di sekitar inti (Gambar 1-27, B). • Melanin merupakan pigmen endogen berwarna coklat-hitam yang disintesa oleh melanosit di epidermis dan berfungsi sebagai tirai untuk melindungi dari radiasi ultraviolet yang berbahaya. Walaupun melanosit merupakan satu-satunya sumber melanin, keratinosit basal yang letaknya berdekatan di kulit dapat mengakumulasi pigmen (misalnya tahi lalat), demikian juga makrofag di dermis. • Hemosiderin merupakan pigmen granuler berasal dari hemoglobin berwarna kuning keemasan hingga coklat dan diakumulasi di jaringan yang mengandungi besi berlebihan baik lokal maupun sistemik. Besi biasanya disimpan dalam sel yang berhubungan dengan protein apoferritin, membentuk "micelles" ferritin. Pigmen hemosiderin menggambarkan adanya timbunan micelles ferritin, tampak melalui mikroskop cahaya atau elektron; besi dapat diidentifikasi tanpa keraguan melalui reaksi histokimia biru Prussian (Gambar 1-28). Walaupun akumulasi hemosiderin biasanya bersifat patologis, tetapi sejumlah kecil pigmen tersebut dijumpai normal di fagosit mononukleus di sumsum tulang, limpa, dan hati, yaitu tempat sel darah merah yang tua biasanya didegradasi. Penimbunan berlebihan hemosiderin, disebut hemosiderosis, dan penimbunan besi yang lebih ekstensif seperti pada hemokromatosis herediter, dibahas pada Bab 15.



Penuaan Sel



25



Gambar 1-27 Granula lipofusin di miosit jantung. A, Mikroskop cahaya (deposit ditunjukkan dengan panah). B, Mikroskop elektron. Perhatikan lokasi perinukleus, intra intralisosom.



KALSIFIKASI PATOLOGIS Kalsifikasi patologis merupakan proses biasa yang dijumpai pada berbagai keadaan penyakit; menyatakan adanya penempatan garam kalsium abnormal, biasanya bersama dengan sedikit besi, magnesium, dan mineral lain. Apabila penempatannya pada jaringan mati atau jaringan yang akan mati, disebut kalsifikasi distrofik; terjadi tanpa adanya gangguan metabolisme kalsium (misalnya kadar serum kalsium normal). Sebaliknya, penempatan garam kalsium di jaringan normal disebut kalsifikasi metastatik dan hampir selalu terjadi sebagai akibat suatu gangguan metabolisme kalsium (hiperkalsemia). Perlu dicatat, sekalipun hiperkalsemia tidak merupakan prasyarat untuk terjadinya kalsifikasi distrofik, namun dapat memperkuatnya. Klasifikasi Distrofik Klasifikasi distrofik dijumpai pada semua jenis nekrosis. Selalu dijumpai di atheroma pada aterosiderosis lanjut, dikaitkan dengan jejas intima pada aorta dan pembuluh arteri besar dan merupakan gambaran khas pada akumulasi lemak



(Bab 9). Walaupun kalsifikasi distrofik jarang terjadi yang menandakan pernah adanya jejas sel, hal ini dapat pula menjadi penyebab disfungsi organ. Contoh, kalsifikasi yang terjadi pada penuaan katup atau katup jantung yang rusak, mengakibatkan kerja katup sangat terganggu. Klasifikasi distrofik pada katup aorta merupakan penyebab penting stenosis aorta pada usia lanjut (Gambar 10-17, Bab 10). Patogenesis klasifikasi distrofik meliputi inisiasi (atau nuldeasi) dan propagasi, keduanya dapat terjadi intrasel atau ekstrasel; hasil akhir adalah terbentuknya kristal kalsium fosfat. Inisiasi ekstrasel terjadi pada vesikel yang terikat pada membran berdiameter kira-kira 200 nm; pada tulang rawan dan tulang normal disebut vesikel matriks, dan pada klasifikasi patologis berasal dari sel yang mengalami degenerasi. Diperkirakan kalsium mula-mula terkumpul pada vesikel ini karena afinitasnya dengan fosfolipid membran, sedangkan fosfat terkumpul karena kegiatan fosfatase yang berikatan dengan membran. Inisiasi klasifikasi intrasel terjadi di mitokondria sel mati atau sel yang akan mati, yang kehilangan kemampuan untuk mengatur kalsium intrasel.



Gambar 1-28 Granula hemosiderin dalam sel hati. A, Pewarnaan Hematoksilin-eosin menunjukkan pigmen granuler halus, warna coklat emas. B, Deposit besi tampak dengan proses pewarnaan khusus yang disebut reaksi biru Prusia.



24



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



Setelah terjadinya inisiasi pada tempat tersebut, terjadi perkembangan pembentukan kristal. Hal ini bergantung pada kadar Ca'2+dan PO4- keberadaan inhibitor mineral dan derajat pembentukan kolagen, yang akan mempercepat pertumbuhan kristal.



• •







Klasifikasi metastatik dapat terjadi pada jaringan normal apabila terdapat hiperkalsemia. Penyebab utama hiperkalsemia ialah: (1) peningkatan sekresi hormon paratiroid, terjadi karena tumor paratiroid primer atau produksi hormon yang terkait protein paratiroid suatu tumor ganas lain; (2) destruksi tulang akibat penggunaan yang meningkat (misal: penyakit Paget), imobilisasi, atau tumor (peningkatan katabolisme tulang akibat dari mieloma multipel, leukemia, atau metastasis tulang difus); (3) kelainan yang berhubungan dengan vitamin D termasuk intoksikasi vitamin D dan sarkoidosis (makrofag mengaktifkan prekursor vitamin D); dan (4) gagal ginjal, dimana retensi fosfat berakibat pada hyperparathyroidisme sekunder.



MORFOLOGI Tidak tergantung lokasinya, garam kalsium pada pemeriksaan makroskopik tampak sebagai granula putih halus atau dalam kelompok, sering terasa sebagai deposit kasar. Kalsifikasi distrofik sering dijumpai pada nekrosis kaseosa di tuberkulosa. Kadang-kadang kelenjar getah bening tuberkulosa berubah menjadi batu radioopak. Pada pemeriksaan histologis, kalsifikasi tampak sebagai deposit basofilik intrasel dan/atau ekstrasel. Dengan berlalunya waktu, tulang heterotopik dapat terbentuk pada fokus kalsifikasi. Klasifikasi metastatik terjadi pada seluruh tubuh tetapi sering mengenai jaringan ikat interstitial vaskular, ginjal, paru, dan mukosa gaster. Deposit kalsium secara morfologik mirip gambaran kalsifikasi distrofik. Walaupun jarang mengakibatkan disfungsi klinis, kalsifikasi yang luas pada paru akan tampak pada gambaran radiologi dan mengakibatkan defisit pernapasan, dan deposit masif di ginjal (nephrocalcinosis) yang bisa mengakibatkan kerusakan ginjal.



RINGKASAN Deposit Abnormal Intrasel dan Klasifikasi Deposit abnormal materi pada sel dan jaringan disebabkan oleh makan (intake) berlebihan atau defek pada transpor atau katabolisme. • Deposit lemak  Perubahan lemak: pengumpulan trigliserida bebas dalam sel, akibat dari makan berlebihan atau kegagalan transpor (sering akibat defek pada sintesis protein transpor); manifestasi dari jejas sel yang reversibel.  Pengendapan kolesterol: akibat defek katabolisme dan makan berlebihan; pengendapan pada makrofag dan sel otot polos dinding pembuluh darah pada aterosklerosis. • Deposit protein: protein yang diabsorpsi kembali di tubulus ginjal; imunoglobulin pada sel plasma.







Deposit glikogen: pada makrofag pasien dengan defek enzim lisosom yang memecah glikogen (penyakit penimbunan glikogen). Deposit pigmen: pigmen yang tidak dapat dicerna,misalnya karbon, lipofusin (hasil pemecahan per-oksidase lipid), atau besi (biasanya karena beban berlebihan, misalnya pada hemosiderosis). Klasifikasi patologis  Klasifikasi distrofik: deposit kalsium di tempat jejas sel dan nekrosis.  Klasifikasi metastatik: deposit kalsium pada jaringan normal, disebabkan hiperkalsemia (umumnya akibat berlebihnya hormon paratiroid).



PENUAAN SEL Seorang bertambah tua karena selnya mengalami penuaan. Walaupun perhatian umum mengenai proses penuaan terbatas pada manifestasi kosmetik, penuaan mempunyai konsekwensi kesehatan penting, sebab usia merupakan salah satu faktor risiko tidak bergantung (independen) terbesar untuk timbulnya sejumlah besar penyakit menahun, seperti kanker, penyakit Alzheimer, dan penyakit iskemi jantung. Mungkin salah satu penemuan terpenting tentang penuaan sel ialah bahwa proses itu tidak hanya terjadi karena sel kehilangan energinya, tetapi sebenarnya diatur oleh sejumlah gen terbatas dan jalur sinyal yang dipertahankan secara evolusioner mulai dari ragi hingga binatang menyusui. Penuaan sel terjadi akibat penurunan progesif masa hidup dan kapasitas fungsional sel. Berbagai mekanisme diperkirakan berperan pada penuaan sel (Gambar 1-29): • Kerusakan DNA. Berbagai serangan metabolisme yang terakumulasi dengan waktu akan mengakibatkan kerusakan pada inti dan DNA mitokondria. Walaupun sebagian besar kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh enzim perbaikan DNA, sebagian tetap dan berakumulasi dengan menuanya sel. Beberapa sindrom penuaan dikaitkan dengan defek mekanisme perbaikan DNA, dan masa hidup dari binatang percobaan dapat diperpanjang apabila respons terhadap kerusakan DNA dapat ditingkatkan atau protein yang menstabilkan DNA dipergunakan. Diperkirakan adanya peran radikal bebas pada kerusakan DNA yang mengakibatkan penuaan tetetapi hal ini masih diragukan. • Replikasi sel yang berkurang. Semua sel normal mempunyai kemampuan terbatas untuk replikasi, dan setelah sekian kali pembelahan, sel berhenti dalam status tidak dapat membelah lagi, disebut sebagai senescence replikatif. Penuaan dikaitkan dengan senescence replikatif dari sel secara progresif. Sel anak-anak mempunyai kapasitas lebih tinggi untuk bereplikasi dibandingkan sel orang yang lebih tua. Sebaliknya, sel pasien dengan sindrom Werner, suatu penyakit jarang yang ditandai dengan penuaan dini, mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Pada sel manusia, mekanisme senescence replikatif melibatkan pemendekan telomer, dan berakhir dengan berhentinya siklus sel. Telomer adalah bagian DNA yang pendek berupa urutan basa berulang yang dijumpai pada akhir kromosom yang lurus yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa replikasi sudah lengkap sampai ujung



Penuaan Sel Homeostasis protein abnormal



Pemendekan telomer



Gangguan lingkungan dan metabolisme



27



Stres lingkungan Signal insulin/GF



ROS? Replikasi sel



Kerusakan DNA



Protein, protein yang rusak



Pemulihan DNA yang defektif



MUTASI



KEHILANGAN SEL



TOR Sirtuin yang berubah Transkripsi yang terhambat



FUNGSI SEL BERKURANG



Pemulihan DNA



PENUAAN SEL



MELAWAN PROSES PENUAAN



Homeostasis protein



Gambar 1-29 Mekanisme yang menyebabkan dan mencegah penuaan sel. Kerusakan DNA. senescence replikatif, dan penurunan dan protein yang terlipat abnormal merupakan mekanisme terbaik untuk menjelaskan penuaan sel, Beberapa stres lingkungan, misalnya restriksi kalori, mencegah penuaan dengan mengaktifkan beberapa signal jalur dan faktor transkripsi. IGF, faktor pertumbuhan mirip insulin; TOR, target dari rapamisin



kromosom agar tidak terjadi fusi atau degradasi. Apabila sel somatik bereplikasi, sebagian kecil telomere tidak terjadi duplikasi, dan telomer akan menjadi pendek secara progesif. Apabila telomer sudah pendek, maka ujung kromosom tidak dapat dilindungi dan tampak sebagai DNA yang patah, yang memberikan sinyal berhentinya siklus sel. Panjang telomer dipertahankan melalui penambahan nukleotida yang dibantu oleh enzim telomerase. Telomerase merupakan kompleks protein-RNA khusus yang memakai RNA nya sendiri sebagai template (pedoman) untuk menambah nukleotida pada ujung kromosom. Aktivitas telomerase terjadi pada sel germinal dan dijumpai dalam kadar rendah pada sel punca, tetetapi tidak dijumpai pada sebagian besar jaringan somatik (Gambar 1-30). Karena itu, pada saat sel somatik menjadi tua, telomer menjadi pendek dan keluar dari siklus sel, mengakibatkan tidak dibentuknya sel baru untuk menggantikan sel yang rusak. Sebaliknya, pada sel kanker



Sel germinal



Sel pun



ca



Se Panjang telomer



ls



om



at



ik Sel kanker



Penghentian pertumbuhan Pembelahan sel



Gambar 1-30 Peran telomer dan telomerase pada senescences replikatif sel. Panjang telomer dirancang untuk mencegah pembelahan sel. Pada sel somatik normal, tidak ada kegiatan telomerase, dan telomer akan memendek secara progresif dengan bertambahnya pembelahan sel sehingga terjadi penghentian pertumbuhan atau senescences terjadi. Sel germinal dan sel punca keduanya mengandungi telomerase aktif,tetapi hanya pada sel germinal kadar hormon cukup untuk menstabilisasi lengkap panjang telomer. Pada sel kanker, sering terjadi reaktivasi.



(Data dari Macmillan Publishers Ltd, from Nolt SE, et al: Refining the telomer-telomerase hypothesis of oging and cancer. Nat Biotechnol I 4:836, I 996.)



yang dibuat imortal, telomerase biasanya diaktifkan kembali dan panjang telomer menjadi stabil, sehingga sel dapat berproliferasi tanpa batas. Hal ini dibahas pada Bab 5. Pemendekan telomer juga dapat mengurangi kapasitas regeneratif sel punca, sehingga menambah lagi proses penuaan sel. Walaupun adanya observasi demikian yang sangat menarik, hubungan antara aktivitas telomer dan panjang telomer belum difahami seluruhnya. • Cacat pada homeostasis protein. Suatu saat, sel tidak akan mampu mempertahankan homeostasis protein, karena meningkatnya perubahan dan menurunnya sintesis yang disebabkan oleh translasi protein yang menurun dan cacatnya aktivitas pendamping "chaperone" (yang mendorong pembentukan protein normal), proteasom (yang merusak protein salah bentuk) dan enzim perbaikan. Homeostasis protein yang tidak normal akan memberikan beberapa pengaruh terhadap ketahanan hidup, replikasi, dan fungsi sel. Sebagai tambahan, juga akan terjadi akumulasi protein salah bentuk, yang akan memicu jalur apoptosis. Banyak perhatian diberikan pada pengenalan jalur sinyal yang akan melawan proses penuaan, bukan hanya untuk pengobatan yang jelas (penelitian "minuman awet muda") tetapi juga dengan kejelasan jalur ini akan dapat diketahui lebih lanjut mekanisme terjadinya penuaan. Diperkirakan sekarang bahwa stres lingkungan, misalnya pembatasan kalori, akan mengubah jalur sinyal yang mempengaruhi penuaan (Gambar 1-29). Di antara perubahan biokimia yang berperan pada penghentian proses penuaan adalah pengurangan sinyal oleh reseptor faktor pertumbuhan yang mirip insulin, penurunan aktivitas kinase (khusus "target rapamycin," [TOR], dan kinase AKT), dan perubahan aktivitas transkripsi. Akhirnya, perubahan-perubahan ini akan berakibat pada peningkatan perbaikan DNA dan homeostasis protein, serta peningkatan imunitas yang semuanya menghambat penuaan. Stres lingkungan juga dapat mengaktifkan protein dari kelompok Sirtuin, misalnya Sir2, yang berfungsi sebagai deasetilase protein. Protein ini bisa tanpa asetil dan dengan demikian mengaktifkan enzim perbaikan DNA, sehingga menstabilkan DNA; tanpa protein tersebut, DNA lebih rawan terhadap kerusakan. Walaupun sirtuin mendapat banyak perhatian akhir ini, perannya pada proses penuaan belum dapat dipastikan.



28



BAB 1



Jejas Sel, Kematian Sel dan Adaptasi



RINGKASAN Penuaan Sel •







• •



Terjadi akibat gabungan akumulasi kerusakan sel (misal: karena radikal bebas), penurunan kemampuan membelah (senescences replikasi), dan menurunnya kemampuan untuk memperbaiki DNA yang rusak. Akumulasi kerusakan DNA: mekanisme perbaikan DNA yang tidak efektif; sebaliknya perbaikan DNA dapat diaktifkan dengan mengurangi kalori, yang berhasil memperpanjang usia pada penelitian beberapa organisme. Senescences replikasi: menurunnya kapasitas membelah pada sel akibat pemendekan progresif ujung kromosom (telomer). Faktor lain: akumulasi progresif kerusakan metabolisme; kemungkinan peran faktor pertumbuhan yang mempercepat penuaan pada model organisme sederhana.



Jelas bahwa berbagai gangguan dan adaptasi sel yang dibicarakan pada bab ini meliputi spektrum yang luas, mulai dari adaptasi ukuran sel, pertumbuhan, dan fungsi, sampai bentuk reversibel dan ireversibel jejas sel akut, sampai kematian sel yang terprogram yaitu apoptosis. Contoh berbagai kelainan diberikan pada buku ini, sebab semua organ yang mengalami cedera dan akhirnya semua kasus penyakit klinis terjadi karena gangguan struktur sel dan fungsinya. KEPUSTAKAAN Auten RL, Davis JM: Oxygen toxicity and reactive oxygen species: the devil is in the details. Pediatr Res 66:121, 2009. [Tinjauan mengenai produksi dan degradasi spesies oksigen relattf dan perannya dalam jejas sel.] alaban RS, Nemoto S, Finkel T: Mitochondria, oxidants, and ̀ aging. Cell 120:483, 2005. [Tinjauan yang baik mengenai peran radikal bebas pada proses penuaan.] Calado RT, Young NS: Telomere diseases. N Engl J Med 361:2353, 2009. [Tinjauan yang baik tentang biologi dasar telomer dan bagaimana peran abnormal terhadap kanker, proses penuaan dan penyakit lain.] Chipuk JE, Moldoveanu T, Llambl F, et al: The BCL-2 family reunion. Mol Cell 37:299, 2010. [Tinjauan biokimia dan biologi apoptosispengaturan protein kelompok BCL-2.] de Groot H, Rauen U: Ischemia-reperfusion injury: processes in pathogenetic networks: a review. Transplant Proc 39:481, 2007. [Tinjauan peran jejas intrinsic sel dan respons radang pada jejas iskemiareperfusi.]



Dong Z, Saikumar P, Weinberg JM, Venkatachalam MA: Calcium in cell injury and death. Annu Rev Pathol 1:405, 2006. [Tinjauan hubungan antara jejas kalsium dan jejas sel.] Elliott MR, Ravichandran KS: Clearance of apoptotic cells: implica tions in health and disease. J ell ̀ iol ̀ 189:1059, 2010. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme sel apoptosis dihilangkan dan bagaimana abnormalitasnya pada jalur ini akan mengakibatkan penyakit.] Frey N, Olson EN: Cardiac hypertrophy: the good, the bad, and the ugly. Annu Rev Physiol 65:45, 2003. [Pembahasan yang menarik mengenai mekanisme hipertrofi otot dengan jantung sebagai paradigma.1 Galluzzi L, Aaronson SA, Abrams J, et al: Guidelines for the use and interpretation of assays for monitoring cell death in higher eukaryotes. ell ̀ Death Differ 16:1093, 200. ̀ [Kesimpulan praktis tentang morfologi dan teknik lain untuk mendeteksi dan mengkuantifilcasi sel mati.J Haigis MC, Yankner BA: The aging stress response. Mol Cell 40:333, 2010. [Tinjauan peran sel stres pada pengaturan proses penuaan.] Hotchkiss RS, Strasser A, McDunn JE, Swanson PE: Cell death. N ngl ̀ J Med 361:1570, 2009. [Tinjauan yang baik tentang jalur utama kematian sel (nekrosis, apoptosis dan kematian yang dikaitkan dengan autofag) serta implikasi klinis dan terapi target.] Kenyon CJ: The genetics of ageing. Nature 464:504, 2010. [Tinjauan baik tentang gen yang mempengaruhi proses penuaan, berdasarkan sindrom genetik manusia dan penelitian tentang model organisme mutan.1 Kroemer G, Marino G, Levine B: Autophagy and the integrated stress response. Mol Cell 40:280, 2010. [Diskusi menarik tentang biologi, jalur biokimia dan peran fisiologi autofagia.] Kundu M, Thompson CB: Autophagy: basic principles and relerelevance to disease. Annu Rev Pathol 3:427, 2008. [Diskusi tentang biologi autofagia dan potensi kontribusinya terhadap berbagai keadaan penyakit.] Lin JH, Walter P, Yen TSB: Endoplasmic reticulum stress in disease pathogenesis. nnu ̀ Rev athol ̀ 3:399, 2008. [Tinjauan biologi dan relevansi penyakit akibat respons terhadap protein yang tidak terlipat dan stres ER yang diinduksi oleh protein yang tidak terlipat.J Lombard DB, Chua KF, Mostoslavsky R, et al: DNA repair, genome stability, and aging. Cell 120:497, 2005. [Peran kerusakan DNA pada proses penuaan sel.] McKinnell IW, Rudnicki MA: Molecular mechanisms of muscle atrophy. Ce11119:907, 2004. [Diskusi tentang mekanisme atrofia sel.J Newmeyer DD, Ferguson-Miller S: Mitochondria• releasing power for life and unleashing the machineries of death. ell ̀ 112:481, 200. ̀ [Tinjauan yang baik tentang berbagai fungsi mitokondria dengan penekanan pada perannya pada kematian sel.] Sahin E, DePinho RA: Linking functional decline of telomeres, mitochondria and stem cells during ageing. Nature 464:520, 2010. [Tinjauan yang baik tentang abnormalitas sel punca dan kontribusinya pada proses penuaan.] Tosh D, Slack JM: How cells change their phenotype. Nat Rev Mol Cell Biol 3:187, 2002. [Tinjauan tentang metaplasia dan peran sel punca serta gen yang programnya diulang.] Valko M, Leibfritz D, Moncol J, et al: Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. nt ̀ J iochem ̀ ell ̀ iol ̀ 39:44, 2007. [Diskusi menarik tentang biokimia oksigen dan radikal bebas yang berasal dari nitrogen perannya pada jejas sel dan fungsi fisiologisnya sebagai molekul sinyal.]



2 BAB



Radang dan Pemulihan Jaringan DAFTAR ISI BAB Tinjauan Radang dan Pemulihan Jaringan 29 Radang Akut 31



Stimulus Radang Akut 31 Pengenalan Mikroba, Sel Nekrotik, dan Benda Asing 32 Perubahan Vaskular 33 Kejadian Seluler: Pengumpulan dan Pengaktifan Leukosit 34 Cedera Jaringan Akibat Leukosit 39 Defek pada Fungsi Leukosit 40 Akibat Radang Akut 41



Pola Morfologik Radang Akut 43 Mediator Kimia dan Regulator Radang 44



Mediator Asal Sel 46 Mediator dari Protein Plasma 50 Mekanisme Anti-inflamasi 52



Radang Kronik 53



Sel dan Mediator Radang Kronik 53 Radang Granulomatosa 56



Efek Sistemik Radang 57 Tinjauan Pemulihan Jaringan 58 Regenerasi Sel dan Jaringan 59 Pengaturan Proliferasi Sel 59 Kapasitas Proliferasi Jaringan 59 Sel Punca (Sel Stem) 60 Faktor Pertumbuhan 61 Peran Matriks Ekstrasel pada Pemulihan Jaringan 63



TINJAUAN RADANG DAN PEMULIHAN JARINGAN Pertahanan hidup semua organisme mengharuskan terjadinya eliminasi benda asing, misalnya agen yang mengakibatkan infeksi, dan jaringan yang rusak. Fungsi-fungsi ini dibantu oleh respons tubuh yang komplek, yang disebut radang. Radang merupakan suatu respons perlindungan yang melibatkan sel tubuh, pembuluh darah, serta protein dan mediator lain dengan tujuan mengeliminasi penyebab utama jejas sel, demikian pula sel nekrotik dan jaringan sebagai akibat pengaruh awal, dan memulai proses pemulihan jaringan. Upaya radang untuk melakukan proteksi adalah dengan mengencerkan, merusak, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba, toksin). Kemudian akan terjadi mekanisme untuk penyembuhan dan pemulihan daerah yang terkena jejas. Tanpa proses peradangan, infeksi dapat berlanjut tanpa terkendali dan luka tidak akan sembuh. Dalam konteks infeksi, radang merupakan sebuah komponen respons protektif yang disebut oleh ahli imunologi sebagai imunitas sejak lahir (Bab 4). Walaupun radang membantu menghilangkan infeksi dan stimulus membahayakan lainnya dan memulai proses penyembuhan jaringan, reaksi radang dan proses penyembuhan jaringan dapat pula mengakibatkan kerugian. Komponen reaksi



Peran Regenerasi pada Pemulihan Jaringan 65



Pembentukan Jaringan Parut 65



Tahapan Pembentukan Jaringan Parut 65 Angiogenesis 66 Pengaktifan Fibroblas dan Penimbunan Jaringan Ikat 68 Penyesuaian Bentuk Jaringan Ikat 68



Faktor yang Mempengaruhi Pemulihan Jaringan 69 Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis 70 Penyembuhan Luka Kulit 70 Fibrosis pada Organ Parenkim 72



radang yang merusak dan mengeliminasi mikroba dan jaringan mati dapat juga mengakibatkan jejas pada jaringan normal. Karena itu, jejas bisa disertai reaksi radang normal yang menguntungkan, dan kerusakan bisa menjadi gambaran dominan apabila reaksi berlebihan (misalnya, infeksi yang berat), berkepanjangan (misalnya, agen yang kebal eradikasi), atau tidak tepat (misalnya, apabila tertuju pada antigen diri sendiri pada penyakit autoimun, atau melawan antigen lingkungan yang biasanya tidak berbahaya (misalnya, kelainan alergi). Beberapa jenis penyakit manusia yang mengganggu merupakan kelainan akibat radang yang tidak pada tempatnya, seringkali kronik. Sehingga, proses radang merupakan dasar untuk semua ilmu kedokteran klinis Sel dan molekul untuk pertahanan diri, termasuk leukosit dan protein plasma, biasanya beredar di dalam darah, dan tujuan reaksi radang adalah agar sel dan molekul tersebut dialirkan ke tempat infeksi atau jaringan yang mengalami cedera. Sebagai tambahan, sel yang berada di dinding pembuluh darah dan sel serta protein dari matriks ekstrasel (Eom) juga terlibat dalam proses peradangan dan pemulihan jaringan (Gambar 2-1). Sebelum kita menjelaskan proses peradangan secara rinci, beberapa gambaran dasar akan dibahas. Radang bisa akut atau kronik (Tabel 2-1). Radang akut terjadi cepat dan memakan waktu singkat, berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa hari, dan memberikan gambaran khas timbulnya cairan dan eksudasi protein plasma dan akumulasi leukosit neutrofil yang banyak. Radang kronik terjadi secara bertahap, dalam period yang lebih lama (hitungan hari hingga tahun), dan ditandai dengan penimbunan limfosit dan makrofag disertai proliferasi vaskular dan fibrosis (jaringan parut). Seperti yang akan



30



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan Makrofag Sumber mediator (histamin, lainnya)



Sel mast



Respons imun



Eliminasi mikroba, jaringan mati Sumber mediator (sitokin, lainnya) Peran dalam respons imun



Otot polos



Trombosit PEMBULUH Leukosit polimorfonukleus



Protein plasma



Endotel



Limfosit



Monosit



Sumber mediator (nitrogen monooksida, sitokin, lainnya)



Membran basalis



Eliminasi mikroba, jaringan mati



Komplemen: mediator radang, eliminasi mikroba Faktor pembekuan dan kininogen: mediator inflamasi



Protein matriks ekstraseluler dan sel



Pemulihan



Fibroblas



Gambar 2-1 Komponen respons radang akut dan kronik serta fungsi utamanya. Peran sel tersebut dan molekul radang dibahas pada bab ini.



kita lihat kemudian, kedua jenis radang ini bisa timbul bersamasama, dan banyak variabel menentukan perjalanan serta gambaran histologisnya. Radang diinduksi oleh mediator kimia yang dihasilkan oleh sel tubuh untuk merespons stimulus yang merugikan. Ketika mikroba masuk ke dalam jaringan atau jaringan menjadi cedera, infeksi atau kerusakan diketahui oleh sel tubuh, terutama makrofag, tapi juga sel dendrit, sel mast, dan sel lainnya. Sel-sel tersebut mensekresi molekul (sitokin dan mediator lain) yang menginduksi dan mengatur respons radang selanjutnya. Mediator radang juga diproduksi dari protein plasma yang bereaksi dengan mikroba atau terhadap jaringan yang cedera. Beberapa mediator akan menyebabkan aliran plasma dan pengumpulan leukosit yang beredar menuju tempat di mana agen yang mengganggu berada. Leukosit akan diaktifkan dan akan menghilangkan agen yang mengganggu melalui fagositosis. Efek samping yang merugikan akibat pengaktifan leukosit adalah kerusakan pada jaringan normal. Tabel 2-1 Gambaran Radang Akut dan Radang Kronik



Gambaran



Akut



Kronik



Saat timbul



Cepat: hitungan menit atau jam



Lambat: berhari-hari



Infiltrat seluler



Terutama neutrofil



Monosit/makrofag dan limfosit



Jejas jaringan, fibrosis



Biasanya ringan dan terbatas Mencolok



Sering berat dan progresif



Gejala lokal dan sistemik



Kurang mencolok, bisa tidak dirasakan



Manifestasi eksternal dari radang, seringkali disebut tanda kardinal, adalah panas (kalor), warna kemerahan (rubor), bengkak (tumor), nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi (functio laesa). Empat tanda pertama sudah diterangkan 2000 tahun yang lalu oleh seorang ahli ensiklopedia bernama Celsus, yang menuliskannya dalam buku teks tersohor saat itu De Medicina, dan tanda ke-5 ditambahkan pada akhir abad ke ke-19 oleh Rudolf Virchow, dikenal sebagai "bapak patologi modern". Manifestasi tersebut terjadi sebagai akibat perubahan vaskular dan pengumpulan dan pengaktifan leukosit, yang akan menjadi jelas pada pembahasan berikut. Radang secara normal terkendali dan membatasi diri. Mediator dan sel akan teraktifkan hanya terhadap respons yang merugikan dan berumur singkat, dan akan terjadi degradasi atau menjadi inaktif apabila agen penyebab jejas tereliminasi. Sebagai tambahan, berbagai mekanisme anti-radang menjadi aktif. Apabila agen yang merugikan tidak dapat segera dihilangkan, akan terjadi radang kronik, yang dapat menimbulkan berbagai akibat patologis gawat.



Radang Akut



RINGKASAN Gambaran Umum Suatu Radang •



• •







Radang merupakan respons pertahanan tubuh terhadap benda asing dan jaringan nekrotik, tetapi radang itu sendiri bisa mengakibatkan kerusakan jaringan. Komponen utama radang adalah reaksi vaskular dan respons sel, keduanya diaktifkan oleh mediator yang berasal dari protein plasma dan berbagai sel. Respons radang dapat diingat sebagai 5 langkah: (I) pengenalan agen merugikan, (2) pengumpulan leukosit, (3) pembuangan agen penyebab, (4) regulasi (kontrol) respons, dan (5) resolusi (pemulihan jaringan). Hasil radang akut ialah eliminasi stimulus yang merugikan, diikuti penurunan reaksi dan pemulihan jaringan nekrotik, atau jejas menetap yang mengakibatkan radang kronik.



NORMAL Matriks ekstraseluler



Residen sementara limsofit atau makrofag



Arteriol



MERANDANG Dilatasi arteriol



31



Venula



1 Peningkatkan aliran darah Ekspansi daerah kapiler



Dilasi venula



RADANG AKUT Respons radang akut ialah terkumpulnya leukosit dan protein plasma di tempat jejas. Sampai di tempat tersebut, leukosit akan memusnahkan agen penyebab dan memulai proses pencernaan dan pembersihan jaringan nekrotik. Radang akut mempunyai dua komponen utama (Gambar 2-2): • Perubahan vaskular: perubahan pada rongga kaliber pembuluh yang mengakibatkan pertambahan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan pada dinding pembuluh yang memungkinkan protein plasma keluar dari pembuluh darah (peningkatan permeabilitas vaskular). Juga terjadi pengaktifan sel endotel, yang menyebabkan perlekatan leukosit meningkat dan migrasi leukosit melalui dinding pembuluh. • Akibat pada sel: terjadi emigrasi leukosit keluar dari dan sirkulasi akumulasi di tempat cedera (pengumpulan sel), diikuti oleh pengaktifan leukosit, untuk mengeliminasi agen yang merugikan. Leukosit utama pada radang akut ialah neutrofil (leukosit polimorfonukleus).



Stimulus Radang Akut Reaksi radang akut dapat dipicu oleh berbagai stimulus: • Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan penyebab radang tersering dan terpenting dalam klinis. • Trauma (tumpul atau tajam) dan berbagai agen fisis dan kimia (misalnya jejas termal, seperti luka bakar atau luka pembekuan; radiasi; toksisitas akibat pengaruh kimia lingkungan) akan mencederai sel tubuh dan memicu reaksi radang. • Nekrosis jaringan (akibat semua sebab), termasuk iskemia (seperti pada infark miokardium) dan jejas fisis dan kimia. • Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan, deposit kristal).



3



Emigrasi neutrofil



2



Bocornya protein plasma edema



Gambar 2-2 Reaksi vaskular dan seluler radang akut. Manifestasi lokal utama pada radang akut dibanding keadaan normal, adalah: (I) dilatasi vaskular dan peningkatan aliran darah (mengakibatkan eritema dan panas), (2) ekstravasasi cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi dan akumulasi leukosit (terutama neutrofil).



• Reaksi imun (juga disebut reaksi hipersensitif) terhadap substansi lingkungan atau terhadap jaringan "sendiri". Karena stimulus untuk respons radang ini tidak dapat dieliminasi atau dicegah, maka reaksi itu cenderung menetap, dengan gambaran reaksi radang kronik. Istilah "penyakit radang akibat reaksi imun" dipergunakan untuk kelompok kelainan ini. Walaupun setiap stimulus menginduksi reaksi dengan gambaran tertentu, namun pada umumnya semua reaksi radang memberikan gambaran dasar yang sama. Pada bagian ini, akan dibahas bagaimana stimulus radang dikenal oleh tubuh, kemudian reaksi khas pada radang akut dan gambaran morfologinya, dan terakhir mediator kimia yang berperan pada reaksi tersebut.



32



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Pengenalan Mikroba, Sel Nekrotik, dan Benda Asing Pertanyaan dasar berkaitan dengan aktivasi respons tubuh ialah bagaimana sel itu mengenali agen yang dapat merugikan seperti mikroba di dalam jaringan. Diperkirakan bahwa mikroba dan sel mati mengeluarkan "sinyal bahaya" yang membedakan mereka dari jaringan normal dan terjadi mobilisasi respons tubuh. Sekarang diketahui bahwa fagosit, sel dendrit (sel pada jaringan ikat dan organ yang menangkap mikroba dan memulai respons terhadapnya), dan banyak sel lain, seperti sel epitel, mengekspresikan reseptor yang dibentuk untuk mampu merasakan keberadaan patogen infektif dan substansi yang dikeluarkan oleh sel mati. Reseptor tersebut disebut "reseptor pengenalan struktur" sebab reseptor itu mengenal struktur (misalnya struktur molekul) yang umumnya dijumpai pada banyak mikroba atau sel mati. Dua kelompok reseptor ini yang terpenting ialah: • Toll-like receptor (TLR) merupakan sensor mikroba disebut kelompok Toll, dijumpai pada Drosophila. Ada sepuluh TLR mamalia, yang mengenal produk bakteria (misalnya endotoksin dan DNA bakteri), virus (misal RNA rantai ganda),



A



dan patogen lainnya (Gambar 2-3, A). TLR terletak di membran plasma dan endosom, sehingga dapat mendeteksi mikroba ekstrasel dan yang telah dicerna. Mereka dibantu oleh molekul sitoplasma dan molekul membran dari beberapa kelompok lain, yang mampu mengenali produk mikroba. TLR dan reseptor lain mengenali produk dari berbagai jenis mikroba sehingga membentuk pertahanan terhadap semua jenis patogen infeksius. Pengenalan mikroba oleh reseptor ini mengaktifkan faktor transkripsi yang memicu produksi sejumlah protein yang disekresi dan protein membran. Termasuk protein tersebut ialah mediator radang, sitokin antivirus (interferon) dan protein yang memicu aktivitas limfosit dan respons imun yang lebih poten. Kami akan membahas TLR di Bab 4, ketika kami membahas imunitas bawaan sejak lahir, yang merupakan mekanisme pertahanan dini. • Inflammasome merupakan komplek multi-protein sitoplasma yang mengenali produk sel mati, seperti asam urat dan ATP ekstrasel, juga kristal dan beberapa produk mikroba. Terpicunya inflammasome akan mengakibatkan enzim kaspase-1, yang akan memecah bentuk prekursor sitokin radang interleukin-1β (IL-1β) menjadi bentuk biologis aktif (Gambar 2-3, B). Seperti yang akan dibahas kemudian, IL-1 merupakan mediator penting untuk pengumpulan leukosit pada respons radang akut, dan leukosit akan melakukan fagositosis dan menghancurkan sel mati.



B



EKSTRASELULAR



Bakteri patogen ATP ekstrasel



Polisakarida jamur



Lipid dinding sel bakteri



TLR



Membran plasma



Lektin



Inflammasome NLRP3 SITOSOLIK



Kasapase-1 (inaktif)



ENDOSOMAL



Lipid dinding Sek bakteri



DNA, RNA mikroba



Inti



Masuknya



K+ROS



Kristal endogen (MSU, CCP kolesterol) Kristal eksogen (Alum, asbestos)



Kaspase-1 (aktif)



TLR Viral RNA



gene Pro-IL1β



Sitokin (misal TNF) Ekspresi meningkatkan molekul adhesi



Pro-IL1β



IL1β



IL 1B yang dikeluarkan INFLAMASI AKUT



Gambar 2-3 Sensor mikroba dan sel mati: Fagosit sel dendrit, dan berbagai jenis sel epitel mengekspresi berbagai jenis reseptor yang mengenal keberadaan mikroba dan sel mati. A, Reseptor mirip Toll (TLRs) berada di membran plasma dan endosom dan reseptor sitoplasma dan membran plasma lain (kelompok di luar TLR) mengenali produk dari berbagai kelompok mikroba. Protein yang dihasilkan karena aktivasi mempunyai beberapa fungsi; hanya perannya pada radang diperlihatkan. B, inflammasome merupakan kompleks protein yang mengenali produk sel yang mati dan beberapa mikroba dan menginduksi sekresi interleukin-1 biologis aktif (IL-1). Inflammasome terdiri atas protein sensor (suatu leusin kaya protein disebut NLRP3), sebuah adaptor dan enzim kaspase- I, yang diubah dari bentuk inaktif menjadi bentuk aktif. (Perhatikan bahwa inflammasome berbeda dengan fagolisosom, yang dijumpai di sitoplasma tetapi merupakan vesikel yang berfungsi berbeda pada radang, akan dibahas kemudian di bab ini). CPP, kalsium pirofosfat; MSU, monosodium urat.



Radang Akut Penyakit sendi gout disebabkan oleh pengendapan kristal urat, yang akan dicerna oleh fagosit dan mengaktifkan inflammasome, sehingga terbentuk produk IL-1 dan radang akut. Antagonis IL-1 merupakan terapi efektif pada kasus gout yang resisten terhadap pengobatan dengan anti radang konvensional. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kristal kolesterol dan asam lemak bebas juga mengaktifkan inflammasome, sehingga diperkirakan bahwa IL-1 memainkan peran penting pada beberapa penyakit yang sering ditemukan misalnya aterosklerosis (dihubungkan dengan pengendapan kristal kolesterol pada dinding pembuluh darah) dan diabetes tipe 2. Penemuan ini memberi harapan untuk pengobatan penyakit-penyakit ini dengan cara menghentikan IL-1. Fungsi sensor ini akan dibahas pada bab ini. Kami mulai dengan pembahasan reaksi utama pada radang akut.



Perubahan Vaskular Reaksi vaskular utama pada radang akut ialah peningkatan aliran darah yang terjadi sekunder akibat dilatasi pembuluh dan peningkatan permeabilitas vaskular, kedua hal dirancang untuk membawa sel darah dan protein menuju tempat infeksi atau tempat jejas. Pada tahap awal, stimulus yang merugikan seperti mikroba dihadapi oleh makrofag dan sel lain di jaringan ikat, kemudian akan diikuti reaksi vaskular yang dipicu oleh interaksi ini dan akan mendominasi respons fase awal.



A.



B.



Perubahan Rongga Vaskular dan Aliran Darah Perubahan pada pembuluh terjadi segera setelah infeksi atau jejas namun kecepatan terjadinya berbeda, tergantung pada jenis dan beratnya stimulus awal peradangan. • Setelah vasokonstriksi sebentar (berlangsung hanya beberapa detik) terjadi vasodilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah setempat sehingga pada bagian ujung daerah kapiler penuh berisi darah (Gambar 2-2). Ekspansi vaskular ini akan memberi warna merah (eritema) dan rasa panas merupakan tanda khas radang akut, dan disebutkan sebagai dua tanda kardinal (utama) pada radang akut • Pembuluh darah kecil menjadi lebih permeabel, dan cairan kaya protein akan mengalir keluar ke jaringan ekstravaskular. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi sel darah merah di darah yang mengalir, sehingga meningkatkan viskositas darah dan memperlambat aliran darah. Kelainan ini tampak secara mikroskopik tampak banyak pembuluh darah kecil yang melebar dan berisi penuh dengan sel darah merah, dan disebut stasis • Setelah timbulnya stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai berkelompok pada permukaan vaskular endotel pembuluh darah suatu proses yang disebut marginasi. Hal ini merupakan langkah awal leukosit keluar ke jaringan intestisium melalui dinding pembuluh darah (dibicarakan kemudian).



Peningkatan Permeabilitas Vaskular



Meningkatnya permeabilitas vaskular akan mengakibatkan aliran cairan kaya protein dan juga sel darah ke jaringan ekstravaskular (Gambar 2-4). Hal ini akan mengakibatkan tekanan osmotik cairan interstisium meningkat, dan



Tekanan hidrostatik



Tekanan osmotik koloid



NORMAL



Peningkatan tekanan hidrotatik ( obstruksi aliran vena [misal gagal jantung kongestif]) TRANSUDAT (kadar protein rendah, sel sedikit)



Protein plasma



Fluid leakage



Penurunan tekanan osmotik koloid (penurunan sintesa protein [misal penyakit hati]; peningkatkan kehilangan protein [misal penyakit ginjal])



Kebocoran cairan dan protein (kadar protein tinggi,dapat mengandung sel darah putih dan sel darah merah)



Vasodilatasi dan statis



Pelebaran celah antar endotel



Radang



C. EXUDATE



33



Gambar 2-4 Pembentukan transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) adalah sekitar 32 mm Hg pada ujung arteri di daerah kapiler dan 12 mm Hg pada ujung vena; tekanan osmotik koloid jaringan sekitar 25 mm Hg (panah hijau), yang hampir sesuai dengan rata-rata tekanan kapiler Sehingga aliran cairan yang melintas daerah vaskular hampir nol. B, Transudat dibentuk apabila cairan bocor keluar karena tekanan hidrostatik yang meningkat atau tekanan osmotik menurun. C, Eksudat dibentuk pada radang karena meningkatnya permeabilitas vaskular sebagai akibat pelebaran celah inter endotel.



34



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



menyebabkan lebih banyak air keluar dari darah ke dalam jaringan. Hasil penimbunan cairan kaya protein ini disebut eksudat. Eksudat dibedakan dari transudat, yang merupakan penimbunan cairan yang disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik, biasanya terjadi karena menurunnya aliran balik vena. Transudat biasanya mengandungi kadar protein yang rendah dan sedikit atau tidak dijumpai sel darah. Akumulasi cairan ekstravaskular baik eksudat maupun transudat akan mengakibatkan edema jaringan. Apabila eksudat adalah tanda khas radang, transudat akan diakumulasi pada berbagai keadaan bukan radang, disebut pada Gambar 2-4 dan dibahas lebih rinci di Bab 3. Beberapa mekanisme berperan pada peningkatan permeabilitas vaskular pada reaksi radang akut: • Kontraksi sel endotel yang menyebabkan terbentuknya celah antar sel pada venula postkapiler merupakan sebab tersering peningkatan permeabilitas vaskular. Kontraksi sel endotel terjadi segera setelah pengikatan dengan histamin, bradikinin, leukotrin, dan banyak mediator lain untuk reseptor spesifik, dan biasanya terjadi hanya sebentar (15 sampai 30 menit). Retraksi sel endotel yang berlangsung lebih lambat dan lebih lama akibat perubahan sitoskeleton, dipicu oleh sitokin misalnya faktor nekrosis tumor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Dibutuhkan waktu 4 sampai 6 jam untuk menimbulkan reaksi ini setelah adanya pemicu awal dan hal ini dapat berlangsung selama 24 jam atau lebih • Jejas endotel mengakibatkan kebocoran vaskular dengan nekrosis dan lepasnya sel endotel. Sel endotel akan rusak setelah cedera berat, misalnya luka bakar dan beberapa infeksi. Umumnya, kebocoran terjadi segera setelah cedera dan berlangsung beberapa jam (atau hari) hingga terjadi trombosis pada pembuluh yang rusak tersebut atau terjadi pemulihan. Hal ini dapat terjadi pada semua venula, kapiler, dan arteriol, tergantung pada letak jejas. Jejas langsung pada sel endotel dapat pula mengakibatkan kebocoran yang tertunda, yang baru terjadi 2 sampai 12 jam kemudian, dan berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari, dan melibatkan venula dan kapiler. Contoh ialah jejas panas ringan hingga sedang, beberapa toksin bakteri, dan radiasi x- atau ultraviolet (misalnya luka bakar matahari yang menggangu saat malam setelah siangnya berjemur di matahari). Sel endotel juga akan rusak sebagai akibat akumulasi leukosit sepanjang dinding pembuluh. Leukosit yang teraktifkan akan mengeluarkan mediator toksin, dibahas kemudian, yang dapat mengakibatkan jejas atau lepasnya endotel. • Peningkatan transit protein melalui jalur vesikular intrasel akan menambah permeabilitas vena, terutama setelah berhadapan dengan beberapa mediator misalnya faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Transit terjadi melalui jalur yang terbentuk karena fusi vesikel intrasel. • Kebocoran pembuluh darah baru. Sesuai pembahasan lanjut, pemulihan jaringan melibatkan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis). Pembuluh darah yang baru terjadi tetap mengalami kebocoran, sebelum proliferasi sel endotel cukup matang sehingga terbentuk batas antar sel. Sel endotel baru juga mempunyai ekspresi reseptor tambahan untuk mediator vasoaktif, dan beberapa faktor tersebut akan memicu angiogenesis (misalnya VEGF) yang langsung mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular Walaupun mekanisme permeabilitas vaskular terpisah, semua berpartisipasi pada respons stimulus tertentu.



Contoh, pada luka bakar, kebocoran terjadi karena kontraksi endotel akibat zat kimia, juga akibat jejas langsung dan kerusakan endotel yang dimediasi leukosit



Respons Pembuluh Limfe Di samping pembuluh darah, pembuluh limfe juga ikut serta pada respons radang. Pada radang, aliran limfe akan membantu pengeluaran cairan edema, leukosit, dan sisa sel dari rongga ekstravaskular. Pada reaksi radang yang berat, terutama karena mikroba, limfe akan mengalirkan agen yang merugikan, sehingga terjadi penyebaran. Kemudian dapat terjadi radang pada pembuluh limfe (limfangitis), dan juga pada kelenjar getah bening tempat penampungan aliran limfe (limfadenitis). Kelenjar getah bening yang meradang sering membesar karena hiperplasia folikel limfoid dan bertambahnya limfosit serta sel fagosit yang melapisi sinus kelenjar getah bening. Bentuk kelainan patologis ini disebut limfadenitis reaktif atau limfadenitis inflamasi (Bab 11). Untuk klinikus adanya garis merah dekat luka kulit adalah tanda adanya infeksi pada luka. Garis merah yang mengikuti aliran limfe dan merupakan tanda diagnostik dari limfangitis; dapat disertai pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening yang menampung cairan limfe, petanda adanya limfadenitis.



RINGKASAN Reaksi Vaskular pada Radang Akut •



Vasodilatasi dipicu mediator kimia seperti histamin (dibahas kemudian) merupakan penyebab eritema dan berhentinya aliran darah.







Permeabilitas vaskular yang meningkat dipicu oleh histamin, kinin, dan mediator lain akan mengakibatkan terbentuknya celah di antara sel endotel; melalui jejas langsung atau jejas endotel akibat leukosit; dan terjadi peningkatan aliran cairan melalui endotel. Permeabilitas yang meningkat ini akan memungkinkan protein plasma dan leukosit memasuki daerah infeksi atau jaringan yang rusak; cairan yang bocor dari pembuluh darah ini akan mengakibatkan edema.



Kejadian Seluler: Pengumpulan dan Pengaktifan Leukosit Sebagai yang dijelaskan sebelumnya, fungsi penting pada respons radang adalah pengaliran leukosit ke tempat cedera dan mengaktifkan leukosit tersebut. Leukosit akan mencerna agen yang merugikan, membunuh bakteri dan mikroba lain, menghilangkan jaringan nekrotik dan benda asing. Namun, setelah potensi pertahanan leukosit ini diaktifkan, hal ini dapat juga menginduksi kerusakan jaringan dan memperpanjang waktu peradangan, karena produk leukosit yang menghancurkan bakteri juga dapat merusak jaringan tubuh normal. Karena itu, mekanisme pertahanan tubuh termasuk upaya pengecekan untuk memastikan bahwa leukosit hanya dikumpulkan dan diaktifkan pada saat dan tempat yang dibutuhkan (yaitu untuk menghadapi agen asing dan jaringan yang mati). Pengaktifan leukosit secara sistemik dapat menyebabkan situasi yang merugikan, misalnya syok septik (Bab 3).



Radang Akut



35



Pengumpulan Leukosit Leukosit biasanya akan mengalir lancar di darah, dan pada radang, leukosit perlu dihentikan dan dibawa ke agen perusak atau tempat kerusakan jaringan, yang biasanya terletak di luar pembuluh. Urutan kejadian pengumpulan leukosit dari rongga vaskular menuju rongga ekstravaskular terdiri atas: (1) marginasi dan berguling-guling sepanjang dinding pembuluh; (2) adhesi kuat pada endotel; (3) keluar di antara sel-sel endotel; dan (4) migrasi di jaringan interstisium menuju stimulus kemotaksis (Gambar 2-5). Berguling, adhesi, dan keluar diawali interaksi molekul adhesi pada permukaan leukosit dan permukaan endotel (lihat selanjutnya). Mediator kimia atraktor kimia dan beberapa sitokin memberikan pengaruh pada proses ini dengan modulasi ekspresi permukaan dan mengikat afinitas molekul adhesi dan menstimulasi arah gerak leukosit Marginasi dan Berguling. Saat darah mengalir dari kapiler menuju vena, sel yang mengalir akan terdorong ke arah dinding pembuluh. Karena sel darah merah lebih kecil maka akan bergerak lebih cepat daripada sel darah putih yang lebih besar, maka leukosit akan terdorong keluar aliran sentral sehingga kesempatan untuk interaksi dengan sel endotel yang melapisi dinding meningkat, khususnya ketika mulai terjadi stasis. Proses leukosit yang berkumpul di tepi pembuluh darah disebut marginasi. Sel endotel yang diaktifkan oleh sitokin dan mediator lain yang terbentuk setempat, akan mengekspresikan molekul adhesi sehingga leukosit akan melekat dengan daya lemah. Sel ini akan dengan mudah melekat dan melepas sehingga mulai bergulir pada permukaan endotel, suatu proses yang disebut berguling.



Adhesi. Leukosit yang sedang berguling akan mampu mengetahui perubahan endotel yang akan memulai langkah selanjutnya pada reaksi leukosit, berupa adhesi kuat pada permukaan endotel. Adhesi ini dipicu oleh integrin yang terekspresi pada permukaan sel leukosit yang saling berhubungan dengan ligan pada sel endotel (Gambar 2-5 dan Tabel 2-2). Integrin merupakan



pengaktifan integrin oleh kemokin



Berguling Leuksit



Interaksi yang lemah dan singkat pada proses berguling di mediasi oleh molekul adhesi kelompok selektin (Tabel 2-2). Selektin merupakan reseptor yang diekspresikan pada leukosit dan endotel yang mengandungi unsur ekstrasel yang mengikat gula (asal nama lektin). Tiga jenis kelompok ini ialah E-selektin (juga disebut CD62E), diekspresi di sel endotel; P-selektin (CD62P), dijumpai di trombosit dan endotel; dan L-selektin (CD62L), pada permukaan sebagian besar leukosit. Selektin akan mengikat oligosakarida yang mengalami sialylasi (misalnya sialyl-Lewis X pada leukosit) yang menempel pada glycoprotein mirip mucin di berbagai sel. Ekspresi selektin dari endotel biasanya terjadi pada tingkat rendah atau kadang-kadang tidak dijumpai sama sekali pada endotel yang tidak teraktifkan, dan akan meningkat setelah rangsangan sitokin dan mediator lain, sehingga ikatan leukosit terbatas hanya pada endotel di tempat cedera (tempat mediator dihasilkan). Misalnya pada sel endotel yang tidak teraktifkan, P-selektin dijumpai pada benda Weibel-Palade intrasel; namun beberapa menit setelah perkenalan dengan mediator seperti histamin atau trombin, P-selektin didistribusikan pada pemukaan sel, dan akan mempermudah pengikatan leukosit. Juga, E-selectin dan ligan untuk L-selektin, yang biasanya tidak terekspresi pada endotel normal juga terbentuk setelah stimulasi oleh sitokin IL-1 dan TNF.



Adhesi stabil



Migrasi melalui endotel



Glikoprotein yang telah di modifikasi Intergin (status afinitas rendah) Intergin (status afinitas tinggi) PECAM-1 (CD31)



P-selektin E-selektin



Sitokin (TNF,IL-1) Makrofag dengan mikroba



Proteogilkan



Ligan intergin (ICAM-1) Kemokin



Mikroba



Fibrin dan fibrokonektin (matiks ekstraseluler)



Gambar 2-5 Mekanisme migrasi leukosit melalui pembuluh darah. Leukosit (di sini dipertunjukkan neutrofil) mula-mula berguling, kemudian teraktifkan dan melekat pada endotel, lalu bertransmigrasi meliwati endotel, menembus membran basalis, migrasi menuju kemoatraktan yang dikeluarkan sumber jejas. Berbagai molekul berperan pada berbagai langkah proses ini: selektin untuk berguling; kemokin (biasanya terikat dengan proteoglikan) dalam mengaktifkan neutrofil untuk meningkatkan aviditas dengan integrin; integrin dalam adhesi kuat; dan CD31 (PECAM-I) dalam transmigrasi. ICAM- 1 , molekul adhesi interseluler-1; IL- I, interleukin-1; PECAM-I, molekul adhesi sel endotel trombosit- I ;TNF, faktor nekrosis tumor.



36



BAB 2



Radang dan Pemulihan jaringan



Tabel 2-2 Molekul Endotel dan Molekul Adhesi Leukosit



Molekul Endotel



Molekul Leusit



Peran Utama



P-selektin



Protein modifikasi Sialyl-Lewis X



Berguling



E-selectin



Protein modifikasi Sialyl-lewis X



Berguling dan adhesi



GlyCam-1, CD34



L-selektin*



Berguling (neutrofil,monosit)



ICAM-I (kelompok immunoglobulin)



Integrin CDII/CD I8 i (LFA-I, Mac-I)



Adhesi erat,berhenti,transmigrasi



VCAM-I (kelompok immunoglobulin)



Integrin VLA-4



Adhesi



CD31 (interaksi homotipik)



Transmigrasi leukosit melalui endotel



Selektin dan Ligan Selektin



Integrin dan Ligan integrin



Lainnya CD31



* ICAM- I, intercellular adhesion molecule- I; LFA- 1, leukocyte function—associated antigen-1; Mac-1, macrophoge-I antigen; VCAM- I, vascular cell adhesion molecule- I; VLA-4, very late antigen-4. *L-selektin juga terlibat pada pengikatan limfosit yang beredar dengan endotel vena di kelenjar getah bening dan mukosa jaringan limfoid, dan kembalinya limfosit ke jaringan tersebut



glikoprotein heterodimer transmembran yang memicu adhesi leukosit dengan endotel serta perlekatan beberapa sel pada matrik ekstrasel. Umumnya integrin terekspresi pada membran plasma leukosit dalam keadaan lemah dan tidak terjadi perlekatan pada ligan spesifik hingga leukosit diak-tifkan oleh kemokin. Kemokin adalah sitokin kemoatraktan yang dihasilkan oleh berbagai sel di tempat peradangan dan akan tampak pada permukaan endotel (sitokin akan dibicarakan kemudian pada bab ini). Apabila leukosit yang menempel berhadapan dengan kemokin maka sel teraktifkan dan integrin mengalami perubahaan serupa dan berkelompok, sehingga berubah ke bentuk afinitas tinggi. Pada saat sama sitokin lain yaitu TNF dan IL-1 (juga dihasilkan pada tempat infeksi dan cidera) akan mengaktifkan sel endotel untuk meningkatkan ekspresi ligan terhadap integrin. Ligan ini termasuk molekul adhesi-1 intersel (ICAM-1) yang akan mengikat pada antigen-1 yang berhubungan dengan fungsi leukosit integrin (LFA-1), juga disebut (CD11a/CD18) dan antigen makrofag-1 (Mac-1) (yaitu CD11b/CD18), dan molekul adhesi sel vaskular (VCAM-1), yang akan terikat pada integrin 'very late antigen-4' (VLA-4) (Tabel 2-2). Ikatan integrin melalui ligan akan memberikan sinyal pada leukosit sehingga mengakibatkan perubahan sitoskeletal yang akan memulai perlekatan kuat pada substrat. Hasil akhir dari peningkatan afinitas integrin akibat stimulasi sitokin dan peningkatan ekspresi ligan integrin adalah perlekatan erat leukosit dengan sel endotel pada daerah radang.



Transmigrasi. Setelah terhenti pada permukaan endotel, leukosit bermigrasi melalui dinding pembuluh darah, terutama dengan menyusup di antara sel endotel. Ekstravasasi leukosit, disebut diapedesis terutama terjadi di vena pada sistem vaskular; juga tampak pada kapiler di sirkulasi darah paru. Migrasi leukosit dipicu oleh kemokin yang dihasilkan oleh jaringan ekstravaskular, yang akan merangsang gerakan leukosit menuju gradien kimia. Di samping itu molekul adhesi-1 sel trombosit endotel (PECAM-1) (juga disebut CD31), suatu molekul adhesi sel yang terekspresi pada leukosit dan sel endotel, akan memulai kegiatan pengikatan agar leukosit melalui endotel. Setelah keluar dari endotel, leukosit akan menghasilkan



kolagenase yang memungkinkan sel leukosit tersebut keluar melalui membran basalis pembuluh darah itu. Kemotaksis. Setelah keluar dari darah, leukosit akan bergerak menuju tempat infeksi atau cedera melalui gradien kimia dengan suatu proses yang disebut kemotaksis. Kedua substansi eksogen dan endogen mempunyai sifat kemotaksis bagi leukosit, sebagai berikut: • Produk bakteri, terutama peptida dengan N-formyl methionine termini • Sitokin terutama dari kelompok kemokin • Komponen dari sistem komplemen, terutama C5 • Produk metabolisme jalur lipogenase asam arahidonat (AA), terutama leukotriene 134 (LTB4) Semua mediator ini, yang akan dibahas lebih lanjut, dibentuk sebagai akibat respons terhadap infeksi dan kerusakan jaringan yang terjadi selama reaksi imunologi. Infiltrasi leukosit pada seluruh kejadian ini terjadi karena kombinasi berbagai mediator. Molekul kemotaksis akan terikat pada reseptor sel permukaan reseptor tertentu, yang akan memicu kegiatan elemen kontraktil sitoskeletal yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak dengan memperpanjang pseudopods yang melekat pada ECM dan kemudian menarik sel menuju arah keluar. Arah gerakan tersebut ditentukan oleh densitas yang lebih tinggi dari reseptor kemokin yang terletak di tepi sel. Dengan demikian, leukosit bergerak ke tempat di mana leukosit tersebut dibutuhkan. Jenis leukosit yang bermigrasi tergantung pada lamanya respons radang dan jenis stimulus. Pada kebanyakan radang akut, terutama dijumpai neutrofil pada infiltrat radang pada 6 sampai 24 jam pertama dan akan diganti oleh monosit dalam waktu 24 sampai 48 jam (Gambar 2-6). Berbagai faktor berperan atas timbulnya neutrofil yang banyak. Sel ini merupakan leukosit yang terbanyak di darah, mereka akan merespons cepat terhadap kemokin dan mereka akan menempel dengan lebih erat pada molekul adhesi yang dibentuk dengan cepat pada sel endotel, misalnya P- dan E-selektin. Sebagai tambahan, setelah memasuki jaringan, neutrofil berusia pendek



Radang Akut



37



ACTIVITY



Monocytes/ Edema Neutrophils macrophages



A



B



C



1



DAYS



2



3



Gambar 2-6 Gambaran infiltrat leukosit pada reaksi radang. Foto mikroskopik menunjukkan reaksi radang di miokardium setelah nekrosis iskemik (infark). A, Infiltasi awal (neutrofil) dan pembuluh darah yang kongesti. B, Kemudian infiltrasi sel (mononukleus). C, Perkiraan kinetik edema dan infiltrasi sel. Untuk kemudahan, edema digambarkan sebagai respons transien akut, walaupun dapat terjadi susulan edema dan infiltrasi neutrofil



leukosit ini akan mati melalui apoptosis dan menghilang dalam jangka waktu 24 hingga 48 jam sedangkan monosit tahan hidup lebih lama. Namun demikian, ada perkecualian pada pola infiltrasi sel ini. Pada infeksi tertentu (misalnya yang disebabkan organisme pseudomonas), infiltrat sel didominasi oleh neutrofil yang dikumpulkan terus menerus selama beberapa hari pada



RINGKASAN Pengumpulan Leukosit pada Daerah Radang • Leukosit akan dikumpulkan dari darah menuju jaringan ekstravaskular di tempat terjadinya infeksi patogen atau jaringan yang rusak dan diaktifkan untuk melakukan fungsinya. • Pengumpulan leukosit merupakan proses bertahap terdiri atas perlekatan longgar dan penggulingan di endotel (dipicu oleh selektin); perlekatan erat pada endotel (dipicu oleh integrin); dan migrasi melalui rongga antar endotel. • Berbagai sitokin mengekspresikan selektin dan ligan integrin pada endotel (TNF, IL-1), meningkatkan daya tarik integrin kepada ligan-nya (kemokin) dan mengatur arah migrasi leukosit (juga kemokin); berbagai jenis sitokin diproduksi oleh makrofag jaringan dan sel lain yang merespons zat patogen atau jaringan rusak. • Neutrofil mendominasi infiltrat radang awal dan kemudian akan diganti oleh makrofag



Pengaktifan Leukosit Setelah leukosit dikumpulkan pada tempat infeksi atau nekrosis jaringan, leukosit tersebut harus diaktifkan agar melaksanakan fungsinya. Stimulus untuk pengaktifan termasuk mikroba, produk sel nekrotik, dan beberapa mediator yang akan dibicarakan kemudian.



Seperti dibahas sebelumnya, leukosit menggunakan berbagai reseptor untuk mendeteksi keberadaan mikroba, sel mati dan jaringan asing. Pemakaian reseptor tersebut akan menimbulkan berbagai respons pada leukosit yang merupakan bagian dari fungsi defensif normal dan dikelompokkan dengan istilah pengaktifan leukosit (Gambar 2-7). Pengaktifan leukosit menghasilkan peningkatan fungsi berikut: • Fagositosis partikel • Destruksi intrasel mikroba dan jaringan mati yang telah di fagosit oleh substansi yang dihasilkan oleh fagosom, termasuk oksigen reaktif dan spesies nitrogen serta enzim lisosom. • Pelepasan substansi yang memusnahkan mikroba dan jaringan mati ekstrasel, umumnya sama dengan substansi yang diproduksi di dalam vesikel fagosit. Menurut mekanisme yang baru diketahui, neutrofil memusnahkan mikroba ekstrasel dengan pembentukan "jebakan" ekstrasel • Produksi mediator, termasuk metabolit asam arakidonat dan sitokine, yang akan memperbesar reaksi radang melalui peningkatan pengumpulan dan pengaktifan leukosit baru. Fagositosis. Fagositosis terdiri dari tiga langkah (Gambar 2-8): (1) pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang akan mencerna; (2) penyelubungan (" engulfment"), dan terbentuknya vakuol fagosit; dan (3) pemusnahan dan degradasi materi yang dicerna. Leukosit mengikat dan mencerna mikroorganisme dan sel mati melalui reseptor spesifik permukaan. Sebagian dari reseptor ini mengenali komponen mikroba dan sel mati dan reseptor lain mengenali protein tubuh, disebut opsonin, yang melapisi mikroba untuk menjadi sasaran fagositosis (proses yang disebut opsonisasi). Opsonin terpenting adalah antibodi dari kelompok immunoglobulin G (IgG) yang akan mengikat antigen permukaan mikroba, produk pemecahan komponen protein C3 (dibicarakan kemudian), dan lektin pengikat karbohidrat plasma disebut kolektin, yang mengikat kelompok gula pada dinding sel mikroba. Opsonin dijumpai di darah



38



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan Mikorba



Peptida N-fomylmenthionyl



Kemokin



Hasil fungsional



Perubahan sitoskeletal transduksi signal



Peningkatan aviditas intergin



Adhesi pada endotel



Reseptor mirip Toll



LPS



Reseptor ikatan protein-G



Pengenalan mikroba, mediator



Respons sel



Mediator lipid



CD14



Reseptor sitokin



Produksi mediator (misal metabolit asam arakidonat.sitokin)



Kemoktasis



Migrasi ke jaringan



Sitokin (misal IFN-y)



Produksi spesies oksigen reaktif (ROS); enzim lisosom



Reseptor fagosit



Fagositosis mikroba ke dalam fagosom



Aktivitas mikrobisidal leukosit



Amplikasi reaksi radang



Pemusnahan mikroba



Gambar 2-7 Aktivitas leukosit.Berbagai kelompok reseptor permukaan mengenal stimulus yang berbeda.Reseptor akan menginisiasi respons yang memulai fungsi leukosit.Hanya beberapa reseptor yang di gambarkan (lihat teks untuk perincian). Lipopolisakarida (LPS) mula-mula akan mengikat protein pengikat-LPS-protein yang beredar (tidak diperlihatkan) IFN-y,inferior-y.



siap untuk melapisi mikroba atau terbentuk akibat respons adanya mikroba. Leukosit mengeluarkan opsonin yang memfasilitasi fagositosis segera pada mikroba yang telah dilapisi. Termasuk reseptor ini ialah reseptor Fc untuk IgG (disebut FcyRI), komplemen reseptor 1 dan 3 (CR1 dan CR3) untuk fragmen komponen, dan C1q untuk kolektin. Ikatan partikel yang sudah diopsonisasi dengan reseptor akan memicu penyelubungan (engulfinent) dan menginduksi aktivitas sel yang mempercepat degradasi mikroba yang telah dicerna. Pada penyelubungan, pseudopodi akan memanjang melingkari objek, membentuk vakuol fagosit. Membran vakuol akan bersatu dengan membran granula lisosom, sehingga isi granula masuk ke dalam fagolisosom. Mematikan dan Degradasi Mikroba yang telah Difagositosis. Kulminasi kegiatan fagositosis mikroba ialah untuk mematikan dan mendegradasi partikel yang telah dicerna. Kunci kegiatan pada reaksi ini adalah produksi substansi mikrobisida dalam lisosom dan bersatunya lisosom dengan fagosom, sehingga partikel yang telah dicerna berhadapan dengan mekanisme destruktif leukosit (Gambar 2-8). Substansi mikrobisida terpenting ialah spesies oksigen reaktif (ROS) dan enzim lisosom. Produksi ROS meliputi beberapa langkah berikut : dan keterlibatan berbagai reseptor sel • Fagositosis akan merangsang gejolak oksidasi yang disebut gejolak respirasi (respiratory burst), ditandai dengan konsumsi oksigen yang meningkat dengan cepat, katabolisme glikogen (glikogenolisis), peningkatan oksidasi glukosa, dan produksi ROS. Timbulnya



metabolit oksigen terjadi karena pengaktifan cepat oksidase leukosit NADPH, disebut oksidase fagosit, yang mengoksidasi NADPH (reduced nicotinamide adenine dinucleotide phosphate) dan proses tersebut, mengubah oksigen menjadi ion superoksida (O ) (lihat Gambar 1-18, B, Bab 1) • Superoksida akan dikonversi melalui proses dismutasi spontan menjadi hidrogen peroksida (O + 2H+ → H202). ROS ini akan bertindak sebagai radikal bebas dan merusak mikroba melalui mekanisme yang telah dibahas pada Bab 1. • Jumlah H2O2 yang diproduksi tidak cukup mematikan seluruh bakteri (walaupun jumlah superoksida dan pembentukan radikal hidroksil cukup untuk itu). Namun, lisosom neutrofil (disebut granula azurofilik) mengandungi enzim mieloperoksidase (MPO), dan dengan adanya suatu halide misalnya Cl-, MPO mengubah H2O2 menjadi HOCl (hypochlorous radical). HOCl· merupakan oksidan kuat dan agen antimikroba (NaOCl merupakan zat aktif pada cairan pemutih klor) yang mematikan bakteri melalui halogenisasi, atau peroksidase protein dan lemak. Kebetulan, oksidase fagosit hanya aktif setelah subunit sitosolik bertranslokasi ke membran fagolisosom; sehingga hasil akhir produk reaktif hanya dikeluarkan terbatas dalam vesikel, dan fagosit sendiri tidak menjadi rusak. H2O2 dipecah menjadi air dan O2 oleh katalase, dan ROS lain mengalami degradasi (Bab 1). Spesies reaktif nitrogen, khususnya oksida nitrat (NO), bertindak sama seperti ROS.



Radang Akut 1. PENGENALAN DAN PERLEKATAN Mikroba mengikat reseptor fagosit



2. PENYELUBUNGAN Membaran fagosit melingkari mikroba



39



Mikroba dicerna dalam fagosom Fagosom dengan mikroba yang telah dicerna



Phagocytic receptor



Lisosom dengan enzim



Fusi fagosom dengan lisosom



iNOS Arginine NO ROS



Degradasi mikroba oleh enzim lisosom di dalam fagolisosom



O2



Phagocyte oxidase



Pemusnahan mikroba oleh ROS dan NO



Fagolisosom



3. PEMUSNAHAN DAN DEGRADASI



Gambar 2-8 Fagositosis. Fagositosis partikel (misal bakteri) melibatkan (I) perlekatan dan pengikatan partikel pada reseptor d permukaan leukosit, (2) penyelubungan dan fusi vakuol fagosit dengan granula (lisosom), dan (3) destruksi partikel yang dicerna. iNOS, inducible nitric oxide synthase; NO, nitric oxide; ROS, spesies oksigen reaktif.



Mikroorganisme yang mati akan mengalami degradasi melalui kerja hidrolase asam lisosom. Kemungkinan enzim lisosom terpenting yang mengakibatkan kematian bakteri ialah elastase. Harap diperhatikan, di samping ROS dan enzim, beberapa unsur granula leukosit lain mampu mematikan patogen infeksi. Termasuk protein yang bersifat meningkatkan permeabilitas terhadap bakterisida (menyebabkan pengaktifan fosfolipase dan degradasi membran fosfolipid), lisozim (mengakibatkan degradasi oligosakarida pembungkus bakteri), protein dasar utama (merupakan granul eosinofil penting yang bersifat sitotoksik terhadap bakteri), dan defensin (peptida yang mematikan mikroba melalui pembentukan lubang-lubang pada membran mikroba). Sekresi Substansi Mikrobisidal. Mekanisme mikrobisidal pada fagosit terutama penghancuran di fagolisosom agar leukosit tidak merusak diri sendiri. Leukosit juga secara aktif mensekresi komponen granula termasuk enzim seperti elastase, yang akan merusak dan mencema mikroba ekstrasel dan jaringan mati, demikian juga peptida antimikroba. Isi granula lisosom dikeluarkan oleh leukosit ke lingkungan ekstrasel melalui berbagai mekanisme: • Vakuol fagosit akan tetap terbuka keluar sebelum terjadi penutupan lengkap fagolisosom (regurgitasi). • Apabila sel menjumpai materi yang tidak dapat dicerna dengan mudah, misalnya kompleks imun yang dideposit dipermukaan yang tidak dapat bergerak (misalnya membran basalis glomerulus), maka upaya untuk memfagositose substansi ini (fagositosis yang gagal) akan memicu pengaktifan leukosit yang lebih keras, dan enzim lisosom akan dikeluarkan ke jaringan sekitar atau ke lumen.



• Membran fagolisosom dapat rusak apabila yang difagosit adalah substansi yang merugikan, misalnya partikel silika. Perangkap Neutrofil Ekstrasel (NET). Perangkap ini ialah jaring fibril ekstrasel yang dihasilkan oleh neutrofil sebagai respons terhadap patogen infektif (terutama bakteri dan jamur) dan mediator radang (seperti kemokin, sitokin, komplemen protein, dan ROS). NET mengandungi kerangka dari kromatin inti dengan granula protein tertanam di dalamnya, seperti peptida antimikroba dan enzim (Gambar 2-9). Perangkap ini menyediakan substansi antimikroba dalam konsentrasi tinggi di tempat infeksi, dan mencegah penjalaran mikroba dengan menangkap mikroba tersebut dalam fibril. Pada proses ini, inti neutrofil jadi musnah, mengakibatkan kematian sel. NET juga dideteksi pada neutrofil darah selama sepsis. Kromatin inti pada NET, yang termasuk histon dan DNA terkait, diperkirakan menjadi sumber antigen inti pada penyakit autoimun sistemik, terutama lupus, di mana penderita bereaksi melawan DNA dan nukleoprotein (Bab 4).



Cedera Jaringan Akibat Leukosit Karena leukosit mampu mensekresi substansi yang berpotensi merugikan seperti enzim dan ROS, leukosit menjadi penyebab penting terjadinya cedera pada sel dan jaringan normal dalam beberapa situasi: • Sebagai reaksi pertahanan normal melawan mikroba yang infektif, di mana jaringan sekitar mengalami cedera. Pada infeksi yang sukar dihilangkan, misalnya tuberkulosa dan beberapa



40



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



A



B



C



Gambar 2-9 Jebakan neutrofil ekstraseluler (NET). A, Neutrofil sehat dengan inti diwarnai merah dan sitoplasma hijau. B, Pengeluaran materi inti dari neutrofil (perhatikan bahwa dua sel intinya telah hilang), membentuk jebakan ekstrasel. C, Foto mikroskop elektron bakteri (stafilokokkus) terjebak di NET. Dari Brinkmann V, Zychlinsky A: Beneficial suicide: why neutrophils die to make NETs. Nat Rev Microbiol 5:577, 2007, dengan izin dan penulis dan penerbit.)



penyakit virus, respons tubuh lebih banyak menambah proses patologis daripada mikrobanya sendiri • Upaya normal untuk menghilangkan jaringan rusak dan jaringan mati (misalnya setelah infark miokardium). Pada infark, radang akan memper-panjang dan memperburuk akibat merugikan dari iskemia, khususnya pada reperfusi (Bab 1). • Apabila respons radang secara tidak tepat ditujukan pada jaringan tubuh, seperti pada beberapa penyakit autoimun, atau tubuh bereaksi berlebihan terhadap substansi lingkungan yang nontoksik, seperti penyakit alergi termasuk asma (dibahas di Bab 4). Pada semua keadaan, mekanisme di mana leukosit merusak jaringan normal sama dengan mekanisme menghilangkan mikroba dan jaringan mati, sebab segera setelah leukosit diaktifkan, mekanisme efektor tidak dapat membedakan antara penyerang dan tubuh sendiri. Bahkan, apabila reaksi terhadap tubuh tidak terkendali atau tidak tepat, maka leukosit sendiri akan menjadi perusak utama. Kerusakan jaringan akibat leukosit merupakan dasar timbulnya penyakit akut dan kronik (Tabel 2-3), yang akan jelas pada pembahasan gangguan spesifik di buku ini. Leukosit yang diaktifkan, khususnya makrofag, juga mengeluarkan banyak sitokin, yang merangsang reaksi radang lebih lanjut dan mengakibatkan efek sistemik penting, yang akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Mekanisme Efektor Leukosit • Leukosit dapat mengeliminasi mikroba dan sel mati metalui fagositosis, dii kuti dengan destruksi di fagolisosom. • Destruksi terjadi akibat radikal bebas (ROS, NO) yang terbentuk di leukosit yang diaktifkan dan enzim lisosom. • Enzim dan ROS mungkin dikeluarkan di lingkungan ekstrasel. • Mekanisme yang berfungsi mengeliminasi mikroba dan sel mati (peran fisiologis radang) juga mampu merusak jaringan normal (akibat patologis dari radang).



Defek pada Fungsi Leukosit Karena leukosit memainkan peran utama pada pertahanan tubuh, tidak mengherankan apabila defek fungsi leukosit, baik didapat atau diturunkan, akan mengakibatkan kerentanan lebih tinggi terhadap timbulnya infeksi, yang bisa berulang dan membahayakan nyawa (Tabel 2-4). Penyebab tersering radang akibat defek adalah supresi sumsum tulang sebagai akibat dari tumor atau pengobatan dengan kemoterapi atau radiasi (terjadi penurunan jumlah leukosit) dan peny-



Radang Akut Tabel 2-3 Contoh Klinis Cedera yang Diinduksi Leukosit



Kelainan*



Sel dan Molekul yang Terlibat pada Cedera



Akut Sindrom gangguan pernapasan Neutrofil akut



Tabel 2-4 Defek Fungsi Leukosit



Penyakit



Defek



Didapat Supresi sumsum tulang: tumor (termasuk leukemia), radiasi, dan kemoterapi



Produksi leukosit



Rejeksi transplantasi akut



Limfosit; antibodi dan komplemen



Diabetes, keganasan, sepsis, dialisis kronik



Adhesi dan kemotaksis



Asma



Eosinofil; antibodi IgE



Fagositosis dan aktivitas mikrobisida



Glomerulonefritis



Antibodi dan komplemen; neutrofil, monosit



Anemia, sepsis, diabetes, malnutrisi



Syok septik



Sitokin



Otronik Artritis reumatoid



Limfosit, makrofag; antibodi?



Asma



Eosinofil; antibodi IgE



Aterosklerosis



Makrofag; limfosit?



Rejeksi transplantasi kronik



Limfosit, makrofag, sitokin



Fibrosis pulmonal



Makrofag; fibroblas



*Daftar penyakit di mana respons tubuh mempunyai peran besar pada cedera jaringan. Beberapa, seperti asma, dapat bermanifestasi dengan radang akut atau radang kronik dengan eksaserbasi akut yang berulang. Penyakit ini dengan patogenesisnya akan dibicarakan pada bab terkait. IgE, immunoglobulin E.



akit metabolit seperti diabetes (menyebabkan fungsi abnormal leukosit). Semua akan dibahas di tempat lain pada buku ini. Gangguan genetik, walaupun jarang dijumpai, menggambarkan pentingnya jalur molekul tertentu pada respons radang yang kompleks. Beberapa jenis penyakit keturunan yang lebih difahami adalah: • Defek pada adhesi leukosit. Pada defisiensi adhesi leukosit tipe 1 (LAD-1), sintesa yang tidak sempurna subunit CD18 β integrin LFA-1 dan Mac-1 leukosit mengakibatkan adhesi leukosit yang tidak sempurna dan migrasi melalui endotel, dan fagositosis defektif serta terjadinya letupan oksidatif. Defisiensi adhesi leukosit tipe 2 (LAD-2) disebabkan oleh defek metabolisme fukosa yang mengakibatkan tidak dijumpainya sialyl-Lewis X, yaitu oligosakarida pada leukosit yang mengikat selektin pada endotel yang teraktifkan. Manifestasi klinis mirip tapi lebih ringan dari pada LAD-1. • Defek pengaktifan mikrobisida. Contoh ialah penyakit granulomatosa kronik, defisiensi genetik pada satu dari sejumlah komponen enzim oksidase fagosit yang berperan untuk menghasilkan ROS. Pada pasien ini upaya penyelubungan bakteri tidak mengaktifkan mekanisme pemusnahan yang bergantung pada oksigen. Dalam upaya menanggulangi infeksi tersebut, mikroba dikelilingi makrofag yang telah diaktifkan, membentuk "granulomas" (lihat kemudian) yang memberikan gambaran patologis khas pada penyakit ini, dengan nama yang kurang tepat dan menyesatkan. • Defek pembentukan fagolisosom. Suatu kelainan seperti itu adalah sindrom Chediak-Higashi, penyakit autosom resesif sebagai akibat gangguan lalulintas organel intrasel, yang akhirnya mengganggu fusi lisosom dan fagosom. Sekresi granula bersifat lisis oleh limfosit T sitotoksik juga terganggu, yang menjelaskan timbulnya gangguan defisiensi imun yang berat dan khas untuk kelainan ini.



41



Genetik Defisiensi adhesi leukosit 1



Adhesi leukosit defektif karena mutasi di rantai R integrin CD11/CD18



Defisiensi adhesi leukosit 2



Adhesi leukosit defektif karena mutasi di fucosyl transferase dibutuhkan untuk sintesa sialylated oligosaccharide (reseptor untuk selektin)



Penyakit granulomatosa kronik X-linked



Penurunan letupan oksidatif



Autosom resesif



Phagocyte oxidase (cytoplasmic components)



Defisiensi myeloperoxidase



Penurunan pemusnahan mikroba karena defek sistem MPO—H202



Sindrom Chediak-Higashi



Penurunan fungsi leukosit karena mutasi protein yang terlibat pada lalu lintas membran lisosom



Oksidase fagosit (komponen membran)



H2O2, hydrogen peroxide; MPO, myeloperoxidase. Modified from Gallin JI: Disorders of phagocytic cells. In Gallin JI, et al (eds): Inflammation: Basic Principles and Clinical Correlates, 2nd ed. New York, Raven Press, 1992, pp 860, 861.



• Kadang-kadang pasien dengan gangguan pertahanan tubuh mengandungi mutasi di jalur sinyal TLR. Defek turunan pada komponen respons imun adaptif juga meningkatkan kepekaan terhadap infeksi. Hal ini dibahas pada Bab 4. • Mutasi pada gen yang mengkode beberapa komponen yang menambah fungsi inflammasome, satu di antaranya yang disebut cryopyrin, berperan pada penyakit yang jarang dijumpai tetapi berbahaya yang disebut penyakit sindrom demam periodik terkait cryopyrin (CAPS), dengan gejala demam dan tanda radang lain yang tidak ada henti-hentinya dan merespons baik pada terapi antagonis IL-1.



Akibat Radang Akut Walaupun akibat radang akut bergantung pada jenis dan intensitas jejas, tempat dan jaringan yang cedera, dan kemampuan tubuh untuk merespons, namun radang akut umumnya akan menghasilkan satu dari tiga akibat di bawah ini (Gambar 2-10): • Resolusi: Regenerasi dan Pemulihan Jaringan. Apabila jejas terbatas dan berumur pendek, kerusakan jaringan minimal atau tidak ada yang rusak, dan jaringan yang cedera mampu mengadakan regenerasi, maka hasil akhir biasanya struktur dan fungsi kembali normal. Sebelum proses resolusi dapat dimulai, respons radang akut harus dihentikan. Kegiatan ini meliputi netralisasi, menghentikan perusakan, atau degradasi enzimatik berbagai mediator kimia; normalisasi permeabilitas vaskular; penghentian emigrasi leukosit, dengan akibat kematian (melalui



42



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringanr Resolusi • Stimulus yang merugikan dihilangkan • Mediator dan sel radang akut dihilangkan • Penggantian sel cedera • Fungsi normal



Radang akut • Perubahan vaskular • Pengumpulan neutrofil • Mediator



JEJAS • Infark • Infeksi bakteri • Toksin • Trauma



Pembentukan nanah (abses) Progresi



Penyembuhan Penyembuhan



JAJAS Penyembuhan



• Infeksi virus • Infeksi kronik • Jajas persisten •Penyakit autoimun



FIBROSIS • Kehilangan fungsi



RADANG KRONIK •Angiogenesis • Infilrat sel mononukleus • Fibrosis (jaringan parut)



Gambar 2-10 Hasil radang akut: resolusi, penyembuhan melalui jaringan parut (fibrosis), atau radang kronik (lihat teks).



apoptosis) neutrofil di luar pembuluh. Selanjutnya, leukosit akan mulai memproduksi mediator yang mencegah radang, sehingga reaksi radang akan terbatas. Sampah nekrosis, cairan edema, dan sel radang akan dibersihkan oleh fagosit dan aliran limfe, mengurangi sisa-sisa akibat radang. Leukosit mensekresi sitokin yang akan memulai proses pemulihan jaringan, dengan pembentukan pembuluh darah baru di antara jaringan cedera untuk memberikan nutrisi, faktor pertumbuhan menstimulasi proliferasi fibroblas dan pengisian defek dengan kolagen, dan sisa sel jaringan akan berproliferasi untuk memulihkan integritas struktur. Hal ini akan dibahas kemudian di bab ini. • Radang kronik dapat terjadi setelah radang akut apabila agen penyebab tidak dapat dihilangkan, atau bisa juga dijumpai pada awal timbulnya jejas (misalnya infeksi virus atau respons imun terhadap antigen diri sendiri). Tergantung pada luas cedera jaringan awal dan lanjut, dan juga pada kemampuan jaringan yang terkena untuk tumbuh kembali, radang kronik dapat diikuti dengan restorasi struktur dan fungsi normal, atau menimbulkan jaringan parut. • Jaringan parut merupakan jenis pemulihan akibat kerusakan jaringan yang cukup besar (seperti pada pembentukan abses, dibicarakan kemudian) atau apabila radang terjadi pada jaringan yang tidak dapat beregenerasi, di mana jaringan cedera akan diisi jaringan ikat. Pada organ di mana dijumpai deposisi luas jaringan ikat sebagai upaya untuk menghilangkan kerusakan atau sebagai akibat radang kronik, hasil akhir ialah pembentukan fibrosis, suatu proses yang dapat mengganggu fungsi secara signifikan



RINGKASAN Sekuens Kejadian pada Radang Akut • •



• • • •



Perubahan vaskular pada radang akut ditandai dengan peningkatan aliran darah sekunder setelah dilatasi arteriol dan dasar kapiler (eritema dan panas). Peningkatan permeabilitas vaskular, akibat pelebaran perbatasan antar sel endotel dari venula atau jejas langsung pada sel endotel, yang mengakibatkan terjadinya eksudat ekstravaskular yang kaya protein (edema jaringan). melekat pada endotel melalui molekul adhesi dan keluar dari vaskular mikro untuk migrasi ke tempat cedera di bawah pengaruh agen kemotaksis Selanjutnya terjadi fagositosis, pemusnahan, dan degradasi agen perusak. Defek turunan atau yang didapat pada fungsi leukosit akan menimbulkan infeksi berulang. Kemungkinan hasil akhir radang akut ialah pembuangan eksudat disertai restorasi arsitektur jaringan normal (resolusi); transisi ke radang kronik; atau destruksi jaringan secara ekstensif yang menimbulkan jaringan parut.



Radang dan Pemulihan Jaringan



POLA MORFOLOGIK RADANG AKUT Reaksi vaskular dan seluler yang menandai radang akut tercermin pada gambaran morfologik akibat reaksi tersebut. Kerasnya respons radang, penyebabnya yang spesifik, dan jenis jaringan yang terkena, semuanya dapat mempengaruhi gambaran morfologik dasar pada radang akut. Pentingnya mengenali gambaran morfologik tersebut adalah karena sering ada kaitannya dengan etiologi dan keadaan klinis yang berbeda.



MORFOLOGI • Radang serosum ditandai dengan pembentukan cairan seperti air, yang miskin protein, yang bergantung dari tempat asal jejas, terbentuk dari plasma atau sekresi sel mesotel yang melapisi rongga peritoneum, pleura dan perikardium. Bula pada kulit akibat luka bakar atau infeksi virus merupakan contoh yang tepat dari akumulasi efusi serosum pada atau langsung di bawah epidermis kulit (Gambar 2-11 ). Cairan di rongga serosum disebut cairan efusi. • Radang fibrinosa terjadi karena jejas yang lebih berat, mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular yang lebih parah sehingga molekul besar (seperti fibrinogen) dapat melalui pembatas endotel. Secara histologis, akumulasi fibrin ekstravaskular tampak sebagai jaringan benang eosinofil atau kadang-kadang sebagai koagulasi amorfik (Gambar 2-12). Eksudat fibrin merupakan ciri khas radang pada lapisan rongga tubuh, seperti meninges, perikardium, dan pleura. Eksudat tersebut akan didegradasi melalui fibrinolisis, dan kemudian debris akan dipindahkan oleh makrofag, menghasilkan restorasi struktur jaringan normal (resolusi). Namun, eksudat kaya fibrin yang banyak, tidak seluruhnya dapat dihilangkan, dan diganti dengan pertumbuhan fibroblas dan pembuluh darah (organisasi), perikardium dan membatasi fungsi miokardium.mengakibatkan jaringan parut yang dapat mengakibatkan gangguanklinis yang signifikan. Sebagai contoh, organisasi dari eksudat fibrin



Gambar 2-11 Radang serosum pembesaran kecil potongan melintang lepuh kulit menunjukkan epidermis terpisah oleh efusi serosum dari dermis



perikardium membentuk jaringan parut padat yang menjembatani atau menghilangkan rongga perikardi-um dan membatasi fungsi miokardium. • Radang supuratif (purulen) dan pembentukan abses. Tampak sebagai pembentukan cairan eksudat purulen dalam jumlah banyak (pus) yang terdiri atas neutrofil, sel nekrotik, dan cairan edema. Beberapa organisme (misalnya stafilokokus) sering mengakibatkan supurasi setempat dan disebut kuman piogenik (membentuk pus). Abses adalah pengumpulan nanah setempat yang terjadi akibat penempatan kuman piogenik di jaringan atau akibat infeksi sekunder pada fokus nekrotik.Abses biasanya ditandai daerah sentral yang kebanyakan nekrotik dibatasi lapisan neutrofil yang masih baik (Gambar 2-13), dikelilingi zona pembuluh yang melebar dan proliferasi fibroblas tanda adanya upaya pemulihan. Dengan berlalunya waktu, seluruh abses akan terisolasi dari jaringan sekitarnya, dan akhirnya diganti dengan jaringan ikat. Akibat terjadinya kerusakan jaringan, maka setelah pembentukan suatu abses akan terbentuk jaringan parut.



F P



Gambar 2-12 Perikarditis fibrinosa. A, Pengendapan fibrin di perikardium. B, Jala merah muda dari eksudat fibrin (F) meliputi permukaan perikardium (P).



43



BAB 2



44



Radang dan Pemulihan Jaringan



Gambar 2-13 Radang purulen dengan pembentukan abses. A, Abses multipel bakteri di paru (panah) pada kasus bronkopneumonia. B, Abses mengandungi neutrofil dan sisa sel serta dikelilingi pembuluh darah yang terbendung.



• Ulkus merupakan defek lokal, atau ekskavasi, di permukaan organ atau jaringan yang disebabkan oleh nekrosis sel dan pelepasan jaringan nekrotik dan radang (Gambar 2-14). Ulserasi hanya dapat timbul apabila nekrosis jaringan dan peradangan terjadi pada atau dekat



permukaan. Ulkus sering dijumpai di: (1) mukosa mulut, lambung, usus, atau saluran urogenital dan (2) jaringan subkutan ekstremitas bawah pada penderita berumur lanjut dengan gangguan sirkulasi sehingga jaringan terkena cenderung menderita nekrosis yang luas. Contoh terbaik ialah ulkus peptikum di lambung atau duodenum, di mana dijumpai kedua jenis radang akut dan kronik bersamaan. Pada tahap akut, dijumpai infiltrasi leukosit yang kuat dan dilatasi vaskular di tepi daerah defek. Apabila menjadi kronik, tepi dan dasar ulkus membentuk jaringan parut dengan akumulasi limfosit, makrofag, dan sel plasma.



MEDIATOR KIMIA DAN REGULATOR RADANG A



B Gambar 2-14 Ulkus. A, Suatu ulkus duodenum kronik. B, Potongan melintang perbesaran kecil celah ulkus duodenum dengan eksudat radang di dasar.



Setelah pembahasan proses yang terjadi pada aliran darah dan sel pada radang akut, serta perubahan morfologik yang menyertainya, akan dibahas mediator kimia yang berperan pada proses tersebut. Mahasiswa dan juga profesor akan segan mempelajari daftar ini, namun pengetahuan ini dipakai untuk dasar pembuatan berbagai obat anti-inflamasi, yang dipergunakan luas dan tiap hari termasuk obat yang populer termasuk aspirin dan asetoaminofen. Pada bagian ini,akan ditekankan khasiat umum mediator radang dan hanya mengetengahkan beberapa molekul penting. Juga akan dibahas mekanisme yang membatasi dan menghentikan reaksi radang. • Mediator diproduksi lokal oleh sel pada daerah radang, atau dapat berasal dari prekursor inaktif (biasanya disintesa di hati) yang beredar di darah dan akan teraktifkan di tempat radang (Gambar 2-15 dan Tabel 2-5). Mediator asal sel akan disekuestrasi di granula intrasel dan segera disekresi pada saat pengaktifan sel (misalnya histamin di sel mast) atau disintesa de novo merepons pada suatu stimulus (misalnya prostaglandin dan sitokin yang diproduksi leukosit



Mediator Kimia dan Regulator Radang MEDIATOR



SUMBER



Histamin Serotonin



Sel mast, basofil, trombosit Trombosit



Baru disintesa



Prostaglandin Leukotrin Faktor pengaktifan trombosit Spesies oksida reaktif Nitrogen oksida Sitokin Neuropeptida



Semua leukosit,sel mast Semua leukosit, sel mast Semua leukosit,EC Semua leukosit Makrofag, EC Makrofag,limfosit,EC,Sel mast Leukosit,serabut saraf



Pengaktifan komplemen



C3a C5a Anafilatoksin C3b C5b-9 (kompleks penyerang membran)



Faktor XII (faktor Hagemen)



Sistem kinin (bradikinin) koagulasi/sistem fibrinolisis



ASAL PROTEIN PLASMA



ASAL SEL



Mediator siap pakai di granula sekresi



45



PLASMA



HATI (Sumber utama



Gambar 2-15 Mediator radang. Mediator utama asal sel dan protein plasma dipertunjukkan EC, sel endotel



dan sel lain). Mediator asal protein plasma (komplemen protein, kinin) bersirkulasi dalam bentuk inaktif dan akan mengalami pemecahan proteolitik agar memperoleh aktivitas biologis.



terkena. Mediator lain (misalnya protease lisosom, ROS) mempunyai aktivitas enzim langsung dan atau/ aktivitas toksik dan tidak memerlukan ikatan dengan reseptor spesifik.



• Mediator umumnya berperan melalui ikatan dengan reseptor spesifik pada sel target yang berbeda. Mediator tersebut mungkin berperan pada satu atau beberapa tipe sel, atau dapat memberi reaksi berbeda dengan hasil berlainan tergantung jenis sel yang



• Aktivitas mediator umumnya diatur ketat dan berumur pendek. Segera setelah diaktifkan dan dilepaskan dari sel, mediator segera mulai runtuh (misalnya metabolit asam arakidonik), diinaktifkan oleh enzim (misal kininase menginaktifkan bradikinin), dieliminasi (misal antioksidans membersihkan sisa metabolit



Tabel 2-5 Kerja Mediator Utama pada Radang



Mediator



Sumber



Kerja



Berasal dari ael Histamin



Sel mast,basofil,trombosit



Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular,pengaktifkan endotel



Serotonin



Trombosit



Vasokonstriksi



Prostaglandin



Sel mast,leukosit



Vasodilatasi, nyeri, demam



Leukotrin



Sel mast, leuksit



Faktor pengaktifan trombosit



Leukosit, mast cells



Peningkatan permeabilitas vaskular,kemotaksis,adhesi dan pengaktifan leukosit Vasodilatasi,peningkatan permeabilitas vaskular,adhesi leukosit, kemotaksis, degranulasi, letupan oksidatif



Spesies oksigen reaktif



Leukosit



Nitrogen monoksida



Endotel,makrofag



Relaksasi otot polos vaskular; mematikan mikroba



Sitokin (TNF, IL-1, IL-6)



Makrofag,sel endotel, sel mast



Kemokin



Leukosit, makrofag yang teraktifkan



Lokal:pengaktifan endotel (ekspresi molekul adhesi). Sistemik: demam. Abnormalitas metabolisme, hipotensi (syok) Kemoktaksis, pengaktifan leukosit



Mematikan mikroba, kerusakan jaringan



Asal Protein Plasma Komplemen



Plasma (diproduksi di hati)



Kemotaksis leukosit dan pengaktifan,mematikan target lansung (MAC) vasodilatasi (stimulasi sel mast)



Kinin



Plasma (diproduksi di hati)



Peningkatan permeabilitas veaskular, kontraksi otot polos, vasodilatasi, nyeri



Protease yang telah diaktifkan selama koagulasi



Plasma (diproduksi di hati)



Pengaktifan endotel,pengumpulan leukosit



IL- I , IL-6, interleukin- 1 dan -6; MAC, membrane attack complex;TNF, tumor necrosis foctor,



46



BAB 2



Radang danPemulihan Jaringan



oksigen toksik), atau dihambat (misal protein komplemen mencegah pengaktifan komplemen)



regulasi



Mediator Asal Sel Makrofag jaringan, sel mast, dan sel endotel di lokasi inflamasi, juga leukosit yang dikumpulkan dari darah ke tempat inflamasi, semua mampu memproduksi mediator radang yang berbeda. Amin Vasoaktif Kedua amin vasoaktif yaitu histamin dan serotonin, disimpan sebagai molekul siap pakai di sel mast dan sel lain dan merupakan mediator pertama yang akan dilepaskan pada reaksi radang akut. • Histamin diproduksi oleh berbagai jenis sel, terutama sel mast dekat pembuluh, juga basofil dan trombosit. Histamin siap pakai dilepaskan dari granula sel mast untuk merespons kepada berbagai stimulus: (1) jejas fisis seperti trauma atau panas; (2) reaksi imun pada pengikatan antibodi IgE kepada reseptor Fc di sel mast (Bab 4); (3) fragmen komplemen C3a dan C5a, disebut anafilatoksin (lihat kemudian); (4) protein asal-leukosit yang mengeluarkan histamin; (5) neuropeptida (misal substansi P); dan (6) beberapa sitokin (misal IL-1, IL-8). Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriol dan segera meningkatkan permeabilitas vaskular dengan menginduksi kontraksi endotel vena dan pembentukan celah antar endotel. Segera setelah dikeluarkan, histamin diinaktifkan oleh histaminase. • Serotonin (5-hidroksitriptamin) merupakan mediator vasoaktif siap pakai yang dijumpai pada granula trombosit yang akan dilepas saat agregrasi trombosit (Bab 3). Akan menginduksi vasokonstriksi selama terjadinya pembekuan. Terutama diproduksi di beberapa neuron dan sel enterokromafin, dan merupakan neurotransmitter dan mengatur motilitas usus. Metabolit Asam Arakidonik: Prostaglandin, Leukotrin, dan Lipoksin Produk hasil metabolisme AA mempengaruhi berbagai proses biologis, termasuk radang dan hemostasis. Metabolit AA, disebut juga eicosanoids (karena terbentuk dari asam lemak 20-carbon Junani arti eicosa, "dua puluh"), dapat terlibat dalam tiap tahap proses radang (Tabel 2-6); sintesa akan ditingkatkan pada tempat terjadi respons radang, dan agen yang mencegah sintesa juga akan mengurangi proses radang. Leukosit, sel mast, sel endotel, dan trombosit merupakan unsur utama metabolit AA pada radang. Tabel 2-6 Kerja Utama Metabolit Asam Arakidonat (Eikosanoid)



Kerja



Eikosanoid



Vasodilatasi



Prostagin PGI2 (prostasikilin), PGE1 , PGE2,PGD2



Vasokonstriksi



Tromboksan A2,leukotrin C4, D4,E4



Permeabilitas vaskular meningkat



Leukotrin C4,D4,E4 Leukotrin B4,HETE



Kemotaksisi, adhesi leukosit HETE, hydroxyeicosatetraenoic acid.



Mediator asal AA bekerja lokal di mana mediator tersebut dibentuk dan kemudian rusak sendiri atau dirusak enzim. AA ialah asam lemak tidak jenuh 20-karbon (dengan empat ikatan ganda) terbentuk dari asam linoleik dari makanan dan terdapat di tubuh dalam bentuk ester sebagai komponen membran sel fosfolipid. Dilepaskan dari fosfolipid melalui kerja fosfolipase sel yang diaktifkan oleh stimulus mekanik, kimia atau fisis, atau mediator radang seperti C5a. Metabolisme AA terjadi melalui satu dari dua jalur utama enzim: Siklooksigenase menstimulasi sintesa prostaglandin dan tromboksan, serta lipoksigenase untuk memproduksi leukotrin dan lipoksin (Gambar 2-16). • Prostaglandin dan tromboksan. Produk jalur siklooksigenase termasuk prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, PGF2α, PGI2 (prostacyclin), dan thromboxane A2 (TXA2), masing-masing dihasilkan dari enzim spesifik pada suatu hasil antara. Sebagian enzim mempunyai distribusi terbatas pada jaringan. Contoh, trombosit mengandungi enzim thromboxane synthase, dan TXA2, suatu agen agregasi trombosit yang poten dan mempunyai daya vasokonstriksi, merupakan prostaglandin utama yang dihasilkan sel tersebut. Sebaliknya sel endotel, tidak mengandungi thromboksan synthase tetapi mengandungi prostasiklin sintase, berperan untuk pembentukan PGI2, suatu vasodilator dan inhibitor poten agregasi trombosit. Peran berlawanan TXA2 dan PGI2 pada hemostasis dibahas lebih lanjut pada Bab 3. PGD2 merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase pada sel mast; bersama dengan PGE2 dan PGF2α (didistribusi lebih luas), akan mengakibatkan vasodilatasi dan berpotensi untuk pembentukan edema. Prostaglandin juga berperan pada timbulnya rasa nyeri dan demam yang menyertai radang; PGE2 meningkatkan sensitifitas nyeri dan stimulus lain serta berinteraksi dengan sitokin untuk menimbulkan demam. • Leukotrin. Leukotrin diproduksi melalui kerja 5-lipoksigenase, enzim utama untuk metabolisme AA- di neutrofil. Sintesa leukotrin terjadi dalam beberapa langkah (Gambar 2-16). Langkah pertama menghasilkan leukotrin A4 (LTA4), yang akan berubah menjadi LTB4 atau LTC4. LTB4 dihasilkan oleh neutrofil dan beberapa makrofag dan merupakan agen kemotaksis poten untuk neutrofil. LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4, diproduksi terutama di sel mast dan menyebabkan konstriksi bronkus dan peningkatan permeabilitas vaskular. • Lipoksin. Segera setelah leukosit memasuki jaringan, maka secara bertahap akan mengubah produk AA asal lipoksigenase dari leukotrin menjadi mediator radang yaitu lipoksin, yang menghalangi kemotaksis neutrofil dan adhesi ke endotel dan berperan sebagai antogonis endogen leukotrin. Trombosit yang telah teraktifkan dan melekat pada leukosit juga merupakan sumber penting lipoksin. Trombosit sendiri tidak dapat mensintesa lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk mediator ini dari bentuk sementara yang berasal neutrofil yang berdekatan, melalui jalur biosintetik transeluler. Dengan mekanisme ini, produk AA dapat diteruskan dari suatu jenis sel ke sel lain. Obat Anti Radang yang Menghentikan Produksi Prostaglandin. Peran utama eicosanoid pada proses radang ditekankan pada keperluan klinis



Mediator Kimia dan Regulator Radang



47



Fosfolipid membran sel Penghambat steroid Fosfolipase COOH CH3 Inhibitor COX-1 dan COX-2,aspirin, penghambat indomethacin



Lipoksigenase



ASAM ARAKIDONAT



lain



Siklooksigenase



5-Lipoksigenase



Prostaglandin G2 (PGG2)



5-HPETE



Prostaglandin H2 (PGH2) Prostasiklin PGI2



Tromboksan A2 TXA2



Menyebabkan vasodilatasi, penghambat agregasi trombosit



Menyebabkan vasokonstriksi, memicu agregasi trombosit



PGD2



PGE2



Vasodilatasi Peningkatan permeabilitas vaskular



HPETEs



12- Lipoksigenase



5-HETE Kemotaksis



Leukotrin A4 (LTA4)



Lipoxin A4 (LXA4)



HETEs



Leukotrin



C4 (LTC4)



Leukotrin



D4 (LTD4)



Leukotrin



E4 (LTE4)



Leukotrin B4



Bronkospasme Peningkatan Peemeabilitas Vaskular



Lipoxin B4



(LXB4)



Penghambat adhesi neutrofil dan kemotakasis



Gambar 2-16 Produksi metabolit asam arakidonat dan perannya dalam radang. Perhatikan aktivitas enzim yang menginhibisi melalui intervensi farmakologik akan menutup jalur utama (ditandai dengan tanda X merah). COX-1 , COX-2, siklooksigenase 1 dan 2; HETE, asam hidroksieikosatetraenoik; HPETE, asam hidroperoksieikosatetraenoik.



untuk membentuk suatu produk yang akan menghalangi sintesa eicosanoid. Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), seperti aspirin dan ibuprofen, mencegah aktivitas siklooksigenase, akan terjadi penghentian semua sintesa prostaglandin (demikian kemanjurannya dalam mengobati nyeri dan demam). Ada dua bentuk enzim siklooksigenase, COX-1 dan COX-2. COX-1 diproduksi merespons pada stimulus radang dan juga dijumpai pada jaringan, dan menstimulasi produksi prostaglandin untuk fungsi homeostatik (misal cairan dan kesimbangan elektrolit di ginjal, proteksi sel pada saluran cerna). Sebaliknya, COX-2 diinduksi oleh stimulus radang tapi tidak dijumpai pada jaringan normal. Sehingga, inhibitor COX-2 dibentuk agar dapat mencegah efek merugikan radang tetapi tidak akan menghentikan efek protektif dari prostaglandin yang diproduksikan setempat. Namun, beda peran kedua jenis siklooksigenase tidak mutlak. Juga, inhibitor COX-2 dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular, mungkin karena mengganggu pembentukan prostacyclin (PGI2) dalam sel endotel, suatu inhibitor agregasi trombosit, tapi tidak menggangu produksi TXA2, suatu medi-



ator untuk agregasi trombosit, oleh trombosit yang dimediasi COX-1. Glukokortikoid, suatu agen anti radang yang ampuh, bekerja dengan mencegah aktivitas fosfolipase A2 dan keluarnya AA dari lipid membran.







Faktor aktivasi trombosit (PAF), sejak semula dinama-kan demikian karena mampu mengagregasi dan mendegranulasi trombosit, merupakan mediator jenis lain yang berasal dari fosfolipid dengan efek radang luas. PAF adalah acetyl glycerol ether phosphocholine; dibentuk dari fosfolipid membran neutrofil, monosit, basofil, sel endotel, dan trombosit (serta sel lain) melalui kerjanya fosfolipase A2. PAF bekerja langsung pada sel target melalui efek reseptor yang berikatan dengan protein G spesifik. Di samping menstimulasi trombosit, PAF mengakibatkan bronkokonstriksi dan 100 hingga 1000 kali lebih poten daripada histamin untuk menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Juga menstimulasi sintesa mediator lain, seperti eicosanoids dan sitokin, yang berasal dari trom-



48



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



bosit atau sel lain. Jadi, PAF dapat memicu berbagai reaksi radang, termasuk peningkatan adhesi leukosit, kemotaksis, degranulasi leukosit, dan letupan gangguan respirasi. Sitokin Sitokin merupakan produk polipeptida berbagai sel yang berfungsi sebagai mediator radang dan respons imun (Bab 4). Banyak sitokin yang terlibat dalam awal reaksi imun dan radang terhadap stimulus yang merugikan dan kemudian dalam reaksi adaptif (spesifik) respons imun terhadap mikroba. Beberapa sitokin menstimulasi prekursor sumsum tulang untuk menambah produksi leukosit, untuk menggantikan leukosit yang telah dipergunakan selama respons radang dan imun. Sitokin adalah molekul yang disebut interleukin (disingkat IL dan bernomor), untuk menunjukkan kemampuannya sebagai mediator hubungan antar leukosit. Namun nomenklatur ini tidak sempurna banyak interleukin dapat bekerja pada sel selain leukosit, dan banyak sitokin yang memang bekerja pada leukosit tidak disebut interleukin, demi alasan sejarah. Sitokin utama pada radang akut ialah TNF, IL-1, IL-6, dan suatu kelompok sitokin kemoatraktan yang disebut kemokin. Sitokin lain yang lebih penting pada radang kronik termasuk interferon-γ (IFN-γ) dan IL-12. Suatu sitokin yang disebut IL-17, diproduksi limfosit T dan sel lain, mempunyai peran penting dalam pengerahan neutrofil dan berperan pada pertahanan tubuh terhadap infeksi dan penyakit inflamasi. Faktor Nekrosis Tumor dan Interleukin-1. TNF dan IL-1 diproduksi oleh sel yang teraktifkan termasuk makrofag, sel mast, sel endotel, dan beberapa jenis sel lain (Gambar 2-17). Sekresi sel-sel ini distimu-



RADANG OTAK TNF, il-1



TNF



lasi oleh produk mikroba, misalnya endotoksin bakteri, kompleks imun, dan produksi limfosit T yang terbentuk selama respons imun adaptif. Seperti yang dibicarakan sebelumnya, IL-1 juga merupakan sitokin yang diinduksi oleh pengaktifan inflammasome. Peran utama sitokin pada radang adalah mengaktifkan sel endotel. Kedua TNF dan IL-1 menstimulasi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel, menghasilkan peningkatan ikatan dan pengerahan leukosit, dan meningkatkan produksi sitokin tambahan (yaitu kemokin) dan eicosanoid. TNF juga meningkatkan daya ikat trombosit pada endotel. IL-1 mengaktifkan fibroblas, yang menyebabkan peningkatan proliferasi dan produksi ECM. Walaupun TNF dan IL-1 disekresi oleh makrofag dan sel lain di daerah radang, keduanya dapat masuk sirkulasi dan bekerja dari tempatnya berada menginduksi reaksi fase akut sistemik yang sering berkaitan dengan penyakit infeksi dan inflamasi. Komponen dari reaksi ini ialah demam, letargi, sintesa berbagai protein fase akut (juga distimulasi IL-6), oleh hati kekurangan gizi (kakeksia), pelepasan neutrofil ke sirkulasi, dan turunnya tekanan darah. Semua manifestasi sistemik radang ini dibicarakan kemudian pada bab ini. Kemokin. Kemokin merupakan kelompok protein kecil (8 sampai 10 kDa) yang strukturnya berhubungan bekerja terutama sebagai kemoatraktan untuk berbagai subset leukosit yang berbeda. Dua fungsi utama kemokin adalah mengerahkan leukosit ke tempat radang dan mengatur organisasi sel agar secara anatomik normal di jaringan limfoid dan jaringan lain. Kombinasi kemokin yang diproduksi sesaat sebagai respons terhadap stimulus radang ialah untuk mengumpulkan populasi sel tertentu (misal neutrofil, limfosit atau eosinofil) menuju daerah radang. Kemokin juga mengaktifkan leukosit dan satu akibat



EEFEK erlinfungsn sistematik Peningkatan permeabilitas



Peningkatan ekspresi adhesi molekul



TNF, IL-1, IL-6



Jantung TNF



Output rendah



Demam IL-1, IL-6



Sel endotel



Hati



Sel endotel,pembuluh darah TNF



IL-1 kemokin



Protein fase akut



Leukosit



TNF, IL-1



EFEK PATOLOGIS SISTEMIK



otak



IL-1, IL-6 kemokin



TNF, IL-1, IL-6



Sumsum tulang



Peningkatan permeabilitas



Thrombus Jaringan multipel



Pengaktifan



TNF IL-1 Produksi leukosit



Otot skeletal



Resistensi insulin



Gambar 2-17 Peran sitokin dalam radang akut. Sitokin TNF, IL-1, dan IL-6 merupakan mediator kunci untuk mengumpulkan leukosit pada respons radang lokal dan berperan penting dalam reaksi sistemik radang.



Mediator Kimia dan Regulator Radang pengaktifan tersebut, seperti dibahas sebelumnya, adalah peningkatan afinitas integrin terhadap ligan di sel endotel. Beberapa kemokin diproduksi secara tetap di jaringan dan berperan untuk memisahkan berbagai populasi sel di jaringan (misal pemisahan limfosit T dan B pada berbagai daerah di kelenjar limfe dan limpa). Kemokin memulai aktivitasnya dengan berikatan pada reseptor protein G spesifik pada se target; dua dari reseptor kemokin (yaitu CXCR4 dan CCR5) merupakan koreseptor penting untuk mengikat dan masuknya virus imunodefisiensi manusia (HIV) ke dalam limfosit (Bab 4). Kemokin dibagi dalam empat kelompok berdasarkan susunan residu sistein yang masih lengkap. Dua kelompok utama ialah kemokin CXC dan CC: • Kemokin CXC mempunyai satu asam amino yang memisahkan sistein yang masih lengkap dan bekerja terutama pada neutrofil. IL-8 merupakan bentuk khas kelompok ini; dihasilkan oleh makrofag yang teraktifkan, sel endotel, sel mast dan fibroblas terutama merespons produk mikroba dan sitokin lain seperti IL-1 dan TNF. • Kemokin CC mempunyai residu sistein yang berdekatan dan termasuk protein-1 kemoatraktan monosit (MCP-1) dan protein 1a radang makrofag (MIP-1a) (keduanya bersifat kemotaksis untuk monosit), RANTES (diregulasi setelah pengaktifan, diekspresi dan disekresi pada sel T normal)(kemotaksis untuk pada sel T CD4+ memori dan monosit), dan eotaksin (kemotaksis untuk eosinofil).







ROS disintesa melalui jalur NADPH oksidase (fagosit oxidase) dan dilepaskan dari neutrofil dan makrofag yang diaktifkan oleh mikroba, kompleks imun, sitokin, dan berbagai stimulus radang lain. Sintesa dan regulasi radikal bebas asal oksigen telah dibahas pada Bab 1 dalam kaitan jejas sel, dan pada awal bab ini pada diskusi pengaktifan leukosit. Apabila ROS diproduksi dalam lisosom, maka fungsinya ialah menghancurkan mikroba yang telah difagosit dan sel nekrotik. Apabila disekresi dalam kadar rendah, ROS akan meningkatkan kemokin, sitokin,dan ekspresi molekul adhesi, sehingga memperbesar kaskade mediator radang. Pada tingkat lebih tinggi, mediator berperan dalam cedera jaringan melalui berbagai mekanisme termasuk: (1) kerusakan endotel, dengan trombosis dan peningkatan permeabilitas; (2) pengaktifan protease dan inaktivasi antiprotease, berakibat peningkatan pemecahan ECM; dan (3) jejas langsung pada jenis sel lain (misal sel tumor, sel darah merah, sel parenkim). Untungnya berbagai mekanisme protektif antioksidan (misal diawali oleh katalase, superoksida dismutase, dan glutation) yang berada dalam jaringan dan darah akan membatasi toksisitas metabolit oksigen (Bab 1).



Nitrogen Oksida NO merupakan radikal bebas gas, yang berumur singkat, larut air, diproduksi berbagai jenis sel dan mampu melakukan berbagai fungsi. Di sistem saraf pusat mengatur pengeluaran neurotransmitter dan juga aliran darah. Makrofag menggunakannya sebagai agen sitotoksik untuk mematikan mikroba dan sel tumor. Apabila diproduksi oleh sel endotel akan mengakibatkan relaksasi otot polos dan menyebabkan vasodilatasi.



49



NO disintesa de novo dari Larginine, oksigen molekuler, dan NADPH melalui enzim nitric oxide synthase (NOS). Ada tiga jenis bentuk isoforms NOS, dengan distribusi di jaringan yang berbeda. • Tipe I, neuronal NOS (nNOS), diekspresi pada neuron, dan tidak mempunyai peran penting pada radang. • Tipe II, inducible NOS (iNOS), diinduksi pada makrofag dan sel endotel oleh sejumlah sitokin radang dan mediator radang, terutama oleh IL-1, TNF, dan IFN-y, dan oleh endotoksin bakteri, dan berperan pada produksi NO pada reaksi radang. Jenis yang mudah diinduksi ini juga terdapat pada berbagai sel lain, termasuk sel hepar, miosit jantung, dan sel epitel respirasi. • Tipe III, endothelial NOS, (eNOS), disintesa terutama (tapi bukan eksklusif) di endotel. Fungsi penting NO ialah sebagai agen mikrobisidal (sitotoksik) pada makrofag yang teraktifkan. NO berperan lain pada radang, termasuk vasodilatasi, antagonis pada semua tahapan pengaktifan trombosit (adhesi, aggregasi, dan degranulasi), dan pengurangan pengumpulan leukosit pada daerah radang.







Granula lisosom dari neutrofil dan monosit mengandungi banyak enzim yang merusak substansi yang telah difagosit dan mampu merusak jaringan. Isi granula lisosom juga bisa dihasilkan oleh leukosit yang teraktifkan, seperti pembahasan terdahulu. Protease asam umumnya hanya aktif dalam lingkungan pH rendah dari fagolisosom, sedangkan protease netral, termasuk elastase, kolagenase, dan katepsin, aktif pada daerah ekstrasel dan menyebabkan cedera jaringan dengan merusak elastin, kolagen, membran basalis dan protein matriks lain. Protease netral juga dapat membelah protein komplemen C3 dan C5 langsung untuk menghasilkan mediator vasoaktif C3a dan C5a dan bisa menghasilkan peptida yang mirip bradikinin dari kininogen. Efek dari kemampuan merusak enzim lisosom terbatas oleh adanya antiprotease dalam plasma dan cairan jaringan, termasuk α1antitripsin, inhibitor utama elastase neutrofil, dan α2-makroglobulin. Defisiensi inhibitor ini akan mengakibatkan pengaktifan protease leukosit menetap, mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat leukosit berkelompok. Contohnya, defisiensi α1-arantitripsin di paru dapat mengakibatkan emfisema panasea yang parah (Bab 12).







Seperti amine vasoaktif, neuropeptida dapat menginisiasi respons radang; merupakan protein kecil, seperti zat P, yang menyalurkan sinyal nyeri, mengatur tonus dan permeabilitas pembuluh darah. Serabut saraf yang mengeluarkan neuropeptida terutama ditemukan di paru dan saluran cerna



50



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan partikel, misalnya mikroba, untuk fagositosis dan destruksi, dan berperan pada respons radang dengan meningkatkan permeabilitas vaskular dan kemotaksis leukosit. Pengaktifan komplemen akan menimbulkan kompleks penyerangan membran mirip pori (MAC) yang akan membuat lubang di simpai mikroba yang menginvasi. Berikut merupakan kesimpulan dari peran sistem komplemen pada radang.



RINGKASAN Mediator Utama yang Berasal dari Sel pada Radang • •







• • •



Amin vasoaktif — histamin, serotonin: Efek utama ialah vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Metabolit asam arakidonat — prostaglandin dan leukotrin: asam arakidonat — prostaglandin dan leukotrin: Beberapa bentuk dijumpai dan berperan pada reaksi vaskular, kemotaksis leukosit, dan reaksi radang lain; antagonis adalah lipoksin. Sitokin: Protein ini diproduksi oleh berbagai jenis sel, biasanya bereaksi jarak pendek; memberikan efek multipel, terutama pengumpulan dan migrasi leukosit; terpenting pada radang akut ialah TNF, IL-1, IL-6, dan kemokin. ROS: Peran termasuk mematikan mikroba dan merusak jaringan NO: Efek ialah vasodilatasi dan mematikan mikroba. Enzim lisosom: Peran termasuk mematikan mikroba dan merusak jaringan.



Mediator dari Protein Plasma Protein yang beredar dari tiga sistem yang berkaitan komplemen, kinin, dan sistem koagulasi terlibat dalam beberapa aspek reaksi radang. Komplemen Sistem komplemen terdiri atas protein plasma yang mempunyai peran penting pada pertahanan tubuh (imunitas) dan radang. Setelah pengaktifan berbagai komplemen protein akan melapisi (opsonisasi)



• Komponen komplemen, dinomori C1 hingga C9, ditemukan dalam plasma dalam bentuk inaktif, dan banyak diiantaranya yang diaktifkan oleh proteolisis agar terbentuk aktivitas proteolitiknya sendiri, sehingga tersusun kaskade enzim. • Langkah kritis untuk menghasilkan komplemen aktif secara biologis ialah mengaktifkan komponen ketiga, C3 (Gambar 2-18). Pemecahan C3 terjadi melalui tiga jalur: (1) jalur klasik, dipicu oleh fiksasi komponen komplemen pertama C1 pada kompleks antigen-antibodi; (2) jalur alternatif, dipicu oleh polisakarida bakteri (misal endotoksin) dan komponen lain pada dinding sel mikroba, dan melibatkan suatu kelompok protein plasma tertentu termasuk properdin dan faktor B dan D; dan (3) jalur lektin, di mana lektin plasma akan mengikat residu manosa di mikroba dan mengaktifkan komponen awal jalur klasik (tetapi tanpa adanya antibodi). • Ketiga jalur menghasilkan terbentuknya konvertase C3 yang memecah C3 menjadi C3a dan C3b. Terjadi deposit C3b pada sel atau permukaan mikroba di mana komplemen diaktifkan dan kemudian akan berikatan dengan kompleks konvertase C3 untuk membentuk konvertase C5; kompleks ini akan memecah C5 untuk menghasilkan C5a dan C5b dan memulai tahap akhir pembentukan C6 hingga C9.



FUNGSI EFEKOR C5a,C3a:Radang Jalur alternatif



Mikroba Destruksi mikroba oleh leukosit



Pengumpulan dan pengaktifan leukosit C3b Jalur klasik



C3b C3b diletakan di mikroba



Antibodi



Lectin pathway



C3b:Fagositosis



C3a



Lektin pengikat mannosa



Pengenalan ikatan C3b oleh reseptor fagosit C3b



Pembentukan kompleks penyerang membran (MAC)



Fagositosis mikroba MAC: Mikroba lisis



Gambar 2-18 Pengaktifan dan fungsi sistem komplemen. Pengaktifan komplemen melalui berbagai jalur menghasilkan produk C3. Fungsi sistem komplemen dimulai dengan pemecahan produk C3 dan protein komplemen lain, dan oleh kompleks penyerang membran (MAC).



Mediator Kimia dan Regulator Radang 51 Faktor asal komplemen yang diproduksi dan memberi kontribusi pada berbagai fenomena radang akut: • Efek vaskular. C3a dan C5a meningkatkan permeabilitas vaskular dan mengakibatkan vasodilatasi dengan menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. Produk komplemen ini disebut juga anafilotoksin sebab kerjanya mirip sel mast, yang merupakan efektor utama sel pada reaksi alergi yang berat yaitu reaksi anafilaksis (Bab 4). C5a juga mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme AA di neutrofil dan makrofag, menyebabkan pengeluaran tambahan mediator radang. • Pengaktifan adhesi, dan kemotaksis leukosit. C5a, dan C3a dan C4a dalam jumlah kecil, mengaktifkan leukosit, meningkatkan adhesi pada endotel, dan merupakan kemotaksis poten untuk neutrofil, monosit, eosinofil dan basofil. • Fagositosis. C3b dan produk proteolitik inaktif iC3b apabila terfiksasi dengan permukaan mikroba, berperan sebagai opsonin, akan meningkatkan fagositosis oleh neutrofil dan makrofag, yang mengekspresikan reseptor untuk produk komplemen tersebut. • MAC, yang terbentuk dari copy multipel komponen akhir C9, akan mematikan bakteri (terutama Neisseria yang berdinding tipis) dengan membentuk pori-pori yang mengganggu keseimbangan osmotik. Pengaktifan komplemen diatur ketat oleh protein yang berasosiasi dengan sel dan protein yang beredar dengan teratur. Adanya inhibitor pada membran sel tubuh akan melindungi sel normal dari kerusakan yang tidak perlu, selama reaksi proteksi melawan mikroba. Defisiensi inheritan protein normal akan mengakibatkan pengaktifan komplemen spontan:



• Suatu protein yang disebut inhibitor Cl akan memblok pengaktifan C1, dan defisiensi bawaan akan menyebabkan penyakit angioedema bawaan, di mana terjadi produksi kinin berlebihan sekunder akibat pengaktifan komplemen dengan akibat edema diberbagai jaringan, termasuk laring. • Protein lain disebut decay-accelerating factor (DAF) yaitu faktor yang mempercepat keruntuhan, biasanya akan membatasi pembentukan konvertase C3 dan C5. Pada penyakit paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, terjadi defisiensi DAF yang mengakibatkan sel darah merah menjadi lisis akibat mediasi komplemen (yang lebih sensitif untuk timbulnya lisis dibanding sel berinti lainnya) (Bab 11). • Faktor H merupakan protein plasma yang menghambat pembentukan konvertase; defisiensinya dikaitkan dengan penyakit ginjal disebut sindrom uremi hemolitik (Bab 13), dan permeabilitas vaskular spontan pada degenerasi makula mata. Walaupun dijumpai protein regulasi, pengaktifan komplemen yang tidak tepat atau berlebihan (misal penyakit yang dipicu antibodi) dapat mengalahkan mekanisme regulasi; menjelaskan mengapa aktivasi komplemen mengakibtkan cedera jaringan yang parah pada berbagai gangguan imunologi (Bab 4).







Beberapa molekul yang diaktifkan selama proses pembekuan darah mampu memicu aspek respons radang yang multipel. Faktor Hageman (juga dikenal sebagai factor XII dari kaskade intrinsik koagulasi) (Gambar 2-19) merupakan protein yang disintesa oleh hati dan beredar di aliran darah dalam bentuk inaktif hingga berhadapan dengan kolagen, membran basalis, atau trombosit yang teraktifkan (misal pada tempat jejas endotel). Faktor Hageman yang telah diaktivasi (faktor XIIa) akan memicu empat sistem yang berperan pada



XII



Faktor XII (faktor Hagemen) Koalgen, membran basalis, trombosit yang teraktifan



Kofaktor: HMWK



XIIa Kaskade kinin



HMWK



Kalikrein



Faktor XIIa



Prekalikren



Faktor pembekuan



Kaskade pembekuan



Trombin



Bradikinin Plasminogen



plasmin



Sistem fibrinolitik



Fibrin



Fibrinogen



Produk pemecahan fibrin



C3



C3a



C5



C5a



Kaskade Komplemen



Gambar 2-19 Hubungan antara ke-empat sistem mediator plasma dipicu oleh pengaktifan faktor XII (faktor Hageman). Lihat teks untuk detail.



52



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



respons inflamasi: (1) sistem kinin, menghasilkan kinin vasoaktif; (2) sistem pembekuan, menginduksi aktivitas trombin, fibrinopeptida, dan faktor X, semua mempunyai kemampuan inflamasi; (3) sistem fibrinolitik, yang menghasilkan plasmin dan menginaktfkan trombin; dan (4) sistem komplemen, menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a. Seluruhnya dijelaskan di bawah ini: • Aktivasi sistem kinin akan menyebabkan terbentuknya bradikinin dari prekursor yang beredar, dan molekul berat kininogen (HMWK) (Gambar 2-19). Seperti histamin, bradikinin mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat, dilatasi arteriol, dan kontraksi otot polos bronkus. Juga akan menyebabkan nyeri apabila disuntikkan di kulit. Kerja bradikinin hanya sebentar sebab segera dirusak oleh kininase yang terdapat pada plasma dan jaringan. Kallikrein, bentuk tengah pada kaskade kinin dengan aktivitas kemotaksis, juga merupakan aktivator poten faktor Hageman dan menjadi penghubung antara sistem kinin dan sistem pembekuan. • Pada sistem pembekuan (Bab 3), kaskade proteolitik mengakibatkan pengaktifan trombin, dan memecah fibrinogen yang larut air yang beredar untuk menghasilkan bekuan fibrin yang tidak larut air. Faktor Xa, bentuk tengah pada kaskade pembekuan, mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat dan emigrasi leukosit. Trombin berpartisipasi pada radang dengan berikatan dengan reseptor yang diaktifkan oleh protease yang diekspresikan pada trombosit, sel endotel, dan banyak sel lain. Terikatnya trombin pada reseptor di sel endotel ini akan mengakibatkan pengaktifan dan meningkatkan adhesi leukosit. Sebagai tambahan, trombin menghasilkan fibrinopeptida (selama pemecahan fibrinogen) yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan bersifat kemotaksis untuk leukosit. Trombin juga memecah C5 untuk menghasilkan C5a, sehingga menghubungkan koagulasi dan pengaktifan komplemen. • Sebagai aturan umum, apabila proses pembekuan dimulai (misal pengaktifan faktor Hageman), sistem fibrinolitik juga akan teraktifkan. Mekanisme ini berperan untuk membatasi pembekuan dengan cara memecahkan fibrin, sehingga bekuan fibrin menjadi larut air. (Bab 3). Aktivator plasminogen (dihasilkan dari endotel, leukosit dan jaringan lain) dan kallikrein memecahkan plasminogen, suatu protein plasma yang terlibat pada pembentukan bekuan fibrin. Produk yang dihasilkan oleh plasmin, merupakan protease multifungsi yang akan membelah fibrin dan penting dalam proses lisis bekuan. Namun, fibrinolisis juga berperan pada tahapan multipel pada fenomena vaskular radang. Contoh, produk degradasi fibrin meningkatkan permeabilitas vaskular, dan plasmin memecah protein komplemen C3, menghasilkan produksi C3a dan vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas vaskular. Plasmin juga mengaktifkan faktor Hageman, sehingga terjadi peningkatan keseluruhan respons. Seperti dijelaskan pada diskusi terdahulu, berbagai molekul terlibat pada aspek yang berbeda dari reaksi radang, dan molekul ini sering berinteraksi, meningkatkan, dan bersifat antagonis antar molekul. Dari berbagai campuran mediator kimia, dapat ditentukan kontributor utama berbagai komponen radang akut (Tabel 2-7). Kontribusi relatif masing-masing mediator pada reaksi radang pada stimulus yang berbeda masih perlu dijelaskan. Pengetahuan tersebut akan punya implikasi terapi yang jelas karena memungkinkan rancangan antagonis khusus untuk berbagai penyakit inflamasi.



Tabel 2-7 Peran Mediator dalam Berbagai Reaksi Berbeda pada Radang



Komponen Inflamasi



Mediator



Vasodilation



Prostaglandin Nitrogen monoksida Histamin



Peningkatan permeabilitas vaskular



Histamin dan serotonin C3a dan C5a (melalui produksi amin vasoaktif dari sel mast, sel lain) Bradikinin Leukotrin C4, D4, E4 PAF Substansi P



Kemotaksis, pengumpulan leukosit dan pengaktifan



TNF, IL-I Kemokin C3a, C5a Leukotrin B4 Produk bakteri (misal N-formyl methyl peptides)



Demam



IL-I,TNF Prostaglandin



Sakit



Prostaglandin Bradikinin Enzim lisosom dan enzim dari leukosit Spesies oksigen reaktif Nitrogen monoksida



Kerusakan jaringan



IL- I , interleukin- I ; PAF, platelet-activating factor, TNF, tumor necrosis factor.



RINGKASAN Mediator Radang yang Berasal dari Protein Plasma •



• •



Protein komplemen: Pengaktifan sistem komplemen oleh mikroba atau antibodi akan membentuk produk pecahan multipel, yang berperan pada kemotaksis leukosit, opsonisasi dan fagositosis mikroba dan partikel lain, dan kematian sel. Protein koagulasi: Faktor XII yang teraktifkan akan memicu pembekuan, kinin, dan kaskade komplemen serta mengaktifkan sistem fibrinolitik. Kinin: Dihasilkan dari pemecahan proteolitic dari prekursor, kelompok ini akan memulai reaksi vaskular dan timbulnya nyeri.



Mekanisme Anti-inflamasi Reaksi inflamasi akan berkurang karena berbagai mediator berperan hanya sebentar dan dirusak oleh enzim degradasi. Dijumpai pula berbagai mekanisme yang melawan mediator radang dan berfungsi untuk membatasi atau mengakhiri respons radang, seperti lipoksin, dan protein regulasi komplemen, telah dibahas terdahulu. Makrofag yang teraktifkan dan sel lain yang mensekresikan sitokin, IL-10, dengan fungsi utama menekan respons makrofag yang teraktifkan, sehingga terjadi lingkaran balik yang negatif. Pada penyakit herediter yang langka di mana reseptor IL-10 mengalami mutasi, pasien akan menderita kolitis parah sejak kecil. Sitokin anti-inflamasi lain termasuk TGF-P, yang juga merupakan mediator untuk fibrosis pada pemulihan jaringan setelah radang. Sel juga mengekspresi sejumlah protein intra-



Radang Kronik sel, misalnya fosfatase tirosin, yang menghambat sinyal pro radang yang dipicu oleh reseptor yang mengenali mikroba dan sitokin.



RADANG KRONIK Radang kronik ialah radang yang berlangsung lama (minggu hingga tahun) di mana radang berkelanjutan, kerusakan jaringan, dan proses pemulihan, sering melalui fibrosis, terjadi bersamaan. Berbeda dengan radang akut, yang ditandai dengan perubahan vaskular, edema, dan infiltrat neutrofil yang predominan, radang kronik ditandai dengan kelompok reaksi yang berbeda (Gambar 2-20; juga Tabel 2-1): • Infiltrasi sel mononukleus, termasuk makrofag, limfosit, dan sel plasma • Perusakan jaringan, terutama diinduksi oleh produk sel radang • Pemulihan, melibatkan proliferasi (angiogenesis) dan fibrosis



pembuluh



darah



baru



Radang akut dapat berkembang menjadi kronik apabila radang akut tidak dapat ditanggulangi, karena agen merugikan menetap atau karena interferensi pada proses normal pemulihan jaringan. Contoh,



* A



53



ulkus peptikum duodenum pada awalnya menunjukkan radang akut diikuti proses resolusi. Tetapi jejas epitel duodenu yang berulangulang akan menginterupsiproses ini, mengakibatkan terjadi lesi campuran kedua jenis radang akut dan kronik (Bab 14). Di samping itu dijumpai beberapa jenis jejas (misal reaksi imunologi, beberapa infeksi virus) memberikan respons radang kronik sejak awal. Radang kronik dapat timbul dari keadaan berikut: • Infeksi persisten mikroba yang sulit dibasmi. Termasuk Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum (organisme penyebab sifilis) dan beberapa virus dan jamur, semuanya cenderung mengakibatkan infeksi persisten dan mengundang respons imun yang dimediasi oleh limfosit T dan disebut delayed type hypersensitivity (Bab 4). • Immune-mediated inflammatory diseases (penyakit hipersensitif) Penyakit yang disebabkan pengaktifan berlebihan dan tidak tepat dari sistem imun dan menjadi masalah kesehatan penting yang sekarang meningkat (Bab 4). Pada beberapa kondisi, reaksi imun akan timbul menyerang jaringan tubuh sendiri, menimbulkan penyakit autoimun. Pada penyakit tersebut, autoantigen akan menimbulkan reaksi imun akibat tubuh sendiri dan menimbulkan kerusakan jaringan dan radang persisten. Autoimun mempunyai peran penting pada beberapa penyakit kronik yang sering dijumpai dan mengakibatkan debilitas, misalnya artritis reumatoid, penyakti radang usus, dan psoriasis. Respons imun terhadap substansi lingkungan merupakan penyebab penyakit alergi, misalnya asma bronkial. Penyakit yang dipicu oleh reaksi imun akan menunjukkan pola morfologi berupa campuran radang akut dan kronik karena ditandai dengan timbulnya radang berulang. Karena pada umumnya antigen penyebab tidak dapat dihilangkan, kelainan cenderung bersifat kronik dan sulit dihilangkan. • Paparan berkepanjangan terhadap agen toksik. Contoh adalah eksogen yang tidak dapat didegradasi misalnya partikel silika yang diinhalasi, akan mengakibatkan respons radang kronik di paru (silikosis, Bab 12), dan agen endogen seperti kristal kolesterol, yang dapat menyebabkan aterosklerosis (Bab 9). • Bentuk ringan radang kronik penting pada patogenesis berbagai penyakit yang tadinya tidak dikira termasuk kelainan radang. Penyakit itu termasuk kelainan neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer, aterosklerosis, sindrom metabolit dan diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker di mana reaksi radang akan memicu pertumbuhan tumor. Sebagai telah disebut sebelumnya, sejumlah kondisi radang dipicu pengenalanstimulus oleh inflammasome. Peran radang pada keadaan tersebut di atas akan dibahas pada Bab terkait.



Sel dan Mediator Radang Kronik



B Gambar 2-20 A, Radang menahun di paru, menunjukkan gambar histologis karakteristik: kumpulan sel radang kronik (tanda bintang); kerusakan parenkim, di mana alveoli normal diganti oleh rongga dilapisi epitel kubik (kepala panah); dan penggantian oleh jaringan ikat, menimbulkan fibrosis (panah). B, Sebagai kontras, pada radang akut paru (bronkopneumonia akut), neutrofil mengisi rongga alveoli dan pembuluh darah yang kongestif.



Kombinasi radang berkepanjangan dan berulang, destruksi jaringan dan fibrosis yang merupakan tanda radang kronik meliputi interaksi yang kompleks antara berbagai populasi sel dan mediator yang disekresikannya. Untuk memahami patogenesis reaksi radang kronik dibutuhkan pemahaman sel tersebut dan respons biologis dan fungsinya.



54



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



  Makrofag, sel yang dominan pada radang kronik, merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit darah yang beredar dan kemudian keluar dari aliran darah. Makrofag berada tersebar di jaringan ikat dan juga dijumpai pada organ seperti hati (disebut sel Kupffer), limpa dan kelenjar limfe (disebut histiosit sinus), sistem saraf pusat (sel mikroglia), dan paru (makrofag alveoli). Secara bersama sel ini membentuk sistem fagosit mononukleus, juga dikenal dengan nama terdahulu sistem retikuloendotel. Pada seluruh jaringan, makrofag berfungsi sebagai alat penyaring untuk benda tertentu, mikroba, dan sel yang menua, juga sel efektor yang mengeliminasi mikroba melalui respons seluler atau humoral (Bab 4). Monosit berasal dari prekursor di sumsum tulang dan bersirkulasi di darah hanya sehari. Di bawah pengaruh molekul adhesi dan kemokin, akan terjadi migrasi ke tempat jejas dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah mulainya radang akut, sebagai telah dibicarakan terdahulu. Apabila monosit mencapai jaringan ekstravaskular, akan mengalami transformasi menjadi makrofag, yang lebih besar dan mempunyai masa hidup lebih panjang serta mempunyai kapasitas lebih tinggi untuk fagositosis dibanding monosit darah. Makrofag jaringan diaktifkan oleh berbagai stimulus untuk melakukan sekelompok fungsi. Dua jalur utama aktivasi makrofag, klasik dan alternatif, telah dibicarakan (Gambar 2-21): • Pengaktifan makrofag klasik diinduksi oleh produk mikroba seperti endotoksin, sinyal yang berasal dari sel, yang penting sitokin IFN-γ dan substansi asing termasuk kristal dan benda tertentu. Makrofag teraktifkan secara klasik akan menghasilkan enzim lisosom, NO dan ROS, semuanya akan meningkatkan kemampuan untuk meritatikan organisme yang telah dicerna dan mensekresi sitokin yang menstimulasi radang. Makrofag ini penting dalam pertahanan tubuh melawan mikroba yang telah dicerna dan pada berbagai reaksi radang kronik.



Makrofag yang diaktifkan klasik (M1)



• Pengaktifan makrofag alternatif; terjadi karena induksi sitokin selain IFN-γ, misalnya IL-4 dan IL-13, yang dihasilkan oleh limfosit T dan sel lain termasuk sel mast dan eosinofil. Makrofag yang teraktifkan secara alternatif tidak bersifat mikrobisidal aktif; sebaliknya peran utama ialah pemulihan jaringan. Makrofag tersebut mensekresi faktor pertumbuhan yang mendorong angiogenesis, fibroblas aktif dan menstimulasi sintesa kolagen. Menghadapi respons stimulus yang merugikan makrofag pada awalnya akan diaktifkan melalui jalur klasik, untuk menghancurkan agen yang merusak dan akan diikuti pengaktifan alternatif, yang akan mengawali pemulihan jaringan. Namun sekuen ini tidak terdokumentasi dengan baik pada reaksi radang. Makrofag mempunyai peran kritis pada pertahanan tubuh dan respons radang. • Makrofag seperti fagosit lainnya, neutrofil, akan mencerna dan mengeliminasi mikroba dan jaringan mati. Karena makrofag merespons terhadap sinyal yang mengaktifkan dari limfosit T, makrofag merupakan fagosit terpenting di bagian respons imun adaptif asal sel (Bab 4). • Makrofag akan menginisiasi proses pemulihan jaringan dan terlibat dalam pembentukan jaringan parut dan fibrosis. • Makrofag, mensekresi mediator radang, seperti sitokin (TNF, IL-1, kemokin, dan lainnya) dan eikosanoid. Sel-sel ini merupakan unsur utama untuk memulai dan melakukan semua reaksi radang. • Makrofag akan menunjukkan antigen kepada limfosit T dan merespons sinyal dari sel T. Sehingga terbentuk lingkaran umpan balik yang penting untuk pertahanan terhadap berbagai mikroba oleh respons imun yang dimediasi oleh asal sel. Interaksi dua arah yang sama merupakan kegiatan penting pada perkembangan penyakit radang kronik. Peran sitokin pada interaksi ini akan dibahas kemudian.



Microba, IFN-γ



Makrofag yang diaktifkan alternatif (M2)



IL-13, IL-4 ROS, NO, Enzim Lisonom Kerja mikrobisidal: fagositosis dan mematikan bakteri dan jamur



IL-1, IL-12, IL-23, Kemokin



Radang 1



Faktor Pertumbuhan TGF-β



Pemulihan jaringan, fibrosis



IL-10, TGF-β



Efek anti inflamasi



Gambar 2-21 Jalur pengaktifan makrofag. Stimulus yang berbeda-beda akan mengaktifkan monosit/makrofag untuk membentuk populasi fungsional tertentu. Pengaktifan klasik makrofag diinduksi oleh produk mikrobakteri dan sitokin, terutama IFN-y, dan bersifat mikrobakterisidal dan terlibat pada radang yang merugikan. Pengaktifan makrofag alternatif diinduksi oleh IL-4 dan IL-1 3, diproduksi oleh sel TH2 (helper subset sel T) dan leukosit lain, dan penting untuk pemulihan jaringan dan fibrosis nterferon-'y; IL-4, IL-13, interleukin-4, -13



Radang Kronik Setelah stimulus awal dieliminasi dan reaksi radang berkurang, makrofag akan mati atau terbawa aliran limfatik. Namun ditempat radang kronik, akumulasi makrofag tetap terjadi, karena pengumpulan dari darah tetap berlangsung dan terjadi juga proliferasi lokal. IFN-γ juga dapat menginduksi makrofag untuk bergabung menjadi sel raksasa multi-inti yang besar.



  Limfosit akan dimobilisasi pada stimulus imun spesifik (misal infeksi) dan juga pada stimulus bukan imun (misal nekrosis iskemi atau trauma), dan merupakan pemicu utama pada penyakit autoimun dan penyakit radang kronik lain. Aktivasi limfosit T dan B merupakan bagian dari respons imun adaptif pada infeksi dan penyakit imunologi (Bab 4). Kedua jenis limfosit akan bermigrasi menuju tempat radang dengan menggunakan pasangan molekul adhesi yang sama dan kemokin yang diperoleh dari leukosit lain. Dalam jaringan limfosit B dapat berubah menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi, dan CD4+ limfosit T diaktifkan untuk mensekresi sitokin. Akibat sekresi sitokin, CD4+ limfosit T menimbulkan radang dan mempengaruhi timbulnya reaksi radang. Ada tiga subset dari CD4+ helper sel T yang mensekresi berbagai sitokin dan mengakibatkan berbagai jenis radang: • Sel TH1 akan menghasilkan sitokin IFN-γ, yang mengaktifkan makrofag melalui jalur klasik. • Sel TH2 mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-13, yang akan mengumpulkan dan mengaktifkan eosinofil yang berperan pada jalur alternatif untuk pengaktifan makrofag. • Sel TH17 mensekresi IL-17 dan sitokin lain yang menginduksi sekresi kemokin yang berperan untuk pengumpulan neutrofil dan monosit ke dalam reaksi radang. Kedua sel TH1 dan TH17 terlibat dalam pertahanan melawan berbagai jenis bakteri dan virus dan penyakit autoimun. Se1 TH2 penting untuk pertahanan melawan parasit cacing dan pada radang alergi. Subsets sel T ini dan fungsi masing-masing akan dibahas di Bab 4.



Limfosit T teraktifkan (TH1, TH17)



Limfosit dan makrofag akan berinteraksi dua arah, dan interaksi ini berperan penting untuk timbulnya radang kronik (Gambar 2-22). Makrofag akan menyajikan antigen kepada sel T, mengekspresi molekul membran (disebut kostimulator) dan menghasilkan sitokin (IL-12 dan lain nya) yang menstimulasi respons sel T (Bab 4). Limfosit T yang teraktifkan kemudian akan menghasilkan sitokin yang dibicarakan sebelumnya, yang mengumpulkan dan mengaktivasi makrofag dan akan meningkatkan timbulnya antigen dan sekresi sitokin. Hasilnya ialah lingkaran reaksi sel yang menyebabkan dan mempertahankan radang kronik. Pada beberapa reaksi radang yang keras dan berkepanjangan, akumulasi limfosit, sel penyaji anti gen, dan sel plasma akan memberikan gambaran morfologik pada organ limfoid, mirip kelenjar limfe dan dapat mengandungi sentrum germinativum. Gambaran organogenesis limfoid ini dijumpai pada sinovia pasien dengan penyakit artritis reumatoid yang berlanjut dan pada penderita tiroid dengan tiroiditis autoimun.



  Eosinofil merupakan sel khas yang dijumpai disekitar radang akibat infeksi parasit dan merupakan bagian reaksi imun dimediasi oleh IgE, khusus dikaitkan dengan alergi. Pengumpulan sel dipicu oleh molekul adhesi yang sama dengan yang dipergunakan oleh neutrofil dan kemokin spesifik (misal eotaksin) yang berasal dari leukosit dan sel epitel. Granula eosinofil mengandungi protein dasar utama yaitu, protein bersifat kateonik dan bersifat toksik terhadap parasit tetapi juga menyebabkan nekrosis sel epitel. Sel Mast merupakan sel sentinel yang didistribusi secara luas di jaringan ikat seluruh tubuh, dan dapat berpartisipasi pada kedua respons radang akut dan kronik. Pada penderita atopik (sensitif terhadap reaksi alergi) sel mast adalah tentara mengandungi IgE sebagai antibodi spesifik untuk antigen lingkungan. Apabila berhadapan dengan antigen ini, sel mast yang diliputi IgE akan dipicu mengeluarkan histamin dan metabolit AA yang akan memulai perubahan vaskular suatu radang akut. Sel mast sebagai tentara yang dilengkapi IgE merupakan pemeran utama pada reaksi alergi termasuk



Sitokin (misal IL-12, IL-6, IL-23)



Limsofit T



Makrofag teraktifkan



Presents antigen to T cells



IL-17, TNF



TNF, IL-1



IFN-γ



Pengumpulan leukosit, radang



Mediator radang lain



55



engaktifan makrofag klasik



Mediator radang lain



Pengumpulan leukosit, radang



Mikrofag Gambar 2-22 Interaksi makrofag—limfosit pada radang kronik. Limfosit yang teraktifkan dan makrofag akan saling menstimulasi, dan kedua sel tersebut melepaskan mediator radang yang mempengaruhi sel lain. IFN-y, interferon-y; IL-1, interleukin-I;TNF, faktor nekrosis tumor.



56



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



syok anafilaktik (bab 4). Sel mast akan menghasilkan sitokin seperti TNF dan kemokin dan berperan penting untuk melawan infeksi. Kesimpulan akhir yang penting: walaupun keberadaan neutrofil merupakan tanda utama radang akut, banyak jenis radang kronik masih mengandungi infiltrat neutrofil, sebagai akibat adanya mikroba persisten atau sel nekrotik atau mediator yang dihasilkan oleh makrofag. Lesi radang tersebut kadang-kadang disebut "radang akut pada radang kronik" contoh inflamasi pada pada tulang (osteomielitis).



Radang Granulomatosa Radang granulomatosa merupakan radang kronik dengan gambaran tertentu ditandai oleh agregrasi makrofag yang teraktifkan dan dijumpai limfosit di antaranya. Granuloma merupakan gambaran khas pada beberapa keadaan patologis tertentu, sehingga pengenalan gambaran granuloma penting hanya akibat beberapa kondisi tertentu (kadang-kadang membahayakan jiwa) yang menyebabkannya (Tabel 2-8). Granuloma dapat terbentuk dari tiga keadaan : • Adanya respons tetap sel T terhadap beberapa mikroba (misalnya Mycobacterium tuberculosis, T. pallidum, atau jamur), di mana sitokin yang berasal dari sel T berperan mengaktifkan makrofag terus menerus. Tuberkulosa merupakan prototipe penyakit granuloma yang disebabkan oleh infeksi dan selalu harus disingkirkan sebagai penyebab apabila penyebabnya sudah ditemukan. • Granuloma juga dapat terjadi pada radang akibat gangguankekebalan, misalnya penyakit Crohn, yang merupakan suatu jenis penyakit radang usus dan merupakan penyebab penting radang granulomatosa di Amerika Serikat. • Juga dijumpai pada penyakit dengan etiologi yang tidak diketahui, yang disebut sebagai sarkoidosis, yang terjadi karena respons terhadap benda asing inert (misal sutura atau serpihan kayu), dan akan membentuk granuloma benda asing. Pembentukan granuloma akan "membentuk benteng" mengelilingi agen perusak sehingga menjadi mekanisme pertahanan yang berguna. Namun, pembentukan granuloma tidak selalu berhasil me-



Gambar 2-23 Granuloma yang khas akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis menunjukkan nekrosis perkijuan daerah sentral, makrofag epiteloid yang teraktifkan, sel datia, dan akumulasi perifer limfosit.



musnahkan agen penyebab, yang biasanya resisten terhadap kehancuran atau kematian, dan radang granulomatosa yang disertai fibrosis, dapat menjadi penyebab utama disfungsi organ, seperti yang terjadi pada tuberkulosa.



MORFOLOGI Pada sediaan H&E normal (Gambar 2-23), beberapa dari makrofag yang diaktifkan mempunyai sitoplasma merah muda, granuler dengan batas sel tidak jelas, dan disebut sel epiteloid karena mirip sel epitel. Secara khas kelompok makrofag epiteloid akan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma yang lebih tua mempunyai lingkaran batas fibroblas dan jaringan ikat tipis. Sering, dijumpai sel raksasa berinti banyak berdiameter 40 hingga 50 μm di granuloma. Sel tersebut mempunyai sitoplasma lebar dan banyak



Tabel 2-8 Contoh Penyakit dengan Radang Granulomatosa



Penyakit



Penyebab



Reaksi Jaringan



Tuberkulosa



Mycobacterium tuberculosis



Granuloma kaseosa (tuberkel): fokus dari makrofag yang teraktifkan (sel epiteloid), dibatasi fibroblas, limfosit, histiosit, kadang-kadang sel datia Langhans; nekrosis sentral dengan sisa-sisa granula amorfik; basil tahan asam



Leprosy



Mycobacterium leproe



Siphilis



Treponema pallidum



Basil tahan asam di makrofag; granuloma non kaseosa Gumma: lesi mikrokopik hingga makroskopik dapat dilihat dengan mata, dipagari dinding histiosit; infiltrat sel plasma; sel daerah sentral nekrotik tanpa hilangnya tanda batas sel



Cat-scratch disease



Baksil Gram-negatif



Sarkoidosis



Etiologi tidak diketahui



Penyakit Crohn



Reaksi imun terhadap bakteri intestinal,antigen diri



Granuloma bulat atau stelata mengandungi sisa granula dan neutrofil; sel datia dapat dijumpai Granuloma non kaseosa dengan makrofag yang teraktifkan dalam jumlah banyak. Kadang-kadang granuloma non kaseosa di dinding usus, dengan infiltrat sel radang menahun yang padat



Efek Sistematik Radang inti, tuberkulosa) suatu kombinasi dari hipoksia dan jejas radikal bebas akan menyebabkan zona sentral nekrosis.Pada pemeriksaan makroskopik, dijumpai gambaran granuler mirip keju hingga disebut nekrosis perkijuan, (Bab 1 dan 13). Pada pemeriksaan mikroskopik, materi nekrotik tampak sebagai benda amorf eosinofilik, tanpa bentuk, tanpa struktur, sisa bekas granuler, dan detail sel seluruhnya menghilang. Granuloma yang dihubungkan dengan penyakit Crohn, sarkoidosis, dan reaksi benda asing tidak membentuk nekrosis ditengah sehingga disebut "tanpa perkijuan". Granuloma yang menyembuh biasanya disertai fibrosis yang bisa sangat tebal.



RINGKASAN Gambaran Radang Kronik • •







• •



Respons tubuh yang berkepanjangan terhadap stimulus yang persisten. Disebabkan oleh mikroba yang tidak dapat dieliminasi, respons imun terhadap diri sendiri dan antigen lingkungan, dan beberapa substansi toksik (misal silika); mendasari berbagai penyakit penting. Ditandai dengan radang yang menetap, jejas pada jaringan,upaya pemulihan dengan pembentukan jaringan parut, dan respons imun. Infiltrat seluler terdiri atas makrofag yang diaktifkan, limfosit, dan sel plasma, sering disertai fibrosis luas. Dipicu oleh sitokin yang dibentuk oleh makrofag dan limfosit (khususnya limfosit T) dengan kecenderungan menjadi respons radang yang meningkat dan berkepanjangan karena terjadinya interaksi dua arah antar sel tersebut.



EFEK SISTEMIK RADANG Tiap orang yang pernah menderita penyakit virus (misal influensa) mengalami efek radang sistemik, disebut reaksi fase akut atau sindrom respons sistemik radang. Sitokin TNF, IL-1,dan IL-6 merupakan mediator terpenting pada reaksi fase akut. Sitokin ini diproduksi oleh leukosit (dan sel lain) merespons infeksi atau reaksi imun dan dikeluarkan secara sistemik. TNF dan IL-1 mempunyai aksi biologis yang mirip, walaupun agak berbeda sedikit (Gambar 2-17). IL-6 menstimulasi sintesa sejumlah protein plasma pada hati, akan dibahas kemudian. Respons fase akut terdiri dari berbagai kelainan klinis dan patologis. • Demam, ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, merupakan manifestasi paling menonjol pada respons fase akut. Demam timbul sebagai respons terhadap substansi pirogen yang terjadi melalui stimulasi sintesa prostaglandin di sel vaskular dan perivaskular di hipotalamus. Produk bakteri, misalnya liposakarida (LPS) (disebut pirogen eksogen), menstimulasi leukosit untuk meng-



57



hasilkan sitokin seperti IL-1 dan TNF (disebut pirogen endogen), yang akan meningkatkan kadar siklooksigenase yang mengubah AA menjadi prostaglandin. Di hipotalamus prostaglandin, terutama PGE2, akan menstimulasi produksi neurotransmitor, yang berfungsi mengatur ulang titik suhu pada tingkat lebih tinggi. NSAID, termasuk aspirin, menurunkan demam dengan mencegah siklooksigenase dan dengan demikian menghentikan sintesa prostaglandin. Walaupun demam telah dikenal sebagai tanda infeksi beberapa ratus tahun yang lalu, tidak jelas tujuan timbulnya reaksi ini. Peningkatan suhu tubuh pada amfibi dapat menghalau infeksi mikrobakteri, dan diperkirakan demam juga memberi pengaruh yang sama pada mamalia, walaupun mekanisme tidak diketahui • Peningkatan kadar protein fase akut plasma. Protein plasma terutama disintesa di hati, dan pada radang akut, konsentrasi akan meningkat sampai beberapa ratus kali lipat. Tiga jenis protein terpenting kelompok ini ialah protein C-reaktif (CRP), fibrinogen, dan protein amiloida serum (SAA). Sintesa molekul ini oleh sel hati akan menstimulasi sitokin, terutama IL-6. Banyak protein fase akut, misalnya CRP dan SAA, akan melekat pada dinding sel mikroba, dan berfungsi sebagai opsonin dan komplemen tetap, sehingga meningkatkan eliminasi mikroba. Fibrinogen akan mengikat butir darah merah sehingga terbentuk tumpukan (rouleaux) yang akan mengendap lebih cepat ke dasar dibanding butir darah merah yang terlepas lepas. Hal ini menjadi dasar pengukuran laju endap darah (ESR) sebagai tes sederhana untuk mengetahui respons sistemik inflamasi, yang disebabkan oleh berbagai jenis stimulus, termasuk LPS. Pemeriksaan serial ESR dan CRP dipakai untuk menilai respons pengobatan pada penderita dengan gangguan inflamasi misalnya artritis rematoid. Peningkatan kadar serum CRP dipakai sebagai petanda untuk meramalkan peningkatan risiko infark miokardium atau stroke pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik. Diperkirakan inflamasi berperan pada timbulnya aterosklerosis (Bab 9), dan peningkatan CRP merupakan tanda inflamasi. • Leukositosis merupakan reaksi radang yang umum dijumpai. Khususnya apabila disebabkan oleh infeksi bakteri (lihat Tabel 11-6, Bab 11). Jumlah leukosit biasanya meningkat menjadi 15.000 hingga 20.000 sel/mL, tetapi pada keadaan tertentu dapat mencapai 40.000 hingga 100.000 sel/mL. Peningkatan ekstrem ini disebut reaksi leukemoid karena mirip seperti yang terlihat pada leukemia. Leukositosis biasanya terjadi karena pengeluaran sel yang dipercepat (di bawah pengaruh sitokin, termasuk TNF dan IL-1) dari tempat cadangan pasca mitosis sumsum tulang. Kedua jenis neutrofil matur dan imatur dapat dijumpai di darah; dijumpainya sel imatur yang beredar disebut sebagai "pergeseran ke kiri". Infeksi yang berkelanjutan juga merangsang faktor stimulasi koloni (CSF), yang akan meningkatkan output leukosit, untuk mengkompensasi pemakaian sel tersebut pada reaksi radang. Infeksi bakteri umumnya akan menimbulkan peningkatan jumlah neutrofil darah, disebut neutrofilia. Infeksi virus, misalnya mononuldeosis infeksiosa, parotitis, dan German measles, dikaitkan dengan peningkatan limfosit (limfositosis). Asma bronkial, hay fever, dan infestasi parasit semua melibatkan naiknya jumlah eosinofil absolut, menyebabkan eosinofilia. Beberapa infeksi (demam tifus dan infeksi yang disebabkan oleh beberapa virus, riketsia, dan protozoa tertentu) dikaitkan dengan situasi berlawanan yaitu menurunnya



58



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



jumlah sel darah putih yang beredar (lekopenia), agaknya karena sekuestrasi limfosit di kelenjar getah bening akibat induksi sitokin. • Manifestasi lain dari respons fase akut termasuk meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, keringat menurun, terutama karena akibat aliran darah semula dari daerah permukaan berubah mengalir ke daerah vaskular yang letaknya lebih dalam, untuk mengurangi panas yang hilang keluar dari kulit: dan rigor (gemetar), menggigil (persepsi rasa dingin karena hipotalamus mengubah suhu tubuh), anoreksia, somnolen, dan malaise, terjadi sekunder karena kerja sitokin pada sel otak. • Pada infeksi bakteri yang berat (sepsis), terdapatnya jumlah besar produk bakteri di darah dan jaringan ekstravaskular menstimulasi produksi beberapa sitokin, yaitu TNF, juga IL-12 danlL-1. TNF menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID), gangguan metabolit termasuk asidosis, dan syok hipotensif. Trias klinis ini disebut syok septik, dan akan dibahas lanjut di Bab 3.



NORMAL



Jejas superfisial ringan



REGENERASI



RINGKASAN Efek Sistemik Radang • • • •



Demam: sitokin (TNF, IL-1) menstimulasi produksi prostaglandin di hipotalamus. Produksi protein fase aktif: protein C-reaktif, lainnya; sintesa yang distimulasi oleh sitokin (IL-6, dan lainnya) bekerja pada sel hati. Leukositosis: sitokin (CSF) menstimulasi produksi leukosit dari prekursor di sumsum tulang. Pada beberapa infeksi berat, syok septik: turunnya tekanan darah, koagulasi intravaskular diseminata, gangguan metabolisme; diinduksi oleh kadar TNF yang tinggi.



Sebelum reaksi radang berakhir, tubuh telah memulai proses perbaikan kerusakan dan mengembalikan struktur dan fungsi menjadi normal. Proses ini disebut pemulihan, dan melibatkan proliferasi dan diferensiasi beberapa jenis sel dan pengendapan jaringan ikat. Defek pada pemulihan jaringan mengakibatkan akibat gawat. Sebaliknya pengendapan jaringan ikat berlebihan (fibrosis) juga mengakibatkan keadaan abnormal. Sehingga, mekanisme dan regulasi proses penyembuhan penting dari segi fisiologis dan patologis.



TINJAUAN PEMULIHAN JARINGAN Hal kritis pada ketahanan hidup suatu organisme ialah kemampuannya untuk dapat memperbaiki kerusakan akibat pengaruh toksik dan radang. Respons radang terhadap mikroba dan jaringan yang rusak tidak hanya untuk mengeliminasi bahaya ini, tetapi juga memulai proses pemulihan. Pemulihan, disebut juga penyembuhan, merupakan upaya restorasi arsitektur jaringan dan fungsi setelah suatu jejas. Terjadi melalui dua jenis reaksi: regenerasi jaringan yang cedera dan pembentukan jaringan parut melalui pengendapan jaringan ikat (Gambar 2-24).



Jejas berat



PEMBENTIJKAN JARINGAN PARUT



Gambar 2-24 Mekanisme pemulihan jaringan: regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Setelah suatu jejas ringan, yang merusak epitel tetapi tidak mengenai jaringan di bawahnya, resolusi terjadi melalui regenerasi, tetapi apabila jejas berat dan mengakibatkan kerusakan jaringan ikat, pemulihan terjadi dengan pembentukan jaringan parut



• Regenerasi. Beberapa jaringan mampu mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi normal; proses ini disebut regenerasi. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu (tidak kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati. • Pembentukan jaringan parut. Apabila jaringan cedera tidak mampu melakukan regenerasi, atau jaringan penunjang mengalami kerusakan berat, pemulihan jaringan terjadi dengan pengendapan jaringan ikat (fibrotik), suatu proses yang menghasilkan jaringan parut. Walaupun jaringan parut tidak dapat melakukan fungsi sel parenkim yang telah hilang, tetapi dapat memberikan stabilitas struktur semula. Istilah fibrosis sering dipakai untuk menjelaskan deposisi ekstensif di paru, hati, ginjal, dan organ lain sebagai akibat radang kronik, atau di miokardium setelah nekrosis ekstensif (infark). Apabila fibrosis terjadi pada suatu rongga berisi cairan eksudat, hal tersebut disebut organisasi (seperti organisasi pada pneumonia di paru). Setelah berbagai jenis cedera, regenerasi dan pembentukan jaringan parut berperan pada pemulihan jaringan. Kedua proses



Regenerasi Sel dan Jaringan melibatkan proliferasi beberapa jenis sel dan interaksi erat antar sel dan ECM. Bagian berikutnya membahas prinsip proliferasi sel, peran faktor pertumbuhan dalam berbagai sel pada pemulihan jaringan, peran sel punca pada homeostasis jaringan. Akan diikuti dengan kesimpulan berbagai kemampuan ECM dan bagaimana kaitannya dengan pemulihan. Hal ini merupakan dasar penting pada regenerasi dan penyembuhan dengan pembentukan jaingan parut, termasuk deskripsi penyembuhan luka di kulit dan fibrosis (jaringan parut) di organ parenkim sebagai contoh proses pemulihan jaringan.



59



Proliferasi



REGENERASI SEL DAN JARINGAN



Diferensiasi



Regenerasi sel dan jaringan cedera melibatkan proliferasi sel, yang diatur oleh faktor pertumbuhan dan sangat bergantung pada integritas matriks ekstrasel. Sebelum memberikan contoh pemulihan jaringan melalui regenerasi, akan dibahas prinsip umum proliferasi sel dan fungsi ECM dalam proses ini.



Sel punca Populasi sel normal pada keadaan seimbang



Pengaturan Proliferasi Sel Beberapa sel berproliferasi selama pemulihan jaringan. Termasuk sisa-sisa jaringan cedera (yang berupaya restorasi menjadi struktur normal), sel endotel vaskular (untuk membentuk pembuluh darah baru untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan pada proses pemulihan) dan fibroblas (sumber untuk jaringan ikat yang akan membentuk jaringan parut untuk mengisi defek yang tidak dapat diperbaiki oleh proses regenerasi). Proliferasi sel tersebut dipicu oleh protein yang disebut faktor pertumbuhan. Produksi faktor pertumbuhan polipeptida dan kemampuan sel untuk membelah karena respons faktor tersebut merupakan determinan penting untuk keberhasilan proses pemulihan. Ukuran populasi sel normal ditentukan oleh keseimbangan proliferasi sel, kematian sel akibat apoptosis, dan timbulnya sel baru yang telah berdiferensiasi yang berasal dari sel punca (Gambar 2-25). Proses penting pada proliferasi sel ialah replikasi DNA dan mitosis. Urutan kejadian yang mengatur kedua proses disebut siklus sel, dijelaskan terperinci di Bab 5 dalam kaitannya dengan kanker. Pada saat ini cukup diketahui bahwa sel yang tidak membelah berada pada siklus sel istirahat pada fase Gl atau telah keluar dari siklus sel dan berada di fase Go. Faktor pertumbuhan menstimulasi transisi dari Go ke fase Gl dan ke dalam sintesa DNA (S), G2, dan fase mitosis (M). Progresi diatur oleh siklin, dengan aktivitas yang diatur oleh kinase yang dependen pada siklin. Segera setelah sel masuk fase S, terjadi replikasi DNA dan dilanjutkan melalui G2 dan mitosis



Kapasitas Proliferasi Jaringan Kemampuan jaringan untuk memulihkan diri sendiri dipengaruhi terutama oleh kapasitas proliferatif intrinsik. Berdasarkan kriteria ini, jaringan tubuh dibagi atas tiga kelompok. • Jaringan labil (selalu membelah). Sel dari kelompok jaringan ini akan terus hilang dan diganti oleh sel punca yang mengalami pematangan dan melalui proliferasi sel matur.



Kematian sel (apoptosis)



Gambar 2-25 Mekanisme mengatur populasi sel. Jumlah sel dapat diubah melalui peningkatan atau penurunan input sel punca, kematian sel oleh apoptosis, atau perubahan kecepatan proliferasi atau diferensiasi (Dimodipkosi dari McCarthy NJ, et al:Apoptosis in the development of the immune system: growth factors, donal selection and bcl-2. Cancer Metastasis Rev I 1:157, I 992)



Termasuk sel labil ialah sel hematopoietik dari sumsum tulang dan semua sel epitel permukaan, misalnya epitel berlapis gepeng kulit, rongga mulut, vagina, dan serviks; epitel kubik duktus organ eksokrin (misal kelenjar liur, pankreas, traktus biliaris); epitel kolumnar saluran cerna, uterus, dan tuba fallopii; dan epitel transisional saluran kemih. Jaringan ini dapat segera beregenerasi selama dijumpai cukup sel punca ditempat cadangan. • Jaringan stabil. Sel kelompok ini bersifat diam dan hanya mempunyai aktivitas replikasi terbatas pada keadaan normal. Tetapi, sel ini mampu berproliferasi merespons jejas atau apabila ada jaringan yang rusak. Sel stabil membentuk jaringan parenkim organ padat, misalnya hati, ginjal, dan pankreas. Termasuk pula sel endotel, fibroblas, dan otot polos; proliferasi sel ini penting pada penyembuhan luka. Jaringan stabil mempunyai kapasitas terbatas untuk regenerasi setelah jejas, kecuali hati. • Jaringan permanen. Sel jaringan ini dianggap telah selesai berdiferensiasi lengkap dan bersifat non-proliferatif setelah kelahiran. Termasuk kelompok ini ialah neuron dan otot jantung. Sehingga jejas pada otak dan jantung bersifat ireversibel dan akan menghasilkan jaringan parut, karena neuron dan miosit jantung tidak dapat beregenerasi. Replikasi sel punca terbatas dan diferensiasi terjadi pada beberapa daerah otak dewasa, dan ada bukti bahwa sel punca jantung dapat berproliferasi setelah nekrosis



60



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



miokardium. Namun, kapasitas proliferasi jaringan ini tidak mencukupi untuk regenerasi jaringan akibat jejas. Otot lurik biasanya dikelompokkan pada jaringan permanen, tetapi adanya sel satelit yang melekat pada lapisan endomisium memungkinkan kapasitas regenerasi pada jaringan ini. Pada jaringan permanen pemulihan didominasi dengan pembentukan jaringan parut. Dengan kekecualian untuk jaringan yang terutama dibentuk oleh sel permanen yang tidak dapat membelah (misal otot jantung, saraf) jaringan matur umumnya mengandungi berbagai proporsi dari tiga jenis sel: sel yang selalu membelah, sel diam yang dapat masuk siklus sel kembali, dan sel yang telah kehilangan kemampuan replikasi.



Sel Punca (Sel Stem) Pada jaringan yang mampu membelah, sel matur telah bediferensiasi lengkap dan hidup singkat. Ketika sel matur mati, jaringan akan diganti oleh sel yang berdiferensiasi berasal dari sel punca. Jadi pada jaringan ini terjadi keseimbangan homeostatik antara replikasi, pergantian sel sendiri, diferensiasi sel punca dan kematian sel matur, yang berdiferensiasi lengkap. Hubungan itu jelas tampak pada sel epitel kulit yang terus membelah dan epitel saluran cerna, di mana sel punca terletak dekat lapisan basal, dan sel mengalami diferensiasi ketika bermigrasi ke lapisan atas epitel sebelum sel mati dan dilepaskan dari permukaan. Karakteristik sel punca ialah mempunyai dua kemampuan: kapasitas mengganti diri sendiri dan replikasi asimetrik. Replikasi asimetrik berarti apabila sebuah sel punca membelah, satu sel anak akan mengikuti jalur berbeda dan menjadi sel matur, sedang yang lainnya tetap merupakan sel punca tanpa diferensiasi yang mempertahankan kemampuan kapasitas ganti diri sendiri. Karena adanya kemampuan penggantian diri sendiri maka sel punca dapat mengatur populasi prekursor yang fungsional untuk waktu yang lama. Walaupun bahan rujukan penuh dengan deskripsi sel punca, pada dasarnya dijumpai dua jenis: • Sel punca embrionik (sel ES) merupakan sel punca yang paling tidak berdiferensiasi. Dijumpai pada bagian dalam sel blastosis dan mempunyai kemampuan penggantian sel yang sangat ekstensif. Sehingga dapat bertahan dalam kultur jaringan selama satu tahun tanpa mengalami diferensiasi. Pada lingkungan kultur yang tepat, sel ES dapat diinduksi untuk membentuk sel khusus dari seluruh tiga lapisan sel germinal, termasuk neuron, otot jantung, sel hati, dan sel pulau pankreas. • Sel punca dewasa, disebut juga sel punca jaringan, kurang berdiferensiasi dibanding sel ES dan dijumpai di antara sel yang telah berdiferensiasi dalam organ atau jaringan. Namun, seperti sel ES, mempunyai kapasitas penggantian diri sendiri, walaupun agak terbatas. Sebaliknya, potensi lineasi (kemampuan untuk berobah menjadi sel khusus) terbatas pada sel yang telah mengalami diferensiasi di jaringan atau organ di mana sel tersebut dijumpai. Fungsi normal sel ES ialah untuk membentuk sel seluruh tubuh, namun sel punca dewasa hanya terlibat dalam homeostasis jaringan. Keduanya mempertahankan ukuran jaringan dengan pergantian yang tinggi, misalnya kulit, epitel usus, dan juga sel dengan pergantian ren-



dah, misal jantung dan pembuluh darah. Walaupun banyak perhatian untuk mengisolasi dan infusi sel punca untuk penggantian sel khusus organ, misalnya jantung (setelah infark miokardium) dan otak (setelah strok), sel punca jaringan jarang dan sulit diisolasi dalam bentuk murni. Tambahan pula, sel punca membutuhkan lingkungan mikro dalam organ disebut ruang khusus sel punca (stem cell niches). Agaknya, ada sinyal dari sel lain yang membuat sel punca akan berdiam dan tidak berdiferensiasi dalam ruang khusus itu. Ruang khusus sel punca dijumpai pada beberapa organ. Di otak, sel punca saraf berada di zona subventrikel dan girus dentata; di kulit, sel punca jaringan dijumpai di tonjolan folikel rambut, dan di kornea, ada di limbus. Mungkin sel punca yang paling banyak dipelajari ialah sel punca hematopoietik pada sumsum tulang. Walaupun jarang, dapat dipurifikasi berdasarkan petanda permukaan sel. Sel punca hematopoietik dapat diisolasi dari sumsum tulang maupun dari darah tepi setelah mobilisasi dengan pemberian sitokin tertentu seperti faktor stimulasi koloni granulosit (G-CSF). Sebagaimana diketahui bahwa sel ini akan membentuk semua jenis sel darah dan terusmenerus menggantikan elemen darah yang dibutuhkan di darah tepi. Untuk keperluan klinis, sel punca sumsum tulang dipergunakan untuk terapi penyakit seperti leukemia, dan limfoma (Bab 11). Di samping sel punca hematopoietik, sumsum tulang mengandungi populasi sel punca jaringan, disebut sel punca mesenkim. Sel ini dapat berubah menjadi berbagai sel mesenkim, misalnya kondroblas, osteoblas, dan mioblas. Sehingga sangat menarik perhatian untuk potensi pengobatannya. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi sel punca telah menciptakan bidang baru yaitu kedokteran regeneratif, yang mempunyai tujuan utama repopulasi organ yang telah rusak dengan menggunakan progeni yang telah berdiferensiasi dari sel ES atau sel punca dewasa. Karena sel ES mempunyai kapasitas penggantian diri yang ekstensif dan dapat membentuk berbagai jenis sel, sehingga dianggap paling ideal untuk membentuk sel tertentu untuk tujuan pengobatan. Namun karena sel ES dibentuk dari blastosis (biasanya dihasilkan dari fertilisasi in vitro), progeni sel tersebut akan mengandungi molekul histokompatibilitas (antigen leukosit manusia [HLA]) (Bab 4) sel telur dan sperma donor. Jadi, diperkirakan akan terjadi penolakan akibat reaksi imun oleh penerima, seperti terjadi pada transplantasi organ yang berasal dari donor dengan keadaan genetik berbeda. Maka, berbagai usaha telah dilakukan untuk menghasilkan sel dengan potensi sel ES dari jaringan pasien. Untuk mencapai tujuan ini, gen yang terekspresi di sel ES dan sel yang telah berdiferensiasi dibandingkan dan sejumlah gen penting untuk kekhususan sifat sel punca pada sel ES telah diidentifikasi. Pengenalan gen tersebut pada sel yang telah berdiferensiasi lengkap, seperti fibroblas atau sel epitel kulit, menghasilkan suatu reprogram inti sel somatik, sehingga sel tersebut mempunyai berbagai kemampuan sel ES. Sel tersebut disebut sel punca pluripoten yang terinduksi (sel iPS) (Gambar 2-26). Karena sel iPS dapat diperoleh dari tiap pasien, progeni yang telah berdiferensaisi dapat berhasil dicangkokkan dan dapat memperbaiki dan mengganti sel yang rusak atau defisien pada pasiencontohnya sel β penghasil insulin pada penderita diabetes. Walaupun sel iPS amat menjanjikan, kegunaan klinis masih harus dibuktikan.



Regenerasi Sel dan Jaringan Sel pasien



Oct3/4, Sox-2, c-Myc, Klf4, Nanog



Sel dalam kultur



61



menghilangkan blok penghambat progresi sel (sehingga memicu replikasi), mencegah apoptosis, meningkatkan sintesa protein sel sebagai persiapan untuk mitosis. Aktivitas utama faktor pertumbuhan adalah menstimulasi fungsi gen pengatur pertumbuhan, yang banyak di antaranya disebut protoonkogen karena mutasi yang terjadi akan mengakibatkan proliferasi sel tanpa kendali yang karakteristik pada kanker (onkogenesis) (Bab 5). Terdapat banyak faktor pertumbuhan yang dikenal (dan masih bertambah). Pada pembahasan berikut, daripada menyusun daftar besar yang merepotkan, akan disorot hanya molekul tertentu yang berperan pada pemulihan jaringan (Tabel 2-9). Sebagian besar faktor pertumbuhan yang terlibat dalam pemulihan jaringan diproduksi oleh makrofag dan limfosit yang dikumpulkan di tempat jejas atau diaktifkan pada tempat ini, sebagai bagian dari proses radang. Faktor pertumbuhan lain diproduksi oleh sel parenkim atau sel stroma (jaringan ikat) merespons terhadap adanya jejas sel. Akan dimulai diskusi dengan menjelaskan prinsip dasar kerja faktor pertumbuhan. Peran faktor pertumbuhan individual pada proses radang akan dibahas kembali pada akhir bab ini.



Sel punca pluripoten pasien yang diinduksi spesifik Diferensiasi in vitro



Mekanisme Sinyal Reseptor Faktor Pertumbuhan Ektoderm



Mesoderm



Endoderm



Gambar 2-26 Produksi sel punca pluripoten yang telah diinduksi (sel iPS). Gen yang merubah kemampuan sel punca dikenalkan pada sel yang telah mengalami diferensiasi dari pasien, kemudian akan menghasilkan sel punca, yang dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi beberapa linease.



RINGKASAN Proliferasi Sel, Siklus Sel, dan Sel Punca •



Regenerasi jaringan ditentukan oleh proliferasi sel yang tidak kena jejas (residu) dan pergantian dari sel punca.







Proliferasi sel terjadi apabila sel tenang memasuki siklus sel. Siklus sel diatur ketat oleh stimulator dan inhibitor dan terdapat pula titik pengamatan untuk mencegah terjadinya replikasi sel abnormal.







Jaringan dibagi atas labil, stabil, dan permanen sesuai dengan kapasitas proliferasi sel.







Jaringan yang selalu membelah (jaringan labil) mengandungi sel matur yang mampu membelah dan sel punca yang akan berdiferensiasi untuk mengganti sel yang hilang.







Sel punca dari embrio (sel ES) merupakan sel yang pluripoten; jaringan dewasa, terutama sumsum tulang, mengandungi sel punca dewasa yang mampu menghasilkan berbagai jenis sel.







Sel punca pluripoten yang diinduksi (sel iPS) berasal dari introduksi gen yang karakteristik untuk sel ES pada sel matur. Sel iPS mempunyai banyak sifat sel punca.



Faktor Pertumbuhan Sebagian besar faktor pertumbuhan adalah protein yang menstimulasi ketahanan hidup dan proliferasi sel tertentu, dan juga bisa mengakibatkan migrasi, diferensiasi, dan respons seluler lain. Faktor ini menginduksi proliferasi sel melalui ikatan dengan reseptor spesifik dan mempengaruhi ekspresi gen yang menghasilkan produk untuk berbagai fungsi: mendorong masuknya sel dalam siklus sel,



Faktor pertumbuhan umumnya berfungsi dengan berikatan pada reseptor spesifik di permukaan sel dan memicu sinyal biokimia dalam sel. Jalur sinyal intrasel utama yang diinduksi oleh faktor petumbuhan mirip dengan reseptor sel lain yang mengenali ligan ekstrasel. Secara umum, sinyal ini merangsang atau menekan ekspresi gen. Sinyal dapat terjadi langsung di sel yang sama, yang menghasilkan faktor tersebut (sinyal autokrin), atau antara sel yang berdekatan (sinyal parakrin), atau mencapai jarak lebih jauh (sinyal endokrin). Reseptor protein umumnya terletak di permukaan sel, tetapi mungkin juga intrasel; dalam hal ini ligan harus bersifat cukup hidrofobik agar dapat memasuki sel (misal vitamin D, atau steroid dan hormon tiroid). Atas dasar jalur sinyal transduksi utama, reseptor membran plasma dibagi menjadi tiga jenis, seperti tertera pada Tabel 2-10. • Reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik. Ikatan ligan dengan bagian ekstrasel reseptor akan menyebabkan dimerisasi dan kemudian fosforilasi dari subunit reseptor. Setelah terjadi fosforilasi, reseptor akan mengikat dan mengaktifkan protein intrasel lain (misal RAS, phosphatidylinositol 3[P13]-kinase, fosfolipase Cy [PLC-y]) dan kemudian merangsang sinyal selanjutnya yang akan menyebabkan proliferasi sel, atau menginduksi berbagai program transkripsi. • Reseptor pasangan-protein G. Reseptor ini mengandungi tujuh segmen a-helix-transmembran dan dikenal sebagai reseptor tujuhtransmembran. Setelah terjadi ikatan ligan, reseptor akan berasosiasi dengan protein yang terikat dengan guanosine triphosphate (GTP), protein G intrasel yang mengandungi guanosine diphosphate (GDP). Ikatan dengan protein G ini akan menyebabkan pertukaran GDP dengan GTP, yang mengaktifkan protein. Di antara berbagai jenis jalur sinyal yang diaktifkan oleh reseptor pasangan-protein G termasuk AMP



62



B A B 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Tabel 2-9 Faktor Pertumbuhan yang Berperan pada Regenerasi dan Pemulihan Jaringan



Faktor Pertumbuhan



Sumber



Funsi



Faktor pertumbuhan epidermal (EGF)



Makrofag yang teraktifkan, kelenjar liur, keraktinosit, dan berbagai sel lain



Mitogenik untuk keratinosit dan fibroblas; menstimulasi migrasi keratinosit; menstimulasi pembentukan jaringan granulasi



Faktor pertumbuhan transformasi-a (TGF-a) makrofag yang Faktor pertumbuhan hepatosit (HGF) (scaffer factor) Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) Sel mesenkim Faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF)



diteraktifan,keraktinosit,berbagai sel lain Fubroblas, sel stroma di hati, sel endotel



Menstimulasi proliferasi hepatosit dan berbagai sel epitel lain Meningkatkan proliferasi hepatosit dan berbagai sel epitel lain; meningkatkan motilitas selMenstimulasi proliferasi sel endotel; meningkatkan permeabilitas vaskular



Trombosit,makrofag,sel endotel, sel otot polos,keratinosit



Kemotaksis untuk neutrofil, makrofag, fibroblas, dan otot polos; mengaktifkan proliferasi fibroblas, endotel, dan sel lain, menstimulasi sintesa protein ECM



Faktor pertumbuhan fibrolas Makrofag , sel mast, sel endotel, berbagai sel lain



Kemotaksis dan mitogenik untuk fibroblas; menstimulasi angiogenesis dan sintesa protein ECM



Faktor pertumbuhan transformasi-β (TGF-β)



Trombosit, limsofit T, makrofag, sel endotel, keratinosit, sel otot polos , fibroblas



Kemotaksis untuk leukosit dan fibroblas; menstimulasi sintesa protein ECM, menekan radang akut.



Faktor pertumbuhan keratinosit (KGF)



Fibrolas



Menstimulasi migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit



(FGFs),termasuk (FGF-I)asam dan (FGF-2) basa



ECM, extracellular membrane.



siklik (cAMP), dan terjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3), yang mengeluarkan kalsium dari retikulum endoplasmik. Reseptor kelompok ini merupakan kelompok terbesar dari reseptor membran plasma (lebih dari 1500 jenis telah diidentifikasi).







• Reseptor tanpa aktivitas enzim intrinsik. Biasanya merupakan molekul transmembran monomer dengan domain ikatan ligan ekstrasel; interaksi ligan akan menginduksi perubahan intrasel yang sesuai, yang memungkinkan terjadinya asosiasi dengan protein kinases intrasel yang disebut Janus kinases (JAK). Fosforilasi JAK mengaktifkan faktor transkripsi sitoplasmik disebut STAT (transdusi sinyal dan aktivator transkripsi), akan bergerak ke inti dan akan menginduksi transkripsi pada gen target.















RINGKASAN Faktor Pertumbuhan, Reseptor, dan Transduksi Sinyal •



Faktor pertumbuhan polipeptida bekerja secara autokrin, parakrin, atau endokrin.







Faktor pertumbuhan diproduksi merespons stimulus eksternal dan bekerja melalui ikatan dengan reseptor sel. Berbagai kelompok dari reseptor faktor pertumbuhan meliputi reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik, reseptor pasangan-protein G dan reseptor tanpa aktivitas kinaseintrinsik. Faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF) dan faktor pertumbuhan hepatosit (HGF) berikatan dengan reseptor melalui aktivitas kinase intrinsik, memicu kaskade kegiatan fosforilasi melalui kinase MAP, yang berkulminasi pada aktifnya faktor transkripsi dan replikasi DNA. Reseptor pasangan-protein G menghasilkan efek ganda melalui jalur cAMP dan Ca". Kemokin memanfaatkan reseptor tersebut. Sitokin biasanya berikatan dengan reseptor tanpa aktivitas kinase; reseptor tersebut akan berinteraksi dengan faktor transkripsi sitoplasmik yang berpindah ke dalam inti. Umumnya faktor pertumbuhan mempunyai efek multipel, seperti migrasi, diferensiasi, stimulasi angiogenesis, dan fibrogenesis, di samping proliferasi sel.



Tabel 2-10 Jalur Sinyal Utama yang Dipergunakan Reseptor Sel Permukaan



Kelompok Reseptor



Ligan



Mekanisme Sinyal



Reseptor dengan aktivitas intrinsik tirosin kinase



EGF,VEGF, FGF, HGF



Ligan yng mengikat satu rantai reseptor mengaktifkan tirosin kinase pada rantai lain, mengakibatkan pengaktifan berbagai jalur sinyal selanjutnya (RAS-MAP kinase, PI-3 kinase, PLC-y) dan pengaktifan berbagai faktor transkripsi.



Reseptortransmembran pasangan tujuh protein G(GPCRs)



Mediator radang multipel, hormon, semua kemokin



Ikatan ligan menginduksi perpindahan dari bentuk protein GDP-bound inactive associated G menjadi bentuk GTP-bound active; mengaktifkan cAMP; masuknya Ca' menyebabkan peningkatan motilitas sel; efek multipel lain.



Reseptor tanpa aktivitas enzim intrinsik



Berbagai sitokin termasuk interferon, hormon pertumbuhan, CSFs, EPO



Ikatan ligan menghasilkan kinases (misal Janus kinases [JAKs]) terjadi fosforilasi dan mengaktifkan faktor transkripsi (misal sinyal transduser dan aktivator transkripsi [STATs]).



cAMP, cyclic adenosine monophosphate; CSFs, colony-stimulating factors; EGF, epidermal growth factor; EPO, epopoietin; FGF, fibroblast growth factor; GDP, guanosine diphosphate; GTP, guanosine triphosphate; HGF, hepatocyte growth factor; PI3, phosphatidylinositol-3; PLC-γ, phospholipase Cγ; MAP, microtubule-associated protein; VEGF, vascular endothelial growth factor.



Regenerasi Sel dan Jaringan



Peran Matriks Ekstrasel pada Pemulihan Jaringan Pemulihan jaringan tidak hanya bergantung pada faktor pertumbuhan tetapi juga dengan interaksi sel dan komponen ECM. Kompleks ECM merupakan kompleks beberapa protein yang menyusun suatu jaringan yang mengelilingi sel dan merupakan bagian penting dari setiap jaringan tubuh. ECM mengeluarkan air, mengatur turgor jaringan lunak dan mineral, sehingga tulang menjadi kaku. Juga mengatur proliferasi, gerak dan diferensiasi sel sekitarnya, dengan mensuplai substrat untuk adhesi sel, migrasi dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan faktor pertumbuhan. ECM selalu mengadakan penyesuaian dalam sintesa dan degradasi mengikuti morfogenesis, penyembuhan luka, fibrosis kronik, dan invasi tumor dan metastasis. ECM terjadi dalam dua bentuk dasar: matriks interstisium dan membran basalis: (Gambar 2-27). • Matriks interstisium: ECM jenis ini dijumpai di rongga antar sel di jaringan ikat, dan di antara epitel dan jaringan penunjang vaskular dan struktur otot polos. Disintesa oleh sel mesenkim (misal fibroblas) dan juga cenderung membentuk gel amorfus tiga dimensi. Konstitusi utama ialah kolagen fibril dan non fibril, juga fibronektin, elastin, proteoglikan, hialuronat, dan elemen lain (dibahas kemudian). • Membran basalis: Matriks interstitium yang tersusun acak di jaringan ikat menjadi terorganisasi disekitar sel epitel, sel endotel, dan sel otot polos, membentuk membran basalis. Membran basalis terletak di bawah epitel dan disintesis oleh epitel di atasnya dan sel mesenkim di bawahnya, cenderung membentuk jaringan dengan susunan mirip "kawat ayam".



Konstitusi utama ialah kolagen tipe IV yang amorfik non fibriler dan laminin (lihat kemudian).



Komponen Matriks Ekstrasel Ada tiga komponen dasar ECM: (1) protein struktural fibrosa seperti kolagen dan elastin, yang kuat dan dapat membentuk kumparan; (2) gel dengan hidrasi air seperti proteoglikan dan hialuronat, yang memungkinkan lentur dan berminyak; dan (3) glikoprotein adhesif yang menghubungkan elemen matriks satu dengan lainnya dan dengan sel. (Gambar 2-27).







Kolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berbeda dijalin membentuk tripel heliks mirip tali. Kira-kira 30 tipe kolagen telah diidentifikasi sebagian merupakan bentuk unik sel dan jaringan. Beberapa tipe kolagen (misal tipe I, II, III, dan V) membentuk fibril karena adanya hubungan silang lateral dari tripel heliks. Kolagen fibril merupakan bagian terbesar dari jaringan ikat pada penyembuhan luka dan khususnya pada jaringan parut. Kekuatan kolagen fibril terjadi karena hubungan silang, merupakan hasil ikatan kovalen yang dikatalisasi oleh enzim oksidase. Proses ini bergantung pada vitamin C; maka itu seorang dengan defisiensi vitamin C akan mengalami deformitas tulang, mudah berdarah karena lemahnya membran basalis pembuluh darah, dan terhambatnya penyembuhan luka. Defek genetik pada kolagen akan menyebabkan penyakit misalnya osteogenesis imperfecta dan sindrom Ehlers-Danlos. Kolagen lain ialah jenis nonfibril dan membentuk membran basalis (tipe IV) atau komponen struktur lain seperti diskus intervertebralis (tipe IX) atau perbatasan dermis-epidermis (tipe VII).



Epitel



Integrin Fibrolas



MEMBRAN BASALIS • Kolagen tipe IV • laminin • Proteoglikan



Integrin Sel endotel Glikoprotein kapiler adhesif



Integrin Fibrolas



Proteogliklan



63



MATRIKS INTERSTISIUM • Kolagen fibril • Elastin Kolagen hubungan • Proteoglikan dan hialuronan silang heliks tripel



Proteoglikan Kolagen tipe IV Laminin



Gambar 2-27 Komponen utama matriks ekstraseluler (ECM), termasuk kolagen, proteoglikan, glikoprotein adhesif. Perhatikan walau ada tumpang tindih antara konstituen, membran basalis dan ECM interstisium berbeda dalam komposisi dan arsitektur. Epitel dan sel mesenkim (misal fibroblas) berinteraksi dengan ECM melalui integrin. Agar sederhana, banyak komponen ECM tidak disertakan (misal elastin, fibrillin, hialuronan, sindekan).



64



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan







Kemampuan jaringan untuk membentuk struktur kumparan dan kemudian kembali ke struktur awal setelah suatu tekanan fisis disebut jaringan elastik. Hal ini penting pada pembuluh darah besar (yang harus mengakomodasi aliran berdenyut yang berulang), demikian juga uterus, kulit, dan ligamen. Secara morfologik, jaringan elastin terdiri atas inti elastin di sentral dikelilingi oleh jalinan glikoprotein fibrilin. Defek sintesa fibrilin akan mengakibatkan abnormalitas tulang dan melemahnya dinding pembuluh aorta (seperti pada sindrom Marfan, dibahas di Bab 6).



• Integrin termasuk kelompok rantai glikoprotein heterodimer yang berperan dalam adhesi leukosit pada endotel. Juga merupakan reseptor sel utama untuk komponen ECM, misalnya fibronektin dan laminin. Telah dibicarakan beberapa integrin sebagai molekul permukaan leukosit yang berperan dalam adhesi dan transmigrasi melalui endotel pada tempat radang, dan akan dibicarakan kembali pada pembahasan agregasi trombosit di Bab 3. Integrin dijumpai di membran plasma semua sel, kecuali sel darah merah. Integrin terikat pada berbagai komponen ECM melalui motif RGD, menginisiasi sinyal kaskade yang dapat mempengaruhi gerak sel, proliferasi, dan diferensiasi. Domain intrasel berhubungan dengan filamen aktin, sehingga mempengaruhi bentuk dan mobilitas sel.







Proteoglikan merupakan gel yang bisa ditekan, mengandungi air, padat dan kenyal dan licin (seperti pada tulang rawan di sendi). Terdiri atas polisakarida rantai panjang, disebut glikosaminoglikan atau mukopolisakarida (contoh ialah sulfat dermatan dan sulfat heparan), terikat dengan protein tulang belakang. Hialuronan (disebut juga asam hialuronat), adalah suatu mukopolisakarida besar tanpa poros protein, juga merupakan bagian penting dari ECM yang mengikat air, membentuk matriks kental, mirip gelatin. Di samping fungsi untuk kemampuan menahan tekanan pada jaringan, proteoglikan juga berfungsi sebagai gudang untuk faktor pertumbuhan yang disekresi ke dalam ECM (misal faktor pertumbuhan fibroblas [FGF], HGF). Beberapa proteoglikan



merupakan protein membran integral yang mempunyai peran pada proliferasi sel, migrasi, dan adhesi — contohnya, dengan mengikat faktor pertumbuhan dan kemokin serta menghasilkan konsentrasi mediator lokal yang tinggi. Glikoprotein Adhesif dan Reseptor Adhesi Glikoprotein adhesif dan reseptor adhesi merupakan molekul struktural yang berbeda terlibat dalam adhesi sel ke sel, hubungan sel dengan ECM, dan ikatan antara komponen-komponen ECM. Glikoprotein adhesif termasuk fibronektin (komponen utama untuk ECM interstisium) dan laminin (bahan utama untuk membran basalis); dibicarakan di sini sebagai prototipe dari seluruh kelompok. Reseptor adhesi, juga dikenal sebagai molekul adhesi sel (CAM), dikelompokkan dalam empat kelompok yaitu immunoglobulin, kadherin, selektin, dan integrin — dan hanya integrin yang akan dibahas di sini. • Fibronektin merupakan heterodimer besar (450-kDa) yang terikat pada ikatan-disulfide yang disintesa oleh berbagai sel, termasuk, fibroblas, monosit, dan endotel yang terdapat dalam bentuk jaringan dan plasma. Fibronektin mempunyai domain spesifik yang mengikat komponen ECM dalam spektrum luas (misal kolagen, fibrin, heparin, proteoglikan) dan juga dapat terikat dengan integrin sel melalui motif tripeptide arginine-glycine-aspartic acid (RGD). Fibronektin jaringan membentuk agregrat fibril di tempat penyembuhan luka; fibronektin plasma mengikat fibrin dalam beku darah yang terbentuk pada luka, membentuk substratum untuk deposit ECM dan reepitelisasi • Laminin merupakan glikoprotein yang paling banyak dijumpai di membran basalis. Merupakan heterotrimer 820-kDa berbentuk silang yang menghubungkan sel dengan unsur komponen ECM seperti kolagen tipe IV dan sulfat heparan. Di samping mediasi untuk melekatkan pada membran basalis, laminin juga mengatur proliferasi sel, diferensiasi dan motilitas.



Fungsi Matriks Ekstrasel Peran ECM bukan hanya pengisi ruang sekitar sel. Berbagai fungsi lain termasuk: • Penopang mekanis untuk menjadi jangkar sel dan migrasi sel dan mempertahankan polaritas sel. • Mengatur proliferasi sel melalui ikatan dan penampilan faktor pertumbuhan dan sinyal melalui reseptor kelompok integrin. Jenis protein ECM dapat mempengaruhi derajat diferensiasi sel di jaringan terutama melalui integrin sel permukaan. • Penopang kerangka dasar untuk pembaharuan sel. Karena untuk mempertahankan struktur jaringan normal dibutuhkan membran basalis atau penopang kerangka stroma, maka integritas membran basalis atau stroma sel parenkim menjadi sangat penting untuk regenerasi jaringan yang telah terorganisasi. Sehingga walaupun sel labil dan sel stabil mampu beregenerasi, namun kerusakan ECM akan mengakibatkan kegagalan jaringan membentuk jaringan parut untuk regenerasi dan pemulihan (Gambar 2-24). • Pengadaan lingkungan mikro jaringan. Membran basalis berperan sebagai penghubung antara epitel dan jaringan ikat di bawahnya dan juga membentuk bagian dari aparat filtrasi di ginjal



RINGKASAN Matriks Ekstrasel dan Pemulihan Jaringan •











ECM mengandungi matriks interstisium antar sel, terdiri atas kolagen dan beberapa glikoprotein, sedangkan membran basalis di bawah epitel dan sekitar pembuluh, terdiri atas kolagen nonfibriler dan laminin. ECM mempunyai beberapa fungsi penting:  Penopang mekanis untuk jaringan; hal ini merupakan peran kolagen dan elastin.  Bekerja sebagai substrat untuk pertumbuhan sel dan pembentukan lingkungan mikro jaringan.  Mengatur proliferasi sel dan diferensiasi; proteoglikan dapat mengikat faktor pertumbuhan dan menampilkannya dalam konsentrasi tinggi, sedangkan fibronektin dan laminin menstimulasi sel melalui reseptor integrin sel. ECM intak dibutuhkan untuk regenerasi jaringan, dan apabila ECM rusak, pemulihan hanya dapat terjadi dengan pembentukan jaingan parut.



Pembentukan Jaringan Parut



65



Setelah pembahasan komponen dasar untuk pemulihan jaringan, akan dilanjutkan dengan diskusi mengenai pemulihan melalui regenerasi dan pembentukan jaringan parut.



Peran Regenerasi pada Pemulihan Jaringan Pentingnya regenerasi pada penggantian jaringan cedera bervariasi pada berbagai jenis jaringan dan beratnya jejas. • Pada jaringan labil, seperti epitel saluran cerna dan kulit, sel cedera segera diganti oleh proliferasi sel residu dan diferensiasi sel punca apabila membran basalis di bawahnya utuh. Faktor pertumbuhan yang terlibat dalam proses ini tidak dibicarakan. Hilangnya sel darah diperbaiki dengan proliferasi progenitor hematopoetik di sumsum tulang dan jaringan lain, diatur oleh CSF, yang diproduksi untuk merespons menurunnya jumlah sel darah.



A



• Regenerasi jaringan stabil terjadi di organ parenkim dengan populasi sel stabil, dengan pengecualian hati dan hal ini biasanya merupakan proses yang terbatas. Pankreas, adrenal, tiroid, dan paru mempunyai sedikit kapasitas regenerasi. Operasi pengangkatan ginjal akan mengakibatkan respons kompensatori ginjal kontralateral berupa hipertrofi dan hiperplasia sel duktus proksimal. Mekanisme yang mendasari respons ini tidak diketahui. • Respons regeneratif hati yang terjadi setelah operasi pengangkatan jaringan hati amat mengherankan dan hal unik di antara organ lain. Sejumlah 40% hingga 60% dari hati dapat diangkat pada prosedur yang disebut transplantasi donor hidup, di mana sebagian dari hati orang normal direseksi dan ditransplantasi pada resipien dengan penyakit hati stadium akhir (Gambar 2-28), atau setelah hepatektomi parsial pada pengangkatan tumor. Pada kedua keadaan, pengangkatan jaringan memicu respons proliferatif sel hati yang tersisa (yang biasanya fase tenang) dan replikasi sel hati non parenkim. Pada sistem eksperimental, replikasi sel hepar setelah hepatektomi parsial diawali oleh sitokin (misal TNF, IL-6) yang menyiapkan sel untuk replikasi melalui stimulasi transisi Go menjadi Gi pada siklus sel. Progresi selanjutnya melalui siklus sel tergantung pada aktivitas faktor pertumbuhan seperti HGF (dihasilkan fibroblas, sel endotel, dan sel nonparenkim hati) dan faktor kelompok EGF, termasuk transformasi faktor pertumbuhan-α (TGF-a) (diproduksi oleh berbagai jenis sel).



Suatu hal yang perlu dicermati ialah bahwa regenerasi ekstensif atau hiperplasia kompensatori hanya dapat terjadi apabila kerangka jaringan ikat residu masih utuh strukturnya, seperti sehabis reseksi bedah. Sebaliknya apabila seluruh jaringan telah rusak akibat infeksi atau inflamasi, maka regenerasi tidak lengkap dan akan diikuti pembentukan jaringan parut. Contoh, destruksi ekstensif dengan kolaps kerangka retikulin, seperti pada abses hati, mengakibatkan pembentukan jaringan parut walaupun sel hati yang tersisa mempunyai kemampuan untuk regenerasi.



B Gambar 2-28 Regenerasi hati. Scan tomografi melalui komputer memperlihatkan hati donor pada transplantasi hati donor hidup A, Hati donor sebelum operasi. Perhatikan lobus kanan (outline), yang akan direseksi dan akan dipakai untuk transplantasi. B, Scan hati yang sama I minggu setelah reseksi lobus kanan; perhatikan pembesaran lobus kiri (outline) tanpa terjadi pertumbuhan kembali lobus kanan Penghorgoon kepada R Troisi, MD, Ghent University, Flanders, Belgium.)



PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT Seperti dibahas sebelumnya, apabila jejas sangat parah atau kronik dan mengakibatkan kerusakan sel parenkim, sel epitel dan juga jaringan penunjang, atau apabila sel yang tidak membelah mengalami cedera, pemulihan tidak dapat terjadi hanya dengan proses regenerasi saja. Pada keadaan demikian, pemulihan terjadi dengan penggantian sel yang tidak dapat beregenerasi dengan jaringan ikat, sehingga terbentuk jaringan parut, atau kombinasi regenerasi sel sebagian dan sisanya berupa pembentukan jaringan parut.



Tahapan Pembentukan Jaringan Parut Pemulihan dengan pembentukan jaringan ikat terdiri atas proses sekuensial setelah respons radang (Gambar 2-29): • Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) • Migrasi dan proliferasi fibroblas dan deposisi jaringan ikat yang bersama dengan pembuluh darah yang banyak dan leukosit yang tersebar, berwarna merah muda dan memberikan gambaran granuler sehingga disebut jaringan granulasi.



66



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan • Maturasi dan reorganisasi jaringan ikat (remodel) menghasilkan jaringan parut yang stabil.



NORMAL



1 Infeksi atau jejas



CEDERA JARINGAN



Daerah jajas



Pemulihan dimulai 24 jam setelah jejas ditandai dengan emigrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Setelah 3 hingga 5 hari, dijumpai jaringan granulasi yang merupakan tanda khas proses penyembuhan. Istilah jaringan granulasi timbul dari gambaran makroskopik, seperti yang tampak pada luka di kulit. Gambaran histologis menunjukkan proliferasi fibroblas dan terbentuknya kapiler halus yang baru berdinding tipis (angiogenesis) dalam jaringan ECM longgar, sering bercampur melalui siklus sel tergantung pada aktivitas faktor pertumbuhan seperti HGF (dihasilkan fibroblas, sel endotel, dan sel nonparenkim hati) dan faktor kelompok EGF, termasuk transformasi faktor pertumbuhan-α (TGF-a) (diproduksi oleh berbagai jenis sel).



RADANG



Angiogenesis PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI



PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT



Gambar 2-29 Langkah pembentukan jaringan parut. Jejas pada suatu jaringan yang mempunyai daya regenerasi terbatas, dimulai dengan reaksi radang, yang akan menghilangkan sel mati dan mikroba, apabila ada. Kemudian akan dilanjutkan dengan jaringan granulasi bervaskular dan kemudian deposisi ECM untuk membentuk jaringan parut. ECM, matriks ekstraseluler.



A



Angiogenesis ialah proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh yang telah ada, terutama vena. Merupakan proses yang sangat penting pada pemulihan luka di tempat jejas, untuk pembentukan kolateral di daerah iskemia, dan menyebabkan tumor dapat bertambah besar walaupun suplai darah terbatas. Banyak upaya dilakukan untuk dapat memahami mekanisme yang mendasari angiogenesis, dan terapi untuk meningkatkan proses (misal meningkatkan aliran darah ke jantung yang terkena aterosklerosis koroner) maupun upaya untuk mencegah proses (misal mengacaukan pertumbuhan tumor atau menghentikan pertumbuhan pembuluh darah patologis seperti pada retinopati diabetik) sedang dikembangkan. Angiogenesis, yaitu timbulnya pembuluh darah baru terjadi melalui pertumbuhan percabangan pembuluh darah yang ada dan terdiri dari langkah berikut (Gambar 2-31): • Vasodilator terjadi karena respons terhadap NO dan pertambahan permeabilitas yang diinduksi oleh VEGF. • Lepasnya perisit dari permukaan. • Migrasi sel endotel menuju tempat jejas.



B



Gambar 2-30 A, Jaringan granulasi menunjukkan beberapa pembuluh darah, edema, dan ECM yang renggang dengan beberapa sel radang. Kolagen berwarna biru dengan pulasan trikrom; kolagen matur terbatas dijumpai di sini. B, Pulasan trikrom jaringan parut matur, menunjukkan kolagen padat dengan hanya beberapa rongga pembuluh darah. ECM, matriks ekstraseluler.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis



67



Perisit



Pembuluh normal



Tunas pembuluh



Pertumbuhan pembuluh darah baru, pengumpulan perisit



Pembuluh matur



Gambar 2-3 I Mekanisme angiogenesis. Pada pemulihan jaringan, angiogenesis terjadi terutama karena faktor pertumbuhan dorongan pertumbuhan—sisa endotel, pertumbuhan pembuluh baru, dan pengumpulan perisit untuk membentuk pembuluh darah baru.



• Proliferasi sel endotel dibelakang sel yang bermigrasi didepannya. • Proses penyesuaian bentuk menjadi pipa kapiler. • Pengumpulan sel periendotel (perisit untuk kapiler kecil dan sel otot polos untuk pembuluh darah yang lebih besar) untuk membentuk pembuluh matur. • Supresi proliferasi endotel dan migrasi serta deposisi membran basalis Proses angiogenesis melibatkan berbagai faktor pertumbuhan, interaksi antar sel, interaksi dengan protein ECM, dan enzim jaringan. Faktor Pertumbuhan yang Terlibat pada Angiogenesis Beberapa faktor pertumbuhan berperan pada proses angiogenesis; yang terpenting ialah VEGF dan faktor pertumbuhan dasar fibroblas (FGF-2). • Faktor pertumbuhan kelompok VEGF termasuk VEGF-A, -B, -C, -D, dan -E dan faktor pertumbuhan plasenta (P1GF). VEGF-A biasanya dikenal sebagai VEGF merupakan penginduksi utama angiogenesis setelah terjadinya jejas dan pada tumor; VEGF-B dan P1GF terlibat dalam pembentukan pembuluh pada embrio; dan VEGF-C dan -D menstimulasi lymphangiogenesis dan angiogenesis. VEGFs diekspresi di berbagai jaringan dewasa, dengan ekspresi tertinggi di sel epitel yang berdekatan dengan epitel yang bersifat sebagai penyaring (misal podosit di ginjal, epitel pigmen di retina). Terjadi ikatan dengan reseptor kelompok tirosin kinase (VEGFR-1, -2, dan -3). Reseptor terpenting untuk angiogenesis ialah VEGFR-2, yang terekspresi oleh sel target VEGF, khususnya sel endotel. Di antara berbagai penyebab induksi VEGF, yang terpenting ialah hipoksia, yang lainnya ialah faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF), TGF-a, dan TGF-13. VEGF menstimulasi migrasi dan proliferasi sel endotel, sehingga menginisiasi proses pertumbuhan kapiler pada angiogenesis. Akan terjadi vasodilatasi yang akan mestimulasi produksi NO, dan berperan pada pembentukan lumen vaskular. Antibodi terhadap VEGF disetujui untuk terapi beberapa tumor yang penyebaran dan pertumbuhannya bergantung pada angiogenesis. Antibodi ini juga dipergunakan untuk terapi degenerasi makula "basah" yang berkaitan dengan usia, "wet age-related macular degeneration" (neovaskular), suatu penyebab utama gangguan penglihatan pada penderita dewasa usia di atas 50 tahun, dan merupakan penelitian klinis untuk pengobatan angiogenesis yang dikaitkan dengan retinopati prematur dan bocornya pembuluh yang menyebabkan edema makula pada diabetes.



• Kelompok faktor pertumbuhan fibroblas (FGF) terdiri atas lebih dari 20 macam, paling dikenal ialah FGF-1 (FGF asam) dan FGF-2 (FGF basa). Faktor pertumbuhan ini diproduksi oleh berbagai sel dan akan berikatan dengan reseptor kelompok membran plasma yang mempunyai aktivitas tirosin kinase. FGF yang dilepas akan berikatan dengan sulfat heparan disimpan di ECM. FGF-2 berpartisipasi pada angiogenesis terutama dengan menstimulasi proliferasi sel endotel. Juga akan mengakibatkan migrasi makrofag dan fibroblas menuju daerah cedera, dan menstimulasi migrasi sel epitel untuk menutup luka pada epidermis • Angiopoietin Angl dan Ang2 merupakan faktor pertumbuhan yang berperan pada angiogenesis dan maturasi struktur pembuluh darah baru. Pembuluh darah yang baru terbentuk harus distabilkan dengan pengerahan perisit dan sel otot polos dan pengendapan jaringan ikat. Ang1 berinteraksi dengan reseptor tirosin kinase pada sel endotel yang disebut Tie2. Faktor pertumbuhan PDGF dan TGF-P juga berpartisipasi pada proses stabilisasi PDGF mengumpulkan sel otot polos dan TGF-P menekan proliferasi endotel dan migrasi endotel, dan meningkatkan produksi protein ECM. Pertumbuhan pembuluh darah pada masa embrio disebut vaskulogenesis. Pada vaskulogenesis, pembuluh darah dibentuk de novo melalui penyatuan prekursor endotel yang disebut angioblas. Angioblas berasal dari hemangioblas, yang juga menyediakan prekursor untuk sistem hematopoietik. Di samping itu, ada progenitor endotel pada orang dewasa yang berasal dari sel punca sumsum tulang dan bersirkulasi di darah. Kontribusi sel tersebut pada angiogenesis pada orang dewasa belum jelas. Protein ECM berpartisipasi pada pertumbuhan pembuluh pada proses angiogenesis, terutama melalui interaksi dengan reseptor integrin di sel endotel dan menyediakan penopang untuk pertumbuhan pembuluh. Enzim di ECM, yaitu metalloproteinase matriks (MMPs), mendegradasi ECM sehingga memungkinkan penyesuaian bentuk dan ekstensi pipa vaskular. Pembuluh darah baru yang terbentuk masih bocor, karena perlekatan antar endotel tidak lengkap dan karena VEGF meningkatkan permeabilitas vaskular. Kebocoran ini menjelaskan mengapa sering dijumpai edema pada jaringan granulasi dan masih dijumpai pada penyembuhan luka walaupun respons radang akut sudah lama selesai. Juga, akan menyebabkan peningkatan tekanan intratumor dan juga menjadi dasar edema yang amat menyulitkan pada proses patologis angiogenesis okuler misalnya degenerasi makula yang basah.



68



BAB2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Pengaktifan Fibroblas dan Penimbunan Jaringan Ikat Pengendapan jaringan ikat pada jaringan parut terjadi melalui dua tahapan: (1) migrasi dan proliferasi fibroblas di tempat cedera dan (2) penimbunan protein ECM yang diproduksi oleh sel tersebut. Pengumpulan dan pengaktifan fibroblas untuk mensintesa protein jaringan ikat dipicu oleh berbagai fakor pertumbuhan, termasuk PDGF, FGF-2 (dibicarakan terdahulu), dan TGF-P. Sumber utama faktor ini ialah sel radang, terutama makrofag, yang berada di tempat jejas dan di jaringan granulasi. Di tempat terjadinya radang juga dijumpai banyak sel mast, dan dalam lingkungan kemotaksis yang sesuai, limfosit juga dijumpai. Masing-masing jenis sel dapat mensekresi sitokin dan faktor pertumbuhan yang berperan pada proliferasi dan pengaktifan fibroblas. Dengan berjalannya proses penyembuhan, jumlah fibroblas yang berproliferasi dan jumlah pembuluh darah baru akan menurun, namun, fibroblas secara progesif membentuk fenotipe sintetik, sehingga terjadi peningkatan deposit ECM. Sintesa kolagen, khususnya, merupakan hal penting untuk menentukan kekuatan pada daerah luka. Seperti akan dibicarakan kemudian, sintesa kolagen dimulai segera setelah penyembuhan luka (hari ke 3 hingga 5) dan berlangsung selama beberapa minggu, tergantung pada ukuran luka. Jumlah akumulasi kolagen akhir akan tergantung tidak hanya oleh peningkatan sintesa tetapi juga oleh degradasi kolagen (dibicarakan kemudian). Selanjutnya, jaringan granulasi membentuk jaringan parut yang terutama terdiri atas fibroblas yang sebagian besar tidak aktif berbentuk spindel, kolagen padat, fragmen jaringan elastin, dan komponen ECM lain (Gambar 2-30, B). Setelah jaringan parut menjadi matur, terjadi regresi vaskular progresif, sehingga mengubah jaringan granulasi yang kaya pembuluh darah menjadi jaringan parut tanpa pembuluh darah.



  Berbagai faktor pertumbuhan terlibat dalam proses ini, termasuk TGF-(3, PDGF, dan FGF. Karena FGF juga terlibat dalam angiogenesis, telah dibahas sebelumnya. Di sini akan dibahas singkat peran TGF-fl dan PDGF. • Faktor pertumbuhan transformasi-(3 (TGF-(3) termasuk kelompok polipeptida homolog (TGF-P1, -P2, dan -(33) dan termasuk juga sitokin lain seperti protein morfogenetik tulang. Isoform TGF-P1 terdistribusi luas dan biasanya dikenal sebagai TGF-(3. Faktor aktif TGF-131 ini mengikat dua reseptor permukaan sel dengan aktivitas serine-threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang disebut Smads. TGF-P mempunyai berbagai efek dan kadang-kadang efek yang berlawanan, tergantung pada tipe sel dan status metabolit jaringan. Dalam masalah radang dan pemulihan jaringan, TGF-P mempunyai dua fungsi: 



TGF-(3 merangsang produksi kolagen, fibronektin, dan proteoglikan, dan mencegah degradasi kolagen melalui penekanan aktivitas proteinase dan peningkatan aktivitas inhibitor proteinase



dikenal sebagai TIMPs (akan dibahas lebih lanjut). TGF-P terlibat tidak saja dalam pembentukan jaringan parut setelah cedera, tetapi juga pada pembentukan fibrosis di paru, hati, dan ginjal setelah terjadi radang kronik. 



TGF-P merupakan sitokin anti inflamasi yang berfungsi menekan dan mengakhiri respons radang. Hal ini terjadi melalui penghambatan proliferasi limfosist dan aktivitas leukosit lain. Mencit yang tidak mempunyai TGF-P akan mengalami radang luas dan proliferasi limfosit berlebihan.



• Faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF) termasuk kelompok protein dengan sifat yang hampir sama, masing-masing mengandungi dua rantai, disebut A dan B. Ada lima jenis isoform PDGF utama, yang isoform BB merupakan prototipe; dan disebut PDGF. PDGF mengikat reseptor PDGFROE dan PDGFRP. PDGF disimpan dalam trombosit dan dilepaskan saat pengaktifan trombosit dan juga diproduksi oleh sel endotel, makrofag yang teraktifkan, sel otot polos dan berbagai sel tumor. PDGF mengakibatkan migrasi dan proliferasi fibroblas dan sel otot polos dan juga berperan dalam migrasi makrofag. • Sitokin (dibahas sebelumnya sebagai mediator radang, dan di Bab 4 dalam kaitannya dengan respons imun) juga bisa berfungsi sebagai faktor pertumbuhan dan berpartisipasi pada penimbunan ECM dan pembentukan jaringan parut. IL-1 dan IL-13, sebagai contoh, berperan pada fibroblas untuk merangsang sintesa kolagen, dan juga akan meningkatkan proliferasi dan migrasi fibroblas.



Penyesuaian Bentuk Jaringan Ikat Setelah sintesa dan deposisi, jaringan ikat pada jaringan parut akan dilanjutkan dengan proses pengubahan dan penyesuaian bentuk. Sehingga hasil akhir proses penyembuhan adalah keseimbangan antara sintesa dan degradasi protein ECM. Telah dibahas sel dan faktor yang mengatur sintesa ECM. Degradasi kolagen dan komponen ECM lain terjadi karena kelompok metalloproteinases matriks (MMPs), yang bergantung pada ion zinc untuk aktivitasnya. MMPs harus dibedakan dengan elastase neutrofil, kathepsin G, plasmin, dan proteinase serin lain yang juga dapat mendegradasi ECM tetapi bukan metalloenzymes. Termasuk MMPs ialah kolagen interstisium, yang menghasilkan kolagen fibril (MMP-1, -2, dan -3); gelatinase (MMP-2 dan -9), yang akan mendegradasi kolagen amorfik dan fibronektin; dan stromelysin (MMP-3, -10, dan -11), yang akan mendegradasi sejumlah unsur ECM, termasuk proteoglikan, laminin, fibronektin, dan kolagen amorfik.



MMPs diproduksi oleh berbagai sel (fibroblas, makrofag, neutrofil, sel sinovial, dan beberapa sel epitel), dan sintesa serta sekresinya diatur oleh faktor pertumbuhan, sitokin, dan agen lain. Aktivitas MMPs diatur ketat. Diproduksi sebagai prekursor inaktif (zymogen) yang harus diaktifkan terlebih dahulu; dilakukan oleh proteases (misal plasmin) yang dijumpai hanya di tempat jejas. Sebagai tambahan, MMPs yang telah diaktifkan dapat segera dicegah oleh inhibitor jaringan khusus yaitu metalloproteinase (TIMPs), yang diproduksi oleh sel mesenkim. Sehingga selama proses pembentukan jaringan parut, MMPs diaktifkan untuk penyesuaian bentuk ECM yang dideposit, dan kemudian aktivitasnya akan dihentikan oleh TIMPs.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis



Pada beberapa keadaan pengaruh glukokortikoid menguntungkan. Misalnya pada infeksi kornea, glukokortikoid dipergunakan (bersama antibiotik) untuk mengurangi kemungkinan mata keruh akibat deposisi kolagen.



RINGKASAN Pemulihan melalui Pembentukan Jaringan Parut • •



Jaringan dapat dipulihkan dengan regenerasi melalui restorasi lengkap bentuk dan fungsi, atau dengan penggantian jaringan ikat dan jaringan parut. Pemulihan jaringan dengan deposisi jaringan ikat melibatkan angiogenesis, migrasi dan proliferasi fibroblas, sintesa kolagen, dan penyesuaian bentuk jaringan ikat.







Pemulihan oleh jaringan ikat dimulai dengan pembentukan jaringan granulasi dan diakhiri dengan pengendapan jaringan fibrosa.







Berbagai faktor pertumbuhan menstimulasi proliferasi sel yang terlibat dalam pemulihan jaringan. TGF-(3 merupakan agen fibrogenik poten: deposisi ECM bergantung pada keseimbangan antara agen fibrogenik, metalloproteinase (MMPs) yang mencerna ECM, dan TIMPs.







FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMULIHAN JARINGAN Pemulihan jaringan dapat terhambat akibat bermacam-macam pengaruh, sehingga menurunkan kualitas proses pemulihan. Variabel yang mempengaruhi pemulihan bisa ekstrinsik (misal infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang mengalami jejas. Penyebab terpenting ialah infeksi dan diabetes. • Infeksi merupakan penyebab terpenting yang menghambat proses pemulihan. Infeksi akan memperpanjang proses radang dan berpotensi menambah luas tempat cedera. • Nutrisi berperan penting pada pemulihan, defisiensi protein, misalnya, pada khususnya defisiensi vitamin C akan menghambat sintesa kolagen dan menghambat proses penyembuhan. • Glukokortikoid (steroids) dikenal mempunyai efek anti-radang, pemberian obat ini mengakibatkan lemahnya jaringan parut karena inhibisi produksi TGF-P dan pengurangan fibrosis.



A



69



• Variabel mekanik seperti tekanan lokal yang meningkat atau torsi dapat mengakibatkan luka tertarik menjadi pecah (dehisce). • Perfusi buruk akibat arteriosklerosis dan diabetes atau karena obstruksi drainase vena (misal varices) juga akan menghambat penyembuhan. • Benda asing misal fragmen besi, kaca, atau tulang juga akan mengganggu penyembuhan. • Tipe dan luasnya jejas jaringan mempengaruhi proses pemulihan. Restorasi lengkap hanya dapat terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel stabil dan sel labil, kerusakan jaringan yang terdiri atas sel permanen tidak dapat dihindarkan akan mengakibatkan jaringan parut seperti pada infark miokardium. • Lokasi jejas dan sifat jaringan tempat jejas berada juga menentukan. Contoh, inflamasi yang berasal dari jaringan berongga (misalnya pleura, peritoneum, atau rongga sinovia) akan menyebabkan terbentuknya eksudat yang ekstensif. Pemulihan terjadi dengan pencernaan eksudat, diinisiasi oleh enzim proteolitik leukosit dan resorpsi eksudat yang menjadi encer. Hal ini disebut resolusi, dan biasanya, apabila tidak ada nekrosis sel, arsitektur normal jaringan akan pulih kembali. Apabila dijumpai akumulasi eksudat yang banyak, akan terjadi organisasi eksudat. Jaringan granulasi tumbuh di dalam eksudat dan akan terbentuk jaringan parut. • Aberasi pertumbuhan sel dan produksi ECM dapat terjadi pada awal penyembuhan luka. Contohnya, akumulasi kolagen yang berlebihan akan mengakibatkan jaringan parut yang tumbuh menonjol ke atas, disebut keloid (Gambar 2-32). Agaknya ada pengaruh keturunan pada timbulnya keloid, keadaan ini lebih sering dijumpai pada orang Amerika asal Afrika. Penyembuhan luka juga dapat menghasilkan jaringan granulasi yang berlebihan dan menonjol sampai di atas permukaan jaringan kulit sekitarnya dan akan mengganggu proses reepitelisasi. Jaringan tersebut disebut daging yang membanggakan ("proud flesh") jaman dahulu, dan untuk restorasi kontinuitas epitel dibutuhkan kauterisasi atau reseksi bedah jaringan granulasi tersebut.



B



Gambar 2-32 Keloid. A, Deposit kolagen berlebihan di kulit membentuk jaringan parut yang menonjol ke permukaan disebut keloid. B, Deposit jaringan ikat yang padat di dermis.



(A, Dari Murphy GF, Herzberg AJ: Atios o( Dermatology. Philadelphia, WB Sounders, 1996. B, Penghargaan kepada Z. Argenyi, MD, University of Washington, Seattle, Washington. )



70



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



Penyembuhan Luka Kulit



CONTOH KLINIS TERPILIH DARI PEMULIHAN JARINGAN DAN FIBROSIS Hingga kini telah dibahas prinsip umum dan mekanisme pemulihan jaringan melalui regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Pada bagian ini akan dibahas dua tipe klinis penting pemulihan jaringan penyembuhan luka kulit (penyembuhan luka daerah kutan) dan fibrosis pada jejas organ parenkim.



Penyembuhan luka kulit melibatkan regenerasi epitel dan pembentukan jaringan ikat parut dan merupakan contoh prinsip umum yang berlaku untuk semua jaringan. Bergantung pada sifat dan besarnya luka, dapat terjadi penyembuhan perprimam atau penyembuhan persekundam.



  Salah satu contoh sederhana pemulihan luka, ialah penyembuhan dari luka insisi bedah yang bersih tanpa infeksi dan dijahit dengan benang (Gambar 2-33). Hal ini disebut penyatuan primer,



PENYEMBUHAN PERPRIMAM



PENYEMBUHAN PERSEKUNDAM Sisa jaringan nekrotik



Neutrophil 24 jam



Bekuan



Mitosis Jaringan granulasi 3 hingga 7 hari



Beberapa minggu



Makrofag Fibroblas Kapiler baru



Penyatuan fibrosa



Kontraksi luka



Gambar 2-33 Langkah penyembuhan luka perprimam (kiri) dan penyembuhan persekundam (kanan). Pada yang terakhir, perhatikan jaringan granulasi yang banyak dan kontraksi luka.



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis atau penyembuhan perprimam. Insisi hanya akan mengakibatkan gangguan lokal kontinuitas epitel membran basalis dan kematian terbatas sel epitel dan jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi epitel merupakan mekanisme utama pemulihan jaringan. Suatu jaringan parut yang kecil terbentuk, tapi hanya ada pengerutan luka terbatas. Ruang insisi yang kecil mula-mula diisi dengan fibrin beku darah, kemudian segera diganti oleh jaringan granulasi dan dilapisi epitel baru. Langkah pada proses ini ialah: • Dalam 24 jam, neutrofil dijumpai pada tepi insisi, migrasi menuju bekuan fibrin. Sel basal di tepi insisi epidermis akan memperlihatkan aktivitas mitosis yang bertambah. Dalam 24 hingga 48 jam, sel epitel kedua tepi mulai bermigrasi dan berproliferasi sepanjang dermis, mengendapkan komponen membran basalis selama proses. Sel akan bertemu di garis tengah di permukaan di bawah sisa sel yang cedera, membentuk lapisan epitel tipis yang kontinu. • Pada hari ke 3, neutrofil telah digantikan oleh makrofag, dan jaringan granulasi secara progresif mengisi ruang insisi. Serat kolagen sekarang tampak di tepi insisi, tetapi letak memanjang dan tidak menghubungkan insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, membentuk lapisan penutup epidermis. • Pada hari ke 5, neovaskularisasi terbentuk lengkap dan jaringan granulasi mengisi ruang insisi. Serat kolagen dijumpai makin banyak dan



mulai menghubungkan kedua tepi insisi. Tebal epidermis menjadi normal kembali dan diferensiasi sel permukaan membentuk arsitektur epidermis matur dengan keratinisasi di permukaan. • Selama minggu kedua, terjadi akumulasi kolagen terus menerus dan proliferasi fibroblas. Infiltrasi leukosit, edema, dan pembuluh darah yang meningkat perlahan-lahan berkurang. Proses pemulihan yang panjang dimulai dengan deposit kolagen dalam luka parut insisi dan regresi pembuluh darah. • Pada akhir bulan pertama, jaringan parut mengandungi jaringan ikat seluler, tanpa sel radang, dilapisi epitel epidermis normal. Namun, apendiks kulit yang rusak pada garis insisi, hilang selamanya, tidak diganti. Kekuatan daerah luka akan meningkat dengan berlalunya waktu, seperti akan dibicarakan kemudian.



  Apabila kerusakan sel atau jaringan lebih ekstensif, misalnya pada luka yang luas, pada tempat pembentukan abses, ulserasi, dan nekrosis iskemik (infark) di organ parenkim, proses penyembuhan lebih kompleks dan melibatkan kombinasi regenerasi dan pembentukan jaringan parut. Pada penyembuhan persekundam pada luka kulit,juga disebut penyembuhan melalui penyatuan sekunder (Gambar 2-34; juga Gambar 2-33),



A



B



C



D



Gambar 2-34 Penyembuhan ulkus kulit. A, Ulkus tekanan pada kulit, biasanya dijumpai pada penderita diabetes. B, Ulkus kulit dengan celah besar antar tepi lesi. C, Lapisan tipis reepitelisasi epidermis, dan jaringan granulasi yang ekstensif. D, Reepitelisasi epidermis berlanjut dan kontraksi luka. (Penghargoan kepodo Z. Argenyi, MD, Woshington University, Seattle, Washington.)



71



72



BAB 2



Radang dan Pemulihan Jaringan



reaksi radang lebih intens, dan terjadi jaringan granulasi yang luas, dengan akumulasi ECM dan pembentukan jaringan parut yang luas, diikuti dngan kontraksi luka dimediasi oleh miofibroblas. Penyembuhan persekundam berbeda dengan penyembuhan perpriman dalam beberapa aspek: • Beku darah yang besar atau bekas sisa jaringan kaya fibrin dan fibronektin terbentuk di permukaan luka. • Inflamasi lebih intens karena defek luas dengan sisa jaringan nekrotik yang banyak, eksudat, dan fibrin yang harus dibuang bertambah. Sebaliknya, defek yang luas mempunyai potensi yang lebih besar untuk menimbulkan radang sekunder akibat jejas. • Defek yang besar membutuhkan volume jaringan granulasi yang besar untuk mengisi rongga yang besar dan kerangka jaringan untuk proses pertumbuhan epitel kembali. Volume jaringan granulasi yang besar akan mengakibatkan jaringan parut yang luas. • Penyembuhan persekundam berkaitan dengan kontraksi luka. Dalam 6 minggu, sebagai contoh, defek kulit yang luas akan berkurang menjadi 5% hingga 10% lebih kecil dari ukuran semula, terutama karena terjadinya kontraksi. Proses ini dijelaskan dengan adanya miofibroblas, yang merupakan fibroblas, yang telah dimodifikasi, yang mempunyai kemampuan berbagai fungsi ultrastruktural dan fungsional sel otot polos.



  Luka yang dijahit dengan hati-hati mempunyai 70% kekuatan kulit normal, terutama karena letak benang jahitan. Apabila benang jahitan diangkat, biasanya setelah 1 minggu, kekuatan luka hanya 10% dari kulit yang tidak terluka, tetapi kekuatannya akan meningkat dengan cepat dalam 4 minggu berikut. Pemulihan kekuatan terjadi karena sintesa kolagen yang melebihi degradasi pada 2 bulan pertama, dan dari modifikasi struktur kolagen (misal cross-linking, ukuran serat yang membesar) apabila proses sintesa menurun kemudian. Kekuatan luka akan mencapai kira-kira 70% hingga 80% dari normal dalam waktu 3 bulan dan kemudian tidak berubah setelah mencapai titik tersebut.



Fibrosis pada Organ Parenkim Deposit kolagen merupakan bagian normal dari penyembuhan luka. Istilah fibrosis dipakai untuk menyatakan adanya deposit berlebihan kolagen dan komponen ECM lain di jaringan. Seperti telah dibahas sebelumnya, istilah jaringan parut dan fibrosis dipergunakan bergantian, tetapi fibrosis sering dipakai pada deposit kolagen pada penyakit kronik. Mekanisme dasar fibrosis dan pembentukan jaringan parut sama pada proses pemulihan jaringan. Tetapi, pemulihan jaringan akan terjadi setelah stimulus merugikan singkat dan akan diikuti dengan sekuens teratur selanjutnya, sedangkan fibrosis terjadi setelah induksi stimulus merugikan yang persisten seperti infeksi, reaksi imunologi, dan jejas jaringan lain. Fibrosis pada penyakit kronik seperti fibrosis paru akan mengakibatkan disfungsi organ dan bahkan kegagalan organ.



RINGKASAN Penyembuhan Luka Kulit dan Aspel< Patologis Pemulihan Jaringan •



Luka pada kulit akan sembuh melalui penyembuhan perprimam atau penyembuhan persekundam; penyembuhan persekundam mengakibatkan jaringan parut yang luas dan kontraksi luka.







Penyembuhan luka bisa terganggu oleh berbagai kondisi, terutama infeksi dan diabetes; tipe, luas dan lokasi jejas juga merupakan faktor penting pada proses penyembuhan.







Produksi berlebihan ECM bisa menyebabkan keloid pada kulit. Stimulasi persisten sintesa kolagen pada penyakit inflamasi kronik akan mengakibatkan fibrosis jaringan.



KEPUSTAKAAN Bradley JR: TNF-mediated inflammatory disease. J Pathol 214:149, 2008. c [Tinjauan biologi TNF dan peran klinis antagonis TNF.] Carlson BM: Some principles of regeneration in mammalian systems. Anat Rec 287:4, 2005. [Tinjauan menarik tentang aspek evolusi dan mekanisme umum regenerasi tungkai dan organ.] Carmeliet P: Angiogenesis in life, disease and medicine. Nature 438:932, 2005. [Tinjauan aspek utama angiogenesis normal dan abnormal.] Charo IF, Ransohoff RM: The many roles of chemokines and chemokine receptors in inflammation. N Engl J Med 354:610, 2006. [Tinjauan fungsi kemokin pada radang.] Fausto N: Liver regeneration and repair: hepatocytes, progenitor cells and stem cells. Hepatology 39:1477, 2004. [Tinjauan mekanisme seluler dan molekuler pada regenerasi hati.] Gabay C, Lamacchia C, Palmer G: IL-1 pathways in inflammation and human diseases. Nat Rev Rheumatol 6:232, 2010. [Tinjauan yang baik tentang biologi IL-1 dan terapi target sitokin ini pada penyakit radang.] Gurtner GC, Werner S, Barrandon Y, Longaker MT: Wound repair and regeneration. Nature 453:314, 2008. [Tinjauan yang baik tentang prinsip regenerasi jaringan dan pemulihan jaringan.] Hynes RO: Integrins: bidirectional, allosteric sinyaling machines. Ce11110:673, 2002. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme molekuler sinyal integrin hubungan komponen ECM dengan jalur sinyal transduksi.] Jiang D, Liang J, Noble PW: Hyaluronans in tissue injury and repair. Annu Rev Cell Dev Biol 23:435, 2007. [Diskusi peran kelompok utama protein ECM pada pemulihan jaringan.] Khanapure SP, Garvey DS, Janero DR, et al: Eicosanoids in inflammation: biosynthesis, pharmacology, and therapeutic frontiers. Curr Top Med Chem 7:311, 2007. [Kesimpulan fungsi kelompok penting mediator radang.] Ley K, Laudanna C, Cybulsky MI, Nourshargh S: Getting to the site of inflammation: the leukocyte adhesion cascade updated. Nat Rev Immunol 7:678, 2007. [Diskusi mutakhir tentang pengerahan leukosit ke tempat radang.] Lentsch AB, Ward PA: Regulation of inflammatory vascular damage. J Pathol 190:343, 2000. [Diskusi mekanisme kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas vaskular.] Martin P, Leibovich SJ: Inflammatory cells during wound repair: the good, the bad, and the ugly. Trends Cell Biol 15:599, 2005. [Tinjauan yang baik tentang berbagai peran sel radang pada proses pemulihan.] Masters SL, Simon A, Aksentijevich I, Kastner DL: Horror autoinflammaticus: the molecular pathophysiology of autoinflammatory disease. Annu Rev Immunol 27:621, 2009. [Diskusi menarik tentang sindrom autoinflamasi disebabkan oleh fungsi tambahan pada mutasi komponen infiammasome.] McAnully RJ: Fibroblasts and myofibroblasts: their source, function, and role in disease. Int J Biochem Cell Biol 39:666, 2007. [Diskusi tentang dua kelompok utama jenis sel stroma dan perannya pada pemulihan jaringan dan fibrosis.]



Contoh Klinis Terpilih dari Pemulihan Jaringan dan Fibrosis Muller WA: Mechanisms of leukocyte transendothelial migration. Annu Rev Pathol 6:323, 2011. [Tinjauan menarik mengenai mekanisme perjalanan leukosit melalui endotel.] Nagy JA, Dvorak AM, Dvorak HF: VEGF-A and the induction of pathological angiogenesis. Annu Rev Pathol 2:251, 2007. [Tinjauan kelompok faktor pertumbuhan VEGF dan perannya pada angiogenesis pada kanker, radang dan berbagai keadaan penyakit.] Nathan C, Ding A: Nonresolving inflammation. Ce11140:871, 2010. [Diskusi abnormalitas yang mengakibatkan radang kronik.] Page-McCaw A, Ewald AJ, Werb Z: Matrix metalloproteinases and the regulation of tissue remodelling. Nat Rev Mol Cell Biol 8:221, 2007. [Tinjauan fungsi enzim yang melakukan modifikasi matriks pada pemulihan jaringan. ] Papayannapoulos V, Zychlinsky A: NETs: a new strategy for using old weapons. Trends Immunol 30:513, 2009. [Tinjauan mekanisme terbaru bagaimana neutrofil memusnahkan mikroba.] Ricklin D, Hajishengallis G, Yang K, Lambris JD: Complement: a key system for immune surveillance and homeostasis. Nat Immunol 11:785, 2010. [Tinjauan mutakhir tentang aktivasi dan fungsi sistem komplemen dan pengaruhnya terhadap penyakit.] Rock KL, Kono H: The inflammatory response to cell death. Annu Rev Pathol 3:99, 2008. [Diskusi menarik bagaimana sistem imun mengenal sel nekrotik.] Schultz GS, Wysocki A: Interactions between extracellular matrix and growth factors in wound healing. Wound Repair Regen 17:153, 2009. [Diskusi tentang regulasi faktor pertumbuhan oleh ECM.]



73



Schroder K, Tschopp J: The infiammasomes. Cell 140:821, 2010. [Tinjauan yang baik tentang mekanisme sel yang mengenal produk sel mati, substansi asing dan abnormal dan beberapa mikroba.] Segal AW: How neutrophils kill microbes. Annu Rev Immunol 23:197, 2005. [Diskusi menarik tentang mekanisme mikrobisidal neutrofil.] Stappenbeck TS, Miyoshi H: The role of stromal stem cells in tissue regeneration and wound repair. Science 324:1666, 2009. [Tinjauan menarik peran sel punca jaringan pada proses pemulihan.] Stearns-Kurosawa DJ, Osuchowski MF, Valentine C, et al: The pathogenesis of sepsis. Annu Rev Pathol 6:19, 2011. [Diskusi tentang konsep terakhir mekanisme patogenesis sepsi dan syok septik.] Takeuchi O, Akira S: Pattern recognition receptors and inflammation. Cell 140:805, 2010. [Tinjauan tentang reseptor mirip tol dan pengenalan lain kelompok reseptor, peran pada ketahanan tubuh dan radang.] Wynn TA: Cellular and molecular mechanisms of fibrosis. J Pathol 214:199, 2008. [Tinjauan tentang mekanisme sel pada fibrosis dengan penekanan pada sistem imun pada reaksi fibrosis terhadap infeksi kronik.] Yamanaka S, Blau HM: Nuclear reprogramming to a pluripotent state by three approaches. Nature 465:704, 2010. [Tinjauan tentang teknologi pembentukan sel iPS untuk kedokteran regenerahg]



Halaman ini sengaja dikosongkan



3 BAB



Kelainan-Kelainan Hemodinamik, Tromboemboli dan Syok DAFTAR ISI BAB Hiperemia dan Kongesti 75 Edema 76 Hemoragi 78 Hemostasis dan Trombosis 79 Hemostasis Normal 79



Trombosis 86 Koagulasi Intravaskular Diseminata 90 Embolus 90 Tromboemboli Paru 90 Tromboemboli Sistemik 91



Kesehatan sel dan jaringan bergantung pada sirkulasi darah yang membawa oksigen, makanan dan membuang sisa-sisa hasil metabolisme sel. Dalam keadaan normal, pada saat darah melewati pembuluh darah kapiler, protein-protein dalam plasma akan tertahan dalam pembuluh darah dan hanya terjadi sedikit pergerakan air dan elektrolit ke dalam jaringan. Keseimbangan ini sering terganggu oleh keadaankeadaan patologis seperti fungsi endotel yang berubah, tekanan pembuluh darah yang meningkat atau kandungan protein di dalam plasma yang menurun ke semuanya ini menyebabkan terjadinya, edema yaitu akumulasi cairan sebagai hasil akhir pergerakan cairan ke dalam rongga-rongga ekstravaskular. Bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi edema, bisa menimbulkan efek minimal atau sangat besar. Edema pada ekstremitas bawah, bisa hanya menyebabkan sepatu terasa sesak setelah seharian berdiri, tetapi edema pada paru, cairan edemanya bisa memenuhi alveoli sehingga menyebabkan hipoksia yang mengancam nyawa. Pembuluh-pembuluh darah sering mengalami trauma ringan sampai berat. Hemostasis merupakan proses pembekuan darah yang mencegah terjadinya perdarahan berlebihan setelah kerusakan pembuluh darah. Hemostasis yang tidak adekuat bisa menyebabkan perdarahan, yang mengganggu perfusi jaringan regional dan apabila berlangsung cepat dan masif, bisa menyebabkan hipotensi, syok dan kematian. Sebaliknya, pembekuan yang tidak pada tempatnya (trombosis) atau migrasi bekuan darah (emboli) dapat menyumbat pembuluh darah, sehingga berpotensi menyebabkan kematian jaringan karena iskemik (infark). Sesungguhnya, tromboemboli merupakan kunci dari tiga penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju, yaitu infark miokardial, emboli paru dan penyakit serebrovaskular (stroke).



HIPEREMIA DANA KONGESTI Baik hiperemia maupun kongesti keduanya merujuk pada peningkatan volume darah di dalam jaringan, namun mekanisme yang mendasarinya berbeda. Hiperemia merupakan suatu proses aktif yang disebabkan oleh dilatasi arteriol dan peningkatan aliran darah masuk, seperti yang terjadi pada tempat-tempat peradangan atau pada otot skeletal yang bekerja. Jaringan yang



Infark 92 Syok 94



Patogenesis Syok Septik 94 Tahap-Tahap Syok 96



hiperemik tampak lebih merah dari normal karena banyaknya darah yang mengandungi oksigen. Kongesti merupakan suatu proses pasif yang disebabkan oleh gangguan aliran darah keluar dari vena suatu jaringan. Kongesti dapat terjadi sistemik seperti pada gagal jantung, atau lokal sebagai akibat adanya sumbatan vena tertentu. Jaringan yang kongestif tampak berwarna tidak normal, yaitu merah kebiruan (sianotik) karena akumulasi hemoglobin yang tidak mengandungi oksigen. Pada kongesti menahun, perfusi jaringan tidak adekuat dan hipoksia yang menetap dapat menyebabkan kematian sel-sel jaringan parenkim dan fibrosis jaringan sekunder, serta peningkatan tekanan intravaskular yang dapat menyebabkan timbulnya edema atau terkadang ruptur kapiler yang menimbulkan perdarahan setempat.



MORFOLOGI Penampang jaringan yang hiperemik atau kongestif terasa basah pada perabaan dan yang khas adalah darah menjadi kental. Pada pemeriksaan mikroskopik, kongesti paru mendadak ditandai oleh kapiler alveolus yang dipenuhi oleh darah dengan edema ringan sampai berat pada septa alveolus. Pada kongesti paru menahun, septa menjadi menebal dan fibrotik, rongga alveolus mengandungi banyak sel makrofag yang berisi hemosiderin (sel payah jantung). Pada kongesti hati mendadak, vena sentralis dan sinusoid-sinusoid tampak melebar, penuh berisi darah dan bahkan dapat terjadi nekrosis pada sel-sel hepatosit sentral. Sel-sel hepatosit periportal teroksigenasi lebih baik oleh karena letaknya yang lebih dekat dengan arteriol-arteriol hepatik sehingga akan mengalami hipoksia yang lebih ringan dan dapat hanya menyebabkan perubahan lemak yang reversibel. Secara makroskopik, pada kongesti hepatik yang menahun dan pasif, daerah sentral lobulus-lobulus hati tampak berwarna coklat kemerahan dan sedikit tertekan (oleh karena hilangnya sel) serta lebih jelas daripada daerah sekitarnya yang berwarna kekuningan, kadang berlemak, sehingga memberikan gambaran menyerupai biji buah pala kongesti menahun (Gambar 3-1, A).



76



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok Tabel 3-1 Patofisiologi Penyebab Edema



Peningkatan Tekanan Hidrostatik Gangguan Vena Balik/Venous Return Penyakit jantung kongestif Perikarditis konstriktif Asites (sirosis hepatis) Obstruksi atau kompresi vena Trombosis Tekanan eksternal (misal, massa) Inaktivitas ekstremitas bawah dengan ketergantungan lama



Pelebaran Arteriol



A



Panas Disregulasi neurohumoral



Penurunan Tekanan Osmotik Plasma (Hipoproteinemia) Protein-losing glomerulopathies (sindrom nefrotik) Sirosis hepatis (asites) Malnutrisi Protein-losing gastroenteropathy



Obstruksi Limfatik Peradangan Neoplastik Pascaoperasi Pascaradiasi



Retensi Natrium



B Gambar 3-1 Hati dengan kongesti pasif menahun dan nekrosis hemoragik. A, Pada spesimen ini, daerah sentral berwarna merah dan sedikit tertekan dibandingkan dengan parenkim sekitarnya yang masih hidup dan berwarna kekuningan, menyerupai potongan hati biji pala/"nutmeg liver". B, Sediaan mikroskopik menunjukkan nekrosis hepar sentrolobular dengan perdarahan dan sel-sel radang yang tersebar. (Sumbangan dari Dr. James Crawford.)



Gambaran mikroskopik yang ditemukan antara lain adalah nekrosis sel hati sentrolobular, perdarahan, dan sel-sel makrofag yang berisi hemosiderin (Gambar 3-1, B). Bila keadaan ini berlangsung lama, dapat terjadi kongesti hati berat (paling sering berkaitan dengan gagal jantung) dan fibrosis hati ("sirosis kardiak"). Oleh karena bagian sentral dari lobulus hati menerima darah paling akhir, nekrosis sentrolobular juga dapat terjadi pada berbagai keadaan dengan aliran darah hepatik yang berkurang (termasuk syok karena berbagai sebab); tanpa harus terdapat kongesti hepatik sebelumnya.



EDEMA Sekitar 60% dari berat badan orang dewasa terdiri atas air dan dua pertiga di antaranya terletak di dalam sel/ intrasel. Sisanya terutama ditemukan pada kompartemen-kompartemen di luar sel/ekstrasel dalam bentuk cairan interstisial; hanya 5% dari air tubuh berada di dalam plasma darah. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, edema adalah akumulasi cairan interstisial di dalam jaringan tubuh. Cairan ekstravaskular juga dapat berkumpul pada ronggarongga tubuh, seperti pada rongga pleura (hidroperikardium), atau rongga peritoneum (hidroperitoneum atau asites). Anasarka adalah edema yang berat, generalisata dan ditandai oleh pembengkakan jaringan subkutan yang mencolok serta akumulasi cairan dalam rongga-rongga tubuh. Tabel 3-1 menggambarkan penyebab-penyebab utama edema. Mekanisme edema karena peradangan



Pemasukan garam berlebihan dengan insufisiensi ginjal Peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus Hipoperfusi ginjal Peningkatan sekresi renin-angiotensin-aldosteron



Radang Radang akut Radang kronik Angiogenesis



Data dari Leaf A, Cotran RS: Renal Pathophyshalogy, 3rd ed. New York, Oxford University Press, 1985, hal 146.



terutama berkaitan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (telah dibahas di Bab 2). Edema yang disebabkan oleh hal-hal bukan peradangan akan dibahas dengan rinci di bawah ini. Pergerakan cairan antara pembuluh darah dan ruang interstisial diatur terutama oleh dua daya yang saling berlawanan, yaitu tekanan hidrostatik pembuluh darah dan tekanan osmotik koloid yang dihasilkan oleh protein plasma. Dalam keadaan normal, aliran keluar cairan disebabkan oleh tekanan hidrostatik pada ujung arteriol dari mikrosirkulasi akan diimbangi oleh aliran masuk cairan, karena terdapat sedikit peningkatan tekanan osmotik pada ujung venula; sehingga hanya sedikit selisih cairan berupa aliran keluar, yang akan dialirkan oleh pembuluh-pembuluh limfe. Baik peningkatan tekanan hidrostatik maupun penurunan tekanan osmotik koloid akan menyebabkan peningkatan pergerakan air ke dalam rongga interstisial (Gambar 3-2). Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik jaringan dan akhirnya didapat keseimbangan yang baru. Cairan edema yang berlebihan akan dibawa oleh aliran limfatik dan masuk kembali ke dalam aliran darah melalui duktus torasikus (Gambar 3-2). Cairan edema yang terakumulasi oleh meningkatnya tekanan hidrostatik atau penurunan koloid di dalam pembuluh darah merupakan transudat, yang mengandungi sedikit protein, dan memiliki gravitasi yang khas, yaitu kurang dari 1,012. Sebaliknya, cairan edema yang terjadi oleh karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada peradangan



Edema 77 PEMBULUH-PEMBULUH LIMFE



Ke duktus torasikus dan akhirnya ke vena subklavia sinistra



Tekanan cairan interstisium yang meningkat



Tekanan hidrostatik



osmotik plasma, baik karena hilang dari sirkulasi ataupun karena sintesis yang tidak adekuat. Pada sindrom nefrotik (Bab 13), pembuluh-pembuluh kapiler glomerulus yang rusak menjadi bocor, menyebabkan hilangnya albumin (dan protein plasma lain), masuk ke urin dan menimbulkan edema generalisata. Penurunan sintesis albumin terjadi pada penyakit hati yang berat (misalnya sirosis) (Bab 15) dan malnutrisi protein (Bab 7). Apa pun penyebabnya, kadar albumin yang rendah menyebabkan timbulnya edema, penurunan volume intravaskular, hipoperfusi ginjal dan hiperaldosteronisme sekunder. Sayangnya, peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal tidak hanya gagal mengoreksi defisit volume plasma, namun juga memperburuk timbulnya edema, oleh karena menetapnya defek protein serum primer yang rendah.



Obstruksi Limfatik Ujung arteri



PEMBULUH KAPILER



Ujung vena



Gambar 3-2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan cairan melewati dinding kapiler. Daya hidrostatik dan osmotik kapiler diseimbangkan agar akhirnya terdapat sedikit pergerakan cairan ke dalam interstisium.Akan tetapi, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan osmotik plasma mengakibatkan akumulasi cairan ekstrasel (edema). Saluran limfe jaringan mengalirkan banyak cairan ini kembali ke sirkulasi melalui duktus torasikus; akan tetapi jika kapasitas drainase terlewati, terjadi edema jaringan.



merupakan eksudat, kaya protein dengan gravitasi yang khas, lebih dari 1,020 (lihat Bab 2). Sekarang kita akan membahas berbagai penyebab dari edema.



Kerusakan drainase limfatik dan konsekuensi limfedema biasanya disebabkan oleh obstruksi lokal pada keadaan peradangan atau neoplastik. Sebagai contoh, infeksi parasit filariasis dapat menyebabkan edema masif ekstremitas bawah dan genitalia ekstema (disebut juga elefantiasis) dengan menimbulkan fibrosis pembuluh limfe inguinal dan kelenjar getah bening. Infiltrasi dan obstruksi pembuluh limfe superfisial oleh sel-sel kanker payudara dapat menyebabkan edema kulit di atasnya; karakteristik kulit payudara yang terkena berupa alur-alur halus disebut kulit jeruk/ peau d'orange. Limfedema juga dapat terjadi sebagai suatu komplikasi terapi. Hal ini sering terlihat pada wanita-wanita dengan kanker payudara yang menjalani reseksi kelenjar getah bening aksila dan/ atau radiasi. Kedua hal ini dapat mengganggu dan menyumbat aliran limfe yang menyebabkan limfedema berat pada lengan.



Peningkatan Tekanan Hidrostatik Peningkatan tekanan intravaskular lokal dapat menyebabkan gangguan arus balik vena/venous return, sebagai contoh adalah trombosis vena pada ekstremitas bawah dapat menyebabkan edema yang terbatas pada bagian distal tungkai bawah yang terkena. Peningkatan tekanan vena generalisata dengan akibat edema sistemik, terjadi paling sering pada gagal jantung kongestif (Bab 10). Beberapa faktor dapat meningkatkan tekanan hidrostatik vena pada pasien gagal jantung kongestif (Gambar 3-3). Penurunan curah jantung menyebabkan hipoperfusi ginjal, yang memicu aksis reninangiotensinaldosteron dan menginduksi retensi natrium dan air (hiperaldosteronisme sekunder). Pada pasien-pasien dengan fungsi jantung normal, adaptasi ini akan meningkatkan pengisian jantung/ cardiac filling dan curah jantung/cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi ginjal. Akan tetapi, jantung yang rusak sering tidak mampu meningkatkan curah jantungnya sebagai respons kompensatorik terhadap peningkatan volume darah. Hal ini menimbulkan lingkaran setan retensi cairan, peningkatan tekanan hidrostatik vena dan memperburuk edema. Keadaan ini akan terus bergulir kecuali curah jantung diperbaiki atau retensi air dikurangi (misalnya dengan pembatasan garam atau terapi dengan diuretik/ antagonis aldosteron). Pembatasan garam atau terapi diuretik/ antagonis aldosteron juga bermanfaat dalam mengatasi edema generalisata yang diakibatkan oleh sebab lain, oleh karena hiperaldosteronisme sekunder merupakan gambaran umum dari edema generalisata.



Penurunan Tekanan Osmotik Plasma



Dalam keadaan normal, hampir separuh dari seluruh protein plasma adalah albumin. Oleh karena itu, keadaan-keadaaan di mana tubuh kekurangan albumin merupakan penyebab tersering penurunan tekanan



Retensi Natrium dan Air Retensi garam (terkait dengan air) yang berlebihan dapat menyebabkan edema melalui peningkatan tekanan hidrostatik (karena ekspansi volume intravaskular) dan penurunan tekanan osmotik plasma. Retensi garam dan air yang berlebihan tampak pada berbagai jenis penyakit yang mengganggu fungsi ginjal, termasuk glomerulonefritis poststreptokokal dan gagal ginjal mendadak (Bab 13). GAGAL JANTUNG



Tekanan hidrostati kapiler



MALNUTRISI, SINTESIS HATI, SINDROM NEFROTIK



Aliran darah ginjal



Albumin plasma



Aktivasi sistem renin-angiotensin aldoste Retensi ion Na+ dan H2O Volume darah



GAGAL GINJAL Tekanan osmotik plasma



EDEMA



Gambar 3-3 falur-jalur yang berakibat pada edema sistemik yang disebabkan oleh gagal jantung, gagal ginjal atau penurunan tekanan osmotik plasma



78



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



MORFOLOGI Edema mudah dikenali melalui pemeriksaan makroskopik; pemeriksaan mikroskopik menunjukkan 'clearing' dan pemisahan elemen-elemen matriks ekstrasel. Walaupun semua jaringan bisa terkena, edema paling sering ditemukan pada jaringan subkutan, paru dan otak. Edema subkutan bisa difus, namun biasanya lebih sering terakumulasi pada bagian-bagian tubuh yang berlokasi paling jauh dari jantung dan paling bawah, yang tekanan hidrostatiknya paling tinggi. Oleh karena itu, edema yang khas paling sering ditemukan pada tungkai bawah saat berdiri dan pada sakrum saat berbaring, suatu hubungan yang disebut edema dependen. Tekanan jari di atas jaringan subkutan yang edema menyingkirkan cairan interstisial, dan meninggalkan lubang berbentuk seperti jari; hal ini disebut edema berlubang/pitting edema. Edema yang disebabkan oleh disfungsi ginjal atau sindrom nefrotik sering bermanifestasi pertama kali di jaringan ikat longgar (misalnya kelopak mata, menyebabkan edema periorbital). Berat paru dengan edema sering mencapai dua hingga tiga kali berat normal, dan pada penampang tampak berbusa, kadang berupa cairan berbercak darah yang terdiri atas campuran udara, cairan edema dan sel darah merah yang ekstravasasi. Edema otak dapat terlokalisir (misalnya oleh karena abses atau tumor) atau generalisata, tergantung pada sifat dan luasnya proses patologis/jejas. Dengan adanya edema generalisata, sulkus-sulkus akan menyempit, dan girus-girus akan membengkak dan merata pada tulang tengkorak.



Korelasi Klinis



Efek edema bervariasi, dari hanya sedikit mengganggu hingga menjadi fatal dengan cepat. Edema subkutan perlu untuk dikenal, terutama karena memberikan petunjuk akan adanya penyakit jantung atau ginjal yang mendasarinya; akan tetapi, bila berat dapat juga mengganggu penyembuhan luka dan mendorong terjadinya infeksi. Edema paru merupakan masalah klinis yang umum ditemukan, terutama pada kegagalan ventrikel kiri, namun bisa juga terjadi pada gagal ginjal, sindrom gagal napas mendadak/acute respiratory distress syndrome) (Bab 11), penyakit infeksi dan peradangan paru. Edema paru dapat menyebabkan kematian dengan mengganggu fungsi ventilasi normal; selain mengganggu difusi oksigen, cairan edema alveolar juga menciptakan lingkungan yang memudahkan terjadinya infeksi. Edema otak merupakan keadaan yang mengancam jiwa; dan bila pembengkakan parah, otak dapat mengalami herniasi melalui foramen magnum. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial, suplai pembuluh darah batang otak dapat terganggu. Kondisi-kondisi ini dapat menyebabkan kematian dengan merusak pusat-pusat pada meduler (Bab 22).



RINGKASAN Edema • Edema merupakan akibat dari pergerakan cairan dari pembuluh darah ke rongga intersisial; protein cairan ini bisa rendah (transudat) atau bisa tinggi (eksudat).



• Edema bisa disebabkan oleh:  Peningkatan tekanan hidrostatik (misalnya pada gagal jantung)  Peningkatan permeabilitas pembuluh darah  (misalnya pada peradangan) Penurunan tekanan osmotik koloid akibat berkurangnya albumin plasma



 



• Penurunan sintesis (misalnya pada penyakit hati, malnutrisi protein) • Meningkatnya albumin yang hilang (misalnya pada sindrom nefrotik) Obstruksi limfatik (misalnya pada peradangan atau neoplasia) Retensi natrium (misalnya pada gagal ginjal)



HEMORAGI Hemoragi didefinisikan sebagai keluarnya darah dari pembuluh darah (ekstravasasi) yang bisa timbul pada berbagai keadaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perdarahan kapiler bisa terjadi pada jaringan yang kongestif menahun. Risiko hemoragi (yang sering terjadi setelah suatu trauma ringan) meningkat pada berbagai kelainan klinis yang kesemuanya disebut sebagai diatesis hemoragik. Trauma, aterosklerosis, atau erosi dinding pembuluh darah oleh proses radang ataupun neoplastik juga dapat menyebabkan hemoragi, yang bisa cukup luas bila yang terkena adalah pembuluh arteri atau vena yang besar. Hemoragi bisa tampak dalam berbagai penampilan dengan akibat klinis yang berbeda. • Hemoragi bisa eksternal atau terakumulasi di dalam jaringan sebagai hematoma, yang bisa bervariasi dari ringan (misalnya memar) hingga berat dan fatal (misalnya suatu hematoma retroperitoneal yang masif akibat ruptur dari aneurisma aorta/ dissecting aortic aneurysm (Bab 9). Terdapat berbagai istilah yang dipakai untuk perdarahan luas di dalam rongga-rongga tubuh, yang berkaitan dengan lokasi — hemotorak, hemoperikardium, hemoperitoneum, atau hemartrosis (pada sendi-sendi). Perdarahan luas kadang-kadang bisa menimbulkan jaundice oleh penghancuran eritrosit dan hemoglobin yang masif. • Petekie merupakan hemoragi kecil (berdiameter sekitar 1 hingga 2 mm) pada kulit, membran mukosa dan permukaan serosum. (Gambar 3-4, A); penyebabnya antara lain rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia), kelainan fungsi trombosit, dan hilangnya dukungan dinding pembuluh darah, seperti pada defisiensi vitamin C (Bab 7). • Purpura merupakan hemoragi yang agak luas (3 mm hingga 5 mm). Purpura dapat disebabkan oleh kelainan yang sama dengan yang menyebabkan petekie, seperti trauma, peradangan pembuluh darah (vasculitis), dan meningkatnya kerentanan pembuluh darah. • Ekimosis adalah hematoma subkutan yang lebih luas (1 cm hingga 2 cm) (secara umum disebut memar). Eritrosit yang ekstravasasi difagosit dan didegradasi oleh makrofag; perubahan warna memar yang karakteristik disebabkan oleh konversi enzimatik hemoglobin (berwarna merah-biru) menjadi bilirubin (berwarna hijau-biru) dan akhirnya menjadi hemosiderin (coklat keemasan). Kepentingan klinis setiap perdarahan tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan perdarahan. Kehilangan darah yang cepat hingga mencapai 20% volume darah atau kehilangan jumlah yang lebih besar secara perlahan-lahan, pada orang dewasa yang sehat hanya sedikit pengaruhnya, akan tetapi kehilangan



Hemostasis dan Trombosis



A



B Gambar 3-4 A, Perdarahan petekiel punktata di mukosa kolon, suatu akibat dari trombositopenia. B, Perdarahan intraserebrum yang fatal.



yang lebih besar bisa menyebabkan syok hemoragik (hipovolemik) (akan dibicarakan kemudian). Lokasi timbulnya perdarahan juga penting; perdarahan yang berpengaruh kecil pada jaringan subkutis bisa menyebabkan kematian bila terjadi di otak (Gambar 3-4, B). Akhirnya, kehilangan darah eksternal yang berulang dan menahun (seperti pada ulkus peptikum atau perdarahan menstruasi) sering berujung pada anemia defisiensi besi sebagai akibat dari hilangnya zat besi pada hemoglobin. Sebaliknya, perdarahan internal (misalnya pada hematoma) tidak akan menyebabkan defisiensi besi oleh karena besi akan didaur ulang dari sel darah merah yang difagositosis.



HEMOSTASIS DAN TROMBOSIS Hemostasis normal terdiri atas suatu seri rangkaian yang teratur untuk mempertahankan darah tetap dalam keadaan cair dan bebas bekuan di dalam pembuluh darah normal, serta dapat membentuk plak hemostatik lokal pada lokasi jejas pembuluh darah. Trombosis merupakan hemostasis yang patologis, yaitu pembentukan bekuan darah (trombus) di dalam pembuluh darah yang utuh. Baik hemostasis maupun trombosis terdiri atas tiga elemen, yaitu dinding pembuluh darah, trombosit dan kaskade pembekuan darah. Pembahasan selanjutnya akan dimulai dari hemostasis normal dan pengaturannya.



Hemostasis Normal Berikut ini disimpulkan tahap-tahap penting dalam proses hemostasis dan pengaturannya seperti yang ditampilkan pada Gambar 3-5.



79



• Jejas pembuluh darah menyebabkan vasokonstriksi arteriolar yang transien melalui mekanisme refleks neurogenik, yang diperkuat oleh sekresi lokal endotelin (suatu vasokonstriktor kuat yang berasal dari endotel) (Gambar 3-5, A). Efek ini berkurang, akan tetapi perdarahan akan segera muncul kembali bila trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak diaktivasi. • Jejas endotel memaparkan matriks ekstrasel subendotel yang sangat trombogenik, mendorong adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit. Pembentukan plak trombosit yang pertama disebut hemostasis primer (Gambar 3-5, B). • Jejas endotel juga memaparkan faktor jaringan (disebut juga faktor III atau tromboplastin), suatu glikoprotein prokoagulan yang terikat di membran yang disintesis oleh sel-sel endotelial. Faktor jaringan yang terpapar, bekerjasama dengan faktor VII, merupakan pemicu kaskade pembekuan darah utama in vivo. Hal ini akhirnya menimbulkan aktivasi trombin, yang memiliki beberapa peran dalam pengaturan pembekuan. • Trombin yang teraktivasi meningkatkan pembentukan bekuan fibrin yang tidak larut dengan memecah fibrinogen; trombin juga merupakan aktivator kuat untuk trombosit tambahan, yang berfungsi memperkuat plak hemostatik. Urutan kejadian ini disebut hemostasis sekunder, dengan cara pembentukan bekuan yang stabil, yang mampu mencegah berlanjutnya hemoragi (Gambar 3-5, C). • Setelah perdarahan terkontrol, mekanisme kontraregulasi (misalnya, faktor-faktor yang menyebabkan fibrinolisis, seperti tissue-type plasminogen activator) bekerja untuk memastikan bahwa pembentukan bekuan hanya terbatas pada tempat jejas saja. (Gambar 3-5, D). Yang akan didiskusikan dengan panjang lebar di bawah ini adalah peran sel endotel, trombosit dan kaskade pembekuan darah.



Endotel Sel-sel endotel merupakan regulator utama dari hemostasis; keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombotik endotelial menentukan apakah akan terjadi pembentukan, pembesaran, atau pelarutan trombus. Sel-sel endotel normal mengekspresikan sejumlah faktor antikoagulan yang menghambat agregasi dan koagulasi trombosit serta menyebabkan fibrinolisis; Akan tetapi setelah jejas atau aktivasi, keseimbangan ini bergeser dan sel-sel endotel mendapatkan berbagai aktivitas prokoagulan (Gambar 3-6). Selain oleh jejas/trauma, endotel dapat diaktivasi oleh patogen mikrobial, daya-daya hemodinamik dan sejumlah mediator proinflamasi (Bab 2).



Sifat-sifat Antitrombotik Endotelial Normal



Efek Inhibisi pada Trombosit. Endotel yang utuh mencegah trombosit (dan faktor-faktor koagulasi plasma) berikatan dengan matriks ekstrasel subendotel yang sangat trombogenik. Trombosit yang tidak teraktivasi tidak menempel pada endotel normal; bahkan trombosit yang teraktivasi dihalangi adhesinya oleh prostasiklin (misalnya, prostaglandin I2 [PGI2]) dan nitrit oksida yang dihasilkan oleh endotel. Kedua mediator ini juga merupakan vasodilator kuat dan penghambat agregasi trombosit, yang sintesisnya oleh sel-sel endotel dirangsang oleh sejumlah faktor (misalnya, trombin, sitokin) yang dihasilkan selama proses pembekuan. Sel-sel endotel juga menghasilkan adenosin difosfatase, yang mendegradasi adenosin



80



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



A. VASOKONSTRIKSI Endotel



Membran basal



Otot polos arteriol



Tempat jelas



Pelepasan endotelin menyebabkan vasokonstriksi



Refleks vasokonstriksi



Matriks ekstrasel (kolagen)



B. HEMOSTASIS PRIMER



2 Perubahan bentuk 1 Adhesi trombosit



3 Pengeluaran granul (ADP, TXA2)



vWF



Endotel



Membran basal



Plak hemostatik primer



4 Rekruitmen Agregasi (plak hemostatik 5



Kolagen



C. HEMOSTASIS SEKUNDER



2 Ekspresi kompleksi fosfolipid 1 Faktor jaringan



3 Dihasilkan trombin 4 Polimerisasi fibrin Faktor jaringan 1



Plak hemostatik sekunder



Fibrin



D. KONTRAREGULASI ANTITROMBOTIK



Ekspresi ekstrasel: • t-PA (fibrinolisis) • trombomodutin (memblok kaskade pembekuan)



Neutrofil yang terjebak Eritrosit yang terjebak Fibrin yang erpolimerisasi



Gambar 3-5 Hemostasis normal. A, Setelah jejas pembuluh darah faktor-faktor neurohumoral lokal menginduksi vasokonstriksi transien. B, Trombosit berikatan melalui reseptor glikoprotein I b (Gplb) dengan faktor von Willebrand (vWF) pada matriks ekstrasel (ECM) yang terpapar dan diaktifkan, melalui perubahan bentuk dan pelepasan granul. Adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan A2 (TxA2) yang dilepaskan menginduksi agregasi trombosit tambahan melalui ikatan reseptor-reseptor Gpllb-llla dengan fibrinogen. Agregasi trombosit ini mengisi cedera pembuluh darah dan membentuk plak hemostatik primer. C, Aktivasi kaskade pembekuan darah (meliputi faktor jaringan dan fosfolipid trombosit) berakibat pada polimerisasi fibrin, yang melekatkan trombosit ke dalam plak hemostatik sekunder definitif yang lebih besar dan lebih stabil daripada plak primer dan mengandungi eritrosit dan leukosit yang terperangkap. D, Mekanisme pengaturan berlawanan, seperti pelepasan t-PA (aktivator plasminogen jaringan, suatu produk fibrinolitik) dan trombomodulin (berinterferensi dengan kaskade pembekuan), membatasi proses hemostatik pada tempat jejas. difosfat (ADP) dan selanjutnya menghambat agregasi trombosit. Efek Inhibisi pada Faktor-Faktor Pembekuan. Aksi ini dimediasi oleh faktor-faktor yang diekspresikan pada permukaan endotel, terutama molekul-molekul yang menyerupai heparin, trombomodulin dan penghambat tissue factor pathway (Gambar 3-6). Molekul-molekul yang menyerupai heparin bekerja secara tidak langsung: sebagai kofaktor yang sangat meningkatkan inaktivasi trombin (dan faktorfaktor pembekuan yang lain) melalui protein plasma antitrombin III. Trombomodulin bekerja secara tidak langsung: dengan berikatan pada trombin, sehingga memodifikasi spesifisitas substrat trombin. Jadi, bukannya memecah fibrinogen, tetapi trombomodulin memecah dan mengaktivasi protein C, suatu antikoagulan. Protein C yang teraktivasi mencegah pembekuan dengan memecah dan menginaktifkan dua prokoagulan, yaitu faktor Va dan faktor VIIIa; protein C memerlukan suatu kofaktor yaitu protein S, yang juga dihasilkan oleh sel-sel endotel. Akhirnya, tissue factor pathway inhibitor (TFPI) secara langsung menghambat kompleks faktor jaringan faktor VIIa dan faktor Xa. Fibrinolisis. Sel-sel endotel menghasilkan tissue-type plasminogen activator, suatu protease yang memecah plasminogen menjadi plasmin; plasmin kemudian memecah fibrin untuk mendegradasi trombi.



Sifat-Sifat Protrombotik Teraktivasi



Endotelial



yang



Terjejas



atau



Aktivasi Trombosit. Jejas endotel menyebabkan terjadinya kontak antara trombosit dengan matriks ekstrasel subendotel, yang kandungannya antara lain faktor von Willebrand (vWF), suatu protein multimerik besar yang dihasilkan oleh sel endotel. vWF melekat kuat pada matriks ekstrasel melalui interaksinya dengan kolagen dan juga berikatan kuat dengan Gp1b, suatu glikoprotein yang ditemukan di permukaan trombosit. Interaksi-interaksi ini memungkinkan vWF berperan sebagai suatu lem molekuler yang menempelkan trombosit erat-erat pada dinding pembuluh darah yang terkelupas atau tidak utuh (Gambar 3-7). Aktivasi Faktor-Faktor Pembekuan. Sebagai respons terhadap sitokin (misalnya tumor necrosis factor [TNF] atau interleukin-1 [IL-1]) atau produk-produk bakteri tertentu, termasuk endotoksin, sel-sel endotel memproduksi faktor jaringan yang merupakan aktivator pembekuan utama in vivo dan menurunkan ekspresi trombomodulin. Sel-sel endotel yang teraktivasi juga mengikat faktor pembekuan IXa dan Xa (lihat selanjutnya), yang memperkuatkan aktivitas katalitik dari faktorfaktor ini.



Hemostasis and Trombosis



81



MENDORONG TROMBOSIS



MENGHAMBAT TROMBOSIS



Menginaktivasi faktor Va dan VIIIa



Menginaktivasi trombin (juga faktor IXa dan Xa)



(membutuhkan protein S) Protein C aktif Menginaktifkan kompleks faktor jaringan-faktor-Vila



Antitrombin III



Trombin



Protein C



Urutan pembekuan ekstrinsik



Mengaktifkan fibrinolisis Adhesi trombosit (dipegang erat oleh fibrinogen)



Menghambat agregasi trombosit PGI2, NO, dan adenosin difosfatase



Paparan faktor jaringan yang terikat membran



Faktor vW t-PA



Efek-efek endotel Molekul menyerupai heparin



Reseptor trombin Penghambat jalur Thrombomodulin faktor jaringan



Kolagen



Gambar 3-6 Sifat-sifat antikoagulan dari endotel normal (kiri) dan sifat-sifat prokoagulan dari endotel terjejas atau teraktivasi (kanan). NO, nitrit oksida; PGI2, prostaglandin I2 (prostasiklin); t-PA, tissue plasminogen activator; vWF, faktor von Willebrand. Reseptor-reseptor trombin juga disebut protease-activated receptors (PAR).



Efek-Efek Antifibrinolitik. Sel-sel endotel yang teraktivasi mensekresi plasminogen activator inhibitors (PAIs), yang membatasi fibrinolisis dan oleh karenanya mengarahkan terjadinya trombosis.



RINGKASAN Sel-Sel Endotel dan Pembekuan • Dalam keadaan utuh, sel endotel normal membantu mempertahankan aliran darah dengan menghambat aktivasi trombosit dan faktor-faktor pembekuan. • Sel-sel endotel yang terstimulasi oleh jejas atau sitokin inflamasi akan meningkatkan ekspresi faktor-faktor prokoagulan (misalnya, faktor jaringan) yang mempermudah terjadinya pembekuan,dan menurunkan ekspresi faktor-faktor anti pembekuan. • Hilangnya integritas endotel menyebabkan vWF subendotel dan kolagen membran basal, terpapar yang merangsang adhesi trombosit, aktivasi trombosit dan pembentukan bekuan darah.



• Jisim-jisim padat/dense bodies (granul δ), yang mengandungi nukleotida-nukleotida adenin (ADP dan ATP), kalsium berion, histamin, serotonin, dan epinefrin. Setelah jejas pembuluh darah, trombosit berhadapan dengan kandungan-kandungan matriks ekstrasel (kolagen sangat penting) dan glikoprotein-glikoprotein adhesif seperti vWF. Hal ini mendorong terjadinya Defisiensi: Sindrom Bernard-Soulier Defisiensi: Tromcastenia Glanzmann Kompleks GpIIb-IIIa



Fibrinogen GpIb



Endotel



Trombosit Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tidak berinti yang dilepaskan oleh megakariosit sumsum tulang ke dalam aliran darah. Trombosit berperan penting dalam hemostasis normal dengan membentuk plak hemostatik yang menutup defek pembuluh darah, dan dengan merekrut dan mengkonsentrasikan faktorfaktor pembekuan yang teraktivasi. Fungsi trombosit tergantung pada beberapa reseptor glikoprotein keluarga integrin, suatu sitoskeleton kontraktil dan dua jenis granul sitoplasmik, yaitu: • Granul α, yang mengekspresikan molekul adhesi selectin-P pada membrannya (Bab 2) dan mengandungi fibrinogen, fibronektin, faktor V dan VIII, platelet factor-4 (suatu heparin bindingchemokine), platelet-derived growth factor (PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-β)



GpIb Trombosit



ADP menginduksi perubahan konformasional Faktor von Willebrand



Subendotel



Defisiensi: Penyakit von Willebrand



Gambar 3-7 Adhesi dan agregasi trombosit. Faktor von Willebrand berfungsi sebagai jembatan adhesi antara kolagen subendotel dan reseptor trombosit glikoprotein lb (Gplb). Agregasi trombosit diselesaikan oleh berikatnya fibrinogen pada reseptor-reseptor Gpllb-llla pada trombosit-trombosit lain. Defisiensi kongenital pada berbagai reseptor atau molekul penghubung mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit yang ditunjukkan dalam kotak merah. ADP, adenosin difosfat.



82



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



sejumlah kejadian yang berakhir pada (1) adhesi trombosit, (2) aktivasi trombosit, dan (3) agregasi trombosit (Gambar 3-5, B).



Adhesi Trombosit



Adhesi trombosit yang mengawali pembentukan bekuan bergantung pada vWF dan glikoprotein trombosit Gp1b. Melalui stres (misalnya, pada darah yang mengalir), vWF mengalami perubahan susunan, menjadi berbentuk memanjang yang memungkinkannya berikatan secara bersamaan dengan kolagen pada matriks ekstrasel dan pada Gp1b trombosit (Gambar 3-7). Pentingnya interaksi adhesif ini ditunjukkan pada keadaan defisiensi genetik vWF dan Gp1b, yang keduanya berakibat terjadinya kelainan perdarahan — penyakit von Willebrand (Bab 11) dan Penyakit Bernard-Soulier (kasus jarang).



Aktivasi Trombosit Adhesi trombosit menyebabkan perubahan bentuk yang ireversibel dan sekresi dari kedua jenis granulsuatu proses yang disebut aktivasi trombosit. Kalsium dan ADP yang dilepaskan dari granul δ terutama penting pada proses selanjutnya, oleh karena kalsium yang diperlukan oleh beberapa faktor pembekuan dan ADP, merupakan aktivator kuat dari trombosit yang sedang tidak aktif. Trombosit yang teraktivasi juga menghasilkan tromboksan A2 (TXA2) (Bab 2), suatu prostaglandin yang mengaktifkan trombosit-trombosit tambahan di sekitarnya dan juga memiliki peran penting pada agregasi trombosit (dijelaskan di bawah ini). Selama aktivasi, trombosit mengalami perubahan dramatik dari berbentuk lempengan/ disc halus menjadi bulatan/sphere dengan banyak ekstensi membran yang panjang, bertonjol-tonjol dan perubahan-perubahan lain yang lebih ringan pada membran plasma. Perubahan bentuk trombosit meningkatkan agregasi selanjutnya dan meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk berinteraksi dengan faktor-faktor pembekuan. Perubahan membran yang ringan meliputi meningkatnya ekspresi permukaan dari fosfolipid bermuatan negatif, yang menjadi tempat berikatan kalsium dan faktor-faktor koagulasi, dan suatu perubahan konformasional pada trombosit GpIIb/IIIa yang membuatnya dapat berikatan dengan fibrinogen. Agregasi TrombositAgregasi trombosit terjadi setelah adhesi dan aktivasi trombosit, dan dirangsang oleh beberapa faktor yang sama dengan yang menginduksi aktivasi trombosit, seperti TxA2. Agregasi ditingkatkan oleh interaksi antara fibrinogen dan reseptor GpIIb/IIIa pada trombosit di sekitarnya (Gambar 3-7). Pentingnya interaksi ini dapat dilihat dari adanya suatu penyakit defisiensi herediter GpIIb/IIIa (trombastenia Glanzmann) yang jarang dijumpai, yang berhubungan dengan perdarahan dan ketidakmampuan trombosit untuk beragregasi. Pengenalan terhadap peran sentral dari reseptor Gpllb-llla pada agregasi trombosit telah menstimulasi pengembangan obat-obat antitrombotik yang menghambat fungsi Gpllb-llla Aktivasi pembekuan darah secara bersamaan menghasilkan trombin yang menstabilisasi plak trombosit melalui dua mekanisme: • Trombin mengaktivasi suatu reseptor permukaan trombosit (protease-activated receptor [PAR]), yang bersama-sama dengan ADP dan TxA2 memperkuat agregasi trombosit. Hal ini diikuti oleh kontraksi trombosit, membuat massa gabungan trombosit yang ireversibel, membentuk plak hemostatik sekunder definitif.



• Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin di sekitar plak, sehingga plak trombosit ini melekat secara kuat pada tempatnya. Eritrosit dan leukosit juga ditemukan pada plak hemostatik. Leukosit menempel pada trombosit melalui selectin-P dan pada endotel melalui bermacammacam molekul adhesi (Bab 2); hal ini menyebabkan timbulnya respons peradangan yang menyertai trombosis. Trombin juga meningkatkan peradangan dengan merangsang adhesi neutrofil dan monosit (akan dijelaskan kemudian) dan dengan menghasilkan produkproduk pemisahan fibrin yang bersifat kemotaksis, selama pemecahan fibrinogen.



Interaksi Trombosit-Endotel



Interaksi antara trombosit dan endotel memiliki pengaruh yang sangat besar pada pembentukan bekuan darah. Sebagai contoh, prostaglandin PGI2 (dihasilkan oleh endotel normal) merupakan suatu vasodilator dan menghambat agregasi trombosit, sementara TxA2 (dihasilkan oleh trombosit yang teraktivasi, seperti yang dijelaskan sebelumnya) merupakan suatu vasokonstriktor yang kuat. Keseimbangan antara pengaruh yang berlawanan dari PGI2 dan TxA2 bervariasi. Pada pembuluh darah normal, pengaruh PGI2 dominan dan agregasi trombosit dihambat, sedangkan jejas endotel menurunkan produksi PGI2 dan meningkatkan agregasi trombosit serta produksi TxA2. Pemakaian klinis aspirin (suatu penghambat siklooksigenase yang ireversibel) untuk menurunkan risiko trombosis koroner terletak pada kemampuannya untuk memblokir produksi TxA2 oleh trombosit, yang tidak memiliki kemampuan untuk mensintesa protein. Walaupun produksi PGI2 endotel juga dihambat oleh aspirin, sel-sel endotel dapat mensintesis ulang siklooksigenase, sehingga blok terhadap produksi TxA2 tersebut bisa teratasi. Dengan perangai serupa dengan PGI2, nitrit oksida yang dihasilkan oleh endotel juga dapat berfungsi sebagai suatu vasodilator dan penghambat agregasi trombosit (Gambar 3-6).



RINGKASAN Adhesi, Aktivasi dan Agregasi Trombosit • •



• •



jejas endotel memaparkan matriks ekstrasel membran basal yang ada di bawahnya; trombosit menempel pada matriks ekstrasel terutama melalui ikatan antara reseptor Gplb trombosit dan vWE Adhesi menyebabkan aktivasi trombosit, suatu kejadian yang berhubungan dengan sekresi kandungan granul trombosit, meliputi kalsium (suatu kofaktor untuk sejumlah protein pembekuan) dan ADP (suatu mediator untuk aktivasi trombosit selanjutnya); perubahan dramatik pada bentuk dan komposisi membran; dan aktivasi reseptor-reseptor Gpllb/llla. Reseptor-reseptor Gpllb/Illa pada trombosit yang teraktivasi membentuk jembatan yang berikatan silang dengan fibrinogen, menimbulkan agregasi trombosit. Aktivasi trombin akan meningkatkan penumpukan fibrin, yang melekatkan plak trombosit lebih erat pada tempatnya.



Kaskade Pembekuan Darah Kaskade pembekuan darah merupakan cara ketiga dari sistem hemostatik. Jalur-jalurnya digambarkan secara skematik pada Gambar 3-8; hanya prinsip-prinsip umum saja yang akan dibicarakan di sini.



Hemostasis dan Trombosis



secara khas tersusun pada suatu permukaan fosfolipid (disediakan oleh sel endotel atau trombosit) dan dijadikan satu oleh interaksiinteraksi yang bergantung pada ion-ion kalsium (menjelaskan mengapa pembekuan darah dapat dicegah oleh obat-obat pengikat kalsium/ calcium chelator). Seperti yang terlihat pada Gambar 3-9, kaskade berurutan dari aktivasi ini dapat disamakan dengan suatu "tarian" yang mana faktor-faktor pembekuannya dipindahkan dari satu penari ke penari berikutnya. Agar faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X memiliki kemampuan untuk mengikat kalsium, diperlukan penambahan gugus karboksil-y secara enzimatik pada residu asam glutamat tertentu pada protein-protein ini. Reaksi ini membutuhkan vitamin K sebagai kofaktor dan diantagonis oleh obat-obat seperti coumadin, yang banyak digunakan sebagai suatu antikoagulan. Pembekuan darah secara tradisional dibagi menjadi jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik, yang bergabung pada aktivasi faktor X (Gambar 3-8). Dinamakan jalur



Kaskade pembekuan darah merupakan suatu rangkaian reaksi enzimatik yang berurutan. Pada setiap tahap, suatu proenzim diubah menjadi enzim yang aktif, yang selanjutnya akan mengubah proenzim berikutnya, yang pada akhirnya menyebabkan trombin teraktivasi dan pembentukan fibrin. Trombin memegang peranan penting, oleh karena trombin terlibat pada banyak tahap dalam kaskade ini (seperti terlihat pada Gambar 3-8). Trombin menyebabkan fibrinogen lisis menjadi monomer-monomer fibrin yang berpolimerisasi menjadi gel yang tidak larut; gel ini membungkus trombosit dan sel-sel lain pada plak hemostatik sekunder definitif. Polimer-polimer fibrin distabilkan melalui aktivitas ikatan silang dari faktor XIIIa, yang juga diaktifkan oleh trombin. Setiap reaksi dalam jalur ini tergantung pada pembentukan kompleks yang terdiri atas enzim (faktor pembekuan yang teraktivasi), substrat (proenzim faktor pembekuan berikutnya dalam kaskade), dan kofaktor (yang mempercepat reaksi). Komponen-komponen ini JALUR INTRINSIK



JALUR EKSTRINSIK



XII (Faktor Hageman) Kalikrein



83



Jelas jaringan



Kolagen kininogen berberat molekul tinggi XIIa



Prekalikrein



Faktor jaringan (Tromboplastin) VII



XI



IX



XIa Trombin (IIa)



IXa VIII



VIIIa Trombin (IIa)



Faktor jaringan



Penghambatan Jalur Faktor Jaringan



VIIa



X Ca2+



Ca2+



Xa



V



Va



Trombin (IIa)



XIII



Ca2+



Ca2+ II



IIa



(Protrombin)



(Trombin)



Permukaan fosfolipid



XIIIa



Ca2+



Ca2+ Aktif Tidak aktif



Fibrinogen (I)



Fibrin (Ia)



Fibrin berikatan silang



JALUR UMUM



Gambar 3-8 Kaskade pembekuan darah. Faktor IX dapat diaktifkan baik oleh faktor Xla atau faktor Vlla: Pada uji laboratorium, aktivasi terutama bergantung pada faktor Xla, sedangkan in vivo, faktor Vlla tampaknya merupakan aktivator utama dari faktor IX. Faktor-faktor di dalam kotak merah menggambarkan molekul inaktif; faktor-faktor teraktivasi, ditunjukkan dengan huruf kecil a, di dalam kotak hijau. Perhatikan bahwa trombin (faktor IIa) (dalam kotak biru muda) berperan dalam pembekuan melalui umpan balik positif multipel. Tanda X merah menunjukkan titik-titik di mana tissue factor pathway inhibitor (TFPI) menghambat aktivasi faktor X dan faktor IX melalui faktor Vlla. HMWK, kininogen berberat molekul tinggi; PL, fosfolipid.



84



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok Faktor pembekuan aktif (enzim) Permukaan fosfolipid



VIIa



X



Faktor pembekuan inaktif (substrat)



Xa Xa



Ca2+ II



IIa



Faktor jaringan



Faktor X teraktivasi (Xa) Kofaktor Va



Gambar 3-9 Konversi berurutan faktor X menjadi faktor Xa melalui jalur ekstrinsik, diikuti oleh konversi faktor II (protrombin) menjadi faktor Ila (trombin). Kompleks reaksi awal terdiri dari suatu protease (faktor VIla), substrat (faktor X), dan reaksi akselerator (faktor jaringan) yang disusun pada suatu permukaan fosfolipid trombosit. lon kalsium memegang kompleks ini menjadi satu dan penting pada reaksi ini. Faktor Xa yang teraktivasi kemudian menjadi komponen protease dari kompleks berikutnya pada kaskade, mengubah protrombin menjadi trombin (faktor IIa) dengan adanya akselerator reaksi lain, yaitu faktor Va.



ekstrinsik oleh karena memerlukan suatu pemicu eksogen (mula-mula dikenal sebagai ekstrak jaringan); sedangkan jalur intrinsik hanya membutuhkan pemaparan faktor XII (faktor Hageman) pada permukaan yang bermuatan negatif (bahkan permukaan gelas saja sudah cukup). Akan tetapi, pembagian kedua jalur ini terutama berasal dari percobaan in vitro; pada kenyataannya, terdapat beberapa hubungan antara kedua jalur ini. Jalur ekstrinsik merupakan jalur yang paling relevan secara fisiologis untuk pembekuan yang terjadi setelah kerusakan pembuluh darah; jalur ini diaktifkan oleh faktor jaringan, suatu glikoprotein yang terikat pada membran yang diekspresikan pada tempat-tempat jejas. Laboratorium-laboratorium klinis menilai fungsi kedua jalur ini menggunakan dua standar pemeriksaan/ assay. • Waktu protrombin (WP) menilai aktivitas proteinprotein pada jalur ekstrinsik (faktor VII, X, II, V, dan fibrinogen). Uji WP dilakukan dengan menambahkan fosfolipid dan faktor jaringan pada plasma pasien yang telah diberi sitrat (natrium sitrat mengikat kalsium dan mencegah pembekuan spontan), diikuti dengan kalsium, kemudian waktu pembentukan bekuan fibrin/fibrin clot dihitung (biasanya 11 hingga 13 detik). Oleh karena faktor VII merupakan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dengan masa paruh waktu paling pendek (sekitar 7 jam), maka uji WP digunakan sebagai penuntun dalam pengobatan pasien-pasien yang menggunakan antagonis vitamin K (misalnya coumadin).



• Waktu tromboplastin parsial (WTP) menilai aktivitas proteinprotein pada jalur intrinsik (faktor XII, XI, IX, VIII, X, V, II, dan fibrinogen). Uji WTP dilakukan dengan menambahkan aktivator faktor X11 yang bermuatan negatif (misalnya ground glass) dan fosfolipid pada plasma pasien yang telah mengandungi sitrat, lalu ditambahkan kalsium, kemudian dicatat waktu yang dibutuhkan sampai terbentuk bekuan darah (biasanya 28 hingga 35 detik). Uji WTP sensitif terhadap efek antikoagulan heparin, oleh karena itu dipakai untuk memonitor efektifitas heparin. Sekali trombin sudah terbentuk, ia tidak hanya mengkatalisa langkahlangkah akhir pada kaskade pembekuan, namun juga memberikan berbagai pengaruh pada pembuluh-pembuluh darah lokal dan lingkungan peradangan; trombin bahkan secara aktif berpartisipasi untuk membatasi luasnya proses hemostasis (Gambar 3-10). Sebagian besar dari pengaruh yang dimediasi oleh trombin ini terjadi melalui reseptor yang diaktivasi oleh protease/ proteaseactivated receptors (PARs), yang merupakan bagian dari kelompok dengan tujuh protein transmembran. PAR terdapat pada bermacam jenis sel, meliputi trombosit, endotel, monosit, dan limfosit T. Trombin mengaktifkan PARs dengan mengikat domain ekstraselnya, sehingga menyebabkan perubahan yang mengaktifkan protein G yang terkait. Oleh karena itu, aktivasi PAR merupakan suatu proses katalitik, yang dapat menjelaskan potensi trombin dalam mengurangi pengaruh-pengaruh yang bergantung pada PAR, seperti meningkatkan sifat adhesif dari leukosit. Sekali telah teraktivasi, kaskade pembekuan darah harus dibatasi dengan ketat pada tempat jejas saja, untuk mencegah terjadinya pembekuan yang tidak seharusnya terjadi dan berbahaya pada susunan pembuluh darah di tempat lain. Selain membatasi aktivasi faktor pada tempat-tempat yang terpapar fosfolipid, pembekuan juga dikontrol oleh antikoagulan alami yang terbagi atas tiga kelompok:



Hemostasis dan Trombosis



Agregasi trombosit



NO PGI2



Aktivasi endotel



tPA



Matriks ekstrasel



Aktivasi limfosit



TxA2 Fibrin



Trombin Adhesi neutrofil



Aktivasi monosit



PDGF



PDGF Sel otot polos



Gambar 3-10 Peran dari trombin pada hemostasis dan aktivasi sel. Trombin menghasilkan fibrin dengan memecah fibrinogen, mengaktifkan faktor XIII (yang bertanggung jawab terhadap ikatan silang fibrin ke dalam bekuan yang tidak larut), juga mengaktifkan beberapa faktor pembekuan lain, sehingga mengamplifikasi kaskade pembekuan (Gambar 3-8). Melalui protease-activated receptor (PAR), trombin mengaktifkan (1) agregasi trombosit dan sekresi TxA2; (2) endotel, yang bereaksi dengan menghasilkan molekul adhesi leukosit dan bermacam-macam mediator fibrinolitik (t-PA), vasoaktif (NO, PGI2), atau sitokin (PDGF); dan 3) leukosit, meningkatkan adhesinya pada endotel yang teraktivasi. ECM, matriks ekstrasel; NO, nitrit oksida; PDGF, platelet-derived growth factor; PGI2, prostaglandin I2 (prostasiklin); TxA2, tromboksan A2; t-PA, tissue type plasminogen activator. Lihat Gambar 3-6 untuk aktivitas antikoagulasi yang dimediasi oleh trombin melalui trombomodulin.



(Dengan izin dari Shaun Coughltn, MD, PhD, Cardiovascular Research Institute, University of California at San Francisco, San Francisco, California.)



• Antitrombin (misalnya, antitrombin III) menghambat aktivitas trombin dan protease serin lainnya, yaitu faktor IXa, Xa, XIa, dan XIIa. Antitrombin III menjadi aktif bila berikatan dengan molekulmolekul meyerupai heparin pada sel endotel — oleh karena itu pemberian heparin adalah untuk membatasi trombosis (Gambar 3-6).



• Protein C dan protein S merupakan dua protein yang tergantung pada vitamin K yang bekerja sebagai suatu kompleks untuk menginaktifkan kofaktor Va and VIIIa secara proteolitik. Aktivasi protein C oleh trombomodulin telah dijelaskan di depan; protein S merupakan kofaktor untuk aktivitas protein C (Gambar 3-6). • Tissue faktor pathway inhibitor (TFPI) merupakan suatu protein yang disekresikan oleh endotel (dan jenis sel-sel lain) yang menginaktifkan faktor Xa dan kompleks faktor jaringan dengan faktor VIIa (Gambar 3-8). Pembekuan juga menggerakkan kaskade fibrinolitik yang mengatur ukuran akhir dari bekuan darah. Proses fibrinolisis sebagian besar dijalankan oleh plasmin, yang menghancurkan fibrin dan berinteraksi dengan polimerisasinya (Gambar 3-11). Hasil akhir berupa produk pecahan fibrin/fibrin split product (FSPs atau fibrin degradation products) juga dapat berfungsi sebagai antikoagulan lemah. Peningkatan nilai FSPs (terutama D-dimer yang berasal dari fibrin) dapat digunakan untuk mendiagnosis keadaan trombosis abnormal, termasuk disseminated intravascular coagulation (DIC) (Bab 11), trombosis vena dalam/deep venous thrombosis, atau tromboemboli paru (akan diuraikan secara rinci kemudian). Plasmin dihasilkan melalui proteolisis plasminogen, suatu prekursor plasma inaktif, baik oleh faktor XII atau oleh aktivator plasminogen (Gambar 3-11). Aktivator plasminogen yang terpenting adalah tissuetype plasminogen activator (t-PA); t-PA disintesis terutama oleh sel-sel endotel dan paling aktif saat menempel pada fibrin. Afinitas terhadap fibrin menimbulkan aktivitas fibrinolitik t-PA pada tempat-tempat trombosis yang terbaru. Urokinase-like plasminogen activator (u-PA) merupakan aktivator plasminogen lain di dalam plasma dan berbagai jaringan; u-PA dapat mengaktifkan plasmin dalam bentuk cairan. Plasminogen dapat juga dipecah menjadi bentuk aktifnya oleh produk bakteri streptokinase, yang secara klinis dipergunakan untuk melisiskan bekuan-bekuan pada beberapa penyakit trombotik. Seperti halnya komponen regulator kuat lainnya, aktivitas plasmin sangat dibatasi. Untuk mencegah berlebihnya plasmin sehingga bisa melisiskan trombus secara membabi-buta di seluruh tubuh, maka plasmin yang bebas dengan cepat akan membentuk kompleks dengan antiplasmin-α2 dan menjadi tidak aktif (Gambar 3-11). Sel-sel endotel selanjutnya mengatur keseimbangan pembekuanantipembekuan dengan melepaskan plasminogen activator inhibitors (PAIS), yang menghambat fibrinolisis dan secara keseluruhan memberikan efek prokoagulasi (Gambar 3-11). Produksi PAI bisa ditingkatkan oleh sitokin peradangan (terutama interferon-y) yang kemungkinan berperan dalam terjadinya trombosis intravaskular pada peradangan keras.



Kompleksα2-Antiplasmin/plasmin



α2-Antiplasmin Plasmin bebas



Penghambat aktivator plasminogen (PAI) Trombin



Aktivator plasminogen jaringan (tPA) dan urokinase



Plasminogen



85



Bekuan fibrin



Trombosit Plasmin



Produk-produk degradasi fibrin



Endotel



Gambar 3-II Sistem fibrinolitik menggambarkan berbagai aktivator dan inhibitor plasminogen (lihat teks).



86



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Faktor-Faktor Pembekuan • Pembekuan terjadi melalui konversi enzimatik berurutan dari suatu kaskade protein-protein yang disintesis secara lokal dan yang beredar di dalam tubuh. • Faktor jaringan yang timbul pada tempat-tempat jejas merupakan inisiator kaskade pembekuan yang paling penting in vivo. Pada tahap akhir pembekuan, trombin mengubah fibrinogen • menjadi fibrin yang tidak larut, yang berperan pada pembentukan plak hemostatik definitif. • Dalam keadaan normal, pembekuan dibatasi pada tempat-tempat jejas vaskular melalui • pembatasan aktivitas enzimatik pada permukaan fosfolipid yang disediakan oleh trombosit atau endotel yang teraktifkan • antikoagulan alami yang timbul pada tempat-tempat jejas endotel atau selama pengaktifan • kaskade pembekuan ekspresi trombomodulin pada sel-sel endotel normal, yang berikatan dengan trombin dan mengubahnya menjadi suatu antikoagulan aktivasi jalur-jalur • fibrinolitik (misalnya dengan menghubungkan tissue plasminogen activator dengan fibrin)



Trombosis Setelah mempelajari proses hemostasis normal, sekarang kita akan melihat tiga kelainan utama yang mengakibatkan terbentuknya trombus (disebut sebagai triad Virchow): (1) jejas endotel, (2) stasis atau aliran darah yang kacau/turbulen, dan (3) hiperkoagulabilitas darah (Gambar 3-12).



Jejas Endotelial Jejas endotel merupakan penyebab penting terjadinya trombosis, terutama di jantung dan arteri-arteri, yang aliran darahnya deras dan sebaliknya dapat memperlambat terjadinya pembekuan dengan mencegah adhesi trombosit atau mendilusi faktor-faktor pembekuan. Contoh trombosis yang berhubungan dengan kerusakan endotel adalah terbentuknya trombus pada bilik-bilik jantung setelah infark



JEJAS ENDOTEL



TROMBOSIS



ALIRAN DARAH ABNORMAL



HIPERKOAGULABILITAS



Gambar 3-12 Triad Virchow pada trombosis. Integritas endotel merupakan faktor yang paling penting. Abnormalitas dari prokoagulan atau antikoagulan dapat mengubah keseimbangan menjadi condong ke arah terjadinya trombosis.Aliran darah yang abnormal (stasis atau turbulen dapat mengakibatkan koagulasi berlebihan secara langsung dan juga tidak langsung melalui disfungsi endotel.



miokard, di atas plak ulseratif pada arteri-arteri yang aterosklerotik, atau pada tempat-tempat jejas vaskular akibat trauma atau peradangan (vaskulitis). Terbukanya endotel akan memaparkan matriks ekstrasel subendotel (menyebabkan adhesi trombosit), melepaskan faktor jaringan, dan mengurangi produksi lokal dari PGI2 serta aktivator plasminogen. Akan tetapi perlu dicatat bahwa untuk terjadinya trombosis, endotel tidak perlu terlepas atau secara fisik terputus; setiap gangguan pada keseimbangan dinamik antara efek-efek protrombotik dan antitrombotik endotel dapat mempengaruhi pembekuan secara lokal. Oleh karena itu, endotel yang tidak berfungsi secara benar menghasilkan faktor-faktor prokoagulan (misalnya, molekul adhesi trombosit, faktor jaringan, PAI) dalam jumlah yang lebih besar dan menghasilkan molekulmolekul antikoagulan (misalnya, trombomodulin, PGI2, t-PA) dengan jumlah yang lebih sedikit. Disfungsi endotel dapat diinduksi oleh berbagai keadaan, termasuk hipertensi, aliran darah yang turbulen, produk-produk bakterial, jejas radiasi, abnormalitas metabolit seperti homosistinuria dan hiperkolesterolemia, dan racun-racun yang diserap dari asap rokok.



Aliran Darah yang Abnormal Aliran darah yang kacau (turbulen) berperan pada timbulnya trombosis arteri kardiak dan jantung dengan menimbulkan jejas atau disfungsi endotel, arus balik dan kantong-kantong stasis lokal. Stasis merupakan faktor utama pada perkembangan trombus vena. Dalam kondisi aliran darah laminar normal, trombosit (dan sel-sel darah lainnya) berada terutama di bagian tengah lumen pembuluh darah, terpisahkan dari endotel oleh lapisan plasma yang bergerak lebih lambat. Sebaliknya, stasis dan aliran darah yang kacau/ turbulen menyebabkan efek-efek merusak sebagai berikut: • Meningkatkan pengaktifan sel endotel maupun aktivitas prokoagulan, antara lain melalui perubahan ekspresi gen-gen endotel yang diinduksi oleh aliran darah. • Stasis menyebabkan aliran darah melambat sehingga trombosit dan leukosit dapat berhubungan dengan endotel. • Stasis juga memperlambat pembersihan faktorfaktor pembekuan yang teraktifkan dan menghambat aliran masuk penghambat-penghambat faktor pembekuan. Aliran darah yang turbulen dan stasis berkontribusi pada terjadinya trombosis pada sejumlah keadaan klinis. Plak aterosklerotik yang ulseratif tidak hanya memaparkan matriks ekstrasel subendotelial, namun juga menyebabkan terjadinya turbulensi. Pelebaran arteri dan aorta yang abnormal, yang disebut aneurisma, menciptakan stasis lokal, dan akibatnya menjadi tempat yang subur untuk terjadinya trombosis (Bab 9). Infark miokard mendadak mengakibatkan miokard menjadi nonkontraktil setempat. Remodelling ventrikular setelah infark pada tempat yang lebih jauh dapat menyebabkan pembentukan aneurisma. Pada kedua keadaan ini, trombus pada dinding jantung akan lebih mudah terbentuk karena terjadi stasis darah lokal (Bab 10). Stenosis katup mitral (misalnya, sesudah suatu penyakit jantung rematik) mengakibatkan pelebaran atrium kiri. Sehubungan dengan fibrilasi atrium maka atrium yang melebar merupakan tempat yang sangat stasis dan sangat baik untuk berkembangnya trombus. Sindrom hiperviskositas (seperti pada polisitemia) (Bab11) meningkatkan hambatan aliran darah dan menyebabkan stasis pembuluh darah kecil; sel darah merah



Hemostasis dan Trombosis



Hiperkoagulabilitas Hiperkoagulabilitas jarang berperan dalam terjadinya trombus pada arteri atau di dalam jantung tetapi merupakan faktor risiko penting bagi terjadinya trombus pada vena. Hiperkoagulabilitas didefinisikan kurang lebih sebagai kelainan pada jalur-jalur pembekuan yang mempermudah timbulnya trombosis, yang dapat dibagi menjadi kelainan primer (genetik) dan sekunder (didapat) (Tabel 3-2). Hiperkoagulabilitas primer (herediter) paling sering disebabkan oleh mutasi pada gen faktor V dan gen protrombin: • Sekitar 2%-15% orang kulit putih membawa mutasi spesifik faktor V (disebut sebagai mutasi Leiden, kota di Belanda di mana pertama kali mutasi ini ditemukan). Mutasi ini mengubah residu asam amino pada faktor V dan membuatnya resisten terhadap protein C, sehingga mekanisme antitrombosis yang penting menjadi hilang. Heterozigot memiliki risiko 5 kali lebih tinggi terhadap terjadinya trombosis vena, sedangkan homozigot memiliki risiko 50 kali lebih tinggi. • Substitusi nukleotida tunggal (G menjadi A) pada daerah 3'untranslated region gen protrombin merupakan alel yang cukup sering ditemukan (pada 1%-2% populasi umum). Varian ini berakibat pada meningkatnya transkripsi protrombin dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya trombosis vena sebesar hampir tiga kali lebih tinggi.



Tabel 3-2 Keadaan Koagulasi Berlebihan



Primer (Genetik) Umum (> I% Populasi) Mutasi faktor V (mutasi G169IA; faktor V Leiden) Mutasi protrombin (varian G20210A ) 5,10-Methylene tetrahydrofolate reductase (mutasi homozigot C677T ) Peningkatan faktor VIII, IX, atau Xl atau fibrinogen



Jarang Defisiensi antitrombin 111 Defisiensi protein C Defisiensi protein S



Sangat Jarang Defek fibrinolisis Homosistinuria homozigot (defisiensi cystathione (3-synthetase)



Sekunder (Didapat) Risiko Tinggi untuk Trombosis Imobilisasi lama Infark miokardium Fibrilasi atrium Jejas jaringan (operasi, fraktur, luka bakar) Kanker Katup jantung prostetik Koagulasi intravaskular diseminata Trombositopenia yang diinduksi heparin Sindrom antibodi antifosfolipid



Risiko Rendah untuk Trombosis Kardiomiopati Sindrom nefrotik Keadaan hiperestrogenik (kehamilan dan postpartum) Penggunaan kontrasepsi oral Anemia sel sabit/sickle cell anemia Merokok



87



• Sifat hiperkoagulasi primer yang lebih jarang meliputi defisiensi antikoagulan bawaan seperti antitrombin III, protein C, atau protein S; pasien yang terkena, adalah remaja dan dewasa muda, dan yang khas ialah terjadinya trombosis vena dan emboli trombus berulang. Peningkatan kadar homosistein bawaan berperan pada trombosis arteri dan vena (dan juga pada berkembangnya aterosiderosis) (Bab 9). Walaupun risiko trombosis hanya sedikit meningkat pada pembawa sifat faktor V Leiden dan varian gen protrombin yang heterozigot faktor-faktor genetik penting karena dua alasan. Pertama, kedua alel abnormal cukup sering ditemukan sehingga individu dengan gabungan homozigot dan heterozigot yang memiliki risiko trombosis lebih tinggi tidak jarang dijumpai. Yang lebih penting lagi ialah individu heterozigot memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami trombosis vena pada berbagai keadaan seperti kehamilan, berbaring lama dan penerbangan pesawat yang jauh. Oleh karena itu, penyebab hiperkoagulabilitas herediter harus dipikirkan pada pasien-pasien muda (berusia < 50 tahun), walaupun terdapat faktor-faktor risiko lain yang didapat. Hiperkoagulabilitas sekunder (didapat) bisa dijumpai pada berbagai keadaan (Tabel 3-2). Pada beberapa keadaan (misalnya, gagal jantung atau trauma), stasis atau jejas vaskular dapat merupakan faktor yang paling penting. Hiperkoagulabilitas yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi oral dan keadaan hiperestrogenik pada kehamilan dapat berhubungan dengan peningkatan produksi dari faktor-faktor pembekuan dan berkurangnya produksi antitrombin III. Pada kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuh, pelepasan produk-produk prokoagulan oleh sel tumor (misalnya, musin dari adenokarsinoma) memudahkan terjadinya trombosis. Hiperkoagulabilitas yang ditemukan pada usia lanjut telah dihubungkan dengan peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya pelepasan PGI2 dari endotel. Merokok dan obesitas meningkatkan hiperkoagulabilitas melalui mekanisme-mekanisme yang belum diketahui. Di antara keadaan-keadaan trombofilik yang didapat, ada dua keadaan yang memiliki masalah klinis yang penting dan patut diperhatikan: • Sindrom trombositopenik yang diinduksi heparin/heparininduced thrombocytopenic (HIT) syndrome. Sindrom ini terjadi pada sekitar 5% pasien yang diterapi dengan heparin tidak terfraksz/ unfractionated heparin (untuk terapi antikoagulasi). Keadaan ini ditandai oleh berkembangnya autoantibodi yang mengikat kompleks heparin dan protein membran trombosit (platelet factor 4) (Bab 11). Walaupun mekanismenya belum jelas, tampaknya antibodi-antibodi ini juga dapat mengikat kompleks serupa yang terdapat pada permukaan trombosit dan permukaan endotel, berakibat pada aktivasi, agregasi dan pemakaian trombosit (oleh karena itu terjadi trombositopenia), dan juga jejas sel endotel. Secara keseluruhan berakibat pada suatu keadaan protrombotik, bahkan pada pemberian heparin dan jumlah trombosit yang rendah. Preparat heparin yang terfraksi/ fractionated yang terbaru dengan berat molekul rendah lebih jarang menginduksi timbulnya autoantibodi namun masih dapat menyebabkan trombosis jika sudah terbentuk antibodi. antibodi antifosfolipid/antiphospholipid antibody • Sindrom syndrome. Sindrom ini memiliki berbagai manifestasi,



88



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



meliputi trombosis berulang, abortus berulang, vegetasi katup jantung, dan trombositopenia; sindrom ini berkaitan dengan autoantibodi yang ditujukan terhadap fosfolipid anionik (misalnya cardiolipin) atau — lebih tepatnya — antigen protein plasma yang ikatarmya dibuka oleh fosfolipid tersebut (misalnya protrombin). In vivo, antibodiantibodi ini menginduksi keadaan hiperkoagulabil, kemungkinan dengan menginduksi jejas endotel, dengan mengaktifkan trombosit atau komplemen secara langsung, atau melalui interaksi dengan domain katalitik faktor koagulasi tertentu. Akan tetapi, in vitro (di mana tidak terdapat trombosit dan endotel), antibodi-antibodi berinterferensi dengan kompleks fosfolipid, sehingga menghambat pembekuan (oleh karena itu dinamakan lupus antikoagulan). Pada pasien-pasien dengan antibodi anticardiolipin, tes serologik sifilis akan memberikan hasil positif palsu, oleh karena antigen pada pemeriksaan standar ditanam pada cardiolipin Pasien dengan sindrom antibodi antifosfolipid dibagi menjadi dua kategori yaitu primer dan sekunder. Sebagian besar kasus merupakan sindrom antifosfolipid sekunder oleh karena penyakit autoimun yang sudah dikenal baik, seperti lupus eritematosus sistemik (Bab 4). Kategori kedua yaitu pasien-pasien yang hanya menunjukkan manifestasi suatu keadaan hiperkoagulabil tanpa adanya bukti-bukti kelainan autoimun lain (sindrom antifosfolipid primer). Walaupun antibodi antifosfolipid berhubungan dengan diatesis trombotik, namun antibodi ini ditemukan juga pada sekitar 5%-15% individu yang tampak normal; implikasinya adalah bahwa adanya antibodi ini mungkin dibutuhkan, namun tidak cukup untuk menimbulkan sindrom antibodi antifosfolipid.



MORFOLOGI Trombus dapat berkembang di mana saja di dalam sistem kardiovaskular. Trombus arteri atau jantung, khas nnuncul pada tempat-tempat jejas endotel atau aliran turbulen; trombus vena secara karakteristik terjadi pada tempat-tempat stasis. Aliran darah trombus menempel setempat pada permukaan vaskular dan cenderung membesar ke arah jantung; sehingga trombus arteri tumbuh ke arah belakang/retrograde dari titik penempelannya, sementara trombus vena meluas ke arah aliran darah. Bagian suatu trombus yang membesar cenderung tidak menempel secara baik sehingga mudah terpecah/fragmentasi dan bermigrasi melalui aliran darah sebagai suatu embolus. Trombus memiliki lapisan-lapisan yang jelas secara makroskopik (dan mikroskopik) yang disebut sebagai garis-garis Zahn; yang merupakan bagian dengan trombosit dan lapisanlapisan fibrin yang berwarna pucat, bergantian dengan lapisan yang kaya eritrosit yang berwarna lebih gelap. Garis-garis ini penting karena hanya ditemukan pada trombus yang terbentuk pada darah yang mengalir; sehingga keberadaan garis-garis ini dapat membedakan trombus sebelum meninggal/antemortem dari bekuan darah yang rata, tidak berlapis yang terbentuk setelah meninggal/postmortem. Walaupun trombus terbentuk pada sistem vena "aliran lambat" secara superfisial menyerupai bekuan postmortem,namun pada pemeriksaan yang lebih teliti biasanya terlihat lapisan-lapisan yang tidak berbatas jelas. Trombus yang terjadi di bilik-bilik jantung atau di dalam lumen aorta disebut sebagai trombus mural. Kontraksi otot jantung yang abnormal (aritmia, kardiomiopati yang melebar, atau infark miokard) atau jejas endomiokard (miokarditis, trauma kateter) meningkatkan trombus mural jantung (Gambar 3-13, A), sementara plak aterosklerotik yang ulseratif dan pelebaran aneurisma meningkatkan trombosis pada aorta (Gambar 3-13, B).



A



B Gambar 3-13 Trombus mural. A, Trombus di apeks ventrikel kiri dan kanan, terletak di atas jaringan parut berwarna putih. B, Trombus yang berlapislapis/(laminated) di dalam suatu aneurisma aorta abdominalis yang melebar. Sejumlah trombus mural juga menumpuk dengan lesi aterosklerotik lanjut di aorta yang lebih proksimal (sisi kiri foto).



Trombus arteri secara khas relatif kaya trombosit, oleh karena proses yang mendasari perkembangannya (misalnya, jejas endotel) berakibat pada aktivasi trombosit. Walaupun biasanya terjadi bersama-sama pada suatu plak aterosklerotik yang ruptur, jejas pembuluh darah yang lain (vaskulitis, trauma) dapat juga merupakan penyebab. Trombus vena (plebotrombosis) seringkali membesar dan memanjang ke arah jantung, membentuk suatu endapan yang panjang pada lumen pembuluh darah yang rentan menimbulkan emboli. Peningkatan aktivitas faktorfaktor pembekuan terlibat pada terjadinya sebagian besar trombus vena, dengan aktivasi trombosit memegang peranan sekunder. Oleh karena trombus vena terbentuk di dalam sirkulasi vena yang bergerak perlahan, trombus vena cenderung mengandungi banyak eritrosit yang terjebak, berakibat pada trombus stasis, yang berwarna merah. Vena-vena ekstremitas bawah paling sering terkena (90% dari trombosis vena); akan tetapi, trombus vena juga bisa terjadi pada ekstremitas atas, pleksus periprostat, vena ovarium dan periuteria, dan dalam keadaan khusus dapat ditemukan pada sinus-sinus duramater, vena porta atau vena pada hepar. Pada otopsi, bekuan postmortem kadang-kadang dapat disangka sebagai trombus vena. Akan tetapi, bekuan postmortem lebih menyerupai gel/gelatinosa dan terdapat bagian berwarna merah gelap oleh karena adanya eritrosit dan bagian atas yang berwarna kuning menyerupai "lemak ayam"; bekuan postmortem juga biasanya tidak menempel pada dinding vena di bawahnya. Sebaliknya, trombus merah,secara khas kenyal, dan setempat melekat pada dinding pembuluh darah, serta mengandungi benang-benang kelabu oleh adanya endapan fibrin.



Hemostasis dan Trombosis Trombus pada katup-katup jantung disebut vegetasi. Infeksi bakteri atau jamur yang terdapat di dalam darah bisa menyebabkan kerusakan katup, sehingga berakibat pada berkembangnya massa trombus yang besar (endokarditis infektif) (Bab 10).Vegetasi yang steril juga dapat berkembang pada katupkatup tidak terinfeksi pada keadaan hiperkoagulasi—lesi-lesi seperti ini disebut endokarditis trombotik non-bakteri (Bab10). Lebih jarang lagi, endokarditis verukosa (endokarditis LibmanSacks) yang steril dapat terjadi pada keadaan lupus eritematosus sistemik (Bab 4).



Nasib Trombus Jika seorang pasien dapat selamat pada kejadian trombosis pertama, setelah beberapa hari atau minggu, trombus akan berkembang melalui beberapa kombinasi dari empat proses berikut ini: • Pembesaran. Trombus membesar melalui penambahan trombosit dan fibrin, sehingga meningkatkan sumbatan pembuluh darah atau terjadi emboli. • Embolisasi. Sebagian atau semua dari trombus akan terlepas dan dipindahkan ke suatu tempat lain di dalam pembuluh darah. • Pencairan. Jika suatu trombus baru terbentuk, aktivasi faktorfaktor fibrinolitik dapat memperkecil secara cepat dan mencairkannya secara menyeluruh. Pada trombus yang lebih lama, polimerisasi fibrin yang luas membuat trombus lebih resisten terhadap proteolisis yang diinduksi oleh plasmin, dan lisis menjadi tidak efektif. Adanya resistensi untuk lisis memiliki kepentingan klinis, karena pengobatan dengan obat-obat fibrinolitik (misalnya, t-PA pada keadaan trombosis koroner mendadak) biasanya tidak efektif, kecuali diberikan dalam beberapa jam setelah pembentukan trombus. • Organisasi dan rekanalisasi. Trombus yang lebih lama akan diorganisasi melalui pertumbuhan sel-sel endotel, sel otot polos dan fibroblas ke dalam trombus, kemudian akan menjadi trombus yang kaya fibrin (Gambar. 3-14). Pada waktunya, terbentuk pembuluhpembuluh kapiler, yang dapat menciptakan saluran — yang terbatas — sepanjang trombus, sehingga mengembalikan kontinuitas dari lumen asli. Rekanalisasi selanjutnya kadang-kadang dapat mengubah suatu trombus menjadi massa jaringan ikat berpembuluh darah, yang akhirnya disatukan ke dalam dinding pembuluh yang diperbaharui. Kadang-kadang, trombus bukannya mengalami organisasi melainkan bagian tengahnya mengalami pencernaan enzimatik, kemungkinan disebabkan oleh pelepasan enzim-enzim lisosom dari leukosit-leukosit yang terjebak.



Gambar 3-14 Arteri yang mengalami trombosis dengan pulasan untuk jaringan elastika dalam lapang pandang kecil. Lumen asli ditandai oleh lamina elastika interna (panah) dan dipenuhi oleh trombus yang telah mengalami organisasi.



89



Jika bakteri berkembang, isi dari trombus yang mengalami degradasi akan menjadi media pembiakan yang baik, dan berakibat terjadinya infeksi yang melemahkan dinding pembuluh darah, menimbulkan pembentukan aneurisma mikotik (Bab 9). Korelasi Klinis Trombus penting karena dapat menyebabkan sumbatan arteri dan vena dan dapat menimbulkan emboli. Pengaruh mana yang paling besar secara klinis, tergantung pada lokasi terjadinya trombus. Trombus vena dapat menyebabkan kongesti dan edema pada pembuluh-pembuluh darah distal dari tempat sumbatan, sehingga trombus vena paling mengkhawatirkan karena potensinya untuk terjadinya emboli paru dan menyebabkan kematian. Sebaliknya, trombus srteri dapat menjadi embolus dan menyebabkan infark jaringan, kecenderungannya untuk menyumbat pembuluh darah (misalnya, pada pembuluh koroner dan pembuluh darah) jauh lebih penting. Trombus Vena (Phlebothrombosis). Kebanyakan trombus vena terjadi pada tungkai bawah baik pada vena ataupun vena dalam. Trombus vena permukaan biasanya timbul pda sistem safena, khususnya dalam bentuk varises; trombus ini jarang menjadi embolus namun dapat menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan sumbatan serta pembengkakan lokal oleh adanya gangguan aliran vena keluar dan cenderung terjadi, peningkatan timbulnya infeksi dan ulkus varikosus pada jaringan kulit di atasnya. Trombus vena dalam atau deep venous thromboses ("DTVs") pada pembuluh-pembuluh vena yang lebih besar di tungkai pada daerah lutut atau di atasnya (misalnya, vena poplitea, vena femoralis, dan vena iliaka) lebih serius karena rentan menjadi embolus. Walaupun trombus vena dalam (TVD) seperti ini dapat menyebabkan nyeri dan edema lokal, namun sumbatan biasanya digantikan oleh saluran-saluran kolateral. Sebagian akibatnya, trombus vena dalam pada sekitar 50% pasien sepenuhnya tidak bergejala/ asimptomatik dan baru dikenali setelah terjadi emboli paru. TVD ekstremitas bawah berkaitan dengan stasis dan keadaan hiperkoagulasi, seperti diuraikan sebelumnya (Tabel 3-2); oleh karena itu, faktor-faktor predisposisi umum mencakup gagal jantung kongestif, berbaring lama dan tidak bergerak yang mengurangi kerja otot tungkai bawah sehingga memperlambat kembalinya aliran vena/ venous return. Trauma, pembedahan, dan luka bakar tidak hanya membuat imobilisasi pasien namun juga berkaitan dengan jejas pembuluh darah, keluarnya prokoagulan, meningkatnya sintesis faktor-faktor koagulasi oleh hati, dan berkurangnya produksi t-PA. Banyak faktor berperan pada terjadinya trombosis pada kehamilan; disamping potensi masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi pada saat persalinan, tekanan yang dihasilkan oleh janin dan uterus yang membesar dapat menimbulkan stasis pada vena-vena tungkai bawah. Usia kehamilan yang lanjut dan periode postpartum berkaitan dengan kemungkinan terjadinya hiperkoagulasi. Pelepasan prokoagulan yang berkaitan dengan tumor sangat berperan pada peningkatan risiko fenomena emboli trombus yang ditemukan pada anker yang telah menyebar, kadang disebut sebagai tromboflebitis berpindah/migratory thrombophlebitis, adanya kecenderungan mengenai beberapa pembuluh vena yang berbeda secara singkat/transien. Fenomena ini dikenal sebagai sindrom Trousseau, yang dikemukakan dan juga diderita oleh Armand Trousseau. Pada individu berusia di atas 50 tahun, peningkatan TVD tidak bergantung pada keadan klinis tertentu. Walaupun keadaan-keadaan yang mempermudah timbulnya trombosis sudah diketahui dengan baik namun fenomena ini tetap tidak dapat diprediksi. Trombosis sering terjadi pada orang-orang yang sehat dan aktif tanpa adanya kelainan atau provokasi. Trombosis yang asimptomatik (dan mungkin sembuh sendiri) terjadi jauh lebih sering dari yang diperkirakan.



90



BAB 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Trombosis •



Terjadinya trombus biasanya berhubungan dengan satu atau lebih komponen triad Virchow:  jejas endotel (misalnya, oleh toksin, hipertensi, peradangan, atau produk-produk metabolit)  aliran darah yang abnormal, stasis atau turbulensi (misalnya, disebabkan oleh aneurisma, plak aterosklerotik)  kemungkinan hiperkoagulabilitas primer (misalnya, faktor V Leiden, peningkatan sintesis protrombin, defisiensi antitrombin III) atau sekunder (misalnya, tirah baring, kerusakan jaringan, keganasan) damage, malignancy)







Trombus dapat membesar, membaik, mengalami organisasi atau menjadi embolus. Trombosis menyebabkan terjadinya jejas jaringan melalui penyumbatan pembuluh darah lokal atau melalui terjadinya embolus di bagian distal.







Koagulasi Intravaskular Diseminata Koagulasi intravaskular diseminata (KID) adalah trombosis dalam pembuluh darah kecil yang luas, yang terjadi mendadak atau perlahan-lahan. KID bisa ditemukan pada berbagai keadaan, dari komplikasi obstetrik hingga pada penyakit keganasan yang lanjut. Trombus biasanya berukuran sangat kecil, namun sangat banyak sehingga sering menimbulkan insufisiensi sirkulasi, terutama di otak, paru, jantung, dan ginjal. Hal yang mempersulit keadaan adalah trombosis pembuluh darah kecil yang luas memakai trombosit dan protein-protein pembekuan (oleh karena itu disebut juga consumption coagulopathy), dan pada saat yang sama, mekanisme fibrinolitik teraktifkan. Oleh karena itu, kelainan yang awalnya adalah kelainan trombosis dapat berkembang menjadi bencana perdarahan. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa KID bukanlah suatu penyakit primer namun lebih sebagai komplikasi yang berbahaya dari berbagai keadaan yang berkaitan dengan aktivasi trombin yang luas. Hal ini akan dibicarakan secara rinci bersama diatesis perdarahan lainnya di Bab 11.



EMBOLUS



Walaupun angka emboli paru di Amerika Serikat telah menurun dari 6% menjadi 2% selama seperempat abad terakhir, namun emboli paru masih menyebabkan sekitar 200.000 kematian per tahun. Pada lebih dari 95% kasus, emboli vena berasal dari trombus di vena dalam pada tungkai bawah, proksimal dari fossa poplitea; emboli dari trombus vena tungkai bawah tidak jarang terjadi. Trombus yang terpecah pada TVD dibawa melalui pembuluhpembuluh yang makin besar dan biasanya melewati bagian sisi kanan jantung sebelum tertahan di pembuluh darah paru. Tergantung pada ukurannya, suatu embolus pada paru dapat menyumbat arteri pulmonalis utama, atau masuk ke dalam percabangan/ bifurkasi arteri pulmonalis kanan dan kiri (embolus pelana) atau lewat dan masuk ke dalam percabangan arteriol yang lebih kecil (Gambar 3-15). Emboli multipel, sering terjadi baik berurutan atau dalam bentuk pecahan embolus yang kecil-kecil dari satu trombus yang besar; seorang pasien yang pernah mengalami emboli paru memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalaminya kembali. Kadang-kadang, suatu embolus melewati defek pada atrium atau ventrikel dan memasuki sirkulasi sistemik (embolisme paradoksikal). Pembicaraan yang lebih lengkap tentang emboli paru terdapat di Bab 12; gambaran klinis dan patologis utama adalah sebagai berikut: • Kebanyakan embolus paru (60% hingga 80%) berukuran kecil dan secara klinis tenang. Dengan berjalannya waktu, pada beberapa kasus, embolus ini mengalami organisasi dan bergabung dengan dinding pembuluh darah; organisasi tromboemboli meninggalkan jejaring jembatan fibrosa. • Pada keadaan yang berlawanan, suatu embolus besar menutup arteri pulmonalis utama yang dapat menyebabkan kematian mendadak. • Penyumbatan arteri-arteri berukuran sedang oleh embolus dan ruptur kapiler menimbulkan anoksia yang dapat menyebabkan perdarahan pada paru. Emboli seperti ini biasanya tidak menyebabkan infark paru sebab daerah ini juga menerima darah dari sirkulasi darah bronkus yang utuh (sirkulasi ganda). Akan tetapi, embolus yang serupa pada keadaan gagal jantung kiri (dan hilangnya perfusi arteri bronkial) dapat menyebabkan infark paru. • Emboli pada cabang-cabang akhir arteriol paru biasanya menyebabkan infark. • Emboli multipel yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan hipertensi pulmonalis dan gagal ventrikel kanan (cor pulmonale).



Embulus adalah suatu massa padat, cair, atau udara intravaskular yang dibawa oleh darah ke suatu tempat yang jauh dari asalnya. Sebagian besar embolus berasal dari trombus yang terlepas — oleh karena itu terdapat terminologi tromboembolisme. Jenis embolus yang lebih jarang mencakup tetesan lemak, gelembung udara atau nitrogen, debri aterosklerotik (emboli kolesterol), fragmen tumor, potongan sumsum tulang, dan cairan amnion. Embolus yang masuk masuk ke dalampembuluh darah yang terlalu kecil untuk dilewati, berakibat pada penyumbatan total atau parsial; tergantung pada lokasi asalnya, embolus bisa masuk di mana saja dalam sistem pembuluh darah. Akibat utama dari embolisasi sistemik adalah nekrosis iskemik (infark) dari jaringan di bagian distal penyumbatan, sementara embolisasi pada sirkulasi paru mengakibatkan hipoksia, hipotensi, dan gagal jantung kanan.



Tromboemboli Paru



Insidens pasien emboli paru yang dirawat di rumah sakit adalah 2 hingga 4 per 1000 pasien.



Gambar 3-15 Embolus yang berasal dari trombus vena dalam di ekstremitas bawah masuk ke salah satu cabang arteri pulmonalis.



Embolus



91



Tromboemboli Sistemik Sebagian besar emboli sistemik (80%) timbul dari trombus di dalam dinding jantung/intracardiac mural thrombi; dua pertiga di antaranya berhubungan dengan infark ventrikel kiri dan sekitar 25% lainnya dengan atrium kiri yang melebar (misalnya, sekunder terhadap penyakit katup mitral). Sisanya berasal dari aneurisma aorta, trombus yang menutupi plak aterosklerotik yang ulseratif, vegetasi katup yang terpecah (Bab 10), atau dari sistem vena (emboli paradoksikal); 10% hingga 15% dari emboli sistemik tidak diketahui asalnya. Berbeda dengan emboli vena yang masuk terutama di paru, emboli arteri dapat masuk ke mana saja; tempat perhentian terakhirnya tergantung pada asal lokasinya dan pada laju aliran relatif di jaringan sesudahnya. Tempat-tempat emboli arteriol yang umum adalah ekstremitas bawah (75%) dan sistem saraf pusat (10%); sedangkan usus, ginjal, dan limpa adalah target yang lebih jarang. Akibat dari terjadinya emboli bergantung pada garis tengah pembuluh darah yang tersumbat, suplai kolateral, dan kerentanan jaringan yang terkena terhadap anoksia; emboli arteri sering masuk pada ujung-ujung arteri dan menyebabkan infark.



Emboli Lemak Trauma jaringan lunak dan ruptur sinusoid pembuluh darah sumsum tulang (fraktur tulang panjang) menyebabkan terlepasnya globulglobul lemak mikroskopik ke dalam sirkulasi darah. Emboli lemak dan emboli sumsum tulang sering ditemukan setelah suatu resusitasi kardiopulmoner keras, namun mungkin akibat klinisnya hanya kecil saja. Sama halnya, walaupun emboli lemak dan sumsum tulang terjadi pada sekitar 90% individu dengan trauma skeletal yang berat (Gambar 3-16, A), namun kurang dari 10% yang menunjukkan gejala. Akan tetapi, pada sekelompok kecil pasien, terjadi sindrom emboli lemak yang asimptomatik. Gejala lain yang mungkin ada ialah ketidakmampuan pulmoner/pulmonary insufficiency, gejala-gejala neurologik, anemia, trombositopenia, dan kemerahan petekiel difus, yang fatal pada 10% kasus. Tanda dan gejala klinis muncul 1 sampai 3 hari setelah trauma berupa takipnea, dispnea, takikardia, iritabilitas dan rasa lelah yang muncul tiba-tiba, yang dapat berkembang secara cepat menjadi delirium atau koma. Patogenesis dari sindrom emboli lemak mencakup baik sumbatan mekanik maupun jejas biokimiawi. Mikroemboli lemak menyumbat pembuluh kapiler paru dan otak, baik secara langsung maupun dengan memicu agregasi trombosit. Efek yang berbahaya ini diperburuk oleh lepasnya lemak dari globul lemak, yang menyebabkan jejas toksik endotel lokal. Aktivasi trombosit dan perekrutan granulosit (dengan pelepasan radikal bebas, protease, dan eikosanoid) (Bab 2) menyempurnakan serangan terhadap pembuluh darah. Oleh karena lemak larut pada pemrosesan jaringan, maka visualisasi mikroskopik mikroglobul lemak (misalnya, pada ketiadaan elemen sumsum tulang yang menyertai) membutuhkan teknik khusus (potong beku dan pulasan lemak).



Emboli Cairan Amnion Emboli cairan amnion merupakan komplikasi menyedihkan dari proses persalinan dan periode awal postpartum (terjadi pada 1 di antara 40.000 persalinan). Tingkat mortalitas mencapai 80%, sehingga menjadi penyebab kematian maternal tersering di negara maju; mencapai 10% kematian maternal di Amerika Serikat, sementara 85% yang selamat akan menderita defisit neurologi permanen. Onset ditandai oleh dispnea, sianosis, dan syok hipotensi yang berat dan mendadak, diikuti oleh kejang dan koma. Jika pasien selamat pada krisis awal,



Gambar 3-16 Jenis embolus yang tidak biasa. A, Embolus sumsum tulang. Embolus terdiri atas sel-sel hematopoietik sumsum tulang dan sel lemak sumsum tulang (ruang--Jang kosong) yang melekat pada trombus. B, Emboli cairan amnion. Dua arteriol paru yang berisi sel-sel skuamosa janin yang tersusun berlapis-lapis. Jaringan paru di sekitarnya tampak edema dan kongestif. (Kontnbusi Dr. Beth Schwartz, Baltimore, Maryland.)



Jika pasien selamat pada krisis awal, ciri khasnya akan timbul edema paru, bersama dengan KID (pada sekitar separuh pasien) yang disebabkan oleh pelepasan substansi-substansi trombogenik dari cairan amnion. Penyebab masuknya cairan amnion (dan isinya) ke dalam sirkulasi maternal adalah melalui robekanrobekan yang ada di membran plasenta dan/atau ruptur vena uterus. Pemeriksaan histologis menunjukkan sel-sel skuamosa yang berasal dari kulit janin, rambut lanugo, lemak dari vernix caseosa, dan musin yang berasal dari traktus respiratorius atau traktus gastrointestinal janin di dalam mikrosirkulasi maternal (Gambar 13-16, B). Temuan lain berupa edema paru yang mencolok, kerusakan alveolus yang difus (Bab 12), dan trombus fibrin sistemik yang dihasilkan oleh KID.



Emboli Udara Gelembung udara di dalam sirkulasi dapat berkelompok dan menyumbat aliran darah sehingga menyebabkan jejas iskemik di bagian distal. Udara dalam volume kecil yang terjebak dalam arteri koronaria pada saat operasi bypass atau masuk ke dalam sirkulasi arteri serebral pada saat operasi bedah saraf dilakukan dalam posisi "duduk tegak" dapat menyumbat aliran darah dengan akibat yang sangat buruk.



92



BAB3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



Embolus udara pada vena kecil umumnya tidak menyebabkan pengaruh serius, namun udara dalam volume yang cukup besar dapat masuk secara tidak sengaja ke dalam sirkulasi darah paru selama tindakan obstetrik atau sebagai akibat trauma dinding dada yang menyebabkan hipoksia, dan emboli vena yang sangat besar ini dapat tertahan di jantung dan menimbulkan kematian. Suatu contoh emboli udara tertentu yang disebut sebagai penyakit dekompresi/decompression sickness disebabkan oleh perubahan tekanan atmosfir yang terjadi secara mendadak. Oleh karena itu para penyelam, pekerja konstruksi bawah laut, dan orang-orang di dalam pesawat dengan tekanan udara yang tidak dikontrol/unpressurized aircraft, yang naik secara mendadak berisiko buruk. Pada saat udara dihirup pada tekanan tinggi (misalnya, selama menyelam di laut yang dalam), volume udara yang bertambah (khususnya nitrogen) akan larut ke dalam darah dan jaringan. Jika penyelam naik terlalu cepat (depressurizes) nitrogen akan masuk ke dalam jaringan dan gelembunggelembung akan terpisah dari cairan di dalam darah dan membentuk emboli udara, yang menyebabkan iskemia jaringan. Pembentukan gelembung udara yang cepat di dalam otot skeletal dan jaringan penyokong di sekitar sendi menjadi penyebab timbulnya rasa sakit yang disebut "bungkukan/ the bends" (disebut demikian pada tahun 1880-an oleh karena penderita membungkukkan badannya yang menyerupai pose fesyen wanita yang disebut Grecian bend). Gelembung-gelembung udara pada pembuluh darah paru menyebabkan terjadinya edema, perdarahan, dan atelektasis fokal atau emfisema, yang berakibat timbulnya kesulitan bernapas/ respiratory distress, yang disebut chokes. Bentuk penyakit dekompresi yang lebih menahun dinamakan caisson disease (dinamakan menurut bilik bawah laut bertekanan yang digunakan pada saat membangun jembatan) di mana emboli udara berulang atau persisten di tulang mengakibatkan nekrosis iskemik yang multifokal; paling sering mengenai caput femoris, tibia, dan caput humerus. Penyakit dekompresi mendadak diobati dengan meletakkan pasien di dalam bilik bertekanan tinggi, untuk mendorong udara kembali ke dalam sirkulasi darah. Dekompresi lambat secara bertahap mendorong resorpsi udara dan ekshalasi, sehingga gelembunggelembung yang dapat menyumbat tidak terbentuk.



RINGKASAN Emboli •











Embolus adalah suatu massa padat, cair atau udara intravaskular yang dibawa oleh darah ke suatu tempat yang jaug dari asalnya. Sebagian besar merupakan trombus yang terlepas. Emboli paru terutama berasal dari trombus di vena dalam tungkai bawah;pengaruhnya terutama tergantung pada ukuran embolus dan tempat di mana embolus itu masuk. Akibatnya dapat berupa gagal jantung bagian kanan, perdarahan paru, infark paru atau mati mendadak. Emboli sistemik terutama berasal dari trombus dinding jantung atau trombus katup, aneurisma aorta, atau plak aterosklerotik; apakah suatu embolus akan menyebabkan infark jaringan atau tidak, tergantung pada tempat terjadinya emboli dan ada atau tidaknya sirkulasi kolateral.



INFARK Infark adalah suatu daerah nekrosis iskemik yang disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah pada jaringan yang terkena; proses di mana lesi demikian terbentuk dinamakan infarksi, yang merupakan penyebab sangat penting penyakit-penyakit kritis dan sering terjadi.



Secara kasar 40% dari semua kematian di Amerika Serikat adalah akibat dari penyakit kardiovaskular, yang sebagian besar disebabkan oleh infark miokardium atau serebrum. Infark paru merupakan komplikasi klinis yang umum, infark usus sering fatal, dan nekrosis iskemik ekstremitas bagian distal (gangren) menyebabkan morbiditas yang tinggi pada penderita diabetes. Trombus arteriol atau emboli arteriol merupakan penyebab dari sebagian besar infark. Penyebab obstruksi arteri yang lebih jarang antara lain vasospasme, pelebaran ateroma akibat perdarahan di dalam plak, dan kompresi pembuluh darah dari luar, seperti oleh tumor, suatu aneurisma aorta diseksi/ dissecting aortic aneurysm, atau edema dalam daerah yang terbatas (misalnya, sindrom kompartemen tibia anterior). Penyebab lain infark yang tidak biasa adalah puntiran saluran darah (misalnya, pada torsi testis atau volvulus usus), ruptur pembuluh akibat trauma, dan terjeratnya kantong hernia. Walaupun trombosis vena dapat menyebabkan infark, akibat yang lebih sering hanya berupa kongesti; khasnya, saluran bypass dengan cepat terbuka untuk menyediakan aliran keluar yang cukup dan mengembalikan aliran masuk ke arteri. Infark yang disebabkan oleh trombosis vena, hanya terjadi pada organ-organ dengan vena eferen tunggal (misalnya, testis atau ovarium).



MORFOLOGI Infark dikelompokkan berdasarkan warna(menggambarkan jumlah perdarahan) dan ada atau tidaknya infeksi bakteri. Oleh karena itu, infark dapat berwarna merah (hemoragik), putih (anemik) atau septik dan bersih. Infark merah (Gambar 3-17, A) terjadi (1) pada oklusi vena (seperti pada torsi ovarium); (2) pada jaringan longgar (misalnya, paru) di mana darah dapat berkumpul di zona infark; (3) pada jaringan-jaringan dengan sirkulasi ganda seperti paru dan usus kecil, di mana khas berupa perfusi parsial, tidak adekuat, yang didukung oleh arteri kolateral; (4) pada jaringan yang sebelumnya kongestif (sebagai akibat dari aliran keluar vena yang lambat); dan (5) ketika aliran dikembalikan setelah terjadi infark (misalnya, setelah operasi angioplasty pada arteri yang tersumbat). Infark putih terjadi pada oklusi arteri di organorgan padat dengan sirkulasi arteri yang tidak berkolateral/ end-arterial circulation (misalnya, jantung, limpa, ginjal) dan pada jaringan yang kepadatannya membatasi masuknya darah dari pembuluh darah paten di dekatnya (Gambar 3-17, B). Infark cenderung berbentuk baji/wedge-shaped, dengan pembuluh yang teroklusi di bagian apeks dan organ perifer di bagian basal (Gambar 3-17); jika bagian basal adalah permukaan serosum, sering terdapat eksudat fibrinosa di atasnya. Tepi-tepi lateral bisa tidak teratur, menggambarkan aliran dari pembuluh di dekatnya. Tepitepi dari infark mendadak secara khas tidak berbatas tegas dan sedikit hemoragik; dengan berjalannya waktu, tepi-tepi menjadi makin berbatas jelas oleh kelim hiperemik akibat peradangan. Infark yang disebabkan oleh oklusi arteri pada organorgan tanpa sirkulasi ganda, secara khas, seiring dengan berjalannya waktu menjadi makin pucat dan berbatas tegas (Gambar 3-17, B). Sebagai perbandingan, infark hemoragik sudah pasti untuk paru dan organ berongga lainnya (Gambar 3-17, A). Eritrosit yang keluar dari pembuluh darah pada infark hemoragik difagosit oleh makrofag, dan besi dari heme dikonversi menjadi hemosiderin intrasel. Bila eritrosit sedikit, tidak memberikan perubahan warna jaringan yang berarti, namun perdarahan yang luas meninggalkan warna coklat dan kenyal



Infark



A



B



Pada sebagian besar jaringan, gambaran histologis utama yang berkaitan dengan infark adalah nekrosis iskemik atau nekrosis koagulatif (Bab I). Respons peradangan mulai berkembang sepanjang tepi-tepi infark dalam beberapa jam dan biasanya berbatas tegas dalam I hingga 2 hari.Akhirnya, peradangan diikuti oleh perbaikan, dimulai dari tepi-tepi yang terpelihara (Bab 2). Pada beberapa jaringan, regenerasi parenkim bisa terjadi pada bagian tepi infark, di mana arsitektur stroma di bawahnya masih baik. Akan tetapi, pada kebanyakan infark, semuanya telah digantikan oleh jaringan parut (Gambar 3-18). Otak merupakan perkecualian: jejas jaringan iskemik di sistem saraf pucat berakibat terjadinya nekrosis liquefaktif (Bab I). Infark septik terjadi bila vegetasi katup jantung yang terinfeksi menjadi embolus, atau bila mikroba tumbuh di jaringan nekrotik. Pada keadaan ini, infark diubah menjadi suatu abses, dengan respons inflamasi yang lebih kuat (Bab 2).



93



Gambar 3-17 Infark merah dan putih. A, Hemoragik, infark paru berbentuk potongan/ wedge-shaped (infark merah). B, Infark pucat yang berbatas tegas di limpa (infark putih).



Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Infark, Pengaruh oklusi pembuluh darah bervariasi, dari yang tidak berarti hingga nekrosis jaringan yang menyebabkan disfungsi organ dan terkadang kematian. Akibat yang bervariasi ini dipengaruhi oleh (1) anatomi pembuluh darah; (2) saat oklusi ini terjadi; (3) kerentanan intrinsik jaringan yang terkena jejas iskemik; dan (4) kandungan oksigen dalam darah. • Anatomi pembuluh darah kolateral. Ada atau tidaknya pembuluh darah kolateral merupakan faktor yang paling penting untuk menentukan apakah oklusi dari suatu pembuluh darah akan menyebabkan kerusakan atau tidak. Suplai darah ganda pada paru oleh arteri-arteri pulmo dan bronkus sehingga penyumbatan arteriol pulmo tidak menyebabkan infark paru kecuali aliran darah dari bronkus juga terganggu. Demikian pula dengan hati yang menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta, juga pada tangan dan lengan bawah dengan suplai arteri yang paralel dari arteri radialis dan arteri ulnaris, membuatnya resisten terhadap infark. Sebaliknya, ginjal dan limpa, keduanya memiliki sirkulasi arterial tanpa kolateral sehingga penyumbatan arteri biasanya akan menyebabkan timbulnya infark pada jaringan ini. • Kecepatan oklusi. Oklusi yang berkembang lambat lebih jarang menyebabkan infark karena cukup waktu untuk membangun suplai darah kolateral. Sebagai contoh, anastomosis interarteriol kecil, yang biasanya sedikit mengalirkan darah menghubungkan tiga arteri koronaria utama. Jika salah satu arteri koronaria teroklusi secara perlahan-lahan (misalnya, dengan menembus plak aterosklerotik), aliran darah pada sirkulasi kolateral ini dapat meningkat sehingga cukup untuk mencegah terjadinya infark— bahkan jika arteri ini menjadi teroklusi total. • Kerentanan jaringan terhadap iskemia. Neuron-neuron mengalami kerusakan ireversibel bila suplai darah terhenti selama 3 sampai 4 menit saja. Sel-sel otot jantung walaupun lebih tahan daripada neuron, masih akan mati setelah iskemia selama 20 hingga 30 menit saja. Sebaliknya, fibroblas dalam otot jantung masih bertahan hidup setelah iskemia berjam-jam.



Gambar 3-18 Infark ginjal lama, sebagian sudah digantikan oleh jaringan parut fibrotik.



• Hipoksemia. Dapat dimengerti bahwa kandungan darah yang rendah 02 secara abnormal (tanpa memandang sebabnya) meningkatkan kecenderungan infark dan luas infark.



94



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



RINGKASAN Infark •











Infark adalah suatu nekrosis iskemik yang kebanyakan disebabkan oleh oklusi arteri (khas pada trombosis atau emboli); sumbatan aliran vena merupakan penyebab yang lebih jarang. Infark yang disebabkan oleh oklusi vena atau yang terjadi pada jaringan berongga khas bersifat hemoragik (berwarna merah); infark yang disebabkan oleh oklusi arteri pada jaringan padat khas bersifat pucat (berwarna putih). Apakah oklusi pembuluh darah akan menyebabkan infark jaringan atau tidak dipengaruhi oleh suplai darah kolateral, kecepatan berkembangnya sumbatan, kerentanan intrinsik jaringan terhadap jejas iskemik dan oksigen dalam darah.



SYOK Syok adalah langkah akhir yang paling sering dari berbagai kejadian berbahaya yang berpotensi mematikan, seperti kehilangan banyak darah/ exsanguination, trauma atau luka bakar yang luas, infark miokard, emboli paru, dan sepsis. Tanpa memandang sebabnya, syok ditandai oleh hipoperfusi sistemik jaringan; yang bisa disebabkan oleh curah jantung yang berkurang atau oleh berkurangnya volume darah efekhf yang beredar. Akibatnya adalah terjadi gangguan perfusi jaringan dan hipoksia sel. Walaupun syok pada awalnya reversibel, tetapi syok yang lama akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan yang ireversibel yang sering mematikan. Bentuk-bentuk syok yang paling sering dijumpai dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan kelainan (Tabel 3-3): • Syok kardiogenik disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat kegagalan pompa jantung.Penyebabnya bisa karena kerusakan otot jantung (infark), aritmia ventrikel, tekanan dari luar (tamponade jantung) (Bab 10), atau aliran darah keluar yang tersumbat (misalnya, emboli paru). • Syok hipovolemik disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat hilangnya volume darah atau plasma (misalnya, akibat perdarahan atau kehilangan cairan pada luka bakar luas). • Syok septik disebabkan oleh vasodilatasi arteri dan pengumpulan darah pada vena yang berpangkal dari respons imun sistemik terhadap infeksi mikroba. Patogenesisnya yang kompleks akan dibahas kemudian.



Kadang-kadang syok bisa disebabkan oleh hilangnya tonus pembuluh darah yang berkaitan dengan anestesi atau trauma medula spinalis (syok neurogenik). Syok anafilaktik disebabkan oleh vasodilatasi sistemik dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang dipicu oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh suatu immunoglobulin-E (Bab 4).



Patogenesis Syok Septik Syok septik tetap merupakan masalah klinis yang mengancam walaupun terdapat berbagai kemajuan dunia medis dalam beberapa dekade terakhir. Syok septik membunuh 20% penderita, mencapai lebih dari 200.000 kematian setahun di Ameriksa Serikat, dan merupakan penyebab mortalitas nomor satu di ICU/intensive care units. Insidens syok septik meningkat, ironisnya sebagian karena membaiknya bantuan hidup untuk pasien-pasien kritis, meningkatnya tindakan invasif dan bertambahnya jumlah pasien immunocompromised (akibat kemoterapi, imunosupresi, atau infeksi HIV). Pada syok septik, pelebaran arteri dan vena yang bersifat sistemik mengakibatkan hipoperfusi jaringan, walaupun curah jantung masih baik atau bahkan pada awalnya meningkat. Penurunan tonus pembuluh darah disertai oleh aktivasi sel endotel di seluruh tubuh, yang sering memicu suatu keadaan hiperkoagulasi dan bermanifestasi sebagai KID/koagulasi intravaskular diseminata. Lebih lanjut, syok septik berkaitan dengan perubahan metabolisme yang secara langsung menekan fungsi sel dan jaringan. Pengaruh gabungan kelainan-kelainan ini ialah terjadinya hipoperfusi dan disfungsi organ multipel. Saat ini, bakteri gram positif merupakan penyebab paling sering dari syok septik, diikuti oleh organisme gram negatif dan jamur. Walaupun dulu pernah ada pemikiran bahwa infeksi harus menyebar luas ke seluruh tubuh untuk dapat menimbulkan syok septik, ternyata infeksi yang terbatas pada suatu jaringan tertentu dapat memicu terjadinya syok septik, bahkan tanpa adanya penyebaran ke dalam darah yang dapat dideteksi. Kemampuan bermacam-macam flora untuk mempresipitasi syok septik sejalan dengan ide bahwa beberapa bagian mikroba yang berbeda dapat menginisiasi proses syok septik. Terutama, makrofag, neutrofil, sel dendritik, sel endotel, juga komponenkomponen sistem imun alami yang larut (misalnya, komplemen) yang diaktifkan oleh bermacam substansi yang berasal dari mikroorganisme. Sekali diaktifkan, sel-sel ini dan faktor-faktor yang larut menginisiasi sejumlah respons peradangan yang berinteraksi dengan cara yang kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya, sebagai penyebab syok septik (Gambar 3-19).



Tabel 3-3 Tiga Jenis Utama Syok



Jenis Syok



Contoh Klinis



Mekanisme Patogenik Utama



Kardiogenik



Infark miokard Ruptur ventrikel Aritmia Tamponade jantung Emboli paru



Kegagalan pompa miokard yang disebabkan oleh kerusakan miokard intrinsik, tekanan ekstrinsik, atau obstruksi aliran keluar



Hipovolemik



Hemoragi Kehilangan cairan (misal, muntah, diare, luka bakar, trauma)



Volume plasma atau darah yang tidak adekuat



Septik



Infeksi mikroba berat Syok endotoksik Septikemia Gram-positif Sepsis fungal Superantigen (misal, toxic shock syndrome)



Vasodilasi perifer dan pengumpulan darah; jejas/aktivasi endotel; kerusakan yang diinduksi leukosit; koagulasi intravaskular diseminata; aktivasi kaskade sitokin



Syok



95



Produk-Produk Mikroba (PAMPs) Aktivasi Komplemen C3a



C3



Faktor XII



Aktivasi neutrofil dan monosit



Langsung dan tidak langsung



TNF, IL-1, HMGB1 Aktivasi endotel



Sitokin dan mediator-mediator menyerupai sitokin



Prokoagulan



Anti-fibrinolytic



TF TFPI, trombomodulin, protein C



TROMBOSIS MIKROVASKULAR (DIC)



PAI-1



IL-6, IL-8, NO, PAF, reactive oxygen species, dll.



Mediator anti inflamasi sekunder



VASODILASI PERMEABILITAS MENINGKAT PERFUSI MENURUN



PENGARUHPENGARUH SISTEMIK



IMUNOSUPRESSI



Demam,menurunnya kontraktilitas miokardium, abnormalitas metabolik



ISKEMIA JARINGAN



Insufisiensi adrenal



IL-10, apoptosis, sTNFR



KEGAGALAN MULTI ORGAN



Gambar 3-19 Jalur patogenik utama pada syok septik. Produk-produk mikrobial mengaktivasi sel-sel endotel, elemen seluler dan humoral sistem imun alami, mengawali suatu kaskade kejadian yang berakibat pada kegagalan multiorgan. Rincian tambahan ada di teks. DIC, disseminated intravascular coagulation; HMGB I , high-mobility group box 1 protein; NO, nitrit oksida; PAF, platelet-activating factor, PAI- I , plasminogen activator inhibitor-1; PAMP, pathogen-associated molecular pattern; STNFR, soluble tumor necrosis factor receptor,TF, tissue factor, TFPI, tissue factor pathway inhibi.



Di lain pihak, respons peradangan luas yang serupa-disebut sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS) — juga dapat terjadi tanpa adanya infeksi nyata yang mendasari; penyebabnya termasuk trauma atau luka bakar yang luas, pankreatitis, dan iskemia difus.



• Aktivasi sel endotel dan jejas. Aktivasi endotel oleh bagian-bagian mikroba atau mediator-mediator sel radang memiliki tiga sekuelae utama(1) trombosis; (2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah; dan (3) pelebaran pembuluh darah/ vasodilation.



Faktor-faktor yang berperan dalam patofisiologi syok septik mencakup: • Mediator peradangan. Sel-sel dari sistem imun alami mengekspresikan reseptor-reseptor (misalnya, Tolllike receptors [TLRs]) (Bab 2) yang mengenali banyak substansi yang berasal dari mikroba yang mengandungi pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Aktivasi dari reseptor pengenalan patogen oleh PAMPs memicu respons imun alami yang menimbulkan sepsis. Pada saat aktivasi, sel-sel radang menghasilkan TNF dan IL-1 (dan sitokin lainnya), serta mediatormediator yang menyerupai sitokin seperti high-mobility group box 1 (HMGB1). Reactive oxygen species dan mediator lipid seperti prostaglandin dan plateletactivating factor (PAF) juga dihasilkan (Bab 2). Molekul-molekul efektor ini mengaktifkan sel-sel endotel, berakibat pada diekspresikannya molekulmolekul adhesi, suatu fenotipe prokoagulan, dan produksi sitokin gelombang kedua. Kaskade komplemen juga diaktifkan oleh komponen-komponen mikroba, baik secara langsung atau melalui aktivitas proteolitik plasmin (Bab 2), berakibat pada dihasilkannya anafilotoksin (C3a, C5a), fragmen-fragmen kemotaksik (C5a), dan opsonin (C3b), yang semuanya dapat berperan pada keadaan sebelum peradangan.



Gangguan pembekuan cukup untuk menyebabkan komplikasi KID yang menakutkan pada hampir separuh pasien syok septik. Sepsis mengubah ekspresi banyak faktor dan cenderung terjadi pembekuan. Sitokinsitokin sebelum peradangan menyebabkan produksi faktor jaringan meningkat, sementara pada saat yang bersamaan fibrinolisis berkurang dengan meningkatnya ekspresi PAI. Produksi faktor-faktor antikoagulan sel endotel lainnya, seperti tissue factor pathway inhibitor, trombomodulin, dan protein C, juga berkurang. Kecenderungan prokoagulan selanjutnya diperkuat oleh berkurangnya aliran darah di dalam pembuluh-pembuluh darah kecil, yang menyebabkan stasis dan mengurangi pembersihan faktor-faktor pembekuan yang teraktivasi. Secara keseluruhan, pengaruh-pengaruh ini meningkatkan penumpukan trombus yang kaya fibrin di dalam pembuluh-pembuluh darah kecil secara sistemik, sehingga memperburuk keadaan hipoperfusi jaringan. Pada KID, juga terdapat pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit, yang mengakibatkan secara bersamaan terjadi perdarahan dan hemoragi (Bab 11).



96



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



Keadaan sebelum peradangan yang berhubungan dengan sepsis mengawali kebocoran pembuluh darah yang luas dan edema jaringan, yang mengurangi transpor nutrien dan pembuangan kotoran. Tampaknya sitokinsitokin peradangan melonggarkan tight junction sel-sel endotel dengan memindahkan molekul adhesi kadherin-VE dari junction. Junction yang telah berubah menjadi mudah bocor, berakibat pada akumulasi eksudat kaya protein dan edema di seluruh tubuh. Ekspresi mediator-mediator peradangan vasoaktif (misalnya, C3a, C5a, PAF), bersama dengan peningkatan produksi NO, menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah secara sistemik, sehingga menimbulkan hipotensi yang selanjutnya mengurangi perfusi jaringan. • Kelainan metabolit. Pasien sepsis menunjukkan resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia. Sitokin-sitokin seperti TNFdan IL-1, hormon-hormon yang diinduksi oleh stres (seperti glukagon, growth hormone, dan glukokortikoid), dan katekolamin, semuanya menimbulkan glukoneogenesis. Pada saat bersamaan, sitokin sitokin pro-inflamasi menekan pengeluaran insulin, yang secara bersamaan meningkatkan resistensi insulin di otot skeletal dan jaringan lain. Hiperglikemia menekan fungsi neutrofil — oleh karena itu mengurangi aktivitas anti-bakteri — dan menyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Walaupun sepsis awalnya berhubungan dengan peningkatan produksi glukokortikoid, namun sering diikuti oleh insufisiensi adrenal dan defisit glukokortikoid relatif. Efek ini dapat berpangkal dari pengurangan kapasitas sintesis kelenjar adrenal atau adanya nekrosis adrenal yang jelas oleh karena KID (WaterhouseFriderichsen syndrome) (Bab 19). • Imunosupresi. Keadaan inflamasi hebat yang diinisiasi oleh sepsis dapat secara paradoks menimbulkan imunosupresi. Mekanismenya diperkirakan mencakup produksi mediatormediator antiinflamasi (seperti reseptor TNF yang larut dan antagonis reseptor IL-1), dan adanya apoptosis limfosit yang luas di limpa, kelenjar getah bening oleh sebab yang belum jelas. Masih diperdebatkan, apakah pada sepsis mediator-mediator imunosupresi bersifat protektif atau merugikan • Disfungsi organ. Hipotensi sistemik, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema jaringan dan trombosis vena kecil, semua ini menurunkan penghantaran oksigen dan makanan ke jaringan dan berperan pada disfungsi organ. Sitokin dan mediator sekunder dalam jumlah yang tinggi dapat mengurangi kontraktilitas otot jantung, sehingga mengurangi curah jantung; meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan jejas endotel pada sirkulasi paru yang berakibat pada terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS) (Bab 13). Akhirnya, faktor-faktor ini bersama-sama menyebabkan gagal organ multipel/ multiorgan failure, khususnya ginjal, hati, paru dan jantung yang berujung pada kematian. Luaran pasien dengan syok septik sulit diprediksi; secara umum, pasien dengan infeksi yang luas dan penyakit penyerta memiliki angka kematian yang paling tinggi, akan tetapi pada individu sehat berusia muda dengan infeksi yang virulen, (misalnya, sepsis meningococcal) dapat meninggal dalam beberapa jam.



Melihat banyaknya faktor yang terlibat dan kompleksnya interaksi yang mendasari sepsis, tidak mengherankan bahwa upaya-upaya pengobatan dengan penghambat mediator spesifik belum memberikanhasil yang memuaskan. Standar pengobatan tetap berupa pemberian antibiotik yang sesuai, terapi insulin intensif untuk hiperglikemia, resusitasi cairan untuk mempertahankan tekanan sistemik, dan pemberian kortikosteroid "dosis fisiologis" untuk mengoreksi insufisiensi adrenal relatif. Beberapa penelitian memberikan hasil yang menjanjikan pada model sepsis dengan menggunakan terapi yang ditujukan untuk memperbaiki integritas sel endotel. Kelompok lain yaitu protein bakteri yang disekresikan yang disebut superantigen juga menyebabkan sindrom yang menyerupai syok septik (misalnya, toxic shock syndrome). Superantigen adalah aktivator limfosit T poliklonal yang menginduksi sel limfosit T untuk mengeluarkan banyak sitokin, yang akan berakibat munculnya bermacam-macam manifestasi klinis, dari suatu kemerahan difus pada kulit hingga pelebaran pembuluh darah, hipotensi dan kematian.



Tahap-Tahap Syok Syok adalah suatu kelainan progresif yang menyebabkan kematian bila masalah-masalah yang mendasarinya tidak dikoreksi. Mekanisme kematian yang berhubungan dengan sepsis masih belum jelas; selain meningkatnya apoptosis limfosit, nekrosis sel minimal. Secara khas, kematian terjadi setelah timbul kegagalan organ multipel, yang biasanya tidak memberikan tanda-tanda morfologik untuk menerangkan disfungsi organ. Untuk syok hipovolemik dan syok kardiogenik, jalur yang mengarah ke kematian pasien cukup diketahui. Syok umumnya cenderung berkembang melalui tiga tahap umum, kecuali bila kelainan yang ada sangat masif dan mematikan dengan cepat (misalnya, hilangnya darah/ exsanguination dari suatu aneurisma aorta yang ruptur). Tahap-tahap ini telah diketahui dengan lebih jelas pada syok hipovolemik namun juga dapat dipakai secara umum pada syok bentuk lain: • Tahap awal non-progresif, yaitu saat mekanisme kompensasi refleks diaktifkan dan perfusi organorgan vital dipertahankan. • Tahap progresif, ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan mulainya sirkulasi yang memburuk dan gangguan metabolisme, termasuk asidosis. • Tahap ireversibel, yaitu saat jejas sel dan jaringan sangat berat sehingga walaupun defek hemodinamik diperbaiki, tidak memungkinkan pasien selamat. Pada tahap awal non-progresif, berbagai mekanisme neurohumoral bekerja membantu mempertahankan curah jantung dan tekanan darah. Mekanismemekanisme ini meliputi refleks baroreseptor, pelepasan katekolamin dan hormon antidiuretik, pengaktifan jalur renin-angiotensin-aldosteron, dan rangsangan simpatis umum. Efek gabungan ini berupa takikardia, vasokonstriksi perifer dan konservasi cairan ginjal; vasokonstriksi kulit menyebabkan kulit menjadi dingin dan pucat (perlu diingat, syok septik pada awalnya dapat menyebabkan vasodilasi, sehingga pasien bisa menunjukkan kulit yang memerah, hangat. Pembuluh darah koroner dan serebrum kurang sensitif terhadap sinyal-sinyal simpatis dan mempertahankan kaliber pembuluh darah, aliran darah, dan penghantaran oksigen yang relatif normal. Oleh karena itu, darah dialihkan dari kulit ke organ-organ vital seperti jantung dan otak. Bila penyebab yang mendasari timbulnya syok tidak dikoreksi, syok akan memasuki fase progresif, yang ditandai oleh



Syok hipoksia jaringan yang luas. Pada keadaan defisit oksigen yang menetap, respirasi aerobik intrasel digantikan oleh glikolisis anaerobik sehingga terjadi produksi asam laktat berlebihan. Hasil akhir metabolisme berupa asidosis laktat/lactic acidosis menurunnya pH jaringan, yang melemahkan respons vasomotor, sehingga arteriol melebar dan darah mulai berkumpul di mikrosirkulasi. Berkumpulnya darah di perifer tidak hanya memperburuk curah jantung namun juga membuat sel endotel berisiko mengalami jejas anoksia yang diikuti oleh KID. Sejalan dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ-organ vital terpengaruh dan mulai gagal. Tanpa adanya penanganan yang sesuai, proses ini akhirnya akan masuk ke tahap ireversibel. Jejas sel yang meluas tergambarkan dari kebocoran enzim lisosomal, yang memperburuk keadaan syok. Fungsi kontraktil otot jantung memburuk, antara lain oleh karena meningkatnya pembentukan nitrit oksida. Usus yang iskemik memungkinkan flora usus masuk ke sirkulasi dan dapat timbul syok bakteremik bersamaan. Biasanya, perkembangan ke arah gagal ginjal terjadi sebagai akibat dari jejas iskemik ginjal (Bab 13), dan walaupun diberikan pengobatan yang terbaik, biasanya proses akan terus berlanjut hingga berakhir pada kematian.



MORFOLOGI Pengaruh syok pada sel dan jaringan pada dasarnya merupakan jejas hipoksik (Bab 1) dan disebabkan oleh gabungan antara hipoperfusi dan trombosis mikrovaskular. Walaupun setiap organ dapat terkena, namun otak, jantung, ginjal, adrenal dan traktus gastrointestinalis adalah yang paling sering terlibat. Trombus fibrin dapat terbentuk di setiap jaringan namun secara khas lebih mudah dilihat di glomerulus ginjal. Penurunan kadar lipid sel adrenal serupa dengan yang ditemukan pada berbagai bentuk stres dan menggambarkan peningkatan pemakaian simpanan lipid untuk sintesis steroid. Walaupun paru resisten terhadap jejas hipoksia pada syok hipovolemik yang terjadi setelah suatu perdarahan, sepsis atau trauma, dapat mempresipitasi kerusakan alveolus difus (Bab 12), sehingga terjadi keadaan yang disebut syok paru. Jaringan yang terkena bisa sembuh sempurna jika pasien selamat, kecuali bila yang hilang adalah sel neuron dan otot jantung.



Perjalanan Klinis Manifestasi klinis syok bergantung dari latar belakang yang memicunya. Pada syok hipovolemik dan syok kardiogenik, pasien menunjukkan hipotensi, denyut nadi lemah dan cepat, takipnea, dan kulit yang dingin, lembab dan sianotik. Seperti yang sudah disebutkan, pada syok septik kulit bisa hangat dan kemerahan oleh karena pelebaran pembuluh darah perifer. Ancaman utama terhadap nyawa adalah keadaan/ penyakit yang mendasarinya (misalnya, infark miokardial, perdarahan berat, infeksi bakteri). Akan tetapi, perubahan pada jantung, serebral, dan paru secara cepat memperburuk keadaan. Bila pasien selamat pada periode awal, fungsi ginjal yang memburuk dapat memicu suatu fase yang didominasi oleh oliguria, asidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit yang progresif. Prognosis bervariasi berdasarkan asal dan lamanya syok. Oleh karena itu, lebih dari 90% pasien berusia muda, dan tampak sehat, dengan penanganan yang sesuai, bisa selamat dari syok hipovolemik;



97



sebagai perbandingan syok septik atau kardiogenik berhubungan dengan akibat yang jauh lebih jelek walaupun sudah ditangani dengan perawatan yang sangat baik/ state-of-the-art.



RINGKASAN Syok •



• • •



Syok didefinisikan sebagai keadaan hipoperfusi jaringan sistemik yang disebabkan oleh berkurangnya curah jantung dan/atau berkurangnya volume darah dalam sirkulasi yang efektif. Jenis utama dari syok adalah syok kardiogenik (misalnya, infark miokard), syok hipovolemik (misalnya, hilangnya darah) dan syok septik (misalnya, infeksi). Syok dalam berbagai bentuk dapat mengakibatkan jejas hipoksik jaringan jika tidak diperbaiki. Syok septik disebabkan oleh respons pejamu terhadap infeksi bakteri atau jamur; ditandai oleh aktivasi sel endotel,vasodilatasi,edema,KID/koagulasi intravaskular diseminata, dan gangguan metabolit.



KEPUSTAKAAN Akhtar S: Fat embolism. Anesthesiol Clin 27:533, 2009. [Tinjauan mutakhir tentang patogenesis dan masalah klinis sindrom emboli lemak.] Coppola A, Tufano A, Cerbone AM, Di Minno G: Inherited thrombophilia: implications for prevention and treatment of venous thromboembolism. Semin Thromb Hemost 35:683, 2009. [Tinjauan tentang aspek genetik keadaan hiperkoagulabilitas pada salah satu volume dari jurnal yang membahas tentang berbagai aspek trombofilia.] Crawley J et al: The central role of trombin in hemostasis. J Thromb Haemost 5 (Suppl 1):95, 2007. [Tinjauan tentang berbagai jalur yang dipengaruhi oleh aktivasi trombin.] Crawley J, Lane D: The haemostatic role of tissue factor pathway inhibitor. Arterioscler Thromb Vasc Biol 28:233, 2008. [Kesimpulan dari peran fisiologis TFPI.] Cushman M: Epidemiology and risk factors for venous thrombosis. Semin Hematol 44:62, 2007. [Tinjauan faktor-faktor risiko dan patofisiologi bekuan vena.] Dahlback B: Blood coagulation and its regulation by anticoagulant pathways: genetic pathogenesis of bleeding and thrombotic diseases. J Intern Med 257:209, 2005. [Walaupun artikel ini sudah agak lama, namun merupakan suatu tinjauan yang baik mengenai hemostasis normal dan abnormal.] Esmon CT, Esmon NL: The link between vascular features and thrombosis. Annu Rev Physiol 2011. [Tinjaun mutakhir tentang interaksi dari endotel, aliran darah, dan thrombosis/hemostasis.] Goldhaber SZ: Advanced treatment strategies for acute pulmonary embolism, including thrombolysis and embolectomy. Thromb Haemost 7(Suppl 1):322, 2009. [Panduan mutakhir untuk pengenalan dan terapi emboli paru.] Holy EW, Tanner FC: Tissue factor in cardiovascular disease pathophysiology and pharmacological intervention. Adv Pharmacol 59:259, 2010. [Tinjauan menyeluruh tentang peranan faktor jaringan dalam hemostasis dan jalurjalur yang potensial untuk diintervensi untuk mencegah trombosis yang patologis.] Hong MS, Amanullah AM: Heparin-induced thrombocytopenia: a practical review. Rev Cardiovasc Med 11:13, 2010. [Seperti tergambar pada judul, merupakan suatu tinjauan praktis yang baik mengenai mekanisme dan terapi untuk trombositopenia yang diinduksi oleh heparin.] Hotchkiss R, Karl I: The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med 348:138, 2003. [Walaupun merupakan artikel yang lebih lama, namun ditulis dengan sangat baik dan memberikan pengertian yang mendasar mengenai jalur-jalur yang mendasari terjadinya sepsis.] Jennings LK: Mechanisms of platelet activation: need for new strategies to protect against platelet-mediated atherothrombosis. Thromb Haemost 102:248, 2009. [Tinjauan yang sangat baik dan mutakhir tentang peran trombosit dalam trombosis dan radang, juga target-target yang potensial untuk intervensi terapi.]



98



B A B 3



Kelainan-Kelainan Hemodinamik,Tromboemboli dan Syok



­



Munford RS: Severe sepsis and septic shock: the role of gramnegative bacteremia. Annu Rev Pathol 1:467, 2006. [Tinjauan yang menarik dan menantang tentang patogenesis syok septik.] Osinbowale O, Ali L, Chi YW: Venous thromboembolism: a clinical review. Postgrad Med 122:54, 2010. [Tinjauan yang baik untuk tingkatan mahasiswa kedokteran.]



­



Wu KK, Matijevic-Aleksic N: Molecular aspects of thrombosis and antithrombotic drugs. Crit Rev Clin Lab Sci 42:249, 2005. [Pembahasan yang panjang dan menyeluruh tentang mekanisme pembentukan trombus dengan penekanan pada target-target intervensi terapi.] Zwicker J, Furie BC, Furie B: Cancer-associated thrombosis. Crit Rev Oncol Hematol 62:126, 2007. [Tinjauan yang menyeluruh tentang mekanisme yang mendasari keadaan koagulasi berlebihan pada keganasan.]



4 BAB



Penyakit Sistem Imun DAFTAR ISI BAB Imunitas Bawaan dan Imunitas Adaptif (Didapat)/Innate and Adaptive immunily 99 Sel dan Jaringan dari Sistem Imun 100 Limfosit 101



Sel Penyaji Antigen 104 Sel Efektor 104 Jaringan limfoid 104



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal 105



Reaksi Imun Bawaan Dini terhadap Mikroba 105 Pengikatan dan Pemaparan Antigen Mikroba 105 Imunitas Seluler: Aktivasi Limfosit T dan Eliminasi Mikroba yang Terikat pada Sel 105 Imunitas Humoral: Aktivasif limfosit B dan Eliminasi Mikroba Ekstrasel 108 Penurunan Reaksi Imun dan Memori Imunologi 109



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun 109 Penyebab Reaksi Hipersensitivitos 109 Jenis Reaksi Hipersensitivitas 110 Hipersensitivitas Segera (Tipe I) 111 Penyakit Berdasarkan Reaksi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II) 114 Penyakit Kompleks Imun (Hipersensitivitas Tipe III) 115 Hipersensitivitas Berdasarkan Reaksi Sel T



Penyakit Jaringan Ikat Campuran 135 Ponarteritis Nodosa dan Vaskulitis Lain 135 Penyakit Terkait-IgG4 135



Penalakan Jaringan Transplan 135



Pengenalan Imunologi Alograf 135 Mekanisme Efektor Penolakan Jaringan Transplan 137 Cara Meningkatkan Ketahanan Hidup Jaringan Transplan 138 Transplantasi Sel Punca (Stem cells) Hematopoietik 139



(Hipersensitivitas Tipe IV) 117



Penyakit Imunodefisiensi



Penyakit Autoimun



Imunodefisiensi Primer (Kongenital) 139 Imunodefisiensi Sekunder (Didapat) 143 Sindrom Imunodefisiensi Akuisita (SIDA/AIDS) 143



120



Toleransi Imunologi 121 Mekanisme dari Autoimunitas 122 Lupus Eritematosus Sistemik 125 Artritis Reumotoid 131 Sindrom Sjogren 131 Sklerosis Sistemik (Skleroderma) 132 Miopati yang Bersifat Inflamasi 135



Imunitas adalah reaksi kekebalan untuk melindungi tubuh terhadap infeksi, sedangkan sistem imun adalah kumpulan sel dan molekul yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap berbagai mikroba patogen yang terdapat di lingkungan. Cacat dari sistem pertahanan berakibat peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang dapat mengancam nyawa apabila cacatnya tidak diperbaiki. Sebaliknya, sistem kekebalan sendiri dapat menyebabkan kerusakan parah dan menjadi penyebab utama dari penyakit yang paling rumit dan tidak terkendali dalam dunia modern. Oleh karena itu, penyakit imunitas berkaitan dengan aktivitas imun yang berkisar dari reaksi imun yang terlalu lemah sampai reaksi imun yang terlalu kuat atau tidak tepat. Bab ini mulai dengan tinjauan singkat dari beberapa konsep dasar biologi limfosit dan reaksi imun normal, yang merupakan landasan untuk pembahasan berikutnya tentang penyakit yang disebabkan reaksi kekebalan yang berlebihan atau tidak tepat, penolakan organ transplan dan kelainan imunodefisiensi. Pada akhir bab diberikan pembahasan tentang amiloidosis, suatu penyakit yang ditandai oleh pengendapan abnormal dari protein-protein tertentu (beberapa di antaranya yang diproduksi terkait dengan reaksi imun).



139



Amiloidosis 153



Klasifikasi Amiloidosis 154



IMUNITAS BAWAAN DAN IMUNITAS ADAPTIF (DIDAPAT)/INNATE AND ADAPTIVE IMMUNITY Pertahanan terhadap mikroba terdiri atas dua jenis reaksi (Gambar 4-1). Imunitas bawaan (juga disebut imunitas alami atau dasar) diperantarai oleh sel dan protein yang selalu berada dan terangsang untuk menyerang mikroba, siap untuk bereaksi segera terhadap infeksi. Unsur utama imunitas bawaan adalah penyangga epitel dari kulit, saluran gastro intestinal, dan saluran respiratorik, yang mencegah masuknya mikroba, leukosit yang bersifat fagosit (neutrofil dan makrofag), suatu jenis sel yang disebut natural killer (NK) dan beberapa protein plasma yang beredar, terutama protein-protein dari sistem komplemen. Reaksi imun bawaan dapat mencegah dan mengelola berbagai infeksi. Walaupun demikian, banyak mikroba patogenik telah mengalami evolusi untuk melawan pertahanan dini, dan perlindungan terhadap infeksi ini memerlukan imunitas yang lebih khusus dan lebih kuat, yaitu imunitas adaptif (juga disebut imunitas didapat atau imunitas spesifik). Imunitas adaptif dalam keadaan normal tidak aktif dan akan bereaksi (beradaptasi)



100



BAB 4



Penyakit Sistem imun IMUNITAS ALAMI (BAWAAN) Mikroba



IMUNITAS ADAPTIF (DIDAPAT) Antibodi



Limfosit B



Penyangga epitel



Limfosit T



Sel T efektor



Fagosit



Komplemen



0



6 Jam



Sel NK



12



1 Waktu setelah infeksi



2



3 Hari



4



5



Gambar 4-1 Mekanisme dasar imunitas alami (bawaan) dan imunitas adaptif (didapat). NK, notural killer (pembunuh alami).



apabila ada mikroba yang infektif, mengembangkan diri dengan kemampuan untuk menetralkan dan mengeliminasi mikroba. Unsur sistem imunitas adaptif adalah limfosit dan produknya. Lazimnya, istilah sistem imun dan reaksi imun dimaksudkan sebagai imunitas adaptif. Ada dua jenis reaksi imun adaptif: imunitas humorai, yang diperantarai oleh protein terlarut yang disebut antibodi yang diproduksi oleh limfosit B (juga disebut sel B), dan imunitas seluler, yang diperantarai oleh limfosit T (juga disebut sel T). Antibodi bersifat protektif terhadap mikroba ekstrasel di dalam darah, sekresi mukosa, dan jaringan. Limfosit T penting dalam pertahanan terhadap mikroba intrasel. Mereka berperan baik langsung membunuh sel yang terinfeksi (dilaksanakan oleh limfosit T sitotoksik) maupun oleh fagosit yang teraktifkan untuk membunuh mikroba yang difagosit, melalui mediator protein yang disebut sitokin (yang diproduksi oleh limfosit T-penolong). Sifat-sifat dan fungsi utama dari sel-sel sistem imun diuraikan dalam bagian berikutnya. Apabila sistem imun terpicu secara tidak tepat atau tidak terkendali secara wajar, mekanisme yang sama dalam pertahanan akan menyebabkan jejas jaringan dan penyakit. Reaksi sel-sel dari imunitas bawaan dan imunitas adaptif mungkin berwujud sebagai reaksi radang (inflamasi). Seperti dibahas dalam Bab 2, inflamasi adalah suatu proses yang berguna, tetapi juga menjadi dasar banyak penyakit pada manusia. Selanjutnya akan diberikan tinjauan bagaimana caranya reaksi imun adaptif dapat memicu reaksi inflamasi yang patologis.



SEL DAN JARINGAN DARI SISTEM IMUN Sel-sel dari sistem imun terdiri atas Iimfosit, yang mengenai antigen dan menimbulkan reaksi imun adaptif sel yang mengkhususkan diri menyajikan antigen (sel penyaji antigen/ SPA atau antigen presenting cells/APC), yang mengikat dan



berbagai sel efektor, yang berperan untuk mengeliminasi mikroba dan antigen lain. Dua perangai utama dari sistem imun adalah spesialisasi dari sel untuk melakukan berbagai fungsi, dan mekanisme pengaturan yang cermat yang memungkinkan reaksi yang berguna apabila diperlukan dan mencegah hal-haI yang berpotensi merusak.



Limfosit Limfosit berada di dalam sirkulasi dan di dalam berbagai organ. Walaupun semua limfosit secara morfologik tampak identik, sebenarnya terdapat beberapa populasi limfosit yang berbeda fungsi dan fenotipenya. Limfosit berkembang dari sel asal (precursor) di dalam organ limfoid yang aktif dalam pembentukan sel. Limfosit yang mengalami pematangan di dalam timus disebut limfosit T, sedangkan limfosit B mengalami pematangan di dalam sumsum tulang (bone marrow). Masing-masing limfosit T atau B memaparkan reseptor untuk antigen tunggal dan seluruh populasi limfosit (berjumlah sekitar 10' pada manusia) dan berkemampuan mengenal puluhan atau ratusan juta antigen. Keragaman yang sangat banyak untuk pengenalan antigen ini dihasilkan oleh pengaturan kembali sornatik (somatic rearrangement) dari gen reseptor antigen selama pematangan limfosit, disertai pembentukan varian selama penggabungan segmen yang berbeda dari gen reseptor antigen. Antigen-antigen reseptor ini dipaparkan oleh Iimfosit dan tidak terjadi pada sel lain. Oleh karena itu, penetapan pengaturan kembali gen reseptor antigen dengan teknik molekuIer (polymerase chain reaction/ PCR) merupakan cara membedakan limfosit T dan B yang definitif. Oleh karena tiap limfosit mempunyai pengaturan kembali DNA yang unik (demikian juga antigen reseptor yang unik), maka penetapannya untuk populasi limfosit dapat membedakan ekspansi limfosit yang bersifat polikional (non-neoplastik) dari yang bersifat monoklonal (neoplastik). Analisis semacam itu digunakan untuk membantu diagnosis keganasan limfoid (Bab 11).



Sel dan jaringan dari Sistem Imun Limfosit T



yang berperan untuk mengikat antigen peptida dan suatu regiokonstan yang berinteraksi dengan molekul-molekul yang terkait isyarat. Reseptor-reseptor sel T saling berikatan secara non-kovalen dalam suatu kelompok dari lima rantai polipeptida invarian, yaitu γ, δ dan ɛ dari kompleks molekul CD3 dan dua ζ rantai (Gambar 4-2, A). Protein CD3 dan rantai ζ tidak mengikat antigen: tetapi mereka melekat ke reseptor sel T dan mengirimkan isyarat biokimia internal setelah TCR mengenal antigen. Di samping protein pembuat isyarat tersebut, sel T memaparkan sejumlah molekul invarian yang mempunyai berbagai macam fungsi. CD4 dan CD8 dipaparkan pada subset sel T yang berbeda dan berperan dalam aktivasi sel T. Selama pengenalan antigen, molekul CD4 pada sel T berikatan dengan bagian invarian dari molekul MHC klas II (lihat kemudian) pada APC tertentu: dalam suatu keadaan yang analog. CD8 berikatan dengan molekul MHC kelas 1. CD4 dipaparkan oleh 50%-60% sel T yang matang, sedangkan CD8 oleh 40% sel T. Sel T yang memaparkan CD4 dan CD8 masing masing disebut sel CD4+ dan CD8+ melakukan fungsi yang berbeda tetapi tumpang tindih. Sel T CD4+ adalah sel T, penolong" ("helper") karena mereka mensekresikan molekul terlarut (sitokin) yang membantu sel B untuk memproduksi antibodi (asaI kata nama sel "helper") dan juga menolong makrofag menghancurkan mikroba yang difagosit. Peranan sentral sel penolong CD4+ dijelaskan dengan ketidakmampuan (compromised) yang berat yang disebabkan kerusakan sel subset ini oleh infeksi HIV (human immunodeficiency virus).



Limfosit yang berasal dari timus, atau limfosit T, adalah sel efektor dari imunitas seluler dan sel penolong (helper cells) untuk reaksi antibodi terhadap antigen protein. Sel T merupakan 60% sampai 70% limfosit di dalam darah tepi dan adalah populasi Iimfosit utama di dalam ruangan periarteriol limpa dan zona interfolikel kelenjar getah bening. Sel T tidak mengenal antigen bebas atau yang beredar. Sebaliknya, bagian terbesar (lebih dari 95%) dari sel T hanya mengenal fragmen peptida dari antigen protein yang terikat pada protein kompleks keselarasan jaringan mayor (major histocompatibility complex (MHC). Penemuan MHC berdasarkan penelitian tentang penolakan dan penerimaan jaringan transplan (jaringan atau "histo", kecocokan atau "compatibility"). Sekarang diketahui bahwa fungsi normal dari molekul MHC adalah untuk menyajikan peptida untuk pengenalan oleh limfosit T. Dengan mendukung sel T untuk melihat peptida yang terikat pada MHC dipermukaan sel maka sistem imun memastikan bahwa sel T dapat mengenal antigen yang dipaparkan oleh seI lain. Sel T melaksanakan fungsinya dengan berinteraksi dengan sel lain baik membunuh sel yang terinfeksi atau mengaktifkan fagosit atau limfosit B yang telah mengambil antigen protein. Pada tiap individu sel T hanya mengenal antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC yang khas untuk individu tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai hukum kecocokan MHC (MHC restriction) dalam pengenalan antigen oleh sel T. Antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC diri (self) dikenal oleh reseptor sel T (T cell reseptor/TCR), suatu heterodimer rantai peptida α dan β yang diikat oleh jembatan disulfida (Gambar 4-2, A). Tiap rantai mempunyai suatu regio variabel SEL PENYAJI-ANTIGEN Molekul MHC kelas II rantai α



rantai β



CD80 atau CD86 CD4



CD28 Antigen



Antigen peptida IgM



α S



ζ Rantai



A



Protein komplemen



IgM



β



CD21



S γ



ξ ξ



TCR heterodimer



Isyarat 1



δ



ε



CD3 protein



Igβ



Isyarat 2



101



B



Igα



Igβ



Igα



Isyarat 1



Isyarat 2



Gambar 4-2 Reseptor antigen pada limfosit A, kompleks reseptor sel T (TCR) dan molekul lain yang berperan pada aktivasi sel T. Rantai TCRα dan TCRβ mengenal antigen (dalam bentuk kompleks peptida MHC yang terpapar pada sel penyaji-antigen, dan kompleks CD3 terkait, memulai isyarat aktivasi. CD4 dan CD28 juga berperan pada aktivasi sel T. (Perhatikan bahwa sebagian sel T memaparkan CD8 dan tidak memaparkan CD4; molekul ini memainkan peranan yang mirip). B, Kompleks reseptor sel B dibentuk dari lgM membran (atau lgD, tidak ditunjukkan) dan protein pembawa isyarat lga dan lgp. CD21 adalah reseptor untuk unsur komplemen yang mendukung aktivasi sel B. lg, immunoglobulin; MHC, major histocompatibilty complex.



102



BAB 4



Penyakit Sistem imun Molekul Kompleks Keselarasan Histocompatilibity Complex(MHC):



Sel CD8+ juga dapat mensekresi sitokin, tetapi mempunyai fungsi lebih penting dalam membunuh langsung sel terinfeksi virus atau sel tumor, sehingga disebut limfosit T sitotoksik (cytotoxic T lymphocytes/ CTL). Protein invarian lain yang penting pada sel T adalah CD28, yang berfungsi sebagai reseptor untuk molekul pada APC yang diinduksi oleh mikroba (juga disebut kostimulator), dan berbagai molekul adhesi yang memperkuat hubungan antara sel T dan APC, dan mengelola migrasi seI T keberbagai jaringan.



DQ



• Molekul MHC kelas I yang disandi oleh tiga lokus yang terkait dekat, ditetapkan sebagai HLA-A, HLA-B dan HLA-C (Gambar 4-3). Masing-masing molekul tersebut merupakan heterodimer, terdiri atas polipeptida polimorfik, rantai α 44-kDa, yang berikatan secara non-kovalen dengan suatu polipeptida invarian, 132-mikroglobulin 12-kDa β2, yang disandi oleh gen terpisah pada kromosom 15. Bagian ekstrasel dari rantai α



DR



b a



b



b



Komplemen B C



A



b a



Molekul kelas II



Molekul kelas III



Gen I sitokin



Molekul kelas



A Celah ikatan-peptida



Celah ikatan-peptida Peptida



Peptida



a2



b1 Peptida



Peptida



a1



a1 Kawasan NH2 NH2



S



H2N NH2



S



a2 a Rantai



B



S S



HOOC



S S



COOH



b Rantai



b2



(Major



Karena molekul MHC menjadi landasan untuk pengenalan antigen oleh sel T, dan karena variasi genetik dalam molekul MHC berhubungan dengan penyakit-penyakit imunologi, maka struktur dan fungsi molekulmolekul tersebut menjadi penting untuk ditelaah. MHC manusia, dikenal sebagai kompleks antigen leukosit manusia (human leukocytes antigen (HLA) complex), terdiri atas suatu kelompok (cluster) gen pada kromosom 6 (Gambar 4-3). Sistem HLA sangat polimorfik, yaitu ada beberapa bentuk alternatif gen (alel) dari tiap lokus (diperkirakan berjumlah sekitar 3500 untuk semua gen HLA dan sekitar 1100 untuk aIel HLA-B saja). Keragaman yang luas itu mencerminkan suatu sistem yang rumit di mana suatu rentangan peptida dapat dipaparkan oleh molekul MHC untuk pengenalan oleh sel T. Seperti apa yang akan kita lihat, adanya polimorfisme ini menjadi kendala yang besar dalam transplantasi organ. Berdasarkan struktur kimiawinya, distribusi pada jaringan dan fungsinya, produk gen MHC dibagi dalam dua kategori utama:



TNF LT βαβα



Mayor



Sistem Pemaparan Peptida dari lmunitas Adaptif



Pada sebagian kecil sel T dari darah perifer dan banyak sel T yang terkait dengan permukaan mukosa (contoh paru, saluran gastrointestinal), TCR merupakan heterodimer dari rantai γ dan δ, yang mirip tetapi tidak identik dengan rantai α dan β dari kebanyakan TCR. SeI T jenis γδ semacam itu tidak memaparkan CD4 atau CD8, mengenal molekul nonprotein (contoh lipoglikan bakteri), tetapi fungsinya belum jelas. Populasi kecil dari sel T yang lain rnemaparkan petanda sel T dan petanda sel NK. Dikenal sebagai sel NKT dan mengenal glikolipid mikroba, mungkin berperan pertahanan terhadap infeksi tertentu. Reseptor sel NKT kurang bervariasi dibandingkan reseptor konvensional sel T, yang menggambarkan pengenalan struktur mibroba yang terkonservasi. Suatu populasi sel T yang berfungsi supresif terhadap reaksi imun adalah limfosit T regulator. Sel T jenis ini akan dibahas kemudian dalam konteks dengan sistem toleransi terhadap antigen diri.



DP



Jaringan



S S



b2−Microglobulin HOOC



a1 a2 Kawasan



S S



S S



a3 Kawasan



b2m



a Rantai



COOH



Gambar 4-3 Kompleks antigen leukosit manusia (HLA) dan struktur molekul HLA. A, Lokasi gen-gen pada kompleks HLA. Ukuran dan jarak antara gen tidak sesuai dengan skala. Daerah kelas II mengandungi juga gen yang menyandi beberapa protein yang tidak berperan pada pemrosesan antigen (tidak ditunjukkan). B, Diagram skematik dan struktur Kristal dari molekul HLA kelas I dan kelas II. LT, lymphotoxin; TNF, tumor necrosis factor. (Struktur kristal sumbangan dan Dr. P. Bjorkman, California Institute ofTechnology, Pasadena, California.)



a3



Sel dan Jaringan dari Sistem Imun mengandungi suatu celah di tempat adanya residu polimorfik dan merupakan tempat peptida asing berikatan dengan molekul MHC untuk disajikan kepada sel T, dan regio yang terpelihara tempat ikatan CD8, sehingga memastikan hanya sel T CD8+ yang dapat mengenal peptida yang dipaparkan oleh molekul MHC kelas I. Pada umumnya, molekul MHC kelas I hanya berikatan dan memaparkan peptida yang berasal dari protein yang disintesa di dalam sitoplasma (contoh antigen virus). Oleh karena molekul MHC kelas 1 ditemukan pada semua sel yang berinti, maka semua sel yang terinfeksi virus dapat dikenal dan disingkirkan oleh limfosit T CDS+ yang sitotoksik (CTL). • Molekul MHC kelas II disandi oleh gen-gen pada regio HLA-D, yang terdiri atas paling sedikit tiga subregio: DP, DQ dan DR. Molekul MHC merupakan heterodimer yang terikat secara nonkovalen dengan subunit α dan β yang bersifat polimorfik (Gambar 4-3). Bagian ekstrasel dari heterodimer molekul MHC kelas I mempunyai suatu celah tempat berikatan dengan peptida antigen dan suatu regio untuk berikatan dengan CD4. Pemaparan MHC kelas II terbatas untuk beberapa jenis sel, terutama APC, khususnya sel dendrit (dendritic cells/DC), makrofag dan sel B. Pada umumnya, molekul MHC kelas II berikatan dengan peptida yang berasal dan disintesa di luar sel (contoh yang berasal dari bakteri) dan yang diambil masuk ke dalam sel. Perangai ini menyebabkan sel T CD4+ mengenal patogen ekstrasel dan dapat mengatur reaksi protektif. • Beberapa protein lain yang disandi oleh lokus MHC, sebagian yang disebut molekul kelas III. lni termasuk unsur komplemen (C2, C3 dan Bf) dan sitokin faktor nekrosis tumor (tumor necrosts factor/TNF) dan limfotoksin. Molekul-molekul ini bukan merupakan bagian dari sistem pemaparan peptida dan tidak dibahas lebih Ianjut. Tiap individu menurunkan satu HLA alel dari tiap orang tua, oleh karena itu secara khas dua molekul yang berbeda dipaparkan oleh tiap lokus HLA. Sel dari individu yang heterozigot dapat memaparkan enam molekul HLA kelas I yang berbeda: tiga berasal dari ibu dan tiga berasal dari ayah. Hal yang sama terjadi untuk paparan alel matemal dan alel paternal dari lokus HLA kelas II: karena sebagian rantai a dan rantai p dari HLA-D dapat bergabung dan berpadu cocok (rnatch) yang satu dengan yang lain, tiap sel yang memaparkan kelas II dapat memiliki sebanyak 20 molekul MHC kelas II yang berbeda. Alel MHC yang berbeda bergabung dengan fragmen peptida yang berbeda; oleh karena itu, pemaparan banyak molekul MHC yang beraneka rnenyebabkan tiap sel menyandikan antigen peptida yang sangat bervartasi. Sebagai hasil dari polimorfisme pada lokus HLA mayor di dalam populasi, jumlah kombinasi dari molekul yang ada menjadi sangat tidak terbatas, dan tiap individu memaparkan profil antigen MHC yang unik pada sel individu pria atau wanita. Kombinasi dari alel HLA pada tiap individu disebut haplotip HLA. Implikasi polimorfisme pada Iokus HLA sangat jelas pada transplantasi—karena tiap individu mempunyai alel HLA yang berbeda sebagian dari tiap individu lain, jaringan transplan (cangkok atau "graft") dari hampir semua donor akan menimbulkan reaksi imun di dalam tubuh penerima (resipien) dan akan ditolak (kecuali dari kembar identik). Ternyata memang molekul HLA ditemukan dalam rangka upaya dini melaksanakan transplantasi jaringan. Molekul HLA dari jaringan transplan dapat merangsang reaksi imun humoral dan reaksi imun seluler, yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan cangkok (akan dibahas kemudian dalam Bab ini). Kemampuan molekul HLA untuk memicu reaksi imun menjadi alasan mengapa molekul HLA sering disebut sebagai "antigen". Dianggap bahwa adanya polimorfisme gen



103



HLA menjadi jalan agar dapat memaparkan dan kemudian reaksi imun menanggulangi berbagai mikroba yang ada di lingkungan. Peranan MHC dalam stimulasi sel T juga mempunyai dampak penting dalam pengendalian genetik dari reaksi imun. Kemampuan alel MHC tertentu untuk mengikat antigen peptida yang dihasilkan oleh patogen tertentu akan menentukan apaltah sel T dari individu tertentu dapat benar-benar "melihat" dan bereaksi terhadap patogen tersebut. Penurunan alel tertentu memengaruhi baik reaksi imun yang protektif maupun reaksi imun yang merusak/ tidak menguntungkan. Sebagai contoh, apabila antigen adalah serbuk sari dan reaksinya adalah alergi, maka penurunan gen HLA terkait membuat individu rentan terhadap demam rumput kering (hay fever). Sebaliknya, reaksi terhadap antigen berasal dari virus, yang terkait penurunan alel HLA tertentu, menyebabkan pengaruh yang berguna/ menguntungkan untuk tuan rumah. Akhirnya, banyak penyakit autoimun berhubungan dengan alel HLA tertentu. Kita kembali mendiskusikan hubungan HLA dan berbagai penyakit apabila kita membahas tentang autoimunitas



Limfosit B Limfosit B yang berasal dari sumsum tulang (bone marrow) adalah sel yang memproduksi antibodi dan merupakan efektor dari imunitas humoral. Sel B merupakan 10% sampai 20% dari populasi limfosit di dalam peredaran darah perifer. Mereka juga berada di sumsum tulang dan folikel jaringan limfoid perifer (kelenjar getah bening, limpa, tonsil dan jaringan mukosa lain). Sel B mengenal antigen dengan pertolongan anti-bodi yang terikat pada membranya, yaitu kelas imunoglobulin M (IgM), yang terpapar pada permukaan, bersama dengan molekul isyarat yang membentuk kompleks reseptor sei B (B cell receptor/ BCR) (Gambar 4-2, B). Apabila sel T dapat mengenal hanya peptida yang terkait MHC, maka sel B dapat mengenal dan bereaksi terhadap, Iebih banyak struktur kimia, termasuk protein terlarut atau yang terikat pada sel, lipid, polisakarida, asam nukleat dan molekul kecil; di samping itu, sel B (dan antibodi) dapat mengenal bentuk asal (yang terlipat) dari antigen-antigen tersebut. Seperti haInya TCR, tiap antibodi menunjukkan spesifisitas terhadap antigen yang unik. Keragaman antibodi ditetapkan melalui pengaturan kembali (rearrangement) gen imunoglobulin secara somatik. Sel B memaparkan beberapa molekul invarian yang bertanggung jawab dalam transduksi isyarat dan aktivasi sel (Gambar 2-4, B). Sebagian adalah molekul isyarat yang melekat pada BCR; contoh lain adalah CD21 (juga dikenal sebagai reseptor komplemen tipe 2, CR2), yang mengenal produk pemecahan komplemen yang sering diendapkan pada mikroba dan mendukung reaksi sel B terhadap antigen mikroba. Sangatlah menarik, bahwa virus Epstein Barr (EBV) yang bersifat "ubiquitous" (terdapat di sekitar kita), secara pintar menggunakan CD21 sebagai reseptor dalam proses infeksi terhadap sel B. Setelah stimulasi, sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi dalam jumlah banyak, sebagai mediator imunitas humoral. Ada lima kelas atau isotip dari imunolobulin: IgG, IgM dan IgA yang membentuk lebih dari 95% antibodi yang beredar, IgA merupakan isotip utama dalam sekresi mukosa; IgE ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah dan juga ditemukan terikat pada permukaan sel mast jaringan; IgD terikat pada permukaan sel B tetapi tidak disekresikan. Seperti akan dibahas kemudian, tiap isotip mempunyai kemampuan khas untuk mengaktifkan



104



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



komplemen dan mendatangkan sel radang, sehingga mempunyai peranan berbeda dalam reaksi pertahanan tubuh dan proses penyakit.



tetapi tidak terlibat dalam penangkapan antigen untuk disajikan kepada sel T.



Sel Pembunuh Alami (Natural killer)



Sel Penyaji Antigen lain



SeI pembunuh alami (Natural Killer/NK) adalah limfosit yang timbul dari sel asal (progenitor) limfoid biasa yang berkembang menjadi limfosit T dan B. Walaupun demikian, sel NK adalah sel yang berperan dalam imunitas bawaan dan tidak memaparkan reseptor antigen yang sangat variabel serta terdistribusi klonal. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai spesifisitas yang beraneka seperti yang dimiliki sel T atau sel B. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor yang menghambat dan yang mengaktifkan. Reseptor yang bersifat inhibisi mengenal molekul diri (self) dari MHC kelas I, yang terpapar pada semua sel yang normal/sehat, sedangkan reseptor yang bersifat aktivasi mengenal molekul yang terpapar atau meningkat pada sel yang mengalami stres, sel yang terinfeksi atau sel yang mengalami kerusakan DNA. Pada keadaan normal, reseptor inhibisi mendominasi reseptor aktivasi, sehingga dapat mencegah aktivasi sel NK. Infeksi (terutama infeksi virus) dan stres menyebabkan menurunnya pemaparan MHC kelas 1, sehingga menghalangi inhibisi sel NK. Pada saat yang sama, peranan reseptor aktivasi meningkat. Hasil akhir adalah aktivasi sel NK, sehingga sel yang terinfeksi dan sel yang mengalami stres dibunuh dan disingkirkan.



Makrofag menelan mikroba dan antigen lain yang berbentuk partikel dan menyajikan peptida untuk dikenal oleh limfosit T. Sel-sel T ini sebaliknya mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba, sebagai reaksi sentral imunitas seluler. Sel B meyajikan peptida kepada sel T penolong dan menerima isyarat yang diperIukan untuk mengaktifkan reaksi antibodi terhadap antigen protein.



Sel Penyaji Antigen Sistem imun terdiri atas beberapa jenis sel yang berperan khusus untuk menangkap antigen mikroba dan menyajikannya kepada limfosit. Kelompok utama dari sel penyaji antigen (antigen presenting cells/ APC) adalah sen dendrit (dendritic cells/DC), yang merupakan sel utama untuk menyajikan antigen protein kepada sel T yang naif/ "naive" untuk memulai reaksi imun. Beberapa jenis sel lain menyajikan antigen kepada limfosit yang berbeda pada berbagai tahap dari reaksi imun.



Sel Dendrit Sel dengan morfologi menyerupai dendrit (contoh dengan penjuluran sitoplasma berbentuk dendritik yang halus) terdapat dalam dua jenis yang fungsinya berbeda. Sel dendritik (dentritic cells/DC), kadang disebut sel dendrit yang interdigitatif, memaparkan antigen MHC kelas 11, dan molekul kostimulator sel T dengan intensitas kuat sekali, dan berfungsi menangkap dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel dendrit berada di dalam dan di bawah epitel, yang merupakan lokasinya yang strategis untuk menangkap mikroba yang masuk: contohnya adalah sel Langerhans di epidermis. Sel dendrit juga menempati zona sel T dari jaringan kelenjar getah bening, sehingga dapat memaparkan antigen kepada limfosit yang beredar ke dalam jaringan tersebut, dan di dalam interstisium dari banyak organ non limfoid, seperti jantung dan paru, sehingga mereka siap untuk menangkap antigen mikroba yang menyerang. Satu subset sel dendrit disebut DC plasmasitoid karena menyerupai sel plasma. Sel jenis ini berada di dalam darah dan organ limfoid, merupakan sumber utama sitokin antivirus, interferon tipe 1, yang diproduksi pada berbagai infeksi virus. Sel jenis kedua dengan morfologi dendritik adalah sel dendrit folikel (follicular dendritic cells/ FDC). Sel ini terletak di dalam pusat benih (gerrninal center) dari folikel limfoid di dalam limpa dan kelenjar getah bening. FDC mempunyai reseptor untuk Fc, ekor dari molekul IgG dan untuk protein komplemen, sehingga dapat memperangkap antigen yang terikat pada antibodi dan komplemen secara efisien. Sel ini menyajikan antigen kepada Limfosit B yang teraktifkan di dalam folikel limfoid dan mendukung reaksi pembentukan antibodi,



Sel Efektor Berbagai jenis Ieukosit yang berbeda melakukan tugas akhir dari reaksi imun, yang menyingkirkan infeksi. Sel NK merupakan sel efektor digaris depan dan dapat dengan cepat bereaksi terhadap sel yang menderita "stres". Sel plasma yang mensekresikan antibodi adalah sel efektor imunitas humoral. Limfosit T, baik sel T CD4+ penolong dan sel T CD8+ sitotoksik (CTL) adalah sel efektor imunitas seluler. Limfosit ini seringkali berperan bersama dengan sel lain dalam pertahanan tuan rumah. Makrofag, seperti diuraikan dalam Bab 2 mengikat mikroba dengan antibodi dan komplemen, kemudian memfagositosis dan menghancurkan mikroba tersebut, sehingga berperan sebagai sel efektor dalam imunitas humoral. Makrofag juga bereaksi terhadap isyarat sel T penolong, yang memperbaiki kemampuan menghancurkan mikroba yang difagositosisnya sehingga berperan sebagai efektor dalam imunitas seluler. Limfosit T mensekresikan sitokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan leukosit lain, neutrofil dan eosinofil, yang kemudian bersama-sama berperan dalam pertahanan terhadap berbagai patogen.



Jaringan Limfoid Jaringan limfoid dari tubuh dibagi dalam organ limfoid generatif (primer), tempat limfosit memaparkan reseptor antigen dan mengalami proses pematangan, serta organ limfoid perifer (sekunder), tempat reaksi imun adaptif berkembang. Organ-organ generatif adalah timus dan sumsum tulang (bone marrow), sedangkan organ-organ perifer adalah kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid mukosa dan kulit. Limfosit yang matang beredar kembali melalui organ perifer, memburu antigen mikroba yang dapat merangsang reaksi mereka. Suatu ciri penting dari organ-organ tersebut adalah bahwa limfosit T dan B tertata secara anatomik demikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya reaksi imun adaptif, suatu proses yang akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Sel dan Jaringan dari Sistem Imun • •



Limfosit adalah mediator dari imunitas adaptif dan merupakan satu-satunya sel yang memproduksi reseptor yang spesifik serta beragam untuk antigen. limfosit T (berasal dari timus) memaparkan TCR yang mengenal antigen peptida yang disajikan oleh molekul MHC pada permukaan APC.



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal •







Limfosit B (berasal dari sumsum tulang/bone marrow) memaparkan antibodi yang terikat pada membran yang mengenal antigen yang sangat beragam. Sel B teraktifkan untuk menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh beberapa mikroba atau yang mengalami stres dan kerusakan setelah proses perbaikan (repair). Sel NK memaparkan reseptor inhibisi yang mengenal molekul MHC yang pada keadaan normal dipaparkan oleh sel-sel yang normal/sehat, sehingga sel NK terhindar dari fungsi membunuh sel normal.







APC menangkap mikroba dan antigen lain, membawanya ke organ limfoid, dan menyajikannya kepada limfosit untuk dikenal. APC yang paling efisien adalah DC, yang berada di dalam epitel dan sebagian besar jaringan.







Sel-sel dari sistem imun tertata di dalam jaringan. Sebagian dari jaringan tersebut merupakan tempat produksi limfosit yang matang (organ limfoid generatif, sumsum tulang dan timus), sedangkan jaringan lain merupakan tempat terjadinya reaksi imun (organ limfoid perifer, termasuk kelenjar getah bening, limpa dan jaringan limfoid mukosa).



TINJAUAN UMUM TENTANG REAKSI IMUN NORMAL Bagian yang terdahulu menguraikan unsur-unsur utama dari sistem imun. Bagian ini menyimpulkan perangai-perangai kunci dari reaksi imun normal. Tinjauan umum ini akan menjadi landasan untuk pembahasan selanjutnya tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi imun yang cacat atau tidak terkendali.



Reaksi Imun Bawaan Dini terhadap Mikroba Penyangga utama antara tuan rumah dan lingkungannya adalah epitel dari kulit, saluran pencernaan/ gastrointestinal dan saluran pernapasan/respirasi. Mikroba yang infektif biasanya masuk melalui jalur tersebut dan berupaya untuk membentuk koloni di dalam tubuh tuan rumah. Mekanisme imunitas bawaan berlangsung pada tiap tahap dari upaya mikroba untuk menyerang tubuh. Pada tempat masuk, epitel berperan sebagai penyangga fisis untuk infeksi dan menyingkirkan mikroba melalui produksi peptida antibiotik dan reaksi limfosit intra-epitel. Apabila mikroba bertahan hidup dan melampaui lapisan epitel, mereka berhadapan dengan fagosit, termasuk neutrofil yang dapat digerakkan dengan cepat dari dalam darah ke dalam jaringan, dan makrofag yang berada di dalam jaringan di bawah epitel. Fungsi sel-sel fagosit ini adalah menelan mikroba dan menghancurkannya dengan jalan memproduksi zat yang bersifat milcrobisid. Dalam bereaksi terhadap mikroba, fagosit, APC dan sel jenis lain mensekresikan protein yang disebut sitokin (dibahas kemudian), yang memicu inflamasi dan penghancuran mikroba serta reaksi imun yang protektif. Sel-sel menggunakan reseptor untuk mengenal mikroba, terutama yang disebut receptor (TLR), sebagai homolog dari protein Toll dari Drosophila, yang mengaktifkan makrofag, interferon (IFN) γ. Apabila mikroba memasuki darah, banyak protein plasma, termasuk protein komponen,



105



mengenal dan membunuh mikroba, melapisi permukaan (opsonisasi) mikroba dan memudahkan fagositosis. Di samping melawan infeksi, reaksi imun bawaan merangsang reaksi imun adaptif yang terjadi kemudian, memberikan isyarat untuk memulai reaksi spesifik limfosit T dan B.



Pengikatan dan Pemaparan Antigen Mikroba Mikroba yang masuk melalui epitel, bersama dengan antigen proteinnya, ditangkap oleh DC, yang berada di dalam dan di bawah lapisan epitel. DC yang membawa antigen kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui pembuluh limfe terkait (draining LN) (Gambar 4-4). Antigen protein akan dicerna oleh APC mengalami reaksi proteolitik dan dihasilkan peptida yang dipaparkan dipermukaan APC, terikat pada molekul MHC. Antigen-antigen dalam kelompok sel yang berbeda dipaparkan oleh molekul MHC yang berbeda dan dikenal oleh subset sel T yang berbeda. Antigen yang ditelan dari lingkungan ekstrasel diproses di dalam vesikel endosom dan lisosom, kemudian disajikan terikat dengan molekul MHC kelas II. Karena CD4 berikatan dengan molekul MHC kelas II, maka sel T penolong, CD4+, mengenal peptida MHC kelas 11. Sebaliknya, antigen di dalam sitoplasma dipaparkan oleh molekul MHC kelas I dan dikenal oleh sel T sitotoksik, CD8+, karena CD8 berikatan dengan molekul MHC kelas 1. Segregasi (pemisahan) penanganan antigen yang berbeda ini merupakan kunci dari fungsi khusus dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ masing-masing; seperti dibahas di bawah kedua subset sel T mempunyai fungsi memerangi mikroba di dalam kompartemen sel yang berbeda. Antigen-antigen protein, polisakarida dan antigen nonprotein lain, dapat dikenal langsung oleh limfosit B di dalam folikel organ Iimfoid perifer. Sebelum dikenal oleh sel B dan T, mikroba merangsang reaksi imun bawaan. Reaksi ini mengatifkan APC untuk memaparkan molekul kostimulator dan mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan diferensiasi Iimfosit. Prinsip kostimulator untuk sel T adalah molekul B7 (CD80 dan CD86) yang dipaparkan pada APCs dan dikenal oleh reseptor CD28 pada sel T naif. Respons imun bawaan terhadap beberapa mikroba dan polisakarida juga menyebabkan pengaktifan komplemen dan membuat produk pemecahan yang meningkatkan proliferasi dan diferensiasi Iimfosit B. Jadi, antigen (isyarat 1, pada Gambar 4-2) dan molekul yang diproduksi selama reaksi imun bawaan (isyarat 2, pada Gambar 4-2) bekerja bersama untuk mengaktifkan limfosit yang spesifik terhadap antigen. Terbentuknya isyarat 2 yang dipicu oleh mikroba merupakan persyaratan yang menentukan bahwa reaksi imun adaptif diinduksi oleh mikroba dan bukan oleh zat yang merusak/ tidak menguntungkan.



Imunitas Seluler: Aktivasi Limfosit T dan Eliminasi Mikroba Yang Terikat pada Sel Limfosit T yang naif diaktifkan oleh antigen dan kostimulator di dalam organ limfoid, kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor, sebagian besar bermigrasi ke tempat antigen (mikroba) berada (Gambar 4-4). Pada akitivasi, limfosit mensekresikan protein terlarut yang disebut sitokin, yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan dan



106



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Sel dendrit dengan antigen Pengenalan antigen dalam organ limfoid Proliferasi dan diferensiasi sel T Sel T



Sel T



CD4+



CD8+



Sel T



IL-2R



naif IL-2



Sel T



Sel T



CD4+



CD8+



efektor



APC



(CTL)



Sel T



Sel T



efektor



memori



Migrasi sel T



tor



k efe



Sel T efektor dan memori yang terdiferensiasi memasuki sirkulasi



ke



tempat antigen Sel terinfeksi dengan mikroba



Fagosit dengan



dalam sitoplasma



mikroba yang



Sel T



dicerna



CD4+ efektor



Sel T CD8+ (CTL)



Sekresi sitokin INFLAMASI



AKTIVASI MAKROFAG, PEMBUNUHAN MIKROBA YANG DICERNA



PEMBUNUHAN SEL TERINFEKSI



Gambar 4-4 Imunitas seluler. Sel T naif (yang belum terangsang) mengenal antigen peptida terkait MHC dipaparkan pada sel dendrit di kelenjar getah bening. Sel T teraktivasi untuk berproliferasi (di bawah pengaruh sitokin IL-2) dan berdiferensiasi menjadi efektor dan sel memori, yang bermigrasi ke tempat infeksi dan melakukan berbagai fungsi dalam imunitas seluler. Sel T CD4+ efektor dari subset THI mengenal antigen mikroba yang dicernakan oleh fagosit dan mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba; sel efektor THI7 meningkatkan pemanggilan limfosit dengan merangsang inflamasi; sel TH2 mengaktifkan eosinofil. CTL CD8+ membunuh sel yang terinfeksi yang mengandungi mikroba dalam sitoplasmanya. Sebagian sel T yang teraktivasi berdiferensiasi menjadi sel memori yang hidup berjangka lama. APC, antigen-presenting cell; CTLs, cytotoxic T lymphocytes



diferensiasi untuk limfosit dan sel lain, serta memperantarai komunikasi antar ieukosit. Karena peranan penting sitokin baik pada reaksi imun maupun pada penyakit inflamasi, maka pengertian tentang sifat dan peranannya menjadi penting.



Sitokin: Molekul Pengirim-Pesan dari Sistem Imun Sitokin merupakan polipeptida yang dibuat oleh berbagai jenis sel (terutama limfosit yang teraktifkan dan makrofag) yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan reaksi imun. Mereka diperkenalkan di dalam Bab 2 dalam kaitan



dengan inflamasi; di sini dibahas tentang sifat-sifat umumnya dengan perhatian utama pada sitokin yang terlibat khusus pada imunitas. Walaupun sitokin yang berbeda mempunyai peranan dan fungsi yang beragam, mereka semua menunjukkan perangai yang sama. Sitokin disintesa dan disekresikan pada reaksi terhadap stimulus luar, yang mungkin berupa produk mikroba, pengenalan antigen atau sitokin lain. Sekresinya biasanya sementara dan dikendalikan oleh mekanisme transkripsi dan pasca-translasi. Peranan sitokin mungkin berupa autokrin (pada sel yang memproduksi sitokin), parakrin (pada sel-sel terdekat), atau lebih jarang, endokrin (pada tempat yang jauh



Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal dari tempat produksi) (Bab 2). Pengaruh sitokin cenderung bersifat plerotropik (suatu sitokin mempunyai aktivitas biologis beragam, sering pada berbagai jenis sel), dan "redundant" (beberapa sitokin mempunyai aktivitas yang sama). Sitokin yang diketahui pasti secara molekuler disebut interleukin, karena kemampuannya memperantarai komunikasi antar leukosit. Sitokin dapat dikelompokkan ke dalam beberapa keias, berdasarkan aktivitas dan fungsi biologisnya. • Sitokin terlibat dalam imunitas bawaan dan inflamasi, reaksi tuan rumah yang paling dini terhadap mikroba dan sel yang mati. Sitokin utama dalam kelompok ini adalah TNF dan interleukin-1 (IL-1) dan suatu kelompok sitokin yang menarik zat kimiawi yang disebut kemokin. IL-12, IFN-y, IL-6, IL-23 dan beberapa sitokin lain juga berperan pada reaksi imunitas bawaan. Sumber utama dari sitokinsitokin tersebut adalah makrofag dan sel dendrit yang teraktifkan, demikian juga sel endotel, limfosit, sel mast dan sel jenis lain. Hal ini diuraikan di dalam Bab 2. • Sitokin yang mengatur reaksi limfosit dan fungsi efektor dalam imunitas adaptif Beberapa sitokin yang berbeda terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit (contoh IL-2 dan IL-4), dan dalam aktivasi berbagai sel efektor (contoh IFN-y yang mengaktifkan makrofag, IL-5 yang mengaktifkan eosinofil). Sumber utama sitokinsitokin tersebut adalah limfosit T penolong CD4+ yang dirangsang oleh antigen dan kostimulator. Sitokin-sitokin ini terutama yang berperan serta pada fase induksi dan fase efektor dari reaksi imun adaptif yang bersifat seluler (Iihat selanjutnya). • Sitokin-sitokin yang merangsang hemopoiesis. Banyak di antaranya yang disebut faktor-faktor perangsang pembentukan koloni. Mereka berfungsi meningkatkan luaran leukosit dari sumsum tulang dan selanjutnya mengganti kebutuhan leukosit yang diperlukan selama reaksi imun dan reaksi inflamasi.



107



Fungsi Efektor dari Limfosit T Satu di antara reaksi yang paling dini dari sel T penolong CD4+ adalah sekresi sitokin IL-2 dan pemaparan reseptor yang berafinitas tinggi IL-2. Oleh karena IL-2 adalah faktor pertumbuhan yang bekerja pada limfosit T dan merangsang proliferasi, maka terjadilah peningkatan jumlah limfosit yang spesifik terhadap antigen. Sebagian dari asal (progeny) dari sel T yang berkembang itu berdiferensiasi menjadi sel efektor yang dapat mensekresikan seperangkat sitokin yang berbeda dan melakukan pengaruh yang berbeda pula. Subset terbaik dari sel penolong CD4+ adalah TH2 dan TH17 (Gambar 4-5). Sel TH1 memproduksi sitokin IFN-y, yang mengaktifkan makrofag dan merangsang sel B untuk membentuk antibodi yang mengaktifkan komplemen dan melapisi mikroba untuk fagositosis. Sel TH2 memproduksi IL-4, yang merangsang sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan IgE; IL-5 yang mengaktifkan eosinofil, dan IL-13 yang mengaktifkan sel epitel mukosa untuk mensekresikan mukus dan menyingkirkan mikroba, dan mengaktifkan makrofag untuk membentuk faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk perbaikan jaringan. SeI TH17 memproduksi sitokin IL-17, yang dapat mendatangkan neutrofil dan menunjang inflamasi; sel TH17 berperan penting dalam sebagian reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sel T. Sel-sel efektor tersebut bermigrasi ke tempat infeksi dan kerusakan jaringan yang menyertainya. Apabila sel efektor bertemu dengan mikroba yang terkait sel, mereka teraktifkan untuk berfungsi menyingkirkan mikroba. Mediator utama dari fungsi sel T penolong adalah berbagai sitokin dan molekul permukaan yang disebut ligand CD40 (CD4OL), yang berikatan dengan reseptornya, CD40, pada sel B dan makrofag. Sel T penolong CD4+ yang berdiferensiasi dari subset TH1 mengenal peptide mikroba pada makrofag yang telah memangsa mikroba. SeI T memaparkan CD4OL yang bertautan dengan CD40 pada makrofag, dan sel T mensekresikan sitokin IFN-y, suatu activator makrofag yang kuat.



Sel T naif



APC



Sitokin



TH1



TH2



TH17



Sitokin yang diproduksi



IFN-g



IL-4, IL-5, IL-13



IL-17, IL-22, kemokin



Sitokin yang mempengaruhi subset ini



IFN-g, IL-12



IL-4



TGF-b, IL-6, IL-1, IL-23



Aktivasi makrofag, stimulasi produksi antibodi IgG Mikroba intrasel



Stimulasi produksi IgE, aktivasi sel mast dan eosinofil



Pemanggilan neutrofil, monosit



Parasit jenis helmint



Bakteri ekstrasel, jamur



Alergi



Penyakit radang kronik akibat reaksi imun (sering autoimun)



Reaksi imunologik yang dipicu Pertahanan tuan-rumah terhadap Peranan dalam penyakit



Penyakit radang akibat reaksi (sering autoimun)



kronik imun



Gambar 4-5 Subset sel T CD4+ efektor. Dalam bereaksi terhadap stimulus (terutama sitokin) pada saat pengenalan antigen, sel T CD4+ penolong mungkin berdiferensi menjadi populasi sel efektor yang memproduksi seperangkat sitokin yang berbeda dan melalukan fungsi yang berbeda. Jenis reaksi imun yang ditimbulkan oleh tiap subset, dan peranannya dalam pertahanan tuan rumah dan penyakit imunologi, diberikan secara singkat. Dua populasi lain dari sel T CD4 +, sel regulator dan sel penolong folikuler, tidak ditunjukkan.



108



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Aktivasi reaksi kombinasi CD40 dan IFN-y menginduksi zat-zat mikrobisid yang kuat pada makrofag, termasuk spesies oksigen reaktif dan nitrik oksida, yang merusak mikroba yang telah difagosit. Sel TH2 menimbulkan reaksi pertahanan seluler yang didominasi oleh eosinofil dan bukan makrofag. Seperti dibahas kemudian, sel T penolong CD4+ juga merangsang sel B untuk bereaksi melalui CD4OL dan sitokin. Sebagian sel T penolong CD4+ tinggal di organ limfoid, teraktivasi dan bermigrasi ke dalam folikel, dan merangsang reaksi antibodi; mereka disebut sel T penolong folikel Limfosit CD8+ yang teraktifkan akan berdiferensiasi menjadi limfosit T sitotoksik (CTL), yang membunuh mikroba yang memasuki sitoplasma. Mikroba ini mungkin berupa virus, yang menginfeksi banyak jenis sel, atau bakteri yang ditelan makrofag tetapi telah belajar menghindari vesikel fagosit untuk masuk ke dalam sitoplasma (di tempat yang tidak terjangkau oleh makrofag, yang sebagian besar ada di dalam vesikel). Dengan menghancurkan sel yang terinfeksi, maka CTL menyingkirkan reservoir infeksi.



Imunitas Humoral:Aktivasi Limfosit B dan Eliminasi Mikroba Ekstrasel Pada aktivasi, limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan berbagai kelas antibodi yang berbeda fungsinya (Gambar 4-6). • Tidak bergantung kepada sel T. Banyak polisakarida dan antigen lipid yang mempunyai determinan antigenik (epitope) identik yang bersifat multipel,



yang dapat bertautan dengan beberapa molekul reseptor antigen pada tiap sel B untuk memulai proses aktivasi sel B. • Bergantung kepada sel T Biasanya antigen protein yang berupa globul, tidak dapat mengikat banyak reseptor antigen, dan reaksi lengkap sel B terhadap antigen protein memerlukan bantuan dari sel T CD4+. Sel B juga dapat bertindak sebagai APC - mereka menelan protein antigen, mendegradasikannya dan memaparkan peptide yang terkait molekul MHC II untuk pengenalan oleh seI T penolong. Sel T penolong memaparkan CD4OL dan mensekresikan sitokin yang bekerjasama untuk mengaktifkan sel B. Sebagian dari asal klon sel B yang berkembang akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Tiap sel plasma mensekresikan antibodi yang rnernilik.i spesifitas sama seperti antibodi permukaan sel (reseptor sel B) yang pertama kali mengenal antigen. Polisakarida dan lipid terutama merangsang antibodi IgM. Antigen protein, melalui aktivitas sel T penolong akibat reaksi CD4OL dan sitokin, merangsang pembuatan antibodi dari berbagai kelas (IgG, IgA, IgE). Produksi antibodi yang terdiri dari beragam kelas, dengan spesifitas yang sama, disebut heavy chain class (isotype) switching; hal itu memberikan keleluasaan dalam pembentukan antibodi, sehingga memungkinkan antibodi dapat memerankan banyak fungsi. Sel T penolong juga merangsang produksi antibodi dengan afinitas yang makin tinggi terhadap antigen. Hal ini disebut pematangan afinitas, memperbaiki kualitas reaksi imun humoral. Reaksi imun humoral memerangi mikroba dengan berbagai cara (Gambar 4-6). • Antibodi mengikat mikroba dan mencegah mereka untuk menginfeksi sel, jadi menetralisasi (neutralizing mikroba)



PRODUKSI ANTIBODI



FUNGSI EFEKTOR dari ANTIBODI Sekresi antibodi



Netralisasi mikroba



Proliferasi IgD+ naif



Mikroba



Sel T penolong



Differensiasi



Sel B IgM+,



dan toksin



Fagosit



IgM



Sel plasma yang mensekresikan antibodi



Opsonisa



Pengalihan sintesis kelas-antibodi



dan fagositas



Reseptor Fc



Sel B yang memaparkan IgG



Sitotoksitas



IgG Pematangan afinitas



stimulus lain Sel B yang memparkan IgG berafinitas tinggi



antibodi



Sel NK



bergantung



Aktivasi



Lisis



komplemen



mikroba



IgG berafinitas



Fagositosis



tinggi Sel B memori



mikroba yang Reseptor C3b



teropsonisasi



Inflamasi (Radang)



Gambar 4-6 Imunitas humoral. Limfosit B naif mengenal antigen, dan di bawah pengaruh sel T penolong dan stimulus lain (tidak ditunjukkan), sel B teraktivasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Sebagian sel B yang teraktivasi mengalami pengalihan sintesis kelas rantai berat dan pematangan afinitas, dan sebagian menjadi sel memori yang hidup-jangka panjang Antibodi dengan isotip (kelas) rantai berat yang berbeda melakukan fungsi yang berbeda, ditunjukkan pada bagian kanan.



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun • Antibodi IgG melapisi ("opsonisasi") mikroba dan menjadi sasaran fagositosis, karena fagosit (neutrofil dan makrofag) memaparkan reseptor untuk Fc, ekor dari molekul IgG. • IgG dab IgM mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik, dan menghasilkan pecahan komplemen yang memicu fagositosis dan penghancuran mikroba. Produksi antibodi yang bersifat opsonin dan memfiksasi komplemen dirangsang oleh IFN-y, yang biasanya diproduksi oleh sel TH1, dalam bereaksi terhadap berbagai mikroba dan virus. Antibodi IgG memainkan peranan penting dalam reaksi pertahanan terhadap mikroba. • IgA disekresikan di dalam jaringan mukosa dan menetralisasi mikroba di dalam lumen saluran pernapasan dan pencernaan (dan jaringan mukosa lain). • IgG ditransportasikan secara aktif melewati plasenta dan melindungi bayi sampai sistem imun menjadi matang. Hal ini disebut imunitas pasif. • IgE melapisi parasit golongan helmint dan bersama sel mast dan eosinofil membunuh mereka. Seperti disebutkan terdahulu, sel penolong TH2 mensekresikan sitokin yang merangsang produksi IgE dan mengaktifkan eosinofil, jadi reaksi terhadap parasit helmint diatur oleh sel TH2.







Reaksi dini terhadap mikroba diperantarai oleh mekanisme imunitas bawaan, yang siap untuk bereaksi terhadap mikroba. Mekanisme ini termasuk penyangga epitel, fagosit, sel NK dan protein plasma (contoh sistem komplemen). Reaksi imunitas bawaan sering berwujud sebagai radang/inflamasi.







Reaksi pertahanan dari imunitas lambat, tetapi lebih kuat dan spesifik.







Mikroba dan antigen asing lain ditangkap oleh DC dan ditransportasikan ke kelenjar getah bening, di tempat antigen dikenal oleh limfosit naif. Limfosit teraktifkan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori.







Imunitas seluler adalah reaksi fimfosit T, yang dirancang untuk memerangi mikroba yang terkait pada set (contoh rnikroba yang difagositosis dan mikroba di dalam sitoplasma dari set yang terinfeksi). Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi dan efektif terhadap mikroba ekstrasel (di dalam sirkulasi dan lumen saluran yang dilapisi mukosa).







Sel T penolong CD4+ membantu sel B untuk membentuk antibodi, mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba yang ditelan, merangsang leukosit untuk datang, dan mengatur semua reaksi imun terhadap antigen protein. Fungsi sel T CD4+ diperantarai oleh protein yang disekresikan yang disebut sitokin. Sel T CD8+ (CTL) membunuh sel yang memaparkan antigen di dalam sitoplasma yang dilihat sebagai zat asing (contoh set terinfeksi virus atau sel tumor).







Antibodi yang disekresikan oleh sel plasma menetralisasikan mikroba dan mencegah daya infeksinya, dan memicu fagositosis serta penghancuran patogen. Antibodi juga memberikan kemampuan imunitas pasif pada bayi baru lahir (neonates).



Antibodi IgG yang beredar mempunyai waktu paruh sekitar 3 minggu, yang lebih lama daripada waktu paruh sebagian besar protein darah, yang terjadi karena mekanisme khusus dari daur ulang IgG dan reaksi katabolismenya. Sebagian sel plasma yang mensekresikan antibodi bermigrasi ke sumsum tulang dan hidup selama bertahun-tahun, terusmenerus memproduksi antibodi dalam jumlah kecil.



Penurunan Reaksi Imun dan Memori Imunologi Sebagian besar limfosit efektor yang diinduksi oleh infeksi penyebab penyakit mengalami kematian melalui apoptosis (kematian sel yang terprogram) setelah mikroba disingkirkan, sehingga sistem imun kembali ke dalam keadaan istirahat. Peristiwa kembali ke keadaan stabit atau keadaan tidak aktif, disebut horneostasis, terjadi karena mikroba memberikan stimulus yang diperlukan oleh Iimfosit untuk bertahan hidup dan aktif, dan sel efektor bermasa hidup pendek. Oleh karena itu, setelah stimulus dihentikan, limfosit yang teraktifkan tidak dipertahankan hidup. Aktivasi permulaan dari limfosit juga menyebabkan tumbuhnya sel memori yang masa hidupnya panjang, bertahan hidup selama bertahun-tahun setelah infeksi. Sel memori merupakan kumpulan limfosit yang berkembang dari limfosit yang bereaksi spesifik terhadap antigen (lebih banyak daripada sel naif sebelum terpajang dengan antigen), dan sel memori bereaksi lebih cepat dan lebih efektif terhadap antigen dibandingkan dengan sel naif. Generasi sel memori menjadi landasan penting dalam vaksinasi. Pembahasan singkat dari reaksi imun yang normal menjadi dasar pemikiran tentang keadaan yang terkait reaksi imun yang menjadi abnormal, dan bagaimana abnormalitas ini berkembang menjadi jejas jaringan dan penyakit.



RINGKASAN Tinjauan Umum tentang Reaksi Imun Normal •



Fungsi fisiologis dari sistem imun adalah pertahanan terhadap mikroba infektif.



109



adaptif



berkembang



REAKSI HIPERSENSITIVITAS: MEKANISME JEJAS/CEDERA BERDASARKAN REAKSI IMUN Reaksi imun yang secara normal bersifat protektif juga dapat menyebabkan jejas/cedera jaringan. Reaksi imun yang berakibat cedera digolongkan dalam reaksi hipersensitivitas; dan menghasilkan penyakit hipersensitivitas. Istilah ini berdasarkan gagasan bahwa individu yang membuat reaksi imun terhadap antigen menjadi "peka" (tersensitisasi) terhadap antigen tersebut, sehingga terjadi reaksi yang patologis atau berlebihan mewujudkan keadaan "hipersensitif". Pada keadaan normal, reaksi membasmi organisme penyebab infeksi terkendali dan mencapai keseimbangan tanpa reaksi yang menyebabkan jejas pada jaringan tuan rumah. Walaupun demikian, reaksi imun mungkin tidak cukup terkendali atau tidak tersasar secara tepat terhadap jaringan tuan rumah, sehingga pada keadaan seperti itu reaksi yang seharusnya bermanfaat justru dapat menjadi penyebab penyakit. Dalam bagian ini akan diuraikan penyebab dan mekanisme umum dari penyakit hipersensitivitas, dan selanjutnya akan dibahas keadaan tertentu yang terkait dengan reaksi imun yang menyebabkan penyakit.



Penyebab Reaksi Hipersensitivitas Reaksi imun yang patologis dapat terarah kepada berbagai jenis antigen yang berbeda dan dapat menyebabkan berbagai dasar terjadinya abnormalitas.



110



B A B 4



Penyakit Sistem Imun



• Autoimunitas: reaksi terhadap antigen diri (self). Pada keadaan normal, sistem imun tidak bereaksi terhadap antigen yang dihasilkan oleh badan sendiri. Fenomena ini disebut toleransi diri (sel tolerance), yang berarti bahwa tubuh bersifat toleran terhadap antigen diri. Kadang-kadang, toleransi diri gagal, sehingga menyebabkan autoimunitas. Penyakit akibat autoimunitas disebut penyakit autoimun. Kita akan membahas kembali tentang mekanisme toleransi diri dan autoimunitas pada bab ini kemudian. • Reaksi terhadap mikroba. Ada berbagai jenis reaksi terhadap antigen mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Pada sebagian kasus, reaksi imun terlalu kuat atau biasanya karena antigen mikroba berada terus-menerus (menetap). Apabila antibodi diproduksi terhadap antigen semacam itu, maka antibodi akan bergabung dengan antigen mikroba dan membentuk kompleks imun yang dapat diendapkan di dalam jaringan dan memicu terjadinya inflamasi; hal ini merupakan mekanisme dasar terjadinya glomerulonefritis poststreptokokus (Bab 13). Sel T yang bereaksi terhadap mikroba yang persisten dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang parah, kadang-kadang disertai pembentukan granuloma (Bab 2); hal ini menjadi penyebab jejas jaringan pada tuberkolosis dan infeksi lain. Jarang terjadi, antibodi atau sel T bereaksi terhadap mikroba yang bereaksi silang dengan jaringan tuan rumah; reaksi silang ini dianggap sebagai dasar terjadinya penyakit jantung rematik (Bab 10). Pada beberapa keadaan, reaksi imun mungkin berjalan normal, tetapi dalam rangka membasmi mikroba, jaringan tuan rumah mengalami jejas. Pada hepatitis virus, mikroba yang menginfeksi hati tidak bersifat sitopatik, tetapi dikenal sebagai zat asing oleh sistem imun. Sel T sitotoksik berusaha menyingkirkan seI yang terinfeksi, dan reaksi normal sistem imun ini menyebabkan kerusakan sel hati.



justru tidak berbahaya, dan semua orang terpajang pada antigen semacam itu tetapi hanya sebagian yang bereaksi. Pada semua keadaan ini, jejas jaringan yang disebabkan oleh mekanisme sama yang pada keadaan normal berfungsi untuk menyingkirkan patogen infektif— yaitu antibodi, limfosit T efektor dan berbagai sel efektor lain. Masalah dalam penyakit ini adalah karena reaksi dipicu dan dipertahankan secara tidak tepat. Karena stimulus dari reaksi abnormal ini sulit dan tidak mungkin dihindari (contoh antigen diri, mikroba persisten dan antigen lingkungan), dan sistem imun mempunyai jalur balik intrinsik (bersifat amplifikasi), maka sekali reaksi patologis dimulai akan sulit dikendalikan atau dihentikan. Oleh karena itu, penyakit hipersensitivitas cenderung menjadi kronik dan menyebabkan cacat serta menjadi tantangan dalam terapi. Karena inflamasi, khususnya inflamasi kronik, merupakan komponen utama pada patologi kelainan tersebut, kadang-kadang kelainan ini digolongkan dalam penyakit radang yang berdasarkan reaksi imun.



Jenis Reaksi Hipersensitivitas Reaksi hipersensitivitas biasanya dibagi dalam empat tipe berdasarkan mekanisme utama yang terkait dengan jejas; tiga tipe merupakan variasi jejas yang berdasarkan reaksi antibodi, sedangkan yang keempat berdasarkan reaksi sel T (Tabel 4-1). Dasar pemikiran dari klasifikasi ini adalah bahwa mekanisme jejas secara imunologi menjadi prediktor yang baik dari wujud klinis dan membantu untuk merencanakan terapi. Akan tetapi, klasifikasi ini tidak sempurna, karena beberapa reaksi imun mungkin bersama-sama terjadi pada suatu penyakit.



• Hipersensitivitas segera (tipe I); sering disebut alergi, akibat dari aktivasi subset TH2 dari sel T penolong CD4+ oleh antigen • Reaksi terhadap antigen lingkungan. Sebagian besar individu sehat. lingkungan, yang menyenbabkan produksi antibodi IgE, yang akan tidak bereaksi kuat terhadap zat-zat yang biasa terdapat dilingkungan berikatan dipermukaan sel mast. Apabila molekul IgE tersebut (contoh serbuk sari, bahan dari binatang atau debu rumah yang mengikat antigen (alergen) maka sel mast akan dipicu untuk rnengandungi ngengat), tetapi hampir 20% populasi mengalami alergi melepaskan mediator yang sementara memengaruhi permeabilitas terhadap zat-zat tersebut. Individu-individu tersebut mempunyai faktor vaskular dan genetik yang terkait kerentanan menimbulkan reaksi imun yang tidak lazim terhadap berbagai antigen yang tidak bersifat infektif dan



Tabel 4-1 Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas



Tipe Hipersensitivitas segera (Tipe 1) Hipersensitivitas yang diperantarai antibodi (Tipe II)



Hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun (Tipe III)



Hipersensitivitas yang diperantarai sel (Tipe IV) IgE, IgG, IgM, imunoglobuln E, G, M.



Mekanisme Imun



Lesi Histopatologis



Kelainan Prototip



Produksi antibodi IgE --> pelepasan segera amine vasoaktif dan mediator lain dari sel mast; pemanggilan sel inflamasi kemudian



Dilatasi vasikular, edema, kontraksi otot polos, produksi mukus, jejas jaringan, inflamasi



Anafilaksis; alergi; asma bronkial (bentuk atopik)



Produksi IgG, IgM --> mengikat antigen pada sel sasaran atau jaringan --> fagositosis atau lisis sel sasaran oleh komplemen yang teraktivasi atau reseptor Fc; pemanggilan leukosit Pengendapan kompleks antigen-antibodi --> aktivasi komplemen; pemanggilan leukosit oleh produk komplemen dan reseptor Fc --> pelepasan enzim, dan molekul lain yang toksik



Fagositosis dan lisis sel; inflamasi; pada sebagian penyakit, kelainan fungsional tanpa jejas sel atau jaringan



Anemia hemolitik autoimun;



Inflamasi, vaskulitis bersifat nekrotik (nekrosis fibrinoid)



Lupus eritematosus sistematik; sebagian bentuk glomerulonefritis; penyakit serum; reaksi Arthus



Limfosit T teraktivasi --> (1) pelepasan sitokin, inflamasi dan aktivasi makrofag; (2) Sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T



Sebutkan seluler perivaskular; edema; pembentukan granuloma, destruksi sel



Dermatitis kontak; sklerosis multipel; diabetes tipe 1, tuberkulosis



sindrom Goodpasture



111



menyebabkan kontraksi otot polos pada berbagai organ, juga memperpanjang inflamasi (reaksi fase lambat). Penyakit ini biasanya disebut alergi atau penyakit atopik. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan reaksi antibodi (tipe II) disebabkan oleh antibodi yang mengikat antigen pada jaringan atau permukaan sel, membantu fagositosis dan kerusakan sel yang terlapisi antibodi atau memicu inflamasi patologis di dalam jaringan. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan kompleks imun (tipe III) disebabkan oleh antibodi yang bergabung dengan antigen membentuk kompleks imun yang beredar dan mengendap di dalam jaringan vaskular dan merangsang inflamasi, biasanya akibat akti vast komplemen. Jejas jaringan pada penyakit ini adalah akibat inflamasi. • Kelainan hipersensitivitas berdasarkan reaksi sel T (tipe IV)



disebabkan terutama oleh reaksi imun dari limfosit T subset TH1 dan TH17 yang memproduksi sitokin yang menginduksi inflamasi dan aktivasi neutrofil serta makrofag, yang menimbulkan jejas jaringan. CTL CD8+ juga berperan dalam jejas karena membunuh langsung sel tuan rumah.



Pajanan terhadap alergen



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun Alergen (contoh serbuk sari) Lapisan mukosa



Aktivasi sel TH2 dan pengalihan



Sel



Sel B



kelas IgE pada



TH2



sel B Produksi IgE



Sel B yang



IgE



mensekresikan IgE



Ikatan IgE dengan Fc˜RI pada sel mast



Sel mast



Fc˜RI



Hipersensitivitas Segera (Tipe I) Hipersensitivitas segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara cepat (biasanya dalam beberapa menit) setelah interaksi antara antigen dan antibodi IgE pada permukaan sel mast pada individu yang tersensitisasi (terpapar antigen). Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen karena memicu alergi. Banyak alergen yang berasal dari lingkungan yang tidak berbahaya untuk sebagian besar individu yang terpapar. Beberapa individu tampaknya menurunkan gen yang menyebabkan mereka rentan terhadap alergi. Kerentanan ini berwujud sebagai reaksi TH2 yang kuat dan diikuti pembentukan antibodi IgE terhadap alergen. Reaksi IgE tersebut mengaktifkan sel mast disertai pelepasan mediator yang menyebabkan manifestasi klinis dan patologis dari reaksi hipersensitivitas segera mungkin hanya berupa gangguan yang ringan (contoh rinitis yang bergantung pada musim atau demam rumput kering), bisa juga penyakit yang parah (asma), atau bahkan fatal (anafilaksis). Urutan Kejadian pada Reaksi Hipersensitivitas Segera Sebagian besar reaksi hipersensitivitas mengikuti urutan reaksi seluler yang sama (Gambar 4-7): • Aktivasi sel TH2 dan produksi antibodi IgE. Alergen mungkin masuk lewat inhalasi, ingesti atau suntikan. Variabel yang mungkin berperan terhadap reaksi kuat sel TH2 terhadap alergen meliputi pintu masuk, dosts dan kronisitas pemajanan antigen, serta komposisi genetik tuan rumah. Tidak jelas apakah zat yang bersifat alergen juga mempunyai struktur unik yang cenderung memicu reaksi kuat sel TH2. Hipersensitivitas segera merupakan prototip dari reaksi yang diperantara sel TH2. Sel TH2 akan mensekresikan beberapa sitokin, termasuk IL-4, 1L-5 dan 1L-13, yang bertanggung jawab untuk hampir semua reaksi hipersensitivitas segera. 1L-4 merangsang reaksi sel B yang spesifik terhadap alergen, memicu perubahan kelas rantai berat imunoglobulin ke IgE



Pajanan ulang terhadap alergen



Aktivasi sel mast; pelepasan mediator Mediator Mediator amin vasoaktif, lemak Reaksi hipersensitivitas segera (beberapa menit setelah pajanan ulang terhadap alergen)



Sitokin



Reaksi fase lambat (2-8 jam setelah pajanan ulang terhadap alergen)



Gambar 4--7 Urutan kejadian pada hipersensitivitas segera (tipe 1). Reaksi hipersensitivitas segera dimulai oleh pengenalan alergen, yang merangsang reaksi TH2 dan produksi IgE, IgE berikatan dengan reseptor Fc (FcεRI) pada sel mast, dan pajanan berikutnya terhadap alergen mengaktivasi sel mast untuk mensekresikan mediator yang berperan dalam manifestasi patologis dari hipersensitivitas segera.



dan mensekresikan antibodi isotip tersebut. IL-5 mengaktifkan eosinofil dan didatangkan ketempat reaksi, sedangkan IL-13 bekerja pada sel epitel dan merangsang sekresi mukus. Sel TH2 sering didatangkan ketempat reaksi alergi akibat pertgaruh kemokin yang diproduksi setempat, termasuk eotaksin yang juga mendatangkan eosinofil ketempat yang sama. • Sensitisasi set mast oleh antibodi IgE. Sel mast berasal dari prekursor di dalam sumsum tulang, tersebar luas di berbagai jaringan, dan sering berada dekat pembuluh darah dan saraf, serta pada daerah sub epitel. Sel mast



112



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



memaparkan reseptor yang berafinitas tinggi untuk bagian Fc dari rantai berat E dari IgE, disebut FceRI. Walaupun konsentrasi IgE serum sangat rendah (dalam rentang antara 1 sampai 100 p.g/ mL), afinitas reseptor FcERI pada sel mast sangat tinggi sehingga reseptor selalu diduduki oleh IgE. Sel mast yang mengandungi antibodi tersebut tersensitisasi untuk bereaksi apabila antigen berikatan dengan molekuI antibodi. Basofil merupakan mitra sel mast dalam sirkulasi. Mereka juga memiliki FcεRI, tetapi peranannya pada sebagian hipersensitivitas segera belum jelas (karena reaksi biasanya terjadi dalam jaringan dan tidak di dalam sirkulasi). Sel ketiga yang memaparkan FcεRI adalah eosinofil, yang sering berada pada reaksi, dan berperan dalam reaksi imun berdasarkan IgE terhadap infeksi helmint, akan diuraikan kemudian. • Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Apabila seseorang yang sudah pernah tersensitisasi oleh pemajanan terhadap suatu alergen kemudian terpajang kembali terhadap alergen itu, maka alergen akan berikatan dengan banyak molekul IgE spesifik pada permukaan sel mast, biasanya pada atau di dekat pintu masuk alergen. Pada waktu molekul IgE ini mengalami ikatan silang (cross linked), serangkaian isyarat biokimia akan dipicu di dalam sel mast dan diikuti sekresi berbagai mediator. Tiga kelompok mediator yang paling penting dalam reaksi hipersensitivitas segera (Gambar 4-8): 











Vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula. Granula sel mast berisi histamin yang dilepaskan dalam waktu beberapa detik atau menit pada waktu aktivasi. Histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan sekresi mukus. Mediator lain yang cepat dilepaskan adalah adenosin (yang menyebabkan penyempitan bronkus dan menghambat agregrasi trombosit) dan faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Zat lain yang terkandung dalam granula sel mast yang mungkin disekresikan adalah beberapa protease netral (contoh tryptase) yang dapat merusak jaringan dan juga menyebabkan produksi kinin dan memecah komponenkomplemen, menghasilkan faktor-faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (contoh C3a) (Bab 2). Granula tersebut juga berisi proteoglikan yang bersifat asam (heparin, kondroitin sulfat), yang berfungsi sebagai matriks penyimpanan amine. Mediator lipid yang baru disintesa. Sel mast mensintesa dan mensekresikan prostaglandin dan leukotrin, melalui jalur sama seperti leukosit lain (Bab 2). Mediator lipid mempunyai peranan penting dalam reaksi hipersensitivitas segera. Prostaglandin D2 (PGD2) merupakan prostaglandin paling banyak yang diproduksi oleh jalur siklooksigenase dalam seI mast. Zat tersebut menyebabkan bronkospame yang kuat dan peningkatan sekresi mukus. Leukotrin LTC, dan LTD, adalah zat vasoaktif dan spasmogenik yang kuat; dalam kadar molar mereka beberapa ratus kali lebih kuat daripada histamin dalam peningkatan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos bronkus. LTB4 sangat kemotaksis terhadap neutrofil, eosinofil dan monosit. Sitokin. Aktivasi sel mast menyebabkan sintesa dan sekresi beberapa sitokin yang penting dalam reaksi fase lambat. Ini termasuk TNF dan kemokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan leukosit (Bab 2); IL-4 dan IL-5 melipat gandakan



Antigen IgE Reseptor Fc IgE



Isyarat untuk aktivasi gen sitokin Isyarat untuk



Isyarat untuk degranulasi Inti



Degranulasi



aktivasi fosfolipase A2



SITOKIN YANG DISEKRESIKAN



KANDUNGAN GRANULA • • Histamin • Protease Faktor kemotaktik



FOSFOLIPID MEMBRAN



Asam PAF arakidonat



(ECF, NCF) Prostaglandin D2



Reaksi fase lambat Sebukan limfosit Kerusakan epitel Bronkospasme



Leukotrien B4, C4, D4



REAKSI SEGERA Vasodilatasi Kebocoran vaskular Spasme otot polos



Gambar 4--8 Mediator sel mast. Pada aktivasi, sel mast melepaskan berbagai kelas mediator yang berperan untuk reaksi segera dan reaksi fase-lambat. ECF, eosinophil chemotactic factor (Faktor kemotaksis eosinofil); NCF, neutrophil chemotactic factor (Faktor kemotaksis neutrofil) (tidak satupun yang telah ditetapkan secara biokimiawi); PAF, platelet-activating factor (faktor pengaktif trombosit)



reaksi sel TH2; dan IL-13 yang merangsang sel epitel untuk sekresi mukus. Sebagai ringkasan, berbagai zat yang berpengaruh pada pembuluh darah, otot polos dan leukosit memperantarai reaksi hipersensitivitas segera (Tabel 4-2). Sebagian dari zat-zat ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan berperan dalam reaksi segera yang kuat dan berkaitan dengan derajatnya seperti anafilaksis sistemik. Yang lain,seperti sitokin, berperan dalam inflamasi yang terlihat pada fase lambat. Seringkali, reaksi yang dipicu IgE mempunyai dua fase yang jelas (Gambar 4-9): (1) Reaksi segera, ditandai oleh vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, biasanya terjadi 5 sampai 30 menit setelah pemajanan terhadap alergen dan akan mereda dalam 60 menit; dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang biasanya mulai 2 sampai 8 jam kemudian dan mungkin berlangsung beberapa hari dan ditandai oleh inflamasi dan kerusakan jaringan, seperti kerusakan epitel mukosa. Sel radang yang dominan adalah neutrofil, eosinofil dan limfosit, terutama sel TH2. Neutrofil didatangkan oleh berbagai kemokin. Peranannya dalam inflamasi diuraikan dalam Bab 2. Eosinofil didatangkan oleh eotaksin



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun Tabel 4--2 Kesimpulan Kegiatan Mediator Sel Mast pada Hipersensitivitas Segera (Tipe 1)



Kegiatan



Mediator



Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular



Histamin PAF Leukotrin C4, D4, E4 Protease netral yang mengaktifkan kompelen dan kinin Prostaglandin D2 Leukotrin C4, D4, E4 Histamin Prostaglandin PAF



Spasme otot polos



Sebutkan seluler



Sitokin (contoh kemokin, TNF) LeukotrinenB4 Eosinofil dan faktor neutrofil kemotaksis (tidak ditetapkan secara biokimiawi)



PAF, platelet activating factor (faktor pengaktif trombosit); TNF, tumor necrosis factor (faktor nekrosis tumor)



dan kemokin lain, yang dilepaskan oleh sel epitel yang teraktifkan oleh TNF, dan merupakan efektor penting dalam jejas jaringan pada reaksi fase lambat. Eosinofil memproduksi major basic protein dan protein kation eosinofil, yang toksik terhadap epitel, LTC, dan faktor aktivasi trombosis, yang meningkatkan inflamasi. Sel TH2 memproduksi sitokin yang mempunyai banyak reaksi yang diuraikan sebelumnya. Leukosit yang didatangkan ini dapat meningkatkan dan mempertahankan reaksi inflamasi bahkan tanpa pemajanan alergen yang terusmenerus. Sebagai tambahan, leukosit inflamasi berperan pada jejas sel epitel pada hipersensitivitas segera. Oleh karena reaksi inflamasi merupakan kelainan utama pada banyak penyakit alergi, terutama asma dan dermatitis atopik, terapi menggunakan obat anti inflamasi, seperti kortikosteroid.



Manifestasi Klinis dan Patologis Reaksi hipersensitivitas segera dapat terjadi sebagai suatu kelainan sistemik atau sebagai kelainan setempat. Bentuk reaksi seringkali ditentukan oleh pintu masuk pajanan antigen.



Segera



Manifestasi Klinik



Sel mast



A



Edema B 0



Pajanan sistemik terhadap antigen protein (contoh racun lebah) atau obat (contoh penisilin) dapat menyebabkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada individu yang tersensitisasi akan timbul rasa gatal, urtikaria (biduran) dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas yang cepat disebabkan bronkokonstriksi dan diperburuk oleh hipersekresi mukus. Edema laring dapat menyebabkan eksaserbasi karena obstruksi jalan napas. Di samping itu, otot polos seluruh saluran gastrointestinal dapat terjangkit, disertai muntah, perut tegang dan diare. Tanpa intervensi segera dapat terjadi vasodilatasi sistemik disertai penurunan tekanan darah (syok anafilaktik), dan penderita mengalami kolaps peredaran darah serta kematian dalam beberapa menit. Reaksi setempat biasanya terjadi apabila antigen terbatas pada tempat tertentu, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), saluran gastrointestinal (tertelan, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum dari alergi kulit dan makanan, demam rumput kering dan bentuk tertentu berupa asma adalah contoh reaksi alergi yang bersifat setempat. Walaupun demikian, masuknya alergen lewat mulut atau inhalasi juga dapat memicu reaksi sistemik. Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang bersifat setempat memiliki unsur genetik kuat, dan istilah atopi digunakan untuk menggambarkan predisposisi keluarga dalam hal reaksi setempat tersebut. Para penderita yang mengalami alergi nasobronkial (termasuk demam rumput kering dan sebagian dari asma) seringkali memiliki riwayat keluarga yang mirip. Gen yang terkait dengan kerentanan terhadap asma dan kelainan atopik lain termasuk yang menyandi molekul HLA (yang terkait dengan reaksi imun terhadap antigen tertentu), sitokin (yang mengelola reaksi sel TH2), unsur FcɛRI, metaloproteinase yang mungkin terlibat pada remodeling saluran napas. Reaksi hipersensitivitas segera jelas tidak berkembang sendiri untuk menyebabkan gangguan atau penyakit pada manusia. Reaksi imun bergantung kepada sel TH2 dan IgE —khususnya, reaksi inflamasi fase lambat — memainkan peranan protektif yang penting dalam memerangi infeksi parasit.



Reaksi fase-lambat



Pajanan alergen



1 4 8 12 Jam setelah pajanan alergen



16



113



Kongesti vaskular



Eosinofil C



20



Gambar 4--9 Hipersensitivitas segera. A, Kinetik reaksi segera dan reaksi fase-lambat. Reaksi vaskular dan otot polos jenis segera terhadap alergen berkembang dalam beberapa menit, setelah tantangan (pajanan alergen pada individu yang sebelumnya tersensitisasi), dan reaksi faselambat berkembang 2 sampai 24 jam kemudian. B-C, Morfologi: Reaksi segera (B) ditandai oleh vasodiilatasi, kongesti, dan edema, dan reaksi fase-lambat (C) ditandai oleh sebutkan sel radang yang banyak mengandungi eosinofil, neutrofil dan sel T. (B dan C, Sumbangan dari Dr. Daniel Friend, Department of Pathology, Brigham and Wamen's Hospital, Bostan, Massachusetts.)



114



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



Antibodi IgE diproduksi sebagai reaksi terhadap infeksi helmint, dan fungsi faali eosinofil dan sel mast untuk memusnahkan helmint. Sel mast juga terlibat dalam pertahanan terhadap infeksi bakteri. Para penderita gigitan ular akan Iega mendengar bahwa sel mast mereka dapat melindunginya dari sebagian racun ular dengan jalan melepaskan granula berisi protease yang dapat menghancurkan toksin. Mengapa reaksi-reaksi yang berguna itu tidak teraktivasi secara tepat oleh antigen lingkungan yang tidak berbahaya, sehingga masih menyebabkan alergi, tetap menjadi teka-teki.



RINGKASAN Hipersensitivitas Segera (Tipe I) •



juga disebut reaksi alergik, atau alergi.







Dipicu oleh antigen lingkungan (alergen) yang merangsang reaksi TH2 dan produksi IgE pada individu yang memiliki kerentanan genetik.







IgE melapisi sel mast dengan ikatan terhadap reseptor Fcc; pemajanan kembali terhadap alergen menyebabkan ikatansilang dari IgE dan FcERI, aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Mediator-mediator utama adalah histamin, protease dan isi granula yang lain; prostaglandin dan leukotrin; dan sitokin.



• •



Mediator bertanggung jawab untuk reaksi vaskular dan otot polos yang bersifat segera dan reaksi fase lambat (inflamasi).







Manifestasi klinis dapat berupa reaksi setempat atau sistemik, dan berkisar dari rinitis ringan yang menggangu sampai anafilaksis yang fatal.



Penyakit Berdasarkan Reaksi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II) Kelainan Hipersensitivitas yang diperantarai antibodi (Tipe disebabkan oleh antibodi yang ditujukan terhadap antigen sasaran pada permukaan sel atau unsur jaringan Iain. Antigen mungkin berupa molekul normal bagian intrinsik dari membran sel atau pada matriks ekstrasel, atau mungkin berupa antigen eksogen yang diserap (contoh metabolit obat). Abnormalitas yang diperantarai antibodi adalah penyebab yang mendasari banyak penyakit pada manusia; contohnya diberikan pada Tabel 4-3. Pada semua kelainan, kerusakan jaringan atau kelainan fungsi disebabkan oleh beberapa mekanisme yang terbatas.



Mekanisme Penyakit yang Diperantarai Antibodi Antibodi dapat menimbulkan penyakit apabila berikatan atau melapisi sel sasaran untuk meningkatkan fagositosis, atau mengaktifkan komplemen, memengaruhi fungsi sel yang normal (Gambar 4-10). Antibodi yang bertanggung jawab biasanya adalah antibodi berafinitas tinggi yang dapat mengaktifkan komplemen dan berikatan dengan reseptor Fc dari fagosit. • Opsonisasi dan fagositosis. Apabila sel yang beredar , seperti eritosit atau trombosit, dilapisi (opsonisasi) oleh autoantibodi, dengan atau tanpa protein komplemen, maka sel akan menjadi sasaran fagositosis oleh neutrofil dan makrofag (Gambar 4-10, A). Fagosit tersebut memaparkan reseptor untuk bagian ekor Fc dari antibodi Ig-G dan reseptor protein komplemen C3, dan menggunakan reseptor tersebut untuk mengikat dan menelan partikel yang teropsonisasi. Sel yang mengalamai opsonisasi biasanya disingkirkan di dalam limpa, dan oleh karena itu splenektomi



Tabel 4--3 Contoh Penyakit yang Diperantarai Antibodi (Hipersensitivitas Tipe III)



Penyakit



Antigen Sasaran



Mekanisme Penyakit



Manifestasi Klinikopatologis



Anemia hemolitik autoimun



Protein mebran sel darah merah (antigen golongan darah Rh, antigen I)



Opsonisasi dan fagositosis eritrosit



Hemolitik, anemia



Purpura trombositopenik autoimun



Protein membran trombosit (integrin GpIIb/IIIa)



Opsonisasi dan fagositosis trombosit



Perdarahan



Pemphigus vulgaris



Protein pada jembatan antarsel dari sel epidermis (desmoglein epidermis)



Vesikel kulit (bula)



Vaskulitis akibat ANCA



Protein granula neutrofil, mungkin dilepaskan oleh neutrofil yang teraktifkan



Aktivasi protease yang diperantarai antibodi, kerusakan fungsi adhesi antarsel Degranulasi neutrofil dan inflamasi



Sindrom Goodpasture



Protein nonkolagen (NCl) pada membran basal glomerulus ginjal dan alveolus paru



Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc



Nefritis, pendarahan paru



Demam reuma akut



Antigen dinding sel streptokokus; antigen miokardium yang bereaksi silang dengan antibodi Reseptor asetilkolin



Inflamasi, aktivasi makrofag



Miokarditis



Antibodi, menghambat ikatan asetilkolin, menurunkan afinitas reseptor



Kelemahan otot, paralisis



Penyakit Graves (hipertiroidisme) Diabetes yang resisten terhadap insulin



Reseptor TSH



Stimulasi reseptor TSH yang diperantarai antibodi



Hipertiroidisme



Reseptor insulin



Antibodi yang menghambat ikatan dengan insulin



Hiperglikemia, ketoasidosis



Anemia pernisiosa



Faktor intrinsik sel parietal lambung



Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamib B12



Mielopoiesis abnormal, anemia



Myasthenia gravis



ANCA, antineutrophi cytoplasmic antibodies (antibodi sitoplasmik antineutrofil); TSH, thyroid stimulating hormone (hormon perangsang tiroid).



Vaskulitis



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun Opsonisasi dan fagositosis Sel teropsonisasi



115



Sel terfagositosis



Reseptor Fc



C3b Reseptor C3b



A



Fagosit Fagositosis



Aktivasi komplemen



Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc



Reseptor Fc



Produksamping komplemen Aktivasi komplemen



B



(C5a, C3a)



Disfungsi sel perantarai antibodi Antibodi terhadap reseptor TSH Sel epitel tiroid



C



Enzim neutrofil zat-antara oksigen reaktif Inflamasi dan jejas jaringan



Ujung saraf Reseptor TSH



Hormon tiroid Antibodi merangsang reseptor tanpa hormon



Antibodi terhadap AK



Asetikolin (AK)



Reseptor AK



Otot Antibodi menghambat ikatan neurotransmiter ke reseptor



Gambar 4--10 Mekanisme jejas yang doperantarai antibodi. A, Opsonisasi sel oleh antibodi dan unsur komplemen, dan ingesti sel yang teropsonisasi oleh fagosit. B, Inflamasi yang diinduksi oleh ikatan antibodi dengan reseptor Fc leukosit dan oleh produk pemecahan komplemen. C, Antibodi reseptor mengganggu fungsi normal reseptor. Pada contoh ini, antibodi terhadap reseptor thyroid-stimulating hormone (TSH)/ hormon perangsang tiroid mengaktifkan sel tiroid pada penyakit Graves, dan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AK) mengganggu transmisi neuromuskular pada miastenia gravis.



bermanfaat secara klinis pada trombositopenia autoimun dan beberapa jenis anemia hemolitik autoimun. • Inflamasi (peradangan), Antibodi terikat pada antigen sel atau jaringan dan mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik (Gambar 4-10, B). Produk-produk aktivasi komplemen memiliki beberapa fungsi (lihat Gambar 2-18, Bab 2), satu di antaranya adalah mendatangkan neutrofil dan monosit, memicu inflamasi pada jaringan. Leukosit mungkin juga diaktifkan dengan melibatkan reseptor Fc, yang mengenal antibodi yang terikat. Mekanisme jejas semacam ini dicontohkan oleh sindrom Goodspasture dan pemfigus vulgaris. • Disfungsi sel yang diperantarai antibodi. Pada sebagian kasus,antibodi yang ditujukan kepada reseptor permukaan sel memengaruhi atau mengganggu regulasi fungsi sel tanpa menyebabkan jejas seI atau inflamasi (Gambar 4-10, C). Pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada ujung saraf motorik dari otot seran lintang menghambat transmisi neuromuskular, sehingga menyebabkan kelemahan otot. Antibodi juga dapat merangsang reaksi sel berlebihan.



Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (thyroid stimulating hormone) merangsang epitel tiroid untuk mensekresi hormon tiroid dan menyebabkan hipertiroid. Antibodi terhadap hormon dan protein esensial lain dapat menetralkan dan mencegah aktivitas molekul-molekul tersebut dan menyebabkan pengaturan kembali fungsinya.



Penyakit Kompleks Imun (Hipersensitivitas Tipe III) Kompleks antigen antibodi (kompleks imun) yang dibentuk di dalam peredaran darah dapat mengendap pada pembuluh darah, diikuti aktivasi komplemen dan peradangan akut. Antigen di dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti protein mikroba, atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun sendiri tidak sama dengan penyakit hipersensitivitas; kompleks antigen antibodi dalam jumlah kecil mungkin diproduksi selama reaksi imun normal



116



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Tabel 4--4 Contoh Penyakit yang Diperantarai Kompleks Imun



Penyakit



Antigen yang Terlibat



Manifestasi Klinikopatologis



Lupus eritematosus sistemik



Antigen nukleus



Nefritis, lesi kulit, atritis, lain-lain



Glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus



Antigen dinding sel streptokokus; mungkin diendapkan pada membran basal glomerulus



Nefritis



Polyarteritis nodosa



Antigen virus hepatitis B pada sebagian kasus



Vaskulitis sistemik



Artitis reaktif



Antigen bakterial (contoh Yersinia)



Artritis akut



Penyakit serum



Berbagai protein (contoh protein serum yang asing seperti globulin antitimosit yang dibuat pada kuda Berbagai protein asing



Artritis, vaskulitis, nefritis



Reaksi Arthus (eksperimental)



dan biasanya difagositosis dan dihancurkan. Hanya pada saat produksi kompleks imun yang cukup besar, menetap dan mengendap di jaringan yang bersifat patogen. Kompleks imun yang patogenik mungkin dibuat di dalam peredaran darah dan selanjutnya mengendap di pembuluh darah, atau kompleks imun mungkin mengendap di tempat antigen ditanamkan (komplek-imun in situ). Kompleks imun dapat menyebabkan jejas sistemik apabila dibentuk di dalam sirkulasi dan mengendap di beberapa organ, atau terlokalisasi pada organ tertentu (contoh ginjal, sendi atau kulit) apabila kompleksimun dibentuk di sirkulasi dan mengendap di tempat yang spesifik. Mekanisme dari jejas jaringan sama, tidak bergantung kepada pola distribusi. Walaupun demikian, urutan kejadian dan keadaan yang menyebabkan pembentukan kompleks imun sistemik atau lokal berbeda, yang akan dibahas terpisah kemudian. Penyakit kompleks imun adalah sebagian dari penyakit imunologi yang paling sering (Tabel 4-4).



Antigen pada



Beberapa variabel menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan mengarah ke pembentukan endapan di jaringan dan penyakit. Mungkin yang paling penting di antara faktor-faktor ini adalah ukuran dari kompleks imun. Kompleks yang sangat besar atau kompleks dengan banyak regio Fc IgG yang bebas (dibentuk secara khas pada kelebihan antibodi) cepat disingkirkan dari peredaran oleh makrofag di dalam limpa dan hati



Pembentukan Kompleks Imun



sirkulasi Sel B



Antibodi



Sel plasma



bebas



Kompleks



Endotel



antigenantibodi



Penyakit Kompleks imun yang Sistemik Patogenesis penyakit sistem kompleks imun dapat dibagi menjadi tiga fase: (1) pembentukan kompleks antigen-antibodi di dalam peredaran dan (2) pengendapan kompleks imun pada berbagai jaringan, yang dapat berkembang menjadi (3) suatu reaksi inflamasi pada berbagai tempat di dalam tubuh (Gambar 4-11). Penyakit serum akut adalah prototip suatu penyakit sistem kompleks imun. Penyakit tersebut pertama kali diuraikan pada manusia ketika serum asing dalam jumlah banyak disuntikkan untuk imunisasi pasif (contoh pada orang yang menerima serum kuda yang mengandungi antibodi terhadap difteri); kelainan itu sekarang jarang ditemukan (contoh pada penderita yang mendapat suntikan globulin antitimosit baik berasal dari kelinci maupun dari kuda untuk pengobatan anemia aplastik atau penolakan jaringan cangkok, atau penderita gigitan ular yang diberi antibodi terhadap racun ular yang dibuat pada binatang). Walaupun penyakit serum tidak lazim lagi, penelitian tentang patogenesisnya bermanfaat menjelaskan mekanisme penyakit kompleks imun pada manusia. Kira-kira 5 hari setelah suntikan protein asing, antibodi spesifik diproduksi; ini bereaksi dengan antigen yang masih ada di dalam sirkulasi untuk membuat kompleks antigen-antibodi. Kompleks tersebut mengendap pada pembuluh darah di dalam berbagai komponen jaringan, yang memicu reaksi radang yang menyebabkan cedera/jejas.



Vaskulitis kutis



Pengendapan Neutrofil



Kompleks Imun



Komplemen



Kompleks antigen



Inflamasi dan Jejas Jaringan Diperantarai Kompleks Imun



antibodi



Agregasi trombosit



Vaskulitis Enzim lisosom neutrofil



Gambar 4-11 Penyakit Kompleks imun; Urutan fase pada induksi penyakit diperantarai kompleks imun (hipersensitivitas tipe III) sistemik.



Segera setelah kompleks diendapkan pada jaringan. akan terjadi fase ketiga (reaksi inflamasi). Selama fase ini sekitar 10 hari setelah pemberian antigen), gambaran klinis seperti demam, urtikaria, artalgia, pembesaran kelenjar getah bening dan protenuria terwujud. di manapun kompleks imun mengendap, terjadilah



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun dan oleh karena itu biasanya tidak berbahaya. Kompleks yang paling patogenik dibuat selama fase kelebihan antigen dan berukuran kecil atau menengah dan dibersihkan secara kurang efektif oleh fagosit sehingga beredar lebih lama. Di samping itu, muatan dari kompleks, valensi antigen, aviditas antibodi dan hemodinamika dari jaringan vaskular tertentu semua memengaruhi kecenderungan berkembang menjadi penyakit. Tempat-tempat yang mempermudah pengendapan adalah ginjal, sendi dan pembuluh darah kecil di berbagai jaringan. Lokalisasi pada ginjal dan sendi dijelaskan sebagian oleh tekanan hemodinamik tinggi terkait dengan fungsi filtrasi dari glomerulus dan sinovium. Agar supaya kompleks dapat keluar dari sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh diperlukan peningkatan permeabilitas vaskular. Ini mungkin dipicu oleh ikatan kompleks imun ke leukosit atau sel mast melalui reseptor Fc dan C3, yang merangsang pelepasan mediator dan peningkatan permeabilitas pembuluh. Kerusakan jaringan yang khas. Kompleks imun mengaktifkan sistem komplemen, diikuti oleh pelepasan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan bersifat kemotaksis untuk neutrofil dan monosit (Bab 2). Kompleks tersebut juga berikatan dengan reseptor Fc y pada neutrofil dan monosit, dan mengaktifkan mereka. Fagositosis kompleks imun yang diupayakan oleh leukosit menghasilkan sekresi berbagai zat proinflamasi tambahan, termasuk prostaglandin, peptida vasodilator, dan zat kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencernakan membran basal, kolagen, elastin dan tulang rawan, serta spesies oksigen reaktif yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun dapat juga menyebabkan agregasi trombosit dan aktivasi faktor Hageman, yang keduanya menyebabkan pembentukan mikratrombus yang menyebabkan jejas jaringan karena iskemi lokal (Gambar 4-11). Lesi patologis yang dihasilkan disebut vaskulitis apabila terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis bila terjadi pada glomerulus ginjal, artritis bila terjadi pada sendi dan seterusnya. Dapat diperkirakan, kelas antibodi yang menyebabkan lesi semacam itu adalah antibodi yang memfiksasi komplemen (contoh IgG dan IgM) dan antibodi yang berikatan dengan reseptor Fc (IgG). Selama fase aktif dari penyakit, konsumsi komplemen dapat menyebabkan penurunan kadar komplemen. Peranan inflamasi yang bergantung kepada komplemen dan reseptor Fc dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh observasi bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental dan "knock-out" reseptor Fc pada mencit sangat mengurangi keparahan Iesi, seperti yang disebabkan pengurangan neutrofil.



MORFOLOGI Gambaran morfologik jejas kompleks imun didominasi oleh vaskulitis akut yang disertai nekrosis, mikrotrombi, dan nekrosis iskemik yang disertai inflamasi akut dari organ yang terjangkiti. Dinding pembuluh yang mengalami nekrosis menunjukkan gambaran suram eosinofilik yang disebut nekrosis fibrinoid, disebabkan oleh pengendapan protein (lihat Gambar 1-13, Bab I).



117



Kompleks imun dapat dilihat di dalam jaringan, biasanya pada dinding vaskular (contoh deposit semacam itu di ginjal pada lupus ditunjukkan pada Gambar 4-18, E). Setelah beberapa waktu, lesi cenderung mereda, terutama apabila mereka disebabkan oleh pemajanan tunggal terhadap antigen (contoh pada penyakit serum akut atau glomerulonefritis post streptokokus) (Bab 13). Walaupun demikian penyakit kompleks imun kronik berkembang bila terjadi anti genernia persisten atau pemajanan antigen berulang. Ini terjadi pada beberapa penyakit manusia, lupus eritematosus sistemik (SLE). Paling sering, walaupun perubahan morfologik yang terjadi dikaitkan dengan mekanisme penyakit imun, tetapi antigen penyebabnya tidak diketahui.



Penyakit Kompleks imun Setempat Model penyakit kompleks imun setempat adalah reaksi Arthus, yaitu timbulnya reaksi nekrosis jaringan disebabkan oleh vaskulitis akut sebagai akibat kompleks imun. Reaksi tersebut secara eksperimen dapat ditimbulkan dengan menyuntikkan antigen ke dalam kulit hewan yang sebelumnya diberikan imunisasi (contoh antibodi terhadap antigen telah berada dalam peredaran). Oleh karena kelebihan antibodi pada waktu awal, maka kompleks imun terjadi ketika antigen terdifusi ke dalam dinding vaskular; zat ini diendapkan pada tempat suntikan dan memicu reaksi inflamasi dan reaksi jaringan yang sama dengan penyakit kompleks imun yang sistemik. Reaksi Arthus berkembang setelah beberapa jam dan mencapai puncak 4 sampai 10 jam pasca suntikan, pada saat tempat suntikan mengalami edema, kadang-kadang disertai ulserasi.



RINGKASAN Potogenesis Penyakit yang Disebabkan Antibo di dan Kompleks Imun • Antibodi dapat melapisi (opsonisasi) sel, dengan atau tanpa protein komplemen, dan mengarahkan sel tersebut untuk difagositosis oleh makrofag, yang memaparkan reseptor untuk ekor Fc dari molekul IgG dan protein komplemen. Hasilnya adalah pemusnahan sel yang teropsoninasi. • Antibodi dan kompleks imun mungkin mengendap di dalam jaringan atau pembuluh, dan menimbulkan reaksi inflamasi akut, disertai pelepasan hasil pemecahan atau bergabung dengan reseptor Fc pada leukosit. Reaksi inflamasi menyebabkan jejas jaringan. • Antibodi dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel atau molekul esensial, dan menyebabkan kelainan fungsional (baik inhibisi atau aktivasi yang tidak teratur) tanpa jejas sel.



Hipersensitivitas Berdasarkan Reaksi Sel T (Hipersensitivitas Tipe IV) Beberapa kelainan autoimun, demikian juga reaksi patologis terhadap bahan kimiaun lingkungan dan mikroba yang bersifat menetap, sekarang diketahui disebabkan oleh reaksi sel T (Tabel 4-5). Terjadinya dan makna jejas jaringan yang diperantarai oleh Iimfosit T telah dikenal setelah perbaikan



118



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Table 4–5 Penyakit yang Diperantarai Sel T*



Mekanisme Pokok dari Jejas Jaringan



Manifestasi Klinikopatologis



Inflamasi yang diperantarai oleh sitokin THI7 (dan THI?); peranan antibodi dan kompleks imun? Inflamasi yang diperantarai oleh sitokin THI dan THI7, destruksi mielin oleh makrofag yang teraktifkan



Artritis kronik dengan inflamasi, destruksi tulang rawan sendi dan tulang Demielinisasi pada SSP dengan inflamasi perivaskular; paralisis, lesi okular



Antigen sel β pankreas (insulin, dekarboksilase asam glutamat, lainlain) Tiroglobulin, protein tiroid lain



Inflamasi yang diperantarai sel T, destruksi sel pulau Langerhans oleh CTL



Insulitis (inflamasi kronik pulau Langerhans), destruksi sel β; diabetes



Inflamasi, kematian sel epitel tiroid yang diperantarai CTL



Hipotiroidisme



Bakteri enterik; antigen diri?



Inflamasi yang diperantarai terutama oleh sitokin THI7



Inflamasi kronik intestinal, ulserasi, obstruksi



Penyakit



Spesifitas Sel T Patogenik



Artritis reumatoid



Kolagen?; protein citrullinated?



Sklerosis multipel



Antigen protein pada mielin (contoh myelin basic protein)



Diabetes melitus tipe I Tiroiditis Hashimoto Inflammatory bowel disease Autoimun miokarditis Sensitivitas kontak



diri



jenis



Protein rantai berat miosin Berbagai zat kimiawi lingkungan (e.g. uroshiol dari racun tanaman-poison ivy poison oak)



Sel miokardium yang dibunuh oleh CTL; inflamasi yang dimediasi oleh sitokin THI Inflasi yang diperantarai oleh sitokin THI (dan THI7?)



Cardiomyopathy Nekrosis epidermis, inflamasi kulit dengan bercak kemerahan kulit dan lepuh-lepuh



* Contoh penyakit manusia yang diperantarai sel T diberikan dalam daftar. Pada banyak kasus, spesifisitas sel T dan mekanisme jejas jaringan dicantumkan berdasarkan kemiripan terhadap penyakit pada model binatang percobaan CNS, central nervous system (sistem saraf pusat); CTL, cytotoxic T lymphocyte (limfosit T sitotoksik).



metode mendeteksi dan memurnikan sel T dari sirkulasi dan lesi penyakit. Golongan penyakit ini sangat menarik perhatian klinis karena banyak dari terapi biologis yang dirancang untuk penyakit radang yang berdasarkan reaksi imun telah dikembangkan untuk melawan reaksi sel T yang abnormal. Dua jenis reaksi sel T yang dapat menyebabkan jejas jaringan dan penyakit: 1). radang yang disebabkan oleh sitokin, yang terutama diproduksi oleh sel T CD4+, dan 2). sitotoksisitas sel langsung, yang diperantarai oleh sel T CD8+ (Gambar 4-12). Dalam inflamasi, yang dicontohkan oleh hipersensitivitas lambat, sel T CD4+ dari subset TH1 dan TH17 mensekresikan sitokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan sel lain, terutama makrofag yang merupakan efektor utama pada jejas. Dalam sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ yang bersifat sitotoksik berperan dalam kerusakan jaringan.



Reaksi inflamasi yang Dipicu oleh Sel T CD4+ Urutan peristiwa dalam reaksi inflamasi yang diperantarai sel T dimulai dengan pemajanan pertama terhadap antigen dan pada dasarnya sama seperti reaksi imunitas seluler (Gambar 4-4). Limfosit T CD4+ yang naif mengenaI antigen peptida dari diri atau protein mikroba yang bergabung dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel dendrit (atau makrofag) yang memproses antigen. Apabila sel dendrit memproduksi IL-12 maka sel T yang naif berdiferensiasi menjadi sel efektor dari jenis TH1. Sitokin IFN-y yang dibuat sel NK dan sel TH1 sendiri, menunjang diferensiasi sel TH1 lebih lanjut dan membuat lingkaran umpan balik yang positif. Apabila APC memproduksi 11-1, IL-6 atau IL-23, yang seharusnya IL-12, maka sel CD4+ berdiferensiasi menjadi efektor TH17. Pemajanan kepada antigen selanjutnya sel efektor yang sudah terjadi ditarik ketempat pemajanan antigen dan diaktifkan terhadap antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 mensekresikan IFN-γ, yang merupakan sitokin paling kuat yang bersifat mengaktifkan makrofag. Makrofag yang teraktivasi



mempunyai aktivitas fagositik dan mikrosidal yang meningkat. Makrofag yang teraktivasi juga memaparkan molekul MHC kelas II dan kostimulator lebih banyak yang menunjang kapasitas penyajian antigen, mensekresikan IL-12 lebih banyak sehingga meningkatkan reaksi sel TH1. Pada aktivasi oleh antigen, sel TH17 mensekresikan IL-17 dan sitokin lain, yang mengatifkan neutrofil (dan monosit) yang menyebabkan inflamasi. Karena sitokin yang dihasilkan sel T rneningkatkan pemanggilan dan aktivitas leukosit maka reaksi radang menjadi kronik kecuali bila penyebabnya atau siklusnya diputus dengan pengobatan. Ternyata, inflamasi terjadi sebagai reaksi dini terhadap mikroba dan sel mati (Bab 2), tetapi sangat meningkat dan diperpanjang bila sel T terlibat. Hipersensitivitas lambat (DTH), yang diuraikan kemudian, adalah gambaran model inflamasi dan jejas jaringan yang diperantarai sel T. Reaksi yang sama menjadi dasar timbulnya beberapa penyakit. Dermatitis kontak adalah suatu contoh jejas jaringan yang dihasilkan oleh reaksi radang yang diperantarai sel T. Penyakit ini dipicu oleh kontak dengan pentadecylcatechoI (juga dikenal sebagai urushiol, bahan aktif dari racun ivy dan racun oak, yang mungkin menjadi antigenik karena bergabung dengan protein tuan rumah). Pada pemajanan kembali dari individu yang telah terpajan sebelumnya terhadap tanaman tersebut, sel T CD4+ menumpuk di dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen di dalam dermis. Di sini mereka melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, mencerai-beraikan mereka dan membentuk vesikel, dan inflamasi yang berwujud sebagai dermatitis vesikular. Telah lama dipikirkan bahwa beberapa penyakit sistemik, seperti diabetes tipe I dan sklerosis multipel, disebabkan oleh reaksi sel TH1 dan TH17 terhadap antigen diri, dan penyakit Crohn mungkin disebabkan reaksi tidak terkendali dari limfosit T yang sama terhadap antigen bakteri intestinal. Inflamasi yang diperantarai sel T memainkan peranan pada penolakan jaringan transplan, yang akan diuraikan kemudian pada bab ini.



Reaksi Hipersensitivitas: Mekanisme Jejas/Cedera Berdasarkan Reaksi Imun 119 Inflamasi diperantarai sitokin Sel T CD4+



Sitokin



APC menyajikan antigen jaringan



Inflamasi



Jejas jaringan Jaringan normal



A



Sitolisis diperantarai sel T CTL CD8+ Pembunuhan sel dan jejas jaringan



B Gambar 4--12 Mekanisme reaksi hipersensitivitas diperantarai sel T (tipe IV). A, Pada reaksi inflamasi diperantarai sitokin, reaksi sel T CD4+ terhadap antigen jaringan melalui sekresi sitokin yang merangsang inflamasi dan mengaktifkan fagosit, yang menyebabkan jejas jaringan. B, Pada sebagian penyakit, CTL CD8+ langsung membunuh sel jaringan. APC, antigen-presenting cell (sel penyaji antigen); CTLs, cytotoxic T lymphocytes (limfosit T sitotoksik).



Hipersensitivitas Lambat (HL) Hipersensitivitas lambat (HL) adalah reaksi yang diperantarai sel T yang berkembang sebagai reaksi terhadap tantangan antigen pada individu yang sebelumnya telah terangsang. Sebaliknya dengan hipersensitivitas, reaksi HL tertunda selama 12 jam sampai 48 jam, yang diperlukan untuk mendatangkan sel T efektor ketempat tantangan antigen dan diaktifkan serta mensekresikan sitokin. Contoh klasik dari HL adalah reaksi tuberkulin, yang dipicu oleh tantangan dengan ekstrak protein M. tuberculosis (tuberkulin) pada seseorang yang sebelumnya telah terpajan terhadap basil tuberkulosis. Antara 8 sampai 12 jam setelah suntikan tuberkulin Intra kutis, tampak suatu area eritema setempat dan indurasi, yang mencapai puncak (khasnya berdiameter 1 cm sampai 2 cm) dalam 24 jam sampai 72 jam, yang kemudian berangsur menurun. Pada pemeriksaan histologis, reaksi HL mempunyai ciri berupa penumpukan perivaskular "cuffing" sel T penolong CD4+ dan makrofag (Gambar 4-13). Sekresi sitokin setempat menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, yang menimbulkan edema kulit dan pengendapan fibrin yang merupakan mekanisme utama dari indurasi jaringan. Reaksi HL terutama dihasilkan oleh aktivasi sel TH1, sedangkan peranan seI TH17 tidak jelas. Reaksi tuberkulin digunakan untuk menapis orang-orang yang pernah terpajan oleh tuberkulosis, sehingga di dalam peredaran darahnya terdapat sel T memori yang bereaksi terhadap protein mikobakterium. Sebagai catatan, imunosupresi atau kehilangan sel T CD4+ (contoh sebagai akibat infeksi HIV) menyebabkan reaksi tuberkulin negatif bahkan pada infeksi yang parah. Reaksi HL yang berlangsung lama terhadap mikroba yang menetap atau stimulus lain dapat menyebabkan pola reaksi morfologik yang khusus



yang disebut inflamasi granulomatasa. Infiltrat perivaskular yang semula terdiri dari sel T CD4+ secara cepat diganti oleh makrofag dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Penumpukan makrofag ini secara khas memperlihatkan bukti morfologik dari aktivasi; yaitu mereka menjadi besar, datar, dan eosinofilik, dan disebut sel epiteloid. Sel epiteloid tersebut kadang-kadang berfusi karena pengaruh sitokin (contoh 1FN-γ) untuk membentuk sel datia berinti banyak. Agregat mikroskopik dari sel-sel epiteloid secara khas dikelilingi oleh kelim limfosit, disebut granuloma (Gambar 4-14, A). Proses tersebut adalah pada dasarnya sebagai bentuk inflamasi yang diperantarai sel T dan aktivasi makrofag (Gambar 4-14, B). Granuloma yang lebih lama membentuk kelim fibroblas dan jaringan ikat. Pengenalan granuloma penting untuk diagnostik karena jarang terjadi (Bab 2).



Sitotoksisitas yang Diperantarai Sel T Pada bentuk jejas jaringan yang diperantarai sel T, CTL CD8+ membunuh sel sasaran yang memaparkan antigen. Seperti yang dibahas lebih dahulu, molekul MHC kelas I berikatan dengan antigen peptida intrasel dan menyajikan peptida tersebut kepada limfosit T CD8+, merangsang diferensiasi sel T menjadi sel efektor yang disebut CTL. Sel-sel jenis CTL mempunyai peranan yang penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus dan beberapa jenis tumor. Mekanisme dasar dari daya bunuh CTL bergantung kepada sistem perforin-granzim. Perforin dan granzim disimpan di dalam granula dari CTL dan dilepaskan secara cepat ketika CTL bergabung dengan sel sasaran (sel yang mengandungi molekul MHC kelas 1 yang mengikat peptida yang tepat). Perforin berikatan



120



BAB4



Penyakit Sistem Imun



PENYAKIT AUTOIMUN Reaksi imun terhadap antigen diri (contoh autoimunitas) adalah penyebab yang mendasari banyak penyakit pada manusia. Penyakit autoimun pada saat ini diperkirakan menjangkiti 2% sampai 5% penduduk di negara berkembang, dan angka kejadiannya tampak meningkat. Bukti bahwa penyakit ini benar diakibatkan oleh reaksi autoimun lebih bersifat memuaskan dalam menjelaskan beberapa penyakit tertentu. Sebagai contoh, pada banyak kelainan, banyak jenis autoantibodi dengan afinitas tinggi telah ditetapkan,



A



B



Gambar 4--13 Reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit. A, Akumulasi perivascular cuffing dari sel radang mononukleus (limfosit dari makrofag), dengan edema dermal terkait dan pengendapan fibrin. B, Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan sebukan sel perivaskular mencolok yang terwarnai positif dengan antibodi anti-CD4. (B, Sumbangan dari Dr. Louis Picker, Department of Pathology, Oregon Health & Science University, Portland, Oregon.)



A dengan membran plasma dari sel sasaran dan mendukung masuknya granzim, yang bersifat protease yang memecah secara spesifik dan mengaktifkan kaspase seluler. Enzim-enzim tersebut menginduksi kematian apoptotik dari sel sasaran (Bab 2). CTL memainkan peranan penting dalam reaksi penolakan transplantasi organ padat dan mungkin berperan pada banyak penyakit imunologi , seperti diabetes tipe I (di mana sel B pulau-pulau pankreas yang memproduksi insulin dirusak oleh reaksi autoimun sel T). Sel T CD8+ mungkin juga mensekresi IFN-γ dan membantu reaksi inflamasi yang diperantarai sitokin, tetapi tidak sekuat sel T CD4+,



Sel penyaji antigen



CD4+ Sel TH1 Sel epiteloid



IFN-γ



• Inflarnasi yang diperantarai sitokin: sel T CD4+ diaktifkan oleh pajanan terhadap antigen protein dan berdiferensiasi menjadi sel efektor TH1 dan TH17. Pajanan berikutnya terhadap antigen mengakibatkan sekresi sitokin. IFN-γ mengakibatkan makrofag untuk memproduksi zat-zat yang menyebabkan kerusakan jaringan dan menunjang reaski fibrosis, dan IL-17 serta sitokin lain yang dapat mendatangkan leukosit, sehingga mendukung reaksi inflamasi.



Dengan mekanisme dasar dari reaksi imun yang patologis sebagai latar belakang, sekarang kita melanjutkan pemikiran tentang dua kategori reaksi yang mempunyai kepentingan klinis yang besar: autoimunitas dan reaksi penolakan jaringan.



Sel datia



TNF



RINGKASAN Mekanisme Reaksi Hipersensitivas yang Diperantarai Sel T



• Sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T: CTL CD8+ yang spesifik terhadap antigen mengenal sel yang memaparkan antigen sasaran yang membunuh sel-sel tersebut. Sel T CD8+ juga mensekresi IFN-γ.



IL-12



Antigen



Monosit Fibroblas



B



Limfosit



Makrofag



Gambar 4--14 Inflamasi granulomatosa. A, Sayatan kelenjar getah bening menunjukkan beberapa granuloma, masing-masing tersusun oleh agregat sel epiteloid dan dikelilingi oleh limfosit. Granuloma di pusat menunjukkan beberapa sel datia multinukleus. B, Beberapa kejadian yang menimbulkan pembentukan granuloma pada reaksi hipersensitivitas tipe IV. Perhatikan peranan sitokin yang berasal dari sel T. (A, Sumbangan dari Dr. Trace Warrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



Penyakit Autoimun Tabel 4–6 Penyakit Autoimun



Khas-Organ



Sistemik



Penyakit yang Diperantarai Antibodi Anemia hemolitik autoimun



Lupus eritematosus sistemik



Trombositopenia autoimun Gastritis atrofik autoimun dari anemia pernisiosa Miastenia gravis Penyakit Graves Sindrom Goodpasture



Penyakit yang Diperantarai Sel T* Diabetes melitus tipe I



Artritis neumatoid



Sklerosis multipel



Sklerosis sistemik (skleroderma)



Tiroiditis Hashimoto



Sindrom Sjogren



Penyakit Crohn



Penyakit yang Dipostulatkan sebagai Penyakit Berdasarkan Autoimun† Sirosis billier primer



Poliarteritis nodosa



Hepatitis (kronik aktif) autoimun



Miopati Inflamasi



* Peranan sel T telah dibuktikan pada kelainan-kelainan tersebut, tetapi antibodi juga terlibat pada jejas jaringan †Dasar autoimun untuk kelainan-kelainan ini diduga, tetapi bukti penunjangnya. tidak kuat.



dan pada beberapa kasus antibodi ini diketahui menyebabkan abnormalitas patologis (Tabel 4-6). Hal yang mirip, terkait kemajuan teknologi yang membuktikan adanya sel T reaktif terhadap diri yang bersifat patogen telah ditetapkan pada beberapa penyakit tersebut. Lagi pula, bukti eksperimental juga mendukung proses penyakit dengan reaksi autoimun sebagai faktor penyebab. Walaupun dernikian, secara jujur banyak penyakit yang lazimnya digolongkan penyakit autoimun, baru diduga tetapi tidak dibuktikan. Penyakit autoimun yang diduga berkisar dari penyakit yang dikaitkan dengan reaksi imun terhadap satu organ tertentu atau jenis sel tertentu dan menyebabkan kerusakan jaringan setempat, sampai penyakit sistemik ganda yang ditandai oleh lesi pada berbagai organ dan berhubungan dengan auto-antibodi ganda atau reaksi yang diperantarai sel T terhadap banyak antigen diri. Pada banyak penyakit sistemik yang disebabkan kompleks imun dan auto antibodi, Iesi menjangkiti terutama jaringan ikat dan pembuluh darah dari berbagai organ yang terjangkiti. Oleh karena itu, penyakit tersebut sering disebut sebagai penyakit "vaskular kolagen" atau "jaringan ikat", walaupun reaksi imunologi tidak secara khusus ditujukan terhadap unsur jaringan ikat atau pembuluh darah. Individu normal tidak bereaksi (toleran) terhadap antigen diri (self) sendiri, dan autoimunitas dihasilkan oleh kegagalan toleransi diri. Oleh karena itu, pengertian patogenesis autoimunitas memerlukan kelaziman tentang mekanisme toleransi imunologi yang normal.



Toleransi Imunologi Toleransi imunologi adalah ketidaktnampuan bereaksi terhadap antigen itu yang diinduksi oleh pemajanan limfosit yang spesifik terhadap antigen. Toleransi-diri merupakan kekurangan reaksi imun terhadap



121



antigen jaringan yang berasal dari dirinya sendiri. Beribu juta reseptor antigen yang berbeda dibuat secara acak dalam perkembangan limfosit T dan B. dan tidak mengherankan bahwa selama proses ini, reseptor dibuat yang dapat mengenal antigen diri. Oleh karena antigen ini tidak semuanya dapat dilindungi dari sistem imun, maka harus ada cara menyingkirkan atau mengatur limfosit yang bereaksi terhadap diri. Beberapa mekanisme bekerja bersama untuk memilih reaksi terhadap diri, dan mencegah reaksi imun terhadap antigen yang berasal dari tubuh sendiri. Mekanisme ini secara luas dibagi dalam dua golongan: toleransi sentral dan toleransi perifer (Gambar 4-15). Toleransi sentral. Mekanisme toleransi sentral adalah penyingkiran (kematian) yang diinduksi oleh antigen dari limfosit T dan B yang reaktif terhadap diri selama pematangan di dalam organ limfoid sentral (generatif) (contoh di dalam timus untuk sel T dan di dalam sumsum tulang untuk sel B). Di dalam timus, banyak antigen protein yang autolog (diri) diproses dan disajikan oleh APC timus yang berkaitan dengan MHC diri. Sel T yang belum matang yang mengenal antigen diri semacam itu rnengalamai apoptosis (suatu proses yang disebut delesi atau seleksi negatif), dan sel T yang melengkapi kematangannya akan dikurangi dari sel yang reaktif terhadap diri (Gambar 4-15). Kemajuan yang menarik adalah ditetapkannya faktor transkripsi sementara yang menginduksi pemaparan antigen jaringan perifer di dalam timus. Oleh karena itu timus berlaku sebagai sebuah cermin imunologi dari antigen diri. Salah satu faktor itu disebut regulator autoimun/ autoimmune regulator (AIRE). Mutasi gen AIRE berperan pada sindrom autoimun poliendokrin yang mehebatkan sel T yang khas bereaksi terhadap antigen diri ganda yang menghindari delesi (mungkin karena antigen diri tidak terpapar di dalam timus), dan menyerang jaringan yang memaparkan antigen diri. Sebagian sel T yang mengenal antigen diri di dalam timus tidak punah tetapi berdiferensiasi menjadi sel T regulator, akan diuraikan kemudian. Sel B yang belum matang yang mengenal antigen diri dengan afinitas tinggi di dalam sumsum tulang juga disingkirkan tetapi mungkin juga mengalami kematian melalui apoptosis. Sebagian sel B yang reaktif terhadap diri mungkin tidak disingkirkan tetapi mungkin mengalami pengaturan kembali gen reseptor tahap kedua dan kemudian memaparkan reseptor baru yang tidak bersifat reaktif terhadap diri lagi (suatu proses yang disebut "penyuntingan reseptor"/ receptor editing). Sayang sekali, proses penyingkiran limfosit yang reaktif diri tidak sempurna. Banyak antigen diri mungkin tidak ada di dalam timus, sehingga sel T yang menyandang reseptor untuk autoantigen tersebut dapat melepaskan diri ke daerah perifer. Terdapat "ketergelinciran" (slippage) yang mirip juga pada sistem sel B dan sel B yang menyandang reseptor untuk berbagai antigen diri, termasuk tiroglobulin, kolagen, dan DNA, dapat dijumpai pada orang sebat. Toleransi perifer. Sel T yang reaktif terhadap diri yang lolos dari seleksi negatif di dalam timus berpotensi dapat membahayakan, kecuali mereka disingkirkan atau musnah secara efektif. Beberapa mekanisme pada jaringan perifer yang tidak menunjukkan kelainan dijumpai sel T yang berpotensi autoreaktif (Gambar 4-15): • Attergi. Istilah ini menunjukkan inaktivasi fungsional (bukan kematian) dari limfosit yang berkontak dengan antigen dalam kondisi tertentu. Seperti diuraikan sebelumnya, aktivasi sel T memerlukan dua isyarat: pengenalan antigen peptida terkait dengan molekul MHC diri pada APC, dan satu perangkat isyarat kedua yang bersifat kostimulator



122



BAB4



Penyakit Sistem Imun



TOLERANSI SENTRAL



Sel T



Sel B



APC menyajikan



T



antigen



B



Delesi T



Timus



Delesi Penyuntingan



Perkembangan sel



Treg



reseptor



B



Sumsum



T regulator



tulang



TOLERANSI PERIFER



T Anergi



T



(gagal Treg



bereaksi)



B



Anergi (gagal bereaksi)



T Supresi oleh Treg



B



APC menyajikan antigen diri



Delesi



Gambar 4--15 Toleransi-diri imunologi; Mekanisme dasar toleransi-diri tipe sentral dan perifer dari sel T dan B.



(contoh melalui molekul B7) yang diberikan oleh APC. Apabila isyarat kedua yang bersifat kostimulator tidak dikirimkan, atau apabila reseptor penghambat (bukan reseptor kostimulator) pada sel T terlibat pada saat kontak dengan antigen diri, sel T menjadi anergik dan tidak dapat bereaksi terhadap antigen (Gambar 4-15). Karena molekul kostimulator tidak terpapar secara kuat pada sebagian besar jaringan normal, kontak antara sel T autoreaktif dan antigen diri pada jaringan mungkin menyebabkan anergi. Sel B dapat juga menjadi anergik apabila mereka berkontak dengan antigen tidak disertai adanya sel T penolong yang spesifik. • Penekanan oleh sel T reguIator: Reaksi limfosit T terhadap antigen diri dapat ditekan secara aktif oleh sel T regulator. Populasi utama dari sel T regulator memaparkan CD25, salah satu rantai dari reseptor untuk IL-2 dan memerlukan IL-2 untuk perkembangan dan ketahanan hidupnya. Sel-sel ini juga memaparkan faktor transkripsi unik yang disebut FOXP3. Protein ini perlu untuk perkembangan sel regulator, mutasi gen FOXP3 menyebabkan penyakit autoimun sistemik yang disebut IPEX (immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked syndrome), yang berhubungan dengan defisiensi seI T regulator. Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana sel T regulator mengendalikan reaksi imun, termasuk sekresi sitokin imunosupresif [contoh IL-10, TGF (transforming growth factor-13)], yang dapat menghambat berbagai reaksi sel T dan hambatan kompetitif molekul B7 pada APC. • Kematian sel yang dipicu aktivasi: Mekanisme lain dari toleransi perifer melibatkan apoptosis dari limfosit yang matang sebagai akibat dari pengenalan antigen diri. Suatu mekanisme apoptosis melibatkan reseptor kematian Fas



(suatu anggota dari keluarga reseptor TNF), yang dapat diaktifkan oleh ligand terkait yang dipaparkan pada sel yang sama atau sel di sekitarnya. Jalur yang sama penting untuk pemusnahan sel B yang reaktif terhadap antigen diri oleh ligand Fas yang terpapar pada sel T. Pentingnya jalur ini dalam toleransi diri digambarkan oleh penemuan mutasi gen FAS yang menyebabkan penyakit autoimun yang disebut autoimmune lymphoprolipherative syndrome (ALPS), yang ditandai oleh limfadenopati dan auto antibodi ganda termasuk anti DNA. Cacat dalam Fas dan ligand Fas juga merupakan penyebab penyakit autoimun yang mirip pada mencit. Jalur mitokondrial dari apoptosis, yang tidak bergantung kepada reseptor kematian, mungkin juga berperan pada penyingkiran limfosit yang reaktif terhadap antigen diri.



Mekanisme dari Autoimunitas Melanjutkan uraian ringkasan tentang mekanisme dasar dari toleransi diri, kita dapat bertanya bagaimana mekanisme tersebut bisa tidak berlaku dan menimbulkan auto imunitas patologis. Sayang sekali, tidak terdapat jawaban sederhana untuk pertanyaan ini, dan penyebab yang mendasari sebagian besar penyakit autoimun pada manusia masih harus ditentukan. Seperti disebutkan sebelumnya, mutasi tertentu dapat berpengaruh negatif terhadap satu jalur atau jalur lain dari toleransi diri dan mengakibatkan autoimunitas patologis. Penelitian tentang mutasi gen tunggal sangat informatif, dan penelitian semacam itu membantu mengukuhkan makna biologis dari berbagai jalur dari toleransi diri. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi semacam itu sebenarnya jarang, dan sebagian besar penyakit autoimun tidak dapat dijelaskan oleh cacat gen tunggal.



Penyakit Autoimun Dapat diyakini bahwa toleransi diri yang tidak berlaku dan perkembangan autoimunitas merupakan akibat dari gabungan penurunan gen-gen kepekaan penyakit, yang memengaruhi toleransi limfosit, dan faktor lingkungan, seperti infeksi atau jejas jaringan, yang mengubah pemaparan antigen diri (Gambar 4-16). Faktor-faktor Genetik pada Autoimunitas Banyak bukti tentang gen kepekaan penyakit yang memainkan peranan penting pada perkembangan penyakit autoimun. • Penyakit autoimun mempunyai kecenderungan berjangkit di antara keluarga, dan angka kejadian penyakit yang sama lebih tinggi pada kembar monozigot dibandingkan pada kembar dizigot. • Beberapa penyakit autoimun terkait dengan lokus HLA, terutama alel kelas II (HLA- DR, -DQ). Frekuensi suatu penyakit pada seorang individu dengan alel HLA tertentu, dibandingkan dengan frekuensi pada kelompok yang tidak mempunyai alel tersebut, disebut odds ratio atau relative risk (Tabel 4-7). Risiko relatif berkisar dari 3 atau 4 untuk artritis reumatoid dan HLA-DR, 4 sampai 100 atau lebih untuk ankylosing spondylitis dan HLA-B27. Walaupun demikian, bagaimana gen MHC memengaruhi perkembangan penyakit autoimun masih belum jelas, terutama karena molekul MHC tidak berbeda untuk antigen peptida yang khas diri dan yang asing. Perlu dicatat juga bahwa sebagian besar individu dengan alel MHC yang peka penyakit tidak pemah mengalami suatu penyakit apa pun, dan sebaliknya, individu tanpa alel MHC yang relevan dapat mengalami penyakit. Oleh karena itu, pemaparan gen HLA hanya merupakan salah satu variabel yang menimbulkan autoimunitas. • Penelitian hubungan genom secara luas (genomewide association studies) dan penelitian keterikatan gen (linkage studies) di dalam keluarga dapat mengungkapkan banyak polimorfisme genetik yang berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun (Tabel 4-8). Beberapa dari polimorfisme ini tampaknya berhubungan dengan beberapa penyakit, memberi kesan bahwa gen-gen yang terlibat memengaruhi mekanisme umum dari toleransi diri dan regulasi imunologi. Yang lain bersifat khas penyakit dan mungkin memengaruhi sensitivitas organ akhir atau memaparkan antigen diri tertentu. Banyak yang tertarik untuk mengungkapkan peranan gengen ini pada autoimunitas, dan banyak hipotesis terkait yang diusulkan (Tabel 4-8), tetapi peranan yang pasti dari gen-gen ini pada perkembangan penyakit autoimun tertentu belum dapat dikukuhkan.



Kerentanan



123



Infeksi, kerusakan jaringan



genetik Infeksi, Inflamasi



Gen Jaringan



kerentanan Kegagalan



Aktivasi



toleransi-diri



APC jaringan Influks limfosit reaktif-diri ke dalam



Limfosit



jaringan



reaktif-diri



Aktivasi limfosit reaktif-diri



Jejas jaringan: penyakit autoimun



Gambar 4--16 Patogenesis autoimunitas. Autoimunitas timbul dari pewarisan gen kerentanan yang mempengaruhi toleransi diri, dalam hubungan dengan pemicu lingkungan (infeksi, jejas jaringan, inflmasi) yang mengubah paparan antigen diri, mendukung pemasukan limfosit ke dalam jaringan, dan meningkatkan aktivasi limfosit yang reaktif terhadap diri.



Peranan infeksi dan Jejas Jaringan Berbagai mikroba, termasuk bakteri, mikoplasma dan virus, telah dianggap sebagai pemicu autoimunitas. Mikroba dapat menimbulkan reaksi autoimun melalui beberapa mekanisme:



Tabel 4–7 Hubungan Alel Human Leukocyte Antigen (HLA) dengan penyakit Autoimun



Penyakit



Alel HLA



Artritis reumatoid (anti-CCP Ab-positif)† Diabetes tipe I



DRB1 Haplotip DRB1*0301-DQA1*0501-DQB1*0201 Haplotip DRB1*0401-DQA1*0301-DQB1*0302 Haplotip heterozigot DRB1*0301/0401



4 8 35



Sklerosis multipel



DRB1*1501



3



Lupus eritematosus sistemik



DRB1*0301 DRB1*1501



2 1.3



Ankylosing spondylitis



B*27 (terutama B*2705 dan B*2702)



Penyakit seliak



Haplotip DQA1*0501-DQB1*0201



* Ratio Odds (juga disebut risiko relatif) adalah nilai pendekatan dari peningkatan risiko penyakit yang berhubungan dengan pewarisan alel HLA tertentu. Data diambil dari



populasi yang berasal dari Eropa. †Ab anti-CCP, adalah antibodi terhadap cyclic citrullnated peptides. Data berasal dari penderita yang menunjukkan reaksi antibodi positif di dalam serum. Tabel sumbangan dari Dr. Michelle Fernando, Imperial College London.



Ratio Odds* 4–12



100–200 7



124



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Tabel 4–8 Gen-Gen Non-Human Leukocyte Antigen (HLA) Terpilih yang Berhubungan dengan Penyakit Autoimun



Gen yang Diperkirakan Terlibat*



Penyakit



Fungsi yang Dipostulatkan dari Protein yang Disandi dan Peranan Mutasi/ Polimorfisme pada Penyakit



Gen yang Terlibat pada Regulasi Imun PTPN22



RA, T1D, IBD



Protein tirosin fosfatase, mungkin memengaruhi pengiriman isyarat pada limfosit dan mungkin mengubah seleksi negatif atau aktivasi sel T yang reaktif terhadap antigen-diri



IL23R



IBD, PS, AS



Reseptor untuk sitokin IL-23 yang menginduksi THI7; mungkin mengubah diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel efektor THI7 yang patogen



CTLA4



T1D, RA



Menghambat reaksi sel T melalui terminasi aktivasi dan mendukung aktivitas sel T regulator; mungkin memengaruhi toleransi-diri



IL2RA



MS, T1D



Rantai α dari reseptor untuk IL-2, yang merupakan faktor pertumbuhan dan faktor ketahanan hidup untuk sel T yang teraktifkan dan bersifat regulator; mungkin memengaruhi perkembangan sel efektor dan/atau regulasi



Gen yang Terlibat pada Reaksi Imun terhadap Mikroba NOD2



IBD



Sensor sitoplasmik dari dari bakteri terpapar pada sel Paneth dan sel epitel intestinal lain; mungkin mengelola resistensi terhadap bakteri komensal usus



ATG16



IBD



Terlibat pada autofagi; mungkin berperan pada pertahanan terhadap mikroba dan pemeliharaan fungsi barrier epitel



IRF5, IFIH1



SLE



Peranan pada produksi IFN tipe I, terlibat pada patogenesis SLE (lihat naskah)



* Kemungkinan keterkaitan gen-gen tersebut dengan berbagai penyakit autoimun telah ditetapkan dengan genome-wide association studies (GWAS) dan cara-cara lain untuk mempelajari polimorfisme yang berhubungan dengan penyakit. Diambil dari Zenewicz L, Abraham C, Flavell RA, Cho J; Unraveling the genetics of autoimmunity. Cell 140;791, 2010. AS, ankylosing spondylitis, IBD, inflammatory bawel disease; IFN, interferon; Ms, multiple sclerosis; PS. psoriasis; RA, rheumatoid arthritis; SLE, systemic lupus erythematosus; TID, type I diabetes.



• Virus dan mikroba lain dapat berbagi epitop yang bereaksi silang dengan antigen diri, sedemikian rupa sehingga reaksi dapat ditimbulkan oleh mikroba tersebut tetapi dapat menyerang jaringan diri. Fenomena ini dikenal sebagai kemiripan molekuler (malecular mimicry). Hal itu merupakan kemungkinan penyebab beberapa penyakit, contoh paling baik adalah penyakit jantung reuma, yang terkait dengan reaksi imun terhadap antigen streptokokus yang bereaksi silang dengan antigen otot jantung. Tidak diketahui apakah ada lagi mimikri yang jelas memainkan peranan pada penyakit autoimun lain. • Infeksi mikroba dengan akibat nekrosis jaringan dan inflamasi dapat menyebabkan peningkatan reaksi motekul kostimulator pada APC pada jaringan, sehingga anergi sel T tidak berlangsung dan disertai aktivasi sel T. Masih dipikirkan ada mekanisme yang mungkin dapat menerangkan bagaimana bahan infektif dapat berperan pada patogenesis autoimunitas. Walaupun demikian, pada saat ini belum ada bukti yang jelas tentang peranan suatu mikroba sebagai penyebab penyakit autoimun pada manusia. Di samping kerumitan tersebut, akhir-akhir ini diduga (terutama berdasarkan data epidemiologik) bahwa infeksi mungkin bahkan secara paradoks melindungi individu yang terinfeksi dari beberapa jenis penyakit autoimun, yaitu diabetes tipe I dan sklerosis multipel. Mekanisme yang mungkin mendasari pengaruh tersebut belum dimengerti. Pemaparan antigen jaringan dapat diubah oleh berbagai rangsangan lingkungan, tidak hanya infeksi. Seperti dibahas kemudian, penyinaran ultraviolet (UV) menyebabkan kematian sel dan dapat diikuti pemajanan antigen nukleus, yang menimbulkan reaksi imun patologis pada lupus; mekanisme ini diusulkan sebagai penjelasan tentang hubungan ruam lupus dengan pajanan sinar matahari. Merokok merupakan faktor risiko untuk artritis reumatoid, mungkin karena menyebabkan modifikasi kimiawi dari antigen diri. Jejas jaringan setempat dapat disertai pelepasan antigen diri dan reaksi autoimun. Akhirnya, terdapat ketidakserasian (bias) antar keIamin pada autoimunitas, yaitu penyakit ini lebih sering pada wanita daripada pria. Mekanisme yang mendasari masih belum dimengerti,



dan mungkin termasuk pengaruh hormon dan faktor lain. Reaksi autoimun justru dapat memicu serangan autoimun lebih Ianjut. Jejas jaringan yang disebabkan reaksi autoimun atau suatu sebab lain dapat diikuti pemajanan epitop antigen diri yang semula terselubung tetapi sekarang terpapar kepada sel T dalam bentuk yang imunogenik. Aktivasi sel T yang autoreaktif tersebut disebut "penyebaran epitop' (epitope spreading), karena reaksi imun menyebar ke epitop yang semula tidak dikenal. lni adalah salah satu mekanisme yang menyebabkan penyakit autoimun menjadi kronik.



RINGKASAN Toferansi Imunologi dan Autoimunitas • Toleransi (sifat tidak bereaksi) terhadap antigen diri merupakan perangai dasar dari sistem imun, dan kehilangan toleransi adalah dasar dari penyakit autoimun. • Toleransi sentral: Limfosit yang belum matang yang mengenal antigen diri pada organ limfoid sentral (generatif) dimusnahkan oleh apoptosis; pada jalur sel B sebagian limfosit yang reaktif terhadap diri berganti reseptor antigen dengan yang baru yang tidak reaktif terhadap diri. • Toleransi perifer: Limfosit yang matang yang mengenal antigen diri menjadi tidak aktif secara fungsional (anergi), atau ditekan oleh sel T regulator, atau mengalami kematian apoptosis. • Faktor-faktor yang menimbulkan kegagalan toleransi-diri dan perkembangan automunitas mencakup (1) penurunan gen kepekaan penyakit yang dapat mematahkan jalur toleransi yang berbeda dan (2) infeksi dan perubahan jaringan yang dapat memajankan antigen diri dan mengaktifkan APC dan limfosit di dalam jaringan.



Penyakit Autoimun Satu mekanisme menjadi kronik



yang



menyebabkan



penyakit



autoimun



Setelah membahas prinsip umum dari toleransi dan autoimunitas, kita melanjutkan pembahasan sebagian dari penyakit autoimun yang paling sering dan penting. Walaupun tiap penyakit dibahas terpisah, tumpang tindih jelas dijumpai tentang perangai klinis serologik dan morfologik. Hanya penyakit autoimun yang sistemik yang dibahas dalam bab ini; penyakit autoimun yang menjangkiti sistem organ tunggal lebih tepat dibahas di dalam bab yang terkait dengan organ yang relevan.



Angka kejadian dan prevalensi SLE diperkirakan bervariasi di antara kelompok ras dan suku bangsa; beberapa penelitian memperkirakan prevalensi setinggi 0,2% pada kelompok tertentu. Seperti terdapat pada banyak penyakit autoimun, penyakit ini jauh lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pada pria (kira-kira 9:1), dan menjangkiti 1 di antara 700 wanita usia reproduksi. SLE lebih sering dan parah pada penduduk Amerika berkulit hitam, menjangkiti 1 di antara 245 wanita di kelompok tersebut. Permulaan penyakit biasanya terjadi pada dekade kedua atau ketiga dari kehidupan, tetapi mungkin terwujud pada setiap usia termasuk masa dini kanak-kanak.



Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik/systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi khas dan perilaku klinis bervariasi. Secara klinis, tidak dapat diramalkan, penyakit yang mereda dan kambuh dengan permulaan akut atau berangsur-angsur yang dapat menjangkiti hampir semua organ di badan; walaupun demikian, penyakit tersebut terutama mengenai kulit, ginjal, membran serosum, sendi dan jantung. Secara imunologi, penyakit ini berhubungan dengan berbagai macam autoantibodi, termasuk yang klasik adalah antibodi antinukleus (an tinudear antibody/AN A). Presentasi klinis SLE sangat bervariasi, banyak tumpang tindih dengan penyakit autoimun lain (RA, polimiositis dan lain-lain); sehingga perlu dikembangkan kriteria diagnostik SLE (Tabel 4-9). Diagnosis ditegakkan dengan memenuhi empat atau lebih kriteria selama masa observasi.



125



PATOGENESIS Cacat dasar pada SLE adalah kegagalan untuk mempertahankan toleransi-diri, yang menyebabkan produksi autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan baik secara langsung maupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Seperti terjadi pada penyakit autoimun lain, patogenesis SLE merupakan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan. Penelitian-penelitian mutakhir menghasilkan mekanisme yang menarik tentang patogenesis dari penyakit yang rumit ini (Gambar 4-17). Faktor-faktor genetik. Banyak bukti dari berbagai aspek yang mendukung predisposisi genetik terjadinya SLE. • Hubungan kekeluargaan. Anggota keluarga mempunyai risiko lebih tinggi untuk perkembangan SLE, dan sampai 20% dari saudara sepupu tingkat pertama yang tidak terjangkiti mungkin mempunyai autoantibodi. Terdapat kepekaan tinggi di antara



Tabel 4–9 Kriteria untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik yang telah Direvisi 1997*



Kriteria 1. Ruam Malar



Definisi



4. Ulkus oral



Eritema menetap, datar atau menonjol, di atas eminesi malar, yang cenderung menjauhi lipatan nasolabial Bercak eritema yang menonjol dengan kelainan semacam sisik keratotik yang adheren dan sumbatan folikel; jaringan parut yang atrofik mungkin terjadi pada lesi yang lebih lama Ruam kemerahan yang terjadi sebagai reaksi yang tidak lazim terhadap cahaya matahari, dilaporkan pada riwayat penderita atau observasi dokter Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, ditemukan oleh dokter



5. Artritis



Artritis nonerosif yang menjangkiti dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, sembap, atau efusi



6. Serositis



Pleuritis -- riwayat yang meyakinkan dari nyeri radang pleura atau krepitasi (rub) yang didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura atau Perikarditis -- terekam dengan elektrokardiogram atau krepitasi (rub) atau bukti efusi perikardium



7. Kelainan ginjal



Proteinuria yang menetap > 0,5 g/dL atau > 3+ bila kuantitasi tidak dilakukan atau Cast seluler -- mungkin sel darah merah, hemogoblin, granuler, tubuler atau campuran



8. Kelainan neurologik



Kejang-kejang -- tanpa penyebab obat atau kelainan metabolit yang diketahui, (contoh uremi, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis -- tanpa pengaruh obat atau kelainan metabolit yang diketahui (contoh uremik, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)



2. Ruam discoid 3. Fotosensitivitas



9. Kelainan hematologik



10. Kelainan imunologi



Anemia hemolitik -- dengan retikulosis atau Leukopenia -- < 4,0 x 109/L (4000/mm3) total pada dua atau lebih kesempatan atau Limfopenia -- < 1,5 x 109/L (1500/mm3) pada dua atau lebih kesempatan atau Trombositopenia -- < 100 x 109/L (100 x 103/mm3) tanpa pengaruh obat Antibodi Anti-DNA adalah antibodi terhadap DNA natif pada titer abnormal atau Anti Sm -- adanya antibodi terhadap antigen nukleus Sm atau Penemuan antibodi antifosfolipid positif berdasarkan (1) antibodi antikardiolipin jenis IgG atau IgM dengan kadar abnormal di dalam serum, (2) uji untuk antikoagulan lupus yang positif menggunakan uji baku, atau (3) uji serologik positif palsu untuk sifilis yang diketahui positif selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh hasil negatif dari uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji absorpsi antibodi treponema dengan teknik fluoresensi



11. Antibodi antinukleus



Titer antibodi antinukleus yang abnormal secara imunofluoresensi atau pemeriksaan yang setara pada saat apa pun dan tanpa penggunaan obat yang diketahui berhubungan dengan sindrom lupus yang diinduksi obat



* Klasifikasi yang diusulkan berdasarkan 11 Kriteria. Untuk identifikasi penderita pada uji klinis, seseorang dikatakan menderita systemic lupus erythematosus jika terdapat 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun simultan, selama suatu masa observasi. Dari Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al: The revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 25: 1271, 1982; and Hochberg MC; Updating the American College of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 40; 1725, 1997.



126



BAB4



Penyakit Sistem Imun



GEN KERENTANAN



PEMICU EKSTERNA (contoh sinar UV)



Faktor-faktor lingkungan. Terdapat banyak petunjuk bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada patogenesis SLE.



Apoptosis



Cacat pembersihan jisim-jisim apoptotik T



B



Sel B dan T khas untuk antigen inti



Endositosis kompleks antigenantibodi dan TLR berhubungan dengan antigen inti



Peningkatan beban antigen inti



Antibodi anti-nuklear, kompleks antigenantibodi Sel B



Sel Dendrit



Stimulasi TLR terhadap sel B dan DC Stimulasi sel B dan T oleh IFN



Interferon tipe 1







Sinar ultraviolet (UV), pajanan sinar matahari, menyebabkan munculnya lesi SLE. Landasan mekanisme dari pengaruh ini adalah sinar UV yang menyebabkan apoptosis sel tuan rumah, yang mengakibatkan peningkatan beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi terhadap produk dari sel yang mati.







Mengisap sigaret telah ditunjukkan berhubungan dengan perkembangan SLE. Walaupun mekanismenya belum diketahui,mengisap tembakau dapat memodulasi produksi auto antibodi.







Hormon seks diduga memberikan pengaruh penting terhadap perkembangan penyakit, karena SLE 10 kali lebih sering pada wanita selama masa reproduksi daripada pria pada usia yang sama, tetapi hanya 2 sampai 3 kali lebih sering pada wanita selama masa kanak-kanak atau setelah usia 65 tahun. Walaupun demikian, penggunaan obat kontrasepsi oral yang mengandungi estrogen dan progesteron dosis tinggi tidak memengaruhi frekuensi atau keparahan ruam penyakit, yang menggambarkan bahwa faktor selain hormon yang mungkin menentukan peningkatan risiko penyakit pada wanita.



• Obat-obatan seperti prokainamid dan hidralazin dapat menyebabkan penyakit mirip SLE, walaupun biasanya tidak menyebabkan glomerulonefritis. Obat-obat ini menyebabkan demetilasi DNA, yang dapat memengaruhi pemaparan berbagai gen yang terlibat pada perkembangan autoimunitas, atau kemampuan DNA mengaktifkan sel tuan rumah. Abnormalitas Imunologi pada SLE. Penelitian telah mengungkapkan beberapa unsur sistem imun bawaan dan adaptif pada patogenesis SLE.



Produksi menetap antibodi IgG anti-nuklear derajat tinggi



Gambar 4--17 Model patogenesis lupus eritematosus sistemik. Kerentanan genetik dan pajanan menyebabkan toleransi diri dan menetapnya antigen inti. Antibodi berperan untuk internalisasi unsur inti, yang melibatkan TLR dan merangsang reaksi sel B dan T terhadap antigen inti. IFN, interferon; IgG, immunoglobulin G; MHC, major histocompatibility complex; TLRs, Toll-like receptors; UV, ultraviolet



kembar monozigot (25%) dibandingkan dengan kembar dizigot (1% sampai 3%). •



Hubungan dengan HLA. Nilai risiko relative (odds ratio) dari individu dengan HLA -DR2 atau HLA-DR3 adalah 2 sampai 5, dan apabila kedua haplotipe ada, nilai risiko adalah



• Gen-gen lain Defisiensi genetik protein komplemen dari jalur klasik, terutama Clq, C2 atau C4, ditemukan pada sekitar 10% penderita SLE. Defisiensi komplemen dapat menyebabkan cacat dari daya penyingkiran kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis, serta kegagalan toleransi sel B. Polimorfisme reseptor Fc penghambat, FcγR1lb, telah ditemukan pada beberapa penderita; hal ini berperan menurunkan pengendalian aktivasi sel B. Banyak gen lain ditemukan association), pada tetapi penelitian peranan asosiasi genom masing-masing yang luas gen (genome-tersebut belum pasti dan pengaruhnya pada perkembangan penyakit masih belum jelas,



• Interferon tipe I. Sel-sel darah menunjukkan jejak molekuler yang kuat yang menyertai pemajanan terhadap interferon-α (IFN-α), interferon tipe I yang dihasilkan terutama oleh sel dendrit plasmasitoid. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel semacam itu pada penderita SLE juga menghasilkan IFN-α dalam jumlah yang sangat besar. • Isyarat TLR. Penelitian pada model binatang telah menunjukkan bahwa TLR yang mengenal DNA dan RNA, khususnya TLR9 yang mengenal DNA dan TLR7 yang mengenal RNA, menghasilkan isyarat yang mengaktifkan sel B yang khas untuk antigen diri jenis inti sel. • Kegagalan toleransi sel B. Penelitian terhadap sel B yang berasal dari penderita SLE mengesankan adanya cacat baik toleransi sentral maupun perifer, yang menghasilkanfrekuensi sel B autoreaktif yang lebih tinggi daripada orang sehat. Berdasarkan kenyataan ini, suatu model patogenesis SLE diusulkan (Gambar 4-17). Menurut model ini, sinar UV dan rangsangan lingkungan lain menyebabkan apoptosis sel. Pembersihan sisa inti sel yang tidak adekuat, sebagian karena cacat mekanisme pembersihan seperti peranan protein dan reseptor, menghasilkan penumpukan antigen inti sel. Polimorfisme pada berbagai gen, yang merupakan gen kepekaan penyakit lupus, menyebabkan cacat kemampuan mempertahankan toleransi diri pada limfosit B dan T, sehingga limfosit yang reaktif diri tetap berfungsi. Sel B yang reaktif diri dirangsang oleh antigen diri jenis inti sel, dan antibodi diproduksi terhadap antigen inti sel. Kompleks antara antigen dan antibodi berikatan dengan



Penyakit Autoimun reseptor Fc pada sel sel B dan sel dendrit dan mungkin mengalami internalisasi. Unsur asam nukleat bergabung dengan TLR dan sel dendrit, terutama sel dendrit plasmasitoid, untuk memproduksi IFNα, yang kemudian meningkatkan reaksi imun dan apotosis. Hasil akhir adalah lingkaran reaksi pelepasan antigen dan aktivasi reaksi imun yang menghasilkan pembentukan autoantibodi berafinitas tinggi.



Spektrum Autoantibodi pada SLE Antibodi telah diketahui bereaksi dengan unsur inti sel dan sitoplasma yang tidak khas baik terhadap organ maupun spesies. Kelompok lain antibodi ditujukan terhadap antigen permukaan dari sel darah, sedang yang lain bereaksi terhadap protein dalam kompleks dengan fosfolipid (antibodi antifosfolipid) (Bab 3). • Antibodi antinukleus. ANA ditujukan terhadap beberapa antigen inti sel dan dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: (1) antibodi terhadap DNA, (2) antibodi terhadap histon, (3) antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA, (4) antibodi terhadap antigen nukleolus. Pada Tabel 4-10, diberikan daftar beberapa jenis auto antibodi, termasuk ANA, dan hubungannya dengan SLE demikian juga dengan penyakit autoimun lain, yang akan dibahas kemudian. Cara deteksi ANA yang paling banyak digunakan adalah teknik imunofluoresensi indirek (IF), yang menapis auto antibodi yang terikat pada berbagai antigen nukleus, termasuk DNA, RNA, dan protein. Dengan 1F dapat dilihat empat pola pewarnaan: homogen atau difus, kelim luar atau perifer, berbentuk butir/ partikel (speckled) dan pola anak inti (nucleolus). Walaupun tiap pola mengesankan jenis auto antibodi tertentu, kekuatan hubungan inti terbatas dan tidak dapat dipercaya. Uji ANA dengan IF sangat sensitif karena lebih dari 95 % SLE yang diuji posittf tetapi spesifisitasnya sangat terbatas, karena penderita penyakit autoimun lain, infeksi kronik dan kanker dapat positif juga. Lagi pula, ANA juga ditemukan pada



127



sekitar 5% sampai 15% orang sehat, dan juga terjadi pada usia lebih lanjut. Akhir-akhir ini IF pada berbagai laboratorium klinis diganti dengan teknik multiplex flowcytometry assay yang sekaligus mendeteksi beberapa jenis autoantibodi, tetapi tidak memiliki sensitifitas seperti 1F. Antibodi terhadap DNA untai ganda dan antigen Smith (Sm) dapat dideteksi dengan teknik ELISA atau multiplex floweytometrij dan spesifik untuk SLE. • Autoantibodi lain. Antibodi terhadap sel darah, termasuk sel darah merah, trombosit, dan limfosit, ditemukan pada banyak penderita. Antibodi anti-fosfolipid dijumpai pada 40%sampai 50% penderita lupus dan bereaksi dengan berbagai ragam protein dalam kompleks dengan fosfolipid. Sebagian berikatan dengan antigen cardiolipin, yang digunakan untuk uji terhadap sifilis. Oleh karena itu, hasilnya pada lupus dapat bersifat positif palsu. Antifosfolipid berperan pada kelainan koagulasi, yang akan dibahas kemudian.



Mekanisme jejas jaringan Apabila urutan yang tepat tentang pembentukan autoantibodi tidak diperhatikan, tampaknya autoantibodi merupakan mediator dari jejas jaringan, mungkin melalui berbagai mekanisme. • Sebagian kerusakan organ pada SLE disebabkan oleh endapan imun. Biopsi kulit dan ginjal dari penderita SLE secara khas menunjukkan endapan komplemen dan imunoglobulin yang bersifat difus dan bercak granuler yang tebal. Autoantibodi yang berikatan dengan DNA juga dapat ditemukan. Endapan kompleks imun ini dianggap menyebabkan kerusakan jaringan melalui aktivasi jalur komplemen yang klasik (hipersensitivitas tipe III); 75% penderita akan mengalami penurunan kadar C3 dan C4 pada masa aktif SLE, dianggap karena komplemen diaktivasi dan digunakan dalam jumlah lebih cepat dari pada yang diproduksi. Walaupun demikian, manusia atau binatang dengan defisiensi Clq tidak terlindung dari SLE dan sesungguhnya dapat menderita SLE secara spontan, hal ini menunjukkan bahwa mekanisme yang tidak bergantung



Tabel 4–10 Autoantibodi Terpilih yang berhubungan dengan Penyakit Autoimun yang Diduga



Autoantibodi (Spesifisitas)



Hubungan Utama dengan Penyakit



Kemungkinan Peran pada Penyakit



Anti-dsDNA (double-stranded DNA)



SLE*



Pembentukan kompleks imun



Anti-Sm (ribonuclear core protein, Sm antigen)



SLE*



Pembentukan kompleks imun



Anti-RNP U1 (ribonuclear protein)



SLE, penyakit jaringan ikat campuran



Anti–SS-A (Ro), anti–SS-B (La) (ribonucleoproteins)



Sindrom Sjögren, SLE



Pembentukan kompleks imun Peranan pada sindrom Sjögren tidak diketahui



Anti–Scl-70 (DNA topoisomerase I)



Sklerosis sistemik*



Tidak diketahui



Anti-histon (histone proteins)



SLE



Pembentukan kompleks imun



Anti-centromere (centromere proteins) Antifosfolipid (fosfolipid--protein kompleks yang terlibat pada koagulasi darah)



Skleroderma terbatas, sklerosis sistemik*



Tidak diketahui Episode trombotik



Anti-Jo1 (histidyl tRNA ligase)



Miopati inflamasi*



Anti-mitokondria



Sirosis bilier primer *



Sindrom antifosfolipid, SLE



Tidak diketahui Tidak diketahui



Anti-eTg (transglutaminase)



Dermatitis herpetiformis



Anti–neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA) (proteins pada sitoplasma neutrofil)



Berbagai vaskulitis*



Tidak diketahui Pembentukan kompleks imun?



Anti-otot polos



Hepatitis kronik autoimun



Degranulasi neutrofil Tidak diketahui



Tiap spesifitas antibodi ditemukan pada 30% sampai 90% penderita dengan penyakit tertentu . Tanda bintang menunjukkan kolerasi tinggi antara spesifitas antibodi dan penyakit. SLE, systemic lupus erythematosus



128



BAB4



Penyakit Sistem Imun



kepada komplemen juga berperan pada kerusakan jaringan. • Autoantibodi dengan berbagai spesifisitas berperan pada perubahan patologi dan manifestasi klinis SLE (hipersensitivitas tipe II). Autoantibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit melapisi (opsonisasi) sel-sel tersebut dan mereka mengalami fagositosis, menghasilkan sitopeni. Autoantibodi terhadap berbagai fosfolipid menyebabkan peningkatan trombosis pada penderita, dengan berbagai konsekuensi klinis, termasuk abortus spontan yang berulang dan episode trombosis. Kelainan-kelainan ini merupakan bagian dari sindrom antifosfolipid. Secara paradoks, antibodi tersebut memengaruhi uji pembekuan dan sebenarnya disebut "antikoagulan lupus". Autoantibodi juga ditujukan terhadap faktor pembekuan seperti trombin, dan ini juga menyebabkan kelainan pembekuan. Autoantibodi terhadap reseptor sistem saraf pusat untuk berbagai neurotransmitor juga diungkapkan pada komplikasi neuropsikiatrik dari penyakit. • Tidak ada bukti bahwa ANA dapat menerobos ke dalam sel. Walaupun demikian, apabila inti sel terpajan, ANA dapat berikatan dengan inti sel. Jaringan, nukleus dari sel yang rusak bereaksi dengan ANA, kehilangan pola kromatin, dan menjadi homogen, menghasilkan apa yang disebut jisim LE atau jisim hematoksilin. Bentuk in vitro dari kelainan ini adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag yang telah memangsa nukleus yang mengalami denaturasi dari sel lain yang cedera. Apabila darah diambil dan diagitasi sejumlah leukosit cukup rusak dan memajankan intinya kepada ANA, disertai aktivasi komplemen sekunder; inti sel yang telah mengalami opsonisasi oleh antibodi dan komplemen ini siap untuk mengalami fagositosis. Walaupun sel LE dapat ditemukan pada 70% penderita, sekarang hanya menjadi perhatian historik.



dan/atau sel epitel dan, pada kasus yang parah, terjadi nekrosis glomerulus. Walaupun ginjal tampak normal dengan mikroskop cahaya pada 26% sampai 30% kasus, hampir semua kasus SLE menunjukkan sedikit abnormalitas ginjal bila diperiksa dengan imunofluoresensi dan mikroskop elektron. Menurut klasifikasi morfologik dari International Society of Nephrology/Renal Pathology Society ada enam pola penyakit glomerulus pada SLE (tidak satupun khas terhadap penyakit): Kelas I, nefritis lupus mesangial minimal; Kelas II, nefritis lupus mesangial proliferatif; Kelas III, nefritis lupus fokal; Kelas IV, nefritis lupus difus; Kelas V, nefritis lupus membranosa; Kelas VI, nefritis lupus sklerosa lanjut. • Nefritis lupus mesangial minimal (kelas I) jarang ditemukan pada biopsi ginjal. Kompleks imun terdapat pada mesangium, tetapi tidak disertai perubahan struktural yang dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. •



Nefritis lupus mesangial proliferatif (kelas II) ditemukan pada 10% sampai 25% kasus dan berhubungan dengan gejala klinis ringan. Kompleks imun mengendap pada mesangium, disertai peningkatan ringan sampai sedang dari matriks dan seluleritas mesangium.



• Nefritis lupus fokal (kelas III) ditemukan pada 20% sampai 35% kasus. Lesi dapat dilihat pada kurang dari separuh jumlah glomerulus, dan mungkin tersebar segmental atau global dalam tiap glomerulus. Lesi aktif ditandai oleh pembengkakan dan proliferasi sel endotel dan mesangium, sebukan neutrofil, dan/ atau endapan fibrinoid disertai trombus kapiler (Gambar 4-18, A). Gejala klinis mungkin berkisar dari hanya hematuria dan proteinuria ringan sampai yang lebih aktif yaitu sedimen urin mengandungi "cast" sel darah merah dan insufisiensi ginjal akut dan parah. • Nefritis lupus difus (kelas IV) adalah bentuk paling parah dari



MORFOLOGI SLE adalah penyakit sistemik dengan beragam manifestasi (Tabel 4-9). Perubahan morfologik pada SLE sangat bervariasi dan bergantung kepada jenis autoantibodi, jaringan tempat pengendapan kompleks imun, dan perjalanan serta masa berlangsungnya penyakit Ciri utama perubahan morfologik disebabkan oleh endapan kompleks imun pada berbagai jaringan Pembuluh darah. Vaskulitis akut yang disertai nekrosis menjangkiti arteri kecil dan arteriol yang dapat ditemukan pada jaringan apa pun. Arteritis ditandai oleh nekrosis dan deposit fibrinoid dalam dinding pembuluh yang mengandungi antibodi, DNA, fragmen komplemen, dan fibrinogen; sebukan leukosit transmural dan perivaskular luga sering terjadi. Pada stadium kronik, pembuluh darah menunjukkan penebalan fibrosa dengan penyempitan lumen. Ginjal. Terjangkitnya ginjal adalah salah satu perangai klinis penting pada SLE, dengan kegagalan ginjal yang paling sering menyebabkan kematian. Perhatian khusus pada patologi glomerulus, walaupun lesi interstitial dan tubuler juga ditemukan pada SLE. Patogenesis semua bentuk glomerulonefritis pada SLE mencakup pengendapan kompleks DNA-antiDNA dalam glomerulus. Ini memicu reaksi inflamasi yang dapat menyebabkan proliferasi endotel, mesangium,



lesi ginjal pada SLE dan juga yang paling sering ditemukan pada biopsi ginjal, terjadi pada 35% sampai 60% penderita. Kelainan ini dibedakan dari nefritis lupus fokal (kelas III) dengan terjangkitnya separuh atau lebih dari jumlah glomerulus. Sebagian besar glomerulus menunjukkan proliferasi sel endotel dan mesangium, disertai hiperseluleritas difus dari struktur tersebut (Gambar 4-18, B) dan pada sebagian kasus disertai pembentukan bulan sabit (crescent) epitel yang mengisi ruang Bowman. Apabila ekstensif, kompleks imun subendotel membentuk penebalan dinding pembuluh darah yang sirkumferensial, yang menyerupai untaian kawat (wire loops) yang kaku pada mikroskop cahaya rutin (Gambar 4-16, C). Pada mikroskop elektron ditemukan tonjolan padat elektron dari kompleks imun subendotel (di antara endotel dan membran basal) (Gambar 4-18, D). tetapi kompleks imun juga ditemukan pada bagian-bagian lain dari dinding kapiler dan mesangium. Kompleks imun dapat dilihat dengan teknik imunofluoresensi dengan antibodi terhadap imunoglobulin atau komplemen, menghasilkan pola fluoresensi granuler (Gambar 4-18, E). Dengan perjalanan waktu, jejas glomerulus dapat menjadi jaringan parut (glomeruiosklerosis). Sebagian besar penderita mengalami hematuria, dengan proteinuria derajat sedang sampai parah, hipertensi dan insufisiensi ginjal.



• Nefritis lupus membranosa (kelas V) terjadi pada 10% sampai 15% kasus dan merupakan penyakit glomerulus yang ditandai oleh penebalan dinding kapiler yang meluas disebabkan oleh pengendapan kompleks imun subepitel. Glomerulonefritis membranosa yang



Penyakit Autoimun



A



B



C



D



129



E Gambar 4--18 Nefritis lupus. A, Nefritis lupus fokal, dengan dua lesi nekrotik pada glomerulus (distribusi segmental) (pewarnaan H&E). B, Nefritis lupus difus. Perhatikan peningkatan global yang mencolok pada seluleritas di seluruh glomerulus (pewarnaan H&E). C, Nefritis lupus yang menunjukkan glomerulus dengan beberapa lesi "wire loop" menunjukkan deposit kompleks imun yang ekstensif pada subendotel (pulasan PAS). D, Pasien dengan nefritis SLE menunjukkan gambaran kapiler glomerulus dengan mikroskop elektron. Deposit padat yang dikenal dengan imunofluoresensi. B, basement membran: End. endothelium; Ep, epithelial cell with foot processes; Mes, messangium; RBC, red blood cell in capillary lumen; US, urinary space; *, electrondense deposits in subendothelial location. (A–C, Sumbangan dari Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham and Women's Hospital, Boston, Massachusetts. D, Sumbangan dari Dr. Edwin Eigenbrodt, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dalias. E, sumbangan dari Dr. Jean Olson, Department of Pathology, University of California, San Fransisco, California.)



130



BAB4



Penyakit Sistem Imun



berhubungan dengan SLE sangat mirip dengan nefropati membranosa idiopatik (Bab 13). Penebalan dinding kapiler disebabkan peningkatan endapan materi menyerupai membran basal dan juga penimbunan kompleks imun. Penderita dengan perubahan histologis ini hampir selalu mengalami proteinuria parah disertai sindrom nefrotik yang menyeluruh (Bab 13). • Nefritis lupus sklerosis lanjut (kelas VI) ditandai oleh sklerosis lengkap pada lebih dari 90% glomerulus dan sesuai dengan stadium klinis akhir dari penyakit ginjal. Kulit. Kulit terkena pada sebagian besar penderita; erupsi yang khas jenis eritematosa atau makulopapular di atas eminensi malar dan jembatan hidung (pola kupu-kupu/ butterfly pattern) ditemukan pada sekitar separuh dari kasus. Pemajanan terhadap matahari (sinar UV) mengaktifkan eritema (disebut fotosensitivitas), dan ruam yang serupa mungkin terdapat di semua tempat pada ekstremitas dan tubuh, paling sering di area yang terpajan matahari. Kelainan histopatologis termasuk degenerasi yang disertai pembentukan cairan dari lapisan basal epidermis, edema pada jembatan dermo epidermal, dan sebukan sel mononukleus di sekitar pembuluh darah dan apendiks kulit (Gambar 4-19, A). Dengan teknik imunofluoresensi ditemukan endapan imunoglobulin dan komplemen pada jembatan dermoepidermal (Gambar 4-19, B), endapan imunoglobulin dan komplernen yang serupa dapat dijumpai pada kulit yang tampaknya tidak terjangkiti. Sendi. Terkenanya sendi sering ditemukan tetapi biasanya tidak berhubungan dengan perubahan anatomik yang jelas atau deformitas sendi.Apabila ada, terdiri atas pembengkakan dan sebukan sel mononukleus yang tidak spesifik pada membran sinovia. Erosi, membran dan destruksi tulang rawan sendi, seperti pada RA, sangat jarang terjadi. SSP. Sistem Saraf Pusat (SSP) juga sangat sering terkena, dengan defisit neurologik fokal dan/atau gejala neuropsikiatrik. Penyakit SSP sering digambarkan sebagai lesi vaskular yang menyebabkan iskemia atau mikroinfark serebral multifokal. Angiopati pembuluh kecil dengan proliferasi intima noninflamasi merupakan lesi patologis paling sering; sedangkan vaskulitis murni jarang. Angiopati mungkin menyertai trombosis yang disebabkan oleh antibodi antifosfolipid. Aterosklerosis prematur terjadi dan mungkin berperan pada iskemia SSP. Landasan mekanisme lain untuk penyakit SSP adalah jejas yang disebabkan oleh antibodi antineuron dengan konsekuensi disfungsi neurologik, tetapi hipotesis ini tetap tidak terbukti. Organ lain. Limpa mungkin mengalami pembesaran tingkat menengah. Penebalan fibrosa dari kapsul sering, seperti halnya hiperplasia folikuler dengan banyak sel plasma di dalam pulpa merah. Arteri penisilar sentral mengalami penebalan dan fibrosis perivaskular, disertai pembentukan lesi kulit bawang. Perikardium dan pleura, terutama, adalah membran serosum yang menunjukkan berbagai perubahan inflamasi pada SLE berkisar antara (pada fase akut) efusi serosum sampai eksudat fibrinosa yang mungkin berkembang ke opaksifikasi pada stadium kronik. Terjangkitnya jantung awalnya berwujud sebagai perikarditis. Miokarditis, dalam bentuk sebukan sel



Gambar 4--19 Lupus eritematosus sitemik yang mengenai kulit. A, Satu sayatan yang diwarnai H&E menunjukkan degenerasi mencair lapisan basal epidermis dan edema pada sambungan dermo-epidermal. B, Mikrograf imunoglobulin sepanjang sambungan dermo-epidermal. H&E, hematoxylin-eosin; IgG, immunoglobulin G. (A, Sumbangan dari Dr. Jag Bhawan, Boston University School of Medicine, Boston, Massachusetts. B, sumbangan dari Dr. Richard Santheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, texas.)



mononukleus yang tidak spesifik, dan lesi katup, yang disebut endokarditis Libman-Sacks. juga terjadi lebih jarang dalam era terapi kortikosteroid yang agresif. Endokarditis verukosa nonbakterial ini berbentuk iregular, 1 mm sampai 3 mm deposit seperti veruka, terlihat sebagai lesi yang jelas dipermukaan lembaran/leaflet (contoh pada permukaan yang terpajan terhadap aliran darah kedepan atau pada sisi bawah leaflet) (lihat Bab 10). Lebih banyak penderita juga menunjukkan manifestasi klinis dan anatomik dari penyakit arteri koroner. Dasar dari percepatan aterosklerosis berum dimengerti sepenuhnya, tetapi prosesnya mungkin multifaktor; tentu saja kompleks imun dapat membuat endapan pada pembuluh koroner, dan menyebabkan kerusakan endotei melaiui jalur tersebut. Lagi pula, pengobatan glukokortikoid menyebabkan perubahan metabolisme lipid, dan kerusakan ginjal (sering pada SLE) menyebabkan hipertensi, keduanya merupakan faktor risiko aterosklerosis (Bab 9). Banyak organ atau jaringan lain mungkin terjangkiti. Perubahan terutama terdiri atas vaskulitis akut pembuluh kecil, sebukan sel mononukleus fokal, dan endapan fibrinoid. Di samping itu paru-paru mungkin mengalami fibrosis interstisial, bersamaan dengan inflamasi pleura; hati menunjukkan inflamasi nonspesifik di daerah portal.



Penyakit Autoimun Manifestasi Klinis SLE adalah penyakit multisistem yang sangat bervariasi dalam tampilan klinisnya. Secara khas, penderita adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi kadang-kadang semuanya, dari perangai berikut: ruam menyerupai kupu-kupu di wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku, bahu), nyeri dada karena pleuritis dan fotosensitivitas. Walaupun demikian, pada banyak penderita, tampilan klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit demam yang tidak diketahui sebabnya, kelainan analisis urin atau penyakit sendi menyerupai artritis reumatika atau demam reuma. ANA ditemukan pada hampir 100% penderita, tetapi hal yang penting adalah bahwa ANA tidak spesifik (Tabel 4-10). Beragam penemuan klinis mungkin mengarah ke terjangkitnya ginjal, termasuk hematuria, "cast" sel darah merah, proteinuria, dan sindrom nefrotik klasik (Bab 13). Bukti laboratorik dari beberapa kelainan hematologik lazim terjadi, dan pada sebagian penderita anemia atau trornbositopenia mungkin merupakan tampilan klinis disertai masalah klinis yang dominan. Pada penderita lain kelainan neuropsikiatrik, psikosis atau kejang, atau penyakit arteri koroner mungkin merupakan masalah klinis yang menonjol. Penderita SLE mudah mengalami infeksi, dianggap karena disfungsi imunologi yang menjadi dasar penyakit atau terapi dengan obat imunosupresif. Strategi pengobatan akhir-akhir ini termasuk melenyapkan sel B dengan antibodi anti-CD20 (Rituximab) dan menghambat faktor pertumbuhan. Perjalanan penyakit bervariasi dan tidak dapat diramalkan. Pada kasus akut yang jarang dapat berkembang menuju kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Lebih sering terjadi, dengan pengobatan yang tepat, penyakit yang kambuh dan mengalami remisi dalam rentang waktu bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade. Pada masa aktivasi akut, pengendapan kompleks imun sertai aktivasi komplemen menyebabkan hipokomplementemia. Eksaserbasi penyakit biasanya diobati dengan kortikosteroid atau obat imunosupresif. Bahkan tanpa terapi, penyakit dapat berjalan dalam bentuk jinak, hanya menyebabkan kelainan kulit dan hematuria ringan selama bertahun-tahun. Hasil pengobatan menunjukkan perbaikan bermakna, daya tahan hidup 5 tahun dapat diharapkan terjadi pada sekitar 95% penderita. Penyebab kematian yang paling sering adalah gagal ginjal, infeksi berulang dan penyakit kardiavaskular. Angka kejadian kanker juga meningkat, terutama limfoma jenis sel B, suatu hubungan yang sering terjadi pada penyakit yang ditandai oleh peningkatan stimulasi limfosit B (contoh sindrom Sjbgren, dibahas di bawah). Penderita yang diobati dengan kortikosteroid dan obat imunosupresif cenderung mengalami risiko yang disebabkan pengobatan semacam itu.



RINGKASAN Lupus Eritematosus Sistemik •



SLE adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh autoantibodi yang diproduksi terhadap banyak antigen diri dan pembentukan kompleks imun.







Autoantibodi yang utama, dan yang berperan dalam pembentukan kompieks imun, ditujukan terhadap antigen inti sel. Autoantibodi lain bereaksi terhadap eritrosit, trombosit dan berbagai kompieks fosfolipid dan protein.



131







Manifestasi penyakit termasuk nefritis, lesi kulit dan artritis (disebabkan oleh endapan kompleks imun), dan abnormalitas hematologik serta neurologik.







Latar belakang penyebab hilangnya toleransi-diri pada SLE tidak diketahui; mungkin karena terjadi kelebihan atau persistensi antigen inti sel, pewarisan ganda dari gen-gen kepekaan penyakit, dan pemicu faktor lingkungan (contoh sinar UV, yang mengakibatkan apoptosis dan pelepasan protein inti sel).



Artritis Reumatoid Atritis reumatoid/ rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang menjangkiti banyak jaringan tetapi pada dasarnya menyerang sendi dan menyebabkan sinovitis proliferatif nonsupuratif yang seringkali berkembang mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dan berakibat artritis yang disertai kehilangan fungsi. Oleh karena Iesi utama menjangkiti sendi dan tulang, penyakit ini, demikian juga bentuk juvenilis penyakit ini dan penyakit inflamasi lain dari sendi, dibahas dalam Bab 20.



Sindrom Sjogren Sindrom Sjogren adalah suatu kesatuan klinikopatologis yang ditandai oleh kekeringan mata (keratoconjunctivitis sicca) dan kekeringan mulut (zerostomis), yang diakibatkan oleh reaksi imunologik yang destruktif terhadap kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva. Penyakit ini terjadi secara terpisah (bentuk primer), juga dikenal sebagai sindrom sicca, atau lebih sering berhubungan dengan penyakit autoimun lain (bentuk sekunder). Di antara kelainan lain, RA paling sering ditemukan, tetapi sebagian penderita mengalami SLE, polimiositis, sklerosis multipel, vaskulitis atau tiroiditis.



PATOGENESIS Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sindrom Sjogren adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh reaksi sel T CD4+ terhadap antigen yang tidak diketahui pada sel epitel dukus kelenjar eksokrin.Terdapat juga hiperaktivitas sistemik dari sel B, seperti terbukti dari adanya ANA dan faktor reumatoid (RF) (bahkan tanpa hubungan dengan RA). Sebagian penderita sindrom Sjogren primer mempunyai autoantibodi terhadap antigen ribonukleoprotein (RNP), SS-A (Rho) dan SS-B(La); perlu diketahui bahwa autoantibodi tersebut ditemukan juga pada penderita SLE, sehingga tidak bersifat diagnostik untuk sindrom Sjogren (Tabel 4-10). Walaupun penderita dengan titer tinggi antibodi anti SS-A cenderung menunjukkan manifestasi sistemik (ekstra glandular), tidak ada bukti bahwa autoantibodi menyebabkan jejas jaringan yang primer. Faktor pemicu virus juga dipikirkan, tetapi tidak ditemukan virus penyebab yang dapat dipastikan. Faktor genetik memainkan peranan pada patogenesis sindrom Sjogren. Seperti pada SLE, pewarisan HLA kelas 11 tertentu merupakan faktor predisposisi pembentukan autoantibodi spesifik terhadap RNP



132



BAB4



Penyakit Sistem Imun



Gambar 4--20 Sindrom Sjögren. A, Pembengkalan kelenjar liur. B, Temuan histopatologis termasuk sebukan padat sel limfosit dan sel plasma dengan hiperplasia epitel duktus.



(A, Sumbangan dari Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. B, sumbangan dari Dr. Dennis Burns, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



MORFOLOGI Kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva merupakan sasaran primer, tetapi kelenjar-kelenjar yang bersekresi lain, termasuk yang terdapat di nasofaring, saluran napas atas, dan vagina, mungkin terjangkit juga. Pemeriksaan histologis menunjukkan sebukan keras limfosit (terutama sel T CD4+) dan sel plasma, kadangkadang membentuk folikel limfoid dengan pusat benihhentrum germinativum. Terdapat hubungan dengan destruksi arsitektur asli (Gambar 4-20). Destruksi kelenjar lakrimal menyebabkan tidak adanya air mata, sehingga epitel kornea menjadi kering, diikuti inflamasi, erosi dan ulserasi (keratoconjunctivitis). Perubahan yang serupa dapat terjadi pada mukosa mulut akibat kehilangan produk kelenjar saliva, yang menyebabkan atrofia mukosa, dengan inflamasi yang menyebabkan pembentukan fissura dan ulkus (xerostomia). Kekeringan dan pembentukan krusta di hidung dapat diikuti ulserasi dan bahkan perforasi septum nasal. Apabila saluran napas terkena, laringitis sekunder, bronkitis, dan pneumonitis mungkin terjadi. Sekitar 25% penderita (terutama mereka dengan antibodi anti-SS-A) dapat menderita penyakit ekstraglandular yang mengenai SSP, kulit, ginjal dan otot. Lesi ginjal berupa nefritis interstisial ringan yang terkait dengan cacat transpor tubuler; tidak seperti pada SLE, glomerulonefritis jarang ditemukan.



Perjalanan Klinis Sekitar 90% kasus sindrom Sjogren terjadi pada wanita di antara usia 35 tahun dan 45 tahun. Penderita tampil dengan mulut kering, tidak ada air mata, dan komplikasi beragam yang diuraikan di atas. Kelenjar saliva sering membesar karena sebukan limfosit (Gambar 4-20). Manifestasi ekstraglandular termasuk sinovitis, fibrosis paru, dan neuropati. Kira-kira 60% penderita sindrom Sjogren mendapat kelainan autoimun lain seperti RA. Perlu dicatat, terdapat peningkatan risiko setinggi 40 kali untuk menderita limfoma sel B, yang muncul diawali dengan proliferasi sel B poliklonal yang tinggi. Keadaan ini disebut Limfoma jenis zona marginal dibahas pada Bab 11.



RINGKASAN Sindrom Sjogren •



Sindrom Sjogren adalah suatu penyakit inflamasi yang terutama menjangkiti kelenjar saliva dan lakrimal, dan menyebabkan kekeringan mulut dan mata.







Penyakit tersebut diyakini disebabkan oleh reaksi autoimun dari sel T terhadap satu atau lebih antigendiri yang tidak diketahui, yang terpapar pada kelenjar tersebut, atau reaksi imun terhadap antigen yang berasal dari virus yang menginfeksi jaringan.



Sklerosis Sisteik (Skleroderma) Sklerosis sistemik (SS) adalah suatu kelainan imunologi yang ditandai oleh fibrosis eksesif pada berbagai jaringan, penyakit vaskular obliteratif, disertai adanya autoimunitas, terutama produksi autoantibodi multipel. Biasanya disebut skleroderma karena kulit merupakan sasaran utama, tetapi kelainan ini lebih baik disebut "sistemik" karena lesi-lesi terdapat di seluruh tubuh. Terjadinya lesi pada kulit merupakan manifestasi tampilan yang lazim dan dapat ditemukan pada sekitar 95% kasus, tetapi terjadi juga pada visera — traktus gastrointestinal, paru, ginjal, jantung dan otot skelet — yang berperan untuk sebagian besar rnorbiditas dan mortalitas. SS dapat digolongkan ke dalam dua kelompok berdasarkan perjalanan klinisnya: • Skleroderma difus, diawali terjadinya lesi kulit yang luas, dan berkembang cepat serta mengenai visera secara dini. • Skleroderma terbatas, mengenai kulit dengan kelainan relatif ringan, sering terbatas pada jari tangan dan wajah. Lesi pada visera terjadi kemudian, sehingga penyakit ini umumnya berjalan cukup Iambat. Tampilan klinis ini juga disebut sindrom CREST karena sering terdiri dari kalsinosis, fenomena Raynaud, dismotilitas esofagus, sklerodaktili, dan telangiektasia.



Penyakit Autoimun STIMULUS EKSTERNA?



KERENTANAN GENETIK



Jejas endotel



Vaskulopati proliferatif dan obliteratif



T



STIMULUS EKSTERNA?



Aktivasi sel T dan B



Produksi sitokin pro-fibrotik (contoh TGF-b, IL-13, PDGF)



133



B



Autoantibodi



Iskemia, pemulihan



Hipertensi arteri pulmonal



Sintesis protein matriks ekstrasel: fibrosis mengenai kulit dan organ parakrin



Gambar 4--21 Suatu model patogenesis sklerosis sistemik. Stimulus eksterna yang tidak diketahui menyebabkan abnormalitas pembuluh darah dan aktivasi imun individu yang secara genetik rentan, dan kedua-duanya berperan terhadap fibrosis yang berlebihan



PATOGENESIS Penyebab penyakit tidak diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan mungkin berpengaruh.Urutan perkembangan penyakit dipostulatkan sebagai berikut (Gambar 4-21). • Cedera pada sel endotel dari arteri kecil oleh karena mekanisme yang tidak diketahui yang menyebabkan aktivasi endotel, peningkatan ekspresi molekul adhesi, dan migrasi sel T yang teraktifkan ke dalam jaringan perivaskular. Reaksi sel T lokal mungkin menyebabkan aktivasi selanjutnya dan cedera pada sel endotel. • Reaksi sel T terhadap beberapa antigen diri dan pembentukan sitokin. Telah diperkirakan bahwa sel T yang dominan adalah sel TH2, dan sitokin yang disekresi menginduksi aktivasi makrofag dan pengendapan kolagen. Sel T yang teraktifkan dan makrofag memproduksi sitokin yang mengaktifkan fibroblas dan merangsang produksi kolagen, yang menyebabkan fibrosis. Sitokin ini termasuk TGFβ IL-13, platelet derived growth factor (PDGF), dan lain-lain. • Kerusakan endotel yang berulang diikuti agregasi trombosit yang menyebabkan proliferasi endotel dan fibrosis intima, yang bersama fibrosis periadventisial, menyebabkan penyempitan pembuluh kecil, disertai jejas iskemik. Reaksi penyembuhan mungkin menambah fibrosis, sehingga terjadi proses kelainan yang berulang-ulang. Aktivasi sel B juga terjadi, seperti ditunjukkan oleh adanya • hipergamaglobilinemi dan ANA. Walaupun ada bukti imunitas humoral memainkan peranan bermakna pada patogenesis SS, dua dari ANA sangat unik untuk penyakit ini dan oleh karena itu berguna dalam diagnosis (Tabel 4-10). Satu di antaranya, ditunjukkan terhadap DNA-topoisomerase I (anti-Scl 70), sangat spesifik; terdapat pada 70% penderita dengan skleroderma difus (dan pada kurang dari 1% penderita dengan penyakit jaringan ikan lain) dan merupakan petanda (marker) untuk perkembangan penyakit yang lebih agresif dengan fibrosis paru dan perubahan vaskular perifer. ANA yang lain adalah antibodi antisentromer, ditemukan pada 90% penderita dengan skleroderma terbatas (contoh sindrom CREST); hal itu menunjukkan perjalanan penyakit yang jinak



MORFOLOGI Pada kenyataannya tiap organ dapat terkena pada SS, tetapi perubahan yang paling menonjol ditemukan pada kulit, sistem muskuloskeletai, saluran gastrointesti nal, paru, ginjal dan jantung. Kulit. Sebagian besar penderita mengalami atrofia sklerotik pada kulit yang tersebar difus, biasanya mulai pada jari dan bagian distal dari ekstremitas atas dan meluas kearah proksimal mengenai lengan atas, bahu, leher dan wajah. Pada stadium dini, area kulit yang terkena agak membengkak dengan konsistens1 lunak lembek. Secara histopatologis ditemukan edema dan sebukan perivaskular yang mengandungi sel T CD4+. Pembuluh kapiler dan arteri kecil (berdiameter sebesar 500 um) mungkin menunjukkan penebalan lamina basalis, kerusakan sel endotel, dan oklusi parsial. Dalam perkembangan selanjutnya, fase edema diganti oleh fibrosis yang progresif dari dermis, yang menjadi terikat erat pada struktur subkutis. Terdapat penambahan pesat dari serabut kolagen di dalam dermis bersamaan dengan penipisan epidermis, atrofia apendiks kulit, dan penebalan hialin pada dinding arteriol dan kapiler (Gambar 4-22, A, B). Mungkin terjadi kalsifikasi subkutis fokal atau kadang-kadang difus, terutama pada penderita dengan sindrom CREST. Pada stadium lanjut, jari-jari mengecil ke daerah ujung, tampak menyerupai cakar, dengan keterbatasan gerakan pada sendi (Gambar 4-22,C), dan wajah menjadi seperti gambaran topeng. Kehilangan pasokan darah menyebabkan ulserasi kulit, perubahan atrofia ruas jari terminal, termasuk autoamputasi. Saluran Gastrointestinal. Saluran gastrointestinal terjangkiti pada sekitar 90% penderita. Atrofia progresif dan penggantian serabut kolagen dari lapisan muskularis dapat terjadi pada tiap bagian usus tetapi yang paling parah pada esofagus, sedangkan dua pertiga bawah dari usus sering tidak lentur lagi sehingga tidak lagi menyerupai pipa karet. Disfungsi yang menyertai sfingter esofagus bagian bawah menyebabkan refluks gastroesofagus dan penyulitnya, termasuk metaplasia Barrett (Bab 14) dan striktur. Mukosa menipis dan mungkin ulseratif, dan terdapat kolagenisasi berlebihan dari lamina propria dan submukosa.



134



BAB4



Penyakit Sistem Imun bersifat maligna (hipertensi maligna). Pada penderita hipertensi, perubahan vaskular lebih menonjol dan seringkali berhubungan dengan nekrosis fibrinoid yang mengenai arteriol bersama dengan trombosis dan infark. Penderita semacam itu biasanya meninggal karena gagal ginjal, meliputi sekitar separuh dari kematian yang disebabkan SS. Tidak terdapat perubahan giomerulus yang spesifik.



A



B



Jantung. Fibrosis miokard jenis bercak, bersamaan dengan penebalan arteriol intramiokardium, terjadi pada satu-pertiga penderita; ini dianggap disebabkan oleh jejas mikrovaskular dan akibat iskemia (dikenal sebagai penyakit jantung jenis Raynaud). Karena perubahan pada paru, sering terdapat hipertrofi ventrikel kanan dan payah jantung (cor pulmonale).



Perjalanan Klinis



C Gambar 4--22 Sklerosis sistemik. A, Kulit normal. B, Endapan kolagen padat yang luas pada dermis. C, Fibrosis subkutis yang meluas hampir menyebabkan imobilisasi jari-jari, menyebabkan deformitas fleksi menyerupai cakar. Kehilangan asupan darah Menyebabkan ulserasi kulit.



(A–C, Sumbangan dari Dr. Richard Sontheimer, Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



Kehilangan villi dan mikrovilli merupakan dasar anatomik dari sindrom malabsorpsi yang kadang-kadang mengenai penderita. Sistem Muskuloskeletal. Hiperplasia dan inflamasi sinovial biasa terjadi pada stadium dini; fibrosis berkembang kemudian. Walaupun perubahan ini adalah gejala sisa dari RA, destruksi sendi tidak lazim pada 55. Pada sebagian kecil penderita (kira-kira 10%), miositis akibat radang yang tidak dapat dibedakan dari polimiositis dapat terjadi. Paru-Paru. Paru-paru terjangkit pada lebih dari 50% penderita; terjangkitnya paru dapat berwujud sebagai hipertensi pulmonal dan atau fibrosis interstisial. Vasospame pulmonal akibat disfungsi endotel pembuluh darah pulmonal dianggap penting dalam patogenesis hipertensi pulmonal. Fibrosis pulmonal bila ada, tidak dapat dibedakan dari yang terjadi pada fibrosis idiopatik pulmonal (Bab 12). Ginjal. Abnormalitas ginjal terjadi pada dua pertiga penderita dengan SS, sangat khas berhubungan dengan penebalan dinding pembuluh arteri interlobular (diameter 150 ɥm sampai 500 ɥm). Ini menunjukkan proliferasi sel intima dengan pengendapan berbagai glikoprotein dan mukopolisakarida yang bersifat asam. Walaupun mirip dengan yang terjadi pada hipertensi maligna, perubahan pada SS terbatas pada pembuluh berukuran 150 ɥm sampai 500 ɥm, dan tidak berhubungan dengan hipertensi. Hipertensi justru terjadi pada 30% penderita, dan pada 20% di antaranya mengalami perjalanan yang



SS mengenai wanita tiga kali lebih sering daripada pria, dengan angka kejadian tertinggi pada kelompok usia 50 tahun sampai 60 tahun. Terdapat tumpang tindih yang luas antara SS dan RA, SLE dan dermatomiositis (lihat kemudian); perangai yang sangat berbeda dari SS adalah kelainan pada kulit, Hampir semua penderita menunjukkan fenomena Raynaud, suatu kelainan vaskular yang berciri vasospasme arteri yang reversibel. Secara khas tangan menjadi putih pada pajanan terhadap suhu dingin, menggambarkan vasospasme, diikuti dengan perubahan menjadi kebiruan karena iskemia dan sianosis lebih parah. Akhirnya, warna berubah menjadi merah karena terjadi vasodilatasi relatif. Pengendapan kolagen yang progresif menyebabkan atrofia tangan, dengan kekakuan yang meningkat dan berangsur terjadi imobilisasi sempurna dari sendi. Kesulitan menelan karena fibrosis esofagus dan akibat hiporrtotilitas. Destruksi dinding esofagus dapat disertai atoni dan dilatasi. Malabsorpsi dapat terjadi apabila atrofia dan fibrosis dari submukosa dan lapisan muskularis mengenai usus kecil. Dispnea dan batuk kronik menandakan perubahan paru, dengan terkenanya paru stadium lanjut, dapat terjadi hipertensi puirnenal sekunder, yang berakibat payah jantung sisi-kanan. Kelainan ginjal yang terjadi sekunder terhadap baik SS yang berkembang maupun hipertensi maligna yang menyertai seringkali dialami penderita. Perjalanan klinis dari SS yang difus sulit diramalkan. Pada sebagian besar penderita perjalanan penyakit tidak memberat, lambat, mengalami penurunan aktivitas penyakit selama bertahun-tahun, dan apabila ginjal tidak terkena, masa hidup mungkin normal. Daya tahan hidup 5 tahun mencapai nilai antara 35% sampai 70% penderita. Kemungkinan memiliki daya tahan hidup lebih baik dialami oleh penderita dengan skleroderma yang terbatas dibandingkan dengan yang penyakitnya difus dan progresif. Skleroderma terbatas, atau sindrom CREST, seringkali mengalami fenomena Raynaud seperti perangai tampilannya. Hal itu berhubungan dengan terkenanya kulit secara terbatas, hanya pada jari dan wajah, dan dua perangai ini mungkin bertahan selama beberapa dekade sebelum timbulnya lesi visera.



RINGKASAN Sklerosis Sistemik •



SS (umumnya disebut skleroderma) ditandai oleh fibrosis progresif yang rnengenai kulit, saluran gastrointestinal dan jaringan lain.



Penolakan Jaringan Transplan • •



Fibrosis mungkin merupakan akibat aktivasi fibroblas oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T, tetapi apa yang memicu reaksi sel T tidak diketahui. Jejas endotel dan penyakit vaskular biasanya ditemukan pada lesi SS, yang menyebabkan iskemia kronik, tetapi patogenesis dari jejas vaskular tidak diketahui.



Miopati yang Bersifat Inflamasi Miopati inflamasi membentuk kelompok penyakit yang heterogen dan jarang, yang ditandai oleh jejas otot yang diperantarai reaksi imun dan inflamasi. Berdasarkan perangai klinis, morfologik dan imunologik, tiga kelainan—polimiositis, dermatomiositis dan miositis jisim inldusi —telah diuraikan. Ini dibahas di dalam Bab 21.



Penyakit jaringan ikat Campuran Istilah penyakit jaringan ikat campuran mengacu pada suatu spektrum proses patologis pada penderita yang tampil dengan perangai klinis mengarah ke SLE, polimiositis atau SS; mereka juga menunjukkan antibodi dengan titer tinggi terhadap antigen RNP yang disebut U1RNP. Dua perangai lain dari penyakit jaringan ikat campuran adalah tidak terdapatnya penyakit ginjal dan reaksi sangat baik terhadap kortikosteroid, kedua-duanya rnendukung prognosis jangka panjang yang baik. Penyakit jaringan ikat campuran dapat berwujud sebagai artritis, pembengkakan tangan, fenomena Raynaud, dismotilitas esofagus, miositis, leukopenia dan anemia, demam, limfadenopati, dan/ atau hipergamaglobulinemia. Karena perangai yang tumpang tindih ini, tidak seluruhnya jelas apakah penyakit jaringan ikat campuran merupakan suatu kesatuan klinis atau apabila kelainan semacam itu menggambarkan subset yang heterogen dari SLE, sklerosis sistemik, dan polimiositis; sebagian besar ahli tidak menganggap itu sebagai kesatuan spesifik.



Poliarteritis Nodosa dan Vaskulitis Lain Poliarteritis nodosa termasuk ke dalam suatu kelompok penyakit yang ditandai oleh inflamasi yang bersifat nekrotik dari dinding pembuluh darah, paling cenderung disebabkan pengendapan kompleks imun. Istilah umum vaskulitis yang bersifat nekrotik non-infektif dapat dibedakan dari kelainan yang disebabkan infeksi pembuluh langsung (contoh abses) dan hal itu menunjang bahwa tiap jenis pembuluh dapat terkena—arteri, arteriol, vena atau kapiler Klasifikasi terperinci dan deskripsi tentang vaskulitis diberikan di dalam Bab 9.



Penyakit Terkait-IgG4 Penyakit terkait-IgG4 (1gG4-RD) adalah suatu keadaan fibro inflamasi yang baru dikenal, yang ditandai oleh kecenderungan membentuk lesi menyerupai tumor pada beberapa organ. Kelainan ini seringkali, tetapi tidak selalu, berhubungan dengan peningkatan kadar IgG4 serum. Walaupun demikian, peningkatan jumlah sel plasma yang memproduksi IgG4 (atau peningkatan ratio IgG4 terhadap IgG



135



total) pada jaringan merupakan persyaratan yang tidak dapat dielakkan pada kelainan ini. Walaupun baru dikenal akhir-akhir ini ketika manifestasi ekstra-pankreas ditemukan pada penderita dengan pankreatitis autoimun, IgG4-RD telah diuraikan pada hampir tiap sistem organ: susunan pembuluh bilier, kelenjar saliva, jaringan periorbita, ginjal, paru-paru, kelenjar getah bening, menings, aorta, payudara, prostat, tiroid, perikardium dan kulit. Perangai histologis menunjukkan kemiripan yang jelas di antara berbagai organ, tidak bergantung kepada tempat penyakit. Ini termasuk sebukan campuran dari limfosit (sel T, sel B, sel plasma), fibrosis storiform, flebitis obliteratif, dan eosinofilia ringan sampai sedang. Sel B terkumpul di dalam sentrum germinativum tetapi sel T—jenis sel yang predominan — tersebar difus diseluruh lesi. Ratio sel plasma yang mengandungi IgG4 terhadap yang mengandungi IgG (ditentukan secara semikuantitatif dengan imunohistokimia) secara khas sama atau lebih besar dari 50%. Banyak keadaan medik yang Iama dianggap terbatas pada organ tunggaI adalah bagian dari spektrum IgG4-RD. Beberapa contoh termasuk sindrom Mikulicz (pembesaran dan fibrosis kelenjar saliva dan kelenjar lakrimal), tiroiditis Riedel, fibrosis retroperitoneal idiopatik, pankreatitis autoimun, dan pseudotumor yang bersifat inflamasi dari orbita, paru-paru dan ginjal. Peranan 1gG4 pada patogenesis keadaan ini tidak sepenuhnya diketahui. Walaupun demikian, peranan kunci dari sel B didukung oleh penelitian permulaan yang menunjukkan bahwa pemusnahan sel B oleh antibodi-monoklonal anti sel B, seperti Rituximab, memberikan perbaikan klinis. Tidak jelas apakah penyakit ini merupakan penyakit autoimun sejati, dan tidak ada autoantigen sasaran yang telah diketahui.



PENOLAKAN JARINGAN TRANSPLAN Halangan utama terhadap transplantasi organ dari satu individu kepada yang lain dari spesies yang sama (disebut alograf) adalah penolakan imunologi terhadap jaringan yang ditransplantasikan. Reaksi penolakan adalah fenomena yang rumit menyangkut baik reaksi seluler maupun yang diperantarai oleh antibodi yang menghancurkan jaringan transplan. Kunci keberhasilan transplantasi setelah dikembangkan terapi yang mencegah atau mengurangi reaksi penolakan. Kemudian akan dibahas bagaimana jaringan transplan dikenal sebagai benda asing dan bagaimana jaringan tersebut mengalami reaksi penolakan.



Pengenalan imunologi Alograf Reaksi penolakan alograf adalah reaksi yang terutama ditujukan terhadap molekul MHC, yang sangat polimorfik sehingga sebagian besar individu dalam populasi yang tidak murni (outbred) berbeda paling sedikit sebagian dari molekul MHC yang dipaparkan (kecuali, kembar identik). Ada dua mekanisme utama yang digunakan sistem imun untuk mengenal dan bereaksi terhadap molekul MHC •(Gambar 4-23): Pengenalan langsung. Sel tuan rumah mengenal langsung molekul MHC yang alogenik (asing) yang terpapar pada sel jaringan transplan. Pengenalan langsung terhadap MHC asing cenderung melanggar aturan pembatasan kecocokan MHC, yang menyatakan bahwa pada tiap individu, semua sel T terdidik untuk mengenal antigen asing yang dipaparkan oleh molekul MHC yang khas individu tersebut. Dijadikan landasan berpikir bahwa molekul MHC (dengan peptida yang terikat) secara struktural mirip MHC



136



BAB4



Penyakit Sistem Imun JALUR LANGSUNG



JALUR TIDAK LANGSUNG



Sel penyaji-antigen pada jaringan transplan Molekul



Sel jaringantransplan



Molekul



MHC



MHC



kelas I



kelas II



CD8



CD4



Sel penyaji-antigen dari resipien



CD4 Antigen jaringan-transplan



CD8



CD8



PEMBULUH DARAH GINJAL



CTL CDB+



CD4



CD4



Sel T CD4+ penolong



Limfosit B



Endotetilis CD8



IFN-γ



Sel plasma Makrofag teraktivasi



CD8 CD8



CD8 Antibodi Jejas endotel



Kerusakan TUBULUS GINJAL



PEMBULUH DARAH GINJAL



Gambar 4-23 Pengenalan dan penolakan alograf. Pada jalur langsung, antigen MHC kelas I dan kelas 11 donor pada sel penyaji-antigen (APC) di jaringan transplan (bersama kostimulator, tidak dituajukkan) dikenal masing-masing oleh sel T CD8+ sitotoksik dan sel T CD4+ penolong dari tuan rumah. Sel T CD4+ berproliferasi dan memproduksi sitokin (contoh IFN-γ), yang menginduksi kerusakan jaringan melalui reaksi hipersensitivitas tipe-lambat. Sel T CD8+ yang bereaksi terhadap antigen jaringan transplan berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh sel jaringan transplan. Pada jalur tidak langsung, antigen jaringan tansplan dipaparkan oleh sel APC tuan-rumah dan mengaktivasi sel T CD8+, yang merusak jaringan transplan melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat setempat dan merangsang limfosit B untuk memproduksi antibodi. IFN-γ, Interferon-γ. MHC, major histocompatibility complex.



diri dan peptida asing, sehingga pengenalan Iangsung MHC alogenik sebenarnya bereaksi silang secara imunologi. Karena sel dendrit di dalam jaringan transplan memaparkan MHC dalam jumlah banyak, demikian juga molekul kostimulator, mereka dianggap merupakan bagian utama yang mendasari pengenalan langsung. Akibat paling penting dari pengenalan langsung adalah aktivasi sel T CDS+ dari tuan rumah yang mengenal molekul MHC kelas I (HLA-A danB) pada jaringan transplan. Sel T ini berdiferensiasi menjadi CTL, yang membunuh sel dalam jaringan transplan. Sel T penolong CD4+ mungkin terpicu untuk berproliferasi dan memproduksi sitokin akibat pengenalan molekul MHC kelas II (HLA-D) donor dan menyebabkan reaksi inflamasi.



• Pengenalan tidak langsung. Pada jalur ini, sel T CD4+ mengenal molekul MHC donor setelah molekul tersebut mengalami fagositosis, diproses dan disajikan oleh sel APC. Urutan ini menyerupai pemrosesan fisiologis dan penyajian antigen asing lain (contoh berasal dari mikroba). Sel T CD4+ yang teraktifkan kemudian mengenal antigen yang disajikan oleh APC dan mensekresikan sitokin yang menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan transplan. Jalur tidak langsung juga berperan pada produksi antibodi terhadap alloantigen jaringan transplan; apabila antigen ini adalah protein maka di proses oleh sel B dan peptida disajikan kepada sel T penolong yang merangsang reaksi antibodi.



Penolakan Jaringan Transplan



Mekanisme Efektor Penolakan jaringan Transplan Baik sel T maupun antibodi yang bereaksi terhadap jaringan transplan berperan pada sebagian besar reaksi penolakan alograf organ yang solid (Gambar 4-23).



Penolakan yang Diperantarai Sel T



antibodi yang beredar cepat berikatan dengan aloantigen pada organ yang ditransplantasikan, yang menyebabkan aktiasi komplemen dan trombosis askular. Dengan penerapan uji penapisan terhadap kemungkinan adanya antibodi yang telah dibentuk tersebut dan uji kecocokansilang (uji antibodi pada resipien yang ditujukan terhadap limfosit donor), maka penolakan hiperakut terjadi kurang dari 0,4% pada penerima jaringan transplan.



MORFOLOGI



Sel CT ̀ membunuh sel di dalam jaringan transplan, yang menyebabkan sel parenkim dan endotel mati (yang kedua menyebabkan trombosis dan iskemia jaringan transplan). Sel T CD4+ yang mensekresikan sitokin memicu reaksi inflamasi menyerupai DTH pada jaringan dan pembuluh darah, dengan akumulasi setempat dari sel mononukleus (limfosit dan makrofag). Makrofag yang teraktifkan dapat mencederai sel jaringan transplan dan sistem pembuluh darah. Jejas mikroaskular ̀ juga menyebabkan iskemia, yang berperan dalam destruksi jaringan transplan.



Berdasarkan perjalanan waktu dan morfologi maka reaksi penolakan telah digolongkan dalam hiperakut, akut dan kronik (Gambar 4-24). klasifikasi ini membantu untuk mengerti tentang mekanisme penolakan, karena tiap pola disebabkan oleh reaksi imunologi utama yang berbeda. Morfologi dari polapola ini diuraikan di dalam konteks transplantasi ginjal; walaupun, perubahan yang mirip juga ditemukan pada organ transplan vaskular. Penolakan Hiperakut Penolakan hiperakut terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah transplantasi pada tuan rumah yang mengalami pre-sensitisasi dan biasanya dikenal oleh ahli bedah segera setelah anastomosis vaskular telah diselesaikan. Berbeda dengan jaringan transplan ginjal yang tidak mengalami penolakan, terjadi pemulihan warna merah muda yang normal dan turgor jaringan dan secepatnya mengeluarkan urin, suatu transplan ginjal yang mengalami penolakan hiperakut cepat menjadi sianotik berbercak-bercak, dan lembek serta hanya mengeluarkan beberapa tetes cairan berdarah. Gambaran histologis ditandai oleh arteritis dan arter iolitis yang luas, trombosis pembuluh, dan nekrosis iskemik, semua disebabkan oleh ikatan antibodi yang telah dibentuk sebelumnya dengan endotel jaringan transplan. Hampir semua arteriol dan arteri menunjukkan ciri nekrosis fibrinoid akut dari dinding pembuluh, dengan penyempitan atau oklusi lengkap lumen oleh endapan fibrin dan debris sel (Gambar 4-24, A).



Penolakan yang Diperantarai Antibodi Walaupun ̀ sel T sangat penting pada penolakan alograf, antibodi juga berperan pada sebagian reaksi penolakan. Alo-antibodi terhadap molekul MHC jaringan transplan dan alo-antigen lain berikatan dengan endotel jaringan transplan dan menyebabkan jejas vaskular melalui aktiasi komplemen dan reaksi leukosit. Di samping kerusakan endotel dan disfungsi terjadi trombosis, yang menambah faktor penyebab jejas jaringan. Penolakan hiperakut adalah bentuk khusus dari reaksi penolakan yang terjadi apabila anHbodi anti-donor yang sebelumnya dibentuk (pre-formed) terdapat di dalam sirkulasi tuan rumah sebelum transplantasi. ini dapat terjadi pada wanita multipara yang memiliki antibodi anti-HLA terhadap antigen paternal yang dihadapi selama kehamilan, atau individu yang terpapar HLA asing (pada trombosit atau leukosit) dari transfusi darah sebelumnya. Jelaslah, antibodi tersebut juga terdapat pada penderita yang sebelumnya mengalami reaksi penolakan terhadap transplan organ. Transplantasi berikutnya pada penderita semacam itu menyebabkan penolakan segera (dalam beberapa menit atau jam) karena



A



B



137



C



D



Gambar 4-24 Pola morfologik & penolakan jaringan-transpran. A, Penolakan hiperakut terhadap alograf ginjal berhubungan dengan kerusakan endotel dan trombus di dalam glomerulus. B, Penolakan seluler akut terhadap alograf ginjal dengan sel radang di lapisan interstitium dan di antara sel epitel tubuius. C, Penolakan humoral akut terhadap alograf ginjal (penolakan vaskulitis) dengan sel radang dan proliferasi sel otot polos di intima. D, Penolakan kronik terhadap alograf ginjal dengan arteriosklerosis pada alograf. Lumen arteri digantikan oleh akumulasi sel otot polos dan jaringan ikat di intima. (A–D, Courtesy of Dr. Helmut Rennke, Department of Pathology, Brigham andWomen’s Hospital and Harvard Medical School, Boston, Massachusetts.)



138 B A B 4



Penyakit Sistem Imun



Penolakan Akut Penolakan akut dapat terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dari transplantasi pada tuan rumah yang tidak mengalami imunosupresi atau mungkin timbul beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kemudian, bahkan terjadi pada individu dengan imunosupresi yang adekuat. Penolakan akut terjadi baik berdasarkan mekanisme seluler maupun antibodi, dan pada tiap penderita, salah satu atau yang lain mungkin menonjol, atau mungkin keduanya terjadi. Pada pemeriksaan histologis, penolakan seluler ditandai oleh sebukan sel mononukleus secara interstisial disertai edema dan jejas parenkim, sedangkan penolakan humoral berhubungan dengan vaskulitis. Penolakan seluler akut dijumpai dalam waktu beberapa bulan pertama setelah transplantasi dan biasanya disertai tanda klinis gagal ginjal. Pemeriksaan histologis biasanya menunjukkan sebukan luas dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ dengan edema dan hemoragi interstisial ringan (Gambar 4-24, B). Kapiler glomerulus dan peritubulus berisi banyak sel mononukleus, yang juga mungkin menyerang tubuli, yang menyebabkan nekrosis tubuler fokal. Di samping jejas tubuler, sel T CD8+ mungkin mencederai endotel dan menyebabkan endotelitis. Siklosporin (suatu obat imunosupresif yang banyak digunakan) juga bersifat nefrotoksik dan menyebabkan apa yang disebut pengendapan hialin arteriolar. Biopsi ginjal dikakukan untuk membedakan penolakan akibat toksisitas obat. Pengenalan penolakan seluler adalah penting, karena penderita biasanya bereaksi segera terhadap peningkatan obat imunosupresif. Penolakan humoral akut (vaskulitis penolakan) yang disebabkan oleh antibodi antidonor dapat juga berperan pada penolakan jaringan transplan yang akut. Lesi histologis mungkin berupa vaskulitis yang bersifat nekrotik dengan nekrosis sel endotel; sebukan neutrofil; pengendapan antibodi, komplemen, fibrin dan trombosis. Lesi semacam itu mungkin berkaitan dengan nekrosis iskemik dari parenkim ginjal. Lesi subakut yang agak lebih lama ditandai oleh penebalan keras dari intima akibat proliferasi fibroblas. miosit dan makrofag yang berbusa (Gambar 4-24, C). Penyempitan arteriol yang terjadi dapat menyebabkan infark atau atrofia korteks ginjal. Lesi vaskular proliferatif menyerupai penebalan arteriosklerotik dan dianggap disebabkan oleh sitokin yang merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh. Produksi setempat dari produk pemecahan komplemen (khususnya C4d) digunakan untuk mendeteksi penolakan yang diperantarai antibodi pada penolakan alograf ginjal. Penolakan Kronik Penderita yang menunjukkan penolakan kronik yang terjadi dalam waktu iama setelah transplantasi (beberapa bulan atau beberapa tahun) disertai peningkatan progresif kadar kreatinin serum (suatu indeks dari fungsi ginjal) setelah masa 4 sampai 6 bulan. Penolakan kronik didominasi oleh perubahan vaskular, fibrosis interstisial, dan kehilangan parenkim ginjal; biasanya tanpa reaksi seluler atau hanya disertai sebukan ringan sel pada parenkim. Perubahan vaskular terjadi terutama pada arteri dan arteriol, yang menunjukkan proliferasi sel otot polos intima dan sintesis matriks ekstrasel (Gambar 4-24, D). Lesi ini akhirnya mengganggu perfusi vaskular dan menyebabkan iskemia ginjal yang berwujud sebagai hilangnya glomerulus atau hialinisasi glomerulus, trombosis interstisial dan atrofia tubulus. Lesi vaskular mungkin disebabkan oleh sitokin yang dikeluarkan oleh sel T yang teraktifkan yang menyerang sel pada dinding pembuluh, dan mungkin merupakan stadium akhir arteritis proliferatif yang diuraikan sebelumnya.



RINGKASAN Pengenakan dan Penolakan Organ Transplan (Alograf) •







Reaksi penolakan jaringan transplan dimulai terutama oleh sel T tuan rumah yang mengenal antjgen HLA asing dari jaringan transplan, baik secara langsung (pada APC di dalam jaringan transplan) atau tidak langsung (setelah pemrosesan dan penyajian oleh APC tuan rumah). jenis dan mekanisme penolakan terdiri dari yang berikut:  Penolakan hiperakut Antibodi yang telah dibentuk sebelumnya (pre-formed) berikatan dengan endotel jaringan transplan segera setelah transplantasi, menyebabkan trombosis, kerusakan iskemik dan kegagalan jaringan transplan secara cepat.  Penolakan seluler akut: Sel T menghancurkan parenkim jaringan transplan (dan pembuiuh) oleh reaksi sitotoksitas dan inflamasi.  Penolakan kronik: Didominasi oleh arteriosklerosjs, jenis ini  mungkin disebabkan oleh reaksi sel T dan sekresi sitokin yang menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskular, berkaitan dengan fibrosis parenkim.



Cara Meningkatkan Ketahanan Hidup Jaringan Transplan Karena molekul HLA adalah sasaran utama pada penolakan jaringan transplan, pencocokan yang lebih baik antara donor dan resipien akan meningkatkan daya tahan hidup jaringan transplan. Manfaat pencocokan HLA paling dramatik diperoleh pada transplantasi ginjal dengan donor hidup keluarga, dan ketahanan hidup akan meningkat dengan bertambahnya jumlah lokus yang cocok. Walaupun demikian, karena obat imunosupresif telah lebih baik, pencocokan HLA bahkan tidak diusahakan pada beberapa keadaan, seperti transplantasi jantung, paru, hati dan pulau Langerhans pankreas; pada keadaan semacam itu, resipien seringkali memerlukan transplantasi segera/ darurat atau pertimbangan lain, seperti kesesuaian anatomik (ukuran), secara praktik adalah lebih penting. Imunosupresi dari resipien merupakan kebutuhan yang berlaku pada semua transplantasi organ kecuali pada kasus kembar identik. Pada waktu ini, digunakan obat seperti siklosporin, FK506 yang terkait, mofetil mikofenolat (MMF), rapamisin, azatioprin, kortikosteroid, globulin antilimfosit, dan antibodi monoklonal (contoh anti CD3 monoklonal). Siklosporin dan FK506 menekan imunitas yang diperantarai sel T dengan menghambat transkripsi gen sitokin, khususnya, gen untuk 1L-2. Walaupun imunosupresi telah membuat transplantasi dapat dilakukan, masih ada kendala yang perlu ditanggulangi. Imunosupresi secara umum menyebabkan peningkatan kerentartan terhadap infeksi oportunistik oleh jamur, virus dan infeksi lain. Penderita-penderita ini juga mengalami risiko yang meningkat untuk terjangkit limfoma yang disebabkan virus Epstein-Barr, karsinoma sel skuamosa yang disebabkan virus papiloma manusia, dan sarkoma Kaposi. Untuk menanggulangi efek yang tidak diinginkan dari imunosupresi, banyak upaya untuk mencoba menimbulkan toleransi sel T tuan rumah yang spesifik terhadap donor. Antara lain strategi yang mengupayakan mencegah sel T tuan rumah menerima isyarat kositmulasi dari sel dendrit (DC) selama fase permulaan dari sensitisasi. Ini dapat dicapai dengan memberikan obat yang mengganggu interaksi antara molekul B7 pada DC dari jaringan transplan dan reseptor CD 28 pada sel T tuan rumah.



Penyakit imunodefisiensi Cara ini mencegah isyarat kedua yang diperlukan untuk aktivasi limfositT, baik dengan menyebabkan apoptosis maupun menyebabkan sel T tidak berfungsi. Perbaikan terapi imunosupresi telah meningkatkan ketahanan hidup jaringan transplan dan penolakan akut kurang dikhawatirkan, terutama pada jaringan transplan ginjal dan jantung. Penolakan kronik masih merupakan masalah besar, karena kurang responsif terhadap obat imunosupresif yang ada dibandingkan dengan penolakan akut.



Transplantasi Sel Punca (Stem Cells) Hematopoietik Sel punca (stem cells) hematopoietik (HSC) digunakan sebagai terapi untuk keganasan hematopoietik dan beberapa keganasan nonhematopoietik, anemia aplastik, dan kelainan herediter lain, terutama keadaan imunodefisiensi dan talasemia yang parah. Secara historik HSC terutama diperoleh dari donor sumsum tulang, tetapi sekarang lebih sering dipisahkan dari darah perifer setelah diperkaya dengan pemberian faktor pertumbuhan hematopoietik, atau dari darah talipusat bayi baru lahir, suatu sumber HSC dalam jumlah besar yang tersedia. Resipien menerima kemoterapi dan/atau penyinaran untuk menghancurkan sel ganas (contoh leukemia) dan untuk menciptakan wahana jaringan transplan; kemudian HSC diberikan intra vena, yang akan beredar menuju tempat pulangnya (home) ke sumsum tulang. Penolakan terhadap jaringan transplan HSC alogenik adalah karena kombinasi reaksi sel T dan sel NK yang resisten terhadap radioterapi dan kemoterapi. Dua masalah utama pada transplantasi jenis ini adalah penyakit grnft versus host dan imunodefisiensi. Penyakit Graft-versus-Host (GVHD). Ini terjadi apabila sel T yang imunokompeten (atau sel asal-- precursor-nya) ditransplantasikan ke dalam resipien yang reaksi kekebalannya telah ditekan. Walaupun GVHD paling sering terjadi pada transplantasi HSG alogenik (biasanya karena ketidak cocokan antigen histokompatibilitas minor antara donor dan resipien), hal itu dapat pula terjadi setelah transplantasi organ solid yang banyak mengandungi sel limfoid (contoh hati) atau setelah transfusi darah yang tidak diberikan penyinaran. Pada waktu menerima HSC alogenik, individu yang reaksi imunologinya telah ditekan tidak dapat menolak jaringan transplan, tetapi sel T yang berada pada donor jaringan transplan melihat jaringan resipien sebagai "benda asing" dan bereaksi terhadapnya. Ini menyebabkan aktivasi baik sel T CD4+ maupun sel T CD8+, yang akhimya menyebabkan inflamasi dan pembunuhan sel tuan rumah. • GVHD akut (terjadi setelah beberapa hari atau minggu setelah transplantasi) menyebabkan nekrosis sel epitel pada tiga organ utama: hati, kulit, dan usus. Destruksi duktus biliaris kecil menyebabkan ikterus, dan ulserasi mukosa usus menyebabkan diare berdarah. Terjangkitnya kulit berwujud bercak kemerahan yang menyeluruh. • GVHD kronik dapat menyertai sindrom akut atau terjadi perlahanlahan. Penderita menunjukkan lesi kulit yang menyerupai lesi pada SS (dibahas sebelumnya) dan manifestasi mirip kelainan autoimun. GVHD merupakan komplikasi yang berpotensi letal, yang dapat dikurangi tetapi tidak dapat disingkirkan dengan pencocokan HLA. Sebagai penyelesaian lain yang memungkinkan adalah, sel T donor dapat dimusnahkan sebelum transplantasi sumsum tulang. Protokol ini terbukti menimbulkan akibat campuran: risiko GVHD dikurangi, tetapi angka kejadian kegagalan jaringan transplan dan (pada individu dengan penyakit)



139



rekurensi leukemia meningkat. Tampaknya, sel T multifungsi tidak hanya menyebabkan GVHD tetapi juga diperlukan untuk tumbuhnya HSC yang ditransplantasikan secara efisien dan penyingkiran sel leukemia (dikenal sebagai efek graftversus-leukemia). Cacat Kekebalan (Defisiensi Imun). Ini seringkali berlangsung lama pada resipien transplantasi HSC. Di antara banyak faktor untuk kelainan ini adalah pemulihan yang lambat dari sistem imun adaptif dari resipien, yang dihancurkan atau ditekan agar jaringan transplan dapat tumbuh dan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk pulih. Selama masa yang rawan ini, resipien peka terhadap berbagai infeksi, terutama virus, seperti infeksi sitomegalovirus (CMV) dan EBV.



PENYAKIT IMUNODEFISIENSI Penyakit imunodefisiensi dapat disebabkan oleh cacat yang diwariskan yang mengganggu perkembangan sistem imun, atau mungkin disebabkan oleh pengaruh sekunder dari penyakit lain (contoh infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosu presi, autoimunitas, atau kemoterapi). Secara klinis, penderita dengan imunodefisiensi tampit dengan kepekaan yang meningkat terhadap infeksi, demikian juga terhadap jenis tertentu dari kanker. Jenis infeksi pada penderita tertentu sangat bergantung kepada unsur sistem imun yang dipengaruhi. Penderita dengan cacat immunoglobulin, komplemen, atau sel fagosit biasanya menderita infeksi berulang dengan bakteri piogenik, sedangkan cacat imunitas seluler cenderung mengalami infeksi yang disebabkan virus, fungus, dan bakteri intrasel. Selanjutnya akan dibahas imuno defisiensi primer (kongenital) yang Iebih penting, diikuti uraian terperinci tentang sindrom imunodefisiensi akuisita (SIDA atau AIDS), sebagai contoh imunodefisiensi sekunder (didapat) yang paling menyebabkan kecacatan.



Imunodefisiensi Primer (Kongenital) Hal yang menggembirakan bahwa status imuno defisiensi primer jarang terjadi, tetapi bagaimanapun penelitiannya banyak menyumbangkan pengertian tentang perkembangan dan fungsi sistem imun. Sebagian besar penyakit imunodefisiensi ditentukan oleh faktor genetik dan memengaruhi baik imunitas adaptif (contoh humoral atau seluler) atau mekanisma pertahanan tuan rumah alami/bawaan. Termasuk protein komplemen, dan sel seperti fagosit dan seI NK. Cacat pada imunitas adaptif seringkali dibagi berdasarkan unsur utama yang terkena (contoh sel B atau sel T, atau kedua-duanya); walaupun demikian, karena interaksi antara limfosit T dan B, pembedaan ini tidak terlalu jelas. Misalnya, cacat sel T seringkali menyebabkan sintesis antibodi terganggu, dan oleh karena itu defisiensi sel T yang terpisah mungkin tidak dapat dibedakan dari defisiensi campuran sel T dan sel B. Sebagian besar defisiensi imun primer terlihat pada masa dini kehidupan (antara usia 6 bulan dan 2 tahun), biasanya karena bayi yang terkena menderita infeksi berulang. Salah satu hasil penelitian biologi molekuler modern yang sangat mengesankan adalah identifikasi dasar genetik untuk banyak imunodefisiensi primer (Gambar 4-25), yang meletakkan Iandasan untuk pengembangan terapi penggantian gen di kemudian hari.



140



BAB4



Penyakit Sistem Imun



SUMSUM TULANG



TIMUS Sel punca pluripoten



Sel mieloid



Prekursor



Defisiensi



mieloid umum



ADA



Sel pro-B



Sel Pro-T SCID terkait X (rantai γ sitokin)



Prekursor limfoid umum



Sel T belum-matang



Sel pre-B Agamaglobulinemia terkait X (BTK)



IgM



Reseptor



Rantai berat IgM



Sindrom DiGeorge



Sel T



Defisiensi MHC kelas II



CD40L Sel T CD4+



IgD



Sindrom hiper-IgM (CD40L)



Sel B belum-matang CVID IgM



Sel T matang



IgG



CD8+



CD4+



Defisiensi IgA IgA



IgE



Sel B matang



Gambar 4--25 Penyakit imunodefisiensi primer. Ditunjukkan jalur dasar perkembangan limfosit dan hambatan di dalam jalur tersebut pada penyakit imunodefisiensi primer yang terpilih. Gen yang mengalami perubahan ditunjukkan di dalam tanda kurung untuk beberapa kelainan. ADA, adenosine deaminase; CD40L, CD40 ligand (juga dikenal sebagai CD154); CVID, common variable immunodeficiency; SCID, severe combined immunodeficiency.



Agamaglobulinemia X-linked: Penyakit Bruton Agamaglobuhnemia X-linked (XLA), atau penyakit Bruton, ditandai oleh kegagalan sel pre-B untuk berdiferensiasi menjadi sel B dan, seperti sebutannya, adalah keadaan tanpa antibodi (gamaglobulin) di dalam darah. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1 dalam 100.000 bayi pria. Selama pematangan sel B yang normal, gen rantai berat imunoglobulin mengalami pengaturan kembali (rearrangement) lebih dahulu, diikuti dengan pengaturan kembali rantai ringan. Pada tiap stadium, isyarat diterima dari unsur reseptor antigen yang terpapar yang mendorong pematangan pada stadium berikutnya; isyarat ini bertindak sebagai kelola mutu, untuk merijarnin produksi protein reseptor yang tepat. Pada XLA, pematangan sel B berhenti setelah pengaturan kembali rantai berat dimulai karena mutasi kinase tirosin yang terkait dengan reseptor sel pre-B dan berperan pada transduksi isyarat sel pre-B. Kinase ini disebut Bruton tyrosine kinase (BTK). Apabila tidak berfungsi, reseptor sel pre-B tidak dapat mengirim isyarat ke dalam sel untuk melanjutkan proses pematangan. Sebagai akibatnya, rantai ringan imunoglobulin tidak diproduksi, dan molekul imunoglobulin lengkap yang terdiri dari rantai berat dan rantai ringan tidak dapat dirakit dan dikirimkan ke membran sel, walaupun rantai berat yang bebas tidak dapat ditemukan di dalam sitoplasma.



Oleh karena gen BTK ada pada kromosom X, kelainan ini dijumpai pada pria. Secara klasik, penyakit ini ditandai oleh hal berikut: • Sel B tidak ditemukan atau jumlahnya sangat sedikit di dalam sirkulasi, disertai kadar semua kelas imunoglobulin serum yang sangat rendah. Jumlah sel pre-B di dalam sumsum tulang mungkin normal atau berkurang. • Pusat germinal kurang berkembang atau bersifat rudimenter pada jaringan limfoid tepi, termasuk kelenjar getah bening, bercak Peyeri, apendiks dan tonsil. • Tidak ditemukan sel plasma di seluruh tubuh. • Reaksi yang diperantarai sel T normal. XLA tidak muncul sampai bayi yang terkena mencapai usia sekitar 6 bulan, ketika pasokan transplasental dari antibodi maternal telah terhenti. Pada sebagian besar kasus, infeksi bakteri berulang seperti faringitis akut dan kronik, sinusitis, otitis media, bronkitis, dan pneurnonia menandakan ada cacat kekebalan yang mendasarinya. Organisme penyebab biasanya adalah patogen bakteri yang disingkirkan oleh opsonisasi yang diperantarai antibodi dan fagositosis (contoh Haemophilus influenzae, Streptococcus



Penyakit imunodefisiensi pneumoniae, dan Staphylococcus aureus). Karena antibodi penting untuk netralisasi virus, penderita XLA juga peka terhadap infeksi virus tertentu, terutama yang disebabkan oleh enterovirus, Sama halnya, Giardia lamblia, suatu protozoa intestinal biasanya dinetralkan oleh IgA sekretoar, tidak dapat disingkirkan secara efisien dan menyebabkan infeksi yang menetap. Hal yang menguntungkan, bahwa terapi penggantian dengan imunoglobulin intravena (IVIG) dari serum manusia yang digabung membantu sebagian besar penderita memerangi infeksi bakteri secara adekuat. Penderita XLA marnpu menyingkirkan sebagain infeksi virus, fungus dan protozoa, karena imunitas yang diperantarai sel T utuh. Dengan sebab yang tidak jelas, penyakit autoimun (seperti RA dan dermatomiositis) terjadi sebanyak 20% pada penderita penyakit ini.



Imunodefisiensi Variabel Umum Imunodefisiensi variabel umum adalah istilah payung untuk kelompok kelainan yang heterogen yang ditandai oleh hipogamaglobulinemia, gangguan reaksi antibodi terhadap infeksi (atau vaksinasi), dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Manifestasi klinis secara umum mirip dengan gambaran klinis pada XLA, tetapi pada imunodefisiensi variabel umum pria dan wanita terpengaruh sepadan dan permulaan gejala terjadi lebih Iambat yaitu, pada dekade kedua atau ketiga dari kehidupan. Diagnosis biasanya adalah salah satu dari eksklusi (setelah penyebab lain imunodefisiensi dikesampingkan). Prevalensi yang diperkirakan dari penyakit ini adalah 1 dalam 50.000. Walaupun sebagian besar penderita memiliki jumlah sel B yang matang, adalah normal namun sel plasma tidak ditemukan, menandakan bahwa diferensiasi sel B yang terkait stirnulasi antigen mengalami hambatan. Cacat produksi antibodi dikaitkan dengan cacat intrinsik sel B, sel T penolong tidak berfungsi, atau karena aktivitas supresi sel T berlebihan. Hal yang berlawanan, bahwa penderita cenderung mengalami berbagai kelainan autoimun (anemia hemolitik, anemia pernisiosa), demikian juga tumor limfoid. Mekanisme yang mendasari defisiensi antibodi bervariasi (sesuai dengan sebutannya). Sebagian penderita penyakit ini mengandungi mutasi pada reseptor sel B untuk faktor pertumbuhan tertentu, atau pada molekul yang terlibat pada interaksi antara sel T dan sel B. Walaupun demikian, dasar genetik dari sebagian besar kasus penyakit ini tidak diketahui.



Defisiensi igA yang Terpisah Dari semua penyakit imunodefisiensi primer yang paling sering ditemukan, ialah defisiensi IgA yang mengenai sekitar 1 di antara 700 individu berkulit putih. Seperti yang diperhatikan sebelumnya, IgA adalah imunoglobulin utama di dalam sekresi mukosa dan oleh karena itu berperan pada reaksi pertahanan di saluran napas dan gastrointestinal. Walaupun sebagian besar individu dengan kelainan ini tidak menunjukkan gejala penyakit, pertahanan mukosa yang lemah menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi sinopulmonal dan diare yang berulang. Terdapat juga hubungan bermakna (tetapi tidak dapat diterangkan) dengan penyakit autoimun. Patogenesis defisiensi IgA tampaknya terkait dengan hambatan dalam diferensiasi akhir dari sel B yang mensekresi IgA menuju sel plasma; antibodi subkelas IgM dan IgG menunjukkan kadar normal atau supranormal. Dasar molekuler dari cacat ini tidak dirnengerti.



Sindrom Hiper-IgM Pada reaksi imun normal terhadap antigen protein, antibodi IgM diproduksi pertama kali, diikuti oleh pembentukan secara berurutan dari antibodi IgG, IgA dan IgE. Seperti dibahas



141



sebelumnya di dalam bab ini, penampilan berurutan berbagai tipe antibodi disebut pengalihan kelas (isotip) rantai-berat dan penting untuk pembentukan kelas-kelas antibodi yang dapat mengaktifkan komplemen secara efektif dan/ atau opsonisasi patogen bakteri. Kernampuan sel B yang memproduksi IgM untuk mengaktifkan gen transkripsi yang menyandi isotip immunoglobulin lain bergantung kepada sitokin tertentu, demikian juga kepada isyarat yang diperantarai kontak dari sel T penolong CD4+. Isyarat yang bergantung kepada kontak diberikan oleh interaksi antara molekul CD40 pada sel B dan CD4OL (juga dikenal sebaga CD154) yang dipaparkan pada sel T penolong yang teraktifkan. Penderita dengan sindrom hiper-IgM memproduksi IgM dalam kadar normal atau supranormal, tetapi tidak mampu memproduksi isotip IgG, IgA dan IgE; cacat yang mendasarinya adalah ketidakmampuan sel T membantu fungsi pengalihan isotip pada sel B. Abnormalitas genetik yang paling sering adalah mutasi gen yang menyandi CD4OL. Gen ini terletak pada kromosom X. Oleh karena itu sekitar 70% penderita sindrom hiper IgM terkait dengan kromosom X (X-linked). Pada kasus lain yang tersisa, mutasi terjadi pada gen CD40, atau molekul lain yang terlibat pada pengalihan kelas, misalnya enzim yang disebut activation-induced deaminase. Di samping cacat pengalihan kelas, pada individu dengan mutasi CD4OL atau CD40, juga terdapat cacat produksi antibodi dengan afinitas tinggi, karena mekanisme yang sama diperlukan untuk pematangan afinitas dari reaksi antibodi. Walaupun penyakit ini didiagnosis dan sebutannya dikaitkan dengan abnormalitas antibodi, pada penderita dengan mutasi CD40 atau CD4OL terdapat juga cacat imunitas seluler karena interaksi CD40- CD4OL penting untuk aktivasi yang diperantarai sel T penolong terhadap makrofag, sebagai reaksi sentral dari imunitas seluler. Penderita pria dengan bentuk X-linked dari sindrom hiper-IgM tampil dengan infeksi piogenik yang berulang disebabkan oleh kekurangan jumlah antibodi IgG yang membantu opsonisasi. Penderita juga peka terhadap infeksi patogen intrasel yang biasanya diperangi oleh imunitas seluler, termasuk Pneurnacystis jiroveci (dahulu disebut Pneuntocystis carinii).



Hipoplasia Timus: Sindrom DiGeorge Sindrom DiGeorge terjadi dari cacat kongenital dalam pengembangan timus dengan gangguan pematangan sel T. Sel T tidak ditemukan pada kelenjar getah bening, Iimpa, dan darah tepi, dan bayi dengan cacat ini sangat peka terhadap infeksi virus, fungus, dan protozoa. Penderita juga peka terhadap infeksi bakteri intrasel, karena cacat imunitas yang diperantarai sel T. Sel B dan kadar imunoglobulin serum umumnya tidak dipengaruhi. Kelainan ini diakibatkan oleh malformasi pada masa perkembangan yang mengganggu relung farings ketiga dan keempat, struktur yang berkembang menjadi timus, kelenjar paratiroid dan bagian dari wajah serta arkus aorta. Oleh karena itu, di samping cacat timus dan sel T, mungkin terdapat hipoplasia kelenjar paratiroid, yang menyebabkan tetani jenis hipokalsemia, demikian juga abnormalitas perkembangan di daerah garis tengah (midline abnormalities). Pada 90% kasus sindrom DiGeorge terdapat kehilangan bagian kromosom (delesi) pada daerah 22q11, seperti yang dibahas pada Bab 6. Transplantasi jaringan timus telah berhasil mengobati bayi yang terkena. Pada penderita dengan gangguan parsial, imunitas dapat pulih spontan dengan bertambahnya usia.



142



BAB4



Penyakit Sistem Imun



imunodefisiensi Gabungan yang Parah Imunodefisiensi gabungan yang parah (severe combined immintodeficiency/SCID) mewakili sindrom genetik yang berbeda dari yang lain dengan gambaran umum cacat reaksi kekebalan humoral dan seluler. Bayi yang terkena peka terhadap infeksi parah yang berulang yang disebabkan oleh berbagai patogen, termasuk bakteri, virus, fungus dan protozoa, dan infeksi oportunistik oleh Candida, Przeumocystis, CMV, dan Pseudornonas. Patogen Ini menyebabkan penyakit yang parah (dan kadang-kadang bersifat letal). Prevalensi penyakit kira-kira 1 di antara 65.999 sampai 1 di antara 100.000, dan kekerapannya pada penduduk asli Amerika adalah 20 sampai 30 kali lebih tinggi. Walaupun gambaran klinisnya umum, cacat yang mendasari pada penderita secara individu sangat beragam. Sebagian bentuk SCID disebabkan oleh cacat tunggal yang memengaruhi baik sel T maupun sel B, dan yang lain mungkin akibat cacat primer pada sel T dengan kelainan sekunder pada imunitas humoral. Kira-kira separuh kasus adalah x-linked; ini disebabkan mutasi pada gen yang menyandi rantai y yang unzunt, yang juga dimiliki oleh reseptor sitokin IL-2, IL-4, IL-7, IL-9 dan IL-15. Di antara sitokin-sitokin ini, IL-7 adalah yang paling penting pada penyakit ini karena itu adalah faktor pertumbuhan yang berperan untuk menunjang ketahanan hidup dan pengembangan sel asal (precursor) B dan T yang belum matang pada organ limfoid generatif. Sebagian lain, 40% sampai 50%, kasus SCID diwariskan secara autosomal resesif, sehingga sekitar separuh disebabkan oleh mutasi pada adenosine deamitzase (ADA), suatu enzim yang berperan pada metabolisme purin. Defisiensi ADA merupakan akibat penimbunan metabolit adenosin dan deoksiadenosin trifosfat, yang menghambat sintesis DNA dan toksik terhadap limfosit. Kasus autosomal resesif lain dari SCID terkait dengan cacat dalam jalur metabolisme purin yang lain, kegagalan primer pemaparan MHC kelas 11, atau mutasi pada gen yang menyandi rekombinan yang berperan pada pengaturan kembali gen reseptor antigen limfosit. Pada dua bentuk SCID yang paling sering (mutasi rantai y umum dari reseptor sitokin dan defisiensi ADA), terdapat hipoplasi timus. Kelenjar getah bening dan jaringan limfoid (contoh pada tonsil, usus, dan apendiks) mengalami atrofia dan tidak ditemukan pusat germinal demikian juga sel T parakorteks. Penderita yang terjangkiti mungkin mengalami Iimfopenia, disertai defisiensi baik sel T maupun sel B; yang lain mungkin menunjukkan peningkatan jumlah sel T yang belum matang dan/atau jumlah sel B yang nonfungsional sebagai akibat tidak adanya bantuan sel T. Penderita dengan SCID akhir-akhir ini diobati dengan transplantasi sumsum tulang. X-SCID adalah penyakit pertama yang berhasil diobati dengan terapi gen menggantikan gen yang bermutasi, tetapi pendekatan itu sedang dievaluasi kembali karena sebagian penderita yang diobati mengalami perkembangan leukemia sel T, yang diduga karena gen yang dipergunakan diselipkan dekat dengan onkogen seluler.



Cacat pada Aktivasi Limfosit Sebagian kecil penderita mengalami mutasi pada gen yang diperlukan untuk aktivasi sel T telah ditetapkan dan tampil dengan cacat imunitas seluler atau fenotipe yang mirip SCID. Salah satu hal yang menarik adalah mutasi faktor transkripsi yang diperlukan untuk reaksi TH17. Manifestasi penyakit yang diakibatkannya termasuk infeksi fungus (dan kadang-kadang bakteri) pada kulit dan candidiasis mukokutan.



Sebaliknya, mutasi pada gen yang melibatkan reaksi TH1 menyebabkan kepekaan terhadap infeksi oleh mikobakteri atipik. Pengarnatan ini menekankan pentingnya sel TH17 untuk reaksi pertahanan terhadap infeksi fungus dan TH1 untuk memerangi infeksi bakteri intrasel. Mutasi pada gen yang menyandi protein kanal kalsium, dan unsur lain dari proses pengiriman isyarat sel T, juga telah diuraikan.



imunodefisiensi dengan Trombositopenia dan Eksema: Sindrom Wiskott-Aldrich Sindrom Wiskott-Aldrich adalah penyakit X-linked resesif yang ditandai oleh trombositopenia, eksema, dan kepekaan tinggi terhadap infeksi beridang, yang berakhir dengan kematian yang dini; pengobatan satu-satunya adalah transplantasi sumsum tulang. Ini adalah sindrom yang menantang, bahwa tampilan Idinis dan cacat imunologi sulit diterangkan berdasarkan cacat genetik yang diketahui mendasarinya. Timus pada permulaan normal, tetapi terdapat pemusnahan limfosit T yang progresif dan bertambah dengan umur, di darah tepi dan kelenjar getah bening, disertai kehilangan imunitas seluler. Di samping itu penderita tidak menunjukkan reaksi antibodi yang efektif terhadap antigen polisakarida, sehingga peka terutama terhadap infeksi bakteri yang berselubung, bakteri piogenik. Penderita yang terjangkiti cenderung mengalami perkembangan Iimfoma malignum. Gen yang berperan menyandi protein (Wiskutt-Aldrich syndrome protein) yang terikat pada beberapa reseptor membran terhadap sitoskelet. Walaupun mekanismenya tidak diketahui, cacat protein ini dapat menyebabkan kelainan morfologi sel (termasuk perubahan bentuk trombosit), atau cacat isyarat aktivasi yang bergantung pada sitoskelet kepada limfosit dan leukosit lain, disertai kelainan adhesi antar sel dan migrasi leukosit.



Defisiensi Genetik dari Unsur imunitas Alami/Bawaan Beberapa cacat genetik telah ditunjukkan memengaruhi molekul atau sel yang penting pada reaksi imun alami/bawaan yang dini terhadap mikroba.



Protein Komplemen Seperti dibahas lebih dahulu pada bab ini dan pada Bab 2, unsur komplemen memainkan peranan penting pada reaksi inflamasi dan irrtunalogi. Oleh karena itu, defisiensi herediter dari C3 (penting baik untuk jalur klasik maupun alternatif) menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri piogenik. Defisiensi herediter dari C1q, C2 dan C4 tidak menyebabkan penderita peka terhadap infeksi, tetapi meningkatkan risiko terhadap penyakit yang diperantarai kompleks-imun (contoh SLE), mungkin dengan mengganggu penyingkiran sel apoptotik atau kompleks antigenantibodi dari sirkulasi. Defisiensi unsur yang akhir dari jalur klasik komplemen (C5 sampai C9) menyebabkan infeksi berulang oleh Neisseria (gonokokus dan meningokokus) dan tidak oleh mikroba lain, karena Neisseria mempunyai dinding sel yang tipis dan terutama peka terhadap lysis oleh membrane attack complex, produk dari tahap akhir dari aktivasi komplemen. Kekurangan protein regulator Cl inhibitor, menyebabkan gangguan aktivasi Cl inhibitor, yang mengaktifkan mediator komplemen vasoaktif, yang berakibat angioedema herediter, yang ditandai oleh episode edema lokal yang berulang yang memengaruhi kulit dan/atau membran mukosa.



Penyakit Imunodefisiensi Fagosit Beberapa cacat kongenital pada fagosit sudah diketahui. lni termasuk cacat enzim oksidase fagosit (NAPDH oksidase), penyebab penyakit granuloma kronik, dan cacat pada ligan integrin dan selektin, menyebabkan defisiensi adhesi leukosit. Kelainan ini dibahas dalam Bab 2.



Kelainan Genetik Lain dari Imunicas Alami/Bawaan Mutasi pada TLR dan jalur isyaratnya sangat jarang, tetapi penelitian tentang kelainan yang terkait telah bersifat informatif. Salah satu kejutan yang telah muncul dari penyakit ini adalah bahwa imunodefisiensi biasanya sangat terbatas. Misalnya, penderita dengan mutasi yang memengaruhi TLR3, yang mengenal RNA virus, menyebabkan ensefalitis herpes simpleks yang berulang, dan yang mengalami mutasi yang memengaruhi MyD88, menyebabkan protein isyarat dibagian hifir dari banyak TLR, peka terhadap infeksi bakteri, terutama penyakit pneumokokus paru yang parah, tetapi tidak ada yang menderita infeksi multipel yang menyebar.



RINGKASAN Penyakit imunodefisiensi Primer (Kongenital) • •







Disebabkan oleh mutasi gen yang terlibat pada pematangan atau fungsi limfosic, atau pada imunitas alami/bawaan. Sebagian dari kelainan yang umum:  XLA: kegagalan dari pematangan sel B, tidak ditemukan antibodi; disebabkan oleh mutasi pada BTK, yang menyandi tirosin kinase, yang diperlukan untuk isyarat pematangan dari reseptor sel pre-B dan sel B.  Imunodefisiensi variabel yang umum: cacat dalam produksi antibodi; penyebab tidak diketahui pada sebagian besar kasus.  Defisiensi IgA selektif gagal dalam produksi IgA; penyebab tidak diketahui.  X-SCID:kegagalan pernatangan sel T dan sel B; mutasi rantai y yang umum dari reseptor sitokin, menyebabkan kegagalan pengisyaratan IL-7 dan cacat limfopoiesis.  SOD autosomal: kegagalan perkembangan sel T, cacat sekunder dari reaksi antibodi; sekitar 50% kasus disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi ADA, menyebabkan penimbunan merabolit yang toksik selama pematangan dan proliferasi limfosit.  Sindrom hiper-IgM yang kegagalan untuk memproduksi antibodi dengan pengalihan isotip berafinitas tinggi (IgG, IgA, IgE); mutasi pada gen yang menyandi CD40l. Tampilan klinis: peningkatan kepekaan terhadap infeksi pada masa dini kehidupan.



Imunodefisiensi Sekunder (Didapat) Imunodefisiensi sekunder terhadap penyakit lain atau terapi jauh lebih sering dari pada penyakit imunodefisiensi primer (herediter). Imunodefisiensi sekunder dapat dijumpai pada penderita dengan malnutrisi, infeksi, kanker, penyakit ginjal atau sarkoidosis. Namun, penyebab imunodefisiensi sekunder yang paling sering adalah oleh terapi yang menginduksi supresi sumsum tulang atau fungsi limfosit.



143



Akan dibicarakan mungkin penyakit imunodefisiensi sekunder yang paling penting, AIDS, yang telah menjadi sumber utama bencana kemanusian.



Sindrom Imunodefisiensi Akuisita (SIDA/AIDS) AIDS adalah penyakit retrovirus yang disebabkan oleh virus imunodefisiensi manusia (human immunoriefciency virus/HIV). Penyakit ditandai dengan infeksi dan musnahnya limfosit T CD4+, dan imunodefisiensi yang parah yang menyebabkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologik. Walaupun AIDS diuraikan pertama kali di Amerika Serikat, penyakit tersebut sekarang dilaporkan di hampir setiap negara di dunia. Pada akhir 2009, lebih dari 33 juta orang hidup dengan infeksi HIV dan AIDS, yang sekitar 70% di antaranya ada di Afrika dan 20% di Asia; terdapat hampir 2 juta kasus yang didiagnosis dan hampir 2 juta meninggal karena penyakit tersebut dalam tahun itu, dengan kematian total lebih dari 22 juta sejak epidemik yang diketahui pada 1981. Walaupun jurnlah terbesar infeksi terdapat di Afrika, peningkatan paling cepat dari infeksi HIV dalam dekade terakhir terjadi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Thailand, India, dan Indonesia. Angka statistik hanya sedikit lebih baik di negara Barat; misalnya sekitar 1 juta penduduk Amerika Serikat yang terinfeksi (sekitar 1 dari 300). Lebihlebih lagi, Iebih banyak penduduk Amerika (lebih dari 500.000) meninggal karena AIDS dibandingkan dengan angka gabungan kematian selama dua perang dunia. Angka kematian terkait AIDS terus menurun sejak puncaknya pada 1995. Berkat kerjasama antara banyak ilmuwan dan dokter klinis, telah terjadi ledakan pengetahuan baru tentang wabah buruk di jaman modern ini. Kemajuan penelitian sangat cepat di bidang biologi HIV sehingga tiap naskah tentang topik ini mungkin telah ketinggalan ketika dipublikasikan. Walaupun demikian, selanjutnya akan disajikan ringkasan dari informasi yang tersedia tentang, epidemiologi HIV, etiologi, patogenesis dan gambaran klinisnya.



Epidemiologi Penelitian epidemiologik di Amerika Serikat telah menetapkan lima kelompok risiko untuk terjangkitnya AIDS, dan ini mirip dengan keadaan di negara lain, kecuali yang tercatat di dalarn daftar berikut. Transmisi HIV terjadi karena pengaruh keadaan yang menzberi peluang terjadinya pertukaran darah atau cairan tubuh yang mengandungi virus atau seI yang terinfeksi virus, Oleh karena itu, jalan rnasuk utarna infeksi HIV adalah kontak seks, penyuntikan parenteral, dan penurunan virus dari ibu yang terinfeksi kepada anak baru Iahir. Pada sekitar 10% kasus, faktor risiko tidak diketahui atau tidak dilaporkan. Data distribusi kasus yang dikutip adalah untuk Amerika Serikat. • Pria yang melakukan hubungan seks dengan pria merupakan kelompok terbesar individu yang terinfeksi, mencapai 48% dari kasus yang dilaporkan pada periode 2001 sampai 2004 dan 56% dari pria yang terinfeksi (sekitar 4% di antaranya juga menggunakan obat yang disuntikkan). Walaupun demikian, transmisi AIDS pada kategori ini sedang menurun, dengan jumlah kurang dari 50% kasus baru terkait pria yang melakukan homoseks. • Kontak heteroseks dari kelompok risiko tinggi adalah 34% dari infeksi yang terjadi pada 2001 sampai 2004. Di Afrika dan Asia, ini sebenarnya kelompok paling besar dari penderita dengan infeksi baru, dan sebagian besar kasus baru adalah wanita yang terinfeksi melalui mitra prianya.



144



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



• Para penyalah guna obat tanpa riwayat homoseks merupakan kelompok kedua terbesar, mewakili sekitar 17% dari semua penderita. • Resipien darah dan unsur darah (tapi bukan hemofilia) yang mendapat transfusi darah penuh atau unsur darah (contoh trombosit, plasma) yang terinfeksi HIV berjumlah sekitar 1% dari penderita. • Penderita hemofilia, terutama yang menerima banyak faktor VIII atau IX sebelum 1985, mencapai sekitar 1% dari semua kasus. • Epidemiologi infeksi HIV dan AIDS sangat berbeda pada golongan anak (diagnosis ketika usia lebih muda dari 13 tahun). Sekitar 1% dari semua kasus AIDS, terjadi pada populasi ini, dan sebagian besar (sekitar 90%) disebabkan oleh transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi ke janin atau anak baru lahir. Penularan melalui Hubungan Seks. Penularan melalui hubungan seks sebenarnya merupakan cara infeksi utama di seluruh dunia, mencapai lebih dari 75% dari semua kasus transmisi HIV. Walaupun sebagian besar kasus yang terinfeksi melalui hubungan seks di Amerika masih disebabkan kontak seks antara pria dengan pria, namun secara global sebagian besar transmisi HIV melalui hubungan seks disebabkan aktivitas heteroseks. Bahkan di Amerika Serikat, laju peningkatan angka penularan heteroseks meninggalkan jauh angka penularan karena sebab lain; penyebaran semacam itu menyebabkan peningkatan dramatik infeksi HIV pada mitra seks wanita dari pria penyalah guna obat intravena. Virus terdapat di dalam semen, baik ekstrasel maupun di dalam sel inflamasi mononukleus, dan masuk ke dalam tubuh resipien melalui laserasi atau abrasi pada mukosa. Penularan virus ke anak baru lahir dapat terjadi baik melalui virus yang masuk secara langsung atau sel yang terinfeksi ke dalam pembuluh darah yang cedera karena jejas trauma atau diambil oleh DC mukosa. Jelaslah, bahwa penularan melalui hubungan seks dibantu dan ditambah oleh penyakit lain hubungan seks lain, yang menyebabkan laserasi genital, termasuk sifilis, syankroid dan infeksi virus herpes simpleks. Gonorea dan infeksi klamidia, merupakan kofaktor dari penularan HIV, terutama dengan meningkatkan isi cairan semen dengan sel radang (mungkin mengandungi HIV). Di samping adanya penularan pria ke pria dan pria ke wanita, HIV yang ada di vagina dan sel serviks dari wanita yang terinfeksi, dan dan dapat menjadikan penularan dari wanita ke pria, walaupun sekitar 8 kali lebih sedikit efisensinya. Penularan Melalui Jalan Di Luar Saluran Cerna (Parenteral). Penularan Parenteral dari HIV telah terdokumentasi melalui tiga kelompok yang berbeda: pengguna salah obat suntikan intra vena (kelompok paling besar), penderita hemofilia yang mendapatkan pengobatan dengan konsentrat faktor VIII atau IX, dan resipien bebas untuk transfusi darah. Di antara penggunaan salah obat, penularan terjadi melalui pemakaian bersama jarum, semprit atau perhiasan/perlengkapan yang tercemar dengan darah mengandungi HIV. Penularan HIV melalui transfusi darah atau produk darah seperti konsentrat faktor VIII yang diliofilisasi telah dihindari hampir sepenuhnya sejak 1985. Empat upaya pencegahan kesehatan masyarakat: penapisan untuk antibodi terhadap HIV pada darah dan plasma yang didonasikan, penapisan antigen p24 yang terkait HIV (dapat dideteksi sebelum antibodi terbentuk), perlakuan konsentrat faktor pernbekuan dengan suhu tinggi (panas), dan penapisan donor berdasarkan riwayat penyakit. Dengan semua upaya pencegahan tersebut, diperkirakan pada waktu ini masih terdapat satu di antara 1,5 juta donasi darah terinfeksi HIV, dan 20 komponen darah yang positif HIV berasal dari 11 donasi yang terinfeksi diedarkan tiap tahun yang berpotensi menularkan infeksi pada resipien. Dengan kemajuan uji asam nukleat, risiko yang kecil ini tampak menurun.



Penularan dari Ibu ke Bayi. Seperti diperhatikan sebelumnya, penularan vertikal dari ibu ke merupakan penyebab utama dari AIDS pada anak. Tiga jalur yang terlibat: in utero, melalui penyebaran transplasenta; intrapartum, selama persalinan; dan melalui konsumsi air susu ibu yang tercemar HIV. Di antara jalur-jalur penularan tersebut, jalur transplasenta dan intrapartum merupakan kasus yang terbanyak. Laju penularan vertikal diseluruh dunia bervariasi, antara 25% sampai 35%, dan di Amerika Serikat dilaporkan 15% sampai 25% ; laju infeksi yang lebih tinggi terjadi pada muatan virus maternal yang tinggi dan atau adanya korioamnionitis, mungkin karena penimbunan sel radang di plasenta. Oleh karena dampak AIDS yang buruk, masyarakat awam menjadi prihatin tentang penyebaran infeksi HIV di luar kelompok yang dikenal berisiko tinggi. Sebagain besar dari kecemasan ini dapat dikurangi, karena penelitian yang luas menunjukan bahwa infeksi HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak perorangan yang lazim di tempat tinggal, tempat kerja, atau sekolah, dan tidak diperoleh bukti yang meyakinkan tentang kemungkinan penularan melalui gigitan serangga. Risiko penularan infeksi ke pekerja perawatan kesehatan sangat kecil tetapi terbukti. Serokonversi terjadi setelah tidak sengaja tertusuk jarum atau karena kulit yang cedera terpapar darah yang terinfeksi di laboratorium, dengan laju sekitar 0,3% tiap pemaparan yang tidak sengaja. Sebagai perbandingan, laju serokonversi setelah paparan yang tidak sengaja dengan darah yang tercemar virus hepatitis B adalah sekitar 6% sampai 30%. Etiologi dan Patogenesis AIDS disebabkan oleh HTV, retrovirus manusia yang tergolong dalam keluarga lentivirus (yang juga beranggotakan virus imunodefisiensi kucing, virus imunodefisiensi kera, virus visna biri-biri, dan virus anemia infeksiosa kuda). Dua jenis HTV yang berbeda secara genetik tetapi secara antigen berkaitan, disebut HIV-1 dan HIY-2, telah diisolasi dari penderita AIDS. HlV-1 merupakan jenis yang lebih sering terkait denga11 AIDS di Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HlV-2 menyebabkan penyakit yang mirip terutama di Afrik Barat. Uji spesifik untuk HTV-2 sekarang tersedia, dan darah yang dikumpulkan untuk transfusi juga secara rutin ditapis terhadap seropositivitas HIV-2. Selanjutnya pembahasan terutama berkaitan dengan HIV-1 dan penyakit yang disebabkannya, tetapi pada umumnya dapat diterapkan pada HIV-2 juga.



Struktur HIV Seperti sebagian besar retrovirus, vmon HIV-1 berbentuk sferik dan mengandungi struktur padat elektron, dengan teras yang berbentuk kerucut dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel tuan rumah (Gambar 4-26). Teras virus berisi (1) protein kapsid mayor p24, (2) protein nukleokapsid p7 / p9, (3) dua kopi genom RNA, dan (4) tiga enzim virus-protease, reverse transciptase dan integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang paling mudah di deteksi dan oleh karena itu dijadikan sasaran antibodi yang digunakan untuk diagnosis HIV pada penapisan darah. Teras virus dikelilingi oleh matriks protein yang disebut p17, terletak di bawah selubung virion. Selubung virion sendiri dibangun oleh dua glikoprotein



Penyakit Imunodefisiensi gp41



Matriks p17



gp120 Capsid p24 2 lapis lipid Integrase Protease RNA Reverse transcriptase



Gambar 4--26 Struktur virus imunodefisiensi manusia (human immunodeficiency virus/HIV) Virion HIV-1. Partikel virus diselubungi oleh dua lapis lipid yang berasal dari sel tuan-rumah dan diselipi oleh glikoprotein virus gp41 dan gp120.



virus (gp120 dan gp41), penting untuk infeksi HIV pada sel. Genom proviral HIV-1 mengandungi gen-gen gag, pol dan env, yang menyandi berbagai protein virus. Produk dari gen gag dan pol pada permulaannya diterjemahkan ke dalam protein asal (prekursor) yang besar dan harus dipecah oleh protease virus menjadi protein yang matang. Obat inhibitor protease anti HIV-1 mencegah perakitan virus dengan menghambat pembentukan protein virus yang matang. Di samping tiga gen baku retrovirus, HIV mengandungi beberapa gen lain (diberi sebutan dengan tiga huruf seperti tat, rev, vif, nef, vpr, dan vpu) yang mengatur sintesis dan perakitan partikel virus yang infektif. Produk gen tnt (transaktivator), misalnya, penting untuk replikasi virus, menyebabkan peningkatkan 1000 kali transkripsi gen virus. Protein nef merangsang aktivitas kinase intrasel (memengaruhi aktivasi sel T, replikasi virus dan infektivitas virus) dan mengurangi pemaparan molekul CD4 dan MHC pada sel yang terinfeksi. Progresi infeksi HIV in vivo bergantung kepada nef; galur virus imunodefisiensi kera dengan mutasi gen nef menyebabkan AIDS pada kera pada laju yang sangat menurun, dan manusia yang terinfeksi dengan galur HIV-1 dengan nef yang tidak berfungsi (defektif) menunjukkan muatan virus rendah, dan perjalanan penyakit yang lambat dibandingkan dengan galur non mutan. Produk berbagai gen regulator penting pada patogenesis AIDS, dan pendekatan terapi dikembangkan untuk menghambat aktivitasnya. Penetapan urutan asam nukleat dari pemisahan/ isolate virus yang berbeda menghasilkan keragaman bermakna di dalam banyak bagian dari genom HIV. Keragaman tinggi ini terkait dengan tingkat kemantapan reaksi (fidelitas) yang relatif rendah dari polimerasi virus, dengan perkiraan satu kesalahan untuk tiap 100.000 replika nukleotida. Sebagian besar varian urutan asam nukleat bergerombol di bagian-bagian genom yang menyandi glikoprotein selubung. Oleh karena reaksi imun terhadap HIV 1 diarahkan terhadap selubungnya, maka keragaman yang tinggi di dalam struktur antigen menjadi penghalang besar untuk pengembangan vaksin.



145



Berdasarkan analisis genom, HIV-1 dapat dibagi menjadi dua kelompok, disebut M (mayor) dan O (outlier). Virus kelompok M, bentuk yang lebih lazim diseluruh dunia, selanjutnya dibagi ke dalam subtipe, atau clade, dengan sebutan A sampai J. Clade berbeda dalam distribusi geografiknya, yaitu B adalah bentuk paling lazim di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dan E paling lazim di Thailand. Melebihi homologi molekuler, clade juga menunjukkan perbedaan dalam cara penularan. Sehingga, clade E tersebar terutama oleh kontak heteroseks (pria ke wanita), mungkin karena kemampuannya untuk rnenginfeksi sel dendrit (DC) subepitel vagina. Sebaliknya, virus clade B sulit tumbuh di DC dan mungkin ditularkan oleh monosit dan limfosit. Siklus Kehidupan HIV Kedua sasaran utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat (SSP). Siklus kehidupan virus tersebut paling baik dimengerti dalam kaitan interaksinya dengan sistem imun. Masuknya HIV ke dalam sel memerlukan molekul CD4, yang berfungsi sebagai reseptor berafinitas tinggi untuk virus (Gambar 4-27). Persyaratan ini menjelaskan tropisme virus untuk sel T CD4+ dan kemampuannya menginfeksi sel CD4+ lain, khususnya makrofag dan sel dendrit. Walaupun demikian, ikatan dengan CD4 tidak cukup untuk infeksi; gp120 selubung HIV harus juga berikatan dengan molekul permukaan sel lain (koreseptor) untuk mendukung masuknya ke dalam sel. Dua reseptor kemokin, CCR5 dan CXCR4, melakukan peran ini. Gp120 selubung HIV (yang melekat secara kovalen ke gp41 transmembran) berikatan pada permulaan dengan molekul CD4 (Gambar 4-27). Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasi yang memaparkan situs pengenaIan baru pada gp120 untuk koreseptor CXCR4 (sebagian besar pada sel T) atau CCD5 (sebagian besar pada makrofag). Gp41 kemudian mengalami perubahan konformasi yang memungkinkannya menyisip ke dalam membran sasaran, dan proses ini mendukung fusi virus ke dalam sel. Sesudah fusi, teras (inti) virus yang mengandungi genom HIV masuk ke dalam sitoplasma dari sel. Koreseptor adalah komponen penting dalam proses infeksi HIV, dan penemuannya menyelesaikan pengamatan sebelumnya yang tidak dapat dijelaskan mengenai tropisme HIV. Telah diketahui, bahwa galur HIV dapat digolongkan menurut kemampuan relatifnya untuk menginfeksi makrofag dan/atau sel T CD4+. Galur macrophage-tropie (virus R5) menginfeksi baik monosit/makrofag dan sel T darah yang baru dipisahkan, sedangkan galur T cell-tropic (virus X4) menginfeksi hanya galur sel T yang teraktivasi. Perangai selektif ini dijelaskan oleh pemakaian koreseptor yang selektif. Galur R5 rnenggunakan CCR5 sebagai koreseptornya, dan karena CCR5 dipaparkan pada baik monosit maupun sel T, sel-sel ini peka terhadap infeksi oleh galur R5. Sebaliknya, galur X4 berikatan dengan CXCR4, yang dipaparkan oleh galur sel T (dan tidak pada monosit/makrofag), sehingga hanya sel T yang teraktivasi yang peka. Sangat menarik, sekitar 90% infeksi HIV pada permulaan ditularkan oleh galur R5. Walaupun demikian, selama perjalanan infeksi, virus-virus X4 lambat laun berakumulasi; ini terutama virulen dan berperan dalam pemusnahan sel T pada fase akhir yang cepat dari perkembangan penyakit. Diperkirakan bahwa selama perjalanan infeksi, galur R5 berevolusi menjadi galur X4, sebagai akibat mutasi gen-gen yang menyandi gp120. Individu yang mengalami cacat reseptor CCR5 (orang kulit putih di Amerika Serikat, 20% heterozigot dan 1% homozigot untuk CCR5 mutan) secara relatif



146



BAB 4



Penyakit Sistem Imun gp120



VIRUS



Berikatan dengan CD4



gp120 Perubahan konformasi



gp41



Berikatan dengan reseptor



Penetrasi membran



Fusi membran



kemokin gp41 gp120 CD4



reseptor kemokin



SITOPLASMA



Gambar 4--27 Dasar molekuler masuknya virus imunodefisiensi manusia (HIV) ke dalam sel tuan-rumah, Interaksi dengan CD4 dan reseptor kemokin ('ko-reseptor'). (Diambil atas seizin Macmillan Publishers Ltd, from Wain-Hobson S: HIV. One on one meets two. Nature 384:117, copyright 1996.)



resisten terhadap terjangkitnya AIDS, walaupun terpajan berulang dengan HIV in vivo. Karena interaksi HIV-koreseptor bermakna dalam patogenesis AIDS, pencegahan interaksi ini mempunyai nilai terapeutik yang bermakna. Sekali dimasukkan ke dalam sel, genom virus mengalami transkripsi terbalik, menyebabkan pembentukan DNA komplementer (cDNA). Pada sel T yang istirahat/tidak aktif, cDNA provirus HIV tetap berada di sitoplasma dalam bentuk episom linear. Walaupun demikian, pada sel T yang membelah, cDNA memasuki nukleus dan berintegrasi ke dalam genom tuan rumah. Setelah integrasi provirus mungkin tetap tidak mengalami transkripsi selama berbulan-bulan atau bertahuntahun, dan infeksi menjadi laten; pada keadaan lain DNA provirus mungkin mengalami transkripsi membentuk partikel virus lengkap yang membentuk tunas dari membran sel. Infeksi produktif semacam itu, terkait dengan pembentukan tunas virus yang ekstensif, menyebabkan kematian sel. Penting untuk diperhatikan, walaupun HIV-1 dapat menginfeksi sel T yang sedang istirahat, permulaan dari transkripsi DNA provirus (diikuti infeksi produktif) hanya terjadi apabila sel yang terinfeksi diaktifkan oleh pajanan terhadap antigen atau sitokin. Jadi, dalam interaksi yang kejam, reaksi fisiologis terhadap infeksi dan stimulus lain, mendukung kematian sel T yang terinfeksi HIV. Progresi Infeksi HIV Penyakit HIV mutai dari infeksi akut, yang hanya sebagian dikendalikan oleh reaksi imun tuan rumah, sampai berkembang menjadi infeksi kronik progresif dari jaringan limfoid perifer(Gambar 4-28). Jenis sel pertama yang terinfeksi mungkin sel T CD4+ memori (yang memaparkan CCR5) pada jaringan limfoid mukosa. Oleh karena jaringan mukosa merupakan reservoir sel T terbesar di dalam tubuh dan sebagai tempat utama tinggalnya sel T memori, maka kematian sel-sel ini berakibat pemusnahan limfosit yang bermakna. Transisi dari fase akut ke fase kronik dari infeksi ditandai oleh penyebaran virus, viremia, dan pengembangan reaksi imun. SeI-sel dendrit pada epitel tempat masuknya virus menangkap virus dan kemudian bermigrasi ke dalam kelenjar getah bening. Setelah di dalam jaringan



limfoid, sel dendrit mungkin menyajikan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Dalam beberapa hari setelah pajanan pertama terhadap HIV, replikasi virus dapat dideteksi di dalam kelenjar getah bening. Replikasi ini diikuti viremia, sehingga dalam waktu itu banyak partikel HIV terdapat di dalam darah penderita, disertai oleh sindrom akut HIV yang termasuk berbagai tanda dan gejala yang nonspesifik, yang khas pada banyak penyakit virus. Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T penolong, makrofag, dan sel dendrit pada jaringan limfoid perifer. Ketika infeksi menyebar, sistem imun mengembangkan reaksi imun, baik humoral maupun seluler, terhadap antigen virus. Rekasi imun ini sebagian mengendalikan infeksi dan produksi virus, dan hal ini terlihat dari penurunan viremia ke tingkat rendah tetapi terdeteksi setelah 12 minggu pasca pemajanan primer. Pada fase kronik penyakit yang kemudian, kelenjar getah bening dan limpa tnerupakan tempat replikasi HIV dan destruksi sel yang terus-menerus (Gambar 4-28). Selarna masa ini sistem imun tetap mampu menangani sebagian infeksi dengan mikroba oportunistik, dan manifestasi infeksi HIV sedikit atau nihil. Oleh karena itu, fase penyakit HIV ini disebut masa latensi klinis. Walaupun sebagian besar sel T darah perifer tidak mengandungi virus, destruksi sel T CD4+ di dalam jaringan limfoid tetap berkembang selama masa laten, dan jumlah sel T CD4+ yang beredar terus menurun. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah sekitar 10 pangkat 12 pada keadaan normal ditemukan pada jaringan limfoid, dan diperkirakan HIV menghancurkan sampai 1 atau 2 x 10 pangkat 9 sel T CD4+ tiap hari. Pada waktu dini dari perjalanan penyakit, tubuh mungkin terus membuat sel T CD4+ yang baru, sehingga sel T CD4+ dapat digantikan hampir secepat dihancurkannya. Pada stadium ini, sampai 10% sel T di organ limfoid terinfeksi, tetapi jumlah sel T CD4+ yang beredar yang terinfeksi pada satu waktu mungkin kurang dari 0.1% dari sel T CD4+ total pada kasus tertentu. Pada kenyataannya, setelah masa bertahun-tahun,



Penyakit Imunodefisiensi



Infeksi primer pada sel di darah,



Sel dendrit



Sel T CD4+



selaput lendir



Pengaliran ke kelenjar getah bening, limpa Infeksi berlangsung di jaringan limfoid, contoh kelenjar getah bening Sindrom HIV akut, penyebaran infeksi keseluruh tubuh



Reaksi imun



Viremia



Antibodi anti-HIV Pengendalian parsial replikasi virus



CTL khas-HIV



Provirus



Infeksi derajat-rendah



Infeksi mikroba lain; sitokin (contoh TNF)



Mekanisme Pemusnahan Sel T pada Infeksi HIV Mekanisme utama dari kehilangan sei T CD4+ adalah infeksi HIV yang berakibat lisis sel, dan kematian sei selama replikasi virus dan produksi virion (Gambar 4-29). Seperti virus sitopatik yang lain, HIV menghancurkan fungsi sel yang cukup untuk menyebabkan kematian sel yang terinfeksi. Di samping lisis sel langsung, mekanisme lain mungkin menyebabkan kehilangan sel: • Kehilangan asal (prekursor) sel T CD4+ yang belum matang, baik oleh karena infeksi langsung sel progenitor timus atau oleh karena infeksi seI aksesori yang mensekresikan sitokin yang esensial untuk pematangan sel T CD4+. Hasilnva adalah penurunan produksi sel T CD4+ yang matang. • Aktivasi kronik sel yang tidak terinfeksi oleh antigen HIV atau oleh mikroba yang infektif yang lain mungkin menyebabkan apoptosis sel T. Oleh karena kematian yang diinduksi oleh aktivasi dari sel yang tidak terinfeksi, jumlah sel T yang mati mungkin jauh lebih besar daripada jumlah sel yang terinfeksi HIV.



• Fusi dari sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi menyebabkan pembentukan sinsitium (sel datia). Pada biakan sel, gp120 yang terpapar pada sel yang terinfeksi berat berikatan dengan molekul CD4 pada sel T yang tidak terinfeksi,



Tabel 4–11 Abnormalitas Utama dari Fungsi Imun pada AIDS Replikasi virus ekstensif dan lisis sel CD4+



AIDS



siklus yang terus-menerus dari infeksi virus dan kematian sel T menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi. Di samping pemusnahan sel T, abnormalitas telah diuraikan pada banyak unsur sistem imun, diberikan ringkasan pada Tabel 4-11. Selanjutnya dibahas cacat utama pada sel imun selama perjalanan infeksi HIV



• Infeksi berbagai sel di jaringan limfoid mungkin merusak arsitektur normal, menyebabkan kelainan reaksi imun.



Latensi klinis Infeksi laten



147



Destruksi jaringan limfoid: deplesi sel T CD4+



Gambar 4--28 Patogenesis infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Pada permulaan, HIV menginfeksi sel T dan makrofag langsung atau dibawa ke sel tersebut oleh sel Langerhans. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menyebabkan viremia dan penyebaran lebih luas pada jaringan limfoid. Viremia dikendalikan oleh reaksi imun tuan rumah (tidak ditunjukkan), dan penderita kemudian masuk pada fase latensi klinis. Selama fase ini, replikasi virus baik pada sel T maupun makrofag berlanjut tidak terkendali, tetapi terdapat sebagian hambatan terhadap virus (tidak digambarkan). Selanjutnya terjadi erosi bertahap sel CD4+ karena infeksi produktif (atau mekanisme lain, tidak ditunjukkan). Akhirnya, jumlah sel CD4+ menurun dan penderita menunjukkan gejala klinis dari AIDS yang lengkap dan parah (full-blown). Makrofag juga terjangkiti pertumbuhan virus secara dini; mereka tidak mengalami lisis oleh HIV dan mengangkut virus ke jaringan, terutama otak.



Limfopenia Terutama disebabkan oleh kehilangan subset sel T penolong CD4+ secara selektif; penurunan ratio CD4+/CD8+



Penurunan Fungsi Sel T in vivo Kehilangan sel T yang teraktifkan dan sel T memori yang terpilih (preferential) Penurunan hipersensitivitas tipe-lambat Kepekaan terhadap infeksi oportunistik Kepekaan terhadap neoplasma



Perubahan Fungsi Sel T in vivo Penurunan reaksi proliferasi terhadap mitogen, aloantigen, dan antigen terlarut Penurunan sitotoksisitas Penurunan fungsi penolong untuk produksi antibodi oleh sel B Penurunan produksi interleukin-2 dan interferon-γ



Aktivasi Sel B Poliklonal Hipergamaglobulinemia dan kompleks imun yang beredar ketidakmampuan untuk membentuk antibodi terhadap antigen baru secara de novo Reaksi lemah terhadap isyarat normal untuk aktivasi sel B in vitro penurunan kemotaksis dan fagositosis Penurunan ekspresi antigen HLA kelas II Pengurangan kapasitas untuk menyajikan antigen kepada sel T Peningkatan sekresi spontan interleukin-I, tumor necrosis factor, interleukin-6 HLA. human leukocyte onugen.



148



BAB 4



Penyakit Sistem Imun HIV



CD4 CD4



Aktivasi sel T kronik



CTL khas-HIV



Replikasi virus pada sel T CD4+ yang terinfeksi



Kematian sel yang terinfeksi (efek stopatik virus)



Aktivasi sel T CD4+ yang tidak terinfeksi



Kematian sel akibat aktivasi (apoptosis)



Pemaparan peptida HIV pada sel T CD4+ yang terinfeksi



Pembunuhan sel yang terinfeksi oleh CTL khas-virus



Gambar 4--29 Mekanisme kehilangan sel T CD4+ pada infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Sebagian dari mekanisme yang diketahui dan yang dipostukatkan dari deplesi sel T setelah infeksi HIV ditunujukkan.



diikuti oleh fusi sel, penggelembungan, dan kematian dalam waktu beberapa jam. Perangai pembentukan sinsitium ini terbatas pada galur X4 dari HIV • Sel T CD4+ yang tidak terinfeksi mungkin mengikat gp120 terlarut ke molekul CD4, menyebabkan pengiriman isyarat yang salah dan apoptosis. • Sel T CD4+ yang terinfeksi mungkin dibunuh oleh CTL CD8+ yang spesifik terhadap HIV. Kehilangan sel CD4+ menyebabkan pembalikan rasio CD4+/CD8+ di darah tepi. Jadi, pada individu normal rasio CD4+/CD8+ adalah 1 sampai 2, sedangkan penderita AIDS menunjukkan ratio 0.5 atau kurang. Inversi semacam itu adalah penernuan yang lazim pada AIDS, tetapi itu dapat juga terjadi pada infeksi virus lain dan oleh karena itu tidak bersifat diagnostik. Walaupun reduksi mencolok dari seI T CD4+ adalah ciri utama AIDS dan dapat berkaitan dengan imunodefisiensi pada waktu kemudian dari perjalanan infeksi HIV, terdapat juga bukti yang kuat untuk cacat kualitatif dari fungsi sel T yang dapat dideteksi bahkan pada individu terinfeksi HIV yang asimtomatik. Cacat semacam itu termasuk penurunan proliferasi sel T yang diinduksi antigen, kelainan produksi sitokin sel TH1, dan kelainan pengiriman isyarat intrasel. Terdapat juga kehilangan selektif pada waktu dini dari perjalanan penyakit, mungkin berhubungan dengan banyaknya sel ini di jaringan mukosa dan peningkatan pemaparan CCR5 pada subset sel T. Infeksi kronik atau laten tingkat rendah dari sel T (dan makrofag) adalah perangai penting dari infeksi HN. Walaupun hanya jarang ditemukan sel T CD4+ yang memaparkan virus yang infektif pada waktu dini dalam perjalanan infeksi, sampai 10% sel T kelenjar getah bening dapat dibuktikan benar-benar mengandungi genom HIV. Secara luas dipercaya, bahwa provirus yang terintegrasi,



tanpa produksi virus (infeksi laten), dapat menetap di dalam sel selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan dengan terapi antiretrovirus yang sangat aktif (yang dapat menyingkirkan sebagian besar virus di dalam darah), virus laten bersembunyi di dalam sel CD4 + kelenjar getah bening (sebanyak 0,05% dari sel T jenis hidup lama yang sedang istirahat terinfeksi). Penyelesaian siklus kehidupan virus pada infeksi laten memerlukan aktivasi sel. Jadi, apabila sel yang terinfeksi dan bersifat laten teraktivasi oleh antigen lingkungan, akibat yang tidak menguntungkan adalah peningkatan transkripsi DNA provirus. Peningkatan transkripsi ini menyebabkan peningkatan produksi virion, dan dalam hal sel T juga menyebabkan lisis sel. Di samping itu, TNF, IL1 dan IL6 yang diproduksi oleh makrofag yang teraktifkan selama reaksi imun yang normal dapat juga meningkatkan transkripsi HIV (Gambar 4-28). Tampaknya, HIV meningkat bila makrofag tuan rumah dan sel T teraktifkan secara fisiologis (contoh melalui infeksi selingan oleh mikroba lain). Gaya hidup penderita yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat mengalami situasi yang meningkatkan risiko untuk pajanan berulang dari infeksi yang ditularkan secara seks yang lain; di Afrika keadaan sosio-ekonomik memberikan beban lebih tinggi untuk memperoleh infeksi mikroba kronik. Mudah untuk mengerti bagaimana penderita AIDS masuk ke dalam Iingkaran setan (vicious circle) destruksi sel T; infeksi yang menyebabkan penderita peka karena berkurangnya fungsi sel T penolong yang menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi, yang kemudian meningkatkan produksi HIV, disertai infeksi dan kehilangan sel T CD4+ selanjutnya. Monosit/Makrofag pada Infeksi HIV Di samping infeksi pada sel T CD4+, infeksi monosit dan makrofag juga penting pada patogenesis penyakit H1V. Mirip dengan sel T, sebagian besar



Penyakit Imunodefisiensi makrofag yang terinfeksi HIV ditemukan di dalam jaringan dan tidak ditemukan di dalam darah. Sebanyak 10% sampai 50% makrofag di dalam jaringan tertentu, seperti otak dan paru mungkin terinfeksi. Beberapa aspek tambahan dari infeksi makrofag perlu ditekankan: • Walaupun pembelahan sel diperlukan untuk integrasi dan replikasi berikutnya dari sebagian besar retro-virus, HIV-1 dapat menginfeksi dan berkembang biak pada makrofag yang berada pada tahap akhir diferensiasi dan tidak melakukan pembelahan lagi, sebagai suatu perangai yang ditentukan oleh gen vpr dari HIV. • Makrofag yang terinfeksi menyembulkan tunas virus yang jumlahnya relatif sedikit tetapi banyak jumlah besar partikel virus yang terletak di dalam vesikel intrasel. • Berbeda dengan sel T CD4+, makrofag sangat resisten terhadap efek sitopatik dari HIV dan oleh karena itu dapat mengandungi virus dalam jangka lama. • Pada lebih dari 90% kasus, infeksi HIV ditularkan oleh galur virus R5. Makin virulen galur X4 yang berkembang kemudian pada perjalanan infeksi HIV maka tidak efisien dalam menularkan HIV ke monosit. Ini menunjukkan bahwa infeksi permulaan pada makrofag (atau DC) bersifat menentukan untuk penularan HIV. Oleh karena itu, dalam semua kemungkinan, makrofag merupakan penjaga gawang (gate keeper) dari infeksi HIV. Di samping bersifat sebagai pintu masuk untuk penularan permulaan, monosit dan makrofag merupakan tempat penyimpanan (reservoir) dan tempat pembentukan (pabrik) virus, yang hasilnya terlindung kuat oleh reaksi pertahanan tubuh. Monosit yang beredar juga menjadi wahana transpor HIV ke berbagai bagian tubuh, terutama sistern saraf. Pada stadium akhir infeksi HIV, apabila jumlah sel T CD4+ sangat berkurang, makrofag tetap menjadi tempat utama replikasi virus yang berlangsung terus. Walaupun jumlah monosit yang terinfeksi HIV di dalam peredaran rendah, cacat fungsinya (contoh aktivitas mikrobisidal terganggu, kemotaksis menurun, produksi sitokin abnorrnal, kemampuan penyajian antigen berkurang) sangat membebani reaksi pertahanan tubuh.



Sel Dendrit (DC) pada Infeksi HIV Di samping makrofag, dua jenis DC juga nerupakan sasaran penting untuk permulaan dan pemeliharaan infeksi H1V: DC mukosa dan folikel. Seperti dibahas sebelumnya, DC mukosa menangkap virus dan mengangkutnya ke kelenjar getah bening regional, tempat terjadinya infeksi sel T CD4+. DC folikel pada pusat germinal dari kelenjar getah bening merupakan reservoir HIV yang penting. Walaupun sebagian DC folikel terinfeksi HIV, sebagian besar partikel virus ditemukan pada permukaan dari bagian yang menjulur dari sel dendrit, termasuk yang terikat dengan reseptor Fc melalui kompleks HIV-antibodi anti-HIV. Virion yang terlapisi antibodi berada di DC folikel mempertahankan kemampuannya untuk menginfeksi sel T CD4+. Infeksi HIV pada makrofag dan DC juga menganggu fungsi populasi sel ini, dengan efek sekunder terhadap kemampuan sel T untuk bereaksi. Sel B dan Limfosit Lain pada Infeksi HIV Walaupun banyak perhatian telah diarahkan pada sel T dan makrofag, penderita AIDS juga menunjukkan abnormalitas berat pada fungsi sel B. Hal yang bertentangan adalah bahwa penderita dengan hipergamaglobulinemia dan kompleks yang beredar adalah akibat dari aktivasi sel B. Ini mungkin disebabkan oleh banyak faktor, termasuk infeksi dengan CMV atau EBV, yang kedua-duanya adalah aktivator poliklonal sel B.



149



Gp41 dari HIV sendiri dapat meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel B, dan makrofag yang terinfeksi HIV memproduksi 1L-6 dalam jumlah yang meningkat, yang meningkatkan proliferasi sel B. Walaupun terdapat sel B yang teraktifkan secara spontan, penderita AIDS tidak mampu untuk memproduksi antibodi terhadap antigen yang baru dihadapi. Ini tidak hanya disebabkan oleh cacat bantuan sel T, tetapi juga karena reaksi terhadap antigen yang bergantung pada sel T mengalami supresi, yang menunjukkan tambahan cacat sel B. Kelainan reaksi antibodi humoral cenderung menyebabkan individu peka terhadap infeksi bakteri berselubung (contoh S.pneumoniae dan H. influenzae) yang memerlukan antibodi untuk reaksi opsonisasi dan penyingkiran mikroba yang efektif. Sel T CD4+ memainkan peranan penting mengatur reaksi imun: mereka memproduksi berbagai jenis sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan hemato-poietik (contoh gran ulocyte-macrophagecolony-stimulating-factor). Oleh karena itu, kehilangan "ntaster cell" ini mempunyai dampak buruk pada hampir setiap sel lain dari sistem imun, seperti yang diringkaskan pada Tabel 4-11.



Patogenesis Terjangkitnya CNS Patogenesis dari manifestasi neurologik pada AIDS memerlukan perhatian khusus karena, di samping sistem limfoid, sistem saraf adalah sasaran utama infeksi HIV. Makrofag dan sel yang tergolong alur sel monosit-makrofag (sel mikroglia) adalah jenis sel predominan pada otak yang terinfeksi HIV. Virus tersebut lebih cenderung diangkut ke otak oleh monosit yang terinfeksi (sehingga HIV yang terpisah di otak hampir selalu adalah tipe R5). Walaupun demikian, mekanisme kerusakan otak yang diinduksi HIV masih belum jelas. Oleh karena neuron tidak terinfeksi oleh HIV, dan luasnya perubahan neuropatologis seringkali lebih kecil daripada keparahan gejala neurologik yang diharapkan, maka sebagian besar pakar menganggap bahwa cacat neurologik disebabkan secara tidak langsung oleh produk virus dan faktor terlarut (contoh sitokin seperti TNF), yang diperoduksi oleh makrofag dan sel mikroglia. Sebagai tambahan, telah dipostulatkan jejas terkait oksida nitrat pada sel neuron diinduksi oleh gp41 dan kerusakan neuron langsung oleh gp120 dari HIV yang terlarut.



RINGKASAN Siklus Kehidupan Virus Imunodefisiensi Manusia dan Patogenesis AIDS •



Masuknya virus ke dalam sel: memerlukan CD4 koreseptor, yang merupakan reseptor kemokin; terlibat ikatan antara gp 120 virus dan fusi dengan sel diperantarai protein virus gp41; sasaran seluler utama: penolong CD4+, makrofag dan DC.



dan pada yang sel T







Replikasi virus: integrasi genom provirus ke dalam DNA sel tuan rumah; memicu pemaparan gen virus dengan rangsangan yang mengaktifkan sel yang terinfeksi (contoh mikroba yang infektif, sitokin yang diproduksi selama reaksi imun normal).







Perkembangan infeksi: infeksi akut pada sel T dan DC mukosa; viremia dengan penyebaran virus; infeksi laten sel pada jaringan limfoid; replikasi virus yang terus-menerus dan kehilangan sel T CD4+ yang progresif.



150 •



BAB 4



Penyakit Sistem Imun replikasi virus, yang berlanjut di dalam sel T CD4+ dan makrofag di dalam jaringan (khususnya organ limfoid).



Mekanisme imunodefisiensi: 



 



Kehilangan sel T CD4+: kematian sel T selama replikasi virus dan pembentukan tunas (menyerupai infeksi sitopatik lain); apoptosis yang terjadi akibat rangsangan kronik; pembentukan sel timus berkurang; cacat fungsi. Cacat fungsi makrofag dan DC Kehancuran arsitektur jaringan limfoid (fase lambat)



Riwayat Penyakit dan Perjalanan Klinis Perjalanan klinis infeksi HIV dapat dimengerti dengan baik bila dikaitkan dengan interaksi antara HIV dan sistem imun. Tiga fase yang mencerminkan dinamika interaksi tuan rumah-virus dapat disimak: (1) fase dini yang bersifat akut, (2) fase pertengahan yang bersifat kronik dan (3) fase akhir yang bersifat krisis (Gambar 4-30). • Fase akut menggambarkan reaksi permulaan dari individu dewasa yang imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase ini khas berwujud penyakit yang berlangsung terbatas (self-limited) yang berkembang pada 50% sampai 70% dari individu yang terjangkit pada masa 3 minggu sampai 6 minggu setelah infeksi; hal ini ditandai oleh gejala yang tidak khas termasuk sakit tenggorok, mialgia, demam, ruam kulit, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai oleh produksi virus yang banyak, viremia, dan penyebaran infeksi pada jaringan kelenjar getah bening perifer, dengan penurunan sel T CD4+ ringan. Walaupun demikian, segera berkembang reaksi imun terhadap virus, dibuktikan dengan serokonversi (biasanya dalam waktu 3 sampai 17 minggu setelah pemajanan) dan oleh pembentukan CTLs CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, jumlah sel T CD4+ pulih mendekati normal. Walaupun demikian, reduksi virus di dalam plasma bukan merupakan isyarat berakhirnya



AKUT



KRONIK



• Fase kronik pada waktu pertengahan, menggambarkan stadium dengan keadaan virus relatif menetap. Sistem imun sebagian besar utuh pada tahap ini, tetapi terdapat replikasi HIV yang berlanjut yang mungkin berlangsung selama beberapa tahun. Penderita mungkin tanpa gejala atau menunjukkan limfadenopati yang menetap, dan infeksi oportunistik ringan ("minor") seperti bercak keputihan di mukosa (Candida) atau herpes zoster. Selama fase ini, replikasi virus di dalam jaringan limfoid berlanjut tidak mereda; jadi tidak ada latensi mikrobiologis yang sesungguhnya dari infeksi HIV. Meluasnya perkembangan virus disertai dengan kehilangan sel T CD4+ yang berlanjut terus, tetapi sel CD4+ diperbaharui dalam proporsi yang besar sehingga penurunan sel CD4+ pada darah tepi tidak terlalu parah. Setelah jangka waktu yang bervariasi lamanya, jumlah sel CD4 + mulai menurun, proporsi sel yang bertahan hidup dari sel CD4+ yang terinfeksi HIV meningkat, dan pertahanan tubuh mulai melemah. Limfadenopati yang menetap disertai gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam kulit dan rasa leiah) mencerminkan permulaan dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus dan permulaan dari fase "krisis". • Tahap akhir fase krisis, ditandai oleh penurunan reaksi pertahanan tubuh yang parah, viremia yang sangat meningkat, dan penyakit klinis yang parah. Secara khas, penderita tampil dengan demam lebih lama dari 1 bulan, rasa lelah, kehilangan berat badan, dan diare; hitung jenis sel CD4+ berkurang sampai di bawah 500 sel/pL. Setelah interval waktu yang bervariasi muncul infeksi oportunistik yang parah, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologik (dikenal sebagai persyaratan penetapan AIDS/AIDS-defining conditions), dan penderita dikatakan mengalami AIDS yang berkembang lengkap (ullblown AIDS). Bahkan apabila persyaratan penetapan AIDS tidak ditemukan, pedoman dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and



KRISIS



Infeksi primer



1000 900 800



Penyakit oportunistik



Latensi klinik



700 Sel T CD4/mm3



Kematian



Gejala konstitusional



600 500



107 106 105 104



400 300



103



200 100 0



A



0



3



6



9 12



Minggu



1



2



3



4



5



6



7



Tahun



8



9 10 11



102



Antibodi anti-selubung



Magnitude of response (arbitrary values)



Sindrom HIV akut Penyebaran virus luas Penyebaran virus ke kelenjar getah bening



1100



108 Viremia (HIV RNA salinan/mL plasma)



1200



Antibodi anti-p24



CTL khaspeptida HIV



0



B



3



6



9 12



Minggu



1



2



3



4



Partikel virus dalam plasma 5



6



7



Tahun



8



9 10 11



Gambar 4--30 Reaksi klinis dan imunologi terhadap infeksi virus imunodefisiensi manusia HIV. A, Perjalanan klinis. Masa dini setelah infeksi primer ditandai oleh penyebaran virus, pengembangan reaksi imun terhadap HIV, dan seringkali terjadi sindrom virus akut. Selama mata latensi klinis, replikasi virus berlanjut, dan jumlah sel T CD4+ berangsur berkurang sampai mencapai derajat kritis yang di bawah nilai tersebut terjadi risiko besar untuk penyakit yang berhubungan dengan AIDS. B, Reaksi imun terhadap infeksi HIV. Reaksi limfosit T sitotoksik (CTL) terhadap HIV dapat dideteksi 2-3 minggu setelah infeksi permulaan dan memuncak setelah 9-12 minggu. Ekspansi mencolok dari klon sel T CD8+ khas-virus terjadi selama masa ini, dan sampai 10% dari CTL penderita mungkin khas-HIV pada 12 minggu. Reaksi imun humoral terhadap HIV memuncak pada sekitar 12 minggu.



(A, Digambar ulang dari Fauci AS, Lane HC: Human immunodeficiency virus disease: AIDS and related conditions. Dalam Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al [eds]: Harrison’s Principles of Internal Medi-cine, 14th ed. New York, McGraw-Hill, 1997, p 1791.)



Penyakit Imunodefisiensi Prevention/ CDC) menetapkan bahwa tiap individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ 200 sel/pt atau kurang, sebagai penderita AIDS. Tanpa pengobatan, sebagian besar penderita infeksi HIV berkembang menjadi AIDS setelah fase kronik yang berlangsung 7 tahun sampai 10 tahun. Pengecualian dari kerangka waktu ini dijumpai pada kelompok yang disebut rapid progressors dan longterm nonprogressors. Pada rapid progressors, fase pertengahan yang kronik lebih pendek sampai 2 tahun atau 3 tahun setelah infeksi primer. Nonprogressors (kurang dari 5% individu yang terinfeksi) ditetapkan sebagai penderita yang terinfeksi HIV yang tetap asimtomatik selama 10 tahun atau lebih, dengan jumlah sel CD4+ stabil dan viremia rendah dalam plasma; perlu dicatat bahwa AIDS dapat berkembang pada sebagian besar penderita ini, meskipun setelah masa latensi klinis yang sangat memanjang. Walaupun telah banyak diteliti, penyebab dari nonprogresi tidak diketahui. Karena kehilangan kemampuan imun berhubungan dengan penurunan jumlah sel T CD4+, maka klasifikasi CDC tentang infeksi HIV menggolongkan penderita ke dalam tiga kategori berdasarkan jumlah sel T CD4+: lebih dari 500 sel/gL, di antara 200 dan 500 sel/pL, dan kurang dari 200 sel/gL. Penderita pada kelompok pertama biasanya asimtomatik; jumlah sel di bawah 500 sel/gL berhubungan dengan gejala dini, dan penurunan sel T CD4+ di bawah 200 sel/gL berhubungan dengan imunosupresi berat. Untuk penatalaksanaan klinis, jumlah sel CD4+ adalah data tambahan penting di samping pengukuran muatan virus HIV. Tetapi, makna dari dua pengukuran ini agak berbeda: Apabila jumlah sel CD4+ menunjukkan status penyakit penderita pada saat pengukuran, sedangkan muatan virus HIV memberikan informasi tentang arah progresi penyakit. Walaupun ringkasan tentang perjalanan klinis ini benar untuk kasus yang tidak diobati atau yang refrakter terhadap pengobatan, terapi anti-retrovirus yang dikembangkan akhir-akhir ini telah mengubah perjalanan penyakit dan sangat menurunkan angka kejadian infeksi oportunistik (seperti pneumonia Pnemocystis carinii) dan tumor (seperti sarkoma Kaposi). Walaupun demikian, terapi yang ada tidak menyingkirkan semua virus dan penyakit kambuh bila pengobatan dihentikan. Demikian juga, tidak diketahui apakah virus yang resisten terhadap obat akan menyebar luas.



Gambaran Klinis Manifestasi klinis infeksi HIV berkisar antara penyakit akut ringan sampai penyakit yang parah. Karena perangai klinis yang penting dari infeksi HIV fase akut, dini dan kronik, serta fase pertengahan sudah diuraikan sebelumnya, maka hanya manifestasi klinis dari fase terminal, AIDS yang berkembang lengkap, yang diberikan ringkasannya di sini. Di Amerika Serikat penderita dewasa dengan AIDS tampil dengan demam, kehilangan berat badan, diare, limfadenopati menyeluruh, infeksi oportunistik multipel, penyakit neurologik, , dan (pada banyak kasus) neoplasma sekunder. Infeksi dan neoplasma yang diberikan pada Tabel 4-12 dimasukkan pada definisi "surveillance" dari AIDS. infeksi Oportunistik. Infeksi oportunistik diperhitungkan menyebabkan sekitar 80% kematian di antara penderita penyandang AIDS. Spektrumnya selalu berubah-ubah, dan angka kejadiannya menurun tajam akibat terapi antiretro-virus yang efektif. Ringkasan pendek dari infeksi oportunistik yang selektif akan diberikan di sini. Pneumonia yang disebabkan oleh fungus oportunistik P. jiroveci (mencerminkan reaktivasi infeksi laten sebelumnya) merupakan tampilan penyakit pada banyak kasus, walaupun



151



Tabel 4–12 Infeksi Oportunistik dan Neoplasma yang Mengarahkan ke Penetapan AIDS pada Penderita dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)



Infeksi Infeksi Protozoa dan Helmint Kriptosporidiosis atau isosporidiosis (enteritis) Pneumosistosis (pneumonia atau infeksi yang meluas) Toksoplasmosis (pneumonia atau infeksi SSP)



Infeksi Fungus Kandidiasis (eksofagus, trakea, atau paru) Kriptokokosis (infeksi SSP) Koksidioidomikosis (menyebar) Histoplasmosis (menyebar)



Infeksi Bakteri Mikrobakteriosis (atipik, contoh Mycobacterium avium-intracellulare, menyebar atau ekstrapulmonal; Mycobacterium tuberculosis, pulmonal atau ekstrapulmonal) Nokardiosis (pneumonia, meningitis, menyebar) Infeksi Salmonella, menyebar



Infeksi Virus Sitomegalovirus (pulmonal, intestinal, retinis, atau infeksi SSP) Virus herpes simplex (infeksi setempat atau menyebar) Virus varisela-zoster (infeksi setempat atau menyebar) Leukoensefalopati multifokal progresif



Neoplasma Sarkoma Kaposi Limfoma primer di otak Kanker serviks uterus invasif SSP, sistem saraf pusat (CNS, central nervous system).



angka kejadiannya cenderung menurun akibat regimen profilaktik yang efektif. Risiko berjangkitnya infeksi ini sangat tinggi pada individu dengan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/gL. Banyak penderita tampil dengan infeksi oportunistik selain pneumonia P. jiroveci (Tabel 4-12). Di antara yang paling lazim adalah candidiasis mukosa, infeksi CMV yang menyebar (khususnya enteritis dan retinitis), herpes simpleks oral dan perianal yang parah, dan infeksi yang menyebar dari M. tuberculosis dan mikobakterium atipik (Mycobacterium aviumintracellulare). Epidemi AIDS telah menimbulkan peningkatan kembali tuberkulosis aktif di Amerika Serikat. Walaupun pada sebagian besar kasus hal itu menggambarkan reaktivasi, kekerapan infeksi baru juga meningkat. Apabila manifestasi M. tuberculosis sendiri terjadi dini dalam perjalanan penyakit AIDS, infeksi mikobakterium atipik terjadi pada waktu kemudian dalam perjalanan penyakit HIV, biasanya pada penderita dengan jumlah sel CD4+ kurang dari 100 sel/gL. Toksoplasmosis adalah infeksi sekunder yang paling lazim mengenai SSP. meningitis kriptokokus juga sangat sering. Diare yang menetap, yang juga lazim pada penderita AIDS, seringkali disebabkan oleh infeksi Kriptosporidium atau Isospora belli, tetapi bakteri patogen seperti Salmonella dan Shigella mungkin juga berperan. Karena imunitas humoral tertekan, penderita dengan AIDS rentan terhadap infeksi S. pneumontae dan H. influenza. Neoplasma. Penderita dengan AIDS mempunyai angka kejadian tinggi untuk tumor-tumor tertentu, khususnya sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, dan kanker serviks pada wanita. Perangai yang lazim dari semua neoplasma yang bervariasi ini adalah bahwa sel tumor secara khas terinfeksi oleh virus onkogenik pada masing-masing jenis. Dasar dari peningkatan risiko keganasan yang terkait



152



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



virus adalah multifaktor, tetapi cacat imunitas sel T dianggap merupakan kontributor yang predominan. Sarkoma Kaposi, suatu tumor vaskular yang justru jarang di Amerika Serikat (Bab 9), pernah merupakan neoplasma yang paling lazim pada penderita AIDS tetapi angka kejadiannya telah menurun bermakna dengan terapi anti-retrovirus. Tumor tersebut jauh lebih lazim di antara pria homoseks atau biseks daripada pengguna salah obat suntik intravena atau penderita yang tergolong kelompok risiko lain. Lesi dapat timbul dini, sebelum sistem imun tidak mampu bereaksi (compromised), atau pada stadium lanjut infeksi HIV. Berbeda dengan lesi pada kasus-kasus sporadik dari sarkoma Kaposi, lesi yang terjadi penderita AIDS bersifat multisentrik dan cenderung lebih agresif, mereka dapat menjangkiti kulit, selaput lendir, saluran gastrointestinal, kelenjar getah bening dan paru. Lesi mengandungi sel kumparan yang menyerupai perangai sel endotel dan otot polos, dan dianggap sebagai sel endotel limfatik atau sel mesenkim yang dapat membentuk kanal-kanal vaskular. Pada penderita yang berbeda, lesi bersifat monoklonal atau oligoklonal atau bahkan poliklonal, suatu perangai yang dimiliki oleh lesi proliferatif lain yang dipicu oleh virus onkogenik, seperti proliferasi sel B yang terkait EBV.



meningkat. Kelompok kedua ini termasuk kanker hati, kanker anus, dan limfoma Hodgkin, yang semuanya adalah jenis tumor yang terkait dengan berbagai infeksi virus. Terjangkitnya SSP. Terjangkitnya SSP adalah manifestasi AIDS yang lazim dan penting. Pada autopsi, pada 90% penderita ditemukan beberapa bentuk kelainan neurologik, dan 40% sampai 60% menunjukkan disfungsi neurologik secara klinis. Secara bermakna, pada sebagian penderita manifestasi neurologik mungkin merupakan gejala satu-satunya atau yang paling dini dari infeksi HIV. Di samping infeksi oportunistik dan neoplasma, terjadi pula perubahan neuropatologis yang terkait virus. Ini termasuk meningitis aseptik yang terjadi pada waktu serokonversi, mielopati vakuolar, neuropati perifer, dan (paling lazim) ensefalopati progresif yang secara klinis disebut kompleks dementia AIDS (Bab 22).



MORFOLOGI



Sarkoma Kaposi disebabkan oleh virus herpes yang disebut Kaposi sarcoma herpesvirus (KSHV), atau human herpesvirus-8 (HHV-8). Mekanisme yang menyebabkan proliferasi vaskular tidak meyakinkan. Satu hipotesis menyatakan bahwa KSHV menginfeksi sel endotel limfatik atau sel lain, dan berkaitan dengan sitokin yang diproduksi oleh sel imun yang terinfeksi H1V, merangsang proliferasi sel endotel. Genom KSHV mengandungi homolog dari beberapa onkogen manusia dan sitokin yang berperan terhadap pertumbuhan dan ketahanan hidup pembuluh yang berproliferasi.



Perubahan anatomik pada jaringan (dengan perkecuaIian lesi pada otak) tidak bersifat spesifik maupun diagnostik. Pada umumnya, perangai patologis AIDS adalah infeksi oportunistik yang tersebar luas, sarkoma Kaposi, dan limfoma. Sebagian besar lesi ini dibahas diberbagai tempat, karena juga terjadi pada penderita yang tidak mengalami infeksi HIV. Untuk memberikan perhatian terhadap kekhususan lesi pada SSP, mereka dibahas dalam konteks terkait kelainan lain yang menjangkiti otak (Bab 22). Di sini fokusnya adalah perubahan pada organ limfoid.



Limfoma non-Hodgkin jenis sel B menipakan jenis tumor terkait AIDS yang kedua paling lazim. Tumor-tumor ini sangat agresif, terjadi paling sering pada penderita yang mengalami imunosupresi berat, dan menjangkiti banyak tempat ekstranodal. Otak adalah tempat ekstranodal yang paling lazim pada infeksi HIV stadium lanjut, sehingga limfoma primer di otak dianggap sebagai keadaan yang mencurigakan adanya AIDS (AIDS-defining condition). Hubungan antara limfoma di otak dengan EBV mendekati 100%. Sebagai perbandingan, hanya 30% sampai 40% limfoma yang terjadi dini dalam perjalanan infeksi HIV terkait dengan EBV, yang menunjukkan peran serta faktor lain, seperti hiperstimulasi sel B, terhadap risiko limfoma pada individu yang terinfeksi HIV. Yang lain, limfoma terkait AIDS yang kurang lazim adalah limfoma efusi primer, yang tumbuh eksklusif pada rongga tubuh, berwujud sebagai efusi pleura, peritoneal atau perikardium. Tumor yang jarang ini selalu terkait dengan KSHV, dan banyak kasus menunjukkan sel tumor mengalami koinfeksi oleh KSHV dan EBV.



Spesimen biopsi dari kelenjar getah bening yang membesar pada infeksi HIV dini menunjukkan hiperplasia folikuler yang mencolok (Bab 11). Medula mengandungi sangat banyak sel plasma. Perubahan ini. terutama memengaruhi area sel B dari kelenjar, yang merupakan bagian dari aktivasi sel B poliklonal dan hipergamaglobulinemia yang dijumpai pada penderita AIDS. Di samping perubahan pada folikel, sinus menunjukkan peningkatan seluleritas, terutama karena peningkatan jumlah makrofag tetapi juga sebagian oleh limfoblas sel B dan sel plasma. Partikel HIV dapat ditemukan pada pusat germinal, terkonsentrasi pada prosessus vilosus dari sel dendrit folikel. DNA virus juga dapat ditemukan pada makrofag dan sel T CD4+.



Angka kejadian karsinoma serviks juga meningkat pada penderita AIDS. Korelasi ini berhubungan dengan prevalensi tinggi infeksi virus papilloma manusia di antara penderita AIDS, yang sistem imunnya mengalami kelemahan (compromised). Virus ini sangat berhubungan dengan karsinoma sel skuamosa dari serviks dan pada lesi dini (precursor), displasia serviks dan carcinoma in situ (Bab 18). Oleh karena itu, pemeriksaan ginekologik harus dijadikan evaluasi rutin pada wanita yang terinfeksi HIV. Pada umumnya, angka kejadian "AIDS-defining cancers" yang klasik —sarkoma Kaposi, tumor yang terkait EBV, dan kanker serviks, telah menurun bermakna dengan penerapan terapi anti-retrovirus, tetapi angka kejadian relatif dari tumor-tumor lain yang dianggap "non-AIDSdefining cancers" sebenarnya



Sejalan dengan progresi penyakit, proliferasi sel B yang tidak menentu memberi jalan menuju invoiusi folikel yang parah dan pemusnahan limfosit yang menyeluruh. Jaringan tertata dari DC folikel menjadi cerai berai dan folikel bahkan mengalami hialinisasi. Kelenjar getah bening yang "terbakar" (burn-out) ini menjadi atrofik dan kecil dan mungkin mengandungi banyak patogen oportunistik. Karena imunosupresi yang keras, reaksi inflamasi terhadap infeksi baik pada kelenjar getah bening maupun pada daerah ekstra nodal rnungkin sangat kurang atau atipik. Misalnya, dengan imunosupresi parah, mikobakteri tidak merangsang pembentukan granuloma, karena sel T CD4+ tidak ada. Pada kelenjar getah bening yang terlihat kosong dan pada organ lain adanya bahan infektif mungkin tidak tampak tanpa menggunakan pewarnaan khusus. Seperti mungkin diharapkan, pemusnahan limfoid tidak terbatas pada kelenjar; pada stadium akhir AIDS, limpa dan timus juga tampak sebagai "tanah kosong" (wastelands). Limfoma non-Hodgkin, sering mengenai daerah ekstra nodal seperti otak yang bersifat neoplasma primer jenis sel B yang agresif (Bab 11).



Amiloidosis Sejak pemunculan AIDS pada 1981, upaya gabungan para ahli epidemiologi, imunologi, dan biologi molekuler telah menghasilkan kemajuan spektakular dalam pemahaman kita tentang kelainan ini. Walaupun demikian, prognosis penderita AIDS tetap masih harus dijaga. Walaupun Iaju kematian telah menurun sebagai hasil penggunaan kombinasi obat anti-retrovirus yang kuat, semua penderita yang diobati masih menyandang DNA virus pada jaringan limfoid mereka. Apakah dapat terjadi penyembuhan dengan virus yang menetap? Di samping upaya saksama untuk mengembangkan vaksin, banyak rintangan yang harus dilalui sebelum pencegahan atau pengobatan berbasis vaksin menjadi kenyataan. Analisis molekuler menghasilkan peringatan tentang beragamnya cara memisahkan virus dari penderita yang berbeda, yang menyebabkan pengembangan vaksin bahkan lebih sulit. Penyulit lebih lanjut dari tugas ini adalah bahwa perangai reaksi imun yang protektif belum seluruhnya dimengerti. Oleh karena itu, pada saat ini, pencegahan dan upaya kesehatan masyarakat, digabungkan dengan terapi antiretrovirus, adalah upaya utama dalam memerangi AIDS.



Merah congo



153



B



AMILOIDOSIS Amiloidosis adalah keadaan yang berhubungan dengan sejumlah kelainan inflamasi dan yang diwariskan, yang disertai endapan protein fibrilar ekstrasel sehingga menyebabkan kerusakan jaringan serta tidak mampu berfungsi. Fibril abnormal ini terjadi oleh agregasi protein yang lipatannya salah (terlarut apabila konfigurasi lipatannya normal) atau fragmen protein. Endapan fibrilar tersebut berikatan dengan berbagai proteoglikan dan glikosarninoglikan, termasuk heparin sulfat, dermatan sulfat, dan protein plasma, yang dikenal sebagai komponen amiloid serum/serum amyloid P component (SAP). Adanya banyak kelompok gula bermuatan dalam protein yang diserap ini menyebabkan endapan berwarna khas yang diduga menyerupai tepung (amiloid). Oleh karena itu endapan tersebut disebut "atnyloid", suatu nama yang tidak dapat dikukuhkan walaupun dalam kenyataan endapan itu tidak berhubungan dengan tepung.



OPATOGENESIS PENGENDAPAN AMILOID Amiloidosis pada dasarnya adalah kelainan kesalahan dalam konfigurasi lipatan protein. Amiloid adalah bukan protein yang homogen secara struktural, walaupun selalu menunjukkan tampilan morfologik sama. Ternyata, lebih dari 20 (jumiah akhirnya, 23) protein yang berbeda beragregasi membentuk fibril dengan tampilan amyloid.Tidak bergantung kepada asalnya, semua endapan amiloid tersusun dari fibril yang tidak bercabang, berdiameter 7,5 nm sampai 10 nm, masing-masing membentuk rantai polipeptida fi-sheet yang terjalin bersama (Gambar 4-31). Zat warna merah Congo berikatan dengan fibril dan menghasilkan warna ganda merah-hijau (birefringence), yang lazimnya digunakan untuk menetapkan endapan amiloid pada jaringan. Amiloidosis dihasilkan oleh pelipatan abnormal protein, yang diendapkan sebagai fibril di jaringan ekstra sel dan merusak fungsi normal. Pada keadaan normal, protein yang salah lipat dihancurkan dalam sel pada proteasom, atau ekstrasel oleh makrofag. Tampaknya pada amiloidosis, mekanisme kendali mutu ini gagal, menyebabkan akumulasi protein yang salah lipat di luar sel.



A



C



Gambar 4--31 Struktur amiloid. A, Diagram skematik dari serabut amiloid yang menunjukkan fibril (empat ditunjukkan; terdapat sebanyak enam) saling bersilang dengan pewarnaan merah Congo yang secara teratur terlihat terpisah. B, Pewarnaan merah Congo menunjukkan rumbai-rumbai berwarna hijau-apel di bawah cahaya terpolarisasi, suatu perangai diagnostik amiloid. C, Elektron-mikrograf dari 7.4--10 nm fibril amiloid.



(Diroduksi ulang dari Merlini G, Bellotti V: Molecular mechanisms of amyloidosis. N Engl J Med 349:583–596, 2003. Copyright 2003 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.)



Protein yang salah lipat kerapkali tidak stabil dan saling bergabung, akhirnya menyebabkan pembentukan oligomer dan fibril yang diendapkan di dalam jaringan. Berbagai keadaan yang berhubungan dengan amiloidosis semua cenderung menyebabkan produksi berlebihan dari protein yang cenderung untuk terjadinya salah lipatan (Gambar 4-32). Protein-protein yang membentuk amiloid tergolong dalam dua kategori umum: (1) protein normal yang mempunyai kecendrungan inheren untuk melipat secara tidak tepat, saling bergabung membentuk fibril. dan terjadi demikian apabila diproduksi dalam jumlah yang meningkat, dan (2) protein mutan yang cenderung terlipat salah disertai agregasi. Dari banyak bentuk biokimiawi protein amiloid telah ditetapkan. dalam tiga bentuk yang paling lazim: • Protein amiloid rantai ringaniamyloid light chain (Al.) diproduksi oleh sel plasma dan tersusun dari rantai ringan imunoglobulin lengkap, atau fragmen amino terminal rantai ringan, atau kedua-duanya. Dengan alasan yang tidak diketahui, hanya beberapa rantai ringan imunoglobulin yang cenderung membentuk agregat. Seperti diharapkan, pengendapan protein fibril amiloid dari jenisAL berhubungan dengan sebagian bentuk proliferasi monoklonal sel B. Cacat degradasi telah dianggap sebagai dasar pembentukan fibril, dan barangkali ada rantai ringan tertentu bersifat resisten terhadap proteolisis yang sempurna. Walaupun demikian, tidak terdapat motif urutan yang bersifat unik dari rantai ringan imunoglobulin yang ditemukan di dalam endapan amiloid. • Fibril terkait anniloidiamyloid-associated (AA) adalah protein imunoglobulin yang unik berasal dari prekursor serum yang lebih besar (I2-kDa)



154



BAB 4



Penyakit Sistem Imun PRODUKSI PROTEIN DALAM JUMLAH ABNORMAL



Protein yang terlipat secara alami



Tidak diketahui (karsinogen?)



Proliferasi limfosit B monoklonal



Zat antara amiloidogenik (contoh protein salah-terlipat)



Rantai ringan imunoglobulin Proteolisis terbatas



FIBRIL



Inflamasi kronik



Mutasi



Aktivasi makrofag Interleukins 1 and 6



Sel plasma



Monomer terrakit membentuk struktur lembar-b



PRODUCTION OF NORMAL AMOUNTS OF MUTANT PROTEIN (e.g., transthyretin)



PROTEIN AL



Sel hati



Protein SAA



Proteolisis terbatas PROTEIN AA



Transtiretin mutan Agregasi



PROTEIN ATTR



Gambar 4--32 Patogenesis amiloidosis. Mekanisme yang diusulkan tentang proses pengendapan yang mendasari pembentukkan bentuk utama fibril amiloid



dan disebut protein SAA (serum amyloid-associatecf) yang disintesa di dalam hati. SAA disintesa di dalam sel hati di bawah pengaruh sitokin, seperti IL-6 dan IL- 1, yang diproduksi selama inflamasi; sehingga inflamasi yang berlangsung lama disertai kadar SAA yang meningkat, akhirnya akan berupa endapan amiloid jenis AA. Walaupun demikian, produksi SAA sendiri yang meningkat tidak cukup untuk pengendapan amiloid. Peningkatan kadar serum SAA lazim terjadi pada keadaan inflamasi tetapi pada sebagian besar kasus tidak menyebabkan amiloidosis. Ada dua kemungkinan penjelasan tentang hal ini. Menurut salah satu pandangan, pada keadaan normal SAA didegradasikan menjadi produk akhir yang terlarut oleh pengaruh enzim yang berasal dari monosit. Dalam hal itu, individu yang mengalami amiloidosis memiliki cacat enzim yang berakibat pemecahan SAA tidak sempurna, sehingga menghasilkan molekul AA yang tidak terlarut. Sebagai aiternatif lain ialah abnormalitas struktural molekul SAA sendiri, yang ditentukan secara genetik, menyebabkan resistensi terhadap degradasi oleh makrofag. • Amiloid Aβ ditemukan pada lesi serebral penyakit Alzheimer. AP adalah peptida 4-kDa yang membentuk teras dari plak serebral dan endapan amiloid pada pembuluh darah serebral pada penyakit ini. Protein Aβ berasal dari glikoprotein transmembran yang jauh lebih besar yang disebut amyloid precursor protein (APP) (Bab 22). Beberapa protein lain telah ditemukan endapan amiloid pada berbagai keadaan klinis:



di



dalam



• Transtiretin (TTR) suatu protein serum normal yang berikatan dan mengirimkan tiroksin dan retinol, sesuai dengan namanya. Mutasi pada gen yang menyandi TTR mungkin berubah strukturnya, menyebabkan protein cenderung terlipat salah dan beragregasi, dan resisten terhadap proteolisis. Ini menyebabkan pembentukan agregat dan mengendap sebagai amiloid. Penyakit



yang disebabkan disebut polineropati amiloid familial. TTR juga diendapkan di dalam jantung dari individu usia lanjut (amiloidosis sistemik senilis); pada kasus semacam itu protein berstruktur normal tetapi terjadi akumulasj protein berlebihan. Beberapa kasus amiloidosis familial berhubungan dengan endapan lisozim mutan. • β2-Mikroglobulin, suatu unsur molekul MHC kelas I dan protein normal serum, telah ditetapkan sebagai subunit fibril amiloid (Aβ2m) pada amiloidosis yang menjadi penyulit pada perjalanan penyakit penderita yang mengalami hemodialisis jangka lama. Serabut-serabut Aβ2m berstruktur mirip dengan protein β2m normal. Protein ini ditemukan dalam konsentrasi unggi di dalam protein serum penderita penyakit ginjal dan tertahan di dalam sirkulasi karena tidak dapat disaring secara efisien melalui membran dialisis. Pada beberapa penelitian, sebanyak 60% sampai 80% penderita dialisis jangka panjang, mengalami endapan amiloid di sinovium, sendi dan sarung tendon. • Endapan amiloid berasal dari berbagai prekursor seperti hormon (prokalsitonin) dan keratin juga telah dilaporkan.



Klasifikasi Amiloidosis Karena bentuk biokimiawi tertentu amiloid (contoh AA) mungkin berhubungan dengan pengendapan amiloid pada berbagai keadaan klinis, maka kombinasi klasifikasi biokimiawi dan klinis dilanjutkan untuk pembahasan (Tabel 4-13). Amiloid mungkin bersifat sistemik (menyeluruh), mengenai beberapa sistem organ, atau mungkin setempat, apabila endapan terbatas pada suatu organ tunggal, seperti jantung. Berdasarkan keadaan klinis, pola yang sistemik, atau menyeluruh, dibuat subklasifikasi ke dalam amiloidosis primer apabila terkait dengan proliferasi sel plasma monoklonal dan



Amiloidosis



155



Tabel 4–13 Klasifikasi Amiloidosis



Kategori Klinikopatologis



Penyakit Terkait



Protein Fibril Utama



Protein Prekursor yang secara Kimiawi Berhubungan



Amiloidosis Sitemik (Menyeluruh) Diskrasia imunosit dengan amiloidosis (Amiloidosis primer)



Mieloma multipel dan proliferasi sel plasma monoklonal yang lain



AL



Rantai ringan imunoglobulin, terutama tipe λ



Amiloidosis sistemik reaktif (amiloidosis sekunder)



Keadaan inflamasi kronik



AA



SAA



Amiloidosis terkait hemodialisis



Kegagalan ginjal kronik



Aβ2m



β2-Mikroglobulin



Demam Mediterania familial



AA



Neuropati amiloidotik familial (beberapa jenis)



ATTR



SAA Transtiretin



Amiloidosis senilis sistemik



ATTR



Transtiretin



Amiloidosis Herediter



Amiloidosis Setempat Serebral senilis



Penyakit Alzheimer







APP



Endokrin Karsinoma medulare tiroid Pulau-pulau Langerhans



Diabetes tipe 2



A Cal AIAPP



Kalsitonin Peptida amiloid dari pulau Langerhans Faktor natriuretik atrium



Amiloidosis atrium terpisah



andioidosis sekunder apabila terjadi sebagai penyulit dari inflamasi kronik atau proses destruktif yang telah ada sebelumnya. Amiloidosis yang herediter atau familial membentuk golongan yang terpisah, walaupun bersifat heterogen, dengan pola yang berbeda dalam hal organ-organ yang terjangkit.



Amiloidosis Primer: Diskrasia imunosit dan Amiloidosis Biasanya amiloid pada kategori ini distribusinya bersifat sistemik dan adalah jenis AL. Dengan jumlah sekitar 3000 kasus baru di Amerika Serikat, ini adalah bentuk amiloidosis yang paling lazim. Pada sebagian kasus, terdapat proliferasi sel plasma monoklanal yang mudah ditetapkan; yang paling baik ditetapkan adalah terjadinya amiloidosis sistemik pada 5% sampai 15% penderita mieloma multipel, suatu tumor sel plasma yang ditandai oleh lesi osteolitik multipel di seluruh sistem skelet (Bab 11). Sel plasma yang ganas secara khas mensintesa imunoglobulin yang spesifik tunggal (gamopati monoklonal) dalam jumlah abnormal, yang mengakibatkan pembentukan kurva (taji) protein M (mieloma) pada elektroforesis serum. Di samping sintesa seluruh molekul imunoglobulin, sel plasma juga mensintesa dan mensekresikan salah satu rantai ringan atau x, yang juga dikenal sebagai protein Bence Jones. Sesuai dengan ukuran molekul yang kecil, protein ini seringkali juga diekskresikan di dalam urin. Hampir semua penderita mieloma yang mengalami amiloidosis mempunyai protein Bence Jones di dalam serum atau urin, atau kedua-duanya. Walaupun demikian, amiloidosis hanya berjangkit pada 6% sampai 15% penderita yang mempunyai rantai ringan bebas. Jelaslah, adanya protein Bence Jones, walaupun perlu, tetapi secara tersendiri tidak cukup untuk pembentukan amiloidosis. Variabel lain, seperti jenis rantai ringan yang diproduksi, dan katabolismenya, berperan serta pada potensi amiloidogenik dan pengaruh pengendapan protein Bence Jones. Sebagian besar penderita dengan amiloid AL tidak menunjukkan mieloma multipel yang klasik atau neoplasma sel B lain yang jelas; kasus semacam itu tetap diklasifikasikan sebagai amiloidosis primer



AANF



karena perangai klinisnya berasal dari pengaruh pengendapan amiloid tanpa penyakit apa pun yang terkait. Pada hampir semua kasus semacam itu, penderita menunjukkan peningkatan jumlah sel plasma yang tidak terlalu mencolok di dalam sumsum tulang, dan imunoglobulin monoklonal atau rantai ringan bebas dapat ditemukan di dalam serum atau urin. Jelaslah, penderita ini memiliki proliferasi sel plasma yang mendasari produksi protein abnormal, bukan produksi massa tumor, yang merupakan manifestasi yang dominan.



Amiloidosis Sistemik Reaktif Endapan amiloid pada pola ini distribusinya bersifat sistemik dan tersusun dari protein AA. Kategori ini sebelumnya dianggap sebagai amiloidosis sekunder, karena terjadi secara sekunder terhadap suatu keadaan yang terkait dengan inflamasi. Ternyata, perangai yang lazim ditemukan pada sebagian besar kasus amiloidosis sistemik reaktif adalah inflamasi kronik. Secara klasik, tuberkulosis, bronkiektasis, dan osteomielitis kronik merupakan penyebab yang paling lazim; dengan kemajuan terapi antimikroba yang efektif, amiloidosis sistemik reaktif paling sering dijumpai pada keadaan inflamasi kronik yang disebabkan oleh penyakit autoimun (contoh RA, ankylosing spondylitis, penyakit inflamasi usus). Penderita dengan RA secara khas cenderung mengalami amiloidosis, dengan pengendapan amiloid terlihat pada 3% kasus RA. Infeksi kulit kronik yang disebabkan skinpopping (suatu cara menyuntikkan obat narkotika, contoh kokain, di bawah kulit dengan mengangkat sebagian kulit dan menyuntikkan jarum pada subkutis) pada pengguna narkotika juga berhubungan dengan pengendapan amiloid. Akhirnya, amiloidosis sistemik reaktif juga berhubungan dengan tumor yang tidak berasal dari sel imun, yaitu dua yang paling lazim adalah kanker ginjal dan limfoma Hodgkin.



Amiloidosis Familial (Herediter) Berbagai bentuk amiloidosis familial telah diuraikan; sebagian besar adalah jarang dan terjadi pada area geografik yang terbatas. Yang paling baik diketahui ciri-cirinya adalah kelainan autosomal resesif yang disebut demam Mediterania familial. Ini adalah penyakit demam yang ditandai oleh serangan



156



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



demam disertai inflamasi permukaan serosum, termasuk peritoneum, pleura, dan membran sinovium. Kelainan ini terutama dijumpai pada orang Armenia, Yahudi Sephardik, dan keturunan Arab. Hal itu berhubungan dengan terjangkitnya jaringan yang tersebar Iuas yang tidak dapat dibedakan dengan amiloidosis sistemik reaktif. Protein fibrilamiloid terbentuk dari protein AA, sehingga dianggap berhubungan dengan serangan kekambuhan inflamasi yang menjadi ciri penyakit ini. Gen dari demam Mediterania familial disebut pyrin dan menyandi protein yang merupakan unsur dari inflamasome (Bab 2). Penderita memiliki mutasi jenis gain of function pada pyrin yang berakibat produksi berlebihan yang konstitutif dari sitokin proinflamasi IL-1 dan inflamasi yang menetap. Berbeda dengan demam Mediterania familial, suatu kelompok kelainan familial yang bersifat autosomal dominan yang ditandai oleh pengendapan amiloid terutama pada sistem saraf perifer dan autonom. Polineropati amiloidotik familial ini telah diuraikan pada penderita kanak-kanak di berbagai bagian dunia — misalnya, Portugal, Jepang, Swedia dan Amerika Serikat. Seperti disebutkan sebelumnya, fibril pada polineropati familial disusun oleh bentuk mutan dari transtiretin (ATTRs).



Amiloidosis Setempat Kadang-kadang pengendapan amiloid terbatas pada suatu organ tunggal atau jaringan tanpa terjangkitnya tempat lain yang manapun di dalam tubuh. Endapan tersebut mungkin membentuk massa nodular yang dapat ditemukan secara makroskopik atau hanya dapat dikenal hanya pada perneriksaan mikroskopik. Endapan nodular (yang membentuk tumor) amiloid paling sering dijumpai pada paru, laring, kulit, kandung kemih, lidah, dan daerah sekitar mata. Seringkali, terdapat sebukan limfosit dan sel plasma pada tepi massa amiloid, yang menimbulkan pertanyaan apakah sebukan sel mononukleus adalah suatu reaksi terhadap pengendapan amiloid atau ada hal lain yang berperan untuk itu. Paling sedikit, pada beberapa kasus, amiloid terdiri dari protein AL dan oleh karena itu mungkin menggambarkan bentuk amiloid yang berasal dari sel plasma yang bersifat setempat.



Amiloid Endokrin Endapan mikroskopik amiloid yang bersifat setempat mungkin ditemukan pada tumor endokrin tertentu, seperti karsinoma medulare kelenjar tiroid, tumor pulau Langerhans pankreas, feokromositoma, dan karsinoma lambung yang tidak berdiferensiasi, demikian juga pada pulau Langerhans pada penderita diabetes melitus tipe 2. Pada kelainan-kelainan ini, protein yang bersifat amiloidogenik tampaknya berasal baik dari hormon polipeptida (karsinoma medulare) maupun dari protein yang unik (contoh polipeptida amiloid dari pulau Langerhans).



Amiloid pada Proses Penuaan Beberapa bentuk pengendapan amiloid yang terdokumentasi dengan baik terjadi pada proses penuaan. Amiloidosis sistemik senilis merupakan pengendapan amiloid sistemik pada individu yang berusia lanjut (biasanya pada usia 70 tahun dan 80 tahun). Karena jangkitan dominan dan disfungsi terkait dari jantung (secara khas berwujud sebagai kardiorniopati terbatas dan aritmia), bentuk ini juga disebut amiloidosis kardiak Amiloid pada bentuk ini tersusun dari transtiretin normal. Di samping itu, bentuk lain yang khas hanya mengenai jantung akibat dari pengendapan bentuk mutan dari TTR. Sekitar 4%



dari populasi berkulit hitam di Amerika Serikat menyandang (karier) alel mutan, dan kardiomiopati telah ditetapkan baik pada penderita yang homozigot maupun yang heterozigot.



MORFOLOGI Tidak ada pola yang pasti dan konsisten yang dapat mernbedakan tentang penyebaran amiloid pada organ atau jaringan apa pun yang telah disebutkan. Walaupun demikian, beberapa generalisasi dapat dibuat, Pada amiloidosis yang terjadi sekunder terhadap kelainan inflamasi kronik, secara khas terjadi pada ginjal, hati, fimpa. kelenjar getah bening, adrenal, dan tiroid, demikian juga banyak jaringan Walaupun amiloidosis primer (AL) tidak dapat dibedakan secara pasti dari amiloidosis sekunder menurut distribusinya pada organ, namun amiloidosis primer lebih sering mengenai jantung, saluran gastrointestinal, saluran pernapasan, sistem saraf perifer, kulit, dan lidah. Walaupun demikian, organ-organ yang sama yang dikenai oleh amiloidosis sistemik reaktif (amiloidosis sekunder), termasuk ginjal, hati dan limpa, juga mengalami endapan pada bentuk penyakit yang terkait imunosit. Lokalisasi endapan amiloid pada sindrom herediter bervariasi. Pada demam Mediterania familial, amiloidosis mungkin tersebar luas, mengenai ginjal, pembuluh darah, limpa, dan (jarang) hati. Lokalisasi endapan amiloid pada sindrom herediter yang tersisa dapat diperkirakan dari contoh kelainan di atas. Apa pun kelainan klinis tersebut, amiloidosis mungkin atau tidak mungkin tampak secara makroskopik. Seringkali jumlah amiloidnya sedikit sehingga tidak dapat dikenal kecuali permukaannya dicat dengan yodium dan asam sulfat. Hal ini menghasilkan pewarnaan berwarna coklat mahogani dari endapan amiloid. Apabila amiloid berakumulasi dalam jumlah lebih besar, seringkali organ membesar dan jaringan secara khas tampak abu-abu dengan konsistensi kenyal seperti lilin. Pada pemeriksaan histologis, pengendapan amiloid selalu pada ekstrasel dan mulai di antara sel, seringkali dekat dengan membran basal. Setelah amiloid menumpuk, kemudian akan mendesak sel, selanjutnya mengelilingi dan merusak sel itu. Pada bentuk AL lazim terjadi, lokalisasi perivaskular dan vaskular. Diagnosis histologis dari amiloid hampir seluruhnya berdasarkan kepada ciri-ciri pewarnaan. Teknik pulasan yang paling lazim digunakan adalah dengan zat warna merah Congo, yang di bawah cahaya biasa menberi warna merah atau merah muda pada endapan amiloid. Di bawah cahaya yang terpolarisasi amiloid yang terpulas oleh zat warna merah Congo menunjukkan apa yang disebut birefringensi hijau-apel (apple green birefringence) (Gambar 4-33). Reaksi ini dapat ditemukan pada semua jenis amiloid dan disebabkan oleh konfigurasi jalinan-13 yang menyilang (crossed P-pieated configuration) dari fibril amiloid.Konfirmasi dapat dtperoleh dari mikroskop eletron, yang menghasilkan fibril tipis yang tidak teratur dan amorf (tidak berbentuk khusus). Jenis amiloid AA, AL dan ATTR dapat juga dibedakan masing-masing dengan pulasan imunohistokimia. Karena pola dari terjangkitnya organ pada berbagai bentuk klinis amiloidosis bervariasi, terjangkitnya tiap organ diuraikan secara terpisah. Ginjal. Amiloidosis ginjal merupakan perangai yang paling lazim dan paling parah dari penyakit. Secara makroskopik, ginjal mungkin tampak tidak berubah, atau mungkin membesar abnormal, pucat, kelabu, dan kenyal/ keras; pada kasus yang berlangsung lama ginjal mungkin mengecil. Secara mikroskopik, endapan amiloid ditemukan pada prinsipnya pada glomerulus, tetapi bisa juga terdapat pada jaringan interstisial peritubulus demikian juga pada dinding pembuluh darah. Glomerulus pertama kali mengalami endapan fokal



Amiloidosis



A



157



B



Gambar 4--33 Amiloidosis: terkenanya hati. A, Pewarnaan sayatan hati dengan merah Congo menunjukkan endapan amiloid berwarna merah muda-merah (pink-red) pada dinding pembuluh darah sepanjang sinusoid. B, Perhatikan rumbai-rumbai berwarna kuning-hijau dari endapan bila dilihat di bawah mikroskop dengan cahaya terpolarisasi (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell and Sandy Hinton, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



di dalam matriks mesangium dan penebalan difus atau nodular dari membran basal dari lingkaran kapiler. Dengan perjalanan penyakit, pengendapan mendesak lumen kapiler dan selanjutnya menyebabkan obliterasi jaringan vaskular (Gambar 4-34, A). Endapan interstisial peritubulus seringkali berhubungan dengan timbulnya massa amorf merah muda di dalam lumen tubulus, yang diduga sebagai zat bersifat protein. Endapan amiloid mungkin terjadi pada semua ukuran pembuluh darah dan menyebabkan penyempitan pembuluh yang parah.



keabuan, dan berkonsistensi seperti lilin baik pada permukaan luar maupun pada penampang sayatan. Analisis histotogis menunjukkan bahwa endapan amiloid pertama kali tampak pada ruang Disse dan kemudian membesar secara progresif mendesak parenkim hati didekatnya dan sinusoid (Gambar 4-33). Sel hati yang terperangkap mengalami atrofia kompresi dan selanjutnya digantikan oleh lembar amiloid; sangat rnengesankan. bahwa fungsi hati mungkin tidak terpengaruh bahkan pada keadaan penyakit yang parah.



Limpa. Amiloidosis limpa sering menyebabkan pembesaran menengah atau bahkan yang mencolok (200 gram sampai 800 gram). Dengan sebab yang tidak jelas, salah satu dari dua pola mungkin terjadi. Endapan mungkin jelas terbatas pada folikel limpa, yang membentuk granula menyerupai tapioka pada pemeriksaan makroskopik (limpa-sagu), atau amiloidosis mungkin secara prinsip mengenai sinus limpa, selanjutnya meluas ke pulpa limpa, dengan pembentukan endapan menyerupai lembaran besar (lardoceous spleen). Pada kedua pola, limpa berkonsistensi kenyal/keras. Adanya darah pada sinus limpa biasanya menyebabkan warna kemerahan dari endapan yang menyerupai lilin dan rapuh. Hati. Amiloidosis hati mungkin menyebabkan pembesaran massif (sebanyak 9.000 gram). Pada kasus yang lanjut semacam itu, hati sangat pucat,



Jantung. Amiloidosis jantung mungkin terjadi sendiri atau sebagai bagian dari distribusi sistemik. Apabila sebagai bagian dari distribusi sistemik, biasanya adalah bentuk AL. Bentuk yang terpisah (amiloidosis senilis) biasanya terbatas pada orang berusia lanjut. Endapan mungkin tidak teriihat pada pemeriksaan makroskopik, atau mungkin menyebabkan pembesaran jantung minimal sampai menengah. Ciri-ciri yang paling sering dijumpai secara makroskopik adalah tonjolan subendokardium menyerupai tetesan kristat berwarna abu-merah muda, secara khas ditemukan pada atrium. Pada pemeriksaan histologis, endapan secara khas ditemukan diseluruh miokardium, mulai di antara serabut miokardium dan selanjutnya menyebabkan atrofia tekanan (Gambar 4-34,B). Organ-organ Lain. Amiloidosis dari organ lain pada umumnya dijumpai pada penyakit sistemik. Kelenjar adrenal, tiroid, dan



A



B



Gambar 4--34 Amiloidosis: terkenanya ginjal dan jantung. A, Amiloidosis ginjal. Arsitektur glomerulus hampir seluruhnya punah (obliterasi) karena akumulasi masif amiloid. B, Amiloidosis jantung. Serabut miokardium atrofik dipisahkan oleh amiloid tanpa struktur, berwarna merah muda



158



BAB 4



Penyakit Sistem Imun



hipofisis merupakan tempat paling lazim terkena. Pada kasus semacam itu, pengendapan amitoid juga mulai berkaitanan dengan sel stroma dan endotel dan secara progresif mendesak sel parenkim. Aneh sekali, banyak dari amiloid mungkin terdapat pada kelenjar endokrin apa pun tanpa gangguan fungsi yang jelas. Pada saluran gastrointestinal, yang merupakan tempat yang mudah mengalami pengendapan, amiloid mungkin ditemukan pada semua tingkatan, kadang-kadang membentuk massa tumor yang harus dibedakan dari neoplasma. Endapan nodular pada lidah dapat menyebabkan makroglosia. Berdasarkan kekerapan terkenanya saluran gastrointestinal pada kasus sistemik, maka biopsi gusi. intestinal dan rektum berguna untuk menetapkan diagnosis pada kasus yang dicurigai. Pengendapan amiloid 132-mikroglobulin pada penderita yang menerima hemodialisis jangka panjang terjadi paling lazim pada ligamen karpal dari pergelangan tangan, yang menyebabkan kompresi nervus medianus (yang diikuti corpol tunnel syndrome).



Perjalanan Klinis Amiloidosis mungkin merupakan penemuan yang tidak dicurigai pada autopsi pada penderita yang tidak memiliki manifestasi klinis terkait yang jelas, atau hal itu mungkin menjadi penyebab disfungsi klinis yang parah dan bahkan kematian. Perjalanan klinis bergantung kepada tempat atau organ khusus yang terkena dan keparahan penyakit. Keluhan yang tidak spesifik seperti kelemahan, kelelahan, dan kehilangan berat badan adalah manifestasi tampilan yang paling lazim. Pada masa kemudian dari perjalanan penyakit, amiloidosis cenderung terjadi pada salah satu dari beberapa keadaan: oleh karena penyakit ginjal, hepatomegati, splenomegali, atau abnormalitas jantung. Terkenanya ginjal menimbulkan proteinuria berat (sindrom nefrotik) (Bab 13) seringkali merupakan penyebab utama terjadinya gejala pada amiloidosis reaktif sistemik. Progresi penyakit ginjal dapat menyebabkan gagal ginjal, yang merupakan penyebab kematian penting pada amiloidosis. Hepatospleno megali jarang rnenyebabkan disfungsi klinis yang bermakna, tetapi hal itu mungkin merupakan temuan pada tampilan penderita. Amiloidosis kardiak mungkin berwujud sebagai gangguan konduksi atau sebagai kardiomiopati restriktif (Bab 10). Aritmia kardiak adalah penyebab kematian penting pada amiloidosis kardiak. Pada satu seri penelitian yang besar, 40% penderita dengan amiloid Al meninggal karena penyakit jantung. Diagnosis amiloidosis mungkin dicurigai dari tanda-tanda dan gejala klinis dan dari beberapa penemuan yang disebutkan; walaupun demikian, uji yang lebih spesifik harus sering dilakukan untuk diagnosis pasti. Biopsi dan pulasan merah Congo yang disertakan adalah cara paling penting dalam diagnosis amiloidosis. Pada umumnya, biopsi diambil dari organ yang dicurigai terjangkit. Misalnya, biopsi ginjal adalah penting bila terdapat abnormalitas urin. Sediaan biopsi rektum dan gusi berisi amiloid pada sebanyak 75% kasus dengan amiloidosis yang menyeluruh. Pemeriksaan aspirat lemak abdomen yang dipulas dengan zat warna merah Congo adalah cara yang sederhana, berisiko rendah. Pada kasus yang dicurigai amiloidosis AL, elektroforesis dan imunoelektroforesis protein serum dan urin harus dikerjakan. Pemeriksaan surnsum tulang pada kasus semacam itu biasanya menunjukkan plasmasitosis, bahkan apabila tidak ada lesi skelet dari mieloma multipel. Analisis proteomik dari jaringan yang terjangkit sekarang sedang digunakan secara luas untuk deteksi amiloid dalam jurrdah kecil (dari aspirat lemak) dan untuk penetapan definitif tentang jenis amiloid.



Penampilan umum penderita dengan amiloid yang menyeluruh adalah buruk, dengan nilai rerata masa ketahanan hidup setelah diagnosis berkisar dari 1 tahun sampai 3 tahun. Pada amiloidosis AA, prognosis bergantung sebagian kepada pengendalian keadaan yang mendasari penyakit. Penderita dengan amiloidosis yang terkait mieloma memiliki prognosis lebih buruk, walaupun mungkin beresponsi terhadap obat sitotoksik yang digunakan untuk mengobati kelainan yang mendasari. Resorpsi amiloid setelah pengobatan untuk keadaan yang terkait telah dilaporkan, tetapi hal ini adalah kejadian yang jarang.



RINGKASAN Amiloidosis •















Amiloidosis adalah kelainan yang ditandai oleh endapan ekstrasel dari protein yang terlipat salah yang beragregasi membentuk fibril yang tidak terlarut. Pengendapan protein ini mungkin diakibatkan oleh produksi berlebihan dari protein yang cenderung mengalami salah lipatan dan agregasi; mutasi yang menghasilkan protein yang tidak dapat melipat dengan benar dan cenderung beragregasi; atau degradasi proteolitik yang cacat atau tidak sempurna dari protein ekstrasel. Amiloidosis mungkin bersifat setempat atau sistemik. Hal itu dijumpai terkait dengan berbagai kelainan primer, termasuk proliferasi sel plasma (dengan endapan amiloid terdiri dari rantai ringan imunoglobulin); penyakit inflamasi kronik seperti RA (endapan amiloid protein A, berasal dari protein fase akut yang diproduksi inflamasi); penyakit Alzheimer (protein amiloid B); keadaan familial yang disertai endapan amiloid terdiri dari bentuk mutan dari protein normal (contoh transtiretin pada polineuropati amiloid familial): amiloidosis yang terkait dengan dialisis (endapan β2 dengan cacat dari proses pembersihannya). Endapan amiloid menyebabkan jejas jaringan dan merusak fungsi normal dengan menyebabkan tekanan pada sel dan jaringan. Mereka tidak memicu reaksi inflamasi.



KEPUSTAKAAN Banchereau J, Pascual V: Type I interferon in systemic lupus erythematosus and other autoimmune diseases. Immunity 25:383, 2006. (Suatu tinjauan hasil penemuan mutakhir tentang peranan interferon pada SLE dan penyakit autoimun lain, dan potensi untuk menjadikan keluarga molekul sitokin ini untuk terapi.) Campbell DJ, Koch MA: Phenotypic and functional specialization of FoxP3+ regulatory T cells. Nat Rev Immunol 11:119, 2011. (Tinjauan tentang sifat-sifat dan fungsi sel T regulator) Chervonsky A: Influence of microbial environment on autoimmunity. Nat Immunol 11:28, 2010. (Suatu ringkasan tentang peranan mikroba dan faktor lingkungan lain pada perkembangan autoimunitas.) Cunningham-Rundles C, Ponda PP: Molecular defects in T- and B-cell primary immunodeficiency diseases. Nat Rev Immunol 5:880, 2006. (Tinjauan yang sangat baik dan bersifat mutakhir tentang imunodefisiensi primer) Davidson A, Diamond B: Autoimmune diseases. N Engl J Med 345:340, 2001. (Suatu pandangan umum yang mudah dibaca tentang etiologi, patogenesis, dan terapi penyakit autoimun.) Douek DC, Roederer M, Koup RA: Emerging concepts in the immunopathogenesis of AIDS. Annu Rev Med 60:471, 2009. (Suatu pembahasan yang seimbang tentang patogenesis AIDS, dan masalah-masalah yang belum terselesaikan) Fairhurst AM, Wandstrat AE, Wakeland EK: Systemic lupus erythe-matosus: multiple immunological phenotypes in a complex genetic disease. Adv Immunol 92:1, 2006. (Suatu tinjauan yang konferen



Amiloidosis sif tentang genetik SLE pada manusia dan model bintang, dan mekanisme patogenesis yang dibahas dari identifikasi gen kepekaan terhadap penyakit) Fischer A: Human primary immunodeficiency diseases. Immunity 28:835, 2008. (Suatu ringkasan yang sangat baik tentang imunodefisiensi primer yang memengaruhi sistem imun bawaan/alami dan adaptif.) Galli SJ: The development of allergic inflammation. Nature 454:445, 2008. (Suatu tinjauan pustaka yang sangat baik tentang mekanisme inflamasi pada penyakit alergi.) Gonzalez-Scarano F, Martin-Garcia J: The neuropathogenesis of AIDS. Nat Rev Immunol 5:69, 2005. (Suatu diskusi tentang patogenesis demensia yang terkait HIV.) Goodnow CC: Multistep pathogenesis of autoimmune disease. Cell 130:25, 2007. (Suatu pembahasan yang sangat baik tentang butir-butir pedoman untuk pencegahan autoimunitas dan mengapa hal ini mungkin gagal.) Jancar S, Sanchez Crespo M: Immune complex–mediated tissue injury: a multistep paradigm. Trends Immunol 26:48, 2005.(Suatu ringkasan tentang mekanisme jejas jaringan yang diperantarai kompleks-imun.) Katsumoto TR, Whitfield ML, Connolly MK: The pathogenesis of systemic sclerosis. Annu Rev Pathol 6:509, 2011. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis sklerosis sistemik, dan banyak pertanyaan yang belum terjawab.) Kay AB: Allergy and allergic diseases. First of two parts. N Engl J Med 344:30, 2001. (Tinjauan yang sangat baik --satu dari dua bagian-- tentang mekanisme dan manifestasi hipersensitivitas segera.) Kyewski B, Klein L: A central role for central tolerance. Annu Rev Immunol 24:571, 2006. (Suatu pembahasan tentang mekanisme toleransi sentral, dengan fokus pada sel T.) Merlini G, Bellotti V: Molecular mechanisms of amyloidosis. N Engl J Med 349:583, 2003.(Tinjauan yang baik tentang mekanisme patogenik umum pada berbagai amiloidosis sistemik.) Mitchell RN: Graft vascular disease: immune response meets the vessel wall. Annu Rev Pathol 4:19, 2009. (Suatu tinjauan tentang mekanisme patogenik umum pada berbagai amiloidosis sistemik.) Moir S, Chun TW, Fauci AS: Pathogenic mechanisms of HIV disease. Annu Rev Pathol 6:223, 2011. (Suatu pembahasan konsep mutakhir tentang mekanisme HIV menyebabkan imunodefisiensi.) Mueller DL: Mechanisms maintaining peripheral tolerance. Nat Immunol 11:21, 2010. (Suatu pembahasan tentang mekanisme toleransi perifer, dengan penekanan pada sel T.) Nankivell BJ, Alexander SI: Rejection of the kidney allograft. N Engl J Med 363:1451, 2010. (Tinjauan yang baik tentang mekanisme pengenalan dan reaksi



159



penolakan alograf dan perkembangan strategi baru untuk menanggulangi reaksi penolakan.) Notarangelo LD: Primary immunodeficiencies. J Allergy Clin Immunol 125:S182, 2010. (Suatu pembahasan mutakhir tentang imunodefisiensi kongenital dan dasar molekulaernya.) O’Shea JJ, Paul WE: Mechanisms underlying lineage commitment and plasticity of helper CD4+ T cells. Science 327:1098, 2010. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang perkembangan dan fungsi subset sel T penolong, dan ketidakpastian di dalam bidang ini.) Palmer MT, Weaver CT: Autoimmunity: increasing suspects in the CD4+ T cell lineage. Nat Immunol 11:36, 2010. (Suatu pembahasan yang mendasar tentang peranan sentral sel T CD4+ pada patogenesis penyakit autoimun.) Pepys MB: Amyloidosis. Annu Rev Med 57:223, 2006. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis, perangai klinis dan pendekatan terapi pada amiloidosis.) Rahman A, Isenberg DA: Systemic lupus erythematosus. New Engl J Med 358:929, 2008. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang patogenesis dan genetik SLE.) Sakaguchi S, Miyara M, Costantino CM, Hafler DA: FOXP3+ regulatory T cells in the human immune system. Nat Rev Immunol 10:490, 2010. (Suatu pembahasan yang sangat baik tentang sifat-sifat dan peranan sel T regulator pada manusia.) Sakaguchi S, Yamaguchi T, Nomura T, Ono M: Regulatory T cells and immune tolerance. Cell 133:775, 2008. (Suatu tinjauan yang sangat baik tentang sifat-sifat dan fungsi sel T regulator) Stone J, Zen Y, Deshpande V: IgG4-related disease. New Engl J Med, in press, 2011. (Suatu pembahasan komprehensif tentang perangai dan kemungkinan patogenesis dari kesatuan kelainan yang akhir-akhir ini dikenal.) Vercelli D: Discovering susceptibility genes for asthma and allergy. Nat Rev Immunol 8:169, 2008. (Suatu ringkasan tentang gen kepekaan terhadap penyakit asma dan penyakit alergi lain.) Voulgarelis M, Tzioufas AG: Pathogenetic mechanisms in the initiation and perpetuation of Sjögren’s syndrome. Nat Rev Rheumatol 6:529, 2010. (Suatu pembahasan yang baik tentang apa yang diketahui dan yang tidak diketahui mengenai patogenesis sindrom Sjogren.) Zenewicz L, Abraham C, Flavell RA, Cho J: Unraveling the genetics of autoimmunity. Cell 140:791, 2010. (Suatu pembahasan mutakhir tentang gen kepekaan penyakit autoimun, bagaimana ini ditetapkan, dan kemaknaannya.)



This page intentionally left blank



5 BAB



Neoplasia DAFTAR ISI BAB Nomenklatur 162 Tumor Jinak 162 Tumor Ganas 162



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas 164



Diferensiasi dan Anaplasia 164 Kecepatan Tumbuh 166 Invasi Lokal 167 Metastasis 168



Epidemiologi 169



Insidens Kanker 170 Variabel Geografi dan Lingkungan 170 Usia 171 Keturunan 171 Lesi Praneoplastik yang Didapat 172



Karsinogenesis: Dasar Molekuler Kanker  173 Lesi Genetik pada Kanker   173 Perubahan Kariotipe pada Tumor 173



MicroRNA dan Kanker 175 Modifikasi Epigenetik dan Kanker 175



Karsinogenesis: Proses Bertahap 177 Tanda Khas Kanker 178 Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan 178



Ketidakpekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan 182 Menghindari Kematian Sel 189 Potensi Replikasi Tanpa Batas 190 Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus 191 Kemampuan untuk Invasi dan Metastasis 192 Melakukan Program Ulang Metabolisme Energi 195 Menghindari Sistem Imun 196 Instabilisitas Genom MemungkinkanTerjadinya Keganasan 196 Radang Pemicu Tumor Memungkinkan Terjadinya Keganasan 197



Kanker merupakan penyebab kematian kedua di Amerika Serikat, setelah penyakit kardiovaskular yang menyebabkan jumlah kematian lebih tinggi. Lebih menyedihkan lagi ialah tidak hanya kematian yang disebabkan oleh kanker, namun juga penderitaan emosi dan fisis. Pasien dan publik selalu bertanya: "Kapan ada obat yang menyembuhkan kanker?". Jawaban untuk pertanyaan yang sederhana ini sulit, karena kanker bukan satu jenis penyakit tetapi mempunyai beberapa gangguan yang kemudian bersama-sama mengakibatkan disregulasi pertumbuhan yang nyata. Beberapa kanker, misalnya Limfoma Hodgkin, dapat disembuhkan, sedangkan yang lainnya, misalnya kanker pankreas, biasanya selalu fatal. Harapan satu-satunya untuk mengontrol kanker terletak pada pemahaman yang lebih mendalam tentang patogenesis,walaupun upaya penting telah dilakukan untuk mempelajari dasar molekuler kanker. Bab ini membahas biologi dasar neoplasia sifat neoplasma jinak dan ganas dan dasar molekuler terjadinya transformasi neoplastik. Respons tubuh terhadap tumor dan gambaran klinis neoplasia akan dibicarakan. Sebelum membicarakan gambaran sel kanker dan mekanisme karsinogenesis sangat penting untuk merangkum fundamen dan karakteristik kanker: • Kanker adalah kelainan genetik disebabkan oleh mutasi DNA yang (sebagian besar) terjadi spontan atau diinduksi oleh pengaruh lingkungan. Sebagai tambahan, kanker sering menunjukkan perubahan



Karsinogenesis Berjenjang dan Perkembangan Kanker 198



Etiologi Kanker: Agen Karsinogenik 198 Karsinogen Kimia 199 Karsinogenesis karena Radiasi 200 Onkogenesis oleh Virus dan Mikroba 201



Pertahanan Tubuh terhadap Tumor: Imunitas Tumor 204 Antigen Tumor 204 Mekanisme Efektor Antitumor 206 Pengawasan Imun dan Penghindaran Imun oleh Tumor 207 Aspek Klinis Neoplasia 207 Efek Tumor pada Pejamu 207 Derajat Diferensiasi dan Stadium Kanker 208 Diagnosis Laboratorium Kanker 210



epigenetik, seperti peningkatan metilasi DNA fokal dan perubahan modifikasi histon, yang mungkin berasal dari mutasi yang didapat pada gen yang mengatur modifikasi tersebut. Perubahan genetik dan epigenetik ini akan mengubah ekspresi atau fungsi gen kunci yang mengatur proses mendasar pada sel, misalnya pertumbuhan, pertahanan, dan penuaan (senescence). • Perubahan genetik ini dapat bersifat herediter, diturunkan ke sel anak saat pembelahan sel. Akibatnya, sel yang membawa perubahan ini tunduk pada seleksi Darwin (yang terkuat akan bertahan, konsep ilmiah terpenting yang pernah dikemukakan, walaupun tidak selalu diterima), di mana sel yang mengandung mutasi akan lebih mudah tumbuh dan lebih tahan, yang akan mengalahkan sel lain sehingga akan mendominasi populasi sel. Seleksi Darwin juga berperan dalam perkembangan dan kekambuhan kanker yang, akan dibicarakan kemudian lebih rinci. Karena kemudahan selektif tersebut mengenai sel tunggal yang kemudian akan menjadi tumor, maka semua tumor bersifat klonal (misalnya progeni dari satu sel) • Mutasi yang terakumulasi menyebabkan berbagai sifat berubah yang merupakan ciri khas kanker. Termasuk (1) mengatur sendiri sinyal pertumbuhan sehingga pertumbuhan kanker menjadi autonom dan tidak diatur oleh unsur fisiologis; (2) tidak peka terhadap sinyal penghambat pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel non-neoplastik seperti hiperplasia;



162



B A B 5



Neoplasia



(3) menghindari kematian sel, menyebabkan sel kanker dapat bertahan pada kondisi yang biasanya menginduksi apoptosis pada sel normal; (4) kemampuan membelah yang tanpa batas, sehingga sel kanker menjadi imortal; (5) perkembangan angiogenesis untuk mempertahankan pertumbuhan sel kanker; (6) kemampuan menginvasi jaringan lokal dan menyebar ke tempat yang jauh; (7) melakukan program ulang jalur metabolisme khususnya perubahan menjadi glikolisis aerobik walaupun terdapat oksigen berlebihan dan (8) kemampuan menghindari sistem imun. Perubahan genetik yang mengakibatkan sifat khas kanker ini dipertahankan dengan bertambahnya ketidakstabilan genom seperti menyiram bensin pada api. Keterangan dasar molekuler pada tanda khas kanker akan dibahas pada bagian selanjutnya. Pemahaman tentang abnormalitas sel dan molekul pada sel kanker mengakibatkan revolusi dalam pengobatan kanker yang didasari pada penelitian dasar, dan merupakan kemajuan menggembirakan untuk ilmu biomedik.



NOMENKLATUR Neoplasia berarti "pertumbuhan baru". Sel neoplastik disebutkan mengalami transformasi sebab terus mengadakan replikasi, tanpa dipengaruhi oleh faktor pengendali pertumbuhan sel normal. Neoplasma mempunyai kemampuan autonom dan cenderung untuk menjadi besar tanpa dipengaruhi lingkungan setempat. Namun, autonom tersebut tidak lengkap seluruhnya. Beberapa neoplasma membutuhkan dukungan endokrin, dan ketergantungan tersebut dapat digunakan untuk upaya terapi. Semua neoplasma bergantung pada nutrisi dan suplai darah pejamu. Dalam istilah umum kedokteran, neoplasma disebut tumor, dan cabang ilmu yang mempelajari tumor disebut onkologi (dari oncos, "tumor," dan logos, "ilmu"). Di antara berbagai macam tumor, pembagian neoplasma menjadi jinak dan ganas didasarkan pada potensi manifestasi klinis. • Tumor disebut jinak apabila gambaran mikroskopik dan makroskopik tidak membahayakan, memberi kesan bahwa tumor tersebut akan tetap terlokasi dan dapat dilakukan pengangkatan dengan tindakan bedah lokal; pasien umumnya dapat bertahan. Catatan tumor jinak disamping memberikan keluhan sebagai benjolan setempat, tetapi dapat menyebabkan penyakit yang serius. • Tumor ganas disebut dalam kelompok kanker, berasal dari kata Latin "kepiting" karena sifatnya yang melekat erat dipermukaan tempat tumor itu berada, mirip sifat kepiting. Ganas, pada neoplasma, menyatakan bahwa lesi dapat menginvasi dan merusak struktur disekitarnya dan menyebar ke tempat jauh (metastasis) serta menyebabkan kematian. Tidak semua kanker bersifat fatal. Kadang-kadang yang paling agresif termasuk yang paling dapat disembuhkan, tetapi sebutan ganas menandakan bendera merah. Semua tumor, jinak atau ganas, mempunyai dua komponen dasar: (1) parenkim, terdiri atas sel yang telah mengalami transformasi atau sel neoplastik, dan (2) stroma penunjang non-neoplastik yang berasal dari pejamu, terdiri atas jaringan ikat, pembuluh darah, dan sel radang yang berasal dari pejamu. Parenkim neoplasma menentukan sifat biologis tumor, dan dari



komponen inilah asal pemberian nama tumor. Stroma penting untuk pertumbuhan neoplasma, karena mengandungi suplai darah yang memberikan dukungan untuk pertumbuhan sel parenkim. Walaupun sifat biologis tumor terutama bergantung pada sifat sel parenkim, ada pengertian baru bahwa sel stroma dan sel neoplastik mempunyai hubungan dua arah yang mempengaruhi pertumbuhan tumor.



Tumor Jinak Secara umum, tumor jinak diberi nama dengan akhiran oma pada jenis sel asal tumor tersebut. Suatu tumor jinak berasal dari jaringan fibrosa disebut fibroma; tumor jinak asal tulang rawan disebut kondroma. Nomenklatur untuk tumor epitel jinak lebih kompleks. Klasifikasi kadang-kadang dilakukan berdasarkan pola mikroskopik dan kadangkadang pada pola makroskopik. Ada juga klasifikasi lain berdasarkan asal sel. Sebagai contoh, istilah adenoma diterapkan untuk neoplasma epitel jinak yang memberikan gambaran kelenjar dan pada kelompok neoplasma berasal dari kelenjar walau tidak harus menunjukkan pola kelenjar. Suatu neoplasma epitel jinak berasal dari sel tubulus ginjal dan tumbuh membentuk pola mirip kelenjar disebut adenoma. Demikian juga kelompok sel epitel jinak yang tidak menunjukkan pola kelenjar tetapi berasal dari korteks adrenal, disebut adenoma. Papiloma ialah suatu neoplasma epitel jinak, tumbuh pada permukaan, memberikan gambaran mikroskopik dan makroskopik suatu tonjolan mirip jari tangan. Polip adalah suatu massa yang tumbuh di atas permukaan mukosa, seperti usus, membentuk struktur yang secara makroskopik mudah dilihat (Gambar 5-1). Walaupun istilah ini dipergunakan untuk tumor jinak, beberapa tumor ganas dapat tumbuh sebagai polip, sedangkan beberapa polip lain (seperti polip hidung) bukan suatu neoplasma tetapi berasal dari proses radang. Kistadenoma merupakan massa kistik berongga yang khas berasal dari ovarium Nomenklatur tumor ganas mengikuti nomenklatur tumor jinak, dengan beberapa tambahan dan pengecualian.



Tumor Ganas • Neoplasma ganas yang berasal dari jaringan mesenkim "padat" atau derivatnya disebut sarkoma, sedang yang berasal dari sel mesenkim darah disebut leukemia atau limfoma. Sarkoma ditentukan oleh jenis sel tumornya yang dianggap sel asal tumor itu. Jadi, kanker yang berasal dari jaringan fibrosa disebut fibrosarkoma, dan neoplasma ganas yang terdiri dari kondrosit disebut kondrosarkoma. • Walaupun epitel tubuh berasal dari tiga lapisan germinal, neoplasma ganas sel epitel semua disebut karsinoma tanpa mempersoalkan asal jaringan. Sehingga neoplasma ganas yang berasal dari epitel tubulus ginjal (mesoderm) disebut karsinoma, demikian pula kanker yang berasal dari kulit (ektoderm) dan epitel yang melapisi usus (endoderm). Selanjutnya, mesoderm dapat menimbulkan karsinoma (epitel), sarkoma (mesenkim) dan tumor hematolimfoid (leukemia dan limfoma). • Pembagian karsinoma lebih lanjut. Karsinoma yang tumbuh membentuk pola kelenjar disebut adenokarsinoma, dan yang menghasilkan sel skuamosa disebut karsinoma sel skuamosa. Kadang-kadang asal jaringan tidak dapat diidentifikasi,



Nomenklatur



163



Teratoma merupakan tumor campur khusus yang mengandungi sel matur dan imatur yang mudah dikenal, mewakili lebih dari satu lapisan germinal dan kadang-kadang ketiga lapisan. Teratoma berasal dari sel germinal totipoten yang dalam keadaan normal dijumpai di testis atau ovarium dan kadang-kadang secara abnormal pada sisa jaringan embrionik di garis tengah. Sel germinal mempunyai kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada tubuh manusia dewasa, sehingga, tidak mengherankan, dapat menghasilkan neoplasma yang bentuknya kacau-balau, ada bagian yang menyerupai keping tulang, epitel, otot, lemak, saraf dan jaringan lain. Nama spesifik untuk neoplasma yang sering dijumpai ditampilkan pada Tabel 5-1. Akan dijumpai adanya inkonsistensi. Contoh istilah limfoma, mesotelioma, melanoma, dan seminoma dipergunakan untuk neoplasma ganas. Untuk mahasiswa perkecualian ini telah ditekankan saat mempelajari istilah kedokteran







Ada beberapa istilah lain yang membingungkan: Hamartoma merupakan massa jaringan yang tidak terorganisasi disuatu tempat tertentu. Pemeriksaan histologis terdiri atas jaringan hati yang selnya matur, tetapi tidak teratur, pembuluh darah dan mungkin duktus biliaris di dalam hati, atau nodul di paru mengandungi pulau-pulau tulang rawan, bronkus, dan pembuluh darah. Hamartoma dianggap sebagai pertumbuhan yang susunannya salah, tetapi penelitian genetik menunjukkan adanya translokasi yang didapat, sehingga mendukung pendapat sebagai neoplasma.



Gambar 5-1 Polip kolon.Tumor glandular ini (adenoma) tampak tumbuh ke dalam lumen kolon. Polip melekat pada mukosa dengan suatu tangkai yang jelas.



• Koristoma merupakan kelainan bawaan terdiri atas sisa sel yang heterotopik. Contoh, suatu nodul terdiri atas jaringan pankreas normal tetapi dijumpai di submukosa lambung, duodenum, atau usus halus. Sisa jaringan yang heterotopik ini bisa penuh dengan pulau Langerhans dan kelenjar eksokrin. Kata-oma, yang menandakan nama neoplasma, memberikan kesan berbeda dengan keadaan sisa jaringan heterotopik yang secara klinis jauh lebih ringan. Walaupun istilah berbagai neoplasma tidak sederhana, namun pemahaman nomenklatur sangat penting, karena akan mendasari penggolongan tumor menurut sifat dan asalnya.



misalnya pada adenokarsinoma sel ginjal. Kadang-kadang tumor menunjukkan diferensiasi terbatas atau tidak menunjukkan diferensiasi maka disebut karsinoma berdiferensiasi buruk atau karsinoma tidak berdiferensiasi. Sel yang mengalami transformasi pada neoplasma, baik jinak atau ganas, akan mirip satu dengan lain, dan diperkirakan semua berasal dari satu progenitor, sesuai dengan asal monoklonal dari tumor. Namun, pada beberapa keadaaan tertentu, sel tumor mengalami diferensiasi divergen, dan terbentuk apa yang disebut tumor campur. Contoh terbaik ialah tumor campur kelenjar liur. Tumor ini mengandungi komponen epitel tersebar di antara stroma fibromiksoid, kadang kadang dijumpai pulau tulang rawan atau tulang (Gambar 5-2). Semua elemen berbeda ini diperkirakan berasal dari sel epitel atau sel mioepitel, atau keduanya, dan nama yang dipilih untuk neoplasma ini ialah adenoma pleiomorfi. Fibroadenoma pada payudara wanita merupakan contoh suatu tumor campur. Tumor jinak ini mengandungi campuran elemen duktus yang berproliferasi (adenoma) terletak di antara jaringan ikat longgar (fibroma). Walaupun hanya komponen fibrosa yang neoplastik, istilah fibroadenoma selalu dipergunakan.



Gambar 5-2 Tumor campur kelenjar parotis mengandungi sel epitel membentuk duktus dan stroma miksoid yang menyerupai tulang rawan. (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas.)



164



BAB



Neoplasia



Tabel 5-1 Tata Nama Tumor



Jaringan Asal Terdiri atas Satu Jenis Sel Parenkim



Jinak



Ganas



Jaringan ikat dan turunannya



Fibroma Lipoma Kondroma Osteoma



Fibrosarkoma Liposarkoma Kondrosarkoma Sarkoma osteogenik



Hemangioma Limfangioma



Angiosarkoma Limfangiosarkoma Mesotelioma Meningioma invasif



Endotel dan jaringan terkait Pembuluh darah Pembuluh limfe Mesotel Selaput otak



Meningioma



Sel darah dan sel terkait Sel hematopoietik Jaringan limfoid Otot Polos Serat lintang Tumor berasal dari epitel Skuamosa berlapis Sel basal kulit atau adneksa Epitel yang melapisi kelenjar atau duktus Saluran napas Epitel ginjal Sel hati Epitel saluran kemih (transisional) Epitel plasenta Epitel testis (sel germinal) Tumors melanosit



Leukemia Limfoma Leiomioma Rabdomioma



Leiomiosarkoma Rabdomiosarkoma



Papiloma sel skuamosa



Karsinoma sel skuamosa atau sel epidermoid Karsinoma sel basal Adenokarsinoma Karsinoma papiler Kistadenokarsinoma Karsinoma bronkogenik Karsinoma sel ginjal Karsinoma sel hati Karsinoma urotelial Koriokarsinoma Seminoma Karsinoma embrional Melanoma malignum



Adenoma Papiloma Kistadenoma Adenoma bronkus Adenoma tubulus ginjal Adenoma sel hati Papiloma urotelial Mola hidatidosa



Nevus



Lebih dari Satu Jenis Sel Neoplastik - Tumor Campur, Biasanya Bersal dari Satu Lapisan Sel Germinal Kelenjar liur Anlage ginjal



Adenoma pleiomorfik (tumor campur kelenjar liur)



Tumor campur kelenjar liur yang ganas. Tumor Wilms



Berapa Jenis Sel Neoplastik Berasal dari Beberapa Jenis Lapisan Sel Germinal - Teratogenosa Sel Totipoten di gonad atau sisa sel embrional



Teratoma matur, kista dermoid



Teratoma imatur, teratokarsinoma



Diferensiasi dan Anaplasia Tidak ada hal yang lebih penting bagi seorang penderita tumor dari pada berita bahwa "tumornya jinak." Umumnya, tumor jinak secara genetik "sederhana", dan dalam perjalanan waktu mengalami mutasi lebih sedikit daripada kanker, secara genetik stabil, mengalami sedikit perubahan genotip. Sifat yang terakhir menjelaskan mengapa tumor jinak seperti lipoma dan leiomioma jarang berubah menjadi ganas, atau boleh dikatakan tidak pernah. Dalam praktik, penentuan jinak atau ganas dibuat dengan akurasi tinggi berdasarkan kriteria klinis dan anatomik yang telah lama dipergunakan, tetapi masih dijumpai kesulitan untuk menentukan sifat beberapa neoplasma. Gambaran tertentu bisa menandakan sifat tumor jinak, tetapi gambaran lainnya menandakan keganasan. Namun masalah tersebut tidak menjadi patokan, dan ada empat gambaran yang mendasar untuk membedakan tumor jinak dan ganas: diferensiasi dan anaplasia, kecepatan pertumbuhan, invasi lokal, dan metastasis.



Diferensiasi dan anaplasia adalah tanda khas yang hanya dijumpai pada sel parenkim yang elemen neoplasmanya mengalami tranformasi. Yang dimaksud dengan diferensiasi sel parenkim ialah seberapa jauh kemiripan sel tumor itu secara morfologik dan fungsional dengan sel aslinya. • Neoplasma jinak terdiri dari sel yang berdiferensiasi baik yang sangat mirip dengan sel normal. Lipoma terdiri atas sel lemak matur dengan vakuol lipid di sitoplasmanya, dan kondroma terdiri atas tulang rawan matur yang mensintesa matriks tulang rawan normal suatu tanda diferensiasi morfologik dan fungsional. Pada tumor jinak dengan diferensiasi baik, mitosis jarang dijumpai dan konfigurasinya adalah normal. • Neoplasma ganas ditandai dengan diferensiasi sel parenkim yang beragam, berkisar dari diferensiasi baik (Gambar 5-3),



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas



Gambar 5-3 Karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik dari kulit. Tumor sangat mirip dengan sel epitel skuamosa kulit normal, dengan jembatan antar sel dan pulau keratin (panah). (Sumbangan dari Dr. Tmce Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. )



hingga yang tidak berdiferensiasi. Contoh,adenokarsinoma tiroid berdiferensiasi baik, mengandungi folikel yang tampak normal. Tumor tersebut kadang-kadang sulit dibedakan dari suatu proliferasi jinak. Di antara kedua ekstrem terdapat kelompok tumor yang dikelompokkan dalam diferensiasi sedang. Stroma yang mengandungi suplai darah sangat penting untuk pertumbuhan tumor tetapi bukan merupakan tanda untuk membedakan tumor jinak dan ganas. Sebaliknya jumlah stroma jaringan ikat, menentukan konsistensi neoplasma. Beberapa kanker menginduksi stroma fibrosa (desmoplasia) yang padat, sehingga menjadi keras, dan disebut tumor skirus. • Neoplasma ganas yang terdiri atas sel yang tidak berdiferensiasi disebut anaplastik. Tidak adanya diferensiasi, atau anaplasia, merupakan tanda utama keganasan. Istilah anaplasia berarti "pertumbuhan mundur" menyatakan diferensiasi, atau hilangnya diferensiasi struktur dan fungsi sel normal. Sekarang diketahui, bahwa, terdapat beberapa jenis kanker yang berasal dari sel punca jaringan; pada tumor ini kegagalan berdiferensiasi, dan bukan diferensiasi sel khusus, yang mengakibatkan gambaran tidak berdiferensiasi. Penelitian terakhir menunjukkan pada beberapa kasus, dediferensiasi sel matur terjadi selama karsinogenesis. Sel anaplastik menunjukkan pleiomorfisme yang mencolok (misalnya variasi dalam besar dan bentuk) (Gambar 5-4). Sering intinya sangat hiperkromatik (gelap pada pulasan) dan menghasilkan peningkatan rasio inti dan sitoplasma yang dapat mencapai 1:1 sedangkan yang normal biasanya 1:4 atau 1: 6. Sel raksasa yang jauh lebih besar daripada sel sekitarrtya dapat terbentuk dan mengandungi satu inti yang besar atau beberapa inti. Inti anaplastik mempunyai ukuran dan bentuk yang sangat bervariasi. Kromatin kasar dan padat, anak inti mempunyai ukuran yang sangat besar. Yang lebih penting ialah, mitosis banyak ditemukan dan bentuknya sangat atipik; spindel yang multipel dan tidak teratur akan membentuk mitosis berbentuk tripolar atau kuadripolar (Gambar 5-5). Juga, sel anaplastik biasanya tidak dapat membentuk pola orientasi teratur yang dapat dikenal satu dengan lain (misalnya terjadi kehilangan polaritas normal). Akan tumbuh seperti lembaran, tanpa mengandungi berbagai struktur umum, misalnya kelenjar atau arsitektur epitel skuamosa.



165



Gambar 5-4 Tumor anaplastik dari otot skeletal (rabdomyosarkoma). Perhatikan pleiomorfi sel dan inti yang jelas, inti hiperkromatik, dan sel datia tumor. (Sumbangan dan Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas. )



Makin berdiferensiasi suatu tumor, maka akan makin besar kemampuannya mempertahankan fungsi normalnya. Neoplasma jinak dan juga kanker kelenjar endokrin yang berdiferensiasi baik seringkali memproduksi hormon seperti hormon sel asalnya. Karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik menghasilkan keratin (Gambar 5-3), demikian juga karsinoma hepatoseluler berdiferensiasi baik akan mensekresi empedu. Pada kasus lain, fungsi yang tidak terduga muncul. Beberapa kanker menghasilkan protein fetal yang tidak diproduksi oleh sel yang sama pada orang dewasa. Kanker yang berasal dari kelenjar nonendokrin dapat menghasilkan apa yang disebut hormon ektopik. Sebagai contoh, beberapa karsinoma paru dapat memproduksi hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon mirip hormon paratiroid, insulin, glukagon, dan lainnya. Akan dibahas kemudian mengenai fenomena ini. Walaupun adanya perkecualian, semakin cepat pertumbuhan dan semakin anaplastik suatu tumor, semakin kecil kemungkinannya mempunyai aktivitas fungsional khusus.



Gambar 5-5 Gambaran sel tumor anaplastik secara rinci dengan pembesaran besar menunjukkan ukuran dan bentuk sel dan intinya bervariasi. Sel yang berada di tengah mempunyai spindel tripolar abnormal.



166



BAB 5



Neoplasia



A



B



Gambar 5-6 Karsinoma in situ. A, Pembesaran kecil menunjukkan seluruh tebal epitel telah diganti oleh sel displastik atipik. Tidak terdapat diferensiasi sel skuamosa yang teratur. Membran basal masih utuh, tidak ada tumor dalam stroma subepitel. B, Pembesaran besar dari tempat lain menunjukkan kegagalan diferensiasi normal, pleiomorfi inti dan sel yang jelas dan ditemukan beberapa mitosis yang tersebar kepermukaan. Membran basal yang utuh (di bawah) tidak tampak pada potongan ini.



Masih relevan dalam diskusi diferensiasi dan anaplasia ialah membahas displasia, merupakan suatu proliferasi yang tidak teratur tetapi bukan kelainan neoplasma. Displasia dijumpai hanya pada lesi epitel. Sel pada kelainan ini tidak uniform lagi dan orientasi arsitekturnya juga lain. Sel displastik menunjukkan pleiomorfisme dan sering intinya hiperkromatik yang besarnya abnormal untuk ukuran sel tersebut. Dijumpai jumlah mitosis yang lebih banyak dari yang biasa ditemukan pada lokasi abnormal dalam epitel. Pada epitel skuamosa berlapis yang displastik, mitosis tidak terbatas pada lapisan basal, tempat yang normal dijumpai, tetapi dijumpai pula pada seluruh lapisan, termasuk di sel permukaan. Dijumpai anarki arsitektur. Contoh maturasi progresif sel bentuk lonjong di lapisan basal menjadi sel-sel gepeng di permukaan tidak terjadi lagi dan akan terlihat sel basal berwarna gelap dengan susunan tidak teratur (Gambar 5-6). Apabila kelainan displasia menonjol dan mengenai seluruh ketebalan epitel, lesi itu disebut sebagai karsinoma in situ, stadium preinvasif kanker (Bab 18). Walaupun perubahan displastik sering dijumpai berdekatan dengan fokus transformasi keganasan, penelitian jangka panjang pada perokok menunjukkan bahwa epitel displastik mendahului gambaran kanker, istilah displasia tidak sinonim dengan kanker; displasia ringan hingga displasia sedang yang tidak mengenai seluruh ketebalan epitel, kadang-kadang akan mengalami regresi lengkap; khususnya bila faktor penyebab dapat dihilangkan.



mendadak. Agaknya tumor tersebut mengalami nekrosis karena pembesaran tumor yang progresif mengakibatkan penekanan pada aliran darah. Walaupun adanya keadaan ini dan variasi pertumbuhan antar tumor, dapat dipastikan bahwa pada umumnya tumor jinak tumbuh lebih lambat dalam rentang waktu bulanan hingga tahunan.



Kecepatan Tumbuh



Kecepatan tumbuh tumor ganas berkorelasi terbalik dengan derajat diferensiasi. Dengan kata lain, tumor dengan diferensiasi buruk akan tumbuh lebih cepat dibanding tumor berdiferensiasi baik. Namun, ada variasi luas dalam kecepatan tumbuh. Beberapa tumor ganas tumbuh lambat bertahun-tahun untuk kemudian memasuki fase pertumbuhan cepat, menyatakan munculnya suatu subklon agresif dari sel yang mengalami transformasi. Tumor lain tumbuh relatif lambat namun tetap; pada beberapa perkecualian, pertumbuhan dapat berhenti sama sekali. Bahkan yang lebih jarang lagi, beberapa tumor primer (khususnya koriokarsinoma) dapat seluruhnya menjadi nekrotik, hanya menyisakan implan metastatik sekunder. Walaupun adanya kejadian jarang ini, kanker umumnya membesar secara progresif dengan berlalunya waktu, ada yang lambat, ada yang cepat, tetapi istilah "jatuh dari langit" tidak benar. Berbagai penelitian eksperimental dan klinis menyimpulkan bahwa dibutuhkan bertahun-tahun dan mungkin puluhan tahun sebelum kanker memberikan lesi yang jelas secara klinis. Hal ini terbukti pada leukemia anak jenis "akut", yang dimulai pada perkembangan fetal namun manifestasi sebagai kanker yang jelas baru timbul beberapa tahun kemudian. Tumor ganas dengan pertumbuhan cepat sering mempunyai nekrosis iskemik pada daerah sentral, karena suplai darah untuk tumor, yang berasal dari pejamu, gagal mengimbangi kebutuhan oksigen untuk massa sel yang membesar dengan cepat.



Tumor jinak umumnya tumbuh lambat, sedangkan sebagian besar kanker tumbuh lebih cepat, dan menyebar lokal dan ke tempat yang jauh (metastasis) serta menyebabkan kematian. Namun ada banyak perkecualian terhadap keadaan umum ini, dan beberapa tumor jinak bisa tumbuh lebih cepat daripada kanker. Contoh, kecepatan pertumbuhan leiomioma (tumor otot polos jinak) di uterus dipengaruhi oleh kadar estrogen yang beredar. Tumor itu dapat membesar dengan cepat saat kehamilan dan kemudian berhenti tumbuh, dijumpai fibro kalsifikasi, setelah menopause. Pengaruh lain, misalnya suplai darah yang kurang atau adanya faktor tekanan setempat, akan memberikan pengaruh terhadap kecepatan tumbuh tumor jinak. Adenoma kelenjar hipofisis yang terkurung dalam sella tursika di observasi dapat mengecil



Pertumbuhan berkelanjutan dan pemeliharaan berbagai jaringan yang mengandungi sel berusia pendek, misalnya elemen pembentuk darah dan sel epitel saluran cerna dan kulit, membutuhkan populasi cadangan sel punca jaringan yang usianya panjang dan mampu mengganti sendiri. Sel punca jaringan jumlahnya jarang dan berada disuatu tempat yang dibentuk oleh sel penunjang, yang memproduksi faktor parakrin yang mempertahankan sel punca.Sebagaimana dijelaskan di Bab 2, sel punca membelah asimetris dan menghasilkan dua jenis sel



Sel Punca Kanker dan Linease



Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas 167 anak-sel dengan potensi proliferatif terbatas, yang akan mengalami diferensiasi akhir hingga membentuk jaringan tertentu, dan sel yang mempertahankan potensi sel punca. Kanker adalah imortal dan mempunyai kapasitas proliferasi tanpa batas, menyatakan bahwa seperti jaringan normal, kanker harus mengandungi sel dengan kemampuan mirip sel punca. Hipotesis sel punca kanker menyatakan bahwa analog dengan jaringan normal, hanya suatu subset sel pada tumor yang mempunyai kemampuan mengganti sendiri. Konsep sel punca kanker mempunyai beberapa implikasi penting. Yang terpenting ialah apabila sel punca kanker menentukan dalam mempertahankan tumor, maka sel ini harus dihilangkan untuk menyembuhkan pasien yang terkena kanker. Dijadikan hipotesa, bahwa seperti sel punca normal, sel punca kanker resisten terhadap terapi konvensional, karena kecepatan membelah sel yang rendah dan faktor ekspresinya, misalnya tahan terhadap berbagai obat (Multiple Drug Resistence-1/ MDR-1), yang melawan kerja obat kemoterapi. Jadi keterbatasan hasil terapi saat ini dapat dijelaskan karena kegagalan mematikan sel punca ganas yang menjadi akar kanker. Sel punca kanker dapat berasal dari sel punca jaringan normal atau dari sel yang telah berdiferensiasi lanjut dan sebagai bagian dari proses transformasi mempunyai kemampuan mengganti sendiri. Penelitian tentang jenis leukemia tertentu (Bab 11), memperkirakan bahwa kedua kemungkinan dapat terjadi, bahwa leukemia mielogenik kronik berasal dari sel punca hematopoietik normal yang menjadi ganas, sedangkan leukemia mieloid (mielogenik) akut berasal dari prekursor mieloid yang telah berdiferensiasi yang membutuhkan kemampuan abnormal untuk penggantian diri. Identifikasi dari "sel punca leukemia" telah meningkatkan penelitian untuk sel punca kanker pada tumor solid.



Invasi Lokal Suatu tumor jinak akan tetap berada ditempat asalnya. Tumor tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk infiltrasi, invasi, atau metastasis ke tempat jauh, seperti neoplasma ganas. Sebagai contoh, adenoma akan membesar dengan lambat, membentuk kapsul fibrosa yang memisahkan tumor tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kapsul ini terbentuk dari stroma jaringan sekitarnya karena sel parenkim akan atrofia akibat penekanan oleh tumor yang membesar. Stroma tumor juga berperan dalam pembentukan kapsul (Gambar 5-7 dan 5-8). Harap diperhatikan, bahwa tidak semua tumor jinak berkapsul. Contoh, leiomioma uterus jelas dibatasi oleh otot polos disekitarnya yaitu



Gambar 5-7 Fibroadenoma payudara. Tumor berwarna coklat, berkapsul, kecil, terlihat berbatas tegas dengan jaringan payudara yang lebih putih.



Gambar 5-8 Gambaran mikroskopik fibroadenoma payudara dari Gambar 5-7. Kapsul yang fibrotik (kanan) dengan tegas memisahkan tumor dengan jaringan sekitarnya. (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas.



zona miometrium yang mengalami kompresi dan jaringan miometrium normal, tetapi tidak dijumpai pembentukan kapsul. Namun terdapat suatu batas jelas sekitar lesi tersebut. Beberapa tumor jinak tidak mempunyai kapsul dan juga tidak berbatas jelas, batas yang tidak ada ini biasanya dijumpai pada tumor vaskular jinak di dermis. Perkecualian ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa walaupun kapsul merupakan tanda tumor jinak, dan tidak adanya kapsul tidak berarti tumor tersebut pasti ganas. Kanker tumbuh dengan infiltrasi, invasi, destruksi, dan penetrasi yang progresif ke jaringan sekitarnya (Gambar 5-9 dan 5-10). Tidak terbentuknya kapsul yang jelas, kadang-kadang dijumpai pada beberapa tumor ganas yang tumbuh lambat seolah-olah dibatasi oleh stroma jaringan sekitarnya, tetapi pemeriksaan mikroskopik akan menunjukkan adanya penetrasi pertumbuhan kecil pada tepi dan menginfiltrasi jaringan sekitarnya. Akibat pertumbuhan infiltratif ini diperlukan tindakan eksisi luas jaringan normal disekitarnya pada tindakan bedah pengangkatan tumor ganas ini. Spesialis patologi akan memeriksa dengan cermat batas sayatan tumor yang telah direseksi untuk memastikan bahwa tidak dijumpai lagi sel kanker (tepi sayatan bebas tumor). Selain metastasis, maka invasi lokal merupakan tanda yang paling pasti untuk membedakan tumor ganas dan tumor jinak.



Gambar 5-9 Potongan sediaan karsinoma duktal invasif payudara. Lesi mengalami retraksi, menginfiltrasi jaringan payudara sekitarnya, dan sangat keras pada palpasi.



168



B A B 5



Neoplasia Sebanyak 20% lainnya sudah disertai metastasis tersembunyi pada saat diagnosis. Secara umum, semakin anaplastik dan semakin besar ukuran tumor primer, semakin besar pula kemungkinan terjadinya metastasis, namun seperti juga rumus umum lainnya, selalu ada perkecualian. Kanker yang amat kecil bisa sudah bermetastasis, sebaliknya lesi sangat besar dan menakutkan bisa tidak bermetastasis. Penyebaran tumor mengakibatkan buruknya hasil penyembuhan kanker, sehingga



Gambar 5-10 Gambaran mikroskopik karsinoma payudara seperti yang terlihat pada Gambar 5-9 menunjukkan invasi sel tumor ke stroma payudara dan lemak, berupa barisan atau kelompok sel tumor (bandingkan dengan Gambar 5-8). Perhatikan tidak dijumpainya kapsul. (Sumbangan dari Dr. Trace Worrell, Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



bedah pengangkatan tumor ganas ini. Spesialis patologi akan memeriksa dengan cermat batas sayatan tumor yang telah direseksi untuk memastikan bahwa tidak dijumpai lagi sel kanker (tepi sayatan bebas tumor). Selain metastasis, maka invasi lokal merupakan tanda yang paling pasti untuk membedakan tumor ganas dan tumor jinak.



Metastasis Metastasis adalah dijumpainya suatu tumor sekunder yang terpisah dari tumor primer dan terletak di jaringan yang jauh (Gambar 5-11). Dibandingkan dengan tanda lain, kemampuan metastasis merupakan tanda pasti bahwa suatu tumor bersifat ganas. Namun, tidak semua kanker mempunyai kemampuan metastasis yang sama. Pada satu ekstrem adalah karsinoma sel basal dari kulit dan tumor primer sistem saraf pusat, yang bersifat sangat lokal invasif tetapi jarang bermetastasis. Pada ekstrem lain adalah sarkoma osteogenik (tulang) yang biasanya telah bermetasis ke paru saat didiagnosis. Sekitar 30% pasien yang baru didiagnosis sebagai tumor solid (kecuali kanker kulit yang bukan melanoma) menunjukkan metastasis klinis yang jelas.



Neoplasma ganas akan menyebar melalui tiga cara: (1) mengalir melalui dinding rongga tubuh, (2) penyebaran limfatik, atau (3) penyebaran hematogen. Penyebaran melalui dinding rongga tubuh terjadi apabila neoplasma menginvasi rongga tubuh. Cara penyebaran ini merupakan cara khas kanker ovarium, yang sering meliputi permukaan yang luas dari peritoneum. Sel tumor akan melapisi seluruh permukaan peritoneum tetapi tidak menginvasi jaringan di bawahnya. Ini adalah contoh kemampuan untuk reimplan di tempat lain, yang berbeda dengan kemampuan untuk invasi. Neoplasma dari sistem saraf pusat, misalnya meduloblastoma atau ependimoma, dapat menembus ventrikel otak dan dibawa oleh cairan serebro spinalis untuk tertanam kembali di permukaan selaput otak, pada otak atau di medula spinalis. Penyebaran limfogen merupakan cara penyebaran yang lebih sering pada karsinoma, sedangkan penyebaran hematogen lebih sering dijumpai pada sarkoma. Namun banyak bagian yang saling berhubungan antara sistem limfatik dan sistem vaskular, sehingga semua jenis kanker dapat menyebar melalui satu atau kedua sistem. Pola keterlibatan kelenjar getah bening, bergantung pada lokasi sel tumor primer dan arah aliran cairan limfe. Kanker paru yang berasal dari saluran napas akan memulai metastasis ke kelenjar getah bening bronkial regional, dan kemudian ke kelenjar trakeobronkial dan kelenjar hilus. Karsinoma payudara yang berasal dari kuadran atas luar mula-mula akan menyebar ke kelenjar aksila. Namun lesi payudara daerah medial, akan menyebar ke kelenjar getah bening sepanjang arteri mamaria interna melalui dinding dada. Setelah itu, dari kedua sistem itu penyebaran dilanjutkan ke kelenjar supraklavikula dan kelenjar infraklavikula. Pada beberapa kasus, sel kanker dapat menyebar melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening terdekat dan kemudian membentuk metastasis pada kelompok kelenjar berikutnya, sehingga terjadi apa yang disebut metastasis loncatan (skip metastases). Sel dapat menjalar ke kelenjar getah bening dan mencapai kompartemen vaskular melalui duktus torasikus. Suatu "kelenjar getah bening sentinel" merupakan kelenjar getah bening pertama yang menerima aliran limfe dari tumor primer. Dapat diidentifikasi dengan penyuntikan zat warna biru atau petanda radioaktif dekat tumor primer. Hasil biopsi kelenjar getah bening dapat menentukan penyebaran tumor untuk digunakan pada rencana pengobatan.



Gambar 5-11 Hati yang penuh dengan kanker metastatik.



Perlu diperhatikan, walaupun terdapat pembesaran kelenjar dekat tumor primer dan menimbulkan kecurigaan akan adanya penyebaran metastasis, tidak selalu dijumpai kanker di tempat tersebut. Produk nekrotik tumor dan antigen tumor akan memicu respons imunologi di kelenjar getah bening, misalnya hiperplasia folikel (limfadenitis) dan proliferasi makrofag di sinus subkapsular (sinus histiositosis). Perlu verifikasi histopatologis untuk menentukan adanya tumor di kelenjar yang membesar. Penyebaran hematogen merupakan cara penyebaran yang paling dipilih pada sarkoma, tetapi karsinoma juga memanfaatkannya. Bisa diperkirakan,



Epidemiologi tetapi karsinoma juga memanfaatkannya.) Bisa diperkirakan, bahwa penetrasi pada arteri lebih jarang dibandingkan pada vena. Dengan invasi pada vena, sel darah akan mengikuti aliran vena untuk mengadakan drainase daerah tumor, dan sel tumor sering berhenti pada kelompok kapiler yang dilalui. Karena semua vena porta akan mengalir ke hati, dan semua pembuluh vena kava (cava) akan mengalir ke paru, maka hati dan paru merupakan organ tersering sebagai tempat kedua pada penyebaran hematogen. Kanker yang berasal dari dekat kolumna vertebralis sering menimbulkan embolus melalui pleksus paravertebra; jalur ini yang sering terjadi pada metastasis vertebra pada karsinoma tiroid dan prostat. Beberapa karsinoma mempunyai kecenderungan untuk tumbuh dalam pembuluh vena. Karsinoma sel ginjal sering menginvasi vena renalis dan tumbuh seperti ular sehingga mencapai vena kava inferior, kadang-kadang mencapai jantung kanan. Karsinoma hepatoseluler sering menembus radikulus hepar dan vena porta untuk tumbuh di dalamnya dan menuju vena utama. Mengherankan bahwa pertumbuhan intravena tersebut bisa tidak disertai penyebaran luas. Banyak pengamatan memperkirakan bahwa lokasi anatomik suatu neoplasma dan drainase vena tidak seluruhnya dapat menjelaskan distribusi sistemik metastasis. Sebagai contoh karsinoma prostat mempunyai kecenderungan menyebar ke tulang, karsinoma bronkogenik cenderung mengenai adrenal dan otak, dan neuroblastoma menyebar ke hati dan tulang. Sebaliknya otot skeletal, walaupun kaya pembuluh kapiler, jarang menjadi tempat metastasis. Dasar molekuler tentang jaringan yang menjadi tempat metastasis suatu tumor akan dibahas kemudian. Jadi, dengan adanya berbagai gambaran tumor (Gambar 5-12), biasanya bisa dipakai untuk membedakan neoplasma jinak dan ganas.



RINGKASAN Karakteristik Tumor Jinak dan Ganas • • •



Tumor jinak dan ganas dapat dibedakan satu dengan lainnya atas dasar derajat diferensiasi, kecepatan pertumbuhan, adanya invasi lokal, dan penyebaran jauh Tumor jinak mirip jaringan asal dan berdiferensiasi baik; tumor ganas berdiferensiasi buruk atau tidak berdiferensiasi (anaplastik). Tumor jinak tumbuh lambat, sedang tumor ganas umumnya tumbuh cepat.



• •



Tumor jinak tetap berada di lokasi asal, sedang tumor ganas mengadakan invasi lokal dan bermetastasis ke tempat jauh.



EPIDEMIOLOGI Karena kanker merupakan gangguan pertumbuhan dan sifat sel, penyebab utama harus dicari pada tingkat sel dan molekuler. Epidemiologi kanker dapat berperan sangat besar pada pengetahuan tentang penyebab kanker. Konsep yang sekarang telah dipastikan, bahwa merokok berkaitan dengan kanker paru awalnya timbul dari penelitian epidemiologi. Perbandingan antara insidens kanker kolon dan pola makan di negara barat dan Afrika menghasilkan kesimpulan bahwa kandungan lemak dan serat kemungkinan berperan menjadi penyebab kanker ini.



Endometrium Tuba Fallopii



Ovarium



JINAK (Leiomioma) Kecil Non invasif Berbatas tegas Non metastatik Pertumbuhan lambat Berdiferensiasi baik



169



Tumor Vein



GANAS (Leiomiosarkoma) Besar Batas tidak tegas Tumbuh cepat dengan perdarahan dan nekrosis



Invasif lokal Metastatik Berdiferensiasi buruk



Gambar 5-12 Perbandingan antara tumor jinak miometrium (leiomioma) dan tumor ganas yang asalnya sama (leiomiosarkoma).



170



BAB5



Neoplasia



Pemahaman tentang penyebab kanker dapat diperoleh dari penelitian epidemiologi yang dikaitkan dengan lingkungan tertentu, ras, (kemungkinan herediter) dan pengaruh kultur dengan timbulnya neoplasma tertentu. Beberapa penyakit yang dihubungkan dengan risiko timbulnya kanker (kelainan aneoplastik) juga memberikan petunjuk tentang patogenesis kanker. Pembicaraan berikut akan menyimpulkan seluruh insidens kanker untuk memperoleh gambaran besarnya masalah kanker dan membahas beberapa hal terkait dengan pasien serta lingkungannya yang berpengaruh pada predisposisi kanker.



Insidens Kanker Beberapa perspektif tentang kemungkinan timbulnya suatu jenis kanker dapat diperoleh dari data insidens nasional dan data mortalitas. Secara keseluruhan diperkirakan ada 1,5 juta kasus kanker baru pada tahun 2011 dan 569 ribu meninggal akibat kanker di Amerika Serikat tahun itu. Data insidens untuk kanker yang tersering dijumpai, dengan penyebab kematian tersering ditunjukkan pada Gambar 5-13. Dalam beberapa dekade, angka kematian untuk beberapa jenis kanker telah berubah. Yang paling menarik perhatian ialah tingginya angka kematian kanker pada laki-laki yang dulunya disebabkan oleh kanker paru, tetapi sekarang mulai menurun. Sebaliknya, angka kematian pada perempuan agak menurun, terutama karena penurunan angka kematian akibat kanker leher rahim, lambung, dan usus besar. Namun di balik keadaan yang menggembirakan ini, dijumpai hal berlawanan yaitu peningkatan mencolok kanker paru pada perempuan, yang semula jarang dijumpai pada perempuan. Penurunan angka kematian akibat kanker leher rahim berkaitan dengan usaha yang luas tentang penggunaan sediaan apus sitologi untuk deteksi kanker dini dan lesi yang mengawalinya. Perkembangan vaksin untuk virus A. PERKIRAAN INSIDENS KANKER MENURUT LOKASI DAN JENIS KELAMIN, TAHUN 2010*



Prostat



28%



28% Payudara



Paru dan bronkus



15%



14% Paru dan bronkus



Kolon dan 9% rektum



10% Kolon dan rektum



Kandung 7% kemih Melanoma 5% kulit



6%



Korpus uteri



5%



Tiroid



Limfoma 4% non-Hodgkin Ginjal 4% Rongga mulut 3% Leukemia 3% Pankreas 3% Tempat lainnya



19%



4%



Limfoma non-Hodgkin



4%



Melanoma



3%



Ginjal



3%



Ovarium



3%



Pankres



20% Tempat lainnya



papiloma manusia (HPV) diharapkan dapat menghilangkan jenis kanker ini di masa mendatang. Penyebab menurunnya angka kematian pada kanker lambung belum jelas, namun diperkirakan akibat pemaparan yang menurun terhadap karsinogen yang berasal dari makanan.



Variabel Geografi dan Lingkungan Walaupun perkembangan impresif terjadi dalam patogenesis molekuler dengan menganalisis kanker herediter, namun dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan merupakan penyebab dominan pada kasus kanker sporadik yang sering dijumpai. Hal ini ditunjang oleh perbedaan geografi angka kematian dari jenis kanker tertentu. Sebagai contoh kematian akibat kanker payudara empat hingga lima kali lebih tinggi di Amerika Serikat dan Eropa dibanding dengan Jepang. Sebaliknya kematian karena kanker lambung pada laki-laki dan perempuan tujuh kali lebih tinggi di Jepang dibandingkan dengan Amerika Serikat. Karsinoma hepatoseluler relatif jarang di Amerika Serikat tetapi merupakan kanker yang mematikan pada populasi Afrika. Hampir seluruh bukti menunjukkan bahwa perbedaan terjadi dari lingkungan dan bukan asal genetik. Nisei (generasi kedua orang Jepang yang tinggal di Amerika Serikat) mempunyai angka mortalitas untuk kanker tertentu yang terletak di antara angka orang Jepang yang selamanya tinggal di Jepang dan orang Amerika yang telah berada beberapa generasi di negara Amerika. Kedua angka makin mendekat pada generasi berikutnya. Tidak ada kelangkaan karsinogen lingkungan. Karsinogen lingkungan mengancam di berbagai lingkungan, di tempat kerja, dalam makanan, pada kegiatan individu sehari hari. Bisa dijumpai universal seperti sinar matahari, pada lingkungan urban (misalnya asbes), atau terbatas pada okupasi tertentu Tabel 5-2). Beberapa jenis makanan diperkirakan mengakibatkan pengaruh predisposisi. Di antara semua pengaruh lingkungan, yang paling menceaskan dalam kaitan pencegahan ialah hal yang B. PERKIRAAN KEMATIAN AKIBAT KANKER MENURUT LOKASI DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2010



Paru dan bronkus



29%



26% Paru dan bronkus



Prostat



11%



15% Payudara



Kolom dan 9% rektum Pankreas Hati



9%



Kolon dan rektum



6%



7%



Pankreas



4%



5% 4%



Ovarium Limfoma non-Hodgkin



Leukemia



4%



Esofagus



4%



Limfoma non-Hodgkin



4%



3% 3%



Leukemia Korpus uteri



Kandung kemih



3%



2%



Hati



Ginjal



3%



2%



Otak



Tempat lainnya



20%



24% Tempat lainnya



* Di luar kanker sel basal dan sel skuamosa kulit dan karsinoma in situ (kecuali kandung kemih)



Gambar 5-12 Perbandingan antara tumor jinak miometrium (leiomioma) dan tumor ganas yang asalnya sama (leiomiosarkoma).



Epidemiologi



171



Tabel 5-2 Kanker Akibat Pekerjaan



Agen/Kelompok Agen



Lokasi dan Jenis Kanker pada Manusia yang Telah Dibuktikan



Pemakaian/Kejadian



Arsen dan senyawa arsen Paru, kulit, hemangiosarkoma



Produk sampingan peleburan logam Komponen campuran logam, alat listrik dan semikonduktor, obat dan herbisida, fungisida, air rendaman asal hewan



Asbestos



Paru, mesotelioma; saluran cerna (esofagus, lambung, usus besar)



Benzene



Leukemia



Sebelumnya dipakai pada berbagai aplikasi karena tahan api, panas, dan resisten terhadap friksi; masih dipergunakan pada konstruksi bangunan, juga pada tekstil yang tahan api, materi penahan friksi (misalnya lapisan rem) lapisan dasar dan lapisan atap, dan ubin Komponen utama minyak Aplikasi masih dijumpai pada pencetakan dan litografi, cat, karet, pencucian baju (kering), lem dan pelapis, dan detergen Sebelumnya dipakai secara luas sebagai pelarut dan bahan fumigasi



Berilium dan senyawa berilium



Paru



Kadmium dan senyawa kadmium



Prostat



Bahan bakar roket dan pesawat luar angkasa Zat pengeras untuk senyawa logam ringan, terutama untuk aplikasi alat luar angkasa dan reaktor nuklir Pemakaian untuk pigmen kuning dan fosfor Ditemukan pada solder (patri) Ada dalam baterai dan sebagai campuran logam serta penyepuhan dan pelapisan logam



Senyawa kromium



Paru



Komponen campuran logam, cat, pigmen, dan bahan pengawet



Etilen oksida



Leukemia



Senyawa nikel



Hidung, paru



Zat untuk mematangkan buah dan kacang Dipakai untuk bahan bakar roket dan sintesa kimia, fugiman makanan dan tekstil, dan bahan sterilisasi peralatan rumah sakit



Radon dan produk peluruhannya



Paru



Vinil klorida



Angiosarkoma, hati



Penyepuhan nikel Komponen campuran besi, keramik, dan baterai Produk sampingan pengelasan besi anti karat Dari peluruhan mineral yang mengandungi uranium Dapat merupakan bahaya serius pada pertambangan Refrigeran Monomer dari polimer vinil Lem untuk plastik Sebelumnya dipergunakan sebagai aerosol pada kontainer yang diberi tekanan



Dimodifikasi dari Stellman JM, Stellman SD: Cancer and workplace. CA Cancer J Clin 46:70-92, 1996, dengan izin dari Lippincott Williams & Wilkins



dilakukan pada kehidupan sehari-hari, terutama merokok dan konsumsi alkohol. Risiko kanker leher rahim dikaitkan dengan usia pertama kali hubungan seks dan jumlah pasangan seksual (menunjukkan transmisi virus onkogen HPV melalui hubungan seksual). Tidak ada jalan untuk menghindar. Agaknya semua hal yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kehidupan, untuk bertahan atau untuk menikmati hidup ternyata bisa ilegal, amoral, atau menyebabkan obesitas atau yang paling mencemaskan kemungkinan karsinogenik.



Usia Secara umum, frekuensi kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kematian akibat kanker tersering terjadi antara usia 55 dan 75 tahun; angka ini menurun, sesuai dengan jumlah populasi, setelah usia 75 tahun. Insidens yang meningkat sesuai dengan meningkatnya usia dapat diterangkan dengan akumulasi mutasi somatik yang dikaitkan dengan munculnya neoplasma ganas (akan dibahas). Penurunan kompetensi imun yang menyertai pertambahan usia juga merupakan faktor. Kanker menyebabkan kematian di atas 10% dari semua kematian pada anak usia lebih muda dari 15 tahun (Bab 5). Kanker letal utama pada anak ialah leukemia, tumor sistem saraf pusat, limfoma, dan sarkoma



jaringan ikat dan sarkoma tulang. Seperti akan dibahas selanjutnya, penelitian tentang beberapa tumor anak, misalnya retinoblastoma, menghasilkan pemahaman mendasar tentang patogenesis transformasi keganasan.



Keturunan Bukti saat ini menunjukkan bahwa berbagai jenis kanker, termasuk yang paling sering dijumpai, dipengaruhi tidak hanya oleh lingkungan tetapi juga oleh kecenderungan keturunan. Jenis kanker keturunan dapat dibagi dalam tiga kelompok sesuai dengan pola keturunan di bawah ini (Tabel 5-3).



Sindrom Kanker Autosom Dominan Sindrom kanker autosom dominan meliputi beberapa kanker di mana pewarisan (inheritans) satu gen mutan akan sangat meningkatkan risiko terbentuknya tumor. Kecenderungan tumor ini menunjukkan bahwa penurunan terjadi dengan cara pola autosom dominan. Retinoblastoma pada anak merupakan contoh paling mencolok pada kelompok ini. Sekitar 40% kasus retinoblastoma bersifat familial. Sesuai dengan pembahasan selanjutnya, mutasi cacat pada gen tumor supresor yang diturunkan akan menyebabkan timbulnya tumor ini pada suatu keluarga. Pembawa gen ini mempunyai risiko 10.000 lebih tinggi untuk menderita retinoblastoma. Berbeda dengan



172



B A B 5



Neoplasia



Tabel 5-3 Predisposisi Herediter terhadap Kanker



Sindrom Kanker Autosomal Dominan Gen



Predisposisi Herediter



RB



Retinoblastoma



TP53 p16INK4A



Sindrom Li-Fraumeni (berbagai tumor)



APC NFI, NF2



Poliposis adenomatosa familial / kanker usus besar Neurofibromatosis 1 dan 2



BRCAl, BRCA2



Tumor payudara dan ovarium



MENI, RET



Neoplasia endokrim multipel I dan 2



MSH2, MLHI, MSH6



Kanker usus besar nonpoliposis



PATCH



Sindrom karsinoma sel basal Nevoid



Melanoma



Sindrom Autosomal Resesif pada Gangguan Defek Perbaikan DNA Xeroderma pigmentosum Ataksia-telangiektasia Bloom Sindrom Bloom Anemi Fanconi



Kanker Familial yang Tidak Jelas adanya Peran Herediter Kanker payudara (tidak berkaitan dengan BRCA I atau BRCA2) Kanker ovarium Kanker pankreas



retinoblastoma sporadik, pada pasien retinoblastoma familial ditemukan juga tumor bilateral dan mereka juga mempunyai risiko yang tinggi untuk terkena kanker kedua, terutama osteosarkoma. Tumor pada kelompok ini sering dikaitkan dengan adanya marker fenotipe spesifik. Dapat dijumpai tumor jinak multipel pada jaringan yang terkena, seperti pada kasus poliposis familial usus besar dan pada neoplasia endokrin (lihat Tabel 5-3). Kadangkadang terdapat kelainan jaringan yang tidak menjadi target transformasi (misalnya nodul Lisch dan bercak cafe-au-lait pada neurofibromatosis tipe 1) (Bab 22).



Sindrom Autosom Resesif pada DNA Perbaikan yang Cacat



Ciri sekelompok kelainan autosom resesif ialah kromosom atau DNA yang tidak stabil dan terdapat banyak pada kasus kanker tertentu. Salah satu yang paling sering dipelajari ialah xeroderma pigmentosum, di mana terjadi defek pada DNA repair. Gangguan ini dan kelainan familial lain seperti instabilitas DNA akan dibahas kemudian.



Kanker Familial dengan Sifat Penurunan Tidak Jelas Sebenarnya semua jenis kanker yang terjadi sporadik dilaporkan terjadi secara familial dengan pola penurunan yang tidak jelas. Contoh ialah karsinoma usus besar, payudara, ovarium, dan otak. Gambaran yang dijumpai sebagai ciri kanker familial ialah timbul pada usia muda, tumor dijumpai pada dua atau lebih anggota keluarga dekat, dan kadang-kadang tumor multipel atau bilateral. Kanker familial tidak berhubungan dengan fenotipe marker spesifik. Contoh, berlawanan dengan sindrom adenoma poliposis familial, kanker kolon familial tidak terjadi dari polip jinak yang timbul sebelumnya. Secara umum, saudara kembar mempunyai risiko relatif antara 2 dan 3. Analisis segregasi dari keluarga besar biasanya mengungkapkan adanya predisposisi



dominan, tetapi faktor keturunan multifaktorial tidak dapat seluruhnya diabaikan. Sebagai kesimpulan, tidak lebih dari 5% hingga 10% dari seluruh kanker pada manusia masuk dalam ketiga kelompok yang telah disebut di atas. Apakah yang dapat dikatakan tentang pengaruh keturunan mengenai terjadinya tumor ganas? Terdapat bukti yang berkembang bahwa faktor herediter hanya ringan dan kadang-kadang tidak langsung. Genotipe dapat mempengaruhi timbulnya kanker yang diinduksi oleh pengaruh lingkungan. Contoh polimorfisme pada enzim metabolisme obat mempunyai kecenderungan untuk predisposisi kanker paru pada mereka yang merokok sigaret. Hal yang lebih mencolok, asosiasi penelitian genome (GWAS) tentang kanker paru, yang bertujuan mencari varian genetik umum yang meningkatkan risiko untuk tumbuhnya kanker, mendapatkan varian pada reseptor asam nikotinik berkaitan dengan pertumbuhan kanker. Menarik perhatian, bahwa varian ini berkaitan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi, diperkirakan bahwa reseptor tersebut meningkatkan secara tidak langsung risiko kanker paru dengan cara meningkatkan adiksi terhadap rokok.



Lesi Praneoplastik yang Didapat Beberapa kondisi herediter meningkatkan risiko terjadinya kanker, hal tersebut juga terjadi pada kondisi yang didapat. Kelompok tersebut disebut dengan lesi preneoplastik atau mudahnya "prakanker". Pemberian nama ini tidak menguntungkan karena memberikan kesan yang tidak menyenangkan, tetapi nyatanya, walaupun lesi tersebut meningkatkan kemungkinan timbulnya keganasan, tidak semuanya berkembang menjadi kanker. Pada banyak keadaan, lesi prekursor terjadi pada cedera jaringan kronik atau radang, yang mengakibatkan kemungkinan timbulnya keganasan melalui stimulasi proliferasi regenerasi yang terus-menerus atau mengekspose sel pada hasil samping radang, keduanya akan mengakibatkan mutasi somatik (dibahas kemudian). Memang hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa banyak lesi prekursor mempunyai lesi genetik yang dijumpai pada kanker yang terkait. Secara klinis, prekursor ini penting untuk dikenal, karena pemusnahan dan perubahan ke asal dapat mencegah timbulnya kanker. Daftar dari lesi prekursor yang penting adalah sbb: • Metaplasia skuamosa dan displasia mukosa bronkus, dijumpai pada pecandu rokok - merupakan faktor risiko kanker paru • Hiperplasia endometrium dan displasia, dijumpai pada wanita dengan stimulasi estrogen yang terus menerus - faktor risiko untuk kanker endometrium • Leukoplakia rongga mulut, vulva, atau penis, yang dapat berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa • Adenoma vilosum usus besar, dihubungkan dengan risiko tinggi untuk transformasi menjadi karsinoma kolorektal



Dalam konteks ini dapat ditanyakan, "Apa risiko terjadinya perubahan keganasan pada suatu neoplasma jinak?"-atau dinyatakan dengan cara lain, "Apakah tumor jinak bersifat prakanker?" Secara umum jawabannya ialah tidak, tetapi tidak dapat dihindarkan adanya perkecualian dan mungkin lebih baik untuk menyatakan bahwa tiap jenis tumor jinak berkaitan dengan risiko tertentu, dari risiko tinggi sampai hampir tidak ada. Contoh, bila adenoma kolon membesar dapat terjadi transformasi keganasan pada 50% kasus; sebagai kontras perubahan keganasan jarang dijumpai pada leiomioma uterus.



Lesi Genetik pada Kanker



RINGKASAN Epidemiologi Kanker •



Insidens kanker bervariasi antara usia, ras, faktor geografi, dan dasar genetik. Kanker dijumpai pada dua ekstrem umur. Variasi geografi terjadi umumnya akibat berbagai pajanan lingkungan yang berbeda.







Kanker umumnya sporadik, tetapi beberapa familial.Predi sposisi pada kanker herediter bisa autosom dominan atau autosom resesif. Jenis autosom dominan dihubungkan dengan diturunkannya gen supresor kanker yang bermutasi, sedang jenis resesif dihubungkan dengan defek DNA perbaikan yang diturunkan. Kanker familial cenderung bilateral dan timbul pada usia lebih muda dibandingkan dengan jenis kanker sporadik. Beberapa penyakit yang didapat, dikenal sebagai lesi prane oplastik, dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya kanker.



• •



Dapat dikatakan bahwa berkembangnya penelitian tentang dasar molekuler kanker melebihi perkembangan tumor termasuk tumor yang paling ganas. Peneliti dan mahasiswa dapat tersesat dalam hutan informasi yang terus berkembang. Berikut adalah tinjauan prinsip mendasar sebagai dasar genetik kanker yang lebih rinci • Sebagai telah dibahas, kerusakan genetik non letal merupakan inti karsinogenesis. Kerusakan genetik tersebut (atau mutasi) bisa terjadi akibat agen lingkungan, misalnya zat kimia, radiasi, virus,atau bisa diturunkan melalui garis germinal. Hipotesis genetik tentang kanker menyatakan bahwa massa tumor terjadi akibat ekspansi klonal satu sel progenitor yang telah mengalami kerusakan genetik yang tidak bisa diperbaiki (misalnya tumor bersifat monoklonal). Perkiraan ini telah terbukti pada semua tumor yang telah dianalisis secara sistemik dengan sekuensing genom. • Empat kelas gen regulator normal—protoonkogen pendorong pertumbuhan, gen supresor penghambat pertumbuhan tumor, gen yang mengatur program kematian sel (misalnya apoptosis), dan gen yang berperan pada perbaikan DNA merupakan target utama kerusakan genetik. Secara keseluruhan perubahan gen mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan sel normal, yang akan menjadi jelas pada pembahasan selanjutnya. • Onkogen merupakan gen yang menginduksi transformasi fenotipe yang diekspresikan dalam sel. Penemuan penting pada kanker ialah kenyataan bahwa onkogen umumnya akan bermutasi atau mengalami ekspresi berlebihan pada gen sel normal, yang disebut protoonkogen. Semua onkogen yang dikenal menyandi faktor transkripsi, protein pengatur pertumbuhan, atau protein yang berperan pada ketahanan sel dan interaksi sel dengan sel serta interaksi sel-matriks. Dianggap dominan karena mutasi satu alel tunggal sudah dapat mengakibatkan transformasi sel.



173



• Gen supresor tumor merupakan gen yang secara normal akan mencegah pertumbuhan yang tidak terkendali dan bila terjadi mutasi atau hilang dari sel, akan membiarkan terbentuknya fenotipe yang telah mengalami transformasi. Biasanya kedua alel dari gen supresor tumor harus dirusak agar terjadi transformasi. Namun, penelitian terakhir membuktikan bahwa, pada beberapa kasus, hilangnya satu alel gen supresor tumor akan menimbulkan transformasi (insufisiensi haploid). • Gen tumor supresor dibagi dalam dua kelompok umum, pelaksana (governors) dan penjaga (guardians). Pelaksana adalah gen supresor tumor klasik, misalnya RB, di mana mutasi gen akan menyebabkan transformasi dengan menghilangnya penghalang penting untuk proliferasi sel. "Penjaga" berperan untuk mendeteksi adanya kerusakan gen. Beberapa dari gen ini akan memulai dan membuat gambaran tentang adanya "respons pengaturan yang rusak". Respons ini akan mengakibatkan dihentikannya kegiatan proliferasi atau apabila kerusakan terlalu luas untuk dapat diperbaiki, akan menginduksi apoptosis. TP53, yang disebut "penjaga gen", merupakan gen supresor tumor yang prototipe. Gen penjaga lainnya terlibat langsung dalam mengenal dan memperbaiki kerusakan DNA; merupakan gen yang bermutasi pada sindrom autosom resesif untuk perbaikan DNA. Mutasi TP53 atau sensor lain untuk kerusakan gen tidak langsung bekerja pada sel yang bertransformasi, karena hilangnya fungsi penjagaan tidak mempunyai efek langsung terhadap proliferasi sel atau apoptosis. Sebaliknya, kehilangan gen penjaga memungkinkan dan mempercepat mutasi pada onkogen dan gen supresor tumor yang akan menimbulkan kanker. Peningkatan kecepatan mutasi ini disebut fenotipe mutator. • Gen yang mengatur apoptosis dan perbaikan DNA dapat bekerja sebagai protoonkogen (hilangnya satu kopi cukup) atau gen supresor tumor (hilangnya kedua kopi). Beberapa perubahan dapat memberikan pengaruh terhadap gen penyebab kanker dan mengakibatkan transformasi sel, yang akan dibicarakan kemudian. Selanjutnya akan dibahas berbagai lesi genetik yang merupakan dasar timbulnya mutasi gen pada kanker.



LESI GENETIK PADA KANKER Perubahan genetik yang merupakan ciri khas mutasi yang berkaitan dengan kanker bersifat ringan (misalnya mutasi titik atau insersi dan delesi) atau cukup besar hingga mengakibatkan perubahan kariotipe. Mutasi titik dapat mengaktifkan atau menginaktifkan produk protein yang terbentuk. Misalnya, mutasi titk pada protoonkogen, seperti RAS atau EGFR, sering mangakibatkan aktivitas protein berlebihan, biasanya dengan mengubah pengaturan asam amino internal dan menghasilkan protein aktif. Tetapi, mutasi titik pada gen supresor tumor, misalnya yang mempengaruhi gen RB atau TP53, akan mengurangi atau menghilangkan fungsi potein yang telah disandi



Perubahan Kariotipe pada Tumor Lesi gen yang mengaktifkan onkogen dan menginaktifkan gen tumor supresor bisa bersifat ringan (sebagaimana dibicarakan sebelumnya) atau cukup berat sehingga dapat dideteksi pada suatu kariotipe. Beberapa kanker mempunyai kariotipe normal, sedangkan yang lain jelas aneuploid, dengan hilangnya atau bertambahnya seluruh bagian kromosom atau



174



BAB5



Neoplasia



tangan kromosom. Pada beberapa neoplasma, kelainan kariotipe terjadi secara acak dan sering dijumpai, atau kadang-kadang merupakan ciri suatu tumor tertentu. Kelainan khas sudah diketahui pada sebagian besar leukemia dan limfoma dan jumlahnya meningkat pada tumor non-hematopoietik. Jenis kelainan struktur nonrandom yang biasanya dijumpai pada sel tumor ialah: (1) translokasi yang seimbang, (2) delesi, dan (3) manifestasi sitogenetik amplifikasi gen.



Translokasi yang Seimbang Translokasi yang seimbang sangat berkaitan dengan keganasan tertentu, terutama neoplasma hematopoietik dan mesenkim. Translokasi akan mengaktifkan protoonkogen melalui dua cara: • -



• Translokasi onkogen lain mengakibatkan fusi gen penyandi protein khusus yang paling menonjol ialah kromosom Philadelphia (Ph) pada leukemia mielogenik kronik, yang terdiri atas translokasi reciprocal dan seimbang antara kromosom 22 dan 9 (Gambar 5-14). Sebagai akibatnya, derivat kromosom 22 (kromosom Philadelphia) menjadi lebih pendek. Perubahan sitogenetik ini, dijumpai pada lebih dari 90% kasus leukemia mielogenik kronik yang merupakan petanda LEUKEMIA MIELOID KRONIK 9 22



KROMOSOM NORMAL



9



22



Lokus BCR



BCR fyLokus ABL Onkogen



Onkogen ABL



Gambar 5-14 Translokasi kromosom dan onkogen terkait pada leukemia mieloid kronik.



penyakit ini, dan jumlah kecil kromosom Ph-negatif menunjukkan adanya molekul BCR-ABL dengan pengaturan ulang, sebagai konsekuensi penting translokasi Ph. Sebagaimana akan dibicarakan, perubahan tersebut membentuk fusi gen BCR-ABL dengan aktivitas tirosin kinase yang poten. Sel limfoid merupakan target utama dari pengaturan ulang gen, yang bisa dalam bentuk translokasi, inversi, atau delesi interstisium, karena sel ini akan sengaja membuat DNA terputus selama proses rekombinasi antibodi atau reseptor sel T. Dua jenis tumor mesenkim lain, neoplasma mieloid (leukemia akut mieloid dan kelainan mieloproliferatif) dan sarkoma, juga menunjukkan translokasi berulang, misalnya translokasi t(11;22)(q24;12) pada sarkoma Ewing yang menghasilkan fusi faktor translokasi EWS dengan faktor Fli-1. Penyebab putusnya DNA yang mengakibatkan translokasi kromosom pada neoplasma mieloid tidak diketahui.



Identifikasi pengaturan ulang kromosom pada karsinoma terhambat karena berbagai ragam kariotipe tumor tersebut, tetapi teknik molekuler terakhir mulai memecahkan persoalan ini. Sebagaimana juga pada keganasan hematologik dan sarkoma, pengaturan ulang gen pada tumor padat dapat memberikan kontribusi pada karsinogenesis dengan meningkatkan ekspresi onkogen atau menghasilkan gen fusi baru. Contoh, beberapa gen fusi TMPRSS-ETS pada kanker prostat menempatkan kelompok faktor transkripsi di bawah pengawasan promotor TMPRSS, yang akan diaktifkan oleh androgen. Hasil akhir dari pengaturan ulang ini adalah timbulnya faktor transkripsi kelompok ETS dengan ekspresi yang bergantung pada androgen yang tidak tepat. Pengaturan ulang gen HMGA2 pada adenoma pleiomorfik dan tumor lain mengakibatkan ekspresi berlebihan dari faktor transmisi HMGA2 melalui mekanisme yang tidak lazim, karena akan menggantikan daerah tidak ditranslasi 3' pada HMGA2 dengan gen lain, sehingga menghilangkan regulator kunci yang negatif pada tempat ikatan mikroRNA. Walaupun mekanisme ini belum jelas, ekspresi berlebihan HGMA2 atau ETS agaknya memicu karsinogensis dengan cara mengubah ekspresi sejumlah gen yang menjadi target faktor transkripsi. Suatu pengaturan kembali yang penting bagi klinis ialah pembentukan gen fusi EML4-ALK, yang dijumpai sekitar 4% pada kanker paru. EML4-ALK kinase bersifat aktif dan mengatur sinyal melalui beberapa jalur propertumbuhan. Seperti akan dibicarakan kemudian, kanker paru yang mengekspresi protein fusi akan merespons pada inhibitor ALK kinase.



Gen hibrid BCR-ABL



Delesi



Tirosin kinase



Delesi kromosom merupakan kariotipe abnormal kedua tersering yang dijumpai pada sel tumor. Dibandingkan dengan translokasi, delesi cukup banyak sehingga dapat diobservasi secara kariotipe terutama pada tumor solid nonhematopoietik. Pada tingkat molekul, sebaliknya, delesi juga dijumpai pada tumor hematopoietik. Delesi bagian tertentu dari kromosom bisa mengakibatkan hilangnya gen tumor supresor tertentu. Supresor tumor biasanya membutuhkan kedua alel inaktif agar dapat berkontribusi pada karsinogenesis. Mekanisme umum untuk ini ialah tidak aktifnya mutasi titik pada satu alel, diikuti dengan delesi alel lain, alel nonmutasi.



Lesi Genetik pada Kanker Delesi cara ini akan menghilangkan heterozygot (LOH), karena varian gen heterozygot terdahulu hanya mempunyai satu alel, dan semua varian genetik pada daerah yang di delesi akan dikenal sebagai homozigot. Sebagaimana akan dibahas kemudian, delesi pada 13q14, tempat gen RB, dikaitkan dengan retinoblastoma, dan delesi 17p dihubungkan dengan hilangnya p53.



Amplifikasi Gen Protoonkogen dapat diubah menjadi onkogen melalui amplifikasi, dengan ekspresi berlebih yang konsekuen, dari protein yang tadinya normal. Amplifikasi ini akan menghasilkan beberapa ratus kopi protoonkogen sel tumor. Gen yang mengalami amplifikasi dapat segera dideteksi melalui hibridisasi molekul dengan probe DNA yang sesuai. Pada beberapa kasus gen yang mengalami amplifikasi menghasilkan perubahan kromosom yang dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik. Dua pola mutual yang eksklusif dapat dilihat: struktur ekstrakromosom kecil, multipel dan disebut "double minutes" dan bagian dengan pulasan homogen. Hal terakhir adalah akibat insersi gen yang mengalami amplifikasi ke tempat kromosom yang baru, yang bisa terletak jauh dari lokasi asal gen normal yang terlibat; karena tempat yang mengandungi gen yang mengalami amplifikasi tidak mempunyai pola ikatan normal, maka akan tampak homogen pada kariotipe ikatan G. Kasus amplifikasi yang paling menarik melibatkan NMYC pada neuroblastoma dan ERBB2 pada kanker payudara. Amplifikasi NMYC 25% hingga 30% terjadi pada neuroblastoma dan amplifikasi dikaitkan dengan prognosis yang buruk (Gambar 5-15). Amplifikasi HER2/NEU (juga dikenal sebagai ERBB2) terjadi pada 20% kanker payudara, dan terapi antibodi ditujukan pada reseptor ini terbukti efektif pada subset tumor ini.



HSR



NMYC



Partikel ganda



Gambar 5-15 Amplifikasi gen NMYC pada neuroblastoma manusia. Gen NMYC, normalnya ditemukan pada kromosom 2p, mengalami amplifikasi dan tampak sebagai pasangan partikel kecil di luar kromosom atau sebagai chromosomally integrated homogeneous-staining region (HSR). Integrasi melibatkan autosom lain, seperti 4, 9, atau 13. (Modifikasi dari Brodeur GM, Seeger RC, Sather H, et al: Clinical implications of oncogene activation in human neuroblastomas. Cancer 58:541, I 986. Dicetak ulang dengan izin dari Wiley-Liss, Inc, tambahan dari John Wiley & Sons, Inc. )



175



Aneuploidi Aneuploidi didefinisikan sebagai jumlah kromosom yang tidak sebanyak pada keadaan haploid; untuk manusia ialah tidak lebih dari 23. Aneuplodi sering dijumpai pada kanker, khususnya karsinoma, dan disebutkan sebagai penyebab karsinogenesis sejak 100 tahun yang lalu. Aneuploidi sering terjadi karena kesalahan pada tempat pemeriksaan, pengatur makanisme siklus sel utama yang berperan untuk mencegah salah pemisahan kromosom. Tempat pemeriksaan mitosis mencegah aneuploidi dengan cara mencegah transisi ireversibel menjadi anafase sebelum semua kromosom yang telah direplikasi telah terikat secara produktif pada mikrotubul bentuk spindel. Tidak adanya tempat pemeriksaan mitosis akan mengakibatkan kematian autonomik sel sebagai akibat dari kesalahan pemisahan kromosom yang masif. Tetapi, mekanisme data bahwa aneuploidi adalah sebagai penyebab karsinogenesis, dan bukan sebagai akibatnya, sulit untuk dijelaskan.



MicroRNA dan Kanker Sebagai dibahas pada Bab 6, microRNA (miRNA) adalah RNA alur tunggal tanpa sandi, kira-kira panjangnya 22 nukleotida, berfungsi sebagai regulator negatif gen. miRNA mencegah ekspresi gen pasca transkripsi dengan menekan translasi atau, pada beberapa kasus, oleh pembelahan messengerRNA (mRNA). Karena perannya dalam mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi, dan ketahanan hidup, maka tidak mengherankan kalau ditemukan bukti yang menunjang peran miRNA pada karsinogenesis. Sebagaimana tertera pada Gambar 5-16, miRNA berpartisipasi pada transformasi neoplasma melalui peningkatan ekspresi onkogen atau dengan mengurangi ekspresi gen supresor tumor. Apabila sebuah miRNA mencegah translasi suatu onkogen, akan terjadi reduksi fungsi miRNA yang akan mengakibatkan produksi berlebihan produk onkogen tersebut. Sebaliknya, apabila target miRNA adalah suatu gen tumor supresor, maka aktivitas berlebih miRNA akan mengurangi protein tumor supresor. Hubungan tersebut terjadi oleh berbagai profil miRNA dari beberapa tumor pada manusia. Contoh, berkurangnya pengaturan atau delesi beberapa miRNA pada beberapa jenis leukemia dan limfoma menghasilkan ekspresi berlebih gen antiapoptotik BCL2. Jadi, dengan mengatur regulasi negatif BCL2, maka miRNA akan bertindak sebagai gen tumor supresor. Hal yang sama juga dijumpai pada miRNA yang meningkatkan regulasi dari onkogen RAS dan MYC pada tumor paru dan beberapa jenis leukemia sel B.



Modifikasi Epigenetik dan Kanker Epigenetik adalah perubahan ekspresi gen tanpa mutasi yang reversibel dan bisa diwariskan. Perubahan tersebut melibatkan modifikasi histon pasca translasi dan metilasi DNA, yang keduanya memberi pengaruh pada ekspresi gen. Pada sel normal, yang berdiferensiasi, sebagian besar genom tidak terekspresi. Bagian dari genome ini fungsinya ditiadakan oleh metilasi DNA dan modifikasi histon. Pada keadaan lain, sel kanker ditentukan oleh hipometilasi DNA seutuhnya dan hipermetilasi lokal promotor yang selektif. Memang sudah diketahui sejak beberapa tahun yang lalu bahwa gen supresor tumor kadangkadang dilumpuhkan fungsinya oleh hipermetilasi sekuen promotor, dan bukan oleh mutasi. Pembahasan selanjutnya adalah CDKN2A adalah lokus kompleks yang menyandi dua supresor tumor, p14/ARF



176



B A B 5



Neoplasia Gen miRNA



miRNA gene ?



? Gen supresor tumo



Onkogen



pre-miRNA



pre-miRNA ? ?



Target mRNA dari onkogen



Target mRNA dari gen supresor tumor



? Tereduksi miRNA



Penahan translasi tereduksi



A



miRNA banyak



Penahan translasi meningkat



Terekspresi berlebihan



B



Protein supresor tumor berkurang



Proliferasi meningkat Kemampuan apoptosis berkurang Invasi meningkat Anginogenesis



Gambar 5-16 Peran microRNAs (miRNAs) dalam terjadinya tumor (tumorigenesis). A, Aktivitas miRNA menurun sehingga terjadi inhibisi tranlasi dari onkogen akan menyebabkan peningkatan onkoprotein. B, Aktivitas miRNA yang targetnya gen supresor tumor berlebihan sehingga produksi protein supresor tumor berkurang.Tanda tanya pada A dan B dimaksudkan untuk menyatakan bahwa mekanisme aktivitas miRNA pada tingkat itu tidak seluruhnya diketahui.



dan p16/INK4a, diproduksi dari dua "readingframes" yang berbeda; p14/ARF secara epigenetik dilumpuhkan pada kanker kolon dan lambung, sedangkan p16/INK4a dilumpuhkan pada banyak jenis kanker. Karena lokus ini menghasilkan dua supresor tumor yang mempengaruhi jalur p53 dan Rb, maka lumpuhnya lokus ini akan memberikan efek menguntungkan (dari segi terbentuknya kanker) yaitu dihilangkannya dua cek poin dengan satu jenis perubahan. Hipometilasi genom yang luas terbukti telah mengakibatkan tidak stabilnya kromosom dan dapat menginduksi tumor pada mencit. Jadi, perubahan epigenetik dapat mempengaruhi karsinognesis dengan berbagai cara. Sebagai tambahan, sekuen yang sangat rinci pada genom kanker telah menemukan mutasi pada gen yang mengatur modifikasi epigenetik pada sejumlah kanker. Jadi, suatu perubahan genetik pada kanker mungkin bisa ditelusuri karena bisa menjelaskan perubahan pada "epigenome" yang mendukung pertumbuhan dan ketahanan kanker. Status epigenetik dari tipe sel tertentu - adalah gambaran yang dinyatakan sebagai konteks epigenetik- juga menentukan reaksinya terhadap sinyal yang mengatur



Pada beberapa keadaan status epigenetik suatu sel akan memberikan respons yang berbeda terhadap signal yang sama. Contoh, gen NOTCH1 mempunyai peran onkogenik pada leukemia sel T, tetapi juga berperan sebagai supresor tumor pada kasinoma sel skuamosa. Ternyata, NOTCH1 yang teraktifkan akan mengubah gen pro-pertumbuhan dalam konteks epigenetik progenitor sel T (misalnya MYC) dan gen supresor tumor (misalnya p21) dalam konteks epigenetik keratinosit.



RINGKASAN Lesi Genetik pada Kanker



• Sel tumor akan mengalami mutasi dengan berbagai cara,termasuk mutasi titik, dan abnormalitas kromosom non random yang berperan pada timbulnya keganasan; termasuk translokasi



Tanda Khas Kanker















yang seimbang, delesi, dan manifestasi sitogenetik dari amplifikasi gen. Translokasi seimbang berperan pada karsinogensis melalui ekspresi berlebih onkogen atau terbentuknya fusi protein dengan kapasitas sinyal terbatas. Delesi sering mempengaruhi gen supresor tumor, sedangkan amplifikasi gen akan meningkatkan ekspresi onkogen. Ekspresi berlebihan miRNA dapat berperan pada karsinogenesis dengan mengurangi ekspresi tumor supresor, sedangkan delesi atau hilangnya ekspresi miRNA dapat mengakibatkan ekspresi protoonkogen berlebihan. Gen supresor tumor dan gen perbaikan DNA dapat dilumpuhkan dengan perubahan epigenetik, yang melibatkan ekspresi gen yang reversibel, yang diturunkan terjadi tidak melalui mutasi tetapi dengan metilasi promotor.



KARSINOGENESIS:PROSES BERTAHAP Karsinogenesis merupakan proses bertahap yang terjadi akibat akumulasi perubahan genetik yang multipel sehingga keseluruhannya bisa mengakibatkan transformasi fenotipe. Berbagai kanker terjadi dari lesi prekursor yang non neoplastik, namun analisis molekuler menunjukkan telah terjadi sejumlah mutasi yang dibutuhkan untuk membentuk kanker yang lengkap. Agaknya mutasi ini mengakibatkan lesi prekursor mempunyai peluang tertentu. Segera setelah terjadi inisiasi, kanker akan berkembang sesuai dengan seleksi Darwin. Sebagaimana sudah dibicarakan sebelumnya, neoplasma ganas mempunyai beberapa perubahan fenotipe, misalnya pertumbuhan berlebihan, invasi lokal, dan kemampuan untuk membentuk metastasis jauh.



177



Selanjutnya, setelah beberapa waktu tertentu, banyak tumor menjadi lebih agresif dan mepunyai potensi keganasan yang bertambah. Fenomena ini disebut perkembangan tumor dan tidak hanya ditentukan dari ukuran tumor yang bertambah besar. Pemeriksaan klinis yang cermat dan penelitian eksperimental menunjukkan bahwa keganasan yang bertambah terjadi dengan cara bertahap. Pada tahap molekuler, progresi tumor dan heterogenitas yang terkait terjadi akibat mutasi multipel yang berakumulasi secara independen pada berbagai sel yang berbeda, sehingga menghasilkan subklon dengan karakteristik berlainan (Gambar 5-17) seperti kemampuan untuk invasi, kecepatan pertumbuhan, kemampuan metastasis, kariotipe, respons terhadap hormon, dan kepekaan terhadap obat antineoplastik. Beberapa mutasi dapat mematikan; yang lainnya dapat memicu pertumbuhan sel melalui pengaruh pada protoonkogen atau gen supresor kanker. Jadi walaupun tumor ganas asalnya monoklon, pada saat tumor tersebut telah memberi keluhan klinis sel bersangkutan mungkin telah menjadi sangat heterogen.



Selama proses progresi, sel tumor akan mengalami pengaruh seleksi imun dan non imun. Contohnya, sel yang sangat antigenik akan dimusnahkan oleh pertahanan tubuh, sedang sel yang membutuhkan sedikit faktor pertumbuhan akan dipertahankan. Jadi suatu tumor yang berkembang, mempunyai kecenderungan mendapat bantuan dari subklon untuk dapat mengalahkan hal yang merugikan dan dapat bertahan, tumbuh, dan metastasis. Akhirnya, pengalaman memperlihatkan bahwa apabila tumor kambuh setelah mendapat kemoterapi, tumor tersebut hampir selalu resisten terhadap regimen obat terdahulu, apabila diberikan lagi. Resistensi yang didapat ini, merupakan manfestasi seleksi, karena terjadi subklon yang mengandungi mutasi (atau perubahan epigenetik). Jadi, evolusi dan seleksi genetik dapat menjelaskan dua sifat yang membahayakan dari kanker: tendensi kanker untuk menjadi (1) lebih agresif dan (2) kurang responsif terhadap terapi setelah beberapa waktu.



Kebutuhan faktor pertumbuhan berkurang



sel tumor Varian



Non antigenik



Invasif normal Sel



Perubahan diinduksi karsinogen



TRANSFORMASI



Metastatik



tumor Sel



Ekspansi klonal dari varian sel yang cell variants



PROGRESI



PROLIFERASI SEL YANG GENETIKNYA TIDAK STABIL



Keganasan padat pada manusia



VARIAN SEL TUMOR: HETEROGENITAS



Gambar 5-17 Progresi tumor dan timbulnya heterogenitas. Subklon baru muncul pada keturunan sel awal berupa transformasi melalui mutasi multipel. Dengan progresi, massa tumor diperkaya dengan terjadinya varian yang lebih beradaptasi dan dapat menghindar dari pertahanan pejamu dan lebih agresif.



178



BAB5



Neoplasia



TANDA KHAS KANKER Penjelasan di bawah ini berguna sebagai dasar untuk menjelaskan lebih rinci tentang patogenesis molekuler kanker dan agen karsinogen yang mengakibatkan kerusakan genetik. Sejak sekitar 30 tahun yang lalu, beratus ratus gen yang berkaitan dengan kanker telah ditemukan. Beberapa, misalnya TP53, umumnya mengalami mutasi; yang lain misalnya ABL, hanya terpengaruh pada leukemia tertentu. Tiap gen kanker mempunyai fungsi spesifik, yang tidak teratur berperan pada asal atau perkembangan keganasan. Jadi sebaiknya, dalam konteks perubahan fisiologi sel, yang dikelompokkan dalam tanda khas kanker, menyertakan 'gen terkait-kanker" karena bersama sama menentukan fenotipe keganasan. Enam di antaranya ditampilkan pada Gambar 5-18: • Menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan • Tidak peka terhadap sinyal penghambat pertumbuhan • Menghindari kematian sel • Mampu bereplikasi tanpa batas • Mempertahankan angiogenesis • Kemampuan invasi dan metastasis Pada daftar ini dapat ditambahkan dua tanda khas baru kanker, yaitu program ulang metabolisme energi dan kemampuan menghindari sistem imun, serta dua karakter yang terganggu, yaitu instabilitas genom dan radang yang dipicu-tumor. Mutasi pada gen yang mengatur beberapa atau seluruh sifat sel dijumpai pada tiap kanker; sehingga Mencukupi sendiri inyal pertumbuhan Menghindari apoptosis



Tidak peka pada sinyal anti pertumbuhan



sifat ini merupakan dasar pembahasan berikutnya mengenai asal molekuler kanker. Harap dicatat, atas kesepakatan, simbol gen ditulis dengan huruf miring tetapi produksi proteinnya tidak (misalnya gen RB dan protein Rb, TP53 dan p53, MYC dan MYC).



Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan Sel kanker menggunakan banyak cara untuk mengatur proliferasinya dan menjadi tidak peka pada aturan pertumbuhan normal. Untuk memahami fenomena ini, akan bermanfaat apabila dikaji kembali sekuens kejadian yang menjadi karakteristik proliferasi sel normal (dijelaskan pada Bab 2). Pada kondisi fisiologis,proliferasi sel dapat dirangkum dalam langkah-langkah berikut: 1. Terikatnya faktor pertumbuhan pada reseptor spesifiknya pada membran sel 2. Mengurangi dan membatasi pengaktifan reseptor faktor pertumbuhan, yang kemudian akan mengaktifkan beberapa protein sinyal-transduksi pada bagian dalam membran plasma 3. Meneruskan sinyal transduksi melalui sitosol menuju inti melalui messenger kedua atau kaskade molekul transduksi sinyal 4. Menginduksi dan mengaktifkan faktor regulator inti yang menginisiasi dan mengatur transkripsi DNA 5. Masuk dan meneruskan sel ke dalam siklus sel, sehingga terjadi pembelahan sel Mekanisme yang memungkinkan sel kanker mampu berproliferasi dapat dikelompokkan sesuai dengan peran sel tersebut pada kaskade sinyal transduksi pemicu faktor pertumbuhan dan pengaturan siklus sel. Memang, tiap langkah yang tertera dapat memudahkan terjadinya perubahan pada sel kanker.



Faktor Pertumbuhan



Semua sel normal membutuhkan stimulasi faktor pertumbuhan agar terjadi proliferasi. Sebagian besar faktor pertumbuhan yang larut dalam air terdiri atas satu jenis sel dan berperan pada sel sekitarnya untuk menstimulasi proliferasi (pengaruh parakrin). Secara normal, sel yang menghasilkan faktor pertumbuhan tidak mengekspresikan reseptor yang sama. Kekhususan ini mencegah terjadinya putaran balik positif pada sel yang sama. • Banyak sel kanker mempunyai kemampuan pertumbuhan sendiri yang cukup dengan mensintesa faktor pertumbuhan yang sama yang dapat direspons sel kanker tersebut. Contohnya, berbagai glioblastoma mensekresi faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan mengekspresikan reseptor PDGF, dan berbagai sarkoma membentuk transforming growth factor-a (TGF-a) dan reseptornya. Putaran autokrin yang sama sering dijumpai pada berbagai jenis kanker.



Angiogenesis yang terus menerus



Invasi ke jaringan dan metastasis otensi replikasi tanpa batas



• Mekanisme lain di mana sel kanker mampu tumbuh cukup sendiri adalah melalui interaksi dengan stroma. Pada beberapa keadaan, sel tumor mengirim sinyal untuk mengaktifkan sel normal pada stroma penunjang, yang kemudian akan memproduksi faktor pertumbuhan yang akan memicu pertumbuhan tumor.



Reseptor Faktor Pertumbuhan dan Non-Reseptor Tirosin Kinase



Gambar 5-18 Enam tanda khas kanker. Sel kanker umumnya mempunyai sifat Kelompok berikut pada sekuens sinyal transduksi adalah reseptor tersebut selama pertumbuhannya, khususnya melalui mutasi dari gen yang faktor pertumbuhan, dan beberapa onkogen yang terjadi akibat relevan. ekspresi berlebihan atau mutasi reseptor faktor (Dari Hanahan D, Weinberg RA: The hallmarks of cancer. Cell I 00:57, 2000. )



Tanda Khas Kanker pertumbuhan yang telah diidentifikasi. Protein reseptor yang bermutasi menyampaikan sinyal mitogenik terus menerus ke sel, walaupun tidak terdapat faktor pertumbuhan dilingkungannya. Ekspresi berlebihan reseptor pertumbuhan lebih sering dijumpai dibanding mutasi, dan dapat menyebabkan sel kanker lebih responsif terhadap kadar faktor pertumbuhan yang dalam keadaan normal tidak memicu proliferasi. Contoh yang telah di dokumentasi dengan baik dari ekspresi berlebihan ialah pada kelompok reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGF). ERBB1, reseptor EGF, yang mengalami ekspresi berlebihan pada 80% karsinoma sel skuamosa paru, 50% atau lebih pada glioblastomas, dan 80% hingga 100% tumor epitel leher dan kepala. Gen yang menyandi reseptor terkait, HER2/NEU (ERBB2), mengalami amplifikasi pada 25% hingga 30% kanker payudara dan adenokarcinoma paru, ovarium dan kelenjar liur. Berbagai tumor tersebut sangat sensitif terhadap efek mitogenik berbagai faktor pertumbuhan dalam jumlah kecil, dan pada kadar tinggi protein HER2/ NEU sel kanker payudara dan merupakan petanda prognosis yang buruk. Pentingnya HER2/NEU pada patogenesis kanker payudara digambarkan secara dramatis oleh manfaat klinis yang diperoleh dari penghambatan domain ekstrasel reseptor ini dengan antibodi antiHER2/NEU. Terapi kanker payudara dengan antibodi anti-HER2/ NEU merupakan contoh yang tepat upaya kedokteran "dari ruang laboratorium menuju ke ruang perawatan".



179



Faktor pertumbuhan Reseptor faktor pertumbuhan Jangkar membran Farnesil



RAS inakatif Protein jembatan



Mengaktifkan



Activation GDP



RAS aktif GTP



Tidak teraktifkan oleh hidrolisa GTP RAS aktif PI3K



RAF



AKT mTOR



MAPK Pengaktifan



transkripsi



Protein Hilir Sinyal Transduksi Mekanisme yang relatif sering dijumpai pada sel kanker agar memperoleh pertumbuhan autonom adalah mutasi gen yang menyandi berbagai komponen dari jalur sinyal yang berada di hilir reseptor faktor pertumbuhan. Protein sinyal ini akan menghubungkan reseptor faktor pertumbuhan dengan target inti sel. Sinyal diterima dari reseptor faktor pertumbuhan yang telah diaktifkan dan meneruskannya ke inti sel, melalui messenger kedua atau melalui kaskade fosforilasi dan mengaktifkan molekul sinyal transduksi. Dua contoh penting pada kelompok ini ialah RAS dan ABL. Masing masing selanjutnya akan dibahas secara singkat. Protein RAS. RAS merupakan protoonkogen mutan yang paling sering dijumpai pada tumor manusia. Ternyata, sekitar 30% tumor manusia mengandungi versi gen RAS yang mengalami mutasi, dan frekuensinya lebih tinggi pada beberapa kanker tertentu (misalnya adenokarsinoma usus besar dan pankreas). • RAS merupakan salah satu dari kelompok protein G kecil yang mengikat nukleotida guanosin (nukleotida guanosine triphosphate [GTP] dan guanosin diphosphate [GDP]), mirip dengan protein G trimolekuler yang lebih besar. • Protein RAS normal akan pindah bolak-balik antara status sinyal smisi aktif dan status transmisi tenang (inaktif). Protein RAS akan inaktif bila terikat dengan GDP; stimulasi sel oleh faktor pertumbuhan seperti EGF dan PDGF akan mengakibatkan perubahan GDP menjadi GTP dan perubahan lain selanjutnya yang akan menghasilkan RAS aktif (Gambar 5-19). Status sinyal aktif ini hanya sebentar, namun, karena aktivitas guanosin trifosfatase intrinsik (GTPase) dari RAS akan menghidrolisa GTP menjadi GDP, menghasilkan suatu kelompok fosfat dan mengembalikan protein menjadi status ikatan GDP yang inaktif. Aktivitas GTPase pada protein RAS yang teraktifkan akan diperbesar secara dramatis oleh protein yang mengaktifkan GTPase (GAPase), yang berfungsi sebagai rem molekul yang mencegah pengaktifan RAS yang tidak terkendali dengan melakukan hidrolisa GTP menjadi GDP.



Protein MYC Perkembangan siklus sel



Gambar 5-19 Contoh cara kerja gen RAS. Apabila sel normal distimulasi melalui reseptor faktor pertumbuhan, (GDP-bound) RAS yang inaktif akan diaktifkan menjadi RAS yang terikat GTP. RAS yang teraktifkan akan mentranduksi sinyal proliferatif kepada inti melalui dua jalur, yaitu jalur RAF/ERK/MAP kinase dan jalur PI3 kinase/AKT. GDP guanosine diphosphate; GTP guanosine triphosphate; MAP mitogen-activated protein; PI3 phosphatidylinositoI-3.



• RAS yang teraktifkan akan merangsang regulator proliferasi yang berada di hilir melalui dua jalur tertentu yang akan bertemu pada inti sel dan membanjirinya dengan sinyal untuk proliferasi sel. Rincian sinyal kaskade (sebagian ditampilkan pada Gambar 5-19) bagian hilir dari RAS tidak akan dibahas di sini, suatu hal penting ialah bahwa aktivitas mutasi "messertgers" terhadap inti sel mirip efek pemicuan pertumbuhan RAS yang teraktifkan. Contoh, BRAF, yang terletak pada jalur RAF/ERK/MAP kinase, mengalami mutasi pada lebih dari 60% melanomas. Mutasi PI3 kinase pada jalur PI3K/ AKT juga terjadi dengan frekuensi tinggi pada beberapa tipe tumor. Agaknya, pengaktifan mutasi RAS demikian pula molekul sinyal di bagian hilir merupakan hal umum pada berbagai tumor. Protein RAS umumnya diaktifkan oleh mutasi titik pada residu asam amino yang berada di tempat ikatan-GTP atau pada daerah enzimatik yang penting untuk hidrolisa GTP. Kedua jenis mutasi akan mengganggu hidrolisa GTP, yang penting untuk menginaktifkan RAS. RAS terjebak dalam bentuk teraktifkan, dalam bentuk terikat-GTP, dan



180



BAB 5



Neoplasia



sel dipaksa untuk berada dalam status proliferasi berkelanjutan. Dari skenario tadi tampak bahwa konsekuensi mutasi protein RAS akan disertai dengan hilangnya fungsi mutasi pada GAP dengan akibat kegagalan untuk menstimulasi hidrolisa GTP dan dengan demikian terhambatnya pembentukan protein RAS. Memang, mutasi yang tidak terjadi pada pada neurofibromin-1 (NF-1), suatu jenis GAP, dikaitkan dengan neurofibromatosis type 1 familial (Bab 22). ABL. Disamping RAS, beberapa non-reseptor-terkait tyrosin kinase berfungsi sebagai molekul sinyal transduksi. Pada kelompok ini, ABL paling dikenal dalam kaitan dengan karsinogenesis. • ABL protoonkogen mempunyai aktivitas tirosin kinase yang akan diredam oleh domain regulator negatif internal. Pada leukemia mielogenik kronik dan leukemia akut tertentu, sebagian dari gen ABL mengalami translokasi dari tempat normalnya di kromosom 9 ke kromosom 22, dan akan bergabung dengan klaster patahan gen (BCR). Protein hibrid BCR-ABL akan mempertahankan domain tirosin kinase; domain BCR sendiri, tetap melakukan aktivitas tirosin kinase. Menarik ialah, bahwa terjadi hubungan silang antara jalur BCR-ABL dan RAS, sebab protein BCR-ABL mengaktifkan seluruh sinyal yang terletak di bagian hilir RAS. • Peran krusial dari BCR-ABL pada transformasi dipastikan dengan adanya respons klinis yang dramatis pada pasien leukimia mielogenik terhadap inhibitor BCR-ABL kinase. Prototipe obat semacam ini, imatinib mesylate (Gleevec) menimbulkan perhatian untuk pembuatan obat yang mempunyai target lesi molekul spesifik pada berbagai kanker (disebut targeted therapy). BCR-ABL juga merupakan contoh konsep addiksi onkogen, yaitu suatu tumor sangat bergantung pada satu molekul sinyal. Pembentukan fusi gen BCR-ABL, merupakan upaya dini, mungkin inisiasi, yang menghasilkan leukemogenesis. Timbulnya leukimia mungkin membutuhkan kolaborasi mutasi lain, tetapi sel yang mengalami transformasi tetap bergantung pada sinyal BCRABL dapat dilihat sebagai tonggak sentral di mana struktur dibentuk. Bila tonggak ini dihilangkan melalui inhisibi BCRABL kinase, struktur akan runtuh. Karena ketergantungan ini, maka tidak mengherankan bisa terjadi resistensi tumor terhadap inhibitor BCR-ABL karena pertumbuhan berlebihan suatu subklon dengan mutasi pada BCR-ABL dapat mencegah ikatan obat dengan protein BCR-ABL



FaktorTranskripsi Inti Pada tahap akhir, semua sinyal transduksi memasuki inti sel dan mengakibatkan dampak pada sekelompok besar gen responden yang mengatur secara teratur agar sel memasuki siklus mitosis. Memang, konsekuensi pemberian sinyal melalui onkoprotein seperti RAS atau ABL masih kurang dan rangsangan berkelanjutan dari faktor transkripsi inti bisa mengakibatkan ekspresi gen pemicu-pertumbuhan. Pertumbuhan autonom dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya mutasi gen yang mengatur transkripsi DNA. Sejumlah onkoprotein, termasuk produk dari MYC, MYB, JUN, FOS, dan onkogen REL, berfungsi sebagai faktor transkripsi yang mengatur



ekspresi gen pemicu pertumbuhan, misalnya siklin. Dari kelompok ini, gen MYC yang paling sering terlibat pada tumor manusia. Protein MYC dapat mengaktifkan atau menekan transkripsi gen lainnya. Gen yang diaktifkan oleh MYC termasuk beberapa gen pemicu pertumbuhan, seperti "cyclin-dependent kinases" (CDKs), yang produknya akan mendorong sel masuk ke siklus sel (dibicarakan berikut). Gen yang ditekan oleh MYC termasuk inhibitor CDK (CDKls). Jadi disregulasi MYC akan memicu tumorigenesis dengan meningkatkan ekspresi gen yang mendorong progresi sel melalui siklus sel dan sebaiknya menekan gen yang memperlambat atau mencegah progresi siklus sel. MYC merupakan pengatur utama pada metabolisme menengah, menaikkan regulasi gen yang memicu glikolisis aerobik (disebut efek Warburg, akan dibahas kemudian) dan meningkatkan pemakaian glutamin, dan perubahan metabolit yang menjadi tanda utama sel kanker. Disregulasi gen MYC dengan hasil terjadinya translokasi t(8;14) terjadi pada Limfoma Burkitt, suatu tumor sel B. MYC juga diamplifikasi pada payudara, usus besar, paru dan berbagai jenis kanker lain; gen NMYC dan LMYC yang terkait mengalami amplifikasi pada neuroblastoma dan kanker sel kecil paru.



Siklin dan Siklin-dependen Kinase Hasil akhir dari semua stimulus pemicu-pertumbuhan adalah masuknya sel yang sebelumnya tenang ke dalam siklus sel. Kanker dapat menjadi autonom apabila gen yang mengatur siklus sel menjadi tidak teratur karena mutasi atau amplifikasi. Sebelum membahas aspek karsinogenesis lebih lanjut diperlukan pembahasan secara garis besar siklus sel normal (Gambar 5-20).



Siklus Sel Normal



Proliferasi sel merupakan proses yang sangat teratur melibatkan banyak molekul dan jalur-jalur yang saling berhubungan. Replikasi sel dirangsang oleh faktor pertumbuhan atau sinyal dari komponen ECM melalui integrin. Agar terjadi replikasi dan pembelahan DNA, sel melalui suatu sekuens kejadian ketat yang disebut siklus sel. Siklus sel terdiri atas fase G1 (presintesa), S (sintesa DNA), G2 (premitotik), dan M (mitotik). Sel tenang (quiescent) yang belum memasuki siklus sel berada dalam status Go. Tiap fase dari siklus sel bergantung pada pengaktifan yang tepat dan kelengkapan siklus sel sebelumnya dan siklus sel akan berhenti pada tempat di mana terjadi defisiensi fungsi gen yang esensial. Karena peran siklus sel sangat sentral untuk mempertahankan homeostasis jaringan dan mengatur proses pertumbuhan fisiologis seperti regenerasi dan perbaikan, maka siklus sel mempunyai banyak "checkpoints", terutama pada saat berubahnya Go menjadi Gl dan peralihan dari G, ke fase S. Sel dapat masuk Gl bisa melalui Go (sel tenang) atau setelah menyelesaikan mitosis (sel yang melakukan replikasi terusmenerus). Sel tenang (quiescent cells) mula-mula harus melalui transisi dari Go ke Gt, merupakan langkah pertama, yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam siklus sel. Sel pada Gi akan berlanjut pada siklus sel dan akan mencapai saat kritis pada transisi dikenal sebagai titik restriksi, suatu batas langkah untuk kegiatan replikasi. Setelah melampaui titik restriksi ini, sel normal secara ireversibel melakukan replikasi DNA. Siklus sel diatur ketat oleh aktivator dan inhibitor. • Perkembangan melalui siklus sel, trutama pada G1-S peralihan diatur oleh protein yang disebut siklin, disebut



Tanda Khas Kanker in hibitors CDK



DK ors C ibit h p18 in p15 p16



p21



p27



p57



inhi bit o



Siklim E



p19



rs C DK p27 p57



p21



CDK2 Siklin D



Siklin D



CDK4



CDK6



CDK1



S



p27



DK rs C



Siklim A



RB P



o ibit



p21



inh



Siklim A CDK2



RB



181



p57



G1 G2 M Siklin B CDK1



p21 p57



p27



sC



inh



or ibit



DK



Gambar 5-20 Peran siklin, cyclin-dependent kinases (CDKs), dan inhibitor CDK pada pengaturan siklus sel. Panah bayangan menunjukkan fase siklus sel di mana kompleks siklin CDK sedang aktif. Seperti pada gambar siklin D—CDK4, siklin D—CDK6, dan siklin E—CDK2 mengatur perpindahan GI-ke-S melalui fosforilasi protein Rb (pRb). Siklin A—CDK2 dan siklin A—CDK I aktif pada fase S. Siklin B—CDK I penting untuk perpindahan G2-ke-M. Dua kelompok inhibitor CDK dapat memblok aktivitas berbagai CDK dan perkembangan melalui siklus sel. Yang disebut inhibitor INK4, terdiri atas p I 6, p 15, pI8, dan p I 9, bekerja pada siklin D—CDK4 dan siklin D—CDK6. Kelompok lain dari tiga inhibitor, p2 I, p27, dan p57, bisa menghambat berbagai CDK.



demikian karena sifatnya yang berganti-ganti antara produksi dan degradasinya, dan enzim yang terkait, yaitu cyclindependent kinases (CDKs). CDK mempunyai aktivitas katalitik dengan mengikat dan membentuk gabungan dengan siklin. Perjalanan yang teratur dari sel melalui berbagai fase dari siklus sel diatur oleh CDK, yang diaktifkan oleh ikatan dengan siklin. • Kompleks CDK-siklin akan melakukan fosforilasi protein target yang sangat menentukan kemungkinan perjalanan sel mengikuti seluruh siklus sel. Pada pelaksanaan tugas ini, kadar siklin akan menurun dengan cepat. Lebih dari 15 siklin telah diidentifikasi; siklin D, E, A, dan B muncul secara berurutan selama siklus sel dan akan mengikat satu atau lebih CDK. Siklus sel dapat dilihat sebagai perlombaan beranting di mana tiap kaki diatur oleh suatu set siklin tertentu. Ketika satu set siklin meninggalkan jalur, set berikut akan mengambil alih (Gambar 5-20). CDK yang teraktifkan pada kompleks ini akan mengarahkan jalannya siklus sel melalui fosforilasi protein yang mengatur peralihan siklus sel. Salah satu protein tersebut adalah protein retinoblastoma (Rb), yang akan dibahas kemudian. • Aktivitas kompleks CDK-siklin diatur oleh inhibitor CDK (CDKI) yang menjalankan tempat,



pemeriksaan siklus sel. Termasuk siklus sel adalah mekanisme pengawasan yang akan memantau apabila terjadi kerusakan DNA dan kromosom. Tempat pengawasan kualitas ini disebut checkpoints; fungsinya adalah memastikan bahwa sel dengan DNA atau kromosom yang rusak tidak akan menyelesaikan proses perubahan. Tempat pemeriksaan mengawasi integritas DNA sebelum proses perubahan DNA, sedangkan tempat pemeriksaan G2-M mengawasi DNA setelah perubahan dan mengawasi sel yang akan memasuki proses mitosis dengan selamat. Apabila sel merasakan adanya kerusakan DNA, aktivasi tempat pengawasan akan menunda siklus sel dan memicu mekanisme perbaikan DNA. Apabila kerusakan DNA terlalu payah sehingga tidak dapat diperbaiki, akan terjadi eliminasi sel melalui apoptosis, atau sel akan memasuki status tidak berubah yang disebut penuaan (senescence), terutama melalui mekanisme yang bergantung pada p53, yang akan dibahas kemudian. Mutasi pada gen tempat pengawasan ini masih memungkinkan sel dengan DNA rusak untuk membelah, menghasilkan sel anak yang membawa mutasi. • Ada beberapa kelompok CDKI. Satu kelompok, terdiri dari tiga protein yang disebut p21 (CDKN1A), p27 (CDKN1B), dan p57 (CDKN1C), menghambat CDK secara luas, sedangkan kelompok CDKI lain mempunyai efek selektif pada siklin CDK4 dan siklin CDK6. Empat protein



182



BAB 5



Neoplasia 



protein keluarga ini — p15 (CDKN2B), p16 (CDKN2A), p18 (CDKN2C), dan p19 (CDKN2D) - kadang-kadang disebut protein INK4 (A hingga D). Perubahan pada Protein Pengawas Siklus Sel pada Sel Kanker Dengan latar belakang ini mudah dimengerti bahwa mutasi yang mengakibatkan tidak teraturnya aktivitas siklin dan CDK akan mengakibatkan proliferasi sel. Memang, ternyata semua kanker mempunyai lesi genetik, sehingga tempat pemeriksaan G1-S tidak berfungsi sehingga secara terus menerus masuk kembali ke fase S. Untuk alasan yang tidak jelas jumlah beberapa lesi tertentu sangat berbeda pada berbagai jenis tumor. • Kesalahan berupa ekspresi yang berlebihan dari siklin D atau CDK4 merupakan keadaan yang umum dijumpai pada transformasi neoplastik. Gen siklin D mengalami ekspresi berlebihan pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker pada payudara, esofagus, hati, dan suatu subset limfoma dan tumor sel plasma. Amplifikasi gen CDK4 terjadi pada melanoma, sarkoma, dan glioblastoma. Mutasi yang mengenai siklin B, E dan CDK lain juga terjadi, tetapi jumlahnya lebih kecil dibandingkan yang mengenai siklin CDK4. • CDKI sering tidak berfungsi karena mutasi gen atau gen yang diam pada berbagai keganasan pada manusia. Mutasi alur sel benih dari CDKN2A dijumpai pada 25% keluarga yang mudah terkena melanoma. Delesi somatik yang didapat atau tidak aktifnya CDKN2A dijumpai pada 75% karsinoma pankreas, 40% hingga 70% glioblastoma, 50% pada kanker esofagus, dan 20% pada karsinoma paru bukan sel kecil, sarkoma jaringan lunak, dan kanker kandung kemih. Pemikiran terakhir tentang pentingnya pembahasan sinyal pemicu pertumbuhan ialah bahwa produksi onkoprotein yang meningkat, tidak dengan sendirinya mengakibatkan proliferasi yang berlanjut ke sel kanker. Terdapat dua mekanisme internal yang terjadi, yaitu penuaan sel dan apoptosis, yang bertentangan dengan pertumbuhan sel yang dipicu oleh onkogen. Sebagai akan dibicarakan kemudian, mekanisme penghambat ini harus ditiadakan dahulu, agar kegiatan onkogen dapat berlangsung terus tanpa halangan.



RINGKASAN Onkogen yang Memicu Proliferasi Tidak Terkendali (Mengatur Sendiri Sinyal Pertumbuhan) Onkogen: versi mutan atau ekspresi berlebihan dari protoonkogen yang berfungsi autonom dan tidak membutuhkan sinyal pemicu pertumbuhan normal Onkoprotien memicu proliferasi sel yang tidak terkendali melalui berbagai mekanisme: • Ekspresi stimulus-independen faktor pertumbuhan dan reseptor terkait, membentuk lingkaran (loop) proliferasi sel yang otokrin  Reseptor PDGF-PDGF pada tumor otak • Mutasi gen penyandi reseptor faktor pertumbuhan atau tirosin kinase yang mengakibatkan pembentukan sinyal:







Kelompok reseptor EGF, termasuk (payudara,paru,dan tumor lain)



HER2/NEU



Fusi ABL tirosin kinase dengan protein BCR pada beberapa jenis leukemia menghasilkan protein hibrid dengan aktivitas kinase.



• Mutasi gen penyandi sinyal molekul RAS biasanya mengalami mutasi pada kanker manusia dan biasanya bolak balik antara keadaan istirahat GDP-bound dan keadaan aktif GTP-bound;mutasi akan menghentikan hidrolisa GTP menjadi GDP, dengan akibat proses penyandian tidak terkendali.







• Produksi berlebihan atau faktor transkripsi dengan akitivitas tidak teratur  Translokasi MYC pada beberapa limfoma mengakibatkan ekspresi berlebihan dan ekspresi yang tidak teratur pada gen target yang mengatur siklus sel dan ketahuan sel. • Mutasi yang mengaktifkan gen siklin atau menginaktifkan regulator negatif siklin dan siklin-dependen kinase 



Kompleks siklin dengan CDK mengatur siklus sel melalui fosforilasi berbagai substrat. CDK diatur oleh inhibitor; mutasi oleh gen penyandi siklin, CDK, dan inhibitor CDK mengakibatkan progresi siklus sel yang tidak terkendali. Mutasi sejenis itu dijumpai pada berbagai jenis kanker termasuk melanoma, otak, paru, dan kanker pankreas.



Ketidakpekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan Isaac Newton mempunyai teori bahwa tiap aksi akan mengakibatkan reaksi berlawanan yang setara. Walaupun Newton bukan seorang ahli biologi kanker, formulasinya berlaku untuk pertumbuhan sel. Apabila onkogen akan menyandi protein yang memicu pertumbuhan sel, sebaliknya produk gen tumor supresor akan menghambat proliferasi sel. Gangguan gen semacam itu akan mengakibatkan melemahnya fungsi penghambat pertumbuhan sehingga bekerja menyerupai efek pemicu pertumbuhan suatu onkogen. Pembahasan berikut akan menjelaskan gen tumor supresor, produk yang dihasilkan, dan mekanisme yang diperkirakan terjadi akibat hilangnya fungsi dan perannya dalam pertumbuhan sel yang tidak terkendali.



Gen RB: Pengatur Siklus SeI Bermanfaat untuk memulai pembahasan tentang gen retinoblastoma (RB), gen supresor tumor pertama yang ditemukan, dan menjadi suatu contoh prototip. Seperti perkembangan banyak bidang ilmu kedokteran lainnya, penemuan gen tumor supresor tercapai melalui penelitian penyakit yang jarang dijumpai pada kasus ini, retinoblastoma, suatu tumor yang jarang ditemukan pada anak. Kira-kira 60% retinoblastoma timbul sporadik, dan sisanya adalah familial, predisposisi untuk timbulnya tumor diturunkan sebagai sifat dominan autosom. Untuk menjelaskan timbulnya suatu tumor yang identik secara sporadik dan familial, Knudson, tahun 1974, mengajukan hipotesa two-hit, yang sekarang tersohor, yang dapat dijelaskan dari aspek molekuler sebagai berikut: • Dua mutasi (hits) dibutuhkan untuk terjadinya retinoblastoma Keduanya melibatkan gen RB, yang terletak pada lokus kromosom 13q14. Kedua alel normal lokus RB harus diinaktifkan (makanya disebut two hits) untuk pertumbuhan retinoblastoma (Gambar 5-21). • Pada kasus familial, anak mewarisi satu kopi gen RB yang tidak efektif pada alur sel benih; kopi lainnya normal.



Tanda Khas Kanker PATOGENESIS RETINOBLASTOMA



BENTUK SPORADIK



Mutasi



Mutasi



Sel benih



Zigot



Sel somatik anak



BENTUK FAMILIAL



Sel somatik orang tua



Gen normal



Sel retina



Retinoblastoma



Mutasi



Gen RB mutan



Gambar 5-21 Patogenesis retinoblastoma. Dua mutasi pada lokus kromosom RB pada 1 3q 14, mengakibatkan proliferasi neoplastik sel retina. Pada keturunannya, semua sel somatik mewarisi satu gen RB mutan dari orang tuanya. Mutasi kedua mengenai lokus RB pada salah satu sel retina setelah lahir. Pada bentuk sporadik (bukan keturunan), kedua mutasi pada lokus RB dibutuhkan oleh sel retina setelah lahir.



Retinoblastoma dapat timbul apabila gen RB normal pada sel retinoblas hilang sebagai akibat mutasi somatik. Karena pada keluarga dengan retinoblastoma hanya dibutuhkan satu mutasi somatik untuk terjadinya penyakit ini, maka transmisi familial mengikuti pola pewarisan autosomal dominan. • Pada kasus sporadik, kedua alel RB normal lenyap akibat mutasi somatik pada salah satu retinoblas. Hasil akhir sama: sel retina yang kehilangan kedua kopi normal gen RB menjadi kanker. Walaupun hilangnya gen RB normal ditemukan pertama kali pada retinoblastoma, sekarang terbukti bahwa kehilangan gen ini pada homozigot merupakan hal yang umum dijumpai pada beberapa jenis tumor, termasuk kanker payudara, tumor sel kecil paru, dan kanker kandung kemih. Pasien dengan retinoblastoma familial mempunyai risiko yang meningkat untuk timbulnya osteosarkoma dan beberapa jenis sarkoma jaringan lunak.



Pada titik ini, perlu penjelasan beberapa istilah: satu sel heterozigot pada lokus RB tidak bersifat neoplastik. Tumor akan timbul apabila sel kehilangan kopi gen RB normal dan menjadi homozigot untuk alel mutan. Pada prinsipnya, sinyal anti pertumbuhan dapat mencegah proliferasi sel melalui beberapa mekanisme komplemen. Sinyal akan menyebabkan sel yang membelah memasuki fase Go tenang (quiescence), dan akan tetap berada di sana sampai adanya isyarat eksternal untuk mendorongnya masuk kembali ke tahap proliferasi. Kemungkinan lain ialah sel masuk ke tahap pasca mitosis, diferensiasi dan kehilangan potensi replikasi. Penuaan(senescence) non replikatif, yang disebut terdahulu, merupakan mekanisme lain untuk menghindarkan menghindarkan pertumbuhan sel yaang berkelanjutan. Dan sebagian upaya terakhir,akan diprogram kematian sel melalui apoptosis. Dapat dilihat, bahwa gen supresor tumor mempunyai berbagai upaya pada alat kerjanya untuk mencegah sel menjadi ganas. Pembahasan selanjutnya ialah mengenai mekanisme penghambatan pertumbuhan dan upaya menghindar dengan fokus pada prototip gen tumor supresor, yaitu gen RB.



183



184



BAB 5



Neoplasia



RINGKASAN Ketidak pekaan terhadap Sinyal Penghambat Pertumbuhan • Gen supresor tumor menyandi protein yang menghambat proliferasi sel dengan mengatur siklus sel. Berbedadengan onkogen, kedua kopi gen harus tidak berfungsi agar perkembangan tumor dapat terjadi. • Pada kasus predisposisi familial untuk timbulnya tumor, seseorang harus mewarisi satu kopi gen supresor tumor yang cacat (tidak berfungsi) dan kehilangan kopi kedua melalui mutasi somatik. Pada kasus sporadik, kedua kopi hilang melalui mutasi somatik. Produk gen RB ialah protein pengikat-DNA yang ditampilkan pada tiap sel yang diperiksa, dan berada dalam status hipofosforilasi aktif dan dalam status hiperfosforilasi inaktif. Pentingnya Rb terletak pada pengaturan tempat pemeriksaan G1/S, gerbang yang harus dilalui sel sebelum replikasi DNA dapat dimulai. Sebagai latar belakang untuk memahami fungsi tumor supresor, ada baiknya mempelajari kembali siklus sel. Pada embrio, pembelahan sel terjadi dengan sangat cepat, replikasi DNA segera dimulai setelah proses mitosis selesai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya dua celah (gap) disatukan pada siklus sel: celah 1 (G2) antara mitosis (M) dan replikasi DNA (S), dan celah 2 (G2) antara replikasi DNA (S) dan mitosis (M) (Gambar 5-20). Walaupun tiap fase pada lingkaran siklus sel dimonitor dengan cermat, transisi dari Gl ke S diperkirakan merupakan tempat pemeriksaan yang sangat penting pada "jam" siklus sel. Segera setelah sebuah sel melalui tempat pemeriksaan G1, sel tersebut dapat mengistirahatkan siklus sel untuk waktu tertentu, tetapi sel tersebut harus menyelesaikan proses mitosis. Namun, pada G1, sel dapat keluar seluruhnya dari siklus sel, bisa berlangsung sementara (quiescence/Go) atau permanen (senescence). Memang dalam perkembangan, setelah sel mengalami diferensiasi akhir, sel akan meninggalkan siklus sel dan masuk Go. Sel pada Go akan tetap berada ditempat, sampai timbul isyarat eksternal, misalnya sinyal mitogenik, yang akan mendorong sel tersebut masuk kembali ke dalam siklus sel. Jadi pada Gl, berbagai sinyal disatukan untuk menentukan apakah sel akan meneruskan seluruh siklus sel, atau keluar dari siklus sel dan mengalami diferensiasi, dan Rb merupakan kunci penghubung sinyal mitogen eksternal dan sinyal diferensiasi dalam pengambilan keputusan. Agar memahami peran krusial Rb dalam siklus sel, akan bermanfaat apabila menelaah kembali mekanisme yang menentukan terjadinya transisi G1/S. • Inisiasi replikasi DNA (fase S) membutuhkan aktivitas kompleks siklin E/ CDK2, dan ekspresi siklin E bergantung pada keluarga faktor transkripsi E2F. Pada awal Gl, Rb berada dalam bentuk hipofosforilasi aktif, dan akan berikatan serta mencegah keluarga faktor transkripsi E2F, merintangi transkripsi siklin E. Rb dalam bentuk hypofosforilasi akan mencegah transkripsi yang dipicu-E2F paling sedikit melalui 2 cara (Gambar 5-22). Pertama akan mengasingkan E2F, mencegah interaksi dengan aktivator transkripsi lain. Kedua, Rb akan merekrut protein untuk mengubah kromatin, seperti histon diasetilase dan histon metiltransferase, yang terikat pada gen promotor yang responsif terhadap E2F seperti siklin E. Enzim ini mengubah kromatin pada promotor sehingga DNA tidak sensitif terhadap faktor transkripsi.



• Situasi ini berubah pada sinyal mitogenik. Sinyal faktor pertumbuhan akan menyebabkan ekspresi siklin D dan mengaktifkan kompleks siklin D-CDK4/6. Kompleks ini akan melakukan fosforilasi Rb, menginaktifkan protein dan mengeluarkan E2F untuk menginduksi gen target seperti siklin E. Ekspresi siklin E kemudian merangsang replikasi DNA dan masuk ke dalam siklus sel. Ketika sel masuk ke fase S, akan terjadi pembelahan tanpa perlu rangsangan faktor pertumbuhan. Selama fase M, kelompok fosfat akan dikeluarkan dari Rb oleh fosfatase dalam sel, menghasilkan Rb yang telah mengalami hipofosforilasi. • E2F bukan merupakan target utama Rb. Protein Rb yang serbaguna akan berikatan dengan berbagai faktor transkripsi lain yang mengatur diferensiasi sel. Contohnya, Rb merangsang miosit, adiposit, melanosit, dan faktor transkripsi spesifik makrofag. Jadi, jalur Rb menyatukan pengaturan progresi sel pada Go-Gi dengan diferensiasi, yang akan menjelaskan bagaimana diferensiasi berkaitan dengan keluarnya sel dari siklus sel. Dalam kaitan dengan peran sentral Rb dalam pengaturan siklus sel, timbul pertanyaan menarik mengapa RB tidak mengalami mutasi pada tiap kanker. Faktanya, mutasi pada gen lain yang mengatur fosforilasi Rb dapat memberikan efek mirip hilangnya gen RB. Sebagai contoh, pengaktifan mutasi CDK4 atau ekspresi berlebihan siklin D akan mengakibatkan proliferasi sel melalui fosforilasi dan inaktivasi Rb. Memang siklin D mengalami ekspresi berlebihan pada banyak tumor karena amplifikasi gen atau translokasi. Inaktivasi dengan mutasi pada CDKI juga akan mendorong siklus sel dengan mengaktifkan secara tidak teratur siklin dan CDK. Sebagai dibahas terdahulu, gen CDKN2A merupakan target umum untuk delesi atau inaktivasi mutasi pada tumor manusia. Paradigma yang muncul ialah bahwa hilangnya pengaturan siklus sel normal merupakan hal sentral terjadinya transformasi keganasan pada sebagian besar kanker pada manusia dan paling sedikit satu dari empat regulator utama siklus sel (CDKN2A, siklin D, CDK4, Rb) mengalami mutasi. Juga, transformasi protein pada beberapa virus DNA onkogenik, sebagian berperan, dengan menetralkan aktivitas penghambatan pertumbuhan Rb. Sebagai contoh, protein human papillomavirus (HPV) E7 berikatan dengan Rb yang hipofosforilasi dapat mencegah terjadinya penghambatan faktor transkripsi E2F. Jadi secara fungsional Rb mengalami delesi, dan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak terkendali.



RINGKASAN Gen RB: Pengatur Siklus S. •











Rb mempunyai efek antiproliferasi dengan mengatur transisi GI-ke-S pada siklus sel. Dalam bentuk aktif, Rb mengalami hipofosforilasi dan mengikat faktor transkripsi E2E Interaksi ini mencegah transkripsi gen seperti siklin E yang dibutuhkan untuk replikasi DNA, sehingga sel akan tertahan pada G Sinyal faktor pertumbuhan akan menyebabkan ekspresi siklin D, pengaktifan kompleks siklin D-CDK4/6, menonaktifkan Rb dengan fosforilasi, dan kemudian menghasilkan E2E Hilangnya pengaturan siklus sel merupakan dasar untuk transformasi keganasan. Hampir semua kanker mempunyai tempat pemeriksaan



Tanda Khas Kanker FAKTOR PERTUMBUHAN (EGF, PDGF)



INHIBITOR PERTUMBUHAN (TGFB,p53 lainnya Merangsang S



inhibitor CDK p16 (INK4A) Menginaktifkan



G1



Mengaktifkan



SiklinD/CDK4,6 Siklin E/CDK2



RB yang fosfornya kurang



RB yang fosfornya berlebihan P



P



P



P E2F P E2F



P



P Deasetilase histon P



E2F fase



Gen fase S Pengaktifan transkripsi



P



Metiltransferase histon P Lokus E2F Gen fase S Blok



Gambar 5-22 Peran Rb dalam mengatur tempat pemeriksaan G1—S pada siklus sel. Rb yang telah mengalami hipofosforilasi pada kompleks faktor transkripsi E2F dengan DNA, akan mendatangkan faktor perbaikan kromatin (histone deacetylases dan histone methyltransferases), dan menghambat transkripsi gen yang produknya dibutuhkan pada fase S dalam siklus sel. Apabila Rb mengalami fosforilasi oleh kompleks siklin D —CDK4, siklin D—CDK6, dan siklin E—CDK2, akan mengeluarkan E2F. Yang terakhir ini kemudian mengaktifkan trankripsi gen/fase-S. Fosforilasi Rb dihambat oleh berbagai CDKI, karena mereka akan menginaktifkan kompleks siklin-CDK. Secara keseluruhan semua sel kanker menunjukkan disregulasi tempat pemeriksaan G1—S sebagai akibat mutasi pada satu di antara empat gen yang mengatur fosforilasi Rb; gengen ini ialah RB, CDK4, siklin D, dan CDKN2A [p I 6]. EGF faktor pertumbuhan epidermal; PDGF faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit.



G I yang tidak berfungsi akibat mutasi RB atau gen yang mempengaruhi fungsi Rb, seperti siklin D, CDK4, dan CDKI. • Banyak virus DNA onkogenik, seperti HPV, menyandi protein (misalnya E7) yang mengikat Rb sehingga Rb menjadi tidak berfungsi.



Gen TP53: Penjaga Genom Gen supresor tumor penyandi p53, TP53, adalah gen yang paling sering mengalami mutasi pada kanker manusia. Protein p53 akan menghalangi transformasi neoplastik melalui tiga jenis mekanisme penghambat: penghentian siklus sel sementara (disebut quiescence), menginduksi penghentian permanen silus sel (disebut senescence), atau memicu kematian sel terprogram (disebut apoptosis). Apabila Rb merasakan (sense) adanya sinyal eksternal, p53 dapat dipandang sebagai pusat pengamat stres internal dan mengarahkan sel yang mengalami stres untuk memilih salah satu dari tiga jalur. Berbagai stres dapat memicu jalur respons p53, termasuk anoksia, aktivitas onkoprotein yang tidak tepat (misalnya MYC atau RAS), dan merusak integritas DNA. Dengan mengatur respons terhadap kerusakan DNA, p53 mempunyai



peran sentral untuk mempertahankan integritas genom, sebagai akan dibicarakan berikut. Pada sel tanpa stres (sel sehat), p53 mempunyai usia paruh waktu yang singkat (20 menit) karena berhubungan dengan MDM2, yaitu protein yang mempunyai target merusak p53. Apabila sel mengalami stres, misalnya, gangguan pada DNA, "sensor" yang termasuk protein kinase seperti ATM (ataxia telangiectasia mutated) akan diaktifkan. Kompleks yang teraktifkan akan mengkatalisis modifikasi p53pasca translasi yang dikeluarkan dari MDM2 dan akan meningkatkan waktu paruh serta meningkatkan kemampuan untuk mentranskripsi gen target. Transkripsi beberapa ratus gen yang terjadi karena dipicu p53 telah ditemukan. Gen tersebut akan melakukan penghambatan transformasi neoplastik melalui tiga mekanisme: • Penghentian siklus sel yang dipicu-p53 dapat dianggap sebagai respons pertama terhadap kerusakan DNA (Gambar 5-23). Hal ini terjadi pada fase Gl lanjut dan disebabkan terutama oleh transkripsi p53 yang bergantung pada gen CDKI CDKN1A (p21). Protein p21, sebagaimana yang dibahas sebelumnya, menghambat kompleks siklin-CDK dan mencegah fosforilasi Rb, sehingga sel akan berhenti pada fase Penghentian tersebut bermanfaat, sebab sel mempunyai waktu untuk memperbaiki kerusakan DNA. Protein p53 juga



185



186 BAB 5



Neoplasia Radiasi pegion Karsinogen Mutagen



Sel dengan mutasi atau kehilangan p53



Sel normal (p53 normal)



Kerusakan DNA



Hipoksia



Kerusakan DNA



p53 yang teraktifkan



Gen yang dependen dengan p53 tidak teraktifkan



dan mengikat DNA



Tidak terjadi perbaikan DNA, tidak terjadi senescence Sel mutan



Tidak ada penghentian siklus sel



Pengaruh pada target yang bergantung dan tidak bergantung pada transkripsi



Senescence



p21 (inhibitpor CDK)



GADD45 (perbaikan DNA)



Penghentian G1 Perbaikan berhasil



Sel normal



BAX (gen apoptosis)



Mutasi meluas dan bertambah



Perbaikan gagal



Apoptosis



Tumor ganas



Gambar 5-23 Peran p53 untuk mempertahankan integritas genom. Pengaktifan p53 normal oleh agen perusak DNA atau oleh hipoksia akan mengakibatkan siklus sel terhenti pada G1 dan terjadi induksi perbaikan DNA melalui peningkatan transkripsi gen dari inhibitor cyclindependent kinase CDKN I A (p2 I) dan gen GADD45. Perbaikan DNA yang berhasil memungkinkan sel meneruskan siklus sel; apabila perbaikan DNA gagal, p53 akan memicu apoptosis atau senescence. Pada sel yang kehilangan atau mengalami mutasi dari TP53, maka kerusakan DNA tidak akan menginduksi berhentinya siklus sel atau perbaikan DNA dan sel dengan kerusakan genetik akan tetap berproliferasi, untuk kemudian tumbuh menjadi neoplasma ganas.



menginduksi ekspresi gen perbaikan kerusakan DNA. Apabila kerusakan DNA berhasil diperbaiki, p53 akan mengatur lebih lanjut transkripsi, sehingga destruksi p53 dan penghambatan siklus sel ditiadakan. Apabila kerusakan tidak dapat diperbaiki, sel akan memasuki penghentian permanen yang dipicu p53 atau mengalami apoptosis yang diarahkan oleh p53. • Penghentian permanen yang dipicu p53 merupakan penghentian siklus sel yang permanen, ditandai dengan kelainan morfologi dan ekspresi gen yang khas yang dapat membedakannya dengan quiescence atau penghentian reversibel siklus sel. Penghentian permanen (senescence) membutuhkan pengaktifan p53 dan/ atau Rb dan ekspresi mediatornya, misalnya CDKI. Mekanisme penghentian permanen tidak jelas tetapi melibatkan perubahan kromatin menyeluruh, yang secara drastis dan permanen mengubah ekspresi gen. • Apoptosis yang diinduksi oleh p53 pada sel dengan kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki lagi merupakan mekanisme terakhir untuk mencegah transformasi



neoplastik. Hal ini terjadi akibat campur tangan beberapa gen proapoptotik misalnya BAX dan PUMA (akan dibicarakan kemudian). Sampai saat ini diperkirakan bahwa fungsi gen p53 yang dibantu secara eksklusif oleh gen yang mengaktifkan transkripsi yang berfungsi sebagai antiproliferasi, apoptosis dan penghentian permanen, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya. Tetapi hal ini menjadi tidak jelas, setelah diketahui bahwa p53 adalah bagian (subset) gen proproliferatif dan antiapoptotik. Bagaimana mungkin gen p53, suatu pengaktif transkripsi bisa melakukan fungsi represi? Jawaban didapat dari penemuan bahwa gen p53 dapat mengaktifkan transkripsi beberapa miRNA (orang kecil dengan kekuasaan besar). Sebagaimana akan dibahas pada Bab 6, miRNA dapat mencegah translasi gen targetnya. miRNA yang diaktifkan oleh p53 dapat menghambat translasi gen proproliferatif seperti siklin dan gen antiapoptotik misalnya BCL2.



Hallmarks of Cancer Sebagai kesimpulan, p53 akan diaktifkan oleh stres seperti kerusakan DNA dan membantu perbaikan DNA dengan menghentikan G1 dan menginduksi gen perbaikan DNA. Suatu sel dengan kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki akan diarahkan oleh p53 untuk memasuki penghentian permanen (senescence) atau terjadi apoptosis (Gambar 5-25). Berdasarkan aktivitas di atas, p53 disebut sebagai penjaga genom (guardian of the genome). Dengan hilangnya gen homozigot TP53, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, mutasi akan menetap pada sel yang sedang membelah, dan sel memasuki jalan satu arah menuju transformasi keganasan. Memastikan pentingnya TP53 dalam mengatur karsinogenesis, lebih dari 70% kanker manusia mempunyai defek pada gen ini, dan neoplasma lainnya mempunyai defek pada gen di hulu atau di hilir dari TP53. Kehilangan kedua alel gen TP53 sebenarnya dijumpai pada tiap kanker, termasuk karsinoma paru, usus besar, dan payudara — tiga penyebab kematian utama pada kanker. Pada sebagian besar kasus, mutasi pada kedua alel TP53 pada sel somatik tidak aktif. Agak jarang, beberapa pasien mewarisi satu alel mutan TP53; mengakibatkan suatu penyakit yang disebut sindrom LiFraumeni. Sebagaimana juga gen RB, pewarisan satu alel mutan akan mengakibatkan kecenderungan terjadinya tumor ganas karena hanya satu "hit" tambahan yang dibutuhkan untuk tidak mengaktifkan alel kedua, yang normal. Pasien dengan sindrom Li-Fraumeni mempunyai kemungkinan 25 kali lipat untuk terjadinya tumor ganas pada usia 50 dibanding dengan populasi umum. Berbeda dengan tumor yang terbentuk pada pasien yang mewarisi alel RB mutan, spektrum tumor yang terbentuk pada pasien dengan sindrom Li-Fraumeni beraneka ragam; tersering ialah sarkoma, kanker payudara, leukemia, tumor otak, dan karsinoma korteks adrenal. Dibandingkan dengan pasien yang didiagnosis tumor sporadik, pada pasien dengan sindrom Li-Fraumeni tumor akan muncul pada usia lebih muda dan dapat timbul tumor primer multipel. Seperti protein Rb, p53 normal bisa menjadi nonfungsional akibat virus DNA tertentu. Protein yang disandi HPV onkogen, virus hepatitis B (HBV), dan kemungkinan virus Epstein-Barr (EBV) dapat berikatan dengan p53 normal dan menghilangkan fungsi protektifnya. Jadi virus DNA dapat menghilangkan dua dari supresor tumor yang paling dikenal, Rb dan p53.



RINGKASAN



kopi defektif pada garis germinal dan kehilangan yang kedua pada jaringan somatik: pada individu tersebut dapat timbul berbagai jenis tumor. • Seperti Rb, p53 tidak berfungsi apabila berikatan dengan protein yang telah disandi oleh virus DNA onkogenik seperti HPV.



Mengubah Jalur Faktor Pertumbuhan P Walaupun telah banyak yang diketahui tentang sistem penghentian siklus sel, namun molekul yang mentransmisi sinyal antiproliferatif pada sel agak kurang dikenal. Paling dikenal ialah TGF-P, salah satu dari keluarga faktor pertumbuhan dimerik termasuk protein morfogenetik tulang dan aktivin. Pada sebagian besar epitel, endotel, dan sel hematopoietik normal, TGF-13 merupakan inhibitor proliferasi yang poten. TGF-13 mengatur proses dalam sel dengan berikatan dengan kompleks yang terdiri atas reseptor I dan II TGF-P. Dimerisasi reseptor melalui ikatan ligan yang akan menimbulkan kaskade kejadian yang menghasilkan pengaktifan transkripsi CDKI berupa aktivitas supresi pertumbuhan dan juga represi gen pemicu pertumbuhan seperti MYC, CDK2, CDK4, dan gen yang menyandi siklin A dan E. Pada banyak jenis kanker, efek penghambat pertumbuhan pada jalur TGF-P diganggu oleh mutasi yang mengenai sinyal TGFP. Mutasi ini akan mengubah reseptor TGF-P tipe II atau molekul SMAD yang bertugas untuk meneruskan sinyal antiproliferasi dari reseptor ke inti sel. Mutasi yang mengenai reseptor tipe II ditemukan pada kanker usus besar, lambung, dan endometrium. Inaktivasi mutasi pada SMAD4, 1 di antara 10 protein yang diketahui terlibat pada pemberian sinyal TGF-P, sering dijumpai pada kanker pankreas. Pada 100% kanker pankreas dan 83 % kanker usus besar, sedikitnya satu komponen dari jalur TGF-13 mengalami mutasi. Namun, pada banyak kanker, hilangnya pengaturan pertumbuhan yang dipicu-TGF-P terjadi pada tingkat hilir dari jalur sinyal utama, contohnya, hilangnya p21 dan/ atau ekspresi MYC yang persisten. Sel tumor ini akan memakai elemen lain dari program yang dinduksi-TGF-P termasuk supresi sistem imun menghindari atau mempromosi angiogenesis, untuk memfasilitasi perkembangan tumor. Jadi, TGF-P dapat berfungsi untuk mencegah atau meningkatkan pertumbuhan tumor, tergantung pada status gen lain di dalam sel. Memang pada banyak tumor stadium akhir, sinyal TGF-13 mengaktifkan transisi epitel ke mesenkim (EMT), suatu proses yang meningkatkan migrasi, invasi, dan metastasis, sebagaimana akan dibahas kemudian.



Gen TPS53: Penjaga Genom Protein p53 merupakan monitor stres sentral pada sel dan dapat diaktifkan melalui anoksia, sinyal onkogen yang tidak tepat, atau kerusakan DNA. p53 yang telah diaktifkan mengatur ekspresi dan aktivitas gen yang terlibat dalam penghentian siklus sel, perbaikan DNA, penghentian permanen, dan apoptosis. • Kerusakan DNA akan mengakibatkan pengaktifan p53 melalui fosforilasi. p53 yang teraktifkan akan menyebabkan transkripsi CDKN I A (p2 I ), yang mencegah fosforilasi Rb, dengan akibat penghentian GI-S pada siklus sel. Penghentian ini memungkinkan sel memperbaiki kerusakan DNAnya. • Apabila kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, p53 akan menginduksi penghentian permanen (senescence) sel atau apoptosis. • Pada tumor manusia menunjukkan hilangnya 70% alel ganda pada TP53. Pasien dengan sindrom Li-Fraumeni mewarisi satu •



187



Inhibisi Kontak, NF2, dan APC Apabila dilakukan kultur pada sel non transformasi, akan terjadi proliferasi sehingga timbul satu lapisan sel yang saling berhubungan; kontak antar sel yang terjadi pada satu lapis ini akan menekan proliferasi selanjutnya. Penting diketahui bahwa, inhibisi kontak (contact inhibition) ini akan hilang pada sel kanker, sehingga sel bisa berada di atas sel yang lain. Mekanisme yang mengatur inhibisi kontak sekarang baru diketahui. Kontak antar sel pada berbagai jaringan dimediasi oleh interaksi homodimerik antara protein transmembran yang disebut kadherin. E-kadherin (E untuk epitel) melaksanakan mediasi kontak antar sel dilapisan epitel. Bagaimana E-kadherin mempertahankan inhibisi kontak normal belum semuanya diketahui. Satu mekanisme yang mempertahankan inhibisi kontak adalah dimediasi oleh gen tumor supresor NF2. Produksinya, neurofibromin-2, lebih sering disebut



188



BAB 5



Neoplasia



merlin, memfasilitasi pemicu kontak inhibisi E-kadherin. Hilangnya homozigot NF2 diketahui akan menyebabkan suatu jenis tumor saraf yang berhubungan dengan kondisi yang disebut neurofibromatosis. Ada mekanisme lain kegiatan regulasi E-kadherin. Salah satu mekanisme itu dipaparkan oleh penyakit herediter yang jarang yaitu adenomatous polyposis coli (APC). Karakteristik kelainan ini ialah pertumbuhan beberapa polip adenomatosa di usus besar dan mempunyai kecenderungan tinggi untuk bertransformasi menjadi kanker usus besar. Penyakit ini selalu menunjukkan hilangnya gen supresor tumor yang disebut APC (nama peyakit itu). Gen APC memberikan efek anti-proliferasi dengan cara yang berlainan dari biasanya. Gen itu akan menyandi protein sitoplasma yang fungsi utamanya adalah mengatur kadar P-katenin intrasel, suatu protein dengan banyak fungsi. Satu fungsi P-katenin ialah mengikat bagian sitoplasma E-kadherin; fungsi lain ialah mampu pindah ke inti sel dan mengaktifkan proliferasi sel. Perhatian terutama pada fungsi terakhir protein ini, P-katenin merupakan komponen penting dari yang disebut jalur sinyal WNT yang mengatur proliferasi sel (digambarkan pada Gambar 5-24). WNT merupakan faktor yang larut dalam air yang dapat menginduksi proliferasi sel. Hal ini bisa terjadi melalui ikatan dengan reseptor dan mentransmisi sinyal yang mencegah degradasi Pkatenin, sehingga bisa pindah ke inti sel, dan akan bekerja sebagai pengaktif transkripsi bersama dengan dengan molekul lain, yang disebut TcF (Gambar 5-24, B). Pada sel yang tenang (quiescent), yang tidak terekspose dengan WNT, P-katenin sitoplasmik akan didegradasi oleh destruction



complex, di mana APC menjadi bagian integral (Gambar 5-24, A). Dengan hilangnya APC (pada sel ganas), degradasi P-katenin tidak terjadi, dan respons terhadap sinyal WNT diaktifkan secara tidak tepat tanpa adanya WNT (Gambar 5-24, C). Hal ini akan mengakibatkan transkripsi gen pemicu pertumbuhan, seperti siklin D1 dan MYC, juga regulator transkripsi, misalnya TWIST dan SLUG, yang akan melakukan represi ekspresi Ekadherin dan dengan demikian mengurangi inhibisi kontak. APC bersifat sebagai suatu gen supresor tumor biasa. Seorang yang lahir dengan satu mutan alel biasanya mempunyai ratusan hingga ribuan polip adenomatosa pada usus besarnya saat usia remaja hingga usia 20 travel; polip ini menunjukkan hilangnya alel APC lainnya. Hampir pasti, satu atau lebih polip akan mengalami transformasi keganasan, dan akan dibicarakan kemudian. Mutasi APC tampak 70% hingga 80% pada kanker usus besar jenis sporadik. Kanker usus besar yang mempunyai gen APC normal menunjukkan aktivitas mutasi P-katenin yang memberikan massa refrakter pada proses degradasi APC.



RINGKASAN Transforming Growth Factor-p dan Jalu APC-fiKatenin •



TGF-I3 menghambat proliferasi berbagai tipe sel dengan mengaktifkan gen penghambat pertumbuhan seperti CDKI dan menahan gen pemicu pertumbuhan seperti MYC dan gen yang menyandi siklin.



WNT



Reseptor WNT E-kadherin



APC Sinyal



Kompleks destruksi



b-Katenin



APC APC



b-Katenin



TCF



A



Tidak berproliferasi



b-Katenin



TFC



B



Proliferasi



TCF



C



Proliferasi



Gambar 5-24 A—C, Peran APC dalam mengatur stabilitas dan fungsi j3-katenin.APC dan P-katenin merupakan komponen jalur sinyal WNT. Pada sel yang istirahat (tidak terpajan pada WNT), P-katenin membentuk kompleks makromolekul yang mengandungi protein APC. Kompleks ini menyebabkan destruksi P-katenin, dan kadar P-katenin intrasel rendah.Apabila sel dirangsang oleh sekresi molekul WNT, kompleks destruksi tidak diaktifkan, degradasi j3-katenin tidak terjadi, sehingga kadar dalam sitoplasma meningkat. P-Katenin melakukan translokasi ke inti, dan akan mengikatTCF, suatu faktor transkripsi yang mengaktifkan beberapa gen yang terlibat dalam siklus sel.Apabila terjadi mutasi atau hilangnya APC, detruksi P-katenin tidak bisa terjadi. P-Katenin akan masuk ke inti dan terjadi pengaktifan gen yang memicu siklus sel, dan sel bertindak seperti selalu berada dalam stimulasi jalur WNT.



Tanda Khas Kanker •



• •







Fungsi TGF-P bisa bersahabat pada banyak tumor, karena terjadi mutasi pada reseptornya (usus besar, lambung, endometrium) atau karena terjadi mutasi pada gen SMAD sehingga kehilangan fungsinya sebagai penerus sinyal TGF-13 (pankreas). E-kadherin mempertahankan inhibisi kontak, yang hilang pada sel ganas. Gen APC melaksanakan kegiatan antiproliferasi dengan mengatur destruksi protein sitoplasmik (3-katenin. Dengan hilangnya APC, P-katenin tidak dirusak, dan akan terjadi translokasi ke inti sel, dan akan berfungsi sebagai faktor transkripsi pemicu pertumbuhan. Pada sindrom poliposis adenomatosa familial, pewarisan mutasi pada garis germinal gen APC dan hilangnya alel normal utama secara sporadik akan mengakibatkan timbulnya ratusan polip usus besar pada usia muda. Tidak dapat dihindarkan, satu atau lebih dari polip ini akan berkembang menjadi kanker usus besar. Hilangnya kedua alel gen APC secara somatik ditemukan pada 70% kanker usus besar.



FasL 1



Stres Radiasi Bahan kimia



Fas (CD95)



rADD



22 Kematian yang diinduksi oleh sekelompok sinyal



Kaspase-8



Kerusakan DNA



4 Respons p53



Prokaspase8



BID



BAX/BAK 3



Mitokondria



Menghindari Kematian Sel Sebagaimana sudah dibicarakan pada Bab 1, apoptosis, atau kematian sel terprogram, merupakan kegiatan merombak sel secara teratur menjadi bagian komponen komponen yang dapat dikonsumsi dan dikeluarkan oleh sel sekitarnya. Sekarang telah dapat dipastikan bahwa akumulasi sel neoplastik bisa terjadi bukan hanya oleh pengaktifan onkogen pemicu pertumbuhan atau menginaktifkan gen supresor tumor yang melakukan supresi petumbuhan tetapi juga bisa akibat mutasi gen yang mengatur apoptosis. Jalur apoptosis dapat dibagi dalam pengatur (regulators) di hulu dan pelaksana (effectors) hilir. Pengatur dibagi menjadi menjadi dua jalur utama, satu jalur menginterpretasi sinyal ekstrasel atau ekstrinsik dan jalur lainnya menginterpretasi sinyal intrasel. Stimulasi salah satu jalur akan mengaktifkan protease yang inaktif dalam keadaan normal (kaspase-8 atau kaspase-9), yang akan menginisiasi kaskade proteolitik termasuk kaspase executioner yang akan menghancurkan sel dengan cara teratur. Sisa-sisa sel akan dikonsumsi secara efisien oleh sel sekitarnya dan fagosit profesional, tanpa menimbulkan reaksi radang. Gambar 5-25 menunjukkan secara sederhana, urutan kejadian yang menuju pada apoptosis oleh sinyal melalui reseptor kematian, yang merupakan anggota keluarga reseptor TNF (jalur ekstrinsik), dan melalui kerusakan DNA dan stres lain (jalur intrinsik) • Jalur ekstrinsik (reseptor kematian) diinisiasi apabila reseptor TNF, seperti CD95 (Fas), melekat pada ligannya, CD95L, sehingga terjadi trimerisasi reseptor dan domain kematian sitoplasmik, yang akan mengikat protein adaptor intrasel FADD. Protein ini merekrut prokaspase-8 untuk membentuk kompleks sinyal induksi kematian. Prokaspase-8 diaktifkan oleh adanya pembelahan menjadi subunit yang lebih kecil, menghasilkan kaspase-8. Kaspase 8 kemudian mengaktifkan kaspases hilir seperti kaspase-3, suatu kaspase eksekutor yang memecah DNA dan substrat lain sehingga mengakibatkan kematian sel. • Jalur intrinsik (mitokondria) apoptosis dipicu oleh berbagai stimulus, termasuk hilangnya faktor ketahanan, stres, dan jejas. Pengaktifan jalur ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas



5



BCL-2 BCL-XL



Sitokrom c • APAF-1 Kaspase-9



Kaspase-3



IAP 6



Substrat kematian Apoptosis



Gambar 5-25 Skema sederhana dari apoptosis dan mekanisme yang dipakai oleh sel tumor untuk terhindar dari kematian sel yang dipicu oleh reseptor CD95 dan kerusakan DNA: I, Kadar CD95 yang turun. 2, Penginaktifan kompleks sinyal penginduksi kematian oleh protein FLICE. 3, Keluarnya sitokrom c dari mitokondria berkurang sebagai akibat dari peningkatan BCL2. 4, Kadar yang menurun dari proapoptotik BAX mengakibatkan hilangnya p53. 5, Hilangnya APAF- 1. 6, peningkatan dari inhibitor apoptosis.



membran luar mitokondria dan keluarnya molekul, seperti sitokrom c, yang menginisiasi apoptosis. Integritas membran luar mitokondria diatur oleh anggota keluarga pro-apoptotik dan anti-apoptotik protein BCL2. Protein pro-apoptotik BAX dan BAK dibutuhkan untuk apoptosis dan langsung meningkatkan permeabilitas mitokondria. Protein-protein ini akan dihambat oleh anggota anti-apoptotik dari kelompok ini yaitu BCL2 dan BCL-XL. Protein kelompok ketiga yang disebut protein hanya-BH3, yang meliputi BAD, BID, dan PUMA, berperan mengatur keseimbangan antara anggota pro dan anti-apoptotik dari keluarga BCL2. Proteinhanya-BH3 melakukan apoptosis dengan menetralkan kerja protein anti-apoptotik seperti BCL2 dan BCL-XL. Apabila ekspresi seluruh protein BH3 "sangat melebihi" rintangan protein anti-apoptotik BCL2/ BCLXL, maka BAX dan BAK akan diaktifkan dan membentuk pori pada membran mitokondria. Sitokrom c akan masuk ke dalam sitosol, dan akan berikatan dengan APAF-1 dan



189



190



BAB 5



Neoplasia



mengaktifkan kaspase-9. Seperti kaspase-8 dari jalur ekstrinsik, kaspase-9 akan membelah dan mengaktifkan eksekutor kaspase. Kaspase bisa dihambat oleh sekelompok protein penghambat apoptosis (IAP). Karena efek pro-apoptotik dari protein hanya-BH3, maka dilakukan upaya membuat obat mirip BH3 untuk meningkatkan kematian sel tumor. Dalam kerangka kerja ini, dimungkinkan untuk menggambarkan berbagai tempat di mana apoptosis diganggu oleh sel kanker (Gambar 5-25). Mungkin yang sudah diketahui dengan baik ialah peran BCL2 dalam melindungi sel tumor dari apoptosis. Sekitar 85% limfoma sel B jenis folikuler (Bab 11) membawa translokasi khas t(14;18) (q32;q21). Seperti sudah dibahas sebelumnya, 14q32, adalah lokus kromosom untuk gen imunoglobulin rantai berat yang juga berperan pada patogenesis limfoma Burkitt. Juxta posisi lokus yang aktif melakukan transkripsi dengan BCL2 (terletak di 18q21) menyebabkan ekspresi protein BCL2 berlebihan. Jumlah berlebihan ini kemudian akan mengakibatkan bufer terhadap BCL2/BCL-XL, sehingga limfosit terlindung dari apoptosis dan dapat bertahan untuk waktu panjang; sehingga terjadi akumulasi limfosit B, yang mengakibatkan limfadenopati dan infiltrasi pada sumsum tulang. Karena limfoma dengan ekspresi BCL-2 berlebihan timbul sebagian besar akibat menurunnya kematian sel dan bukan karena proliferasi sel yang berlebihan, maka sifatnya indolen (tumbuh lambat) dibandingkan dengan limfoma lain. Pada beberapa keadaan, penurunan jumlah CD95 dapat mengakibatkan tumor kurang peka terhadap apoptosis yang dilakukan oleh ligan Fas (FasL). Beberapa tumor mempunyai banyak FLIP, suatu protein yang dapat mengikat kompleks sinyal yang menginduksi kematian dan mencegah pengaktifan kaspase 8. Seperti dibahas sebelumnya, TP53 merupakan gen proapoptotik penting yang menginduksi apoptosis pada sel yang tidak berhasil memperbaiki kerusakan DNAnya. Demikian pula, kerja yang tidak terkendali dari gen pemicu pertumbuhan seperti MYC akan mengakibatkan apoptosis. Jadi, kedua jalur yang mengarah untuk jadi tumor (oncogenic) utama ketidakmampuan untuk memperbaiki kerusakan DNA dan pengaktifan onkogen yang tidak tepat akan bersatu sebagai mesin apoptosis, dan akan menyebabkan kematian sel, atau berfungsi sebagai penghalang utama untuk terjadinya karsinogenesis



Autofagia Seperti dibahas pada Bab 1, autofagia merupakan proses katabolik utama yang akan membuat keseimbangan antara sintesa, degradasi, dan daur ulang produk sel. Selama autofagia, organel sel seperti ribosom dan mitokondria, akan dipisahkan dari bagian sel lainnya, melalui suatu membran (autophagosome) dan kemudian akan berfusi dengan lisosome, selanjutnya akan terjadi degradasi dan dimanfaatkan untuk pembentukan energi sel. Proses yang sama akan memberi sinyal sel akan mati apabila tidak dapat ditolong oleh organel daur ulang. Proses ini sangat ketat dan teratur berperan penting pada fungsi sel normal, dan dapat menolong sel yang kelaparan memindahkan nutrisi dari sel yang tidak memerlukan ke sel yang masih vital. Autofagi, seperti apoptosis, menyerupai mekanisme mesin yang teratur dan efektif. Komponen efektor terdiri atas protein yang akan membentuk autofagosome dan menunjukkan isinya ke lisosom. Tidak mengherankan, komponen regulator autofagia tumpang tindih dengan berbagai komponen sinyal yang mengatur apoptosis. Contohnya, protein, Beclin-1, dibutuhkan untuk autofagia, termasuk dalam domain BH3 mengandungi protein yang dibutuhkan untuk mengatur apoptosis. Apaila



sel merasakan ada stres internal (misalnya kerusakan DNA), maka sel akan mengalami apoptosis atau autofagia yang diinduksi Beclin-1. Jadi autofagia, sebagai analog dengan apoptosis, ternyata mencegah pertumbuhan sel tumor. Kemudian, pada pertumbuhan tumor, autofagia bermanfaat untuk tumor. Metabolit yang dihasilkan oleh autofagia dapat menjadi bahan bangunan untuk pertumbuhan dan bertahan hidup pada lingkungan dengan nutrisi buruk di tempat tumor berada. Memang, autofagia dapat meningkatkan ketahanan hidup tumor pada lingkungan yang tidak menguntungkan atau selama pengobatan. Jadi autofagia bisa menjadi teman atau lawan, bergantung pada faktor internal dan eksternal lain.



RINGKASAN Menghindari Kematian Sel • • •



• •



Apoptosis dapat diinisiasi melalui jalur ekstrinsik atau intrinsik. Kedua jalur akan mengakibatkan pengaktifan kaskade proteolitik dari kaspase yang akan menghancurkan sel. Permeabilitas membran luar mitokondria diatur oleh keseimbangan antara molekul pro-apoptosis (misalnya BAX, BAK) dan molekul anti-apoptosis (BCL2, BCL-XL). Molekul BH3 hanya mengaktifkan apoptosis dengan mengubah keseimbangan sehingga menguntungkan molekul pro-apoptosis. Pada 85% limfoma sel B jenis folikuler, gen anti-apoptosis BCL2 diaktifkan oleh translokasi t(14;18). Stres bisa menginduksi sel untuk mengkonsumsi komponennya dalam proses yang disebut autofagia. Sel kanker mengakumulasi mutasi untuk rnenghindari autofagia, atau mengubah proses untuk memperoleh bagian bagi kelangsungan pertumbuhan.



Potensi Replikasi tanpa Batas Sebagai dibahas sebelumnya dalam kaitan penuaan sel (Bab 1) umumnya sel manusia normal mempunyai kapasitas penggandaan 60 hingga 70 kali. Sesudahnya sel kehilangan kemampuan untuk membelah dan masuk waktu penghentian permanen. Fenomena ini terjadi akibat pemendekan progresif telomer pada ujung kromosom. Konsekuensi dari pemendekan itu, akan memberi gambaran drastis: • Telomer yang pendek agaknya diketahui oleh mesin perbaikan DNA sebagai pecahnya untai ganda DNA, mengakibatkan berhentinya siklus sel dan penghentian permanen, dipicu oleh TP53 dan RB. Pada sel yang tempat pemeriksaannya tidak mampu bekerja akibat mutasi TP53 atau RB, maka jalur penghubung ujung nonhomolog akan diaktifkan sebagai tindakan terakhir untuk menolong sel, dengan penggabungan kedua ujung kromosom yang memendek. • Pengaktifan sistem perbaikan yang kurang tepat ini menghasilkan kromosom disentrik yang akan terpisah pada anafase, dan mengakibatkan pecahnya DNA untai ganda yang baru. Akibat tidak stabilnya genom oleh siklus bridgefusion-breakage yang berulang mengakibatkan bencana mitosis berupa apoptosis masif yang khas. Selanjutnya agar tumor bisa tumbuh tanpa batas, seperti yang biasanya terjadi, hilangnya penghambat pertumbuhan tidak mencukupi. Sel tumor harus juga berupaya untuk menghindari penghentian permanen dan bencana mitosis



Tanda Khas Kanker (Gambar 5-26). Apabila sel selama krisis mampu mengaktifkan telomerase, maka siklus bridge-fusion-breakage akan berhenti, dan sel mampu mencegah kematian. Namun, apabila gen-gen tidak stabil terjadi pengaktifan telomerase, bisa terjadi akumulasi sejumlah mutasi, yang mendorong sel menuju keganasan. Telomerase, yang aktif dalam sel punca normal, biasanya tidak dijumpai atau dijumpai dalam jumlah sedikit pada sebagaian besar sel somatik. Sebaliknya telomer selalu ditemukan pada hampir seluruh jenis kanker. Pada 85% hingga 95% kanker, hal ini terjadi karena upregulasi enzim telomerase. Beberapa tumor memakai mekanisme lain, yang disebut pilihan sementara pemanjangan telomer,yang kemungkinan bergantung pada rekombinasi DNA. Menarik perhatian, pada penelitian tentang perkembangan adenoma kolon menjadi karsinoma kolon, lesi awal menunjukkan gen-gen tidak stabil dan ekspresi telomerase rendah, sedangkan lesi ganas menunjukkan adanya kompleks kariotipe dengan aktivitas telomerase tinggi, konsisten dengan model tumorigenesis yang dipicu oleh telomer pada kanker manusia. Agaknya, pada model ini, proliferasi yang tidak teratur pada tumor yang baru jadi akan menuju pada pemendekan telomer, diikuti oleh tidak stabilnya kromosom dan akumulasi mutasi. Apabila telomerase kemudian diaktifkan lagi pada sel ini, telomer akan memanjang dan mutasi menjadi tetap, mengakibatkan tumor makin tumbuh. Beberapa mekanisme lain pada genom yang tidak stabil akan dibahas kemudian.



RINGKASAN Kemampuan Membelah Tanpa Batas •











Pada sel normal, yang tidak mempunyai ekspresi telomerase, telomer yang memendek akibat pembelahan sel, akan mengaktifkan tempat pemeriksaan, mengakibatkan penghentian perkembangan permanen dan membatasi jumlah pembelahan sel yang dapat terjadi. Pada sel dengan tempat pemeriksaan yang tidak berfungsi, jalur perbaikan DNA akan diaktifkan secara tidak tepat oleh telomer yang telah menjadi pendek, dan akan mengakibatkan tidak stabilnya seluruh kromosom dan krisis mitosis. Sel tumor akan melakukan pengaktifan ulang telomerase, sehingga mencegah bencana mitosis dan sel menjadi tidak mati.



Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus Walaupun dengan kemudahan pertumbuhan sebagaimana dibahas sebelumnya, diameter tumor tidak dapat membesar lebih dari 2 mm, kecuali tumor tersebut memperoleh vaskularisasi (pertumbuhan pembuluh darah). Seperti jaringan normal, tumor juga membutuhkan oksigen dan nutrisi serta pengeluaran sisa metabolisme; zona sampai 2 mm agaknya menggambarkan jarak maksimal di mana oksigen, nutrisi dan sisa metabolisme dapat menyusup dari pembuluh darah.



Metafase



Telomerase inaktif



Kromosom disentrik



Telomer yang memendek



—p53 Pengaktifan jalur penyelamatan dan penggabungan sisa dan ujung akhir yang non-homolog



Replikasi multipel (50-70)



+p53



Anafase



Siklus penghancuranpencampuranpenggabungan



Pengaktifan tempat pemeriksaan dan penghentian permanen



Patahan untai ganda baru —Telomerase



+Telomerase



Bencana mitosis



Sel diam permanen



191



KANKER



Gambar 5-26 Urutan kejadian pada timbulnya potensi replikasi yang tidak terkendali. Replikasi sel somatik, yang tidak mengekspresi telomerase, akan mengakibatkan telomer memendek.Adanya tempat pemeriksaan yang kompeten, maka sel akan mengalami saat berhenti dan memasuki keadaan senescence yang tidak bereplikasi.Apabila tidak ada tempat pemeriksaan, jalur perbaikan DNA diaktifkan secara tidak tepat, mengakibatkan terbentuknya kromosom desentrik. Pada mitosis, terjadi pemisahan kromosom desentrik, menimbulkan patahnya untai ganda secara acak, yang kemudian mengaktifkan jalur perbaikan DNA, dan menyebabkan hubungan kedua ujung untai ganda dan terbentuknya lagi, kromosom desentrik. Sel mengalami pengulangan siklus bridge—fusion—breakage, yang akan menghasilkan kromosom tidak stabil yang masif dan banyak mutasi.Apabila sel gagal melakukan reekspresi telomerase, akan terjadi bencana dalam mitosis dan kematian. Reekpresi dari telomerase memungkinkan sel menghindari siklus bridge—fusion—breakage, sehingga meningkatkan ketahanan dan tumorigenesis.



192



BAB 5



Neoplasia



Sel kanker (dan tumor jinak yang besar) bisa merangsang pembentukan pembuluh darah baru berupa timbulnya tunas pembuluh darah dari kapiler yang telah ada, atau pada bebarapa kasus, terjadi vaskulogenesis, di mana sel endotel akan diperoleh dari sumsum tulang. Namun vaskularisasi tumor abnormal. Pembuluh darah mudah bocor dan melebar serta saling berhubungan secara tidak teratur. Neovaskularisasi mempunyai efek ganda pada pertumbuhan tumor: untuk suplai perfusi dibutuhkan nutrisi, dan oksigen, dan sel endotel yang baru terbentuk dapat merangsang pertumbuhan sel tumor didekatnya dengan mengeluarkan faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan mirip insulin, PDGF, dan faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag. Angiogenesis dibutuhkan tidak hanya untuk pertumbuhan tumor selanjutnya tetapi juga untuk masuk ke saluran pembuluh darah dan selanjutnya untuk metastasis. Angiogenesis merupakan korelasi biologis yang sangat dibutuhkan oleh neoplasia, baik jinak maupun ganas. Bagaimana cara tumor yang sedang berkembang membentuk cadangan darah? Paradigma yang muncul ialah bahwa angiogenesis diatur oleh keseimbangan antara faktor pro-angiogenik dan faktor inhibisi angiogenik. • Contoh penginduksi dan penginhibisi angiogenesis ialah faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan thrombospondin-1 (TSP-1). Pada awal pertumbuhan, sebagian besar tumor manusia tidak menginduksi angiogenesis. Tumor tetap kecil atau in-situ selama beberapa tahun sampai tombol pengatur angiogenesis mengakhiri masa tenang vaskular ini. P53 normal akan menginduksi sintesa TSP-1. • Dasar molekuler dari tombol angiogenesis meliputi produksi faktor angiogenik yang bertambah dan atau hilangnya inhibitor angiogenesis. Faktor ini mungkin diproduksi langsung oleh sel tumor sendiri atau oleh sel radang (misalnya makrofag) atau sel stroma lain yang berhubungan dengan tumor. • Protease, dihasilkan oleh sel tumor langsung atau dari sel stroma sebagai respons terhadap tumor, juga terlibat dalam pengaturan keseimbangan antara faktor angiogenik dan faktor anti-angiogenik. Banyak protease dapat melepaskan dasar FGF angiogenik yang tersimpan dalam matriks ekstraseluler (ECM); sebaliknya, tiga inhibitor angiogenesis poten yaitu — angiostatin, endostatin, dan vaskulostatin adalah — diproduksi oleh lepasnya plasminogen, kolagen, dan transthyretin, proteolitik. Sebaliknya TSP-1, dihasilkan oleh stroma fibroblas sendiri sebagai respons terhadap sinyal dari sel tumor. • Tombol angiogenik diatur oleh berbagai stimulus fisiologis, misalnya hipoksia. Kekurangan oksigen relatif akan merangsang produksi berbagai jenis sitokin pro-angiogenik, seperti faktor pertumbuhan endotel (VEGF), melalui pengaktifan hypoxia inducible factor-1a (HIF-1a), yang merupakan faktor transkripsi yang sensitif terhadap oksigen. HIF-1a selalu diproduksi, tetapi dalam situasi normotik protein von Hippel-Lindau (VHL) akan mengikat HIF-1a, mengakibatkan terjadinya destruksi HIF-1a. • Pada keadaan hipoksia, seperti misalnya tumor yang sangat besar, kekurangan oksigen mencegah pengenalan HIF-1a oleh VHL, dan tidak akan dirusak. Terjadi translokasi HIF-1a ke inti sel dan mengaktifkan gen target seperti VEGF. karena aktivitas ini, maka VHL berperan senagai gen supresor tumor dan mutasi pada dan gen VHL



diasosiasikan dengan kanker sel ginjal bawaan, feokromositoma, hemangioma dari sistem saraf pusat, angioma retina, dan kista ginjal (sindrom VHL). • VEGF juga meningkatkan ekspresi ligan yang mengaktifkan jalur sinyal Notch, yang mengatur percabangan dan densitas dari pembuluh darah baru. Karena peran angiogenesis penting pada pertumbuhan tumor, banyak perhatian ditujukan untuk terapi antiangiogenesis. Memang, kini antibodi anti-VEGF telah disetujui untuk pengobatan berbagai jenis kanker.



RINGKASAN Perkembangan Angiogenesis yang Terus Menerus •



Vaskularisasi tumor penting untuk pertumbuhan dan diatur oleh keseimbangan antara faktor angiogenik dan anti-angiogenik yang diproduksi oleh tumor dan sel stroma.







Hipoksia memicu angiogenesis melalui kerja HIF- I a pada faktor pro-angiogenik VEGF. Karena kemampuan untuk mendegradasi HIF- I a dan karena itu akan mencegah angiogenesis, VHL bekerja sebagai tumor supresor. Pewarisan mutasi garis germinal dari VHL menyebabkan sindrom VHL dengan karakterisasi berupa tumbuhnya berbagai jenis tumor. Banyak faktor lain mengatur angiogenesis; contohnya, menginduksi merangsang p53 angiogenesis TSP- I inhibitor.







Kemampuan untuk Invasi dan Metastasis Penyebaran tumor merupakan proses kompleks, melibatkan serangkaian langkah sekuensial disebut kaskade invasi-metastasis (Gambar 5-27). Langkah ini terdiri atas invasi lokal, intravasasi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe, transit melalui sistem pembuluh darah, ekstravasasi dari pembuluh darah, pembentukan mikrometastasis, dan pertumbuhan mikrometastasis menjadi tumor yang tampak secara makroskopi. Dapat diprediksi, sekuens ini bisa mengalami gangguan pada tiap stadium oleh faktor yang berkaitan dengan pejamu atau faktor yang berkaitan dengan tumor. Untuk diskusi, kaskade metastasis dibagi menjadi dua fase: (1) invasi ECM dan (2) diseminasi vaskular serta homing sel tumor.



Invasi Ke dalam Matriks Ekstrasel (ECM) Telah diketahui, bahwa jaringan tubuh manusia terorganisasi menjadi kompartemen yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh dua tipe ECM: membran basal dan jaringn ikat interstisium (Bab 2). Walaupun terorganisasi berbeda, masing-masing ECM terdiri atas kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Sel tumor harus berinteraksi pada beberapa stadium dengan ECM pada kaskade metastasis (Gambar 5-27). Karsinoma harus merusak membran basal di bawahnya, kemudian melalui jaringan ikat interstisium untuk mencapai sirkulasi dengan melakukan penetrasi membran basal pembuluh darah. Siklus ini diulangi bila terjadi ekstravasasi emboli sel tumor pada tempat yang jauh. Jadi agar terjadi metastasis, sel tumor harus menembus beberapa membran basalis, juga harus mencari jalan melalui sedikitnya dua jaringan interstisium. Invasi pada ECM merupakan proses aktif yang membutuhkan 4 langkah (Gambar 5-28):



Tanda Khas Kanker



TUMOR PRIMER



Sel yang berubah



Ekspansi klonal, pertumbuhan, diversifikasi, angiogenesis



A . LEPASNYA BATAS ANTAR SEL



Subklon yang bermetastasis



Membran basal



Adhesi dan invasi basal Aliran melalui ekstrasel Intravasasi



Kolagen tipe IV Kadherin



Laminin Membran basal



B. DEGRADASI



Kolagenas tipe IV



Pengaktif plasminogen



Interaksi dengan sel limfoid pejamu Limfosit pejamu Embolus sel tumor



Trombosit



Pecahan kolagen tipe IV



Matriks ekstrasel Adhesi ke membran basal



C.PERLEKATAN



Ekstravasasi Dposit metastik



TUMOR METASTATIK



Angiogenesis



Pertumbuhan



Kolagen tipe IV



Reseptor fibronektin Reseptor laminin



Laminin



D.MIGRASI



Gambar 5-27 Kaskade metastasis: Urutan langkah yang terjadi pada penyebaran tumor secara hematogen.



Faktor motilitas autokrin



Gambar 5-28 A-D, Urutan kejadian pada invasi membran basal epitel oleh sel tumor. Sel tumor melepaskan diri dari sesamanya karena terjadi penurunan adhesi, kemudian akan mensekresi enzim proteolitik, yang merusak membran basal. Kemudian terjadi ikatan dengan tempat yang terbentuk akibat oleh kegiatan proteolitik dan diikuti oleh migrasi sel tumor.



Fibronektin



193



194



BAB 5



Neoplasia



• Langkah pertama pada kaskade metastasis adalah lepasnya sel tumor. Seperti sudah dibahas terdahulu, E-kadherin berfungsi sebagai lem antar sel, dan bagian sitoplasma akan mengikat P-katenin (Gambar 5-24). Molekul E-kadherin yang berdekatan akan berupaya agar sel tetap bersama; dan sebagai tambahan, (sudah dibicarakan sebelumnya), E-kadherin bisa mengirimkan sinyal anti pertumbuhan dengan memecah 13-katenin. Fungis E-kadherin hilang pada hampir semua kanker selbisa terjadi dengan menginaktifkan gen E-kadherin, nelalui pengaktifan gen 13-katenin, atau dengan ekspresi yang tidak tepat oleh faktor SNAIL dan oleh factor transkripsi TWIST, yang menekan supresi ekspresi E-kadherin. • Langkah kedua pada invasi ialah degradasi membran basal dan jaringan ikat interstisium. Sel tumor akan mengeluarkan enzim proteolitik sendiri atau merangsang sel stroma (misalnya fibroblas dan sel radang) untuk menghasilkan protease. Berbagai kelompok protease yang berbeda, misalnya matriks metalloproteinase (MMP), katepsin D, dan aktivator plasminogen urokinase, terlibat dalam invasi sel tumor. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan mengubah bentuk ulang komponen yang tidak larut air dari membran basal dan matriks interstisium tetapi juga melepaskan faktor pertumbuhan ECM yang terasing. Memang produk pelepasan kolagen dan proteoglikan juga mempunyai pengaruh kemotaksis, angiogenik dan pemicu pertumbuhan. Sebagai contoh, MMP-9 merupakan suatu gelatinase yang memecah kolagen tipe IV dari epitel dan membran basal pembuluh darah dan juga merangsang lepasnya VEGF dari tempat ECM yang terpencil. Tumor jinak payudara, usus besar, dan lambung hanya menunjukkan aktivitas kolagenase tipe IV, yang terbatas sedangkan tumor ganas payudara mengekspresi enzim ini berlebihan. Pada saat itu, kadar inhibitor metalloproteinase berkurang sehingga keseimbangannya mendorong kearah degradasi jaringan. Memang, ekspresi MMP berlebihan dan protease lain telah banyak dilaporkan pada berbagai tumor. • Langkah ketiga pada invasi melibatkan perubahan pada perlekatan sel tumor dengan protein ECM. Sel epitel normal mempunyai reseptor, seperti integrin, untuk laminin pada membran basal dan kolagen yang terpolarisasi pada permukaan basal; reseptor ini akan membantu sel untuk tetap berada pada status istirahat, dan telah berdiferensiasi. Hilangnya perlekatan pada sel normal akan menginduksi apoptosis, sedangkan tidak mengherankan, sel tumor resisten terhadap bentuk kematian sel ini. Tambahan pula. matriks sendiri akan dimodifikasi sehingga memudahkan invasi dan metastasis. Contoh pemecahan protein membran basal, kolagen IV dan laminin, oleh MMP-2 atau MMP-9 menghasilkan tempat yang tepat untuk mengikat reseptor sel tumor dan menstimulasi migrasi. • Pergerakan merupakan langkah terakhir invasi, melemparkan sel tumor melalui membran basal yang telah rusak dan zona proteolisis matriks. Migrasi merupakan langkah-langkah proses yang kompleks, yang melibatkan banyak kelompok reseptor dan protein pemberi sinyal yang akan mengenai sitoskeleton aktin. Gerakan tersebut agaknya diperkuat dan diarahkan oleh sitokin dari sel tumor, seperti faktor motilitas autokrin. Juga, hasil pemecahan komponen matriks (misalnya kolagen, laminin) dan beberapa faktor pertumbuhan (misalnya faktor pertumbuhan mirip insulin I dan II) mempunyai aktivitas kemotaksis terhadap sel tumor. Sel stroma juga menghasilkan



efektor parakrin dari pergerakan sel, misalnya faktor pertumbuhan hepatosit/faktor penguraian (HGF/SCF), yang mengikat reseptor pada sel tumor. Konsentrasi HGF/SCF meningkat pada batas terjauh dari tumor otak yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme. Hal ini mendukung aturan pada pergerakan sel tumor. Akhir-akhir ini, terbukti bahwa sel stroma disekitar sel tumor tidak hanya merupakan barier statis agar sel tumor tidak dapat berpindah, tapi juga menimbulkan lingkungan yang variabel agar sinyal bolak balik antara sel tumor dan sel stroma akan meningkatkan atau mencegah tumorigenesis. Sel stroma yang berinteraksi dengan tumor termasuk sel imun bawaan dan sel imun adaptif (akan dibahas kemudian), juga fibroblas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa fibroblas yang terkait dengan tumor menunjukkan ekspresi gen yang berubah dari gen yang menyandi molekul ECM, protease, inhibitor protease, dan berbagai faktor perutumbuhan. Jadi sel tumor hidup dalam suatu kompleks dan lingkungan yang terus berubah terdiri dari ECM, faktor pertumbuhan, fibroblas, dan sel imun, dengan kontak silang antara semua komponen. Tumor yang paling berhasil ialah tumor yang dapat bekerja sama dan beradaptasi dengan lingkungan ini hingga saat akhir.



Diseminasi Vaskular dan Kembalinya (Homing) Sel Tumor Apabila berada dalam sirkulasi, sel tumor amat rentan terhadap destruksi oleh sel imun pejamu (akan dibahas kemudian). Dalam aliran darah, beberapa sel tumor membentuk emboli melalui penggumpalan dan perlekatan dengan leukosit yang beredar, terutama trombosit; sel tumor yang telah bergumpal akan terlindung dari sel efektor anti tumor pejamu. Namun sebagian besar sel tumor, berada dalam sirkulasi sebagai sel tunggal. Ekstravasasi dari sel tumor bebas atau sebagai emboli tumor melibatkan proses perlekatan pada endotel vaskular diikuti dengan keluarnya sel tumor dari membran basal untuk mencapai parenkim organ melalui mekanisme yang sama dengan proses invasi. Tempat ekstravasasi dan distribusi pada metastasis dapat diperkirakan melalui lokasi dari tumor primer dan aliran keluar dari darah dan cairan limfe. Banyak tumor bermetastasis ke organ dengan kelompok kapiler pertama yang dijumpai setelah memasuki sirkulasi. Namun, pada banyak kasus, jalur alamiah drainase tidak segera dapat menjelaskan distribusi metastasis. Sebagai dibahas sebelumnya, beberapa tumor (misalnya kanker paru), cenderung untuk menyebar ke adrenal, tetapi hampir tidak pernah menyebar ke otot skeletal. Tropisme organ seperti itu dapat dikaitkan dengan mekanisme berikut: • Ekspresi molekul adhesi oleh sel tumor yang ligannya terutama diekspresikan pada endotel organ target • Ekspresi kemokin dan reseptornya. Sebagaimana dibicarakan pada Bab 2, kemokin turut serta dalam arah gerakan leukosit (kemotaksis) dan agaknya sel kanker menggunakan hal tersebut untuk kembali pada jaringan tertentu. Sel kanker payudara manusia mengekspresikan banyak reseptor kemokin CXCR4 dan CCR7. Ligan untuk reseptor ini (misalnya kemokin CXCL12 dan CCL21) banyak diekspresikan hanya pada organ di mana kanker payudara bermetastasis. Atas dasar pengamatan ini, diperkirakan bahwa blokade reseptor kimokin akan membatasi terjadinya metastasis.



Tanda Khas Kanker • Segera setelah mencapai target, sel tumor harus dapat membentuk koloni di tempat tersebut. Faktor yang mengatur pembentukan koloni tidak diketahui dengan jelas. Namun, diketahui bahwa setelah ekstravasasi, sel tumor akan bergantung pada stroma yang sesuai untuk pertumbuhannya. Jadi, pada beberapa kasus, jaringan target mungkin mempunyai lingkungan yang tidak menunjang, daerah tandus, untuk pertumbuhan bibit tumor. Misalnya, walaupun vaskularisasi baik, otot skeletal jarang menjadi tempat metastasis. Walaupun dapat lepas dari lokasi asal tumor, sel tumor sangat tidak efisien dalam membentuk koloni pada organ yang jauh. Berjuta-juta sel tumor akan dilepaskan tiap hari dari tumor, walaupun ukurannya masih kecil. Sel ini dapat dideteksi pada aliran darah dan pada fokus kecil di sumsum tulang, pada pasien di mana lesi metastasis besar tidak terjadi. Memang pada konsep dormansi, mengacu pada ketahanan hidup yang lama pada pasien dengan mikrometastasis tanpa terjadi progresi, dijelaskan pada melanoma dan kanker payudara serta kanker prostat. Walaupun mekanisme molekuler mengenai terbentuknya kolonisasi baru diungkapkan pada tikus, satu hal yang konsisten ialah bahwa sel tumor mensekresi sitokin, faktor pertumbuhan dan protease yang beraksi pada penghuni sel stroma, yang suatu saat membuat tempat tersebut cocok untuk metastasis sel kanker. Dengan pengertian molekuler yang lebih baik, tentang mekanisme metastasis kemampuan klinikus untuk melakukan terapi target akan menjadi sangat meningkat. Walaupun adanya pemikiran terdahulu, bahwa penetapan tempat lokasi metastasis yang tepat sulit diperkirakan pada berbagai jenis kanker. Agaknya tumor itu belum membaca bab relevan pada buku teks patologi.



Genetik Molekuler pada Metastasis



195



gen akan memicu atau menghambat fenotipe metastasis, deteksi pada tumor primer dapat memberikan akibat pada prognosis dan terapi. Beberapa contoh yang diperkirakan merupakan onkogen metastasis ialah penyandi SNAIL dan TWIST, faktor transkripsi yang fungsi utamanya ialah memicu transisi epitel ke mesenkim (EMT). Pada EMT, sel karsinoma menurunkan (downregulate) beberapa petanda epitel (misalnya E-kadherin) dan meningkatkan (upregulate) beberapa petanda mesenkimal (misalnya vimentin, aktin otot polos). Perubahan molekul ini terjadi bersamaan dengan perubahan fenotipe seperti perubahan morfologi dari sel berbentuk epiteloid poligonal menjadi bentuk mesenkim spindel, bersama dengan produksi yang meningkat dari enzim proteolitik yang memicu migrasi dan invasi. Perubahan ini diperkirakan menunjang terjadinya fenotipe promigrasi yang penting untuk metastasis. Hilangnya ekspresi E-kadherin merupakan kunci penting pada EMT, SNAIL dan TWIST yang merupakan represor transkripsi memicu EMT melalui menurunkan (downregulating) ekspresi E-kadherin. Bagaimana ekspresi regulator transkripsi utama ini distimulasi pada tumor tidak jelas, namun penelitian memperkirakan adanya interaksi sel tumor dan sel stroma yang merupakan stimulus pada perubahan ini. Jadi akuisisi fenotipe metastasis tidak membutuhkan suatu set mutasi, tetapi merupakan tindakan darurat terjadi karena interaksi sel tumor dan stroma.



RINGKASAN invasi dan Metastasis • Kemampuan menginvasi jaringan, suatu tanda utama keganasan, terjadi melalui empat langkah: lepasnya hubungan antar sel, degradasi ECM, perlekatan pada komponen ECM, dan migrasi sel tumor. • Hubungan antar sel hilang melalui penginaktifan E-kadherin melalui beberapa jalur • Degradasi membran basal dan matriks interstisium dimediasi oleh enzim proteolitik yang disekresi oleh sel stroma, misalnya MMP dan katepsin. • Enzim proteolitik juga melepaskan faktor pertumbuhan terasing di ECM dan menghasilkan fragmen kemotaksis dan angiogenik melalui pemecahan glikoprotein ECM • Letak metastasis pada banyak tumor dapat diprediksi melalui lokasi tumor primer. Berbagai tumor akan berhenti pada tempat kelompok kapiler pertama yang dijumpai (tersering pada paru dan hati). • Beberapa tumor menunjukkan "tropism" organ, kemungkinan karena pengaktifan perlekatan atau reseptor kemokin di mana ligan terekspresi oleh sel endotel pada tempat metastasis.



Teori lama yang dipertahankan tentang progresi tumor memperkirakan bahwa ketika tumor tumbuh, sel individu secara random akan mengakumulasi mutasi, membentuk subklon dengan kombinasi mutasi tertentu. Menurut hipotesa ini, hanya sebagian kecil subpopulasi sel tumor mengandungi semua mutasi yang dibutuhkan untuk metastasis. Penelitian terakhir menunjukkan, bahwa, ketika dilakukan profil gen untuk tumor primer dan metastasis, hipotesis ditolak. Contoh, suatu subset kanker payudara mempunyai tanda ekspresi gen mirip dengan yang dijumpai pada metastasis, walaupun tidak dijumpai tanda klinis adanya metastasis. Pada tumor ini, hampir semua sel mempunyai predileksi untuk penyebaran metastasis pada awal, atau pada saat karsinogenesis primer. Metastasis, menurut pandangan ini, tidak tergantung pada generasi "stochastic" subklon metastatik selama progresi tumor, tetapi merupakan sifat intrinsik yang terbentuk selama karsinogenesis. Perlu dicatat, bahwa analisis ekspresi gen seperti yang baru diungkapkan, tidak akan mendeteksi subset subklon metastasis dalam suatu tumor yang besar. Mungkin kedua mekanisme terjadi, di mana tumor agresif memerlukan gen yang ekspresinya untuk terjadinya metastasis pada awal tumorigenesis yang membutuhkan tambahan mutasi random untuk melengkapi fenotipe metastatik.



Melakukan Program Ulang Metabolisme Energi



Merupakan pertanyaan terbuka pada biologi kanker ialah apakah ada gen yang tugas utamanya pada tumorigenesis mengatur metastasis. Pertanyaan ini lebih merupakan kepentingan akademik, karena berbagai perubahan bentuk



Melakukan program ulang metabolisme energi merupakan hal biasa pada tumor dan dianggap sebagai tanda utama kanker. Walaupun pada keadaan dengan persediaan oksigen terbatas, kanker akan mengubah metabolisme glukosa menghindari mitokondria yang butuh oksigen tetapi efisien, menjadi glikolisis. Fenomena



196



BAB



Neoplasia



ini disebut efek Warburg dan juga dikenal sebagai glikolisis aerobik, telah dikenal beberapa tahun (Otto Warburg memperoleh hadiah Nobel untuk penemuannya tentang efek yang memakai namanya tahun 1931) tetapi agak terbengkalai sampai saat ini. Seperti telah diketahui, glikolisis aerobik kurang efisien dibandingkan dengan fosforilasi oksidatif mitokondria, yang menghasilkan 2 molekul ATP per molekul glukosa, dibandingkan dengan 36. Namun tumor yang mengadopsi glikolisis aerobik, misalnya limfoma Burkitt, merupakan tumor yang paling cepat berkembang di antara kanker pada manusia. Memang, untuk keperluan klinis, tumor yang "lapar glukosa" demikian dipergunakan untuk memvisua-lisasi tumor dengan scanning positron emission tomography (PET), di mana pasien disuntik dengan 18Ffluorodeoxyglucose, yang merupakan derivat glukosa yang tidak bisa dimetabolisme. Tumor pada umumnya adalah PET-positif, dan terutama jelas pada tumor yang cepat berkembang. Sekarang diketahui bahwa sel normal yang sedang membelah dengan cepat, seperti pada embrio, juga mengadopsi metabolisme Warburg, menyatakan bahwa jenis metabolisme ini dipilih apabila dibutuhkan pertumbuhan cepat. Bagaimana hal tersebut terjadi, padahal glikolisis aerobik menghasilkan ATP per molekul glukosa jauh lebih sedikit? Tambahan lagi pada penggandaan konten DNA sebelum pembelahan, suatu sel yang aktif membelah (baik normal maupun telah bertransformasi) harus juga menggandakan seluruh komponen lain, termasuk membran, protein dan organel. Tugas ini membutuhkan peningkatan pemasukan nutrisi, terutama glukosa dan asam amino. Penelitian tentang metabolisme menengah ini memperkirakan bahwa pada sel yang sedang berkembang cepat glukosa menjadi sumber utama untuk karbon yang dipakai untuk sintesa lipid (dibutuhkan untuk pembentukan membran) juga untuk metabolit lain yang dibutuhkan untuk sintesa asam nukleat. Pola penggunaan karbon glukosa ini diperoleh dengan melangsir piruvat ke jalur biosintesa melalui jalur fosforilasi okasidatif dan pembentukan ATP. Jadi metabolisme kanker dapat dilihat sebagai perspektif Darwin; sel tumor yang mengadaptasi perubahan metabolisme dapat membelah lebih cepat daripada sel tumor yang tidak mengikuti perubahan. Karena glikolisis aerobik terus berjalan pada tumor yang mendapat oksigen cukup, dapat diperkirakan bahwa mengubah metabolisme akan mengalami kesulitan pada sel tumor. Sekarang jelas bahwa onkogen dan tumor supresor yang mempertahankan pertumbuhan sel seperti TP53, PTEN, dan Akt (bentuk antara untuk pemberian sinyal RAS) merangsang penggunaan glukosa dengan mempengaruhi protein transporter glukosa dan memilih glikolisis aerobik. Memang efek Warburg agaknya penting untuk fenotipe kanker sehingga jalur ini dipakai sebagai target untuk terapi yang sedang dikembangkan.



Menghindari Sistem Imun Seperti dibicarakan sebelumnya, kemampuan tumor untuk menghindari sistem imun (seperti melakukan program ulang metabolisme energi) sekarang merupakan tanda utama kanker. Tumor terjadi pada pejamu yang imunokompeten; agar dapat berhasil tumbuh maka harus dapat mengelabui sistem imun sehingga sel tumor gagal diketahui keberadaannya atau gagal untuk disingkirkan. Ini harus terjadi karena tubuh mempunyai banyak pasukan sel yang mampu meniadakan infeksi atau mampu menolak transplantasi organ alogenik. Diskusi tentang hal ini akan ditunda



pada bab berikut, karena haruslah dimengerti terlebih dahulu tentang sifat antigen tumor dan bagaimana cara mengenalnya.



Instabilisitas Genom Memungkinkan Terjadinya Keganasan Bab yang lalu menetapkan delapan gambaran keganasan dan perubahan genetik yang memastikan sifat fenotipe sel kanker. Bagaimana timbulnya mutasi? Walaupun manusia dikelilingi berbagai agen lingkungan yang mutagenik (misalnya bahan kimia, radiasi, cahaya matahari), kanker relatif jarang terjadi pada orang yang terpapar. Hal ini terjadi karena kemampuan sel normal untuk memperbaiki kerusakan DNA. Pentingnya perbaikan DNA untuk mempertahankan integritas genome dikenal karena adanya beberapa kelainan yang diturunkan apabila gen yang menyandi protein yang terlibat pada perbaikan DNA mengalami defek. Seseorang yang lahir dengan mewarisi defek pada protein untuk perbaikan DNA mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker. Biasanya, instabilitas genome terjadi apabila kedua kopi gen hilang; namun penelitian terakhir menunjukkan bahwa paling sedikit sebagian daripada gen dapat menimbulkan kanker pada keadaan kekurangan haploid (haploinsufficient). Defek pada tiga jenis sistem perbaikan DNA perbaikan yang tidak cocok (mismatch), perbaikan eksisi nukleotida- dan perbaikan rekombinasi akan dibahas berikut. Walaupun diskusi akan menitikberatkan pada sindrom yang diwarisi, perlu untuk difahami bahwa kanker sporadik sering terjadi pada mutasi gen-gen tersebut, yang akan memungkinkan akumulasi mutasi pada gen lain dan kelainan fungsi ini merupakan tanda utama kanker.



Sindrom Kanker Kolon Nonpoliposis yang Diturunkan Peran gen perbaikan DNA pada orang yang cenderung terjadi kanker tertera jelas pada sindrom karsinoma kolon nonpoliposis yang herediter (Hereditary Nonpolyposis Colon Carcinoma/HNPCC). Kelainan ini, yang ditandai dengan karsinoma keturunan pada kolon terutama mengenai sekum dan kolon proksimal (Bab 14), terjadi karena defek pada gen yang terlibat dalam perbaikan "mismatch" DNA. Apabila suatu untai (strand) DNA sedang diperbaiki, gen ini berfungsi sebagai pengawas ejaan ("spell checkers"). Contoh bila terbentuk pasangan yang salah G dengan T, dan bukan A dengan T, gen perbaikan mismatch akan mengkoreksi defek tersebut. Tanpa "proofreaders," akumulasi kesalahan akan cepat meningkat, disebut fenotipe pemutasi (mutator). Mutasi yang tidak cocok (mismatch) pada sedikitnya empat gen ditemukan dan mendasari terjadinya HNPCC (Bab 14). Pada tiap orang yang terkena mewarisi satu kopi yang salah dari satu atau beberapa gen perbaikan DNA yang salah dan membutuhkan "hit" kedua untuk membentuk sel epitel kolon. Jadi, gen perbaikan DNA mempengaruhi pertumbuhan sel secara tidak langsung — dengan membiarkan mutasi terjadi pada gen lain selama proses pembelahan sel normal. Temuan yang karakteristik pada genome pasien dengan defek perbaikan "mismatch" adalah adanya instabilitas mikrosatelit (MSI). Mikrosatelit ialah pengulangan berpasangan (tandem) dari satu hingga 6 nukleotide yang ditemu-kan pada seluruh genome. Pada orang normal, panjang mikrosatelit ini tetap sama. Sebaliknya pada pasien dengan HNPCC, satelit ini tidak stabil dan bertambah atau berkurang panjangnya. Walaupun HNPCC hanya dijumpai pada 2% hingga 4% dari semua kanker kolon, MSI dapat dideteksi pada sekitar 15% kasus kanker sporadik. Gen pengatur pertumbuhan yang mengalami



Tanda Khas Kanker mutasi pada HNPCC termasuk yang menyandi reseptor TGF-f3 tipe II, BAX, dan onkogen lain serta gen supresor.



Xeroderma Pigmentosum Pasien dengan kelainan keturunan lain, xeroderma pigmentosum, mempunyai risiko tinggi untuk terbentuknya kanker pada kulit yang terpapar sinar matahari. Dasar kelainan ini ialah defek perbaikan DNA. Sinar ultraviolet (UV) pada sinar matahari mengakibatkan terjadinya ikatan silang residu pirimidine, sehingga mencegah replikasi DNA normal.Kerusakan DNA akan diperbaiki oleh sistem perbaikan dengan mengeksisi nukleotida. Beberapa protein terlibat pada perbaikan eksisi nukleotida, dan hilangnya salah satu protein pada pewarisan akan mengakibatkan xeroderma pigmentosum.



Penyakit dengan Defek pada Perbaikan DNA dengan Rekombinasi Homolog Sekelompok kelainan autosom resesif termasuk sindrom Bloom, ataxia-telangiectasia, dan anemi Fanconi ditandai dengan hipersensitif terhadap agen perusak DNA lain, misalnya radiasi pengion (pada sindrom Bloom dan ataxia-telangiectasia), atau pada unsur ikatan silang DNA, misalnya nitrogen mustard (pada anemia Fanconi). Fenotipenya kompleks dan termasuk selain kemudahan untuk terjadinya kanker, juga terjadi gejala saraf (pada ataxia-telangiectasia), anemia (pada anemia Fanconi), dan defek pertumbuhan (pada sindrom Bloom). Gen yang mengalami mutasi pada ataxia-telangiectasia ialah ATM, yang menyandi suatu kinase protein yang penting untuk mengenal kerusakan DNA yang diakibatkan oleh radiasi ion dan memicu pengaktifan p53. Bukti peran gen perbaikan DNA pada asalnya kanker diperoleh dari penelitian tentang kanker payudara herediter. Mutasi pada dua gen, BRCA1 dan BRCA2, ditemukan pada 50% kasus kanker payudara kekeluargaan. Disamping kanker payudara, wanita dengan mutasi BRCA1 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya kanker epitel ovarium, dan pria mempunyai risiko sedikit lebih tinggi untuk terjadinya kanker prostat. Juga, mutasi pada gen BRCA2 meningkatkan risiko kanker payudara pada pria dan wanita, demildan pula kanker ovarium, prostat, pankreas, saluran empedu, lambung, melanosit, dan limfosit B. Walaupun fungsi gen ini belum dapat diketahui secara lengkap, sel yang tidak mengandungi gen ini akan mengalami patahnya kromosom dan kromosom tidak lengkap (aneuploidi) yang berat. Agaknya kedua gen befungsi, walaupun sebagian, pada rekombinasi homolog jalur perbaikan DNA. Contohnya, BRCA1 membentuk kompleks dengan protein lain pada jalur rekombinasi homolog dan juga berhubungan dengan jalur ATM kinase. BRCA2 diidentifikasi sebagai salah satu gen yang bermutasi pada anemia Fanconi, dan protein BRCA2 selalu diketahui mengikat RAD51, suatu protein yang diperlukan untuk rekombinasi homolog. Sama dengan gen supresor tumor, kedua kopi BRCA1 dan BRCA2 harus diinaktifkan agar kanker dapat terbentuk. Walaupun hubungan antara BRCA1 dan BRCA2 dengan kanker payudara telah dipastikan, gen ini jarang diinaktifkan pada kanker payudara sporadik. Dalam hal ini, BRCA1 dan BRCA2 berbeda dengan gen supresor tumor lain, misalnya APC dan TP53, yang akan diinaktifkan pada kedua jenis kanker familial dan kanker sporadik.



197



Kanker yang Terjadi Karena Mutasi yang Diinduksi oleh Instabilitas Genom yang Teratur: Neoplasma Limfoid Suatu kerusakan yang khas pada DNA memegang peran penting pada patogenesis tumor limfosit B dan T. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, imunitas adaptif bergantung pada kemampuan sel B dan T untuk melakukan pengalihan antigen gen reseptornya. Sel B dan T dini keduanya mengekspresikan sepasang produk gen yaitu RAG1 dan RAG2, yang membawa keluar segmen rekombinasi V(D)J, sehingga memungkinkan untuk pembentukan gen reseptor antigen fungsional. Kemudian, setelah menemukan antigen, sel B matur akan mengeksprresi suatu enzim khusus yang disebut "activation-induced cytosine deaminase" (AID), yang akan mengkatalisasi kedua tombol recombinasi dan hipermutasi somatic dari gen imunoglobulin. Kesalahan selama pembentukan gen reseptor antigen dan gen pengalihan akan berperan pada berbagai mutasi yang menyebabkan neoplasma limfoid, dibahas secara rinci pada Bab 11..



RINGKASAN Instabilisitas Genom yang Memungkinkan Terjadinya Keganasan • •



Seorang yang mewarisi mutasi pada gen yang terlibat dalam sistem perbaikan DNA mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker. Pasien dengan sindrom HNPCC mempunyai defek pada sistem perbaikan "mismatch", dengan akibat terbentuknya kanker usus besar. Genom pasien tersebut menunjukkan MSI, ditandai dengan perubahan pada panjangnya urutan pengulangan pasangan (tandem) pendek mengulangi sekuens pada seluruh genom.







Pasien dengan xeroderma pigmentosum mempunyai defek pada jalur perbaikan eksisi nukleotida dan mempunyai risiko meningkat untuk timbulnya kanker kulit yang terpaparsinar UV, karena ke tidak mampuan memperbaiki dimer pirimidine.







Sindrom yang melibatkan defek pada rekombinasi homolog sistem perbaikan DNA meliputi sekelompok kelainan—Sindrom Bloom, ataxia-telangiectasia, dan anemia Fanconi—ditandai dengan hipersensitif terhadap agen perusak DNA, misalnya radiasi pengion. BRCA I dan BRCA2, yang mengalami mutasi pada kanker payudara familial, terlibat pada perbaikan DNA. Mutasi pada gen sel limfoid yang mengekspresikan produk yang menginduksi instabilitas genom (RAG I , RAG2, AID) merupakan penyebab penting terjadinya neoplasma limfoid.







Radang Pemicu Tumor Memungkinkan Terjadinya Keganasan Telah terbukti bahwa radang yang diperkirakan mempunyai respons protektif terhadap tumor, juga bisa berlawanan yaitu memungkinkan timbulnya keganasan. Hal ini terjadi pada dua situasi yang berbeda: • Radang kronik yang lama sebagai respons terhadap infeksi bakteri atau sebagai bagian dari reaksi autoimun. Hal ini dicontohkan dengan bertambahnya risiko terhadap kanker pada pasien dengan berbagai radang kronik saluran cerna. Termasuk esofagus pada penyakit Barrett, kolitis ulseratif, gastritis H. pylori, hepatitis B dan C, dan pankreatitis kronik. Sebagaimana juga pada penyebab jejas kronik jaringan, terjadi proliferasi



198



BABA 5



Neoplasia



sel sebagai kompensasi usaha untuk memperbaiki kerusakan. Proses regenerasi ini dibantu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, dan substansi bioaktif lain yang dihasilkan oleh kumpulan sel imun yang telah teraktifkan di tempat tersebut. Replikasi sel yang persisten dan apoptosis yang menurun pada keadaan ini mengakibatkan sel dapat mengalami mutasi pada satu atau lebih gen yang terlibat dalam karsinogenesis. Juga, sel radang seperti neutrofil dapat berperan pada karsinogenesis melalui sekresi spesies oksigen reaktif, yang selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan tambahan pada DNA sel yang sedang membelah dengan cepat. • Apabila radang terjadi akibat respons tumor. Dokter spesialis patologi telah mengetahui bahwa sel tumor diinfiltrasi oleh leukosit. Derajat radang berbeda, tetapi semua tumor mempunyai sel yang mempunyai komponen adaptif atau bawaan dari sistem imun. Pengetahuan konvensional ialah bahwa reaksi radang merupakan upaya perlindungan karena terjadi usaha untuk merusak tumor oleh pejamu. Memang hal tersebut menjadi tujuan dari reaksi radang, tetapi sel tersebut dapat mengeluarkan aktivitas yang memicu tumor dengan menghasilkan faktor pertumbuhan yang mengakibatkan kerusakan DNA seperti disebutkan di atas. Apa pun mekanisme sebetulnya, kaitan antara radang dan kanker mempunyai implikasi praktis. Contoh, ekspresi enzim cyclooxygenase-2 (COX-2), yang akan mengubah asam arachidonat menjadi prostaglandin (Bab 2), diinduksi oleh stimulus radang dan meningkat pada kanker usus besar dan tumor lainnya. Pemakaian inhibitor COX-2 untuk mencegah kanker dan pengobatan kanker merupakan bahan penelitian yang banyak dilakukan. Dampak klinis yang timbul setelah pembahasan tentang prinsip dan tanda khas kanker ialah: tanda penting kanker tersebut merupakan peta petunjuk untuk pengembangan agen terapi baru untuk pengobatan kanker (Gambar 5-29).



Anti-CTLA4 mAb yang diaktifkan oleh imun



Karsinogenesis Berjenjang dan Perkembangan Kanker Seperti dibahas sebelumnya, kemahiran tentang berbagai dasar kelainan merupakan prasyarat untuk perkembangan kanker. Dengan demikian, maka tiap kanker harus terjadi dari akumulasi mutasi yang majemuk. Contoh dramatik ialah adanya tambahan pengetahuan tentang fenotipe ganas yang didokumentasi pada penelitian tentang karsinoma usus besar. Lesi ini diperkirakan mempunyai deretan stadium morfologi yang dapat dikenal: hiperplasia epitel usus besar diikuti oleh pembentukan adenoma yang membesar dengan cepat dan akhirnya mengalami perubahan menjadi ganas (Bab 14). Penjelasan tentang perubahan molekuler urutan adenoma-karsinoma digambarkan pada Gambar 5-30. Menurut skema ini, pengaktifan gen supresor tumor APC terjadi lebih dahulu, kemudian diikuti oleh pengaktifan RAS dan selanjutnya, hilangnya gen supresor tumor pada 18q dan hilangnya TP53. Kejadian urutan mutasi sesaat dapat berbeda pada berbagai tumor yang berbeda.



ETIOLOGI KANKER: AGEN KARSINOGENIK Kerusakan genetik adalah jantung karsinogenesis. Agen ekstrinsik apa yang bisa menyebabkan hal tersebut? Tiga kelompok agen karsinogenik telah diketahui: (1) bahan kimia, (2) energi radiasi dan (3) agen mikroba. Bahan kimia dan energi radiasi telah didokumentasi sebagai penyebab kanker pada manusia dan virus onkogen terlibat dalam patogenesis tumor pada berbagai binatang percobaan dan pada beberapa tumor manusia. Pada diskusi berikut, tiap kelompok agen akan dibicarakan tersendiri, namun perlu dicatat bahwa beberapa hal dapat terjadi serentak atau berurutan untuk menghasilkan abnormalitas genetik multipel yang merupakan ciri khas sel neoplasma.



Menghindari kerusakan oleh imun



Menghindari penekanan pertumbuhan



Memungkinkan replikasi tidak mati



Mempertahankan sinyal



Inhibisi EGFR



Deregulasi sel energetik



Inhibitor glikolisis aerobik



Proapoptotik BH3 mimetik Inhibitor sinyal VEGF



Inhibitor kinase yang bergantung pada siklim1



Radanang yang dipicu tumor Pengaktifan invasi dan metastasis



Menghinda kematiansel



Menginduksi angiogenesis



Instabilitas genom dan mutasi



Gambar 5-29 Terapi target pada tanda khas kanker. (Dari Hanahan D,Welberg RA: The hallmarks of cancer: the next generation. CeII 144:646, 201 I. )



Inhibitor telomerase



Obat antiselektif



Inhibitor HGF/c-Met



Inhibitor PARP



Etiologi Kanker:Agen Karsinogenik GAMBARAN MORFOLOGIK



PERUBAHAN MULEKULER



199



Tabel 5-4 Karsinogen Kimia Utama



Karsinogen Bekerja Langsung Agen Pengalkil



Epitel normal Epitel hiperproliferatif



Hilangannya atau mutasi lokus APC pada kromosom 5q Hilangnya metilasi DNA



Adenoma dini Adenoma menengah Adenoma lanjut Karsinoma



Mutasi gen RAS pada kromosom 12p Hilangannya supresor tumor pada kromosom 18q Hilangannya gen p53 pada kromosom 17p



Gambar 5-30 Contoh evolusi molekul kanker kolorektal melalui urutan adenoma—karsinoma. (Data dari penehan Feoron ER,Vogelstetn B A genetic model of colorectol carcinogenesis. Cell 61:759, 1990 )



Karsinogen Kimia Lebih dari 200 tahun yang lalu, seorang ahli bedah di London, Sir Percival Pott menyatakan hubungan kanker kulit skrotum pada pembersih cerobong asap dengan paparan berkelanjutan dengan jelaga cerobong. Atas dasar observasi ini, pada pembersih cerobong asap, dibuat peraturan bahwa tiap anggota harus mandi tiap hari. Sebelumnya tidak ada peraturan kesehatan masyarakat yang berhasil sedemikian baik mengontrol suatu jenis kanker. Selanjutnya ditemukan ratusan zat kimia yang temyata bersifat karsinogen pada binatang Beberapa agen utama ditampilkan pada Tabel 5-4. Beberapa komentar disajikan kemudian.



[3-Propiolakton Dimetil sulfat Diepoksibutan Obat anti kanker (siklofosfamid, klorambusil, nitrosourea, dan lainnya)



Agen Pengasil I -Asetil-imidazol ID! metilkarbamil klorida



liProkarsinogen yang Membutuhkan Pengaktifan Metabolit Hidrokarbon Aromatik Polisiklik dan Heterosiklik Benz (a) antrasena Benzo (a) pirena Dibenz (a,h) antrasena 3-Metilkolantrena 7, 12-Dimetilbenz(a)antrasena



Amina Aromatik, Amida, Zat Warna Azo 2-Naftilamin ((3-naftilamin) Benzidin 2-Acetilaminofluorena Dimetilaminoazobenzena (kuning mentega)



Tumbuhan Alami dan Produk Mikroba Aflatoksin B, Griseofulvin Sikasin Safrol Buah pinang



Lainnya Nitrosamin dan amida Vinil klorida, nikel, kromium Insektisida, fungisida Bifenil poliklorina



Agen yang Bekerja Langsung Agen yang bekerja langsung tidak membutuhkan perubahan metabolit agar menjadi karsinogenik. Umumnya bersifat karsinogen lemah tetapi penting, karena beberapa di antaranya ialah obat kemoterapi kanker (misalnya agen alkilasi) dipakai pada regimen yang dapat menyembuhkan kanker tertentu (misalnya Limfoma Hodgkin), yang ternyata kemudian memicu timbulnya kanker jenis kedua, biasanya leukemia. Hal ini akan lebih tragis bila pemakaian sesuatu obat untuk kelainan bukan neoplastik, misalnya untuk artritis reumatika atau granulomatosis Wegener. Walaupun risiko timbulnya kanker rendah, namun kemungkinan terjadinya kanker harus selalu dipikirkan.



Agen yang Bekerja —Tidak Langsung Yang dimaksud dengan kerja tidak langsung ialah zat kimia yang membutuhkan perubahan metabolit agar menjadi karsinogen aktif Beberapa dari zat kimia sangat poten yang tidak langsung ialah hidrokarbon polisiklik, terdapat pada minyak fosil. Contohnya, benzo[a]pyrene dan karsinogen lain yang terbentuk pada pemanasan suhu tinggi tembakau pada pengisap rokok. Produk ini dikaitkan dengan penyebab kanker paru pada perokok. Hidrokarbon polisiklik juga dapat dibentuk dari lemak hewan selama proses pengasapan daging dan dijumpai pada daging asap dan ikan.



Produk aktif utama pada berbagai hidrokarbon ialah epoksida, yang akan membentuk produk tambahan dengan molekul pada sel, terutama DNA, tetapi juga RNA dan protein.



Amin aromatik dan zat warna azo merupakan kelompok karsinogen lain dengan kerja tidak langsung. Sebelum sifat karsinogenya diketahui, 13-naphthylamine mengakibatkan meningkatnya insidens kanker kandung kemih 50 kali lipat pada pekerja yang terpapar zat warna anilin dan industri karet. Berbagai karsinogen okupasional ditulis pada Tabel 5-2. Karena karsinogen yang bekerja tidak langsung membutuhkan pengaktifan metabolit untuk berubah menjadi agen perusak DNA-, maka banyak perhatian ditujukan pada jalur enzimatik yang terlibat, misalnya yang diatur oleh sitokrom P-450-yang bergantung kepada monooksigenase. Gen yang menyandi ettzim ini polimorfik dan aktivitas enzimnya bervariasi pada orang yang berbeda. Diperkirakan bahwa kerentanan terhadap karsinogen kimia bergantung setidaknya pada bentuk dari bagian alel spesifik dari enzim yang diwarisinya. Jadi mungkin dikemudian hari, bisa dihitung risiko kanker pada seorang pasien dengan analisis genetik seperti polimorfisme enzim.



200



BAB 5



Neoplasia



Perlu dibahas beberapa agen lain. Aflatoxin penting karena merupakan agen yang diproduksi oleh beberapa strain Aspergillus, suatu jamur yang tumbuh pada gandum dan kacang yang penyimpanannya tidak baik. Suatu korelasi kuat ditemukan antara kadar diet makanan yang terkontaminasi dan insidens karsinoma sel hati pada beberapa daerah di Afrika dan Timur jauh. Demikian juga dengan, vinil klorida, arsen, nikel, kromium, insektisida, fungisida, dan "polychlorinated biphenyls merupakan karsinogen potensial pada tempat kerja dan sekitar rumah. Akhirnya, nitrit yang dipakai sebagai pengawet makanan menimbulkan kekhawatiran, karena menyebabkan nitrosilasi amin yang terdapat pada makanan. Nitrosamin yang terbentuk dicurigai merupakan zat karsinogen.



RINGKASAN Karsinogen Kimia • •







Mekanisme Kerja Karsinogen Kimia Karena perubahan keganasan terjadi akibat mutasi, tidak mengherankan bahwa karsinogen kimia umumnya bersifat mutagenik. Memang semua karsinogen langsung dan penting mengandungi kelompok elektrofil yang sangat reaktif yang membentuk komponen kimia yang berikatan dengan DNA, protein dan RNA. Walaupun tiap gen dapat menjadi target dari karsinogen kimia, onkogen yang telah mengalami mutasi demikian pula tumor supresor, seperti RAS dan TP53, merupakan target penting karsinogen kimia. Memang, karsinogen kimia spesifik, seperti aflatoxin memproduksi mutasi karakteristik pada gen TP53, sehingga deteksi "signature mutation" pada gen TP53 membuktikan bahwa aflatoxin adalah sebagai agen penyebab. Asosiasi ini membuktikan bahwa penelitian epidemiologik penting untuk karsinogenesis kimia. Sifat karsinogen beberapa zat kimia meningkat dengan ditambahkannya beberapa promotor (misalnya ester forbol, hormon, fenol, obat tertentu) yang apabila dipakai tersendiri tidak bersifat karsinogen. Agar efektif, paparan ke promotor diulang atau dipertahankan mengikuti pemakaian zat kimia mutagenik atau initiator. Urutan inisiasi-promosi pada karsinogenesis kimia menimbulkan suatu pertanyaan penting: karena promotor tidak mutagenik, bagaimana dapat berkontribusi pada tumorigenesis? Walaupun pengaruh promotor tumor ialah bervariasi (pleiotropic), induksi proliferasi sel sama dengan promosi tumor. Agaknya yang paling mungkin ialah aplikasi inisiator akan mengaktifkan mutasi suatu onkogen seperti RAS, dan aplikasi selanjutnya dari promotor akan terjadi perkembangan klonal dari sel yang telah diinisiasi (telah mengalami mutasi). Karena dipaksa berproliferasi, klon sel yang telah diinisiasi mengakumulasi mutasi berikutnya dan, berkembang menjadi tumor ganas. Agaknya, konsep proliferasi sel yang dipertahankan meningkatkan risiko proses mutasi dan mendorong perubahan menjadi neoplasma, dan hal ini juga terjadi pada karsinogenesis pada manusia. Sebagai contoh, hiperplasia endometrium (Bab 18) dan aktivitas regenerasi yang meningkat yang terjadi bersamaan dengan jejas hati kronik dikaitkan dengan pertumbuhan kanker pada organ tersebut. Apabila tidak terjadi mekanisme perbaikan DNA seperti yang dibahas sebelumnya, maka insidens kanker yang diakibatkan zat kimia akan lebih tinggi. Telah dibicarakan sebelumnya, gangguan perbaikan DNA bawaan yang jarang, termasuk xeroderma pigmentosum, dikaitkan dengan meningkatnya risiko timbulnya kanker yang diinduksi oleh sinar UV dan zat kimia tertentu.







Karsinogen kimia mempunyai kelompok elektrofil reaktif yang tinggi, yang langsung akan merusak DNA, dengan menimbulkan mutasi dan kemudian terjadi kanker Agen yang bekerja langsung tidak membutuhkan perubahan metabolit untuk menjadi karsinogen, sedangkan agen yang bekerja tidak langsung, tidak akan aktif apabila belum diubah menjadi karsinogen melalui jalur metabolit endogen. Sehingga polimorfisme enzim endogen seperti sitokrom P-450 dapat mempengaruhi karsinogenesis. Setelah paparan suatu sel kepada suatu mutagen atau inisiator, tumorigenesis akan meningkat dengan paparan pada promotor, yang akan merangsang proliferasi sel yang telah mengalami mutasi. Contoh dari karsinogen manusia addalah agen yang bekerja langsung (misalnya agen alkilasi yang dipakai pada kemoterapi), agen yang bekerja tidak langsung (misalnya "benzopyrene", zat warna azo, aflatoksin), dan promotor atau agen yang menyebabkan hiperplasia endometrium atau aktivitas regenerasi pada hati.



Karsinogenesis karena Radiasi Radiasi, apa pun sumbernya (UV dari sinar matahari, sinar x, "nuclear fission radionuclides") merupakan karsinogen yang telah terbentuk. Pekerja tambang elemen radioaktif tanpa alat pelinding mempunyai insidens 10 kali lipat untuk kanker paru. Penelitian terhadap orang yang masih hidup sesudah bom atom Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan insidens kasus leukemia yang meningkat — terutama leukemia mielogenik — setelah suatu periode laten sekitar 7 tahun, juga peningkatan angka mortalitas pada karsinoma tiroid, payudara, usus besar dan paru. Musibah tenaga pembangkit nuklir di Chernobyl di negara yang dahulu termasuk Uni Soviet terus memberikan kerugian berupa insidens kanker yang tinggi pada daerah sekitarnya. Akhir ini, ditakuti adanya radiasi dari pembangkit tenaga nuklir yang rusak akibat gempa yang besar dan tsunami akan meningkatkan insidens kanker pada daerah geografi sekitarnya. Radiasi untuk pengobatan pada kepala dan leher akan mengakibatkan kanker tiroid papiler beberapa tahun kemudian. Peran radiasi ion yang dikaitkan dengan efek mutagenik, yaitu patahnya kromosom, translokasi, dan agak jarang mutasi titik (point mutation). Secara biologis, putusnya rantai ganda DNA merupakan kerusakan DNA terpenting akibat radiasi. Efek onkogenik sinar UV memerlukan perhatian khusus karena menonjolkan pentingnya perbaikan DNA pada karsinogenesis. Radiasi alami UV dari sinar matahari bisa menyebabkan kanker kulit (melanoma, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal). Risiko lebih tinggi terjadi pada orang dengan kulit putih yang tinggal di tempat seperti Australia dan Selandia Baru yang banyak terpapar dengan sinar matahari. Kanker kulit non-melanoma dihubungkan dengan banyaknya dosis paparan radiasi UV, sedangkan melanoma dihubungkan dengan terpapar tidak terus menerus tetapi yang intens misalnya dengan berjemur di matahari. Sinar UV mempunyai berbagai efek biologis terhadap sel. Yang penting terhadap karsinogenesis ialah kemampuan merusak DNA dengan pembentukan dimer pirimidin.



Etiologi Kanker:Agen Karsinogenik Jenis kerusakan DNA ini diperbaiki dengan jalur perbaikan eksisi nukleotida. Dengan paparan yang intensif pada sinar UV, sistem perbaikan akan kewalahan, dan terjadi kanker kulit. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penderita dengan penyakit keturunan xeroderma pigmentosum mempunyai defek pada jalur perbaikan eksisi nukleotida. Sehingga seperti diperkirakan, terjadi peningkatan predisposisi untuk kanker kulit pada kelainan ini.



RINGKASAN Karsinogenesis Radiasi • •



Radiasi ion mengakibatkan patahnya kromosom, translokasi dan agak jarang mutasi titik, mengakibatkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. Sinar UV menginduksi pembentukan dimer pirimidine dalam DNA, mengakibatkan terjadinya mutasi. Sehingga sinar UV dapat menyebabkan karsinoma sel skuamosa dan melanoma kulit.



transformasi sel. Melalui interaksi dengan beberapa faktor transkripsi seperti NF-xB, protein TAX dapat melakukan pengaktifan silang ekspresi gen yang menyandi sitokin, reseptor sitokin dan molekul kostimulasi. Ekspresi yang tidak tepat ini mengakibatkan lingkar sinyal autokrin dan peningkatan kaskade sinyal promitogenik Juga, TAX dapat mengatur melalui siklus sel dengan langsung berikatan dan mengaktifkan siklin.TAX juga dapat melakukan penekanan fungsi beberapa gen supresor yang mengatur siklus sel, termasuk CDKN2A/ p16 dan TP53. Dari observasi ini dan lainnya, muncul skenario berikut (Gambar 5-31):Gen TAX mengaktifkan beberapa gen sitokin dan reseptornya (misalnya interleukin IL-2, IL-2R, IL-15 dan IL-15R), kemudian menyusun suatu sistem autokrin yang mengakibatkan proliferasi sel T. Dari berbagai jenis sitokin ini, IL-15 agaknya yang lebih penting, namun yang lainnya belum diketahui. Sebagai tambahan, jalur parakrin palalel diaktifkan melalui peningkatan produksi faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag, yang merangsang makrofag disekitarnya untuk memproduksi mitogen sel T lain. Semula, proliferasi sel T adalah poliklonal, sebab virus menginfeksi banyak sel, tetapi karena penginaktifan berdasar -TAX- pada gen tumor supresor seperti TP53, maka proliferasi sel T akan berisiko menyebabkan transformasi sekunder (mutasi), sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan populasi sel T monoklonal neoplastik.



Onkogenesis oleh Virus dan Mikroba Berbagai virus DNA dan RNA terbukti bersifat onkogenik pada binatang seperti kodok dan primata. Walaupun dengan pemeriksaan lebih rinci, ternyata hanya beberapa virus yang sudah dikaitkan dengan kanker pada manusia. Diskusi berikut membahas peran virus onkogenik manusia dan juga membahas yang baru muncul dari bakteri H. pylori pada kanker lambung.



Virus RNA Onkogenik Penelitian mengenai retrovirus onkogenik pada binatang memberikan wawasan baru pada dasar genetik kanker. Namun hanya satu retrovirus, yaitu virus limfotropik sel T manusia (human T cell lymphotropic virus-1 /HTLV-1), terbukti menyebabkan kanker pada manusia. HTLV-1 dikaitkan dengan leukemia/limfoma sel T yang endemik pada beberapa tempat di Jepang dan daerah Karibia tetapi hanya ditemukan secara sporadik di tempat lain, termasuk Amerika Serikat. Sama dengan virus imunodefisiensi manusia (HIV), HTLV-1 mempunyai kecenderungan mengenai sel T CD4+, dan subset sel T merupakan target utama untuk transformasi neoplastik. Untuk infeksi pada manusia dibutuhkan transmisi sel T yang telah terinfeksi melalui hubungan seksual, produk darah, atau menyusui. Leukemia terjadi hanya pada 3% hingga 5% orang yang terinfeksi setelah suatu periode laten yang lama yaitu 20 hingga 50 tahun. Tidak diragukan lagi bahwa infeksi HTLV-1 pada sel limfosit T dibutuhkan untuk leukemogenesis, tetapi mekanisme molekuler transmisinya tidak jelas. Genom HTLV-1 tidak mengandungi virus onkogen dan berbeda dengan retrovirus binatang tertentu, tidak dijumpai tempat integrasi tertentu pada onkogen sel. Agaknya, masa laten yang panjang antara infeksi awal dan perkembangan penyakit merupakan proses langkah multipel, di mana selama itu terjadi akumulasi mutasi onkogenik. Genom HTLV-1 disamping gen retrovirus mengandungi suatu bagian unik disebut pX. Bagian ini mengandungi beberapa gen, termasuk TAX. Protein TAX terbukti dibutuhkan dan cukup untuk



201



HTLV-1 Sel T



Reseptor sitokin



Sitokin



GM-CSF Mitogen sel Proliferasi sel T poliklonal



Mutdsi baru Leukemia sel T monoklonal



Makrofag



Gambar 5-3 I Patogenesis limfoma/leukemia sel T yang diinduksi oleh virus limfotropik sel T manusia (HTLV- I) menginfeksi banyak sel T dan awalnya mengakibatkan proliferasi poliklonal oleh jalur autokrin dan parakrin yang dipicu oleh gen TAX. Secara bersamaan, TAX menetralkan sinyal penghambat pertumbuhan pada gen TP53 dan CDKN2A/p16. Akibatnya akan terjadi leukemia/limfoma monoklonal sel T apabila satu sel T yang berproliferasi mengalami tambahan mutasi.



202



BAB 5



Neoplasia



RINGKASAN Virus RNA Onkogenik • •



HTLV-1 menyebabkan leukemia sel T yang endemik di Jepang dan daerah Karibia. Genom HTLV- 1 menyandi protein virus TAX, yang akan mengaktifkan gen untuk sitokin dan reseptornya pada sel T yang telah terinfeksi. Hal ini akan mengakibatkan lingkar sinyal autokrin dan parakrin bekerja dan menstimulasi prolifrasi sel T. Walaupun proliferasi pada awalnya poliklonal, tetapi sel T yang berproliferasi merupakan risiko untuk terjadinya mutasi sekunder yang mengakibatkan pertumbuhan leukemia monoklonal.



Virus DNA Onkogenik Seperti virus RNA, beberapa virus DNA onkogenik yang mengakibatkan tumor pada binatang telah diketahui. Empat virus DNA — HPV, virus Epstein-Barr (EBV), Sarkoma Kaposi, virus herpes (KSHV, juga disebut virus herpes-8 [HHV-8] manusia), dan virus hepatitis B (HBV) — merupakan hal yang menarik karena berhubungan erat dengan kanker manusia. KSHV dan sarkoma Kaposi dibahas pada Bab 4. Lainnya dibahas di sini.



Virus Papiloma Manusia (Human Papillomavirus) Berbagai tipe genetik HPV telah diketahui. Beberapa tipe (misalnya 1, 2, 4, dan 7) menyebabkan papiloma skuamosa jinak (kutil) pada manusia (Bab 18 dan 21). Kutil genital mempunyai potensi ganas rendah dan juga mempunyai risiko rendah terhadap HPV, terutama HPV-6 dan HPV-11. Sebaliknya, HPV berisiko tinggi (misalnya tipe 16 dan 18) untuk menyebabkan berbagai kanker, terutama karsinoma sel skuamosa leher rahim dan daerah anogenital. Sebagai tambahan sedikitnya 20% dari kanker orofaring, terutama yang timbul pada tonsil, dikaitkan dengan HPV. Potensi HPV sebagai onkogen dapat dikaitkan dengan produk dua gen virus terdahulu yaitu, E6 dan E7. Bersama-sama akan berinteraksi dengan protein pengatur pertumbuhan yang disandi oleh protoonkogen dan gen supresor tumor. Protein E7 mengikat protein retinoblastoma dan melepaskan faktor transkripsi E2F yang dalam keadaan normal dibuang oleh Rb, sehingga meningkatkan perkembangan melalui siklus sel. Menarik perhatian, protein E7 dari HPV tipe risiko tinggi mempunyai afinitas lebih tinggi untuk Rb dibandingkan dengan E7 dari HPV tipe risiko rendah. E7 juga menginaktifkan CDKI CDKN1A/p21 dan CDNK1B/p27. Protein E6 mempunyai efek tambahan. Protein tersebut mengikat dan membantu penurunan fungsi p53. Analog dengan E7, E6 dari HPV tipe risiko tinggi mempunyai afinitas lebih tinggi untuk p53 dibanding dengan E6 dari HPV tipe risiko rendah. Juga menarik pada kutil jinak genom HPV dipertahankan dalam bentuk episomal yang tidak terintegrasi, sedangkan pada kanker genom HPV secara acak berintegrasi dengan genom pejamu. Integrasi akan mengganggu virus DNA, menghasilkan ekspresi berlebihan onkoprotein E6 dan E7. Selanjutnya, sel di mana genom virus telah berintegrasi akan menunjukkan instabilitas genom dengan nyata. Sebagai ringkasan, peranan infeksi HPV tipe risiko tinggi akan menyerupai menghilangnya gen supresor tumor, mengaktifkan siklin, mencegah apoptosis dan melawan penghentian sel permanen. Jadi, jelas tanda kanker yang dibahas sebelumya terjadi akibat protein HPV. Namun, infeksi



dengan HPV saja tidak cukup untuk menimbulkan karsinogenesis. Contoh, apabila pada keratinosit manusia dimasukkan DNA dari HPV-16, -18, atau -31 in vitro, sel akan tetap hidup, tetapi tidak akan terbentuk tumor pada hewan percobaan.Apabila ditambahkan gen RAS yang telah mengalami mutasi maka akan menghasilkan transformasi keganasan lengkap. Data ini mendukung bahwa HPV, dalam kehidupan, bertindak bersama-sama dengan faktor lingkungan lain (Bab 18). Namun, pentingnya infeksi HPV sebagai penyebab kanker leher rahim terbukti dengan timbulnya perlindungan hampir sempurna terhadap kanker ini setelah pemberian vaksin anti-HPV.



Virus Epstein-Barr



EBV merupakan virus pertama yang dikaitkan dengan tumor manusia, yaitu limfoma Burkitt. Namun pada 40 tahun terakhir, EBV ditemukan pada sel dari berbagai jenis tumor, termasuk limfoma sel B pada pasien dengan defek imunitas sel T (misalnya pada mereka yang terinfeksi HIV), subjenis limfoma Hodgkin, kanker nasofaring, subjenis limfoma sel T, karsinoma gaster, limfoma sel NK dan walaupun jarang pada sarkoma, terutama pada pasien dengan kekebalan rendah (imunosupresi). Limfoma Burkitt ditemukan endemik pada beberapa bagian dari Afrika dan dijumpai sporadik di tempat lain. Pada daerah endemik, sel tumor pada seluruh pasien yang terkena mengandungi genom EBV. Dasar molekuler untuk proliferasi sel B yang diinduksi EBV sangat kompleks. EBV menggunakan reseptor komplemen CD21 untuk melekat dan menginfeksi sel B. In vitro, infeksi tersebut menyebabkan proliferasi sel B poliklonal dan timbulnya sel dengan garis keturunan sel limfoblastoid B. Satu gen yang disandi EBV-, disebut LMP1 (protein membran laten 1) bertindak sebagai onkogen, dan ekspresinya pada mencit transgenik menginduksi limfoma sel B. LMP1 memicu proliferasi sel B dengan mengaktifkan jalur sinyal, seperti, NF-KB dan JAK/STAT, yang menyerupai pengaktifan sel B oleh molekul permukaan sel B CD40. LMP1 juga mencegah apoptosis dengan mengaktifkan BCL2. Jadi virus "meminjam" jalur pengaktifan sel B normal untuk melakukan replikasinya sendiri dengan menambahkan kelompok sel yang rentan terhadap infeksi. Suatu protein lain yang disandi EBV yaitu, EBNA2, melakukan pengaktifan pada beberapa gen pejamu, termasuk siklin D dan kelompok protoonkogen src. Juga, genom EBV mengandungi sitokin virus, vIL-10, yang diambil dari genom pejamu. Sitokin virus ini dapat mencegah makrofag dan monosit mengaktifkan sel T dan mematikan sel yang telah diinfeksi virus. Pada orang dengan status imunologi normal, proliferasi sel B poliklonal yang dipicu-EBV segera terkendali, dan pasien yang terkena tetap asimptomatik atau mengalami episode sembuh sendiri dari infeksi mononucleosis (Bab 11). Menghindari sistem imun merupakan langkah penting pada onkogenesis yang terkait-EBV. Pada kawasan di dunia, di mana limfoma Burkitt sudah endemik, infeksi serupa (endemik) malaria (atau infeksi lain) akan melemahkan kompetensi imun dan menyebabkan dipertahankannya proliferasi sel B. Menarik perhatian, walaupun LMP1 merupakan onkogen yang pertama yang di transformasikan pada genom EBV, onkogen ini tidak diekspresikan pada limfoma Burkitt yang terkait EBV, mungkin karena merupakan satu dari antigen virus utama yang dikenal oleh sistem imun. Sel yang terinfeksi dan mengekspresi antigen virus seperti LMP-1 diawasi oleh sistem imun. Sel linfoma akan muncul hanya apabila translokasi mengaktifkan onkogen MYC, suatu gambaran tetap pada tumor ini. MYC dapat menggantikan sinyal LMP1, sehingga tumor



Etiologi Kanker:Agen Karsinogenik dapat menurunkan kegiatan (downregulate) LMP1 dan menghindari sistem imun. Perlu diketahui, pada daerah non endemik, 80% tumor negatif terhadap EBV, tetapi semua tumor mengandungi translokasi MYC. Observasi ini menunjukkan kemungkinan bahwa walaupun limfoma Burkitt non-Afrika dipicu oleh mekanisme bukan EBV, tetapi kanker ini akan berkembang dengan jalur yang sama. Pada pasien dengan fungsi sel T yang kurang, termasuk pasien dengan HIV dan penerima transplantasi organ, sel B terinfeksi-EBV mengalami ekspansi poliklonal, menghasilkan sel mirip sel limfoblastoid. Sebaliknya dengan limfoma Burkitt, sel limfoblas B pada pasien dengan imunosupresi, mengekspresikan antigen virus, seperti LMP-1, yang akan dikenal oleh sel T. Proliferasi yang berpotensi letal ini akan berkurang apabila imunitas sel T bisa dipulihkan, dan juga dapat dicapai dengan penghentian obat imunosupresif pada penderita transplantasi. Kanker nasofaring dijumpai endemik di Cina Selatan dan beberapa daerah lain dan genom EBV dijumpai pada semua tumor. LMP-1 diekspresikan oleh sel karsinoma dan seperti pada sel B, akan mengaktifkan jalur NF-KB. Selanjutnya, LMP1 menginduksi ekspresi faktor pro-angiogenik seperti VEGF, FGF-2, MMP-9, dan COX-2, yang berperan dalam timbulnya onkogenesis. Bagaimana EBV memasuki sel epitel tidak jelas, sebab sel ini gagal mengekspresi protein CD21 yang berfungsi sebagai reseptor EBV pada sel B.



RINGKASAN Virus IDNA'Onkogenik • • •











HPV dihubungkan dengan kutil jinak, juga dengan kanker leher rahim. Onkogenitas HPV berhubungan dengan ekspresi dua onkoprotein virus, E6 dan E7; keduanya mengikat Rb dan p53, menetralkan fungsinya. E6 dan E7 dari strain HPV risiko tinggi (yang mengakibatkan kanker) mempunyai afinitas lebih tinggi untuk targetnya dibandingkan dengan E6 dan E7 dari strain HPV risiko rendah (yang mengakibatkan kutil jinak). EBV terlibat dalam patogenesis linfoma Burkitt, limfoma pada pasien dengan imunosupresi (infeksi HIV atau penerima transplantasi organ), beberapa bentuk limfoma Hodgkin,tumor sel T dan tumor sel NK yang jarang, karsinoma nasofaring,subset karsinoma lambung dan jarang pada sarkoma. Beberapa produk gen EBV berperan pada onkogenesis dengan menstimulasi jalur proliferasi sel B normal. Menurunnya (concomitant compromise) imunokompeten menimbulkan proliferasi sel B dipertahankan, mengakibatkan pertumbuhan limfoma, dengan timbulnya mutasi tambahan seperti t(8; 14) yang mengakibatkan pengaktifan gen MYC.



onkoprotein virus, dan walaupun DNA HBV terintegrasi dengan genom manusia, tidak ada pola konsisten integrasinya dengan sel hati. Agaknya efek onkogenik HBV dan HCV adalah multifaktor, tetapi efek yang dominan ialah radang kronik yang dipicu oleh proses imunologi dengan kematian sel hepar yang mengakibatkan regenerasi dan kerusakan genom. Walaupun sistem imun diperkirakan bersifat protektif, penelitian terakhir menunjukkan bahwa dalam upaya menghilangkan radang kronik, seperti pada hepatitis virus, atau gastritis kronik oleh H. pylori (dibahas kemudian), respons imun menjadi salah adaptasi, dan dapat menimbulkan perkembangan tumor. Apa pun penyebab jejas sel hati, infeksi virus kronik mengakibatkan proliferasi kompensasi sel hati. Proses regenerasi ditunjang dan dibantu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, dan substansi bioaktif yang dihasilkan oleh sel imun yang teraktifkan akan yang memicu ketahanan sel, remodel jaringan, dan angiogenesis. Sel imun yang teraktifkan menghasilkan mediator lain, seperti spesies oksigen reaktif yang bersifat toksik terhadap gen dan menyebabkan mutasi. Langkah molekuler terpenting ialah pengaktifan jalur faktor inti-KB (NF-KB) pada sel hati oleh mediator dari sel imun yang teraktifkan. Pengaktifan jalur NF-KB di dalam sel hati akan memblok apoptosis, sehingga sel hati yang sedang membelah mengalami stres toksik pada gen dan mengakumulasi mutasi. Walaupun ini diperkirakan merupakan mekanisme dominan pada patogenesis karsinoma sel hati yang diinduksi oleh virus, kedua HBV dan HCV juga mengandungi protein dalam genomnya yang bisa langsung memicu pertumbuhan kanker. Genom HBV mengandungi gen yang dikenal sebagai HBx, bisa menimbulkan kanker sel hati pada mencit transgenik. HBx dapat langsung atau tidak langsung mengaktifkan beberapa faktor transkripsi dan beberapa jalur sinyal transduksi. Sebagai tambahan, inte grasi virus bisa menyebabkan pengaturan kembali yang kedua dari kromosom, termasuk delesi multipel yang terdapat pada gen supresor tumor yang belum dikenal.



Walaupun bukan virus DNA, HCV juga berhubungan kuat dengan patogenesis kanker hati. Mekanisme molekuler pada HCV kurang dikenal dibandingkan dengan HBV. Disamping jejas sel hati kronik dan regenerasi kompensasi pada komponen genom HCV, (seperti protein inti HCV), HCV juga mungkin mempunyai efek langsung pada pembentukan tumor melalui pengaktifan jalur transduksi sinyal pemicu pertumbuhan.



RINGKASAN Virus Hepatitis B dan Hepatitis C •



Virus Hepatitis B dan Hepatitis C Bukti epidemiologi menunjukkan adanya hubungan kuat antara infeksi kronik virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV) dengan karsinoma sel hati (Bab 15). Diperkirakan bahwa 70% hingga 85% kasus karsinoma sel hati di dunia terjadi karena infeksi HBV atau HCV. Namun kerja virus ini tidak jelas diketahui. Genom HBV dan HCV tidak menyandi



203











Di antara 70% dan 85% karsinoma sel hati di dunia, terjadi akibat infeksi HBV atau HCV. Efek onkogen HBV dan HCV adalah multifaktor, tetapi efek yang dominan ialah radang kronik yang dipicu secara imunologi, dengan akibat jejas sel hati, stimulasi proliferasi sel hati dan produksi spesies oksigen reaktif yang dapat merusak DNA. Protein HBx dari HBV dan protein inti HCV dapat mengaktifkan berbagai jalur sinyal transduksi yang juga berperan pada terjadinya kanker.



204



BAB



Neoplasia



Helicobacter Pylori H. pylori semula diperkirakan sebagai penyebab penyakit ulkus peptikum, sekarang diragukan sebagai bakteri pertama yang dikelompokkan sebagai karsinogen. Memang, infeksi H. pylori dilibatkan pada terjadinya adenokarsinoma lambung dan limfoma lambung Skenario timbulnya adenokarsinoma lambung mirip dengan HBVdan HCV-pemicu kanker hati. H. pylori terlibat dalam proliferasi sel epitel dengan latar belakang radang kronik. Seperti pada hepatitis virus, daerah radang mengandungi banyak agen yang merupakan racun bagi genom, seperti spesies oksigen reaktif. Urutan perubahan histopatologis ialah diawali terjadinya radang kronik/gastritis, diikuti atrofia gaster, metaplasia intestinal sel permukaan, displasia dan kanker. Urutan ini membutuhkan waktu puluhan tahun untuk selesai dan hanya terjadi pada 3% pasien yang terinfeksi. Seperi HBV dan HCV, genom H. pylori juga mengandungi gen yang langsung terlibat dalam onkogenesis. Strains yang berkatian dengan adenokarsinoma lambung diketahui mempunyai bagian penyebab penyakit (pathogenicity island) yang mengandungi gen A, yang berhubungan dengan sitotoksin (CagA). Walaupun H. pylori tidak invasif, namun CagA yang disuntikkan ke epitel lambung, mempunyai berbagai efek, termasuk pemicu kaskade yang mirip stimulasi faktor pertumbuhan yang tidak diatur. Sebagaimana dibahas sebelumnya, H. pylori juga dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk timbulnya limfoma lambung. Limfoma gaster berasal dari sel B, dan karena sel B yang mengalami transformasi tumbuh dengan pola yang mirip dengan jaringan limfoid yang berasosiasi dengan mukosa normal (MALT), maka tumor tersebut disebut juga limfoma MALT (Bab 11). Patogenesis molekuler tidak jelas diketahui tetapi agaknya melibatkan faktor strain spesifik dari H. pylori, dan juga faktor genetik pejamu, misalnya polimorfisme pada promotor sitokin peradangan misalnya dan faktor nekrosis tumor (TNF). Diperkirakan infeksi H. pylori akan mengaktifkan sel T yang reaktif pada H. pylori, dan kemudian akan menyebabkan proliferasi sel B poliklonal. Pada waktunya akan muncul sel B monoklonal di antara sel B yang sedang berproliferasi, mungkin akibat akumulasi mutasi pada gen pengatur pertumbuhan. Sesuai dengan model ini eradikasi H. pylori, pada awal penyakit, akan menyembuhkan limfoma dengan hilangnya stimulus antigen sel T.



PERTAHANAN TUBUH TERHADAP TUMOR: IMUNITAS TUMOR Pemikiran bahwa tumor bukan seluruhnya mandiri (self) diajukan oleh Ehrlich, yang mengusulkan bahwa pengenalan sel tumor badan sendiri (autolog) yang dipicu oleh sistem imun merupakan "mekanisme positif" karena mampu menyingkirkan sel yang telah berubah. Selanjutnya, Lewis Thomas dan Macfarlane Burnet merumuskan konsep ini dengan memakai istilah pengawasan imun (immune surveillance) untuk melakukan pengenalan dan destruksi sel tumor yang baru jadi, yang dianggap benda asing oleh sistem pertahanan tubuh. Apabila terjadi kanker menandakan bahwa pengawasan imun tidak sempurna; lolosnya beberapa tumor dari kegiatan tersebut, tidak menghilangkan kemungkinan bahwa yang lain gagal. Bagian ini hanya membahas pertanyaan tentang imunitas tumor. Bagaimana sifat antigen tumor? Sistem pengenalan apa dari pejamu yang dapat mengenal sel tumor? Apakah imunitas tumor bermanfaat untuk neoplasma spontan?



Antigen Tumor Antigen yang menimbulkan respons imun telah ditunjukkan pada berbagai tumor hasil induksi pada percobaan dan beberapa pada kanker manusia. Pada awalnya, antigen-antigen ini diklasifikasi dalam dua kategori berdasarkan pola ekspresinya: antigen spesifik tumor (tumor-specific antigen), yang hanya ada pada sel tumor dan tidak dijumpai pada sel normal. dan antigen yang terkait tumor (tumorassociated antigens), yang ada pada sel tumor dan beberapa sel normal. Klasifikasi ini, sayangnya tidak sempurna, karena banyak antigen yang diperkirakan spesifik tumor ternyata diekspresi juga oleh sel normal. Klasifikasi modern antigen tumor didasarkan pada struktur molekuler dan sumbernya. Kemajuan penting pada imunologi tumor adalah pengembangan teknik utuk mengenali antigen tumor yang dikenal oleh limfosit T sitotoksik (CIts),sebab CTL berperan pada mekanisme defensif imun terhadap tumor. Seperti dibahas pada Bab 4, CTL akan mengenali peptida yang berasal dari protein sitoplasma yang terikat dengan molekul kompleks histokompatibilitas utama kelas I (class I major histocompatibility complex (MHC) molecules) Berikut pembagian utama antigen tumor (Gambar 5-32).



Produk Onkogen yang Bermutasi dan Gen Supresor Tumor RINGKASAN Helicobacter pylori • Infeksi H. pylori dikaitkan dengan adenokarsinoma lambung dan limfoma MALT. • Mekanisme kanker lambung yang diinduksi H. pylori adalah multifaktor, termasuk radang kronik yang dipicu faktor immunologi, stimulasi proliferasi sel lambung, dan produksi kelompok oksigen reaktif yang merusak DNA. Patogenitas gen H. pylori, seperti CagA, juga bisa berperan dengan merangsang jalur faktor pertumbuhan. • Diperkirakan infeksi H. pylori mendorong proliferasi sel B poliklonal dan suatu waktu timbul tumor sel B monoklonal (limfoma MALT) sebagai akibat akumulasi mutasi.



Transformasi neoplastik, sebagaimana dibicarakan sebelumnya, terjadi karena perubahan, sebagian terpapar sebagai antigen permukaan sel yang bisa dilihat sebagai bukan diri sendiri (non-self) oleh sistem imun. Antigen pada kategori ini berasal dari mutasi pada onkoprotein dan protein supresor tumor. Antigen tumor yang unik timbul dari 13-katenin, RAS, p53, dan CDK4, di mana gen yang telah disandi sering mengalami mutasi dalam tumor. Karena gen mutan hanya dijumpai pada tumor, maka peptidanya akan diekspresi hanya di sel tumor. Karena banyak tumor mempunyai mutasi yang sama, maka antigen tersebut adalah andil bersama dari tumor yang berbeda. Walaupun CTL dapat dirangsang untuk melawan antigen tersebut, tidak terjadi respons protektif in vivo. Pada beberapa kasus, onkogen tidak bermutasi akan diekspresi berlebihan pada tumor. Contoh terbaik



Pertahanan Tubuh terhadap Tumor: Imunitas Tumor



Sel pejamu normal menunjukkan berbagai antigen yang berhubungan dengan MHC



Sel tumormengeks presi berbagai tipe antigen tumor



CONTOH



No T cell response Normal self proteins



205



T cell MHC Class I



Product of oncogene or mutated tumor suppressor gene



Mutated self protein



Overexpressed or aberrantly expressed self protein



Virus onkogen



T cell



CD8+ CTL



Produk onkogen: RAS bermutasi, protein fusi, BCR/ABL Produk gen supresor tumor: protein p53 yang bermutasi



T cell



Berbagai protein mutan pada tumor binatang yang diinduksi karsinogen atau radiasi; berbagai protein mutan pada melanoma



T cell



Ekspresi berlebihan dari: tirosinase, gp100 Mart pada melanoma Ekspresi tidak teratur: antigen kanker testis (MAGE, BAGE



T cell



CD8+ CTL



Antigen virus spesifik untuk CTL CD8+



Protein virus papiloma manusia E6, E7 pada kanker serviks; protein EBNA pada limfoma yang diinduksi EBV



Gambar 5-32 Antigen tumor dikenal oleh sel T CD8+. (ModiPkasi dari Abbas Al, Lichtman AH: Cellular and Molecular Immunology, 5th ed. Philadelphia, WB Saunders, 2003. )



terbaik ialah onkogen HER2/NEU, di mana produknya diekspresi dalam jumlah tinggi pada suatu subjenis kanker payudara. Antibodi yang ditargetkan terhadap protein Her2/Neu dipakai di klinis untuk mengobati kanker payudara.



Produk dari Gen Lain yang Telah Bermutasi Karena instabilitas genetik sel tumor, banyak gen mengalami mutasi pada sel ini, termasuk gen yang produksinya tidak berkaitan dengan fenotipe yang telah mengalami transformasi dan fungsinya tidak diketahui. Produk gen yang telah bermutasi berpotensial menjadi antigen tumor. Antigen-antigen ini sangat bervariasi, karena karsinogen yang menginduksi tumor sebenarnya dapat mengadakan mutasi secara acak pada tiap gen pejamu. Protein sel yang telah mengalami mutasi lebih sering terjadi pada tumor binatang yang diinduksi oleh karsinogen kimia atau radiasi dibandingkan dengan kanker manusia yang spontan. Protein-protein tersebut dapat menjadi target sistem imun, karena tidak diiterima oleh badan sendiri.



Ekspresi Protein Sel yang Berlebihan atau Menyimpang Antigen tumor dapat berupa protein sel normal yang diekspresikan secara abnormal pada sel tumor dan mendatangkan respons imun. Pada subtipe melanoma manusia, beberapa antigen tumor mempunyai struktur protein normal yang pada sel normal diproduksi dalam jumlah rendah sedangkan pada sel tumor mengalami ekspresi berlebihan. Salah satu antigen tersebut ialah tirosinase, suatu enzim yang terlibat pada biosintesa



biosintesa melanin yang diekspresikan hanya pada melanosit normal dan melanoma. Sel T dari pasien dengan melanoma akan mengenali peptida yang berasal dari tirosinase, sehingga ada kemungkinan bahwa vaksin tirosinase dapat memicu reaksi tersebut pada melanoma; uji klinis terhadap vaksin ini sedang berlangsung. Adalah mengherankan bahwa pasien tersebut mampu bereaksi dengan antigen badan sendiri yang normal. Penjelasan yang dapat diberikan ialah secara normal tirosinase diproduksi dalam jumlah rendah dan hanya pada beberapa sel sehingga tidak dapat dikenali oleh sistem imun dan gagal menginduksi toleransi. Kelompok lain, yang disebut antigen kanker testis, yang disandi oleh gen yang tenang pada semua jaringan normal orang dewasa kecuali pada testis dan dikacau oleh sel kanker, sesuai dengan asal namanya. Walaupun protein tersebut dijumpai di testis, namun tidak ditampilkan pada permukaan sel dalam bentuk antigen, sebab sperma tidak menampilkan molekul MHC kelas I. Jadi untuk keperluan praktis, antigen ini bersifat spesifik tumor. Prototipe dari kelompok ini ialah kelompok gen MAGE (antigen gen melanoma/ melanoma antigen gene). Walaupun antigen ini spesifik tumor tetapi antigen MAGE tidaklah khas untuk tiap tumor. MAGE-1 diekspresikan pada 37% melanoma dan berbagai karsinoma paru, hati, lambung dan esofagus. Antigen serupa yang disebut GAGE, BAGE, dan RAGE telah ditemukan pada tumor lain. Beberapa antigen dari kategori ini sedang dipakai pada penelitian vaksin tumor.



206



BAB



Neoplasia



Antigen Tumor yang Diproduksi oleh Virus Onkogen Sebagaimana sudah dibahas terdahulu, beberapa virus dikaitkan dengan kanker. Tidak mengherankan, virus ini menghasilkan protein yang dianggap benda asing oleh sistem imun. Antigen yang paling poten adalah protein yang diproduksi oleh virus DNA laten; contohnya pada manusia ialah HPV dan EBV. Banyak bukti menunjukkan bahwa CTL mengenali antigen virus ini dan suatu sistem imun mampu berperan pada pengawasan terhadap tumor yang diinduksi virus karena kemampuannya untuk mengenali dan mematikan sel yang terinfeksi virus. Memang, vaksin terhadap antigen HPV telah berhasil efektif dalam mencegah kanker leher rahim pada gadis dan wanita muda.



Antigen Onkofetal Antigen onkofetal atau antigen embrionik, seperti antigen karsinoembrionik (CEA) dan alfa fetoprotein, ditampilkan selama embriogenesis tetapi tidak pada jaringan dewasa normal. Penekanan gen yang menyandi antigen ini akan menyebabkan ditampilkan lagi pada usus besar dan kanker hati. Antibodi dapat dibuat dari antigen ini dan bermanfaat untuk mendeteksi antigen onkofetal. Walaupun, seperti yang akan dibicarakan kemudian, tidak seluruh antigen adalah spesifik tumor. Antigen yang khas dapat digunakan sebagai marker serum untuk kanker.



Perubahan Glikolipid dan Glikoprotein Permukaan Sel Sebagian besar tumor pada manusia dan hewan percobaan menampilkan glikoprotein dan glikolipid permukaan dengan kadar lebih tinggi atau bentuk yang tidak normal yang bisa dijadikan tanda diagnostik dan target pada pengobatan. Molekul yang berubah ini termasuk gangliosida, antigen golongan darah dan musin. Walaupun hampir seluruh epitop dikenal oleh antibodi untuk melawan antigen tersebut tidak khusus diekspresi pada tumor, tetapi ditemukan kadarnya lebih tinggi pada sel kanker dibanding sel normal. Kelompok antigen ini menjadi target untuk terapi kanker dengan antibodi spesifik. Beberapa jenis musin menarik perhatian dan menjadi fokus penelitian di bidang diagnostik dan terapi inti termasuk CA-125 dan CA-19-9, yang diekspresi pada kanker ovarium, dan MUC-1, diekspresi pada kanker payudara. Berbeda dengan banyak musin lain, MUC-1 merupakan protein membran integral yang normalnya diekspresi hanya dipermukaan apikal dari epitel duktus payudara, suatu tempat yang terlepas dari sistem imun. Namun, pada karsinoma duktal payudara molekul tersebut diekspresi dalam bentuk yang tidak terpolarisasi dan mengandungi karbohidrat spesifik tumor dan epitop peptida yang baru. Epitop tersebut menginduksi antibodi dan respons sel T pada pasien kanker dan karena itu merupakan kandidat untuk vaksin tumor.



Antigen Diferensiasi yang Khas Tipe Sel (Cell TypeSpecific Differentiation Antigens) Tumor akan menampilkan molekul yang pada keadaan normal terdapat pada sel asalnya. Antigen ini disebut antigen diferensiasi, karena spesifik untuk garis (lineage) tertentu atau stadium diferensiasi berbagai tipe sel. Kepentingannya ialah dapat merupakan target potensial untuk imunoterapi dan untuk mengidentifikasi asal jaringan tumor. Contoh, limfoma dapat didiagnosis sebagai tumor berasal sel B karena ditemukannya marker permukaan yang khas untuk jenis ini, misalnya CD20. Antibodi terhadap CD20 dipakai untuk imunoterapi limfoma sel B tertentu. Antigen diferensiasi ini merupakan antigen badan sendiri yang normal, sehingga



tidak akan merangsang reaksi imun pada pejamu yang terkena tumor ini



Mekanisme Efektor Antitumor Imunitas yang dipicu sel merupakan mekanisme anti tumor yang dominan in vivo. Walaupun antibodi bisa dibuat melawan tumor, tidak ada bukti mempunyai peran proteksi dalam kondisi fisiologis. Efektor sel yang akan menimbulkan kekebalan menengah telah dibicarakan sepenuhnya di Bab 4, sehingga di sini akan dibahas secara singkat.



Limfosit T Sitotoksik Peran limfosit T sitotoksik (CTL) yang tersensitifasi khusus pada binatang percobaan yang diinduksi tumor telah diketahui. Pada manusia, agaknya berperan protektif, terutama terhadap neoplasma yang terkait virus (misalnya Limfoma Burkitt yang diinduksi EBV, tumor yang diinduksi HPV). Adanya sel MHC yang hanya CD8+ (MHCrestricted CD8+) yang dapat membunuh sel tumor autolog pada tumor manusia, maka diduga peran sel T dalam kekebalan melawan tumor agaknya lebih luas dari yang diperkirakan. Pada beberapa kasus, sel T CD8+ tidak terbentuk spontan in vivo tetapi dapat dibentuk dengan imunisasi memakai antigen tumor sel dendrit.



Sel Pembunuh Alamiah (Natural Killer Cells) Sel NK merupakan limfosit yang mampu memusnahkan sel tumor tanpa didahului sensitisasi; dapat menjadi garis depan pertahanan melawan sel tumor. Setelah pengaktifan dengan IL-2, sel NK dapat menghancurkan banyak tumor manusia, termasuk banyak yang diperkirakan nonimunogenik untuk sel T. Sel T dan sel NK membentuk mekanisme antitumor yang saling mendukung. Tumor yang gagal mengekspresikan antigen MHC kelas I tidak dapat dikenal oleh sel T, tetapi tumor ini dapat memicu sel NK karena sel ini diinhibisi mengenal molekul autologous kelas I normal (Bab 4). Jadi tumor dapat downregulate MHC class I molecules untuk mencegah pengenalan oleh sel T, sehingga merupakan target utama untuk sel NK. Reseptor yang memicu pada sel NK sangat berlainan dan termasuk pada beberapa kelompok gen. Protein NKG2D yang diekspresikan pada sel NK dan beberapa sel T, adalah reseptor pengaktif penting. Akan mengenal antigen yang dipicu stres yang terekspresi di sel tumor dan pada sel yang mengalami kerusakan DNA dan berisiko mengalami transformasi keganasan.



Makrofag Makrofag dari tipe M1 yang diaktifkan secara klasik (Bab 2) menunjukkan sifat sitotoksis terhadap sel tumor in vitro. Sel T, sel NK, dan makrofag akan saling bantu dalam reaktivitas antitumor, sebab interferon-y, suatu sitokin yang disekresi oleh sel T dan sel NK, merupakan aktivator kuat bagi makrofag. Makrofag yang telah diaktifkan akan membunuh tumor dengan mekanisme yang mirip dengan yang dipergunakan untuk mematikan mikroba (misalnya produksi metabolit oksigen reaktif) (Bab 2) atau melalui sekresi faktor nekrosis tumor (TNF).



Mekanisme Humoral Walaupun tidak ada bukti adanya efek protektif antibodi anti tumor terhadap tumor spontan,



Clinical Aspects of Neoplasia pemberian antibodi monoklonal terhadap sel tumor dapat merupakan terapi efektif. Suatu antibodi monoklonal terhadap CD20, merupakan suatu antigen permukaan sel B, dipakai secara luas untuk pengobatan limfoma non-Hodgkin tertentu.



Pengawasan Imun dan Penghindaran Imun oleh Tumor Dari segi potensi mekanisme antitumor pejamu, apakah ada bukti bahwa terjadi kegiatan in vivo untuk mencegah timbulnya suatu neoplasma? Argumentasi terkuat tentang adanya pengawasan imunologi ialah meningkatnya frekuensi kanker pada pejamu dengan gangguan imunodefisiensi. Pada sekitar 50% orang dengan imunodefisiensi kongenital akan timbul kanker, suatu kejadian yang 200 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang tanpa gangguan imunodefisiensi. Sama dengan, penerima transplantasi dengan pengobatan imunosupresi dan pasien dengan sindrom imunodefisiensi yang didapat jumlah keganasannya yang meningkat. Sebaiknya dicatat, sebagian besar (bukan semuanya) dari neoplasma ini ialah limfoma, sering limfoma dari sel B yang diaktifkan. Menarik sebagai ilustrasi ialah gangguan limfoproliferatif X-linked. Apabila anak laki-laki mengalami infeksi EBV, infeksi tersebut tidak menjadi bentuk self-limited dari mononukleosis infeksiosa yang biasa terjadi tetapi berkembang menjadi bentuk fatal mononukleosis infeksiosa atau lebih buruk, menjadi limfoma malignum. Kanker umunya terjadi pada pasien yang tidak mempunyai gangguan imunodefisiensi yang jelas. Apabila pengawasan imun memang ada, bagaimana kanker dapat menghindari sistem imun pada pejamu yang imunokompeten? Berikut diajukan beberapa cara mekanisme untuk menghindar: • Pertumbuhan berlebihan dari varian antigen negatif secara selektif. Selama perkembangan tumor, subklon dengan imunogenik kuat akan dihilangkan. Hal ini ditunjang oleh penelitian di mana tumor yang timbul pada mencit dengan immunocompromised mengekspresi antigen yang dikenal, dengan akibat eliminasi tumor oleh sistem imun mencit normal, sedangkan tumor sama yang timbul pada mencit dengan immunocompetent bersifat non immunogenik. • Hilang atau berkurangnya ekspresi molekul histokompatibilitas. Sel tumor bisa gagal mengekspresi antigen leukosit manusia (HLA) kelas I, dalam kadar normal menghindari penyerangan oleh CTL. Namun sel tersebut, dapat memicu sel NK. • Imunosupresi. Banyak agen onkogenik (misalnya zat kimia, radiasi ion) menekan respons imun pejamu. Tumor atau produk tumor dapat juga bersifat menekan kekebalan. Contoh, TGF-(3, disekresi dalam jumlah besar oleh banyak tumor, merupakan imunosupresan poten. Pada beberapa kasus, respons imun yang diinduksi tumor akan menghambat imunitas tumor. Beberapa mekanisme dari penghambatan tersebut telah dijelaskan. Contohnya, pengenalan sel tumor dapat mengikat reseptor inhibitor sel T, CTLA-4, atau mengaktifkan sel T yang bersifat mengatur yang akan menekan respons imun. Dapat pula terjadi lebih buruk, beberapa mengekspresi FasL, yang dapat mengikat Fas pada permukaan sel imun dan menginduksi sel imun untuk masuk proses apoptosis. • Antigen masking. Banyak tumor memproduksi lapisan yang lebih tebal dari molekul glycocalyx eksternal, asam mukopolisakarida mengandungi asam sialat dibanding sel normal. Lapisan tebal ini akan memblok akses sel tumor ke



207



molekul yang menyajikan antigen, sehingga mencegah pengenalan antigen dan melakukan kematian sel. • Mengurangi molekul yang membantu rangsangan (Downregulation of co-stimulatory molecules). Molekul pendamping (costimulatory) dibutuhkan untuk memicu respons sel T yang kuat. Banyak tumor mengurangi ekspresi molekul pembantu rangsangan tersebut.



RINGKASAN Pengawasan imun • • •



• •



Sel tumor dapat dikenal oleh sistem imun sebagai benda asing dan dirusak. Aktivitas antitumor dipicu terutama oleh mekanisme pemicu sel. Antigen tumor ditempatkan di permukaan sel oleh molekul MHC kelas I dan dikenal oleh CD8+ CTL. Berbagai kelas antigen tumor termasuk produk dari protoonkogen yang telah mengalami mutasi, gen supresor tumor, protein dengan ekspresi berlebihan atau ekspresinya menyimpang, antigen tumor yang dihasilkan virus onkogen, antigen onkofetal, perubahan glikolipid dan glikoprotein dan antigen sel dengan diferensiasi khusus (cell type-specific differentiation antigens). Pasien dengan imunosupresi mempunyai risiko tinggi untuk timbulnya kanker Pada pasien imunokompeten, tumor dapat menghindari sistem imun dengan beberapa mekanisme, termasuk pertumbuhan berlebihan selektif dari varian antigen negatif, hilang atau berkurangnya ekspresi antigen dengan histokompatibilitas dan imunosupresi yang dimediasi oleh sekresi faktor dari tumor (misalnya TG F-(3).



ASPEK KLINIS NEOPLASIA Pentingnya neoplasma bergantung efeknya pada pasien. Walaupun tumor ganas lebih membahayakan daripada tumor jinak, morbiditas, dan mortalitas dapat dikaitkan dengan tumor apa pun termasuk juga dengan tumor jinak. Memang, kedua jenis tumor, baik jinak maupun ganas dapat menimbulkan masalah karena (1) lokasi dan akibatnya terhadap struktur sekitarnya, (2) aktivitas fungsional seperti sintesa hormon atau timbulnya sindrom paraneoplastik, (3) perdarahan dan infeksi bila tumor mengalami ulserasi ke jaringan permukaan sekitarnya, (4) simptom yang terjadi akibat ruptur atau infark dan, (5) kaheksia atau penyusutan tubuh. Diskusi berikutnya mengenai efek tumor pada pejamu, gradasi dan stadium klinis kanker, dan diagnosis laboratorium dari neoplasma.



Efek Tumor pada Pejamu Lokasi sangat penting pada kedua jenis tumor jinak dan ganas. Suatu tumor kecil (1cm) adenoma hipofisis dapat menekan dan merusak kelenjar normal disekitarnya dan mengakibatkan hipopituitarisme. Suatu leiomioma ukuran 0,5 cm pada dinding arteri renalis dapat menggangu suplai darah, mengakibatkan iskemia ginjal dan hipertensi. Suatu karsinoma ukuran kecil pada duktus biliaris dapat mengakibatkan obstruksi fatal saluran empedu.



208



BAB 5



Neoplasia



Produksi horman dijumpai pada neoplasma jinak dan ganas dari kelenjar endokrin. Adenoma dan karsinoma berasal dari sel beta pulau Langerhans pankreas akan menyebabkan hiperinsulinisme, kadang-kadang fatal. Sebagai analog, beberapa adenomas dan karsinoma korteks kelenjar adrenal menghasilkan kortikosteroid yang memberi pengaruh pada pasien (misalnya aldosteron, yang menginduksi retensi natrium, hipertensi, dan hipokalemia). Aktivitas hormon yang demikian lebih mungkin dijumpai pada suatu tumor jinak dibandingkan dengan karsinoma di kelenjar yang sama. Suatu tumor dapat mengalami ulserasi ke permukaan, dengan akibat perdarahan dan infeksi sekunder. Neoplasma jinak atau ganas yang tumbuh ke dalam lumen saluran cerna dapat terjebak gerakan peristaltik, dan menyebabkan intususepsi (Bab 14) dan obstrusi intestinum atau infark.



Kaheksia Kanker Banyak pasien kanker menderita kehilangan lemak tubuh dan jaringan massa tubuh secara progresif, disertai rasa lemah yang berat, anoreksia dan anemia suatu kondisi yang disebut kaheksia. Ada korelasi antara besar dan luasnya penyebaran kanker dengan beratnya kaheksia. Namun, kaheksia tidak diakibatkan oleh kebutuhan nutrisi tumor. Walaupun pasien kanker umumnya mengeluh anoreksia, bukti terakhir menunjukkan bahwa kaheksia terjadi karena kerja faktor yang larut air, misalnya sitokin yang diproduksi oleh tumor dan pejamu, dan bukan karena berkurangnya intake makanan. Pada pasien dengan kanker, kebutuhan kalori tetap tinggi dan metabolisme basal meningkat. Hal ini berlawanan dengan metabolisme yang menurun sebagai respons adaptif saat kelaparan. Dasar terjadinya abnormalitas metabolisme tidak sepenuhnya diketahui. Diperkirakan akibat TNF yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap sel tumor yang memicu kaheksia. TNF menekan nafsu makan dan mencegah kerja lipase lipoprotein, mencegah keluarnya asam lemak bebas dari lipoprotein. Juga, suatu faktor mobilisasi protein, yang disebut faktor yang menginduksi proteolisis, yang mengakibatkan pemecahan protein otot skeletal oleh jalur ubiquitin-proteosome, yang ditemukan pada serum pasien kanker. Molekul lain dengan kerja lipolitik juga telah ditemukan. Tidak ada pengobatan yang memuaskan untuk kaheksia kanker kecuali menghilangkan penyebabnya, yaitu tumor.



Sindrom Paraneoplasma Sekelompok gejala yang terjadi pada pasien kanker dan tidak dapat dijelaskan, apakah akibat penyebaran lokal atau penyebaran jauh atau elaborasi hormon yang tidak berasal dari jaringan asal tumor disebut sindrom paraneoplasma. Timbul pada 10% hingga 15% pasien kanker, dan pengenalan klinis penting karena beberapa hal: • Sindrom tersebut dapat menyatakan adanya manifestasi dini suatu neoplasma yang tersembunyi • Pada pasien yang terkena sindrom itu, perubahan patologis dapat diasosiasikan dengan penyakit klinis yang jelas dan dapat bersifat mematikan. • Kelompok gejala dapat menyerupai suatu penyakit yang bermetastasis, sehingga akan mengacaukan pengobatan.



Sindrom paraneoplasma beraneka-ragam dan dikaitkan dengan berbagai tumor yang berbeda (Tabel 5-5). Yang tersering dijumpai pada sindrom itu ialah hiperkalsemia, sindrom Cushing, dan endokarditis trombotik nonbakteri; neoplasma tersering yang dihubungkan dengan sindrom ini dan sindrom lain ialah kanker paru, payudara dan keganasan hematologi. Hiperkalsemia pada penderita kanker bersifat multifaktor, tetapi mekanisme terpenting ialah sintesa protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid (PTHrP) oleh sel tumor. Juga melibatkan faktor yang berasal dari tumor, misalnya TGFa, faktor polipeptida yang mengaktifkan osteoklas, dan bentuk aktif vitamin D. Kemungkinan mekanisme lain timbulnya hiperkalsemia adalah penyakit metastastik osteolitik yang luas pada tulang; namun harap diperhatikan bahwa hiperkalsemia akibat metastasis pada tulang bukan merupakan merupakan sindrom paraneoplasma. Sindrom Cushing yang timbul sebagai fenomena paraneoplasma biasanya berhubungan dengan produksi ACTH ektopik atau polipeptida yang mirip ACTH oleh sel kanker, sebagaimana yang terjadi pada kanker paru jenis sel kecil. Kadang-kadang satu tumor menginduksi beberapa sindrom bersamaan. Contoh, karsinoma bronkogenik dapat mengeluarkan produk yang identik atau mempunyai efek seperti ACTH, hormon antidiuretik, hormon paratiroid, serotonin, human chorionic gonadotropin, dan substansi bioaktif lain. Sindrom paraneoplasma dapat juga bermanifestasi seperti hiperkoagulabilitas, mengakibatkan trombosis vena dan endokarditis trombosit nonbakteri (Bab 10). Manifestasi lain ialah jari-jari yang clubbing dan osteoartropati hipertrofi pada pasien dengan karsinoma paru (Bab 12). Hal lain akan dibahas pada kanker organ tubuh bersangkutan



Derajat Diferensiasi dan Stadium Kanker Metode untuk mengukur kemungkinan agresivitas sejumlah neoplasma secara klinis dan kuantitatif serta perluasan dan penyebaran pada seorang pasien, perlu untuk membuat prognosis yang akurat dan untuk membandingkan hasil akhir berbagai protokol pengobatan. Misalnya, hasil dari pengobatan adenokarsinoma tiroid yang kecil berdiferensiasi baik dan masih terbatas di kelenjar tiroid akan berbeda dengan hasil pengobatan karsinoma tiroid anaplastik yang telah menginvasi organ pada leher. Gradasi kanker ialah upaya untuk memperkirakan agresivitas atau derajat keganasan berdasarkan diferensiasi sitologi sel tumor dan jumlah mitosis yang dijumpai pada tumor. Kanker dapat diklasifikasi sebagai grade I, II, III, atau IV, sesuai dengan urutan beratnya anaplasia. Kriteria gradasi berbeda pada tiap jenis neoplasia dan tidak akan dibahas secara rinci di sini. Kesulitan untuk memastikan kriteria yang jelas menyebabkan kemudian dipilihnya cara karakterisasi deskriptif (misalnya adenokarsinoma berdiferensiasi baik tanpa invasi vaskular maupun limfatik atau sarkoma yang sangat anaplastik dengan invasi vaskular yang luas). Stadium kanker didasarkan pada besarnya lesi primer, penyebaran ke kelenjar getah bening regional dan ada atau tidaknya metastasis. Penilaian ini biasanya didasarkan pada pemeriksaan klinis dan radiografi (computed tomography and magnetic resonance imaging) dan pada beberapa kasus didasarkan atas eksplorasi bedah. Penetapan stadium sekarang dilakukan menurut dua



Clinical Aspects of Neoplasia



209



Tabel 5-5 Sindrom Paraneoplastik



Sindrom Klinis



Jenis Utama Neoplasia



Mekanisme Penyebab/Agen



Sindrom Cushing



Karsinoma paru sel kecil Karsinoma pankreas Tumor saraf



ACTH atau zat mirip ACTH



Sindrom sekresi hormon antidiuretika tidak tepat



Karsinoma paru sel kecil; Neoplasma Intraktranial Karsinoma paru sel skuamosa Karsinoma payudara Karsinoma ginjal Leukimia/limfoma sel T dewasa Karsinoma ovarium Fibrosarkoma Sarkoma mesenkim lainnya Karsinoma sel hepar



Hormon antidiuretika atua hormon natriuretik atrial



Endokrinopati



Hiperkalsemia



Hipoglikemia



Protein yang terikat hormon paratiorid TGF-α, TNF, IL-I



Zat insulin atau mirip insulin



Sindrom karsinoid



Adenoma bronkus (karsinoid) Karsinoma pankreas Karsinoma lambung



Serotonin, bradikinin



Polisitemia



Karsinoma ginjal Hemangioma serebelum Karsinoma sel hepar



Eritropoiten



Sindrom Saraf dan Otot Miastenia Gangguan sistem saraf sentral dan perifer



Imunologi



Karsinoma bronkus, timoma Karsinoma payudara, teratoma



Gangguan Kulit Nigrikan Aknatosis



Karsinoma lambung Karsinoma paru Karsinoma uterus



Imunologi; sekresi faktor pertumbuhan epidermal



Dermatomiositis



Karsinoma bronkus dan karsinoma payudara



Imunologi



Perubahan Tulang, Sendi dan Jaringan Ikat Osteoartropati hipertrofik dan jari tangan sangat penting



Karsinoma bronkus



Tidak diketahui



Trombosis vena ( Fenomena Trousseau)



Karsinoma pankreas Karsinoma bronkus kanker lain



Produk tumor (musin yang mengaktifkan pembekuan)



Endokarditis trombotik non bakteri



Kanker lanjut Timoma



Hiperkoagulasi



Berbagai kanker



Antigen tumor, kompleks imun



Perubahan Vaskular dan Hematologik



Anemia



Imunologi



Lain Sindrom nefrotik



ACTH, adrenocorticotropic hormone; IL-1, interleukin-1; TGF-α, transforming growth factor-α; TNF, tumor necrosis factor.



metode: sistem TNM (T, tumor primer; N, keterlibatan kelenjar getah bening; M, metastasis) dan sistem AJC (American Joint Committee). Pada sistem TNM, T1, T2, T3, dan T4 menjelaskan tentang membesarnya ukuran lesi primer; N0, N1, N2, dan N3 menyatakan makin meluasnya secara progresif keterlibatan kelenjar getah bening; dan MO dan M1 menyatakan ada atau tidak adanya metastasis jauh. Pada metode AJC, kanker dibagi dalam stadium 0 sampai IV, menyatukan ukuran lesi primer, adanya penyebaran pada kelenjar getah bening dan metastasis jauh. Contoh dari aplikasi kedua sistem akan dibahas pada bagian berikutnya. Harap diperhatikan, apabila dibandingkan dengan penentuan grade, maka stadium mempunyai nilai klinis yang lebih bermanfaat.



RINGKASAN Aspek Klinis Turnor • Kaheksia, didefinisikan sebagai kehilangan lemak tubuh secara progresif dan massa tubuh yang sangat kurus, disertai rasa sangat lemah, anoreksia dan anemia, yang terjadi akibat keluarnya sitokin oleh tumor atau pejamu. • Sindrom paraneoplasma, didefinisikan sebagai gejala sistemik yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya penyebaran tumor atau adanya hormon yang tidak sesuai dengan jaringan,tetapi disebabkan oleh produksi dan sekresi substansi bioaktif ektopik seperti ACTH, PTHrP, atau TGF-a.



210 •







BAB 5



Neoplasia



Gradasi tumor ditentukan oleh gambaran sitologi dan didasarkan pada pemikiran bahwa sifat berkaitan dengan diferensiasi seperti tumor dengan diferensiasi buruk akan mempunyai sifat lebih agresif. Stadium, ditentukan dengan pembedahan atau pencitraan yang, didasarkan pada ukuran, lokasi dan penyebaran pada kelenjar getah bening serta, metastasis jauh. Stadium mempunyai nilai klinis lebih dibandingkan dengan grade.



Diagnosis Laboratorium Kanker Metode Morfologi Pada umumnya, diagnosis laboratorium kanker tidak sukar. Dua ujung spektrum jinak dan ganas tidak menimbulkan masalah, tetapi yang berada ditengah, menjadi daerah tidak jelas jinak atau ganas, yang harus dipastikan dengan cermat. Klinikus mempunyai kecenderungan menganggap mudah kontribusinya untuk menentukan diagnosis neoplasma. Untuk diagnosis patologi yang optimum, data klinis dan radiologi belum cukup. Gambaran klinis perubahan yang disebabkan radiasi pada kulit atau mukosa dapat mirip dengan kanker. Sediaan yang diambil dari fraktur yang sedang menyembuh dapat mirip dengan osteosarkoma. Evaluasi laboratorium suatu lesi hanya dapat tepat, bila spesimen yang dikirimkan untuk pemeriksaan juga baik. Spesimen harus adekuat, representatif dan telah difiksasi dengan baik. Beberapa cara untuk mendapatkan sampel dapat dilakukan termasuk eksisi atau biopsi, aspirasi jarum halus dan sediaan hapusan sitologi. Apabila eksisi tidak dimungkinkan, pemilihan tempat biopsi suatu tumor yang besar harus tepat karena daerah tepi tidak representatif dan daerah tengah biasanya banyak nekrosis. Permintaan untuk diagnosis potong beku kadang-kadang sangat diperlukan, seperti misalnya untuk menentukan sifat lesi atau mengevaluasi kelenjar getah bening pasien kanker, untuk menentukan metastasis. Metode ini, di mana suatu sampel dibekukan terus dilakukan pemotongan, memungkinkan evaluasi histologis dalam beberapa menit. Oleh ahlinya yang kompeten, diagnosis potong beku akurat, tetapi ada beberapa keadaan, diperlukan pemeriksaan histologis lebih lanjut dengan waktu lebih banyak untuk mendiagnosis kelainan. Pada keadaan ini lebih baik menunggu beberapa hari, walaupun ada kekurangannya, daripada melakukan tindakan bedah yang tidak adekuat atau tidak perlu. Aspirasi jarum halus dari tumor merupakan cara yang banyak dipergunakan. Dilakukan aspirasi sel dari suatu massa, diikuti pemeriksaan sitologi sediaan apus. Prosedur ini biasanya dilakukan pada lesi yang mudah teraba pada payudara, tiroid, kelenjar getah bening dan kelenjar liur. Teknik pencitraan modern memungkinkan metode ini dilakukan untuk organ yang terletak lebih dalam, seperti hati, pankreas, dan kelenjar getah bening pelvis. Modalitas diagnosis ini mengurangi bahaya tindakan bedah dan risiko yang terkait. Walaupun adanya kesulitan, misalnya ukuran sampel yang kecil dan kesalahan pengambilan sampel, pada tangan yang ahli diperoleh hasil tepat, cepat dan bermanfaat. Sedian apus sitologi (Papanicolaou) merupakan metode lain untuk deteksi kanker. Sebelumnya, cara ini sudah digunakan untuk mendeteksi karsinoma leher rahim, sering pada stadium in situ, tetapi sekarang dipakai untuk memeriksa berbagai kelainan yang dicurigai keganasan, seperti karsinoma endometrium, karsinoma bronkogenik



tumor kandung kemih, prostat dan karsinoma lambung; tumor abdomen, pleura, sendi dan cairan serebrospinal; dan agak jarang untuk evaluasi jenis neoplasma lain. Sel neoplasma kurang kohesif dibanding yang lain sehingga akan dikeluarkan melalui cairan atau sekresi (Gambar 5-33). Sel yang terlepas akan di evaluasi anaplasia dan tanda-tanda untuk menentukan asal tumor. Hasil yang mengesankan terhadap pengendalian kanker leher rahim merupakan contoh terbaik berhasilnya metode sitologik ini. Imunositokimia merupakan pemeriksaan penunjang untuk pemeriksaan histologi rutin. Deteksi sitokeratin dengan antibodi monoklonal yang di label peroksidase mengarahkan diagnosis sebagai karsinoma yang tidak berdiferensiasi dan bukan limfoma sel besar. Keadaan yang sama, yaitu deteksi antigen spesifik prostat (PSA) pada deposit metastasis, dengan pulasan imunohistokimia memungkinkan diagnosis pasti tumor primer prostat. Deteksi imunositokimia untuk reseptor estrogen memungkinkan untuk menentukan prognostis dan mengarahkan cara pengobatan pada kanker payudara. Flow cytometry dipakai secara rutin untuk klasifikasi leukemia dan limfoma. Pada metode ini, antibodi fluoresen terhadap antigen molekul sel permukaan dan antigen



A



B Gambar 5-33 A, Sediaan apus Papanicolaou normal dari leher rahim. Sel besar, pipih dengan inti kecil merupakan gambaran khas. B, Apusan abnormal mengandungi kumpulan sel ganas dengan inti besar hiperkromatik. Pleiomorfi inti mencolok, dan satu sel dalam keadaan mitosis.Tampak beberapa neutrofil, berukuran kecil dengan inti kompak berlobus. (Sumbangan dari Dr. Richard M. DeMay, Department of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois. )



Aspek Klinis Neoplasia diferensiasi dipergunakan untuk menentukan fenotipe sel ganas



Petanda Tumor Uji biokimia untuk enzim yang berkaitan dengan tumor, hormon, dan petanda tumor di darah tidak dapat dipakai untuk diagnosis pasti kanker; namun, bermanfaat untuk menyaring dan pada beberapa keadaan untuk menentukan kualitas reaksi pengobatan atau mendeteksi kekambuhan. Aplikasi uji ini dipertimbangkan pemakaiannya untuk berbagai jenis neoplasma yang telah dibicarakan pada bab lain, hanya beberapa contoh akan dibicarakan di sini. PSA, dipakai untuk menentukan adanya adenokarsinoma prostat, merupakan petanda tumor yang paling sering dipergunakan dan bermanfaat untuk kepentingan klinis. Karsinoma prostat dapat dicurigai ketika peningkatan kadar PSA ditemukan di darah. Namun, skrening dengan PSA juga menimbulkan masalah seperti yang juga dijumpai pada petanda tumor lain. Walaupun kadar PSA sering meningkat pada kanker, namun kadar PSA juga meningkat pada hiperplasi prostat jinak (Bab 17). Juga tidak ada kadar PSA yang memastikan bahwa seseorang tidak menderita kanker prostat. Jadi tes PSA kurang sensitif dan kurang spesifik. Uji sangat bermanfaat untuk menentukan sisa penyakit atau kekambuhan setelah terapi untuk kanker prostat. Petanda umor lain yang sering dipakai untuk keperluan klinis ialah antigen karsinoembrionik (CEA), yang dihasilkan oleh karsinoma usus besar, pankreas, lambung, dan payudara serta alfafetoprotein yang diproduksi oleh karsinoma sel hepar, sisa yolk sac di gonad dan kadang-kadang teratokarsinoma serta karsinoma sel embrional. Namun seperti PSA, kedua petanda tumor ini dapat diproduksi pada berbagai kondisi non neoplastik. Jadi CEA dan uji alfafetoprotein tidak mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang dibutuhkan untuk deteksi dini kanker. Seperti pada skrening PSA, kedua petanda itu masih bermanfaat untuk deteksi kekambuhan setelah eksisi. Setelah tumor berhasil direseksi, petanda ini akan menghilang dari serum; timbulnya kembali menyatakan berita buruk, karena telah terjadi kekambuhan tumor. CEA akan dibahas lagi pada Bab 14 dan alfafetoprotein pada Bab 15.



Diagnosi Molekuler Sekarang sejumlah teknik molekuler dipakai untuk diagnosis tumor dan untuk memprediksi sifatnya. • Diagnosis keganasan: karena sel T dan sel B mempunyai gen reseptor antigen dengan susunan kembali yang khas, deteksi berdasarkan polymerase chain reaction (PCR) dari reseptor sel T atau gen imunoglobulin memungkinkan untuk membedakan proliferasi monoklonal (neoplasma) dan poliklonal (reaktif). Berbagai neoplasma hematopoiesis, dan juga beberapa tumor solid, ditentukan dengan translokasi khusus, sehingga diagnosis dapat dibuat dengan mendeteksi translokasi tersebut. Contoh, hibridisasi in situ fluoresensi (FISH) atau analisis PCR (Bab 6) dapat dipakai untuk mendeteksi translokasi yang khas untuk sarkoma Ewing dan beberapa leukemia serta limfoma. Deteksi transkripsi BCR-ABL berdasarkan PCR memungkinkan diagnosis molekuler untuk leukemia mieloid kronik.



211



• Prognosis dan sifat. Beberapa perubahan gen dihubungkan dengan prognosis buruk sehingga adanya perubahan ini menentukan terapi selanjutnya. Metode FISH dan PCR dapat dipakai untuk mendeteksi amplifikasi onkogen seperti HER2/NEU dan NMYC, yang akan memberikan informasi tentang prognosis dan terapi untuk kanker payudara dan neuroblastoma. • Deteksi sisa minimal penyakit. Manfaat teknik molekuler yang baru muncul ialah mendeteksi sisa minimal penyakit setelah terapi. Contoh, deteksi dari transkripsi BCR-ABL dengan PCR menjelaskan tentang ukuran penyakti yang tersisa pada pasien yang diobati untuk leukemia mieloid kronik. Pengenalan hampir semua tumor yang telah lanjut, dihubungkan dengan sel tumor dan produk hasil tumor yang intake (misalnya DNA . tumor) telah menarik perhatian untuk mengikuti beratnya tumor melalui tes darah yang sensitif. • Diagnosis tentang kanker yang cenderung diturunkan. Mutasi alur sel benih (germline) dari beberapa gen supresor tumor, seperti BRCA1, meningkatkan risiko pasien untuk timbulnya jenis kanker tertentu. Jadi, deteksi dari alel yang mengalami mutasi akan memungkinkan pasien dan dokternya merencanakan suatu protokol agresif untuk skreening, dan juga kesempatan untuk bedah profilaksis. Selanjutnya, deteksi tersebut memungkinkan diadakan konseling genetik bagi keluarga yang berisiko. • Menentukan keputusan terapi. Terapi yang langsung mengenai target mutasi khusus sedang terus berkembang dan deteksi mutasi pada suatu tumor dapat mengarahkan perkembangan terapi target, seperti akan dibahas kemudian. Sekarang menjadi kenyataan bahwa mutasi yang akan menjadi target akan mengubah kategori morfologi. Contohnya, mutasi dari ALK kinase, yang tadinya dikelompokkan pada subset limfoma sel T, juga ditemukan dalam persentase kecil pada karsinoma bukan sel kecil dan neuroblastoma. Uji klinis menunjukkan bahwa kanker paru dengan mutasi pada ALK bereaksi dengan inhibitor ALK, sedang kanker paru lain tidak bereaksi, dan FDA telah menyetujui pemakaian inhibitor ALK untuk pasien kanker paru yang "telah mengalami mutasi ALK". Suatu contoh lain yang menarik ialah terapi pada melanoma dengan terapi molekuler terarah (molecularly "tailored") pada tumor dengan glutamat yang diganti valine pada asam amino 600 (V600E) dari serine/ threonin kinase BRAF, berespons baik dengan inhibisi BRAF, sedangkan melanoma tanpa mutasi ini tidak memberikan respons. Yang menarik perhatian juga ialah, mutasi V600E dijumpai juga pada subset kanker usus besar, kanker tiroid tertentu, 100% pada hairy cell leukemias, dan histiositosis sel Langerhans (Gambar 5-34). Tumor ini morfologinya berbeda dan mempunyai sel asal tersendiri, tetapi mempunyai lesi onkogen yang sama pada jalur pro pertumbuhan.



Molecular Profiling of Tumors Pembentukan profil molekul dapat dilakukan pada tingkat mRNA dan pada pengaturan nukleotida. Masing-masing akan dibahas di bawah ini. Pembentukan Profil Ekspresi Teknik ini memerlukan pengukuran tingkat ekspresi ribuan gen secara bersamaan. Prinsip ini disebut teknik chip gen (gene chip) yang digambarkan pada Gambar 5-35 dan dibahas secara singkat berikut ini.



212



BAB 5



Neoplasia



PLX4032



Melanoma



Mutasi BRAF (V600E)



Karsinoma tiroid papiler



Adenokarsinoma usus besar



Histiositosis sel Langerhans



Leukemia sel berambut



Gambar 5-34 Berbagai tipe tumor yang mempunyai mutasi yang sama, BRAF (V600E), mungkin bisa direncanakan untuk mendapat pengobatan dengan obat yang sama, yang disebut PLX4032.



Seperti dapat dilihat, proses dimulai dengan ekstraksi mRNA sari dua sumber (misalnya normal dan ganas, normal dan preneoplastik, atau dua tumor dengan gambaran histologis yang sama). Salinan DNA pelengkap (cDNA) dari mRNA disintesis in vitro dengan nukleotida yang telah dilabel fluoresen. Untaian cDNA yang telah dilabel fluoresen dihibridisasikan dengan probe DNA yang urutannya khusus dan dihubungkan dengan penahan yang solid, seperti chip silikon. lcm2 chip dapat mengandungi ribuan probe yang tersusun dalam kolom dan baris. Setelah hibridisasi, maka scan laser dengan resolusi tinggi akan mendeteksi sinyal fluoresen dari masing-masing titik. Intensitas fluorosen dari tiap titik adalah proporsional dengan nilai ekspresi mRNA asal yang dipakai untuk mensintesa cDNA yang telah dihibridisasi pada titik tersebut. Dengan demikian, untuk tiap sampel, diperoleh nilai ekspresi ribuan gen, dan dengan pemakaian alat bioinformatik, kadar relatif ekspresi gen pada sampel yang berbeda dapat dibandingkan. Pada dasarnya akan diperoleh profil molekuler untuk tiap jaringan yang dianalisis. Analisis semacam itu berhasil mengungkapkan bahwa fenotipe limfoma sel B yang identik (Bab 11) dari pasien yang berbeda adalah heterogen dalam kaitannya dengan ekspresi gen dan angka survival. Pendekatan yang sama sekarang sedang dicoba pada kanker lain, seperti kanker payudara dan melanoma.



Sekuensing Seluruh Genom



Kemajuan dan perkembangan teknologi sekuensing generasi berikut, memberikan harapan besar untuk mampu menganalisis tumor lebih dalam.Kemajuan teknologi ini melampaui hukum Moore yang terkenal tentang mikroprosesor. Sekuensing seluruh genom, yang beberapa tahun lalu memerlukan waktu berbulan-bulan dan jutaan dolar, sekarang hanya membutuhkan waktu beberapa hari dan hanya beberapa ribu dolar. Sekuen dari seluruh genom, apabila dibandingkan dengan genom normal dari pasien yang sama, dapat mengungkapkan semua perubahan somatik yang terjadi pada tumor. Hasil terakhir analisis genom suatu tumor menunjukkan bahwa tumor secara individu bisa mempunyai sekelompok



mutasi somatik (leukemia tertentu pada anak) sampai puluhan ribu mutasi, dengan tingkat mutasi tertinggi dijumpai pada kanker yang terkait dengan paparan mutagen, seperti kanker paru dan kanker kulit. Di antaranya ada dua tipe mutasi: (1) yang mengubah pengaturan normal dari proliferasi, diferensiasi dan homeostasis sel dan (2) yang tidak memberikan efek terhadap fenotipe sel. Set mutasi yang pertama disebut mutasi supit (driver mutations) sebab mutasi ini mengarahkan proses ke neoplasma dan dapat merupakan target pengobatan. Set mutasi lainnya, biasanya lebih banyak dari mutasi supir dan semuanya terletak pada daerah tanpa sandi pada genom atau mempunyai efek netral dalam petumbuhan, tidak memberikan keuntungan atau kerugian. Mutasi tersebut disebut mutasi penumpang (passenger mutations). Terjadi karena instabilitas genom sel kanker dan hanya menumpang kegiatan yang ada.



Secara umum, mutasi supir terjadi berulang dan dijumpai pada beberapa persen pasien dengan kanker tertentu. Jadi, sebagai contoh, gen fusi BCR-ABL dijumpai pada seluruh kasus leukemia mieloid kronik, dan protein fusi merupakan target pengobatan sempurna. Namun, mutasi supir mungkin hanya dijumpai pada sekelompok jenis tumor tertentu. Contohnya, hanya sekitar 4% dari jenis kanker paru bukan sel kecil mengandungi gen fusi tirosin kinase EML4-ALK; dan seperti telah dibahas, pada keadaan yang jarang ini, pasien berespons sangat baik dengan penghambat ALK. Komplikasi tambahan ialah bahwa beberapa mutasi penumpang mempunyai peran penting pada resistensi obat. Contohnya, mutasi pada BCR-ABL yang memberikan resistensi terhadap imatinib pada leukemia mieloid kronik dijumpai sebagai mutasi penumpang pada kelompok (yang jarang) sebelum terapi dimulai. Karena memberikan keuntungan selektif, yang kuat, maka mutasi ini diubah dari penumpang menjadi supir dalam kaitannya dengan terapi obat; dan diperkirakan instabilitas genom pada sel kanker menumbuhkan benih resistensi melalui skenario yang sama pada berbagai tumor. Demikian pula, beberapa mutasi tertentu dan yang jarang dijumpai semua akan memakai jalur yang



Aspek Klinis Neoplasia mRNA yang diisolasi



JARINGAN TUMOR



JARINGAN NORMA



cDNA yang berlabel (hijau)



Campur



...hingga target molekul



Otak (Crizotinib)



Paru



Perubahan menjadi cDNA dan dilabel dengan molekul fluoresen cDNA yang berlabel (merah)



Dari anatomi...



Payudara Analisis genetik



Prostat



Hibridisasi dengan chip gen



Array chip gen Gen



A



B



C



Scan gelombang merah dan hijau Intensitas fluoresen Merah Hijau +++ ++ + –



+ ++ +++ –



EGFR (Erlotinib)



HER2/NEU (Trastuzumab)



Kolom



BRAF (PLX4032)



Otak



PIK3CA (BEZ235)



D



Hasil:



Gen A Gen B Gen C Gen D



213



Kesimpulan



Meningkat pada jaringan neoplastik Tidak berubah pada jaringan neoplastik Menurun pada jaringan neoplastik Tidak terekspresi pada kedua jaringan



Gambar 5-35 Analisis pelengkap DNA (cDNA) dengan microarray. Messenger RNA (mRNA) diekstraksi dari sampel, ditranskripsikan terbalik menjadi cDNA, dan dilabel dengan molekul fluoresen. Pada kasus yang diilustrasikan, molekul fluoresen merah dipakai untuk cDNA normal, dan molekul hijau dipakai untuk tumor cDNA. cDNA yang telah dilabel dicampur dan diaplikasikan pada chip gen, yang mengandungi ribuan probe cDNA mewakili gen yang telah diketahui. cDNA yang telah dilabel akan berhibridasi ke titiktitik yang mengandungi sekuens komplementer. Hibridisasi dideteksi oleh scan loser chip, dan hasilnya dibaca pada unit intensitas fluoresen merah atau hijau. Pada contoh di atas titik A mempunyai intensitas fluoresen merah yang tinggi, menyatakan bahwa banyak cDNA yang berasal sel neoplastik yang dihibridisasi pada gen A. Sehingga gen A tampaknya mengalami peningkatan pada sel tumor. (Sumbangan dari Dr. Robert Anders, Department of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois)



sama (misalnya resistensi terhadap apoptosis) dan melengkapi fenotipe kanker. Hal ini bermanfaat untuk mengelompokkan mutasi berdasarkan kemampuannya untuk menggiring sel ke jalur "tanda khas kanker". Diharapkan pengenalan semua mutasi yang potensial mempunyai target pada tiap sel bisa menjadi fokus baru untuk terapi yang tadinya berdasarkan asal sel berubah menjadi berdasarkan lesi molekuler, sejalan dengan obat untuk target mutasi spesifik sedang dikembangkan (Gambar 5-36). Pendekatan ini menggambarkan perubahan paradigma pada



Gambar 5-36 Pergeseran paradigma: Klasifikasi kanker menurut target pengobatan dan bukan berdasarkan asal sel dan morfologi.



klasifikasi dan terapi tumor. Mungkin pada saat mendatang kelompok tumor yang mempunyai mutasi yang sama seperti BRAF akan diklasifikasi sebagai BRAF-oma (Gambar 5-34), dan bukan berdasarkan morfologi sel individu atau asal sel.



RINGKASAN Diagnosis Laboratorium Kanker • Untuk diagnosis tumor, ada beberapa cara pengambilan sampel seperti eksisi, biopsi aspirasi jarum halus dan apusan sitologi. • PeneIitian imunohistokimia dan flow cytometry membantu diagnosis dan klasifikasi tumor, karena pola ekspresi protein tertentu menggambarkan entitas yang berbeda. • Protein yang dikeluarkan oleh tumor ke dalam serum, seperti PSA, dapat dipakai untuk melakukan skreening populasi untuk kanker dan untuk memonitor timbulnya kekambuhan setelah terapi. • Analisis molekuler digunakan untuk menentukan diagnosis, prognosis, deteksi sisa penyakit yang minimal dan diagnosis adanya predisposisi herediter terhadap kanker. • Penentuan profil molekul tumor dengan cDNA arrays dan sekuensing dapat menentukan ekspresi segmen besar suatu genom dan katalog tentang susunan semua mutasi pada gen tumor dan yang mungkin penting untuk menentukan stratifikasi molekuler dari tumor yang morfologinya identik dan tumor dengan histogenesis tertentu yang mempunyai mutasi yang sama untuk kepentingan terapi dan penentuan prognostik.



214



C H A P T E R 5 Neoplasia BIBLIOGRAPHY Ahmed Z, Bicknell R: Angiogenic signalling pathways. Methods Mol Biol 467:3–24, 2009. [Discussion of many signaling pathways in angiogenesis.] Artandi SE, DePinho RA: Telomeres and telomerase in cancer. Carci­ nogenesis 31:9–18, 2010. [Review discussing the importance of telomeres and telomerase.] Barrallo-Gimeno A, Nieto MA: The Snail genes as inducers of cell movement and survival: implications in development and cancer. Development 132:3151–3161, 2005. [Discussion of the genes involved in epithelial-mesenchymal transition in cancer.] Berx G, van Roy F: Involvement of members of the cadherin superfam­ ily in cancer. Cold Spring Harb Perspect Biol 1:a003129, 2009. [Review discussing the role of cadherins and contact inhibition in cancer.] Bierie B, Moses HL: Tumour microenvironment: TGFbeta: the molecu­ lar Jekyll and Hyde of cancer. Nat Rev Cancer 6:506–520, 2006. [Review discussing the tumor-suppressive and tumor-promoting effects of TGF-β.] Burkhart DL, Sage J: Cellular mechanisms of tumour suppression by the retinoblastoma gene. Nat Rev Cancer 8:671–682, 2008. [Review of Rb function.] Ciccia A, Elledge SJ: The DNA damage response: making it safe to play with knives. Mol Cell 40:179–204, 2010. [Review discussing the DNA damage response.] Coghlin C, Murray GI: Current and emerging concepts in tumour metastasis. J Pathol 222:1–15, 2010. [Discussion of current concepts in metastasis.] Collado M, Serrano M: Senescence in tumours: evidence from mice and humans. Nat Rev Cancer 10:51–57, 2010. [Update on mechanisms of senescence.] Feron O: Pyruvate into lactate and back: from the Warburg effect to symbiotic energy fuel exchange in cancer cells. Radiother Oncol



92:329–333, 2009. [An account of the reemergence and molecular pathways of reprogramming of energy metabolism in cancer.] Grivennikov SI, Greten FR, Karin M: Immunity, inflammation, and cancer. Cell 140:883–899, 2010. [A summary of the links between inflammation and the development of cancer.] Hanahan D, Weinberg RA: The hallmarks of cancer (2011): the next generation. Cell 144:646–674, 2011. [Reexamination of the hallmarks of cancer.] Junttila MR, Evan GI: p53—a jack of all trades but master of none. Nat Rev Cancer 9:821–829, 2009. [Update summarizing p53 function.] Kalluri R, Zeisberg M: Fibroblasts in cancer. Nat Rev Cancer 6:392– 401, 2006. [Review discussing the role of stroma in cancer.] Mathew R, Karantza-Wadsworth V, White E: Role of autophagy in cancer. Nat Rev Cancer 7:961–967, 2007. [A discussion of the mechanisms of autophagy.] Negrini S, Gorgoulis VG, Halazonetis TD: Genomic instability—an evolving hallmark of cancer. Nat Rev Mol Cell Biol 11:220–228, 2010. [Review on mechanisms of genomic instability, an enabler of malignancy.] Perona R: Cell signalling: growth factors and tyrosine kinase recep­ tors. Clin Transl Oncol 8:77–82, 2006. [Update on signaling pathways in cancer.] Stratton MR, Campbell PJ, Futreal PA: The cancer genome. Nature 458:719–724, 2009. [Excellent summary of next-generation sequencing technologies and their application to cancer.] Willis SN, Adams JM: Life in the balance: how BH3-only proteins induce apoptosis. Curr Opin Cell Biol 17:617–625, 2005. [A review of the mechanisms of apoptosis.] Witsch E, Sela M, Yarden Y: Roles for growth factors in cancer progres­ sion. Physiology (Bethesda) 25:85–101, 2010. [An update on the role of growth factors in cancer.]



6 BAB



Penyakit Genetik dan Pediatrik DAFTAR ISI BAB PENYAKIT GENETIK 215 Sifat Kelainan Genetik yang Berpengaruh pada Penyakit



Manusia 216 Mutasi pada Gen Penyandi Protein 216 Perubahan pada Gen yang Menyandi Protein selain Mutasi 216



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel:



Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal 218 Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal 219 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen yang Menyandi Protein Struktural 220 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Reseptor atau Kanal-Kanal 222 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Enzim 227 Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein yang Mengatur Pertumbuhan Sel 233



Kelainan Multigen Kompleks 234 Kelainan Sitogenetik 234



Abnormalitas Numerik 235 Abnormalitas Struktural 235 Gambaran Umum dari Kelainan Kromosom 236 Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom 237 Kelainan Sitogenetik yang Mengenai



Kromosom Seks 239 Kelainan Gen-Tunggal dengan



Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan) 241 Mutasi Pengulangan Triplet: Sindrom Fragile X 241 Penyakit Akibat Mutasi Gen Mitokondria 243 Penyakit Akibat Perubahan Daerah Jejak (imprinted Regions): Sindrom Prader-Willi dan Angelman 243 PENYAKIT PEDIATRIK 245 Anomali Bawaan (Kongenital) 245 Etiologi 247 Infeksi Perinatal 249 Prematuritas dan Keterbatasan Pertumbuhan Janin 249



Sindrom Kesulitan Pernapasan pada Bayi Baru Lahir 250 Enterokolitis Nekrotik (Necrotizing Enterocolitis/NEC) 252 Sindrom Kematian Bayi Mendadak 252 Hidrops Janin (Fetal Hydrops) 254 Hidrops Imun 254 Hidrops Non-Imun 255 Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak 257 Tumor Jinak 257 Tumor Ganas 258 Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks 263 Diagnosis Molekuler dari Abnormalitas Jumlah Kopi 263 Deteksi Langsung Mutasi DNA dengan Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) 264 Analisis Linkage dan Studi Asosiasi Genom yang Menyeluruh (Genome-Wide Association Studies) 266 Indikasi untuk Analisis Genetik 267



PENYAKIT GENETIK Penyelesaian proyek genom manusia merupakan kejadian penting pada penelitian penyakit pada manusia. Sekarang telah ditetapkan bahwa manusia memiliki hanya sekitar 25.000 gen yang menyandi protein, jauh lebih sedikit dari 100.000 yang diperkirakan sebelumnya dan hampir separuh jumlah gen pada tanaman beras yang tergolong rendah (Oryza sativa)! Pengungkapan "arsitektur genetik" ini menjanjikan untuk membuka rahasia baik penyakit yang diturunkan/ diwariskan maupun penyakit manusia yang didapat, karena akhirnya semua penyakit mengalami perubahan struktur gen atau ekspresinya. Teknologi yang canggih sekarang memungkinkan penggunaan urutan basa gen manusia untuk analisis penyakit manusia. Misalnya, proyek genom manusia menghabiskan sekitar 3 triliun dolar dan bertahun tahun untuk menyelesaikannya; teknologi penetapan urutan basa dengan kapasitas tinggi (high throughput sequencing) dapat melakukan pekerjaan yang sama dalam beberapa minggu hanya dengan biaya 10.000 dolar. Kecepatan dan biaya lebih rendah dalam



penetapan urutan-basa DNA sangat mendukung penerapan "personalized medicine" untuk pengobatan kanker dan penyakit lain yang memiliki unsur genetik. Oleh karena beberapa kelainan pediatrik memiliki asal genetik, maka penyakit tumbuh kembang dan pediatrik dibahas bersama dengan kelainan genetik dalam bab ini. Walaupun demikian, perlu dipikirkan bahwa tidak semua kelainan genetik terwujud dalam masa bayi atau masa anak-anak, sebaliknya banyak penyakit pediatrik yang tidak memiliki asal genetik. Termasuk dalam golongan yang kedua, penyakit yang disebabkan ketidakmatangan dalam sistem organ. Dalam kaitan tersebut, sangat berguna untuk menjelaskan tiga istilah yang lazim digunakan: herediter, familial, dan kongenital. Kelainan herediter, secara definisi, berasal dari salah satu orang tua, yang diteruskan di dalam gamet pada generasi selanjutnya, dan oleh karena itu merupakan kelainan familial. Istilah kongenital, secara sederhana berarti "ada pada saat lahir". Perlu dicatat, bahwa tidak semua kelainan kongenital bersifat genetik (contoh sifilis kongenital). Sebaliknya tidak semua



216



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



kelainan genetik bersifat kongenital. Tampilnya penyakit Huntington, misalnya, baru mulai pada dekade ketiga atau keempat kehidupan.



SIFAT KELAINAN GENETIK YANG BERPENGARUH PADA PENYAKIT MANUSIA Ada beberapa jenis kelainan genetik yang memengaruhi struktur dan fungsi protein, mengganggu homeostasis seluler dan berperan pada penyakit.



Mutasi pada Gen Penyandi Protein Seperti telah banyak dikenal, istilah mutasi berarti perubahan pada DNA yang menetap. Apa yang memengaruhi sel benih diteruskan pada progeni dan mungkin menimbulkan penyakit yang diturunkan. Mutasi pada sel somatik tidak diteruskan kepada progeni tetapi penting sebagai faktor penyebab kanker dan sebagian malformasi kongenital. Perincian mutasi spesifik dan pengaruhnya dibahas bersama dengan kelainan yang relevan di dalam buku ini. Dikutipkan di sini beberapa contoh yang lazim dari mutasi gen dan pengaruhnya: • Mutasi noktah terjadi dari substitusi basa nukleotida tunggal oleh basa yang berbeda, yang menghasilkan penggantian satu asam amino oleh yang lain pada produk proteinnya. Mutasi rantai globin-B dari hemoglobin yang menimbulkan anemi sel sabit adalah contoh paling baik dari mutasi noktah yang mengubah arti dari sandi genetik. Mutasi semacam itu kadang-kadang disebut mutasi yang salah-arti (missense mutation ). • Sebaliknya, mutasi noktah tertentu mungkin mengubah kodon asam amino menjadi kodon terminasi, atau kodon penutup (stop codon). Mutasi yang tidak mempunyai arti (nonsense) semacam itu mengganggu translasi, dan pada banyak kasus RNA cepat mengalami degradasi, suatu fenomena yang disebut peluruhan yang diperantarai keadaan "nonsense", sedemikian rupa sehingga protein dibentuk sedikit atau tidak dibentuk. • Mutasi karena pergeseran kerangka (frameshift mutation)terjadi apabila sisipan (insersi) atau kehilangan (delesi) satu atau dua pasangan basa mengubah kerangka pembacaan untai DNA. Mutasi dengan ulangan trinukleotida (trinucleotide repeat mutation) termasuk pada kategori khusus, karena mutasi ini ditandai amplifikasi urutan dari tiga nukleotida. Walaupun urutan nukleotida spesifik yang mengalami amplifikasi bervariasi pada kelainan yang berbeda, semua urutan yang dipengaruhi memiliki urutan nukleotida guanin (G) dan sitosin (C). Misalnya, pada sindrom X fragile, pada prototipe kelainan kategori ini, terdapat 200 sampai 4000 ulangan tandem (tandem repeats) dari urutan CGG dalam gen yang disebut FMRI. Pada populasi normal, jumlah ulangan kecil, berkisar 29. Ekspansi urutan trinukleotida mencegah ekspresi normal dari gen FMRI, sehingga menimbulkan retardasi mental. Perangai lain yang mencolok dari mutasi ulangan trinukleotida adalah sifatnya yang dinamik (contoh derajat amplifikasi meningkat selama gametogenesis). Perangai ini, dibahas kemudian lebih rinci di dalam bab ini, berpengaruh dalam pola pewarisan, manifestasi fenotipe dari penyakit yang disebabkan oleh jenis mutasi ini.



Perubahan pada Gen yang Menyandi Protein selain Mutasi Di samping perubahan pada urutan DNA, gen yang mengandungi sandi juga dapat mengalami variasi struktural, seperti perubahan jumlah kopi (amplifikasi atau delesi), atau translokasi, yang menghasilkan kesalahan berupa penambahan atau kehilangan (gain or loss) fungsi protein. Seperti halnya dengan mutasi, perubahan struktural mungkin terjadi pada tingkat galur sel benih (germline), atau didapat pada jaringan somatik. Pada banyak keadaan, perubahan patologis pada tingkat galur benih dapat mengenai bagian kromosom yang melebar tidak hanya suatu gen tunggal, seperti pada sindrom mikrodelesi 22q, yang dibahas kemudian. Dengan tersedianya secara luas teknologi array untuk penetapan variasi jumlah kopi DNA genom secara menyeluruh pada tingkat resolusi tinggi, perubahan struktural patologis telah ditemukan pada kelainan yang lazim seperti autisme. Kanker seringkali mengandungi perubahan struktural yang didapat secara somatik, termasuk amplifikasi, delesi dan translokasi. Apa yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia — suatu translokasi t(9;22) antara gen BCR dan ABL pada leukemia mieloid kronik (Bab 11) —adalah suatu contoh klasik.



Variasi



Urutan



dan



Jumlah



Salinan



(Polimorfisme)



Suatu perubahan yang mengagumkan dari perkem-bangan mutakir di dalam studi genomik adalah bahwa rata-rata, tiap dua individu mempunyai kesamaan lebih dari 99,5% urutan DNA nya. jadi, keragaman yang mencolok dari manusia disandi pada kurang dari 0,5% DNA kita. Walaupun kecil apabila dibandingkan dengan urutan nukleotida keseluruhan, 0,5% tersebut mewakili sekitar 15 juta pasangan basa. Dua bentuk variasi DNA (polimorfisme) yang paling lazim dalam genom manusia adalah polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism/SNP) dan variasi jumlah salinan (copy number variation /CNV). • SNP merupakan variasi pada posisi nukleotida yang terpisah tunggal dan hampir selalu bersifat bialel (contoh satu dari hanya dua pilihan ada pada tempat tertentu di dalam populasi, seperti A atau T). Banyak upaya dikerahkan untuk membuat peta SNP dari genom manusia. Upaya ini telah menetapkan lebih dari 6 juta SNP pada populasi manusia, banyak di antaranya menunjukkan variasi yang luas dari kekerapan di dalam populasi yang berbeda. SNP mungkin terjadi di mana saja pada genom—di dalam exon, intron atau daerah antargen— tetapi kurang dari 1% SNP terjadi di dalam daerah yang bersandi. Variasi dari urutan yang bersandi ini penting, karena mereka dapat mengubah produk gen dan menjadi dasar untuk perbedaan fenotipe atau suatu penyakit. Walaupun demikian, lebih lazim terjadi, SNP adalah justru merupakan suatu petanda yang diwariskan bersama dengan gen yang terkait penyakit akibat kedekatan fisis. Cara lain menyatakan hal ini adalah bahwa SNP dan faktor kausal genetik berada di dalam linkage disequilibrium . Terdapat optimisme bahwa kelompok SNP dapat berfungsi sebagai petanda yang dapat dipercaya untuk risiko penyakit rumit yang bersifat multigen seperti diabetes tipe II dan hipertensi, yang dengan penetapan varian tersebut, strategi pencegahan penyakit dapat dikembangkan (dibahas kemudian). • CNV baru-baru ini ditetapkan sebagai bentuk variasi genetik yang terdiri atas jumlah yang berbeda dari rentangan DNA yang luas dari 1000 sampai jutaan pasangan basa. Pada sebagian keadaan, lokus-lokus ini adalah, seperti SNP, bersifak bialel dan sekadar duplikasi atau mengalami delesi pada suatu subset dari populasi.



Sifat Kelainan Genetik yang Berpengaruh pada Penyakit Manusia Pada keadaan lain terdapat pengaturan kembali materi genom yang rumit, berupa alel multipel pada populasi manusia. Perkiraan pada saat ini adalah bahwa CNV berperan pada terjadinya perbedaan urutan dari 5 sampai 24 juta pasangan basa antara tiap dua individu. Sekitar 50% CNV terlibat pada urutan gen yang bersandi; jadi, CNV mungkin mendasari sebagian besar dari keragaman fenotipe manusia. Terdapat representasi berlebihan yang bermakna dari keluarga gen tertentu yang terpengaruh oleh CNV; ini termasuk gen yang berperan pada sistem imun dan sistem saraf. Dianggap bahwa keragaman jumlah kopi DNA telah mengalami seleksi evolusi yang kuat, karena mereka dapat menunjang adaptasi manusia terhadap faktor lingkungan yang senantiasa berubah.



217



hambat translasi RNA sasaran ke dalam protein terkait. Non-aktivasi (silencing) postranskripsi dari ekspresi gen oleh miRNA tetap utuh pada semua bentuk hidup dari tanaman dan manusia dan oleh karena itu terdapat mekanisme dasar pengaturan gen. Karena kuatnya pengaruh dalam pengaturan gen, miRNA berfungsi penting dan sentral dalam upaya menjelaskan jalur perkembangan normal, demikian pula kondisi patologis, seperti kanker. Andrew Fire dan Craig Mello dianugerahi hadiah Nobel dalam fisiologi dan ilmu kedokteran pada 2006 untuk karya-nya tentang miRNA.



Gen miRNA



Perubahan Epigenetik Perubahan epigenetik adalah perubahan yang menyebabkan modulasi gen atau ekspresi protein tanpa perubahan urutan DNA (contoh mutasi) atau struktur gen yang bersandi. Pengaturan epigenetik sangat penting selama perkembangan, demikian juga pada homeostasis dari jaringan yang telah berkembang sempurna. Satu mekanisame sentral dari pengaturan epigenetik adalah melalui perubahan metilasi dari residu cytosin pada gen promotor-promotor yang padat metilasi tidak dapat dicapai oleh polimerase RNA-menyebabkan transkripsi tidak aktif (silencing). Metilasi promotor dan inaktivasi gen supresor tumor (Bab 5) lazim dijumpai pada banyak kanker, disertai pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali. Pemain utama lain pada pengaturan epigenetik dari transkripsi adalah protein histon, yang merupakan unsur dari struktur yang disebut nukleosom, yang menjadi poros untuk DNA melingkar (coiled). Protein histon mengalami berbagai modifikasi yang reversibel (contoh metilasi, asetilasi) yang memengaruhi struktur DNA sekunder dan tersier, demikian juga transkripsi gen. Seperti diharapkan, modifikasi abnormal dari protein histon banyak dijumpai pada penyakit yang didapat, seperti kanker, yang disertai deregulasi transkripsi. Inaktivasi (silencing) yang fisiologis pada perkembangan disebut imprinting, dan kelainannya akan dibahas kemudian.



pri-miRNA



Gen sasaran



pre-miRNA



Protein Pengeksport



pre-miRNA



Dicer



mRNA sasaran



miRNA Penguraian jalinan dupleks



Perubahan pada RNA yang Tidak Bersandi Perlu diperhatikan bahwa sampai akhir-akhir ini fokus utama perburuan gen adalah penemuan gen yang menyandi protein. Walaupun demikian, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa sangat banyak jumlahnya gen yang tidak menyandi protein. Sebagai gantinya, produk yang tidak disandi oleh gen-gen ini—yang disebut "RNA yang tidak bersandi/non-coding RNAs (ncRNAs)" — memainkan fungsi pengaturan yang penting. Walaupun terdapat banyak keluarga ncRNAs yang khas, di sini kita hanya membahas dua contoh: molekul RNA kecil yang disebut microRNAs (miRNAs), dan long non-coding RNAs (lncRNAs) (yang kedua menyangkut ncRNA yang panjangnya > 200 nukleotida). MikroRNA tidak seperti RNA penyampai pesan (messenger), tidak menyandi protein tetapi sebagai gantinya meng-



miRNA



Kompleks RISC Kecocokan tidak Sempurna Represi translasi



Pemecahan mRNA



Kecocokan sempurna mRNA sasaran



Ribosome NONAKTIVASI (SILENCING)GEN



Gambar 6-1 Pembentukan microRNA dan cara bekerjanya dalam pengaturan fungsi gen. pri-miRNA, primary microRNA transcript, pre-miRNA, precursor microRNA; RISC, RNA-induced silencing complex.



218



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Berdasarkan perkiraan yang sedang berjalan, terdapat sekitar 1000 gen pada manusia yang menyandi miRNA. Transkripsi gen miRNA menghasilkan primary miRNA transcript (pri-miRNA), yang diproses di dalam inti sel untuk membentuk struktur lain yang disebut pre-miRNA (Gambar 6-1). Dengan bantuan protein transporer yang khas, premiRNA dikirim ke sitoplasma. Pemotongan tambahan oleh suatu enzim, yang seyogianya disebut Dicer, menghasilkan miRNA yang matang yang panjangnya sekitar 21-30 nukleotida (sesuai sebutan micro-). Pada tahap ini, miRNA masih beruntai-ganda (doublestranded). Selanjutnya, miRNA terurai-jalinan, dan untai-tunggal dari dupleks ini tergabung ke dalam kompleks multiprotein yang disebut RNA-induced silencing complex (RISC). Pengaturan pasangan basa antara untai miRNA dan mRNA sasarannya mengarahkan RISC untuk menyebabkan pemecahan mRA atau menekan translasinya. Dengan cara ini, gen yang merupakan asal mRNA menjadi tidak aktif (silenced) (pada status pasca transkripsi). Karena jumlah gen miRNA jauh lebih sedikit daripada gen yang menyandi protein, maka miRNA tertentu dapat berfungsi non-aktivasi banyak gen sasaran. Semua mRNA mengandungi apa yang disebut urutan yang dapat bersemai (seed sequence) pada ujung 3' dari daerah yang tidak mengalamai translasi, untranslated region (UTR), yang menentukan spesifisitas dari ikatan miRNA dan sifat non-aktivasi gen. Spesies lain dari RNA yang bersifat non-aktivasi gen, disebut small interfering RNAs (siRNAs), bekerja dengan cara sangat mirip dengan miRNA. Walaupun demikian, tidak seperti miRNA, asal siRNA dimasukkan oleh peneliti ke dalam sel. Pemrosesan oleh Dicer dan fungsinya melalui RISC pada dasarnya mirip dengan yang diuraikan untuk miRNA. siRNA sintetik telah menjadi cara yang andal untuk mempelajari fungsi gen di laboratorium dan sedang dikembangkan potensinya sebagai bahan terapi non-aktivasi gen yang khusus, seperti onkogen, yang produknya berperan pada transformasi neoplastik. Penelitian mutakhir telah mengungkapkan lncRNA universal yang rumit (dengan sebagian kalkulasi jumlah lncRNA mungkin melebihi mRNA yang bersandi dengan kelipatan sepuluh kali sampai duapuluh kali), dan fungsi yang diperkirakan pada genom manusia mungkin dapat menjelaskan mengapa manusia berada pada puncak piramid evolusi walaupun jumlah gen yang bersandi tidak terlalu tinggi. lncRNA memodulasi ekspresi gen dalam banyak cara: misalnya, mereka dapat berikatan pada daerah kromatin, membatasi jangkauan polimerase RNA ke gen-gen yang bersandi yang tercakup di dalam daerah tersebut. Salah satu contoh terbaik dari lncRNA adalah XIST, yang mengalami transkripsi dari kromosom-X, dan memainkan peranan mendasar pada inaktivasi kromosom X secara fisiologis (lihat kemudian). XIST sendiri menghindari inaktivasi X, tetapi membentuk "cloak" represif pada kromosom X,akibat dari mutasi gen-tunggal dengan pengaruh besar. akibat dari mutasi gen-tunggal dengan pengaruh besar. Sebagian dari keadaan ini adalah bersifat herediter dan familial. Kategori kedua termasuk sebagian dari kelainan yang paling lazim pada manusia, seperti hipertensi dan diabetes melitus. Pewarisan yang bersifat multifaktor atau rumit (kompleks), menggambarkan pengaruh baik faktor genetik maupun lingkungan pada ekspresi ciri-ciri fenotipe atau penyakit



Kategori ketiga termasuk kelainan yang merupakan akibat dari abnormalitas numerik atau struktur kromosom. Ke dalam tiga kategori yang terkenal ini, perlu ditambahkan kelompok heterogen dari kelainan genetik yang, seperti kelainan jenis Mendel, yang mengenai gen tunggal tetapi tidak mengikuti hukum Mendel yang sederhana dari pewarisan gen. Kelainan gen-tunggal ini dengan pewarisan yang nonklasik termasuk yang merupakan akibat dari mutasi berulang jenis triplet, yang timbul akibat dari mutasi DNA mitokondria, dan yang penurunannya dipengaruhi oleh fenomena epigenetik yang disebut genomic imprinting. Masing-masing dari empat kategori ini dibahas terpisah.



KELAINAN BERDASARKAN HUKUM MENDEL: PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH CACAT GEN-TUNGGAL



Cacat (mutasi) gen-tunggal mengikuti pola pewarisan jenis Mendel yang terkenal (Tabel 6-1 dan 6-2). Walaupun secara individu masingmasing jarang terjadi, bila digabung meliputi sekitar 1% dari semua penderita dewasa yang dirawat dirumah sakit dan kira-kira 6% sampai 8% dari semua penderita anak yang dirawat. Berikut diberikan daftar beberapa pegangan dan masalah yang terkait untuk mempertimbangkan kelainan jenis Mendel: • Mutasi yang mengenai gen tunggal mengikuti satu dari tiga pola pewarisan: dominan autosom, resesif autosom, atau terkait-X (Xlinked). • Mutasi gen-tunggal mungkin menyebabkan banyak pengaruh fenotipe (pleiotropy), dan sebaliknya, mutasi pada beberapa lokus genetik dapat menghasilkan trait yang sama (genetic heterogeneity). Tabel 6-1 Perkiraan Prevalensi Kelainan Jenis Mendel yang Terpilih di antara Bayi Lahir Hidup



Kelainan



Perkiraan Prevalensi



Pewarisan Dominan Autosom Hiperkolesterolemia familial



dalam 500



Penyakit ginjal polikistik



dalam 1000



Sferositosis herediter



dalam 5000 (Eropa Utara)



Sindrom Marfan



dalam 5000 dalam 10.000



Penyakit Huntington



Pewarisan Resesif Autoso Anemia sel sabit Fibrosis kistik Penyakit Tay-Sachs



I dalam 500 (Amerika-Afrika di Amerika Serikat)* 1 dalam 3200 (Kaukasia di Amerika Serikat) I dalam 3500 (Yahudi Azkenazi Amerika Serikat; Kanada-Prancis)



Fenilketonuria Mukopolisakridosis—semua penyakit penimbunan dalam 25.000 glikogen—semua jenis Galaktosemia Pewarisan X-linked



Distrofia muskular jenis



dalam 10.000 1 in 50,000 dalam 60.000



Duchene



dalam 3500 (pria Amerika Serikat)



Hemofilia



dalam 5000 (pria Amerika Serikat)



*Prevalensi trait sel sabit heterozigot adalah 1 dalam 12 untuk Amerika Afrika di Amerika Serikat.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel:Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen



219



Tabel 6--2 Dasar Biokimiawi dan Pola Pewarisan untuk Kelainan Jenis Mendel yang Terpilih



Penyakit



Protein Abnormal



Jenis Protein/Fungsi



Pewarisan Dominan Autosom Hiperkolesterolemia familial



Reseptor lipoprotein densitas-rendah



Transpor reseptor



Sindrom Marfan



Fibrilin



Penunjang struktur: matriks ekstrasel



Sindrom Ehlers-Danlos*



Kolagen



Penunjang struktur: matriks ekstrasel



Sferositosis herediter



Spektrin, ankirin, atau protein 4:1



Penunjang struktur: membran sel darah merah



Neurofibromatosis, tipe 1



Neurofibromin-1 (NF- I ) Polikistin-1 (PKD-1)



Interaksi sel-sel dan sel matriks



Penyakit ginjal polikistik dewasa



Regulasi pertumbuhan



Pewarisan Resesif Autosom Fibrosis kistrik



Regulator transmembran fibrosis kistik



Kanal ion



Fenilketonuria



Fenilalanin hidroksilase



Enzim



Penyakit Tay-Sachs



Heksosaminidase



Enzim



Imunodefisiensi kombinasi parah



Adenosin deaminase



Enzim



Thalasemia-α dan -β†



Hemoglobin



Transpor oksigen



Anemia sel sabit†



Hemoglobin



Transpor oksigen



Pewarisan Resesif X-linked Hemofilia A



Factor VIII



Koagulasi



Distrofia jenis Duchene/Becker



Distrofin



Penunjang struktur: membran sel



Sindrom Fragile X



FMRP



Translasi RNA



**Beberapa varian sindrom Ehlers-Danlos mempunyai pola pewarisan resesif autosom. †Walaupun gejala full-blown memerlukan mutasi bialel, heterozigot untuk thalasemia dan anemia sel sabit mungkin tampil dengan penyakit klinis ringan. Jadi, kelainan ini kadang-kadang dikategorikan sebagai entitas "dominan autosom"



Misalnya, sindrom Marfan, yang merupakan akibat dari cacat dasar pada jaringan ikat, berhubungan dengan pengaruh yang meluas pada skeleton, mata dan sistem kardiovaskular, semuanya berpangkal dari mutasi pada gen yang menyandi fibrilin, suatu unsur jaringan ikat. Sebaliknya, retinitis pigmentosa, suatu kelainan yang diwariskan yang berhubungan dengan pigmentasi retina yang abnormal yang dapat disebabkan oleh beberapa jenis mutasi yang berbeda. Pengenalan heterogenitas genetik penting tidak hanya untuk pemberian nasihat tentang penyakit genetik (genetic counseling) tetapi juga untuk peningkatan pengertian patogenesis kelainan yang lazim, seperti diabetes melitus (Bab 19). • Sekarang telah terjadi peningkatan pengenalan dan bahkan pengetahuan tentang penyakit "gen-tunggal" yang dipengaruhi pewarisan pada lokus genetik lain, yang disebut gen yang menyebabkan perubahan (modifier). Seperti dibahas kemudian bagian tentang fibrosis kistik, lokus modifier ini dapat memengaruhi keparahan dan keluasan penyakit. • Penggunaan penapisan genetik proaktif pada populasi berisiko tinggi (contoh keturunan Yahudi Ashkenazi) telah menunrunkan angka kejadian (Tabel 6-1) dari kelainan genetik tertentu seperti penyakit Tay-Sachs.



Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal Kelainan Pewarisan Jenis Dominan Autosom Kelainan dengan pewarisan dominan autosom adalah manifestasi pada keadaan heterozigot, sehingga paling sedikit satu orangtua pada kasus indeks (penderita penyakit) biasanya terkena; baik pria maupun wanita terkena, dan kedua-duanya dapat menurunkan keadaan tersebut. Apabila individu yang terkena menikah dengan individu yang tidak terkena, tiap anak mempunyai satu dari dua kemungkinan (50%) untuk memperoleh penyakit tersebut. Perangai berikut juga merupakan ciri penyakit dominan autosom:



• Pada kelainan dominan autosom, sebagian penderita tidak mempunyai orangtua yang terkena. Penderita semacam itu memperoleh kemungkinan mutasi baru yang mengenai baik ovum atau sperma dari mana mereka berasal. Saudara kandungnya tidak terkena maupun tidak mengalami risiko yang meningkat untuk terkena penyakit. • Perangai klinis dapat berubah karena penetrasi yang berkurang dan ekpresifitas yang beragam. Sebagian individu mewarisi gen mutan tetapi normal secara fenotipe. Jenis ekspresi ini dikenal sebagai penetrasi yang berkurang (reduced penetrance). Variabel yang memengaruhi penetrasi tidak jelas dimengerti. Berlawanan dengan penetrasi, jika suatu trait secara konsisten berhubungan dengan gen mutan tetapi terekspresi berbeda di antara individu yang menyandang gen tersebut, fenomena ini disebut variable expressivity. Misalnya, manifestasi neurofibromatosis 1 berkisar dari bercak kecoklatan pada kulit sampai tumor multipel dan deformitas skelet. • Pada banyak keadaan, usia pada saat permulaan penyakit tertunda, dan gejala serta tanda penyakit tidak muncul sampai usia dewasa (seperti pada penyakit Huntington). • Pada kelainan dominan autosom, 50% reduksi dari produk gen normal berhubungan dengan tanda dan gejala klinis. Karena 50% kehilangan aktivitas enzim dapat mengalami kompensasi, gen yang terkena pada kelainan dominan autosom biasanya tidak menyandi protein enzim, dan sebagai gantinya terkait dalam dua kategori protein: 



Pada kelainan dominan autosom, 50% reduksi dari produk gen Yang terkait dengan pengaturan jalur metabolit yang kompleks, seringkali terkait dengan kendali umpan balik (contoh reseptor membran, protein transpor). Contoh dari mekanisme pewarisan tersebut adalah hiperkolesterolemia familial, yang merupakan akibat dari mutasi gen reseptor lowdensity lipoprotein (LDL) (dibahas kemudian).



220 



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Protein struktural kunci, seperti kolagen dan unsur sitoskelet dari membran sel darah merah (contoh spektrin, abnormalitas menyebabkan sferositosis herediter). Mekanisme biokimiawi tentang reduksi 50% kadar protein semacam itu pada fenotipe abnormal tidak seluruhnya dimengerti. Pada sebagian kasus, terutama apabila gen menyandi satu subunit dari protein multimer, produk alel mutan dapat memengaruhi perakitan multimer yang berfungsi normal. Misalnya, molekul kolagen adalah trimer dengan tiga rantai kolagen tertata dalam konfigurasi heliks. Bahkan pada mutan tunggal dari rantai kolagen, trimer kolagen normal dapat dibentuk, sehingga terdapat defisiensi kolagen yang mencolok. Pada keadaan ini alel mutan disebut dominant negative, karena hal itu dapat mengganggu fungsi alel normal. Pengaruh ini digambarkan pada beberapa bentuk osteogenesis imperfeta (Bab 20).



Kelainan Pewarisan Jenis Resesif Autosom Kelainan pewarisan jenis resesif autosom membentuk kelompok yang paling besar dari kelainan jenis mendel. Mereka terjadi apabila kedua alel pada lokus gen tertentu adalah mutan; oleh karena itu kelainan semacam itu ditandai oleh perangai berikut: (1) ciri penyakit biasanya tidak menjangkiti orangtua, tetapi anak mungkin menunjukkan kelainan; (2) anak mempunyai satu dari empat kemungkinan untuk terkena (contoh risiko rekurens adalah 25% untuk tiap kelahiran); dan (3) jika gen mutan terjadi dengan frekuensi rendah pada populasi, terdapat kecenderungan kuat bahwa penderita yang terkena (proban) adalah hasil perkawinan sedarah (saudara sepupu dekat), consanguineous marriage. Berlawanan dengan perangai penyakit dominan autosom, perangai berikut biasanya ditemukan pada sebagian besar kelainan jenis resesif autosom: • Ekspresi cacat cenderung lebih seragam daripada kelainan kelainan jenis dominan autosom. • Penetrans lengkap adalah lazim. • Permulaan penyakit seringkali pada masa dini kehidupan. • Walaupun mutasi baru untuk kelainan resesif benar terjadi,mereka jarang ditemukan secara klinis. Karena individu yang terjangkiti adalah heterozigot tanpa gejala, beberapa generasi mungkin bertahan sebelum keturunan berikutnya kawin dengan heterozigot lain dan melahirkan anak. • Pada banyak kasus, protein enzim mengalami mutasi. Pada heterozigot, jumlah yang sama dari enzim yang normal dan yang cacat dibentuk. Biasanya batas keselamatan (marigin of safety) alami mendukung sel dengan separuh dari komplemen enzim berfungsi normal.



Kelainan yang Terkait-X (X-linked) Semua kelainan terkait-seks (sex-linked) adalah X-linked. Tidak ada penyakit yang Y-linked yang diketahui. Unsur penentu yang mengatur diferensiasi pria terpelihara, ciri satu-satunya yang mungkin terletak pada kromosom Y adalah sifat untuk telinga yang berambut, yang tidak menjadi penderitaan. Sebagian besar kelainan X-linked adalah yang bersifat resesif dan ditandai oleh perangai berikut:



• Mereka diturunkan oleh pembawa sifat (carrier) wanita heterozigot hanya kepada anak laki, yang tentu saja bersifat hemizigot (separuh zigot) untuk kromosom X. • Wanita heterozigot jarang mengekspresikan perubahan fenotipe secara penuh, karena mereka mempunyai alel normal yang berpasangan; walaupun satu dari kromosom X pada wanita mengalami inaktivasi (lihat kemudian), proses inaktivasi ini bersifat acak (random), yang lazimnya memungkinkan munculnya cukup banyak sel dengan alel yang berekspresi normal. • Pria yang terjangkiti tidak menurunkan kelainan kepada anak laki, tetapi semua anak perempuan menjadi pembawa sifat (carrier). Anak laki dari wanita heterozigot mempunyai satu dari dua kemungkinan untuk menerima gen mutan.



RINGKASAN Pola Penurunan Kelainan Gen-Tunggal • Kelainan dominan autosom ditandai oleh ekspresi pada status heterozigot; mereka mengenai pria dan wanita pada tingkat yang sama, dan kedua jenis kelamin dapat menurunkan kelainan tersebut. • Protein enzim tidak terpengaruh kelainan dominan autosom; sebagai gantinya, reseptor dan protein struktural berubah. Penyakit resesif autosom terjadi apabila kedua kopi dari gen • mengalami mutasi; protein enzim seringkali berubah. Pria dan wanita terkena pada tingkat yang sama. • Kelainan X-linked diturunkan oleh wanita heterozigot kepada anak laki, yang menunjukkan manifestasi penyakit. Pembawa sifat (carrier) wanita biasanya terlindungi karena inaktivasi yang bersifat acak dari kromosom X.



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen yang Menyandi Protein Struktural Sindrom Marfan Pada sindrom Marfan, kelainan jaringan ikat bersifat pewarisan dominan autosom, abnormalitas biokimiawi dasar adalah mutasi yang memengaruhi fibrilin. Glikoprotein ini, disekresikan oleh fibroblas, adalah unsur utama dari mikrofibril yang ditemukan pada matriks ekstrasel. Mikrofibril berfungsi sebagai penunjang (scaffold) untuk pengendapan tropoelastin, suatu unsur integral dari serabut-serabut elastik. Meskipun mikrofibril tersebar luas di dalam tubuh, mereka terutama banyak pada aorta, ligamen, dan zonula ciliar yang mendukung lensa okular; jaringan-jaringan tersebut sangat dipengaruhi pada sindrom Marfan. Fibrilin disandi oleh gen FBN1, yang terdapat pada lokus kromosom 15q21. Mutasi pada gen FBN1 ditemukan pada semua penderita sindrom Marfan. Walaupun demikian, diagnosis molekuler dari sindrom Marfan belum dapat dilakukan, karena lebih dari 600 mutasi penyebab penyakit yang berbeda di dalam gen FBN1 yang sangat besar telah ditemukan. Karena heterozigot mempunyai gejala klinis, maka protein fibrilin mutan harus berfungsi "dominant negative" dengan jalan mencegah perakitan mikrofibril normal. Prevalensi sindrom Marfan diperkirakan 1 per 5000.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Sekitar 70% sampai 85% kasus adalah familial, dan sisanya bersifat sporadik, akibat dari mutasi FBN1 de novo pada sel benih dari orangtua. Walaupun banyak abnormalitas sindrom marfan dapat dijelaskan berdasarkan kegagalan struktural dari jaringan ikat, sebagian, seperti kelebihan pertumbuhan tulang, sulit dihubungkan dengan sekadar kehilangan fibril. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kehilangan mikrofibril menimbulkan aktivasi abnormal dan berlebihan terhadap transforming growth factor-β (TGF-β), karena mikrofibril normal mencerna (sequestrasi) TGF-β dengan demikian bersifat mengendalikan sitokin tersebut. Pengiriman isyarat TGF-β yang berlebihan mempunyai pengaruh buruk pada perkembangan otot polos vaskular dan integritas matriks ekstrasel. Sebagai dukungan terhadap hipotesis ini, mutasi reseptor TGF-β tipe II menimbulkan sindrom terkait, yang disebut sindrom Marfan tipe 2 (MFS2). Perlu diperhatikan, bahwa obat angiotensin receptor blockers, yang menghambat aktivitas TGF-β telah dibuktikan memperbaiki fungsi aorta dan jantung pada model sindrom Marfan pada mencit dan pada saat ini sedang dievaluasi pada uji klinis.



MORFOLOGI Abnormalitas skelet merupakan perangai paling jelas dari sindrom Marfan. Penderita mempunyai habitus ramping, memanjang dengan ukuran panjang abnormal dari tungkai, lengan dan jari (araknodaktili); palatum yang tinggi-melengkung (high-arched); dan sendi yang bersifat hiperekstensibilitas. Berbagai deformitas spinal, seperti kiposkoliosis berat, mungkin juga ditemukan. Dada mengalami deformitas, menunjukkan baik pectus excavatum (contoh sternum yang tertekan ke dalam) atau deformitas dada-burung dara (pigeon-breast). Perubahan okular yang paling khas adalah dislokasi bilateral, atau subluksasi, dari lensa akibat kelemahan ligamen penggantung (ektopia lentis). Abnormalitas ini sangat tidak lazim pada individu yang tidak mempunyai penyakit genetik ini, sehingga penemuan ektopia lentis bilateral seharusnya menunjang penegakan diagnosis kemungkinan sindrom Marfan. Walaupun demikian, paling penting adalah terjangkitnya sistem kardiovaskular. Fragmentasi dari serabut-serabut elastik pada tunika media aorta merupakan predisposisi terjadinya dilatasi aneurisma dan diseksi aorta pada penderita yang terkena (Bab 9). Perubahan-perubahan ini, disebut sistik medionekrosis, tidak spesifik untuk sindrom Marfan. Lesi yang mirip terjadi pada hipertensi dan pada bertambahnya usia. Kehilangan penunjang medial menyebabkan dilatasi cincin kelep aorta, yang menimbulkan inkompetensi aorta. Kelep jantung, terutama kelep mitral mungkin mengalami pelebaran berlebihan dan regurgitasi (floppy valve syndrome), yang dapat menimbulkan prolaps kelep mitral dan kegagalan jantung kongestif (congestive heart failure) (Bab 10). Kematian dari ruptur aorta dapat terjadi pada setiap usia, ruptur aorta sebenarnya merupakan penyebab kematian paling lazim. Kurang lazim, kegagalan jantung adalah kejadian terminal.Walaupun lesi-lesi yang diuraikan tersebut adalah khas untuk sindrom Marfan, tetapi tidak dijumpai pada semua kasus. Terdapat banyak variasi dalam tampilan klinis, dan sebagian penderita mungkin menunjukkan lesi kardiovaskular secara predominan dengan perubahan skelet dan okular yang minimal. Tampilan yang bervariasi tersebut dianggap berkaitan dengan mutasi alel yang berbeda pada gen FBNI



Sindrom Ehlers-Danlos Sindrom Ehlers-Danlos (EDS) adalah suatu kelompok penyakit yang ditandai oleh cacat sintesis kolagen atau strukturnya. Semua adalah kelainan gen-tunggal



221



tetapi cara pewarisannya meliputi baik pola dominan autosom maupun resesif autosom. Terdapat sekitar 30 jenis kolagen yang dapat dibedakan; semua mempunyai cara distribusi yang khas dan merupakan produk dari gen yang berbeda. Pada keadaan tertentu, heterogenitas klinis dari EDS dapat dijelaskan oleh mutasi pada gen kolagen yang berbeda. Paling sedikit dikenal enam varian klinis dan genetik dari EDS. Karena kolagen yang cacat adalah dasar untuk kelainan ini, perangai klinis tertentu lazim dijumpai pada semua varian. Seperti dapat diharapkan, jaringan yang banyak mengandungi kolagen, seperti kulit, ligamen, dan sendi, seringkali terkena pada sebagian besar varian EDS. Karena serabut kolagen abnormal tidak mem-punyai kekuatan daya tegang yang cukup, kulit bersifat daya regang tinggi (hiperekstensi) dan sendi bersifat daya gerak tinggi (hipermobil). Perangai ini memungkinkan gerakan kontorsi yang mengagumkan, seperti menekuk ibu jari sampai menyentuh lengan depan dan menekuk lutut keatas sampai membuat sudut mendekati sembilan puluh derajat. Sesungguh-nya, dianggap sebagian besar individu yang mampu melakukan gerakan kontorsi seperti di atas menderita satu dari EDS; walaupun demikian, predisposisi untuk terjadinya dislokasi sendi merupakan risiko untuk keistimewaan itu. Kulit mempunyai daya regang luar biasa, sangat rapuh, dan peka terhadap ruda-paksa (trauma). Jelas ringan menyebabkan cacat yang membuat celah, dan perbaikan dengan pembedahan atau intervensi pembedahan apa pun dapat dilak-sanakan dengan kesulitan tinggi karena kekurangan daya regang yang normal. Cacat dasar pada jaringan ikat mungkin menyebabkan penyulit interna yang parah, termasuk ruptur kolon dan arteri besar (EDS vaskular); fragilitas okular, dengan ruptur kornea dan lepasnya retina (EDS kyphoscoliotic); dan hemia diafragma (EDS klasik) di antara yang lainlain.Dasar-dasar molekuler untuk tiga dari varian yang lebih lazim adalah sebagai berikut: Dasar-dasar molekuler untuk tiga dari varian yang lebih lazim adalah sebagai berikut: • Defisiensi enzim lisil hidroksilase. Penurunan hidrok-silasi dari residu lisil pada kolagen jenis I dan III memengaruhi pembentukan ikatan-silang di antara molekul kolagen. Seperti dapat diharapkan, varian ini (EDS kyphoscoliotic) yang disebabkan oleh defisiensi enzim, diwariskan sebagai kelainan resesif autosom. • Cacat sintesis kolagen jenis III yang disebabkan oleh mutasi yang mengenai gen COL3A1. Varian ini, jenis vaskular, diwariskan sebagai kelainan dominan autosom dan ditandai oleh kelemahan jaringan yang mengandungi banyak kolagen jenis III (contoh pembuluh darah, dinding usus), yang mempunyai predisposisi untuk ruptur. • cacat sintesis kolagen jenis IV karena mutasi pada COL5A1 dan COL5A2 diwariskan sebagai kelainan dominan autosom dan menyebabkan EDS klasik.



RINGKASAN Sindrom Marfan • Sindrom Marfan disebabkan oleh mutasi pada gen FBN I yang menyandi fibrilin, yang diperlukan urituk integritas jaringan ikat. • Jaringan utama yang terkena adalah skelet, mata dan sistem kardiovaskular. • Perangai klinis mungkin mencakup postur badan jari-jari panjang, subluksasi lensa bilateral, prolaps katup mitral, aneurisma aorta, dan diseksi aorta. • Uji klinis dengan obat yang menghambat pengirirnan isyarat TGF-β seperti angiotensin receptor blocker sedang berjalan, karena hal ini telah ditunjukkan dapat memperbaiki fungsi aorta dan jantung pada mcdel binatang.



222



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Sindrom Ehiers-Danlos • Terdapat enam varian sindrom Ehlers-Danlos, seriva ditandai oleh cacat sintesis kolagen atau perakitannya. Masing-masing varian disebabkan oleh mutasi ying berbeda. • Perangai klinis mungkin meliputi kulit yang bersifat rapuh, hiperekstensif dan peka terhadap ruda-paksa (trauma), sendi bersifat hipermobil, dan ruptur yang mengenai kolon, kornea atau arteri besar. Penyembuhan luka buruk.



Ester kolesterol Trigliserida



B-100



ApoC VLDL



ApoE



Sel lemak



Sel hati



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Reseptor atau Kanal-Kanal



Lipolisis dari VLDL



Reseptor LDL



Hiperkolesterolemia Familial Hiperkolesterolemia familial adalah termasuk di antara kelainan jenis Mendel yang paling lazim; kekerapan kondisi heterozigot adalah 1 dalam 500 F ada populasi umum. Hal itu disebabkan oleh mutasi pada gen LDLR yang menyandi reseptor lipoprotein jenis densitas rendah, low-density lipoprotein (LDL), suatu bentuk yang menjadi wahana transpor 70% kolesterol plasma. Tinjauan singkat dari sintesis dan transpor kolesterol akan dibahas kemudian. Metabolisme Kolesterol Normal. Kolesterol mungkin berasal dari makanan yang dikonsumsi (diet) atau liari sintesis endogen. Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan yang dikonsumsi tergabung ke dalam kilomikron pada mukosa usus, yang bermuara ke dalam darah melalui saluran limfe usus. Kilomikron dihidrolisa oleh lipase lipoprotein endotel pada pembuluh kapiler dari otot dan lemak. Sisa kilomikron banyak mengandungi kolesterol, kemuc ian dikirim ke hati. Sebagian kolesterol memasuki penampungan metabolit (akan diuraikan), dan sebagian diekskresikan sebagai kolesterol bebas atau asam empedu ke dalam saluran empedu. Sintesis endoen dari kolesterol dan LDL mulai di hati (Gambar 6-2). Tahap pertama pada sintesis LDL adalah sek resi lipoprotein jenis densitas sangat rendah, very-low-density lipoprotein (VLDL) yang banyak mengandungi trigliserida, oleh hati ke dalam aliran darah. Pada pembuluh kapiler dari jaringan lemak dan otot, part kel VLDL mengalami lipolisis dan diubah menjadi intermediate-density lipoprotein (IDL). Dibandingkan dengan VLDL, kandungan trigliserida lebih rendah dan ester kolesterol lebih tinggi pada IDL, tetapi IDL mempertahankan dua dari tiga VLDL-associeted apolipoproteins B-100 dan E. Metabolisme selanjutnya terjadi pada dua jalur: sebagian besar partikel IDL diambil oleh hati melalui reseptor LDL yang akan diuraikan kemudian; yang lain diubah menjadi LDL yang kaya kolesterol oleh kehilangan yang lebih lanjut dari trigliserida dan apolipoprotein E. Di dalam sel hati IDL didaur ulang untuk menghasilkan VLDL. Dua pertiga dari hasil akhir partikel LDL dicerna melalui jalur reseptor LDL, dan sisanya dicerna oleh reseptor LDL yang teroksidasi (scavenger reseptor), yang akan diuraikan kemudian. Reseptor LDL berikatan dengan apolipoprotein B-100 dan E sehingga terlibat dalam transpor baik LDL dan IDL. Walaupun reseptor LDL tersebar luas, sekitar 75% terletak pada hepatosit, sehingga hati memainkan peranan sangat penting pada metabolisme LDL. Tahap pertama pada transpor LDL yang diperantarai reseptor mencakup ikatan kepada reseptor permukaan sel, diikuti oleh internalisasi endositotik di sebelah dalam yang disebut "clathrin-coated pits" (Gambar 6-3). Di dalam sel, vesikel endositik berfusi dengan lisosom, dan molekul LDL mengalami degradasi enzimatik yang akhirnya diikuti pelepasan kolesterol bebas ke dalam sitoplasma. Kolesterol tidak hanya digunakan untuk sintesis membran tetapi juga berperan pada homeostasis kolesterol intrasel melalui sistem pengelolaan umpan-balik yang rumit:



Pembersihan IDL diperantarai reseptor ApoE Pembersihan LDL deperantarai reseptor Pembersihan lain



LDL



B-100



B-100 IDL Koversi IDL ke LDL



Gambar 6-2 Metabolisme low-density lipoprotein (LDL) dan peranan hati pada sintesis dan pembersihan (clearance) —nya. Lipolisis very-low-density lipoprotein (VLDL) oleh lipase lipoprotein pada pembuluh kapiler melepaskan trigliserida, yang kemudian disimpan di dalam sel lemak dan digunakan sebagai sumber energi otot skelet. IDL (intermediate-density lipoprotein) tetap berada di dalam darah dan diserap oleh hati.



diambil oleh hati melalui reseptor LDL yang akan diuraikan kemudian; yang lain diubah menjadi LDL yang kaya kolesterol oleh kehilangan yang lebih lanjut dari trigliserida dan apolipoprotein E. Di dalam sel hati IDL didaur ulang untuk menghasilkan VLDL. • Hal itu menekan sintesis kolesterol dengan menghambat aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase (HMG-CoA reductase), yang merupakan enzim yang membatasi laju reaksi (rate limiting enzyme) pada jalur sintesis. • Hal itu merangsang pembentukan ester kolesterol untuk penyimpanan kelebihan kolesterol. • Hal itu mengatur penurunan sintesis reseptor LDL permukaan sel, sehingga melindungi sel dari penimbunan kolesterol yang berlebihan. Transpor LDL oleh reseptor scavenger, yang terjadi lebih dini, tampaknya berlangsung di dalam sel sistem fagosit-mononukleus dan mungkin di dalam sel lain juga. Monosit dan makrofag mempunyai reseptor untuk LDL yang mengalami modifikasi secara kimiawi (contoh asetilasi atau oksidasi). Jumlah yang mengalami katabolisme melalui jalur scavenger receptor berkaitan langsung dengan kadar kolesterol.



PATOGENESIS HIPERKOLESTEROLEMIA FAMILIAL Pada hiperkolesterolemia familial, mutasi pada protein reseptor LDL memengaruhi transpor dan katabolisme LDL,



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal yang menyebabkan akumulasi kolesterol LDL di dalam plasma. Di samping itu, tidak adanya reseptor LDL pada sel hati juga memengaruhi transpor LDL ke dalam hati, sehingga lebih banyak IDL plasma diubah menjadi LDL. Oleh karena itu, penderita dengan hiperkolesterolemia familial mengalami kelebihan kadar kolesterol serum sebagai akibat pengaruh gabungan dari penurunan katabolisme dan biosintesis yang berlebihan(Gambar 6-2). Dengan adanya hiperkolesterolemia semacam itu,terdapat peningkatan mencolok dari lalulintas kolesterol melalui dinding monosit-makrofag dan pembuluh darah yang diperantarai scavenger reseptor. Hal ini menjadi dasar timbulnya xantoma kulit dan aterosklerosis prematur. Hiperkolesterol familial adalah penyakit dominan autosom. Heterozigot menunjukkan peningkatan dua sampai tiga kali lipat kadar kolesterol plasma, sedangkan homozigot mungkin menunjukkan kelebihan kadar lima kali lipat. Walaupun kadar kolesterolnya meningkat sejak lahir, heterozigot tetap asimptomatik sampai masa dewasa, ketika mereka menderita pengendapan kolesterol (xantoma) sepanjang simpai tendon dan aterosklerosis prematur yang menyebabkan penyakit arteri koronaria. Homozigot terkena lebih parah, mengalami pembentukan xantoma pada masa anak-anak dan sering meninggal karena infark miokardium sebelum usia 20 tahun. Analisis gen reseptor LDL yang diklon menunjukkan bahwa lebih dari 900 mutasi yang berbeda dapat menimbulkan hiperkolesterolemia familial. Ini dapat dibagi ke dalam lima kategori. Mutasi kelas I adalah yang tidak lazim, dan mereka berhubungan dengan kehilangan lengkap dari sintesis reseptor. Mutasi kelas II, bentuk mutasi yang paling prevalen, protein reseptor diproduksi tetapi transpor dari retikulum endoplasmik ke aparat Golgi mengalami kelainan karena cacat pada pelipatan protein. Mutasi kelas III memproduksi reseptor dan dikirim kepermukaan membran tetapi gagal untuk berikatan dengan LDL secara normal. Mutasi kelas IV menghasilkan reseptor yang gagal mengalami internalisasi ke dalam celah clathrin setelah berikatan dengan LDL, sedangkan mutasi kelasV menyandi reseptor yang dapat berikatan dengan LDL dan mengalami internalisasi tetapi terperangkap di dalam endosom karena disosiasi reseptor dan LDL yang terikat tidak terjadi. Penemuan peranan khusus reseptor LDL di dalam homeostasis kolesterol menghasilkan rancangan rasional dari obat golongan statin yang sekarang digunakan secara luas untuk menurunkan kolesterol plasma. Mereka menghambat aktivitas reduktase HMG-CoA dan mendukung peningkatan sintesis reseptor LDL (Gambar 6-3).



RINGKASAN Hiperkolesterolemia Familial • Hiperkolesterolemia familial adalah kelainan dominan autosom yang menyebabkan mutasi pada gen yang menyandi reseptor LDL. • Penderita mengalami hiperkolesterolemia sebagai akibat gangguan transpor LDL ke dalam sel. • Pada heterozigot, peningkatan kolesterol serum sangat meningkatkan risiko aterosklerosis dan hasil akhir penyakit arteri koronaria; homozigot bahkan mengalami peningkatan kolesterol yang lebih tinggi dan mempunyai kekerapan lebih tinggi untuk penyakit jantung iskemik. Kolesterol juga mengendap sepanjang sarung tendon untuk menimbulkan xantoma.



223



Fibrosis Kistik Dengan angka kejadian 1 di antara 3200 kelahiran hidup di Amerika Serikat, fibrosis kistik/ cystic fibrosis (CF) merupakan penyakit genetik letal yang paling lazim mengenai populasi berkulit putih. Penyakit tersebut tidak lazim pada penduduk Asia (1 di antara 31.000 kelahiran hidup) dan penduduk Amerika asal Afrika (1 di antara 15.000 kelahiran hidup). CF mengikuti pewarisan resesif autosom yang sederhana, dan tidak mengenai karier heterozigot. Walaupun demikian, terdapat kumpulan yang mengherankan dari variasi fenotipe yang merupakan akibat mutasi yang beragam dari gen yang terkait dengan CF, yang akibatnya khas pada jaringan yang kehilangan fungsi gennya, dan berkembangnya pengaruh zat yang dapat mengubah penyakit yang baru dikenal. Pada dasarnya, hal ini merupakan kelainan transpor epitel yang memengaruhi sekresi cairan pada kelenjar eksokrin dan lapisan epitel dari saluran pernapasan, gastrointestinal dan reproduktif. Sesungguhnya, sekresi abnormal berupa mukus yang kental yang menyumbat saluran udara dan saluran pankreas merupakan penyebab dua manifestasi klinis yang paling penting: infeksi paru yang kronik dan berulang dan insufisiensi pankreas. Di samping itu, walaupun kelenjar keringat eksokrin strukturnya normal (dan tetap demikian sepanjang perjalanan penyakit ini), kadar natrium klorida yang tinggi di dalam cairan keringat adalah abnormalitas biokimiawi yang konsisten dan khas pada CF.



PATOGENESIS Cacat primer pada CF adalah fungsi protein kanal klorida yang abnormal pada epitel yang disandi oleh gen CF transmembran conductance regulator (CFTR) pada lokus kromosom 7q3.I .2. Perubahan pada mukus dianggap terjadi sekunder terhadap gangguan transpor ion klorida. Pada epitel normal, transpor ion klorida melewati membran sel melalui protein transmembran,seperti CFTR, yang membentuk kanal klorida. Mutasi pada gen CFTR menyebabkan membran epitel bersifat relatif impermeabel terhadap ion klorida (Gambar 6-4). Walaupun demikian, dampak dari cacat ini pada fungsi transpor bersifat khas jaringan. Fungsi utama protein CFTR pada saluran kelenjar keringat adalah reabsorbsi ion klorida di dalam lumen dan meningkatkan reabsorpsi natrium melalui kanal natrium epitel/epithelial sodium channel (ENaC). Oleh karena itu, pada saluran kelenjar keringat, kehilangan fungsi CFTR menyebabkan penurunan reabsorpsi natrium klorida dan produksi keringat yang hipertonik ("asin") (Gambar 6-4, atas). Hal sebaliknya dari yang terjadi pada kelenjar keringat ialah CFTR pada epitel saluran pernapasan dan intestinal yang berfungsi paling penting berupa sekresi klorida akif di dalam lumen. Pada tempat ini, mutasi CFTR menyebabkan kehilangan atau reduksi sekresi aktif klorida ke dalam lumen (Gambar 6-4, bawah). Absorpsi aktif natrium di dalam lumen melalui ENaC juga meningkat, dan kedua jenis ion ini mengubah peningkatan reabsorpsi pasif air dari lumen, yang menurunkan kadar air dari lapisan permukaan cairan yang melapisi sel mukosa. Jadi, tidak seperti saluran kelenjar keringat, tidak terdapat perbedaan kadar garam pada lapisan cairan permukaan yang melapisi sel mukosa saluran pernapasan dan intestinal pada individu normal dan pacia penderita CF.Sebagai penjelasan lain,patogenesis komplikasi pernapasan dan intestinal pada CF tampaknya sebagai akibat dari lapisan cairan permukaan yang isotonik tetapi volumenya rendah. Pada paru, dehidrasi ini menyebabkan cacat pergerakan mukosiliar dan penumpukan sekresi yang pekat dan kental, yang menyumbat aliran udara dan menjadi predisposisi infeksi berulang.



224



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik Protein Ester kolesterol ApoB-100



LDL



Reseptor LDL



Celah terlapisi Membrana plasma



Vesikel daur-ulang



Clathrin Vesikel terlapisi



Sintesis resptor LDL



Sintesis kolesterol



DNA Inhibits



Endosom



Reduktase HMG Coa



Lisosom



Inhibits



Asam amino



Kelebihan pasokan kolesterol



Kolesterol Stimulates



Membrana sel, hormon steroid, dan asam empedu



Penimbunana ester kolesteror



Gambar 6-3 Jalur reseptor LDL dan regulasi metabolisme kolesterol. Tanda panah kuning menunjukkan tiga fungsi regulasi dari kolesterol bebas: (I) penekanan sintesis kolesterol oleh penghambatatn reduktase HMG-CoA, (2) perangsangan penimbunan kelebihan kolesterol sebagai ester, (3) penghambatan sintesis reseptor LDL. Ht1G-CoA reductase, 3-hydroxy-3-methylglutaryi-coenzyme A reductase; LDL, low-density lipoprotein.



Sejak gen CFTR diklon pada tahun 1999, lebih dari 1300 mutasi yang menyebabkan penyakit sudah ditetapkan. Mereka dapat digolongkan sebagai berat atau ringan, bergantung kepada fenotipe klinis: mutasi berat berkaitan dengan kehilangan fungsi protein CFTR secara lengkap, sedangkan mutasi ringan apabila sebagian fungsi normal tersisa. Mutasi CFTR yang paling lazim adalah delesi tiga nukleotida yang menyandi fenilalanin pada posisi asam amino 508 (4F508). Ini menyebabkan pelipatan salah dan kehilangan total dari CFTR. Di seluruh dunia, mutasi AF508 dijumpai pada 70% penderita CF. Oleh karena CF adalah penyakit resesif autosom, individu yang terkena mengandungi mutasi pada kedua alel yang memengaruhi fenotipe secara keseluruhan, demikian juga manifestasi khas-organ. Walaupun CF tetap merupakan salah satu contoh yang paling dikenal dari aksioma "satu gen-satu penyakit" (one gene-one disease), terdapat bukti-bukti yang masih bertambah yang menunjukkan bahwa ada gen lain yang berperan memodifikasi kekerapan dan keparahan manifestasi khas-organ. Satu contoh dari pemodifikasi genetik adalah mannose-binding lectin, suatu efektor kunci dari imunitas alami/bawaan yang berperan pada fagositosis mikroorganisme. Pada keadaan CF, polimorfisme pada satu atau dua alel mannose-binding lectin yang menyebabkan penurunanan kadar protein yang beredar berkaitan dengan peningkatan risiko tiga kali lipat untuk penyakit paru stadium akhir, karena infeksi bakteri kronik.



MORFOLOGI Perubahan anatomik sangat bervariasi dan bergantung kepada kelenjar mana yang terkena dan keparahan pen; dkit. Abnormalitas pankreas terdapat pada 85% sampai 90% penderita CF. Pada kasus yang lebih ringan, mungkin hanya terjadi akumulasi mukus di dalam saluran kecil, dengan sebagian pelebaran kelenjar eksokrin. Pada kasus yang lanjut, biasanya dijumpai pada anak yang lebih tua atau pada usia remaja, saluran tersumbat penuh, yang menyebabkan atrofia kelenjar eksokrin dan fibrosis progresif (Gambar 6-5). Kehilangan lengkap dari sekresi eksokrin memengaruhi absorpsi lemak, sehingga avitaminosis A mungkin berperan pada metaplasia skuamosa lapisan epitel saluran pankreas,yang telah cedera karena sekresi mukus yang terhambat. Sumbatan mukus yang tebal dan kental mungkin juga ditemukan pada saluran intestinal pada bayi. Kadang-kadang ini menyebabkan obstruksi usus kecil, yang disebut ileus mekonium. Perubahan pulmonal merupakan komplikasi yang paling serius dari penyakit ini (Gambar 6-6). Perubahan ini akibat dari obstruksi dan infeksi saluran udara yang terjadi sekunder terhadap sekresi mukus yang kental dari kelenjar submukosa pada sistem pernapasan. Bronkiolus seringkali terregang oleh mukus yang tebal, terkait dengan



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal NORMAL CFTR



Na+



Cl–



ENaC



LUMEN SALURAN KERINGAT



SALURAN PERNAPASAN



NORMAL



219



FIBROSIS KISTIK Cl–



Na+



FIBROSIS KISTIK Mukus dengan dehidrasi



Mukus norma



Cl–



Na+



H 2O



Cl–



Na+



H 2O



Gambar 6-4 Atas, Pada fibrosis kistik (FK)/cystic fibrosis (CF), cacat kanal klorida pada saluran keringat menyebabkan peningkatan kadar klorida dan natrium dalam keringat. Bawah, Penderita dengan CF mengalami penurunan sekresi klorida dan peningkatan natrium dan reabsorpsi air pada saluran pernapasan, yang diikuti pelapisan sel selaput lendir, cacat pergerakan mukosiliar, dan sumbatan lendir. CFTR, cystic fibrosis tronsmembran conductance regulator; ENaC, epithelial sodium channel responsible for intracellular sodium conduction.



Perubahan pulmonal merupakan komplikasi yang paling serius dari penyakit ini (Gambar 6-6). Perubahan ini akibat dari obstruksi dan infeksi saluran udara yang terjadi sekunder terhadap sekresi mukus yang kental dari kelenjar submukosa pada sistem pernapasan. Bronkiolus seringkali terregang oleh mukus yang tebal, terkait dengan adalah meningkatnya kekerapan infeksi oleh pseudomonas yang lain, Burkholderia cepacia. Bakteri oportunistik ini khususnya bersifat tangguh, dan infeksi oleh organisme ini berkaitan dengan penyakit beratifulminant ("sindrom cepacea"). Terkenanya hati mengikuti pola penyakit dasar. Kanalikuli empedu tersumbat oleh bahan musm, diikuti oleh proliferasi duktus dan inflamasi portal.



Gambar 6-6 Paru penderita yang meninggal karena fribrosis kistik. Sumbatan lendir yang ekstensif dan pelebaran saluran trakeobronkial tampak jelas. Parenkim paru menjadi padat oleh kombinasi baik sekresi maupun pnemonia; warna kehijauan adalah akibat infeksi Pseudomonas. (Penghargaan kepoda Dr. Eduardo Yunis, Children's Hospital of Pittsburgh, Pittsburgh, Pennsylvania)



Gambar 6-5 Perubahan ringan sampai sedang dari fibrosis kistik pada pankreas. Saluran melebar dan terisi oleh lendir eosinofilik, dan parenkim kelenjar atrofik dan digantikan oleh jaringan fibrotik.



226



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Steatosis hati lazim ditemukan pada biopsi hati. Dengan berjalannya waktu, terjadi perkembangan sirosis, yang menyebabkan pembentukan nodul hati yang difus. Kelainan hati yang parah itu dijumpai kurang dari 10% penderita. Azoospermia dan infertilitas ditemukan pada 95% penderita pria yang dapat mencapai usia dewasa; tidak terdapatnya vasa deferens bilateral sering ditemukan pada penderita. Pada sebagian pria hanya ada kelainan yang mungkin diduga karena mutasi CFTR.



Perjalanan Klinis Pada beberapa penyakit pada anak-anak terdapat manifestasi klinis yang khas seperti CF (Tabel 6-3). Tanda dan gejala pernyakit sangat bervariasi cLan berkisar dari ringan sampai berat, dapat ditemukan sejak lahir sampai permulaan penyakit beberapa tahun kemudian, dan dari jenis yang terbatas pada s,itu organ sampai jenis yang mengenai banyak organ. Sekitar 5% sampai 10% kasus dibawa ke klinis pada saat lahir atau segera sesudahnya karena serangan ilsus meconium. Insufisiensi eksokrin pankreas terjadi pada sebagian besar (85% sampai 90%) penderita dengan CF dan berkaitan dengan mutasi CFTR yang "berat" pada kedua alel (contoh AF508/AF508 ), sedangl.an 10% sampai 15% penderita dengan satu mutasi CFTR yang "berat" dan satu yang "ringan", atau dua mutasi CFTR yang "ringan", mempertahankan fungsi eksokrin pankreas yang cukup sehingga suplementasi enzim tidak diperlukan-fenotipe jenis pancreas-sufficient. Insufisiensi pankreas berhubungan dengan mengabsorpsi protein dan lemak dan kehilangan lewat feses yang meningkat. Manifestasi malabsor psi (contoh feses yang besar, berbau busuk; perut meregang, berat badan tidak cukup bertambah) tampak selama satu tahun pertama kehidupan. Absorpsi lemak yang tidak normal dapat menyebabkan defisiensi vitamin yang terlarut dalam lemak, yang diikuti manifestasi avitaminosis A, D atau K. Hipoproteinemia mungkin cukup parah menyebabkan edema menyeluruh. Diare yang menetap dapat menyebabkan prolaps rektum pada 10% anak-anak penderita CF



Fenotipe jenis pancreas-sufficient biasanya tidak berhubungan dengan komplikasi gastrointestinal lain, dan pada umumnya, penderita menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik. Pankreatitis kronik "idiopatik" terjadi pada subset penderita dengan CF jenis pancreas-sufficient, dan berhubungan dengan episode kekambuhan nyeri abdomen dengan komplikasi yang mengancam kehidupan. Komplikasi kardiorespirasi, seperti batuk kronik, infeksi paru yang menetap, penyakit paru obstruktif, dan cor pulmonale, merupakan penyebab kematian yang paling lazim (mencapai sekitas 80% kematian) pada penderita yang dirawat untuk tindak-lanjut pada sebagian besar pusat CF di Amerika Serikat. Menjelang usia 18 tahun, 80% penderita dengan CF klasik menderita infeksi P. aeruginosa, dan 3.5% B. cepacia. Karena penggunaan antibiotik untuk pencegahan Staphylococcus yang tidak spesifik, disayangkan terjadi peningkatan kembali infeksi galur Pseudomonas yang resisten pada banyak penderita. Polip sinonasal yang berulang dapat terjadi pada 10% sampai 25% penderita CF; seyogianya anak yang menunjukkan polip semacam itu harus diperiksa untuk abnormalitas klorida keringat. Penyakit hati yang bermakna terjadi lebih lambat pada riwayat penyakit CF yang alami dan terselubung oleh terjangkitnya paru dan pankreas; dengan harapan hidup yang meningkat, penyakit hati sekarang merupakan penyebab kematian ketiga yang paling lazim pada penderita CF (setelah penyulit kardiopulmonal dan yang terkait transplantasi). Pada sebagian besar kasus, diagnosis CF berdasarkan peningkatan konsentrasi elektrolit keringat yang menetap (seringkali ibu membuat diagnosis karena bayi "terasa asin"), penemuan klinis yang khas (penyakit sinopulmonal dan manifestasi gastrointestinal), atau riwayat penyakit pada keluarga. Penetapan urutan basa dari gen CFTR, tentu merupakan modalitas baku untuk diagnosis CF. Oleh karena itu pada penderita dengan temuan klinis atau riwayat penyakit pada keluarga (atau kedua-duanya), yang mengarah pada kelainan ini, dapat dianjurkan untuk dilakukan analisis genetik.



Tabel 6-3 Perangai Klinis dan Kriteria Diagnostik untuk Fibrosis Kistik



Perangai Klinis dari Fibrosis Kistik Penyakit sinopulmonal bermanifestasi sebagai Kolonisasi/infeksi yang menetap dengan patogen khas fibrois kistik, termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae yang tidak dapat ditetapkan tipenya, Pseudomonas aeruginosa tipe mukoid dan non-mukoid, Burkholderia cepacia Batuk kronik dan produksi sputum Abnormalitas radiografik dada yang menetap (contoh, brorkiektasis, atelektasis, infiltrat, hiperinflasi) d. Obstruksi jalan napas dengan manifestasi "wheezing" dan udara terperangkap Polip e. hidung; abnormalitas radiografik atau computed tomographic dari hidung "Clubbing" jari Abnormalitas gastrointestinal dan nutrisi, termasuk Intestinal: ileus mekonium, sindrom obstruksi intestinal distal, prolaps rektum Pankreatik: insufisiensi pankreas, pankreatitis akut berulang, pankreatitis kronik Hepatik: penyakit hati kronik dengan manifestasi bukti klinik atau histologis dari sirosis bilier fokal, atau sirosis multilobul, ikterus neonatal yang lama Nutrisional: failure to thrive (malnutrisi protein-kalori), hipoproteinemia, edema, komplikasi sekunder terhadap defisiensi vitamin yang larut dalam lemak Sindrom kehilangan garam: deplesi garam akut, alkalosis metabolit kronik Abnormalitas urogenital pria yang menyebabkan azospermia obstruktif (vas deferens bilateral tidak terbentuk secara kongenital)



Kriteria untuk Diagnosis Fibrosis Kistik Satu atau lebih perangai fenotipe yang khas, ATAU riwayat fibrosis kistik pada satu "sibling"ATAU hasil uji penapisan bayi baru lahir positif DAN Peningkatan konsentrasi klorida keringat pada dua atau lebih kesernpatan, ATAU indentifikasi dua mutasi fibrosis kistik ATAU penemuan transpor ion epitel nasal abnormal transpor ion epitel nasal abnormal Disadur atas izin dari Rosenstein BJ, Cutting GR:The diagnosis of cystic fibrosi:: a consensus statement. J Pediatr 132:589, 1998.



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Kemajuan penatalaksanaan CF menyebabkan peningkatan penderita yang bertahan hidup sampai usia dewasa; nilai tengah (median) harapan hidup sekarang adalah 36 tahun dan terus meningkat. Uji klinis dengan terapi gen pada manusia masih pada taraf dini tetapi memberikan harapan besar untuk berjuta-juta penderita CF di seluruh dunia.



RINGKASAN Fibrosis Kistik • •



CF adalah penyakit jenis resesif autosom yang disebabkan oleh mutasi pada gen CFTR yang menyandi regulator transmembran CF. Cacat pokok adalah transpor ion, yang menyebabkan konsentrasi garam yang tinggi di dalam keringat dan sekret yang kental pada lumen saluran pernapasan dan gastrointestinal.







Mutasi CFTR bisa berat/parah (ΔF508), yang menyebabkan terjadinya penyakit multisistem, atau ringan, yang menyebabkan perjalanan penyakit dan keparahan yang terbatas.







Penyulit kardiopulmonal merupakan penyebab kematian yang paling lazim; infeksi paru, terutama oleh pseudomonas yang resisten, seringkali terjadi. Bronkiektasis dan kegagalan jantung sisi kanan merupakan sekuela jangka panjang.







Insufisiensi pankreas sangat lazim terjadi; infertilitas yang disebabkan oleh tidak adanya vas deferens bilateral adalah penemuan yang khas pada penderita CF dewasa.







Penyakit hati,termasuk sirosis,meningkat kekerapannya karena daya tahan hidup yang membaik.



227



Biasanya, menjelang 6 bulan kehidupan, secara mencolok terjadi keterlambatan mental yang parah; kurang dari 4% anak dengan fenilketonuria yang tidak diobati mempunyai intelligence quotients (IQs) lebih tinggi dari 50 atau 60. Sekitar sepertiga dari anak-anak ini tidak pernah dapat berjalan, dan dua pertiga tidak dapat berbicara. Serangan kejang, abnormalitas neurologik lain, penurunan pigmentasi rambut dan kulit, dan ekzema sering menyertai keterlambatan mental pada anak-anak yang tidak diobati. Hiperfenilalaninemia dan akibatnya berupa keterlambatan mental dapat dicegah dengan pembatasan konsumsi fenilalanin pada masa dini kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prosedur penapisan dilakukan secara rutin untuk mendeteksi FKU segera setelah lahir. Banyak penderita wanita dengan FKU yang menerima pengobatan gizi yang dimulai pada waktu dini kehidupan mencapai usia untuk dapat hamil dan secara klinis normal. Sebagian besar dari mereka mempunyai hiperfenilalanin yang berat, karena pengobatan gizi dihentikan setelah mereka mencapai masa dewasa. Antara 75% dan 90% anak-anak yang dilahirkan oleh wanita semacam itu menderita keterlambatan mental dan mikrosefalia, dan 15% menderita penyakit jantung kongenital, walaupun bayi-bayi tersebut adalah heterozigot. Sindrom ini disebut FKU maternal, akibat dari efek teratogen dari fenilalanin atau metabolitnya yang menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan organ-organ tertentu pada fetus. Adanya dan keparahan anomali fetus berhubungan langsung dengan kadar fenilalanin maternal, sehingga dianjurkan pembatasan gizi untuk fenilalanin pada ibu dimulai sebelum konsepsi dan dilanjutkan selama kehamilan.



Terdapat beberapa varian fenilketonuria (FKU)/phenylketonuria, suatu kesalahan metabolisme sejak lahir yang mengenai 1 di antara 10.000 bayi lahir-hidup dari golongan kulit putih. Bentuk yang paling lazim, dikenal sebagai fenilketonuria klasik, sangat lazim pada orang keturunan Skandinavia dan tidak lazim ditemukan pada populasi Amerika asal Afrika dan Yahudi.



Abnormalitas biokimiawi pada FKU adalah ketidakmampuan untuk konversi fenilalanin menjadi tirosin. Pada anak normal, kurang dari 50% asupan fenilalanin pada makanan diperlukan untuk sintesis protein. Sisanya diubah menjadi tirosin oleh sistem fenilalanin hidroksilase (Gambar 6-7). Apabila metabolisme fenilalanin dihambat karena tidak ada enzim FAH, jalur alternatif minor akan bekerja, yang menghasilkanbeberapa zat perantara yang diekskresikan dalam jumlah besar di dalam urin dan keringat. Hal ini menyebabkan bau yang tidak menyenangkan pada bayi yang terkena. Dianggap bahwa kelebihan fenilalanin atau metabolitnya berperan terhadap kerusakan otak pada FKU. Tidak adanya tirosin yang bersamaan (Gambar 6-7), suatu prekursor melanin, berkaitan dengan terjadinya warna muda dari rambut dan kulit.



Homozigot dengan kelainan resesif autosom secara klasik mempunyai kekurangan enzim fenilalanin hikroksilase (FAH), yang menyebabkan hiperfenilalaninemia dan FKU. Bayi yang terkena adalah normal pada saat lahir tetapi dalam beberapa minggu menunjukkan peningkatan kadar fenilalanin plasma, yang secara tidak langsung mengganggu perkembangan otak.



Pada tingkat molekul, sekitar 500 alel mutan dari gen FAH telah ditetapkan, hanya beberapa yang menyebabkan defisiensi enzim yang parah. Bayi-bayi dengan mutasi yang menyebabkan tidak adanya aktivitas FAH tampil dengan perangai klasik FKU, sedangkan mereka yang mempunyai sekitas 6% aktivitas sisa tampil dengan penyakit yang lebih ringan.



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein Enzim Fenilketonuria



Fenilalanin + O2



Tetrahidrobiopterin (BH4)



Reduktase dihidropteridin (DHPR)



Hidroksilase fenilalanin (PAH) Tirosin + H2O



NAD



Dihidrobiopterin (BH2)



NADH



Gambar 6-7 Sistem fenilalanin hidroksilase. NADH, nicotinamide adenine dinucleotide, yang tereduksi.



228



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Lebih lagi pada sebagian mutasi yang hanya menyebabkan peningkatan sedikit dari kadar FAH tidak disertai kerusakan neurologik yang terkait. Keadaan yang kedua ini, disebut sebagai hiperfenilalaninemia jinak, yang perlu dikenal, karena individu yang terkena mungkin hanya ditemukan positif pada uji penapisan tetapi tidak menunjukkan stigmata FKU. Karena banyak alel penyebab penyakit dari gen fenilalanin hidroksilase, maka diagnosis molekuler tidak dapat dilakukan, dan pengukuran kadar fenilalanin serum diperlukan untuk membedakan hiperfenilalaninemia jinak dari FKU; kadar tersebut pada kelainan yang kedua secara khas adalah lima kali (atau lebih) lebih tinggi daripada normal. Segera setelah diagnosis biokimiawi ditegakkan, mutasi spesifik yang menyebabkan FKU dapat ditentukan. Dengan informasi ini, uji pembawa sifat (carrier) dari keluarga penyandang risiko dapat dilakukan. Kasus FKU sebanyak 98% adalah terkait dengan mutasi pada FAH, dan sekitar 2% adalah akibat dari abnormalitas atau daur ulang dari kofaktor tetrahidrobiopterin (Gambar 6-7). Pengenalan klinis terhadap bentuk varian FKU ini penting, karena penderita tidak perlu diobati dengan pembatasan fenilalanin pada makanan.



Pengendalian yang dilakukan segera setelah lahir mencegah katarak dan kerusakan hati serta memungkinkan perkembangan yang hampir normal. Bahkan dengan pembatasan gizi sekarang diketahui pasti bahwa penderita yang lebih tua seringkali terkena kelainan bicara dan kegagalan gonad (terutama kegagalan ovarium prematur) dan yang kurang lazim, yaitu suatu keadaan ataksia.



RINGKASA Fenilketonuria • •







Galaktosemia Galaktosemia adalah kelainan resesif autosom dari metabolisme galaktosa yang mengenai 1 di antara 60.000 bayi lahir-hidup. Pada keadaan normal, laktase memecah laktosa, karbohidrat utama dari susu mamalia, menjadi glukosa dan galaktosa di dalam mikrovili intestinal. Galaktosa kemudian diubah menjadi glukosa dalam beberapa tahap, pada satu di antaranya enzim galactose-1-phosphate uridyltransferase (GALT) diperlukan. Tidak adanya enzim ini, karena mutasi homozigot gen GALT yang menyandinya, berperan pada galaktosemia. Sebagai akibat dari defisiensi transferase ini, galaktose-1-fosfat dan metabolit lain, termasuk galaktitol, bertumpuk pada banyak jaringan, termasuk hati, limpa, lensa mata, ginjal, dan cortex cerebri. Hati, mata, dan otak menyandang akibat kerusakan. Hepatomegali yang terjadi dini disebabkan terutama karena perubahan perlemakan, tetapi sesuai dengan berjalannya waktu jaringan parut yang tersebar menyerupai sirosis yang disebabkan penggunaan yang salah terhadap alkohol mungkin lebih mencolok (Bab 15). Lensa berubah menjadi opak (katarak), mungkin karena lensa menyerap air dan membengkak ketika galaktitol, yang diproduksi oleh jalur metabolit alternatif, bertumpuk dan meningkatkan tonisitasnya. Perubahan nonspesifik tampak pada sistem saraf pusat (SSP), termasuk kehilangan sel saraf, gliosis dan edema. Masih belum terdapat pengertian yang jelas tentang mekanisme jejas pada hati dan otak. Hampir sejak lahir, bayi yang terkena gagal berkembang. Muntah dan diare terjadi dalam beberapa hari setelah minum susu. Ikterus dan hepatomegali biasanya dijumpai selama minggu pertama kehidupan. Penumpukan galaktosa dan galatosa-1 fosfat di dalam ginjal mengganggu transpor asam amino, yang menyebabkan aminoasiduria. Septikemia Escherichia coli yang hebat terjadi dengan kekerapan yang meningkat. Diagnosis galaktosemia dapat dicurigai dari terdapatnya gula yang bersifat mereduksi selain glukosa di dalam urin, tetapi uji yang langsung menetapkan defisiensi transferase pada leukosit dan sel darah merah lebih dapat dipercaya. Diagnosis antenatal mungkin dibuat dengan uji aktivitas GALT dalam sel cairan amnion yang dibiakkan atau penentuan kadar galaktitol pada supernatan cairan amnion. Banyak perubahan klinis dan morfologik dapat dicegah atau diperbaiki dengan penyingkiran galaktosa dari diet selama paling sedikit dua tahun pertama kehidupan.



FKU adalah kelainan pewarisan resesif autosom yang disebabkan oleh tidak adanya enzim femilalanin hidroksilase dan di ikuti ketidakmampuan dalam metabolisme fenilalanin. Perangai klinis dari FKU yang tidak diobati mungkin termasuk keterlambatan mental, kejang, dan berkurangnya pigmen rambut dan kulit, yang dapat dihindari dengan pembatasan asupan fenilalanin dalam makanan. Penderita wanita dengan FKU yang tidak meneruskan pengobatan gizi dapat melahirkan anak dengan malformasi dan kelainan neurologik yang diakibatkan oleh metabolit fenilalanin yang menembus plasenta.



Galaktosemia • •



Galaktosemia disebabkan oleh tidak adanya enzim GALT yang diwariskan, yang menyebabkan penumpukan galaktosa- I fosfat dan metabolitnya di dalam jaringan. Perangai klinis mungkin termasuk ikterus, kerusakan hati, katarak, kerusakan saraf, muntah dan diare, dan sepsis E. coli. Pembatasan galaktosa dapat mencegah paling sedikit sebagian dari penyulit yang parah.



Penyakit Penimbunan Lisosom dari luar sel melalui fagositosis. Dengan tidak adanya enzim lisosom yang diwariskan, katabolisme dari substratnya tetap tidak sempurna, yang menyebabkan penimbunan metabolit yang tidak terlarut dan mengalami degradasi parsial di dalam lisosom (Gambar 6-8). Sekitar 40 penyakit penimbunan lisosom telah diketahui, tiap penyakit menyebabkan tidak berfungsinya enzim khas lisosom atau protein yang berperan dalam fungsinya. Secara tradisional, kelainan penimbunan lisosom dibagi menjadi kategori yang luas berdasarkan sifat biokimiawi dari substrat dan metabolit yang tertumpuk, tetapi klasifikasi yang lebih bersifat mekanik berdasarkan kepada cacat molekuler yang mendasarinya (Tabel 6-4). Di dalam tiap kelompok terdapat beberapa entitas tiap jenis adalah akibat dari defisiensi enzim yang khusus. Walaupun merupakan hal yang rumit, perangai tertentu adalah lazim ditemukan pada sebagian besar penyakit pada kelompok ini: • Penularan/resesif autosom • Populasi penderita terdiri dari bayi dan anak yang muda



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal



Degradasi lisosom normal



Substrat kompleks



A



B



229



C



Produk akhir kecil yang dapat berdifusi



Defisiensi enzim lisosom



A



B



Produk yang tidak di cerna yang di timbul



Gambar 6-8 Patogenesis penyakit penimbunan lisosom. Pada contoh ini, substrat yang kompleks dalam keadaan normal dicerna oleh beberapa enzim lisosom (A, B, dan C) menjadi produk akhir yang terlarut. Apabila ada defisiensi atau malfungsi salah satu dari enzim (contoh, B), katabolisme tidak sempurna, dan hasilantara yang tidak larut berakumulasi di dalam lisosom.



• Penimbunan zat antara yang tidak terlarut dalam sistem fagosit mononukleus, menyebabkan hepatosplenomegali. • SSP sering terkena disertai kerusakan neuron • Disfungsi seluler, yang disebabkan tidak hanya karena penimbunan dari materi yang tidak tercerna tetapi juga oleh kaskade kejadian sekunder yang terpicu, misalnya, oleh aktivasi makrofag dan pelepasan sitokin. Korban yang potensial dari penyakit ini masih beruntung, karena sebagian besar dari keadaan ini sangat jarang, dan uraian yang rinci lebih baik diserahkan untuk naskah dan tinjauan pustaka



Hanya sedikit dari keadaan yang lazim dipertimbangkan di sini. Penyakit penimbunan glikogen tipe II (penyakit Pompe), juga suatu kelainan lisosome, diba has kemudian dalam bab ini. Penyakit Tay-Sachs (Gangliosidosis GM2: Defisiensi Subunit βHeksosaminidase) Gangliosidosis ditandai oleh akumulasi gangliosid, terutama di otak, akibat dari defisiensi enzim kata bolik lisosom. Bergantung kepada gangliosid yang terkena, kelainan ini digolongkan dalam kategori GMl dan GM2. Penyakit Tay-Sachs, selama ini merupakan yang paling lazim dari semua gangliosidosis, yang ditandai oleh mutasi pada dan akibat dari defisiensi β subunit dari enzim heksosaminidase A, yang perlu untuk mendegradasi GM2.



Tabel 6-4 Kelainan Penimbunan Lisosom



Kategori Penyakit



Penyakit



Defisiensi



Cacat hidrolase lisosom primer



Penyakit Gaucher GMi gangliosidosis Penyakit Tay-Sachs Penyakit Sandhoff Penyakit Fabry Penyakit Krabbe Penyakit Niemann-Pick tipe A dan B



Glukoserebrosida Gml-β-galaktosidase Heksosaminidase, subunit α Heksosaminidase, subunit β α- Galaktosidase A Galaktosilseramidase Sfingomielinase



Cacat pemrosesan post translasi dari enzim lisosom



Mukosulfatidosis (sulfatidosis juvenil)



Sulfatase multipel



Reaksi tidak efisien dari hidrolase yang disintesis terhadap disintesis terhadaplisosom



Mukolipidosis tipe II dan III alfa/beta



N-asetilglukosamin- I - fosfotransferase



Cacat proteksi enzim lisosom



Galaktosialidosis



Protein protektif katepsin A (β-galaktosidase dan neuraminidase)



Cacat protein lisosom nonenzimatik yang terlarut



Defisiensi protein aktivator GM2, varian AB Defisiensi protein aktivator sfingolipid Penyakit Niemann-Pick tipe C (NPC) Penyakit Salla (penimbunan asam sialat bebas)



Protein aktivator GM2 Protein aktivator



Defisiensi protein (nonenzimatik) transmembran



NPC1 and NPC2 Sialin



Data dari Jeyakumar M, Dwek RA, Butters TD, Platt FM: Storage solutions: treating lysosomal disorders of the brain. Nat Rev Neurosci 6: , 2005.



230



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



A



B



Gambar 6-9 Sel ganglion pada penyakit Tay-Sachs. A, di bawah mikroskop cahaya. Suatu neuron besar mempunyai vakuolisasi lemak yang jelas. B, Bagian suatu neuron di bawah mikroskop elektron menunjukkan lisosom yang menonjol dengan konfigurasi pusaran. Bagian dari inti ditunjukkan di atas.



(A, Penghargaan kepada Dr. Arthur Weinberg Deportment of Pothology, University orTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas. B, Penghargaan kepada Dr. Joe Rutledge, Children's Regional Medical Center, Seattle, Washington.)



Lebih dari 100 mutasi telah diuraikan; sebagian besar memengaruhi pelipa tan protein atau transpor intrasel. Otak adalah yang terutama, karena paling banyak terlibat pada metabolisme gangliosid. Penimbunan GM2 terjadi pada neuron, silinder akson saraf, dan sel glia diseluruh SSP. Sel yang terkena tampak membengkak dan kadang-kadang berbusa (Gambar 6-9, A). Gambaran dengan mikroskop elektron menunjukkan konfigurasi seperti pusaran di dalam lisosom yang terusun dari lapisan-lapisan yang menyerupai kulit bawang dari membran (Gambar 6-9, B). Perubahan patologis ini dijumpai diseluruh SSP (termasuk sumsum tulang belakang), saraf perifer dan sistem saraf autonom. Retina biasanya terkena juga, dengan kelainan berupa bercak pucat akibat pembengkakan sel ganglion di retina bagian perifer yang membentuk bercak kemerahan (cherry red) yang kontras dengan pusat makula yang tidak terkena. Dasar molekuler dari jejas neuron tidak sepenuhnya dimengerti. Karena pada banyak kasus protein mutan yang salah terlipat, maka hal itu menyebabkan disebut "reaksi protein yang tidak terlipat" (Bab 1). Apabila protein yang salah terlipat semacam itu tidak distabilkan oleh pengantar/ chaperone, mereka memicu apoptosis. Penemuan ini telah mendasari uji klinis terapi molekuler chaperone untuk penyakit ini dan penyakit penimbunan lisosom yang serupa. Terapi semacam itu menggunakan molekul kecil yang meningkatkan sintesis chaperone atau mengurangi degradasi protein yang salah terlipat oleh proteosom. Pada varian penyakit Tay-Sachs yang paling akut pada bayi, bayi tampak normal pada saat lahir, tetapi kelemahan motorik mulai terjadi pada usia 3 sampai 6 bulan, diikuti oleh kelainan neurologik, permulaan kebutaan, dan disfungsi neurologik yang lebih parah yang berjalan progresif. Kematian terjadi dalam 2 atau 3 tahun. Penyakit Tay-Sachs, seperti lipidosis lain, paling lazim ditemukan di antara kaum Yahudi Ashkenazi, yang menunjukkan kekerapan karier heterozigot sekitar 1 di antara 30. Karier heterozigot yakin dapat ditemukan dengan perkiraan kadar heksosaminidase di dalam serum atau dengan analisis DNA. Penyakit Niemann-Pick Tipe A dan B Penyakit Niemann-Pick Tipe A dan B merupakan kelainan yang berhubungan ditandai oleh defisiensi primer asam sfingomielinase dan hasil akumulasi sfingomielin.



Pada tipe A, ditandai oleh defisiensi berat sfingomielinase, sehingga terjadi hambatan pemecahan sfingomielin menjadi ceramide, dan kelebihan sfingomielin berakumulasi pada semua sel fagosit dan di dalam neuron. Makrofag dipenuhi oleh butir-butir atau partikel kompleks lipid, yang memberikan gambaran vakuolisasi lembut atau seperti buih (Gambar 6-10). Dengan mikroskop elektron gambaran vakuol diperkuat sebagai lisosom sekunder yang sering berisi jisimjisim membran. sitoplasma yang gambarannya konsentrik dari mielin yang berlapis-lapis, kadang-kadang disebut "jisim-jisim zebra". Oleh karena banyaknya sel fagosit maka organ-organ yang paling parah terkena adalah limpa, hati, sumsum tulang, kelenjar getah bening, dan paru. Pembesaran limpa mungkin mencolok. Di samping itu, seluruh SSP, termasuk sumsum tulang belakang, ganglion, terkena pada proses yang tragis ini. Neuron yang terkena membesar dan mengalami vakuolisasi akibat penimbunan lipid. Varian ini terjadi pada masa bayi dengan visceromegali masif, dan kelainan neurologik yang parah.



Gambar 6-10 Penyakit Niemann-Pick pada hati. Hepatosit dan sel Kupffer mempunyai tampilan berbuih, bervakuola akibat dari pengendapan lipid.



(Penghargaan kepada Dr. Arthur Weinberg Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas)



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal Kematian biasanya terjadi dalam tiga tahun kehidupan. Sebagai perbandingan, penderita dengan varian tipe B, mengalami organomegali tetapi tanpa kelainan neurologik. Perkiraan aktivitas sfin-gomielinase pada leukosit atau biakan fibroblas dapat digunakan untuk diagnosis kasus yang dicurigai, demikian juga untuk menemukan karier. Diagnosis antenatal dimungkinkan dengan teknik pemeriksaan enzim atau analisis menggunakan pelacak DNA



Penyakit Niemann-Pick Tipe C Walaupun sebelumnya dianggap terkait dengan penyakit NiemannPick tipe A dan tipe B, tetapi tipe C (NPC) sangat berbeda pada tingkat biokimiawi dan molekuler dan lebih sering daripada gabungan tipe A dan B. Mutasi pada gen yang terkait, NPC1 dan NPC2, dapat menimbulkan kelainan tersebut, dan NPC1 merupakan pemeran untuk sebagian besar kasus. Tidak seperti sebagian besar penyakit penimbunan lisosom, NPC disebabkan oleh cacat primer pada transpor lipid. Sel yang terkena menimbun kolesterol demikian juga gangliosid seperti GM1 dan GM2. Baik NPC1 maupun NPC2 berperan pada transpor kolesterol bebas dari lisosom ke sitoplasma. NPC secara klinis bersifat heterogen: bentuk yang paling lazim terjadi pada masa anak-anak dan ditandai oleh ataksia, kelumpuhan gerakan melirik yang bersifat supranuklear vertikal, distoni, disartria dan kemunduran psikomotor.



Penyakit Gaucher Penyakit Gaucher disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi glukoserebrosidase. Terdapat tiga varian resesif autosom dari penyakit Gaucher yang menghasilkan mutasi alel yang berbeda. Pada semua kasus ditemukan defisiensi aktivitas glukoserebrosidase yang pada keadaan normal memecah glukosa menjadi seramid. Kekurangan ini menyebabkan akumulasi glukoserebrosid, suatu zatPenyakit Gaucher disebabkan oleh mutasi pada gen yang menyandi glukoserebrosidase. Terdapat tiga varian resesif autosom dari penyakit Gaucher yang menghasilkan mutasi alel yang berbeda. Pada semua kasus ditemukan defisiensi aktivitas glukoserebrosidase yang pada keadaan normal memecah glukosa menjadi seramid. Kekurangan ini menyebabkan akumulasi glukoserebrosid, suatu zatPada keadaan normal glikolipid berasal dari pemecahan sel darah yang mengalami penuaan dan selanjutnya didegradasikan oleh fagosit dari tubuh terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Pada penyakit Gaucher, degradasi berhenti pada tingkat glukoserebrosid, yang berakumulasi di dalam fagosit. Fagosit ini sel Gauchermengalami pembesaran.



A



231



Sebagian mencapai diameter sebesar 100 jim, karena akumulasi lisosom yang mengembang, dan membentuk gambaran sitoplamik yang patognomonik yang disebut sebagai "kertas tisu yang keriput" (Gambar 6-11). Tidak terdapat vakuolisasi yang jelas. Sekarang dibuktikan, bahwa penyakit Gaucher disebabkan tidak hanya karena penimbunan zat tetapi juga oleh aktivasi makrofag. Pada jaringan yang terkena, ditemukan sitokin yang berasal dari makrofag dalam kadar tinggi, seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF). Satu varian, tipe I, juga disebut bentuk non-neuropati kronik, merupakan 99% dari penyakit Gaucher. Varian tersebut ditandai oleh terkenanya tulang yang ditemukan secara klinis dan radiologik (osteopeni, lesi litik fokal, dan oeteonekrosis) pada 70% sampai 100% kasus. Perangai tambahan adalah hepatomegali dan tanpa terkenanya SSP. Limpa seringkali membesar sampai proporsi masif, mengisi seluruh abdomen. Sel Gaucher ditemukan pada hati, limpa, kelenjar getah bening dan sumsum tulang. Penggantian sumsum tulang dan erosi korteks dapat memberikan gambaran lesi sklelet radiografik, demikian juga reduksi unsur-unsur yang dibentuk di dalam darah. Perubahan tulang dianggap disebabkan oleh aktivitas sitokin yang berasal dari makrofag yang telah disebutkan terdahulu. Tipe I paling lazim pada kaum Yahudi Ashkenazi; tidak seperti varian lain, varian ini dapat hidup dalam jangka panjang. Varian Tipe II dan Tipe III, ditandai oleh gejala nerologik. Pada Tipe II, manifestasi ini tampak pada masa bayi, (bentuk nueronopatik infantil akut) dan lebih parah, sedangkan Tipe III, yang muncul kemudian dan lebih ringan (bentuk neuropati kronik). Walaupun hati dan limpa juga terkena, perangai klinis Tipe II dan Tipe III didominasi oleh gangguan neurologik, termasuk konvulsi dan kemunduran mental yang progresif. Kadar glukoserebrosid pada leukosit dan biakan fibroblas berguna untuk diagnosis dan penetapan karier heterozigot. Terapi yang sedang berjalan ditujukan untuk menggantikan enzim seumur hidup dengan infus glukoserebrosid rekombinan. Bentuk baru terapi menurunkan substrat (gluokoserebrosid) dengan pemberian obat oral yang menghambat gluokoserebrosid-sintase. Karena glukosilseramid berkurang, penimbunannya juga berkurang. Uji klinis paJa manusia akhir-akhir ini hasilnya sangat menjanjikan untuk menggunakan modalitas terapi ini



B



Gambar 6-11 Penyakit Gaucher yang mengenai sumsum tulang. A, Sel Gaucher dengan sitoplasma bergranula yang mengandungi lipid. B, Elektron-mikrograf dari sel Gaucher dengan lisosom yang terregang dan memanjang. (Penghargaan kepada Dr. Matthew Fries, Department of Pathology, Universfty of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas.)



232



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



dengan penurunan splenomegali dan perbaikan penyakit skelet. Saat ini sedang diteliti terapi gen glukoserebrosidase dengan cara infus sel purca hematopoietik autolog yang telah dilakukan transfeksi dengan gen normal.



RINGKASAN Penyakit Penimbunan Lisosom •



Mukopolisakaridosis Mukopolisakaridosis (MPS) ditandai oleh cacat degradasi (dan oleh karena itu terjadi penimbunan berlebihan) dari mukopolisakarida pada berbagai jaringan. Perhatikan bahwa mukopolisakarida membentuk bagian dari zat dasar dan disintesa oleh fibroblas jaringan ikat. Sebagian besar mukopolisakarida disekresikan ke dalam zat dasar, tet[pi sebagian tertentu didegradasikan di dalam lisoso m. Banyak enzim berperan di dalam jalur katabolisme ini; tidak adanya enzimenzim ini menyebabkan akumulasi mukopolisakarida di dalam lisosom. Beberapa varian klinis dari MPS, yang digolongkan secara numerik dari MPS I sampai MPS VII, telah diuraikan, masing-masing akibat dari defisiensi satu enzim yang khas. Mukopolisakarida yang berakumulasi di dalam jaringan termasuk dermatan sulfat, heparin sulfat, keratin sulfat, dan (pada beberapa kasiis) kondroitin sulfat. Hepatosplenomegali, deformitas skelet, lesi katup jantung, dan endapan subendotel arteri, terutama pada arteri koronaria, dan lesi di otak, adalah ancaman ycng perjalanan penyakitnya melalui semua MPS. Pada banyak sindrom yang lebih berlangsung lama, lesi subendotel koronaria menyebabkan iskemia miokardium. Jadi, infark miokardium dan dekompensasi jantung adalah penyebab kematian yang penting. Sebagian besar kasus berhubungan dengan perangai wajah yang kasar, kornea berkabut, sendi kaku, dan keterlambatan mental. Ekskresi urin dari mukopolisakarida yang tertimbun biasanya meningkat. Dengan semua kelainan ini kecuali satu, cara pewarisan adalah resesif autosom; kecuali sindrom Hunter adalah penyakit resesif X-linked. Dari tujuh varian yang dikenal, hanya dua sindrom yang ciri-cirinya jelas dibahas secara singkat di sini. MPS tipe I, juga dikenal sebagai sindrom Hurler, disebabkan oleh defisiensi α-L-iduronidase. Pada sindrom Hurler, anak yang terkena mempunvai harapan hidup dari 6 sampai 10 tahun, dan kematian seringkali karena komplikasi jantung. Penimbunan dermatan sulfat dan heparin sulfat ditemukan pada sel-sel dari sistem fagosit mononukleus, fibroblas, dan dalam endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah. Sel yang terkena membengkak dan mempunvai sitoplasma yang jernih, akibat dari penimbunan yang positif pada pewarnaan asam periodat-Schiff di dalam lisosom yang menggelembung dan mengalami vakuolisasi. Jisim inklusi lisosom juga ditemukan pada neuron, yang menyebabkan keterlambatan mental. Varian lain yang ciri-cirinya jelas, MPS tipe II atau sindrom Hunter, berbeda dari sindrom Hurler pada cara pewarisannya (X-linked), tidak terdapat kornea yang berkabut, dan seringkali dengan perjalanan penyakit lebih ringan. Seperti pada sindrom Hurler, penimbunan mukopolisakarida pada sindrom Hunter adalah heparin sulfat dan dermatan sulfat, tetapi ini akibat dari defisiensi L-iduronate sulfatase. Walaupun berbeda dalam defisiensi enzim, penimbunan substrat yang identik terjadi karena pemecahan heparin sulfat dan dermatan sulfat memerlukan baik α-L-iduronidase maupun sulfatase; apabila salah satu tidak ada maka degradasi selanjutnya terhambat.



















Penyakit Tay-Sachs disebabkan oleh ketidakmampuan untuk metabolisme gangliosid GM2 karena tidak terdapat subunit Q dari heksosaminidase lisosom. Gangliosid GM2 berakumulasi di dalam SSP dan menyebabkan keterlambatan mental yang parah, kebutaan, kelemahan motorik, dan kematian menjelang usia 2 sampai 3 tahun. Penyakit Niemann-Pick tipe A dan B disebabkan oleh defisiensi sfingomielinase. Pada yang lebih berat, varian tipe A, penimbunan sfingomielin pada sistem saraf menyebabkan kerusakan neuron. Lipid juga disimpan di dalam fagosit di dalam hati, limpa, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening, yang menyebabkan pembesaran organ. Pada tipe B, kerusakan neuron tidak ditemukan. Penyakit Niemann-Pick tipe C disebabkan oleh cacat transpor kolesterol dan menghasilkan penimbunan kolesterol dan gangliosid pada sistem saraf. Anak yang terkena menunjukkan ataksia, disartri, dan kemunduran psikomotor. Penyakit Gaucher akibat dari tidak ada enzim lisosom glukoserebrosidase dan penimbunan glukoserebrosid di dalam sel fagosit mononukleus. Pada yang paling lazim, varian tipe I, fagosit yang terkena menjadi membesar (sel Gaucher) dan berakumulasi di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang, yang menyebabkan hepatosplenomegali dan erosi tulang. Tipe II dan III ditandai oleh berbagai kelainan neuron. Mukopolisakaridosis akibat dari penimbunan mukopolisakarida pada banyak jaringan termasuk hati, limpa, jantung, pembuluh darah, otak, kornea dan sendi. Penderita yang terkena pada semua bentuk mempunyai perangai wajah yang kasar. Manifestasi sindrom Hurler termasuk kornea yang berkabut, endapan pada arteri koronaria dan katup, dan kematian pada masa anak-anak. Sindrom Hunter berhubungan dengan perjalanan penyakit yang lebih ringan.



Penyakit Penimbunan Glikogen (Glikogenosis) Defisiensi yang diwariskan dari salah satu enzim yang terlibat dalam sintesis atau degradasi glikogen dapat menyebabkan penimbunan glikogen yang berlebihan atau sebagai bentuk yang abnormal dari glikogen pada berbagai jaringan. Jenis glikogen yang disimpan, lokasi intraselnya, dan distribusi sel yang terkena bervariasi bergantung kepada defisiensi enzim yang khas. Tidak bergantung kepada jaringan atau sel yang terkena, glikogen paling sering disimpan di dalam sitoplasma, atau kadang-kadang di dalam inti. Satu varian, penyakit Pompe, adalah bentuk penyakit pc.ambunan lisosom, karena enzim yang tidak ada terletak di dalam lisosom. Sebagian besar glikogenosis diwariskan sebagai penyakit resesif autosom, sebagai sindrom "kehilangan enzim" yang lazim. Kira-kira dua belas bentuk glikogenosis telah diuraikan dalam hubungan dengan defisiensi enzim yang khas. Berdasarkan penemuan patofisiologis, mereka dapat digolongkan dalam tiga kategori (Tabel 6-5): • Tipe hepatik. Hati mengandungi beberapa enzim yang mensintesa glikogen untuk disimpan dan juga memecahnya menjadi glukosa bebas. Jadi, suatu defisiensi enzim hepatik yang berperan pada metabolisme glikogen berhubungan dengan dua akibat klinis utama:



Kelainan Berdasarkan Hukum Mendel: Penyakit yang Disebabkan oleh Cacat Gen-Tunggal



233



Tabel 6-5 Subkelompok Utama dari Glikogenosis



Kategori Klinikopatologis



Tipe Spesidik



Defisiensi Enzim



Perubahan Morfologik



Tipe hepatika



Hepatorenal (Penyakit von Gierke, tipe 1



Glukosa-6fosfatase



Hepatomegali: akumulasi intrasitoplasma glikogen dan sedikit lipid; glikogen intranukleus Renomegali: akumulasi intrasitoplasma glikogen dalam sel epitel tubulus korteks



Pada penderita yang tidak diobati, gagal tumbuh (failure to thrive), pertumbuhan terhambat, Hepatomegali, dan renomegali Hipoglikemia karena kegagalan mobilisasi glukosa, sering menyebabkan kejang Hiperlipidemia dan hiperurisemia akibat dari metabolisme glukosa yang tidak teratur; banyak penderita menunjukkan gejala pirai (gout) dan xantoma kulit Kecenderungan perdarahan karena disfungsi trombosit Dengan pengobatan (pemberian sumber glukosa terus menerus), sebagian penderita bertahan hidup dan mengalami komplikasi lambat (contoh, adenoma hati)



Tipe miopati



Sindrom McArdle (type V)



Fosforilase otot



Otot skelet saja: akumulasi glikogen predominan pada lokasi sarkolema



Kram dengan rasa nyeri terkait dengan aktivitas fisis keras Mioglobulinuria terjadi pada 50% kasus Permulaan pada usia dewasa (>20 tahun) Latihan otot gagal meningkatkan kadar laktat pada darah vena Selaras dengan masa hidup panjang yang normal



Tipe campuran



Glikogenolisis umum (Penyakit Pompe, tipe II)



Glukosidase lisosom (asam maltase)



Hepatomegali ringan: lisosom menggelembung dengan glikogen yang membentuk pola sitoplasma "lacy" Kardiomegali: glikogen di dalam sarkoplasma demikian juga terikatmembran Otot skelet mirip pada jantung (lihat atas tentang kardiomegali)



pembesaran hati karena penimbunan glikogen dan hipoglikemia karena kegagalan produksi glukosa (Gambar 6-12). Penyakit von Gierke (glikogenosis tipe I), akibat dari tidak adanya glukosa-6fosfatase, adalah contoh paling penting dari gliogenosis tipe hepatic (Tabel 6-5). • Tipe miopati. Pada otot lurik, glikogen adalah suatu sumber energi yang penting. Bukan hal yang mengejutkan, bahwa sebagian besar penyakit penimbunan glikogen memengaruhi otot. Apabila enzim yang terlibat pada gliokolisis kurang, maka penimbunan glikogen terjadi pada otot dan terjadi kelemahan otot karena kelainan produksi energi. Secara khas, bentuk miopati dari penyakit penimbunan glikogen ditandai oleh kejang (kram) otot setelah latihan fisis, mioglobinuria, dan latihan fisis tidak berhasil menginduksi peningkatan kadar laktat darah karena glikolisis terhambat. Penyakit McArcdle, (glikogenosis tipe V), akibat dari defisiensi fosforilase otot, adalah prototipe dari glikogenosis miopati. • Glikogenosis tipe II (Penyakit Pompe) disebabkan oleh defisiensi maltase asam lisosom dan oleh karena itu berhubungan dengan pengendapan glikogen pada hampir semua organ, tetapi kardiomegali yang paling menonjol. Sebagian besar penderita yang terkena meninggal dalam 2 tahun sejak permulaan penyakit karena kegagalan kardiorespiratorik. Terapi dengan enzim yang hilang (glukosidase) dapat memulihkan kerusakan otot jantung dan memperpanjang masa hidup sedikit lebih lama.



Perangai Klinis



Kardiomegali masif, hipotonia otot, dan gagal kardiorespirasi sebelum umur 2 tahun Bentuk dewasa muda dengan hanya otot skelet yang terkena, bermanifestasi sebagai miopati kronik



RINGKASAN Penyakit penimbunan Glikogen • Defisiensi yang diwariskan dari enzim yang berperan pada metabolisme glikogen dapat menyebabkan penimbunan glikogen normal atau abnormal pada semua jaringan, terutama pada hati atau otot. • Pada bentuk hepatik (penyakit von Gierke), sel hati menimbun glikogen karena tidak adanya glukosa-6 fosfatase hepatik. Terdapat beberapa bentuk miopati, termasuk penyakit McArdle, yang tanpa fosforilase otot sehingga menimbulkan penimbunan glikogen pada otot skelet dan kejang (kram) setelah latihan fisis. Pada penyakit Pompe yang tidak ada adalah maltase asam lisosom, sehingga semua organ terkena, tetapi jantung yang paling menonjol.



Penyakit Akibat Mutasi pada Gen Penyandi Protein yang Mengatur Pertumbuhan SeI Seperti telah diuraikan pada Bab 5, dua kelas gen yaitu proto-onkogen dan gen supresor tumor, mengatur pertumbuhan sel normal dan diferensiasinya. Mutasi yang memengaruhi gen-gen ini, paling sering terjadi pada sel somatik yang terlibat dalam



234



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik NORMAL



Hati Glikogen



Berbagai jaringan



Glukosa Glukosa darah



Otot



Glukosa



Glikolisis Energi



Glikogen



PENYAKIT PENIMBUNAN GLIKOGEN-TIPE HEPATIK



Glikogen Glukosa Glukosa darah rendah



PENYAKIT PENIMBUNAN GLIKOGEN-TIPE MIOPATIK



Glukosa



Glikolisin



Glikogen



Luaran energi rendah



Gambar 6-12 Atas, Skema yang disederhanakan tentang metabolisme glikogen yang normal pada hati dan otot skelet. Tengah, Pengaruh defisiensi yang diwariskan dari enzim hepatik yang berperan pada metabolisme glikogen. Bawah, Akibat cacat genetik pada enzim yang mencerna glikogen pada otot skelet.



patogenesis tumor. Walaupun demikian, pada sekitar 5% sampai 10% dari semua kanker terjadi mutasi yang memengaruhi gen supresor tumor tertentu pada semua sel tubuh, termasuk sel benih dan oleh karena itu dapat diturunkan kepada anak. Gen mutan ini menyebabkan predisposisi anak untuk menderita tumor yang bersifat herediter, suatu topik yang dibahas lebih luas dan rinci pada Bab 5.



KELAINAN MULTIGEN KOMPLEKS Kelainan multigen kompleks-yang disebut kelainan multi faktor atau poligen disebabkan oleh interaksi antara berbagai varian gen dan faktor lingkungan. Varian gen yang mempunyai paling sedikit dua alel dan terjadi pada paling sedikit 1% populasi disebut polimorfisme. Menurut hipotesis penyakit umum varian umum maka kelainan multigen kompleks terjadi apabila banyak polimorfisme, masingmasing dengan pengaruh berderajat menengah dan penetrasi rendah,



diwariskan bersama (co-inhereted). Dua tambahan fakta penting telah muncul dari penelitian kelainan kompleks umum seperti diabetes tipe I: • Apabila kelainan kompleks akibat dari pewarisan kolektif daribanyak polimorfisme, maka polimorfisme yang berbeda bervariasi dalam kemaknaannya. Misalnya, dari 20 sampai 30 gen yang ditemukan berperan pada diabetes tipe I, hanya 6 atau 7 yang paling penting, ditambah beberapa alel HLA yang menyumbang lebih dari 50% risiko (Bab 19). • Sebagian polimorfisme lazim terdapat pada banyak penyakit dari tipe yang sama, sedangkan yang lainnya adalah khas-penyakit. Observasi ini digambarkan dengan baik pada penyakit radang yang diperantarai reaksi imun (Bab 4). Beberapa ciri fenotipe normal diatur oleh pewarisan multigen, seperti warna rambut, warna mata, warna kulit, tinggi badan, dan inteligensia. Ciri-ciri ini (juga dikenal sebagai quantitative trait loci [QTLs]) menunjukkan variasi yang bersifat kontinu di dalam kelompok, demikian juga melintasi, semua kelompok populasi. Walaupun demikian, pengaruh lingkungan, secara bermakna mengubah paparan fenotipe dari 'trait' kompleks. Misalnya, diabetes melitus tipe 2 mempunyai banyak perangai dari kelainan multigenik kompleks. Diketahui dengan baik secara klinis bahwa individu yang terkena seringkali menunjukkan manifestasi klinis dari kelainan ini setelah berat badan bertambah. Jadi, obesitas demikian juga pengaruh lingkungan, mengelabui 'trait' genetik dari diabetes. Menetapkan suatu penyakit ke dalam pewarisan jenis ini harus dilakukan dengan hati-hati. Hal itu bergantung kepada banyak faktor tetapi pertama kali pada pengelompokan familial dan memisahkan penurunan penyakit menurut pola Mendel dan kromosom. Dengan memperhatikan rentang keparahan penyakit dapat dipikirkan kelainan multigen kompleks, tetapi seperti disebutkan sebelumnya, paparan yang beranekaragam dan berkurangnya penetrans dari gen tunggal mutan juga mungkin berpengaruh pada fenomena ini. Karena masalahmasalah ini, kadang-kadang sulit membedakan antara kelainan Mendel dan multifaktor.



KELAINAN SITOGENETIK Abnormalitas kromosom terjadi jauh lebih sering daripada yang umumnya dipikirkan. Diperkirakan sekitar 1 di antara 200 bayi baru lahir mempunyai sedikit bentuk abnormal pada kromosomnya. Angkanya jauh lebih tinggi pada fetus yang tidak bertahan hidup sampai masa kehamilan sempurna. Diperkirakan bahwa dalam 50% keguguran spontan trimester pertama, fetus mempunyai abnormalitas kromosom. Kelainan sitogenetik mungkin akibat perubahan jumlah atau struktur kromosom dan mungkin mengenai autosom atau kromosom seks. Sebelum memasuki pembahasan aberasi kromosom, perlu meninjau karyotyping sebagai teknik dasar ahli sitogenetik. Suatu karyotype adalah representasi fotografik dari metaphase yang terwarnai, yang tersebar dan untuk menganalisis kromosom diatur dalam urutan sesuai dengan panjang kromosom yang menurun. Berbagai teknik pewarnaan kromosom telah dikembangkan. Dengan penggunaan secara luas teknik pewarnaan Giemsa (G banding/ pemetaan G) tiap perangkat kromosom dapat dilihat berbeda pola berupa pergantian pita terang dan gelap dengan berbagai lebar (Gambar 6-13). Penggunaan teknik pemetaan kromosom memungkinkan untuk identifikasi dari tiap kromosom, dan dapat mendeteksi dan melokalisasi abnormalitas struktur yang cukup besar untuk menghasilkan perubahan pada pola pemetaan kromosom (dibahas kemudian).



Kelainan Sitogenetik



235



Gambar 6-13 Kariotipe dengan pemetaan-G dari pria normal (46,XY). Juga diperlihatkan pola pemetaan dari kromosom-X dengan nomenklatur dari lengan, daerah (regio), pita, dan sub-pita. (Kariotipe penghargaan kepada Dr. Stuart Schwartz, Departrnent of Pathology, University of Chicago, Chicago, Illinois)



Abnormalitas Numerik Pada manusia, jumlah kromosom adalah 46 (contoh 2n = 46). Setiap kelipatan yang tepat dari jumlah haploid (n) disebut euploid. Jumlah kromosom seperti 3n dan 4n disebut poliploid. Poliploidi umumnya menyebabkan abortus spontan. Setiap jumlah yang tidak merupakan kelipatan tepat dari n disebut aneuploidi. Sebab utama dari aneuploidi adalah nondisjunction dari pasangan homolog kromosom pada pembelahan meiotik pertama atau kegagalan dari sister cromatid untuk berpisah selama pembelahan meiotik kedua. Yang kedua juga mungkin terjadi selama mitosis sel somatik, yang disertai produksi produksi dua sel aneuploid. Kegagalan kromosom untuk berpasangan diikuti oleh random assortment (anaphase lag) dapat juga menyebabkan aneuploidi. Apabila nondisjunction terjadi pada waktu meiosis, gamet yang terbentuk mempunyai satu kromosom ekstra (n + 1) atau kurang satu kromosom (n - 1). Fertilisasi dari gamet semacam itu oleh gamet normal akan menghasilkan dua tipe zigot: trisomik, dengan satu ekstra kromosom (2n + 1), atau monosomik (2n - 1). Monosomi yang mengenai autosom tidak mendukung kehidupan, sedangkan trisomi dari kromosom tertentu dan monosomi yang mengenai kromosom seks mendukung kehidupan. Ini, seperti akan kita lihat, berhubungan dengan berbagai derajat abnormalitas fenotipe. Mosaikisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya dua atau lebih populasi sel dengan komplemen yang berbeda dari kromosom pada individu yang sama. Dalam konteks jumlah kromosom, nondisjunction pada mitosis postzigot akan menghasilkan produksi sel hasil



pembelahan yang bersifat trisomik dan monosomik; keturunan dari sel-sel ini kemudian menghasilkan mosaik. Seperti dibahas kemudian, mosaikisme yang mengenai kromosom seks lazim terjadi sedangkan pada autosom tidak.



Abnormalitas Struktural Perubahan struktural pada kromosom biasanya akibat dari patahnya kromosom diikuti kehilangan atau pengaturan kembali (rearrangement) dari materi kromosom. Perubahan semacam itu dinamakan menggunakan kependekan sitogenetik, yaitu p (Bahasa Prancis, petit) menunjukkan lengan pendek dari kromosom, dan q, lengan panjang. Tiap lengan, dibagi dalam regio yang diberi nomor (1, 2, 3, dan seterusnya) dari arah sentromer keluar, dan dalam tiap regio pita-pita diberi nomor berurutan (Gambar 6-13). Jadi, 2q34 menunjukkan kromosom 2, lengan panjang, regio 3, pita 4. Pola pengaturan kembali setelah patahnya kromosom (Gambar 6-14) adalah sebagai berikut: • Translokasi menunjukkan pemindahan suatu bagian dari satu kromosom ke kromosom lain. Proses tersebut biasanya timbalbalik (reciprocal) contoh fragmen-fragmen dipertukarkan antara dua kromosom). Pada singkatan genetik, translokasi ditunjukkan dengan t diikuti dengan kromosom yang terkait dalam urutan numerik-misalnya, 46,XX,t(2;5)(q31;p14). Cara penulisan ini akan menunjukkan suatu translokasi timbal-balik yang terkena lengan panjang (q) dari kromosom 2 pada regio 3, pita 1, dan lengan pendek kromosom 5, regio 1, pita 4. Apabila seluruh fragmen yang patah dipertukarkan, translokasi timbal-balik yang seimbang yang dihasilkan (Gambar 6-14) tidak berbahaya untuk penyandang, yang mempunyai jumlah kromosom normal dan materi genetik



236



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



TRANSLOKASI Timbal-balik seimbang



Fusi-sentrik Robertsonian



ISOKROMOSOM



Hilang DELESI



Fragmen



INVERSI



KROMOSOM CINCIN Parasentrik Fragmen



Perisentrik



Gambar 6-14 Berbaga jenis pengaturan-kembali kromosom.



berkomplemen penuh. Walaupun demikian, selama gametogenesis, dibentuk gamet abnormal (tidak seimbang), yang menghasilkan zigot abnormal. Suatu pola khusus translokasi yang mengenai dua kromosom akrosentrik disebut translokasi tipe fusi sentrik atau tipe Robertsonian. Patahan kromosom khas terjadi dekat sentromer, mengenai lengan pendek dari kedua kromosom. Pemindahan segmen diikuti dengan satu kromosom yang sangat besar dan satu kromosom yang terlalu kecil (Gambar 6-14). Fragmen yang pendek hilang, dan penyandang mempunyai 45 kromosom. Karena semua lengan pendek dari kromosom akrosentrik mengandungi gen-gen yang berlebihan/ redundant (contoh gen RNA ribosom), kehilangan semacam itu selaras dengan ketahanan hidup. Walaupun demikian, kesulitan timbul pada gametogenesis, yang menghasilkan pembentukan gamet yang tidak seimbang dan diikuti dengan perkembangan anak abnormal. • Isokromosom terjadi apabila sentromer membelah secara horizontal dan bukan secara vertikal. Satu dari dua lengan kromosom kemudian hilang, dan lengan yang tinggal berduplikasi, yang menghasilkan kromosom yang terdiri dari hanya dua lengan pendek atau hanya dua lengan panjang. Isokromosom yang paling lazim terjadi pada kelahiran hidup mengenai lengan panjang kromosom X, dan dinamakan i(Xq). Apabila terjadi fertilisasi oleh gamet yang mengandungi kromosom X normal, hasilnya adalah monosomi untuk gen pada Xp dan trisomi untuk gen padaXq. • Delesi melibatkan kehilangan suatu bagian dari kromosom. Suatu patahan tunggal dapat menyebabkan delesi suatu segmen terminal. Dua patahan interstisial, dengan penyambungan kembali (reunion) dari segmen proksimal dan distal, dapat menghasilkan kehilangan segmen pertengahan (intermedial). Fragmen yang terpisah, karena tidak mempunyai sentromer, hampir tidak pernah bertahan hidup, dan oleh karena itu banyak gen hilang.



• Inversi terjadi apabila terdapat dua patahan interstisial pada suatu kromosom, dan segmen bergabung kembali setelah perputaran proses lengkap. • Suatu kromosom cincin adalah varian dari delesi. Setelah kehilangan segmen dari tiap ujung kromosom, kedua lengan bergabung membentuk cincin.



Gambaran Umum dari Kelainan Kromosom • Kelainan kromosom mungkin berhubungan dengan tidak adanya (delesi, monosomi). Kelebihan (trisomi). Atau pengaturan (rearrangement) kembali abnormal (translokasi) dari kromosom. • Pada umumnya, kehilangan materi kromosom memproduksi cacat yang lebih parah daripada akibat penambahan materi kromosom. • Kelebihan materi kromosom dapat dihasilkan dari suatu kromosom lengkap (seperti pada trisomi) atau dari bagian suatu kromosom (seperti pada translokasi jenis Robertson). • Ketidakseimbangan dari kromosom seks (kelebihan atau kehilangan) diikuti toleransi lebih baik daripada ketidakseimbangan yang serupa pada autosom. • Kelainan kromosom seks seringkali memproduksi abnormalitas yang ringan, kadang-kadang tidak dideteksi pada saat kelahiran. Infertilitas, suatu manifestasi yang lazim, tidak dapat didiagnosis sampai masa remaja. • Pada sebagian besar kasus, kelainan kromosom akibat dari perubahan de novo (contoh orang tua normal, dan risiko rekurens pada anak-anak rendah). Suatu perkecualian yang lazim tetapi penting terhadap pegangan ini ditunjukkan oleh bentuk translokasi dari sindrom Down (diuraikan kemudian).



Kelainan Sitogenetik Beberapa contoh khas dari penyakit yang berdasarkan perubahan kariotipe disajikan kemudian.



Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom Tiga trisomi autosom (21, 18, 13) dan satu sindrom delesi (sindrom cri du chat), yang diakibatkan oleh delesi parsial dari lengan pendek kromosom 5, adalah abnormalitas kromosom pertama yang ditetapkan. Lebih akhir-akhir ini, beberapa trisomi tambahan dan sindrom delesi (seperti yang mengenai 22q) telah diuraikan. Sebagian besar dari kelainan ini sangat tidak lazim, tetapi perangai klinisnya seharusnya mudah dikenal (Gambar 6-15). Hanya trisomi 21 dan delesi 22q11.2 yang terjadi cukup sering untuk memperoleh pertimbangan lebih lanjut.



Trisomi 21 (Sindrom Down) Sindrom Down adalah kelainan kromosom yang paling lazim. Sekitar 95% dari individu yang terkena mempunyai trisomi 2, sehingga jumlah kromosomnya adalah 47. Seperti disebutkan sebelumnya, penyebab trisomi yang paling lazim, dan juga terjadi pada sindrom Down, adalah meiotic nondisjunction. Orang tua dari anak semacam itu mempunyai kariotipe normal dan normal dalam segala aspek. Usia ibu mempunyai pengaruh kuat pada angka kejadian sindrom Down. Kelainan tersebut terjadi pada 1 di antara 1550 kelahiran hidup pada wanita yang lebih muda dari 20 tahun, dan kontras terjadi pada 1 di antara 25 kelahiran hidup pada wanita yang lebih tua dari 45 tahun. Korelasi dengan usia maternal mengesankan bahwa pada sebagian besar kasus meiotic nondisjunction dari kromosom 21 terjadi pada ovum. Sesungguhnya, pada 95% kasus kromosom ekstra berasal dari ibu. Penyebab dari peningkatan kepekaan dari ovum untuk terjadi nondisjunction tidak sepenuhnya dimengerti. Tidak ditemukan pengaruh dari usia paternal pada kasus-kasus yang kromosom ekstranya berasal dari bapak. Pada sekitar 4% dari semua penderita dengan trisomi 21, materi kromosom ekstra bukan sebagai kromosom ekstra tetapi sebagai suatu translokasi dari lengan panjang kromosom 21 ke kromosom 22 atau 14. Kasus semacam itu seringkali (tetapi tidak selalu) bersifat familial, dan kromosom yang ditranslokasikan diwariskan dari salah satu dari orang tua, yang secara khas adalah penyandang translokasi tipe Robertson. Sekitar 1% dari penderita dengan trisomi 21 adalah mosaik, biasanya mempunyai campuran sel dengan kromosom 46 dan 47 Kasus-kasus ini akibat dari mitotic nondisjunction dari kromosom 21 selama tahap dini embriogenesis. Manifestasi klinis pada kasus semacam itu bervariasi dan lebih ringan, bergantung kepada proporsi sel abnormal. Perangai klinis yang bisa untuk diagnostik dari keadaan iniprofil wajah yang rata, fisura palpebral oblik, dan lipatan epikantus (Gambar 6-15)-biasanya jelas ditemukan, bahkan pada waktu lahir. Sindrom Down adalah penyebab utama keterbelakangan mental yang parah; kira-kira 80% dari mereka yang terkena mempunyai IQ 25 sampai 59. Sangat ironis, anak-anak yang sangat tidak beruntung ini mungkin mempunyai perilaku lemah-lembut, pemalu dan mungkin lebih mudah diarahkan daripada saudaranya yang normal yang lebih beruntung. Hal yang menarik, sebagian mosaik dengan sindrom Down mempunyai perubahan fenotipe ringan dan bahkan seringkali mempunyai inteligensia normal atau hampir normal. Sebagai tambahan dari abnormalitas fenotipe dan keterlambatan mental yang telah diuraikan, beberapa perangai klinis lain perlu disebutkan: • Sekitar 40% penderita mempunyai penyakit jantung kongenital, cacat paling lazim dari bantalan endokardium



237



(endocardial cushion), termasuk cacat sekat atrium, malformasi katup atrioventrikel, dan cacat sekat ventrikel (Bab 10). Masalah jantung merupakan faktor penting pada sebagian besar kematian pada masa bayi dan masa dini anak-anak. Beberapa malformasi kongenital lain, termasuk atresia dari esofagus dan usus kecil, juga lazim. • Anak-anak dengan trisomi 21 mempunyai 10- sampai 20- kali peningkatan risiko untuk perkembangan leukemia. Baik leukemia limfoblastik akut maupun leukemia mieloid akut terjadi (Bab 11). • Hampir semua penderita dengan trisomi 21 yang lebih tua dari usia 40 tahun mengalami perubahan neuropatologis khas penyakit Alzheimer, suatu kelainan degeneratif otak (Bab 22). • Penderita dengan sindrom Down menunjukkan reaksi imun abnormal yang menjadi predisposisi untuk infeksi yang parah, terutama pada paru, dan autoimunitas tiroid (Bab 19). Walaupun beberapa abnormalitas, yang terutama mengenai fungsi sel T, telah dilaporkan, namun dasar dari gangguan imunologi tidak jelas. Di samping semua masalah ini, perbaikan perawatan medik telah meningkatkan masa hidup individu dengan trisomi 21. Akhir-akhir ini nilai tengah (median) usia kematian adalah pada 47 tahun (meningkat dari 25 tahun pada 1983). Walaupun kariotipe sindrom Down telah diketahui sejak berpuluh-puluh tahun, namun dasar molekuler untuk penyakit ini masih bersifat ilusif. Data dari proyek genom manusia menunjukkan bahwa kromosom 21 mengandungi sekitar 500 gen yang terkait, termasuk 170 yang merupakan gen yang menyandi protein yang terkonservasi dan 5 miRNA. Tidak jelas apakah fenotipe sindrom Down terjadi sebagai akibat peningkatan dosis gen dari gen penyandi protein pada kromosom 21 sendiri atau karena efek ekspresi miRNA yang mengalami deregulasi pada gen sasaran yang terletak pada kromosom lain (seperti diuraikan terdahulu, miRNA bertindak melalui hambatan terhadap ekspresi gen sasaran). Dua kandidat gen kromosom 21, DYRKIA, yang menyandi serine-threonine kinase, dan RCAN1 (regulator dari calcineurin 1), yang menyandi protein penghambat enzim fosfatase sel yang kritis, yang disebut calcineurin, telah muncul sebagai "tersangka/pemeran utama (top culprits)" dalam patogenesis sindrom Down.



Sindrom Delesi 22q11.2 Sindrom delesi 22q11.2 meliputi suatu spektrum kelainan yang diakibatkan oleh delesi kecil pita 11 pada lengan panjang kromoson 22. Perangai klinis sindrom delesi ini termasuk penyakit jantung kongenital yang mengenai saluran aliran keluar, abnormalitas palatum, dismorfisme wajah, keterlambatan perkembangan, hipoplasia timus dengan kelainan imunitas sel T (Bab 4), dan hipoplasia paratiroid yang menyebabkan hipokalsemia (Bab 19). Sebelumnya, perangai klinis ini dianggap mencerminkan dua kelainan berbeda: sindrom DiGeorge dan sindrom velocardiofacial. Walaupun demikian, sekarang diketahui bahwa keduanya disebabkan oleh delesi 22q11.2. Variasi pada ukuran dan posisi delesi dipikirkan berperan terhadap perbedaan manifestasi klinis. Apabila imunodefisiensi sel T dan hipokalsemia merupakan perangai yang dominan, pada penderita yang dikatakan menderita sindrom DiGeorge, maka penderita dengan apa yang disebut



238



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Keterbelakangan mental



Lipatan epikantus dan profil wajah datar



Kulit leher tebal



TRISOMI 21: SINDROM DOWN Simian crease



Insidens: 1 dalam 700 kelahiran Kariotipr: Jenis trisomi 21: 47,XX, +21 Jenis triosomi: 46,XX,der(14;21)(q10;q10),+21 Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +21



Cacat jantung kongentital Herniat tali-pusat



Stenosis Internal



Predisposisi Oksiput prominen Hipotin



Keterbelakangan mental



Mikrognatia Jarak antara jari kaki pertama dan kedua



Telinga letak rendah Leher pendek Jari-jari tumpung tindih



TRISOMI 18: SINDROM EDWARDS



Cacat jantung kongenital



Insidens: 1 dalam 8000 kelahiran Kariotipe Jenis trisomi: 47,XX, +18 Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +18



Malformasi ginjal Abduksi paha terbatas



Mikroftamia Polidaktili



Mikrosefali dan keterbelakangan mental



Bibir dan palatum sumbing



Telapak kaki-rocker



Cacat jantung Hernia tali pusat



Cacat ginjal



TRISOMi 13: SINDROM PATAU Insidens: 1 dalam 15,000 kelahiran Karyotypes: Jenis trisomi 13: 47,XX, +13 Jenis translokasi: 46,XX,+13,der(13;14)(q10;q10) Jenis mosaik: 46,XX/47,XX, +13



Telapak kaki-rocker



Gambar 6-15 Perangai klinis dan kariotipe dari tiga trisomi autosom yang paling lazim.



Kelainan Sitogenetik sindrom velocardiofacial menunjukkan imunodefisiensi yang ringan tetapi dismorfologi yang parah dan cacat jantung. Sebagai tambahan untuk malformasi ini, penderita dengan delesi 22q11.2 khasnya berisiko tinggi untuk psikosis seperti skisofren dan kelainan bipolar. Dasar molekuler sindrom ini tidak seluruhnya dimengerti. Regio yang terkena pada kromosom 11 mengandungi banyak gen. Di antaranya gen faktor transkripsi yang disebut TBX1 diduga berperan, karena kehilangannya tampaknya berhubungan dengan terjadinya sindrom DiGeorge. Diagnosis dari keadaan ini dapat dicurigai berdasarkan data klinis tetapi hanya dapat ditegakkan dengan deteksi delesi tersebut dengan teknik fluorescence in situ hybridization (FISH) (Gambar 6-37, B).



RINGKASA Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Autosom •











Sindrom Down berhubungan dengan suatu kopi gen ekstra pada kromosom 21, paling lazim karena trisomi 21 dan jarang karena translokasi materi kromosom ekstra yang berasal dari kromosom 21 ke kromosom lain atau karena mosaikisme. Penderita sindrom Down menderita keterbelakangan mental yang parah, profil wajah merata, lipatan epikantus, malformasi jantung, risiko lebih tinggi untuk leukemia dan infeksi, dan perkembangan prematur penyakit Alzheimer. Delesi gen pada lokus kromosom 22q11.2 menimbulkan malformasi yang mengenai wajah, jantung, timus dan paratiroid. Kelainan yang dihasilkan dikenal sebagai (I) sindrom DiGeorge (hipoplasia timus dengan penurunan imunitas sel T dan hipoplasia paraiyroid dengan hipokalsemia) dan (2) sindrom velocardiofacial (kelainan jantung kongenital yang mengenai saluran aliran keluar, dismorfisme wajah, dan keterlambatan perkembangan).



Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Kromosom Seks Sejumlah kariotipe abnormal yang mengenai kromosom seks, berkisar dari 45,X sampai 49,XXXXY, selaras dengan kehidupan. Sesungguhnya, pria yang secara fenotipe normal dengan dua dan bahkan tiga kromo-som Y telah ditetapkan. Deviasi kariotipe yang mencolok semacam itu tidak dijumpai pada autosom. Pada sebagian besar keadaan, hal ini berhubungan dengan dua faktor: (1) lyonisasi kromosom X dan (2) sedikit informasi genetik yang dibawa oleh kromosom Y. Pemikiran tentang lyonisasi bermula dari Mary Lyon, yang pada 1962 mengusulkan bahwa pada wanita, hanya kromosom X yang secara genetik aktif. Inaktivasi X terjadi pada masa dini kehidupan, sekitar 16 hari setelah konsepsi: Apakah kromosom X paternal atau maternal secara acak akan mengalami inaktivasi pada tiap sel primitif yang menuju perkembangan embrio. Sekali teraktivasi, kromosom X yang sama tetap mengalami netralisasi pada semua 'progeni dari sel ini. Lagipula, semua kecuali satu kromosom X mengalami inaktivasi, sehingga wanita 48,XXXX, hanya mempunyai satu kromosom X yang aktif. Fenomena ini menjelaskan mengapa wanita normal tidak mempunyai dosis ganda (dibandingkan dengan pria) dari perangai fenotipe yang disandi oleh kromosom X. Hipotesis Lyon tersebut juga menjelaskan



239



mengapa wanita normal pada kenyataannya adalah mosaik, mengandungi dua populasi sel: satu dengan kromosom X maternal yang aktif, dan yang lain dengan kromosom X paternal yang aktif. Walaupun pada hakikatnya cermat, hipotesis Lyon selanjutnya sedikit dimodifikasi. Yang paling penting, anggapan permulaan bahwa semua gen pada kromosom X yang tidak aktif "dipadamkan" telah direvisi karena penelitian lebih mutakhir menunjukkan bahwa 21% gen pada Xp, dan sejumlah lebih sedikit (3%) pada Xq, lolos dari inaktivasi. Kemungkinan ini, mempunyai dampak pada kelainan monosomik kromosom X, atau sindrom Turner, seperti yang akan dibahas kemudian. Kromosom Y ekstra mudah diterima karena informasi yang diketahui disandang oleh kromosom Y tampaknya berkaitan dengan diferensiasi pria. Sebagai catatan, berapa pun jumlah kromosom X, adanya satu Y tetap menentukan fenotipe pria. Gen untuk diferensiasi pria (SRY, sex-determining region dari kromosom Y) terletak pada lengan pendek kromosom Y. Selanjutnya diuraikan secara singkat dua kelainan, sindrom Klinefelter dan sindrom Turner, yang merupakan akibat dari penyimpangan (aberration) kromosom seks.



Sindrom Klinefelter Sindrom klinefelter paling baik ditetapkan sebagai hipogonadisme pria yang berkembang apabila terdapat paling sedikit dua kromosom X dan satu atau lebih kromosom Y. Penderita yang paling sering terkena mempunyai kariotipe 47,XXY. Kariotipe ini dihasilkan dari nondisjunction pada kromosom seks selama meiosis. Kromosom X ekstra mungkin berasal dari paternal atau maternal. Usia maternal yang lanjut dan riwayat iradiasi pada salah satu orangtua mungkin menyumbangkan kesalahan meiotik yang menghasilkan keadaan ini. Sekitar 15% penderita menunjukkan pola mosaik, termasuk 46,XY/47,XXY, 47,XXY/48,XXXY, dan variasi yang sejenis. Adanya suatu galur 46,XY pada mosaik biasanya berhubungan dengan kondisi klinis yang lebih ringan. Sindrom klinefelter berhubungan dengan manifestasi klinis yang cakupannya luas. Pada sebagian individu hal itu mungkin dipaparkan sebagai hipogonadisme, tetapi sebagian besar penderita mempunyai habitus yang berbeda, penambahan dalam panjang antara telapak kaki dan tulang pubis, yang menciptakan penampilan suatu tubuh yang memanjang. Habitus tubuh eunukoidisme juga bersifat khas. Berkurangnya rambut di wajah, tubuh dan daerah pubis dan ginekomastia juga sering ditemukan. Ukuran testis sangat berkurang, kadang-kadang dimensi terbesar hanya 2 cm. Sesuai dengan atrofia testis, kadar testosteron serum lebih rendah dari normal, dan gonadotropin urin meningkat. Sindrom klinefelter paling lazim menyebabkan hipogonadisme pria. Jarang sekali penderita bersifat subur (fertile), dan mungkin individu semacam itu bersifat mosaik dengan sebagian besar merupakan sel 46,XY. Sterilitas disebabkan oleh kelainan spermato-genesis, kadangkadang sampai terjadi azospermia. Pemeriksaan histologis menunjukkan hialinisasi tubulus, yang tampak sebagai struktur menyerupai hantu pada sayatan jaringan. Sebaliknya, sel Leydig tampak prominen, karena hiperplasia atau tampaknya bertambah karena kehilangan tubulus. Walaupun sindrom klinefelter mungkin berhubungan dengan keterbelakangan mental, derajat kelainan intelek secara khas ringan, dan pada beberapa kasus tidak dapat ditemukan kekurangan. Penurunan inteligensia berhubungan dengan jumlah kromosome X ekstra. Sindrom klinefelter berhubungan dengan peningkatan kekerapan beberapa kelainan, termasuk kanker payudara (20 kali lebih tinggi daripada pria normal),



240



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



tumor sel benih ekstra gonad, penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik.



Sindrom Turner Sindrom Turner, ditandai oleh hipogonadisme primer pada fenotipe wanita, akibat dari monosomi parsial atau lengkap dari lengan pendek kromosom X. Dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, seluruh kromosom X tidak ditemukan pada 57% penderita, yang menghasilkan kariotipe 45,X. Penderita ini terkena paling parah, dan diagnosis seringkali dapat ditegakkan pada saat lahir atau pada masa dini anakanak. Perangai klinis yang khas yang berhubungan dengan sindrom turner 45,X termasuk keterbelakangan pertumbuhan yang bermakna, diikuti dengan tubuh pendek (di bawah persentil ketiga), pembengkakan leher bagian bawah, karena pelebaran pembuluh limfe (pada masa bayi), yang terlihat sebagai leher yang bersayap pada anak yang lebih besar; garis rambut belakang rendah; cubitus valgus (sudut penyangga lengan menaik); dada menyerupai perisai dengan puting susu berjarak lebih lebar; arkus palatum tinggi; limfedema tangan dan kaki, dan aneka ragam malformasi kongenital seperti ginjal tapal kuda, katup aorta bikuspid, dan koarktasi aorta (Gambar 6-16). Kelainan kardiovaskular adalah penyebab kematian paling lazim pada masa anak-anak. Pada masa remaja, gadis yang terkena gagal mengembangkan ciri seks sekunder yang normal; genitalia tetap infantil, perkembangan payudara minimal, dan rambut pubis tampak jarang. Sebagian besar penderita mengalami amenorea primer, dan pemeriksaan morfologik menunjukkan transformasi ovarium menjadi stroma berserabut berupa garis putih yang tidak mengandungi folikel. Status mental penderita biasanya normal, tetapi dapat ditemukan cacat ringan non-verbal, dan pemrosesan informasi visual-spatial. Sangat menarik perhatian, terjadinya hipotiroidisme yang disebabkan oleh autoantibodi, terutama pada wanita dengan isokromosom Xp. Sebanyak 50% penderita ini mengalami hipotiroidisme. Pada penderita dewasa, kombinasi tubuh pendek dan amenore primer harus segera dicurigai sebagai sindrom Turner. Diagnosis ditegakkan dengan penentuan kariotipe (karyotyping). Kira-kira 43% penderita sindrom Turner apakah mosaik (satu dari galur sel adalah 45,X) atau mempunyai abnormalitas struktur kromosom X. Yang paling lazim adalah delesi lengan pendek, yang menghasilkan pembentukan isokromosom lengan panjang, 46,X,i(X) (q10). Pengaruh akhir dari abnormalitas struktural adalah menghasilkan monosomi partial kromosom X. Kombinasi delesi dan mosaikisme telah dilaporkan. Adalah penting untuk menerima heterogenitas kariotipe terkait sindrom Turner karena hal itu berperan pada terjadinya variasi fenotipe yang bermakna. Berbeda dengan penderita dengan monosomi X, mereka yang merupakan mosaik atau mempunyai varian delesi mungkin mempunyai penampilan hampir normal dan hanya disertai amenore primer. Patogenesis molekuler sindrom Turner tidak seluruhnya dimengerti, tetapi hasil penelitian telah mulai mengungkapnya. Seperti disebutkan terdahulu, kedua kromosom X adalah aktif selama oogenesis dan penting untuk perkembangan normal dari ovarium. Selama perkembangan fetus, ovarium mengandungi sebanyak 7 juta oosit. Sel-sel telur tesebut lambat Iaun menghilang sehingga menjelang menarke jumlahnya berkurang sampai hanya 400.000 dan pada menopause tersisa kurang dari 10.000. Pada sindrom Turner, ovarium fetus berkembang secara normal pada masa dini embriogenesis, tetapi tanpa kromosom X kedua akan terjadi percepatan kehilangan oosit, yang berakhir menjelang usia 2 tahun.



Garis rambut belakang rendah Leher bawah lebar Dada lebar dan jarak Puting susu lebar



Tubuh pendek



Coractatio aortae



Cubitus valgus Ovarium fibrotik, infertilitas, amenor



Nevus pigmentosus



Limfedema perifer pada kelahiran SINDROM TURNER Insidens 1 dalam 3000 kelahiran wanita Kariotipe: 45,X Klasic: cacat kromosom-X 46,X,i(Xq) kedua: 46,XXq– 46,XXp– 46,X, r(X) Jenis mosaik: 45,X/46,XX



Gambar 6-16 Perangai klinis dan kariotipe dari sindrom Turner.



Oleh karena itu, seolah-olah "menopause terjadi sebelum menarke", dan ovarium mengecil menjadi jaringan ikat yang atrofik, tidak mengandungi ovum dan folikel (streak ovaries). Karena penderita sindrom Turner juga mempunyai kelainan nongonad lain, maka beberapa gen yang diperlukan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan jaringan somatik juga harus berada pada kromosom X. Di antara gen yang berperan pada fenotipe Turner adalah gen short stature homeobox (SHOX) pada Xp22.33. Ini adalah salah satu gen yang tetap aktif pada kedua kromosom X dan bersifat unik dengan homolog aktif pada lengan pendek kromosom Y. Jadi, baik pria maupun wanita normal mempunyai dua kopi dari gen ini. Satu kopi gen SHOX mengatur terjadinya tubuh pendek. Sesungguhnya, delesi SHOX terdapat pada 2% sampai 5% anak normal yang bertubuh pendek. Apabila satu kopi SHOX dapat menerangkan



Kelainan Gen-Tunggal dengan Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan) 241 cacat pertumbuhan sindrom Turner, hal itu dapat menerangkan perangai klinis lain seperti malformasi jantung dan abnormalitas endokrin. Jelaslah, beberapa gen yang terletak pada kromosom X juga berperan.



RINGKASAN Kelainan Sitogenetik yang Mengenai Kromosom Seks • •







Pada wanita, satu kromosom X, maternal atau paternal, mengalami inaktivasi secara acak selama perkembangan (hipotesis Lyon). Pada sindrom Klinefelter, terdapat dua atau lebih kromosom X dengan satu kromosom Y sebagai hasil dari nondisjunction dari kromosom seks. Penderita mempunyai atrofia testis, sterilitas, pengurangan rambut tubuh, ginekomastia, dan habitus tubuh eunukoid. Kelainan tersebut merupakan penyebab paling lazim dari sterilitas pria. Pada sindrom Turner, terdapat monosomi parsial atau lengkap dari gen pada lengan pendek kromosom X, paling lazim karena tidak terdapat kromosom X (45,X) dan kurang lazim yang disebabkan oleh mosaikisme, atau karena delesi pada lengan pendek kromosom X. Tubuh pendek, leher yang melebar kebawah, cubitus valgus, malformasi kardiovaskular, amenore, tidak tampak ciri-ciri seks sekunder, dan ovarium fibrotik adalah perangai klinis yang khas.



KELAINAN GEN-TUNGGAL DENGAN POLA ATIPIK DARI KETURUNAN (PEWARISAN) Tiga kelompok penyakit yang disebabkan oleh mutasi yang mengenai gen-gen tunggal tidak mengikuti hukum pewarisan menurut Mendel: • Penyakit yang disebabkan oleh mutasi berulang triplet • Penyakit yang disebabkan oleh mutasi gen mitokondria • Penyakit akibat perubahan daerah jejak (imprinted regions)



Mutasi Pengulangan Triplet: Sindrom Fragile X Sindrom Fragile X adalah prototipe penyakit yang disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada urutan basa panjang berupa dari pengulangan tiga nukleotida. Contoh lain dari penyakit yang terkait dengan mutasi pengulangan triplet adalah penyakit Huntington dan distrofia miotonik. Sekitar 40 penyakit sekarang diketahui disebabkan oleh jenis mutasi ini, dan semua kelainan yang ditemukan selama ini terkait dengan perubahan neurodegeneratif. Pada tiap keadaan, amplifilcasi perangkat tiga nukleotida yang spesifik di dalam gen mengganggu fungsinya. Perangai tertentu yang unik dari mutasi pengulangan triplet, diuraikan kemudian, menyebabkan pola atipik dari pewarisan penyakit terkait. Sindrom Fragile X disebabkan oleh mutasi pada gen FMR1, yang terpetakan pada kromosom Xq27.3. Sindrom tersebut memperoleh namanya dari penampilan kariotipe kromosom X pada cara diagnosis yang pertama kali:



biakan sel penderita pada medium yang tidak mengandungi folat secara khas menghasilkan pewarnaan yang tidak merata atau konstriksi pada lengan panjang dari kromosom X. Cara pemeriksaan ini telah digantikan oleh analisis berdasarkan DNA dari ukuran pengulangan triplet seperti dibahas kemudian. Dengan kekerapan penyakit 1 di antara 1550 untuk pria yang terkena atau 1 di antara 8000 untuk wanita yang terkena, sindrom fragile X adalah penyebab genetik yang kedua paling lazim dari keterbelakangan mental, setelah sindrom Down. Secara klinis pria yang terkena mempunyai kelainan mental tingkat menengah sampai berat. Fenotipe fisis yang khas termasuk wajah yang memanjang dengan mandibula besar, telinga lebar, dan testis besar (maroorchidisma). Walaupun khas sebagai sindrom fragile X, abnormalitas ini tidak selalu terdapat atau mungkin sangat ringan. Hanya mikroorkidisme yang merupakan abnormalitas fisis yang sangat berbeda yang dapat ditemukan pada paling sedikit pada 90% dari pria post puber yang mengalami sindrom fragile X. Seperti dengan semua penyakit X-linked, sindrom fragile X terutama mengenai pria. Namun, analisis beberapa silsilah (pedigree), menghasilkan pola transmisi yang tidak khas berkaitan dengan kelainan X-linked yang resesif (Gambar 6-17). Ini termasuk yang berikut: • Pria pembawa-sifat (carrier): Sekitar 20% pria yang berdasarkan analisis silsilah dan uji molekuler, diketahui mengandungi mutasi fragile X tetapi secara klinis dan sitogenetik normal. • Wanita yang terkena: Dari 30% sampai 50% wanita pembawa sifat (carrier) terkena sindrom fragile X (contoh keterbelakangan mental), suatu nilai yang jauh lebih tinggi daripada kelainan Xlinked yang resesif. • Antisipasi: Istilah ini berlaku untuk fenomena bahwa perangai klinis fragile X memburuk pada tiap generasi berikutnya, seolah-olah mutasi menjadi lebih buruk karena diwariskan oleh seseorang kepada cucunya dan generasi di bawahnya. Perangai yang tidak lazim ini berhubungan dengan sifat dinamik dari mutasi. Pada populasi normal, jumlah pengulangan dari urutan basa CGG pada gen FMR1 adalah kecil, rata-rata sekitar 29, sedangkan individu yang terkena mempunyai 200 sampai 4000 pengulangan. Yang disebut mutasi penuh ini, dianggap timbul melalui tahap antara dari premutasi yang ditandai oleh 52 sampai 200 pengulangan CGG. Pria dan wanita pembawa sifat (carrier) mempunyai premutasi. Selama oogenesis (tetapi tidak pada spermatogenesis), premutasi dapat diubah menjadi mutasi penuh oleh amplifikasi lebih lanjut dari pengulangan CGG, yang kemudian dapat diwariskan baik kepada anak laki maupun anak perempuan dari wanita pembawa sifat. Observasi ini memberikan penjelasan mengapa sebagian pria pembawa sifat tidak terkena (mereka mempunyai premutasi), dan wanita pembawasifat terkena (mereka mewarisi mutasi penuh). Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa premutasi sesungguhnya tidak terlalu jinak. Sekitar 30% wanita yang mengandungi premutasi mempunyai kegagalan ovarium prematur (sebelum usia 40 tahun), dan sekitar sepertiga pria yang mengandungi premutasi menunjukkan sindrom neurodegeneratif yang progresif yang mulai pada dekade keenam. Sindrom ini, dikenal sebagai tremor ataksia terkait fragile X, ditandai oleh kecenderungan tremor dan ataksia serebelar dan mungkin berkembang ke sindrom Parkinson. Walaupun demikian, jelas bahwa abnormalitas pada pembawa sifat premutasi lebih ringan dan terjadi kemudian di dalam kehidupan.



242



BAB 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik PRIA PEMBAWA



Kromosom X Fenotipe



WANITA NORMAL



Premutasi



Normal



Normal



Normal WANITA PEMBAWA



WANITA PEMBAWA



TIDAK BERHUBUNGAN



Kromosom X



Normal



Premutasi/mutasi



Normal



Premutasi/mutasi



Normal



Fenotipe



Normal



Normal



Normal



Normal



Normal



Normal/mutasi penuh Normal Normal 50% dari wanita terkena, seringkali bersifat lebih Phenotype Terkena Normal Normal ringan Gambar 6-17 Pedigree dari Fragile X. Kromosom X dan Y ditunjukkp. Perhatikan bahwa generasi pertama, semua anak pria normal dan semua yang wanita adalah penyandang (carrier). Selama oogenesis pada penyandang wanita, premutasi berkembang menjadi mutasi penuh; jadi, pada generasi berikutnya, semua pria yang mewarisi kromosom X dengan mutasi penuh terkena.Walaupun demikian, hanya 50% dari wanita yang mewarisi mutasi penuh yang terkena, dan seringkali hanya bersifat ringan. X Chromosomes



Mutasi penuh



(Berdasarkan sketsa asli, atas budi baik Dr. Nancy Schneider, Department of Pathology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texas.)



PATOGENESIS Dasar molekuler untuk sindrom fragile X mulai dimengerti dan berhubungan dengan nonaktivasi produk gen FMRI, familial mental retardation protein (FMRP). Gen FMRI normal mengandungi CGG pada 5' untranslated region. Apabila jumlah pengulangan trinukleotida pada gen FMRI melebihi 230, DNA dari seluruh 5'regio dari gen menjadi termetilasi secara abnormal. Metilasi juga meluas kehulu ke dalam regio promotor gen, yang menyebabkan supresi transkripsi FMRI. Tidak adanya FMRP dianggap menyebabkan perubahan fenotipe. FMRP terpapar secara jelas pada jaringan-jaringan normal, tetapi kadar yang lebih tinggi ditemukan pada otak dan testis. Bukti mutakhir mengesankan bahwa FMRP adalah protein pengikat RNA yang ditransporasikan dari sitoplasma ke inti-sel, ditempat itu berikatan dengan MRNA spesifik dan membawanya ke akson dan dendrit (Gambar 6-18). Pada sinaps kompleks FMRP-mRNA melakukan peran kritik dalam pengaturan dan translasi mRNA yang khas. Tidak adanya fungsi "bolak-balik" (shuttle) yang terkoordinasi dengan baik merupakan penyebab sindrom fragile X. Seperti diketahui, di samping sindrom fragile X, banyak dikenal penyakit neurodegeneratif lain yang terkait dengan ekspansi pengulangan trinukleotida. Beberapa prinsip umum adalah seperti berikut: • Pada semua kasus, fungsi gen berubah karena ekspansi pengulangan, tetapi ambang-batas untuk konversi



DENDRIT



FMRP



Ribosom Komplrks FMRP-mRNA



Protein dendrit



Ribosom AKSON



Protein akson



Gambar 6-18 Suatu model dari peranan familial mental retardation protein (FMRP) pada neuron. FMRP memainkan peranan penting pada regulasi dan translasi protein akson dari RNA yang terikat. Protein yang diproduksi setempat ini, pada gilirannya, memainkan berbagai peranan pada lingkungan mikro dari sinaps. (Disadur dari Hin P, Warren ST: New insights into fragile X syndrome: from molecules toneurobehavior. Trends Biochem Sci 28:152, 2003.)



Kelainan Gen-Tunggal dengan Pola Atipik dari Keturunan (Pewarisan) premutasi kelainan.



menjadi



mutasi



penuh



berbeda



untuk



Penyakit Akibat Mutasi Gen Mitokonadria



tiap



Mitokondria mengandungi beberapa gen yang menyandi enzim yang terlibat pada fosforilasi oksidatif. Pewarisan dari DNA mitokondria berbeda dengan apa yang terjadi pada DNA nukleus, yaitu yang pertama berkaitan dengan pewarisan maternal. Sebab dari kekhususan ini adalah bahwa ovum mengandungi banyak mitokondria dalam sitoplasmanya, sedangkan spermatozoa mengandungi sedikit, bila ada mitokondria. Oleh karena itu, komplemen DNA mitokondria dari zygot seluruhnya berasal dari ovum. Jadi, hanya ibu yang meneruskan gen mitokondria ke semua anak, baik laki-laki maupun perempuan; namun, hanya anak perempuan yang meneruskam DNA lebih lanjut ke anaknya, sedangkan anak laki-laki tidak. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen mitokondria adalah jarang. Karena DNA mitokondria menyandi enzim yang terlibat pada fosforilasi oksidatif, maka penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen tersebut memengaruhi organ yang paling bergantung kepada fosforilasi oksidatif (otot skelet, jantung dan otak). Neuropati optik herediter jenis Leber (Leber hereditary optic neuropathy) adalah prototipe kelainan dalam kelompok ini. Penyakit neurodegeneratif ini berwujud sendiri sebagai kehilangan penglihatan sentral bilateral yang progresif yang dalam perjalanan waktu menyebabkan kebutaan.



• Ekspansi pada sindrom fragile X terjadi selama oogenesis, sedangkan pada kelainan lain seperti penyakit Huntington, premutasi mengalami konversi menjadi mutasi penuh selama spermatogenesis • Ekspansi mungkin melibatkan semua bagian dari gen, dan rentang kemungkinannya dapat dibagi ke dalam dua kategori yang luas: mereka yang mengenai daerah yang tidak mengalami translasi (seperti pada sindrom fragile X), atau daerah yang menyandi (seperti pada penyakit Huntington) (Gambar 6-19).Apabila mutasi mengenai daerah yang tidak menyandi, terjadi "kehilangan fungsi", karena sintesis protein ditekan (contoh FMRP). Sebaliknya, mutasi yang melibatkan bagian yang mengalami translasi dari gen akan menimbulkan protein yang salah terlipat, yang memengaruhi fungsi protein normal (contoh penyakit Huntington). Banyak dari mutasi yang disebut mutasi yang memperoleh fungsi toksik mengenai pengulangan CAG yang mengkode jalur poliglutamin dan menghasilkan penyakit yang kadang-kadang disebut "penyakit poliglutamin" yang memengaruhi terutama sistem saraf. Akumulasi protein yang salah lipat dalam bentuk agregat di dalam sitoplasma adalah perangai yang lazim pada penyakit semacam itu.



Penyakit Akibat Perubahan Daerah Jejak (Imprinted Regions): Sindrom Prader-Willi dan Angelman



RINGKASAN Sindrom Fragile-X •



• •



Amplifikasi patologis dari pengulangan trinukleotida menyebabkan mutasi kehilangan fungsi (sindrom fragile X) atau mutasi yang meningkatkan fungsi (penyakit Huntington). Sebagian besar mutasi semacam itu menghasilkan kelainan neurodegeneratif. Sindrom fragile X disebabkan oleh kehilangan fungsi gen FMRI dan ditandai oleh keterbelakangan mental, makroorkidisme, dan perangai wajah abnormal. Pada populasi normal, terdapat sekitar 29 pengulangan CGG pada gen FMRI. Genom pembawa-sifat pria dan wanita mengandungi premutasi dengan 52 sampai 200 pengulangan yang dapat berkembang menjadi 4000 pengulangan (mutasi penuh) selama oogenesis.Apabila mutasi penuh diwariskan ke keturunan, maka terjadi sindrom fragile X. Promotor



UTR



243



Semua manusia mewariskan dua kopi dari tiap gen (kecuali, tentu saja, gen kromosom seks pada pria), yang dibawa pada kromosom maternal dan paternal yang homolog. Telah lama dianggap bahwa tidak ada perbedaan antara gen homolog normal yang berasal dari ibu dan yang berasal dari bapak. Sesungguhnya, hal ini benar untuk banyak gen. Sekarang telah ditetapkan, bahwa perbedaan fungsional terdapat di antara kopi paternal dan maternal dari gen yang sama. Perbedaan ini timbul dari proses epigenetik yang disebut genomic imprinting, yaitu gen tertentu mengalami "inaktivasi" yang berbeda selama gametogenesis paternal dan maternal. Jadi, maternal imprinting merupakan inaktivasi transkripsi alel maternal, sedangkan paternal imprinting merupakan inaktivasi alel paternal. Pada tingkat molekuler, imprinting berkaitan dengan metilasi dari gen promotor, seperti hal yang terkait dengan modifikasi



Intron



Ekson



UTR



5'



3'



Ekspansi Urutan-basa CCCCGCCCCGCG 12 mer Penyakit



Epilepsi mioklonus*



Triplet CGG Sindrom Fragile-X



Triplet GAA



Triplet CAG



CTG triplet



Ataksia Friedreich



Penyakit Huntington



Distrofia miotonik



Gambar 6-19 Tempat ekspansi dan urutan-basa yang terkena pada penyakit yang terpilih yang disebabkan oleh mutasi ulangan nukleotida. UTR, untranslated region. * Walaupun bukan suatu penyakit ulangan-trinukleotida yang khusus, epilepsi mioklonus progresif disebabkan, seperti yang lain pada kelompok ini, oleh ekspansi DNA yang dapat diwariskan. Segmen yang terekspansi adalah daerah promotor dari gen.



244



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



protein histon pengikat DNA, yang pengaruh lengkapnya menyebabkan inaktivasi gen. Imprinting terjadi pada ovum dan sperma, dan kemudian diteruskan kesemua sel somatik yang berasal dari zygot.Imprinting genom paling baik digambarkan dengan memikirkan dua kelainan genetik yang tidak lazim: sindrom PraderWilli dan sindrom Angelman Sindrom Prader-Willi ditandai oleh keterbelakangan mental, tubuh pendek, hipotoni, obesitas, tangan dan kaki kecil, dan hipogonadisme. Pada 60% sampai 70% kasus, delesi interstisial pita q12 pada lengan panjang kromosom 15-del(15)(q11;q13)-dapat ditemukan. Pada banyak penderita tanpa abnormalitas genetik yang terdeteksi, analisis FISH menghasilkan delesi lebih kecil dalam daerah yang sama. Sangat menyolok bahwa pada semua kasus, delesi memengaruhi kromosom 15 yang berasal dari bapak. Kebalikan dari sindrom Prader-Willi, penderita dengan fenotipe sindrom Angelman yang jelas, dilahirkan dengan delesi dari regio kromosom yang sama yang berasal dari ibu. Penderita dengan sindrom Angelman juga mengalami keterbelakangan mental, tetapi disertai cara berjalan ataksia, kejang, dan reaksi tertawa yang tidak wajar. Oleh karena sikap tertawa dan ataksia, sindrom ini disebut sebagai sindrom boneka yang bahagia (happy puppet syndrome). Perbandingan kedua sindrom ini jelas menunjukkan pengaruh "asal-orang tua (parent-of-origin)" pada fungsi gen. Apabila semua gen paternal dan maternal yang dikandung di dalam kromosom 15 dipaparkan pada pola yang identik, perangai klinis yang dihasilkan dari delesi tersebut dapat diharapkan menjadi identik, tidak bergantung kepada asal orang tua dari kromosom 15. Dasar molekuler dari dua sindrom ini dapat dimengerti dalam kaitan dengan imprinting (Gambar 6-20).



Seperangkat gen pada kromosom maternal pada 15q12 mengalami imprinting (dan oleh karena itu inaktif), sehingga alel fungsional yang ada diberikan oleh kromosom paternal. Apabila bagian tersebut hilang karena delesi (pada kromosom paternal), penderita mengalami sindrom Prader-Willi. Sebaliknya, gen berbeda yang juga terletak pada daerah yang sama pada kromosom 15 mengalai imprinting pada kromosom paternal. Pada keadaan normal hanya alel yang berasal maternal yang aktif. Delesi gen maternal pada kromosom 15 ini menimbulkan sindrom Angelman. Penelitian molekuler dari penderita sindrom Prader-Willi yang secara sitogenetik normal melaporkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa kedua kopi kromosom 15 yang berstruktur normal berasal dari ibu. Pewarisan kedua kromosom dari suatu pasangan berasal dari satu orang tua disebut disomi uniparental. Hasil akhir pengaruhnya adalah sama (contoh penderita tidak mempunyai suatu perangkat gen dari kromosom 15 paternal yang tidak mengalami imprinting). Sindrom Angelman, seperti dapat diharapkan, juga dapat terjadi karena disomi uniparental pada kromosom 15. Gen sindrom Angelman (yang mengalami imprinting pada kromosom paternal) sekarang diketahui menyandi ligase yang mempunyai peranan pada jalur proteolisis ubiquitin-proteasom (Bab 1). Gen ini disebut, agak rumit, UBE3A, dipaparkan terutama oleh alel maternal pada regio spesifik dari otak normal. Pada sindrom Angelman, UBE3A tidak dipaparkan pada daerah otak sesuai dengan manifestasi neurologik. Sindrom Prader-Willi, tidak seperti sindrom Angelman, mungkin disebabkan oleh kehilangan fungsi beberapa gen yang terletak pada kromosom 15 di antara q11 dan q13. Gen-gen ini masih memerlukan karakterisasi yang lengkap.



MATERNAL PATERNAL (M) (P)



Gen Prader-Willi imprint Gen Angelman aktif



(M)



(P)



Gen Prader-Willi aktif Gen Angelman imprint



Delesi pada kromosom materal



Delesi pada kromosom paternal



Gen Prader-Willi aktif



Imprinted Prader-Willi genes



Tempat delesi



Gen Angelman imprint



SINDROM ANGELMAN



Gen Angelman aktif



(M)



(P)



Tempat delesi



SINDROM PRADER-WILLI



Gambar 6-20 Genetik sindrom Angelman dan Prader-Willi.



Anomali Bawaan (Kongenital)



RINGKASAN Imprinting Genomic • Imprinting melibatkan inaktivasi transkripsi dari kopi paternal atau maternal dari gen selama gametogenesis. Untuk gen-gen semacam itu hanya satu kopi fungsional terdapat pada seseorang. Kehilangan alel fungsional (tidak mengalami imprinting) karena delesi menimbulkan penyakit.



245







Sindrom Prader-Willi akibat dari delesi regio 15q 12 kromosom paternal dan ditandai oleh keterbelakangan mental, tubuh pendek, hipotoni, obesitas dan hipogonadisme.







Sindrom Angelman akibat dari delesi regio 15q 12 kromosom maternal dan ditandai oleh keterbelakangan mental, ataksia, kejang dan reaksi tertawa yang tidak wajar.



PENYAKIT PEDIATRIK Seperti disebutkan sebelumnya dan digambarkan dengan beberapa contoh, banyak penyakit pada masa bayi dan anak-anak disebabkan oleh faktor genetik. Yang lain, walaupun bukan genetik, tetapi bersifat unik untuk anak atau mempunyai bentuk yang dapat dibedakan di antara populasi penderita ini sehingga memerlukan penggolongan penyakit pediatrik. Selama tiap tahap perkembangan, penyakit pada bayi dan anak dapat digolongkan pada kelompok penyakit yang agak berbeda (Tabel 6-6). Jelaslah, penyakit pada bayi (contoh tahun pertama kehidupan) menghadapi risiko kematian paling tinggi. Selama fase ini, masa neonatus (empat minggu pertama kehidupan) tidak dapat dipungkiri merupakan waktu yang paling berbahaya. Apabila bayi bertahan hidup pada tahun pertama kehidupan, masa depannya diperkirakan akan cerah. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa di antara 1 tahun dan 14 tahun kehidupan, jejas akibat kecelakaan merupakan penyebab kematian yang utama. Tidak semua keadaan yang dicantumkan pada Tabel 6-6 diuraikan dalam bab ini; hanya beberapa yang terpilih untuk dipertimbangkan di sini. Walaupun prinsip umum penyakit neoplastik dan tumor-tumor yang khas dibahas dibagian tertentu, beberapa tumor pada anak diuraikan di sini, untuk menonjolkan perbedaan antara neoplasma pada anak dan dewasa. Tabel 6-6 Penyebab Kematian Menurut Usia



ANOMALI BAWAAN (KONGENITAL) Anomali kongenital merupakan cacat struktural yang terdapat pada waktu lahir, walaupun sebagian, seperti cacat jantung dan anomali ginjal, mungkin tidak tampak jelas sampai beberapa tahun kemudian. Seperti akan jelas pada diskusi berikutnya, istilah kongenital tidak memasukkan atau menyingkirkan dasar genetik untuk cacat kelahiran. Diperkirakan sekitar 120.000 bayi dilahirkan dengan cacat kelahiran tiap tahun di Amerika Serikat, suatu insidens 1 di antara 33. Seperti ditunjukkan pada Tabel 6-6, anomali kongenital merupakan penyebab penting dari kematian pada masa bayi. Di samping itu, mereka selanjutnya merupakan penyebab bermakna dari kesakitan, kecacatan, dan kematian sepanjang tahun-tahun kehidupan dini. Sebelum memperhatikan etiologi dan patogenesis anomali kongenital, diperlukan membuat batasan beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesalahan dalam morfogenesis. • Malformasi adalah kesalahan primer dari morfogenesis. Dengan perkataan lain, terdapat suatu proses perkembangan abnormal yang intrinsik



Penyebab*



Nilai/ Kadar†



Penyebab*



Di bawah 1 tahun



677.3



1-4 Tahut-bersambung



Malformasi kongenital, deformitas, dan anomali kelainan yang terkait gestasi pendek dan berat badan rendah Slindrom kematian bayi mendadak (SIDS) Bayi baru lahir yang dipengaruih oleh komplikasi kehamilan Bayi baru lahir yang dipengaruih oleh komplikasi plasenta, tali membran Slindrom kesulitan pernapasan pada bayi baru lahir kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Sepsi bakteri dari bayi baru lahir Hemoragi neonatal Penyakit sistem sirkulasi



1–4 Tahun Kecelakan (jelas yang tidak diinginkan) Malformalis kongentital, deformalis, dab abdominalis Kromosom serangan (pembunuh)



Nilai/ Kadar† 28.2



Neoplasama ganas Penyakit jantung‡



5–9 Tahun



13.6



Kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Neoplasma ganas Malformasi kongentinal, deformitas, dan abnormalitas Kromos Serangan (Pembunuh) Penyakit jantung



10–14 Tahun 28.2



Kecelakaan (jelas yang tidak diinginkan) Neoplasama ganas Serangan (pembunuh) Mencederai di dengan sengaja (bunuh diri) Malformasi kongenital, deformasi, dan abnormalitas Kromosom



Data dari Heron MP, Sutton PD, Xu J, et al: Annual Summary of Vital Statistics: 2007. Pediatrics 125:4, 2010. * Penyebab disusun dalam urutan menurun frekuensi. Semua penyebab dan nilai/kadar adalah statistik final 2007 tNilai/kadar diberikan per 100.000 penduduk dari semua kasus dalam tiap kelompok usia. tDisingkirkan penyakit jantung kongenital.



16.7



246



B A B 6



A



Penyakit Genetik dan Pediatrik



B



C



Gambar 6-21 Keparahan pada malformasi manusia dapat berkisar dari insidental sampai letal. A, Polidaktili (satu atau lebih jari ekstra) dan sindaktili (fusi dari jari-jari), mempunyai konsekuensi fungsional apabila mereka terjadi secara terpisah. B, Hal yang mirip, bibir sumbing dengan atau tanpa terkait dengan palatum sumbing, adalah selaras dengan kehidupan apabila itu terjadi sebagai anomali yang terpisah; pada kasus ini, bagaimanapun juga, anak tersebut mempunyai sindrom malformasi (trisomi 13) yang mendasari dan meninggal karena cacat jantung yang berat. C, Lahir-mati (still birth) menggambarkan suatu malformasi yang parah dan sesungguhnya letal, yang disertai struktur pertengahan wajah berfusi atau tidak sempurna bentuknya; pada hampir semua kasus, derajat dismorfogenesis eksternal ini terkait dengan anomali interna yang parah seperti kelainan perkembangan otak dan cacat jantung. (A dan C, penghargaan kepada Dr. Reade Quinton, Department of Pathology, University ofTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas. B, penghargaan kepada Dr. Beverly Rogers, Department of Pathology, University ofTexas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas)



Malformasi biasanya akibat multifaktor, bukan sebagai akibat cacat gen tunggal atau cacat kromosom. Mereka mungkin berwujud dalam beberapa pola. Pada sebagian penampilan, seperti penyakit jantung kongenital, mungkin hanya satu sistem tubuh yang terkena, sedangkan pada yang lain, malformasi ganda yang mengenai banyak organ dan jaringan mungkin terjadi bersamaan (Gambar 6-21). • Disrupsi adalah akibat dari destruksi sekunder dari suatu organ atau bagian tubuh yang sebelumnya normal dalam perkembangan; jadi bertentangan dengan malformasi, disrupsi timbul dari gangguan ekstrinsik dalam morfogenesis. Pita-pita amnion (amniotic bands), yang menunjukkan ruptur amnion dengan hasil pembentukan "pita-pita" yang mengelilingi, menekan, atau melekat ke bagian-bagian fetus yang sedang berkembang, merupakan contoh klasik dari disrupsi (Gambar 6-22). Berbagai bahan lingkungan dapat menyebabkan disrupsi (lihat bawah). Tentu saja, disrupsi tidak diwariskan, jadi tidak berhubungan dengan risiko kekambuhan pada kehamilan berikutnya. • Deformasi, seperti disrupsi, juga menggambarkan gangguan ekstrinsik dari perkembangan, bukan kesalahan intrinsik morfogenesis. Deformasi merupakan masalah yang lazim, mengenai hampir 2% dari bayi baru lahir sampai berbagai derajat. Dasar dari patogenesis deformasi adalah kompresi yang bersifat setempat atau umum terhadap fetus yang sedang tumbuh karena kekuatan biomekanik, yang dapat menimbulkan berbagai abnormalitas struktur. Penyebab paling lazim dari malformasi semacam itu adalah regangan uterus. Di antara 35 minggu dan 38 minggu gestasi, ukuran fetus meningkat cepat melebihi pertumbuhan uterus dan volume relatif cairan amnion (yang pada keadaan normal bertindak sebagai bantalan) juga menurun. Jadi, bahkan fetus normal juga menghadapi akibat dari regangan uterus. Walaupun demikian, ada beberapa variabel yang bisa meningkatkan kecenderungan menimbulkan kompresi berlebihan pada fetus, termasuk kehamilan pertama, uterus kecil, malformasi uterus (bicomu), dan leiomioma. Penyebab yang berkaitan dengan fetus juga mungkin terlibat seperti adalah adanya fetus multipel,



oligohidramnion, dan presentasi fetus abnormal. • sekunder dari aberasi setempat yang tunggal dalam organogenesis. Kejadian permulaan mungkin suatu malformasi, deformasi atau disrupsi. Contoh paling baik adalah rangkaian oligohidramnion (Potter) (Gambar 6-23, A). Oligohidramnion, menunjukkan kurangnya cairan amnion, yang mungkin disebabkan oleh berbagai abnormalitas maternal, plasenta, atau fetus yang tidak berhubungan. Kebocoran kronik cairan amnion karena ruptur amnion, insufisiensi uteroplasenta akibat dari hipertensi maternal atau toksemia berat, dan agenesis ginjal pada fetus (karena urin fetus adalah unsur utama cairan amnion), semua merupakan penyebab potensial dari oligohidramnion. Kompresi fetus yang berkaitan dengan oligohidramnion yang bermakna kemudian menyebabkan fenotipe klasik pada bayi baru lahir, termasuk wajah yang merata, abnormalitas posisi dari tangan dan kaki



Gambar 6-22 Disrupsi terjadi pada perkembangan organ karena abnormalitas ekstrinsik yang memengaruhi morfogenesis normal. Pita-pita amnion (amniotic bands) merupakan penyebab yang sering dari disrupsi. Pada sediaan makroskopik diperlihatkan, plasenta di sebelah kanan diagram, dan pita amnion menjulur dari bagian atas dari kantong amnion dan melilit tungkai fetus. (Penghargaan kepada Dr. Theonio Boyd, Children's Hospital of Boston, Boston, Massachusetts.)



Anonnali Bawaan (Kongenital) Agenesis ginjal Amnion nodosum



Amnion bocor



Lain-lain



OLIGOHIDRAMNION



KOMPRESI FETUS



Hipoplasia Perubahan Cacat wajah posisi dari paru kaki, tangan



A



Presentasi bokong



(contoh infeksi virus atau abnormalitas kromosom yang khas) yang pada waktu bersamaan memengaruhi beberapa jaringan. • Sebagai tambahan terhadap definisi global ini, beberapa istilah umum diterapkan untuk malformasi khas organ: agenesis, menggambarkan keadaan tidak adanya organ atau anlagenya sama sekali; sedangkan aplasia dan hipoplasia, masing-masing menunjukkan perkembangan tidak lengkap atau kurang berkembangnya suatu organ. Atresia menggambarkan tidak terbentuknya pembukaan,biasanya pada organ visera yang berongga atau saluran seperti usus dan saluran empedu.



Etiologi Penyebab yang diketahui dari kesalahan pada malformasi manusia dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama: genetik, lingkungan, dan multifaktor (Tabel 6-7). Penyebab tidak dapat ditetapkan untuk hampir separuh dari kasus-kasus yang dilaporkan.



10 cm



Penyebab genetik dari malformasi termasuk semua mekanisme penyakit genetik yang telah dibicarakan sebelumnya. Hampir semua sindrom kromosom berhubungan dengan malformasi kongenital. Contohnya adalah sindrom Down dan trisomi lain, sindrom Turner dan sindrom Klinefelter. Sebagian besar kelainan kromosom timbul selama gametogenesis dan oleh karena itu tidak bersifat familial. Mutasi gentunggal, yang ditandai oleh pewarisan jenis Mendel, mungkin mendasari malformasi utama. Sebagai contoh, holoprosensefalon adalah cacat perkembangan yang paling lazim dari otak depan dan wajah tengah pada manusia (lihat Bab 22); jalur pengisyaratan Hedgehog Tabel 6-7 Penyebab Malformasi Kongenital Pada Manusia



Penyebab Genetik Aberasi kromosom Pewarisan jenis Mendel



Frekuensi Malformations* (%) 10–15 2–10



Lingkungan



B Gambar 6-23 A, Patogenesis oligohidramnion (Potter) secara berurutan. B, Bayi dengan oligohidramnion (Potter). Perhatikan perangai wajah yang mendatar dan perubahan bentuk (deformasi) kaki (talipes equinovarus).



(Gambar 6-23, B). Panggul mungkin mengalami dislokasi. Pertumbuhan dinding dada dan paru yang di dalamnya juga menderita, kadang-kadang sampai mengganggu daya tahan hidup. Apabila hubungan embriologik antara cacat ini dan kejadian yang memulai tidak dikenal, rangkaian (sequence) bisa disalah artikan dengan sindrom malformasi. • Sindrom malformasi merupakan beberapa cacat yang tidak dapat diterangkan berdasarkan kesalahan permulaan yang bersifat tunggal dan setempat dalam morfogenesis. Sindrom yang paling sering biasanya timbul dari penyebab tunggal



247



Infeksi maternal/plasental Rubela Toksoplasmosis Sifilis Infeksi sitomegalovirus Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)



2–3



Status penyakit maternal Diabetes Fenilketonuria Endokrinopati



6–8



Obat dan zat kimia Alkohol Antagonis asam folat Androgen Fenitoin Talidomid Warfarin I 3-Cis-retinoic acid Yang lain



∼1



Penyinaran



~1



Multifaktor



20–25



Tidak diketahu



40–60



* Lahir hidup Data dari Stevenson RE, Hall JG, Goodman RM (eds): Human Malformations and Related Anomalies. New York, Oxford University Press, 1993, p 115.



248



B A B 6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



memainkan peranan penting pada morfogenesis struktur ini, dan mutasi kehilangan fungsi dari komponen individu dalam jalur tersebut dilaporkan terjadi pada keluarga dengan riwayat holoprosensefalon yang berulang. Pengaruh lingkungan, seperti infeksi virus, obat, dan radiasi yang menyebabkan pajanan pada ibu selama kehamilan, dapat menyebabkan malformasi fetus (penyebutan "malformasi" dalam hal ini digunakan secara longgar, karena secara teknik, malformasi ini menggambarkan disrupsi). Di antara infeksi virus yang disebutkan dalam Tabel 6-7, rubela merupakan penyebab utama dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Untunglah, rubela maternal yang disertai embriopati rubela hampir seluruhnya tereliminasi di negara berkembang sebagai hasil vaksinasi. Berbagai obat telah diduga bersifat teratogen, tetapi mungkin kurang dari 1% malformasi kongenital yang disebabkan oleh zat ini. Daftar obat tersebut termasuk talidomid, alkohol, anti-kejang, warfarin (antikoagulan oral), dan 13cisretinoic acid yang digunakan pada acne yang parah. Sebagai contoh, talidomid, suatu waktu pernah digunakan sebagai obat penenang di Eropa dan sekarang digunakan dalam pengobatan kanker tertentu, menyebabkan insidens tinggi (50% sampai 80%) malformasi anggota tubuh. Alkohol, mungkin merupakan zat yang paling luas digunakan sekarang, adalah teratogen lingkungan yang penting. Bayi yang terkena mengalami kelambatan pertumbuhan prenatal dan postnatal, anomali wajah (mikrosefali, fisura palpebra pendek, hipoplasia maksila) dan gangguan psikomotor. Gabungan perangai-perangai ini disebut sindrom alkohol fetus. Walaupun nikotin yang berasal dari asap rokok belum meyakinkan sebagai teratogen, terdapat insidens tinggi abortus spontan, kelahiran prematur, dan anomali plasenta pada ibu hamil yang perokok; bayi yang dilahirkan dari ibu perokok mempunyai berat badan rendah dan cenderung untuk mengalami sudden infant death syndrome (SIDS). Berdasarkan penemuanpenemuan tersebut, sebaiknya mencegah pajanan nikotin sama sekali selama kehamilan. Di antara keadaan maternal yang disebutkan pada Tabel 6-7, diabetes melitus, adalah entitas yang lazim, dan walaupun terdapat kemajuan dalam pemantauan obstetrik dan pengelolaan glukosa, malformasi utama pada bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita diabetes mencapai 6% sampai 10% insidens pada sebagian besar laporan penelitian. Hiperinsulinemia fetus yang terinduksi oleh hiperglikemia maternal menyebabkan makrostomia fetus (organomegali dan peningkatan lemak tubuh dan massa otot), malformasi jantung, cacat neural tube, malformasi SSP lain, adalah beberapa malformasi utama yang terjadi pada embriopati diabetogenik. Multifaktor yang diwariskan, yang merupakan interaksi pengaruh lingkungan dengan dua atau lebih gen yang berpengaruh kecil, adalah penyebab genetik yang paling lazim dari malformasi kongenital. Dalam kategori ini termasuk beberapa malformasi yang relatif lazim, bibir sumbing dan palatum, dan cacat neural tube. Pentingnya kontribusi lingkungan pada malformasi multifaktor diperkecil oleh penurunan dramatik cacat neural tube karena konsumsi asam folat dalam diet pada masa perikonsepsi. Risiko kekambuhan dan cara pewarisan kelainan multifaktor ini telah diuraikan sebelumnya pada bab ini.



PATOGENESIS Patogenesis anomali kongenital adalah rumit dan masih kurang dimengerti, tetapi dua prinsip



umum adalah relevan dan tidak bergantung kepada faktor etiologik: 1. Waktu rangsangan teratogen prenatal: mempunyai dampak penting pada terjadinya dan jenis anomali yang dihasilkan. Perkembangan intrauterin dari manusia dapat dibagi menjadi dua fase: (1) masa embrio, meliputi 9 minggu pertama kehamilan, dan (2) masa fetus, yang berakhir pada saat kelahiran. 







Pada masa dini embrio (3 minggu pertama setelah fertilisasi), zat yang mencederakan merusak baik sejumlah sel yang cukup untuk menyebabkan kematian maupun abortus atau hanya beberapa sel, yang dianggap memberi peluang bagi embrio untuk pulih tanpa mengalami cacat. Di antara minggu ketiga dan kesembilan embrio sangat rentan terhadap teratogenesis, dan puncak kerentanan selama masa ini terjadi antara minggu keempat dan kelima. Selama masa ini organ dikeluarkan dari lapisan benih. Masa fetus yang mengikuti organogenesis ditandai terutama oleh pertumbuhan dan maturasi lebih lanjut dari organ, dengan pengurangan banyak dari kerentanan terhadap faktor teratogenesis. Bila tidak, fetus peka terhadap keterlambatan pertumbuhan atau jejas terhadap organ yang telah terbentuk. Oleh karena itu, memungkinkan faktor tertentu menyebabkan anomali yang berbeda apabila pemajanan terjadi pada waktu yang berbeda dari gestasi.



2. Interaksi yang rumit antara teratogen lingkungan dan cacat intrinsik dicontohkan oleh fakta bahwa perangai dismorfogenesis yang disebabkan oleh rangsangan lingkungan sering dapat direkapitulasi oleh cacat genetik dalam jalur yang menjadi sasaran teratogen ini. Beberapa contoh representatif sebagai berikut: 











Cyclopamine adalah teratogen tanaman. Beri-beri hamil yang memakan tanaman yang mengandungi cyclopamine melahirkan anak yang mengalami malformasi kraniofasial yang berat termasuk holoprosensefalon dan cyclopia (mata tunggal hasil fusi—sesuai asal julukan cyclopamine). Senyawa ini adalah inhibitor kuat untuk pengisyaratan Hedgehog pada embrio, dan seperti disebutkan sebelumnya, mutasi gen Hedgehog terdapat pada subset fetus dengan holoprosensefalon. Asam valproat adalah suatu anti-epilepsi dan dikenal sebagai teratogen. Asam valproat merusak paparan dari golongan-protein faktor transkripsi yang penting untuk perkembangan dan sangat terpelihara yang dikenal sebagai protein homeobox (HOX). Pada vertebrata protein HOX berperan untuk membentuk pola anggota tubuh, vertebra dan struktur kraniofasial.Tidak mengejutkan, mutasi dari gen golongan-protein HOX berperan pada anomali kongenital yang menyerupai perangai yang ditemukan pada embriopati asam-valproat. Derivat vitamin A (retinol) adalah derivat all-trans-retinoic acid penting untuk perkembangan dan diferensiasi, normal dan bila tidak-ada selama embriogenesis akan menyebabkan konstelasi malformasi yang bersifat ganda, termasuk mata, sistem genitourinaria, kardiovaskular, diafragma dan paru (lihat Bab 7 tentang defisiensi vitamin A pada masa post natal). Sebaliknya, pajanan berlebihan terhadap asam retinoat bersifat teratogen. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang diobati asam retinoat untuk acne yang parah akan mempunyai fenotipe yang dapat diramalkan (embriopati asam retinoat), meliputi SSP, jantung,



Prematuritas dan Keterbatasan Pertumbuhan Janin dan cacat kraniofasial, seperti sumbing bibir dan palatum. Entitas akhir terkait dengan peranan asam retinoat dalam deregulasi komponen jalur pengisyaratan transforming growth factor-Β(TGF-Β). Mencit yang mengalami inaktivasi (knock-out) gen Tgfb3 seluruhnya mengalami bibir sumbing. Sekali lagi, ini mengecilkan hubungan fungsi antara pajanan teratogen dan jalur pengisyaratan dalam sebab-musabab anomali kongenital.



249



adalah Toxoplasma (T), virus rubela (R), cytomegalovirus (C), virus herpes (H), dan mikroba lain, "other" (0) seperti Treponema pallidum. Mikroba ini dikelompokkan bersama karena mereka mungkin menimbulkan manifestasi klinis dan patologis yang mirip. Infeksi TORCH yang terjadi dini pada masa gestasi mungkin menyebabkan sekuela kronik pada anak, termasuk pertumbuhan terbatas, keterbelakangan mental, katarak, anomali jantung kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi lebih kemudian dalam kehamilan terutama menyebabkan jejas jaringan disertai inflamasi (ensefalitis, korioretinitis, hepatosplenomegali, pneumonia, dan miokarditis).



RINGKASAN Anomali Kongenital •



Anomali kongenital akibat dari abnormalitas intrinsik (malformasi) demikian juga gangguan ekstrinsik (deformitas, disrupsi).







Anomali kongenital dapat diakibatkan oleh faktor genetik (abnormalitas kromosom, mutasi gen), lingkungan (infeksi, obat, alkohol), dan penyebab multifaktor.







Waktu dari rangsangan in utero mempunyai pengaruh kuat pada luasnya anomali kongenital, dengan kejadian yang lebih dini biasanya menunjukkan dampak lebih besar.







Interaksi antara penyebab genetik dan lingkungan dari anomali ditunjukkan oleh fakta bahwa teratogen sering memengaruhi jalur pengisyaratan yang terkait mutasi sebagai penyebab anomali yang sama seperti yang sudah dilaporkan dalam penelitian.



INFEKSI PERINATAL Infeksi pada fetus dan neonatus mungkin diperoleh secara transserviks (infeksi asenden) atau transplasenta (infeksihematologik). •



Infeksi trans-serviks, atau asenden, meliputi penyebaran infeksi dari kanal servikovagina dan mungkin diperoleh dalam uterus atau selama kelahiran. Sebagian besar infeksi bakteri (contoh infeksi streptokokus α- hemolitik) dan beberapa infeksi virus (contoh herpes simpleks) diperoleh dengan cara ini. Pada umumnya, fetus memperoleh infeksi dengan "inhalasi" cairan amnion yang terinfeksi ke dalam paru atau melewati jalan lahir yang terinfeksi selama persalinan. Infeksi fetus biasanya berkaitan dengan inflamasi membran plasenta (korioamnionitis) dan inflamasi tali pusat (funisitis). Infeksi ini khas untuk pneumonia dan, pada kasusberat, sepsis dan meningitis.



• Infeksi transplasenta mempunyai hubungan ke aliran darah fetus dengan menyeberang plasenta melalui villi chorealis, dan mungkin terjadi pada tiap saat selama gestasi atau kadangkadang, seperti pada kasus hepatitis B dan virus imunodefisiensi manusia (HIV), pada saat persalinan melalui transfusi maternalfetal. Sebagian besar parasit (contoh toksoplasma, malaria) dan infeksi virus dan beberapa infeksi bakteri (contoh Listeria dan Treponema), menunjukkan cara transmisi hematogen ini. Manifestasi klinis dari infeksi ini sangat bervariasi, sangat bergantung kepada masa gestasi dan mikroorganisme yang terlibat. Infeksi transplasenta yang paling penting dapat dengan mudah diingat melalui akronim TORCH. Unsur dari kompleks TORCH



PREMATURITAS DAN KETERBATASAN PERTUMBUHAN JANIN Prematuritas adalah penyebab paling lazim kedua dari mortalitas neonatus (hanya yang kedua pada anomali kongenital), dan ditetapkan oleh usia gestasi kurang dari 37 minggu. Seperti dapat diharapkan, bayi yang dilahirkan sebelum kelengkapan gestasi juga mempunyai berat badan kurang dari normal (di bawah 2500 gr). Faktor risiko utama dari prematuritas termasuk ruptur membran prematur; infeksi intrauterin yang menyebabkan inflamasi membran plasenta (korioamnionitis); abnormalitas struktural uterus, serviks, dan plasenta; dan gestasi ganda (contoh kehamilan kembar). Telah dipastikan bahwa anak yang dilahirkan sebelum kelengkapan masa gestasi penuh menunjukkan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi daripada yang dilaporkan untuk bayi cukup umur (full-term). Imaturitas sistem organ pada bayi yang belum matang (preterm) menyebabkan mereka terutama rentan terhadap beberapa komplikasi yang penting: • Sindrom kesulitan pernapasan (respiratory distress syndrome/ RDS),juga disebut penyakit membran hialin • Enterokolitis nekrotik (necrotizing enterocolitis/NEC) • Sepsis • Perdarahan intraventrikel dan matriks germinal (Bab 22) • Sekuela jangka panjang, termasuk kelambatan perkembangan Walaupun berat badan rendah pada bayi preterm biasanya wajar bila disesuaikan terhadap usia gestasi. Sebaliknya, sebanyak sepertiga bayi dengan berat badan kurang dari 2500 g dilahirkan pada saat cukup bulan (at term) dan oleh karena itu lebih bersifat kurangpertumbuhan daripada tidak-matang. Bayi-bayi dengan small-forgestational-age (SGA) ini menderita keterbatasan pertumbuhan fetus. Pertumbuhan fetus yang terbatas dapat disebabkan oleh abnormalitas fetus, maternal atau plasenta, walaupun pada banyak kasus penyebab yang khas tidak diketahui. • Faktor fetus: kategori ini terdiri dari keadaan yang secara intrinsik mengalami pengurangan potensi pertumbuhan fetus, walaupun pasokan nutrient dari ibu cukup. Yang mencolok dari keadaan fetus semacam itu adalah kelainan kromosom, anomali kongenital dan infeksi kongenital. Abnormalitas kromosom dapat dideteksi sebanyak 17% pada fetus yang dinilai terhadap keterbatasan pertumbuhan fetus, dan sebanyak 66% pada fetus yang menunjukkan malformasi secara ultrasonografi. Infeksi fetus harus dipikirkan pada semua bayi yang mengalami keterbatasan pertumbuhan, dengan infeksi kelompok TORCH (lihat yang terdahulu) sebagai penyebab paling lazim. Apabila faktor penyebab bersifat intrinsik terhadap fetus, keterlambatan pertumbuhan bersifat



250



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



simetrik (contoh memengaruhi semua sistem organ secara sama). • Faktor plasenta: penyebab plasenta termasuk faktor apa pun yang mengganggu pasokan jalur uteroplasenta. Ini mungkin akibat dari placenta previa (implantasi plasenta rendah), abruptio placentae (pemisahan plasenta dari decidua oleh bekuan retroplasenta), atau infark plasenta. Dengan penyebab plasenta (dan penyebab maternal) pada keterbatasn pertumbuhan fetus, keterlambatan pertumbuhan bersifat asimetrik (otak terhindari dibandingkan dengan terkenanya organ visera seperti hati). • Faktor maternal: kategori ini meliputi sebagian besar penyebab paling lazim dari cacat pertumbuhan pada bayi SGA. Contoh penting adalah penyakit vaskular, seperti preeklamsia ("keracunan kehamilan"/" toxemia gravidarum") (Bab 18) dan hipertensi kronik. Daftar keadaan maternal lain terkait dengan keterbatasan pertumbuhan fetus adalah panjang, tetapi beberapa yang dapat dicegah adalah penyalahgunaan narkotik, konsumsi alkohol, perokok berat, (seperti diperhatikan sebelumnya, banyak penyebab yang sama berkaitan dengan anomali kongenital). Obat yang menyebabkan keterbatasan pertumbuhan fetus termasuk yang bersifat teratogen, yang sering digunakan sebagai anti kejang, seperti fenitoin (dilantin), demikian juga bahan yang non-teratogenik. Malnutrisi maternal (terutama, hipoglikemia yang berlangsung lama) juga dapat menghambat pertumbuhan fetus, tetapi hubungan antara keterbatasan pertumbuhan bayi dan status nutrisi ibu adalah rumit. Tidak hanya bayi yang terbatas pertumbuhannya mengalami cacat pada masa perinatal, tetapi kekurangannya menetap sampai masa anak-anak dan dewasa. Individu yang terkena jelas lebih cenderung mengalami disfungsi serebral, ketidakmampuan belajar, dan gangguan sensorik (contoh penglihatan dan pendengaran).



dan persalinan dengan seksio-sesar (cesarean section). adalah suatu kompleks fosfolipid yang aktif dipermukaan, terutama dipalmitoylphosphatidylcholine (lecithin) dan paling sedikit dua kelompok protein yang terkait surfaktan. Pentingnya protein terkait surfaktan pada fungsi normal paru dapat digambarkan oleh terjadinya kegagalan pernapasan yang parah pada neonatus dengan defisiensi surfaktan karena mutasi pada gen yang bersangkutan. Surfaktan disintesis oleh pneumosit tipe II, dan dengan pernapasan pertama neonatus yang sehat, dengan cepat melapisi permukaan alveolus, mengurangi tegangan permukaan, sehingga mengurangi tekanan yang diperlukan untuk mempertahankan alveolus terbuka. Pada paru dengan defisiensi surfaktan, alveolus cenderung kolaps, dan diperlukan upaya pernapasan yang relatif lebih besar pada setiap pernapasan untuk membuka alveolus. Bayi cepat lelah bernapas dan diikuti atelektasis umum. Hipoksia yang dihasilkan akan memicu urutan kejadian yang menyebabkan kerusakan epitel dan endotel, dan selanjutnya terjadi pembentukan membran hialin (Gambar 6-24). Seperti dibahas kemudian, gambaran klasik defisiensi surfaktan ini sangat cepat dimodifikasi dengan pengobatan surfaktan. Sintesis surfaktan diatur oleh hormon. Kortikosteroid merangsang pembentukan lipid surfaktan



PREMATURITAS Penurunan sintesis, penimbunan, dan pelepasan surfaktan



Penurunan surfaktan alveolus



SINDROM KESULITAN PERNAPASAN PADA BAYI BARU LAHIR Terdapat banyak penyebab kesulitan pernapasan pada bayi baru lahir, termasuk karena sedasi berlebihan pada ibu, jejas kepala fetus selama persalinan, aspirasi darah atau cairan amnion, dan hipoksi sekunder terhadap kompresi karena lilitan tali pusat pada leher. Namun, penyebab paling lazim, adalah sindrom kesulitan pernapasan (respiratory distress syndrome/ RDS), juga dikenal sebagai penyakit membran hialin karena pembentukan "membran" pada rongga udara perifer yang terjadi pada bayi yang bertahan terhadap keadaan ini. Diperkirakan 24.000 kasus RDS dilaporkan tiap tahun di Amerika Serikat, dan perbaikan penatalaksanaan keadaan ini telah sangat mengurangi kematian karena insufisiensi pernapasan sebanyak 5000 per tahun satu dekade yang lalu sampai kurang dari 900 kasus tiap tahun.



PATOGENESIS RDS pada dasarnya adalah penyakit pada bayi prematur. Penyakit tersebut terjadi pada sekitar 60% bayi yang dilahirkan pada waktu kurang dari 28 minggu kehamilan, 30% dari mereka yang dilahirkan antara 28 sampai 34 minggu kehamilan, dan kurang dari 5% dari mereka yang dilahirkan setelah 34 minggu kehamilan. Terdapat juga hubungan kuat walaupun tidak selalu dengan kelamin pria, diabetes maternal,



Peningkatan tegangan permukaan alveolus Atelektasis Hipoventilasi



Perfusi tidak merata



Hipoksemia + retensi CO2



Asidosis Vasokonstriksi paru Hipoperfusi paru



Kerusakan endotel



Plasma merembes ke dalam alveolus



Kerusakan epitel



Peningkatan perbedaan derajat difusi



Fibrin + sel nekrotik (membran hialin)



Gambar 6-24 Patofisiologi dari sindrom gagal pernapasan (respiratory distress syndrome) (lihat naskah).



Sindrom Kesulitan Pernapasan pada Bayi Baru Lahir dan protein terkait. Oleh karena itu, keadaan yang terkait dengan stres intrauterin dan keterbatasan pertumbuhan fetus yang meningkatkan pelepasan kortikosteroid menurunkan risiko perkembangan RDS. Sintesis surfaktan dapat ditekan oleh peningkatan kadar insulin darah yang terjadi secara kompensatoar pada bayi dari ibu diabetes, yang menangkal pengaruh kortikosteroid. Ini mungkin menjelaskan, sebagian, mengapa bayi dari ibu diabetes berisiko tinggi untuk mengalami RDS. Persalinan diketahui meningkatkan sintesis surfaktan; seyogianya seksio sesar yang dilakukan sebelum permulaan persalinan dapat berhubungan dengan peningkatan risiko untuk RDS.



MORFOLOGI Paru pada bayi dengan RDS berukuran normal tetapi berat dan relatif kurang mengandungi udara. Mereka berwarna keunguan berbercak-bercak, dan pada pemeriksaan mikroskopik jaringan tampak padat, kurang berkembang, alveolus secara umum kolaps (atelektasis). Apabila bayi meninggal dalam beberapa jam kehidupan, hanya terdapat debris sel yang nekrotik pada bronkiol terminal dan duktus alveolar. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, membran hialin eosinofilik secara khas melapisi bronkiol respirasi, duktus alveolus, dan alveolus random (Gambar 6-25). "Membran" ini mengandungi sel epitel nekrotik yang bercampur dengan protein plasma yang menembus keluar pembuluh.Terdapat sangat sedikit reaksi inflamasi neutrofil yang terkait dengan membran ini. Lesi dari penyakit membran hialin tidak pernah ditemukan pada bayi lahir mati (stillbom) atau pada bayi lahir hidup yang meninggal beberapa jam setelah lahir.Apabila bayi meninggal setelah beberapa hari, bukti perubahan reparatif, termasuk proliferasi pneumosit tipe II dan fibrosis interstisial, dapat ditemukan.



Gambaran Klinis Presentasi klinis yang klasik sebelum era pengobatan dengan surfaktan eksogen telah diuraikan lebih dahulu. Sekarang, perjalanan klinis yang sesungguhnya dan prognosis RDS neonatus bervariasi, bergantung kepada maturitas dan berat badan bayi dan kecepatan pemberian terapi. Pegangan utama untuk pengelolaan RDS berfokus pada prevensi



251



apakah dengan menunda persalinan sampai paru fetus mencapai maturitas atau menginduksi maturitas paru pada fetus yang berisiko. Hal yang penting pada tujuan ini adalah kemampuan untuk menilai maturitas paru secara cermat. Karena sekresi pulmonal dikeluarkan ke dalam cairan amnion, analisis fosfolipid cairan amnion memberikan perkiraan yang baik entang kadar surfaktan pada lapisan alveolus. 3emberian surfaktan eksogen pada saat kelahiran sebagai profilaksis terhadap bayi yang sangat prematur dilahirkan sebelum 28 minggu usia kehamilan) nenunjukkan hasil sangat berguna, sehingga sekarang idak lazim bayi meninggal karena RDS akut. Pada kasus-kasus tanpa penyulit, penyembuhan nulai terjadi dalam 3 atau 4 hari. Pada bayi yang erkena, diperlukan oksigen. Namun, penggunaan oksigen konsentrasi tinggi yang diberikan melalui ,ventilator untuk jangka lama, berhubungan dengan dua komplikasi yang terkenal: retrolental fibroplasia juga disebut retinopathy of prematurity) pada mata dan bronchopulmonary dysplasia (BPD): • Retinopathy of prematurity mempunyai dua-fase patogenesis. Selama fase hiperoksik dari terapi RDS (fase I), pemaparan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang bersifat proangiogenik sangat berkurang, yang menyebabkan apoptosis sel endotel; kadar VEGF sangat meningkat (rebound) setelah kembali pada ventilasi udara kamar yang relatif hipoksik (fase II), yang menginduksi proliferasi pembuluh retina (neovaskularisasi) yang khas untuk lesi pada retina. • Abnormalitas utama pada BPD adalah penurunan mencolok pada penyekatan alveolus (berwujud sebagai struktur alveolus yang besar, menjadi sederhana), dan konfigurasi kapiler dismorfik. Jadi, pandangan sekarang adalah bahwa BPD disebabkan kerusakan yang bersifat reversibel dalam perkembangan septum alveolus pada apa yang disebut saccular stage. Faktor-faktor ganda-hiperoksemia, hiperventilasi, prematuritas, sitokin inflamasi, dan perkembangansalah susunan pembuluh-berkontribusi terhadap BPD dan mungkin bersifat aditif atau sinergistik untuk mendukung terjadinya jejas. Kadar dari berbagai sitokin pro-inflamasi (TNF dan interleukin IL-1f3, IL-6, dan IL-8) meningkat pada alveolus bayi yang kemudian menderita BPS, yang mengesankan peranan sitokin ini dalam menghentikan perkembangan paru. Untunglah, kedua penyulit tersebut sekarang bercurang sangat bermakna sebagai hasil teknik ventilasi Tang lebih ringan (gentle), terapi glukokortikoid sntenatal, dan surfaktan eksogen profilaktik. Bayi yang sembuh dari RDS, juga berada pada risiko yang meningkat untuk terjadinya berbagai complikasi lain berkaitan dengan kelahiran "preterm";) paling penting di antaranya adalah patent ductus trteriosus, intraventricular hemorrhage, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Jadi, walaupun kemajuan teknologi nembantu menyelamatkan kehidupan banyak bayi Iengan RDS, hal itu juga menampilkan kerapuhan lari neonatus yang belum matang.



RINGKASAN Sindrom Kesulitan Pernapasan Neonatus Gambar 6-25 Penyakit membran hialine (pewarnaan hematoksilin-eosin). Gambaran atelektasis dan dilatasi yang terlihat silih berganti dari alveolus. Perhatikan membran hialin tebal yang bersifat eosinofilik yang melapisi alveolus yang melebar.







RDS pada neonates (penyakit membran hialin) adalah penyakit prematuritas; sebagian besar kasus terjadi pada neonatus yang dilahirkan sebelum 28 minggu usia kehamilan.



252 • • • •



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik dan besar dapat terkena. Segmen yang terkena secara khas mengalami distensi, rapuh, dan kongesti (Gambar 6-26), atau dapat menjadi gangren yang jelas; perforasi usus disertai dengan peritonitis dapat ditemukan. Pada pemeriksaan mikroskopik, nekrosis koagulatif mukosa atau transmural, ulserasi, kolonisasi bakteri, gelembunggelembung gas submukosa merupakan semua perangai yang berhubungan dengan NEC. Bukti perubahan reparatif, seperti jaringan granulasi dan fibrosis mungkin terlihat segera setelah resolusi dari episode akut.



Abnormalitas dasar pada RDS adalah insufisiensi surfaktan paru, yang mengakibatkan kegagalan paru untuk berkembang setelah lahir. Pola morfologik yang khas pada RDS adalah adanya membran hialin (terdiri atas sel epitel nekrotik dan protein plasma) yang melapisi saluran udara. RDS dapat dipulihkan dengan pemberian steroid secara profilaksis, terapi surfaktan, dan dengan teknik ventilasi yang diperbaiki. Sekuela jangka panjang yang berkaitan dengan terapi RDS termasuk retinopati karena prematuritas dan BPD; insidens kedua komplikasi menurun dengan perbaikan dalam penatalaksanaan RDS.



Perjalanan klinis cukup khas, dengan gejala permulaan berupa feses yang berdarah, distensi abdomen, dan timbulnya kolaps sirkulasi. Radiografi abdomen sering menunjukkan gas di dalam intestin (pneumatosis intestinalis), Apabila ditemukan dini, NEC dapat diobati secara konservatif, tetapi banyak kasus (60% sampai 80%) memerlukan intervensi operatif termasuk reseksi segmen usus yang nekrotik. NEC berkaitan dengan angka kematian perinatal yang tinggi; bayi yang bertahan hidup sering mengalami post-NEC striktur karena fibrosis yang disebabkan oleh proses penyembuhan.



ENTEROKOLITIS NEKROTIK (NECROTIZING ENTEROCOLITIS/NEC) Enterokolitis nekrotik (NEC) paling lazim terjadi pada bayi prematur, dengan insidens yang berbanding terbalik secara proposional terhadap usia gestasi. Hal itu terjadi pada sekitar 1 dari 10 bayi dengan berat sangat rendah (kurang dari 150 gr). Di samping prematuritas, sebagian kasus berkaitan dengan pemberian makan enteral, yang mengesankan bahwa beberapa rangsangan postnatal (seperti pajanan terhadap bakteri) menyebabkan berbagai tahap yang memuncak dengan destruksi jaringan. Sementara bahan infektif tampaknya memainkan peran pada patogenesis NEC ternyata tidak satupun patogen bakteri terkait dengan penyakit tersebut. Banyak mediator inflamasi telah dikaitkan dengan NEC. Satu mediator khusus, platelet-activating factor (PAF), dianggap dapat meningkatkan permeabilitas mukosa dengan menunjang apoptosis enterosit dan melemahkan sambungan-ketat intersel, sehingga seolah-olah "menambahkan minyak ke dalam api".



SINDROM KEMATIAN BAYI MENDADAK Sindrom kematian bayi mendadak (sudden infant death syndrome/ SIDS) adalah penyakit yang penyebabnya tidak diketahui. The National Institute of Child Health and Human Development menetapkan SIDS sebagai "kematian mendadak dari bayi di bawah umur 1 tahun yang masih tidak bisa dijelaskan setelah penelitian kasus yang cermat, termasuk dengan pelaksanaan autopsi yang lengkap, pemeriksaan cara kematian, dan tinjauan riwayat klinis." Suatu aspek dari SIDS yang tidak ditekankan pada definisi adalah bahwa bayi biasanya meninggal ketika sedang tidur-sehingga secara awam dikenal sebagai crib death (mati ditempat tidur) atau cot death. SIDS merupakan penyebab kematian utama pada usia antara 1 bulan sampai 1 tahun dari bayi di Amerika Serikat, dan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan dari kelompok usia tersebut, setelah anomali kongenital, penyakit prematuritas dan berat badan lahir rendah. Pada 90% kasus, bayi lebih muda dari 6 bulan; sebagian besar antara usia 2 bulan dan 4 bulan.



NEC secara khas mengenai ileum terminal, sekum, dan kolon kanan, walaupun tiap bagian dari usus kecil



A



B



Gambar 6-26 Enterokolitis yang nekrotik. A, Pada pemeriksaan postmortem dalam kasus yang parah, seluruh usus kecil sangat meregang dengan dinding yang sangat tipis (biasanya tampilan ini sesuai dengan kecenderungan perforasi). B, Bagian ileum yang terbendung sesuai dengan area infark hemoragik dan nekrosis transmural terlihat pada pemeriksaan mikroskopik. Gelembung-gelembung gas submukosa (pneumatosis intestinalis) dapat dilihat pada beberapa area (tanda panah).



Sindrom Kematian Bayi Mendadak 253



PATOGENESIS Keadaan sekitar SIDS telah dijajagi sangat rinci, dan konsensus umum adalah penyakit tersebut merupakan keadaan multifaktor, dengan berbagai campuran penyebab yang menyokong pada kasus tertentu. Suatu model "risiko-tripel" dari SIDS yang diusulkan memberikan landasan berpikir (postulat) bahwa terjadi pengaruh silang dari tiga variabel yang tumpangtindih: (1) bayi yang rentan, (2) masa perkembangan yang kritis pada pengelolaan homeostatik, dan (3) satu atau lebih stressor eksogen. Menurut model ini, beberapa faktor menyebabkan bayi rentan terhadap kematian mendadak selama masa perkembangan yang kritis (contoh 1 bulan sampai 1 tahun). Faktor kerentanan ini mungkin spesifik untuk orangtua atau bayi, sedangkan stressor eksogen berkaitan dengan lingkungan (Tabel 6-8). Walaupun banyak faktor telah diusulkan berperan pada bayi yang rentan, hipotesis yang paling berpengaruh adalah bahwa SIDS mencerminkan suatu kelambatan perkembangan dari pengendalian rangsangan dan kardiorespirasi. Daerah dari batang otak, terutama nukleus arkuata yang terletak di sebelah ventral permukaan medula, memainkan peranan penting pada reaksi perangsangan tubuh terhadap stimulus yang merugikan (noksius) seperti hiperkarbia, hipoksia, dan stres termal yang dialami selama tidur. Di samping itu, area ini mengatur pernapasan, denyut jantung, dan suhu tubuh. Pada bayi tertentu, karena penyebab yang belum diterangkan, mungkin terdapat perkembangan salah atau kelambatan maturasi regio ini, yang melemahkan reaksi terhadap perangsangan dari stimulus berbahaya. Varian polimorfi tertentu pada gen yang berkaitan dengan pengisyaratan serotonergik dan inervasi autonomik telah diketahui terjadi dengan kekerapan tinggi pada bayi-bayi SIDS daripada populasi umum, yang menyokong pendapat kemungkinan peranan faktor genetik sebagai predisposisi untuk bayi mengalami kelainan reaksi perangsangan. Di antara penyebab lingkungan yang potensial, posisi tidur telungkup, tidur pada permukaan yang lembut, dan stres termal mungkin merupakan faktor paling penting yang dapat mengubah faktor risiko SIDS. Posisi telungkup meningkatkan kerentanan bayi terhadap faktor berbahaya yang dikenal (hiperkarbia, hipoksia dan stres termal), selama tidur. Sebagai tambahan, posisi telungkup juga berhubungan dengan penurunan reaksi perangsangan dibanding dengan posisi telentang. Hasil penelitian dari Eropa, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat menunjukkan secara jelas peningkatan risiko SIDS pada bayi yang tidur pada posisi telungkup, sehingga American Academy of Pediatrics menyarankan untuk menempatkan bayi sehat pada punggungnya ketika membaringkan bayi untuk tidur. Gerakan "punggung untuk tidur" ini menghasilkan penurunan bermakna dari kematian terkait-SIDS sejak dimulai pada tahun 1994.



MORFOLOGI Penelitian anatomik pada penderita menghasilkan penemuan histologis yang tidak mantap. Petekie multipel merupakan penemuan paling lazim pada autopsi SIDS yang khas (pada sekitar 80% kasus; ini biasanya terdapat pada timus, visera dan pleura parietal, dan epikardium. Pada pemeriksaan makroskopik, paru biasanya mengalami bendungan, dan sumbatan vaskular dengan atau tanpa edema paru yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan mikroskopik pada sebagian besar kasus. Penelitian morfometri yang rumit menghasilkan abnormalitas batang otak secara kwantitatif seperti hiperplasia nucleus arcuatus atau penurunan sedang dari populasi neuron batang otak pada beberapa kasus; namun observasi ini tidak uniform, dan penggunaan cara ini tidak dapat diterapkan pada prosedur autopsi yang rutin.



Tabel 6-8 Faktor Terkait dengan Sindrom Kematian Bayi (SIDS)



Parental Usia maternal muda (lebih muda dari 20tahun) Ibu merokok selama kehamilan Penggunaan salah obat pada salah satu orngtua-secara khas, marijuana paternal dan opiat/kokain maternal Jarak intergestasional pendek Pengawasan prental lambat atau tidak ada Kelompok sosioekonomi rendah Golongan etnis America Africa dan India America (? Faktor sosio-ekonomik)



Bayi Abnormalitas batang otak yang terkait dengan cacat perangsangan dan pengendalian kardiorespirasi Prematuritas dan/atau berat badan rendah Kelamin pria Produk dari kelahiran multipel SIDS pada ''sibling'' yang lebih dahulu lahir Infeksi respirasi sebelumnya Polimorfisme galur benih pada gen sistem saraf autonomi



Lingkungan Posisi tidur telungkup Tidur pada permukaan yang lunak Hiperterima Tidur dengan orangtua pada 3 bulan pertama kehidupan



Abnormalitas Postmortem yang Ditemukan pada Kasus Kematian Bayi Mendadak yang tidak Diharapkan* Infeksi Miokarditis virus Bronkopneumonia Anomali kongenital yang tidak diduga Stenosis aorta kongenital Anomali pangkal arteri koronaria kiri dari arteri pulmonal Trauma akibat kekerasan pada anak Sufokasi (tercekik) yang disengaja (felicide) Cacat genetik dan metabolit Sindrom QT memanjang (mutasi SCN5a dan KCNQ1) Kelainan oksidasi asam lemak (mutasi MCAD, LCHAD, SCHAD) Kardiomiopati histiositoid (mutasi MTCYB) Reaksi inflamasi abnormal (delesi parsial pada C4a dan C4b) * SIDS bukan penyebab satu-satunya dari kematian mendadak yang tidak diharapkan pada bayi; bila tidak, itu merupakan diagnosis eksklusif. Oleh karena itu, pelaksanaan autopsi mungkin menghasilkan penemuan yang dapat menerangkan penyebab kematian mendadak yang tidak diharapkan. Kasus-kasus ini seharusnya tidak disebut SIDS. C4, complement component 4; KCNQ I, potassium voltage-gated channel; LCHAD, long-chain 3-hydroxyacyl coenzyme A dehydrogenase; MCAD, medium-chain ocyl coenzyme A dehydrogenase; MTCYB, mitochondrial cytochrome b; SCHAD, short-chain 3-hydroxyacyl coenzyme A dehydrogenase; SCNSA, sodium channel, yoltage-gated.



Perlu dicatat, bahwa SIDS bukan satu-satunya penyebab kematian mendadak yang tidak diharapkan pada masa bayi. Ternyata, SIDS adalah diagnosis ekslusif, yang memerlukan pemeriksaan hati-hati dari cara kematian, dan pemeriksaan postmortem yang lengkap. Yang tersebut kemudian dapat mengungkapkan penyebab kematian mendadak sebanyak 20% atau lebih dari bayi-bayi yang dianggap meninggal karena SIDS (Tabel 6-8). Infeksi (contoh miokarditis virus, bronkopneumonia) adalah penyebab paling lazim dari kematian mendadak yang "tidak diharapkan", diikuti oleh anomali kongenital yang tidak diduga. Sebagai hasil kemajuan diagnosis molekuler, beberapa penyebab genetik dari kematian mendadak yang "tidak diharapkan" pada bayi telah diungkapkan.



254



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Misalnya, kelainan oksidatif asam lemak, yang ditandai defisiensi enzim oksidatif asam lemak mitokondria, mungkin terjadi pada sebanyak 5% dari kematian mendadak pada masa bayi; di antaranya cacat dari rantai medium acyl-coenzyme A dehydrogenase adalah yang paling lazim. Analisis retrospektif pada kasus kematian bayi mendadak yang semula disebut SIDS juga menghasilkan mutasi dari kanal natrium dan kalium jantung, yang menyebabkan suatu bentuk aritmia jantung yang ditandai dengan perpanjangan interval QT; kasus-kasus ini meliputi tidak lebih dari 1% kematian karena SIDS. SIDS pada bayi yang terdahulu berhubungan dengan lima kali risiko relatif kekambuhan; pada keadaan ini kelainan akibat trauma pada anak harus disingkirkan secara hati-hati.



Tabel 6-9 Penyebab Utama dari Hidrops Janin*



Kardiovaskular Malformasi T akiaritmia Kegagalan high-output



Kromosomal Turner syndrome Trisomy 21, trisomy 18



Toraks Sindrom Turner Trisom 21, trisomi 18



Anemia Janin



RINGKASAN Sindrom Kematian Bayi Mendadak • dan ditetapkan sebagai kematian mendadak dari bayi yang lebih muda dari I tahun yang masih tidak dapat dijelSIDS adalah kelainan dengan penyebab yang tidak diketahui, askan walaupun setelah penelitian kasus yang cermat termasuk dengan melakukan autopsi. Sebagian besar kematian SIDS terjadi antara usia 2 dan 4 bulan. Dasar yang paling mungkin untuk SIDS adalah keterlambatan • perkembangan pada refleks perangsangan dan pengendalian kardiorespirasi. • Banyak faktor risiko telah diusulkan, yang menyatakan posisi tidur telungkup adalah yang paling diakui-sehingga keberhasilan program "punggung untuk tidur" diakui telah mengurangi insidens SIDS.



HIDROPS JANIN (FETAL HYDROPS) Hidrops janin (fetal) menggambarkan akumulasi cairan edema pada janin selama pertumbuhan di dalam uterus. Penyebab hidrops janin banyak; yang paling penting dicantumkan pada Tabel 6-9. Pada waktu lampau, anemia hemolitik yang disebabkan oleh ketidakcocokan golongan darah Rh Antara ibu dan janin (hidrops imun) adalah penyebab yang lazim, tetapi dengan profilaksis yang berhasil untuk kelainan ini selama kehamilan, penyebab hidrops non-imun timbul sebagai kendala utama. Perlu dicatat, akumulasi cairan intrauteri dapat sangat beragam, berbeda dalam derajat dari edema umum yang progresif dari janin (hidrops janin), suatu keadaan yang biasanya letal, sampai yang lebih terbatas dan proses pembengkakan kurang jelas, seperti efusi pleura dan peritoneum yang terbatas atau koleksi cairan postnukal (higroma kistik), yang seringkali tidak membahayakan kehidupan (Gambar 6-27). Mekanisme hidrops imun dibicarakan pertama kali, diikuti oleh penyebab-penyebab penting yang lain dari fetal hidrops.



Hidrops Imun Hidrops imun akibat dari penyakit hemolitik pada anak baru lahir yang diinduksi antibodi disebabkan oleh ketidakcocokan golongan darah antara ibu dan janin. Ketidakcocokan semacam itu terjadi hanya apabila fetus mewarisi penentu-antigen (antigenic determinant) sel darah merah dari bapak yang bersifat asing terhadap ibu. Antigen yang paling lazim yang menyebabkan hemolisis bermakna secara klinis adalah antigen Rh dan antigen golongan darah ABO.



Thalasemia- α homozigus Parvovirus B19 Hidrops imun (Rh dan ABO)



Gestasi Kembar Transfusi kembar-ke-kembar



Infeksi (kecuali parvovirus) Infeksi sitomegalovirus Sifilis Toksoplasmosis



Malformasi saluran genitourinari Tumor Kelainan genetik/metabolit * Penyebab hidrops janin mungkin"rdopatik" pada sebanyak 20% kasus. Dimodifikasi dari Machin GA: Hydrops, cystic hygroma, hydrothorax, pericardial effusions, and fetal ascftes.ln Gilbert-Bames E (ed):Potter's pathology of fetus and infant. St. Louis, Mosby, 1997.



Sel darah merah janin dapat mencapai sirkulasi maternal selama trimester akhir kehamilan, ketika sitotrofoblas tidak ada lagi sebagai penyangga (barrier), atau selama kelahiran anak sendiri (perdarahan fetomaternal). Ibu kemudian menjadi terangsang terhadap antigen asing dan memproduksi antibodi yang dapat bebas menerobos plasenta ke dalam janin, dan di tempat itu mereka menyebabkan destruksi sel darah merah. Dengan diawali dari hemolisis imun, terjadi anemia progresif pada janin yang menyebabkan iskemia jaringan, kegagalan jantung intrauteri, dan pengumpulan cairan (edema). Seperti dibahas kemudian, kegagalan jantung mungkin juga merupakan jalur akhir terjadinya edema pada banyak kasus dari hidrops non-imun. Beberapa faktor yang memengaruhi reaksi imun terhadap sel darah merah Rh-positif yang mencapai sirkulasi maternal: • Ketidakcocokan ABO yang terjadi bersamaan melindungi ibu terhadap imunisasi Rh, karena sel darah merah janin cepat dilapisi oleh isohemaglutinin (antibodi anti-A atau anti-B yang dibentuk sebelumnya) dan disingkirkan dari sirkulasi maternal. • Reaksi antibodi bergantung kepada dosis antigen yang mengimunisasi, sehingga penyakit hemolitik hanya berkembang jika ibu pernah mengalami perdarahan transplasenta yang bermakna (lebih dari 1 mL sel darah merah Rh-positif). • Isotipe dari antibodi adalah penting, karena antibodi imunoglobulin G (IgG) (tetapi tidak IgM) dapat menerobos plasenta. Pajanan permulaan terhadap antigen Rh menimbulkan pembentukan antibodi IgM, sehingga penyakit Rh sangat tidak lazim ditemukan pada kehamilan pertama.



Hidrops Janin (Fetal Hydrops



A



255



B



Gambar 6-27 Hidrops fetal. A, Akumulasi cairan menyeluruh di dalam janin. B, Akumulasi cairan khususnya menonjol di jaringan lunak dari leher. Keadaan ini disebut higroma kistik. Higroma kistik dapat dilihat dengan ciri-ciri khas, tetapi tidak terbatas pada, anomali kromosom konstitusional seperti kariotipe 45,X. (Penghargaan kepada Dr. Beverly Rogers, Department of Pothology, Universay of Texas Southwestem Medical Center, Dallas, Texas)



Pajanan berikutnya selama kehamilan kedua atau ketiga umumnya menyebabkan reaksi IgG yang meningkat tajam. Apresiasi terhadap peranan sensitisasi sebelumnya pada patogenesis penyakit hemolitik-Rh pada anak baru lahir telah menghasilkan cara pengendaliannya untuk keperluan terapi. Sekarang, ibu-ibu Rh-negatif diberi suntikan globulin anti-D segera setelah kelahiran bayi Rhpositif. Antibodi anti-D menutupi tempat-tempat yang bersifat antigen pada sel darah merah, yang mungkin telah memasuki dalam sirkulasi maternal selama kelahiran bayi, sehingga mencegah sensitisasi yang berlangsung lama terhadap antigen Rh. Sebagai hasil dari keberhasilan yang mencolok yang dicapai dalam pencegahan hemolisis Rh, maka ketidakcocokan ABO fetomaternal akhir-akhir ini adalah penyebab paling lazim dari penyakit hemolitik imun dari bayi baru lahir. Walaupun ketidakcocokan ABO terjadi pada sekitar 20% sampai 25% kehamilan, hemolisis hanya berkembang pada sebagian kecil dari bayi yang dilahirkan berikutnya, dan pada umumnya penyakitnya lebih ringan daripada ketidakcocokan Rh. Penyakit hemolitik ABO terjadi hampir selalu (eksklusif) pada bayi dari golongan darah A atau B yang dilahirkan oleh ibu dengan golongan darah O. Isohemaglutinin anti-A dan anti-B yang normal pada ibu golongan O biasanya jenis IgM, oleh karena itu tidak menerobos plasenta. Walaupun demikian, untuk alasan yang tidak diketahui, wanita golongan O tertentu mempunyai antibodi IgG terhadap antigen golongan A atau B (atau kedua-duanya) bahkan tanpa sensitisasi sebelumnya. Oleh karena itu, bayi yang pertama lahir mungkin terkena. Untunglah, bahkan dengan antibodi yang didapat secara transplasenta, lisis dari sel darah merah bayi hanya minimal. Tidak ada cara yang efektif untuk mencegah penyakit hemolitik akibat ketidakcocokan ABO.



Hidrops Non-Imun Penyebab utama hidrops non-imun termasuk kelainan yang berkaitan dengan cacat kardiovaskular, anomali kromosom, dan anemia janin. Baik cacat kardiovaskular maupun abnormalitas fungsi (contoh aritmia) dapat menyebabkan kegagalan jantung intrauteri dan hidrops. Di antara anomali kromosom, kariotipe 45,X (sindrom Turner) dan trisomi 21 dan 18 berhubungan dengan hidrops; dasar untuk kelainan ini biasanya adalah adanya anomali struktur jantung yang mendasari, walaupun pada sindrom Turner mungkin terdapat abnormalitas aliran limfe dari leher yang menyebabkan akumulasi cairan postnukal (yang menyebabkan higroma kistik). Anemia janin karena penyebab lain dari ketidakcocokan Rh atau ABO juga dapat menyebabkan hidrops. Ternyata, pada beberapa bagian dunia (contoh Asia Tenggara), anemia janin parah yang disebabkan oleh homozygous α-thalassemia mungkin merupakan penyebab paling lazim dari hidrops janin. Infeksi transplasenta oleh parvovirus B19 lebih banyak dikenal sebagai penyebab penting dari hidrops janin. Virus dapat masuk ke dalam prekursor eritroid (normoblas), tempat mereka mengalami replikasi. Cedera sel yang terjadi menyebabkan kematian normoblas dan anemia aplastik. Inklusi intranuldeus parvovirus dapat dilihat di dalam prekursor eritroid yang beredar dan di sumsum tulang (Gambar 6-28). Dasar hidrops janin pada anemia imun dan non-imun adalah iskemia jaringan dengan disfungsi miokardium sekunder dan kegagalan sirkulasi.



256



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Gambar 6-28 Sumsum tulang dari bayi yang terinfeksi parvovirus B19. Tanda panah menunjukkan dua prekursor eritroid dengan inklusi intra nukleus yang homogen dan kelim sisa kromatin yang mengelilingi di sebelah luar.



Gambar 6-29 Banyak pulau-pulau hematopoiesis ekstramedula (sel biru kecil) tersebar di antara hepatosit pada sediaan histologis ini yang berasal dari seorang bayi dengan hidrops fetal non-imun.



Perjalanan Klinis Sebagai tambahan, kegagalan hati sekunder dapat terjadi, dengan kehilangan fungsi sintetik disertai hipoalbuminemia, penurunan tekanan osmotik plasma dan edema.



MORFOLOGI Penemuan anatomik pada janin dengan akumulasi cairan intrauteri beragam baik karena keparahan penyakit maupun kelainan etiologik yang mendasarinya. Seperti yang sebelumnya sudah diperhatikan, hidrops fetalis menggambarkan manifestasi yang paling parah dan menyeluruh (Gambar 6-27), serta edema derajat rendah, seperti koleksi cairan yang terbatas pada pleura, peritoneum dan postnukal dapat terjadi. Selayaknya, bayi masih dapat lahir-hidup (stillbom), dan meninggal dalam beberapa hari pertama, atau pulih sama sekali. Adanya perangai dismorfik, mengesankan abnormalitas kromosom konstitusional yang mendasari; pemeriksaan postmortem mungkin menemukan anomali jantung. Pada hidrops yang terkait anemia janin, baik janin maupun plasenta, tampak khas pucat; pada sebagian besar kasus hati dan limpa membesar, sebagai konsekuensi gagal jantung dan kongesti. Sebagai tambahan, sumsum tulang menunjukkan hiperplasia kompensatoar dari prekursor eritroid (anemia aplastik yang terkait parvovirus merupakan perkecualian yang perlu diperhatikan), dan hemopoiesis ekstramedula terdapat pada hati, limpa, mungkin juga jaringan lain, seperti ginjal, paru, kelenjar getah bening, dan bahkan jantung. Peningkatan aktivitas hematopoiesis berkaitan dengan terdapatnya normoblas dalam jumlah besar pada peredaran darah perifer, dan bahkan eritroblas yang lebih tidak matang (eritroblastosis fetalis) (Gambar 6-29). Terdapatnya hemolisis pada ketidakcocokan Rh atau ABO berkaitan dengan komplikasi tambahan akibat peningkatan bilirubin yang beredar yang berasal dari pemecahan sel darah merah. SSP mungkin mengalami kerusakan apabila hiperbitirubinemia mencolok (biasanya di atas 20 mg/dL pada bayi full-term, tetapi sering kurang pada bayi prematur). Bilirubin yang tidak terkonjugasi yang beredar diserap oleh jaringan otak, yang menyebabkan pengaruh toksik. Ganglion basal dan batang otak cenderung mengalami pengendapan pigmen bilirubin, yang menyebabkan warna kuning khas pada parenkim (kemicterus) (Gambar 6-30).



Pengenalan dini dari akumulasi cairan intrauterin diharuskan, karena bahkan kasus yang parah kadang-kadang dapat diselamatkan dengan terapi yang ada sekarang. Hidrops janin yang diakibatkan ketidakcocokan Rh dapat sedikit banyak diramalkan secara cermat, karena keparahan berkorelasi dengan peningkatan yang cepat dari titer antibodi terhadap Rh pada ibu selama kehamilan. Cairan amnion yang diperoleh melalui amniosentesis mungkin menunjukkan kadar tinggi dari bilirubin. Uji anti-globulin manusia (uji Coombs) (Bab 11) menggunakan darah tali pusat janin menunjukkan hasil positif jika sel darah merah telah dilapisi oleh antibodi maternal. Transfusi pertukaran antenatal adalah bentuk terapi yang efektif. Pada waktu postnatal, fototerapi menolong, karena cahaya yang terlihat mengubah bilirubin menjadi dipirol yang siap untuk diekskresikan. Seperti yang telah dibahas, pada sebagian



Gambar 6-30 Kernikterus. Hiperbilirubinemia berat pada masa neonatus— misalnya, sekunder setelah hidrolisis imun–menyebabkan pengendapan pigmen bilirubin (tanda panah) pada parenkim otak. Ini terjadi karena sawar darah-otak (blood-brain barrier) kurang berkembang pada masa neonatus dibandingkan dengan pada masa dewasa. Bayi-bayi yang bertahan hidup mengalami gejala sisa (sequelae) neurologik.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak besar kasus pemberian globulin anti-D kepada ibu dapat mencegah terjadinya hidrops imun pada kehamilan berikutnya. Penyakit hemolitik golongan ABO lebih sulit untuk diramalkan tapi mudah diantisipasi dengan kesadaran tentang ketidakcocokan antara ibu dan ayah dan dengan penentuan hemoglobin dan bilirubin pada bayi baru lahir yang rentan. Pada kasus fatal dari hidrops janin, pemeriksaan postmortem yang menyeluruh dianjurkan untuk menentukan penyebab dan menyingkirkan penyebab kekambuhan yang potensial seperti abnormalitas kromosom.



RINGKASAN Hidrops Janin • • •



• •



Hidrops janin menggambarkan akumulasi cairan edema pada janin selama pertumbuhan intrauterus. Derajat akumulasi cairan beragam, dari hidrops janin yang menyeluruh sampai higroma kistik yang terbatas. Penyebab yang paling lazim dari hidrops janin adalah yang bersifat non-imun (kromosom abnormal, cacat kardiovaskular, dan anemia janin), sedangkan hidrops imun telah menjadi berkurang sebagai hasil profilaksis dengan antibodi Rh. Erythroblastosis fetalis (karena prekursor eritroid yang tidak matang di dalam sirkulasi) adalah penemuan khas dari hidrops yang terkait anemia janin. Hiperbilirubinemia yang diinduksi hemolisis dapat menyebabkan kernikterus pada ganglion basal dan batang otak, terutama pada bayi prematur.



257



Hamartoma, limfangioma, rabdomioma dari jantung, dan dari hati dipikirkan oleh beberapa peneliti sebagai hamartoma dan oleh yang lain sebagai neoplasma murni.



Tumor Jinak Hampir tiap tumor mungkin ditemukan pada kelompok umur anak, tetapi tiga — hemangioma, limfangioma, dan teratoma sakrokoksigeal — perlu disebut khusus di sini karena mereka lazim terjadi pada anak-anak. Hemangioma adalah tumor yang paling lazim pada masa bayi. Baik hemangioma kavernosum maupun kapiler mungkin ditemukan (Bab 9), walaupun yang kedua sering lebih bersifat seluler daripada dewasa dan mungkin berpenampilan mencemaskan. Pada anak, sebagian besar hemangioma terletak pada kulit, terutama pada wajah dan kulit kepala, yang membentuk massa datar sampai menonjol, tidak teratur, berwarna merah-biru; lesi yang datar dan lebih besar disebut sebagai port wine stains. Hemangioma mungkin membesar ketika anak bertambah tua, tetapi pada banyak kejadian tumor ini mengalami regresi spontan (Gambar 6-31). Sebagian besar hemangioma superfisial tidak lebih bermakna kecuali kosmetik; jarang terjadi, dan mungkin merupakan manifestasi kelainan herediter yang terkait penyakit dalam organ dalam, sindrom von Hippel-Lindau dan Sturge-Weber (Bab 9)



LESI TUMOR DAN LESI MIRIP TUMOR DARI BAYI DAN ANAK Neoplasma ganas merupakan penyebab kematian paling lazim pada anak antara usia 4 dan 14 tahun; angka kematian tertinggi karena kecelakaan. Tumor jinak bahkan lebih lazim daripada kanker. Sulit untuk memisahkan, tumor murni dari lesi menyerupai tumor pada bayi dan anak atas dasar morfologik. Dalam konteks ini, dua kategori khusus dari lesi menyerupai tumor harus dikenal:



A



• Heterotopia atau koristoma menggambarkan sel-sel normal secara mikroskopik atau jaringan yang terdapat pada lokasi abnormal. Contohnya adalah "sisa" jaringan pankreas yang ditemukan pada dinding lambung atau usus kecil dan massa kecil adrenal yang ditemukan di ginjal, paru, ovarium atau ditempat lain. Sisa heterotopia biasanya secara klinis bermakna kecil, tetapi berdasarkan penampilannya mungkin diduga sebagai neoplasma. • Hamartoma menggambarkan pertumbuhan pesat yang berlebihan tetapi bersifat fokal dari sel atau jaringan asli dari organ tempat terjadinya. Walaupun unsur selnya matang dan identik dengan sel-sel lain dari organ terkait, tetapi tidak membuat arsitektur normal dari jaringan sekitarnya. Hamartoma dapat dipikirkan sebagai suatu kaitan antara malformasi dan neoplasma. Garis demarkasi antara hamartoma dan neoplasma jinak seringkali tidak tegas, dan diinterpretasikan beragam.



B Gambar 6-31 Hemangioma kapiler kongenital pada saat lahir (A) dan pada usia 2 tahun (B) setelah lesi mengalami regresi spontan. (Penghargaan kepada Dr. Eduardo Yunis, Children's Hospital of Pittsburgh, Pittsburgh, Pennsylvania.)



258



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Suatu subset hemangioma kavernosum SSP dapat terjadi dalam pola familial; keluarga yang terkena mengalami mutasi satu dari tiga gen cerebral cavernous malformation (CCM). Limfangioma menggambarkan padanan limfatik dari hemangioma. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan rongga kistik dan kavernosum yang dilapisi sel endotel dan dikelilingi oleh agregat limfoid; rongga tersebut biasanya mengandungi cairan pucat. Tumor ini terjadi pada kulit tetapi, lebih penting, juga ditemukan pada daerah yang lebih dalam dari leher, aksila, mediastimum, retroperitoneum. Walaupun secara histologis jinak, tumor ini bisa membesar setelah lahir, dan mungkin mengelilingi struktur mediastinum atau sabut saraf di aksila.



Tabel 6-10 Neoplasma Ganas yang Lazim pada Masa Bayi dan Anak



Usia 0-4 tahun



Usia 5-9 Tahun



Usia 10-14 Tahun



Leukemia Retinoblastoma Neuroblastoma Tumor Wilms Hepatoblastoma Sarkoma jaringan lunak (terutama rabdomiosarkoma) Teratoma Tumor SSP



Leukemia Retinoblastoma Neuroblastoma Karsinoma Hepatoselurel Sarkoma jaringan Lunak Tumor Ewing Tumor SSP Limfoma



Karsinoma Hepatoseluler Sarkoma jaringan lunak Sarkoma osteogenik Karsinoma tiroid Penyakit Hodgkin



SSP, sistem saraf pusat.



Teratoma sakrokoksigeal adalah tumor sel benih yang paling lazim pada masa anak-anak, meliputi 40% kasus atau lebih (Gambar 6-32). Berhubung terjadinya mekanisme yang tumpang-tindih antara teratogenesis dan onkogenesis, sangat menarik bahwa sekitar 10% dari teratoma sakrokoksigeal berkaitan dengan anomali kongenital, terutama cacat dari daerah usus belakang dan kloaka, serta cacat garis-tengah lain (contoh meningokel dan spina bifida), tidak dianggap pengaruh lokal dari tumor. Sekitar 75% dari tumor-tumor ini, secara histologis matang, dengan perjalanan klinis jinak, dan sekitar 12% jelas ganas dan letal (Bab 17). Sisanya, dikenal sebagai teratoma imatur (tidak matang), dan potensi ganasnya berhubungan dengan jumlah unsur jaringan imatur yang ada. Sebagian besar teratoma jinak ditemukan pada bayi yang lebih muda (usia 4 bulan atau lebih muda), sedangkan anak dengan lesi ganas cenderung berusia agak lebih tua.



Tumor Ganas Sistem organ yang paling lazim terlibat neoplasma ganas pada masa bayi dan anak-anak adalah sistem hematopoietik, jaringan saraf, dan jaringan lunak (Tabel 6-10). Distribusi ini sangat berbeda dengan yang terdapat pada orang dewasa, yaitu tumor paru, jantung, prostat dan kolon adalah bentuk yang paling lazim. Tumor ganas pada masa bayi dan anak-anak



berbeda secara biologis dan histologis dari yang terdapat pada dewasa. Perbedaan utama adalah sebagai berikut: • Sering menunjukkan hubungan yang relatif dekat antara perkembangan abnormal (teratogenesis) dan induksi tumor (onkogenesis). • Prevalensi untuk abnormalitas genetik konstitusional atau sindrom yang menjadi predisposisi untuk kanker. • Kecenderungan keganasan pada janin dan neonatus untuk mengalami regresi spontan atau "diferensiasi" menjadi unsur-unsur yang matang. • Perbaikan daya tahan hidup atau penyembuhan banyak tumor pada masa anak-anak, sehingga sekarang diberikan perhatian lebih untuk mem-perkecil pengaruh buruk yang terjadi pada pemberian kemoterapi dan radioterapi pada kelompok yang bertahan hidup, termasuk perkembangan keganasan sekunder Banyak neoplasma ganas pediatrik secara histologis bersifat unik. Pada umumnya, tumor-tumor ini cenderung mempunyai komponen primitif (embrional) daripada penampilan pleiomorfik-anaplastik, dan seringkali mereka menampilkan perangai organo-genesis khas terhadap tempat asal tumor. Karena penampilan histologis yang primitif, banyak tumor anak yang secara kolektif disebut sebagai tumor sel kecil, bulat dan biru. Ini ditandai oleh lembaran sel dengan inti kecil dan bulat. Tumortumor dalam kategori ini termasuk neuroblastoma, limfoma, rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing (tumor neuroek-todermal perifer), dan beberapa tumor Wilms. Berbagai perangai yang dapat dibedakan biasanya ditemukan sehingga memungkinkan diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan histologis saja, tetapi apabila perlu, ditambahkan dengan penemuan klinis dan radiografik, digabung dengan penelitian tambahan (contoh analisis kromosom, pewarnaan imunoperoksidase, mikroskop elektron). Tiga tumor yang lazimneuroblastoma, retinoblastoma dan tumor Wilms-diuraikan di sini untuk menegaskan perbedaan antara tumor-tumor pediatrik dan yang terdapat pada dewasa.



Neuroblastoma



Gambar 6-32 Teratoma sakrokoksigeal. Perhatikan ukuran lesi dibandingkan dengan besarnya bayi.



Istilah neuroblatik termasuk tumor-tumor dari ganglion simpatik dan medula adrenal yang berasal dari sel primordial neural crest yang menempati daerah ini; neuroblastoma adalah anggota paling penting dari kelompok ini. Tumor ini adalah keganasan padat kedua yang paling lazim pada anak, setelah tumor otak, meliputi 7% sampai 10% dari semua neoplasma pediatrik, dan sebanyak 50% dari keganasan yang didiagnosis pada masa bayi. Neuroblastoma menunjukkan beberapa perangai unik pada riwayat penyakitnya, termasuk regresi spontan dan maturasi yang diinduksi terapi.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak



259



Sebagian besar terjadi sporadik, tetapi 1% sampai 2% adalah familial, dengan transmisi dominan autosom, dan pada kasus semacam itu neoplasma mengenai kedua adrenal atau banyak tempat autonom primer. Mutasi galur-benih (germ-line) pada gen anaplastic lymphoma kinase (ALK) akhir-akhir ini ditetapkan sebagai penyebab utama predisposisi familial dari neuroblastoma. Mutasi somatik jenis dari ALK juga diteliti pada subset neuroblastoma jenis sporadik. Dapat dipertimbangkan bahwa neuroblastoma yang mengandungi baik mutasi ALK jenis galur-benih atau jenis somatik dapat diobati dengan menggunakan obat yang ditujukan terhadap aktivitas enzim kinase terkait.



MORFOLOGI Pada masa anak-anak, sekitar 49% neuroblastoma timbul di medula adrenal. Sisanya terjadi di mana saja sepanjang rantai simpatik, dengan tempat yang paling lazim adalah regio paravertebral dari abdomen (25%) dan mediastinum posterior (15%). Secara makroskopik, neuroblastoma berukuran beragam dari nodul yang sangat kecil (lesi in situ) sampai massa besar dengan berat lebih dari 1 kg. Neuroblastoma in situ dilaporkan 40 kali lebih sering daripada tumor yang mudah dideteksi. Hal yang sangat mengesankan dari lesi yang bersifat 'silent' ini adalah regresi spontan, meninggalkan bekas hanya berupa fokus fibrosis atau kalsifikasi pada orang dewasa. Beberapa neuroblastoma dibatasi secara tegas oleh pseudokapsul fibrosa, tetapi yang lain jauh lebih infiltratif dan menginfiltrasi stuktur sekitarnya. Termasuk ginjal, vena renalis dan vena kava, serta selubung aorta. Pada transeksi, tumor tersusun dari jaringan lunak, abu-abu kecoklatan menyerupai otak. Tumor yang lebih besar mempunyai area nekrosis, lembek bersifat kistik, dan perdarahan. Secara histologis, neuroblastoma klasik tersusun dari sel kecil, tampak primitif, dengan inti gelap, sitoplasma sedikit, dan batas sel tidak jelas tumbuh dalam lembaran-lembaran padat (Gambar 6-33, A). Aktivitas mitosis, kerusakan inti ("karyorexis") dan polimorfisme mungkin menonjol. Latar belakang seringkali menunjukkan materi fibrilar eosinofilik lemah (neutrofil) yang sesuai dengan proses neuritik dari neuroblas primitif. Secara khas, apa yang disebut Homer-Wright pseudo-rosettes dapat ditemukan, yaitu sel tumor tersusun konsentrik di sekitar rongga ditengah yang diisi oleh neutrofil (tidak adanya lumen sentral mendasari sebutan "pseudo"). Perangai lain yang menolong adalah deteksi imunokimiawi dari neuron-specific enolase dan penemuan pada penelitian ultrastruktur yaitu granula bersekresi yang kecil, terikat pada membran, yang berisi katekolamin sitoplasmik. Beberapa neoplasma menunjukkan tanda maturasi, apakah spontan atau terinduksi terapi. Sel yang lebih besar mempunyai sitoplasma lebih banyak, dengan inti vesikular, dan nukleolus yang mencolok, yang merupakan sel ganglion pada berbagai tahap maturasi, mungkin dite-mukan pada tumor yang tercampur dengan neuroblas primitif (ganglioneuroblastoma). Bahkan lesi yang berdiferensiasi lebih baik berisi lebih banyak sel besar menyerupai sel ganglion matang tanpa sisa neuroblas; neoplasma semacam ini layak disebut ganglioneuroma (Gambar 6-33, B).Maturasi neuroblas menjadi sel ganglion biasanya disertai tampilnya sel Schwann.



A



B Gambar 6-33 A, Neuroblastoma. Tumor ini tersusun dari sel-sel kecil yang tumbuh di dalam matriks fibril halus (neutrofil). Suatu pseudo-rosette HomerWright (sel tumor tersusun konsentrik di sekitar teras sentral dari neutrofil) terlihat disudut kanan atas. B, Ganglioneuroma, yang tumbuh dari maturasi spontan atau akibat terapi dari neuroblastoma, ditandai oleh kelompokan sel-sel besar dengan inti vesikular dan mengandungi banyak sitoplasma eosinofilik (tanda panah), yang menggambarkan sel ganglion neoplastik. Sel Schwann yang berbentuk kumparan terdapat di dalam stroma sebagai latar belakang.



Ternyata, adanya "stroma Schwann" yang tersusun dari proses neuritik, sel Schwann matur, dan fibroblas, adalah persyaratan histologis untuk penyebutan ganglio-neuroblastoma dan ganglioneuroma; sel-sel ganglion sendiri, baik yang ada maupun yang berasal dari tumor ini, tidak memenuhi kriteria untuk maturasi. Perjalanan Klinis dan Prognosis Banyak faktor yang memengaruhi prognosis, tetapi yang paling penting adalah stadium tumor dan usia penderita. • Penetapan stadium neuroblastoma (Tabel 6-11) merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan prognosis. Perhatian khusus harus diberikan pada stadium 4S (S berarti special), karena penampilan luar penderita baik sekali, walaupun penyakit telah menyebar. Seperti dicantumkan pada Tabel 6-11, tumor primer terklasifikasi sebagai stadium 1 atau 2 tetapi karena adanya metastasis, yang terbatas pada hati, kulit dan sumsum tulang, tanpa terkenanya tulang. Bayi dengan tumor 4S mempunyai prognosis baik sekali dengan terapi minimal, dan tidak jarang tumor primer atau metastatik mengalami regresi spontan. Dasar biologis dari perilaku menggembirakan ini tidak jelas.



260



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Tabel 6-11 Penetapan Stadium pada Neuroblastoma Stadium 1



Tumor setempat dapat dieksisi lengkap, dengan atau tanpa sisa penyakit mikroskopik; kelenjar getah bening ipsilateral, yang representatif, yang tidak melekat, negatif untuk tumor (kelenjar yang melekat pada tumor primer mungkin positif untuk tumor)



Stadium 2A



Tumor setempat yang direseksi tidak lengkap secara makroskopik; kelenjar getah bening ipsilateral yang representatif dan tidak melekat, negatif untuk tumor secara mikroskopik



Stadium 2B



Tumor setempat dengan atau tanpa eksisi lengkap secara makroskopik, kelenjar getah bening ipsilateral positif untuk tumor; kelenjar getah bening kontralateral membesar, yang negatif untuk tumor secara mikroskopik.



Stadium 3



Tumor unilateral yang tidak dapat direseksi yang menyebuk menerobos garis tengah dengan atau tanpa terjangkitnya kelenjar getah bening regional; atau tumor setempat unilateral dengan terjangkitnya kelenjar getah bening kontralateral.



Stadium 4



Tumor primer apa pun dengan penyebaran ke kelenjar getah bening yang jauh, tulang, sumsum tulang, hati, kulit, dan/atau organ lain (kecuali seperti ditetapkan untuk stadium 4S).



Stadium 4S*



Tumor primer setempat (seperti ditetapkan untuk stadium I, 2A, atau 2B) dengan penyebaran terbatas ke kulit, hati, dan/atau sumsum tulang (10% terjangkitnya sumsum tulang dianggap sebagai stadium 4); stadium 4S terbatas untuk bayi yang lebih muda dari usia 1 tahun.



*



S, special (khusus) Disadur dari Brodeur GM, Pritchard J, Berthold F, et al: Revisions of the international neuroblastoma diagnosis, staging, and response to treatment. J Clin Oncol I I :1 466, 1993



• Usia adalah faktor penting lain dari hasil pengobatan, dan tampilan luar penderita yang lebih muda dari 18 bulan lebih baik daripada yang lebih tua pada stadium penyakit yang dapat dibandingkan. Sebagian besar neoplasma yang didiagnosis pada anak selama 18 bulan pertama kehidupan adalah stadium 1 atau 2, atau stadium 4S (kategori risiko "rendah" pada Tabel 6-11), sedangkan neoplasma pada anak yang lebih besar termasuk kategori risiko menengah" (intermediate) atau "tinggi". • Morfologi adalah variabel prognostik yang tidak bergantung (independent) pada tumor neuroblastik, adanya stroma Schwann dan diferensiasi gangliositik merupakan indikasi pola histologis yang menguntungkan. • Amplifikasi onkogen NMYC pada neuroblastoma adalah kejadian molekuler yang mempunyai dampak kuat pada prognosis. Amplifiksi NMYC terdapat pada 25% sampai 30% dari tumor primer, sebagian besar pada stadium lanjut; lebih banyak jumlah kopi lebih buruk prognosisnya. Amplifikasi NMYC sekarang merupakan abnormalitas genetik paling penting yang digunakan untuk stratifikasi risiko tumor-tumor neuroblastik, dan langsung dipakai untuk penetapan suatu tumor golongan risiko "tinggi", tidak bergantung kepada stadium dan usia. • Delesi bagian distal lengan pendek kromosom 1, penambahan bagian distal lengan panjang kromosom 17, dan overekspresi telomerase semua adalah faktor prognosis buruk, sedangkan ekspresi TrkA, suatu reseptor dengan afinitas tinggi untuk faktor pertumbuhan saraf yang merupakan indikasi diferensiasi kearah galur ganglion simpatik, berhubungan dengan prognosis yang menguntungkan.



Anak di bawah usia dua tahun dengan neuroblastoma umumnya datang dengan abdomen menonjol akibat massa abdominal, demam, dan kehilangan berat badan. Pada anak yang lebih tua, neuroblastoma tetap tidak dapat dilihat jelas sampai metastasis yang menyebabkan hepatomegali, asites dan nyeri tulang. Neuroblastoma mungkin bermetastasis luas meliputi sistem hematogen dan limfatik, terutama hati, paru, tulang dan sumsum tulang. Pada neonatus, penyakit yang menyebar bermanifestasi sebagai metastasis pada kulit disertai kelainan berwarna biru-gelap (sesuai dengan julukan yang tidak menguntungkan "blueberry muffin baby"). Seperti telah disebutkan, banyak variabel dapat memengaruhi prognosis neuroblastoma, tetapi sebagai pedoman umum, stadium dan umur merupakan determinan paling penting. Tumor dari semua stadium yang didiagnosis pada 18 bulan pertama kehidupan, demikian juga tumor dengan stadium rendah pada anak yang lebih tua mempunyai prognosis menguntungkan, sedangkan tumor berstadium tinggi pada anak lebih tua dari 18 bulan mempunyai prognosis paling buruk. Sekitar 90% neuroblastoma, tidak bergantung kepada lokasi, memproduksi katekolamin (mirip dengan katekolamin yang terkait feokromositoma), yang menunjukkan perangai diagnostik yang penting, (contoh peningkatan kadar katekolamin dalam darah dan peningkatan metabolit katekolamin dalam urin seperti vanillylmandelic acid [VMA] dan homovanillic acid [HVA]). Walaupun ada pengaruh katekolamin, namun hipertensi sangat jarang dijumpai pada neoplasma ini dibandingkan dengan feokromositoma (Bab 19).



RINGKASAN Neuroblastoma • •











Neuroblastoma dan tumor terkait timbul dari sel yang berasal dari neural crest pada ganglion simpatik dan medula adrenal. Neuroblastoma tidak berdiferensiasi, sedangkan ganglioneuroblastoma dan ganglionueroma menun-jukkan bukti diferensiasi (stroma Schwann dan sel ganglion). HomerWright pseudo-rosettes khas pada neuroblastoma. Usia, stadium, dan amplifikasi NMYC adalah faktor prognostik paling penting; anak yang lebih muda dari 18 bulan biasanya mempunyai prognosis lebih baik daripada anak yang lebih tua, sedangkan anak dengan tumor berstadium tinggi atau amplifikasi NMYC mempunyai prognosis cukup buruk. Neuroblastoma mensekresikan katekolamin, yang metabolitnya (VMA/HVA) dapat digunakan untuk penapisan penderita.



Retinoblastoma Retinoblastoma adalah keganasan intraokular primer yang paling lazim pada anak. Genetik molekuler dari retinoblastoma telah dibahas sebelumnya (Bab 5). Sekitar 40% dari tumor berhubungan dengan mutasi galur benih (germline) pada gen RB1 dan oleh karena itu bersifat diwariskan. Sisa yang 60% dari tumor berkembang secara sporadik, dan ini mempunyai mutasi somatik gen RB1. Walaupun nama retino-blastoma mungkin mengesankan asal dari sel retina primitif yang mampu berdiferensiasi menjadi baik sel glia maupun sel neuron, sekarang jelas bahwa sel asal retinoblastoma adalah dari neuron. Seperti disebutkan sebelumnya, pada sekitar 40% kasus, retinoblastoma terjadi pada individu yang mewarisi mutasi galur benih dari satu alel RB. Kasus-kasus familial secara khas berhubungan dengan perkembangan tumor multipel yang bersifat bilateral, walaupun masih mungkin unifokal dan unilateral.



Lesi Tumor dan Lesi Mirip Tumor dari Bayi dan Anak Semua yang sporadik, adalah tumor yang tidak diwariskan,unilateral dan unifokal. Penderita retinoblastoma familial juga mempunyai risiko untuk memperoleh osteosarkoma dan tumor jaringan lunak lain.



MORFOLOGI Retinoblastoma cenderung membentuk massa nodular, biasanya pada retina posterior, seringkali dengan persemaian satelit (Gambar 6-34, A). Pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, area yang tidak berdiferensiasi dari tumor ditemukan tersusun oleh sel kecil, bulat dengan inti hiperkromatik dan sitoplasma sedikit, menyerupai retinoblas yang tidak berdiferensiasi. Struktur yang berdiferensiasi ditemukan dalam banyak retinoblastoma, yang paling khas adalah Flexner-Wintersteiner rosettes (Gambar 6-34, B). Struktur ini terdiri dari kumpulan sel kuboid atau kolumnar pendek teratur sekitar lumen sentral (berlawanan dengan pseudo-rosettes dari neuroblastoma, yang tidak mempunyai lumen sentral). Inti terdorong jauh dari lumen, yang pada mikroskop cahaya tampak mempunyai membran pembatas menyerupai membran pembatas luar dari retina. Sel tumor mungkin menyebar keluar mata melalui nervus optikus atau rongga subaraknoidal. Tempat paling lazim metastasis jauh adalah SSP, tulang-kepala, tulang distal dan kelenjar getah bening.



Gambaran Klinis Nilai tengah (median) dari usia pada presentasi adalah 2 tahun, walaupun tumor mungkin terdapat pada saat lahir. Penemuan pada presentasi termasuk penglihatan kabur, strabismus, warna keputihan pada pupil ("refleks mata kucing"), dan nyeri tekan pada mata. Tumor yang tidak diobati biasanya fatal, tetapi setelah pengobatan dini dengan enukleasi, kemoterapi, dan radioterapi, dapat bertahan hidup. Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian tumor mengalami regresi spontan, dan penderita dengan retinoblastoma familial berada pada risiko meningkat



261



untuk perkembangan osteosarkoma dan tumor jaringan lunak lain.



Tumor Wilms Tumor Wilms, atau nefroblastoma, adalah tumor primer ginjal yang paling lazim pada anak. Sebagian besar kasus terjadi pada anak usia antara 2 dan 5 tahun. Tumor ini menggambarkan konsep penting dari tumor pada masa anak-anak: hubungan antara malformasi kongenital dan peningkatan risiko tumor, kemiripan histologis antara tumor dan organ yang berkembang, dan akhirnya, keberhasilan yang mencolok pada pengobatan tumor pada anak-anak. Masing-masing konsep ini terbukti pada pembahasan berikut. Ada tiga kelompok malformasi kongenital yang berhubungan dengan peningkatan risiko perkembangan tumor Wilms. Dari penderita dengan sindrom WAGR (contoh Wilms tumor, aniridia, genital abnormalitas, dan mental retardasi), kira-kira satu dari tiga akan berlanjut dengan perkembangan tumor ini. Suatu kelompok lain, yang disebut Denys-Drash syndrome (DDS), juga mempunyai risiko yang sangat tinggi (sekitar 90%) untuk perkembangan tumor Wilms. Kedua keadaan ini berhubungan dengan abnormalitas gen tumor Wilms 1 (WT 1) yang terletak pada 11p13. Namun, mekanisme aberasi genetik berbeda: penderita dengan sindrom WAGR menun-ukkan kehilangan materi genetik (contoh delesi) gen WT1, dan individu dengan DDS mengandungi mutasi yang bersifat negatif dominan dan menyebabkan inaktivasi pada bagian yang kritik dari gen ini (mutasi dominan negatif memengaruhi fungsi alel-wild-type yang tersisa). Gen WT1 bersifat kritik untuk perkembangan ginjal dan gonad; oleh karena itu, tidak mengejutkan, bahwa inaktivasi konstitusional pada satu kopi dari gen ini menyebabkan abnormalitas genitourinaria pada manusia. Suatu kelompok penderita ketiga, yang menderita BeckwithWiedemann syndrome (BWS), juga berada pada risiko yang meningkat untuk perkembangan tumor Wilms. Penderita ini menampilkan pembesaran organ tubuh individu (contoh, lidah, ginjal atau hati), atau seluruh segmen tubuh (hemihipertrofi); pembesaran sel korteks adrenal (adrenal sitomegali), adalah perangai



B



A Gambar 6-34 Retinoblastoma. A, Tumor retina dengan kohesi yang buruk tampak mengenai saraf penglihatan. B, Pandangan dengan pembesaran lebih tinggi menunjukkan roset Flexner-Wintersteiner (tanda panah) dan banyak gambaran mitosis.



262



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



mikroskopik yang khas. BWS adalah suatu contoh kelainan genomic imprinting (lihat yang terdahulu). Lokus genetik yang terkena pada penderita ini adalah pita p15.5 dari kromosom 11 distal terhadap lokus WT1. Walaupun lokus ini disebut "WT2" untuk lokus tumor Wilms yang kedua, tetapi gen yang terkena belum ditetapkan. Regio ini mengandungi paling sedikit 10 gen, yang pada keadaan normal dipaparkan dari hanya satu dari dua alel parental, dengan inaktivasi (silencing) transkripsi dari homolog parental lainnya, akibat metilasi regio promotor, yang terletak di hulu dari tempat permulaan transkripsi. Dari semua kandidat gen "WT2", abnormalitas imprinting dari insulin-like growth factor-2 (IGF2) mempunyai hubungan paling kuat untuk predisposisi tumor pada individu dengan BWS. IGF2 pada keadaan normal dipaparkan hanya dari alel paternal, sedangkan alel maternal mengalami imprinting (contoh inaktif/ silenced) karena metilasi. Pada beberapa tumor Wilms, kehilangan imprinting (contoh re-expres dari IGF2 oleh alel maternal) dapat ditunjukkan, yang menyebabkan overekspresi dari protein IGF2, yang dianggap menghasilkan pembesaran organ dan tumorigenesis. Jadi, hubungan ini mengesankan bahwa pada beberapa kasus, malformasi kongenital dan tumor menggambarkan manifestasi terkait dari lesi genetik yang mengenai gen tunggal atau gen yang sangat berkaitan. Sebagai tambahan untuk tumor Wilms, penderita dengan BWS juga berada pada risiko meningkat unruk perkembangan hepatoblastoma, tumor adrenokortikal, rabdomio-sarkoma, dan tumor pankreas. Akhir-akhir ini, mutasi jenis gain-of-function dari gen yang menyandi β-katenin (Bab 5) telah ditunjukkan pada sekitar 10% dari tumor Wilms yang sporadik.



Pada pemeriksaan mikroskopik, tumor Wilms ditandai oleh gambaran upaya rekapitulasi stadium yang berbeda dari nefrogenesis. Kombinasi trifase yang klasik, dari sel jenis blastema, stroma dan epitel dapat diobservasi pada sebagian besar lesi, walaupun prosentase dari tiap komponen bervariasi (Gambar 6-36, A). Lembaran-lembaran dari sel kecil, biru, dengan beberapa perangai yang dapat dibedakan, menandakan komponen blastema. "Diferensiasi" epitel biasanya terlihat dari gambaran tubulus atau glomerulus yang abortif. Sel stroma biasanya tampak bersifat fibrokistik atau miksoid, walaupun "diferensiasi" otot skelet tidak jarang. Jarang, ditemukan unsur heterolog lain, termasuk epitel skuamosa atau musinosa, otot polos, jaringan lemak, tulang rawan, dan jaringan osteoid serta neurogenik. Sekitar 5% tumor mengandungi fokus anaplasia (sel dengan inti besar, hiperkromatik, pleomorfik dan mitosis abnormal) (Gambar 6-36, B). Adanya anaplasia berhubungan dengan adanya mutasi TP53 yang didapat, dan munculnya resistensi terhadap kemoterapi. Pola distribusi sel anaplastik dalam tumor primer (fokal versus difus) mempunyai implikasi penting untuk prognosis (lihat lebih jauh). Sisa nefrogenik adalah lesi prekursor dari tumor Wilms dan kadang-kadang terdapat pada parenkim ginjal didekat tumor. Sisa nefrogenik mempunyai spektrum penampilan histologis, dari massa yang ekspansif yang menyerupai tumor Wilms (sisa hiperplastik) sampai sisa sklerotik yang terdiri terutama dari jaringan fibrosa yang dibeberapa tempat bercampur dengan tubulus atau glomerulus imatur. Penting untuk mencatat adanya sisa nefrogenik pada spesimen reseksi, karena penderita ini berada pada risiko tinggi untuk perkembangan tumor Wilms pada ginjal kontralateral.



MORFOLOGI Seperti terlihat pada pemeriksaan makroskopik, tumor Wilms secara khas adalah suatu massa besar, soliter, tegas terpisah, dan hanya 10% bilateral atau multisentrik pada waktu diagnosis. Pada potongan jaringan, tumor berkonsistensi lunak, homogen, dan berwarna kecoklatan sampai abu-abu, disertai fokus hemoragik dibeberapa tempat, degenerasi kistik dan nekrosis (Gambar 6-35).



Perjalanan Klinis Keluhan penderita biasanya menggambarkan ukuran tumor yang sangat besar. Lazimnya, terdapat massa abdominal yang mudah diraba, yang mungkin menyeberangi garis tengah dan kebawah ke dalam pelvis. Jarang, penderita datang dengan demam, dan nyeri abdomen, hematuria atau kadang-kadang, dengan obstruksi usus sebagai akibat tekanan dari tumor. Prognosis tumor Wilms umumnya sangat baik, dan hasil yang sangat baik diperoleh dengan kombinasi nefrektomi dan kemoterapi. Anaplasia adalah suatu tanda untuk prognosis buruk, tetapi analisis yang hati-hati oleh National Wilms' Tumor Study group di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sepanjang anaplasia bersifat fokal dan terbatas di dalam spesimen reseksi nefrektomi, hasil pengobatan tidak berbeda dari tumor tanpa ditemukannya anaplasia. Sebaliknya, tumor Wilms dengan anaplasia difus, terutama yang menunjukkan penyebaran ekstra renal, mempunyai hasil akhir yang paling buruk, yang membutuhkan identifikasi cermat dari pola histologis ini.



RINGKASAN Tumor Wilms • •



Gambar 6-35 Tumor Wilms pada kutub bawah ginjal dengan warna khas kecoklatan sampai abu-abu dan berbatas tegas.



Tumor Wilms adalah neoplasma ginjal yang paling lazim dari anak. Penderita dengan tiga sindrom berada pada risiko meningkat untuk tumor Wilms: sindrom Denys-Drash, BeckwithWiedemann, dan



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks



A



263



B



Gambar 6-36 A, Tumor Wilms dengan sel-sel biru yang tersusun sangat padat sesuai dengan unsur blastema dan disusupi tubulus primitif, yang merupakan unsur epitelial.Walaupun terlihat gambaran mitosis banyak, tidak ada yang bersifat atipik pada lapangan ini. B, Anaplasia fokal terdapat pada area lain dalam tumor Wilms, ditandai oleh sel-sel dengan inti pleomorfi hiperkromatik dan mitosis abnormal.







• •



tumor Wilms, aniridia, abnormalitas genitalia, dan keterbelakangan mental. Sindrom tumor Wilms, aniridia, abnormalitas genital, dan keterbelakangan mental dan Denysh-Drash berhubungan dengan inaktivasi WTI, sedangkan Beckwith-Wiedemann timbul melalui abnormalitas imprinting pada lokus WT2, yang pada dasarnya mengenai gen IGF2. Komponen morfologik tumor Wilms termasuk blastema (sel kecil, bulat, biru) dan unsur epitel serta stroma. Sisa nefrogenik adalah lesi prekursor dari tumor Wilms.



DIAGNOSIS MOLEKULER DARI KELAINAN JENIS MENDEL DAN KOMPLEKS Pada dekade yang lampau sedikit disiplin patologi yang telah melihat lonjakan baik "pasokan" maupun "kebutuhan" yang dapat dibandingkan dengan yang diobservasi untuk diagnostik molekuler. Dalam era sebelum tersedianya teknik diagnostik molekuler, menyebabkan diagnosis kelainan genetik bergantung kepada indentifikasi produk gen abnormal (contoh, hemoglobin mutan atau metabolit abnormal) atau pengaruh klinisnya, seperti keterbelakangan (contoh pada FKU). Bidang yang baru lahir dari diagnostik molekuler muncul dalam paruh kedua dari abad ke-20, dengan aplikasi pendekatan dengan luaran terbatas (rendah) seperti penentuan kariotipe konvensional untuk mengenal kelainan sitogenetik (contoh sindrom Down) dan teknik berbasis DNA seperti Southern blotting untuk diagnosis penyakit Huntington. Beberapa faktor telah memungkinkan ekspansi cepat diagnostik molekuler dari sifatnya yang terbatas sampai hampir berada di sekitar kita, baik di laboratorium patologi akademik maupun komersial (perkiraan mutakhir untuk "pasar dunia" mencapai puluhan 'milyaran' dolar). Faktor-faktor ini termasuk (1) penetapan urutan basa DNA dari genom manusia dan penyimpanan data ini di pangkalan data yang tersedia untuk umum; (2) tersedianya banyak perangkat "off the shelf' polymerase chain reaction (PCR) untuk identifikasi kelainan genetik yang khas; (3) tersedianya microarrays ("gene chips") resolusi tinggi



yang dapat melacak baik DNA dan RNA pada skala luas dari genom menggunakan landasan tunggal; dan akhirnya (4) munculnya teknologi penetapan urutan basa DNA generasi berikut ("Next-Gen") yang automatik dan berkemampuan sangat tinggi (high-throughput). Dua perkembangan yang terakhir khususnya berguna dalam kaitan dengan penelitian baru untuk mengungkapkan dasar genetik baik kelainan jenis Mendel maupun jenis kompleks. Walaupun pembahasan rinci diagnostik molekuler di luar lingkup buku ini, beberapa pendekatan yang diketahui lebih baik diperhatikan pada paragraf berikut. Satu celah penting dari hubungan ini adalah bahwa tidak bergantung pada teknik yang digunakan, aberasi genetik yang ditelusuri dapat baik pada galur benih (contoh terdapat pada masing-masing dan tiap sel dari individu yang terkena, seperti mutasi CFTR pada penderita CF (fibrosis kistik) maupun somatik (contoh terbatas kepada jenis jaringan atau lesi yang khas, seperti amplifikasi NMYC pada sel neuroblastoma). Pertimbangan ini akan menentukan jenis bahan pemeriksaan (contoh limfosit darah tepi, saliva, jaringan tumor) yang digunakan untuk teknik pemeriksaan terkait.



Diagnosis Molekuler dari Abnormalitas Jumlah Kopi Seperti telah dibahas dalam bab ini, berbagai penyakit dapat terjadi sebagai akibat abnormalitas jumlah kopi, pada tingkat apakah seluruh kromosom (trisomi 21), segmen kromosom (sindrom delesi 22q11), atau delesi intragenik submikroskopik (sindrom WAGR). Analisis kariotipe kromosom dengan pemetaan G tetap merupakan pendekatan klasik untuk menetapkan perubahan pada tingkat kromosom; namun seperti diharapkan, resolusi teknik ini cukup rendah. Agar supaya dapat menetapkan perubahan subkromosom, telah dikenal dengan baik analisis fokus regio kromosom dengan FISH maupun pendekatan global genom seperti comparative genomic hybridization (CGH).



264



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



Fluorescence in Situ Hybridization (FISH) FISH menggunakan pelacak DNA yang mengenal urutan basa DNA yang khas untuk regio kromosom yang lebih besar dari 100 kilobase, yang menetapkan batas resolusi teknik ini untuk menetapkan perubahan kromosom. Pelacak semacam itu diberi petanda zat warna yang berfluoresensi dan direaksikan pada sebaran kromosom metafase atau interfase dari inti. Pelacak berhibridisasi dengan urutan basa DNA komplementer pada kromosom sehingga regio kromosom yang khas tertandai yang dapat dilihat di bawah mikroskop fluoresensi. Kemampuan FISH untuk melampaui kebutuhan menggunakan sel yang sedang membelah tidak dapat ditanggulangi apabila diagnosis cepat diperlukan (contoh, bayi dalam keadaan sakit berat yang diduga mempunyai kelainan genetik yang mendasarinya). Analisis semacam itu dapat dilakukan pada bahan pemeriksaan perinatal (contoh sel yang diperoleh dengan amniosentesis, biopsi vilus korealis, atau darah tali pusat), limfosit darah perifer dan bahkan potongan jaringan arsip (sediaan histopatologis). FISH telah digunakan untuk deteksi abnormalitas kromosom numerik (aneuploid) (Gambar 6-37, A); untuk menunjukkan mikrodelesi yang tidak jelas (Gambar 6-37, B), atau translokasi kompleks yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan kariotipe rutin; untuk analisis amplifikasi gen (contoh amplifikasi NMYC pada neuroblastoma); dan untuk pemetaan gen yang diteliti terhadap lokusnya pada kromosom.



Hibridisasi Genom Berbasis-Array Jelas dari pembahasan sebelumnya bahwa FISH memerlukan pengetahuan sebelumnya dari satu atau beberapa regio kromosom yang diduga berubah pada bahan pemeriksaan. Namun, abnormalitas kromosom dapat juga dideteksi tanpa pengetahuan sebelumnya dari aberasi yang mungkin terjadi, dengan menggunakan strategi global yang dikenal sebagai CGH berbasis-array. Di sini DNA yang diuji dan DNA rujukan (normal) diberi petanda dengan dua jenis zat warna fluoresen (paling lazim, Cy5 dan Cy3, yang masing-masing berfluoresensi merah dan hijau).



A



B



Bahan yang tertandai berbeda kemudian dihibridisasikan dengan suatu kumpulan (array) segmen DNA genom yang disebarkan dan difiksasi pada matriks padat dalam bentuk bercak-bulat (spot), biasanya kaca benda (glass slide) (Gambar 6-38, A). Segmensegmen DNA ini mewakili genom manusia yang secara teratur dipisah dengan interval tertentu, dan meliputi 22 autosom dan kromosom seks (Gambar 6-38, A). Amplifikasi dan delesi pada bahan uji menghasilkan peningkatan atau penurunan isyarat relatif terhadap DNA normal yang dapat dideteksi sampai resolusi serendah 10 kilobase (kb) (Gambar 6-38, B). Generasi baru microarray yang menggunakan single-nucleotide polymorphisms (SNPs) (lihat lebih lanjut) bahkan memberikan resolusi lebih tinggi (dengan lebih dari 1 juta SNP dari genom manusia pada satu microarray tunggal!) dan pada saat ini sedang digunakan untuk mengungkapkan abnormalitas jumlah kopi pada berbagai penyakit dari kanker sampai autisme.



Deteksi Langsung Mutasi DNA dengan Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) Analisis PCR, yang menggunakan peningkatan jumlah (amplifikasi) secara eksponensial dari DNA, sekarang dipakai secara luas pada diagnosis molekuler. Jika RNA digunakan sebagai substrat, pertama kali dilakukan transkripsi-terbalik (reverse-transcription) untuk memperoleh cDNA (complementary DNA) dan kemudian diamplifikasi dengan PCR. Cara ini melalui tahap reverse transcription (RT) sering disingkat RT-PCR. Satu persyaratan untuk deteksi langsung adalah bahwa urutan basa DNA dari gen normal harus diketahui. Untuk deteksi gen mutan, dua primer dirancang yang mengikat pada ujung 3' dan 5' dari urutan basa DNA normal. Dengan menggunakan polimerase DNA dan perputaran suhu yang tepat, DNA sasaran akan diamplifikasi sebanyak mungkin, menghasilkan berjuta-juta kopi urutan basa DNA di antara kedua tempat primer. Kemudian dilakukan identifikasi selanjutnya dari abnormalitas urutan basa DNA dengan beberapa cara:



Gambar 6-37 Fluorescence in situ hybridization (FISH). A, Inti sel dalam interfase dari penderita pria dengan dugaan trisomi 18. Tiga pelacak fluoresen yang berbeda digunakan dalam "FISH cocktair; pelacak hijau berhibridisasi dengan sentromer kromosom X (satu kopi), pelacak merah dengan sentromer kromosom Y (satu kopi), dan pelacak aqua dengan sentromer kromosom 18 (tiga kopi). B, Metafase yang ditebar setelah direaksikan dengan pelacak, satu berhibridisasi dengan daerah kromosom 22q I 3 (hijau) dan yang lain berhibridisasi dengan daerah kromosom 22q11.2 (merah). Terdapat dua isyarat 22q13. Satu dari dua kromosom tidak terwarnai dengan pelacak untuk 22q1I.2, yang menunjukkan suatu mikrodelesi pada daerah ini. Abnormalitas ini menimbulkan sindrom delesi 22q1I.2 (sindrom DiGeorge). (Penghargaan kepada Dr. Nancy R Schneider and Jeff Doolittle, Cytogenetics Laborutory, University of Texas Southwestem Medical Center, Dallas, Texas)



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks



265



Genomic DNA



cy3



A



cy5 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0



B



0



20



40



60



80



100



120



140



Location in megabases



Gambar 6-38 Array comparative genomic hybridization (CGH) dilakukan dengan hibridisasi DNA uji yang dilabel fluoresen dan DNA kontrol pada kaca benda yang mengandungi ribuan pelacak yang sesuai dengan daerah-daerah kromosom diseluruh genom manusia. Resolusi dengan teknologi CGH paling mutakhir yang tersedia adalah pada nilai sekitar 10 kb. A, Pada lapangan pandang dengan kekuatan lebih tinggi array' menunjukkan aberasi jumlah kopi pada uji contoh yang dilabel Cy5 (merah), termasuk daerah amplifikasi (bercak-bercak dengan kelebihan isyarat merah) dan delesi (bercak-bercak dengan isyarat hijau); bercak-bercak kuning sesuai dengan daerah dari jumlah kopi normal (diploid). B, isyarat hibridisasi dibuat digital, yang menghasilkan kariotipe virtual dari genom contoh "uji". Pada contoh yang diberi ilustrasi, array; CGH dari galur sel kanker menetapkan suatu amplifikasi pada bagian distal lengan panjang dari kromosom 8, yang sesuai dengan peningkatan jumlah kopi dari onkogen MYC. (A, Dari Snijders AM, Nowak N, Segraves R et al:Assembly ofmicroarrays for genome-wide measurement of DNA copy number. Nat Genet 29:263, 2001;Web Figure A. Copyright 2001. Cetak ulang dengan seizin Macmillan Publishers Ltd.)



• DNA dapat ditetapkan urutan basanya untuk memperoleh gambaran urutan nukleotida, dan dengan membandingkan dengan urutan basa DNA rujukan normal (wild type), mutasi dapat ditetapkan. Sebagian besar alat DNA sequencing terautomatilasi dan menggunakan teknologi berbasis zat warna fluoresen yang diberi nama menurut penemunya, Frederick Sanger. Lebih mutakhir, "gene Chips" (microarray) juga telah tersedia, yang dapat digunakan untuk penetapan urutan basa gen atau bagian dari gen. Urutan basa DNA yang pendek (oligonukleotida) yang bersifat komplementer terhadap urutan basa wild-type dan terhadap mutasi yang dikenal diletakkan berdekatan satu dan yang lain pada "gene chips" , dan DNA-uji dihibridisasikan dengan array (Gambar 6--39). Sebelum hibridisasi, bahan pemeriksaan diberi petanda dengan zat warna fluoresen. Hibridisasi (dan, dengan sendirinya, isyarat fluoresensi dipancarkan) akan paling kuat terjadi pada oligo-nukleotida yang komplementer dengan urutan basa wild-type apabila tidak ada mutasi, sedangkan adanya mutasi akan menyebabkan hibridasi terjadi pada oligonukleotida mutan yang komplementer. Algoritme yang deprogram secara komputerisasi kemudian dapat membuka sandi ("decode") urutan basa DNA untuk beratus-ratus ribu pasangan basa dari urutan basa dengan pola hibridasi fluoresensi pada "chip" , untuk menetapkan mutasi yang potensial.



fluoresen ke dalam campuran reaksi PCR, yang masing-masing komplementer dengan urutan basa wild-type (G) atau mutan (A). Karena kedua nukleotida diberi petanda dengan fluorofor yang berbeda, fluoresensi yang dipancarkan oleh produk PCR dapat menimbulkan warna dari salah satu, bergantung apakah C atau T yang bergabung pada proses ekstensi primer (Gambar 6--40). Keuntungan dari strategi ekstensi khas-alel ini adalah karena dapat mendeteksi adanya DNA mutan bahkan dalam campuran heterogen dari sel normal dan abnormal (misalnya, dalam spesimen klinis yang diperoleh dari penderita uang diduga mengandungi keganasan.) Banyak variasi dari tema ini telah dikembangkan dan sekarang digunakan untuk mendeteksi mutasi baik di laboratorium maupun di klinis.



• Dalam kaitan ini, seseorang dapat ketinggalan tidak menyebut teknologi penetapan urutan basa generasi kemudian ("NextGen"), disebut demikian karena Sanger sequencing yang disebut terdahulu sekarang dianggap "generasi pertama". Tersedianya teknologi squencing NextGen mempunyai potensi mengubah diagnosis molekuler secara radikal, dengan kemampuan (sheer volume) untuk mengolah data (lebih dari 1 giga pasangan basa atau 1.000.000.000 pasangan basa per hari!) dengan biaya relatif murah. Seluruh genom manusia mempunyai ukuran sedikit di atas 3 gigabase, sehingga "whole genome sequencing" yang benarbenar dapat dilakukan beberapa kali dalam hitungan hari. Berbeda • Suatu pendekatan lain untuk menetapkan mutasi pada posisi dengan Sanger sequencing, teknologi NextGen sequencing nukleotida yang khas (misalnya, mutasi kodon 12 pada onkogen menggunakan landasan yang memungkinkan penetapan urutan KRAS yang mengubah glisin [GGT] menjadi asam aspartat [GAT] basa dari banyak fragmen dari genom manusia akan menambahkan nukleotida C dan T yang diberi petanda



266



BAR6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



A



C



A



A



T



T



T



C



G



C



T



G



A



A



A



G



C



A



Rujukan



A



C



A



A



T



T



T



C



G



G



T



G



A



A



A



G



C



A



Contoh uji



Gambar 6-39 Penetapan urutan-basa DNA berdasarkan microarray. Low-power digitized-scan dari "gene chip" yang tidak lebih besar dari suatu nikel tetapi mampu menetapkan urutan-basa ribuan pasangan basa DNA. High-throughput microarrays telah digunakan untuk penetapan urutan basa seluruh organisme (seperti virus), organel (seperti mitokondria), dan seluruh kromosom manusia. Panel kanan, pandangan resolusi tinggi dari chip gen menggambarkan pola hibridisasi sesuai dengan suatu baris urutan basa DNA. Secara khas, algoritme terkomputerisasi tersedia sehingga dapat melakukan konversi pola hibridisasi individual di seluruh chip menjadi data actual urutan basa dalam beberapa menit (teknologi penetapan urutan basa konvensional akan memerlukan berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk analisis semacam itu). Di sini, urutan basa di atas adalah rujukan (wild type), sedangkan yang di bawah sesuai dengan urutan basa contoh uji. Seperti diperlihatkan, algoritme yang terkomputerisasi telah menetapkan mutasi C—>G pada percontoh uji. (Disadur dari Maitra A, Cohen Y, Gillespie SE, et al: The Human MitoChip: a high-throughput sequencing microarray for mitochondrial mutation detection. Genome Res I 4:8 I 2, 2004.)



(DNA atau cDNA) dapat terjadi secara parallel ("massively parallel sequencing"), yang meningkatkan kecepatannya secara bermakna (Gambar 6-41). Nukleotida yang diberi petanda fluoresen diikatkan secara komplementer dengan template untai DNA, yang difiksasi pada fase padat, dengan satu nukleotida ditambahkan per template per siklus. Siklus diulang sampai dihasilkan panjang "pembacaan" urutan basa DNA cukup yang kemudian dapat dipetakan kembali terhadap genom manusia menggunakan bioinformatika yang canggih. Cara ini sekarang sedang digunakan untuk penetapan urutan basa DNA pada mutasi somatik pada beberapa jenis tumor yang paling lazim, sedangkan penetapan penetapan urutan basa



Mutasi titik DNA



G/A



Primer



T



C



T



C Nukleotida yang dilabel fluoresen



DNA mutal



DNA wild-type Campuran DNA wild-type dan mutan



Gambar 6-40 Analisis dengan polymerase chain reaction (PCR) jenis spesifik terhadap alel, untuk deteksi mutasi pada contoh heterogen yang mengandungi campuran DNA normal dan mutan. Nukleotida yang komplementer terhadap nukleotida mutan dan wild-type pada posisi basa yang dicari dilabel dengan fluorofor sehingga terjadi inkorporasi ke dalam produk PCR yang menimbulkan isyarat fluoresen dengan berbagai intensitas yang sesuai dengan rasio DNA mutan terhadap DNA wild-type yang ada.



DNA jenis galur benih telah mulai menetapkan dasar genetik yang belum diketahui pada kelainan jenis Mendel yang jarang.



Analisis Linkage dan Studi Asosiasi Genom yang Menyeluruh (Genome-Wide Association Studies) Diagnosis langsung mutasi hanya mungkin apabila gen yang berperan pada kelainan genetik diketahui dan urutan basa DNA-nya telah ditetapkan. Pada beberapa penyakit yang mempunyai dasar genetik, termasuk beberapa kelainan yang lazim, diagnosis genetik langsung tidak mungkin, baik karena gen penyebab belum ditetapkan atau karena penyakit bersifat multifaktor (poligenik) dan tidak terdapat gen tunggal yang terlibat. Pada keadaan semacam itu, dua jenis analisis dapat dilakukan untuk penetapan gen yang terkait penyakit tanpa bias: analisis linkage dan genome-wide association studies (GWASs). Pada kedua keadaan, petanda pengganti pada genom, juga dikenal sebagai lokus petanda (marker loci), harus digunakan untuk menetapkan lokus regio kromosom yang diminati, berdasarkan pada keterkaitannya kepada satu atau lebih gen penyebab penyakit yang diperkirakan. Petanda lokus menggunakan variasi yang terjadi secara alamiah pada urutan basa DNA yang dikenal sebagai polimorfisme. Polimorfisme DNA-SNP-yang paling lazim terjadi pada frekuensi sekitar satu nukleotida pada tiap 1000 pasangan basa dan ditemukan sepanjang genom (contoh, pada ekson dan intron dan urutan basa yang teratur). SNP bertindak sebagai cetakan fisis di dalam genom dan sebagai petanda genetik yang transmisinya dapat diikuti dari orangtua ke anakanak. Dua terobosan teknologi telah memungkinkan aplikasi SNP ke "gen hunting" dengan kemampuan tinggi (high-throughput): pertama penyempurnaan apa yang disebut proyek HapMap, yang telah memberikan pola linkage disequilibrium pada tiga kelompok etnorasial utama, berdasarkan pada pemetaan SNP genom secara luas. Seluruh genom manusia sekarang dapat dibagi ke dalam blok yang dikenal sebagai "haplotype", yang mengandungi berbagai jumlah SNP yang kontinu pada kromosom yang sama yang berada pada linkage disequilibrium sehingga diwariskan bersama sebagai kumpulan (cluster). Sebagai hasilnya, daripada mencermati tiap SNAP tunggal dalam genom manusia, informasi yang dapat dibandingkan tentang DNA yang terkait dapat diperoleh dengan mudah dengan melihat haplotipe yang dipunyai bersama, menggunakan SNP tunggal atau dalam jumlah kecil yang melacak atau mene-



Diagnosis Molekuler dari Kelainan Jenis Mendel dan Kompleks 267 C



G



C



A



A



A



T



C



G



T



Tambahkan semua empat A nukleotida, terlabel dengan zat warna berbeda



A



C



G



T



Cuci, empat-warna pencitraan



C



G



T



C G



Pecahkan zat warna dan gugusan terminasi, cuci



C A



B



C



G



G



T G



C



G A



G A



T



C G



T C



G A



T C



Ulang



Atas: CATCGT Bawah: CCCCCC



Gambar 6-4 I Prinsip penetapan urutan basa generasi berikutnya. Beberapa pendekatan alternatif tersedia untuk penetapan urutan basa "NextGen", dan satu platform yang lebih lazim digunakan diberikan gambarannya. A, Fragmen pendek DNA genom ("template") dengan panjang antara 100 dan 500 pasangan basa di imobilisasikan pada platform fase padat seperti kaca benda, menggunakan primer penangkap yang universal yang bersifat komplementer terhadap adaptor yang telah ditambahkan sebelumnya ke ujung dari fragmen template. Penambahan nukleotida komplementer yang dilabel fluoresen, satu per DNA template per siklus, terjadi dalam reaksi paralel masif, pada jutaan template yang di-imobilisasikan pada fase padat pada waktu yang sama. Kamera dengan pencitraan empat warna menangkap fluoresensi yang memancar dari tiap lokasi template (sesuai dengan nukleotida yang terinkorporasi spesifik), mengikuti zat warna fluoresen yang dipecahkan dan dibersihkan, dan seluruh siklus diulang. B, Program komputasi yang canggih dapat menginterpretasi pencitraan untuk menghasilkan urutan basa yang komplementer terhadap DNA template pada akhir sekali "jalan", dan urutan basa ini kemudian dipetakan kembali terhadap rujukan urutan basa genom, agar supaya dapat menetapkan perubahan-perubahan. (Dicetok ulang dengan seizin dari Metzker M: Sequencing technologies—the next generation. Nat Rev Genet I 1:31-46, 2010, © Nature Publishhg Group)



tapkan haplotipe yang khas. Kedua, sekarang mungkin untuk melakukan penetapan jenis gen serentak sebanyak beratus-ratus ribu sampai satu juta SNP pada satu waktu, secara "cost-effective", dengan menggunakan teknologi chip high-density SNP. • Analisis linkage berhubungan dengan penilaian shared marker loci (contoh SNPs) pada anggota keluarga yang menampilkan penyakit atau trait yang diminati, dengan anggapan bahwa SNP dalam keadaan linkage disequilibrium dengan alel penyakit ditransmisikan melalui pedigree. Dengan perjalanan waktu dimungkinkan untuk menetapkan "haplotipe penyakit" berdasarkan suatu panel SNP, semuanya mengalami kosegregasi dengan alel penyakit yang diduga. Seyogianya, analisis linkage mendukung penetapan lokus dan cloning alel penyakit. Analisis linkage paling berguna pada kelainan jenis Mendel yang berkaitan dengan satu gen dengan pengaruh kuat dan mempunyai penetrasi tinggi. • Sekarang telah pasti bahwa beberapa penyakit manusia yang paling lazim, seperti hipertensi, diabetes, kelainan mental, dan asma, mempunyai dasar poligenik, dengan lokus genetik ganda yang berkontribusi pengaruh kecil yang tidak bergantung, yang menyebabkan fenotipe penyakit. Analisis linkage konvensional tidak mempunyai kekuatan statistik untuk deteksi varian genetik semacam itu. Pada GWAS, kohort yang besar dari penderita dengan atau tanpa penyakit (bukan hanya keluarga) diperiksa terhadap seluruh genom untuk varian SNP yang dapat disajikan berlebihan pada individu dengan penyakit. Ini menetapkan regio dari genom yang mengandungi gen varian atau gen yang berkaitan dengan kerentanan



penyakit. Varian yang bersifat penyebab dalam regio tersebut kemudian dapat ditetapkan dengan menggunakann pendekatan "candidate gene", yaitu gen dipilih berdasarkan tingkat keterkaitannya dengan penyakit dan apakah fungsi biologis lebih cenderung terlibat pada penyakit yang diteliti. Sebagai tambahan terhadap penyakit poligenik, GWAS juga dapat menetapkan lokus genetik yang memodulasi trait kuantitatif yang lazim pada manusia, seperti tinggi badan, massa tubuh, warna rambut dan mata, dan densitas tulang.



Indikasi untuk Analisis Genetik Pembahasan yang sebelumnya menguraikan beberapa dari banyak teknik yang tersedia sekarang untuk diagnosis penyakit genetik. Untuk penerapan cara-cara ini, penting untuk mengenal individu mana yang memerlukan uji genetik. Pada umumnya, uji genetik dapat dibagi menjadi analisis prenatal dan postnatal. Hal itu akan mencakup sitogenetik konvensional, FISH, diagnostik molekuler, atau kombinasi dari teknik-teknik ini. Analisis genetik prenatal harus ditawarkan kepada semua penderita yang berada pada risiko untuk mempunyai keturunan abnormal secara sitogenetik. Hal itu dapat dilakukan pada sel yang diperoleh dengan amniosentesis, pada materi biopsi vilus korealis, atau pada darah talipusat. Beberapa indikasi penting adalah sebagai berikut: • Usia maternal yang lanjut (di atas 34 tahun), yang terkait dengan risiko lebih besar untuk trisomi. • Status pembawa sifat (carrier) yang translokasi resiprokal seimbang, translokasi



terkonfirmasi



untuk



268



BAB6



Penyakit Genetik dan Pediatrik



jenis Robertsonian, atau inversi (pada kasus semacam itu, gamet mungkin tidak seimbang, sehingga keturunannya akan mempunyai risiko kelainan kromosom) • Abnormalitas kromosom yang mengenai anak sebelumnya • Penetuan kelamin janin apabila penderita atau pasangannya adalah pembawa sifat (carrier) kelainan genetik yang bersifat X-linked Analisis genetik postnatal biasanya dilakukan pada limfosit darah tepi. Indikasi adalah sebagai berikut: • Multiple congenital anomalies • Keterbelakangan mental yang tidak dapat dijelaskan dan atau keterlambatan perkembangan • Dugaan aneuploidi (contoh perangai sindrom Down) • Dugaan autosom tidak seimbang (contoh sindrom Prader-Willi) • Dugaan abnormalitas kromosom sex (contoh sindrom Turner) • Dugaan sindrom fragile-X • Infertilitas (untuk menyingkirkan abnormalitas kromosom) • Abortus spontan multipel (untuk menyingkirkan orang tua sebagai pembawa sifat translokasi seimbang, kedua orang tua harus diperiksa) Dalam kaitan ini dan penerapan klinis lain, suatu hal penting adalah bahwa kita sekarang hidup dalam era yang disebut ilmu kedokteran genomik. Tahun-tahun mendatang diharapkan bagaimana kemajuan dalam pengungkapan dasar genetik dari penyakit pada manusia akan memengaruhi diagnosis, pencegahan dan pengobatan.



KEPUSTAKAAN Bassell GJ, Waren ST: Fragile X syndrome: loss of local mRNA regulation alters synaptic development and function. Neuron 60:201, 2008. [Suatu tinjauan mutakhir tentang patogenesis molekuler dari sindrom fragile X, terutama dalam kaitan dengan akibat kehilangan fungsi FMRP.] Bojesen A, Gravholt CH: Klinefelter syndrome in clinical practice. Nat Clin Prac Urol 4:192, 2007. [Suatu tinjauan berorientasi klinis dari entitas ini.] Butler MG: Genomic imprinting disorders in humans: a mini-review. J Assist Reprod Genet 26:477, 2009. [Suatu tinjauan umum yang jelas dan sangat baik tentang dasar genetik dari kelainan imprinting, termasuk dua kelainan yang dibahas pada bab ini.] Collaco JM, Cutting GR: Update on gene modifiers in cystic fibrosis. Curr Opin Pulm Med 14:559, 2008. [Suatu tinjauan dari satu pakar dunia tentang fibrosis kistik tentang peranan pemodifikasi genetik di samping gen CTFR yang memengaruhi fenotipe.]



Feinberg AP: Epigenetics at the epicenter of modern medicine. JAMA 299:1345, 2008. [Suatu tinjauan yang luar biasa dari pakar dunia tentang imprinting, yang menyoroti peranan abnormalitas epigenetik pada patogenesis kanker dan penyakit manusia yang lain.] Hartl FU, Bracher A, Hayer-Hartl M: Molecular chaperones in protein folding and proteostasis. Nature 475:324, 2011. [Suatu tinjauan yang sangat baik dari proses salah-lipat protein dan terapi chaperone.] Janoueix-Lerosey I, Schleiermacher G, Delattre O: Molecular pathogenesis of peripheral neuroblastic tumors. Oncogene 29:1566, 2010. Judge DP, Dietz HC: Therapy of Marfan syndrome. Annu Rev Med 59:43, 2008. [Suatu tinjauan luar biasa yang ditulis oleh satu dari pakar dunia paling terkemuka tentang patogenesis sindrom Marfan, yang dipusatkan pada sasaran "yang dapat diobati" yang sedang dievaluasi secara klinis, terutama untuk pencegahan komplikasi jantung dan aorta.] Kinney HC, Thach BT: The sudden infant death syndrome. N Engl J Med 361:795, 2009. [Suatu tinjauan yang jelas tentang SIDS yang ditulis oleh kelompok yang menguraikan beberapa penemuan kunci dari kelainan neuropatologis dan abnormalitas neurotransmiter pada fenomena ini.] Kobrynski LJ, Sullivan KE: Velocardiofacial syndrome, DiGeorge syndrome: the chromosome 22q11.2 deletion syndromes. Lancet 370:1443, 2007. [Suatu tinjauan yang ditulis dengan baik tentang sindrom mikrodelesi 22q11.2, termasuk perangai klinis, diagnosis dan penatalaksanaan.] Ku CS, Loy EY, Pawitan Y, Chia KS: The pursuit of genome-wide association studies: where are we now? J Hum Genet 55:195, 2010. [Suatu "audit" selama lima tahun tentang status GWAS dan bagaimana hal ini telah memengaruhi pemahaman mengenai penyakit yang kompleks.] Lin PW, Nasr TR, Stoll BJ: Necrotizing enterocolitis: recent scientific advances in pathophysiology and prevention. Semin Perinatol 32:70, 2008. [Suatu tinjauan yang ditulis dengan baik tentang pengertian yang sedang berjalan dari patogenesis NEC dan kemungkinan pencegahan.] Loscalzo ML: Turner syndrome. Pediatr Rev 29:219, 2008. [Suatu tinjauan yang cukup luas yang meliputi baik dasar-dasar genetik maupun aspek klinis dari sindrom Turner.] Metzker M: Sequencing technologies - the next generation. Nat Rev Genet 11:31, 2010. [Suatu tinjauan mutakhir tentang landasan penetapan urutan basa DNA generasi kemudian yang sekarang tersedia dan penerapannya.] Patterson D: Molecular genetic analysis of Down syndrome. Hum Genet 126:195, 2009. [Suatu tinjauan yang mendalam tentang patogenesis molekuler dari sindrom Down.] Staretz-Chacham O, Lang TC, LaMarca ME, et al: Lysosomal storage disorders in the newborn. Pediatrics 123:1191, 2009.[Suatu pembahasan yang sangat baik dari golongan kelainan yang jarang ini, dengan penekanan khusus pada yang tampil dalam masa bayi baru lahir.] Sweetser DA, Grabowski EF: Pediatric malignancies: retinoblastoma and Wilms tumor. In Chung DC, Haber DA (eds): Principles of Clinical Cancer Genetics: A Handbook from the Massachusetts General Hospital. Springer, New York, 2010, pp 163-180. [Suatu bab buku yang ditulis dengan baik yang menyarikan perangai klinis, patogenesis molekuler, dan penatalaksanaan dua jenis tumor padat pada masa anak-anak.]



Croce CM: Causes and consequences of microRNA dysregulation in cancer. Nat Rev Genet 10:704, 2009. [Suatu tinjauan komperensif dari pemuka yang menemukan contoh pertama disregulasi mikroRNA pada kanker manusia.]



Wheeler DA, Srinivasan M, Egholm M, et al: The complete genome of an individual by massively parallel DNA sequencing. Nature 452:872, 2008. [Makalah yang mendasar yang menguraikan penetapan urutan basa DNA genom manusia yang lengkap untuk pertama kalinya - dari penemu-mitra sturktur DNA heliks ganda dan pemenang hadial Nobel, James D. Watson, menggunakan cara penetapan urutan basa DNA generasi kemudian.]



Farrell PM, Rosenstein BJ, White TB, et al: Guidelines for diagnosis of cystic fibrosis in newborns through older adults: Cystic Fibrosis Foundation consensus report. J Pediatr 153:S4-S14, 2008. [Suatu pernyataan konsensus dari kelompok pakar mengenai manifestasi protean dari fibrosis kistik, dan korelasi genotipefenotipe.]



Winter J, Jung S, Keller S, et al: Many roads to maturity: microRNA biogenesis pathways and their regulation. Nat Cell Biol 11:228, 2009. [Suatu tinjauan luar biasa tentang bagaimana miRNA disintesis dan diproses, dan pengetahuan yang muncul tentang bagaimana proses yang rumit ini diatur---bukan untuk mengecilkan hati!]



BAB



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



7



DAFTAR ISI BAB Efek Perubahan Iklim terhadap Kesehatan 269 Toksisitas Zat Kimia dan Fisis 271 Polusi Lingkungan 272



Polusi Udara 272 Logam sebagai Polutan Lingkungan 273 Pajanan Industri dan Pertanian 276



Efek dari Tembakau 277 Pengaruh Alkohol 280



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat 282 Kelainan Akibat Obat-Obat Terapeutik: Pengaruh Samping 282 Cedera oleh Zat Toksik Nonterapeutik (Drug Abuse/Penggunaan-salah Obat) 284 Cedera oleh Agen Fisis 287 Trauma Mekanik 287 Jejas Terma 288 Jejas Listrik 289



Banyak penyakit disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam arti luas lingkungan hidup meliputi berbagai lingkungan ruang terbuka ruang tertutup dan pekerjaan tempat manusia hidup dan bekerja. Pada tiap lingkungan ini udara pernapasan makanan dan air yang dikonsumsi dan zat toksik yang terpajan merupakan penentu utama untuk kesehatan. Faktor lingkungan yang lain berkaitan dengan individu (lingkungan pribadi) dan termasuk pemakaian tembakau peminum alkohol pengguna obat sebagai terapi dan "rekreasi", diet dan yang sejenis. Faktorfaktor lingkungan pribadi umumnya berpengaruh lebih besar pada kesehatan manusia daripada faktor lingkungan yang lain tetapi tanaman baru yang terkait dengan pemanasan bumi global (dijelaskan kemudian) dapat mengubah hal ini. Istilah penyakit lingkungan mengacu pada kelainan yang disebabkan paparan kimia atau zat fisis di lingkungan kerja dan pribadi, termasuk penyakit yang disebabkan oleh faktor gizi. Ternyata penyakit lingkungan cukup sering ditemukan. Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa jejas dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, membunuh 1,1 juta orang per tahun secara global - lebih dari kematian akibat gabungan kecelakaan di jalan dan perang. Sebagian besar masalah akibat pekerjaan disebabkan oleh penyakit daripada kecelakaan. Beban penyakit di populasi umum, disebabkan oleh pajanan bukan pekerja terhadap zat toksik, yang lebih sulit perkiraannya, sebagian besar disebabkan oleh zat-zat yang beraneka ragam dan kesulitan dalam pengukuran dosis serta masa pajanan. Berapa pun jumlahnya, penyakit lingkungan adalah penyebab sebagian besar dari cacat dan penderitaan, dan menyebabkan bebas finansial yang berat, terutama di negara berkembang. Penyakit lingkungan kadang-kadang merupakan akibat malapetaka seperti kontaminasi metal merkuri Teluk Minamata di Jepang pada tahun 1960, kebooran gas metil isotiosianat di Bhopal India, pada tahun 1984



Jejas Akibat Radiasi Pengion 289



Penyakit Gizi 293



Malnutrisi 293 Malnutrisi Energi Protein (MEP) 294 Anoreksia Nervosa dan Bulimia 295 Defisiensi Vitamin 296 Obesitas302 Diet dan Penyakit Sistemik 306 Diet dan Kanker 306



dan kecelakaan nuklir Chernobil pada tahun 1986 dan kontaminasi dengan peptisida organofosfat sarin yang disasarkan pada kereta baah tanah di Tokyo tahun 1995. ntungnya ini adalah kejadian yang tidak biasa dan jarang. hal yang tidak begitu dramatik tetapi lebih sering terjadi adalah penyakit dan jejas akibat pajanan kronik kontaminan dengan dosis yang relatif rendah. Beberapa lembaga di Amerika Serikat menetapkan tingkat paparan yang diperbolehkan dari zat lingkungan yang dikenal berbahaya (misalnya tingkat maksimum karbon monoksida (CO) di udara yang tidak menederai atau tingkat paparan radiasi yang tidak berbahaya atau aman). Namun sejumlah faktor termasuk interaksi kompleks antar polutan menghasilkan efek ganda serta usia predisposisi genetik dan kepekaan jaringan yang berbeda pada orang yang terpajan membuat variasi luas dari sensitivitas individu. Namun tingkat "aman" seperti ini berguna untuk studi banding mengenai efek zat berbahaya antar populasi dan untuk perkiraan risiko penyakit pada orang dengan pajanan berat. Dari gambaran singkat tentang sifat dan besarnya masalah kita beralih ke pertimbangan mekanisma toksisitas dan kemudian beberapa bahaya lingkungan yang lebih penting.



EFEK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KESEHATAN Pengukuran suhu menunjukkan baha bumi telah menjadi semakin panas selama 50 tahun terakhir mungkin pada tingkat yang lebih tinggi daripada berbagai masa selama 1000 tahun sebelumnya. Sejak 1960 suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 0,6°C, dengan peningkatan terbesar di daratan antara 40°N dan 70°N. Perubahan ini disertai penyusutan tepat dari es glasial dan es laut ̀ yang menyebabkan prediksi bahan gletser dari Glacier National Park di Montana dan Gunung Kilimanjaro di Kenya akan



270



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



hilang pada tahun 2025, dan bahan samudera arktik akan benar-benar bebas es pada musim panas selambat-lambatnya pada tahun 2040. Meskipun politisi berdalih kalangan ilmuan umumnya menerima bahan perubahan iklim adalah akibat perbuatan manusia paling tidak sebagian kecil. Pelakunya adalah meningginya lapisan atmosfer dari gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan pembakaran bahan bakar fosil (Gambar 7-1, A) serta ozon (suatu polutan udara yang penting dibahas kemudian) dan metana. Gasgas ini bersama dengan uap air menghasilkan efek rumah kaca dengan menyerap energi yang terpancar dari permukaan bumi yang seharusnya dapat hilang ke ruang angkasa. Tingkat rata-rata tahunan CO2 atmosfer (sekitar 387 ppm) pada 2009 lebih tinggi daripada berbagai masa sekitar 650.000 tahun dan tanpa perubahan perilaku manusia diperkirakan akan meningkat menjadi 550-1200 ppm pada akhir abad ini tingkat yang tidak dialami selama puluhan juta tahun. Peningkatan ini tidak hanya berasal dari bertambahnya produksi CO2 tetapi juga dari penebangan hutan dan penurunan fiksasi karbon oleh



1959-2009 Koefisien Korelasi: 0.76903 Kadar CO2 (ppm) Mauna Loa



380



360



340



320



A 5 4 3



–0.2



0.2



0



0.4



0.6



Anomali temperatur global (oC) Anomali temperatur (° C)



2 1 0 –1



B



1900



1950



2000



2050



Konsekwensi kesehatan akibat perubahan iklim tergantung pada luas dan kecepatannya, keparahan konsekuensi berikutnya dan kemampuan manusia untuk mengurangi kerusakan. Bahkan dalam skenario kasus terbaik perubahan iklim diperkirakan akan memiliki dampak negatif yang serius terhadap kesehatan manusia dengan meningkatkan insidens sejumlah penyakit termasuk: • Penyakit-penyakit kardiovaskular serebrovaskular dan respirasi yang semuanya akan diperburuk oleh gelombang panas dan polusi udara. • Gastroenteritis kolera dan penyakit menular lain melalui air dan makanan akibat kontaminasi sebagai konsekensi banjir dan gangguan pasokan air bersih dan pengolahan limbah sesudah hujan deras dan bencana lingkungan lain. • Penyakit infeksi yang ditularkan melalui vektor seperti malaria dan demam dengue disebabkan oleh perubahan jumlah vektor dan distribusi geografi yang berkaitan dengan peningkatan temperatur gagal panen dan variasi cuaca yang lebih ekstrem (misalnya lebih sering dan parahnya penyakit pada El Nino).



400



300 –0.4



tanaman. Tergantung pada model komputer yang digunakan peningkatan kadar gas rumah kaca diperkirakan akan menyebabkan suhu global naik 2oC sampai 5°C pada tahun 2100 (Gambar 7-1, B). hal yang tidak pasti mengenai peningkatan suhu berasal dari pertanyaanpertanyaan mengenai derajat rangkaian umpan balik positif yang akan menyebabkan terjadinya proses yang berulang Contoh-Contoh dari rangkaian berulang yang menguata (self-reinforcing loops) adalah peningkatan absorpsi panas yang disebabkan oleh penyusutan es dan salju peningkatan uap air disebabkan oleh bertambahnya penguapan dari sungai danau dan lautan banyaknya CO2 dan metana yang dilepaskan dari bahan organik dalam penairan Arktik permafost dan hidrat metana kapal selam dan penurunan penyerapan CO2 di lautan disebabkan oleh penurunan pertumbuhan organisma seperti diatom yang berfungsi sebagai penyerap karbon.



2100



Tahun



Gambar 7-1 Peruaahan iklim, dulu dan yang akan datang. A, Korelasi kadar CO2, yang diukur di Mauna Loa observatory di Hawai, dengan temperatur global rata-rata cenderung melebihi 50 tahun yang lalu. "Temperatur global" pada tahun manapun disimpulkan di Hadley Center (Inggris) dari pengukuran yang dibuat pada lebih dari 3000 kantor pengamat cuaca di seluruh dunia. B, Temperatur diperkirakan meningkat menjelang abad ke 2n. Model komputer lain mengantisipasi kenaikan temperatur global sebesar 2° C sampai 5°C menjelang tahun 2100.



(A, Penghargaan kepada Dr. Richard Aster, Department o( Earth and Environmental Science, New Mexico Institute of Mining and Technology, Socorro, New Mexico.)



• Malnutrisi disebabkan oleh perubahan iklim lokal yang mengganggu produksi tanaman. Perubahan-perubahan seperti ini diperkirakan paling parah di daerah tropik yang rata-rata temperaturnya mungkin sudah sekitar tingkat suhu yang ditoleransi tanaman. Diperkirakan pada tahun 2080, produksi pertanian dapat turun 10% sampai 25%di beberapa negara berkembang, sebagai akibat perubahan iklim. Di luar efek spesifik penyakit ini diperkirakan baha penairan es glasial ̀terutama di Greenland dan bagian lain belahan bumi utara yang digabungkan dengan ekspansi termal dan lautan yang memanas akan menaikkan permukaan laut sebanyak 2 sampai kaki (feet) pada tahun 2100. Sekitar 10% populasi dunia sekitar 600 juta orang tinggal di dataran rendah yang berisiko untuk banjir bahkan kalau permukaan lautan sedikit meninggi. Perpindahan penduduk akan mengganggu kehidupan dan perdagangan menciptakan kondisi yang baik untuk terjadinya kerusuhan politik perang dan kemiskinan vektor malnutrisi penyakit dan kematian. Baik negara maju maupun negara berkembang akan menderita akibat perubahan iklim tetapi beban terbesar adalah di negara berkembang yang paling sedikit kesalahannya dalam hal peningkatan gas rumah kaca sampai saat ini. Gambaran ini tepat berubah bagaimanapun akibat pertumbuhan ekonomi India dan Cina ̀yang akhir-akhir ini mela mpai Amerika Serikat menjadi penghasil CO2 terbesar di dunia.



Toksisitas Zat Kimia dan Fisis



271



Tantangan terbesar adalah mengembangkan sumber energi baru yang mengurangi produksi gas rumah kaca. Kalau tidak segera bertindak, perubahan iklim akan menjadi penyebab utama dari penyakit lingkungan dunia di abad 21 dan seterusnya.



TOKSISITAS ZAT KIMIA DAN FISIS Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu racun. Ilmu ini mempelajari distribusi, efek dan mekanisma aktivitas dari zat beracun. Lebih luas lagi, ilmu ini meliputi studi mengenai efek zat fisis, seperti radiasi dan panas. Sekitar 4 milyar pond racun kimiawi termasuk 72 juta pond karsinogen yang kita kenal, diproduksi di AS setiap tahun. Umumnya, hanya sedikit yang diketahui mengenai efek bahan kimia yang potensial terhadap kesehatan. Dari sekitar 100.000 bahan kimia yang digunakan di Amerika Serikat, kurang dari 1% yang telah diuji secara eksperimental terhadap efek kesehatan. Di Eropa jumlah bahan kimia yang tersedia kurang dari setengah dari Amerika, tapi banyak yang dilepaskan ke lingkungan sebagai produksi industri atau dibuang sebagai limbah manusia dan hewan. Kami sekarang mempertimbangkan beberapa prinsip dasar mengenai toksisitas dari bahan-bahan kimia eksogen dan obat-obatan.



Udara



• Bahan-bahan kimia dapat berefek pada tempat di mana bahan tersebut masuk atau dapat ditransportasikan ke tempat lain. Beberapa zat kimia tidak dimodifikasi pada saat masuk ke dalam tubuh. Namun, sebagian besar larutan dan obat-obatan akan mengalami pertukaran zat oleh tubuh menjadi produk yang larut dalam air (detoksifikasi) atau dapat juga teraktivasi menjadi metabolit yang toksik. • Kebanyakan larutan dan obat-obatan bersifat lipofilik, di mana di dalam tubuh mekanisma transpornya didukung oleh lipoprotein dalam sel darah merah dan melewati membran sel melalui komponen lipidnya. • Reaksi dalam pertukaran zat xenobiotik menjadi produk nontoksik atau mengaktivasi xenobiotik menjadi senyawa toksik (Gambar 7-3; lihat juga Gambar 7-2), terjadi dalam 2 fase. Pada reaksi fase 1, bahan-bahan kimia akan mengalami hidrolisis, oksidasi atau reduksi. Produk dari reaksi fase 1, seringkali akan mengalami pertukaran zat menjadi senyawa terlarut dalam air melalui reaksi fase 2, yaitu glukuronidasi, sulfasi, metilasi dan konyugasi dengan glutation (GSH). Senyawa terlarut dalam air sudah siap untuk diekskresikan. • Sistem enzim dalam sel yang terpenting yang terlibat dalam reaksi fase 1 adalah sistem sitokrom P-450 yang terutama terdapat pada retikulum endoplasma (RE) di hati, namun juga terdapat pada kulit,



Tanah



PAJANAN MANUSIA



Kulit



• Definisi dari racun adalah hal yang tidak mudah. Hal tersebut pada dasarnya tergantung pada jumlah kuantitatif dan dosis. Terdapat suatu ungkapan dari Paracelsus pada abad ke-16, bahwa "semua substansi adalah racun; dosis yang membedakan suatu racun dari obat". Pendapat tersebut mungkin menjadi lebih sahih saat ini, dari sudut pandang adanya proliferasi/produksi obat-obat terapi yang memiliki potensi efek yang berbahaya. • Xenobiotics adalah bahan kimia eksogen yang berada dalam lingkungan yang mungkin dapat diabsorpsi oleh tubuh melalui inhalasi, komsumsi makanan atau kontak pada kulit (Gambar 7-2). • Bahan-bahan kimia dapat diekskresikan di urin atau feses atau dieliminasi melalui udara pernapasan atau bahan-bahan tersebut dapat terakumulasi dalam tulang, lemak, otak atau jaringan tubuh lainnya.



Air



Saluran cerna



Paru



Penyerapan ke aliran darah



Toksisitas



Distribusi ke jaringan METABOLISMA



Tempat penyimpanan Ekskresi



Gambar 7-2 Pajanan manusia pada polutan. Polutan dalam udara, air dan tanah diserap melalui paru, saluran cerna dan kulit. Dalam tubuh, mereka mungkin berpengaruh terhadap tempat absorpsi, tetapi mereka umumnya dibawa melalui aliran darah ke berbagai organ, tempat mereka disimpan atau dimetabolisasi. Metabolisme xenobiotik mungkin mengakibatkan pembentukan senyawa yang larut dalam air, yang diekskresikan atau dalam aktivasi suatu bahan, membentuk metabolit beracun.



paru dan mukosa gastrointestinal atau secara praktis dalam setiap organ. Sistem tersebut berfungsi sebagai katalisator pada reaksireaksi yang dapat menyebabkan detoksifikasi xenobiotik atau aktivasi xenobiotik menjadi senyawa yang dapat merusak sel. Kedua tipe reaksi tersebut dapat memproduksi, sebagai produk tambahan yaitu ROS (Reactive Oxygen Species), yang dapat menyebabkan kerusakan sel, (dibahas pada Bab 1). Beberapa contoh aktivasi metabolit dari bahan-bahan kimia melalui sistem P-450 adalah konversi dari karbon tetra klorida menjadi bahan toksik triklorometil, yang merupakan radikal bebas dan pembuatan metabolit yang dapat berikatan dengan DNA dari BaP (benzo[α]pyrene), suatu karsinogen yang terdapat pada asap rokok. Sistem sitokrom P-450 juga berpartisipasi dalam metabolisme dari sejumlah besar obat-obat terapi yang sering digunakan, seperti asetaminofen, barbiturat dan antikonvulsan, serta dalam metabolisme alkohol (dibahas selanjutnya).



272



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Xenobiotik



Eliminasi Metabolit non toksik



Metabolit reaktif



Efek pada molekul selular (enzim, reseptor, membran, DNA)



Perbaikan molekular dan seluler Toksisitas (jangka pendek dan jangka panjang)



Gambar 7-3 Metabolisme xenobiotik. Xenobiotik dapat mengalami metabolisme menjadi metabolit non toksik dan disingkirkan dari tubuh (detoksifikasi). Tetapi, metabolisme mereka juga mungkin mengakibatkan aktivasi dari bahan-bahan kimia, menyebabkan pembentukan metabolit reaktif yang beracun untuk komponen seluler. Kalau perbaikan tidak efektif, terjadi jangka pendek dan jangka panjang.(Dimodifikasi dari Hodgson E A Textbook of Modem Toxicology, 3rd ed, and Fig. 1-1. Hoboken, NJ, John Wiley & Sons, 2004.)







Enzim P-450 mempunyai aktivitas yang bervariasi pada setiap orang yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh polimorfisme gen yang menyandi enzim tersebut dan mempengaruhi interaksi obat-obatan yang mengalami pertukaran zat melalui sistem tersebut. Aktivitas enzim tersebut juga dapat menurun akibat puasa atau kelaparan, dan dapat meningkat akibat konsumsi alkohol dan merokok.



POLUSI LINGKUNGAN



Los Angeles, Houston, Mexico City dan Sao Paulo. Mungkin polusi udara merupakan fenomena modern. Namun tidak berlaku untuk kasus ini; Seneca menulis dalam AD 61, bahwa ia merasakan perubahan disposisinya, segera setelah ia meninggalkan "uap wabah, jelaga dan udara berat di Roma". Hukum pertama untuk pengendalian lingkungan, diproklamasikan oleh Edward 1 pada tahun 1306 dan secara singkat: "Barangsiapa yang ditemukan bersalah karena pembakaran batubara, akan menderita kehilangan kepalanya". Yang telah berubah dalam zaman modern adalah sifat dan sumber polutan udara dan jenis peraturan yang mengendalikan emisinya. Dapat dikatakan bahwa manusia modern telah kehilangan kepalanya untuk menenggelamkan dirinya dalam polusi. Paru menanggung beban berat akibat polusi udara, tetapi polutan udara dapat mempengaruhi banyak sistem organ (efek keracunan timbal dan CO, dibahas kemudian). Kecuali beberapa komentar tentang rokok, dibahas kemudian di bab ini, penyakit paru akibat polutan dibahas di Bab 12. Yang dibahas di sini adalah pengaruh utama ozon, sulfur dioksida, partikel dan CO terhadap kesehatan (Tabel 7-1). Ozon adalah salah satu polusi udara yang paling luas dengan tingkat yang melebihi, standard EPA di banyak kota. Ini adalah gas, yang terbentuk oleh pengaruh cahaya matahari (sunlight-driven), termasuk nitrogen oksida, yang terutama dikeluarkan oleh knalpot mobil. Bersama dengan oksida dan bahan partikel halus, ozon membentuk kabut asap biasa (dari asap dan kabut).



Tabel 7–1 Pengaruh Polutan Udara Ruang Terbuka Terhadap Kesehatan



Polutan



Populasi Berisiko



Pengaruh



Ozon



Dewasa dan anak sehat



Fungsi paru menurun Reaktivitas sakuran napas meningkat inflamasiparu Kapasitas latihan fisis menurun Rawat inap meningkat Reaktivitas saluran napas meningkat Fungsi paru menurun Infeksi respirasi meningkat



Atlet, pekerja di ruang terbuka Pengidap asma Nitrogen dioksida



Dewasa sehat Pengidap asma Anak



Sulfur dioksida



Dewasa sehat



Asam aerosol



Dewasa sehat



Polusi Udara Udara yang kita hirup sehari-hari juga sering sarat dengan banyak penyebab penyakit yang berpotensi. Mikroorganisme yang ada di udara sudah sejak lama menjadi berbagai penyebab morbiditas dan kematian. Banyak bahan kimia dan polutan yang ditemukan dalam udara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bahayabahaya tertentu dapat ditemukan baik di luar maupun di dalam ruangan.



Polusi Udara di Tempat Terbuka Udara ambien di negara industri terkontaminasi dengan campuran polutan gas dan partikel, yang tidak baik, yang lebih berat di kota dan daerah dekat industri berat. Di Amerika Serikat, Environmental Protection Agency (EPA) memonitor dan menetapkan batas atas yang diizinkan untuk enam polutan, sulfur dioksida, CO, ozon, nitrogen dioksida, timbal dan partikel. Bersama-sama, beberapa zat ini, menghasilkan kabut asap yang diketahui kadang-kadang melumpuhkan kota-kota besar seperti Kairo,



Sindrom respirasi meningkat Pasien dengan penyakit Mortalitas meningkat paru kronik Rawat inap meningkat Pengidap asma Fungsi paru menurun



Anak Pengidap asma Partikel



Mekanisme pembersihan Mukosiliar berubah Infeksi respirasi meningkat Fungsi paru menurun Rawat inap meningkat



Anak



Infeksi respirasi bertambah Fungsi paru Pasien dengan penyakit menurun paru dan jantung Mortalisa berlebihan kronik Pengidap asma Serangan meningkat



Data dari Health effects of outdoor air pollution. Part 2. Committee of the Environmental and Occupational Health Assembly of the American Thoracic Society. Am J Respir Crit Care Med I 53:477, 1996.



Polusi Lingkungan Toksisitasnya berasal dari peranannya dalam reaksi kimia yang menghasilkan radikal bebas yang menyebabkan jejas sel-sel yang melapisi traktus respirasi dan alveoli. Ozon pada tingkat rendah mungkin ditoleransi oleh orang sehat tetapi merugikan fungsi paru, terutama pada penderita asma atau emfisema dan kalau disertai polusi partikel. Celakanya, polutan jarang berada secara tunggal, tetapi dalam kombinasi untuk membuat witches brew benar. Sulfur dioksida, partikel dan asam aerosol dipancarkan oleh pembakaran batubara dan bahan bakar minyak dan proses pembakaran minyak tanah industri. Dari bahan-bahan ini, partikel (meskipun tidak khas kimia atau fisis), tampaknya merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian. Partikel yang diameternya kurang dari 10 µm sangat berbahaya, sebab kalau terhirup, partikelpartikel ini mengikuti semua aliran udara ke alveoli. Di sini, mereka difagositosis oleh makrofag dan neutrofil, menyebabkan pelepasan mediator-mediator dan memicu terjadinya reaksi inflamasi. Sebaliknya, partikel-partikel yang lebih besar akan disingkirkan dalam hidung atau akan terjebak dalam mukosilia dengan pergerakan silia yang dinamik (semacam escalator) sehingga efeknya tidak terlalu berbahaya. Karbon monoksida (CO) adalah gas yang bersifat tidak mengiritasi, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Gas tersebut diproduksi dari oksidasi bahan-bahan karbon yang tidak sempurna. Sumbernya dapat berasal dari mesin otomotif, industri yang menggunakan bahan bakar minyak bumi, bahan-bahan pembakaran rumah tangga dan asap rokok. Gas tersebut juga dapat ditemukan dalam kadar rendah pada udara sehari-hari dan dapat menyebabkan gangguan pernapasan, tetapi tidak membahayakan jiwa. Namun, orang-orang yang bekerja pada lingkungan yang sering terpajan dengan gas dan asap tersebut, seperti pekerja-pekerja tambang dan pekerja terowongan bawah tanah dapat terkena keracunan kronik. CO dapat dimasukkan sebagai bahan polusi udara tetapi juga merupakan penyebab penting terjadinya kematian mendadak dan tidak direncanakan. Dalam ruang kecil dan tertutup, asap pembuangan dari mesin mobil dapat menyebabkan koma yang mematikan dalam 5 menit. CO merupakan bahan penyebab asfiksia sistemik yang dapat menyebabkan kematian dengan cara berikatan dengan Hb dan mencegah transpor 02. Hb mempunyai afinitas 200 kali lebih kuat terhadap CO dibandingkan dengan O2. Senyawa yang dihasilkan karboksihemoglobin, tidak mampu membawa oksigen. Hipoksia menyebabkan depresi sistem saraf pusat (SSP), yang berkembang sedemikian lambatnya, sehingga korban mungkin tidak menyadari memburuknya kondisi mereka dan tentu tidak mungkin menolong diri mereka sendiri. Hipoksia sistemik tampak, bila hemoglobin mengandungi CO dengan tingkat kejenuhan 20-30% dan ketidaksadaran dan kematian, mungkin terjadi pada tingkat kejenuhan 60-70%.



Pada orang berkulit putih, hal ini ditandai oleh warna merah cherry, yang khas, secara menyeluruh pada kulit dan selaput lendir, suatu warna yang ditampilkan oleh karboksihemoglobin. Kalau kematian terjadi dengan cepat, perubahan morfologis mungkin tidak terjadi, dengan kelangsungan hidup lebih lama, otak dapat mengalami edema ringan dan menunjukkan titik-titik perdarahan dan perubahan saraf akibat hipoksia. Perubahanperubahan ini tidak spesifik, mereka hanya menyatakan hipoksia sistemik. Pada korban yang selamat dari keracunan CO, dapat pulih sempurna, tetapi kadang-kadang gangguan memori, penglihatan, pendengaran dan bicara mungkin menetap.



Polusi Udara dalam Ruangan Karena rumah modern, semakin "tertutup" dan terpisah dari lingkungan, maka potensi polusi udara dalam ruangan meningkat. Polutan tersering adalah asap tembakau (dibahas kemudian) tetapi terdapat polutan lain ialah CO, nitrogen dioksida (sudah disebutkan sebagai polutan luar ruangan) dan asbes (dibahas di Bab 12). Beberapa ulasan tentang beberapa zat lain disajikan di sini. Asap kayu, mengandungi berbagai oksida dari partikel nitrogen dan karbon, yang merupakan iritan, sehingga orang yang terpajan lebih mudah terserang infeksi paru dan mungkin mengandungi karsinogen hidrokarbon polisiklik. Radon, suatu gas radioaktif, yang merupakan derivat dari uranium, terdapat luas di tanah dan rumah. Meskipun pajanan Radon dapat menyebabkan kanker pada pekerja tambang (terutama pada mereka yang merokok), dalam keadaan pajanan tingkat rendah, kronik, di rumah, tidak terjadi peningkatan risiko kanker, setidaknya untuk bukan perokok. Bioaerosol, mungkin mengandungi agen mikrobiologis yang patogen, seperti agen yang menyebabkan penyakit Legionnaires, pnemoni virus dan flu (common cold), serta alergen yang berasal dari bulu hewan peliharaan, kutu debu rumah dan jamur dan kapang, yang menyebabkan rinitis, iritasi mata dan bahkan asma.



RINGKASAN Penyakit Lingkungan dan Polusi Lingkungan • •



Keracunan akut oleh CO umumnya merupakan akibat dari paparan yang tidak sengaja atau usaha bunuh diri.



Penyakit lingkungan adalah kondisi yang disebabkan oleh pajanan zat kimia atau fisis baik di tempat kerja maupun di lingkungan pribadi. Bahan kimia eksogen, yang dikenal sebagai zat xenobiotik, memasuki tubuh melalui inhalasi, makanan dan kontak kulit dan dapat di eliminasi atau terakumulasi di lemak, tulang, otak dan jaringan lain.







Zat xenobiotik dapat diubah menjadi bahan-bahan non toksik atau diaktifkan menjadi senyawa toksik, melalui proses reaksi dua fase yang melibatkan sistem sitokrom P-450.







Polutan udara yang paling sering adalah ozon (yang dalam kombinasinya dengan oksida dan partikel membentuk asap), sulfur dioksida, aerosol asam dan partikel yang diameternya kurang dari 10 p.m. Karbon monoksida merupakan polusi udara dan penyebab kematian akibat kecelakaan dan bunuh diri; bahan ini mengikat hemoglobin dengan afinitas tinggi, menyebabkan asfiksia sistemik yang berhubungan dengan depresi SSP.



MORFOLOGI Keracunan kronik oleh CO terjadi sebab karboksihemoglobin yang sekali terbentuk akan sangat stabil. Akibatnya, pada pajanan yang persisten terhadap CO dengan konsentrasi rendah, karboksi hemoglobin, dapat terakumulasi dalam darah sampai ke konsentrasi yang mengancam nyawa. Perkembangan hipoksia yang lambat, dapat menyebabkan perubahan-perubahan iskemik luas di otak; perubahan-perubahan ini sangat jelas di ganglia basalis dan nuklei lentikuler. Dengan penghentian paparan terhadap CO, pasien biasanya sembuh, tetapi mungkin ada kerusakan neurologik yang permanen. Diagnosis keracunan CO, didasarkan pada deteksi tingginya konsentrasi karboksihemoglobin dalam darah.



273







Logam sebagai Polutan Lingkungan Timbal, merkuri, arsenik dan kadmium, logam berat yang paling sering berhubungan dengan efek berbahaya pada manusia, dibahas di sini.



274



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Timbal Pajanan timbal terjadi melalui udara dan makanan. Pada sebagian besar abad ke-20, sumber utama timbal di lingkungan adalah cat rumah dan bensin. Meskipun penggunaan cat berbasis timbal dan gas bertimbal telah sangat berkurang, banyak sumber timbal bertahan di lingkungan, seperti pertambangan, pengecoran, baterai dan cat semprot, yang semuanya merupakan risiko pekerjaan. Namun, pengelupasan cat bertimbal di rumah-rumah tua dan kontaminasi pada tanah merupakan bahaya besar untuk anak-anak. Memang, sebuah chip tunggal 1-cm2 dari cat tua bertimbal (sebelum 1977) mengandungi sekitar 175 µg timbal, jumlah ini kalau dikonsumsi tiap hari dari waktu ke waktu, akan cepat mencapai kadar toksik timbal. Menurut sebuah laporan tahun 2008 dari Environmental Protection Agency (EPA), 0,9% anak-anak Amerika menunjukkan kadar timbal darah melebihi 10 µg/ dL (kadar maksimum yang diperbolehkan). Persentasi ini menunjukkan penurunan dari 4,4% pada awal tahun 1990. Walaupun demikian, pada anak-anak yang tinggal di rumah dengan cat berbasis timbal atau debu yang terkontaminasi timbal, umumnya kadar timbal darahnya lebih tinggi dari kadar maksimum yang diperbolehkan. Anak-anak mengabsorbsi lebih dari 50% timbal dari makanan, sedangkan orang dewasa mengabsobsi sekitar 15%. Sawar darah otak (blood-brain barrier) yang lebih permeabel pada anak membuat kerentanan kerusakan otak yang tinggi. Gambaran klinis utama dari keracunan timbal diperlihatkan pada Gambar 7-4. Sebagian besar dari timbal yang terserap (80%-85%), dibawa ke tulang dan gigi yang sedang tumbuh; bersaing dengan kalsium, mengikat fosfat dengan paruh waktu (a half life) di tulang adalah 20 sampai 30 tahun. Sekitar 5 sampai 10% timbal yang terserap tetap dalam darah, dan sisanya didistribusikan ke jaringan lunak. Timbal yang berlebihan, menyebabkan efek neurologik pada dewasa dan anak; neuropati perifer predominan pada dewasa, sedangkan efek sentral lebih sering pada anak. Efek paparan timbal yang kronik pada anak, meliputi kapasitas intelektual yang lebih rendah, bermanifestasi sebagai intelligence quotient (IQ) yang rendah, kelainan perilaku seperti hiperaktif dan rendahnya keterampilan organisasi. Neuropati perifer yang diinduksi oleh timbal, pada dewasa umumnya berkurang dengan eliminasi pajanan, tetapi kedua abnormalitas ini bersifat perifer dan SSP, pada anak biasanya tidak reversibel. Kelebihan timbal mengganggu "remodeling" kalsifikasi tulang rawan normal dan trabekula tulang primer di epifisis anak, menyebabkan densitas tulang meningkat, yang terdeteksi sebagai garis-garis timbal (Gambar 7-5). Garis timbal yang jenisnya berbeda dapat ditemukan di gusi, di sini kelebihan timbal menyebabkan hiperpigmentasi. Timbal menghambat penyembuhan fraktur dengan meningkatkan kondrogenesis dan memperlambat mineralisasi tulang dewasa. Ekskresi timbal adalah melalui ginjal dan pajanan akut dapat menyebabkan kerusakan tubulus proksimal. Timbal mempunyai afinitas tinggi terhadap gugus sulfhidril dan mengganggu dua enzim yang terlibat dalam sintesis heme, asam amino-levulinat dehidratasi dan delta ferokelatase. Masuknya besi ke heme terhambat, menyebabkan anemia. Timbal juga menghambat sodium - potassium- dependent ATPases di membran sel, suatu efek yang dapat meningkatkan fragilitas sel darah merah, menyebabkan hemolisis. Diagnosis keracunan timbal, memerlukan pengawasan yang terus menerus. Diagnosis dapat dicurigai berdasarkan kelainan neurologis atau anemia yang tidak jelas sebabnya, disertai bercak basophil (basophilic stippling) di sel darah merah. Peningkatan kadar timbal darah dan protoporfirin bebas eritrosit (lebih dari 50 µg/ dL) atau alternatif, kadar protoporfirin seng diperlukan untuk diagnosis definitif. Pada kasus-kasus dengan pajanan timbal yang lebih ringan, kelainannya mungkin hanya anemia.



OTAK Dewasa: Nyeri kepala, penurunan daya ingat Anak: Encefalopati, kemunduran mental GUSI Garis timbal DARAH Anemia, bintik-bintik basofilik (basophilic stippling) di sel darah merah SARAF PERIFER Dewasa: Demielinasasi GINJAL Penyakit tubulointerstitial kronik SALURAN GASTROINTESTINAL Nyeri abdomen



TULANG Anak: Endapan padat sinar (radiodense) pada epifisis



PEKERJAAN Cat semprot Pengecoran logam Penambahan dan penggalian timbal Pembakaran aki



SUMBER



BUKAN PEKERJAAN Pasokan air Debu dan kelupasan cat Asap kendaraan bermotor Tanah perkotaan



Gambar 7-4 Gambaran patologis dari keracunan timbal.



MORFOLOGI Sasaran anatomik utama pada toksisitas timbal adalah darah, sumsum tulang, sistem saraf, saluran cerna dan ginjal (Gambar 7-4). Kelainan darah adalah ciri yang paling dini dari akumulasi timbal dan khas, terdiri atas anemia mikrositik dan hipokromik, berkaitan dengan bercak basophil (basophilic stippling dengan gambaran titik) yang jelas pada eritrosit. Kelainan-kelainan darah ini, disebabkan oleh inhibisi sintesis heme di progenitor eritroid sumsum. Konsekwensi lain



Polusi Lingkungan



275



Merkuri Manusia sepanjang sejarah telah menggunakan merkuri dengan berbagai cara, termasuk sebagai pewarna lukisan gua, kosmetik, obat sifilis dan komponen diuretik. Keracunan dari inhalasi uap merkuri telah lama dikenal dan berhubungan dengan tremor, ginggivitis dan perilaku aneh, seperti pada Mad Hatter dalam Lewis Carroll's Alice in Wonderland (dahulu merkuri digunakan dalam pembuatan topi). Saat ini, sumber utama dari pajanan merkuri adalah ikan yang tercemar dan amalgams gigi, yang melepaskan uap merkuri. Pada beberapa daerah di dunia, merkuri yang dipakai di pertambangan emas telah mencemari sungai dan anak sungai. Merkuri anorganik dari degassing kerak bumi alami atau dari kontaminasi industri diubah menjadi senyawa organik seperti metil-merkuri oleh bakteri. Metil merkuri masuk ke rantai konsumsi makanan dan ikan karnivora seperti ikan todak, hiu dan bluefish, kadar merkuri mungkin menjadi satu juta lebih tinggi daripada di air sekitarnya. Konsumsi ikan yang tercemar zat berasal dari pelepasan metil-merkuri di Teluk Minamata dan Sungai Agano di Jepang dan konsumsi roti yang mengandungi gandum yang diberi fungisida berbasis merkuri di Irak, menyebabkan morbiditas luas dan banyak kematian. Gambar 7-5 Keracunan timbal. Gangguan remodeling tulang rawan yang mengalami kalsifikasi di epifisis (tanda panah) pergelangan tangan, yang menyebabkan peningkatan radiodensitas yang mencolok, sehingga epifisis tampak radio-opak seperti tulang korteks. (Sumbangan dari Dr. G.W. Dietz, Department of Radiology, University of Texas Southwestem Medical School, Dallas, Texos.)



lain dari hambatan ini yang terbentuk adalah protoporfirin seng bukan heme. Dengan demikian, peningkatan kadar protoporfirin seng darah atau produknya ialah protoporfirin eritrosit bebas, merupakan indikator penting dari keracunan timbal. Kerusakan otak cenderung terjadi pada anak. Ini mungkin samar-samar, menghasilkan disfungsi ringan atau mungkin masif dan letal. Pada anak pernah dilaporkan, terjadi gangguan sensorik, motorik, intelektual dan psikologis, termasuk penurunan IQ, kesulitan belajar, keterlambatan perkembangan psikomotor dan pada kasus-kasus yang lebih berat, kebutaan, psikosis, kejang dan koma. Toksisitas timbal pada ibu hamil, dapat menyebabkan gangguan perkembangan otak janin. Perubahan anatomik yang mendasari defisit fungsional yang lebih samar tidak diketahui pasti, tetapi beberapa cacat mungkin menetap. Pada ujung spektrum yang lebih parah adalah edema otak, demielinisasi substansi putih otak besar dan kecil dan nekrosis neuron korteks yang disertai oleh proliferasi difus astrosit. Pada dewasa SSP lebih jarang terjangkiti, tetapi sering terjadi neuropati demielinisasi perifer, khas mengenai neuron motor yang mempersarafi sebagian besar otot-otot yang sering dipakai. Jadi, otot ekstensor dari pergelangan tangan dan jari-jari sering menjadi korban pertama, diikuti oleh paralisis otot peroneal (wristdrop dan footdrop). Traktus GI juga merupakan lokasi untuk manifestasi klinis utama. "Kolik" timbal ditandai oleh nyeri abdomen yang sangat hebat dengan lokasi yang tidak jelas. Ginjal dapat mengalami kerusakan tubulus proksimal dengan inklusi timbal intranukleus. Kerusakan ginjal kronik akhirnya menyebabkan fibrosis interstitium dan mungkin gagal ginjal dan ciri-ciri sugestif dari penyakit pirai/gout (saturnine gout). Perangai lain dari keracunan timbal diperlihatkan pada Gambar 7-4.



Kelainan-kelainan medik yang berhubungan dengan episode Minamata dikenal sebagai penyakit Minamata dan termasuk cerebral palsy, ketulian, kebutaan dan sebagian besar cacat SSP pada anakanak, yang terpajan semasa janin. Otak dalam masa perkembangan, sangat sensitif terhadap metil merkuri, oleh karena itu The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat merekomendasikan, agar wanita hamil menghindari konsumsi jenis ikan yang diketahui mengandungi merkuri. Telah banyak publikasi tentang kemungkinan hubungan antara thimerosal (suatu senyawa yang mengandungi etil merkuri, yang sampai saat ini digunakan sebagai pengawet beberapa vaksin) dan perkembangan autisma, tetapi beberapa penelitian besar telah gagal untuk mendeteksi hubungan ini.



Arsen (Arsenik) Arsen adalah racun yang terkenal di zaman Renaissance Italia, dan aplikasi ini digunakan oleh beberapa praktisi yang terlatih di antara kaum Borgia dan Medici. Saat ini jarang terjadi orang yang diracun, tetapi pajanan arsen merupakan masalah kesehatan yang penting di banyak daerah di dunia. Arsen, secara alami ditemukan di tanah dan air dan digunakan dalam pengawet kayu, herbisida dan produk pertanian lain. Ini dapat dilepaskan di lingkungan oleh industri pertambangan dan peleburan. Konsentrasi besar arsen anorganik terdapat di air tanah di negara-negara seperti Bangladesh, Chili dan Cina. Sebanyak 20 juta orang di Bangladesh minum air yang tercemar oleh arsen, merupakan salah satu risiko kanker akibat lingkungan, yang terbesar, yang belum teridentifikasi. Bentuk arsen yang paling beracun, adalah senyawa trivalen arsenik trioksida, natrium arsenit dan arsenik triklorida. Jika tertelan dalam jumlah banyak arsen menyebabkan toksisitas akut, dengan manifestasi sebagai gangguan gastrointestinal, kardiovaskular dan SSP yang parah, sering berakhir dengan kematian. Efek ini dapat dikaitkan dengan gangguan fosforilasi oksidatif mitokondria.



276



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Pajanan kronik arsen menyebabkan hiperpigmentasi dan hiperkeratosis pada kulit, yang dapat berkembang menjadi karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa (tetapi tidak melanoma). Tumor kulit yang diinduksi oleh arsen berbeda dengan yang diinduksi oleh sinar matahari, dengan lokasinya di telapak tangan dan kaki dan terjadi sebagai lesi multipel. Pajanan arsen juga berkaitan dengan peningkatan risiko karsinoma paru. Mekanisme dari karsinogenesis arsen pada kulit dan paru tidak pasti.



Kadmium Berbeda dengan logam yang sudah dibahas, kadmium adalah zat toksik yang relatif modern terutama digunakan dalam baterai nikelkadmium, yang umumnya dibuang sebagai limbah rumah tangga. Hal ini dapat mencemari tanah dan tanaman secara langsung atau melalui pupuk dan air irigasi. Makanan adalah sumber pajanan terpenting untuk masyarakat umum. Asupan kadmium yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif dan toksisitas ginjal, awalnya sebagai kerusakan tubulus, yang dapat berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir. Pajanan kadmium dapat juga menyebabkan kelainan tulang terkait dengan kehilangan kalsium. Air yang tercemar kadmium, yang dipakai untuk irigasi sawah di Jepang, menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai itai-itai (ouchouch), pada wanita menopause, kombinasi dari osteoporosis dan osteomalasia, yang berhubungan dengan penyakit ginjal. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 5% dari orang berusia 20 tahun dan lebih tua di Amerika Serikat memiliki tingkat kadmium urin, yang menurut data penelitian dapat mencederai ginjal secara samar dan meningkatkan hilangnya kalsium.



RINGKASAN Pengaruh Toksik dari Logam Berat •



Timbal, merkuri, arsenik dan kadmium adalah logam berat yang paling sering dikaitkan dengan efek toksik pada manusia.







Pada anak, absorbsi timbal yang tertelan, lebih besar daripada dewasa, sumber utama eksposur pada anak adalah cat yang mengandungi timbal.







Timbal yang berlebihan menyebabkan cacat SSP pada anak dan neuropati perifer pada dewasa. Timbal yang berlebihan bersaing dengan kalsium di tulang dan mengganggu remodelling tulang rawan,juga menyebabkan anemia.







Sumber utama pajanan merkuri adalah ikan yang tercemar. Otak dalam masa perkembangan, sangat sensitif terhadap metil merkuri, yang tertimbun di otak dan menyumbat saluran ion.



• Pajanan janin terhadap kadar merkuri yang tinggi di uterus dapat menyebabkan penyakit Minamata, yang ditandai oleh cerebral palsy, ketulian dan kebutaan. •







Arsen secara alami terdapat di tanah dan air dan merupakan komponen dari beberapa pengawet kayu dan herbisida. Kelebihan arsen mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria dan menyebabkan efek toksik di traktus GI, SSP dan sistem kardiovaskular, pajanan jangka panjang menyebabkan lesi kulit dan karsinoma. Kadmium dari baterai nikel-kadmium dan pupuk kimia dapat mencemari tanah. Kelebihan kadmium menyebabkan penyakit paru obstruktif dan kerusakan ginjal.



Pajanan Industri dan Pertanian Lebih dari 10 juta kecelakaan kerja terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dan sekitar 65.000 orang meninggal sebagai akibat penyakit dan kecelakaan kerja. Pajanan industri terhadap zat toksik bervariasi seperti industri itu sendiri. Mereka berkisar dari hanya iritasi yang mengganggu di saluran respirasi oleh uap formalin atau amonia, sampai kanker paru yang fatal yang terjadi akibat pajanan pada pertambangan asbes, arsen atau uranium. Penyakit manusia yang berhubungan dengan pajanan pekerjaan tercantum pada Tabel 7-2. Selain logam beracun (yang telah dibahas), zat penting lain yang berkontribusi terhadap penyakit lingkungan, meliputi bahan-bahan berikut: • Pelarut organik banyak digunakan dalam jumlah besar di seluruh dunia. Beberapa seperti kloroform dan karbon tetraklorida, ditemukan dalam zat pelarut lemak dan dry cleaning dan pelarut cat. Pajanan akut terhadap uap zat-zat ini dengan kadar tinggi dapat menyebabkan pusing dan kebingungan, menyebabkan depresi SSP dan bahkan koma. Kadar yang lebih rendah bersifat toksik terhadap hati dan ginjal. Pajanan pekerja karet terhadap benzene dan 1,3butadin, meningkatkan risiko leukemia. Benzena di oksidasi menjadi suatu epoksida, melalui CYP2E1 hati, suatu komponen dari sistem enzim P-450 yang telah disebutkan. Epoksida dan metabolit lain mengganggu diferensiasi sel progenitor di sumsum tulang, menyebabkan aplasia sumsum dan leukemia mieloid akut. • Hidrokarbon polisiklik dapat dilepaskan selama pembakaran batubara dan gas, terutama pada temperatur tinggi, yang digunakan untuk pengecoran baja dan juga terdapat dalam tar dan jelaga (Pott mengidentifikasi jelaga sebagai penyebab kanker skrotum di cerobong asap pada 1775, seperti disebutkan di Bab 5). Hidrokarbon polisiklik merupakan salah satu karsinogen yang paling kuat dan pajanan industri telah berperan sebagai penyebab kanker paru dan kandung kemih • Organoklorin (dan senyawa organik yang terhalogenisasi secara umum) adalah produk sintesis yang tahan terhadap degradasi dan bersifat lipofilik. Organoklorin penting yang digunakan sebagai peptisida adalah DDT (diklorodifenil trikloroetan) dan metabolitrtya dan zat-zat seperti lindan, aldrin dan dieldrin. Organoklorin nonpeptisida meliputi polychlorinated biphenyls (PCBs) dan dioxin (TCDD [2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin]). DDT sudah dilarang di Amerika Serikat sejak tahun 1973. Namun pada lebih dari setengah penduduk masih terdeteksi adanya kadar p,p'-DDE dalam serum yaitu metabolit DDT jangka panjang, termasuk orang-orang yang dilahirkan setelah DDT, dilarangpun masih terkena dampaknya. PCB dan TCDD juga terdapat dalam darah pada kebanyakan penduduk di Amerika Serikat. Keracunan DDT akut pada manusia dapat menyebabkan gangguan neurologis. Kebanyakan organoklorin menyebabkan gangguan endokrin, serta memiliki efek antiestrogenik atau anti androgenik pada hewan percobaan, namun efek jangka panjang pada kesehatan manusia belum dapat dipastikan. • Dioksin dan PCBs dapat menyebabkan kelainan kulit seperti folikulitis dan dermatosis acneiformis, yang dikenal sebagai chloracne, yang terdiri atas acne, kista-kista, hiperpigmentasi dan hiperkeratosis. Umumnya terdapat disekitar wajah dan di belakang telinga. Penyakit tersebut dapat disertai adanya kelainan pada hati dan SSP. Selain itu, karena PCB menginduksi sistem enzim P-450, pekerja-pekerja yang terpajan terhadap zat tersebut dapat menunjukkan kelainan metabolisme obat.



Polusi Lingkungan



277



Tabel 7-2 Asosiasi Penyakit Manusia dan Pajanan Pekerjaan



Organ/Sistem Sistem kardiovaskular



Pengaruh Penyakit jantung



Sistem respirasi



Kanker hidung Kanker paru Penyakit paru obstruksi kronik Hipersensitivitas Fibrosis



Sistem saraf



Neuropati perifer Perilaku ataksik Depresi sistem saraf pusat Katarak Toksisitas Kanker kandung kemih Infertilitas pria Infertilitas Wanita Teratogenesis



Sistem urinaria Sistem reproduksi



Sistem hematopoietik Kulit



Leukemia Folikulitis dan dermatosis acneiform Kanker



Saluran cerna



Angiosarkoma hati



Bahan Toksik Karbon monoksida, timbal, pelarut, kobal, kadmium Alkohol isopropil, debu kayu Radon, asbes, silika, bis (klorometil) eter, nikel, arsenik, kromium, gas mustard Debu padi-padian, debu batubara, kadmium Berilium, isosianat Amonia, sulfur oksida, formaldehida Silika, asbes, kobal Pelarut, akrilamid, metal klorida, air raksa, timbal, arsenik, DDT Klordan, toluen, akrilamida, air raksa Alkohol, keton, aldehida, pelarut Radiasi ultraviolet Air raksa, timbal, eter glikol, pelarut Naftilamin, 4-aminobifenil, benzidin, produk karet Timbal, plastisiser ftalat Kadmium, timbal Air raksa, bifenil poliklorinat Benzena, radon, uranium Bifenil poliklorinat, dioksin, herbisida Radiasi ultraviolet Klorida vinil



DDT, diklorodifeniltrikloroetan. Data dari Leigh JP, Markowitz SB, Fahs M, et al: Occupational injury and illness in the United States. Estimates of costs, morbidity, and mortality, Arch Intem Med 157:1557, 1997; Mitchell FL: Hazardous waste. ln Rom WN (ed): Environmental ond Occupational Medicine, 2nd ed. Boston, Uttle, Brown, 1992, p 1275; and Levi PE: Classes of toxic chemicals. ln Hodgson E, Levi PE (eds): A Textbook of Modem Toxicology. Stamford, CT, Appleton & Lange, 1997, p 229.



Bencana alam di Jepang dan Cina pada akhir tahun 1960 disebabkan oleh konsumsi minyak nabati yang tercemar oleh PCB pada saat produksinya dan meracuni sekitar 2000 orang pada setiap episode. Manifestasi awal dari penyakit tersebut (yusho dalam bahasa Jepang, yu-cheng dalam bahasa Cina) adalah chloracne dan hiperpigmentasi pada kulit dan kuku.



Peningkatan risiko terjadinya kanker akibat paparan asbes, seringkali juga dapat terjadi pada anggota keluarga dari pekerja asbes dan orang-orang lain di luar tempat kerja. Pneumokoniosis serta patogenesisnya akan dibahas pada Bab 12.



• Bisphenol A (BPA) digunakan pada pembuatan wadah makanan dan minuman berkarbonasi dan epoxy resins, yang melapisi hampir semua kaleng dan botol; oleh karena itu, manusia seringkali terpajan dengan BPA. BPA sudah lama terkenal sebagai penyebab gangguan endokrin. Beberapa telaah retrospektif telah mempelajari hubungan antara peningkatan kadar BPA dalam urin disertai terjadinya penyakit jantung pada orang-orang dewasa. Selain itu, bayi yang minum dari botol-botol yang mengandungi BPA juga rentan terhadap efek endokrinnya. Pada tahun 2010, Kanada merupakan negara pertama yang memasukan BPA ke dalam daftar bahan beracun dan sebagai Negara pembuat botol-botol, cangkir sippy bayi terbesar, telah berhenti menggunakan BPA dalam proses produksinya. Namun, efek gangguan kesehatan jangka panjang pada manusia akibat BPA masih belum dapat dipastikan dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. • Pajanan terhadap vinil klorida yang digunakan dalam pembuatan barang-barang polivinil, dapat menyebabkan angiosarkoma pada hati, tumor yang jarang terdapat pada hati • Inhalasi debu mineral dapat menyebabkan penyakit paru kronik, non neoplastik, yang disebut sebagai pneumokoniosis. Kelompok penyakit ini meliputi penyakit-penyakit paru non neoplastik yang diinduksi oleh partikel-partikel organik dan anorganik serta asap dan uap bahan kimia. Pneumokoniosis paling sering disebabkan oleh pajanan terhadap debu mineral: debu batubara (dalam pertambangan), silika (dalam pemotongan batu dan kerikil), asbes (dalam pertambangan, pabrik dan pekerja isolasi) dan berilium (dalam pertambangan dan pabrik). Paparan terhadap bahan-bahan ini sering terjadi dalam tempat kerja tersebut.



Tembakau merupakan penyebab eksogen tersering pada penyakit kanker manusia, serta merupakan penyebab 90% penyakit kanker paru-paru. Penyebab utamanya adalah merokok, namun penggunaan tembakau dalam berbagai cara (menghisap atau mengunyah tembakau) juga dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan merupakan penyebab penting dari kanker mulut. Penggunaan produk tembakau tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun inhalasi pasif asap rokok dari lingkungan (second-hand smoke) juga dapat menyebabkan kanker paru pada orang-orang yang tidak merokok. Merokok sigaret global dapat menyebabkan lebih dari 4 juta kematian pertahun, umumnya disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, berbagai jenis kanker dan gangguan respirasi kronik. Diperkirakan akan terdapat 8 juta kematian per tahun yang berkaitan dengan tembakau menjelang tahun 2020, peningkatan sebagian besar terjadi pada negara-negara berkembang. Dari semua orang yang hidup saat ini, diperkirakan sekitar 500 juta orang akan meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan tembakau. Di Amerika Serikat, tembakau menyebabkan lebih dari 400.000 kematian setiap tahunnya, sepertiganya disebabkan oleh kanker paru.



EFEK DARI TEMBAKAU



Merokok merupakan salah satu sebab kematian yang dapat dicegah. Pemakaiannya dapat menurunkan ketahanan hidup. Sekitar 80% orang-orang yang tidak merokok hidup sampai usia 70, namun hanya sekitar 50% perokok yang hidup sampai usia tersebut (Gambar 7-6). Penghentian kebiasaan merokok dapat menurunkan risiko kematian akibat kanker paru, dan bahkan tetap memberikan sedikit pengaruh pada orang-orang yang berhenti merokok di usia 60. Pada tahun 1998-2007 di Amerika



BAB 7



278



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi Terbiasa merokok Kadangkadang merokok



100



Kanker rongga mulut Kanker laring



80



Persentasi hidup



Kanker esofagus Kanker paru



60



Bronkhitis kronik, emfisema Myocardial miokard



40



Ulkus peptik 20



Kanker pankreas



0 40



55



70



85



100



Aterosklerosis sistemik



Umur



Gambar 7-6 Pengaruh rokok pada kelangsungan hidup. Penelitian ini membandingkan angka kematian usia tertentu untuk mereka yang terbiasa merokok dengan mereka yang kadang-kadang merokok (British Doctors Study). Perbedaan kelangsungan hidup, diukur pada usia 75 tahun, antara perokok dan bukan perokok adalah 7,5 tahun. (Dimodifikasi dori Stewart BW, Kleihues P fecisi World Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



Serikat, insidens merokok menurun drastik, tetapi sekitar kurang lebih 20% orang-orang dewasa tetap merokok. Lebih parah lagi, merokok di negara yang paling banyak penduduknya, Cina lebih sering dilakukan daripada dihindari. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang di Cina meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Selanjutnya akan dibahas mengenai beberapa bahan yang terdapat dalam rokok dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pemakaian tembakau. Efek samping dari merokok pada berbagai sistem organ dapat dilihat pada Gambar 7-7. Jumlah bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok sangat banyak; pada Tabel 7-3 terdapat beberapa efek samping yang diakibatkan oleh bahan-bahan berbahaya tersebut. Nikotin, suatu alkaloid yang terdapat pada daun tembakau, tidak menyebabkan penyakit secara langsung, tetapi menyebabkan adiksi. Nikotin berikatan dengan reseptor-reseptor di otak dan melalui pelepasan katekolamin, dapat menyebabkan efek langsung akibat merokok seperti meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, serta meningkatkan kontraktilitas dan curah jantung. Penyakit yang paling sering disebabkan oleh rokok biasanya menjangkiti paru-paru yaitu: emfisema, bronkitis kronik dan kanker paru. Semuanya akan dibahas pada Bab 12. Mekanisme terjadinya penyakit akibat tembakau akan dibahas selanjutnya. • Bahan-bahan dalam asap rokok memiliki efek iritasi langsung pada mukosa trakeo-bronkial, menyebabkan inflamasi dan meningkatkan produksi mukus (bronkitis). Asap rokok juga menyebabkan datangnya leukosit ke paru-paru sehingga meningkatkan produksi elastase lokal dan menyebabkan kerusakan jaringan paru yang mengakibatkan terjadinya emfisema.



Kanker kandung kemih



Gambar 7-7 Pengaruh samping rokok. Yang ditebalkan (boldface), lebih sering.



• Komponen-komponen asap rokok, terutama hidrokarbon polisiklik dan nitrosamin (Tabel 7-4), merupakan karsinogen yang potensial pada binatang dan mungkin terlibat dalam proses terjadinya karsinoma paru pada manusia (lihat Bab 12). Risiko terjadinya kanker paru berhubungan dengan intensitas pajanan rokok, umumnya diukur dengan sebutan "bungkus per tahun" (misalnya 1 bungkus per hari selama 20 tahun sama dengan 20 bungkus per tahun) atau jumlah batang rokok per hari (Gambar 7-8). Di samping itu, rokok melipat gandakan peningkatan risiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan Tabel 7-3 Pengaruh dari Konstituen Asap Rokok Tertentu



Zat



Pengaruh



Tar



Karsinogenesis



Hidrokarbon aromatik polisiklik Karsinogenesis Nikotin



Stimulasi dan depresi ganglion, promosi tumor



Fenol Benzopiren Karbon monoksida Formaldehida Oksida nitrogen Nitrosamine



Promosi tumor, iritasi mukosa Karsinogenesis Gangguan transpor dan pemakaian oksigen Toksisitas terhadap silia; iritasi mukosa Toksisitas terhadap silia, iritasi mukosa Karsinogenesis



Efek dari Tembakau



279



Sebagai salah satu contoh interaksi karsinogen-karsinogen yang dapat menyebabkan kanker laring diberikan pada bagan berikut ini Organ Karsinogen (Gambar 7-9). Paru, laring Hidrokarbon aromatik polisiklik Ibu dalam keadaan hamil yang merokok akan meningkatkan risiko • 4-(Metilnitrosoamino)- I -(3terjadinya abortus spontan dan kelahiran prematur, serta dapat piridil)- I -butanone (NNK) 210 Polonium menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (Bab 6); sedangkan berat badan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berhenti merokok Esofagus Nr-Nitrosonornikotine (NNN) Pankreas NNK (?) sebelum hamil adalah normal. • Pajanan terhadap asap tembakau di lingkungan (perokok pasif) 4-Aminobifenil, 2-naftilamin Kandung kemih juga dapat menimbulkan efek yang merugikan. Diperkirakan bahwa Rongga mulut: rokok Hidrokarbon aromatik polisiklik, risiko relatif terjadinya kanker paru pada nonperokok yang terpapar NNK, NNN asap rokok di lingkungan sekitar 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan Rongga mulut: dihisap NNK, NNN, dengan non-perokok yang tidak terpajan asap rokok. Di Amerika Data dari Szczesny LB, Holbrook JH: Cigarette smoking. ln Rom WH (ed): Environmental Serikat, sekitar 3000 kematian akibat kanker paru pada non-perokok and Occupational Medicine, 2nd ed. Boston, Little, Brown, 1992, p 121 I. di atas usia 35 tahun disebabkan oleh asap rokok di lingkungan. Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan risiko terhadap aterosklerosis arteri koroner dan infark miokard yang fatal. dengan karsinogen lain, sebagai contoh: insidens terjadinya karsinoma Penelitian melaporkan bahwa setiap tahun, 30.000-60.000 kematian paru meningkat 10 kali lipat pada pekerja yang terpajan asbes dan akibat penyakit jantung di Amerika Serikat berhubungan dengan pekerja tambang uranium yang merokok dibandingkan pekerja yang perokok pasif. Anak-anak yang tinggal di rumah dengan orang tua tidak merokok dan interaksi antara konsumsi tembakau dan alkohol yang merokok memiliki frekuensi yang lebih tinggi untuk menderita dalam meningkatnya risiko terjadinya kanker mulut akan dibahas gangguan pernapasan dan asma. Jumlah asap rokok yang terhisap kemudian. oleh orang-orang non-perokok dapat diperkirakan dengan mengukur • Aterosklerosis dan komplikasi utamanya infark miokard, sangat kadar kotinin dalam darah yaitu suatu metabolit dari nikotin. Di berhubungan dengan merokok. Mekanisme perjalanan penyakit Amerika Serikat, rata-rata kadar kotinin pada non-perokok telah mungkin berkaitan dengan beberapa faktor, termasuk peningkatan menurun sekitar lebih besar 60% dalam waktu 15 tahun akhir-akhir agregasi trombosit, penurunan asupan oksigen ke miokard (sebab ini disebabkan peraturan larangan merokok di tempat umum. penyakit paru-paru menyebabkan hipoksia dan berkaitan dengan gas Namun, perokok pasif yang berada di rumah tetap menjadi masalah CO pada asap rokok) disertai peningkatan kebutuhan oksigen pada besar dalam masyarakat, terutama pada anak-anak. Jelaslah bahwa miokard dan penurunan ambang untuk fibrilasi ventrikel. Hampir kesenangan menghisap rokok yang sementara harus dibayar dengan sepertiga dari semua serangan jantung berkaitan dengan merokok. harga yang mahal dalam jangka waktu yang lama. Merokok dapat melipatgandakan risiko terhadap penyakit, bila dikombinasikan dengan hipertensi dan hiperkolesterolemia. Tabel 7-4 Karsinogen Organ Tertentu dalam Asap Tembakau



• Selain kanker paru, asap tembakau juga dapat menyebabkan kanker rongga mulut, esofagus, pankreas dan kandung kemih. Pada Tabel 7-4 terdapat daftar karsinogen yang spesifik terhadap organ tertentu, yang terdapat dalam asap rokok



Menghisap tembakau (rokok/hari)



• Kombinasi pemakaian tembakau (dikunyah atau merokok) dan konsumsi alkohol dapat melipat-gandakan risiko terhadap kanker mulut, laring dan esofagus.



50



0–7



8–15



16–25



26+



40



Risiko relatif



20



Risiko relatif



15



10



30



20 120+ 10



5



0



41–80



0



1



10



20



40



60



Rokok yang dihisap/hari Gambar 7-8 Risiko kanker paru ditentukan oleh jumlah rokok yang dihisap. (Data dari Stewart BW, Kleihues P teds]: Wodd Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



0 0–40



n



Ko



lko



si a



m su



81–120 ri) ha (g/ l ho



Gambar 7-9 Peningkatan multiplikatif dalam risiko kanker lainnya dari interaksi antara merokok dan konsumsi aikohol. (Data dari Stewart BVV, Kleihues P 1"eds]: World Cancer Report Lyon, IARC Press, 2003.)



280



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



RINGKASAN Pengaruh Tembakau pada Kesehatan •



Merokok merupakan salah satu penyebab kematian manusia yang dapat dicegah.







Asap tembakau mengandungi lebih dari 2000 bahan. Di antaranya adalah nikotin, salah satu bahan utama yang dapat menyebabkan adiksi rokok dan merupakan karsinogen yang berbahaya. Bahan lainnya hidrokarbon polisiklik aromatik, nitrosamin dan amin aromatik. sekitar kurang lebih 90% kanker paru terjadi pada perokok. Merokok juga berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap kanker pada rongga mulut, laring, esofagus, lambung, kandung kemih dan ginjal serta beberapa bentuk leukemia. Dengan berhenti merokok dapat mengurangi risiko terjangkit kanker paru. Pemakaian tembakau tanpa asap dapat menyebabkan kanker mulut. Konsumsi tembakau yang dikombinasi dengan alkohol dapat melipatgandakan risiko terhadap kanker mulut, laring dan esofagus dan peningkatan risiko terjangkit kanker paru pada pekerja-pekerja yang terpajan pada asbes, uranium dan bahan-bahan lainnya. Konsumsi tembakau merupakan faktor risiko penting untuk terjangkit aterosklerosis, infark miokard, penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskular. Pada paru di samping menyebabkan kanker, juga merupakan predisposisi emfisema bronkitis kronik dan penyakit paru obstruksi kronik. Merokok dalam keadaan hamil, meningkatkan risiko terhadap abortus, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir rendah.



















PENGARUH ALKOHOL Bila etanol dikonsumsi dalam jumlah terbatas akan mengakibatkan perasaan menyenangkan pada seseorang, tidak mengganggu masyarakat dan tidak membahayakan. Tetapi bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, alkohol akan mengakibatkan kerusakan fisis dan psikologik. Selanjutnya akan dibahas mengenai kelainan-kelainan yang berhubungan langsung dengan penggunaan alkohol yang berlebihan. Terlepas dari semua perhatian yang diberikan pada obat-obat terlarang, penggunaan salah dari alkohol menimbulkan bahaya yang lebih luas dan mematikan. Lima puluh persen orang dewasa di negara barat minum alkohol dan sekitar 5%-10% merupakan alkoholisme kronik. Diperkirakan terdapat lebih dari 10 juta pecandu alkoholisme kronik di Amerika Serikat dan konsumsi alkohol menyebabkan lebih dan 100.000 kematian pertahun. Hampir 50% kematian tersebut adalah akibat kecelakaan yang disebabkan mengendarakan mobil dalam keadaan mabuk dan bunuh diri akibat alkohol dan sekitar 25% lainnya sebagai akibat sirosis hati. Setelah dikonsumsi, etanol diserab tanpa perubahan di lambung dan usus kecil, kemudian didistribusikan pada seluruh jaringan dan cairan tubuh sesuai dengan kadar dalam darah. Kurang dari 10% diekskresikan tanpa mengalami pertukaran zat ke dalam urin, keringat dan napas. Jumlah alkohol yang dihembuskan (ekshalasi) sebanding dengan kadarnya dalam darah dan digunakan sebagai dasar tes napas oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Konsentrasi sebanyak 80 mg/dL dalam darah merupakan batas legal bagi pengendara untuk digolongkan dalam keadaan mabuk pada banyak negara. Pada rata-rata orang, konsentrasi dengan jumlah demikian dapat dicapai setelah mengkonsumsi sekitar 8 botol bir (6-16 gr alkohol/botol), 12 gelas anggur (9-18 gr alkohol/ gelas) atau 6 gelas wiski (sekitar 11 gr alkohol/gelas).



Mabuk terjadi pada kadar 200 mg/dL, stupor pada kadar 300 mg/dL dan koma dengan kemungkinan berhenti bernapas pada kadar yang lebih tinggi. Kecepatan metabolisme mempengaruhi kadar alkohol dalam darah. Orang-orang dengan alkoholisme kronik dapat mentoleransi kadar setinggi 700 mg/dL, dapat disebabkan meningkatnya kecepatan metabolisme etanol akibat peningkatan induksi sistem sitokrom P-4y0 dalam hati, dibahas selanjutnya. Sebagian besar alkohol dalam darah mengalami pertukaran zat menjadi asetaldehid di dalam hati oleh tiga sistem enzim: alkohol dehidrogenase, isoenzim sitokrom P-450 dan katalase (Gambar 7-10). Di antara semua, enzim utama yang berperan dalam metabolisme alkohol adalah alkohol dehidrogenase yang terdapat dalam sitosol hepatosit. Pada kadar alkohol yang lebih tinggi dalam darah, sistem oksidasi etanol mikrosomal juga berperan penting. Sistem ini melibatkan enzim sitokrom P-450, sebagian dalam bentuk isoform CYP2E1 yang terdapat dalam retikulum endoplasma. Induksi enzim P-450 oleh alkohol menjelaskan peningkatan metabolisme senyawasenyawa lain oleh enzim yang sama pada pecandu alkohol, termasuk obat-obat (asetaminofen, kokain), anestesi, karsinogen dan bahanbahan industri. Sebagai catatan, ketika kadar alkohol tinggi dalam darah, alkohol akan berkompetisi dengan substrat CYP2E1 lainnya dan dapat menunda katabolisme obat-obat lain, sehingga meningkatkan pengaruh obat lain. Katalase juga memiliki sedikit peran, hanya sekitar 5% peran dalam metabolisme alkohol. Asetaldehid yang diproduksi dalam sistem tersebut akan diubah oleh asetaldehiddehidrogenase menjadi asetat yang kemudian dimanfaatkan dalam jalur pernapasan mitokondria. Beberapa efek toksik disebabkan oleh metabolisme etanol. Tercantum di sini, hanya yang terpenting: • Oksidasi alkohol oleh alkohol dehidrogenase menyebabkan penurunan nikotinamid adenine dinukleotida (NAD+) dan peningkatan NADH (bentuk reduksi dari NAD+). NAD+ diperlukan dalam oksidasi asam lemak dalam hati. Defisiensi enzim tersebut adalah penyebab utama dari penumpukan lemak dalam hati pada pecandu alkohol. Peningkatan rasio NADH/NAD+ pada pecandu alkohol dapat juga menimbulkan asidosis laktat. • Asetaldehid mempunyai banyak pengaruh toksik dan dapat menyebabkan pengaruh akut dari alkohol. Metabolisme asetaldehid berbeda pada setiap orang karena terdapat variasi genetik. Sekitar 50% orang Asia memiliki kekurangan asetaldehid dehidrogenase. Setelah mengkonsumsi alkohol, orang tersebut akan mengalami pelebaran pembuluh darah kulit dan tampak kemerahan (flushing), takikardia dan hiperventilasi akibat akumulasi asetaldehid. • Metabolisme etanol dalam hati oleh CYP2E1 menghasilkan spesies oksigen reaktif dan menyebabkan peroksidasi lemak dari membran sel. Namun, mekanisme yang tepat mengenai kerusakan sel akibat alkohol masih belum dapat dijelaskan dengan pasti. dapat menyebabkan pelepasan endotoksin • Alkohol (lipopolisakarida), produk dari bakteri gram negatif dari flora di intestinal. Endotoksin dapat menstimulasi pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dan sitokin lain dari makrofag yang beredar atau dari sel Kupffer dalam hati, menyebabkan kerusakan sel. Pengaruh samping keracunan penggunaan salah dari etanol dapat digolongkan sebagai akut atau kronik. Keracunan alkohol akut berefek langsung pada SSP, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan hati dan lambung yang reversibel. Bahkan dengan asupan alkohol dalam jumlah sedang, butiran-butiran lemak dapat berakumulasi dalam sitoplasma hepatosit (fatty change atau steatosis hati).



Pengaruh Alkohol



281



NADP+, H2O



Mikrosom



OH CH3CH NADPH + H+ + O2



OH H2O



CYP2E1



Mitokondria Sitosol CH3CH2OH Etanol



ADH



O CH3C



NAD+



NADH +



H+



NAD+ ALDH



H Asetaldehid



NADH + H+ O CH3C



OH



Asam asetat



Peroksisoma



KATALASE H2O2



H 2O



Gambar 7-10 Metabolisme etanol: oksidasi etanol menjadi asetaldehida melalui tiga cara yang berbeda dan pembentukan asam asetat. Perhatikan bahwa oksidasi oleh alkohol dehidrogenase (ADH) terjadi di sitosol; sistem sitokrom P-450 dan CYP2E1 isoform terletak di ER (mikrosom) dan katalase terletak di perioksisom. Oksidasi aldehida oleh aldehida dehidrogenase (ALDH) terjadi di Mitokondria. (Data dari Parkinson A: Biotronsformation of xenobiotics. 1n Klassen CD red]: Casarett and Doull's Toxicology: The Basic Science of Poisons, 6th ed. New York, McGraw-Hill, 2001, p 133.)



Kerusakan lambung berupa gastritis akut dan ulserasi. Pada SSP, alkohol merupakan depresan, awalnya mempengaruhi struktur subkorteks yang memodulasi aktivitas korteks serebral. Akibatnya, terdapat stimulasi dan kelainan sistem korteks, perilaku motorik dan perilaku intelektual. Pada kadar yang lebih tinggi dalam darah, sarafsaraf korteks dan pusat meduler bawah akan terdepresi, termasuk pusat pengaturan respirasi. Sehingga dapat menyebabkan pernapasan berhenti. Alkoholisme kronik tidak hanya mempengaruhi hati dan lambung tetapi juga semua jaringan dan organ lain. Alkoholisme kronik menyebabkan morbiditas yang bermakna dan memperpendek umur, hal itu berkaitan dengan kerusakan pada hati, saluran cerna, sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular dan pankreas. • Hati merupakan tempat utama kerusakan kronik. Selain perlemakan hati yang telah disebutkan sebelumnya, alkoholisme kronik menyebabkan hepatitis dan sirosis hati alkoholik (dibahas dalam Bab 15). Sirosis dapat menyebabkan hipertensi portal dan peningkatan risiko terhadap karsinoma sel hati. • Pada saluran cerna, alkoholisme kronik dapat menyebabkan perdarahan masif akibat gastritis, ulkus gaster atau varises esofagus (berhubungan dengan sirosis), yang dapat berakibat fatal. • Defisiensi tiamin, sering ditemukan pada pasien dengan alkoholisme kronik. Kelainan yang dapat diakibatkan defisiensi tiamin yaitu neuropati perifer dan sindrom Wernicke-Korsakoff (lihat Tabel 7-9 dan Bab 22). Atrofia serebrum, degenerasi serebelum dan neuropati saraf optik juga dapat terjadi.



• Alkohol mempunyai beragam pengaruh pada sistem kardiovaskular. Kerusakan pada miokardium dapat menyebabkan kardiomiopati kongestif disertai dilatasi (kardiomiopati alkoholisme) akan dibahas pada Bab 10. Konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (satu gelas per hari) dilaporkan dapat meningkatkan kadar high-density lipoproteins (HDLs) dalam darah dan menghambat agregasi trombosit, sehingga dapat mencegah penyakit jantung koroner. Namun, konsumsi berlebihan dengan adanya kerusakan hati, berakibat penurunan kadar HDL, serta meningkatkan risiko terhadap penyakit jantung koroner. Alkoholisme kronik juga berhubungan dengan peningkatan insidens hipertensi. • Konsumsi alkohol yang berlebihan juga meningkatkan risiko pankreatitis akut dan kronik (Bab 16). • Konsumsi etanol selama kehamilan, pernah dilaporkan bahwa konsumsi dalam jumlah kecil pun dapat menyebabkan sindrom alkohol janin (fetal alcohol syndrome). Sindrom yang terdiri atas kelainan mikrosefali, hambatan pertumbuhan abnormalitas bentuk wajah bayi baru lahir dan penurunan fungsi mental pada anak-anak. Sulit menentukan jumlah konsumsi alkohol yang dapat menyebabkan sindrom alkohol janin, tetapi konsumsi alkohol saat trimester pertama kehamilan sangat berbahaya. • Konsumsi alkohol kronik berkaitan dengan meningkatnya insidens terjadinya kanker rongga mulut, esofagus,



282



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



hati dan mungkin payudara pada perempuan. Mekanisme efek karsinogeniknya masih belum dapat dipastikan. • Etanol merupakan salah satu substansi sumber energi, namun sering dikonsumsi sebagai pengganti makanan (tanpa kalori). Sehingga alkoholisme kronik sering berakibat malnutrisi dan defisiensi terutama vitamin B.



RINGKASAN Alkohol - Metabolisme dan Pengaruh pada Kesehatan • Penggunaan salah dari alkohol akut dapat menyebabkan mabuk pada kadar kurang lebih 200 mg/dL. Stupor dan koma terjadi pada kadar yang lebih tinggi. Alkohol dioksidasi menjadi asetaldehid dalam hati oleh alkohol • dehidrogenase oleh sistem enzim sitokrom P-450 dan oleh katalase, meskipun hanya mempunyai sedikit peran. Asetaldehid diubah menjadi asetat dalam mitokondria dan dimanfaatkan dalam jalur respirasi. • Oksidasi alkohol oleh alkohol dehidrogenase menurunkan NAD, sehingga terjadi penimbunan lemak pada hati dan asidosis metabolit. Pengaruh utama dari alkoholisme kronik antara lain: • perlemakan hati, hepatitis alkoholik dan sirosis yang dapat menyebabkan hipertensi portal dan peningkatan risiko terhadap karsinoma sel hati. • Alkoholisme kronik dapat menyebabkan perdarahan akibat gastritis dan ulkus gaster, neuropati perifer yang berhubungan dengan defisiensi tiamin dan kardiomiopati alkoholik dan peningkatan risiko terhadap pankreatitis akut dan kronik. • Alkoholisme kronik merupakan faktor risiko utama terhadap kanker rongga mulut, laring, dan esofagus. Risiko tersebut meningkat tinggi jika dikombinasi dengan merokok atau pemakaian tembakau cara lain.



KELAINAN AKIBAT OBAT-OBAT TERAPI DAN PENGGUNAAN SALAH OBAT Kelainan Akibat Obat-Obat Terapeutik: Pengaruh Samping Obat Pengaruh samping obat (adverse drug reactions/ADRs) merupakan pengaruh obat yang tidak diharapkan yang muncul pada dosis terapi. Reaksi ini sangat sering dijumpai pada praktik kedokteran sehari-hari dan dapat menyebabkan kurang lebih 7-8% pasien dirujuk ke rumah sakit. Sekitar 10% reaksi tersebut dapat berakibat fatal. Tabel 7-5 menunjukkan kelainan yang dijumpai pada ADR serta obat-obat yang terlibat. Seperti yang terlihat dalam tabel, banyak jenis obat yang dapat menimbulkan ADR, seperti: obat antineoplastik, yang berpotensi tinggi dan pengaruh samping obat tersebut sudah diperhitungkan untuk mencapai manfaat terapi yang maksimal. Umumnya, obat-obat yang sering digunakan, seperti: tetrasiklin jangka panjang yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk jerawat, dapat menyebabkan pengaruh lokal atau sistemik (Gambar 7-11). Karena sering digunakan, estrogen dan kontrasepsi oral (KB) akan dibahas lebih rinci pada bab berikutnya. Sebagai tambahan, asetaminofen dan aspirin yang merupakan obat-obat bebas tetapi merupakan penyebab penting dalam



A



B Gambar 7-11 Pengaruh samping minosiklin, derivat tetrasiklin yang berpengaruh lama. A, Pigmentasi biru-kelabu yang difus di lengan bawah, sekunder terhadap penggunaan minosiklin. B, Deposit partikel metabolit obat/besi/pigmen melanin di dermis. (A dan B, Penghargaan kepodo Dr Zsolt Argenyi, Department of Pathology, Unwersity of Washington, Seattle, Washington)



keracunan baik disengaja maupun tidak sehingga memerlukan pembahasan khusus.



Estrogen Eksogen dan Kontrasepsi Oral Estrogen Eksogen. Terapi eksogen, dahulu terutama digunakan untuk gejala-gejala menopause yang mengganggu (seperti gejala badan merasa panas/hot flashes), saat ini digunakan luas pada wanita menopause, dengan atau tanpa tambahan progestin, untuk mencegah atau memperlambat perkembangan osteoporosis (Bab 20) dan untuk mengurangi kemungkinan infark jantung. Terapi seperti ini disebut sebagai terapi sulih hormon (hormone replacement therapy/ HRT). Mengingat fakta bahwa hiperestrinisma endogen meningkatkan risiko terhadap kanker endometrium dan mungkin karsinoma payudara, sejak awal, dapat dimengerti bahwa ada kekhawatiran tentang penggunaan HRT. Fokus utama dari kontroversi ini adalah potensi manfaat HRT sebagai pelindung terhadap penyakit miokard iskemik. Data terbaru membenarkan bahwa pengaruh samping HRT pada endometrium dan kanker payudara tapi tidak mendukung pandangan bahwa HRT dapat mencegah penyakit jantung iskemik. Pengaruh samping HRT dapat disimpulkan sebagai berikut: • Hasil dari uji klinis terkelola secara acak (randomized control trials) menunjukkan bahwa HRT dengan estrogen saja akan meningkatkan risiko kanker



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat



283



Tabel 7-5 Beberapa Efek Samping Obat yang Sering Ditemukan dan Penyebabnya



Reaksi



Penyebab utama



Diskrasia Darah* Granulositopenia, anemia aplastik, pansitopenia Anemia hemolitik, trombositopenia



Obat antineoplastik, imunosupresif, dan kloramfenikol Penisilin, metildopa, quinidin



Kulit Urtikaria, makula, papula, vesikel, petekie, dermatitis eksfoliativa, erupsi obat, pigmentasi abnormal



Obat antineoplastik, sulfonamid, hidantoin, beberapa antibiotik dan banyak obat lain



Jantung Arrhythmias



Teofilin, hidantoin



Cardiomyopathy



Doksorubisin, daunorubisin



Ginjal Glomerulonefritis Nekrosis tubuler akut



Penisilamin Antibiotik aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B



Penyakit tubulointerstitial dengan nekrosis papilaris



Fenasetin, salisilat



Paru Asma



Salisilat



Pneumonitis akut



Nitrofurantoit



Fibrosis interstitium



Busulfan, nitrofurantoin, bleomisin



Hati Perlemakan



Tetrasiklin



Kerusakan hepatoseluler difus



Halotan, isoniasid, asetaminofen



Kolestasis



Klorpromazin, estrogen, obat kontraseptif



Sistemik Anaflaksis



Penisilin



Sindrom Lupus eritematosus (Lupus akibat obat)



Hidralasin, prokainamid



Sistem Saraf Pusat Berdengung dan pusing



Salisilat



Reaksi distonik akut dari sindrom Parkinson



Antipsikotik fenotiasin



Depresi respirasi Sedatif *Perangai dalam hampir separuh dari semua obat yang mungkin menyebabkan kematian



endometrium. Terapi estrogen meningkatkan risiko kanker endometrium 3-6 kali setelah penggunaan selama 5 tahun dan lebih dari 10 kali setelah 10 tahun, tapi risiko ini menurun drastis atau hilang bila progestin ditambahkan ke dalam regimen terapi. Namun, terapi HRT dengan estrogen dan progestin dalam waktu lama berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Penemuan ini menyebabkan penurunan resep HRT dari 16 juta pada tahun 2001 menjadi 6 juta pada tahun 2006, suatu penurunan yang diikuti oleh penurunan nyata jumlah kanker payudara baru yang terdiagnosis. Sangat menyedihkan untuk mencatat bahwa pada tindak lanjut (follow up) 3 tahun sesudah penghentian HRT estrogen progestin, perkembangan kanker payudara terus meningkat pada wanita penerima hormon ini. • HRT menggunakan estrogen, dengan atau tanpa progestin, meningkatkan beberapa kali risiko tromboembolisme, termasuk trombosis vena yang dalam, embolisme paru dan stroke. Peningkatan ini lebih mencolok pada 2 tahun pertama pengobatan dan berkaitan dengan faktor risiko lain seperti imobilisasi atau faktor V atau mutasi protrombin. • Estrogen dan progestin meningkatkan kadar high-density lipoprotein dan menurunkan kadar low-density lipoprotein darah. Berdasarkan data retrospektif epidemiologi,



dipikirkan bahwa HRT akan bermanfaat dalam proteksi terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik. Namun, studi prospektif besar dan terkontrol baik, tidak menunjukkan efek proteksi dari HRT terhadap infark miokard. Kontrasepsi Oral. Meskipun kontrasepsi oral (KO) telah digunakan lebih dari 35 tahun, terus terjadi ketidaksepakatan mengenai keamanan dan pengaruh sampingnya. Obat-obat ini hampir selalu mengandung estradiol sintetik dan progestin dalam jumlah yang bervariasi (KO kombinasi), tetapi beberapa obat hanya berisi progestin. Saat ini tersedia KO yang berisi estrogen lebih sedikit (kurang dari 50 ug/hari) dan jelas pengaruh sampingnya lebih jarang daripada kemudian sebelumnya. Oleh karena itu, hasil studi epidemiologik harus diinterpretasikan dalam konteks dosis. Bagaimanapun, cukup banyak bukti yang mendukung kesimpulan berikut: • Karsinoma payudara: Opini yang dianut ialah KO tidak menyebabkan peningkatan risiko kanker payudara. • Kanker endometrium dan kanker ovarium: KO mempunyai pengaruh protektif terhadap tumor ini.



284



BAB7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



• Kanker serviks: KO dapat meningkatkan risiko karsinoma serviks pada wanita yang terinfeksi human papillomavirus, meskipun tidak jelas, apakah peningkatan risiko ini akibat dari aktivitas seksual. • Tromboembolisme: Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa KO, termasuk preparat yang lebih baru dengan dosis rendah (kurang dari 50 p,g estrogen), menyebabkan peningkatan tiga sampai enam kali lipat, risiko trombosis vena dan tromboembolis paru, akibat peninggian sintesis faktor pembekuan oleh hati. Risiko ini, bahkan lebih tinggi pada KO yang lebih baru "generasi ketiga", yang mengandungi progestin sintetik, terutama pada wanita, yang membawa mutasi faktor V Leiden. Walaupun demikian, untuk meletakkan komplikasi ini dalam konteks, risiko tromboembolisme akibat pemakaian KO adalah dua sampai enam kali lebih rendah daripada risiko tromboembolisme akibat kehamilan. • Penyakit kardiovaskular: Terdapat ketidakpastian mengenai risiko aterosklerosis dan infark miokard pada penggunaan KO. Tampaknya KO tidak meningkatkan risiko penyakit arteri koroner pada wanita berusia lebih muda dari 30 tahun atau pada wanita lebih tua, yang tidak merokok, tetapi risiko menjadi kira-kira 2 kali pada wanita yang lebih dari 35 tahun yang merokok. • Adenoma hepatik: Terdapat hubungan jelas antara pemakai KO dan tumor jinak hati yang jarang ini, terutama pada wanita yang lebih tua, yang menggunakan KO dalam jangka panjang. Tumor merupakan massa, berkapsul, soliter dan besar. Jelas, pro dan kontra KO, harus dipandang dalam konteks penerapan dan penerimaan luas, sebagai bentuk kontrasepsi, yang memproteksi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.



Aseta, Imofem (Asetaminophen) Pada dosis terapi, asetaminophen, pemakaian luas analgesik dan antipiretik tanpa resep, sebagian besar berkonjugasi dengan glukuronat atau sulfat di hati. Sekitar 5% atau kurang mengalami pertukaran zat menjadi NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinoneimine) melalui sistem P-450 hepatik. Walaupun demikian, dengan dosis yang sangat besar, NAPQI tertimbun, menyebabkan nekrosis sentrilobular hati. Mekanisme jejas yang dihasilkan oleh NAPQI, termasuk (1) ikatan kovalen pada protein hati dan (2) deplesi dari glutation tereduksi (GSH). Deplesi GSH menjadikan hepatosit lebih rentan terhadap kematian sel yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Jarak antara dosis terapi biasa (0,5 gr) dan dosis toksik (15 sampai 25 gr) adalah besar dan obat biasanya sangat aman. Namun, kecelakaan overdosis terjadi pada anak-anak dan upaya bunuh diri dengan menggunakan asetaminofen tidak jarang, terutama di Inggris. Toksisitas dimulai dengan mual, muntah, diare dan kadang-kadang syok, diikuti oleh ikterus dalam beberapa hari. Dosis berlebihan dari asetaminofen dapat diobati pada stadium awal dengan pemberian Nasetilsistein (N-acetylcysteine), yang mengembalikan GSH. Pada dosis berlebihan yang berat, terjadi gagal hati dan nekrosis sentrolobuler, yang meluas ke seluruh lobulus, pasien sering memerlukan transplantasi hati untuk bertahan hidup. Beberapa pasien juga menunjukkan kerusakan ginjal secara bersamaan.



Aspirin (Asam Asetil Salisilat) Dosis berlebihan aspirin dapat merupakan akibat tertelan tidak sengaja pada anak atau sebagai upaya bunuh diri pada dewasa. Konsekwensi utama yang tidak diinginkan adalah kelainan yang bersifat metabolit, dengan sedikit perubahan morfologik. Mula-mula terjadi alkalosis respirasi, diikuti oleh asidosis metabolit yang sering terbukti fatal. Dosis fatal, mungkin hanya 2 sampai 4 gr pada anak dan 10 sampai 30 gr pada dewasa, tetapi pernah dilaporkan pasien selamat setelah menelan dosis lima kali lebih besar. Toksisitas aspirin kronik (salisilisma) dapat terjadi pada mereka yang menggunakan 3 gr atau lebih per hari (dosis yang digunakan untuk mengobati penyakit peradangan kronik). Manifestasi salisilisma kronik, adalah nyeri kepala, pening, telinga berdengung (tinitus), kesulitan dalam mendengar, kekacauan mental, mengantuk, mual, muntah dan diare. Perubahan SSP dapat berkembang menjadi kejang dan koma. Akibat morfologik salisilisme kronik bervariasi. Yang paling sering adalah gastritis erosif akut (Bab 14), yang dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna yang samar ataupun nyata dan menyebabkan ulserasi. Mungkin terjadi kecenderungan perdarahan, bersamaan dengan toksisitas kronik, sebab aspirin menghambat siklooksigenase trombosit, secara tidak reversibel dan menghambat kemampuan tubuh untuk membentuk tromboxane A2, suatu aktivator agregasi kombosit. Perdarahan petekie dapat ditemukan di kulit dan visera dan perdarahan dari ulserasi lambung mungkin bertambah parah. Campuran analgesik paten aspirin dan fenasetin atau metabolit aktifnya, asetaminofen, kalau dikonsumsi selama bertahun-tahun, dapat menyebabkan nefritis tubulointerstitial dengan nekrosis papilar ginjal. Entitas klinis ini dikenal sebagai nefropati analgesik (Bab 13).



Cedera oleh Zat Toksik Nonterapeutik (Drug Abuse/Penggunaan-salah Obat) Penggunaan-salah obat umumnya termasuk penggunaan bahan-bahan yang mempengaruhi pikiran dengan dosis melebihi terapi atau norma sosial. Adiksi obat dan obat berlebihan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Obat-obat yang sering digunakan salah, tercantum di Tabel 7-6. Termasuk di sini adalah kokain, heroin dan ganja (marijuana) dengan penjelasan singkat dari beberapa obat lain.



Kokain Pada 2008, Survei National Penggunaan Obat dan Kesehatan, memperkirakan bahwa terdapat 1,9 juta pengguna kokain di Amerika Serikat, yang sekitar 15% sampai 20% adalah pengguna kokain crack. Pengguna paling tinggi pada dewasa 18 sampai 25 tahun, dari mereka 1,5% dilaporkan memakai kokain dalam bulan terakhir. Diekstrak dari daun tanaman koka, kokain biasanya disediakan dalam bentuk bubuk yang larut dalam air, kokain hidroklorida, tetapi kalau dijual di luar, bahan ini dicampur dengan bedak (talcum powder), laktose atau bahan lainnya yang mirip. Kristalisasi alkaloid murni dari kokain hidroklorida menghasilkan nuggets of crack (disebut demikian karena terjadi suatu popping, kalau dipanaskan). Aksi farmakologik kokain dan crack adalah sama, tetapi crack lebih kuat. Kedua bentuk ini dapat dihisap, dihisap sebagai rokok sesudah dicampur dengan tembakau, ditelan atau disuntikkan subkutis atau intravena. Kokain menghasilkan rasa euforia dan kewaspadaan mental kuat menjadikan obat ini sebagai salah satu zat yang paling adiktif.



Kelainan Akibat Obat-Obat Terapi dan Penggunaan Salah Obat



285



Tabel 7-6 Obat yang Sering Disalahgunakan



Kelas



Target Molekuler



Contoh



Narkotik opoid



Reseptor mu opioid (agonis)



Heroin, hidromorfon (Dilaudid) Oksikodon Metadon (Dolofin)



Hipnotik sedatif



Reseptor GABAA (agonis)



Barbiturat Etanol Metaqualon (Quaalude) Glutetimid (Doriden) Etklorvinol (Plasidil)



Stimulan psikomotor



Pemindah dopamin (antagonis) Reseptor serotonin (toksisitas)



Kokain Amfetamin 3,4-metilendioksimetamfetamin (MDMA) (contoh,ekstasi)



Obat serupa fensklidin



Saluran reseptor NMDA glutamat (antagonis)



Kanabinoid



Reseptor CBI kanabinoid (agonis)



Fensiklidin (PCP) (contoh,angel dust) Ketamin Marijuana Hasis



Nikotin



Reseptor asetikolin nikotin (agonis)



Produk tembakau



Halusinogen



Reseptor serotonin 5-HT2 (agonis)



Asam dietilamid lisergik (LSD) Meskalin Psilosibin



CBI, reseptor kanabinoid tipe I; GABA, y-amino-asam butirik: 5-HT2, 5-hidroksitriptamin; NMDA, N-metil-d-aspartat; PCP, I -(1-fenilsildoheksil)piperidin. Data dari Hyman SE:A 28-year-old man addicted to cocaine. JAMA 286:2586, 2001.



Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan kemampuan menekan tuas pengungkit lebih dari 1000 kali dan melupakan makan dan minum untuk mendapatkan obat ini. Pada pengguna kokain, meskipun ketergantungan fisis tampaknya tidak terjadi, ketergantungan psikologik jelas. Ketagihan berat yang sangat kuat terutama terjadi pada beberapa bulan pertama setelah penghentian obat dan dapat kembali sesudah beberapa tahun. Penggunaan salah secara akut menyebabkan kejang aritmia jantung dan pernapasan berhenti. Manifestasi penting dari toksisitas kokain, adalah sebagai berikut: • Pengaruh kardiovaskular. Pengaruh fisis yang paling sering dari kokain berhubungan dengan reaksi akutnya pada sistem kardiovaskular. Kokain adalah suatu zat simptomimetik (Gambar 7-12), keduanya di SSP, tempat kokain menghambat pengambilan (uptake) dopamin kembali dan pada ujung akhir saraf adrenergik, di mana obat ini menghambat pengambilan kembali baik epinefrin dan norepinefrin, yang disertai perangsangan terhadap pelepasan presinaptik dari norepinefrin. Pengaruh akhir adalah akumulasi neurotransmitter di sinapsis dan stimulasi yang berlebihan, dengan manifestasi takikardi, hipertensi dan vasokonstriksi perzfer. Kokain juga menginduksi iskemi miokard, yang dasarnya multifaktor. Zat tersebut menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner dan mendukung pembentukan trombus melalui agregasi trombosit. Merokok sigaret memperkuat penyempitan pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh kokain. Jadi dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard oleh reaksi simptomimetik dan pada saat yang sama mengurangi aliran darah koroner, kokain sering memicu iskemi miokard yang dapat menyebabkan miokard infark. Kokain juga dapat memicu aritmia letal, dengan menambah aktivitas simpatetik serta dengan mengganggu transpor ion normal (K+, Ca2+, Na+) di miokard. Pengaruh toksik ini tidak selalu berhubungan dengan dosis dan peristiwa fatal dapat terjadi pada pengguna pertama kali dengan dosis khusus untuk mengubah suasana hati.



• Pengaruh SSP. Gejala tersering dari SSP adalah hiperpireksia (diduga disebabkan oleh penyimpangan jalur dopaminergik yang mengendalikan suhu tubuh) dan kejang. • Efek pada janin. Pada wanita hamil, kokain dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta, menyebabkan hipoksia janin dan aborsi spontan. Perkembangan saraf dapat terganggu pada janin wanita hamil, pengguna kokain kronik. • Penggunaan kokain kronik. Penggunaan kronik dapat menyebabkan (1) perforasi dari septum nasal, pada individu penghirup kokain melalui lobang hidung secara kasar sampai bersuara keras seperti kuda atau babi (snorters), (2) penurunan kapasitas difusi paru, pada mereka yang menghirup asap kokain dan (3) teijadinya kardiomiopati disertai dilatasi.



Heroin Heroin adalah suatu opioid adiktif, derivat dari tanaman madat (poppy plant) dan berkaitan erat dengan morfin. Pengaruhnya, lebih berbahaya daripada kokain. Namun, diperkirakan bahwa hampir 4 juta penduduk di Amerika Serikat telah menggunakan heroin, setidaknya sekali dan bahwa pada tahun 2008, lebih dari 400.000 penduduk, menggunakan heroin beberapa kali dalam satu tahun. Pada heroin yang dijual di jalan, telah dikurangi (diencerkan) dengan bahan (sering talc atau kina), jadi dosisnya tidak hanya bervariasi tetapi juga tidak diketahui pembeli. Heroin bersama dengan zat-zat pencemarnya biasanya disuntikkan sendiri secara intravena atau subkutis. Pengaruhnya bervariasi dan meliputi euphoria halusinasi, mengantuk dan sedasi. Heroin mempunyai pengaruh samping fisis, yang luas, yang dapat digolongkan menurut etiologi menjadi (1) reaksi farmakologik dari zat, (2) reaksi zat pengencer atau pencemar kokain, (3) reaksi hipersensitivitas obat atau obat palsu dan (4) penyakit-penyakit akibat pemakaian alat suntik bersama. Beberapa pengaruh samping terpenting heroin, sebagai berikut:



286



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



SINAPSIS SUSUNAN SARAF PUSAT Akson prasinaptik



Dopamin



Dendrit pasca sinaptik Eforia, paranoia, hipertermi



ANTARMUKA NEURON SIMPATIS - SEL SASARAN Norefinefrin



• Penyakit paru. Komplikasi paru, meliputi edema, embolisme septik, abses paru, infeksi oportunis dan granuloma benda asing dari talk dan bahan palsu. Meskipun granuloma terutama terjadi di paru, kadang-kadang granuloma ditemukan juga di limpa, hati dan kelenjar getah bening, yang mengaliri ekstremitas atas. Penelusuran dengan sinar terpolarisasi sering menyoroti kristal talk yang terjebak, kadang-kadang tertutup dalam sel raksasa benda asing. • Infeksi. Komplikasi infeksi sering terjadi. Tempat yang paling sering terjangkit adalah kulit dan jaringan subkutis, katup jantung, hati dan paru. Dalam serangkaian penderita adiksi yang rawat inap di rumah sakit, lebih dari 10% menderita endokarditis. Yang sering berbentuk khas, yang menjangkiti katup jantung kanan, terutama trikuspid. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tetapi jamur dan banyak organisma lain juga terlibat. Hepatitis virus adalah infeksi yang paling umum di antara pecandu dan diperoleh melalui berbagi jarum yang tercemar. Di Amerika Serikat, praktik ini juga menyebabkan insidens infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV) yang tinggi pada penggunaan salah obat intravena • Lesi kulit. Lesi kulit mungkin merupakan ciri khas yang paling sering dari adiksi heroin. Perubahan-perubahan akut meliputi abses, selulitis dan ulserasi akibat suntikan subkutis. Pembentukan jaringan parut pada tempat suntikan, hiperpigmentasi di atas vena yang sering digunakan dan venavena dengan trombosis adalah sekuela yang dapat ditemukan pada inokulasi intravena berulang. • Masalah ginjal. Penyakit ginjal merupakan bahaya yang relatif umum. Kedua bentuk yang tersering dijumpai adalah amiloidosis (umumnya sekunder dari infeksi kulit) dan glomerulosklerosis fokal, keduanya menyebabkan proteinuria keras dan sindrom nefrotik.



Marijuana (Ganja)



Hipertensi,aritmia jantung, infark miokardium, perdarahan dan infark sereberum



Gambar 7-12 Pengaruh kokain pada transmisi saraf. Obat ini menghambat penyerapan ulang dopamin neurotransmitter dan norefinefrin di sistem saraf pusat dan perifer.



• Kematian mendadak. Kematian mendadak, biasanya berkaitan dengan kelebihan dosis, merupakan risiko yang selalu ada, karena kemurnian heroin umumnya tidak diketahui dan dapat berkisar dari 2% sampai 90%. Insidens kematian mendadak tahunan di kalangan pengguna kronik di Ameriksa Serikat diperkirakan antara 1% dan 3%. Kematian mendadak kadang-kadang disebabkan oleh hilangnya toleransi terhadap obat seperti sesudah suatu periode di penjara. Mekanisme kematian meliputi depresi respirasi berat, aritmia dan henti jantung dan edema paru.



Marijuana atau pot adalah obat ilegal yang paling luas digunakan. Seperti tahun 2008, diperkirakan bahwa lebih dari 100 juta orang di Amerika Serikat, telah menggunakan marijuana selama hidup mereka, dengan lebih dari 15 juta orang (6,1% dari penduduk), mengakui menggunakannya selama bulan terakhir. Bahan ini dibuat dari daun Cannabis sativa, yang mengandungi bahan psikoaktif ∆9tetrahydrocarmabinol (THC). Ketika merokok ganja, sekitar 5% sampai 10% dari isi THC diserap. Meskipun banyak penelitian, apakah obat tersebut memiliki efek fisis dan fungsional, yang merugikan secara persisten, tetapi belum terpecahkan. Beberapa efek samping anekdot mungkin alergi atau reaksi idiosinkratik atau mungkin berhubungan dengan kontaminasi dalam pembuatannya lebih daripada efek farmakologik marijuana.Disisi lain, efek yang menguntungkan dari THC meliputi kapasitasnya untuk menurunkan tekanan intraokuler pada glaukoma dan melawan mual yang sulit diobati akibat kemoterapi kanker. Konsekwensi marijuana terhadap fungsi dan organ SSP telah mendapat banyak perhatian. Penggunaan marijuana juga diakui mendistorsi persepsi sensorik dan merusak koordinasi motorik, tetapi efek akut ini biasanya hilang dalam 4 sampai 5 jam. Bila digunakan terus, perubahan-perubahan ini akan berkembang menjadi kerusakan kognitif dan psikomotor, seperti ketidakmampuan untuk menentukan waktu, kecepatan dan jarak. Pada remaja, kerusakan ini sering menyebabkan kecelakaan mobil.



Cedera oleh Agen Fisis Marijuana meningkatkan denyut jantung dan kadang-kadang tekanan darah dan ini dapat menyebabkan angina pada mereka yang menderita penyakit arteri koroner. Paru dipengaruhi oleh merokok marijuana secara kronik; laringitis, faringitis, bronkitis, batuk, suara serak dan gejala asma, seperti sudah dijelaskan, terjadi bersama obstruksi jalan napas secara ringan, tetapi bermakna. Merokok sebatang rokok ganja, dibandingkan dengan sebatang rokok tembakau, menyebabkan peningkatan inhalasi tar tiga kali lipat dan menetap di paru sebagai akibat inhalasi yang lebih dalam dan lebih lama menahan napas.



Berbagai obat telah dicoba oleh mereka yang mencari "pengalaman baru" (tertinggi, terendah, out -of-body experiences) menentang keyakinan. Obat-obat ini termasuk berbagai stimulan, depresan, analgesik dan halusinogen. Di antara obat-obat ini, PCP (1-(1phenylcyclohexyl) piperidine), atau fenilsiklidin, dan ketamin (berkaitan dengan zat anestesi); lysergic acid diethylamide (LSD), halusinogen yang dikenal paling kuat : "ekstasi" (3,4-methylenedioxymethamphetamine [MDMA]); and oxycodone (suatu candu). Tidak banyak diketahui tentang lamanya pengaruh kerusakan dari berbagai zat tersebut. Secara akut, LSD mempunyai pengaruh yang tidak dapat diramalkan terhadap suasana hati, perasaan dan pikiran, kadangkadang menyebabkan perilaku aneh dan membahayakan. Penggunaan ekstasi kronik, dapat menguras serotonin dari SSP, berpotensi menyebabkan gangguan tidur, depresi, anksietas dan perilaku agresif.



RINGKASAN Jejas karena Obat •



Jejas karena obat dapat disebabkan oleh obat untuk terapi (pengaruh samping obat) atau bukan obat untuk terapi (penggunaan salah obat).







Zat antineoplastik, tetrasiklin dengan aktivitas lama (long acting) dan antibiotik lain, obat-obat HRT dan kontrasepsi oral, asetaminofen dan aspirin adalah obat-obat yang paling sering sebagai penyebab.











Obat yang biasa disalahgunakan termasuk hipnotiksedatif (barbiturate, etanol), stimulan psikomotor (kokain, amphetamin, ektasi), narkotik opium (heroin, metadon, oksikodon), halusinasi (LSD, mescalin) dan kanabinoid (marijuana, hasis).



CEDERA OLEH AGEN FISIS Cedera yang diinduksi oleh agen fisis, dibagi menjadi beberapa golongan berikut: trauma mekanik, jejas termal, jejas elektrik dan jejas akibat radiasi pengion. Setiap jenis akan dibahas terpisah.



Trauma Mekanik Kekuatan mekanik dapat menimbulkan berbagai jenis kerusakan. Jenis kerusakannya tergantung dari bentuk benda yang terlibat, besar energi yang dilepaskan pada saat berbenturan dan jaringan atau organ yang berbenturan. Jejas tulang dan kepala mengakibatkan kerusakan khas yang akan dibahas di tempat lain (Bab 22). Semua jaringan lunak bereaksi hampir sama terhadap kekuatan mekanik dan pola kerusakannya dapat dibagi menjadi abrasi, kontusio, laserasi, luka insisi dan luka tusuk (Gambar 7-13).



MORPHOLOGY Abrasi adalah luka akibat garukan atau gosokan permukaan kulit, merusak lapisan permukaan. Abrasi kulit tertentu hanya mengangkat lapisan epidermal. Kontusio atau memar adalah adalah luka yang biasanya disebabkan oleh benda tumpul dan ditandai oleh kerusakan dan ektravasasi darah ke jaringan.



HRT meningkatkan risiko kanker endometrium dan payudara dan tromboembolisme, tetapi tidak



A



memproteksi penyakit jantung iskemik. Kontrasepsi oral memiliki efek proteksi terhadap kanker endometrium dan ovarium, tetapi meningkatkan risiko tromboembolisme dan adenoma hepatik. Asetaminofen dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan nekrosis sentrolobular hati, menyebabkan gagal hati. Pengobatan dini dengan agen yang memulihkan kadar GSH dapat membatasi toksisitas. Aspirin menghambat produksi tromboxan A2, yang dapat menyebabkan ulserasi lambung dan perdarahan.







Narkoba Lain



287



B



Gambar 7-13 A, Laserasi kulit kepala:Tampak jembatan serabut-serabut jaringan ikat. B, Konstusio akibat trauma tumpul. Kulitnya utuh, tetapi pendarahan dari pembuluh-pembuluh darah subkutan menyebabkan perubahan warna yang luas. (A, B, Dan koleksi pendidikan Department of Pathology, University of Texas Southwestern Medical School, Dallas, Texas.)



288



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Laserasi adalah robekan atau kerusakan jaringan oleh regangan yang disebabkan oleh benda tumpul dengan tenaga besar. Berbeda dengan insisi, hampir semua laserasi memiliki pembuluh darah penghubung yang utuh dan tepi luka yang tidak teratur, bergerigi. Luka insisi disebabkan oleh instrumen yang tajam. Pembuluh darah penghubung terputus. Luka tusuk adalah khas, disebabkan oleh alat yang panjang dan runcing dan disebut penetrasi, kalau alat menembus jaringan dan perforasi kalau alat menembus jaringan, sekaligus menimbulkan luka akut. Luka tembak adalah bentuk khusus dari luka tusuk yang memperlihatkan gambaran khas yang penting untuk ahli Patologi Forensik. Sebagai contoh, suatu luka akibat peluru yang ditembakkan dari dekat, meninggalkan serbuk mesiu, sedangkan kalau ditembakkan dari jarak lebih dari 4 atau 5 kaki, tidak. Salah satu penyebab tersering dari jejas mekanik adalah kecelakaan lalu lintas. Jejas biasanya terjadi akibat dari ( I ) terbentur pada salah satu bagian interior kendaraan atau tertabrak oleh benda yang masuk ke ruang penumpang saat tabrakan, seperti bagian mesin; (2) terlepas dari kendaraan; atau (3) terperangkap di kendaraan yang terbakar. Pola jejas berkaitan dengan apakah satu atau ketiga mekanisme ini terjadi. Sebagai contoh, pada tabrakan "antar bagian depan kendaraan", pola jejas yang biasanya diderita oleh pengemudi yang tidak mengenakan sabuk pengaman adalah trauma kepala (menubruk kaca depan), dada (menubruk kemudi) dan lutut (menubruk dashboard). Pada kecelakaan seperti ini, cedera dada umumnya adalah fraktur sternum dan iga, kontusio jantung, laserasi aorta, dan (lebih jarang) laserasi limpa dan hati. Jadi, dalam merawat korban kecelakaan lalu lintas, perlu diingatkan bahwa abrasi, kontusio dan laserasi permukaan sering disertai luka organ dalam. Memang pada banyak kasus, kerusakan berat internal tidak disertai tanda eksternal.



Jejas Termal Panas dan dingin, yang berlebihan merupakan penyebab jejas yang penting. Luka bakar sangat sering terjadi dan merupakan pembahasan pertama, diikuti pembahasan singkat mengenai hipertermia dan hipotermia.



Luka Bakar Termal Di Amerika Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 10 kali rawat inap orang-orang tadi. Banyak korban adalah anak-anak yang sering mengalami pengelupasan kulit akibat tersiram air panas. Untunglah sejak 1970, terjadi penurunan tajam dari angka kematian dan lamanya rawat inap. Perbaikan ini dicapai berkat semakin dipahaminya pengaruh sistemik dari luka bakar yang luas dan penemuan cara yang lebih baik untuk mencegah infeksi luka dan mempercepat penyembuhan kulit. Dampak klinis luka bakar bergantung kepada faktor-faktor penting berikut: • Kedalaman • Persentasi luas luka bakar • Adanya jejas organ dalam akibat inhalasi asap panas dan toksik



• Kecepatan dan efektivitas terapi, terutama tatalaksana cairan dan elektrolit dan pencegahan atau pengendalian infeksi pada luka Luka bakar full-thickness menyebabkan destruksi total epidermis dan dermis, disertai apendiks kulit, yang seharusnya menyediakan sel untuk regenerasi. Luka bakar derajat tiga dan empat termasuk dalam kategori ini. Pada luka bakar partial-thickness, bagian dalam dari apendiks dermal tidak terkena. Luka bakar partial-thickness mencakup luka bakar derajat satu (hanya mengenai epitel) dan luka bakar derajat dua (mengenai epidermis dan dermis superfisial).



MORFOLOGI Pada pemeriksaan dengan mata biasa, luka bakar full-thickness berwarna putih atau gosong, kering, dan tidak terasa (sebagai akibat kerusakan ujung saraf), sedangkan luka bakar partialthickness bergantung kepada kedalaman, berwarna merah muda atau berbercak, dengan bula dan nyeri. Pemeriksaan histologis jaringan yang mati menunjukkan nekrosis koagulatif bersebelahan dengan jaringan yang masih hidup, yang segera disebuk oleh sel radang dan tampak eksudat yang nyata. Meskipun terus dilakukan penyempurnaan terapi, setiap luka bakar yang lebih dari 50% permukaan tubuh total, baik superfisial maupun dalam, berbahaya dan berpotensi kematian. Dengan luka bakar lebih dari 20% permukaan tubuh, terjadi pergeseran cepat cairan tubuh ke kompartemen interstitium, baik ditempat luka bakar maupun sistemik,sehingga dapat terjadi syok hipovolemik (Bab 3). Karena protein dari darah pindah ke jaringan interstitium, dapat terjadi edema generalisasi, yang parah termasuk edema paru. Hal lain yang harus dipertimbangkan adalah derajat jejas saluran napas dan paru. Jejas inhalasi sering terjadi pada mereka yang terperangkap di gedung yang terbakar dan dapat terjadi akibat efek langsung dari panas pada mulut, hidung dan saluran napas atas atau dari inhalasi udara panas dan gas yang terdapat dalam asap panas. Gas yang terlarut dalam air, seperti klorin, sulfur oksida dan amonia, dapat bereaksi dengan air, membentuk asam atau basa, terutama di saluran napas atas, sehingga terjadi peradangan dan pembengkakan, yang dapat menyebabkan obstruksi saluran napas parsial atau total. Gas yang teriarut dalam lemak, seperti nitrogen oksida dan produk pembakaran plastik lebih besar kemungkinannya, untuk mencapai saluran napas yang lebih dalam dan menyebabkan pneumonitis. Tidak seperti pada syok, yang terjadi dalam beberapa jam, manifestasi paru mungkin belum terjadi sampai 24 hingga 48 jam. Kegagalan organ sistemik akibat sepsis terus terjadi dan menyebabkan kematian pada pasien luka bakar. Tempat luka bakar merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme, serum dan debris menyediakan makanan dan cedera luka bakar menyebabkan gangguan aliran darah dan menghambat efektifitas respons peradangan. Bakteri yang paling sering adalah: Pseudomonas aeruginosa yang yang bersifat oportunis, tetapi galur bakteri resisten antibiotik yang ditularkan di rumah sakit, seperti S. aureus dan jamur, terutama spesies Candida juga mungkin terlibat. Selain itu pertahanan seluler dan humoral terhadap infeksi terganggu dan fungsi limfosit dan fagosit berkurang. Bakteriemia dan pelepasan zat beracun seperti endotoksin dari tempat infeksi dapat membahayakan. Pneumonia atau syok septik disertai gagal ginjal dan atau sindrom gawat pernapasan akut (acute respiratory



Cedera oleh Agen Fisis distress syndrome/ARDS) (Bab 12) merupakan sekuele serius yang tersering. Pengaruh patofisiologis lain yang sangat penting dari luka bakar adalah terjadinya keadaan hipermetabolit, disertai peningkatan panas yang dilepaskan dan peningkatan kebutuhan gizi. Diperkirakan kalau luas luka bakar lebih dari 40% permukaan badan, laju metabolisme pada keadaan istirahat dapat menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan keadaan normal.



Hipertermia Pajanan lama pada suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan heat cramps (kejang kram akibat panas), heat exhaustion (kelelahan akibat panas), atau heat stroke (stroke akibat panas). • Kejang kram akibat panas terjadi akibat dari kehilangan elektrolit melalui keringat. Kejang otot volunter, biasanya berkaitan dengan olah raga berat adalah tanda utamanya. Mekanisma pembuangan panas mampu mempertahankan suhu inti tubuh. • Kelelahan akibat panas mungkin adalah sindrom hipertermik yang paling sering terjadi. Gejala permulaan adalah mendadak, dengan rasa lelah dan kolaps dan hal ini terjadi akibat kegagalan sistem kardiovaskular untuk mengkompensasi hipovolemik, akibat deplesi air. Sesudah periode kolaps, yang biasanya sesaat, keseimbangan pulih spontan • Stroke akibat panas dikaitkan dengan suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi. Mekanisma termoregulasi gagal, keringat terhenti dan suhu inti tubuh meningkat. Secara klinis, suhu rektal 106°F atau lebih dianggap tanda prognosis buruk dan angka kematian untuk penderita seperti itu, lebih dari 50%. Mekanisma yang mendasari adalah vasodilatasi perifer generalisata yang mencolok disertai pengumpulan darah di perifer dan volume darah efektif yang beredar, berkurang. Nekrosis otot dari miokard dapat terjadi. Aritmia, koagulasi intravaskular diseminata dan efek sistemik lain sering terjadi. Individu berusia lanjut, individu dengan penyakit kardiovaskular dan individu sehat yang mengalami stres berat (seperti atlet muda dan calon tentara) adalah kandidat utama untuk stroke akibat panas. Hipertermia ganas, meskipun terdengar serupa, tidak • disebabkan oleh pajanan terhadap suhu tinggi. Ini adalah kondisi genetik akibat mutasi dalam gen seperti RYR1, yang mengendalikan tingkat kalsium dalam sel otot rangka. Pada individu yang terkena, paparan pada anestesi tertentu selama pembedahan dapat memicu peningkatan kadar kalsium dengan pusat di otot rangka, yang menyebabkan otot menjadi kaku dan meningkatkan produksi panas. Hipertermia yang dihasilkan memiliki angka mortalitas sekitar 80%, kalau tidak diobati, tetapi turun menjadi kurang dari 5%, kalau kondisi ini dikenal dan segera diberikan obat untuk relaksasi otot.



Hipotermia Pajanan lama ke suhu lingkungan yang rendah menyebabkan hipotermia. Kondisi ini sangat sering pada alkoholik yang tuna wisma, pada mereka pakaian basah atau tidak memadai dan dilatasi pembuluh darah superfisial terjadi akibat konsumsi alkohol, yang mempercepat turunnya suhu. Pada sekitar 90°F, terjadi kehilangan kesadaran,



289



diikuti oleh bradikardia dan fibrilasi atrium pada suhu inti tubuh yang lebih rendah. Pembekuan atau pendinginan sel dan jaringan menyebabkan cedera melalui dua mekanisme: • Pengaruh langsung mungkin diperantarai oleh gangguan fisis dalam sel dan konsentrasi garam sesaat yang tinggi serta kristalisasi air intra dan ekstraseluler. • Pengaruh tidak langsung adalah akibat dari perubahan sirkulasi, yang bervariasi, bergantung kepada kecepatan dan masa penurunan suhu. Pendinginan yang berlangsung lambat dapat menginduksi vasokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas, menyebabkan edema. Perubahan-perubahan seperti ini adalah khas pada trench foot. Kemudian dapat terjadi atrofia dan fibrosis. Pada keadaan lain, penurunan suhu yang mendadak, vasokonstriksi dan peningkatan viskositas darah setempat dapat menyebabkan jejas iskemik dan perubahan-perubahan degeneratif di saraf perifer. Pada situasi ini, cedera vaskular dan peningkatan permeabilitas dengan eksudasi, hanya jelas kalau suhu normal kembali. Kalau periode iskemik berlangsung lama, dapat mengakibatkan perubahan hipoksik dan infark jaringan yang terjangkit (misalnya gangren kaki atau jari kaki).



Jejas Listrik Jejas listrik, yang mungkin fatal, dapat disebabkan oleh arus tegangan rendah (misalnya: di rumah dan tempat kerja) atau arus tegangan tinggi dari kabel tegangan tinggi atau petir. Terdapat 2 jenis jejas : (1) luka bakar dan (2) fibrilasi ventrikel atau terhentinya pusat jantung dan respirasi akibat gangguan impuls listrik normal. Jenis jejas dan keparahan dan luas luka bakar bergantung kepada kuat arus listrik dan jalur arus listrik dalam tubuh. Tegangan dalam rumah tangga dan tempat kerja (120 atau 220 v) adalah cukup tinggi yang dengan resistensi rendah di lokasi kontak (seperti kalau kulit basah), cukup arus yang dapat melalui tubuh untuk menyebabkan jejas serius, termasuk fibrilasi ventrikel. Kalau arus berlanjut cukup lama, hal ini menghasilkan panas yang cukup untuk menghasilkan luka bakar pada tempat masuk dan keluar serta organ dalam. Ciri penting arus bolak balik yaitu jenis yang umumnya terdapat di rumah, adalah bahwa arus ini menyebabkan spasme otot tetanik, sehingga kalau seseorang memegang kawat atau tombol berarus listrik, maka gangguan tersebut mungkin akan semakin kuat, sehingga periode aliran arus semakin lama. Hal ini menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya luka bakar yang luas dan pada beberapa kasus, kejang otot dinding dada yang menyebabkan kematian akibat asfiksia. Arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan tinggi menyebabkan kerusakan serupa, namun, sebab besarnya arus yang dihasilkan besar kemungkinan terjadi paralisis pusat medula dan luka bakar luas. Tersambar petir adalah contoh klasik jejas akibat listrik tegangan tinggi.



Jejas Akibat Radiasi Pengion Radiasi adalah energi yang bergerak dalam bentuk gelombang atau partikel berkecepatan tinggi. Radiasi mempunyai berbagai jenis energi yang menjangkau spektrum elektromagnetik. Radiasi dapat dibagi radiasi bukan pengion (nonionizing) dan pengion (ionizing). Energi dari radiasi bukan pengion (nonionizing) seperti ultraviolet (UV)



290



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



dan cahaya infrared, microwave (gelombang mikro) dan gelombang suara, dapat memindahkan atom dalam molekul atau menyebabkan vibrasi, tetapi tidak cukup untuk memindahkan elektron dari atom. Sebaliknya, radiasi pengion (ionizing) mempunyai cukup energi untuk menyingkirkan elektron yang terikat erat. Benturan elektron-elektron bebas dengan atom lain, melepaskan elektron-elektron tambahan, dalam reaksi kaskade, yang disebut sebagai ionisasi. Sumber utama radiasi pengion adalah (1) x-ray dan sinar gamma, yang merupakan gelombang elektro magnet dengan frekwensi sangat tinggi dan (2) netron energi tinggi, partikel alpha (terdiri atas 2 proton dan 2 netron), dan partikel beta, yang pada dasarnya adalah elektron. Sekitar 18% dari total dosis radiasi pengion yang diterima oleh masyarakat Amerika Serikat, berkaitan dengan perawatan kesehatan yang sebagian besar berasal dari alat-alat medis dan radioisotop. Radiasi pengion sangat diperlukan pada praktik medis, tetapi aplikasi ini merupakan pedang bermata dua. Radiasi dalam bentuk ini digunakan dalam pengobatan kanker, dalam diagnostik pencitraan dan sebagai radioisotop terapeutik dan diagnostik. Tetapi, ini juga bersifat mutagenik, karsinogenik dan teratogenik. Istilah-istilah berikut digunakan untuk mengekspresikan eksposur, absorpsi dan dosis radiasi pengion: • Curie (Ci) merupakan disintegrasi per detik dari radionuklida (radioisotop) yang mengalami disintegrasi spontan. Satu Ci sama dengan 3.7 x 1010disintegrasi per detik. • Gray (Gy) adalah unit yang menggambarkan energi yang terserap oleh jaringan sasaran. Ini sesuai dengan penyerapan 104 ergs per gram jaringan. Satu sentigray (cGy), merupakan absorpsi 100 ergs per gram jaringan, setara dengan pajanan jaringan terhadap 100 rads (R) (dosis radiasi terserap). Nomenklatur cGy sekarang menggantikan rad dalam bahas medis. • Sievert (Sv) adalah unit dosis ekivalen, yang bergantung kepada pengaruh biologis, daripada pengaruh fisis radiasi (ini menggantikan unit yang disebut rem). Untuk dosis terserap yang sama, jenis radiasi yang bervariasi, berbeda dalam luas kerusakan, yang dihasilkan. Dosis ekuivalen mengendalikan variasi ini dan tersedia unit pengukuran yang uniform. Dosis ekivalen (dinyatakan dalam sieverts) sesuai dengan dosis terabsorpsi (dinyatakan dalam grays) dikalikan dengan derajat pengaruh biologis relatif dari radiasi. Efek biologis relatif bergantung kepada jenis radiasi, jenis dan volume jaringan yang terpajan, dan masa pajanan, serta faktor-faktor biologis lain (dibahas kemudian). Dosis efektif dari x-rays, computed tomography (CT), dan pencitraan lain dan prosedur kedokteran nuklir umumnya dinyatakan dalam millisieverts (mSv). Di samping sifat, fisis dari radiasi, efek biologisnya sangat bergantung kepada variabel-variabel berikut: • Kecepatan pemberian/penyinaran. Kecepatan penyinaran secara signifikan memodifikasi pengaruh biologis. Meskipun pengaruh energi radiasi adalah kumulatif, penyinaran dalam dosis terbagi memungkinkan sel memperbaiki sebagian dari kerusakan dalam masa jeda. Oleh karena itu, energi radiasi dalam dosis terfraksinasi, mempunyai pengaruh kumulatif hanya sampai perbaikan selama interval tidak sempurna. Radioterapi tumor memanfaatkan kapasitas sel normal untuk memperbaiki dirinya sendiri dan pulih lebih cepat dari sel tumor.



• Luas lapangan. Luas lapangan yang terpajan radiasi berpengaruh besar pada akibatnya. Tubuh dapat bertahan terhadap dosis radiasi yang relatif tinggi, kalau diberikan dalam lapangan kecil yang terlindung baik, sedangkan dosis yang lebih kecil, namun diberikan ke lapangan yang lebih luas mungkin bersifat letal. • Proliferasi sel. Karena radiasi pengion merusak DNA, sel yang cepat membelah lebih rentan terhadap cedera daripada sel yang sedang istirahat. Kecuali pada dosis yang sangat tinggi, yang mengganggu transkripsi DNA, kerusakan DNA masih memungkinkan kelangsungan hidup pada sel-sel yang tidak membelah, seperti neuron dan otot. Namun, pada sel yang membelah, kelainan kromosom dan jenis mutasi lain dikenal oleh mekanisme checkpoint siklus sel, yang menyebabkan pertumbuhan terhenti dan mengalami apoptosis. Oleh karena itu dapat dimengerti jaringan dengan pergantian sel yang cepat, seperti gonad, sumsum tulang, jaringan limfoid dan mukosa saluran cerna, sangat rentan terhadap radiasi dan jejas bermanifestasi secara dini setelah pajanan. • Hipoksia. Produksi senyawa oksigen reaktif (reactive oxygen species) oleh radiolisis air adalah mekanisme terpenting dari kerusakan DNA, oleh radiasi pengion. Hipoksia jaringan, seperti yang dapat terjadi pada bagian tengah tumor, dengan vaskularisasi buruk, tetapi dengan kecepatan tumbuh tinggi, sehingga mengurangi luasnya kerusakan dan efektivitas radioterapi terhadap tumor. • Kerusakan vaskular. Kerusakan sel-sel endotel, yang cukup sensitif terhadap radiasi, dapat menyebabkan penyempitan atau oklusi pembuluh darah, menyebabkan gangguan penyembuhan, fibrosis dan atrofia iskemik kronik. Perubahan ini dapat terjadi berbulanbulan atau bertahun-tahun setelah paparan. Meskipun sensitivitas sel-sel otak terhadap radiasi rendah, kematian pembuluh darah sesudah radiasi dapat menyebabkan manifestasi lambat dari jejas radiasi pada jaringan ini.



Kerusakan DNA dan Karsinogenesis Target seluler tergantung dari radiasi pengion adalah DNA. Kerusakan DNA oleh radiasi pengion yang tidak diperbaiki secara tepat menyebabkan mutasi, yang manifestasinya dapat bertahun-tahun atau dekade sebagai kanker. Radiasi pengion dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan dalam DNA, termasuk kerusakan basa, untai tunggal dan untai ganda patah, dan ikatan silang antara DNA dan protein (Gambar 7-14). Pada sel yang bertahan hidup, cacat sederhana mungkin dapat diperbaiki oleh berbagai sistem perbaikan enzim, yang terdapat pada sel mamalia (lihat Bab 5). Sistem perbaikan ini terkait dengan regulasi siklus sel melalui protein seperti ATM (ataxiatelangiectasia mutated) yang memulai transduksi isyarat setelah kerusakan dan P53, yang sementara dapat memperlambat siklus sel untuk memungkinkan perbaikan DNA atau memicu apoptosis pada sel yang tidak dapat diperbaiki. Namun, untai ganda yang patah dapat bertahan tanpa perbaikan, atau perbaikan lesi mungkin tidak tepat (rawan kesalahan), menciptakan mutasi. Kalau checkpoints siklus sel tidak berfungsi (misalnya, karena suatu mutasi pada P53), sel-sel dengan genom abnormal dan tidak stabil bertahan dan mungkin berkembang sebagai klon yang abnormal untuk akhirnya membentuk tumor.



Fibrosis Konsekuensi umum dari radioterapi kanker adalah terjadinya fibrosis di daerah yang mengalami penyinaran (Gambar 7-15). Fibrosis mungkin terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah penyinaran,



Cedera oleh Agen Fisis



fibroblas adalah kontributor utama untuk terjadinya fibrosis



RADIASI PENGION



EFEK TIDAK LANGSUNG



yang diinduksi oleh radiasi.



lonisasi



EFEK LANGSUNG



Pembentukan radikal bebas



Penguatan pada oksigen tegangan tinggi Kerusakan DNA



Perbaikan yang gagal



Hambatan pembelahan sel



Kematian sel



Perbaikan DNA dan rekonstitusi jaringan



Proses Perbaikan yang gagal atau menyimpang transformasi tambahan Janin atau sel germinativum: teratogenesis



Karsinogenesis



Gambar 7-14 Pengaruh radiasi pengion pada DNA dan akibatnya. Pengaruh pada DNA, dapat langsung atau, terpenting, yang tidak langsung, melalui pembentukan radikal bebas.



menyebabkan penggantian sel parenkim yang mati oleh jaringan ikat dan terbentuknya jaringan parut dan adhesi (lihat Bab 2). Seperti telah disebutkan, radiasi pengion menyebabkan kerusakan vaskular dan mengakibatkan iskemi jaringan. Kerusakan vaskular, pembunuhan sel pokok jaringan oleh radiasi pengion dan pelepasan sitokin dan kemokin, yang menunjang reaksi inflamasi dan aktivasi



MORFOLOGI Sel-sel yang bertahan hidup pada kerusakan akibat energi radiasi, menunjukkan berbagai perubahan struktural di kromosom, termasuk delesi, patah, translokasi, dan fragmentasi. Kumparan mitotik sering menjadi tidak teratur dan poliploidi dan aneuploidi mungkin ditemukan. Pembengkakan inti dan kondensasi dan penggumpalan kromatin mungkin tampak, pecahnya membran inti mungkin juga terjadi. Apoptosis dapat terjadi. Sel dengan morfologi inti yang abnormal mungkin diproduksi dan menetap selama bertahun-tahun, termasuk sel datia dengan inti pleomorfik atau lebih dari satu inti. Pada energi radiasi dengan dosis yang sangat tinggi, perangai yang mencerminkan kematian sel yang sedang terjadi, seperti piknosis inti, segera tampak. Selain mempengaruhi DNA dan inti, energi radiasi mungkin menginduksi berbagai perubahan sitoplasma, termasuk pembengkakan sitoplasma, distorsi mitokondria dan degenerasi dari reticulum endoplasmic (ER). Cedera membran plasma dan cacat fokal mungkin tampak. Konstelasi histologis dari pleomorfisma seluler, pembentukan sel datia, perubahan inti dan gambaran mitosis, menjadikan sel dengan jejas radiasi makin mirip dengan sel kanker merupakan masalah yang menyulitkan ahli patologi dalam evaluasi jaringan pasca-radiasi terhadap kemungkinan sel tumor yang menetap. Pada tingkat mikroskop cahaya, perubahan vaskular dan fibrosis interstitium adalah mencolok pada jaringan yang mengalami radiasi (Gambar 7-15). Selama masa segera sesudah radiasi, pembuluh darah mungkin hanya menunjukkan dilatasi. Kemudian atau dengan dosis lebih tinggi, berbagai perubahan degeneratif tampak, termasuk pembengkakan dan vakuolisasi sel endotel atau bahkan kehancuran dengan nekrosis total dinding pembuluh darah kecil seperti kapiler dan venula. Pembuluh darah yang terjangkiti



V



A



291



B



I



C



Gambar 7-15 Perubahan vaskular dan fibrosis kelenjar liur akibat terapi radiasi pada regio leher. A, Kelenjar liur normal; B, fibrosis akibat radiasi; C, fibrosis dan perubahan vaskular berupa penebalan fibrointima dan sklerosis arteriol.V, lumen pembuluh; I, intima yang menebal. (A—C, Sumbangan dari Dr. Melissa Upton, Department Pathology, University of Washington, Seattle, Washington)



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



mungkin pecah atau mengalami trombosis. Selanjutnya tampak yangproliferasi sel endotel dan hialinisasi kolagen dengan penebalan lapisan media pada pembuluh-pembuluh darah yang mengalami radiasi, mengakibatkan penyempitan, bahkan obliterasi lumen pembuluh darah. Pada saat ini, penambahan kolagen interstitium di daerah radiasi, menyebabkan pembentukan jaringan parut dan kontraksi, yang biasanya menjadi kenyataan



Efek pada Sistem Organ Gambar 7-16 menggambarkan konsekuensi utama dari jejas radiasi. Seperti telah disebutkan, organ dan jaringan yang paling sensitif adalah gonad, sistem hematopoietik dan limfoid dan lapisan permukaan dari saluran gastro-intestinal. Perkiraan dosis ambang untuk efek akut pajanan radiasi pada berbagai organ tertera pada Tabel 7-7. Perubahan-perubahan dalam sistem hematopoietik dan limfoid bersama dengan kanker, yang diinduksi oleh pajanan lingkungan atau pajanan terkait pekerjaan terhadap radiasi pengion, diringkas sebagai berikut: • Sistem hematopoietik dan limfoid. Sistem hematopoietik dan limfoid sangat rentan terhadap jejas radiasi dan layak disebutkan secara khusus. Dengan tingkat dosis tinggi dan bidang pajanan luas, limfopenia berat mungkin tampak dalam hitungan jam setelah radiasi, bersama dengan pengerutan kelenjar getah bening dan limpa. Radiasi langsung menghancurkan limfosit, baik dalam sirkulasi darah maupun di jaringan (kelenjar getah bening, limpa, timus, usus). Dengan dosis radiasi subletal, regenerasi progenitor yang masih hidup adalah cepat, sehingga pemulihan jumlah limfoid dalam darah menjadi normal dalam beberapa minggu atau bulan. Jumlah granulosit dalam sirkulasi mula-mula mungkin meningkat, tetapi kemudian menurun menjelang akhir minggu pertama. Kadar mendekati nol, mungkin tercapai selama minggu kedua. Kalau penderita dapat bertahan hidup, pemulihan jumlah granulosit mungkin memerlukan waktu 2 sampai 3 bulan. Trombosit juga terjangkiti, dengan titik nadir hitung trombosit terjadi sedikit lebih lambat daripada granulosit, pemulihannya juga lebih lambat. Sel hematopoietik di sumsum tulang, termasuk prekursor eritrosit, juga sangat sensitif terhadap energi radiasi. Eritrosit adalah radioresisten, tetapi progenitornya tidak, akibatnya, anemia terjadi sesudah 2 sampai 3 minggu dan mungkin menetap untuk beberapa bulan. • Pajanan lingkungan dan perkembangan kanker. Setiap sel yang mampu membelah diri dan telah mengalami mutasi, berpotensi menjadi kanker. Jadi peningkatan insidens neoplasma mungkin terjadi pada tiap organ, sesudah terpajan radiasi pengion. Tingginya radiasi yang diperlukan untuk meningkatkan risiko Tabel 7-7 Perkiraan Dosis Ambang untuk Pengaruh Radiasi Akut pada Organ Tertentu



Efek pada Kesehatan



Organ/Struktur



Dosis (Sv)



Sterilitas temporer



Testis



0.15



Depresi hematopoesis



Sumsum tulang



0.50



Efek kulit yang reversibel



Kulit



1.0–2.0



Sterilitas permanen



Ovarium



2.5–6.0



Rambut rontok temporer



Kulit



3.0–5.0



Sterilitas permanen



Testis



3.5



Katarak



Lensa Mata



5.0



OTAK • Dewasa - resisten • Mudigah - destruksi neurion dan sel glia (minggu sampai bulan) KULIT • Eritema, edema (dini) • Dispigmentasi (minggu sampai bulan) • Atrofi, kanker (bulan sampai tahun) PARU • Edema • SGNA • Fibrosis interstitium (bulan sampai tahun) KELENJAR GETAH BENING • Kehilangan jaringan akut • Atrofi dan fibrosis lanjut SALURAN CERNA



• Cederan mukosa (dini) • Ulserasi (dini) • Fibrosis dinding (lanjut)



GONAD • Testis (destruksi) Spermatogonia Spermatid Sperma • Ovarium (destruksi) Sel Germinativum Sel Granulosa • Atrofi dan fibrosis gonad (lanjut)



Dini



BAB 7



DARAH DAN SUMSUM TULANG • Trombositopenia • Granulositopenia • Anemia • Limfopenia



Dini



292



Gambar 7-16 Garis besar dari akibat morfologik utama pada jejas radiasi. Perubahan-perubahan dini terjadi dalam hitungan jam sampai minggu, perubahan-perubahan lanjut terjadi dalam hitungan bulan sampai tahun. SGNA, sindrom gawat napas akut.



perkembangan kanker, sulit ditentukan, tetapi terdapat sedikit keraguan bahwa eksposur akut atau yang berlangsung lebih lama, dosis 100 mSv mengakibatkan konsekuensi serius, termasuk kanker. Ini diperlihatkan oleh peningkatan insidens leukemia dan tumor pada berbagai lokasi (seperti tiroid, payudara dan paru) pada mereka yang bertahan hidup dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, peningkatan kanker tiroid pada mereka yang bertahan hidup pada kecelakaan Chernobil dan sering terjadinya "kanker kedua" pada penderita, terutama anak-anak, yang dirawat dengan radioterapi untuk penyakit neoplastik. Dikhawatirkan, bocornya radiasi dan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima di Jepang pasca tsunami tahun 2010 akan meningkatkan insidens kanker di daerah terkena.



Penyakit Gizi



293



Tabel 7-8 Pengaruh Radiasi Pengion pada Tubuh Total



0–1 Sv



2–10 Sv



10–20 Sv



Limfosit



Sumsum tulang



Usus halus



Otak



Ciri dan gejala utama







Leukopenia sedang



Leukopenia, perdarahan, rambut rontok, muntah



Diare, demam, elektrolit tidak seimbang, muntah



Ataksia, koma, kejang, muntah



Waktu







1 hari - 1 minggu



4-6 minggu



5-14 hari



1-4 jam



Kematian







Tidak ada



Variabel - Tidak tentu (0% sampai 80%)



100%



100%



Dikhawatirkan, bocornya radiasi dan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima di Jepang pasca tsunami tahun 2010 akan meningkatkan insidens kanker di daerah terkena. • Pajanan terkait pekerjaan dan perkembangan kanker. Radon adalah produk yang terdapat di sekeliling kita yang berasal dari peluruhan spontan uranium. Bahan karsinogenik adalah dua produk samping dari peluruhan radiasi (polonium-214 dan -218, atau "putri radon"), yang memancarkan partikel alfa dan memiliki waktu paruh yang pendek. Partikel ini mengendap di paru dan pajanan kronik pada penambang uranium mungkin menyebabkan kanker paru. Risiko juga terdapat di rumah-rumah, dengan kadar radon sangat tinggi, seperti pada daerah tambang. Namun, tidak ada atau sedikit bukti, yang menunjukkan bahwa radon mungkin menjadi kontributor dari risiko kanker paru pada rumah tangga umumnya.



Penyinaran Seluruh Tubuh Pajanan bagian tubuh yang luas terhadap radiasi bahkan dengan dosis sangat kecil, mungkin memberi pengaruh yang merugikan. Dosis di bawah 1 Sv memberi gejala minimal atau tanpa gejala. Tingkat eksposur yang lebih tinggi, berpengaruh terhadap kesehatan yang dikenal sebagai sindrom radiasi akut. Pada dosis lebih tinggi melibatkan sistem hematopoietik, sistem saluran cerna dan SSP. Sindrom yang terkait dengan pajanan seluruh tubuh terhadap radiasi pengion, diringkas pada Tabel 7-8.



RINGKASAN Jejas Radiasi • • • •



>50 Sv



1–2 Sv



Tempat cedera utama Tidak ada



Radiasi pengion dapat menyebabkan jejas sel secara langsung atau tidak langsung dengan menghasilkan radikal bebas dari air atau molekul oksigen. Radiasi pengion merusak DNA, karena itu, sel-sel yang membelah dengan cepat, seperti sel benih dan sel-sel di sumsum tulang dan saluran gastro-intestinal sangat sensitif terhadap jejas radiasi. Kerusakan DNA, yang tidak cukup diperbaiki, mungkin mengalami mutasi, yang merupakan predisposisi untuk transformasi neoplastik. Radiasi pengion mungkin menyebabkan kerusakan vaskular dan sklerosis, menyebabkan nekrosis iskemik dari sel-sel parenkim dan digantikan oleh jaringan fibrosa.



PENYAKIT GIZI Jutaan orang yang hidup di negara berkembang menderita kelaparan atau hidup dengan upaya keras melawan kelaparan, sementara mereka yang hidup di negara maju berjuang untuk menghindari kalori dan obesitas atau takut makanan yang mereka makan dapat menyebabkan aterosklerosis dan hipertensi. Jadi baik kekurangan maupun kelebihan nutrisi merupakan keprihatinan utama dalam kesehatan.



Malnutrisi Gizi yang sehat menyediakan (1) energi yang cukup dalam bentuk karbohidrat, lemak dan protein, untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh sehari-hari; (2) asam amino esensial (juga non esensial) dan asam lemak, digunakan sebagai bahan baku (building blocks) untuk sintesis protein struktural dan fungsional dan lemak; dan (3) vitamin dan mineral-mineral, yang berfungsi sebagai koenzim atau hormon dalam jalur-jalur metabolit yang penting untuk kehidupan (vital) atau seperti pada kasus kalsium dan fosfat, merupakan komponen struktural penting. Pada malnutrisi primer, satu atau semua komponen ini tidak terdapat dalam diet. Sebaliknya, pada malnutrisi sekunder atau kondisional, asupan zat gizi dalam makanan mencukupi dan malnutrisi terjadi akibat malabsorpsi zat gizi, gangguan pada penggunaan atau penyimpanan, kehilangan yang berlebihan atau peningkatan kebutuhan. Penyebab malnutrisi sekunder dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori umum namun tumpang tindih: penyakit saluran gastro-intestinal, penyakit-penyakit kronik yang disertai penurunan berat badan (wasting disease) dan penyakit krisis akut. Malnutrisi telah tersebar luas dan mungkin jelas terlihat atau tersamar. Beberapa penyebab insufisiensi gizi adalah: • Kemiskinan. Para tunawisma, individu lanjut usia dan anak-anak miskin sering menderita malnutrisi energi protein (MEP), serta kekurangan zat gizi pendukung (trace nutrient). Di negara-negara miskin, kemiskinan, bersama dengan kekeringan, gagal panen dan kematian ternak, menciptakan keadaan kurang gizi pada anak dan dewasa. • Ketidaktahuan. Bahkan, yang kaya mungkin tidak tahu bahwa bayi,remaja dan wanita hamil, kebutuhan gizinya meningkat. Ketidaktahuan tentang kandungan gizi berbagai makanan juga berperan pada malnutrisi, sebagai berikut: (1) defisiensi zat besi sering terjadi pada bayi yang semata-mata hanya diberi susu buatan, (2) beras yang kulit arinya dibuang, yang digunakan makanan utama sehari-hari, mungkin kurang cukup mengandungi tiamin dan (3) yodium sering kurang dari makanan dan air di daerah yang jauh dari lautan, kecuali disediakan suplemen. • Alkoholisme kronik. Para alkoholik mungkin menderita MEP, tetapi lebih sering kekurangan beberapa vitamin, terutama tiamin, piridoksin, folat dan vitamin A, sebagai akibat defisiensi gizi, gangguan absorpsi saluran gastro-intestinal, penggunaan dan penyimpanan yang abnormal, kebutuhan metabolit yang meningkat dan peningkatan kehilangan zat gizi. Kegagalan pengenalan defisiensi tiamin pada penderita alkoholisme kronik mungkin berakibat kerusakan otak yang tidak reversibel (tidak dapat pulih kembali) (misalnya, psikosis Korsakoff, dibahas pada Bab 22). • Penyakit akut dan kronik. Tingkat metabolisme basal meninggi pada banyak penyakit (pada penderita luka bakar luas, mungkin dua kali lipat), menyebabkan peningkatan kebutuhan semua zat gizi sehari-hari. Kegagalan mengenal kebutuhan nutrisi ini, memperlambat penyembuhan.



294



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



MEP sering terjadi pada penderita kanker yang mengalami metastasis (dibahas kemudian). • Pembatasan diet sendiri. Anoreksia nervosa, bulimia dan gangguan makan terjadi pada populasi luas dari kelompok lebih memperhatikan citra bentuk tubuh atau mengalami kekhawatiran yang tidak wajar terhadap penyakit kardiovaskular, (anoreksia dan bulimia, dibahas dalam bagian yang terpisah, dalam bab ini). • Penyebab lain. Penyebab malnutrisi lain, termasuk penyakit saluran gastro-intestinal, sindrom malabsorpsi yang didapat dan yang diwariskan, terapi obat spesifik (yang menghambat penyerapan dan pemakaian zat gizi tertentu) dan nutrisi parenteral total. Sisa dari bagian ini menyajikan gambaran umum dari gangguan gizi. Perhatian khusus ditujukan untuk MEP, anoreksia nervosa dan bulimia, defisiensi vitamin dan mineral pendukung dan obesitas, dengan pembahasan singkat tentang hubungan diet dan aterosklerosis dan kanker. Zat gizi lain dan masalah gizi lain dibahas dalam kaitan dengan penyakit tertentu.



Malnutrisi Energi Protein (MEP) MEP berat adalah penyakit serius, sering mematikan. Hal ini lazim terjadi di negara miskin, yang sebanyak 25% anak mungkin terjangkiti dan merupakan kontributor utama pada tingginya angka kematian usia muda. Misalnya, di negara rawan kekeringan Nigeria, Afrika Barat, PBB pada 2009 memperkirakan bahwa 800.000 anak berusia di bawah 5 tahun menderita malnutrisi dan malnutrisi ini merupakan penyebab utama dari kematian pada masa bayi dan masa kanak-kanak pada populasi ini. MEP bermanifestasi sebagai beberapa sindrom klinis, semua akibat asupan protein dan kalori yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Kedua ujung spektrum sindrom, dikenal sebagai marasmus dan kwasiorkor. Dalam pembahasan kondisi ini, titik penting adalah dari sudut pandang fungsional, terdapat dua kompartemen protein di tubuh: kompartemen somatik, diwakili oleh protein di otot kerangka tubuh dan kompartemen viseral, diwakili oleh penyimpanan protein di organ viseral, terutama di hati. Kedua kompartemen ini bersifat berbeda, seperti yang diperinci selanjutnya. Kompartemen somatik terkena pengaruh lebih berat pada marasmus dan kompartemen viseral lebih parah pada kwasiorkor. Penilaian klinis undernutrition (kurang gizi), dibahas berikut ini, diikuti oleh deskripsi gambaran klinis marasmus dan kwasiorkor. Korban MEP yang paling sering di dunia adalah anak. Seorang anak, dengan berat badan kurang dari 80% dari normal dianggap malnutrisi. Diagnosis MEP menjadi jelas pada bentuk yang berat. Pada bentuk ringan sampai sedang, pendekatannya yang biasa adalah dengan membandingkan berat badan untuk tinggi badan tertentu terhadap tabel standar; parameter bantu lain adalah timbunan lemak, massa otot dan protein serum. Dengan kehilangan lemak, ukuran ketebalan lipatan kulit (yang meliputi kulit dan jaringan subkutan) berkurang. Kalau protein kompartemen somatik megalami katabolisma, maka pengurangan massa otot, tercermin pada pengurangan lingkar lengan bagian tengah. Pengukuran tingkat protein serum (albumin, transferin dan lainnya) dapat menunjukkan cukup tidaknya kompartemen protein viseral. (albumin, transferin dan lainnya) dapat menunjukkan cukup tidaknya kompartemen protein viseral.



Marasmus Seorang anak dianggap marasmus, bila berat badan turun mencapai 60% dari normal, dikaitkan dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur (Gambar 7-17, A). Seorang anak marasmus pertumbuhannya terhambat dan kehilangan massa otot, sebagai akibat katabolisma dan kehilangan protein kompartemen somatik. Hal ini agaknya merupakan bentuk penyesuaian terhadap asam amino sebagai sumber energi tubuh yang tersedia. Hal yang menarik, ialah kompartemen protein viseral, yang diperkirakan lebih berarti dan penting untuk bertahan hidup hanya berkurang sedikit, sehingga kadar albumin serum adalah normal atau berkurang sedikit. Di samping itu protein otot, lemak subkutan juga dimobilisasi dan digunakan sebagai bahan bakar. Produksi Leptin (dibahas kemudian dalam "Obesitas") adalah rendah. Hal ini mungkin menstimulasi poros hip otalamus-hipofisi-adrenal (axis hypothalamic-pituitary-adrenal) untuk menghasilkan kortisol kadar tinggi, yang berkontribusi pada lipolisis. Dengan kehilangan otot dan lemak subkutan seperti itu, ekstremitas hanya merupakan tulang dibalut kulit, sehingga kepala tampak terlalu besar dibandingkan badan. Tampak anemia dan manifestasi defisiensi dan terbukti adanya defisiensi imunitas, terutama imunitas yang diperantarai sel T. Oleh karena itu, infeksi lain, yang terjadi bersamaan biasanya menambah beban pada tubuh yang sudah lemah.



Kwasiorkor Kwasiorkor terjadi, kalau penurunan protein relatif lebih besar daripada reduksi kalori total (Gambar 7-17, B). Hal ini adalah bentuk paling lazim dari MEP pada anak di Afrika yang telah disapih terlalu dini dan kemudian makan, hampir secara eksklusif, diet karbohidrat (nama kwashiorkor, berasal dari bahasa Ga di Ghana, yang menggambarkan penyakit pada bayi, yang tampak sesudah kelahiran anak berikutnya). Prevalensi kwasiorkor juga tinggi di negara-negara miskin di Asia Tenggara. Bentuk yang kurang parah mungkin terjadi di seluruh dunia pada mereka yang dengan diare kronik, di mana protein tidak diabsorbsi atau pada mereka yang mengalami kehilangan protein (misalnya enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik atau sesudah luka bakar yang luas). Kasus kwasiorkor yang jarang adalah akibat diet cara sendiri atau penggantian susu dengan minuman berbasis beras telah dilaporkan di Amerika Serikat. Pada kwasiorkor, tidak seperti pada marasmus, kekurangan protein yang berat dikaitkan dengan kehilangan kompartemen protein viseral yang banyak dan akibatnya terjadi hipoalbuminemia, yang menimbulkan edema generaliata atau edema dependen (Gambar 7-17). Berat anak dengan kwasiorkor berat, biasanya adalah 60 sampai 80% dari normal. Namun, hilangnya berat badan yang sebenarnya, tersamar oleh meningkatnya retensi cairan (edema). Perbedaan lain dengan marasmus adalah bahwa lemak subkutis dan massa otot relatif tidak terpengaruh. Kehilangan ringan kompartemen ini juga dapat tersamar oleh edema. Anak-anak dengan kwasiorkor menunjukkan lesi kulit yang khas, dengan zona hiperpigmentasi selang-seling, desquamasi dan hipopigmentasi, memberi gambaran "cat yang terkelupas". "Perubahan rambut" termasuk kehilangan warna atau pita gelap dan pucat selang-seling, lurus, tekstur yang halus dan kurangnya daya lekat rambut ke kulit kepala. Gambaran lain, yang membedakan kwasiorkor dari marasmus adalah hati yang membesar, perlemakan hati (akibat penurunan sintesis



Penyakit Gizi



A



295



B



Gambar 7-17 Malnutrisi masa anak. A, Marasmus. Perhatikan hilangnya massa otot dan lemak subkutan; kepala tampak terlalu besar untuk tubuh yang kurus kering. B, Kwasiorkor. Bayi menunjukkan edema generalisata, tampak sebagai asites dan pembengkakan wajah, tangan dan kaki. (A, dari Clinic Barak Reisebericht Kenya.)



protein pengangkut komponen lipoprotein), dan kecenderungan menjadi apati, gelisah dan kehilangan nafsu makan. Seperti pada marasmus, defisiensi vitamin mungkin ada, serta cacat imunitas dan infeksi sekunder. Pada kwasiorkor, inflamasi akibat infeksi, menyebabkan keadaan katabolik yang memperburuk malnutrisi. Perlu dicatat, marasmus dan kwashiorkor merupakan dua ujung dari satu spektrum dan dapat terjadi tumpang tindih.



Malnutrisi Energi Protein Sekunder MEP sekunder sering terjadi pada penderita dengan penyakit kronik atau yang dirawat di rumah sakit. Suatu bentuk parah dari MEP sekunder disebut kaheksia, sering terjadi pada pasien dengan kanker stadium lanjut (Bab 5). Penurunan berat badan dan kondisi gizi tubuh (wasting) tampak sangat jelas dan sering merupakan ancaman kematian. Walaupun kehilangan nafsu makan, dapat menjelaskan hal ini, kaheksia dapat tampak, sebelum nafsu makan menurun. Mekanisma yang mendasarinya adalah kompleks, tampaknya meliputi cachectins seperti proteolysis-inducing factor, yang disekresi oleh sel tumor, dari sitokin, terutama TNF, yang dilaporkan sebagai bagian dari respons penderita terhadap tumor lanjut. Kedua jenis faktor langsung menstimulasi degradasi protein otot skelet dan sitokin seperti TNF, yang juga merangsang mobilisasi lemak dari tempat penyimpanan.



MORFOLOGI Perubahan anatomik yang khas pada MEP adalah (1) kegagalan pertumbuhan, (2) edema perifer padakwasiorkor dan (3) hilangnya lemak tubuh dan atrofia otot, yang lebih jelas pada marasmus. Hati pada kwasiorkor, membesar dan berlemak, tetapi tidak pada marasmus; jarang terjadi sirosis. Pada kwasiorkor (jarang pada marasmus), usus halus menunjukkan penurunan indeks mitosis di kripti kelenjar



yang menyebabkan atrofia mukosa dan hilangnya vilus dan mikro vilus. Pada kasus seperti ini, terjadi penurunan enzim usus halus, paling sering bermanifestasi sebagai defisiensi disakaridase. Sehingga, bayi dengan kwasiorkor mula-mula mungkin tidak toleran terhadap laktat dan mungkin tidak merespons baik terhadap diet berbasis susu murni. Dengan pengobatan, perubahan mukosa bersifat reversibel. Sumsum tulang pada keduanya, kwasiorkor dan marasmus mungkin hipoplastik, terutama sebagai akibat penurunan jumlah prekursor eritrosit. Berapa banyak dari kelainan ini, yang disebabkan oleh defisiensi protein dan folat dan berapa banyak karena penurunan sintesis transferin dan seruloplasmin, masih belum jelas. Karena itu, biasanya ditemukan anemia yang tersering bersifat hipokromik, mikrositik, tetapi defisiensi folat secara bersamaan dapat menyebabkan anemia campuran mikrositik-makrositik. Otak pada bayi yang lahir pada ibu yang malnutrisi dan menderita MEP selama I sampai 2 tahun pertama dari kehidupannya,oleh beberapa peneliti dilaporkan mengalami atrofia cerebrum, penurunan jumlah neuron dan gangguan mielinisasi substantia alba. Banyak perubahan lain yang mungkin ditemukan, termasuk (I) atrofia kelenjar timus dan limfoid (lebih nyata pada kwasiorkor daripada marasmus), (2) perubahan anatomik yang dipicu oleh infeksi berulang, terutama cacing endemik dan parasit lain dan, (3) defisiensi zat gizi lain yang dibutuhkan seperti yodium dan vitamin.



Anoreksia Nervosa dan Bulimia Anoreksia nervosa adalah keadaan kelaparan yang disengaja, yang berakibat penurunan berat badan yang mencolok; bulimia adalah kondisi, seorang pasien yang makan banyak, lalu memicu dirinya untuk muntah. Bulimia lebih sering daripada anoreksia nervosa



296



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



dan prognosisnya lebih baik. Diperkirakan terjadi pada 1% sampai 2% wanita dan 0,1% pria, dengan umur rata-rata permulaan penyakit pada usia 20 tahun. Anoreksia nervosa juga terjadi secara primer pada wanita muda, yang sebelumnya sehat, yang terobsesi untuk mencapai atau mempertahankan kelangsingan tubuh. Temuan klinis pada anoreksia nervosa umumnya serupa dengan MEP yang berat. Selain itu, pengaruh terhadap sistem endokrin menonjol. Amenorea, akibat dari penurunan sekresi hormon pelepas gonadotropin (gonadotropin-releasing hormone),dan sebagai akibatnya terjadi penurunan sekresi luteinin dan hormon perangsang folikel (follicle-stimulating hormones), terjadi sedemikian sering, sehingga hal ini merupakan perangai diagnostik. Temuan umum lainnya, terkait dengan penurunan pelepasan hormon tiroid, termasuk intoleransi dingin, bradikardi, konstipasi dan perubahanperubahan pada kulit dan rambut. Di samping itu dehidrasi dan abnormalitas elektrolit sering ditemukan. Kulit menjadi kering dan bersisik dan mungkin kekuningan akibat kelebihan karoten dalam darah. Rambut tubuh mungkin meningkat tapi biasanya halus dan pucat (lanugo). Densitas tulang menurun, kemungkinan besar akibat kadar estrogen rendah, yang mirip dengan akselerasi osteoporosis pasca menopause. Seperti pada MEP yang berat, mungkin ditemukan anemia, limfopenia dan hipoalbuminemia. Komplikasi utama dari anoreksia nervosa adalah peningkatan kerentanan terhadap aritmia jantung dan kematian mendadak, keduanya disebabkan oleh hipokalemia. Pada bulimia, pesta makan adalah normanya. Pasien makan dalam jumlah besar, terutama karbohidrat, tetapi diikuti muntah secara sengaja. Meskipun lazim terjadi ketidakteraturan haid, amenore terjadi pada kurang dari 50% pasien bulimia, mungkin karena berat dan kadar gonadotropin dipertahankan mendekati normal. Komplikasi medis utama berkaitan dengan muntah berulang dan penggunaan laksatif dan diuretik secara kronik. Hal ini termasuk (1) kadar elektrolit tidak seimbang (hipokalemia), yang merupakan predisposisi terhadap aritmia jantung; (2) aspirasi isi lambung ke dalam paru dan (3) ruptur esofagus dan lambung. Namun demikian, tidak ada tanda-tanda dan gejala khas sindrom ini, dan diagnosis harus berdasarkan pada penilaian psikologis penderita secara komprehensif.



Defisiensi Vitamin Sebelum kami meringkaskan fungsi dari setiap vitamin dan akibat defisiensinya, diberikan beberapa uraian secara umum. • Tigabelas vitamin adalah perlu untuk kesehatan; empat - A, D, E dan K bersifat larut dalam lemak dan sisanya larut dalam air. Perbedaan antara vitamin yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air adalah penting, meskipun yang larut lemak lebih mudah disimpan di tubuh, mereka mungkin sulit diserap pada kelainan malabsorpsi lemak, disebabkan oleh gangguan fungsi digestif (dibahas dalam Bab 14). • Vitamin-vitamin tertentu dapat disintesis secara endogen vitamin D dari perkursor steroid, vitamin K dan biotin oleh mikroflora dan niacin dari triptofan, suatu asam amino esensial. Meskipun terdapat sintesis endogen, asupan semua vitamin dari makanan, penting untuk kesehatan.



• Defisiensi satu vitamin saja, jarang ditemukan dan defisiensi satu atau beberapa vitamin mungkin tersamarkan kalau bersamaan dengan MEP. Pada bagian berikut, vitamin A, D dan C disajikan secara rinci sebab fungsinya yang beraneka ragam dan perubahan morfologik yang terjadi pada keadaan defisiensi. Hal ini diikuti oleh ringkasan dalam bentuk tabel tentang akibat utama dari defisiensi vitamin-vitamin lain E, K, dan B kompleks dan beberapa mineral esensial.



Vitamin A Vitamin A adalah nama generik untuk sekelompok bahan yang larut lemak, termasuk retinol, retinal dan asam retinoid, yang memiliki aktivitas biologis yang sama. Retinol adalah nama kimia untuk vitamin A. Ini adalah bentuk transpor dan ester retinol sebagai bentuk simpanan. Istilah yang sering digunakan, retinoid, mengacu pada zat kimia alami dan sistem yang secara struktural berkaitan dengan vitamin A, tetapi tidak harus memiliki aktivitas vitamin A. Makanan yang berasal dari hewan, seperti hati, ikan, telur, susu dan mentega adalah sumber makanan penting dari bentuk asal (pre-formed) vitamin A. Sayuran berwama kuning dan daun-daunan hijau, seperti wortel, labu dan bayam mengandungi banyak karotenoid, banyak di antaranya merupakan provitamin, yang mengalami metabolisme menjadi vitamin A aktif dalam tubuh. Karotenoid memberi kontribusi sekitar 30% vitamin A dalam diet manusia dan yang terpenting adalah (3-karoten, yang dikonversi secara efisien menjadi vitamin A. Dosis diet vitamin A yang direkomendasikan, dinyatakan dalam retinol equivalent, untuk keduanya, baik pre-formed vitamin A maupun β-karoten. Seperti dengan semua lemak, pencemaan dan absorpsi karoten dan retinoid memerlukan empedu dan enzim pankreas. Retinol (umumnya ditelan sebagai ester retinol) dan (β- karoten diserap melalui dinding usus, tempat (β- karoten diubah menjadi retinol (Gambar 7-18). Retinol kemudian diangkut dalam khilomikron, yang di bawa ke sel hati melalui reseptor apolipoprotein E. Lebih dari 90% cadangan vitamin A tubuh disimpan di hati, terutama di sel-sel stelata perisinusoidal (Ito). Pada orang sehat, yang mengkonsumsi diet adekuat, cadangan ini cukup untuk mendukung kebutuhan tubuh setidaknya untuk 6 bulan. Ester retinol yang disimpan di hati dapat dimobilisasi sebelum pelepasan, retinol terikat pada protein spesifik pengikat retinol (retinol-binding protein/RBP), yang disintesis di hati. Penyerapan retinol dan RBP di jaringan perifer tergantung reseptor RBP di permukaan sel. Sesudah diserap oleh sel, retinol dibebaskan dan RBP kembali ke darah untuk daur ulang. Retinol mungkin disimpan di jaringan perifer sebagai ester retinol atau dioksidasi membentuk asam retinoat. Fungsi. Pada manusia, fungsi utama vitamin A adalah sebagai berikut: • Mempertahankan penglihatan normal pada keadaan cahaya kurang • Memperkuat diferensiasi sel epitel khusus, terutama sel yang mensekresikan mukus • Meningkatkan imunitas terhadap infeksi, terutama pada anak dengan campak Di samping itu, retinoid, (β-karoten dan beberapa bahan yang terkait dengan karotenoid dapat berfungsi sebagai bahan fotoprotektif dan antioksidan. Retinoid memiliki pengaruh biologis yang luas, termasuk pengaruh terhadap perkembangan embrio, diferensiasi dan proliferasi sel dan metabolisme lemak.



SUMBER



Penyakit Gizi



Daging (pre-formed vitamin A)



Sayuran (karoten, pro-vitamin A)



Retinol



SEL USUS



TRANSPOR KE HATI



Retinol dalam khilomikron Reseptor apolipoprotein E



PENYIMPANAN HATI



TRANSPOR KE JARINGAN



JARINGAN PERIFER



Ester retinil



Retinol/protein pengikat retinol (PPR)



Retinol



Ester retinol



Oksidasi Asam retinoatacid



Gambar 7–18 Metabolisme Vitamin A.



• Proses penglihatan melibatkan empat bentuk pigmen yang mengandungi vitamin A: rodopsin, pigmen yang paling peka cahaya dan karena itu penting dalam keadaan kurang cahaya, yang terletak pada sel batang dan tiga iodopsin, yang masing-masing responsif terhadap warna tertentu pada cahaya terang, yang terletak di dalam sel kerucut. Sintesis rodopsin dari retinol melibatkan (1) oksidasi menjadi all-trans-retinal, (2) isomerasi menjadi 11-cisretinal dan (3) interaksi dengan opsin untuk membentuk rodopsin. Satu foton cahaya menyebabkan isomerisasi dari 11-cis-retinal menjadi all-trans-retinal, dan rangkaian perubahan konfigurasi di rodopsin, yang menghasilkan isyarat penglihatan. Dalam proses tersebut, terbentuk impuls saraf (oleh perubahan dalam tegangan membran) dan disalurkan melalui neuron dari retina ke otak. Selama adaptasi gelap, beberapa all-trans-retinal diubah kembali menjadi 11-cis retinal tetapi sebagian besar direduksi menjadi retinol dan hilang di retina, yang menjelaskan keperluan asupan retinol yang terus menerus.



297



• Vitamin A dan retinoid berperan penting dalam diferensiasi epitel yang mensekresikan mukus. Apabila terdapat keadaan defisiensi, epitel mengalami metaplasi skuamosa dan diferensiasi menjadi epitel yang menghasilkan keratin. All-trans-retinoic acid (ATRA), asam kuat turunan dari vitamin A, menunjukkan pengaruhnya dengan berikatan pada reseptor asam retinoat (RARs), yang mengatur diferensiasi selsel mieloid. Reaksi penggabungan ini merupakan dasar dari kemampuan penting dari ATRA untuk menghasilkan remisi dari lekemia promielosit akut (LPMA). Pada lekemia ini translokasi t (15:17) (Bab 11), mengakibatkan penggabungan (fusi) gen RARA yang mengalami kehilangn structural (truncated) pada kromosom 17 dengan gen PML pada kromosom 15. Gen fusi ini memberi sandi RAR abnormal, yang menghambat ekspresi gen yang dibutuhkan untuk diferensiasi sel mieloid. ATRA dalam dosis farmakologik, mengatasi hambatan ini, menyebabkan promielosit ganas, berdiferensiasi menjadi neutrofil dan mati. Kalau digabungkan dengan bahan kemoterapi konvensional atau garam arsenik, terapi ATRA sering menyembuhkan APML. Asam retinoat, perlu dicatat, tidak berefek pada penglihatan. Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh tuan rumah (resistensi) • terhadap infeksi. Suplemen vitamin A dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas untuk beberapa jenis diare. Serupa dengan itu, suplemen pada anak-anak balita dengan campak, khususnya mereka yang mengalami malnutrisi, dapat menurunkan mortalitas dan komplikasi penyakit, termasuk kerusakan mata dan kebutaan. Efek vitamin A pada infeksi, mungkin sebagian berasal dari kemampuannya untuk merangsang sistem imun melalui mekanisme yang belum jelas. Infeksi mungkin menurunkan ketersediaan biologis (bioavailability) vitamin A, mungkin dengan memicu respons fase akut, yang tampaknya menghambat sintesis RBP di hati. Penurunan kadar RBP di hati, menyebabkan pengurangan retinol dalam sirkulasi, yang mengurangi tersedianya vitamin A di jaringan. Efek vitamin A yang bermanfaat pada penyakit diare mungkin berkaitan dengan pemeliharaan dan perbaikan integritas dari epitel usus. Keadaan Defisiensi. Defisiensi vitamin A ditemukan di seluruh dunia sebagai akibat gizi yang buruk atau malabsorpsi lemak. Pada anakanak, penyimpanan vitamin A, berkurang oleh infeksi dan absorpsi vitamin ini buruk pada bayi baru lahir. Pada dewasa, defisiensi vitamin A, berkaitan dengan penurunan vitamin larut lemak lain, mungkin menyebabkan sindrom malabsorpsi seperti penyakit celiac, penyakit Crohn dan colitis. Operasi Bariatrik dan penggunaan terus menerus obat pencahar minyak mineral juga dapat menyebabkan defisiensi. Pengaruh ganda dari kekurangan vitamin A akan dibahas selanjutnya. • Seperti telah dibahas, vitamin A adalah komponen dari rodopsin dan pigmen visual lain. Tidak mengherankan, salah satu manifestasi dini dari defisiensi vitamin A adalah gangguan penglihatan, terutama pada cahaya yang kurang (rabun senja). • Pengaruh lain dari defisiensi vitamin A, berkaitan dengan peran vitamin A dalam mempertahankan diferensiasi sel epitel (Gambar 7-19). Defisiensi yang menetap, menyebabkan suatu rangkaian perubahan yang melibatkan metaplasi epitel dan keratinisasi. Perubahan yang paling berat terjadi pada mata dan mengakibatkan entitas klinis yang disebut sebagai xeroftalmia (mata kering). Mulamula, terjadi kekeringan konjungtiva (xerosis conjunctivae)



298



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi DEFISIENSI VITAMIN A KELAINAN MATA



DIFERENSIASI SEL



Transisi



Normal



Metaplasia epitel



Keratinisasi pelvis Debris keratin Batu



Bercak Bitot Ulkus kornea Keratomalasia Metaplasia lanjut Meningkatkan kanker? Gambar 7-19 Defisiensi vitamin A: akibat utama di mata dan dalam produksi metaplasia keratin dari permukaan epitel tertentu, dan kemungkinan perannya dalam pembentukan metaplasia.Tidak disertakan rabun senja dan defisiensi imun.



sebab epitel yang mensekresikan mukus dan kelenjar lakrimal normal digantikan oleh epitel yang mengalami keratinisasi. Hal ini diikuti oleh tumpukan debris keratin dalam bentuk plak opak kecil (bercak Bitot) dan selanjutnya, erosi permukaan kornea yang kasar, menyebabkan pelunakan dan destruksi kornea (keratomalasia) dan kebutaan total. • Defisiensi vitamin A juga menyebabkan penggantian epitel permukaan saluran respirasi atas dan saluran kemih oleh sel skuamosa yang mengalami keratinisasi (metaplasia skuamosa). Hilangnya epitel mukosilia saluran napas mempermudah terjadinya infeksi paru dan deskuamasi debris keratin di saluran kemih yang mempermudah terjadinya batu di ginjal dan kandung kemih. Hiperplasi dan hiperkeratinisasi epidermis disertai penyumbatan pembuluh kelenjar adneksa mungkin menyebabkan dermatosis folikuler atau papular. • Akibat serius lain pada defisiensi vitamin A adalah defisiensi imun. Gangguan imunitas ini menyebabkan peningkatan angka mortalitas akibat infeksi yang lazim, seperti campak, pneumonia dan diare akibat infeksi. Di bagian dunia dengan prevalensi tinggi defisiensi vitamin A, suplemen gizi menurunkan angka mortalitas penyakit infeksi sebesar 20% sampai 30%. Toksisitas Vitamin A. Baik kelebihan vitamin A jangka pendek maupun jangka panjang, dapat menimbulkan manifestasi toksisitas - satu hal yang memprihatinkan, sebab sebagian pedagang suplemen, mempopulerkan megadosis. Akibat hipervitaminosis A yang akut, pertama kali diuraikan pada tahun 1597 oleh Gerrit de Veer, seorang tukang kayu kapal, yang terdampar di kutub Artica, yang mencatat di buku hariannya mengenai gejala-gejala serius, yang dialami sendiri dan awak kapal lain, setelah makan hati beruang kutub. Mengingat kisah yang mengandungi peringatan ini, petualang makan harus mencatat bahwa toksisitas akut vitamin A juga telah terjadi pada mereka yang makan hati ikan paus, hiu dan bahkan ikan tuna! Tanda dan gejala dari toksisitas akut termasuk sakit kepala, pusing, muntah, stupor dan penglihatan kabur - semua ini dapat dikacaukan dengan tanda-tanda tumor otak. Tanda dan gejala dari toksisitas akut termasuk sakit kepala,



pusing, muntah, stupor dan penglihatan kabur semua ini dapat dikacaukan dengan tanda-tanda tumor otak. Toksisitas kronik berkaitan dengan penurunan berat badan, anoreksia, mual, muntah dan nyeri sendi dan tulang. Asam retinoat memicu produksi dan aktivitas osteoklast, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang dan mengakibatkan peningkatan risiko patah tulang. Meskipun retinoid sintetik digunakan untuk terapi jerawat, tidak berkaitan dengan komplikasi ini, penggunaan retinoid pada kehamilan harus dihindari, sebab terdapat pengaruh teratogenik yang telah pasti dari retinoid.



Vitamin D Fungsi utama dari vitamin D yang larut lemak adalah mempertahankan kadar normal kalsium dan fosfor di plasma. Dalam kapasitas ini, vitamin ini dibutuhkan untuk mencegah penyakit tulang yang dikenal seperti rakhitis (pada anak, yang epifisisnya belum menutup), osteomalasia (pada dewasa) dan tetani hipokalsemik. Dalam kaitannya dengan tetani, vitamin D, mempertahankan konsentrasi yang benar dari ion kalsium di kompartemen cairan ekstrasel. Kalau terjadi defisiensi, turunnya kadar ion kalsium di cairan ekstrasel mengakibatkan eksitasi otot yang terus menerus (tetani). Perhatian kita dipusatkan kepada fungsi vitamin D dalam pengaturan kadar kalsium di dalam serum. Metabolisme. Sumber utama vitamin D untuk manusia adalah sintesis endogen di kulit melalui konversi fotokimia suatu prekursor, 7dehydrocholesterol, dibantu oleh energi matahari atau sinar UV artifisial. Iradiasi senyawa ini membentuk cholecalciferol,dikenal sebagai vitamin D3; pada pembahasan berikut, supaya sederhana, istilah vitamin D digunakan untuk senyawa ini. Dalam kondisi biasa sinar matahari, sekitar 90% dari vitamin D yang diperlukan, berasal endogen dari 7-dehydrocholesterol yang terdapat di kulit. Tetapi, orang kulit hitam, mungkin memiliki tingkat produksi vitamin D yang lebih rendah di kulit karena pigmentasi melanin kulit (mungkin dengan biaya murah untuk perlindungan terhadap kanker yang dipicu oleh UV). Sisanya sedikit berasal dari sumber makanan, seperti ikan dari laut dalam, tanaman dan biji-bijian. Dalam sumber tanaman, vitamin D, terdapat dalam bentuk prekursor, ergosterol, yang diubah menjadi vitamin D dalam tubuh.



Penyakit Gizi Metabolisme vitamin D dapat diberikan ringkasan sebagai berikut (Gambar 7-20): 1. Absorpsi vitamin D bersama lemak lain di usus atau sintesis dari prekursor di kulit. 2. 2Pengikatan ke α1-rglobulin plasma (protein pengikat vitamin D) dan pengangkutan ke hati. 3. Perubahan menjadi 25-hydroxyvitamin D (25-0H-D) oleh 25hidroksilase di hati. 4. Perubahan 25-OH-D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH)2-D] (secara biologis merupakan bentuk paling aktif dari vitamin D) oleh α1-hidroksilase di ginjal. A.METABOLISME VITAMIN D NORMAL



Iradiasi ultraviolet pada 7-dehidrokolesterol



Vitamin D dalam darah



Penyerapan dari sumber makanan di usus halus P



D-25-hidroksilase



25-OH-D



Ca



Ca P Mineralisasi tulang



Absorpsi Ca dan P



α-1-hidroksilase 1,25 (OH)2D



Kadar normal Ca (normokalsemia) dan P dalam serum



B. DEFIASIENSI VITAMIN D 1



α-1 hidroksilase



2



1,25 (OH)2D



Produk Ca x P dalam serum



6b P P 7



Absorpsi Ca dan P



3



Mineralisasi tulang sangan kurang



P



6a



Ca



PTH



Produksi ginjal 1,25-(OH)2-D diatur oleh tiga mekanisma: • Hipokalsemia memicu sekresi hormon paratiroid (PTH), yang kemudian meningkatkan perubahan 25-OH-D menjadi 1,25- (OH)2-D dengan aktivasi α1−hidroksilase. • Hipofosfatemia langsung mengaktifkan α1-hidroksilase, sehingga meningkatkan pembentukan 1,25(OH)2-D. • Sebagai reaksi umpan balik, peningkatan kadar 1,25-(OH)2-D, menekan sintesis metabolit ini dengan menghambat aktivitas, arhidroksilase (penurunan 1,25-(OH)2-D mempunyai efek sebaliknya). Fungsi. Seperti retinoid dan hormon steroid, 1,25- (OH)2-D bekerja, dengan berikatan pada reseptor nukleus, yang berafinitas kuat, kemudian berikatan pada urutan basa DNA yang berfungsi regulasi, yang memicu transkripsi gen sasaran spesifik. Reseptor untuk 1,25(OH)2-D terdapat pada sebagian besar sel berinti pada tubuh, dan mereka menyampaikan isyarat, yang mengakibatkan berbagai aktivitas biologis, yang terlibat pada homeostasis kalsium dan fosfor. Walaupun demikian, fungsi vitamin D yang paling dipahami adalah yang berkaitan dengan mempertahankan kadar normal kalsium dan fosfor dalam plasma, yang melibatkan kerja usus, tulang dan ginjal (Gambar 7-20). Bentuk aktif vitamin D: • Merangsang penyerapan kalsium melalui peningkatan transpor kalsium pada enterosit. • Merangsang resorpsi kalsium di tubulus distal ginjal. • Bekerja sama dengan PTH untuk mengatur kalsium darah. Hal ini terjadi sebagian melalui peningkatan paparan ligan RANK pada osteoblas, yang kemudian mengaktifkan reseptor RANK pada prekursor osteoklast. Aktivasi RANK, menghasilkan isyarat yang meningkatkan diferensiasi osteoklas dan aktivitas resorpsi tulang (Bab 20). • Mendukung mineralisasi tulang. Vitamin D, dibutuhkan untuk mineralisasi matriks osteoid dan tulang rawan epifisis selama pembentukan tulang pipih dan panjang. Vitamin D memicu osteoblas untuk sintesis protein pengikat kalsium osteocalcin, yang mendukung pengendapan kalsium. Perlu dicatat, bahwa pengaruh vitamin D pada tulang, bergantung kepada kadar kalsium pada plasma: Pada satu pihak, pada keadaan hipokalsemik 1,25-(OH)2-D bersama dengan PTH meningkatkan resorpsi kalsium dan fosfor dari tulang untuk menunjang kadar dalam darah. Sebaliknya, pada keadaan normokalsemik vitamin D juga dibutuhkan untuk pengendapan kalsium di tulang rawan epifisis dan matriks osteoid.



Keadaan Defisiensi



P Mobilisasi Ca dan P Ca PTH



299



Ca and P Serum



4



5



Gambar 7-20 A, Metabolisme vitamin D normal. B, Defisiensi Vitamin D.Terdapat substrat yang tidak memadai untuk hidroksilase ginjal (I), menghasilkan defisiensi dari I ,25-(OH)2D (2), dan defisiensi absorpsi kalsium dan fosfor dari usus (3) dengan akibat turunnya kadar keduanya dalam serum (4). Hipokalsemia mengaktifkan kelenjar paratiroid (5), menyebabkan mobilisasi kalsium dan fosfor dari tulang (6a). Secara bersamaan, hormon paratiroid (parathyroid hormone/PTH), menyebabkan pengeluaran fosfat dalam urin (6b) dan retensi kalsium.Akibatnya, kadar kalsium serum normal atau hampir normal, tetapi fosfat rendah, sehingga mineralisasi terganggu (7).



Rakhitis pada anak yang sedang tumbuh dan osteomalasia pada orang dewasa merupakan penyakit tulang yang tersebar di seluruh dunia. Penyakit tersebut dapat terjadi akibat defisiensi kalsium dan vitamin D dalam makanan, tetapi mungkin yang lebih penting adalah terbatasnya pajanan matahari (misalnya pada wanita berbusana sangat tertutup, anak-anak yang lahir dari ibu yang sering hamil, diikuti masa menyusui, yang menyebabkan defisiensi vitamin D dan penduduk bagian utara bumi dengan sedikit sinar matahari). Lainnya, penyebab-penyebab yang tidak biasa dari rakhitis dan osteomalasia termasuk ginjal yang menyebabkan penurunan kadar atau deplesi fosfat dan gangguan malabsorpsi. Meskipun rakhitis dan osteomalasia jarang terjadi di



300



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



luar golongan risiko tinggi, bentuk yang lebih ringan yang lazim terjadi pada usia lanjut. Penelitian juga menunjukkan bahwa vitamin D, mungkin penting untuk mencegah demineralisasi tulang. Tampaknya, varian genetik tertentu dari reseptor vitamin D, berkaitan dengan percepatan kehilangan mineral tulang yang menyertai penuaan dan bentuk kelainan familial dari osteoporosis (Bab 20). Apa pun dasarnya, suatu defisiensi vitamin D, cenderung menyebabkan hipokalsemia. Hal ini pada gilirannya merangsang produksi PTH, yang (1) mengaktifkan α1-hidroksilase ginjal, yang meningkatkan jumlah vitamin D aktif dan absorpsi kalsium; (2) mobilisasi kalsium dari tulang; (3) menurunkan ekskresi kalsium ginjal; dan (4) meningkatkan ekskresi fosfat ginjal. Jadi, kadar kalsium serum, pulih mendekati normal, tetapi hipofosfatemia menetap, sehingga mineralisasi tulang terganggu atau terjadi pergantian tulang yang cepat. Pemahaman tentang perubahan morfologik pada rakhitis dan osteomalasia difasilitasi oleh ringkasan singkat mengenai pemeliharaan dan perkembangan tulang normal. Perkembangan tulang pipih pada kerangka tubuh, melibatkan osifikasi intramembran, sedangkan pembentukan tulang panjang tubuler diproses oleh osifikasi endokondral. Dengan pembentukan tulang intramembranosa, sel mesenkimal berdiferensiasi langsung menjadi osteoblas, yang mensintesis osteoid matriks kolagenosa, tempat pengendapan kalsium. Sebaliknya, dengan osifikasi endokondral, tulang rawan yang tumbuh di lempeng epifisis, untuk sementara mengalami mineralisasi dan kemudian secara progresif diserap kembali dan diganti oleh matriks osteoid yang mengalami mineralisasi untuk membentuk tulang (Gambar 7-21, A).



MORPHOLOGI Kelainan dasar baik pada rakhitis maupun pada osteomalasia adalah kelebihan matriks tulang yang tidak mengalami mineralisasi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tulang yang sedang tumbuh pada anak dengan rakhitis, dipersulit oleh kalsifikasi sementara



A



B



yang tidak memadai pada tulang rawan epifisis, sehingga pertumbuhan tulang endokondral terganggu. Rangkaian berikut terjadi pada rakhitis: • Pertumbuhan berlebihan tulang rawan epifisis akibat kalsifikasi sementara yang tidak adekuat (tidak cukup) dan gagalnya sel tulang rawan menjadi matang dan mengalami • Menetapnya massa tulang rawan yang distorsi dan iregular, yang banyak di antaranya menonjol ke sumsum tulang • Pengendapan matriks osteoid pada sisa tulang rawan, yang mineralisasinya tidak adekuat (tidak cukup) • Gangguan penggantian tulang rawan oleh matriks osteoid, disertai pembesaran dan ekspansi lateral dari sambungan osteokondrial (Gambar 7-21, B) • Pertumbuhan berlebihan yang abnormal dari kapiler dan fibroblas di zona yang tidak tertata akibat mikrofraktur dan tekanan pada tulang yang mineralisasinya tidak adekuat, lemah dan tulang tidak terbentuk dengan baik. • Deformasi kerangka tubuh akibat kehilangan rigiditas struktur tulang yang sedang tumbuh Perubahan-perubahan nyata pada kerangka tubuh bergantung kepada keparahan proses rakhitis, lamanya dan secara khusus, tekanan yang dialami setiap tulang. Selama fase non-ambulatorik pada masa bayi, kepala dan dada menahan stress (tekanan) yang paling besar.Tulang oksipital yang melunak dapat menjadi gepeng dan tulang parietal dapat melengkung ke dalam oleh tekanan; dengan hilangnya tekanan, recoil elastik mengembalikan tulang ke posisi semula (craniotabes). Osteoid yang berlebihan, menghasilkan frontal bossing dan penampakan kepala yang persegi. Deformasi dada terjadi akibat pertumbuhan berlebihan dari jaringan osteoid atau tulang rawan disambungan kostokondral, menghasilkan rosario rakhitis. Daerah metafisis iga, yang melemah mengalami tarikan dari otot respirasi, menyebabkan mereka melengkung ke dalam dan membentuk tonjolan anterior pada sternum (deformitas dada merpati). Tarikan ke dalam pada tepi diafragma, membentuk alur Harrison, membentuk "korset" rongga dada di batas bawah sangkar



C



Gambar 7-21 Rakitis. A, Taut kostokondral normal pada anak. Perhatikan susunan palisade tulang rawan dan transisi yang teratur dari tulang rawan ke tulang baru. B, Taut kostokondral rakhitis yang tidak menunjukkan susunan palisade.Trabekula yang lebih gelap adalah tulang yang terbentuk dengan baik, trabekula yang lebih pucat adalah osteoid yang tidak mengalami kalsifiksasi. C, Perhatikan kaki-kaki yang melengkung akibat pembentukan tulang yang sangat minim mineralisasinya pada anak dengan rakhitis. (B, Sumbangan don Dr. Andrew E. Rosenherg, Massachusetts General Hospital Boston, Massachusett)



Penyakit Gizi iga. Pelvis mungkin mengalami deformitas. Apabila anak yang dapat berjalan (masa ambulatoir) mengalami rakhitis, deformitas cenderung menjangkiti tulang belakang, panggul dan tulang panjang (misalnya, tibia), menyebabkan, yang paling jelas lumbar lordosis dan tungkai melengkung (Gambar 7-21, C). Pada dewasa, kekurangan vitamin D mengganggu remodeling normal tulang, yang terjadi seumur hidup. Matriks osteoid yang baru terbentuk oleh osteoblas, mineralisasinya tidak ade kuat menghasilkan kelebihan osteoid persisten, yang khas untuk osteomalasia. Meskipun bentuk tulang tidak terpengaruh, tulang menjadi lemah dan rentan terhadap fraktur makroskopik atau mikrofraktur, yang paling sering mengenai korpus vertebra dan collum femoris. Secara histologis, osteoid yang tidak termineralisasi, dapat tampak sebagai lapisan matriks yang menebal (yang berwarna merah jambu pada preparat hematoksilin eosin), terletak sekitar trabekula, yang mengalami mineralisasi normal dan berwarna lebih basofilik. Toksisitas. Pajanan lama terhadap sinar matahari normal, tidak menyebabkan kelebihan vitamin D, tetapi pemberian vitamin megadosis per oral dapat menyebabkan hipervitaminosis. Pada anak hipervitaminosis D dapat berbentuk kalsifikasi metastatik pada jaringan lunak seperti ginjal; pada dewasa, ini dapat menyebabkan nyeri tulang. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian, bahwa potensi toksik vitamin ini sangat besar sehingga dosis yang cukup tinggi merupakan rodentisida kuat.



Vitamin C (Asam Askorbat) Defisiensi vitamin C yang larut dalam air menyebabkan terjadinya scurvy (skorbut) yang pada dasarnya ditandai oleh penyakit tulang pada anak yang sedang tumbuh dan perdarahan dan gangguan penyembuhan pada anak dan dewasa. Pelaut-pelaut dari British Royal Navy (Angkatan Laut Kerajaan Inggris), dijuluki limeys, sebab pada akhir abad ke-18, Angkatan Laut mulai menyediakan air jeruk nipis dan lemon kepada mereka untuk mencegah scorbut selama perjalanan yang lama di laut. Tidak sampai 1932, asam askorbat



diidentifikasi dan disintesis. Tidak seperti vitamin D, asam askorbat tidak disintesis secara endogen dalam tubuh, karena itu seluruhnya tergantung pada diet untuk nutrisi ini. Vitamin C terdapat di susu dan beberapa produk hewan (hati, ikan) dan banyak dalam berbagai buah dan sayur mayur. Pada semua, kecuali diet yang sangat terbatas, tersedia vitamin C dalam jumlah yang adekuat (cukup). Fungsi. Asam askorbat bekerja dalam berbagai jalur biosintetik dengan mempercepat reaksi hidroksilasi dan amidasi. Fungsi vitamin C yang paling pasti adalah aktivasi prolil dan lisil hidroksilase dari prekursor inaktif, sehingga terjadi hidroksilasi prokolagen. Hidroksilasi prokolagen yang tidak adekuat, tidak dapat memperoleh konfigurasi heliks yang stabil atau mengalami ikatan silang yang adekuat, sehingga sedikit disekresikan oleh fibroblas. Molekul-molekul yang disekresikan kurang memiliki kekuatan tegangan, lebih mudah larut dan lebih rentan terhadap degradasi oleh enzim. Kolagen, yang secara normal, memiliki kandungan hidroksiprolin tinggi adalah yang paling sering terpengaruh, terutama dalam pembuluh darah, yang menjadi dasar sebagai predisposisi perdarahan pada scorbut. Selain itu, defisiensi vitamin C, memperlambat sintesis polipeptida kolagen, tidak bergantung kepada pengaruh hidroksilasi prolin. Vitamin C, juga memiliki sifat antioksidan. Vitamin C mampu membersihkan radikal bebas secara langsung dan ikut serta dalam reaksi metabolit, yang menimbulkan kembali bentuk antioksidan vitamin E. Keadaan Defisiensi. Akibat dari defisiensi vitamin C digambarkan pada Gambar 7-22. Untungnya, karena banyaknya asam askorbat dalam makanan, scorbut tidak menjadi masalah global lagi. Hal ini kadang-kadang ditemui, bahkan dalam populasi makmur sebagai defisiensi sekunder, terutama di antara individu usia lanjut orang-orang yang tinggal sendirian dan kelompok alkoholik kronik — kelompok yang sering bercirikan pola makan yang salah dan tidak adekuat. Kadang-kadang scorbut tampak pada penderita yang mengalami dialisis peritoneal dan hemodialisis serta di antara faddists makanan. Toksisitas. Anggapan popular, bahwa dosis besar vitamin C akan melindungi tubuh dari influenza atau



DEFISIENSI VITAMIN C GANGGUAN PEMBENTUKAN KOLAGEN Lemahnya jaringan penunjang pembuluh memudahkan terjadinya perdarahan



Efek lain



Osteoblas Gusi



Matriks osteoid Osteosit Kulit Periosteum dan sendi



301



Sinstesis osteoid yang tidak memadai



Gangguan penyembuhan luka



Gambar 7-22 Akibat utama dari defisiensi vitamin C, disebabkan oleh gangguan pembentukan kolagen; termasuk kondisi mudah berdarah, yang disebabkan oleh buruknya jaringan penunjang, pembentukan matriks osteoid dan gangguan penyembuhan luka.



302



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



paling sedikit meringankan gejala, tidak berasal dari penelitian terkontrol. Perasaan lebih ringan seperti itu mungkin disebabkan oleh pengaruh antihistamin ringan dari asam askorbat. Kelebihan dosis vitamin C, segera dikeluarkan melalui urin, tetapi mungkin menyebabkan urikosuria dan meningkatkan penyerapan besi, dengan potensi kelebihan besi. Vitamin lain dan beberapa mineral esensial tertera dan diuraikan secara singkat pada Tabel 7-9 dan 7-10. Asam folat dan vitamin B12 dibahas dalam Bab 11.



RINGKASAN Penyakit Gizi







Marasmus ditandai oleh emasiasi (kekurusan tubuh) akibat hilangnya massa otot dan lemak dengan serum albumin relatif baik. Hal ini disebabkan oleh diet yang sangat rendah dalam kalori - baik protein maupun non protein.







Anoreksia nervosa adalah kelaparan yang dibuat sendiri. Hal ini ditandai oleh amenore dan manifestassi ganda dari rendahnya kadar hormon tiroid. Bulimia adalah keadaan pesta makan bergantian dengan muntah buatan.







Vitamin A dan D adalah vitamin yang larut dalam lemak dengan aktivitas luas.Vitamin D dan anggota kelompok vitamin B bersifat larut air (Tabel 7-9 daftar fungsi vitamin dan sindrom defisiensi).



Obesitas



• MEP primer adalah penyebab yang lazim dari kematian anak di negara-negara miskin. Dua sindrom utama MEP adalah marasmus dan kwasiorkor. MEP sekunder terjadi pada penyakit kronik dan penderita kanker lanjut (sebagai akibat kaheksia). • Kwasiorkor ditandai oleh hipoalbuminemia, edema generalisata, perlemakan hati, perubahan kulit dan gangguan imunitas. Hal ini disebabkan oleh diet rendah protein tetapi jumlah kalori normal.



Di Amerika Serikat, obesitas telah mencapai proporsi epidemik. Prevalensi obesitas meningkat dari 13% sampai 34% antara 1960 dan 2008, dan pada 2009, 68% orang Amerika berusia antara 20 tahun dan 75 tahun kelebihan berat badan. Terdapat peringatan yang serupa, obesitas pada masa kanak-kanak, suatu prediktor kuat untuk obesitas pada dewasa, juga meningkat dua sampai tiga kali lipat selama masa yang sama. Penelitian terakhir, menunjukkan bahwa epidemik obesitas juga menyebar dengan cepat di negara berkembang seperti India. Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)



Table 7–9 Vitamins: Major Functions and Deficiency Syndromes



Vitamin



Fungsi



Sindrom Defisiensi



Komponen dari pigmen penglihatan Pemeliharaan epitel khusus Mempertahankan resistensi terhadap infeksi Memudahkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus dan mineralisasi tulang



Buta senja, xeroftalmia, buta Metaplasia skuamosa Rentan terhadap infeksi, terutama campak



Vitamin E



Anti oksidan utama; membersihkan radikal bebas



Degenerasi spinoserebelum



Vitamin K



Ko-faktor dalam karboksilasi hepatik dari prokoagulan – faktor II Perdarahan diatesis (protrombin) VII, IX dan X; dan protein C dan protein S



Fat-Soluble Vitamin A



Vitamin D



Rakhitis pada anak Osteomalasia pada dewasa



Larut Air Vitamin B1 (tiamin) Vitamin B2 (riboflavin)



Sebagai pirofosfat, yang adalah ko-enzim dalamreaksi dekarboksilasi Berubah menjadi ko-enzim flavin mononukleosid dan flavin adenin dinukleotida, ko-faktor untuk banyak enzim dalam metabolisme perantara



Beri-beri kering dan basah, sindrom Wernicke, sindrom Korsakoff Keilosis, stomatitis, glositis, dermatitis, vaskularisasi kornea



Niasin



Dimasukkan ke nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) dan NAD fosfat; terlibat dalam bermacam-macam reaksi oksidasi-reduksi (redoks)



Pelagra—"tiga Ds": demensia, dermatitis, diare



Vitamin B6 (pridoksin)



Derivatnya berlaku sebagai ko-enzim dalam banyak reaksi perantara



Kheilosis, glositis, dermatitis, neuropati perifer



Vitamin B12



Dibutuhkan untuk metabolisme folat normal dan sintesis DNA. Memelihara mielinisasi dari sumsum belakang



Gabungan penyakit sistemik (anemia megaloblastik dan degenerasi posterior lateral sumsum belakang)



Vitamin C



Bekerja dalam banyak reaksi redoks dan hidroksilasi kolagen Penting untuk transfer dan menggunakan satu unit karbon dalam sintesis DNA Dimasukkan dalam ko-enzim A Ko-faktor dalam reaksi karboksilasi



Scurvy 4 skorbut



Folat Asam pantotenik Biotin



Anemia megaloblastik, defek bumbung saraf (neural tube) Sindrom non eksperimental tidak dikenal Sindrom klinis yang pasti, tidak jelas



Penyakit Gizi



303



Table 7–10 Unsur Jejak (Trace Element) Tertentu dan Sindrom Defisiensi



Unsur



Fungsi



Dasar dari Defisiensi



Perangai Klinis



Seng



Komponen dari enzim, terutama oksidasi



Suplemen tidak adekuat dalam diet artifisial Gangguan absorpsi oleh bahan diet lain Gangguan metabolisme bawaan



Lesi kemerah-merahan sekitar mata, mulut, hidung dan anus, disebut akrodermatitis enteropatik Anoreksia dan diare Hambatan pertumbuhan pada anak Depresi fungsi mental Depresi penyembuhan luka dan respons imun Gangguan penglihatan malam Infertilitas



Besi



Komponen penting dari hemoglobin, seperti juga beberapa metal ko-enzim yang mengandungi besi Komponen dari hormon tiro d Komponen dari sitokrom c oksidasi, dopamin tirosinase, oksidasi lisil, dan enzim yang tidak dikenal, berperan dalam pembentukan ikatan silang kolagen



Diet tidak adekuat Kehilangan darah kronik



Anemia hipokromik, mikrositik



Asupan tidak adekuat dalam makanan dan air



Struma dan hipotiroidisme



Suplementasi tidak adekuat dalam diet artifisial Gangguan penyerapan



Kelemahan otot



Fluor



Mekanisme tidak diketahui



Kares gigi



Selenium



Komponen dari glutation peroksidase Anti oksidan bersama vitamin E



Asupan tidak adekuat dalam tanah dan air Suplementasi tidak adekuat Jumlahnya tidak adekuat, dalam tanah dan air



Yodium Tembaga



memperkirakan bahwa pada 2015, 700 juta individu dewasa akan mengalami obesitas. Penyebab epidemik ini adalah kompleks, tetapi jelas terkait dengan perubahan sosial dalam diet dan tingkat aktivitas fisis. Obesitas berkaitan dengan peningkatan risiko beberapa penyakit penting (misalnya, diabetes, hipertensi), sehingga menjadi keprihatinan kesehatan utama. Memang pada tahun 2009, diperkirakan bahwa biaya pelayanan kesehatan dari obesitas, menjadi $147 juta per tahun di Amerika Serikat, suatu label harga yang pasti secara ketat meningkat, karena membesarnya beban kolektif bangsa. Obesitas didefinisikan sebagai keadaan meningkatnya berat badan, akibat akumulasi jaringan lemak yang cukup besar untuk menghasilkan gangguan kesehatan. Bagaimana seseorang mengukur akumulasi lemak. Beberapa cara teknologi tinggi telah dirancang, tetapi untuk praktisnya, langkah-langkah berikut ini lazim digunakan: • Pernyataan berat dalam kaitannya dengan tinggi badan, seperti pengukuran yang disebut sebagai indeks massa tubuh (body mass index/BMI) = (berat dalam kg)/ (tinggi dalam meter)2,atau kg/m2 • Pengukuran ketebalan lipat kulit • Berbagai lingkar tubuh, terutama rasio lingkar pinggang-pinggul BMI mempunyai korelasi erat dengan lemak tubuh. BMI dalam kisaran 18.5 sampai 25 kg/m2 dianggap normal, sedangkan BMI antara 25 dan 30 kg/m2 identik dengan kelebihan berat badan, dan BMI yang lebih dari 30 kg/m2, adalah obesitas. Umumnya disepakati bahwa BMI, yang lebih dari 30 kg/m2 merupakan benih risiko kesehatan. Pada pembahasan berikut, untuk menyederhanakan istilah, obesitas digunakan baik untuk kelebihan berat badan maupun benar-benar obesitas. Pengaruh samping dari obesitas, tidak hanya berkaitan dengan berat badan total, tetapi juga dengan distribusi penyimpanan lemak. Sentral atau viseral, obesitas, yang lemaknya berakumulasi di badan dan rongga perut (di mesenterium dan sekitar visera), berkaitan dengan risiko lebih tinggi terhadap beberapa penyakit daripada banyak akumulasi lemak dengan distribusi merata di jaringan subkutan.



Defek neurologik Kelainan ikatan silang kolagen



Miopati Kardiomiopati (Penyakit Keshan)



Penyebab obesitas adalah kompleks dan belum seluruhnya dipahami. Yang terlibat adalah faktor genetik, lingkungan dan faktor psikologik. Namun, cukup disebut, obesitas adalah kelainan keseimbangan energi. Kedua sisi keseimbangan energi, asupan dan penggunaannya, diatur secara halus oleh mekanisme saraf dan hormon, sehingga berat badan dipertahankan dalam kisaran sempit selama bertahun-tahun. Rupanya, keseimbangan ini dikendalikan oleh suatu perangkat pengendali internal (set point internal) atau lipostat, yang memperkirakan jumlah energi yang tersimpan (jaringan lemak) dan mengatur asupan makanan dengan tepat, serta pengeluaran energi. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa gen obesitas telah ditetapkan. Seperti dapat diduga, mereka menyandi komponen molekul dari sistem fisiologis yang mengatur keseimbangan energi. Pemain utama dalam homeostasis energi adalah gen LEP dan produknya, leptin. Anggota unik dari kelompok sitokin ini, disekresi oleh sel lemak, mengatur kedua sisi dan persamaan energi, baik asupan makanan maupun pengeluaran energi. Seperti dibahas kemudian, pengaruh akhir dari leptin, adalah menurunkan asupan makanan dan menggalakkan penggunaan energi. Secara sederhana, mekanisma neurohumoral yang mengatur keseimbangan energi dan berat badan, dapat dibagi menjadi tiga komponen (Gambar 7-23): • Sistem perifer atau aferen menghasilkan isyarat dari berbagai tempat. Komponen utama adalah leptin dan adiponektin, yang di produksi oleh sel lemak, insulin dari pankreas, ghrelin dari lambung, dan peptida YY dari ileum dan kolon. Leptin mengurangi asupan makanan dan dibahas secara rinci selanjutnya. Sekresi ghrelin merangsang nafsu makan dan dapat berfungsi sebagai isyarat "mulai makan". Peptida YY yang dilepaskan pada postprandial oleh sel endokrin di ileum dan kolon, adalah isyarat kenyang. • Nukleus arkuatus di hipotalamus yang memproses dan mengintegrasikan isyarat perifer dan menghasilkan isyarat baru, yang ditransmisikan oleh (1) neuron POMC (pro-opiomelanocortin) dan CART (cocaine and amphetamine-regulated transcript); dan (2) neuron NPY (neuropeptide Y) dan AgRP (agouti-related peptide).



304



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi PEMROSESAN SENTRAL



Menghambat Sirkuit anabolik Hipotalamus



Aktivasi



Sirkuit katabolik



Isyarat adiposit Sel β pankreas



Insulin



Lambung Usus



Leptin



Penggunaan energi



Ghrelin PYY



Mengendalikan



Asupan makanan



Keseimbangan energi



Adiposit (simpanan energi) SISTEM AFEREN



SISTEM EFEREN



Gambar 7-23 Sirkuit pengendalian keseimbangan energi. Kalau energi yang disimpan di jaringan lemak cukup dan orang tersebut cukup makanannya, isyarat aferen deposit (insulin, leptin, ghrelin, peptide YY) disalurkan ke unit pengolahan di saraf pusat di hipotalamus. Kemudian isyarat adiposit menghambat sirkuit anabolik dan mengaktifkan sirkuit katabolik. Cabang efektor dari sentral sirkuit ini, kemudian mempengaruhi keseimbangan energi dengan menghambat asupan makanan dan memungkinkan pengeluaran energi. Inilah saat mengurangi simpanan energi dan isyarat pro-adiposit tidak sensitif. Sebaliknya, kalau simpanan energi kurang, sirkuit anabolik mengambil alih, menggantikan sirkuit katabolik, untuk membentuk simpanan energi dalam bentuk jaringan lemak.



NPY (neuropeptide Y) dan AgRP (agoutirelated peptide). • Sistem eferen, yang terdiri atas saraf hipotalamik, diatur oleh nukleus arkuatus. Saraf POMC/ CART mengaktifkan saraf eferen yang meningkatkan pengeluaran energi dan turunnya berat badan, sedangkan saraf NPY/ AgRP mengaktifkan saraf eferen, yang meningkatkan asupan makanan dan menambah berat badan. Isyarat yang ditransmisikan oleh saraf eferen juga berkomunikasi dengan pusat di otak depan (forebrain) dan otak tengah (midbrain), yang mengendalikan sistem saraf autonom. Selanjutnya dibahas tiga komponen penting dari sistem aferen yang mengatur nafsu makan dan rasa kenyang: leptin, jaringan lemak dan hormon usus.



Leptin ­



jaringan lemak. Sel-sel lemak memaparkan reseptor β3-adrenergik, yang jika dirangsang oleh norepinefrin, menyebabkan hidrolisis asam lemak dan juga menghentikan produksi energi dari tempat penyimpanan. Pada tikus dan manusia, mutasi jenis kehilangan fungsi (loss of function mutation) yang mempengaruhi unsur-unsur dari jalur leptin, menimbulkan obesitas yang masif. Mencit dengan mutasi yang menonaktifkan gen leptin atau reseptornya gagal untuk merasakan cukup tidaknya lemak, sehingga mereka berlaku, seolah-olah mereka kekurangan gizi, makan dengan rakus. Seperti pada mencit, mutasi gen leptin atau reseptor pada manusia dapat menyebabkan obesitas massif, meskipun jarang terjadi. Yang lebih sering adalah mutasi gen reseptor melanocortin-4 (MC4R), yang ditemukan pada 4% sampai 5% penderita obesitas masif. Bentuk monogenik ini menggaris bawahi pentingnya jalur leptin untuk mengendalikan berat badan dan mungkin pada obesitas akan ditemukan jenis cacat yang lebih lazim pada jalur ini. Sebagai contoh, banyak pengidap obesitas menunjukkan kadar leptin yang tinggi dalam darah, yang menginsyaratkan bahwa resistensi terhadap leptin dapat ditemukan pada manusia.



Jaringan Lemak Selain leptin, jaringan lemak menghasilkan mediator lain, seperti adiponektin, sitokin, kemokin dan hormon steroid, yang memungkinkan jaringan lemak berfungsi sebagai penghubung antara metabolisme lemak, nutrisi dan reaksi inflamasi. jumlah sel lemak total sudah terbentuk pada remaja dan lebih banyak pada mereka yang kegemukan semasa kanak-kanak, sehingga menjadi alasan lain untuk prihatin terhadap obesitas pada masa kanak-kanak. Meskipun pada dewasa sekitar 10% adiposit mengalamo penggantian setiap tahun, jumlah sel lemak tetap



Penyakit Gizi sama, tidak bergantung kepada massa tubuh individual. Gagalnya diet, sebagian disebabkan kehilangan lemak dari adiposit. menyebabkan kadar leptin turun, merangsang nafsu makan dan menurunkan penggunaan energi.



Hormon Usus Hormon usus merupakan perintis yang bertindak cepat dan terminator dari keinginan makan. Contoh prototipiknya adalah ghrelin dan peptide YY (PYY).Ghrelin diproduksi di lambung dan merupakan satu-satunya peptide usus yang diketahui, yang meningkatkan asupan makanan. Hormon ini mungkin bekerja dengan merangsang saraf NPY/AgRP di hipotalamus. Kadar ghrelin normalnya naik sebelum makan dan turun 4 sampai 2 jam sesudahnya, tetapi penurunan ini berkurang pada orang yang mengalami obesitas. PYY disekresikan oleh sel-sel endokrin ileum dan kolon sebagai reaksi terhadap konsumsi makanan. Hormon ini mungkin bertindak merangsang saraf POMC/ CART di hipotalamus, sehingga mengurangi asupan makanan.



Akibat Klinis Obesitas Obesitas, terutama obesitas sentral, merupakan faktor risiko yang diketahui untuk beberapa kondisi termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular dan kanker. Obesitas sentral juga berdiri ditengah sekelompok perubahan yang dikenal sebagai sindrom metabolit, yang ditandai oleh kelainan metabolisme glukosa dan lemak terkait dengan hipertensi dan bukti dari keadaan sistemik proinflamasi. Mekanisma yang mendasari asosiasi ini sangat kompleks dan mungkin saling terkait. Asosiasi berikut ini, patut dicatat: • Obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia, perangai penting diabetes tipe 2 (dahulu dikenal sebagai non-insulin-dependent diabetes). Telah terjadi spekulasi bahwa insulin yang berlebihan, pada akhirnya, mungkin berperan dalam retensi natrium, ekspansi volume darah, produksi norefinefrin yang berlebihan dan proliferasi otot polos yang merupakan tanda utama hipertensi. Apa pun mekanismenya, risiko mengalami hipertensi di antara orang yang semula normotensif meningkat sebanding dengan berat badan. dengan obesitas, umumnya disertai • Individu hipertrigliseridemia dan tingkat kolesterol HDL yang rendah, faktor-faktor yang meningkatkan risiko penyakit arteri koroner. Asosiasi antara obesitas dan penyakit jantung tidak langsung dan lebih berhubungan dengan diabetes terkait dan hipertensi daripada terhadap berat badan semata-mata (per se). • Terdapat peningkatan insidens kanker tertentu pada berat badan berlebih, termasuk kanker esofagus, tiroid, kolon dan ginjal pada pria dan kanker esofagus, endometrium, kandung empedu dan ginjal pada wanita. Secara keseluruhan, obesitas berkaitan dengan sekitar 20% dari kematian akibat kanker pada wanita dan 14 % kematian pada pria. Mekanisme yang mendasarinya tidak diketahui dan mungkin bersifat ganda. Suatu dugaan adalah hiperinsulinemia. Insulin meningkatkan kadar insulin-like growth factor-1 (IGF-1), yang dapat merangsang pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari banyak tipe sel kanker dengan mengaktivasi reseptor yang serumpun, IGF1R. Asosiasi obesitas dan kanker endometrium, mungkin tidak langsung: kadar estrogen yang tinggi berasosiasi dengan peningkatan risiko kanker endometrium (Bab 18) dan obesitas diketahui meningkatkan kadar estrogen. Dengan kanker payudara, datanya kontroversial.



305



• Steatohepatitis nonalkoholik biasanya berkaitan dengan obesitas dan diabetes tipe 2. Kondisi ini, disebut juga sebagai penyakit perlemakan hati non-alkoholik, yang dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis (Bab 15). • Kolelitiasis (batu empedu) terjadi enam kali lebih lazim pada obesitas, daripada orang kurus. Mekanisma terutama adalah peningkatan kolesterol total tubuh, peningkatan pertukaran zat kolesterol dan percepatan ekskresi kolesterol melalui empedu, yang akhirnya memudahkan terbentuknya batu yang kaya kolesterol (Bab 15). • Sindrom hipoventilasi adalah konstelasi kelainan respirasi pada individu yang sangat gemuk. Sindrom ini disebut sindrom pickwickian, berdasarkan tokoh anak laki gemuk yang sering tertidur pada Pickwick Papers karya Charles Dickens. Hipersomnolens, baik malam hari, maupun siang hari, merupakan ciri khasnya dan sering disertai apnea sesaat dalam waktu tidur, polisitemia, dan dapat terjadi gagal jantung sisi kanan. • Kegemukan yang berlebihan merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit degeneratif sendi (osteoartritis). Bentuk artritis ini, biasanya timbul pada orang tua, terutama disebabkan oleh pengaruh kumulatif penggunaan dan kerusakan (wear and tear) pada sendi. Semakin besar beban lemak tubuh, semakin besar trauma pada sendi, seiring dengan waktu. • Petanda radang, seperti C-reactive protein (CRP) dan sitokin pro-inflamasi seperti TNF, sering meningkat pada individu dengan obesitas. Dasar inflamasi ini, tidak jelas; baik pengaruh proinflamasi langsung dari lemak berlebihan yang beredar maupun peningkatan sitokin yang dilepaskan dari isi sel lemak, telah diusulkan. Apa pun penyebabnya, diperkirakan bahwa inflamasi kronik dapat berperan dalam banyak komplikasi dari obesitas, termasuk resistensi insulin, gangguan metabolit, trombosis, penyakit kardiovaskular dan kanker.



RINGKASAN Obesitas •















Obesitas adalah gangguan regulasi energi. Hal ini meningkatkan risiko untuk sejumlah kondisi penting, seperti resistensi insulin, diabetes tipe 2, hipertensi dan hipertrigliserida, yang berkaitan dengan terjadinya penyakit arteri koroner. Regulasi keseimbangan energi sangat kompleks. Terdapat tiga komponen utama: (I) isyarat aferen, yang disediakan terutama oleh insulin, leptin, ghrelin dan peptide YY; (2) sistem hipotalamik sentral, yang berintegrasi dengan isyarat aferen dan memicu isyarat eferen dan (3) isyarat eferen, yang mengendalikan keseimbangan energi. Leptin berperan penting dalam keseimbangan energi. Produknya dari jaringan lemak diatur oleh banyaknya simpanan lemak. Ikatan leptin ke reseptornya di hipotalamus mengurangi asupan makanan dengan memicu saraf POMC/CART dan menghambat saraf NPY/ AgRP. Di samping diabetes dan penyakit kardiovaskular, obesitas juga berkaitan dengan peningkatan risiko beberapa kanker, penyakit perlemakan hati non alkoholik dan batu empedu.



306



BAB 7



Penyakit Lingkungan dan Nutrisi



Diet dan Penyakit Sistemik Masalah kekurangan - kelebihan gizi (nutrisi), seperti juga defisiensi gizi (nutrisi) yang spesifik, telah dibahas, tetapi, komposisi diet, bahkan tanpa adanya masalah di atas, dapat berperan bermakna dalam penyebab dan perkembangan sejumlah penyakit. Beberapa contoh disajikan di sini. Saat ini, salah satu masalah penting dan kontroversial adalah peran diet dalam aterogenesis. Pertanyaan utama ialah apakah modifikasi diet secara khusus, pengurangan konsumsi kolesterol dan lemak hewan jenuh (seperti telur, mentega, daging sapi) dalam makanan dapat menurunkan kadar kolesterol serum dan mencegah atau memperlambat pertumbuhan aterosklerosis (dari yang terpenting, penyakit jantung koroner). Orang dewasa di Amerika Serikat rerata mengkonsumsi banyak lemak dan kolesterol setiap hari dengan perbandingan asam lemak jenuh terhadap asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated) sekitar 3:1. Penurunan kadar jenuh ke kadar polyunsaturated menyebabkan penurunan 10% sampai 15% kadar kolesterol serum dalam beberapa minggu. Minyak nabati (seperti minyak jagung dan safflower) dan minyak ikan mengandungi asam lemak polyunsaturated dan sumber yang baik untuk lemak penurun kolesterol. Asam lemak minyak ikan termasuk dalam keluarga omega-3 atau n-3, memiliki ikatan rangkap lebih dari omega-6 atau n-6, yang terdapat dalam minyak nabati. Sebuah penelitian pada pria Belanda, yang makanan sehari-harinya mengandungi 30 mg ikan, mengungkapkan penurunan frekwensi-kematian akibat penyakit jantung koroner dibandingkan dengan kontrol sepadan, memberi harapan (tetapi belum terbukti dengan pasti) bahwa suplemen makanan dengan asam lemak omega 3 dapat mengurangi penyakit arteri koroner. Pengaruh spesifik diet lain pada penyakit, telah dikenal: • Hipertensi berkurang dengan pembatasan asupan natrium. • Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak serat dalam makanan atau roughage akan meningkatkan massa tinja dan ini berpengaruh untuk mencegah divertikulosis pada kolon. • Pembatasan kalori telah terbukti dapat meningkatkan harapan hidup pada hewan percobaan, termasuk monyet. Dasar dari hasil observasi yang mencolok ini belum jelas (Bab 1). • Bahkan bawang putih, telah menarik perhatian, untuk melindungi tubuh dari penyakit jantung (dan juga terhadap ciuman dan setan), meskipun riset masih perlu membuktikannya.



Diet dan Kanker Dalam kaitannya dengan karsinogenesis, tiga aspek makanan perlu mendapat perhatian (1) adanya karsinogen eksogen, (2) sintesis karsinogen endogen dari komponen makanan, dan (3) tidak adanya faktor protektif. • Contoh dari karsinogen eksogen adalah aflatoksin, yang merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma hepatoseluler, di daerah Asia dan Afrika. Pajanan terhadap aflatoksin menyebabkan mutasi spesifik (kodon 249) dalam gen P53 pada sel tumor. Mutasi ini dapat digunakan sebagai petanda molekuler tentang pajanan aflatoksin di penelitian epidemiologik. Karsinogenitas dari tambahan dalam makanan (food additives), pemanis buatan dan kontaminasi peptisida, masih diperdebatkan. Beberapa pemanis



buatan (siklamat dan sakarin) pernah diduga berperan dalam patogenesis kanker kandung kemih, tetapi belum dibuktikan dengan meyakinkan. • Keprihatinan tentang sintesis karsinogen atau promotor secara endogen dari komponen makanan terutama terkait dengan karsinoma lambung. Nitrosamin dan nitrosamida, diperkirakan, menyebabkan tumor ini pada manusia, karena mereka memicu kanker lambung pada hewan. Kedua senyawa ini dibentuk dalam tubuh dari nitrit dan amina atau amida yang berasal dari pencernaan protein. Sumber nitrit antara lain natrium nitrit, yang ditambahkan pada makanan sebagai pengawet dan nitrat yang terdapat pada sayuran yang tereduksi di usus oleh flora usus. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan produksi karsinogen secara endogen dari komponen makanan, yang mungkin berpengaruh pada lambung. • Asupan lemak hewan yang tinggi dengan asupan serat yang kurang, merupakan salah satu faktor penyebab kanker kolon. Penjelasan yang paling meyakinkan dari asosiasi ini adalah sebagai berikut: asupan lemak yang tinggi, meningkatkan kadar asam empedu di usus, yang kemudian memodifikasi flora usus dan memudahkan tumbuhnya bakteri mikroaerofilik. Asam empedu atau metabolitnya yang diproduksi oleh bakteri ini, mungkin berfungsi sebagai karsinogen atau promotor. Efek protektif dari diet tinggi serat mungkin berhubungan dengan (1) peningkatan massa tinja dan berkurangnya waktu transit, yang mengurangi pajanan mukosa usus dari zat yang dianggap merugikan (karsinogen) dan (2) kapasitas serat tertentu untuk mengikat karsinogen, sehingga melindungi mukosa. Upaya untuk mendokumentasikan teori ini secara klinis dan eksperimental, umumnya, menghasilkan data yang saling bertentangan. • Vitamin C dan E, β-caroten, dan selenium dianggap mempunyai pengaruh antikarsinogenik, oleh karena aktivitas sebagai antioksidan. Tetapi, sampai saat ini, belum ada bukti yang meyakinkan yang menunjukkan bahwa antioksidan bersifat sebagai bahan kemoprotektif. Seperti sudah dikatakan, asam retinoat mendukung diferensiasi epitel dan diyakini mengembalikan metaplasia skuamosa. Dengan demikian, meskipun banyak kecenderungan yang menggoda dan proklamasi oleh "guru diet", sampai saat ini tidak ada bukti pasti bahwa diet umumnya dapat menyebabkan atau melindungi terhadap kanker. Meskipun demikian, kekhawatiran tetap ada, bahwa karsinogen mengintai dalam hal-hal yang menyenangkan, seperti steak yang juicy dan es krim yang enak. KEPUSTAKAAN Bellinger DC: Lead. Pediatrics 113:1016, 2004. [Suatu tinjauan umum yang sangat baik tentang bidang tersebut.] Boffetta P, Hecht S, Gray N, et al: Smokeless tobacco and cancer. Lancet Oncol 9:667, 2009. [Suatu tinjauan tentang risiko kanker berkaitan dengan tembakau tanpa asap di dunia.] Centers for Disease Control and Prevention: Third National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals, 2005. [Suatu survey penting terhadap zat kimiawi lingkungan, dengan ulasan tentang pajanan dan kecenderungan risiko kesehatan.J Casals-Casas C, Desvergne B: Endocrine disruptors: from endocrine to metabolic disruption. Annu Rev Phys 73:135, 2011. [Suatu tinjauan mutakhir membahas ruang lingkup dan kemungkinan akibat pajanan pada manusia terhadap jenis zat kimiawi Clarkson TW, Magos L, Myers GJ: The toxicology of mercury — current exposures and clinical manifestations. N Engl J Med 349:1731, 2003. [Suatu tinjauan umum yang sangat baik tentang bidang tersebut.] Gregor MF, Hotamisligil GS: Inflammatory mechanisms in obesity. Annu Rev Immunol 29:445, 2011. [Suatu pembahasan singkat tentang pandangan sekarang tentang keadaan pro-inflamasi berkaitan dengan obesitas.] Heiss G, Wallace R, Anderson GL, et al: Health risks and benefits 3 years after stopping randomized treatment with estrogen and



Penyakit Gizi progestin. JAMA 299:1036, 2008. [Suatu makalah yang menguraikan peningkatan risiko kanker payudara yang menetap pada wanita 3 tahun setelah menghentikan HRT.] Hollick MF: Vitamin D deficiency. N Engl J Med 357:266, 2007. [Suatu tinjauan komprehensif tentang defisiensi vitamin D.] JJornayvaz FR, Samuel VT,Shulman GI: The role of muscle insulin resistance in the pathogenesis of atherogenic dyslipidemia and nonalcoholic fatty liver disease associated with the metabolic syndrome. Annu Rev Nutr 30:273, 2010. [Suatu perspekif yang menarik tentang sindrom metabolit dengan perhatian khusus pada peranan resistensi insulin pada otot skelet.] Manson JE, Hsia J, Johnson KC, et al: Estrogen plus progestin and the risk of coronary heart disease. N Engl J Med 349:523, 2003. [Suatu penelitian mendasar dari the Women's Health Initiatived Pope CA, Ezzati M, Dockery DW: Fine-particulate air pollution and life expectancy in the United States. N Engl J Med 360:376, 2009. [Suatu makalah yang menarik yang menghubungkan peningkatan harapan hidup di kotakota utama Amerika Serikat dengan penurunan dalam polusi partikel kecil udara]



307



Ravdin PM, Cronin KA, Howlader N, et al: The decrease in breastcancer incidence in 2003 in the United States. N Engl J Med 356:1670, 2007. [Suatu makalah penting yang mencatat penurunan kanker payudara yang mengikuti keterkaitannya dengan HRT.] Roberts DL, Dive C, Renehan AG: Biological mechanisms linking obesity and cancer risk: new perspectives. Annu Rev Med 61:301, 2010. [Suatu pembahasan tentang kemungkinan interaksi Antara obesitas dan risiko kanker.] Suzuki K, Simpson KA, Minnion JS, et al: The role of gut hormones and the hypothalamus in appetite regulation. Endocr J 57:359, 2010. [Suatu tinjauan yang sangat baik tentang interaksi antara usus dan hipotalamus dalam mengatur konsumsi makanan.] Tang X-H, Gudas LJ: Retinoids, retinoic acid receptors, and cancer. Annu Rev Pathol 6:345, 2011. [Suatu tinjauan tentang peranan retinoid pada kanker, dengan perhatian khusus pada tumor jenis padat.]



This page intentionally left blank



8 BAB



Patologi Umum Penyakit Infeksi DAFTAR ISI BAB Prinsip Umum Patogenesis Penyakit Akibat Mikroba 309 Golongan Agen Penyebab Infeksi 309



Teknik Khusus untuk Mengidentifikasi Penyebab Infeksi 314 Penyakit-penyakit Infeksi yang Berkembang dan Baru 314 Mikroba untuk Bioterorisme 315



Transmisi dan Diseminasi Mikroba 315 Pintu Masuk Mikroba 315 Penyebaran dan Perkembangan Mikroba dalam Tubuh 317 Pengeluaran dan Penyebaran Mikroba dari Tubuh 318



Cara Mikroorganisme Menyebabkan Penyakit 319



Bab ini akan membahas prinsip-prinsip umum patogenesis penyakit infeksi dan menjelaskan karakteristik perubahan histopatologis untuk berbagai kelompok penyakit. Infeksi-infeksi yang melibatkan organ spesifik akan dibahas pada bab lain pada buku ini.



PRINSIP UMUM PATOGENESIS PENYAKIT AKIBAT MIKROBA Penyakit infeksi tetap merupakan masalah utama di Amerika Serikat dan bagian dunia lainnya walaupun vaksin dan antibiotik sudah tersedia dan bisa digunakan secara efektif. Di Amerika Serikat, 2 di antara 10 penyebab utama kematian disebabkan oleh infeksi (pneumonia dan septikemia). Penyakit infeksi umumnya merupakan penyebab kematian terpenting pada orang tua, penderita dengan sindrom imunodefisiensi didapat/acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), penderita penyakit kronik dan pasien yang menerima obat imunosupressi. Di negara berkembang, kondisi hidup yang tidak bersih dan malnutrisi merupakan masalah terbesar timbulnya penyakit infeksi yang mematikan lebih dari 10 juta orang tiap tahun. Hal tragis yang terjadi adalah korban umumnya anak-anak dengan infeksi saluran napas dan diare.



Golongan Agen Penyebab Infeksi Penyebab-penyebab infeksi terdiri atas berbagai kelompok yang luas dan sangat berbeda dalam ukuran, mulai dari agregat protein prion berukuran di bawah 20 nm hingga cacing pita berukuran 10 m (Tabel 8-1).



Mekanisme Terjadinya Cedera Akibat Virus 319 Mekanisme Jejas oleh Bakteri 320 Efek Respons Imun Pejamu yang Merugikan 321



Cara Mikroba Menghidari Reaksi Imun 322 Spektrum Respons Radang terhadap Infeksi 323



Prion



Prion terdiri atas protein pejamu yang bentuknya abnormal yang disebut protein prion (PrP). Agen-agen ini menyebabkan ensefalopati spongiform yang dapat ditularkan, termasuk Kuru (dikaitkan dengan kanibalisme manusia), penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD), ensefalopati spongiform bovine (ESB) (lebih dikenal sebagai penyakit "sapi gila"), dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob (vCJD) (kemungkinan transmisi ke manusia terjadi melalui konsumsi daging dari hewan ternak yang terkena ESB). PrP normalnya dijumpai pada neuron. Penyakit terjadi apabila PrP mengalami perubahan penyesuaian untuk menghadapi resistansi terhadap protease. PrP yang resisten terhadap protease akan menyebabkan perubahan PrP sensitif protease yang normal menjadi bentuk abnormal, hal ini menjelaskan terjadinya infeksi pada penyakit ini. Akumulasi dari PrP abnormal akan mengakibatkan kerusakan neuron dan perubahan patologis spongiform tertentu di otak. Mutasi yang spontan dan diwariskan pada PrP yang membuat terjadinya resistensi pada protease dijumpai pada CJD sporatif dan familial. CJD dapat ditransmisi dari orang ke orang secara iatrogenik, melalui operasi, transplantasi organ, ataupun transfusi darah. Penyakit ini akan dibahas secara rinci pada bab 22.



Virus



Virus merupakan parasit yang hanya bisa hidup intrasel dan untuk kegiatan replikasinya bergantung pada proses metabolisme sel pejamu. Virus terdiri atas genom asam nukleat yang dikelilingi oleh pembungkus protein (disebut kapsid) dan kadang-kadang terbungkus di dalam membran lipid. Virus diklasifikasikan menurut genom asam nukleat (DNA atau RNA namun bukan keduanya), bentuk kapsid (icosahedral atau helical), ada atau tidak adanya



310



B A B 8



Patologi Umum Penyakit Infeksi



Tabel 8-1 Kelompok Agen Patogen Manusia



Kategori Taksonomik



Ukuran



Tempat Berkembang



Contoh



Penyakit



Prion



hiperplasia* Sekunder† Tersier† Hiperkalsemia hipokalsiurik familial



Hiperkalsemia pada keganasan Metastasis osteolitik Dimediasi protein terkait PTH Toksisitas vitamin D Imobilisasi Obat-obatan (deuretik tiazid) Penyakit granulomatosa (sarcoidosis)



PTH, porathyroid hormone /hormon paratiroid; PrHPT, protein terkait hormon paratiroid. *Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab paling sering dari keseluruhan hiperkalsemia. Keganasan adalah penyebab tersering dari hiperkalsemia bergejala. Hiperparatiroidisme primer bersama dengan keganasan mencapai hampir 90% dari seluruh kasus hiperkalsemia. Hiperparabroidisme sekunder dan tersier paling sering berhubungan dengan gagal ginjal progresif.



Secara tradisional, hiperparatiroidisme primer dihubungkan dengan suatu kelompok gejala yang meliputi "nyeri tulang, batu ginjal, nyeri abdominal dan keluhan psikis". Kadang-kadang, nyeri yang disebabkan oleh fraktur tulang yang melemah oleh osteoporosis atau osteitis fibrosa kistika dan oleh batu ginjal dengan uropati obstruktif, merupakan manifestasi utama hiperparatiroidisme primer. Oleh karena saat ini kalsium serum diperiksa secara rutin dalam penatalaksanaan sebagian besar pasien yang membutuhkan pemeriksaan darah untuk keadaan lain yang tidak berkaitan, hiperparatiroidisme yang tenang secara klinis dapat dideteksi lebih awal. Oleh karena itu, banyak manifestasi klinis klasik, khususnya yang berkaitan dengan penyakit tulang dan ginjal, lebih jarang terlihat. Tanda dan gejala tambahan yang dapat ditemukan pada beberapa kasus meliputi: • Gangguan gastrointestinal, seperti konstipasi, nausea, ulkus peptikum, pankreatitis, dan batu empedu • Perubahan sistem saraf pusat, seperti depresi, lesu, dan kejang • Abnormalitas neuromuskular, seperti kelemahan dan hipotonia • Poliuria dan polidipsi sekunder Walaupun beberapa perubahan ini, misalnya poliuria dan kelemahan otot,



738



BAB 19



Sistem Endokrin



jelas berhubungan dengan hiperkalsemia, patogenesis dari banyak manifestasi yang lain masih belum diketahui.







Hiperparatiroidisme Sekunder







Hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh setiap keadaan yang berkaitan dengan penurunan kadar kalsium serum yang menahun, oleh karena kalsium serum yang rendah menyebabkan overaktivitas paratiroid kompensatorik. Gagal ginjal merupakan penyebab tersering hiperparatiroidisme sekunder. Mekanisme bagaimana gagal ginjal menahun menginduksi hiperparatiroidisme sekunder kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Gagal ginjal menahun berhubungan dengan penurunan ekskresi fosfat, yang kemudian menyebabkan hiperfosfatemia. Kadar fosfat serum yang meningkat secara langsung menekan kadar kalsium serum, sehingga merangsang aktivitas kelenjar paratiroid. Selain itu, hilangnya substansi ginjal mengurangi ketersediaan enzim hidroksilase-a, yang dibutuhkan untuk sintesis vitamin D bentuk aktif, yang selanjutnya mengurangi absorpsi kalsium usus (Bab 7).







• • •



Pada sebagian besar kasus, hiperparatiroidisme primer disebabkan oleh suatu adenoma paratiroid sporadik dan kadang-kadang oleh hiperplasia paratiroid. Adenoma paratiroid soliter, sedangkan hiperplasia secara khas merupakan proses multiglandular. Manifestasi skeletal dari hiperparatiroidisme meliputi resorpsi tulang, osteitis fibrosa kistika, dan tumor coklat. Perubahan ginjal meliputi nefrolitiasis (batu) dan nefrokalsinosis. Manifestasi klinis hiperparatiroidisme dapat disimpulkan sebagai "nyeri tulang, batu ginjal, nyeri abdominal, dan keluhan psikis." Hiperparatiroidisme sekunder paling sering disebabkan oleh gagal ginjal, dan kelenjar paratiroid hiperplastik. Keganasan merupakan penyebab penting hiperkalsemia simptomatik, disebabkan oleh metastasis osteolitik atau pelepasan protein yang terkait PTH dari tumor bukan paratiroid.



MORFOLOGI Kelenjar paratiroid pada hiperparatiroidisme sekunder tampak hiperplastik. Seperti pada hiperplasia primer, derajat pembesaran kelenjar tidaklah harus simetris. Pada pemeriksaan mikroskopik, kelenjar yang hiperplastik mengandungi sel utama yang bertambah, atau sel dengan sitoplasma banyak, jernih (sel air jenih), yang tersebar secara difus atau multinodular. Sel lemak berkurang. Perubahan tulang serupa dengan yang tampak pada hiperparatiroidisme primer dapat terlihat. Kalsifikasi metastatik dapat terlihat pada banyak jaringan.



Gambaran Klinis Manifestasi klinis hiperparatiroidisme sekunder biasanya didominasi oleh gejala yang berkaitan dengan gagal ginjal menahun. Secara umum, abnormalitas tulang (osteodistrofia ginjal) dan perubahan lain yang berkaitan dengan kelebihan PTH, tidak seberat yang terlihat pada hiperparatiroidisme primer. Kalsium serum mendekati normal oleh karena peningkatan kompensatorik kadar PTH mempertahankan kalsium serum. Sebagian kalsifikasi metastatik pembuluh darah (sekunder terhadap hiperfosfatemia) dapat menyebabkan kerusakan iskemik yang bermakna pada kulit dan organ lain suatu proses yang disebut sebagai kalsifilaksis. Pada sekelompok kecil pasien, aktivitas paratiroid dapat menjadi autonom dan berlebihan, dengan akibat hiperkalsemia suatu proses yang disebut sebagai hiperparatiroidisme tersier. Pada pasien ini, mungkin perlu dilakukan paratiroidektomi untuk mengontrol hiperparatiroidisme.



RINGKASAN Hiperparatirodisme •



Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab tersering hiperkalsemia tanpa gejala.



HIPOPARATIROIDISME Hipoparatiroidisme jauh lebih sedikit ditemukan dibandingkan hiperparatiroidisme. Penyebab utama hipoparatiroidisme antara lain: • Hipoparatiroidisme yang diinduksi oleh pembedahan: Penyebab tersering adalah terangkatnya paratiroid tanpa disengaja sewaktu tiroidektomi atau pembedahan diseksi leher lainnya. • Tidak terdapatnya paratiroid secara kongenital: Hal ini terjadi bersama dengan aplasia timus (sindrom Di George) dan defek jantung, sekunder terhadap delesi pada kromosom 22q11.2 (Bab 6). • Hipoparatiroidisme autoimun: Keadaan ini merupakan sindrom defisiensi poliglandular herediter yang timbul dari autoantibodi terhadap organ endokrin multipel (paratiroid, tiroid, adrenal, dan pankreas). Infeksi jamur menahun pada kulit dan membran mukosa (kandidiasis mukokutaneus) kadang-kadang ditemukan. Keadaan ini disebabkan oleh mutasi pada gen autoimmune regulator (AIRE) dan akan dibahas dengan lebih rinci pada konteks adrenalitis autoimun. Sebagai suatu akibat dari kegagalan toleransi diri, beberapa pasien membuat autoantibodi terhadap IL-17 dirinya sendiri, sehingga menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi Candida (di mana respons TH17 memegang peranan protektif yang penting). Manifestasi klinis utama hipoparatiroidisme adalah sekunder terhadap hipokalsemia dan meliputi meningkatnya iritabilitas neuromuskular (rasa geli, spasme otot, wajah meringis, dan spasme karpopedal atau tetani yang terus menerus), aritmia jantung, dan meningkatnya tekanan intrakranial dan kejang. Perubahan morfologik biasanya tidak nyata namun dapat berupa katarak, kalsifikasi basal ganglia serebral, dan abnormalitas gigi.



Diabetes Melitus



739



PANKREAS ENDOKRIN Pankreas endokrin terdiri atas sekitar 1 juta klaster mikroskopik sel, yaitu pulau Langerhans, yang mengandungi empat jenis utama sel-sel beta, alfa, delta, dan PP (polipeptida pankreatik). Sel ini dapat dibedakan secara morfologik melalui sifat pulasannya, karakteristik ultrastruktural granulanya, dan melalui kandungan hormon. Sel beta menghasilkan insulin, yang merupakan hormon anabolik paling poten yang diketahui, dengan efek sintesis multipel dan efek meningkatkan pertumbuhan; sel alfa mensekresi glukagon, yang menginduksi hiperglikemia melalui aktivitas glikogenolitik di hati; sel delta mengandungi somatostatin, yang menekan pengeluaran insulin dan glukagon; dan sel PP yang mengandungi suatu polipeptida pankreatik unik, VIP, yang memberikan beberapa efek gastrointestinal, seperti rangsangan sekresi enzim lambung dan usus dan hambatan motilitas usus. Penyakit pankreas endokrin yang paling penting adalah diabetes melitus, disebabkan oleh defisiensi produksi atau kerja insulin.



Gangguan metabolisme karbohidrat berlangsung terus. Seseorang dengan nilai glukosa puasa serum kurang dari 110 mg/ dL, atau TTGO kurang dari 140 mg/ dL, disebut euglikemik. Akan tetapi, mereka dengan glukosa puasa serum lebih dari 110 namun kurang dari 126 mg/dL, atau nilai TTGO lebih besar dari 140 tetapi kurang dari 200 mg/dL, disebut memiliki toleransi glukosa terganggu, yang dikenal juga sebagai prediabetes. Sejalan dengan berjalannya waktu, orang dengan gangguan toleransi glukosa memiliki risiko bermakna untuk berkembang menjadi diabetes yang nyata, sekitar 5% hingga 10% berlanjut menjadi diabetes melitus penuh per tahun. Selain itu, mereka dengan toleransi glukosa terganggu berisiko menderita penyakit kardiovaskular, sebagai konsekuensi dari metabolisme karbohidrat yang abnormal dan adanya faktor risiko lain secara bersamaan (Bab 9).



Klasifikasi



DIABETES MELITUS Diabetes melitus bukan merupakan satu entitas penyakit tunggal, namun lebih merupakan suatu kelompok kelainan metabolik yang memiliki latar belakang yang serupa yaitu hiperglikemia. Hiperglikemia pada diabetes disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau paling sering, oleh kedua-duanya. Hiperglikemia menahun dan deregulasi metabolik pada diabetes melitus dapat berkaitan dengan kerusakan sekunder di sistem organ multipel, khususnya ginjal, mata, saraf dan pembuluh darah. Menurut American Diabetes Association, diabetes diderita oleh lebih dari 20 juta anak-anak dan orang dewasa, atau 7% populasi di Amerika Serikat, yang hampir sepertiga di antaranya saat ini tidak sadar bahwa mereka mengidap hiperglikemia. Sekitar 1,5 juta kasus baru diabetes didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat, dan diabetes merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir, kebutaan yang timbul pada orang dewasa, dan amputasi ekstremitas bawah non-traumatik. Sebanyak 54 juta orang dewasa di negara ini prediabetes, yang didefinisikan sebagai peningkatan gula darah yang tidak mencapai kriteria yang dapat diterima untuk suatu diagnosis diabetes (akan dibicarakan selanjutnya); orang dengan prediabetes memiliki risiko yang meningkat untuk berkembang menjadi diabetes yang nyata.



Diagnosis Kadar glukosa darah secara normal dipertahankan pada jarak sangat sempit, biasanya antara 70 hingga 120 mg/ dL. Diagnosis diabetes ditegakkan dengan peningkatan glukosa darah melalui satu dari tiga kriteria di bawah ini: 1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau lebih, dengan tanda dan gejala klasik (dibahas kemudian) 2. Konsentrasi glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu kesempatan 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) abnormal, yang konsentrasi glukosanya adalah 200 mg/dL atau lebih, 2 jam setelah pemberian beban karbohidrat standar (75 g glukosa).



Walaupun semua bentuk diabetes melitus memiliki gambaran umum hiperglikemia, penyebab yang mendasarinya sangat bervariasi. Sebagian besar kasus diabetes termasuk pada salah satu dari dua kelompok besar: • Diabetes tipe 1 (DT1) ditandai oleh defisiensi absolut sekresi insulin yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas, biasanya akibat suatu serangan autoimun. Diabetes tipe 1 ini mencakup sekitar 10% seluruh kasus. • Diabetes tipe 2 (DT2) disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respons sekresi insulin kompensatorik yang tidak adekuat oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif). Sekitar 80% hingga 90% pasien diabetes melitus adalah diabetes tipe 2. Diabetes melitus lainnya, disebabkan oleh berbagai sebab lain yang monogenik dan sekunder (Tabel 19-5). Hal yang penting adalah bahwa walaupun tipe utama diabetes timbul dari mekanisme patogenik yang berbeda, komplikasi jangka panjang di ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah sama dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas.



Fisiologi Insulin Normal dan Homeostasis Glukosa Sebelum membahas patogenesis dua tipe utama diabetes, kita akan melihat ulang secara singkat fisiologi insulin normal dan metabolisme glukosa. Homeostasis glukosa normal diatur dengan ketat oleh tiga proses yang saling berhubungan: (1) produksi glukosa di hati, (2) uptake glukosa dan penggunaannya oleh jaringan perifer, terutama otot skeletal, dan (3) kerja insulin dan hormon pengatur yang berlawanan (counter regulatory) (contoh, glukagon). Fungsi metabolik utama insulin adalah meningkatkan laju transportasi glukosa ke dalam sel tertentu di dalam tubuh (Gambar 19-21). Sel yang dimaksud ini adalah sel otot seran lintang (termasuk sel miokardium) dan lebih sedikit adiposit yang merupakan hampir dua per tiga dari seluruh berat badan. Uptake glukosa pada jaringan perifer lain, terutama otak, bergantung pada insulin. Pada sel otot, glukosa akan disimpan



740



BAB 19



Sistem Endokrin



Tabel 19-5 Klasifikasi Diabetes Melitus



 Diabetes Tipe 1 Kerusakan sel beta, biasanya mengakibatkan defisiensi insulin absolut



 Diabetes Tipe 2 Kombinasi resistensi insulin dan disfungsi sel beta



Jaringan lemak Uptake glukosa Lipogenesis Lipolisis



  Defek Genetik Fungsi Sel Beta Maturity-onset diabestes of the young (MODY), disebabkan oleh mutasi pada : Gen Hepatocyte nuclear factor 4α (HNF4A)—MODYI Gen Glukokinase (GCK)—MODY2 Gen Hepatocyte nuclear factor 1α (HNFIA)—MODY3 Gen Pancreatic and duodenal homeobox I (PDXI)—MODY4 Gen Hepatocyte nuclear factor 1B (HNFIB)—MODY5 Gen Neurogenic differentiation factor I NEUROD1)—MODY6 Maternally inherited diabetes and deafness (MIDD) oleh karena mutasi DNA mitokondrial (3243A ->G)



Insulin



Defek pada konversi proinsulin Mutasi gen insulin



  Defek Genetik Pada Kerja Insulin Mutasi reseptor insulin



  Defek Pankreatik Eksokrin Pankreatitis kronik Pankreatektomi Neoplasia Fibrosis kistik Hemokromatosis



Otot seran lintang Uptake glukosa Sinstesis glikogen Sintesis protein



Hati Glukoneogenesis Sintesis glikogen Lipogenesis



Gambar 1ambr Kerja metabolik insulin pada otot seran lintang, jaringan lemak, dan hati.



Pankreatopati fibrokalkulus



  Endokrinopati Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali Sindrom Cushing Hipertirodisme Feokromositoma Glukagonoma



  Infeksi Infeksi sitomegalovirus Infeksi virus Coxsackie B Rubela kongenital



  Obat-obatan Glukortikoid Hormon tiroid Agonis Adrenergik-β



  Sindrom Genetik yang Berhubungan dengan Diabetes Sindrom Down Sindrom Klinefelter Sindrom Turner



  Diabetes Melitus Gestasional Diabetes yang berhubungan dengan kehamilan



Dimodifikasi dari American Diabetes Association: Position statement from the American Diabetes Association on the diagnosis and classification of diabetes melitus. Diabetes Care 3 I(Suppl I):S55—S60, 2008.



sebagai glikogen atau dioksidasi untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Pada jaringan lemak, glukosa disimpan terutama sebagai lemak. Selain meningkatkan sintesis lemak (lipogenesis), insulin juga menghambat degradasi lemak pada adiposit (lipolisis). Demikian juga, insulin meningkatkan uptake asam amino dan sintesis protein sambil menghambat degradasi protein. Oleh karena itu, efek metabolik insulin dapat disimpulkan sebagai anabolik, dengan meningkatkan sintesis dan mengurangi degradasi glikogen, lemak, dan protein. Selain efek metabolik ini, insulin memiliki beberapa fungsi mitogenik, antara lain inisiasi sintesis DNA pada sel tertentu serta merangsang pertumbuhan dan diferensiasinya. Insulin mengurangi produksi glukosa hati. Insulin dan glukagon memiliki efek pengaturan yang berlawanan pada homeostasis glukosa. Selama keadaan puasa, kadar insulin yang rendah dan glukagon yang tinggi memfasilitasi glukoneogenesis dan glikogenolisis (penghancuran glikogen) hati sambil menurunkan sintesis glikogen, sehingga mencegah hipoglikemia. Oleh karena itu, kadar glukosa plasma puasa ditentukan terutama oleh luaran glukosa hati. Setelah makan, kadar insulin meningkat dan kadar glukagon turun sebagai respons terhadap masukan/beban glukosa yang banyak. Stimulus paling penting yang memicu pelepasan insulin adalah glukosa itu sendiri, yang menginisiasi sintesis insulin di sel beta pankreas. Pada jaringan perifer (otot skeletal dan jaringan lemak), insulin yang disekresi berikatan dengan reseptor insulin, memicu sejumlah respons intraseluler yang meningkatkan uptake glukosa dan penggunaan glukosa postprandial, sehingga mempertahankan homeostasis glukosa. Abnormalitas pada berbagai titik sepanjang kaskade pengisyaratan yang kompleks ini, dari sintesis dan pelepasan insulin oleh sel beta hingga interaksi dengan reseptor insulin di jaringan perifer, dapat menyebabkan fenotipe diabetes.



Diabetes Melitus



PATOGENESIS



Sekitar 90% hingga 95% pasien diabetes tipe 1 kulit putih memiliki HLA-DR3, atau DR4, atau keduanya, berbeda dengan sekitar 40% subyek normal, dan 40% hingga 50% pasien merupakan heterozigot DR3/DR4, berbeda dengan 5% subyek normal. Perlu dicatat, walaupun orang dengan alel kelas II tertentu memiliki risiko relatif tinggi, kebanyakan orang yang mewarisi alel ini tidak menjadi diabetes. Beberapa gen non-HLA juga memberikan kerentanan terhadap diabetes tipe I, termasuk polimorfisme pada gen yang mengkode insulin itu sendiri, selain CTLA4 dan PTPN22. CTLA-4 merupakan reseptor penghambat sel T dan PTPN-22 merupakan suatu protein tirosin fosfatase; keduanya diduga menghambat respons sel T, sehingga polimorfisme yang berkaitan dengan aktivitas fungsionalnya menyebabkan aktivasi sel T berlebihan. Polimorfisme gen insulin dapat mengurangi ekspresi protein ini di timus, sehingga mengurangi eliminasi sel T reaktif dengan protein diri (Bab 4). Terdapat bukti tambahan yang merujuk bahwa , khususnya infeksi, dapat terlibat pada diabetes tipe I .Virus tertentu (khususnya mumps, rubela, dan virus coxsackie B) diduga dapat merupakan pemicu awal, mungkin karena beberapa antigen virus yang mirip dengan antigen sel beta (molecular mimicry), menyebabkan kerusakan lain pulau Langerhans, namun ide ini belum pasti.



Diabetes Melitus Tipe I Diabetes tipe I merupakan penyakit autoimun dengan kerusakan pulau Langerhans terutama disebabkan oleh sel efektor imun yang bereaksi terhadap antigen sel beta endogen. Diabetes tipe I paling sering berkembang pada masa anak-anak, bermanifestasi pada pubertas, dan memburuk sejalan dengan bertambahnya usia. Kebanyakan pasien diabetes tipe 1 bergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup; tanpa insulin mereka akan mengalami komplikasi metabolik serius, seperti ketoasidosis dan koma.Walaupun onset klinis diabetes tipe I jelas, penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh serangan autoimun menahun pada sel beta yang biasanya sudah dimulai bertahun-tahun sebelum penyakit menjadi nyata (Gambar 19-22). Manifestasi klasik penyakit (hiperglikemia dan ketosis) terjadi pada stadium lanjut, setelah lebih dari 90% sel beta telah dihancurkan.Abnormalitas imun yang mendasar pada diabetes tipe I adalah kegagalan toleransi diri pada sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan oleh beberapa kombinasi dari delesi klonal sel T self-reactive yang defektif di timus, dan defek pada fungsi pengaturan sel T atau resistensi sel T efektor terhadap supresi oleh sel pengatur. Sehingga, sel T yang autoreactive tidak hanya bertahan hidup namun juga berespons terhadap antigen diri. Tidak mengherankan, autoantibodi terhadap sejumlah antigen sel beta, termasuk insulin dan enzim sel beta dekarboksilase asam glutamat, dideteksi dalam darah pada 70% hingga 80% pasien. Pada kasus jarang di mana lesi pankreatik telah diperiksa pada awal proses penyakit, pulau Langerhans menunjukkan nekrosis sel beta dan infiltrasi limfositik (disebut insulitis).



Predisposisi genetik



β-massa sel



Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes tipe 2 merupakan prototipe penyakit multifaktorial kompleks. Faktor lingkungan, seperti gaya hidup yang banyak duduk dan kebiasaan makan/diet, secara meyakinkan berperan, seperti yang akan dibahas dalam kaitannya dengan obesitas. Faktor genetik juga terlibat dalam patogenesis, seperti yang dibuktikan oleh angka konkordansi penyakit sebesar 35% hingga 60% pada kembar monozigot dibandingkan dengan hampir separuh pada kembar dizigotik. Konkordansi ini bahkan lebih besar dari diabetes tipe I, memberi dugaan bahwa mungkin pada diabetes tipe 2 peran komponen genetik lebih besar. Bukti tambahan akan adanya dasar genetik muncul dari penelitian genome-wide berskala besar belakangan ini, yang telah mengidentifikasi lebih dari selusin lokus kerentanan yang disebut gen "diabetogenik". Akan tetapi, berbeda dengan diabetes tipe I, penyakit ini tidak terkait dengan gen yang terlibat dalam toleransi dan pengaturan imun (contoh, HLA, CTLA4), dan tidak terdapat bukti adanya autoimun yang mendasari. Dua defek metabolik yang menjadi ciri diabetes tipe 2 adalah (1) penurunan kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel beta yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin inadekuat pada keadaan resistensi insulin dan hiperglikemia (Gambar 19-23). Resistensi insulin mendahului berkembangnya hiperglikemia dan biasanya diikuti oleh hiperfungsi kompensatorik sel beta dan hiperinsulinemia pada tahap awal terjadinya diabetes.



(?) Kejadian yang mempercepat Abnormalitas imunologi yang jelas Pelepasan insulin normal



Hilangnya pelepasan insulin yang progresif Glukosa normal



741



Diabetes yang nyata



Resistensi Insulin 5



10 15 Umur (tahun)



20



25



Gambar 19-22 Tahap perkembangan diabetes melitus tipe I .Tahap ini diuraikan dari kiri ke kanan dan massa sel beta secara hipotetik digambarkan terhadap usia. (Dari Eisenbarth GE: Type I diabetes—a chronic autoimmune disease. N Engl J Med 314:1360, 1986.)



Resistensi insulin didefinisikan sebagai gagalnya jaringan sasaran untuk berespons secara normal terhadap insulin. Hal ini menyebabkan berkurangnya uptake glukosa di otot, berkurangnya glikolisis dan oksidasi asam lemak di hati, dan ketidakmampuan untuk menekan glukoneogenesis hepatik. Bermacam-macam defek fungsional telah dilaporkan pada jalur



742



BAB 19



Sistem Endoktrin



Predisposisi genetik



Obesitas Faktor gaya hidup



Jaringan lemak



Resistensi insulin



“Adipokin”



Hiperplasoa sel β kompensatorik



Normoglikemia



Kegagalan sel β (awal)



Toleransi glukosa terganggu



Kegagalan sel β (lanjut)



Diabetes



Asam lemak bebas



Makrofag



Pulau langerhans pankreas Sel b



Disfungsi sel b



IL-1b sitokin pro-inflamasi lain



Kegagalan β primer (jarang)



Gambar 19-23 Patogenesis diabetes melitus tipe 2. Predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan bersama-sama menyebabkan resistensi insulin. Hiperplasia kompensatorik sel beta dapat mempertahankan normoglikemia, namun akhirnya terjadi disfungsi sekretorik sel beta, menyebabkan gangguan toleransi glukosa dan akhirnya diabetes yang jelas. Kasus yang jarang dari kegagalan sel beta primer dapat secara langsung menyebabkan diabetes tipe 2 tanpa diselingi oleh keadaan resistensi insulin.



pengisyaratan insulin pada keadaan resistensi insulin (contoh, berkurangnya aktivasi reseptor insulin yang tergantung fosforilasi dan komponen di bawahnya), yang melemahkan transduksi isyarat. Hanya beberapa faktor yang berperan penting dalam timbulnya resistensi insulin seperti obesitas.



Obesitas dan Resistensi Insulin Hubungan antara obesitas dengan diabetes tipe 2 telah diketahui sejak beberapa dekade sebelumnya, di mana obesitas viseral sering ditemukan pada sebagian besar pasien. Resistensi insulin ditemukan bahkan pada obesitas sederhana yang tidak diikuti oleh hiperglikemia, menunjukkan adanya suatu abnormalitas yang mendasar pada pengisyaratan insulin dalam keadaan kelebihan lemak. Istilah sindrom metabolik telah dipakai untuk sekelompok temuan yang didominasi oleh obesitas viseral, diikuti oleh resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan faktor risiko kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi dan profil lemak yang abnormal (Bab 7). Tanpa adanya penurunan berat badan dan modifikasi gaya hidup, orang dengan sindrom metabolik memiliki risiko bermakna untuk menjadi diabetes tipe 2 yang nyata, menekankan pentingnya obesitas pada patogenesis penyakit ini. Risiko diabetes meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh (suatu pengukuran kandungan lemak tubuh), mengasumsikan adanya hubungan yang terkait dosis antara lemak tubuh dan resistensi insulin. Walaupun banyak hal mengenai aksis adipo insulin belum dipahami, pengetahuan tentang beberapa jalur putatif yang menyebabkan resistensi insulin terus bertambah (Gambar 19-24):



Otot seran lintang Resistensi insulin



Gambar 19-24 Mekanisme disfungsi sel beta dan resistensi insulin pada diabetes tipe 2. Asam lemak bebas secara langsung menyebabkan disfungsi sel beta dan menginduksi resistensi insulin pada jaringan sasaran (seperti otot seran lintang, ditunjukkan di sini), dan juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan disfungsi sel beta dan resistensi insulin yang lebih berat.



• Peran asam lemak bebas (ALB) / free fatty acids (FFA) yang berlebihan: Penelitian potong lintang telah menunjukkan adanya korelasi terbalik antara ALB plasma puasa dan sensitivitas insulin. Kadar trigliserida intrasel sering sangat meningkat pada jaringan otot dan hati pada orang obese, diduga dikarenakan kelebihan ALB beredar yang disimpan pada organ ini. Trigliserida intrasel dan produk metabolisme asam lemak merupakan penghambat kuat pengisyaratan insulin dan akan berakibat terjadinya keadaan resistensi insulin. Efek lipotoksik dari ALB diperantarai oleh menurunnya aktivitas protein penting pada pengisyaratan insulin. • Peran inflamasi: Akhir-akhir ini, inflamasi telah menjadi penyebab utama dalam patogenesis diabetes tipe 2. Telah diketahui bahwa lingkungan inflamasi yang permisif (diperantarai bukan oleh suatu proses autoimun seperti pada diabetes tipe 1 namun lebih oleh sitokin proinflamasi yang disekresi sebagai respons terhadap nutrien yang berlebihan, seperti ALB) berakibat terjadinya resistensi insulin perifer dan disfungsi sel beta (lihat selanjutnya). ALB yang berlebihan di dalam makrofag dan sel beta dapat mengikat inflammasome, suatu komplek sitoplasmik multiprotein yang menyebabkan sekresi sitokin interleukin IL-113 (Bab 2). Selanjutnya, IL-113 memperantarai sekresi sitokin proinflamasi lainnya dari makrofag, pulau Langerhans, dan sel lain, yang kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi dan bekerja pada tempat utama kerja insulin untuk meningkatkan resistensi insulin. Oleh karena itu, ALB yang



Diabetes Melitus berlebihan dapat mempengaruhi pengisyaratan insulin baik secara langsung pada jaringan perifer, maupun secara tidak langsung melalui pelepasan sitokin proinflamasi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, kalau saat ini terdapat beberapa penelitian yang sedang berjalan tentang antagonis sitokin (khususnya IL-1(3) pada pasien diabetes tipe 2. • Peran adipokin: Jaringan lemak tidak hanya merupakan suatu depot penyimpanan lemak yang pasif; namun dapat juga berperan sebagai organ endokrin fungsional, dengan melepaskan adipokin sebagai respons terhadap rangsangan ekstrasel atau perubahan status metabolik. Oleh karena itu adiposit juga melepaskan dan sitokinproinflamasi lainnya ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap ALB berlebihan, yang meningkatkan resistensi insulin perifer. Sebaliknya, adiponektin merupakan suatu adipokin dengan aktivitas mensensitisasi insulin, yang mungkin bekerja dengan menekan respons inflamasi. • Peroxisome proliferator-activated receptor-y (PPARy): PPARy merupakan suatu reseptor inti dan faktor transkripsi yang diekspresikan pada jaringan lemak dan berperan penting pada diferensiasi adiposit. Suatu kelompok obat antidiabetik yang dikenal sebagai tiazolidinedion bekerja sebagai agonis ligan PPARy dan meningkatkan sensitivitas insulin. Aktivasi PPARy meningkatkan sekresi adipokin antihiperglikemik seperti adiponektin, dan menggeser deposit ALB ke jaringan lemak, menjauh dari hati dan otot skeletal.



Disfungsi Sel Beta Disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2 mencerminkan ketidakmampuan sel ini untuk beradaptasi terhadap tuntutan resistensi insulin perifer jangka panjang dan peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, awalnya sekresi insulin lebih tinggi untuk setiap kadar glukosa dibanding kontrol. Keadaan hiperinsulinemik ini merupakan kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan kadar glukosa plasma agar normal selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya kompensasi sel beta menjadi tidak cukup dan timbul progresi menjadi hiperglikemia, yang diikuti oleh hilangnya massa sel beta secara absolut. Mekanisme molekuler yang mendasari disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2 bersifat multifaktorial dan pada banyak kasus, tumpang tindih dengan faktor yang berimplikasi pada resistensi insulin. Oleh karena itu, nutrien yang berlebihan seperti ALB dan glukosa dapat meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi oleh sel beta, yang menimbulkan rekruitmen sel mononukleus (makrofag dan sel T) ke dalam sel pulau Langerhans, menyebabkan produksi sitokin yang lebih bersifat lokal. Akibat dari lingkungan mikro inflamasi yang abnormal ini adalah disfungsi sel beta dan akhirnya kematian sel beta. Penggantian sel yang mati ini oleh amiloid merupakan suatu ciri yang ditemukan pada pasien yang menderita diabetes tipe 2 dalam waktu panjang dan ditemukan pada lebih dari 90% pulau Langerhans diabetik yang diperiksa (lihat selanjutnya). Polipeptida amiloid pulau Langerhans (islet amyloid polypeptide, IAPP), juga dikenal sebagai amilin, disekresi oleh sel beta bersama dengan insulin, dan agregasi abnormalnya menimbulkan amiloid. IAPP juga mengikat inflammasome dan meningkatkan sekresi sehingga mempertahankan serangan gencar inflamasi yang akan mematikan sel beta yang dapat bertahan pada stadium lanjut penyakit.



743



Bentuk Monogenik Diabetes Diabetes tipe 1 dan tipe 2 secara genetik kompleks, dan walaupun berkaitan dengan sejumlah lokus kerentanan, tidak ada defek (mutasi) satu gen yang dapat bertanggung jawab sebagai predisposisi penyakit ini. Sebaliknya, bentuk monogenik diabetes (Tabel 19-5) merupakan contoh yang tidak umum dari fenotipe diabetes yang terjadi sebagai akibat mutasi kehilangan fungsi (loss of function mutations) pada satu gen. Sebab diabetes monogenik dapat berupa defek primer fungsi sel beta atau defek pada pengisyaratan reseptor insulin. Kelompok terbesar pasien dengan kelainan ini, secara tradisional dikenal sebagai memiliki maturity onset diabetes of the young (MODY) oleh karena kemiripannya secara superfisial dengan diabetes tipe 2 dan terjadi pada pasien yang berusia lebih muda; MODY dapat merupakan akibat dari mutasi yang menginaktifkan pada satu dari enam gen. Penyebab lain yang jarang adalah maternally inherited diabetes dan ketulian bilateral, yang terjadi sekunder terhadap mutasi DNA mitokondria, dan mutasi pada gen insulin itu sendiri, paling sering bermanifestasi sebagai diabetes pada periode neonatus. Kasus jarang dari mutasi reseptor insulin yang mempengaruhi sintesis reseptor, pengikatan insulin atau transduksi isyarat selanjutnya (downstream) dapat menyebabkan resistensi insulin berat, yang disertai oleh hiperinsulinemia dan diabetes.



Komplikasi Diabetes Diabetes dapat merupakan suatu penyakit yang berbahaya oleh karena metabolisme glukosa yang abnormal dan gangguan metabolisme lainnya memiliki efek patologis yang serius pada hampir seluruh sistem dalam tubuh. Komplikasi diabetes yang paling penting adalah abnormalitas pembuluh darah, kerusakan ginjal dan lesi yang mengenai saraf perifer dan mata (Gambar 19-25). Temuan patologis pada jaringan ini dan konsekuensi klinisnya diuraikan di bawah ini. Terdapat variasi yang sangat besar saat mulainya timbul komplikasi di antara pasien, berat ringannya, dan organ tertentu yang terkena. Pada pasien yang terkontrol ketat diabetesnya, onset munculnya komplikasi dapat diperlambat. Patogenesis komplikasi jangka panjang diabetes bersifat multifaktor, walaupun hiperglikemia persisten (glukotoksisitas) tampaknya merupakan mediator utama. Setidaknya terdapat tiga jalur metabolisme berbeda yang tampaknya terlibat dalam patogenesis komplikasi jangka panjang; masing-masing jalur berperan melalui pola yang bersifat spesifik terhadap organ. 1. Pembentukan produk akhir glikasi lanjut (advanced glycation end products/AGE). AGE dibentuk sebagai akibat dari reaksi nonenzimatik antara prekursor intrasel yang berasal dari glukosa (glioksal, metilglioksal, dan 3-deoksiglukoson) dengan kelompok amino dari protein intrasel dan ekstrasel. Laju pembentukan AGE yang alami sangat dipercepat oleh adanya hiperglikemia. AGE berikatan dengan reseptor spesifik (RAGE), yang diekspresikan pada sel inflamasi (makrofag dan sel T) dan pada endotel serta otot polos pembuluh darah. Efek merusak aksis pengisyaratan AGERAGE pada kompartemen pembuluh darah meliputi: • Pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan proinflamasi dari makrofag pada intima • Terbentuknya reactive oxygen species (ROS) pada sel endotel



744



BAB 19



Sistem Endoktrin



• Peningkatan aktivitas prokoagulan pada sel endotel dan makrofag • Peningkatan proliferasi otot polos pembuluh darah dan sintesis matriks ekstrasel Selain efek yang diperantarai oleh reseptor, AGE dapat secara langsung berikatan silang dengan protein matriks ekstrasel, sehingga menurunkan pembuangan protein sembari meningkatkan deposit protein. Protein yang berikatan silang dengan AGE dapat menjebak protein interstisial atau protein plasma lain; sebagai contoh, low-density lipoprotein (LDL) terperangkap di dalam dinding pembuluh darah besar yang dimodifikasi oleh AGE, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis (Bab 9), sedangkan albumin dapat terperangkap di dalam kapiler, yang merupakan salah satu penyebab terjadinya penebalan membran basal yang menjadi ciri mikroangiopati diabetik (lihat selanjutnya). 2. Aktivasi protein kinase C. Aktivasi protein kinase C (PKC) intraseluler oleh ion kalsium dan second messenger diasilgliserol (DAG) merupakan jalur isyarat transduksi yang penting pada banyak sistem di dalam sel. Hiperglikemia intrasel dapat merangsang sintesis dek novo DAG dari intermedier glikolitik sehingga menyebabkan aktivasi PKC. Efek selanjutnya dari aktivasi PKC sangat banyak dan meliputi produksi molekul proangiogenik seperti vascular endothelial growthk factor (VEGF), yang berimplikasi pada neovaskularisasi yang tampak pada retinopati diabetik dan molekul profibrogenik seperti transforming growth factor-β sehingga menyebabkan meningkatnya deposit matriks ekstrasel dan materi membran basal. 3. Gangguan pada jalur poliol. Pada beberapa jaringan yang tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa (contoh, saraf, lensa, ginjal dan pembuluh darah), hiperglikemia menyebabkan peningkatan glukosa intrasel yang kemudian akan dimetabolisme oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol, suatu poliol, dan akhirnya menjadi fruktosa, pada suatu reaksi yang menggunakan NADPH (bentuk reduksi dari nikotinamida dinukleotida fosfat) sebagai suatu kofaktor. NADPH juga diperlukan oleh enzim glutation reduktase pada suatu reaksi yang menghasilkan glutation tereduksi (GSH). Seperti yang diuraikan pada Bab 1, GSH merupakan salah satu mekanisme anti oksidan yang penting di dalam sel, dan setiap reduksi pada GSH akan meningkatkan kerentanan sel terhadap stres oksidatif. Pada neuron, hiperglikemia persisten tampaknya merupakan penyebab utama yang mendasari terjadinya neuropati diabetik (neurotoksisitas glukosa).



MORFOLOGI   Temuan patologis pada pankreas diabetik bervariasi dan tidak selalu mencolok. Perubahan morfologik penting berhubungan dengan banyaknya komplikasi sistemik lanjut pada diabetesnya. Pada sebagian besar pasien, perubahan morfologik cenderung ditemukan di arteri (penyakit makrovaskular), membran basal pembuluh-pembuluh darah kecil (mikroangiopati), ginjal (nefropati diabetik), retina (retinopati), saraf (neuropati), dan jaringan lain. Perubahan ini terlihat baik pada diabetes tipe 1 maupun tipe 2 (Gambar 19-25).



Pankreas. Lesi di pankreas tidak tetap dan jarang memiliki nilai diagnostik. Satu atau lebih perubahan di bawah ini dapat terlihat: • Pengurangan jumlah dan ukuran pulau Langerhans. Perubahan ini paling sering terlihat pada diabetes tipe 1 , khususnya pada penyakit yang berkembang cepat. Sebagian besar sel pulau Langerhans tampak mengecil, tidak mencolok dan tidak mudah dideteksi. • Infiltrasi leukosit pada pulau Langerhans, yang terutama terdiri atas sel mononukleus (limfosit dan makrofag) (Gambar 19-26, A). Perlu diperhatikan, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2 dapat menunjukkan inflamasi pulau Langerhans pada awal penyakit, walaupun lebih parah pada diabetes tipe 1 . Pada kedua tipe diabetes, inflamasi sering tidak ditemukan pada saat penyakit menjadi nyata secara klinis. • Penggantian pulau Langerhans oleh amiloid pada diabetes tipe 2 yang berlangsung lama, tampak sebagai deposit materi amorf berwarna merah muda dimulai dari dalam dan sekitar pembuluh darah kapiler serta di antara sel. Pada stadium lanjut, pulau Langerhans dapat terobliterasi (Gambar 19-26, B); fibrosis juga dapat ditemukan. Inflamasi ditemukan pada awal perjalanan alami penyakit diabetes tipe 2, sedangkan deposit amiloid terjadi pada kasus yang telah berlangsung lama. • Peningkatan jumlah dan ukuran pulau Langerhans, merupakan ciri khusus bayi baru lahir non-diabetik yang lahir dari ibu diabetik. Kemungkinan, pulau Langerhans fetus mengalami hiperplasia sebagai respons terhadap hiperglikemia maternal. Penyakit Makrovaskular Diabetik. Diabetes memberikan akibat yang berat pada sistem pembuluh darah. Ciri khas dari penyakit makrovaskular diabetik adalah aterosklerosis yang timbul lebih cepat, mengenai aorta dan pembuluh darah berukuran besar dan sedang. Aterosklerosis pada pasien diabetes tidak dapat dibedakan dari pasien non-diabetes, selain oleh tingkat keparahan yang lebih tinggi dan onsetnya pada usia yang lebih muda (Bab 9). Infark miokardium, yang disebabkan oleh aterosklerosis arteri koronaria, merupakan penyebab kematian tersering pada penderita diabetes. Kejadian ini hampir sama seringnya pada wanita dan pria penderita diabetes. Sebaliknya, infark miokardium jarang ditemukan pada wanita non-diabetik usia reproduksi. Gangren pada ekstremitas bawah sebagai akibat penyakit pembuluh darah lanjut, terjadi 100 kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan populasi umum. Arteri besar ginjal juga dapat mengalami aterosklerosis berat, namun efek paling merusak dari diabetes pada ginjal, ialah disebabkan oleh kerusakan pada tingkat glomerulus dan mikrosirkulasi, seperti yang akan dibahas kemudian. Arteriolosklerosis hialin, lesi pembuluh darah yang berkaitan dengan hipertensi (Bab 9 dan 13), lebih sering ditemukan dan lebih berat pada pasien diabetes daripada non-diabetes, namun tidak spesifik untuk pasien diabetes dan dapat ditemukan pada orang lanjut usia yang tidak menderita diabetes ataupun hipertensi. Lesi ini berupa suatu penebalan hialin, amorf dari dinding arteriol, yang menyebabkan penyempitan lumen (Gambar 19-27). Tidaklah mengherankan, bahwa pada pasien diabetes, tingkat keparahannya berhubungan tidak saja dengan lama penyakit namun juga dengan ada atau tidaknya hipertensi. Mikroangiopati Diabetik. Salah satu gambaran morfologik diabetes yang paling konsisten adalah penebalan difus membran basal. Penebalan ini paling nyata pada kapiler kulit, otot skelet, retina, glomerulus ginjal, dan medula ginjal. Namun, gambaran ini dapat juga terlihat pada struktur non-vaskular seperti tubulus ginjal, kapsul Bowman, saraf perifer, dan plasenta. Dengan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron,



Diabetes Melitus



745



Mikroangiopati infark pembuluh darah otak Perarahan



Retinopati Katarak Glaukoma



Hipertensi



Infark miokardium Arterosklerosis Hilangnya sel pulau langerhans Insulitis (tipe 1) Amiloid (tipe 2)



Nefrosklerosis Glomerulosklerosis Arteriosklerosis Pielonefritis



Pembuluh darah perifer aterosklorosis



Gangren



Neuropati perifer



Infeksi



Neuropati autonomik



Gambar 19-25 Komplikasi jangka panjang diabetes.



tampak lamina basal yang memisahkan sel parenkim atau sel endotel dari jaringan sekitarnya yang sangat menebal oleh lapisan konsentrik materi hialin yang terutama terdiri atas kolagen tipe IV (Gambar 19-28). Perlu diperhatikan, bahwa walaupun terdapat peningkatan ketebalan membran basal, pembuluh kapiler pasien diabetes



A



lebih mudah membocorkan protein plasma daripada kapiler normal. Mikroangiopati adalah proses yang mendasari berkembangnya nefropati diabetes, retinopati daibetes, dan beberapa bentuk neuropati diabetes. Suatu mikroangiopati yang sulit dibedakan dapat ditemukan pada pasien non-



B



Gambar 19-26 A, Insulitis autoimun pada seekor tikus (BB) model diabetes autoimun. Kelainan ini juga terlihat pada diabetes tipe I manusia. B, Amiloidosis pulau Langerhans pankreas pada diabetes tipe 2.Amiloidosis secara khas tampak pada tahap lanjut perjalanan alami diabetes tipe ini, sedangkan inflamasi pulau Langerhans terlihat pada tahap awal. (A, Kontribusi Dr Arthur Like, University of Mossuchusetts, Worcester, Massechusetts)



746



BAB 19



Sistem Endoktrin



U



B



Gambar 19-27 Arteriolosklerosis hialin ginjal yang berat dengan pulasan PAS (periodic acid Schiff). Perhatikan arteriol aferen yang sangat menebal dan berkeluk. Sifat amorf dinding pembuluh darah yang menebal tampak jelas. (Kontribusi Dr. M.A. Venkatachalam, Department of Pathology, University of Texas Health Science Center, San Antonio, Texas.)



diabetes berusia lanjut, namun jarang seberat pada pasien diabetes lama. Nefropati Diabetik. Ginjal merupakan sasaran utama diabetes (lihat juga Bab 13). Gagal ginjal berada di urutan kedua penyebab kematian tersering oleh diabetes, setelah infark miokardium. Ditemukan tiga lesi: (1) lesi glomerulus; (2) lesi vaskular ginjal, terutama arteriolosklerosis; dan (3) pielonefritis, termasuk papilitis nekrotikan. Lesi glomerulus yang paling penting adalah penebalan membran basal kapiler, sklerosis mesangium difus, dan glomerulosklerosis nodular. Membran basal kapiler glomerulus menebal sepanjang seluruh pembuluh. Perubahan ini dapat dideteksi dengan mikroskop elektron beberapa tahun setelah munculnya diabetes, dan kadang-kadang walaupun tanpa adanya perubahan yang terkait dengan fungsi ginjal (Gambar 19-29). Sklerosis mesangium difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium bersama dengan proliferasi sel mesangium dan selalu berkaitan dengan penebalan



Gambar 19-28 Korteks ginjal menunjukkan penebalan membran basal tubuler pada spesimen dari pasien diabetik. Pulasan PAS.



L



Gambar 19-29 Glomerulus ginjal menunjukkan membran basal (B) yang sangat menebal pada seorang diabetik. L, lumen kapiler glomeruler; U, ruangurin. (Kontribusi Dr. Michael Kashgarian, Department of Pathology, Yale University School of Medicine, New Haven, Connecbcut)



membran basal. Gambaran ini ditemukan pada kebanyakan pasien yang menderita diabetes lebih dari 10 tahun.Apabila glomerulosklerosis menjadi makin berat, pasien akan menunjukkan manifestasi sindrom nefrotik, yang ditandai oleh proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema (Bab 13). Glomerulosklerosis nodular merupakan suatu lesi glomerulus yang tampak khas oleh deposit matriks berlapis yang menyerupai bola pada tepi glomerulus (Gambar 19-30). Nodul ini positif dengan pulasan PAS dan biasanya mengandungi sel mesangium yang terjebak. Perubahan yang khas ini disebut lesi Kimmelstiel-Wilson, sesuai nama dua orang ahli patologi yang menemukannya. Glomerulosklerosis nodular ditemukan pada sekitar 15% hingga 30% pasien dengan diabetes lama dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Sklerosis mesangium difus juga dapat ditemukan berkaitan dengan



Gambar 19-30 Glomerulosklerosis nodular pada suatu spesimen ginjal dari seorang pasien diabetes dalam waktu lama. (Kontribusi Dr. Lisa Yerian, Department ofPothoiogy, University of Chicago, Chicago, Illinois)



Diabetes Melitus usia lanjut dan hipertensi; sebaliknya bentuk nodular dari glomerulosklerosis, bersifat patognomonik untuk diabetes apabila bentuk nefropati yang tidak lazim telah disingkirkan (Bab 13). Baik bentuk difus maupun bentuk nodular dari glomerulosklerosis menginduksi iskemia yang cukup untuk menimbulkan parut pada ginjal, ditandai oleh permukaan korteks yang tampak granuler halus (Gambar 19-31). Aterosklerosis dan arteriolosklerosis ginjal merupakan bagian dari penyakit makrovaskular yang terlihat pada pasien diabetes. Ginjal merupakan organ yang paling sering dan paling berat terkena; namun, perubahan pada arteri dan arteriol serupa dengan yang ditemukan di seluruh tubuh. Arteriolosklerosis hialin mempengaruhi tidak hanya arteriol aferen namun juga arteriol eferen. Arteriolosklerosis eferen seperti ini jarang ditemukan pada pasien non-diabetes. Pielonefritis merupakan inflamasi ginjal mendadak atau menahun yang biasanya dimulai di jaringan interstisial dan kemudian menyebar melibatkan tubulus. Baik bentuk mendadak maupun bentuk menahun dari penyakit ini bisa terjadi pada pasien non-diabetes dan diabetes, namun lebih sering terjadi pada pasien diabetes daripada populasi normal; bila terkena, pasien diabetes cenderung lebih berat. Satu pola khusus dari pielonefritis mendadak, yaitu papilitis nekrotikans (atau nekrosis papiler), lebih sering ditemukan pada pasien diabetes daripada pasien nondiabetes. Komplikasi Mata pada Diabetes. Gangguan visual, kadang-kadang bahkan buta total, merupakan konsekuensi yang lebih ditakutkan pada diabetes lama. Keterlibatan mata dapat dalam bentuk retinopati, pembentukan katarak, atau glaukoma. Retinopati merupakan pola



Gambar 19-3 I Nefrosklerosis pada seorang pasien diabetes dalam waktu lama. Ginjal telah dibelah untuk menunjukkan transformasi granuler difus dari permukaan (kiri) dan penipisan jaringan korteks yang mencolok (kanan). Gambaran tambahan meliputi beberapa depresi yang tidak teratur, akibat pielonefritis, dan suatu kista korteks insidental (kanan jauh).



747



yang tersering, terdiri atas sekelompok perubahan, dipandang oleh banyak ahli mata sebagai diagnostik untuk penyakit ini. Lesi pada retina terdapat dalam dua bentuk: retinopati nonproliferatif (latar belakang) dan retinopati proliferatif. Gejala retinopati non-proliferatif meliputi perdarahan intraretina atau preretina, eksudat retina, mikroaneurisma, pelebaran vena, edema, dan, yang paling penting, penebalan kapiler retina (mikroangiopati). Eksudat retina bisa "lunak" (mikroinfark) atau "keras" (deposit dari protein plasma dan lemak) (Gambar 19-32). Mikroaneurisma adalah pelebaran berupa kantung berbatas tegas dari kapiler koroidal retina yang terlihat pada oftalmoskopi sebagai titik merah kecil. Pelebaran cenderung terjadi pada titik fokal yang lemah, disebabkan oleh hilangnya perisit. Edema retina mungkin disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang berlebihan. Mikroangiopati mendasari semua kelainan ini, yang diduga menyebabkan hilangnya perisit kapiler dan oleh karena itu menyebabkan pelemahan fokal dari struktur kapiler. Yang disebut sebagai retinopati proliferatif adalah suatu proses neovaskularisasi dan fibrosis. Lesi ini menyebabkan konsekuensi yang serius, seperti kebutaan, terutama bila melibatkan makula. Perdarahan vitreus dapat disebabkan oleh ruptur kapiler yang baru terbentuk; organisasi yang terjadi pada perdarahan selanjutnya dapat menarik retina dari substratum (retina terlepas). Neuropati Diabetik. Sistem saraf pusat dan perifer tidak terlepas dari pengaruh diabetes. Pola keterlibatan yang paling sering adalah berupa neuropati perifer yang simetris pada ekstremitas bawah, yang mengenai fungsi motorik maupun sensorik, terutama sensorik. Bentuk lain adalah neuropati autonomik, yang menyebabkan gangguan pada fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-kadang impotensi seksual, dan mononeuropati diabetik, yang



Gambar 19-32 Perubahan morfologik yang karakteristik dari retinopati diabetik. Gambaran berupa retinopati proliferatif lanjut dengan perdarahan retinal, eksudat, neovaskularisasi, dan terlepasnya retina karena tarikan (sudut kanan bawah). (Kontribusi Dr. Rojendra Apte, Woshington University School of Medicine, St. Louis, Missouri.)



748



BAB 19



Sistem Endoktrin



bermanifestasi sebagai footdrop atau wristdrop yang tiba-tiba atau kelumpuhan saraf kranial tersendiri. Perubahan neurologik dapat merupakan akibat dari mikroangiopati dan peningkatan permeabilitas kapiler yang memberi makan saraf dan juga oleh kerusakan akson langsung.



Gambaran Klinis Sulit untuk membahas secara singkat berbagai presentasi klinis diabetes melitus yang sangat bervariasi. Berikut ini hanya akan dibahas beberapa pola yang karakteristik. Pada satu atau dua tahun pertama setelah manifestasi nyata diabetes tipe 1 (disebut sebagai "periode bulan madu"), kebutuhan insulin eksogen dapat minimal atau tidak diperlukan oleh karena masih ada sekresi sisa-sisa insulin, namun setelah itu cadangan sel beta kelelahan dan kebutuhan insulin meningkat secara drastis. Walaupun kerusakan sel beta merupakan proses yang bertahap, transisi dari gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes yang nyata dapat terjadi tiba-tiba, ditandai oleh suatu kejadian yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan insulin seperti infeksi. Onsetnya ditandai oleh poliuria, polidipsia, polifagia, dan pada kasus yang berat, ketoasidosis, yang kesemuanya disebabkan oleh gangguan metabolisme (Gambar 19-33). Oleh karena insulin merupakan suatu hormon anabolik utama dalam tubuh, defisiensi insulin menyebabkan keadaan katabolisme yang mengenai tidak hanya metabolisme glukosa namun juga metabolisme lemak dan protein. Asimilasi glukosa ke dalam jaringan otot dan lemak berkurang secara tajam atau menghilang. Tidak hanya penyimpanan glikogen di hati dan otot yang berkurang, namun cadangannya juga berkurang oleh glikogenolisis. Hiperglikemia yang timbul melampaui ambang reabsorpsi ginjal, akan menimbulkan glikosuria. Glikosuria menginduksi diuresis osmotik dan akibatnya terjadi poliuria, yang menyebabkan kehilangan air dan elektrolit dalam jumlah banyak. Kehilangan air oleh ginjal yang obligatorik bersama dengan hiperosmolaritas yang disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa darah, cenderung menurunkan air intrasel, memicu osmoreseptor pusat haus di otak. Urutan kejadian ini menimbulkan rasa haus yang sangat (polidipsia). Dengan adanya defisiensi insulin, skalanya akan bergeser dari anabolisme yang ditingkatkan oleh insulin ke katabolisme protein dan lemak. Kemudian terjadi proteolisis dan asam amino glukoneogenik dihilangkan oleh hati dan digunakan untuk menggantikan glukosa. Katabolisme protein dan lemak cenderung menginduksi suatu keseimbangan energi negatif, yang kemudian akan meningkatkan nafsu makan (polifagia), sehingga menggenapkan trias klasik diabetes, yaitu: poliuria, polidipsia, dan polifagia. Walaupun nafsu makan meningkat, efek katabolisme lebih kuat, menyebabkan kehilangan berat badan dan kelemahan otot. Kombinasi polifagia dan penurunan berat badan bersifat paradoks dan harus selalu dipikirkan kemungkinan diagnosis suatu diabetes. Pada pasien diabetes tipe 1, penyimpangan asupan makanan dari normal, aktivitas fisik yang tidak biasa, infeksi, atau setiap bentuk lain dari stres dapat dengan cepat mempengaruhi keseimbangan metabolisme yang sangat rapuh, memudahkan terjadinya ketoasidosis diabetes. Glukosa plasma biasanya di antara 500 hingga 700 mg/ dL sebagai akibat defisiensi absolut insulin dan efek hormon kontraregulator (epinefrin, glukagon). Hiperglikemia yang mencolok menyebabkan diuresis osmotik dan dehidrasi yang merupakan ciri keadaan ketoasidosis. Efek utama kedua adalah aktivasi mesin ketogenik.



Defisiensi insulin menyebabkan aktivasi lipase lipoprotein, dengan akibat penghancuran simpanan lemak secara berlebihan, menyebabkan meningkatnya ALB, yang dioksidasi oleh hati menjadi keton. Ketogenesis merupakan suatu fenomena adaptif pada keadaan kelaparan, yang menghasilkan keton sebagai sumber energi untuk konsumsi organ vital (contoh, otak). Kecepatan pembentukan keton dapat melampaui kecepatan pemakaiannya oleh jaringan perifer, sehingga menyebabkan ketonemia dan ketonuria. Apabila ekskresi keton melalui urin terganggu oleh dehidrasi, keton yang terakumulasi akan menurunkan pH darah, sehingga menimbulkan ketoasidosis akibat metabolisme. Diabetes melitus tipe 2 juga dapat bermanifestasi sebagai poliuria dan polidipsia, namun tidak seperti pada diabetes tipe 1, pasien sering berusia lebih dari 40 tahun dan sering obese. Dengan peningkatan obesitas dan gaya hidup yang banyak duduk pada masyarakat Barat, diabetes tipe 2 sekarang makin sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Pada beberapa kasus, pasien datang ke dokter oleh karena rasa lemah dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Namun, diagnosis paling sering ditegakkan setelah suatu pemeriksaan rutin darah atau urin pada orang yang tidak bergejala. Pada keadaan dekompensasi, pasien diabetes tipe 2 dapat berkembang menjadi koma non-ketotik hiperosmolar. Sindrom ini timbul oleh karena dehidrasi berat akibat diuresis osmotik yang menetap dan kehilangan cairan urin oleh hiperglikemia kronik. Secara khas, pasien yang terkena adalah penderita diabetes berusia lanjut yang menjadi lumpuh karena stroke atau infeksi dan tidak mampu mempertahankan asupan air yang cukup. Tidak adanya ketoasidosis dan gejalanya (nausea, muntah, kesulitan bernapas) memperlambat pengenalan keseriusan keadaan ini hingga terjadi dehidrasi berat dan koma. Tabel 19-6 menyimpulkan beberapa gambaran klinis, genetik, dan histopatologis terkait yang membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, akibat jangka panjang diabeteslah yang lebih bertanggung jawab terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan penyakit ini, dibandingkan dengan komplikasi metabolisme akut. Pada sebagian besar kasus, komplikasi ini baru muncul 15 hingga 20 tahun kemudian setelah onset hiperglikemia.



• Pada kedua tipe diabetes yang berlangsung lama, kejadian kardiovaskular seperti infark miokardium, insufisiensi pembuluh darah ginjal, dan stroke (kecelakaan serebrovaskular) merupakan penyebab tersering mortalitas. Pengaruh penyakit kardiovaskular dapat diukur dari keterlibatannya pada sekitar 80% kematian pasien dengan diabetes tipe 2; faktanya, pasien diabetes memiliki insidens kematian oleh sebab kardiovaskular 3 hingga 7,5 kali lebih besar daripada populasi tanpa diabetes. Tanda khas dari penyakit kardiovaskular adalah aterosklerosis yang timbul lebih cepat pada arteri berukuran besar dan sedang (contoh, penyakit makrovaskular). Pentingnya obesitas dalam patogenesis resistensi insulin telah dibahas sebelumnya, namun obesitas juga merupakan faktor risiko yang berdiri sendiri untuk berkembangnya aterosklerosis. • Nefropati diabetes merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir di Amerika Serikat. Manifestasi nefropati diabetes paling dini adalah ditemukannya albumin dalam jumlah kecil di urin (lebih besar dari 30 namun kurang dari 300 mg/ hari contoh, mikroalbuminuria). Tanpa intervensi khusus, sekitar 80% pasien diabetes tipe 1 dan 20%



Diabetes Melitus



749



Pulau-pulau Langerhans



Destruksi sel β DEFISIENSI INSULIN Menyebabkan penurunan pemakaian glukosa jaringan tumpah ke dalam darah



Jaringan lemak



Otot



Peningkatan lipolisis (asam lemak bebas)



Peningkatan katabolisme protein (asam amino)



KELEBIHAN GLUKAGON Glukoneogenesis



Kotonuria Hati



POLIFAGIA



KETOASIDOSIS



HIPERGLIKEMIA



KOMA DIABETIK



Ginjal



Ketoniroa



POLIURIA DEPLESI VOLUM POLIDIPSIA



Gambar 19-33 Urutan gangguan metabolik yang menyebabkan koma diabetik pada diabetes melitus tipe I. Defisiensi insulin absolut menyebabkan keadaan katabolik, sehingga terjadi ketoasidosis dan deplesi volume yang berat. Gangguan ini mengakibatkan gangguan sistem saraf pusat sehingga menyebabkan koma dan akhirnya kematian bila tidak ditangani.



hingga 40% pasien diabetes tipe 2 akan berkembang menjadi nefropati nyata dengan makroalbuminuria (ekskresi lebih dari 300 mg/hari) setelah 10 hingga 15 tahun, biasanya diikuti oleh munculnya hipertensi. Progresi dari nefropati nyata menjadi penyakit ginjal stadium akhir dapat sangat bervariasi dan ditandai oleh turunnya laju filtrasi glomerulus secara progresif. Dua puluh tahun setelah diagnosis, lebih dari 75% pasien diabetes tipe 1 dan sekitar 20% pasien



diabetes tipe 2 dengan nefropati nyata akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir, yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. • Gangguan mata, kadang-kadang bahkan dapat menjadi buta total, merupakan suatu konsekuensi yang lebih ditakutkan pada diabetes yang berlangsung lama. Saat ini, diabetes merupakan penyebab tersering keempat kebutaan yang didapat di Amerika Serikat. Sekitar 60% hingga 80% pasien mengalami beberapa bentuk retinopati diabetes sekitar 15 hingga 20 tahun setelah diagnosis. Selain retinopati, pasien



750



BAB 19



Sistem Endoktrin



Tabel 19-6 Diabetes Melitus Tipe ! Versus Tipe 2



Diabetes Melitas Tipe 1



Diabetes Melitus Tipe 2



Klinis BIasanya muncul pada masa anak-anak atau masa remaja



Biasanya muncul pada masa dewasa, insidens meningkat pada anak-anak dan remaja



Berat badan normal atau berkurang sebelum diagnosis



Sebagian besar pasien obese (80%)



Penurunan kadar insulin yang progresif



Insulin darah meningkat (awal): normal atau menurun sedang (lanjut)



Terdapat autoantibodi terhadap pulau Langergans dalam sirkulasiTidak terdapat autoantibodi terhadap pulau Langerhans dalam sirkulasi Ketoasidosis diabetik adanya terapi insulin



Koma hiperosmolar non-ketotik



Genetik Berkaitan utama dengan gen MHC kelas 1 dan II; juga terkait dengan polimorfisme pada CTLA4 dan PTPN22



Tidak terdapat kaitan dengan HLA; berkaitan dengan gen kandidat diabetogenik dan gen yang berhubungan dengan obesitas



Patogenesis



Disfungsi pada sel T regulatory (Treg) mengakibatkan kerusakan toleransi diri terhadap autotigen pulau Langerhans



Resistensi insulin pada jaringan perifer, kegagalan kompensasi oleh sel beta Faktor terkait obesitas multipel (asam lemak non-esterifikasi, mediatorinflamatori, adipositokin yang beredar dalam sirkulasi) berkaitan dengan patogenesis resistensi insulin



Patogenesis Disfungsi pada sel T regulatory (Treg) mengakitbatkan kerusakan toleransi diri terhadap autoantigen pulau Langerhans



Awal: inflamasi; lanjut deposit amiloid pada pulau Langerhans Deplosi sel beta ringan



HLA, human leukocyte antigen; MHC, major histocompatibility complex.



diabetes juga memiliki kecenderungan mengalami glaukoma dan pembentukan katarak, dua keadaan yang menjadi penyebab gangguan mata pada diabetes. • Neuropati diabetes dapat menimbulkan bermacam-macam sindrom klinis, mengenai sistem saraf pusat, saraf sensorimotor perifer, dan sistem saraf autonom. Pola keterlibatan yang paling sering adalah suatu polineuropati simetris distal pada ekstremitas bawah yang mengenai baik fungsi motorik maupun sensorik, terutama sensorik (Bab21). Dengan berjalarnya waktu, ekstremitas atas juga dapat terlibat sehingga membentuk polineuropati dengan pola menyerupai "sarung tangan dan stocking". Bentuk lain adalah neuropati autonom, yang menimbulkan gangguan fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-kadang impotensi seksual, serta mononeuropati diabetes yang dapat bermanifestasi sebagai footdrop, wristdrop mendadak atau kelumpuhan saraf kranial yang tersendiri. • Pasien diabetes memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi kulit, tuberkulosis, pneumonia, dan pielonefritis. Infeksi seperti ini menyebabkan sekitar 5% kematian yang berhubungan dengan diabetes. Pada seseorang dengan neuropati diabetes, suatu infeksi yang kecil di jari jempol dapat merupakan awal dari suatu rangkaian komplikasi yang panjang (gangren, bakteremia, pneumonia) yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Beberapa penelitian prospektif berskala besar telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa komplikasi jangka panjang, serta morbiditas dan mortalitas pasien diabetes dapat dikurangi dengan kontrol glikemia yang ketat. Untuk pasien diabetes tipe 1, terapi penggantian insulin merupakan pengobatan utama, sementara pendekatan non-farmakologik seperti pembatasan asupan makanan dan olahraga (yang memperbaiki sensitivitas insulin) sering merupakan "garis pertahanan pertama" untuk diabetes tipe 2. Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 akhirnya akan membutuhkan intervensi terapi untuk mengurangi hiperglikemia, yang dapat dicapai dengan pemberian



obat penurun kadar glukosa melalui beberapa mekanisme kerja yang berbeda. Kontrol glikemia dinilai secara klinis dengan mengukur persentase hemoglobin yang terglikosilasi, juga dikenal sebagai HbA1C, yang terbentuk secara non-enzimatik dengan penambahan muatan glukosa pada hemoglobin di sel darah merah. Tidak seperti halnya kadar glukosa darah, HbA1C merupakan suatu pengukuran kontrol glikemia untuk periode yang panjang (2 hingga 3 bulan) dan relatif tidak terpengaruh oleh variasi dari hari ke hari. HbA1C di bawah 7% dipakai sebagai bukti kontrol glikemia yang ketat, namun pasien dengan kadar HbA1C pada rentang ini juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya episode hipoglikemia yang berhubungan dengan terapi, yang mengancam jiwa. Kontrol kadar glukosa "optimal" pada pasien diabetes tetap merupakan suatu bidang yang belum disepakati dalam penelitian klinis.



RINGKASAN Diabetes Melitus: Patogenesis dan Komplikasi Jangka Panjang • Diabetes tipe I adalah suatu penyakit autoimun yang ditandaioleh kerusakan progresif sel beta pulau Langerhans, yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Baik sel T autoreaktif maupun autoantibodi terlibat di dalamnya. • Diabetes tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan disfungsi sel beta, yang menyebabkan defisiensi insulin relatif. Autoimunitas tidak terlibat di dalamnya. • Obesitas memiliki hubungan yang penting dengan resistensi insulin (dan berarti juga, dengan diabetes tipe 2), kemungkinan diperantarai oleh sitokin yang dilepaskan oleh jaringan lemak (adipositokin). Pemain lain pada aksis adipoinsulin meliputi ABL (yang dapat menyebabkan lipotoksisitas) dan reseptor PPARy, yang memodulasi kadar adipositokin. • Bentuk monogenik diabetes jarang ditemukan dan disebabkan oleh defek gen tunggal yang berakibat pada disfungsi primer sel beta (contoh, mutasi glukokinase) atau menimbulkan abnormalitas dari pengisyaratan insulin reseptor insulin (contoh, mutasi gen reseptor insulin).



Tumor Neuroendokrin Pankreas pengisyaratan insulin reseptor insulin (contoh, mutasi gen reseptor insulin). • Komplikasi jangka panjang diabetes tipe I dan tipe 2 serupa dan terutama mengenai pembuluh darah, ginjal, saraf dan mata. Berkembangnya komplikasi ini disebabkan oleh tiga mekanisme yang mendasarinya: pembentukan AGE, aktivasi PKC, dan gangguan jalur poliol yang menyebabkan stres oksidatif.



TUMOR NEUROENDOKRIN PANKREAS Tumor neuroendokrin pankreas (TNEP)/pancreatic neuroendocrine tumors (PanNET), juga dikenal sebagai tumor sel Langerhans (islet cell tumor), merupakan tumor yang jarang ditemukan, dibandingkan dengan tumor eksokrin pankreas, yaitu hanya sekitar 2% dari seluruh neoplasma pankreas. TNEP paling sering ditemukan pada orang dewasa, bisa tunggal atau multifokal; apabila ganas, hati merupakan organ tempat metastasis yang paling sering. Tumor ini memiliki kecenderungan menghasilkan hormon pankreas, namun beberapa di antaranya tidak berfungsi. Tumor yang tidak berfungsi secara khas merupakan lesi yang berukuran lebih besar pada saat diagnosis, oleh karena baru akan mendapat perhatian pada tahap yang lebih lanjut dalam perjalanan penyakitnya, dibandingkan dengan TNEP fungsional, yang sering datang dengan gejala yang berhubungan dengan produksi hormon yang berlebihan. Semua TNEP, kecuali insulinoma (lihat selanjutnya), berpotensi jadi ganas, dan pada kenyataannya, 65% hingga 80% TNEP bermanifestasi dengan gambaran biologis keganasan yang jelas dan agresif, seperti invasi ke jaringan-jaringan sekitar atau metastasis jauh. Tingkat proliferasi TNEP (diukur menggunakan jumlah mitosis atau pulasan inti dengan penanda proliferasi, Ki-67) merupakan salah satu parameter yang berkorelasi paling baik dengan luaran. Sekuensing gen TNEP sporadik telah mengidentifikasi perubahan somatik pada tiga gen atau jalur ( pathways): • MEN1, yang menyebabkan sindrom MEN familial tipe 1 (lihat selanjutnya), juga termutasi pada banyak tumor neuroendokrin sporadik • Mutasi kehilangan fungsi (loss-of-function) pada tumor suppressor gene seperti PTEN dan TSC2, yang merupakan regulator negatif dari jalur pengisyaratan TOR mamalia (mTOR) yang bersifat onkogenik Mutasi inaktivasi pada dua gen, ATRX dan DAXX, yang memiliki • fungsi seluler multipel. Yang perlu diperhatikan, hampir separuh dari TNEP memiliki mutasi somatik pada ATRX atau DAXX, namun tidak pada kedua-duanya, menimbulkan dugaan bahwa protein yang dikode berfungsi secara kritis namun melalui banyak jalur.



751



MORFOLOGI Insulinoma menunjukkan perangai biologis yang baik, mungkin disebabkan sebagian besar tumor ditemukan saat masih berukuran kecil (berdiameter kurang dari 2 cm) dan terbatas pada pankreas. Sebagian besar merupakan lesi soliter, walaupun tumor mulifokal atau tumor ektopik pankreas dapat ditemukan. Keganasan pada insulinoma, mencapai kurang dari 10% dan diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya invasi lokal atau metastasis. Pada pemeriksaan histologis, tumor jinak ini tampak mencolok sebagai pulau raksasa, dengan sel monoton yang tersusun dalam kelompok yang teratur dengan arsitektur dan orientasi yang masih baik terhadap pembuluh darah. Lesi ganas tak hanya menunjukkan adanya ciri anaplasia, tumor ini juga dapat menipu dengan memiliki simpai. Deposit amiloid pada jaringan ekstrasel merupakan suatu ciri dari kebanyakan insulinoma (Gambar 19-34, A). Dengan mikroskop elektron, sel beta neoplastik, seperti halnya sel beta normal, menunjukkan granula bulat yang khas (Gambar 19-34, B).



A



Insulinoma Tumor sel beta (insulinoma) merupakan jenis tersering TNEP dan merupakan penyebab dihasilkannya cukup banyak insulin sehingga menginduksi terjadinya hipoglikemia yang bermakna secara klinis. Gambaran klinis khas didominasi oleh serangan hipoglikemia, yang terjadi apabila kadar glukosa darah plasma turun hingga lebih rendah dari 50 mg/dL. Serangan-serangan ini terdiri atas terutama manifestasi sistem saraf pusat, seperti bingung, stupor, dan hilangnya kesadaran. Keadaan ini dipicu oleh puasa atau olahraga dan segera hilang oleh pemberian glukosa parenteral atau melalui mulut. Sebagian besar insulinoma disembuhkan oleh bedah reseksi.



B Gambar 19-34 Pancreatic neuroendocrine tumor (PanNET), juga disebut sebagai tumor sel Langerhans (islet cell tumor). A, Sel-sel neoplastik tampak monoton dan menunjukkan pleomorfisme atau aktivitas mitosis yang minimal. Terdapat banyak deposit amiloid, ciri dari suatu insulinoma. Pada evaluasi klinis, pasien pernah mengalami hipoglikemia episodik. B, Mikrograf elektron dari suatu sel beta normal menunjukkan granula terbungkus membran yang karakteristik, masing-masing mengandungi suatu inti yang padat, sering berbentuk persegi panjang dengan halo yang jelas. Insulinoma mengandungi granula yang serupa.



752



BAB 19



Sistem Endoktrin



Gastrinoma Hipersekresi gastrin yang mencolok biasanya berasal dari tumor yang menghasilkan gastrin (gastrinoma), yang dapat timbul di jaringan ikat duodenum dan peripankreatik serta di pankreas (disebut segitiga gastrinoma). Zollinger dan Ellison yang pertama memunculkan perhatian terhadap hubungan antara lesi sel pulau Langerhans pankreas dengan hipersekresi asam lambung dan ulkus peptik berat, yang terdapat pada 90% hingga 95% pasien gastrinoma tanda khas klinis sindrom Zollinger-Ellison. Pada keadaan ini, hipergastrinemia dari suatu tumor pankreas atau duodenum menstimulasi sekresi asam lambung yang hebat sehingga menyebabkan ulkus peptik. Ulkus duodenum dan gaster sering multipel; walaupun identik dengan yang umumnya ditemukan pada populasi umum, ulkus ini sering tidak responsif terhadap pengobatan yang biasa. Selain itu, ulkus dapat terjadi pada lokasi yang tidak biasa seperti jejunum; apabila ditemukan ulkus jejunum yang sulit disembuhkan, harus dipikirkan kemungkinan sindrom



Zollinger-Ellison. Lebih dari separuh pasien yang terkena, menderita diare; pada 30% pasien, ini merupakan gejala yang muncul.



MORFOLOGI Gastrinoma dapat timbul di daerah pankreas, peripankreas atau di dinding duodenum. Lebih dari separuh tumor yang menghasilkan gastrin bersifat invasif secara lokal atau telah bermetastasis pada saat didiagnosis. Pada sekitar 25% pasien, gastrinoma terjadi bersama dengan tumor endokrin lain, sehingga merupakan bagian dari sindrom MEN-I (lihat selanjutnya); gastrinoma yang berhubungan dengan MEN-I sering multifokal, sementara gastrinoma sporadik biasanya tunggal. Seperti halnya tumor pankreas yang mensekresi insulin, tumor yang menghasilkan gastrin tampak jinak dan jarang menunjukkan anaplasia yang mencolok.



KORTEKS ADRENAL Kelenjar adrenal adalah sepasang organ endokrin yang terdiri atas dua regio, yaitu korteks dan medula, yang berbeda dalam perkembangan, struktur dan fungsinya. Korteks terdiri atas tiga lapis sel dengan jenis yang berbeda. Di bawah simpai adrenal terdapat lapisan tipis, yaitu zona glomerulosa. Zona retikularis yang sama sempitnya terdapat di tepi medula. Di antaranya terdapat zona fasikulata yang lebar, mengisi hampir 75% dari keseluruhan korteks. Korteks adrenal mensintesis tiga jenis steroid yang berbeda:



Hiperkortisolisme dan Sindrom Cushing



• Glukokortikoid (terutama kortisol), yang disintesis terutama di zona fasikulata, dan sedikit di zona retikularis



• Penyakit hipotalamik-hipofisis primer yang berhubungan dengan hipersekresi ACTH • Sekresi ektopik ACTH oleh neoplasma non-hipofisis • Neoplasma korteks adrenal primer (adenoma atau karsinoma) dan kadang-kadang, hiperplasia korteks primer



• Mineralokortikoid, yang terpenting adalah aldosteron, yang dihasilkan oleh zona glomerulosa • Steroid seks (estrogen dan androgen), yang dihasilkan terutama dizona retikularis Medula adrenal terdiri atas sel kromafin, yang mensintesis dan mensekresi katekolamin, terutama epinefrin. Bagian ini akan membahas pertama kelainan korteks adrenal dan kemudian kelainan medula. Untuk memudahkan, penyakit korteks adrenal dapat dibagi atas penyakit yang berhubungan dengan hiperfungsi korteks dan penyakit yang ditandai oleh hipofungsi korteks.



HIPERFUNGSI KORTEKS ADRENAL (HIPERADRENALISME) Terdapat tiga sindrom klinis hiperadrenalisme yang berbeda, masingmasing disebabkan oleh produksi abnormal dari satu atau lebih hormon yang diproduksi oleh ketiga lapisan korteks: (1) sindrom Cushing, ditandai oleh kortisol yang berlebihan; (2) hiperaldosteronisme; dan (3) sindrom adrenogenital atau sindrom virilisasi, disebabkan oleh androgen yang berlebihan. Gambaran klinis beberapa sindrom ini tumpang tindih, antara lain disebabkan oleh tumpang tindihnya fungsi dari beberapa steroid adrenal.



Hiperkortisolisme, yang secara khas bermanifestasi sebagai sindrom Cushing, disebabkan oleh setiap keadaan yang menyebabkan peningkatan kadar glukokortikoid. Dalam praktik klinis, sebagian besar kasus sindrom Cushing adalah akibat pemberian glukokortikoid eksogen (iatrogenik). Sisanya bersifat endogen, dan tiga penyebab tersering adalah (Gambar 19-35):



Penyakit hipotalamus-hipofisis primer yang berhubungan dengan hipersekresi ACTH, juga dikenal sebagai penyakit Cushing, mencapai sekitar 70% kasus sindrom Cushing yang endogen dan spontan. Prevalensi penyakit ini sekitar empat kali lebih tinggi pada wanita di banding pria, dan terjadi paling sering pada usia dewasa muda (usia 20-an dan 30-an). Pada sebagian besar kasus, kelenjar hipofisis mengandungi suatu mikroadenoma yang menghasilkan ACTH yang tidak memberikan efek massa di dalam otak; beberapa tumor kortikotropik merupakan makroadenoma (berukuran lebih besar dari 10 mm). Pada kasus yang tersisa, hipofisis anterior mengandungi daerah dengan hiperplasia sel kortikotropik tanpa adanya adenoma yang jelas. Hiperplasia sel kortikotropik dapat primer, atau lebih jarang, sekunder terhadap pelepasan ACTH yang berlebihan oleh tumor hipotalamus yang menghasilkan hormon pelepas kortikotropin (CRH). Kelenjar adrenal pada pasien penyakit Cushing ditandai oleh hiperplasia korteks nodular bilateral dengan derajat yang bervariasi (akan dibahas kemudian), sekunder terhadap peningkatan kadar ACTH (sindrom Cushing ,''yang tergantung ACTH"). Hiperplasia korteks inilah yang kemudian bertanggung jawab terhadap hiperkortisolisme. Sekresi ACTH ektopik oleh tumor non-hipofisis mencapai sekitar 10% dari kasus sindrom Cushing. Pada banyak kasus, tumor nonhipofisis ini adalah



Hiperfungsi Korteks Adrenal (Hiperadrenalisme) SINDROM CUSHING HIPOFISIS



753



ADRENAL CUSHING SYNDROME



Tumor di hipofisis anterior



Kortisol



Kortisol



Kortisol



ACTH



Tumor



Hiperplasia adrenal SINDROM CHUSING PARANEOPLASTIK



ACTH



Hiperplasia nodular



SINDROM CHUSING IATROGENIK



Sindrom chusing



Kortisol



Steroid



Kanker paru (atau kanker non-endokrin lain)



Atrofia adrenal



Hiperplasia adrenal



Gambar 19-35 Gambaran skematik dari berbagai bentuk sindrom Cushing:Tiga bentuk endogen serta bentuk eksogen yang lebih umum (iatrogenik). ACTH, adrenocorticotropic hormone.



suatu karsinoma sel kecil paru, walaupun neoplasma lain, seperti karsinoid, karsinoma meduler tiroid, dan TNEP, juga telah dihubungkan dengan sindrom ini. Selain tumor yang menghasilkan ACTH ektopik, kadang-kadang suatu neoplasma neuroendokrin menghasilkan CRH ektopik, yang kemudian menyebabkan sekresi ACTH dan hiperkortisolisme. Seperti pada varian hipofisis, kelenjar adrenal mengalami hiperplasia korteks bilateral, sekunder terhadap peningkatan ACTH. Neoplasma adrenal primer, seperti adenoma dan karsinoma adrenal, dan kadang-kadang, hiperplasia korteks primer, bertanggung jawab pada sekitar 15% hingga 20% kasus sindrom Cushing endogen. Sindrom Cushing bentuk ini juga disebut sindrom Cushing tidak bergantung kepada ACTH, atau sindrom Cushing adrenal, oleh karena adrenal berfungsi secara autonom. Ciri utama biokimiawi sindrom Cushing adrenal adalah peningkatan kadar kortisol dengan kadar serum ACTH yang rendah. Pada sebagian besar kasus, sindrom Cushing adrenal disebabkan oleh suatu neoplasma korteks adrenal unilateral, yang bisa jinak (adenoma) atau ganas (karsinoma). Sebagian sangat besar adrenal yang hiperplastik adalah bergantung kepada ACTH, sedangkan hiperplasia korteks adrenal primer merupakan suatu penyebab yang jarang dari sindrom Cushing. Terdapat dua varian entitas ini; yang pertama tampak sebagai makronodul dengan berbagai ukuran (berdiameter 3 cm atau lebih) dan yang kedua sebagai mikronodul (1 sampai 3 mm).



MORFOLOGI Lesi utama sindrom Cushing ditemukan pada hipofisis dan kelenjar adrenal. Hipofisis pada sindrom Cushing menunjukkan perubahan yang bervariasi sesuai dengan penyebab. Perubahan yang paling sering ditemukan disebabkan oleh kadar glukokortikoid endogen ataupun eksogen yang tinggi, yang disebut perubahan hialin Crooke. Pada keadaan ini, sel normal di hipofisis anterior dengan sitoplasma basofilik, granuler, yang menghasilkan ACTH digantikan oleh materi basofilik muda yang homogen. Perubahan ini disebabkan oleh akumulasi filamen keratin intermediet di dalam sitoplasma. Perubahan morfologik pada kelenjar adrenal juga tergantung pada penyebab hiperkortisolisme dan meliputi: (1) atrofia korteks, (2) hiperplasia difus, (3) hiperplasia makronodular atau mikronodular, atau (4) suatu adenoma atau karsinoma. Pada pasien di mana sindrom ini disebabkan oleh glukokortikoid eksogen, penekanan ACTH endogen menyebabkan atrofia korteks bilateral, oleh karena kurangnya stimulasi zona fasikulata dan zona retikularis oleh ACTH. Pada kasus ini, ketebalan zona glomerulosa dalam batas normal, oleh karena bagian korteks ini berfungsi tidak tergantung dari ACTH. Pada kasus hiperkortisolisme endogen, sebaliknya, kelenjar adrenal hiperplastik atau mengandungi suatu neoplasma korteks. Hiperplasia difus ditemukan pada pasien sindrom Cushing yang bergantung kepada ACTH (Gambar 19-36). Kedua kelenjar membesar, dapat ringan maupun mencolok, masing-masing dapat bertambah beratnya hingga



754



BAB 19



Sistem Endoktrin bervakuol. Pada hiperplasia korteks primer, korteks hampir seluruhnya digantikan oleh makronodul atau mikronodul. Mikronodul terdiri atas nodul berpigmen gelap, berukuran I hingga 3 mm. Pigmen ini diyakini merupakan lipofuscin, suatu pigmen wear and tear (Bab 1). Adenoma atau karsinoma fungsional korteks adrenal yang menghasilkan kortisol tidak berbeda secara morfologik dengan neoplasma adrenal yang non-fungsional (dibahas kemudian). Baik lesi jinak maupun ganas lebih sering ditemukan pada wanita berusia 30-an hingga 50-an. Adenoma korteks adrenal merupakan tumor yang berwarna kuning, dikelilingi oleh simpai yang tipis atau terbentuk baik, dan sebagian besar beratnya kurang dari 30 g (Gambar 19-37, A). Pada pemeriksaan mikroskopik, terdiri atas sel yang serupa dengan sel normal di zona fasikulata (Gambar 19-37, B). Sebaliknya, karsinoma yang berhubungan dengan sindrom Cushing cenderung berukuran lebih besar dari adenoma.Tumor ini merupakan massa yang tidak bersimpai, beratnya sering melebihi 200 hingga 300 g, memiliki semua ciri anaplastik kanker, seperti yang akan diuraikan selanjutnya. Pada tumor yang fungsional, baik jinak maupun ganas, korteks adrenal di sekitarnya dan kelenjar adrenal kontralateral atrofik, sebagai akibat penekanan ACTH endogen oleh kadar kortisol yang tinggi.



Gambaran Klinis Gambar 19-36 Hiperplasia difus adrenal (bawah) tampak berbeda dengan kelenjar adrenal normal (atas). Pada potongan lintang, korteks adrenal berwarna kuning dan menebal, dan tampak nodularitas halus. Kelenjar abnormal ini berasal dari seorang pasien sindrom Cushing yang bergantung ACTH, dan kedua adrenal hiperplastik secara difus. ACTH, adrenocorticotropic hormone.



30g. Korteks adrenal menebal difus dan nodular secara bervariasi, walaupun nodularitasnya tidak sekeras yang tampak pada kasus hiperplasia nodular yang tidak tergantung ACTH. Warna kuning yang tampak pada kelenjar yang hiperplastik secara difus berasal dari adanya sel yang kaya lipid, yang dengan mikroskop terlihat



A



Tanda dan gejala sindrom Cushing merupakan manifestasi dari berlebihnya efek glukokortikoid. Sindrom Cushing biasanya berkembang secara perlahan-lahan dan seperti abnormalitas endokrin lainnya, bisa ringan pada tahap awal. Sindrom Cushing yang berhubungan dengan karsinoma sel kecil paru, merupakan suatu perkecualian, dan oleh karena cepatnya perjalanan penyakit yang mendasari, menyebabkan banyak gambaran khas tidak sempat berkembang. Manifestasi awal sindrom Cushing meliputi hipertensi dan penambahan berat badan. Dengan berjalannya waktu, distribusi jaringan lemak sentripetal yang khas menjadi lebih nyata, dengan akibat obesitas batang tubuh, "wajah seperti bulan" ("moon facies") dan akumulasi lemak pada leher posterior dan punggung ("buffalo hump") (Gambar 19-38).



B



Gambar 19-37 Adenoma korteks adrenal. A, Adenoma dibedakan dari hiperplasia nodular oleh sifatnya yang berbatas tegas dan soliter. Status fungsional suatu adenoma korteks adrenal tidak dapat diprediksi dari penampakan makroskopik ataupun mikroskopik. B, Gambaran histologis dari suatu adenoma korteks adrenal. Sel-sel neoplastik bervakuol oleh karena adanya lemak intrasitoplasmik.Terdapat pleomorfisme inti yang ringan. Aktivitas mitotik dan nekrosis tidak terlihat.



Hiperfungsi



Korteks



Adrenal



(Hiperadrenalisme)



neoplasma adrenal primer (hiperkortisolisme tidakbergantung kepada ACTH) dan produksi paraneoplastik oleh tumor (contoh, kanker sel kecil).



755 yang ACTH



• Gambaran morfologik di adrenal meliputi atrofia korteks bilateral (pada penyakit yang diinduksi oleh steroid eksogen), hiperplasia nodular atau difus bilateral (temuan paling sering pada sindrom Cushing endogen), atau suatu neoplasma korteks adrenal.



Hiperaldosteronisme



Gambar 19-38 Seorang pasien sindrom Cushing. Gambaran khas meliputi obesitas sentral, wajah seperti bulan ("moon facies") dan striae abdominal. (Direproduksi dengan izin dari Lloyd RV, et al: Atlas of Non-tumor Pathology: Endocrine Diseases. Washington, DC, American Registry of Pathology, 2002.)



Hiperkortisolisme menyebabkan atrofia selektif serabut otot fast titch (tipe II), dengan akibat pengurangan massa otot dan kelemahan tungkai dan lengan proksimal. Glukokortikoid menginduksi glukoneogenesis dan menghambat uptake glukosa oleh sel, dengan akibat hiper li emia lu osuria dan polidipsia, menyerupai diabetes melitus. Efek katabolik pada protein menyebabkan hilangnya kolagen dan resorpsi tulang. Sehingga, kulit menjadi tipis, rapuh, dan mudah memar; striae ulit terutama sering ditemukan di bagian abdominal. Resorpsi tulang mengakibatkan berkembangnya osteoporosis, sehingga kerentanan terhadap fraktur meningkat. Oleh karena glukokortikoid menekan respons imun, pasien sindrom Cushing juga memiliki peningkatan risiko terhadap berbagai infeksi. Manifestasi lain meliputi hirsutisme dan abnormalitas menstruasi, dan sejumlah gangguan mental, seperti perubahan suasana hati, depresi, dan psikosis nyata. Sindrom Cushing ekstraadrenal yang disebabkan oleh hipofisis atau sekresi ACTH ektopik biasanya berhubungan dengan meningkatnya pigmentasi kulit sekunder terhadap aktivitas stimulasi melanosit pada molekul prekursor ACTH.



RINGKASAN Hiperkortisolisme (Sindrom Cushing) • Penyebab tersering hiperkortisolisme adalah pemberian steroid eksogen. • Hiperkortisolisme endogen paling sering sekunder terhadap mikroadenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH (penyakit Cushing), diikuti oleh



Hiperaldosteronisme merupakan istilah umum untuk sekelompok keadaan yang berkaitan erat, ditandai oleh sekresi aldosteron berlebihan yang menahun. Hiperaldosteronisme bisa primer, atau sekunder terhadap suatu penyebab ekstraadrenal. Pada hiperaldosteronisme sekunder, pelepasan aldosteron terjadi sebagai respons terhadap aktivasi sistem reninangiotensin. Keadaan ini ditandai oleh meningkatnya kadar renin plasma dan ditemukan dalam hubungannya dengan • Penurunan perfusi ginjal (nefrosklerosis arteriolar, stenosis arteri ginjal) • Hipovolemia dan edema arterial (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik) • Kehamilan (disebabkan oleh peningkatkan substrat renin plasma yang diinduksi oleh estrogen) Sebaliknya, hiperaldosteronisme primer, menunjukkan produksi aldosteron yang berlebihan secara autonom, dengan akibat penekanan sistem renin-angiotensin dan penurunan aktivitas renin plasma. Penyebab potensial dari hiperaldosteronisme primer adalah: • Hiperaldosteronisme idiopatik bilateral, ditandai oleh hiperplasia nodular kelenjar adrenal bilateral. Mekanisme ini merupakan penyebab tersering yang mendasari terjadinya hiperaldosteronisme primer, mencakup sekitar 60% kasus. Patogenesisnya belum jelas. • Neoplasma korteks adrenal, baik adenoma yang menghasilkan aldosteron (penyebab tersering) atau, kadang-kadang, suatu karsinoma korteks adrenal. Pada sekitar 35% kasus, hiperaldosteronisme primer disebabkan oleh adenoma tunggal yang mensekresi aldosteron, suatu keadaan yang disebut sebagai sindrom Conn. • Kadang-kadang, hiperaldosteronisme familial diakibatkan oleh defek genetik yang menyebabkan overaktivitas gen sintase aldosterone, CYP11B2.



MORFOLOGI Adenoma yang menghasilkan aldosteron hampir selalu soliter, kecil (berdiameter kurang dari 2 cm), berbatas tegas. Tumor ini berwarna kuning terang pada pemotongan, dan, secara mengejutkan terdiri atas sel korteks yang mengandungi lemak, lebih menyerupai sel fasikulata daripada sel glomerulosa (sumber normal aldosteron). Secara umum, sel tumor cenderung berbentuk dan berukuran uniform; kadang-kadang terdapat sedikit pleomorfisme inti dan sel. Suatu gambaran karakteristik adenoma yang menghasilkan aldosteron adalah adanya inklusi sitoplasmik berlapis, eosinofilik, yang dikenal sebagai jisim spironolakton. Jisim ini secara khas ditemukan setelah pengobatan dengan obat antihipertensi spironolakton, yang



756



BAB 19



Sistem Endoktrin



merupakan obat pilihan untuk pengobatan hiperaldosteronisme. Berbeda dengan adenoma korteks yang berhubungan dengan sindrom Cushing, adenoma korteks yang berhubungan dengan hiperaldosteronisme, biasanya tidak menekan sekresi ACTH. Oleh karena itu, korteks adrenal di sekitarnya dan kelenjar kontralateral tidak atrofik. Hiperplasia idiopatik bilateral ditandai oleh hiperplasia fokal atau difus sel yang menyerupai sel zona glomerulosa normal.



Gambaran Klinis Ciri utama hiperaldosteronisme adalah hipertensi. Dengan angka prevalensi 5% hingga 10% di antara pasien hipertensi secara acak, hiperaldosteronisme primer dapat merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder (contoh, hipertensi sekunder terhadap suatu sebab yang dapat diidentifikasi). Efek jangka panjang hipertensi yang diinduksi oleh hiperaldosteronisme adalah kelainan kardiovaskular (contoh, hipertrofi ventrikel kiri dan volume diastolik yang menurun) dan peningkatan prevalensi efek samping seperti stroke dan infark miokardium. Hipokalemia disebabkan oleh pembuangan kalium ginjal dan, apabila ada, dapat menyebabkan sejumlah manifestasi neuromuskular, seperti rasa lemah, parestesia, gangguan mata, dan kadang-kadang tetani yang nyata. Pengobatan hiperaldosteronisme primer bervariasi bergantung pada penyebabnya. Pada adenoma dapat dilakukan pembedahan eksisi. Sebaliknya, intervensi pembedahan tidak selalu menguntungkan untuk pasien hiperaldosteronisme primer yang disebabkan oleh hiperplasia bilateral, yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Pasien ini paling baik ditangani dengan pemberian obat antagonis aldosteron seperti spironolakton. Pengobatan hiperaldosteronisme sekunder terletak pada mengoreksi penyebab yang mendasari stimulasi berlebihan sistem renin angiotensin.



Sindrom Adrenogenital Androgen yang berlebihan dapat disebabkan oleh sejumlah penyakit, seperti kelainan gonad primer dan beberapa kelainan adrenal primer. Korteks adrenal mensekresi dua senyawa dehidroepiandrosteron dan androstenedion yang perlu dikonversi menjadi testosteron pada jaringan perifer untuk efek androgeniknya. Tidak seperti androgen gonad, pembentukan androgen adrenal diatur oleh ACTH; sehingga sekresi berlebihan dapat muncul sebagai suatu sindrom tersendiri atau dalam kombinasi dengan gambaran penyakit Cushing. Penyebab adrenal dari androgen berlebihan meliputi neoplasma korteks adrenal dan suatu kelompok penyakit jarang, yang secara bersama-sama disebut sebagai hiperplasia adrenal kongenital (HAK). Neoplasma korteks adrenal yang berhubungan dengan gejala kelebihan androgen (virilisasi) lebih cenderung suatu karsinoma daripada adenoma. Secara morfologik, neoplasma ini identik dengan neoplasma korteks fungsional atau non-fungsional lainnya. HAK merupakan sekelompok kelainan autosomal resesif, yang masing-masing ditandai oleh defek herediter pada suatu enzim yang terlibat pada biosintesis steroid adrenal, khususnya kortisol. Pada keadaan ini, penurunan produksi kortisol mengakibatkan peningkatan sekresi ACTH kompensatorik oleh karena tidak adanya inhibisi umpan balik. Hiperplasia adrenal yang diakibatkan, menyebabkan



peningkatan produksi steroid prekursor kortisol, yang kemudian akan dihubungkan ke dalam sintesis androgen dengan aktivitas virilisasi. Defek enzim tertentu juga dapat mengganggu sekresi aldosteron, menambah kehilangan garam pada sindrom virilisasi. Defek enzimatik yang paling sering pada HAK adalah defisiensi hidroksilase 21, yang mencapai lebih dari 90% kasus. Defisiensi hidroksilase-21 dapat bervariasi dari kehilangan ringan hingga kehilangan total, tergantung pada sifat alami mutasi yang terjadi pada gen CYP21A2 (yang mengkode enzim ini).



MORFOLOGI Pada semua kasus HAK, kelenjar adrenal hiperplastik secara bilateral, kadang-kadang membesar hingga 10 sampai 15 kali berat normalnya. Korteks adrenal menebal, nodular, dan pada pemotongan, korteks yang melebar tampak berwarna coklat sebagai akibat deplesi dari semua lemak. Sel yang berproliferasi sebagian besar padat, eosinofilik, tanpa lemak, yang bercampur dengan sel jernih yang mengandungi lemak. Selain abnormalitas korteks, displasia adrenomeduler juga akhir-akhir ini telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan defisiensi hidroksilase-21 yang menyebabkan hilangnya garam. Hal ini ditandai oleh migrasi tidak sempurna sel kromafin ke bagian tengah kelenjar, dengan bercampurnya sarang-sarang sel kromafin dan sel korteks yang mencolok di perifer. Hiperplasia sel kortikotropik (yang menghasilkan ACTH) ditemukan pada hipofisis anterior sebagian besar pasien.



Gambaran Klinis Manifestasi klinis HAK ditentukan oleh defisiensi enzim spesifik dan meliputi abnormalitas yang berhubungan dengan metabolisme androgen, homeostasis natrium, dan defisiensi glukokortikoid (pada kasus yang berat). Bergantung pada sifat dasar dan tingkat keparahan defek enzimatik, waktu munculnya gejala klinis bisa pada periode perinatal, anak-anak yang lebih tua atau orang dewasa (lebih jarang). Pada defisiensi hidroksilase-21, aktivitas androgen berlebihan menyebabkan berbagai tanda maskulinisasi pada wanita, mulai dari hipertrofi klitoral dan pseudohermaproditisme pada bayi hingga oligomenorea, hirsutisme, dan jerawat pada wanita postpubertas. Pada pria, kelebihan androgen berhubungan dengan pembesaran genitalia eksterna dan bukti lain dari pubertas prekoks pada pasien prepubertal dan oligospermia pada pasien yang lebih tua. Pada beberapa bentuk HAK (contoh, defisiensi hidroksilase-11(3), steroid intermediet yang terakumulasi memiliki aktivitas mineralokortikoid, dengan akibat retensi natrium dan hipertensi. Akan tetapi pada kasus lain, sekitar sepertiga pasien defisiensi hidroksilase-11B, defek enzimatik cukup berat sehingga terjadi defisiensi mineralokortikoid, dengan akibat pembuangan garam (natrium). Defisiensi kortisol menyebabkan pasien HAK memiliki risiko insufisiensi adrenal mendadak (dibahas kemudian). HAK harus dicurigai pada setiap neonatus dengan genitalia yang meragukan (ambiguous); defisiensi berat enzim pada anak-anak dapat merupakan suatu keadaan yang mengancam jiwa, dengan muntah, dehidrasi, dan pembuangan garam. Pada varian yang lebih ringan, wanita dapat menunjukkan menarke terlambat, oligomenorea, atau hirsutisme. Pada semua kasus tersebut, harus disingkirkan adanya suatu neoplasma ovarium yang memproduksi androgen. Pengobatan HAK adalah dengan pemberian glukokortikoid eksogen, yang selain untuk menyediakan



Insufisiensi Adrenal glukokortikoid dalam kadar yang mencukupi, juga menekan kadar ACTH, sehingga menurunkan sintesis hormon steroid yang berlebihan yang menjadi penyebab banyak abnormalitas klinis.



RINGKASAN Sindrom Adrenogenital •















Korteks adrenal dapat mensekresi androgen berlebihan dalam dua keadaan: neoplasma korteks adrenal (biasanya karsinoma dengan virilisasi) atau hiperplasia adrenal kongenital (HAK). HAK terdiri atas sekelompok kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada biosintesis steroid, biasanya kortisol; subtipe yang paling sering disebabkan oleh defisiensi enzim hidroksilase-2 I. Pengurangan produksi kortisol menyebabkan peningkatan kompensatorik sekresi ACTH, yang selanjutnya menstimulasi produksi androgen. Androgen memiliki efek virilisasi, seperti maskulinisasi pada wanita (genitalia yang ambiguous, oligomenorea, hirsutisme), pubertas prekoks pada pria, dan pada beberapa kasus, pembuangan garam (natrium) dan hipotensi. Hiperplasia korteks adrenal bilateral adalah khas.



757



Tabel 19-7 Penyebab Insufisiensi Adrenal



Mendadak Sindrom Waterhouse-Friderichsen Pemberhentian mendadak terapi kortikosteroid jangka panjang Stres pada pasien dengan latar belakang insufisiensi adrenal menahan



Menahun Adrenalitis autoimun (60-70% kasus di negara maju)meliputi APS1 dan APS2 Tuberkulosis Sindrom imunodefisiensi didapat Penyakit metastatik Amiloidosis sistemik Infeksi jamur Hemokromatosis Sarkoidosis APS1, APS2, autoimmune polyendocrine syndrome types 1 and 2.



masih belum jelas namun kemungkinan melibatkan jejas pembuluh darah yang diinduksi oleh endotoksin disertai koagulasi intravascular yang meluas (Bab 3).



Insufisiensi Korteks Adrenal Kronik: Penyakit Addison



INSUFISIENSI ADRENAL Insufisiensi atau hipofungsi korteks adrenal dapat disebabkan oleh penyakit adrenal primer (hipoadrenalisme primer) atau oleh penurunan stimulasi adrenal yang disebabkan oleh defisiensi ACTH (hipoadrenalisme sekunder). Pola insufisiensi korteks adrenal dapat dibagi atas tiga kategori umum: (1) insufisiensi korteks adrenal mendadak primer (krisis adrenal); (2) insufisiensi korteks adrenal menahun primer (penyakit Addison); dan (3) insufisiensi korteks adrenal sekunder.



Penyakit Addison, atau insufisiensi korteks adrenal kronik, merupakan suatu kelainan yang jarang ditemukan, disebabkan oleh destruksi korteks adrenal yang progresif. Lebih dari 90% kasus disebabkan oleh satu dari empat kelainan berikut ini: adrenalitis autoimun, tuberkulosis, sindrom defisiensi imun didapat/ acquired immune deficiency sindrom (AIDS), atau kanker yang bermetastasis (Tabel 19-7). • Adrenalitis autoimun mencakup 60% hingga 70% kasus dan merupakan penyebab tersering insufisiensi adrenal primer di negara maju. Seperti namanya, terdapat penghancuran sel yang menghasilkan steroid secara autoimun, dan autoantibodi terhadap



insufisiensi Korteks Adrenal Mendadak Insufisiensi korteks adrenal mendadak paling sering terjadi pada keadaan-keadaan seperti yang disebutkan di Tabel 19-7. Pasien insufisiensi korteks adrenal menahun dapat mengalami krisis mendadak setelah suatu stres yang melampaui cadangan fisiologis mereka. Pada pasien yang mendapat kortikosteroid eksogen, pemberhentian steroid secara cepat atau kegagalan peningkatan dosis steroid sebagai respons terhadap suatu stres mendadak dapat memicu krisis adrenal yang serupa, oleh karena ketidakmampuan adrenal yang atrofik untuk menghasilkan hormon glukokortikoid. Perdarahan adrenal masif dapat menghancurkan cukup banyak korteks adrenal sehingga menyebabkan insufisiensi korteks adrenal mendadak. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien yang sedang dalam pengobatan antikoagulan, pada pasien setelah pembedahan yang mengalami disseminated intravascular coagulation, selama masa kehamilan, dan pada pasien yang menderita sepsis berat; keadaan sepsis berat ini dikenal sebagai sindrom Waterhouse-Friderichsen (Gambar 19-39). Sindrom yang bersifat katastrofik ini secara khas dikaitkan dengan septikemia Neisseria meningitidis namun dapat juga disebabkan oleh organisme lain, seperti Pseudomonas spp., pneumokokus, dan Haemofilus influenzae. Patogenesis sindrom Waterhouse Friderichsen ini



Gambar 19-39 Sindrom Waterhouse-Friderichsen. Perdarahan adrenal bilateral pada seorang bayi dengan sepsis berat yang mengakibatkan insufisiensi adrenal mendadak. Pada otopsi, adrenal secara makroskopik tampak hemoragik dan melisut; pada fotomikrograf ini terlihat sedikit arsitektur korteks residual.



758



BAB 19



Sistem Endoktrin



beberapa enzim steroidogenik utama telah dideteksi pada pasien penyakit ini. Adrenalitis autoimun terjadi pada satu dari dua sindrom autoimun poliendokrin/autoimmune polyendocrine syndrome (APS): yaitu APS1 dan APS 2. APS1 disebabkan oleh mutasi pada gen autoimmune regulator (AIRE) di kromosom 21. Kelainan ini ditandai oleh kandidiasis mukokutaneus menahun dan abnormalitas kulit, enamel gigi dan kuku (distrofia ektodermal) yang terjadi dalam hubungannya dengan kombinasi kelainan autoimun yang bersifat organ-specific (adrenalitis autoimun, hipoparatiroidisme autoimun, hipogonadisme idiopatik, anemia pernisiosa) yang berakibat terjadinya destruksi organ sasaran. Protein AIRE terlibat pada ekspresi antigen jaringan di timus dan eliminasi sel T yang spesifik untuk antigen ini (Bab 4). APS2 bermanifestasi pada awal usia dewasa dalam suatu kombinasi dengan insufisiensi adrenal dan tiroiditis autoimun atau diabetes tipe 1. Tidak seperti pada APS1, pada APS2 tidak terjadi kandidiasis mukokutaneus, displasia ektodermal, dan hipoparatiroidisme autoimun.



• Infeksi, khususnya tuberkulosis dan jamur, juga dapat menyebabkan insufisiensi korteks adrenal kronik primer. Dengan kemajuan pengobatan antituberkulosa, adrenalitis tuberkulosa, yang mencakup 90% kasus penyakit Addison, telah makin berkurang. Namun, dengan munculnya kembali tuberkulosis pada berbagai pusat kota, tuberkulosis harus tetap diingat sebagai penyebab defisiensi adrenal. Apabila ditemukan, adrenalitis tuberkulosa biasanya berhubungan dengan infeksi aktif di tempat lain, terutama di paru dan traktus genitourinarius. Infeksi luas yang disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum dan Coccidioides immitis juga dapat menyebabkan insufisiensi korteks adrenal kronik. Pasien AIDS memiliki risiko mengalami insufisiensi adrenal oleh komplikasi infeksi (sitomegalovirus, Mycobacterium avium-intracellulare) dan noninfeksi (sarkoma Kaposi). • Neoplasma metastatik yang melibatkan adrenal juga merupakan penyebab potensial insufisiensi adrenal. Adrenal merupakan lokasi metastasis yang cukup sering pada pasien karsinoma yang telah menyebar luas. Walaupun pada banyak kasus, fungsi adrenal tetap dipertahankan, pertumbuhan tumor kadang-kadang merusak cukup banyak korteks adrenal sehingga menyebabkan insufisiensi adrenal yang bervariasi. Karsinoma paru dan payudara merupakan sumber utama metastasis di adrenal, walaupun banyak neoplasma lain seperti karsinoma gastrointestinal, melanoma malignum, dan neoplasma hematopoietik, juga dapat bermetastasis ke organ ini.



ACTH serum dapat normal, namun oleh karena destruksi korteks adrenal, tidak terjadi respons peningkatan kadar kortisol plasma terhadap ACTH eksogen yang diberikan dari luar. Sebaliknya, insufisiensi korteks adrenal sekunder ditandai oleh ACTH serum yang rendah dan diikuti oleh peningkatan kadar kortisol plasma yang cepat sebagai respons pemberian ACTH.



MORFOLOGI Penampakan kelenjar adrenal bervariasi tergantung penyebab insufisiensi korteks adrenal. Pada hipoadrenalisme sekunder, adrenal mengecil menjadi struktur yang gepeng, kecil yang biasanya masih tetap berwarna kuning oleh karena terdapat sejumlah kecil sisa lemak.Tepi tipis yang seragam dari korteks kuning, atrofik, mengelilingi medula yang utuh di bagian tengah. Pemeriksaan histologis menunjukkan sel korteks yang atrofik disertai hilangnya lemak sitoplasma, terutama di zona fasikulata dan zona retikularis. Adrenalitis autoimun primer ditandai oleh kelenjar yang melisut secara tidak teratur, yang dapat sangat sulit diidentifikasi di dalam jaringan lemak suprarenal. Pada pemeriksaan histologis, korteks hanya mengandungi sisa-sisa sel korteks yang tersebar di antara jaringan ikat yang kolaps. Infiltrat limfoid yang bervariasi ditemukan di korteks dan dapat meluas ke medula di bawahnya (Gambar 19-40). Sebaliknya, medula masih dalam keadaan baik. Pada penyakit tuberkulosis atau jamur, arsitektur adrenal dapat terdesak oleh reaksi inflamasi granulomatosa seperti yang terlihat di tempat lain. Bila hipoadrenalisme disebabkan oleh metastasis karsinoma, adrenal membesar dan arsitektur normalnya sulit dinilai oleh karena infiltrasi neoplasma.



Gambaran Klinis Secara umum, manifestasi klinis insufisiensi korteks adrenal tidak akan tampak sebelum paling sedikit 90% korteks adrenal telah terganggu. Manifestasi awal sering berupa rasa lemah yang progresif dan mudah lelah, yang dapat diabaikan sebagai keluhan tidak spesifik. Gangguan gastrointestinal sering timbul, seperti anoreksia, nausea, muntah, penurunan berat badan, dan diare. Pada pasien penyakit adrenal primer, peningkatan kadar hormon prekursor ACTH merangsang melanosit, sehingga terjadi hiperpigmentasi kulit dan permukaan mukosa. Lokasi hiperpigmentasi terutama adalah wajah, ketiak, puting, areola,



Insufisiensi Korteks Adrenal Sekunder Setiap kelainan hipotalamus dan hipofisis, seperti adanya kanker yang bermetastasis, infeksi, infark, atau radiasi, yang mengurangi luaran ACTH menyebabkan suatu sindrom hipoadrenalisme yang memiliki banyak kemiripan dengan penyakit Addison. Pada penyakit sekunder tidak ditemukan hiperpigmentasi seperti yang tampak pada penyakit Addison primer oleh karena kadar hormon melanotropik rendah (dibahas selanjutnya). Defisiensi ACTH dapat berdiri sendiri, namun kadang-kadang, merupakan bagian dari panhipopituitarisme, yang berhubungan dengan panhipopituitarisme, yang berhubungan dengan defisiensi hormon tropik multipel. Pada pasien penyakit primer, kadar Gambar 19-40 Adrenalitis autoimun. Selain hilangnya seluruh sel korteks kecuali bagian tepi subkapsuler, juga terdapat sebukan sel mononukleus yang luas.



Tumor Medula Adrenal



759



dan perineum. Sebaliknya, hiperpigmentasi tidak tampak pada pasien insufisiensi korteks adrenal sekunder. Penurunan aktivitas mineralokortikoid (aldosteron) pada pasien insufisiensi adrenal primer menyebabkan retensi kalium dan hilangnya natrium, dengan akibat hiperkalemia, hiponatremia, deplesi volume, dan hipotensi, sementara hipoadrenalisme sekunder ditandai oleh luaran kortisol dan androgen yang kurang, namun sintesis aldosteron normal atau mendekati normal. Hipoglikemia kadang-kadang dapat terjadi sebagai akibat defisiensi glukokortikoid dan glukoneogenesis yang terganggu. Stres seperti infeksi, trauma, atau tindakan pembedahan dapat memicu krisis adrenal mendadak, yang bermanifestasi sebagai muntah yang banyak, nyeri abdominal, hipotensi, koma, dan kolaps pembuluh darah. Keadaan ini akan cepat berlanjut dengan kematian kecuali bila kortikosteroids segera digantikan. Gambar 19-41 Karsinoma adrenal.Tumor mengecilkan ginjal dan menekan ujung atasnya. Sebagian besar hemoragik dan nekrotik.



RINGKASAN Insufisiensi Korteks Adrenal (Hipoadrenalisme) • •











Insufisiensi korteks adrenal primer dapat mendadak (sindrom Waterhouse-Friderichsen) atau menahun (Penyakit Addison). Insufisiensi adrenal menahun di negara Barat paling sering sekunder terhadap adrenalitis autoimun, yang terjadi dalam konteks salah satu dari sindrom poliendokrin autoimun: APS I (disebabkan oleh mutasi pada gen AIRE) atau APS2. Tuberkulosis dan infeksi oleh karena patogen oportunistik yang terkait dengan virus HIV (human immunodeficiency virus) dan metastasis tumor ke adrenal adalah penyebab penting lain hipoadrenalisme kronik. Pasien secara khas tampak kelelahan, lemah, dan disertai adanya gangguan gastrointestinal. Insufisiensi korteks adrenal primer juga ditandai oleh kadar ACTH yang tinggi serta pigmentasi kulit.



NEOPLASMA KORTEKS ADRENAL Dari diskusi tentang hiperfungsi korteks adrenal, telah jelas bahwa neoplasma adrenal fungsional dapat menjadi penyebab berbagai bentuk hiperadrenalisme. Adenoma fungsional paling sering berhubungan dengan hiperaldosteronisme dan sindrom Cushing, sedangkan suatu neoplasma yang disertai virilisasi lebih cenderung suatu karsinoma. Akan tetapi, tidak semua neoplasma korteks adrenal, menghasilkan hormon steroid. Penentuan apakah suatu neoplasma korteks fungsional atau tidak didasarkan pada evaluasi klinis, pengukuran hormon dan metaboliknya di dalam laboratorium.



Pada penampang, adenoma biasanya berwarna kuning hingga kuning-coklat, oleh karena adanya lemak di dalam sel neoplasma (Gambar 19-37). Sebagai ketentuan umum, adenoma berukuran kecil, dengan diameter rata-rata sekitar 1 cm hingga 2 cm. Pada pemeriksaan mikroskopik, adenoma terdiri atas sel yang serupa dengan sel yang terdapat pada korteks adrenal normal. Inti cenderung kecil, walaupun pleomorfisme sedikit banyak dapat ditemukan pada lesi jinak (atipia endokrin). Sitoplasma sel neoplasma bervariasi dari eosinofilik hingga bervakuol, tergantung pada kandungan lemaknya, aktivitas mitosis biasanya tidak nyata. Karsinoma korteks adrenal merupakan neoplasma jarang yang dapat terjadi pada semua usia, termasuk pada anak-anak. Dua penyebab herediter yang jarang dari karsinoma korteks adrenal adalah sindrom Li-Fraumeni (Bab 5) dan sindrom BeckwithWiedemann (Bab 6). Pada sebagian besar kasus, karsinoma korteks adrenal merupakan lesi invasif yang berukuran besar, dan mengubah kelenjar adrenal normal. Pada penampang, karsinoma korteks adrenal secara khas merupakan lesi berbatas tidak tegas, yang beraneka ragam dan mengandungi daerah nekrosis, perdarahan, dan perubahan kistik (Gambar 19-41). Pemeriksaan mikroskopik secara khas menunjukkan tumor yang terdiri atas sel yang berdiferensiasi baik, menyerupai sel pada adenoma korteks atau sel yang pleomorfik, bizarre, yang sulit dibedakan dengan metastasis karsinoma tidak berdiferensiasi pada adrenal (Gambar 19-42). Kanker



MORFOLOGI



Gambar 19-42 Karsinoma adrenal dengan anaplasia yang mencolok.



760



BAB 19



Sistem Endoktrin



adrenal memiliki kecenderungan kuat untuk menginvasi vena adrenal, vena kava, dan pembuluh limfe. Metastasis ke kelenjar getah bening periaorta dan kelenjar getah bening regional sering ditemukan, seperti halnya



metastasis hematogen ke paru dan organ visera lain. Metastasis tulang jarang ditemukan. Kelangsungan hidup pasien sekitar 2 tahun. Perlu dicatat, karsinoma yang bermetastasis ke korteks adrenal jauh lebih sering daripada suatu karsinoma korteks adrenal primer.



MEDULA ADRENAL Embriologi, fungsi dan struktur medula adrenal berbeda dari korteks adrenal. Medula adrenal terdiri atas sel yang berasal dari neural crest (sel kromafin) dan sel penunjangnya (sel sustentakular). Sel kromafin, dinamakan demikian karena berwarna coklat hitam setelah paparan terhadap kalium dikromat, mensintesis dan mensekresi katekolamin sebagai respons terhadap isyarat dari serabut saraf preganglion pada sistem saraf simpatik. Kumpulan sel serupa tersebar di seluruh tubuh pada sistem paraganglion ekstra adrenal. Penyakit paling penting dari medula adrenal adalah neoplasma, yang meliputi neoplasma neuronal (termasuk neuroblastoma dan tumor sel ganglion yang lebih matur) dan neoplasma yang terdiri atas sel kromafin (feokromositoma).



TUMOR MEDULA ADRENAL Feokromositoma Feokromositoma adalah neoplasma yang terdiri atas sel kromafin, yang menghasilkan dan mengeluarkan katekolamin dan kadangkadang hormon peptida lain, seperti halnya sel kromafin normal. Walaupun jarang, tumor ini penting dan khusus oleh karena menyebabkan hipertensi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan (seperti adenoma yang mensekresi aldosteron).



suksinat (SDHB, SDHC, dan SDHD), yang terlibat pada fosforilasi oksidatif mitokondria.



MORFOLOGI Ukuran feokromositoma bervariasi mulai dari suatu lesi kecil, berbatas tegas yang terbatas pada adrenal hingga berupa suatu massa besar, hemoragik, dengan berat mencapai beberapa kilogram. Pada penampang, feokromositoma yang kecil berwarna kuning, berbatas tegas, yang menekan jaringan adrenal di sekitarnya (Gambar 19-43). Lesi yang lebih besar cenderung hemoragik, nekrotik, dan kistik dan secara khas mendesak kelenjar adrenal. Inkubasi jaringan segar dengan larutan kalium dikromat mengubah warna tumor menjadi coklat gelap, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pada pemeriksaan mikroskopik, feokromositoma terdiri atas sel kromafin dan sel pendukungnya yang berbentuk poligonal hingga kumparan/spindel, dipisahkan oleh jaringan yang kaya pembuluh darah menjadi kompartemen-kompartemen berupa sarang-sarang kecil, atau Zellballen (Gambar 19-44). Sitoplasma sel neoplastik sering tampak bergranuler halus, yang akan diperjelas dengan berbagai pulasan khusus perak, oleh karena adanya granula yang mengandungi katekolamin. Mikroskop



Feokromositoma biasanya memiliki ciri "hukum 10": • 10% feokromositoma terjadi ekstraadrenal, seperti di organ Zuckerkandl dan badan karotis, yang biasanya lebih sering disebut sebagai paraganglioma, daripada feokromositoma. • 10% feokromositoma adrenal terjadi bilateral; proporsi ini dapat meningkat menjadi 50% pada kasus yang berkaitan dengan sindrom familial. • 10% feokromositoma adrenal adalah ganas; hipertensi yang disebabkan oleh feokromositoma merupakan komplikasi serius yang dapat mengancam jiwa, bahkan pada tumor yang jinak. Keganasan yang jelas lebih sering ditemukan pada tumor yang berasal dari lokasi ekstraadrenal. • Terdapat satu hukum 10 "tradisional" yang sudah dimodifikasi dan berhubungan dengan kasus familial. Sekarang telah diketahui bahwa sebanyak 25% pasien feokromositoma dan paraganglioma memiliki mutasi germ line pada satu dari sedikitnya enam gen yang diketahui, meliputi RET, yang menyebabkan sindrom MEN tipe 2 (diuraikan selanjutnya); NF1, yang menyebabkan neurofibromatosis tipe 1 (Bab 21); VHL, yang menyebabkan penyakit von Hippel-Lindau (Bab 13 dan 22); dan tiga gen yang mengkode subunit dalam kompleks dehidrogenase



Gambar 19-43 Feokromositoma. Tumor dikelilingi oleh korteks yang menipis dan menunjukkan daerah perdarahan. Residu adrenal yang berbentuk menyerupai koma terlihat di bawah.



Tumor Medula Adrenal



Gambar 19-44 Fotomikrograf feokromositoma, menunjukkan sarang-sarang sel yang karakteristik (Zellballen) dengan sitoplasma banyak. Granula yang mengandungi katekolamin, tidak dapat dilihat pada sediaan ini.Tidak jarang ditemukan sel-sel yang bizarre bahkan pada feokromositoma yang jinak secara biologis, dan kriteria ini sendiri tidak dapat dipakai untuk mendiagnosis keganasan.



elektron menunjukkan sejumlah granula yang terbungkus membran, padat elektron, yang merupakan katekolamin dan kadang-kadang peptida lain. Inti sel neoplastik sering cukup pleomorfik. Baik invasi simpai maupun invasi pembuluh darah dapat ditemukan pada lesi jinak, dan adanya gambaran mitosis saja tidak berarti suatu keganasan. Oleh karena itu, diagnosis definitif keganasan pada feokromositoma didasarkan hanya pada adanya metastasis. Metastasis ini dapat terjadi pada kelenjar getah bening regional, atau pada lokasi yang lebih jauh seperti hati hati, paru dan tulang.



Gambaran Klinis



Manifestasi klinis yang utama dari feokromositoma adalah hipertensi. Presentasi karakteristik berupa suatu episode hipertensi yang timbul mendadak, berupa peningkatan tekanan darah yang berkaitan dengan



761



takikardi, palpitasi, sakit kepala, berkeringat, tremor, dan perasaan khawatir. Episode seperti ini juga dapat berkaitan dengan nyeri pada abdomen atau dada, mual, dan muntah. Dalam praktik klinis, episode hipertensi yang paroksismal, dan terpisah, terjadi pada kurang dari separuh pasien feokromositoma. Pada sekitar dua per tiga pasien, hipertensi terjadi dalam bentuk kenaikan tekanan darah yang menetap dan menahun, walaupun sering juga terjadi hipertensi yang labil. Hipertensi baik yang menetap ataupun yang episodik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya iskemia miokardium, gagal jantung, jejas ginjal, dan stroke (cerebrovascular accident). Kematian jantung mendadak dapat terjadi, kemungkinan sekunder terhadap iritabilitas miokardium dan aritmia ventrikel yang diinduksi oleh katekolamin. Pada beberapa kasus, feokromositoma mensekresi hormon lain seperti ACTH dan somatostatin, sehingga dapat memberikan gambaran klinis yang berhubungan dengan efek dari hormon ini dan hormon peptida lainnya. Diagnosis laboratorium feokromositoma didasarkan pada peningkatan ekskresi katekolamin bebas dan metaboliknya seperti asam vanililmandelat (vanillylmandelic acid) dan metanefrin di urin. Feokromositoma jinak yang tunggal diterapi dengan pembedahan eksisi. Pada lesi multifokal, pengobatan jangka panjang untuk hipertensi mungkin diperlukan.



Neuroblastoma dan Neoplasma Neuronal Lain Neuroblastoma merupakan tumor padat ekstra kranial pada anakanak yang paling sering ditemukan. Neoplasma ini paling sering terjadi pada usia 5 tahun pertama dan dapat timbul pada saat bayi. Neuroblastoma dapat terjadi di semua tempat pada sistem saraf simpatik dan kadang-kadang di dalam otak, namun paling sering pada abdomen; sebagian besar tumor ini timbul pada medula adrenal atau ganglia simpatik retroperitoneal. Kebanyakan neuroblastoma sporadik, walaupun kasus familial juga pernah dilaporkan. Tumor ini dibahas di Bab 6, bersama dengan neoplasma pediatrik lainnya.



SINDROM NEOPLASIA ENDOKRIN MULTIPEL (NEM) Sindrom NEM (multiple endocrine neoplasia syndromes/ MEN) adalah sekelompok penyakit bawaan yang menyebabkan lesi proliferatif (hiperplasia, adenoma, dan karsinoma) dari organ endokrin multipel. Seperti halnya penyakit kanker bawaan lainnya (Bab 5), tumor endokrin yang timbul dalam konteks sindrom NEM memiliki gambaran tertentu yang khas, yang tidak dimiliki oleh tumor sporadik yang sama: • Tumor ini timbul pada usia lebih muda dibandingkan dengan usia pasien kanker sporadik. • Tumor ini timbul pada organ endokrin multipel, baik secara sinkron atau metakron. • Bahkan pada satu organ, tumor ini sering multifokal. • Tumor biasanya didahului oleh suatu stadium tidak bergejala dari hiperplasia endokrin yang melibatkan sel asal tumor (contoh, pasien NEM-2 (MEN-2) secara hampir seragam menunjukkan hiperplasia sel C pada parenkim tiroid yang berdekatan dengan karsinoma meduler tiroid).



• Tumor ini biasanya lebih agresif dan kambuh lagi pada sebagian besar kasus dibandingkan dengan tumor endokrin serupa yang timbul sporadik. Memahami dasar genetik sindrom NEM dan mengaplikasikan pengetahuan ini dalam pengambilan keputusan terapi merupakan salah satu keberhasilan penelitian translasional. Gambaran sindrom NEM akan didiskusikan berikut ini.



Neoplasia Endokrin Multipel (NEM) Tipe I NEM tipe 1 diwariskan dengan pola autosomal dominan. Gen NEM-1 (MEN-1) terletak pada 11q13 dan merupakan suatu gen penghambat tumor (tumor suppressor gene); sehingga inaktivasi dari kedua alel gen diyakini sebagai dasar dari tumorigenesis. Organ yang paling sering terlibat adalah "3P" yaitu paratiroid, pankreas, dan hipofisis (pituitary).



762



BAB 19



Sistem Endoktrin



• Paratiroid: Hiperparatiroidisme primer merupakan manifestasi paling sering dari NEM-1 (pada 80% hingga 95% pasien) dan merupakan manifestasi awal kelainan pada sebagian besar pasien, muncul sebelum usia 40 hingga 50 tahun pada hampir semua pasien. Abnormalitas paratiroid meliputi hiperplasia dan adenoma. • Pankreas: Tumor endokrin pankreas merupakan penyebab utama kematian pada NEM-1. Tumor ini biasanya agresif dan bermanifestasi sebagai penyakit metastatik. Tidak jarang ditemukan "mikroadenoma" multipel yang tersebar di seluruh pankreas dengan satu atau dua lesi yang dominan. Tumor endokrin pankreas sering fungsional (contoh, mensekresi hormon). Sindrom Zollinger-Ellison, yang berkaitan dengan gastrinoma, dan hipoglikemia yang berkaitan dengan insulinoma, merupakan manifestasi endokrin yang umum. Perlu dicatat bahwa gastrinoma yang timbul pada sindrom NEM-1 jauh lebih sering terjadi di duodenum daripada di pankreas. • Hipofisis: Tumor hipofisis yang paling sering pada pasien NEM-1 adalah makro adenoma yang mensekresi prolaktin. Pada beberapa kasus, terjadi akromegali yang berkaitan dengan tumor yang mensekresi somatotropin.



Neoplasia Endokrin Multipel (NEM) Tipe 2 NEM tipe 2 sebenarnya terdiri atas dua kelompok penyakit yang berbeda yang memiliki kesamaan dalam pengaktifan mutasi protoonkogen RET (contoh, gain-of-function). Protoonkogen ini terletak pada lokus kromosom 10q11.2. Korelasi genotipe fenotipe yang kuat telah dikenal pada sindrom NEM-2 dan perbedaan pada pola mutasinya menyebabkan gambaran yang bervariasi dari kedua subtipe ini. NEM-2 diwariskan dengan pola autosomal dominan. Neoplasia Endokrin Multipel (NEM) Tipe 2A Organ yang sering terlibat pada NEM tipe 2A antara lain: • Tiroid: Karsinoma meduler tiroid terjadi pada seluruh kasus yang tidak diobati, dan tumor biasanya timbul pada 2 dekade pertama. Tumor umumnya multifokal, dan fokus hiperplasia sel C dapat ditemukan pada tiroid di sekitarnya. Kanker tiroid meduler familial merupakan suatu varian NEM-2A (MEN-2A) yang ditandai oleh kanker tiroid meduler, namun tidak terdapat manifestasi lain seperti yang disebutkan di sini. Dibandingkan dengan NEM-2, karsinoma meduler familial secara khas terjadi pada usia yang lebih tua dengan perjalanan klinis yang lebih lambat. • Medula adrenal: Feokromositoma adrenal terjadi pada sekitar 50%pasien; yang ganas tidak lebih dari 10%. • Paratiroid: Sekitar 10% hingga 20% pasien mengalami hiperplasia kelenjar paratiroid dengan manifestasi hiperparatiroidisme primer.



Neoplasia Endokrin Multipel (NEM) Tipe 2B Pasien NEM-2B (MEN-2B) memiliki mutasi germline RET yang berbeda yang melibatkan perubahan sebuah asam amino. Organ yang biasanya terlibat adalah tiroid dan medula adrenal.



Spektrum penyakit tiroid dan medula adrenal serupa dengan pada NEM-2A, dengan perbedaan-perbedaan di bawah ini: • Hiperparatiroidisme primer tidak terjadi pada pasien NEM-2B. • Manifestasi ekstraendokrin merupakan ciri dari pasien NEM-2B, seperti ganglioneuroma yang berlokasi di mukosa (traktus gastrointestinal, bibir, lidah) dan habitus marfanoid, dengan ciri tulang skeleton aksial yang sangat panjang, menyerupai sindrom Marfan (Bab 6). Sebelum adanya uji genetik, sanak keluarga dari pasien sindrom NEM-2 disaring dengan uji biokimiawi tahunan, yang sering kurang sensitif. Sekarang, uji genetik rutin mengidentifikasi pembawa mutasi RET pada keluarga penderita NEM-2 lebih awal dan dengan lebih dapat dipercaya; semua orang yang membawa mutasi galur benih/ germline RET dianjurkan untuk menjalani tiroidektomi profilaksis untuk mencegah berkembangnya karsinoma meduler yang tak dapat dihindari. KEPUSTAKAAN Akirav EM, Ruddle NH, Herold KC: The role of AIRE in human autoimmune disease. Nat Rev Endocrinol 7:25, 2011. [Suatu tinjauan yang komprehensif tentang fungsi gen AIRE, mutasi yang menyebabkan terjadinya adrenalitis autoimun dan manifestasi lain dari APS1.1 Almeida MQ, Stratakis CA: Solid tumors associated with multiple endocrine neoplasias. Cancer Genet Cytogenet 203:30, 2010. [Suatu tinjauan oleh pakar tentang spektrum tumor yang ditemukan pada berbagai subtipe MEN] Bahn RS: Graves ophthalmopathy. N Engl J Med 362:726, 2010. [Suatu artikel yang ditulis dengan baik mengenai mekanisme patogenik of dan penatalaksanaan manifestasi okuler pada penyakit Graves.] Bluestone JA, Herold K, Eisenbarth G: Genetics, pathogenesis and clinical interventions in type 1 diabetes. Nature 464:1293, 2010. [Suatu tinjauan dari sumber yang berwenang mengenai berbagai segi diabetes tipe 1.1 Cibas ES: Fine-needle aspiration in the work-up of thyroid nodules. Otolaryngol Clin North Am 43:257, 2010. [Suatu tinjauan mengenai teknik yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis nodul tiroid dari seorang pakar histopatologi dan sitologi penyakit Donath MY, Shoelson SE: Type 2 diabetes as an inflammatory disease. Nat Rev Immunol 2011. . [Suatu tinjauan dari sumber yang berwenang mengenai mekanisme inflamasi yang menyebabkan disfungsi sel beta dan resistensi insulin pada diabetes tipe 2.] Ekeblad S: Islet cell tumors. Adv Exp Med Biol 654:771, 2010. [Suatu tinjauan yang komprehensif tentang tumor neuroendokrin pankreatik, meliputi genetik, histopatologi, dan gambaran klinis.] Klibanski A: Clinical practice: prolactinomas. N Engl J Med 362:1219, 2010.[Suatu tinjauan yang mutakhir tentang subtipe adenoma hipofisis yang paling sering.] Leavy O: IAPP stokes the pancreatic fire. Nat Rev Immunol 10:748, 2010. [Suatu tinjauan yang menggarisbawahi peran amiloid pulau Langerhans dalam memperparah disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2.] Mazzone T, Chait A, Plutzky J: Cardiovascular disease risk in type 2 diabetes mellitus: insights from mechanistic studies. Lancet 371:1800, 2008. [Suatu ringkasan yang ditulis dengan baik tentang mekanisme patogenik yang mempengaruhi risiko kardiovaskular, suatu penyebab mortalitas yang paling penting pada diabetes tipe 2.1 McCarthy MI: Genomics, type 2 diabetes and obesity. N Engl J Med 363:2339, 2010.[Suatu ringkasan tentang lokus "diabetogenik"utama yang terlibat pada diabetes tipe 2.] Michels AW, Eisenbarth GS: Immunologic endocrine disorders. J Allergy Clin Immunol 125:S226, 2010. . [Suatu tinjauan yang berspektrum luas dan ditulis dengan baik tentang penyakit endokrin yang diperantarai imun, termasuk beberapa yang dibahas pada bab ini.] Nieman LK: Approach to the patient with an adrenal incidentaloma. J Clin Endocrinol Metab 95:4106, 2010. [Suatu tinjauan komprehensif tentang lesi adrenal yang insidental yang makin sering diidentifikasi oleh meningkatnya penggunaan teknik-teknik pencitraan yang sensihfil Pivonello R, DeMartino MC, DeLeo M: Cushing syndrome. Endocrinol Metab Clin North Am 37:135, 2008. [Suatu tinjauan klinis yang ringkas tentang penyebab dan manifestasi sindrom Cushing.]



Tumor Medula Adrenal Samuel VT, Petersen KF, Shulman GI: Lipid-induced insulin resistance: unraveling the mechanism. Lancet 75:2267, 2010. [Suatu tinjauan ilmiah tentang "aksis adipo-insulin" , yang merupakan salah satu yang paling berpengaruh pada diabetes tipe 2.] Silverberg SJ, Bilzekian JP: The diagnosis and management of asymptomatic primary hyperparathyroidism. Nat Clin Pract Endocrinol Metab 2:494, 2006. [Suatu tinjauan tentang hiperparatiroidisme primer.] Tomer Y, Huber A: The etiology of autoimmune thyroid disease: a story of genes and environment. J Autoimmun 32:231, 2009.



[Suatu tinjauan yang menonjol tentang kontribusi genetik dan lingkungan terhadap patogenesis kelainan tiroid autoimun, termasuk penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto.] Xing M: Genetic alterations in the phosphatidylinositol-3 kinase/Akt pathway in thyroid cancer. Thyroid 20:697, 2010. [Suatu tinjauan yang komprehensif tentang satu jalur yang paling berpengaruh pada neoplasma folikuler tiroid.]



763



This page intentionally left blank



BAB



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



20



DAFTAR ISI BAB TULANG 765 Kelainan Kongenital Tulang dan Tulang Rawan 767 Osteogenesis Imperfekta 767 Akondroplasia dan Thanatophoric Dwarfism 767 Osteopetrosis 767



Penyakit Tulang yang Didapat 768



Osteoporosis 768 Penyakit Paget (Osteitis Deformans) 770 Riketsia dan Osteomalasia Hiperparatiroidisme 771



771



Fraktur 772 Osteonekrosis (Nekrosis Avaskular) 773 Osteomielitis 773



Osteomielitis Piogenik 773 Osteomielitis Tuberkulosa



Tumor Tulang



774



774



Tumor yang Membentuk Tulang 775 Tumor yang Membentuk Tulang Rawan 777 Tumor Fibrosa dan Tumor Fibroosseous 779 Tumor Tulang Lainnya 780



SENDI 782



Artritis 782 Osteoartritis 782 Artritis Reumatoid 784 Artritis Reumatoid pada Anak (Juvenile) 786 Spondiloartropati Seronegatif 786 Gout 786 Gout Palsu (Pseudogout) 789 Artritis yang Menular 789 Tumor Sendi dan Lesi yang Menyerupai Tumor 790 Ganglion dan Kista Sinovial 790 Tumor Sel Datia Tenosinovial (Tenosynovial Giant Cell Tumor) 790



Lipoma 792 Liposarkoma 792



Tumor Fibrosa dan Lesi Menyerupai Tumor 792 Proliferasi Reaktif 793 Fibromatosis 793 Fibrosarkoma 793



Tumor Fibrohistiositik 794



Benign Fibrous Histiocytoma (Dermatofibroma) 794 Pleomorphic Fibroblastic Sarcoma/ Pleomorphic Undifferentiated Sarcoma 794 Tumor Otot Skeletal 794 Rabdomiosarkoma 794



Tumor Otot Polos 795 Leiomioma 795 Leiomiosarkoma 795 Sarkoma Sinovial 795



JARINGAN LUNAK 791



Tumor Jaringan Lemak 792



Sistem muskuloskeletal dan jalinan saraf yang terintegrasi memungkinkan pergerakan dari tubuh manusia. Selain merupakan tumpuan otot untuk kontraksi, skeletal sangat penting dalam homeostasis (terutama kalsium) dan juga melindungi organ dalam, serta menyediakan lingkungan yang baik untuk perkembangan sel punca (sel primitif) mesenkimal dan hematopoletik. Istilah penyakit pada tulang dan sendi mencakup sejumlah besar kondisi berkisar dari kelainan



yang terbatas seperti tumor jinak tulang dan jaringan lunak misalnya osteokondroma dan lipoma yang terlokalisir sampai dengan kelainan yang umum seperti osteoporosis dan osteogenesis yang tidak sempurna. Di dalam bab ini akan dibahas kondisi yang lebih sering mengenai tulang dan sendi, kemudian membahas tumor pada berbagai jaringan lunak di tubuh. Penyakit pada otot dan saraf tepi, dibahas dalam Bab 21.



TULANG Sistem skeletal terdiri atas 206 keping tulang yang bentuk dan ukurannya bervariasi dan dihubungkan oleh sendi yang memungkinkannya bergerak dengan leluasa dan menjaga kestabilan strukturnya. Tulang terdiri atas jaringan penunjang yang unik mengandung mineral dan campuran matriks



organik (35%) dan unsur inorganik (65%). Komponen mineral inorganik terutama terdiri atas kalsium hidroksiapatit [Calo(PO4)6(OH)2]. Mineral ini membuat tulang menjadi keras, kuat dan merupakan tempat penyimpanan 99% dari kalsium tubuh, 85% fosfor tubuh dan 65% sodium serta magnesium. Komponen



766



B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



A



B



Gambar 20-1 Sel-sel tulang. A, Osteoblas aktif mensintesis protein matriks tulang. Sel spindel di sekitarnya adalah sel osteoprogenstor. B, Dua osteoklas meresorpsi tulang. Nukleus biru yang lebih kecil dikelilingi oleh sebuah halo di dalam tulang lamelar yang merah-muda dan padat adalah osteosit di dalam lakuna



organik meliputi sel tulang dan protein osteoid. Sel pembentuk tulang meliputi osteoblas dan osteosit, sedangkan sel yang meresorpsi tulang meliputi sel benih osteoklas dan osteoklas fungsional yang matur (Gambar 20-1). Tulang kelihatannya stabil dan tidak aktif, tetapi kenyataannya sangat dinamis dan cenderung mengalami kerusakan dan pemulihan terus-menerus, suatu proses yang dinamakan sebagai remodeling. Efek dari remodeling ini bisa berupa pemeliharaan tulang, lenyapnya tulang dan pembentukan tulang dengan keseimbangan yang ditentukan oleh aktivitas osteoblas yang membentuk tulang dan osteoklas yang meresorpsi tulang (Gambar 20-1, A dan B). Aktivitas osteoblas dan osteoklas ini juga dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon paratiroid. Di antara faktor lokal yang mengatur remodeling tulang yang terpenting adalah RANK (receptor activator for nuclear factorKB) RANK ligand (RANKL) dan osteoprotegerin (OPG) (Gambar 20-2). RANK yang merupakan keluarga reseptor tumor necrosis factor (TNF) diperlihatkan pada membran sel preosteoklas dan osteoklas matur. RANKL diekspresikan oleh osteoblas dan sel stroma sumsum tulang. Rangsangan RANK oleh RANKL menyebabkan pengaktifan faktor transkripsi NF-x13, yang mendorong ekspresi gen yang merangsang pembentukan, fusi, diferensiasi, fungsi dan kelangsungan hidup osteoklas. Produksi RANKL diatur oleh faktor yang merangsang aktivitas osteoklas. Kegiatan dari RANKL dapat dihentikan oleh reseptor TNF lainnya, OPG yang merupakan reseptor umpan ("decoy") yang dihasilkan oleh sejumlah jaringan termasuk tulang, sumsum tulang dan sel imun. Pengikatan OPG dengan RANKL, mencegah interaksi antara RANK dan RANKL. Produksi OPG diatur oleh sinyal yang sama seperti yang merangsang RANKL. Oleh karena itu molekul ini memungkinkan sel osteoblas dan sel stroma mengontrol perkembangan dan aktivitas osteoklas serta menyiapkan mekanisme untuk variasi yang luas dari mediator biologis (berbagai hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan) untuk mempertahankan homeostasis jaringan tulang dan massa tulang.



SEL STROMA/ OSTEOBLAS



M-CSF Osteoprotegerin (menghambat interaksi ligand RANK-RANK )



Reseptor M-CSF



PREKURSOR OSTEOKLAS



Ligand RANK RANK (reseptor)



NFkB



Diferensiasi RANK OSTEOKLAS



TULANG



Gambar 20-2 Mekanisme parakrin mengatur pembentukan dan fungsi osteoklas. Osteoklas berasal dari sel punca (sel primitif) yang sama yang memproduksi makrofag RANK (receptor activator for nuclear factor-lcB) reseptor pada prekursor osteoklas mengikat RANK ligand (RANKL) yang diperlihatkan oleh sel osteoblas dan sel stroma sumsum tulang. Bersama dengan macrophage colonystimulating factor (M-CSF), interaksi antara RANK-RANKL menyebabkan diferensiasi sel osteoklas fungsional. Sel stroma menghasilkan osteoprotegerin (OPG) yang beraksi sebagai reseptor untuk RANKL, mencegah ikatannya dengan reseptor RANK pada prekursor osteoklas. Akibatnya, OPG mencegah resorpsi tulang dengan menghambat diferensiasi osteoklas.



Kelainan Kongenital Tulang dan Tulang Rawan Penyakit tulang primer dan sekunder, banyak serta bervariasi dan pada bab ini dibagi menurut cacat biologis yang dirasakan atau proses patologis.



KELAINAN KONGENITAL TULANG DAN TULANG RAWAN Kelainan kongenital dari skeletal bervariasi dan bergantung pada cacat yang dihasilkan, yang muncul pada usia yang berbeda. Abnormalitas perkembangan yang paling buruk terjadi pada tahap paling awal skeletogenesis. • Perkembangan yang menyimpang karena masalah yang terbatas pada migrasi dan pembentukan gumpalan sel mesenkim dinamakan dysostoses dan dapat mengenai tulang satu atau sekelompok dan dapat terjadi dari mutasi pada gen homeobox yang spesifik. Lesi yang lebih sering meliputi aplasia (contoh: tidak adanya sebuah jari atau iga secara kongenital), pembentukan tulang tambahan (contoh: jari dan iga yang lebih banyak) dan penggabungan abnormal dari tulang (contoh: penutupan sebelum waktunya dari cranial sutures atau penggabungan tulang iga secara kongenital). Cacat seperti itu dapat terjadi secara terpisah, lesi yang timbul sewaktu-waktu atau sebagai komponen dari sindrom yang lebih kompleks. • Mutasi yang mempengaruhi pembentukan, pertumbuhan dan atau pemeliharaan komponen matriks tulang atau tulang rawan yang normal mempunyai dampak yang lebih tersebar, seperti penyakit yang dinamakan displasia yang lebih spesifik, osteodisplasia dan kondrodisplasia. Displasia dalam kaitan ini ialah pertumbuhan abnormal dan bukan berarti lesi prekanker, seperti pada jaringan lain (Bab 5). Jumlahnya lebih dari 350 mutasi dan hanya beberapa yang dibahas di sini. • Penyakit metabolit genetik lain biasanya tidak dimasukkan sebagai penyakit skeletal primer (contoh: mukopolisakaridosis seperti sindrom Hurler) yang juga melibatkan matriks tulang; hal ini akan dibahas dalam Bab 6.



Osteogenesis Imperfekta Osteogenesis imperfekta (01) juga dikenal sebagai brittle bone disease sebenarnya adalah sekelompok penyakit genetik yang disebabkan oleh cacat pada pembentukan kolagen tipe 1. Oleh karena kolagen tipe 1 merupakan unsur utama dari matriks ekstrasel bagian lain dari tubuh, maka terdapat juga beberapa gejala osteogenesis ekstraskeletal (contoh: mengenai kulit, sendi, gigi dan mata). Mutasi yang mendasari OI melibatkan urutan kode rantai a1 atau a2 dari kolagen tipe 1. Oleh karena pembentukan kolagen dan pengiriman keluar sel membutuhkan susunan triple helix yang utuh dan lengkap, setiap cacat primer di rantai kolagen cenderung mengacaukan keseluruhan struktur dan menghasilkan degradasi sebelum waktunya (contoh: sebuah mutasi negatif yang dominan) (Bab 6). Sebagai dampaknya, kebanyakan cacat memperlihatkan kelainan autosomal dominan dan mungkin berhubungan dengan cacat tubuh yang berat. Bagaimanapun terdapat spektrum keparahan yang luas dan mutasi menghasilkan kolagen dengan kualitas normal, namun hanya pada reduced levels memiliki manifestasi yang lebih ringan.



767



Dasar abnormalitas pada semua bentuk 01 ialah tulang yang begitu kecil, mengakibatkan kerapuhan skeletal yang ekstrem. Dikenal ada empat subtipe OI yang utama. Bentuk OI tipe II rata-rata meninggal dalam kandungan atau segera setelah lahir sebagai akibat fraktur yang multipel yang terjadi sebelum kelahiran. Berbeda dengan pasien OI tipe I memiliki kehidupan normal, dengan kecenderungan fraktur yang sederhana selama masa anak-anak (makin berkurang setelah pubertas). Penemuan yang terbaik ialah adanya blue sclerae pada OI tipe I karena berkurangnya kandungan kolagen di sklera, yang mengakibatkan koroid di bawahnya menjadi terlihat. Kehilangan pendengaran dapat berhubungan dengan kelemahan konduksi pada tulang telinga bagian tengah dan bagian dalam, dan bentuk gigi yang buruk merupakan akibat kekurangan dentin.



Akondroplasia dan Thanatophoric Dwarfism Akondroplasia adalah bentuk cebol yang paling sering pada orang kerdil (dwarfism). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan mutasi titik pada reseptor faktor pertumbuhan fibroblas 3 (FGFR3), suatu reseptor dengan aktivitas tirosin kinase yang mengirimkan sinyal intrasel. Sinyal yang dikirimkan oleh FGFR3 menghambat proliferasi dan fungsi dari lempeng pertumbuhan kondrosit; sebagai akibatnya, pertumbuhan dari lempeng epifisis normal tertekan dan pemanjangan tulang panjang sangat terhambat. Penyakit ini bisa diturunkan secara autosomal dominan, tetapi banyak kasus berasal dari mutasi spontan yang baru. Akondroplasia mempengaruhi semua tulang yang berasal dari osifikasi enkondral. Perubahan yang sangat jelas meliputi tubuh yang pendek, ekstremitas proksimal memendek tidak seimbang, kaki membengkok, dahi melebar dan hipoplasia wajah bagian tengah. Tulang rawan pada lempeng pertumbuhan tidak teratur dan hipoplastik. Thanatophoric dwarfism adalah varian yang letal dari dwarfism, mengenai 1 dari 20.000 kelahiran hidup (thanatophoric berarti menyukai kematian). Penyakit ini disebabkan oleh salah arah atau mutasi titik yang paling sering terletak di ekstrasel dari FGFR3. Heterosigot yang terkena memperlihatkan pemendekan yang ekstrem dari anggota badan, dahi menonjol dan toraks yang sangat kecil, yang merupakan penyebab gagal napas yang mematikan pada masa perinatal.



Osteopetrosis Osteopetrosis adalah sekelompok kelainan genetik yang jarang dan disebabkan oleh resorpsi tulang oleh osteoklas yang tidak sempurna. Osteopetrosis (berarti kelainan tulang yang menyerupai batu) adalah nama yang tepat, karena tulang sangat padat dan kokoh seperti batu. Sebaliknya karena pergantian berkurang maka jaringan tulang menjadi lemah dan cenderung untuk patah seperti sepotong kapur. Dikenal beberapa varian dan dua yang tersering adalah yang autosomal dominan bentuk dewasa, dengan gejala klinis yang ringan dan autosomal resesif infantil, dengan gejala klinis yang berat/ mematikan. Kelainan yang menyebabkan osteopetrosis dikategorikan ke dalam hal yang mengganggu fungsi osteoklas dan yang membantu pembentukan dan diferensiasi osteoklas. Penyebab yang pasti dari gangguan fungsi osteoklas pada banyak kasus tidak diketahui. Namun demikian,



768



B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



pada beberapa kasus kelainan sudah teridentifikasi. Hal ini termasuk kekurangan karbonik anhidrase II, kekurangan pompa proton dan kelainan pada saluran klorida, yang semuanya mengganggu kemampuan osteoklas untuk meresorpsi tulang. Seekor tikus yang dipakai sebagai model osteopetrosis disebabkan oleh mutasi pada monocyte-colony stimulating factor (M-CSF), yang dibutuhkan untuk diferensiasi osteoklas. Tidak ada defek yang serupa/ setara pernah ditemukan pada manusia. Di samping fraktur, pasien dengan osteopetrosis seringkali disertai dengan kelumpuhan saraf kranial (karena penekanan saraf di dalam rongga kranial yang menyempit), infeksi yang berulang yang disebabkan ukuran dan aktivitas sumsum tulang berkurang, dan hepatomegali yang disebabkan oleh hematopoesis ekstramedula karena berkurangnya rongga sumsum tulang. Secara morfologik, spongiosa primer yang dalam keadaan normal menghilang selama pertumbuhan, akan menetap mengisi rongga medula dan tulang.



RINGKASAN Kelainan Kongenital Tulang dan Tulang Rawan •







Abnormalitas pada satu tulang atau sekelompok tulang dinamakan dysostosis dan dapat berupa tulang tidak terbentuk, tulang lebih, pengelompokan tulang yang tidak sesuai; beberapa disebabkan oleh mutasi gen homeobox yang mengenai migrasi setempat dan pengelompokan sel mesenkim primitif. Abnormalitas pada organogenesis tulang dan tulang rawan, disebut displasia; kelainan ini dapat disebabkan oleh mutasi pada jalur transduksi sinyal atau komponen matriks ekstrasel:  Akondroplasia dan thanatophoric dwarfism terutama terjadi sebagai akibat dari pengaktifan FGFR3 yang, berakibat pembentukan tulang rawan lempeng pertumbuhan tidak sempurna.  Osteogenesis imperfekta (penyakit kerapuhan tulang) adalah kelompok kelainan yang disebabkan oleh mutasi pada gen kolagen tipe I yang mempengaruhi produksi normalnya sehingga terjadi kerapuhan tulang dan mudah fraktur.  Osteopetrosis disebabkan oleh mutasi yang mempengaruhi fungsi osteoklas berhubungan dengan pemadatan dan arsitektur tulang yang diakibatkan resorpsi tulang yang tidak sempurna.



PENYAKIT TULANG YANG DIDAPAT Perkembangan sistem skeletal banyak dipengaruhi oleh nutrisi, endokrin dan kelainan sistemik. Kekurangan nutrisi yang menyebabkan penyakit tulang termasuk kekurangan vitamin C (terlibat dalam ikatan silang kolagen; defisiensi menyebabkan scurvy) dan vitamin D (terlibat dalam



resorpsi kalsium; defisiensi menyebabkan rickets dan osteomalasia). Kedua hal ini dibahas lebih terperinci pada Bab 7 Hiperparatiroid primer dan sekunder (dibahas pada Bab 19) juga mengakibatkan perubahan bermakna pada skeletal. Banyak dari kelainan ini ditandai oleh osteoid inadekuat yang dinamakan osteopenia; secara klinis osteopenia yang paling penting ialah osteoporosis.



Osteoporosis Osteoporosis adalah kelainan yang didapat yang ditandai oleh massa tulang yang berkurang, menyebabkan kerapuhan tulang dan mudah fraktur. Massa tulang yang berkurang ini dapat terbatas pada tulang atau regio tertentu seperti pada osteoporosis pada kaki yang tidak dipergunakan atau secara umum, mengenai seluruh skeletal. Osteoporosis yang umum dapat terjadi secara primer atau terjadi sekunder, meliputi penyakit metabolit, defisiensi vitamin dan pemakaian obat (Tabel 20-1). Osteoporosis primer paling sering terjadi dan dapat berhubungan dengan usia (osteoporosis senil) atau status postmenopause pada wanita. Penurunan estrogen pada menopause cenderung memperberat berkurangnya massa tulang, sehingga wanita usia lanjut memiliki risiko osteoporosis lebih besar dibandingkan dengan pria. Risiko osteoporosis dan usia, berhubungan dengan massa tulang yang paling banyak pada usia muda, dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan faktor lingkungan. Untuk tulang besar pada usia muda, makin besar massa tulangnya, maka makin lambat terjadinya osteoporosis. Pada pria dan wanita, mulai dekade kehidupan ke-tiga atau keempat, resorpsi tulang mulai melebihi pembentukan tulang. Tulang yang hilang, rata-rata 0,5% per tahun, agaknya akibat usia yang tidak bisa dihindari dan paling jelas di daerah yang trabekula tulangnya paling banyak terutama di spinal dan kolum femoris. Jumlah tulang yang hilang pada tiap siklus remodeling dipercepat sesudah menopause; sehingga wanita rawan terkena osteoporosis serta komplikasinya kehilangan massa tulang yang progresif ini dalam klinis penting sebab meningkatkan risiko fraktur. Secara kasar 1,5 juta penduduk Amerika setiap tahun mengalami fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis, yang sebagian terbesar mengenai vertebra dan pinggul pangkal paha. Dikatakan, bahwa biaya pemeliharaan kesehatan setiap tahun yang berhubungan dengan fraktur akibat osteoporosis di Amerika Serikat melampaui $18 billion.



MORFOLOGI Ciri khas osteoporosis ialah hilangnya tulang. Korteks menipis, saluran Havers melebar, trabekula menipis, dan lemahnya hubungan satu sama lain.Aktivitas osteoklas ada tetapi tidak meningkat secara dramatis, dan kandungan mineral dari jaringan tulang, normal. Kehilangan massa tulang ini membuat kerentanan untuk fraktur meningkat (Gambar 20-3). Pada osteoporosis postmenopause, trabekula tulang yang hilang sering berat, mengakibatkan fraktur kompresi dan korpus vertebra menjadi kolaps. Pada osteoporosis senil, korteks tulang menghilang secara nyata, sehingga cenderung terjadi fraktur pada tulangtulang lain penahan beban seperti pada leher femur.



Penyakit Tulang yang Didapat Tabel 20-1 Garis Penggolongan Osteoporosis



Primary Postmenopausal Senile



Secondary Endocrine Disorders Hyperparathyroidism Hypo or hyperthyroidism Hypogonadism Pituitary tumors Diabetes, type 1 Addison disease Neoplasia Multiple myeloma Carcinomatosis



Gastrointestinal Disorders Malnutrition Malabsorption Hepatic insufficienc Vitamin C, D deficiencie Idiopathic disease



Drugs Anticoagulants Chemotherapy Corticosteroids Anticonvulsants Alcohol



Miscellaneous Osteogenesis imperfecta Immobilization Pulmonary disease



Gambar 20-3 Osteoporosis korpus vertebra (kanan) memendek karena fraktur kompresi, dibandingkan dengan korpus vertebra yang normal. Vertebra yang osteoporotik memperlihatkan hilangnya trabekula tulang yang horizontal dan penebalan trabekula yang vertikal.



• Pengaruh hormon. Penurunan kadar estrogen pada menopause berhubungan dengan percepatan menghilangnya korteks tulang dan trabekula tulang. Di atas usia 30 tahun sampai 40 tahun, dapat mencapai 35% dari korteks dan 50% dari trabekula tulang. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila secara kasar separuh dari wanita postmenopause akan mengalami fraktur osteoporotik (dibandingkan dengan 2%-3% pada pria usia yang sama). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan estrogen pada postmenopause menyebabkan peningkatan produksi sitokin (terutama IL-1, IL-6, dan TNF), mungkin dari sel di dalam tulang. Hal ini merangsang aktivitas ikatan RANK-RANK dan menekan produksi OPG (Gambar 20-2). Ada sedikit aktivitas kompensasi dari osteoblas, tetapi tidak memadai untuk mengimbangi resorpsi tulang oleh osteoklas. Meskipun penggantian estrogen dapat memperbaiki beberapa kehilangan tulang, akan tetapi terapi tersebut dihubungkan dengan risiko kardiovaskular (Bab 10).



Homocystinuria Anemia



PATOGENESIS Osteoporosis terjadi apabila keseimbangan yang dinamis antara pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang olah osteoklas (Gambar 20-2) lebih condong ke arah resorpsi. Beberapa faktor dapat melampaui batas-batas tolok ukur (Gambar 20-4) • Perubahan yang berhubungan dengan usia. Dengan bertambahnya usia, aktivitas replikasi dan produksi matriks dari osteoblas berkurang secara progresif. Berbagai faktor pertumbuhan yang ada di matriks ekstrasel juga berkurang sesuai dengan perjalanan waktu. Ketika sintesis tulang yang baru berkurang pada usia tua namun osteoklas tetap berfungsi seperti waktu muda.



Faktor-faktor genetik Aktifitas fisis



MASSA TULANG MAKSIMUM



MENOPAUSE • Penurunan serum estrogen • Peningkatan IL-1, IL-6,TNF • Peningkatan ekspresi dari RANK,RANKL • Peningkatan aktivitas osteoklas



Nutrisi



USIA LANJUT • Penurunan aktivitas replikasi dari sel osteoprogenitor • Penurunan aktivitas sintesis dari osteoblas • Penurunan aktivitas biologis dari matrix-bound growth factor • Penurunan aktivitas fisis



OSTEOPOROSIS



Gambar 20-4 Patofisiologi dari osteoporosis postmenopause dan senil (lihat teks).



769



770



B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



• Aktivitas fisis. Oleh karena tenaga mekanik merangsang remodeling tulang, aktivitas fisis yang menurun akan meningkatkan kehilangan tulang. Pengaruh ini jelas pada anggota badan yang tidak bergerak dan juga terjadi di seluruh tulang astronot yang berada pada lingkungan yang bebas gaya berat. Pengurangan aktivitas fisis pada usia lanjut juga ikut andil untuk terjadinya osteoporosis senil. Oleh karena besarnya beban skeletal mempengaruhi kepadatan tulang maka aktivitas fisis adalah penting. Oleh karena itu latihan daya tahan seperti latihan beban meningkatkan massa tulang lebih efektif dibandingkan dengan aktivitas seperti jogging. • Faktor genetik. Reseptor vitamin D polimorf mempengaruhi massa tulang maksimal pada awal kehidupan. Perubahan genetik dapat mempengaruhi penyerapan kalsium atau sintesis dan respons PTH.



Penyakit Paget (Osteitis Deformans) Penyakit skeletal yang unik ini ditandai oleh aktivitas osteoklas regional dan resorpsi tulang (osteolytic stage), diikuti oleh pembentukan tulang yang banyak sekali (mixed osteoclasticosteoblastic stage), dan akhirnya aktivitas sel tampak kelelahan (osteosclerotik stage). Hasil akhir dari proses ini ialah massa tulang bertambah; tulang yang baru terbentuk tidak teratur dan lemah, sehingga tulang menjadi besar dan bentuknya tidak teratur. Prevalensi penyakit ini bervariasi diberbagai populasi. Penyakit Paget biasanya terdapat pada usia dewasa, jarang di Skandinavia, Cina, Jepang dan Afrika dan relatif sering di banyak negara Eropa, Australia, New Zealand dan di Amerika Serikat, mengenai hingga 2,5% dari penduduk dewasa. Yang menarik ialah agaknya insidens penyakit Paget ini menurun.



• Status nutrisi kalsium. Kebanyakan wanita dewasa (bukan pria) diet kalsiumnya tidak mencukupi. Defisiensi kalsium ini terjadi pada masa pertumbuhan cepat tulang. Sebagai hasilnya, wanita agaknya akan menderita osteroporosis pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan pria. • Penyebab sekunder dari osteoporosis. Hal ini meliputi terapi glukokortikoid dalam jangka waktu lama,yang meningkatkan resorpsi tulang dan mengurangi sintesis tulang. Merokok sigaret dan minum alkohol yang berlebihan, juga dapat menyebabkan pengurangan massa tulang.



Perjalanan Klinis



Gejala osteoporosis bergantung pada tulang yang terkena. Fraktur pada vertebra toraks dan lumbal sangat sering, menyebabkan berkurangnya berat badan dan berbagai cacat, meliputi kiposkoliosis, yang dapat menurunkan fungsi pernapasan. Emboli pulmonal dan pneumonia sering menimbulkan komplikasi fraktur pada leher femur, pelvis, atau tulang belakang dan menyebabkan 50.000 kematian setiap tahunnya. Osteoporosis sulit didiagnosis sebab asimptomatik sampai kerapuhan tulang yang ditandai dengan fraktur. Lagi pula, osteoporosis tidak dapat dideteksi dengan radiografi sampai 30%-40% massa tulang yang menghilang; kadar kalsium, fosfor, dan fosfatase alkali serum, tidaklah sensitif. Akhir-akhir ini cara untuk memperkirakan massa tulang yang hilang,dengan teknik radiografi khusus untuk menilai kepadatan mineral tulang, seperti dual energy absorptiometry dan quantitative computed tomography. Pencegahan dan pengobatan osteoporosis dimulai dengan diet kalsium yang adekuat, tambahan vitamin D dan gerakbadan yang teratur dimulai sebelum usia 30 tahun agar massa tulang mencapai puncaknya. Kalsium dan tambahan vitamin D pada usia lanjut dapat juga mengurangi kerusakan tulang. Pengobatan farmakologik termasuk pemakaian antiresorptif dan agen osteoanabolik. Agen antiresorpsi, seperti bisfosfonat, kalsitonin, estrogen, dan denosumab, mengurangi resorpsi tulang olah osteoklas. Agen anabolik utama ialah hormon paratiroid atau analognya, diberikan dalam jumlah yang merangsang aktivitas osteoblas



MORFOLOGI Lesi penyakit Paget dapat tunggal (monostotik) atau bisa multipel (poliostotik) biasanya tidak teratur. Pada awal fase litik, osteoklas (dan lakuna Howship yang berhubungan) banyak, biasanya besar, abnormal dan berinti banyak. Osteoklas berada dalam fase campuran, tetapi permukaan tulang dilapisi oleh banyak osteoblas. Sumsum tulang diganti oleh jaringan ikat longgar yang mengandungi sel progenitor tulang, dan juga banyak pembuluh darah yang dibutuhkan untuk memenuhi metabolisme yang meningkat. Jaringan tulang yang baru terbentuk bisa woven atau lamela, akan tetapi akhirnya semua berubah bentuk menjadi tulang lamela dengan pola mosaik yang khas (seperti jigsaw puzzle) yang disebabkan oleh susunan lapisan semen yang tidak beraturan (Gambar 20-5). Disaat aktivitas osteoblas berhenti, jaringan fibrovaskular sekitar tulang hilang dan digantikan oleh sumsum tulang normal. Walaupun korteks menebal tetapi lebih lunak dari normal, cenderung untuk tidak teratur dan fraktur apabila terkena tekanan.



Gambar 20-5 Penyakit Paget memperlihatkan pola mosaik dari tulang lamela.



Penyakit Tulang yang Didapat



PATOGENESIS Ketika penyakit ini pertama kali dijabarkan oleh Sir James Paget, beliau menganggap penebalan tulang karena proses inflamasi dan menamakannya osteitis deformans. Setelah bertahun-tahun dan dengan teori alternative multiple, pendapat Paget ini terbukti kebenarannya. Sudah lama anggapan bahwa mungkin infeksi dari paramyxovirus (virus yang lamban) yang mendasari penyakit Paget. Antigen paramyxovirus dan partikel yang menyerupainya dapat ditemukan di dalam osteoklas. Hubungannya dengan kausa ialah bahwa paramyxovirus dapat menginduksi sekresi 1L-1 dan IL-6 dari sel yang terinfeksi dan sitokin ini dan juga faktor stimulasi koloni makrofag (M-CSF) diproduksi dalam jumlah besar pada tulang pagetik. Seperti dinyatakan sebelumnya hal ini mempengaruhi aktivitas osteoklas. Walaupun demikian, belum ada virus penyebab infeksi yang sudah diisolasi dari jaringan yang terserang. Sekitar 10% dari penderita memiliki mutasi pada gen SQSTM /, yang mengkode sebuah protein yang agaknya meningkatkan osteoklastogenesis, mutasi ini dihubungkan dengan serangan awal penyakit, banyak tulang yang terkena, dan insidens fraktur yang bertambah.



Perjalanan Klinis



Penemuan klinis bergantung kepada luasnya dan lokasi penyakit. Penyakit Paget yang monostotik (tibia, ileum, femur, tengkorak, vertebra dan humerus) sekitar 15% dan sisanya poliostotik; sekitar 80% kasus mengenai axial skeleton atau femur proksimal. Penyakit ini jarang mengenai iga, fibula, tulang kecil di tangan dan kaki. Meskipun penyakit Paget dapat menghasilkan tulang berlebihan, neuromuskular dan komplikasi kardiovaskular, tetapi sebagian besar gejalanya ringan, dan perubahan tulang hanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan radiografi. Peningkatan fosfatase alkali pada serum dan ekskresi hidroksi prolin pada urin, mencerminkan perubahan tulang yang hebat.



Pada awalnya beberapa pasien, lesi tulang hipervaskular akan mengakibatkan rasa hangat pada kulit dan jaringan subkutis di atasnya. Dengan berkembangnya penyakit poliostotik, keadaan hipervaskular dapat menyebabkan gagal jantung kongestif. Pada fase proliferatif penyakit yang mengenai tengkorak, gejala yang timbul dapat dianggap karena keterlibatan saraf meliputi sakit kepala, gangguan visual dan pendengaran. Lesi vertebra menyebabkan nyeri punggung dan mungkin berhubungan dengan fraktur yang melumpuhkan dan kompresi serabut saraf. Tulang panjang yang terkena di kaki sering berubah bentuk, sebagai akibat dari ketidakmampuan tulang pagetoid untuk membuat tulang yang bentuknya normal sebagai reaksi terhadap tekanan beban yang berat. Kerapuhan tulang terutama pada tulang panjang cenderung untuk terjadi fraktur seperti kapur tulis. Perkembangan menjadi sarkoma merupakan satu kekhawatiran tetapi untunglah jarang terjadi, diperkirakan hanya 1% dari penderita. Sarkoma biasanya osteogenik, walaupun varian histologis yang lainnya dapat terjadi. Lokasi osteosarkoma umumnya paralel dengan lokasi lesi penyakit Paget, dengan pengecualian korpus vertebra, yang jarang menjadi ganas.



771



Prognosis pasien dengan sarkoma sekunder sangat buruk, akan tetapi penyakit Paget saja biasanya relatif mengikuti lesi jinak. Kebanyakan pasien mempunyai keluhan yang ringan yang dapat dikontrol dengan bifosfonat, obat-obatan yang mempengaruhi resorpsi tulang



Riketsia dan Osteomalasia Riketsia dan osteomalasia keduanya merupakan manifestasi dari defisiensi vitamin D atau metabolismenya yang abnormal (secara terperinci dalam Bab 7). Dasar kelainannya ialah kurangnya mineralisasi dan berakibat penimbunan matriks tanpa mineral. Hal ini berbeda dengan osteoporosis, di mana kandungan mineralnya normal dan massa tulang berkurang. Riketsia adalah kelainan pada anak-anak, yang berpengaruh pada penimbunan tulang di lempeng pertumbuhan. Osteomalasia terjadi pada orang dewasa, di mana tulang yang terbentuk kekurangan mineral, sehingga mengakibatkan kecenderungan untuk fraktur.



Hiperparatiroidisme Seperti yang dibahas di dalam Bab 19, hormon paratiroid (HPT) memainkan peranan utama pada homeostasis kalsium melalui pengaruh sebagai berikut: • Pengaktifan osteoklas,meningkatkan resorpsi tulang dan mobilisasi kalsium. HPT bertindak sebagai perantara yang secara tidak langsung meningkatkan ekspresi RANKL pada osteoblas. • Meningkatkan resorpsi kalsium oleh tubulus ginjal. • Meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin. • Meningkatkan sintesis vitamin D aktif -1,25-(OH)2-D, oleh ginjal, yang meningkatkan absorpsi kalsium dari usus dan mobilisasi kalsium tulang dengan menginduksi RANKL pada osteoblas. Akibat dari kegiatan HPT ini, terjadi peningkatan kalsium serum, yang dalam keadaan normal, menghambat produk HPT lebih lanjut. Bagaimanapun juga HPT yang melimpah atau kadarnya yang tidak normal dapat dihasilkan dari sekresi paratiroid secara autonom (hiperparatiroidisme primer) atau dapat terjadi pada penyakit ginjal (hiperparatiroidisme sekunder) (lihat juga Bab 19). Pada penampilan lain, hiperparatiroidisme mengatur perubahan skeletal yang nyata yang berhubungan dengan aktivitas osteoklas yang tidak berkurang. Seluruh skeletal akan terkena, walaupun beberapa tempat dapat lebih berat dari pada yang lain. HPT bertanggung jawab secara langsung terhadap perubahan di tulang yang terlihat pada hiperparatiroidisme primer, tetapi pengaruh tambahan ikut andil terhadap perkembangan penyakit tulang pada hiperparatiroidisme sekunder. Pada insufisiensi renal yang kronik, terdapat sintesis vitamin D aktif -1,25-(OH)2-D yang tidak adekuat, yang akhirnya mempengaruhi absorpsi kalsium di gastrointestinal. Hiperfosfatemia pada gagal ginjal juga menekan arhydroxylase ginjal, lebih lanjut merusak sintesis vitamin D; pengaruh tambahan meliputi asidosis metabolit dan penimbunan aluminium dalam tulang. Massa tulang yang berkurang, yang mengenai pasien meningkatkan kemudahan terserang fraktur, deformitas tulang dan permasalahan sendi. Untunglah, pengurangan HPT ke normal dapat memulihkan secara lengkap perubahan pada tulang.



772



B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



MORFOLOGI Ciri yang khas dari HPT yang berlebihan ialah aktivitas osteoklas yang meningkat, dengan resorpsi tulang. Korteks dan trabekula tulang menyusut dan digantikan oleh jaringan ikat longgar. Resorpsi tulang khususnya terlihat nyata di daerah subperiosteal dan menghasilkan perubahan radiografi yang karakteristik, yang terlihat paling baik pada falang tengah dari jari ke-dua dan jari ketiga. Mikroskopik, ada peningkatan jumlah osteoklas yang menggerogoti pusat trabekula tulang (dissecting osteitis) dan mengekspansi saluran Havers (cortical cutting cones) (Gambar 20-6, A). Rongga sumsum tulang berisi jaringan ikat longgar yang meningkat jumlahnya. Terdapat juga hemosiderin, sebagai tanda adanya perdarahan akibat mikrofraktur tulang yang lemah. Pada beberapa hal, kumpulan osteoklas, sel datia reaktif dan sisa perdarahan, membentuk massa yang disebut brown tumor dari hiperparatiroidisme (Gambar 20-6, B). Perubahan kistik sering terjadi pada lesi ini (sehingga dinamakan osteitis fibrosa cystica), yang dapat membingungkan dengan neoplasma tulang primer.



RINGKASAN Penyakit yang Didapat dari Massa dan Perkembangan Tulang • Defisiensi nutrisi mempengaruhi integritas tulang akibat perubahan kualitas matriks organik (contoh: vitamin C yang terlibat dalam terjadinya ikatan silang pada kolagen) atau oleh pengaruh mineralisasi tulang (contoh: vitamin D yang terlibat di dalam penyerapan kalsium). • Osteoporosis disebabkan oleh berkurangnya massa tulang dan yang klinisnya nyata sebab cenderung terjadi fraktur. Walaupun osteoporosis melibatkan banyak faktor, dua bentuk yang tersering ialah osteoporosis senil karena usia yang berhubungan dengan hilangnya fungsi osteoblas, dan osteoporosis postmenopause karena meningkatnya aktivitas osteoklas yang disebabkan oleh hilangnya estrogen relatif. • Penyakit Paget mungkin disebabkan oleh infeksi paramyxovirus pada orang yang sensitif secara genetik dan disebabkan oleh aktivitas osteoklas yang berlebihan, diikuti oleh penimbunan tulang tetapi strukturnya tidak normal. • Produksi HPT yang berlebihan secara primer atau sekunder (karena gagal ginjal) menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoklas dan resorpsi tulang sehingga mengakibatkan fraktur dan deformitas.



FRAKTUR Fraktur merupakan kondisi patologis tulang yang paling sering, dan digolongkan sebagai berikut: • Komplit atau tidak komplit • Tertutup, di mana jaringan di atasnya utuh atau terbuka di mana frakturnya meluas ke kulit di atasnya. • Comminuted, di mana tulang pecah berkeping-keping.



A



B Gambar 20-6 Manifestasi tulang pada hiperparatiroidisme. A, Osteoklas menggerogoti dan memecahkan tulang lamela. B, Reseksi iga dengan ekspansi massa kistik (dinamakan Brown tumor mass).



• Salah letak (displaced) di mana tulang yang fraktur tidak segaris. Apabila patah terjadi pada tempat penyakit yang sudah ada sebelumnya (contoh: kista tulang, tumor ganas atau brown tumor yang berhubungan dengan peningkatan HPT), dinamakan fraktur patologis. Stress fracture berkembang perlahan-lahan dalam waktu yang lama sebagai kumpulan fraktur mikro yang berhubungan dengan aktivitas fisis yang meningkat terutama beban baru yang terjadi berulang pada tulang (seperti yang sering terjadi pada latihan para militer). Pada semua kasus, pemulihan fraktur adalah proses yang sangat teratur yang melibatkan tahap yang tumpang-tindih: • Trauma pada tulang fraktur merobek pembuluh darah yang berhubungan; menghasilkan bekuan darah yang menimbulkan lapisan fibrin yang menarik sel radang, fibroblas dan endotel. Trombosit yang mengalami degranulasi dan sel radang yang terlibat bersamaan menghasilkan pelepasan sitokin-sitokin (contoh: faktor pertumbuhan dari trombosit, faktor pertumbuhan fibroblas) yang mengaktifkan sel progenitor tulang dan dalam jangka waktu seminggu, jaringan yang terlibat dipersiapkan untuk sintesis matriks yang baru. Jaringan lunak ini dapat mengikat ujung tulang yang fraktur tetapi belum mengandungi kalsium dan tidak dapat menahan beban berat. • Progenitor tulang pada periosteum dan rongga medula menyimpan fokus baru dari woven bone, dan mengaktifkan sel di sisi fraktur menjadi sel kondroblas pembentuk tulang rawan.



Osteomyelitis Pada fraktur yang tidak ada komplikasi, awal proses pemulihan ini mencapai puncaknya dalam 2-3 minggu. Tulang rawan yang baru terbentuk bertindak sebagai inti osifikasi endokondral, meningkatkan proses pembentukan tulang di lempeng petumbuhan epifisis. Lempeng ini menghubungkan korteks dan trabekula pada tulang di dekatnya. Dengan osifikasi, ujung fraktur dijembatani oleh kalus tulang. • Walaupun jaringan ikat, tulang rawan, dan tulang diproduksi melimpah pada awal kalus, beban berat akan menuntun remodeling kalus dari sisi yang tidak ada tekanan; pada saat yang sama terdapat penguatan dari bagian yang menahan beban yang lebih berat. Proses ini mengembalikan bentuk, ukuran, dan integritas tulang yang asli. Penyembuhan sebuah fraktur dapat diganggu oleh banyak faktor: • Fraktur yang salah letak dan berkelompok kecil seringkali menghasilkan cacat; fragmen tulang yang pecah dan mati perlu diresorpsi, yang menghambat penyembuhan, memperbesar kalus, dan memerlukan jangka waktu yang lama untuk remodeling dan mungkin tidak pernah menjadi normal secara lengkap. • Imobilisasi yang tidak adekuat memungkinkan pergerakan pada tempat fraktur, sehingga unsur kalus normal tidak terbentuk. Dalam hal ini, penyembuhan terutama terdiri atas jaringan ikat dan tulang rawan, yang tidak stabil sehingga menghambat penyatuan. Banyaknya gerakan pada rongga fraktur (seperti pada nonunion) menyebabkan bagian sentral kalus mengalami degenerasi kistik; permukaan rongga dilapisi sel tipe sinovial membentuk sendi palsu pseudoartrosis. Untuk memulihkan fraktur nonunion atau pseudoartrosis menjadi normal hanya bisa apabila jaringan lunak di antara tulang yang fraktur diangkat dan sisi fraktur distabilkan. • Infeksi (risiko pada fraktur comminuted dan terbuka) merupakan rintangan penyembuhan fraktur yang serius. Infeksi harus di atasi sebelum terjadi penyatuan tulang dan remodeling. • Pemulihan tulang jelas akan terhalang pada keadaan kadar kalsium dan fosfor yang inadekuat, defisiensi vitamin, infeksi sistemik, diabetes, atau insufisiensi vaskular.



Fraktur pada anak-anak dan dewasa yang tidak disertai komplikasi, praktis akan terjadi pembentukan kembali tulang yang sempurna. Apabila fraktur terjadi pada kelompok usia lebih lanjut atau pada tulang yang abnormal (contoh: tulang osteoporotik), pemulihan seringkali kurang optimal tanpa campur tangan ortopedik.



OSTEONEKROSIS (NEKROSIS AVASKULAR) Nekrosis iskemik disertai infark tulang relatif sering terjadi. Mekanisme yang menyumbang terjadinya iskemia tulang meliputi: • Kompresi atau pecahnya vaskular (contoh: sesudah fraktur) • Pemberian steroid



• Penyakit tromboembolik (contoh: gelembung nitrogen pada penyakit caisson-lihat Bab 3) • Penyakit pembuluh darah primer (contoh: vaskulitis) • Krisis sel sabit (Bab 11) Kasus nekrosis tulang paling banyak disebabkan oleh fraktur atau terjadi sesudah pemakaian kortikosteroid, tetapi banyak yang etiologinya tidak diketahui.



MORFOLOGI Gambaran patologis tulang nekrotik sama apa pun sebabnya. Tulang mati dengan lakuna kosong, diselingi dengan nekrosis lemak dan sabun kalsium yang tidak larut. Korteks biasanya tidak terkena, sebab suplai darah kolateral; pada infark subkondral, tulang rawan sendi di atasnya juga tetap hidup sebab cairan sinovial dapat mendukung pengadaan nutrisi. Dengan perjalanan waktu, osteoklas dapat meresorpsi sebagian trabekula tulang yang nekrotik; fragmen tulang nekrotik lainnya tetap bersikap sebagai penopang untuk pembentukan tulang baru; suatu proses yang dinamakan penggantian bertahap (creeping substitution).



Perjalanan Klinis



Keluhan bergantung kepada lokasi dan ukuran cedera. Infark subkondral pada mulanya terasa sebagai nyeri selama aktivitas fisis dan selanjutnya akan terasa terus-menerus. Infark medula biasanya tanpa keluhan kecuali apabila ukurannya luas (seperti yang terjadi pada penyakit Gaucher, penyakit caisson atau penyakit sel sabit). Infark medula biasanya stabil, akan tetapi infark subkondral sering kolaps dan bisa menjadi osteoartritis berat. Secara kasar 50.000 pergantian sendi dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat untuk mengobati akibat dari osteonekrosis.



OSTEOMIELITIS Osteomielitis didefinisikan sebagai inflamasi tulang dan sumsum tulang, tetapi umumnya disamakan dengan infeksi. Osteomielitis bisa sekunder dari infeksi sistemik tetapi lebih sering sebagai satu fokus penyakit primer; bisa berupa proses akut atau proses kronik dari penyakit yang melemahkan. Walaupun setiap mikroorganisme dapat menyebabkan osteomielitis, tetapi agen etiologik yang paling sering ialah bakteri piogenik dan Mycobacterium tuberculosis.



Osteomielitis Piogenik Kasus osteomielitis akut paling banyak disebabkan oleh bakteri. Organisme penyebab penyakit dapat mencapai tulang melalui satu dari tiga jalan: (1) penyebaran hematogen (paling sering); (2) perluasan dari infeksi jaringan lunak dan sendi di dekatnya; (3) implantasi traumatik sesudah fraktur terbuka atau sesudah prosedur ortopedik. Secara keseluruhan, Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab yang paling sering; kecenderungan untuk menginfeksi tulang mungkin berhubungan dengan ekspresi protein permukaan yang memungkinkan perlengketan ke matriks tulang. Escherichia coli dan streptokokus grup B merupakan penyebab osteomielitis akuta yang penting pada neonatus dan Salmonella merupakan



773



774



B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



patogen yang sering terutama pada orang dengan penyakit sel sabit. Infeksi bakteri campuran, termasuk bakteri anaerob, khas bertanggung jawab terhadap osteomielitis sekunder pada trauma tulang. Pada 50% kasus, organismenya tidak bisa diisolasi.



MORFOLOGI Perubahan morfologi pada osteomielitis bergantung kepada kronisitas dan lokasi infeksi. Bakteri penyebabnya yang proliferatif, menginduksi reaksi inflamasi akut, yang mengakibatkan kematian sel. Tulang yang terperangkap segera menjadi nekrotik dinamakan sekuestrum. Bakteri dan inflamasi dapat merembes melalui sistem Havers untuk mencapai periosteum. Pada anak-anak, periosteum menempel lemah ke korteks; oleh karena itu, abses sub periosteal yang cukup besar dapat terbentuk dan meluas ke tempat jauh sepanjang permukaan tulang.Terangkatnya periosteum lebih lanjut merusak suplai darah ke tempat yang terkena, dan kedua jenis luka supuratif dan luka iskemik dapat mengakibatkan nekrosis sebagian tulang. Ruptur dari periosteum dapat menyebabkan abses pada jaringan lunak di sekitarnya yang bisa membentuk draining sinus. Kadang-kadang sekuester yang hancur, berupa fragmen dikeluarkan melalui traktus sinus. Pada bayi (jarang pada dewasa), infeksi epifisis dapat menyebar ke dalam sendi membentuk artritis supuratif, kadang-kadang dengan destruksi yang ekstensif dari tulang rawan sendi dan cacat permanen. Proses yang sama dapat mengenai vertebra, dengan infeksi yang merusak diskus intervertebral dan menyebar masuk ke dalam vertebra di dekatnya. Setelah minggu pertama infeksi, sel radang kronik menjadi lebih banyak. Pelepasan sitokin leukosit merangsang resorpsi tulang oleh osteoklas, pertumbuhan jaringan ikat, dan pembentukan tulang di perifer. Tulang reaktif atau tulang lamela dapat dideposit; apabila membentuk kerangka jaringan yang hidup di sekitar sekuestrum, dinamakan involukrum (Gambar 20-7). Organisme yang hidup dapat menetap di dalam sekuestrum selama bertahun-tahun setelah infeksi semula.



Gambaran Klinis



Osteomielitis merupakan penyakit sistemik akut dengan malaise, demam, leukositosis dan rasa sakit yang berdenyut pada semua tempat yang terkena. Keluhan dapat juga tidak kentara, dengan hanya demam yang tidak bisa dijelaskan, terutama pada anak-anak atau hanya rasa sakit setempat pada orang dewasa. Diagnosis ditunjukkan oleh gambaran radiologik yang khas: sebuah fokus litik destruktif dikelilingi oleh edema dan tepi yang sklerosis. Pada banyak kasus yang tidak diobati, kultur darah positif, tetapi biopsi dan kultur tulang biasanya dibutuhkan untuk identifikasi penyebab penyakit. Kombinasi antibiotik dengan drainase pembedahan biasanya kuratif, akan tetapi seperempat kasus tidak mengurangi peradangan dan menetap sebagai infeksi kronik. Kronisitas dapat terjadi karena keterlambatan diagnosis, nekrosis tulang yang luas, terapi antibiotik yang singkat, debridement pembedahan yang inadekuat, dan atau daya tahan tubuh yang lemah. Osteomielitis kronik juga dapat dipersulit dengan fraktur patologis, amiloidosis sekunder, endokarditis, sepsis, perkembangan karsinoma sel skuamosa apabila infeksi menghasilkan sebuah sinus tract dan jarang osteosarkoma.



Osteomielitis Tuberkulosa Infeksi mikobakterium pada tulang telah lama menjadi masalah di negara yang sedang berkembang; dengan bangkitnya kembali tuberkulosis (karena imigrasi dan meningkatnya jumlah penduduk yang kekebalannya rendah) maka tuberkulosis juga menjadi satu penyakit yang penting di negara lain. Infeksi tulang diperkirakan 1% sampai 3% karena komplikasi kasus tuberkulosis pulmonal. Organisme biasanya mencapai tulang melalui aliran darah, meskipun penyebaran langsung dari fokus yang terkontaminasi infeksi (contoh: dari kelenjar mediastinum ke vertebra) juga dapat terjadi. Dengan penyebaran secara hematogen, tulang panjang dan vertebra merupakan tempat yang disukai. Lesi sering soliter tetapi kadang-kadang dapat multifokal, terutama pada penderita dengan imunodefisiensi. Oleh karena basil tuberkel adalah microaerophilic, maka sinovia, dengan tekanan oksigennya yang lebih tinggi, sering merupakan tempat infeksi yang pertama. Infeksi kemudian menyebar ke epifisis di dekatnya, di mana timbul radang granulomatosa yang khas dengan nekrosis perkijuan dan kerusakan tulang yang luas. Tuberkulosis korpus vertebra secara klinis merupakan bentuk osteomielitis kronik yang serius. Infeksi pada tempat ini mengakibatkan deformitas vertebra, kolaps dan posterior displacement (penyakit Pott), menuju defisit neurologik. Deformitas spinal oleh karena penyakit Pott mengenai beberapa sastrawan (termasuk Alexander Pope dan William Henley) dan agaknya mereka menjadi sumber inspirasi dari kisah Hunchback of Notre Dame karya Victor Hugo. Perluasan infeksi ke jaringan lunak di dekatnya dengan perkembangan abses otot psoas, agak sering terjadi.



TUMOR TULANG



Gambar 20-7 Reseksi femur dari seorang pasien dengan osteomielitis kronik. Tulang yang nekrotik (sekuester) terlihat di tengah dari sebuah draining sinus tract yang dikelilingi oleh sebuah lingkaran tulang baru (involukrum).



Tumor tulang primer sangat kurang lazim dibandingkan dengan tumor metastatik pada tulang dari lokasi tumor primer yang lain. Tumor tulang primer memperlihatkan keanekaragaman luas tentang morfologi dan perilaku klinis dari jinak sampai ganas yang agresif. Paling banyak diklasifikasi



Bone Tumors Table 20–2 Tumors of Bone



Tumor Type



Common Locations



Age (yr)



Morphology



Bone-Forming Benign Osteoma



Facial bones, skull



40–50



Exophytic growths attached to bone surface; histologically similar to normal bone



Osteoid osteoma



Metaphysis of femur and tibia



10–20



Cortical tumors, characterized by pain; histologic pattern consisting of interlacing trabeculae of woven bone



Osteoblastoma



Vertebral column



10–20



Arise in vertebral transverse and spinous processes; histologically similar to osteoid osteoma



Primary osteosarcoma



Metaphysis of distal femur, proximal tibia, and humerus



10–20



Grow outward, lifting periosteum, and inward to the medullary cavity; microscopy shows malignant cells forming osteoid; cartilage also may be present



Secondary osteosarcoma



Femur, humerus, pelvis



Malignant



>40



Complications of polyostotic Paget disease; histologically similar to primary osteosarcoma



Cartilaginous Benign Osteochondroma



Metaphysis of long tubular bones



10–30



Bony excrescences with a cartilaginous cap; may be solitary or multiple and hereditary



Enchondroma



Small bones of hands and feet



30–50



Well-circumscribed single tumors resembling normal cartilage; arise within medullary cavity of bone; uncommonly multiple and hereditary



Bones of shoulder, pelvis, proximal femur, and ribs



40–60



Arise within medullary cavity and erode cortex; microscopy shows well-differentiated cartilage-like or anaplastic features



Giant cell tumor (usually benign)



Epiphysis of long bone



20–40



Lytic lesions that erode cortex; microscopy shows osteoclast-like giant cells and round to spindle-shaped mononuclear cells; most are benign



Ewing sarcoma



Diaphysis and metaphysis



10–20



Arise in medullary cavity; microscopy shows sheets of small round cells that contain glycogen; aggressive neoplasm



Malignant Chondrosarcoma



Miscellaneous



menurut pasangan sel normalnya dan garis diferensiasinya. Tabel 20-2 memaparkan daftar ciri khas penting dari neoplasma tulang primer yang paling lazim, tidak termasuk mieloma multipel dan tumor hematopoietik lainnya. Secara keseluruhan tumor yang paling sering adalah yang memproduksi matriks dan jaringan ikat. Sedangkan di antara tumor jinak yang paling sering terjadi adalah osteokondroma dan fibrous cortical defect. Osteosarkoma merupakan kanker tulang primer yang tersering, diikuti oleh kondrosarkoma dan sarkoma Ewing. Tumor jinak jauh melebihi tumor ganasnya terutama sebelum usia 40 tahun, pada usia lebih tua, agaknya lebih banyak tumor yang ganas. Tumor tulang sebagian besar timbul pada beberapa dekade awal kehidupan dan mempunyai kecenderungan untuk bermula di tulang panjang ekstremitas. Walaupun demikian, tipe tumor yang spesifik, sasarannya adalah kelompok usia dan lokasi anatomik tertentu; gabungan ini sering membantu di dalam menetapkan diagnosis yang tepat. Sebagai contoh, osteosarkoma paling banyak terjadi pada usia muda, dan separuhnya timbul di sekitar lutut, juga di femur bagian distal atau tibia proksimal. Sebaliknya, kondrosarkoma cenderung timbul pada orang dewasa menengah dan dewasa akhir serta mengenai badan, limb girdles, dan tulang panjang bagian proksimal. Sebagian besar tumor tulang terjadi tanpa sebab yang diketahui sebelumnya. Namun demikian, sindrom genetik



(contoh: sindrom Li-Fraumeni dan retinoblastoma) (Bab 5) dihubungkan dengan osteosarkoma. Osteosarkoma bisa terjadi (tetapi jarang) pada infark tulang, osteomielitis kronik, penyakit Paget, iradiasi dan pemakaian metal alat ortopedi. Lesi jinak sering tidak ada gejala dan ditemukan secara kebetulan, sebagian menimbulkan rasa sakit atau massa yang tumbuh lambat. Kadang-kadang fraktur patologis merupakan tanda pertama. Pencitraan radiologik memegang peran penting dalam penilaian diagnosis tumor tulang, bagaimanapun juga biopsi dan penilaian histologis dan pada beberapa kasus tes molekuler penting untuk diagnosis.



Tumor yang Membentuk Tulang Sel tumor pada neoplasma berikut semuanya menghasilkan tulang yang biasanya bulat dan mengandungi mineral.



Osteoma Osteoma ialah lesi jinak tersering ditemukan di kepala dan leher, termasuk sinus paranasal, akan tetapi bisa terjadi di tempat lain. Terdapat pada usia menengah sebagai lesi soliter, tumbuh lambat keras, menonjol keluar dari permukaan tulang. Lesi multipel merupakan gambaran dari sindrom Gardner,



775



776 B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



, suatu kondisi herediter yang akan dibahas kemudian. Pada pemeriksaan histologis, osteoma menyerupai tulang korteks dan terdiri atas campuran tulang lamela dan tulang bulat. Meskipun dapat menimbulkan masalah lokal (contoh: obstruksi rongga sinus) dan kelainan bentuk, tetapi tidak agresif dan tidak mengalami transformasi ganas.



Osteoid Osteoma dan Osteoblastoma Osteoid osteoma dan osteoblastoma merupakan neoplasma jinak yang gambaran histologisnya sangat mirip. Kedua lesi ini timbul pada usia belasan tahun dan dua puluhan tahun, lebih sering pada pria (2:1 untuk osteoid osteoma). Perbedaan dari kedua lesi terutama dari ukuran dan gambaran klinisnya. Osteoid osteoma timbul paling sering di bawah periosteum atau di dalam korteks pada femur proksimal dan tibia atau unsur spinal posterior dan bergaris tengah kurang dari 2 cm, sedangkan osteoblastoma lebih besar. Nyeri setempat, paling berat di waktu malam merupakan keluhan paling umum dengan osteoid osteoma dan biasanya diringankan dengan aspirin. Osteoblastoma timbul paling sering di kolumna vertebra; dan juga menyebabkan rasa sakit, sering sulit dilokalisir dan tidak bereaksi dengan aspirin. Eksisi lokal merupakan pengobatan pilihan; reseksi yang tidak komplit dapat meyebabkan kekambuhan. Transformasi ganas jarang, kecuali apabila lesinya diterapi dengan radiasi.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan makroskopik, kedua lesi merupakan massa hemoragi yang bulat sampai oval, berwarna kehitaman seperti berpasir. Pada tepi tumor terdapat lingkaran tulang yang sklerotik dan lebih jelas pada osteoid osteoma. Pada pemeriksaan mikroskopik, kedua tumor terdiri atas jalinan trabekula tulang bulat yang dikelilingi oleh osteoblas (Gambar 20-8). Stroma di antaranya longgar, berupa jaringan ikat vaskular yang mengandung sel datia yang bervariasi jumlahnya.



Osteosarkoma Osteosarkoma adalah tumor ganas mesenkimal yang memproduksi tulang. Sesudah mieloma dan limfoma, osteosarkoma adalah tumor ganas primer tulang yang paling sering, dilaporkan sekitar 20% dari kanker tulang primer; di atas 2000 kasus yang didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Osteosarkoma mengenai semua usia, tetapi kira-kira 75 % pasien lebih muda dari 20 tahun dan yang terbanyak kedua terjadi pada usia yang lebih tua, biasanya berhubungan dengan kondisi lainnya, termasuk penyakit Paget, infark tulang, dan radiasi sebelumnya. Pria lebih sering terkena dari wanita. Walaupun setiap tulang dapat terkena, kebanyakan tumor timbul di metafisis tulang panjang ekstremitas, dan hampir 60% terjadi di sekitar lutut, 15% sekitar panggul, 10% di bahu dan 8% di rahang. Beberapa subtipe dari osteosarkoma dibedakan berdasarkan sisi yang terkena dalam tulang (contoh: medula atau korteks), derajat diferensiasi, jumlah tempat yang terkena, adanya penyakit utama dan gambaran histologis; tipe paling sering dari osteosarkoma ialah primer, soliter, intramedula dan berdiferensiasi buruk, terutama yang memproduksi mariks tulang.



MORFOLOGI Pada penilaian makroskopik, osteosarkoma penampilannya seperti berpasir, tumor putih keabu-abuan, seringkali memperlihatkan perdarahan dan degenerasi kistik.Tumor seringkali merusak korteks di sekitarnya, membentuk massa jaringan lunak (Gambar 20-9, A). Osteosarkoma menyebar di dalam kanal medula,menginfiltrasi dan menggantikan sumsum tulang akan tetapi jarang menembus langsung epifisis atau



A



Gambar 20-8 Osteoid osteoma memperlihatkan trabekula woven bone yang dikelilingi oleh osteoblas. Ruang intertrabekula diisi oleh jaringan ikat longgar yang vaskular.



B



Gambar 20-9 Osteosarkoma. A, Massa mengenai tibia bagian ujung atas. Tumor yang putih kehitaman mengisi sebagian besar rongga medula metafisis dan diafisis proksimal. Tumor telah menginfiltrasi melalui korteks mengangkat periosteum dan membentuk massa jaringan lunak pada kedua sisi tulang. B, Gambaran histologis, tulang neoplastik yang kasar seperti bordiran/loce like (panah) yang ditampilkan oleh sel tumor yang anaplastik. Perhatikan mitosis yang atipik (kepala panah).



Bone Tumors memasuki rongga sendi. Sel tumor bervariasi dalam ukuran, bentuk dan sering mempunyai inti yang besar, hiperkromatik dan sel datia tumor yang bizarre serta mitosis. Produksi dari tulang yang mengandungi mineral dan yang tidak mengandungi mineral (osteoid) oleh sel tumor, penting untuk diagnosis osteosarkoma (Gambar 20-9, B). Ciri khas tulang yang neoplastik ialah kasar dan seperti bordiran tetapi dapat juga berupa lembaran yang lebar. Diferensiasi tulang rawan dan fibroblastik dapat juga terjadi dalam jumlah yang bervariasi. Apabila tulang rawan ganasnya yang banyak, dinamakan osteosarkoma kondroblastik. Invasi vaskular biasa terjadi, sebagaimana nekrosis tumor yang spontan.



PATOGENESIS Beberapa mutasi erat hubungannya dengan perkembangan osteosarkoma. Terutama, mutasi gen RB terjadi pada 60%-70% tumor yang sporadik dan orang dengan retinoblastoma herediter (karena mutasi lapisan benih di dalam gen RB) mempunyai risiko seribu kali lebih besar untuk perkembangan osteosarkoma. Seperti banyak kanker yang lain, osteosarkoma spontan juga sering memperlihatkan mutasi pada TP53 dan pada gen yang mengatur siklus sel, termasuk siklin, siklin yang bergantung kepada kinase, dan penghambat kinase. Banyak osteosarkoma berkembang pada tempat pertumbuhan tulang yang terbesar, mungkin disebabkan pembelahan sel yang cepat menyediakan lahan yang subur untuk mutasi.



Gambaran Klinis



Osteosarkoma menunjukkan massa yang membesar dengan rasa sakit, walaupun fraktur patologis dapat menjadi gejala pertama. Gambaran radiologik biasanya memperlihatkan massa yang besar, destruktif, campuran litik dan blastik dengan batas infiltrasi yang tidak jelas. Tumor seringkali menembus korteks dan mengangkat periosteum, menghasilkan pembentukan tulang periosteal yang reaktif. Bayangan segitiga pada film x-ray di antara korteks dan perisoteum yang terangkat (segitiga Codman) ciri khas untuk osteosarkoma. Osteosarkoma menyebar hematogen; pada waktu didiagnosis, kira-kira 10 %-20 % pasien mempunyai metastasis pulmonal yang nyata dan banyak yang memiliki metastasis mikroskopik.



Walaupun perilakunya agresif, pengobatan dasar dengan kemoterapi dan pengobatan limb salvage dewasa ini menghasilkan jangka waktu hidup yang panjang 60%-70%. Osteosarkoma sekunder yang terjadi pada usia dewasa yang lebih tua paling sering pasangan dari penyakit Paget atau pemberian radiasi sebelumnya. Seperti pada osteosarkoma primer, osteosarkoma sekunder adalah tumor yang sangat agresif, tetapi tidak memberikan respons yang baik dengan terapi dan biasanya fatal.



Tumor yang Membentuk Tulang Rawan Tumor yang membentuk tulang rawan memproduksi tulang rawan miksoid atau hialin; jarang terjadi tulang rawan fibrokartilago dan elastik. Seperti tumor yang membentuk tulang. Spektrum tumor tulang rawan juga berkisar dari jinak, pertumbuhan terbatas, sampai keganasan yang sangat agresif. Tumor jinak tulang rawan lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang ganas. Hanya tipe yang sering terjadi yang dibahas di sini.



Osteokondroma



Osteokondroma adalah tumor jinak tulang rawan berbentuk seperti topi yang relatif sering terjadi dan menempel dengan tangkai tulang ke tulang utama di bawahnya. Ciri khas osteokondroma soliter ialah didiagnosis pertama pada usia remaja lanjut, dan pada usia dewasa awal (rasio pria dan wanita 3:1); osteokondroma multipel terjadi pada masa anakanak, sebagai osteokondroma herediter yang multipel satu kelainan autosomal dominan. Inaktivasi kedua kopi dari gen EXTI atau EXT2 melalui mutasi dan hilangnya heterozigositas kondrosit pada lempeng pertumbuhan, terjadi pada kedua osteokondroma sporadik dan yang herediter. Gen supresor tumor yang mengkode glikosiltransferase adalah penting untuk polimerisasi heparin sulfat, suatu komponen penting dari tulang rawan. Penemuan ini dan penelitian genetik molekuler lain mendukung konsep bahwa osteokondroma adalah neoplasma dan bukan perkembangan malformasi. Osteokondroma berkembang hanya pada tulang yang berasal dari endokondral dan terjadi pada metafisis dekat lempeng pertumbuhan tulang tubuler panjang, khususnya sekitar lutut; lesi ini cenderung menghentikan pertumbuhannya ketika pertumbuhan normal tulang sudah lengkap (Gambar 20-10). Kadang-kadang lesi ini terjadi pada tulang pelvis, skapula, iga dan seringkali sesil (tidak bertangkai). Osteokondroma jarang terjadi pada tulang tubuler pendek dari tangan dan kaki.



Cartilage Bone Marrow



Gambar 20-10 Perkembangan osteokondroma, dimulai dengan pertumbuhan ke luar dari tulang rawan epifisis.



777



778 B A B 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



MORFOLOGI Osteokondroma berukuran antara 1-20 cm dan memiliki lapisan tulang rawan sebagai penutup yang tebalnya kurang dari 2 cm. Tulang rawan hialin menyerupai lempeng pertumbuhan yang tidak teratur mengalami osifikasi endokondral. Tulang yang baru terbentuk merupakan bagian dalam dari kepala dan tangkai osteokondroma. Korteks tangkai dan bagian sentralnya bergabung dengan korteks dan rongga medula tulang asalnya.



Gambaran Klinis



Osteokondroma adalah massa yang tumbuh lambat dan dapat menimbulkan rasa sakit apabila mengenai saraf atau apabila tangkainya fraktur. Pada banyak kasus, ditemukan secara kebetulan. Pada osteokondroma herediter yang multipel, deformitas pada tulang yang terletak di bawahnya merupakan satu kesatuan dengan pertumbuhan epifisis. Osteokondroma yang soliter kadang-kadang berkembang menjadi kondrosarkoma atau sarkoma lainnya, tetapi transformasi ganas lebih sering terjadi pada osteokondroma yang multipel.



Kondroma Kondroma adalah tumor jinak dari tulang rawan hialin. Apabila tumbuh di dalam medula, dinamakan enkondroma; apabila dipermukaan tulang disebut kondroma juksta kortikal. Enkondroma biasanya ditemukan pada orang berusia 20tahun-50tahun; soliter dan lokasinya di metafisis tulang tubuler, terutama pada tulang tubuler yang pendek dari tangan dan kaki. Penyakit 0llier ialah kondroma multipel yang ciri khasnya mengenai satu sisi badan dan sindrom Maffucci ialah kondroma multipel yang berhubungan dengan hemangioma sel spindel jaringan lunak.



PATOGENESIS Enkondroma yang terjadi pada penyakit 0llier dan sindrom Maffucci seringkali mengandungi titik-titik mutasi di dehidrogenase isositrat I (IDH I) atau IDH2 yang menghasilkan aktivitas enzim yang baru. Mutasi IDH yang sama terjadi sebagai mutasi somatik pada leukemia mieloid akut dan glioma, akan tetapi pada penyakit 011ier dan Maffucci mutasi juga ditemukan di jaringan normal dalam frekuensi yang rendah, menandakan mutasi terjadi di awal selama perkembangan embrional, satu contoh dari keberagaman genetik (genetic mosaicism).



MORFOLOGI Enkondroma berwarna biru keabu-abuan, berupa nodus yang bening biasanya lebih kecil dari 5 cm (penampang terbesar). Pada pemeriksaan mikroskopik, berbatas tegas dan terdiri atas tulang rawan hialin berisi kondrosit jinak. Di bagian tepi, terdapat osifikasi endokondral, sementara ditengah seringkali mengalami klasifikasi. Pada kondromatosis multipel yang herediter, pulau tulang rawan memperlihatkan gambaran yang lebih seluler dan atipik, menyebabkan sulit untuk membedakannya dari kondrosarkoma.



Gambaran Klinis



Sebagian besar enkondroma ditemukan secara kebetulan, kadang-kadang terasa nyeri atau menyebabkan fraktur patologis. Pada pemeriksaan x-ray, nodul tulang rawan tanpa mineral berbatas tegas dikelilingi oleh lingkaran tipis tulang yang padat (O-ring sign). Matriks klasifikasi menunjukkan kepadatan yang tidak teratur. Kemampuan tumbuh dari kondroma terbatas dan kebanyakan tetap stabil, walaupun dapat kambuh apabila eksisi tidak lengkap. Kondroma soliter jarang mengalami transformasi ganas, kecuali yang berhubungan dengan enkondromatosis. Sindrom Maffucci berhubungan dengan risiko tinggi untuk berkembang menjadi keganasan, termasuk karsinoma ovarium dan glioma otak.



Kondrosarkoma Kondrosarkoma adalah tumor ganas jaringan ikat (sarkoma) yang selnya menghasilkan matriks tulang rawan. Sub klasifikasi kondrosarkoma berdasarkan kepada lokasi (contoh: intrameduler dan jukstakortikal) dan variasi histologis (dibahas kemudian). Frekuensi kondrosarkoma kira-kira separuh osteosarkoma; sebagian besar pasien berusia 40 tahun atau lebih tua, dan mengenai pria dua kali lebih sering dari wanita.



MORFOLOGI Kondrosarkoma konvensional, varian yang paling sering, timbul di dalam rongga medula tulang membentuk massa yang mengkilat yang ekspansif dan sering menyebabkan erosi korteks (Gambar 20-11, A). Kondrosarkoma terdiri atas tulang rawan miksoid dan hialin yang ganas. Kondrosarkoma miksoid konsistensinya kental, seperti agaragar, dan matriks mengalir dari permukaan sayatan. Korteks di dekatnya menebal atau erosif, tumor tumbuh ekspansif luas ke dalam rongga sumsum tulang dan jaringan lunak sekitarnya. Derajat keganasan tumor ditentukan oleh seluleritas, tingkat atipia sitologis dan aktivitas mitosis (Gambar 20-11, B).Tumor berderajat keganasan rendah barangkali sulit dibedakan dari enkondroma. Lesi yang derajat keganasannya lebih tinggi mengandungi kondrosit yang pleomorfik dengan gambaran mitosis yang sering. Kira-kira 10% dari pasien dengan kondrosarkoma berderajat keganasan rendah memiliki komponen kedua yang berdiferensiasi buruk dan derajat keganasannya tinggi (kondrosarkoma dedifferentiated) yang berisi fokus fibro atau osteosarkoma.Varian histologis lainnya meliputi kondrosarkoma sel jernih dan kondrosarkoma mesenkimal.



Gambaran Klinis



Kondrosarkoma seringkali timbul di pelvis, bahu, dan iga; berbeda dengan enkondroma kondrosarkoma jarang mengenai ekstremitas distal. Kondrosarkoma merupakan massa yang membesar secara progresif dan menimbulkan rasa sakit. Pertumbuhan yang lambat dari tumor yang derajat keganasannya rendah menyebabkan penebalan reaktif dari korteks, sedangkan neoplasma yang derajat keganasannya tinggi lebih agresif, menghancurkan korteks dan membentuk massa jaringan lunak, akibatnya tumor yang lebih radiolucent kemungkinan derajat keganasannya lebih besar. Ada juga hubungan langsung antara derajat keganasan dan perangai biologis tumor. Untunglah, sebagian besar kondrosarkoma indolen yang derajat keganasannya rendah, imal dan dediferensiasi sebab perjalanan klinisnya yang agresif.dengan masa hidup 5 tahun 80%-90% (dibandingkan dengan 43% untuk tumor berderajat keganasan 3). Tumor dengan derajat keganasan 1 jarang bermetastasis, sedangkan



Bone Tumors



779



pemeriksaan mikroskopik memperlihatkan lesi yang seluler terdiri atas sel fibroblas jinak dan makrofag aktif, termasuk bentuk multinukleus. Fibroblas memperlihatkan bentuk storiform (pinwheel) (Gambar 20-12). Perdarahan dan kumpulan hemosiderin sering ditemukan.



Gambaran Klinis



Defeks korteks fibrosa adalah lesi yang asimptomatik dan yang khas ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan radiologik. Gambaran klinis biasanya ditandai dengan diferensiasi spontan menjadi tulang korteks normal dalam beberapa tahun, sehingga biopsi tidak diperlukan. Beberapa yang membesar menjadi nonossifying fibromas bisa bermanifestasi dengan fraktur patologis; pada kasus yang demikian, biopsi diperlukan untuk menyingkirkan tumor lain.



A



Displasia Fibrosa



B Gambar 20-11 Kondrosarkoma. A, Pulau tulang rawan hialin dan miksoid ekspansi ke rongga medula dan tumbuh melalui korteks membentuk massa parakorteks yang sesil. B, Kondrosit yang anaplastik di dalam matriks kondroid.



70% tumor dengan derajat keganasan 3 menyebar. Ukuran tumor adalah ciri prognostik lainnya, dengan tumor yang lebih besar dari 10 cm lebih agresif dari tumor yang lebih kecil. Kondrosarkoma bermetastasis secara hematogen, terutama ke paru dan kerangka. Kondrosarkoma konvensional diterapi dengan eksisi luas; kemoterapi ditambahkan untuk varian mesenkimal dan dediferensiasi sebab perjalanan klinisnya yang agresif.



Tumor Fibrosa dan Tumor Fibroosseous



Displasia fibrosa adalah tumor jinak yang semua komponen tulang normalnya ada, tetapi gagal berdiferensiasi menjadi struktur yang matur. Displasia fibrosa memperlihatkan 3 bentuk klinis: (1) keterlibatan satu tulang (monostotik); (2) keterlibatan tulang multipel (poliostotik); dan (3) penyakit poliostotik, berkaitan dengan cafe au lait pigmentasi kulit dan abnormalitas endokrin, khususnya pubertas prekoks (sindrom McCune-Albright). Mutasi dari gen GNAS, yang menghasilkan protein G, aktif utama (Bab 2), bertanggung jawab untuk semua bentuk displasia fibrosa. Mutasi terjadi selama embriogenesis (mutasi somatik) menghasilkan keadaan mosaik pada fetus dan dewasa. Luasnya manifestasi (monostotik, poliostotik atau sindrom Mccune-Albright) bergantung kepada (1) tingkat embriogenesis saat terjadi mutasi; (2) nasib sel yang mengalami mutasi pertama.



Displasia fibrosa monostotik dilaporkan kira-kira 70% dari kasus. Biasanya tumor timbul selama dekade kedua dan dekade ketiga dari kehidupan; tidak ada predileksi kelamin. Berdasarkan frekuensi, yang makin mengecil biasanya mengenai iga, femur, tibia, tulang rahang,alvaria dan humerus. Lesi seringkali tanpa gejala dan seringkali ditemukan secara kebetulan. Namun displasia fibrosa dapat menyebabkan pembesaran dan penyimpangan tulang



Tumor



fibrosa dari skeletal sangat sering dan mempunyai varian morfologik yang luas.



Defeks Korteks Fibrosa dan Fibroma Non-osifikasi Defeks korteks fibrosa (fibrous cortical defects) lebih mungkin suatu pertumbuhan yang abnormal dari pada neoplasma yang sesungguhnya. Sebagian besar berdiameter lebih besar dari 0,5 cm dan tumbuh eksentrik di metafisis femur distal atau tibia proksimal; hampir 50% bilateral atau multipel. Lesi yang lebih besar (5 cm-6 cm) berkembang menjadi fibroma nonosifikasi (nonossifying fibromas).



MORFOLOGI Defeks korteks fibrosa dan fibroma nonosifikasi keduanya memperlihatkan radiolusensi yang berbatas tegas dikelilingi oleh zona sklerotik tipis. Makroskopik, berwarna abu-abu sampai kuning-kecoklatan; ditemukan.



Gambar 20-12 Fibrous cortical defects atau nonossifying fibroma. Gambaran storiform yang khas dan sel-sel spindel diselingi oleh sel datia tipe osteoklas.



780



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



sehingga apabila mengenai wajah atau tengkorak, kelainan bentuk dapat terjadi atau dapat menyebabkan nyeri dan fraktur patologis. Displasia fibrosa poliostotik tanpa disfungsi endokrin bagian terbesar dari kasus berikutnya. Terjadi pada usia sedikit lebih muda dari pada jenis mono-stotik. Berdasarkan urutan frekuensi, yang makin kecil femur, tengkorak, tibia, dan humerus adalah yang paling sering terkena. Lesi fasiokranial terdapat pada 50% pasien dengan keterlibatan skeletal sedang dan 100% pada pasien dengan lesi skeletal luas. Penyakit poliostotik cenderung mengenai sekeliling bahu dan lingkaran panggul mengalami deformitas berat dan fraktur spontan. Sindrom McCune-Albright dilaporkan sekitar 3% dari semua kasus. Berhubungan dengan endokrinopati meliputi prekok seksual (wanita lebih sering dari pria), hiperparatiroidisme, adenoma pituitari yang mensekresi hormon pertumbuhan dan hiperplasia adrenal primer. Beratnya gejala yang timbul bergantung kepada jumlah dan jenis sel yang mengandung mutasi protein G. Lesi tulang bisa unilateral dan pigmentasi kulit biasanya terbatas pada sisi yang sama dari tubuh. Makula kutis besar, berwarna gelap sampai coklat (cafe au lait) dan susunannya tidak teratur.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan makroskopik, displasia fibrosa berbatas tegas, lesi intramedula dalam berbagai ukuran; massa yang besar meluas dan merusak tulang. Jaringan lesi tampak berpasir dan putih kecoklatan, pada pemeriksaan mikroskopik, memperlihatkan trabekula tulang bulat bengkok (menyerupai huruf China), tanpa dibatasi osteoblas, dikelilingi oleh proliferasi fibroblastik yang agak seluler (Gambar 20-13).



Perjalanan Klinis



Riwayat penyakit bergantung kepada luasnya skeletal yang terkena; pasien dengan penyakit yang monostotik biasanya mempunyai keluhan minimal. Pada pemeriksaan sinar-x, lesi memperlihatkan gambaran ground glass yang spesifik dengan batas jelas. Lesi yang simptomatik dengan mudah disembuhkan



dengan operasi konservatif. Keterlibatan poliostotik seringkali berhubungan dengan penyakit yang progresif dan komplikasi skeletal yang lebih berat (contoh: fraktur, deformitas tulang panjang, distorsi kraniofasial). Penyakit poliostotik dapat mengalami transformasi menjadi osteosarkoma akan tetapi jarang, khususnya setelah radioterapi.



Tumor Tulang Lainnya Sarkoma Ewing dan Tumor Neuroektodermal Primitif Sarkoma Ewing dan tumor neuroektodermal primitif (PNETs) adalah tumor ganas primer sel bulat kecil (primary malignant small round cell tumors) dari tulang dan jaringan lunak. Tumor ini masing-masing mempunyai gambaran molekuler tertentu (digambarkan kemudian) dan paling baik dipandang sebagai varian dari tumor yang sama hanya berbeda dalam tingkat diferensiasi neuroektodermal dan gambaran klinisnya. PNET menunjukkan diferensiasi neural yang jelas, sedangkan sarkoma Ewing tidak berdiferensiasi. Frekuensi sarkoma Ewing dilaporkan sekitar 6%-10% dari tumor ganas tulang primer. Sesudah osteosarkoma, sarkoma Ewing merupakan sarkoma tulang kedua yang paling sering pada anak-anak. Sebagian besar pasien berumur 10-15 tahun dan 80% lebih muda dari 20 tahun. Anak pria sedikit lebih sering dari anak wanita, dan lebih sering pada orang kulit putih; orang kulit hitam dan orang Asia jarang terkena. Abnormalitas kromosom yang sering ialah translokasi yang menyebabkan fusi dari gen EWS pada 22q12 dengan satu anggota dari famili ETS dari faktor transkripsi. Partner fusi yang tersering adalah gen FL1 pada 11q24 dan gen ERG pada 21q22. Protein yang dihasilkan berfungsi sebagai faktor transkripsi, tetapi secara pasti bagaimana kontribusinya terhadap onkogenesis masih belum jelas; efek terhadap diferensiasi, proliferasi dan ketahanan hidup (survival) semuanya sudah terencana. Pada tingkat praktik, translokasi ini penting untuk diagnostik, sebab kira-kira 95% dari tumor mempunyai t(11; 22)(q24; q12) atau t(21; 22)(q22 ; q12).



MORFOLOGI Sarkoma Ewing/PNET timbul di rongga medula dan menginvasi korteks dan periosteum membentuk massa tumor putih kecoklatan yang lunak, seringkali dengan perdarahan dan nekrosis.Tumor terdiri atas lembaran sel bulat kecil uniform, yang sedikit lebih besar dari limfosit; yang khas terdapat sedikit mitosis dan sedikit stroma (Gambar 20-14). Sel tumor memiliki sedikit sitoplasma yang kaya glikogen. Ditemukannya Homer-Wright rosettes (sel tumor yang melingkari rongga berisi fibril) menunjukkan diferensiasi neural.



Gambaran Klinis



Sarkoma Ewing/PNET gejalanya khas berupa massa yang membesar dan nyeri di diafisis tulang tubuler panjang (khususnya femur) dan tulang pipih pelvis. Beberapa pasien mempunyai tanda-tanda dan keluhan ke arah infeksi. Pemeriksaan radiologik memperlihatkan tumor litik destruktif dengan infiltrasi dan ekstensi ke jaringan lunak di sekitarnya. Terdapat reaksi periosteal yang khas dengan deposit tulang dalam pola kulit bawang (onion skin).



Gambar 20-13 Displasia fibrosa (fibrous dysplasia). Trabekula woven bone melengkung di dalam jaringan fibrosa. Perhatikan tidak ada sel-sel osteoblas yang mengelilingi tulang.



Pengobatan meliputi kemoterapi dan operasi dengan atau tanpa radiasi. Ketahanan hidup 5 tahun (5 year survival rate) saat ini 75% untuk pasien dengan tumor yang terlokalisasi.



Tumor Tulang



781



Gambar 20-14 Sarkoma Ewing. Sebaran sel-sel bulat-kecil dengan sedikit sitoplasma yang jernih.



Gambar 20-15 Tumor sel datia jinak (benign giant cell tumor) memperlihatkan sel-sel datia dan latar belakang sel-sel mononukleus.



Tumor Sel Datia Tulang (Giant Cell Tumor of Bone)



dari 75% metastasis skeletal berasal dari kanker prostat, payudara, ginjal, dan paru. Pada anak-anak, neuroblastoma, tumor Wilms, osteosarkoma, sarkoma Ewing, dan rabdomiosarkoma adalah sumber metastatis tulang yang sering.



Tumor sel datia mengandungi sel datia tipe osteoklas sehingga nama lainnya ialah osteoklastoma. Tumor ini umumnya relatif jinak tetapi merupakan tumor tulang yang agresif lokal, biasanya timbul pada usia 20tahun-40tahun. Walaupun namanya tumor sel datia analisis molekuler memperlihatkan bahwa sel mononukleus di dalam tumor adalah neoplastik. Sel ini mungkin berhubungan dengan sel prekursor osteoblas, sebab mengekspresikan ligan RANK, yang merangsang perkembangan sel non neoplastik di sekitarnya yang menyerupai osteoklas.



MORFOLOGI Tumor sel datia berukuran besar dan merah-kecoklatan, seringkali memperlihatkan degenerasi kistik. Tumor ini terdiri atas sel mononukleus, oval dan uniform, serta sebaran sel datia tipe osteoklas berisi 100 atau lebih nukleus (Gambar 20-15). Mitosis sering ditemukan. Nekrosis, perdarahan dan pembentukan tulang reaktif yang sering terjadi.



Perjalanan Klinis



Walaupun bisa mengenai hampir semua tulang, mayoritas tumor sel datia terjadi di epifisis dan melibatkan metafisis tulang panjang sekitar lutut (femur distal dan tibia proksimal), seringkali menimbulkan rasa sakit. Kadang-kadang tumor sel datia memperlihatkan fraktur patologis. Sebagian besar merupakan tumor soliter. Radiografik, tumor sel datia berukuran besar, murni litik, dan eksentrik; korteks di atasnya sering dirusak, menghasilkan sebuah massa jaringan lunak yang menonjol dengan lapisan tipis tulang reaktif. Walaupun tumor sel datia memberikan kesan jinak, perkiraan separuh kambuh lagi sesudah dikuret dan sebanyak 2% menyebar ke paru sebagai lesi yang terlokalisasi yang disembuhkan dengan eksisi lokal.



Penyakit Metastatik Tumor metastatik adalah tumor ganas yang paling sering mengenai tulang. Alur penyebaran meliputi (1) penyebaran secara langsung, (2) penyebaran limfatik atau hematogen dan (3) intra spinal. Setiap kanker dapat menyebar ke tulang, akan tetapi tumor tertentu menunjukkan predileksi skeletal yang jelas. Pada orang dewasa lebih



Kebanyakan metastasis mengenai skeletal bagian tengah (kolumna vertebralis, pelvis, iga, tengkorak, sternum), femur proksimal dan humerus, sesuai dengan kekerapan yang menurun. Sumsum tulang merah di daerah ini, yang kaya dengan pembuluh darah kapiler, aliran darah yang lambat dan lingkungan nutrisi yang kaya dengan faktor pertumbuhan, mendukung implantasi serta pertumbuhan sel tumor. Penampilan radiologik dari metastasis dapat murni litik, murni blastik atau keduanya. Pada lesi yang litik (contoh: tumor ginjal, paru dan melanoma), sel metastatik mengeluarkan zat antara lain prosta glandin, interleukin, dan protein yang berkaitan dengan PTH (PTHrP) yang menstimulasi osteoklas meresorpsi tulang; sel tumor sendiri tidak secara langsung meresorpsi tulang. Demikian pula, tumor metastatik yang menimbulkan reaksi osteoblastik (contoh: adenokarsinoma prostat) yang merangsang pembentukan tulang osteoblastik. Kebanyakan metastasis menyebabkan reaksi campuran litik dan blastik.



RINGKASAN Tumor Tulang • Kebanyakan tumor tulang digolongkan berdasarkan pasangan jaringan normalnya; matriks kondroid dan matriks tulang terdapat kurang lebih dalam komposisi yang sama. Lesi jinak jauh melebihi tumor ganas. Tumor metastatik merupakan bentuk keganasan skeletal yang paling sering. • Tipe tumor yang utama dibagi sebagai berikut:  Tumor jinak Defeks korteks fibrosa/fibroma nonosifikasi sel spindel tersusun dalam bentuk seperti pusaran air (storiform). Displasia fibrosa trabekula tulang bulat (woven bone), melengkung dikelilingi oleh fibroblas jinak. Osteoma osteoid pulau-pulau tulang bulat, yang khas mengenai femur proksimal atau tibia Osteokondroma pertumbuhan yang ditutupi oleh tulang rawan pada lempeng pertumbuhan epifisis. Enkondroma nodul dari tulang rawan hialin



782



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Tumor sel datia terdiri atas campuran sel neoplastik mononukleus dan sel datia menyerupai osteoklas, yang menempati epifisis tulang panjang 



Osteosarkoma tumor mesenkimal ganas yang membentuk tulang, 20% dari tumor primer tulang. Kondrosarkoma tumor mesenkimal ganas yang membentuk tulang rawan. Sarkoma Ewing tumor sel bulat kecil yang agresif pada dewasa dengan penataan ulang gen EWS.



Tumor ganas



SENDI Sendi merupakan tempat berbagai penyakit, termasuk degenerasi, infeksi, jejas yang dimediasi imun, gangguan metabolisme dan neoplasma. Di sini, akan dibahas bentuk artritis yang paling sering yaitu osteoartritis atau penyakit degeneratif sendi, autoimun, gout, dan artritis infektiosa serta dua tumor jinak sendi yang paling sering.



trauma sebelumnya, kelainan perkembangan, penyakit sistemik seperti okronosis, hemokromatosis, atau obesitas. Dalam hal ini penyakitnya disebut sebagai osteoartritis sekunder dan sering mengenai satu atau beberapa sendi. Lutut dan tangan sering diderita oleh wanita, sedangkan pinggul lebih sering diderita pria. Diperkirakan bahwa jumlah kerugian ekonomi di Amerika Serikat lebih dari 33 billion dolar setiap tahunnya.



ARTRITIS Osteoartritis MORFOLOGI



Osteoartritis, atau penyakit sendi degeneratif, ialah kelainan sendi yang paling sering. Penyakit ini sering dan tidak dapat dihindari, merupakan bagian dari proses penuaan dan penyebab penting dari cacat fisis pada orang tua di atas 65 tahun. Gambaran yang mendasar pada osteoartritis ialah degenerasi dari tulang rawan sendi; perubahan struktur tulangnya agaknya sekunder. Walaupun istilah osteoartritis berarti suatu penyakit inflamasi, osteoartritis adalah penyakit degeneratif dari tulang rawan sendi di mana reaksi kondrosit terhadap stres biomekanik dan stres biologis menimbulkan kerusakan mariks.



Perubahan awal dari osteoartritis meliputi perubahan di dalam komposisi dari struktur matriks. Kondrosit mempunyai kapasitas terbatas untuk berproliferasi dan beberapa membagi diri membentuk klon kecil dari sel yang mensekresi matriks baru. Kemudian, terjadi fibrilasi vertikal dan horizontal dan keretakan matriks ketika lapisan superfisial tulang rawan berkurang (Gambar 20-16, A). Pemeriksaan makroskopik pada tingkat ini memperlihatkan permukaan tulang rawan sendi kelihatan granuler dan lunak, satu kondisi yang dikenal sebagai kondromalasia. Akhirnya, seluruh ketebalan tulang rawan hilang dan lempeng tulang subkondral muncul ke permukaan menjadi licin dan mengkilat akibat gesekan, memberi gambaran gading yang dipoles (eburnasi tulang) (Gambar 20-16, B).Tulang yang tidak jadi (cancellous bone) yang terletak di bawahnya menjadi dinding penopang kembali (rebuttressed) oleh aktivitas osteoblastik. Fraktur kecil dapat menimbulkan keping tulang rawan dan tulang



Pada sebagian besar kasus, osteoartritis terjadi tanpa dirasa bersama usia dan tanpa sebab yang jelas (osteoartritis primer). Pada kasus seperti ini biasanya mengenai sedikit sendi (oligoarticular) (contoh: hanya mengenai beberapa sendi) dan yang paling sering adalah sendi tangan, lutut, pinggul dan spinal. Pada keadaan yang tidak biasa (kurang dari 5% kasus) osteoartritis menyerang usia muda, ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi seperti



A



B



Gambar 20-16 Osteoartritis. A, Histologis menunjukkan fibrilasi yang khas tulang rawan sendi. B, Osteoartritis berat dengan eburnasi permukaan sendi menimbulkan tulang subkondral (I), kista subkondral (2), dan residu tulang rawan sendi (3).



Arthritis subkondral ke dalam sendi, membentuk benda yang terlepas (joint mice). Celah fraktur menyebabkan cairan sinovial memasuki subkondral membentuk kista dengan dinding jaringan ikat. Osteofit berbentuk jamur (pertumbuhan tulang ke luar) berkembang di pinggiran permukaan sendi. Pada penyakit yang berat, sebuah panus jaringan ikat sinovial melapisi bagian tepi permukaan sendi.



PATOGENESIS Tulang rawan sendi menanggung bagian terberat akibat perubahan degeneratif pada osteoartritis. Tulang rawan sendi normal, menjalankan dua fungsi: (1) Bersama cairan sinovial, mencegah gesekan di dalam sendi; dan (2) pada sendi yang menahan beban, tulang rawan menyebarkan beban melewati permukaan sendi sehingga tulang di bawahnya mengabsorpsi beban yang ada. Fungsi ini membutuhkan tulang rawan yang elastik (contoh: untuk mengembalikan arsitektur normal sesudah kompresi) dan memiliki kekuatan merenggang yang tinggi. Sifat ini dipersiapkan oleh proteoglikan dan kolagen tipe 11, yang keduanya diproduksi oleh kondrosit. Seperti halnya dengan tulang dewasa, tulang rawan sendi secara tetap mengalami degradasi matriks dan pergantian. Fungsi kondrosit normal secara kritis menjaga sintesis tulang rawan dan degradasinya; setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan osteoartritis. Fungsi kondrosit dipengaruhi oleh berbagai hal. Walaupun osteoartritis bukanlah fenomena rusak karena dipakai, stres mekanik dan usia merupakan hal yang menonjol. Faktor-faktor genetik, meliputi polimorfi dan mutasi pada gen yang mengkode komponen matriks dan molekul pemberi sinyal, membantu kerentanan terhadap osteoartritis. Risiko osteoartritis juga meningkat dengan meningkatnya kepadatan tulang dan juga mempertahankan kadar estrogen yang tinggi. Tanpa mengindahkan stimulus yang merangsang, ada ketidakseimbangan di dalam ekspresi, aktivitas dan isyarat dari sitokin dan faktor pertumbuhan yang menghasilkan degradasi dan hilangnya matriks.



Awal osteoartritis ditandai oleh tulang rawan yang berdegenerasi mengandungi banyak air dan sedikit proteoglikan (komponen proteoglikan menjaga turgor dan elastisitas). Jaringan kolagen tipe 11 juga menyusut, agaknya sebagai akibat dari berkurangnya sintesis lokal dan pemecahan yang bertambah; apoptosis kondrosit meningkat. Secara keseluruhan, kekuatan tegangan dan elastisitas tulang rawan menurun. Sebagai respons terhadap perubahan degenerasi ini, kondrosit mengalami proliferasi dan usaha pemulihan kerusakan dengan sintesis kolagen dan proteoglikan yang baru. Walaupun usaha pemulihan ini pada mulanya dapat mengimbangi, namun perubahan matriks dan kehilangan kondrosit pada akhirnya lebih menonjol.



Perjalanan Klinis Osteoartritis merupakan penyakit tersembunyi, terutama mengenai pasien berusia 50 tahun-60 tahun. Keluhan dan gejala yang spesifik meliputi rasa sakit di bagian dalam, terutama bila digerakkan, kaku di pagi hari, krepitasi (sensasi seperti diparut atau meletup di sendi) dan keterbatasan dalam bergerak. Pembentukan osteofit pada foramen spinalis dapat menyebabkan kompresi akar saraf dengan nyeri radikular, spasme otot, atrofia otot, dan defisit neurologik. Panggul, lutut, lumbal bawah dan vertebra servikal, sendi interfalang jari tangan, sendi karpometakarpal pertama dan sendi tarsometatarsal yang pertama dari kaki sering terkena. Heberden nodes pada jari tangan, memperlihatkan osteofit yang jelas pada sendi interfalang distal ialah ciri khas pada wanita. Selain inaktivitas total, tidak ada cara lain untuk mencegah atau menghentikan gerak maju dari osteoartritis primer. Osteoartritis dapat menjadi stabil beberapa tahun akan tetapi pada umumnya progresif perlahan-lahan. Seiring dengan perjalanan waktu, deformitas sendi yang bermakna dapat terjadi, tetapi tidak seperti pada artritis reumatoid (dibahas kemudian), tidak terjadi fusi. Pengobatan biasanya berdasarkan keluhan dengan penggantian sendi pada kasus yang berat. Perbandingan dari gambaran morfologik yang penting dari dua penyakit ini ditampilkan pada Gambar 20-17.



ARTRITIS REUMATOID



OSTEOARTRITIS



Inflamasi



Panus



Tulang rawan tererosi



Ankilosis fibrosa



Ankilosis tulang



783



Taji tulang Tidak ada ankilosis



Kista subkondral



Gambar 20-17 Perbandingan gambaran morfologik dari artritis reumatoid (AR) dan osteoartritis.



Sklerosis subkondral Osteofit Tulang rawan dengan penipisan dan fibrilasi



784



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Artritis Reumatoid Artritis reumatoid (AR) adalah satu penyakit autoimun inflamasi kronik yang sistemik, mengenai banyak jaringan akan tetapi pada prinsipnya menyerang sendi. Penyakit ini menyebabkan sinovitis proliferatif non supuratif yang seringkali berkembang merusak tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dengan menghasilkan artritis yang fungsinya terganggu. Apabila berkembang dan melibatkan jaringan ekstra artikular sebagai contoh: kulit, jantung, pembuluh darah, otot dan paru, artiritis reumatoid bisa menyerupai lupus atau skleroderma. Artritis reumatoid relatif sering terjadi dengan prevalensi kira-kira 1%; dan tiga sampai lima kali lebih sering pada wanita dari pria. Insidens tertinggi pada dekade ke-dua sampai ke-empat dari kehidupan, akan tetapi tidak ada usia yang kebal.



PATOGENESIS AR adalah penyakit autoimun yang masih kurang dipahami, berupa kompleks faktor risiko interaksi genetik, lingkungan dan sistem imun. Perubahan patologis terutama disebabkan oleh inflamasi yang dimediasi sitokin, di mana sumber utama sitokin tersebut adalah dari sel limfosit T CD4+ (Gambar 20-18). Banyak pasien yang juga memproduksi antibodi terhadap peptida sitrulin siklik/cyclic cetrullinated peptides (CCPs) , yang bisa berperan pada lesi sendi. CCPs berasal dari protein di mana residu arginin dikonversikan menjadi residu sitrulin setelah translasi. Pada artritis reumatoid antibodi terhadap fibrinogen sitrulin, kolagen tipe II, α-enolase dan vimentin



Kerentanan gen (HLA dan lain-lain)



Faktor lingkungan (contoh infeksi, merokok)



Kegagalan toleransi, pengaktifan limfosit yang tidak teratur



Modifikasi enzimatik (contoh sitrulinasi) protein diri sendiri



Respons sel T dan sel B terhadap antigen diri sendiri (meliputi antigen di jaringan sendi)



TH17 Sel



TH1 Sel



Sel Fibroblas Kondrosit Sinovial



Antibodi



Proliferasi



Pelepasan kolagenase, stromelisin, elastase, PGE2, dan enzim lainnya Pembentukan panus; destruksi tutang, tulang rawan; fibrosis; ankilosis



Gambar 20-18 Proses utama yang terlibat di dalam patogenesis artritis reumatoid.



amat penting dan bisa membentuk kompleks imun yang tertimbun di dalam sendi. Antibodi ini adalah tanda diagnostik untuk penyakit AR dan mungkin terlibat di dalam kerusakan jaringan. Seperti penyakit autoimun lainnya, artritis reumatoid merupakan kelainan di mana faktor genetik dan lingkungan berperan pada kerusakan toleransi terhadap antigen sendiri. • Faktor genetik: Diperkirakan 50% risiko terhadap artritis reumatoid berhubungan dengan faktor genetik. Kerentanan terhadap artritis reumatoid dihubungkan dengan lokus HLADRBI. Penelitian akhir-akhir ini mengungkapkan sejumlah besar gen non-HLA yang polimorfisme berhubungan dengan artritis reumatoid. Terdapat hubungan yang kuat dengan polimorfisme pada gen PTPN22 yang mengkode tirosin fosfat yang telah diterima sebagai penghambat pengaktifan sel T. • Faktor lingkungan: Banyak calon agen infeksi yang antigennya dipertimbangkan bisa mengaktifkan sel T atau sel B, tetapi tidak satupun yang meyakinkan terlibat. Sebagaimana diterangkan di atas, sedikitnya 70% pasien darahnya mengandungi antibodi anti CCP, yang mungkin diproduksi selama inflamasi. Peradangan dan lingkungan yang tidak menyenangkan seperti merokok dan infeksi bisa menyebabkan sitrulinisasi dari beberapa protein itu sendiri,menghasilkan epitop baru yang memicu reaksi imun. Diusulkan bahwa penyakit ini dimulai pada orang yang mempunyai kecenderungan secara genetik untuk pengaktifan sel T heiper CD4+ sebagai reaksi terhadap beberapa agen arthritogenic, kemungkinan mikroba atau antigen diri sendiri seperti CCP (Gambar 20-18). Sel TE.,1 CD4+ dan TH17, limfosit B aktif, sel plasma, dan makrofag, sebagaimana sel radang lainnya, ditemukan di dalam sinovium yang meradang dan pada kasus yang berat, mungkin ada folikel limfoid dengan sentrum germinatifum. Sejumlah sitokin, meliputi IL-1, IL-8, TNF, IL-6, IL-17, dan interferon-y, telah ditemukan di dalam cairan sinovial. Sitokin diproduksi oleh sel T aktif leukosit baru seperti makrofag, yang produksinya menyebabkan jejas pada jaringan dan juga mengaktifkan sel sinovial sendi untuk memproduksi enzim proteolitik, seperti kolagenase, yang merupakan perantara destruksi tulang rawan, ligamen, dan tendon sendi. Peningkatan aktivitas osteoklas di dalam sendi berperan terhadap kerusakan tulang pada artritis reumatoid; hal ini mungkin disebabkan oleh produksi ikatan RANK sitokin keluarga TNF oleh sel T aktif. Walaupun berbagai sitokin yang diproduksi di dalam sendi pada artritis reumatoid, TNF kelihatannya memainkan peranan yang sangat penting. Hal ini didemonstrasikan oleh kemanjuran yang luar biasa dari penggunaan antagonisTNF pada pengobatan penderita, bahkan pada penderita yang resisten terhadap terapi yang lain. Dari pengamatan klinis dan berbagai percobaan dicurigai bahwa antibodi juga memainkan peranan penting pada penyakit. Peranan dari anti CCP sudah diterangkan sebelumnya. Kira-kira 80% pasien memiliki serum imunoglobulin M (IgM) (dan kurang sering IgA) autoantibodi yang mengikat bagian Fc dari IgG nya. Autoantibodi ini dinamakan faktor reumatoid. Mereka bisa membentuk kompleks imun dengan IgG nya sendiri yang dideposit di dalam sendi dan jaringan lainnya, sehingga menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Bagaimanapun juga, peran faktor reumatoid di dalam patogenesis lesi pada sendi atau ekstra artikular belum dibuktikan.Yang menarik, ada dua varian artritis reumatoid, satu yang spesifik adanya anti CCP dan faktor reumatoid dan yang lainnya tidak mempunyai autoantibodi.



Artritis



MORFOLOGI Perubahan morfologi yang terlihat pada artritis reumatoid, yang paling parah terjadi pada sendi. Artritis reumatoid ciri khasnya memperlihatkan sebagai artritis yang simetris, pada dasarnya mengenai sendi kecil dari tangan dan kaki, pergelangan kaki, lutut, pergelangan tangan, siku dan bahu. Paling sering, interfalangeal dan sendi metakarpofalangeal yang terkena, tetapi sedikit pada sendi interfalangeal distal. Keterlibatan aksial, apabila ada, terbatas pada vertebra servikalis atas; demikian pula keterlibatan sendi pinggul sangat jarang. Pada pemeriksaan histologis, sendi yang terkena memperlihatkan sinovitis papiler yang kronik, ciri khasnya (1) hiperplasia dan proliferasi sel sinovial; (2) infiltrat sel radang perivaskular yang padat (seringkali membentuk folikel limfoid) di sinovium yang terdiri atas sel T CD4+, sel plasma, dan makrofag; (3) vaskularisasi bertambah karena angiogenesis; (4) neutrofil dan kumpulan fibrin di permukaan sinovial dan di rongga sendi; dan (5) peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya yang penetrasi ke sinovial dan erosi tulang periartikular. Penampilan yang terbaik adalah panus, yang dibentuk oleh proliferasi sel yang melapisi sinovial bercampur dengan sel radang, jaringan granulasi, dan jaringan ikat fibrin; pertumbuhan jaringan yang berlebihan ini sangat banyak dan biasanya tipis, membran sinovial yang licin berubah menjadi tonjolan seperti daun pakis yang banyak (vilus) (Gambar 20-19, A-C). Dengan keterlibatan radang pada sendi biasanya berkembang edema jaringan lunak periartikular, yang diperlihatkan dengan pembengkakan yang fusiform dari sendi interfalangeal proksimal. Dengan perkembangan penyakit, tulang rawan sendi yang letaknya lebih rendah dari panus mengalami erosi dan akhirnya rusak. Tulang subartikular juga mungkin terserang dan erosif. Pada akhirnya panus mengisi rongga sendi, dan kemudian terjadi fibrosis dan osifikasi sehingga bisa menyebabkan ankilosis yang permanen. Ciri khas radiografi ialah efusi sendi dan juxtaarticular osteopenia dengan erosi dan penyempitan rongga sendi serta hilangnya tulang rawan sendi. Destruksi tendon, ligamen dan kapsula sendi



SENDI NORMAL



menghasilkan deformitas yang khas, meliputi penyimpangan pergelangan tangan, kearah radial penyimpangan ulna dari jari tangan, dan fleksi-hiperekstensi abnormal dari jari tangan (swanneck deformity, boutonniere deformity). Nodul subkutan reumatoid berkembang kira-kira pada seperempat pasien, terjadi di sepanjang permukaan ekstensor lengan bawah atau daerah lain mungkin karena tekanan mekanik; jarang sekali yang terbentuk di paru, limpa, jantung, aorta, dan visera lainnya. Nodul reumatoid keras, tidak empuk, massa lonjong atau bulat dengan garis tengah 2 cm. Mikroskopik terdapat fokus sentral dari nekrosis fibrinoid dikelilingi oleh palisade makrofag yang dikelilingi oleh jaringan granulasi dan limfosit (Gambar 20-20). Pasien dengan penyakit erosif yang berat, nodul reumatoid, dan titer faktor reumatoid yang tinggi,mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi sindrom vaskulitis; vaskulitis nekrotik akut dapat mengenai arteri yang kecil maupun besar. Keterlibatan serosum dapat dilihat sebagai pleuritis fibrinosa atau perikarditis atau keduanya. Parenkim paru mungkin dirusak oleh fibrosis interstisialis yang progresif. Perubahan mata seperti uveitis dan keratokonjungtivitis (sama dengan yang terlihat pada sindrom Sjogren, lihat Bab 4) mungkin jelas pada beberapa kasus.



Gambaran Klinis



Walaupun artritis reumatoid pada dasarnya adalah artritis yang poliartikular dan simetris, bisa juga terdapat keluhan seperti lemah, malaise dan agak demam. Banyak gejala sistemik merupakan hasil dari mediator yang sama dengan yang menyebabkan radang sendi (contoh: IL-1, TNF). Artritis pertama kali timbul secara tersembunyi, dengan rasa sakit dan kaku pada sendi, terutama pagi hari. Ketika penyakit berlanjut, sendi membengkak, gerakan terbatas, dan selanjutnya bisa terjadi ankilosis lengkap.



SENDI REUMATOID



Membran sinovial



Makrofag Panus Sel lasma



Berbagai kompleks imun Tulang rawan



A



Neutrofil



785



Sel dendritik Limfosit



B



C



Gambar 20-19 Artritis reumatoid. A, Lesi sendi. B, Sinovium memperlihatkan hiperplasia papiler yang disebabkan oleh sebukan sel radang yang padat. C, Sinoviosit hipertrofi dengan banyak limfosit dan sel-sel plasma di bawahnya. (A, Modifikast atas izin Feldmann M: Development of anti-TNF therapy for rheumatoid arthritis. Nat Rev Immunol 2:364, 2002.)



786



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Spondiloartropati Seronegatif Klinis, morfologik dan gambaran genetik kelainan ini berbeda dengan artritis reumatoid dan artritis lainnya. Ciri spondiloartropati sebagai berikut: • Perubahan patologis dimulai pada ligamen yang melekat ke tulang (bukan pada sinovium). • Keterlibatan sendi sakroiliaka, dengan atau tanpa artritis di sendi perifer lainnya. • Tidak ada faktor reumatoid (sehingga dinamakan seronegatif). • Berhubungan dengan HLA-B27.



Gambar 20-20 Nodul reumatoid. Nekrobiosis kolagen dikelilingi oleh palisade histiosit.



Keterlibatan vaskulitis ekstremitas bisa menimbulkan fenomena Raynaud dan ulkus kaki yang kronik. Keterlibatan multisistem ini harus dibedakan dari lupus, skleroderma, polimiositis, dermatomiositis, penyakit Lyme, dan juga artritis yang lain. Berguna di dalam menegakkan diagnosis yang benar ialah: (1) gambaran radiografik yang khas; (2) cairan sinovial keruh, steril, dengan kekentalan dan penggumpalan musin yang berkurang; dan kelompokan neutrofil, dan (3) anti CCP dan faktor reumatoid (80% pasien). Gejala klinis artritis reumatoid sangat bervariasi. Minoritas pasien, penyakitnya bisa stabil atau bahkan mundur; pada sebagian besar pasien penyakitnya diikuti dengan kekambuhan yang kronik, dan hilang timbul. Penyakit ini menimbulkan kerusakan sendi yang progresif yang mengakibatkan cacat setelah 10 tahun sampai 15 tahun. Hasil terahir ada perbaikan secara dramatis dengan perkembangan terapi terbaru, meliputi pengobatan yang agresif pada artritis reumatoid awal dan pemberian agen biologis yang merupakan antagonis TNF yang sangat efektif. Artritis reumatoid merupakan penyebab yang penting dari amiloidosis reaktif (Bab 4), yang terjadi pada 5% sampai 10% pasien, terutama pada penderita yang penyakitnya berat dan lama.



Artritis Reumatoid pada Anak (Juvenile) Artritis reumatoid pada anak (ARA) bukan satu penyakit tunggal tetapi sekelompok kelainan yang multifaktor dengan komponen lingkungan dan genetik. Etiologi kelainan ini tidak diketahui dan dibagi berdasarkan penampilannya yaitu varian oligoartritis, poliartritis dan yang sistemik (penyakit Still). Sering mengenai sendi besar dengan keluhan serta gejala seperti pembengkakan sendi, rasa hangat, nyeri dan kehilangan fungsi dimulai sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu. Peradangan ekstra artikular seperti uveitis juga terlihat. Faktor risiko yang sering meliputi kerentanan genetik (seperti HLA dan varian gen PTPN22) dan mungkin juga infeksi. Seperti pada artritis reumatoid pada dewasa, patogenesis sepertinya melibatkan pengaktifan sel TH1 dan TH17, kemudian pengaktifan sel B,makrofag, fibroblas untuk memproduksi antibodi dan berbagai sitokin meliputi TNF, IL-I, dan IL-6, yang akhirnya menyebabkan kerusakan pada struktur sendi.



Kelainan kelompok ini meliputi beberapa gambaran klinis, yang contoh khasnya ialah ankilosis spondilitis. Yang lainnya meliputi sindrom Reiter, artritis psoriatik, spondilitis yang berhubungan dengan penyakit radang usus dan artropati reaktif sesudah infeksi (contoh: dengan Yersinia, Shigella, Salmonella, Helicobacter atau Campylobacter). Sakroiliitis adalah tanda yang penting dari semua kelainan ini, mereka dibedakan dari yang lainnya oleh keterlibatan sendi perifer tertentu dan juga berdasarkan tanda ekstraskeletal yang berhubungan (sebagai contoh, uretritis, konjungtivitis, dan uveitis, yang khas dari sindrom Reiter). Walaupun pemicu infeksi dan mekanisme imun dipikirkan mendasari sebagian besar spondiloartropati seronegatif, tetapi patogenesisnya tetap tidak jelas.



Gout Gout mengenai kira-kira 1% penduduk dan lebih sering terjadi pada pria. Penyakit ini disebabkan oleh kelebihan asam urat yang merupakan hasil akhir dari metabolisme purin, dalam jaringan dan cairan tubuh. Kristal monosodium urate mengendap dari cairan tubuh dengan saturasi tinggi dan merangsang suatu reaksi radang akut. Gout ditandai oleh artritis akut yang berulang, kadang-kadang disertai oleh pembentukan kumpulan kristal yang besar yang disebut tofi dan bahkan deformitas sendi yang menetap. Meskipun peningkatan kadar asam urat merupakan unsur penting dari gout, tidak semua orang berkembang menderita gout dan faktor genetik serta lingkungan juga berperan terhadap patogenesisnya. Gout dibagi menjadi bentuk primer (90%) dan bentuk sekunder (10%) (Tabel 20-3). Gout primer ialah kasus yang penyebab utamanya tidak diketahui atau (kurang sering) yang kelainannya disebabkan oleh cacat metabolit sejak lahir yang menyebabkan hiperurisemia. Pada gout sekunder, penyebab hiperurisemia diketahui, akan tetapi gout tidak selalu merupakan kelainan yang utama.



MORPHOLOGY Tanda morfologik yang utama dari gout ialah artritis akut, artritis tofus kronik (chronic tophaceous arthritis), tofi di berbagai tempat dan nefropati gout. Artritis akut ditandai dengan sebukan padat neutrofil pada sinovia dan cairan sinovial. Kristal monosodium urat yang berbentuk jarum halus seringkali



Artritis



787



Tabel 20-3 Klasifikasi Gout



Kategori Klinis



Gangguan Metabolit



Gout Primer (90% dari kasus) Gangguan enzim tidak diketahui (85% sampai 90% dari kasus )



Gangguan enzim diketahui antara lain, defisiensi



Produksi asam urat yang berlebihan Ekskresi normal (mayoritas) Ekskresi meningkat (minoritas) Ekskresi asam urat yang berkurang dengan produksi yang normal Produksi asam urat yang berlebihan



HGPRT parsial (jarang)



Gout Sekunder (10% dari kasus) Berhunungan dengan siklus nuklat yang meningkat antara lain leukmenia Penyakit ginjal kronik



Kekacauan metabolisme



Produksi asam urat yang berlebihan dengan peningkatan eksresi urin Ekskresi asam urat berkurang dengan produksi yang normal



A



Produksi asam urat berlebihan dengan peningkatan ekskresi urin antara lain defisiensi HGPRT yang komplit (sindrom Lesch-Nyhan)



HGPRT, hypoxanthine guanine phosphoribosyl transferase.



yang berbentuk jarum halus seringkali ditemukan di dalam sitoplasma neutrofil dan dalam kelompokan kecil di dalam sinovia. Sinovia sembab, kongestif dan berisi sebukan sel radang mononuklear. Apabila kristalisasi mereda dan kristal dapat dilarutkan, serangan berkurang. Artritis tofus kronik (chronic tophaceous arthritis) berkembang dari pengendapan yang berulang-ulang kristal urat selama serangan akut. Kristal urat dapat menutupi seluruh permukaan sendi dan membentuk deposit yang jelas di sinovia (Gambar 20-21, A). Sinovia menjadi hiperplastik, fibrotik dan menebal oleh sel radang, membentuk panus,yang merusak tulang rawan di bawahnya, sampai erosi tulang juxtaarticular. Pada kasus yang berat, terjadi fibrosis atau ankilosis tulang, yang mengakibatkan hilangnya fungsi sendi. Tofi adalah patognomonik untuk gout. Tofi terbentuk oleh kelompokan kristal urat yang banyak dikelilingi oleh reaksi radang dari limfosit dan sel datia benda asing, yang mencoba menelan massa kristal (Gambar 20-21). Tofi dapat terjadi pada tulang rawan sendi dan di ligamen periartikular, tendon, jaringan lunak, meliputi daun telinga, tulang rawan hidung, dan kulit ujung jari tangan. Tofi superfisial dapat menjadi ulkus yang besar pada kulit di atasnya. Nefropati gout merupakan komplikasi ginjal yang berhubungan dengan deposit urat, berbagai pembentukan tofi di medula, pengendapan intratubuler atau kristal asam urat bebas dan batu ginjal. Komplikasi sekunder seperti pielonefritis dapat terjadi, khususnya apabila ada obstruksi urin.



PATOGENESIS Peningkatan kadar asam urat dapat dihasilkan dari produksi yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang (Tabel 20-3). Sebagian besar kasus gout ditandai oleh produksi asam urat



B Gambar 20-21 Gout. A, Amputasi ibu jari kaki dengan tofi berwarna putih mengenai sendi dan jaringan lunak. B, Fotomikrograf dari tofus gout. Sekumpulan kristal urat yang larut dikelilingi oleh fibroblas reaktif, sel radang mononukleus dan sel datia.



yang berlebihan secara primer. Yang kurang sering ialah asam urat diproduksi normal tetapi hiperurisemia terjadi karena ekskresi urat di ginjal berkurang. Untuk memahami pengaruh ini, perlu diberikan ulasan singkat tentang sintesis dan ekskresi asam urat. • Sintesis asam urat. Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme purin; sehingga peningkatan sintesis urat sebagai refleksi yang spesifik dari produksi nukleotida purin yang abnormal. Sintesis nukleotida purin melibatkan dua jalur yang saling berkaitan: yakni jalur de novo dan jalur salvage. • Jalur de novo dilibatkan dalam sintesis nukleotida purin dari prekursor nonpurin. • Jalur salvage dilibatkan dalam sintesis nukleotida purin dari unsur basa purin bebas, berasal dari makanan yang dikonsumsi dan oleh katabolisme asam nukleat dan nukleotida purin. • Ekskresi asam urat. Sirkulasi asam urat disaring secara bebas oleh glomerulus dan diresorpsi kembali secara lengkap di tubulus proksinnal ginjal. Fraksi kecil dari asam urat yang diresorpsi kemudian disekresi oleh nefron distal dan diekskresi dalam urin. Walaupun penyebab biosintesis asam urat yang melimpah pada gout primer pada sebagian besar kasus tidak diketahui, jarang pasien memiliki gangguan enzim. Sebagai contoh,



788



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



kekurangan HGPRT lengkap, satu enzim yang penting dalam jalur salvage, menyebabkan sindrom Lesch-Nyhan. Pada gout sekunder hiperurisemia dapat disebabkan oleh peningkatan produksi urat (contoh: lisis sel yang cepat selama kemoterapi untuk limfoma atau leukemia) atau ekskresi yang berkurang (insufisiensi ginjal kronik) atau keduanya. Pengurangan ekskresi ginjal bisa pula disebabkan oleh obat-obatan seperti diuretik thiazide, mungkin disebabkan oleh efek pada transportasi tubuler asam urat. Apa pun penyebabnya, peningkatan kadar asam urat di dalam darah dan cairan tubuh lainnya (contoh: sinovia) berakibat pengendapan kristal monosodium urat. Hal ini, pada saatnya, memicu serangkaian kejadian yang mencapai puncaknya pada jejas sendi (Gambar 20-22). Kristal urat agaknya mengaktifkan secara langsung sistem komplemen yang memacu produksi kemotaksis dan mediator proinflannasi. Kristal yang difagosit oleh makrofag dikenali oleh sensor intrasel yang dinamakan inflammasome (Bab 2), yang diaktifkan dan merangsang produksi sitokin IL- I. IL- I adalah sebuah mediator radang dan menyebabkan akumulasi lokal neutrofil dan makrofag di dalam sendi dan membran sinovial. Sel ini menjadi aktif, menyebabkan pelepasan dari mediator tambahan meliputi kemokin, sitokin lainnya, radikal bebas yang toksik dan leukotrin terutama leukotrin B4. Neutrofil aktif juga melepaskan enzim lisosom destruktif. Sitokin dapat juga mengaktifkan sel sinovial dan sel tulang rawan secara langsung untuk melepaskan protease (contoh: kolagenase) yang mengeksaserbasi jejas jaringan. Ciri



khas artritis akut yang dihasilkan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, bahkan tanpa diobati. Serangan yang berulang, bagaimanapun juga dapat berkembang menjadi kerusakan yang permanen seperti yang terlihat pada artritis tofus kronik.



Gambaran Klinis



Gout lebih sering pada pria daripada wanita; biasanya tidak menyebabkan keluhan sebelum usia 30 tahun. Faktor risiko penyakit ini meliputi obesitas, peminum alkohol yang berat, konsumsi makanan yang banyak mengandungi purin, diabetes, sindrom metabolit dan kerusakan ginjal. Polimorfi gen yang terlibat dalam transportasi dan homeostasis urat seperti URAT1 dan GLUT9 juga berhubungan dengan hiperurisemia dan gout. Secara klasik dikenal 4 tingkat: (1) hiperurisemia yang asimptomatik, (2) artritis gout akut, (3) intercritical gout, dan (4) gout tofus kronik. Hiperurisemia yang asimptomatik terjadi pada pria sekitar pubertas dan pada wanita setelah menopause. Setelah jangka waktu yang lama, timbul artritis akut dalam bentuk serangan mendadak, sakit sendi yang hebat nyeri berhubungan dengan eritema setempat, rasa hangat, keluhan yang utama tidak sering, kecuali mungkin agak demam. Mayoritas pada serangan pertama ialah mengenai satu sendi; 50% terjadi pada sendi metatarsofalangeal pertama (ibu jari kaki) dan 90% di mata kaki, tumit atau pergelangan tangan. Artritis gout akut yang tidak



Hiperurekemia Presipitasi kristal-kristal urat di dalam sendi



Complement activation



Fagositosis kristal oleh neutrofil



Kemotaksis neutrofil



Pelepasan IL-1, TNF, IL-6



Pelepasan kristal



Fagositosis oleh monosit



Pelepasan LTB4, berbagai prostaglandin dan radikal bebas



Tulang rawan Sinovia



Lisis dan aktivasi neutrofil Pelepasan berbagai protease



Pelepasan enzim lisosomal Jejas jaringan dan inflamasi



Gambar 20-22 Patogenesis dari artritis gout. IL, interleukin; LTB4, leukotriene B4; TNF, tumor necrosis factor.



Artritis diobati dapat berakhir berjam-jam sampai berminggu-minggu, tetapi secara perlahan-lahan akan membaik secara lengkap dan pasien memasuki fase bahaya tanpa gejala (asymptomatic intercritical period). Walaupun beberapa penderita yang beruntung tidak pernah mendapat serangan lainnya tetapi sebagian besar mengalami episode kedua dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun. Apabila tidak mendapat pengobatan yang tepat, serangan akan berulang pada waktu yang lebih singkat dan seringkali mengenai banyak sendi. Bahkan, setelah satu dekade atau lebih, simptom gagal untuk mereda secara utuh sesudah setiap serangan dan penyakit berkembang menjadi gout tofus kronik (chronic tophaceous gout). Pada stadium ini, pemeriksaan radiografik memperlihatkan erosi tulang juxta articular yang disebabkan oleh deposit kristal dan hilangnya rongga sendi. Perkembangan selanjutnya pasien akan menjadi pincang yang berat. Gejala ginjal dari gout dapat dilihat sebagai kolik ginjal yang berhubungan dengan lewatnya kerikil dan batu, yang dapat berkembang menjadi nefropati gout kronik. Sekitar 20% penderita dengan gout kronik meninggal karena kerusakan ginjal. Beberapa obat-obatan tersedia untuk menghentikan atau mencegah serangan artritis akut dan menguraikan deposit tofus. Penggunaannya penting, sebab banyak akibat dari gout berhubungan dengan lamanya dan beratnya hiperurisemia. Pada umumnya, gout tidak memperpendek kehidupan, akan tetapi tentu saja dapat mengurangi kualitas kehidupan.



Gout Palsu (Pseudogout) Gout palsu (pseudogout) juga dikenal sebagai kondrokalsinosis atau lebih formal, penyakit deposit kristal pirofosfat kalsium. Deposit kristal ini pertama timbul pada struktur yang dibentuk oleh tulang rawan seperti meniskus, diskus intervertebralis dan permukaan sendi. Apabila deposit cukup besar, bisa pecah dan akan merangsang reaksi radang. Gout palsu khas terjadi pertama kali pada usia 50 tahun atau lebih tua dan akan menjadi lebih sering dengan meningkatnya usia; bahkan suatu hal yang umum 30% sampai 60% gout palsu terjadi pada usia 85 tahun atau lebih tua. Tidak ada perbedaan jenis kelamin atau ras. Walaupun jalur kearah pembentukan kristal tidak dimengerti, namun agaknya melibatkan produksi yang berlebihan atau penurunan penguraian dari pirofosfat, yang mengakibatkan akumulasi dan bahkan kristalisasi dengan kalsium pada matriks sekitar kondrosit. Mutasi pada transmembran pyrophosphate transporter dihubungkan dengan bentuk familial yang jarang dari penyakit ini, di mana kristal relatif berkembang pada awal kehidupan dan terdapat osteoartritis yang berat. Banyak dari kelainan sendi pada gout palsu yang mempengaruhi kesembuhan dan aktivasi dari sel radang serupa dengan yang terjadi pada gout (lihat sebelumnya). Lamanya gejala klinis dapat hanya beberapa hari sampai beberapa minggu dan sendi yang terlibat bisa satu sendi atau banyak sendi seperti lutut, pergelangan tangan, siku, bahu dan pergelangan kaki, merupakan tempat yang paling sering terkena. Perkiraan sekitar 50% pasien mengalami kerusakan sendi. Terapi bersifat supportive; tidak dikenal pengobatan pencegahan ataupun yang menghambat pembentukan kristal.



Artritis yang Menular Setiap mikroorganisme dapat menetap di dalam sendi selama penyebaran hematogen. Struktur sendi dapat juga terinfeksi oleh inokulasi langsung atau penularan dari osteomielitis atau abses



789



jaringan lunak. Artritis yang menular sangat serius sebab dapat mengakibatkan kerusakan sendi dalam waktu yang singkat dan deformitas yang permanen.



Artritis Supuratif Bakteri dapat menempel pada sendi selama bakteriemia; infeksi sendi oleh mikroorganisme seperti itu hampir seragam menghasilkan artritis supuratif. Walaupun sebenarnya setiap bakteri dapat menjadi penyebab, Haemophylus influenzae predominan pada anak-anak berusia lebih muda dari 2 tahun. S. aureus merupakan penyebab utama pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa, dan gonokokus lazim pada orang dewasa dan dewasa muda. Pasien dengan penyakit sel sabit cenderung terinfeksi Salmonella pada semua usia. Kedua jenis kelamin sama-sama terkena, kecuali untuk artritis gonokokus, yang terjadi terutama pada wanita yang aktif secara seksual. Pada kelompok ini, yang disertai defisiensi komplemen protein tertentu (C5, C6, dan C7) adalah yang terutama mudah terkena penyebaran infeksi gonokokus dan juga artritis. Penampilan yang klasik adalah satu serangan sakit yang tiba-tiba, kemerahan, dan bengkak pada sendi yang terkena, dengan gerakan yang terbatas. Demam, leukositosis, dan peningkatan laju endap darah, sering terjadi. Pada infeksi gonokokus, gejala cenderung lebih subakut. Pada 90% kasus dari artritis supuratif yang nongonokokus, infeksi hanya melibatkan satu sendi biasanya lutut, diikuti sendi panggul, bahu, siku, pergelangan tangan dan sendi sternoklavikular. Aspirasi sendi menghasilkan cairan purulen yang di dalamnya dapat diidentifikasi agen penyebabnya.



Artritis Lyme (Lyme Arthritis) Penyakit Lyme disebabkan oleh infeksi spirochaeta Borrelia burgdorferi, yang ditularkan oleh Ixodes ricinus complex dari kutu rusa; istilah ini untuk kota Connecticut di mana penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1970. Lebih dari 20.000 kasus dilaporkan setiap tahun, ini adalah penyakit tulang arthropod yang utama di Amerika Serikat. Seperti dengan penyakit spirochaeta utama lainnya, sifilis, penyakit Lyme melibatkan sistem organ yang multipel dan dalam perkembangannya melalui tiga tahapan stadium. Dalam stadium 1, spirochaeta Borrelia memperbanyak diri pada sisi gigitan serangga dan menyebabkan area kemerahan yang meluas sering bagian tengahnya keras atau pucat. Lesi kulit ini, dinamakan erythema chronicum migrans, mungkin disertai dengan demam dan limfadenopati tetapi biasanya, menghilang dalam beberapa minggu. Pada stadium 2, awal stadium penyebaran spirochaeta menyebar secara hematogen dan menyebabkan lesi kulit anulus (seperti cincin) sekunder, limfadenopati, sakit sendi dan otot yang berpindah-pindah, aritmia kardiak dan meningitis, seringkali dengan keterlibatan saraf kranial. Antibodi yang bermanfaat untuk diagnosis (biasanya kedua IgM dan IgG) terhadap antigen Borrelia positif di dalam serum pada stadium ini. Beberapa spirochaeta, terhindar dari antibodi host dan sel T dengan cara memecah diri pada sistem saraf pusat atau di dalam sel endotel. Pada stadium 3, akhir stadium penyebaran, yang terjadi 2 atau 3 tahun sesudah gigitan yang pertama, organisme Borrelia Lyme menyebabkan artritis kronik, kadang-kadang dengan kerusakan yang berat pada sendi besar dan ensefalitis yang berkisar dari yang ringan sampai yang melemahkan.



Artritis Lyme berkembang pada 60% sampai 80% dari pasien yang tidak diobati dan merupakan gambaran yang dominan dari penyakit



790



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



yang lanjut. Artritis mungkin disebabkan oleh respons imun terhadap antigen Borrelia yang bereaksi silang dengan protein di dalam sendi, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum dimengerti. Penyakit ini cenderung berpindah-pindah, dengan remisi dan relaps. Hal ini melibatkan terutama sendi besar khususnya lutut, bahu, dan pergelangan kaki. Pemeriksaan histologis memperlihatkan suatu sinovitis papiler yang kronik dengan hiperplasia sinoviosit, deposit fibrin, infiltrasi sel mononukleus dan penebalan dinding arteri seperti kulit bawang; pada kasus yang berat, morfologi yang sangat menyerupai artritis reumatoid. Hanya 25% kasus dengan pulasan perak memperlihatkan sedikit organisme dan diagnosis formal dari artritis Lyme bisa bergantung pada gambaran klinis, meliputi riwayat penyakit dan penelitian serologik yang sesuai. Artritis kronik dengan pembentukan panus dan deformitas yang permanen terdapat pada 1 dari 10 penderita.



RINGKASAN Artritis • Osteoartritis (penyakit degeneratif sendi) sejauh ini merupakan penyakit sendi yang paling sering, yang primer suatu kelainan degeneratif dari tulang rawan sendi di mana kerusakan matriks melampaui sintesis. Infiamasi bersifat sekunder. Sebagian besar kasus terjadi tanpa faktor presipitasi yang jelas kecuali penambahan usia. Produksi setempat dari sitokin proinflamasi dan mediator lainnya (IL-1, TNF, nitric oxide) bisa berperan pada degenerasi sendi yang berkembang. • Artrits reumatoid (AR) adalah suatu inflamasi autoimun yang kronik yang mengenai terutama sendi, khususnya sendi kecil, tetapi dapat mengenai banyak jaringan. AR disebabkan oleh suatu respons autoimun terhadap antigen diri sendiri seperti protein sitrolin, yang mengarah ke reaksi sel T dalam sendi dengan memproduksi sitokin yang mengaktifkan fagosit yang merusak jaringan dan merangsang proliferasi sel sinovial (sinovitis). Sitokin TNF memainkan peran utama dan antagonis terhadap TNF sangat bermanfaat untuk klinis.Antibodi bisa juga berkontribusi terhadap penyakit • Gout dan gout palsu (pseudogout). Peningkatan sirkulasi kadar asam urat (gout) atau calcium pyrophosphate (pseudogout) dapat menyebabkan deposit kristal di dalam rongga sendi. Aktivitas sel radang menyebabkan degradasi tulang rawan, fibrosis dan artritis. • Infeksi langsung pada rongga sendi (artritis supuratif) atau respons imun terhadap reaksi silang infeksi sistemik (contoh: beberapa kasus artritis Lyme) dapat menimbulkan radang dan kerusakan sendi.



TUMOR SENDI DAN LESI YANG MENYERUPAI TUMOR Neoplasma primer sendi jarang dan biasanya jinak. Pada umumnya merefleksikan sel dan tipe jaringan asli dari sendi (membran sinovial, pembuluh darah, jaringan ikat dan tulang rawan) asli untuk sendi. Tumor jinak lebih sering dari yang ganas. Neoplasma ganas akan dibahas di dalam tumor jaringan lunak. Lesi yang menyerupai tumor



seperti ganglion dan kista sinovial, lebih sering dari neoplasma; sebagai akibat trauma dan proses degeneratif. Di sini akan didiskusikan lesi yang menyerupai tumor, neoplasma sendi dan jaringan lunak yang berhubungan.



Ganglion dan Kista Sinovial Ganglion adalah sebuah kista kecil (diameternya kurang dari 1,5 cm) berlokasi di dekat kapsul sendi atau sarung tendon; pergelangan tangan merupakan tempat yang sering. Lesi memperlihatkan nodul seukuran kacang polong yang keras sampai berfluktuasi, bening sampai terang. Mikroskopik, terdiri atas rongga yang berisi cairan tanpa dilapisi sel, agaknya karena berasal dari jaringan penunjang yang mengalami degenerasi kistik. Penggabungan dari kista-kista yang berdekatan dapat membentuk lesi yang multilokular. Isi kista menyerupai cairan sinovial, walaupun sering tidak ada hubungan dengan rongga sendi. Ganglion sama sekali tanpa keluhan. Secara klasik dapat diobati dengan Bible therapy: pemukulan area yang terkena dengan buku yang besar biasanya cukup untuk memecahkan kista, akan tetapi pengumpulan cairan kembali bisa terjadi. Walaupun namanya ganglion, tetapi tidak ada hubungannya dengan ganglion dari sistem saraf. Herniasi dari sinovia melalui kapsul sendi atau pembesaran dari bursa dapat membentuk kista sinovial. Contoh yang bagus adalah kista Baker yang terjadi di fosa poplitea.



Tumor Sel Datia Tenosinovial (Tenosynovial Giant Cell Tumor) Tumor sel datia tenosinovial (TSDT) adalah sebuah istilah untuk beberapa neoplasma jinak dari sinovia yang berhubungan erat. Walaupun lesi ini sebelumnya diduga sebagai proliferasi reaktif (sehingga sebelumnya dinamakan sinovitis), kelainan ini dihubungkan dengan sebuah translokasi (1;2) yang didapat yang menyatukan gen promotor kolagen 6A3 dengan urutan kode dari faktor pertumbuhan MCSF. Contoh yang klasik adalah tumor sel datia tenosi-novial difus, yang sebelumnya dikenal sebagai pigmented villonodular synovitis (PVNS), melibatkan sinovial sendi dan tumor sel datia tenosinovial lokal (localized tenosynovial giant cell tumor), yang juga dikenal sebagai giant cell tumor of tendon sheath.Keduanya terdapat pada orang yang berusia 20tahun 40tahun, tanpa perbedaan jenis kelamin.



MORPHOLOGY Makroskopik, TSDT berwarna merah-kecoklatan sampai jinggakekuningan. Pada varian difus sinovial sendi membentuk massa yang tidak beraturan terdiri atas lipatan merah-kecoklatan seperti jari dan nodul (Gambar 20-23, A). Sebaliknya tipe lokal berbatas tegas. Sel tumor pada keduanya menyerupai sinoviosit dan sejumlah makrofag berisi hemosiderin, sel datia menyerupai osteoklas dan stroma kolagen yang mengalami hialinisasi (Gambar 20-23, B). Sel tumor tersebar sepanjang permukaan dan menginfiltrasi ruangan subsinovial. Pada TSDT lokal, sel tumbuh dalam sebuah kumpulan nodul yang padat. Gambaran yang khas lainnya ialah deposit hemosiderin, makrofag yang berbusa, sel datia dan daerah fibrosis.



Tumor Sendi dan Lesi yang Menyerupai Tumor



A



791



B



Gambar 20-23 Tumor sel datia tenosinovial, tipe difus. A, Eksisi sinovium dengan nodul dan tonjolan seperti daun pakis khas untuk varian yang difus (panah). B, Lembaran dari sel-sel yang proliferatif pada tumor sel datia tenosinovial membuat lapisan sinovial menonjol.



Gambaran Klinis



TSDT difus, biasanya menyerupai artritis monoartikular. Pada 80% kasus mengenai lutut, diikuti oleh pinggul dan pergelangan kaki. Pasien mengeluh sakit dan bengkak yang berulang. Perkembangan penyakit membatasi pergerakan sendi. Lesi yang agresif mengerosi tulang dan jaringan lunak di dekatnya menyebabkan bisa diduga sebagai tumor. Sebaliknya TSDT lokal memperlihatkan sebagai massa yang



soliter, tumbuh lambat, tidak sakit, seringkali mengenai pergelangan tangan dan sarung tendon jari tangan; merupakan tumor jaringan lunak yang paling sering dari tangan. Erosi kortek dan tulang yang berdekatan terjadi kira-kira 15% dari kasus. Kedua lesi ini dapat diperbaiki dengan operasi, akan tetapi cenderung untuk rekurensi lokal. Pengenalan hubungan dari TSDT dan penyusunan kembali serta ekspresi berlebihan gen M-CSF telah mengilhami percobaan dari antagonis M-CSF atau reseptor yang asalnya sama (M-CSFR, suatu kinase tirosin); beberapa respons yang sangat baik telah dilaporkan.



JARINGAN LUNAK Berdasarkan kesepakatan, istilah jaringan lunak menggambarkan setiap jaringan yang non-epitelial, selain tulang, tulang rawan, sistem saraf pusat, hematopoietik dan jaringan limfoid. Fokus dari bagian ini pada tumor jaringan lunak, yang diklasifikasikan menurut jenis jaringan meliputi lemak, jaringan ikat dan jaringan neurovaskular (Tabel 20-4). Pada beberapa neoplasma jaringan lunak, tidak ada jaringan normal yang sesuai yang diketahui. Walaupun tumor jaringan lunak dibagi berdasarkan garis diferensiasi yang dikenal, bukti akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tumor ini berasal dari sel punca mesenkimal pluripoten dan bukan hasil transformasi ganas dari sel mesenkimal yang matur.Dengan pengecualian dari neoplasma otot skeletal (lihat selanjutnya), tumor jaringan lunak yang jinak melebihi jumlah padanannya yang ganas paling tidak seratus kali lipat. Di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 sarkoma jaringan lunak didiagnosis setiap tahun, memperlihatkan kurang dari 1% dari semua keganasan invasif. Namun tumor ini menyebabkan 2% dari semua kematian karena kanker, mencerminkan sifat mematikannya. Sebagian besar tumor jaringan lunak timbul tanpa sebab yang mendahuluinya; jarang sekali yang melibatkan paparan radiasi, luka bakar atau paparan toksin. Sarkoma Kaposi (Bab 9) berhubungan dengan human herpes virus 8, akan tetapi virus kemungkinan tidak penting di dalam patogenesis dari sebagian besar sarkoma pada manusia. Sebagian kecil tumor jaringan lunak dihubungkan dengan sindrom genetik terutama neurofibromatosis tipe 1 (neurofibroma, schwannoma ganas), sindrom Gardner (fibromatosis), sindrom LiFraumeni (sarkoma jaringan lunak) dan sindrom Osler Weber Rendu



(telangiektasia). Abnormalitas kromosom yang spesifik dan kekacauan genetik pada sindrom ini memberikan bukti yang penting untuk genesis dari neoplasma. Seperti tumor mesenkimal lain misalnya neoplasma hematopoietik, banyak tumor jaringan lunak dihubungkan dengan masalah dalam penyusunan kembali kromosom yang sangat karakteristik, yang paling sering adalah translokasi yang memberikan pengertian yang mendalam tentang patogenesis sehingga bermanfaat untuk diagnostik. Tentu saja, beberapa tumor, seperti sarkoma sinovial, sesungguhnya dijelaskan oleh hubungannya dengan translokasi. Tumor jaringan lunak dapat timbul di mana saja, akan tetapi kirakira 40% sarkoma terjadi di ekstremitas bawah, khususnya di paha. Walaupun semua sarkoma insidensnya meningkat bersama usia, 15% terjadi pada anak-anak. Sarkoma tertentu cenderung tumbuh pada kelompok usia tertentu-sebagai contoh rabdomiosarkoma pada anakanak, sarkoma sinovial pada dewasa muda, liposarkoma dan sarkoma fibroblastik pleomorfik atau yang tidak berdiferensiasi (undifferentiated) pada usia dewasa lanjut.Sarkoma jaringan lunak biasanya diobati dengan operasi eksisi luas (seringkali limb-sparing), sedangkan radiasi dan terapi sistemik digunakan untuk tumor yang besar berderajat keganasan tinggi (high grade). Beberapa ciri dari sarkoma jaringan lunak yang mempengaruhi prognosis: • Klasifikasi diagnostik. Hal ini berdasarkan tidak hanya pada histologi, tetapi juga imunohistokimia, mikroskopik elektron, sitogenetik dan genetik molekuler, yang sangat dibutuhkan di dalam menetapkan diagnosis yang benar pada beberapa kasus.



792



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Tabel 20-4 Tumor Jaringan Lunak



Tumor Jaringan Lemak Lipoma Liposarcoma



Tumor dan Lesi Menyerupai Tumor dari Jaringan Ikat Nodular fasciitis Fibromatosis Fibromatosis superfisial Deep fibromatoses Fibrosarkoma



Tumor Fibrohistiositik Fibrous histiocytoma Dermatofibrosarkoma protuberans Sarkoma fibroblastik yang pleomortiklpleomorphis undifferentiated sarcoma (malignant fibrous histiocytoma)



Tumor Otot Skeletal



TUMOR JARINGAN LEMAK Lipoma Lipoma adalah tumor jinak jaringan lemak dan merupakan tumor jaringan lunak yang paling sering pada orang dewasa. Kebanyakan lipoma adalah lesi soliter; lipoma yang multipel diduga suatu sindrom herediter yang jarang. Lipoma dapat disubklasifikasi berdasarkan gambaran histologisnya dan/ atau perubahan susunan kromosomnya yang karakteristik. Kebanyakan lipoma mudah digerakkan, lambat membesar, massa yang tanpa rasa sakit (walaupun angiolipoma dapat menimbulkan nyeri setempat); eksisi yang lengkap biasanya kuratif. Lipoma yang konvensional (subtipe yang paling sering) lunak, berwarna kuning, massa lemak matur yang bersimpai, ukurannya bervariasi. Pada pemeriksaan histologis, terdiri atas sel lemak putih yang matur tanpa pleomorfi.



Rabdomioma Rabdomiosarkoma



Tumor Otot Polos Leiomioma Tumor otot polos yangpotensi keganasannya tidak jelas Leiomiosarkoma



Tumor Vaskular Hemangioma Limfangioma Hemangioendotelioma Angiosarkoma



Tumor Saraf Perifer Neurofibroma Schwannoma Granuler cell tumor Malignant peripheral nerve sheath tumors



Liposarkoma Liposarkoma adalah tumor ganas yang berdiferensiasi lemak. Paling sering pada dekade ke-lima dan ke-enam dari kehidupan. Kebanyakan liposarkoma berada di jaringan lunak bagian dalam atau di retroperitoneum. Prognosisnya sangat dipengaruhi oleh subtipe histologisnya; tumor yang berdiferensiasi baik tumbuh lambat dan dihubungkan dengan penampilan yang lebih baik daripada varian miksoid/sel bulat dan pleomorfik yang agresif, cenderung rekuren sesudah eksisi dan bermetastasis ke paru. Amplifikasi dari sebuah region 12q sering pada liposarkoma berdiferensiasi baik; region ini berisi gen MDM2, yang produksinya mengikat dan mendegradasi protein p53. Sebuah translokasi kromosom t(12;16) dihubungkan dengan liposarkoma miksoid/sel bulat; penyusunan kembali menghasilkan penyatuan gen yang mengkode faktor transkripsi abnormal yang bisa mencampuri diferensiasi adiposit.



Tumor yang Histogenesisnya Tidak Pasti Sarkoma sinovial Alveolar soft part sarcoma Sarkoma epitelioid



• Derajat keganasan (grading). Derajat keganasan biasanya derajat I sampai III, berdasarkan derajat diferensiasi, rata-rata jumlah mitosis pada lapang pandang besar, seluleritas, pleomorfisme dan perkiraan luasnya nekrosis (agaknya sebagai refleksi dari tingkat pertumbuhan). Mitosis dan nekrosis paling penting untuk prognosis. • Stadium (staging). Tumor yang lebih besar dari 20 cm, metastasis terjadi pada 80% kasus, sebaliknya, tumor yang berukuran 5 cm atau lebih kecil, metastasis terjadi hanya pada 30% kasus. • Lokasi. Pada umumnya, tumor yang berada di permukaan (contoh: kulit) mempunyai prognosis yang lebih baik daripada yang lokasinya di dalam; secara keseluruhan, rata-rata kemampuan hidup 10 tahun (10-year survival rate) untuk sarkoma kira-kira 40%. Beberapa tumor yang sering akan dibahas di sini, yang lainnya akan dibahas di bagian lain dari buku ini.



MORFOLOGI Liposarkoma biasanya berupa lesi berbatas tegas. Dikenal beberapa subtipe histologis yang berbeda, meliputi variasi yang berderajat keganasan rendah, Iiposarkoma berdiferensiasi baik dan Iiposarkoma miksoid/sel bulat, yang ditandai oleh matriks miksoid ekstrasel yang melimpah. Beberapa lesi yang berdiferensiasi baik sukar dibedakan dari lipoma sedangkan tumor yang berdiferensiasi sangat buruk dapat menyerupai beberapa keganasan lainnya yang derajat keganasannya tinggi. Pada sebagian besar kasus terdapat sel yang mengindikasikan diferensiasi lemak yang dikenal sebagai lipoblas; yang mengandungi vakuol lemak di dalam sitoplasmanya (Gambar 20-24) dan tampak menyerupai sel lemak fetus.



TUMOR FIBROSA DAN LESI MENYERUPAI TUMOR Proliferasi jaringan ikat merupakan satu kelompok lesi yang heterogen. Pada satu sisi, fasiitis nodular bukan tumor yang sesungguhnya, tetapi lebih tepat suatu reaksi proliferasi yang terbatas.



Tumor Sendi dan Lesi yang Menyerupai Tumor



793



ekstremitas pada atlit remaja dan dewasa muda sesudah trauma. Daerah yang terkena pada mulanya bengkak dan sakit yang kemudian berkembang menjadi lesi berbatas tegas, keras, dan tanpa rasa sakit. Penting untuk membedakan lesi ini dari osteosarkoma ekstra skeletal. Eksisi yang sederhana biasanya kuratif.



Fibromatosis



Gambar 20-24 Liposarkoma miksoid. Menampilkan sel-sel lemak dewasa dan sel-sel yang lebih primitif, dengan vakuol lemak (lipoblas), tersebar dalam matriks miksoid yang banyak dan jaringan pembuluh darah yang bercabang.



Pada sisi lain, fibrosarkoma merupakan neoplasma yang sangat ganas, cenderung kambuh setempat dan dapat bermetastasis. Fibromatosis terletak di pertengahan; merupakan lesi jinak yang infiltratif setempat dan sering bermasalah pada saat eksisi operasi. Membedakan lesi ini membutuhkan ketrampilan dan pengalaman di dalam mendiagnosis.



Proliferasi Reaktif Fasiitis Nodular Fasiitis nodular adalah proliferasi fibroblastik yang terbatas (Gambar 20-25) yang khas terjadi pada orang dewasa di volar lengan bawah, dada atau punggung. Pasien ciri khasnya dengan riwayat beberapa minggu ada massa yang soliter, tumbuh cepat dan kadang-kadang terasa sakit. Riwayat trauma sebelumnya tercatat pada 10%-15% kasus. Fasiitis nodular jarang kambuh setelah dieksisi.



Miositis Osifikan Miositis osifikan berbeda dengan proliferasi fibroblastik yang lain oleh adanya metaplasia tulang. Biasanya berkembang di otot proksimal dari



Fibromatosis adalah sekelompok fibroblas yang proliferatif yang dikenal dari kecenderungannya untuk tumbuh infiltratif dan pada banyak kasus, kambuh setelah operasi pengangkatan. Walaupun beberapa lesi adalah agresif lokal, tetapi mereka tidak bermetastasis. Fibromatosis dibagi dalam dua kelompok klinikopatologis utama: superfisial dan dalam (deep). • Fibromatosis yang superfisial timbul pada fasia superfisial dan meliputi fibromatosis palmar (Dupuytren contracture) dan penile fibromatosis (penyakit Peyronie). Lesi yang superfisial secara genetik jelas berbeda dari yang dalam (deep) dan umumnya tidak membahayakan (mereka dapat dihubungankan dengan trisomi 3 dan 8), mereka juga datang ke klinis lebih awal, karena menyebabkan deformitas dari struktur yang terkena. • Fibromatosis dalam (deep) meliputi yang dinamakan tumor desmoid yang timbul di dinding abdomen dan otot tubuh serta ekstremitas, dan di dalam abdomen (mesenterium dan dinding pelvis). Bisa merupakan lesi yang terpisah atau multipel, sebagai komponen dari sindrom Gardner, suatu kelainan autosomal dominan meliputi polip adenomatosa kolon dan osteoma. Mutasi pada APC atau gen-gen fikatenin terdapat pada mayoritas tumor ini. Fibromatosis dalam cenderung untuk tumbuh agresif lokal dan sering kambuh setelah eksisi.



MORFOLOGI Fibromatosis berwarna putih keabu-abuan, keras seperti karet, berbatas tidak jelas, berupa massa yang infiltratif dengan ukuran terbesar 1-15 cm. Pada pemeriksaan histologis, terdiri atas sel spindle padat yang tersusun dalam lembaran lebar dan luas yang menembus jaringan di dekatnya; mitosis sedikit. Imunohistokimia dan penelitian ultrastruktur memperlihatkan bahwa sel tumor adalah fibroblas dan miofibroblas. Beberapa lesi mungkin agak seluler, terutama pada evolusi awal, di mana yang lainnya mengandungi banyak kolagen padat.



Fibromatosis kadang-kadang terasa sakit. Walaupun kuratif dengan eksisi yang adekuat, namun sering kambuh apabila pengangkatan tidak sempurna yang disebabkan oleh sifat infiltratifnya. Untuk tumor yang tidak bisa direseksi, pilihan terapi meliputi pengamatan dengan seksama, terapi radiasi dan kemoterapi.



Fibrosarkoma



Gambar 20-25 Fasiitis nodular. Lesi yang sangat seluler terdiri atas sel spindel yang plump,dikelilingi oleh stroma yang miksoid. Perhatikan aktivitas mitosis yang mencolok (kepala panah).



Fibrosarkoma adalah neoplasma ganas yang terdiri atas fibroblas. Paling banyak pada orang dewasa, ciri khasnya adalah tumbuh di bagian dalam jaringan paha, lutut dan retroperitoneal. Cenderung tumbuh lambat, biasanya sudah ada beberapa tahun pada saat didiagnosis. Sebagaimana dengan



794



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Pleomorphic Fibroblastic Sarcoma/Pleomorphic Undifferentiated Sarcoma



Gambar 20-26 Fibrosarkoma. Sel-sel spindel yang ganas tersusun dalam pola tulang ikan (herring bone pattern).



sarkoma lainnya, fibrosarkoma sering kambuh setempat sesudah eksisi (lebih dari 50% kasus) dan dapat bermetastasis secara hematogen (lebih dari 25% kasus), biasanya ke paru.



MORFOLOGI Fibrosarkoma merupakan massa lunak, tidak bersimpai, infiltratif yang seringkali mengandungi area nekrosis dan perdarahan. Lesi yang diferensiasinya lebih baik dapat tampak seakan-akan berbatas tegas. Pemeriksaan histologis memperlihatkan semua tingkatan diferensiasi dari tumor yang sangat menyerupai fibromatosis, sampai lesi yang padat dengan sel spindel tersusun seperti tulang ikan (herring bone) (Gambar 20-26), sementara yang lainnya mengandungi stroma yang miksoid (fibrosarkoma miksoid) dan beberapa neoplasma yang sangat seluler menampilkan susunan yang kacau, pleomorfisme, mitosis banyak dan nekrosis.



TUMOR FIBROHISTIOSITIK Tumor fibrohistiositik terdiri atas campuran dari fibroblas dan sel yang memfagosit lemak menyerupai makrofag jaringan yang aktif (dari morfologinya dinamakan juga histiosit). Sel neoplasma pada banyak kasus adalah fibroblas dan miofibroblas. Karenanya, istilah fibrohistiositik adalah bersifat menerangkan dan tidak berhubungan langsung dengan garis diferensiasi yang spesifik. Tumor ini mencakup sederetan bentuk histologis dan perilaku biologis yang berbeda, dari lesi jinak yang berbatas tegas sampai sarkoma yang derajat keganasannya tinggi dan agresif.



Tumor dari jenis ini aslinya didiagnosis sebagai malignant fibrous histiocytoma, akan tetapi tanpa menggunakan petanda imunohistokimia yang objektif hal ini menjadi jelas bahwa ini adalah kelompok diagnostik keranjang sampah yang meliputi sejumlah sarkoma yang berdiferensiasi buruk, seperti leiomiosarkoma dan liposarkoma. Gambaran histologis yang umum dari kelompok sarkoma yang berdiferensiasi buruk ini ialah pleomorfisme sitologik, adanya sel datia yang bizarre dan gambaran storiform (seperti pusaran air). Akhirakhir ini, tumor dengan gambaran histologisnya memperlihatkan diferensiasi fibroblastik dinamakan undifferentiated pleomorphic spindle cell sarcoma atau pleomorphic fibroblastic sarcoma (Gambar 20-27). Mereka biasanya berukuran besar (5-20 cm), berupa massa tidak bersimpai, putih keabuabuan, sering kelihatan seolah-olah berbatas tegas. Biasanya timbul di otot ekstremitas proksimal atau di retroperitoneum. Kebanyakan dari tumor ini sangat agresif dapat kambuh kecuali dengan eksisi luas. Tingkat metastasisnya 30%-50%.



TUMOR OTOT SKELETAL Tumor yang berdiferensiasi otot skeletal, hampir semuanya ganas. Rabdomioma, tumor otot skeletal yang jinak, jarang dan paling sering ditemukan di jantung (Bab 10).



Rabdomiosarkoma Rabdomiosarkoma adalah sarkoma jaringan lunak yang paling sering pada anak-anak dan remaja, biasanya timbul sebelum usia 20 tahun. Yang menarik, hal ini terjadi paling sering di kepala dan leher atau traktus urogenital, biasanya pada tempat di mana ada sedikit otot skeletal normal. Tumor ini terjadi dalam tiga tipe diferensiasi, seperti yang digambarkan di bawah ini. Translokasi kromosom ditemukan pada banyak kasus dari varian alveolar; yang paling sering translokasi t(2;13) yaitu terjadi fusi gen PAX3 pada kromosom 2 dengan gen FKHR pada kromosom 13. Fungsi PAX3 meningkatkan gen yang mengontrol



Benign Fibrous Histiocytoma (Dermatofibroma) Dermatofibroma adalah lesi jinak yang relatif sering pada orang dewasa yang memperlihatkan sebagai nodul yang berbatas tegas, kecil (kurang dari 1 cm) dan mudah digerakkan pada dermis atau jaringan subkutan Pada pemeriksaan histologis, ciri khasnya terdiri dari jalinan sel spindel bercampur dengan sel seperti histiosit yang mengandungi banyak lemak dan berbusa. Batas lesi cenderung infiltratif, akan tetapi invasi lokal tidak terjadi. Penyembuhan dengan eksisi lokal. Patogenesis lesi ini tidak jelas.



Gambar 20-27 Sarkoma fibroblastik yang pleomorfik. Terdapat fasikel-fasikel dari sel-sel spindel yang plump dalam bentuk seperti pusaran air.



Sarkoma Sinovial diferensiasi otot skeletal dan perkembangan tumor kemungkinan akibat disregulasi dari diferensiasi otot oleh protein PAX3-FKHR chimeric.



795



berasal dari sel otot polos di seluruh tubuh, akan tetapi yang paling sering adalah di dalam uterus (Bab 18) dan kulit.



Leiomiosarkoma MORFOLOGI Rabdomiosarkoma secara histologis disubklasifikasi ke dalam varian embrional, alveolar, dan pleomorfik. Penampilan makroskopik dari tumor ini bervariasi. Beberapa, terutama yang varian embrional apabila timbul di dekat permukaan mukosa dari vagina atau kandung kemih, dapat menunjukkan massa yang lunak seperti agar-agar, menyerupai anggur, menggambarkan sarkoma botryoides. Pada kasus lain, merupakan massa yang putih kecoklatan, infiltratif dan berbatas tidak tegas. Rabdomioblas adalah sel diagnostik pada semua tipe, memiliki sitoplasma eosinofilik, granuler, kaya akan filamen halus dan tebal. Rabdomioblas bisa bulat atau memanjang, yang terakhir dikenal sebagai tad pole atau strap cells (Gambar 20-28) dan bisa mengandungi serat lurik yang terlihat dengan mikroskop cahaya. Diagnosis rabdomiosarkoma berdasarkan kepada penampilan diferensiasi otot skeletal, baik dalam bentuk sarkomer di bawah mikroskop elektron maupun penampilan dengan imunohistokimia dari faktor transkripsi spesifik dari otot skeletal seperti miogenin dan MY0D-1 dan filamen desmin intermediet yang berhubungan dengan otot. Rabdomiosarkoma adalah neoplasma yang agresif yang diobati dengan kombinasi operasi, kemoterapi dan radiasi. Lokasi, gambaran histologis dan profil genetik tumor seluruhnya mempengaruhi tingkat keberhasilan, kesembuhan. Varian histologis yang memberikan prognosis lebih buruk secara berurutan adalah varian embrional, pleomorfik dan alveolar. Keganasan ini dapat disembuhkan pada dua pertiga kasus pada anak-anak, prognosis lebih buruk pada usia dewasa dengan tipe pleomorfik.



TUMOR OTOT POLOS Leiomioma Tumor otot polos yang jinak atau leiomioma, sering terjadi sebagai neoplasma yang berbatas tegas yang



Gambar 20-28 Rabdomiosarkoma. Rabdomioblas besar dan bulat mengandungi sitoplasma yang banyak dan eosinofilik; di sini tidak terlihat seran lintang.



Leiomiosarkoma diperkirakan 10%-20% dari sarkoma jaringan lunak. Mereka terjadi pada usia dewasa lebih sering pada wanita. Kulit dan jaringan lunak bagian dalam, ekstremitas dan retroperitoneum (vena kava inferior) merupakan tempat yang sering. Neoplasma ini menampilkan sebagai massa yang keras, tanpa rasa sakit; tumor retroperitoneal bisa besar dan menimbulkan keluhan pada abdomen. Pemeriksaan histologis memperlihatkan sel dengan bentuk inti seperti cerutu tersusun dalam interwoven fascicles. Pengobatan bergantung kepada ukuran, lokasi dan derajat keganasan tumor. Leiomiosarkoma kulit atau superfisial, biasanya kecil dan prognosisnya baik, sedangkan tumor retroperitoneal besar, sulit untuk di eksisi, menyebabkan kematian karena ekstensi lokal dan penyebaran metastatik.



SARKOMA SINOVIAL Sarkoma sinovial mula-mula dipercaya berasal dari sinovia; bagaimanapun juga, ciri-ciri fisis dari sel neoplastik memperlihatkan tidak ada kemiripan dengan sinoviosit dan walaupun namanya sarkoma sinovial, kurang dari 10% dari tumor tersebut terletak di intraartikular. Sarkoma sinovial diper-kirakan kira-kira 10 % dari semua sarkoma jaringan lunak, khususnya terjadi pada usia 20-40 tahun. Biasanya berkembang di dalam jaringan lunak bagian dalam sekitar sendi besar dari ekstremitas dengan 60%-70% terjadi di sekitar lutut, banyak yang sudah ada selama beberapa tahun pada saat ditemukan. Sebagian besar sarkoma sinovial memperlihatkan translokasi (X;18) yang spesifik yang memproduksi fusi gen dan mengkode sebuah faktor chimeric transcription.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan histologis, sarkoma sinovial bisa bifasik atau monofasik.Sarkoma sinovial yang bifasik menunjukkan diferensiasi sel tumor yang tipe epitelial dan sel spindel. Sel epitelialnya yang kubik atau kolumner membentuk kelenjar atau tumbuh di dalam pita yang padat atau kumpulan. Sel spindel tersusun dalam fasikel yang seluler dan tebal yang mengelilingi sel epitelial (Gambar 20-29).



Gambar 20-29 Sarkoma sinovial memperlihatkan penampilan histologis bifasik sel-sel spindel dan bentuk seperti kelenjar yang klasik.



796



BAB 20



Tulang, Sendi dan Tumor Jaringan Lunak



Sarkoma sinovial banyak yang monofasik yang hanya terdiri dari sel spindel. Lesi yang hanya terdiri atas sel spindel mudah keliru dengan fibrosarkoma atau malignant peripheral nerve sheath tumor. imunohistokimia sangat membantu, karena sel tumor positif untuk keratin dan antigen membran epitel yang membedakannya dari sarkoma lainnya.



22:451, 2010. [Current overview of the immune mechanisms underlying sarcomas and clinical implications. Int J Clin Exp Pathol 23:416, 2010. [Succinct summary of the molecular alterations in a variety of soft tissue sarcomas and their clinical utility.] Kumar R, Thompson JR: The regulation of parathyroid hormone



Sinoviosarkoma diobati secara agresif dengan limb sparing surgery dan kemoterapi. Tempat metastasis yang sering ialah paru, tulang dan kelenjar getah bening regional. Dilaporkan bahwa rata-rata ketahanan hidup 5 tahun berkisar antara 25%-62% dan hanya 10%-30% pasien yang hidup lebih lama dari 10 tahun. KEPUSTAKAAN Bove JV: EXTra hit for mouse osteochondroma. Proc Natl Acad Sci U S A 107:1813, 2010. [Penjelasan yang bagus dari pengertian tentang genesis molekuler dan seluler dari osteokondroma dan osteokondromatosis.] Bove JV, Hogendoorn PC, Wunder JS, Alman BA: Cartilage tumours and bone development: molecular pathology and possible therapeutic targets. Nat Rev Cancer 10:481, 2010. [Sebuah telaah ulang yang bagus dari abnormalitas genetik yang diketahui pada tumor] Cao L, Yu Y, Bilke S, et al: Genome-wide identification of PAX-3FICHR binding sites in rhabdomyosarcoma reveals candidate target genes important for development and cancer. Cancer Res 70:6497, 2010. [Diskusi ilmiah dari translokasi genetik dari PAX3-FKHR dan keterlibatannya berhubungan dengan "target genes" pada rabdomiosarkoma alveolard] Flanagan AM, Delaney D, O'Donnell P: Benefits of molecular pathology in the diagnosis of musculoskeletal disease: part II of a two-part review: bone tumors and metabolic disorders. Skeletal Radiol 39:213, 2010. [Sebuah pandangan umum yang bagus dari penyimpangan molekuler pada tumor tulang dan kondisi metabolit tertentu.] Goldring M, Goldring S: Osteoarthritis. J Cell Physiol 213:626, 2007. [Telaah ulang yang sangat bagus dari faktor biologis dan biomekanik utama penyakit.] Goldring M, Goldring S: Articular cartilage and subchondral bone in the pathogenesis of osteoarthritis. Ann N Y Acad Sci 1111:230, 2010. [Sebuah presentasi yang singkat dan penuh pengertian dari telaah ulang peran dan struktur artikular di dalam perkembangan osteoartritis.] Gorlick R, Khanna C: Osteosarcoma. J Bone Miner Res 25:6831, 2010. [Pandangan umum terbaru dari genetik utama dan dasar patologis dari osteosarkoma.] Iliopoulou BP, Huber BT: Infectious arthritis and immune dysregulation: lessons learne d from Lyme disease. Curr Opin Rheumatol 22:451, 2010. [Pandangan umum terbaru dari mekanisme imun utama "Lyme arthritis".]



Jain S, Xu R, Prieto VG, Lee P: Molecular classification of soft tissue sarcomas and clinical implications. Int J Clin Exp Pathol 23:416, 2010. [Ringkasan yang singkat dari perubahan molekuler pada sebuah variasi dari sarkoma jaringan lunak dan manfaat klinisnya.] Kumar R, Thompson JR: The regulation of parathyroid hormone secretion and synthesis. J Am Soc Nephrol 22:216, 2011. [rfelaah ulang yang bagus dari mekanisme yang mengkontrol sintesis paratiroid dalam keadaan sehat dan penyakit ginjal.] Mazzaferro S, Pasquali M, Pirrn G, et al: The bone and the kidney. Arch Biochem Biophys 503:95, 2010. [Sebuah diskusi tertulis yang bagus tentang saling mempengaruhi dari ginjal dan tulang pada penyakit metabolit tulang.] Pinto A, Dickman P, Parham D: Pathobiologic markers of the Ewing sarcoma family of tumors: state of the art and predictionof behaviour. Sarcoma 2011:856190, 2011. [Ringkasan yang sangat bagus dari gejala klinis dan dasar molekuler dari sarkoma Ewing.]



21 BAB



Saraf Perifer dan Otot DAFTAR ISI BAB Kelainan Saraf Perifer 797 Berbagai Pola Jejas Saraf Perifer 797 Kelainan yang Berhubungan dengan Jejas Saraf Perifer 798



Kelainan Sambungan Neuromuskular (Neuromuscular Junction) 800 Miastenia Gravis 800 Sindrom Lambert-Eaton 801



Berbagai Jenis Kelainan Sambungan Neuromuskular 801



Kelainan Otot Rangka 801 Berbagai Pola Jejas Otot Rangka 801 Kelainan Otot Rangka yang Diturunkan 802 Kelainan Otot Rangka Didapat 805



Tumor Selubung Saraf Perifer 806



Komponen utama sistem neuromuskular, saraf perifer dan otot rangka, bekerja baik sebagai efektor maupun sensor sistem saraf pusat, dan dengan begitu memungkinkan pikiran dan perasaan untuk menimbulkan reaksi perilaku dan kesadaran. Komponen terpenting sistem motorik adalah unit motorik, yang terdiri atas satu neuron motorik bawah dan akson perifernya, sambungan neuromuskular, serta serabut otot rangka yang dipersarafinya. Distribusi anatomik lesi dan tanda serta gejala spesifik, kedua-duanya bermanfaat dalam mengklasifikasi penyakit neuromuskular, serta dalam membedakannya dengan penyakit sistem saraf pusat. Diskusi selanjutnya kelainan neuromuskular disusun menurut garis anatomik, mengutamakan segi klinis yang paling berguna dalam diagnosisnya.



KELAINAN SARAF PERIFER Dua unsur utama saraf perifer fungsional adalah tonjolan (prosesus) akson dan selubung mielin, yang dibuat oleh sel Schwann. Diameter akson dan ketebalan mielin saling berhubungan satu sama lain dan dengan kecepatan konduksi; keduanya dapat digunakan untuk membedakan tipe-tipe akson, yang memediasi modalitas sensorik dan fungsi motorik yang berbeda. Rabaan/sentuhan ringan, rnisalnya, ditransmisi oleh akson bermielin tebal dan berdiameter besar dengan kecepatan konduksi tinggi, sedangkan sensasi temperatur ditransmisi lambat oleh akson tipis tanpa mielin. Dalam kasus akson bermielin, satu sel Schwann menghasilkan dan memelihara satu segmen mielin, atau hanya satu ruas saja, di sepanjang satu akson (Gambar 21-1, A). Ruas yang bersebelahan dipisahkan oleh nodus Ranvier. Saraf perifer mengandungi campuran akson yang tipenya berbeda



Schwannoma dan Neurofibromatosis Tipe 2 806 Neurofibroma 807 Tumor Selubung Saraf Perifer Ganas 808 Neurofibromatosis Tipe 1 808 Neuroma Traumatik 808



Akson ini dan jaringan ikat endoneurium tersusun dalam fasikulus yang diselubungi oleh selapis sel perineural. Sel perineural mirip dengan sel meningeal dan membantu memelihara sawar darah saraf (blood-nerve barrier) di tiap fasikulus.



Berbagai Pola Jejas Saraf Perifer Sebagian besar neuropati perifer dapat disub-klasifikasikan menjadi aksonal atau demielinasi, walaupun beberapa penyakit menunjukkan sifat campuran. Neuropati aksonal disebabkan oleh jejas langsung pada akson. Seluruh bagian distal akson yang terkena jejas berdegenerasi. Degenerasi aksonal berhubungan dengan hilangnya mielin sekunder (Gambar 21-1, B), suatu proses yang kadang-kadang dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Regenerasi berlangsung di sepanjang pertumbuhan akson dan kemudian remielinasi akson distal (Gambar 21-1, C). Gambaran morfologik yang khas dari neuropati aksonal adalah penurunan densitas akson, yang dalam studi elektrofisiologis berhubungan dengan penurunan kekuatan amplitudo impuls saraf. Karakteristik neuropati demielinasi adalah kerusakan sel Schwann atau mielin dengan sisa akson relatif, menyebabkan perlambatan kecepatan konduksi saraf. Demielinasi biasanya terjadi pada tiap ruas mielin secara acak; proses ini disebut demielinasi segmental (Gambar 21-1, B). Secara morfologik, tanda khas neuropati demielinasi menunjukkan densitas akson yang relatif normal dan gambaran demielinasi segmental serta perbaikan. Hal ini dilihat dari adanya akson dengan selubung mielin tipis yang abnormal dan ruas yang pendek (Gambar 21-1, C). Perubahan yang terakhir paling baik dilihat pada serabut yang terganggu, yang memungkinkan pemeriksaan beberapa ruas mielin yang bersebelahan di sepanjang satu akson (dijelaskan kemudian). Neuropati perifer terbagi menjadi beberapa pola anatomik dan dapat menyebabkan kerusakan selektif akson sensorik atau motorik, atau campuran keduanya.



798



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



Neuron



Mielin



Akson



Miosit



A



B



C



Garnbar 21-1 Pola-pola kerusakan saraf perifer. A. Pada unit motorik normal, miofiber tipe I dan tipe 11 tersusun dalam pola papan catur, dan ruas di sepanjang akson motorik memiliki ketebalan dan panjang yang sama. B, Jejas akut akson (akson kin) menyebabkan degenerasi pada akson distal dan selubung mielinnya dengan atrofia miofiber yang dipersarafinya. Sebaliknya, penyakit demielinisasi akut (akson kanan) menghasilkan degenerasi segmental acak dari tiap ruas mielin dan menyisakan akson. C, Regenerasi akson setelah jejas (akson kiri) memungkinkan hubungan dengan miofibril terbentuk kembali. Akson yang beregenerasi mengalami mielinisasi melalui proliferasi sel Schwann, tetapi ruas baru yang terbentuk lebih pendek dan selubung mielinnya lebih tipis daripada yang biasanya. Remisi penyakit demielinisasi (akson kanan) memungkinkan remielinisasi terjadi, tetapi ruas-ruas baru yang terbentuk juga lebih pendek dan lebih tipis selubung mielinnya daripada ruas yang normal.



Neuropati perifer terbagi menjadi beberapa pola anatomik dan dapat menyebabkan kerusakan selektif akson sensorik atau motorik, atau campuran keduanya. • Polineuropati perifer biasanya mengenai saraf perifer secara simetris, bergantung lamanya proses. Kehilangan akson biasanya difus dan lebih nyata pada segmen distal saraf terpanjang. Pasien umumnya mengalami kehilangan sensasi dan parestesia yang dimulai dari jari kaki yang menyebar ke atas sampai ke lutut dan kemudian mengenai tangan dalam distribusi "kaus kaki dan sarung tangan" (stocking-and-gloves). • Polineuntis multipleks, yaitu kerusakan secara acak yang mengenai bagian-bagian tertentu dari tiap saraf, sebagai contoh menyebabkan suatu kelumpuhan saraf radial kanan dan pergelangan tangan yang lemah (wrist drop) bersamaan dengan hilangnya sensasi di kaki kiri. •



Mononeuropati sederhana hanya melibatkan satu saraf tunggal, biasanya akibat jejas traumatik atau terjepit (sindrom terowongan karpal).



Kelainan yang Berhubungan dengan Jejas Saraf Perifer Banyak penyakit yang berbeda yang dapat berhubungan dengan neuropati perifer (Tabel 21-1). Berikut kita diskusikan beberapa penyakit terpilih secara rinci yang merupakan bentuk dasar dari jenis polineuropati spesifik (contoh sindrom Guillain-Barre) atau polineuropati yang lebih umum (contoh neuropati diabetik).



Sindrom Guillain-Barre Sindrom Guillain-Barre adalah salah satu penyakit sistem saraf perifer yang tersering mengancam nyawa. Penyakit ini adalah suatu kelainan demielinasi akut yang mengenai akson motorik secara progresif dan cepat yang mengakibatkan kelemahan yang merambat keatas (ascending weakness) yang dapat menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan hanya dalam waktu beberapa hari saja. Timbulnya penyakit dipicu oleh suatu infeksi atau vaksin yang menghancurkan toleransi diri (self-tolerance),



Kelainan Tabel 21-1 Neuropati Perifer



Kategori Etiologik



Keiainan/Agen Penyebab



Nutrisi dan



Diabetes melitus Uremia Defisiensi vitamin — tiamin, vitamin B6, vitamin B 12 Obat-obatan. yaitu vinblastine, vincristine, paclitaxel, kolkisin. dan isoniazid Toksin lain — alkohoI, timbal, aluminum. aluminium, arsenik merkuri. akrilamid Vaskulitis Amiloidosis Penyakit autoimun: lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, sarkoidosis, sindrom SlOgrenSindrom Guillain-Barre Polineuropati demielinisasi peradangan



metabolit Toksik



Vaskulopati Inflamasi



Infeksi



Diturunkan



Lain-lain



kronik (PDPK) Neuropati Charcot-Marie-Tooth. tipe I: autosomal dominan (kebanyakan kasus dengan duplikasi Herpes zoster — paling sering ganglionitis Leprosi Infeksi HIV Penyakit Lyme — sering kelumpuhan saraf fasial berpasangan pada PMP22) Neuropati Charcot-Marie-Tooth. tipe 3: autosomal dominan atau resesif (beberapa kasus dengan mutasi titik pada PMP22) Neuropati Charcot-Marie-Tooth, terkait X (mutasi gen connexin 32) Neuropati herediter dengan kecenderungan pada kelumpuhan tekanan: autosomal dominan delesi PMP22 Paraneoplasdk, beberapa leukodistrofia



oleh karenanya timbul respons autoimun. Agen penyebab infeksi terkait termasuk Canzpylobacter jejuni, virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, dan virus imunodefisiensi manusia. Jejas paling luas di dalam akar saraf dan segmen saraf proksimal, disertai infiltrasi sel mononukleus yang banyak mengandungi makrofag. Baik respons imun humoral maupun seluler dianggap berperan dalam proses terjadinya penyakit. Pengobatan termasuk plasmaferesis (untuk mengeluarkan antibodi yang mengganggu), infus imunoglobulin intravena (melalui mekanisme supresi respons imun yang tjdak jelas), dan perawatan suportif seperti bantuan ventilasi. Pasien yang bertahan hidup pada awal fase akut penyakit biasanya sembuh dalam beberapa waktu.



Polineuropati Demielinisasi Peradangan Kronik Polineuropati demielinisasi peradangan kronik (PDPK) biasanya bermanifestasi sebagai suatu penyakit demielinisasi simetris. Umumnya ada abnormalitas motorik dan sensorik, seperti kesulitan berjalan, kelemahan, rasa baal, dan nyeri atau gatal. Seperti sindrom Guillain-Barre, PDPK dimediasi oleh imun (immune-mediated) dan terjadi peningkatan frekuensi pada pasien dengan kelainan imun lainnya, seperti lupus erimatosus sistemik dan infeksi HIV. Berbeda dengan sindrom Guillain-Barr& PDPK memiliki perjalanan penyakit kronik progresif atau kekambuhan berulang kronik. Saraf perifer menunjukkan segmen-segmen demielinisasi dan remielinisasi (Gambar 21-2, A).



Saraf



Perifer



799



Pada kasus yang lama, regenerasi kronik sel Schwann dapat membungkus mengelilingi akson secara konsentris dan berlapis seperti pola kulit bawang (onion-skin). Pengobatan termasuk plasmaferesis dan penggunaan agen imunosupresif. Beberapa pasien sembuh total, tetapi lebih sering kambuh berupa serangan gejala penyakit yang menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara permanen.



Neuropati Perifer Akibat Diabetes Diabetes adalah penyakit yang paling sering menyebabkan neuropati perifer (Bab 19). Neuropati biasanya timbul pada penyakit diabetes yang sudah lama. Jenis-jenis neuropati akibat diabetes yaitu neuropati autonom, radikulopati lumbosakral, dan polineuropati sensorimotorik distal simetris; yang dapat timbul secara terpisah atau bersamaan. Karakteristik neuropati autonom adalah timbulnya perubahan dalam sistem pencemaan, kandung kemih, jantung, atau fungsi seksual. Radikulopah lumbosakral biasanya bermanifestasi dengan adanya rasa nyeri asimetris yang dapat berlanjut menimbulkan kelemahan ekstremitas bawah dan atrofia otot. Polineuropati sensorimotorik distai simetris adalah bentuk paling sering dari neuropati akibat diabetes. Akson sensorik terkena lebih parah daripada akson motorik, sehingga manifestasi klinis biasanya didominasi oleh parestesia dan rasa baal. Bentuk polineuropati akibat diabetes ini adalah akibat dari proses degenerasi saraf perifer (yang tergantung pada lamanya penyakit) dan tidak terlalu sesuai dimasukkan ke dalam kategori proses aksonal atau demielinisasi tetapi lebih sering menunjukkan gambaran keduanya. Patogenesis neuropati akibat diabetes kompleks; akumulasi produk akhir glikosiiasi lanjut, hiperglikemia, peningkatan kadar spesies oksigen reaktif, perubahan-perubahan mikrovaskular, perubahan metabolisme aksonal, kadar protein C abnormal, dan faktor neurotropik semuanya telah dilibatkan. Kontrol glikemia ketat merupakan bentuk terapi terbaik.



Bentuk Neuropati PeriferToksik,Vaskulitik, dan yang Diturunkan • Obat-obatan dan toksin lingkungan yang menghambat transportasi akson atau fungsi sitoskeletal sering menyebabkan neuropati perifer. Akson terpanjang paling rentan terkena, sehingga gejala klinis paling nyata sering terdapat di ekstremitas bagian distal. • Saraf perifer sering rusak pada berbagai bentuk vaskulitis sistemik yang berbeda (Gambar 21-2, B) (Bab 9), termasuk poliarteritis nodosa, sindrom Churg-Strauss, dan granulomatosis Wegener. Secara keseluruhan, kerusakan saraf perifer terlihat pada sekitar sepertiga dari seluruh pasien vaskulitis pada saat ditemukan. Gambaran klinis tersering adalah mononeuritis multipleks dengan neuropati perifer campuran sensorik dan motorik yang asimetris dan nyeri. Pola keterlibatan berbercak juga tampak jelas secara mikroskopik, yaitu saraf tunggal dapat menunjukkan variasi interfasikular bermakna dalam derajat kerusakan akson (Gambar 21-2, C). • Penyakit saraf perifer yang diturunkan adalah kelompok penyakit yang heterogen tetapi relatif sering ditemukan, dengan prevalensi 1-4 dalam 10.000. Jenisnya dapat berupa demielinisasi atau aksonal. Penyakit ini paling banyak bermanifestasi pada masa dewasa dan perjalanan penyakitnya progresif lambat yang menyerupai polineuropati didapat. Penyebab tersering adalah mutasi pada gen PMP22, yang mengkode protein yang merupakan komponen selubung mielin.



800



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



*



A



B



C



Gambar 21-2 Perubahan patologis pada neuropati perifer A, Regenerasi setelah demielinisasi segmental. Sediaan serabut saraf yang diganggu memungkinkan pemeriksaan dap-dap akson saraf perifer. Akson normal (kiri) memiliki selubung mielin dengan ketebalan seragam yang terputus di nodus Ranvier (panah). Berbeda dari akson kanan yang berisi segmen mielin buruk dengan distribusi nodus Ranvier yang tidak merata. Area remielinisasi terletak segmental dan diapit oleh ruas dengan mielin normal. B dan C, Neuropati vaskulitik. Pada B, jaringan ikat perineurial berisi infikrat radang yang terpusat di pembuluh darah dan menghancurkan pembuluh-pembuluh darah kecil. Pada C, pulasan khusus yang memberi warna biru tua pada akson bermielin menunjukkan bahwa fasikulus saraf di bagian atas gambar ini (bintang) telah kehilangan hampir semua akson-akson bermielin, berbeda dengan fasikulus lain yang ditunjukkan.Variasi interfasikular dalam densitas akson semacam itu sering terlihat pada neuropati akibat jejas vaskular.



RINGKASAN Neuropati Perifer •



Neuropati perifer dapat berakhir dengan kelemahan dan/atau defisit sensorik dan dapat simetris atau terdiri atas keterlibatan acak berbagai saraf.







Neuropati perifer aksonal dan demielinisasi dapat dibedakan berdasarkan gambaran klinis dan patologisnya. Beberapa kelainan berhubungan dengan pola kerusakan campuran.







Diabetes adalah penyebab tersering neuropati perifer.







Sindrom GuiliaM-Barre dan pohneuropao demielinisasi kronik idiopatik adalah penyakit demielinisasi yang dimediasi oleh sistem imun (Immune-mediated), yang berhubungan dengan perjalanan klinis akut dan kronik.







Penyakit metabolit, obat-obatan, toksin, penyakit jaringan ikat, vaskulitis, dan infeksi semuanya dapat berakhir dengan neuropati perifer.







Sejumlah mutasi menyebabkan neuropati perifer. Banyak di antaranya adalah penyakit yang timbul-lambat (late-onset) sehingga bisa menyerupai penyakit yang didapat.



KELAINAN SAMBUNGAN NEUROMUSKULAR (NEUROMUSCULAR JUNCTION) Sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) adalah ruang pemisah khusus antara sinaps ujung akhir saraf dan serabut otot. Impuls saraf mendepolarisasi membran prasinaps, menstimulasi



influks kaIsium dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor pada membran pascasinaps, menyebabkan depolarisasi dan kontraksi serabut otot melalui serangkaian proses elektromekanik. Kelainan neuromuskular sering menyebabkan abnormalitas fungsional tanpa suatu perubahan bermakna dalam morfologi kecuali perubahan ultrastruktur. Perlu diingat bahwa dalam bagian ini beberapa keIainan/penyakit sering muncul dan menarik patogenitasnya yang mengganggu transmisi sinyal melewati sambungan neuromuskular.



Miastenia Gravis Miasterna gravis disebabkan oleh autoantibodi yang memblok fungsi reseptor asetilkolin pascasinaps di lempeng akhir motorik (motor end plates), yang mengakibatkan degradasi dan hilangnya reseptor. Angka kejadian (incidence) penyakit ini secara kasar adalah 3 dari 100.000 orang, dapat bermanifestasi pada semua umur, dan (seperti banyak penyakit autoimun lain) lebih sering pada wanita. Penyakit ini dapat ditransfer ke binatang melalui serum penderita, untuk mendemonstrasikan peran antibodi reseptor anti asetilkolin yang bersirkulasi dalam menyebabkan penyakit. Sebanyak 60% kasus dihubungkan dengan suatu hiperplasia reaktif sel B intratimus yang abnormal (sering disebut hiperplasia timus), dan 20% lainnya dikaitkan dengan timoma (tumor sel epitel timus) (Bab 11). Lesi-lesi timus dapat mengganggu toleransi terhadap antigen sendiri (self antigens), karenanya membuat cikal bakal baru untuk pertumbuhan sel B dan T autoreaktif. Secara klinis, miastenia gravis sering menunjukkan ptosis (dropping eyelids), atau diplopia/pandangan ganda (double vision) oleh karena kelemahan otot-otot ekstraokular.



Kelainan Otot Rangka PoIa kelemahan seperti ini berbeda dengan proses miopati primer pada umumnya, di mana ada kerusakan relatif ringan dari otot-otot fasial dan ekstraokular. Beratnya kelemahan sering berfluktuatif secara dramatis, kadang-kadang hanya dalam waktu beberapa menit. Gejala yang khas ialah penggunaan atau stimulasi elektrofisiologis berulang pada otot dapat memperburuk kelemahan, sedangkan penggunaan inhibitor kolinesterase memperbaiki kekuatan secara menakjubkan; kedua sifat tersebut berguna untuk diagnostik. Pengobatan efektif meliputi penggunaan obat inhibitor kolinesterase, imunosupresi, plasmaferesis, dan timektomi (pada pasien dengan lesi timus). Intervensi ini telah memperbaiki rata-rata angka ketahanan hidup 5 tahun lebih dari 95%.



sebagai penangkal keriput dan berbagai kondisi lain terkait dengan aktivitas otot yang tidak diinginkan (misalnya blefarospasme dan strabismus).



RINGKASAN Kelainan Sambungan Neuromuskular •



Kelainan sambungan neuromuskular bermanifestasi sebagai kelemahan yang sering mengenai otot-otot wajah/fasial dan otot-otot ekstraokular dan tingkat keparahannya dapat sangat berfluktuasi.







Miastenia gravis dan sindrom Lambert-Eaton keduanya merupakan bentuk yang paling umum, adalah suatu penyakit yang dimediasi oleh imun, masing-masing disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin pascasinaptik dan kanal kalsium prasinaptik.







Miastenia gravis sering berhubungan dengan hiperplasia timus atau timoma. Sebagian besar kasus sindrom LambetEaton adalah suatu kelainan paraneoplastik; berhubungan kuat dengan kanker paru jenis sel kecil.







Defek genetik dalam protein sambungan neuromuskular dan toksin bakteri juga dapat menyebabkan gejala gangguan transmisi neuromuskular.



Sindrom Lambert-Eaton Sindrom Lambert-Eaton disebabkan oleh autoantibodi yang menghambat fungsi kanal kalsium prasinaptik, yang mengurangi pelepasan asetilkolin ke dalam celah sinaptik. Berbeda dengan penderita miastenia gravis, pasien dengan sindrom Lambert-Eaton mengalami perbaikan pada kelemahan ototnya dengan stimulasi berulang. Hal ini membantu membangun persediaan kalsium intrasel yang cukup untuk memfasilitasi pelepasan asetilkolin. Namun, seperti miastenia gravis, kelainan ini dapat ditransfer ke binatang melalui serum penderitanya. Hal ini sering menimbulkan suatu kelainan paraneoplastik, khususnya pada pasien karsinoma sel kecil paru. Inhibitor kolinesterase tidak efektif, karena itu terapi langsung ditujukan pada penurunan titer antibodi penyebab, baik melalui plasmaferesis ataupun imunosupresor. Oleh karena berhubungan kuat dengan kanker paru, maka prognosis keseluruhan untuk pasien sindrom Lambert-Eaton sesungguhnya lebih buruk daripada pasien miastenia gravis.



Berbagai Jenis Kelainan Sambungan Neuromuskular Beberapa kelainan sambungan neuromuskular lain layak diutarakan dengan singkat. • Sindrom miastenia kongenital termasuk suatu golongan penyakit genetik heterogen akibat mutasi yang mengganggu fungsi berbagai protein sambungan neuromuskular. Tergantung pada protein yang terkena, defek dapat timbul saat tahap pelepasan asetilkolin (prasinaptik), transpor asetilkolin melewati celah sinaptik (sinaptik), atau saat respons otot rangka (pascasinaptik), dan dapat menimbulkan gejala yang menyerupai sindrom Lambert-Eaton atau miastenia gravis. Sebagian mempunyai respons terhadap pengobatan dengan inhibitor asetilkolinesterase. • Infeksi dapat terkait dengan defek dalam transmisi saraf dan saat kontraksi otot. Clostridium tetani dan Clostridium botulinum (Bab 8) keduanya melepaskan neurotoksin sangat kuat yang mengganggu transmisi neuromuskular. Toksin tetanus (dikenal sebagai tetanospasmin) memblok kerja neuron penghambat, menyebabkan peningkatan pelepasan asetilkolin dan kontraksi otot yang terusmenerus serta spasme (tetanus). Berbeda dengan toksin botulinum yang menghambat pelepasan asetilkolin, toksin botulinum menghasilkan suatu paralisis flaksid/lemah. Toksin murni (Botox) sangat stabil setelah penyuntikan, suatu sifat yang penting untuk digunakan secara luas toksin



801



KELAINAN OTOT RANGKA Berbagai Pola Jejas Otot Rangka Otot rangka terdiri atas serabut yang berbeda-beda jenisnya, yang secara garis besar diklasifikasikan menjadi serabut kontraksi lambat "aerobik" tipe I dan serabut kontraksi cepat "anaerobik" tipe II. Serabut-serabut ini normalnya terdistribusi sesuai dengan pola papan catur (Gambar 21-1, A). Fungsi dari kedua jenis serabut ini tergantung pada kompleks protein unik yang menyusun sarkomer dan kompleks distrofirt glikoprotein (Gambar 21-3), serta enzim yang diperlukan untuk metabolisme otot. Penyakit otot primer atau miopati harus dibedakan dengan perubahan neuropati sekunder yang disebabkan oleh kelainan yang mengganggu persarafan otot. Keduanya berkaitan dengan perubahan fungsi dan morfologi otot, tetapi masing-masing memiliki gambaran yang berbeda (Gambar 21-4). Kondisi miopati sering dihubungkan dengan nekrosis segmental dan regenerasi serabut otot (Gambar 21-4, B). Seperti yang akan didiskusikan selanjutnya, jenis-jenis miopati spesifik memiliki gambaran morfologik tambahan, seperti infiltrat radang atau inkIusi intrasel. Gangguan otot oleh fibrosis endomisium dan perlemakan adalah gambaran penyakit kronik yang berhubungan dengan kondisi miopati atau neuropati. Atrofia serabut otot bisa terjadi baik pada proses miopati maupun neuropati. Namun, beberapa kelainan berhubungan dengan pola-pola atrofia khusus, sebagai berikut: • Perubahan neuropati ditandai oleh adanya kelompok tipe tertentu serabut otot dan kelompok atrofia. Perubahan-perubahan dalam persarafan otot ini menyebabkan terjadinya (tipe I atau tipe II) kelompok serabut otot dengan tipe yang sama yang berakibat pada berubahnya distribusi papan catur normal (Gambar 21-4, D). Berkurangnya jumlah unit motorik tetapi ukuran tiap unit menjadi lebih besar dan pemisahan serabut yang dipersarafi di tengahnya mengakibatkan terjadinya kelompok serabut otot yang atrofik. Yang menakjubkan, jenis serabut otot tersebut bukan merupakan penentu kelompokan tersebut, meIainkan ditentukan oleh



802



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot Miopati kongenital adalah sekelompok penyakit keturunan heterogen yang sering mengenai pada masa perinatal atau awal anak-anak dan menyebabkan defisit yang relatif statis.



Rantai a2



Lamina basafis



Laminin-2



Diskusi berikut tentang distrofia muskular mengikuti klasifikasi yang sudah lama yang berdasarkan pada pola penurunan dan gejala klinis. Namun, klasifikasi distrofia muskular berubah seiring dengan munculnya penemuan-penemuan baru di bidang patogenesis molekuler kelainan ini dan hubungan fenotipe-genotipe. Sebagai contoh, mutasi pada beberapa gen muncul sebagai autosomal resesif distrofia muskular limb-girdie, sedangkan mutasi lain pada satu gen (misal distrofin) dapat menyebabkan dua fenotipe klinis yang berbeda, distrofia muskular tipe Duchenne dan tipe Becker.



a Sarkogfikan



Distroglikan



a g



b b



d Kaveolin nNOS



Distrofil



Sintrofin Distrobrevin



Aktin siloplasmik



Gambar 21-3 Kompleks distrofin-glikoprotein (KDG). Kompleks glikoprotein ini bertindak sebagai penghubung membran sel (sarkolemma) dengan protein matriks ekstrasel seperti laminin-2 dan sitoskeleton intrasel. Kunci penghubung adalah distrofin, suatu protein yang menambatkan sitoskeleton miofibriler pada distroglikan transmembran dan sarkoglikan, dan juga mengikat kompleks yang berisi distrobrevin, sintrofin, neuronoi nitric oxide synthetase (nNOS). dan kaveolin, yang berparosipasi dalam jalur sinyal intrasel. Mutasi pada distrofin berhubungan dengan distrofia muskular Becker dan Duchenne terkait X; mutasi pada kaveolin dan protein sarkoglikan berhubungan dengan distrofia muskular timb-girdie autosomal; dan mutasi pada c(2-laminin (merosin) berhubungan dengan suatu bentuk distrofia muskular kongenital.



neuron motorik yang mempersarafinya. Dengan demikian, jika jejas dan regenerasi saraf tepi mengubah persarafan otot, hal itu akan mengubah distribusi miofiber tipe I dan tipe II. Degenerasi dan regenerasi serabut serta infiltrat radang biasanya tidak terdapat pada kelainan otot rangka yang disebabkan oleh persarafan abnormal. • Otot yang tidak dipakai berkepanjangan karena sebab apa pun (misalnya berbaring lama, patah tulang) dapat menyebabkan atrofia otot fokal atau menyeluruh, yang cenderung mengenai serabut tipe II daripada serabut tipe I. • Pajanan glukokortikoid, baik eksogen maupun endogen (misalnya sindrom Cushing), dapat juga menyebabkan atrofia otot. Otot-otot di bagian proksimal dan serabut otot tipe II lebih sering terserang oleh agen ini.



Kelainan Otot Rangka yang Diturunkan Kelainan genetik yang mengenai otot rangka adalah distrofia muskular, distrofin muskular kongenital, dan miapati kongenital. Distrofia muskular adalah penyakit keturunan yang menyebabkan jejas otot progresif pada pasien yang terlihat normal saat lahir. Distrofia muskular kongenital adalah penyakit dengan onset awal dan progresif. Beberapa di antaranya berhubungan dengan manifestasi sistem saraf pusat.



Distrofinopati: Distrofia Muskular Duchenne dan Becker Distrofinopati adalah bentuk tersering dari distrofia muskular. Distrofia muskular Duchenne (DMD) dan distrofia muskular Becker (DMB) adalah dua manifestasi penyakit terpenting terkait dengan mutasi gen distrofin. Distrofia muskular Duchenne memiliki insidens sekitar 1 per 3.500 kelahiran hidup pada anak laki-laki dan perjalanan penyakitnya fatal. DMD menjadi nyata secara klinis saat usia 5 tahun; kebanyakan pasien bergantung pada kursi roda saat usia remaja dan meninggal saat dewasa muda. Distrofia muskular tipe Becker lebih jarang terjadi dan lebih ringan gejala klinisnya.



MORFOLOGI Perubahan histologis otot rangka pada DMD dan DMB adalah sama, kecuali perubahan yang terjadi pada DMB lebih ringan (Gambar 21-5). Ciri utama dari kelainan ini dan juga distrofia muskular lainnya adalah nekrosis dan regenerasi serat otot (miofiber) yang terus-menerus. Penggantian yang progresif jaringan otot oleh fibrosis dan lemak adalah hasil dari kecepatan degenerasi yang melampaui kecepatan regenerasi. Sebagai hasil dari perbaikan otot yang terus-menerus, umumnya memberikan gambaran yang sangat bervariasi dalam ukuran miofiber dan inti sel yang letaknya abnormal. DMD dan DMB keduanya juga mengenai otot jantung, yang menunjukkan hipertrofia miofibril dengan derajat yang bervariasi dan fibrosis interstisial.



PATOGENESIS DMD dan DMB keduanya disebabkan oleh mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi gen distrofin akibat mutasi gen yang terletak pada lengan pendek kromosom X (Xp2 I ). Distrofin adalah protein yang sangat besar (berat molekulnya 427 kD) yang ditemukan pada otot rangka, otot jantung, otak, dan saraf perifer; merupakan bagian dari kompleks distrofin-glikoprotein (Gambar 21 —3). Kompleks ini menstabilkan sel otot selama kontraksi dan mungkin terlibat dalam transmisi sinyal sel melalui interaksi dengan protein lain. Defek pada kompleks distrofinglikoprotein dianggap sebagai penyebab sel otot rentan terhadap robekan membran ringan ketika kontraksi yang menyebabkan influks kalsium, dan juga dapat mengganggu transmisi sinyal intrasel. Hasilnya adalah degenerasi miofibril yang kecepatannya melebihi kapasitas untuk perbaikan. Kompleks distrofinglikoprotein juga penting dalam fungsi otot jantung; hal ini menjelaskan kenapa kardiomiopati akhirnya terjadi pada kebanyakan pasien.



Kelainan Otot Rangka B1



B2



B3



B4



A



B



C



D



803



Gambar 21-4 Pola-pola jejas otot rangka. A, Otot rangka normal memiliki miofiber poligonai yang relatif seragam dengan inti terletak di tepi yang dibungkus bersama-sama menjadi fasikulus yang dipisahkan oleh jaringan ikat jarang.Terdapat septum interfasikular perimisium berisi pembuluh-pembuluh darah (atos tengah). B, Kondisi miopati sering berhubungan dengan nekrosis segmental dan regenerasi miofiber yang terkena. Sel-sel nekrotik (B-153) diinfiltrasi oleh sejumlah sel-sel radang. Miofiber yang baru (B4, panah) ditandai oleh sitoplasma basofilik dan pembesaran nukleolus (tidak terlihat pada perbesaran ini). C dan D, Kelompokan dari atrofia miofiber (C) (kelompok atrofia) dan tipe serat (D), area-area berbercak di mana miofiber memperlihatkan jenis serabut yang sama, adalah gambaran dari renovasi saraf. Reaksi ATPase yang terlihat pada D adalah salah satu cara untuk membedakan jenis-jenis serabut otot, di mana serabut tipe 1 terpulas lebih terang daripada serabut tipe 11. Perhatikan hilangnya pola "papan catur" (Gambar 21-1, A).



Massa gen distrofin sekitar 2,4 megabasa (sekitar 1% dari kromosom X), menjadikan distrofin salah satu gen manusia yang terbesar. Ukurannya yang begitu besar menjelaskan kerentanannya terhadap mutasi sporadik yang mengganggu produksi distrofin. Mutasi tersering adalah delesi, kemudian mutasi pergeseran rangka (frameshfi dan mutasi titik. Spesimen biopsi otot dari pasien dengan DMD menunjukkan tidak adanya distrofin sama sekali, sedangkan pasien dengan DMB memiliki mutasi yang masih memungkinkan terbentuknya beberapa distrofin (meskipun seringkali bentuk yang defektif); karena itu, tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan derajat defisiensi distrofin.



Meningkatnya jumlah otot awalnya berasal dari hipertrofi miofiber, tetapi saat miofiber berdegenerasi secara progresif, bagian otot yang membesar digantikan oleh jaringan adiposa dan fibrosis endomisium. Kerusakan dan fibrosis otot jantung dapat menyebabkan gagal jantung dan aritmia yang fatal. Meskipun tidak ada kelainan struktural dalam sistem saraf pusat, gangguan kognitif juga kadang-kadang terlihat dan bisa cukup berat sampai menimbulkan retardasi mental. Akibat degenerasi otot yang terjadi terus-menerus, kadar kreatin kinase yang tinggi muncuI saat lahir dan menetap sampai dekade pertama kehidupan tetapi kemudian menurun saat massa otot menghilang selama progresi penyakit. Kematian disebabkan oleh insufisiensi pernapasan, pneumonia, dan dekompensasi jantung.



Gejala Klinis Seringkali gejala awal DMD adalah kekakuan dan ketidakmampuan mengikuti kelompok dikarenakan kelemahan otot. Kelemahan biasanya dimulai di bagian gelang panggul lalu kemudian mengenai gelang bahu. Pembesaran otot betis, disebut juga pseudohipertrofia, adalah temuan klinis yang penting.



DMB menjadi simptomatik pada masa anak-anak lanjut atau remaja dan progresinya lebih lambat dan bervariasi. Kebanyakan pasien hidup sehat sampai dewasa dan mencapai usia hidup yang hampir normal. Keterlibatan jantung dapat menjadi gejala klinis yang dominan



804



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



A



C



B



Garnbar 21-5 Distrofia muskular Duchenne. Gambaran histologis spesimen biopsi otot dari dua saudara laki-laki. A dan B, Spesimen berasal dari anak laki-laki usia 3 tahun. C, Spesimen dari saudara laki-lakinya. 9 tahun. Seperti yang terlihat pada A, di usia yang lebih muda susunan otot fasikular masih dipertahankan, tetapi miofiber menunjukkan ukuran yang bervariasi. Sebagai tambahan, ada kelompokan miofiber basofilik yang beregenerasi (sisi kiri) dan sedikit fibrosis endomisium. terlihat sebagai jaringan ikat fokal berwarna merah muda di antara miofiber. Pada B, pulasan imunohistakimia menunjukkan tidak adanya distrofin terkait membran, terlihat sebagai pulasan coklat pada otot normal (inset). Pada C, biopsi dari kakak laki-laki menunjukkan progresi penyakit. yang ditandai oleh ukuran miofiber yang sangat bervariasi, perlemakan, dan fibrosis endomisium.



dan dapat menyebabkan kematian kelemahan otot rangka yang signifikan.



walaupun



tidak



ada



jantung, katarak, kebotakan awal, endokrinopati, dan atrofia testis.



Distrafia Muskular Autosom dan Terkait X (X-Linked) Lainnya



• Distrofia muskular Distrofia muskular autosomal ini lebih sering mengenai otot-otot proksimal batang tubuh dan anggota gerak. Dasar genetiknya heterogen. Daftar yang ada sampai saat ini terdiri atas sedikitnya 6 subtipe dominan dan 12 subtipe autosomal resesif. Beberapa mutasi mengenai komponen kompleks distrofinglikoprotein selain distrofin. Mutasi lainnya mengenai protein yang terlibat dalam transportasi vesikel dan perbaikan membran sel setelah cedera (kaveolin-3 dan disferlin), protein sitoskeletal, atau modifikasi pascatranslasi distroglikan (komponen kompleks distrofin-glikoprotein)



Bentuk distrofia muskular yang Iain memiliki beberapa gambaran yang sama dengan DMD dan DMB tetapi gambaran klinis, genetik, dan patologisnya berbeda. • Distrofia miotonik. Miotonia, kontraksi involunter sekelompok otot yang terus-menerus, adalah gejala neuromuskular utama dari distrofia miotonik. Pasien sering mengeluh kaku dan sulit untuk melepaskan genggamannya, misalnya setelah bersalaman. Distrofia miotonik diturunkan secara autosomal dominan. Lebih dari 95% pasien dengan distrofia miotonik memiliki mutasi pada gen yang menyandi dystrophia myotonica protein kinase (DMPK). Pada orang normal, gen ini berisi kurang dari 30 pengulangan urutan CTG, sedangkan pada orang yang terkena penyakit ini, bisa terdapat ribuan pengulangan. Karena itu, distrofia ini termasuk ke dalam grup kelainan yang berhubungan dengan ekspansi pengulangan trinukleotida (Bab 6). Seperti kasus penyakit lainnya dengan mutasi yang sama, distrofia miotonik menunjukkan fenomena antisipasi, yang ditandai oleh perburukan manifestasi penyakit di tiap generasi berikutnya akibat ekspansi pengulangan trinukleotida lebih lanjut. Ekspansi pengulangan CTG terletak di regio 3' DMPK mRNA yang tidak ditranslasi, dan cara itu menghasilkan penyakit masih belum jelas. Penyakit sering bermanifestasi pada masa anak-anak lanjut dengan abnormalitas gaya jalan akibat kelemahan dorsifleksor kaki, dengan progresi kelemahan otot-otot intrinsik ekstensor tangan dan pergelangan tangan, atrofia otot-otot wajah, dan ptosis. Jaringan lain juga dapat terkena, menyebabkan aritmia



• Distrofia muskular Emery-Drelfuss (DME) adalah kelainan yang jarang tetapi menarik untuk dibahas, yang disebabkan oleh mutasi yang mengenai protein struktural yang ditemukan pada inti sel. Bentuk terkait X (X-linked) berasal dari mutasi gen yang mengkode protein emerin, sedangkan bentuk autosomal dominan disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode lamin A/ C. Hal tersebut menjadi hipotesis bahwa defek pada protein-protein ini membahayakan integritas struktural dari inti sel yang menjadi sasaran oleh stres mekanik berulang (misalnya otot jantung dan otot rangka). Protein ini juga mengatur struktur kromatin. Gambaran klinisnya ditandai oleh kelemahan dan pengecilan otot secara progresif, kontraktur pada siku dan pergelangan kaki, dan penyakit jantung. Keterlibatan jantung merupakan tanda klinis yang parah, berhubungan dengan kardiomiopati dan aritmia yang menyebabkan kematian mendadak pada sampai 40% pasien. • Distrofia fasioskaputolmmeral adalah bentuk autosomal dominan distrofia muskular yang biasanya berhubungan dengan delesi regio kromosom 4q35. Hubungan patofisiologis antara defek kromosom ini dengan fenotipe penyakit masih belum diketahui.



KeFainan Otot Rangka Kebanyakan pasien menjadi simptomatik pada usia 20 tahun, biasanya berupa kelemahan otot wajah dan bahu. Pasien juga memperlihatkan kelemahan batang tubuh bawah dan dorsifleksor kaki. Kebanyakan orang yang terkena memiliki harapan hidup normal.



Kanalopati, Miopati Metaboitt, dan Miopati Mitokondria Kelainan otot rangka penting lainnya yang diturunkan adalah hasil dari defek pada kanal ion (kanalopati), metabolisme, dan fungsi mitokondria. • Miopati kanal ion adalah grup kelainan familial yang ditandai oleh miotonia, kekambuhan berulang paralisis hipotonik yang berhubungan dengan kadar kalium serum yang abnormal, atau keduanya. Seperti namanya, penyakit ini berasal dari defek genetik yang diturunkan pada gen yang mengkode kanal ion. Paralisis periodik hiperkalemik berasal dari mutasi pada gen yang mengkode protein kanal natrium SCN4A di otot rangka, yang mengatur masuknya natrium selama kontraksi. Hipertermia maligna adalah sindrom yang jarang dan ditandai oleh keadaan hipermetabolit dxamatis (takikardi, takipnea, spasme otot, dan akhirnya hiperpireksia). Keadaan tersebut dipicu ketika pasien dengan mutasi pada reseptor ryanodine, suatu protein kanal yang melepaskan kalsium, diberikan agen anestetik berhalogen atau suksinilkolin ketika pembedahan. Beberapa pasien juga menunjukkan gejala miopati kongenital yang disebut sebagai penyakit inti sentral, disebut demikian karena pusat dari miofiber berisi kumpulan miofibril yang berantakan. • Miopati akibat inborn errors of metabolism yaitu kelainan sintesis dan degradasi glikogen (Bab 6), dan abnormalitas dalam penanganan lipid. Kelainan yang terakhir disebut termasuk gangguan pada sistem transpor karnitin atau defisiensi sistem enzim dehidrogenase mitokondria, keduanya dapat menyebabkan akumulasi lipid yang signifikan pada miosit (miopati lipid). Kelainan penyimpanan ini dapat bermanifestasi sebagai penyakit sistemik atau menyebabkan fenotipe yang spesifik pada otot. Beberapa berhubungan dengan kerusakan dan kelemahan otot yang berlanjut. Lainnya bermanifestasi dengan episode berulang kerusakan otot karena olahraga berat atau puasa, kadang-kadang berhubungan dengan gagal ginjal akut dan mioglobinuria (rabdomiolisis). • Miopati mitokondria dapat berasal dari mutasi baik pada mitokondria ataupun genom inti (karena beberapa enzim mitokondria disandi dalam DNA inti). Bentuk yang disebabkan oleh mutasi mitokondria menunjukkan pola penurunan maternal (Bab 6). Miopati mitokondria biasanya bermanifestasi pada masa dewasa awal dengan kelemahan otot proksimal dan kadang-kadang mengenai otot okular dan bisa parah terkena (oftalmoplegia eksternal). Dapat juga menimbulkan tanda dan gejala neurologik, asidosis laktat, dan kardiomopati. Beberapa penyakit mitokondria berhubungan dengan morfologi otot normal, sedangkan beberapa lainnya menunjukkan agregat mitokondria abnormal (gambaran bercak merah pada pewarnaan khusus sehingga disebut ragged red fibers). Pada pemeriksaan ultrastruktural, gambaran tersebut sesuai dengan agregat mitokondria abnormal dengan bentuk dan ukurannya yang abnormal, beberapa berisi inklusi tempat parkir (parking lot inclusions) parakristalin.



805



Kelainan Otot Rangka Didapat Berbagai jenis kelainan didapat (acquired) bisa bermanifestasi sebagai kelemahan otot, kram otot, atau nyeri otot. Yang termasuk kelainan ini yaitu miopati peradangan, cedera otot toksik, rabdomiolisis pascainfeksi, dan infark otot pada keadaan diabetes. Pada sebagian besar kasus, kelainan ini terjadi pada orang dewasa dengan onset akut atau subakut.



Miopati Peradangan Polimiositis, dermatomiositis, dan miositis badan inklusi adalah miopati peradangan primer yang paling penting. Penyakit imun lain (misalnya SLE, sarkoidosis) juga dapat mengenai otot rangka. • Polimiositis adalah kelainan autoimun yang berhubungan dengan peningkatan ekspresi molekul MEC kelas I pada miofiber dan terutama infiltrat radang pada endomisium yang berisi sel T sitotoksik CD8+. Reaksi autoimun menyebabkan nekrosis miofiber dan pada akhirnya terjadi regenerasi (Gambar 21-6, A). Pasien dengan polimiositis seringkali berhasil diobati dengan kortikosteroid atau agen-agen imunosupresif lainnya. • Dermatomiositis adalah miopati akibat peradangan tersering pada anak-anak, dan kelainan ini merupakan satu kesatuan. Pada orang dewasa, penyakit ini bermanifestasi sebagai kelainan paraneoplastik. Dalam kedua konteks tersebut, dianggap bahwa penyakit ini memiliki dasar autoimun. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat infiltrat-infiltrat sel mononukleus perivaskular, "dropout" kapiler, adanya inklusi tubuloretikular pada sel endotel, dan kerusakan miofibril dalam pola paraseptaI atau perifasikular (Gambar 21-6, B). Produk-produk gen yang diinduksi interferon tipe 1 meningkat tinggi regulasinya pada otot yang terkena. Beberapa pasien memiliki autoantibodi yang relatif spesifik untuk dermatomiositis; termasuk antibodi terhadap Mi-2 (nuclear helicase) dan protein p155 dan p140, protein yang fungsinya belum jelas. • Miositis badan inklusi adalah miopati peradangan tersering pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun. Miositis ini sama dengan bentuk miositis lainnya, tetapi masih belum ditentukan apakah radang adalah penyebab atau merupakan akibat dari kelainan ini. Ciri morfologik utama dari miositis badan inklusi adalah adanya vakuol-yaktal lingkaran (rimmed vacuoles) (Gambar 21-6, C), yang berisi agregat protein yang sama dengan agregat yang terakumulasi pada otak pasien dengan penyakit neurodegeneratif (tau terhiperfosforilasi, amiloid yang berasal dari protein prekursor 13amilord dan TDP-43) (Bab 20) menimbulkan beberapa spekulasi bahwa penyakit ini adalah kelainan degeneratif karena penuaan. Gambaran lain yang khas dari miopati peradangan kronik yaitu perubahan-perubahan miopati, infiltrat sel mononukleus, fibrosis endomisium, dan perlemakan juga jelas terlihat. Penyakit yang berlanjut menjadi kronik dan perjalanannya progresif serta generalisata biasanya tidak berespons baik terhadap agen-agen imunosupresif, gambaran lain yang memberikan kesan bahwa radang adalah kejadian sekunder.



Miopati Toksik Sejumlah zat kimia dapat menyebabkan jejas otot toksik, termasuk faktor intrinsik (misalnya tiroksin) dan faktor ekstrinsik (misalnya intoksikasi alkohol akut, obat-obatan).



806



BAB 21



Saraf Perifer dan Otot



A



B



C



Gartbar 21-6 Miopati peradangan. A, Polimiositis ditandai oleh infiltrat radang endomisium dan nekrosis miofiber (panah). B, Dermatomiositis sering menunjukkan atrofia paraseptal dan perifasikular yang nyata. C, Miositis badan inklusi, menunjukkan miofiber yang berisi vakuol-vakuol lingkaran (rimmed vacuoles) (panah). Pulasan Gomori trikrom yang dimodifikasi.



• Miopati tirotoksik dapat bermanifestasi sebagai kelemahan otot proksimal akut atau kronik, dan dapat menjadi petunjuk pertama terjadinya tirotoksikosis. Gambaran histologis berupa nekrosis dan regenerasi miofiber. • Miopati etanol terjadi setelah minum alkohol dalam jumlah banyak. Derajat rabdomiolisis dapat berat, kadang-kadang sampai menyebabkan gagal ginjal akut sekunder terhadap mioglobinuria. Pasien biasanya mengeluh nyeri otot akut, yang dapat generalisata atau terbatas hanya pada sekelompok otot saja. Secara mikroskopik terlihat pembengkakan, nekrosis, dan regenerasi miosit. • Miopati obat-obatan dapat disebabkan oleh bermacammacam agen. Saat ini obat yang paling sering menyebabkan miopati ini adalah obat golongan statin. Otot-otot yang terkena menunjukkan tanda cedera miopati, biasanya tanpa komponen radang.



RINGKASAN Kelainan Otot Rangka • Fungsi otot rangka dapat terganggu secara sekunder karena masalah di persarafan otot atau oleh miopati primer yang dapat diturunkan atau didapat • Bentuk-bentuk genetik miopati bermanifestasi menjadi beberapa fenotipe klinis yang cukup berbeda, yaitu distrofin muskular, miopati kongenital, dan distrofia muskular kongenital. • Distrofinopati adalah kefainan terkait X (X4inked disorders) yang disebabkan oleh mutasi pada gen distrofin dan gangguan kompleks distrofin-glikoprotein. Tergantung pada jenis mutasinya, manifestasi penyakit dapat berat seperti pada distrofia muskular Duchenne atau ringan (misalnya distrofia Becker). • Miopati yang didapat memiliki penyebab yang bermacammacam, termasuk peradangan dan pajanan toksik.



TUMOR SELUBUNG SARAF PERIFER Sejumlah tumor yang berbeda dapat muncul dari saraf tepi. Tumor seperti itu dapat bermanifestasi sebagai massa jaringan lunak atau rasa nyeri dan hilangnya fungsi akibat saraf atau struktur sekitarnya yang saling beradu. Pada kebanyakan tumor saraf perifer, sel-sel neoplastik memperlihatkan tanda diferensiasi sel Schwann. Tumor ini biasanya terjadi pada orang dewasa dan dapat berupa varian jinak ataupun ganas. Ciri yang penting dan sering terjadi adalah hubungan tumor ini dengan sindrom tumor familial neurofibromatosis tipe 1 (NF1) dan neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang sering. Tumor dengan diferensiasi otot rangka juga dapat terjadi; tumor ini didiskusikan pada Bab 20, bersama dengan tumor jaringan lunak.



Schwannoma dan Neurofibromatosis Tipe 2 Schwannoma adalah tumor bersimpai jinak yang dapat terjadi pada jaringan Iunak, organ interna, atau akar saraf spinal. Saraf kranial yang paling sering terkena adalah saraf kedelapan bagian vestibular. Tumor yang terjadi pada akar saraf atau saraf vestibular mungkin berhubungan dengan gejala yang terkait dengan penekanan akar saraf, seperti tuli pada kasus schwannoma vestibular. Kebanyakan schwannoma terjadi sporadik, tetapi sekitar 10% kasus berhubungan dengan neurofibromatosis tipe 2 familial. Pasien NF2 berisiko terkena schwannoma, meningioma, dan ependimoma multipel (yang terakhir dijelaskan dalam Bab 22). Adanya schwannoma vestibular bilateral merupakan ciri khas dari NF2. Pasien yang terkena membawa mutasi hilangnya fungsi dominan dari gen merlin di kromosom 22. Merlin adalah protein sitoskeletal yang berfungsi sebagai supresor tumor dengan memfasilitasi inhibisi kontak yang dimediasi oleh E-kadherin (Bab 5). Sebagai catatan, ekspresi merlin juga terganggu pada schwannoma sporadik. Meskipun disebut neurofibroma, penyakit tersebut bukan merupakan ciri dari NF2.



Tumor Selubung Saraf Perifer Schwannomatosis adalah kondisi familial yang berhubungan dengan schwannoma multipel di mana tidak terdapat schwannoma vestibular. Beberapa kasus belakangan ini dihubungkan pada mutasi hilangnya fungsi dalam gen supresor tumor di kromosom 22 yang menyandi protein yang meregulasi struktur kromatin.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan makroskopik, sebagian besar schwannoma tampak sebagai massa yang berbatas tegas dengan saraf di sebelahnya. Pada pemeriksaan mikroskopik, tumor ini sering menunjukkan campuran area padat dan jarang yang disebut sebagai Antoni A dan B (Gambar 21-7, A dan B). Area ini terdiri dari proliferasi yang seragam sel Schwann neoplastik. Pada area Antoni A yang padat, sel spindel lunak dengan inti melengkung tersusun dalam fasikulus yang bersilangan. Sel-sel ini sering berjejer mengakibatkan gambaran area palisade inti (nuclear palisading) bersebelahan dengan area anuldear yang disebut jisim Verocay.Akson tidak banyak terlibat pada tumor ini. Pembuluh-pembuluh darah berdinding tebal yang mengalami hialinisasi sering ditemukan. Perdarahan dan perubahan kistik juga kadang-kadang dapat ditemukan.



807



Neurofibroma Neurofibroma adalah tumor selubung saraf perifer jinak. Tiga subtipe penting yang diketahui: • Neurofibroma kutaneus lokal timbul sebagai tumor polipoid atau tumor nodular superfisial. Tumor ini muncul baik sebagai lesi sporadik soliter maupun sebagai lesi multipel yang sering pada keadaan neurofibromatosis tipe 1 (NF1). • Neurofibroma pleksiform tumbuh secara difus di perbatasan saraf atau pleksus saraf. Pembedahan enukleasi pada Iesi ini sulit dilakukan dan sering berhubungan dengan defisit neurologik permanen. Neurofibroma pleksiform sebenarnya patognomonik pada NF1 (didiskusikan selanjutnya). Tidak seperti tumor selubung saraf jinak lainnya, tumor ini berisiko kecil terhadap transformasi maligna. • Neurofibroma difus adalah proliferasi infiltratif yang dapat berbentuk massa subkutan besar dan gambarannya tidak teratur. Tumor ini sering berhubungan dengan NFT.



A



B



C



D



Gambar 21-7 Schwannoma dan neurofibroma pleksiform. A dan B, Schwannoma. Seperti terlihat pada A, schwannoma sering berisi area-area padat Antoni A yang berwarna merah muda (kiri) dan area jarang Antoni B yang pucat (kanan). dan juga pembuluh-pembuluh darah hialinisasi (kanon). B, Area Antoni A dengan inti-inti sel tumor yang tersusun seperti pagar (polisoding). C dan D, Neurofibroma pleksiform. Fasikulus-fasikulus saraf multipel diperluas oleh sel-sel tumor yang menginfiltrasi (C), yang dengan perbesaran lebih tinggi (D) terlihat disusun oleh sel-sel kumparan lunak bercampur dengan serabut kolagen bergelombang seperti parutan wortel.



808



BAB21 Saraf Perifer dan Otot



MORFOLOGI Tidak seperti schwannoma, neurofibroma tidak mempunyai simpai. Neurofibroma dapat terlihat berbatas tegas, seperti pada neurofibroma kutaneus lokal, atau menunjukkan pola pertumbuhan infiltratif difus. Selain itu, sel-sel Schwann neoplastik pada neurofibroma bercampur dengan sel-sel jenis lain, seperti sel mast, sel mirip fibroblas, dan sel mirip perineurial. Akibatnya, pola pertumbuhan seluler neurofibroma lebih tidak teratur bila dibandingkan dengan schwannoma. Stroma sering berisi jaringan ikat longgar kolagen bergelombang, tetapi dapat juga miksoid atau berisi kolagen padat (Gambar 21-7, D). Neurofibroma pleksiform mengenai banyak lembaran dari tiap saraf yang terkena (Gambar 21-7, C). Akson-akson sisa tampak terbenam dalam proliferasi sel Schwann neoplastik difus, yang memperbesar lembaran tetapi perineuriumnya tetap utuh. Neurofibroma difus menunjukkan pola-pola pertumbuhan infiltratif luas di dalam dermis dan subkutis kulit.



Neuroma Traumatik Neuroma traumatik adalah proliferasi non-neoplastik yang berhubungan dengan jejas saraf perifer yang terjadi sebelumnya. Cedera yang menyebabkan terpotongnya akson dapat mengaktifkan program regeneratif (lihat Gambar 21-1) yang ditandai oleh pertumbuhan dan perpanjangan prosesus dari puntung akson proksimal yang putus. Pada jejas berat yang memutus selubung perineural, prosesus baru ini bisa "salah" targetnya yaitu di ujung distal dari saraf yang terpotong. Pemanjangan prosesus akson yang salah arah ini dapat menginduksi proliferasi reaktif sel Schwann, menyebabkan pembentukan nodul lokal yang nyeri yang terdiri atas campuran akson, sel Schwann, dan jaringan ikat secara acak.



RINGKASAN Tumor Selubung Saraf Perifer •



Tumor Selubung Saraf Perifer Ganas Tumor selubung saraf perifer ganas adalah neoplasma yang terlihat pada orang dewasa yang biasanya menunjukkan tanda berasal dari sel Schwann dan kadang-kadang jelas berasal dari saraf perifer. Tumor ini dapat terjadi dari transformasi neurofibroma, biasanya tipe pleksiform. Sekitar setengah dari tumor ini terjadi pada pasien dengan NF1, dan dari semua pasien dengan NF1 3-10% terkena tumor selubung saraf perifer ganas selama hidupnya.



MORFOLOGI Tumor selubung saraf perifer ganas bermanifestasi sebagai massa jaringan lunak besar yang batasnya tidak tegas. Pada pemeriksaan histologis, tumor ini sangat seluler dan memperlihatkan gambaran keganasan yang jelas, yaitu anaplasia, nekrosis, pola pertumbuhan infiltratif, pleomorfisme, dan aktivitas proliferatif yang tinggi. Pada pembesaran kecil sering terlihat area selularitas tinggi dan rendah yang menghasilkan gambaran seperti marmer. Sering juga terlihat peningkatan densitas seluler pada area perivaskular.



Neurofibromatosis Tipe I NF1 adalah kelainan autosom dominan yang disebabkan oleh mutasi pada gen supresor tumor neurofibromin, yang disandi di lengan panjang kromosom 17 (17q). Neurofibromin adalah regulator negatif dari onkoprotein poten Ras (Bab 5). Gangguan fungsi neurofibromin dan hiperaktivitas Ras tampaknya merupakan ciri utama tumor terkait NFI. Seperti yang diantisipasi bagi gen supresor tumor, satu-satunya alel neurofibromin normal bermutasi atau diam (silent) pada tumor yang terjadi pada NF1, termasuk neurofibroma atau ketiga jenis utamanya, tumor ganas selubung saraf perifer, glioma optik, dan tumor glia lainnya. Selain itu, pasien dengan NF1 menunjukkan gejala dalam berbagai derajat seperti disabilitas belajar, kejang, abnormalitas tulang, abnormalitas vaskular dengan stenosis arteri, nodul berpigmen pada iris (lisch nodules), dan lesi berpigmen pada kulit (freckle aksila dan bintik cafe au lait).







• • •







Pada kebanyakan kasus tumor selubung saraf perifer, selsel neoplastik menunjukkan tanda diferensiasi sel Schwann. Tumor selubung saraf perifer adalah ciri penting dari sindrom tumor familial neurofibromatosis tipe I (NF I ) dan tipe 2 (NF2). Schwannoma dan neurofibroma adalah tumor selubung saraf jinak. Schwannoma berbatas tegas, biasanya tumor bersimpai yang bisa berasal dari saraf atau merupakan bagian dari N F2. Neurofibroma dapat bermanifestasi sebagai nodul subkutan sporadik, atau sebagai lesi jaringan lunak besar yang tidak tegas, atau dapat juga sebagai pertumbuhan berbatas di dalam saraf. Neurofibroma berhubungan dengan NFI Sekitar 50% tumor ganas selubung saraf perifer terjadi denovo pada orang yang normal, sedangkan sisanya berasal dari transformasi ganas neurofibroma terkait NF- I yang telah ada sebelumnya



KEPUSTAKAAN Amato AA, Bamhn RJ: Evaluation and treatment of inflammatory myopathies. J Neurol Neurosurg Psychiatry 80:1060, 2009. (Ulasan tentang miopati peradangan idiopatik yang terfokus khususnya pada gejala klinis dan terapi.] Briemberg HR: Peripheral nerve complications of medical disease. Semin Neurol 29:124, 2009. (Ulasan tentang cara penyakit-penyakit medis seperti diabetes, penyakit jaringan ikat, kanker, dan infeksi mempengaruhi saraf perifer.] Dalakas MC: Inflammatory muscle diseases: a critical review on pathogenesis and therapies. Curr Opin Pharmacol 10:346, 2010. [Diskusi konsep-konsep terbaru dalam patofisiologi miopati peradangan idiopatik.] Finsterer J, Stollberger C: Primary myopathies and the heart. Scand Cardiovasc J 42:9, 2008. [Ulasan tentang miopati yang diturunkan dengan fokus pada keterlibatan jantung yang terkena.] Greenberg SA: Inflammatory myopathies: disease mechanisms. Curr Opin Neurol 22:516, 2009. Iniskusi konsep-konsep terbaru dalam patofisiologi miopati peradangan idiopatik3 Habib AA, Brannagan TH III: Therapeutic strategies for diabetic neuropathy. Curr Neurol Neurosci Rep 10:92, 2010. (Ulasan yang terfokus khususnya pada gejala klinis dan terapi neuropati diabetik.) Hewer E, Goebel HH: Myopathology of non-infectious inflammatory myopathies — the current status. Pathol Res Pract 204:609, 2008. (Kajian yang terfokus pada gambaran-gambaran patologis dari miopati peradangan.) Klopstock T: Drug-induced myopathies. Curr Opin Neurol 21:590, 2008. (Ulasan yang terfokus khususnya pada efek statin dan nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors untuk infeksi HIV/ AIDS.) Mahadeva B, Phillips LH, Juel VC: Autoimmune disorders of neuromuscular transmission« Semin Neurol 28:212, 2008. (Kajian tentang miastenia gravis dan sindrom IAmbert-Eatort)



Tumor Selubung Saraf Perifer McClatchey AI: Neurofibromatosis. Annu Rev Pathol 2:191, 2007. (Kajian tentang sifat yang membedakan neurofibromatosis tipe 1, neurofibromatosis tipe 2, dan schwannomatosis, dengan fokus pada genetik.) Nelson SF, Crosbie RH, Miceli MC, et al: Emerging genetic therapies to treat Duchenne muscular dystrophy. Curr Opin Neurol 22:532, 2009. (Ulasan yang baik tentang perkembangan terkini dalam pencarian terapi baru,) North K: What's new in congenital myopathies? Neuromuscul Disord 18:433, 2008. (Kajian tentang perkembangan baru dalam miopati kongenital.) Obrosova IG: Diabetes and the peripheral nerve. Biochim Biophys Acta 1792:931, 2009. (Diskusi mendetil tentang patofisiologi neuropati diabetik.)



809



Silberman J, Lonial S: Review of peripheral neuropathy in plasma cell disorders. Hernatol Oncol 26:55, 2008. (Kajian tentang bagaimana penyakit saraf perifer berhubungan dengan kelainan sel plasma dan kemoterapi yang digunakan dalam pengobatannya.) van Adel BA, Tamopolsky MA: Metabolic myopathies: update 2009. J Clin Neuromuscul Dis 10:97, 2009. (Kajian tentang miopati metabolig)



This page intentionally left blank



22 BAB



Sistem Saraf Pusat DAFTAR ISI BAB Pola Jejas Sistem Saraf 811 Edema, Herniasi dan Hidrosefalus 812



Malformasi 822 Jejas Otak Perinatal



Infeksi Sistem Saraf



Edema Serebral 812 Hidrosefalus 812 Herniasi 813



Penyakit Serebrovaskular



Hipoksia, Iskemia dan Infark Perdarahan Intrakranial 817 Penyakit Vaskular Lain 819



814



814



Trauma Sistem Saraf Pusat Jejas Parenkim Traumatik Jejas Vaskular Traumatik



820



820 821



Malformasi Kongenital dan Jejas Otak Perinatal 822



Kelainan Toksik 824



824



Infeksi Epidural dan Subdural 824 Meningitis 825 Infeksi Parenkim 826 Penyakit Prion 831



Penyakit Mielin Primer



Sklerosis Multipel (SM) Penyakit Demielinasi Didapat Lainnya 834 Leukodistrofi 834



832



832



Gangguan Metabolit dan Toksik Didapat 835



Penyakit Nutrisi 835 Kelainan Metabolit 835



Penyakit sistem saraf pusat (SSP) degeneratif, inflamasi, infeksi dan neoplastik merupakan beberapa penyakit paling serius pada manusia. Aspek patologi penyakit ini menunjukkan banyak gambaran yang mencerminkan sifat unik dari SSP. Faktanya, diagnosis dan analisis gangguan SSP membutuhkan keahlian khusus, suatu kenyataan yang menuntun terciptanya bidang neuropatologi.



POLA JEJAS SISTEM SARAF Sel pada sistem saraf memberi respons pada berbagai jenis jejas dengan perubahan morfologik yang berbeda.



MORFOLOGI Gambaran Jejas Neuron. Sebagai respons terhadap jejas, sejumlah perubahan terjadi pada neuron dan prosesnya (akson dan dendrit). Paparan hipoksikiskemik yang ireversibel selama 12 jam menyebabkan kerusakan neuron akut yang jelas pada pewarnaan rutin hematoksilin dan eosin (H&E) (Gambar 22-1, A). Terjadi penyusutan badan sel, piknosis inti sel, hilangnya anak inti, hilangnya substansi Nissl,



835



Penyakit Neurodegeneratif 836 Penyakit Alzheimer 836 Degenerasi Lobus Frontotemporal 838 Penyakit Parkinson 839 Penyakit Huntington 840 Ataksia Spinoserebelar 840 Sklerosis Amiotropik Lateral 841



Tumor



842



Glioma 842 Tumor Neuron 844 Neoplasma Embrional (Primitif) 844 Other Parenchymal Tumors 845 Meningioma 846 Tumor Metastatik 846 Sindrom Tumor Familial 847



dengan eosinofilia keras pada sitoplasma ("neuron merah/red neurons"). Seringkali inti sel berbentuk angulus dalam badan sel yang menyusut. Akson yang terkena jejas mengalami pembengkakan dan menunjukkan ganggguan pada transporaksonal. Pembengkakan (sferoid) dapat dikenali pada perwarnaan H&E (Gambar 22-1, B) dan dapat dipertegas dengan pewarnaan perak atau imunohistokimia. Jejas pada akson juga dapat menyebabkan pembesaran dan pembulatan badan sel, pemindahan inti ke perifer, pembesaran anak inti, dan penghamburan substansi Nissl ke perifer (kromatolisis sentral) (Gambar 22-1, C). Sebagai tambahan, jejas akut biasanya menyebabkan kehancuran sawar darah otak dan edema serebral dalam berbagai tingkatan (dibahas kemudian). Banyak penyakit neurodegeneratif berhubungan dengan inklusi intrasel yang spesifik (contoh jisim Lewy pada penyakit Parkinson dan seperti benang kusut/tangle pada penyakit Alzheimer), juga akan dibahas kemudian. Virus patogen dapat juga membentuk inklusi dalam neuron, seperti yang juga terjadi pada sel tubuh lain. Pada beberapa penyakit neurodegeneratif, prosesus neuron bisa menebal dan berliku-liku; disebut neurit distrofik. Dengan bertambahnya usia, neuron dapat menimbun zat lemak kompleks (lipofusin) dalam sitoplasma dan lisosom. Astrosit pada Jejas dan Pemulihan. Astrosit adalah sel utama yang bertanggung jawab dalam



812



B A B 22



A



Sistem Saraf Pusat



C



B



Gambar 22-1 Pola-pola jejas neuron. A, Jejas hipoksik-iskemik akut di korteks serebri, dengan badan sel menyusut, bersamaan dengan inti sel. Sel-sel ini juga terpulas dengan jelas oleh eosin ("neuron merah"). B, Aksonal sferoid terlihat sebagai pembengkakan bulat di tempat pemutusan, atau perubahan transpor akson. C, Dengan kerusakan aksonal bisa terdapat pembengkakan badan sel dan penyebaran perifer substansi Nissl, yang disebut kromatolisis.



pemulihan dan pembentukan jaringan parut dalam otak, suatu proses yang disebut gliosis. Dalam merespons jejas, astrosit mengalami hipertrofia dan hiperplasia. Inti sel membesar, menjadi vesikular dan anak inti semakin mencolok Sitoplasma yang awalnya sedikit, mengembang, berwarna merah muda terang, sel memperluas dan memperbanyak percabangan prosesnya yang kuat dan multipel (astrosit gemistositik). Tidak seperti di bagian tubuh lain, fibroblas ikut serta dalam penyembuhan setelah jejas otak hingga batas tertentu kecuali pada kondisi tertentu (trauma tembus otak atau di sekitar abses). Pada gliosis yang berlangsung lama, sitoplasma dari astrosit reaktif menyusut ukurannya dan prosesus sel semakin terjalin erat (astrosit fibriler). Serabut Rosenthal adalah agregat protein eosinofilik, tebal, memanjang yang ditemukan dalam prosesus astrosit pada gliosis kronik dan beberapa glioma derajat rendah. Perubahan pada Sel jenis Lain. Oligodendrosit, yang memproduksi mielin, memperlihatkan perubahan morfologik spesifik dalam spektrum terbatas sebagai respons terhadap berbagai jejas. Pada leukoensefalopati multifokal progresif, inklusi virus dapat terlihat dalam oligodendrosit, dengan inti sel yang membesar secara homogen dan tampak kotor. Sel mikroglia adalah sel yang berasal dari sumsum tulang yang berfungsi sebagai fagosit yang menetap di SSR Ketika teraktivasi oleh jejas jaringan, infeksi, atau trauma, sel microglia berproliferasi dan menjadi mencolok secara histologis. Sel mikroglia akan menjadi makrofag aktif di area demielinasi, infark terorganisasi, atau perdarahan; pada kondisi lain seperti neurosifilis atau infeksi lain, inti sel ini akan memanjang (sel batang). Kumpulan sel mikroglia panjang di jaringan yang mengalami jejas disebut nodul mikroglia. Kumpulan serupa dapat ditemukan mengelilingi dan memfagosit neuron yang terluka (neuronofagia). Sel ependim melapisi sistem ventrikel dan kanalis sentralis korda spinalis. Patogen tertentu, khususnya sitomegalovirus (CMV) dapat menyebabkan jejas luas pada ependim, dengan inklusi virus khas. Pleksus koroid merupakan kelanjutan dari ependim, dan epitel pelapis khususnya bertanggung jawab dalam sekresi cairan serebrospinal (CSS).



EDEMA, HERNIASI DAN HIDROSEFALUS Otak dan medula spinalis berada dalam perlindungan tulang tengkorak dan kanalis spinalis yang kokoh, dengan saraf dan pembuluh darah yang lewat melalui foramen spesifik. Manfaat keberadaan SSP yang lunak di dalam suatu lingkungan protektif semacam itu sudah jelas, tetapi susunan ini menyediakan ruangan yang kecil bagi parenkim otak yang membesar pada kondisi sakit. Kelainan yang dapat menyebabkan peningkatan volume otak di dalam ruang tengkorak yang terbatas akan sangat berbahaya seperti pada edema serebral generalisata, hidrosefalus dan lesi massa seperti tumor.



Edema Serebral Edema serebral adalah akumulasi cairan yang berlebihan di dalam parenkim otak. Ada dua jenis, yang sering terjadi bersamaan terutama setelah jejas menyeluruh/ generalisata. • Edema vasogenik terjadi ketika integritas normal sawar darah otak terganggu, memungkinkan cairan berpindah dari ruang vaskular ke ruang ekstrasel otak. Edema vasogenik bisa lokal (contoh peningkatan permeabilitas vaskular akibat radang atau tumor) atau generalisata. • Edema sitotoksik adalah peningkatan cairan intrasel sekunder akibat jejas membran neuron dan sel glia, yang bisa terjadi karena jejas hipoksik iskemik generalisata atau setelah terpapar beberapa toksin tertentu. Jaringan otak yang edema lebih lunak dari jaringan otak normal dan sering terlihat "terlalu memenuhi" ruang tengkorak. Pada edema generalisata, girus mendatar, sulkus-sulkus di antaranya menyempit, dan rongga ventrikel tertekan (Gambar 22-2).



Hidrosefalus Setelah diproduksi oleh pleksus koroid di dalam ventrikel, CSS bersirkulasi melalui sistem ventrikel



Edema, Herniasi dan Hidrosefalus



Gambar 22-2 Edema serebri. Permukaan girus mendatar sebagai akibat dari penekanan dari otak yang mengembang oleh duramater dan permukaan dalam tengkorak. Perubahan semacam itu berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial yang berbahaya.



dan mengalir melewati foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subaraknoid, kemudian CSS akan diserap oleh granulasi araknoid. Keseimbangan antara kecepatan pembentukan dan resorpsi mengatur volume CSS. Hidrosefalus adalah akumulasi CSS berlebihan dalam sistem ventrikel. Kelainan ini paling sering terjadi akibat gangguan aliran atau resorpsi; produksi berlebihan CSS, terutama pada tumor pleksus koroid, jarang menyebabkan hidrosefalus. Jika terjadi hambatan lokal pada aliran CSS di dalam sistem ventrikel, maka sebagian ventrikel akan membesar dan sisanya tidak. Pola seperti ini disebut sebagai hidrosefalus nonkomunikans (noncommunicating hydrocephalus) dan paling sering disebabkan oleh massa yang membendung foramen Monro atau menekan akuaduktus serebral. Pada hidrosefalus komunikans (communicating hydrocephalus), seluruh sistem ventrikel membesar; keadaan ini biasanya disebabkan oleh berkurangnya resorpsi CSS. Jika hidrosefalus timbul pada bayi sebelum penutupan sutura kranial, kepala akan membesar. Ketika sutura menyatu, hidrosefalus akan menyebabkan pengembangan ventrikel dan peningkatan tekanan intrakranial, tetapi tidak ada perubahan ukuran lingkar kepala (Gambar 22-3). Berbeda dengan kondisi ini, ialah apabila penambahan volume CSS merupakan proses primer, sehingga peningkatan CSS akan dikompensasi dengan berkurangnya parenkim otak (hydrocephalus ex vacuo), seperti kondisi setelah infark atau pada penyakit degeneratif.



813



Gambar 22-3 Hidrosefalus. Dilatasi ventrikel lateral terlihat pada potongan koronal melewati midtalamus.



• Herniasi subfalcine (cingulate) terjadi apabila perluasan unilateral atau asimetris hemisfer serebri menggeser girus cingulate di bawah tepi falx. Ini dapat terkait dengan penekanan pada arteri serebri anterior. • Herniasi transtentorial (uncinate) terjadi apabila aspek medial lobus temporal tertekan ke arah batas bebas tentorium. Apabila lobus temporal bergeser, terjadi penekanan saraf kranial ketiga sehingga menyebabkan dilatasi pupil dan gangguan pergerakan bola mata di sisi lesi ("blown pupil").



Herniasi subfalcine



Herniasi Ketika volume jaringan dan cairan di dalam tengkorak meningkat melebihi batas tekanan vena dan pergeseran CSS, tekanan intrakranial akan meningkat. Ruang tengkorak terbagi oleh lipatan dura yang kaku (falx dan tentorium), dan suatu perluasan fokal di otak bisa menggeser sekat ini. Jika perluasan cukup besar, terjadi herniasi. Herniasi sering menyebabkan "penjepitan" dan penekanan pembuluh darah pada jaringan yang tertekan,sehingga mengakibatkan infark, pembengkakan bertambah dan selanjutnya herniasi. Ada tiga jenis utama herniasi (Gambar 22-4).



Herniasi transtentorial Herniasi tonsilar



Gambar 22-4 Sindrom herniasi. Pergeseran parenkim otak melewati pembatas tetap. Herniasi dapat berupa subfalsine, transtentorial, atau tonsilar (ke dalam foramen magnum).



814



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



Pembuluh arteri serebri posterior juga dapat tertekan, menyebabkan jejas iskemik pada jaringan yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut, termasuk korteks visual primer. Jika jumlah lobus temporal yang bergeser cukup besar, tekanan otak tengah (midbrain) dapat menekan pedunkulus serebri kontralateral ke arah tentorium, menyebabkan hemiparesis ipsilateral pada sisi herniasi (yang disebut tanda lokal palsu). Penekanan pada pedunkulus menimbulkan suatu deformitas yang dikenal sebagai takik Kernohan (Kemohan's notch). Progresivitas herniasi transtentorial sering disertai oleh perdarahan linear atau berbentuk seperti api pada otak tengah dan pons yang disebut perdarahan Duret (Gambar 22-5). Lesi ini biasanya terjadi di regio garis tengah atau paramedian dan dianggap sebagai hasil dari robeknya pembuluh vena dan arteri yang memperdarahi batang otak atas. • Herniasi tonsilar menunjukkan pergeseran tonsil serebelar ke dalam foramen magnum. Jenis herniasi ini mengancam nyawa karena menyebabkan penekanan batang otak dan pusat vital pernapasan dan jantung di medula.



PENYAKIT SEREBROVASKULAR Penyakit serebrovaskular suatu golongan besar kelainan otak yang disebabkan oleh proses patologis yang melibatkan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang dan penyebab morbiditas neurologik paling sering. Tiga mekanisme patogenik utama adalah (1) oklusi trombotik, (2) oklusi embolik, dan (3) ruptur vaskular. Stroke adalah istilah klinis yang digunakan untuk semua kondisi ini saat gejala akut muncul. Trombosis dan emboli mempunyai akibat yang sama pada otak yaitu berkurangnya oksigen dan substrat metabolit, menyebabkan infark atau jejas iskemik pada bagian yang diperdarahi oleh pembuluh yang terkena. Jejas serupa terjadi menyeluruh ketika terjadi hilangnya perfusi total, hipoksemia berat (contoh syok hipovolemik), atau hipoglikemia berat. Perdarahan yang menyertai rupturnya pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan jaringan langsung seperti halnya jejas iskemik sekunder. Jejas vaskular traumatik akan dibahas terpisah dalam konteks trauma.



Hipoksia, Iskemia dan Infark RINGKASAN Edema, Herniasi dan Hidrosefalus •



• •



Edema serebri adalah akumulasi cairan berlebihan di dalam parenkim otak. Hidrosefalus didefinisikan sebagai suatu peningkatan volume CSS di seluruh atau sebagian sistem ventikel. Peningkatan volume otak (akibat peningkatan volume CSS, edema, perdarahan, atau tumor) meningkatkan tekanan di dalam tengkorak yang berkapasitas tetap. Peningkatan tekanan dapat merusak otak, baik oleh penurunan perfusi atau pergeseran jaringan melewati sekat dura di dalam tengkorak atau melalui celah-celah di dalam tengkorak (herniasi).



Otak adalah jaringan yang sangat bergantung pada oksigen yang membutuhkan suplai glukosa dan oksigen terus-menerus dari darah. Walaupun beratnya tidak lebih dari 2% berat badan, tetapi otak menerima 15% output pompa jantung saat istirahat dan bertanggung jawab atas 20% konsumsi oksigen seluruh tubuh. Aliran darah otak normalnya tetap stabil terhadap perubahan tekanan darah dan tekanan intrakranial karena kemampuan autoregulasi resistensi vaskularnya. Otak bisa kekurangan oksigen melalui dua mekanisme umum: • Hipoksia fungsional, disebabkan oleh rendahnya tekanan parsial oksigen (contoh di dataran tinggi), gangguan kapasitas pembawa oksigen (contoh anemia berat, keracunan karbon monoksida), atau hambatan penggunaan oksigen oleh jaringan (contoh keracunan sianida). • Iskemia, baik sementara atau permanen, akibat hipoperfusi jaringan yang dapat disebabkan oleh hipotensi, obstruksi vaskular, atau keduanya.



Iskemia Serebral Global



Gambar 22-5 Perdarahan Duret. Saat efek massa menggeser otak ke bawah, ada pemutusan pembuluh darah yang memasuki pons terputus di sepanjang garis tengah, menyebabkan perdarahan.



Jejas hipoksik iskemik luas dapat terjadi pada keadaan hipotensi sistemik berat, biasanya ketika tekanan sistolik di bawah 50 mm Hg, seperti pada berhentinya jantung, syok dan hipotensi berat. Tampilan klinis bervariasi bergantung pada berat dan lamanya serangan terjadi. Ketika serangannya ringan, mungkin hanya terjadi keadaan bingung (confusional) pasca iskemik sementara yang pada akhirnya sembuh sempurna. Neuron lebih rentan terhadap jejas hipoksik daripada sel glia dan neuron paling rentan adalah sel piramida di hipokampus, neocorteks, dan sel Purkinje sebelum. Pada beberapa individu, bahkan serangan iskemik global ringan atau sementara sudah dapat merusak area sensitif tersebut. Pada serangan iskemia otak global berat, kematian neuron luas terjadi tanpa mempedulikan tingkat kerentanan regional. Pasien yang bertahan hidup sering menyisakan gangguan neurologik dan keadaan vegetatif persisten. Pasien lainnya mengalami keadaan klinis yang disebut mati otak, termasuk tanda jejas korteks difus (elektroensefalogram isoelektrik, atau "datar") dan kerusakan batang otak,



Penyakit Serebrovaskular termasuk hilangnya refleks dan gerakan pernapasan. Apabila pasien dengan jejas ireversibel seperti ini dipertahankan dengan bantuan ventilasi mekanik, otak secara bertahap akan mengalami autolisis, menyebabkan keadaan yang disebut sebagai otak respirator ("respirator brain").



Distribusi hilangnya neuron dan gliosis di neokorteks biasanya tidak merata dengan penyisaan beberapa lapisan dan penghancuran daerah lain suatu pola yang disebut nekrosis pseudolaminar. Infark zona perbatasan ("watershed") adalah area infark berbentuk baji yang terjadi dalam regio otak dan korda spinalis yang terletak pada bagian paling distal dari daerah cakupan arteri. Infark ini biasanya terlihat setelah episode hipotensi. Di dalam hemisfer serebri, zona perbatasan antara distribusi arteri serebri anterior dan medial mempunyai risiko paling tinggi terkena. Kerusakan pada regio ini mengakibatkan sekelompok nekrosis di sepanjang kelengkungan otak beberapa sentimeter lateral dari fisura interhemisferik.



MORFOLOGI Dalam kondisi iskemia global, otak membengkak, dengan pelebaran girus dan penyempitan sulkus. Permukaan potongan menunjukkan batas yang tidak jelas antara substansi abu-abu (substansia grisea) dan putih (substansia alba). Perubahan histopatologis yang menyertai jejas iskemik ireversibel (infark) dikelompokkan menjadi tiga kategori. Perubahan awal, terjadi 12-24 jam setelah serangan, termasuk perubahan sel neuron akut (neuron merah) (Gambar 22-1, A) ditandai awalnya oleh mikrovakuolisasi, diikuti oleh eosinofilia sitoplasmik, dan kemudian piknosis inti dan karioreksis. Perubahan serupa terjadi kemudian pada astrosit dan oligodendroglia. Setelah ini, reaksi kerusakan jaringan dimulai dengan infiltrasi neutrofil (Gambar 22-6, A). Perubahan subakut, terjadi setelah 24 jam sampai 2 minggu, termasuk nekrosis jaringan, influks makrofag, proliferasi vaskular, dan gliosis reaktif (Gambar 22-6, B). Pemulihan, terjadi setelah 2 minggu, ditandai oleh pembersihan jaringan nekrotik, hilangnya struktur organisasi SSP, dan gliosis (Gambar 22-6, C).



A



815



Iskemia Serebral Fokal Oklusi arteri serebri pertama kali menyebabkan iskemia fokal dan kemudian infark pada daerah distribusi pembuluh darah yang tertekan. Ukuran, lokasi, dan bentuk infark serta luasnya kerusakan jaringan yang dihasilkan dapat dimodifikasi oleh aliran darah kolateral. Khususnya, aliran kolateral yang melewati sirkulus Willis atau anastomosis kortekslepto meninggal dapat membatasi kerusakan di beberapa regio. Sebaliknya, hanya ada sedikit aliran kolateral pada struktur seperti talamus, ganglia basal, dan susbtansi putih dalam, yang disuplai oleh penetrasi dalam pembuluh darah.



B Gambar 22-6 Infark serebri. A, Infiltrasi infark serebri oleh neutrofil dimulai di tepi lesi yaitu tempat terdapatnya suplai pembuluh darah. B, Pada hari ke-10, area infark menunjukkan adanya makrofag dan gliosis reaktif di sekitarnya. C, Infark intrakorteks lama terlihat sebagai area hilangnya jaringan dengan sedikit gliosis residual.



C



816



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



Infark emboli lebih umum daripada infark akibat trombosis. Trombus mural jantung sering menjadi sumber emboli; disfungsi miokardium, penyakit katup, dan fibrilasi atrium adalah faktor predisposisi yang penting. Tromboemboli juga muncul dalam arteri, paling sering dari plak ateromatosa di dalam arteri karotis dan arkus aorta. Emboli lain yang berasal dari vena menyeberang ke sirkulasi arteri melalui defek jantung dan tersangkut di otak (emboli paradoksikal; lihat Bab 3); termasuk tromboemboli dari vena dalam kaki dan emboli lemak, biasanya menyertai trauma tulang. Area cakupan arteri serebri media, perpanjangan langsung dari arteri karotis interna, paling sering terkena infark emboli. Emboli mempunyai kecenderungan untuk tersangkut pada percabangan pembuluh darah atau pada area stenosis, biasanya disebabkan oleh aterosklerosis. Oklusi trombotik penyebab infark serebri biasanya terletak di atas plak aterosklerosis; biasanya berlokasi di bifurkasi karotis, asal arteri serebri media, dan kedua ujung arteri basilar. Oklusi ini dapat disertai oleh ekstensi anterograd, dan juga fragmentasi trombus dan embolisasi distal.



A



Infark dapat dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan makroskopik dan kesesuaian gambaran radiologik (Gambar 22-7). Infark nonhemoragik terjadi akibat oklusi vaskular akut dan dapat diobati dengan terapi trombolitik, terutama jika diketahui secepatnya setelah kejadian. Pendekatan ini merupakan kontraindikasi pada infark hemoragik, yang diakibatkan dari reperfusi jaringan iskemik, baik melalui kolateral atau setelah penghancuran emboli, dan sering menyebabkan perdarahan petekie multipel, kadang-kadang berkonfluensi (Gambar 22-7, A dan B).



B



MORFOLOGI Gambaran makroskopik infark nonhemoragik berkembang terus sepanjang waktu. Selama 6 jam pertama, tidak ada perubahan jaringan yang tampak, tetapi setelah 48 jam, jaringan menjadi pucat, lunak, dan membengkak. Dari hari ke-2 hingga ke-10, jaringan otak menjadi seperti agar-agar dan rapuh, dan perbatasan antara jaringan normal dan abnormal menjadi lebih tegas seiring dengan perbaikan edema di jaringan sekitarnya yang sehat. Dari hari ke-10 hingga minggu ke-3, jaringan mencair, akhirnya meninggalkan suatu rongga berisi cairan yang dilapisi oleh jaringan kelabu gelap, yang meluas secara bertahap ketika jaringan mati diresorbsi (Gambar 22-7, C). Secara mikroskopik, reaksi jaringan mengikuti serangkaian urutan karakteristik. Setelah 12 jam pertama, perubahan neuron iskemik (neuron merah) (Gambar 22-1, A) dan edema sitotoksik dan vasogenik mendominasi. Sel endotel dan glia, terutama astrosit, membengkak, dan serabut bermielin mulai hancur. Sampai 48 jam, terdapat emigrasi neutrofil yang diikuti oleh sel fagosit mononukleus selama 2-3 minggu berikutnya. Makrofag yang mengandungi mielin atau produk pemecahan sel merah dapat menetap dalam lesi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Selama proses fagositosis dan pencairan berlangsung, astrosit di tepi lesi membesar secara progresif, membelah, dan membentuk suatu jaringan perluasan sitoplasmik yang mencolok. Setelah beberapa bulan, inti astrosit yang mencolok dan pembesaran sitoplasmik mengalami regresi.



C Gambar 22-7 Infark serebri. A, Potongan otak menunjukkan regio perdarahan fokal luas, kehitaman di tempat distribusi arteri serebri media kiri (infark perdarahan atau infark merah). B, infark dengan titik-titik perdarahan, sesuai dengan jejas iskemia reperfusi, terlihat di lobus temporal. C, infark kistik lama memperlihatkan destruksi korteks dan gliosis sekitarnya.



Dalam dinding rongga, prosesus astrosit membentuk suatu jalinan padat (feltwork) serabut glia bercampur dengan kapiler baru dan sedikit serabut jaringan ikat perivaskular. Pada korteks serebri, rongga dibatasi dari meninges dan ruang subaraknoid oleh lapisan jaringan gliotik,



Penyakit Serebrovaskular



817



yang berasal dari lapisan molekuler korteks. Pia dan araknoid tidak terkena dan tidak membantu dalam proses penyembuhan. Gambaran mikroskopik dan evolusi infark hemoragik sejalan dengan yang ada pada infark iskemik, dengan tambahan ekstravasasi dan resorpsi darah. Pasien dengan kondisi koagulopati, yang mengalami infark hemoragik berhubungan dengan hematoma intraserebral luas.



Perdarahan Intrakranial Perdarahan di dalam otak berhubungan dengan (1) penyakit hipertensi dan penyakit lain yang menyebabkan jejas dinding vaskular, (2) lesi struktural seperti malformasi arteriovenosa dan kavernosa, dan (3) tumor. Perdarahan subaraknoid paling sering disebabkan oleh pecahnya aneurisma tetapi dapat juga terjadi pada malformasi vaskular lainnya. Perdarahan subdural atau epidural biasanya dikaitkan dengan trauma.



Perdarahan Parenkim Otak Primer Pendarahan spontan (nontraumatik) intraparenkim paling sering terjadi pada orang dewasa usia pertengahan hingga usia lanjut, dengan insidens puncak sekitar usia 60 tahun. Kebanyakan disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kecil intraparenkim. Hipertensi adalah penyebab utama yang mendasarinya, dan perdarahan otak terhitung sekitar 15% dari jumlah kematian pada penderita hipertensi kronik. Perdarahan intraserebral secara klinis bisa berbahaya jika mengenai sebagian besar otak atau meluas ke dalam sistem ventrikel; selain itu, perdarahan yang terjadi bisa kecil dan tidak menimbulkan gejala klinis (silent). Perdarahan intraparenkim hipertensi biasanya terjadi di ganglia basal, talamus, pons dan serebelum (Gambar 22-8), dengan lokasi dan ukuran perdarahan menentukan manifestasi klinisnya. Jika seseorang bertahan hidup dari kejadian akut, resolusi bertahap hematoma akan terjadi, kadang-kadang dengan perbaikan klinis yang cukup bermakna.



MORFOLOGI Perdarahan akut ditandai oleh ekstravasasi darah, yang mendesak parenkim di dekatnya. Dengan berjalannya waktu, perdarahan dikonversi menjadi rongga dengan tepi (rim) coklat kehitaman. Pada pemeriksaan mikroskopik, lesi awal terdiri atas beku darah yang dikelilingi oleh jaringan otak yang menunjukkan neuronanoksik dan perubahan glia serta edema. Pada akhirnya edema menghilang, kemudian muncul makrofag mengandungi pigmen dan lipid (pigment-and lipid-laden macrophages), dan proliferasi astrosit reaktif menjadi terlihat di pinggir lesi. Peristiwa tingkat seluler kemudian mengikuti perjalanan waktu yang sama dengan yang diamati setelah infark serebri.



Angiopati Amiloid Serebral Angiopati amiloid serebral (AAS) adalah suatu penyakit mengendapnya peptida amiloidogenik, khususnya yang sama dengan yang ditemukan dalam penyakit Alzheimer (didiskusikan kemudian), dalam dinding pembuluh meningeal dan korteks berukuran medium dan kecil. Amiloid memberi gambaran seperti pipa yang kaku dan dapat diwarnai dengan pulasan Congo red. Deposit amiloid akan melemahkan dinding pembuluh darah dan meningkatkan risiko perdarahan, yang berbeda



Gambar 22-8 Perdarahan serebral. Perdarahan hipertensi masif yang ruptur ke ventrikel lateral.



distribusinya dari perdarahan yang terkait hipertensi. Secara spesifik, perdarahan terkait AAS sering terjadi dalam lobus korteks serebri (perdarahan lobar).



Perdarahan Subaraknoid dan Aneurisma Sakular Secara klinis penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik yang signifikan adalah pecahnya aneurisma sakular (berry aneurysm). Perdarahan ke dalam ruang subaraknoid juga dapat berasal dari malformasi vaskular, trauma (biasanya terkait dengan tanda jejas lain), pecahnya pembuluh darah intraserebral ke dalam sistem ventrikel, gangguan hematologik, dan tumor. Ruptur dapat terjadi kapanpun, tetapi pada sekitar sepertiga kasus berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial akut, seperti saat sedang mengedan atau orgasme seksual. Darah dengan tekanan arterial dipaksa masuk ke dalam ruang subaraknoid, dan pasien terserang sakit kepala mendadak yang sangat menyiksa (secara klasik dideskripsikan sebagai "sakit kepala terparah yang pernah saya alami") dan penurunan kesadaran cepat. Antara 25% dan 50% pasien meninggal pada serangan perdarahan pertama, dan perdarahan berulang biasanya terjadi pada mereka yang dapat bertahan hidup setelah serangan pertama. Tidak mengejutkan, prognosis penyakit semakin buruk pada setiap episode perdarahan. Sekitar 90% aneurisma sakular terjadi di sirkulasi anterior dekat dengan titik percabangan arteri utama (Gambar 22-9); aneurisma multipel terdapat pada 20%-30% kasus. Meskipun kadang-kadang terjadi sebagai kelainan kongenital, aneurisma tidak menyebabkan gejala saat lahir tetapi dapat berkembang seiring waktu karena defek yang mendasarinya di dalam pembuluh darah. Ada peningkatan risiko aneurisma pada pasien dengan penyakit ginjal kistik autosomal dominan (Bab 13), dan juga pada pasien dengan kelainan genetik protein matriks ekstrasel. Secara keseluruhan, sekitar 1,3% kasus aneurisma mengalami perdarahan setiap tahun, dengan probabilitas ruptur



818



B A B 22



Sistem Saraf Pusat Arteri komunikans anterior



Arteri serebri anterior 40%



Arteri karotis interna



Arteri serebri media



20% 34% 4%



Arteri serebri posterior



Arteri komunikans posterior



hanya dilapisi oleh intima hialinisasi yang menebal. Adventisia yang melapisi kantung bersambungan dengan adventisia yang ada pada pembuluh arteri induknya. Ruptur biasanya terjadi di puncak (apex) kantung, melepaskan darah ke dalam ruang subaraknoid atau substansi otak, atau keduanya. Sebagai tambahan untuk aneurisma sakular, aneurisma aterosklerotik, mikotik, traumatik dan pembedahan (dissecting aneurysms) juga terjadi intrakranial. Tiga jenis terakhir (seperti aneurisma sakular) paling sering ditemukan dalam sirkulasi anterior, sedangkan aneurisma aterosklerotik sering berbentuk fusiform dan paling sering mengenai arteri basilar. Aneurisma nonsakular biasanya bermanifestasi sebagai infark serebri akibat oklusi vaskular bukan perdarahan subaraknoid.



Malformasi Vaskular Arteri basilar



Gambar 22-9 Lokasi yang sering terjadi aneurisma sakular.



yang meningkat tidak sebanding dengan ukuran. Sebagai contoh, aneurisma berdiameter lebih dari 1 cm secara kasar mempunyai risiko 50% perdarahan per tahun. Dalam periode awal setelah perdarahan subaraknoid, ada penambahan risiko jejas iskemik akibat vasospasme pembuluh darah lainnya. Penyembuhan dan fibrosis meningeal yang menyertainya serta jaringan parut kadang-kadang mengobstruksi aliran atau menghambat resorpsi CSS, menyebabkan timbulnya hidrosefalus.



MORFOLOGI Aneurisma sakular yang tidak pecah adalah suatu penonjolan keluar arteri yang berbentuk kantung dan berdinding tipis (Gambar 22-10). Di luar leher aneurisma, tidak terdapat dinding otot dan lamina elastika intima, sehingga kantung aneurisma



A



B



Malformasi vaskular otak diklasifikasikan dalam empat jenis utama berdasarkan sifat alami pembuluh darah yang abnormal: malformasi arteriovenosa (MAV), malformasi kavernosa, telangiektasi kapiler, dan angioma venosa. MAV, paling sering di antara keempatnya, terjadi dua kali lebih sering pada pria dibandingkan wanita dan biasanya bermanifestasi pada usia antara 10 dan 30 tahun dengan gejala kejang, perdarahan intraserebral, atau perdarahan subaraknoid. MAV besar yang terjadi saat baru lahir dapat menyebabkan gagal jantung kongestif output tinggi karena aliran balik (shunting) darah arteri ke vena. Risiko perdarahan membuat MAV menjadi jenis malformasi vaskular paling berbahaya. MAV multipel dapat terlihat dalam kondisi perdarahan telangiektasi herediter, suatu kondisi autosomal dominan yang sering dikaitkan dengan mutasi yang mengenai jalur TGFβ.



MORFOLOGI MAV dapat mengenai pembuluh darah subaraknoid yang meluas ke parenkim otak atau terjadi khusus di dalam otak. Pada pemeriksaan makroskopik, MAV menyerupai jaring-jaring kusut vaskular yang



C



Gambar 22-10 Aneurisma sakular. A, Tampak basal otak yang dipotong menunjukkan sirkulus Willis dengan aneurisma di arteri serebri anterior (panah). B, Sirkulus Willis dipotong untuk menunjukkan aneurisma besar. C, Potongan melalui aneurisma sakular menunjukkan hialinisasi fibrosa dinding pembuluh darah. Pulasan hematoxilin eosin.



Penyakit Serebrovaskular



819



infark dapat tanpa gejala (silent) atau menyebabkan kelemahan neurologik yang berarti. • Pecahnya pembuluh penetrasi berukuran kecil dapat terjadi, dan menyebabkan perdarahan kecil. Pada waktunya, perdarahan diresorpsi, menyisakan suatu rongga seperti celah sempit (slit hemorrhage) yang dikelilingi oleh area berwarna kecoklatan.



Gambar 22-11 Malformasi arteriovenosa.



mirip cacing (Gambar 22-11). Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan pelebaran pembuluh darah yang dipisahkan oleh jaringan gliotik, seringkali disertai tanda bekas perdarahan sebelumnya. Beberapa pembuluh darah dapat dikenali sebagai pembuluh arteri dengan duplikasi dan fragmentasi lamina elastik interna, sementara lainnya menunjukkan penebalan nyata atau penggantian parsial media oleh jaringan ikat hialinisasi. Malformasi kavernosa terdiri atas saluran vaskular yang menggembung dan tersusun renggang dengan dinding serabut kolagen tipis tanpa intervensi jaringan saraf. Keadaan ini paling sering terjadi di serebelum, pons dan regio subkorteks, dan terdapat aliran darah rendah tanpa sudetan arteriovenosa yang berarti. Fokus perdarahan lama, infark, dan klasifikasi sering mengelilingi pembuluh darah yang abnormal. Telangiektasi kapiler adalah fokus mikroskopik dilatasi saluran vaskular berdinding tipis yang dipisahkan oleh parenkim otak yang relatif normal paling sering terjadi pada pons. Angioma venosa (varises) terdiri atas kumpulan saluran vena yang melebar. Kedua jenis terakhir malformasi vaskular ini jarang menyebabkan perdarahan atau gejala klinis, dan kebanyakan merupakan penemuan tidak disengaja/insidental.



Penyakit Vaskular Lain Penyakit Serebrovaskular Hipertensi Hipertensi menyebabkan sklerosis arteriolar hialin pada arteri dan arteriol yang mengadakan penetrasi dalam yang mensuplai ganglia basal, substansi putih otak hemisfer serebri, dan batang otak. Dinding arteriol yang terkena menjadi lemah dan lebih mudah ruptur. Pada beberapa contoh, aneurisma minuta (Charcot-Bouchard microaneurysms) terbentuk di dalam pembuluh darah dengan ukuran diameter kurang dari 300 um. Sebagai tambahan dari perdarahan intraserebral masif (telah diuraikan sebelumnya), beberapa proses patologis otak lainnya terkait dengan hipertensi. • Infark lacunes atau lakunar adalah infark kavitas kecil, hanya berukuran beberapa milimeter, paling banyak ditemukan di substansi abu-abu dalam (ganglia basal dan talamus), kapsula interna, substansi putih dalam, dan pons. Infark ini disebabkan oleh oklusi satu cabang arteri serebri besar. Bergantung pada lokasinya,



• Ensefalopati hipertensi akut paling sering dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah diastole yang mendadak dan terusmenerus lebih dari 130 mmHg. Ensefalopati ini ditandai oleh peningkatan tekanan intrakranial dan disfungsi serebral global, bermanifestasi sebagai sakit kepala, kebingungan (confusion), muntah, kejang, dan kadang-kadang koma. Intervensi terapeutik cepat untuk mengurangi tekanan intrakranial sangat penting. Pemeriksaan postmortem mungkin menunjukkan edema otak, dengan atau tanpa herniasi transtentorial atau tonsilar. Petekie dan nekrosis fibrinoid arteriol dalam substansi abu-abu dan putih dapat terlihat secara mikroskopik.



vaskulitis Berbagai proses inflamasi yang mengenai pembuluh darah dapat menekan aliran darah dan menyebabkan infark serebri. Arteritis infeksiosa pembuluh darah kecil dan besar sebelumnya terlihat terutama pada yang berkaitan dengan sifilis dan tuberkulosis, tetapi sekarang lebih sering disebabkan oleh infeksi oportunistik (seperti aspergilosis, herpes zoster, atau CMV) yang muncul dalam keadaan imunosupresi. Beberapa bentuk vaskulitis sistemik, seperti poliarteritis nodosa, bisa mengenai pembuluh darah serebri dan menyebabkan infark tunggal atau multipel di seluruh jaringan otak. Angiitis primer SSP merupakan bentuk vaskulitis yang melibatkan pembuluh darah berukuran kecil dan sedang parenkim otak dan pembuluh darah subaraknoid yang ditandai oleh inflamasi kronik, sel raksasa berinti banyak (dengan atau tanpa pembentukan granuloma), dan destruksi dinding pembuluh darah. Penderita menunjukkan suatu ensefalopati difus, sering disertai disfungsi kognitif. Pengobatan terdiri atas pemberian regimen obat-obatan imunosupresi yang tepat.



RINGKASAN Penyakit Serebrovaskular • Stroke adalah istilah klinis untuk defisit neurologik dengan onset akut akibat perdarahan atau lesi vaskular obstruktif. • Infark serebri terjadi karena berkurangnya suplai darah dan bisa luas atau fokal, atau mengenai regio dengan suplai vaskular paling lemah (infark "watershed"). • Infark serebri fokal sebagian besar karena emboli; dengan penghancuran emboli kemudian dan terjadi reperfusi, suatu infark nonhemoragik dapat menjadi infark hemoragik. • Perdarahan intraparenkim primer biasanya akibat dari hipertensi (paling sering di substansi putih, substansi abu-abu dalam, atau fossa posterior) atau angiopati amiloid serebral. • Perdarahan spontan subaraknoid biasanya disebabkan oleh abnormalitas struktur vaskular, seperti aneurisma atau malformasi arteriovenosa (arteriovenous malformation).



820



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



TRAUMA SISTEM SARAF PUSAT Trauma pada otak dan korda spinalis adalah penyebab kematian dan disabilitas yang signifikan. Tingkat keparahan dan letak jejas mempengaruhi hasil akhirnya: kerusakan beberapa sentimeter kubik parenkim otak mungkin tidak menyebabkan gejala klinis (jika terjadi di lobus frontal), bisa menyebabkan disabilitas berat (korda spinalis), atau fatal (mengenai batang otak). Suatu pukulan di kepala dapat berupa penetrasi (benda tajam) atau tumpul; bisa menyebabkan jejas terbuka atau tertutup di kepala. Besar dan distribusi lesi otak traumatik bergantung pada bentuk benda penyebab trauma, kuatnya benturan, dan apakah kepala bergerak saat trauma terjadi. Kerusakan otak berat dapat terjadi tanpa jejas kepala eksternal, dan sebaliknya, adanya laserasi berat dan bahkan fraktur tengkorak tidak merupakan indikasi adanya kerusakan otak yang terletak di bawahnya. Ketika terjadi kerusakan otak, jejas bisa mengenai parenkim otak, vaskular, atau keduanya. Bukti terbaru menunjukkan episode trauma berulang (seperti yang terjadi pada atlit yang berpartisipasi dalam olahraga kontak fisik) akan bisa menyebabkan perkembangan proses neurodegeneratif. Sebagai tambahan pada hubungan trauma dengan risiko penyakit Alzheimer yang sudah lama dikenal, suatu bentuk berbeda dari degenerasi terkait trauma telah dibahas, ensefalopati traumatik kronik, yang ditandai oleh adanya pola unik inklusi protein tau intraneuron (akan dijelaskan nanti).



A



Jejas Parenkim Traumatik Ketika sebuah benda membentur kepala, jejas otak bisa terjadi pada tempat benturan terjadi coup injury atau di tempat yang berlawanan dengan benturan pada sisi lain otak contrecoup injury. Kedua lesi ini adalah kontusio/ memar, dengan gambaran makroskopik dan mikroskopik yang sebanding. Kontusio disebabkan oleh pergeseran cepat jaringan, gangguan saluran vaskular, dan kemudian terjadi perdarahan, jejas jaringan, dan edema. Oleh karena jejas paling dekat dengan tengkorak, puncak girus adalah bagian otak yang paling rentan terkena jejas traumatik. Kontusio umumnya terjadi di regio otak yang terletak di bawah permukaan dalam tengkorak yang kasar dan iregular, seperti regio orbitofrontal dan puncak lobus temporal. Penetrasi otak oleh suatu projektil seperti peluru atau fragmen tengkorak dari fraktur menyebabkan laserasi, dengan robekan jaringan, gangguan vaskular, dan perdarahan.



MORFOLOGI Pada potongan melintang, kontusio berbentuk baji, dengan aspek terluas paling dekat ke titik benturan (Gambar 22-12, A). Dalam beberapa jam setelah benturan, darah merembes ke jaringan yang terkena, menyeberangi lebar korteks serebri, dan ke dalam substansi putih dan ruang subaraknoid. Walaupun dampak fungsional terlihat lebih awal, tanda morfologik jejas dalam badan sel neuron (inti piknosis, sitoplasma kemerahan, sel yang hancur) memerlukan waktu sekitar 24 jam untuk muncul. Respons peradangan terhadap jaringan yang terkena jejas mengikuti perjalanan yang biasa, dengan neutrofil mendahului kemunculan makrofag. Berbeda dengan lesi iskemik dengan lapisan superfisial korteks yang dapat dipertahankan, trauma mengakibatkan dampak pada lapisan superfisial yang terparah. Lesi traumatik lama mempunyai



B Gambar 22-12 Trauma serebral. A, Kontusio akut terlihat di kedua lobus temporal, dengan area perdarahan dan kerusakan jaringan. B, Kontusio kecil, terlihat sebagai area kuning kehitaman, terdapat di permukaan frontal inferior otak ini.



gambaran makroskopik karakteristik. Gambaran ini berupa bercak-bercak depresi dan retraksi berwarna coklat kekuningan yang mengenai puncak girus (Gambar 22-12, B). Regio perdarahan yang lebih luas lagi akibat trauma otak menimbulkan lesi berongga yang lebih besar, yang dapat menyerupai infark terpencil (remote infarct). Pada area kontusio lama, gliosis dan sisa makrofag hemosiderin-laden mendominasi. Walaupun kontusio lebih mudah dilihat, trauma dapat juga menyebabkan jejas halus tetapi luas pada akson di dalam otak (disebut jejas aksonal difus), kadang-kadang dengan konsekuensi yang parah. Pergerakan relatif satu regio otak terhadap regio lainnya dianggap dapat mengganggu integritas dan fungsi akson. Percepatan angular, bahkan tanpa benturan, dapat menyebabkan jejas akson dan juga perdarahan. Sebanyak 50% pasien yang mengalami koma segera setelah trauma diyakini mempunyai kerusakan substansi putih dan jejas akson difus. Walaupun jejas ini bisa meluas, biasanya asimetris serta paling banyak ditemukan di dekat sudut ventrikel lateral dan di dalam batang otak. Jejas ini memberikan gambaran pembengkakan akson yang timbul dalam waktu beberapa jam setelah jejas. Semua keadaan ini paling baik dilihat dengan pewarnaan perak atau imunohistokimia untuk protein akson.



Trauma Sistem Saraf Pusat Concussion (gegar otak) menyebabkan perubahan kesadaran reversibel akibat cedera kepala tanpa adanya kontusio. Karakteristik disfungsi neurologik hanya sementara yaitu hilangnya kesadaran, henti napas sementara, dan hilangnya refleks. Walaupun penyembuhan neurologik terjadi sempurna, amnesia untuk kejadian yang dialami ini dapat menetap. Patogenesis gangguan aktivitas saraf yang mendadak ini tidak diketahui.



Jejas Vaskular Traumatik Trauma SSP sering secara langsung merusak dinding pembuluh darah, menyebabkan perdarahan. Bergantung pada pembuluh darah yang terkena, perdarahan mungkin epidural, subdural, subaraknoid, atau intraparenkim (Gambar 22-13, A), dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Perdarahan subaraknoid dan intraparenkim paling sering terjadi di tempat kontusio dan laserasi.



Hematoma Epidural Pembuluh dura mater terutama arteri meninggal media rentan terkena jejas traumatik. Pada bayi, pergeseran traumatik dari tengkorak yang mudah mengalami deformitas bisa menyebabkan HEMATOMA EPIDURAL Dura (terlepas dari tengkorak) Fraktur tengkorak Darah Arteri



821



robeknya pembuluh darah, tanpa adanya fraktur tengkorak. Berbeda pada anak-anak dan orang dewasa, robeknya pembuluh darah dura hampir selalu disebabkan oleh fraktur tengkorak. Ketika pembuluh darah robek, darah yang terakumulasi akibat tekanan arterial dapat memisahkan perlekatan erat dura dari permukaan dalam tengkorak (Gambar 22-13, B), menyebabkan suatu hematoma yang menekan permukaan otak. Secara klinis, pasien tampak sehat (lucid) untuk beberapa jam antara saat trauma terjadi dan timbulnya tanda neurologik. Hematoma epidural bisa meluas secara cepat dan menjadikannya suatu kegawatdaruratan bedah saraf yang memerlukan drainase segera dan pemulihan untuk mencegah kematian.



Hematoma Subdural Pergerakan cepat otak selama trauma terjadi dapat merobek vena jembatan (bridging veins) yang memanjang dari hemisfer serebri melewati ruang subaraknoid dan ruang subdural ke sinus dura. Gangguan ini dapat menyebabkan perdarahan ke dalam ruang subdural. Pada pasien dengan atrofia otak, vena jembatan tertarik keluar dan otak mempunyai ruang tambahan untuk bergerak di dalamnya, menyebabkan risiko hematoma subdural yang lebih tinggi pada orang lanjut usia. Bayi juga rentan



HEMATOMA SUBDURAL Dura (masih melekat pada tengkorak) Darah Vena



A



B



C



Gambar 22-13 Perdarahan intrakranial traumatik. A, Hematoma epidural (kiri) terlihat ruptur arteri meninggal, biasanya berhubungan dengan fraktur tengkorak, menyebabkan akumulasi darah arteri di antara dura dan tengkorak. Pada hematoma subdural (kanan), kerusakan vena-vena jembatan (bridging veins) di antara otak dan sinus sagitalis superior telah menyebabkan akumulasi darah di antara dura dan araknoid. B, Hematoma epidural yang menutupi bagian dura. C, Hematoma subdural besar yang melekat pada dura. (B, Penghormatan kepada almarhum Dr. Raymond D. Adams, Massachusetts Generol Hospital, Boston, Massachusetts.)



822



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



mengalami hematoma subdural karena vena jembatan mereka berdinding tipis. Hematoma subdural biasanya menimbulkan gejala klinis dalam 48 jam pertama setelah terjadi trauma. Hematoma paling sering terjadi di bagian lateral hemisfer serebri dan dapat bilateral. Tanda neurologik disebabkan oleh adanya tekanan yang mendesak jaringan otak didekatnya. Gejala mungkin lokal tetapi lebih sering nonlokal, muncul dalam bentuk sakit kepala, kebingungan, dan kemunduran neurologik progresif lambat.



MORFOLOGI Hematoma subdural akut terlihat sebagai penumpukan beku darah segar yang terletak di garis permukaan otak, tanpa perluasan ke dalam sulkus (Gambar 22-13, C). Otak yang terletak di bawahnya menjadi mendatar, dan ruang subaraknoid sering terlihat jernih. Biasanya, perdarahan vena bisa berhenti sendiri; penghancuran dan pengorganisasian hematoma berlangsung dari waktu ke waktu. Hematoma subdural diorganisasi dengan lisis bekuan darah (sekitar 1 minggu), pertumbuhan jaringan granulasi dari permukaan dura ke dalam hematoma (2 minggu), dan fibrosis (1-3 bulan). Pengorganisasian hematoma melekat pada dura, tetapi tidak pada araknoid yang terletak di bawahnya. Lesi fibrosis akhirnya bisa mengalami retraksi, hanya menyisakan suatu lapisan tipis jaringan ikat ("membran subdural"). Hematoma subdural biasanya dapat berdarah kembali (mengakibatkan hematoma subdural kronik), kemungkinan karena pembuluh darah jaringan granulasi yang berdinding tipis, memberikan temuan mikroskopik yang sama dengan perdarahan pada berbagai usia. Hematoma subdural simptomatik dapat diobati dengan operasi pengangkatan darah dan jaringan reaktif terkait.



RINGKASAN Trauma Sistem Saraf Pusat • •











Jejas fisis terhadap otak bisa terjadi ketika bagian dalam tengkorak dipaksa berbenturan dengan otak. Pada trauma benda tumpul, jika kepala sedang bergerak, maka mungkin terjadi jejas otak baik di lokasi benturan (coup injury) maupun di lokasi otak yang berlawanan (contrecoup injury). Pergerakan cepat kepala dan otak dapat merobek akson (jejas akson difus), sering mengakibatkan segera defisit neurologik berat dan ireversibel. Robekan pembuluh darah traumatik menyebabkan terjadinya terjadinya hematoma epidural, hematoma subdural, atau perdarahan subaraknoid.



MALFORMASI KONGENITAL DAN JEJAS OTAK PERINATAL Insidens malformasi SSP, yang menimbulkan retardasi mental, palsi serebral, atau defek tabung saraf, diperkirakan sebanyak 1-2%. Malformasi otak sebagian besar terjadi dalam keadaan defek lahir multipel. Jejas pranatal atau perinatal bisa mengganggu perkembangan normal SSP



atau menyebabkan kerusakan jaringan. Oleh karena bagian otak yang berbeda berkembang di waktu yang berbeda pula selama masa kehamilan, maka waktu terjadinya jejas dapat mencerminkan pola malformasi; jejas yang terjadi saat awal kehamilan biasanya menyebabkan fenotipe (penampilan fisis individu) yang lebih parah. Mutasi pada gen yang mengatur diferensiasi, maturasi, atau komunikasi intersel neuron dan sel glia dapat mengakibatkan malformasi dan disfungsi SSP. Sebagai tambahan, berbagai bahan kimia dan agen infeksi mempunyai efek teratogenik. Tidak semua kelainan perkembangan mempunyai ciri spesifik yang dapat dikenali pada temuan makroskopik (gross) atau mikroskopik, namun kelainan semacam itu bisa berhubungan dengan disfungsi neuron yang nyata. Landasan genetik untuk berbagai bentuk autisme baru-baru ini telah muncul; banyak gen yang terlibat dalam perkembangan ataupun pemeliharaan hubungan sinaptik. Sama halnya dengan sindrom Rett yang merupakan kelainan dominan terkait X (X-linked) yang dihubungkan dengan mutasi pada gen yang mengkode methyl-CpG-binding protein-2 (MeCP2), suatu regulator modifikasi epigenetik kromatin. Perkembangan anak perempuan yang terkena pada awalnya normal tetapi defisit neurologik yang mengganggu kognitif dan pergerakan mulai muncul pada usia 1-2 tahun, menegaskan pentingnya proses epigenetik pada perkembangan neuron dan plastisitas sinaptik.



Malformasi DefekTabung Saraf (Neural Tube Defects) Salah satu langkah paling awal dari perkembangan otak adalah pembentukan tabung saraf (neural tube), yang akan membentuk sistem ventrikel, otak, dan medula spinalis. Kegagalan parsial atau pembalikan penutupan tabung saraf bisa menyebabkan satu dari beberapa malformasi, yang masing-masing ditandai oleh abnormalitas yang melibatkan beberapa kombinasi jaringan saraf, meninges, dan tulang atau jaringan lunak yang mendasarinya. Secara kolektif, defek tabung saraf merupakan jenis malformasi SSP yang paling sering. Risiko keseluruhan terjadi lagi pada kehamilan berikutnya sekitar 4-5%, sugestif suatu komponen genetik. Defisiensi folat pada minggu awal kehamilan juga meningkatkan risiko melalui mekanisme yang belum pasti; penting secara klinis, asupan vitamin pranatal yang mengandungi folat dapat mengurangi risiko defek tabung saraf sebanyak 70%. Kombinasi studi pencitraan dan skrining maternal untuk peningkatan α-fetoprotein telah meningkatkan deteksi dini adanya defek tabung saraf. Defek yang paling sering terjadi ialah mengenai ujung posterior tabung saraf, pada waktu medula spinalis terbentuk. Keadaan ini dapat berkisar dari defek tulang asimptomatik (spina bifida occulta) hingga malformasi berat yaitu segmen medula spinalis mendatar, tidak terorganisasi dan terkait dengan penonjolan keluar meningeal yang melapisinya. Mielomeningokel adalah penonjolan jaringan SSP melalui defek pada kolumna vertebralis yang terjadi paling sering di regio lumbosakral (Gambar 22-14). Pasien memiliki defisit motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah dan masalah dengan kontrol pencernaan dan kandung kemih. Masalah klinis berasal dari segmen medula spinalis yang abnormal dan sering diperparah oleh infeksi yang meluas dari kulit di atasnya yang tipis atau ulseratif. Di ujung akhir lainnya dari SSP yang sedang berkembang, anensefali (anecephaly) adalah malformasi ujung anterior tabung saraf yang menyebabkan tidak adanya otak dan tulang tengkorak bagian atas.



Malformasi Kongenital dan Jejas Otak Perinatal



823



pernbentukan girus yang menyebabkan permukaan halus pada otak. Korteks menebal secara abnormal dan biasanya hanya mempunyai empat lapisan. Banyak bentuk lissencephaly yang dikaitkan dengan defek gen yang mengontrol migrasi neuron. • Polymicrogyria ditandai oleh peningkatan jumlah girus yang dibentuk secara iregular yang mengakibatkan permukaan otak berlekuk-lekuk atau seperti batu kerikil (cobblestone like surface). Perubahan ini bisa fokal atau luas. Arsitektur korteks normal dapat berubah dengan berbagai cara, dan girus yang berdekatan sering tampak menyatu/berfusi dengan lapisan molekuler permukaan.



Gambar 22-14 Mielomeningokel. Baik meninges dan parenkim korda spinalis masuk ke dalam struktur seperti kista yang terlihat di atas bokong.



Ensefalokel adalah suatu divertikulum malformasi jaringan SSP yang menonjol melalui defek pada kranium. Kondisi ini sering mengenai regio oksipital atau fossa posterior. Apabila terjadi di bagian anterior, jaringan otak dapat menonjol ke dalam sinus-sinus.



Malformasi Otak Depan (Forebrain) Pada malformasi tertentu, volume otak abnormal bisa besar (megalensefali) atau kecil (mikroensefali). Mikroensefali, lebih sering terjadi, biasanya berhubungan dengan ukuran kepala yang juga kecil (mikrosef ali). Kondisi ini memiliki penyebab yang bervariasi, termasuk abnormalitas kromosom, sindrom alkohol fetus (fetal alcohol syndrome), dan infeksi virus HIV-1 (human immunodeficiency virus type 1) yang didapat selama masih dalam rahim. Sifat yang selalu ada pada semua itu adalah berkurangnya pembentukan neuron untuk area korteks serebri. Pada tahap awal perkembangan otak, saat sel progenitor berproliferasi di zona subependim, keseimbangan antara sel yang meninggalkan populasi progenitor untuk mulai bermigrasi ke area korteks dan sel yang tetap tinggal dalam populasi progenitor mempengaruhi jumlah total sel neuron dan sel glia yang dibentuk. Jika terlalu banyak sel yang meninggalkan populasi progenitor secara prematur, maka akan terjadi pembentukan sel neuron matur yang tidak adekuat, menyebabkan ukuran otak menjadi kecil. Gangguan migrasi dan diferensiasi neuron dalam perkembangannya akan menyebabkan abnormalitas pembentukan girus dan arsitektur keenam lapis neokorteks, sering membentuk neuron yang berakhir pada lokasi anatomik yang salah. Berbagai mutasi gen yang mengontrol migrasi menyebabkan beberapa malformasi sebagai berikut: •



Lissencephaly (agyria/tanpa girus) atau, dengan tampilan lebih berbercak, pachygyria, ditandai oleh tidak adanya



• Holoprosencephaly (holoprosensefalus) ditandai oleh adanya gangguan pada pola garis tengah (midline) normal. Bentuk yang ringan mungkin hanya menunjukkan tidak adanya bulbus olfaktorius dan struktur terkait (arrhinencephaly). Pada bentuk yang parah, otak tidak terbagi menjadi hemisfer atau lobus-lobus, dan anomali ini bisa dikaitkan dengan defek garis tengah wajah seperti siklop/cyclopia (monster berkepala besar bermata satu). Holoprosensefalus dan juga polymicrogyria dapat disebabkan oleh gangguan yang didapat atau genetik pada perkembangan normal. Beberapa defek gen tunggal termasuk mutasi pada sonic hedgehog telah dihubungkan dengan holoprosensefali. • Contoh lainnya adalah kelainan fokal korteks (atau bisa juga disebut korteks displastik) dan neuron yang berada di bawah korteks, kadang-kadang berbentuk nodul atau pita.



Anomali Fossa Posterior Malformasi yang paling sering terjadi dalam regio otak ini adalah akibat penempatan yang salah atau tidak adanya bagian dari serebelum. Malformasi Arnold-Chiari (malformasi Chiari tipe II) menggabungkan fossa posterior kecil dengan serebelum garis tengah yang cacat dan penonjolan vermis ke bawah melalui foramen magnum; biasanya terdapat pula hidrosefalus dan mielomeningokel lumbar. Malformasi Chiari tipe I yang jauh lebih ringan mempunyai tonsil serebelar yang letaknya rendah yang meluas melalui foramen magnum. Kelebihan jaringan dalam foramen magnum menyebabkan obstruksi parsial aliran CSS dan penekanan pada medula, dengan gejala sakit kepala atau defisit saraf kranial yang sering terjadi hanya pada orang dewasa. Tindakan operasi dapat meringankan gejala tersebut. Sindrom yang ditandai oleh "hilangnya" jaringan sebelum termasuk malfomasi Dandy-Walker, ditandai oleh pembesaran fossa posterior, tidak adanya vermis serebelar, dan kista besar di garis tengah, serta sindrom Joubert, yaitu tidak terdapatnya vermis dan terjadi abnormalitas batang otak akan berdampak pada masalah pergerakan mata dan gangguan pola respirasi. Serangkaian lesi genetikresesif yang menyebabkan sindrom Joubert, dengan banyak perubahan yang melibatkan silia primer telah ditemukan.



Abnormalitas Medula Spinalis Selain defek tabung saraf, perubahan struktur medula spinalis dapat terjadi tanpa ada hubungan dengan abnormalitas tulang belakang atau kulit di atasnya. Keadaan ini termasuk perluasan ependim yang melapisi kanalis sentralis medula spinalis (hidromielia) atau perkembangan rongga seperti celah berisi cairan di bagian dalam medula spinalis (siringomielia, sirings). Lesi ini dikelilingi oleh gliosis reaktif padat, sering disertai serabut Rosenthal. Sering juga dapat terbentuk setelah trauma atau bersama tumor spinalis intramedula.



824



B A B 22



Sistem Saraf Pusat • •



Berbagai malformasi berasal dari kegagalan penutupan tabung saraf, pembentukan struktur neural yang salah, dan perubahan migrasi neuron. Pada umumnya jejas otak perinatal memiliki salah satu dari dua bentuk ini: (1) perdarahan, sering di regio matriks germinal dengan risiko meluas ke dalam sistem ventrikel; dan (2) infark iskemik, menyebabkan leukomalasia periventrikular.



INFEKSI SISTEM SARAF Gambar 22-15 Jejas otak perinatal. Spesimen ini berasal dari pasien dengan leukomalasia periventrikular berisi fokus sentral nekrosis substansi putih yang dikelilingi oleh mineralisasi prosesus akson.



Jejas Otak Perinatal Berbagai faktor eksogen dapat melukai jaringan otak yang sedang berkembang. Jejas yang terjadi di awal kehamilan dapat merusak jaringan otak tanpa menimbulkan perubahan reaktif, kadang-kadang membuatnya sulit dibedakan dengan malformasi. Jejas otak yang terjadi pada masa perinatal adalah penyebab penting disabilitas neurologik pada masa anak-anak. Palsi serebral (cerebral palsy) adalah istilah untuk defisit motorik neurologik non-progresif dengan karakteristik spastisitas, distonia, ataksia atau atetosis, dan paresis yang dapat disebabkan oleh jejas yang terjadi pada masa prenatal dan perinatal. Tanda dan gejala mungkin tidak terlihat langsung saat lahir dan baru muncul belakangan, setelah keadaan penyebabnya menjadi jelas. Dua tipe cedera utama yang timbul pada masa perinatal adalah perdarahan dan infark. Keadaan ini berbeda dengan lesi serupa yang terjadi pada orang dewasa dalam hal lokasinya dan akibat reaksi jaringan yang ditimbulkannya. Pada bayi prematur, ada peningkatan risiko terjadinya perdarahan intraparenkim di dalam matriks germinal, paling sering di dekat kornu anterior ventrikular lateral. Perdarahan bisa meluas ke dalam sistem ventrikular dan kemudian memasuki ruang subaraknoid dan kadang-kadang menyebabkan hidrosefalus. Infark dapat terjadi dalam substansi putih pada periventrikular supratentorial (periventricular leukomalacia), terutama pada bayi prematur. Residu infark ini berupa plak kuning seperti kapur yang terdiri atas substansi putih yang nekrotik dengan mineralisasi yang berbatas tegas (Gambar 22-15). Jika infark cukup parah yang mengenai substansi abu-abu dan substansi putih, maka lesi kistik besar dapat terjadi di seluruh hemisfer, suatu kondisi yang disebut ensefalopati multikistik (multicystic encephalopathy).



RINGKASAN Malformasi Kongenital dan Jejas Otak Perinatal • •



Malformasi otak dapat terjadi akibat faktor genetik atau faktor dari luar. Waktu perkembangan dan posisi jejas menentukan pola dan karakteristiknya.



jaringan otak dan penutupnya, seperti bagian tubuh lainnya, dapat menjadi tempat/sarang infeksi. Beberapa agen infeksius mempunyai predileksi relatif atau absolut pada sistem saraf (contoh rabies), sedangkan lainnya dapat mengenai banyak organ lain dan juga otak (contoh Staphylococcus aureus). Kerusakan jaringan saraf dapat merupakan akibat dari cedera langsung neuron atau sel glia oleh agen infeksius atau racun mikroba, atau mungkin akibat dari respons imun pejamu (host) bawaan lahir atau adaptif. Agen infeksius dapat mencapai sistem saraf melalui beberapa jalan masuk: • Penyebaran hematogen melalui suplai darah arteri adalah cara masuk yang tersering. Dapat juga terjadi penyebaran retrograd, melalui anastomosis antara pembuluh vena wajah dan sinus venosus tulang tengkorak. • Implantasi langsung mikroorganisme hampir selalu terjadi akibat masuknya benda asing melalui trauma. Pada kasus yang jarang keadaan ini dapat terjadi iatrogenik, ketika mikroba terbawa jarum punksi lumbal. • Perluasan lokal dapat terjadi pada infeksi tengkorak atau tulang belakang. Sumbernya yaitu udara sinus, paling sering mastoid atau frontal; infeksi gigi; osteomielitis kranial atau spinal; malformasi kongenital, seperti meningomielokel. • Saraf perifer juga bisa menjadi jalan masuk untuk beberapa patogen khususnya virus seperti virus rabies dan herpes zoster.



Infeksi Epidural dan Subdural Ruang epidural dan subdural dapat terkena infeksi bakteri atau jamur, biasanya akibat dari penyebaran lokal langsung. Abses epidural muncul dari fokus infeksi di sekitarnya, seperti sinusitis atau osteomielitis. Ketika abses terjadi di area epidural spinal, abses dapat menekan korda spinalis dan merupakan suatu kegawatdaruratan bedah saraf. Infeksi tulang tengkorak atau sinus dapat menyebar ke area subdural, menimbulkan empiema subdural. Area araknoid dan subaraknoid biasanya tidak terkena, tetapi empiema subdural yang besar dapat membentuk efek massa. Selain itu, tromboflebitis dapat muncul di vena-vena jembatan (bridging veins) yang melewati area subdural, menyebabkan oklusi vena dan infark otak. Kebanyakan pasien mengalami demam disertai sakit kepala dan kaku leher, dan jika tidak diobati dengan benar dapat terjadi gejala neurologik fokal di area infeksi, letargis, dan koma.



Infeksi Sistem Saraf



825



Dengan pengobatan, termasuk operasi drainase, resolusi empiema akan terjadi dari sisi dural; jika resolusi selesai, mungkin hanya akan tampak penebalan duramater sebagai bekasnya. Dengan penanganan cepat, penyembuhan total biasanya terjadi.



Meningitis Meningitis adalah proses inflamasi yang mengenai leptomeninges di dalam area subaraknoid; jika infeksi menyebar ke lapisan otak di bawahnya, maka disebut meningoensefalitis. Meningitis biasanya terjadi karena infeksi, tetapi meningitis kimiawi (chemical meningitis) bisa juga terjadi sebagai respons terhadap iritan non-bakterial yang terpapar pada area subaraknoid. Infeksi meningitis secara umum dapat dibedakan menjadi subtipe piogenik akut (biasanya bakteri), aseptik (biasanya virus), dan kronik (biasanya tuberkulosis, spirochaeta, atau kriptokokus). Pemeriksaan cairan serebrio spinal (CSS) sering berguna dalam membedakan berbagai penyebab meningitis.



Meningitis Piogenik Akut (Meningitis Bakteri) Banyak bakteri dapat menyebabkan meningitis piogenik akut, tetapi biasanya jenis bakteri penyebab berbeda sesuai dengan umur pasien. Pada neonatus, bakteri yang biasa ditemukan adalah Escherichia coli dan streptokokus grup B; pada usia remaja dan dewasa muda, Neisseria meningitidis adalah patogen tersering; dan pada individu yang lebih tua, Streptococcus pneumonia dan Listeria monocytogenes merupakan bakteri penyebab yang lebih sering. Pada semua kelompok usia, pasien sering menunjukkan tanda-tanda infeksi sistemik dengan iritasi meningeal dan gangguan neurologik, yaitu sakit kepala, fotofobia, iritabilitas, kesadaran berkabut, dan kekakuan leher. Punksi lumbal menunjukkan peningkatan tekanan; pemeriksaan CSS menunjukkan jumlah neutrofil yang banyak, peningkatan protein, dan pengurangan kadar glukosa. Adanya bakteri dapat terlihat dengan pemeriksaan apusan atau dapat dikultur, kadang-kadang sudah muncul beberapa jam sebelum munculnya neutrofil. Meningitis piogenik yang tidak diobati dapat berakibat fatal, tetapi dengan diagnosis segera dan pemberian antibiotik yang tepat, banyak pasien dapat diselamatkan.



MORFOLOGI Pada meningitis akut, eksudat terlihat jelas di antara leptomeninges di permukaan otak (Gambar 22-16, A). Pembuluh darah meningeal melebar dan jelas terlihat. Dari area dengan akumulasi pus terbanyak, saluran pus dapat diikuti di sepanjang pembuluh darah di permukaan otak. Ketika meningitis menjadi fulminan, sel radang menginfiltrasi dinding vena leptomeninges dan dapat menyebar ke substansi otak (serebritis fokal), atau inflamasi dapat meluas ke ventrikel, menghasilkan ventrikulitis. Pada pemeriksaan mikroskopik, neutrofil mengisi seluruh ruang subaraknoidal di area yang terkena parah atau dapat juga banyak ditemukan di sekitar pembuluh darah leptomeninges pada kasus yang lebih ringan. Pada meningitis yang tidak diobati, pewarnaan Gram memperlihatkan variasi jumlah organisme penyebab. Meningitis bakterial dapat berhubungan dengan abses di dalam otak (Gambar 22-16, B), akan didiskusikan kemudian. Flebitis juga dapat menyebabkan oklusi vena dan infark hemoragik pada daerah otak yang terkena. jika diobati lebih awal, kerusakan otak bisa sedikit saja atau tidak ada sama sekali.



A



B Gambar 22-16 Infeksi bakteri. A, Meningitis piogenik. Lapisan tebal eksudat supuratif yang menutupi batang otak dan serebelum dan mempertebal leptomeninges. B, Abses serebral di substansi putih lobus frontal (panah). (A, Diambil dari Golden JA, Louis DN: Images in clinical medicine: acute bocterial meningitis. N Eng1.1 Med 333:364, I 994. Copyright © I 994 Mossachusetts Medical Society.All rights reserved.)



Meningitis Aseptik (Meningitis Virus) Meningitis aseptik adalah istilah klinis untuk penyakit dengan gejala iritasi meningeal, demam, dan penurunan kesadaran pada onset yang relatif akut. Gejala klinis lebih ringan daripada meningitis piogenik. Berbeda dengan meningitis piogenik, pemeriksaan CSS sering menunjukkan limfositosis, peningkatan sedang protein, dan kadar glukosa normal. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri (self-limiting). Virus diyakini sebagai penyebab meningitis ini pada kebanyakan kasus, tetapi sering sulit untuk menentukan jenis virus penyebabnya. Tidak ada perbedaan yang mencolok kecuali edema otak, yang terlihat pada beberapa kasus. Pada pemeriksaan mikroskopik bisa tanpa kelainan sama sekali atau ada infiltrat limfositik ringan sampai sedang.



826



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



Meningitis Kronik Beberapa patogen, termasuk mikobakterium dan beberapa spirochaeta, berhubungan dengan meningitis kronik. Infeksi oleh organisme ini dapat mengenai parenkim otak.



Meningitis Tuberkulosa



Meningitis tuberkulosa biasanya bermanifestasi sebagai tanda dan gejala umum seperti sakit kepala, malaise, kekacauan mental, dan muntah. Ada peningkatan sedang seluleritas CSS, dengan sel mononuklear atau campuran sel polimorfonuklear dan sel mononuklear; kadar protein meningkat (sering mencolok), dan kadar glukosa biasanya menurun sedang atau bisa juga normal. Infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis dapat menyebabkan massa intraparenkim yang berbatas tegas (tuberkuloma), yang mungkin berhubungan dengan meningitis. Meningitis tuberkulosa kronik adalah penyebab fibrosis araknoid, yang dapat menghasilkan hidrosefalus.



MORFOLOGI Ruang subaraknoid berisi eksudat gelatinosa atau fibrinosa, paling sering di basal otak, merusak sistema dan menyelubungi saraf kranial. Terlihat butiran putih tersebar di seluruh leptomeninges. Arteri yang melalui ruang subaraknoid dapat memperlihatkan endarteritis obliteratif dengan infiltrat radang dan penebalan intima yang nyata. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat campuran limfosit, sel plasma, dan makrofag. Pada kasus yang kemerahan terlihat granuloma, sering dengan nekrosis kaseosa dan sel datia, mirip dengan lesi tuberkulosis di tempat lain.



Infeksi Parenkim Semua patogen infeksius (virus hingga parasit) memiliki potensi untuk menginfeksi otak, seringkali dengan pola tertentu. Secara umum, infeksi virus bersifat difus, infeksi bakteri (tidak berhubungan dengan meningitis) bersifat lokal, sedangkan organisme lainnya menghasilkan pola campuran. Pada orang dengan imunosupresi, infeksi oleh agen apa pun biasanya melibatkan area yang lebih luas.



Abses Otak Abses otak hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi ini dapat berasal dari implantasi organisme langsung, penyebaran lokal dari fokus-fokus sekitarnya (mastoiditis, sinusitis paranasal), atau penyebaran hematogen (biasanya berasal dari jantung, paru, tulang bagian distal, atau setelah ekstraksi gigi). Kondisi yang menjadi predisposisi abses otak meliputi endokarditis bakterial akut, yang menjadi tempat emboli septik dilepaskan dan kemudian menyebabkan abses multipel; penyakit jantung sianotik, terkait dengan aliran (shunt) dari kanan ke kiri dan hilangnya filtrasi organisme oleh paru; serta infeksi paru kronik, seperti pada bronkiektasis, yang berisi sumber-sumber mikroba yang dapat menyebar secara hematogen. Abses adalah lesi destruktif, dan pasien hampir selalu mengalami defisit fokal yang progresif dan juga tanda umum yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan CSS menunjukkan kadar sel darah putih dan protein biasanya tinggi, sedangkan kadar glukosa cenderung normal. Sumber infeksi lokal atau sistemik dapat jelas terlihat atau dapat juga asimptomatik. Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi progresif bisa fatal, dan ruptur abses dapat menyebabkan ventrikulitis, meningitis, dan trombosis sinus venosus. Pembedahan dan antibiotik dapat menurunkan angka mortalitas yang tinggi, dengan intervensi yang lebih awal menghasilkan prognosis yang lebih baik.



Infeksi Spirochaeta Neurosifilis, sifilis stadium tersier, terjadi pada 10% orang dengan infeksi Treponema pallidum yang tidak diobati. Pasien dengan infeksi HIV berisiko lebih besar terkena neurosifilis, yang seringkali lebih agresif dan lebih berat. Infeksi dapat menghasilkan meningitis kronik (neurosifilis meningovaskular), biasanya mengenai basal otak, sering disertai endarteritis obliteratif yang kaya akan sel plasma dan limfosit. Infeksi spirochaeta dapat juga melibatkan parenkim otak (neurosifilis paretik), menyebabkan berkurangnya neuron dan proliferasi nyata sel mikroglia yang berbentuk batang. Secara klinis, bentuk penyakit ini menyebabkan penurunan progresif fungsi mental dan fisis yang membahayakan, perubahan mood (termasuk waham kebesaran), dan pada akhirnya demensia berat. Tabes dorsalis adalah bentuk lain dari neurosifilis, berasal dari kerusakan saraf sensoris di akar dorsal yang menyebabkan sensasi gangguan posisi sendi dan ataksia (ataksia lokomotor); hilangnya sensasi nyeri, menyebabkan kerusakan kulit dan sendi (sendi Charcot); gangguan sensoris lainnya, terutama nyeri seperti tersengat listrik; dan tidak adanya refleks tendon dalam. Neuroborreliosis menunjukkan keterlibatan sistem saraf oleh spirochaeta Borrelia burgdorferi, patogen penyebab penyakit Lyme. Tanda dan gejala neurologik sangat bervariasi, seperti meningitis aseptik, kelumpuhan saraf fasial, ensefalopati ringan, dan polineuropati.



MORFOLOGI Abses adalah lesi berbatas tegas dengan nekrosis likuefaktif dan kapsul fibrosa yang menyelubunginya (Gambar 22-16, B). Pada pemeriksaan mikroskopik, pusat nekrosis dikelilingi oleh edema dan jaringan granulasi, sering disertai banyak sekali vaskularisasi. Di luar kapsul fibrosa terdapat zona gliosis reaktif.



Ensefalitis Virus Ensefalitis virus adalah infeksi parenkim otak yang hampir selalu berhubungan dengan inflamasi meningeal (sehingga lebih baik dinamakan meningoensefalitis). Virus yang berbeda jenisnya dapat menunjukkan pola kerusakan yang bervariasi, gambaran histologis yang paling khas adalah infiltrat sel mononukleus pada parenkim dan perivaskular, nodul mikroglia, dan neurofagia (Gambar 22-17, A dan B). Beberapa virus dapat juga membentuk badan inklusi yang khas.Sistem saraf sangat rentan terhadap virus tertentu seperti virus rabies dan virus polio. Beberapa virus menginfeksi jenis sel SSP spesifik, sedangkan yang lainnya lebih sering mengenai daerah otak tertentu (seperti lobus temporal medial, atau sistem limbik) yang terletak di sepanjang jalur masuknya virus. Infeksi virus intrauterin dapat



Infeksi Sistem Saraf



A



C



827



B



D



Gambar 22-17 Infeksi virus. A dan B,Temuan khas bentuk-bentuk meningitis virus yaitu limfosit perivaskular (A) dan nodul mikroglia (B). C, Ensefalitis herpes menunjukkan kerusakan luas lobus frontal inferior dan temporal anterior. D, Ensefalitis human immunodeficiency virus (HIV). Perhatikan akumulasi mikroglia yang membentuk nodul mikroglia dan sel raksasa berinti banyak. (C, Penghormatan kepada Dr. T.W. Smith, University of Massachusetts Medical School, Worcester, Massachusetts.)



menyebabkan malformasi kongenital, seperti yang terjadi pada rubela. Selain infeksi langsung sistem saraf, SSP juga dapat dirusak oleh mekanisme imun setelah infeksi virus sistemik.



Arbovirus



Arbovirus (arthropod-borne virus) adalah penyebab penting terjadinya ensefalitis epidemik, khususnya di daerah tropis, dan dapat menyebabkan morbiditas yang serius serta mortalitas tinggi. Jenis yang paling sering ditemukan adalah Eastern and Western equine encephalitis dan infeksi virus West Nile. Pasien mengalami gejala neurologik umum, seperti kejang, gelisah, delirium, dan stupor atau koma, dan juga tanda fokal, seperti refleks asimetris dan kelumpuhan okular. CSS biasanya tidak berwarna tetapi terdapat sedikit peningkatan tekanan dan pleositosis neutrofilik awal yang dengan cepat berubah menjadi limfositosis; kadar protein meningkat, tetapi glukosa normal.



MORFOLOGI Ensefalitis arbovirus memberikan gambaran histopatologis yang mirip.Ciri utamanya adalah terdapat meningoensefalitis



limfositik perivaskular (kadang-kadang disertai neutrofil) (Gambar 22-17, A). Nekrosis substansi putih dan abu-abu multifokal dapat terlihat, sering berhubungan dengan neurofagia, fagositosis debris neuron, dan juga kumpulan lokal mikroglia yang dinamakan nodul mikroglia (Gambar 22-17, B). Pada kasus yang lebih berat terdapat necrotizing vasculitis dengan perdarahan lokal.



Virus Herpes



Ensefalitis VHS-1 dapat terjadi pada segala kelompok usia tetapi paling sering pada anak-anak dan dewasa muda. Ensefalitis ini umumnya bermanifestasi sebagai perubahan mood, daya ingat, dan perilaku, menggambarkan keterlibatan lobus temporal dan frontal. Ensefalitis VHS-1 berulang, kadang-kadang berhubungan dengan penurunan mutasi yang mengganggu hantaran sinyal Toll-like receptor (khususnya TLR-3), yang mempunyai peran penting dalam pertahanan antivirus.



MORFOLOGI Ensefalitis herpes dimulai dari, dan paling berat mengenai, regio inferior dan medial lobus temporal dan girus orbital



828



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



lobus frontal (Gambar 22-17, C). Infeksi menyebabkan nekrosis dan seringkali hemoragik pada kebanyakan regio yang terinfeksi parah. Infiltrat inflamasi perivaskular biasanya terlihat, dan inklusi virus intranukleus eosinofilik besar (jisim Cowdry tipe A) dapat ditemukan baik di neuron maupun sel glia.



VHS-2 dapat juga menginfeksi sistem saraf, biasanya dalam bentuk meningitis pada orang dewasa. Ensefalitis berat yang luas sering terjadi pada neonatus yang lahir pervaginam dari wanita dengan infeksi genital VHS primer aktif. Virus Varicella-zoster (VVZ) menyebabkan cacar air ketika infeksi primer, biasanya tanpa tanda keterlibatan neurologik. Virus membangun infeksi laten pada neuron di ganglia akar dorsal. Reaktivasi pada orang dewasa bermanifestasi sebagai erupsi kulit vesikular yang nyeri di sepanjang distribusi dari satu atau beberapa dermatom (shingles). Proses ini biasanya sembuh sendiri, tetapi dapat menjadi sindrom nyeri kronik di daerah yang terkena (neuralgia pasca herpetik). VVZ juga dapat menyebabkan arteritis granulomatosa yang dapat menghasilkan infark jaringan. Pada pasien dengan imunosupresi, ensefalitis herpes zoster akut dapat terjadi. Badan inldusi dapat ditemukan di dalam sel glia dan neuron.



Cytomegalovirus



CMV menginfeksi sistem saraf pada janin dan orang-orang dengan imunosupresi. Semua sel di dalam SSP (neuron, sel glia, ependim, dan endotel) rentan terhadap infeksi. Infeksi intrauterin menyebabkan nekrosis periventrikular, yang kemudian menjadi mikrosefali dan klasifikasi periventrikular. Ketika orang dewasa terinfeksi, CMV menghasilkan ensefalitis subakut dengan regio yang paling berat terkena adalah regio periventrikular. Lesi dapat hemoragik dan berisi sel dengan inklusi virus.



Virus Polio



Virus polio adalah enterovirus yang sering menyebabkan gastroenteritis ringan atau subklinis; pada sebagian kecil kasus, virus ini dapat menginvasi sistem saraf dan merusak neuron motorik di korda spinalis dan batang otak (poliomielitis paralitik). Dengan hilangnya neuron motorik, terjadilah kelumpuhan lemah (flaccid) dengan kelelahan otot dan hiporefleks di bagian tubuh yang terkena. Pada kasus akut, kematian dapat terjadi karena paralisis otot pernapasan. Jauh setelah infeksi membaik, sekitar 25-35 tahun setelah penyakit awal, sindrom pasca polio berupa kelemahan progresif yang berhubungan dengan menurunnya massa otot dan nyeri dapat terjadi. Penyebab sindrom ini masih belum jelas. Satu hipotesis mengatakan bahwa neuron motorik yang bertahan saat serangan awal menumbuhkan terminal saraf baru untuk mengkompensasi kematian neuron di sekitarnya, dan seiring berjalannya waktu kebutuhan tambahan dari neuron ini menyebabkan jejas yang mengurangi fungsi atau menyebabkan kematian sel.



biasanya selama beberapa bulan. Penyakit awalnya bermanifestasi sebagai gejala nonspesifik seperti malaise, sakit kepala, dan demam. Saat infeksi berlanjut, pasien menunjukkan tanda perangsangan SSP yang hebat; sedikit sentuhan dapat sangat nyeri, dengan respons motorik yang hebat dapat berlanjut menjadi kejang. Kontraktur otot faringeal dapat menyebabkan keengganan untuk menelan bahkan air (hidrofobia). Periode mania dan stupor berlanjut menjadi koma dan alchirnya kematian, biasanya karena kegagalan respirasi.



Human Immunodeficiency Virus (HIV)



Dalam 15 tahun pertama atau lebih setelah diketahui AIDS, perubahan neuropatologis ditunjukkan pada pemeriksaan mayat pada 80%-90% kasus, akibat infeksi virus langsung pada sistem saraf, infeksi oportunistik, dan limfoma SSP primer. Munculnya highly active antiretroviral therapy (HAART) telah menurunkan frekuensi efek sekunder dari infeksi HIV. Namun, disfungsi kognitif dari ringan sampai demensia berat yang termasuk dalam istilah HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) berlanjut sebagai penyebab morbiditas. Gejala kognitif dipercaya berasal dari infeksi HIV pada sel mikroglia di otak. Hal ini menyebabkan aktivasi respons imun alami, baik pada sel mikroglia yang terinfeksi maupun sel di sekitarnya yang tidak terinfeksi. Jejas neuron selanjutnya kemungkinan besar berasal dari kombinasi peradangan yang diinduksi sitokin dan efek toksik dari protein yang berasal dari HIV.



Meningitis aseptik terjadi dalam 1-2 minggu dari onset infeksi primer HIV pada sekitar 10% pasien; antibodi terhadap HIV dapat dtemukan, dan virus dapat diisolasi dari CSS. Beberapa studi neuropatologis tentang fase awal dan akut invasi HIV simptomatik ataupun asimptomatik ke sistem saraf telah menunjukkan meningitis limfositik ringan, inflamasi perivaskular, dan hilangnya beberapa mielin di hemisfer. Setelah fase akut, HIV encephalitis (HIVE) dapat ditemukan jika orang yang terinfeksi diautopsi.



MORFOLOGI Ensefalitis HIV paling baik dideskripsikan secara mikroskopik sebagai reaksi inflamasi dengan infiltrat nodul mikroglia yang tersebar luas, kadang disertai fokus nekrosis jaringan dan gliosis reaktif (Gambar 22-17, D). Nodul mikroglia juga ditemukan di sekitar pembuluh darah kecil, yang menunjukkan sel endotel nyata dan makrofag berbusa perivaskular atau makrofag pigment-laden. Perubahan ini terjadi khususnya di substansi putih subkorteks, diensefalon, dan batang otak. Komponen penting nodul mikroglia adalah sel raksasa berinti banyak yang berasal dari makrofag. Pada beberapa kasus, ada juga kelainan substansi putih yang ditandai oleh area mielin pucat difus atau multifokal yang berhubungan dengan pembengkakan akson dan gliosis. HIV terdapat di sel mononukleus CD4+, makrofag berinti banyak dan mikroglia.



Virus Rabies



Rabies adalah infeksi ensefalitik berat yang ditransmisikan ke manusia melalui binatang liar, biasanya dari gigitan. Berbagai jenis mamalia merupakan pejamu (reservoir) alaminya. Pajanan terhadap beberapa spesies kelelawar, bahkan tanpa adanya gigitan, juga merupakan faktor risiko. Virus memasuki SSP dengan cara merambat naik melalui saraf perifer dari tempat luka, sehingga periode inkubasi bergantung dari jarak luka dan otak,



Poliomavirus dan Leukoensefalopati Multifokal Progresif Leukoensefalopati multifokal progresif (LMP) disebabkan oleh virus JC, sejenis poliomavirus, yang lebih sering menginfeksi oligodendrosit, menyebabkan demielinasi saat sel ini terluka dan mati.



Infeksi Sistem Saraf Kebanyakan orang memperlihatkan bukti serologik pajanan virus JC selama masa anak-anak, dan diyakini bahwa LMP berasal dari reaktivasi virus, karena penyakit ini hanya terbatas pada orang yang imunosupresi. Pasien mengalami tanda dan gejala neurologik fokal dan progresif, dan studi pencitraan menunjukkan lesi berupa cincin menyangat, sering multifokal, dan ekstensif di substansi putih hemisfer atau serebelar.



MORFOLOGI Lesinya berupa area destruksi berbercak pada substansi putih yang ireguler dan tidak tegas yang membesar seiring dengan progresi penyakit (Gambar 22-18). Setiap lesi berupa area demielinasi, di tengahnya banyak tersebar makrofag lipid-laden dan menurunnya jumlah akson. Di tepi lesi terlihat pembesaran inti oligodendrosit yang kromatinnya digantikan oleh inklusi virus amfofilik yang terlihat seperti kaca. Virus juga menginfeksi astrosit, menghasilkan sel raksasa bizarre dengan inti ireguler, hiperkromatik,dan kadang multipel yang bisa disalahartikan menjadi tumor.



Ensefalitis Fungal Infeksi jamur biasanya menghasilkan granuloma atau abses parenkim, sering berhubungan dengan meningitis. Beberapa infeksi jamur tersering memiliki pola yang berbeda:



829



• Candida albicans biasanya menghasilkan mikroabses multipel, dengan atau tanpa pembentukan granuloma. • Mucormikosis adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan infeksi rhinoserebral yang disebabkan oleh beberapa jamur yang termasuk kelompok Mucorales. Umumnya, jamur ini menginfeksi rongga hidung atau sinus pada pasien diabetes dengan ketoasidosis. Infeksi dapat menyebar ke otak melalui invasi vaskular atau perluasan langsung liwat lempeng kribriform. Kecenderungan Mucor menginvasi otak secara langsung membedakannya dari infeksi jamur lainnya, yang cenderung memasuki otak melalui penyebaran hematogen dari tempat jauh. • Aspergilus fumigatus cenderung menyebabkan pola khusus infark hemoragik septik luas karena predileksinya yang jelas yaitu invasi dinding pembuluh darah dan akhirnya trombosis. • Cryptococcus neoformans dapat menyebabkan meningitis dan meningoensefalitis, sering pada keadaan imunosupresi. Infeksi dapat menjadi fulminan dan fatal dalam 2 minggu atau hanya bersifat indolen, berkembang dalam beberapa bulan atau tahun. CSS dapat menunjukkan sedikit sel tetapi protein meningkat dan ragi mukoid berkapsul dapat dilihat dengan sediaan tinta India. Perluasan ke dalam otak mengikuti pembuluh di dalam ruang Virchow-Robin. Saat organisme berproliferasi, ruang ini melebar, memberikan gambaran "gelembung sabun" (Gambar 22-19). Diagnosis biasanya ditegakkan oleh tes positif antigen kriptokokal di CSS atau darah. Pada area yang endemik, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, dan Blastomyces dermatitidis juga dapat menginfeksi SSP, terutama pada keadaan imunosupresi.



Meningoensefalitis Lain



A



B Gambar 22—18 Leukoensefalopati multifokal progresif. A, Potongan dengan pewarnaan mielin menunjukkan area demielinasi ireguler dan tidak tegas, yang berkonfluens di suatu tempat. B, Pembesaran inti oligodendrosit yang diwarnai untuk antigen virus mengelilingi area hilangnya mielin awal.



Meskipun banyak organisme yang dapat menginfeksi sistem saraf dan penunjangnya, hanya tiga organisme spesifik tersering yang dibahas di sini. Toksoplasmosis Serebral. Infeksi serebral oleh protozoa Toxoplasma gondii dapat terjadi pada orang dewasa yang imunosupresi atau bayi baru lahir yang mendapat infeksi melalui plasenta dari ibu dengan infeksi aktif. Pada dewasa, gejala klinisnya subakut, berkembang dalam 1-2 minggu dan dapat fokal atau difus. Dikarenakan inflamasi dan kerusakan sawar darah otak di tempat infeksi, studi CT scan dan MRI sering menunjukkan edema di sekitar lesi (disebut lesi cincin menyangat). Pada bayi baru lahir yang terinfeksi dalam uterus, infeksi dapat menyebabkan trias korioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial. Abnormalitas SSP paling berat terjadi ketika infeksi terjadi pada masa kehamilan awal ketika tahap kritis perkembangan otak sedang berlangsung. Lesi nekrosis periventrikular menyebabkan kalsifikasi sekunder dan juga inflamasi dan gliosis, yang dapat menjadi obstruksi akuaduktus Sylvii dan hidrosefalus.



MORFOLOGI Ketika infeksi didapat oleh orang dewasa yang imunosupresi, otak menunjukkan abses, sering multipel, paling sering melibatkan korteks serebral (dekat perbatasan substansi putih dan abu-abu) dan nukleus abu-abu dalam.



830



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



B



A



Gambar 22-19 Infeksi kriptokokus. A, Potongan seluruh otak menunjukkan banyak destruksi jaringan yang berhubungan dengan penyebaran organisme di ruang perivaskular. B, Pada pembesaran yang lebih tinggi mungkin dapat dilihat kriptokokus pada lesi.



Sistiserkosis biasanya bermanifestasi sebagai lesi massa dan dapat menyebabkan kejang. Gejala menjadi lebih berat ketika organisme dalam kista mati, seperti yang terjadi setelah pengobatan.



Lesi akut terdiri dari fokus sentral nekrosis dengan petekie yang dikelilingi oleh inflamasi akut dan kronik, infiltrasi makrofag, dan proliferasi vaskular. Takizoit bebas dan kista bradizoit dapat ditemukan di tepi fokus nekrotik (Gambar 22-20).



Sistiserkosis. Sistiserkosis adalah konsekuensi dari infeksi stadium akhir cacing pita Taenia solium. Jika larva yang tertelan meninggalkan lumen traktus gastrointestinal, tempat mereka bisa tumbuh menjadi cacing dewasa, mereka akan membentuk kista. Kista dapat ditemukan di seluruh tubuh tetapi paling sering di dalam otak dan ruang subaraknoid.



A



Organisme ditemukan di dalam kista dengan selubung halus. Dinding tubuh dan kait dari mulut paling jelas dilihat. Jika organisme dalam kista mati, dapat muncul infiltrat radang yang hebat pada otak sekitarnya, sering termasuk eosinofil, yang berhubungan dengan gliosis nyata. Amebiasis. Meningoensefalitis amebik bermanifestasi sebagai sindrom klinis yang berbeda-beda, tergantung pada patogen penyebabnya. Naegleria spp., biasanya terdapat di air bersih hangat yang tidak mengalir, menyebabkan ensefalitis nekrotikans yang cepat dan fatal.



B



Gambar 22-20 Infeksi toksoplasma. A, Abses terlihat di putamen dan talamus. B,Takizoit bebas terlihat dengan pewarnaan imunohistokimia. Inset, Bradizoit terlihat sebagai pseudokista, yang juga diwarnai oleh pulasan imunohistokimia.



Infeksi Sistem Saraf Berbeda dengan Acanthamoeba meningoensefalitis granulomatosa kronik.



yang



menyebabkan



Penyakit Prion Penyakit prion adalah sekelompok kelainan langka tetapi menarik yang termasuk varian sporadik, familial, dan iatrogenik dari penyakit Creutzfeldt-Jacob (PCJ)/ Creutzfeldt-Jakob disease (CJD), dan juga penyakit binatang seperti scrapie pada domba dan ensefalopati spongiform bovin pada sapi ("penyakit sapi gila"). Tidak seperti penyakit infeksi lainnya, agen pada penyakit prion adalah protein sel yang abnormal. Protein ini, dinamakan protein prion (PrPc), dapat mengalami perubahan konformasi dari bentuk normalnya (PrPc) menjadi bentuk abnormal yang disebut PrPsc(sc untuk scrapie). PrP normalnya kaya akan α-helices, tetapi PrPsc memiliki kandungan Β sheets yang tinggi, sifat yang membuatnya resisten terhadap proteolisis (karena itu istilah lain dari bentuk patogeniknya adalah PrPres yaitu protease-resistant). Dan yang lebih penting, ketika PrPsc berinteraksi secara fisis dengan molekul PrP, PrPsc menginduksi mereka agar berubah menjadi konformasi PrPsc (Gambar 22-21), sifat yang merupakan "bakat infeksius" dari PrPsc. Seiring waktu, proses yang memperkuat diri ini menghasilkan penimbunan banyak molekul PrPsc patogenik di otak.



831



PrPc juga dapat mengubah konformasinya dengan spontan (tetapi jarang terjadi) yang menyebabkan terjadinya penyakit Prion sporadik atau penyakit Creutzfeldt Jacob sporadik (sCJD). Mutasi tertentu pada gen yang mengkode PrPc (PRNP) mempercepat terjadinya perubahan konformasi spontan; varian ini berhubungan dengan bentuk familial yaitu penyakit Prion familial atau penyakit Creutzfeldt Jacob familial (fCJD) yang onsetnya lebih awal. Akumulasi PrPsc di jaringan saraf mungkin merupakan penyebab kerusakan sel, yang mendasari perubahan sitopatik dan akhirnya kematian sel saraf tetapi mekanismenya masih belum diketahui.



Penyakit Creutzfeldt-Jakob (PCJ) PCJ adalah penyakit demensia progresif cepat, dengan durasi dari onset awal berupa perubahan daya ingat dan perilaku ringan hingga kematian hanya dalam waktu 7 bulan. Penyakit ini sporadik pada hampir 85% kasus dan memiliki insidens tahunan sekitar 1 per sejuta. Umumnya mengenai orang dengan usia lebih dari 70 tahun, tetapi bentuk familial yang disebabkan oleh mutasi PRNP dapat terjadi pada orang yang lebih muda. Sesuai dengan sifat infeksius PrPsc, dapat ditemukan kasus dengan transmisi iatrogenik akibat implantasi elektroda dalam yang terkontaminasi dan akibat penggunaan sediaan hormon pertumbuhan manusia.



MORFOLOGI



Tipe liar



INISIASI



PrPC



PrPSC



Inokulasi atau ingesti



Mutasi ada (meningkatkan probabilitas)



PROPAGASI



PrPC



PrPSC



PrPSC AGREGASI



PrPSC PrPSC



PrPSC



PrPSC



PrPSC



PrPSC



PrPSC



PrPSC



TOKSISITAS NEURONAL



Gambar 22-21 Patogenesis penyakit prion. α-Helical PrPc dapat bergeser secara spontan dengan bentuk β-sheet PrPsc, suatu keadaan yang lebih sering terjadi pada penyakit familial yang berhubungan dengan jalur mutasi PrP. PrPsc juga dapat berasal dari sumber eksogen, seperti makanan, instrumen kesehatan, atau obat yang terkontaminasi. Sekalinya ada, PrPsc mengubah molekul PrPc tambahan menjadi PrPsc melalui interaksi fisis, akhirnya menyebabkan pembentukan agregat PrPsc patogenik.



Progresi hingga kematian pada PCJ biasanya sangat cepat sehingga hanya sedikit gambaran atrofia otak secara makroskopik Pada pemeriksaan mikroskopik, temuan patognomonik adalah perubahan spongiform korteks serebri dan struktur substansi abu-abu dalam (kaudatus, putamen); proses multifokal ini menghasilkan pembentukan vakuol-vakuol kecil yang tidak merata, dan tampak kosong, dengan ukuran yang bervariasi di dalam neutrofil dan kadang-kadang diperikarion neuron (Gambar 22-22 A). Pada kasus yang lanjut, terjadi kehilangan neuron berat, gliosis reaktif, dan pelebaran area berongga sehingga menjadi seperti kista ("status spongiosus"). Infiltrat radang tidak terlihat. Pulasan Imonuhistokimia memperlihatkan adanya-PrPsc yang resisten terhadap proteinase K di jaringan , sedangkan pemeriksaan dengan metode westren blot pada ekstrak jaringan setelah pemecahan parsial oleh protease memungkinkan terdeteksinya PrPsc diagnostik.



Varian Penyakit Creutzfeldt-Jakob Dimulai pada tahun 1995, kasus penyakit yang mirip PCJ muncul di Inggris. Temuan neuropatologis dan molekuler dari kasus baru ini mirip dengan PCJ, memberikan kesan adanya kedekatan antara dua penyakit tersebut, tetapi penyakit baru ini berbeda dengan PCJ pada beberapa hal penting: penyakit ini mengenai orang dewasa muda, gangguan perilaku lebih nyata terlihat pada stadium awal, dan progresi sindrom neurologik lebih lambat daripada PCJ. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penyakit baru ini, yang dinamakan varian penyakit CreutzfeldtJakob (vPCJ) adalah akibat dari pajanan terhadap penyakit prion ternak, yang disebut ensefalopati spongiform bovin. Ada laporan yang menunjukkan transmisi melalui transfusi darah. Bentuk varian ini memiliki gambaran patologis yang mirip dengan PCJ jenis lainnya, dengan perubahan spongiform dan tanpa adanya inflamasi. Namun, pada vPCJ terdapat banyak sekali plak amiloid korteks, yang dikelilingi oleh perubahan spongiform (Gambar 22-22, B).



832



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



A



B



Gambar 22-22 Penyakit prion. A, Gambaran histologis Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) yaitu perubahan spongiform di korteks serebri. Inset, perbesaran yang lebih tinggi pada neuron dengan vakuol-vakuol. B, CJD varian (vCJD) ditandai oleh plak-plak amiloid (lihat inset) yang terdapat di regio dengan perubahan spongiform terbesar.



RINGKASAN Infeksi Sistem Saraf • • • ­ •







Patogen dari virus hingga parasit dapat menginfeksi otak. Selain itu, penyakit prion adalah penyakit unik yang ditularkan oleh protein ke sistem saraf. Berbagai macam patogen menggunakan jalur yang berbeda untuk mencapai otak, dan menyebabkan pola penyakit yang berbeda. Infeksi bakteri dapat menyebabkan meningitis, abses serebral, atau meningoensefalitis kronik. Infeksi virus dapat menyebabkan meningitis atau meningoensefalitis HIV dapat secara langsung menyebabkan meningoensefalitis, atau secara tidak langsung mempengaruhi otak dengan meningkatkan risiko infeksi oportunistik (toksoplasmosis, CMV) atau limfoma SSP. Penyakit prion ditularkan oleh protein sel normal yang telah berubah bentuk. Penyakit ini dapat sporadik, ditularkan, atau diturunkan.



PENYAKIT MIELIN PRIMER Di dalam SSP, akson dibungkus rapat oleh mielin, yaitu penyekat elektrik yang memungkinkan penghantaran cepat impuls saraf. Mielin tersusun dari banyak lapisan membran plasma khusus yang dibentuk oleh oligodendrosit. Meskipun akson bermielin berada di seluruh area otak, mereka lebih dominan di substansi putih, karena itu kebanyakan penyakit mielin umumnya merupakan kelainan substansi putih. Mielin pada saraf perifer sama dengan mielin pada SSP tetapi memiliki beberapa perbedaan penting: (1) mielin perifer dibentuk oleh sel Schwann, bukan oligodendrosit; (2) setiap sel Schwann di saraf perifer menyediakan mielin hanya untuk satu ruas saja, sedangkan pada SSP banyak ruas yang dibuat oleh proses yang berasal dari satu oligodendrosit,



dan (3) protein dan lipid khusus juga berbeda. Karena itu, kebanyakan penyakit mielin SSP tidak melibatkan saraf perifer secara signifikan, begitu juga sebaliknya. Umumnya, penyakit yang mengenai mielin dibagi menjadi dua kelompok besar. • Penyakit demielinasi SSP adalah kondisi didapat yang ditandai oleh kerusakan pada mielin yang sebelumnya normal. Penyakit yang paling sering dari kelompok ini disebabkan oleh jejas yang dimediasi imun, seperti sklerosis multipel (SM) dan kelainan sejenis. Proses lain yang dapat menyebabkan penyakit jenis ini adalah infeksi virus pada oligodendrosit, seperti pada leukoensefalopati multifokal progresif (lihat sebelumnya), dan jejas yang disebabkan oleh obat dan agen toksik lainnya. • Sebaliknya, pada penyakit dismielinasi, mielin tidak dibentuk dengan benar atau proses pergantian yang abnormal. Seperti yang diperkirakan, penyakit dismielinasi berhubungan dengan mutasi yang mengganggu fungsi protein yang diperlukan untuk pembentukan selubung mielin normal. Istilah umum lain untuk penyakit ini adalah leukodistrofi.



Sklerosis Multipel (SM) SM adalah kelainan demielinasi autoimun yang ditandai oleh episode defisit neurologik nyata, dalam waktu yang berbeda, yang disebabkan oleh lesi substansi putih yang berada dalam ruang-ruang terpisah. SM adalah kelainan demielinasi tersering, dengan prevalensi sekitar 1 per 1000 orang di Amerika dan Eropa. Penyakit ini bisa terjadi pada berbagai usia, meskipun onset pada anak-anak atau usia lebih dari 50 tahun relatif jarang. Wanita dua kali lipat lebih sering terkena daripada pria. Pada sebagian besar pasien SM, terjadi gangguan neurologik dengan episode kambuh dan sembuh. Frekuensi kekambuhan cenderung berkurang selama perjalanan penyakit, tetapi kemunduran saraf yang terus-menerus adalah khas pada sebagian pasien.



Penyakit Mielin Primer



833



PATOGENESIS Diyakini bahwa SM, seperti penyakit autoimun lainnya, disebabkan oleh kombinasi faktor lingkungan dan genetik yang menyebabkan hilangnya toleransi terhadap protein diri sendiri (dalam kasus ini, antigen mielin). Penyebabnya, sering dianggap agen infeksius, namun masih belum diketahui. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang signifikan bagi risiko terjadinya SM. Risiko terkena penyakit 15 kali lebih tinggi apabila ada saudara kandung yang menderita penyakit ini, dan bagi kembar monozigot sekitar 25%, sedangkan kembar dizigotik jauh lebih rendah. Bagian yang signifikan dari risiko genetik SM adalah varian HLA-DR, dan alel DR2 menjadi yang paling signifikan dalam meningkatkan risiko terkena SM. Banyak polimorfisme genetik lainnya telah dihubungkan dengan penyakit ini melalui studi asosiasi genom. Dua di antaranya yang mendapat perhatian khusus adalah polimorfisme gen yang mengkode reseptor untuk sitokin IL-2 dan IL-7, yang diketahui dapat mengontrol aktivasi dan regulasi respons imun yang dimediasi oleh sel T. Dari sudut pandang mencoloknya sel inflamasi kronik di dalam dan sekitar plak SM dan juga bukti genetik, destruksi mielin yang dimediasi imun dianggap memiliki peran utama dalam SM. Bukti dari studi manusia dan juga eksperimen ensefalomielitis alergi suatu model binatang SM menunjukkan demielinasi dan inflamasi setelah imunisasi dengan mielin, protein mielin, atau peptida tertentu dari protein mielin telah memberikan gambaran bahwa beberapa sel imun berkontribusi terhadap perkembangan lesi SM. Peran utama sel T CD4+ dengan peningkatan sel TH17 dan sel THI CD4+ dianggap merupakan komponen penting pada kerusakan mielin. Ada juga bukti kontribusi dari sel T CD8+ dan sel B. Meskipun SM ditandai oleh adanya demielinasi yang tidak sesuai dengan hilangnya akson, beberapa jejas terhadap akson benar terjadi. Efek toksik limfosit, makrofag, dan molekul yang disekresikannya telah terlibat dalam memulai proses kerusakan akson, bahkan kadang-kadang sampai menyebabkan kematian neuron.



MORFOLOGI SM terutama mengenai substansi putih dengan area yang terkena menunjukkan lesi multipel yang bentuknya ireguler, berbatas tegas, sedikit tertekan, seperti kaca, abu-abu hingga coklat yang dinamakan plak (Gambar 22-23, A). Biasanya plak muncul di dekat ventrikel dan juga sering terlihat pada saraf optik dan kiasma, batang otak, traktus saraf asendens dan desendens, serebelum, dan korda spinalis. Lesi berbatas tegas pada tingkat mikroskopik (Gambar 22-23, B). Pada plak aktif terdapat tanda pemecahan mielin yang sedang terjadi dengan banyak sekali makrofag yang berisi debris mielin. Limfosit dan makrofag sering terlihat di perivaskular. Lesi aktif kecil sering terpusat di vena-vena kecil. Akson masih relatif dipertahankan tetapi dapat juga berkurang jumlahnya. Plak aktif dibagi menjadi empat kelas, hanya satu yang biasanya terlihat pada pasien yang terkena efek tertentu. Pola mikroskopik yang dikenali adalah tipe I, dengan infiltrat makrofag yang berbatas tegas; tipe II, mirip tipe I tetapi memperlihatkan deposisi komplemen (menunjukkan suatu komponen yang dimediasi antibodi);



A



B Gambar 22-23 Sklerosis multipel (SM). A, Bagian otak menunjukkan plak di sekitar kornu oksipital ventrikel lateral. B, Regio demielinasi yang tidak terpulas (plak SM) di sekitar ventrikel keempat Pulasan Luxol fast blueperiodic acid-Schiff untuk mielin.



tipe III, dengan batas yang kurang tegas dan apoptosis oligodendrosit; dan tipe IV, dengan hilangnya oligodendrosit nonapoptotik. Ketika plak menjadi tenang (plak inaktif), inflamasi sebagian besar menghilang, meninggalkan sedikit atau tidak adanya mielin. Sebagai gantinya, jelas terlihat proliferasi astrositik dan gliosis.



Gambaran Klinis



Perjalanan penyakit SM bervariasi, tetapi seringkali ada episode kekambuhan (relaps) yang diikuti dengan episode remisi; biasanya penyembuhan selama masa remisi itu tidak sempurna. Sebagai konsekuensinya, akan terjadi akumulasi defisit neurologik yang bertahap.



834



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



Studi pencitraan telah menunjukkan bahwa sering terdapat lesi di otak pasien yang lebih banyak daripada yang diperkirakan dari pemeriksaan klinis, dan lesi tersebut dapat datang dan pergi lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya. Perubahan fungsi kognitif dapat terjadi, tetapi seringkali lebih ringan daripada defisit lainnya. Pada setiap pasien, sulit untuk ditentukan kapan episode relaps berikutnya akan terjadi; kebanyakan terapi sekarang ini, yang ditujukan untuk mengontrol respons imun, bertujuan untuk menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan relaps daripada memperbaiki fungsi yang hilang. CSS pada pasien dengan SM menunjukkan peningkatan ringan kadar protein dengan meningkatnya proporsi imunoglobulin; pada sepertiga kasus, terdapat pleositosis sedang. Ketika imunoglobulin diperiksa lebih lanjut, pita oligoklonal biasanya teridentifikasi. Antibodi ini ditujukan terhadap antigen target yang bermacammacam dan dapat digunakan sebagai penanda aktivitas penyakit. Meskipun sel B jelas terlibat dalam patogenesis SM, kontribusi antibodi khusus ini terhadap proses penyakit masih belum diketahui.



Penyakit Demielinasi Didapat Lainnya Demielinasi yang dimediasi imun dapat terjadi setelah sejumlah penyakit infeksi sistemik, seperti penyakit virus yang relatif ringan. Hal ini tidak dipikirkan berhubungan dengan penyebaran langsung agen infeksius ke sistem saraf. Akan tetapi lebih dipercaya sebagai sel imun yang merespons antigen terkait patogen yang bereaksi silang dengan antigen mielin, yang menyebabkan kerusakan mielin. Ada dua bentuk umum reaksi autoimun pasca infeksi terhadap mielin; tidak seperti SM, penyakit ini berhubungan dengan penyakit monofasik onset akut. Pada ensefalomielitis diseminata akut, gejala biasanya berkembang dalam satu atau dua minggu setelah infeksi awal dan bersifat nonlokal (sakit kepala, letargi, dan koma), berbeda dengan temuan fokal SM. Gejala berkembang dengan cepat dan penyakit dapat fatal pada 20% kasus; sementara sisanya pasien mengalami penyembuhan sempurna. Ensefalomielitis hemoragik necrotizing acute adalah kelainan yang lebih merusak, yang biasanya mengenai dewasa muda dan anak-anak. Neuromielitis optik (NMO) adalah penyakit demielinasi peradangan yang terpusat pada saraf optik dan korda spinalis. Sebelumnya dipikirkan termasuk dalam bentuk SM dengan daerah kerentanan anatomik stereotipik, sekarang dikenal sebagai kelainan autoimun yang dimediasi oleh antibodi. Antibodi terhadap kanal air aquaporin-4 merupakan diagnostik dan patogenik. Mielinolisis pontin sentral adalah proses non imun yang ditandai oleh hilangnya mielin di dalam pons, paling sering terjadi setelah koreksi cepat hiponatremia. Mekanisme jejas sel oligodendroglia masih belum jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan edema yang diinduksi oleh perubahan tekanan osmotik secara tiba-tiba. Hal ini terjadi pada berbagai macam keadaan klinis seperti alkoholisme dan gangguan osmolaritas atau elektrolit berat. Meskipun lesi yang paling khas terdapat di pons, lesi serupa dapat ditemukan di semua tempat di otak. Karena keterlibatan saraf di pons yang membawa sinyal ke neuron motorik di korda spinalis, pasien sering mengalami kuadriplegia yang berkembang cepat. Seperti yang dibicarakan sebelumnya, leukoensefalopati multifokal progresif (LMP) adalah penyakit demielinasi yang terjadi setelah reaktivasi virus JC pada pasien dengan imunosupresi.



Leukodistrofi Leukodistrofi adalah contoh penyakit dismielinasi bawaan yaitu gejala klinisnya berasal dari sintesis atau pergantian mielin yang abnormal. Beberapa kelainan ini melibatkan enzim lisosom, sedangkan yang lainnya melibatkan enzim peroksisom; dan ada juga yang berhubungan dengan mutasi pada protein mielin. Sebagian besar diturunkan secara autosomal resesif, meskipun bisa juga secara terkait X (X-linked) (Tabel 22-1).



MORFOLOGI Sebagian besar perubahan patologis leukodistrofi ditemukan di substansi putih, yang warnanya abnormal (abu-abu dan transparan) dan volumenya juga abnormal (berkurang). Dalam perjalanan awalnya, beberapa penyakit menunjukkan pola berbercak, sedangkan yang lainnya menunjukkan predileksi di lobus oksipital. Pada akhirnya, hampir semua substansi putih terkena. Dengan hilangnya substansi putih, otak menjadi atrofia, ventrikel membesar, dan perubahan sekunder dapat ditemukan pada substansi abu-abu. Hilangnya mielin menyebabkan infiltrasi makrofag yang sering berisi lipid. Beberapa penyakit ini juga menunjukkan inklusi spesifik yang dihasilkan oleh akumulasi lemak tertentu.



Gambaran KIinis Setiap jenis leukodistrofi memiliki gejala klinis tersendiri dan kebanyakan dapat didiagnosis oleh metode genetik atau biokimia. Meskipun mekanisme dasarnya berbeda, ada juga gambaran yang sama karena targetnya sama yaitu mielin. Anak yang terkena biasanya normal saat lahir tetapi kemudian mulai mengalami keterlambatan perkembangan saat bayi dan anak-anak. Keterlibatan luas substansi putih yang luas menyebabkan kemunduran keterampilan motorik, spastisitas, hipotoni, atau ataksia. Umumnya, semakin muda onset penyakit, semakin berat defisiensi dan perjalanan klinisnya.



Tabel 22-1 Leukodistrofi



Kelainan Metabolit



Cara Penurunan



Abnormalitas



Leukodistrofi metakromatik



AR



Defisiensi Arylsulfatase A



Penyakit Krabbe



AR



Adrenoleukodistrofi



AR, X



Defisiensi Galactocerebroside β-galactosidase Defek peroksisomal; peningkatan asam lemak rantai sangat panjang



Penyakit Canavan



AR



Defisiensi Aspartoacylase



Penyakit Pelizaeus Merzbacher



X



Mutasi pada protein proteolipid



Penyakit substansi putih menghilang



AR



Penyakit Alexander



AR



Translasi faktor inisiasi; hubungannya dengan mielin belum jelas Mutasi pada glial fibrillary acidic protein (GFAP)



AR, autosomal resesif; X, X-Iinked



Malformasi Kongenital dan Jejas Otak Perinatal



RINGKASAN Penyakit Mielin Primer • •



Karena fungsi mielin penting dalam hantaran saraf, maka penyakit pada mielin dapat menyebabkan defisit neurologik yang luas dan berat. Penyakit mielin dapat dikelompokkan menjadi penyakit demielinasi (mielin normal dihancurkan tiba-tiba biasanya karena proses inflamasi), dan penyakit dismielinasi (kelainan metabolit seperti leukodistrofi dengan struktur mielin abnormal atau pergantiannya yang abnormal).







Sklerosis multipel, penyakit demielinasi autoimun, adalah kelainan mielin yang tersering, mengenai orang dewasa muda. Seringkali memiliki episode relapsremisi, yang berakhir pada akumulasi progresif defisit neurologik.







Lain-lain, bentuk penyakit demielinasi yang dimediasi imun yang lebih jarang terjadi. Seringkali penyakit ini terjadi setelah infeksi dan penyakit akut.



GANGGUAN METABOLIT DAN TOKSIK DIDAPAT Penyakit metabolit toksik dan didapat adalah penyebab kelainan neurologik yang relatif umum. Karena kebutuhan metabolismenya yang tinggi, otak sangat rentan terhadap penyakit nutrisi dan perubahan keadaan metabolit. Namun, meskipun perubahan metabolisme diperkirakan akan mengenai seluruh otak secara merata, tetapi gejala klinisnya dapat sangat berbeda karena sifat atau kebutuhan tertentu pada regio anatomik yang berbeda. Beberapa jenis penyakit yang sering terjadi beserta pola kerusakannya akan didiskusikan di sini.



Penyakit Nutrisi Defisiensi Tiamin. Di samping efek sistemik defisiensi tiamin (beriberi), bisa juga terjadi onset tiba-tiba kebingungan, abnormalitas gerakan bola mata, dan ataksia suatu sindrom yang dinamakan ensefalopati Wernicke. Pengobatan dengan tiamin dapat mengembalikan defisit ini. Jika keadaan akut tidak diobati, maka pasien sebagian besar akan mengalami gangguan daya ingat yang ireversibel (sindrom Korsakoff). Karena dua sindrom ini berkaitan erat, maka istilah sindrom Wernicke Korsakoff sering digunakan. Sindrom ini biasanya terjadi pada keadaan alkoholisme kronik tetapi dapat juga ditemui pada pasien-pasien dengan defisiensi tiamin yang disebabkan oleh kelainan lambung, termasuk karsinoma dan gastritis kronik, atau dari muntah yang persisten.



MORFOLOGI Ensefalopati Wernicke ditandai oleh fokus perdarahan dan nekrosis, terutama di korpus mammilaris tetapi juga berdekatan dengan ventrikel, khususnya di ventrikel ke-tiga dan ke-empat. Meskipun terdapat nekrosis, banyak neuron di dalam struktur ini yang relatif tetap bertahan.



835



Lesi awal menunjukkan dilatasi kapiler dengan sel endotel yang mencolok dan kemudian berlanjut menjadi perdarahan. Saat lesi mengalami penyembuhan, timbul ruang kistik serta makrofag yang penuh hemosiderin. Lesi di nukleus dorsal medial talamus sepertinya berhubungan erat dengan gangguan daya ingat pada sindrom Korsakoff. Defisiensi Vitamin B12 Di samping anemia pemisiosa, defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan defisit neurologik yang berhubungan dengan perubahan pada korda spinalis, yang dinamakan degenerasi gabungan korda spinalis subakut. Seperti namanya, baik traktus asendens maupun desendens korda spinalis dapat terkena. Gejalanya berkembang selama beberapa minggu. Tanda klinis awal adalah ataksia ringan dan mati rasa atau sensasi kesemutan pada ekstremitas bawah, yang dapat berlanjut menjadi kelemahan spastik ekstremitas bawah; bahkan kadang-kadang terjadi paraplegia. Terapi pemberian vitamin segera dapat memperbaiki keadaan klinis; namun, bila paraplegia telah terjadi, prognosisnya buruk.



Kelainan Metabolit Beberapa gangguan sistemik dapat menyebabkan disfungsi SSP; hanya yang berhubungan dengan kadar glukosa dan disfungsi hati yang akan dibahas di sini. Hipoglikemia. Oleh karena otak memerlukan glukosa sebagai substrat untuk memproduksi energi, maka efek seluler hilangnya glukosa biasanya mirip dengan hipoksia global. Neuron hipokampus terutama rentan terhadap jejas hipoglikemik, sedangkan sel Purkinje serebelum relatif tetap bertahan. Seperti anoksia, jika kadar dan durasi hipoglikemia cukup berat, maka akan terjadi jejas yang luas pada sebagian besar area di otak. Hiperglikemia. Hiperglikemia paling sering terjadi pada keadaan diabetes yang tidak terkontrol dan dapat terkait dengan ketoasidosis atau koma hiperosmolar. Pasien menjadi gelisah, stupor dan akhirnya koma yang disebabkan oleh dehidrasi intraseluler akibat keadaan hiperosmolar. Hiperglikemia harus dikoreksi secara bertahap, karena koreksi cepat dapat menghasilkan edema serebri berat. Ensefalopati Hepatik. Menurunnya fungsi hepar dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan kadang-kadang koma. Pada stadium awal, pasien menunjukkan tanda "flapping" tremor (asteriksis) saat tangan diekstensikan dengan telapak tangan menghadap pemeriksa. Meningkatnya kadar amonia, yang normalnya dibersihkan oleh hati lewat siklus urea, bersama inflamasi dan hiponatremia dapat menyebabkan perubahan pada fungsi otak. Karena hanya merupakan satu faktor penyebab, kadar amonia pada pasien yang simptomatik dapat sangat bervariasi. Di dalam SSP, metabolisme amonia hanya terjadi di dalam astrosit melalui kerja glutamin sintetase, dan dalam keadaan hiperamonemia, inti astrosit di korteks dan basal ganglia menjadi bengkak dan pucat (disebut sel Alzheimer tipe II).



Kelainan Toksik Daftar toksin dengan efeknya terhadap otak bisa sangat banyak. Kategori utama substansi neurotoksik adalah logam,



836



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



termasuk timbal (sering menyebabkan ensefalopati difus), dan juga arsenik serta merkuri; zat kimia industri, termasuk organofosfat (dalam pestisida) dan metanol (menyebabkan kebutaan akibat kerusakan retina); dan polutan lingkungan seperti karbon monoksida (gabungan hipoksia dengan jejas selektif terhadap globus palidus). Etanol memiliki efek yang bervariasi terhadap otak. Intoksikasi akut etanol merupakan keadaan yang reversibel, tetapi asupan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan metabolit nyata, seperti edema otak dan kematian. Pajanan alkohol kronik dapat menyebabkan disfungsi serebelum pada sekitar 1% kasus, dengan ataksia trunkus, gaya berjalan (gait) tidak stabil, dan nistagmus, akibat dari atrofia vermis anterior serebelum. Radiasi pengion, biasanya digunakan untuk mengobati tumor intrakranial, dapat menyebabkan tanda dan gejala yang cepat seperti sakit kepala, mual, muntah, dan edema papil, bahkan beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah radiasi. Regio otak yang terkena menunjukkan nekrosis koagulatif luas, edema sekitar nekrosis, dan pembuluh darah dengan penebalan dinding berisi materi seperti fibrin di intramural.



Tabel 22-3 Beberapa Penyebab Demensia atau Gangguan



Kognitif Kelainan Neurodegeneratif Primer Penyakit Alzheimer Degenerasi lobus frontotemporal Demensia jisim Lewy Penyakit Huntington Ataksia spinoserebelar (bentuk tertentu)



Infeksi Penyakit prion Kelainan neurokognitif terkait HIV Leukoensefalopati multifokal progresif Ensefalitis virus Neurosifilis Meningitis kronik



Penyakit Vaskular dan Traumatik Infark serebri multifokal Penyakit serebrovaskular hipertensi berat Arteriopati autosomal dominan serebral dengan infark subkortikal dan leukoensefalopati (CADASIL) Ensefalopati traumatik kronik



Penyakit Metabolit dan Nutrisi



PENYAKIT NEURODEGENERATIF Penyakit degeneratif SSP adalah kelainan yang ditandai oleh degenerasi sel pada bagian neuron yang lebih berhubungan dengan fungsi daripada lokasi di otak. Banyak kelainan ini yang terkait dengan akumulasi protein abnormal, yang menjadi petanda histologis pada kelainan khusus (Tabel 22-2). Satu pertanyaan penting yang belum terjawab adalah mengapa protein-protein abnormal ini cenderung terakumulasi dan lebih sering mengenai jenis neuron tertentu, walaupun protein tersebut biasanya diekspresikan secara luas di seluruh sistem saraf. Perbedaan kecil pada tiap jenis neuron diduga dapat menjelaskan mengapa hanya neuron tertentu yang dipengaruhi oleh suatu kelainan yang spesifik. Manifestasi klinis penyakit degeneratif ditentukan oleh Tabel 22-2 Inklusi Protein pada Penyakit Degeneratif



Penyakit



Protein



Lokasi



Penyakit Alzheimer



Aβ Tau



Ekstrasel Neuron



Degenerasi lobus frontotemporal



Tau



Neuron



Palsi supranuklear progresif



Tau



Neuron dan glia



Degenerasi kortikobasal



Tau



Neuron dan glia



Penyakit Parkinson



α-Synuclein



Neuron



Atrofia sistem multipel



α-Synuclein



Glia dan beberapa Neuron



Degenerasi lobus frontotemporal



TDP-43



Neuron



Sklerosis amiotrofik lateral



TDP-43 SOD-1 (penyakit familial)



Neuron Neuron



Penyakit Huntington



Huntingtin



Neurons



Ataksia spinoserebelar



Ataxins (bervariasi)



Neuron



superoksida dismutase-I TDP-43, TAR DNA-binding protein 43.



Defisiensi Tiamin (sindrom Wernicke—Korsakoff) Defisiensi vitamin BI2 Defisiensi niasin (pellagra) Penyakit endokrin



Lain-lain Penyakit penyimpanan neuron Jejas toksik (merkuri, timbal, mangan, bromida, dan lainnya)



pola disfungsi neuron: jika mengenai neuron korteks serebri, maka akan terjadi hilang ingatan, bahasa, wawasan, dan perencanaan, semua komponen demensia; jika mengenai neuron basal ganglia, maka akan terjadi gangguan pergerakan; jika mengenai serebelum, maka akan terjadi ataksia; dan jika mengenai neuron motorik, maka akan menyebabkan kelemahan. Meskipun banyak kelainan degeneratif yang memiliki target utama, tetapi bagian otak lain juga dapat terkena pada perjalanan penyakit selanjutnya; karena itu, walaupun penyakit Huntington sering bermanifestasi sebagai gangguan pergerakan pada awalnya, gangguan kognitif juga dapat berkembang akibat dari keterlibatan korteks pada perjalanan penyakit selanjutnya. Demensia diartikan sebagai perkembangan gangguan daya ingat dan defisit kognitif lainnya yang cukup berat untuk mengurangi kapasitas seseorang untuk bisa berfungsi seperti sebelumnya meskipun tingkat kesadarannya normal. Demensia muncul selama perjalanan penyakit neurodegeneratif; demensia juga dapat menyertai sejumlah penyakit lain yang merusak korteks serebri (Tabel 22-3). Demensia adalah masalah kesehatan masyarakat yang meningkat seiring dengan penuaan populasi.



Penyakit Alzheimer Penyakit Alzheimer (PA) adalah penyebab demensia tersering pada populasi lanjut usia. Penyakit ini biasanya bermanifestasi sebagai gangguan fungsi intelektual dan perubahan mood serta perilaku dengan onset yang tersembunyi. Selanjutnya, gejala berlanjut menjadi disorientasi, hilang ingatan, dan afasia, temuan yang merupakan tanda disfungsi korteks berat, dan sekitar 5-10 tahun berikutnya, pasien mengalami disabilitas, bisu, dan imobilitas. Kematian biasanya terjadi karena pneumonia berulang atau infeksi lainnya.



Penyakit Neurodegeneratif Usia adalah faktor risiko yang penting untuk terjadinya PA; insidensnya sekitar 3% pada orang berusia 65-74 tahun, 19% pada usia 75-84 tahun, dan 47% pada usia lebih dari 84 tahun. Sebagian besar kasus PA terjadi sporadik, tetapi 5-10% dapat familial. Kasus sporadik jarang terjadi sebelum usia 50 tahun, tetapi onset yang awal ini dapat terlihat pada penyakit Alzheimer yang diturunkan.



PATOGENESIS Studi mengenai bentuk familial PA menyokong contoh ketika peptida yang disebut beta amiloid, atau Aβ, terakumulasi dalam otak dari waktu ke waktu, memulai rantai peristiwa yang menyebabkan PA. AΒ terjadi apabila protein transmembran yaitu protein prekursor amiloid (PPA) dipecah secara berurutan oleh enzim β-amyloid converting enzyme (BACE) dan γ-sekretase (Gambar 22-24). PPA juga dapat dipecah oleh α-sekretase dan γsekretase, yang membebaskan peptida lain yang non-patogenik. Mutasi pada PPA atau komponen y-sekretase (presenilin-1 atau presenilin-2) menyebabkan PA familial dengan meningkatkan kecepatan produksi Aβ. Gen PPA berlokasi di kromosom 21,



dan risiko PA lebih tinggi pada orang dengan gen PPA ekstra, seperti pasien dengan trisomi 21 (sindrom Down) dan orang dengan duplikasi interstisial kecil PPA, kemungkinan hal ini juga menyebabkan produksi Aβ yang lebih banyak. Faktor risiko genetik mayor lainnya adalah varian apolipoprotein E yang disebut E4 (ApoE4). Setiap alel ApoE4 yang ada meningkatkan risiko PA sekitar 4 kali lipat dan juga menurunkan usia terjadinya onset. Mekanisme bagaimana ApoE4 mempengaruhi akumulasi Aβ masih belum diketahui; ApoE4 mungkin meningkatkan agregasi atau deposisi Aβ, atau menurunkan bersihan Aβ. Meskipun timbunan Aβ dalam jumlah besar adalah tanda stadium akhir, agregat kecil Aβ juga dapat patogenik karena mereka dapat mengubah neurotransmisi dan bersifat toksik terhadap neuron dan ujung sinaps. Timbunan besar, dalam bentuk plak, juga menyebabkan kematian neuron, membangkitkan respons inflamasi lokal yang dapat menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut, dan mengubah komunikasi antar regio melalui efek mekaniknya pada akson dan dendrit. Adanya Aβ juga mengakibatkan terjadinya hiperfosforilasi protein tau pengikat mikrotubulus neuron.



Protein prekursor amiloid



Fragmen mudah larut Pemecahan βSekretase



β-Sekretase Tempat pemecahan untuk:



837



α-Sekretase



Peptida Aβ Amiloidogenik



Pemecahan γSekretase



γ-Sekretase



Monomer Aβ



COOH



COOH



Oligomer Aβ



Non—amiloidogenik Aktivasi kinase



Disfungsi sinaptik



Kematian Jalur sel jejas lainnya



Fragmen mudah larut Agregat Aβ KERUSAKAN NEURON



Pemecahan α—Sekretase Pemecahan γ—Sekretase



Fosforilasi tau



COOH



Pemecahan mikrotubulus



Agregasi tau



Amiloid fibriler



PLAK dan TANGLE



Gambar 22-24 Pembentukan peptida Aβ dan konsekuensinya pada penyakit Alzheimer. Pemecahan protein prekursor amiloid oleh α-sekretase dan γ-sekretase menghasilkan peptida mudah larut yang tidak berbahaya, sedangkan pemecahan protein prekursor amiloid oleh β-amyloid-converting enzyme (BACE) dan ysekretase menghasilkan peptida Aβ, yang membentuk agregat patogenik dan berkontribusi terhadap plak dan tangle yang khas pada penyakit Alzheimer.



838



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



Peningkatan fosforilasi ini menyebabkan tau didistribusikan kembali dari akson ke dendrit dan badan sel. Tau beragregasi menjadi kusut (tangle), yang juga merupakan penyebab disfungsi neuron dan kematian sel.



MORFOLOGI Pemeriksaan makroskopik otak menunjukkan derajat atrofia korteks yang bervariasi, menghasilkan pelebaran sulkus serebral yang paling jelas di lobus frontal, temporal, dan parietal. Dengan atrofia yang signifikan, ada pelebaran kompensatorik ventrikel (hidrosefalus ex vacuo). Pada pemeriksaan mikroskopik, PA didiagnosis oleh adanya plak (suatu lesi ekstrasel); dan neurofibrillary tangle (suatu lesi intrasel) (Gambar 22-25). Karena tanda ini dapat muncul pada otak orang lanjut usia yang tidak demensia, maka kriteria untuk diagnosis PA saat ini berdasarkan pada gabungan gejala klinis dan gambaran patologis. Terdapat keterlibatan progresif yang cukup konstan dari berbagai bagian otak: perubahan patologis (khususnya plak, tongle, dan hilangnya neuron terkait dan reaksi glia) jelas terlihat pertama kali di korteks entorinal, kemudian di formasi hipokampus dan isokorteks, dan akhirnya neokorteks. Pewarnaan perak atau metode imunohistokimia sangat membantu dalam menilai lesi yang sebenarnya. Plak pada neurit adalah kumpulan sferikal, fokal dari prosesus neuritik yang berdilatasi dan berkelok-kelok, serta terpulas dengan pewarnaan perak (neurit distrofik), sering berada di sekitar inti amiloid (Gambar 22-25, A). Plak pada neurit berdiameter sekitar 20-200 µm; sel mikroglia dan astrosit reaktif terdapat di tepinya. Plak dapat ditemukan di hipokampus dan amigdala dan juga di neokorteks, meskipun biasanya menyisakan korteks motorik dan sensorik primer sampai perjalanan penyakit sudah lanjut. Inti amiloid berisi (Gambar 22-25, B). Deposit Aβ dengan reaksi neuritik sedikit juga dapat ditemukan, yang disebut plak difus; ini biasanya ditemukan di korteks serebri superfisial, basal ganglia, dan korteks serebelum dan menggambarkan stadium awal dari perkembangan plak. Neurofibrilar kusut (neurofibrillary tangle) adalah sekumpulan filamen heliks berpasangan yang terlihat sebagai struktur fibriler basofilik dalam sitoplasma neuron yang menggantikan atau mengelilingi inti sel;



A



B



kekusutan dapat menetap setelah neuron mati, menjadi bentuk patologi ekstrasel. Massa kusut ini biasa ditemukan di neuron korteks, terutama korteks entorhinal, dan juga sel piramid hipokampus, amigdala, basal otak, dan nukleus raphe. Komponen utama filamen heliks berpasangan adalah tau yang mengalami hiperfosforilasi yang abnormal (Gambar 22-25, C). Kekusutan (tangle) tidak spesifik untuk PA karena dapat ditemukan juga pada penyakit degeneratif lainnya.



Degenerasi Lobus Frontotemporal Kategori utama lainnya dari penyakit yang menyebabkan demensia adalah degenerasi lobus frontotemporal (DLFT). Kelainan ini memiliki gejala klinis (kemunduran progresif bahasa dan perubahan kepribadian) akibat dari degenerasi dan atrofia lobus temporal dan frontal; sindrom klinis yang biasanya disebut demensia frontotemporal. Saat lobus frontal menahan beban terberat dari penyakit, perubahan perilaku sering dominan, sedangkan jika penyakit dimulai dari lobus temporal, masalah bahasa yang sering dikeluhkan. Gejala tersebut mendahului gangguan daya ingat, yang dapat membantu membedakan PA berdasarkan gejala klinis. Pada pemeriksaan makroskopik, terdapat atrofia otak yang mendominasi lobus frontal dan temporal. Subgrup yang berbeda ditandai oleh inklusi neuron yang melibatkan regio yang terkena. Pada beberapa kasus inldusi berisi tau (DLFT-tau), tetapi susunan inklusi tau berbeda dari kekusutan yang berisi tau pada PA. DLFT-tau kadangkadang disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode tau. Salah satu subtipe DLFT-tau yang dikenali adalah penyakit Pick, yang berkaitan dengan inklusi bulat, halus yang disebut sebagai jisim Pick. Jenis utama lain DLFT ditandai oleh agregat berisi protein pengikat DNA/ RNA TDP-43 (DLFT-TDP43). Jenis DLFT ini terutama berhubungan dengan gangguan kognitif lobus frontal. Penyakit ini kadang-kadang disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode TDP-43, yang juga termutasi pada sebagian kasus sklerosis amiotropik lateral (dijelaskan berikutnya).



C



Gambar 22-25 Penyakit Alzheimer. A, Plak (panah) berisi inti sentral amiloid dan di sekitarnya terdapat regio neurit distrofik (pulasan Bielschowsky). B, Pulasan imunohistokimia untuk Peptida terdapat di inti plak dan juga di regio sekitarnya C, Neuron berisi tangle yang terwarnai dengan antibodi spesifik untuk tau.



Penyakit Neurodegeneratif



Penyakit Parkinson



MORFOLOGI



Parkinsonisme adalah sindrom klinis yang ditandai oleh tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas. Jenis gangguan motorik ini dapat terlihat pada penyakit yang merusak neuron dopaminergik di sepanjang substansia nigra hingga striatum. Parkinsonisme dapat diinduksi oleh obat seperti antagonis dopamin atau toksin yang secara selektif merusak neuron dopaminergik. Di antara penyakit neurodegeneratif, sebagian besar kasus parkinsonisme disebabkan oleh penyakit Parkinson (PP), yang berhubungan dengan inklusi neuron khusus berisi α-synuclein. Penyakit lain parkinsonisme adalah atrofia sistem multipel (ASM), dan agregat α-synuclein ditemukan pada oligodendrosit; kelumpuhan supranuklear progresif (KSP) dan degenerasi kortikobasal (DKB), yang keduanya berhubungan dengan inklusi berisi tau dalam neuron dan sel glia; dan parkinsonisme postensefalik, yang berhubungan dengan pandemik influenza pada tahun 1918.



PATOGENESIS Walaupun sebagian besar kasus PP adalah sporadik, bentuk autosomal dominan dan resesif juga ada. Mutasi titik dan duplikasi gen yang mengkode α-synuclein, suatu protein yang terlibat dalam transmisi sinaptik, menyebabkan PP autosomal dominan. Bahkan pada PP sporadik, tanda diagnostik penyaki jisim Lewy adalah inklusi yang mengandungi α- synuclein. Hubungan antara α- synuclein dan patogenesis penyakit masih belum jelas, tetapi bentuk genetik lain dari PP memberikan beberapa petunjuk. Dua lokus genetik penyebab lainnya mengkode protein parkin, suatu E3 ubiquitin ligase, dan UCHL- I, yaitu enzim yang terlibat dalam proses daur ulang ubiquitin dari protein yang ditargetkan pada proteasome, memberikan kesan bahwa defek pada degradasi protein mungkin mempunyai peran patogenik. Petunjuk lain yang menarik berasal dari hubungan PP dengan mutasi pada protein kinase yang disebut LRRK2; pemeriksaan histopatologis pada kasus yang terkait mutasi LRRK2 dapat menunjukkan jisim Lewy berisi α- synuclein atau tangie berisi tau. Akhirnya, beberapa bentuk familial PP berhubungan dengan mutasi pada gen PARK7 atau PINK I , dan keduanya penting untuk fungsi mitokondria normal.



A



839



B



Temuan makroskopik yang khas saat autopsi adalah substansi nigra dan lokus ceruleus yang pucat (Gambar 22-26, A and B). Gambaran mikroskopik berupa hilangnya neuron katekolaminergik berpigmen pada regio tersebut yang dihubungkan dengan gliosis. Jisim Lewy (Gambar 22-26, C) dapat ditemukan pada neuron yang tersisa. Jisim ini berupa inklusi intrasitoplasmik, eosinofilik, berbentuk bulat hingga panjang, dapat tunggal atau multipel yang seringkali memiliki inti padat yang dikelilingi oleh halo pucat. Pada pemeriksaan ultrastruktur, jisim Lewy terdiri dari filamen halus, yang dikemas padat di intinya tetapi longgar di tepinya, tersusun dari α-synuclein dan protein lainnya,yaitu neurofilamen dan ubiquitin.Temuan histologis utama lain adalah neurit Lewy, neurit distrofik yang juga berisi agregasi α-synuclein abnormal. Seperti yang terlihat dari adanya defisit yang luas pada susunan neurologik PP, pulasan imunohistokimia untuk α-synuclein memperjelas jisim Lewy dan neurit Lewy di banyak daerah otak di luar substansi nigra dan di dalam neuron nondopaminergik. Lesi ini pertama kali muncul di medula dan kemudian di pons, sebelum mengenai substansi nigra. Seperti yang ditunjukkan oleh demensia, jisim Lewy dan neurit Lewy akhirnya muncul di korteks serebri dan area subkorteks, termasuk sel kolinergik pada nukleus basal Meynert dan amigdala.



Gambaran Klinis



PP biasanya bermanifestasi sebagai kelainan pergerakan dan tidak terdapat pajanan toksik atau etiologi lainnya yang diketahui. Penyakit ini biasanya berlanjut hingga 10-15 tahun, yang akhirnya menghasilkan keterlambatan motorik berat sampai hampir imobilitas. Kematian biasanya berasal dari infeksi berulang atau trauma karena sering jatuh yang disebabkan oleh instabilitas postural. Gangguan pergerakan pada PP awalnya berespons terhadap Ldihydroxyphenylalanine (L-DOPA), tetapi pengobatan ini tidak memperlambat progresi penyakit. Seiring waktu, L-DOPA menjadi kurang efektif dan mulai menyebabkan masalah dalam fungsi motorik yang fluktuatif. Meskipun gangguan pergerakan yang terkait dengan hilangnya jalur dopaminergik nigrostriata merupakan ciri penting pada PP, penyakit ini jelas memiliki manifestasi klinis dan patologis yang lebih luas. Lesi dapat ditemukan lebih rendah di batang otak



C



Gambar 22-26 Penyakit Parkinson. A, Substansi nigra normal. B, Depigmentasi substansi nigra pada penyakit Parkinson idiopatik. C, Jisim Lewy pada neuron dari substansi nigra berwarna merah muda.



840



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



(di nukleus motorik dorsal vagus dan di dalam formasi retikuler) pada keterlibatan lanjut substansi nigra, sejalan dengan studi klinis yang menunjukkan bahwa disfungsi autonom dan gangguan perilaku sering muncul pada masalah motorik lanjut. Demensia, khususnya dengan perjalanan yang fluktuatif ringan dan halusinasi, timbul pada orang dengan PP dan berkaitan dengan keterlibatan korteks serebri. Apabila demensia muncul dalam waktu 1 tahun sejak timbulnya gejala motorik, demensia tersebut dinamakan Lewy body dementia (LBD).



Penyakit Huntington Penyakit Huntington (PH) adalah gangguan pergerakan autosomal dominan yang berhubungan dengan degenerasi striatum (kaudatus dan putamen). Gangguan pergerakan berupa koreif orm (seperti berdansa), dengan peningkatan gerakan involunter menyentaknyentak (jerky) di seluruh bagian tubuh; gerakan menggeliat pada ekstremitas merupakan ciri khas. Penyakit ini berkembang terusmenerus dan mengakibatkan kematian setelah perjalanan penyakitnya sekitar 15 tahun. Gejala kognitif awal berupa cepat lupa, gangguan afektif dan pikiran, dan bisa juga berlanjut menjadi demensia berat. Sebagai bagian dari perubahan perilaku awal ini, PH dapat meningkatkan risiko bunuh diri.



PATOGENESIS PH disebabkan oleh ekspansi berulang trinukleotida CAG dalam gen yang berlokasi di 4p16.3 yang mengkode protein huntingtin. Alel normal berisi 11-34 kopi pengulangan; dalam alel yang menyebabkan penyakit, jumlah pengulangan meningkat, kadangkadang hingga mencapai ratusan. Terdapat hubungan genotipefenotipe yang kuat, dengan jumlah pengulangan yang lebih banyak menyebabkan onset penyakit yang lebih awal. Namun, saat gejala muncul, perjalanan penyakit tidak dipengaruhi oleh panjangnya pengulangan. Ekspasi pengulangan CAG patologis lebih lanjut dapat terjadi selama spermatogenesis, sehingga transmisi paternal mungkin berhubungan dengan onset yang lebih awal pada generasi berikutnya, suatu fenomena yang disebut sebagai antisipasi (Bab 6). PH tampaknya disebabkan oleh mutasi penambahan fungsi yang bersifat toksik yang berhubungan dengan peluasan traktus poliglutamin dalam huntingtin. Protein mutan adalah sasaran untuk ubiquitinasi dan proteolisis, yang menghasilkan pecahan yang dapat membentuk agregat besar intranukleus. Seperti pada penyakit degeneratif lainnya, agregat yang lebih kecil dari pecahan-pecahan protein abnormal diduga sebagai agen toksik yang penting. Agregat ini dapat menyita faktor transkripsi, mengacaukan jalur degradasi protein, mengganggu fungsi mitokondria, atau mengubah sinyal brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Ada kemungkinan bahwa beberapa kombinasi penyimpangan ini berkontribusi terhadap patogenesis PH.



MORFOLOGI Pada pemeriksaan makroskopik, otak terlihat kecil, nukleus kaudatus dan kadang-kadang putamen menunjukkan atrofia yang mencolok (Gambar 22-27). Perubahan patologis terjadi selama perjalanan penyakit dengan arah dari medial ke lateral pada kaudatus dan dari dorsal ke ventral pada putamen. Globus palidus dapat mengalami atrofia sekunder,



Gambar 22-27 Penyakit Huntington. Hemisfer normal di kiri dibandingkan dengan hemisfer dengan penyakit Huntington di kanan menunjukkan atrofia striatum dan dilatasi ventrikel. Inset, Inklusi intranukleus pada neuron kortikal bersifat imunoreaktif kuat terhadap ubiquitin. (Penghormatan kepada Dr. J.P. Vonsattel, Columbia University, New York, New York)



sedangkan ventrikel ketiga dan lateral berdilatasi. Atrofia seringkali terlihat di lobus frontal, lebih jarang di lobus parietal, dan kadang-kadang seluruh korteks. Pemeriksaan mikroskopik memperlihatkan kehilangan neuron parah pada regio striatum yang terkena. Neuron runcing berukuran sedang yang melepaskan neurotransmiter γaminobutyric acid (GABA), enkephalin, dynorphin, dan substansi P biasanya sensitif dan menghilang di awal penyakit. Dapat juga terlihat gliosis fibriler yang lebih luas daripada reaksi terhadap kehilangan neuron yang biasa. Ada hubungan kuat antara derajat degenerasi pada striatum dan tingkat keparahan gejala motorik; ada juga hubungan antara hilangnya neuron korteks dan demensia. Pada neuron striata yang tersisa dan korteks, terdapat inklusi intranuklus yang berisi agregat protein huntingtin yang mengalami ubiquitinasi (Gambar 22-27, inset).



Ataksia Spinoserebelar Ataksia Spinoserebelar (ASS) adalah sekelompok penyakit yang heterogen secara klinis yang sering disebabkan oleh mutasi ekspansi berulang trinukleotida. Penyakit ini dibedakan satu sama lain melalui perbedaan pada mutasi penyebab, pola penurunan, usia saat onset, serta tanda dan gejalanya. Kelompok penyakit ini mengenai korteks serebelum, korda spinalis, regio otak lainnya, dan saraf tepi dengan luas yang bervariasi. Sebagai hasilnya, gejala klinis dapat berupa kombinasi ataksia serebelar dan sensorik, spastisitas, dan neuropati perifer sensorimotorik. Degenerasi neuron, sering tanpa perubahan histopatologis yang jelas, terjadi di area yang terkena dan berhubungan dengan gliosis ringan. Gejala klinis lainnya yang menyertai ataksia dapat membantu membedakan subtipenya. Meskipun ada lebih dari dua lusin jenis genetik yang berbeda pada ASS yang telah diidentifikasi, masih tersisa banyak kasus yang belum dapat diklasifikasikan.



Penyakit Neurodegeneratif Seperti penyakit Huntington, beberapa bentuk ASS (ASS tipe 1, 2, 3, 6, 7, dan 17 dan atrofia dentatorubropallidoluysian) disebabkan oleh ekspansi pengulangan CAG yang mengkode traktus poliglutamin dalam berbagai gen. Pada ASS bentuk ini, terdapat inklusi intranuklear neuron yang berisi protein abnormal dan ada hubungan terbalik antara derajat ekspansi pengulangan dengan usia saat onset. ASS lainnya disebabkan oleh ekspansi pengulangan trinukleotida di regio yang belum diketahui atau oleh mutasi jenis lainnya. Ataksia Friedreich adalah kelainan autosomal resesif yang umumnya bermanifestasi pada dekade pertama kehidupan dengan ataksia dalam gaya berjalan, diikuti oleh kecanggungan gerakan tangan, dan disartria. Kebanyakan pasien menjadi pes cavus dan kifoskoliosis, dan ada insidens penyakit jantung dan diabetes yang tinggi. Penyakit biasanya disebabkan oleh ekspansi pengulangan trinukleotida GAA dalam gen yang mengkode frataxin, suatu protein yang mengatur kadar besi seluler, terutama di mitokondria. Ekspansi pengulangan menyebabkan penurunan kadar protein dengan cara melenyapkan transkripsi; kasus yang jarang dengan mutasi titik menghasilkan protein frataxin nonfungsional juga telah dijelaskan. Penurunan frataxin menyebabkan disfungsi mitokondria dan juga peningkatan kerusakan oksidatif.



Sklerosis Amiotropik Lateral Sklerosis amiotropik lateral (SAL) disebabkan oleh kematian neuron motorik bawah di korda spinalis dan batang otak, dan juga neuron motorik atas (sel Betz) di korteks motorik. Hilangnya neuron motorik bawah menyebabkan gangguan persarafan otot, atrofia muskulus (kondisi "amiotrofi"), kelemahan, dan fasikulasi, sedangkan hilangnya neuron motorik atas menyebabkan paresis, hiperrefleksia, dan spastisitas, disertai tanda Babinski. Konsekuensi lain dari hilangnya neuron motorik atas adalah degenerasi traktus kortikospinal di bagian lateral korda spinalis ("sklerosis lateral"). Gangguan sensasi biasanya tidak terjadi tetapi gangguan kognitif dapat terjadi, sebagai demensia frontotemporal. Penyakit ini mengenai pria sedikit lebih sering daripada wanita dan bermanifestasi klinis pada dekade kelima atau lebih, biasanya dimulai dengan kelemahan ekstremitas distal asimetris ringan. Apabila penyakit berlanjut dan melibatkan lebih banyak sistem motorik, maka kekuatan dan massa otot akan berkurang dan terjadi kontraksi unit motorik involunter, disebut fasikulasi. Penyakit ini akhirnya mengenai otot-otot pernapasan yang menyebabkan serangan infeksi paru berulang, dan biasanya menjadi penyebab kematian. Keseimbangan antara neuron motorik atas dan bawah yang terlibat bisa bervariasi, meskipun kebanyakan pasien memperlihatkan keterlibatan keduanya. Pada beberapa pasien, degenerasi nukleus motorik kranial batang otak bawah terjadi di awal penyakit dan berprogresi cepat, suatu pola penyakit yang dinamakan sklerosis amiotropik lateral bulbar. Dengan pola penyakit seperti ini, kelainan menelan dan bicara merupakan gejala yang dominan.



PATOGENESIS Meskipun sebagian besar kasus terjadi sporadik, 5-10% adalah familial, yang sering diturunkan secara autosomal dominan.



841



Penyakit familial terjadi lebih awal daripada penyakit sporadik, tetapi ketika gejala muncul, perjalanan klinisnya sama pada keduanya. Lebih dari selusin gen telah terlibat, tetapi penyebab genetik tersering (20% kasus) adalah mutasi pada gen superoksida dismutase, SOD-I, pada kromosom 21. Mutasi ini diperkirakan menghasilkan bentuk protein SOD-I dengan lipatan yang salah dan abnormal, yang dapat memicu respons protein yang tidak terlipat dan menyebabkan kematian neuron secara apoptotik. Dua gen berikutnya yang merupakan penyebab tersering yang mengkode protein pengikat DNA/RNA, TDP-43 dan FUS; bagaimana mutasi ini dapat menyebabkan penyakit masih belum diketahui. Seperti yang telah disebutkan, mutasi pada TDP-43 juga dapat menyebabkan degenerasi Iobus frontotemporal (DLFT) atau suatu penyakit dengan gambaran SAL dan DLFT yang tumpang tindih.



MORFOLOGI Perubahan makroskopik yang paling mencolok ditemukan di akar anterior korda spinalis, yang tipis dan abu-abu. Terutama pada kasus yang berat,girus presentralis (korteks motorik) dapat mengalami atrofia ringan. Pemeriksaan mikroskopik memperlihatkan penurunan jumlah neuron sel kornu anterior di seluruh korda spinalis yang berhubungan dengan gliosis reaktif dan hilangnya serabut akar anterior yang bermielin. Temuan serupa ditemukan disertai keterlibatan inti saraf kranial motorik kecuali yang mensuplai otot ekstraokuler, yang tetap bertahan. Kerusakan seperti ini tidak terjadi pada pasien yang dapat bertahan hidup sangat lama. Neuron motorik bawah yang tersisa sering mengandungi inklusi sitoplasmik yang berisi TDP-43, kecuali pada kasus yang mendasari penyebabnya adalah mutasi pada SOD-I. Kematian neuron motorik atas temuan yang sulit dilihat secara mikroskopik menyebabkan degenerasi traktus kortikospinal desendens. Yang biasanya dapat dilihat dengan mudah pada korda spinalis. Dengan hilangnya persarafan karena kematian sel kornu anterior, otot rangka akan mengalami atrofia neurogenik.



RINGKASAN Penyakit Neurodegeneratif •











Penyakit neurodegeneratif menyebabkan gejala yang tergantung pada pola otak yang terkena. Penyakit pada korteks biasanya bermanifestasi sebagai perubahan kognitif, kepribadian, dan gangguan daya ingat; kelainan basal ganglia biasanya bermanifestasi sebagai gangguan pergerakan. Kebanyakan penyakit neurodegeneratif lebih sering mengenai satu daerah utama di otak, tetapi daerah lain dapat juga terkena pada perjalanan penyakit selanjutnya. Perkembangan proses ini dapat mengubah fenotipe penyakit seperti terjadinya gangguan kognitif pada penyakit Parkinson yang awalnya hanya mengalami gangguan pergerakan. Kebanyakan penyakit neurodegeneratif berhubungan dengan agregat protein yang bervariasi, yang merupakan



842



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



petanda patologis. Masih belum diketahui apakah inklusi dan deposit yang mencolok tersebut adalah mediator yang penting dalam degenerasi seluler. Bentuk familial penyakit ini berhubungan dengan mutasi pada gen yang mengkode protein ini atau yang mengontrol metabolismenya.



TUMOR Insidens tahunan tumor SSP berkisar dari 10-17 per 100.000 orang untuk tumor intrakranial dan 1-2 per 100.000 orang untuk tumor intraspinal; sekitar setengah sampai tiga perempatnya adalah tumor primer, dan sisanya adalah tumor metastatik. Tumor SSP memiliki proporsi yang besar pada kanker anak-anak, sebanyak 20% dari semua tumor pediatrik. Tumor SSP anak-anak berbeda dengan pada dewasa baik dalam subtipe histologis maupun lokasinya. Pada anak-anak, tumor biasanya muncul di fossa posterior; sedangkan pada dewasa biasanya di supratentorial. Tumor sistem saraf memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari proses neoplastik di tempat lain dalam tubuh. • Tumor ini tidak memiliki stadium in situ atau premalignan yang dapat dideteksi bila dibandingkan dengan karsinoma lain. • Bahkan lesi derajat rendah dapat menginfiltrasi secara luas regio di otak, menyebabkan defisit klinis serius, tidak dapat direseksi, dan prognosisnya buruk. • Lokasi anatomik neoplasma dapat mempengaruhi hasil klasifikasi histologis karena efek lokalnya (misalnya, meningioma jinak dapat menyebabkan berhentinya jantung dan pernapasan karena penekanan pada medula) atau tidak dapat direseksi (contoh, glioma batang otak). • Meningioma bahkan yang terganas sekalipun jarang menyebar ke luar SSP; selain infiltrasi lokal, ruang subaraknoid memungkinkan penyebaran di sepanjang neuroaxis.



Glioma Glioma adalah tumor parenkim otak yang diklasifikasikan secara histologis berdasarkan kemiripannya dengan berbagai jenis sel glia. Jenis-jenis utama tumor glia adalah astrositoma, oligodendroglioma, dan ependimoma. Jenis yang tersering bersifat sangat infiltratif atau "glioma difus," yaitu bentuk astrositik, oligodendroglial, dan campuran. Sebaliknya, ependimoma cenderung membentuk massa padat.



Astrositoma Beberapa kategori berbeda tumor astrositik yang diketahui, yang tersering adalah astrositoma difus dan pilositik. Jenis astrositoma yang berbeda mempunyai gambaran histologis, distribusi anatomik, dan gejala klinis masing-masing yang khas.



Astrositoma Difus



Astrositoma difus terhitung sebanyak 80% glioma dewasa. Tumor ini paling sering muncul pada dekade ke-empat sampai keenam kehidupan. Tumor biasanya ditemukan pada hemisfer serebri. Tanda dan gejala tersering adalah kejang, sakit kepala, dan defisit



neurologik fokal yang berhubungan dengan lokasi anatomik yang terkena. Tumor ini menunjukkan berbagai diferensiasi histologis yang berhubungan baik dengan gejala klinis dan prognosisnya. Berdasarkan gambaran histologis, tumor ini dibagi menjadi tiga kelompok tingkatan: astrositoma berdiferensiasi baik (derajat II/ IV), astrositoma anaplastik (derajat III/ IV), dan glioblastoma (derajat IV/IV), dengan prognosis yang semakin buruk seiring dengan peningkatan derajat. Astrositoma berdiferensiasi baik dapat bersifat statis selama beberapa tahun, tetapi kadang-kadang tumor ini dapat berkembang; angka ketahanan hidup rata-rata adalah lebih dari 5 tahun. Pada akhirnya, pasien akan mengalami perburukan klinis cepat yang berhubungan dengan timbulnya gambaran anaplastik dan pertumbuhan tumor yang lebih cepat. Pasien lainnya dapat terkena glioblastoma sejak awal. Ketika gambaran glioblastoma muncul, prognosisnya sangat buruk, dengan pengobatan (reseksi, radioterapi, dan kemoterapi), ketahanan hidup rata-rata hanya 15 bulan. Astrositoma berhubungan dengan berbagai jenis mutasi didapat, yang mengelompok dalam beberapa jalur penting. Pada glioblastoma, mutasi hilangnya fungsi pada jalur supresor tumor p53 dan Rb dan mutasi pertambahan fungsi pada jalur PI3K onkogenik memiliki peran penting dalam tumorigenesis. Mutasi yang mengubah aktivitas enzimatik dua isoform enzim metabolit isositrat dehidrogenase (IDH1 dan IDH2) biasanya terjadi pada astrositoma derajat rendah. Sebagai hasilnya, pulasan imun untuk bentuk IDH1 yang termutasi telah menjadi alat diagnostik penting dalam mengevaluasi spesimen biopsi terhadap adanya astrositoma derajat rendah.



MORFOLOGI Astrositoma berdiferensiasi baik merupakan tumor infiltratif yang tidak tegas dan berwarna abu-abu yang meluas dan mengacaukan daerah otak yang diinvasi tanpa membentuk massa tegas (Gambar 22-28,A). Infiltrasi yang melewati batas yang terlihat secara makroskopik selalu ada. Permukaan tumor bisa keras atau lunak dan gelatinosa; degenerasi kistik dapat terlihat. Pada glioblastoma, berbagai jenis gambaran makroskopik tumor dari satu regio ke regio lain memiliki karakteristik tersendiri (Gambar 22-28, B). Beberapa area bisa keras dan putih, sedangkan area lainnya lunak dan kuning (akibat nekrosis jaringan), dan daerah lainnya lagi menunjukkan regio degenerasi kistik dan perdarahan. Astrositoma berdiferensiasi baik ditandai oleh peningkatan jumlah inti sel glia ringan hingga sedang, pleomorfisme inti yang agak bervariasi, dan jaring-jaring halus, prosesus sel astrosit yang mengandungi glial fibrillary acidic protein (GFAP) sehingga memberikan gambaran latar belakang fibriler.Transisi antara jaringan tumor dan jaringan normal tidak jelas, dan sel tumor dapat terlihat menginfiltrasi jaringan normal beberapa sentimeter dari lesi utama. Astrositoma anaplastik menunjukkan regio yang lebih padat selnya dan memiliki pleomorfisme inti yang lebih keras; gambaran mitotik dapat terlihat. Glioblastoma memiliki gambaran histologis yang mirip dengan astrositoma anaplastik, dan juga nekrosis (sering dengan inti berlapis semu) atau proliferasi vaskular (Gambar 22-28, C).



Astrositoma Pilositik



Astrositoma pilositik merupakan tumor yang relatif jinak, biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda. Lokasi tersering



Tumor



843



A



B



C adalah serebelum, dapat juga mengenai ventrikel ketiga, jalur optik, korda spinalis, dan kadang-kadang hemisfer serebri. Kista terkait tumor sering terlihat, dan kekambuhan simptomatik dari lesi yang direseksi tidak sempurna sering berhubungan dengan pembesaran kista, daripada pertumbuhan komponen padatnya. Tumor yang mengenai hipotalamus sangat bermasalah karena tumor tidak dapat direseksi dengan sempurna. Sebagian besar astrositoma pilositik memiliki mutasi aktif pada serin-treonin kinase BRAF baik mutasi titik spesifik (V600E) yang juga dapat ditemukan pada banyak kanker lainnya (Bab 5), atau yang lebih sering adalah duplikasi berpasangan parsial. Mutasi pada IDH1 dan IDH2 (biasanya pada astrositoma difus derajat rendah) tidak ditemukan pada tumor pilositik. Perbedaan genetik ini mendukung pembagian astrositoma menjadi dua kategori diagnostik.



MORFOLOGI Astrositoma pilositik sering berbentuk kistik, dengan nodul mural pada dinding kista; jika padat, tumor biasanya berbatas tegas. Tumor tersusun dari sel-sel bipolar dengan penonjolan panjang, tipis "mirip rambut" yang positif terhadap GFAP. Serabut Rosenthal, jisim granuler eosinofilik, dan sering terdapat mikrokista; nekrosis dan mitosis jarang terlihat.



Gambar 22-28 Astrositoma. A, Astrositoma derajat rendah terlihat di substasi putih yang melebar di hemisfer serebri kiri dan penebalan corpus callosum dan forniks. B, Glioblastoma tampak sebagai massa infiltratif, nekrotik, dan hemoragik. C, Glioblastoma adalah tumor yang padat seluler dengan nekrosis dan pseudopalisade inti sel tumor.



Oligodendroglioma Oligodendroglioma ditemukan sebanyak 5%-15% dari glioma dan paling sering dideteksi pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Pasien dapat merasakan keluhan neurologik beberapa tahun sebelumnya, biasanya berupa kejang. Lesi paling sering ditemukan di hemisfer serebri, terutama di lobus frontal atau temporal. Pasien dengan oligodendroglioma memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan astrositoma pada derajat yang sama. Pengobatan dengan pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi menghasilkan ketahanan hidup rata-rata selama 10-20 tahun untuk oligodendroglioma berdiferensiasi baik (WHO derajat II) atau 5-10 tahun untuk oligodendroglioma anaplastik (WHO derajat III). Temuan genetik yang paling sering adalah delesi kromosom 1p dan 19q, kelainan yang biasanya terjadi bersama-sama. Tumor dengan delesi 1p dan 19q biasanya sangat responsif terhadap kemoterapi dan radioterapi.



MORFOLOGI Oligodendroglioma berdiferensiasi baik (WHO derajat II/ IV) adalah tumor infiltratif yang membentuk massa gelatinosa abuabu dan dapat memperlihatkan kista, perdarahan lokal, dan klasifikasi. Pada pemeriksaan mikroskopik, tumor tersusun dari lapisan sel-sel regular dengan inti sferikal berisi kromatin bergranula halus (mirip dengan



844



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



A



B



Gambar 22-29 Glioma lainnya. A, Pada oligodendroglioma, sel tumor memiliki inti bulat, sering disertai dengan halo sitoplasma. Pembuluh darah tipis dan dapat membentuk pola anyaman. B, Gambaran mikroskopik ependimoma.



oligodendrosit normal) dikelilingi oleh halo jernih pada sitoplasma (Gambar 22-29, A).Tumor biasanya berisi jaringan anastomosis kapiler yang rapuh. Klasifikasi terdapat pada 90% tumor, berkisar dari fokus mikroskopik hingga deposit masif. Aktivitas mitotik biasanya sulit dideteksi. Oligodendroglioma anaplastik (WHO derajat III/ IV) merupakan subtipe yang lebih agresif dengan densitas sel, anaplasia inti, dan aktivitas mitotik yang lebih tinggi.



Ependimoma Ependimoma paling sering terjadi pada bagian sesudah sistem ventrikel yang dilapisi ependim, termasuk kanal sentral korda spinalis. Pada 2 dekade pertama kehidupan, tumor biasanya terjadi di dekat ventrikel ke-empat dan merupakan 5%-10% tumor otak primer pada kelompok usia ini. Pada orang dewasa, korda spinalis merupakan lokasi tersering; tumor pada tempat ini sering terjadi pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2 (Bab 21). Prognosis untuk reseksi komplit ependimoma supratentorial dan spinal lebih baik daripada ependimoma fossa posterior.



ventrikel (paling sering di ventrikel lateral atau ventrikel ketiga), ditandai oleh inti yang seragam, bulat, berjarak sama dan sering disertai pulau-pulau neuropil. Ganglioglioma adalah tumor dengan campuran unsur glia, biasanya astrositoma derajat rendah, dan neuron yang tampak matur. Kebanyakan tumor tumbuh lambat, tetapi komponen glia kadangkadang dapat menjadi anaplastik dan penyakit berprogresi dengan cepat. Lesi ini sering bermanifestasi sebagai kejang. Tumor neuroepitel disembrioplastik adalah tumor pada masa anakanak berderajat keganasan rendah dan khas tumbuh perlahan dan prognosis relatif baik setelah reseksi. Lesi sering bermanifestasi sebagai kejang. Tumor ini biasanya berlokasi di lobus temporal superfisial dan terdiri dari sel neuron bulat kecil yang tersusun dalam kolom dan di sekitar inti pusat prosesus. Tumor biasanya membentuk nodul intrakorteks tegas multipel yang memiliki latar belakang miksoid. Dapat juga terlihat neuron berdiferensiasi baik "mengapung" di dalam kolam cairan miksoid yang kaya akan mukopolisakarida.



Neoplasma Embrional (Primitif) MORFOLOGI Pada ventrikel ke-empat, ependimoma biasanya berupa massa solid atau papiler yang meluas dari dasar ventrikel. Tumor tersusun dari sel dengan inti yang teratur, bulat hingga oval dan kromatin bergranula banyak. Di antara inti terdapat latar belakang fibriler padat yang bervariasi. Sel tumor dapat membentuk struktur bulat atau memanjang (roset, kanal) yang mirip dengan kanal ependim embriologik, dengan prosesus panjang dan rapuh yang meluas ke dalam lumen (Gambar 23-29, B); lebih sering terlihat pseudoroset perivaskular yaitu sel tumor tersusun mengelilingi pembuluh darah dengan zona intervensi berisi prosesus ependim tipis. Ependimoma anaplastik menunjukkan peningkatan densitas sel, angka mitotik tinggi, nekrosis, dan diferensiasi ependim yang kurang jelas.



Tumor Neuron Neurositoma sentral adalah neoplasma derajat rendah yang ditemukan pada ventrikel dan atau bersebelahan dengan sistem



Beberapa tumor yang berasal dari neuroektodermal memiliki gambaran "inti bulat kecil" primitif yang mirip dengan sel progenitor normal yang ditemukan pada perkembangan SSP. Diferensiasi biasanya terbatas, tetapi dapat berlanjut di keturunan berikutnya. Jenis yang paling sering adalah meduloblastoma, sebanyak 20% tumor otak anak-anak.



Meduloblastoma Meduloblastoma umumnya terjadi pada anak-anak dan hanya terdapat di serebelum. Petanda neuronal dan glial hampir selalu diekspresikan, sedikitnya dalam batas tertentu. Tumor ini sangat ganas, dan prognosis buruk pada pasien yang tidak diobati; namun, meduloblastoma bersifat radiosensitif. Dengan eksisi total, kemoterapi, dan radiasi, angka ketahanan hidup 5 tahun dapat mencapai 75%. Tumor dengan jenis histologis yang sama dan derajat diferensiasi buruk dapat ditemukan di tempat lain pada sistem saraf, yang disebut primitive neuroectodermal tumors (PNETs).



Tumor



A



845



B



Gambar 22-30 Meduloblastoma. A, Potongan sagital otak menunjukkan meduloblastoma dengan destruksi di garis tengah serebelum superior. B, Gambaran mikroskopik meduloblastoma.



MORFOLOGI Pada anak-anak, meduloblastoma berlokasi di garis tengah serebelum; tumor lateral lebih sering pada orang dewasa. Tumor berbatas tegas, berwarna abu-abu, rapuh dan dapat terlihat meluas ke permukaan lipatan serebelum dan mengenai leptomeninges (Gambar 22-30, A). Meduloblastoma bersifat sangat seluler, dengan lapisan-lapisan sel anaplastik ("biru kecil") (Gambar 22-30, B). Sel tumor berukuran kecil, dengan sitoplasma sedikit dan inti hiperkromatik; mitosis banyak ditemukan. Diferensiasi neuron fokal sering terlihat dalam bentuk Homer Wright atau roset neuroblastik, yang mirip dengan roset yang ditemukan pada neuroblastoma; ditandai oleh sel tumor primitif yang mengelilingi neuropil sentral (material pink rapuh yang dibentuk oleh prosesus-prosesus neuron).



Epstein-Barr onko genik. Pada populasi dengan imunosupresi, usia munculnya tumor ini relatif bervariasi, dengan insidens yang meningkat setelah usia 60 tahun. Tanpa memperhatikan keadaan klinisnya, limfoma otak primer adalah penyakit agresif dengan respons terhadap kemoterapi yang relatif buruk dibandingkan dengan limfoma perifer. Pasien dengan limfoma otak primer sering memiliki nodul tumor multipel di parenkim otak, tetapi penyebaran keluar SSP merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Limfoma yang berasal dari luar SSP jarang menyebar ke parenkim otak; apabila itu terjadi, tumor biasanya ada juga ditemukan dalam CSS atau meninges.



MORFOLOGI Analisis genetik meduloblastoma menunjukkan bahwa tumor yang mirip secara morfologik memperlihatkan perubahan yang berbeda, dan adanya hubungan antara mutasi yang mendasari dan hasilnya. Umumnya, tumor dengan amplifikasi MYC berhubungan dengan prognosis yang buruk, sedangkan tumor yang berhubungan dengan mutasi gen pada jalur sinyal WNT memiliki prognosis yang lebih baik. Banyak tumor yang juga memiliki mutasi yang mengaktifkan jalur sonic hedgehog (shh), yang memiliki peran penting dalam tumorigenesis tetapi hubungannya dengan prognosis masih belum pasti. Perbedaan genetik ini mulai digunakan untuk membagi pasien ke dalam kelompok tingkatan risiko yang berbeda dan anjuran terapi. Idealnya, radioterapi SSP harus dihindari pada pasien muda, dan diharapkan terapi baru dengan terapi target terhadap produk gen yang termutasi akan mencapai tujuan ini.



Tumor Parenkim Lain Limfoma Sistem Saraf Pusat Primer Limfoma SSP primer, yang paling sering adalah limfoma sel B besar difus, sebanyak 2% dari limfoma ekstranodal dan 1% dari tumor intrakranial. Tumor ini merupakan neoplasma SSP tersering pada orang dengan imunosupresi, dan hampir selalu positif terhadap virus



Lesi sering mengenai struktur abu-abu dalam dan juga substansi putih dan korteks. Penyebaran ke periventrikuler biasa terjadi. Tumor relatif berbatas tegas apabila dibandingkan dengan neoplasma glia tetapi tidak setegas metastasis.Tumor terkait EBV sering memperlihatkan area nekrosis yang luas. Tumor hampir selalu merupakan limfoma sel B besar yang agresif, meskipun jenis histologis lain dapat juga muncul tetapi jarang (Bab 11). Secara mikroskopik, sel ganas terakumulasi di sekeliling pembuluh darah dan menginfiltrasi parenkim otak sekitarnya.



Tumor Sel Benih Tumor sel benih otak primer muncul di sepanjang garis tengah, paling sering di regio pineal dan supraselar. Tumor ini terhitung sebanyak 0,2%-1% dari tumor otak pada orang-orang keturunan Eropa tetapi sebanyak 10% dari tumor otak pada orang etnik Jepang. Tumor ini merupakan tumor masa muda, dengan 90% kasus terjadi pada dekade kedua kehidupan. Tumor sel benih di regio pineal biasanya terjadi pada laki-laki. Tumor sel benih SSP primer yang paling sering adalah germinoma, yaitu suatu tumor yang mirip dengan seminoma testis (Bab 17). Keterlibatan SSP sekunder oleh metastasis tumor sel benih gonad dapat juga terjadi.



846



B A B 22



Sistem Saraf Pusat



A



B



Gambar 22-31 Meningioma. A, Meningioma multilobular parasagital melekat pada dura dengan penekanan otak sekitarnya. B, Meningioma dengan pola pertumbuhan sel berulir dan jisim psammoma.



Meningioma Meningioma adalah tumor yang predominan jinak berasal dari sel meningotel araknoid. Tumor ini biasanya terjadi pada orang dewasa dan sering melekat pada dura mater. Meningioma dapat ditemukan di sepanjang permukaan eksternal otak dan juga di dalam sistem ventrikel. Tumor berasal dari sel araknoid stroma pleksus koroid. Tumor ini mendapat perhatian karena gejalanya yang non-lokal dan tidak jelas, atau gejala lokal yang disebabkan oleh penekanan pada jaringan otak di sebelahnya. Meskipun kebanyakan meningioma mudah dipisahkan dari otak di sekitarnya, tetapi beberapa tumor telah menginfiltrasi otak, suatu sifat yang berhubungan dengan peningkatan risiko kekambuhan. Prognosis keseluruhan ditentukan oleh ukuran dan lokasi lesi, kemungkinan dilakukan pembedahan, dan derajat histologisnya. Apabila seseorang memiliki meningioma multipel, terutama yang berhubungan dengan schwannoma nervus VIII atau tumor glia, diagnosis neurofibromatosis tipe 2 (NF2) harus dipikirkan (Bab 21). Sekitar separuh kasus meningioma yang tidak berhubungan dengan NF2 kehilangan fungsi mutasi pada gen supresor tumor NF2 pada lengan panjang kromosom 22 (22q). Mutasi ini ditemukan pada semua derajat meningioma, memberikan kesan bahwa mutasi ini terlibat dalam inisiasi tumor. Mutasi pada NF2 lebih sering pada tumor dengan pola pertumbuhan tertentu (fibroblastik, transisional, dan psamomatosa).



MORFOLOGI Meningioma (WHO derajat 1/IV) tumbuh sebagai massa berbatas tegas yang melekat pada dura mater yang dapat menekan otak tetapi tidak menginvasi otak (Gambar 22-31, A). Perluasan ke dalam tulang yang mendasarinya bisa terjadi. Variasi pola histologis meningioma adalah sinsitial, berdasarkan gambaran kelompokan erat sel tumor tanpa membran sel jelas yang membentuk susunan ulir dalam kelompok-kelompok padat; fibroblastik, berdasarkan sel yang memanjang dengan banyak deposisi kolagen di antaranya; transisional, yang gambarannya berupa campuran jenis sinsitial dan fibroblastik; psammomatosa,



dengan jisim psammoma yang banyak (Gambar 22-31, B); dan sekretori, dengan sekresi eosinofilik dari struktur seperti kelenjar yang positif terhadap PAS dan dikenal sebagai jisim pseudopsammoma. Meningioma atipik (WHO derajat 11/1V) dikenali oleh adanya gambaran histologis tertentu (nukleolus mencolok, peningkatan seluleritas, pola pertumbuhan sedikit), dan sering terdapat banyak mitosis. Tumor memperlihatkan pertumbuhan lokal yang lebih agresif dan angka kekambuhan yang lebih tinggi; tumor ini mungkin memerlukan terapi tambahan selain pembedahan. Meningioma anaplastik (malignan) (WHO derajat 111/1V) adalah tumor yang sangat agresif yang mirip dengan sarkoma atau karsinoma derajat tinggi, meskipun biasanya ada tanda histologis yang menunjukkan berasal dari sel meningotel.



Tumor Metastatik Lesi metastatik, yang paling sering adalah karsinoma, terhitung sebanyak seperempat hingga setengah dari seluruh tumor intrakranial. Tumor primer biasanya berasal dari paru, payudara, kulit (melanoma), ginjal, dan saluran cerna keseluruhannya terhitung sekitar 80% dari semua kasus. Metastasis membentuk massa berbatas tegas, seringkali di perbatasan substansi abu-abu dan putih, dan memperlihatkan edema (Gambar 22-32). Perbatasan antara tumor dan parenkim otak terlihat tegas pada tingkat mikroskopik, dengan gliosis reaktif di sekitarnya. Selain efek lokal dan langsung yang disebabkan oleh metastasis, sindrom paraneoplastik dapat mengenai sistem saraf pusat dan perifer, kadang-kadang mendahului gejala klinis dari neoplasma ganas. Banyak tetapi tidak semua pasien dengan sindrom paraneoplastik mempunyai antibodi terhadap antigen tumor. Beberapa pola yang sering yaitu: • Degenerasi serebelar subakut menyebabkan ataksia dengan destruksi sel Purkinje, gliosis, dan infiltrat radang ringan • Ensefalitis limbik menyebabkan demensia subakut, dengan sel inflamasi perivaskular, nodul mikroglia, hilangnya beberapa neuron, dan gliosis, semuanya terpusat di lobus temporal medial



Tumor



847



suatu kinase yang "merasakan" status nutrisi sel dan mengatur metabolisme sel. Kehilangan salah satu protein menyebabkan peningkatan aktivitas mTOR, yang mengganggu sinyal nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan sel.



MORFOLOGI



Gambar 22-32 Melanoma metastatik. Lesi metastatik dibedakan secara makroskopik dari tumor sistem saraf pusat primer oleh multisentrisitas dan batasnya yang tegas. Warna gelap pada nodul tumor di spesimen ini disebabkan oleh adanya melanin.



• Neuropati sensorik subakut menyebabkan perubahan sensasi nyeri, dengan hilangnya neuron sensorik dari ganglia akar dorsal, yang berhubungan dengan inflamasi • Sindrom dengan onset cepat psikosis, katatonia, epilepsi, dan koma yang berhubungan dengan teratoma ovarium dan antibodi terhadap reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA)



Sindrom Tumor Familial Beberapa sindrom yang diturunkan yang disebabkan oleh mutasi pada berbagai gen supresor tumor berhubungan dengan peningkatan risiko terhadap jenis kanker tertentu. Beberapa yang terkait dengan SSP akan didiskusikan di sini; sindrom familial yang berhubungan dengan tumor sistem saraf perifer dibahas di Bab 21.



Hamartoma korteks lebih padat daripada korteks normal dan mirip dengan kentang karena itu disebut "tuber" (umbi). Tumor terdiri dari neuron-neuron besar yang tersusun secara acak yang lain dari susunan lapisan korteks normal. Sel ini dapat menunjukkan campuran neuron dan glia, memiliki inti vesikular besar dengan anak inti (seperti neuron) dan sitoplasma eosinofilik yang banyak (seperti astrosit gemistositik). Sel abnormal yang sama terdapat pada nodul subependim, dan selsel seperti astrosit besar mengelompok di bawah permukaan ventrikel.



Penyakit von Hippel-Lindau Pada kelainan autosomal dominan ini, hemangioblastoma akan tumbuh di hemisfer serebelum, retina, dan jarang di batang otak, korda spinalis, dan akar saraf. Pasien juga mungkin mengandung kista yang terkena menjadi karsinoma sel renal. Frekuensi penyakit adalah 1 dalam 30.000-40.000 orang. Terapi untuk neoplasma yang simptomatik, yaitu reseksi bedah untuk tumor serebelum dan ablasi laser untuk tumor retina. Gen yang terkena adalah gen supresor tumor VHL, yang menyandi protein, merupakan bagian dari kompleks ubiquitin-ligase dengan target faktor transkripsi hypoxia-inducible factor (HIF) untuk degradasi. Tumor yang muncul pada pasien dengan penyakit von Hippel-Lindau biasanya telah kehilangan semua fungsi protein VHL. Akibatnya, tumor ini mengekspresikan HIF dengan kadar yang tinggi, yang mendorong ekspresi VEGF, berbagai faktor pertumbuhan, dan kadang-kadang eritropoietin, sehingga mengakibatkan polisitemia paraneoplastik.



Tuberous Sclerosis Tuberous sclerosis (TSC) adalah sindrom autosomal dominan yang ditandai oleh perkembangan hamartoma dan neoplasma jinak yang mengenai otak dan jaringan lainnya. Hamartoma SSP terdiri dari bermacam-macam tuber di korteks dan hamartoma subependim, termasuk bentuk tumefaktif yang lebih besar yang dikenal sebagai astrositoma sel raksasa subependim. Karena dekat dengan foramen Monro, tumor ini biasanya menyebabkan hidrosefalus obstruktif akut, yang memerlukan intervensi bedah dan atau terapi dengan inhibitor mTOR (lihat di bawah). Kejang berhubungan dengan tuber di korteks dan sulit dikontrol dengan obat antiepilepsi. Lesi di luar otak yaitu angiomiolipoma renal, hamartoma glia retina, limfangiomiomatosis paru, dan rabdomioma jantung, kista dapat ditemukan di berbagai tempat seperti hati, ginjal, dan pankreas. Lesi kutaneus berupa angiofibroma, bercak-bercak lokal penebalan kasar (bercak shagreen), area hipopigmentasi (bercak ash leaf), dan fibroma subungual. TSC berasal dari kerusakan baik TSC1, yang mengkode hamartin, maupun TSC2, yang mengkodetuberin. Kedua protein TSC membentuk kompleks dimer yang meregulasi negatif mTOR,



MORFOLOGI Hemangioblastoma kapiler serebelar, dengan manifestasi neurologik utama penyakit, adalah neoplasma yang sangat vaskular yang muncul sebagai nodul mural yang berhubungan dengan kista besar berisi cairan. Pada pemeriksaan mikroskopik, lesi terdiri atas banyak pembuluh darah berukuran kapiler dan berdinding tipis yang dipisahkan oleh sel stroma dengan sitoplasma bervakuol, kaya akan lemak, dan positif ringan terhadap PAS.



RINGKASAN Tumor Sistem Saraf Pusat •



Tumor SSP dapat muncul dari sel-sel selaput (meningioma), otak (glioma, tumor neuron, tumor pleksus koroideus), atau populasi sel SSP lain (limfoma SSP primer, tumor sel benih), atau dapat juga berasal dari tempat lain dalam tubuh (metastasis).



848



B A B 22



Sistem Saraf Pusat







Bahkan tumor jinak atau tumor ganas derajat rendah dapat memiliki prognosis yang buruk, bergantung pada lokasi terjadinya tumor tersebut.







Tumor jenis tertentu mengenai regio yang spesifik di otak (misalnya serebelum untuk meduloblastoma, intraventrikel untuk neurositoma sentral), populasi dengan usia spesifik (meduloblastoma dan astrositoma pilositik pada kelompok usia anak-anak,dan glioblastoma serta limfoma pada pasien yang lebih tua). Tumor glia diklasifikasikan secara luas menjadi astrositoma, oligodendroglioma, dan ependimoma. Peningkatan keganasan tumor berhubungan dengan sitologis yang lebih anaplastik, peningkatan densitas sel, nekrosis, dan aktivitas mitotik. Penyebaran metastatik tumor otak ke regio lain dalam tubuh jarang terjadi,tetapi tidak sebanding dengan daya perlindungan otak terhadap penyebaran tumor dari tempat jauh. Karsinoma adalah tipe dari tumor sistemik yang dominan bermetastasis ke sistem saraf.











KEPUSTAKAAN Secara umum, banyak area neuropatologi dan penyakit neurologik tercakup dalam buku teks standar berikut: Burger PC, Scheithauer BW (eds): Tumors of the Central Nervous System. AFIP Atlas of Tumor Pathology: Series 4. Washington, DC, American Registry of Pathology, 2007. Louis DN, Frosch MP, Mena H, et al (eds): Non-Neoplastic Diseases of the Central Nervous System. AFIP Atlas of Nontumor Pathology: Series 1. Washington, DC, American Registry of Pathology, 2009. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK (eds): WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System (IARC), 4th ed. Geneva, World Health Organization, 2007. Love S, Louis DN, Ellison DW (eds): Greenfield’s Neuropathology, 8th ed. Oxford, Oxford University Press, 2008. Perry A, Brat DJ: Neuropathology patterns and introduction. In: Perry A, Brat DJ (eds): Practical Surgical Neuropathology, Elsevier/ Churchill Livingstone, Philadelphia, 2010. Ropper AH, Samuels MA (eds): Adams and Victor’s Principles of Neurology, 9th ed. New York, McGraw-Hill Professional, 2009.



Untuk beberapa topik yang dibahas dalam bab ini, terdapat beberapa perubahan klasifikasi, kemajuan dalam pengertian patogenesis, intervensi terapi, dan pengertian korelasi klinik opatologis yang lebih baik. Untuk topik-topik tersebut, berikut adalah bacaan tambahan yang direkomendasikan. TRAUMA SISTEM SARAF PUSAT McKee AC, Cantu RC, Nowinski CJ, et al: Chronic traumatic encephalopathy in athletes: progressive tauopathy after repetitive head injury. J Neuropathol Exp Neurol 68:709, 2009.



MALFORMASI KONGENITAL DAN JEJAS OTAK PERINATAL Copp AJ, Greene ND: Genetics and development of neural tube defects. J Pathol 220:217, 2010. Diaz AL, Gleeson JG: The molecular and genetic mechanisms of neocortex development. Clin Perinatol 36:503, 2009. Kriegstein A, Alvarez-Buylla A: The glial nature of embryonic and adult neural stem cells. Annu Rev Neurosci 32:149, 2009. Lee JE, Gleeson JG: Cilia in the nervous system: linking cilia function and neurodevelopmental disorders. Curr Opin Neurol 24:98, 2011.



Lim Y, Golden JA: Patterning the developing diencephalon. Brain Res Rev 53:17, 2007. Na ES, Monteggia LM: The role of MeCP2 in CNS development and function. Horm Behav 59:364, 2011. Ten Donkelaar HJ, Lammens M: Development of the human cerebellum and its disorders. Clin Perinatol 36:513, 2009. Thompson BL, Levitt P: The clinical-basic interface in defining pathogenesis in disorders of neurodevelopmental origin. Neuron 67:702, 2010. Walsh CA, Morrow EM, Rubenstein JL: Autism and brain development. Cell 135:396, 2008.



INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT Gambetti P, Cali I, Notari S, et al: Molecular biology and pathology of prion strains in sporadic human prion diseases. Acta Neuropathol 121:79, 2011. Ironside JW: Variant Creutzfeldt-Jakob disease. Haemophilia 16(Suppl 5):175, 2010. Johnson T, Nath A: Neurological complications of immune reconstitu-tion in HIVinfected populations. Ann N Y Acad Sci 1184:106, 2010. Martin-Blondel G, Delobel P, Blancher A, et al: Pathogenesis of the immune reconstitution inflammatory syndrome affecting the central nervous system in patients infected with HIV. Brain 134(Pt 4):928, 2011. Parchi P, Strammiello R, Giese A, Kretzschmar H: Phenotypic variability of sporadic human prion disease and its molecular basis: past, present, and future. Acta Neuropathol 121:91, 2011. Singer EJ, Valdes-Sueiras M, Commins D, Levine A: Neurologic presentations of AIDS. Neurol Clin 28:253, 2010. Wright EJ: Neurological disease: the effects of HIV and antiretroviral therapy and the implications for early antiretroviral therapy initia-tion. Curr Opin HIV AIDS 4:447, 2009.



PENYAKIT PRIMER MIELIN Comabella M, Khoury SJ: Immunopathogenesis of multiple sclerosis. Clin Immunol 10:399, 2011. Hu W, Lucchinetti CF: The pathological spectrum of CNS inflammatory demyelinating diseases. Semin Immunopathol 31:439, 2009. Jarius S, Wildemann B: AQP4 antibodies in neuromyelitis optica: diagnostic and pathogenetic relevance. Nat Rev Neurol 6:383, 2010. Oksenberg JR, Baranzini SE, Sawcer S, Hauser SL: The genetics of multiple sclerosis: SNPs to pathways to pathogenesis. Nat Rev Genet 9:516, 2008.



PENYAKIT NEURODEGENARATIF DeKosky ST, Carrillo MC, Phelps C, et al: Revision of the criteria for Alzheimer’s disease: A symposium. Alzheimers Dement 7:e1, 2011. Durr A: Autosomal dominant cerebellar ataxias: polyglutamine expansions and beyond. Lancet Neurol 9:885, 2010. Pandolfo M: Friedreich ataxia. Arch Neurol 65:1296, 2008. Kiernan MC, Vucic S, Cheah BC, et al: Amyotrophic lateral sclerosis. Lancet 377:942, 2011. Ross CA, Tabrizi SJ: Huntington’s disease: from molecular pathogenesis to clinical treatment. Lancet Neurol 10:83, 2011. Selkoe DJ: Biochemistry and molecular biology of amyloid betaprotein and the mechanism of Alzheimer’s disease. Handb Clin Neurol 89:245, 2008. Storch A, Hofer A, Krüger R, et al: New developments in diagnosis and treatment of Parkinson’s disease from basic science to clinical applications. J Neurol 251(Suppl 6):VI33, 2004. Thinakaran G, Koo EH: Amyloid precursor protein trafficking, processing, and function. J Biol Chem 283:29615, 2008. Vidailhet M: Movement disorders in 2010: Parkinson diseasesymptoms and treatments. Nat Rev Neurol 7:70, 2011.



Tumor TUMOR Cancer Genome Atlas Research Network: Comprehensive genomic characterization defines human glioblastoma genes and core pathways. Nature 455:1061, 2008. Cho YJ, Tsherniak A, Tamayo P, et al: Integrative genomic analysis of medulloblastoma identifies a molecular subgroup that drives poor clinical outcome. J Clin Oncol 29:1424, 2011. Dubuc AM, Northcott PA, Mack S, et al: The genetics of pediatric brain tumors. Curr Neurol Neurosci Rep 10:215, 2010.



849



Maher ER, Neumann HP, Richard S: von Hippel-Lindau disease: A clinical and scientific review. Eur J Hum Genet 19:617, 2011. Mawrin C, Perry A: Pathological classification and molecular genetics of meningiomas. J Neurooncol 99:379, 2010. Orlova KA, Crino PB: The tuberous sclerosis complex. Ann N Y Acad Sci 1184:87, 2010. Riemenschneider MJ, Jeuken JW, Wesseling P, Reifenberger G: Molecular diagnostics of gliomas: state of the art. Acta Neuropathol 120:567, 2010.



This page intentionally left blank



23 BAB



Kulit DAFTAR ISI BAB Dermatosis Infiamosi Akut 852 Utrtikaria 852 Dermatitis Eksematosa Akut 852 Eritema Multiforme 853



Liken Simpleks Kronik 856



Dermatitis Infeksiosa 856



Dermatosis Infiamasi Kronik 854



Infeksi Bakteri 856 Infeksi Jamur 857 Veruka (Kutil) 857



Psoriasis 854 Liken Planus 855



Pemfigus (Vulgaris dan Foliaseus) 858



Kelainan Melepuh (Blistering) 858



Penyakit kulit lazim terjadi dan bervariasi, dimulai dari akne yang bersifat iritatif sampai kelainan yang mengancam kehidupan seperti melanoma. Banyak kelainan hanya terbatas (intrinsik) pada kulit, tetapi beberapa kelainan merupakan manifestasi suatu penyakit yang mengenai berbagai jaringan, seperti lupus eritematosus sistemik atau sindrom yang berhubungan dengan kelainan genetik seperti neurofibromatosis. Pada keadaan seperti ini kulit merupakan suatu "jendela" yang secara unik dapat dicapai dan memungkinkan berbagai kelainan dapat dikenal. Kulit tidak hanya berfungsi sebagai lapisan pelindung, tetapi merupakan suatu organ kompleks yang secara aktif berpartisipasi dalam regulasi sel dan peristiwa molekuler yang berhubungan dengan interaksi tubuh dan lingkungan sekitarnya. Kulit secara terus menerus terpajan pada antigen mikroba dan non-mikroba. Fungsi protektif kulit terhadap pajanan tersebut dilakukan oleh sel Langerhans intraepitelial, dengan cara meneruskan muatan antigen ke kelenjar getah bening regional dan menimbulkan respons imun alamiah. Sel skuamosa (keratinosit) memiliki fungsi sebagai pengatur homeostasis kulit mengaktifkan barier terhadap lingkungan dengan cara mensekresi banyak sitokin yang mempengaruhi lingkungan mikroskuamosa dan dermis. Daerah dermis mengandungi limfosit T baik yang bersifat penolong (helper) (sel T CD4+) maupun yang bersifat sitotoksik (sel T CD8+). Sebagian dari limfosit tersebut tertarik ke daerah kulit melalui reseptor khusus seperti antigen limfosit kulit (cutaneous lymphocyte antigen). Epidermis mengandungi limfosit intraepitel, termasuk sel T γ/δ, yang membentuk komponen sistem imun alami/bawaan (innak immune system). Reaksi imun lokal yang melibatkan sel-sel imun dan sitokin berperan dalam membentuk pola mikroskopik dan ekspresi klinis berupa proses radang kulit dan penyakit infeksi. Penulis berterima kasih kepada para dokter Dr. Ronal Rapini dan Dr. Robert jordan serta Departenien Kulit di Fakultas Kedokteran Universitas Texns Houston atas foto klinis pada bab Penghargaan kepada Dr. George Murphy atas kontribusinya dalam bab ini pada edisi sebelumnya.



Pemfigoid Boloso 859 Dermatitis Herpetiformis 861



Tumor Jinak dan Tumor Pra-Maligna 862 Lesi Epitelial Jinak dan Pra-Maligna 862 Tumor Epidemal Ganas 863



Pembahasan pada bab ini dipusatkan pada subset kecil dari penyakit kulit yang lazim dan memberikan ilustrasi pathogenesis. Dalam memperhatikan penyakit-penyakit ini, penting untuk menghargai penerapan dermatologi yang bergantung kepada kerjasama timbal balik dengan klinisus terutama spesialis penyakit kulit. Riwayat penyakit dan tampilan makroskopik serta distribusi lesi yang dilaporkan oleh klinikus sama pentingnya dengan penemuan mikroskopik dalam rangka menegakkan diagnosis. Kelainan kulit dapat membingungkan mahasiswa, sebagian karena spesialis penyakit kulit (dermatolog) dan spesialis patologi kulit (dermatopatolog) menggunakan kosakata/ungkapan yang bermakna luasatau unik untuk menguraikan lesi kulit. Pengetahuan mengenai kosakata/ungkapan tersebut merupakan dasar untuk membangun pemahaman dan komunikasi yang jelas. Beberapa istilah dan ungkapan yang lazim digunakan akan dijelaskan dibawah ini.



Istilah untuk Lesi Makroskopik Ekskoriasi: Lesi akibat trauma yang merobek epidermis dan menyebabkan garis linear kemerahan (yaitu, suatu garukan yang dalam); sering terjadi akibat perbuatan sendiri. Likenifikasi: Kulit yang menebal dan kasar ditandai oleh perubahan kulit perubahan kulit berupa "tanda" , biasanya sebagai hasil gesekan atau gosokan yang berulang kali (lihat "Liken Simpleks Kronik"). Makula: Lesi datar, berbatas tegas, diameter kurang atau sama dengan 5 mm, terdapat perbedaan warna dengan sekitarnya. Apabila lebih besar dari 5 mm. Apabila lebih besar dari 5 mm, disebut sebagai bercak (patch) Plak: Lesi yang menonjol dengan bagian atap rata (flattopped), biasanya berukuran lebih besar dari diameter 5 mm.



852



B A B 23



Kulit



Pustul: Lesi yang menonjol dan berbatas tegas berisi pus (nanah). Skuama: Pertumbuhan keluar, bersifat sebagai lapisan tanduk, menyerupai sisik (lempengan), biasanya terjadi akibat komifikasi yang tidak sempurna. Vesikel: Penonjolan berisi cairan dengan area kurang atau sama dengan 5 mm. Bila diameter lebih dari 5 mm disebut sebagi bula. Lepuh/gelembung (blister) merupakan istilah rutin yang digunakan untuk vesikel dan bula.



Istilah Mikroskopik Akantolisis: Hilangnya ikatan antar sel pada lapisan keratinosit. Akantosis: Hiperplasia epidermis difus. Diskeratosis: Keratinisasi abnormal yang terjadi secara prematur di dalam sel secara individu atau kelompokan sel di bawah stratum granulosum. Hiperkeratosis: Hiperlasia dari stratum corneum, seringkali berhubungan dengan kelainan keratin secara kualitatif. Lentigenus: Proliferasi melanosit secara linear sepanjang lapisan basal epidermis, dapat timbul akibat perubahan reaktif atau sebagai bagian dari neoplasma melanositik. Papilomatosis: Penonjolan kepermukaan disebabkan oleh karena hiperplasia dan pembesaran papil dermal. Parakeratosis: Keratinisasi yang ditandai oleh retensi inti sel di daerah stratum corneum. Pada membran mukosa sel skuamosa, seperti pada daerah mukosa bucal, parakeratosis adalah normal. Spongiosis: Edema antar sel dari epidermis.



DERMATOSIS INFLAMASI AKUT Terdapat ribuan dermatosis bersifat inflamasi, yang merupakan tantangan dalam penegakan diagnosis termasuk bagi klinikus yang berpengalaman. Pada umumnya, lesi akut berlangsung selama berhari-hari sampai berminggu-minggu dan ditandai oleh proses radang (seringkali ditemukan lebih banyak sel mononuklear daripada neutrofil, dan disebut akut karena riwayat penyakit berlangsung dalam waktu terbatas), edema, dan kadang ditemukan jejas epidermis, pembuluh darah atau subkutis. Sebagian lesi akut mungkin menetap, yang berkembang menjadi fase kronik, sedangkan yang lain secara khas berhenti sendiri (self:linnted).



Urtikaria Urtikaria ("biduran/hives") merupakan kelainan yang sering ditemukan akibat proses degranulasi sel mast yang terjadi setempat, menyebabkan hiperpermeabilitas mikrovaskular di daerah dermis. Lesi kulit dengan gambaran eritematosa, edematosa, disertai plak dan rasa gatal (pruritus) disebut sebagai ruam (wheals).



PATOGENESIS Pada sebagian besar kasus kelainan urtikaria terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada keadaan ini antigen memicu degranulasi sel mast dengan cara berikatan dengan antibodi imunoglobulin E (IgE) yang terpapar pada permukaan sel mast (Bab 4). Beberapa antigen yang berperan termasuk putik sari (pollen), makanan, obat, dan racun serangga. Urtikaria yang bergantung kepada IgE terjadi akibat pajanan terhadap zat-zat yang merangsang langsung reaksi degranulasi sel mast, seperti opium dan antibiotik tertentu. Pada sebagian besar kasus, tidak ditemukan penyebab klinis meskipun telah dilakukan pencarian secara ekstensif Angioedema herediter disebabkan oleh defisiensi inhibitor CI esterase yang bersifat herediter, sehingga menghasilkan aktivasi komplemen yang tidak terkendali (Bab 3).



Urtikaria yang berlangsung mempengaruhi bibir, tenggorokan, kelopak mata, daerah genitalia dan ujung (bagian distal) ekstremitas. Apabila efek urtikaria mempengaruhi daerah laring, dapat memicu timbulnya kondisi yang membahayakan, karena kemungkinan terjadi sumbatan saluran napas.



MORFOLOGI Perangai histologis urtikaria seringkali bersifat perubahan ringan. Biasanya terdapat sebukan sel mononuklear dalam jumlah sedikit, di daerah perivenula superfisial, jarang terdapat neutrofil dan kadang-kadang eosinofil. Edema dermis superfisial menyebabkan berkas-berkas kolagen terpisah dengan jarak lebih lebar. Degranulasi sel mast yang seharusnya terdapat di sekitar venula dermis superfisial sulit dilihat dengan pulasan hematoksilineosin yang rutin, tetapi dapat diperlihatkan dengan jelas menggunakan pulasan Giemsa.



Gambaran Klinis



Urtikaria secara khas mengenai individu pada usia antara 20 dan 40 tahun, tetapi tidak ada usia yang tidak mungkin terjangkiti. Lesi biasanya berkembang dan mereda di dalam beberapa jam, tetapi masa jangkitan mungkin menetap selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Lesi yang menetap kadang-kadang disebabkan oleh vaskulitis urtikaria, yang seringkali berhubungan dengan pengendapan komplemen pada venula dermis. Lesi kulit yang ditimbulkan bervariasi dalam ukuran dan sifatnya, yaitu dari yang ukuran kecil, papula sampai besar dan yang disertai lesi yang gatal, edematosa, plak eritematosa. Peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan edema yang terbatas. Lesi kulit dapat ditemukan pada seluruh bagian kulit atau menyeluruh (generalisata). Pada urikaria spesifik, yang disebut urtikaria tekanan (pressure urticaria), lesi hanya ditemukan pada lokasi yang terpajan terhadap tekanan (seperti daerah kaki dan bokong). Walaupun urtikaria bukan suatu lesi yang mengancam kehidupan, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup, karena menyebabkan rasa gatal yang sangat dan menimbulkan gangguan sosial. Sebagian besar lesi diobati dengan penggunaan anti histamin. Penggunaan steroid secara sistemik hanya digunakan pada kasus yang parah dan refrakter (tidak mempan) terhadap pengobatan.



Dermatitis Eksematosa Akut Eksem adalah istilah klinis yang mencakup sejumlah kondisi dengan dasar etiologi yang bervariasi. Lesi baru memiliki bentuk papula merah, sering disertai vesikel di atasnya, yang mengeluarkan cairan/ basah dan menjadi keropeng (krusta). Pada keadaan yang menetap, lesi ini berkembang menjadi plak yang bersisik yang menonjol. Sifat dan derajat perubahan ini bervariasi di antara subtipe, termasuk yang berikut: • Dermatitis kontak alergik merupakan akibat dari pajanan terhadap suatu alergen • Dermatitis atopik, yang biasanya dihubungkan dengan pajanan terhadap alergen, tetapi saat ini dianggap merupakan akibat dari cacat fungsi penyangga (barrier) dari keratinosit dan banyak yang berhubungan dengan faktor genetik • Dermatitis eksematosa yang terkait-obat, suatu reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat • Dermatitis fotoeksematosa, suatu eksem yang timbul sebagai reaksi abnormal terhadap sinar UV cahaya yang terlihat • Dermatitis iritan primer, yang merupakan kerusakan kulit akibat dari pajanan terhadap zat kimiawi, fisis, atau mekanik Pada sebagian besar kasus, lesi-lesi ini dapat sembuh sempurna apabila stimulus penyebab dihilangkan atau dibatasi,



Dermatosis Inflamasi Akut



853



dan sangat penting untuk melakukan penilaian faktor penyebabnya. Hanya kasus yang sangat sering terjadi, dermatitis kontak yang akan di jelaskan di sini. Dermatitis kontak dipicu oleh pajanan terhadap suatu zat berpengaruh sensitisasi secara kontak yang berasal dari lingkungan, seperti racun dari rumput kering (poison ivy), yang bereaksi secara kimia dengan protein diri (self protein) dari tuan rumah. Protein diri yang dimodifikasi oleh zat tersebut diproses oleh sel Langerhans epidermis, yang bermigrasi melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening hilir dan menyajikan antigen tersebut kepada sel T naive. Peristiwa sensitisasi ini menimbulkan aktivasi memori imunologi; pada saat terjadi pajanan ulang terhadap antigen, sel T memori CD4+ yang teraktifkan bermigrasi ke daerah kulit yang terjangkiti. Sel T memoriCD4+ melepaskan sitokin, yang akan mendatangkan tambahan sel inflamasi dan juga berperan pada kerusakan epidermis, seperti yang terjadi pada tiap reaksi hipersensitivitas lambat (Bab 4).



MORFOLOGI



A



Pada kasus dermatitis kontak, jangkitan kulit terbatas pada tempat kontak dengan zat yang memicu (Gambar 23-1, A), sedangkan bentuk lain dari eksem, lesi-lesi mungkin tersebar luas. Spongiosis, atau edema epidermis, merupakan ciri dari semua bentuk dermatitis eksematosa akut merupakan sinonim dermatitis spongiosis. Cairan edema menyusup ke dalam epidermis, dan mencerai-beraikan keratinosit (Gambar 23-1, B). Jernbaran antarsel melebar dan menjadi menonjol sehingga lebih mudah terlihat. Perubahan ini biasanya diikuti oleh sebukan limfosit perivaskular superfisial, edema papil dermis, dan degranulasi sel mast. Sel eosinofil dapat ditemukan, dan terutama mencolok pada erupsi spongiotik yang dipicu oleh obat, tetapi secara umum memiliki perangai histologis yang serupa tidak bergantung kepada penyebab, sehingga dibutuhkan korelasi dengan perangai klinis.



Gambaran Klinis



Lesi dermatitis eksematosa akut ditandai oleh pruritus (gatal), edema, dan plak yang mengeluarkan cairan (basah), sering disertai vesikel dan bula. Apabila terjadi paparan antigen dalam waktu lama, lesi mungkin secara progresif membentuk sisik/skuama (hiperkeratotik) sesuai dengan penebalan epidermis (akantotik). Terdapat beberapa perubahan yang disebabkan atau diperberat oleh garukan atau gesekan/gosokan pada lesi tersebut (lihat kemudian pada "Liken Simpleks Kronik"). Penyebab klinis eksem seringkali dibagi menjadi 2 penyebab yaitu "inside jobs" penyebab dari dalam yang merupakan reaksi akibat antigen yang beredar internal (seperti konsumsi makanan atau obat), dan "outside jobs" penyebab dari luar akibat kontak dengan antigen eksternal (seperti poison ivy). Kerentanan terhadap dermatitis atopik seringkali bersifat diwariskan; terlihat kesesuaian kelainan pada 80% kasus kembar identik dan 20% kembar nonidentik (fraternal). Kelainan ini biasanya terlihat pada awal dari masa anak-anak dan pada sebagian besar kasus hilang saat dewasa. Anak-anak dengan dermatitis atopik seringkali disertai dengan kelainan asma dan rinitis alergenik, yang dikenal sebagai trias atopik.



Eritema Multiforme Eritema multiforme merupakan kelainan yang jarang dan biasanya lesi akan menghilang dengan sendirinya (self-limited) berhubungan dengan respons hipersensitivas terhadap infeksi dan obat tertentu. Infeksi yang mendahului termasuk herpes simpleks dan infeksi yang disebabkan oleh mikoplasma serta beberapa jamur.



B Gambar 23-1 Dermatitis eksematosa. A, Gambaran eritema dan skuama pada dermatitis kontak akibat nikel yang didapat dari kalung wanita ini. B, Secara mikroskopik, terdapat akumulasi cairan (spongiosis) antara sel epidermal yang dapat berkembang menjadi vesikel kecil, bila hubungan antar-sel teregang sampai lepas.



Kaitan dengan penggunaan obat termasuk sulfonamida, penisilin, salisilat, hidantoin, dan anti malaria.Penderita tampil dengan lesi yang sangat bervariasi (oleh karena itu disebut sebagai "multiforme") termasuk makula, papula, oesikel, dan bula, dentikian pula lesi yang khas menyerupai sasaran (targetoid leston) yang terdiri dari makula atau papula kernerahan, dengan bagian tengah lebitt pucat atau mengalami erosi (Gambar 23-2). Kerusakan epitel diyakini merupakan akibat reaksi sel T sitotoksik yang kembali ke tempat hunian (homing) di daerah kulit, vang menyerang sel basal kulit dan mukosa, dan mempengaruhi antigen, yang mungkin bereaksi silang dengan obat atau mikroba.



MORFOLOGI Lesi yang berkembang lengkap memiliki penampilan yang khas menyerupai "sasaran/targetoid" (Gambar 23-2, A). Lesi dini menunjukkan infiltrat limfosit perivaskular di lapisan permukaan dermis, berhubungan dengan edema dermis disertai marginasi limfosit sepanjang sambungan dermo epidermal yang dihubungkan secara ketat dengan keratinosit



854



B A B 23



Kulit selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, walaupun lesi ini dimulai dari fase akut. Permukaan kulit pada sebagian lesi dermatosis inflamasi kronik terlihat kasar sebagai akibat dari pembentukan sisik (skuama) yang abnormal atau berlebihan dan proses pengelupasan (deskuamasi).



Psoriasis



A



Psoriasis merupakan dermatosis inflamasi kronik yang lazim, dapat menjangkiti 1-2% penduduk di Amerika. Penelitian epidemiologik terbaru menunjukkan bahwa psoriasis berhubungan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke, yang mungkin berkaitan dengan keadaan inflamasi kronik. Psoriasis juga berhubungan dengan sekitar 10% penderita artritis, yang sebagian dapat bersifat parah.



PATOGENESIS



B Gambar 23-2 Eritema multiforme. A, Lesi targetoid cerdin dari suatu lepuh (blister) pucat di daerah tengah atau daerah nekrosis epidermal dikelilingi oleh makula ericematosa. B, Lesi dini menunjukkan kumpulan limfosit sepanjang sambungan dermo epidermal (dermatitis antarmuka/interface dermatitis) berhubungan dengan keratinosit yang tersebar dengan inti berwarna gelap dan berkerut dan sitapaisma eosinofilik,yang sedang mengalami apoptosis,



yang berdegenerasi (Gambar 23-2, B). Sejalan dengan waktu, timbul lesi yang berbatas tegas, zona nekrosis konfluen di daerah basal epidermis, disertai pembentukan ruam (blister). Bentuk lesi yang lebih jarang dan lebih berat disebut nekrolisis epiderrnal toksik (toxic epidermal necrolysis), dengan gambaran nekrosis yang meluas sampai seluruh ketebalan epidermis.



Gambaran Klinis



Eritema multiforme menunjukkan spektrum luas dari keparahan penyakit. Bentuk lesi yang berhubungan dengan infeksi (paling sering virus herpes) lebih ringan. Eritema multiforme yang disebabkan oleh obat dapat berkembang menjadi erupsi yang lebih parah dan mengancam kehidupan seperti sindrom Stevens Johnson atau nekrolisis epidermal toksik. Lesi ini dapat mengancam kehidupan karena dapat menyebabkan pengelupasan epidermis secara luas, menyebabkan kehilangan cairan dan infeksi seperti yang terlihat pada penderita luka bakar. Bentuk lesi berat ini lebih sering terjadi akibat reaksi idiopatik terhadap obat.



DERMATOSIS INFLAMASI KRONIK Dermatosis inflamasi kronik merupakan kondisi kulit yang menetap dan menunjukkan perangai paling khas selama



Psoriasis merupakan penyakit imunologi yang bersifat multifaktor; faktor genetik (yaitu, beberapa tipe human leukocyte antigen [HLA]) dan faktor lingkungan, keduanya memberikan kontribusi sebagai faktor risiko psoriasis. Tidak diketahui apakah antigen diri atau faktor lingkungan yang memicu. Kelompok sel T yang tersensitisasi yang kembali menghuni daerah dermis, termasuk sel CD4+ TH I7,TH I dan CD8+ T, dan menumpuk di dalam epidermis. Kelompok sel ini mensekresikan sitokin dan faktor pertumbuhan, yang menginduksi hiperproliferasi keratinosit, yang menyebabkan lesi yang khas. Pada individu yang rentan lesi psoriatik dapat terjadi akibat trauma lokal (fenomena Koebner), yang dapat menimbulkan reaksi inflamasi lokal yang mendukung perkembangan lesi. Hasil penefitian GWAS menghubungkan peningkatan risiko psoriasis dengan polimorfisme dalam lokus dan gen HLA yang mempengaruhi presentasi antigen, pengisyaratan TNF serta fungsi penyangga (barrier) kulit.



MORFOLOGI Lesi yang khas adalah plak yang berbatas tegas, berwarna merah muda sampai salmon, dilapisi oleh sisik berwarna putih-perak dengan adhesi yang rapuh (Gambar 23-3, A). Tampak penebalan epidermis (akantosis) yang mencolok, disertai perpanjangan kebawah dari rete ridges yang teratur (Gambar 23-3, B). Pola pertumbuhan kearah bawah ini, menyerupai gambaran ''tabung reaksi yang tersusun dalam rak". Peningkatan kecepatan pergantian sel dan tidak adanya maturasi sel menghasilkan kehilangan stratum granuIosum dan pembentukan skuama parakeratotik yang meluas. Tampak pula penipisan lapisan sel epidermal, di atas puncak papil dermis (suprapapillary plates), dan pembuluh darah di daerah papil yang berdilatasi dan berkeluk. Apabila skuama dikelupas, pembuluh darah ini mudah berdarah, sehingga terjadi banyak titik-titik perdarahan (tanda Auspitz). Neutrofil membentuk kelompokan kecil baik pada daerah epidermis superfisial yang mengalami spongiosis maupun pada stratum korneum parakeratotik. Perubahan serupa dapat terlihat pada infeksi jamur superfisial, yang harus dibedakan dengan menggunakan pewarnaan khusus yang tepat.



Dermatosis Inflamasi Kronik



A



855



B



Gambar 23-3 Psoriasis. A, Plak psoriasis kronik yang menuniukkan sisik (skuama) putih seperti perak pada permukaan plak eritematosa. B, Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan hiperplasia epidermis yang mencolok, perluasan kearah bawah dari rete ridge secara seragam (hiperplasia psoriasiform), dan sisik parakeratotik yang menonjol, yang sebagian (secara fokal) disebuk oleh neutrofil.



Gambaran Klinis



Psoriasis lebih sering mengenai kulit di daerah-daerah siku, lutut, kepala, lumbosakral, lekukan intergluteal, dan glans penis. Perubahan pada kuku jari tangan dan kaki terjadi pada 30% kasus. Pada sebagian besar kasus, penyebaran psoriasis terbatas, tetapi dapat menyebar luas dan parah. Sub tipe klinis ditetapkan menurut pola keterlibatan dan tingkat keparahan.



Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah pelepasan atau reaksi mediator inflamasi. Bergantung kepada keparahan penyakit, digunakan NSAID, obat imunospresif seperti siklosporin dan antagonis TNF. Obat-obat yang lebih baru, penghambat reaksi imunologi TH1 and TH17 juga sedang duji.



Liken Planus Kelainan yang terdapat pada kulit dan mukosa berupa "gatal (pruritus), keunguan (purple), poligonal, papula dengan permukaan datar (planar), dan plak". Dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai ungkapan 5-6 P (prurific, purple, polygonal, planar papulaes and pinques). Lesi ini mungkin sebagai akibat dari reaksi imunologi sel T CD8+ sitotoksik terhadap antigen pada lapisan sel basal dan sambungan dermo epidermal yang terjadi melalui mekanisme yang belum diketahui, kemungkinan merupakan akibat dari infeksi virus atau pajanan terhadap obat.



A



MORFOLOGI Lesi liken planus pada kulit terdiri atas pruritus, keunguan, papula dengan permukaan datar, yang bergabung membentuk gambaran plak (Gambar 23-4, A). Gambaran papula ini seringkali terlihat mengandung garis-garis atau bintik-bintik putih yang disebut Wickham striae. Hiperpigmentasi mungkin akibat dari limpahan melanin ke datam daerah dermis dari keratinosit yang rusak. Secara mikroskopik, liken planus adalah suatu prototip dari dermatitis antar muka (interface dermatitis), disebut demikian karena lesi ini terpusat di daerah antar muka antara epitel skuamosa dan papil dermis. Tampak infiltrat limfosit padat yang berkesinambungan sepanjang sambungan dermo epidermal (Gambar 23-4, B). Limfosit-limfosit tersebut berhubungan erat dengan keratinosit basal, yang sering mengalami atrofia atau menjadi nekrotik. Mungkin sebagai reaksi terhadap kerusakan, sel basal menampilkan sifat lebih matur dari stratum spinosum (skuamatisasi). Pola inflamasi ini menyebabkan sambungan dermo epidermal menunjukkan gambaran zigzag (menyerupai "gigi gergaji/ sawtoothing"). Sel basal yang tidak berinti dan nekrotik terdapat pada papil dermis yang mengalami inflamasi, yang disebut sebagai jisim-jisim koloid atau jisim-jisim Civatte (Civatte bodies).



B Gambar 23-4 Liken planus. A, Papula poligonal berwarna merah mudakeunguan dengan permukaan rata disertai tanda bercak putih menyerupai rendalanyaman (lace-like) disebut Wickham striae. B, Perangai mikroskopik termasuk infiltrat limfosit tersusun seperti pita sepanjang sambungan dermo epidermal, hiperkeratosis, hipergranulosss. dan rete ridge yang tajam ("gigi gergaji"), yang menyebabkan kerusakan kronik dari lapisan sel basal.



856



B A B 23



Kulit



Walaupun perubahan ini sebagian memiliki kemiripan dengan eritema multiforme (telah telah dibahas sebelumnya), liken planus menunjukkan perkembangan inflamasi kronik yang lengkap, termasuk hiperplasia, hipergranulosis dan hiperkeratosis dari epidermis.



Gambaran Klinis



Liken planus merupakan lesi yang tidak lazim dan biasanya ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan. Lesi kulit bersifat multiple dan biasanya tersebar simetris, terutama pada ekstremitas, dan sering terjadi di sekitar pergelangan tangan dan siku, serta pada glans penis. Pada sekitar 70% kasus mukosa oral juga terlibat, dengan lesi yang berwujud sebagai papula putih bercorak retikular atau tampak menyerupai jaring. Lesi kulit dari liken planus biasanya mereda spontan antara 1-2 tahun, tapi lesi oral mungkin menetap dan apabila cukup parah menimbulkan gangguan asupan makanan.



Liken Simpleks Kronik Manifestasi kulit liken simpleks kronik berwujud sebagai perubahan kulit menjadi kasar, menyerupai garis-garis (lichen) yang tersisa pada permukaan pohon. Hal tersebut merupakan reaksi terhadap trauma lokal yang berulang seperti gosokan/gesekan atau garukan. Terdapat bentuk nodular dari liken simpleks kronik yang dikenal sebagai prurigo nodularis. Patogenesis liken simpleks kronik tidak dimengerti, tetapi riwayat trauma mungkin menyebabkan hiperplasia epitel dan akhirnya pembentukan jaringan parut.



MORFOLOGI Karakteristik liken simpleks kronik ditandai oleh akantosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis. Tampak pula pemaniangan rete ridges, fibrosis dari papil dermis, dan infiltrat radang kronik pada daerah dermis (Gambar 23-5).Hal yang menarik,bahwa lesi ini menyerupai penampilan kulit daerah volar normal (telapak kaki dan tangan), dengan penebalan kulit merupakan reaksi adaptasi terhadap beban (stress) mekanik yang berulang.



Gambaran Klinis



Seringkali gambaran klinis berupa tonjolan eritema, bersisik dan dapat terkecoh sebagai neoplasia yang berasal dari keratinosit. Liken simpleks kronik dapat timbul bersamaan dan menyamarkan dermatosis (sering disertai pruritus) lain. Oleh karena itu penting untuk menyingkirkan faktor yang mendasari, dan mengenal apakah lesi ini seluruhnya terkait dengan faktor trauma.



RINGKASAN Dermatosis Inflamasi •











Terdapat berbagai dermatosis inflamasi spesifik, yang dapat diperantarai oleh antibodi IgE (urtikaria), antigen spesifik sel T (eksem, eritema multiforme, dan psoriasis), atau trauma (liken simpleks kronik). Kelainan-kelainan ini dapat dikelompokan berdasarkan pola inflamasinya (yaitu, dermatitis antar muka pada liken planus dan eritema multiforme). Korelasi klinis merupakan hal penting dalam menegakkan diagnosis spesifik penyakit kulit, karena banyak yang memiliki tumpang tindih dari perangai histologis yang tidak spesifik.



DERMATITIS INFEKSIOSA Infeksi Bakteri Sangat banyak infeksi bakteri terjadi pada daerah kulit. Kelainan ini berkisar mulai dari infeksi superfisial seperti impetigo, sampai abses dermis yang lebih dalam yang disebabkan oleh bakteri anaerob seperti Pseudomonas aeruginosa, yang berhubungan dengan luka tusuk. Patogenesis pada ketainan kulit ini sama dengan proses infeksi mikroba pada tempat lain (Bab 8). Hanya impetigo yang akan dibahas pada bagian ini.



MORFOLOGI Impetigo ditandai oleh akumulasi neutrofi dibawah stratum korneum yang seringkali membentuk pustul dibawah lapisan tanduk (subkorneum). Kelainan ini disertai oleh perubahan epidermal reaktif yang nonspesifik dan inflamasi dermis superfisial Bakteri jenis kokus di epidermis superfisial dapat ditunjukkan dengan pewarnaan Gram.



Gambaran Klinis



Gambar 23-5 Liken simpleks kronik. Akantosis disertai hiperkeratosis dan hipergranulosis yang ditemukan dapat dibedakan. Dermis superfisial fibrotik dan ektasia pembuluh darah, merupakan perangai yang lazim ditemukan juga.



Impetigo, merupakan salah satu infeksi bakteri yang paling sering ditemukan pada daerah kulit, lebih sering ditemukan pada anak-anak. Organisme penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus atau kurang lazim, Streptococcus pyogenes, yang secara khas diperoleh akibat kontak langsung dengan sumber bakteri (individu yang mengidap). Impetigo sering diawali oleh makula tunggal berukuran kecil, biasanya ditemukan pada ekstremitas atau di wajah dekat hidung atau mulut (Gambar 23-6), dan tumbuh cepat menjadi lesi yang lebih luas dengan keropeng (krusta) berwama seperti madu akibat serum yang mengering. Lesi ini lebih mudah terjadi pada penderita yang mengalami kolonisasi bakteri S. aureus atau S.pyogenes (biasanya di daerah hidung atau anus). Pemeriksaan biakan mikrobiologi disertai uji sensitivitas terhadap berbagai antibiotik akan sangat membantu secara klinis. Bentuk lepuh (bula) kurang lazim ditemukan pada impetigo masa anak-anak, dan memiliki kemiripan dengan kelainan dengan pembentukan ruam/lepuh yang bersifat autoimun.



Dermatitis infeksiosa



857



biasanya melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau autoinokulasi. Veruka pada umumnya dapat sembuh sendiri (seIflimited), paling sering mengalami regresi spontan dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun.



PATOGENESIS



Gambar 23-6 Impetigo. Lengan anak ini terjangkiti infeksi bakteri superfisial menghasilkan lesi khas berupa eritema menyerupai kudis disertai keropeng (krusta) dengan serum yang kering. (Atas icebakorl Dr Angelo Wyart BeHarre, Texos)



Infeksi Jamur Infeksi karena jamur bervariasi, mulai dari infeksi superfisial oleh karena Tinea atau Candida spp. sampai pada infeksi yang mengancam kehidupan pada individu yang mengalami imunosupresi yang terinfeksi Aspergillus spp. lnfeksi jamur dapat bersifat superfisial (stratum korneum, rambut dan kuku), dalam (dermis atau subkutis), atau bersifat sistemik, merupakan kelainan yang terjadi melalui penyebaran hematogen, sering terjadi pada penderita dengan cacat sistem imunologi (immunocompromised).



MORFOLOGI Penampilan histologis pada kelainan ini bervariasi bergantung kepada jenis organisme, reaksi tuan rumah, dan derajat superinfeksi. Infeksi di daerah superfisial sering berhubungan dengan infiltrat neutrofil pada epidermis. Sebagian kelainan jamur menunjukkan dermatitis eksematosa ringan, disertai sebukan neutrofil intraepidermal, sedangkan pada infeksi lain (yaitu, Candida) dapat menginduksi hiperplasia psoriasiformis. Infeksi jamur yang lebih dalam menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih luas dan seringkali menimbulkan reaksi granulomatosa, mungkin disebabkan oleh reaksi imunotogi yang lebih kuat dari tuan rumah. infeksi Aspergillus dapat bersifat angioinvasif. Pulasan dengan metode Periodicadd-Schiff (PAS) dan Gomori methenamine silver sangat membantu dalam penetapan jenis organisma.



Gambaran Klinis



Infeksi superfisial biasanya berwujud sebagai makula eritematosa dengan skuama di permukaan dan dapat disertai pruritus, sedangkan infeksi yang lebih dalam seperti pada infeksi Aspergillus spp. pada penderita dengan status imunologi yang tidak mampu (immunocompromised), terbentuk lesi yang bersifat eritematosa dan sering bersifat nodular dan kadang-kadang terdapat perdarahan lokal. Infeksi Candida superfisial seringkali menimbulkan lesi yang menyerupai psoriasis, sehingga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi jamur apabila dipikirkan diagnosis psoriasis.



Veruka (Kutil) Veruka merupakan lesi yang lazim ditemukan pada anak-anak dan remaja, walaupun dapat pula ditemukan pada semua usia. Kelainan ini disebabkan oleh infeksi virus papiloma manusia (human papillomavirus/HPV). Penularan



Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa veruka disebabkan oleh HPV. Beberapa tipe HPV berhubungan dengan preneoplasia dan keganasan invasif di regio anogenital (Bab 5 dan 17). Berlawanan dengan karsinoma yang berhubungan dengan HPV, sebagian besar kutil disebabkan oleh subtipe HPV golongan risiko rendah yang tidak memiliki kemampuan untuk menyebabkan transformasi. Seperti virus jenis risiko tinggi, virus jenis risiko rendah ini mengekspresikan onkoprotein E6 dan E7, yang menyebabkan gangguan pada pertumbuhan sel epidermis dan peningkatan survival.Alasan mengapa virus golongan risiko rendah menyebabkan kutil dan bukan menjadi karsinoma masih belum dapat dijelaskan; akan tetapi diperkirakan terdapat sedikit perbedaan pada variasi struktural protein E6 dan E7 yang mernpengaruhi interaksi dengan protein yang dihasilkan oleh tuan rumah, di samping perbedaan kemampuan setiap galur virus untuk menghindari reaksi imun. Secara normal imun dapat membatasi pertumbuhan tumor ini, dan imunodefisiensi seringkali berhubungan dengan peningkatan jumlah dan ukuran dari veruka.



MORFOLOGI Berbagai jenis kutil (warts) dapat ditentukan berdasarkan penampilan makroskpik dan fokasi dan biasanya disebabkan oleh subtipe HPV yang berbeda. Veruka vulgaris (Gambar 23-7, A), suatu jenis lesi kutil yang paling lazim, dapat tumbuh di mana saja tetapi paling sering pada permukaan tangan, khususnya pada daerah permukaan dorsal dan periungual, yang tampak sebagai papula berwarna abu-abu keputihan sampai kecoklatan, datar sampai cembung, berukuran 0,1-1 cm dengan permukaan kasar, menyerupai jalan berbatu (pebbie-like). Veruka plana atau kutil yang rata (flat wart) merupakan lesi yang sering ditemukan pada wajah atau permukaan dorsal tangan. Kelainan ini biasanya datar, haius, dan makula kecoklatan. Veruka plantaris dan veruka palmaris masing-masing timbul pada daerah telapak kaki dan telapak tangan. Kelainan ini merupakan lesi yang kasar, berskuama yang mungkin mencapai ukuran diameter 1-2 cm dan dapat bergabung sehingga membentuk suatu lesi dengan permukaan menyerupai kalus. Kondiloma akuminta (kutil pada daerah kemaluan) terjadi di daerah penis, genitalia wanita, uretra, dan area perianal (Bab 17 dan 18). Perangai histologis yang umum untuk veruka meliputi hiperplasia epidermal, yang sering bersifat naik-turun/undulant (disebut demikian seperti verukosa atau hiperplasia epidermal papilomatosa) (Gambar 23-7, B, kotak atas), dan vakuolisasi sitoplasma (koilositosis), yang lebih sering mengenai lapisan epidermis yang lebih superfisial; perubahan tersebut menyebabkan gambaran halo atau daerah pucat yang mengelilingi inti sel yangterinfeksi. Sel yang terinfeksi juga menunjukkan granula keratohialin yang mencolok dan agregat protein intrasitoplasmik yang bersifat eosinofilik dan tidak homogen sebagai akibat dari proses maturasi yang tidak sempurna (Gambar 23-7, B, kotak bawah).



858



B A B 23



Kulit



A



Gambar 23-7 Veruka vulgaris. A, Kutil yang multiple, dengan ciri khas permukaan kasar seperti jalan berbatu. B, Secara mikroskopik, kutil yang lazim mengandungi proliferasi epidermal jenis papiler yang sering tersusun radial menyerupai ujung mahkota (atas). Inti sel terlihat pucat, granula keratohialin yang menonjol, dan perubahan sitopatik terlihat pada pembesaran lebih kuat (bawah).



B



KELAINAN MELEPUH (BLISTERING) Meskipun gambaran vesikel dan bula (blister) terjadi sebagai peristiwa sekunder pada beberapa kondisi yang tidak saling berkaitan (yaitu infeksi virus herpes, dermatitis spongiosis), ada kelompok kelainan dengan lepuh (blister) sebagai perangai utama dan dapat dibedakan secara khas. Lepuh pada lesi-lesi ini cenderung terjadi pada lapisanIapisan yang spesifik dari kulit, dengan gambaran morfologi khas yang menentukan untuk penegakan diagnosis (Gambar 23-8).



• Pemfigus vulgaris (jenis yang paling lazim) • Pemfigus foliaseus • Pemfigus paraneoplastik Jenis yang terakhir berhubungan dengan keganasan organ dalam yang tidak dijelaskan pada bagian ini.



Pemfigus (Vulgaris dan Foliaseus)



PATOGENESIS



Pemfigus merupakan kelainan melepuh/dengan pembentukan bula yang jarang dan berhubungan dengan kelainan autoimun akibat dari kehilangan perlekatan antar sel di dalam epidermis dan epitel skuamosa dari mukosa. Terdapat tiga varian utama:



A



Subkorneal



B



Suprabasal



Baik pemfigus fulgaris maupun pemfigus foliaseus merupakan penyakit autoimun yang lesinya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (tipe 11) (Bab 4).



C



Subepidermal



Gambar 23-8 Tingkat kedalaman pembentukan lepuh (blister). A, Subkorneal (seperti pada pemfigus foliaseus). B, Suprabasal (seperti pada pemfigus vulgaris). C, Subepidermal (seperti pada pemfigoid bulosa atau dermatitis herpetiformis). Tingkat kedalaman pemisahan epidermis merupakan dasar diagnosis banding untuk kelainan dengan pembentukan lepuh.



Kelainan Melepuh (Blistering)



859



epidermis superfisial pada tingkatan stratum granulosum (Gambar 23-11, B). Beragam infiltrat radang yang terdiri atas makrofag dan eosinofil di daerah dermis superfisial menyertai semua jenis pemfigus.



Gambaran Klinis



Pemfigus vulgaris merupakan kelainan yang jarang, dan lebih lazim terjadi pada usia yang lebih tua serta lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Lesi disertai rasa nyeri, khususnya apabila pecah, dan lazim disertai infeksi sekunder. Pada waktu tertentu dalam perjalanan penyakit, sebagian besar kasus berhubungan dengan terlibatnya orofaring. Sebagian besar penderita memerlukan terapi imunosupresif, pada waktu tertentu dari masa hidupnya. Peinfigus dapat pula disebabkan oleh penggunaan obat dalam rangka terapi, dan apabila terjadi, biasanya timbul sebagai pemfigus foliaseus dan bukan pemfigus vukgaris. Ada pula jenis pemfigus foliaseus yang bersifat endemik di daerah Amerika Selatan (fogo selvagem) yang sementara dihubungan dengan gigitan lalat hitam.



A



B



Gambar 23-9 Temuan imunofluorosensi langsung pada pemfigus A, Pemfigus vulgaris.Terdapat endapan imunoglobulin dan komplemen (hijau) yang seragam sepanjang membran sel keratinosit, dalam pola menyerupai "jaring ikan" yang khas. B, Pemfigus foliaceus. Endapan imunoglobulin terbatas pada lapisan superfisial epidermis.



Pemfigoid Bulosa Pemfigoid bulosa merupakan jenis lain dari kelainan melepuh/ dengan pembentukan bula yang didapat, yang berdasarkan autoimun.



Antibodi yang bersifat patogenik adalah autoantibodi IgG yang berikatan dengan protein desmosom antar-sel (desmoglein I dan 3) kulit dan membran mukosa. Antibodi tersebut mengganggu fungsi adhesi antar sel dari desmoson dan mungkin mengaktivasi protease antar-set juga. Distribusi protein-protein ini pada epidermis menentukan lokasi timbulnya lesi. Dengan bantuan pemeriksaan imunoftuorosensi langsung, lokasi lesi menunjukan endapan IgG antar sel dengan gambaran khas menyerupai jaring ikan (Gambar 23-9). Seperti pada penyakit autoimun lainnya, pemfigus menunjukkan ikatan (linkage) dengan alel HLA tertentu.



MORFOLOGI Pemfigus vulgaris sejauh ini merupakan jenis yang paling lazim terjadi, mengenai baik mukosa maupun kulit, terutama pada daerah kepala. muka, aksila, lipat paha, badan, dan daerah yang mengalami tekanan. Lesi yang timbul dipermukaan kulit berupa vesikel dan bula tipis yang mudah pecah, meninggalkan erosi yang dalam dan seringkali ekstensif ditutupi oleh krusta serum (Gambar 23-10, A). Pemfigus foliaseus, merupakan lesi yang jarang, sebagai pemfigus yang lebih jinak, mengahsilkan bula yang terbatas pada kulit, dan jarang melibatkan membran mukosa. Lepuh-lepuh pada kelainan ini berlokasi superfisial, sedemikian rupa sehingga lesi eritematosa lebih terbatas dan ditemukan krusta akibat lepuh yang pecah (Gambar 23-11, A). Perangai histologis sebagai patokan (denominator) yang umum untuk semua pemfigus adalah akantolisis, yaitu lisis dari sambungan perekat antar sel antara sel-sel epitel skuamosa dan menyebabkan perubahan bentuk sel membulat dan tumpukan sel-sel yang lepas. Pada pemfigus vulgaris, proses akantolisis secara selektif mengenai lapisan sel yang langsung berada di atas lapisan sel basal, sehingga menimbulkan lepuh akantolitik suprabasal (Gambar 23-10, B). Pada pemfigus foliaseus, akantolisis secara selektif mengenai



A



B Gambar 23-10 Pemfigus vulgaris. A, Gambaran erosi pada tungkai menunjukkan kelompok lepuh (blister) yang bergabung (konfluen) dan tidak beratap''. B, Akantolisis suprabasal yang menghasilkan suatu lepuh intraepidermal yang berisi banyak sekali keratinosit yang mengalami disosiasi terlepas (akantobsis) dan berubah bentuk menjadi bulat (inset).



860



B A B 23



Kulit



A A



B B Gambar 23-11 Perrifigus foliaseus. A, Penampilan makroskopik dari lepuh (blister) yang khas, dengan erosi lebih ringan daripada pemfigus vulgaris. B, Perangai mikroskopik khas lepuh subkorneum.



PATOGENESIS Kelainan melepuh/dengan pembentukan bula pada pemfigoid bulosa dipicu oleh pengendapan yang bersifat linear (bentuk garis) dari antibodi IgG dan komplemen pada membran basal epidermis (Gambar 23-12, A). Reaktivitas juga terjadi pada plak yang melekat pada membran basal (hemidesmosom), sebagai tempat penempelan antigen (kolagen tipe XVII) dari sebagain besar pemfigoid bulosa. Protein ini pada keadaan normal berperan pada fungsi adhesi pada daerah dermo epidermal. Autoantibodi IgG yang berikatan dengan hemidesmosom mengikat komplemen yang kemudian teraktivasi dan mendatangkan neutrofil dan eosinofil yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan.



MORFOLOGI Gambaran makroskopik lesi pemfigoid bulosa terlihat sebagai bula tegang dan berisi cairan jernih, pada kulit yang terlihat normal atau berifat eritematosa (Gambar 23-12, B). Pemfigoid bulosa ditandai oleh lepuh-lepuh sub epidermal dan nonakantolitik.



C Gambar 23-12 Pemfigoid butosa. A, Pengendapan antibodi igG yang ditemukan dengan metode imunofluorosensi langsung sebagai pita linear yang menggambarkan alur luar zona membran basal sub epidermis (epidermis cerdapat pada sisi kiri dari pita fluorosensi). B, Gambaran makroskopik lepuh (blister) yang khas, tegang, dan berisi cairan. C, vesikel subepidermal disertai infiltrat radang yang kaya dengan eosinofil. (C, Atas kebaikan Dr. Victor G. Prieta Houston, Texas)



Lesi dini menunjukkan infiltrat limfosit sekitar pembuluh darah dan eosinofil dalm jumlah yang bervariasi. kadang-kadang terdapat neutrofil, edema di dermis superfisial, dan berhubungan dengan vakuolisasi lapisan sel basal. Sel basal yang mengalami vakuolisasi akhirnya membentuk lepuh yang berisi cairan (Gambar 23-12, C).



Kelainan Melepuh (Blistering) Atap lepuh terdiri atas seluruh ketebalan epidermis (full thickness epidermis) dengan sambungan antar sel yang utuh (intact), gambaran ini merupakan kunci untuk membedakan dari jenis lepuh yang ditemukan pada pemfigus.



Gambaran Klinis



Bula yang ada pada lesi ini tidak mudah pecah seperti pada bula pemfigus dan apabila tidak terinfeksi sembuh sempurna tanpa menimbulkan jaringan parut. Penyakit ini cenderung mengalami fase remisi dan kambuh (relapse) serta memberikan reaksi terhadap keterlibatan imunosupresi topikal atau sistemik. Pemfigoid gestasional (juga dikenal sebagai herpes gestationis, suatu pemberian nama yang salah) secara klinis merupakan subtipe berbeda yang timbul mendadak selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan. Kelainan ini disebabkan juga oleh autoantibodi terhadap BPAG. Lesi ini dapat hilang setelah melahirkan tetapi dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya.



A



Dermatitis Herpetiformis



Dermatitis herpetiformis merupakan jenis lain dari kelainan melepuh/ dengan pembentukan bula yang bersifat autoimun dengan ciri khas urtikaria disertai pruritus berat dan kelompokan vesikel. Penyakit ini terutama mengenai pria, dan sering terjadi pada dekade tiga dan empat dari kehidupan. Pada sekitar 80% kasus, lesi ini terjadi dalam hubungan dengan penyakit seliak; sebaliknya, hanya sedikit sekali dari penderita dengan penyakit seliak yang terlibat pada dermatitis herpetiformis. Serupa dengan penyakit seliak, dermatitis herpetiformis juga menunjukkan reaksi perbaikan terhadap pengaturan makanan bebas gluten.



PATOGENESIS Adanya hubungan yang kuat antara dermatitis herpetiformis dengan penyakit seliak, memberikan kejelasan terhadap patogenesis lesi ini. Seseorang yang memiliki predisposisi genetik membentuk antibodi IgA terhadap gluten (berasal dari gliadin protein gandum) sama seperti autoantibodi IgA yang bereaksi sifang dengan endomisium dan jaringan transglutaminase, termasuk transgiutaminase epidermal yang dipaparkan oleh keratinosit. Pada pemeriksaan imunofluorosensi langsung. jaringan kulit terlihat terputus-putus, terdapat endapan yang bersifat granuler dari IgA yang selektif terbatas pada ujung papil dermis (Gambar 23-13, A). Jejas yang dihasilkan dan inflamasi menyebabkan pembentukan suatu lepuh subepidermal.



B



MORFOLOGI Lesi dermatitts herpetiformis bersifat bilateral, simetris dan berkelompok serta lebih sering mengenai daerah permukaan ekstensor, siku, lutut, punggung atas dan bokong (Gambar 23-13, B). Pada fase awal, neutrofil terakumulasi secara selektif pada ujung papil dermis, membentuk mikroabses kecil (Gambar 23-13, C). Lapisan basal di bawah mikroabses ini akan menunjukkan vakuolisasi dan terjadi pemisahan setempat dermoepidemal yang akhirnya bergabung membentuk lepuh subepidermal yang murni. Gambar 23-13 Dermatitis herpetiformis. A, Pengendapan selektif dari autoantibodi IgA pada ujung papil dermis merupakan temuan yang khas. B, Lesi terdiri atas lepuh (blister) eritematosa yang utuh ataupun mengalami erosi (biasanya akibat garukan), kadang berkelompok (terlihat di sini pada daerah siku dan lengan). C, Lepuh berhubungan dengan jejas pada lapisan sel basal, yang pada permulaan disebabkan oleh akumulasi neutrofil (mikroabses) pada ujung papil dermis. (A. Atas kebaikan Dr. Victor G. Prieta Houston, Texas)



C



861



862



B A B 23



Kulit



RINGKASAN Kelainan Melepuh (Birstring Disorders) • • •



• •



Kelainan melepuh diklasifikasikan berdasarkan tingkat lapisan tempat pemisahan epidermis. Kelainan ini seringkali disebabkan oleh autoantibodi spesifik terhadap protein epitel atau membran basal yang menyebabkan terlepasnya ikatan keratinosit (akantolisis). Pemfigus berhubungaan dengan autoantibodi IgG pada berbagai desmoglein antar sel, menghasilkan bula yang terletak subkorneal (pemfigus foliaseus) atau suprabasal (pemfigus vulgaris). Pemfigoid bulosa berhubungan dengan autoantibodi IgG terhadap protein membran basal dan menyebabkan lepuh subepidermal. Dermatitis herpetiformis berhubungan dengan autoantibodi IgA terhadap fibrtil yang mengikat membran basal epidermis pada dermis, dan juga ditandai oleh lepuh subepidermal.



TUMOR JINAK DAN TUMOR PRA-MALIGNA Lesi Epitelial Jinak dan Pra-Maligna Neoplasma epitelial jinak merupakan lesi yang sering ditemukan dan mungkin berasal dari sel purica (stem cells) yang terdapat di dalam epidermis dan folikel rambut. Tumor ini tumbuh sampai mencapai ukuran yang terbatas dan secara umum tidak mengalami transformasi ganas.



Keratosis Seboreik (Seborrheic Kerotosis) Tumor epidermal yang berpigmen ini paling sering terjadi pada usia pertengahan atau individu yang lebih tua. Kelainan ini timbul secara spontan dan tumbuh dalam jumlah yang banyak di daerah badan, tetapi mungkin juga timbul di daerah ekstremitas, kepala dan Ieher. Sebagian tumor, dalam jumlah yang bermakna, menyandang mutasi yang bersifat aktivasi (activating mutation) pada reseptor 3 faktor pertumbuhan fibroblas (fibroblast growth faktor (FGF) receptor 3), yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang merangsang jalur pengisyaratan Ras dan P13K/AKT. Kecuali untuk alasan kosmetik, tumor ini biasanya kepentingan Idinisnya minimal. Walaupun demikian, pada sejumlah penderita yang langka, beratus-ratus lesi dapat timbul mendadak sebagai suatu sindrom paraneoplastik (tanda dari Lesser-Trelat). Penderita dengan tampilan ini mungkin menyandang keganasan pada organ dalam, yang paling lazim karsinoma saluran cerna, yang memproduksi faktor pertumbuhan yang merangsang proliferasi epidermal.



MORFOLOGI Keratosis seboreik ditandai oleh plak berbentuk bulat, menyerupai koin, eksofitik, dengan diameter yang bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter disertai penampilan seperti "menempel/ stuck-on" (Gambar 23-14, inset). Tumor ini tampak kecoklatan sampai coklat tua dan memiliki permukaan menyerupai beludru sampai granuler. Karena berwarna gelap, kadang-kadang tumor ini dicurigai sebagai melanoma, sehingga dilakukan operasi pengangkatan.



Gambar 23-14 Keratosis seboreik. Lesi kasar, berwarna coklat, menyerupai lilin yang seialu tampak "menempel" pada kulit (inset). Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan lesi yang terdiri dari proliferasi keratinosit basaloid yang teratur dan seragam, yang cendrung membentuk mikrokista keratin (kista tanduk).



Perangai mikroskopik keratosis seboreik tersusun dari lembaran-lembaran sel yang berukuran kecil menyerupai sel basal dari epidermis normal (Gambar 23-14). Adanya pigmen melanin dalam jumlah yang bervariasi diantara sel-sel basaloid, sesuai dengan warna kecoklatan pada gambaran makroskopik. Perangai yang khas dari tumor ini adalah hiperkeratosis pada daerah permukaan, adanya kista kecil yang berisi keratin (horn cyst) dan pertumbuhan keratin kearah bawah dan masuk ke dalam bagian utama dari masa tumor (pseudo horn cyst).



Keratosis Aktinik (Actinic Keratosis) Keganasan epidermis yang jelas (karsinoma sel skuamosa) mungkin didahului oleh suatu rentetan perubahan displasia yang progresif. Oleh karena lesi seperti ini merupakan akibat pajanan kronik terhadap sinar matahari dan berhubungan dengan hiperkeratosis, maka lesi ini disebut keratosis aktinik (terkait matahari). Apakah keratosis aktinik kemudian mengalami evolusi menjadi karsinoma sejalan dengan waktu masih bersifat abstrak; banyak lesi yang mengalami regresi atau tetap stabil. Walaupun demikian, cukup jumlahnya yang menjadi ganas, sehingga dianjurkan untuk pemberantasan dengan pengangkatan lokal. Dalam proporsi yang tinggi, lesi ini berhubungan dengan mutasi TP53 yang disebabkan oleh kerusakan DNA akibat pengaruh sinar UV.



MORFOLOGI Aktinik keratosis biasanya berdiameter kurang dari 1 cm, berwarna kecoklatan atau merah, dan perabaan kasar (seperti kertas pasir) (Gambar 23-15, A). Perangai mikroskopik menunjukkan atipia sitologik pada bagian bawah epidermis, sering berhubungan dengan hiperplasia sel basal (Gambar 23-15, B) atau dengan atrofia dan penipisan difus permukaan lapisan epidermis. Lapisan dermis mengandungi serabut-serabut elastik biru keabuan tebal (solar elastosis), yang merupakan kerusakan akibat pajanan sinar matahari yang bersifat kronik. Stratum korneum menebal dengan sisa inti (parakeratosis). Pada beberapa lesi tampak atipia diseluruh ketebalan epidermis (full-thickness epidermal atypia); lesi semacam itu dipertimbangkan sebagai bentuk karsinoma sel skuamosa in situ (Gambar 23-15, C).



Tumor Jinak dan Tumor Pra-Maligna



863



* A



B



C



Gambar 23-15 Keratosis aktinik. A, Sebagian besar lesi berwarna merah dan kasar (menyerupai kertas pasir), karena pembentukan sisik yang berlebihan, seperti terlihat pada lesi daerah pipi, hidung dan dagu terutama pada penderita wanita. B, Atipia lapisan sel basal (displasia) disertai penonjolan epitel, berhubungan dengan hiperkeratosis keras, parakeratosis, dan elastosis solar pada dermis (tanda bintang). C, Lesi yang lebih lanjut menunjukkan atipia pada seluruh ketebalan (full-thickness), yang memenuhi kriteriab sebagai karsinoma sel skuamosa in situ.



Gambaran Klinis



Keratosis aktinik sangat lazim ditemukan pada individu dengan warna kulit pucat, dan angka kejadian meningkat sejalan dengan pertambahan usia dan pajanan sinar matahari. Seperti diharapkan, terdapat beberapa area yang menjadi predileksi untuk terpajan sinar matahari (wajah, lengan, bagian dorsal tangan). Tata laksana secara lokal untuk lesi ini adalah dengan menggunakan cryotherapy (pembekuan superfisial) atau obat topikal.



RINGKASAN Lesi Epitelral Jinak dan Pra-Maiigna •







Keratosis seboreik: Plak bulat, atap rata, yang dibangun oleh sel basal epidermis yang berproliferasi dan bersifat monoton, yang kadang-kadang mengandungi melanin. Perangai yang khas adalah hiperkeratosis dan kista yang berisi keratin. Keratosis aktinik: Terdapat pada area yang terpajan sinar matahari, lesi ini menunjukkan atipia sitologik di bagian bawah epidermis dan jarang berkembang menjadi karsinoma in situ.



Tumor Epidermal Ganas Karsinoma Sel Skuamosa Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor yang lazim timbul pada area yang terpajan matahari terutama pada individu yang lebih tua. Angka kejadian tumor ini pada pria lebih tinggi daripada wanita. Beberapa faktor predisposisi antara lain termasuk karsinogen berasaI dari industri (tar dan minyak), ulkus kronik, luka bakar lama, paparan arsenik, dan radiasi pengion. Seperti pada karsinoma sel skuamosa di organ lain, pada kulit lesi akan diawali oleh lesi in situ.



Dalam hal induksi mutasi, sinar ultraviolet (khususnya UVB) mungkin memiliki efek imunosupresif yang bersifat sementara pada kulit dengan cara menyebabkan gangguan penyajian antigen oleh sel Langerhans. Efek ini mungkin berperan dalam proses tumorigenesis melalui penurunan kekuatan imunosurvelilance. Peningkatan risiko terjadi pada penderita yang mengalami penekanan sistem imun akibat kemoterapi atau transplantasi organ, atau yang mengidap xeroderma pigmentosum. Tumor pada penderita dengan penekanan sistem imun, khusunya penerima transplantasi organ, mungkin berhubungan dengan infeksi HPV. Mutasi TP53 disebabkan oleh kerusakan DNA akibat sinar UV lazim ditemukan, seperti halnya mutasi yang bersifat aktivasi pada HRAS. Seperti karsinoma sel skuamosa pada lokasi lain, lesi pada kulit mungkin diawali oleh lesi in situ.



MORFOLOGI Karsinoma sel skuamosa in situ terlihat sebagai plak yang berbatas tegas, merah dan bersisik; banyak yang timbul dari keratosis aktinik sebelumnya. Pada stadium lebih lanjut, lesi invasif bersifat nodular, dengan skuama bervariasi dan mungkin diikuti ulserasi (Gambar 23-16, A). Secara mikroskopik karsinoma sel skuamosa in situ ditandai oleh sel-sel dengan atipia derajat tinggi pada semua tingkat epidermis, disertai banyak inti yang berkerumun dan disorganisasi (ketidak teraturan). Tumor invasif, yang didefinisikan sebagai penerobosan sel tumor melalui membran basal (Gambar 23-16, B), menunjukkan berbagai derajat diferensiassi, berkisar dari sel-sel yang tersusun dalam lobus yang teratur yang menunjukkan keratinisasi luas sampai neoplasma yang terdiri dari selsel yang sangat anaplastik dengan fokus neksrosis dan hanya keratinisasi sel tunggal yang abortif (diskeratosis).



PATOGENESIS Penyebab eksogen pada karsinoma sel skuamosa kulit yang paling lazim adalah pajanan sinar ultra violet, yang menyebabkan kerusakan DNA (Bab 5). Mutasi TP53 yang disebabkan oleh kerusakan DNA akibat pajanan sinar ultraviolet lazim ditemukan, seperti halnya mutasi yang bersifat aktivasi pada HRAS dan mutasi yang bersifat kehilangan fungsi pada reseptor Notch, yang mengirimkan isyarat yang mengatur diferensiasi yang wajar pada epitel skuamosa normal.



Gambaran Klinis



Karsinoma sel skuamosa kulit seringkali ditemukan pada saat masih berukuran kecil dan masih dapat dilakukan reseksi. Pada saat diagnosis ditegakkan, metastasis ke kelenjar getah bening regional ditemukan pada proporsi kurang dari 5% penderita. Kemungkinan metastasis ditentukan antara lain oleh ketebalan lesi dan derajat invasi ke dalam subkutis. Tumor yang didahului oleh keratosis aktinik mungkin bersifat agresif lokal tetapi pada umumnya memerlukan waktu



864



B A B 23



Kulit menyebabkan karsinoma sel basal yang bersifat familial pada sindrom Gorlin. Jalur Hedgehog merupakan jalur pengaturan yang penting dalam perkembangan embrionik, dan seringkali ditemukan anomali perkembangan ringan pada orang yang mengalami kelainan terkait. Beberapa komponen jalur Hedgehog juga mengalami mutasi pada sebagian besar karsinoma sel basal yang sporadik juga. Mutasi pada TP53 juga lazim ditemukan pada tumor jenis familial dan sporadik.



MORFOLOGI



A



Secara makroskopik, karsinoma sel basal berwujud sebagai papula seperti mutiara, sering disertai pembuluh darah subepidermal yang mengalamai dilatasi (telangiektasia) yang mencolok (Gambar 23-17, A). Sebagian tumor mengandungi pigmen melanin sehingga tampak menyerupai nevus melanositik atau melanoma. Secara mikroskopik, sel tumor menyerupai lapisan sel basal epidermis normal yang merupakan asal sel tumor tersebut. Karsinoma sel basal dapat timbul dari epidermis atau epitel folikel, dan tidak ditemukan pada permukaan mukosa. Dua pola pertumbuhan yang lazim ditemukan adalah pertumbuhan multifokal yang berasal dari epidermis (pola superfisial), atau lesi nodular merupakan pertumbuhan kearah bawah ke dalam dermis sebagai genjel-genjel atau pulau-pulau dari sel basofiiik yang bervariasi dengan inti hiperkromatik, tertanam dalam matriks stroma fibrotik atau musinosa (Gambar 23-17, B). Inti sel tumor di daerah perifer berderet sepanjang lapisan terluar (suatu pola yang membentuk pagar (palisade/ palisoding), yang sering terpisah dari stroma, membentuk gambaran khas celah/parit yang khas (Gambar 23-17, C).



Gambaran Klinis



B Gambar 23-16 Karsinoma sel skuamosa invasif. A, Lesi hiperkeratosis nodular yang terjadi pada telinga, yang berhubungan dengan metastasis ke kelenjar getah bening postaurikular yang menonjol (panah). B, Tumor menginvasi kolagen yang menyebuk dermis sebagai tonjolan-tonjolan yang tidak beraturan dari sel skuamosa atipik, yang dalam kasus ini menunjukkan akantolisis.



yang lama untuk metastasis, sedangkan tumor yang timbul dari jaringan parut luka bakar, ulkus, dan kulit yang tidak terpajan sinar matahari memiliki perilaku yang sulit diramalkan. Karsinoma sel skuamosa di daerah mukosa (oral, paru, esofagus, dan lain-lain.) pada umunya bersifat jauh lebih agresif.



Diperkirakan lebih dari 1 juta karsinoma sel basal diobati di Amerika serikat setiap tahunnya. Sejauh ini faktor risiko terpenting adalah pajanan sinar matahari; karsinoma sel basal lebih lazim timbul di daerah yang lebih panas yaitu bagian selatan, dan angka kejadian 40 kali lebih tinggi di daerah dengan cuaca banyak sinar matahari dekat katulistiwa, seperti Australia, dan Eropa Utara. Tumor biasanya disembuhkan dengan eksisi lokal, tetapi sekitar 40% penderita mengalami pertumbuhan lesi baru karsinoma sel basal dalam 5 tahun. Lesi stadium lanjut mungkin mengalami ulserasi, dan mungkin terjadi invasi lokal ekstensif ke tulang atau sinus daerah wajah apabila lesi tersebut diabaikan dalam waktu yang lama.



RINGKASAN Tumor Ganas Epidermal •



Karsinoma Sel Basal Karsinoma sel basal merupakan kanker yang tumbull iambat dan jarang bermetastasis, yang lazim ditemukan. Kelainan tersebut cenderung terjadi pada tempattempat yang terpajan sinar matahari dan pada individu dengan kulit yang kurang berpigmen.



PATOGENESIS Karsinoma sel basal berhubungan dengan kelainan pengaturan jalur Hedgehog. Cacat yang diwariskan pada gen PTCH, suatu penekan tumor/tumor suppressor yang mengatur pengiriman isyarat pada jalur Hedgehog,







• •



Kejadian karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa berhubungan kuat dengan peningkatan pajanan sinar matahari sepanjang hidup. Karsinoma sef skuamosa kulit dapat timbul dari keratosis aktinik tetapi dapat pula timbui akibat pajanan zat kimia, pada lokasi luka bakar, atau dalam hubungan dengan infeksi HPV pada penderita dengan imunosupresi. Karsinoma sel skuamosa kulit memiliki potensi untuk metastasis tetapi sangat kurang agresif dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa di daerah mukosa. Karsinoma sel basal, suatu keganasan yang paling lazim di dunia, adalah tumor yang bersifat agresif lokal yang berhubungan dengan mutasi pada jalur Hedgehog; dan jarang terjadi metastasis.



Tumor jinak dan Tumor Pra-Malign



A



865



C



B



Gambar 23-17 Karsinoma sel basal. A, Suatu prototip dari papula yang menyerupai mutiara, dengan permukaan halus, yang berhubungan dengan pembuluh darah yang mengalami telangiektasis. B, Tumor tersusun dari sarang-sarang dari sel basaloid yang menyebuk ke dalam stroma fibrotik.C,Sel tumor mempunyai sangat sedikit sitoplasma. dan inti kecil hiperkrornatjk yang tersusun menyerupai pagar (palisade) di bagian luar sarang. Celah/park di antara sel tumor dan stroma merupakan ciri sangat khas dari arcefak pada saat pemotongan.



Proliferasi Melanositik Nevus Melanositik Istilah nevus digunakan pada setiap lesi kongenital pada kulit. Nevus melanositik, merujuk pada setiap neoplasma jinak dari melanosit, yang bersifat kongenital atau didapat.



PATOGENESIS Nevus melanositik merupakan neoplasma jinak berasal dari melanosit, berperangai jelas dendritik, merupakan sel penghasil pigmen yang secara normal terdapat berselang-seling di antara keratinosit basal. Sel nevus menunjukkan pertumbuhan progresif dan migrasi dari sambungan dermo epidermal ke dalam dermis dibawahnya diikuti oleh suatu perubahan yang dianggap sebagai bukti proses penuaan sel (cellular senescence) (Gambar 23-18). Sel nevus yang terletak superfisial berukuran lebih besar dan cenderung memproduksi pigmen melanin dan tumbuh dalam sarang-sarang; Sel nevus yang terletak pada tingkat lebih dalam berukuran lebih kecil, memproduksi sedikit atau tidak memproduksi pigmen melanin, dan tumbuh daiam susunan genjel-genjel atau sendiri sebagai sel tunggal. Sel nevus yang terletak paling dalam mempunyai tampilan (contour) fusiform dan tumbuh dalam susunan fasikel. Urutan perubahan morfologi inl merupakan hal penting dalam diagnostik, oleh karena di antara kelainankelainan tersebut tidak ditemukan melanoma. Sebagian besar nevus jinak memiliki mutasi yang bersifat aktivasi pada BRAF, yang menyandi enzim kinase serine/ threonine disisi hilr dari RAS pada jalur enzim kinase yang diatur ekstra sel (extracelunor regulated kinase/ERK), atau lebih jarang terjadi pada NRAS. Pembuktianberdasarkan penelitian eksperimental mengungkapkan bahwa pengisyaratan BRAF/RAS yang tidak terkontrol menimbulkan proliferasi melanositik diikuti oieh proses penuaan. Bagaimana pengaruhpengaruh yang berlawanan ini terkoordinasi belum dapat dijelaskan,



tetapi dianggap bahwa "pemberhentian" laju proliferasi di picu oleh proses penuaan yang terjadi menjelaskan mengapa sangat sedikit nevus yang mengalami transformasi menjadi melanoma maligna.



MORFOLOGI Nevus melanositik umumnya berwarna coklat muda sampai coklat, secara seragam berpigmen, papula berukuran kecil (diameter 5 mm atau kurang) dengan pinggir yang jelas dan melingkar (Gambar 23-19, A). Lesi dini tersusun dari sel berbentuk bulat sampai oval yang tumbuh dalam "sarang" sepanjang sambungan dermo epidermal. Inti retatif bulat seragam, dan memiliki anak inti yang tidak nyata, disertai aktivitas mitosis yang jarang atau tidak ada. Lesi dini tersebut dikenal sebagai nevus antara (junctional nevi). Akhirnya, sebagian besar nevus antara berkembang ke dalam dermis yang dibawahnya dalam bentuk sarang-sarang sel nevus atau genjelgenjel disebut nevus majemuk (compound nevi), dan pada lesi yang lebih lama, sarang-sarang sel nevus di epidermal dapat hilang seluruhnya, membentuk nevus intradermal (Gambar 23-19, B).



Gambaran Klinis



Terdapat banyak jenis nevus melanositik dengan berbagai macam penampilan. Walaupun lesi ini biasanya hanya merupakan kelainan kulit yang memprihatinkan secara kosmetik, Iesi ini dapat mengalami iritasi atau menyerupai melanoma, sehingga memerlukan pengangkatan secara operasi. Nevus majemuk dan nevus intradermal seringkali terlihat lebih menonjol dibandingkan nevus antara.



Nevus Displastik Nevus displastik mungkin bersifat sporadik atau familial. Yang bersifat familial secara klinis penting karena dianggap prekursor potensial untuk melanoma malignum. Seperti pada nevus melanositik yang konvensional, mutasi yang bersifat pengaktifan pada NRAS dan BRAF lazim ditemukan pada nevus displastik dan dianggap memiliki peranan patogenik.



866



B A B 23



A



Kulit



B



C



D



E



Gambar 23-18 Tahap-tahap yang mungkin terjadi pada perkembangan nevus melanositik. A, Kulit normal menunjukkan hanya melanosit yang tersebar. B, Nevus perantara (junctional nevus). C, Nevus majemuk (compound nevus). D, Nevus intradermal. E, Nevus intradermal disertai proses penuaan sel yang ekscensif



MORFOLOGI



sering membentuk sudut dan hiperkromasia (Gambar 23-20, B dan C). Perubahan tersebut juga terjadi pada dermis superfisial. Perubahan ini terdiri dari infiltrat limfosit yang tersebar terpisah, pelepasan pigmen melanin yang mengalami fagositosis oleh makrofag dermis (inkontinensia melanin), dan fibrosis linear mengelilingi sarang-sarang melanosit di epidermis. Perubahan dermis ini merupakan unsur reaksi tuan rumah terhadap lesi yang terjadi.



Nevus displastik berukuran lebih besar daripada sebagian besar nevus yang didapat (diameter seringkali lebih dari 5 mm) dan mungkin berjumlah ratusan (Gambar 23-20, A). Lesi berupa makula datar sampai plak yang menonjol, dengan permukaan "berbenjolbenjol" (mirip jalan berbatu). Lesi biasanya memiliki pigmentasi yang bervariasi dan tepi yang tidak rata (Gambar 23-20, A, inset). Secara mikroskopik, nevus displastik sebagian besar merupakan nevus majemuk yang menunjukan perangai pertumbuhan, baik arsitektur maupun sitologik, yang abnormal. Sarang sel nevus di dalam epidermis dapat membesar dan menunjukkan peleburan (fusion) atau pengelompokan (coolescence) yang abnormal dengan sarang-sarang didekatnya (terhubung dengan struktur menyerupai jembatan/bridging). Sebagai bagian dari proses ini, sel-sel nevus tunggal mulai menggantikan lapisan sel basal normal sepanjang sambungan dermo epidermal, yang membentuk kelainan yang disebut lesi hiperplasia lentigenus (Gambar 23-20. B). Atipia sitologik yang terdiri dari inti dengan tampilan yang tidak teratur,



A



Gambaran Klinis



Tidak seperti nevus yang biasa, nevus displastik cenderung tumbuh pada permukaan tubuh yang tidak terpajan sinar matahari dan juga pada bagian kulit yang terpajan matahari. Sindrom nevus displastik nevus familial berhubungan kuat dengan melanoma, oleh karena risiko seumur hidup untuk terjadinya melanoma pada seseorang yang mengidap lesi ini mendekati 100%. Pada kasus yang sporadik, hanya individu yang mengidap nevus displastik 10 atau lebih yang menunjukkan peningkatan risiko terhadap melanoma. Transformasi nevus displastik menjadi melanoma telah dibuktikan baik secara Idinis maupun secara histologis. Walaupun demikian, kasus-kasus semacam itu merupakan pengecualian,



B



Gambar 23-19. Nevus melanositik. A, Nevus melanositik reiatif berukuran kecil, simetris, dan berpigmen secara seragam. B, Nevus ini menunjukkan melanosit yang membulat, kehilangan pigmen dan menjadi lebih kecil serta lebih terpisah ketika mereka meluas ke dalam dermis semua tanda proses penuaan sel yang sesuai dengan sifat jinak dari proliferasi.



Benign and Premalignant Tumors



A



B



867



CC



Gambar 23-20 Nevus displastik. A, Banyak nevus yang iregular, pada daerah punggung seorang penderita dengan sindrom nevus displastik. Lesi biasanya berukuran lebih dari diameter 5 mm dan memiliki tepi yang tidak rata serta pigmentasi yang bervariasi (inset). B, Nevus displastik jenis majemuk (compound) memiliki perangai yang terdiri dari komponen dermis tengah disertai suatu "bahu" asimetris dari melanosit antara yang eksklusif (hiperplasia lentiginosa).Yang cersebut pertama sesuai dengan zona tengah yang menonjol dan berpigmen lebih banyak (lihat A, inset): sedangkan yang tersebut kedua sesuai dengan batas tepi yang rata dan berpigmen lebih sedikit. C, Perangai penting lainnya adalah atipia sitologik (inti tidak teratur dan berwarna gelap) dan gambaran khas pitapita fibrosis yang sejajar bagian dari reaksi tuan rumah terhadap lesi ini.



karena sebagian besar melanoma timbul secara de novo dan tidak berasal dari nevus yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, kemungkinan dari setiap jenis nevus, yang displastik atau lainnya untuk berkembang menjadi melanoma sangat rendah, dan lesi-lesi ini sebaiknya dianggap sebagai petanda risiko terjadinya melanoma.



Melanoma Melanoma lebih jarang terjadi tetapi jauh lebih mematikan daripada karsinoma sel basal atau karsinoma sel skuamosa. Saat ini, sebagai hasil dari peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap tanda paling dini dari melanoma kulit, sebagian besar melanoma dapat disembuhkan dengan teknik pembedahan. Walaupun demikian, angka kejadian lesi ini meningkat secara dramatik selama lebih dari beberapa dekade sebelumnya, paling sedikit sebagian terjadi akibat peningkatan pajanan terhadap matahari dan/atau peningkatan laju penemuan kasus melalui pengamatan yang berkesinambungan (surveillance).



PATOGENESIS Seperti dengan keganasan kulit lainnya, sinar matahari memainkan peranan penting dalam perkembangan melanoma. Angka kejadian tertinggi terjadi pada kulit yang terpajan sinar matahari dan pada lokasi geografik seperti Austraha yang memiliki pajanan sinar matahari tinggi dan banyaknya populasi dengan jenis kulit yang kurang mengandungi pigmen. Pajanan matahari kuat dan tidak terus menerus pada usia muda justru berbahaya. Penelitian mutakhir dengan penetapan susunan basa yang lebih mendalam ("deep sequencing") telah menyimpulkan bahwa genom tumor mengandungi ribuan mutasi yang didapat, sebagian besar menyandang jejak yang sesuai dengan kerusakan DNA yang disebabkan oleh pajanan ultra violet. Walaupun demikian, sinar matahari, bukan hanya satu-satunya faktor predisposisi: faktor herediter juga memainkan peranan, seperti yang telah dibicarakan pada sindrom nevus displastik familial. Seperti pada keganasan kulit lainnya, dianggap bahwa melanoma dapat timbul secara bertahap dari lesi prekursor (Gambar 23-21). Fase kunci dari perkembangan tumor ditandai oleh pertumbuhan radial dan vertikal. Pertumbuhan radial menggambarkan kecendeerungan awal dari melanoma untuk tumbuh horizontal di dalam epidermis (in situ), sering memerlukan waktu yang berlangsung lama (Gambar 23-21, D). Pada tahap ini, sel melanoma tidak memiliki kemampuan untuk metastass, dan tidak menimbulkan angiogenesis. Sejalan dengan waktu,fase pertumbuhan vertikal mengemuka,



ketika tumor tumbuh kearah bawah memasuki lapisan dermis yang lebih dalam sebagai massa yang berekspansi, tanpa maturasi sel (Gambar 23-21, E). Peristiwa ini sering ditandai oleh nodul pada lesi datar sebelumnya (Gambar 23-22. A) dan berhubungan dengan timbulnya suatu kelompokan sel yang berasal dari satu sel (clone) yang berpotensi metastatik. Sebagian besar melanoma terjadi secara sporadik, tetapi beberapa bersifat herediter (dengan kisaran yang dilaporkan antara kurang dari 5% sampai 10%). Analisis genetik molekuler pada kasus sporadik dan familial telah memberikan gagasangagasan penting pada patogenesis melanoma. Seperti tumortumor lain, transformasi keganasan sel melanosit merupakan proses bertahap ganda (multistep) yang berhubungan dengan mutasi yang bersifat aktivasi (activating mutation) pada protoonkogen dan mutasi yang bersifat kehilangan fungsi (loss of function mutation) pada gen supresor tumor. Mutasi sel benih (gerrn line mutation) pada gen CDKN2A (berlokasi pada 9p2 I ) ditemukan pada sekitar 40% individu yang menderita melanoma familial yang jarang. Gen ini menyandi peptida supresor tumor p 16, suatu inhibitor cyclin dependent kinase yang mengatur transisi G I -S dalam siklus sel dalam proses yang bergantung kepada protein retinoblastoma (Bab 5). Gen CDKN2A juga tidak terekspresi (mengalami "sifencing") pada sebagian turnor sporadik oleh karena terjadi metilasi. Mutasi somatik yang bersifat aktivasi pada protoonkogen BRAF atau NRAS ditemukan pada melanoma dalam proporsi besar. Mutasi ini menyebabkan terjadinya proliferasi sel dan daya tahan hidup sel (survival) dengan cara mengaktifkan pengaturan jalur pengisyaratan enzim kinase yang diatur ekstrasel (ERK), yang umumnya bersifat saling tidak bergantung (mutually exclusive), karena fungsi BRAF terletak sebelah hilir dari RAS. Seringkali juga ditemukan kehilangan fungsi gen supresor tumor PTEN, suatu regulator negatif yang penting dari jalur PI 3K-AKT, yang juga mendukung pertumbuhan dan daya tahan hidup sel. Beberapa melanoma, khususnya yang timbui pada daerah akral dan mukosa, menyandang mutasi yang bersifat aktivasi pada gen reseptor kinase tirosin c-KIT. Zat/obat yang bersifat selektif menghambat protein mutan BRAF dan c-Kit, tefah terbukti menimbulkan reaksi yang dramatik pada penderita dengan tumor metastatik yang menyandang mutasi pada BRAF dan c-K1T Hal tersebut merupakan salah satu contoh yang menimbulkan harapan dalam hal terapi sasaran/target secara molekuler pada penyakit yang memiliki prognosis buruk.



868



B A B 23



A



Kulit



B



C



D



E



Waktu



Gambar 23-21 Tahap-tahap yang mungkin terjadi pada perkembangan melanoma. A, Kulit normal. menunjukkan hanya melanosit yang tersebar. B, Hiperplasia melanositik lentiginosa. C, Nevus majemuk lentiginosa dengan arsitektur dan perangai sitologik abnormal (nevus displastik). D, Fase dini atau pertumbuhan radial dari melanoma (inti sel besar dan gelap pada epidermis) yang timbul pada suatu nevus. E, Melanoma pada fase pertumbuhan vertikal dengan potensi metastasis. Perhatikan bahwa tidak terdapat prekursor nevus melanositik yang ditemukan pada sebagian besar kasus melanoma. Mereka dianggap timbul secara denovo, mungkin semua menggunakan jalur yang sama.



MORFOLOGI Tidak seperti nevus linak, melanoma menunjukkan variasi pigmentasi yang mencolok, termasuk adanya bayangan kehitaman, coklat, merah, biru tua. dan abu-abu (Gambar 23-22, A). Tepi tumor tidak teratur dan sering "bertakik" (cekungan Microscopically, tajam seperti gergaji/notched). Secara mikroskopik, sel ganas tumbuh dalam sarang-sarang yang terbentuk tidak sempurna atau sebagai sel tunggal pada semua tingkat dari lapisan epidermis (penyebaran pagetoid) dan dalam bentuk nodul ekspansif di daerah dermis; Perangai ini masingmasing membentuk fase pertumbuhan radial dan vertikal (Gambar 23-22, B dan C). Sebagai catatan, melanoma jenis yang menyebar dipermukaan (superficial spreading melanoma) sering berhubungan dengan infiltrasi limfosit nyata (Gambar 23-22, B), suatu perangai yang mungkin menggambarkan reaksi tuan rumah terhadap antigen spesifik tumor. Sifat dan luas pertumbuhan vertikal menentukan perilaku biologis dari melanoma. Penilaian dan penggunaan sifat biologis melanoma dan variabel lain secara bersamaan, memungkinkan perkiraan prognostik yang lebih cermat. Masing-masing sel melanoma biasanya berukuran lebih besar daripada sel nevus. Mereka mempunyai inti besar dengan tampilan permukaan (contour) tidak teratur, kromatin secara khas tampak menggumpal pada tepi membran inti, serta anak inti eosinofilik yang mencolok "merah bagai buah ceri/cherry red" (Gambar 23-22, D), Pulasan imunohistokimia dapat membantu untuk identifikasi endapan metastatik (Gambar 23-22, D, inset).



Gambaran Klinis



Walaupun sebagian besar lesi ini tumbuh di kulit, tetapi lesi ini dapat tumbuh pada daerah mukosa permukaan daerah anogenital dan oral, esofagus, selaput otak, dan mata. Penjelasan berikut berhubungan dengan metanoma kulit. Melanoma pada kulit biasanya tidak disertai gejala (asimtomatik), walaupun gatal merupakan wujud



penyakit yang dini. Tanda ktinis yang paling penting adalah perubahan warna atau ukuran lesi yang berpigmen. Tanda klinis utama yang perlu diwaspadai (warning signs) adalah: 1. Nevus yang membesar dengan cepat 2. Rasa gatal atau nyeri pada suatu lesi 3. Pembentukan lesi pigmentasi baru selama masa usia dewasa 4. Tepi lesi yang berpigmen tidak teratur 5. Aneka ragam warna pada lesi yang berpigmen Prinsip-prinsip ini diekspresikan dengan sebutan ABC untuk melanoma: asimetrik, border (tepi), color (warna), diameter, dan evolusi (perubahan dari nevus yang ada). Sangat penting untuk dapat mengenal melanoma dan melakukan tindakan secara cepat apabila memungkinkan. Sebagian besar lesi superfisial dapat disembuhkan dengan teknik pembedahan, sedangkan melanoma yang telah bermetastasis memiliki prognosis yang sangat buruk. pada nodul fase pertumbuhan vertikal, dari permukaan atas lapisan sel granuler epidermis di atas lesi (ketebalan Breslow). Risiko metastasis juga meningkat pada tumor yang memiliki laju mitosis (mitotic rate) tinggi dan tumor yang gagal menginduksi reaksi imunologi lokal. Pada waktu metastasis terjadi, tidak hanya kelenjar getah bening regional saja yang terkena, tetapi melibatkan juga organ hati, paru, otak dan tempat lainnya yartg dapat dicapai melalui penyebaran hematogen. Biopsi sentinel kelenjar getah bening (dari kelenjar getah bening hilir pertama pada melanoma primer) pada saat operasi memberikan informasi tambahan mengenai agresivitas sifat biologisnya. Pada beberapa kasus, metastasis dapat timbul pertama kali beberapa tahun setelah pembedahan dengan eksisi lengkap tumor primer, yang menggambarkan suatu fase yang lama dari keadaan tanpa aktivitas penyakit (dormancy), yaitu fase selama tumor mungkin dibawah kendali reaksi imunologiik tuan rumah. Pengetahuan mengenai peran reaksi imunologi mengarahkan ke uji klinis dengan



Turnor Jinak dan Tumor Pra-Maligna



A



C



869



B



D



Gambar 23-22 Melanoma. A, Pada evaluasi klinis, lesi cenderung lebih besar daripada nevus, disertai tampilan permukaan (kontur) yang tidak rata, dan pigmentasi. Area makular menunjukkan pertumbuhan (radial) superfisial dini, sedangkan area yang menonjol seringkali menunjukkan invasi dermis (pertumbuhan vertikal). B, Fase pertumbuhan radial. dengan penyebaran sarang-sarang dan sel individual yang tersebar di dalam epidermis. C, Fase pertumbuhan vertikal, dengan agregat nodular dari sel-sel tumor yang menyebuk di dalam dermis (epidermis terdapat pada sisi kanan). D, Sel melanoma memiliki inti hiperkromatik. dengan ukuran dan bentuk yang tidak teratur, dan anak inti yang menonjol. Mitosis rermasuk mitosis atipik seperti yang terlihat pada bagian tengah di dalam lapangan ini, seringkali ditemukan.Sisipan (inset) gambar menunjukkan kelenjar getah bening sentinel yang mengandungi kelompokan (cluster) kecil dari sel melanoma (panah), yang ditemukan berdasarkan reaksi antigen khas melanoma HMB-45 (dengan teknik imunohistokimia).



imunomodulator. Beberapa reaksi yang mengesankan terlihat pada penderita melanoma lanjut, terutama terhadap antibodi yang menghambat inhibitor endogen respons imun seperti CTLA-4 dan PD-1 serta "pelepasan penghambat" pada kekebalan antitumor host.



RINGKASAN Lesi Melanositik Jinak dan Ganas • • •



Sebagian besar nevus melanosrtik menyandang mutasj yang bersifat aktivasi pada gen BRAF atau jarang pada NRAS, tetapi sebagian besar tidak pernah mengalami transformasi ganas. Nevus displastik yang sporadik dinilai sebagai petanda risiko terjadinya melanoma daripada sebagai lesi prakeganasan. Lesi ini ditandai oleh atipia arsitekturai dan sitologik. Melanoma merupakan keganasan yang sangat agresif; Tumor dengan kedalaman beberapa milimeter dapat menyebabkan metastasis yang berakibat kematian.







Sebagian besar kasus melanoma berkembang dari bentuk lesi intra epitel (in situ) sampai bentuk invasif (dermis). Ciri-ciri tumor di dermis seperti kedalaman invasi dan aktivitas mitosis memiliki korelasi dengan daya tahan hidup.



KEPUSTAKAAN Curtin JA, Fridlyand J, Kageshita T, et al: Distinct sets of genetic alterations in melanoma. N Engl J Med 353:2135, 2005. [Modifikasi klasifikasi melanoma berdasarkan perangai klinis dan genetik. Sistem klasifikasi molekuler yang penting dalam kemajuan terapi sasaran] Elder DE: Dysplastic nevi: an update. Histopathology 56:112, 2010. [Wresentasi yang seimbang antara perangai Instologis dan patogenesis nevus dispinstik dan hubungannya dengan melanoma.] Epstein EH: Basal cell carcinomas: attack of the hedgehog. Nat Rev Cancer 8:743, 2008. [Epidemiologi, presentasi klinis, patogenesis molekuler, dan pilihan terapi terbaru; tinjauan singkat]



870



B A B 23



Kulit



Ibrahim N, Haluska FG: Molecular pathogenesis of cutaneous melanocytic neoplasms. Annu Rev Pathol 4:551, 2009. [Dalur genetik melanoma yang memberi gagasan intervensi terapi di masa yang akan datang] Kupper TS, Fuhlbrigge RC: Immune surveillance in the skin:mechanisms and clinical consequences. Nat Rev 4:211, 2004. [aubtipe dan sasaran innfosit yang berhubungan dengan penyakit inflamasi kulit dikaitkan dengan gambaran umum patogentik] Nestle FO, Kaplan DH, Barker J: Psoriasis. N Engl J Med 361:496, 2009. salogenesis, gambaran klinis, dan pembahasan mengenai pilihan terapi sasaran terbaru] Khavari PA: Modelling cancer in human skin tissue. Nat Rev Cancer 6:270, 2006. [Karsinogenesis pada epidermis manusia dengan uraian tentang mutasi berganda jalur khusus yang berperan pada transformasi keganasan]



Tsai KY, Tsao H: The genetics of skin cancer. Am J Med Genet 131C:82, 2004. [Dasar genetik keganasan kulit berhubungan dengan predisposisi sindrom genetik pada manusia yang terkait pada patogenesis] Ujiie H, Shibaki A, Nishie W, Shimizu H. What’s new in bullous pemphigoid. J Dermatol 37:194, 2010. [Tinjauan terkini mengenai patogenesis petnfigoid bulosad] Yokoyama T, Amagai M. Immune dysregulation of pemphigus in humans and mice. J Dermatol 37:205, 2010. [tinjauan mengenai gangguan intunitas pada pemfigus]



Index A AAT (α1-antitrypsin deficiency) clinical course of  632 inherited metabolic diseases and  631–632 morphology of  632b, 632f pathogenesis of  631b Abdominal aortic aneurysm (AAA) clinical consequences of  346 morphology of  346b, 346f Abdominal hernia  574 Abetalipoproteinemia  580 ABL  180 ABO incompatibility  254 Acalculous cholecystitis, acute  641 Acetaminophen  284, 287 Achondroplasia  767–768 Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). See also Human immunodeficiency virus (HIV) epidemiology of  143–144 mother-to-infant transmission of  144 parenteral transmission of  144 sexual transmission of  144 etiology and pathogenesis of  144–149 introduction to  143–153 morphology of  152b summary for  149b–150b Acquired metabolic and toxic disturbances metabolic disorders as  835 nutritional diseases as  835 toxic disorders as  835–836 Actinic keratosis clinical features of  857 as epithelial lesions of the skin  862–863 morphology of  862b, 863f Acute lymphoblastic leukemia (ALL) clinical features of  431 genetic features of  433 immunophenotypic features of  433 laboratory findings in  431–433 lymphoid neoplasms and  430–433 morphology of  431b–433b, 433f pathogenesis of  431b prognosis for  433 Acute myeloid leukemia (AML)  431, 431b–433b. See also Acute lymphoblastic leukemia (ALL) classification of  444–445, 445t immunophenotype of  433f, 445 morphology of  433f, 444b, 445f as myeloid neoplasms  444–445 pathogenesis of  444b prognosis for  445 summary for  448–449 Acute respiratory distress syndrome (ARDS) acute lung injury and  461, 461t clinical features of  461 Page numbers followed by “f” indicate figures, “t,” tables; “b,” boxes.



morphology of  461b, 463f pathogenesis of  461b, 462f summary for  462b Acute tubular injury (ATI) clinical course of  538 diseases affecting tubules/interstitium and  537–538 morphology of  538b pathogenesis of  537b–538b, 537f summary for  538b Acute viral pericarditis  403b Adaptive immunity  99–100 Adenocarcinoma, clear cell  685 Adenocarcinoma, ductal  653b–654b Adenocarcinoma in situ (AIS) lung tumors and  506b–509b, 508f Adenocarcinoma of the colon clinical features of  598–599, 599f, 600t colonic polyps and  596–599 epidemiology of  597–599, 597f–598f morphology of  598b, 599f pathogenesis of  596t, 597b–598b summary for  600b Adenoma of the colon morphology of  594b–595b, 595f summary for  600b of the thyroid clinical features of  730 introduction to  729–730 morphology of  729b–730b, 730f pathogenesis of  729b Adenoma, growth hormone producing  719–720 Adenoma, Hürthle cell  729b–730b Adenomyosis  689 summary for  691 Adenosine triphosphate (ATP). See ATP Adenosquamous carcinoma  653b–654b Adhesion  30t, 35–36, 35f, 36t Adhesion receptor  64 Adipose tissue  304–305 Adrenal cortex adrenal insufficiency and  757–759 adrenocortical hyperfunction and  752–757 adrenocortical neoplasms and  759 endocrine system and  752–759 Adrenal insufficiency (hypoadrenalism) acute adrenocortical insufficiency and  757 and the adrenal cortex  757–759 chronic adrenocortical insufficiency and  757–758 secondary adrenocortical insufficiency and  758–759 summary for  759b Adrenal medulla and endocrine system  760–761 tumors of  760–761 Adrenocortical adenoma  754f, 759b–760b Adrenocortical carcinoma  759b–760b, 759f



872



Index Adrenocortical hyperfunction (hyperadrenalism) and adrenal cortex  752–757 adrenogenital syndromes and  756–757 hyperaldosteronism and  755–756 hypercortisolism/Cushing syndrome and  752–755 Adrenocortical insufficiency, acute  757, 757f, 757t Adrenocortical insufficiency, chronic  757–758, 757t Adrenocortical insufficiency, secondary and adrenal insufficiency  758–759 clinical features of  758–759 morphology of  758b, 758f Adrenocortical neoplasm and the adrenal cortex  759 morphology of  759b–760b Adrenocorticotropic hormone producing adenoma  719–720 Adrenogenital syndrome and adrenocortical hyperfunction  756–757 clinical features of  756–757 morphology of  756b summary for  757b Adverse drug reaction (ADR) acetaminophen as  284 aspirin as  284 discussion of  282–284, 282f, 283t exogenous estrogens as  282–283 oral contraceptives as  283–284 summary for  287b Aganglionic megacolon, congenital  574b Age, cancer and  171 Agenesis  646 Agranulocytosis  425–426 AIDS. See Acquired immunodeficiency syndrome Air embolism  91–92 Air pollution indoor air pollution as  273 outdoor air pollution as  272–273 Alcohol effects of  280–282, 281f summary for  282b tobacco and  279 Alcoholism, chronic  280–282 malnutrition and  293 Allergy. See Hypersensitivity, immediate (Type 1) Allograft, immune recognition of  135–136 Allograft arteriopathy  405, 405f Alzheimer disease (AD) morphology of  838b, 838f neurodegenerative disease and  836–837 pathogenesis of  837b–838b, 837f Amebiasis  830–831 Amniotic fluid embolism  91, 91f Amyloid of aging  156 Amyloidosis. See also Misfolded protein classification of  154–158, 155t immune system and  153–158 morphology of  156b–158b, 157f pathogeneses of  153b–154b, 153f–154f restrictive cardiomyopathy and  401 Amyloidosis, familial  155–156 Amyloidosis, localized  156 Amyloidosis, secondary  154–155 Amyloidosis, senile cardiac  156 Amyloidosis, senile systemic  156 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) morphology of  841b neurodegenerative diseases and  841 pathogenesis of  841b



Anaplasia, neoplasm characteristics and  164–166 Anaplastic carcinoma of the thyroid clinical features of  734 introduction to  734 morphology of  734b pathogenesis of  731 summary for  735 Anaplastic meningiomas  846b Anemia of chronic disease as anemia of diminished erythropoiesis  421 clinical features of  421 pathogenesis of  421b summary for  424 of diminished erythropoiesis anemia of chronic disease as  421 aplastic anemia as  424 iron deficiency anemia as  420–421 megaloblastic anemia as  422–423 myelophthisic anemia as  424 red cell disorders and  419–424 summary for  424b–425b pathology of  409b red cell disorders and  408–425 Anemia, aplastic clinical course of  424 diminished erythropoiesis and  424 morphology of  424b pathogenesis of  424b summary for  425 Anemia, cold antibody immunohemolytic immunohemolytic anemias as  418 Anemia, folate deficiency clinical features of  423 as megaloblastic anemia  422–423 pathogenesis of  422b Anemia, immunohemolytic cold antibody immunohemolytic anemias and  418 as hemolytic anemia  417–418, 417t summary for  419 warm antibody immunohemolytic anemias and  417–418 Anemia, pernicious  423, 423b. See also Vitamin B12 deficiency anemia Anemia, warm antibody immunohemolytic  417–418 Aneuploidy  175 Aneurysm  344–348, 344f pathogenesis of  344b–345b, 345f summary for  348b Aneurysm, berry  330 Aneurysm, saccular  817–818, 818f morphology of  818b, 818f Angelman syndrome  243–245, 244f Angina, unstable  376 Angina pectoris  376 Angiodysplasia  576 Angiogenesis growth factors involved in  67 scar formation and  66–67, 67f Angiogenesis, sustained development of  191–192 summary for  192b Angiosarcoma  361–362, 361f morphology of  362b Anitschkow cells  391b Annular pancreas  646 Anorexia nervosa  295–296



Index Antibody-mediated disease hypersensitivity reactions and  111, 114–115, 114t mechanisms of  114–115, 115f summary for  114b Anti-endothelial cell antibody  350 Antigen-presenting cell (APC) dendritic cells as  104 immune system and  104 other cells as  104 summary for  105 Anti-inflammatory drugs prostaglandin production blockage by  46–47 Anti-neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA)  349–350 Antiphospholipid antibody syndrome  87–88 Antitumor effector mechanism cytotoxic T lymphocytes as  206 humoral mechanisms as  206–207 macrophages as  206 natural killer cells as  206 Aortic stenosis, calcific clinical features of  390 degenerative valve disease and  389–390 morphology of  389f, 390b Aortic valve sclerosis  390b Aphthous ulcers (canker sores)  552, 552f Apoptosis causes of in pathologic conditions  18 in physiologic situations  18 cell death and  18–22 evasion of cell death and  189f summary for  190b examples of  20–22 mechanisms of activation and function of caspases as  19 clearance of apoptotic cells and  20 death receptor pathway of  19 introduction to  19–20, 20f mitochondrial pathway of  19 morphology of  18b, 19f summary of  22b TP53 gene and  187b Apoptotic cell, clearance of  20 Appendicitis, acute the appendix and  600–601 clinical features of  601 morphology of  601b pathogenesis of  600b–601b Appendix acute appendicitis and  600–601 summary for  601b tumors of  601 Arachidonic acid (AA) metabolite  46–47, 46t, 47f, 50 Arbovirus  827 morphology of  827b, 827f Arrhythmia heart disease and  385–386 myocardial infarction complications and  384 sudden cardiac death and  386 summary for  386b Arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy (ARVC) dilated cardiomyopathy as  399–400, 399f Arsenic  275–276 Arteriolosclerosis, hyaline  333b–334b diabetes and  744, 746–747, 746f Arterionephrosclerosis as blood vessel disease of the kidney  539 clinical course of  539



morphology of  539b, 539f pathogenesis of  539b summary for  541 Arteriosclerosis  335 Arteriovenous (AV) fistula  330 Arteritis, Takayasu clinical features of  351–352 morphology of  351b vasculitis and  351–352, 351f Arthritis gout as  786–789 infectious arthritis as  789–790 juvenile rheumatoid arthritis as  786 osteoarthritis and  782–783 rheumatoid arthritis as  784–786 seronegative spondyloarthropathies as  786 summary for  790b Arthritis, chronic tophaceous  786b–787b, 787f Arthritis, infectious the joints and  789–790 Lyme arthritis as  789–790 suppurative arthritis as  789 Arthritis, Lyme  789–790 Arthritis, suppurative  789 Asbestosis clinical features of  477–478 morphology of  477b, 477f–478f pathogenesis of  477b as pneumoconiosis  477 summary for  478 Aschoff bodies  391b Ascites pathogenesis of  609b and portal hypertension  609 Ascorbic acid. See Vitamin C Aseptic meningitis  825 Aspergillus fumigatus  829 Aspiration pneumonia  488t, 492 Aspirin (acetylsalicylic acid)  284 Aspirin toxicity, chronic (salicylism)  284 Asthma clinical features of  470 morphology of  469f–470f, 470b as obstructive lung disease  468–470 pathogenesis of  468b, 469f summary for  470b types of  468–470 Asthma, atopic  468 Asthma, drug-induced  470 Asthma, non-atopic  468–470 Astrocytoma  842–843 morphology of  842b, 843f Astrocytoma, diffuse  842 Asymptomatic hematuria  518 Atelectasis, compression  460 Atelectasis, contraction  460 Atelectasis of lung  460, 460f Atherosclerosis. See also Atherosclerotic plaque blood vessels and  335–343, 336f clinical consequences of  342–343, 342f epidemiology of additional risk factors for  337–338, 338f constitutional risk factors for  336 discussion of  335–338, 336t modifiable major risk factors for  336–337, 337f morphology of  340b–342b, 340f–341f pathogenesis of  338b–340b, 339f summary for  343b–344b



873



Index



874



Atherosclerotic plaque acute plaque change and  342–343, 342f–344f atherosclerosis morphology and  340b–342b, 341f Atherosclerotic stenosis  342 ATP, depletion of  12–13, 13f, 16 Atrial septal defect (ASD) clinical features of  369t, 371 left-to-right shunts and  370–371 morphology of  371b Atrophy  4–5, 4f summary for  5b Atypical adenomatous hyperplasia (AAH)  506b–509b Autoimmune disease immune system and  120–135, 121t immunologic tolerance and  121–122 inflammatory myopathies and  135 mechanisms of autoimmunity and  122–125 mixed connective tissue disease and  135 polyarteritis nodosa/other vasculitides and  135 rheumatoid arthritis  131 Sjögren syndrome and  131–132 systemic lupus erythematosus and  125–131 systemic sclerosis and  132–134 Autoimmune regulator (AIRE)  121 Autoimmunity genetic factors in  123, 123t–124t infections and tissue injury and  123–125 mechanisms of  122–125, 123f self antigens and  110 summary for  124b Autophagy  22–23, 23f evasion of cell death and  190 Autosomal dominant cancer syndrome  171–172, 172t Autosomal dominant inheritance disorder  219–220 Autosomal dominant polycystic kidney disease clinical course of  543–544 cystic diseases and  542–544 morphology of  543b, 543f pathogenesis of  542b–543b summary for  544 Autosomal recessive inheritance disorder  220 Autosomal recessive syndrome of defective DNA repair  172 Autosplenectomy  412b–413b Axonal neuropathy  797, 800



B Bacillary angiomatosis  359, 359f Bacteria  311–313, 311f–312f, 312t normal microbiome and  313 Bacterial injury, mechanisms of adherence to host cells as  320 bacterial toxins as  321, 321f bacterial virulence as  320 virulence of intracellular bacteria as  320–321 Bacterial meningitis. See Pyogenic meningitis, acute Bacterial pyelonephritis  438b–439b Balanced translocation  174, 177 Barrett esophagus clinical features of  562, 564 morphology of  561–562, 561b–562b, 561f Barrett metaplasia  133–134 Basal cell carcinoma clinical features of  864 malignant epidermal tumors and  864 morphology of  864b, 865f pathogenesis of  864b



B cell HIV infection progression and  149 systemic sclerosis and  127t, 133 B cell non-Hodgkin lymphoma  152 Becker muscular dystrophy (BMD) clinical features of  803–804 dystrophinopathy and  802–804 morphology of  802b, 804f pathology of  802b–803b, 802f Benign prostatic hyperplasia (BPH) clinical features of  664–665 diseases of the prostate and  664–665 morphology of  664b, 665f summary for  665b Beta cell dysfunction  743 Beta cell tumor. See Insulinoma Bile acid  605–606. See also Bilirubin Biliary atresia clinical course of  642–643 extrahepatic bile ducts and  642–643 Biliary cirrhosis, secondary  642 Bilirubin jaundice/cholestasis and  605–606, 605f pathogenesis of  606b, 606t Bioterrorism  315, 315t Blastomycosis  499–500 Bleeding disorder coagulation disorders as  454–455 disseminated intravascular coagulation as  450–452 hematopoietic system and  449–455 summary of  456b thrombocytopenia as  452–454 Blistering (bullous) disorder bullous pemphigoid as  859–861 dermatitis herpetiformis as  861 pemphigus as  858–859 the skin and  857–861, 858f summary for  862b Blood flow, abnormal  86 Blood flow into liver, impaired hepatic artery inflow as  632 portal vein obstruction and thrombosis as  632–633 Blood flow through liver, impaired circulatory disorders and  633 passive congestion and centrilobular necrosis as  633 Blood pressure regulation  330–331, 331f–332f summary for  331b Blood vessel aneurysms/dissections and  344–348 arteriosclerosis and  335 atherosclerosis and  335–343 blood pressure regulation and  330–331 congenital anomalies and  330 disease of the kidney arterionephrosclerosis as  539 introduction to  538–541 malignant hypertension as  539–540 summary for  541b thrombotic microangiopathies as  540–541 disorders of hyperactivity of myocardial vessel vasospasm as  355 Raynaud phenomenon as  355 disorders of hyperreactivity of  355 hypertensive vascular disease and  332–333 structure and function of  327–330, 328f endothelial cells and  329–330 summary for  330b vascular smooth muscle cells and  330



Index tumors and  357–362 vascular intervention pathology and  362–363 vascular wall response to injury and  334–335 vasculitis and  348–355 veins/lymphatics and  356–357 B lymphocyte  101f, 105, 124 activation of  108–109 Body mass index (BMI)  303 Bone disease, acquired hyperparathyroidism as  771 osteoporosis as  768–770 Paget disease as  770–771 rickets and osteomalacia as  771 summary for  772b Bone-forming tumor osteoid osteoma and osteoblastoma as  776 osteoma as  775–776 osteosarcoma as  776–777 Bones acquired diseases of  768–771 congenital disorders of cartilage and  767–768 fractures of  772–773 introduction to  765–781, 766f osteomyelitis and  773–774 osteonecrosis and  773 tumors of  774–781 Bowel, vascular disorders of hemorrhoids as  576 intestines and  574–576 ischemic bowel disease as  574–576 summary for  576b Brain abscess  826 morphology of  825f, 826b Brain injury, perinatal  822–824, 824f summary for  824b Breast of the female fibrocystic changes of  705–706 breast carcinoma and  706 nonproliferative changes and  705 proliferative changes and  705–706 summary for  707b inflammatory processes and  707 morphology of  707b introduction to  704–714, 704f tumors of  707–713 lesions of the male  714 Breast carcinoma, noninvasive  710 Brenner tumor  698 Bronchiectasis clinical features of  472 morphology of  471b, 471f as obstructive lung disease  470–472 pathogenesis of  471b Bronchiolitis, chronic  467b–468b Bronchiolitis obliterans organizing pneumonia (BOOP). See Pneumonia, cryptogenic organizing Bronchitis, chronic clinical features of  467 morphology of  467b, 467f as obstructive lung disease  467 pathogenesis of  467b summary for  467b–468b Bruton disease. See X-linked agammaglobulinemia (XLA) Budd-Chiari syndrome. See Hepatic vein thrombosis Buerger disease. See Thromboangiitis obliterans Bulimia  295–296



Bullous emphysema  466 Bullous pemphigoid blistering disorders and  859–862 clinical features of  861 morphology of  860b–861b, 860f pathogenesis of  860b Burkitt lymphoma clinical features of  437 immunophenotypic features of  437 lymphoid neoplasms  436–437 morphology of  437b, 437f pathogenesis of  436b–437b summary for  443



C Cachexia, cancer and  208–209 Cadmium  276 Calcification, dystrophic  13f, 25–26 Calcification, pathological apoptosis and  9, 25–26 dystrophic calcification as  25–26 metastatic calcification as  26 morphology of  26b summary for  26b Calcium, influx of  13, 14f, 16 Calculous cholecystitis, acute  641, 643 Campylobacter enterocolitis clinical features of  583 infectious enterocolitis and  582–583 morphology of  582b, 582f pathogenesis of  582b Cancer of the bladder clinical features of  670–671 morphology of  667f, 669b–670b, 669f–670f, 670t neoplasms of the bladder and  669–671 pathogenesis of  669b diet and  306 environmental radiation and  292–293 epidemiology of acquired preneoplastic lesions and  172 age and  171 geographic/environmental variables for  170–171 heredity and  171–172 incidence of  170, 170f summary for  173b etiology of  198–204 hallmarks of  161–162 introduction to  161–162 laboratory diagnosis of molecular diagnosis of  211 molecular profiling of  211–213 morphologic methods for  210–211 summary of  213b tumor markers and  211 neoplasia and  169–172 obesity and  305 occupational radiation and  293 Cancer, familial  172–173 Cancer, genetic lesions in cancer-associated mutations and  173–176 epigenetic modifications and  175–176 karyotypic changes and  173–175 microRNAs and  175 summary for  176b–177b Candida albicans  829



875



876



Index Candidiasis clinical features of  502–503 morphology of  502b, 503f as opportunistic fungal infection  502–503 Canker sores. See Aphthous ulcers Capillary hemangioma  358, 358f Carbon monoxide (CO)  273 morphology of poisoning by  273b Carcinogenesis ionizing radiation and  290 molecular basis of cancer and  173 multistep process of ability to invade or metastasize and  192–195 cancer progression and  198, 199f development of sustained angiogenesis and  191–192 evasion of cell death and  189–190 evasion of immune system and  196 genomic instability as enabler and  196–197 insensitivity to growth inhibitory signals and  182–188 limitless replicative potential and  190–191 neoplasia and  177, 177f–178f reprogramming energy metabolism and  195–196 self-sufficiency in growth signals and  178–182 tumor-promoting inflammation as enabler and  197–198 Carcinogenic agent chemical carcinogens as  199–200 etiology of cancer and  198–204 radiation carcinogenesis and  200–201 viral and microbial oncogenesis and  201–204 Carcinoid heart disease morphology of  395b, 396f pathogenesis of  395b valvular heart disease and  394f Carcinoid tumor of the lung  510–511 morphology of  510b, 511f of the stomach and  571–573 clinical features of  571–572 morphology of  571b, 572f Carcinoma of the adrenal cortex  753b–754b, 754f of the cervix cervical neoplasms as  687–688 clinical course of  688 morphology of  688b, 688f of the female breast clinical course of  712–713 discussion of  708–713 epidemiology and risk factors of  708–713, 708t pathogenesis of  709b–710b summary for  713b–714b of the gallbladder clinical features of  643 introduction to  643 morphology of  643b, 643f of the larynx and laryngeal tumors  514, 514f of the lung clinical course of  510 etiology and pathogenesis of  505b–506b lung tumors as  505–510, 505t morphology of  506b–509b, 507f–509f, 509t, 710b–712b summary for  510b of the male breast  714 of the prostate clinical features of  667–668 introduction to  665–668 morphology of  666b–667b, 666f–667f



pathogenesis of  666b summary for  668b of the thyroid anaplastic carcinoma and  734 follicular carcinoma and  733–734 introduction to  730–735 medullary carcinoma and  734–735 papillary carcinoma and  732–733 pathogenesis of  731b–732b, 731f summary for  735b of the vulva  683 morphology of  683b summary of  684 Carcinoma, chromophobe-type renal cell  548b Carcinoma, embryonal (of testis)  660b–662b, 661f Carcinoma, endometrial clinical course of  692 HRT and  282–283 morphology of  692b, 693f obesity and  305 oral contraceptives and  283 pathogenesis of  692b proliferative lesions and  692 summary for  692b–693b Carcinoma, endometrioid  692b, 693f Carcinoma, follicular carcinomas and  733–734 morphology of  733b, 733f pathogenesis of  731 summary for  734–735 Carcinoma, invasive  711–712 Carcinoma, invasive ductal  711–712, 711f Carcinoma, invasive lobular  711–712 Carcinoma, large cell lung tumors and  506b–509b Carcinoma, lymphoepithelioma-like  457b Carcinoma, medullary  711–712, 712f of the thyroid clinical features of  734–735 introduction to  734–735 morphology of  734b, 734f–735f pathogenesis of  731–732 summary for  735 Carcinoma, tubular  711–712 Cardiac angiosarcoma  405 Cardiac cirrhosis  368 Cardiac transplantation  405, 405f rejection of  402f, 405 Cardiac tumor  404–405 Cardiac tumor, primary  404–405 Cardiac valve, mechanical  395 Cardiogenic shock  94 Cardiomyopathy dilated cardiomyopathy as  397–400 heart disease and  396–403, 397f, 397t hypertrophic cardiomyopathy as  400–401 myocarditis as  401–403 restrictive cardiomyopathy as  401 summary for  403b Carpal ligaments of wrist  157–158 Carrier state, viral hepatitis and  620 Cartilage-forming tumor bone tumors and  777–779 chondroma as  778 chondrosarcoma as  778–779 osteochondroma as  777–778 Caspases, activation and function of  19 Caspases, executioner  189



Index Cat-scratch disease  428 morphology of  428b Cavernous hemangioma  358f, 359 CD4+ T cell HIV life cycle and  147, 147t, 149 inflammatory reactions and  106f, 118–119, 120b T lymphocyte effector function and  107–109 Celiac disease clinical features of  579 and malabsorptive diarrhea  577–579 morphology of  578b–579b, 579f pathogenesis of  578b, 578f summary for  580 Celiac sprue. See Celiac disease Cell cycle, normal  180–182, 181f, 185f Cell cycle control protein  182 Cell death. See also Apoptosis overview of  6 Cell death, evasion of  189–190, 189f autophagy and  190 summary for  190b Cell-derived mediator arachidonic acid metabolites as  46–47, 46t, 47f chemical mediators/regulators of inflammation and  46–49 cytokines as  48–49 lysosomal enzymes of leukocytes as  49 neuropeptides as  49 nitric oxide as  49 platelet-activating factor as  47–48 reactive oxygen species as  49 summary of  50b vasoactive amines as  46–49 Cell injury causes of  6–7 clinicopathologic correlation examples for chemical injury as  17–18 ischemia-reperfusion injury as  17 ischemic and hypoxic injury as  17 mechanisms of accumulation of oxygen-derived free radicals as  14–15 damage to DNA and proteins as  16 defects in membrane permeability as  16 depletion of ATP as  12–13 influx of calcium as  13 introduction to  11–16, 12f mitochondrial damage and dysfunction as  13 summary for  16b morphology of introduction to  6f, 7t, 8–11, 8f necrosis and  9 patterns of tissue necrosis and  9–11 reversible injury and  8 summary for  11b morphology of cell and tissue injury and  2f, 8, 11 overview of  6 reversible injury and morphology of  6f, 8b–9b, 9f Cell proliferation control of  59, 59f Cellular adaptation to stress atrophy as  4–5 hyperplasia as  4 hypertrophy as  3–4 metaplasia as  5 summary for  5b Cellular aging  26–28, 27f cell injury and  7 summary for  28b



Cellular event, leukocyte recruitment/activation as  34–39 Cellular protein, overexpressed  205 Cellular rejection, acute  137f, 138 Cellular response to stress and noxious stimulus  1–3, 2f Central nervous system (CNS) acquired metabolic and toxic disturbances of  835–836 AIDS involvement and  152–153, 152b cerebrovascular disease of  814–819 congenital malformations/perinatal brain injury and  822–824 edema, herniation, hydrocephalus and  812–814 HIV pathogenesis and  149 infections of  824–831 neurodegenerative diseases and  836–841 patterns of injury in  811 primary disease of myelin and  832–834 SLE morphology and  130 trauma and  820–822 tumors of  842–847 Central neurocytoma  844 Central pontine myelinolysis  834 Centriacinar emphysema  464, 464f, 465b Centric pancreatitis, idiopathic duct  650b Centrilobular hepatic necrosis  284 Centrilobular necrosis circulatory disorders of liver and  633 morphology of  633b, 633f Cerebral amyloid angiopathy (CAA)  817 Cerebral ischemia, focal  815–816, 816f, 819 morphology of  812f, 816b–817b Cerebral toxoplasmosis  829–831 morphology of  829b–830b, 830f Cerebrovascular disease central nervous system and  814–819 hypoxia, ischemia, infarction and  814–816 intracranial hemorrhage and  817–818 other vascular diseases of  819 summary of  819b Cervical intraepithelial neoplasia (CIN)  686, 686t, 687b Cervical neoplasia cervical pathology and  685–689, 685f invasive carcinoma as  687–688 morphology of  687b, 687f–688f pathogenesis of  685b–686b, 686f summary of  688b–689b Cervicitis cervical pathology and  685 morphology of  685b sexually transmitted diseases and summary for  676b Cervix cervicitis and  685 neoplasia of  685–689 pathology of  685–689 Chagas myocarditis  402b, 402f Chamber dilation  384 Chancroid (soft chancre) morphology of  677b sexually transmitted disease and  677 summary for  677b Channelopathy  805 Chemical agent cell injury and  7 toxicity of  271–272 Chemical carcinogen direct-acting agents as  199 etiology of cancer and  199–200, 199t



877



878



Index Chemical carcinogen (Continued) indirect-acting agents as  171t, 199–200 mechanisms of action of  200 summary for  200b Chemical (toxic) injury  17–18 Chemical mediator, inflammation and  44–53, 45f, 45t Chemokines  48–49 Chemotaxis  36–37, 37f Chlamydia  311–313 Chloracne  276–277 Cholangiocarcinoma clinical features of  644 extrahepatic biliary ducts and  643–644 morphology of  644b, 644f Cholangitis  642 Cholecalciferol  298–299 Cholecystitis acute acalculous cholecystitis and  641 chronic cholecystitis and  641–642 clinical features of  641–642 inflammation of gallbladder as  641–642 morphology of  641b Cholecystitis, chronic  641–642 Choledocholithiasis  642 Cholelithiasis (gallstones) clinical features of  641 gallbladder diseases and  639–641, 643 morphology of  640b, 640f pathogenesis of  639b–640b Cholera clinical features of  582 infectious enterocolitis and  582 pathogenesis of  582b Cholestasis. See also Jaundice liver disease and  605–606 of sepsis  626–627, 626f summary for  606b Cholestasis, drug/toxin-induced  629 Cholestasis, neonatal  626 Cholestatic liver disease cholestasis of sepsis as  626–627 drug/toxin-induced cholestasis as  628–629 introduction to  626–629 neonatal cholestasis as  626 primary biliary cirrhosis as  627 primary sclerosing cholangitis as  628–629 Cholesterol  23 Cholesterol metabolism, normal  222–223, 222f Cholesteryl esters  23 Chondrocalcinosis. See Pseudogout Chondroma as cartilage-forming tumor  778 clinical features of  778 morphology of  778b pathogenesis of  778b Chondrosarcoma as cartilage-forming tumor  778–779 clinical features of  778–779 morphology of  778b, 779f summary for  782 Choriocarcinoma  660b–662b, 661f Choristoma  163, 257 Chromosomal disorder  236–237, 249–250 Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP)  799, 800f Chronic lymphocytic leukemia (CLL) clinical features of  434 immunophenotypic and genetic features of  434



as lymphoid neoplasms  433–434 morphology of  434b, 434f pathogenesis of  433b–434b summary for  443 Chronic myelogenous leukemia (CML) clinical features of  447 morphology of  446b as myeloproliferative disorder  446 pathogenesis of  446b, 446f protein-coating gene mutations and  216 Churg-Strauss syndrome  354 Chylothorax  511–512 Circulatory disorder hepatic outflow obstruction as  634 impaired blood flow into the liver as  632–633 impaired blood flow through the liver as  633 the liver and  632–634, 632f summary for  634b Cirrhosis chronic alcoholism and  281 clinical features of  608 liver disease and  606–607 obesity and  305 pathogenesis of  607b–608b, 608f summary for  608b Cirrhosis, posthepatitic  611b–614b Climate change, health effects of  270f Clotting factor, activation of  80 Coagulation  51–52, 51f, 52t Coagulation cascade  83–86, 83f–84f summary for  86b Coagulation disorders bleeding disorder and  454–455 deficiencies of factor VIII-von Willebrand factor complex as  454–455 Coagulation factor inhibitory effects on  80, 81f summary for  86b Coal dust  277 Coal worker’s pneumoconiosis (CWP) clinical features of  475 morphology of  475b as pneumoconiosis  474t, 475f summary for  478 Coarctation, adult  373b, 374f Coarctation, aortic clinical features of  373–374 morphology of  373b obstructive lesions and  373–374 Coarctation, infantile  373b Cobalamin. See Vitamin B12 deficiency anemia Cocaine  284–285, 286f Coccidioidomycosis  499–500 Colitis, indeterminate  591 Colitis, microscopic  580 Colitis, pseudomembranous clinical features of  585 infectious enterocolitis and  584–585 morphology of  584b, 584f Colitis, ulcerative clinical features of  591 inflammatory bowel disease and  590–592 morphology of  590b–591b, 591f Colitis-associated neoplasia  591–592 Collagen  63 Collagen vascular disease, pulmonary involvement in  474 Collapse of lung. See Atelectasis



Index Colloid carcinoma  711–712, 712f Colloid goiter  728b Colonic polyp adenocarcinoma and  596–599 adenomas as  593–594 familial syndromes and  595–596 hamartomatous polyps as  592–593 hyperplastic polyps as  593 inflammatory polyps as  592 intestines and  592–599 summary for  600b Comedo ductal carcinoma in situ  710, 710f Complement protein  142 Complex multigenic disorder  234 Condyloma  683, 683f Congenital adrenal hyperplasia (CAH). See Adrenogenital syndrome Congenital anomalies blood vessels and  330 etiology of  247–248, 247t pathogenesis of  248b–249b pediatric diseases and  245–248, 245t, 246f summary for  249b Congenital disorder (of cartilage and bone) achondroplasia and thanatophoric dwarfism as  767 introduction to  767–768 osteogenesis imperfecta as  767 osteopetrosis as  767–768 summary for  768b Congenital heart disease clinical features of  370 the heart and  368–374, 369t left-to-right shunts and  370–372 obstructive lesions as  373–374 pathogenesis of  369b, 369t right-to-left shunts and  372–373 summary for  374b Congenital syphilis  673–674 Congestion  75 morphology of  75b–76b, 76f Congestive heart failure (CHF)  365–368, 366f Congestive hepatomegaly  368 Congestive splenomegaly  368 Conidia  313 Connective tissue deposition of  66f, 68 growth factors involved in  68 remodeling of  68 Connective tissue disease, mixed  135 Contact inhibition  187–188 Contractile dysfunction  383 Coombs test. See Human anti-globulin test Copy number abnormality array-based genomic hybridization and  264 fluorescence in situ hybridization and  264 molecular diagnosis of  263–264 Copy number variation (CNV)  216–217 Coronary artery occlusion  377 Cor pulmonale morphology of  387f, 388b pulmonary hypertensive heart disease as  388, 388t Corticotroph cell  720. See also Adrenocorticotropic hormone producing adenoma Crescendo angina. See Angina, unstable Crescentic glomerulonephritis, anti-glomerular basement membrane antibody–mediated  532 morphology of  522f, 532b, 532f



Crescentic glomerulonephritis, Pauci-immune clinical course of  533 morphology of  533b as rapidly progressive glomerulonephritis  532–533 Crescentic glomerulonephritis, immune complex–mediated  532 morphology of  532b Cretinism  723–724 Creutzfeldt-Jakob disease (CJD)  831 morphology of  831b, 832f Crohn disease clinical features of  590 morphology of  589b–590b, 589f–590f summary for  592 Cryoglobulinemia  440 Cryptorchidism  658–659, 659b Cryptococcosis clinical features of  504 morphology of  503f, 504b as opportunistic fungal infection  503–504 Cryptococcus neoformans  829, 830f Cryptogenic fibrosing alveolitis. See Idiopathic pulmonary fibrosis (IPF) Cushing syndrome adrenocortical hyperfunction  752–755, 753f clinical features of  754–755, 755f morphology of  753b–754b, 754f summary for  755b Cyclin. See also Cyclin-dependent kinase (CDK) alterations in cell cycle control proteins and  182 normal cell cycle and  180–182 self-sufficiency in growth signals and  180–182, 181f Cyclin-dependent kinase (CDK) alterations in cell cycle control proteins and  182 normal cell cycle and  180–181, 181f self-sufficiency in growth signals and  178–182, 181f Cyst morphology of  705b, 705f nonproliferative changes and  705 Cyst, dentigerous  557 Cyst, follicle  695 Cyst, luteal  695 Cyst, odontogenic  557–558 summary for  558b Cyst, periapical  557–558 Cyst, simple  542 Cystic disease autosomal dominant polycystic kidney disease and  542–544 autosomal recessive polycystic kidney disease and  544 of the kidney  542–544 medullary disease with cysts as  544 simple cysts and  542 summary for  544b Cysticercosis  830 Cystic fibrosis (CF) clinical course of  226–227, 226t gene encoding mutations and  223–227 and malabsorptive diarrhea  577, 580 morphology of  224b–226b, 225f pathogenesis of  223b–224b, 225f summary for  227b Cystic hygroma  255–257 Cytogenetic disorder chromosomal disorders as  236–237 introduction to  234–241 involving autosomes  237–239 introduction to  237–239, 238f 22q11.2 deletion syndrome as  237–239



879



880



Index Cytogenetic disorder (Continued) summary for  239b trisomy 21 (Down syndrome) as  237 involving sex chromosomes  239–241 discussion of  239–241 Klinefelter syndrome as  239–240 summary for  241b Turner syndrome as  240–241 numeric abnormalities as  235 structural abnormalities as  235–236 Cytokines  48–50, 48f immune system messengers and  106–107 Cytologic (Papanicolaou) smear  210, 210f, 213 Cytomegalovirus (CMV) infection  828 cytomegalovirus mononucleosis as  501 immunosuppressed persons and  501 morphology of  501b, 501f pneumonia and  500–501 Cytomegalovirus mononucleosis  501 Cytopathic-cytoproliferative reaction  324 morphology of  311f, 324b Cytotoxic T lymphocyte (CTL) as antitumor effector mechanisms  206 mediated apoptosis and  22



D Death receptor pathway  19, 22 Degenerative joint disease. See Osteoarthritis Degenerative valve disease calcific aortic stenosis and  389–390 myxomatous mitral valve and  390–391 valvular heart diseases and  389–391, 389f Delayed-type hypersensitivity (DTH)  117–119, 120f Deletion, chromosomal  174–175 Demyelinating neuropathy  797, 798f Dendritic cell (DC), HIV infection and  149 Dermatitis, acute eczematous acute inflammatory dermatoses and  852–853 clinical features of  853 morphology of  853b, 853f Dermatitis herpetiformis blistering disorders and  861–862 morphology of  861b, 861f pathogenesis of  861b, 861f Dermatofibroma. See Histiocytoma, benign fibrous Dermatomyositis  805, 806f Dermatosis, acute inflammatory acute eczematous dermatitis as  852–853 erythema multiforme as  853–854 summary for  856b urticaria as  852 Dermatosis, chronic inflammatory lichen planus as  855–856 lichen simplex chronicus as  856 psoriasis as  854–855 the skin and  854–856 summary for  856b Dermatosis, infectious bacterial infections as  856 fungal infections as  857 verrucae as  857 Desquamative interstitial pneumonia (DIP)  481 Diabetes mellitus beta cell dysfunction and  743 classifications of  739, 740t clinical features of  748–750, 749f, 750t



complications of  743–750, 745f morphology of  744b–748b, 745f–746f summary for  750b–751b diagnosis of  739 endocrine pancreas and  739–750 genetic heterogeneity and  218–219 insulin resistance and  741–743 monogenic forms of  740t, 743, 750–751 in mothers  248 normal insulin physiology/glucose homeostasis and  739–740 pathogenesis of  741b summary for  750b–751b Diabetic embryopathy  248 Diabetic macrovascular disease  744 Diabetic microangiopathy  744–746 Diabetic nephropathy  744, 746–747, 746f Diabetic neuropathy  747–748 Diabetic peripheral neuropathy  799–800 Diarrhea, malabsorptive abetalipoproteinemia and  580 celiac disease and  577–579 cystic fibrosis and  577 diarrheal disease and  576–580, 577t environmental enteropathy and  579 graft-versus-host disease and  580 irritable bowel syndrome and  580 lactase deficiency and  579–580 microscopic colitis and  580 summary for  580b Diet, systemic diseases and  306 Differentiation, neoplasm characteristic of  164–166 Differentiation antigen, cell-type specific  206 Diffuse alveolar hemorrhage syndrome Goodpasture syndrome as  485 idiopathic pulmonary hemosiderosis as  485 pulmonary angiitis and granulomatosis as  485 as pulmonary disease  485 DiGeorge syndrome  237–239. See also Thymic hypoplasia Dilated cardiomyopathy (DCM) arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy as  399–400 cardiomyopathy as  397–400 clinical features of  398–399 morphology of  398b, 399f pathogenesis of  397b–398b, 398f Disaccharidase. See Lactase deficiency Dissection, aortic clinical consequences of  347–348, 348f discussion of  346–348, 347f morphology of  345f, 347b pathogenesis of  347b summary for  348b Disseminated intravascular coagulation (DIC) bleeding disorders and  450–452 clinical course of  452 morphology of  452b pathogenesis of  450b–451b, 451f, 452t summary for  456 thrombosis and  90 DNA apoptosis and  16, 18 carcinogenesis and  290, 291f cellular aging and  26 damage to  16, 20–21 DNA repair defect by homologous recombination  197 DNA virus, oncogenic Epstein-Barr virus as  202–203 human papillomavirus as  202



Index microbial/viral oncogenesis and  202–203 summary for  203b Down syndrome. See Trisomy 21 (Down syndrome) Drug abuse cocaine and  284–285 heroin and  285–286 marijuana and  286–287 nontherapeutic toxic agents and  284–287, 285t other illicit drugs and  287 summary for  287b Drug myopathy  806 Dubin-Johnson syndrome  606 Duchenne muscular dystrophy (DMD) clinical features of  803–804 dystrophinopathy and  802–804 morphology of  802b, 804f pathology of  802b–803b, 802f Ductal carcinoma in situ (DCIS)  710, 713 Dyslipoproteinemia  338–339 Dysplasia  165–166, 166f Dysplastic nevus clinical features as  866–867 as melanocytic proliferations of the skin  865–867, 869 morphology of  866b, 867f Dystrophinopathy inherited disorder of skeletal muscle and  802–804, 806



E Ectoparasite  314 Ectopia  558–559 Edema. See also Edema, cerebral; Fetal hydrops clinical correlation of  78 increased hydrostatic pressure and  77, 77f introduction to  75–78, 76t, 77f lymphatic obstruction and  77 morphology of  78b reduced plasma osmotic pressure and  77 sodium/water retention and  77–78 summary for  78b Edema, cerebral  812, 813f summary of  814b Effector cell  104 Ehlers-Danlos syndrome (EDS)  221, 344b–345b summary for  222 Eicosanoid. See Arachidonic acid (AA) metabolite Elastin  64 Electrical injury  289 Embolism discussion of  90–92 pulmonary thromboembolism as  90 summary for  92b systemic thromboembolism as  91–92 Emery-Dreifuss muscular dystrophy (EMD)  804 Emphysema clinical features of  466 conditions related to  466 morphology of  465b, 465f obstructive lung disease and  463–466 pathogenesis of  464b–465b, 465f summary for  466b tobacco smoke and  278–279 types of  464–466, 464f Emphysema, compensatory  466 Emphysema, distal acinar  464, 464f Emphysema, irregular  464 Emphysema, mediastinal  466 Encephalitis, fungal  829



Encephalomyelitis, acute disseminated  834 Endobronchial, tuberculosis  497b Endocarditis, infective clinical features of  393–394 morphology of  393b, 394f pathogenesis of  393b thrombosis and  88b–89b valvular heart diseases and  392–394 Endocarditis, subacute  393b Endocrine amyloid  156 Endocrine pancreas diabetes mellitus and  739–750 and endocrine system  739–752 pancreatic neuroendocrine tumors and  751–752 Endocrine system adrenal cortex and  752–759 adrenal medulla and  760–761 endocrine pancreas and  739–752 introduction to  715 multiple neoplasia syndromes and  761–762 parathyroid glands and  735–738 pituitary and  716–721 thyroid and  721–735 Endometriosis clinical features of  690 morphology of  690b, 690f summary for  691 the uterus and  689–690, 690f Endometritis  689 Endomyocardial fibrosis  401 Endothelial cell activation and injury of  95–96 blood vessels and  329–330, 329f, 329t coagulation and  81b Endothelial injury  81f, 83f, 86 Endothelium antithrombotic properties of  79–80 inhibitory effects and platelets and  79 inhibitory effects on coagulation factors and  80 hemostasis/thrombosis and  79–80, 81f normal hemostasis and  79–80, 81f prothrombotic properties of  80 activation of clotting factors and  80 activation of platelets and  80, 81f antifibrinolytic effects and  80 summary for  81b Endotracheal, tuberculosis  497b Energy balance, obesity and  303–305, 304f Energy metabolism, reprogramming of  195–196 Enteroaggregative E. coli (EAEC)  583 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)  583 Enteroinvasive E. coli (EIEC)  583 Enteropathogenic bacteria  316 Enteropathy, environmental  579 Enterotoxigenic E. coli (ETEC)  583 Environment cancer and  170f, 171t disease and  269 SLE and  126 Environmental disease effects of alcohol and  280–282 effects of tobacco and  277–279 environmental pollution and  272–277 health effects of climate change and  269–271 injury by physical agents and  287–293 introduction to  269 summary for  273b therapeutic drug injury/drugs of abuse and  282–287



881



882



Index Eosinophilic esophagitis  561f Eosinophils  55 Ependymoma  844 morphology of  844b, 844f Epididymis  658–663 Epidural infection of nervous system  824–825 Epigenetic change  217 Epigenetics  175–176 Epithelial disorders, non-neoplastic of the vulva lichen sclerosus as  682 lichen simplex chronicus as  682 summary of  682b Epithelial hyperplasia  705 morphology of  705b–706b Epithelial lesion, benign and premalignant actinic keratosis as  862–863 seborrheic keratosis as  862 summary for  863b as tumors of the skin  862–863 Epstein-Barr virus  202–203 liver disease and  620 ER stress  20f, 21, 22f. See also Misfolded protein Erythema multiforme acute inflammatory dermatoses and  853–854, 854f clinical features of  854 morphology of  853b–854b, 854f Erythroblastosis fetalis  256b, 256f, 257 Erythrocytosis. See Polycythemia Erythroplakia  553–554 Escherichia coli  581t, 583 Esophageal adenocarcinoma clinical features of  562–563 morphology of  562b, 562f pathogenesis of  562b tumors of the esophagus and  562–563 Esophageal varices morphology of  559b, 559f obstructive diseases and  559 pathogenesis of  559b Esophagitis Barrett esophagus as  561–562 chemical and infectious damage and  560, 560f, 564 eosinophilic esophagitis as  561 lacerations and  559–560 reflux esophagitis and  560–561 Esophagitis, eosinophilic  561 Esophagus esophageal tumors and  562–564 esophagitis as  559–562 obstructive and vascular diseases of  558–559 ectopia as  558–559 esophageal varices as  559 functional obstruction as  558 mechanical obstruction as  558 summary for  564b summary for  564b Esophagus, mechanical obstruction of  558, 564 Esophagus, functional obstruction of  558, 564 Esophageal tumor adenocarcinoma as  562–563 squamous cell carcinoma as  563–564 Ethanol myopathy  806 Ewing sarcoma bone tumors and  780–781 clinical features of  780 morphology of  780b, 781f summary for  782



Expression profiling  211–212, 213f Extracellular matrix (ECM) components of  63–64 functions of  58f, 64–65 growth factors involved in  68 invasion of  192–194, 193f role in tissue repair  63–65, 65f summary for  64b Extrahepatic bile duct, disorders of biliary atresia as  642–643 choledocholithiasis and cholangitis as  642 secondary biliary cirrhosis as  642 Extrinsic pathway, evasion of cell death and  189–190



F Factor III. See Endothelial injury Factor VIII-von Willebrand factor complex (vWF) coagulation disorders and  454–455, 454f hemophilia A-factor VIII deficiency and  455 hemophilia B-factor IX deficiency and  455 Von Willebrand disease and  455 Factor XII. See Hageman factor (factor XII) Facultative intracellular bacteria  311 Fallopian tubes  695, 695f summary for  695b Familial  215–216 Familial adenomatous polyposis (FAP) and familial syndromes  595–596, 596f, 600 Familial hypercholesterolemia  222–223 pathogenesis of  222b–223b summary for  223b Familial mental retardation protein. See FMRP Familial syndromes colonic polyps and  595–596 familial adenomatous polyps and  595–596 hereditary nonpolyposis colorectal cancer and  596 Familial tumor syndrome tuberous sclerosis as  847 von Hippel–Lindau disease as  847 Fascioscapulohumeral dystrophy  804–805 Fat embolism  91, 91f Fat necrosis  707 morphology of  707b Fatty change (steatosis)  23–24, 26 Fatty liver disease, alcoholic/nonalcoholic alcoholic liver disease and  623–624 drug/toxin-mediated injury with steatosis and  625 liver diseases and  621 morphology of  621b–622b, 621f–622f nonalcoholic liver disease and  625 Fatty streak  340, 340b–342b, 340f Female genital system body of uterus and  689–694 cervix and  685–689 diseases of pregnancy and  700–704 fallopian tubes and  695 ovaries and  695–700 vagina and  684–685 vulva and  681–684 Fetal alcohol syndrome  248, 281 Fetal anemia  255–256 Fetal growth restriction  249–250 Fetal hydrops clinical course of  256–257 immune hydrops as  254–255 introduction to  254–257, 254t morphology of  256b



Index nonimmune hydrops as  255–257 summary for  257b Fetal infection  249–250 Fetal red cells, Rh-positive  254–255 Fibrinoid necrosis  11, 11f immune complex injury and  117b, 120f Fibrinolysis  80 Fibroadenoma morphology of  707b, 708f as tumors of the breast  707 Fibroblasts, activation of  68 Fibroma, nonossifying  779. See also Fibrous cortical defect Fibromatoses  793 morphology of  793b Fibromuscular dysplasia  330 Fibrosarcoma  793–794 morphology of  794b, 794f Fibrosing disease collagen vascular disease as  474 cryptogenic organizing pneumonia as  473–474 drug- and radiation-induced pulmonary diseases as  478 idiopathic pulmonary fibrosis as  472–473 nonspecific interstitial pneumonia as  473 pneumoconioses as  474–478 summary for  474b Fibrosis clinical examples of  70–72 ionizing radiation and  290–291, 291f morphology of  705b, 706f nonproliferative changes and  705 parenchymal organs and  72 Fibrous cortical defect clinical features of  779 fibrous tumors and  779 morphology of  779b, 779f summary for  781 Fibrous dysplasia clinical course of  780 fibrous tumors and  779–780 morphology of  780b, 780f summary for  781 Fibrous proliferative lesion of the oral cavity  552–554, 553f Fine needle aspiration  210, 213 FISH (fluorescence in situ hybridization) copy number abnormalities and  264, 264f molecular diagnosis and  211 Flexner-Wintersteiner rosettes  261b, 261f Flow cytometry  210–211, 213 Fluke (trematode)  314 Fluorescence in situ hybridization. See FISH FMRP (familial mental retardation protein) fragile X syndrome and  242f Focal nodular hyperplasia (FNH)  635–636 Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) clinical course of  526 morphology of  525b–526b, 526f nephrotic syndrome and  525–526 pathogenesis of  525b summary for  528 Folic acid. See Anemia, folate deficiency Forebrain malformation  823 Fracture of the bone  772–773 clinical course of  773 morphology of  773b



Fragile X syndrome pathogenesis of  242–243, 242f–243f single-gene disorders and  241, 242f summary for  243b Free radicals, oxygen-derived  14–15, 14f Frontotemporal lobar degeneration (FTLD)  838 Fundic gland polyp  569 Fungal infection clinical features of  857 infectious dermatoses and  857 morphology of  857b Fungal infection, opportunistic candidiasis as  502–503 cryptococcosis as  503–504 opportunistic molds as  504 opportunistic molds as  504 Fungi  313, 313f



G Galactosemia  228 summary for  228 Gallbladder and extrahepatic biliary tract disorder disorders of extrahepatic bile ducts  642–643 gallbladder diseases of  639–642 introduction to  639 summary for  643b tumors of  643–644 Gallbladder disease cholecystitis as  641–642 cholelithiasis as  639–641 Gallstones. See Cholelithiasis GALT (galactose-1-phosphate uridyltransferase) galactosemia and  228 Ganglion cyst  790 Ganglioglioma  844 Gangrenous necrosis  10 Gastric adenocarcinoma clinical features of  571 epidemiology of  570 morphology of  570b, 571f neoplastic disease of the stomach and  570–571, 573 pathogenesis of  570b Gastric adenoma as gastric polyps  569, 573 morphology of  569b Gastric polyp fundic gland polyps as  569 gastric adenoma as  569 inflammatory and hyperplastic polyps as  569, 572 Gastrinoma morphology of  752b and pancreatic neuroendocrine tumors  752 Gastritis, acute inflammatory disease of the stomach and  564 morphology of  564b pathogenesis of  564b, 565f summary for  569b Gastritis, acute erosive  284 Gastritis, autoimmune chronic gastritis and  567, 567t, 569 clinical features of  562–563 morphology of  567b pathogenesis of  567b Gastritis, chronic autoimmune gastritis as  567 Helicobacter pylori gastritis as  566–567 inflammatory disease of the stomach and  566–567 summary for  569b



883



884



Index Gastritis, Helicobacter pylori chronic gastritis and  566–567, 569 clinical features of  586b epidemiology of  566 morphology of  566b–567b, 566f pathogenesis of  566b Gastroesophageal reflux disease. See GERD Gastrointestinal stromal tumor (GIST) clinical features of  572 epidemiology of  572 morphology of  572b neoplastic disease of the stomach and  572–573 pathogenesis of  572b Gastrointestinal tract (GI tract) microbe transmission/dissemination and  316 systemic sclerosis morphology and  133–134 Gaucher disease  231–232, 231f Gene amplification  175, 175f Genetic abnormalities alterations in protein-coding genes as  237–239 mutations in protein-coding genes as  236–237 Genetic analysis, indications for  267–268 Genetic disease complex multigenic disorders and  234 cytogenetic disorders and  234–241 genetic abnormalities contributing to human disease and  216–218 introduction to  215–244 Mendelian disorders and  218–234 single-gene disorders and  241–244 Genetic factor, cell injury and  7 Genital herpes simplex. See also Herpes simplex virus (HSV) clinical features of  678 morphology of  678b sexually transmitted disease and  678 summary for  678b–679b Genital system, male penis and  657–658 prostate and  663–668 scrotum, testis, and epididymis as  658–663 sexually transmitted diseases and  671–678 ureter, bladder, urethra as  663–668 Genome-wide association study (GWAS)  266–267 Genomic hybridization, array-based  264, 265f Genomic imprinting diseases caused by alterations of  243–244 summary for  245b Genomic instability. See also Malignancy Genomic instability, regulated  196–197 GERD (gastroesophageal reflux disease)  560–561, 564 Gestational choriocarcinoma  703 morphology of  703b, 703f summary for  703 Gestational trophoblastic disease diseases of pregnancy and  701–703 gestational choriocarcinoma as  703 hydatidiform mole as  701–702 invasive mole as  702–703 placental site trophoblastic tumor as  703 summary for  703b Giant cell arteritis  350–351 clinical features of  351 morphology of  350b–351b, 350f pathogenesis of  350b Giant cell myocarditis  402b Giant cell tumor of bone (GCT) bone tumors and  781 clinical course of  781



morphology of  781b, 781f summary for  782 Gilbert syndrome  606 Glioma astrocytoma as  842–843 of brain parenchyma  842–844 ependymoma as  844 oligodendroglioma as  843 Global cerebral ischemia  814–815 morphology of  812f, 815b, 815f Glomangiomas. See Glomus tumor (glomangiomas) Glomerular disease and the kidney  518–533, 519f–520f, 520t mechanisms of injury and disease for  519–523 nephritic syndrome and  529–531 nephrotic syndrome and  523–528 rapidly progressive glomerulonephritis and  531–533 tubulointerstitial nephritis and  533–537 Glomerular injury anti-glomerular basement membrane antibody–mediated glomerulonephritis as  521–522 glomerulonephritis caused by circulating immune complexes as  520 glomerulonephritis caused by in situ immune complexes as  520–521 mechanisms of  519–523, 521f mediators of immune injury as  522–523, 522f other mechanisms of glomerular injury as  522–523 summary for  523b Glomerulonephritis anti-glomerular basement membrane antibody– mediated  521–522, 521f–522f caused by circulating immune complexes  522f as glomerular injury  520, 522f caused by in situ immune complexes  520–521 Glomerulonephritis, acute postinfectious clinical course of  529 morphology of  529b, 530f nephritic syndrome and  529 pathogenesis of  529b summary for  531 Glomerulosclerosis, nodular  746–747, 746f–747f Glomus tumor (glomangioma)  359 Glucose homeostasis  739–740. See also Insulin physiology, normal Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency (G6PD) hemolytic anemias and  416–417 pathogenesis of  416b, 417f summary for  419 Gluten-sensitive enteropathy. See Celiac disease Glycogen  24 Glycogen storage disease discussion of  232–233, 233t hepatic type of  232–233, 234f myopathic type of  233 summary for  233b type II glycogenosis  233 Glycolipid  206 Glycoprotein  206 Glycoprotein, adhesive  64 Goiter, diffuse morphology of  728b the thyroid and  728 (See also Goiter, multinodular) Goiter, multinodular clinical features of  728 morphology of  728b, 729f



Index Gonadotroph adenoma  720 Gonorrhea clinical features of  675 male genital system and  674–675 morphology of  675b, 675f summary for  676b Goodpasture syndrome  485 morphology of  485b, 486f Gout arthritis and  786–789, 787t clinical features of  788–789 morphology of  786b–787b, 787f pathogenesis of  787b–788b, 788f summary for  790 Gouty nephropathy  786b–787b Governor, tumor suppressor gene as  173 Grading, cancer tumors and  208–210 Graft rejection  136f, 137–138 Graft survival  138–139 Graft-versus-host disease (GVHD)  139 malabsorptive diarrhea and  580 Granulocytopenia  424 Granuloma inguinale morphology of  677b sexually transmitted disease and  677 summary of  677b Granulomatosis  485 Granulomatous disease hypersensitivity pneumonitis as  480–481 of the liver  635 sarcoidosis as  478–480 Granulomatous inflammation  56, 56t morphology of  56b–57b, 56f, 324, 324b, 324f Graves disease clinical features of  727 morphology of  727b, 727f pathogenesis of  726b–727b summary for  727b–728b the thyroid and  726–727 Growth factor angiogenesis and  67 cell/tissue regeneration and  61–62, 62t self-sufficiency in growth signals and  178 signaling mechanisms of receptors and  61–62, 62t summary for  62b Growth factor deprivation  20–22 Growth factor receptor signaling mechanisms of  61–62, 62t, 178–179 summary for  62b Growth inhibitory signal introduction to  182–188 RB gene and  182–184, 184b–185b summary for  184b Growth signal, self-sufficiency in  178–182. See also Regeneration, cell and tissue alterations in cell cycle control proteins  182 cyclin/cyclin-dependent kinases and  180–182 downstream signal-transducing proteins and  179–180 growth factor receptors/non-receptor tyrosine kinases and  178–179 growth factors and  178 nuclear transcription factors and  180 summary for  182b Guardian, tumor suppressor gene as  173 Guillain-Barré syndrome  798–800 Gut hormone  305 Gynecomastia  713



H Haemophilus influenzae  489 Hageman factor (factor XII)  51–52, 51f Hairy cell leukemia  442–443 Hamartoma  163 infant/childhood tumors and  257 Haploinsufficiency  173 Happy puppet syndrome. See Angelman syndrome Hashimoto thyroiditis. See Thyroiditis, chronic lymphocytic (Hashimoto) HbSC disease  411 Heart amyloidosis and  157, 157f arrhythmias and  385–386 cardiac transplantation and  405 cardiac tumors and  404–405 cardiomyopathies and  396–403 congenital heart disease and  368–374 failure of  365–368 hypertensive heart disease and  386–388 ischemic heart disease and  374–385 overview of  365 pericardial disease and  403–404 valvular heart disuse and  388–396 Heart disease, valvular carcinoid heart disease and  395 degenerative valve disease and  389–391 discussion of  388–396, 389f, 389t infective endocarditis and  392–394 non-infected vegetations and  394–395 prosthetic cardiac valves and  395–396 rheumatic valvular disease and  389–391 summary for  396b Heart failure congestive heart failure as  365–368 left-sided heart failure as  367 right-sided heart failure as  368 summary for  368b Heart failure, left-sided clinical features of  367 discussion of  367 morphology of  367b Heart failure, right-sided clinical features of  368 discussion of  368 morphology of  368b Heavy-chain disease  438 Helicobacter pylori (H. pylori)  204 summary for  204b Helminth  313–314 Hemangioendothelioma  361 Hemangioma, juvenile  358 Hemangioma, vascular tumors and  358–359, 358f Hemangiopericytoma  362 Hematoma, epidural  821–822, 821f Hematopoiesis, extramedullary  256b Hematopoietic stem cell (HSC)  139 Hematopoietic system bleeding disorders and  449–455 red cell disorders and  408–425 white cell disorders and  425–449 Hemochromatosis clinical features of  630 as inherited metabolic disease  629–630, 632 morphology of  630b, 630f pathogenesis of  629b–630b Hemochromatosis, secondary  416



885



886



Index Hemolytic anemia glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency as  416–417 hereditary spherocytosis as  410–411 immunohemolytic anemias as  417–418 malaria as  418–419 mechanical trauma and  418 paroxysmal nocturnal hemoglobinuria as  417 red blood cell disorders and  408t, 409–419 sickle cell anemia as  411–413 summary for  419b thalassemia as  413–416 Hemolytic anemia, chronic  411–412 Hemolytic disease, in newborn  254 Hemolytic uremic syndrome (HUS) in the adult  541 in childhood  540–541 factor H and  51 summary for  456 thrombotic microangiopathies and  453–454 Hemophilia A-factor VIII deficiency  455 summary for  456 Hemophilia B-factor IX deficiency  455–456 Hemorrhage anemia of blood loss as  409 introduction to  78–79, 79f pulmonary diseases of vascular origin and  482–483 vitamin C and  301 Hemorrhage, germinal matrix  249 Hemorrhage, intraventricular matrix premature infants and  249 preterm birth complications and  251 Hemorrhage, subarachnoid  817–819 Hemorrhoid clinical features of  576 morphology of  576b as vascular disorders of bowel  576 Hemosiderosis  24 Hemostasis, normal coagulation cascade and  83–86 endothelium and  79–80 hemodynamic disorders and  79–86, 80f platelets and  81–82 Hemothorax  511 Hepatic adenoma liver tumors and  636, 636f oral contraceptives and  284 Hepatic artery inflow  632 Hepatic encephalopathy  606–607, 835 Hepatic failure clinical features of  604–605 liver disease and  604–605 Hepatic nodules. See Tumor Hepatic vein outflow obstruction hepatic vein thrombosis as  634 sinusoidal obstruction syndrome as  634 Hepatic vein thrombosis  634 morphology of  634b, 634f Hepatitis, acute and chronic liver disease and  611–621 morphology of  611b–614b, 612f–613f, 613t Hepatitis, autoimmune  620–621 morphology of  621b Hepatitis, chronic  619–620 Hepatitis, drug/toxin-mediated injury mimicking  621 Hepatitis, fulminant  619 Hepatitis, lobular  611b–614b, 613f



Hepatitis, viral clinical features and outcomes for  614t, 619–620 hepatitis A virus and  614 hepatitis B virus and  614 hepatitis C virus and  617–618 hepatitis D virus and  618–619 hepatitis E virus and  619 summary for  620b Hepatitis A virus (HAV)  614–620, 615f Hepatitis B virus (HBV) clinical course of  616, 616f epidemiology and transmission of  615 liver disease and  614–616, 615f morphology of  617b, 617f structure and genome of  615–616 viral oncogenesis and  203 summary for  203b Hepatitis C virus (HCV) liver disease and  617–618, 617f clinical course of  618, 618f morphology of  613f, 618b viral oncogenesis and  203 summary for  203b Hepatitis D virus (HDV)  618–619 Hepatitis E virus (HEV)  619 Hepatocellular carcinoma (HCC) clinical features of  639 epidemiology of  637–638 morphology of  638b–639b, 638f pathogenesis of  638b precursor lesions of cellular dysplasia as  636–637, 637f dysplastic nodules as  637, 637f introduction to  636–637 summary for  639b Hepatocyte ballooning  621 Hepatopulmonary syndrome  610 Hepatorenal syndrome  610 Hereditary hemorrhagic telangiectasia (Osler-Weber-Rendu disease)  358 Hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) syndrome  196–197, 596, 596t, 600 Hereditary spherocytosis clinical features of  411 hemolytic anemias and  410–411 morphology of  410b, 411f pathogenesis of  410b, 410f summary for  419 Heredity autosomal dominant cancer syndromes and  171–172 autosomal recessive syndromes and  172 familial cancers and  172 forms of cancer and  171–172, 172t Herniation  813–814, 813f–814f summary of  814b Heroin  285–286 Herpes simplex virus (HSV)  552, 560f. See also Genital herpes simplex liver disease and  620 Herpesvirus morphology of  827b–828b, 827f nervous system infections and  827–828 Heterogeneity, genetic  218–219 Heterotopia  257 High-grade squamous intraepithelial lesion (HSIL)  686, 686t High-molecular-weight kininogen (HMWK)  52



Index Hippel-Lindau syndrome  257–258 infant hemangiomas and  257–258 Hirschsprung disease as intestinal obstruction  573–574 morphology of  574b, 574f pathogenesis of  574b Histamine  46 Histiocytic neoplasm  449 Histiocytoma, benign fibrous  794 Histoplasmosis clinical features of  499–500 epidemiology of  499–500 morphology of  499b, 500f as pulmonary infection  499–500 HIV. See Human immunodeficiency virus (HIV) HLA. See Human leukocyte antigen (HLA) Hodgkin lymphoma classification of  440–442 as lymphoid neoplasm  440–442 morphology of  440b–441b, 440f pathogenesis of  441b–442b staging and clinical features of  442, 442t summary for  444 Hodgkin lymphoma, lymphocyte-predominance  441, 441f Hodgkin lymphoma, nodular sclerosis  440, 440f–441f Holoprosencephaly  247–248 Homologous recombination, DNA repair and  197 Homozygous  183 Host immune response  321–322 Human anti-globulin test (Coombs test)  256–257 Human immunodeficiency virus (HIV). See also Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) B cells and other lymphocytes in  149 dendric cells and  149 etiology/pathogenesis of AIDS and  144–149 heroin and  286 life cycle of  145–146, 146f mechanisms of T cell depletion in  147–148, 148f, 150 monocytes/macrophages in  148–149 morphology of  152b natural history/clinical course for  150–153, 150f acute phase of  150 chronic phase of  150 clinical features of  151–153, 151t crises phase of  150–151 neoplasms and  151–152 opportunistic infections and  151 nervous system infections and  828, 832 morphology of  827f, 828b pathogenesis of CNS involvement for  149 progression of infection and  146–147, 147f, 147t pulmonary infections in  504 structure of  144–145, 145f summary for  149b–150b Human leukocyte antigen (HLA) adoptive immunity and  102, 124t genetic factors of SLE and  126 graft survival and  138 GVHD and  139 Human leukocyte antigen allele, polymorphisms and  234 Human papillomavirus (HPV)  202 Human papillomavirus (HPV) infection morphology of  678b sexually transmitted disease and  678 summary for  678b–679b Humoral immunity  100, 108f as antitumor effector mechanism  206–207



Humoral rejection, acute  137f, 138 Hunter syndrome. See Mucopolysaccharidosis (MPS) Huntington disease (HD) morphology of  840b, 840f neurodegenerative diseases and  840 pathogenesis of  840b Hurler syndrome. See Mucopolysaccharidosis (MPS) Hyaline membrane disease. See Respiratory distress syndrome (RDS) Hyaluronan  64 Hydatid cyst  314 Hydatidiform mole as gestational trophoblastic disease  701–702, 702t morphology of  702b, 702f summary for  703b Hydrocephalus  812–813, 813f summary for  814b Hydronephrosis clinical course of  546–547 morphology of  546b, 546f pathogenesis of  546b and urinary outflow obstruction  545–547 Hydrops, nonimmune  255–257 Hydrops fetalis  254, 255f, 256b, 257 Hydrostatic pressure  77, 77f Hyperadrenalism. See Adrenocortical hyperfunction Hyperaldosteronism and adrenocortical hyperfunction  755–756 clinical features of  756 morphology of  755b–756b Hypercholesterolemia  336–337 Hypercholesterolemia, familial gene encoding mutations and  222–223 pathogenesis of  222b–223b summary for  223b Hypercoagulability  87–88, 87t Hypercortisolism. See also Cushing syndrome and adrenocortical hyperfunction  752–755, 753f summary for  755b Hyperemia  75 morphology of  75b–76b, 76f Hyperglycemia  835 Hyperhomocysteinemia  337–338 Hyper-IgM syndrome  141, 143 Hyperlipidemia  336–337 Hyperparathyroidism acquired bone disease as  771 clinical features of  737–738, 737t morphology of  736b–737b, 736f–737f, 772b, 772f and parathyroid glands  735–738 pathogenesis of  736b secondary hyperparathyroidism and  738 summary for  738b Hyperparathyroidism, secondary clinical features of  738 introduction to  738 morphology of  738b summary for  738 Hyperpituitarism and the pituitary gland  717–720 (See also Pituitary adenoma) summary for  719b Hyperplasia as adaptive response  1–2 hypertrophy and  3 stress and  4 summary for  5b vitamin A and  298



887



888



Index Hyperplasia, endometrial  691–692, 691f summary for  692b–693b Hyperplasia, nodular of the prostate  664–665 Hyperplastic arteriolosclerosis  333b–334b, 334f, 539b– 540b Hyperplastic polyp colonic polyps and  593, 600 morphology of  593b, 594f gastric polyps and  569, 572 morphology of  569b Hypersensitivity, immediate (Type 1) clinical and pathological manifestations of  113– 114 introduction to  111–114 sequence of events in  111–113, 111f, 113f Hypersensitivity, Type II. See Antibody-mediated disease Hypersensitivity, Type III. See Immune complex disease (Type III hypersensitivity) Hypersensitivity, Type IV. See T cell-mediated hypersensitivity (Type IV) Hypersensitivity myocarditis  401b–402b Hypersensitivity pneumonitis clinical features of  481 as granulomatous disease  480–481, 480t morphology of  481b, 481f Hypersensitivity reaction antibody-mediated diseases as  114–115 causes of  109–110 immediate hypersensitivity as  111–114 immune complex diseases as  115–117 summary for  120b T cell-mediated hypersensitivity as  117–120 types of  110–111, 110t Hypertension epidemiology of  332–333 morphology of  333b–334b, 334f pathogenesis of  333b, 333t summary of  334b Hypertension, malignant as blood vessel disease of the kidney  539–540 clinical course of  540 morphology of  540b, 540f pathogenesis of  539b–540b summary for  541 Hypertensive cerebrovascular disease  819 Hypertensive heart disease cor pulmonale as  388 the heart and  386–388 summary for  388b systemic hypertensive heart disease as  387 Hypertensive heart disease, Systemic (left-sided) clinical features of  387 introduction to  387 morphology of  387b, 387f Hypertensive vascular disease  332–333 epidemiology of hypertension and  332–333 Hyperthermia  289 Hyperthyroidism and the thyroid  722–723, 722f–723f, 722t Hypertrophic cardiomyopathy (HCM) cardiomyopathy as  400–401 clinical features of  400–401 morphology of  400b, 400f pathogenesis of  400b Hypertrophy cellular adaptations to stress and  2f–3f summary for  5b



Hypoadrenalism. See Adrenal insufficiency Hypoadrenalism, secondary  758b Hypocalcemia  299–300 Hypogammaglobulinemia  433b–434b, 434 Hypoglycemia  835 Hypogonadism, Klinefelter syndrome and  239–240 Hypoparathyroidism  738 Hypoperfusion thrombosis  97b Hypophosphatemia  299 Hypopituitarism  720–721 Hypothermia  289 Hypothyroidism pathogenesis of  725f and the thyroid  723–724, 723t Hypoventilation syndrome, obesity and  305 Hypovolemic shock  94 Hypoxia  814–816 Hypoxic injury  17



I Idiopathic pulmonary fibrosis (IPF) clinical features of  473 as fibrosing disease  472–473 morphology of  472b–473b, 473f pathogenesis of  472b, 473f Idiopathic pulmonary hemosiderosis  485 Idiopathic pulmonary hypertension  134 IgA nephropathy clinical course of  531 morphology of  530b, 531f nephritic syndrome and  530–531 pathogenesis of  530b summary of  531 IgG4-related disease (IgG4-RD)  135 IL-1. See Interleukin-1 (IL-1) Immature teratoma  258 Immune complex-associated vasculitis  350 Immune complex disease (Type III hypersensitivity) examples of  116t introduction to  111, 115–117 local immune complex disease as  117 morphology of  117b summary for  117b systemic immune complex disease as  116–117 Immune deficiency diseases of acquired immunodeficiency syndrome as  143–153 introduction to  139–153 primary immune deficiency as  139–143 secondary immune deficiency as  143 hematopoietic stem cell transplant and  139 with thrombocytopenia and eczema  142 Immune evasion by microbes  322–323, 322f, 322t, 323b by tumors  207 Immune response, normal cell-mediated immunity and  105–108 decline of responses in  109 humoral immunity and  106–107 microbial antigens and  105 overview of  105–109 response to microbes of  105 summary for  109b Immune surveillance  204, 207 summary for  207b Immune system amyloidosis and  153–158 autoimmune diseases of  120–135



Index cells and tissues of  100–104 antigen-presenting cells and  104 effector cells and  104 lymphocytes and  100–104 lymphoid tissues and  104 summary for  104b–105b evasion of  196 hypersensitivity reactions of  109–120 immune deficiency diseases of  139–153 innate/adaptive immunity in  99–100 rejection of transplants by  135–139 Immune thrombocytopenic purpura (ITP)  452–453 summary for  456 Immunity, adaptive  99–100 summary for  109 Immunity, innate genetic deficiencies of  142–143 immune system and  99–100, 100f summary for  109 Immunocyte dyscrasias with amyloidosis  155 Immunocytochemistry  213 Immunodeficiency infections and  325 morphology of  311f, 325b, 326f Immunodeficiency, common variable  141, 143 Immunologic memory  109 Immunologic reactions, cell injury and  7 Immunologic tolerance  121–122, 122f Immunosuppression  207 Impetigo bacterial infections and  856 clinical features of  856, 857f morphology of  856b Imprinting  217 Imprinting, genomic  218 Inactive hypophosphorylated state  199 Indirect recognition pathway  136 Indoor air pollution  273 Industrial exposure, toxic agents and environmental pollutants and  276–277, 277t Infarction cerebrovascular diseases and  814–816 factors influencing development of  93 introduction to  92–93 ischemic cell death as  75 morphology of  92b–93b, 93f pulmonary diseases of vascular origin and  482–483 summary for  94b systemic embolization and  90 Infarction, right ventricular  384 Infarction, subendocardial  379 Infection immunodeficiencies and  325 inflammatory responses to  323–325 of the nervous system  824–831 neuromuscular junction disorders and  801 Infectious agent categories of  309, 310t cell injury and  7 identification techniques for  314, 314t Infectious disease bioterrorism and  315 emerging types of  314–315 how microorganism cause disease and  319–322 identification techniques for agents of  314 immune evasion by microbes and  322–323 inflammatory responses to  323–325



microbial pathogenesis and  309–314 transmission/dissemination of microbes and  315–318 Infectious enterocolitis campylobacter enterocolitis as  582–583 cholera as  582 diarrheal disease and  580–586, 581t Escherichia coli as  583 norovirus as  585 parasitic disease as  585–586 pseudomembranous colitis as  584–585 rotavirus as  585 salmonellosis as  583–584 shigellosis as  583 summary for  586b typhoid fever as  584 Infectious vasculitis  355 Inferior vena cava syndrome  356 Inflammasome  32–33, 32f pyrin and  156 Inflammation antibody-mediated disease mechanisms and  112f, 115 chemical mediators and regulators of  44–53, 45f, 45t anti-inflammatory mechanisms of  52–53 cell-derived mediators as  46–49 plasma protein-derived mediators as  50–52 immunity and  100 systemic effects of  46t, 48f, 57–58, 426t summary for  58 Inflammation, acute anti-inflammatory mechanisms and  52–53 defects in leukocyte function and  40–41, 41t introduction to  31–42, 31f leukocyte-induced tissue injury and  39–40, 41t leukocyte recruitment/activation and  34–39 microbe, necrotic cell, foreign substance recognition and  32–33, 32f morphologic patterns of  43 morphology of  43b–44b morphology of  43 outcomes of  41–42, 42f plasma protein-derived mediators and  50–52 summary for  52b stimuli for  31 summary for  42b vascular changes and  33–34 summary for  34b Inflammation, chronic acute inflammation and  42 cells and mediators of  53–56 lymphocytes as  55 macrophages as  54–55 other cells as  55–56 granulomatous inflammation and  56 introduction to  30t, 31f, 53–56, 53f morphology of  56b–57b overview of  29–30, 53–56 response to infection and  325 morphology of  325b summary for  57b Inflammation, fibrinous  43, 43f Inflammation, mediators of immediate hypersensitivity and  112, 113t, 114 Inflammation, serous  43, 43f Inflammation, suppurative  43, 44f morphology of  323–325, 323b–324b Inflammation, tumor producing  197–198



889



890



Index Inflammation and tissue repair, overview of  29–30, 30f summary for  31b Inflammatory bowel disease (IBD) colitis-associated neoplasia as  591–592 Crohn disease as  589–590 epidemiology of  587–588 indeterminate colitis as  591 intestinal disease and  587–592, 587f, 587t pathogenesis of  588b–589b, 588f summary for  592b ulcerative colitis as  590–591 Inflammatory carcinoma  711–712 Inflammatory disease, immune-mediated  110 polymorphisms and  234 Inflammatory intestinal disease inflammatory bowel disease and  587–592 sigmoid diverticulitis as  586–587 Inflammatory mediator  81f, 83f, 95 Inflammatory response infection and  323–325, 323f summary for  325b–326b Influenza infection  491 Influenza virus type A/HINI infection  491 Inherited metabolic disease α1-antitrypsin deficiency as  631–632 hemochromatosis as  629–630 summary for  632b Wilson disease as  630–631 Injury by nontherapeutic toxic agent drug abuse as  284–287 by physical agent electrical injury as  289 ionizing radiation as  289–293 mechanical trauma as  287 thermal injury as  288–289 by therapeutic drugs adverse drug reactions and  282–284 Injury, immune-mediated hypersensitivity reactions for  109–120 Injury, reversible  8 morphology of  6f, 8b–9b, 9f Insulinoma morphology of  751b, 751f and pancreatic neuroendocrine tumors and  751 Insulin physiology, normal  739–740, 740f. See also Glucose homeostasis Insulin resistance diabetes mellitus and  741–743 obesity and  742–743, 742f summary for  750 Interface hepatitis  611b–614b Interleukin-1 (IL-1)  48, 48f Interstitial cystitis (ureter)  668 Interstitial lung disease, chronic fibrosing diseases and  472–478 granulomatous diseases as  478–481 pulmonary eosinophilia as  481 restrictive and infiltrative types of  460f, 472–481, 472t smoking-related interstitial diseases and  481 Interstitial nephritis, drug-induced clinical course of  536–537 morphology of  536b, 536f pathogenesis of  536b summary for  537 tubulointerstitial nephritis and  536–537 Interstitium. See Tubules and interstitium, disease affecting



Intestinal obstruction abdominal hernia as  574 Hirschsprung disease as  573–574 summary for  574b Intestinal tuberculosis  497b Intestine colonic polyps/neoplastic disease and  592–599 diarrheal disease and  576–586 inflammatory intestinal disease and  586–592 intestinal obstruction and  573–574 vascular disorders of bowel and  574–576 Intimal thickening, vascular injury and  334–335, 335f Intracellular accumulation  23–24, 24f Intracranial hemorrhage cerebral amyloid angiopathy as  817 cerebrovascular disease and  817–818 primary brain parenchymal hemorrhage as  817 subarachnoid hemorrhage and saccular aneurysms as  817–818 vascular malformations as  818 Intraductal papillary mucinous neoplasm (IPMN)  652f Intraductal papilloma morphology of  708b as tumors of the breast  708 Intrinsic pathway  189–190 Invasion-metastasis cascade extracellular matrix invasion and  192–194 introduction to  192–195, 193f summary for  195b vascular dissemination/homing of tumor cells and  194–195 Ion channel myopathy  805 Ionizing radiation DNA damage/carcinogenesis of  290 effect on organ systems of  292–293 fibrosis and  290–291 injury produced by  289–293 morphology of  291b–292b summary for  293b total body irradiation and  293 Iron deficiency anemia as anemia of diminished erythropoiesis  420–421, 420f clinical features of  421, 421f morphology of  421f pathogenesis of  421b summary for  424 Irritable bowel syndrome (IBS)  580 Ischemia cerebrovascular diseases and focal cerebral ischemia as  815–816 global cerebral ischemia as  814–815 Ischemia-reperfusion injury  17 Ischemic bowel disease clinical features of  575–576 morphology of  575b, 575f pathogenesis of  575b summary for  576 vascular disorders of  574–576 Ischemic coagulative necrosis  92b–93b Ischemic heart disease (IHD) angina pectoris and  376 cardiac stem cells and  385 chronic ischemic heart disease  384–385 epidemiology of  375 the heart and  374–385 myocardial infarction and  377–384 pathogenesis of  375b–376b, 376f summary for  385b



Index Ischemic heart disease, chronic cardiomyopathies and  384–385 clinical features of  385 morphology of  384b Ischemic injury  17 Ischemic necrosis. See Infarction Islet cell tumor. See Pancreatic neuroendocrine tumor (PanNET) Isolated IgA deficiency  141 Isolated-organ tuberculosis  497b



J Jaundice bilirubin/bile acids and  605–606 galactosemia and  228 liver disease as  605–606 Joint arthritis and  782–790 Ehlers-Danlos syndrome and  221 introduction to  782–791 SLE morphology and  130 tumors and tumor-like lesions of  790–791 Juvenile rheumatoid arthritis (JRA)  786 the joints and  785–786



K Kaposi sarcoma (KS) clinical features of  360–361 discussion of  360–361 HIV and  152 morphology of  360b, 361f pathogenesis of  360b Kaposi sarcoma herpesvirus (KSHV)  152 Karyotype aneuploidy and  175 balanced translocations and  174 cytogenetic disorders and  234, 235f deletions and  174–175 gene amplifications and  175 introduction to  173–175 Kawasaki disease clinical features of  352 morphology of  352b noninfectious vasculitis and  352 Keratoconjunctivitis sicca  131, 132b Keratocyst, odontogenic  557–558 Keratomalacia  297–298 Kernicterus  256b, 256f, 257 Kidney amyloidosis and  156–157 chronic kidney disease and  541–542 clinical manifestations of renal disease and  517–518 cystic diseases and  542–544 diseases affecting tubules and interstitium and  533–538 diseases involving blood vessels and  538–541 glomerular disease and  518–533 SLE and  128–130 systemic sclerosis morphology and  134 tumors and  547–549 urinary outflow obstruction and  545–547 Kidney disease, chronic clinical course of  542 the kidney and  541–542 morphology of  541b–542b, 542f Kidney injury, acute  518 Kinin system  51–52. See also Coagulation Klebsiella pneumoniae  489–490 Klinefelter syndrome  239–241



Korsakoff psychosis  293 Kwashiorkor  294–295, 295f



L Labile tissue  59, 61 Laceration, esophageal  559–560 Lactase deficiency  579–580 Lambert-Eaton syndrome  801 Laminin  64 Langerhans cell histiocytosis  449 Laryngeal tuberculosis  497b Laryngeal tumor carcinoma of the larynx and  514 nonmalignant lesions and  513–514 and upper respiratory tract lesions  513–514 Lead poisoning  274f–275f morphology of  274b–275b Legionella pneumophila  490 Leiomyoma morphology of  693b, 694f proliferative lesions of endometrium/myometrium and  693–694 summary for  694b uterine lesions and  693–694, 795 Leiomyosarcoma morphology of  694b proliferative lesions of endometrium/myometrium and  694 smooth muscle tumors and  795 summary of  694b Leptin, obesity and  304 Lesch-Nyhan syndrome  787b–788b Lesion of the endometrium endometrial hyperplasia as  691–692 endometrial polyps as  693 leiomyoma as  693–694 leiomyosarcoma as  694 of the oral cavity fibrous proliferative lesions and  552–553 leukoplakia and erythroplakia as  553 squamous cell carcinoma as  554 summary for  554 of the penis  657 of the testis  659 Lesion, acquired preneoplastic  173 Leukocyte activation of introduction to  37–39, 38f killing/degradation of phagocytosed microbes and  38–39 neutrophil extracellular traps and  39 phagocytosis and  37–39 secretion of microbicidal substance and  39 summary of  40b function of defects in  40–41, 41t lysosomal enzymes of  49 recruitment of adhesion and  35–36 chemotaxis and  36–37 introduction to  34–39 margination and rolling as  35–37, 36t summary for  37b transmigration and  36 Leukocytoclastic vasculitis  353b, 353f Leukocytosis  57–58



891



892



Index Leukocytosis, reactive clinical features of  427 infectious mononucleosis and  426–427 morphology of  427b pathogenesis of  426b–427b white cell disorders and  426–427, 426t Leukodystrophy clinical features of  834 morphology of  834b myelin diseases and  834, 834t Leukoencephalopathy  319 Leukopenia clinical features of  450b–451b morphology of  426b pathogenesis of  425b–426b white cell disorders and  425–426 Leukoplakia  553–554, 553f morphology of  554b Leukotriene  46–47, 47f Libman-Sacks endocarditis  394f, 395. See also Verrucous endocarditis Lichen planus chronic inflammatory dermatosis and  855–856 clinical features of  856 morphology of  855b–856b, 855f Lichen sclerosus  682, 682f summary of  682 Lichen simplex chronicus chronic inflammatory dermatosis and  856 clinical features of  856 epithelial disorders and  682, 682f morphology of  856b, 856f summary of  682 Li-Fraumeni syndrome  187 Light chain (AL) amyloidosis  438b–439b Linkage analysis  266–267 Linkage disequilibrium pattern  266–267 Lipofuscin  24, 25f Lipoma  405, 792 Liposarcoma  792 morphology of  792b, 793f Lipoxin  46–47 Liquefactive necrosis  10, 10f Liver acute and chronic hepatitis and  611–621 alcoholic and nonalcoholic fatty liver disease and  621–625 amyloidosis and  157, 157f cholestatic liver diseases and  626–629 circulatory disorders of  632–634 clinical syndromes of  604–610, 604t drug or toxin-induced disease of  610–611 inherited metabolic diseases of  629 introduction to  603 other inflammatory and infectious diseases of  635 SLE morphology and  130 tumors and hepatic nodules of  635–639 Liver disease, alcoholic clinical features of  624 introduction to  623–624, 623f pathogenesis of  623b–624b summary for  624b Liver disease, drug/toxin-induced  610–611, 611t, 612f summary for  611b Lobular carcinoma in situ (LCIS)  710, 711f, 713 Local invasion, neoplasm characteristics and  167–168 Loeffler endomyocarditis  401



Low-density lipoprotein (LDL) receptor gene autosomal dominant disorders and  219–220 familial hypercholesterolemia and  222, 224f Lumbar lordosis  300 Lung acute injury of  460–461 atelectasis of  460 chronic interstitial lung disease and  472–481 discussion of  460f, 512–514 obstructive lung disease and  463–472 obstructive vs restrictive pulmonary diseases of  462–463 pleural lesions and  511–512 pulmonary disease of vascular origin and  482–485 pulmonary infections and  486–504 SLE morphology and  130 systemic sclerosis morphology and  134 tumors of  505–511 upper respiratory tract lesions and  512–514 Lung abscess clinical features of  492 morphology of  492b as pulmonary infection  492 Lung injury, acute acute respiratory distress syndrome  461 discussion of  460–461 Lupus nephritis, diffuse glomerular disease as  128–130 Lupus nephritis, mesangial proliferative  128–130 Lymphadenitis  497b as acute nonspecific  428 morphology of  428b as chronic nonspecific  428 morphology of  428b Lymphadenitis, reactive cat-scratch disease and  428 white cell disorders and  427–428 Lymphangiomas  359 Lymphangitis  356–357 Lymphatic obstruction  77 Lymphatic spread, malignant neoplasms and  168 Lymphedema  356–357 Lymph node, sentinel  168 Lymphoblastic lymphoma  430–433 Lymphocyte, self-reactive  21 Lymphocytes activation defects in  142 chronic inflammatory cells and  55, 55f immune system and  100–104 B lymphocytes as  103–104 major histocompatibility complex molecules as  102–103 natural killer cells as  104 T lymphocytes as  101–102 summary for  104 Lymphogranuloma venereum (LGV) morphology of  676b sexually transmitted disease and  676 summary for  677b Lymphoid neoplasm acute lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma as  430–433 adult T cell leukemia/lymphoma  443 Burkitt lymphoma  436–437 chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma as  433–434 diffuse large B cell lymphoma as  436 follicular lymphoma as  434–435 Hodgkin lymphoma as  440–442 mantle cell lymphoma as  435



Index miscellaneous lymphoid neoplasms as  442–443 multiple myeloma and related plasma cell tumors as  437–440 as neoplastic proliferations of white cells  429–448, 430f, 431t–432t regulated genomic instability and  197 summary for  443b–444b Lymphoid tissue  104 Lymphoma as diffuse large B cell clinical features of  436 immunophenotypic features of  436 as lymphoid neoplasms  436 morphology of  436b, 436f pathogenesis of  436b subtypes of  436 summary for  443 as extranodal marginal zone  442 neoplasm nomenclature and  163 of primary central nervous system  845 morphology of  845b of the stomach  571, 573 Lymphoma, follicular clinical features of  435 immunophenotypic features of  435 as lymphoid neoplasms  434–435 morphology of  434b–435b, 435f pathogenesis of  434b summary for  443 Lymphoma, mantle cell clinical features of  435 immunophenotypic and genetic features of  435 as lymphoid neoplasms  435 morphology of  435b summary for  443 Lymphoplasmacytic lymphoma  439–440 Lynch syndrome. See Hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) syndrome Lyon hypothesis  239 Lymphangiomas  258 Lysosomal enzymes  49–50 Lysosomal storage disease Gaucher disease as  231–232 gene encoding mutations and  228–232, 229f, 229t mucopolysaccharidoses as  232 Niemann-Pick disease types A and B as  230–231 Niemann-Pick disease types C as  230–231 summary for  232b Tay-Sachs disease as  229–230



M Macroglossia  157–158 Macroorchidism  241 Macrophages as antitumor effector mechanisms  206 chronic inflammatory cells and  54–55, 54f HIV infection and  148–149 Major histocompatibility complex molecule (MHC)  102f, 123–125 allograft rejection and  135–136, 136f Malakoplakia  668 Malaria clinical features of  419 hemolytic anemia as  418–419 pathogenesis of  418b–419b Malaria, fatal falciparum  419 Male breast, lesion of carcinoma as  714 gynecomastia as  714



Malformation, congenital of the central nervous system  822–824 forebrain malformations as  823 neural tube defects as  822–823 posterior fossa anomalies as  823 spinal cord abnormalities as  823 summary for  824b Malformation syndrome  247 Malignancy genomic instability as enabler of hereditary nonpolyposis colon cancer syndrome and  196–197 introduction to  196–197 lymphoid neoplasms and  197 summary for  197b xeroderma pigmentosum and  197 tumor-promoting inflammation as enabler of  197–198, 198f Malignant, nomenclature for  162 Malignant transformation carcinogenesis and  198 Mallory-Denk bodies  621, 622f Malnutrition  293–294 chronic alcoholism and  282 Marasmus  294, 295f Marfan syndrome aneurysms/dissections and  344b–345b, 345f gene encoding mutations and  220–221 morphology of  221b summary for  221b–222b Margination  35–37, 36t Marijuana  286–287 Mast cell  55–56 Maternal imprinting  243–244, 244f Maternal inheritance  243 Maternal PKU  227 Mechanical trauma hemolytic anemias and  418 injury by physical agent and  287, 287f morphology of  287b–288b Medullary disease clinical course of  544 as cystic disease  544 morphology of  544b summary for  544 Medulloblastoma  844–845 morphology of  845b, 845f Megaloblastic anemia as anemia of diminished erythropoiesis  422–423 folate deficiency anemia as  422–423 morphology of  422b, 422f pathogenesis of  422b summary for  425 vitamin B12 deficiency anemia as  423 Melanin  24 Melanocytic nevi clinical features of  865 as melanocytic proliferations of the skin  865, 869 morphology of  865b, 866f pathogenesis of  865, 865b, 866f Melanocytic proliferations of the skin dysplastic nevus as  865–867 melanocytic nevi as  865 melanoma as  867–869 summary for  869b Melanoma clinical features of  868–869 as melanocytic proliferations of the skin  867–869



893



894



Index Melanoma (Continued) morphology of  868b, 868f–869f pathogenesis of  867b, 868f–869f Membrane attack complex (MAC) plasma protein-derived mediators and  50–51 Membrane permeability, defects in  16, 16f Membranoproliferative glomerulonephritis and dense deposit disease (MPGN) clinical course of  528 morphology of  527b–528b, 528f nephrotic syndromes and  527–528 pathogenesis of  527b summary for  529 Membranous lupus nephritis class V SLE glomerular disease as  128–130 Membranous nephropathy clinical course of  527 morphology of  522f, 526b, 527f nephrotic syndrome and  526–527 pathogenesis of  526b summary for  529 Mendelian disorder disease caused by mutations in genes encoding enzyme proteins and  227–233 proteins that regulate cell growth and  233–234 receptor proteins or channels and  222–227 structural proteins and  220–221 single-gene defects and  218–234, 218t–219t transmission patterns of  219–220 summary for  220b Meningioma  846 morphology of  846b, 846f Meningioma, atypical  846b Meningitis acute pyogenic meningitis as  825 aseptic meningitis as  825 chronic meningitis as  826 nervous system infections and  825–826 Meningitis, chronic spirochetal infections as  826 tuberculous meningitis as  826 Mental retardation fragile X syndrome and  241 phenylketonuria and  227 Mercury  275–276 Mesangial lupus nephritis, minimal class I SLE glomerular disease as  128–130 Mesothelioma, malignant morphology of  512b, 512f as pleural lesion  512 Metabolic disorder of the nervous system  835 Metabolic myopathy  805 Metal, as environmental pollutant arsenic as  275–276 cadmium as  276 lead as  274 mercury as  275 summary for  276b Metaplasia cellular adaptation to stress and  5, 5f summary for  5b Metastasis molecular genetics of  195 neoplasm characteristics and  168–169, 168f Metastatic calcification  26 morphology of  26b



Metastatic disease bone tumors and  781 Metastatic neoplasm as cardiac tumors  404–405 other cardiac tumors and  405 primary neoplasms and  404–405 Metastatic tumor  846b, 847f Methylation of promoter region  261–262 MHC molecule. See Major histocompatibility complex molecule (MHC) Microangiopathic hemolytic anemia  418, 418f Micro-angiopathic hemolytic anemia  450b–451b Microangiopathy  744 Microbe summary of  319b transmission/dissemination of within the body for  317–318, 317f release from body of  318 routes of entry for  315–317 Microbe, cell-associated  105–108 Microbe, extracellular  108–109 Microbe, phagocytosed killing and degradation of  14f, 38–39, 39f Microbial antigen, capture and display of  101f, 105, 106f Microbial infection, autoimmunity and  124 Microbial pathogenesis categories of infectious agents and  309–314, 310t general principles of  309–314 Microbial substance, secretion of  39 Microorganism disease caused by  319–322, 322b host immune response and  321–322 mechanism of bacterial injury and  320–321 mechanism of viral injury and  319–320 MicroRNA (miRNA)  175, 176f, 177 Microscopic infarct  379 Microscopic polyangiitis  352–353 clinical features of  353 morphology of  353b, 353f Mikulicz syndrome  479b–480b Miliary pulmonary disease  497b Minamata disease  275 Minimal-change disease clinical course of  524–525 morphology of  524b, 525f nephrotic syndrome and  524–525 summary for  528 Misfolded protein  156b–158b, 158. See also Amyloidosis Misfolded protein, accumulation of  18, 21, 21t Missense mutation  216 Mitochondrial damage  13, 13f, 16 Mitochondrial gene  243 Mitochondrial myopathy  805 Mitochondrial (intrinsic) pathway of apoptosis  19, 20f–21f, 22 Mixed-cellularity Hodgkin lymphoma  441, 441f Mixed tumor  163, 163f Modifier gene  219 Mold, opportunistic clinical features of  504 as fungal infections  504 morphology of  504b Mole, invasive  702–703 summary for  703b Molecular diagnosis of cancer  211 ectoparasites and  314



Index of Mendelian and complex disorders discussion of  263–268 genetic analysis and  267–268 linkage analysis/genome-wide association studies and  266–267 Molecular profiling of tumor expression profiling as  211–212 summary for  213 whole genome sequencing as  212–213 Mönckeberg medial sclerosis  335 Monocyte HIV infection and  148–149 Mononeuropathy  798 Mononucleosis, infectious  426–427, 427f clinical features of  427 Mononuclear inflammation  324 morphology of  324b, 324f Moraxella catarrhalis  489 Morphologic method, of cancer diagnosis cytologic (Papanicolaou) smears as  210 fine needle aspiration as  210 flow cytometry as  210–211 immunocytochemistry as  210 Mosaicism  235 Mucinous cystic neoplasm  652, 652f Mucinous tumor of the ovary  697–698 morphology of  698b, 698f Mucoepidermoid carcinoma  557 morphology of  557b Mucopolysaccharidosis (MPS)  232 Mucormycosis  829 Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) gastrointestinal tract and  316 H. pylori and  204 Multicentric C cell hyperplasia  734–735 Multifactorial inheritance  248 Multiple endocrine neoplasia syndrome (MEN) and endocrine system  761–762 and the endocrine system  761–762 multiple endocrine neoplasia type 1 as  761–762 multiple endocrine neoplasia type 2 as  762 Multiple endocrine neoplasia (MEN) type 1  761–762 Multiple endocrine neoplasia (MEN) type 2 multiple endocrine neoplasia syndromes and  762 multiple endocrine neoplasia type 2A and  762 multiple endocrine neoplasia type 2B and  762 Multiple endocrine neoplasia type 2A  762 Multiple endocrine neoplasia type 2B  762 Multiple myeloma clinical features of  439–440 as lymphoid neoplasms  437–440 lymphoplasmacytic lymphoma as  438 monoclonal gammopathy of undetermined significance as  438 morphology of  438b–439b, 439f pathogenesis of  438b solitary plasmacytoma and  437 summary for  443 Multiple sclerosis (MS) clinical features of  833–834 morphology of  833b, 833f myelin diseases and  832–835 Mural thrombus  383f, 384 Muscle disease, primary  801 Muscle fiber atrophy  801–802 Muscular dystrophy, limb-girdle  804 Musculoskeletal system  134 Mutated genes, products of  205



Mutation  216 Mutator phenotype  173 Myasthenia gravis  800–801 Myasthenic syndromes, congenital  801 Mycoplasma  313 Mycosis fungoides  443 Myelin leukodystrophies and  834, 834t multiple sclerosis as  832–834 other acquired demyelinating diseases and  834 primary diseases of  832–834 summary for  835b Myelodysplastic syndrome (MDS) summary for  449 morphology of  445b as myeloid neoplasms  445–446 pathogenesis of  445b Myelofibrosis, primary as chronic myeloproliferative disorder  448 clinical course of  448 morphology of  448b, 448f pathogenesis of  448b Myeloid leukemia, trisomy 21 and  237 Myeloid neoplasm acute myeloid leukemia as  444–445 chronic myeloproliferative disorders and  446–448 myelodysplastic syndromes as  445–446 as neoplastic proliferations of white cells  444–448 summary for  448b–449b Myeloma nephrosis  438b–439b Myelophthisic anemia as anemia of diminished erythropoiesis  424 summary for  425 Myeloproliferative disorders, chronic chronic myelogenous leukemia as  446 as myeloid neoplasms  446–448 polycythemia vera as  447 primary myelofibrosis as  448 summary for  449 Myocardial infarction (MI) clinical features of  382–383, 382f consequences and complications of  383–384, 383f infarct modification by reperfusion  381–383 ischemic heart disease as  377–384 morphology of  379b–381b, 380f–381f, 380t pathogenesis of  376f, 377b–379b, 378f–379f Myocardial rupture  383f, 384 Myocardial vessel vasospasm  355 Myocarditis cardiomyopathy as  401–403 clinical features of  403 morphology of  402b, 402f pathogenesis of  401b–402b Myopathy, inflammatory dermatomyositis as  805 inclusion body myositis as  805 polymyositis as  805 Myositis, inclusion body  805, 806f Myositis ossificans  793 Myotonic dystrophy  804 Myxedema  743 Myxoid chondrosarcoma  778b Myxomas clinical features of  405 morphology of  404b primary neoplasms and  404, 404f



895



896



Index Myxomatous mitral valve clinical features of  390–391 degenerative valve disease as  390–391 morphology of  390b, 390f pathogenesis of  390b



N Nasopharyngeal carcinoma  513 Natural killer (NK) cell  105, 125–131 as antitumor effector mechanisms  206 Necrosis clinicopathologic correlation examples for  16–18 morphology of  6f, 9b morphology of cell and tissue injury and  9 patterns of  9–11 morphology of  10b–11b, 10f–11f Necrotizing arteriolitis  333b–334b Necrotizing enterocolitis (NEC) discussion of  252, 252f premature infants and  249 preterm birth complications and  251 Necrotizing glomerulonephritis, focal and segmental  353b–354b Necrotizing granulomatous vasculitis  353b–354b, 353f Necrotizing vasculitis  117b Necrotizing vasculitis, acute  128 Necrotizing vasculitis, noninfectious  135 Neoplasia. See also Tumor, benign; Tumor, malignant cancer and etiology of  198–204 genetic lesions in  173–176 molecular basis of cancer and  173 process of carcinogenesis and  177 tumor immunity and  204–207 characteristics of  164–169, 169f clinical aspects of  207–213 effects of tumor on host and  207–208 grading/staging of  207–208 laboratory diagnosis of  210–213 summary for  209b–210b discussion of  161–162 epidemiology of  169–172 nomenclature for  162–163, 164t Neoplasm characteristics of differentiation/anaplasia and  164–166 local invasion and  167–168 metastasis and  168–169 rate of growth and  166–167 summary for  169b of the penis  657–658, 658f summary of  658b of the salivary glands  555–557, 556t mucoepidermoid carcinoma as  557 pleomorphic adenoma as  556 Neoplasm, benign differentiation and anaplasia of  164 local invasion and  167f–168f metastasis and  168–169 nomenclature for  162 rate of growth of  166–167 summary for  169b, 169f Neoplasm, embryonal  844–845 medulloblastoma as  844–845 neuroectodermal tumors and  844–845 Neoplasm, malignant differentiation and anaplasia of  164–165, 165f local invasion and  167–168, 167f–168f



metastasis and  168–169 nomenclature for  162–163 rate of growth of  166 summary for  169b, 169f Neovascularization  251 Nephritic syndrome acute postinfectious glomerulonephritis as  529 glomerular disease and  529–531 hereditary nephritis as  531 IgA nephropathy as  530–531 renal syndromes and  517–518 summary for  531b Nephritis, hereditary clinical course of  531 morphology of  531b nephritic syndromes and  531 pathogenesis of  531b summary for  531 Nephrolithiasis  518 Nephron loss  523 Nephrosclerosis  333b–334b Nephrotic syndrome amyloidosis and  158 focal segmental glomerulosclerosis as  525–526 and glomerular disease  523–528, 524t membranoproliferative glomerulonephritis and dense deposit disease as  527–528 membranous nephropathy as  526–527 minimal-change disease as  524–525 renal diseases and  518 summary for  528b–529b Nervous system infections of  824–831 epidural and subdural infections of  824–825 meningitis as  825–826 parenchymal infections and  826–831 prion diseases and  831 summary for  832b patterns of injury in morphology of  811b–812b, 812f Neural tube defect  822–823, 823f Neuroblastic  258–259 Neuroblastoma of the adrenal medulla  761 clinical course and prognosis for  259–260, 260t discussion of  258–260 morphology of  259b, 259f summary for  260b Neuroborreliosis  826 Neurodegenerative disease Alzheimer disease as  836–837 amyotrophic lateral sclerosis as  841 of the central nervous system  836–841, 836t frontotemporal lobar degeneration as  838 Huntington disease as  840 Parkinson disease as  839–840 spinocerebellar ataxias as  840–841 summary of  841b–842b Neurofibroma morphology of  808b of peripheral nerve sheath  807–808 Neurofibroma, diffuse  807, 808b Neurofibroma, localized cutaneous  807 Neurofibromatosis type 1  808 Neurofibromatosis type 1, familial  179–180 Neurofibromatosis type 2 (NF2)  806–807 Neurohypophysis. See Posterior pituitary syndrome



Index Neuromuscular junction, disorders of introduction to  800–801 Lambert-Eaton syndrome as  801 miscellaneous disorders of  801 myasthenia gravis as  800–801 summary for  801b Neuromyelitis optica (NMO)  834 Neuropeptides  49 Neurosyphilis  826 Neutropenia  425–426 Neutrophil extracellular trap (NET)  39, 40f Nevus flammeus  357 Newborn, hemolytic disease in  254 NextGen sequencing  265–266, 267f NF2  187–188 Niemann-Pick disease types A and B  230–231, 230f Niemann-Pick disease types C (NPC)  231 Night blindness  297 Nitric oxide (NO)  49–50 Nodular fasciitis  793 Nomenclature benign tumors and  162 malignant tumors and  162–163 for neoplasia  162–163 Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) introduction to  625 pathogenesis of  625b summary for  625b Nonbacterial thrombotic endocarditis (NBTE)  394–395, 395f Non-coding RNA (ncRNA)  217–218, 217f Nongonococcal urethritis (NGU)  676 summary for  676b Non-infected vegetation Libman-Sacks endocarditis as  395 nonbacterial thrombotic endocarditis as  394–395 Noninfectious vasculitis anti-endothelial cell antibodies as  350 anti-neutrophil cytoplasmic antibodies as  349–350 immune complex-associated vasculitis as  348–350 Nonspecific interstitial pneumonia (NSIP)  473 Nontuberculous mycobacterial disease as chronic pneumonia  499 Norovirus  585 Noxious stimuli, cellular responses to  1–3, 2f Nuclear transcription factor  180 Numeric abnormality, cytogenetic disorders and  235 Nutmeg liver  368 Nutritional disease anorexia nervosa/bulimia as  295–296 diet and cancer as  306 diet and systemic diseases as  306 discussion of  293–306 malnutrition as  293–294 neurologic illnesses and  835 obesity as  302–305 protein-energy malnutrition as  294–295 summary for  302b Nutritional imbalance, cell injury and  7



O Obesity adipose tissue and  304–305 clinical consequences of  305 gut hormones and  305 leptin and  304 nutritional diseases and  302–305 summary for  305b Obligate intracellular bacteria  311



Obstructive lesion, aortic coarctation and  373–374 Obstructive lung disease asthma as  468–470 bronchiectasis as  470–472 chronic bronchitis as  467 discussion of  463–472, 463t, 464f emphysema as  463–466 Obstructive overinflation  466 Occupational asthma  470 Occupational cancer  171t Oligodendroglioma  843 morphology of  843b–844b, 844f Oligohydramnios sequence  246–247, 247f Oncocytoma  547 Oncofetal antigens  206 Oncogene  173, 182 Oncogene, mutated  204–205 Oncogene addiction  180 Oncology  162 Onion-skin lesion  130 Opsonization  114–115, 115f, 117 Oral candidiasis (thrush)  552 Oral cavity disease of salivary glands and  555–557 odontogenic cysts and tumors of  557–558 oral inflammatory lesions of  552 proliferative and neoplastic lesions of  552–554 summary for  554b Oral contraceptive (OC)  283–284 Oral inflammatory lesion aphthous ulcers as  552 herpes simplex virus infections as  552 oral candidiasis as  552 summary for  552b Organic solvent  276 Organochlorine  276 Organ systems, ionizing radiation effects and  292–293, 292f, 292t Osler-Weber-Rendu disease. See Hereditary hemorrhagic telangiectasia Osteitis deformans. See Paget disease Osteoarthritis clinical course of  783, 783f the joints and  782–790 morphology of  782b–783b, 782f obesity and  305 pathogenesis of  783b summary for  790 Osteoblastoma  776 morphology of  776b Osteochondroma as cartilage-forming tumors  777–778, 777f clinical features of  778 morphology of  778b summary for  781 Osteogenesis imperfecta (OI)  767–768 Osteoid osteoma as bone-forming tumor  776 morphology of  776b, 776f summary for  781 Osteoma  775–776 Osteomalacia acquired bone disease and  771 morphology of  300b–301b vitamin D and  298–300 Osteomyelitis acquired diseases of bone and  773–774 pyogenic osteomyelitis as  773–774 tuberculous osteomyelitis as  774



897



Index



898



Osteopetrosis  767–768 Osteoporosis acquired bone disease and  768–770, 769t, 772 clinical course of  770 exogenous estrogens and  282–283 morphology of  768b–769b, 769f pathogenesis of  766f, 769b–770b, 769f vitamin D and  299–300 Osteosarcoma bone tumors as  776–777 clinical features of  777 morphology of  776b–777b, 776f pathogenesis of  777b summary for  782 Ostium primum ASD  371b Ostium secundum ASD  371b Outdoor air pollution  272–273 morphology of  273b Ovary follicle and luteal cysts and  695 other tumors of  698–700, 699t polycystic ovarian disease and  695–696 tumors of  696–698 Oxidative stress. See Free radicals, oxygen-derived Oxygen deprivation  7 Ozone  272–273, 272t



P Paget disease (osteitis deformans) acquired bone disease as  770–771 clinical course of  771 morphology of  770b, 770f pathogenesis of  771b summary for  772 Paget disease, extramammary  683–684, 684f summary of  684 Paget disease of the nipple  710 Panacinar emphysema  464, 464f, 465b Pancarditis  391b Pancreas congenital anomalies of agenesis and  646 annular pancreas as  646 congenital cysts as  646 ectopic pancreas as  646 pancreas divisum as  646 overview of  645 pancreatic neoplasms and  651–654 pancreatitis and  646–651 Pancreas, congenital cysts of  646 Pancreas, ectopic  646 Pancreas, endocrine diabetes mellitus and  739–750 pancreatic neuroendocrine tumors and  751–752 Pancreas divisum  646 Pancreatic abnormality  223–227 Pancreatic carcinoma clinical features of  654 introduction to  652–654 morphology of  653b–654b, 654f pathogenesis of  653b, 653f Pancreatic neoplasm cystic neoplasms as  651–652 intraductal papillary mucinous neoplasms as  652 mucinous cystic neoplasms as  652 serous cystadenomas as  651 pancreatic carcinoma and  652–654 summary for  654b



Pancreatic neuroendocrine tumor (PanNET) endocrine pancreas and  751–752 gastrinomas and  752 insulinomas and  751 Pancreatic pseudocyst acute pancreatitis and  649 morphology of  649b, 649f Pancreatitis acute pancreatitis and  646–649 chronic pancreatitis and  649–651 and the pancreas  646–651 summary for  651b Pancreatitis, acute clinical features of  648–649 inflammatory disorders of  646–649, 646t morphology of  647b, 647f pancreatic pseudocysts as  648–649 pathogenesis of  647b–648b, 648f Pancreatitis, chronic clinical features of  651 morphology of  650b, 650f the pancreas and  649–651 pathogenesis of  650b Pancreatitis, hemorrhagic  647b Pancreatitis, lymphoplasmacytic sclerosing  650b Pancytopenia  442–443 Papanicolaou smear. See Cytologic (Papanicolaou) smear Papillary carcinoma of the thyroid clinical features of  733 morphology of  732b–733b, 732f summary for  735 the thyroid and  732–733 Papillary fibroelastoma  405 Papillary muscle dysfunction  383–384 Papilloma  162 Paraneoplastic syndromes  208–209, 209t Parasitic disease  585–586 Parathyroid carcinoma  736b–737b Parathyroid gland endocrine system and  735–738 hyperparathyroidism and  735–738 hypoparathyroidism and  738 Parathyroid hyperplasia  736b–737b Parenchymal hemorrhage, primary brain  817, 817f, 819 morphology of  817b Parenchymal infection arboviruses and  827 brain abscesses and  826 cytomegalovirus and  828 fungal encephalitis and  829 herpesviruses and  827–828 human immunodeficiency virus and  828 of nervous system  826–831 other meningoencephalitides as  829–831 poliovirus and  828 polyomavirus and progressive multifocal leukoencephalopathy as  828–829 rabies virus and  828 viral encephalitis and  826–829 Parenchymal injury, traumatic  820–821 morphology of  820b, 820f Parkinson disease (PD) clinical features of  839–840 morphology of  839b, 839f parkinsonism and  839–840 pathogenesis of  839b



Index Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PHN) hemolytic anemias and  417 pathogenesis of  417b Parvovirus B19  255–256, 256f Passive congestion circulatory disorders of liver and  633 morphology of  633b, 633f Passive smoke inhalation. See Tobacco smoke, environmental Patent ductus arteriosus clinical features of  372 left-to-right shunts and  369t, 370f, 371–372 Patent foramen ovale  370–371 Pathology, introduction to  1 Pediatric disease congenital anomalies and  245–248, 246f fetal hydrops and  254–257 introduction to  245–268, 245t molecular diagnosis of Mendelian/complex disorders and  263–268 necrotizing enterocolitis and  252 perinatal infections and  249 prematurity/fetal growth restrictions and  249–250 respiratory distress syndrome and  250–251 sudden infant death syndrome and  252–254 tumors/tumor-like lesions and  257–262 Pemphigus (vulgaris and foliaceus) blistering disorders and  858–859, 862 clinical features of  859 morphology of  859b, 859f–860f pathogenesis of  858b–859b, 859f Penis inflammatory lesions of  657 malformations of  657 neoplasms of  657–658 Peptic ulceration, acute clinical features of  565 inflammatory disease of the stomach and  565 morphology of  565b pathogenesis of  565b Peptic ulcer disease (PUD) clinical features of  568–569 epidemiology of  568 inflammatory diseases of the stomach and  568–569 morphology of  568b, 568f pathogenesis of  565f, 568b Peptide display system  123–125 Pericardial disease heart diseases and  403–404 pericardial effusions as  404 pericarditis as  403–404 Pericardial effusion  404 Pericarditis clinical features of  403–404 morphology of  403b, 403f pericardial disease as  384, 403–404 Pericarditis, acute bacterial  403b Pericarditis, chronic  403b Pericarditis, constrictive  403b Perinatal infection  249 Peripheral nerve disorder introduction to  797–799, 798f nerve injury disorders and  798–799 patterns of injury and  797–798 summary for  800b Peripheral nerve injury disorders associated with  799t chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy as  799



diabetic peripheral neuropathy as  799 Guillain-Barre syndrome as  798–799 summary for  800b toxic, vasculitic, inherited forms of  799–800 patterns of  797–798, 798f Peripheral nerve sheath malignant tumors of  808 neurofibromas as  807 neurofibromatosis type 1 as  808 Schwannomas and neurofibromatosis type 2 as  806–807 traumatic neuroma as  808 tumors of  806–808 Peripheral nerve sheath schwannoma  806–808 morphology of  807b, 807f Peripheral nerve sheath tumor, malignant  808 morphology of  808b Peripheral neuropathy summary for  800b toxic, vasculitic, inherited forms of  799, 800f Peripheral T cell lymphoma  443 Peutz-Jeghers syndrome  592–593, 594f Phagocyte oxidase  143 Phagocytosis  37–39, 39f, 112f, 114–115 Phenylketonuria (PKU)  227–228, 227f summary for  228, 228b Pheochromocytoma adrenal medulla tumors and  760–761 clinical features of  761 morphology of  760b–761b, 760f–761f Phlebothrombosis  356. See also Venous thrombosis Phyllodes tumor  707 Physical agent cell injury and  7 injury by electrical injury and  289 ionizing radiation and  289–293 mechanical trauma as  287 thermal injury and  288–289 toxicity of  271–272 Pickwickian syndrome  305 Pigeon breast deformity  300 Pigment  24, 25f Pilocytic astrocytoma  842–843 morphology of  843b Pituitary adenoma adrenocorticotropic hormone producing adenomas as  719–720 growth hormone producing adenomas as  719 morphology of  718b, 718f–719f other anterior pituitary neoplasms as  720 pathogenesis of  718b and pituitary gland  717–720, 717t (See also Hyperpituitarism) prolactinomas as  719 summary of  719, 720b Pituitary adenoma, nonfunctioning  720 Pituitary carcinoma  720 Pituitary gland as endocrine system  716–721, 716f–717f hyperpituitarism/pituitary adenomas and  717–720 hypopituitarism and  720–721 posterior pituitary syndromes and  721 prolactinomas and  719 PKU. See Phenylketonuria (PKU) Placental-fetal transmission  318 Placental inflammation/infection  701



899



900



Index Plasma protein-derived mediator coagulation and Kinin system as  51–52 complement system as  50–51, 50f summary for  52b Plasminogen activator inhibitor (PAI)  80, 85f Platelet activation of  80, 82 adhesion and  82 aggregation of  82 discussion of  81–82 endothelial interaction with  81f, 82 normal hemostasis and  80f normal hemostasis and  79 summary for  82b Platelet-activating factor (PAF)  47–48 Platelet activation  82, 82b Platelet adherence  79 Platelet adhesion  80f–81f, 82 Platelet aggregation  81f, 82, 82b Platelet contraction  82 Pleiotropy  218–219 Pleomorphic undifferentiated sarcoma  794 Pleomorphic adenoma  163, 556–557, 557f morphology of  556b–557b Pleomorphic fibroblastic sarcoma  794, 794f Pleomorphism  165, 165f Pleural effusion  511 Pleural lesion of the lungs  511–512 malignant mesothelioma as  512 pleural effusion and pleuritis as  511 pneumothorax, hemothorax, chylothorax as  511–512 Pleuritis  511 Plexiform neurofibroma  807, 808b Plummer syndrome  728b Pneumoconiosis asbestosis as  477 coal worker’s pneumoconiosis as  475 as fibrosing disease  474–478, 474t mineral dust and  277 pathogenesis of  474b–475b silicosis as  476 summary for  478b Pneumocystis pneumonia in the immunocompromised host  501–502 morphology of  502b, 502f Pneumonia caused by other pathogens Haemophilus influenzae as  489 Klebsiella pneumoniae as  489–490 Legionella pneumophila as  490 Moraxella catarrhalis as  489 Pseudomonas aeruginosa as  490 Staphylococcus aureus as  489 community-acquired acute morphology of  488b, 489f pneumonias caused by other important pathogens and  488–490 as pulmonary infection  486–490 streptococcus pneumoniae infections as  487–488 community-acquired atypical clinical features of  490–491 influenza infections as  491 influenza virus type A/HINI infection as  491 morphology of  490b, 491f as pulmonary infections  490–491 summary for  491b



in the immunocompromised host cytomegalovirus infections and  500–501 pneumocystis pneumonia and  501–502 as pulmonary infection  500–502 Pneumonia (P. jiroveci) HIV infections and  151, 151t, 313 Pneumonia, chronic nontuberculous mycobacterial disease as  499 as pulmonary infection  492–499 tuberculosis and  493–498 Pneumonia, cryptogenic organizing  473–474, 474f Pneumonia, hospital-acquired  491–492 Pneumothorax  511 Podocyte injury  522f, 523, 528 Poliovirus  828 Pollution, environmental air pollution as  272–273 industrial/agricultural exposures as  276–277 metals as  273–276 Polyarteritis nodosa (PAN) autoimmune diseases and  135 clinical features of  352 morphology of  352b, 352f vasculitis and  352 Polycystic kidney disease, autosomal recessive clinical course of  544 cystic diseases and  544 morphology of  544b summary for  544 Polycystic ovarian disease  695–696 Polycythemia  425, 425t Polycythemia vera as chronic myeloproliferative disorder  447 clinical course of  447–448 morphology of  447b Polymerase chain reaction (PCR) analysis  264–266, 266f Polymerase chain reaction (PCR) analysis molecular diagnosis and  211 Polymorphism complex multigenic disorders and  234 genetic abnormalities and  216–217 linkage analysis and  245–246 P-450 enzymes and  271–272 Polymyositis  805, 806f Polyneuritis multiplex  798 Polyneuropathy  798 Polyomavirus  828–829 Polyp, endometrial  693 Polyp, hamartomatous colonic polyps and  592–593, 593t, 600 juvenile polyps as  592 Peutz-Jeghers syndrome as  592–593 Polyp, inflammatory colonic polyps as  592, 600 gastric polyps and  569, 572 morphology of  569b Polyp, juvenile  592 morphology of  592b, 594f Polyp, nomenclature for  162, 163f Polypoid cystitis (ureter)  668 Portal hypertension ascites and  609 liver disease and  608–609, 609f Portal vein obstruction/thrombosis  632–634 Portopulmonary hypertension  610 Port wine stain  357 Posterior fossa anomaly  823 Posterior pituitary syndrome  721



Index Postmortem clot  88b–89b Postnatal genetic analysis  268 Potter sequence. See Oligohydramnios sequence Prader-Willi syndrome  243–245, 244f Preeclampsia/eclampsia clinical features of  704 diseases of pregnancy and  703–704 morphology of  704b summary for  704b Pregnancy, diseases of ectopic pregnancy as  701 gestational trophoblastic disease as  701–703 placental inflammations and infections as  701 preeclampsia/eclampsia as  703–704 Pregnancy, ectopic diseases of pregnancy and  701 morphology of  701b summary for  701b Prematurity, infant  249–250 Primary amyloidosis immunocyte dyscrasias as  155 lymphoplasmacytic lymphoma and  438 Primary biliary cirrhosis (PBC) cholestatic liver diseases and  627, 627t clinical course of  627 morphology of  627b–628b, 627f–628f pathogenesis of  627b Primary hypercoagulability  81f, 87 Primary immune deficiency common variable immunodeficiency as  141 genetic deficiencies of innate immunity as  142–143 hyper-IgM syndrome as  141 introduction to  139–143, 140f isolated IgA deficiency as  141 lymphocyte activation defects as  142 severe combined immunodeficiency as  142 summary for  142–143, 143b with thrombocytopenia and eczema  142 thymic hypoplasia as  141 X-linked agammaglobulinemia as  140–141 Primary sclerosing cholangitis (PSC) cholestatic liver diseases and  627t, 628–629 clinical course of  629 morphology of  628b, 629f Primary syphilis  672, 673f Primary tuberculosis  495–496, 496f Primitive neuroectodermal tumor (PNET). See Ewing sarcoma Prinzmetal angina  376 Prion  309–314 Prion disease Creutzfeldt-Jakob disease as  831 nervous system infections and  831–832, 831f variant Creutzfeldt-Jakob disease as  831 Progressive massive fibrosis (PMF)  475, 475f. See also Coal worker’s pneumoconiosis (CWP) Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)  828–829 morphology of  829b, 829f Progressive pulmonary tuberculosis  497b Prolactinoma  719–720 Prostaglandin anti-inflammatory drugs and  46–47 arachidonic acid metabolites and  46–47 Prostate benign prostatic hyperplasia and  664–665 carcinoma of  665–668 male genital system and  663–668, 663f prostatitis and  663–664



Prostatitis clinical features of  664 prostate disease and  663–664 summary for  664b Prosthetic cardiac valve  395–396 Protein damage to  16 intracellular accumulation of  23 Protein, signal-transducing ABL and  180 introduction to  179–180 RAS protein and  179–180 Protein-coding gene alterations other than mutations epigenetic changes as  217 genetic abnormalities and  216–218 non-coding RNA alterations as  217–218 sequence and copy number variations as  216–217 mutations in  216 Protein-energy malnutrition (PEM) discussion of  294–295 kwashiorkor as  294–295 marasmus as  294 morphology of  295b secondary protein-energy malnutrition and  295 Proteoglycan  64 Protozoa  313 PSA test  211 Pseudogout  789–790 Pseudomonas aeruginosa  490 Psoriasis chronic inflammatory dermatosis and  854–855 clinical features of  854–855 morphology of  854b, 855f pathogenesis of  854b Pulmonary angiitis  485 Pulmonary anthracosis  475b Pulmonary disease as drug- and radiation-induced  478 of vascular origin diffuse alveolar hemorrhage syndromes as  485 pulmonary embolism, hemorrhage, infarction as  482–483 pulmonary hypertension as  484 Pulmonary disease, obstructive vs restrictive  462–463 Pulmonary embolism, hemorrhage, infarction clinical features of  483 diseases of vascular origin and  482–483 morphology of  482b, 483f summary for  483b Pulmonary eosinophilia  481 Pulmonary hypertension clinical features of  484 morphology of  484b, 485f pathogenesis of  484b of vascular origin  484 Pulmonary hypertension, secondary  134 Pulmonary hypertensive heart disease. See Cor Pulmonale Pulmonary infection aspiration pneumonias as  492 chronic pneumonias as  492–499 community-acquired acute pneumonias as  486–490 community-acquired atypical pneumonias as  490–491 histoplasmosis, coccidioidomycosis, blastomycosis as  499–500 hospital-acquired pneumonias as  491–492 in human immunodeficiency virus infection  504 lung abscess as  492 the lungs and  486–504, 487f, 488t



901



Index



902



Pulmonary infection (Continued) opportunistic fungal infections as  502–504 pneumonia in the immunocompromised host as  500–502 Pulmonary thromboembolism  90, 90f Purulent inflammation. See Inflammation, suppurative Pyelonephritis  746–747 Pyelonephritis, acute clinical course of  534f, 535 morphology of  534b–535b, 534f pathogenesis of  533b–534b, 534f summary for  537 tubulointerstitial nephritis and  533–535 Pyelonephritis, chronic clinical course of  536 morphology of  535b, 536f summary for  537 tubulointerstitial nephritis and  535–536 Pyelonephritis, chronic obstructive  535 Pyelonephritis, chronic reflux-associated  535 Pyogenic granuloma  358, 358f Pyogenic liver abscess  635 Pyogenic meningitis, acute  825 morphology of  825b, 825f Pyogenic osteomyelitis acquired bone disease and  773–774 clinical features of  774 morphology of  774b, 774f Pyrin  155–156



R Rabies virus  828 Radiation. See Ionizing radiation Radiation carcinogenesis  200–201 summary for  201b Radon  273 Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)  531–533. See also Crescentic glomerulonephritis anti-glomerular basement membrane antibody–mediated crescentic glomerulonephritis as  532 and glomerular diseases  531–533 immune complex–mediated crescentic glomerulonephritis as  532 pathogenesis of  532b pauci-immune crescentic glomerulonephritis as  532–533 summary for  533b RAS protein  179–180, 179f Rate of growth cancer stem cells/lineages and  166–167 neoplasms and  166–167 Raynaud phenomenon  355 RB gene  182–184 summary for  184b–185b RDS. See Respiratory distress syndrome (RDS) Reactive oxygen species (ROS) accumulation of  14–16, 14f–15f cell-derived mediators and  49–50 ischemia-reperfusion injury and  17 production of  38 Reactive proliferation myositis ossificans as  793f nodular fasciitis as  793, 793f Reactive systemic amyloidosis  155 Reactive tuberculosis. See Tuberculosis, secondary Recurrent sinonasal polyp  226 Red cell disorder anemia of blood loss  409 anemias of diminished erythropoiesis and  419–424 hematopoietic system and  408–425, 408t–409t



hemolytic anemias and  409–419 polycythemia and  425 summary for  409b Red infarct  92b–93b, 93f, 94 Red thrombi  88b–89b Reflux esophagitis clinical features of  560–561 diseases of the esophagus and  560–561 the esophagus and  560–561 morphology of  560b, 561f pathogenesis of  560b Reflux nephropathy  535–536 Regeneration, cell and tissue control of cell proliferation and  59, 59f growth factors of  61–62 introduction to  59–65 proliferative capacities of tissue and  59–60 role of extracellular matrix in  63–65, 63f role of regeneration in tissue repair and  65 stem cells and  60 summary of  61b Rejection, acute  138 Rejection, antibody-mediated  137–138 Rejection, chronic  137f, 138 Rejection, hyperactive  137–138 Rejection, hyperacute  137–138, 137f Renal atherosclerosis  746–747 Renal cell carcinoma chromophobe renal carcinomas as  548 clear cell carcinomas as  547 clinical course of  548–549 morphology of  548b, 548f papillary renal cell carcinomas as  547–548 summary for  549b as tumors of the kidney  547–549 Renal cell carcinoma, papillary  548b Renal disease  517–518 Renal stones clinical course of  545 morphology of  545b pathogenesis of  545b, 545t urinary outflow obstruction and  545 Reperfusion  381–383, 382f Replicative potential, limitless cancer cells and  190–191, 191f summary for  191b Resorption atelectasis  460 Respiratory bronchiolitis  481 Respiratory distress syndrome (RDS) of the newborn  250–251, 250f clinical features of  251 morphology of  251b, 251f pathogenesis of  250b–251b summary  251b–252b premature infants and  249 Respiratory tract microbe transmission/dissemination through  316–319 Restrictive cardiomyopathy  401 morphology of  401b Retinoblastoma (RB) clinical features of  261 discussion of  260–261 morphology of  261b Retinoblastoma (RB) gene  182–184 pathogenesis of  183f Retinopathy, diabetic  744, 747, 747f Retroperitoneal fibrosis (ureter)  668 Rhabdomyomas  404b



Index Rhabdomyosarcoma  794–795 morphology of  795b, 795f Rheumatic fever, acute  391b Rheumatic heart disease  110, 391b Rheumatic valvular disease clinical features of  391–392 morphology of  391b, 392f pathogenesis of  391b valvular heart disease as  391–392 Rheumatoid arthritis (RA) autoimmune diseases  131 clinical features of  785–786 of the joints  784–786 morphology of  785b, 785f–786f pathogenesis of  784b, 784f summary for  790 Rheumatoid vasculitis  355 Rickets acquired bone disease and  771 morphology of  300b–301b vitamin D and  298–300, 300f Rickettsia  311–313 Riedel thyroiditis  726 RNA virus, oncogenic  201, 201f summary for  202b Rolling  35–37, 36t ROS. See Reactive oxygen species (ROS) Rotavirus  585–586 Roundworms (nematode)  314, 314f



S Sacrococcygeal teratoma  258, 258f Saddle embolus  90, 90f Salivary gland, disease of neoplasms as  555–557 sialadenitis as  555 summary for  557b xerostomia as  555 Salmonellosis infectious enterocolitis and  583–584 pathogenesis of  584b Sanger sequencing  265, 266f Sarcoidosis clinical features of  480 epidemiology of  478–479 etiology and pathogenesis of  479b as granulomatous disease  478–480 morphology of  479b–480b, 479f summary for  480b Sarcoma  162 Sarcoma botryoides  685 Scar formation angiogenesis and  66–67 connective tissue remodeling and  68 fibroblasts and connective tissue in  68 growth factors involved in  42f, 68 introduction to  65–68 remodeling of connective tissue and  68 steps in  65–66, 66f summary for  69b Scarring chronic inflammation and  309–314 morphology of  325b, 325f Scleroderma. See Systemic sclerosis (SS) Scleroderma, limited  132 Sclerosing adenosis  706 morphology of  706b, 706f Scrotum  658–663



Scurvy  301 Seborrheic keratosis as epithelial lesions of the skin  862–863 morphology of  862b, 862f Secondary immune deficiency  143 Secondary syphilis  672–673 Secondary tuberculosis clinical features of  498 morphology of  497b, 497f–498f as type of tuberculosis  496 Seminoma  163 Sensorimotor polyneuropathy, distal symmetric  799 Septic shock  94, 95f Sequence  216–217 Sequencing, whole genome  212–213, 212f–213f Serous carcinoma  692b, 693f Serous cystadenoma  651, 651f Serous tumor, ovarian epithelial  697 morphology of  697b, 697f Severe combined immunodeficiency (SCID)  142–143 Sexually transmitted disease (STD) chancroid as  677 genital herpes simplex as  678 gonorrhea and  674–675 granuloma inguinale as  677 human papillomavirus infection as  678 lymphogranuloma venereum as  676 male genital system and  671–678, 671t microbe dissemination and  318 nongonococcal urethritis and cervicitis as  676 trichomoniasis as  677–678 Sézary syndrome  443 Sheehan postpartum pituitary necrosis  452b Shigellosis clinical features of  584b infectious enterocolitis and  583 morphology of  583b pathogenesis of  583b Shock clinical course for  97 introduction to  94–97, 94t morphology of  97b pathogenesis of  94–96 stages of  96–97 summary for  97b Shock lung  97b Shunt, left-to-right atrial septal defect/patent foramen ovale and  370–371 congenital heart disease and  370–372, 370f patent ductus arteriosus and  371–372 ventricular septal defects and  371 Shunt, portosystemic hepatorenal syndrome and  610 liver disease and  609–610 portopulmonary hypertension/hepatopulmonary syndrome and  610 splenomegaly and  609 Shunt, right-to-left congenital heart disease and  372–373, 372f tetralogy of Fallot and  372–373 transposition of the great arteries and  373 Sialadenitis  555, 556f, 557 Sicca syndrome  131 Sickle cell anemia clinical course of  413 hemolytic anemias and  411–413 incidence of  411–413 morphology of  411f, 412b–413b



903



904



Index Sickle cell anemia (Continued) pathogenesis of  411b–412b, 412f summary for  419 SIDS. See Sudden infant death syndrome (SIDS) Sigmoid diverticulitis clinical features of  586–587 inflammatory intestinal disease and  586–587 morphology of  586b, 586f, 591f pathogenesis of  586b summary for  587b Silicosis clinical features of  476 morphology of  476b, 476f as pneumoconiosis  476 summary for  478 Single-gene disorder with atypical patterns of inheritance  241–244 alterations of imprinted region disease as  243–244 mutations in mitochondrial genes disease as  243 triplet repeat mutations as  241 Single-gene disorder, transmission patterns of autosomal dominant inheritance as  219–220 autosomal recessive inheritance as  220 summary for  220b X-linked disorders as  220 Single-nucleotide polymorphism (SNP)  222–223 array-based genomic hybridization and  264 linkage analysis and  266 sequence and copy number variations and  216–217 Sinusoidal obstruction syndrome  634, 634f Sinus venosus ASD  371b Sjögren syndrome discussion of  131–132 morphology of  132b, 132f pathogenesis of  127t, 131b summary for  132b Skeletal muscle acquired disorders of  805–806 inflammatory myopathies as  805 toxic myopathies as  805–806 inherited disorders of  802–805 channelopathies, metabolic and mitochondrial myopathies as  805 dystrophinopathies as  802–804 X-linked and autosomal muscular dystrophies as  804–805 patterns of injury for  801–802, 803f summary for  806b Skeletal muscle tumor, rhabdomyosarcoma as  794–795 Skin benign and premalignant tumors of  862–869 blistering disorders of  857–861 chronic inflammatory dermatoses and  854–856 infectious dermatoses and  856–857 introduction and terminology for  851 microbe transmission/dissemination and  316, 318–319 SLE morphology and  130, 130f systemic sclerosis morphology and  133, 134f Skin wound healing by first intention and  70–71, 70f healing by second intention and  70f–71f, 71–72 summary for  72b wound strength and  72 Small airway disease. See Chronic bronchiolitis Small cell carcinoma (SCLC)  506b–509b, 509f Small-for-gestational-age (SGA) infant  249–250 Small lymphocytic lymphoma (SLL)  433–434 summary for  443 Smog  272–273



Smokeless tobacco  277, 279 Smoking-related interstitial disease  481, 482f and chronic interstitial lung disease  481 Sodium retention  77–78 Soft tissue fibrohistiocytic tumors and  794 fibrous tumors and tumor-like lesions of  792 introduction to  791–796, 792t skeletal muscle tumors and  794–795 smooth muscle tumors and  795 synovial sarcoma and  795 tumors of adipose tissue and  792 Spermatocytic seminoma  660b–662b Spider telangiectasias  357–358 Spinal cord abnormality  823 Spinocerebellar ataxia (SCA)  840–841 Spirochetal infection neuroborreliosis as  826 neurosyphilis as  826 Spleen  456–457 amyloidosis and  157 SLE morphology and  130 splenomegaly as  456 Splenomegaly CML and  447 hairy cell leukemia and  442–443 portosystemic shunt and  609 spleen disorders and  456 Spondyloarthropathy, seronegative  786 Spontaneous maturation  258–259 Spontaneous regression  258–259 Squamous cell carcinoma clinical features of  863–864 of the esophagus  563–564 clinical features of  563–564 morphology of  563b, 563f pathogenesis of  563b lung tumors and  506b–509b malignant epidermal tumors and  863–864 morphology of  863b, 864f nomenclature for  162–163, 165f of the oral cavity  554 morphology of  554b, 555f pathogenesis of  554b pathogenesis of  863b of the vagina  684 Staging, cancer tumor and  208–210 Staphylococcus aureus  489 Stasis thrombi. See Red thrombi Steatohepatitis, nonalcoholic  305 Steatosis. See Fatty change Steatosis, drug/toxin-mediated injury with  625 morphology of  626b Steatosis, hepatocellular  621b–622b, 621f Stem cell  60, 61b, 61f cancer of  166–167 Stem cell, adult  60 Stem cell, cardiac  385 Stem cell, embryonic (ES cell)  60 Stenting, endovascular  362, 363f Stomach carcinoid tumor as  571–572 gastric adenocarcinoma as  570–571 gastric polyps as  569 gastrointestinal stromal tumor as  572 inflammatory diseases of  564–569 acute gastritis as  564 acute peptic ulceration as  565



Index chronic gastritis as  565 peptic ulcer disease as  568–569 lymphoma as  571 neoplastic disease of  569–572 carcinoid tumor as  571–572 gastric adenocarcinoma as  570–571 gastric polyps as  569 gastrointestinal stromal tumor as  572 lymphoma as  571 summary for  572b–573b Streptococcus pneumoniae infection  487–488 Stress cellular adaptations to  3–5 cellular response to  1–3, 2f Structural abnormality, cytogenetic disorders and  235–236, 235f–236f Sturge-Weber syndrome  257–258. See also Port wine stain Subdural hematoma  821–822 morphology of  821f, 822b Subdural infection of nervous system  824–825 Sudden cardiac death (SCD)  386, 386f Sudden infant death syndrome (SIDS) discussion of  252–254, 253t morphology of  253b pathogenesis of  253b summary for  254b Sulfur dioxide  273 Superior vena cava syndrome  356 Surface epithelial tumor (ovarian)  696–697 Syndrome of inappropriate ADH (SIADH)  721 Synovial cyst  790 Synovial sarcoma morphology of  795b–796b, 795f soft tissue disease and  795–796 Syphilis congenital syphilis and  673–674 male genital system and  671–674 morphology of  672b primary syphilis and  672, 673f secondary syphilis and  672–673 serologic tests for  674 summary for  674b tertiary syphilis and  673 Systemic disease diet and  306 Systemic immune complex disease  116–117, 116f Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)  94–95 Systemic lupus erythematosus (SLE) autoantibodies in  127 as autoimmune disease  125–131, 125t clinical manifestations of  127t, 131 mechanisms of tissue injury in  127–131 morphology of  125t, 128b–130b, 129f pathogenesis of  125b–127b, 126f summary for  131b Systemic miliary tuberculosis  497b Systemic sclerosis (SS) as autoimmune disease  132–134 clinical course for  134 morphology of  133b–134b pathogenesis of  133b, 133f summary for  134b–135b



T Tapeworm (cestode)  314 Tay-Sachs disease  229–230, 230f



T cell HIV and  146 systemic sclerosis and  133 T cell leukemia, adult  443 T cell lymphoma, adult  443 T cell-mediated hypersensitivity (Type IV) CD4+ T cell inflammatory reactions and  118–119 delayed-type hypersensitivity and  119 introduction to  111, 117–120, 118t, 119f summary for  120b T cell-mediated cytotoxicity and  119–120 T cell mediated rejection  137 T cell receptor (TCR)  101, 101f Tenosynovial giant cell tumor (TGCT) clinical features of  791 joint tumors and  790 morphology of  790b, 791f Teratoma, benign cystic  163, 698–700, 700f Teratoma, immature malignant  700 Teratoma, specialized  700 Tertiary syphilis  673 Testicular atrophy  658–659 Testicular neoplasm  659–663, 660t clinical features of  662–663 morphology of  660b–662b, 660f–662f summary for  663b Testicular torsion  659 Testis cryptorchidism/testicular atrophy and  658–659 inflammatory lesions of  659 male genital system and  658–663 neoplasms of  659–663 vascular disturbances and  659 Tetany, hypocalcemic  298 Tetralogy of Fallot clinical features of  372–373 morphology of  372b right-to-left shunts and  369t, 372–373, 372f Thalassemia clinical course of  416 hemolytic anemias and  413–416 morphology of  415b–416b pathogenesis of  413b–415b, 414f–415f, 414t summary for  419 Thanatophoric dwarfism  767 Thermal burn morphology of  288b–289b thermal injury and  288 Thermal injury hyperthermia as  289 hypothermia as  289 thermal burns as  288 Thiamine deficiency  835 Thoracic aortic aneurysm  346 Thrombocytopenia, heparin-induced  453 Thrombin coagulation cascade and  81f, 83, 85f platelet aggregation and  82 Thromboangiitis obliterans (Buerger disease)  354–355 clinical features of  354–355 morphology of  354b, 354f Thrombocytopenia  78, 87, 424 disseminated intravascular coagulation and  452–454, 453t heparin-induced thrombocytopenia and  453 immune thrombocytopenic purpura and  452–453 thrombotic microangiopathies as  453–454 Thrombocytopenic syndrome, heparin-induced  87



905



906



Index Thromboembolism embolism and  75, 90 HRT and  283 oral contraceptives and  284 Thromboembolism, systemic air embolism as  91–92 amniotic fluid embolism as  91 embolism and  91–92 fat embolism as  91 Thrombophlebitis  356 Thromboplastin. See Endothelial injury Thrombosis abnormal blood flow and  86 clotting and  75 endothelial injury and  86 fate of thrombus and  89 hypercoagulability and  87–88 introduction to  86–89, 86f morphology of  88b–89b, 88f summary for  90b Thrombotic microangiopathy pathogenesis of  453b–454b summary for  541 as blood vessel disease of the kidney  540–541 clinical course of  541 morphology of  541b pathogenesis of  540b–541b summary of  541 thrombocytopenia and  453–454 Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)  541 summary for  456 thrombotic microangiopathies and  453–454 Thromboxane  46 Thrombus clinical correlations for  89 venous thrombosis and  89 fate of  89, 89f Thrush. See Oral candidiasis Thymic carcinoma  457b Thymic hyperplasia  457 Thymic hypoplasia  141 Thymoma clinical features of  457 morphology of  457b thymus disorders and  457 Thymoma type I, malignant  457b Thymus disorder introduction to  456–457 thymic hyperplasia as  457 thymoma as  457 Thyroid diffuse/multinodular goiter and  728 and endocrine system  721–735, 722f Graves disease as  726–727 hyperthyroidism and  722–723 hypothyroidism and  723–724 neoplasms of  728–735 adenomas as  729–730 carcinomas of  730–735 introduction to  728–735 summary of  735b thyroiditis as  724–726 Thyroiditis chronic lymphocytic and clinical features of  725 hypothyroidism and  724–725 morphology of  724b–725b, 725f pathogenesis of  724b, 725f



chronic lymphocytic (Hashimoto) and summary for  726 chronic lymphocytic thyroiditis and  724–725 other forms of thyroiditis and  726 subacute granulomatous thyroiditis and  725–726 subacute granulomatous thyroiditis (de Quervain) and clinical features of  726 morphology of  726b summary for  726 the thyroid and  725–726 subacute lymphocytic thyroiditis and  726 summary of  726b and the thyroid  724–726 Thyrotoxic myopathy  806 Thyrotroph adenoma  720 Tinea  313 Tissue injury morphology of  8–11 SLE mechanisms of  127–131 summary of  11b Tissue injury, leukocyte-induced  39–40, 41t Tissue necrosis. See also Necrosis inflammatory response to infection by  324 morphology of  324b morphology of  9b patterns of  9–11 summary of  11 Tissue repair clinical examples of  70–72 fibrosis in parenchymal organs and  72 healing skin wounds and  70–72 influencing factors of  69–70, 69f overview of  29–30, 58–59, 58f role of extracellular matrix in  63–65 summary for  64b role of regeneration in  65, 65f T lymphocyte cell-mediated immunity and  105–108 effector functions of  107–108, 107f immune system and  101–102, 101f summary for  104 Tobacco smoke carcinogens in  279, 279t combined with alcohol  279, 279f components of  278–279, 279t discussion of  277–279, 278t effects of  277–278, 278f–279f, 278t, 280 indirect-acting chemicals and SLE and  126 summary for  280b Tobacco smoke, environmental  279 Toll-like receptor (TLR)  32, 32f, 52 Total-body irradiation  293, 293t Toxic agents, agricultural exposure to  276–277 Toxic disorder, nervous system and  835–836 Toxic metabolite  271, 271f–272f Toxic myopathy  805–806 TP53 gene evasion of cell death and  190 as guardian of genome  185–187, 186f summary for  187b tumor suppressor gene as  173 Transforming growth factor-β pathway (TGF-β pathway) discussion of  187 summary of  188b–189b Transmigration  36 Transmural infarct  379



Index Transplant effector mechanisms of graft rejection and  137–138 hematopoietic stem cell transplant and  139 immune recognition of allografts and  135–136 summary for  138b improving graft survival and  138–139 morphology of  137b–138b, 137f rejection of  135–139 Transposition of the great arteries clinical features of  373 right-to-left shunts and  372f, 373 Trauma central nervous system and  820–822 summary of  822b parenchymal injuries and  820–821 vascular injury and  820–821 Traumatic hemolysis  418 Traumatic neuroma  798f, 808 Trichomoniasis  677–678 Trisomy 21 (Down syndrome)  237, 238f, 239 Trophoblastic tumor, placental site  703 summary for  703 Trophozoite  313 Tuberculosis as chronic pneumonia  493–498 etiology of  493 morphology of  495b, 495f–496f pathogenesis of  493b–495b, 494f primary tuberculosis and  495–496 secondary tuberculosis and  496 summary for  499b Tuberculous meningitis  826 morphology of  826b Tuberculous osteomyelitis  774 Tuberous sclerosis (TSC)  847 morphology of  847b Tubules and interstitium, disease affecting acute tubular injury and  537–538 the kidney and  533–538 tubulointerstitial nephritis as  533–537 Tubulointerstitial nephritis (TIN) acute pyelonephritis as  533–535 chronic pyelonephritis and reflux nephropathy as  535–536 diseases affecting tubules/interstitium and  533–537 drug-induced interstitial nephritis as  536–537 summary for  537b Tumor of adipose tissue lipoma and  792 liposarcoma and  792 of the adrenal medulla neuroblastoma and  761 pheochromocytoma as  760–761 of the appendix  601 of the bone bone-forming tumors and  775–777 cartilage-forming tumors and  777–779 diseases of the bone and  774–781, 775t fibrous/fibroosseous tumors and  779–780 miscellaneous bone tumors and  780–781 summary for  781b–782b of the breast  707–713 carcinoma as  708–713 fibroadenoma as  707 intraductal papilloma as  708 phyllodes tumor as  707



of the central nervous system embryonal neoplasms as  844–845 familial tumor syndromes as  847 introduction to  842–847 meningiomas as  846 metastatic tumors as  846–847 neuronal tumors as  844 other parenchymal tumors as  845 summary for  847b–848b effects on host  207–208 of infancy/childhood benign tumors and  257–258, 257f clinical course and prognosis for  259–260 of the joint ganglion and synovial cysts as  790 joint disease and  790–791 tenosynovial giant cell tumor as  790–791 of the kidney  547–549 oncocytoma as  547 renal cell carcinoma as  547–549 Wilms tumor as  549 of the liver benign tumors as  635–639 hepatocellular carcinomas as  637–639 liver diseases and  635–639 precursor lesion of hepatocellular carcinoma as  636–637 summary for  639b of the lung carcinoid tumors as  510–511 carcinomas and  505–510 introduction to  505–511 neoplasia and  162 of the ovary Brenner tumor and  698 clinical correlations of  700 endometrioid tumors and  698 introduction of  696–698, 696f mucinous tumors and  697–698 serous tumors and  697 summary for  700b surface epithelial tumors and  696–697 of the skin benign and premalignant epithelial lesions as  862–863 malignant epidermal tumors as  863–864 melanocytic proliferations as  865–869 of the ureter  668 of the vulva  683–684 carcinoma and  683 condylomas and  683 extramammary Paget disease and  683–684 Tumor, benign focal nodular hyperplasia as  635–636 hepatic adenoma as  636 of infancy and childhood  259–260 of the liver  635–636 Tumor, dysembryoplastic neuroepithelial  844 Tumor, endometrioid  698 Tumor, fibrohistiocytic benign fibrous histiocytoma as  794 pleomorphic fibroblastic sarcoma/pleomorphic undifferentiated sarcoma  794 and soft tissue  794 Tumor, fibroosseous  779–780 Tumor, fibrous of the bone fibrous cortical defect and nonossifying fibroma as  779 fibrous dysplasia as  779–780



907



908



Index Tumor, fibrous (Continued) fibromatoses and  793 fibrosarcoma as  793–794 reactive proliferations and  793 of the soft tissue  792–794 Tumor, germ cell  845 Tumor, Krukenberg  698b Tumor, malignant in infancy and childhood  258–262, 258t neuroblastoma as  258–260 retinoblastoma as  260–261 Wilms tumor as  261–262 Tumor, malignant epidermal basal cell carcinoma as  864 squamous cell carcinoma as  863–864 summary for  864b Tumor, neuronal  844 Tumor, odontogenic  558 Tumor, parenchymal germ cell tumors as  845 primary central nervous system lymphoma as  845 Tumor, smooth muscle leiomyoma as  795 leiomyosarcoma as  795 Tumor, vascular benign and tumor-like conditions of  357–359 intermediate-grade of  360–361 introduction to  357–362, 357t malignant tumors as  361–362 summary for  362b Tumor antigen differentiation antigens and  206 glycolipids/glycoproteins and  206 introduction to  204–206, 205f mutated oncogenes/tumor suppressor genes and  204–205 oncofetal antigens and  206 oncogenic viruses and  206 other mutated genes and  205 overexpressed cellular proteins and  205 Tumor cell, homing of  194–195 Tumor immunity antigens and  204–206 introduction to  204–207 surveillance and evasion by  207 Tumor marker  211 Tumor necrosis factor (TNF)  48, 48f Tumor suppressor gene carcinogenesis and  173, 177, 184 inherited mutations and  171–172 Turner syndrome  240–241, 240f nonimmune hydrops and  255–256 22q11.2 deletion syndrome  237–239 Type 1 diabetes (T1D) clinical features of  748, 750t diabetes mellitus and  739 pathogenesis of  741, 741f summary for  750 Type 2 diabetes (T2D) clinical features of  748, 750t diabetes mellitus and  739 pathogenesis of  741, 742f summary for  750 Type 1 hypersensitivity. See Hypersensitivity, immediate Type II hypersensitivity. See Antibody-mediated disease Type III hypersensitivity. See Immune complex disease



Type I interferon, SLE and  126 Typhoid fever  584 Tyrosine kinases, non-receptor  178–179



U Ultraviolet (UV) radiation  126 Upper respiratory tract acute infection  512–513 Upper respiratory tract lesion acute infections and  512–513 laryngeal tumors and  513–514 nasopharyngeal carcinoma and  513 Ureaplasma  313 Ureter  668–671 Ureteropelvic junction (UPJ) obstruction  668 Urinary bladder neoplasms of  669–671 non-neoplastic conditions of  668–669 Urinary outflow obstruction hydronephrosis and  545–547 renal stones and  545 Urinary tract infection  518 Urogenital tract  317, 319 Urolithiasis  545 Urticaria acute inflammatory dermatoses and  852 clinical features of  852 morphology of  852b pathogenesis of  852b Uterus, body of abnormal uterine bleeding and  690–691, 690t adenomyosis and  689 endometriosis and  689–690 endometritis and  689 proliferative lesions of endometrium/myometrium and  691–694 summary for  691b



V Vagina female genital system and  684–685 malignant neoplasms of  684–685 clear cell adenocarcinoma as  685 sarcoma botryoides as  685 squamous cell carcinoma as  684 vaginitis and  684 Vaginitis  684 Variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD)  831, 832f Varicose vein of the extremities  356 clinical features of  356 of other sites  356 Vascular change acute inflammation and  31, 31f, 33–34 changes in vascular caliber and flow and  31f, 33–34 increased vascular permeability and  33–34, 33f lymphatic vessel responses and  34 summary of  34b Vascular dissemination invasion-metastasis cascade and  194–195 Vascular ectasias  357–358 Vascular injury, traumatic central nervous system and  821–822, 821f epidural hematoma as  821 subdural hematoma as  821–822 Vascular intervention, pathology of endovascular stenting and  362 vascular replacement and  363



Index Vascular malformation  818 morphology of  818b–819b, 819f Vascular organization  328–329, 328f Vascular replacement  363 Vascular smooth muscle cell  330 Vascular tumor, benign bacillary angiomatosis as  359 glomus tumors as  359 hemangiomas as  358–359 lymphangiomas as  359 vascular ectasias as  357–358 Vascular tumor, intermediate-grade hemangioendotheliomas as  361 Kaposi sarcoma as  360–361 Vascular tumor, malignant angiosarcomas as  361–362 hemangiopericytomas as  362 Vascular wall, response to injury by intimal thickening and  334–335, 335f Vasculitis  819 discussion of  348–355, 349f infectious type of  355 noninfectious type of  348–355 summary for  355b Vasoactive amines  112 Vein, disease of superior and inferior vena cava syndromes as  356 thrombophlebitis and phlebothrombosis as  356 varicose veins of the extremities as  356 Velocardiofacial syndrome  237–239 Venoocclusive disease. See Sinusoidal obstruction syndrome Venous thrombosis (phlebothrombosis)  87t, 89 paroxysmal nocturnal hemoglobinuria and  417b Ventricular aneurysm  383f, 384 Ventricular septal defect clinical features of  371 left-to-right shunts and  369t, 371, 371f morphology of  371b Verrucae (warts) infectious dermatoses and  857 morphology of  857b, 858f pathogenesis of  857b Verrucous endocarditis  88b–89b Verrucous endocarditis, nonbacterial  130 Viral encephalitis  826–829, 827f Viral hepatitis, acute  619 Viral injury, mechanism of  319–320, 319f Viral meningitis. See Aseptic meningitis Virchow’s triad  86, 86f Virus autoimmunity and  124 infectious agents as  309–310, 310t, 311f Virus, oncogenic  206 Vitamin A deficiency states of  297–298 discussion of  296–298, 297f–298f function of  296–298 toxicity of  298 Vitamin B12 deficiency  835 Vitamin B12 deficiency anemia clinical features of  423 as megaloblastic anemia  423 pathogenesis of  423b Vitamin C (ascorbic acid) deficiency of  301 discussion of  301–302



function of  301–302 toxicity of  301–302 Vitamin D deficiency states of  299–301, 301f discussion of  298–301 functions of  299, 299f metabolism of  298–299, 299f toxicity of  301 Vitamin deficiency nutritional disease and  296–302, 302t–303t Vitamin A and  296–298 Vitamin C and  301–302 Vitamin D and  298–301 Von Gierke disease  232–233, 233t von Hippel-Lindau disease  847 morphology of  847b Von Willebrand disease  455 summary for  456 von Willebrand factor (vWF)  80, 81f Vulva non-neoplastic epithelial disorders of  682 tumors of  683–684 summary for  684b vulvitis and  681–682 Vulvitis  681–682



W WAGR syndrome  261–262 Waldenström macroglobulinemia  439–440 Warts. See Verrucae Waterhouse-Friderichsen syndrome disseminated intravascular coagulation and  452b metabolic abnormalities and  96 Water retention  77–78 Wegner granulomatosis (WG)  353–354 clinical features of  354 diffuse alveolar hemorrhage syndromes and  485 morphology of  353b–354b, 353f Wernicke-Korsakoff syndrome  281, 302t, 835 morphology of  835b White cell disorder hematopoietic system and  425–449 neoplastic proliferations of histiocytic neoplasms and  449 neoplastic proliferations of  428–449 lymphoid neoplasms and  429–443 myeloid neoplasms as  444–448 as white cell disorders  428–449 non-neoplastic disorders of  425–428 leukopenia as  425–426 reactive leukocytosis as  426–427 reactive lymphadenitis as  427–428 White infarcts  92b–93b, 93f, 94 Wilms tumor discussion of  261–262 morphology of  262b, 262f–263f summary for  262b–263b tumors of the kidney and  549 Wilson disease clinical features of  631 as inherited metabolic disease  630–632 morphology of  631b pathogenesis of  631b Wood smoke  273 Wrist, carpal ligaments of  157–158



909



910



Index X



Y



Xenobiotics  271, 271f–272f summary for  273 Xeroderma pigmentosum  197 Xerophthalmia (dry eye)  297–298 Xerostomia  131, 132b, 555 X-linked agammaglobulinemia (XLA)  140, 143 X-linked disorder  220



Yellow fever  620 Yolk sac tumor  660b–662b, 661f



Z Zollinger-Ellison syndrome  568b