Shift 3 - Kelompok 3 - Granul Temulawak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN AKHIR



PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI-FARMASI BAHAN ALAM SEDIAAN SOLID SEMESTER IV TAHUN AKADEMIK 2017/2018



PRODUK JADI GRANUL INSTAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)



Oleh: Ketua: Hiralius Bima



(260110160030) Anggota:



Savira Permatasari



(260110160022)



Yessica Pardosi



(260110160023)



Diane Fauzi



(260110160024)



Nur Diana Hadad



(260110160025)



Beska Zausha W.



(260110160026)



Sasqia Faturachman



(260110160027)



Sarah Rahmatia A.



(260110160028)



Alya Luthfiyani H.



(260110160029)



LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FARMASI BAHAN ALAM DEPARTEMEN BIOLOGI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JUNI, 2018



ABSTRAK Curcuma xanthorhiza Roxb., dikenal sebagai temulawak, merupakan tumbuhan obat yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia. Temulawak memiliki aktivitas biologis seperti antihiperglikemik, antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri. Aktivitas tersebut disebabkan oleh komponen aktif temulawak yang berupa kurkuminoid dan xantorrhizol. Pembuatan sediaan granul instan ekstrak etanol rimpang temulawak dilakukan melalui serangkaian proses ekstraksi, standardiasi dan pembuatan granul menggunakan metode granulasi basah. Bahan baku baik simplisia maupun ekstrak rimpang temulawak yang digunakan distandarisasi guna mendapatkan bahan baku yang sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan. Standardisasi simplisia dan ekstrak dilakukan dengan pemeriksaan terhadap parameter spesifik meliputi pengujian organoleptik, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, dan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) serta pemeriksaan parameter non-spesifik meliputi bobot jenis, susut pengeringan, kadar air, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam. Dari hasil praktikum didapatkan sebuah sediaan granul instan obat herbal terstandar yang berasal dari Curcuma xanthorhiza Roxb. Kata kunci: antihiperglikemik, antiinflamasi, granul instan, temulawak ABSTRACT Curcuma xanthorrhiza Roxb., commonly known as Javanese turmeric, is a medicinal plant that is widely grown and used as raw materials of traditional medicine in Indonesia. It has biological activities such as antihyperglycemic, anti-inflammatory, antioxidant, hepatoprotective, and antibacterial. The activity is caused by its active component including curcuminoid and xantorrhizol. The preparation of instant granule from ethanol extract of Curcuma xanthorrhiza rhizome is done through the extraction process, standardization and granule making by wet granulation method. Raw materials both crude drug and extract was standardized in order to obtain the raw materials according to the required provisions. The standardization of crude drug and extracts has been done by doing several tests of specific parameters like organoleptic testing, water-soluble extract content, ethanol soluble extract content, and TLC (Thin Layer Chromatography) and non-specific parameters like density, the drying shrinkage, moisture content, total ash content and acid insoluble ash content. The experiment results obtained a standard herbal drug in instant granules dosage form derived from Curcuma xanthorrhiza Roxb. Keyword : antihyperglycemic, antiinflammatory, instant granule, Javanese turmeric



I



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Farmakognosi dan Farmasi Bahan Alam Sediaan Solid mengenai “Produk Jadi Granul Instan Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)“. Laporan Praktikum Farmakognosi dan Farmasi Bahan Alam Sediaan Solid ini diajukan untuk memenuhi salah satu nilai dari Praktikum Farmakognosi dan Farmasi Bahan Alam, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami selama pembuatan laporan akhir ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar, di antaranya adalah : 1. Ferry Ferdiansyah Sofian, M.Si., Apt. sebagai kepala Laboratorium Farmasi Bahan Alam dan pengampu praktikum Farmakognosi dan Farmasi Bahan Alam, 2. Yopi Iskandar, M.Si., Apt. dan Dudi Runadi, M.Si., Apt. selaku dosen yang telah membimbing dalam penyusunan laporan akhir praktikum Farmakognosi dan Farmasi Bahan Alam, 3. Nuzaha Baqiyatus Sholihah Azimah dan Dila Triarini sebagai asisten praktikum Farmakognosi dan Bahan Alam Sediaan Solid, 4. Teman-teman kelompok 3 kelas A 2016 yang telah bekerja sama dalam penyusunan laporan akhir praktikum Farmakognosi dan Bahan Alam Sediaan Solid. 5. Teman-teman serta keluarga yang telah memberikan dukungan dalam praktikum Farmakognosi dan Bahan Alam Sediaan Solid. Kami menyadari dalam pembuatan laporan akhir ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima segala kritikan, tanggapan, dan saransaran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga laporan akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Jatinangor, Maret 2018 Penyusun



II



DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK



I



KATA PENGANTAR



II



DAFTAR ISI



III



DAFTAR TABEL



V



DAFTAR GAMBAR



VI



DAFTAR LAMPIRAN



VII



I.



II.



PENDAHULUAN



1



1.1.



Latar Belakang



1



1.2.



Rumusan Masalah



1



1.3.



Tujuan Praktikum



2



1.4.



Manfaat Praktikum



2



TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Tinjauan Botani Tanaman



3 3



2.1.1.



Klasifikasi Tanaman



3



2.1.2.



Nama Daerah



3



2.1.3.



Habitat



3



2.1.4.



Morfologi



3



2.1.5.



Makroskopik



4



2.1.6. Mikroskopik 2.2.



Tinjauan Kimia Tanaman



5 5



2.2.1.



Kandungan Senyawa Kimia



5



2.2.2.



Biosintesis Kurkumin



7



Tinjauan Farmakologi Tanaman



7



2.3.



2.3.1.Empiris



7



2.3.2.



Uji Pra-Klinik



8



2.3.3.



Uji Klinik



9



2.4.



Tinjauan Farmakognosi Tanaman



2.5.



Tinjauan Metode



9 10



2.5.1.



Ekstraksi



10



2.5.2.



Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Tanaman



11



III.



METODE PRAKTIKUM 3.1.



Alat



13 13



III



3.2.



Bahan



13



3.3.



Tahapan Praktikum



13



3.3.1.



Penyiapan Simplisia



13



3.3.2.



Uji Organoleptik, Makroskopik, dan Mikroskopik Simplisia



14



3.3.3.



Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia



14



3.3.4.



Ekstraksi



17



3.3.5.



Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak



18



3.3.6.



Pembuatan dan Evaluasi Granul Instan Ekstrak Etanol Temulawak



21



IV.



HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1.



Hasil dan Pembahasan Praktikum



23 23



4.1.1.



Penyiapan Simplisia



23



4.1.2.



Uji Organoleptik, Makroskopik, dan Mikroskopik Simplisia



23



4.1.3.



Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia



24



4.1.4.



Ekstraksi



29



4.1.5.



Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak



30



4.1.6.



Pembuatan dan Evaluasi Granul Instan Ekstrak Etanol Temulawak



34



4.2.



Faktor Pendukung dan Penghambat Praktikum



37



4.2.1.



Faktor Pendukung



37



4.2.2.



Faktor Penghambat



37



V.



KESIMPULAN DAN SARAN



38



5.1.



Kesimpulan



38



5.2.



Saran



38



DAFTAR PUSTAKA



39



LAMPIRAN



41



IV



DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Tinjauan Farmakognosi Tanaman (Parameter Spesifik dan Non Spesifik)



9



Tabel 4.1. Hasil Uji Makroskopik dan Mikroskopik Simplisia



23



Tabel 4.2. Hasil Uji Parameter Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia



24



Tabel 4.3. Hasil Uji Parameter Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak



29



V



DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Simplisia Rimpang Temulawak



4



Gambar 2.2. Berkas Pengangkut



5



Gambar 2.3. Parenkim Korteks



5



Gambar 2.4. Serabut Sklerenkim



5



Gambar 2.5. Butir Amilum



5



Gambar 2.6. Jaringan Gabus



5



Gambar 2.7. Biosintesis Kurkumin



7



Gambar 4.1. Pola kromatogram simplisia di bawah dibawah sinar UV 366 nm 27 Gambar 4.2. Pola kromatogram ekstrak di bawah sinar UV 254 nm



31



VI



DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Foto Simplisia, Ekstrak Kental, dan Produk Jadi



41



Lampiran 2. Gambar Skema Tahapan Praktikum



42



Lampiran 3. Resume Praktikum



43



Lampiran 4. Susunan Kerja Kelompok



45



VII



I.



PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang besar di dunia. Terdapat sekitar 30.000 tanaman di Indonesia, dimana 7.000 diantaranya diperkirakan memiliki khasiat sebagai obat, namun dari jumlah tersebut baru sekitar 300 tanaman yang dimanfaatkan oleh industri obat tradisional (Jumiarni dan Komalasari, 2017). Penggunaan obat tradisional banyak diminati di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, pemanfaatan pengobatan tradisional di Indonesia mencapai 30%. Pengobatan tradisional mempunyai prospoek ekonomi yang cukup tinggi dan dapat menyediakan lapangan pekerjaan. Sayangnya, pengobatan tradisional di Indonesia dinilai belum optimal (Depkes RI, 2013). Salah satu tanaman obat yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia adalah temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Temulawak merupakan tanaman obat keluarga Zingiberacea. Rimpang temulawak mengandung banyak komponen kimia diantaranya xanthorrhizol, kurkuminoid yang didalamnya terdapat zat kuning (kurkumin) dan desmetoksi kurkumin, minyak atsiri, protein, lemak, selulosa dan mineral. Senyawa xanthorrhizol dan kurkumin dalam temulawak inilah yang menyebabkan tanaman ini menjadi sangat berkhasiat sebagai obat, karena kurkumin dapat digunakan sebagai antioksidan, antikanker, dan antihiperkolesterol (Moelyono, 2007). Namun, sebagai bahan baku obat, temulawak harus bermutu tinggi. BPOM (2005) menegaskan bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi mutu, keamanan, dan khasiat. Karena itu perlu dilakukan terlebih dahulu standarisari ekstrak dan simplisia rimpang temulawak. Parameter standariasi yang dilakukan yaitu parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (BPOM 2005). 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang diuraikan, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu:



1



1. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan kualitas simplisia dan ekstrak rimpang temulawak yang sesuai dengan standar Farmakope Herbal Indonesia yang telah ditentukan? 2. Bagaimana cara pembuatan produk jadi sediaan granul instan ekstrak rimpang temulawak dari bahan baku ekstrak dengan mutu dan kualitas yang baik sesuai dengan parameter yang telah ditentukan? 1.3. Tujuan Praktikum Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, dapat diketahui maksud dan tujuan yang akan dihasilkan sesuai dengan rencana kegiatan praktikum, yaitu : 1. Melakukan pemeriksaan kualitas simplisia dan ekstrak rimpang temulawak sesuai dengan standar Farmakope Herbal Indonesia. 2. Melakukan pembuatan produk jadi sediaan granul instan ekstrak rimpang temulawak dari bahan baku ekstrak dengan mutu dan kualitas yang baik sesuai dengan parameter yang telah ditentukan. 1.4. Manfaat Praktikum Hasil praktikum dapat digunakan untuk dijadikan salah satu pengobatan herbal, yaitu sebagai obat herbal terstandar dalam bentuk sediaan granul instan temulawak yang berfungsi sebagai antihiperglikemik dan antiinflamasi.



2



II.



TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Tinjauan Botani Tanaman 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Divisi



: Magnoliophyta



Kelas



: Liliopsida



Ordo



: Zingiberales



Famili



: Zingiberaceae



Genus



: Curcuma



Spesies



: Curcuma xanthorrhiza Roxb.



Commented [Nuzaha1]: Untuk sub bab dan sub sub bab dikedalamkan marginyya. Jgn sesuai dengan baby g diatasnya.



(Cronquist, 1981). 2.1.2. Nama Daerah



Commented [Nuzaha2]: Ini juga. Benarkan yah semuanya



Sumatera: temulawak. Jawa: koneng gede, temu raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel, temulawak. Madura: temolabak. Bali: tommo. Sulawesi Selatan: tommon. Ternate: karbanga. (Dalimartha, 2000). 2.1.3. Habitat Temulawak banyak ditemukan secara liar di Asia Tenggara, India, Cina dan merupakan tanaman asli Indonesia (Prana, 1985). Tanaman ini termasuk ke dalam tanaman tahunan dan tumbuh secara liar di beberapa pulau Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan (Heyne, 1950). 2.1.4. Morfologi Temulawak merupakan terna berbatang semu setinggi kurang lebih 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap, akar rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap tanaman mempunyai daun 2 helai sampai 9 helai, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 4-80 cm lebih. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbentuk garis, berambut halus, panjang 4-12 cm, lebar 2-3 cm. Berbentuk bulir bulat memanjang,



3



panjang 9-23 cm, lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak, panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bulat telur sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan sebagian dari ujungnya berwarna ungu, bagian bawah berwarna hijau muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, lebar 1,53,5 cm. Kelopak bunga berwarna putih berambut, panjang 8-1 mm. mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang 2-2,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang, berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1,25-2 cm, lebar 1 cm. Bibir berbentuk bundar atau telur sungsang, berwarna jingga dan kadang-kadang tepinya berwarna merah, panjang 1418 cm, lebar 14-20 mm, benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-16 mm, lebar 10-15 mm, tangkai sari panjangnya 3-4,5 mm, lebar 2,5-4,5 mm. Kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm, buah berbulu 2 cm panjangnya (Depkes RI, 1978). 2.1.5. Makroskopik



Gambar 2.1. Simplisia rimpang temulawak Pemerian: Bentuk bundar atau jorong, warna kuning kecoklatan, bau aromatik, rasa tajam dan agak pahit. Keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah hingga 6 cm, tebal 2-5 mm; permukaan luar berkerut, warna cokelat kuning hingga cokelat; bidang irisan berwarna cokelat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks; korteks sempit, tebal 3-4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga hingga cokelat jingga terang. (Depkes RI, 2008).



4



2.1.6. Mikroskopik Fragmen pengenal adalah fragmen berkas pengangkut; parenkim korteks; serabut sklerenkim; butir amilum dan jaringan gabus.



Gambar 2.2. Berkas pengangkut



Gambar 2.3. Parenkim korteks



Gambar 2.4. Serabut sklerenkim



Gambar 2.5. Butir amilum



Gambar 2.6. Jaringan gabus



2.2. Tinjauan Kimia Tanaman 2.2.1. Kandungan Senyawa Kimia Rimpang temulawak mengandung kurkuminoid, xhantorizol, minyak atsiri dengan komponen α-kurkumen, germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, dkamfor(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).



5



Menurut Sidik et al (1995), kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada penggunaanya sebagai bahan baku pangan, bahan baku industri, dan sebagai bahan baku obat terbagi menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri. Sidik et al (1995) menjelaskan bahwa pati rimpang temulawak merupakan fraksi dengan jumlah yang paling besar. Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48 hingga 54% tergantung pada altitude tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, maka makin rendah kadar patinya.Pati ini memiliki bentuk berupa serbuk dan berwarna putih kekuningan yang disebabkan oleh adanya sepora kurkuminoid. Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari campuran komponen senyawa kurkumin dan desmetoksikurkumin. Komponen ini berwarna kuning atau kuning jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, memiliki aroma yang khas dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid dapat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida dan tidak dapat larut dalam air dan dietileter (Sidik et al, 1995). Minyak atsiri temulawak merupakan cairan berwarna kuning atau kuning jingga yang mempunyai rasa tajam dengan bau khas aromatik. Fraksi minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak terdiri dari senyawa turunan monoterpen dan seskuiterpen. Fraksi minyak atsiri asal rimpang temulawak mempunyai aktivitas biologis yang dalam beberapa hal bekerja sinergis dengan fraksi kurkuminoid (Sidik et al, 1995). Liang et al. (1985) dengan kromatografi gas dapat mendeteksi 31 komponen yang terkandung dalam minyak atsiri rimpang temulawak. Beberapa diantaranya merupakan komponen khas yang dikandung oleh minyak atsiri temulawak, yaitu: isofuranogermakren, trisiklin, allo-aromadendren, germakren, dan xanthorrhizol.



6



2.2.2. Biosintesis Kurkumin



Gambar 2.7. Biosintesis Kurkumin (Dewick, 2009). 2.3.



Tinjauan Farmakologi Tanaman



2.3.1.Empiris Rimpang temulawak mempunyai efek farmakologi yaitu hepatoprotektor, menurunkan kadar kolestrol, antiinflamasi, laxative, diuretik, meningkatkan produksi ASI, tonikum, dan menghilangkan nyeri sendi (Mahendra 2005). Efek farmakologi lainnya yaitu :  Antibakteri Temulawak bersifat bakteriostatik atau antibakteri pada mikroba jenis staphyllococcus dan salmonella. Sifat antibakteri yang dimiliki temulawak dipicu karena adanya kandungan curcuminoid di dalamnya. Curcuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae, termasuk temu giring. Curcuminoid terdiri dari curcumin, demethoxy-curcumin, dan Bis-demetoxy-curcumin, yang mempunyai aktivitas antibakteria (Varalakshmi dkk, 2008).  Antikanker



7



Zat aktif antikanker yang dikandung temulawak, yaitu curcumin. Curcumin mempunyai kemampuan untuk memacu sel T dan sel B, sehingga mempunyai prospek cukup baik untuk meningkatkan sistem imum. Efek antioksidan dari curcumin dapat menghambat proliferasi sel tumor, kanker usus besar dan kanker payudara, sehingga temulawak bersifat antikanker (Varalakshmi dkk, 2008).  Antioksidan Curcuminoid terdiri dari curcumin, demethoxy-curcumin, dan Bis-demetoxycurcumin.



Keberadaan gugusan



phenolik



pada ketiga senyawa



tersebut



menyebabkan aktivitas antioksidan yang kuat pada sistem biologis, sehingga dapat mencegah penyakit yang berhubungan dengan reaksi peroksidasi. Selain itu, minyak atsiri yang terkandung dalam temulawak memiliki kandungan flavonoid yang juga bersifat antioksidan (Ahsan, 1999).  Hipokolesterolemik Hipokolestrolemik memiliki arti kadar kolesterol darah yang rendah. Curcumin merupakan zat aktif yang memiliki efek hipokolesterolemia. Melalui aktivitas hipokolesterolemik Curcumin, temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total, dan mempunyai indikasi meningkatkan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) kolesterol (Rao, 1997).  Anti-Inflamasi Melalui aktivitas anti-inflamasinya, temulawak efektif untuk mengobati penyakit radang sendi, rematik, atau artritis rematik (Rao, 1997). 2.3.2. Uji Pra-Klinik Pemberian ekstrak rimpang temulawak menunjukkan hasil penurunan kadar kolesterol LDL dan kolesterol total pada serum tikus karena dalam rimpang temulawak mengandung senyawa curcumin. Senyawa curcumin ini menstimulasi enzim hepatic cholesterol-7α-hydroxylase atau CYP7A1. Enzim ini mengkatalisasi perubahan kolesterol menjadi garam empedu yang terdapat di dalam sel hati. Peningkatan aktivitas enzim ini akan mengakibatkan peningkatan katabolisme



8



kolesterol. Peningkatan katabolisme kolesterol ini menurunkan kadar kolesterol dalam hati sehingga akan meningkatkan ambilan LDL dalam plasma oleh reseptor LDL, dengan demikian maka kadar LDL plasma akan turun. Kadar kolesterol LDL menurun



juga



disebabkan



oleh



curcumindapat



mengaktivasi



kerja



peroxisomeproliferator-activated receptor-γ (pparγ) yang dapat meningkatkan produksi sterol regulatory element-binding proteins-1 (SRBP-1) di hati sehingga terjadi kenaikan jumlah reseptor LDL dan menurunkan kadar kolesterol LDL. Selain itu dengan teraktivasinya PPARγ juga dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL melalui stimulus PPARα (Budiarto, 2017). 2.3.3. Uji Klinik Institut Nasional Kanker telah mencoba mengembangkan bahan ini dalam uji klinis anti kanker. Efek antioksidan dari curcumin dapat menghambat proliferasi sel tumor, kanker usus besar dan kanker payudara, sehingga temulawak bersifat antikanker (Kawamori, 1999).



2.4.



Tinjauan Farmakognosi Tanaman Parameter



Persyaratan



Spesifik Identitas



Curcuma xanthorrhiza Roxb.



Organoleptik



Simplisia : Curcumae xanthorrhizae rhizoma Makroskopik: Berupa kering tipis, berbentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah hingga 6 cm, tebal 2 – 5 mm, permukaan luar berkerut, warna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga hingga cokelat jingga terang, bau khas rasa tajam, agak pahit. Mikroskopik: Fragmen pengenal adalah bekas pengangkut,



parenkim



kortex,



serabut



sklerenkim, butir amilum dan jaringan gabus



9



Ekstrak : Ekstrak kental; warna cokelat muda jingga; berbau khas tajam; rasa agak pahit Tidak kurang dari 9,1% Kadar Sari Larut Air



Tidak kurang dari 3,6%



Kadar Sari Larut Etanol



Minyak asitri: Tidak kurang dari 4, 60 % v/b



Kadar Kandungan Kimia



Kurkuminoid: Tidak kurang dari 14, 20% dihitung sebagai kurkumin.



Non-Spesifik Susut Pengeringan



Tidak lebih dari 13%



Bobot Jenis



Tidak lebih dari



Kadar Air



Tidak lebih dari 10%



Kadar Abu Total



Simplisia : Tidak lebih dari 4,8% Ekstrak : Tidak lebih dari 7,8%



Kadar Abu Tidak Larut Asam Simplisia : Tidak lebih dari 0,7% Ekstrak : Tidak lebih dari 1,6% (Depkes RI, 2008). Cemaran Mikroba ALT



Tidak lebih dari 104 koloni/mL



AKK



Tidak lebih dari 103 koloni/mL



Deteksi Bakteri Patogen



Negatif (BPOM RI, 2014).



Tabel 2.1. Tinjauan Farmakognosi Tanaman (Parameter Spesifik dan Non Spesifik) 2.5. Tinjauan Metode 2.5.1. Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan pada praktikum ini adalah metode maserasi. Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace yang berarti mengairi dan melunakkan. Keunggulannya, maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dan paling banyak digunakan (Agoes, 2007). Metode maserasi bertujuan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari. Proses maserasi dilakukan dengan menggunakan pelarut dengan cara perendaman



10



dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan. Proses ini berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel (Depkes RI, 2000). Lama maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Maserasi akan lebih efektif jika disertai dengan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama maserasi akan menyebabkan turunnya laju perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak (Voight, 1995). Uji kandungan kimia dapat dilakukan dengan melihat pola kromatogram melalui kromatografi lapis tipis yang akan memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia ekstrak. Pola kromatogram tersebut harus memiliki kesamaan pola dengan data baku yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000). 2.5.2. Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Tanaman Penetapan parameter spesifik dan non spesifik ekstrak dilakukan untuk menjamin mutu dan kualitas suatu produk obat tradisional. Parameter spesifik merupakan parameter yang berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Parameter spesifik meliputi identitas, organoleptik, kadar sari larut air, dan kadar sari larut etanol (Depkes RI, 2000). Parameter identititas ekstrak berisi deskripsi tata nama yang meliputi nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan, serta senyawa identitas. Parameter ini bertujuan untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas (Depkes RI, 2000). Parameter organoleptik ditentukan dengan menggunakan panca indera untuk mendiskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Tujuan dari parameter organoleptik ini adalah untuk pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes RI, 2000). Penetapan kadar sari adalah metode kuantitatif untuk menentukan jumlah kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat tersari dalam pelarut tertentu. 11



Penetapan ini dapat dilakukan denga dua cara, yaitu kadar sari yang larut dalam air dan kadar sari yang larut dalam etanol. Kedua cara ini didasarkan pada kelarutan senyawa yang terkandung dalam simplisia. Kadar sari dari suatu simplisisa dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran awal sejumlah kandungan, dengan cara melarutkan ekstrak sediaan dalam pelarut organik tertentu (etanol atau air) Penentuan kadar sari berguna untuk menentukan mutu dari simplisia agar sesuai dengan standar atau persyaratan monogafi dari simplisia yang diuji (Depkes RI, 2009). Parameter nonspesifik merupakan parameter yang berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisika yang dapat mempengaruhi keamanan dan stabilitas obat. Parameter nonspesifik meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 2000). Susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 1050 C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen . Tujuannya untuk memberikan batasan maksimal rentang tentang besarnya senyawa yan hilang pada proses pengeringan (Depkes RI, 2000).



12



III.



METODE PRAKTIKUM



3.1. Alat Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain alat destilasi uap, alumunium foil, botol kaca, botol timbang dangkal bertutup, beaker glass, cawan penguap, chamber, corong, evaporator rotatory (IKA RV 10 basic), gelas ukur, gunting, kertas saring, kurs, labu erlenmeyer, lampu UV (CAMAG UV-BETRACHTE), maserator, mikroskop, mortir dan stamper, neraca analitik (Mettler Toledo TL601-S), oven (Memmert), pemanas (yellow MAG HS7), penangas air (Memmert), penjepit tabung, piknometer, pipa kapiler, pipet tetes, plat KLT, plastik wrap, spatel, tabung reaksi, dan tanur (Thermolyne). 3.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah aquades, etanol, kloral hidrat, simplisia curcumae xanthorizae rhizoma. 3.3. Tahapan Praktikum 3.3.1. Penyiapan Simplisia Cara penyiapan simplisia ada beberapa tahapan yaitu sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan serta pemeriksaan mutu. 1. Sortasi Basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia 2. Pencucian bahan Pencucian bahan dilakukan untuk menghilangkan tanah dan kotoran lain yang melekat pada bahan simplisia. 3. Perajangan Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan.



13



4. Pengeringan Pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. 5. Sortasi kering Sortasi kering dilakukan untuk pemisahan bahan pengotor setelah dikeringkan. 2. Pengepakan dan penyimpanan 3. Pemeriksaan mutu (Depkes RI,1995). 3.3.2. Uji Organoleptik, Makroskopik, dan Mikroskopik Simplisia Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik dengan menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa sebagai berikut: a.



Bentuk



: padat, serbuk-kering, kental, cair



b.



Warna



: kuning, coklat, dan lain-lain.



c.



Bau



: aromatik, tidak berbau, dan lain-lain.



d.



Rasa



: pahit, manis, kelat, dan lain-lain. (Depkes RI, 2000).



Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya morfologi, ukuran, dan warna simplisia yang diuji (Depkes RI, 2000). Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsur – unsur anatomi jaringan yang khas (Depkes RI, 2000). 3.3.3. Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia Parameter Spesifik 1.



Kadar Sari Larut Air Simplisia sebanyak 2 gram di timbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu



bersumbat. Lalu, dilarutkan ke dalam 40 ml air jenuh kloroform dan dikocok berkali14



kali selama 6 jam pertama dan didiamkan selama 18 jam. Kemudian, disaring dan filtrat yang didapatkan tersebut di ambil 20 ml lalu diuapkan hingga kering dalam cawan penguap yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 105oC dan ditara. Kemudian, residu yang didapatkan dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobotnya tetap. Kadar sari larut air ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar sari larut air = Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑥



100 20



𝑚



x 100%



Co = Bobot cawan kosong Ct = Bobot cawan + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2008).



2.



Kadar Sari Larut Etanol Simplisia sebanyak 2 gram ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu



bersumbat. Kemudian dilarutkan dalam 40 ml etanol 95% lalu dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring, filtrat yang didapatkan diambil 20 ml lalu diuapkan hingga kering dalam cawan penguap yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 105oC dan ditara. Kemudian residu yang didapatkan, dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut etanol ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar sari larut etanol = Ket :



(𝐶𝑡− 𝐶𝑜) 𝑥 𝑚



100 20



x 100%



Co = Bobot cawan kosong Ct = Bobot cawan + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2008).



3.



Kromatografi Lapis Tipis Sebelum dilakukan percobaan KLT, dibuat larutan uji dengan menimbang lebih



kurang 1 gram serbuk simplisia, melarutkannya dengan etanol sambil dipanaskan selama 10 menit. Pembanding yang digunakan pada percobaan KLT ini adalah kuersetin. Ekstrak cair dari simplisia ditotolkan pada pelat silikat sebanyak 3 kali totolan, serta dilakukan hal yang sama pada kuersetin tetapi diberi jarak antar



15



totolan. Kemudian pelat silikat dimasukkan ke dalam chamber yang berisi fase gerak (toluene : aseton : asam formiat = 10 : 2 : 1) dan ditunggu sampai fase geraknya naik sampai batas atas pelat silikat. Setelah itu, pelat silikat dikeringkan dan dilihat bercak yang dihasilkan pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Untuk memperjelas bercak yang dihasilkan maka pelat silikat disemprot dengan menggunakan AlCl3. Kemudian dikeringkan dan dilihat lagi dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Setelah didapatkan jarak bercak antara simplisia dengan kuersetin lalu dihitung Rf nya. (Pudjaatmaka, 2002). Parameter Non-Spesifik 1.



Kadar Abu Total 2 gram simplisia ditimbang dengan seksama ke dalam kurs yang telah ditara.



Suhu dinaikan secara bertahap hingga 600 ± 25oC sampai bebas karbon. Dinginkan dalam desikator serta timbang berat abu. Dihitung kadar abu dalam persen terhadap berat sampel awal, ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar abu total= Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑚



x 100%



Co = Bobot krus kosong Ct = Bobot krus + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2008).



2.



Kadar Abu Total Tak Larut Asam Abu hasil penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 mL HCl encer selama



5 menit. Kumplkan bagian yang tidak larut dalam asam. Lalu saring menggunakan kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, saring dan timbang kembali. Dihitung kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel, ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar abu tidak larut asaml= Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑚



x 100%



Co = Bobot krus kosong Ct = Bobot krus + kertas saring bebas abu



16



m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2008). 3.



Susut Pengeringan Simplisia ditimbang seksama 2 gram dan dimasukkan ke dalam botol timbang



dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan 105°C selama 30 menit dan ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dengan menggoyangkan botol hingga mendapat lapisan setebal 5-10 mm, lalu dimasukkan kebdalam oven 105°C hingga bobot tetap dengan keadaan tutup terbuka. Dalam kedaan tertutup, botol didinginkan dalam desikator hingga suhu ruang sebelum ditimbang. Susut pengeringan ekstrak ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Susut pengeringan = Ket :



(𝐶𝑜 + 𝑚) − 𝐶𝑡 𝑚



x 100%



Co = Bobot botol kosong Ct = Bobot botol + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2008).



3.3.4. Ekstraksi 1.



Maserasi Prosedurnya dilakukan dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai



dalam wadah tertutup. Digunakan pelarut yang dapat menyari. Sebagian besar metabolit sekunder yang terkandung dalam serbuk simplisia, jika tidak dinyatakan lain gunakan etanol 70%. Masukkan satu bagian serbuk kering simplisia ke dalam maserator, tambahkan 10 bagian pelarut, rendam selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk, kemudian diamkan selama 8 jam. Pisahkan maserat dengan cara pengendapan, sentrifugasi, dekantasi atau filtrasi (Salamah et al., 2015). 2.



Vaporasi Kumpulan semua maserat, kemudian uapkan dengan penguap vakum atau



penguap tekanan rendah hingga diperoleh ekstrak kental. Hitung rendemen yang diperoleh yaitu persentase bobot (b/b) antara rendemen dengan serbuk simplisia yang digunakan dengan penimbangan. Rendemen harus mencapai angka sekurang-



17



kurangnya sebagaimana ditetapkan pada masing-masing monografi ekstrak (Salamah et al., 2015). Prosedur pertama yang dilakukan pada metode ini yaitu ekstrak daun jati belanda diukur sebanyak 500 ml dalam beaker glass dan dimasukkan ke dalam rotary flask. Selanjutnya labu alas bundar dipasang untuk menampung etanol hasil vaporasi. Setelah semua terpasang dipastikan kembali alat sudah terpasang kuat sehingga saat vaporasi dimulai tidak jatuh. Alat evaporator dinyalakan kemudian suhu diatur menjadi 70oC dan RPM diatur sebesar 70 RPM. Penguapan ekstrak ditunggu hingga etanol yang terkandung pada ekstrak daun jati belanda sudah menguap seluruhnya. Hasil vaporasi yang didapat selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan dan diuapkan dengan water bath. 3.3.5. Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak Parameter Spesifik 1.



Organoleptik Ekstrak Pemeriksaan menggunakan panca indera untuk mendiskripsikan bentuk,



warna, au dan rasa dari ekstrak yang diperoleh (Depkes RI, 2000). 2.



Pola Kromatogram Ekstrak Pelat silika gel disiapkan dengan ukuran tertentu kemudian ekstrak cair



ditutulkan pada garis awal dengan menggunakan pipa kapiler, biarkan beberapa saat hingga pelarutnya menguap. Pelat silika kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhkan dengan cairan pengembang. Proses kromatografi dihentikan sampai cairan pengembang sampai ke garis depan. Amati pola kromatogram dibawah lampu UV 254 dan 366 nm dan hitung Rf setiap bercak yang teramati. Penampak bercak dapat juga menggunakan asam sulfat 10% dalam metanol atau penambak bercak spesifik lainnya (Zahro et.al, 2009).



3.



Kadar Sari Larut Air Ekstrak sebanyak 5 gram ditimbang. Kemudian, dimasukkan ke dalam labu



bersumbat, kemudian dilarutkan dalam 100 mL air jenuh kloroform. Lalu dikocok



18



berkali-kali selama 6 jam pertama, dan dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring. Filtrat yang didapat, diambil 20 mL lalu diuapkan hingga kering dalam cawan penguap yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada 105 oC dan ditara. Kemudian residu yang didapat, dipanaskan pada 105 oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut air ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar sari larut air = Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑥



100 20



𝑚



x 100%



Co = Bobot cawan kosong Ct = Bobot cawan + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2000).



4.



Kadar Sari Larut Etanol Ekstrak sebanyak 5 gram ditimbang. Kemudian, dimasukkan ke dalam labu



bersumbat, kemudian dilarutkan dalam 100 mL etanol 95%. Lalu dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, dan dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring. Filtrat yang didapat, diambil 20 mL lalu diuapkan hingga kering dalam cawan penguap yang telah dipanaskan terlebih dahulu pada 105 oC dan ditara. Kemudian residu yang didapat, dipanaskan pada 105 oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut etanol ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: Kadar sari larut etanol = Ket :



(𝐶𝑡−𝑐𝑜) 𝑥 𝑚



100 20



x 100%



Co = Bobot cawan kosong Ct = Bobot cawan + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2000).



Parameter Non-Spesifik 1.



Susut Pengeringan Ekstrak ditimbang seksama 1-2 gram dan dimasukkan ke dalam botol timbang



dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan 105 oC selama 30 menit dan ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dengan menggoyangkan botol hingga



19



mendapat lapisan setebal 5-10 mm, lalu dimasukkan ke dalam oven 105 oC hingga bobot tetap dengan keadaan tutup terbuka. Dalam kedaan tertutup, botol didinginkan dalam desikator hingga suhu ruang sebelum ditimbang. Susut pengeringan ekstrak ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Susut pengeringan = Ket :



(𝐶𝑜 + 𝑚) − 𝐶𝑡 𝑚



x 100%



Co = Bobot botol kosong Ct = Bobot botol + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2000).



2.



Bobot jenis Penetapan bobot jenis ekstrak dapat dilakukan sebagai berikut. Ditimbang



piknometer dengan volume tertentu dalam keadaan kosong. Kemudian piknometer diisi penuh dengan air dan ditimbang ulang. Kerapatan air dapat ditetapkan. Kemudian piknometer dikosongkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu ditimbang. Melalui berat ekstrak yang mempunyai volume tertentu, dapat ditetapkan kerapatan ekstrak. Bobot jenis ekstrak ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Bobot jenis ekstrak =



𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑜𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟



(Depkes RI, 2000). 3.



Kadar air Ke dalam labu bersih dan kering dimasukkan sejumlah ekstrak kental yang telah



ditimbang seksama kemudian tambahkan 200 ml toluene, hubungkan alat. Tuangkan toluene ke dalam labu penerima melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, biarkan tabung penerima mendingin hingga suhu kamar. Setelah air dan toluene memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam % v/b. (Depkes RI, 2000).



4.



Kadar Abu Total



20



2 gram ekstrak ditimbang dengan seksama ke dalam kurs yang telah ditara. Suhu dinaikan secara bertahap hingga 600 ± 25oC sampai bebas karbon. Dinginkan dalam desikator serta timbang berat abu. Dihitung kadar abu dalam persen terhadap berat sampel awal, ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar abu total= Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑚



x 100%



Co = Bobot krus kosong Ct = Bobot krus + ekstrak m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2000).



5.



Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu hasil penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 mL HCl encer selama



5 menit. Kumplkan bagian yang tidak larut dalam asam. Lalu saring menggunakan kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, saring dan timbang kembali. Dihitung kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel, ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : Kadar abu tidak larut asam = Ket :



(𝐶𝑡 + 𝐶𝑜) 𝑚



x 100%



Co = Bobot krus kosong Ct = Bobot krus + kertas saring bebas abu m = Bobot ekstrak (Depkes RI, 2000).



3.3.6. Pembuatan dan Evaluasi Granul Instan Ekstrak Etanol Temulawak Pembuatan Granul Instan Ekstrak Rimpang Temulawak Ditimbang ekstrak rimpang temulawak, Na-CMC, xantham gum, sukrosa, Nasakarin, menthol, SL (Saccharum Lactis), metil paraben dan propil paraben dan dimasukkan ke dalam wadah 1 dan dicampurkan hingga homogen. Pada wadah lain campurkan PVP (polivenil pirilidon), Na- strach glikonat dan etanol 96%. Lalu dicampurkan ke dalam wadah sebelumnya dan dihomogenkan seluruhnya hingga benar-benar homogen dan terbentuk massa yang bisa dikempa atau liat. Lalu dilakukan granulasi basah atau pembentukan granul dengan pengayakan dengan



21



mesh no. 14. Lalu dilakukan pengeringan di oven selama kurang lebih 18 jam. Granul kering ditambahkan Mg stearat dan talkum lalu dicampurkan dengan granul dan dilakukan pengayakan menggunakan mesh no. 16. Granul ditampung pada wadah dan ditimbang.Diberi label identitas dan dilakukan evaluasi. Evaluasi Granul Instan Ekstrak Rimpang Temulawak 1.



Evaluasi Daya Alir dan Sudut Alir Granul Granul ditimbang 25 gram dan dimasukkan ke dalam corong tertutup. Corong



disimpan pada ketinggian 10 cm. Tempat jatuh granul dialasi dengan kertas putih unutk menandai tempat jatuh. Tutup corong dibuka bersamaan dengan dimulainya perhitungan waktu jatuh dengan stopwatch. Tinggi puncak granul dan diameter granul yang terbentuk dicatat. Dihitung daya alir dan sudut alir granul. 2.



Evaluasi Kompresibilitas Granul Granul ditimbang 25 gram dan dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dan



dilihat tanda batas dan dicatat. Gelas ukur diketuk-ketuk dengan interval 2 detik 1 ketukan. Tanda batas pada gelas ukur diperhatikan dan dicatat pada saat pengujian selesai. Hitung kompresibiitas (Indeks Carr). 3.



Evaluasi LOD (Lost On Drying) Granul Granul ditimbang 10 gram yang telah dikeringkan. Disimpan pada alat uji LOD



pada suhu 700-800C. Diperhatikan penurunan bobot granul sampai waktu selesai pada layar alat. Dicatat bobot awal, bobot akhir dan dihitung kadar air (LOD) granul.



22



IV.



HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1. Hasil dan Pembahasan Praktikum 4.1.1. Penyiapan Simplisia Sebelum melakukan ekstraksi, dilakukan tahap perajangan terlebih dahulu. Tahap perajangan bertujuan untuk memperkecil ukuran simplisia, sehingga pada proses ekstraksi kandungan kimia yang tertarik dapat lebih banyak karena luas permukaan yang lebih luas. Perajangan dapat dilakukan dengan menggunakan alat untuk mempercepat dan mempermudah proses pengecilan simplisia. 4.1.2. Uji Organoleptik, Makroskopik, dan Mikroskopik Simplisia Hasil Uji Makroskopik



No Nama 1 Makroskopik



Literatur (Depkes RI, 2008).



Hasil



Hasil Uji Mikroskopik No Nama 1 Serabut Sklerenkim



2



Literatur (Depkes RI, 2008).



Hasil



Butir Amilum



23



3



Parenkim Korteks



4



Berkas Pengangkut



5



Jaringan Gabus



Tabel 4.1. Hasil Uji Makroskopik dan Mikroskopik Simplisia Rimpang Temulawak Dilakukan pengujian simplisia secara mikroskopik dan makroskopik. Dalam pengujian secara mikroskopik terdapat 5 fragmen pengenal dari rimpang temulawak yang diamati dengan menggunakan mikroskop yaitu serabut sklerenkin, parenkim korteks, jaringan gabus, berkas pengangkut dan butir amilum dengan. Dari pengujian makroskopik didapatkan bahwa simplisia rimpang temulawak berbentuk bundar hingga lonjong dengan diameter 5-6 cm dan ketebalan 2-4 mm, pengujian ini dilakukan pada beberapa kepingan simplisia di atas alas putih polos dengan pencahayaan yang cukup. 4.1.3. Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia Parameter Spesifik Identitas



Persyaratan (Depkes RI, 2008). Curcuma xanthorrhiza



Hasil



Kesimpulan Sesuai



24



Bentuk : keping tipis bentuk bundar atau jorong, ringan. Warna : kekuningan hingga cokelat Bau : khas temulawak Rasa : tajam dan agak pahit



Bentuk : kepingan ringan agak keras berbentuk lonjong Warna : Kuning jingga kemerahan sampai kuning kecoklatan Bau : khas temulawak Rasa : Pahit



Kadar Sari Larut Tidak kurang dari 9,1% 17% Sesuai Air Kadar Sari Larut Tidak kurang dari 3,6% 11% Sesuai Etanol Non-Spesifik Susut Tidak lebih dari 13% 12% Sesuai Pengeringan Kadar Abu Total Tidak lebih dari 4,8% 2,5% Sesuai Kadar Abu Tidak Tidak lebih dari 0,7% 0,5% Sesuai Larut Asam Tabel 4.2. Hasil Uji Parameter Spesifik dan Non-Spesifik Simplisia Parameter Spesifik 1.



Kadar Sari Larut Air Kadar sari larut air merupakan pengujian yang dilakukan guna menetapkan



jumlah kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam air. Kandungan senyawa yang dimaksud dalam hal ini yaitu jumlah zat aktif yang dapat terekstraksi dalam pelarut air dari rimpang temulawak. Dengan dapat melihatnya jumlah zat aktif yang dalam terlarut, hal ini dapat dijadikan penentuan pelarut yang cocok yang dapat digunakan untuk mengekstraksi rimpang temulawak, apakah akan banyak terekstrasi dalam air, atau justru dalam pelarut lainnya. Hasil yang didapatkan dari penentuan kadar sari larut air ini sebesar 17%, dimana menurut Farmakope Herbal Indonesia kadar sari yang dapat terlarut dalam air yaitu tidak kurang dari 9,1%. Hasil pada pengujian kadar sari larut air memenuhi persyaratan mutu karena sesuai dengan literatur, yaitu Farmakope Herbal Indonesia. 2.



Kadar Sari Larut Etanol 25



Kadar sari larut etanol merupakan pengujian yang dilakukan guna menetapkan jumlah kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam etanol. Kandungan senyawa yang dimaksud dalam hal ini yaitu jumlah zat aktif yang dapat terekstraksi dalam pelarut khususnya etanol dari rimpang temulawak. Dengan dapat melihatnya jumlah zat aktif yang dalam terlarut, hal ini dapat dijadikan penentuan pelarut yang cocok yang dapat digunakan untuk mengekstraksi rimpang temulawak, apakah akan banyak terekstrasi dalam etanol, atau justru dalam pelarut lainnya. Hasil yang didapatkan dari penentuan kadar sari larut etanol ini sebesar 11%, dimana menurut Farmakope Herbal Indonesia kadar sari yang dapat terlarut dalam etanol yaitu tidak kurang dari 3,6%. Hasil pada pengujian kadar sari larut etanol memenuhi persyaratan mutu karena sesuai dengan literatur, yaitu Farmakope Herbal Indonesia. 3.



Kromatografi Lapis Tipis Pengujian menggunakan KLT merupakan metode pemisahan berdasarkan



perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara dua fase (fase gerak dan fase diam) yang kepolarannya berbeda. Fase diam yang digunakan yaitu plat silika GF 254 yang bersifat polar. Fase gerak dibuat dengan mencampurkan 9,5 mL kloroform dan 0,5 mL metanol. Dibuat larutan uji dengan menimbang lebih kurang 2 gram simplisia, dilarutkan dalam 10 mL etanol 70% sambil dipanaskan selama 10 menit. Lalu disaring pada gelas ukur dan di ad sampai 10 mL. Pengujian KLT dilakukan dengan menandai 1 cm dari atas dan 1 cm dari bawah plat. Ditotolkan kurkumin baku sebagai pembanding disebelah kanan dan larutan uji disebelah kiri pada plat dengan menggunakan pipa kapiler. Kemudian eluen (fase gerak) dijenuhkan pada chamber. Penjenuhan berfungsi untuk meratakan tekanan uap eluen dalam chamber sehingga pengelusian dapat seragam kecepatannya serta mengoptimalkan proses pengembangan dari fase gerak tersebut. Setelah jenuh kemudian plat dimasukkan dan dikembangkan. Pemisahan akan terjadi selama pengembangan. Kemudian plat dikeringkan dan diamati dibawah sinar uv 254 dan 366 nm. Pada panjang gelombang 254 nm, plat akan berfluoresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap. Pada 366 nm, noda akan berfluoresensi dan plat akan berwarna gelap.



26



Nilai Rf dihitung dengan membandingkan jarak yang ditempuh sampel dengan jarak yang ditempuh pelarut. Hasil perhitungan didapatkan Rf kurkumin standar adalah 0,91 sedangkan untuk Rf larutan uji adalah 0,88. Hasil pemisahan didapatkan didapatkan 3 spot pada kurkumin standar dan larutan uji. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa simplisia rimpang temulawak mengandung kurkumin.



Keterangan: S : Simplisia rimpang temulawak P : Pembanding kurkumin Rf pembanging kurkumin 0,91 Rf 1. 0,86 Rf 2. 0,88 Rf 3. 0,91



S



P



Gambar 4.1. Pola kromatogram simplisia di bawah dibawah sinar UV 366 nm Parameter Non-Spesifik 1.



Kadar Abu Total Penjaminan keamanan dan stabilitas simplisia dilakukan dengan kadar abu



sebagai indikator terhadap cemaran bahan anorganik karena abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran dan oksidasi. Sebanyak 2 gram bubuk simplisia dimasukan kedalam kurs yang telah ditara kemudian dimasukan ke dalam tanur dan diatur suhu 600°C. Penggunaan tanur dikarenakan tanur dapat diatur suhunya sesuai suhu pengabuan (600°C) tanpa terjadinya nyala api. Digunakan suhu 600°C agar komponen komponen organik pada ekstrak mengalami destruksi ataupun oksidasi pada suhu tinggi sehingga hanya didapatkan residu berupa abu. Kurs dapat didinginkan pada desikator dan ditimbang setelah abu yang dihasilkan dari pemijaran pada tanur berwarna putih keabuan. Pemijaran terus dilakukan hingga didapatkan bobot yang konstan.



27



Kadar abu total menggunakan metode gravimetri karena hasil yang didapat tergantung kepada bobot konstan yang didapat dari hasil penimbangan. Didapatkan kadar abu total simplisia rimpang temulawak sebesar 2,5%. Kadar yang didapat memenuhi standar pada FHI yaitu untuk kadar abu total simplisia rimpang temulawak tidak lebih dari 4,8%. 2.



Kadar Abu Total Tak Larut Asam Dilakukan kadar abu tak larut asam untuk mengetahui pasir-pasir bebas atau



silikat lainnya pada simplisia yaitu dengan menggunakan abu hasil pijaran kadar abu total yang dididihkan dengan 25 ml HCl 2N selama 5 menit agar didapatkan abu yang tidak larut asam.kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan filtrat dicuci dengan air panas untuk melarutkan endapan-endapan yang ada. kemudian disaring kembali sehingga didapatkan silikat atau pasir yang tidak larut asam. Setelah itu kertas saring yang terdapat zat-zat tidak larut asam dipijarkan kembali dengan tanur pada suhu 600°C hingga terbentuk abu berwarna putih keabuan kemudian didinginkan dengan desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Digunakan kertas saring bebas abu karena kertas saring tersebut dapat dihilangkan dengan proses pengabuan dan tidak akan memengaruhi bobot abu. Kadar abu tak larut asam ini menggunakan metode gravimetri karena hasil yang didapat tergantung kepada bobot konstan yang didapat dari hasil penimbangan. Hasil dari kadar abu tak larut asam didapatkan sebanyak 0,5%. Kadar abu tidak larut asam yang dihasilkan sesuai dengan standar pada FHI, dimana kadar abu tidak larut asam simplisia rimpang temulawak tidak lebih dari 0,7%. 3.



Susut Pengeringan Parameter non spesifik susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui



persentase senyawa yang menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain yang hilang). Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen (metode gravimetri). Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sehingga simplisia tidak mudah rusak dan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Air yang masih tersisa dalam 28



ekstrak pada kadar lebih dari 10% dapat menjadi media pertumbuhan mikroba. Selain itu dengan adanya air, akan terjadi reaksi enzimatis yang dapat menguraikan zat aktif sehingga mengakibatkan penurunan mutu atau perusakan ekstrak. Ekstrak yang dikeringkan dengan oven, kemudian dimasukkan kedalam desikator untuk didinginkan agar ketika dilakukan penimbangan tidak merusak timbangan. Susut pengeringan ekstrak yang didapat adalah 12%. Nilai ini menyatakan jumlah maksimal senyawa yang mudah menguap atau hilang pada proses pengeringan. Nilai susut pengeringan dalam hal kuhusus identik dengan kadar air jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisapelarut organik yang menguap. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa susut pengeringan simplisia memenuhi persyaratan yang ditentukan pada Farmakope Herbal Indonesia yaitu susut pengeringan simplisia Rimpang Temulawak tidak lebih dari 13%. 4.1.4. Ekstraksi Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan ekstrak dari Curcuma xanthorrhiza Roxb. atau yang biasa disebut Rimpang Temulawak. Ekstrak Daun Jati Belanda, yang nantinya akan dikemas sebagai obat herbal, bermanfaat sebagai antihiperglikemik dan anti inflamasi. Hal pertama yang dilakukan dalam proses eksktraksi adalah perajangan. Dua kilogram simplisia dari Rimpang Temulawak dirajang atau dipisahkan dari pengotor-pengotornya, misalnya ada bagian lain selain dari rimpangnya. Dalam proses perajangan, diambil rimpangnya saja karena pada rimpang tersebutlah mengandung zat yang memiliki aktivitas farmakologi seperti yang sebelumnya telah dipaparkan. Dari hasil perajangan, didapatkan simplisia Rimpang Temulawak yang telah dirajang, yang sudah bebas dari pengotor. Proses selanjutnya setelah proses perajangan adalah proses ekstraksi. Simplisia Rimpang Temulawak hasil perajangan diekstraksi dengan cara dingin, yaitu cara maserasi. Proses maserasi sendiri merupakan proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut, biasanya pelarut nonpolar-semipolar (misalnya etanol encer), dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Metode maserasi digunakan untuk memisahkan komponen kimia yang mudah larut dalam



29



cairan pelarut dan dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas. Prinsip dari maserasi sendiri adalah pengikatan atau pelarutan zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Mekanisme proses maserasi adalah pelarut organik akan menembus dinding sel simplisia dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif kemudian larut ke dalam pelarut organik di luar sel. Larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang hingga terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Prosedur maserasi sendiri adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama kurang lebih tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Cairan penyari atau pelarut dalam proses maserasi yang dilakukan pada untuk mengejkstrak Rimpang Temulawak adalah etanol 96%, kemudian dengan etanol 70%. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya kemudian dipekatkan. Filtrat hasil maserasi kemudian disebut ekstrak. Dari serangkaian proses ekstraksi, ekstrak rimpang Temulawak pun didapatkan. 4.1.5. Uji Parameter Standar Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak Parameter



Persyaratan (Depkes RI, 2008).



Hasil



Kesimpulan



Spesifik



Identitas



Curcuma xanthorrhiza Bentuk : Ekstrak kental Warna : Kuning kecoklatan Bau : Khas temulawak Rasa : Pahit



Bentuk : Ekstrak kental Warna : Kecoklatan



Sesuai



30



Bau : Khas Temulawak Rasa : Pahit Non-Spesifik Bobot Jenis Kadar Air Kadar Abu Total Kadar Abu Tidak Larut Asam



Tidak lebih dari 1 g/cm3 Tidak lebih dari 10% Tidak lebih dari 7,8% Tidak lebih dari 1,6%



0,810 g/cm3 9,95% 3%



Sesuai Sesuai Sesuai



0,5%



Sesuai



Tabel 4.3. Hasil Uji Parameter Spesifik dan Non-Spesifik Ekstrak



1.



Organoleptik Ekstrak Salah satu pengujian parameter kualitas ekstrak adalah dilakukan pengamatan



secara organoleptis, dimana ekstrak temulawak dilihat dari bentuk fisik, warna, bau serta rasanya, dan dari hasil pengujian tersebut didapatkan hasil organoleptik dari ekstrak temulawak adalah bentuknya berupa ekstrak kental dengan warna kecoklatan, dan bau khas temulawak, serta rasa pahit. 2.



Pola Kromatogram Ekstrak Pengujian menggunakan KLT merupakan metode pemisahan berdasarkan



perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara dua fase (fase gerak dan fase diam) yang kepolarannya berbeda. Fase diam yang digunakan yaitu plat silika GF 254 yang bersifat polar. Fase gerak dibuat dengan mencampurkan 9,5 mL kloroform dan 0,5 mL metanol. Dibuat larutan uji dengan menimbang lebih kurang 2 gram ekstrak, dilarutkan dalam 10 mL metanol. Ditotolkan kurkumin baku disebelah kiri sebagai pembanding dan larutan uji disebelah kanan pada plat dengan menggunakan pipa kapiler. Kemudian eluen (fase gerak) dijenuhkan pada chamber. Penjenuhan berfungsi untuk meratakan tekanan uap eluen dalam chamber sehingga pengelusian dapat seragam kecepatannya serta mengoptimalkan proses pengembangan dari fase gerak tersebut. Setelah jenuh kemudian plat dimasukkan dan dikembangkan. Pemisahan akan terjadi selama pengembangan. Kemudian plat dikeringkan dan diamati dibawah sinar uv 254 dan 366 nm. Hasil pengujian didapatkan nilai Rf ekstrak sama dengan kurkumin baku. Pada ekstrak didapatkan dua spot dengan Rf 0,933 dan 0,7. Pada kurkumin baku hanya



31



terdapat pada satu spot yaitu pada Rf 0,933. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak rimpang temulawak mengandung senyawa kurkumin. Tetapi Rf hasil tidak sesuai dengan literatur (Farmakope Herbal Indonesia) yaitu 0,62. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaktepatan saat penotolan atau kejenuhan dari fase gerak. Keterangan: E : Ekstrak rimpang temulawak P : Pembanding kurkumin Rf pembanding kurkumin 0,933 Rf 1. 0,7 Rf 2. 0,933



E



P



Gambar 4.2. Pola kromatogram ekstrak dibawah sinar UV 254 nm Parameter Non-Spesifik 1.



Bobot jenis Penetapan bobot jenis ekstrak dapat dilakukan dengan menimbang piknometer



dalam keadaan kosong sehingga didapatkan bobot piknometer kosong sebesar 13,76 gram. Kemudian piknometer diisi penuh dengan air dan ditimbang, bobot piknometer yang berisi air tersebut adalah 23,47 gram. Dari data bobot piknometer yang sebelumnya ditimbang, ditentukan kerapatan air yaitu sebesar 0,971. Kemudian piknometer dikosongkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu ditimbang. Melalui berat ekstrak ditetapkan kerapatan ekstrak yaitu sebesar 0,810. 2.



Kadar air Pada penentuan kadar air ekstrak, ekstrak kental Temulawak ditimbang



sebesar 2,01 gram, lalu dimasukkan ke dalam labu bersih dan kering serta ditambahkan 200 ml toluene. Labu yang berisi ekstrak dan toluene tersebut dihubungkan dengan alat. Labu yang terpasang pada alat dipanaskan selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, suling hingga sebagian air tersuling, dan untuk



32



tabung penerima dibiarkan mendingin hingga suhu kamar. Setelah air dan toluene memisah sempurna, didapatkan volume air yang terbaca sebesar 0,2 ml. Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan kadar air sebesar 9,95%. Kadar air tersebut memenuhi literatur, dimana menurut literatur kadar air ekstrak Temulawak tidak lebih dari 10%. 3.



Kadar Abu Total dan Kadar Abu Tidak Larut Asam Penjaminan keamanan dan stabilitas ekstrak dilakukan dengan kadar abu



sebagai indikator terhadap cemaran bahan anorganik karena abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran dan oksidasi. Sebanyak 2 gram ekstrak dimasukan kedalam kurs yang telah ditara kemudian dimasukan ke dalam tanur dan diatur suhu 600°C. Penggunaan tanur dikarenakan tanur dapat diatur suhunya sesuai suhu pengabuan (600°C) tanpa terjadinya nyala api. Digunakan suhu 600°C agar komponen komponen organik pada ekstrak mengalami destruksi ataupun oksidasi pada suhu tinggi sehingga hanya didapatkan residu berupa abu. Kurs dapat didinginkan pada desikator dan ditimbang setelah abu yang dihasilkan dari pemijaran pada tanur berwarna putih keabuan. Pemijaran terus dilakukan hingga didapatkan bobot yang konstan. Kemudian dilakukan kadar abu tak larut asam untuk mengetahui pasir-pasir bebas atau silikat lainnya pada ekstrak yaitu dengan menggunakan abu hasil pijaran kadar abu total yang dididihkan dengan 25 ml HCl 2N selama 5 menit agar didapatkan abu yang tidak larut asam.kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan filtrat dicuci dengan air panas untuk melarutkan endapan-endapan yang ada. kemudian disaring kembali sehingga didapatkan silikat atau pasir yang tidak larut asam. Setelah itu kertas saring yang terdapat zat-zat tidak larut asam dipijarkan kembali dengan tanur pada suhu 600°C hingga terbentuk abu berwarna putih keabuan kemudian didinginkan dengan desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Digunakan kertas saring bebas abu karena kertas saring tersebut dapat dihilangkan dengan proses pengabuan dan tidak akan memengaruhi bobot abu. Kadar abu total dan kadar abu tak larut asam ini menggunakan metode gravimetri karena hasil yang didapat tergantung kepada bobot konstan yang didapat



33



dari hasil penimbangan. Didapatkan kadar abu total ekstrak rimpang temulwak sebesar 3%. Kadar yang didapat memenuhi standar pada FHI yaitu untuk kadar abu total ekstrak rimpang temulawak tidak lebih dari 7.6%. Sedangkan hasil dari kadar abu tak larut asam didapatkan sebanyak 0.5%. Kadar abu tidak larut asam yang dihasilkan sesuai dengan standar pada FHI, dimana kadar abu tidak larut asam ekstrak rimpang temulawak tidak lebih dari 1.5%. 4.1.6. Pembuatan dan Evaluasi Granul Instan Ekstrak Etanol Temulawak Pada praktikum kali ini sediaan yang dibuat adalah granul instan dengan bahan aktif dari ekstrak temulawak (Curcuma xanthorroza). Ekstrak temulawak sendiri mengandung kurkumin yanng bermanfaat sabagai anti hiperglikemia, anti inflamasi dan hepato protektor sesuai dengan dosisny masing-masing. Metode yang digunakan pada pembuatan granul instan ini adalah metode granulasi basah, Setelah dilakukan penimbangan bahan kemudian dilakukan pencampuran bahan-bahan yang digunakan, dilakukan granulasi yaitu campuran serbuk dibasahi dengan larutan bahan pengikat sampai diperoleh distribusi bahan pengikat yang homogen, yang ditandai dengan campuran dapat dikepal seperti salju, yang bila kepalan ditekan akan pecah dalam distribusi ukuran partikel granul yang merata.Lalu adonan tersebut diayak sehingga diperoleh granul dengan ukuran merata dan kompak (disebut Pengayakan massa basah). Granul kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu pengeringan 50 – 60°C selama 18-24 jam. Bahan aktif yang digunakan pada pembuatan granul instan ini adalah ekstrak temulawak dan bahan bahan tambahan yang digunakan antara lain PVP sebagai pengikat, Na-starch glikolat, Na-CMC, Xanthan gum, Sukrosa sebagai pemanis, Nasakarin, Menthol, FD&C green sebagai pewarna agar granul yang dihasilkan berwarna hijau, Saccharum lactis sebagai pengisi, Methyl paraben dan Propil paraben sebagai pengawet, Mg Stearat sebagai lubricant, Talkum sebagai glidant dan etanol. Setelah granul selesai proses pengeringan maka dilakukan beberapa evaluasi terhadap granul tersebut, evaluasi yang dilakukan antara lain : Pemerian, dilihat dari bentuk fisik granul, Loss on drying atau uji kelembapan, Kompresibilitas, laju alir dan sudut istirahatnya agar dapat mengetahui kualitas granul yang dibuat.



34



Berdasarkan uji organoleptik dengan menggunakan panca indera, granul temulawak yang telah dibuat berwarna kuning sedikit kehijauan, memiliki bentuk granul halus serta berbau khas temulawak. Warna kehijauan pada granul disebabkan pada saat tahap akhir pencampuran diberikan sedikit pewarna hijau yang tercampur homogen dengan adonan granul. Evaluasi granul selanjutnya adalah uji kompresibilitas. Uji kompresibilitas dilakukan dengan cara menimbang 25 gram granul lalu dimasukkan dalam tabung volume dan diukur volume awal. Setelah itu dilakukan pengetukan dengan alatnya yaitu tab density. Pengetukan dilakukan 500x secara otomatis dan akan didapatkan volume akhir setelah diketuk-ketuk. Hasil yang didapatkan yaitu volume awalnya adalah 55 ml dan volume akhirnya adalah 49 ml. Kerapatan longgar atau ruahnya yang didapatkan adalah 0,45 (berat granul/ volume awal) dan kerapatan mampatnya 0,51 (berat/ volume akhir). Serta didapatkan bahwa % kompresibiltasnya adalah 11,76% dan dari tabel % kompresibilitas menurut FI IV ini dikategorikan sebagai sangat baik dengan rentang 5-12. Sementara persamaan Hausner yang didapatkan adalah 0,882. Jika suatu granul tidak memiliki nilai kompresibiltas yang baik dapat dilakukan perbaikan dengan cara menambahkan pembasah atau dalam hal ini adalah pengikat. Hal ini karena saat lembap, ikatan antara partikel akan menjadi kuat. Selain itu dapat juga diperbaiki dengan cara melakukan perubahan bentuk dan tekstur granul. Hal ini karena bentuk dan tekstur akan mempengaruhi kerapatan atau porositas. Semakin baik porositas suatu granul maka akan semakin baik kompresibilitasnya. Kompresibilitas ini akan mempengaruhi kompaktibiltas yang dimiliki oleh suatu tablet. Jika semakin baik kompresibilitas suatu granul, maka akan semakin baik pula tablet yang dihasilkan dan memiliki kompaktibiltas atau kerapatan yang bagus. Selain itu, tampilan dari tablet akan semakin bagus. Evaluasi Loss on Drying (LOD) atau uji susut pengeringan dengan menggunakan moisture tester yang telah diatur suhu dan waktunya. Suhu yang digunakan adalah 70oC, karena apabila suhu lebih dari 70oC maka granul akan rusak. Loss on Drying (LOD) menyatakan kelembapan berdasarkan berat basah. Kelembapan di dalam zat



35



padat dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering. Berdasarkan berat basah, kandungan air dari suatu bahan dihitung sebagai persen dari bahan basah, sedangkan berdasarkan berat kering, air dinyatakan sebagai persen berat dari bahan kering. Pada saat pengujian LOD serbuk yang telah dimasukkan keatas piringan alumunium harus didistribusikan secara homogen agar kadar airnya dapat diukur secara merata dan akurat. Alat dapat berhenti mengukur kadar air serbuk kurang dari 10 menit jika hasil kadar airnya sudah konstan atau tidak berubah lagi. Dari hasil evaluasi didapatkan bahwa granul instan temulawak memiliki persen LOD sebesar 0,74%, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa LOD dari granul telah sesuai syarat yaitu 0,5 - 3 %. Hilangnya air dalam serbuk saat pengeringan bertujuan untuk menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif. Evaluasi yang dilakukan selanjutnya adalah pengujian sudut istirahat. Pengujian ini merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi sifat alir granul. Sifat aliran granul dapat dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran partikel, melalui gaya kohesi antara pertikel dan oleh pembentukan lapisan tipis permukaan (misalnya air) dan faktor-faktor lainnya. Daya lekat atau daya ikat serbuk didasari atas gaya Van der walls antar permukaan padat, perbandingan muatan elektrostatik atau gaya diantara lapisan teradsorbsi. Sifat alir bubuk dan granulat dapat diperbaiki melalui penambahan bahan pelican yang mampu menurunkan gesekan antar partikel. Besar kecilnya sudut istirahat dipengaruhi oleh bentuk ukuran dan kelembaban serbuk. Semakin kecil sudut istirahat, maka semakin mudah granul tersebut mengalir. Sudut istirahat dapat diukur dengan mengamati tinggi (h cm) kerucut yang terbentuk di atas alas dengan diameter tertentu (d cm). Alat yang biasa digunakan berupa corong tertutup yang biasa disebut dengan flow tester. Pengujian sudut istirahat dapat dilakukan bersamaan dengan pengujian kecepatan alir. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan 25 gram granul ke dalam corong dengan lubang bagian bawah yang tertutup. Kemudian tempatkan alas di bawah corong. Setelah itu buka penutup lubang, lalu ukur waktu alirnya dan hitung tinggi serta diameter tumpukan granul yang terbentuk.



36



Hasil pengujian sudut istirahat yang dilakukan, didapatkan sudut istirahat granul sebesar 27,76o dengan tinggi tumpukan granul 2,5 cm dan diameternya 9,5 cm. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa granul tersebut memiliki sifat alir yang baik. Pada literatur, sudut istirahat dengan sifat alir yang baik terdapat pada rentang 25-30o. Hasil laju alir yang dilakukan, didapatkan laju alirnya adalah 8,3 g/s. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahawa granul tersebut memiliki sifat alir yang baik. Pada literatur, laju alir dengan sifar aliran yang baik terdapat pada rentang 4-10 g/s. 4.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Praktikum 4.2.1. Faktor Pendukung Faktor pendukung pada praktikum ini adalah pembagain kerja pada masingmasing anggota yang adil dan rapi sehingga mempercepat proses praktikum; pembagian jadwal evaporasi yang baik pula sehingga tidak terjadi bentrok antar shift ataupun antar angkatan; ketersediaan simplisia di lab sehingga praktikan tidak perlu membeli; serta reagen dan alat-alat yang sudah tersedia di lab. 4.2.2. Faktor Penghambat Faktor penghambat pada praktikum ini terbatasnya jumlah evaporator dan penangas air sehingga membutuhkan waktu lama untuk waktu evaporasi dan pemekatan ekstrak; tempat penyimpanan ekstrak yang kurang dijaga kebersihannya sehingga dapat menyebabkan ekstrak tercemar; proses granulasi yang manual sehingga dapat menimbulkan granul yang dibuat tidak memenuhi syarat.



37



V.



KESIMPULAN DAN SARAN



5.1. Kesimpulan 1.



Telah dilakukan pemeriksaan simplisia meliputi pengujian organoleptik, uji mikroskopik, uji makroskopik dan identifikasi kandungan senyawa kimia simplisia temulawak serta standardisasi spesifik dan non spesifik



dan



didapatkan hasil yang sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia. 2.



Telah dilakukan pembuatan produk jadi sediaan granul instan ekstrak rimpang temulawak dari bahan baku ekstrak dengan mutu dan kualitas yang baik sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dan evaluasi dari produk granul instan temulawak melalui uji hedonik/ kesukaan secara obyektif.



5.2. Saran 1.



Bahan baku ekstrak disimpan di tempat yang terjaga dari suhu, kelembapan, dan cahaya yang tepat sehingga bahan baku ekstrak terhindar dari kerusakan dan kontaminasi mikroba yang dapat memengaruhi stabilitas dan kualitas ekstrak.



2.



Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak diperbanyak sehingga dalam pembuatannya dapat lebih efisien.



3.



Proses granulasi lebih baik menggunakan mesin granulator. Sebab, apabila secara manual/ tradisional dapat mengakibatkan zat aktif yang terdapat dalam granul tidak homogen, dan ukuran yang dihasilkan dapat tidak seragam.



38



DAFTAR PUSTAKA Ahsan, H., Parveen, N.,Khan, N.U., and Hadi,S.M. 1999. Pro-oxidant, anti-oxidant and cleavage activities on DNA of curcumin and its derivatives demethoxy curcumin and bisdemethoxycurcumin, Chem.-Biol. Interact., 121, pp. 161175. Badan POM. 2005. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta: BPOM RI. Budiarto, A.A., Wibowo, A.P., Putri, S.A., Shabrina, N.N., Ngestiningsih, D., Tjahjono, K. 2017. Pengaruh Pemberian Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb.) dan Jintan Hitam (Nigella Sativa) terhadap Profil Lipid Tikus Sprague Dawley Dislipidemia. Jurnal MKB, 49(1). Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (Edisi 1). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta : Depkes RI Depkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dewick, Paul M. 2009. Medicinal Natural Products : A Biosynthetic Approach, 3rd Edition. Wiltshire: John Willey and Sons Ltd. Jumiarni, W. O., & Komalasari, O. 2017. INVENTORY OF MEDICINES PLANT AS UTILIZED BY MUNA TRIBE IN KOTA WUNA SETTLEMENT. Majalah Obat Tradisional (Traditional Medicine Journal), 22(1), 45-56. Kawamori, T., Lubet, R., Steele, V.E., Kellof, G.J., Kaskey, R.B., Rao, C.V. & Reddy, B.S. 1999. Chemopreventive Effect of Curcumin, a Naturally Occurring AntiInflammatory Agent, during the Promotion/Progression Stages of Colon Cancer. Cancer. Res., 59, 597–601. Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta : Penebar Swadaya. Moelyono. 2007. Temulawak, ikon obat herbal tradisional Indonesia?. Tersedia (online) di http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/2007/09/21/temulawak-ikonobatherbal-indonesia/ [Diakses 19 Maret 2018].



39



Rao, M.N.A, 1997, Antioxidant Properties of Curcumin, in Suwidjo Pramono et.al., Recent Development in Curcumin Pharmacochemistry , Proceedings of International Symposium on Cu rcumin Pharmacochemistry. Yogyakarta : Aditya Media, hal. 39 -47. Salamah, Nina, Erlinda Widyasari. 2015. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK METANOL DAUN KELENGKENG (Euphoria longan (L) Steud.) DENGAN METODE PENANGKAPAN RADIKAL 2,2’-DIFENIL-1 PIKRILHIDRAZIL. Pharmaciana. Vol 5. No 1. Varalakshmi,



Ch.,



A.



Mubarak



Ali.,



and



B.V.V.



Pardhasaradhi.



2008.



Immunomodulatory Effect of Curcumin : In Vivo. Int. J. Imm, 8 (688). Zahro, L., Cahyono, B. Hastuti, R. B. 2009. Profil Tampilan Fisik dan Kandungan Kurkuminoid Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Pada Beberapa Metode Pengeringan. Jurnal Sains & Matematika. Vol. 17 No. 1.



40



LAMPIRAN Lampiran 1.



Foto Simplisia, Ekstrak Kental, dan Produk Jadi



Simplisia Rimpang Temulawak



41



Lampiran 2.



Gambar Skema Tahapan Praktikum



Pengumpulan Simplisia



Proses Perajangan



Uji Makroskopik dan Mikroskopik



Penentuan Kadar Abu Total Simplisia



Susut Pengeringan



Uji kromatografi Lapis Tipis Simpliisia



Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam Simplisia



Penentuan Kadar sari larut Air dan Etanol



Proses Perendaman simplisia



Penentuan Bobot Jenis Ekstrak



Evaporasi



Penyaringan



Kadar Air Ekstrak



Kadar Abu Total Ekstrak



Kadar Abu Tidak Larut Asam Ekstrak



Pengemasan Primer, Sekunder, dan Tersier



Pembuatan Sediaan



Uji Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak



42



Lampiran 3.



Resume Praktikum



LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FARMASI BAHAN ALAM FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN KETERANGAN/TAHAPAN IDENTITAS KELOMPOK



PENJELASAN



ISI/HASIL



1 2 3 4 5



Kelompok Hari Waktu (Jam) Nama Ketua Kelompok Nama Koordinator Asisten



Kelompok 3 Shift 3 Kamis 10.00-13.00 Hiralius Bima Soleh



6



Nama Asisten Pendamping



IDENTITAS



1



Tumbuhan



BAHAN



2



Simplisia



1. Nuzaha B. S. A. 2. Dila triarini Curcumae xanthorrhizae Roxb. Curcumae xanthorrhizae Rhizoma



PEMERIKSAAN SIMPLISIA



1



Organoleptik Warna



2



EKSTRAKSI



Rasa Bentuk Skrining Fitokimia Alkaloid Senyawa Polifenolat Tanin Flavonoid Monoterpen & sesquiterpen



Hijau Kecokelatan hingga cokelat tua Pahit Bundar atau jorong -



Steroid & Triterpenoid Kuinon Saponin



-



1



Metode



2 3 4 5



Berat Simplisia (gram) Pelarut Berat Ekstrak (gram) Organoleptik



6 7 8



Rendemen (%) Bobot Jenis Ekstrak Kadar air (%)



Maserasi dan evaporasi 2 kg Etanol 92,25 g Kental, berwarna kecokelatan, berbau khas. 0,810 g/cm3 9,95%



43



KLT EKSTRAK



1 2



Senyawa target Fase Gerak



3



Penampakan Bercak Sinar Tampak - UV 254



-



UV 366



Pereaksi Semprot STANDARDISASI EKSTRAK



KONTROL SELAMA PROSES PENGOLAHAN



1 2 3 4 5 6 7 8 9



Curcumin Kloroform : metanol = 95 : 5 Ada Tampak Flourosensi noda sampel Tampak Flourosensi noda sampel -



Rf



0,933



Susut Pengeringan Bobot Jenis Kadar Air Kadar Sari Larut Air Kadar Sari Larut Etanol Kadar Abu Total Kadar Abu Tidak Larut Asam Kadar Total Kandungan Kimia Kadar Kandungan Kimia Kuersetin PENGUJIAN



12 % 0,810 g/cm3 9,95 % 17 % 11 % 3% 0,5 % -



Pemeriaan



Cairan kental berwarna kuning kecoklatan, aroma khas temulawak.



HASIL



44



Lampiran 4.



Susunan Kerja Kelompok



No



Nama



NPM



Jabatan



Tugas



1.



Hiralius Bima



260110160030



Supervisor Produksi



Metode, Editor



2.



Savira Permatasari



260110160022



Anggota



Metode, Pembahasan



3.



Yessica Pardosi



260110160023



Anggota



Tinjauan Pustaka, Pembahasan



4.



Diane Fauzi



260110160024



Anggota



Abstrak, Pendahuluan, Pembahasan



5.



Nur Diana Hadad



260110160025



Anggota



Metode, Pembahasan



6.



Beska Zausha W.



260110160026



Anggota



Metode, Pembahasan



7.



Sasqia Faturachman



260110160027



Anggota



Metode, Kesimpulan dan Saran



8.



Sarah Rahmatia



260110160028



Anggota



Tinjauan Pustaka, Pembahasan



9.



Alya Luthfiyani



260110160029



Anggota



Tinjauan Pustaka, Pembahasan



45