Sejarah Pendidikan Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH PENDIDIKAN



ISLAM



SEJARAH PENDIDIKAN



ISLAM Pada Periode Klasik dan Pertengahan



Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.)



Divisi Buku Perguruan Tinggi PT



J RajaGrafindo A K A R Persada T A



Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Nata, Abuddin, Haji Sejarah pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan/ H. Abuddin Nata (Ed.) —Ed. 1, Cet. 1,— Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. XII, 304 hlm.; 21 cm ISBN 979-3654-02-3



1.



Pendidikan agama Islam.



I. Judul



Hak cipta 2004, pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, Juni 2004



2004.0758 RAJ Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.) SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM Pada Periode Klasik dan Pertengahan



Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Desain cover oleh Rahmatika Dicetak di Fajar Interpratama Offset PT RajaGrafindo Persada Jl. Pelepah Hijau IV TN I. No. 14 15 Kelapa Gading Permai Jakarta 14240 Tel/Fax : 4520951—452§409 E-mail : [email protected] Http : //www.rajawalipers.com



297.64



V



Kata Pengantar



Assalamualaikum Wr. Wb.



[



Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt., karena berkat taufik dan hidayah-Nya, buku Sejarah Pendidikan Islam ini dapat diterbitkan dan sampai kepada para pembaca yang budiman. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya, diiringi dengan upaya meneladani akhlaknya yang mulia. Selanjutnya disampaikan bahwa penerbitan buku ini didasari oleh keinginan untuk ikut serta mengembangkan khazanah ilmiah dalam bidang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah, yang hingga saat ini masih dirasakan kurang. Dengan penerbitan buku ini diharapkan dapat men- dorong para peneliti untuk menggali lebih lanjut khazanah ilmiah dalam bidang sejarah pendidikan Islam. Hasil penelitian tersebut nantinya selain untuk membuktikan kiprah pengab-



Sejarah Pendidikan islam



VI



dian pendidikan Islam bagi kemajuan umat juga sekaligus untuk mendorong timbulnya rasa bangga dan kecintaan pada pendidikan Islam. Dengan sifatnya sebagai kumpulan makalah yang ditulis oleh para mahasiswa saya di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka buku ini sudah dipastikan selain memiliki keragaman gaya kekurangan



di



sana



bahasa dan logika, juga memiliki sini,



seperti



adanya



pengulangan,



kekurangpiawaian dalam menuangkan gagasan dan seterusnya. Sehubungan dengan berbagai kekurangan tersebut di atas, maka saran, kritik, masukan dan sebagainya sangat kami harapkan. Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan untuk penerbitan buku ini kami ucapkan terima kasih. Akhirnya doa kami panjatkan semoga upaya yang kita lakukan ini mendapatkan ridha Allah Swt., dan menjadi amal ibadah bagi kita semua. Amin. Jakarta, 22 Maret 2004 Editor



VI I



Daftar Isi



KATA PENGANTAR



V



BAB I PENDAHULUAN



1



BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Syahraini Tambak



9



A.



Pendahuluan



B.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



C.



Kesimpulan



BAB III LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH Oleh: Susari A. Pendahuluan B. C.



9 11 26



29 29



Lembaga-lembaga Pendidikan Sebelum Madrasah 31 Kesimpulan 42



VIII



Sejarah Pendidikan Islam



BAB IV PERTUMBUHAN MADRASAH PADA PERIODE AWAL SEBELUM LAHIRNYA MADRASAH NIZHAMIYAH Oleh: Ahmad Qurtubi



45



A. B. C. D. E. E



45



Pendahuluan Latar Belakang Munculnya Istilah Madrasah 47 Sejarah dan Motivasi Pendirian Madrasah Madrasah Sebagai Institusi Pendidikan Madrasah Pra Madrasah Nizhamiyah Kesimpulan



BAB V MADRASAH NIZHAMIYAH



51 55 56 57



Oleh: M. Akmansyah



59



A. Pendahuluan B. Letak Geografis dan Motivasi Pendirian Madrasah Nizhamiyah Baghdad C. Sistem Pendidikan Madrasah Nizhamiyah Baghdad D. Pengaruh Madrasah Nizhamiyah E. Kesimpulan



59



BAB VI MADRASAH-MADRASAH DI MAKKAH DAN MADINAH



61 65 71 73



Oleh: Muhajir



75



A. B. C. D.



75 79 83 86



Pendahuluan Madrasah-madrasah di Makkah Madrasah-madrasah di Madinah Kesimpulan



Daftar Isi



BAB VII



IX



MADRASAH TINGKAT TINGGI (UNIVERSITAS AL-AZHAR)



BAB VIII



Oleh: Imamudin



87



A.



Pendahuluan



87



B.



Pembahasan



89



C.



Kesimpulan



97



PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM KLASIK DALAM MENCETAK ULAMA Oleh:



BAB IX



Fauzan Asiy



99



A.



Pendahuluan



99



B.



Pembahasan



100



C.



Kesimpulan



111



KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK 750-1350 M Oleh: Hasani Asro



113



A. Pengertian Kurikulum Pendidikan 115 B. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah



BAB X



C.



Kurikulum Setelah Berdirinya Madrasah



D.



Kesimpulan



116 123 126



KEHIDUPAN PARA SISWA DI ZAMAN ISLAM KLASIK Oleh: Nurika Khali la Daulay 129 A.



Pendahuluan



129



X



Sejarah



B. C. BAB XI



Islam



Kehidupan Para Siswa di Masa Islam Klasik Kesimpulan



GURU MASA KLASIK Oleh: Moh. Miftachul Choiri, S Ag. A. B.



BAB XII



Pendidikan



C. D.



Pendahuluan Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Klasik Pranata Sosial dan Guru Peranan Guru dalam Kehidupan



E. F.



Masyarakat Organisasi Guru Pada Masa Klasik Kesimpulan



UNSUR-UNSUR FILSAFAT YUNANI DALAM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK Oleh: Sitti Salmiah A. B. C. D.



130 139



141 141 143 146 148 152 153



155



Pendahuluan 155 Hubungan Ilmuwan Muslim dengan Filsafat Yunani 156 Dasar-dasar Pemikiran Filosof Yunani 160 Pengaruh Filsafat Yunani dalam



Pendidikan Islam pada Masa Klasik E. Kesimpulan



165 170



Daftar Isi



BAB XIII



FUNGSI MADRASAH DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ISLAM Oleh: Elza Fachria



XI



171



A. Pendahuluan 171 B. Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam 173 C. Fungsi Madrasah dalam Mentransmisikan Ilmu Pengetahuan Agama D. E. BAB XIV



BAB XV



178



Peranan Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam Kesimpulan



MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Syahril



182 183



185



A.



Pendahuluan



185



B.



Definisi Modernisasi Pendidikan Islam



187



C.



Latar Belakang dan Pola Pembaruan



188



D.



Al-Azhar



188



E.



Pendidikan Islam di Indonesia



F.



Kesimpulan



POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA PADA PENDIDIKAN ISLAM KLASIK Oleh: Nurul Hikmah A. Pendahuluan



194 200



203 203



XII



Sejarah



Pendidikan



Islam



B.



Gambaran Interaksi Rasulullah dan Sahabat Pada Periode Awal Pendidikan Islam 204



C.



Pola Sikap Guru dan Siswa Pada Pendidikan Islam Klasik 205



D. Kesimpulan BAB XVI



212



PENDANAAN PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK Oleh: Maftuhah



215



A.



Pendahuluan



215



B.



Sumber Biaya Pendidikan Islam Masa Klasik



BAB XVII



BAB XVIII



C.



Pola Pengelolaan Dana Pendidikan



D.



Kesimpulan



218 226 230



MAZHAB-MAZHAB DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Lathifatul Hasanah



233



A.



Pendahuluan



233



B.



Mengenal Pemikiran Tokoh



236



C.



Kesimpulan



255



PENDIDIKAN ISLAM DI SPANYOL Oleh: Ahmad lrfan Mufid



257



A.



Pendahuluan



257



B.



Islam Masuk ke Spanyol



258



C.



Pendidikan Islam di Spanyol



263



Daftar Isi



D.



Faktor-faktor Pendukung Kemajuan



Pendidikan di Spanyol E. Kesimpulan BAB XIX



XIII



268 269



PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN TURKI UTSMANI (I) Oleh: Nur’ani



271



A. Pendahuluan B. Perkembangan Pendidikan pada Masa Turki Utsmani C. Kesimpulan



271 272 280



BAB XX PENDIDIKAN ISLAM DI KERAJAAN TURKI UTSMANI (II)



BAB XXI



Oleh: Muhammad Syukur



281



A. Pendahuluan B. Perkembangan Pendidikan Islam Utsmani



281



C.



290



PENUTUP



DAFTAR PUSTAKA



Kesimpulan



283



293 295



1



BAB I



Pendahuluan



Dilihat dari sifat, corak dan pendekatannya, ilmu pendidikan Islam dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama, ilmu pendidikan Islam yang bercorak normatif-perenialis (Islamic Education in Normatif and Perennialis Perspective). Kedua, ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis (Islamic Education in Filosofical Perspective). Ketiga, pendidikan Islam yang bercorak sejarah (Islamic Education in Historical Perspective), dan keempat, pendidikan Islam yang bercorak aplikatif, (Islamic Education in Applicative Perspective). Ilmu pendidikan Islam yang bercorak normatif-perenialis adalah ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada penggalian ajaran Alquran dan Hadis yang berkaitan dengan pendidikan Islam yang diyakini sebagai ajaran yang pasti benar, harus diamalkan dan dinilai lebih unggul dibandingkan konsep pendidikan yang berasal dari sumber agama lainnya. Ajaran-ajaran tersebut telah terseleksi dalam sejarah yang amat panjang, yakni dari sejak Nabi Adam a.s., hingga Nabi Muhammad Saw. Dengan sifatnya yang demikian, ajaran ini harus diabadikan sepanjang sejarah. Kajian terha-



2



Sejarah Pendidikan Islam



dap ilmu pendidikan yang bersifat normative perennialis ini telah banyak dilakukan sarjana Muslim, antara lain Muhammad Quthb melalui karyanya Sistem Pendidikan Islam, Shalih Abdullah Shalih melalui bukunya Islamic Education: Quranic Outlook; Muhammad Nashih Ulwan melalui bukunya Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam. Di Indonesia kajian terhadap ayat- ayat Alquran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan pendidikan dikembangkan di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara yang mengembangkannya adalah Abuddin Nata, melalui bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, serta para pakar lainnya dalam berbagai tulisannya pada Jurnal Islamika Didaktika pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta dalam bentuk artikel pada berbagai buku tentang keIslaman. Ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis adalah ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran filsafat Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan sifatnya yang mendalam, radikal, universal dan sistematis, filsafat pendidikan Islam berupaya menjelaskan konsep-konsep yang mendasar tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan berbagai aspek pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan pelajaran, guru, murid, hubungan guru murid, proses belajar mengajar, mana- jemen, dan aspek pendidikan lainnya dikaji secara mendalam untuk ditemukan inti gagasan yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, ilmu ini berguna untuk membangun ber- bagai konsep yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut. Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis ini telah banyak dilakukan oleh para sarjana pendidikan. Mereka itu, antara lain Mohammad Al-Taomy Al-Syaibani



Pendahuluan



3



melalui karyanya yang berjudul Falsafah al-Tarbiyah al- Islamiyah; Majid Fakhry dengan karyanya Sejarah dan Filsafat Pendidikan. Di Indonesia kajian terhadap ilmu pendidikan dalam perspektif filsafat ini, antara lain dilakukan oleh Prof. Drs. H.M. Muzayyin Arifin, M.Ed., dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., dengan bukunya antara lain Filsafat Pendidikan Islam, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam serta Pola Hubungan Guru Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam. Kajian ilmu pendidikan Islam dalam perspektif filsafat ini juga dikembangkan di Pasca- sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya, ilmu pendidikan Islam yang bercorak historis adalah ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada data-data empiris yang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga mau- pun pendidikan dengan berbagai aspeknya. Melalui kajian ini, umat akan diajak untuk menyaksikan maju mundurnya pendidikan Islam sepanjang sejarah untuk kemudian direnung- kan, dianalisis dan diambil hikmahnya untuk dijadikan bahan perbandingan dan masukan untuk membangun kemajuan pendidikan Islam di masa sekarang. Dengan kajian ini, umat diajak untuk melihat masa lalu untuk kemajuan masa depan. Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam dalam perspektif sejarah ini telah banyak pula dilakukan oleh sarjana Muslim. Mereka itu antara lain Prof. Dr. A. Syalabi melalui karyanya Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah (Sejarah Pendidikan Islam); Dr. Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha; Dr. Mahmud Qombar dengan bukunya Dirasah Turasiyah fi al-Tarbiyah alIslamiyah. Di Indonesia kajian terhadap ilmu pendidikan Islam danperspektif sejarah



4



Sejarah Pendidikan Islam



ini antara lain dilakukan oleh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus melalui karyanya berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia-, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru; Dr. H. Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya; Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. melalui karyanya Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia; Pendidikan Islam di Indonesia Tantangan dan Peluang, serta Manajemen Pendidikan Islam: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Adapun ilmu pendidikan Islam yang bercorak aplikatif adalah ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada upaya menerapkan konsep-konsep pendidikan dalam kegiatan yang lebih konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Kajian ini mengharuskan adanya uji coba konsep melalui eksperimen di kelas dan lainnya. Hasilnya adalah konsep-konsep yang siap diaplikasikan. Upaya ini termasuk yang agak kurang dilakukan oleh para sarjana pendidikan Muslim dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para sarjana Barat. 1 Di Indonesia, kajian terhadap pendidikan



1Kajian ilmu pendidikan yang bersifat aplikatif termasuk yang paling banyak digemari oleh para peneliti pendidikan di Barat. Dengan menggunakan uji coba atau eksperimen di laboratorium atau pada unit-unit kegiatan yang - sengaja mereka adakan dan lakukan selama bertahun-tahun, mereka dapat menghasilkan berbagai model konsep pendidikan yang siap diaplikasikan. Kajian ini mencoba memanfaatkan berbagai konsep atau teori yang telah dikembangkan oleh para ahli dalam berbagai bidang, seperti kajian tentang konsep-konsep psikologi, sosiologi, antroplogi dan sebagainya. Melalui teoriteori psikologi, mereka telah berhasil mengembangkan model-model pembelajaran yang dinilai dapat mempercepat proses pembelajaran. Se- perti konsep pembelajaran Quantum Teaching oleh Boby de Porter; Cooperative



Pendahuluan



5



Islam yang bercorak aplikatif ini, misalnya kita jumpai pada Prof. Dr. H. Mahmud Yunus melalui konsepnya dalam bidang metodologi pengajaran bahasa Arab. Setelah melakukan pengamatan selama beberapa tahun terhadap metode peng- ajaran bahasa Arab yang dilakukan di pesantren-pesantren, Mahmud Yunus sampai pada kesimpulan, bahwa metode pengajaran bahasa Arab yang menekankan gramatika yang dilakukan secara parsial di pesantren amatlah sulit, rumit dan melelahkan, tapi hasilnya tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan. Para lulusan pesantren sangat kaya dan mendalam pengetahuan teoretisnya dalam bidang bahasa, tapi mereka tidak mampu mengaplikasikannya dalam bentuk percakapan, dan tulisan yang berbahasa Arab. Upaya ini harus segera diatasi dengan membuat metode pengajaran yang baru yang ia kenalkan dengan nama AlThariqah al- Mubasyarah (Direct Methode) yang mengajarkan berbagai komponen ilmu bahasa Arab secara integrated dan ditekankan pada penerapannya dalam percakapan sehari-hari di dalam kelas dan pergaulan selama di pesantren. Upaya ini telah berhasil ia wujudkan melalui lembaga pendidikan Adabiyah School di Sumatera Barat, dan salah seorang muridnya



Learning, Partisipative Learning, dan sebagainya. Dengan berbagai konsep tersebut proses belajar mengajar makin dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Di Dunia Islam kajian terhadap pendidikan yang bercorak aplikatif masih kurang dibandingkan dengan konsep kajian pendidikan Islam yang bercorak normatif, perenialis, historis dan filosofis. Hal yang demikian terjadi karena untuk melakukan kajian yang bersifat uji coba eksperimen dibutuhkan lebih banyak modal dibandingkan dengan modal untuk penelitian dalam kajian pendidikan lainnya.



Sejarah Pendidikan Islam



6



bernama Imam Zarkasyi berhasil menguasainya dengan baik dan mempraktikkan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Melalui metode ini, Gontor Ponorogo telah ber- hasil mencetak lulusan yang di samping memiliki keman- dirian dan ketangguhan sikap dan akhlak, juga mahir dalam berbahasa Arab dan Inggris hingga diakui oleh Dunia Islam. 2 Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam dalam corak yang aplikatif ini telah dilakukan pula oleh para pakar ilmu Alquran. Mereka telah berhasil mengembangkan berbagai metode mengajarkan membaca Alquran dengan cepat, seperti metode Iqra 3 , metode al-Barqi, dan lain-lain. Berdasarkan pada pembagian paradigma keilmuan pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa kajian yang terdapat dalam buku ini adalah kajian yang ketiga, yaitu ilmu pendidikan Islam dalam perspektif sejarah.



2 Lulusan Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur selain memiliki sikap mental mandiri dan akhlak yang mulia, juga mampu berkomunikasi dan menulis bahasa Arab dengan baik. Para lulusannya diakui oleh Universitas Al-Azhar Cairo dengan diterimanya sebagai mahasiswa di Universitas tersebut tanpa testing. Sejumlah tokoh nasional yang disegani juga banyak yang tamatan Gontor Ponorogo. Mereka itu antara lain Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, K.H. Syukron Makmun dan sebagainya masih banyak lagi. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), cet I, hlm. 167.



3 Metode



Iqra telah diakui sebagai metode yang banyak membantu masyarakat yang ingin mampu membaca Alquran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Metode ini sudah sangat populer dan menjadi nama yang khas pada sejumlah pergujuan yang mengajarkan cara membaca Alquran. Departemen Agama RI telah menetapkan metode Iqra sebagai cara meng- ajarkan Alquran yang menjadi gerakan nasional pemberantasan buta aksara baca tulis Alquran.



Pendahuluan



7



Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam dalam empat kate- gori tersebut kini semakin berkembang dan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat akademik pada umumnya, dan oleh para peneliti pendidikan Islam pada khususnya. Melalui buku ini, para pembaca akan menjumpai kajian secara mendalam dan komprehensif tentang prinsip-prinsip umum pendidikan Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah, pertumbuhan madrasah pada periode awal sebelum timbulnya madrasah, Madrasah Nizhamiyah, madrasah di Makkah dan Madinah, madrasah Tingkat Tinggi (Al-Azhar), para sarjana Muslim dan lembaga pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam klasik (750-1350 M), ke- hidupan para siswa di zaman Islam masa klasik, guru masa klasik: kajian historis tentang status sosial dan peran guru, unsur filsafat Yunani dalam pendidikan Islam, fungsi madra- sah dalam pengembangan pengetahuan Islam, modernisasi pendidikan Islam: alam dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, pola interaksi guru dan siswa dalam pendidikan Islam klasik, sistem pendanaan pendidikan Islam masa klasik, mazhab-mazhab dalam pendidikan Islam: analisis terhadap konsep para tokoh pendidikan Islam klasik, pendidikan Islam di Spanyol, pendidikan Islam pada masa kerajaan Turki Utsmani dan pendidikan Islam di kerajaan Turki Utsmani. Dengan melihat ruang lingkup kajian tersebut, dapat dikatakan bahwa buku ini menyajikan sesuatu yang sifatnya pemula atau perintis, karena sebelum itu tidak ada model penyelenggaraan pendidikan yang dikembangkan. Terlepas dari segala kekurangan yang terdapat di dalamnya, yang pasti kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh umat Is- lam tersebut telah menjadi model atau sekurang-kurangnya



Sejarah Pendidikan Islam



8



memberi inspirasi terhadap Dunia Eropa dan Barat dalam mengembangkan lembaga pendidikannya. Universitas Al- Azhar Cairo yang usianya lebih dari seribu tahun misalnya, menjadi model bagi Eropa dan Barat untuk membangun lembaga pendidikan dan kajian ilmiah lainnya. Melalui kajian ini pula diharapkan dapat mendorong para sarjana yang datang kemudian untuk melakukan penelitian secara lebih luas lagi.



9



BAB II



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam Oleh: Syahraini Tambak



A. PENDAHULUAN Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdiannya kepada Allah. 1 Aktivitas yang dimaksud tersimpul dalam ayat Alquran yang menegas- kan bahwa manusia adalah khalifah Allah. 2 Dalam statusnya sebagai khalifah, manusia hidup di alam mendapat tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi sesuai dengan konsep yang ditetapkan-Nya. 3 Manusia sebagai khalifah Allah memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Semua ini dapat dipenuhi hanya dengan proses pendidikan. Pendidikan Islam terjadi sejak nabi diangkat menjadi Rasul di Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendi-



1 QS.



Al-Dzariyat 51: 56 Al-Baqarah 2: 30, dan QS. Hud 11:61 3 Lih. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 172. 2 QS.



10



Sejarah Pendidikan Islam



dikan



masa



ini



merupakan



prototype



yang



terus



menerus



dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendi- dikan pada zamannya. Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam



pengertian



yang



seluas-luasnya,



pen-



didikan



Islam



berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. 4 Apabila kita sepakat bahwa pendidikan Islam itu adalah proses pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam untuk mencapai derajat tinggi sehingga mampu menunaikan fungsi kekhalifahannya dan berhasil mewujudkan kebaha- giaan dunia dan akhirat. 5 Oleh sebab itu, setiap pendidik dan perancang kurikulum haruslah menentukan falsafah dan tujuan dan menggariskan prinsip serta dasar yang perlu ditrans- ferkan sehingga tercipta usaha-usaha pendidikan berdasarkan anak didik, masyarakat dan umat Islam secara keseluruhan. Dengan melihat trend perkembangan sejarah abad ke-7-12 M, academic curiosity penulis termotivasi untuk me- ngangkat tema iniprinsip-prinsip umum pendidikan Islam- menjadi pokok pada pembahasan ini. Karena keterbatasan literatur dan luasnya bidang kajian, penulis membatasi pem- bahasan pada prinsip-prinsip umum yang mendasari tujuan, kurikulum, metode, murid dan guru, lingkungan dan evaluasi pendidikan Islam. Pada akhir pembahasan diharapkan adanya deskripsi yang jelas tentang prinsip-prinsip umum pendidikan Islam tersebut.



4 Azyumardi Azra, Pendidikan lslam:Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999, hlm. vii. 3 Lih. Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 5-6.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



11



B. PRINSIP-PRINSIP UMUM PENDIDIKAN ISLAM



1. Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam yang dilakukan nabi di Makkah meru- pakan prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Mus- lim agar menjadi kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi masyarakat Islam, mubalig dan pendidik yang baik. 6 Setelah hijrah, pendidikan



Islam



diarahkan-di diarahkan



mengalami



samping



untuk



perkembangan



membentuk



membina



pribadi



aspek-aspek



dan



pendidikan



kader



Islam-juga



kemanusiaan



dalam



mengelola dan menjaga kesejahteraan alam semesta. 7 Pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat pada masa Dinasti Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi ke- majuan pendidikan. Sehingga masa ini disebut dengan “masa inkubasi” atau masa bagi perkembangan intelektual Islam. 8 Dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam 9 adalah sesuai dengan tujuan hidup manusia, 10 sebab pen-



6 Lih. Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 1985, hlm. 54-59. 7 Lih. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 5. 8 Philip K. Hitty, History of the Arab, London: Macmillan Press, 1974, hlm. 240. 9 Secara umum tujuan pendidikan Islam itu diarahkan pada pemben- ... tukan kepribadian yang utama dan akhlakul karimah. Ini sesuai dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia yang berdasar pada wahyu Allah, li-utammima makarimal akhlak. Lih. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan hlam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 49 10 Tujuan hidup manusia ini tercermin dalam QS'Al-An’am, 162. Sesung-



12



Sejarah Pendidikan Islam



didikan hanyalah alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun masyarakat. Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidup- nya, mewariskan berbagai nilai-nilai budaya dari satu gene- rasi ke generasi berikutnya. Di samping itu, pengembangan potensi yang ada pada diri individu supaya dapat diperguna- kan oleh dirinya sendiri untuk menghadapi tantangan millieu yang selalu berubah. 11 Dari penjelasan di atas dapatlah dikemukakan beberapa prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam, di antaranya: a.



Universal (menyeluruh) Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat



menyeluruh dalam pandangannya terhadap agama, manusia, masyarakat dan kehidupan. Islam berusaha membina individu sebagaimana ia membina masyarakat dan meng- hargainya sekaligus. Pendidikan Islam berdasar pada prinsip ini bertujuan untuk membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan dayanya. Juga mengembangkan segala segi kehidupan dalam masyarakat, turut menyelesai- kan masalah sosial dan memelihara sejarah dan kebuda-



guhnya sembahyangku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Tuhan seluruh alam. 11 Lih. Hasan Langgulung, Asas Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988, hlm. 7.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



13



yaan. 12 Dengan demikian, pendidikan Islam itu tidak bersifat eksklusif. b.



Keseimbangan dan kesederhanaan Pendidikan Islam dalam prinsip ini bermakna mewujud- kan



keseimbangan



antara



aspek-aspek



pertumbuhan



anak



dan



kebutuhan-kebutuhan individu, baik masa kini maupun akan datang, secara sederhana yang berapiliasi sesuai dengan semangat fitrah yang sehat. 13 c.



Kejelasan Prinsip ini memberi jawaban yang jelas dan tegas pada jiwa dan



akal dalam memecahkan masalah, tantangan dan krisis. Prinsip ini merupakan prinsip penting yang harus ada dalam setiap tujuantujuan pengajaran. Kejelasan tujuan memberi makna dan kekuatan terhadap pengajaran. Men- dorong pengajaran untuk bertolak pada arah yang jelas untuk mencapai tujuan dan menghalangi terjadinya perselisihan dalam persepsi dan interpretasi. 14 d.



Realisme dan realisasi Kedua prinsip ini berusaha mencapai tujuan melalui metode



yang prakds dan realistis. Sesuai dengan fitrah. Ter- realisasi sesuai dengan kondisi dan kesanggupan individu,



Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafab al-Tarbiyah al-lslamiyah, terj. Hasan Langgulung (Falsafah Pendidikan Islam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 438. 13 Lih. Ibid. 14 Lih. Ibid, hlm. 439. 12 Lih.



14



Sejarah Pendidikan Islam



sehingga dapat dilaksanakan pada setiap waktu dan tempat secara ideal. 15 Dari keterangan ini, tujuan pendidikan yang baik adalah yang sesuai dengan psikologi anak, tahap kematangan jas- mani, akal, emosi, spiritual dan sosial. Juga sesuai dengan tatanan masyarakat, kebudayaan dan peradaban. e. Prinsip dinamisme Pendidikan Islam tidak beku dalam tujuan, kurikulum dan metode-metodenya, tetapi selalu memperbarui dan berkem- bang. Ia memberi respon terhadap perkembangan individu, sosial dan masyarakat, bahkan inovasi-inovasi dari bangsa- bangsa lain di dunia. 16



2. Kurikulum Pendidikan Islam Secara formal, kemunculan 17 kurikulum 18 sebagai bidang



15 Lih.



Ibid, hlm. 440.



16 Untuk



mengembangkan prinsip ini kaitannya dengan perkembangan ke depan adalah dengan mengadakan research pendidikan, eksperimen pendidikan dan responsif terhadap perkembangan bangsa-bangsa lain. Sehingga pendi- dikan yang disebut sebagai proses perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku individu dapat terrealisasi. Dalam kaitan ini-perubahan tingkah laku- dalam tujuan pendidikan meliputi: pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, adat kebiasaan dan sikap pelajar. Lih. Ibid, him. 442443. 17 Kemunculan



ini ditandai dengan semakin banyaknya hasil-hasil pe- nelitian yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal kependidikan.-J. L. Goodlad, “Curriculum as a Fild of Study”, dalam A. Lewy, (Ed), The International Encyclopedia of Curriculum, Toronto: Pergamon Press, 1991, him. 185. l8 Kurikulum



adalah rencana pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan program tertentu. Crow and Crow, Pengantar Ilmu



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



15



kajian ilmiah baru pada awal abad ke-20.19 Kurikulum pen- didikan Islam klasik hanya berkisar pada bidang studi ter- tentu.20 Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan tafsir, fiqih, retorika dakwah 21 (dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik), 22 ilmu kalam, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu hellenis. Namun dengan perkembangan sosial dan kultural, isi kurikulum semakin meluas. Dengan perkembangan ini diperlukan prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Dalam meletakkan cetak biru (blue print) pendidikan Islam adalah dengan meng- integrasikan ajaran-ajaran ideologi dan pandangan Islam secara menyeluruh ke dalam mata pelajaran (subject matter)



Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990, hlm. 75. Lih. pula Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory Qur’ani Outlook, Makkah Al-Mukarra- mah: Ummul Qura University, tt, him. 123, dan literatur-literatur lain yang membahas pendidikan. 19 G. A. Beuchamp, Curriculum Theory, Wilmete: The Kagg Press, 1968, hlm. 26. “Kurikulum masa klasik dapat dilihat ketika nabi berada di Madinah. Kurikulum pelajaran meliputi: belajar menulis, membaca Alquran, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Lih. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 53. 2l Retorika ini terbagi tiga cabang, yaitu: al-Ma’ani(membahas perbedaan kalimat dan melafalkannya), al-Bayan (mengajarkan seni mengekspresikan ide-ide dengan fasih dan tidak mengandung arti ganda), dan al-Badi’ (mem- bahas tentang kata-kata indah dan hiasan kata-kata dalam pidato). Hanun Asroh, op. cit., hlm. 76. “Carles Michael Stanton, Higler Learning in Islami the Classical Period. A.. D. 700-1300, Meryland: Rowman and Littlefield Publisher, 1990. him. 43.



16



Sejarah



Pendidikan



Islam



pada kurikulum di sekolah. 23 Dalam penyusunan kurikulum tersebut dapat dilihat dari prinsip-prinsip sebagai berikut: Ruh Islamiyah



1.



Setiap yang berkaitan dengan kurikulum-termasuk falsa- fah, tujuan, metode dan lainnya-harus berdasar pada agama dan akhlak Islam. Terisi dengan jiwa agama Islam dan bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan akhlak dalam membina pribadi mukmin. 24 2.



Universal



Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus meliputi segala aspek. Apabila tujuan meliputi segala aspek pribadi pelajar, kandungannya juga meliputi segala aspek yang ber- guna untuk membina pribadi pelajar yang berpadu dan bermanfaat bagi perkembangan masyarakat. 25 3.



Balancing



Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus memiliki keseimbangan (balance) dalam penyusunannya. Agama Islam yang merupakan sumber ilham kurikulum dalam mencip- takan falsafah dan tujuan-tujuannya menekankan kependngan duniawi dan ukhrawi dengan memperhatikan perkembangan



Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim..., op, cit., hlm. 23-24. Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, op. cii, hlm. 520. 25 Dalam perkembangan'masyarakat ini perlu diperhatikan perkem- bangan spiritual, ke'budayaan, sosial, ekonomi dan politik, termasuk ilmu- ilmu agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, profesional, seni rupa dan lain- lain. Lih. Ibid. 23 Lih.



24 Lih.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



17 .



jasmani, akal, jiwa dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. 26 4.



Sesuai dengan perkembangan psikologis Prinsip ini berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan pelajar,



kebutuhan pelajar dan kondisi realitas lingkungan alam sekitar di mana pelajar itu hidup dan berinteraksi. 5.



Memperhatikan lingkungan sosial



Dalam lingkungan sosial ini, kurikulum harus akomodatif dalam proses pemasyarakatan (socialisation) bagi pelajar, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, kebiasaan dan sikap, cara berpikir dan tingkah laku, kerja sama dan tanggung jawab serta pengorbanan pada lingkungannya. Bagi masya- rakat, kurikulum harus akomodatif untuk ikut mengembang- kan dan mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. 27



3. Metode Pendidikan Islam Metode 28 merupakan aspek penting untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Sehingga terjadi



26 Lih.



Ibid, hlm. 521.



Husein Sulaiman Qurah,Al-UshulAl-Tarbawiyah fi BinaAl-Manahij, Cairo: Dar AlMa’arif, 1975, hlm. 47-49. 28 Metode pengajaran adalah rentetan terarah bagi guru yang menyebab- kan timbulnya proses belajar pada murid-murid atau jalan yang dengannya pelajaran itu menjadi terkesan. Edgard Gruce Wesley, Teaching Social Studies in High School, Boston: USA Press, 1950, hlm. 421. Ghunaimah mengatakan bahwa metode pengajaran adalah cara-cara guru yang praktis dalam men- jalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran. Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tarikh al-]ami’at al-Islamiyah al-Kubra, Maroko: Dar al-Tiba’ah alMughribiyah, 1953, hlm. 77. 27 Lih.



Sejarah Pendidikan Islam



18



proses internalisasi dan pemilikan ilmu oleh siswa. Dalam pendidikan Islam, metode mendapat perhatian yang sangat besar. Alquran dan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam berisi petunjuk dan prinsipprinsip yang dapat diinterpre- tasikan menjadi konsep tentang metode ini. Signifikansi metode ini mengakibatkan guru harus memahami proses belajar dan metode mengajar serta memahami syarat-syarat berlakunya proses belajar dan juga prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar bagi teori-teori dalam proses belajar-mengajar. Adapun prinsip-prinsip yang harus diketahui dalam metode pendidikan Islam itu adalah: a.



Prinsip kesesuaian dengan psikologi anak



Metode yang dikembangkan oleh pendidik harus memperhatikan motivasi, kebutuhan, minat dan keinginan siswa dalam proses belajar. Menggerakkan motivasi yang terpendam, sekaligus menjaga dan memeliharanya, sehingga menjadikan pelajar termotivasi belajar lebih aktif. Dalam menumbuhkan dan memelihara motivasi ini, pendidik harus mengakulturasikan atau memadukan antara persuation dan determination supaya anak didik tidak lemah dan tidak pula memilki sifat kekerasan. 29 Suatu ungkapan menarik mengenai permasalahan ini dapat dikemukakan sebagaimana perkataan Ali r.a. “Dalam hati ada syahawat, sifat ingin dan sifat benci. Datangilah ia sewaktu ia sedang ingin. Sebab kalau hati dipaksa ia akan jadi buta”. 30



29 Lih.



Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, op. cit, hlm. 595. 30 Muhammad



tt., hlm. 187.



Abu Zahrah, Tanzjm al-lslam li al-Mujtama’, Cairo: Maktabah al-Masriya,



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



19



Menjaga tujuan pelajaran



b.



Tujuan pelajaran yang telah diketahui oleh siswa perlu dijaga dan dikembangkan bahkan membimbingnya sehingga ia



menyukai



pelajaran. Tugas utama guru dalam hal ini adalah menolong murid untuk menentukan tujuannya dalam belajar dan menjaga tujuan pelajaran tersebut dalam proses belajar mengajar. 31 Memelihara tahap kematangan



c.



Menjaga tahap kematangan murid dalam proses belajar dimaksudkan agar usaha pengajaran dapat mencapai pada titik optimal dan memungkinkan pelajar mengambil manfaat dari usahausaha pendidikan yang diberikan. 32 Dengan demi- kian, pengajaran yang disampaikan sesuai dengan akal, tahap pengamatan dan pemahaman siswa. Juga dapat dikemuka- kan, dengan memelihara tahap kematangan ini proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan enjoy dan menciptakan kesan yang baik bagi diri siswa. Partisipasi praktikal



d.



Penekanan dalam prinsip ini adalah pada amal (action) untuk menanamkan dan meneguhkan tujuan pelajaran. Dalam tercapainya “perubahan” dalam pendidikan dapat diketahui melalui tingkah laku dan metode pelaksanaannya melalui pengamalan dan partisipasi yang berulang-ulang.33



31 Lih.



Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, loc. cit. 32 lbid, hlm. 598.



33 Lih.



Ibid' hlm. 604



20



Sejarah



Pendidikan



Islam



4. Murid dan Guru dalam Pendidikan Islam Mengawali pembahasan ini lebih dahulu kita harus me- lihat pola hubungan guru 34 dan murid. 35 Dari semua penger- tian pendidikan terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksanaan pendidikan. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran Islam, maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Di sini seorang guru lebih berfungsi sebagai “fasilitator” atau petunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik. Dengan demikian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cenderung menganggap anak didik bukan apa-apa; manusia yang masih kosong yang perlu diisi. 36 Dengan kerangka dasar pengertian dan hubungan murid dan pendidik dapat pula sekaligus dihindari apa yang disebut banking concept 37 dalam pendidikan yang banyak dikritik



34 Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Hadari Nawawi, Organisasi, Sekolah dan Pengelolaan Kelas, Jakarta: Haji Masagung, 1989, hlm. 122. 35 Ada tiga istilah yang dipakai dalam bahasa Arab yang menunjuk pada murid, yaitu: Pertama, murid, secara harfiyah adalah orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu. Kedua, tilmidz yang berarti murid, dan yang ketiga adalah thalib al-’ilm yang berarti yang menuntut ilmu,-pelajar atau mahasiswa. Lih. Abuddin Nata op. cit., hlm. 79.



’'Azyumardi Azra, Pendidikan Islam..., op. cit., hlm. 6. 37Banking Concept of Education adalah salah satu istilah yang diperkenal- kan Paula Preire. Konsep ini merupakan suatu gejala di mana guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan murid sebagai tempat penyim-



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



21



sekarang ini. Dari pola hubungan guru dan murid ini dapatlah dikemukakan prinsip-prinsip umum yang mendasari, yaitu: a.



Prinsip humanistik Dalam kegiatan proses belajar mengajar, dominasi tidak berada



pada guru saja dan bukan pula pada siswa, akan tetapi proses pembelajaran itu berlangsung dengan dasar-dasar kemanusiaan. Mengajar anak didik dengan rendah hati dan memberikan petunjuk dan mengarahkannya sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan pemikiran anak didik. 38 b.



Prinsip egaliter



Dalam prinsip ini bukanlah guru yang menduduki posisi tinggi dan murid dianggap sebagai yang terendah, akan tetapi antara guru dan murid berada dalam posisi yang sama yang memiliki kesederajatan dalam pembelajaran. Dan bukan pula seperti yang dikemukakan oleh Bullet, bahwa ciri pendidikan Islam klasik adalah teacher oriented, sehingga kualitas suatu pendidikan tergantung pada guru, 39 akan tetapi all oriented (berorientasi pada guru dan murid) dan tentu pula kualitas pendidikan itu bergantung pada guru dan murid.



panan-semacam bank-yang kosong yang karenanya perlu diisi. Dalam proses seperti ini murid tidak lebih sebagai gudang, yang tak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (absolute ignurance). Ini merupakan suatu penindasan kesadaran manusia. Lih. Ibid, hlm. 7. 38 Lih. Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 298. 39 Richard W. Bullet, The Petrician of Nishaper: a Study in Medieval Islamic Social History, Harvard: Harvard University Press, 1972, hlm. 54.



22



c.



Sejarah Pendidikan Islam



Prinsip demokratis



Dalam sistem pembelajaran, pendidik memiliki sifat yang baik, terbuka dan tidak bersifat otoriter. Sikap keter- bukaan antara guru dan murid merupakan hal pokok yang perlu dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar, murid bebas mengeluarkan pendapat, baik untuk bertanya maupun mengkritik guru, dan berada pada bingkai norma-norma religi. Dengan prinsip seperti ini, kreativitas anak dapat terbongkar dan hasil belajar pun akan berpeluang besar pada skala tinggi.



5.



Lingkungan Pendidikan Islam Lingkungan pendidikan 40 menunjuk pada situasi dan kondisi



yang mengelilingi dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadi murid. Tegasnya, lingkungan pendi- dikan adalah suatu institusi dan tempat yang mempengaruhi di mana proses belajar itu berlangsung. Dalam praktiknya, sejarah lingkungan pendidikan Islam adalah rumah, masjid, perpustakaan, kuttab, madrasah dan universitas. Lingkungan pendidikan ini berfungsi untuk menunjang terjadinya proses belajar mengajar dengan aman, tertib dan berkelanjutan. 41 Karena mengajar adalah mem- bimbing murid bukan transformasi ilmu saja, guru harus



40 Lingkungan



pendidikan dibagi dua. Pertama, milieu (lingkungan seki-



tar) adalah segala keadaan, benda, orang, serta kejadian di sekitar anak didik. Kedua, pusat-pusat pendidikan adalah tempat, organisasi dan kumpulan manusia sebagai sarana pendidikan. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 209. 41 Lih.



Abuddin Nata, op. cit., hlm. 112.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



23



mengatur lingkungan belajar sebaik-baiknya sehingga ter- cipta syarat-syarat yang baik dan menjauhkan dari pengaruh yang buruk. Secara umum, prinsip lingkungan dalam mengajar sangat menekankan pada integrasi anak dengan lingkungannya, 42 sehingga anak didik dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma kehidupan di mana dia berada. Usaha yang dapat dilakukan dalam melaksanakan prinsip lingkungan dalam pengajaran adalah: a.



Memberikan pengetahuan tentang lingkungan anak dan dari sinilah pengetahuan agama anak diluaskan.



b.



Mengusahakan



agar



alat



yang



digunakan



berasal



dari



lingkungan yang dikumpulkan, baik oleh guru maupun siswa. c.



d.



Mengadakan karya wisata ke tempat-tempat yang dapat mendukung untuk memperluas wawasan pengetahuan agama dan keimanan siswa. Memberi kesempatan pada anak untuk melaksanakan sesuai dengan kemampuannya melalui bacaan dan obser- vasi dan lainnya. 43



6. Evaluasi Pendidikan Islam Rangkaian akhir dari komponen suatu pendidikan adalah evaluasi. 44 Evaluasi dalam pendidikan Islam telah mengga-



Zakiyah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 129-130 43Ibid, him. 130. 44 Evaluasi adalah suatu proses tindakan untak menentukan segala 42 Lih.



24



Sejarah Pendidikan Islam



riskan tolok ukur yang serasi dengan tujuan pendidikan, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah membimbing manusia agar hidup selamat di dunia, sedangkan tujuan jangka panjang adalah mem- bimbing manusia untuk kesejahteraan akhirat. Kedua tujuan di atas menyatu dalam sikap dan tingkah laku yang mencerminkan akhlak mulia. Sebagai tolok ukur dari akhlak mulia itu dapat dilihat dari cerminan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. 43 Berkenaan dengan hal di atas, dalam pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar pelaksanaan penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a.



Prinsip objektivitas Pemberian nilai yang dilakukan pendidik merupakan bagian



integral dari proses belajar mengajar. Evaluasi dida- sarkan atas hasil pengukuran yang komprehensif yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. 46 Dalam Islam, penilaian ini meliputi penilaian pada segi ucapan, perbuatan, dan hati sanubari, yang dikenal dengan istilah



sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan. Yuyun Nurkancana dan PPN Sumantara, Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1986, hlm. 1. Lih. pula Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 3. Lih. pula M. Ngalim Purwanto, Prinsip- Prinsip dan Teknik-Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 3. 45 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perbandingan Pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 58-59. Tabrani Rusyan, dkk., Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 211. 46 A.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



qauliyah,fi’liyah



25



dan qalbiyah.47 Ini erat kaitannya dengan kualitas iman



seseorang. b.



Prinsip keadilan Keadilan merupakan pokok penting yang harus diper- hatikan



seorang guru dalam evaluasi. Tidak terjadi ketim- panganketimpangan. Dalam proses pemberian nilai ini ada dua macam penilaian yang perlu diperhatikan, yaitu peni- laian norm referenced dan orientation referenced. Yang pertama berkaitan dengan hasil belajar sedang yang kedua berkaitan dengan penempatan. 48 c.



Prinsip kejujuran



Dalam proses penilaian, seorang guru harus mengatakan sesuatu sesuai dengan realitas konkretnya, 49 tanpa mengurangi dan menambah esensi kebenarannya. Orang yang menilai seperti ini dalam Islam disebut dengan shadiq.50 Dengan demikian, seorang guru yang melakukan penilaian harus meyakini terhadap hasil penilaiannya. Perlu diingat, guru tidak boleh menilai sesuatu yang belum diketahui secara pasti 51 (sesuatu yang masih diragukan).



47 Sayyid Sabiq, Al-Aquid al-lslamiyah, terj. Muhammad Abdai Rathomy, (Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman), Bandung: Diponegoro, 1977, hlm. 17. 48 Lih. Ibid. 49 Ahmad Amin, Al-Akhlaq, terj. Farid Mu’arif dengan judul ilmu Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 68. 50 Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 44. 51 Lih. Abuddin Nata, op.cit., hlm. 141.



Sejarah Pendidikan Islam



26



d.



Prinsip keterbukaan Penilaian yang berkaitan dengan tujuan akhir proses belajar



mengajar dilakukan dengan sistem penilaian keter- bukaan. Dalam artian, penilaian tersebut mempergunakan sistem yang jelas, sistematis dan teratur, sehingga tidak me- nimbulkan sikap kebingungan bagi murid. 52



C.



KESIMPULAN



Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Manusia bisa menghadapi alam semesta demi memperta- hankan hidupnya agar tetap survive melalui pendidikan. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pen- didikan pada kedudukannya yang penting dan tinggi dalam doktrinnya. Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, sesuai dengan uraian di atas, agar tidak terjadi miss discussion dalam pelaksanaan pendidikan tersebut pada anak dan untuk mencapai tujuan pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan tersebut. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah: 1.



Prinsip-prinsip yang mendasari tujuan pendidikan Islam adalah prinsip universal (menyeluruh), keseimbangan dan kesederhanaan, kejelasan, realisme dan realisasi, serta dinamisme. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari kurikulum pendidikan Islam itu adalah prinsip ruh Isla- miyah, universal, balancing, kesesuaian dengan perkem-



52 Lih.



A. Tabrani Rusyan, dkk., op. cit., hlm. 212.



Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam



27



bangan psikologis anak dan prinsip memperhatikan lingkungan sosial. 2.



Prinsip yang mendasari metode pendidikan Islam ada- lah prinsip kesesuaian dengan psikologi anak, menjaga tujuan pelajaran, memelihara tahap kematangan dan prinsip partisipasi praktikal. Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari murid dan guru dalam pendidikan Islam adalah prinsip humanistik, prinsip egaliter dan prinsip demokratis.



3.



Prinsip-prinsip yang mendasari lingkungan pendidikan Islam secara umum adalah adanya integrasi anak terha- dap lingkungan sehingga dia merasakan bahwa dirinya bagian dari lingkungan. Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari evaluasi pendidikan Islam adalah prinsip objek- tivitas, keadilan, kejujuran dan prinsip keterbukaan.



29



BAB III



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah Oleh: Susari



A.



PENDAHULUAN



Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muham- mad Saw mengandung implikasi kependidikan yang bertu- juan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, 1 yaitu: Pertama, potensi psikologis dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk men- jadi pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya. Kedua, potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang ijtima’iyah, di mana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya. Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya kepen-



Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Anis Dinamika Masyarakat, Jakarta Golden Terayobn Press, tt., hlm. 6. 1



Sejarah Pendidikan Islam



30



didikan yang sistematis dan terencana dengan baik sehingga dapat menghasilkan pribadi manusia yang berkualitas. Dalam sejarah awal perkembangan Islam, pendidikan Islam sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah merupakan upaya pembebasan manusia dari belenggu aqidah yang sesat yang dianut oleh kelompok



Quraisy dan upaya



pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan suatu kelompok terhadap kelom- pok lain yang dipandang rendah status sosialnya. Dengan menginternalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid, segala kepercayaan yang sesat itu dapat dibersihkan dari jiwa manusia sehingga tauhid menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan manusia. Metode yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah personalisasi berdasarkan pendekatan personal-indi- vidual, kemudian meluas ke arah pendekatan keluarga yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan sosiologis (masyarakat). Pendekatan personal, keluarga, dan masyara- kat tersebut merupakan proses ke arah pendekatan sistemik yang memandang bahwa orang per orang merupakan bagian dari unit keluarga, sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi makro-sistem dalam bentuk negara. Kebutuhan prioritas pendidikan pada masa itu adalah penanaman dan penumbuhan akidah tauhid yang berproses selama 10 tahun pada periode Makkah, kemudian, disusul dengan pembinaan masyarakat dalam praktik ibadah pada periode Madinah selama 13 tahun lebih. Dalam periode ini pendidikan Islam menyertakan peranan sanksi-sanksi hukum-



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



31



an dan ganjaran pada individu dan masyarakat atas tanggung jawabnya dalam mempraktikan ajaran Islam. Pendekatan sistemik Islami dari Nabi Muhammad Saw. didasarkan pada hikmah dan mauidhah



hasanah



dengan



metode



targhib



dan



tarhib



yang



didramatisasikan melalui uswatun hasanah yang pada akhirnya baru penerapan sanksi-sanksi. Walaupun pada zaman Nabi Muhammad Saw. memim pin masyarakat



Makkah



dan



Madinah



belum



muncul



lembaga



pendidikan semacam madrasah sebagaimana yang dikem bangkan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa dinasti Saljuk (1065-1067), tapi pendidikan Islam secara institusional telah berproses secara mapan. Dalam makalah ini, dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, penulis mencoba menguraikan lembagalembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah.



B. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN SEBELUM MADRASAH Pada umumnya lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah di masa klasik diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Isla m di masa klasik menurut Charles Michael Stanton 2 digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal, di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk



Michael Stanton, Higher Learning in Islam: the Classical Period, AD 700-1300, Maryland, 1990, hlm. 122.2 Charles



Sejarah Pendidikan Islam



32



filsafat. Sementara George Makdisi 3 dalam hal yang sama menyebutnya sebagai lembaga pendidikan eksklusif (tertu- tup) dan lembaga pendidikan inklusif (terbuka). Tertutup, artinya hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan ter- buka, artinya menawarkan pengetahuan umum. Adapun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa klasik adalah sebagai berikut:



1. Shuffah Pada masa Rasulullah Saw. shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. 4 Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Di sini para siswa diajar- kan membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam di bawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa itu setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah. Salah satu di antaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi. Rasulullah Saw. mengangkat Ubaid ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.



Makdisi, Typology ofl nstitutions of Learning dalam An Antology Studies oleh Issa J. Boullata, Montreal: McGill Indonesia IAIN Develop- ment Project, 1992, hlm. 16. 4 Abuddin Nata (terj.), 'Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000, hlm. 12. 3 George



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



33



2. Kuttab/Maktab Kuttab/maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan 'kuttab/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat di mana dilang- sungkan kegiatan tulis menulis 5 . Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya meru- pakan istilah yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Is- lam tingkat 6 dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar. Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern. 7 Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada Alquran sebagai suatu texbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan me- nulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadis, khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Mengenai kurikulum ini Ahmad Amin pun menyepakatinya. 8 Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan penge- tahuan umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya



5 Zuhairini,



Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.



6 A. 7 Abdullah



Shalabi, History of Moslem Education, Beirut, 1954, hlm. 16. Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm.



16. 8 A.



Shalabi, op.cit, hlm. 17.



Sejarah Pendidikan Islam



34



Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkem- bangan berikutnya



kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu



kuttab yang



mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning) 9 Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupa- kan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat. Mengenai



waktu



belajar



di



kuttab,



Mahmud



Yunus 10



menyebutkan dimulai hari Sabtu pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut: 1. Alquran 2. Menulis 3. Gramatikal Arab,



: Pagi s.d. Dhuha : Dhuha s.d. Zuhur : Ba’da Zuhur s.d. siang



Matematika, Sejarah



3. Halaqah Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar me- ngajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerang



9 Hanun



Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.



l0 Mahmud



Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1966, hlm. 15.



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



35



kan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah.11



Kegiatan



di



halaqah ini



tidak



khusus



untuk



mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengeta- huan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.



4. Majlis Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran 12 atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejum- lah aktivitas pengajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al- Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut: 13



11Hanun 12Ibid., 13Ibi



d.



Asrohah, op. cit., hlm. 49.



hlm. 51.



36



a.



Sejarah Pendidikan Islam



Majlis al-Hadis Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli



dalam bidang hadis. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini bisa berlangsung antara 20 - 30 tahun. Dan jumlah peserta yang mengikuti majlis ini dapat mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang. b.



Majlis al-Tadris Majlis ini biasanya menunjuk kepada majlis selain dari- pada



hadis, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam. c.



Majlis al-Munazharah Majlis ini biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Me- nurut Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun dari dinasti Abasiyah. Di luar istana, majlis ini ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes terbuka di kalangan ulama. Untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari popularitas ulama saja. d.



Majlis al-Muzakarah Majlis ini. merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadis. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



37



guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis-al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadis, materi hadis, perawi hadis, hadis- hadis dho’if, korelasi hadis dengan bidang ilmu tertentu, kitab-kitab musnad. e.



Majlis al-Syu’ara Majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair dan juga sering dipakai untuk kontes para ahli syair. f.



Majlis al-Adab Majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal. g.



Majlis al-Fatwa dan al-Nazar Majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwa- kan. Disebut juga majlis al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama fiqih/hukum Islam.



5. Masjid Semenjak berdirinya di zaman Nabi Saw. masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana infor masi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. 14



14 A.



Shalabi, op. cit., hlm. 47.



Sejarah Pendidikan Islam



38



Perkembangan



masjid



sangat



signifikan



dengan



per-



kembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan, urgensi ma- syarakat terhadap



masjid



menjadi



semakin



kompleks.



Hal



ini



yang



menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa. 15 Jumlah jami’ lebih sedikit dibanding jumlah masjid. Pada abad ke-11 M, di Baghdad hanya ada 6 jami’, sedangkan masjid jumlahnya mencapai ratusan. Demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami’ daripada masjid. Namun di Cairo jumlah jami’ cukup banyak. jami' maupun masjid keduanya digunakan sebagai sarana untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami’ biasanya memiliki halaqah-halaqah, majlis-majlis dan Zawi- yah-Zawiyah16 Ada perbedaan penting antara jami’ dengan masjid. Jami’ dikelola dan di bawah otoritas penguasa atau khalifah. Penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan seluruh



aktivitas



jami’,



seperti



kurikulum,



tenaga



pengajar,



pembiayaan dan lain-lain. Sementara masjid tidak berhubungan dengan keku- asaan. Namun demikian, baik jami’ maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college.



l5 Hanun



Asrohah, op. cit., hlm. 57.



sama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar. Namun muatan kurikulum lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual/tasawuf. Lihat Abdullah Fajar, op. cit., hlm. 16. 16 Zawiyah



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



39



Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qodhi, khotib, dan imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal. 17



6.



Khan



Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam Suraij. Di samping fungsi di atas, khan juga digunakan seba- gai sarana untuk belajar privat. 18



7.



Ribath



Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsen- trasikan diri untuk semata-semata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya mad-



Asrohah, op. cit., hlm. 59. him. 64.



17 Hanun



18 Ibid,



Sejarah Pendidikan Islam



40



rasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribatb. Sejak masa dinasti Saljuk, madrasah dan ribath diorganisir dalam satu garis kebijakan yang sama, yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.



8.



Rumah-rumah Ulama Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan



belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. 19 Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pe- lajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi, demikian juga Ali ibn Muhammad Al-Fasihi ketika ia dipecat dari Madrasah Nizhamiyah karena dituduh syi’ah dan juga Ya’qub ibn Killis. 20



9.



Toko-toko Buku dan Perpustakaan Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegi- atan



keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdis- kusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan di situ. 21



19 A.



Shalabi, op. cit., hlm. 29.



20Ibid., 21



hlm. 31. A. Shalabi, op. cit., hlm. 26.



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



41.



Di samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau di istana raja-raja. Seorang pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah AlMa’mun dari dinasti Abbasiyah, kemudian diikuti oleh penguasa setelahnya.



10. Rumah Sakit Rumah Sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan de- ngan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat. Rumah Sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit Dengan demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lem- baga pendidikan. Di Baghdad, sampai pada tahun 1160 M terdapat 60 lembaga medis; Cairo mempunyai 5 rumah sakit. Sedangkan pusat lembaga medik ketika itu ada di Spanyol, Cordove, dan Seville. 22



22 Zuhairini,



op. cit., hlm. 97.



Sejarah Pendidikan Islam



42



11. Badiab (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi) Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar Arab yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab di situ cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa pasaran. 23 Namun tidak demikian halnya di badiah- badiah. Mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemur- nian bahasa Arab. Dengan demikian, badiahbadiah ini meru- pakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni. Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengeta- huan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. 24



C.



KESIMPULAN



Pada zaman Nabi Muhammad Saw. pendidikan Islam secara institusional telah berproses secara mapan dengan embrio model pendidikan, seperti Halaqah, Majlis, Kuttab, Zawiyah dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan strategis dalam rangka pena- naman nilai-nilai Islam kepada Masyarakat.



23 A.



Shalabi, op. cit., hlm. 43.



24 Zuhairini,



op. cit.



Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah



43



Kurikulum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode awal hanyalah ilmu agama. Namun setelah adanya persentuhan dengan



peradaban



Helenisme,



maka



materi



pelajaran



yang



ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu lembaga pendidikan for- mal dan informal. Lembaga pendidikan yang informal biasa- nya menawarkan materi pelajaran umum sementara yang formal, tidak. Di sini tampak bahwa ketika itu telah muncul pandangan dikotomi antara pengetahuan umum dan agama di lingkung- an lembaga pendidikan Islam. Hal ini terjadi sebagai akibat persentuhan antara Islam dan peradaban Helenisme. Pan- dangan dikotomi tersebut masih berlangsung hingga seka- rang. Padahal, Islam tidak mengenal adanya perbedaan antara ilmu agama dan umum. Bahkan sebaliknya, puncak sejarah dan peradaban Islam justru terjadi ketika menyatu- nya pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Wallahu a'lam bi al-s hawab.



45



BAB IV



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal Sebelum Lahirnya Madrasah Nizhamiyah* Oleh: Ahmad Qurtubi



A. PENDAHULUAN Sesuai catatan sejarah umat Islam pernah mengalami masa keemasan dan masa kemunduran. Masa keemasan umat Islam terjadi antara 650-1200 Masehi. Oleh para ahli sejarah, masa ini disebut periode klasik dalam sejarah perkembangan Islam. Umat Islam pada periode ini boleh disebut sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga benua. Setelah itu umat Islam dilanda perpecahan dan kejumu- dan yang pada akhirnya membawa kemunduran. Daerah- daerah yang tadinya berada di bawah kekuasaan Islam menjadi jajahan Barat. Pada masa ini tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti masa sebelumnya. Walaupun pada awal abad XIX Masehi umat Islam mulai



Makalah disampaikan pada seminar mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam, Program Pascasarjana (S2) IAIN Jakarta pada hari Jum’at 06 Oktober 2000.



Sejarah Pendidikan Islam



46



bangkit kembali, tetapi sampai kini secara langsung maupun tidak langsung mereka masih banyak didominasi Barat. Sekadar menyebut apa adanya, nasib umat Islam seka- rang ini belum seluruhnya membaik. Berbeda dengan keadaan di zaman emasnya. Pada umumnya, kelemahan Dunia Islam terletak pada berbagai sektor kehidupan, terutama ekonomi dan politik, dua hal yang satu sama lain saling berkaitan. Na- mun, penyebabnya yang paling mendasar dan tak diragukan, adalah berpangkal dari rapuhnya fondasi intelektual yang bila dilacak lebih lanjut akan bermula dari bidang pendidikan. Pendidikan pada zaman keemasannya perlu diambil sebagai pelajaran guna diteladani; dan sebaliknya membuang yang jelek agar tidak terulang kembali. Salah satu peristiwa historis yang perlu diketahui adalah sebuah institusi pendi- dikan yang dalam hal ini adalah madrasah yang berkembang pada periode awal sebelum lahirnya Madrasah Nizhamiyah. Berdasarkan hal tersebut, timbul beberapa permasalahan antara lain:



bagaimana



bagaimana



latar



sejarah



dan



belakang munculnya motivasi



istilah madrasah?



pendirian



madrasah?



Lalu,



bagaimana teori muncul madrasah yang pertama? Selanjutnya dalam makalah ini akan dibatasi pembahasan tentang



pertumbuhan



madrasah



sebelum



lahirnya



Madrasah



Nizhamiyah dengan tujuan mendapatkan informasi yang benar tentang madrasah dan pertumbuhannya pada periode awal. Pembahasan ini menggunakan metodologi telaah ke- pustakaan terhadap sejarah pertumbuhan madrasah pada periode awal disertai analisis kritis. Adapun analisis yang ada



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



47



dalam makalah ini adakalanya diambil dari pendapat penulis lain dan juga analisis penulis sendiri.



B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ISTILAH MADRASAH



/. Kronologi Lahirnya Madrasah Sebelum lebih jauh membahas tentang pertumbuhan madrasah, terlebih dahulu akan dikemukakan periodisasi pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zuhairini 1 yang membaginya kepada lima periode: 1.



Periode pembinaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rasulullah Saw.



2.



Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rasulullah Saw. sampai masa Bani Umayyah.



3.



4.



Periode kejayaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad diwarnai dengan timbulnya madrasah dan puncak budaya Islam. Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu jatuh- nya Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon.



5.



Periode pembaharuan pendidikan Islam, yaitu pada masa Mesir dipegang oleh Napoleon sampai dengan kini. Dari periodisasi di atas dapat diasumsikan bahwa pembahasan ini berada pada periode ketiga, yaitu pada masa



et. al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Cet. ke 5 hlm. 100. Lihat pula Abdullah Fadjar, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996) hlm. 22. 1 Zuhairini,



Sejarah Pendidikan Islam



48



Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad. Dengan demi- kian, pada pembahasan selanjutnya eksistensi madrasah tidak terlepas dari beberapa faktor eksternal maupun internal. Di antara faktor eksternal yang mendukung timbulnya madrasah adalah faktor politik. Kesatuan politik yang ham- pir terwujud, seperti telah dipelihara oleh Khalifah Sunni di Baghdad, terpecah ketika Khalifah Syi’i didirikan di Cairo sebelum akhir abad ke-4 Hijriah. Selain perbedaan doktrin antara kedua golongan, terjadi pula persaingan politik. Pen- didikan menjadi salah satu senjata dari perlombaan politik tersebut. Khalifah-khalifah saingan di Cairo mengklaim dirinya sebagai keturunan nabi dan mereka memperkuatnya melalui pendidikan terencana



yang diselenggarakan oleh negara. Pendidikan ini



dirancang untuk keperluan orang-orang dewasa yang disebarluaskan dari sebuah lembaga pusat yang dikenal dengan nama Dar al-Ilmi. Sebuah masjid yang didirikan setelah Cairo direbut, segera digunakan untuk tempat belajar, menurut doktrin penguasa baru. Masjid ini, sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Yang dipandang sebagai universitas tertua di dunia. Tidaklah perlu dibesar-besarkan pentingnya campur tangan aktif dan langsung yang pertama dalam pendidikan, mengingat campur tangan itu terbatas pada tingkat pen- didikan dasar masih harus dipelajari di maktab atau secara privat. Belajar dari langkah-langkah yang ditempuh di Cairo, Baghdad tidak mau ketinggalan. Meskipun agak terlambat, Baghdad menanggapi tantangan pendidikan itu dengan langkah yang sama pada abad ke-5 Hijriah, yaitu mendirikan



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



49



sebuah lembaga pendidikan baru yang bernama madrasah. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh kubu saingannya, lembaga madrasah itu didirikan oleh negara guna menye- barluaskan dogma penguasa. Pada kesempatan selanjutnya, yaitu pada abad ke-5 Hijriah atau 11 Masehi, adalah masa di mana sejarah men- catat terjadinya konflik antara kelompok-kelompok keaga- maan dalam Islam, misalnya Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan Syafi’iyah. Wazir Saljuk sebelum Nidzam Al-Mulk adalah Al-Kunduri seorang bermazhab Hanafi dan pendukung Mu’tazilah. Salah satu kebijakannya sebagai wazir adalah mengusir dan menganiaya para penga- nut Asy’ariyah yang sering juga berarti penganut mazhab Syafi’i. Al-Kunduri selanjutnya digantikan oleh Nidzam Al-Mulk, seorang Syafi’iyah Asy’ariyah dan karenanya secara alamiah berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah, Syi’ah, Hanbaliyah dan Hanafiyah. 2 Lawan politik Dinasti Saljuk yang Sunni adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir, yang beraliran Syi’ah. Ketetapan awal untuk membina lembaga pendidikan dalam hal ini madra- sah ialah karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syi’ah tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus dengan melalui penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syi’ah. Pertimbangan ini dilakukan karena Syi’ah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktri- nisasi melalui pendidikan atau aktivitas pemikiran yang lain.



2 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 51. Lihat juga Fadjar, op.,cit., hlm. .21.



50



Sejarah Pendidikan Islam



Ini pula yang melatarbelakangi lahirnya madrasah dengan tujuan untuk melawan pengaruh Syi’ah dan memperkuat posisi Sunni. Walaupun ada faktor-faktor lainnya yang mela- tarbelakangi lahirnya madrasah.



2. Fenomena Madrasah Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa, mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madra- sah menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki konotasi spesifik. Madrasah itu sendiri merupakan institusi peradaban Islam yang sangat penting. 3 Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan pada bagian ini berbeda dengan madrasah (bahasa Indonesia) yang merupakan lembaga pendidikan dasar dan menengah. Di sini madrasah didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara luas berkembang di Dunia Islam pra mo- dern sebelum era universitas (al-Jami’ah). Hasan Asy’ari 4 mengasumsikan ciri-ciri madrasah tidak dapat dikonotasikan dengan lembaga pendidikan yang ada sekarang dan kesulitan besar menerjemahkan kata madrasah itu sendiri. Sedangkan Nakosteen dan beberapa sarjana lain, menerjemahkan kata madrasah dengan university, 5 Walaupun tidak terlalu tepat, tapi sedikitnya dapat mewakili. Sebab,



3 Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, Terj. Abuddin Nata, (Canada: Montreal, 2000). 4 Asari, op. cit., hlm 48. 5Ibid, hlm. 48.



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



51



ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dengan universitas,



pertama, kata universitas dalam pengertian yang paling awal mengacu pada civitas akademika, sedangkan madrasah mengacu pada sarana dan prasarana. Kedua, uni- versitas bersifat hierarkis sedangkan madrasah bersifat individualistis dan personal. Ketiga, izin mengajar pada uni- versitas dikeluarkan oleh komite, sedangkan pada madrasah ijazah diberikan oleh syaikh secara personal. Dengan demi- kian, pada bahasan selanjutnya istilah ini akan dipakai dalam bentuk aslinya. Namun demikian, madrasah pada periode awal merupakan cikal bakal berdirinya universitas.



C. SEJARAH DAN MOTIVASI PENDIRIAN MADRASAH Beberapa paradigma dapat digunakan dalam meman- dang sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada tiga teori tentang timbulnya madrasah. Pertama, madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nidzam AlMulk (W. 485 H/1092M), salah seorang wazir Dinasti Saljuk sejak 456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun Madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah kekuasaan Saljuk. Begitu dominannya peran Nidzam Al-Mulk terkadang mendorong kepada kesimpulan yang keliru dengan mengatakan bahwa Nidzam Al-Mulk adalah orang pertama yang membangun madra- sah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin dengan merujuk Al-Dzahabi.6 Pendapat ini dibantah oleh



6Ibid,



hlm. 48. Lihat Ahmad Amin, Dhubal Islam. Cairo, Lajnah al-ta’lif waltarjamah wal-nasr, 1952 Jilid II hlm. 49.



Sejarah Pendidikan Islam



52



Hasan 7



dengan



mengajukan



argumentasi



bahwa



belakangan



membuktikan sebelum berdirinya Dinasti Saljuk telah dikenal secara luas di daerah Nisyapur. 8 Di bawah naungan Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) berkembang men- jadi salah satu pusat budaya dan pusat pendidikan terbesar di Dunia Islam sepanjang abad ke-4 H/10 M dan telah banyak madrasah jauh sebelum era Nidzam Al-Mulk. Pendapat ini diperkuat oleh Ghanimah 9 yang menyatakan bahwa pada abad ke-4 H telah muncul madrasah di Nisyapur karena banyak bukti yang signifikan tentang hal itu. Demikian pula Abdul Al-’Al yang secara khusus melakukan kajian tentang pendidikan Islam pada abad tersebut dengan mengajukan fakta berdasarkan karya penulis-penulis abad ke-4 H. Antara lain: Ahsan al-Taqasin fi ma'rijat al-aqalim karya al-Makdisi (w.378), Thabaqat alSyafi’iah al-Kubra karya Al-Subki (w.388 H), al-Rasa-il karya AlHamadani (398 H). Kedua, menurut Al-Makrizi, 10 ia berasumsi bahwa mad- rasah pertama adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.



7Ibid.



Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikb al-lslam al-Siyasi wa al-dini



waal-Tsaqafi wa al-ljtima’i (al-Qahirah: al- Nahdhahal- Mishriyah, 1967) cet. I Juz IV hlm. 425. 8 Dalam peta modern Nisyapur mencakup sebagian Iran, sebagian Afganistan, dan daerah bekas Uni Soviet antara laut Kaspia dan laut Aral. 9 Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999)



Cet. I hlm. 60. 10Ibid. Lihat Ahmad Syalaby, Tarikh al-Tarbijah al-lslamijah, (Al-Qahirah: Kasyaf li al-Nasr wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’, 1954) hlm. 99. Lihat Fathiyah an-Nahrawi, Tarikh al-Nidzam wa badbarab al-lslamiyah, (Lubnan: Darul Ma’arif, 1981) Cet. 11 him. 123. Lihat Ibrahim Hasan, loc. rit.



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



53



Ketiga, madrasah sudah eksis semenjak awal Islam seperti gait alHikmah yang didirikan Al-Makmun di Baghdad abad ke-3 H. Dari informasi yang diterima di atas dapat diketahui, bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu masih bersifat ahliyah (keluarga), berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas. Di samping itu, tidak ada campur tangan dari penguasa seba- gaimana halnya Madrasah Nizhamiyah, sehingga tidak di- sangkal bahwa pengaruh Madrasah Nizhamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya. Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk mad- rasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid. Dalam pandangan Hasan Ashari 11 bahwa madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendi- dikan dan Khan sebagai asramanya. Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, 12 antara lain bahwa Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqih merupakan bidang studi utama. Selanjutnya Zuhairini 13 mengemukakan alasan-alasan berdirinya madrasah di luar masjid:



11Ashari, op. cit.



hlm... Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), cet. I hlm. 240. 12 Asari,



up. cit., hlm. 45. et. al., op. cit., hlm. 100.



l3 Zuhairini,



54



1.



Sejarah



Pendidikan



Islam



Halaqah-halaqah (kelompok studi) yang diselenggarakan di masjid sering mengganggu terutama terhadap orang- orang yang akan beribadah;



2.



Berkembangnya



ilmu



pengetahuan



melahirkan



halaqah-



halaqah banyak yang tidak tertampung di Masjid; 3.



Ketika bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerin- tahan Bani Abasiyah dan dalam rangka mempertahan- kan status quo. Mereka



berusaha



menarik



hati



dengan



berusaha



memperhatikan pendidikan dan pengajaran guru-guru digaji dan diberi fasilitas yang layak; 4.



Sebagai kompensasi dari dosa yang mereka lakukan juga berharap ampunan dan pahala dari Tuhan karena mereka sering melakukan maksiat;



5.



Ketakutan akan tidak dapat mewariskan harta kepada anakanaknya. Dengan demikian, mereka membuat wakaf pribadi yang dikelola oleh keluarga;



6.



Usaha



mempertahankan



dan



mengembangkan



aliran



keagamaan dari para pembesar agama. Argumen di atas dapat diilustrasikan bahwa masjid tidak lagi dianggap sebagai tempat yang cocok untuk pendidikan. Adapun proses transformasi dari masjid ke madrasah secara tidak langsung, yakni melalui perantara Masjid Kban.14 Di sisi lain, Syalabi 15 mengemukakan bahwa perkem- bangan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung. Menurutnya madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin



14 Maksum, 15 Syalaby,



op. cit., hlm. 57.



op. cit., hlm. 97.



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



55



ramainya pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak mengganggu kegiatan ibadah, dibuatlah tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah. Dalam pandangan Glasse bahwa madrasah sebagai sekolah tradisional untuk pendidikan tinggi. Pada masa dinasti Fatimiyah pengembangan



itu



menanggapinya



dengan



dilakukan.



Di



membuka



lain



pihak



madrasah



aliran



Sunni



teologi



untuk



menghadapi ancaman dari penyerbuan doktrin syi’ah, seperti Nidzam Al-Mulk dan Sultan Salahuddin yang bertujuan menahan subversi teologis yang dilancarkan dari pihak Fatimiyah.



D. MADRASAH SEBAGAI INSTITUSI PENDIDIKAN Pendidikan secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Baik bersifat umum seperti masjid maupun yang khusus. Pada abad ke-4 H dikenal beberapa sistem pendidikan. Hasan Abdul Al-’Al mengemukakan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: sistem pendidikan Mu’tazilah, sistem pendidikan Ikhwan Al-Shafa, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqih. 16 Institusi yang dipakai masing-masing sebagai berikut:17



1.



Filosof menggunakan Daar al-Hikmah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Waraqi’in;



16Ibid., 17 Ibid.



hlm. 58.



Sejarah Pendidikan Islam



56



1.



Mutashawif menggunakan al-Zawaya, al-Ribath, al-Masa- jid, dan Halaqat al-Dzikr;



2.



Sji’iyjin menggunakan Daar al-Hikmah, al-Masajid, Pertemuan rahasia;



3.



Mutakallim menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Ha- wanit dan Waraqi’in serta al-Muntadiyat;



4.



Fuqaha dan ahli hadis menggunakan Al-Katadit, Al-Ma- daris dan Al-Masajid.



Melihat data di atas jelaslah madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan bercorak fiqih.



A.



MADRASAH PRA MADRASAH NIZHAMIYAH



Menurut Stanton, madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Wazir Nizhamiyah pada 1064 M; madrasah ini dikenal dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Namun penelitian lebih akhir, misalnya, yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah le- bih tua berada di kawasan Nisyapur Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah Al-Baihaqiyah yang di- dirikan oleh Abu Hasan ‘Ali Al-Baihaqi (w. 414 H/1023M). Bulliet bahkan lebih jauh menyebutkan ada 39 madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah Madrasah Niandahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn Mahmud di Nisyapur. Pendapat ini didukung Naji Ma’ruf, yang menyatakan-bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebe- lum kemunculan- Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya Abdul A1-’A1 mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud Ghaznawi



Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal



57



Sa’idiyah (berkuasa 388-421 H/998-1030 M) juga terdapat Madrasah



Sa’idiyah.18 Kurikulum madrasah yang diajarkan di Nisyapur terse- but meliputi agama dan filsafat. 19 Pada masa periode ini telah muncul term ijazah. Ijazah pada waktu itu merupakan sebuah lembaran kertas yang menunjukkan bahwa sang penerimanya diberikan wewenang untuk mengajar apa yang dimaksud oleh ijazah tersebut. Namun, ijazah ini mempu- nyai skop yang terbatas yang hanya diberikan seorang guru kepada pelajar yang dianggap telah mampu menyebarkan ilmu pengetahuan yang diterimanya.20



F.



KESIMPULAN



Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Madrasah sebagai sebuah institusi pendidikan yang lahir karena kon- disi sosial politik pada masa itu yang mendukung lahirnya madrasah di samping faktor-faktor lainnya. Dengan berdi- rinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru, yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik. Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di Dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-4 H.



l8 Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam Stanton, op. cit., hlm. vi. l9 Alavi, op. cit., hlm. 15. 20 lbid



58



Sejarah Pendidikan Islam



Ini bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. Pada periode awal telah berdiri beberapa madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya Madrasah Nizhamiyah. Mad- rasahmadrasah tersebut berada di wilayah Persia, tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya Madrasah Al-Baihaqiyah, Mad- rasah Sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khurasan.



BAB V



59



Madrasah Nizhamiyah Oleh:M.Akmansyah



A. PENDAHULUAN Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Ahmad Syalabi menyebutkan tempat-tempat itu, antara lain al-Kuttab, al-Qushur, Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Masjid dan Madrasah. Lalu ia membagi institusi- institusi pendidikan Islam



tersebut menjadi dua kelompok, yakni kelompok sebelum madrasah dan sesudah madrasah. 1 Dengan demikian, berdirinya madrasah merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam dan untuk membedakannya dengan era pendidikan Islam sebelumnya.



*Makalah dipresentasikan pada Seminar Mata Kuliah Sejarah Pendidik- an Islam Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Jum’at, 6 Oktober 2000. 1 Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, (Beirut, Dar-al-Kassyaf, 1954.) hlm. 5559.



60



Sejarah Pendidikan Islam



Madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad ke-11-12 M (abad 5 H), khususnya ketika wazir Bani Saljuk, Nizam Al-Mulk 2 mendirikan Madrasah Nizhami- yah 3 di Baghdad. Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang mendirikan madrasah, tetapi ia berjasa dalam mempopu- lerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir. 4 Di samping itu



lembaga



madrasah



ini



dianggap



sebagai



prototype



awal



pembangunan lembaga pendidikan tinggi



2 Lahir di Radkan, Tusi (50 mil sebelah utara Mashad), 10 April 1018/ 1017 dan wafat di Sinha, 14 Oktober 1092. Perdana Menteri Salajikah (Saljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp Arsalan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Khwaja Abu Ali Al-Hasan bin Ali bin Ishaq Al-Tusi. Informasi lebih lanjut lihat Dr. Faisal Ismail, Islam dan 'Realitas llahiyah dan Realitas Insanijah, (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999) hlm. 127-131, lihat pula Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 43.



3 Nama



Madrasah Nizhamiyah dihubungkan kepada nama pendirinya, Nizam AlMulk. Dr. Abdullah Abdul Da’im, Tarikh al-Tarbiyah, (Al-Math- ba’ah al-Jadid, 1965) hlm. 115. 4 Sumber



lain mengatakan bahwa Abi Ishaq (wafat 406H/1015M) pe- ngarang Tarikh Naisabur, menyebutkan bahwa Abi Ishaq Al-lsfirayini (wafat 418 H/1027 M) adalah orang pertama yang mendirikan madrasah di Nisyapur sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Majid Abdul Futuh, al-Tarikb al-Siayasi wa al-Fikri, (al-Mansur: Matba’ alWafa, 1980) him. 186. Azyumardi Azra dalam Kata Pengantarnya pada buku Pendidikan Tinggi Islam oleh Charles Michael Stanton, menjelaskan bahwa penelitian lebih akhir yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah yang lebih tua di kawasan Nisyapur, Iran. Pada sekitar tahun 400H/1009 M terdapat Madrasah AlBaihaqiyah yang didirikan Abu Hasan Ali Al-Baihaqi (w.414/1023) (lihat pula Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-lslam, (Beirut; Dar-Ihya al-Turast al-Gharbi 1967. hlm. 606). Bulliet lebih jauh menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang-berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Madrasah Nizha- miyah melampaui madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya.



Madrasah Nizhamiyah



61



setelahnya. 5 Menimbang bahwa lembaga pendidikan madrasah ini merupakan salah satu bentuk khas lembaga pendidikan tinggi Islam, dan merupakan lembaga pendidikan resmi di mana pemerintah terlibat di dalamnya, 6 penulis terdorong untuk mengangkat tema ini menjadi pokok bahasan pada pembahasan ini. Untuk lebih jelasnya pembahasan ini akan mengkaji Madrasah Nizhamiyah di Baghdad 7 didirikan Tahun 1067 M/459 H. Karena keterbatasan literatur dan luasnya bidang kajian, pembahasan dibatasi pada; letak geografis dan motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah, tujuan pendidikan dan beberapa komponen pokok pendidikan serta pengaruh- nya. Pada akhir pembahasan ini diharapkan tercapai deskripsi pendidikan Islam pada Madrasah Nizhamiyah.



B.



LETAK GEOGRAFIS DAN MOTIVASI PENDIRIAN MADRASAH NIZHAMIYAH BAGHDAD Madrasah Nizhamiyah di Baghdad terletak di dekat sungai



Tibawi, Arabic and Islamic Themes, (London, Luzac & Company Ltd., 1976) hlm. 224. Lihat pula Charles Michael Stanton, Pengadilan Tinggi dalam Islam, (Pen. H. Afandi dan Hasan Asari Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994) hlm. 47. 5 A.L.



6 Keterlibatan pemerintah dimaksud, seperti menetapkan tujuan-tujuan, menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberikan dana yang teratur kepada madrasah. 7 Pembahasan ini dibatasi hanya pada Madrasah Nizhamiyah di Bagh- dad, karena pada umumnya Madrasah-madrasah Nizhamiyah lainnya (seperti di Balakh, Nisabur, Herat, Asfahan, Basrah, Marwa, Aamal dan Mousul. Lihat Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, (pen. Prof. H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry, L.I.S, Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hlm. 81 merupakan satu sistem yang sama, lihat juga Prof. Mahmud Yunus, op.cit, him. 73. lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilisation in Islam, (New York: New American Library, 1990) hlm. 71.



62



Sejarah Pendidikan Islam



Dijlah di tengah-tengah pasar Salasah (Suq al-Salasah) di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457H/1065M dan selesai pada tahun 459H. Madrasah ini tetap hidup sampai pertengahan abad ke-14 Masehi, yaitu ketika dikunjungi oleh Ibnu Batutah. 8 Ahmad Syalabi berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang terdapat di Baghdad saat ini adalah tempat di mana Madrasah Nizhamiyah dulunya berdiri. 9 Menurut Mahmud Yunus, di antara motivasi pendirian banyak madrasah di masa pengaruh Turki (Saljuk) 10 adalah untuk mengambil hati rakyat, mengharap pahala dan am- punan dari Allah, memelihara kehidupan anak-anaknya di kemudian hari, memperkuat aliran keagamaan bagi sultan atau pembesar. 11 Motif-motif ini, terutama motif politik dan



Dr. H Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992) hlm. 73. Lihat pula Ross E Dunn, Petualangan Ibnu Batuta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995) hlm. 138. 8 Prof.



9 Ia menceritakan pengalamannya bersama Dr. Mustafa Jawad ke Baghdad untuk mengadakan penyelidikan tempat di mana Madrasah Nizha- miyah dulunya didirikan. Lihat Ahmad Syalabi op.cit., hlm. 142. 10 Madrasah-madrasah tersebut terutama Madrasah Nizhamiyah di Baghdad kemudian diikuti oleh Madrasah al-Muntasiriyah di Baghdad, Madra- sah al-Nasiriyah di Cairo dan Madrasah al-Nuriyah di Damascus. Lihat Prof. Dr. Mohd. Athiyah AlAbrasyi op.cit., hlm. 80. Dari sumber yang lain dika-



takan bahwa jejak Nizam Al-Mulk dalam membangun sekolah diikuti oleh Syah-syah dan Atabik-atabik yang mendirikan kesultanan-kesultanan setelah runtuhnya kerajaan Bani Saljuk, dan yang paling terkenal adalah Nuruddin Zanki yang berkuasa di Suriyah dan Mesir yang kemudian mendirikan sekolah- sekolah di Damaskus, Alepptf dan di tempat-tempat lain dan yang kemudian usaha itu diikuti oleh sultan-sultan di masa kerajaan Ayubiyah. lihat Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 109-129. 11 Prot



Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 69-72.



63



Madrasah Nizhamiyah



motif



doktrin



keagamaan



tampak



dominan



pada



Madrasah



Nizhamiyah. Keterangan yang mendukung hal tersebut ada- lah sebagai berikut: Diakui bahwa penaklukan Bani Saljuk terhadap Dinasti Buwaihi di Irak dan masuknya mereka ke kota Baghdad pada



tanggal 25 Muharram 447H, merupakan kemenangan Ahlussunnah terhadap Syi’ah. Penguasa Saljuk-mereka meru- pakan pengikut fanatik Sunni-menginginkan akidah mereka tertanam kuat dan terkikisnya paham-paham Syi’ah. Hal itu akan dapat terealisasi dengan jalan penyebaran ilmu, untuk itu mereka mendirikan madrasah 12 . Selanjutnya, untuk melestarikan kekuasaan politik dan paham teologi Asy’ariyah tampak pula menjadi motivasi penting, terutama jika Dinasti Saljuk yang Sunni dihadapkan dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir, yang beraliran Syi’ah. Pendirian madrasah ini adalah karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syi’ah tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus melalui penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syi’ah. Ini dilakukan karena Syi’ah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktri- nasi melalui pendidikan atau aktivitas pemikiran lain. Jika dikatakan bahwa Nizam Al-Mulk sebagai seorang pribadi yang mendirikan dan mengelola madrasah perse- orangan dengan tujuannya sendiri, jadi tidak ada keterlibatan pemerintah secara formal. Maka dari satu sisi pendapat ini benar, tapi harus dipertimbangkan kenyataan bahwa dilihat dari posisinya yang strategis di kerajaan, pengaruh



1 2 Dr.



Abdullah Abdul Da’im, op.cit., hlm. 115.



Sejarah Pendidikan Islam



64



dan pengorbanannya yang besar untuk Madrasah Nizhamiyah tentulah ia sering dihubungkan dengan kebijakan birokratis formal dan ketenagakerjaan yang tak bisa dilepaskan dari kehendak memperlancar tugas dan mempertahankan ne- gara. Artinya, pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah salah satu kebijakan politik pemerintahan



atau



penguasa



Saljuk



untuk



mempertahankan



kekuasaannya dengan mengambil simpati rakyat. Namun, hal ini pun ternyata tidak sepenuhnya benar, umpamanya bahwa Madrasah Nizhamiyah khusus mengem- bangkan mazhab fiqih Syafi’i, 13 dengan kalam Asy’ariyah, sedangkan Sultan Saljuk cenderung mengikuti fiqih Hanafi dengan aliran kalam Maturidiyah 14 . Bahkan, di Madrasah Nizhamiyah kelompokkelompok fiqih memiliki wadah dan sekolah sendiri-sendiri. 15 Dengan demikian, tampak bahwa pendidikan Islam dalam perjalanannya, pada umumnya, dipengaruhi oleh dua arus pergumulan, bidang politik dan pemikiran atau aliran keagamaan, yang saling berkaitan. Pendidikan dalam hal ini dijadikan sebagai sarana pergumulan itu. Fenomena terse- but tampak di balik motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah ini.



13 Charles 14 Abdul



Michael Stanton, op. cit., hlm. 46.



Majid Abdul Futuh, op. cit., hlm. 108.



Tibawi, op. cit., hlm. 226 lihat pula Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 742. Lihat juga Prof. Dr. Mahmud Yunus, op. cit, hlm. 75. sebaliknya dari sumber lain dikatakan bahwa Madrasah Nizhamiyah berorientasi hanya kepada satu mazhab, dalam hal ini mazhab Syafi’i, lihat Dr. H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 72. 15 A.L.



65



Madrasah Nizhamiyah



C. SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH NIZHAMIYAH BAGHDAD Untuk



menjelaskan



sistem



pendidikan



di



Madrasah



Nizhamiyah, secara sederhana akan dibahas komponen- komponen pendidikan 16 yang terdapat pada Madrasah Nizhamiyah yang dianggap sebagai model bagi sistem pendidikan modern. 17



I. Tujuan Pendidikan Madrasah Nizhamiyah Baghdad Tujuan pendidikan Madrasah Nizhamiyah tidak terlepas dari tiga tujuan pokok: Pertama, mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah; Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab Sunni dan menyebarkannya ke tempattempat lain; Ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menja- lankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen. 18



16 Di



antara komponen-komponen pendidikan lain, misalnya interaksi, komunikasi dan motivasi, lihat H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998) hlm. 19. 17 Madrasah memberikan model bagi universitas-universitas Eropa. Dari madrasah muncul beberapa tradisi, seperti penggunaan seragam sekolah, yaitu gaun yang berwarna hitam, pembagian fakultas-fakultas Undergraduate dan Graduate, dan banyak yang lain. Lihat Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (London: Tien Wah Press, 1989) hlm. 245. Penyediaan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, seorang imam, dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas agama, merupakan asal muasal dari penyediaan tempat tinggal bagi ilmuwan-ilmuwan miskin di universitasuniversitas praktik yang pada abad pertengahan berakar kuat di Paris, Oxford, dan Cambrige. Charles Michael Stanton, op.cit, hlm. 47. l8 Abdul Majid Abdul Futuh, op.cit., hlm. 179.



Sejarah Pendidikan Islam



66



A.L. Tibawi di dalam bukunya Arabic and Islamic Themes, mensinyalir bahwa tujuan pendidikan Madrasah Nizhamiyah adalah bercampur antara mempersiapkan kader-kader ulama Sunni dalam menghadapi Fatimiyah yang Syi’i dan tersedianya personel-personel administratif yang cakap untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan, khususnya



di



bidang



kehakiman



dan



kesekretariatan



atau



administrasi. 19 Di samping itu pendidikan ini juga ditujukan untuk membangun sistem madrasah yang baik dan berprestasi serta membentuk caloncalon ulama dan birokrat yang mempunyai wawasan 20 dan mendukung mazhab Syafi’i dan teologi Asy’- ariyah menolak sisi-sisi ekstrim dari aliran-aliran pemikiran lain dan mengambil jalan tengah dalam soal-soal keagamaan.



2. Kurikulum dan Metode Pengajaran Madrasah Nizhamiyah Baghdad Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah pem- binaan dan penyebaran paham Sunni Asy’ary guna meng- hadapi paham Syi’ahyang beberapa ajarannya cenderung ke Mu’tazilah. 21 Maka ilmu kalam, terutama Asy’arisme diajarkan secara khusus dan intensif. Bagaimanapun harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut Asy’arisme,



19 A.L.



Tibawi, op.cit., hlm. 225.



Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 742. Syi’ah Imamiyah, lihat W. Mongomery Watt, Islamic Phi- losophy and Theology, (Edinburg: University Press, 1992) hlm. 123-124. 20 Tim



21 Terutama



Madrasah Nizhamiyah



67



umpamanya Imam Al-Harmain Abul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini (w 1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (w 1111M/ 505H)22. Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madra- sah Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari’ah diajarkan di sini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta- fakta yang mendukung pernyataan ini adalah; pertama, tidak ada seorangpun di antara ahli sejarah yang mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum. Kedua, guru-guru yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah meru r pakan ulama-ulama syari’ah. Ketiga, pendiri madrasah ini bukanlah pembela ilmu filsafat. Keempat, zaman berdirinya madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat dan para filosof. 23 Dengan terfokuskannya pengajaran di Madrasah Nizha- miyah kepada ilmu-ilmu syari’ah, tentulah ilmu fiqih men- dapat prioritas utama. Pembahasan fiqih yang menyangkut hampir semua masalahmasalah kemasyarakatan, memang tepat sebagai bekal untuk caloncalon birokrat atau pemim- pin masyarakat kala itu. Pengajaran fiqih yang bertumpu kepada pemahaman sumber-sumber yang berbahasa Arab, maka penguasaan bahasa Arab berikut ilmu pendukungnya sangat ditekankan. Dari keterangan lain disebutkan bahwa pelajaran di Mad- rasah Nizhamiyah berpusat pada Alquran (membaca, meng-



2



Prof. Dr. Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 140-143. Yunus, op.cit., hlm. 75.



3 Mahmud



Sejarah Pendidikan Islam



68



hafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi Muhammad Saw. dan berhitung, dengan menitikberatkan pada mazhab Syafi’i dan sistem teologi Asy’ariyah. 24 Abdul Majid ketika menjelaskan segi-segi negatif Madrasah Nizhamiyah menga- takan bahwa madrasah ini mengkonsentrasikan usahanya pada pengajaran ulum al-syariah dan ushul



al-din



sesuai



tujuan



yang



telah



ditetapkan



padanya.



Konsekuensinya, Madrasah Nizhamiyah mengabaikan ilmu-ilmu terapan yang praktis (al-ulum al-tatbiqiyah al-amaliyah)25 Pengajaran di Madrasah Nizhamiyah berjalan dengan cara para guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah/talqin), sementara para siswa duduk mende- ngarkan di atas meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog atau diskusi (munaqasjah) antara guru dan para siswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi. 26 Sumber yang lain mengatakan bahwa di madrasah ini ilmu diuraikan oleh seorang guru dalam satu silabus yang disebut 28 ta’liqah. Karangan ini disusun oleh masing- masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya fiqih 27



24Ensiklopedi Islam, 25 Abdul



op.cit., hlm. 44.



Majid Abu Al-Futuh, op.cit., hlm. 202.



26Ensiklopedi Islam,



op.cit., hlm. 45. 27Ta’liqb tidak terbatas pada fiqih; disiplin-disiplin lain juga mengguna- kannya, ahli-ahli gramatika juga menggunakan metode ini. Metode-tanya jawab dalam ta’liqah juga meramaikan pengajaran ilmu-ilmu agama yang terpusat pada topik-topik yang masih 28hangat. Taliqah adalah debat tertulis, yaitu dengan mengemukakan



satu per- tanyaan, diikuti dengan jawaban negatif dan positif, serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan.



Madrasah Nizhamiyah



69



selagi menjadi mahasiswa, bacaannya, dan kesimpulan pribadinya tentang topik terkait. Mahasiswa menyalin ta’liqah dalam proses dikte; dan dalam banyak kasus, mereka betul- betul hanya menyalin, dengan sangat sedikit perubahan. Sedangkan yang lain mungkin menambahkan ide-ide dari diskusi-diskusi kelas atau dari penelitian sendiri, sehingga ta’li- qah mereka lebih merupakan refleksi pribadi mereka tentang materi kuliah yang disampaikan oleh tenaga pengajar. 29



3. Tenaga Pengajar dan Pelajar Madrasah Nizhamiyah Baghdad Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan tinggi 30 yang mengajarkan pendidikan tingkat tinggi pula. Oleh karena itu, pemilihan guru-guru yang mengajar di madrasah ini sangat selektif. Ulama-ulama terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar yang masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih untuk mengajar. 31 Status guru-guru tersebut ditetapkan dengan pengangkatan



29 Penjelasan



lebih lanjut lihat Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 23-24.



30 Beberapa



penulis, seperti Charles Michael Stanton, Ahmad Syalabi, Sayyed Hossein Nasr, Mohd. Athiyah Al-Abrasyi dll. menyebutkan madrasah merupakan pendidikan tingkat tinggi (the institution of higher learning). Jika ini diartikan sama dengan universitas, sebenarnya di dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama aljami’ah, yang secara historis tentu berkaitan dengan masjid jami’. Al-Jami’ah yang muncul paling awal dengan pretensi “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. 31 Ahmad Syalabi secara rinci menyusun nama-nama guru tersebut menurut urutan tanggal wafat mereka, op. cit., hlm. 140-143.



Sejarah Pendidikan Islam



70



oleh khalifah dan bertugas dalam masa tertentu. 32 Di dalam melaksanakan tugasnya seorang pengajar selalu dibantu oleh seorang pembantu, 33 ia bukan guru tetapi lebih tinggi kedu- dukannya dari para pelajar biasa. Pembantu ini berfungsi se- bagai asisten guru yang di antara tugasnya adalah menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami setelah guru memberikan kuliah, atau membantu para pelajar yang kurang pandai dan pada waktu tertentu dapat melaksanakan pekerjaan guru atau tugas-tugas yang biasa dilakukan guru. Nizam Al-Mulk juga menyediakan beasiswa untuk maha- siswa dan memberi mereka fasilitas asrama. Mereka yang ting- gal di asrama diberi belanja secukupnya. 34 Ia mengumumkan kepada semua orang bahwa pengajaran di sekolah-sekolahnya terbuka untuk siapa saja tanpa membedakannya. Ia memberi bantuan untuk semua pelajar tanpa mengharap kembali, dan seluruh biaya pendidikan di situ gratis. Ia juga menetapkan beasiswa secara teratur kepada para siswa yang kurang mam- pu, di antara yang memanfaatkan kesempatan ini adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad. 35



4. Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizhamiyah Baghdad



Sumber dana yang paling lazim bagi pembangunan Mad-



32 Dewan



Redaksi Ensiklopedi, op.cit., hlm. 44. 33 Ahmad



Syalabi menyebutnya sebagai muid pengulang atau pada masa



itu chotbah. op.cit., hlm. 144. 35 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 70. 36 Dr. Abdullah Abdul Da’im op. cit., hlm. 140.



Madrasah Nizhamiyah



rasah



71



adalah lembaga wakaf, sebuah cara tradisional dalam Islam



untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat umum. Menyumbangkan materi (zakat) yang diperuntukkan bagi para mustahiq dan bagi pengembangan Islam merupakan bagian dari rukun Islam. Dalam hal ini pendidikan jelas termasuk pada kategori kedua. Dalam pembangunan madrasah, wazir Nizam Al-Mulk menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam, dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Dengan dana itu, ia mendirikan madrasah-madrasah Nizhamiyah di hampir seluruh wilayah kekuasaan Bani Saljuk saat itu, mendirikan perpustakaan dengan lebih kurang 6.000 jilid buku lengkap dengan katalognya, 36 lalu menetapkan anggaran belanja seluruh madrasahmadrasah itu sebesar 600.000 dinar. Kemudian Madrasah Nizhamiyah Baghdad saja sepersepuluhnya, yaitu 60.000 dinar tiap tahun. 37 Ini sudah cukup untuk membiayai berbagai fasilitas yang dise- diakan untuk pelajar dan pengajar, baik berupa akomodasi, uang makan dan tunjangan.



D. PENGARUH MADRASAH NIZHAMIYAH A.L. Tibawi dalam hal ini menyebutkan bahwa eksklusi- visme madrasah telah memberikan pengaruh (influence) pada



36 Charles



Michael Stanton, op. cit., hlm. 47. lihat pula Mohd. Athiyah



al-Abrasyi, op. cit., hlm. 81. 37 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm.75, Ahmad Syalabi mengatakan untuk madrasah Nizhamiyah Baghdad 15.000 dinar setiap tahun.



Sejarah Pendidikan Islam



72



masyarakat, baik bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial keagamaan. 38 Nizam Al-Mulk dalam kaitan ini dikenal sebagai pejabat pemerintah yang memiliki andil besar dalam pendirian dan penyebaran madrasah, kedudukan dan kepentingannya dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menen- tukan juga. Dalam batas ini memang madrasah merupakan kebijakan religiopolitik penguasa. Dalam bidang ekonomi, Madrasah Nizhamiyah di sam- ping sebagai lembaga untuk mengajarkan ilmu syari’ah dalam rangka mengembangkan ajaran Sunni, memang dimaksud- kan pula untuk mempersiapkan pegawai pemerintah, khusus- nya di lapangan hukum dan administrasi 39 . Dengan demikian, madrasah telah menjanjikan lapangan kerja. Dari segi sosial keagamaan, Madrasah Nizhamiyah dite- rima oleh masyarakat karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya. Faktor-faktor penerimaan tersebut antara lain: Pertama, ajaran yang diberikan di Madrasah Nizhamiyah adalah ajaran Sunni, yang dianut sebagian besar masyarakat waktu itu. Kedua, para pengajar di Madrasah Nizhamiyah adalah para ulama yang terkemuka. Ketiga, materi pokok yang diajarkan di madrasah ini adalah al-fiqh yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umumnya dalam rangka hi- dup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran dan keyakinan mereka.



38 A.L.



Tibawi, op.cit., hlm. 225.



39Ibid.,



hlm. 225.



Madrasah Nizhamiyah



73



D. KESIMPULAN Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tong- gak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Peme- rintah/penguasa ikut terlibat di dalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain, yang memberikan inspirasi pada pendirian universi- tas-universitas modern. Kendati Madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu, tetapi keterkaitan dengan standardisasi dan pelesta- rian ajaran kurang mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang inovatif. Wallahu a ‘lam bi al-sbawab.



75



BAB VI



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah Oleh:Muhajir



A. PENDAHULUAN Madrasah adalah salah satu bentuk institusi (lembaga) pendidikan formal dalam Islam. Model madrasah tidak sama dengan masjid atau lembaga pendidikan Islam lainnya, Mad- rasah merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan besarnya semangat belajar (menuntut ilmu) umat Islam, membuat masjid-masjid penuh dengan halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah terdengar suara guru-guru yang menjelas- kan pelajaran atau suara perdebatan (muhadharah/tanya jawab) dalam proses belajar mengajar, sehingga menimbulkan kebi- singan yang mengganggu orang ibadah.1 Semakin banyak umat Islam interes pada ilmu, semakin banyak pula para penuntut ilmu tersebut, masjid pun penuh dan tidak menam- pung murid-murid. Lahirlah madrasah, yang bermula dari



Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Tarikh at-Tarbiyyah al-lslamiy- Jah) terj. Mukhtar Jahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 106. 1 Ahmad



76



Sejarah



Pendidikan



Islam



masjid dan masjid-Khan.2 Prototype masjid-Khan adalah suatu desain di mana di sekeliling masjid dibangun pemondokan atau asrama untuk murid atau untuk guru yang tinggal di dalamnya. Masjid-Khan tersebut mengalami perkembangan m e n j a d i m a d r a s a h di mana di dalamnya terjadi proses belajar mengajar antara pendidik dan si terdidik. 3 Ada perbedaan esensial antara masjid dengan madrasah. Kedua institusi ini berasal dari waqf. Masjid sebagai bengunan waqf, bebas dari kontrol pendirinya yang disebut Waqf-Tahrir. Sedangkan madrasah di bawah kontrol pendirinya. 4 Pelacakan kapan awal mula lahirnya madrasah, banyak para sejarawan yang berbeda pandangan. Menurut Al-Suyuthi, seperti dikutip Azyumardi Azra, istilah madrasah baru digu- nakan agak luas, sejak abad ke-9. Institusi yang memperli- hatkan ciri-ciri madrasah sebagaimana dikenal sekarang, didirikan di Nisyapur, Iran, sekitar seperempat pertama abad ke-11 5 Syalabi menyatakan bahwa madrasah yang mula- mula muncul di Dunia Islam adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizam Al-Mulk perdana menteri Dinasti



Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 99, lihat pula, Arif Subhan, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. 3, No. 2, (Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1999), hlm. 33. 2 Hanun



3Ibid.,



hlm. 100. Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and The West (Edinburg University Press, 1981), hlm. 27-28, lihat pula, Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam (High Learning in Islam) terj. H. Afandi dan Hasari Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 46-47. 4 George



Azra, Jaringan Ulama: TimurTengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 62. 5 Azyumardi



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah



77



Saljuk, tahun 1065-1067. 6 Pendapat sejenis juga diakui oleh Philip K. Hitti. 7 Menurut Al-Maqrizi seperti dikutip oleh Athiyah AlAbrasyi, bahwa Madrasah Al-Baihaqiyah yang didirikan oleh penduduk Nisyapur pada ahad ke-4. 8 Richard W. Bulliet, seperti dikutip oleh Hanun Asrohah mengatakan bahwa abad sebelum Madrasah Nizhamiyah, muncul di Nisyapur, yaitu berdiri Madrasah Miyah Dahiyah. 9 Sungguh sulit melacak kepastian kapan mula pertama lahirnya madrasah di zaman klasik ini, tetapi minimal dari enam ahli sejarah yang berbeda-beda pendapat dapat kita klasifikasikan menjadi tiga. Pertama, Al-Suyuthi, identik pen- dapatnya dengan W. Bulliet., karena Bulliet menyatakan, bahwa Madrasah Miyan Dahiyah di Nisyapur berdiri dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah, sementara Nizhamiyah berdiri pada tahun 1065-1067, berarti abad ke-11, dengan demikian dua abad sebelumnya berarti abad ke-9. Kedua Syalabi, identik pendapatnya dengan K. Hitti, Madrasah Nizhamiyah berdiri tahun 1065-1067, yang berarti abad ke-11. Hal ini mirip dengan kutipan Azyumardi. Ketiga, sementara pernyataan Athiyah memang tidaj ada pendukungnya, tetapi menyatakan lebih awal dari pendapat-pendapat yang lain.



6 Ahmad Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah (Beirut, Libanon: Daar al-Kasyf, 1954), hlm. 99-100. 7 Philip



K. Hitti, History of The Arab (London: Mac Millan Press L.Td., 1974), hlm. 410.



Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasarPokok Pendidikan Islam (al-Tarbijyab al-lslamiyyah) terj. H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 79, lihat pula, Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Isiam (Dirasatun Muqaranatun fi al-Tarbiyyah al-lslamiyyah) terj. HM. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 30. 8 M.



9 Hanun



Asrohah, op. at., hlm. 100.



Sejarah Pendidikan Islam



78



Dari segi fisik, madrasah berbeda dengan institusi-institusi pendidikan Islam sebelumnya, kelengkapan ruangan untuk (belajar) yang dikenal dengan ruangan muhadlarah (untuk ber- diskusi), serta bangunan-bangunan yang berkenaan dengannya, pengamanan bagi murid-murid dan guru-guru.10 Demikian pula sisi administrasinya juga berbeda. 11 Dominasi materi yang diajarkan di madrasah adalah bidang Studi Fiqih, George Makdisi, seperti dikutip oleh A.L. Tibawi, memberi nama madrasah adalah sebagai College of Law.12 Lebih lanjut Makdisi menjelaskan, sebagaimana dikutip Hanun Asrohah, bahwa istilah madrasah diambil dari akar kata dars. Kata dars menunjuk pada mata pelajaran fiqih; dan tadris, bentuk verbal naun (masdar), berarti mengajar fiqih. Ulama atau guru besar fiqih disebut mudarris; dan kata darasa, tanpa dilengkapi sebuah komplemen, diartikan mengajar- kan bidang studi fiqih. 13 Pembicaraan selanjutnya, madrasah banyak direlevansikan dengan mazhab-mazhab fiqih. Sekilas ilustrasi dalam makaddimah ini, bertujuan dapat menghantarkan pada pembahasan, madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah, khususnya sejarah pada masa klasik. Dari ilustrasi tersebut, muncul permasalahan, bagaimana kon- disi/eksistensi madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam perspektif historis yang rentang waktunya adalah masa klasik Islam.



10 Ali



Al-Jumbulati, loc. cit., hlm. 30.



Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur: A Study in Medievel Islamic Social History, (USA: Harvard University Press, 1972), hlm. 48. 12 A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Liter- ary Studies. (London: MacMillan and Company Ltd., 1976), hlm. 219. 11



13 Hanun



Asrohah, op. cit., hlm. 102.



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah



79



B. MADRASAH-MADRASAH DI MAKKAH Terlepas dari pro-kontra tentang mula pertama pemun- culan madrasah. Asma Hasan Fahmi menyatakan berkem- bangnya madrasah-madrasah dalam waktu yang cepat itu merupakan satu manifestasi yang bertujuan untuk melawan golongan Syi’ah yang telah kuat dan berkembang di seluruh pelosok Dunia Islam pada abad ke-4 Hijriah. Gerakan Syi’ah ini bukan saja merupakan gerakan politik yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut Ali untuk mengendalikan pemerin- tahan, akan tetapi dalam waktu yang sama ia juga merupakan satu gerakan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan falsafah dan pendapat-pendapat golongan mistik yang beraliran ekstrim. Gerakan ini telah mendapat tantangan yang hebat dari penganut mazhab Ahlu al-Sunnah. Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 Masehi yang merupakan golongan mazhab Ahlu al-Sunnah yang fanatik terhadap kepercayaan agama. Jatuhnya sebagian besar kerajaan Islam ke tangan mereka dan sikap mereka yang sangat setia kepada khalifah merupakan faktor-faktor yang utama yang dapat mengukuhkan mazhab Ahlu al-Sunnah dan melemahkan pengaruh kedudukan golongan Syi’ah. Munculnya madrasah-madrasah yang banyak dalam abad ini merupakan satu alat untuk menyatakan satu sikap baru dalam berpikir dan untuk melahirkan gelora semangat keagamaan yang meluap-luap pada masa ini, sehingga terjadinya perang Salib di antara umat Islam dan Kristen. Madrasah tersebut tersebar hampir di seluruh Dunia Islam, 14 untuk memperkuat mazhab Ahlu alSunnah dengan cara



l4 Termasuk



juga di Haramayn, yaitu di Makkah dan Madinah.



Sejarah Pendidikan Islam



80



memberi perhatian yang besar dengan mempelajari ilmu fiqih yang terdapat di dalam empat mazhab. 15 Wacana yang mendeskripsikan madrasah-madrasah di Makkah dan di Madinah secara kuantitatif lebih sedikit daripada Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, al-Mustansi- riyah di Baghdad, al-Nasiriyah di Cairo, al-Nuriyah al-Kubra di Damaskus, 16 Nurudin Zanki di Damsik dan madrasah al-Azhar yang didirikan Dinasti Ayubiyyah di Cairo. 17 Sebagai analisis barangkali karena di Haramayn ada masjid al-Haram dan masjid Nabawi, menyebabkan sentral aktivitas pendidikan ada di dua institusi tersebut. Menurut Hillenbrand, madrasah dikenalkan di Hijaz berada pada kekuasaan Sholah Al-Din Al-Ayubi. Situasi po- litik pada masa itu Dunia Islam sedang terjadi perang Salib dengan Kristen. Masa ini dalam sejarah Islam disebut pula masa disintegrasi (1000-1250 M). Setelah Nuruddin Zanki wa- fat tahun 1174 M, dalam memimpin perang Salib, pimpinan perang kemudian di pegang oleh Sholah AlDin Al-Ayubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Sholah Al-Din yang terbesar ialah merebut kembali Yerussalem tahun 1187 M. 18 Kemudian pada tahun 1183-1184 Gubernur Aden mendirikan sebuah madrasah untuk mazhab Hanafi di Makkah, kemudian satu



15 Asma



Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat (Mabadi al-Tad)iyyah, al-lsla- miyyah), terj. Ibrahim Husen, M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 41.



Athiyah Al-Abrasyi, op. cit., hlm. 82-83. Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah, op. cit., hlm. 100. 18 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 78. 16 M.



17 Ahmad



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah



81



tahun berikutnya dibangun madrasah untuk mazhab Syafi’i. 19 Walaupun mazhab Hanafi pernah jaya di zaman pemerin- tahan Harun, di Kufah, tetapi Abu Hanifah pernah berguru pada Imam Malik di Hi j az. 20 Jadi ada kemungkinan didirikan madrasah Abu Hanifah di Makkah. Demikian pula Imam Syafi’i, walaupun beliau dilahirkan di Guzza, sebuah wilayah di negeri Syria tahun 150 H, tapi oleh ibunya dibesarkan di Makkah. 21 Menurut keterangan Al-Maqrizi (w. 8451/1442), pada zaman Dinasti Fatimiyah di Cairo, telah berdiri 73 madrasah; 14 untuk mazhab Syafi’i, 4 untuk mazhab Maliki, 6 untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah madrasah untuk mazhab Maliki dan Hanafi, 4 untuk empat mazhab, 2 buah khusus untuk Dar al-Hadits, dan yang lainnya tidak disebut- kan namanya. 22 Satu atau bahkan dua, atau lebih, yang disebut Maqrizi, tentunya ada yang berdiri di Makkah. Sejarawan, Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki (775-832/ 1373-1428), seperti dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa madrasah di Makkah adalah Madrasah ‘Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175 oleh Afif Abd Allah Muhammad Al-’Ursufi (w. 595/1196) di dekat pintu umrah, bagian selatan masjid al-Haram. Madrasah al-’Ursufiyah mempunyai sebuah ribatlP yang disebut ribath Abi Ruqaibah (atau Abi Qutaibah),



19 Hillenbrand, Madrasah dalam TheEnciklopedia of Islam, Vol. V, (Leiden: E.J. Brill. 1986, New Edition), hlm. 1127.



Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm. 117-118. 20 TM.



21Ibid.,



hlm. 123. Asrohah, op. cit., hlm. 112. 23 Makdisi melaporkan, ribath, sama dengan Monastery College, (Perguruan 22 Hanun



Sejarah Pendidikan Islam



82



dan dibangun setahun sebelum Afif Al-’Ursufiyah mendirikan sebuah madrasah di Cairo. Sejak pembangunan madrasah al’Ursufiyah hingga awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Makkah. 24 Kita berterima kasih kepada Ibnu Bathuthah, sebagai seorang sejarawan, yang masih sempat mengamati kondisi keilmuan di Makkah. Ketika Bathuthah dalam perjalanan hajinya antara tahun 728/1326 dan 756/1355, menyampaikan gambaran secara lengkap dunia keilmuan di Makkah. Pada awalnya Ibnu Bathuthah tinggal di ribath al-Muwaffaq yang terletak di sisi barat daya atau dekat pintu Ibrahim, masjid al-Haram. Belakangan ia pindah ke kompleks madrasah Muzhafariyah, di sebelah selatan masjid. Ibnu Bathuthah, seperti dikutip oleh Azyumardi, dia dapat secara dekat me- ngamati kegiatan keilmuan yang ada di dalam madrasah tersebut, 25 hanya saja tidak dideskripsikan secara rinci kegi- atan tersebut. Madrasah megah yang dijumpai di Makkah adalah madrasah Qoi’it Bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir, mempunyai satu ruangan besar untuk kuliah umum, 26 72 ruangan kelas untuk guru dan murid, dan empat perpus- takaan untuk masing-masing mazhab Sunni. 27



Tinggi untuk para biarawan), dalam Islam, yang dimaksud adalah lembaga pendidikan untuk para sufi/ahli tasawuf, lihat A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical Educational and Uterary Studies, op. cit., him. 218: op. cit., hlm. 63. hlm. 79. 26 George Makdisi menyebutnya dengan iwan, lihat Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 24 Azyumardi, 25Ibid.,



100. 27 Azyumardi



Azra, loc. cit., hlm. 63-64.



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah



83



Indikasi terpenting madrasah-madrasah di Makkah, ada- lah bahwa hampir seluruh madrasah-madrasah dibangun oleh penguasapenguasa atau dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah al-Syarif al-Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, Ajian Abu Syari’ah (berkuasa 744-77/ 1344-75). Yang terbanyak mendirikan madrasah di Makkah adalah penguasa-penguasa Utsmani, mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun Sultan Sulaiman Al-Qonuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 9821003/1574-95). Selanjut- nya khalifah dan pejabat tinggi Abasiyah membangun 4 madrasah. Penguasa-penguasa Mesir termasuk Mamluk, dan penguasa Yaman masing-masing mendirikan 3 madrasah. Kemudian penguasa Muslim India mendirikan 2 madrasah. 28 Sayang, jumlah madrasah yang cukup banyak di Makkah tersebut, tidak dapat bertahan lama. Contoh madrasah Qo’it Bey yang megah, akhirnya dijual dan dijadikan asrama ja- maah haji Mesir. Namun pada pertengahan abad ke-19 Hasyib Pasya mengembalikan kompleks bangunan Qo’it Bey ini pada fungsi semula, yaitu sebagai madrasah. Madrasah di Makkah cukup rapuh dari segi keuangan, karena hampir semua tergan- tung pada wakaf, yang kebanyakan diberikan oleh penguasa dan dermawan nonHijazi. 29



C. MADRASAH-MADRASAH DI MADINAH Dibanding dengan madrasah-madrasah di Makkah, pelacakan mengenai sejarah madrasah-madrasah di Madinah



28Ibid.,



hlm. 63.



29 Ibid, hlm.



64.



Sejarah Pendidikan Islam



84



lebih sulit. Sumber-sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah kebanyakan bungkam tentang hal ini. Di antara empat tokoh mazhab dalam Sunni, Malik Ibnu Anas Ashbahi (95- 179 H) adalah yang senantiasa tinggal di Madinah. Ia tidak pernah melawat ke manamana selain pergi berhaji. Di Madinah, Malik mendirikan madrasah, terkenal dengan madrasah Ali Hijaz atau madrasah Ali Madinah. Mula-mula madrasah ini dibangun oleh Umar Ibn Khatab, Abdullah Ibn Umar, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Abbas dan Aisyah. 30 Lebih lanjut, Hanun Asrohah mengutip, pada abad ke-13 M terdapat 60 madrasah untuk mazhab Syafi’i, 52 madrasah untuk mazhab Hanafi, 4 madrasah untuk mazhab Maliki, 10 madrasah untuk mazhab Hambali, dan 3 madrasah al-Tib. 31 Sejarawan Madinah, Al-Fasi, yang mengabadikan bagian- bagian khusus dari kitab-kitabnya untuk mengungkapkan sejarah madrasah di Makkah, dan menyinggung sedikit madrasah-madrasah di Madinah. Karenanya, peneliti yang tidak cermat dapat tergoda mengasumsikan bahwa madra- sah nyaris tidak ada di Madinah. Madrasah-madrasah sebenarnya ada di kota ini, walaupun jumlahnya relatif kecil dibanding apa yang terdapat di Makkah. Pengembara Anda- lusia Abad ke-12, Ibn Jubayr, ketika menghadiri beberapa kuliah di Baghdad (termasuk yang diberikan di madrasah Nizhamiyah) menyatakan, ia juga menghadiri kuliah sema- cam ini di Makkah dan di Madinah pada tahun 579/1183. Namun dia tidak secara eksplisit menyebut nama madrasah



32 TM. 31



Hasbi Ash Shiddieqi, op. cit., hlm. 119-120.



Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 111.



Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah



85



di Madinah itu. Kasus yang sama, dialami pula oleh Ibn Bathuthah di Madinah menjelang akhir 728/1326. 32 Sebagai bukti, Al-Fasi memberikan deskripsinya tentang Sultan Giyats Al-Din atau A’zam Syah di Madinah, terletak di dekat kawasan Bab al-Salam, masjid Nabawi, Nur Al-Din Ali Ibn Ahmad Al-Samhudi (w. 911/1411), memperkuat deskripsi Al-Fasi, bahwa Sultan Giyats Al-Din membangun madrasah lengkap dengan ribathnya di Madinah pada tahun 814/1411. Namun sayang, nama madrasahnya tidak disebut. Pada tahun 724/1323 Jauban Ata Bek, penguasa Mamluk, mendirikan madrasah Jaubaniyah di wilayah antara Dar al- Syibak dan al-Husna al-Atiq. Kemudian, masih menurut informasi Al-Samhudi, beberapa penguasa Mamluk juga mendirikan madrasah, yang secara kolektif dikenal dengan madrasah Asyrafyah. Deskripsi, Al-Fasi dan Al-Samhudi, dengan tegas diperkuat lagi oleh Syams Al-Din Al-Sakhawi (831-902/14281497). Al-Sakhawi menyebut beberapa madrasah lain di Madinah selama periode ini, mereka di antaranya adalah madrasah Qoi’t Bey. Madrasah al-Basithiyah didirikan, Zayni Aba Al-Basith, madrasah al-Zamaniyah dibangun, Syams al-Din al-Zaman, madrasah alSanjariyah, terletak dekat Bab al-Nisa, madrasah al-Syahabiyah diwa- kafkan al-Muzaffar al-Gazzi, dan madrasah al-Mazhariyah didirikan Zaini Kadb. Berdasarkan seluruh informasi ini kita dapat mengasumsikan, setidaknya ada delapan madrasah di Madinah pada periode ini. Periode belakangan, 1232/1815, Burchardt, seperti ditulis Azyumardi, menyanjung ulama-ulama di Madinah,



32 Azyumardi



Azra, op. cit., hlm. 65.



86



Sejarah Pendidikan Islam



tetapi menyayangkan kurangnya madrasah di Madinah. Burchardt, mencatat hanya satu madrasah di Madinah, yaitu al-Hamdiyah, itu pun dibangun oleh penguasa Utsmani. Namun informasi Burchardt dilemahkan Azyumardi, karena ia hanya tinggal di Madinah dalam waktu relatif singkat. 33



D.



KESIMPULAN Informasi tentang madrasah mendapat dukungan ba- nyak



dari berbagai literatur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasah di Makkah dan di Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut kurang lengkap. Namun demikian, data-data teoretis dari para sejarawan, cukup memberikan spirit untuk melacak lebih lanjut madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah. Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah-madrasah di Makkah cukup banyak bila dibanding di Madinah, walau di Makkah juga ada masjid al-Haram. Namun hal ini bukan penyebab tidak munculnya madrasah-madrasah di Makkah. Walaupun pada kenyataannya para pendiri madrasah di Makkah adalah para dermawan dan penguasa non-Hijazi. Lain dengan di Madinah, eksistensi masjid Nabawi masih sangat karismatik untuk menyelenggarakan aktivitas pem- belajaran. Inilah barangkali yang menyebabkan suramnya kemunculan madrasah-madrasah di Madinah, di samping para sejarawan tidak banyak memberikan informasi tentang hal itu.



33Ibid.,



hlm. 66.



87



BAB VII



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar) Oleh:Imamudin



A. PENDAHULUAN Madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan Islam, yang secara historis telah berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tersebut tidak menjadikan keberadaan madra- sah sebagai lembaga yang kondusif untuk proses belajar mengajar apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia muda. Jatuh bangun, perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan dinamika perubahan zaman, melekat pada institusi madrasah ini. Kondisi pasang surut, dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah selalu terjadi, hal ini dikarena- kan keberadaan madrasah yang ada pada saat itu tidak lepas dari peranan penguasa. 1 Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam ber- langsung di tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah



'Keterlibatan penguasa mencakup penetapan tujuan-tujuan, menyusun kurikulum, memilih guru dan pengaturan dana. Seperti Nizhamiyah yang dibiayai oleh Nizamul Muluk, Al-Azhar oleh Fatimiyah.



88



Sejarah Pendidikan Islam



(masjid). Namun karena banyaknya umat Islam yang ber- minat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga mengganggu



kegiatan



orang-orang



yang



beribadah,



institusi



pendidikan mulai mengadakan pembe- nahan-pembenahan dengan mendirikan masjid Khan (skat- skat). Dalam masjid Khan mulai dilakukan pembagian kelompok studi terhadap murid-murid yang belajar. Kendati sudah ada pengelompokan, tapi pada tahap ini belum ada pengelolaan administrasi yang bagus. Sedangkan al-Azhar tampak berbeda dengan institusi madrasah sebelumnya. Pada lembaga ini sudah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan) yang dipergunakan untuk kuliah umum. Iwan merupakan bagian yang sangat penting bagi al-Azhar. Pelaksanaan proses belajar mengajar di al-Azhar mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola mad- rasah. 2 Peranan al-Azhar sebagai madrasah yang menyeleng- garakan pendidikan tingkat tinggi, seperti istilah Philip K. Hitti yang menyatakan madrasah merupakan lembaga pendidikan tingkat tinggi (Institution of higher education)3 atau College (akademi menurut perbandingan pendidikan sekarang). Madrasah tingkat tinggi yang diangkat dalam pemba- hasan ini adalah madrasah al-Azhar di Cairo, yang merupakan lembaga pendidikan Islam yang diakui sebagai universitas



2 Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur:A Study in Medieval Islamic Social History, Cambrigde: Harvard University Press, 1972, hlm. 410. 3 Philip



K. Hitty, History of The Arab, London: Mac Millan Ltd, 1974, hlm. 410.



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)



89



tertua di dunia. Karena pembahasan ini sangat luas dan ter- batasnya referensi yang penulis temui, penulis membatasi hanya pada masalah latar belakang berdirinya al-Azhar seba- gai universitas tertua di Dunia Islam, bagaimana kurikulum dan metodologi pengajarannya, bagaimana keberadaan al- Azhar di bawah naungan para penguasa terutama setelah Dinasti Fatimiyah, dan bagaimana peranan alAzhar ketika kota Baghdad sebagai pusat kekhalifahan dan peradaban di wilayah Timur serta kota Cordoba wilayah Barat mengalami kehancuran atas serangan tentara Mongol dan jatuhnya ke- dua kota tersebut ke tangan tentara non-Muslim.



B. PEMBAHASAN



1. Latarbelakang Historis Berdirinya Al-Azhar Dinasti Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang dibangun pada tahun 909 M. Pada waktu kaum Fatimiyyin menaklukan Mesir pada tahun 338 H, panglima perang Dinasti Fatimiyah, khalifah Mauizuddin li Dinillah, membangun masjid dengan nama al-Azhar, pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H/390 M 4 dan selesai pemba- ngunannya pada bulan Ramadhan 361 H. Nama Masjid al-Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada putri Nabi Muhammad Saw. Fatimah Al-Zahra. Sebelumnya nama masjid tersebut adalah al-Qahiroh yang berarti sama dengan nama kota, yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan kata-kata al-



4 Dr. Ahmad, Muhammad Uf, Al-Azhar fi alf Am, Cairo: Majma’ al- Buhuts alIslamiyah, 1982, hlm. 67.



Sejarah Pendidikan Islam



90



Qahiroh al-Zahirah yang berarti kota cemerlang 5 . Baru setelah 26 bulan al-Azhar dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan 361 H dengan diawali kuliah agama perdana oleh al-Qodi Abu Hasan Al-Qoirowani pada masa pemerintahan Malik Al-Nasir. 6 Seperti halnya masjid-masjid yang lain, al-Azhar di sam- ping menyelenggarakan pendidikan juga berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini sebenarnya diperuntukkan dinasti Fatimiah yang sedang bersaing dengan kekhalifahan di Baghdad. 7 Usaha yang dilakukannya ialah dengan meng- ajarkan mazhab Syi’ah kepada kader-kader mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran mazhab yang dianutnya. 8 Masjid al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat diskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan di pe- gang oleh Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi universitas. 9



5 Hanun



Asrohah, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet, I hlm.



60. Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj Bustami A. Gani dan Djohar Bahri L.I. S dari, al-Tarbiyah al-lslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet VIII hlm. 61. 6 M.



Ateek, Al Azhar, The Mosque and The University, dalam Konsep Universitas Islam, Dr. Hamid Hasan Al-Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyraf, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm. 40. 7 A.A



8Ibid,



hlm. 40. Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rhineka Cipta, 1987, hlm. 27. 9 Ali



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)



91,



program yang dilontarkan kaum Fatimiyyin meliputi Jua tahap: tahap pertama, pelaksanaan pengajaran serta pem- bentukan undangundang; tahap kedua, da’wah secara rahasia. Kedua hal ini tampak jelas dalam dokumen pengangkatan Propagandis Agung (Da’id Du’ah) oleh kekhalifahan Dinasti Fatimiyah. 10



2. Al-Azhar Dalam Kekuasaan Khalifah a.



Masa Dinasti Fatimiyah Al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan lembaga



pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran Syi’ah. Pada masa itu sistem peng- ajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu: Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan penafsiran- nya; kedua, kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan per- tanyaan dan mengkaji jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubalig seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. 11 Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.



10 Ahmad



Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 hlm. 403.



11 Mahmud



Yunus; Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hlm. 174.



Sejarah Pendidikan Islam



92



Mahasiswa yang belajar di al-Azhar dilarang mempelajari mazhab selain mazhab Syi’ah. Sedemikian ketatnya, sampai ada mahasiswa yang menyimpan kitab Al-Muwattho, karya monumentalnya Imam Malik dikenai hukum dan dipen- jarakan tahun 381 H/991. 12 Pada Masa khalifah Al-Aziz Billah, 387 H/ 988 M dengan usaha wazirnya Yakub Ibn Kills, al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para Fuqaha (dosen; tenaga pendidik) serta semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh khalifah. 13 Adapun ilmu agama yang diajarkan meliputi: ilmu tafsir, qiraat, hadis, fiqih, nahwu, sharaf dan sastra. Sedangkan ilmu-ilmu umum yang dipelajari ialah filsafat, ilmu falak, ilmu ukur, musik, kedokteran, kimia, dan sejarah, serta ilmu bumi 14 dan kuliyah darul hikmah yang didirikan oleh khalifah AlHakim tahun 395 H /1005 M. b.



Masa Dinasti Ayyubi Ketika kekuasaan beralih dari Dinasti Fatimiyah ke Dinasti



Ayyubi, al-Azhar yang sebelumnya sebagai alat tung-



12Ibid.,



hlm. 175.



Hamid Hasan Al-Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyaraf, Konsep Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm. 42. 13 Dr.



14 Pada



tahun 353 H/973M Khalifah Al-Muiz Lidinillah telah menyuruh membuat peta bumi dari kain sutra biru yang ditulis dengan emas. Semua negeri dan gunung, laut, sungai jalan-jalan dan kota-kota diterangkan dengan emas, terutama Makkah dan Madinah, ongkos yang dipakai membuat peta itu 22.000 dinar.



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)



93



gangan politik dan propaganda paham Syi’ah oleh Daulah Fatimiyah, harus menghentikan segala aktivitasnya sebagai tempat yang menyelenggarakan peribadatan dan pendidikan. Sebab, Sholahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang menganut paham Sunni, dengan demikian al-Azhar ditutup sebagai universitas dan tertutup pula untuk tempat shalat Jum’at. Untuk mema- jukan ilmu agama dan bahasa Arab, Sholahuddin Al-Ayyubi membuka madrasah sebagai sarana perkuliahan. Perkuliahan- perkuliahannya beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga kuliah setingkat universitas, yang jumlahnya hingga men- capai 25 lembaga di Cairo,15 seperti Madrasah al-Nashiriyah tahun 566 H yang terletak di samping Masjid Amr ibn Ash, Madrasah al-Qomhiyah tahun 566 H yang khusus mengajar fiqih mazhab Maliki, Madrasah Salahiyah tahun 572 M yang terletak di samping masjid Imam Syafi’i, dan lain-lain. Sejalan dengan pergantian kekhalifahan, dari dinasti Fatimiyah ke Dinasti Ayyubi, keduanya memiliki pemikiran dan menganut mazhab yang berbeda, maka hak-hak yang telah diberikan Dinasti Fatimiyah, yaitu Khalifah Al-Aziz dan Al-Hakim kepada al-Azhar, dihentikan haknya pada Dinasti Ayyubi, di antaranya pencabutan hak menyampaikan khutbah. 16 c. Masa Dinasti Mamalik Pada masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol ke Timur dan jatuhnya Islam di Barat, sehingga me-



langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta; Pustaka AlHusna, 1988, hlm. 47. 15 Hasan



16 Dr.



Hamid Hasan Bilgrami, op. cit, hlm. 41.



94



Sejarah Pendidikan Islam



nyebabkan banyak ulama dan ilmuwan Muslim yang mencari perlindungan ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al- Azhar menjadi penting. Di samping itu, menambah masyhur nama al-Azhar di mata Dunia Islam. Sejak saat itu, banyak pelajar dan negaranegara Islam yang tertarik menjadi maha- siswa dan belajar di alAzhar. Para orientalis menyebutnya sebagai zaman keemasan dalam sejarah al-Azhar. 17 Hancurnya Baghdad dan Spanyol sebagai pusat peradab- an pemerintahan, menjadikan al-Azhar sebagai satu-satunya tempat untuk berlindung bagi para ulama. Sementara ber- kumpulnya ulama yang mengungsi di al-Azhar, mendorong bangkitnya al-Azhar dari ketidakadaan aktivitas, menjadi sibuk dengan berbagai aktivitas. Sedangkan pembiayaan operasional al-Azhar banyak ditopang oleh para penguasa yang memberikan bantuan pendanaan secara ikhlas. Itulah sebabnya banyak mahasiswa yang datang ke Cairo berasal dan Negara Iraq dan Afrika Utara. 18 Padahal sejak satu abad al-Azhar ditutup, yaitu pada masa kekhalifahan Sholahuddin Al-Ayyubi, sampai 17 tahun dari pemerintahan Dinasti Mamalik. Pada tahun 665 H seorang Amir mengajukan kepada sultan Al-Zahir Baibars untuk mem- buka kembali al-Azhar sebagai tempat untuk shalat Jum’at, ternyata usulannya diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, alAzhar dibuka kembali yang sebelumnya hampir satu abad ditutup, sedangkan pendanaannya dibiayai oleh Amir dari uang pribadinya.



17 Dr.



Hamid Hasan Bilgrami, loc. cit., hlm. 41.



18 B.



Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, Washington DC: 1962, hlm. 17.



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)



95



Sejak itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan mengajar ke al-Azhar seperti, Ibnu Khaldun (784 M/1382), Ibnu Hajar Al-Atsqolani (w 808 H/1406 M),Taqiy Al-Din Al-Maqrizi (w. 845 H/ 1441 M), Jalaluddin Al-Suyuti (911 H/1505 M). 19 Dalam gambaran Al-Maqrizi dalam al-Khitat tampak lembaga ini tidak hanya sebagai masjid jami’, akan tetapi merupakan tempat bagi orang-orang saleh, penginapan bagi para jamaah haji, pengungsi yang papa, para pelajar, dan tokoh-tokoh sufi. Ketika Mesir hilang kedaulatannya tahun 922 H/1517M, pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran di al- Azhar khususnya dan madrasah-madrasah lainnya. Pada masa itu ilmu yang diajarkan hanya bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama saja, sedangkan ilmu aqliyah, seperti filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti tidak ada dan dianggap haram hukumnya. 20 Kendati demikian, tidak dapat diartikan tak ada seorang pun yang belajar dan mengajarkan ilmu aqliyah, tetapi dengan kemauan sendiri, seperti syaikh Abdul Mun’im Damanhuri (w 1192 H/ 1778 M) dalam ijazahnya disebutkan ilmu yang telah dipe- lajarinya meliputi ilmu al-Jabar, ilmu falak, ilmu kesehatan dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa ilmu aqliyah tidak 100 % lenyap dari al-Azhar. Namun yang belajar adalah mereka yang mau saja dan proses pembelajaran dilakukan di rumah-rumah para guru yang terletak di sekitar masjid.



l9 Hasan 20



Langgulung, op. cit., hlm 48.



Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung,



1990, hlm. 177.



96



3.



Sejarah Pendidikan Islam



Metodologi dan Kurikulum Pengajaran



Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem berhalaqah (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang- kadang duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Di samping itu, metode diskusi sangat dikem- bangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antar- pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan. Kurikulum yang dipakai di al-Azhar pada mulanya fiqih dan Alquran, dan ilmu agama lainnya. Namun setelah men- jadi universitas, mulai memasukan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, ilmu sejarah, ilmu hitung, logika, dan lain-lain.



4.



Peranan Al-Azhar dalam Mencetak Ulama



Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi saat itu, telah banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek keilmuannya, dan telah banyak menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan terutama keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang berasal dari daerah lainnya. Di antara mereka ialah lzauddin bin Abdissalam, Imam Subki, Jalaluddin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani, dan lain-lain21 dan karya monumental dari para ulama tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan sampai sekarang ini.



21 Untuk lebih lengkap nama ulama yang dimaksud, lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1990, hlm. 176.



Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)



97



C. KESIMPULAN Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah dikenal sebagai universitas tertua di dunia, karena sejak itu telah mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, seperti fiqih, Alquran, hadis, tasawuf, bahasa Arab, nahwu, sharaf, dan lain-lain. Sedangkan ilmu-ilmu umum, yang diajarkan meliputi ilmu kedokteran, matema- tika, logika, sejarah, dan lain-lain. Latar belakang berdirinya al-Azhar adalah untuk ke- pentingan para penguasa dari Dinasti Fatimi yang ingin menanamkan kekuasaannya melalui pendekatan pengajaran ajaran Syi’ah. Al-Azhar sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa saat itu. Hal ini karena posisi al-Azhar yang tidak independen. Memang sejak awal al-Azhar sudah dijadikan alat dan tunggangan politik Dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah, sehingga setiap pergantian kekuasaan, aturan yang sudah ada mengalami penyesuaian bahkan perombakan oleh kekhalifahan yang berkuasa berikutnya. Setelah tentara Mongol pimpinan Hulagu Kan meng- hancurkan peradaban Baghdad serta jatuhnya pusat peradaban Islam di Spanyol, menjadikan al-Azhar sebagai tempat perlindungan para ulama dari kezaliman tentara Mongol. Itulah awal paroh kedua bagi al-Azhar memasuki aktivitas- nya setelah diberhentikan aktivitasnya oleh pemerintahan Dinasti Al-Ayubi sampai 17 tahun masa kekuasaan Dinasti Mamalik. Momentum ini menjadikan al-Azhar menjadi masyhur namanya di kalangan Dunia Islam, secara tidak langsung hal ini ternyata menjadi dorongan bagi masyarakat



98



Sejarah Pendidikan Islam



Islam untuk belajar di al-Azhar. Sehingga perlu diakui bahwa alAzhar telah banyak menghasilkan ulama-ulama yang berpengaruh dan banyak menyumbangkan khazanah penge- tahuan Islam sampai sekarang ini.



99



BAB VIII



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik Dalam Mencetak Ulama OlehFauzanAsiy



A. PENDAHULUAN Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan Islam yang formal dan sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan masih bersifat informal dan peranan pendidikan Islam sendiri masih sebatas pada upaya- upaya dakwah Islamiyah, yaitu penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah Arqam yang sering disebut dengan Dar Al-Arqam. Namun setelah masyarakat Islam sudah ter- bentuk, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid dengan memakai sistem balaqah.1 Menurut M. Stanton, pendidikan formal Islam baru muncul dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah oleh Wazir Nizham Al-Mulk pada tahun 1064. Walaupun menurut penelitian Richard Bulliet mengatakan bahwa eksistensi madrasah sudah ada sejak tahun 1009 M,



Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Penerjemah H. Afandi, Jakarta: Logos, Cet. Ke-1, 1990, hlm. 5. 1 Charles



100



Sejarah Pendidikan siam



yaitu Madrasah al-Baihaqiyyah yang didiriikan oleh Ali Al-Baihaqi. Bahkan



Bulliet



menyebutkan



ada



39



madrasah



di



Persia



berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizha- miyah. 2 Sepanjang sejarah Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik



itu



madrasah



ataupun



al-Jami’ah 3



tidak



pernah



mengembangkan tradisi keilmuar, khususmya ilmu-ilmu alam dan eksakta. Hanya ilmu agami (al-ulum al-diniyyah) yang menjadi titik sentral pembahasan. Walaupun pada dasarnya Islam sendiri tidak membedakan nilai i l m u



agama dan non-agama, tapi pada



praktiknya supremasi kceilmuan masih diberikan kepada ilmu -ilmu agama. Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa lembaga pendidikan Islam di masa klasik al-Syuffah, madrasah al- Azhar, dan Madrasah Nizhamiyah—dengan para sarjana atau para ulama Islam yang berasal dari lembaaga pendidikan tersebut.



B.



PEMBAHASAN



1. Pengertian Ulama dan llmuwan Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan ilmu



2 Richard W. Bulliet, The Partitions of Niibafur: A Study in Medievel Islamic Social Society, Cambridge, 1992. 3 Aljamiah



dalam Islam dikenal sebagai institusi lembaga pendidikan yang secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jami’, yaitu masjid besar tempat berkumpul jama’ah untuk menunaikan shalat Jum’at. Al-Jami’ah yang muncul paling awal dengan pretensi sebagai “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Cairo, Zaitunna di Tunis, dan Qorow- wiyyin di Fez.



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



101



agama dan ilmu pengetahuan umum yang dengan penge- tahuannya mempunyai rasa takut dan tunduk kepada Allah. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari alim, yang berarti “yang memiliki pengetahuan.” Pada masa sahabat, tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada umumnya para sahabat nabi memiliki pengeta- huan agama sekaligus pengetahuan umum dan juga pelaku politik praktis. Baru pada masa Bani Umayyah dan sesudah- nya istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memi- liki pengetahuan agama saja, bahkan lebih dipersempit lagi pada pembidangan ilmu-ilmu agama, misalnya ahli fiqih disebut fuqaha, ahli hadis disebut muhaditsin, ahli tafsir disebut mufassir, ahli kalam disebut mutakallim, dan seterusnya. Sementara orang memiliki ilmu pengetahuan umum tidak lagi disebut ulama, tetapi disebut ilmuwan sesuai dengan bidangnya masing-masing, seperti Al-Hawarizmi disebut sebagai ilmuwan matematika, Al-Biruni disebut sebagai ilmuwan fisika, dan Jabir AlHayyan disebut sebagai ilmuwan kimia. Mereka disebut ulama apabila mereka juga memiliki pengetahuan agama, seperti Ibnu Rusyd, di samping sebagai ulama fiqih juga ahli dalam bidang kedokteran. 4 2.



Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Klasik



a.



Al-Shuffah Ketika Nabi Saw. pindah ke Madinah, pekerjaan pertama



4 Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan ke3,1994, Jilid V. hlm. 328.



102



Sejarah Pendidikan Islam



kali yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Pada salah satu bagian masjid itu beliau pergunakan secara khusus untuk mengajar para sahabat. Ruangan itu dikenal dengan sebutan “al-Shuffah” yang berfungsi sebagai tempat penam- pungan para siswa yang miskin. Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami melukiskan bahwa pendidikan al-Shuffah merupakan perguruan tinggi yang pertama kali dalam Islam. Bahkan sebenarnya tidak pernah ada perguruan dalam sejarah Islam yang kualitasnya meng- ungguli perguruan alShuffah. Betapa tidak, di antara yang menjadi staf pengajar perguruan tinggi al-Shuffah adalah Nabi Muhammad sendiri sedangkan para mahasiswanya adalah para sahabat beliau. Apabila dibandingkan dengan perguruan tinggi Daar- Arqam Makkah tentulah perguruan al-Shuffah ini lebih stabil dibandingkan ketika nabi masih di Makkah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar. Tentang jumlah mu- rid al-Shuffah, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Nu’aim, jumlah mereka tidak tetap, tergantung situasi. Se- dangkan menurut Ibnu Taimiah, jumlah mereka mencapai 400 orang. Sementara Qothadah menyebut, mencapai 900 orang. Ada suatu hal yang menarik dari pendidikan al-Shuffah ini, bahwa semua siswa belajar secara gratis. Untuk mencapai kebutuhan mereka, Nabi Saw. menugasi para sahabat untuk menjamin mereka. Suatu saat beliau pernah bersabda, “Siapa yang mempunyai persediaan makanan untuk dua orang hendaklah ia mengajak seseorang siswa al-Shuffah”.5



Ali Mustafa Ya’qub, Sejarab dan Metode Da’tmh, PT. Pustaka Firdaus.



5



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



103



Bidang-bidang studi yang diajarkan di al-Shuffah adalah Alquran, tajwid, dan semua ilmu ke-Islaman di samping membaca dan menulis. Dan tujuan utama al-Suffah adalah mensucikan had dan menerangi jiwa, sehingga mereka dapat meningkatkan diri dari tingkatan iman ke tingkatan ihsan. Nabi juga menyuruh mereka untuk mendapatkan penghasilan sendiri dengan menebang pohon atau



bekerja



pada



waktu



menumbuhkan kebiasaan hidup



senggang



mereka



dalam



rangka



mandiri. 6



Di samping itu, perguruan tinggi al-Shuffah memiliki banyak alumni di antaranya: 1.



Abu Hurairah



Abu Hurairah r.a. adalah nama gelar yang diberikan Rasulullah Saw. semenjak ia membawa kucing kecil di hadapan beliau, yang berarti “Bapak Kucing Kecil.” Nama aslinya di zaman Jahiliah adalah Abdus Syamsi. Kemudian setelah masuk Islam, ia berganti nama Abdur Rahman yang paling banyak merawikan hadis di antara kalangan sahabat- sahabat rasul. Ia dapat meriwayatkan sebanyak 5.374 (lima ribu tiga ratus tujuh puluh empat) hadis kepada Baqi bin Mukhlid.



2. Abdullah bin Umar Abdullah bin Umar berada dalam urutan kedua di bawah



Cetakan ke-1.1997, hlm. 134. 6 Hamid



Hasan bin Gharami, Konsep Universitas Islam, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta,



Cetakan ke-1,1999, hlm. 20.



Sejarah Pendidikan Islam



104



Abu Hurairah r.a. dari yang terbanyak merawikan hadis. Ia telah meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis. Ia putra Umar bin Khattab dan teman Hafshah istri Nabi Muhammad Saw. Dan ia salah seorang dari keempat bernama Abdullah yang termasyhur. Tiga lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr, dan Abdullah bin Zubair. Abdullah bin Umar lahir pada tahun dekat dengan kenabian, dan memeluk Islam ketika berusia 10 tahun bersama ayahnya. Kemudian ia hijrah ke Madinah, sebelum keluarganya. Di saat perang Uhud, ia masih teramat muda (usia 13 tahun), sehingga Nabi Saw. menganggapnya masih anak-anak. Namun setelah dewasa ia banyak mengikuti peperangan dalam pasukan Islam, seperti perang Qadisiyyah Yarmuk, penaklukan Afrika, Mesir, dan Persia, bahkan ia pernah menyerbu Basrah dan Madain. 3.



Abdullah bin Mas’ud



Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Hudri yang bergelar Abu Abdurrahman, termasuk golongan sahabat besar yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw. dan menyertai beliau di mana pun berada. Ia nomor enam dari pendahulu yang menyatakan memeluk Islam sebelum Rasulullah mendirikan Dar al-Arqam bersama enam pendahulu lainnya. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab dan Saad bin Muadz. Kemudian hadis-hadis itu diriwayatkan oleh Al-Abdalah, Abu Musa Al-Asyari, Al-Qamah, Masyfuk, Syurih Qadhi, dan lain-lain sebanyak 848 hadis.



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



105



Ketika Khulafaur Rasyidin, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengetahui kadar kemampuan Ibnu Mas’ud, ia mengangkatnya menjadi Ketua Bendahara Baitulmal di Kuffah dan Ketua Majelis Qadha (hakim). Sewaktu Umar r.a. mengutusnya, ia berpesan kepada semua penduduk Kuffah: “Demi Allah, tiada Tuhan selain Allah, ikutilah ia (Ibnu Mas’ud) dalam mengikutiku. Ambillah darinya dan belajarlah darinya.” 4.



Abdullah bin Amr bin Ash



Abdullah bin Amr bin Ash adalah seorang ahli fiqih yang selalu menunaikan shalat, bertobat, dan beribadah. Ia masuk Islam sebelum ayahnya dan ikut hijrah sebelum Fathu Makkah. Ia menerima hadis dari Rasulullah sebanyak 7.000 hadis. Dan setelah ia mendapat izin dari Rasulullah Saw. untuk menulis hadis, ia menulis hadis beliau. Abu Hurairah berkata: “Tidak seorang pun yang menandingi aku dalam menghapal hadis selain Abdullah bin Amr bin Ash. Sesungguhnya ia menulis dan aku tidak menulisnya.” 5.



Abu Dzar Al-Ghifari



Kabilah Ghifari bermukim di wilayah Waddan, daerah yang menghubungkan Makkah dengan dunia luar. Mereka hidup dari imbalan-imbalan kafilah dagang Quraisy yang mampir sewaktu menuju atau kembali dari Syam. Bahkan, kalau kafilah-kafilah itu tidak mau memberi imbalan, mereka pasti merampok barangbarangnya. Abu Dzar adalah nama gelar yang disandangnya dan nama itu lebih dikenal oleh ahli hadis. Aslinya bernama Jundab bin Junaddah, dihubungkan dengan nama kakeknya Junadah dari Suku Ghifar.



Sejarah Pendidikan Islam



106



Sebelum Muhammad diutus menjadi nabi, Abu Dzar terkenal seorang ahli ibadah dan berakhlak baik. Ia nomor lima dari pendahulu yang menyatakan diri memeluk Islam. Dan ia di antara sahabat yang dibai’at oleh Rasulullah Saw. untuk berpegang teguh pada kebenaran, dengan meninggal- kan segala sifat tercela dan perbuatan yang buruk, serta mau mengatakan yang hak meskipun terasa pahit. 7



b.



Al-Azhar



Al-Azhar sebagai bukti historis monumental dan produk peradaban Islam yang tetap eksis sampai sekarang merupa- kan lembaga pendidikan tertua di Dunia Islam. Serta sebagai pelopor kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut menunjukkan suatu fenomena sebuah peradaban yang sangat maju pada saat itu karena masjid dapat difungsi- kan dengan lebih luas lagi, tidak hanya sebagai tempat melak- sanakan shalat saja. Pada awalnya al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar merupakan sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa itu pula dibangun gedung atau istana khalifah yang berfungsi sebagai tempat untuk mengkoordinir dakwah dan membantu dalam penyebar- luasannya. Untuk menangani hal ini, dipilihlah seorang kepala dari para da’i yang telah memenuhi persyaratan, di antara persyaratannya ialah orang alim dari mazhab ahlul bait. Ada-



Biografi dan Tingkatan Peram Hadis, Jakarta: Pustaka Panjimas, Cetakan ke-1,1999, hlm. 74. 7 Sahliono,



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



107



pun para alumni dari Universitas al-Azhar, di antaranya: 8 1.



Syaikh Imam Muhammad Al-Khurasyi Nama beliau adalah Muhammad bin Abdullah Al-Khu- raisyi



dilahirkan di Abu Khuraisyi pada tahun 1010 H (670). Ia adalah syaikh dan ulama Maliki yang terkenal dengan wara, takwa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Pada waktu itu, di antara gurunya adalah ayahnya sendiri, yaitu Jamaluddin Abdulah bin Ali AlKhuraisy. Adapun materi yang dipelajari- nya di al-Azhar, yaitu pelajaran-pelajaran agama, bahasa, sejarah sirah nabi dan ilmu naqliyah. Murid Al-Khuraisy yang paling terkenal adalah Syaikh Abdul Baqi Al-Qaimi dan Syaikh Ibrahim Al-Rayumi. 9 Hasil karya Syaikh Imam Muhammad Al-Khurasyi yang terkenal adalah Fathu alJalil, Asy-Syarhu al-Kabir, dan Hasilah ala Isaghuzi 2.



Syaikh Imam Ibrahim Al-Barmawi



Nama panjangnya adalah Syaikh Ibrahim bin Muham- mad bin Syihabuddin bin Khalid Al-Barmawi. Beliau ketika belajar di al-Azhar mendalami ilmu bidang, syariah dan bahasa. Kemudian setelah beliau lulus dari al-Azhar langsung menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Karier Al-Barmawi ketika menjadi tenaga pengajar berkembang cukup pesat sehingga beliau pernah menjabat sebagai syaikh al-Azhar pada tahun 1694. 10



8 A1-Fanan



Hasdan Utsman, Al-Azhar al-Syarif fi Idihi al-Alfi, Cairo:



al-Haiah al-Misriyyah al-Ammal li al-Kitab, 1983, hlm. 67. 9Ibid., hlm. 238. 10Loc.cit..



Sejarah Pendidikan Isiam



108



3.



Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi Beliau lahir di kota Maragha pada tahun 1298 H. Beliau belajar



di al-Azhar dari seorang ulama yang terkemuka, yaitu Syaikh Muhammad Abduh. Setelah lulus dari al-Azhar beliau langsung mengabdikan diri pada almamaternya. Al-Maraghi menjabat sebagai syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada tahun 1928 M dan pada tahun 1835 sampai tahun 1945 M beliau diangkat kembali sebagai syaikh al-Azhar untuk kedua kalinya. 11 Ketika Al-Maraghi belajar di al-Azhar, sistem dan metode pembelajaran yang berlaku masih bersifat tradisional, yaitu dengan sistem halaqah kemudian begitu beliau menjabat sebagai syaikh al-Azhar langsung mengadakan pembaruan dan restrukturisasi berupa peraturan undang-undang tentang sistem pembelajaran di al-Azhar. 12 Selain ulama-ulama di atas masih banyak ulama-ulama lain yang menuntut ilmu di al-Azhar dan langsung meng- abdikan diri pada almamaternya, seperti Ibnu Khaldun yang pada abad ke-14 menuntut ilmu di al-Azhar dan setelah itu beliau juga menjadi tenaga pengajar. Ketika Ibnu Khaldun belajar di al-Azhar, beliau menggunakan kesempatan ini untuk menggali ilmu sejarah dari sejarahwan yang mengajar di al-Azhar, sehingga ketika beliau tidak lagi mengajar di alAzhar, Ibnu Khaldun mendirikan perguruan tinggi yang menggali dan mengembangkan disiplin ilmu sejarah. Murid- murid Ibnu Khaldun yang mendalami sejarah langsung dari



11Ibid.,



hlm. 251.



Bakar, Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya, Banjarmasin, TB. Adil, 1991, hlm. 84. l2 Abu



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



109



beliau adalah Al-Maqrizi (wafat 1442 M), Ibnu Hajar Al-Asqo- lani (wafat 1447), Syakhowi (wafat 1497), dan Jalaluddin Al-Suyuti (wafat 1505). 13 Ibnu Khaldun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung kerajaan dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dengan hasil karyanya yang sangat gemilang, yaitu Muqad- dimah. Dalam kajian sejarahnya tentang Arab Timur, Ibnu Khaldun banyak bersandar kepada sejarahwan sebelumnya, seperti Al-Thabari dan Ibnu AlAtsir. 14 c.



Madrasah Nizhamiyah



Madrasah Nizhamiyah merupakan satu institusi pen- didikan Islam yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Saljuk. Besarnya peran Nizhamul Mulk menyebabkan nama madrasah dinisbatkan kepada nama beliau. Dalam perjalanan- nya ternyata keberadaan Madrasah Nizhamiyah tetap eksis dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan keterlibatan wazir Nizhamul Mulk sangat besar dengan memberikan beberapa fasilitas yang memadai, seperti dana yang cukup besar, guru-guru yang profesional, dan perpustakaan lengkap memuat lebih dari 6.000 jilid buku. 15 Madrasah Nizhamiyah berkembang sangat cepat de- ngan menyelenggarakan sistem pendidikan yang maju dan paling modern di zamannya serta memiliki jaringan sekolah



13Op.



cit., hlm. 83. Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999, Cetakan ke-3, hlm. 241. 14 Husain



Athiyyah al-Abrasi, Al-Tarbiyah al-lslamiyah, Cairo: Daar al-Qaumiyyah al-Thibaah wa al-Nashr, cetakan ke-3, hlm. 93. l3 Muhammad



Sejarah Pendidikan Islam



110



yang menyebar di seluruh wilayah Islami. 16 Madrasah Nizhamiyah memiliki beberapa alumni, seperti: Syarifuddin Ibn Shahristabni, Abu Ishaq Al-Siroji, Abu Nasr AlShabbagh (477 H), Imam Haramain Abdul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini (478 H), Nashiruddin Al-Faruqi (672 H). 17 Sedangkan di antara alumni Madrasah Nizhamiyah yang sangat terkenal dan mengajar di almamaternya adalah: 1.



Al-Ghazali Beliau dikenal sebagai seorang ahli filosof, ahli fiqih, sufi,



reformer dan juga negarawan. Ia disebut oleh Watt sebagai orang terbesar kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad. Karena beliau mempertahankan Islam dari serangan luar, ia digelari Hujjat al-Islam (bukti agama Islam). Al-Ghazali menulis lebih dari 400 dan risalahrisalah. Ia pernah diserang keraguan terhadap dirinya, tetapi mendapatkan kembali keyakinannya pada kebenaran. 18 2.



Al-Juwaini



Ia adalah seorang ahli fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi. Beliau terkenal dengan julukan Imam Haramain karena pernah tinggal di dua



16 Ahmad



Syalabi, History of Moslem Education, Beirut: Daar Kasyaf: 1954, hlm. 207.



17 Ahmad



Syalabi, SejarahPendidikanIslam, Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-1.



1973, hlm. 239. 18 Mulyadi Kartanegara, Mosaik Khasanah Islam, Jakarta: Paramadina, Cetakan ke-1, 2000, hlm. 22.



Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik



111



tanah suci (Makkah dan Madinah). Gelar lain yang diberikan kepadanya adalah Abdul Ma’ali yang berarti memiliki sifat utama sebagai seorang ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Dia juga dijuluki Diya’al-Din yang berarti cahaya agama. Al-Juwaini menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena kekhasan metodenya dalam membela paham Sunni. Atas permintaan Perdana Menteri Nizhamul Mulk, Al-Juwaini kembali ke negerinya dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah sampai akhir hayatnya.19



C. KESIMPULAN Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan. Kegi- atan intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan salah satu mata rantai dari serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa nabi dan khulafaur rasyidin dengan al-Suffah dilanjutkan pada masa Bani Umay- yah, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan tersebut. Walaupun pada umumnya hanya ilmu-ilmu agama yang dikaji dan mendapat perhatian besar dalam lembaga tersebut, perkembangan ilmu aqli atau umum juga sangat pesat walaupun mereka berkembang di luar pagar lembaga madrasah. Wallahu a’lam bi al-shawab.



19 Dewan



Penyusun, op.cit., hlm. 328.



113



BAB IX



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik, 750-1350 M* Oleh:HasaniAsro



Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M meru- pakan awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ke- tika Eropa mengalami kemunduran peradaban. Sedangkan di Timur (baca: negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih lima abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek. Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antarbangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman Umayyah mulai ditanggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek dengan diper- kuat dasar-dasar agama sebagai sendi negara. Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan umat Islam pada masa sebelum- nya, pada masa Abbasiyah dikurangi dan mengarahkan perha-



Dipresentasikan pada Seminar Matakuliah Sejarah Pendidikan Islam, Program Magister Pendidikan, Pascasarjana IAIN Syarif-Hidayatullah Jakarta, Pada tanggal 27 Oktober 2000.



Sejarah Pendidikan Islam



114



tian terhadap perdamaian. 1 Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika orang-orang Islam menerjemahkan buku- buku Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa mereka. 2 Per- hatian Al-Ma’mun terhadap proses penerjemahan ini sangat besar terlihat ketika mau membayar Hunayn (seorang Nestoris yang menjadi penerjemah) dengan emas seberat lembaran- lembaran yang ia terjemahkan. 3 Proyek besar ini bukan barang mubazir yang hanya menghiasi rak buku khalifah, tapi sejarah telah membuktikan dengan lahirnya para sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu yang namanya masih harum sampai sekarang. Tidak berlebihan ketika Philip K. Hitti menggambarkan kemajuan peradaban Islam sebagai berikut: “Semua ini berlangsung pada saat Eropa tidak mengenal sama sekali pemikiran dan ilmu-ilmu Yunani. Sebab, sementara Al-Rasyid dan Al-Ma’mun sedang mempelajari Filsafat Yunani dan Persia,



1 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1997, hlm. 17. 2 Kajian-kajian



Filsafat dan penerjemahan banyak didukung oleh khalifahkhalifah Abbasiyah, seperti Al-Mansur, Al-Rasyid, Al-Ma’mun, Al-Watsiq, AlMutawakkil dan lainnya. Walaupun penerjemahan mengalami puncak pada masa pemerintahan Abbasiyah, tetapi telah dirintis sejak zaman Umayyah di Damaskus— misalnya disebut-sebut Khalifah Khalid bin Yazid (w. 84 H/704 M), seorang putra khalifah yang klaim kekhali- fahannya ditolak—telah mencurahkan perhatiannya kepada pengkajian fil- safat. Lihat Nurcholish Madjid, (Ed), Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 23. 3 Lihat



hlm. 83.



Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta. Logos, 1994,



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



115



orang-orang yang sezaman dengan mereka, Chalemagne dan raja- rajanya dilaporkan sedang mencoba-coba belajar menulis nama mereka.”4



Sejak periode awal penerjemahan ini, pendidikan Islam memiliki potensi untuk mengembangkan kurikulum yang beraneka ragam, mencakup seluruh area pengetahuan yang dikenal di dunia Helinistik, tetapi Islam tidak menawarkan keluasan cakupannya ini dalam satu lembaga. Sebaliknya umat Islam membentuk sistem dua jalur: formal dan non-formal.



A.



PENGERTIAN KURIKULUM PENDIDIKAN



Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curir, artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curri- kulum diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah'sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memper- oleh ijazah. 5 Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam mengguna- kan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.



'Ibid., hlm. 84. Lihat Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar-Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, hlm. 1-2.



Sejarah Pendidikan Islam



116



Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu menca- kup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kuriku- lum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi.



B.



KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM BERDIRINYA MADRASAH



1. Kurikulum Pendidikan Rendah Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat muridmurid untuk belajar pada sedap lembaga pendidikan. Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah.6 Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh selurah umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis di samping



6 Untuk



mempermudah pengklasifikasian, penulis menghindar dari



polemik apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah adalah pendidikan tinggi. Di sini kuttab diidentikkan dengan pendidikan rendah atau untuk anak-anak dan halaqah sebagai pendidikan tinggi.



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



117



Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh7 Ada contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal dan membaca Alquran. Dengan demikian, ia suka akan kebang- gaan bangsanya dan ia akan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mende- ngarkan suara orang-orang yang akan meminta bantuan”. 8 Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari Alquran, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak- anak belajar Alquran dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecende- rungannya. 9 Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar istana) adalah



Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992, hlm. 113 lihat juga Asma Hasan Fahmi, op. cit., hlm. 58-85. 7 Hasan



8 Asma



Hasan Fahmi, ibid., hlm. 59. 9 Ibid,



hlm. 59-60.



118



Sejarah Pendidikan Islam



yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan



tujuan



yang



dikehendakinya.



Rencana



pelajaran



untuk



pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan- peperangan, cara bergaul dengan masyarakat di samping pe- ngetahuan pokok, seperti Alquran, syair dan bahasa. 10 Harun Al-Rasyid telah mengajukan pelajaran bagi putranya (Al- Amin) dengan mengatakan sebagai berikut: “Hai Ahmar! sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan kepadamu adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan hendaknya kamu tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Alquran, ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa, riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya Sunnah- sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan cara memulainya. Laranglah ia ketawa kecuali pada waktunya....”"



Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga pen- didikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, di mana anak memang diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-



10 Zuhairini,



et. al, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,



1992, hlm. 92. 11 Ahmad



Syalabi, Tarikh al-Tarinyah al-lslamiyah, Mesir: Dar al-Fikr



al-Araby, hlm. 57.



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



119



bapak mereka, di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka. Timbul pertanyaan bagi penulis, apakah kurikulum bagi anak-anak istana bersifat eksklusif bagi kalangan istana saja yang tidak bisa disentuh oleh luar istana? Dilihat dari semangat ilmiah Al-Ma’mun dan Al-Rasyid, ilmu pengetahuan tidak pernah dibatasi, per- tanyaan tersebut sebenarnya bisa terjawab. Namun demikian, hipotesis ini membutuhkan kerja intelektual untuk dibuktikan dengan data-data historis. Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.



1. Kurikulum Pendidikan Tinggi Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah—kalau mau menyebut demikian—bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mem- pelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak Mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang tain, bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Menurut Rah- man, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan



Sejarah Pendidikan Islam



120



agama.12 Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-’ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-’ulum al-aqliyah). Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kuri- kulum pertama adalah sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk



mendalami



masalah



agama,



menyiarkan



dan



mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetapi dilengkapi juga dengan ilmuilmu bahasa, ilmu sejarah, hadis dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadis, fiqih dan ushul fiqh, nahwu- saraf, balaghah, bahasa dan sastranya. 13 Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, tahun 976) dalam buku- nya, Mafatih al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Per- sia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi). 14 Di samping itu, diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan pembuatan Taqwim (mencocokkan tahun Hijriah dengan tahun Masehi). Sedangkan yang ditulis dalam risalah Ikwan alShafa, kuri- kulum untuk jurusan ini adalah ilmu Alquran, tafsir, hadis, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah. 15



12 Fazlur



Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 264.



op. cit., hlm. 104. Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 73-74.



13 Zuhairini,



14 Mehdi



15 Ibid.,



hlm. 73 Ikhwan Al-Shafa mengikuti tradisi Hermetik-Pythagoras.



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



121



Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena,



menu- rutnya,



kesempurnaan manusia bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama ‘tidak mencukupi’. 16 Maka tidak heran jika dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of the Sciences) yang di Barat dikenal dengan De Scientist, dia tidak



memasuk-



kan



studi



keagamaan



dalam



klasifikasi



pengetahuannya. Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan de- ngan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmuilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh- tumbuhan dan kedokteran. 17 Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada: a. Disiplin-disiplin Umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap,



Dalam tradisi Hermetik-Pythagoras klasifikasi dan metode Aristoteles diubah dengan pendekatan mistik dan metode interpretasi lebih kurang menjadi simbolik. 16 Ali



Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 30.



17 Zuhairini,



op. cit., hlm. 105.



Sejarah Pendidikan Islam



122



dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, per- tanian, dan peternakan, serta biografi dan kisah. 18 b.



Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu angka- angka,



geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum- hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen meteorologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya; botani, zoologi; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kos- mos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi); psikologi dan teologi- doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib. 19 Klasifikasi pengetahuan yang diperkenalkan Al-Farabi adalah: a. Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi) b. Logika (pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara sederhana) c. ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat) d. Fisika (ilmu alam, meta- fisika) e. ilmu kemasyarakatan (yurisprudensi, retorika). 20 Kla- sifikasi Al-Farabi ini mengikuti pemikiran Aristoteles yang silogistik-rasionalistik. Sedangkan yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu logika; ilmu kedokteran-anatomi, patologi, bahan obat, tera



18 Stanton,



op. cit., hlm. 56.



Nakoosten, op. cit., hlm. 73. 20 Ali Ashraf, op. cit., hlm. 29. 19 Mehdi



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



123



petik, diet, berat dan takaran, aritmatika; geometri, astronomi, mu sik, kimia. 21 Kurikulum yang dibuat oleh Al-Khuwarazmi berbeda dengan kurikulum



yang



menekankan



pada



dibuat



Ikhwan



pengetahuan



Al-Shafa. yang



Kurikulum-



bersifat



praktis



nya dalam



menyelenggarakan tugas-tugas seseorang sebagai menteri dan sekretaris. Masuknya ilmu-ilmu asing—yang berasal dari tradisi Hellenistik—ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait alHikmah. Syalaby menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut. 22



C. KURIKULUM SETELAH BERDIRINYA MADRASAH Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebuda- yaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, seja- rah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.



21 Mehdi



Nakoosten, op. cit., hlm. 74, lihat juga Fahmi, op. cit., hlm. 81.



Syalaby, op. cit., hlm. 181-184, lihat juga, Muhammad Athiyah Abrasyi, Al-Tarbiyab al- Islamijab wa Falasifatuha, Mesir: Isa Al-Babi Halaby, 1975, hlm. 96-98. 22 Lihat



Sejarah Pendidikan Islam



124



Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebu- tuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).23 Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir. Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sum- bangan Islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibat- nya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. “Pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmuilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal.



23 Pada



prinsipnya madrasah ini bukanlah yang pertama dilihat dari seja- rah berdirinya. Namun inilah madrasah pertama yang mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah dan sekaligus menjadi cikal bakal dari madrasah- madrasah sesudahnya. Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam Sunni memperoleh kemenangan berkat dukungan negara tidaklah semuanya benar. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara yang baru selalu mengikuti kecenderungan yang sudah berakar di kalangan masyarakat. Adalah jelas sekali bahwa Dinasti Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, tapi gagal untuk menimbulkan dampak berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 268.



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



125



Kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan ter- hadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus-menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sen- dirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat. 24 Sedangkan menurut Azra, karena me- mang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari dana wakaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena dianggap mendatangkan pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”. 25 Namun penulis tidak mau meng-”kambing-hitam”-kan madrasah sebagai penyebab kemunduran ini, walaupun tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Sebab, sebenarnya penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keaga- maan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga kemudian mata.



Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995, hlm.39. p Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah 24 Fazlur



Pengantar” Pengantar buku Stanton, op. cit., hlm. ix.



126



Sejarah



Pendidikan



Islam



D. KESIMPULAN Ilmu



pengetahuan



Islam



mengalami



kemajuan



yang



mengesankan selama periode “abad klasik” melalui orang- orang kreatif, seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Masudi, Al-Tabari, Al-Ghazali, Nasil Khusru, Omar Khayyam dan lain-lain. Pengetahuan



Islam



telah



melakukan



investigasi



dalam



ilmu



kedokteran, teknologi, matematika, geografi dan bahkan sejarah. Namun semua ini dilakukan di dalam frame work, keagamaan dan skolastikisme. Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan ilmu pengetahuan begitu banyak dalam waktu yang singkat, kemudian menjadi steril sedemikian cepat, dapat diketahui melalui sifat dasar skolastikisme Islam itu juga. Bersifat kreatif dan dinamis pada satu sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistik di sisi lain. Sementara itu, beberapa orang khalifah dan para crusader Islam membakar perpustakaan-perpustakaan dan membungkam para cendekiawan, sedangkan lainnya berbangga menjadi penyalin dan penyalur buku untuk dijadi- kan perpustakaan besar dan menjadikannya sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum. Bagaimanapun juga, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang kebebasan berpikir dan investigasi menandingi fatalisme. Sepanjang Islam menganggap dunia adalah buku yang terbuka untuk dibaca dan dipahami oleh semua orang; apabila unsur-unsur fatalisme dan ortodoksi tertanam dalam skolastikisme, maka ia dapat memberi pengaruh yang nyata. Dan apabila unsur-unsur dinamis dan liberal menyerah kepada kepatuhan total pada ortodoksi nasib dan berganti menjadi kepasrahan pada konsep-konsep takdir dan nasib, serta menga-



Kurikulum Pendidikan Islam Klasik



lahkan semangat investigasi, berinovasi dan mencipta, maka obor tersebut telah diserahkan dari Islam kepada Renaisan Eropa. Wa Allah Alam bi al-Sbawab.



129



BAB X



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik Oleh: Nurika Khalila Daulay



A.



PENDAHULUAN Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendi- dikan



yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendi- dikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan ada dan pendidikan tidak akan terjadi. Sebagai salah satu komponen pendidikan, anak didik mendapat perhatian yang serius dari para ahli pendidikan. Untuk keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya, dan pendidikan pada umumnya, anak didik harus diperlakukan sebagai subjek dan objek. 1 Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term students (siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa. 2



1 Maksud



anak didik sebagai subjek dan objek adalah anak didik tidak hanya pasif menerima segala apa yang diberikan guru, tetapi mereka juga aktif mengolah dan mencari informasi dari berbagai sumb.er. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 79. 2 George Makdisi, The Rise of Colleges, Institutions of Teaming in Islam and



Sejarah Pendidikan Islam



130



Pembahasan ini berusaha menyajikan uraian tentang kehidupan siswa di masa Islam klasik, mencakup karakteristik (yang paling menonjol) dalam kehidupan penuntut ilmu itu (murid dan mahasiswa), yakni perihal biaya, waktu dan lama belajar, serta pola sosial kehidupan mereka.



A.



KEHIDUPAN PARA SISWA DI MASA ISLAM KLASIK



1. Karakteristik Murid a.



Pengertian dan Batasan Murid



Murid adalah anak yang sedang berguru, 3 yang memper- oleh pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan. 4 Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengeta- huan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw. Dalam kenyataannya, tidak semua sahabat dapat me- manfaatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari beliau. Hal ini bisa dipahami karena para sahabat mempunyai pe- kerjaan dan aktivitas yang beraneka. Kegiatan pendidikan pada permulaan Islam di rumah Al- Arqam bin Abi Al-Arqam. Selanjutnya berpindah ke masjid.



the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, hlm. 175. Lihat juga Abuddin Nata, loc.cit. 3 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus,Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, hlm. 664. 4 Muniruddin Ahmad, Muslim Education and the Scholars Social Status upto the 5th Century Muslim Era (11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad, Verlag: Der Islam Jurich, 1968, hlm. 143.



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik



131



Dalam perkembangannya kemudian, kaum Muslim memerlu- kan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan Sasar. 5 Di



kuttab,



para



murid



mendapatkan



pengajaran



berupa



keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama. 6 Menurut Hodgson, pendidikan Islam tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar mem- baca dan menulis. 7 Sementara menurut Stanton, pada abad pertama Hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokus- kan pada pelajaran menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkannya ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah. 8 Dari gambaran di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan mata pelajaran yang diberikan, sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Pada permulaan Islam, belajar membaca dan menulis adalah kebutuhan mendesak. Karena itu, fokus pemberian pelajaran adalah keterampilan membaca dan menulis. Setelah Islam berkembang dan kontak dengan dunia



5 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1988, hlm. 111. 6 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, him. 101. Lihat juga Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 26.



Lihat Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, Conscience and History in World Civilisation, Chicago: The University Chicago Press, 1974, hlm. 18, dan Philip K.Hitti, History of the Arab, London: The MacMillan Press Ltd.1974, hlm. 408. Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H.Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos, 1994.



Sejarah Pendidikan Islam



132



luar semakin intens, pelajaran dasar tidak cukup dengan hanya membaca dan menulis, tetapi pelajaran baru pun dimasukkan. Pada masa klasik, tidak ada ketentuan pasti tentang ba- tasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga pendidikan dasar ini berva- riasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun dan bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. 9 Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tam- paknya terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi. b.



Biaya dan Lama Belajar



Biaya selama belajar di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu atau setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang. 10 Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberikan kesempatan belajar secara cuma-cuma.11 Selain itu, ada pula orang tua yang meni- tipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut



9 Hasan



Asari, op. cit., hlm. 21.



Sjalaby, Sefarab Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 231. 11 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 32. 10 Ahmad



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik



133



sejumlah harta/biaya. Dalam kasus terakhir ini dialami oleh AlGhazali dan saudaranya. 12 Lama belajar di kuttab bergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relatif singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipun demikian, umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. 13 Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah kemampuan murid menghafal Alquran.14 3.



Keadaan Murid



Menurut Mahmud Yunus, 15 para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari Sabtu dan berakhir pada hari Kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Asar. Biasanya sehabis shalat Zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan. 16 Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para



12 Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988, dan Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al- Gbazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, him. 8. l3 Lihat Mahmud Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam, Djakarta: Mutiara, 1966, hlm. 47. 14 Mahmud



Munir Mursa, Al-Tarbijah Al-lslamiyyah, Ushuluha wa



'Tathawuruha fi Al-BiladAl-Arabiyah, Cairo: Alam al-Kitab, 1977, hlm. 96. Yunus, op. cit., hlm. 44. Mahmud Munir Mursa, op. cit., hlm. 96.



13 Mahmud 16 Lihat



Sejarah Pendidikan Islam



134



murid lainnya di kuttab. Adapun murid yang berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dari murid-murid lain yang harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu, dapat diasumsi- kan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua. 17 Apakah pendidikan dasar di kuttab hanya diikuti oleh murid lelaki saja? Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak laki-laki dalam belajar, karena menuntut ilmu adalah wajib bagi orang Islam. Walaupun begitu, keikutsertaaan wanita belajar secara terbuka diperse- lisihkan. 18 Sjalaby menolak adanya murid perempuan ikut secara langsung belajar dengan murid lelaki di kuttab, mes- kipun dia mengakui adanya pengajaran untuk wanita dan anak-anak perempuan. 19



2.



Karakteristik Mahasiswa



a. Pembagian Mahasiswa Mahasiswa adalah pelajar pada perguruan tinggi. 20 Me- reka yang belajar di perguruan tinggi harus melewati pendi- dikan dasar dan menengah. Berbeda dengan sekarang, di masa



17 Ali



Al-Jumbulati, op. cit., hlm. 102-3.



18 Meskipun



menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam (laki- laki dan perempuan), tapi kepergian anak-anak perempuan bersama-sama anak laki-laki ke kuttab kadang-kadang tidak disukai oleh sebagian ulama, dengan alasan bahwa belajar bersama seperti itu dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Asma Hasan Fahmi, loc. cit. 19 Ahmad



Sjalaby, op. cit., hlm. 336. op. cit., hlm. 619.



20 Poerwadarminta,



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik



135



klasik seorang mahasiswa cukup menyelesaikan pelajaran di lembaga pendidikan dasar. Mahasiswa ditujukan pada mereka yang belajar di halaqah-halaqah dalam masjid atau di madrasah sebagai kelanjutan dari kuttab atau pendidikan dasar. Pada masa klasik ini, mahasiswa diklasifikasikan 21 ke dalam: (1) tingkat mahasiswa relatif, (2) penerima beasiswa, (3) mahasiswa inti/pilar, dan (4) peserta di kelas. Tingkat mahasiswa relatif terbagi kepada pemula (mub- tadi), pertengahan (mutawassit) dan tertinggi (muntahin). Sementara mahasiswa inti/pilar (foundationer) dibagi ke dalam mutafaqqih dan faqih. Mutafaqqih adalah mahasiswa yang berada di tingkat akhir (muntahun) dalam kelas regular. Sedangkan faqih adalah mahasiswa yang sudah selesai di tingkat akhir dan mendapat persetujuan (licence) untuk mengajar fiqih dan memberi fatwa resmi. Pembagian mahasiswa oleh Makdisi ini tampaknya dili- hat dari berbagai sudut pandang. Ada pembagian mahasiswa dilihat dari tingkat sebagaimana pembagian pada umumnya. Ada pembagian mahasiswa dilihat dari jumlah beasiswa yang diperoleh dan ada pembagian mahasiswa dilihat dari keaktifan mereka mengikuti perkuliahan. b. Waktu dan Lama Belajar Waktu belajar empat hari dalam seminggu. Tiga hari lain- nya yaitu Selasa, Jum’at, dan Sabtu sebagai hari libur. Jadwal kegiatan hari-hari normal di madrasah dan masjid akademi



21 George



Makdisi, op. cit., hlm. 171.



Sejarah Pendidikan Islam



136



dimulai pada pagi hari dan berakhir pada malam hari. Pagi hari sampai tengah hari diisi oleh syaikh, selanjutnya pada sore hari sampai malam diisi oleh mu'id (mahasiswa paling senior) dan mufid (mahasiswa senior yang membantu maha- siswa pemula). Mu’id dan mufid mengulangi materi yang diajarkan oleh syaikh sebelumnya. 22 Lama belajar bagi mahasiswa untuk menyelesaikan bidang hukum, selama empat tahun. Selanjutnya untuk mem- pelajari bidang studi lain sampai mereka mendapat ijazah mengajar memerlukan waktu yang berbeda bagi setiap maha- siswa. Ibn Wahab (197/813) belajar dengan Malik bin Anas selama 20 tahun. AU bin Isa Al-Raba’i (410/1019), belajar di bawah asuhan Abu Ali Al-Fahrisi selama 20 tahun. Sharif Abu Ja’far belajar dengan Qadi Abu Ya’la kurang lebih 23 tahun. 23 Ada juga sebagian mahasiswa yang belajar di bawah asuhan guru besar yang berbeda. Ibn Al-Banna misalnya, dia belajar fiqih di bawah asuhan Abu Tahir bin Al-Ghubari (432/1014), Abu Ali bin Musa (428/1037), Abu Al-Fadl (410/1019) dan Abu Al-Faraj Al Tamimi (425/1034). Abd Al-Ghafir Al-Farisi belajar dengan pamannya, kemudian belajar dengan Abd Al-Razzaq Al-Mani’i, setelah itu dia belajar dengan Imam Al-Haramain Al-Juwaini selama empat tahun.24



Ibid., hlm. 95. Lihat juga Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 59. hlm. 97. 24Ibid., hlm. 98. 22



23 Ibid.,



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik



137



Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa berbedanya alam belajar untuk satu orang mahasiswa terkait dengan mata kuliah yang diambil, dosen (syaikh) yang mengajar dan kemampuan siswa itu sendiri. Hanun Asrohah menyatakan, alasan mengapa batas waktu yang harus ditempuh oleh para siswa tidak seragam adalah: •



Karena guru-guru, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tidak pernah menawarkan pelajaran khusus yang harus diselesaikan pada waktu tertentu; dan







Sudah menjadi ciri sistem pendidikan Islam di masa klasik, bahwa pelajar diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya. 25



c.



Keadaan Mahasiswa



Tidak terbatasnya waktu yang ditempuh oleh seseorang mahasiswa untuk memperdalam satu bidang studi mem- berikan kesempatan kepada mahasiswa menjadi orang yang ahli dalam bidangnya. Seorang mahasiswa juga bebas memilih dosen yang disukai dan berganti dengan dosen lain yang dianggap lebih baik. Kebebasan ini memberikan kesempatan kepada maha- siswa memiliki jaringan guru dengan aneka pengalaman yang didapat. Para mahasiswa menurut Ahmed 26 membuat daftar para dosen yang pernah mengajarnya. Daftar ini sebagai



4.



25 Hanun



Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1999, hlm. 83-



26 Muniruddin



Ahmad, op. cit., hlm. 154.



138



Sejarah Pendidikan Islam



bukti bahwa dia belajar kepada guru/ulama (dosen) yang ter- kenal. Tampaknya, bagi mahasiswa tertentu belajar dengan beberapa dosen memberikan kebanggaan tersendiri. Mahasiswa pada masa klasik, terbagi kepada mahasiswa yang belajar di masjid Jami27 secara halaqah dan mahasiswa yang belajar di madrasah-madrasah. Mahasiswa yang belajar di masjid Jami’ ada yang tinggal di rumah-rumah dekat masjid dan ada pula yang tinggal di asrama. Mereka pada umumnya belajar secara cuma-cuma.28 Berbeda dengan mahasiswa yang khusus belajar di rumah dosen tertentu, mahasiswa ini harus membayar sesuai kesepakatan dengan dosen tersebut. Semen- tara itu, mahasiswa yang belajar di madrasah bisa mengajukan beasiswa dan fasilitas asrama. 29 Para mahasiswa yang belajar, mereka duduk mengelilingi seorang syaikh (dosen). Mahasiswa yang memiliki pengetahuan lebih tinggi duduk di depan. Beberapa di antaranya menjadi shuhbah (persahabatan). Mereka ini memiliki pergaulan yang akrab dengan dosen. Bahkan ada di antara mereka yang diang- kat menjadi mu’id atau mufid. Mu’id atau mufid ini membantu dosen untuk membimbing para mahasiswa pada sore hari. 30



27 Dalam



tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi masih lebih dikenal dengan nama al-Jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan erat dengan masjid jami’- masjid besar tempat berkumpul jama an untuk menunaikan shalat Jum’at. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. viii. 28 George 29 Charles



Makdisi, op. cit., hlm. 14. Michael Stanton, op. cit., hlm. 58. 30 Lihat Hasan Asari, op. cit., hlm. 40, dan Stanton, op. cit., hlm. 60.



Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik



C.



139



KESIMPULAN Umur murid yang belajar di kuttab bervariasi. Perbedaan itu



disebabkan tidak adanya ketentuan tegas tentang umur murid yang akan memasuki kuttab. Para murid juga tidak semuanya harus membayar biaya pelajaran. Bagi murid yang keluarganya miskin, belajar di kuttab bisa dengan cuma- cuma. Murid-murid di kuttab lebih banyak menghabiskan waktu siang mereka bergaul dengan guru dan sesama murid. Hal ini disebabkan waktu belajar mereka cukup lama, yaitu sejak pagi hari sampai selesai shalat Asar. Lamanya waktu mereka di kuttab memungkinkan guru membina para murid- nya dengan baik. Murid-murid yang cerdas akan dapat me- nyelesaikan pelajaran relatif lebih cepat, dan selanjutnya mereka meneruskan pelajaran di halaqah masjid Jami’ atau madrasah. Ukuran kelulusan seorang murid adalah kemam- puan menghafal Alquran. Mahasiswa, dibagi kepada tingkat mubtadi, mutawassit, dan muntahi. Pada tingkat muntahi, mahasiswa terbagi kepada mutafaqqih dan faqih. Mahasiswa yang menyelesaikan kesarjanaannya diberi kesempatan untuk memperdalam bidang studi tertentu yang diminati. Mereka memerlukan waktu yang bervariasi untuk menyelesaikan bidang studinya di bawah asuhan seorang atau beberapa orang guru besar. Para mahasiswa ada yang mendapat beasiswa, dan ada yang Mendapat fasilitas asrama. Mahasiswa sebuah madrasah bisa Mendapatkan beasiswa dan fasilitas asrama, sedang maha- siswa di halaqah masjid Jami’ hanya mendapatkan fasilitas asrama. Meskipun demikian, mahasiswa di halaqah masjid



140



Sejarah Pendidikan Islam



dan masjid Jami’ tidak dipungut bayaran. Kecuali bagi me- reka yang belajar di rumah dosen-dosen (syaikh) tertentu, mereka harus membayar sesuai kesepakatan dengan dosen (syaikh) bersangkutan.



141



BAB XI



Guru Masa Klasik



(Kajian Historis Tentang Status Sosial dan Peran Guru)1 Oleh: Moh. Miftachul Choiri, S. Ag.



A.



PENDAHULUAN



Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru mengemban kepercayaan (amanat) yang diberi- kan oleh masyarakat guna melaksanakan fungsi pendidikan. Pemberian amanat masyarakat tersebut tidak hanya berorien- tasi pada transformasi ilmu pengetahuan (menghafal beberapa materi pelajaran), tetapi juga sebagai murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat.1 Sebagai murabbi ia bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak dari segala dimensinya sedangkan sebagai dinamisator masyarakat ia bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik, membangkitkan mereka dan mengangkat derajat mereka ke arah yang lebih baik. Keberhasilan seorang guru dalam mengem- ban tugasnya, baik sebagai murabbi maupun sebagai agen



1 Makalah



dipresentasikan Dalam Diskusi Kelas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam pada hari Jumat, tanggal 10 November 2000 di Jurusan Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Hasan



Hafidz dkk, Usbulal-Tarbiyah wa ‘ilmu al-Nafs, 1956, hlm. 73.



Sejarah Pendidikan Islam



142



perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kua- lifikasi dan kompetensi yang mereka miliki. Tidak mungkin bagi mereka yang tidak mempunyai kualifikasi dan kom- petensi dapat menjadi guru yang berhasil. Karena itu, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh setiap guru. Sejarah membuktikan bahwa guru yang tidak mempunyai kompetensi dan kualifikasi mengajar, menyebabkan kualitas pendidikan menjadi tidak bermutu dan tidak diperhatikan oleh masyarakat, bahkan masyarakat kurang dapat menghar- gai kepada guru sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada masa klasik, para guru sekolah kanak-kanak (muallim kuttab) kurang mendapat perhatian dan penghargaan dari masyarakat dika- renakan mereka teledor dalam melaksanakan tugas pen- didikan. Mereka mempunyai tabiat yang kurang baik (suka marah) 3 , mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan informasi yang semestinya (suka memanipulasi ayat) 4 dan bahkan menjadikan profesi keguruan sebagai pilihan yang terakhir setelah mereka tidak bisa mencari pekerjaan lain karena kebodohan mereka. 5 Beberapa dengan mu'allim kuttab yang terkesan tidak profesional dan tidak mempunyai kompetensi, mu’allim kuttab



3 Ketika anak membaca Quran sampai pada sebuah ayat yang bunyinya Wa inna la’nata 'alaika kemudian anak berhenti membaca dan melihat wajah gurunya maka gurunya meneruskan Wa inna la’nata 'alaika wa 'ala walidaika4 Ketika anak membaca ayat Alquran Ghulibat al-ruum maka oleh guru diganti Ghulibat al-Turki dengan alasan baik Roma maupun Turki dia sebut sebagai musuh mereka, maka antara Roma dan Turki tidak ada bedanya. 5 Ahmad



Salaby, Sejarah Pendidikan Islam (terj.) 1973, hlm. 208-209.



Guru Masa Klasik



143



yang mempunyai kompetensi dan dapat melaksanakan ama- nat yang diberikan oleh masyarakat. Karenanya ia dihargai dan dihormati, bahkan mereka dianggap telah berhasil me- rintis jalan bagi anak didik karena dapat menghantar anak didiknya mencapai kedudukan dan pangkat yang tinggi. Penghargaan ini juga diberikan kepada para muaddib (pendidik putera mahkota), karena profesi ini mulia dan sangat dihor- mati. Untuk menjadi seorang muaddib harus alim (pandai), berakhlak mulia dan dikenal masyarakat. Mencermati peranan dan eksistensi guru dalam kehidupan masyarakat klasik sebenarnya hal tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor internal yang ada dalam diri guru. Apabila guru dapat memainkan peranan yang diberikan kepada dia dengan baik, niscaya ia akan mendapat penghargaan dari masyarakat. Begitu pun sebaliknya, apabila ia teledor dan tidak bertang- gung jawab, niscaya ia akan dicemooh oleh masyarakat.



A. KOMPETENSI MENGAJAR GURU PADA MASA KLASIK Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990:129) Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan per- syaratan-persyaratan tertentu, di antaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik. Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa Khalifah Fatimiyah di Mesir secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) syarat:



Sejarah Pendidikan Islam



144



1.



2.



Syarat Fisik: 1) Bentuk badannya bagus 2) Manis muka (selalu berseri-seri) 3) Lebar dahinya 4) Bermuka bersih. Syarat Psikis: 1) Berakal sehat 2) Hadnya beradab 3) Tajam pemahamannya 4) Adil terhadap siswa 5) 6) 7) 8) 9) 10)



Bersifat perwira Sabar dan tidak mudah marah Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya Perkataannya jelas, mudah dipahami Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.



Abdurrahman Al-Nahlawi (1989) menyarankan agar guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, ia harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1.



Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani, hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 79: Akan tetapi hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani. Yakni, hendaknya dapat mentaati, mengabdi dan mengikuti syariat Allah. Jika guru telah memiliki sifat rabbani, maka tujuan mendidikpun menjadi optimal ka- rena guru dapat mengantarkan anak didiknya mencapai ketaatan yang lahir dari



2.



proses pembentukan kesadaran. Guru harus ikhlas. Sebagai seorang guru hendaknya pro- fesi guru dijadikan sebagai wahana untuk semata-mata



Guru Masa Klasik



3.



4.



5. 6.



7. 8.



9.



145



mengharapkan ridha Allah. Jika guru telah dikuasai oleh hawa nafsunya, yang terjadi adalah guru menjadikan profesi mengajar sebagai pekerjaan sampingan karena pada umumnya pendapatan seorang guru rendah, dan hal inilah yang menyebabkan mereka akhirnya tidak serius dalam mengajar. Guru sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu penge- tahuan kepada anak-anak. Hal ini memerlukan latihan yang berulang kali serta variasi metode yang tidak mudah membosankan. Guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukan- nya. Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjurannya pertamatama pada dirinya sendiri. Guru senantiasa membekali dirinya dengan ilmu penge tahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas pribadinya. Guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara bervariasi dan mampu memilih metode sesuai dengan kebutuhan anak. Guru mampu mengelola siswa, tegas bertindak serta meletakkan berbagai permasalahan secara profesional. Guru mempelajari kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat usia perkembangannya, sehingga ia dapat mem- perlakukan siswa sesuai dengan kemampuan akal dan kesiapan psikis mereka. Guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkem- bangan dunia yang mempengaruhi perkembangan jiwa anak, sehingga ia dapat memahami dan mampu bertindak pada saat menghadapi berbagai problem akibat dari modernitas.



Sejarah Pendidikan Islam



146



10. Guru bersikap adil kepada semua anak didiknya, tidak membedakan antara satu dengan lainnya.



B.



PRANATA SOSIAL DAN GURU Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat



diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan adalah; 1.



Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim alkuttab)



Para mu’allim kuttab (guru sekolah kanak-kanak) mem- punyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbo- bot. Mereka dituduh menyebabkan lahirnya image (kesan) yang kurang baik terhadap profesi guru. Di kota Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru muallim al-kuttab yang kebanyakan di antara mereka menderita sakit sawan, ceroboh dan bodoh. 6 Namun demikian, tidak semua mu'allim kuttab ceroboh dan bodoh. Ada sebagian di antara mereka yang ahli dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha’. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdul Hamid Al-Katib, Atha’ bin Abi Rabah dan lainlain. 2.



Para guru yang mengajar para putera mahkota (Muaddib)



Berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib (pen- didik putera mahkota) mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan



6Ibid.,



hlm. 207. Lihat pula Ziauddin Alavi., hlm. 69.



Guru Masa Klasik



147



untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat. Namun demikian, ada beberapa ulama yang menolak untuk menjadi muaddib di istana raja, seperti Al-Chalil ibnu Ahmad (ulama besar pada masa Al-Amin). Hal ini disebabkan karena adanya alasan takut dengan kenikmatan dunia (zuhud dan wara) bukan karena alasan bahwa muaddib tersebut adalah peker- jaan yang rendah dan tidak mempunyai penghargaan di tengah- tengah kehidupan masyarakat. Di antara beberapa muaddib yang terkenal adalah Al-Dhohhak ibnu Muzahhim Amir Asl-Sya’bi (pendidik putera-putera Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan), AlJa’du ibnu Adham (pendidik Marwan ibnu Muhammad), Yahya ibnu Chalid Al-Barmaki, Al-Kisai (pendidik Harun Al-Rasyid), Al-Ahmar (pendidik Al-Amin), Al-Jazidi (pendidik Al-Makmun), dan lain sebagainya. 3.



Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masya- rakat. 7 Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Banyak para guru yang dibunuh pada masa Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan karena menganut paham Khawarij. Namun ada beberapa guru yang berhaluan



7 Mahmud



Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. 1990. hlm. 128.



148



Sejarah Pendidikan Islam



khawarij selamat dari pembantaian karena keilmuan yang ia miliki. Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, di antaranya adalah Abui Aswad Al-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wada’ah, Syuraik Al-Qadhi, Muhammad ibnu Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.



D.



PERANAN GURU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT



Sungguh tidak diragukan lagi bahwa keberadaan guru dalam kehidupan masyarakat mempunyai ard yang penting. Sosok jiwa yang bersih sepi ing pamrih senantiasa menjadi dambaan masyarakat. Guru-guru pada masa klasik selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian yang dibawakan oleh gurunya. Karenanya tidak menghe- rankan apabila sosok individu guru yang alim dan terkenal lebih dominan daripada lembaga pendidikan yang formal. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari hadis dan membangun sistem teologi serta hukum yang berlaku di kalangan mereka, senantiasa menarik perhatian murid- mu- rid dari daerah yang jauh dan dekat untuk menuntut ilmu pengetahuan dari mereka. Maka ciri utama pada masa ini adalah pentingnya peranan individu guru. 8 Sang guru atau pendidik, setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara pribadi memberikan amanat secara lisan kepada muridnya agar menyampaikan ilmunya kepada siapa



8 Muhaimin



dkk. Kontroversi Pemikiran FazlurRabman. 1999, hlm. 73.



Guru Masa Klasik



149



yang membutuhkannya terutama kaum Muslimin. 9 Baru ke- mudian tradisi memberikan ijazah sebagai bukti atas selesai- nya pelajaran yang telah diikuti oleh para murid pada masa Syaikh ‘Allamah Agha Buzurk, salah seorang ulama di al- Najaf telah mencurahkan tenaganya guna mengumpulkan, mencatat dan menyusun sejumlah syahadah-syahadah yang pernah dikeluarkan oleh atau untuk ulamaulama terkenal. Dokumen ijazah yang terkenal paling tua dalam sejarah pendidikan Islam ialah ijazah yang dikeluarkan pada bulan Shafar tahun 304 Hijriah, diberikan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Ja’far Al Himyari kepada Abu Amir Said Ibnu ‘Amr, 10 karena telah menyelesaikan kitab Qurbul Isnad. Sudah menjadi tradisi pendidikan Islam pada masa kla- sik, bahwa guru tidak pernah membatasi kapan murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan (khatam) kitab yang dikajinya. Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja, dan bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu. 11 Walaupun demikian, tidak berarti guru bebas melepas- kan muridnya ke manapun ia pergi dan mencari ilmu. Guru tetap mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan murid



9 Hal ini sebagaimana dialami oleh Abu Yusuf, ketika ia sakit berat lalu dijenguk oleh gurunya yakni Imam Abu Hanifah Al-Nu’man seraya berkata: Aku harapkan engkau untuk mengajar kaum Muslimin sesudahku”. 10Op.



cit., Ahmad Syalabi, hlm. 259.



11 Ahmad



Muniruddin, Islam Education and The Scholar's Social Status up to the 5 th Century Muslim



Era (11 th Century Christian Era) in the Eight of Tarikh Baghdad, 1968, hlm. 147.



Sejarah Pendidikan Islam



150



yang pernah belajar kepadanya. Hal ini sebagaimana diung- kapkan oleh Al-Jarnuzi dalam kitabnya Ta’lim al-Muta'allim bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan membutuh- kan arahan guru. Karena guru dianggap telah mengetahui bakat yang dimiliki oleh murid,



sehingga



guru



bertanggung



jawab



atas



keberhasilan



muridnya. Kemudian secara sosiologis guru mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat yang berada di sekitar madrasah. Karena keberadaan madrasah akan mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat manakala madrasah dapat mem- bantu memainkan peranan dalam pembangunan masyarakat. Selain itu, guru juga mempunyai tanggung jawab dalam me- mantau perkembangan anak didik yang berada di lingkungan masyarakat sekitar madrasah. Bagaimana pergaulan anak dan peranan apa yang dapat dimainkan anak. Guru mempunyai tugas mengontrolnya sekalipun guru sendiri secara sosio- logis punya kewajiban untuk menjadi dinamisator dalam kehidupan masyarakat. 12 Guru pada masa klasik memegang peranan yang pen- ting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasiMenurut Hasan Hafidz (1959: 72) secara umum peran guru dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni sebagai murabbi



12



Op. cit., Hasan Hafidz. hlm. 75.



Guru Masa Klasik



151



dan penggerak masyarakat. Sebagai murabbi ia mempunyai tanggung jawab menjaga kepribadian anak dan mengem- bangkan segala potensi yang dimilikinya. Sedangkan sebagai penggerak masyarakat, ia mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan kepada masyarakat dengan baik, mem- bangkitkannya dan mengangkatnya ke peradaban yang lebih maju. Dalam pandangan Al-Ghazali, guru sebagai murabbi hendaknya dapat memberikan pendidikan dan pengajaran terhadap anak melalui konsep dan latihan budi pekerti dan dihubungkan dengan lahirnya kebaikan dan kualitas moral. Menurutnya, anak mempunyai had yang bening dan lembut bagai permata dan lilin yang suatu saat dapat dibentuk dan dikembangkan. Apabila ia diberi contoh budi pekerti yang baik dan dibiasakan untuk mengerjakannya, niscaya ia akan berkembang secara perlahan dan pasti mengarah kepada kebaikan. 13 Sedangkan guru sebagai penggerak masyarakat, ia diha- rapkan tidak membatasi diri sibuk dalam kegiatan kelas yang dibatasi oleh dinding yang memisahkan dirinya dengan kehidupan masyarakat. Namun ia dapat menyatu dengan masyarakat di mana ia hidup dan sambil mengontrol perkem- bangan anak didiknya dalam kehidupan bermasyarakat. Para muaddib, muallim dan ustad pada masa klasik, me- reka mampu memainkan peran dalam kehidupan masyarakat dengan cara bergabung dalam institusi-institusi keilmuan dan



Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan (Terj. Abuddin Nata). 2000, hlm. 54.



13 Ziauddin



Sejarah Pendidikan Islam



152



perkumpulan-perkumpulan pribadi yang mereka bangun. Mereka melakukan transformasi keilmuan secara ekstensif melalui dialog dan praktik-praktik secara terbuka guna men- didik tenaga profesional dalam bidangnya, seperti Zakaria Al-Razi, yang mendidik para tenaga profesional sambil melakukan praktik kedokteran dan menangani pasien di rumah sakit. Hal ini ia lakukan untuk melatih tenaga muda yang profesional agar dapat mengabdikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. 14



E.



ORGANISASI GURU PADA MASA KLASIK Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam



suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mem- punyai andil yang besar dalam kekuasaan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu berlebihan, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di suatu masjid. Abu Syamah (dalam A. Syalabi 1973: 277) me- nyatakan “Syarikat gurulah yang berhak untuk menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru untuk menjadi pengajar di sebuah masjid walaupun khalifah mempunyai kekuasaan. Namun, dalam hal pemberian izin khalifah me- minta pertimbangan dan persetujuan kepada syarikat guru”. Sekalipun organisasi guru pada saat itu belum tertata rapi sedemikian rupa sebagaimana lazimnya sebuah organi- sasi, tapi keberadaannya mempunyai andil yang besar dalam



14 Hanun



Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 1999, hlm. 81-82.



Guru Masa Klasik



153



pemerintahan, dan bahkan organisasi guru dapat dijadikan corong untuk menyebarkan ajaran atau aliran yang dianut oleh penguasa. Hal ini sebagaimana yang 'terjadi pada masa Daulah Fatimiyah, organisasi guru “Dai Daulah” mampu memainkan peran membantu pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran yang sebuah



diyakini oleh penguasa pada saat itu.



F.



KESIMPULAN



Dari pembatasan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa status sosial guru sangat ditentukan oleh kualitas keilmuan dan kepribadian masing-masing. Mereka yang mempunyai kompetensi mengajar yang kualifaid serta dapat memegang amanah keguruan dengan baik, ia akan mendapat kehormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa muallim kuttab yang suka marah dan tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tu- gas keguruannya, ia dicemooh dan kurang mendapat simpati dari masyarakat. Sebaliknya muallim kuttab yang mempunyai keahlian dalam bidangnya dan serius dalam melaksanakan amanahnya sebagai pendidik, ia dihormati dan disegani, bahkan masyarakat mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka yang luar biasa. Ia dianggap mampu memberikan dasar-dasar pengetahuan yang kokoh bagi anak-anak mereka sehingga anak tersebut mampu menggapai prestasi sebagaimana yang mereka harapkan. Hal senada juga terjadi pada diri para muaddib dan guru-guru yang mengajar di masjid- masjid, mereka mendapatkan pengakuan dari masyarakat



Sejarah Pendidikan Islam



154



karena mereka mampu memegang amanah mereka dengan baik dan serius. Tentang peranan guru pada masa klasik, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka mempunyai andil yang besar dalam memajukan peradaban suatu bangsa. Sebagai murabbi ia bertanggung jawab mendidik, membimbing anak secara serius sehingga potensi-potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara maksimal. Sedangkan sebagai penggerak masyarakat, guru memberikan pelayanan yang baik kepada mereka, menyadarkan mereka membangkitkan mereka dari ketertinggalan, sehingga mereka menjadi kaum yang berbudi luhur serta berperadaban. Wallahu a’lam bi-al-shawab.



155



BAB XII



Unsur-unsur Filsafat Yunani Dalam Pendidikan Islam Pada Masa Klasik* Oleh:SittiSalmiah



A. PENDAHULUAN Penaklukan daerah-daerah dalam pemerintahan Islam, sejak masa Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab sampai pada masa Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, banyak berpengaruh pada peradaban dan pendidikan Islam. Dan yang paling berharga dari penaklukan negaranegara tersebut adalah pengetahuan dari filsafat Yunani.1 Sejak itu dasardasar filsafat Yunani ikut memberikan pengaruh pada kemajuan pendidikan Islam. Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi bangsa (umat) yang ingin maju. Tanpa pendidikan, umat itu akan tertinggal dari bangsa (umat) yang lain. Tarbiyah al-lslam



Makalah dipresentasikan dalam seminar Mata Kuliah Sejarah Pendi- dikan Islam pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 10 November 2000. 1 Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, terj., Logos, Jakarta, 1994



Sejarah Pendidikan Islam



156



telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang. Namun, pendidikan Islam yang dibahas pada makalah ini adalah sekitar pendidikan Islam masa klasik. Periode klasik menurut Harun Nasution mulai tahun 650 M- 1250 M 2 . Periode klasik ini dibagi pula dalam dua masa, yaitu Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M). Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (644 M - 656 M), Tripoli dan Ciprus serta beberapa daerah lainnya telah dikuasai oleh Islam. Namun perluasan dan penyebaran wilayah-wilayah Islam terhenti beberapa tahun akibat perang saudara



pada masa



pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setelah pemerintahan Islam dikuasai oleh Bani Umayyah dan selanjutnya oleh pemerintahan Bani Abbasiyah, perhatian bukan hanya tertuju pada perluasan wilayah Islam, .tapi tertuju pula terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, terutama setelah ada persinggungan kebudayaan dengan peradaban dan filsafat Yunani.



B.



HUBUNGAN ILMUWAN MUSLIM DENGAN FILSAFAT YUNANI



Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempu- nyai kepercayaan bahwa kebenaran yang diterima semuanya bersumber dari mitos atau dongeng. Ini berarti kebenaran yang dapat diterima akal tidak berlaku. Namun sesudah abad ke-6 SM muncullah sejumlah ahli pikir yang menentang



2 Harun



Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. I, UI Press Jakarta, 1985.



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



157



mitos tersebut, sehingga misteri alam semesta jawabannya dapat diterima oleh akal. Hal ini sekaligus merupakan cikal bakal filsafat Yunani. Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat Yunani 3 adalah: 1.



Bangsa Yunani kaya akan mitos dan hal itu adalah awal untuk mengetahui dan mengerti sesuatu.



2.



Beberapa karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong lahirnya filsafat Yunani yang berisi pedoman hidup dan nilai-nilai edukatif.



3.



Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di lembah sungai Nil. Ilmu-ilmu tersebut bukan hanya dipelajari aspek praktisnya saja, tetapi juga aspek teoretis kreatifnya.



Zaman Yunani terbagi menjadi dua periode yaitu: a. Yunani Kuno dengan ahli pikir alam, seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenopanes dan Demokritos. b.



Yunani Klasik dengan ahli pikir, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. 4



Pada waktu Alexander Yang Agung mengalahkan Darius tahun 331 SM di Arbela sebelah Timur Tigris, dia tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia. Namun, ia berusaha menyatukan kedua kebudayaan tersebut, yaitu Yunani dan Persia. Alexander biasa berpakaian Persia dan



3



Asmoro Achmadi, Filsafat Umum,



1997. hlm. 29-30. 4Ibid.,



hlm. 30.



PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,



Sejarah Pendidikan Islam



158



malah kawin dengan Statira, seorang wanita Persia. Setelah Alexander meninggal, negaranya terbagi menjadi tiga kera- jaan, yaitu Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan ibu kota Alexandria dan kerajaan Seleucid di Asia dengan kota-kota penting, seperti Anioch di Syria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi Sebelah Timur. Ptolomeus



dan



Seleucus



berusaha



meneruskan



politik



Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia, tapi tidak berhasil 5. Sungguhpun demikian, peradaban Yunani telah meninggalkan bekas pada ke dua wilayah tersebut. Sehingga ketika wilayah-wilayah itu dikuasai oleh Islam, bahasa administrasi yang digunakan di kantor adalah bahasa Yunani. Filsafat Yunani ditemukan oleh umat Islam dalam samaran bahasa Syria yang merupakan campuran antara pikiran Plato dan Aristoteles, sebagaimana yang ditafsirkan dan diolah oleh para filosof selama berabad-abad sepanjang masa Hellenisme 6 . Pemikiran Yunani yang masuk ke Dunia Islam tidak datang dari manuskripmanuskrip yang asli. Vitalitas ilmuwan dan filosof Yunani telah berakhir dengan mundurnya Museum Alexandria. Jembatan yang meng- hubungkan antara pengetahuan Hellenisme dengan budaya Islam adalah penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam



5 Harun



Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 10.



6 F.E.”The Origins of Islamic Platonism: The School Tradition,” dalam Islamic Philosophical Theology (Albany: SUNY Press), hlm. 14-17, lihat juga Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj., Logos, Jakarta, 1994, hlm. 67.



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



bahasa Syria Bahasa Syria Kristen yang intelektual di



159



yang merupakan bahasa intelektual Timur Tengah. dimengerti oleh ilmuan Persia, Yunani, Yahudi, dan sedang mencari kebebasan beragama dan stimulan Persia selama dua abad 7, sampai kerajaan Sasaniyah



ditaklukkan oleh bangsa Arab. Pertemuan pertama budaya Arab dengan Yunani terjadi pada saat penaklukan Damaskus yang dijadikan sebagai ibu kota provinsi Syria dan selanjutnya menjadi Ibu Kota Daulah Bani Umayyah. Pada abad ke-7 M, yaitu pada masa peme- rintahan Bani Umayyah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M), administrasi yang berbahasa Yunani diganti dengan bahasa Arab. Alexandria, Antioch, Bactra dan Jundishapur menjadi pusat ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani. Walaupun filsafat dan teori Hellenistik telah bersentuhan pada masa ini, Khalifah Bani Umayyah tidak banyak tertarik dengan kajian filsafat dan teologi. Mereka lebih banyak tertarik pada per- luasan kekuasaan kerajaan. Lain halnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu ketika Khalifah Al-Manshur (754-775 M) dan Khalifah Harun AlRasyid (786-809 M) memerintah, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab telah dimulai dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dengan mendirikan pusat pener- jemahan dan Bayt al-Hikmah8. Pada akhir abad kesembilan, hampir seluruh karya yang diketahui dari museum Helle- nistik telah diterjemahkan dan tersedia bagi ilmuan Muslim.



7Ibid., 8 Ibid.,



hlm. 78. hlm. 95.



Sejarah Pendidikan Islam



160



Hunayn bertugas menerjemahkan manuskrip Yunani ke dalam bahasa Syria kemudian anaknya dan teman-temannya menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab. Hunayn menerjemahkan hampir semua karya Galen seki- tar 20.000 halaman di antara karya Aristoteles, ia menerjemah- kan Categories, Physics, Magna Moralia dan Hermeneutics. Karya-karya Plato, seperti The Republic, Timaeus dan The Lam. Karya Hippokrates, seperti Aphorisme sedang karya Diosco- rides adalah Materia Medica. Demikianlah dengan banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh ilmuan Muslim, maka filsafat Yunani pun banyak dikaji dan dipelajari, baik melalui lembaga pendidikan yang didirikan atau melalui diskusi para ilmuwan Muslim.



A.



DASAR-DASAR PEMIKIRAN FILOSOF YUNANI Filosof Yunani yang akan dikemukakan di sini adalah:



1. Socrates Cara berfilsafat Socrates dikenal dengan istilah dialektika, yaitu cara berfilsafat dengan tanya jawab 9. Socrates tidak bermaksud memaksakan orang lain menerima suatu ajaran. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman bicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih mendalam mengenai sesuatu masalah yang sedang dihadapi, yang pada umumnya bertalian dengan perilaku manusia dan orang ditanyapun menyadari bahwa



270.



9 Pringgodigdo



dkk., Ensiklopedi Umum, Kanisius, Jakarta, 1977, hlm



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



161



melalui pertanyaan Socrates ia telah memperoleh peng- lihatandalamnya. Socrates yakin bahwa hanya dengan cara demikian penglihatan-dalam dapat menjadi milik ruhani seseorang, terutama bila penglihatan-dalam itu menyangkut bidang kesusilaan yang sangat berarti bagi kehidupan manusia 10 . Socrates menggunakan metode tanya jawab dalam mengajar atau dalam mengajak orang lain untuk memahami apa yang ada pada dirinya. Metode tanya jawab adalah metode yang banyak digunakan dalam mengajarkan agama Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw., metode ini telah dicontohkan oleh Malaikat Jibril sewaktu datang bertanya kepada nabi untuk mengajar umat Islam.



2. Plato Plato senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada sesuatu yang terdapat di atas kenyataan duniawi, tapi sekaligus berpegang erat pada kenyataan duniawi. Ke- adaan ini harus senantiasa ditinjau dari segi idea-idea 11. Menurut ajaran Plato dalam dunia ini kita hanya menang- kap hal-hal yang berubahubah dan fana. Yang selalu berubah-ubah kita ketahui dengan tangkapan inderawi, sedang yang tetap-tidak berubah-ubah-kita ketahui de- ngan berpikir. Jiwa menurut Plato adalah sesuatu yang bersifat immaterial dan terpisah dari badan. Hal ini diberikan dengan kekuatan untuk mengetahui kebenaran



10 Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soernargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. 16. 11Ibid., hlm. 21.



Sejarah Pendidikan Islam



162



yang terakhir. Sedangkan badan membutuhkan jiwa yang kepadanya



ia



mengabdi dan mendengarkan perintahnya.



Seseorang yang memiliki sifat-sifat kesalehan di dunia ini setelah mati akan dikirim ke suatu pulau yang penuh kebahagiaan dan jiwa yang jahat akan dikirim ke suatu tempat yang kotor dan penuh penderitaan sebagai hu- kuman 12. Plato menegaskan bahwa manusia begitu ter- ikatnya pada dunia tangkapan inderawi, sehingga sukar baginya mendaki ke dalam dunia ide 13 . Untuk dapat naik memasuki alam ide tersebut diperlukan pengerahan tenaga kejiwaan yang besar, yang mengharuskan mening- galkan segenap kegiatan hidupnya. Namun hanya sedikit orang yang dapat menghasilkan tenaga yang diperlukan itu, terlebih lagi karena manusia memandang pemikir itu sebagai manusia khas yang asing bagi dunia. Karya Plato yang berjudul Negara dan Hukum memperlihatkan bahwa Plato tidak mengajarkan manusia melarikan diri dari kenyataan duniawi. Dalam ajaran Islam diyakini ada jiwa yang tenang (an nafsu al-muthmainnah) yang akan berada dalam keridhaan Tuhan di surga, sedang jiwa yang kotor atau berdosa berada dalam neraka.



12 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Per tengahan, terj. Abuddin Nata, Montreal-Canada, 2000, hlm. 30. 13 Idealisme, pada umumnya sikap yang menaruh nilai tinggi Pada angan-angan (ideas) dan cita-cita (ideals) sebagai hasil perasaan. Plato men- ciptakan, dunia di mana angan-angan kekal mewujudkan kenyataan dan dunia pengalaman biasa menjadi bayang-bayangnya. Ensiklopedi Umum, op. cit., hlm. 439.



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



3.



163



Aristoteles Bila Socrates lekat dengan filsafat dialetikanya,, Plato dengan filsafat idealismenya, Aristoteles populer dengan filsafat logikanya. Logika 14 formal adalah hasil ciptaan Aristoteles, inti ajarannya adalah mengenai penalaran dan pembuktian. Di Athena Aristoteles pernah mendirikan sekolah yang disebut sekolah peripatetik, yaitu dengan cara memberikan pelajaran sambil berjalan-jalan.



4.



Neoplatonisme (Plotinus) Bagi Plotinus yang dipandang bernilai hanyalah peng- hayatan secara batiniah mengenai persatuan dengan Tuhan. Untuk itu, dunia lahiriah merupakan sarana dan sekaligus bahaya yang mengancam. Gagasan mengenai Tuhan merupakan inti pemikiran Plotinus. Tuhan adalah kebaikan dan merupakan tujuan segala upaya 15 . Yang Esa, hanyalah kata-kata yang mengacu kepada hakikat Tuhan, karena keadaan diri-Nya tidak dapat disebut de- ngan kata-kata. Jiwa merupakan pelimpahan dari Tuhan, tapi jiwa itu tidak lagi esa. Jiwa ini selalu berusaha akan kembali kepada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah merupakan pelimpahan dari Tuhan, tugas manusia mengem-



14 Cabang



ilmu filsafat yang menentukan penghargaan atau penelitian tentang suatu cara berpikir atau cara mengemukakan alasan-alasan, jika fakta- fakta yang digunakan dalam cara berpikir itu sebelumnya sudah dinyatakan nar. Logika memperlihatkan kebenaran sesuatu cara berpikir dan kurang atau tidak memperdulikan kondisi psikologis yang mungkin menjadi sebab cara berpikir itu. Logika bukanlah suatu ilmu yang empiris, tetapi ilmu yang bersifat normatif, Ibid., hlm. 638. ’Bernard Delfgaauw, op.cit., hlm. 46.



Sejarah Pendidikan Islam



164



balikan segala sesuatu kepada Tuhan. Secara batiniah diri manusia seperti terbelah, di satu pihak ia tertarik pada benda jasmani, tapi di lain pihak ia tertarik oleh jiwa. Manusia dapat tenggelam dalam alam jasmani dan lebur di dalamnya karena melupakan hakikat dirinya. Namun ia dapat juga dengan jalan menatap keindahan yang terdapat pada tatanan dunia jasmani dapat mencuat ke atas sehingga mampu menatap ide-ide, yang merupa- kan gambaran asli keindahan tersebut 16 . Ketenteraman hanya dapat dicapai dengan mengatasi segala pemikiran, yang di dalamnya jiwa menyatu dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memurnikan segala sesuatu yang bersifat duniawi serta segenap keanekaragaman- nya. Keadaan ini disebut oleh Plotinus sebagai ecstasy17 atau perasaan menyatu dengan Tuhan. Unsur-unsur filsafat dari para filosof Yunani ini, mem- pengaruhi sains dan filosof Muslim seperti, Jabir ibn Hayyan, bapak ilmu kimia dan pendiri laboratorium pertama. Al Khwarizmi, matematikawan ulung pertama. Al Kindi, filo- sof penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan yang sangat mengandalkan akal untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu juga membimbing manu- sia. Al-Farabi, komentator buku-buku filsafat Yunani, juga termasuk filosof yang kadang memberikan interpretasi tentang kebenaran ajaran agama dengan filsafat. Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran. Ibn Miskawaih dengan teori pendidikan



16lbid.,



hlm. 47.



17 Ibid.,



hlm. 47, lihat juga Ziauddin Alavi, op.cit., hlm. 21.



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



165



etika. Al-Ghazali, dengan pendidikan tasawufnya. Umar Khayyam, ahli aljabar. Ibn Rusyd, terkenal pula sebagai bapak kedokteran umum, dan sebagainya.



D. PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK



1. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-ilmu Agama Upaya untuk menggabungkan pemikiran Islam dengan pemikiran Yunani mendominasi kehidupan intelektual sepanjang kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Ilmuan yang berhubungan dengan Kristen Nestoris yang berasal dari Hira (sebuah kota kecil antara Basrah, Kufah dan Mesopotamia Selatan). Kontroversi terjadi setelah diperke- nalkan karya-karya sains dan filsafat Yunani pada pertengahan abad kedelapan. Sehingga muncullah gerakan-gerakan dan kelompok yang disebut dengan Qadariyah. Dengan meng- gunakan metode rasional Yunani, ilmuwan Hira berusaha menggabungkan akal dan wahyu. Khalifah Bani Umayyah, Muawiyah II (683-684 M) dan Yazid III (744 M) adalah pengikut aliran Qadariyah18 . Di tempat lain, di seluruh Mesopotamia Selatan timbul pula satu aliran pikiran yang dipengaruhi oleh Kristen Nestoris di Basrah dengan menerima kemauan bebas. Mereka meya- kini bahwa individu dapat mengendalikan tingkah lakunya. Cara mengetahui tingkah laku yang benar dapat dilakukan dengan pendekatan spekulatif terhadap logika. Kelompok ini



18 Lihat



Charles Michael Stanton, hlm. 92-93.



Sejarah Pendidikan Islam



166



kemudian dikenal dengan nama Mu’tazilah. Khalifah Al Ma’mun dari Bani Abbasiyah menganut aliran ini. Lembaga pendidikan tinggi dengan aneka ragam ben- tuknya muncul tidak untuk menyediakan kelanjutan bidang- bidang studi tingkat permulaan, melainkan untuk memenuhi dua kebutuhan penting dalam masyarakat yaitu: Pertama : Menjelaskan pengertian Alquran dan untuk menye- suaikan prinsip-prinsipnya bagi lingkungan yang berubah. Khusus untuk keimanan bagi pemeluk Islam yang masih baru, membutuhkan bimbingan sesuai dengan wahyu Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Kedua :



Untuk



memadukan wahyu dengan pengalaman



intelektual dan keilmuan. Untuk



memenuhi



kebutuhan



pertama,



lembaga-lembaga



pendidikan formal didirikan dengan memusatkan kegiatan- nya pada studi-studi



keagamaan



dan



penafsiran



hukum.



Studi-



studi



keagamaan bertempat di lingkaran-lingkaran studi di masjid, sementara studi hukum bertempat di masjid, akademi dan madrasah. Pembaruan dalam kajian-kajian keagamaan berakhir ketika studi filsafat Yunani terputus dan diganti dengan skolas- tisisme Islam. Al-Ghazali memenangkan penggunaan dialek- tika dan logika yang terbatas, karena khawatir penggunaannya pada segala bidang pemikiran keimanan 19.



keilmuan



secara



sembarangan



akan



melenyapkan



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



167



2. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-Ilmu nonAgama Ketika kerajaan Sasaniyah ditaklukan, Islam mengenal ilmu kedokteran Yunani di pusat-pusat pendidikan Nestoris dan Neoplatonisme di Mesopotamia Utara. Kota Jundishapur sangat berperan dalam kajian ilmu dan praktik kedokteran ini. Sehingga dasar-dasar pengobatan Timur dan Mesir, ter- utama sihir dan pengobatan rakyat lainnya, berangsur hilang dengan kehadiran keterampilan pengobatan yang dimiliki ilmuan Alexandria, Athena, dan Persia selama abad kelima dan keenam. Kedokteran Yunani sebagai satu sistem teori dan praktik berasal dari Hippocrates (460377 SM). Kedok- teran Yunani ini menggunakan pendekatan rasional



terhadap



penyembuhan



melalui



observasi



dan



pengalaman 20 . Ibnu Sina 21 adalah seorang filosof atau pemikir Islam yang telah hafal Alquran pada usia 10 tahun. Ia menguasai logika, kemudian ia beralih pada studi fisika, metafisika, dan kedok- teran pada usia 18 tahun. Asy-Syifa adalah hasil karyanya yang merupakan ensiklopedi terpanjang yang pernah ditulis oleh satu orang yang menggambarkan kemajuan filsafat peri- patetik Islam atau buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina yang berisi fisika, logika dan matematika. Demi- kian pula al Qanun fii al Tibb sebuah ensiklopedi kedokteran 22 .



20Ibid.,



hlm. 72.



21 Tahun kelahiran Ibnu Sina banyak versi, tapi pemerintah Iran mene- tapkan bulan Safar 370 H. (Agustus 910 M). 22 Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 136.



Sejarah Pendidikan Islam



168



Setelah Ibnu Sina, Al-Razi adalah orang kedua dalam tulisan dan pengetahuannya dalam masalah medis. Matematika juga memiliki daya tarik tersendiri bagi ilmu- an Muslim karena perwakilan simboliknya tentang alam. Mereka memandangnya sebagai pensekatan transendensi dari dunia fisik menuju dunia supernatural. Pada dasar-dasar teori matematika itu terletak konsep kesatuan (alam), yang merupakan tema utama dalam Islam. Matematika menun- jukkan alam dan bagian-bagiannya secara simbolik. Ahli matematika Islam menggunakan teori geometri yang diwarisi dari bangsa Yunani dengan membuat pengembangan yang melebihi teori Yunani 23 . Tabel-tabel geometri dalam dunia seni dan arsitektur adalah hasil kreatif ilmuan Muslim karena dalam Islam dilarang membuat figur-figur manusia. Para ilmuwan Muslim menyempurnakan aljabar dalam menyelesaikan masalah perdagangan, pembagian warisan, dan sebagainya. Penguasaan ilmuwan Muslim terhadap aljabar ini mencapai puncaknya pada abad ke-11 oleh Umar Khayyam (Umar Ibnu Ibrahim Al-Khayyami) hidup 433-517 H/1040- 1123 M, yang menyajikan pembahasan lebih maju mengenai subjek itu dibanding dengan pembahasan Al-Khwarazmi 24 . Sebelumnya telah dikenal pula Jabir Ibn Hayyan (hidup 721- 815 M), bapak ilmu kimia dan pendiri laboratorium pertama yang dikenal oleh bangsa Latin sebagai Geber. Atas dukungan pemerintah Khalifah Harun Al-Rasyid dia telah menulis 3000 karangan kebanyakan tentang kimia, juga logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu supernatural, fisika, mekanik, dan



23 Charles 24 Ibid.,



Michael Stanton, op.cit., hlm. 141.



hlm. 142.



Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam



169



bidang-bidang lain yang kemudian menjadi disiplin ilmu yang terkenal 25 . Musa Al-Khwarazmi mengadakan perjalanan ke Timur untuk belajar matematika, dalam perjalanannya kem- bali ke istana Al-Makmun dia mensintesiskan matematika yang diketahuinya dan menyajikannya dalam satu seri berjudul al-jabr wa al-muqabalah disingkat dengan al-jabr26. Astronomi adalah ilmu yang banyak dibutuhkan oleh umat Islam. Melalui konsep-konsep ilmu astronomi ini ilmuan Muslim mampu



mengatur



aspek-aspek



keimanan



mereka,



dengan



mengadakan pengamatan terhadap benda-benda langit. Dalam filsafat Yunani benda-benda langit dipandang sebagai abstraksi dan dilihat hanya melalui bentuk-bentuk matematis. Astronom Islam berpendapat bahwa benda-benda angkasa (planet-planet) memiliki sifat-sifat fisik dan susunan materi dan mempunyai gerakan-gerakan yang teratur. Ilmu astronomi membantu umat Islam dalam melaksa- nakan perintah shalat lima waktu dalam sehari, pelaksanaan ibadah haji pada bulan tertentu, puasa Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Ilmuwan Muslim tetap memilih meng- gunakan kalender qamariyah, karena dianggap lebih tepat untuk praktik-praktik ritual keagamaan pada garis lintang yang berbeda-beda. Dengan menggunakan kalender qamariyah umat Islam tidak diuntungkan dan tidak dirugikan terutama pada praktik keagamaan yang panjang waktunya, seperti puasa Ramadhan.



23 Nasr,



Science and Civilization in Islam, New American Library, New York,



1968, hlm. 31-36, lihat juga C. M. Stanton, hlm. 132. 26 Ali Abdullah al-Daffa, The Muslim Contribution to Mathemathics, Croom Helm, London, 1978, hlm. 49.



Sejarah Pendidikan Islam



170



E. KESIMPULAN Filsafat Yunani adalah kegiatan berpikir yang dilakukan oleh para filosof Yunani untuk mencari kebenaran tentang sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun yang konkret. Filsafat Yunani mulai berpengaruh di kalangan ilmuwan Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syria oleh Hunayn, dan anaknya menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab. Al-Ma’mun adalah khalifah yang banyak jasanya dalam penerjemahan ini dengan tidak segan membayar biaya penerjemahan berupa emas seberat yang diterjemahkan. Karya- karya Yunani yang dibaca oleh ilmuwan Muslim ini membe- rikan motivasi untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran Islam dan mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru. Unsur dialetika dari Socrates, idealisme Plato dan logika Aristoteles dan sebagainya termasuk berpengaruh terhadap lahirnya beberapa aliran dalam Islam, seperti Qadariyah, Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Metode berpikir yang digunakan oleh filosof Yunani memberikan motivasi bagi ilmuwan Muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam, sehingga muncul ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan, Al-Kindi, Al-Razi, AlKhawarazmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, dan sebagainya.



171



BAB XIII



Fungsi Madrasah Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam Oleh:ElzaFachria



A. PENDAHULUAN Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Da- lam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal, dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Pada masa ini, berlangsung pendidikan Islam yang diselenggarakan di rumah-rumah sahabat tertentu dan yang paling terkenal adalah Dar alArqam. Namun ketika masya- rakat Islam sudah terbentuk, pendidikan diselenggarakan di masjid yang dikenal dalam bentuk halaqah. Kebangkitan



172



Sejarah



Pendidikan



Islam



madrasah merupakan awal dari bentuk pelembagaan Islam secara formal .1



Sepanjang sejarah Islam, madrasah diabdikan terutama kepada



al-ulum al-islamiyyah atau tepatnya al-ulum al-diniyyah- ilmu-ilmu agama, dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis. Meski ilmu-ilmu seperd ini juga memberikan ruang gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, setidaknya pada masa-masa klasik, jelas ijtihad di situ bukan dimaksud- kan berpikir sebebas-bebasnya. Dengan demikian, ilmu-ilmu nonagama (profan) sejak awal perkembangan madrasah sudah berada dalam posisi yang marjinal. Meski Islam pada dasarnya tidak membedakan nilai ilmu- ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, tapi dalam praktiknya supremasi lebih diberikan kepada ilmu-ilmu agama. Terlepas dari semua itu, jika dipandang semata-mata dari sudut ke- agamaan dalam pengertian terbatas, supremasi dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan dalam batas tertentu agaknya mengan- dung implikasi positif. Supremasi itu membuat transmisi syariah atau fiqih yang merupakan inti Islam, dari generasi- generasi awal Muslim kepada generasi-generasi berikutnya menjadi “lebih terjamin”, walaupun supremasi tersebut tidak berlangsung dengan cara yang lebih dinamis. 2 Karena itu, tak heran kalau Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Ini



1 Lihat Dr. H. Maksum, Madrasah;Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta. Logos Wacana Ilmu, 1999). 2 Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Dalam Pengantar): Tradisi dalam Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



173



tidak aneh karena seluruh kurikulum madrasah yang pernah diteliti sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama. Hanya-terda- pat beberapa madrasah saja, khususnya di Persia yang meng- ajarkan beberapa bidang ilmu-ilmu yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni. seperti filsafat dan ilmu pasti sampai pada masa-masa lebih belakangan.



B. MADRASAH DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ISLAM



1. Madrasah Pada Masa Dinasti Umayyah di Spanyol Di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam, tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbo- lehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar tulis-baca, berikutnya, ia belajar berhitung dan seterus- nya. Ini disebabkan belum adanya koordinasi lembaga oleh suatu organisasi atau pemerintah seperti sekarang ini. Meski dalam kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksa- naan pengajaran di madrasah-madrasah, pelaksanaan proses belajar mengajar sepenuhnya tergantung kepada guru yang Memberikan pelajaran. Di bagian Barat wilayah Muslim, Dinasti Umayyah (138- 418 H/756-1027 M) mengembangkan banyak al-Jami’ah di kota Seville, Cordova, Granada dan di kota-kota lain. Di Spanyol perkembangan pendidikan tinggi di mulai pada abad



Sejarah Pendidikan Islam



174



kesepuluh. Bangsa Moor dan berikutnya bangsa Arab, mema- suki Spanyol pada tahun 712. Mendekati tahun 756, pangeran dari dinasti Umayyah, Abdul Rahman telah ditaklukkan oleh tentara dari Abbasiyah, Khalifah Al-Mansur dan mengangkat amir di Cordova. Inisiatif lain abad keemasan Islam di Spanyol bagian Selatan, di bawah Umayyah ini, terus berjalan hingga abad kesebelas. Sementara itu abad kesepuluh adalah puncak perkembangan intelektual Muslim Spanyol dengan Cordova sebagai pusatnya. Universitas-universitas tersebut menjadi simbol-simbol yang cemerlang bagi kepentingan pendidikan Muslim, dan memberikan sumbangan khusus bagi kemajuan Eropa abad pertengahan. 3 Segala prestasi dan sumbangan tersebut menjadi mungkin diberikan lantaran luasnya muatan universitas-universitas Islam. Universitas Cordova memiliki program studi astronomi, matematika dan kedokteran, selain teologi dan hukum. Kurikulum Universitas Granada mencakup teologi, hukum, kedokteran, falsafah, dan astronomi.



2. Madrasah Pada Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Kondisi yang sama juga meliputi lembaga pendidikan tinggi (alJami’ah, Bayt al-Hikmah, madrasah) di wilayah dinasti Abbasiyah. Seluruh lembaga menawarkan pendidikan univer- sitas dalam cakupan yang lebih luas, seperti bahasa Arab, astronomi, kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmatika,



3Ibid.,



hlm. 23.



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



175



pertanian, dan lain-lain. Namun seiring dengan berdirinya madrasah, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami penurunan ketika mu’tazilah yang semula menjadi mazhab resmi negara dibatalkan oleh Mutawakkil. Ketika madrasah mulai berdiri, ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai media transmisi, bahkan filsafat dan ilmu pengetahuan itu terpaksa dipelajari secara individual dan mungkin di bawah tanah, karena dikhawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu agama. Sehingga pada saat itu terdapat beberapa mudaris yang menawarkan program studi khusus bidang-bidang ilmu agama, seperti ulumul quran, ulumul hadis, dan lain-lain. Kekhususan tersebut dapat dilihat dari nama sekolahnya. Jadi madrasah Nahwiyah misalnya, adalah lembaga yang mengkhususkan diri dalam stusi Islam tentang tata bahasa Arab (nahwu). Madrasah mempunyai satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Walaupun perpustakaan telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan, dan hartawan, perpustakaan sebagai bagian dari madrasah adalah hal yang jarang. 4 Untuk menyediakan manuskrip bagi maha- siswa, madrasah mencontoh praktik halaqah-halaqah gerakan rasional yang telah terpengaruh oleh budaya Hellenistik dan berkembang pesat pada masa pemerintahan Abbasiyah. Tersedianya berbagai karya hanya bukan sekadar buku-buku pelajaran, meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa de-



4 George Makdisi, Law and Traditionalism In The Institusion of Medievaal Islam, dalam G.E. Von Grunebaum (ed), Theology And Law In Islam (Weisbaden: Harrassowitz, 1971) hlm. 83.



Sejarah Pendidikan Islam



176



ngan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan tidak hanya sekadar kebutuhan langsung perkuliahan. Madrasah yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk merupa- kan salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan menjadi begitu cepat. 5 Abu Sammah menulis: “ Sekolah- sekolah Nizham AlMulk termasyhur di dunia. Tidak ada satu negeri pun yang di situ tidak berdiri Nizham Al-Mulk. 6 Nizhamiyah memberikan perhatian pada ilmu aritme- tika, sedangkan madrasah-madrasah lain mengajarkan ilmu nahwu. Tafsir, hadis, fiqih, adapula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Dan memang secara umum madrasah-madrasah mengajarkan ilmu keislaman.



Topik-topik



utama



dalam



mempelajari Alquran-fiqih, teologi dan lain-



kuri-



kulum



mereka



lain. 7



Seperti telah disebutkan di atas, ternyata madrasah Nizhamiyah juga mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan memperhatikan kepada ilmu aritmetika, dan juga pada madrasah Mustansyiriah mengajar- kan ilmu tersebut. Hal ini sangat menarik karena yang dulu- nya mereka tidak menyukainya, tapi ternyata ilmu tersebut dibutuhkan oleh mereka. Bahkan, ditemukan masjid dan madrasah lain yang mengajarkan ilmu pengetahuan Yunani,



5 Aydin Mehmed Sayili, The Institution of Science and Learning, (Harvard University, 1941) hlm. 44. 6 Ahmad



Syalabi, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm.



111. 7 Aydi



Mehmed Sayili, op. cit., hlm. 31-32.



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



177



contohnya masjid Mustansyiriah di Baghdad mengajarkan ilmu murni, seperti obat-obatan, farmasi, dan geometri. 8



3. Madrasah Akhir Periode Klasik Islam Setelah berakhirnya periode klasik Islam, ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitannya itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalah- kan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bah- kan, kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan politik Eropa. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyollah Eropa banyak menimba ilmu. Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat pen- ting, menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi Eropa. 9 Banyak prestasi yang telah diperoleh Spanyol Islam, yang pengaruhnya telah membawa Eropa, bahkan dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat pada bidangbidang sebagai berikut: kemajuan dalam bidang intelektual, filsafat, sains, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, bahkan juga dalam hal kemegahan pembangunan



8Ibid.,



hlm. 34.



9Badri Yatim,



Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), cek. 1, hlm. 87.



Sejarah Pendidikan Islam



178



fisik. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik.



C.



FUNGSI MADRASAH DALAM MENTRANSMISIKAN ILMU PENGETAHUAN AGAMA Berdasarkan kenyataan yang ada, ada semacam kesepa- katan



bahwa madrasah dianggap sebagai lembaga yang khusus mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan memberikan pene- kanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis dan tidak memasukkan ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Hal ini menurut Azra disebabkan karena tiga alasan: pertama, ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap mempunyai supremasi lebih dan merupakan jalan “cepat” menuju Tuhan. Kedua, secara institu- sional madrasah memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama. Dan ketiga, berkenaan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf dari penguasa politik Muslim atau dermawan kaya, karena didorong oleh adanya motivasi kesalehan. 10 Dengan kurikulum yang terfokus pada bidang keagamaan tersebut, madrasah justru dapat diterima luas di kalangan masyarakat, karena materi pokok yang diajarkan madrasah pada saat itu seperti fiqih, dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur. Di samping itu, para pengajar



10 Azyumadri



Azra, op. at., hlm. vii.



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



179



madrasah adalah para ulama yang notabene merupakan panutan masyarakat serta pembela kepentingan mereka dan memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan. 11 Melihat kenyataan yang ada, penulis dapat menguraikan bahwa madrasah memiliki fungsi dan peranan yang besar da- lam mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam. Adapun jenis dan cara pentransmisian tersebut adalah: a.



Ilmu Pengetahuan yang Ditransmisikan Madrasah Berdasarkan hasil penelitian para ahli bahwa di antara



ilmu-ilmu yang ditransmisikan oleh madrasah adalah Alquran dan tafsirnya, hadis, fiqih, ushul fiqih, kalam, dan bahasa Arab, nahwu, sharaf, balagah sebagai penunjangnya. Dan dalam rangka menghindari kesulitan memahami bahasa Arab, logika dan retorika juga menjadi kajian di madrasah khususnya di Nizhamiyah. b.



Cara Madrasah Mentransmisi Ilmu Pengetahuan Islam Ketika madrasah mulai bermunculan, salah satu di antara- nya adalah madrasah-madrasah Nizhamiyah, sistem ujian sering diadakan. Namun peranan dan prestise guru, secara individual adalah demikian besarnya, sehingga ijazah-ijazah yang dikeluarkan atas nama guru bukan atas nama madrasah- nya.12 Namun ini tidak berarti bahwa madrasah tidak mem- punyai fungsi strategis terhadap terjadinya transmisi ilmu. Dan



op. cit., hlm. 77. Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Mizan, 1984),



11 Maksum, 12 Fazlur



hlm. 269.



Sejarah Pendidikan Islam



180



pendapat Fazlur Rahman bahwa mayoritas ulama termasyhur pada abad pertengahan bukan produk madrasah-madrasah, melainkan bekas murid-murid informal dari guru-guru indi- vidual, tidak bisa dianggap benar seluruhnya. Sebab, besar kemungkinan pengkajian disiplin ilmu yang dilakukan antara peserta didik dengan syaikhnya di luar jam pelajaran ini juga dimasukkan sebagai bagian kegiatan secara keseluruhan. Secara umum, alur transmisi ilmu pengetahuan di mad- rasah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: 1.



Transmisi lewat Lisan (Oral Transmission) Sebagaimana dimaklumi bahwa dunia pendidikan Islam



Klasik mempunyai keyakinan bahwa belajar dengan syaikh secara pribadi dan mendengar langsung keterangan dari syaikh, tidak hanya lewat tulisannya, dianggap sebagai metode trans- misi yang sangat baik. Peserta didik tidak dianggap cukup hanya membaca teks, walaupun teks itu adalah buah karya syaikhnya sendiri. Metode ini dilaksanakan dengan cara guru membaca teks yang dipelajari kemudian memberikan kete- rangan dan siswa mendengarkan secara seksama. 2.



Transmisi Lewat Tulisan



Di samping mencatat teks yang didiktekan oleh mudarris, tansmisi ilmu lewat tulisan juga direalisasikan dengan cara penyalinan teks. Buku-buku pada masa itu adalah sangat mahal, sehingga siswa sulit untuk memiliki kecuali dengan menyalinnya. Adapun bagaimana metode madrasah, khususnya madra- sah Nizhamiyah, mentransmisikan ilmu-ilmu agama, menurut Stanton, proses transmisi itu berkisar antara menulis catatan



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



181



dari guru, membaca, imlak dan berdebat. 13 Sementara pene- litian Makdisi menyebutkan bahwa metode belajar-mengajar yang menjadi media transmisi ilmu agama meliputi hapalan, pengulangan, pemahaman, mudzakarah, mencatat, ta’liqat, dan munat(harah.14 Fungsi madrasah dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam juga dapat dilihat dari atmosfir pendidikan yang khas dengan memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan sosial dari orang yang tinggal dalam lingkungannya. Madrasah menggabungkan antara fakultas dan mahasiswa dalam satu komunitas intelektual. Organisasi seperti ini sangat mendu- kung asimilasi mahasiswa ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. 15 Ketika seorang mahasiswa telah siap dalam bidang studi tertentu, ia maju untuk menjalankan ujian lisan. Jika penampilannya memenuhi standar yang ditentukan syaikhnya, ia akan menerima sebuah ijazah—sebuah surat yang menyata- kan kelayakannya untuk mengajar suatu bidang studi tertentu. Jika ia adalah mahasiswa fiqih, ijazah yang ia terima akan menyatakan kemampuannya mengeluarkan fatwa. Mereka yang mempunyai ijazah di bidang fiqih, bisa mencoba mem- bangun kariernya sendiri secara profesional di lembaga-lem- baga serupa, atau menjadi pegawai pemerintah sebagai mufti,



13 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Sejarah dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Logos Publishing House, 1994), cet. I, hlm. 21. 14 George Makdisi, op. at., hlm. 99-104. 15 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 58.



Sejarah Pendidikan Islam



182



atau di arena diplomasi. Bila ijazah yang diperoleh adalah pada bidang ilmu agama yang lain, pemegangnya bisa mencoba karier sebagai penasihat atau tutor di kalangan birokrasi atau di rumahrumah pribadi, di samping melihat kemungkinan pengangkatan menjadi staf masjid. Setelah beberapa waktu, yaitu mencapai status ilmuan dengan reputasi tertentu, dia mungkin akan ditawari jabatan syaikh disebuah masjid atau madrasah. Dengan kondisi seperti itu madrasah sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tampak jelas bahwa out put yang



dikeluarkan



oleh



madrasah



turut



berperan



dalam



pengembangan ilmu pengetahuan Islam.



A.



PERANAN ULAMA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ISLAM Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat



penting dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan. Kegi- atan intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan salah satu mata rantai dari serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa nabi dan Khulafa ar- Rasyidin dengan adanya assyufah dilanjutkan pada masa Bani Umayyah dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendi- dikan, seperti madrasah Nizhamiyah dan al-Azhar. Pengaruh para ulama dalam mengembangkan tradisi keilmuan Islam tidak terlepas dari lembaga pendidikan tersebut. Adapun ulama yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, baik selama mereka mendalami ilmu di lembaga madrasah maupun selama me-



Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam



reka



183



menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut, mereka antara



lain, Al-Ghazali. Beliau merupakan alumni sekaligus salah satu tenaga pengajar pada madrasah Nizhamiyah. Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli fiqih, sufi reformer, dan juga negarawan. Ia menulis lebih dari 400 buku besar dan risalah-risalah. Al-Ghazali yang menjadi syaikh madrasah di Baghdad ini, cukup terkenal sebagai tokoh ilmuwan Islam yang ensiklopedis. Banyak peneliti yang mengkaitkan per- kembangan keilmuan Islam sejak abad ke-6 dengan peran yang dimainkannya, khususnya selama ia menjadi syaikh di madrasah itu. Al-Ghazali berasal dari Tus Persia. Setelah menyelesai- kan pendidikan dasar di negerinya, ia menuntut ilmu di Jurjan pada syaikh Abu Nasr Al-Islami. Setelah itu meneruskan pendidikannya ke Naisabur. Di sana ia menjadi pengikut tetap pengajian imam AlHaramain Al-Juwaini yang menjadi syaikh madrasah Nizhamiyah. Ia mampu menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fiqih Syafi’i, perbandingan mazhab, debat, ushul fiqih, ushul din, dan mantiq. Sementara itu, ia pun menulis buku-buku, di antara karyanya: Ihya alUlum al-Din yang menjadi salah satu rujukan penting bagi kajian tasawuf, Maqasid dan Tahafat al-Falasifah, al-Mustafa, al-Basit, al-Wasit, serta al-Wajiz. Walaupun sudah kurang luas peredar- annya, tapi sebagian besar kitab fiqih yang menjadi buku daras atau pegangan ulama Syafiiyah sekarang adalah turunan dari ldtab-kitab itu.



E. KESIMPULAN Keberadaan madrasah dalam pendidikan Islam turut mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini



Sejarah Pendidikan Islam



184



terbukti dari banyaknya ilmu pengetahuan yang berkembang, baik yang dikembangkan pada masa Dinasti Umayyah di Spanyol maupun Dinasti Abbasiyah. Ada juga madrasah yang mengkhususkan diri mempelajari satu disiplin ilmu tertentu seperti madrasah nahwu, madrasah tafsir, dan madrasah hadis. Hal ini membawa perkembangan pada ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, madrasah meru- pakan media/wadah pengembangan



ilmu



pengetahuan



Islam.



Para



lulusan



yang



dihasilkan oleh madrasah turut pula mem- bawa ilmu pengetahuan Islam menjadi berkembang. Mereka mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam kariernya di ber- bagai lembaga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.



185



BAB XIV



Modernisasi Pendidikan Islam (Al-Azhar dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia)



Oleh:Syahril



A. PENDAHULUAN Gagasan program modernisasi pendidikan Islam mem- punyai akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, “moder- nisasi” pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan ga- gasan dan program modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada di balik “modernisasi” Islam secara keseluruhan adalah “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. 1 Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi, sederhananya harus di- sesuaikan dengan kerangka “modernitas”; mempertahankan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.



1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).



Sejarah Pendidikan Islam



186



Namun apakah sebenarnya hubungan antar “moderni- sasi” dengan pendidikan, lebih khusus lagi dengan pendidikan Islam di Indonesia? Modernisasi yang di Indonesia lebih dike- nal dengan istilah “pembangunan” (development) adalah proses multidimensional yang kompleks. Pada satu segi pendidikan di pandang sebagai variabel modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan



program



dan



tujuan-tujuan



modernisasi



atau



pembangunan. Tanpa pendi- dikan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kema- juan. Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi” (Horbison & Myers, 1964: 181). 2 Namun pada segi lain, pendidikan sering dianggap objek modernisasi. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang tengah menjalankan modernisasi pada umumnya dipan- dang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernising) pada da- sarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dan lingkungan sosio-kulturnya yang berubah. Dalam banyak hal, pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi.



Modernisasi Pendidikan Islam



187



Sebagaimana disimpulkan oleh Shipman (1972: 33-35), fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modera terdiri dari tiga bagian: sosialisasi, penyekolahan (schooling), dan pen- didikan (education). Sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Adapun penyeko- lahan (schooling) mempersiapkan mereka untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu. Oleh karena itu, penyekolahan harus mempelajari anak-didik dengan kualifikasikualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat. Sedangkan dalam fungsi ketiga, pendidikan merupakan education untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan modernisasi.



B. DEFINISI MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat-istiadat, institusi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapatpendapat dan keadaan baru yang timbul oleh ke- majuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. 3 Karena kata modernisasi yang bersumber dari Barat mengandung makna negatif, kata modernisasi lebih dikenal luas dengan pembaruan. Dalam bahasa Arab modernisasi diterjemahkan menjadi tajdid. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas mental sebagai warga



3 Harun



Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, 1994: 11.



Sejarah Pendidikan Islam



188



masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. 4 Jadi modernisasi pendidikan Islam adalah proses penyesuaian pendidikan Islam dengan kemajuan zaman.



C.



LATAR BELAKANG DAN POLA PEMBARUAN Menurut Ibn Taimiyah, 5 secara umum pembaruan dalam Islam



timbul karena: (1) membudayanya khurafat di kalangan kaum Muslimin; (2) kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap telah membodohkan umat Islam; (3) terpecahnya persatuan umat Islam sehingga sulit membangun dan maju; (4) kontak antara Barat dengan Islam telah menyadarkan kaum Muslimin akan kemunduran. Pola-pola pembaruan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan mengambil tempat sebagai: (1) golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern Barat; (2) gerakan pembaruan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni; dan (3) pembaruan pendidikan yang ber- orientasi pada nasionalisme.



D.



AL-AZHAR



1. Sejarah Berdirinya Universitas al-Azhar yang paling terkenal di Dunia Is- lam, berada di Cairo Mesir. Universitas ini didirikan oleh



4 Depdikbud,



Kamus BesarBahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, him.



589. 5 H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 6-7.



Modernisasi Pendidikan Islam



189



Jenderal Jauhar, setelah pendirian kota Cairo tahun 358 H/ 969 M. Sedangkan menurut sumber yang dikutip Van Houve dalam Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa al-Azhar berdiri pada tahun 359 H/970 M. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam mengutip berdirinya al-Azhar pada tahun 358 H. Adapun waktu pembangunan al-Azhar hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu setahun. Semula Ia merupakan lembaga Fatimiyah sebagai pusat latihan kader penyebar ideologi Syi’ah mengancam otoritas Abbasiyah Sunni. Maka Dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan lembaga- lembaga pendidikan teologi ortodoks sebagai upaya mengim- bangi upaya al-Azhar. Demikianlah Nizamul Mulk (wafat 485 H/1092 M) mencirikan beberapa Madrasah Nizhamiyah di Irak dan Syria. Sementara itu Sultan Salahuddin dan bebe- rapa sultan di Syria lainnya mendirikan sejumlah madrasah di Syria dan Palestina. Dengan demikian, al-Azhar memiliki peran penting dalam mendorong pendidikan tinggi di dalam Islam. Pada masa Dinasti Fatimiyah, Jauhar menginstruksikan untuk tidak menyebut-nyebut Bani Abbas dalam setiap khotbah Jum’at dan juga mengharamkan pemakaian jubah hitam serta atribut Bani Abbas lainnya. Dalam adzan hayya 'ala al-sholah diganti menjadi hayya 'ala al-khor al-’amal. Dalam khutbah Jumat disebutkan “Ya, Allah, ucapkan salawat atas Nabi Muhammad, manusia yang terpilih, kepada Ali, manusia yang diridhai, kepada Fatimah dan kepada Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Mereka itu disingkirkan Allah dari kekotoran dan disucikan. Salawat atas diri imam-imam yang suci dan atas diri ‘amirulmukminin, Al-Mu’izz Lidinillah.”



Sejarah Pendidikan Islam



190



Al-Azhar juga mempunyai peran penting dalam perkembangan pendidikan di Eropa. Pemakaian seragam pengembangan



tradisi



pembantahan,



penjurusan



sekolah,



dua



buah



fakultas. Fakultas graduate dan undergraduate, berasal dari tradisi alAzhar dan menunjukkan pengaruh kuat lembaga Azhar. Setelah Al-Ayyub menaklukkan Mesir tahun 1171. Selama hampir satu abad dari tahun 1171-1267 al-Azhar dikosongkan. Pada abad kekosongan itu shalat Jum’at di Masjid al-Azhar pun dilarang dan pindah ke Masjid al-Hakim, karena mereka berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah Dinasti Fatimiyah berakhir sehingga al-Azhar berubah menjadi universitas Sunni. Ia telah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi sebagai otoritas bidang keagamaan yang sampai sekarang tetap diperlukan. 6



2. Perkembangan al-Azhar pada Zaman Modern (Tahun 1872-1995) Karena bahasan ini mencakup modernisasi yang tidak bisa terlepas dari zaman modern yang dimulai abad ke-19. Sebelum tahun 1872, ijazah yang diberikan kepada anak didik al-Azhar tidak melalui ujian, tetapi diberikan atas kepu- tusan pribadi dari masing-masing guru, berdasarkan sistem pendidikan yang diatur sebagai berikut. (1) Untuk mata kuliah tertentu terdapat satu guru besar. Mahasiswa berusaha men- dampingi guru besar hingga guru besar meninggal dunia. Tujuannya untuk mencapai tingkat ketinggian ilmiah seperti



6 Cyril



1996.



Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafmdo Persada,



Modernisasi Pendidikan Islam



191



yang dimiliki oleh gurunya. (2) Mahasiswa mungkin menda- pat ijazah untuk mata kuliah tertentu, sedangkan mata kuliah lain ditunda. Mahasiswa dapat menjadi guru pada mata kuliah yang telah lulus dan menjadi murid pada mata kuliah yang belum lulus. (3) Setiap mahasiswa yang merasa punya ke- mampuan untuk mata kuliah tertentu diberikan kesempatan untuk mengajarkannya dan bila ia dapat berfatwa dalam kaitan dengan ilmu yang bersangkutan, maka ia berhak memperoleh ijazah. (4) Setiap mahasiswa dibebaskan memilih mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait dengan daftar kehadiran. Pengembangan al-Azhar selanjutnya tampak kembali pada masa kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi Al- Mahdi Al-Hanafi, rektor al-Azhar ke-21. Dia bermazhab Hanafi pertama yang memegang jabatan rektor. Di antara pembaruan yang dilakukannya adalah pada bulan Februari 1872 memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-Azhar. Calon alim harus berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh al- Azhar, untuk menguji bidang studi ushul, fiqih, tauhid, hadis, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, saraf (ilmu tentang pembentukan kata), ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat yang berhasil lulus berhak mendapatkan asy-syahadah al-’ala- miyah (ijazah kesarjanaan). Pada bulan Maret 1885 keluar undang-undang mengenai pengaturan tenaga pengajar di al-Azhar. Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan buku-buku induk dalam 12 bidang studi seperti tersebut di atas. Kandidat yang lulus dalam ujian ini mendapat ad-darajah al-’Ulya (tingkat pertama), addarajah as-Saniyah (tingkat dua), ad-darajah as-Salitsah (tingkat ketiga). Lulusan nilai pertama



192



Sejarah Pendidikan Islam



dapat bekerja sebagai pengajar untuk buku-buku tingkatan tinggi; nilai kedua untuk buku-buku tingkatan menengah; dan nilai ketiga untuk buku-buku tingkatan dasar. Pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah al- Azhar (Dewan Administrasi al-Azhar). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di alAzhar menjadi dua periode: Pendidikan Da- sar (ash-syahadab alabliyah/ijazah kualifikasi) dan Pendidikan Menengah dan Tinggi (asbsyaadah al-’alamiyah). Masa belajar untuk periode pertama 8 tahun dan periode kedua 6 tahun. Usaha pembaruan selanjutnya dilakukan oleh Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905). Pada mulanya tokoh pem- baru ini mendapat tantangan dari ulama konservatif, tetapi setelah al-Azhar dipegang oleh Syaikh Al-Nawawi (teman akrabnya), ia mendapat kesempatan mengadakan sedikit pembaruan. Berangsur-angsur ia mulai melakukan pengaturan libur yang lebih pendek dan masa belajar lebih panjang. Uraian pelajaran bertele-tele yang dikenal dengan Syarah al-Hawasyi diusahakan untuk dihilangkan. Sementara itu, ia juga mema- sukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah ke al-Azhar. Di samping masjid, didiri- kan Dewan Administrasi al-Azhar (Idarah al-Azhar) dan diang- kat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas syaikh al-Azhar. Bersamaan dengan ini, juga dibangun oleh Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemon- dokan bagi guru-guru dan mahasiswa-mahasiswanya. Tahun 1908, jenjang pendidikan al-Azhar menjadi tiga: (1) Pendidikan Dasar, (2) Pendidikan Menengah, (3) Pendi- dikan Tinggi. Tahun 1911 keluar undang-undang yang me- nyatakan setiap jenjang pendidikan berdurasi 5 tahun (Pen-



Modernisasi Pendidikan Islam



193



didikan Dasar 5 tahun; Pendidikan Menengah 5 tahun; dan Pendidikan Tinggi 5 tahun). Tahun 1930, jenjang pendidikan disempurnakan menjadi 4. (1) Pendidikan Rendah selama 4 tahun; (2) Pendidikan Menengah selama 5 tahun; (3) Pendidikan Tinggi selama 4 tahun; (4) Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5 tahun. Fakultas-fakultas yang ada pada waktu itu adalah ushuluddin, syari’ah, dan bahasa Arab. Semenjak inilah al-Azhar yang dulunya masjid berubah menjadi universitas. ^ Pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Syaltut, rektor alAzhar ke-41 dibentuk organisasi untuk mengatur “pemeli- haraan Alquran” dan lahir fakultas-fakultas baru antara lain: Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik. Adapun tujuan Universitas al-Azhar adalah: (1) mengemukakan kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan jaminannya terhadap kebaha- giaannya di dunia dan akhirat; (2) memberikan perhatian penuh terhadap kebangkitan turas ilmu, pemikiran, dan keruhanian bangsa Arab Islam; (3) menyuplai Dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang beriman, percaya terhadap diri sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu yang mendapat tentang akidah, syari’ah, dan bahasa Alquran; (4) mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan dan menjadi contoh yang baik, serta mencetak ilmuan dari berbagai ilmu pengetahuan yang sanggup aktif dalam dakwah Islam yang dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan dan pelajaran yang baik di luar dan di dalam Republik Arab Mesir; (5) meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri.



Sejarah Pendidikan Islam



194



Tidak diketahui respon negatif dari masyarakat sekitar alAzhar, tapi penulis berpendapat sekecil apa pun respon negatif itu pasti ada. Adapun respon positif telah diketahui dengan semakin banyaknya umat Islam yang menuntut ilmu di al-Azhar, bukan saja dari Mesir, bahkan dari seluruh dunia. Pengaruh lembaga ini tentu kita masih merasakan bagai- mana ilmuan-ilmuan banyak lahir dari al-Azhar dan ilmupun berkembang sampai ke kita banyak melalui ulama-ulama tersebut.



E.



PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA



1. Pendidikan Islam di Indonesia (1899-1930) Pendidikan Islam di Indonesia sebelum tahun 1900 masih bersifat halaqah (nonklasikal). Selain itu, madrasah-madrasah itu ddak besar sehingga sekarang kita ddak menemukan sisa- sisanya. Ada satu pesantren yang diketahui berdiri sebelum tahun 1900, yaitu pesantren Tebuireng yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari. Pesantren itu berdiri tahun 1899 7 dan sum- ber lain mengatakan, pesantren itu berdiri tahun 1904. Secara ittifaq (kesepakatan), pesantren-pesantren yang klasikal dan masih eksis sampai sekarang lahir sekitar awal tahun 1900. Semenjak Islam masuk ke Indonesia tentunya interaksi orang Timur-Tengah dengan orang Indonesia, khususnya yang beragama Islam, bertambah baik. Terbukti tokoh-tokoh



7 Mahmud



hlm. 235.



Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, 1995,



Modernisasi Pendidikan Islam



195



umat Islam Indonesia yang mendirikan pesantren banyak alumnialumni dari Makkah. Bersamaan dengan naik haji, mereka bermukim untuk belajar sampai ada yang bertahun- tahun. Interaksi Indonesia dengan Makkah membawa warna baru dalam pendidikan Islam di Indonesia. Misalnya Pesan- tren Tebuireng Jombang di Jawa Timur didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tahun 1899, sekolah-sekolah produk Mu- hammadiyah banyak dipengaruhi pendirinya K.H. Ahmad Dahlan, pesantren alMushtafawiyah Purba Baru Tapanuli- Selatan yang didirikan oleh Syaikh Mustafa Husein tahun 1913, dan sebagainya. Tampaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang klasikal sampai tahun 1930 hanya mengajarkan pelajaran agama, kecuali ada sebagian kecil yang mengajarkan pelajaran umum, seperti pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Ilyas (1929) memasukkan pelajaran-pelajaran berikut ini da- lam kurikulum, 8 yaitu: (1) membaca dan menulis huruf latin, (2) bahasa Indonesia, (3) ilmu bumi dan sejarah Indonesia, dan (4) berhitung. Metodologi pengajaran masih lebih didominasi oleh sistem sorogan, di mana guru membaca buku yang berbahasa Arab dan menerangkannya dengan bahasa daerah kemudian murid-murid mendengarkan. Guru sangat jarang bertanya kepada muridnya, sebaliknya murid juga jarang bertanya kepada gurunya. Dengan kata lain, evaluasi belajar sangat kurang diperhatikan, hal ini diduga karena tujuan belajarnya Ulahi ta’ala. Tanpa diuji juga murid secara sadar belajar dengan



8Ibid.,



hlm. 236.



Sejarah Pendidikan Islam



196



sungguh-sungguh. Mengetahui hasil belajar secara eksplisit setelah mereka duduk di kelas 7. Tradisi kelas 7 membantu pengajaran untuk kelas-kelas bawah sebagai wujud praktikum dan pengabdian terhadap lembaga. 9 Secara umum kurikulum lembaga pendidikan Islam sampai tahun 1930 meliputi ilmu-ilmu: bahasa Arab dengan tata bahasanya, fiqih, akidah, akhlak, dan pendidikan. 10 Sarana pendidikan biasanya tidak lebih dari masjid dan madrasah (kelas). Kelas itu tidak diukur dari hasil evaluasi, tapi kelas menurut tahun masuk, atau priodisasi. Tidak ada istilah kenaikan kelas. Begitu selesai 6 tahun atau 7 tahun, mereka dianggap sudah tamat dan berhak untuk mengajar. Maka dapat diduga guru-guru alumni pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya tidak semua mampu menguasai apa yang mereka pelajari. Dengan kata lain, ada juga yang tidak berkualitas. Lebih lanjut Abdul Rahim mengatakan, secara mayoritas alumni pesantren mampu mengajar apa-apa yang mereka pelajari, karena mereka selama menjadi murid sadar akan belajar meskipun tidak ada evaluasi. Pembaruan dari alumni-alumni Makkah itu ditanggapi positif oleh umat Islam. Hal itu menurut penulis wajar, karena pola pendidikan sebelumnya pun masih dominasi pengaruh TimurTengah yang belum bersentuhan dengan pengetahuan umum. Pengaruhnya kepada masyarakat tentunya positif,



9 Syaikh



10Ibid.,



Abdul Rahim, al-Ta’lim fi al-Madrasah al-Salafiayah, Persada, 1970, hlm. 15.



hlm. 20.



Modernisasi Pendidikan Islam



197



yakni semakin banyak guru-guru yang representatif dalam mengajarkan agama, karena penguasaan bahasa Arab jauh lebih luas bagi mereka yang langsung belajar dari Makkah dan juga berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam karena pengaruh doktrin ilmu yang harus diamalkan. Tentunya pen- dirian beberapa lembaga pendidikan Islam ddak terlepas dari commercial oriented.11



2. Pendidikan Islam di Indonesia (1931-1945) Mulai dari tahun 1931, lembaga pendidikan Islam Indo- nesia memasuki warna baru yang oleh Mahmud Yunus disebut tahun di mana dimulainya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. 12 Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan se- belumnya baru berinteraksi dengan orang-orang Timur-Tengah baik yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan Islam maupun orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu ke Makkah. Tidak diketahui persis kapan orang Muslim Indo- nesia mulai berinteraksi dengan negara Mesir dalam rangka menuntut ilmu. Namun dapat diketahui karena pengaruhnya tahun 1931 Mahmud Yunus telah memimpin KMI di Padang. Normal Islam (Kulliah Mu’allimin Islamiyah) yang di- dirikan oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang tahun 1931 termasuk lembaga pendidikan modern yang banyak berpengaruh pada perkembangan pendidikan



11 Ahmad Tafsir, “Bisnis Pendidikan”, Makalah Diprestasikan dalam Seminar Pendidikan di HMJ PAI IAIN Bandung, November, 1995. 12 Mahmud



Yunus, op. cit., hlm. 102.



Sejarah Pendidikan Islam



198



Islam “modern” di Indonesia. Salah satu alumninya K.H. Imam Zarkasyi pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa-Timur. Di tahun 1936 pesantren Gontor sudah mengikuti kurikulum dan sistem pendidikan Normal Islam (modern), di mana sebelumnya mereka masih “tradisional”. Perkembangan pada popularitas Pondok Modern Gontor itu melebihi Normal Islam sampai sekarang. Menurut K.H. Imam Zarkasyi, banyak pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya yang di dalamnya termasuk Normal Islam ddak mem- perhatikan kaderisasi. Di sinilah Gontor kokoh karena sistem kaderisasinya kuat, sehingga kapanpun pendiri atau pim- pinannya meninggal, sudah banyak yang mampu menggantikannya. Sesungguhnya lembaga pendidikan mulai tahun 1931 sudah banyak mengajarkan pengetahuan umum. Dan lembaga pendidikan Islam yang pertama kali memasukkan pendidikan umum menjadi kurikulum sekolah adalah al- Jami’ah Islamiah di Sungayang Batu Sangkar. Lembaga ini didirikan oleh Mahmud Yunus Maret 1931. Persentase pe- ngetahuan umum masih berkisar 30%, 40%, dan 50% atau lebih. Pengetahuan umum yang dipelajari meliputi: berhitung dagang, aljabar, ilmu ukur, ilmu alam/kimia, ilmu hayat/ geologi, ekonomi, mengarang buku, sejarah dunia/Islam, ilmu bumi atau falak, tata negara, bahasa Inggris/Belanda. Selain ilmu umum ada juga ilmu mendidik dan mengajar, ilmu jiwa, dan ilmu kesehatan. 13 Sebenarnya bukan saja sekolah-sekolah yang langsung bersentuhan dengan Mahmud Yunus yang memasukkan



13Ibid.,



hlm. 104.



Modernisasi Pendidikan Islam



199



pengetahuan umum ke dalam kurikulum sekolah. Namun pengaruhnya sangat besar terhadap masuknya kurikulum umum ke lembaga pendidikan Islam, apalagi di kemudian' harinya Mahmud Yunus aktif dalam menentukan kebijaksanaan kurikulum di pemerintah. 14 Sekalipun terjadi pembaruan dalam bidang kurikulum di beberapa lembaga pendidikan Islam, khususnya pengaruh Mahmud Yunus, tapi sampai sekarang tidak semua lembaga pendidikan Islam itu mengikutinya, atau dalam kata lain masih banyak juga yang “tradisional”. Selain pengetahuan umum sebagai pembaruan dalam periode ini, dalam beberapa hal juga ada pembaruan lainnya. Dalam bidang metodologi, misalnya, Mahmud Yunus sudah menerapkan tariqah almubasyirah dalam belajar bahasa Arab, dan metodologi pengajaran setiap bidang studi sangat varia- tif. 15 Adapun evaluasi sudah menjadi alat ukur keberhasilan siswa. Artinya pada masa ini, khususnya lembaga pendidikan Islam yang mengikuti pola Mahmud Yunus, tingkatan atau kelas ditentukan oleh hasil evaluasi bukan berdasarkan tahun senioritas murid. Hadirnya lembaga pendidikan Islam modern, baik pe- santren atau nonpesantren, telah mendapat respon yang berbeda. Kaum yang fanatik dengan tradisionalisme pesantren menuduh lembaga pendidikan modern ini sebagai lembaga pendidikan umum, sebab tidak mempelajari kitab-kitab



l4 Gontor,



Wardun, Darussalam Press, 1992, hlm. 50. Yunus, Tarbiyah wa al-Talim, Darussalam Press, 1980,



15 Mahmud



hlm. 31.



Sejarah Pendidikan Islam



200



kuning sebagai dasar ilmu. Adapun yang merespon positif melihat dari perspektif lowongan kerja. Mereka berpenda- pat pembaruan ini sebagai langkah maju dan relevan dengan tuntutan zaman. 16 Lebih lanjut, Imam Zarkasyi mengatakan, pengaruh pembaruan pada masa ini terhadap masyarakat, yakni wawasan keislaman umat Islam semakin luas, pola pikir semakin rasional, alumni pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke universitas baik dalam maupun luar negeri.



F. KESIMPULAN Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini antara lain: 1. 2.



3.



Sistem pendidikan Islam al-Azhar dan pendidikan Islam di Indonesia sudah lebih banyak bersifat klasikal. Meskipun para penulis sejarah al-Azhar menyatakan mulai tahun 1872 sebagai tahun di mana pendidikan telah modern, tapi baru pada kepemimpinan Syaikh Al- Nawawi kira-kira mulai tahun 1903 pengetahuan umum dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Al-Azhar sebagai universitas menjadi salah satu kiblat pendidikan Islam dunia termasuk kiblat pendidikan Islam Indonesia sampai tahun 1980.



4.



Metodologi pendidikan di al-Azhar sampai sekarang, lebih didominasi oleh hafalan daripada analisis.



16 Syukri



a l a h d i s a m p a i k a n p a d a d



k



Zarkasyi, “Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia”, Ma-



Modernisasi Pendidikan Islam



201



1.



Sistem pendidikan Islam di Indonesia dari tahun 1900 telah banyak yang bersifat klasikal.



2.



Modernisasi (berkembangnya kurikulum yang meliputi pengetahuan umum dan keunggulan metodologi untuk mencapai tujuan yang sama) pendidikan Islam di Indo- nesia dimulai tahun 1931. Pada saat itu kelihatan penga- ruh al-Azhar dan Darul Ulum (Mahmud Yunus) sangat besar.



3.



Kurikulum pendidikan Islam semenjak masuknya pengetahuan umum telah membawa hasil yang positif dalam lapangan kerja dan pemahaman kaum Muslimin Indone- sia terhadap Islam.



203



BAB XV



Pola Interaksi Guru dan Siswa Pada Pendidikan Islam Klasik Oleh: Nurul Hikmah



A.



PENDAHULUAN



Pada periode awal, pendidikan Islam berlangsung hanya untuk menyebarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muham- mad kepada seluruh umat, kemudian berkembang menjadi upaya sadar yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan ahli dalam bidang tertentu, baik di bidang agama, ma- syarakat dan pemerintahan. Ini semua karena Islam semakin berkembang dan telah membentuk pemerintahan Islam. Sesederhana apa pun pendidikan Islam klasik, pola 1 interaksi 2 guru dan siswa pasti sudah ada, karena guru dan siswa adalah elemen yang ada dalam pendidikan tersebut. Untuk itu, kita perlu membahas tentang bagaimana bentuk pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik,



1 Pola: Bentuk tetap yang dijadikan ukuran untuk membuat sesuatu. Lihat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Dua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), cet. II, hlm. 778. 2 Interaksi: saling melakukan aksi, berhubungan. Lihat, Ibid., 383.



Sejarah Pendidikan Islam



204



dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pola interaksi yang ada saat itu. Permasalahan di atas mengandung tiga variabel yang akan diungkap, yaitu pola sikap guru terhadap siswa dalam inter- aksi edukatif, pola sikap siswa terhadap guru dalam interaksi edukatif, dan interaksi timbal balik guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik.



A.



GAMBARAN INTERAKSI RASULULLAH DAN SAHABAT PADA PERIODE AWAL PENDIDIKAN ISLAM Risalah yang diterima Nabi Muhammad disebarkan melalui



dakwah atau pendidikan terhadap umat. Pada awal kenabian, ia menyerukan penyempurnaan akhlak dan tauhid. Untuk misi ini, nabi menerapkan dua pola hubungan, yaitu hubungan yang berkaitan dengan hablun min Allah dan hablun min al-nas. Pada pola pertama, nabi melaksanakan pendidikan terhadap umat sebagai dakwah terhadap risalah yang dibawa- nya yang memiliki nilai ibadah dihadapan Allah Swt. Untuk itu, ia menjalankan ibadah ini dengan ikhlas tanpa menuntut materi dari dakwah yang dilakukan. Sikap ini pun ia tanamkan pada sahabat dalam mengikuti dakwah nabi. Sebagaimana firman Allah Swt.;



‫إﻻيأﺟﺮأن ﻻﻣﺎ ﻋﻠﻴـ ـ ـ ـ ـ ــﻪ أﺳﺄﻟﻜﻢ ﻻ ﻗـ ــﻮم و‬ ‫ﷲ ﻋﻠ ـ ــﻰ‬ Hai kaum ku! Aku tidak meminta harta kepada kalian atas tabligh ini. Ganjaranku hanyalah pada Allah.



Pola Interaksi Guru dan Siswa



205



Pada pola kedua, nabi langsung menjadi guru umat dan model dari akhlak yang diinginkan. Dengan demikian, umat langsung dapat melihat bentuk yang diinginkan Alquran dari sikap Rasulullah seharihari, karena nabi mengemban tugas- nya tidak sebatas di atas mimbar atau di dalam masjid. Seba- gaimana firman Allah dalam surah AlAhzab: 21.



‫أﺳ ــﻮة ﷲ رﺳ ـ ــﻮل ﰲ ﻛﺎن ﻟﻘ ـ ـ ــﺪ‬ ‫ﺣﺴ ـ ــﻨﺔ‬ Pada hubungan sehari-hari sahabat sangat menghormati nabi dan mendudukkan nabi pada posisi yang tinggi, tapi nabi senantiasa bersikap tawadu’. Di sinilah letak keseimbangan hubungan yang terjadi pada interaksi Rasulullah dan sahabat, yang diikat dengan ukhuwah Islamiyah. Pola hubungan yang berlangsung pada interaksi dakwah nabi mengutamakan akhlak dalam pergaulan satu sama lain. Untuk itu, pola hubungan rasul dan sahabat sangat sarat nilai, karena ilmu atau agama itu didirikan atas kebersihan lahir dan batin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: 3



‫اﻟﻨﻈﺎﻓـ ـ ـ ـ ـ ــﺔ ﻋﻠـ ـ ــﻰ اﻟ ـ ـ ــﺪﻳﻦ ﺑـ ـ ـ ـ ـ ــﲏ‬



C. POLA SIKAP GURU DAN SISWA PADA PENDIDIKAN ISLAM KLASIK



1. Pola Sikap Guru Terhadap Siswa Dalam Interaksi Edukatif Pada Pendidikan Islam Klasik Bentuk



pola



sikap



guru



pada



pendidikan



Islam



berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola



3 A1-Ghazali,



Ihya’ ‘UIumAl-Din (Cairo, Dar al-Hadits, 1994), j.l.



klasik



Sejarah Pendidikan Islam



206



bentuk sikap rasulullah dan sahabat dalam mendakwahkan Islam, yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswah al-hasanah. a. Pola Keikhlasan Pola keikhlasan 4, mengandung makna bahwa interaksi yang berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi tersebut, dan menganggap interaksi itu berlang- sung sesuai dengan panggilan jiwa untuk mengabdikan diri pada Allah dan mengemban amanah yang ia berikan. Rasa ikhlas yang ada pun, menimbulkan rasa tanggung jawab yang besar dalam diri guru untuk menjalankan tugas dengan baik. Maka guru memperhatikan kompetensi yang hendaknya ia miliki sebagai pendidik, yaitu; 1)



Mempersiapkan segala sesuatu yang menunjang dalam proses



2)



belajar mengajar. 5 Menjelaskan tujuan 6 sebelum menjelaskan materi. 7



4 Keikhlasan guru pada masa klasik sangat didukung oleh kondisi saat itu, yaitu pemerintah menjamin kehidupan guru karena mereka sangat memperhatikan ilmu pengetahuan, guru bukan merupakan profesi tunggal pada masa itu bagi para ulama’, kehidupan ulama tidak tergantung pada usaha mendidik seperti sekarang ini.



5 Lihat



pendapat Al-Qalqasyandi yang dikutip oleh Ahmad Salabi, “bila anda hendak memikirkan materi-materi pembicaraan yang akan disam- paikan...”, Lihat Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, Judul asli, Tatikh Tarbiyah Islamiyah, penerjemah, Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta. Bulan Bintang, t.th.), hlm 250. 6 Tujuan



pendidikan Islam adalah mencari ridha Allah.



7 A1-Ghazali,



op.cit., hlm. 90.



Pola Interaksi Guru dan Siswa



207



3)



Menyesuaikan materi yang akan diberikan dengan tingkat kemampuan siswa, yaitu menjelaskan materi pelajaran dari yang sederhana kepada yang sulit dan dari yang umum kepada yang khusus. 8



4)



Ketika siswa ingin melanjutkan ke ilmu yang lain, guru mempunyai kewajiban untuk memilihkan ilmu apa yang hendak dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan kecondongan siswa selama ia belajar dengan guru tersebut. 9 Guru berusaha mendidik siswanya agar mempunyai ke-



5)



mampuan dan kecakapan untuk berijtihad dan melakukan penyelidikan sendiri, dan tidak hanya bertaklid buta. 10 b. Pola Kekeluargaan Pada masa ini, guru memposisikan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak. Artinya, mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah:



‫ﻟﻮﻟ ـ ـ ـ ــﺪﻩ اﻟﻮاﻟـ ـ ــﺪ ﻣﺜـ ـ ــﻞ ﻟﻜ ــﻢ أ‬ Pada pola ini, guru senantiasa bersikap sebagai berikut: 1) Guru bersikap lemah lembut dalam proses belajar meng-



8Ibid.,



hlm. 96.



Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu, Judul Asli, Ta’ilim Muta’alim, Penerjemah, Aly As’ad (Yogyakarta: Menara Kudus, 1978) hlm. 29. 10 Lihat pendapat Al-Ghazali dalam kitab, “Risalah Abadi Fial-Din, yang dikutip oleh Ahmad Salabi, op.cit., hlm. 252. 11 Al-Ghazali, op.cit. 9 A1-Zarnuji,



208



2)



Sejarah Pendidikan Islam



ajar, pandai mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada anak dalam interaksi tersebut. Guru mengetahui waktu yang tepat untuk memberikan pujian dan hukuman serta bijaksana dalam memberikan jenis hadiah dan hukuman pada anak. Sebab, pada ke- adaan ini hadiah yang diberikan guru ada dua macam, yaitu; hadiah berupa pujian dan berupa benda. Hukuman pun terbagi dua, yaitu hukuman berupa celaan dan hukuman fisik. 12



3)



Guru tidak bersikap pilih kasih, dengan tidak membe- dakan tingkat sosial siswa dalam interaksi edukatif.



c.



Pola Kesederajatan



Guru dalam interaksinya senandasa memunculkan sikap tawadhu’ terhadap siswanya. 13 Pola interaksi seperti ini mem- buat guru menghargai potensi 14 yang dimiliki anak. Dengan demikian, pola yang dimunculkan bernuansa demokratis; guru memberi kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti. Sikap tawadhu’ yang dimiliki guru membuat ia tidak bersikap diktator atau merasa lebih benar dan merasa tidak pernah salah. Kendati siswa pada masa ini dituntut untuk menghargai guru, menaatinya dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua permasalahan pendidikan kepada guru.



12 Ahmad



Salabi, op.cit., hlm. 268-270.



Abuddin Nitta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1998), hlm. 50. 14 Penghargaan potensi anak pada proses interaksi: siswa yang sudah pandai mengajar siswa yang belum pandai. 13 Lihat



Pola Interaksi Guru dan Siswa



d.



209



Pola al- U s w ah al-Hasanah Pada pendidikan Islam klasik, interaksi yang terjadi antara guru



dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar menga- jar, tetapi berlangsung juga di tengah masyarakat, di mana guru menjadi agen moral sekaligus model dari moral yang diajarkan. Dengan demikian, para siswa mudah untuk melihat gambar kepribadian yang diinginkan guru. 15 Firman Allah:



‫أﻧﻔﺴ ـ ـ ـ ــﻜﻢ وﺗﻨﺴـ ـ ـ ـ ـ ــﻮن ﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﱪ اﻟﻨ ـ ــﺎس ﻣ ـ ـ ــﺮون أ‬



Adakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri.



2. Pola Sikap Siswa Terhadap Guru Dalam Interaksi Edukatif a.



Pola Ketaatan Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah



dalam proses pencarian ilmu 16 . Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari ridha- nya (kerelaan hatinya), menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama. 17



15 Lihat



Abuddin Nata, op.cit., hlm. 55.



16 Ilmu



itu musuh pemuda yang sombong, bagaikan banjir yang men- jadi musuh tempat yang tinggi. Sombong: tidak menaati guru. Lihat Al- Ghazali, op.cit., hlm. 85-86. Menurut Al-Zarnuji “Barang siapa melukai hati guru, maka berkah ilmu tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. Lihat, Al-Zarnuji, op.cit., hlm. 25. 17 Lihat



Abuddin Nata, op.cit., hlm. 17-18.



Sejarah Pendidikan Islam



210



Gambaran ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru dibagi dua, yaitu pertama, ketaatan terhadap guru secara langsung, yaitu jangan berjalan di depan guru, jika bertamu ke rumah guru hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu di luar, dan duduk jangan terlalu dekat dengan guru, duduklah sejauh antara busur panah. 18 Kedua, ketaatan terhadap keluarga guru 19, menghormati guru dan semua or- ang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru. b.



Pola Kasih Sayang Menurut Ibn Miskawaih, kewajiban cinta siswa terhadap guru



berada di antara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karena



menurut



Ibn



Miskawaih,



guru



merupakan penyebab



eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memper- oleh kebahagiaan sempurna. 20 Bertolak dari penjelas di atas, kita dapat mengetahui karakteristik pola sikap guru dan siswa dalam interaksi edukatif, yaitu: 1)



Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha idealistik yang ditujukan pada penguasaan setiap keca- kapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang. Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama. 21



2)



18 A1-Zarnuji, 19Ibid.,



op.cit., hlm. 30.



him. 25 dan Lihat Al-Ghazali, op.cit., hlm. 85.



20 Ibnu



Miskawaih, op.cit., hlm. 143. 2l Lihat, Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991),



hlm. 59 dan 63.



Pola Interaksi Guru dan Siswa



211



3)



Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa, menjamin keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak; dengan pengajaran sebagai keterampilan. 22



4)



Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap berlangsung di tengah masyarakat.



5)



Adanya



keseimbangan



interaksi



guru



dan



siswa



pada



pendidikan Islam klasik. 6)



Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada zaman Rasulullah. Dari karakteristik pola di atas, kita dapat mengetahui bahwa



tujuan pola interaksi guru dan siswa yang terjadi pada pendidikan Islam klasik seperti yang digambarkan di atas, memiliki tujuan yang sangat esensial, yaitu pola tersebut tidak hanya membantu dalam mentransfer pengetahuan dan kete- rampilan, melainkan merupakan suatu ikhtiar untuk menggu- gah fitrah insani sehingga siswa menjadi manusia sempurna.



3. Pola Komunikasi Guru dan Siswa Dalam Proses belajar Mengajar Pada Pendidikan Islam Klasik Pendidikan Islam pada masa ini sudah mengenal bebe- rapa bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu pola satu arah dan pola banyak arah. 23 Pertama, pola satu arah, pada pola komunikasi terjadi hanya satu arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur,



22 lbid, hlm. 23 Ibnu



60.



Khaldun, Mukaddimab, (Beirut: Dar al-Jail), hlm. 477-481.



Sejarah Pendidikan Islam



212



dan senandasa mendorong siswa untuk lebih banyak meng- hafal, karena menganggap bahwa kemahiran ilmiah identik dengan pengetahuan yang dihafal. Pada pola ini yang terlihat adalah metode talqin dengan hafalan. Kedua, pola banyak arah. Pada pola ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa. Ini terlihat pada proses belajar mengajar yang berlangsung melalui latihan bicara guna mengungkap pikiran- pikiran dengan jelas dalam diskusi dan perdebatan masalah- masalah ilmiah. Pola pertama lebih banyak dipakai pada periode awal, sedangkan pada periode setelah kerasulan, ia dipergunakan pada tingkat dasar. Sedangkan pada tingkat menengah ada keseimbangan antara pola pertama dan kedua, dan pada tingkat tinggi, pola kedua yang lebih mendominasi. 24



D.



KESIMPULAN Bentuk pola sikap guru terhadap siswa, yaitu pola ke- ikhlasan,



kekeluargaan, kesederajatan dan uswab al-hasanah, sedangkan pola sikap siswa terhadap guru, yaitu pola ketaatan dan kasih sayang. Dari pembahasan di atas, kita dapat mengetahui karak- teristik pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik, yaitu: • Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha



24 Lihat,



Abdullah Fadjar, op.cit., hlm. 61-62.



Pola Interaksi Guru dan Siswa



213



idealistik yang ditujukan pada penguasaan setiap keca- kapan yang menjadi tuntutan tugas seseorang. Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu kewajiban agama.











Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa, menjamin keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan pengajaran sebagai keterampilan. Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap berlangsung di tengah masyarakat. Adanya keseimbangan interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik. Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi pada zaman Rasulullah.



215



BAB XVI



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik Olek Maftuhah



A.



PENDAHULUAN



Salah satu fitrah kebutuhan wajib dan esensial manusia adalah pendidikan. Dengannya, manusia dapat dididik untuk mengenal berbagai konsep bagi eksistensi dan keberlangsungan hidupnya ke arah tertentu. Dengannya pula manusia terlatih untuk berjalan ke arah tujuannya tersebut. Sebagai aset umat, pendidikan menjadi sangat penting karena ia adalah agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisir dengan baik. Pada awal masa Islam klasik (sekitar abad VII, masa Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin), didirikan kelompok belajar di rumah Arqam bin Abi Al-Arqam yang kemudian dilanjutkan di masjid dengan sistem As-Suffahnya. Kuttab—sebagai pendidikan dasar dan disinyalir ada sejak pra Islam—dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengajarkan baca tulis Alquran sebagai pelajaran inti. Pada perkembangan selanjutnya, muncul madrasah yang pada awal pendiriannya dipakai secara sempit untuk propaganda paham-paham tertentu dan jalur politik serta birokrasi



Sejarah Pendidikan Islam



216



tersendiri. Para ulama pun membentuk halaqah-halaqah, majelis-majelis dan kelompok-kelompok kajian lain—secara perorangan maupun bersama-sama



untuk



eksistensi



keilmuan



mereka



sehingga



berkelanjutan. Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi kelangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dilakukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot. Hasan Langgulung melaporkan bahwa di banyak negara maju— yang kualitas sumber daya manusianya tinggi-ang- garan pendidikan telah mencapai lebih dari 20% dari GNP Bandingkan dengan berbagai negara berkembang-yang sumber daya manusianya rendah—yang mengeluarkan dana kurang dari 10%, bahkan kurang dari 5% dari anggaran belanja nasionalnya. 1 Hal ini memang tidak dapat kita lihat sebagai hitam dan putih. Sedikit atau banyaknya anggaran belanja untuk bidang pendidikan akan sangat terkait dengan berbagai faktor nonkependidikan, termasuk asumsi berpikir atau sudut pandang yang diambil ketika membuat keputusan tersebut. Jika melirik masa lalu, pendanaan lembaga pendidikan ternyata telah mendapat perhatian yang besar dari para pe- nyelenggara pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung di dalamnya. Umat Islam pada masa itu sudah



_____________________ 1 Hasan



Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992),



cet. II, hlm. 138-9.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



217



memahami benar perlunya biaya besar untuk membangun dan mengelola sekolah yang bermutu. Mahmud Yunus misal- nya, memaparkan bahwa Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan biaya sebanyak 600.000 dinar atau lebih dari 100 trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah yang diasuh negara. 2 Pembiayaan lembaga-lembaga pendidikan ini, menurut Hanun Asrohah, dapat dihubungkan dengan negara karena lembagalembaga pendidikan formal disubsidi oleh penguasa dan dibantu oleh orang-orang kaya berupa harta wakaf. Sedangkan lembagalembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara. 3 Begitu pula manajemen keuangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut dapat dihubungkan dengan negara (sentralistik) dan tanpa campur tangan pemerintah (desentralistik). Berawal dari sedikit pemaparan di atas, penulis mencoba mengetengahkan berbagai sumber biaya yang ada pada berbagai lembaga pendidikan masa Islam klasik dan pola pengelolaan yang dijalankan, sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat dijadikan bahan perbandingan bagi masalah biaya pendidikan di masa kini. Sedangkan lembaga pendidikan yang dimaksud di sini adalah berbagai tempat yang dipakai untuk belajar, baik secara formal maupun non- formal.



2 Mahmud



3 Hanun



Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1966), hlm. 63.



Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. I, hlm. 46



Sejarah Pendidikan Islam



218



Walaupun masa Islam klasik terpenggal menjadi beberapa periode, yakni periode Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, dan Bani Abbas, penulis hanya akan terfokus pada sistem pendanaan yang diterapkan pada masa itu secara menyeluruh dengan mengabaikan periodesasi di atas serta klasifikasi pendidikan.



B.



SUMBER BIAYA PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK



1. Subsidi Pemerintah/Negara Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, ter- masuk lembaga-lembaganya. AsSuffah4 yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar luas ke luar Madinah sejalan dengan penyebaran masjid. Keber- langsungan as-Suffah ini sangat diperhatikan oleh Khulafaur Rasyidin. Umar bin Khattab misalnya, senantiasa mengangkat para sahabat rasul yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas sebagai panglima dan gubernur. Mereka banyak mendirikan masjid dengan as-Suffah di dalamnya. Kegiatan pendidikan ini kemudian dibantu pembiayaannya dengan dana pemerintah yang tersedia. Thomas W. Arnold yang dikutip oleh Soekarno dan Ahmad Supardi menyatakan, “.... Demi-



4 Ketika



Nabi Saw. hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan para sahabat untuk membangun masjid. Salah satu ruangan masjid tersebut digu- nakan untuk mengajar para sahabat sekaligus pondokan bagi mereka yang sangat miskin. Ruangan itu dikenal dengan nama as-Suffah.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



219



kianlah dalam hubungan ini, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk setiap negeri. Betapa besarnya perhatian khalifah dalam bidang pendidikan agama ini dapat diketahui dari fakta bahwa di kota Kufah, misalnya, orang yang dipercaya menjalankan tugas itu adalah bendaharawan kota itu sendiri”. 5 Di daerah-daerah baru—pada masa Umayyah—di mana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belum dikenal, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur setempat. Pendanaan lembaga-lembaga pendidikan ini sangat tergantung pada pemerintah sebagai pemrakarsa dan propagandis. Masjid Jami’ 6 yang banyak bermunculan di masa Dinasti Abbasiyah dibiayai keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya. Halaqah-halaqah masjid ini dipim- pin oleh seorang syaikh yang diangkat oleh khalifah untuk mengajarkan bidang kajian tertentu. 7 Madrasah-madrasah yang didirikan di masa Turki Saljuk dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara.



dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1985), hlm. 51. 5 Soekarno



6 Pada periode Islam klasik dikenal 2 tipe masjid, yakni masjid Jami’ dan masjid lokal. Masjid Jami’ umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah melalui biaya negara dan berfungsi sebagai tempat diumum- kannya berbagai hal tentang negara dan agama pada masyarakat. Masjid lokal biasanya lebih kecil, dibangun untuk kebutuhan kelompok masyarakat tertentu.



7 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Hasan Asari dan H. Afandi, (Jakarta: Logos, 1994), cet. IV, hlm. 35.



220



Sejarah Pendidikan Islam



Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa yang besar, pensiun dan ransum yang diberikan kepada para mahasiswa yang patut menerimanya. Bait al- Hikmah yang terkenal jejaknya sampai sekarang, dibangun— sebelum lembaga wakaf di masa Al-Makmun bentuk—salah satunya melalui dana negara yang sumbernya berasal dari Jizyah, zakat, dan sebagainya. 8



2. Wakaf Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan harta benda. Sebagai bagian dari sis- tem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode di masa Abbasiyah terutama masa keemasan peradaban Islam. Khalifah Al-Makmun dianggap sebagai pemrakarsa ber- dirinya badan-badan wakaf untuk lembaga pendidikan, se- hingga pembiayaan berbagai kegiatan keilmuan, termasuk gaji para ulamanya, dapat berlangsung terus dan kokoh. Prakarsa Al-Makmun ini kemudian meluas pada para penggantinya dan pembesarpembesar negara, sehingga badan wakaf yang permanen dipandang sebagai suatu keharusan dalam men- dirikan suatu lembaga ilmiah. Selanjutnya wakaf-wakaf ini berkembang peruntukannya bagi orang-orang atau kelom- pok studi yang menyediakan dirinya untuk kesibukan- kesibukan ilmiah di berbagai masjid.



8 Dana suatu tempat pendidikan tidak hanya berasal dari satu sumber. Ia dapat dibiayai oleh beberapa hartawan, wakaf dan negara. Lihat A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 374.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



221



Pemberi wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang dibuatnya secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang men- jadi wakaf dan mencantumkan cara penggunaan serta penya- luran uang yang dihasilkan dari investasi, penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya, pemberi wakaf dapat menetapkan kriteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan atau bahkan mazhab yang dianut. Di samping itu pemberi wakaf menentukan satu atau bebe- rapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola harta wakaf tersebut. 9 Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah ditanda- tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut. Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi ekonomi waktu itu. Oleh karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang dibiayai oleh hasil wakaf berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau begitu, peranan wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf, umat Islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua mereka tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.



9 Pada mazhab Maliki, seorang pemberi wakaf tidak dibenarkan me- nentukan dan mempengaruhi pengangkatan syaikh atau penggantinya, serta Mengangkat dirinya sebagai pengelola wakaf.



Sejarah Pendidikan Islam



222



Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi di dalamnya. Masing-masing



masjid



Pembiayaannya berasal dari



memiliki wakaf. 10



asrama



(masjid



Khan).



Wakaf Abdul Latif Al-Mansur



berupa pondok dan toko untuk 5 orang anak yatim serta pengajarnya. Mereka belajar membaca dan menghafal Alquran. 11 Nizham



Al-Mulk,



yang



terkenal



dengan



madrasah-madrasah



Nizhamiyahnya, menyediakan dana wakaf dalam jumlah sangat besar untuk membiayai mudarris, imam, siswa, fasilitas asrama, fasilitas perpustakaan, dan lain- lain. 12



3. Orang Tua Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini ber- variasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi finansial orang tua murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan siswa. Sebab, di samping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah



sumbangan-sumbangan



nonfinansial,



seperti



bahan



pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.



10 Charles



M. Stanton, op. cit., hlm. 44-5.



Langgulung, op. cit., hlm. 163. 12 Lihat A. Syalabi, op. cit., hlm. 375-6, Charles M. Stanton, op. cit., hlm. 47, Hasan Langgulung, op.cit., hlm. 98-9 dan Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet. II, hlm. 98-9. 11 Hasan



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



223



Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini dida- sarkan pada anggapan penyebaran misi Ilahi harus dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000



dirham



pertahun



(masa



Abbasiyah). 13



Kadang-kadang



pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan. Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan uang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya. Khalifah Al-Mutawakkil memberi Ibnu AlSikkit, yang menjadi muaddibu bagi putra- nya, uang sebanyak 50 dinar di samping gajinya yang tetap. Ali ibnu Al-Hasan Al-Ahmar yang datang ke istana Khalifah Harun Al-Rasyid untuk memberi pelajaran kepada Al-Amin dibelikan sebuah rumah, pelayan perempuan, kendaraan, pesuruh dan kemudahan memanfaatkan perpustakaan, di samping gaji rutin. 15



1. Siswa Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah, atau lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut



13 Charles



M. Stanton, op. cit., hlm. 21.



14Muaddib



adalah pengajar yang berfungsi sebagai pembimbing putra seorang pembesar. Mereka mengadakan kegiatan pendidikannya di lingkungan dalam istana. 15 A.



Syalabi, op. cit., hlm. 232-3.



Sejarah Pendidikan Islam



224



uang dari siswanya. Biasanya, jumlahnya disepakati antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada awal masa belajar. Ibrahim AlZadjdjadj misalnya, memperoleh uang dari pe- kerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi belajar kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejum- lah dua pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan mereka. 16 Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mam- pu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah- tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Peker- jaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap 17 yang terdiri dari para pekerja. Orang-orang ini sendiri menanggung biaya pendidikan yang diperlukan.



5. Sumber lain/Perorangan Pandangan bahwa ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendo- rong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan



16Ibid, hlm. 17 317. Muniruddin Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mem- punyai tujuan utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar tidak tetap merupakan orang yang mengikud pelajaran hanya pada waktu-waktu tertentu, biasanya untuk menunjang profesi me- reka. Lihat Muniruddin Ahmed, Islam Education



and the Scholar’s Social Status Up to 5th Century Muslim Era (11



th



Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968), hlm. 142.



Century Christian Era) in the Light of Tarikh



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



225



finansial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri di luar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau mengambil upah ketika mengajarkan hadis. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri. 18 Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang mengabarkan bahwa para pengajar dan pendidik—yang miskin sekalipun—duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun. Kama- luddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima bayaran apa-apa, seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, 19 bahkan mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut. Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran di atas, banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya. Al-Hakam II (961-976 M) misalnya, membuka sejumlah sekolah dasar (kuttabj di Kordova. Guru-gurunya digaji dari kantongnya sendiri, dan pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya, selain Alquran, adalah menulis puisi, prosa, grammar, dan kaligrafi. 20



18 A.



Syalabi, op. cit., hlm. 223.



19Ibid.,



hlm. 224. dan Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 79.



20 Soekarno



Sejarah Pendidikan Islam



226



Juga para dermawan yang mengadakan berbagai kajian ilmu di rumah-rumah pribadi mereka, kedai-kedai buku atau sa- lon-salon sastra. 21



C.



POLA PENGELOLAAN DANA PENDIDIKAN



1. Sentralisasi Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pe- megang otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh negara, tidak memiliki otoritas untuk mengatur sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui kas negara atau Bait al-Mal. Sehingga, napas kehidupan lembaga pen- didikan tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sektor pendidikan,



21 Kedai buku adalah kedai atau toko yang menyalurkan dan menjual bukubuku serta naskah-naskah langka. Kedai-kedai ini berkembang pesat pada periode Abbasiyah dan Umayyah II (Spanyol). Banyak para cendekiawan yang menghabiskan waktunya berjam-jam di sini untuk membaca, meneliti, mempelajari, bahkan berdiskusi sesama mereka, atau juga membeli buku- buku yang menarik untuk dikoleksi. Salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, merupakan tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I, hlm. 64-5 dan A. Syalabi, op. cit., hlm. 52-62.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



227



atau perhatian penguasa/khalifah terhadap lembaga pendi- dikan itu dan ilmu pengetahuan secara umum. Mahmud Yunus memaparkan bahwa Dar al-Ilmi di Cairo, yang didirikan oleh Al-Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M, menghabiskan kira-kira 257 dinar setiap tahun dari kas negara untuk beragam keperluan di luar gaji guru dan karya- wan. Dana itu digunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji pemimpin perpustakaan, air, gaji pesuruh, keperluan para pengajar/ulama, perbaikan kain, pintu, menjilid buku, mem- beli tikar bulu dan permadani. 22 Ahmad, raja Idzadj, mem- bagi hasil pajak negaranya menjadi tiga bagian. Sepertiganya



disediakan



untuk



pengajaran di sudut-sudut masjid dan



membiayai



pendidikan



dan



sekolah-sekolah. 23



Wakaf yang dipakai sebagai model pendanaan berbagai lembaga pendidikan Islam, juga tidak lepas dari sistem terpusat ini. Pemberi wakaf seringkah menentukan pola pengelolaan harta wakafnya dan peruntukan yang jelas dari hasil wakaf tersebut dalam dokumen wakaf, tanpa mem- pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan kondisi dan kebutuhan lembaga pendidikan tersebut di kemudian hari. Di samping itu, ia juga sering menentukan dirinya atau ahli warisnya sebagai penanggung jawab dalam mengelola harta wakaf tersebut. Madrasah Qayt Bey yang termegah di Makkah dan di- dirikan oleh Sultan Mamluk Mesir misalnya, hanya bertahan 70 tahun. Ia dijual dan dijadikan asrama jamaah haji Mesir,



22 Mahmud 23 A.



Yunus, op. cit., hlm. 59.



Syalabi, op. cit., hlm. 381-2.



Sejarah Pendidikan Islam



228



setelah setiap tahun Sultan Qayt Bey memberikan wakaf dalam jumlah besar untuk pemeliharaan dan membiayai mereka yang terlibat di dalamnya. 24 Mismanajemen wakaf ini banyak menimpa berbagai madrasah, sehingga madrasah terlantar karena kurangnya bantuan wakaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan.



2. Desentralisasi Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan lembaga pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan riil lembaga tersebut dalam segala perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas mudak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif). Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a.



Tradisional Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa



perencanaan yang jelas dan jauh terarah. Berbagai ke- perluan operasional pendidikan akan dapat dipenuhi ketika ada pemasukan dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut kering, maka tertahanlah ber- bagai kebutuhan pendidikan itu. Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini.



24 Lebih lanjut tentang Madrasah Qayt Bey, lihat Muhammad bin Ahmad bin Quthb al-Din al-Nahrawali, Kitab al-1 'lam bi A'lam Baytal-Haram.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



229



Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah dengan roti sebagai pemasukan dana pendidikan ditambah sedikit uang pada masa khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola input sukarela di tangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun sumbangan tambahan yang dicari. a.



Non-Tradisional Corak ini merupakan antitesis corak tradisional. Dana yang



masuk dikelola melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan oleh penye- lenggara lembaga pendidikan tersebut. Sistem wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi wakaf tidak mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu di luar penyeleng- gara lembaga pendidikan tersebut sebagai pengelola wakaf, juga ketentuan-ketentuan ketat penggunaan hasil dana wakaf yang tidak fleksibel sehingga tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut. Dalam dokumen wakaf madrasah Asy-Syamiyyah alJawwaniyyah dicantumkan dengan jelas materi-materi keka- yaan wakaf, kebutuhan riil yang akan dipenuhinya, dan cara pengelolaan harta tersebut. “Bismillahirrahmanirrahim ...................... Adapun barang-barang yang diwakafkan untuk biaya-biaya



230



Sejarah Pendidikan Islam



gedung, para fuqaha dan pelajar serta keperluan-keperluan lain ialah semua desa “Bazinah”, semua bagian yang diper- oleh dari perkebunan “Jirmana”, yaitu 11,5 bagian dari 24 bagian, semua bagian yang diperoleh dari desa “At-Tinah”, yaitu 14 ditambah 7 bagian dari 24 bagian, separuh dari desa Majidal As-Suwaida, dan seluruh desa Majidal al-Qarjah”. Adapun perbelanjaan sekolah ini adalah: 1.



Prioritas untuk gedung-gedung sekolah.



2.



Untuk guru-guru, dibagikan sekarung gandum hinthan, sekarung gandum syair, dan uang perak Nashiriyyah sebanyak 130 dirham.



3. 4.



Sepersepuluh sisanya untuk honor Nazhir (pengawas) wakaf. Tiga ratus dirham uang perak Nashiriyyah untuk bahanbahan makanan dan kue-kue untuk Nisfu Sya’ban menurut pendapat Nazhir wakaf.



5.



Sisanya diberikan kepada para fuqaha, pelajar-pelajar muazin dan pelayan dengan ukuran menurut pendapat kepada sekolah atau untuk tidak memberikannya sama sekali. 25



D. KESIMPULAN Sistem pendanaan pada pendidikan Islam di masa klasik, dalam hal ini sumber biaya dan pola pengelolaannya, bervariasi



25 Wakaf



untuk madrasah Asy-Syamiyyah ini diberikan oleh Sittus Syam, saudara



perempuan Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan Ayvubiah Mesir. Lihat A. Syalabi, op. cit., hlm. 382-3.



Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik



231



tergantung pada lembaga itu sendiri, pemberi dan pengelola dana. Lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh pemerintah melalui kas negara dan wakaf, memiliki pola pengelolaan keuangan yang sentralistik. Semua rencana ang- garan belanja diatur sesuai dengan pola pendidikan tersebut.



pemegang



otoritas



kekuasaan



lembaga



Sistem desentralisasi—di mana penyelenggara dan pengurus pendidikan memiliki hak penuh untuk mengatur— sebagian besar diterapkan pada lembaga pendidikan infor- mal dan sedikit lembaga formal. Sumber dananya banyak berasal dari orang tua, siswa, sumbangan dermawan, wakaf, maupun pengajar di lembaga pendidikan tersebut. Tradisional dan nontradisional membagi sistem ke- uangan desentralisasi ini dalam tata cara pengelolaannya. Corak tradisional memiliki ciri fleksibilitas tanpa manajemen terarah. Berbagai sumber biaya dalam sistem desentralisasi— kecuali wakaf—masuk dalam corak ini. Sedangkan corak nontradisional mempunyai rencana jangka panjang yang partisipatif dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Wakaf yang desentralitis merupakan sumber dana dengan pengelolaan seperti ini.



233



BAB XVII



Mazhab-mazhab Dalam Pendidikan Islam



(Analisis Terhadap Konsep Para Tokoh Pendidikan Islam Klasik)



Oleh: Lathifatul Hasanah



A. PENDAHULUAN Mazhab secara terminologis memiliki beberapa arti. Pertama, tempat kembali atau rujukan mengenai hukum fiqih yang menjadi ikutan umat Islam yang dikenal empat mazhab, yakni mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. 1 Dasar pembentukan mazhab berdasarkan pada pola atau kecenderungan pemikiran tokoh pembentuknya. Imam Maliki hidup dalam komunitas masyarakat Madinah yang memegang teguh norma-norma agama, terutama Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, pola pemikiran yang berkem- bang dalam masyarakat demikian ini adalah pemikiran normatif-religius. Sementara Hanafi lebih rasional dan cenderung menempatkan pemikiran logis dalam setiap istinbath hukum yang dikeluarkannya. Imam Syafi’i berbeda dengan penda- hulunya, cenderung berpikir eklektis dan Arabisme. Sedang-



1Kamus Besar Bahasa Indonesia,



640.



Depdikbud, Balai Pustaka, 1993, hlm.



Sejarah Pendidikan Islam



234



kan Ahmad bin Hanbal lebih kuat orientasinya pada tradisi (hadis) nabi. Kedua, mazhab berarti golongan pemikir yang sepaham dalam suatu teori ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang pengetahuan. Ketiga, dalam pembicaraan atau diskursus filsafat atau kalam, mazhab berarti school, paham, aliran yang dianut dan menjadi mainstrem pemikiran tertentu di bidang filsafat atau teologi. Misalnya Al-Farabi’s School, yaitu mazhab yang mengikuti pola pemikiran AlFarabi; Kindian School, mazhab yang mengikuti pemikiran Al-Kindi dalam lapangan filsafat Islam. 2 Mazhab dalam arti ini sama dengan firqah dalam kajian ilmu kalam (teologi). Dari pengertian di atas tampaknya arti kedua dan ketiga lebih dekat dan tepat untuk kepentingan pembahasan me- ngenai mazhab pendidikan Islam. Penelusuran semantis ini penting untuk mengetahui sekaligus menempatkan adakah pendidikan Islam dalam sejarahnya memiliki mazhab tertentu atau mazhab-mazhab yang berbeda. Pembatasan istilah ini meniscayakan penelusuran lebih jauh terhadap tokoh (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan Islam atau berdasar- kan wacana pemikiran yang dikembangkan masingmasing tokoh, atau mungkin berdasarkan teritori/wilayah tertentu di mana sang tokoh atau lembaga pendidikan berada. Hal ini mungkin terjadi, sebab cakupan pendidikan Islam klasik di satu sisi, tidak mengenal batas wilayah, tapi di sisi lain tampaknya seseorang yang mengembangkan wacana filo-



Joel L. Kraemer, Humanism in the Renaissance of Islam (Leiden E.J. Brill, 1986), bab II. Lihat juga Everett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and its Tate, (New Haven-Connecticut American Oriental Society, 1988). 2 Baca



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



235



sofis tidak begitu saja dapat dimasukkan sebagai tokoh (yang benarbenar) dalam lapangan pendidikan Islam. Keberatan- keberatan ini menambah kesulitan untuk mengidentifikasi dan menemukan adakah mazhab itu berlaku dalam kajian pendidikan Islam klasik. Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kemu- dian merekonstruksi dan menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan implementasinya dalam pemi- kiran pendidikan Islam. Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Ibn Sina, Ikhwanus Shafa, Ibn Miskawaih, Al-Ghazali, Al-Qabisi, Al-Mawardi, Ibn Khaldun, Ibn Shahnun, Ibn Jama’ah, Al-Zarnuji, dan Ibn Taimiyah. Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran pendidikan Islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena memang umumnya pemikir (yang dimasuk- kan sebagai tokoh) pendidikan Islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus membahas mengenai pendidikan Islam, tetapi lebih sebagai pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan, si terdidik (pan- dangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat pendidikan. Dengan alasan itu, analisis terhadap mazhab atau aliran pendidikan Islam—meskipun agak dipaksakan—mengguna- kan kerangka pandang modern yang membagi aliran pen- didikan menjadi tiga kategori besar, yaitu nativisme empirisme



Sejarah Pendidikan Islam



236



dan konvergensi yang masing-masing dikembangkan oleh John Locke (1632), William Stern (1871-1938) dan Schoupen- heuer (1788-1860). Acuan ini hanya sebagai pisau analisis atau “kacamata”, tidak berarti menafikan keberbedaan yang mungkin ditemukan dalam mazhab pendidikan Islam. De- ngan cara pandang demikian ini diharapkan dapat dibangun kerangka teori mengenai mazhab pendidikan Islam.



B.



MENGENAL PEMIKIRAN TOKOH



Pemikiran pendidikan Islam pada dasarnya dibangun di atas landasan berbagai pemikiran filosofis, etis, dan ideologis yang bersumber secara normatif dari Alquran dan Sunnah Nabawiyah maupun historis dari para pemikir Yunani dan filosof Muslim. Konsep ilmu pengetahuan, kebaikan, keba- hagiaan, manusia (guru dan anak didik), dan tujuan pendi- dikan Islam dengan jelas dipengaruhi oleh pemikiran filosofis, etis, dan ideologis tersebut. 3 Adanya pengaruh ini akan me- mudahkan pencarian mazhab atau arus pemikiran apa yang dikembangkan dalam pendidikan Islam. Berikut akan dianalisis pemikiran yang dianggap represen- tasi tokoh pendidikan Islam, serta mazhab yang mereka anut.



1. Ibnu Sina Ibnu Sina sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang filosof ketimbang pakar atau pemikir pendidikan. Namun, klasifikasi



Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Arab Klasik dan Pertengahan, terjemahan Abuddin Nata dari Muslim Educational Thought in the Middle Ages, (Montreal, Canada, 2000), bab II, III. 3 Ziauddin



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



237



ilmu yang tidak tedalu rigid saat itu menjadikan seorang filo- sof, termasuk Ibnu Sina, mengetahui dan menguasai segala jenis ilmu secara excellent, antara lain mengenai pendidikan. Konsep pendidikan Ibnu Sina, misalnya, dalam banyak hal merupakan sintesis antara pemikiran Yunani (terutama Aristoteles dan neo-Platonis) dan Islam, karena dia lahir dan dibesarkan dalam sebuah tradisi berfilsafat yang sedang merebak di kalangan umat Islam. Sebagai bukti masa yang mengantarai Al-Farabi dengan Ibnu Sina terdapat beberapa figur yang signifikan dan menjadi latar belakang bagi Ibnu Sina. Beberapa nama yang dapat disebut sebagai figur saintis/ ilmuwan, antara lain Abu Al-Wafa’, Abu Sahi Al-Kuhi, Ibn Yunus, Abd Al-Jalil Al-Sijzi, Al-Biruni, 4 dan Ikhwan Al- Shafa’. 5 Dua figur terakhir ini oleh Seyyed Hussein Nasr diang- gap sebagai pendahulu yang signifikan terhadap Ibnu Sina. Figur ensiklopedis yang juga mengantarai Ibnu Sina adalah



4 Al-Biruni sangat tertarik pada tulisan-tulisan Al-Razi. Selain menulis bibliografi karya-karya Al-Razi Al-Biruni juga menunjukkan ketajaman ana- lisis dan kritiknya terhadap sejumlah doktrin Al-Razi yang dianggap kurang tepat. Sebagaimana diketahui, Al-Razi membawa pemikiran-pemikiran yang radikal dalam sistem filsafat Islam. Uraian lengkap lihat Seyyed Hussein Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (Colorado: Shambala Publication Ltd., 1978), bagian II, hlm. 107176. 5 Ikhwan Al-Shafa’ terutama signifikan sebagai propaganda ide-ide Pythagorean dan Hermetik yang kemudian banyak mempengaruhi Isma’illi- yah. Mengenal pengaruhnya terhadap Ibnu Sina lihat Ibid' bagian I, hlm. 25-106. Ian Richard Netton dalam Muslim Neoplatonisis: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purify (Ikhwan Al-Shafa’), (Edinburgh University Press, 1991) membahas secara detail ajaran-ajaran Ikhwan AlShafa’, aksesnya terhadap pemikiran Yunani, dan pengaruhnya di kalangan Ismailiyah. Buku lain yang membahas Ikhwan Al-Shafa, ini adalah tulisan Jabbur Abd Al-Nur, Ikhwanal-Shafa’, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1961).



Sejarah Pendidikan Islam



238



Al-Khawarizmi yang menulis Mafatih al-’Ulum, dan Ibnu Nadhim yang terkenal sebagai pengarang Fihrist. Selain itu ada beberapa filosof dan logician (ahli logika) terkemuka se- perti Abu Al-Barakat AlBaghdadi, 6 Ibnu Miskawaih (325/ 936-421 /1030); 7 dan tokoh semasa dengan Ibnu Sina yang menulis etika seperti Abu Sulaiman Al-Sijistani (912-985 M), muridnya yang bernama Abu Hayyan AlTawhidi (lahir 310 H/922 M), dan Abu Al-Hasan Al-Amiri (381/992), murid Abu Zaid Al-Balkhi, seorang geografer. 8 Lebih dari itu, A1-’ Amiri dianggap sebagai peletak dasar bagi bangunan mazhab filosof-saintis yang puncaknya berada di tangan Ibnu Sina. 9 Meskipun demikian, kita tidak bisa serta merta me- ngatakan Ibnu Sina mengikuti salah satu mazhab pemikiran tersebut. Sebagai pemikir-intelektual independen, Ibnu Sina membangun sendiri warna pemikiran filosofis-idealis yang bertitik-tumpu pada fondasi yang dibangun para pendahu-



6 Pentingnya



Abu Al-Barakat terutama karena kritiknya terhadap teori Aristotelian mengenai gerak proyektil dan hubungannya dengan teori Ibnu Sina. (Lih. SH. Nasr, Three Muslim Sages, footnote 33 hlm. 137). 7 Miskawaih terkenal sebagai ahli etika terutama karyanya Tahdsgb al- Akhlaq (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985). Terjemahan Indonesianya oleh Helmi Hidayat berjudul Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1997).



8 Signifikansi



tokoh-tokoh ini dibahas tuntas oleh Joel L. Kraemer, Humanism in the



Renaissance of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1986). Buku ini meru- pakan karva mutakhir yang



menyingkap “awan” yang selama ini menyeli- muti sejarah filsafat Islam, terutama berkenaan dengan filosof-filosof Mus- lim yang belum dikenal di lingkungan akademisi dan ilmuwan yang tertarik terhadap filsafat Islam. 9 Seyyed



Hossein Nasr, Three Muslim Sages Avicenna-Suhrawardi-lbn ‘Arabi, (Cambridge Harvard University Press, 1964), hlm. 19-20.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



239



lunya. Oleh sebab itu, di kalangan filosof Ibnu Sina dikenal sebagai pembangun filsafat peripatetik (al-Hikmah al-Masy- sya’iyah). Apakah mazhab pendidikan yang dianut Ibn Sina juga bertumpu pada pemikiran filosofis-idealis? Jika menilik tujuan pendidikan yang dirumuskan Ibn Sina, yaitu pengem- bangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, meliputi fisik, intelektual, dan budi pekerti, tampaknya Ibn Sina berdiri di antara fak- tor dasar (potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, fitrah) dan ajar (pembinaan yang dilakukan melalui pendidikan). Ini berarti, dalam pandangan Barat, Ibn Sina mengikuti mazhab konvergensi. Selain itu, Ibnu Sina berpendapat, tujuan pen- didikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan sese- orang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan dan potensi yang dimili- kinya. Juga diberikan pendidikan keterampilan supaya tumbuh tenaga-tenaga profesional. Pandangan ini tidak akan jelas tanpa mengaitkan dengan pandangannya mengenai hakikat manusia (anak didik) dan materi kurikulum yang dirumuskan oleh Ibn Sina. Pandangan dasar Ibn Sina tentang manusia bertolak dari ke”duaan”, yaitu tubuh dan jiwa manusia sebagaimana pandangan filosof Yunani dan diikuti oleh beberapa filosof lain. 10 Karena mengakui dualitas ini, Ibn Sina menghendaki:



10 Pembahasan



mengenai tubuh dan jiwa dalam filsafat Ibnu Sina baca: TJ. De Boer, Tarikh, al-Falsafah fi al-lslam (Cairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah al-Nasyir, tt); Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), dan lainlain.



Sejarah Pendidikan Islam



240



pertama, tujuan utama (ultimate goal) pendidikan adalah lahirnya insan kamil, yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Kedua, tersedianya kuri- kulum yang memungkinkan berkembangnya seluruh potensi manusia, meliputi dimensi fisik, intelektual, dan jiwa. 11 Kurikulum, menurut Ibnu Sina lebih lanjut, harus di- dasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Pada anak usia 3 sampai 5 tahun perlu diberikan pelajaran olah- raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian. Sedangkan untuk anak usia 6 sampai 14 tahun mata pelajaran yang cocok diberikan adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal Alquran, pendidikan agama, syair dan olah- raga. Untuk anak diusia 14 tahun ke atas harus menerima mata pelajaran yang jumlahnya lebih banyak, tapi harus disesuaikan dengan minat dan bakat mereka. Sehingga mereka akan belajar dengan suasana yang menyenangkan. Menyangkut metode belajar, Ibnu Sina berpandangan bahwa suatu pelajaran tertentu tidak akan bisa dijelaskan kepada bermacammacam anak didik dengan satu siswa saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Penyampaian materi pelajaran pada anak harus disesuaikan dengan sifat materi tersebut sehingga antara materi dan metode akan terintegrasi. Adapun metode yang dikemukakan adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan, teladan, magang, dan penugasan.



11 Bandingkan



Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:



RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 68-74.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



241



2. Ibn Miskawaih Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai ahli etika ketim- bang seorang filosof. Etika mempunyai hubungan dengan psikologi, bidang yang juga menjadi perhatian serius Ibnu Sina. Salah satu karya utamanya yang banyak berbicara tentang etika dan jiwa adalah Tahdzib al-Akhlaq. Ia menggu- nakan prinsip-prinsip yang diikuti oleh para pemikir per- tengahan akhir abad ke-4, yaitu jiwa merupakan atom tunggal yang tidak bisa diindera dan ia bisa dikenal adanya dan ia tahu bahwa ia diketahui. Jiwa adalah jauhar ruhani yang kekal. Ia tidak akan hancur karena kematian jasad. Sebagaimana filosof pendahulunya, Ibnu Miskawaih juga menyebutkan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya teren- dah, daya kebinatangan atau daya marah (al-nafs al-sabilijjahiJ sebagai daya tengah, dan daya pikir (al-nafs al-nathiqoh) sebagai daya tertinggi. Daya yang terakhir ini terdiri dari dua bagian, yaitu akal teoretis (al-nadzary) dan praktis (al- ’amali)12 Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadi- annya berbeda. Daya bernafsu dan marah berasal dari unsur materi sedangkan daya pikir berasal dari immateri. Daya yang berasal dari materi bakal hancur bersama hancurnya tubuh, sedangkan daya immateri akan kekal. Ia akan menerima balasan di akhirat nanti dan akan mengalami kebahagiaan.” Namun demikian, Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa ketiga daya itu diperlukan untuk kebahagiaan manusia. Namun jiwa



l2 Ibnu



62.



Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, (Cairo: Ttp, 1908), hlm. 57-58,



Sejarah Pendidikan Islam



242



itu harus dikontrol atau dikendalikan agar mencapai keadaan jiwa yang seimbang (moderat, wasatiyah). Dengan pemikiran inilah Ibnu Miskawaih mengaitkan daya-daya ini dengan sifat-sifat keutamaan. Sifat hikmah (al-hikmah) adalah sifat utama bagi daya berpikir (al-nafs al-nathiqah) dan ia lahir dari ilmu. Sifat ini merupakan sifat tengah antara ekstrim minus (al-tafrith) dungu (al-balah) dan ekstrim berlebihan (al-ifrath) lancang (al-safah). Keberanian (a!-saja’ah) adalah sifat perte- ngahan antara takut/pengecut (a-jubn) dan nekat (altahawwur) yang berasal dari al-nafs al-sabuiyah. Adapun al-nafs al-bahimijah akan melahirkan atau sepadan dengan sifat ijfah (menerima apa adanya) yang merupakan sifat tengah antara rakus (al- sjaraf) dan tidak punya keinginan apa-apa (al-khumud). Jika ketiga jenis sifat-sifat keutamaan ini telah serasa dan sepadan, lahirlah sifat utama yang keempat, yaitu adil (al- 'adalah) yang merupakan sifat tengah antara mengalah (al-jawr) dan aniaya (al-indhilam). Keempat sifat utama ini dikenal dengan sebutan al-Fadha’'il al-Arba’ah.14 Sifat-sifat utama tersebut adalah khusus bagi manusia, tidak ada pada hewan. Namun, manusia tidak dapat sendirian mewujudkan sifat-sifat itu. Ia memerlukan orang lain, mem- bantu dan kerja sama dengan sesamanya dalam mewujudkan keempat sifat utama tersebut sehingga dapat tercapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan (alsa’adah). Hanya dalam



13lbid.,



hlm. 58, 59, 80.



14Ibid, hlm. 43, 63, 66; Lihat juga Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaq fi al Islam, (Cairo: Ttp, 1945), him. 85-102; Suwito, Konsep Pendidikan Akhlaq Menurut Ibnu Miskawaih, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Jakarta, 1995. Terutama hlm. 104-135.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



243



masyarakat dan negara manusia dapat mencapai sifat-sifat keutamaannya. Ibnu Miskawaih menolak orang yang me- mandang adanya sifat mandiri dari kehidupan sosial. Ke- utamaan itu tidak bersifat anti sesuatu atau berpikir negatif, tetapi bersifat tindakan atau berpikir positif yang lahir dari kesertaan individu dalam hidup sosial. 15 Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Miskawaih tampaknya lebih memilih mazhab (aliran pemikiran) rasionalis-idealis dengan mengikuti Aristoteles (lebih dominan) dan Plato terutama pada persoalan etika. 16 Namun demikian, ia juga seorang moralis. Ini tampak dalam hampir seluruh konsep pendidikan Miskawaih yang berpangkal dan berujung pada as-sa’adat (kebahagiaan). Sebagaimana Aristoteles yang merumuskan tujuan akhir manusia adalah mendapatkan kebahagiaan, 17 Ibn Miskawaih mengelaborasinya lebih jauh dengan prinsip- prinsip Islam 18 mengenai as-sa’adat (happiness). Menurutnya, tujuan pendidikan (akhlak) adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati. 19 Kebahagiaan sejati itu bisa tercapai jika di dalam diri manusia terdapat empat keutamaan (alfadha’il al-arba’ah) di atas, yaitu ijfah, al-saja’ah, al-hikmah dan al- 'adalah yang masing-masing keutamaan ini merupakan jalan tengah (al-wasath) dari dua ekstrimitas yang



15 Miskawaih,



hlm. 84; Yusuf Musa, hlm. 102.



Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 30-31. hlm. 30.



16 Lihat 17 Ibid.,



Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 9. Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 11. 18



19 Abuddin



Sejarah Pendidikan Islam



244



melekat pada jiwa manusia. Merujuk pada pemikiran Yunani, doktrin jalan tengah atau The Golden Mean ini dirumuskan oleh Aristoteles yang kemudian diikuti oleh Al-Kindi dan Ibn Sina. 20 Dalam membahas pendidikan akhlak ini Ibnu Miska- waih cenderung bersikap konvergensi, yang di satu sisi dia mengatakan bahwa jiwa seorang anak adalah bersih dan siap menerima pengaruh apa saja yang diberikan orang tuanya. Namun di sisi lain, dia mengatakan bahwa lingkungan memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, pembinaan akhlak perlu diusahakan dan perubahan akhlak perlu dilaku- kan melalui proses secara bertahap. Dan orang yang ingin mencapai akhlak yang baik harus berlatih semaksimal mung- kin. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang tidak bisa berpikir. Tugas orang tua menurut Miskawaih adalah melatih putraputrinya agar memiliki akhlak yang baik dengan metode disiplin, kasih sayang dan hukuman kalau dirasa perlu. Namun hukuman itu harus dilakukan secara hati-hati dan dilakukan searif mungkin, jangan menghukum anak di depan teman- temannya. Ada beberapa pedoman pendidikan akhlak yang harus diberikan kepada anak, misalnya: 1.



Seorang anak harus dididik memiliki kehidupan seder- hana.



2.



Seorang anak harus tumbuh di antara orang-orang bijak.



20 Abuddin



Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 8; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 30.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



3.



245



Pendidikan anak harus dimulai dengan memberikan perhatian terhadap aturan ketika makan. Seorang laki-laki harus dibiasakan tidak banyak tidur dan



4.



diberikan fasilitas yang terlalu mewah dan jangan diajar- kan untuk mencintai emas. Pandangan pendidikan secara umum terpengaruh oleh Aristoteles yang menekankan segi intelektualitas dan mora- litas. Dengan dua aspek tersebut anak dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dia juga memprioritaskan pendi- dikan fisik karena tanpa latihan fisik daya intelektual anak juga tidak akan berkembang secara maksimal.



3. Al-Ghazali Al-Ghazali juga membicarakan mengenai filsafat etika. Namun berbeda dengan Miskawaih, Al-Ghazali mendasarkan filsafat etikanya pada teori bahwa unsur fundamental dari naluri manusia adalah pemikiran, rasa kebanggaan diri, dan dorongan nafsu yang pemenuhannya harus seimbang. 21 Pada bagian lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan ma- nusia dinilai baik jika ditopang adanya supremasi pemikiran/ rasio dan pengabdian kepada Allah. Pada tataran ini Al- Ghazali sebenarnya mengikuti paham idealisspiritualis. 22 Namun, penelusuran lebih lanjut terhadap konsep pendidikan Al-Ghazali, terutama berkaitan dengan pendidikan anak,



21 Lihat



Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 52.



22 Untuk



memahami kecenderungan Al-Ghazali pada Idealis-spiritualis ini ada baiknya dibandingkan dengan Osman Bakar, Hierarki llmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 213-215.



246



Sejarah Pendidikan Islam



tampaknya Al-Ghazali memadukan antara unsur nativisme (dalam arti Barat) dan empirisme. Ini tampak pada pandangan- nya bahwa “nasib seorang anak berada di tangan kedua orang tua. Hati si anak ibarat gelas bening atau lilin putih yang belum ternoda pun. Karena itu orang tua bertanggung jawab mendidik anaknya dengan benar. Di tangan mereka inilah jiwa anak yang bersih ini diserahkan. Kekurangan dan kesalahan dalam mendidik anak akan merugikan anak itu sendiri”. 23 Satu hal yang mesti diperhatikan bahwa AlGhazali jelas tidak berdasarkan “teori tabula rasa”nya John Locke, tetapi merujuk pada hadis nabi yang menyebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah). Orang tuanya-lah yang berperan untuk menjadikannya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Hadis ini jika dilihat dari perspektif aliran pendidikan modern mirip dengan teori konvergensinya Schoupenheuer. Namun, lagi-lagi harus dikatakan bahwa justru Islamlah yang mengintrodusir perlunya faktor fitrah (seperti nativis) dan lingkungan (seperti pandangan empiris). Dan tampaknya Al-Ghazali berada di paham ini. Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keba- hagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam, menurutnya harus mengembangkan budi pekerti seperti kepatuhan, kesederhanaan, menjauhi kemewahan dan kesombongan. Pendidikan Islam juga harus dapat membentuk anak didik



23 Lihat Mehdi Nakostayi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 130; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 54; Bandingkan dengan penjelasan Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), hlm. 132-33.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



247



mencintai dan memiliki kesadaran untuk mempelajari Al- quran dan Hadis serta membiasakan anak melaksanakan shalat secara teratur. Kurikulumnya meliputi Alquran, hadis, fiqih, tafsir, nahwu, serta ilmu yang bersifat fardhu kifayah, seperti kedokteran, filsafat, matematika, teknologi, politik, dan ilmu akliyah lainnya. 24 Pandangan Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih ditekankan pada pengajaran untuk anak-anak. Metode men- didik anak sangat penting dan ini menjadi tanggung jawab dan amanah orang tuanya. Jika anak dibesarkan dengan hal-hal yang baik dan diajarkan dengan cara yang baik pula, mereka akan tumbuh dalam kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Metode yang efektif adalah metode keteladanan, dalam membina mental dan moral anak-anak.



4. Ikhwan Al-Shafa Ikhwan Al-Shafa merupakan kelompok persaudaraan para filosof dan pemikir yang diduga hidup di Basrah sekitar paruh kedua abad 4 H/10 M pada saat Baghdad berada di bawah pemerintahan Bani Buwaihi. 25 Gerakan ini bersifat rahasia dan memiliki pemikiran yang radikal. Ketika kebe- basan berpikir dibatasi, kelompok ini menempuh cara berbuat bebas secara rahasia dan menghimpun pemikiran filsafat



24 Hasan Asari, “The Educational Thought of Al-Ghazali”, Thesis, Institute of Islamic Studies Me Gill Montreal Canada, 1993. 25 Majid



Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (London: Ttp, 1983), hlm. 164.



Sejarah Pendidikan Islam



248



Yunani ke dalam sejumlah buku yang dikenal dengan Kasa’il Ikhwan Al-Shafa. Sistem pemikiran mereka merupakan kom- promi secara eklektik dari pemikiran Platonisme, Aristote- lianisme, NeoPlatonisme, Mu’tazilah dan Isma’iliah. 26 Karena itu, pemikiranpemikiran dalam pendidikannya pun berdasarkan pada sintesa pemikiran Yunani dan Islam. Kontribusi penting dari Ikhwan Al-Shafa untuk teori pendidikan adalah konsep pendidikan dan pengajaran anak dan remaja. Menurut Ikhwan, selama 4 tahun pertama dalam hidupnya seorang pelajar memperoleh pengetahuan melalui indera (khawas) dan instink (garaizah). Pendidikan konvensi- onal dimulai di maktab atau sekolah dasar di bawah bimbingan guru (mu’alim). Pendidikan remaja memperoleh perhatian utama dalam konsepsi Ikhwan Al-Shafa. Karena itu, remaja harus dididik di level yang lebih tinggi oleh seorang guru yang disebut ustad di lembaga yang disebut majelis. Subjek yang diajarkan adalah ‘ilm (dalam konteks filsafat dan sains). Sebelum memperoleh pengajaran, akal (‘aql bi al-quwwah, mind)— bukan fitrah27 seperti halnya pemikiran pendidikan biasanya karena Ikhwan Al-Shafa konsen terhadap filsafat



26 Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonist, (Edinburgh: Edinburgh Uni- versity Press, 1991), hlm. 100, dst. 27 Ada



beberapa penafsiran mengenai fitrah, antara lain: (1) Fitrah yang berarti suci/bersih, yaitu manusia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa- apa. Sesuai dengan hadis Nabi ‘Tidaklah seorang anak itu dilahirkan, melainkan mempunyai fitrah Islam. Maka orang tuanyalah yang mempengaruhi menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (2)Fitrah berarti Tauhid. (3) Fitrah yang berarti Islam, dan (4) Penggabungan keduanya (Islam dan tauhid). Baca selengkap- nya misalnya Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Alquran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 57 dst.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



249



yang mengagungkan akal—dilukiskan ibarat tabularasa, yaitu akal masih potensial (emanasi dari 'aql bi al-kulli), Ibarat kertas yang putih bersih tanpa tulisan di atasnya. Bila sudah tertera tulisan, ia sulit melukisnya atau mengganti dengan tulisan lain. Oleh sebab itu, tidak ada gunanya, membuang-buang waktu bagi orang tua untuk mengubah pengetahuan yang salah, pandangan yang keliru dan kebiasaan buruk pada anak. Maka semua perhatian harus diarahkan kepada remaja. Karena itu, menurut Ikhwan Al-Shafa, hubungan pelajar remaja dengan gurunya harus dinilai sebagai hubungan spiritual (ibnu nafsani), pelajar sebagai anak spiritual dari gurunya. Hubungan yang bersifat fisik berhenti karena kematian, sedangkan hubungan spiritual tidak mengenal akhir karena jiwa tetap hidup meski- pun raga telah mati. 28 Pada titik ini tampak Ikhwan Al-Shafa mempertim- bangkan bahwa potensi bawaan (dalam hal ini akal)—terutama pada tahuntahun awal kehidupan manusia—kurang penting karena boleh jadi sudah tercemar dengan kondisi lingkungan. Karena itu harus ada bentuk pengajaran lebih tinggi yang diarahkan pada remaja dalam hubungan yang sifatnya spiri- tual. Dengan pemahaman ini bisa disebut bahwa Ikhwan Al- Shafa menganut mazhab spiritualis murni. Hal ini tampak pada pemikirannya berikut. Pertama, tu- juan pendidikan atau pengajaran remaja adalah agar mereka memiliki ketinggian akal, ilmu, akhlak, dan kesetiaan sehingga



28 Umar Farukh, “Ikhwan al-Shafa an Introduction”, dalam M.M. Sharif (ed.), History Muslim Philosophy, (Liebaden: Otto Harrasowitz, 1963); Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa, vol. IV, (Cairo: Ttp., 1928), hlm. 113-6.



Sejarah Pendidikan Islam



250



siap menjadi calon-calon pemimpin yang berkualitas. Kedua, semua pengetahuan yang bermanfaat harus diajarkan kepada remaja termasuk kerajinan tangan dan musik karena semua itu kondusif untuk proses penghalusan (tahdzib), penyucian (tathir), penyelerasan akhir (tathmim) dan penyempurnaan (takmil) kepribadian remaja. 29 Jadi, meskipun ada kurikulum atau materi yang sifatnya fisik, tetapi arahnya



pada



pengem-



bangan kepribadian,



spiritual.



Ketiga,



rekruitmen anggota (murid) dalam kelompok (persaudaraan) sangat memen- tingkan ketinggian akhlak, kesucian, dan kualifikasi tertentu. Oleh sebab itu, Ikhwan Al-Shafa membagi kelompok belajar berdasarkan kategori umur dan kualitas kebijaksanaan (wisdom) anggotanya. a.



Kelompok I dijuluki Ikhwan “yang saleh dan pengasih” (al-



b.



abrar al-ruhama). Berumur 15-29 tahun, dari kalangan pengrajin (umur dan asal seseorang bukan dalam kategori fisik dan apa yang ada di masyarakat, tetapi representasi spiritualitas pada dngkat rendah). Kelompok II disebut Ikhwan “yang religius dan terpela- jar” (al-akhyar al-fudhala). Berumur 30-39 dari kalangan politisi.



c.



Kelompok III disebut Ikhwan “yang mulia, terpelajar dan bijaksana (al-fudhala’ al-kiram). Berumur 40-50 dari ka- langan raja dan sultan (bukan dalam pengertian negara, tetapi tingkat kesucian dan ketinggian spiritualitas sese- orang).



29 Tibawi,



“Ikhwan al-Shafa and Their Rasa’il”, dalam The Islamic Quar- terly, vol. 21,



no. 3, tahun 1938, hlm. 62.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



d.



251



Kelompok IV, tingkat tertinggi, disebut sebagai kelom- pok pada level malaikat (al-martabat al-malakiyah). Hanya bisa dicapai oleh manusia yang berumur 50 tahun. Para nabi, seperti Ibrahim, Yusuf, Isa, dan Muhammad; filosof seperti Phytagoras berada pada level ini. 30



5. Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. Dia seorang filosof dan Bapak sosiolog dan antropolog Is- lam. Latar belakang dan kariernya sebagai guru di berbagai universitas di Mesir, birokrat, dan hakim menjadikannya matang dalam mengelaborasi teori-teori sosiologi maupun pemikiran pendidikannya. Berbeda dengan pemikiran umumnya filosof, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak pada segi kepribadian atau akalnya, tapi manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan masyarakat. Sebagai seorang sosiolog dia lebih realis dan sosiologis dalam memandang sesuatu. Namun, sebagai filosof, pemikiran filosofis juga tidak dipungkiri. Dalam kitab Muqaddimahnya, bab keenam dari pasal pertama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa yang membedakan manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang tidak. Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari penghidupannya, dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah timbulnya ilmu pengetahuan. Binatang lain bisa menyadari adanya benda-benda lain di luar dirinya, dengan perantaraan indera luarnya, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman,



30



Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonist, hlm. 38.



Sejarah Pendidikan Islam



252



cita rasa dan persentuhan. Namun, manusia melebihi binatang dan makhluk lainnya karena dia dapat memikirkan bendabenda lain yang berada di luar dirinya sendiri. Melalui



perantaraan



kemampuan



berpikirnya,



dia



dapat



membuat gambaran-gambaran dari sensibilia (benda-benda yang dapat dijangkau indera) dan membuat abstraksi-abstrak- si. 31 Di samping itu, melalui pemikirannya manusia dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga sikap hidup bermasyarakat yang kemudian membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lain saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai panca indera. Ilmu demikian itu mesti diperoleh dari orang lain yang lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu dapat ter- capai, perlu diselenggarakan pendidikan. Pada bagian lain Ibnu Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar manusia di samping harus sungguh-sungguh juga punya bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang ber- macam-macam itu seseorang tidak hanya butuh ketekunan, tapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu memerlukan pengajaran. Pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia ini berim- plikasi pada pandangannya terhadap komponen pendidikan lainnya. Dalam mengajarkan ilmu kepada murid, misalnya



3l Hamdani



Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 113.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



253



hanya berhasil kalau dilakukan secara bertahap, dari yang sederhana sampai yang sulit, penjelasan-penjelasannya sing- kat, dalam garis besar sampai rumit. Perlu diperhadkan pula kemampuan akal murid sehingga materi yang diajarkan dapat mudah ditangkap. Berkenaan dengan guru, Ibnu Khaldun menganjurkan agar mengikuti perkembangan anak ini secara teliti. Karena keberhasilan guru dalam mengajar tergantung sejauhmana dia mampu melihat perkembangan murid dan mengajarkan sesuatu yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Oleh sebab itu, dia mencela guru yang tidak mempunyai metode mengajar secara tepat. Menurutnya ini awal dari kegagalan guru dalam mengajar. 32 Selanjutnya, Ibnu Khaldun membuat klasifikasi ilmu meliputi; pertama, ilmu lisan (bahasa), yaitu gramatika dan syair; kedua, ilmu naqli yang bersumber dari Alquran dan Sunnah kemudian dihasilkan ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti fiqih, ushul, tafsir, ilmu hadis. Dan ketiga, ilmu aqli yang meli- puti ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, teknik hitung, perbintangan dan sebagainya. Dari klasifikasi itu, kurikulum atau materi yang diajarkan kepada anak adalah ilmu syariah, filsafat, ilmu alat (bahasa), dan mantiq. 33



6. Ibnu Taimiyah Jika para tokoh di atas adalah para filosof, Ibnu Taimiyah (12631328) lebih sebagai teolog dan ideolog. Karena itu,



32 Azra’ie Zakaria, “Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun”, Tesis Program Pascasarjana IAIN Jakarta, 1995, bab II, III. 33 Abuddin



Nata, Filsafat Pendidikan Islam, jilid I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 175-6.



Sejarah Pendidikan Islam



254



dalam menjelaskan persoalan pendidikan—meskipun bidang ini sebenarnya tidak ditekuninya—watak ideologis dan teolo- gisnya (filosofis-normatif) lebih kentara. Dia berpandangan bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahami- nya secara mendalam merupakan sikap ketakwaan kepada Allah. Di sini jelas sikap Ibnu Taimiyah dalam memandang ilmu yang sifatnya teosentris. Oleh sebab itu, dalam aspek- aspek lain pun, pandangan ini sangat kental. Falsafah pendi- dikan, menurutnya, harus dibangun di atas landasan tauhid, keimanan kepada keesaan Tuhan. Tauhid yang menjadi asas pendidikan meliputi tauhid rububiyah, uluhiyah dan tauhid asma wa shifat.34 Pandangan ini berangkat dari pandangan dunia Islam (worldview weltanschaung) bahwa tauhid merupakan fon- dasi dari peradaban, kebudayaan Islam. Pendidikan, sebagai salah satu kelembagaan Islam yang dengan sendirinya terkait dengan Islam, haruslah dibangun di atas landasan yang benar tentang tauhid. Berdasarkan pandangan tauhid inilah kemu- dian Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang tujuan pendidikan, anak didik, guru, kurikulum, dan sebagainya. Tabiat kemanusiaan manusia, menurutnya, berkecende- rungan mengesakan Tuhan (tauhid) sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Tuhan, alastu birabbikum, qalu bala syahidna. Ka- rena kecenderungan inilah manusia harus dididik dan diajar agar potensi, fitrah perenialnya terjaga, tetap suci dan berkem- bang secara wajar. Berangkat dari hakikat manusia ini, tujuan pendidikan menurut Ibnu Taimiyah diarahkan pada tiga hal. Pertama, tujuan individual yang diarahkan pada pembentukan



34 Abuddin



Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 139-40.



Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam



255



pribadi Muslim yang berpikir, merasa, dan bekerja sesuai dengan perintah Alquran dan al-Sunnah. Kedua, tujuan sosial yang diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik sesuai dengan petunjuk Alquran dan al-Sunnah. Ketiga, tujuan dakwah Islamiyah, yaitu tugas mengarahkan manusia agar siap dan mampu memikul tugas mengembangkan dakwah Islam. Apa materi yang diajarkan? Ibnu Taimiyah membagi kurikulum pendidikan pada empat tahap. Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan pengesaan Allah (tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan ma’rifat terhadap ilmu- ilmu Allah. Ketiga, kurikulum yang berhubungan dengan upaya mendorong manusia mengetahui (ma’rifat) terhadap kekuasaan Allah. Dan keempat, kurikulum yang berhubungan dengan upaya untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah. Dari keempat tingkat ini Ibnu Taimiyah menjelaskan lebih detail bentuk kurikulum dan materi yang diajarkan kepada anak. 33 Namun, secara jelas diketahui bahwa muara atau pangkal pengajaran dan pendidikan ala Ibnu Taimiyah adalah pendidikan tauhid.



C.



KESIMPULAN



Berdasarkan analisis terhadap empat tokoh pendidikan Islam di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mengikuti pola mazhab tertentu yang menjadi mainstream pemikiran di zamannya. Memang secara umum bahwa tokoh-tokoh ini mengakui bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun ada kecenderungan karena mereka ini seorang filosof, maka



35 Baca



lebih lanjut



Ibid.



256



Sejarah Pendidikan Islam



pemikirannya lebih “berpihak” pada kekuatan akal (‘aql) atau jiwa (nafs). Sebaliknya, mereka mengembangkan sebuah paham (kalau ini bisa disebut mazhab) sesuai dengan inde- pendensi pemikiran masing-masing. Oleh sebab itu, masing- masing tokoh memiliki “mazhab” tersendiri yang bisa cen- derung mengakui faktor dasar (fitrah, potensi tertentu: jiwa atau akal sesuai dengan kecenderungan pemikiran filsafatnya) atau “nativisme” dalam pengerdan Barat, ada yang mengakui konvergensi (paduan antara dasar dan ajar), atau ada yang sangat idealis-rasionalis (dalam pengertian sistem filsafat yang dianut dari filosof Yunani atau filosof Muslim pemula), dan bahkan ada yang sangat spiritualis. Kategori kedua, kita temukan terutama pada Ibnu Khaldun. Meskipun seorang filosof, tetapi dia lebih cenderung pada realisme karena dia sekaligus sosiolog dan antropolog. Berbeda dari itu, Ibnu Taimiyah mewakili kalangan pemikir pendidikan yang lebih dekat— jika dikatakan—ideologis dan teologis. Sebagai awal kajian pembahasan ini belum memadai untuk menggambarkan adanya mazhab pendidikan Islam. Harus ada kalian serius untuk “membongkar” khazanah pemi- kiran tokoh lain yang menyokong atau berbeda sama sekali dengan “mazhab” yang ada. Semata-mata berpedoman pada model Barat jelas tidak bisa dipertahankan, sebab ada kera- gaman yang tinggi dan independensi di kalangan pemikir Muslim dalam mengembangkan pahamnya.



257



BAB XVIII



Pendidikan Islam di Spanyol Oleh Ahmad lrfan Mufid



A. PENDAHULUAN Negeri Andalus (Spanyol) sejak dari abad VIII Masehi merupakan salah satu pondasi yang kuat dari peradaban, kebudayaan dan pendidikan Islam, yang di mulai dengan mempelajari ilmu agama dan sastra, kemudian meningkat dengan mempelajari ilmu-ilmu akal. Karena dalam waktu relatif singkat Cordova dapat menyaingi kota Baghdad dan Cairo dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III pada abad X Masehi, negeri Andalus telah mencapai puncak kemegahan dalam segi materi dan maknawi serta memperoleh kekuatan dan kebesaran yang telah dicapai oleh kerajaankerajaan di bagian Timur abad IX Masehi. (Dr. Asma Hasan Fahmi, 1979: 22). Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu menda- tangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya menghasilkan para pemikir hebat. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-



258



Sejarah Pendidikan Islam



komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang- orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (orang Islam dari Afrika Utara), al-shaqalibah (penduduk antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol. (Luthfi Abd Al-Badi’, 1969: 38). Dari parafrase di atas penulis ingin mengulas bagaimana perkembangan pendidikan Islam di Spanyol beserta faktor- faktor pendukung kemajuan pendidikan di Spanyol tersebut. Sehingga menjadi perluasan wawasan pemikiran kita menge- nai pendidikan Islam di Spanyol pada masa klasik.



A.



ISLAM MASUK KE SPANYOL



Pada periode klasik paruh pertama—masa kemajuan— (6501000 M.), wilayah kekuasaan Islam meluas melalui Afrika Utara(Aljazair dan Maroko) sampai ke Spanyol di Barat. (Harun Nasution, 1975: 12) Spanyol adalah nama baru bagi Andalusia zaman dahulu. Nama Andalusia berasal dari suku yang menaklukkan Eropa Barat di masa lalu (Ensiklopedi Islam, 1999: 145) sebelum bangsa Goth dan Arab (Islam). Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah dari Dinasti Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Ada tiga nama yang sering disebut berjasa dalam penaklukan Spanyol, yaitu



Pendidikan Islam di Spanyol



259



Musa bin Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad. Dari ketiga nama tersebut, nama terakhirlah yang sering disebut paling terkenal, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian suku Barbar (Muslim dari Afrika Utara) yang didukung Musa bin Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Al-Walid. Pasukannya yang berjumlah 7000 orang menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. (Cari Brockelmann, 1980: 83) Tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick dapat ditaklukkan. Cordova jatuh pada tahun 711 M. Dari sana, wilayah-wilayah Spanyol, seperti Toledo, Sevilla, Malaga, dan Granada dapat dikuasai dengan mudah. Sukses Thariq bin Ziyad di masa Al-Walid (Daulat UmayyahDamaskus) diikuti oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil (penguasa pertama Daulat Umayyah-Spanyol), yang ber- usaha menata sistem pemerintahan. Ia melihat masyarakat Spanyol adalah masyarakat heterogen, baik berdasarkan strata sosial, suku, ras, maupan agama. Dia memiliki tentara yang terorganisir dengan baik yang jumlahnya tidak kurang dari 40.000 tentara bayaran Barbar dan juga membangun angkatan laut yang kuat. Gebrakan lain yang dilakukannya adalah mendirikan masjid agung Cordova dan sekolah di kota-kota besar di Spanyol. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam me- mainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu:



260



1.



Sejarah Pendidikan Islam



Periode Pertama (711-755 M) Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para



wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum terkendali gangguan keamanan masih banyak terjadi di beberapa wilayah, karena pada masa ini adalah masa peletakan dasar, asas dan tujuan invansi Islam di Spanyol. Hal ini ditandai dengan adanya gangguan dari berbagai pihak yang tidak senang terhadap Islam. Sentralisasi kekuasaan masih di bawah Daulat Umayyah di Damaskus. (Mukti AU, 1995: 319).



2.



Periode Kedua (755-912 M)



Pada masa ini Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar AlDakhil (Yang Masuk ke Spanyol). Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas, ketika Bani Abbas berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasil mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd Al Rahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd Al-Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abd Al-Rahman, Munzir ibn Muhammad, dan Abdullah ibn Muhammad. (Badri Yatim, 2000: 95).



Pendidikan Islam di Spanyol



261



Pada masa ini umat Islam di Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik dan per- adaban serta pendidikan. Abd Al-Rahman mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar di Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai pembaru dalam bidang kemi- literan, sedangkan Abd Al-Rahman AlAusath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.(A.Syalabi, jilid 4: 1979: 41-50). Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini, ia mengundang para ahli dari Dunia Islam lainnya untuk datang ke Islam sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak. 5.



Periode Ketiga (912-1013 M)



Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd AlRahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya Muluk alThawaif (raja-raja kelompok). Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar “khalifah”. Pada periode ini juga umat Islam di Spanyol mencapai pun- cak kemajuan dan kejayaan menyaingi Daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd Al-Rahman Al-Nashir mendirikan Universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri per- pustakaan. (Yatim: 97).



4. Periode Keempat (1013-1086 M) Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari tigapuluh negara kecil di bawah perintah raja-raja- golongan atau al-MulukuthTbawaif, yang berpusat di suatu kota, seperti



Sejarah Pendidikan Islam



262



Sevilla, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar di antaranya adalah Abadiyyah di Sevilla. Pada masa ini umat Islam di Spanyol mengalami pertikaian internal.



5.



Periode Kelima (1086-1248) Periode ini terdapat satu kekuatan yang masih dominan, yaitu



kekuasaan



Dinasti



Murabithun



(1086-1143



M)



dan



Dinasti



Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama di Afrika Utara yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesh. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan” raja-raja Islam yang tengah mempertahankan kekuasaannya dari serangan raja-raja Kristen. Dinasti Muwahhidun datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd Mun’im. Antara 1114 dan 1154 M, kota-kota penting umat Islam Cordova, Almeria, dan Granada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Namun pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh keme- nangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya me- milih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. (A.Syalabi: 76).



6.



Periode Keenam (1248—1492 M) Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Gra- nada, di



bawah Dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman



Pendidikan Islam di Spanyol



263



Abd Al-Rahman Al-Nashir. Namun secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Pada periode ini adalah akhir dari eksistensi umat Islam di Spanyol. Menurut Prof. Harun Nasution pada sekitar tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini. (Harun Nasution, 1985: 62). C.



PENDIDIKAN ISLAM DI SPANYOL



Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran per- adaban dan kebudayaan yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad XII. Minat terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan serta filsafat mulai dikembangkan pada abad IX M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman (832-886 M). (Majid Fakhri, 86: 35). Berdasarkan literatur-literatur yang membahas sejarah pendidikan dan sejarah peradaban Islam secara garis besar pendidikan Islam di Spanyol terbagi pada dua bagian atau tingkatan, yaitu:



1. Kuttab Pada lembaga pendidikan Kuttab ini para siswa mem- pelajari beberapa bidang studi dan pelajaran-pelajaran yang meliputi fiqih bahasa dan sastra, serta musik dan kesenian. a.



Fiqih



Dalam bidang fiqih, karena Spanyol Islam menganut mazhab Maliki, maka para ulama memperkenalkan materi-



264



Sejarah Pendidikan Islam



materi fiqih dari mazhab Imam



Maliki. Para ulama yang



memperkenalkan mazhab ini antara lain Ziyad ibn Abd Al-Rahman, perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya di antaranya Abu Bakr ibn Al-Quthiyah, Munzir ibn Said Al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal. (Badri Yatim: 103). Para siswa di kuttab-kuttab tersebut mendapatkan ma- teri fiqih cukup lengkap dan komprehensif dari ulama-ulama tersebut yang kompeten pada disiplin ilmunya. a.



Bahasa dan Sastra



Karena bahasa Arab telah menjadi bahasa resmi dan bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Bahasa Arab ini diajarkan kepada murid-murid dan para pelajar, baik yang Islam maupun non-Islam. Dan hal ini dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mereka rela menomor- duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa arab, sehingga mereka terampil dalam berbicara maupun dalam tata bahasa. Di antara ahli bahasa tersebut yang termasyhur ialah Ibnu Malik penga- rang kitab Alfiah, Ibn Sayyidih, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Garnathi. b.



Musik dan kesenian



Sya’ir merupakan ekspresi utama dari peradaban Spa- nyol. Pada dasarnya sya’ir Spanyol didasarkan pada model- model sya’ir Arab yang membangkitkan sentimen prajurit



Pendidikan Islam di Spanyol



265



dan interes faksional para penakluk Arab. (Ira M. Lapidus, 1999: 584). Dalam bidang musik dan seni, Spanyol Islam memiliki tokoh seniman yang sangat terkenal, yaitu Al-Hasan ibn Nafi dikenal dengan julukan Ziryab (789-857). Sedap kali ada pertemuan dan perjamuan di Cordova, Ziryab selalu mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu, ilmu yang dimilikinya itu diajarkan kepada anak-anaknya, baik lelaki maupun perempuan dan juga ke- pada para budak-budak sehingga kemasyhurannya tersebar luas.(Ahmad Syalabi, 1979: 88).



1. Pendidikan Tinggi Masyarakat Arab yang berada di Spanyol merupakan pelopor peradaban dan kebudayaan juga pendidikan, antara pertengahan abad kedelapan sampai dengan akhir abad kedgabelas. Melalui usaha yang mereka lakukan, ilmu penge- tahuan kuno dan ilmu pengetahuan Islam dapat ditransmisikan ke Eropa. Bani Umayyah yang berada di bawah kekuasaan Al-Hakam menyelenggarakan pengajaran dan telah mem- berikan banyak sekali penghargaan kepada para sarjana. Ia telah membangun Universitas Cordova berdampingan dengan Masjid Abdurrahman III yang selanjutnya tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal di antara jajaran lembaga pendidikan tinggi lainnya di dunia. Universitas ini menandingi dua universitas lainnya, yaitu Al-Azhar di Cairo dan Nizhamiyah di Baghdad, dan telah menarik perhatian para pelajar ddak hanya dari Spanyol, tetapi juga dari tempat lain seperti dari negara-negara Eropa lainnya, Afrika, dan Asia. (Ziauddin Alavi; pen.Abuddin Nata, 2000: 16).



Sejarah Pendidikan Islam



266



Di antara para ulama yang bertugas di Universitas Cor- dova adalah Ibnu Qutaibah yang dikenal sebagai ahli tata bahasa dan Abu Ali Qali yang dikenal sebagai pakar filo- logi. Universitas ini memiliki perpustakaan yang menampung koleksi sekitar empat juta buku. Universitas ini mencakup jurusan yang meliputi astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan hukum. Jumlah muridnya mencapai seribu orang. Selain itu juga di Spanyol terdapat universitas Sevilla, Malaga, dan Granada. Mata kuliah yang diberikan di universitas- universitas tersebut meliputi teologi, hukum Islam, kedok- teran, kimia, filsafat, dan astronomi. Sebagai prasasti pada pintu gerbang universitas yang disebutkan terakhir ditulis sebagai berikut: Dunia ini di topang oleh empat hal, yaitu pengajaran tentang kebijaksanaan, keadilan dari penguasa, ibadah dari orangorang yang salih, dan keberanian yang pantang menyerah. (Phillip K. Hitti: 563). a.



Filsafat



Atas inisiatif Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehing- ga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universi- tasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya. Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spa- nyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Zaragoza, ia pindah



Pendidikan Islam di Spanyol



267



ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M dalam usia muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al- Mutawahhid. (Badri Yatim, 2000: 101). Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah Timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Haj ibn Yaqzhan. Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova, ia lahir tahun 1126 M dan wafat tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah klasik tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqih dengan karyanya yang termasyhur Bidayah al-Mujtahid. (Yatim: 101 - 102 ). b. Bidang Sains Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. (A. Syalabi, 1979: 86) Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lama- nya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat



268



Sejarah Pendidikan Islam



menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm AlHasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian Barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (11451228 M) menulis tentang negeri-negeri Muslim di Mediterania dan Sicilia. Dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn Al-Khatib (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibnu Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Itulah sebagian nama-nama besar dalam bidang sains. (Yatim: 102).



B.



FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KEMAJUAN PENDIDIKAN DI SPANYOL



1.



Adanya dukungan dari para penguasa. Kemajuan Spanyol Islam sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu penge- tahuan, juga memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para ilmuwan



2.



3.



dan cendekiawan. Didirikannya sekolah-sekolah dan universitas-universitas di beberapa kota di Spanyol oleh Abd Al-Rahman III Al-Nashir, dengan universitasnya yang terkenal di Cor- dova. Serta dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi buku-buku yang cukup banyak. Banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung Timur sampai ujung Barat wilayah Islam dengan mem-



Pendidikan Islam di Spanyol



269



bawa berbagai buku dan bermacam gagasan. Ini menun- jukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya Islam. (Majid Fakhri: 356). 4. Adanya persaingan antara Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengeta- huan dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizhamiyah di Baghdad yang merupakan persaingan positif tidak selalu dalam bentuk peperangan.



C.



KESIMPULAN



Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpen- ting adalah Spanyol Islam. Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam di sana serta peradabannya, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar- negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. (Philip K. Hitti, 1970: 526-530). Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan beleng-



270



Sejarah Pendidikan Islam



gu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan antropomorphisme Kristen. Demikian besar penga- ruhnya di Eropa, hingga Eropa timbul gerakan Averroisme (Ibn Rusyd-isme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroisme ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.



271



BAB XIX



Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani (I) Oleh: Nur'aini



A.



PENDAHULUAN



Umat Islam mengalami puncak keemasan pada masa pemerintahan Abbasiyah. Pada masa itu bermunculan para pemikir Islam kenamaan yang—sampai sekarang— pemikirannya masih diperbincangkan dan dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran di masa mendatang, baik dalam bidang keagamaan maupun umum. Kemajuan Islam ini tercipta berkat usaha dari berbagai komponen masyarakat, baik ilmuwan, birokrat, agamawan, militer, dan ekonom maupun masyarakat umum. Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan ber- kembangnya tiga kerajaan besar, yaitu Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Kerajaan Utsmani di samping merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainnya. 1



1 Badri



Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada,



Sejarah Pendidikan Islam



272



B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA TURKI UTSMANI 1.



Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani Pendiri Kerajaan ini adalah bangsa Turki dan kabilah Og- huz



yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 di bawah pimpinan Ortoghol. Mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alaudin, Sultan Saljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alaudin memperoleh keme- nangan. Atas jasa baik mereka itu, Alaudin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizan- tium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukut sebagai ibukota. 2 Ortoghol meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemim- pinan dilanjutkan oleh putranya Utsman. Putra Ortoghol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. 3 Sebelum meninggal, Utsman menunjuk (untuk meng- gantikan posisinya) yang lebih muda dari kedua anaknya, Orkhan yang berusia 42 tahun, yang telah dididik sebagai seorang prajurit di bawah pengawasan ayahnya, dan telah



1994, cet. II, hlm. 129. 2Ibid. 3Ibid. Gambaran yang cukup jelas mengenai silsilah kerajaan Utsmani dapat dibaca pada Syalaby, Mausu 'ah alTarikh alIslamy wa alHadhoroh allslamy, Mesir maktabah al-Nahdah, 1979, jilid IV, hlm. 662-663.



Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani



273



menunjukkan kemampuannya di dalam banyak peperangan, terutama di dalam penaklukan Brusa.4 Kerajaan Utsmani sangat gencar melakukan ekspansi guna meluaskan wilayah kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan sebagian dari wilayah Eropa telah ditundukkan. Kerajaan ini telah mencapai gemilang bermula sejak awal abad ke-16 sewaktu Salim mengalahkan kekuatan Safawi dan meluaskan wilayah ke selatan sampai Mesir dan Hijaz. Kawasan ini memiliki arti penting dalam kehidupan keaga- maan umat Islam secara umum.5 Wilayah kekuasaan Utsmani sejak abad ke-16 sangatlah luas, membentang dari Budepest di bagian utara sampai ke Yaman, di bagian selatan dan dari Basrah di bagian timur hingga ke Aljazair di bagian barat itu, dibagi ke dalam bebe- rapa provinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur atau pasha.6 Sampai abad ke-17, Turki Utsmani menikmati masa keemasan. Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh sangat menentukan stabilitas kekuasaan. Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, yang mengakibatkan terjadi perebutan kekuasaan antara putra-putranya.



Mahmuddunaser, Islam It’s Concept and History, New Delhi: Nusrat Ali Nasri, 1981, hlm. 281. 4 Syaikh



5 Tim



Penyusun IAIN, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 953-954.



6 Stanford Show, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey, London: Cambridge University Press, 1985, hlm. 22.



Sejarah Pendidikan Islam



274



Pada



awal



abad



ke-18,



Turki



Utsmani



berusaha



me-



ngembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar. Bahkan Sultan Salim III (w. 1807) membuka sejumlah kedutaan Utsmani



di



Eropa.



Kemudian



Mahmud



II



(w.



1839)



memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang banyak diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan hukum. Periode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai periode “Reorganisasi”. Berbagai usaha pembaruan terus dilakukan oleh orang-orang Turki, baik dari kalangan ulama, kaum muda, cendekiawan maupun birokrat hingga abad ke-20. Kerajaan Utsmani yang menjadi simbol Islam akhirnya hilang dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar kha- lifah tersebut. Di bawah kekuasaan Mustafa-lah pengaruh kekuasaan Sultan berakhir di tahun 1922, dan segera setelah itu khalifah sebagai institusi agama pun dihapus sehingga Mustafa sebagai pemimpin besar menjadi presiden pertama dari Republik Turki baru. Dengan demikian berakhirlah kehi- dupan panjang dan kebesaran seluruh pemerintahan Islam. 7



2. Kondisi Pendidikan Islam pada Masa Turki Utsmani Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan Utsmaniah Turki, Sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan barang-barang berharga di Mesir di pin- dahkan ke Istambul, anakanak Sultan Mamluk, ulama-ulama,



7 Eleazar Bimbaum, Turkey From Cosmopolitan Empire To Nation State, In RM. Savory (Ed) Introduction To Islamic Civilisation, London: Cambridge University Press, 1976, hlm. 184.



Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani



275



pembesar-pembesar yang berpengaruh di Mesir semuanya di buang ke Istambul. Bahkan juga Khalifah Abbasiyah sendiri di buang ke Istambul, setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sul- tan Turki.8 Dengan demikian, Sultan Turki memegang dua kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mengurusi masalah-masalah keduniaan atau kepemerintahan yang disimbolkan dengan gelar sultan dan kedua kekuasaan yang mengurusi masalah agama yang disimbolkan dengan gelar khalifah. Sementara itu, ulama-ulama dan kitab-kitab yang ada di perpustakaan Mesir berpindah ke Istambul, sehingga Mesir mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan, dan Istambullah yang menjadi pusat pendidikan dan pengembangan kebudayaan saat itu. Setelah Sultan Salim yang menjadi pelopor usaha perbaikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan wafat lalu digantikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuny (1520 M1566 M).9 Pada masa Sultan Sulaiman inilah kerajaan Utsmani mencapai puncak keemasan dan kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarahnya. Pada masa Turki Utsmani, pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama di wilayah-wilayah seperti



8 Mahmud



Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidayah Agung, 1989, hlm, 164.



9 Ahmad Salaby, Musu ‘ah alTarikh al-lslamy al-Hadorob al-lslamiyah, Mesir Maktabah al-Nahdhoh, 1979, jilid 4, hlm. 662.



Sejarah Pendidikan Islam



276



Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan Madrasah pada masa Turki Utsmani adalah Sultan Orkhan (w. 1359 M). Sultan-sultan Utsmani banyak mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah, terutama di Istambul dan Mesir. Pada masa itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang tidak sedikit jumlahnya Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab-kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guruguru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Mereka ddak terpengaruh oleh pergerakan ilmiah di Eropa dan ddak pula mau mengikud jejak zaman kemajuan Dunia Islam pada masa Harun Al-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah Islam. 10 Sistem pengajaran yang dikembangkan pada Turki Utsmani adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghapal matan al- Jurumiah, matan Taqrib, matan Alfiah, matan Sultan dan lain-lain. Murid-murid setelah menghapal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya, kadang-kadang serta kha- siyahnya. Karenanya pelajaran itu bertambah berat dan bertambah sulit untuk dihapalkannya. Sistem pengajaran semacam ini masih digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syria (Tahun 1805 M) telah mulai diada- kan perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (madrasah) sedangkan di masjid masih mengikuti sistem yang lama. 11



10 Mahmud 11 Ibid.,



Yunus, hlm. 168.



op.cit.,



165.



Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani



277



Badri Yatim memberikan gambaran tentang kondisi ilmu pengetahuan pada masa Turki Utsmani sebagai berikut: Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Utsmani. Namun demikian, mereka banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti masjid al Muhammadi, atau masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, masjid agung Sulaiman dan masjid Abi Ayyub Al-Anshary. Masjidmasjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asal- nya gereja Aya Sofia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar- gambar kristiani yang ada sebelumnya. 12



Meskipun pada masa Turki Utsmani pendidikan Islam kurang mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat kemajuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada tiap-tiap masa pasti akan memunculkan tokoh-tokoh atau ulama kenamaan. Walaupun jumlah ulama yang muncul tidak sebanyak pada masa Abbasiyah yang merupakan puncak keemasan Islam. Berikut ini adalah ulama-ulama yang masyhur pada masa Turki Utsmani: 13 1. Syaikh Hasan bin Ali Ahmad Al-Syabi’iy yang termasyhur dengan AI-Madabighy. Ia juga adalah pengarang Khasiyah jam’ul dan Syarah al]urmiyah (w. 1170 H/l756 M).



12 Badri



Yatim, op. cit., hlm. 126.



13 Mahmud



Yunus, op. cit., hlm. 171.



Sejarah Pendidikan Islam



278



2.



Syamsuddin Ramali (w. 1004 H/1595 M) pengarang Nihayah.



3.



Ibnu Hajar Al-Haijsyamy (w. 975 H/1567M) pengarang Tuhfa.



4.



Muhammad bin Abdur Razaq, Murtadhoh al-Husaini alZubaidi pengarang sejarah a/ Qomus, bernama Tajjul Urusy (w. 1205 H/1790 M).



5. Abdurrahman Al-Jabartiy (w. 1240 H/1825 M) pengarang Kitab Tarikh Mesir bernama al-Zaibul atsarfi al-Tarjim wa al-Akbar. 6.



Syaikh Hasan Al-Kafrawy Al-Safi’y Al-Azhary (w. 1202 H/ 1787 M) pengarang kitab Nahwu, Syrah al-Jurumiyah, bernama AlKafrawi.



7.



Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bijrmy AlSyafi’iy (w. 1221 H/1806 M) pengarang syarah-syarah dan khasiroh-khasiroh.



8.



Syaikh Hasan Al-Atthar (w. 1250 H/1834 M) ahli ilmu pasti dan ilmu kedokteran.



9.



Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Arfah Al-Dusuqy AlMaliki (w. 1230 H/1814 M) ahli Filsafat dan ilmu falak serta



ilmu ukur. Sementara perpustakaan yang masyhur pada masa Turki Utsmani adalah sebagai berikut. 14



14Ibid.,



hlm. 184.



Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani



No



279



Nama Maktabah



Tempat



Istambul « “



Jumlah Buku



1 2



Sultan Muhammad Tsani Sultan Sulaiman



3 4



Qollij Ali Basya Haffiz Ahmad Basya



5



Qiyuberilly Ughlu



1448



6 7



Sayyid Ali Basya Ibrahim Basya



2906 831



8



Wallidah Sultan



732



«



1537 803 752 412



9 10



Basyir Agha Attif Effendi



552 1336



11 12 13



Aya Sofia Serai Ghalthah Utsman Shalits



1445 556 2421



14 15



Muhd. Raqib Basya La’ lahli Daftar I



1077 890



16



La’ lahli Daftar II



1947



17 18 19



Serai Hamayun Walliyuddi Efendi Asyir Effendi



916 1769 1877



20 21 22



Dammad ladah M.Murad Efendi Abdul Hamid Hallaf Effendi



1109 1383 656



23



Al Azhar



Cairo



24 25



Abdul Basya Al Azam Madrasah Ahmadiah



Damsyiq Halab



422 269



26



Qudus



-



609



Jumlah Buku:



1099



29.844



Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmani, sampai jatuh Sultan/Khalifah yang terakhir tahun 1924.



Sejarah Pendidikan Islam



280



A.



KESIMPULAN Puncak kemajuan Islam dalam bidang pendidikan dan ilmu



pengetahuan terjadi pada masa Abbasiyah. Ketika dinasti Abbasiyah hancur oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulughul Khan, pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia pun menga- lami kemunduran. Bahkan kondisi ini tidak bisa diatasi oleh tiga kerajaan besar Islam pasca Baghdad, yaitu kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Kerajaan Utsmani sebagai kerajaan yang mampu ber- tahan lama dari dua kerajaan besar lainnya hanya mampu mengembangkan sistem kemiliterannya, sehingga konsen- trasi mereka lebih banyak pada masalah kemiliteran dan perluasan wilayah. Sementara untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan kurang mendapat perhatian serius. Namun demikian, ulama-ulama, buku-buku, dan perpustakaan yang dihasilkan pada masa ini tidak sedikit. Tercatat tidak kurang dari 16 ulama kenamaan yang muncul ke permukaan 26 perpustakaan dan 29.844 buah buku yang dihasilkan pada zaman Turki Utsmani.



281



BAB XX



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani (II) Oleh: Muhammad Syukur



A. PENDAHULUAN Ketika me-remnd jejak Turki Utsmani (Ottoman), kita akan terbawa pada kilas balik sejarah panjang imperium Islam zaman pertengahan yang heroik sekaligus mencemas- kan. Dalam catatan sejarah, sejak Utsman I naik tahta secara terhormat menggantikan Alauddin (khalifah terakhir Turki Saljuk) pada 1300 M. hingga sultan terakhir (ke-40), Abdul Majid II turun pada awal abad ke-20 M (1922), Utsmani telah memerintah selama 600 tahun. Pada etape dua abad pertama di bawah pimpinan Sultan Sulaeman I (diangkat tahun 1520), wilayah kekuasaan Turki telah sampai di semenanjung Balkan. Pasukan Turki yang secara etnografis dan geneologis memiliki ketangguhan dalam perang, terus melakukan ekspansi dan penyebaran Islam langsung di bawah komando sultan. Keberhasilan menduduki Konstantinopel, simbol kekuatan terakhir imperium Romawi Timur, adalah salah satu romantisme sejarah- heroik yang memukau. Demikian halnya penguasaan wilayah-wilayah yang



Sejarah Pendidikan Islam



282



luas secara gradual, 1 hingga Turki Utsmani menjelma menjadi raksasa yang disegani Eropa dan sekutunya. Pendidikan sebagai dimensi dinamis perkembangan suatu bangsa, pada masa Utsmani ini cukup menarik untuk dianalisis keadaannya. Sebab, di balik kejayaan ekspansinya telah terjadi kelesuan intelektual yang accut. Lebih menarik lagi, karena pada periode akhir Utsmani memasuki arah simpang jalan, saat di mana Eropa mengalami aufklarung dan renaissance dengan segala dimensinya yang berpengaruh secara mondial. Hal inilah yang mendorong Sultan Mahmud II (diangkat tahun 1808) tergerak memulai pembaruan di berbagai sek- tor termasuk bidang pendidikan. Pada perkembangannya, gerakan pembaruan inilah yang menjadi pilar menguatnya upaya penggulingan Daulat Turki Utsmani di era modern. Ada beberapa soal yang melatari pembahasan sejarah pendidikan Islam di Turki Utsmani, antara lain: (1) Bagai- manakah kondisi umum masyarakat Turki Utsmani? (2) Bagaimana pendidikan Islam pada masa itu? (3) Apa pula pengaruhnya bagi umat? (4) Apa kontribusi Utsmani bagi perkembangan dunia pendidikan Islam? Dengan melihat trend perkembangan historis, penulis mencoba memulai elaborasi dengan membagi pendidikan masa ini dalam dua periode; zaman pertengahan dan zaman



1 Berikut



ini wilayah-wilayah yang pernah menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani (dengan masa pendudukan dan pelepasan diri berfariatif), yaitu Mesir, Hijaz, Yaman Irak, Libya, Syria, Yunani, Persia, Tunisia Palestina, Aljawir, Bulgaria, Yugoslavia, Chekoslovakia, Hongaria, Polandia, Serbia, Bosnia, Herzegovina, Albania, Rumania, dan Montenegro, (dari berbagai sumber).



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani



modern, tanpa rahannya.



bermaksud



menyederhanakan



283



esensi



keseja-



B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM UTSMANI



1. Zaman Pertengahan (Usman I, 1300 — pra Mahmud II, 1808) Meninjau perkembangan pendidikan Islam Utsmani tidak lepas dari setting budaya, dan kondisi sosial politiknya. Ke- budayaan Turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Persia, Byzantine dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menerima ajaranajaran tentang etika dan tatakrama dalam kehidupan istana. Masalah organisasi, pemerintahan dan prinsip kemiliteran, mereka dapatkan dari kebudayaan Byzantium. Sedangkan dari kebudayaan Arab, mereka men- dapatkan ajaran tentang prinsip ekonomi, kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan (K. Ali 1997). Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih memperhatikan kemajuan bidang politik dan kemiliteran. Sedang perhatian mereka dalam pengembangan pengetahuan tidak menonjol, kecuali dalam bidang arsitektur 2 . Peme- rintahan Utsmani menerapkan sistem dan prinsip kemiliteran (Abdul Sani: 1998). Maka pendidikan banyak dikonsentrasi- kan pada pelatihan militer. Dari sana terbentuk satuan militer Yennisseiy yang berhasil mengubah negara Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang tangguh.



2 Sejumlah masjid dibangun dengan tatanan yang megah dan di Anatolia Gereja Aya Sophia diubah pula menjadi masjid indah sebagai peninggalan arsitektur Islam.



284



Sejarah Pendidikan Islam



Kehidupan keagamaan merupakan bagian terpendng dalam sistem sosial dan politik daulah ini. Pihak penguasa sangat terikat dengan syariat Islam. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam negara dan masyarakat. Mufti seba- gai pejabat tinggi agama berwenang menyampaikan fatwa resmi mengenai problematika keagamaan. Kegiatan tarekat berkembang pesat. Al-Bektasyi dan alMaulawy merupakan dua aliran tarekat yang paling besar. Tarekat Bektasyi sangat berpengaruh di kalangan tentara Yennissery. Tarekat Maulawy berpengaruh besar di kalangan penguasa. Sufisme pada masa itu digemari umat Islam dan ber- kembang pesat. Keadaan frustrasi yang merata di kalangan umat karena hancurnya tatanan kehidupan intelektual dan material akibat konflikkonflik internal dan serangan tentara Mongol yang membabi buta, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan dan bersikap fatalistis. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan- kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi Zawiyah-Zawiyah untuk mengadakan riyadbah, merintis jalan untuk kembali kepada Tuhan di bawah bimbingan dan oto- ritas guru-guru sufi. Maka berkembanglah berbagai sistem riyadbah untuk menuntun para murid, itulah yang kemudian disebut tarekat. Ilmu pengetahuan keislaman seperti fiqih, tafsir, ilmu kalam dan lain-lain, tidak mengalami perkembangan. Keba- nyakan penguasa Utsmani cenderung bersikap taqlid dan fanatik terhadap suatu mazhab dan menentang mazhab yang lain (Zuhairini: 1992).



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani



285



Fazlurrahman melukiskan keadaan pada masa itu sebagai berikut. “...di sebagian besar pusat-pusat sufi terutama di Turki, kurikulum akademis terdiri hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu terdapat beberapa tempat khusus Methnevikhana, di mana matsnam-nya Rumi merupakan satusatunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersebut yang sebagian besar dikuasai pantheisme adalah bertentangan secara tajam dengan lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu timbullah suatu dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara madrasah dan halaqah. Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya pertanyaan-pertanyaan sufi yang taubat setelah menemukan jalan, lalu membakar buku-buku madrasah mereka atau melemparkannya dalam sumur” (Fazlurrahman: 1984).



Pada masa ini lapangan ilmu pengetahuan menyempit. Madrasah adalah satu-satunya lembaga pendidikan umum dan di dalamnya hanya diajarkan pendidikan agama. 3 Maka bila kemudian ada ‘sarjana-sarjana’ besar tertentu dan pemi- kir-pemikir orisinil yang muncul dari waktu ke waktu, adalah istimewa dalam dirinya sendiri dan tidak banyak menimba ilmu mereka dari kurikulum yang resmi. Kenyataannya bahwa pada abad-abad pertengahan akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya orisinil. Kemerosotan gradual standar-standar akademis selama berabad-abad ini berputar di persoalan sedikitnya jumlah bukubuku yang tercantum dalam kurikulum, dan waktu yang



3 Pada



perkembangan selanjutnya masyarakat kemudian kurang tertarik memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan mengutamakan mengirim mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan industri tangan.



Sejarah Pendidikan Islam



286



diberikan terlalu singkat untuk murid dapat menguasai bahan- bahan yang ‘berat’ dan seringkali sulit dipahami. Ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih bersifat studi tekstual dari- pada upaya memahami dan lebih mendorong hafalan daripada pemahaman yang sebenarnya.



1. Zaman Modern (Mahmud II, 1808 — Abdul Majid, 1922) Secara praktis di Ottoman terjadi stagnasi bidang ilmu dan teknologi. Kemajuan militer Utsmani tidak diimbangi dengan sains. Ketika



pihak



Eropa



berhasil



mengembangkan



teknologi



persenjataan, pihak Utsmani menderita kekalahan ketika terjadi kontak senjata dengan mereka. Eskalasi konflik semakin kuat di Ottoman, baik eksternal, berupa tantangan kemajuan musuh lama, Eropa, maupun konflik internal seperti terjadinya pemberontakan di berbagai wilayah yang ingin melepaskan diri dari Utsmani, perselisihan di tubuh Yennisary, merosotnya moralitas penguasa dan turunnya perekonomian negara. Mahmud II (Sultan ke-33) dinilai sebagai penggagas tonggak reformasi Utsmani. Berbagai tantangan di atas menis- cayakan gagasan pembaruan dari Sultan, dalam rangka mem- pertahankan Daulat Utsmaniah. Ia mulai keluar dari tradisi aristokrasi dalam membangun relasi dengan rakyatnya. Di antara pembaruan yang dirintisnya ialah di bidang militer, organisasi kerajaan, hukum, dan yang paling penting serta berpengaruh besar bagi perkembangan pembaruan di kera- jaan Utsmani ialah perubahan di bidang pendidikan.



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani



287



la ingin mengubah pola madrasah tradisional disesuaikan dengan zamannya (abad ke-19), dan mengikis buta aksara. Dalam kurikulum baru dimasukkan pelajaran umum, yang melalui proses sosialisasi kepada masyarakatnya dengan tidak mudah. Maka ia mulai mendirikan madrasah pengetahuan umum serta sastra, Mekteb-i Ma’arif dan Mekteb-i Ulum-u Adebiye. Siswa kedua sekolah itu dipilih dari madrasah yang bermutu tinggi. Di kedua madrasah itu diajarkan bahasa Prancis, ilmu bumi, ilmu ukur, sejarah, dan ilmu politik di samping bahasa Arab. Sekolah pengetahuan umum mendidik siswa untuk menjadi pegawai administrasi, dan sekolah sastra menyiap- kan penterjemahpenterjemah untuk kepentingan peme- rintah. (Harun Nasution: 1975). Setelah itu Sultan Mahmud II mendirikan pula sekolah militer, sekolah teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan. Kedua sekolah terakhir kemudian digabung dalam satu wadah Dar-ul lum-u Hikemiye ve Mekteb-i Tibbiye-i Sahane menggunakan bahasa Prancis. Di sekolah ini terdapat pula buku-buku filsafat dan berbagai pengetahuan umum. Di sana mulai muncul ide-ide modern sebagai counter opinion atas paham fatalistik yang telah lama menyelimuti masya- rakat. Hal ini mengejutkan kalangan ulama Turki abad ke-19 masa itu. Selain mendirikan sekolah Sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa. Selanjutnya pada tahun 1831 M. ia menerbitkan surat kabar resmi Takvim-i Vekayi yang memuat berita peristiwa- peristiwa dan artikel-artikel mengenai ide-ide yang berasal dari Barat. Media ini memberi pengaruh yang luas di masya-



Sejarah Pendidikan Islam



288



rakat, dengan kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat dalam kemajuan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama, patriotisme, dan meratanya pendidikan. Kemudian gerakan pembaharuan lanjutan dikenal de- ngan istilah Tanzimat, bentukan dari kata nidzam yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki. Di zaman inilah kemudian banyak dibuat peraturan dan undang-undang baru di mana pemukanya banyak yang telah terdidik di Eropa dan berpengalaman di bidangbidang strategis. Pada masa Sultan Abdul Hamid (diangkat 1876), sultan ke-37, di tengah pergolakan politik Utsmani dan pro-kontra sistem pemerintahan dengan kelompok pembaru Utsmani Muda, di lapangan pendidikan ia telah mendirikan pergu- ruan-perguruan tinggi, Sekolah Hukum Tinggi (1878), Sekolah Tinggi Keuangan (1878), Sekolah Tinggi Kesenian (1879), Sekolah Tinggi Dagang (1882), Sekolah Tinggi Teknik (1888), Sekolah Dokter Hewan (1889), Sekolah Tinggi Polisi (1891), dan Universitas Istambul (1900). Gerakan Utsmani Muda telah ditumpas oleh Sultan. Lalu muncul gerakan Turki Muda yang juga terdiri dari kaum intelegensia yang dipengaruhi oleh pemikiran liberal. Gerakan ini meluas ke berbagai kalangan dan mengambil peran oposisi terhadap pemerintahan absolut Sultan. Mereka bergerak dalam perkumpulanperkumpulan rahasia hingga di luar negeri. Di antara pemikirannya adalah bahwa selama Turki masih bersifat kolektif, sultan akan tetap berkuasa absolut. Jalan ampuh untuk mengubah sifat masyarakat dari kolektif menjadi individual adalah pendidikan. Rakyat Turki harus dididik dan dilatih berdiri sendiri untuk mengubah nasibnya.



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani



289



Pada tahun 1905 Sultan Abdul Hamid dijatuhkan dan diganti oleh saudaranya Sultan Mehmed V. Dalam iklim politik yang tidak stabil, bersama parlemennya Sultan me- ngadakan pembaruan di berbagai bidang, seperti, administrasi, transportasi, pelayanan umum dan pendidikan mendapat perhatian khusus. Sekolah-sekolah dasar dan menengah batu didirikan. Untuk mengatasi kebutuhan tenaga guru dibuka pula sekolah- sekolah guru. Kaum wanita bebas memilih sekolah, hingga bermunculan dokter-dokter dan hakim-hakim dari wanita. Perubahan juga menjalar ke pola berpakaian pria dan wanita dengan a la Eropa. Dalam bidang publikasi, surat kabar dicetak sejumlah 60.000 kopi. Oplah yang cukup tinggi pada masa itu. Demikian pula majalahmajalah baru timbul dalam berbagai bidang, seperti sastra, politik, dan sebagainya. Ide- ide yang dimuat bersumber dari Prancis, antara lain, filsafat Positivisme August Comte. Nasionalisme Turki juga mulai ramai dibicarakan. Kemudian terbentuklah tiga kristal dalam aliran pembaru, yaitu yang berhaluan Barat, Islam dan Nasionalis. Golongan Barat ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaruan, golongan Islam ingin Islamlah dasar pembaruan, dan golongan Nasionalis Turki yang timbul belakangan menyatakan bukan Barat dan bukan Islam yang dijadikan dasar tetapi nasionalisme Turki. Sampai di sini, perkembangan sejarah pendidikan Islam di kerajaan Turki Utsmani berakhir seiring dengan berakhir- nya kerajaan Ottoman. Sultan Abdul Majid II digulingkan dan kekuasaan beralih ke tangan Mustafa Kamal Attaturk,



290



Sejarah Pendidikan Islam



yang menanamkan westernisasi dan sekularisasi di berbagai sendi kehidupan nasional Turki. C. KESIMPULAN



Demikian paparan singkat sejarah Turki Utsmani khususnya berkenaan dengan perkembangan pendidikan Islam. Karena sekadar dibilang ‘rangkuman’ saja, pembahasan ini dapat dikatakan belum cukup, setidaknya penulis mencoba mereview pembahasan yang telah didiskusikan bersama pada kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Beberapa kesimpulan akhir dapat penulis petik sebagai berikut: 1. Sejak awal Turki Utsmani berdaulat, tahun 1300 M umat Islam sedang dalam kondisi terpuruk fisik maupun mental di atas puing-puing peradaban yang telah dibangun sejak masa Rasulullah. Masa kejayaan baru saja usai berlalu. Dalam keadaan “lemah”, umat menemukan ‘pencerahan’ dan jalan kembali dengan menekuni sufisme yang subur pada masa itu. Tak jarang di antaranya membahayakan essensi akidah islamiyah. Mereka memilih kehidupan asketik dan bersikap fatalistik. 2. Sultan mengutamakan pendidikan militer sebagai langkah strategis dalam menunjang misi ekspansi kekuasaan dan penyebaran Islam. Sementara madrasah-madrasah yang telah ada lebih banyak diisi dengan kegiatan tarekattarekat. Pelajaran pun terbatas materi agama dengan sistem studi tekstual dan hafalan, bukan pemahaman apalagi telaah kritis.



Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani



291



1.



Hal ini telah mengurung umat Islam dalam suasana. jumud, tidak mengoptimalkan potensi akal dan tertinggal jauh dari Eropa, yang justru bangkit dengan mengem- bangkan curiousity-nya, hingga menghasilkan berbagai penemuan dan inovasi baru. Kesadaran akan pendngnya pembaruan muncul kemudian pada masa sultan Mahmud II, 1808.



2.



Sepanjang sejarah Ottoman merupakan kontribusi nilai historis yang bisa diambil hikmahnya dari berbagai sudut pandang.



293



BAB XXI



Penutup



Berdasarkan uraian sebagaimana terdapat pada beberapa bab sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari sejak kelahirannya lima abad yang lalu, Islam telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pembinaan sum- ber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dalam arti yang 2.



3.



seluas-luasnya. Praktik pendidikan Islam dalam perjalanan sejarahnya selain diilhami oleh ajaran yang terkandung di dalam Alquran dan alSunnah yang bersifat internal, juga dipe- ngaruhi oleh faktor eksternal yang datang dari Yunani serta berbagai peradaban yang berada di sekitar di mana pendidikan Islam itu dipraktikkan. Praktik Pendidikan Islam sebagaimana terekam dalam sejarah telah mendorong dunia Eropa dan Barat untuk meniru dan mengembangkannya lebih lanjut. Kehadiran Islam selain berfungsi sebagai rahmat bagi penganutnya juga bagi pihak Eropa dan Barat.



Sejarah Pendidikan islam



294



1.



Sifat dan corak pendidikan Islam dalam rekaman sejarah terlihat sangat bersikap akomodatif terhadap berbagai pengaruh yang ada di sekitarnya. Keadaan ini menunjuk- kan sifat dari ajaran Islam yang lentur dan adaptif dengan perubahan zaman.



2.



Berdasarkan rekaman sejarah umat Islam telah mengembangkan berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan Islam, mulai



dari



perumusan



visi,



misi,



tujuan,



kurikulum,



kelembagaan, guru, pola hubungan guru murid, biaya, sarana prasarana, serta perannya bagi kemajuan bangsa dan negara di mana pendidikan Islam tersebut diseleng- garakan. 3.



Perkembangan pendidikan Islam yang terjadi di Timur Tengah telah mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam yang terdapat di Indonesia. Pertumbuhan lembaga pendidikan pesantren yang mengajarkan kitab-kitab kuning atau berdirinya madrasah adalah bukd yang amat kuat tentang adanya pengaruh tersebut ke dalam per- kembangan pendidikan Islam di Indonesia.



4.



Rekaman sejarah pendidikan Islam sebagaimana terda- pat dalam buku ini dapat dijadikan bahan perbandingan, model dan inspirasi bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia di masa sekarang dan yang akan datang. Sementara itu, bentuk dan coraknya yang tidak sesuai lagi, tetap harus dihormati, sekalipun mungkin tidak perlu lagi dipraktikkan.



295



Daftar Pustaka



AA. Teek, Al-Azhar, The Mosque and the University dalam Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989). Abrasyi, Al, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.) H. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry L.I.S., (Jakarta: Bulan Bintang, 1970). Abud, Abdul Ghani, Fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr alAraby, t.t.). Ahmad Muhammad UF, Al-Azhar fi Alf, (Cairo: Majma al- Buhuts alIslamiyah, 1982). Ahmed, Muniruddin, Islamic Education and the Scholar’s Social Status Upto 5 Century Muslim Era 11 Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968). Ali, A. Mukti, Sejarah Islam Pramodern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995). Arsyad, Natsir, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1995).



Sejarah Pendidikan Islam



296



Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Me- nuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). , Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). , Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995). Alavi, Ziauddin, Muslim Educational Thought in the Middle Age (terj.) Abuddin Nata, (Bandung: Angkasa, Montreal Canada, 2000). Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Amin, Ahmad, Dhula al-Islam, (Cairo: Maktabah al-Mu’ashi- rah, 1952). Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1996). Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet. III. Abdullah, Abdullah Saleh, Educational Theory: Qur’anic Out- look, (Makkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, t.t.) Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, (terj.) Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).



Daftar Pustaka



297



B. Dogde, Al Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Washington DC, 1962). Badi, Luthfi, Abd., al-Islam fi Asbanija, (Cairo: Maktabah al- Nahdhah al-...) Baghdadi, Al, Abdurrahman, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, (Bandung: Al-Issah, 1996). Bakar, Osman, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Makta- bah alNahdlah al-Mishriyah, 1977). Bawani, Iwan, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya, al-Ikhlash, 1987). Beuchamp, G.A, Curriculum Theory, (Wilmete: The Kaesr Press, 1968). Bullet, Richard W., The Partician of Nishapur: a Studj in Medievel Islamic Social History. Harvard: Harvard University Press, 1972). Da’im, Abdullah, Tarikh al-Tarbiyah, (Jeddah: al-Mathba’ah al-Jadid, 1965). Daradjat, Zakiah, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Is- lam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Djuwaeli, Irsyad, H.M. Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998). Dunn, Ross E., Petualangan Ibn Batutah Seorang Musafir Muslim Abad XIV, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995). Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1990). Fajar, Abdullah, 1996, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).



298



Sejarah Pendidikan Islam



Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Mabadi alTarbiyah al-Islamiyah), (terj.) Ibrahim Hasan M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Fahrurrazi, Sejarah Pendidikan Islam, (Medan: Rimbow, 1986). Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) Mulyadi Karta- negara dari judul asli Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986). Futuh, Abdul Madjid Abdul, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikr, (al- Mansur: Mathba’ah al-Wafa, 1980). Ghazali, Al, Ihya’ Ulum al-Din, (Qahirah: Dar al-Hadits, 1994). Ghunaimah, Moh. Abd. Rahim, Tarikh al-Jamiat al-Islamiyah al-Kurba (Maroko: Dar al-Thiba’ah al-Mughribiyah, 1953). Goodlad, J.L., Curriculum as a Field of Study, dalam A. Lewy, (ed.), the International Encyclopedia of Curriculum, (Toronto: Pergamon Press, 1991). Hafidz, Hasan, dkk., Ushul al-Tarbiyah wa Ilmu al-Nafs, (Mesir: Dar alJihad, 1956). Hassan, Ali, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) Hassan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijrima’I, (Mesir: al-Nahdlah al-Mishriyah, 1967). Hillenbrand, Madrasa dalam The Encyclopedia in Islam, Vol. V, (Leiden: E.J.Brill, 1995). Hitty, Philip K. History of The Arab, (London: Macmillan Press, 1974). Hodgson, Marshal, The Venture of Islam, Conscience and History in World Civilization, (Chicago: The University Chicago Press, 1974).



Daftar Pustaka



299



Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perbandingan Pemikirannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996). Jumbulati, Al, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Maquranatun fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj.) H.M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994). O Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arab, (Lon- don: Routledge & Kegan Paul, 1964). , Arabic Thought and Its Place in History, (London: Routledge & Kegan Paul, 1963). Khaldun, Ibn, Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Jail, t.t.). Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka alHusna, 1992). , Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: AlHusna, 1988). Lapidus, M. Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj.) Ghufran A. Mas’adi, dari judul asli The History of Muslim Society, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999). Mahmudunnasir, Syed, Islam Its Concept and History, (New Delhi, (1981). Majid, Nurcholish (ed.), Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet, III. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999). Makdisi, George, The Rose of Colleges: Institution of Learning in Islam and the West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981).



Sejarah Pendidikan Islam



300



Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Educa- tion, (terj.) menjadi Kontribusi Islam Atas Dunia Inte- lektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996). Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (terj.) Helmi Hidayat, dari Tahzib al-A-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998). Muhaimin,



dkk,



Kontroversi



Pemikiran



Fazlurrahman:



Studi



Kritis



Pembaharuan Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999). Mursi, Muhammad Munir,



al-Tarbiyah al-Islamiyah, Ushuluha wa



Thathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, (Cairo: Alam al- Kitab, 1977). Nadvi, Muzafaruddin, Muslim Thought and Its Source, (terj.) menjadi Pemikiran Muslim dan Sumbernya, (Bandung: Pustaka, 1984). Naharawi, Al, Fathiyah, Tarikh al-Nidzam wa al-Hadharah al- Islamiyah, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1981), cet, II. Nahlawi, al, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I. Nasr, Sayyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1990). , Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka, 1994). Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).



Daftar Pustaka



301



, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985). Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Nawawy, Hadari, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Haji Masagung, 1989). Nurkancana, Yuyun dan P.P.N. Sumantara, Evaluasi Pendi- dikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986). Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982). Purwanto, M. Ngalim, Prinsip-prinsip dan Teknik-teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992). Qurah, Husein Sulaiman, al-Ushul al-Tarbawiyah fi Bina al- Manahij, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1975). Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Pustaka, 1994). , Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995). Rusyan, A. Tarbani, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992). Shaw, Standford, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey, (London: Cambridge University Press, 1976). Shiddiqi, Ash, T.M. Hasbi, Pengantar Fiqih, (Semarang: PT Rizki Putera, 1997). Stanton, Carles Michael, Higher Learning of Islam: The Classi- cal Periode A.P.700-1300, Meryland: Remand and Little- field Publisher, 1990).



302



Sejarah Pendidikan Islam



Sabiq, Sayid, Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman (terj.) Muhammad Abdai Rathomu, (Bandung: Diponegoro, 1977). Syaibani, Mohammad al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah (terj.) Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1979). Syalaby, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (terj.) Muchtra Yahya dan Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Syihab, H.M. Quriash, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1985). Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992). Tibawi, A.L. Arabic and Islamic Themes, (London: Luzac & Company Ltd., 1976). Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997). Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hida- karya Agung, 1992). Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000). Watt, Williem Montgomery, Islamic Philosofy and Theology, (Edinburg: University Press, 1992).



Daftar Pustaka



303



, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, (Jakarta: Gramedig Pustaka Utama, 1997), cet., II. Wesley, Edgard Gruce, Teaching Social Studies in High School’ (Boston: USA Press, 1950). Zahra, Muhammad Abu, Tanzim al-Islam li al-Mujtama’ (Cairo: Maktabah al-Misriyah, t.t.). Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Zarnuji, al, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, (terj.) Aly As’ad, dari judul asli Ta’lim Muta’allim, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1978).