Strategic Cost Management & The Value Chain [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEMINAR AKUNTANSI MANAJEMEN



Life Cylce Costing : Strategic Cost Management and The Value Chain (by John K. Shank and Vijay Govindarajan)



Oleh :  



HAJRAL SOFI SISCA VITRI



1310532037 1310531041



DOSEN PENGAMPU : SRI DEWI EDMAWATI, SE, M.Si, Akt



JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2016



Life Cylce Costing : Strategic Cost Management and The Value Chain (by John K. Shank and Vijay Govindarajan) Rantai nilai untuk tiap-tiap perusahaan di dalam industri apa saja adalah aktivitas-aktivitas penciptaan nilai yang saling terkait – mulai dari pemerolehan sumber bahan baku dasar sampai kepada penyerahan produk atau jasa akhir kepada pelanggan. Makalah ini menjelaskan bagaimana menyusun dan menggunakan rantai nilai. Pembahasan di dalam makalah ini bertujuan untuk menyoroti fakta bahwa pengetahuan manajemen biaya strategik yang muncul dari rantai nilai adalah berbeda dari – dan lebih baik daripada – pengetahuan yang diperoleh dari pendekatan-pendekatan akuntansi manajemen tradisional. Salah satu tema besar di dalam manajemen biaya strategik ialah menyangkut fokus terhadap



upaya-upaya



dalam



manajemen



biaya:



bagaimana



sebuah



perusahaan



mengorganisasikan pemikiran-pemikirannya mengenai manajemen biaya? Di dalam kerangka manajemen biaya strategik, mengatur biaya secara efektif memerlukan fokus yang luas yang mana Michael Porter menyebutnya dengan “rantai nilai” – yakni, sekumpulan aktivitas penciptaan nilai yang saling terkait. Fokus ini bersifat eksternal bagi perusahaan, di mana masing-masing perusahaan dipandang dalam konteks keseluruhan rantai dalam aktivitasaktivitas penciptaan nilai yang mana hal tersebut hanyalah



berupa sebuah bagian atau



tahapan, mulai dari pemerolehan bahan baku dasar sampai after-sales service. Sebaliknya, akuntansi manajemen tradisional mengadopsi fokus yang sebagian besar bersifat internal bagi perusahaan, di mana masing-masing perusahaan dipandang dalam konteks dari pembelian, proses, fungsi, produk, dan pelanggan. Dengan kata lain, akuntansi manajemen tradisional mengambil perspektif nilai tambah mulai dari pembayaran kepada pemasok (pembelian) sampai pada penyerahan produk atau jasa kepada pelanggan (penjualan). Tema utamanya, di dalam perspektif akuntansi manajemen tradisional, adalah untuk memaksimalkan perbedaan (yaitu, nilai tambah) antara pembelian dan penjualan. Pengetahuan strategik yang dihasilkan oleh analisis rantai nilai, bagaimanapun, berbeda secara signifikan dari – dan lebih unggul – daripada yang disarankan oleh analisis nilai tambah. A. Konsep Porter menyebutkan bahwa perusahaan dapat mengembangkan keunggulan kompetitif secara berkelanjutan dengan menerapkan satu dari dua strategi berikut:



 



A low-cost strategy; atau A differentiation strategy.



Low-cost Strategy. Fokus utama dari low-cost strategy adalah untuk meraih biaya rendah secara relatif terhadap pesaing (meraih kepemimpinan biaya). Kepemimpinan biaya dapat dicapai melalui beberapa pendekatan seperti:    



Skala ekonomi dalam produksi Experience curve effects Pengendalian biaya secara ketat Minimalisasi biaya pada beberapa area seperti Research and Development (R&D), service, sales force, atau advertising.



Cost Leadership atau kepemimpinan biaya merupakan salah satu generic strategy. Strategi ini dilakukan dengan cara memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dengan kualitas yang relatif sama dibandingkan dengan para pesaingnya. Untuk dapat menjalankan strategi ini, perusahaan perlu memiliki economies of scale lebih tinggi atau memiliki keunggulan dalam produktivitas. Dengan kata lain, perusahaan yang mengarahkan dirinya menjadi produsen yang low-cost dalam industri untuk setiap level kualitas, maka perusahaan tersebut telah menjalankan strategi ini. Strategi ini mempunyai dua macam strategi turunannya, yaitu (1) produk dijual dalam rata-rata harga industri untuk meraih keuntungan yang lebih besar dari pesaing dan (2) produk dijual di bawah rata-rata harga industri untuk meraih market-share yang lebih luas. Ada beberapa keadaan lingkungan yang dapat menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan ketika akan menjalankan strategi kepemimpinan biaya. Ketika pembeli tidak dihadapakan ada diferensiasi nilai terlalu banyak dengan produk lain, pembeli cenderung sensitif terhadap harga, atau para pesaing tidak akan segera menyesuaikan harga yang lebih rendah, maka situasi ini akan mendukung berjalannya strategi ini. Sebaliknya ketika tidak ada perubahan dalam selera konsumen, teknologi, dan harga atau biaya; aktivitas yang diambil untuk mencapai biaya rendah sangat langka dan mahal untuk ditiru, maka strategi ini menjadi kurang efektif. Dengan menjalankan strategi ini perusahaan harus lah memiliki kelebihan dalam aspek pangsa pasar yang lebih luas ataupun akses ke sumber daya seperti bahan baku, komponen, tenaga kerja yang lebih baik. Dengan keuntungan pada dua hal itu, dan dikombinasikan dengan proses bisnis yang efisien, maka perusahaan dapat menjalankan strategi ini dengan



baik. Beberapa ciri bisnis proses yang efisien akan terlihat pada aspek seperti seperti memiliki capabilities keuangan yang kuat untuk berinvestasi dalam spesific assets, mampu mendesain proses produksi dengan efisien, memiliki keahlian yang tinggi dalam industri karena learning/experience curve yang tinggi, dan memiliki jalur distribusi yang efisien. Tanpa satu atau beberapa keuntungan ini, strategi ini dapat dengan mudah ditiru oleh pesaingpesaing lainnya. Jika perusahaan yang berkompetisi tidak dapat menurunkan biaya-biaya yang sama jumlahnya, maka perusahaan dapat mempertahankan keunggulan kompetitif berdasarkan biaya kepemimpinan. Dapat disimpulkan bahwa cost leadership dapat diraih dengan cara (1) Keputusan outsourcing dan vertical integration yang optimal, (2) Meningkatkan efisiensi dalam setiap value chain, atau (3) Mendapatkan sumber input yang murah. Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan strategi ini meliputi Texas Instruments pada consumer electronics, Emerson Electric pada motor listrik, Hyundai pada otomobil, Briggs and Stratone pada gasoline engines, Black and Decker pada alat-alat bermesin, Commodore pada bisnis mesin, K-Mart pada bisnis ritel, BIC pada pena, dan Timex pada jam tangan. Differentiation strategy. Fokus utama dari strategi diferensiasi adalah untuk menciptakan sesuatu yang mana pelanggan memandangnya sebagai sesuatu yang unik. Keunikan produk dapat dicapai melalui beberapa pendekatan seperti loyalitas merek (Coca Cola pada industri minuman ringan), layanan pelanggan yang unggul (IBM pada bisnis komputer), jaringan agen (Caterpillar Tractors pada bisnis peralatan konstruksi), desain produk dan fitur produk (Hewlett Packard pada elektronik), atau teknologi (Coleman pada bisnis peralatan kemah). Beberapa perusahaan yang telah menerapkan strategi diferensiasi meliputi Mercedes Benz pada industri otomobil, Stouffer’s pada bisnis makanan beku, Neiman-Marcus pada industri ritel, Cross pada bisnis pena, dan Rolex pada bisnis jam tangan. Apakah atau tidak perusahaan dapat mengembangkan dan mempertahankan kepemimpinan biaya tergantung secara mendasar pada bagaimana perusahaan mengelola rantai nilainya secara relatif terhadap pesaing. Baik secara intuitif maupun secara teoretis, keunggulan kompetitif dalam pasar pada akhirnya berasal dari penyediaan nilai pelanggan yang lebih baik dengan biaya setara atau nilai pelanggan yang setara dengan biaya yang lebih rendah. Dengan demikian, analisis rantai nilai sangat penting untuk menentukan secara persis



di segmen mana pada rantai nilai perusahaan – mulai dari desain hingga distribusi – biayabiaya dapat diturunkan atau nilai pelanggan dapat ditingkatkan. B. Kerangka Rantai Nilai Kerangka rantai nilai merupakan metode untuk membagi rantai - mulai dari bahan baku dasar sampai kepada pelanggan terakhir – ke dalam aktivitas-aktivitas strategik yang relevan dalam rangka memahami perilaku biaya dan sumber diferensiasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebuah perusahaan biasanya hanya satu bagian dari sekumpulan aktivitas yang lebih besar dalam sistem penyerahan nilai. Pemasok tidak hanya memproduksi dan menyerahkan input yang digunakan di dalam aktivitas nilai perusahaan, tetapi mereka penting pula dalam memengaruhi biaya dan posisi diferensiasi perusahaan. Memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitif bahwasanya mengharuskan perusahaan untuk memahami keseluruhan sistem penyerahan nilai, bukan hanya bagian dari rantai nilai di mana ia berpartisipasi. Pemasok dan saluran distribusi memiliki margin keuntungan yang penting untuk mengidentifikasi dalam memahami biaya atau penetuan posisi diferensiasi suatu perusahaan, karena pelanggan akhir pada akhirnya membayar semua margin keuntungan di seluruh rantai nilai. C. Value Chain Versus Value-Added Analysis Konsep value chain harus dibedakan dengan konsep value added. Konsep value added merupakan analisis nilai tambah yang dimulai dari saat pembelian bahan baku sampai dengan produk jadi. Konsep value added menekankan pada penambahan nilai produk selama proses produksi di dalam perusahaan. Semua biaya yang non-value added akan dihilangkan dan perusahaan fokus pada hal-hal yang mempunyai nilai pada produk. Konsep ini mengakibatkan kerugian bagi perusahaan karena analisisnya terlalu lambat dimulai, analisis dimulai saat bahan baku dibeli dan tidak memperhatikan saat pembentukan nilai yang terjadi pada aktivitas yang dilakukan pemasok bahan baku tersebut; dan terlalu cepat selesai sebab analisis berakhir saat produk selesai diproses dan mengabaikan proses distribusi produk ke tangan pelanggan dan penanganan setelah itu (Shank dan Govindarajan, 1992). Hal ini mengakibatkan



perusahaan



kehilangan



kesempatan



(missed



opportunities)



untuk



mengeksplorasi hubungannya dengan pemasok dan konsumen untuk memantapkan posisinya dalam persaingan pasar. Survey yang dilakukan terhadap para manajer di Selandia baru menunjukan perusahaan mereka mempunyai kelemahan dalam hal: Kualitas bahan baku yang



kurang bagus, saat pengantaran bahan baku yang tidak tentu, manajemen bahan baku yang masih kurang, dan penanganan kepuasan konsumen yang masih kurang. Kelemahan ini terjadi karena perusahaan tidak mengekplorasi hubungan dengan pemasok dan konsumen. Hubungan yang baik dengan pemasok dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam hal peningkatan kualitas bahan baku, waktu pengantaran bahan baku yang tepat dan biaya yang lebih rendah. Sedangkan hubungan dengan konsumen dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam loyalitas konsumen terhadap produk perusahaan. Di lain pihak analisis value chain merupakan analisis aktivitas-aktivitas yang menghasilkan nilai, baik yang berasal dari dalam dan luar perusahaan. Konsep value chain memberikan perspektif letak perusahaan dalam rantai nilai industri. Konsep value chain lebih luas dibandingkan value added dan dapat dikatakan value added merupakan bagian dari value chain. D. Supplier Linkages Perbedaan antara perspektif rantai nilai dan perspektif nilai tambah dapat dilihat secara jelas dalam konteks masalah penjadwalan yang timbul ketika perusahaan mengabaikan total rantai nilai. Industri otomobil menyediakan contoh yang baik. Beberapa tahun yang lalu, sebuah perusahaan otomobil besar Amerika Serikat mulai untuk mengimplementasikan manajemen Just-in-time (JIT) pada pabrik perakitannya. Biaya perakitan mengambil porsi 30 persen dari penjualan. Perusahaan berpendapat bahwa penggunaan JIT dapat mengeliminasi 20 persen dari biaya perakitan tersebut, karena biaya perakitan pada pabrik-pabrik otomobil Jepang diketahui lebih dari 20 persen di bawah biaya perakitan pada pabrik-pabrik otomobil Amerika Serikat. Seiring perusahaan mulai mengatur pabrik-pabriknya secara berbeda dalam rangka menghilangkan penumpukan dan pemborosan persediaan, biaya perakitannya turun secara signifikan. Akan tetapi perusahaan mengalami permasalahan yang dramatis dengan pemasok-pemasoknya, yang mana meminta kenaikan harga



melebihi



biaya



yang



dapat



dihemat



perusahaan



ketika



perusahaan



mengimplementasikan JIT. Perusahaan-perusahaan otomobil Amerika Serikat saat itu merespon permintaan kenaikan harga dari pemasok-pemasoknya dengan meminta para pemasoknya untuk menerapkan JIT pula pada aktivitas operasi mereka. Perspektif rantai nilai mengungkapkan sebuah gambaran yang berbeda mengenai keseluruhan situasi. Dari penjualan perusahaan otomobil, 50 persen merupakan pembelian



dari pemasok suku cadang. Dari jumlah tersebut, 37 persen merupakan pembelian oleh pemasok suku cadang, dan sisanya 63 persen merupakan nilai tambah yang diberikan oleh pemasok. Dengan demikian, pemasok sebetulnya menambah lebih nilai produksi kepada perusahaan otomobil daripada pabrik perakitannya (63 persen x 50 persen = 31.5 persen, versus 30 persen). Dengan mengurangi penumpukan persediaan dan mengharuskan implementasi JIT pada pemasok, perusahaan telah menciptakan ketegangan dengan pemasokpemasoknya. Akibatnya, total biaya manufaktur pemasok naik lebih daripada biaya perakitan perusahaan yang mengalami penurunan. Ketika diidentifikasi, alasan di balik terjadinya masalah tersebut, sebetulnya tidak rumit. Pabrik perakitan mengalami perubahan yang besar dan tidak pasti dalam jadwal produksi. Ketika penumpukan persediaan dihilangkan dari proses produksi yang sangat tidak dapat diprediksi, aktivitas produksi dari pemasok menjadi sebuah mimpi buruk. Untuk setiap dolar biaya manufaktur yang dapat dihemat oleh pabrik perakitan ketika perusahaan berpindah ke konsep manajemen JIT, parik-pabrik pemasok mengeluarkan lebih dari satu dolar karena ketidakpastian jadwal produksi perusahaan yang dipasoknya. Karena cakupan perspektif nilai tambah yang sempit, perusahaan otomobil mengabaikan konsekuensi bahwasanya perubahan-perubahan penjadwalan produksinya memiliki dampak terhadap biaya para pemasoknya. Manajemen telah mengabaikan fakta bahwa konsep JIT memerlukan kerjasama dengan para pemasok. Faktor utama yang berkontribusi dalam kesuksesan pada pabrik perakitan perusahaan-perusahaan otombil Jepang adalah kestabilan jadwal produksi pemasoknya. Sementara pabrik perakitan pada perusahaan-perusahaan otomobil Amerika Serikat, secara tetap kehilangan jadwal produksi untuk satu minggu ke depan sebesar 25 persen atau lebih, sementara pabrik-pabrik perakitan pada perusahaanperusahaan otomobil di Jepang bervariasi sebesar 1 persen – atau kurang – dari jadwal yang telah direncanakan empat minggu sebelumnya. Kegagalan dalam mengadopsi perspektif rantai nilai disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketidakpahaman akuntan manajemen mengenai konsep analisis supply chain cost dalam perusahaan-perusahaan otomobil terbukti menimbulkan biaya yang tidak sedikit bagi perusahaan. Konsekuensi penjadwalan tersebut dapat ditangani secara lebih baik seandainya akuntan-akuntan manajemen pada industri otomobil memiliki pemahaman yang baik mengenai konsep rantai nilai.



Hubungan-hubungan yang bermanfaat (yaitu, hubungan dengan pemasok dan pelanggan yang dikelola dengan cara sedemikian rupa di mana seluruh pihak diuntungkan) dapat pula ditelusuri secara lebih akurat melalui analisis rantai nilai dibandingkan melalui analisis nilai tambah. Sebagai contoh, ketika coklat borongan dalam jumlah yang besar dikirim dalam bentuk cair di dalam mobil-mobil tanki daripada coklat yang sudah berbentuk batangan, perusahaan-perusahaan produsen coklat (misal, pemasok) mengeliminasi biaya membentuk coklat dalam bentuk batangan dan biaya packing, tetapi mereka juga menghemat biaya pembuat gula-gula (manisan) yang berbahan baku coklat dalam membongkar dan mencairkan coklat-coklat yang sudah berbentuk batangan. E. Customer Linkages Selain dimulai dengan sangat lambat, analisis nilai tambah memiliki kekurangan yang lain: ia berhenti terlalu cepat. Hubungan pelanggan sangat penting sebagaimana hubungan pemasok; menghentikan biaya pada titik penjualan mengeliminasi seluruh kesempatan untuk memanfaatkan hubungan dengan pelanggan. Memanfaatkan hubungan dengan pelanggan merupakan ide kunci di balik konsep life-cycle costing. Life-cycle costing merupakan kalkulasi biaya yang berpendapat untuk memasukkan seluruh biaya yang terjadi untuk sebuah produk – mulai dari ketika produk tersebut dirancang sampai produk tersebut dibuang – sebagai bagian dari biaya produk. Lifecycle costing dengan demikian berkaitan secara eksplisit dengan hubungan antara apa yang pelanggan bayar untuk sebuah produk dan total biaya yang dikenakan kepada pelanggan selama umur produk tersebut. Perspektif life-cycle costing pada hubungan pelanggan dalam rantai nilai dapat memicu peningkatan profitabilitas. Perhatian eksplisit pada biaya pasca pembelian oleh pelanggan dapat membawa kepada segmentasi pasar dan pemosisian produk yang lebih efektif. Merancang sebuah produk untuk mengurangi biaya pasca pembelian yang ditanggung pelanggan dapat menjadi senjata utama dalam meraih keunggulan kompetitif. Dalam banyak hal, biaya siklus hidup produk yang lebih rendah pada mobil impor Jepang membantu menjelaskan kesuksesan mereka dalam pasar Amerika Serikat. Ada banyak contoh di mana hubungan antara perusahaan dan pelanggannya dirancang untuk saling menguntungkan dan hubungan dengan pelanggan dipandang tidak sebagai permainan kalah-menang namun sebagai hubungan yang saling menguntungkan. Contoh kasus adalah pada industri kontainer. Beberapa produsen kontainer telah membangun fasilitas manufaktur di dekat tempat pembuatan bir dan menyerahkan kontainer melalui kepala



konveyor secara langsung ke atas lini perakitan pelanggan. Praktik ini menghasilkan pengurangan biaya yang signifikan baik untuk produser kontainer dan pelanggan mereka dengan mempercepat pengangkutan kontainer kosong, yang mana besar dan berat. F. Missed Opportunities Banyak masalah manajemen biaya yang disalahpahami karena kegagalan untuk melihat manfaat yang dapat dihasilkan oleh analisis rantai nilai, sehingga perusahaan kehilangan kesempatan (missed opportunities) untuk mengeksplorasi hubungannya dengan pemasok dan pelanggan. G. Metodologi Analisis Value Chain Metodologi untuk membuat dan menggunakan value chain mencakup langkah-langkah: 1. Mengidentifikasi value chain dari industri, lalu membuat daftar biaya, pendapatan, dan asset untuk tiap-tiap aktivitas. 2. Mengidentifikasi cost drivers yang mengatur setiap value activity. 3. Membangun sustainable competitive advantage, baik dengan mengendalikan cost drivers lebih baik dari pesaing atau dengan merekonfigurasi value chain. 1) Identifying The Value Chain  Langkah ini harus dilakukan dengan ide untuk mendapatkan copetitive advantage. Penilaian competitive advantage tidak dapat diuji sepenuhnya pada level industri secara keseluruhan.  Value chain suatu industri dibagi dalam aktivitas yang berbeda oleh karena itu starting point analisis cost didefinisikan dalam value chain industri kemudian menetapkan cost, pendapatan dan aset dalam berbagai nilai aktivitas. Aktivitas ini untuk membangun blok perusahaan dalam industri untuk menciptakan produk yang bernilai bagi pembeli.  Aktivitas -aktivitas harus diisolasi dan dipisahkan jika aktivitasaktivitas tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi sebagai berikut: aktivitas-aktivitas tersebut menggambarkan prosentase yang signifikan dengan cost operasional, perilaku cost aktivitas (cost driver) berbeda,



aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan oleh kompetitor dalam cara yang berbeda.  Setelah mengidentifikasi value chain, cost operasional, pendapatan dan aset harus dibebankan pada nilai aktivitas secara individual. Untuk nilai aktivitas intermediate, pendapatan harus ditetapkan dengan menyesuaikan harga transfer internal dengan harga pasar. 2) Diagnosing Cost Drivers  Dalam akuntansi manajemen konvensional, fungsi utama suatu cost driver adalah volume output. Konsep biaya berhubungan dengan volume input, biaya tetap versus biaya variabel, biaya rata-rata versus biaya marginal, biaya volume analisis profit, analisis break event, budget fleksibel dan margin kontribusi.  Dalam rerangka kerja value chain sangat berbeda, volume output dipandang untuk menangkap sejumlah kecil variasi perilaku biaya. Oleh karena itu biasanya digunakan cost driver multiple yaitu cost driver yang berbeda untuk berbagai nilai aktivitas yang berbeda. Cost driver dibagi dalam dua kategori yaitu: structural cost driver dan executional cost driver.



Structural Cost Driver Cost driver struktural adalah aktivitas usaha, guna memenuhi permintaan konsumen, yang mempengaruhi biaya dalam tingkatan struktural perusahaan, meliputi: lokasi usaha, skala usaha, bentuk badan usaha, struktur organisasi, teknologi serta infrastruktur yang akan digunakan dalam menjalankan usaha. Pilihan strategi yang harus dibuat perusahaan tentang struktur ekonomi yang mendasari. 1. Scale: berapa ukuran investasi dalam manufakturing, research and development, dan marketing resources? 2. Scope: bagaimana tingkat integrasi secara vertikal (integrasi horisontal lebih berhubungan dengan skala)?



3. Experience: berapa banyak waktu yang dibutuhkan perusahaan dimasa yang lalu dan apakah masih bisa dilakukan dalam waktu yang sama untuk saat ini? 4. Technology: Proses teknologi apa yang digunakan dalam masing-masing tahap value chain perusahaan? 5. Complexity: Seberapa luas lini produk atau jasa yang akan ditawarkan pada konsumen? Executional Cost Driver Kategori kedua dari pemicu biaya, yaitu executional cost driver, adalah mereka penentu "posisi biaya perusahaan yang bergantung pada kemampuannya untuk mengeksekusi" berhasil. Sedangkan pemicu biaya struktural tidak monoton skala dengan kinerja driver eksekusional driver. Artinya, untuk setiap structural drivers, lebih banyak tidak selalu lebih baik. Jadi, misalnya ada skala yang tidak ekonomis untuk lingkup: Sebuah lini produk yang lebih kompleks tidak selalu lebih baik atau tentu lebih buruk dari lini yang kurang kompleks. Terlalu banyak pengalaman dapat menjadi sama buruknya seperti terlalu sedikit pengalaman di dalam lingkungan yang dinamis. Texas Instruments, misalnya, menekankan kurva belajar dan menjadi produser biaya terendah di dunia microchip usang. Kepemimpinan teknologi versus "followership" adalah pilihan untuk kebanyakan perusahaan. Daftar yang mendasar atas executional cost driver, paling tidak mencakup: 



Work force involvement (Keterlibatan Tenaga Kerja) "partisipasi": apakah tenaga-







tenaga kerja memiliki komitmen untuk perbaikan berkelanjutan (kaizen di Jepang)? Total Quality Management (TQM): apakah tenaga kerja yang ada memiliki komitmen







terhadap kualitas produk secara total? Capacity utilization (kapasitas utilisasi): apa yang merupakan pilihan skala pada







pembangunan pabrik maksimum? Plant layout efficiency (tata letak pabrik efisiensi): seberapa efisien, terhadap norma







saat ini tata letak pabrik? Product configuration (konfigurasi produk): apakah desain atau formulasi produk







sudah efektif? Linkages with suppliers or customers (Hubungan dengan pemasok atau pelanggan): apakah hubungan dengan pemasok atau pelanggan sudah dieksploitasi, sehubungan dengan value chain dari perusahaan?



Fundamental Cost Driver Tidak ada konsensus saat ini ada tentang apa yang merupakan "fundamental" cost driver. Satu publikasi, misalnya, menawarkan dua daftar yang berbeda dari cost driver yang mendasar. Melihat perilaku biaya dalam hal strategis, bagaimanapun, setuju bahwa volume output saja tidak dapat menangkap semua aspek dari perilaku biaya. Pada akhirnya, berapa perubahan biaya satuan karena perubahan volume output dalam jangka pendek terlihat sebagai pertanyaan yang kurang menarik dari pada bagaimana posisi biaya perusahaan dipengaruhi oleh posisi komparatif perusahaan di berbagai driver yang relevan dalam situasi kompetitif. Dasar pemikiran dari fundamental cost driver ini antara lain: 1. Value chain as the broader framework konsep dari cost driver merupakan cara untuk dapat mengerti perilaku biaya di dalam masing-masing aktivitas di dalam value chain. Dengan demikian, ide-ide seperti ABC hanya bagian dari kerangka rantai nilai. 2. Volume is not enough untuk analisis strategi, volume bukan cara yang dapat digunakan sepenuhnya untuk menjelaskan perilaku biaya. 3. Structural choices and executional skills . Apa yang lebih berguna dalam arti strategis adalah untuk menjelaskan posisi biaya dalam hal pilihan struktural dan keterampilan pelaksanaan yang membentuk posisi kompetitif perusahaan. Misalnya, Michael Porter menganalisa konfrontasi klasik pada tahun 1962 antara General Electric dan Westinghouse turbin uap dalam struktural dan eksekusional cost driver untuk setiap perusahaan. 4. Relevant strategic drivers tidak semua strategic driver dapat dikatakan penting sepanjang waktu walaupun beberapa adalah penting di semua kasus. 5. Cost analysis framework untuk masing-masing cost driver, framework atas analisis biaya diperlukan untuk memahami positioning perusahaan.



6. Cost driver specific to activities aktivitas-aktivitas yang berbeda di dalam value chain dipengaruhi oleh customercustomer yang berbeda.



3) Developing Sustainable Competitive Advantage Tahap ketiga dalam membangun dan menggunkan value chain adalah dengan mengembangkan competitive advantage yang dapat menopang. Untuk masing-masing



aktivitas,



pertanyaan-pearatanyaan



utama



dapat



mengembangkan competitive advantage yang dapat menopang adalah: 1. Dapatkah biaya-biaya di dalam aktivitas tersebut diturunkan, dengan value (pendapatan) konstan? 2. Dapatkah value (pendapatan) ditingkatkan dalam aktivitas-aktivitas ini, dengan mempertahankan biaya konstan? a) Cost Reduction Dengan sistematis menganalisis biaya, pendapatan, dan aset dalam setiap kegiatan, perusahaan bisa mencapai baik differensiasi dan low cost. Sebuah cara yang efektif untuk mencapai tujuan ini adalah untuk membandingkan rantai nilai perusahaan dengan rantai nilai dari satu atau dua pesaing utama, kemudian mengidentifikasi tindakan yang diperlukan untuk mengelola rantai nilai perusahaan lebih baik dari pada pesaing mengelola rantai nilai mereka. b) Value Increase Untuk melanjutkan fokus atas pengaturan value chain yang ada agar lebih baik dari pesaing, perusahaan harus memberikan perhatian lebih untuk dapat mengidentifikasi, di mana hasil dari value chain dapat significant. H. Perbedaan Analisis Value Chain dan Analisis Akuntansi Manajemen Tradisional Traditional Management Value Chain Analysis Accounting



Focus



Internal



Perspective Cost



External Seluruh aktivitas yang berhubungan mulai dari



Value-added



supplier sampai dengan konsumen



driver Single driver (volume)



Multiple cost driver



concept 



Structural



drivers



(



scoale,



scope,



experience,technology dan complexity). 



Executional drivers meliputi (participative management, total quality management dan plant layout)



Cost containment Penerapan pengurangan kos Satu set driver yang unik untuk tiap nilai aktivitas. philosophy



pada



seluruh



perusahaan



level Pandangan kos sebagai fungsi cost driver diatur



(cost-volume- untuk tiap nilai aktivitas.



profit analysis).



Memanfaatkan hubungan dengan supplier. Memanfaatkan hubungan dengan konsumen.



Insight



for Tidak siap



strategic decision



Melakukan penghematan Mengidentifikasi cost driver pada level aktivitas secara



individual,



dan



mengembangkan



kos/



differensiasi dengan mengendalikan driver secara lebih baik atau menyusun kembali rantai nilai. Untuk tiap aktivitas secara stratejik dipertanyakan:



I.







Membuat atau membeli







Integrasi kedepan atau kebelakang.



Strategy for Competitive Advantage



Analisa value chain sangat bermanfaat untuk menciptakan keunggulan kompetitif di dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, karena analisa value chain mengidentifikasi hubungan internal dan eksternal sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan biaya maupun dengan strategi diferensiasi.



Dengan analisa value chain perusahaan dapat menentukan dan mengidentifikasi hubungan yang terdapat dalam perusahaan, baik hubungan eksternal maupun hubungan internal. Hubungan internal akan menjaga keterkaitan antara aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari value chain, sedangkan hubungan eksternal akan menjaga keterkaitan antara aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok dan konsumennya. Analisis biaya secara tradisional memfokuskan atas perhatian kepada value added dengan terjadinya kesalahan dan bahwa hal tersebut adalah satu-satunya area di mana perusahaan dapat mempengaruhi biaya. Value added sudah mulai ditinggalkan dengan alasan-alasan: 1. Adanya perlakuan yang berbeda antara raw material dan pembelian beberapa masukan yang lain. 2. Value added tidak bisa menandakan hal-hal yang potensial untuk dihubungkan dengan suatu pandangan untuk mengurangi biaya atau penciptaan differensiasi produk. 3. Competitive advantage tidak dapat digunakan secara penuh dengan adanya interaksi antara raw material yang dibeli dengan biaya lainnya. Dapat disimpulkan, bahwa metodologi untuk membuat dan menggunakan value chain mencakup langkah-langkah: 4. Mengidentifikasi value chain dari industri, lalu membuat daftar biaya, pendapatan, dan asset untuk tiap-tiap aktivitas. 5. Mengidentifikasi cost drivers yang mengatur setiap value activity. 6. Membangun sustainable competitive advantage, baik dengan mengendalikan cost drivers lebih baik dari pesaing atau dengan merekonfigurasi value chain.