Satria Wilwatikta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SATRIA WILWATIKTA Epi 18 (Pelarian Sang Durjana 2) Siang yang telah menjadi gelap itu semakin menampakan kemuraman, gemuruh petir semakin mendebarkan penghuni hutan Alas Larang. Auman harimau penghuni hutan itu seakan menyayat pilu hati. Namun mereka tidak berani mendekati tempat di mana terlihat kilatan petir yang menghujam sosok tubuh yang berdiri tegak dengan wajah yang nampak tenang. Jambu Nada putra dari mendiang Sakawuni itu berdiri dengan tangan bersedekap. Hidup dan matinya telah di serahkan pada Hyang Batara Agung. Perlahan tangannya di rentangkan selebarlebarnya. Dalam kegelapan nampak sinar keputihan yang menyeimuti tubuhnya. Lamat-lamat totol hitam yang melekat di tubuhnya tergantikan dengan totol-totol yang berwujud sinar yang begitu jernih. Perlahan-lahan sinar itu menyeruak dan mengikis kabut gelap kehitaman. Mulanya hanya di sekitaran tempat Jambu Nada berdiri, namun sinar itu seperti menyeruak membebaskan udara yang telah di belit kabut gelap itu. Keanehan kembali terjadi, pepohonan yang meranggas terkena sambaran petir tiba-tiba saja kembali segar menghijau, menjadi pohon yang seperti tidak tersentuh apa-apa, kembali seperti sedia kala. Rerumputan yang mengering setelah terbias cahaya yang amat jernih menjadi kembali tumbuh menghijau. Sebuah pemandangan yang nampak indah. ‘’Eyang cantik, lihatlah rerumputan itu kembali tumbuh’’ Seru Latta Manjari pada Ayu Wandira sambi menunjuk rumput yang tadinya telah hangus terbakar kini kembali menghijau. ‘’Udaranya juga terasa segar, tidak terasa panas dan menyesakan dada’’ timpal Puspita sambi tersenyum. ‘’Lihatlah tubuh Kakang Jambu Nada, cahanya yang bersinar sungguh jernih seperti berlian’’ lanjut gadis cantik itu dengan wajah yang keheranan. Mereka yang berada di sekitaran tempat itu memang melihat perubahan yang terjadi dengan keheranan dan kekaguman. Kamandanu yang pernah melihat hal itu tidak menampakan keheranannya, hanya senyuman yang tersungging dari bibir tuanya. Sungguh peristiwa yang langka dan amat mengherankan, biasanya sebuah kekuatan identik dengan penghancuran. Sesuatu yang berbekas dari sebuah kekuatan akan menyisakan kehancuran. Sebuah pedang akan mampu menebas sebatang pohon atau pedang yang lainnya, namun pedang itu tidak akan bisa kembali menyambung pohon yang telah di tebasnya. Layang samba pun telah menyadari hal itu, matanya mendelik dengan sangat tajam. ‘’Mandana dan Mandini rupanya telah menitiskan kekuatan Bhatara Wisnu padanya’’ gumam Layang Samba.’’ Apa yang aku khawatirkan memang benar adanya’’. ‘’Keparat’’ kembali pemuda itu membathin. ‘’Hei Jambu Nada, aku tahu kekuatan yang berada pada tubuhmu’’ teriak Layang Samba dengan suara yang terdengar menggema. ‘’ dulu Yang Mulia Amuraja pernah di lumpuhkan ole kekuatan itu, tapi sekarang ceritanya akan berbeda, kekuatan ini berada di alam kita, alam para manusia’’.



‘’Tuan Layang samba, pada dasarnya kita sebagai manusia adalah makhuk yang sempurna dari mkhuk lain yang di ciptakan Hyang Maha Agung’’ jawab Jambu Nada dengan senyuman yang mengembang dari wajanya. ‘’ Karena itulah, kita sebagai manusia harus bersyukur bahwa kita terpilih menjadi pemimpin di dunia yang fana ini, kita di bekali akal dan perasaan untuk dapat menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, kita harus percaya bahwa kekuatan Hyang Maha Agung adalah kekuatan yang hakiki’’ lanjut Jambu Nada. ‘’Sudahlah Jambu Nada aku tidak membutuhkan ocehanmu yang terasa membosankan ini, mari kita buktikan kekuatan siapa yang paling hebat, kita hanya sebagai titisan kekuatan namun kita sendiriah yang mengendalikan kekuatan itu, jadi aku yakin bahwa kekuatanku akan mampu mengalahkanmu’’ kata Layang Samba kembali suaranya terdengar lantang. Di sekitaran tempat Layang Samba berdiri kembali kabut kehitaman yang terlihat semakin pekat, namun kabut itu tidak mampu lagi menggelapkan di sekitaran hutan Alas Larang. Sesaat terasa hutan itu menjadi lengang, namun tidak berlansung lama, selanjutnya Layang Samba telah berteriak nyaring. Dari tubuhnya keluar ribuan sinar merah yang menyala melesat dengan cepat ke arah Jambu Nada yang berdiri tegap dengan sinar putih jernih menjadi bentengnya, butiran cahaya merah itu seperti tidak mampu menembus cahaya keputihan yang menyelimuti tubuh Jambu Nada. ‘’Kurang Ajar’’ gumam Layang Samba. Kini matanya yang telah menyala merah segera di hentakannya pada tubuh Jambu Nada, kembali sinar itu seperti lebur dan terhisap oleh sinar keputihan yang jernih menjadi totol pada kulit Jambu Nada. Layang Samba seperti merasa di permainkan kini tubuhnya melengking melesat ke arah Jambu Nada yang berdiri tegak. Jambu Nada segera berkelit ringan kemudian tangannya mengibas pada wajah Layang Samba. Mendapat serangan balik, Layang samba menurunkan badannya mencoba melayangkan tangannya pada kepala Jambu Nada, kembali tangannya hanya menerpa ruang kosong. Bahkan hampir saja kaki Jambu Nada yang terjulur ke depan mengentak lambungnya, tapi pemuda itu tidak mau tubuhnya mendapat benturan itu sehingga dengan cepat tubuhnya bersalto ke udara berkali-kali hingga tubuhnya mendarat di belakang tubuh Jambu Nada. Begitulah pertarungan adu tanding itu kini benar-benar pada tataran tertingi imu kanuragan mereka. Dua pasukan kecil hanya seperti penonton yang menyaksikan pertunjukan yang tidak akan mungkin mereka lakukan. Ilmu kanuragan yang ngegerigis dari Layang Samba di layani dengan Ilmu Kanuragan Jambu Nada yang bersifat menjinakan. Sudah beberapa lama pertarungan itu belum ada yang menunjukan antara salah satunya dapat menundukan lawan masing-masing. Hanya saja kini Layang Samba tidak dapat merusak alam di sekitarnya, setiap benturan yang ngegerigis menghantam alam di sekitarnya maka dengan cepat bias cahaya jernih dari Jambu Nada menyelamatkan alam sekitarnya.



Kamandanu termangu menatap dua bayangan yang berkelebat di udara, dan sesekali menjejakan kaki mereka di tanah, malam telah benar-benar datang. Sorot mata lelaki setengah baya itu begitu sejuk pandangannya, yang siapa pun melihat akan merasa damai dan ingin sekali bersahabat dengannya, mungkin mereka yang telah tertutup pintu hatinya saja yang akan menyangkal. Dari kejauhuan Kamandanu menatap perapian yang terlihat begitu kecil, ternyata pasukan kecil di seberang sana pun telah membuat perapian seperti yang mereka lakukan. Memang di antara ke dua pasukan keci itu sudah tidak menutup diri akan keberadaan masing-masing. Mereka telah samasama mengetahui akan keberadaan lawan masing-masing. Kamandanu menoleh wanita yang masih muda duduk dengan termanngu pula. Wanita yang masih muda itu seperti tidak memperdulikan tiga orang yang sejenis dengannya yang membicarakan adu tanding yang terjadi di depan mereka. Matanya menatap ujung perapian yang seakan-akan menari-nari menerima belaian angin. Lelaki yang telah jauh meninggalkan masa mudanya itu berdiri, perlahan kakinya menerobos semak yang tidak terlalu lebat. Kemudian suami mendiang Sakawuni itu duduk membelakangi sebuah pohon yang besar. Matanya terpejam kemudian tangannya di tempelkan di dada, setelah itu Kamandanu memusatkan pikirannya pada satu titik. Dari kejauhan di sebuah bukit kecil, lelaki tua dengan rambut putih menggerai di pundaknya. Jubah hitamnnya yang bersulamkan emas menandakan bahwa lelaki itu adalah pejabat. Memang begitulah adanya, Arya Dwipangga adalah petinggi Kadipaten. Dadanya berdesir ketika lamat dia mendengar suara yang hanya dirinya sendiri mendengar. ‘’Kakang Dwipangga, marilah kita berbicara sebentar ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Aku tidak berada di pasukanku, ikutiah suara ini maka Kakang akan dapat menemuiku’’ kata suara itu pelan. Arya Dwipangga beringsut dari duduknya, kemudian tubuhnya menunduk hormat pada Jasa Wirat. ‘’Maaf Raden, aku mohon ijin untuk pergi sebentar’’ Jasa Wirat mengerutkan dahinya, namun tidak ada suara yang keluar dari bibir lelaki itu. ‘’Aku menemui seseorang yang telah mengirimkan Ajian Pameling padaku, aku kenal suara itu’’ lanjut Dwipangga melihat Jasa Wirat yang hanya mengerutkan dahinya. Jasa Wirat menganggukan kepalanya. ‘’Baiklah Paman, hati-hatilah!, siapa tahu kalau itu hanya jebakan’’ sahut putra Wong Agung itu. Arya Dwipangga mengangguk senyum. Berikutnya lelaki tua itu melangkah ke arah kegelapan. Lembut suara itu masih jelas di dengarnya kemudian tubuhnya berkelebat ringan mengikuti arah suara yang membimbinginya. Suara binatang penghuni malam telah lama terdengar, walaupun tidak seramai biasanya. Mungkin di antara mereka masih takut akan terjadi sesuatu pada diri mereka. Hanya mereka yang percaya bahwa alam di sekitar mereka telah terindungi ole sinar jernih sesorang yang masih melakukan adu tanding dengan pemuda yang masih muda pula. Sehingga binatang itu tidak takut berbicara dengan santainya.



Sepotong bulan sabit semakin membesar dari malam sebelumnya, jelas bulan itu semakin menuju puncaknya yang pasti datang tidak beberapa lama lagi, mungkin butuh waktu sepekan lagi maka bulan itu akan bersinar bulat penuh. Desiran angin malam lembut menggoyangkan dedaunan yang di terpa temaram sinar bulan itu. Pada sebatang pohon besar Kamandanu membuka matanya, di depannya terihat lelaki berambut putih memandangnya dengan pandangan dingin tanpa rasa. ‘’Terima kasih Kakang, kau mau memenuhi undanganku’’ kata Kamandanu pelan. ‘’Apa keperluanmu Kamandanu, cepat katakan’’ sahut Arya Dwipangga cepat. ‘’Aku tahu kita berada di persimpangan jalan, mungkin dari dulu kita sudah di takdirkan berada pada persimpangan kemudian akan saling berhadapan dengan pendirian yang berbeda ‘’ Kata Kamandanu, matanya menatap lembut Arya Dwipangga. ‘’Tapi walau bagaimana pun juga darah kita adalah darah kandung, terlahir dari Ibu yang sama dan Ayah yang sama pula. Bahkan kita di besarkan di satu atap dengan kasih sayang dari ibu yang sama’’ lanjut Kamandanu. ‘’Sudahlah Kamandanu, tidak perlu kau katakan hal yang seperti itu!’’ kata Dwipangga. ‘’Mungkin itu hanya cocok kau katakan pada seorang anak yang susah menidurkan matanya, dan jelas itu tidak cocok kau katakan padaku’’ Jawab Arya Dwipangga. Kamandanu menghela nafas, dia sadar hati Kakangnya itu telah membatu yang sulit di pecahkan oleh gelombang yang sekuat apa pun. Namun jauh dari relung hatinya masih ingin Kakangnya itu sedikit membuka hati melihat dan mencerna atas perbuatannya yang telah jauh meninggalkan aturan norma. Kamandanu tetap berharap, dengan menyentuh hal yang paling dasar pada Kakangnya itu sedikit memberi ruang pada jiwanya yang telah di padati nafsu duniawi. ‘’Kakang apa kau tahu Ayu mencarimu’’ tanya Kamandanu kemudian. Arya Dwipangga mengerutkan keningnya, matanya menatap tajam pada Kamandanu. ‘’Kakang, dia sangat terkejut mengetahui bawa kau adalah dalang dari segala kekacauan di beberapa daerah Bumi Majapahit. Selama ini Ayu mencarimu namun dia tidak pernah mendapatkan jejakmu hingga akhirnya mendapatkan jejak bahwa kau yang melakukan penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan di Bumi Majapait’’ lanjut Kamandanu. ‘’Di mana dia Kamandanu?’’Kata Dwipangga.‘’ Jangan berbelit-belit, apakah dia ikut dalam peperangan ini?’’. ‘’Dia berada bersamaku, benar dia ikut dalam peperangan ini’’ Jawab Kamandanu. Wajah Arya Dwipangga memerah, matanya semakin tajam menatap Kamandanu. ‘’Aku yakin ini pasti karena kau Kamandanu’’ kata Dwipangga.’’ Pasti kau yang menghasut Ayu Wandira untuk ikut dalam peperangan ini, dan kau juga yang mengatakan tentang keberadaanku’’.



Sebelumnya Kamandanu mengerutkan dahinya, tapi itu hanya sesaat wajanya kembali biasanya sambil menganggukan pelan kepalanya. ‘’Aku sudah menduga Kakang akan mengatakan hal ini padaku, tapi sebelumnya apa Kakang lupa bahwa Ayu Wandira adalah Prajurit Majapahit?, sebagai seorang Prajurit Majapahit tentu dia mempunyai tanggung jawab menjaga kedaulatan Majapahit’’ jawab Kamandanu. ‘’Awalnya dia tidak percaya Kakang, bahwa kau yang melakukan semua ini, karena itulah dia mencarimu bersama suaminya Tuan Pranyam, namun Hyang Widhi menghendaki lain sesuatu telah terjadi padanya, beliau telah kembali padaNya saat Tuan Pranyam bersama Ayu Wandira berada di Puncara Agni’’ lanjut Kamandanu. ‘’Jadi suaminya telah mati?’’ tanya Dwipangga, tiba-tiba wajahnya menampakan ketegangan. ‘’Benar Kakang, saat itu mereka di kepung oleh murid-murid padepokan setelah Tuan Mertaka mengetahui bahwa Tuan Pranyam dan Ayu Wandira adalah prajurit Majapahit’’ jawab Kamandanu. Sesaat lamanya Dwipangga termangu, dia tidak menduga bahwa Ayu Wandira akan mencari ke beradaannya. Dia sama sekali tidak mengetahui hal itu apalagi dia berada dalam perwatan Ki Panumerta setelah di selamatkan Layang Samba saat terjadi benturan dengan Kamandanu. Belum habis Dwipangga mencoba mencerna kata-kata Kamandanu, tiba-tiba sebuah bayangan melesat begitu cepat dan hampir saja dadanya akan tertusuk pedang panjang dari bayangan itu. Namun Dwipangga adalah seorang pendekar yang telah mencapai tataran tertinggi dalam Ilmu Kanuragan sehingga dengan mudah tubuhnya bergerak ke samping menghindari tusukan pedang itu. “Semua ini terjadi karena kau Dwipangga, kau harus bertanggung jawab atas semua ini’’ teriak sebuah suara yang kembali melengking melibaskan pedang panjangnya. Dengan sigap kembali Dwipangga meloncat mundur, namun bayangan itu terus memburu tubuh Dwipangga sehingga terjadi pertarungan itu. Bayangan itu meloncat dengan gesit mencari sasarannya, tubuhnya melayang dan sesekali menjejakan kakinya. Cukup lama pertarungan itu terjadi sampai ketika Kamandanu meloncat ringan dan menarik lengan bayangan itu. ‘’Ayu, kendalikan dirimu’’ kata Kamandanu sambil terus memegang lengan sosok bayangan yang telah berdiri di depannya. ‘’Aku tidak akan bisa tidur pulas Paman, sebelum aku berhasil membunuh orang itu’’ sahut sosok itu yang tidak lain Ayu Wandira. Rupanya Ayu Wandira yang berada di pasukan mencoba mencari Kamandanu yang tiba-tiba menghilang dari pasukan kecil itu,kemudian dengan diam-diam Ayu Wandira mencari keberadaan Pamannya, alangkah terkejutnya ketika dia melihat Pamannya bersama orang yang memang di carinya. Tanpa berpikir panjang lagi dengan cepat Ayu Wandira menerjang dan lansung menusuk Dwipangga dengan pedang yang di genggamnya. ‘’Bukan aku yang membunuh suamimu Ayu’’ sela Dwipangga dengan sedkit nafas yang tersengal.



‘’Tapi kaulah penyebabnya, kalau aku tidak memaksa Kakang Pranayam mencarimu maka sampai saat ini Kakang Pranayam masih bersamaku’’ Sahut Ayu wandira dengan mata tajam menatap Dwipangga. ‘’Jangan kau turuti hatimu yang gelap itu Ayu’’ sela Kamandanu ‘’ Tuan Pranayam telah tenang di sana, yang di lakukannya adalah demi keselamatanmu’’ ‘’Kita di dunia ini tidak akan tahu kapan kematian menjemput kita, bahkan di tempat tidur sekalipun, jangan kau jadikan lantaran karena Tuan Pranyam ikut bersamamu penyebab Tuan Pranayam menemui batas hidunya, apa pun itu semua adalah kehendak Hyang Widhi’’ lanjut Kamandanu. ‘’Dan lagian suamimu itu telah tua Ayu, dia lebih pantas menjadi Ayahmu dari pada harus menjadi Suamimu’’ Kata Dwipanga. ‘’Kurang Ajar’’ hardik AyuWandira. Tanpa memperdulikan Kamandanu lagi, dengan sekuat tenaganya dia melibaskan tangannya dari genggaman Kamandanu, kemudian tubuhnya kembali melengking menerjang Dwipangga yang berdiri tegak. Dwipangga sedikit tergagap mendapat serangan itu, namun karena pengalaman yang telah mengajarinya membuat dirinya dengan mudah menghindar dari terjangan Ayu Wandira, setelah menerapkan ilmu peringan tubuhnya Dwipangga hanya berkelit kecil menghindar serangan dan terjangan Ayu Wandira, dan sesekali menepis lengan atau kaki Ayu Wandira yang juga telah bergerak begitu lincah mecari sasaran. Kamandanu hanya terdiam dengan menahan napas melihat pertarungan anak dan Ayah itu, dia menyayangkan sikap Ayu Wandira. Namun dia juga kecewa dengan sikap Dwipangga yang telah membuat hati Ayu Wandira kembali mendidih. Sebenarnya sesaat lamanya Ayu Wandira terdiam ketika mendengar ucapan Kamandanu mencoba membuka hatinya yang sempat gelap, namun tiba-tiba saja darahnya kembali mendidih bahkan melebihi sebelumnya ketika Dwipangga menyebut suaminya lebih pantas menjadi Ayahnya. ‘’Hei Dwipangga, aku menyesal memaksa ibu menikah dengamu, kau tidak pantas menjadi suami ibuku. Harusnya saat itu aku harus membunhmu kau hanya seonggok daging hidup yang tidak berguna. Kau terlahir hanya untuk menyusahkan orang-orang yang berada di sekelilingmu, kau iblis Dwipangga’’ hardik Ayu Wandira keras setelah beberapa lama dia tidak berhasil menyentuh tubuh Dwipangga. “Aku Ayahmu Ayu, dan ibumu Mei shin adalah istriku kau tidak bisa menyangkal semua itu’’ sahut Dwipangga. ‘’Bangsat laknat, jangan kau ucapkan itu lagi!, aku akan membunuhmu orang tua’’ jawab Ayu Wandira dengan mata yang tajam menatap Dwipangga. Kembali tubuh Ayu Wandira melesat tajam menyerang dengan darah mendidih, dia sudah tidak peduli degan kehadiran Kamandanu, yang ada dalam hatinya adalah membunuh Dwipangga,



melepaskan rasa hatinya meluap penuh kebencian, darahnya yang mendidih semakin terasa terbakar dipanggang bara api. Demikianlah pertarungan itu kembali terjadi, malam yang temaram di temani sepotong bulan itu telah di penuhi hawa kebencian di hati Ayu Wandira. Dengan segala kemampuan yang berada padanya dia bergerak dengan lincah mencari sasaran. Namun Arya Dwipangga memang pendekar yang sulit mencari tandingannya, sebagaimanpun Ayu Wandira menyerangnya bagaikan air bah, maka Dwipangga bertahan bagaikan batu karang yang kokoh tidak tergoyahkan. Kamandanu berdiri dengan hati yang pedih melihat pertarungan yang terjadi antara anak dan Ayah itu. Kamandanu sadar bagaimanpun juga Ayu Wandira adalah anak kandung Kakangnya itu. Darah Ayu Wandira adalah darah Dwipangga yang begitu kental mengaliri tubuhnya. Kembali Kamandanu merasakan hatinya teriris sembilu, pertikaian yang terjadi telah mengingatkannya peristiwa puluhan tahun silam. Orang yang berada di sekelingnya saling membunuh dengan alasan duniawi, alasan hawa nafsu, ketamakan dan kebencian. Dahulu sekali dia melihat bagaiman peristiwa pembrontakan Rangga Lawe yang di karenakan merasa ketidak adilan, di susul dengan Lembu Sora, sosok yang di hormati bahkan telah di anggapnya sebagai pengganti orang tuanya dan juga Gajah Biru yang merasa tidak terima dengan segala bentuk perbuatan Ramapati. Mereka semua itu adalah orang-orang yang berada dekatnya dengannya, bersama saling membahu membangun Majapahit. Dan sekarang masalah keluarganya yang tidak habis-habisnya mengegrogoti hati dan perasaanya. Sudah lama dia memutuskan untuk mengasingkan dirinya mencoba menghindari kebuasan dunia yang tidak pernah berakhir, namun takdir tidak bisa di elakan, bagaimanpun juga dia menghindar takdir akan membawanya pada kejadian-kejadian yang kembali membuatnya harus diam terpaku dengan hati yang teriris. Belum lagi pertempuran Layang Samba dan putranya Jambu Nada, walaupun dengan alasan yang lain, namun semuanya itu berlatar belakang dengan peristiwa masa lalunya. Dendam yang di bawa Layang Samba telah sampai mengikatkan dirinya pada raja iblis musuh para dewa, Sang Amuraja Durjana. Kamandanu tidak pernah menduga semua itu berlarut-larut sampai kini di usianya yang telah menanjak naik. Usia di mana dia menginginkan ketenangan dalam mengarungi hidup, menyerahkan diri pada Yang Maha Kuasa untuk bekal jika kela telah kembali padaNya. Tapi satu hal yang di sadarinya bahwa widi dari Yang Maha Kuasa tidak bisa di hindarinya, semuanya harus di hadapinya dan berharap semua itu terselesaikan. Malam makin menanjak naik, tidak jauh dari Kamandanu berdiri sesorang menatapnya penuh kebencian. Dalam darahnya telah mendidih. Cukup lama dia menunggu datang masa itu. Dia ingin menunjukan bahwa Ayahnya tidak kalah hebat dari Kamandanu. Dialah Jasa Wirat putra dari Wong Agung. Sementara itu pertarungan yang melebihin manusia biasa semakin terlihat menggerigis. Rupanya keduanya telah mengalami benturan-benturan keras. Jika orang kebanyakan mungkin akan mati seketika, namun ilmu kanuragan yang mereka miliki bukan berasal dari bumi menyebabkan hal yang berbeda.



Tubuh Jambu Nada rupanya telah banyak terkena pukulan Layang Samba, nampak memar kebiruan menghiasi tubuhnya. Jika cahaya yang jernih itu menghilang maka semua orang akan dapat melihat jelas apa yang terjadi pada tubuhnya. Jambu Nada ingat akan cerita Dewa Mandana dan Dewi Mandini bahwa kedua Dewa itu melakukan pertarungan hampir satu tahun lamanya baru dapat melumpuhkan Sang Amuraja Durjana. Dan itu dua Dewa yang mempunyai kekuatan yang sama baru dapat melumpuhkannya. Lalu bagaimana dengannya yang hanya seorang diri. Namun Jambu Nada percaya bahwa dengan menyerahkan diri pada Hyang Batara Agung semuanya akan dapat di selesaikan. Apapun yang terjadi itu semua adalah kehendak dari Hyang Widhi. Jika dia harus kembali padaNya mungkin itu merupakan widi yang harus di lewatinya. Tapi Jambu Nada tidak mngalaminya sendiri, Layang Samba pun telah mengalami hal yang sama. Tubuhnya telah lebam kemerahan dengan dada yang terasa sesak setiap kali menerima pukulan yang dahsat dari Jambu Nada. Bagaimana pun juga keduanya hanya titisan kekuatan dari makhluk yang bukan berasal dari bumi, namum mereka tetap manusia. Sebagaimana pun juga kekuatan sesorang tetap saja meraka adalah manusia yang wadahny hanya daging dan darah yang bisa lapuk. Orang yang telah mencapai ilmu kanurgan melewati orang kebanyakan tetap bergantung pada wadahnya, yaitu tubuhnya. Tubuh manusia adalah wadah yang menampung apa pun yang berada dalam dirinya. Ketika wadah itu telah mulai menyusut maka tidak akan mampu menampung kekuatan yang sebagaimana pun juga. Kelak pada saatnya wadah itu akan mencapai pada satu titik kematian dan melapuk kembali ke asalnya, berupa debu tanah. Bersambung. SATRIA WILWATIKTA Karya Uray Mursalin Episode 19 ( Dilema Hati 1) Raut malam menapaki ujungnya, dengan semeringah sang mentari menyembul di ufuk timur. Dia datang mengabarkan sebuah harapan baru dan suasana yang baru dari hari kemarin. Dedaunan nampak begitu segar di terpa sinar mentari yang berhasil mengeringkan embun yang telah membasahi sekujur kulit deduanan itu. Sang Elang pun menukik tajam mencari ayam hutan yang terlepas dari induknya. Matanya begitu tajam mengawasi setiap gerak yang mencurigakannya. Hutan Alas larang pun kini telah hingar bingar dengan teriakan prajurit dan benturan pedang maupun tombak. Rupanya kedua pasukan kecil itu telah berbenturan. Nampaknya Gajah Mada berniat mempercepat penangkapan orang-orang pelarian itu. Maka ketika Ki Mertaka telah tewas dia pun telah memberikan tanda bagi Gajah Enggon untuk memimpin prajurit lansung menyergap prajurit Jasa Wirat. Jasa Wirat yang terikat adu tanding dengan Kamandanu nampak geram melihat prajuritnya terdesak, di sana hanya Pragolopati bersama gurunya Ki Panumerta yang memimpin prajurit-prajurit tersebut.



Dia pun tidak dapat mengharapkan Arya Dwipangga yang juga terus di buru Ayu Wandira bersama Latta Manjari, bahkan kemarahannya semakin memuncak saat mengetahui Arya Dwipangga hanya berkelit menghindar dan tidak berniat membunuh Ayu Wandira. Dari mulutnya telah keluar sumpah serapah yang tidak habis-habisnya. ‘’Bangsat, nah Kamandanu sekarang terimalah rupanya aku tidak bisa bermain-main terlalu lama denganmu, jangan salahkan aku jika kau menemui ajalmu’’ teriak Jasa Wirat. ‘’Maaf Tuan, aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, jika Hyang Maha Agung menghendaki nyawaku melalui perentara Tuan, maka aku terima dengan ikhlas’’ sahut Kamandanu tenang. Lelaki yang tidak lagi muda itu telah pasrah, Kamandanu tahu Jasa Wirat masih mempunyai simpanan dari perguruan lain namun mempunyai aliran yang sama. Sama-sama bersumber pada api. Rasa panas semakin terasa membakar kulitnya, rasa panas itu memang luar biasa cahaya kemerahan dari tubuh Jasa Wirat membuat udara di sekitarnya semakin membara. Nyai Tantina yang melihat kejadian itu tahu bahwa Jasa Wirat telah menerapakan tataran tertinggi dari Ajian Komala Agni. Bersama Puspita mereka berjanji untuk membantu Kamandanu, mereka sadar tidak dapat larut dalam kesedihan apalagi di sekitar mereka benturan antara pasukan itu telah terjadi. Maka ketika tubuh Jasa Wirat yang telah menyala dengan tangan yang mengembang berkelebat ke arah tubuh Kamandanu, Nyai Tantina dan Puspita segera menyonsong tubuh Jasa Wirat. Raungan keras dari mulut Kamandanu menggema, pertanda kekuatan Naga Puspa yang telah di terapkannya kembali menerima benturan. Benturan itu tidak terelakan bersama kekuatan Naga Puspa dan dua Ajian Komla Agni segera berbenturan dengan Ajian Komala Agni milik jasa Wirat. Tubuh Jasa Wirat terlempar jauh ke belakang, lelaki itu tidak menyadari jika dirinya mendaptkan benturuan itu. Sekuat apa pun dirinya ketika menerima tiga kekuatan itu maka beban itu terlalu besar baginya. Wajahnya terasa terbakar, tubuhnya melesat dengan cepat menerobos pepohonan yang lansung hangus terbakar. Dan segera mendarat jauh dari tempatnya semula. Terlihat warna kehitaman pun telah membakar dadanya. Nafasnya tersengal dengan darah yang keluar dari hidung, mata dan telinganya. Berikutnya lelaki keturunan Ken Umang itu tidak sadarkan diri. Sementara itu hal yang lebih mengerikan telah terjadi Pada Nyai Tantina, tubuhnya telah mengering. Ternyata saat benturan itu terjadinya dirinyalah yang lansung menerima pukulan telak. Istri mendiang Ki Mertaka itu telah merenggang nyawa tanpa dapat melepaskan nafas terakhir, lansung luluh yang tersisa hanya tubuh yang hancur dan mengering. Beruntungnya Puspita tidak lansung mendaptkan pukulan itu, tubuhnya pun terlindungi kekuatan Naga Puspa Krisna dari Kamandanu, hanya saja tubuhnya terasa tidak mampu di gerakan. Dari mulutnya pun telah mengucur darah segar. Bahkan nampak di pundaknya telah menghitam terbakar. Kamandanu pun tidak mampu menahan kekuatan Komala Agni yang sangat dahsyat itu, tubuhnya melesat membentur sebatang pohon beringin raksasa. Sesaat matanya terbuka, namun ketika rasa



sesak dan panas yang terasa membakar tubuhnya membuat daya tahan tubuhnya melemah, berikutnya Kamandanu tidak sadrkan diri. Ayu Wandira dan Latta Manjari yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam dengan nafas tersengal, namun ketika kesadaran mereka pulihnya keduanya segera memburu tubuh Kamandanu dan Puspita yang terbaring lemah tidak sadarkan dirinya. Arya Dwipangga hanya beridiri tanpa mampu berbuat apa-apa, terasa kakinya kelu melihat benturan itu. Tubuhnya segera terduduk dengan nafas yang tersengal-sengal. ‘’Eyang Cantik cepat berikan pil ini pada Eyang Kamandanu’’ kata Latta Manjari sembari menjulurkan tabung pil pada Ayu Wandira. Sedangkan dirinya dengan sigap menyalurkan tenaga murni pada tubuh Puspita. Ayu Wandira pun berusaha menyadarkan Kamandanu yang tergolek lemah, tangisnya telah membuncah. Dia terus memijit persendian tubuh Kamandanu. ‘’Jangan sentuh bagian itu Nyai’’ seru seseorang berjubah putih yang tiba-tiba datang dari lebatnya pepohonan. Lanjutnya ‘’Marilah ikut aku ke padepokan, aku akan membawa Tuan Kamandanu, dan muridku akan membawa serta Cah Ayu Puspita’’ ‘’Siapakah Paman ini?’’ tanya Ayu Wandira di tengah tangis dan keheranannya melihat orang tua itu mengenal Kamandanu dan Puspita. Orang tua yang tidak lain itu adalah Resi Rengga. Orang yang memang di kenal dengan baik oleh Arya Kamandanu. ‘’Sebaiknya kita cepat membawa mereka, percayalah aku mengenal Tuan Kamandanu dan Tuan Kamandanu pun mengenal aku’’ Sahut Resi Rengga ‘’Tapi bagaimana dengan jasad Paman Mertaka dan Bibi’’ kata Latta Manjari. ‘’Biarlah murid-muridku yang membawa mereka serta, sedangkan yang lain akan membantu prajurit Majapahit menangkap prajurit Sadeng yang tersisa itu’’ jawab orang tua itu dengan tenang. Ayu Wandira dan Latta Manjari tidak mempunyai pilihan lain, mereka hanya bisa mengikuti orang berjubah putih itu, pakain yang hampir mirip dengan pakaian Kamandanu. Dari dalam hati mereka pun percaya orang tua itu tidak berniat buruk, itu terlihat dari pancaran wajahnya yang nampak memberikan ketenangan. Demikianlah akhirnya mereka segera meninggalkan tempat itu, Ayu Wandira tidak memperdulikan Arya Dwipangga yang dari kejauhan terduduk dengan pandangan kosong. Ayu Wandira pun sadar tidak dapat segera membunuh Arya Dwipangga, perhatiannya kini terpusat pada Pamannya. Ayu Wandira tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang di sayanginya Cukup lama Arya Dwipangga terdiam, Arya Dwipangga mencoba melihat sekelilingnya, dari kejauhan dia melihat prajurit Sadeng yang semakin terdesak, apalagi dengan datangnya murid-murid orang yang di kenalnya itu membuat keadaan prajuritnya semakin terjepit.



Akhirnya Dwipangga memutuskan meninggalkan tempat itu. Dengan langkah gontai dia menyusuri semak di mana terlihat bekas hutan yangs terbakar, tanpa di sadarinya dia telah menuju arah di mana tubuh Jasa Wirat terbaring tidak sadarkan diri. Sementara itu Gajah Mada telah terlibat pertarungan hebat dengan Ki Panumerta, sepertinya Gajah Mada berniat benar-benar menghabisi orang tua bongkok itu. Sebagaimana pun hebatnya orang tua itu nampaknya dia kewalahan menghadapi Gajah Mada. Bersama mereka memutuskan menggunakan kekuatan puncak mereka. Tubuh Gajah Mada telah membiru , lambang puncak kekutannya. Sedangkan Ki Panumerta telah menerapkan Ajian Komala Agni hingga ke puncak. Di sekitar mereka terlihat pepohonan yang telah meranggas. Hingga pada akhirnya keduanya dengan deras membenturkan kekuatan itu, sebuah kekuatan yang sangat mengerikan. Tubuh Gajah Mada yang membiru seperti menggulung tubuh Ki Panumerta. Terdengar teriakan keras dari mulut orang tua itu, suara melengking kesakitan. Benar saja setelah warna kebiruan itu memudar nampak tubuh Ki Panumerta remuk tidak bertulang. Sungguh aneh, tanpa darah yang keluar. Tubuhnya hanya di lindungi kulit dan daging yang masih utuh namun tergolek tanpa tulang. Setiap tulang yang menyangga dagingnya telah remuk seperti kaca yang terpecah. Tanpa tersisa, hingga orang tua itu menghembuskan nafasnya dengan rasa sakit yang luar biasa hebatnya. Gajah Mada pun terlihat duduk bersedakap mengatur pernafasannya, dadanya yang terasa di aduk lamat-lamat mulai kembali teratur. Cukup lama Gajah Mada mencoba meredakan rasa himpitan dan rasa panas di dalam tubuhnya. Gajah Enggon pun dengan mudahnya melumpuhkan Pragolopati. Pemuda pedukuhan Kurawan itu sepertinya tidak ingin mati dengan cepat. Dengan tanpa malu dia menyembah kaki Gajah Enggong memohon pengmpunan. Gajah Enggon nampaknya tidak sampai hati membunuh anak muda itu, yang akhirnya diserahkan pada prajurit. Sedangkan prajurit yang tersisa tidak banyak lagi pun segera menyerahkan diri, mereka tidak lagi mempunyai gairah, apalagi mereka tidak mempunyai pemimpin yang dapat di andalkan. Maka ketika matahari telah mencapai puncakya pertempuran di hutan itu berhenti dengan sendirinya, kedua korban telah berjatuhan, tidak sedikit prajurit Majapahit pun gugur di hutan itu. Gajah Mada pun segera memerintahkan Prajuritnya mengikat semua tawanan, kemudian di bawa di tempat yang lebih lapang. Sebagian lagi segera menguburkan prajurit yang tewas, baik dari Prajurit Majapahit maupun prajurit Sadeng, termasuk mayat Ki Panumerta. ‘’Jadi Kakang Kamandanu terluka’’ Kata Gajah Mada di hadapan sesorang prajurit yang berdiri bersama salah seorang murid Sekar Wangi Murid Padepokan Sekar Wangi yang sebenarnya juga di kenal dengan baik oleh Gajah Mada. Dia adalah Panjura. Orang yang dulu Gajah Mada kenal di pedukuhan Besuki.



Panjura memberikan keterangan pada prajurit untuk memberikan laporan bahwa Kamandanu telah terluka. ‘’Apakah itu benar Panjura’’ tanya Gajah Mada sambil memandang Panjura yang duduk dengan hormat. ‘’Benar Gusti, saat ini Eyang Guru membawa Tuan Kamandanu di Padepokan bersama Nini Puspita’’ jawab Panjura dengan hormat. ‘’Baiklah, sebelumnya aku mengucapkan terimaksih pada kalian, dengan kehadiran kau bersama teman-temanmu mempercepat kami meringkus buronan Majapahit itu’’ kata Gajah Mada sambil tersenyum. ‘’Untuk sementara kalian beristirahatlah, setelah itu kami akan mengikuti kalian ke Padepokan Sekar Wangi’’ lanjut Gajah Mada. Baik Panjura maupun prajurit yang menghadap mengangguk hortmat, mereka pun segera pergi meninggalkan Gajah Mada. ‘’Adi kau tetap disini, jika mereka sudah cukup beristirahat bawalah mereka ke Padepokan Sekar Wangi, Panjura dan teman-temannya akan menunjukan jalannya ’’ kata Gajah Mada pada Gajah Enggon yang sejak tadi telah berada di samping Gajah Mada. ‘’Baik Kakang, terus Kakang akan kemana’’ tanya Gajah Enggon ‘’Aku akan melihat pertarungan Jambu Nada dan Layang Samba’’ sahut Gajah Mada pelan. Sejenak Gajah Enggon terdiam, memandang Gajah Mada dengan seksama. ‘’Apakah Kakang tidak istirahat dulu, lihatlah tubuh Kakang masih belum pulih benar’’ Gajah Mada tersenyum kemudian berdiri. ‘’Lihatlah tubuhku tidak mengalami sesuatu yang berlebihan, aku masih cukup kuat jika hanya sekadar berjalan’’ Gajah Enggon menghela napas panjang, dia tahu benar siafat gajah Mada yang tidak dapat di tahan jika telah menjadi kehendaknya. Dengan berat hati Gajah Enggon hanya bisa mengangguk dan mencoba tersenyum melihat tubuh Gajah Mada yang segera menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Kini hutan di sekitaran bekas peperangan kecil itu nampak lengang, beberapa prajurit telah beristiraht sambil membuka perbekalan yang masih tersedia. Bergantian mereka menjaga tawanan. Gajah Enggon sengaja memberikan waktu yang cukup lama bagi mereka beristirahat. Sementara itu setelah beberapa lama menyusuri hutan Alas larang, Gajah Mada segera dapat menemukan pertarungan sengit yang masih terjadi antara Layang Samba dan Jambu Nada. Nampak keduanya bercucuran keringat di bawah terik matahari. Pertarungan itu memang sedikit demi sedikit



bergesar hingga sampai pada sisi hutan yang jarang terdapat pepohonan yang besar. Hanya beberapa pohon yang nampak menjulang. ‘’Layang Samba menyerahlah, kekuatan kalian sudah hancur’’ teriak Gajah Mada. Layang Samba yang mendengar teriakan itu segera melompat mundur beberapa jarak dari Jambu Nada. Nampak Jambu Nada tidak memburunya. Pemuda tampan itu hanya berdiri melihat Layang Samba yang telah meloncat beberapa tongkat ke belakang. ‘’Gurumu telah tewas, Prajurit kalian pun sudah menyerah’’ lanjut Gajah Mada. ‘’Jahanam, aku tidak percaya kalian dengan mudah melakukan hal itu’’ sahut Layang Samba dengan menggeram. ‘’Terserah padamu, kini kau hanya sendirian kau pun tidak akan mampu mengalahkan Jambu Nada, sebaiknya kau menyerah’’ jawab Gajah Mada berdiri dengan mata tajam menatap Layang Samba. ‘’Kakang Wirat akan menyelesaikan prajurit kalian’’ sahut Layang Samba keras. Nampak kegetiran dalam hatinya mendengar pernyataan Gajah Mada. ‘’Jasa Wirat pun sudah menemui ajalnya, kalaupun tidak mati maka dia akan mengalami luka berat dan pasti tidak sanggup bertarung dengan kami, tidak ada yang dapat kau lakukan lagi’’ Kata Gajah Mada. ‘’Kurang ajar, apa kau pikir aku takut, kerahkanlah seluruh prajurit Majapahit, aku tidak akan gentar menghadapi kalian, sekarang aku akan membunuh kalian berdua setelah itu aku akan membumi hanguskan Majaphit’’ teriak Layang Samba. ‘’Marilah kita buktikan Tuan’’ sela Jambu Nada. ‘’Aku rasa tidak perlu membawa prajurit Majapahit, bukankah dari semula kita bertarung Tuan belum berhasil mengalahkanku’’ lanjut Jambu Nada mencoba memanfatkan kemarahan Layang Samba. Dengan Rasa marah yang semkin membuncah Layang Samba mengalihkan serangannya pada Gajah Mada, namun dengan sigap Jambu Nada meloncat dan menepiskan tubuh Layang Samba. ‘’Apakah Tuan takut menghadapiku, sehingga Tuan mengalihkan serangan Tuan’’ kata Jambu Nada kembali memancing kemarahan Layang Samba. Sementara itu Gajah Mada segera menjauhi pertarungan itu, walauupun telah meningkatkan tenaga murninya hingga ke puncak terasa dadanya masih merasakan sesak yang teramat kuat. Apalagi tenaganya belum pulih benar. ‘’Luar biasa’’ desis Gajah Mada. Tanpa menjawab pertanyan Jambu Nada, Layang Samba kembali meloncat, mencoba menyarangkan seleret sinar kemerahan dari kedua matanya pada tubuh Jambu Nada. Kemarahannya benar-benar



telah sampai pada batasnya, rasa benci dan muak telah memenuhi isi dadanya.



Kembali ledakan hebat terjadi, keduanya ternyata telah kembali berbenturan. Layang Samba yang telah kehabisan akal itu terus memburu Jambu Nada, namun hanya umpatan yang keluar dari mulutnya. Setiap kali benturan terjadi maka keduanya merasakan sesak yang menghimpit dada mereka,jika saja orang kebanyakan mungkin akan lansung remuk menjadi debu. Ternyata perkataan Gajah Mada di tambah dengan pancingan Jambu Nada telah membuat Layang samba seperti kesetanan terus memburu Jambu Nada. Dan itulah yang membuatnya lengah. Tenaga mereka semakin terkuras, bagaimana pun juga mereka adalah manusia biasa yang mempunyai keterbatasan. Jambu Nada semenjak awal mencoba mencari titik kelemahan Layang Samba, dia mengetahui setiap terjadi benturan dengan Layang Samba, maka Putra Mpu Tong Bajil itu berusaha melindungi pusar kepalanya. Hingga Jambu Nada memutuskan kelemahan Layang Samba terletak pada pusarnya itu. Namun selama ini Jambu Nada kesulitan untuk dapat menyentuh pusarnya, karena tubuh Layang Samba yang sangat licin seperti belut, dapat menghindar dengan gesit jika Jambu Nada berusaha menggapai pusarnya. Namun kali ini Layang Samba melupakan hal itu, amarahnya yang telah meluap membuatnya gelap mata, tanpa banyak berpikir dia meloncat dan sengaja membenturkan tangannya, namun Jambu Nada memilih lain dia tidak merentangkan tangannya, namun sengaja memberikan tubuhnya sebagai tidik pusat benturan. Layang samba yang melihat hal itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan seluruh kekuatan yang ada padanya dia menghentakan tangannya pada dada Jambu Nada, namun alangkah terkejutnya Layang Samba rupanya Jambu Nada menaikan tubuhnya sedikit dan tepat tangan Layang Samba menyentuh perut Jambu Nada, saat itulah Jambu Nada memusatkan seluruh kekuatannya pada kedua matanya. Telak matanya mengeluarkan seleret sinar yang amat jernih dan menghantam pusar Layang Samba. Layang Samba yang mengetahui gerakan itu terkejut bukan kepalang, namun waktu yang sesaat itu telah membuatnya terlambat untuk menghindar. Tubuhnya menggingil dan merasakan sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya. Awalnya tubuhnya merasakan dingin yang luar biasa mengaliri darahnya, namun lamat-lamat darahnya seperti di aduk dengan hebatnya, di putar dan di pecahkan melalui saraf-saraf serta persendiannya. Layang Samba berteriak sekencang-kencangnya, menahan rasa yang kemudian seperti terus bergolak menghimpit dan menguras darahnya. Tubuhnya seperti cacing kepanasan menggelepar menahan persendiannya yang terasa semakin menyimpit dan terasa kelu. Dan kemudian kabut hitam melesat begitu cepat keluar dari pusar kepanya. Membumbung tinggi menuju langit-langi dan pecah oleh sinar matahari yang terik. Tubuh Layang Samba mengingil dengan mata berdelik menahan sakit yang luar biasa pada seluruh persendiannya. Berikutnya pemuda itu tidak sadarkan diri dengan darah yang keluar deras dari sela bibirnya.



Sementara itu Jambu Nada yang terpental ke atas mencoba mencari ke seimbangan, namun ternyata sulit baginya. Perutnya yang terkena libasan Layang samba telah membuatnya merasakan mual yang luar biasa, perutnya seperti di aduk dengan kuatnya, berikutnya tubuhya terjatuh ke tanah seperti ranting yang jatuh. Dari mulutnya menyembur darah kehitaman. Dengan cepat Jambu Nada memusatkan pikirannya, cahaya putih yang jernih makin menyala mengelilingi tubuhnya. Gajah Mada segera memburu tubuh Jambu Nada, namun dengan cepat dia berhenti, ketika matanya takjub melihat sinar yang begitu jernih menghiasi kulit Jambu Nada. Cukup lama Patih Daha itu terpana, sehingga lamat-lamat sinar itu memudar, yang pada akhirnya menghilang dari tubuh Jambu Nada. Jambu Nada terpejam mengatur pernafasannya, darah yang mengalir dari sisi birinya nampak mulai mengering. Akhirnya pemuda itu membuka matanya. ‘’Bagaimana keadaanmu Nada?’’ tanya Gajah Mada dengan wajah yang nampak khawatir. ‘’Aku tidak apa-apa Paman, mungkin butuh istirahat beberapa hari, tenagaku akan seperti sedia kala’’ sahut Jambu Nada tersenyum. Terlihat Gajah Mada menguraikan wajahnya yang tegang, dan membalas senyuman Jambu Nada ‘’Di mana ayah, Paman’’ tanya Jambu Nada setelah beberap saat mereka terdiam. Dengan wajah yang sendu Gajah Mada menatap sebatang pohon besar di depannya. ‘’Paman, apakah Ayahku baik-baik saja’’ tanya Jambu Nada lagi setelah tidak mendapatkan jawaban. ‘’Aku belum mengetahuinya Nada, tapi menurut Panjura Kakang Kamandanu terluka’’ sahut Gajah Mada pelan. Seketika Wajah Jambu Nada memucat. Kekhawtiran segara mengisi perasaanya. ‘’Dimana Ayahku Paman, tolong antarkan aku Paman’’ kata Jambu Nada berusahan berdiri namun terasa persendiannya lemah hingga tubuhnya terduduk lagi. ‘’Tenanglah Nada, Kakang Kamandanu berada di padepokan Sekar Wangi, Ki Resi Rengga telah membawanya ke sana’’ sahut Gajah Mada sambil memegang tubuh Jambu Nada. ‘’Eyang Resi Rengga’’ desis Jambu Nada. ‘’Benar Nada, spertinya beliau juga berada di tempat ini, bahkan murid-muridnya telah membantu prajurit kita termasuk Panjura’’ kata Gajah Mada menenangkan Jambu Nada. Lanjut Gajah Mada ‘’ sebaiknya kau beristirahatlah dulu barang sejenak’’ ‘’Baiklah Paman, semoga Ayahku tidak apa-apa’’ kata Jambu Nada melemah. Setelah beberapa lama beristirahat Jambu Nada merasakan getaran aneh , kemudian matanya berpaling ke belakang, namun mendadak wajahnya menampakan keterkejutan.



‘’Paman, dimana Tuan Layang Samba, bukankah tadi tubuhnya berada di sana?’’ Kata Jambu Nada sambil menunjuk semak-semak dekat sebuah batu besar. Gajah Mada pun segera meloncat dan melihat sekitaran semak itu, namun dia tidak melihat apa-apa, tidak hanya berhenti di situ, tubuhnya segera berkelebat mencari jejak di sekitaran tempat itu, namun dengan kecewa Gajah Mada kembali menemui Jambu Nada. ‘’Sepertinya seseorang telah membawanya Nada’’ kata Gajah Mada tanpa dapat menutupi rasa kekecewaannya. ‘’Seseorang!, siapa Paman?’’ tanya Jambu Nada cepat. ‘’Aku tidak tahu Nada, menilik keadaanya tidak mungkin dia dapat pergi sendiri, pastinya dia teluka parah, melebihi darimu’’ jawab Gajah Mada ‘’Tapi untuk sementara kita tidak perlu mengkhawtirkannya, sebaiknya kita segera pergi, kau perlu mendapatkan perawatan’’ lanjutnya . ‘’Tapi tubuhku masih lemah Paman’’ kata Jambu Nada. ‘’Aku akan menggendongmu’’ sahut Gajah Mada. ‘’Ah Paman, mana pantas aku di gendong Paman’’ kata Jambu Nada menunduk. Bagaimana pun juga orang yang berada di depannya itu adalah pembesar Majapahit. Hanya saja permintaan Gajah Mada untuk tidak memanggilnya Gusti, itu karena keakraban yang telah terjalin semenjak mereka bersama pertama kalinya ke hutan itu. ‘’Apanya yang tidak pantas’’ Kata Gajah Mada ‘’ Sudahlah janganlah membantah, sepertinya Adi Enggon dan yang lainnya telah meninggalkan hutan ini, mereka menyusul Kakang Kamandanu di Padepokan Sekar Wangi’’ Jambu Nada hanya bisa menurut ketika Gajah Mada memberikan pundaknya, Jambu Nada segera begayut erat di belakang Gajah Mada. Berikutnya Gajah Mada membopong tubuh Jambu Nada meninggalkan sekitaran hutan Alas Larang itu. Tanpa kesulitan dengan menerapkan ilmu peringan tubuhnya, Gajah Mada melesat berkelebat di antara pepohonan. Bersambung....