Street Investing by Parahita Irawan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Parahita Irawan



CM Press



Street Investing: Redevelop The Ideas



Oleh: Parahita Irawan Copyright © 2014 by Parahita Irawan



Penerbit



CM Press Instagram @investasijalanan Twitter: parahitairawan Blog: http://parahita.wordpress.com



Desain Sampul: Parahita Irawan



2



Untuk istriku tercinta Fitri beserta anak-anakku yang aku sayangi, Ravindra, Arzani, dan Kenia Tidak terlupa juga ucapan terima kasih dan sungkem untuk Mama Laksmi dan kedua mertuaku, Bapak Tjuk dan Ibu Indijati



3



4



Kata Pengantar Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas selesainya penulisan buku ini. Buku ini merupakan pengembangan dari cetakan pertama yang terbit pada tahun 2011. Banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan dan memberikan wawasan investasi yang lebih luas. Saya sungguh sangat berterima kasih pada rekan-rekan baik di dunia nyata maupun dunia maya yang telah banyak memberikan masukan yang berguna bagi penulisan kembali buku ini. Street Investing merupakan sebuah cerita tentang analisis fundamental saham yang dikemas dengan gaya jalanan. Mengapa saya menyebutnya gaya jalanan? Pada dasarnya investasi adalah hal yang sederhana. Kita berinvestasi dengan satu tujuan, yaitu mendapatkan keuntungan. Walaupun saat ini sudah banyak sekali instrumen investasi dengan berbagai macam karakter yang dapat kita kendarai, pada dasarnya kesemuanya memiliki tujuan tersebut. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa apa yang ada di text book itu buruk. Sebagian dari isi buku ini juga berasal dari text book. Sayangnya, tingkat keseriusan penulisan topik tentang analisis fundamental versi text 5



book membuat orang berpikiran bahwa hanya orangorang dengan latar belakang keuanganlah yang bisa memahaminya. Bagi saya anggapan tersebut adalah nonsense. Yang hendak saya sampaikan pada buku ini adalah bahwa banyak sekali pengetahuan tentang analisis fundamental saham yang dapat disampaikan dengan cara yang lebih sederhana. Akhir kata, semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan memberikan sedikit pencerahan pada jalan analisis fundamental saham yang selama ini gelap gulita.



Rempoa, 24 Juni 2014



Parahita Irawan



6



Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Satu



Dua



5 7



Hutan Rimba Itu Bernama Bursa Saham



11



Alasan Berinvestasi Main Saham? Main? Janganlah, ini serius Tentang Buku Ini



20



Street Investing: Analisis Fundamental Gaya Jalanan Mencari Saham Yang Bagus? Lihat Ke Sekeliling



31



Setiap Yang Naik Akan Turun Juga Analisis Perusahaan



37 43



Competitive Advantage, Kunci Mendapatkan Saham Pemenang



49



GARP: Menggabungkan Value Investing dengan Growth Investing



57



Menafsirkan Laporan Keuangan



68 86



Mencoba untuk Menyelam Lebih Dalam



22 26



33



7



Tiga



Membongkar Rahasia Stock-Pick Para Investor Kawakan



111



Memilih Saham ala Benjamin Graham Joel Greenblatt dan "Magic Formula"



114



Piotroski F-Score: Fokus pada Perbaikan Kinerja



Empat



Lima



8



126 131



Menghindari Potensi Kebangkrutan Perusahaan dengan Altman Z-Score



139



Eits… Jangan Salah Pilih!!! Bandingkan Dulu



149



Menggunakan Analisis DuPont untuk Memahami Karakteristik Industri



150



Membandingkan PerusahaanPerusahaan di dalam Suatu Industri



157



Melakukan Review Terhadap Kinerja Jangka Panjang Perusahaan



165



Q-Q Analysis: The Early Anticipation of Growth



169



Membandingkan Emiten Restoran: The Case of FAST vs PTSP



178



Pedang, Musuh, dan Kompetensi



185



Utang, Pedang Bermata Dua



185



Inflasi, Musuh Besar Investor Kembangkan Kompetensi Anda



190 193



Enam



Valuasi Saham, Antara Seni dan Sains Pentingnya Konsistensi Laba Bagaimana Cara Menentukan Harga Wajar Saham?



Tujuh



195 199 201



Contoh Kasus Valuasi



210



Memahami Valuasi dengan Visualisasi



216



Ancaman Value Trap



218



Pentingnya Katalis Bagi Seorang Investor



221



Terkadang Tidak Ada Salahnya untuk Tidak Berinvestasi



226



Mengelola Portfolio



229 229



Sebuah Pandangan Tentang Diversifikasi Review Portfolio Anda Secara Berkala Perlukah Melakukan Rebalancing Portfolio?



234 237



Berinvestasilah Secara Rutin Kapan Kita Harus Menjual Saham? Sediakan Dana Cadangan Untuk Berinvestasi



238



Bagaimana Menghitung Imbal Hasil Investasi Jika Ada Penambahan /Pengurangan Dana?



245



240 244



9



Delapan



Wrap-up: Studi Kasus ACES



249



Sembilan



Mind Juggling: Mengenal Behavioral Investing



261



Apakah Anda Cukup Rasional?



263



Manusia Yang Tidak Mau Merugi



265 267



Minsky Moment, Ketika Irasionalitas dapat Terprediksi Penutup



273



Tentang Penulis



275



10



Satu Hutan Rimba Itu Bernama Bursa Saham Ketika John Burr Williams mengemukakan bahwa harga saham sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang disebutnya “nilai intrinsik”, mungkin dia tidak menyadari bahwa pandangannya tersebut akan bergaung untuk waktu yang sangat lama. Pemikirannya mengenai nilai intrinsik yang dituangkan dalam bukunya “The Theory of Investment Value” pada tahun 1938 menjadi fondasi dari metode valuasi saham yang paling populer saat ini: Discounted Cash Flow (DCF). Sebagian besar pendapat mengenai harga wajar suatu saham yang diestimasikan oleh para analis saham merupakan turunan dari buah karya John Burr Williams tersebut. Hidup di era yang sama dengan Williams, kita mengenal seorang pionir analisis fundamental saham, Benjamin Graham. Pandangannya bahwa seorang investor harus memandang investasi saham sebagai investasi ke dalam suatu bisnis membawanya untuk 11



mempelajari saham berdasarkan argumennya tersebut. Salah seorang muridnya, Warren Buffett dengan cemerlang berhasil menerjemahkan pemikiran Graham ke dalam praktik investasinya dan mengukuhkan dirinya menjadi investor terbesar yang pernah dikenal. Williams dan Graham hidup pada masa depresi besar yang sangat menyedihkan bagi para investor saham. Kejayaan bursa saham pada masa sebelum depresi yang disebut dengan “The Roaring Twenties” lenyap dalam sekejap dan menyeret ekonomi Amerika Serikat ke dalam jurang yang dalam. Hasil pemikiran mereka yang cenderung konservatif merupakan buah dari pukulan yang amat berat dan secara menakjubkan tetap relevan hingga saat ini. Berbeda dengan mereka, kita hidup di era modern di mana teknologi telah mengubah wajah peradaban manusia dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dipercaya. Manusia membutuhkan waktu sekitar 4.500 tahun sejak munculnya peradaban Mesopotamia di lembah sungai Eufrat dan Tigris untuk mencapai era revolusi industri yang mengubah total wajah peradaban. Meskipun begitu, revolusi digital yang dimulai sekitar tahun ‘80-an benar-benar berbeda. Hanya dalam kurun waktu 30 tahun, pencapaian revolusi digital telah jauh melampaui apa yang telah diukir selama dua abad oleh revolusi industri. Bumi 12



semakin menyempit. Apa yang terjadi di belahan lain akan kita ketahui dalam hitungan menit saja. Munculnya Internet sebagai anak kandung revolusi digital tidak ayal lagi berdampak besar terhadap investasi saham. Kini kita dapat dengan cepat dan mudah memperoleh informasi yang kita butuhkan untuk berinvestasi. Kondisi keuangan emiten dapat dengan segera kita ketahui dengan mengunduhnya dari Internet. Informasi yang kita dapatkan dapat kita lanjuti dengan melakukan transaksi perdagangan saham secepat kilat melalui online trading platform. Sayangnya, berbagai macam kemudahan dan kenyamanan dalam berinvestasi tidak berbanding lurus dengan imbal hasil yang didapatkan. Warren Buffett yang melakukan analisis laporan keuangan dan menghitung harga wajar saham secara konvensional mampu mengalahkan kinerja sebagian besar investor yang dibekali dengan segala kecanggihan teknologi. Faktanya, bursa saham tetaplah hutan rimba. Tidaklah semudah itu mendapatkan keuntungan di bursa saham secara konsisten. Informasi yang membanjiri kita berbalik menjadi bumerang dan seakan memberi kita kutukan. Apabila di era Benjamin Graham informasi sangatlah susah untuk didapatkan, saat ini kondisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Lautan informasi terus mengalir bagaikan air bah dan kita 13



harus bisa memilih yang terbaik untuk kita. Selalu ada pilihan, selalu ada keraguan, dan selalu ada ketidakpastian mengenai suatu informasi. Informasi yang berlebihan jauh lebih buruk dibandingkan dengan tidak mendapatkan informasi sama sekali. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, ada hal-hal yang tidak berubah. Perusahaan tetap menjalankan bisnisnya untuk mendapatkan keuntungan walaupun mungkin dengan cara yang berbeda. Harga saham tetap fluktuatif dan pasar tetap mengganjar perusahaan berkinerja baik dengan terus mendongkrak harganya. Selalu ada pengecualian.Akan tetapi bukankah kapanpun anomali selalu terjadi dan tak terhindarkan? Jika banyak hal mendasar mengenai investasi saham tidak berubah, apakah analisis fundamental saham masih layak untuk digunakan? Sebut saya kuno ataupun konvensional, namun analisis fundamental perusahaan merupakan cara yang masuk akal untuk berinvestasi saham. Sebagai sebuah instrumen investasi, saham memang dapat dipandang dari berbagai sisi. Saham diperdagangkan setiap harinya di bursa saham sehingga harganya akan terus berubah tergantung suasana hati pasar. Saham yang sejatinya merupakan tanda kepemilikan suatu perusahaan, bisa dipandang sebagai komoditas. Range perdagangan yang cukup 14



lebar tiap harinya memungkinkan kita untuk mendapatkan keuntungan dengan membeli dan menjual pada saat yang tepat. Jika kita memandang dari sisi ini, kita memposisikan diri sebagai trader. Tidak dipungkiri banyak trader yang berhasil mendapatkan keuntungan dengan menggunakan cara ini. Namun apabila kita ingin menjadi purist dan memandang saham sebagai kepemilikan suatu bisnis, maka sebelum mulai berinvestasi di saham, kita sebaiknya mengetahui bagaimana bisnis suatu perusahaan dijalankan. Jika kita bisa mengambil keuntungan dengan trading, mengapa kita perlu bersusah payah melakukan analisis fundamental dari suatu saham? Toh dengan mengamati chart, kita bisa mendapatkan keuntungan juga. Satu hal yang perlu diingat, dalam jangka pendek, pasar adalah voting machine, sedangkan dalam jangka panjang, pasar adalah mesin penimbang (weighing machine). Apa maksudnya? Dalam jangka pendek, kondisi psikologis pelaku pasar akan sering berubah-ubah. Setiap hari berita dan informasi yang datang membanjir akan mengadukaduk emosi para trader dan mempengaruhi pandangan 15



mereka tentang prospek suatu saham. Trader yang berpengalaman akan mampu untuk memanfaatkan kondisi psikologis para pelaku pasar ini dan mendapatkan keuntungan. Dalam jangka pendek, harga saham akan berubah-ubah sesuai dengan perilaku para trader tersebut. Oleh karenanya, dalam jangka pendek disebut dengan voting machine. Apa yang terjadi dalam jangka panjang? Seekstrim apapun volatilitas harga saham, pada akhirnya kinerja perusahaan di baliknya akan membuat gap antara nilai dari perusahaan dengan harga saham yang diperdagangkan di bursa. Akibatnya, mau tak mau harga saham akan mengikuti kinerja dari perusahaannya. Oleh karena itu dalam jangka panjang, market disebut dengan weighing machine. Apabila dasar kita dalam berinvestasi di saham adalah dengan menganalisis bisnis di baliknya, kita disebut melakukan analisis fundamental. Analisis fundamental sendiri sebenarnya sangat luas. Suatu bisnis mau tak mau akan dipengaruhi oleh kondisi eksternal (kondisi ekonomi, tingkat persaingan, regulasi pemerintah, dan fase suatu industri tempat perusahaan berada). Walaupun begitu, sebuah perusahaan yang dikelola dengan baik akan mampu mengantisipasi perubahan kondisi eksternal. Apa yang dilakukan oleh suatu 16



perusahaan untuk menghadapi berbagai macam cuaca di luar perusahaan akan tercermin pada strategi yang mereka terapkan. Bagaimana kita mengetahuinya? Salah satu sumber yang cukup dapat diandalkan adalah laporan tahunan mereka. Di dalam laporan tahunan, manajemen akan melaporkan banyak hal mengenai perusahaan, mulai dari kinerjanya, tantangan yang dihadapi, strategi untuk mengembangkan usahanya, serta bagaimana kondisi keuangannya. Pendeknya, kita bisa mulai memahami suatu bisnis dengan membaca laporan tahunan.



Kembali ke Fundamental: Konsep Nilai Intrinsik Saham pada hakikatnya merupakan tanda kepemilikan kita atas suatu perusahaan. Porsi kepemilikan kita atas suatu perusahaan ditunjukkan oleh berapa jumlah saham yang kita miliki. Jika perusahaan mendaftarkan dirinya di bursa saham, maka setiap orang dapat memperjualbelikan saham perusahaan tersebut dengan bebas. Seperti layaknya di pasar, calon penjual dan pembeli saling tawar menawar harga yang akan disepakati atas barang dagangannya. Dalam hal ini, barang dagangan tersebut adalah saham. Jika penjual dan pembeli telah menyepakati harga yang pantas, maka terjadilah transaksi. Di bursa saham terdapat banyak sekali calon pembeli dan penjual saham. Oleh karenanya, persepsi 17



masing-masing pelaku pasar mengenai harga suatu saham tentu akan berbeda-beda. Terkadang harga yang ditawarkan oleh penjual terasa terlalu mahal dan di lain kesempatan terlihat terlalu murah. Hal tersebutlah yang menjadikan harga saham menjadi sangat fluktuatif. Oleh karena itu pula banyak orang yang mengatakan bahwa investasi di saham sangat berisiko karena ada kemungkinan saham yang kita beli akan turun harganya karena di kemudian hari pelaku pasar menganggap harganya terlalu mahal. Jalan yang bisa kita tempuh untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengestimasikan nilai intrinsiknya. Apa yang dimaksud dengan nilai intrinsik? Misalkan Anda ditawari sebuah motor bebek 110cc tahun 2006 dengan harga 15 juta rupiah, apakah Anda mau membelinya? Tentu saja tidak. Anda menolak untuk membeli motor tersebut karena Anda tahu bahwa nilainya hanya berkisar 8-9 juta rupiah saja. Dari contoh tersebut terlihat apa perbedaan antara ‘harga’ dan ‘nilai’. Harga adalah sesuatu yang ditawarkan pada kita sedangkan nilai adalah jumlah yang pantas untuk kita bayarkan untuk mendapatkan sesuatu. Hal serupa juga berlaku di bursa saham. Setiap hari, bahkan setiap saat harga yang ditawarkan kepada kita terus berubah-ubah. Jika kita mengetahui nilai dari suatu saham, tentu kita akan membeli saham tersebut 18



apabila harga yang ditawarkan kepada kita lebih murah daripada nilai yang pantas untuk saham tersebut. Di saat kondisi pasar memburuk, banyak sekali perusahaan yang sahamnya dijual dengan sangat murah. Jika kita jeli, kita akan mendapatkan saham yang bagus dengan harga sangat murah. Ada satu indikator yang sangat sederhana namun cukup bagus untuk mengetahui apakah secara harga saham terlalu mahal atau terlalu murah. Ketika kita kebingungan untuk memilih saham karena hampir semuanya murah, maka ada kemungkinan pasar sudah berada di titik nadir. Sebaliknya, apabila kita merasa bahwa hampir tidak ada saham yang dijual murah, ada baiknya kita berhati-hati karena ada kemungkinan pasar sudah berada di titik puncak. Mungkin hal ini agak susah untuk dipahami apabila Anda belum mengalaminya sendiri. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 merupakan contoh yang bagus. Apa pun saham yang dinilai hampir pasti terasa sangat murah. Perusahaan dengan kinerja sangat bagus dihargai dengan PER (Price to Earnings Ratio) hanya satu digit. Krisis tersebut merupakan peristiwa yang sangat langka. Walaupun begitu, biasanya ada kesempatan sekali atau dua kali dalam setahun di mana bursa saham terkoreksi cukup dalam dan memberikan kita kesempatan untuk membeli saham-saham dengan harga yang cukup murah. 19



Alasan Berinvestasi Suka tidak suka, mau tidak mau, di dunia di mana sumber daya yang ada terbatas dan pasokan uang terus bertambah, inflasi merupakan hal yang hampir pasti terjadi. Uang yang kita miliki saat ini tidak akan mampu membeli barang yang sama lima tahun ke depan. Berikut adalah data tingkat inflasi di Indonesia selama 28 tahun terakhir: Tabel 1.1 Tingkat Inflasi Indonesia 1980 - 2008 Tahun



Tingkat Inflasi



Tahun



Tingkat Inflasi



1980



17,1%



1995



9,0%



1981



7,3%



1996



5,1%



1982



10,0%



1997



10,3%



1983



12,0%



1998



77,5%



1984



9,1%



1999



2,0%



1985



4,4%



2000



9,3%



1986



9,2%



2001



12.5%



1987



9,2%



2002



9,9%



1988



5,6%



2003



5,2%



1989



6,1%



2004



6,4%



1990



9,9%



2005



17,1%



1991



9,9%



2006



6,6%



1992



5,0%



2007



5,4%



1993



10,2%



2008



11,1%



1994 Rata-rata



9,6% 11,1%



Sumber: IMF, World Economic Outlook Database, April 2009



20



Dari tahun 1980 hingga 2008, tingkat inflasi tahunan rata-rata di Indonesia adalah 11,1%. Dalam kurun waktu tersebut, tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998, yaitu 77,5% yang disebabkan oleh krisis moneter yang melanda negeri ini. Apa arti dari tingkat inflasi sebesar 11,1%? Saat ini mungkin kita sedang dalam masa produktif dan sedang bekerja/berwirausaha. Jika Anda pegawai kantoran, Anda bisa berharap untuk mendapatkan uang pensiun. Pernahkah Anda membayangkan apa yang Anda hadapi saat masa pensiun menjelang? Katakanlah Anda saat ini berusia 30 tahun. Anda masih memiliki 25 tahun masa kerja sebelum pensiun. Dengan asumsi tingkat inflasi rata-rata adalah 11,1% maka harga sepiring nasi yang sekarang adalah 8 ribu rupiah akan menjadi sekitar 111 ribu rupiah. Terlihat fantastis? Menurut saya itu realistis. Kita baru berbicara masalah makan siang. Jika saat ini kebutuhan hidup bulanan adalah 5 juta rupiah, maka saat Anda pensiun, Anda membutuhkan dana 70 juta rupiah per bulan hanya untuk menjaga agar standar hidup Anda tidak turun. Silakan mencari tahu mengenai program pensiun yang Anda ikuti saat ini. Berapakah yang akan Anda dapatkan saat pensiun nanti. Apakah jumlah tersebut akan dapat memenuhi kebutuhan hidup Anda nantinya? 21



Sepertinya sebagian besar akan menjawab tidak. Menghadapi kondisi seperti itu, investasi merupakan jawaban yang logis. Dengan berinvestasi, kita dapat mempertahankan daya beli uang kita. Apabila kita melangkah lebih jauh, dengan berinvestasi secara tepat, kita tidak hanya bisa melawan inflasi namun juga mengalahkannya.



Main Saham? Main? Janganlah, Ini Serius Main saham itu sudah menjadi ungkapan umum ketika seseorang berinvestasi saham. Walaupun hanya ungkapan, namun kerap kali kita juga menjadi terpengaruh dan menganggap berdagang saham itu seperti permainan. Kenyataannya, uang yang kita masukkan dalam ‘permainan’ ini adalah uang sebenarnya, uang yang kita peroleh dengan susah payah. Jika kita akan membeli rumah, kita tentu akan mempertimbangkan baik-baik sebelumnya. Lokasi rumah yang akan kita beli harus strategis dan memiliki lingkungan yang baik. Apabila masih belum yakin, kita bisa mendatangi bagian Tata Kota dan menanyakan apa rencana ke depannya di lokasi tersebut. Akanlah sangat menguntungkan jika ke depannya rumah yang akan kita beli berdekatan dengan jalan tol sehingga harganya akan meningkat pesat. Dari segi pendanaan 22



tentu kita juga melakukan perhitungan dengan matang. Selain itu kita juga akan mengevaluasi berapa harga rumah yang mampu kita beli dan berapa besarnya cicilan setiap bulannya. Keputusan untuk membeli rumah bisa memakan waktu berbulan-bulan dan mungkin dengan melalui diskusi yang panjang dengan istri. Mengapa kita sangat serius ketika akan membeli rumah? Ketika hendak membeli rumah, kita seperti sedang mempertaruhkan ‘uang’ yang kita dapatkan dengan susah payah. Kita tidak ingin uang kita menguap begitu saja ketika rumah yang telah kita beli ternyata tidak sesuai dengan harapan. Belakangan ini, banyak sekali kemudahan yang diberikan jika kita ingin memulai berinvestasi saham. Kita hanya perlu mengisi formulir pembukaan rekening, mentransfer sejumlah dana, dan jadilah rekening kita. Jika dirasa masih kurang mudah, lihat apa yang ditawarkan oleh sekuritas yang menyediakan fasilitas online trading. Kita tidak perlu menelepon pialang untuk melakukan suatu transaksi. Kita hanya membutuhkan koneksi Internet dan dengan beberapa kali klik, saham yang kita inginkan dapat kita miliki. Sangat mudah dan cepat. Semakin lama sepertinya investasi saham itu memang menjadi seperti permainan. Sayangnya, ada 23



satu hal yang tidak berubah. Ketika kita mengklik tombol ‘Beli’, pada saat itu juga kita menukarkan sejumlah uang kita dengan saham dan kita harus bersiap-siap menghadapi naik turunnya harga. Pada titik tertentu, penurunan harga yang terjadi akan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Pada banyak kejadian, hal tersebut tidak memerlukan waktu yang cukup lama.Bisa dalam hitungan jam bahkan menit. Jika kita hanya asal saja ketika melakukan pembelian saham, tentu rasa penyesalan yang muncul akan semakin besar. Seperti pada kasus pembelian rumah sebelumnya, mungkin saja jumlah uang yang kita investasikan di saham sama besarnya dengan uang muka pembelian rumah. Pertanyaan lain tentu menyeruak. Dengan jumlah uang yang sama, logikanya kita harus melakukan analisis yang sama dalamnya sebelum mengambil keputusan. Apakah kita telah melakukan hal tersebut ketika melakukan perdagangan saham? Hanya Anda yang bisa menjawabnya. Di belakang suatu saham, ada perusahaan yang menjalankan bisnis yang bukanhanya main-main belaka. Banyak sekali orang yang terlibat. Modal yang dibutuhkan pun tidak kecil. Kesalahan dalam menjalankan bisnis dapat berakibat cukup fatal bagi kelangsungan usaha. Tentulah sangat masuk akal 24



bahwa sebelum kita memutuskan untuk berinvestasi pada suatu saham, kita terlebih dahulu harus mengevaluasi kinerja bisnis di baliknya. Dengan melakukannya, kita akan mengetahui apakah perusahaan penerbit saham tersebut telah mengelola bisnisnya dengan baik. Tak ubahnya seperti toko kelontong yang banyak sekali kita temui di manamana, manajemen perusahaan harus mampu memanfaatkan modal yang diperoleh dari investor (kita) untuk menghasilkan keuntungan yang nantinya akan kembali pada investor dalam bentuk dividen. Lah kok jadi susah? Bisa dibilang begitu mengingat jumlah uang yang kita tanamkan juga tidak sedikit. Bayangkan jika ada seorang teman mendatangi kita dan menawarkan bisnisnya. Apakah kita serta-merta langsung mengiyakan dan langsung mentransfer dana saat itu juga? Sepertinya tidak. Sayangnya, perilaku investor seringkali berbeda saat memutuskan untuk membeli saham. Hanya dengan mendengar rumor yang belum tentu benar, ada kemungkinan dengan secepat kilat saat itu juga kita melakukan pembelian. Ini adalah efek samping dari kemudahan transaksi saham yang berpotensi menyebabkan kerugian pada kita jika tidak berhati-hati. Dengan analogi yang sama ketika kita akan membeli rumah idaman, keputusan kita untuk membeli saham 25



yang didasari oleh pertimbangan yang masak, sewajarnya akan memberikan kita keuntungan yang memuaskan bagi kita di masa depan. Jika kita membeli saham yang perusahaan di baliknya bekerja keras untuk memberikan keuntungan bagi para investor, tidaklah mengherankan kita akan mendapatkan keuntungan. Perusahaan yang dikelola dengan baik oleh manajemen yang tangguh akan selalu berusaha mencari solusi ketika kondisi ekonomi berubah menjadi kurang kondusif. Mereka akan selalu mencari peluangpeluang baru di tengah himpitan krisis. Beruntunglah kita sebagai investor jika membeli saham dengan kualitas manajemen seperti itu. Dan mungkin, kurang pantaslah disebut sebagai keberuntungan semata jika kita mendapatkannya dengan bekerja keras menganalisis kondisi perusahaannya.



Tentang Buku Ini Sesuai dengan judulnya, buku ini berusaha untuk bercerita bagaimana melakukan analisis fundamental dengan cara yang lebih sederhana. Street InvestingRedevelope The Ideas yang merupakan pembaruan dari buku Street Investing akan membawa Anda ke dunia analisis fundamental yang sangat menarik tanpa harus menjadi seorang ahli keuangan. Jika Anda tetap ingin 26



menempuh jalan normal dengan mempelajari tentang analisis fundamental seperti di buku teks, saya persilakan. Akan tetapi apabila Anda menginginkan cara yang berbeda, sepertinya buku ini untuk Anda. Saya menyebut gaya investasi saya seperti gaya jalanan karena strategi yang saya terapkan lebih banyak muncul dari pengalaman dan seringkali keluar dari pakem yang baku. Setiap saat kita dihadapkan pada pilihan. Kita harus memilih apa yang kita makan hari ini, jalur mana yang kita pilih untuk menuju ke kantor, email mana yang kita baca terlebih dahulu, dan lain-lain. Pilihan yang lebih sulit untuk kita hadapi adalah hal-hal yang berkaitan dengan pilihan sekolah, karier, dan pernikahan. Kita secara alami adalah ‘homo mistakus’ yang secara konsisten akan melakukan kesalahan-kesalahan. Kabar yang menggembirakan, manusia memiliki kemampuan yang baik untuk beradaptasi. Kesalahan memang akan selalu terjadi. Namun selama kita mencoba untuk selalu belajar dari kesalahan, kita bisa berharap dapat mengurangi potensi untuk melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Masalah yang sama juga kita hadapi saat memutuskan untuk berinvestasi. Pelajarannya memang terkadang cukup keras karena melibatkan uang yang kita peroleh dengan susah payah. Saat berinvestasi, 27



saya mencoba untuk selalu belajar. Apa yang saya tuliskan dalam buku ini lebih mirip seperti sebuah proses belajar. Ada ide-ide baru dan perbaikan dari kesalahan yang telah terjadi. Saat berinvestasi, selalu ada hal baru yang menarik untuk dipelajari. Saat ini cukup mudah untuk mendapatkan hasil riset saham-saham favorit dari sekuritas. Lalu apa keuntungan kita untuk melakukan analisis saham sendiri? Jawabannya cukup sederhana. Yang mengetahui tujuan investasi kita adalah diri kita sendiri. Dengan melakukan analisis sendiri, kita dapat menemukan saham-saham menarik yang mungkin belum diulas oleh para analis. Banyak sekali saham bagus di BEI namun luput dari jangkauan radar para analis saham dan dijual dengan harga yang sangat murah. Hal tersebut bisa terjadi karena seringkali rekomendasi dari analis akan mengakibatkan harga saham melonjak dan seringkali melampaui harga wajarnya. Oleh karena itulah agak sulit bagi kita untuk mendapatkan keuntungan di atas rata-rata apabila hanya membeli saham-saham favorit pasar. Dengan demikian, sangatlah menguntungkan apabila kita mengetahui cara melakukan analisis fundamental terhadap suatu saham. Kita tidak harus menjadi seorang jenius agar dapat memilih saham yang bagus. Jika memang kesuksesan investasi ditentukan oleh tingkat intelektual, maka para ilmuwan tentulah akan 28



menjadi orang-orang terkaya di dunia. Yang kita perlu kita lakukan adalah mencoba berpikir secara logis dan terus membuka diri untuk menampung pengetahuanpengetahuan baru.



29



30



Dua Street Investing: Analisis Fundamental Gaya Jalanan



Apakah Anda beranggapan bahwa kemampuan untuk melakukan analisis fundamental saham hanyalah milik mereka yang ahli di bidangnya? Analisis fundamental seringkali dianggap sebagai hal yang rumit dan susah untuk dipelajari. Apakah orang awam bisa melakukan analisis fundamental? Jawabannya: ya, bisa. Ingatkah Anda ketika pertama kali belajar naik sepeda? Pada awalnya terlihat sulit. Namun apabila kita telah mengetahui trik-triknya maka semuanya akan menjadi mudah dan kita akan mampu mengendarai sepeda sampai seumur hidup kita. Jika kita membaca kolom tentang keuangan atau investasi di sebuah majalah, seringkali kita menemui jargon-jargon yang rumit dan susah untuk dimengerti. Apakah memang sebenarnya seperti itu? Bagi saya sendiri, cara paling mudah untuk memahami istilah 31



keuangan/investasi adalah dengan membuat analogi. Seringkali istilah-istilah yang terlihat rumit ternyata memiliki arti yang sederhana. Contoh 1: Penjelasan ruwet: Emiten akan melakukan rights issue untuk memperkuat struktur permodalan perusahaan. Arti di baliknya: Perusahaan meminta modal tambahan kepada para investor karena utangnya semakin membengkak. Contoh 2: Penjelasan ruwet: Perusahaan mencari sumber dana untuk mengantisipasi kenaikan working capital. Arti di baliknya: Perusahaan memerlukan tambahan dana karena biaya operasional sehari-hari semakin meningkat. Walaupun tidak semua kasus dapat kita sederhanakan seperti itu, jangan khawatir karena yang kita perlukan hanyalah akal sehat untuk memahaminya. Saya akan berkata sejujurnya bahwa mungkin Anda akan menemui beberapa istilah yang terdengar asing di buku ini. Untuk itu, saya akan berusaha menyajikannya sesederhana mungkin dan apabila mungkin memberikan penjelasan lebih lanjut.



32



Mencari Saham Yang Bagus? Lihat Ke Sekeliling Ketika Anda sedang menggosok gigi, pernahkah terpikir bahwa banyak sekali pihak yang terlibat untuk dapat menghadirkan pasta gigi di kamar mandi Anda? Mereka bekerja dengan tekun memproduksi pasta gigi, mengirimkannya ke mini market dan menjualnya kepada jutaan rumah tangga di negeri ini. Sebagai hasilnya mereka akan mendapatkan keuntungan yang akan dipergunakan untuk memproduksi lebih banyak pasta gigi dan menjualnya. Setiap kali berangkat ke kantor atau ke kampus, kita mengendarai mobil atau motor yang dihadirkan oleh sebuah pabrikan. Kita mungkin saja tidak mau tahu bagaimana rumitnya proses perakitan mobil sampai dengan mur dan baut terkecil sampai bisa kita kendarai dengan nyaman. Jika kita berpikir lebih lanjut, proses yang mereka lakukan berulangkali secara terusmenerus tersebutlah yang memfasilitasi jutaan orang agar bisa sampai ke tempat tujuannya. Tentu saja mereka melakukannya tidak dengan cuma-cuma. Untuk memperoleh kenyamanan tersebut kita harus mengeluarkan sejumlah uang yang akan menjadi keuntungan mereka. Sebagian pergunakan



besar barang dan jasa yang sehari-hari merupakan hasil



kita dari 33



penambahan nilai atas sesuatu sehingga menjadi lebih berguna. Mbok Yem yang setiap hari lewat di depan rumah kita untuk menjual sayur akan sangat membantu kita apabila malas untuk pergi ke pasar. Untuk jasanya tersebut, Mbok Yem berhak untuk menjual sayuran dengan harga sedikit lebih tinggi daripada di pasar sehingga mendapatkan keuntungan yang memberinya penghidupan. Contoh tersebut tentu saja sangat sederhana apabila dibandingkan dengan bagaimana ratusan mobil dirakit dan dijual setiap harinya. Akan tetapi, pesan yang disampaikan adalah sama. Dengan menambahkan nilai pada sesuatu, kita akan menikmati keuntungan. Mari kita lanjutkan lagi ceritanya. Seandainya kita memberikan modal kepada Mbok Yem untuk berjualan sayur, kemungkinan besar ia akan menolak. Alasan pertama adalah Mbok Yem tidak membutuhkan tambahan modal. Alasan kedua, jika penghasilannya yang tidak besar dibagi lagi ke orang lain jangan-jangan malah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Keadaan akan menjadi berbeda apabila kita berbicara tentang bisnis perakitan dan penjualan mobil. Tidaklah mudah untuk membangun bisnis tersebut. Banyak sekali yang harus dipikirkan dan yang lebih penting, modal yang dibutuhkan juga jauh lebih besar. 34



Untuk mendapatkan modal, mereka bisa saja merogoh kocek sendiri. Bagaimana jika kurang? Mereka bisa saja meminjam uang dari bank dan mengembalikannya beserta bunga sesuai dengan kesepakatan dengan bank. Selain meminjam, cara lain untuk mendapatkan modal adalah dengan meminta orang lain untuk menyumbang modal dan bersama-sama dengan mereka menjadi pemilik bisnis tersebut dan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan produknya. Salah satu cara yang sangat populer untuk mendapatkan tambahan modal adalah dengan mendaftarkan perusahaannya ke pasar modal. Dengan begitu, setiap orang berhak untuk secara ‘patungan’ memberikan modal bagi kelangsungan bisnis tersebut. Orang yang menyumbang modal akan mendapatkan sebagian kepemilikan atas bisnis tersebut. Kepemilikan tersebut dinamakan saham. Ketika pertama kali menawarkan sahamnya ke publik, kita menyebutnya Penawaran Saham Perdana atau lebih terkenal dengan IPO (Initial Public Offering). Saat IPO, kita membeli saham langsung kepada perusahaan dan akan menjadi modal tambahan untuk bisnisnya. Perusahaan yang terdaftar di bursa saham disebut juga dengan emiten. Setelah membeli saham saat IPO, kita otomatis menjadi salah satu pemilik dari perusahaan tersebut 35



dan berhak mendapatkan laba dari bisnisnya secara proporsional sesuai dengan persentase kepemilikan kita. Dengan demikian, tanpa harus bersusah payah membangun suatu bisnis, kita bisa memilikinya dengan membeli sahamnya. Sejalan dengan waktu, saham yang kita miliki dapat kita jual ke orang lain melalui pasar sekunder. Demikian pula apabila kita ingin membeli saham perusahaan lain, kita tidak perlu menunggu IPO. Kita hanya perlu membelinya dari orang lain yang memiliki saham perusahaan tersebut. Untuk memperjualbelikan saham, kita membutuhkan pialang / perantara/ broker yang menghubungkan antara calon pembeli dan penjual. Mereka akan meminta sejumlah komisi atas jasanya tersebut. Seperti lazimnya sebuah pasar, saham-saham yang diperdagangkan harganya bisa turun naik karena harga yang ditawarkan oleh penjual dan harga yang diminta oleh pembeli besar kemungkinan berbeda. Demikianlah, dengan adanya bursa saham kita dapat memiliki sebuah bisnis tanpa harus membangun dari awal. Kita hanya perlu menyertakan modal dan menjadi pemilik dari sebuah bisnis. Dengan berinvestasi di saham, secara tidak langsung kita juga turut dalam jalannya roda perekonomian dan bukan hanya sebagai konsumen melainkan juga menjadi seorang pelaku. 36



Setiap Yang Naik Akan Turun Juga Menemukan saham yang bagus kadangkala tidaklah cukup. Walaupun biasanya perusahaan berfundamental bagus bisa bertahan pada kondisi ekonomi yang kurang kondusif, sedikit banyak kinerjanya akan terpengaruh. Dengan memahami bagaimana roda perekonomian berputar, kita akan mengetahui karakteristik perusahaan dengan fundamental yang kuat. Seperti halnya kita ketika berjalan di pegunungan, ekonomi tidaklah menempuh jalan yang rata melainkan bergelombang. Ada kalanya ekonomi berjalan begitu kencang namun di kesempatan lain melangkah terseok-seok. Kondisi tersebut terus berulang sehingga kita dapat memperoleh gambaran yang cukup baik tentang siklus ekonomi. Pada dasarnya, siklus ekonomi menggambarkan tingkat aktivitas ekonomi. Umumnya untuk mengukur tingkat aktivitas ekonomi digunakan GDP (Gross Domestic Product). Untuk Anda yang belum akrab dengan istilah tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa GDP merupakan jumlah semua barang/jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. Semakin banyak barang yang diproduksi menandakan bahwa ekonomi sedang tumbuh. Di dalam kehidupan sehari-hari kita akan melihat semakin banyak rumah makan baru yang buka, 37



mal-mal bertambah ramai, dan mobil-mobil semakin banyak yang berseliweran di jalan raya. Hal sebaliknya terjadi apabila ekonomi mengalami kontraksi. Di manamana kita akan melihat banyak tempat usaha dengan tulisan “disewakan” di depan pintunya. Mal-mal akan sepi dan bahkan ada beberapa yang tutup. Kondisi ekspansi dan kontraksi akan terus berganti-ganti secara berkala sehingga penting bagi investor untuk memahaminya. Industri yang diuntungkan akan berbeda-beda di masing-masing fase di dalam siklus ekonomi. Pemilihan sektor pada tiaptiap fase akan dibicarakan di bagian lain buku ini. Siklus ekonomi secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Siklus ekonomi secara umum



38



Sebuah siklus ekonomi umumnya terdiri atas fasefase berikut: 1. 2. 3. 4. 5.



Early expansion / early recovery Middle expansion / middle recession Late expansion / full recovery Early contraction / Early recession Late contraction / full recession



Sebuah pertanyaan yang cukup penting adalah mengapa ada siklus naik turun seperti itu? Untuk menjawabnya, mari kita coba membayangkan apa yang terjadi pada masing-masing fase. Fase early expansion atau biasa disebut juga dengan early recovery ditandai dengan mulai stabilnya kondisi ekonomi setelah dihantam oleh resesi. Pada fase ini kita akan melihat bahwa mesin-mesin di pabrik mulai terpakai kembali walaupun belum maksimal. Para pengusaha mulai menyadari bahwa persediaan barang dagangan (inventory) di warehouse mereka mulai berkurang karena terjual. Hal ini merupakan tandatanda bagus karena di masa resesi mereka mengalami kesulitan untuk menjual produknya sehingga menumpuk di gudang. Di jalanan kita akan melihat semakin sedikit ruko yang digantungi papan bertuliskan “disewakan”. Pada fase ini, para pengusaha mulai tumbuh lagi keberaniannya untuk meminjam



39



uang untuk membuka usaha sehingga sektor keuangan mulai bergerak. Pada fase middle expansion, kita mulai dapat merasakan bahwa ekonomi benar-benar telah bergerak. Tingkat kepercayaan konsumen pun mulai meningkat. Pabrik-pabrik mulai menambah kapasitas produksinya. Pusat-pusat perbelanjaan mulai dipenuhi pengunjung. Toko-toko mulai kewalahan melayani pengunjung dan seringkali stok barang habis. Hal ini tanpa terasa menyebabkan inflasi mulai meningkat. Harga saham pun mulai menanjak dan investor pun berbondongbondong mengalihkan dananya dari obligasi ke saham. Ketika perusahaan telah selesai berekspansi, kapasitas produksi mereka telah mampu untuk mengimbangi permintaan dan bahkan melebihinya sehingga pertumbuhan mulai melambat. Ekonomi pun mulai memasuki fase late expansion. Tingkat kepercayaan konsumen berada pada puncaknya. Hal tersebut mulai memicu inflasi sehingga bank sentral mulai melakukan pengetatan moneter dengan cara menaikkan suku bunga. Walaupun ekonomi sedang booming, indikator-indikator ekonomi mulai menunjukkan pelemahan. Harga komoditas mencapai puncaknya dan tercermin pada harga sahamnya. Hal ini terjadi pada tahun 2007 di mana harga logam dasar dan minyak melesat ke level tertinggi sehingga 40



mendongkrak kinerja emiten di sektor pertambangan dan energi. Pada fase ini, biasanya terjadi euforia di bursa saham. Hampir semua saham yang dibeli investor naik harganya. Di sinilah kita harus mulai waspada karena fase kontraksi sudah berada di depan mata. Kenaikan suku bunga untuk mengimbangi inflasi ada batasnya. Debitur mulai mengalami kesulitan untuk melunasi utangnya karena kenaikan harga tidak dapat terus bertahan. Jika kita menengok pada tahun 2008 lalu, kenaikan suku bunga telah menyebabkan banyak orang tidak mampu membayar bunga utang kredit perumahan sehingga membawa Amerika Serikat menuju resesi/kontraksi. Pada awal fase kontraksi, tingkat kepercayaan konsumen mulai menurun dan mengakibatkan laba perusahaan ikut tergerus. Pada tahap ini, perusahaan yang bertumpuk utangnya mulai mengalami masalah karena bunga utang harus dibayar sementara penjualan mulai menurun. Harga komoditas pun mulai anjlok karena permintaan menurun. Para pengusaha mulai melakukan efisiensi biaya. Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, bank sentral mulai menurunkan suku bunga dan pemerintah mulai menggenjot belanjanya. Pada puncak fase kontraksi, tingkat kepercayaan konsumen berada pada titik nadir. Penurunan 41



pendapatan menyebabkan perusahaan mulai melakukan layoff terhadap pekerjanya sehingga GDP menurun. Kita akan melihat banyak sekali tempat usaha yang disewakan ataupun dijual. Pusat perbelanjaan terlihat sepi dan kemacetan lalu-lintas di Puncak pada masa liburan tidak separah biasanya. Para investor mulai mengalihkan dananya ke obligasi dan instrumen yang lebih rendah risikonya. Pada fase ini, perusahaan farmasi serta consumer staples dapat bertahan karena pada kondisi ekonomi yang buruk pun orang akan tetap membeli obat dan pasta gigi. Apabila masa resesi terus berkepanjangan, kita menyebutnya depresi. Masa resesi ini melengkapi fase di dalam siklus ekonomi. Pemahaman terhadap siklus ekonomi ini sangatlah penting. Ketika ekonomi sedang booming, sebagian besar industri akan melesat penjualannya sehingga harga saham ikut terdongkrak. Seringkali hal tersebut membuat investor merasa sudah mumpuni karena mendapatkan imbal hasil investasi yang tinggi. Ketangguhan investor akan diuji manakala ekonomi mengalami resesi. Kejelian investor untuk memilih saham yang tahan banting akan menjadi penentu keberhasilan investasinya di masa mendatang. Walaupun pada awalnya tidak mudah untuk mengetahui fase-fase dari sebuah siklus ekonomi, bertambahnya jam terbang akan sangat membantu. 42



Analisis Perusahaan Setelah melewati tahapan ‘Aha!’ manakala menemukan saham dengan bisnis yang menarik, kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang menarik belum tentu menguntungkan. Untuk itu mau tidak mau kita harus menceburkan diri untuk melakukan analisis terhadap kinerjanya. Ada beberapa komponen yang dapat kita jadikan pijakan awal sebelum melakukan analisis fundamental saham. Meskipun prosesnya mirip dengan proses analisis terhadap sebuah bisnis, terdapat perbedaan antara keduanya. Ketika kita melakukan analisis fundamental terhadap suatu saham, ada baiknya kita memperhatikan hubungan antara kinerja perusahaan dengan perilaku sahamnya di bursa. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dalam jangka pendek kemungkinan besar terjadi gap antara nilai dengan harga sahamnya. Dengan mengetahui prospek suatu bisnis dan nilainya, kita bisa mendapatkan imbal hasil yang memuaskan. Ada prinsip yang sangat penting yang harus kita ingat. Hitunglah berapa waktu yang Anda butuhkan untuk memahami bisnis yang dijalankan oleh suatu perusahaan. Pada umumnya, semakin lama waktu yang kita butuhkan, ada kemungkinan memang bisnisnya tidak cukup layak untuk menjadi tempat kita 43



berinvestasi. Pemahaman yang kuat terhadap bisnis dari suatu perusahaan merupakan landasan utama kita untuk berinvestasi pada sahamnya.Apabila kita mengalami kesulitan untuk memahami bisnis dari suatu perusahaan, analisis kita akan menjadi kurang tajam dan pada akhirnya menghasilkan keputusan investasi yang buruk. Beberapa hal mendasar yang digunakan untuk menganalisis suatu perusahaan adalah sebagai berikut: Business Model. Secara singkat, business model adalah cara dari perusahaan untuk memperoleh pendapatan. Business model mencakup sumber-sumber pendapatannya beserta biaya-biaya apa saja yang akan muncul. Ada business model yang sederhana dan ada business model yang sangat rumit. Business model dari sebuah warung bakso bisa dibilang sederhana. Sebuah warung bakso memperoleh pendapatan dengan menyediakan bakso untuk pembeli yang datang. Pemiliknya mengeluarkan biaya untuk bahan baku, gaji pegawai, dan sewa tempat. Kita dengan mudah bisa mengidentifikasi apabila terjadi suatu permasalahan. Lain halnya dengan business model sebuah perusahaan raksasa seperti Indofood yang memiliki business model yang lebih rumit. Indofood memiliki beberapa anak perusahaan yang masing-masing memiliki business model tersendiri. Ada kalanya untuk melakukan analisis 44



secara mendalam, kita harus membedah business model tiap-tiap anak usahanya. Sejalan dengan waktu, ada kalanya perusahaan harus melakukan perubahan terhadap business modelnya agar bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis. Sebagai contoh, semakin banyaknya orang yang memiliki akses terhadap Internet memungkinkan sebuah toko komputer untuk berjualan secara online sehingga orang tidak perlu datang ke tokonya untuk memperoleh barang yang diinginkan. Struktur Modal. Ketika muncul suatu ide bisnis, langkah selanjutnya adalah mencari modal. Terdapat dua cara yang biasa dilakukan untuk itu. Cara pertama adalah mencari investor yang mau menyertakan modal dalam bentuk kepemilikan bisnis. Jika perusahaan go public, maka tanda kepemilikan itu disebut dengan saham. Semakin besar keuntungan perusahaan, maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh investor saham. Cara kedua adalah dengan meminjam dana. Karena berbentuk utang, maka suatu saat harus dikembalikan. Kreditur akan secara berkala menerima bunga dengan jumlah tertentu dan ketika jatuh tempo, pokok utang akan dikembalikan. Di pasar, utang ini disebut dengan obligasi. Pada neraca keuangan, modal yang berasal dari saham disebut dengan ekuitas (equity) dan modal yang berasal dari obligasi/utang disebut dengan kewajiban (liabilities). 45



Perbandingan antara kewajiban terhadap ekuitas akan memberikan kita informasi mengenai struktur modalnya. Biasanya rasio ini disebut dengan D/E ratio (Debt to Equity Ratio). Secara umum, semakin besar D/E ratio, semakin besar risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Mengapa? Kewajiban terdiri atas utangutang yang suatu saat harus dibayar termasuk bunganya. Utang yang terlalu besar akan sangat terasa membebani ketika perekonomian memburuk. Di saat penjualan anjlok, perusahaan tetap berkewajiban membayar utang-utang tersebut. Walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya perusahaan yang utangnya kecil bangkrut karena krisis, yang lebih sering terjadi adalah bangkrutnya perusahaan dengan utang menggunung. Laba. Sekuat apapun struktur modal suatu bisnis, tetap tidak akan ada artinya jika tidak bisa menghasilkan keuntungan. Pada sebuah bisnis yang bagus, kita akan melihat laba yang tidak hanya besar namun juga terus meningkat dengan mantap. Yang perlu diperhatikan adalah konsistensi perusahaan untuk dapat meningkatkan labanya dari tahun ke tahun. Kita tidak menginginkan perusahaan yang tahun ini mendapatkan keuntungan yang besar namun terus menurun bahkan merugi pada tahun-tahun berikutnya. Selain laba yang tinggi, yang tidak kalah pentingnya adalah konsistensi peningkatannya (growth). Laba yang 46



naik turun akan mempersulit kita untuk memperkirakan bagaimana prospek suatu bisnis ke depannya. Bagi saya akan sangat menyenangkan jika memiliki bisnis yang labanya konsisten naik dari tahun ke tahun. Estimasi nilai intrinsik perusahaan tersebut akan menjadi lebih akurat. Pengecualian bisa diberikan untuk perusahaan yang berpotensi untuk turnaround. Perusahaan jenis ini terlihat sangat buruk terlihat saat ini. Namun jika kita jeli, perusahaan tersebut berpotensi untuk menghasilkan keuntungan yang besar di masa depan. Tentu saja menemukan perusahaan seperti ini lebih sulit daripada menemukan perusahaan yang secara nyata berkinerja sangat bagus. Cash Flow.Jika laba adalah apa yang tercatat sebagai keuntungan perusahaan, cash flow (arus kas) adalah uang yang secara nyata keluar masuk perusahaan.Cash flow (arus kas) adalah darah bagi suatu bisnis. Laba yang besar namun tidak dibarengi dengan adanya cash inflow akan menjadi tanda tanya besar. Apakah hal tesebut mungkin terjadi? Sangat mungkin. Banyaknya piutang yang tertunda pembayarannya atau malah tidak tertagih, ekspansi yang tidak terukur dengan baik, atau biaya operasional yang tinggi adalah kemungkinan penyebabnya.



47



Nilai saham. Jika kita merasa yakin telah menemukan perusahaan yang bagus, sebelum membelinya kita harus memastikan bahwa harga yang ditawarkan tidak terlalu mahal. Proses ini dinamakan dengan valuasi. Seringkali harga saham menjadi terlalu mahal ketika terjadi bubble di bursa. Pasar menjadi terlalu optimis dan melambungkan harga saham terlalu tinggi. Kondisi tersebut bukanlah waktu yang bagus bagi kita untuk melakukan pembelian. Jika kita sabar, akan tiba saatnya pasar berlaku sebaliknya. Harga saham dijatuhkan dan menjadi sangat mudah mencari saham yang dijual dengan harga kelewat murah. Contoh yang bagus adalah krisis global yang terjadi pada tahun 2008 silam. Hal tersebut tidak berarti kita harus menunggu krisis terjadi untuk mulai berinvestasi. Pada kondisi normal, sebuah bisnis yang bagus tetap layak dibeli walaupun tidak terdiskon besar. Competitive advantage. Sebuah perusahaan harus mengetahui apa saja keunggulan yang dimilikinya dibandingkan dengan para kompetitornya. Dengan adanya competitive advantage, perusahaan akan mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar dan dapat menetapkan harga jual yang lebih menguntungkan baginya. Competitive advantage akan dibahas lebih rinci pada bagian selanjutnya.



48



Kelima langkah tersebut merupakan kerangka kerja kita untuk melakukan analisis terhadap suatu perusahaan karena pada dasarnya, prosesnya mirip dengan analisis terhadap suatu bisnis.



Competitive Advantage, Kunci Mendapatkan Saham Pemenang Sampai dengan saat ini, terdapat lebih dari 400 perusahaan yang terdaftar di BEI. Perusahaan tersebut mewakili suatu bisnis yang telah mereka jalankan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Perusahaan yang bisnisnya sedang bagus cenderung memiliki ROE (Return on Equity) yang cukup tinggi. Karena ROE menggambarkan imbal hasil terhadap modal yang dimiliki oleh pemegang saham, emiten dengan ROE yang tinggi dapat dikatakan memberikan keuntungan yang tinggi bagi pemiliknya. Untuk memahami apa itu ROE (Return on Equity), coba bayangkan seandainya Anda hendak membuka toko kelontong. Jumlah uang yang harus Anda keluarkan dari kantong sendiri untuk membuka toko adalah ekuitas. Setelah toko mulai berjalan, Anda akan mendapatkan keuntungan. Jika kita membandingkan jumlah keuntungan yang diperoleh dalam satu tahun terhadap jumlah modal yang kita keluarkan, kita akan mendapatkan suatu angka yang di dalam dunia keuangan disebut dengan ROE.



49



Sayangnya, ROE yang tinggi hampir pasti akan mengundang pemain baru untuk masuk ke dalam bisnis yang sama. Semakin banyak pemain baru yang masuk, maka “kue” yang tersedia akan terbagi lebih banyak dan lama kelamaan jatah keuntungan perusahaan di bisnis tersebut akan berkurang. Hal yang menarik akan kita lihat apabila suatu perusahaan dalam jangka panjang memiliki ROE yang tinggi dan konsisten. Secara intuitif kita bisa menduga bahwa perusahaan tersebut memiliki suatu keunggulan yang membedakannya dari pesaingnya. Jika tidak, tentu keuntungan yang dimiliki perlahan-lahan akan berkurang. Perusahaan semacam ini lebih berpotensi memberikan kita keuntungan dalam jangka panjang. Kita menyebut keunggulan ini dengan competitive advantage. Pernahkan Anda memperhatikan coffee shop yang banyak bertebaran di mal? Dari sekian banyak coffee shop itu, kita akan dapat melihat bahwa Starbucks hampir selalu ramai oleh pengunjung. Jika ada banyak coffee shop yang tersebar di mal, orang akan cenderung memilih Starbucks. Keunggulan dari Starbucks adalah ekuitas merknya. Starbucks adalah kopi, semua orang tahu itu. Keunggulan ini telah melekat pada Starbucks selama bertahun-tahun dan menempatkannya sebagai market leader di dalam bisnis coffee shop. 50



Contoh lain yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah BCA (Bank Central Asia). Walaupun memiliki banyak pesaing, BCA bisa menempatkan dirinya sebagai bank yang menawarkan kemudahan transaksi kita. Fokus BCA pada hal ini membuahkan hasil dan membuatnya memiliki jumlah nasabah terbesar. Walaupun bank lain telah berusaha untuk memberikan layanan yang sama dengan BCA, mengubah mindset pasar bahwa BCA unggul dalam kemudahan transaksi akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi para pesaingnya. Selain kedua contoh di atas, masih banyak bisnis lain yang memiliki competitive advantage yang kuat. Dengan mengasah kejelian kita untuk mengidentifikasi perusahaan seperti itu, kita akan mendapatkan bisnis yang dalam jangka panjang dapat bertahan. Tidak semua bisnis memiliki competitive advantage yang kuat. Yang harus kita waspadai adalah perusahaan yang menjual produk yang bersifat seperti komoditas. Jika Anda menjual bahan tekstil, dengan mudah orang akan menirunya dan dengan segera keuntungan Anda akan tergerus karena terjebak oleh perang harga. Walaupun begitu, pada kondisi seperti itu bukan berarti kita tidak bisa menciptakan competitive advantage. Apabila kita bisa membangun jaringan distribusi yang kuat sehingga mampu untuk menekan biaya produksi, para pesaing kita akan mengalami kesulitan untuk merebut 51



pasar kita. Ketika hendak membeli saham, cobalah untuk mencari bisnis yang memiliki barrier to entry yang kuat. Yang dimaksud dengan barrier to entry adalah halangan yang harus dilewati sebelum suatu perusahaan memasuki sebuah bisnis.Barrier to entry akan memperkuat posisi tawar perusahaan terhadap konsumennya. Jaringan BCA yang tersebar luas dengan didukung oleh sistem informasi yang kuat membuat para pesaingnya mengalami kesulitan untuk menembus pasar mereka. Untuk membangun sebuah jaringan sebesar BCA, dibutuhkan dana yang sangat besar dan waktu yang lama. Dengan demikian, BCA telah menciptakan barrier to entry bagi para pesaingnya. Lalu bagaimana caranya mengetahui apakah suatu perusahaan memiliki competitive advantage? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui jenis-jenis dari competitive advantage. Pat Dorsey dalam bukunya yang berjudul “The Little Book That Builds Wealth” memberikan penjelasan yang sangat bagus mengenai hal ini. Dorsey memilih untuk menggunakan istilah ‘economic moat’ yang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan competitive advantage.Mengapa disebut dengan moat (parit)? Pada abad pertengahan, moat adalah parit yang mengelilingi kastilyang berfungsi untuk menghalangi musuh-musuhnya masuk ke kastil. 52



Semakin lebar parit yang mengelilinginya, semakin susah kastil tersebut diserang. Sebagai informasi, istilah economic moat ini dipopulerkan oleh Warren Buffett, seorang begawan investasi saham. Menurut Dorsey, jenis-jenis economic moat adalah sebagai berikut: Intangible asset. Contohnya adalah merk, hak paten, dan lisensi yang menyebabkannya dapat menjual produk yang tidak dapat disaingi oleh kompetitornya. Contoh kita di atas, Starbucks, memiliki competitive advantage yang masuk dalam kategori ini. Tingginya switching cost untuk pindah ke produk lain. Contoh yang sangat bagus adalah bank. Kita akan mengalami kesulitan yang cukup besar apabila ingin berpindah bank. Jarang sekali seseorang berpindah dari satu bank ke bank lain. Kalau menambah rekening di bank lain mungkin, akan tetapi jarang sekali yang benar-benar menutup rekeningnya di suatu bank. Network economics merupakan competitive advantage yang muncul karena luasnya jaringan yang dimilikinya. Dorsey memberikan contoh Amex (American Express). Competitive advantage Amex muncul karena kartu kreditnya dapat diterima di mana-mana. Semakin banyak merchant yang mau menerima kartu kredit Amex, semakin besar competitive advantage yang dimilikinya. Apa gunanya sebuah kartu kredit apabila tidak dapat dipergunakan di banyak tempat? Di 53



Indonesia, kita mengenal jaringan ATM Bersama. Semakin banyak bank yang tergabung dalam jaringan ATM Bersama, semakin besar competitive advantage yang dimilikinya. Cost advantage, yang berasal dari proses produksi, lokasi, skala bisnis, dan akses pada suatu sumber daya yang menyebabkan perusahaan tersebut bisa menghasilkan suatu produk dengan biaya yang lebih rendah. Sebagai contoh, perusahaan air minum dalam kemasan yang memiliki akses terhadap mata air bagus dan dekat dengan daerah pemasarannya akan memiliki keunggulan dibandingkan dengan kompetitornya. Biaya distribusinya akan semakin rendah sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar. Dengan memahami jenis-jenis competitve advantage atau economic moat di atas, kita akan lebih mudah untuk menemukan perusahaan-perusahaan dengan bisnis yang memiliki competitive advantage. Jika kita dapat mengidentifikasi perusahaan yang memiliki competitive advantage dan mampu mentranslasikannya dalam tingginya laba yang didapatkan dalam jangka panjang, maka sepertinya kita telah berada di jalan yang benar.



54



Secara kuantitatif, ada beberapa rasio yang dapat membantu kita menemukan perusahaan yang memiliki competitive advantage: • •



ROE yang tinggi dalam jangka panjang. Hal ini telah dibahas sebelumnya. Gross marginyang tinggi. Perusahaan yang memiliki gross margin lebih tinggi daripada pesaingnya merupakan kandidat yang cukup kuat untuk memiliki competitive advantage. Gross margin yang tinggi dalam jangka panjang menandakan bahwa perusahaan tersebut dapat mematok harga produknya lebih tinggi daripada kompetitornya. Bisa juga perusahaan tersebut memiliki struktur biaya produksi yang lebih rendah daripada kompetitornya.



Kembali lagi pada Dorsey. Dalam bukunya, ia juga menjelaskan proses untuk mendapatkan perusahaan yang memiliki economic moat.



55



Gambar 2.2 Economic Moat Test Step 1



Step 2



Ya



Tidak



Ya



Ya



Tidak



Tidak



Tidak



Seberapa kuat competitive advantage yang dimiliki perusahaan. Apakah mampu bertahan untuk waktu yang lama?



Apakah perusahaan memiliki salah satu dari empat jenis economic moat?



Apakah perusahaan secara historis memiliki ROC yang tinggi?



Apakah ke depannya perusahaan akan dapat memiliki ROC yang tinggi?



Step 3



Ya



Tidak ada economic moat



Tidak ada economic moat



Narrow moat



Wide moat



Sumber: Pat Dorsey, “The Little Book That Builds Wealth”



Pertama-tama, pastikan dahulu bahwa perusahaan secara historis memiliki return on capital (ROC) yang tinggi. Yang dimaksud dengan capital adalah jumlah dari utang dan modal yang menggambarkan besarnya aset yang dimiliki perusahaan. Jika ROC rendah, coba perkirakan apakah di masa datang perusahaan mampu untuk menghasilkan ROC yang tinggi. Jika tidak, mungkin memang perusahaan tersebut tidak memiliki economic moat. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah perusahaan memiliki salah 56



satu dari keempat jenis economic moat seperti yang telah dibahas sebelumnya. Jika ya, apakah economic moat tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama? Jika ya, maka perusahaan ini hampir pasti memang benar memiliki competitive advantage/economic moat.



Jangan Lupakan Valuasi Walaupun sebuah perusahaan memilikicompetitive advantage yang kuat, hal tersebut tidak akan memberikan kita keuntungan apabila kita membeli sahamnya di harga yang tinggi. Pada umumnya, perusahaan yang memiliki competitive advantage yang dominan akan dijual mahal. Oleh karena itu, kita harus bersabar untuk menunggu ada diskon sebelum melakukan pembelian. Kita tidak harus membelinya dengan sangat murah. Suatu perusahaan dengan bisnis bagus yang dijual dengan harga wajar akan jauh lebih berharga dibandingkan dengan perusahaan yang dijual murah namun bisnisnya biasa-biasa saja. Gaya investasi berikut mungkin bisa mewakili pernyataan tersebut.



GARP: Menggabungkan Value Investing dengan Growth Investing Ketika kita berbicara mengenai value investing, yang terbayang adalah membeli saham yang dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan nilainya. 57



Value investing ibaratnya adalah seperti membeli barang diskon di supermarket. Setiap harinya, supermarket akan menggilir barang-barang yang didiskon. Jika kita jeli, kita bisa mendapatkan barang dengan harga yang cukup murah. Permasalahan dari value investing adalah bahwa saham yang terdiskon seringkali bukan saham dengan bisnis terbaik. Saham dengan kondisi keuangan dan prospek pertumbuhan laba yang bagus biasanya dijual dengan harga premium dan jarang sekali dijual murah kecuali terjadi crash di market. Growth investing memiliki sudut pandang yang berbeda dari value investing. Seorang growth investor akan melihat saham dari sudut pandang potensinya untuk tumbuh di masa mendatang. Growth investor sangat menyadari bahwa saham-saham seperti itu hampir selalu dijual dengan harga yang sangat mahal karena market telah memperhitungkan potensinya di masa mendatang. Selama laba tetap tumbuh dengan pesat, harga akan terus naik. Jebakan fatal dari strategi ini adalah ketika harga mencerminkan potensi pertumbuhan yang sangat jauh di atas kemampuan normal suatu bisnis. Sebagus-bagusnya bisnis, amat jarang terjadi laba dapat tumbuh 100% per tahun secara konsisten selama lebih dari 5 tahun. Jika pasar merefleksikanasumsi pertumbuhan yang terlalu tinggi terhadap suatu saham, harga akan meroket tanpa ditopang oleh kondisi fundamental bisnis yang kuat. 58



Munculnya GARP (Growth at Reasonable Price) sendiri merupakan solusi dari kelemahan dari kedua strategi investasi tersebut. Konsep dasar dari GARP adalah mencari saham-saham yang memiliki potensi untuk tumbuh namun dijual dengan harga yang sewajarnya. GARP sendiri tidak mengharuskan membeli saham yang terdiskon banyak. Menemukan sebuah bisnis cemerlang yang berpotensi untuk tumbuh dalam jangka panjang dan dijual dengan harga wajar merupakan sasaran dari GARP. Saat kondisi pasar memburuk, growth stocks biasanya merupakan saham yang paling parah mengalami penurunan harga. Keadaan akan semakin memburukketika kondisi ekonomi menyebabkan pertumbuhan labanya tidak setinggi yang diharapkan. Sebaliknya, pada saat pasar sedang dalam kondisi bullish, value stock akan naik lebih lambat daripada kenaikan pasar dan menyebabkannya menjadi laggard. GARP stock akan bergerak di antara kedua jenis saham tersebut pada kondisi bullish maupun bearish. Salah satu penganut aliran GARP adalah Peter Lynch yang terkenal dengan PEG (price to earningsgrowth) ratio-nya. Lynch dapat mentoleransi saham yang dijual pada P/E ratio (price to earnings ratio)yang tinggi selama potensi pertumbuhannya dapat menjustifikasi tingginya P/E ratio tersebut. Kondisi 59



yang lebih ideal didapatkan apabila saham tersebut memiliki bisnis yang bagus. Dalam hal ini, Warren Buffett bisa digolongkan sebagai investor GARP juga. Didikan dari Ben Graham memang membentuk Warren Buffett sebagai value investor yang tangguh. Namun rekannya, Charlie Munger-lah yang berhasil ’menuntun’ Buffett untuk mempertimbangkan prospek jangka panjang dari suatu bisnis dan bukan hanya karena murahnya ketika akan membeli suatu saham. Tentu saja strategi GARP ini tidak semata-mata bergantung pada PEG ratio. Investor GARP memandang bahwa pertumbuhan yang bagus hanya dapat dihasilkan jika kondisi keuangannya solid. Yang termasuk dalam kriteria tersebut antara lain adalah struktur permodalannya. Utang yang terlalu besar akan berpotensi menggulingkan kapal portfolio kita saat angin berbalik arah. Selain itu, ROE yang cukup tinggi merupakan indikator lain yang bisa dijadikan pedoman untuk menemukan saham GARP. Mengapa ROE? Tingginya ROE dalam jangka panjang merupakan indikasi adanya competitive advantage yang akan berpotensi membuat perusahaan terus tumbuh di masa mendatang. Adanya potensi pertumbuhan yang bagus merupakan sinyal bagus bagi investor GARP. Pasar cenderung memberikan perhatian yang sangat besar terhadap saham/sektor yang labanya melonjak 60



tajam dan seringkali bersikap over reaktif terhadap kenaikan tersebut. Akibatnya sudah bisa ditebak, saham-saham tersebut akan menjadi primadona dan kita tidak akan bisa mendapatkannya di harga wajar karena semua orang menginginkannya. GARP stocks biasanya dapat ditemui di sektor-sektor yang sedang dilupakan oleh pasar. Saham-saham tersebut mungkin jarang muncul di dalam daftar ‘most active stock’ dan hal tersebut adalah hal yang bagus apabila kita hendak berinvestasi dalam jangka panjang. Harga sahamnya akan terdorong naik secara terkendali seiring dengan pertumbuhan labanya.



Mengaplikasikan GARP dengan Menggunakan Price to Earning Growth Ratio (PEG) Cara yang (terlalu) umum digunakan untuk menentukan apakah suatu saham dijual terlalu mahal atau terlalu murah adalah dengan menggunakan P/E ratio. Rasio tersebutbisa didapatkan dengan mudah dengan membagi harga saham dengan EPS (earnings per share). Saham dengan P/E ratio 10x memberikan kita informasi bahwa jika kita membeli saham tersebut, dibutuhkan waktu 10 tahun supaya modal pembelian kita impas. Tentu saja pada kondisi tersebut diasumsikan bahwa di masa mendatang tidak ada pertumbuhan laba. 61



Dengan membandingkan P/E ratio saham-saham yang berada di dalam satu industri, kita bisa dengan cepat mengetahui apakah suatu saham dijual mahal atau murah. Sayangnya, P/E ratio memiliki suatu kelemahan mendasar. Jika seandainya P/E ratio ASII (Astra International) lebih tinggi daripada P/E ratio IMAS (Indomobil), apakah kita bisa memutuskan bahwa ASII dijual lebih mahal daripada IMAS? Jika Anda langsung menjawab ya, maka Anda mengikuti permainan yang sangat berbahaya. Katakanlah saham X memiliki P/E ratio = 10x dan saham Y memiliki P/E ratio = 18x. Saham X terlihat lebih menarik sebagai sasaran investasi kita. Dengan membeli sahamnya, kita bisa mengharapkan balik modal dalam waktu 10 tahun sementara saham Y memerlukan waktu yang lebih lama (18 tahun). Benarkah? Mari kita coba memandang dari sisi lain. Berdasarkan info dari laporan keuangan mereka, ternyata didapatkan long-term EPS growth saham X adalah 4 sementara saham Y berpotensi memiliki longterm growth EPS lebih tinggi yaitu 20%. Apa yang dapat kita simpulkan?



62



Mari kita simak ilustrasi berikut: Harga EPS P/E ratio EPS growth Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Saham X 1.000 100 10 4%



Saham Y 1.800 100 18 20%



Akumulasi EPS Saham X Saham Y 100 100 204 220 312 364 425 537 542 744 663 993 790 1.292 921 1.650 1.058 2.080 1.201 2.596 1.349 3.215



Terlihat bahwa meskipun P/E ratio saham X lebih rendah daripada saham Y, kedua saham tersebut memerlukan waktu yang sama (8 tahun) untuk balik modal. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tinggi rendahnya P/E ratio tidak bisa menjadi patokan kita untuk melakukan valuasi. Kita juga harus memperhitungkan faktor pertumbuhan. Mari kembali pada kasus di atas. Jika kita membagi P/E ratio saham X dengan growth (nominal), maka kita 63



mendapatkan angka 10/4 = 2,5. Angka ini disebut dengan PEG ratio. Dengan cara yang sama kita bisa mendapatkan nilai PEG ratio untuk saham Y adalah 0,9. Terlihat bahwa PEG ratio saham X lebih tinggi daripada saham Y. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saham dengan P/E ratio yang tinggi layak sebagai investasi selama tingginya P/E ratio tersebut dapat ditopang dengan pertumbuhannya. Hal lain yang menarik lainnya, dengan PEG ratio kita dapat membandingkan saham-saham pada industri yang berbeda. Peter Lynch, mantan manajer investasi Magellan Fund merekomendasikan untuk memilih saham dengan PEG ratio tidak lebih dari 1. PEG ratio yang lebih dari 1 mengindikasikan growth tidak mampu menopang tingginya P/E ratio. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan PEG ratio: 1. Pastikan bahwa tingkat pertumbuhan suatu perusahaan konsisten dan mudah diprediksi. 2. Walaupun P/E ratio yang tinggi dapat dikompensasi dengan tingkat pertumbuhan yang sebanding, bukan berarti semakin tinggi pertumbuhannya semakin baik. Pertumbuhan jangka panjang yang secara realistis dapat dicapai maksimal adalah sekitar 25%. Pertumbuhan yang 64



lebih tinggi dari itu dalam jangka panjang sangat sulit untuk dipertahankan.



GARP Versi Saya Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, ide dasar dari GARP adalah menggabungkan filosofi growth investing dengan value investing. Tiap-tiap investor GARP memiliki preferensi tersendiri dalam melakukan screening. Tidak ada patokan yang baku. Intinya adalah adanya pertumbuhan yang terkontrol. Selain PEG, investor GARP juga menggunakan rasio-rasio keuangan lainnya untuk melakukan screening. Rasiorasio tersebut biasanya digunakan untuk mengetahui apakah bisnis perusahaan cukup solid dan mampu untuk terus tumbuh. Biasanya investor akan mencari perusahaan dengan pertumbuhan yang konsisten namun dapat menjaga kondisi keuangannya agar tidak berada di luar kontrol.



Apa yang Saya Pikirkan Tentang GARP? Ekonomi Indonesia saat ini sedang melaju dengan cukup kencang dan pada tahun 2011 GDP diprediksi akan tumbuh sebesar 6,4%. Dengan adanya kebijakan quantitative easing oleh pemerintah Amerika Serikat, rupiah diperkirakan akan terus menguat terhadap dollar AS karena membanjirnya likuiditas. Walaupun begitu, adanya ancaman inflasi yang diakibatkan oleh 65



pencabutan subsidi BBM bagi kendaraan pribadi roda empat perlu mendapatkan perhatian khusus. Meskipun saya berpendapat bahwa efeknya hanya sementara, pasar akan melakukan merefleksikannya pada harga saham-saham di BEI. Satu hal lagi yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya kecenderungan peningkatan investasi riil yang akan memicu kenaikan permintaan. Setelah sekian lama direct investment mengalami perlambatan, pada tahun 2011 sepertinya akan mulai melaju kencang. Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, untuk tahun 2011 ini fokus saya dalam melakukan pemilihan saham adalah growth, terutama net earnings dan revenue. Yang lebih penting lagi adalah adanya konsistensi dari pertumbuhannya. Untuk mengukur konsistensi ini saya menggunakan metode R-Square. Terkait dengan RSquare, saya akan memilih saham dengan R-Square untuk historical revenue dan earnings tidak kurang dari 80%. Untuk lebih meyakinkan, saya mencoba untuk membandingkan data historis selama 5 tahun belakangan dengan data historis selama 3 tahun belakangan. Selain itu, yang lebih penting adalah selama masa 5 tahun tersebut, laba bersih tidak boleh negatif. Saya tidak mau mengambil risiko dengan mengambil saham-saham yang berpotensi merugi. 66



Untuk tingkat pertumbuhannya sendiri, saya mematok minimal 15% untuk laba bersih dan 10% untuk pendapatan. Tidak lupa juga bahwa laba tidak akan berarti apabila tidak mampu memberikan nilai tambah bagi pemegang saham. Oleh karena itu, saya menginginkan ROE terakhir minimal 15%. Ada yang berpendapat bahwa ROE minimal adalah 20% namun saya optimis bahwa untuk perusahaan yang sedang tumbuh, ROE akan meningkat dengan sendirinya di masa datang. Sebagai kontrol, saya memilih perusahaan dengan interest-bearingdebt to equity ratio (utang yang mengandung bunga) kurang dari 1. Sebenarnya, filosofi mendasar dari kriteria-kriteria yang saya pilih adalah adanya pertumbuhan dan konsistensi kinerja yang merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis. Dengan memilih hanya saham-saham yang memenuhi kriteria tersebut juga akan memudahkan kita untuk melakukan analisis dengan lebih cepat.



67



P/E Ratio (Price to Earning Ratio) adalah salah satu rasio yang paling sering dijadikan acuan untuk mengetahui apakah suatu saham harganya murah atau mahal. Jika kita membeli mobil seharga Rp 150 juta dan kemudian menyewakannya dengan tarif Rp 5 juta per bulan. Dalam setahun pendapatan kita dari menyewakan mobil adalah Rp 60 juta. Setelah dikurangi dengan biaya servis rutin dan penggantian suku cadang, keuntungan bersih kita katakanlah Rp 50 juta. Bagilah harga mobil dengan keuntungan bersih setahun dan kita akan mendapatkan angka 3 (150 juta / 50 juta). Angka inilah yang disebut dengan P/E Ratio. Semakin tinggi P/E Ratio, semakin mahal sebuah investasi. PEG ratio (Price to Earning Growth Ratio) adalah



pengembangan lebih lanjut dari P/E Ratio. Untuk memperoleh PEG Ratio, bagilah P/E Ratio dengan tingkat pertumbuhan laba bersihnya. Mari kita kembali ke contoh di atas. Jika Anda optimis pendapatan sewa mobil akan naik sebesar 10% dari tahun ke tahun, maka PEG ratio-nya adalah 0,3 (3 / 10).



Menafsirkan Laporan Keuangan Pada bagian ini, kita akan berdiskusi mengenai bagaimana menafsirkan laporan keuangan. Saya tidak akan menjelaskan secara terperinci karena kita dapat mencarinya di buku-buku atau Internet. Di sini saya akan lebih menekankan untuk mencari hal-hal yang penting yang dapat kita tangkap dari sebuah laporan keuangan. Dengan mengetahui keypoint dari sebuah laporan keuangan, kita akan dapat memutuskan 68



apakah analisis lebih terperinci diperlukan atau tidak. Analisis yang terperinci tanpa memperhatikan hal-hal terpenting hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Tentu saja apabila kita tidak menemukan suatu keganjilan dan bahkan menemukan bahwa kondisi keuangan suatu perusahaan cukup sehat, akan lebih baik apabila kita melanjutkannya dengan melakukan analisis yang lebih terperinci.



Analisis Laporan Laba-Rugi (Income Statement) Mari kita lihat laporan laba rugi APOL dari tahun 2006-2010. Kita akan mencoba mencari apakah ada sesuatu yang penting yang bisa kita dapatkan.



69



Gambar 2.3 Income Statement APOL 2006-2010 (dalam jutaan Rp) Dalam Jutaan Rp Service Revenues Cost of Revenue Gross Profit Operating Expenses



2010 1,388,775 1,256,512 132,263



2009 1,717,602 1,421,879 295,723



2008 2,570,052 1,726,737 843,315



2007 1,617,553 1,072,895 544,658



2006 1,354,568 945,280 409,288



781,532



239,292



147,854



116,114



94,923



(649,268)



56,432



695,461



428,544



314,365



921,456



655,384



645,877



176,737



96,544



(627,731)



59,061



251,697



217,821



34,279



36,196



23,710



19,644



(1,634,469)



(662,010)



22,865



227,986



198,177



Net Income



(1,636,280)



(670,605)



9,916



223,264



193,950



Earning per Share (EPS)



(546)



(224)



3



74



65



90.48%



82.78%



67.19%



66.33%



69.78%



-46.75%



3.29%



27.06%



26.49%



23.21%



590.89%



80.92%



17.53%



21.32%



23.19%



-117.82%



-39.04%



0.39%



13.80%



14.32%



Operating Income Other Charges - Net Net Income Before Taxes Income Tax Expense Net Income After Taxes



Cost of revenue/ service revenue Gross margin Op. Expenses/ Gross profit Net profit margin



(1,596,191) 38,278



Sumber: Laporan keuangan APOL 2007 - 2010, diolah



Cost of Revenue (Cost of Goods Sold/COGS) Cost of revenue merupakan biaya-biaya yang terkait langsung dengan produksi suatu barang/jasa seperti bahan baku, listrik, dan lain-lain. Cost of revenuemerupakan komponen penting dalam laporan laba rugi karena kita dapat mengetahui apakah suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif terhadap perusahaan lain di dalam industrinya.



70



Apa maksudnya? Revenue adalah harga dari produk kita sedangkan cost of revenue adalah biaya yang terkait langsung dengan produksinya. Suatu perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif akan mampu menjual produknya dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan para pesaingnya. Sebagai contoh adalah Apple, Inc. Apakah Apple kesulitan menjual iPhone karena harganya lebih mahal daripada telepon genggam pada umumnya? Apple memiliki konsumen yang sangat loyal dan tidak terlalu sensitif terhadap harga. Mahalnya produk Apple justru memberikan ‘gengsi’ tersendiri bagi penggunanya. Demikian pula halnya ketika harga bahan baku meningkat dan memaksa suatu perusahaan untuk menaikkan harga produknya untuk mengimbangi biaya produksi. Perusahaan yang tidak memiliki competitive advantage akan kesulitan untuk menaikkan harga. Sebaliknya, konsumen perusahaan yang memiliki competitive advantage akan dengan mudah memaklumi kenaikan harga ini. Profit Margin Profit margin adalah persentase laba terhadap revenue. Di dalam laporan keuangan terdapat beberapa macam profit margin, a.l: 71



1. Gross margin (revenue – cost of revenue / revenue) 2. Operating Profit margin (operating income / revenue) 3. Net profit margin (net profit / revenue) Antara Gross Margin, Operating Profit Margin, & Net Profit Margin Jika Adi membeli pensil seharga 1.000 rupiah dan kemudian menjualnya dengan harga 1.400 rupiah maka gross margin Adi adalah 29% ((1.400 – 1.000) / 1.400). Jika Adi berhasil menjual 100 pensil, maka hasil penjualannya adalah 140 ribu rupiah. Modal untuk membeli pensil adalah 100 ribu rupiah. Oleh karena itu laba kotor yang dia peroleh adalah 40 ribu rupiah. Untuk membeli pensil ke toko grosir, Adi mengeluarkan biaya Rp 4.000,- untuk naik angkutan kota. Oleh karena itu, kita katakan operating profit margin Adi adalah 26% (40.000 – 4.000) / 140.000). Ternyata untuk modal membeli pensil, Adi berutang kepada Anto dan berjanji memberikan ‘bunga’ sebesar 5 ribu rupiah. Selain itu, Adi tidak mengeluarkan biaya lain. Oleh karena itu, net profit margin Adi adalah 22% ((40.000 – 4.000 – 5.000) / 140.000).



Cara yang mudah dan efektif dalam melakukan analisis laporan laba-rugi adalah membandingkan masing-masing komponen terhadap revenue/sales. Penjualan APOL dari tahun 2006 sampai dengan tahun



72



2008 sebenarnya meningkat.



cukup



bagus



dan



cenderung



Permasalahan muncul pada tahun 2009 ketika penjualan anjlok dari Rp 2,6 triliun menjadi hanya Rp 1,7 triliun. Cost of revenue yang sebelumnya hanya berkisar antara 67%-70% dari revenue melonjak naik menjadi 83%. Ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi mengenai hal ini. Tingginya cost of revenue menyebabkan gross margin (gross profit/revenue) hanya berkisar antara 30%-33%. Nilai ini cukup rendah dan perlu kita waspadai. Umumnya perusahaan memperoleh gross margin sebesar 60%. Untuk perusahaan jasa bahkan nilainya bisa lebih tinggi lagi karena tidak ada biaya bahan baku. Terlepas dari karakteristik industrinya, terlihat bahwa APOL tidak memiliki keunggulan kompetitif yang kuat sehingga tidak dapat membebankan harga yang terlalu tinggi kepada konsumennya. Akibatnya, sesedikit apapun penurunan revenue akan sangat berpengaruh terhadap laba yang diperoleh. Secara umum, terdapat dua cara untuk memperbesar gross margin, yaitu menaikkan harga dan/atau menurunkan biaya produksi. Keberhasilan suatu perusahaan melakukan kedua hal tersebut akan tampak pada gross margin yang meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun begitu, masing-masing industri 73



memiliki karakteristik tersendiri. Gross margin industri ritel biasanya cukup rendah namun memiliki perputaran barang yang cepat sehingga dapat menutupi biaya operasinya (SGA expense). Sebaliknya, industri alat berat memiliki gross margin yang sangat tinggi namun perputaran barangnya cenderung rendah. Kita harus memperhatikan hal tersebut dalam melakukan analisis. Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penurunan revenue yang tidak diimbangi dengan penurunan cost of revenue pada tahun 2009 sehingga menyebabkan gross margin anjlok menjadi hanya 17%. Hal ini memberikan warning flag pada kita untuk menelusuri laporan keuangannya lebih dalam. APOL sendiri sampai dengan tahun 2008 memperoleh operating margin yang cukup bagus (23%27%). Sayangnya, pada tahun 2009 penurunan revenue menyebabkan operating margin-nya menurun tajam menjadi hanya 3% dan bahkan pada tahun 2010, operating margin-nya negatif. Faktor yang paling mempengaruhi besarnya operating margin adalah operating expenses (selling, general & administration expense). Umumnya operating expenses ini tetap dan kenaikannya terkait dengan inflasi, bukan revenue. Di dalam operating expenses terdapat biaya yang terkait dengan operasional suatu perusahaan. Kita harus 74



cermat melakukan analisis terhadap SGA expenses ini karena di dalamnya juga terdapat biaya yang berkaitan dengan fasilitas untuk manajemen (mobil pribadi atau mungkin sewa helikopter?) yang tentu saja tidak kita inginkan ketika operating margin menjadi tergerus karenanya. Yang terakhir adalah net income yang merupakan angka keramat dan biasanya menjadi acuan para analis untuk melakukan valuasi terhadap suatu perusahaan. Jika tidak ada hal yang aneh-aneh, net income ini adalah apa yang tersisa setelah operating income digunakan untuk membayar pajak. Kita harus mewaspadai apabila terdapat komponen yang tergolong luar biasa (extraordinary), seperti penjualan. Adanya extraordinary income tersebut bisa membuat net income tinggi meskipun secara operasional merugi. Hal tersebut tidak kita inginkan dan akan membuat penilaian kita menjadi bias. Selain itu, net income juga berpotensi untuk tergerus karena adanya other income (expenses) seperti rugi kurs dan biaya bunga. Untuk kasus APOL, net profit margin-nya sampai dengan tahun 2007 cukup bagus yaitu sekitar 14%. Dampak dari anjloknya revenue dan rapuhnya struktur biaya menyebabkan APOL mengalami kerugian yang cukup besar pada tahun 2009 dan 2010.



75



Untuk melihat permasalahan APOL ini lebih lanjut kita perlu melihat laporan keuangan lainnya yaitu balance sheet dan cash flow statement yang akan dibahas pada bagian berikutnya.



Analisis Neraca (Balance Sheet) Setelah membahas mengenai income statement, mari kita beranjak ke neraca (balance sheet). Mari kita lihat balance sheet APOL. Isi dari balance sheet adalah apa saja yang dimiliki oleh perusahaan serta apa saja yang menjadi kewajibannya.



76



Gambar 2.4 Balance Sheet APOL 2006-2010 (dalam jutaan Rp) In Millions of IDR (except for per share items) Cash and Short Term Inv Total Receivables, Net Total Inventory Prepaid Expenses Other Curr. Assets, Total Total Current Assets



2010



2009



2008



2007



2006



106.808 117.677 950.908 696.299 479.359 429.859 1.109.111 1.598.953 806.372 721.535 26.915 24.732 38.757 49.444 44.750 2.955 2.345 7.628 12.770 10.342 124.958 250.515 99.198 4.532 2.986 691.495 1.504.380 2.695.443 1.569.416 1.258.972 66.450



51.710



50.332



48.907



48.105



70.923



100.417



147.050



110.952



1.890



Due from Related Parties Investments in Associated Company Deferred Tax Assets - Net Fixed Assests - Net Investment Properties - Net Other Non-Current Assets Total Assets



1.652 9.682 9.178 9.085 7.913 4.515.509 4.885.784 3.302.656 2.586.095 2.161.760 5.141 35.285 35.702 36.238 154.035 184.714 231.606 140.183 224.349 5.505.205 6.771.973 7.294.276 4.929.338 3.702.989



Accounts Payable Accrued Expenses Notes Payable/ST Debt Curr. Port. LT Dbt/Cap Ls. Other Curr. Lblts, Total Total Current Liabilities



312.975 173.157 235.371 339.654 193.664 184.154 558.431 536.493 985.785 813.156 587.065 342.910 1.438.430 1.027.587 364.745 3.462.647 2.517.965 2.112.965



Total Long Term Debt Total Debt Minority Interest Other Liabilities, Total Total Liabilities



2.829.424 3.241.133 3.211.866 2.392.184 1.764.607 4.201.011 4.364.691 4.540.561 2.910.470 2.187.932 39.668 38.023 30.187 16.349 10.027 54.479 201.245 331.590 110.979 69.220 6.346.550 5.960.343 5.656.420 3.417.134 2.442.145



Common Stock Additional Paid-In Capital Ret. Earn.(Accum. Deficit) Other Equity, Total Total Equity Total Liabilities & Shareholders' Equity Ttl Comm. Shares Outs.



749.651 46.243 -1.773.827 96.420 -881.013



81.368 109.621 311.405 206.881 198.640 907.914



76.266 81.004 326.498 96.827 17.697 598.292



749.651 749.651 749.651 749.651 46.243 46.243 46.243 46.243 -137.047 533.558 553.628 356.251 114.759 278.216 146.133 108.698 773.606 1.607.669 1.495.856 1.260.843



5.505.205 6.771.973 7.294.276 4.929.338 3.702.989 2.999



2.999



2.999



2.999



2.999



Sumber: Laporan keuangan APOL 2007 - 2010, diolah



77



Cash & Short Term Investment Cash & short term investment (selanjutnya kita sebut cash untuk memudahkan) merupakan aset yang paling likuid. Cash merupakan cara tercepat untuk membayar biaya operasional harian. Oleh karena itu, perkembangan jumlah cash dari waktu ke waktu harus kita perhatikan. Cash yang terus menurun merupakan indikasi adanya kesulitan likuiditas. Perusahaan yang bagus biasanya memiliki cadangan cash yang cukup besar. Dengan cash ini, selain untuk menutup biaya operasional, perusahaan juga bisa membayarkan dividen ataupun membiayai capex (capital expenditure). Terkadang apabila cash berlebih, perusahaan meletakkannya pada instrumen investasi jangka pendek (short term investment) yang relatif tetap likuid. Jika kita membagi jumlah cash dengan jumlah saham beredar, kita akan mendapatkan porsi harga saham yang bersifat likuid. Terlihat bahwa posisi cash APOL turun cukup tajam pada tahun 2009. Hal ini menjadi peringatan bagi kita untuk menyelidiki lebih lanjut agar mengetahui apa yang terjadi. Account Receivable Pada balance sheet APOL, seluruh receivable dijadikan satu menjadi total receivables. Hal tersebut tidak menjadi 78



masalah. Perubahan account receivable seharusnya sebanding dengan perubahan revenue. Masalah akan muncul apabila account receivable meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan revenue. Hal tersebut menandakan bahwa perusahaan mengalami kesulitan untuk menagih ke pelanggannya. Pada tahun 2008, receivables APOL mengalami peningkatan 100% sementara revenue-nya hanya naik 60%, bukan hal yang bagus karena akan sangat berpengaruh terhadap cash flow-nya. Pada perusahaan ritel, account receivable biasanya kecil karena konsumennya membayar kontan. Lain halnya dengan perusahaan yang konsumennya institusi seperti perusahaan alat berat. Biasanya kliennya memiliki jangka waktu pembayaran tertentu sehingga nilai account receivable lumayan besar. Inventory Inventory adalah barang dagangan. Jika inventory terus membengkak ada kemungkinan barang yang dijual tidak laku. Hal tersebut tidak akan menjadi masalah untuk industri tertentu seperti pertambangan namun akan menjadi masalah untuk perusahaan yang memproduksi makanan atau minuman karena memiliki masa kadaluarsa.



79



Tidak banyak yang dapat diceritakan oleh balance sheet APOL mengenai inventory-nya. APOL bergerak di dalam bisnis jasa shipping yang sedikit memiliki inventory. Property, Plant & Equipment (PPE) PPE merupakan aset yang tidak likuid. Gedung, kendaraan, dan peralatan produksi nilainya akan terus menurun dan harus digantikan ataupun memerlukan perawatan. Khusus untuk tanah tidak akan disusutkan. PPE ini menjadi objek yang cukup penting untuk dinilai saat perusahaan akan dilikuidasi.PPE biasa juga disebut dengan fixed-asset (aset tetap). Liabilities & Equity Liabilities merupakan kewajiban yang harus dilunasi oleh perusahaan. Bersama-sama dengan equity, liabilities merupakan sumber pendanaan perusahaan. Dana yang diperoleh akan diinvestasikan oleh perusahaan dan tertuang dalam bentuk aset yang dimiliki. Hal terpenting yang perlu diketahui adalah komposisi liabilities dan equity. Perbandingan kedua komponen tersebut dikenal dengan nama debt to equity ratio (DER). Debt/utang tidaklah gratis dan perusahaan harus membayar kembali pokok dan bunganya. Semakin besar DER, maka semakin besar bunga yang harus dibayarkan. Hal ini akan menjadi masalah saat 80



revenue anjlok. DER APOL cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 DER nya mencapai 8x dan ini sangat berbahaya. Umumnya DER perusahaan memiliki DER kurang dari 2x. Saya menyukai perusahaan dengan DER kurang dari satu. Pada tahun 2010, ekuitas mulai bernilai negatif. Utang sendiri tidak menjadi masalah asalkan perusahaan memiliki revenue yang cukup besar untuk dapat melunasinya. Apabila tidak, utang akan menghancurkan jalannya suatu bisnis. Equity merupakan selisih dari assets dan liabilities. Equity merupakan bagian dari modal yang menjadi hak pemegang saham. Sebagai investor, kita tentu menginginkan nilai equity yang terus meningkat. Peningkatan equity yang sehat bersumber dari tumbuhnya laba bersih yang menandakan bahwa bisnisnya menguntungkan.



Analisis Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement) Setelah selesai membahas mengenai income statement dan balance sheet, laporan keuangan ketiga yang tidak kalah penting adalah cash flow statement. Pada cash flow statement, perusahaan akan melaporkan keluar masuknya kas. Cash flow statement dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 81



1. Cash flow from operations, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan aktivitas operasional perusahaan. 2. Cash flow from investing, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan investasi yang dilakukan oleh perusahaan, a.l: capex, penerimaan dividen, dll. 3. Cash flow from financing, berisikan aliran kas yang berkaitan dengan pembiayaan perusahaan untuk menjalankan operasinya. Penjumlahan ketiga komponen tersebut disebut dengan net change in cash yang akan menambah ataupun mengurangi posisi cash sebelumnya (yang terdapat di balance sheet). Pada dasarnya, perusahaan yang sehat akan membukukan cash flow yang positif dari tahun ke tahun. Cash flow perusahaan akan terlihat lebih sehat lagi apabila cash flow from operations jumlahnya dapat menutup cash outflow dari bagian lainnya. Di samping itu, cash flowfrom operations yang sehat umumnya ditandai dengan jumlahnya yang hampir sama dengan net income. Walaupun terlihat mirip, laporan laba rugi sangat lah berbeda dengan laporan arus kas. Pada laporan laba rugi, laba bisa saja tercatat walaupun tidak ada uang yang masuk. Contoh paling mudah adalah pembayaran secara kredit. Perusahaan akan mencatatnya sebagai laba. Namun karena belum ada uang yang masuk, transaksi tersebut tidak akan muncul pada laporan arus kas.



82



Mari kita melihat cash flow statement APOL di bawah ini: Gambar 2.5 Cash Flow Statement APOL 2006-2010 (dalam jutaan Rp) In Millions of IDR (except for per share items) Cash Receipts Cash Payments Cash Taxes Pd, Supplemental Cash Interest Pd, Suppl Total Cash from Operations



2010



2009



2008



1.460.493 2.029.460 1.821.489 -1.061.037 -1.314.203 -1.085.330 -18.777 -38.894 -17.346 -316.656 -394.898 -294.574 64.284 289.791 436.024



2007



2006



1.542.623 -882.335 -24.198 -202.168 445.450



1.123.210 -794.966 -20.332 -170.449 147.487



Capital Expenditures OtherInvestCashFlowItms,Tot Total Cash from Investing



25.375 -99.916 -74.541



-721.701 -1.822.874 -1.209.094 151.764 1.839.532 1.163.538 -569.937 -1.301.916 -1.127.305



-720.046 -197.080 -917.126



Iss (Retirmnt) of Debt, Net Cash Dividends Other Financing Cash Fl Items Total Cash From Financing



-83.677



199.913



-83.677



Foreign Exchange Effects



778.355 -17.992



199.913



873.758 -29.986 -8.345 912.089



796.347



948.185 -22.490 -12.805 912.890



-36.980



-139.754



105.653



57.694



-47.291



Net Change in Cash



-10.878



-472.846



151.849



172.186



95.960



NetCash-BeginBal/RsvdforFutUse NetCash-EndBal/RsrvforFutUse



117.524 106.646



590.370 117.524



438.521 590.370



266.336 438.521



170.375 266.336



Sumber: Laporan keuangan APOL 2007 - 2010, diolah



Jika kita lihat tabel tersebut, terlihat bahwa total cash flow from operations sampai dengan tahun 2008 cukup baik dan cenderung meningkat, namun ada warning flag yang sangat mengkhawatirkan. Perusahaan mengeluarkan dana untuk capex (capital expenditure) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejatinya, capex ini digunakan untuk melakukan ekspansi usaha 83



seperti membeli alat produksi, tanah, ataupun bangunan. Sebagai sebuah perusahaan shipping, APOL menggunakan capexuntuk membeli kapal dengan harapan volume pengirimannya menjadi semakin besar. Sayangnya, capex yang dikeluarkan ini dari tahun ke tahun selalu lebih besar daripada cash flow yang dihasilkan oleh bisnisnya. Artinya, APOL harus mencari pembiayaan capex dari sumber lain. Pada bagian total cash flow from financing, terlihat bahwa capex-nya harus ditambal dengan penerbitan surat utang (Iss (Retirmnt) of Debt). Mengingat debt-to equity ratio APOL sudah cukup tinggi, hal ini berpotensi untuk mengancam kelangsungan bisnisnya. Utang harus dibayar, dan di dalam utang terdapat bunga yang harus dibayar. Saya sengaja menandai tulisan pada bagian cash interest dengan warna yang lebih gelap untuk menunjukkan besarnya bunga yang harus dibayar. Terlihat bahwa akibat penambahan utang secara terus menerus, cash yang didapatkan dari bisnisnya semakin banyak yang tergerus karena digunakan untuk membayar bunga. Kondisi ini semakin parah ketika pada tahun 2009 kebutuhan operasionalnya bertambah sehinggatotal cash from operations kontan menurun tajam. Kondisi ini semakin memburuk ketika perubahan kurs semakin menggerus cash flow-nya. 84



Pada tahun 2009, cash flow APOL mengalami bleeding sebesar 473 miliar rupiah. Apa maksudnya? APOL memiliki kewajiban yang harus dibayar sebesar 473 miliar rupiah dan tidak ada sumber dana yang dapat digunakan untuk membayarnya! Setelah menelusuri Internet untuk mencari informasi mengenai APOL, saya mendapati sebuah berita yang muncul pada bulan April lalu mengenai APOL ini: …JAKARTA – Lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memberikan peringkat selective default kepada PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL). Analis Pefindo Ronald Hertanto dalam keterbukaan informasi mengatakan, peringkat ini mencerminkan ketidakmampuan perusaaan memenuhi kewajiban finansial terhadap utang-utangnya… …Pefindo juga memberikan peringkat CCC atas obligasi perusahaan II/A/2008 senilai Rp 276 miliar yang jatuh tempo pada 2013, obligasi Il/B/2008 senilai Rp 324 miliar yang jatuh pada 2015 serta Syariah Ijarah Medium Term Notes 11/2008 senilai Rp2008 senilai Rp 150 miliar yang jatuh tempo pada 2011… (Sumber: Bataviase)



Jika kita jeli dalam melakukan analisis terhadap laporan keuangan APOL, tentu kita sudah sejak jauhjauh hari mulai waspada.



85



Mencoba untuk Menyelam Lebih Dalam Ketika membaca laporan keuangan, ada pos-pos penting yang tidak boleh kita lewatkan. Pada bagian sebelumnya kita telah membahas tentang laporan keuangan secara umum. Pada bagian ini, kita akan mencoba untuk memahami pos-pos yang penting secara lebih mendalam.



Ngobrol Tentang Capex (Capital Expenditure) Untuk mengingatkan, yang disebut dengan capex (capital expenditure) adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh ataupun meng-upgrade aset tetap seperti tanah, bangunan, dan mesin produksi. Secara langsung nilai dari capex akan berpengaruh terhadap besarnya pos PPE (property, plant & equipment) di bagian non current assets. Pada umumnya, agar dapat berekspansi, perusahaan harus mengeluarkan capex untuk memperbesar kapasitas produksi. Besar kecilnya capex bergantung pada perkembangan usaha ataupun target yang ingin dicapai oleh manajemen. Andaikan sebuah perusahaan yang memproduksi kecap memiliki kapasitas produksi 10.000 botol kecap per hari. Saat ini perusahaan tersebut rata-rata memproduksi 9.500 botol kecap per hari atau dengan kata lain utilisasinya mencapai 95%. Jika perusahaan merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini, maka 86



dapat dikatakan bahwa produksi botol kecapnya cukup efisien. Lain halnya jika ternyata manajemen melihat ada peluang untuk menjual 2.000 botol kecap tambahan per harinya. Tentu saja, dengan kapasitas produksi yang ada saat ini, perusahaan tidak akan mampu untuk menangkap peluang tersebut. Jika ingin dapat memproduksi lebih banyak botol kecap, perusahaan harus membeli mesin tambahan. Dana yang digunakan untuk membelinya inilah yang disebut dengan capex. Perlu diingat bahwa pada kondisi tidak berekspansi pun, perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya untuk mengganti mesin-mesin yang sudah habis masa pakainya ataupun rusak. Biaya ini dikenal dengan nama maintenancecapex. Karena biaya yang dikeluarkan digunakan untuk mengganti mesin lama, maka tidak ada penambahan kapasitas. Bagaimana cara menghitung maintenance capex? Pendekatan yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan menyamakan nilainya dengan depresiasi. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa depresiasi secara pembukuan menyatakan berkurangnya nilai aset tetap atau dengan kata lain pengurangan kapasitas. maintenance capex = depresiasi Sebagai contoh, pada tahun 2010 besarnya depresiasi AUTO adalah 127 miliar rupiah. Berdasarkan definisi di atas, maka besarnya 87



maintenance capex adalah 127 miliar rupiah juga. Permasalahan dari metode ini adalah adanya perbedaan perhitungan depresiasi (stright line atau double declining) sehingga penggunaan depresiasi sebagai acuan penentuan maintenance capex cenderung misleading. Cara lain yang lebih akurat adalah dengan menghitung persentase PPE terhadap sales/revenue dan kemudian mencari rata-rata persentase tersebut selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian kita dapat mengetahui seberapa besar fixed asset yang dibutuhkan untuk nilai penjualan tertentu. Kalikan persentase tersebut dengan pertumbuhan/penurunan penjualan dari tahun sebelumnya untuk memperkirakan besarnya growth capex. Kurangkan total capex dengan growth capex dan kita akan memperoleh estimasi nilai maintenance capex. Metode perhitungan maintenance capex ini diperkenalkan oleh Bruce Greenwald. Mari kita melihat contoh dari AUTO.



88



Gambar 2.6 Analisis Capex AUTO (dalam jutaan Rp) Total revenue Property, Plant & Equipment PPE/revenue Avg. PPE/ revenue Pertumbuhan/ penurunan penjualan



2010 6.255.109 9.850.289 15,75%



2009 5.265.798 696.716 13,23%



2008 5.278.215 702.097 13,30%



2007 4.184.279



2006 3.371.898



634.717 15,17%



719.140 21,33%



15,76%



989.311



(12.417) 1.093.936



813.381



Total capex Growth capex Maintenance capex



429.732 155.793



120.169 (1.643)



187.146 145.513



101.502 123.231



97.923



273.939



121.812



41.633



(21.729)



97.923



Depreciation



126.717



120.765



103.453



91.956



108.996



Sumber: Laporan Tahunan AUTO 2008 - 2010



Terlihat bahwa rata-rata perbandingan antara PPE terhadap revenue adalah 15,76%. Dengan angka tersebut kita dapat memperkirakan kebutuhan capex untuk pemeliharaan alat produksi. Dari contoh AUTO, terlihat bahwa pada tahun 2010, berdasarkan cara pertama maintenance capex-nya adalah 127 miliar sementara dengan menggunakan cara kedua estimasi maintenance capex-nya adalah 274 miliar. Terlihat bahwa nilainya berbeda sangat jauh. Mengapa bisa begitu? Nilai depresiasi telah ditetapkan di awal, baik dengan menggunakan stright line method ataupun double declining method sementara pada kenyataannya, nilai maintenance capex bergantung pada perkembangan bisnis. Seandainya kondisi ekonomi memburuk sehingga penjualan menurun, maka mesin produksi 89



yang sudah habis masa pakainya kemungkinan tidak perlu diganti karena masih cukup untuk mengakomodir permintaan. Menghitung maintenance capex berguna bagi kita untuk mengetahui apakah suatu perusahaan benarbenar tumbuh ataukah hanya sekedar bertahan hidup. Jika dari tahun ke tahun maintenance capex-nya sangat kecil sementara penjualan terus naik, ada kemungkinan sebelumnya banyak sekali kapasitas produksi yang tidak terutilisasi dengan baik. Kondisi terburuk terjadi ketika penjualan terus menurun dan maintenance capex sangat kecil. Hal ini menandakan adanya kemungkinan perusahaan sudah berada pada masa senjanya. Perusahaan yang baru tumbuh akan memiliki growth capex yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan maintenance capex-nya. Perusahaan seperti ini sedang giat-giatnya berekspansi. Hanya saja, tetap waspadai apabila tidak terjadi pertumbuhan revenue yang signifikan karena ada kemungkinan perusahaan hanya menghamburkan uang.



Liquidity dan Solvency Saat ini, problem utama yang mengancam jalannya perekonomian di dunia adalah kredit. Kita telah melihat bagaimana krisis kredit perumahan yang melanda AS pada tahun 2008 telah membuat seluruh 90



dunia ikut demam. Bursa saham di seluruh dunia berguguran dan membuat banyak orang stres. Tanpa ampun, surat-surat utang ikut berguguran dan dengan segera likuiditas menciut. Buntutnya adalah munculnya QE (Quantitative Easing) untuk menyerap aset-aset yang membusuk tersebut dan membayarnya dengan uang yang dihasilkan dari ketiadaan. Hasilnya, US Dollar ambrol dan harga emas membubung tinggi. Berkaitan dengan kredit, kita melihat bagaimana negara-negara di Eropa seperti Yunani dan Irlandia berjuang untuk lepas dari tekanan utang. Pemerintahnya memberikan kesejahteraan pada rakyatnya dengan dibiayai oleh utang. Besar pasak daripada tiang. Apa yang mereka konsumsi jauh lebih besar daripada yang mereka hasilkan. Tahun 2011 ini, kita melihat bagaimana AS juga mengalami permasalahan yang serupa walaupun tidak seekstrim kedua negara tersebut. Hanya saja, jumlah nominal utang AS memang sangat besar dan membuat banyak pihak menjadi khawatir. Dari dalam negeri, kita telah melihat bagaimana negara kita pada tahun 1997 diguncang hebat oleh krisis moneter karena membengkaknya utang swasta akibat pelemahan rupiah. Kejadian tersebut tidak akan dengan mudah terhapus dari ingatan kita.



91



Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, saat kita berinvestasi saham, liquidity dan solvency perusahaan menjadi hal yang sangat penting. Liquidity adalah ketersediaan cash untuk membayar kewajibankewajiban jangka pendek sementara solvency adalah kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajibankewajiban jangka panjangnya. Umumnya, rasio yang digunakan untuk memantau liquidity adalah current ratio (current assets / current liabilities) sementara untuk mengukur solvency yang digunakan adalah rasio debt to equity (DER). Liquidity Untuk kepentingan operasionalnya, perusahaan membutuhkan modal kerja. Yang disebut modal kerja adalah selisih antara current asset dengan current liabilities. Perusahaan akan mengambil produk yang akan dijualnya. Terkadang perusahaan membayar secara tunai namun bisa juga pembayarannya ditunda. Penundaan pembayaran ke supplier ini akan masuk ke dalam akun utang usaha (account payable) pada neraca. Hal yang serupa akan terjadi ketika perusahaan melakukan penjualan. Perusahaan bisa saja menerima uang tunai ataupun penundaan pembayaran dari pelanggan. Piutang ini akan masuk ke dalam akun piutang dagang (account receivable). Jika perusahaan dapat mengelola modal kerja dengan baik, maka 92



aktivitas operasionalnya tidak akan terganggu. Mengapa likuiditas ini sangat penting? Walaupun perusahaan memiliki potensi bisnis yang bagus, pengelolaan modal kerja yang buruk akan menyebabkannya tidak bisa memanfaatkan potensi tersebut secara maksimal karena aktivitas operasionalnya terganggu. Untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan, rasio yang umum untuk digunakan adalah current ratio yang dapat diperoleh secara mudah dengan membagi current asset dengan current liabilities. Secara umum, suatu perusahaan dikatakan cukup likuid apabila memiliki current ratio minimal 1. Walaupun begitu, kita dapat memberikan pengecualian terhadap perusahaan utilitas dengan memberikan toleransi current ratio di bawah 1. Mengapa? Umumnya perusahaan utilitas memiliki earning power yang tinggi. Mereka akan dengan mudah melunasi kewajibankewajiban jangka pendeknya dengan mengandalkan pendapatan bulan depan. Hal yang berbeda dialami oleh perusahaan produsen alat berat. Tidaka ada kepastian bahwa bulan depan akan ada pendapatan sehingga current ratio di bawah 1 akan menjadi sinyal peringatan. Walaupun cukup umum digunakan, current ratio memiliki kelemahan. Kita mengasumsikan bahwa 93



seluruh akun di dalam current assets dapat dipergunakan untuk melunasi kewajiban jangka pendek. Di dalam current assets terhadap inventory yang tidak akan menjadi masalah apabila dapat dijual dengan cepat dan tidak memiliki masa kadaluarsa. Masalahnya akan berbeda apabila suatau perusahaan bergerak di bidang penjualan barang elektronik eceran. Agar inventory dapat dicairkan dengan cepat, mereka mungkin harus memberikan diskon yang cukup besar dan hal tersebut akan membuat nilai current ratio yang kita hitung menjadi bias. Untuk mengatasi permasalahan ini, kita bisa menghilangkan komponen inventory dalam analisis likuiditas dan menghitung quick ratio atau biasa disebut juga dengan acid test. Kita bisa mengatakan bahwa perusahaan dengan current ratio> 1 cukup likuid namun tetap harus waspada apabila nilai current ratio tersebut terlalu tinggi karena menandakan suatu perusahaan memiliki dana yang tidak terpakai. Jika memang perusahaan memiliki uang kas yang melimpah apabila tidak ada proyek yang memerlukan tambahan pendaanaan, ada baiknya uang kas tersebut dikembalikan kepada investor dalam bentuk dividen atau bisa juga dipergunakan untuk melakukan stock buyback.



94



Solvency Jika pada bagian sebelumnya kita membahas mengenai liquidity, pada bagian ini kita akan membahas mengenai solvency. Berbeda dengan liquidity, solvency merupakan kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya. Rasio yang umum digunakan adalah debt to equity ratio (DER). Dengan rasio tersebut, kita dapat menilai apakah struktur permodalan perusahaan cukup kuat. DER yang tinggi menandakan bahwa bisnisnya dibiayai dengan utang yang cukup besar. Pada kondisi normal, perusahaan bisa melakukan roll-over terhadap utangnya. Utang lama dilunasi dengan membuat utang baru dan demikian seterusnya. Permasalahan akan mulai timbul ketika kredit menjadi seret. Perusahaan akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll-over utangnya. Jika pun bisa, biasanya bunganya sangat mahal. Risiko ini akan cukup kecil apabila DER perusahaan tidak terlalu tinggi. Saya biasanya mencari perusahaan dengan DER tidak lebih dari satu. Apa yang terjadi belakangan ini pada perekonomian dunia terkait erat dengan utang. Ada kemungkinan likuiditas kredit akan menciut dan tentu saja berdampak pada kelangsungan bisnis perusahaan. Oleh karena itu, sebaiknya kita sangat memperhatikan 95



faktor liquidity dan solvency ini dalam melakukan analisis terhadap kondisi keuangan perusahaan.



Mendeteksi Cash Burner Cash flow merupakan bensin bagi suatu perusahaan. Tanpa adanya asupan cash flow, perusahaan tidak akan dapat beroperasi dengan sempurna. Jika suatu perusahaan menghabiskan uang lebih cepat daripada menghasilkan uang dari bisnisnya maka perusahaan tersebut dikatakan melakukan cash burning atau gampangnya lebih besar pasak daripada tiang. Sama seperti kita juga, apabila pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, maka kita akan mendapatkan masalah di kemudian hari. Perusahaan yang laba bersihnya positif belum tentu cash flow-nya juga positif. Pendapatan dicatat ketika terjadi penjualan. Namun apabila pembayarannya secara kredit, tidak ada cash flow yang masuk. Penjualan tersebut akan tercatat ke dalam account receivable (piutang usaha) dan tidak menambah cash flow. Sebagai contoh katakanlah perusahaan membukukan penjualan secara kredit sebesar Rp 10 miliar. Setelah dikurangi dengan segala macam biaya, didapatkan laba bersih sebesar Rp 1 miliar. Perusahaan akan mencatat laba bersihnya adalah sebesar Rp 1 miliar. Karena penjualannya secara kredit, maka tidak 96



ada cash flow yang masuk. Kasus tersebut memang cukup ekstrim karena biasanya tidak semua penjualan dilakukan secara kredit. Meskipun begitu, kita mengetahui bahwa laba bersih yang tinggi tidak menjamin bahwa cash flow perusahaan sehat. Analisis terhadap cash flow akan membantu kita untuk mendeteksi apakah suatu perusahaan berpotensi menjadi cash burner. Aspek lainnya yang dapat membantu kita untuk mendeteksi adanya cash burning adalah working capital. Working capital adalah selisih antara current asset dengan current liabilities atau biasa disebut dengan modal kerja. Idealnya, suatu perusahaan memiliki working capital positif yang memberikan indikasi bahwa perusahaan tersebut akan mampu memenuhi seluruh kewajiban jangka pendeknya. Perusahaan yang memiliki working capital negatif tentu saja harus berusaha untuk mencari dana segar untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. Sumber dana yang paling sehat tentu saja adalah operating cash flow. Berdasarkan operating cash flow dan working capital, kita dapat mengkategorikan perusahaan menjadi empat jenis:



97



Cash Flow



+



RECOVERY



SAFE



-



DANGER



POTENTIAL CASH BURNER



-



+



Working Capital



Berdasarkan model tersebut, mari kita perhatikan contoh berikut: Gambar 2.7 Analisis Cash Burning (dalam jutaan Rp) dalam jutaan Rp



Current Assets



Current Liabilities



Operating Cash Flow



Working Capital Status



Cash Flow Status



46.843.000



36.482.000



2.907.000



+



+



1.028.830



18.709



(199.871)



+



-



CITA



395.573



577.034



248.313



-



+



ITTG



956



1.643



-



-



Company ASII DAVO



(4.066)



Sumber: Laporan keuangan emiten 2010, diolah



Working Capital Positif dan Cash Flow Positif Perusahaan pada kondisi ini kemungkinan kecil melakukan cash burning. Current assets yang dimiliki cukup besar untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek sementara operating cash flow yang positif memberikan dana segar baru. Berdasarkan contoh di atas, Astra International (kode: ASII) berada 98



di dalam kategori ini. Dapat dikatakan bahwa ASII berpeluang tipis mengalami cash burning. Working Capital Positif dan Cash Flow Negatif Pada kondisi ini, perusahaan masih dapat memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya namun cash flow yang negatif akan menggerus kas perusahaan dan ke depannya berpotensi membuat working capital perusahaan menjadi negatif. Jika tidak ada langkah-langkah strategis dari pihak manajemen untuk mengatasi hal ini, maka perusahaan akan melakukan cash burning dan terancam kelangsungannya. Pada contoh kita melihat bahwa DAVO masuk ke dalam kategori ini. Dalam jangka pendek, jumlah kas yang dimiliki akan mampu menopang operasional perusahaan sehari-hari. Pertanyaannya, sampai kapan perusahaan dapat beroperasi dengan kondisi seperti ini? Working Capital Negatif dan Cash Flow Positif Perusahaan yang berada pada kondisi ini biasanya baru saja berhasil membalikkan kondisi keuangannya. Cash flow yang positif akan menjadi sumber energi bagi operasional perusahaan. Pertanyaannya, apakah cash flow positif yang dihasilkan akan mampu menambal lubang pada working capital? Contoh kita pada tabel adalah CITA. Terlihat bahwa walaupun working capitalnya negatif, asupan dana segar dari aktivitas operasi 99



akan membuatnya menjadi sehat kembali. Pada kondisi tersebut, dalam waktu kurang dari satu tahun CITA akan dapat melakukan pemulihan secara sempurna. Working Capital Negatif dan Cash Flow Negatif Perusahaan yang berada pada kondisi ini seharusnya sudah menyalakan sinyal alarm bagi investornya. Secara cepat perusahaan harus mendapatkan dana segar dan manajemen harus melakukan evaluasi serta bernegosiasi dengan pemasok untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Contoh kita di atas adalah ITTG. Jika ITTG bisa mendapatkan dana segar, baik dari pinjaman ataupun rights issue maka working capital akan dapat diselamatkan. Namun jika tidak ada perbaikan yang efektif di sisi operasional, operating cash flow yang negatif akan membawa perusahaan ke dalam lubang yang sama.



Ngobrol Tentang Dividen Ketika suatu perusahaan mendapatkan laba, uang kas akan terus menumpuk. Pada kondisi ini ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh, antara lain: 1.



100



Melakukan ekspansi. Jika manajemen melihat ada kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik di masa mendatang, opsi ini cukup bagus karena perusahaan akan terus tumbuh.



2.



3.



Stock buyback. Ada kalanya ekspansi bukan merupakan opsi yang bagus karena jika dilakukan imbal hasil dari capex yang dikeluarkan sangat rendah. Pada kondisi ini, stock buyback merupakan tindakan yang cukup bijaksana karena dapat meningkatkan EPS. Membagikan dividen. Kelebihan uang kas dapat diberikan kembali kepada investor dalam bentuk dividen.



Pada umumnya, ketiga opsi tersebut dapat dilakukan secara bersamaan. Apabila setelah uang kas yang ada dipergunakan untuk membiayai ekspansi, sisanya dapat dibagikan dalam bentuk dividen. Bagi beberapa investor, pembagian dividen ini sangat penting karena mereka mengharapkannya sebagai hasil dari investasi. Pada perusahaan yang sudah mature, umumnya persentase dividen terhadap laba bersih cukup tinggi karena tidak membutuhkan biaya yang besar untuk ekspansi. Laba yang didapatkan mungkin hanya dipergunakan untuk membiayai modal kerja dan mengganti alat-alat produksi yang sudah waktunya diganti. Lain halnya dengan perusahaan yang sedang tumbuh pesat. Laba yang mereka dapatkan akan diinvestasikan kembali untuk membiayai ekspansi. Perusahaan yang sedang dalam fase ini biasanya jarang membagikan dividen dan investornya mengharapkan imbal hasil dalam bentuk capital gain. 101



Bagi investor, adanya pembagian dividen yang berkelanjutan dan terus bertambah jumlahnya tiap tahun merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa perusahaan berada dalam kondisi yang bagus. Uang kas yang terus bertumpuk dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan investor bukan merupakan hal yang bagus. Ada kemungkinan uang kas tersebut akan memberikan ide bagi manajemen untuk menghambur-hamburkannya dengan sia-sia pada proyek yang kurang menguntungkan. Keuntungan lain dari adanya dividen bagi investor adalah untuk menjaga harganya turun ketika terjadi crash di bursa saham. Jika Anda memiliki saham dengan dividend yield (dividend per share / stock price) sebesar 10%, maka ketika harga sahamnya turun 50%, dividend yield akan langsung melonjak menjadi 20%. Semakin besar penurunan harga sahamnya, semakin tinggi dividen yang kita terima. Sungguh beruntunglah kita apabila penurunan harga saham hanya diakibatkan oleh pasar yang sedang bad mood belaka dan bukan karena kondisi fundamentalnya merosot. Mari kita perhatikan grafik ADMF berikut:



102



Gambar 2.8 Dividend yield ADMF dari tahun ke tahun



Sumber: Laporan keuangan ADMF 2008 - 2010, diolah



Ketika krisis global terjadi pada tahun 2008, harga saham ADMF turut tertekan padahal bisnisnya masih berjalan dengan lancar dan keuntungan yang didapatkan terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2007, dividend yield ADMF adalah 10,55% sementara 103



sahamnya diperdagangkan di level 2.200. Dividend yield ADMF cukup tinggi karena sebagai perusahaan pembiayaan, ADMF tidak membutuhkan biaya yang besar untuk ekspansi. Pada tahun 2008, harga saham ADMF turun menjadi 1.450 sementara EPS-nya cukup tinggi (1.020) atau dengan kata lain PER nya hanya 1,42. Pada tahun tersebut ADMF membagikan dividen sebesar 280 sehingga mengakibatkan dividend yield-nya naik tajam menjadi 19,31%. Mungkin Anda saat itu masih bisa tersenyum pada saat itu jika memiliki sahamnya karena turunnya harga saham diimbangi dengan melonjaknya dividend yield. Di bawah ini adalah beberapa tips apabila kita mengincar suatu perusahaan untuk mendapatkan dividen: 1.



2.



3.



104



Cari perusahaan yang dalam jangka panjang rajin membagikan dividen dan lebih bagus lagi apabila jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Pastikan bahwa perusahaan tersebut labanya tumbuh dengan stabil sehingga dapat terus membagikan dividen. Jangan lupa untuk memeriksa apa saja langkahlangkah yang dilakukan perusahaan tersebut saat terjadi krisis. Pastikan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan blunder yang dapat mengancam kelangsungan bisnisnya.



Ngobrol Tentang Cash Flow Laporan arus kas (cash flow statement) mungkin adalah laporan yang jarang dilirik ketika melakukan analisis laporan keuangan. Selama ini yang banyak dikenal orang adalah rasio-rasio seperti ROE (return on equity), P/E ratio (price to earning Ratio), dan DER (debt to equity ratio) yang tidak melibatkan pos-pos di dalam laporan arus kas dalam perhitungannya. Jarang sekali orang bertanya, bagaimana cash flow saham ABCD? Kebanyakan orang lebih fokus pada seberapa besar laba yang dihasilkan, padahal bagi cash flow itu sangat penting untuk diperhatikan. Cash flow ibarat aliran darah bagi perusahaan. Operasional bisnis akan terhambat manakala cash flow-nya tidak lancar. Laba tidak akan bisa membiayai ekspansi jika tidak ada dana tunai. Sebagai investor, salah satu besaran yang perlu diperhatikan adalah free cash flow (FCF) yang merupakan operating cash flow dikurangi dengan capital expenditure (capex). Dengan kata lain, free cash flow menggambarkan apakah suatu perusahaan mampu untuk membiayai aktivitas operasional dan ekspansinya dengan baik. FCF positif mengindikasikan bahwa suatu perusahaan mampu untuk membiayai aktivitas operasional dan ekspansinya tanpa banyak membutuhkan tambahan modal eksternal. Secara bisnis 105



kondisi ini cukup sehat karena perusahaan mampu untuk tumbuh secara organik dari hasil usahanya sendiri. Jika kondisi tersebut tidak bisa dipenuhi, perusahaan akan mencoba untuk mencari pinjaman (utang bank atau menerbitkan obligasi) ataupun bahkan meminta tambahan modal dari investor, biasanya melalui mekanisme rights issue. Utang akan membuat DER membengkak dan rights issue akan berpotensi membuat porsi kepemilikan investor terdilusi jika tidak ditebus. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sangatlah penting bagi kita untuk memperhatikan laporan arus kas dalam melakukan analisis terhadap suatu emiten. Perusahaan dengan free cash flow positif atau bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun biasanya kinerjanya cenderung membaik di masa mendatang. Free cash flow positif akan memungkinkan perusahaan untuk berekspansi dengan lebih leluasa dan memberikan tambahan revenue tanpa membutuhkan tambahan dana dari utang sehingga DER akan terus menurun. Cash flow yang berlimpah juga memungkinkan perusahaan untuk membayar dividen kepada investornya, membayar utang, dan memperbaiki working capital-nya. Saya akan berbagi sebuah tips untuk mendeteksi emiten yang berpotensi untuk turnaround setelah 106



selama bertahun-tahun buruk kinerjanya. Salah satu indikasi membaiknya kinerja bisnis adalah mulai membaiknya operating cash flow. Biasanya perusahaan yang mulai membaik bisnisnya, labanya masih negatif namun operating cash flow mulai positif. Dalam hal ini OCF menjadi indikator awal dan apabila dapat terus dipertahankan kemungkinan besar ke depannya perusahaan akan mulai bisa meraup laba dan diburu oleh para investor. Tentu saja tidak semua emiten yang operating cash flow-nya membaik akan membaik pula kinerja ke depannya karena hal tersebut hanyalah indikasi awal. Kita tetap harus mengikuti perkembangan kinerjanya dari waktu ke waktu yang membutuhkan usaha cukup besar. Walaupun begitu, jika berhasil biasanya saham-saham seperti ini akan memberikan capital gain yang cukup besar bagi kita dan usaha yang telah kita lakukan akan terbayar. Untuk mencari saham-saham yang mulai membaik posisi cash flow-nya kita bisa memanfaatkan screener dari situs Financial Times (www.ft.com).



Apakah Profit Margin Harus Setinggi-tingginya? Banyak orang yang mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang margin-nya lebih rendah. Dalam banyak kasus, hal tersebut memang benar. 107



Walaupun begitu, tidak selamanya harus seperti itu. Apa maksudnya? Mari kita perhatikan laporan keuangan perusahaan A dan B berikut ini (angka-angka dinyatakan dalam miliar rupiah).



Berdasarkan angka-angka di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perusahaan A dan B bagaikan pinang dibelah dua, sama. Benarkah? Mari kita tambahkan inventory (barang dagangan / persediaan) ke dalam tabel.



Nah, sekarang kedua perusahaan tersebut terlihat mulai berbeda. Inventory A sebesar Rp 10 miliar sementara B, Rp 50 miliar. 108



Pertanyaannya, berapakah besar modal A dan B untuk menghasilkan pendapatan Rp 100 miliar? Jika Anda menjawab bahwa modal mereka adalah COGSnya, yaitu Rp 50 miliar, coba pikirkan kembali. Modal A adalah sebesar inventory-nya. Perusahaan A membeli inventory Rp 5 miliar berulang-ulang hingga 10 kali dalam setahun. Sementara itu, perusahaan B membeli barang dagangan Rp 25 miliar selama 2 kali setahun. Jika Anda pemilik perusahaan, Anda lebih suka perusahaan yang mana? Tentu saja perusahaan A, karena dengan modal hanya Rp 5 miliar, Anda bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 100 miliar per tahun. Pemilik perusahaan B harus merogoh kocek Rp 25 miliar untuk membeli barang dagangan dan memperoleh pendapatan per tahun yang sama dengan perusahaan A. Superioritas perusahaan A akan terlihat manakala di kemudian hari permintaan terhadap produk mereka naik hingga dua kali lipat. Perusahaan B harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat memenuhi permintaan tersebut. Mari kembali pada profit margin. Ada beberapa jenis industri yang terlihat rendah profit margin-nya. Misalnya adalah ritel. Dari hasil tanya sana-sini, saya mendapatkan informasi bahwa margin yang didapatkan 109



oleh beberapa mini market hanya 5%. Terlalu kecil? Bayangkan apabila mereka dengan jumlah stok barang yang sama namun menjualnya dengan lebih cepat. Istilah umumnya, duit mereka muter lebih cepat. Dengan modal yang minimal namun hasilnya maksimal.



110



Tiga Membongkar Rahasia StockPick Para Investor Kawakan "I’d be a bum on the street with a tin cup if the markets were always efficient." -Warren Buffett -



Semakin hari, semakin banyak emiten yang terdaftar di BEI. Walaupun bukan tidak mungkin, teramat sulit bagi kita apabila harus melakukan analisis terhadap emiten-emiten tersebut satu-persatu. Dalam hal ini, investor institusi memiliki kelebihan dibandingkan dengan kita. Secara tim, mereka mampu melakukan analisis untuk setiap emiten. Itu pun tidak semua saham mereka ikuti perkembangannya. Apa yang bisa kita lakukan sebagai investor individual? Lakukanlah proses screening dengan menggunakan beberapa parameter tertentu. Dengan cara tersebut, kita bisa menyortir saham-saham yang potensial sebelum kita analisis lebih mendalam. Sahsah saja apabila Anda menentukan kriteria sendiri 111



untuk melakukan screening namun pada bagian ini saya akan memberikan beberapa metode pemilihan saham yang dikemukakan oleh para investor kawakan seperti Benjamin Graham, Joel Greenblatt, Joseph Piotroski, dan lain-lain. Ketika menentukan kriteria pemilihan saham, mereka memiliki filosofi masing-masing yang tentunya sangat menarik untuk kita simak. Sebelum Anda melakukan screening, mungkin ada baiknya saya bercerita mengenai suatu hal yang sangat penting dan bahkan mungkin lebih penting dibandingkan dengan melakukan screening secara kuantitatif. Saat ini kita hidup di masa modern. Teknologi telah memungkinkan kita untuk mendapatkan informasi dengan jauh lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan jaman kakek nenek kita dahulu. Laporan keuangan yang baru saja dilansir oleh suatu emiten dalam waktu singkat dapat kita peroleh melalui Internet. Anda bisa melihat bagaimana kinerja perusahaan-perusahaan tersebut, seberapa cepat bisnis mereka tumbuh, dan seberapa besar utang mereka. Sayangnya, semuanya itu adalah angka di atas kertas. Sebuah bisnis adalah organisme yang hidup. Cobalah berjalan-jalan ke luar dan melihat bagaimana mereka menjalankan bisnis mereka. Salah satu cara yang paling mudah adalah pergi ke mal. Apabila biasanya Anda 112



pergi ke mal hanya untuk berbelanja, nongkrong di kafe, atau juga mengantarkan anak bermain, cobalah untuk melihat sekeliling mal tersebut. Mungkin di sana akan melihat supermarket yang dikelola oleh Hero. Tempat anak Anda bermain, TimeZone dikelola oleh grup Matahari. Di lantai dasar mungkin sedang ada pameran mobil-mobil produksi Astra ataupun Indomobil. Jika suka membaca buku, Anda bisa masuk ke toko buku Gunung Agung yang sahamnya juga terdaftar di BEI. Ketika bertemu dengan teman-teman lama, Anda mungkin mengunjungi kedai kopi Starbucks ataupun makan di Burger King yang lisensinya di Indonesia dimiliki oleh Mitra Adiperkasa. Tiba-tiba Anda teringat bahwa di keran di rumah bocor dan istri Anda membutuhkan wajan baru untuk menggoreng. Anda mencarinya di Ace Hardware yang sahamnya juga terdaftar di BEI. Dengan pergi ke mal, Anda bisa mengamati banyak hal dan mendapatkan informasi yang berharga mengenai bisnis para emiten. Mereka boleh menulis apa saja di atas kertas namun pandangan mata Anda di lapangan seringkali jauh lebih berharga. Proses screening hanya akan membantu Anda untuk mendapatkan saham-saham yang bagus secara kuantitatif. Setelah mendapatkan saham-saham yang kinerjanya bagus, sebisa mungkin tengoklah sendiri kondisi bisnis mereka di dunia nyata. Pastikan bahwa apa yang 113



tertulis di dalam laporan keuangan terbukti di dunia nyata.



Memilih Saham ala Benjamin Graham Tidak diragukan lagi bahwa Benjamin Graham merupakan pelopor dari value investing. Graham memandang saham sebagai sebuah bisnis dan bukan hanya sebagai komoditi perdagangan. Menurut Graham, investasi adalah tindakan yang melalui analisis mendalam, menjanjikan keamanan modal kita dan memberikan imbal hasil yang memuaskan. Tindakan-tindakan yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut bersifat spekulatif. Graham sendiri cenderung berhati-hati dan konservatif dalam memilih saham. Hal ini dapat dimaklumi karena kepanikan pasar tahun 1907 telah menyebabkan kebangkrutan bagi keluarganya akibat tindakan spekulatif di bursa saham. Graham sendiri tidak luput dari depresi besar tahun 1929 yang menyebabkan dana investasi nasabah yang dikelolanya ikut terseret bersama dengan investor lain. Berangkat dari sinilah Graham mulai meletakkan dasar-dasar filosofi investasinya yang bersifat konservatif dan bertujuan untuk melindungi keamanan modal. Kenyataan membuktikan bahwa Graham hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk mengembalikan modal nasabahnya sementara DJIA 114



membutuhkan waktu 25 tahun untuk kembali ke level sebelum depresi besar terjadi. Tentu saja ini membuat nama Graham semakin bersinar dan mendapatkan penghormatan atas integritasnya sebagai manajer investasi. Salah satu muridnya yang bahkan dapat jauh melampaui rekam jejaknya tak lain adalah Warren Buffett yang merupakan orang terkaya ke-2 di dunia sebagai hasil dari investasi. Oleh karena itu, tentulah akan sangat menarik untuk mencoba menerapkan strategi investasi Ben Graham. Walaupun untuk dapat secara akurat menerapkannya membutuhkan waktu dan usaha yang cukup besar, konsep-konsep dasar mengenai cara melakukan screening saham dan valuasi dari Graham bisa kita terapkan karena cukup sederhana. Proses pemilihan saham dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai strategi untuk melakukan screening saham-saham yang layak untuk menjadi sarana investasi kita. Yang dimaksud dengan screening adalah seperti ’menyaring’. Kita akan mencoba menyaring saham-saham yang memenuhi kriteria investasi Graham. Tentu saja, penyaringan tersebut bertujuan mencari saham-saham yang berfundamental kuat sehingga investasi kita tidak akan bersifat spekulatif. Bagian kedua akan membahas bagaimana Benjamin Graham melakukan valuasi terhadap suatu saham. 115



Prinsip-prinsip investasi Ben Graham dituangkan pada kedua bukunya yang sangat legendaris, yaitu “Intellegent Investor” dan “Security Analysis”. Konsep screening Graham sendiri dengan sangat bagus telah dirangkum oleh John P. Reese dan Jack M. Forehand dalam bukunya: “The Guru Investor”. Rangkuman tersebut akan dipaparkan pada bagian ini.



Strategi Graham dalam Memilih Saham Sektor. Graham secara pribadi tidak berinvestasi pada saham-saham teknologi. Oleh karena itu, kriteria pertama kita adalah sebagai berikut: • •



Seluruh saham kecuali saham teknologi  Pilih Saham-saham teknologi  Buang



Revenue. Untuk mengurangi risiko, Graham menginginkan perusahaan yang cukup besar karena kinerjanya cenderung lebih stabil, memiliki aset yang lebih besar, dan jarang memberikan kejutan-kejutan yang tidak mengenakkan. Graham merekomendasikan untuk berinvestasi pada perusahaan dengan revenue tahunan minimal $50 juta atau untuk kondisi saat ini setara dengan $340 juta. Komentar: Kondisi di bursa saham AS berbeda dengan bursa saham Indonesia (BEI). Kapitalisasi pasar NYSE (New York Stock Exchange) adalah sekitar $28,5 triliun dengan jumlah perusahaan terdaftar sebanyak 2.773. 116



Artinya, kapitalisasi pasar rata-rata perusahaan di NYSE adalah $10,3 miliar. BEI sendiri memiliki kapitalisasi pasar sebesar $233 miliar (dengan asumsi kurs USD/IDR 9200) dengan 405 perusahaan yang terdaftar. Berdasarkan hal tersebut, kapitalisasi pasar rata-rata perusahaan di BEI adalah $576 juta. Dengan membandingkan kapitalisasi rata-rata perusahaan di BEI terhadap NYSE, maka revenue minimal untuk penyesuaian kriteria Graham untuk BEI adalah sebesar ($576 juta/$10,3 miliar) x $340 juta, atau sekitar $19 juta. Jika kita nyatakan dalam Rupiah, nilai tersebut setara dengan Rp 175 miliar. Dengan demikian kriteria kedua kita adalah: Revenue: ≥ Rp 175 miliar  Pilih < Rp 175 miliar  Buang Current Ratio.Graham menyukai perusahaan dengan likuiditas yang tinggi sehingga risiko terkena permasalahan keuangan menjadi semakin kecil. Salah satu parameter yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas adalah current ratio (current assets / current liabilities). Maka kriteria ketiga adalah:



117



Current Ratio • Current Ratio ≥ 2  Pilih • Current ratio< 2 dan perusahaan adalah perusahaan utilitas atau telekomunikasi  Pilih • Current ratio< 2 untuk perusahaan selain itu  Buang Utang Jangka Panjang terhadap Net Current Assets. Graham tidak menyukai perusahaan yang utangnya terlalu besar. Yang dimaksud dengan net current assets adalah current asset dikurangi dengan current liabilities atau biasa disebut juga dengan working capital (modal kerja). Kita harus memastikan bahwa jika saat ini juga aset suatu perusahaan dilikuidasi, perusahaan tersebut mampu untuk membayar utang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian kriteria kita selanjutnya: Utang Jangka Panjang / Net Current Assets • Utang Jangka Panjang ≤Net Current Assets Pilih • Utang Jangka Panjang >Net Current Assets Buang Pertumbuhan EPS Jangka Panjang. Walaupun Graham adalah pelopor value investing namun pertumbuhan tetap berperan penting dalam pemilihan sahamnya. Berbeda dengan growth investing, Graham menggunakan pertumbuhan EPS (Earning per Share) 118



masa lalu untuk memperkirakan pertumbuhan EPS di masa datang. Dengan kata lain, Graham menggunakan pertumbuhan EPS sebagai indikator kestabilan keuangan suatu perusahaan. Graham menggunakan data selama 10 tahun ke belakang sebagai acuan. Untuk lebih memastikan, Graham membandingkan EPS ratarata selama 3 tahun pada akhir dari periode 10 tahun tersebut dengan EPS rata-rata selama 3 tahun pada awal dari periode 10 tahun tersebut. Dengan demikian: Pertumbuhan EPS Jangka Panjang (10 tahun ke belakang) • ≥ 30% dan tidak ada EPS yang negatif selama 5 tahun terakhir  Pilih • < 30%  Buang • ≥ 30% dan ada EPS yang negatif selama 5 tahun terakhir  Buang P/E Ratio (Price to Earning Ratio).Rasio ini digunakan Graham untuk membandingkan harga wajar suatu saham terhadap harga yang diberikan oleh pasar. Graham menggunakan P/E ratio rata-rata selama 3 tahun terakhir. Oleh karena itu kriteria berikutnya adalah: P/E Ratio • P/E ratio ≤ 15  Pilih • P/E ratio > 15  Buang 119



P/BV Ratio (Price to Book Ratio). Rasio lain yang digunakan untuk membandingkan harga wajar saham dengan harga di pasar adalah P/BV ratio. Graham berpendapat bahwa perkalian antara P/BV ratio dengan P/E ratio tidak boleh melebihi 22. Dengan demikian: P/BV Ratio • P/BV x P/E ≤ 22  Pilih • P/BV x P/E > 22  Buang Total D/E Ratio (Debt to Equity Ratio). Secara umum, total utang perusahaan baik jangka pendek maupun jangka panjang tidak boleh melebihi nilai ekuitasnya. Untuk perusahaan utilitas, telekomunikasi, dan jalan raya yang perlu diperhatikan adalah Long Term Debt to Equity Ratio saja karena adanya earning power. Maka: Total D/E Ratio • D/E Ratio ≤ 100%  Pilih • Perusahaan utilitas, telekomunikasi, atau jalan raya LTD/E ≤ 100%  Pilih • D/E Ratio> 100%  Buang • Perusahaan utilitas, telekomunikasi, atau jalan raya LTD/E> 100%  Buang Konsistensi Pembayaran Dividen. Graham sangat menyukai perusahaan yang membayarkan dividen secara terus-menerus selama 20 tahun terakhir berapapun jumlahnya. 120



Komentar: Saat ini sudah sangat jarang perusahaan yang sangat konsisten membayarkan dividen. Perusahaan bisa saja tidak memberikan dividen namun mempergunakan labanya untuk keperluan ekpansi atau buyback sahamnya. Oleh karena itu saya pribadi tidak menjadikan kriteria ini sebagai suatu keharusan. Kesembilan kriteria tersebut merupakan strategi Ben Graham untuk memilih suatu saham. Tentu saja untuk tahap selanjutnya kita juga harus mengetahui harga wajar dari suatu saham. Cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan valuasi.



Valuasi ala Graham Gemerlapnya bursa saham seringkali bisa membuat orang terlena. Secara alamiah manusia akan merasa lebih nyaman jika mengikuti pendapat bersama. Sayangnya, di bursa saham kebersamaan seringkali dapat menjerumuskan kita ke jurang terdalam. Eforia saham dot.com di Amerika Serikat pada akhir tahun ’90an adalah hasil dari kesalahan penerjemahan kolektif yang menyebabkan malapetaka bagi sebagian besar pesertanya. Hal yang mirip terjadi pada saat depresi besar melanda dunia pada tahun 1929. Para pelaku pasar sudah ’lupa’ bahwa harga saham tidak selamanya bisa naik, terlebih jika tidak ditopang oleh kondisi fundamental yang kuat. Di sinilah valuasi 121



saham kita akan menjadi pijakan untuk dapat bersikap rasional di tengah hiruk pikuknya bursa saham. Di luar dugaan saya, metode valuasi yang dipergunakan sangatlah sederhana, terlebih jika kita bandingkan dengan proses screening yang dilakukannya untuk mencari saham-saham berfundamental kokoh. Graham berargumen bahwa ia berusaha menggunakan formula yang sederhana dan bertujuan mendapatkan hasil yang mendekati hasil perhitungan dengan metode yang lebih kompleks. Satu hal yang sangat penting adalah valuasi baru dapat dilakukan apabila suatu saham telah lolos dari screening seperti yang saya paparkan di artikel sebelumnya. Formula yang digunakan Graham adalah sebagai berikut (Security Analysis, 1962): V = EPS x (8,5 + 2G) Di mana: V EPS 8,5



= = =



G



=



122



Nilai intrinsik saham (harga wajar saham) Earnings per Share P/E ratio wajar untuk perusahaan yang tidak tumbuh labanya Tingkat pertumbuhan laba jangka panjang (7 –10 tahun)



Formula ini akan menghasilkan valuasi yang sangat agresif karena perusahaan yang tingkat pertumbuhan labanya 15% akan memiliki nilai wajar 38,5 x EPS. Walaupun Graham menekankan perlunya margin of safety (selisih antara harga pasar dengan harga wajarnya), formula tersebut tetap terasa sangat agresif. Graham merekomendasikan margin of safety sebesar 50% yang berarti perusahaan seperti contoh di atas layak untuk dibeli jika harganya adalah 19,25 x EPS (dengan kata lain P/E ratio-nya adalah 19,25). Akan sangat mudah untuk mencari saham-saham dengan P/E ratio sebesar itu dan agak meragukan jika saham dengan P/E ratio setinggi itu disebut dengan value stock. Graham tampaknya menyadari kelemahan formula tersebut dan pada tahun 1974 ia merevisinya menjadi: V = EPS x (8,5 + 2G) x (4,4/AAA) Modifikasi tersebut menambahkan 4,4 yang merepresentasikan risk-free rate dan AAA yang merepresentasikan kupon (bunga) dari obligasi korporat berkualitas tinggi. Kembali pada perusahaan pada pembahasan sebelumnya. Jika kupon obligasi berkualitas tinggi adalah sekitar 10%, maka harga wajarnya menjadi (8,5 + 2×15) x (4,4/10) x EPS = 16.94 x EPS. Dengan margin of 123



safety sebesar 50% maka saham tersebut layak dibeli pada harga 8,47 x EPS. Terlihat bahwa formula yang direvisi tersebut memberikan hasil yang lebih konservatif dibandingkan dengan hasil sebelumnya. Komentar Saya: 4,4 → Nilai 4,4 yang merepresentasikan risk-free rate harus disesuaikan agar dapat diterapkan di Indonesia. Instrumen investasi yang memiliki risk free-rate yang dapat digunakan adalah BI rate yang saat ini adalah 7,5% (sebagai catatan, pada edisi sebelumnya, BI rate adalah 6,5%). G → Kita harus sangat berhati-hati dalam memprediksikan pertumbuhan laba jangka panjang suatu perusahaan. Sangat sulit untuk mempertahankan pertumbuhan laba jangka panjang sebesar 15% secara konsisten (walaupun bukan berarti tidak ada). Penawaran dari saya untuk modifikasi formula valuasi Graham untuk Indonesia adalah sebagai berikut: V = EPS x (8,5 + 2G) x (7,5/AAA) Contoh kasus 1: Valuasi Saham PT. Semen Indonesia, Tbk (SMGR) EPS G 124



= =



905 (tahun 2013) 12,72



AAA



=



9% (Obligasi Berkelanjutan I BCA Finance Tahap III Tahun 2014 Seri A)



Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham Unilever adalah sebagai berikut: V = 905 x (8,5 + 2×12,72) x (7,5/9) = 25.596 Dengan margin of safety 30%, level aman untuk membeli saham SMGR adalah 17.917. Pada penutupan pasar tanggal 28 Mei 2014, SMGR diperdagangkan di harga 15.225 yang masih di bawah harga wajarnya. Contoh kasus 2: Valuasi saham PT. Kalbe Farma, Tbk (KLBF). EPS G AAA



= = =



41 (tahun 2013) 19,64 (nilai ini saya turunkan menjadi 15) 9% (Obligasi Berkelanjutan I BCA Finance Tahap III Tahun 2014 Seri A)



Dengan data yang ada tersebut maka harga wajar saham KLBF adalah sebagai berikut: V = 41 x (8,5 + 2×15) x (6,5/9) = 1.315



125



Dengan margin of safety 30%, level aman untuk membeli saham KLBF adalah 921. Harga saham KLBF saat ini adalah 1.615. Untuk saat ini, harga saham KLBF terlihat cukup mahal. Demikian yang dapat disampaikan mengenai metode valuasi Graham. Tentu saja metode valuasi sudah jauh berkembang saat ini. Walaupun begitu, konsep mengenai valuasi ini dengan kesederhanaannya dapat menghindarkan kita dari pembelian saham yang harganya terlalu mahal.



Joel Greenblatt dan Magic Formula Memilih saham seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang kompleks dan menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa kemampuan untuk memilih saham hanya dapat dilakukan oleh para profesional di bidang tersebut. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Memang ada beberapa kondisi yang menyebabkan diperlukannya perlakuan khusus untuk menganalisis suatu saham namun untunglah dalam banyak kasus tidak seperti itu. Adalah seorang Joel Greenblatt yang memperkenalkan “Magic Formula”, suatu metode untuk melakukan pemilihan saham. Joel Greenblatt adalah pendiri dari sebuah hedge fund yaitu “Gotham Capital”. Kata ‘magic’ sendiri bisa menimbulkan berbagai macam 126



penafsiran. Joel Greenblatt sendiri memberikan istilah ‘magic formula’ karena memang dia dapat menunjukkan bahwa proses pemilihan saham dapat dilakukan secara sederhana. ‘Magic Formula’ ini diperkenalkan oleh Joel Greenblatt dalam bukunya yang berjudul “The Little Book That Beats The Market”. Metode ini masih jauh lebih sederhana apabila dibandingkan dengan metode pemilihan saham ala Benjamin Graham yang telah dibahas pada artikel sebelumnya.



Filosofi “Magic Formula” Basis dari “Magic Formula” adalah value investing dengan menambahkan faktor katalis (pemercepat) sehingga saham-saham yang kita pilih dapat memberikan imbal hasil pada kita dalam waktu yang lebih singkat. ‘Magic Formula’ sendiri menyandarkan pemilihan saham pada dua kriteria: 1. Cari saham dengan ROC (Return on Capital) yang tinggi. 2. Cari saham dengan earnings yield yang tinggi. Cukup sederhana bukan? ROC yang tinggi akan memberikan kita indikasi bahwa suatu saham memberikan imbal hasil yang tinggi terhadap nilai investasi kita sedangkan earnings 127



yield yang tinggi memberikan kita indikasi bahwa suatu saham dijual dengan harga yang murah. Kombinasi dari kedua hal tersebut akan membantu kita dalam usaha untuk menemukan saham-saham yang potensial untuk dijadikan sebagai ladang investasi.



Lebih Jauh Mengenai ROC dan Earnings Yield ala Joel Greenblatt Walaupun secara umum kita dapat mencari definisi dari ROC dan earnings yield di Internet, Joel Greenblatt sendiri melakukan suatu modifikasi terhadap kedua parameter tersebut agar lebih bisa mewakili konsep ‘Magic Formula’. Bagaimana kinerja dari ‘Magic Formula’ ini? Hasil back-testing dengan menggunakan metode ini menunjukkan bahwa portfolio bentukannya menghasilkan imbal hasil rata-rata 30,8% per tahun dari tahun 1988 sampai dengan tahun 2004, atau sekitar 2,5 kali lipat lebih besar daripada imbal hasil S&P 500. Hasil tersebut cukup fenomenal mengingat proses pembentukan portfolionya yang hanya menggunakan dua kriteria. Mari kita mencoba memahami kedua kriteria tersebut. Menurut definisi dari Joel Greenblatt, ROC adalah merupakan hasil pembagian EBIT (Earnings Before Interest & Tax) dengan jumlah capital employed (Modalnya yang dipergunakan). Mari kita bedah komponen-komponen tersebut satu persatu. Berbeda 128



dengan ROA yang membagi net earnings dengan total aset, Greenblatt memilih untuk menggunakan EBIT sebagai pembilang karena dapat lebih menggambarkan seberapa besar laba perusahaan sebelum adanya pengaruh dari bunga pinjaman yang harus dibayar serta kewajiban pajaknya. EBIT ini mirip dengan operating profit. Mengenai pembaginya yaitu capital employed, Greenblatt mendefinisikannya sebagai jumlah dari dari net working capital (current assets – current liabilities) dan net fixed assets. ROC = EBIT / (Net Working Capital + Net Fixed Assets) Mengenai earnings yield, definisi umum menyatakan bahwa earnings yield adalah kebalikan dari P/E ratio. Jadi, suatu saham dengan P/E ratio 20 dikatakan memiliki earnings yield 5%. Joel Greenblatt memodifikasi rasio tersebut dengan melakukan membagi EBIT dengan apa yang ia sebut dengan ‘enterprise value’ yang merupakan jumlah dari nilai pasar dari ekuitas (jika dinyatakan per lembar sahamnya disebut juga dengan harga saham) dan utangnya. Dengan menggunakan definisi ini, Greenblatt mengukur kinerja suatu saham sebagai suatu kesatuan bisnis, termasuk utang-utangnya. Definisi standar earnings yield (EPS/Price) seringkali menyesatkan karena tidak melibatkan utang dalam perhitungannya. 129



earnings yield = EBIT per lembar saham / (harga saham + jumlah utang per lembar saham) Dalam bahasa yang lebih sederhana, net working capital (modal kerja bersih) adalah biaya operasional sehari-hari perusahaan. Dengan net working capital yang cukup besar, perusahaan tidak akan mengalami kesulitan untuk membayar supplier ataupun membayar gaji pegawainya. Perusahaan bisa saja membuat net working capital sebesarbesarnya dan hampir pasti kegiatan operasional lancar. Yang perlu dipikirkan, apakah tidak lebih baik uangnya digunakan untuk hal lain seperti membayar dividen ataupun membeli alat produksi? Oleh karena itulah, jumlah net-working capital sebaiknya ‘sedang-sedang saja’, jangan sampai terlalu rendah namun tidak perlu terlalu tinggi. Sementara itu, net fixed-assets adalah aset tetap yang berfungsi untuk menunjang produksi. Contohnya adalah mesin, pabrik, tanah, dan kendaraan.



Cara Kerja ‘Magic Formula’ Setelah menghitung ROC dan earnings yield masingmasing saham, lakukan pemeringkatan terhadap saham-saham tersebut berdasarkan kedua kriteria tersebut. Saham dengan ROC tertinggi akan berada pada peringkat satu. Demikian pula dengan earnings yield. Saham dengan earnings yield tertinggi akan berada pada peringkat satu.



130



Langkah selanjutnya adalah menjumlahkan peringkat suatu saham untuk kedua kriteria tersebut. Jadi, jika suatu saham berada pada peringkat 10 untuk ROC dan berada pada peringkat lima untuk earnings yield, maka saham tersebut memiliki skor 15. Semakin kecil skornya, semakin bagus saham tersebut. Langkah terakhir adalah memilih saham-saham dengan skor terkecil. Jumlah saham yang kita pilih terserah kita sendiri. Sekedar mengingatkan, sebaiknya kita tidak memasukkan saham-saham perbankan karena nature bisnisnya menyebabkannya memiliki utang yang sangat besar sehingga akan menimbulkan bias dalam pemilihan kita.



Piotroski F-Score: Fokus pada Perbaikan Kinerja Piotroski F-Score merupakan kriteria untuk menilai kondisi fundamental perusahaan yang memiliki Book to Market (BM) value yang tinggi. F-Score menekankan pemilihan saham berdasarkan perbaikan performa perusahaan.Secara sederhana dapat dikatakan bahwa BM value adalah kebalikan dari Price to Book ratio (P/BV ratio). Secara intuitif, BM value yang tinggi menunjukkan bahwa suatu sahamnya tidak diapresiasi oleh pasar dengan harga yang tinggi. Piotroski menemukan bahwa biasanya saham dengan BM value 131



yang tinggi berada dalam kondisi keuangan yang tidak begitu bagus. Piotroski mencoba melangkah lebih jauh dengan melakukan riset untuk mencari kriteria-kriteria yang dapat mensortir saham-saham yang memiliki kondisi fundamental bagus sehingga muncullah Piotroski FScore. Price to Book Value ratio (P/BV ratio) adalah perbandingan antara harga saham dengan nilai buku dari ekuitas per lembar sahamnya. Sebagai pengingat, ekuitas adalah modal yang bukan berasal dari utang. Nilai ekuitas akan tumbuh apabila ada laba terus menumpuk ataupun ada asupan dana segar dari investor. Dengan demikian pertumbuhan nilai buku ekuitas bergantung pada kinerja perusahaan. Sementara itu harga saham ditentukan oleh para pelaku pasar. Di sinilah muncul kesenjangan antara harga saham dengan nilai bukunya. Oleh karena itu jika harga sahamnya sudah naik terlalu tinggi sementara nilai bukunya jalan di tempat kita perlu berhati-hati.



Seperti namanya, Piotroski F-Score dirumuskan oleh Joseph Piotroski, seorang Professor di Stanford University Graduate School of Business. Hasil penelitiannya mengenai F-Score ini pertama kali muncul pada jurnalnya yang berjudul “Value Investing: The Use of Historical Financial Statement Information to Separate Winners from Losers” pada tahun 2000. 132



Jurnalnya sendiri mendapatkan perhatian yang cukup besar dari Wall Street. Piotroski memberikan sembilan kriteria penilaian untuk suatu saham. Data inputnya dengan mudah dapat diperoleh dari laporan keuangan sehingga relatif mudah untuk dihitung. Saham yang lolos pada kriteria tertentu akan diberikan skor 1. Dengan demikian skor maksimum untuk Piotroski F-Score adalah 9. Sahamsaham dengan skor 8-9 dapat dikatakan memiliki kondisi keuangan yang cukup kuat sedangkan saham dengan skor 1-2 cenderung memiliki kondisi keuangan yang lemah.



Cara Menghitung Piotroski F-Score Untuk setiap kriteria yang berhasil dipenuhi, berikan nilai 1. 1. Net Income: Berikan skor 1 apabila net income positif. 2. Operating Cash Flow: Berikan skor 1 apabila operating cash flow positif. 3. Return On Assets: Berikan skor 1 apabila ROA lebih tinggi daripada ROA tahun sebelumnya. 4. Quality of Earnings: Berikan skor 1 apabila operating cash flow lebih besar daripada net income. 5. Long-Term Debt vs. Assets: Berikan skor 1 apabila rasio long-term debt to assets lebih rendah dari 133



6.



7.



8. 9.



tahun sebelumnya. (Skor 1 juga diberikan apabila tidak memiliki utang walaupun aset meningkat). Current Ratio: Berikan skor 1 apabila current ratio meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Shares Outstanding: Berikan skor 1 apabila jumlah saham beredar tidak lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Gross Margin: Berikan skor 1 apabila gross margin lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Asset Turnover: Berikan skor 1 apabila pertumbuhan penjualan lebih tinggi daripada pertumbuhan aset (asset turnover lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu).



Contoh Kasus 1: ARNA Untuk contoh kasus pertama, mari kita perhatikan perhitungan F-Score untuk ARNA (PT Arwana Citramulia, Tbk).



134



Tabel 3.1 Masukan untuk perhitungan F-Score ARNA dalam Jutaan Rp



Item Net income Operating cash flow Assets Long-term debt Current assets Current liabilities Shares outstanding COGS Revenue



2013 235.164 278.878 1.135.245 25.385 405.106 311.781 7.341 915.440 1.417.640



2012 156.462 237.696 937.360 32.356 323.837 277.678 1.835 735.935 1.113.664



ROA 20,71% 16,69% Long-term debt to assets 0,02 0,03 Current ratio 1,30 1,17 Gross margin 35,43% 33,92% Assets turnover 1,25 1,19 Sumber: Laporan keuangan ARNA 2013, diolah



Sebagai catatan, penambahan jumlah saham beredar adalah hasil dari stock split dan bukan rights issue sehingga tidak dianggap mengakibatkan dilusi. Oleh karena itu, pada kriteria ketujuh dianggap tidak ada penambahan jumlah saham.



135



Hasil penilaiannya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.2 Hasil Perhitungan F-Score ARNA



No



Kriteria



1 Net income Operating cash flow



Test



Y/T



Skor



Apakah net income positif?



Y



1



Y



1



Y



1



T



0



T



0



Y



1



Y



1



Y



1



Y



1



Apakah operating cash flow positif? Apakah ROA lebih tinggi 3 Return on assets daripada tahun sebelumnya? Apakah operating cash 4 Quality of earnings flow > net income ? Apakah long-term debt to Long-term debt vs 5 assets lebih rendah dari Assets tahun sebelumnya? Apakah current ratio lebih 6 Current ratio tinggi dari tahun sebelumnya? Apakah tidak ada 7 Shares outstanding pertambahan jumlah saham beredar? Apakah gross margin lebih 8 Gross margin tinggi dari tahun sebelumnya? Apakah assets turnover 9 Asset turnover lebih tinggi dari tahun sebelumnya? F-Score



2



9



Terlihat bahwa ARNA mendapatkan skor yang sangat mengagumkan yaitu 9. Dapat disimpulkan bahwa ARNA memiliki kondisi keuangan yang bagus. 136



Contoh Kasus 2: ICBP Contoh kita yang kedua adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) yang kita kenal sebagai perusahaan yang bergerak di sektor barang konsumsi. Data keuangan ICBP adalah sebagai berikut: Tabel 3.3 Masukan untuk perhitungan F-Score ICBP dalam Jutaan Rp



Item Net income Operating cash flow Assets Long-term debt Current assets Current liabilities Shares outstanding (mn) COGS Revenue ROA Long-term debt to assets Current ratio Gross margin Assets turnover



2013 2.225.272 1.993.496 21.267.470 1.383.292 11.321.715 4.696.583 5.831 18.668.990 25.094.681 10,46% 0,07 2,41 25,61% 1,18



2012 2.179.592 3.053.526 17.819.884 640.613 9.922.662 3.648.069 5.831 15.913.098 21.716.913 12,23% 0,04 2,72 26,72% 1,22



Sumber: Laporan keuangan ICBP 2013, diolah



Dengan menggunakan data tersebut, dapat dilakukan penilaian yang hasilnya adalah sebagai berikut:



137



Tabel 3.4 Perhitungan F-Score ICBP No



Kriteria



1 Net income Operating cash flow



Test



Y/T



Skor



Apakah net income positif?



Y



1



Y



1



T



0



T



0



T



0



T



0



Y



1



T



0



T



0



Apakah operating cash flow positif? Apakah ROA lebih tinggi 3 Return on assets daripada tahun sebelumnya? Apakah operating cash 4 Quality of earnings flow > net income ? Apakah long-term debt to Long-term debt vs 5 assets lebih rendah dari Assets tahun sebelumnya? Apakah current ratio lebih 6 Current ratio tinggi dari tahun sebelumnya? Apakah tidak ada 7 Shares outstanding pertambahan jumlah saham beredar? Apakah gross margin lebih 8 Gross margin tinggi dari tahun sebelumnya? Apakah assets turnover 9 Asset turnover lebih tinggi dari tahun sebelumnya? F-Score



2



3



Tampaknya skor yang diperoleh ICBP hanya 3. Sepertinya ICBP masih belum bisa menjadi pilihan kita untuk berinvestasi. Perlu diingat bahwa meskipun suatu saham memiliki F-Score yang tinggi, kita tetap harus 138



memeriksa BM value-nya. Pastikan bahwa saham tersebut memiliki BM value yang tinggi.



Menghindari Potensi Kebangkrutan Perusahaan dengan Altman Z-Score Tidak ada satu pun perusahaan yang terhindar dari risiko kebangkrutan. Tidak ada bisnis yang bisa berjaya selamanya. Kombinasi dari melemahnya prospek industri ke depan digabungkan dengan mismanagement dapat berakibat fatal bagi suatu perusahaan. Potensi kebangkrutan akan semakin menguat manakala ekonomi berada di ambang resesi. Melemahnya daya beli masyarakat akan menguji kokohnya suatu perusahaaan. Sebenarnya dengan melakukan analisis secara mendalam terhadap keuangan, tanda-tanda melemahnya kondisi fundamental perusahaan dapat terlihat. Walaupun begitu apabila tidak terstandardisasi, dari 10 orang yang membuat analisis potensi kebangkrutan suatu bisnis, akan muncul juga 10 hasil analisis yang berbeda. Belum lagi apabila penggunaan rasio-rasio yang jika dipergunakan secara bersamaan terkadang memberikan hasil yang saling bertentangan.



139



Pada tahun 1968, Edward. I Altman memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka di dalam laporan keuangan dan merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Keluaran tunggal ini juga dapat membantu memecahkan kebuntuan apabila kita mencoba untuk menganalisis berbagai rasio yang terkadang penafsirannya saling bertentangan. Formula untuk mendapatkan Altman Z-Score adalah sebagai berikut: Z-Score = 1,2T1 + 1,4T2 + 3,3T3 + 0,6T4 + 0,999T5 Di mana: T1 = Working Capital / Total Assets T1 bertujuan untuk mengukur besarnya aset likuid apabila dibandingkan dengan keseluruhan aset yang dimiliki. Pemikiran ini didasarkan dari pengamatan Altman terhadap current ratio dan acid ratio yang kurang baik untuk memprediksi kebangkrutan. T2 = Retained Earnings / Total Assets



140



Parameter ini berguna untuk mengukur apakah laba secara kumulatif mampu untuk mengimbangi jumlah aset. T3 = Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets Parameter ini berguna untuk mengukur profitabilitas suatu bisnis tanpa memandang seberapa besar utang dari perusahaan. T4 = Market Value of Equity / Total Liabilities Parameter ini berguna untuk mengukur tingkat leverage dari suatu perusahaan. Utang yang terlampau besar akan berbahaya bagi kelangsungan perusahaan, terutama apabila di belakangnya terdapat bunga yang harus dibayar. T5 = Sales/ Total Assets Disebut juga dengan assets turnover dan biasanya dipergunakan untuk mengukur tingkat efisiensi suatu bisnis dalam memanfaatkan aset yang dimiliki. Karena nilai assets turnover berbeda-beda untuk tiap-tiap industri, kita harus lebih bijak dalam menafsirkan angka ini. Penafsiran dari nilai Z-Score yang didapatkan adalah sebagai berikut: Z-Score> 3,00 – Berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman 141



2,70 ≤ Z-Score< 2,99 – Terdapat kondisi keuangan di suatu bagian yang membutuhkan perhatian khusus 1,80 ≤ Z-Score< 2,70 – Ada kemungkinan perusahaan akan mengalami kebangkrutan dalam 2 tahun ke depan Z-Score< 1,80 – Perusahaan berpotensi kuat akan mengalami kebangkrutan Contoh penggunaan Altman Z-Score adalah sebagai berikut:



Perhitungan Altman Z-Score PT Tempo Scan Pacific, Tbk (TSPC) PT Tempo Scan Pacific, Tbk (TSPC) adalah sebuah perusahaan yang dikenal bergerak di bidang farmasi. TSPC memiliki tiga lini usaha yaitu farmasi, barang konsumsi, dan kosmetik.



142



Tabel 3.5 Perhitungan AltmanZ-Score TSPC (dalam jutaan Rp) Item Working capital Total assets Retained earning EBIT Market value of equity Total liabilities Sales Parameter Working capital/total assets Retained earning/total assets EBIT/total assets Market value of equity/liabilities Sales/total assets Z-Score



Value 2.643.650 5.407.958 3.152.490 757.546 12.712.500 1.585.767 6.854.889 Value 0,49 0,58 0,14 8,02 1,27



Coefficient 1,2 1,4 3,3 0,6 0,999



7,94



Sumber: Laporan Keuangan TSPC 2013, diolah



Terlihat bahwa Z-Score untuk TSPC adalah 7,94. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa TSPC berada pada posisi yang cukup aman dari potensi kebangkrutan.



Perhitungan Altman Z-Score APOL Mari kita coba dengan contoh lain. Kali ini kita akan mencari Z-Score dari APOL.



143



Tabel 3.6 Perhitungan AltmanZ-Score APOL (dalam jutaan Rp) Item Working capital Total assets Retained earning EBIT Market value of equity Total liabilities Sales



Value -936.441 6.771.973 -129.152 25.587 494.835 5.998.367 1.717.602



Parameter Working capital/total assets Retained earning/total assets EBIT/total assets Market value of equity/liabilities Sales/total assets



Value Coefficient -0,14 1,2 -0,02 1,4 0,00 3,3 0,08 0,6 0,25 0,999



Z-Score



0,12



Sumber: Laporan Keuangan APOL 2009, diolah



Kontras dengan TSPC, Z-Score APOL adalah 0,12. Hal ini menandakan bahwa APOL berada dalam permasalahan yang amat serius. Secara kasat mata, terlihat bahwa modal kerja (working capital) APOL negatif yang menunjukkan bahwa kemungkinan terdapat permasalahan likuiditas. Selain itu, retained earnings yang negatif menandakan bahwa APOL dari tahun ke tahun tidak dapat menghasilkan laba. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ekuitas APOL akan bernilai negatif. Satu hal lagi yang penting untuk diperhatikan adalah besarnya utang APOL apabila dibandingkan dengan nilai ekuitasnya. Dengan kondisi seperti itu, tidaklah heran 144



APOL dikatakan berisiko untuk bangkrut walaupun tetap diperlukan analisis yang lebih mendalam terhadap kondisi keuangannya. Altman Z-Score ini dapat menjadi wahana kontrol bagi kita sebelum mulai berinvestasi pada suatu saham. Tentu saja Altman Z-Score ini memiliki beberapa keterbatasan. Formula Z-Score tersebut tidak dapat diterapkan pada semua industri. Sebagai contoh, industri di mana jumlah utang yang besar merupakan hal yang normal seperti industri utilitas dan infrastruktur akan mendapatkan Z-Score yang sangat rendah. Selain itu, Altman Z-Score ini juga tidak cukup kuat untuk memprediksikan kondisi perusahaanperusahaan non manufaktur di mana nilai sales/total assets pada industri ini secara normal jauh lebih besar daripada perusahaan manufaktur. Oleh karena itu terdapat kemungkinan terdapat bias pada hasil pengukuran Z-Score.



Modifikasi Altman Z-Score Untuk mengantisipasi kelemahan dari formula asli Altman Z-Score, ada beberapa solusi yang ditawarkan. Untuk perusahaan pribadi, kita tidak bisa menghitung market value of equity. Oleh karena itu dilakukan perbaikan formula sebagai berikut:



145



Z-Score = 0,717T1 + 0,847T2 + 3,107T3 + 0,420T4 + 0,998T5 Terdapat sedikit perubahan pada nilai T4 di mana T4 = book value of equity/liabilities. Penafsiran hasil ZScore yang didapatkan adalah sebagai berikut: Z-Score> 2,90 – Berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman 1,23 ≤ Z-Score< 2,90 – Terdapat kondisi keuangan di suatu bagian yang membutuhkan perhatian khusus Z-Score< 1,23 – Perusahaan berpotensi kuat akan mengalami kebangkrutan Untuk perusahaan non manufaktur, formulanya dimodifikasi menjadi sebagai berikut: Z-Score = 6,56T1 + 3,26T2 + 6,72T3 + 1,05T4 Terlihat bahwa T5 dihilangkan untuk menghilangkan bias assets turnover seperti yang dijelaskan sebelumnya. Penafsiran hasil Z-Score adalah sebagai berikut: Z-Score> 2,60 – Berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman 1,1 ≤ Z-Score< 2,60 – Terdapat kondisi keuangan di suatu bagian yang membutuhkan perhatian khusus 146



Z-Score< 1,1 – Perusahaan berpotensi kuat akan mengalami kebangkrutan Walaupun Z-Score ini secara umum cukup bagus dalam melindungi kita dari berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang berpotensi untuk mengalami kebangkrutan, kita harus pandai-pandai menafsirkan nilainya apakah relevan dengan kondisi industri di mana perusahaan berada.



Harus saya akui bahwa banyak istilah dari negeri antahberantah yang muncul pada bagian yang membahas tentang Piotroski F-Score dan Altman Z-Score. Oleh karena itu saya akan memberikan penjelasan singkat. Assets turnover merupakan perbandingan antara penjualan dengan jumlah aset. Sebagai seorang pengusaha tentu kita menginginkan dengan jumlah aset sekecil mungkin bisa memperoleh penjualan sebesarbesarnya bukan? Retained earnings (laba ditahan) adalah bagian dari keuntungan yang tidak dibagikan kepada investor sebagai dividen. Retained earnings ini mirip seperti tabungan bagi perusahaan. Market value of equity adalah nilai pasar dari seluruh saham yang beredar (outstanding share) yang secara sederhana didapatkan dengan mengalikan harga saham saat ini dengan jumlah saham yang beredar. Current ratio adalah perbandingan antara aset lancar (current assets) dengan kewajiban lancar (current liabilities).



147



148



Empat Eits… Jangan Salah Pilih!!! Bandingkan Dulu



Pada umumnya, suatu perusahaan bisa dianalisis secara tersendiri. Anda bisa melakukan analisis terhadap bisnisnya secara mendalam dan menghasilkan suatu kesimpulan. Walaupun begitu, ada kalanya kita perlu untuk membandingkan kinerjanya dengan perusahaan lain terutama yang berada di dalam industri yang sama. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap mengenai bisnis suatu perusahaan. Tidak terbatas pada hal itu saja, analisis perbandingan juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kinerja suatu perusahaan dari waktu ke waktu.



149



Menggunakan Analisis DuPont untuk Memahami Karakteristik Industri Pada tahun ‘20-an, DuPont Corporation mempelopori salah satu metoda analisis kinerja perusahaan yang sampai dengan saat ini dikenal dengan nama analisis DuPont. Analisis ini diciptakan oleh salah seorang karyawan keuangannya yang bernama Donaldson Brown. Ketika DuPont membeli saham General Motors pada tahun 194 yang pada saat itu mengalami masalah, analisis ini memberikan kontribusi yang sangat penting. Berkat peranan CEO DuPont saat itu, Pierre DuPont, General Motor tumbuh menjadi produsen mobil terbesar di dunia dan dekomposisi ROI (return on investment) yang digunakannya menjadi populer. Dalam perkembangannya, analisis DuPont dilakukan dengan memecah return on equity (ROE) menjadi beberapa bagian. Mengapa ROE? ROE menggambarkan besarnya imbal hasil yang didapatkan oleh pemegang sahamnya. Dengan memecah perhitungan ROE, kita dapat mengetahui bagaimana suatu bisnis mendapatkan keuntungan. Seperti yang kita ketahui, formula ROE adalah: ROE = Net income / Shareholder equity



150



Pada analisis DuPont, ROE dipecah menjadi 3 bagian: ROE = Net income / Revenue x Revenue / Assets x Assets / Shareholder equity atau dapat juga dituliskan: ROE = Net profit margin x Assets turnover x Equity multiplier Setiap bisnis memiliki karakteristik masing-masing untuk mendapatkan ROE yang tinggi. Pada dasarnya industri dapat kita bagi menjadi 3 jenis: 1. High turnover industries. Industri yang memiliki turnover tinggi salah satunya adalah retail. Persaingan pada industri ini begitu ketatnya sehingga ROE yang tinggi tidak bisa didapatkan dengan mengenakan harga premium kepada konsumen. Untuk mendapatkan ROE yang tinggi, mereka bermain di volume penjualan. Ciri khas industri ini sesuai dengan analisis DuPont adalah tingginya assets turnover. 2. High margin industries. Industri tertentu bisa mendapatkan profit margin yang tinggi. Mereka tidak terlalu bergantung pada volume penjualan. Industri jenis ini ditandai dengan tingginya net profit margin. 151



3. High leverage industries. Industri yang tergolong high leverage adalah perbankan. Bagi bank, tabungan dari nasabah diperlakukan sebagai utang yang dapat dipergunakan sebagai modal untuk menyalurkan kredit. Keuntungan yang didapatkan oleh bank adalah selisih antara bunga kredit dengan bunga tabungan/deposito. Industri yang masuk ke dalam golongan ini ditandai oleh tingginya equity multiplier. Jika dinyatakan dalam rasio debt to equity (DER), maka: Equity multiplier = 1 + DER. Dengan mengetahui karakteristik industri, kita akan dapat mengetahui dengan lebih akurat apabila komponen penting yang merupakan sumber keuntungannya turun, pengaruhnya akan signifikan terhadap kinerjanya.



152



153



Contoh Kasus Analisis DuPont: Sebagai contoh, kita akan mencoba untuk melakukan analisis DuPont terhadap tiga jenis industri, yaitu ritel, perbankan, dan semen. Secara kasat mata, ketiga jenis industri itu sangat berbeda. Kita akan melihat perbedaan karakteristik mereka berdasarkan laporan keuangannya. Tabel 4.1 Contoh Analisis DuPont



Sumber: Laporan Keuangan Emiten 2009, diolah



Industri Ritel (High Turnover Industry) Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, penyusun ROE yang dominan bagi industri retail adalah assets turnover. Rendahnya tingkat keuntungan pada industri ini ditutupi oleh tingginya assets turnover. Prinsipnya, semakin banyak barang yang terjual, semakin besar keuntungan yang didapatkan. Kenaikan penjualan bisa didapatkan dari dua cara. Yang pertama 154



adalah meningkatkan volume dan yang kedua adalah dengan menambah jumlah gerai. Karena pada umumnya pelaku bisnis ritelmelakukan keduanya, seringkali mereka menggunakan parameter yang disebut dengan Same Store Growth (SSG). Parameter ini mengukur tingkat pertumbuhan penjualan seandainya jumlah gerai mereka tidak bertambah. Dengan menggunakan SSG, mereka dapat mengetahui apakah pembukaan gerai baru akan memberikan keuntungan tambahan bagi mereka. Ukuran lain yang digunakan adalah Revenue per Square Metre (Penjualan per Meter Persegi). Pada umumnya, pelaku bisnis ritel mengeluarkan biaya operasional yang tinggi untuk menyewa tempat. Oleh karena itu, revenue per square metre sangatlah penting. Industri Perbankan (High Leverage Industry) Secara alamiah, industri perbankan memiliki leverage yang tinggi. Pada formula DuPont di atas, hal tersebut ditunjukkan oleh equity multiplier. Semakin besar equity multiplier maka semakin tinggi leverage-nya. Leverage ini dalam bahasa gampangnya adalah utang. Secara umum, kita harus mewaspadai perusahaan dengan leverage yang tinggi karena sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Industri perbankan sendiri tergantung pada NIM (net interest margin). Semakin besar NIM, maka semakin besar keuntungan 155



yang didapatkan. Tren penurunan suku bunga belakangan ini mengakibatkan bank mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Seperti terlihat pada tabel, tingginya profit margin merupakan dampak dari rendahnya suku bunga. Namun perlu dicatat, profit margin yang tinggi bukan merupakan ciri khas industri perbankan karena dapat berubah-ubah sesuai dengan tren suku bunga. Industri Semen (High Margin Industry) Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, industri semen pun mendapatkan berkahnya. Terlihat bahwa profit margin mereka rata-rata cukup tinggi (berkisar sekitar 20%). Perputaran asetnya biasa-biasa saja dan leverage-nya pun relatif rendah. Dapat kita simpulkan bahwa profit margin merupakan faktor dominan bagi tingginya ROE. Agar analisis DuPont ini dapat bekerja lebih efektif, ada baiknya kita melihat data historis. Dengan demikian kita akan dapat melihat apakah dominannya salah satu faktor penyusun ROE benar-benar merupakan karakteristik suatu industri atau hanyalah tren sementara saja.



156



Membandingkan Perusahaan-Perusahaan di dalam Suatu Industri Ada kalanya akan sangat berguna bagi kita untuk membandingkan perusahaan-perusahaan di dalam industri yang sama. Pada umumnya orang menggunakan price to earning ratio (P/E ratio) ataupun price to book value ratio (PBV). Meskipun kedua rasio tersebut secara sekilas dapat kita manfaatkan untuk melakukan screening, diperlukan penelaahan lebih lanjut untuk dapat memahami lebih jelas perbandingan antara satu perusahaan dengan yang lain. Jika misalnya suatu perusahaan memiliki P/E ratio 15, kita mendapatkan informasi bahwa sahamnya dijual dengan harga 15 kali lipat dari EPS-nya namun tidak memberikan informasi pada kita apakah laba yang diperoleh tersebut sebanding dengan hasil penjualannya atau tidak. P/E ratio ataupun PBV juga tidak memberikan penjelasan kepada kita apakah perusahaan tersebut lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan lain dalam operasinya. Karena masing-masing perusahaan memiliki strategi dan ukuran yang berbeda-beda, untuk membandingkannya kita memerlukan suatu metode yang menormalisasikan angka-angka di dalam laporan keuangannya. Salah satu metode yang dapat kita gunakan adalah metode common size comparison. 157



Dengan metode tersebut, kita akan dapat melakukan benchmarking antara perusahaan satu dengan yang lain dengan lebih adil. Setiap angka di dalam laporan keuangan kita nyatakan sebagai proporsi terhadap angka lainnya. ▪







Pada common size balance sheet, kita mengekspresikan angka-angka di dalamnya sebagai persentase dari total asset. Pada common size income statement, kita menyatakan angka-angka di dalamnya sebagai persentase dari revenue.



Contoh dari common size balance sheet adalah sebagai berikut:



158



Gambar 4.2 Contoh common-size balance sheet Balance Sheet



Common Size Balance Sheet



Current Assets Cash and Short Term Inv Total Receivables, Net Total Inventory Total Current Assets



3.777.736 1.764.284 1.624.219 7.343.605



24,27% 11,34% 10,44% 47,19%



Prop./Plant/Equip.-Net Long Term Investments Total Assets



7.662.560 93.646 15.562.999



49,24% 0,60% 100,00%



892.022 801.897 86.635 736.965 2.517.519



5,73% 5,15% 0,00% 0,56% 4,74% 16,18%



Total Long Term Debt



599.626



3,85%



Total Debt



686.261



4,41%



Total Liabilities



3.556.560



22,85%



Common Stock Additional Paid-in Capital Ret. Earn (Accum. Deficit)



593.152 1.458.258 9.954.536



3,81% 9,37% 63,96%



12.006.439



77,15%



Current Liabilities Accounts Payable Accrued Expenses Notes Payable/ST Debt Curr. Port. LT Dbt/Cap Ls. Other Currr. Lblts, Total Total Current Liabilities



Total Equity



Sumber: Laporan keuangan emiten XYZ, diolah



Terlihat bahwa komponen-komponen di dalam balance sheet dinyatakan sebagai persentase dari total assets. Pada tabel di atas saya sengaja menghilangkan beberapa komponen dan hanya memasukkan angkaangka yang penting. Dengan mengkonversikan laporan 159



keuangan perusahaan menjadi common size, kita akan dapat membandingkannya dengan lebih mudah. Cara yang sama dapat kita terapkan pada income statement dengan menjadikan revenue sebagai referensi. Contoh common size income statement adalah sebagai berikut: Gambar 4.3 Contoh common-size income statement



14.344.189 7.534.079 6.810.110



Common Size Income Statement 100,00% 52,52% 47,48%



Selling, General & Administrative Expense



2.321.085



16,18%



Operating Income



4.489.025



31,30%



Net Income Before Taxes



4.722.623



32,92%



Provision for Income Taxes



1.063.509



7,41%



Net Income



3.659.114



25,51%



Income Statement Revenue COGS Gross Profit



Sumber: Laporan keuangan emiten XYZ, diolah



Contoh Kasus: Analisis Common Size pada Industri Semen Terdapat 3 perusahaan yang terdaftar di BEI untuk industri semen yaitu Semen Gresik (SMGR), Holcim (SMCB), dan Indocement (INTP). Untuk meneropong lebih jauh, mari kita pergunakan analisis common size. 160



Gambar 4.4 Common size balance sheet industri semen



Perbandingan Balance Sheet Industri Semen (FY 2010)) Current Assets Cash and Short Term Inv Total Receivables, Net Total Inventory Total Current Assets Prop./Plant/Equip. - Net Long Term Investments Total Assets Current Liabilities Accounts Payable Accrued Expenses Notes Payable/ST Debt Curr. Port. LT Dbt/Cap Ls. Other Curr. Lblts, Total Total Current Liabilities



SMGR



SMCB



INTP



24,27% 11,34% 10,44% 47,19%



10,26% 6,16% 4,79% 21,59%



30,53% 9,14% 8,47% 48,77%



49,24% 75,63% 50,19% 0,60% 0,00% 0,20% 100,00% 100,00% 100,00%



5,73% 5,15% 0,00% 0,56% 4,74% 16,18%



4,37% 2,38% 0,61% 3,16% 2,48% 12,99%



2,60% 1,84% 1,46% 0,21% 2,67% 8,78%



Total Long Term Debt



3,85%



16,58%



0,73%



Total Debt



4,41%



20,35%



2,41%



Total Liabilities



22,85%



34,63%



14,78%



Common Stock Additional Paid-In Capital Ret. Earn.(Accum. Deficit)



3,81% 9,37% 63,96%



36,71% 24,79% 3,74%



11,99% 9,99% 55,67%



Total Equity



77,15%



65,37%



85,22%



Cash SMCB sangat kecil dibandingkan dengan yang lain



Porsi fixed assets SMCB terhadap assets sangat besar



Utang SMCB relatif tinggi



Sumber: Laporan keuangan emiten 2009, diolah



161



Dari gambar di atas, dapat kita lihat bahwa PPE (property, plant & equipment) atau biasa kita kenal dengan fixed assets SMCB jauh lebih lebih besar daripada kedua kompetitornya di mana 76% dari total aset SMCB merupakan peralatan produksinya. Yang perlu kita analisis lebih lanjut adalah apakah fixed asset tersebut dapat memberikan SMCB pendapatan yang sebanding. Bagaimana caranya? Mari kita memeriksa rasio fixed assets turnover ketiga perusahaan tersebut yang merupakan perbandingan antara revenue terhadap fixed assets-nya. Fixed asset turnover mereka (SMGR, SMCB, INTP) secara berturut-turut adalah 1,87, 0,76, dan 1,45. Terlihat bahwa kekhawatiran kita terbukti. Fixed asset turnover SMCB memiliki nilai paling rendah. Berikutnya, mari kita perhatikan jumlah utangnya, dalam hal ini adalah interest-bearing debt. Walaupun utang SMCB paling besar apabila dibandingkan dengan kedua perusahaan lain, besarnya masih dalam tahap yang wajar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Untuk selanjutnya, mari kita beralih ke common size income statement.



162



Gambar 4.5 Common size income statement industri semen Revenue COGS Gross Profit Selling, General & Administrative Expense Operating Income Net Income Before Taxes Provision for Income Taxes Net Income



SMGR SMCB INTP 100,00% 100,00% 100,00% 52,52% 62,26% 50,25% 47,48% 37,74% 49,75%



16,18% 31,30%



15,37% 22,01%



13,65% 36,09%



32,92%



19,26%



38,14%



7,41% 25,51%



5,33% 13,90%



9,19% 28,95%



Mengapa COGS SMCB lebih tinggi?



Tingginya COGS SMCB tersebut berdampak pada rendahnya operating income dan net income



Sumber: Laporan keuangan emiten 2009, diolah



Yang cukup menarik perhatian saya adalah tingginya persentase COGS SMCB. Katakanlah biaya langsung untuk memproduksi semen ketiga perusahaan tersebut sama. Dengan COGS yang lebih besar, SMCB menjual semen dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan kedua SMGR dan INTP. 163



Meskipun hal ini bisa saja merupakan strategi SMCB, namun dampak dari tipisnya gross margin tersebut terlihat pada operating profit margin dan net profit margin (dalam hal ini adalah common size operating income dan common size net income) yang paling kecil. Jika memang SMCB menjual dengan harga yang lebih murah, logikanya perputaran barangnya harus lebih cepat. Jika tidak, maka tidak ada manfaatnya SMCB menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Dengan membandingkan revenue terhadap inventory kita akan mengetahui hal tersebut. Perbandingan tersebut disebut juga dengan inventory turnover. Dari laporan keuangannya, didapatkan bahwa inventory turnover SMCB adalah 11,92 kali atau dengan kata lain SMCB mampu menjual habis stok barangnya dalam waktu sekitar 31 hari (1/11,92 x 365 hari). Bagaimana dengan SMGR dan SMCB? SMGR memerlukan waktu 41 hari sedangkan INTP bahkan memerlukan waktu yang lebih panjang lagi yaitu 43 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha SMCB untuk memberikan harga yang lebih murah tidak sia-sia. Contoh di atas memberikan gambaran kepada kita bagaimana caranya membandingkan kinerja perusahaan-perusahaan yang berada di dalam satu industri. Sebenarnya kita dapat memperdalamnya lagi dengan melakukan analisis horisontal di mana kita membandingkan angka-angka di dalam laporan 164



keuangan dengan angka-angka pada laporan keuangan periode sebelumnya. Kombinasi antara common size (vertikal) dengan analisis horisontal akan dapat memberikan kita gambaran yang lebih jelas mengenai kinerja perusahaan-perusahaan tersebut.



Melakukan Review Kinerja Jangka Panjang Perusahaan Suatu perusahaan itu layaknya sebuah organisme yang berkembang. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dalam perjalanannya. Perusahaan akan dihadapkan pada berbagai macam kondisi, baik yang menguntungkan maupun yang berpotensi menghambat. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana kepiawaian pihak manajemen dalam menyikapinya. Pada kondisi terburuk, seringkali manajemen terpaksa untuk mengambil keputusan yang akan menyebabkan dalam jangka pendek kinerja bisnisnya menurun namun akan membuat perusahaan semakin maju dalam jangka panjang. Salah satu contohnya adalah keputusan untuk berekspansi. Umumnya ekspansi membutuhkan dana yang cukup besar dan terkadang membuat perusahaan terpaksa berutang cukup besar. Pada titik yang krusial tersebut, kemampuan manajemen akan diuji karena di balik setiap ekspansi pasti terdapat risiko. Dalam 165



jangka pendek, DER dan opex perusahaan akan meningkat sementara belum terlihat ada peningkatan revenue. Jika kita hanya melihat kinerjanya selama 1-2 tahun saja, perusahaan tersebut memiliki kinerja yang kurang bagus. Di sinilah kita harus memandang lebih luas. Salah satu cara yang dapat kita gunakan adalah dengan membandingkan kinerja perusahaan beberapa tahun ke belakang dengan kinerja terkininya. Saya telah mencoba untuk memeriksa perubahan kondisi keuangan beberapa perusahaan selama 5 tahun ke belakang. Tabel 4.2 Kinerja keuangan beberapa perusahaan selama 5 tahun Item Gross margin Operating margin Net profit margin Debt to equity ratio (DER) Interest bearing DER Interest coverage ratio



ASII HEXA HERO PTRO 2010 2006 2010 2006 2010 2006 2010 2006 20,67% 22,12% 23,19% 17,86% 23,31% 21,23% 29,56% 16,54% 11,33% 7,62% 14,26% 4,15% 4,15% 1,68% 20,34% 7,67% 11,05% 6,66% 9,97% 2,82% 2,89% 1,33% 22,60% 6,09% 1,29



1,59



1,19



2,48



1,72



1,81



0,84



0,60



0,64



1,04



0,07



1,67



0,33



0,25



0,45



0,19



30,42



5,58



33,56



1,47



4,20



3,35



12,47



5,81



Return on equity (ROE)



29,13% 16,59% 34,30% 11,41% 19,32% 11,15% 35,01%



8,60%



Return on capital (ROC)



11,26%



4,91%



6,07% 18,28%



3,50%



8,17%



3,77% 15,34%



Sumber: Laporan keuangan emiten 2010, diolah



Biasanya perubahan kinerja perusahaan dalam jangka pendek tidak terlalu kentara namun dalam jangka panjang hasil dari keputusan strategis yang diambil akan lebih jelas terlihat. 166



ASII: Focusing on Operational Efficiency Sebagai contoh adalah PT Astra International (ASII). Hal pertama yang terlihat adalah adanya penurunan gross margin dari 22,12% menjadi 20,67%. Umumnya, hal ini adalah pertanda menurunnya keunggulan bersaing dan oleh karenanya kita harus memeriksa lagi lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan adalah meskipun gross margin menurun, operating margin dan net profit margin-nya meningkat cukup tajam. Yang terpikir oleh saya adalah bahwa yang dilakukan oleh ASII adalah menggenjot pendapatan dengan mempertipis gross margin dan dibarengi dengan melakukan efisiensi operasional. Strategi ini terbukti mampu mendongkrak kinerjanya. Hal lain yang cukup mencolok adalah menurunnya DER dan interest-bearing DER, sebuah sinyal bagus bagi investor. Poin terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah kenaikan ROE dan ROC yang cukup tajam. ROE ASII naik dari 16,59% menjadi 29,13% sementara ROC-nya naik dari 6,07% menjadi 11,26%. Kenaikan ini sangat signifikan dan cukup menjelaskan mengapa harga saham ASII cenderung terus menguat selama 5 tahun ini.



HEXA: Successful Deleveraging Attempt Emiten kedua yang ada di dalam tabel adalah PT Hexindo Perkasa (HEXA). Beberapa tahun yang lalu, saya cukup khawatir dengan tingginya DER. Pada 167



tahun 2006, meskipun kinerjanya cukup bagus, DER sebesar 2,48x terlihat sangat tinggi. Interest coverage ratio-nya juga sangat rendah, yaitu 1,47x atau dengan kata lain sekitar 68% operating income-nya habis untuk membayar bunga. Terlihat jelas bahwa hal tersebut menyebabkan kinerjanya tidak terlalu cemerlang. Ternyata keadaan tersebut berubah cukup signifikan selama 5 tahun berikutnya. HEXA mampu menurunkan DER-nya menjadi 1,19x dan membukukan kinerja yang cemerlang. Dengan ROE sebesar 34,3% dan ROC 18,28%, HEXA terlihat sangat menarik. Interest coverage ratio melonjak tajam dari 1,47x menjadi 33,56x.



HERO: On The Right Track Hampir semua rasio pada tabel menunjukkan peningkatan kinerja HERO. Kita dapat melihat bahwa manajemen telah melakukan perbaikan di segala lini. Saat ini ROE HERO adalah 19,32%, meningkat cukup tajam dibandingkan dengan kondisi 5 tahun sebelumnya (11,15%). Yang saya perhatikan, HERO mencoba untuk melakukan re-positioning dengan membidik kalangan menengah ke atas. Desain gerainya dibuat lebih mewah dan nyaman untuk berbelanja. Dengan membidik kalangan menengah ke atas, HERO dapat meningkatkan harga jual. Hal ini terlihat dari meningkatnya gross margin dan kedua margin lainnya 168



(operating margin dan net profit margin). Satu hal yang perlu lebih diperhatikan adalah tingginya DER. Jika di masa datang HERO berhasil menurunkan DER-nya, maka kinerjanya akan semakin cemerlang.



PTRO: Boosting The Margin Selama 5 tahun terakhir, gross margin PTRO meningkat pesat dari 16.54% menjadi 29.56%. Kenaikan ini mendongkrak kinerja PTRO. Operating margin naik menjadi 20.34% dan net profit margin mencapai angka yang sangat tinggi yaitu 22.6%. Besarnya net profit margin tersebut terbilang cukup jarang dicapai oleh suatu perusahaan. Tidak heran ROE PTRO pun menjadi sangat tinggi yaitu 35.01%. Terlihat bahwa dengan memandang kinerja perusahaan dalam jangka panjang, kita akan bisa mengetahui seberapa efektif strategi yang diterapkan oleh pihak manajemen. Kita akan melihat apakah suatu perusahaan menuju ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.



Q-Q Analysis: The Early Anticipation of Growth Untuk mengetahui kinerja jangka panjang suatu perusahaan, kita biasanya menggunakan data laporan keuangan tahunan. Meskipun dalam jangka pendek 169



harga saham berubah-ubah, namun pada umumnya dalam jangka panjang harga akan mengikuti kinerja dari bisnisnya. Perusahaan yang bagus akan membukukan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang konsisten dari tahun ke tahun. Konsistensi kinerja ini sangat penting karena jika tidak, kita akan mengalami kesulitan dalam memprediksi kinerjanya di masa datang. Dengan kinerja yang mantap dan visible, tentu akan menjadi kesempatan yang baik bagi seorang investor untuk melakukan pembelian ketika pasar jatuh. Kejatuhan bursa biasanya menyeret hampir seluruh saham tanpa perduli bagaimana kondisi fundamental masing-masing. Memang ada kalanya kejatuhan bursa saham bersifat sistemik di mana pemicunya adalah memburuknya kondisi ekonomi. Dalam hal ini, kita harus sangat berhatihati dalam melakukan pemilihan saham. Pilih saham yang kokoh. Laba yang anjlok dalam satu periode tidak bisa menjadi indikasi bahwa bisnisnya juga hancur. Perusahaan yang kokoh akan bertahan dan masih memiliki tenaga untuk meraup laba saat kondisi ekonomi membaik. Kabar baiknya, seringkali kejatuhan bursa sering dipicu oleh kepanikan para pelakunya. Pasar cenderung untuk



170



bersikap over reaktif terhadap memburuknya kondisi fundamental sistemik (keseluruhan) karena takut. Sayangnya, koreksi pasar dalam skala yang cukup besar cukup jarang terjadi. Mungkin dalam setahun hanya terjadi satu kali atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Hal ini akan mempersulit kita untuk melakukan pembelian apabila hanya menggantungkan pada terjadinya koreksi di pasar. Untuk mengantisipasinya, ada cara alternatif yang dapat kita tempuh. Kita dapat mengikuti perkembangan perusahaan dari kuartal ke kuartal dengan membaca laporan kuartalannya. Jika prospek bisnis suatu perusahaan membaik, kita akan dapat dengan cepat mendeteksinya dan melakukan antisipasi lebih dini. Studi Kasus 1: PT United Tractors, Tbk (UNTR) Pada grafik berikut, kita akan melihat kinerja UNTR kuartal demi kuartal. Setiap garis menggambarkan kinerja untuk kuartal tertentu. Jadi, dalam satu grafik akan terdapat empat garis.



171



Gambar 4.6 Grafik kinerja UNTR UNTR - Revenues (dalam juta rupiah) 14,000,000



UNTR - Operating Income (dalam juta rupiah) 1,800,000



1,600,000



12,000,000



1,400,000



10,000,000



1,200,000



8,000,000



1,000,000



6,000,000



800,000



600,000



4,000,000



400,000



2,000,000



200,000 0



0



2006 2007 2008 2009 2010 2011



2006 2007 2008 2009 2010 2011 Q4 Q2



Q4 Q2



Q3 Q1



Q3 Q1



UNTR - Harga (dalam rupiah)



UNTR - Net Income (dalam juta rupiah) 25,000



1,400,000



1,200,000



20,000



1,000,000



15,000



800,000



600,000



10,000



400,000 5,000



200,000



0



0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Q4 Q2



Q3 Q1



2006 2007 2008 2009 2010 2011 Q4 Q2



Q3 Q1



Sumber: Laporan Keuangan UNTR 2006-2010, diolah



Sebagai catatan, jika kita melakukan analisis laporan kuartal, sebaiknya kita membandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Permintaan dalam satu tahun akan berbeda-berbeda. Sebagai 172



contoh, perusahaan ritel akan meraup keuntungan besar saat hari raya seperti Lebaran atau Natal. Di bulan-bulan yang lain, omsetnya akan cenderung stabil. Oleh karena itulah dengan membandingkan antar kuartal yang sama dari tahun ke tahun akan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai kinerja suatu perusahaan. Terlihat bahwa pendapatan UNTR tumbuh cukup konsisten dari tahun ke tahun. Yang perlu diwaspadai adalah stagnannya pertumbuhan operating income dan net income sejak dari tahun 2008. Penurunan operating income ketika pendapatan meningkat menandakan adanya kenaikan COGS ataupun operating expenses. Tentu saja hal tersebut tidak kita inginkan. Kita perlu melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai kedua item tersebut. Kendatipun demikian, konsistennya pertumbuhan pendapatan UNTR tampaknya disambut dengan baik oleh pasar. Harga saham UNTR terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun ada hal yang harus kita perhatikan karena di sinilah kunci dari kesempatan kita sebagai investor. Pada Q4 2008 dan Q1 2009, harga saham UNTR anjlok di tengah terus meningkatnya revenue. Walaupun laba bersih UNTR relatif stagnan, hal tersebut belum bisa menjadi justifikasi yang kuat terhadap jatuhnya harga sahamnya. Jika kita yakin 173



bahwa kondisi keuangan UNTR masih solid, tentunya hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kita untuk melakukan pembelian. Tentunya setelah kita yakin bahwa harganya masih sesuai dengan hasil valuasi kita. Studi Kasus 2: PT KMI Cable & Wire, Tbk (KBLI) Pada kasus kedua, saya akan menggunakan PT KMI Cable & Wire, Tbk (kode BEI: KBLI) sebagai bahan diskusi. Meskipun menggunakan analisis kuartalan juga, saya akan melakukan pendekatan yang berbeda. Guncangnya BEI pada bulan Juni 2013 membuat saya tertarik untuk melakukan analisis terhadap KBLI. Sebagai informasi, harga KBLI yang sempat menyentuh level 315 ikut terhempas jatuh ke level 182. Selain terseret oleh pasar, ada beberapa hal fundamental yang berubah pada KBLI. Risiko yang mengancam adalah harga bahan baku dan kurs rupiah. Jika kita rangkum, beberapa kondisi fundamental yang berpengaruh antara lain: ▪ Pelemahan rupiah ▪ Kenaikan harga bahan baku (aluminium dan tembaga) ▪ Kenaikan UMP dan tarif dasar listrik ▪ Kenaikan inflasi ▪ Melambatnya pertumbuhan ekonomi ▪ Kenaikan BI rate 174



Anda akan melihat bagaimana faktor-faktor fundamental tersebut mempengaruhi analisis dan valuasinya. Yang mempengaruhi proyeksi pendapatan adalah kenaikan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Mari kita mulai melakukan proyeksi pendapatan. Tren Jangka Panjang Sebelumnya, kita akan melihat tren pertumbuhan penjualan KBLI sampai dengan tahun 2012. Tabel 4.3 Tren pertumbuhan penjualan KBLI (dalam jutaan Rp) Segmen Kabel listrik teg. menengah Kabel listrik teg. rendah Lainnya Revenue



2009



2010



2011



2012



CAGR



188.253



317.029



249.377



350.619



23,04%



563.257



810.683 1.500.707 1.828.815



48,08%



70.763 100.380 91.856 93.763 822.273 1.228.092 1.841.940 2.273.197



9,84% 40,35%



Sumber: Laporan Keuangan KBLI 2009-2012, diolah



Terlihat bahwa CAGR (compounded annual growth rate) KBLI cukup mengesankan. Sejak tahun 2009, pendapatan KBLI rata-rata tumbuh sebesar 40,35% per tahun. Kita akan mencoba melakukan proyeksi tahun 2013 pada bagian berikutnya. Analisis Kuartalan Selanjutnya, kita akan mencoba untuk membuat proyeksi revenue sampai dengan akhir tahun 2013 175



dengan melihat perkembangan dari kuartal ke kuartal. Bagaimana caranya? Asumsi Historis Pada tabel di bawah terlihat bahwa dengan memilah-milah penjualan per kuartal membantu kita untuk melihat faktor musiman dalam distribusi penjualan KBLI. Terlihat bahwa pada Q4 penjualan KBLI secara historis lebih tinggi daripada kuartalkuartal yang lain. Tabel 4.4 Faktor musiman pada angka penjualan KBLI (dalam jutaan Rp) Projection Revenue 2010 2011 2012 2013



Q1 195.445 302.251 504.443 588.767



Q2 318.459 445.475 646.389 756.158



Q3 Q4 354.391 359.797 489.330 604.783 445.634 676.731 691.300 880.004 Projection



Cum Revenue 2010 2011 2012 2013



Q1 195.445 195.446 195.447 195.448



Q2 513.904 747.726 1.150.832 1.344.925



Q3 Q4 868.295 1.228.092 1.237.056 1.841.839 1.596.466 2.273.197 2.036.225 2.916.229 Projection



Q2 25,93% 24,19% 28,44% 26,39%



Q3 28,86% 26,57% 19,60% 24,13%



Revenue % 2010 2011 2012 Average



Q1 15,91% 16,41% 22,19% 18,76%



Q4 29,30% 32,83% 29,77% 30,72%



Sumber: Laporan Keuangan KBLI 2009-2013, diolah



176



Revisi Proyeksi Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, saat ini terjadi perubahan terhadap beberapa faktor fundamental. Kenaikan harga bahan baku memaksa KBLI untuk menaikkan harga sehingga potensi pendapatannya berkurang. Selain itu, melambatnya pertumbuhan ekonomi juga cukup berpengaruh terhadap pendapatan KBLI. Perubahan-perubahan tersebut membuat saya hanya berani memproyeksikan pendapatan sebesar 70% dari asumsi awal untuk Q3 dan Q4 tahun 2013. Hasilnya adalah sebagai berikut. Tabel 4.5 Revisi proyeksi penjualan KBLI (dalam jutaan Rp) Revision (70% of trend) Revenue Q1 2010 195.445 2011 302.251 2012 504.443 2013 588.767



Cum Revenue 2010 2011 2012 2013



Revenue % 2010 2011 2012 Average



Q1 195.445 195.446 195.447 195.448



Q1 15,91% 16,41% 22,19% 20,43%



Q2 318.459 445.475 646.389 756.158



Q3 Q4 354.391 359.797 489.330 604.783 445.634 676.731 483.910 616.003 Projection



Q2 513.904 747.726 1.150.832 1.344.925



Q3 868.295 1.237.056 1.596.466 1.828.835 YoY growth



Q2 25,93% 24,19% 28,44% 27,82%



Q3 28,86% 26,57% 19,60% 22,77%



Q4 1.228.092 1.841.839 2.273.197 2.444.838 7,55% Q4 29,30% 32,83% 29,77% 28,98%



Sumber: Laporan Keuangan KBLI 2009-2013, diolah



177



Terlihat bahwa karena adanya perubahan faktor fundamental, proyeksi penjualan 2013 turun dari Rp 2,9 triliun menjadi hanya Rp 2,4 triliun. Update data historis penjualan KBLI adalah setelah ditambahkan data tahun 2013 adalah sebagai berikut: Tabel 4.6 Revisi Tren pertumbuhan penjualan KBLI (dalam jutaan Rp) Segmen Kabel listrik teg. menengah Kabel listrik teg. rendah Lainnya Revenue



2009



2010



2011



2012



2013



CAGR



188.253



317.029



249.377



350.619



377.093



18,97%



563.257



810.683



1.500.707 1.828.815 1.966.902



36,70%



70.763 100.380 822.273 1.228.092



91.856 93.763 100.843 9,26% 1.841.940 2.273.197 2.444.838 31,31%



Sumber: Laporan Keuangan KBLI 2009-2013, diolah



Membandingkan Emiten Restoran: The Case of FAST vs PTSP Pangsa pasar restoran cepat saji di Indonesia memang cukup besar. Meledaknya jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia turut menjadi katalis bagi pertumbuhan bisnis ini. Salah satu jenis makanan cepat saji yang populer adalah ayam goreng. Di BEI, terdapat dua emiten yang bergerak di bisnis ayam goreng cepat saji. Yang pertama adalah FAST dengan lini usahanya, KFC (Kentucky Fried Chicken) dan PTSP dengan lini usaha utamanya CFC (California Fried Chicken). Selain membuka gerai ayam goreng cepat saji (CFC), PTSP juga memiliki unit bisnis lain yaitu Sapo Oriental dan 178



Cal Donuts. Walaupun begitu, jumlah gerai CFC jauh lebih banyak dibandingkan dengan gerai lain sehingga kita anggap core business PTSP adalah restoran ayam goreng cepat saji. FAST sendiri telah berdiri sejak 30 tahun yang lalu, sedangkan PTSP memulai usahanya sekitar 21 tahun yang lalu. Sebelum mencoba membandingkan kedua emiten tersebut, mungkin ada baiknya kita mencoba melihat besarnya skala operasi mereka. Biasanya informasi tersebut terdapat pada laporan tahunan. Namun sayangnya mereka belum mengeluarkan laporan tahunan untuk tahun 2010. Oleh karena itu, kita coba untuk melihat laporan tahunan 2009. Tabel 4.7 Perbandingan ukuran FAST dan PTSP Perbandingan Ukuran (data tahun 2009) Deskripsi FAST Jumlah gerai (outlet 368 Jumlah karyawan 13.229 Total assets (juta Rp) 1.041.409 Fixed assets (juta Rp) 187.611 Revenue (juta Rp) 2.454.360 Selling, General & adm. 1.242.695 Expenses (juta Rp) Fixed assets/outlet (juta Rp) 510 Revenue/outlet per bln (juta Rp) 556 Biaya operasional/bln (juta Rp) 203 Fixed asset turnover 13,08 Jumlah karyawan/outlet 36



PTSP 211 1.838 90.667 43.887 226.790 128.323 208 90 51 5,17 9



Sumber: Laporan tahun FAST & PTSP 2009



179



Terlihat bahwa jumlah gerai FAST lebih banyak dibandingkan dengan PTSP. Jumlah karyawan FAST pun jauh lebih banyak, yaitu 13.229 orang dibandingkan dengan PTSP yang hanya memiliki karyawan sejumlah 1.838 orang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa jumlah aset FAST pun jauh lebih besar dibandingkan dengan PTSP (lebih dari 10 kali lipatnya).



Outlet Zooming Karena sumber pendapatan kedua emiten tersebut adalah gerai-gerai mereka, maka skala operasi keduanya akan terlihat apabila kita mencoba untuk zooming ke level gerainya. Ketika sebuah gerai didirikan, biaya untuk membeli bangunan ataupun peralatan produksi akan masuk ke dalam komponen fixed assets di neraca. Terlihat bahwa gerai FAST secara rata-rata berukuran lebih besar dibandingkan dengan PTSP. Untuk membangun satu gerai, FAST membutuhkan biaya sekitar 510 juta rupiah, sedangkan PTSP hanya membutuhkan biaya sekitar 208 juta rupiah. Coba perhatikan apakah benar gerai KFC ratarata berukuran lebih besar apabila dibandingkan dengan outlet milik CFC? Tidaklah mengherankan jumlah karyawan per gerai yang dibutuhkan oleh FAST adalah sekitar 36 orang sementara PTSP hanya



180



membutuhkan sekitar 9 orang untuk bekerja di tiaptiap gerainya. Bagaimana dengan efisiensi operasionalnya? Dengan revenue sebesar 2,4 triliun rupiah dan fixed asset sebesar 188 miliar rupiah pada tahun 2009, fixed assets turnover (revenue / fixed assets) FAST adalah 13,08x. PTSP sendiri memiliki fixed assets turnover sebesar 5,17x. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa FAST lebih efisien dalam memanfaatkan fixed assets-nya untuk memperoleh pendapatan.



Crunching the Numbers Setelah selesai membandingkan ukuran kedua emiten serta zooming per gerai, mari kita mulai bicara mengenai laporan keuangannya secara korporat.



181



Tabel 4.8 Kinerja keuangan FAST dan PTSP Deskripsi



FAST PTSP 2010 2009 2008 2007 2006 2010 2009 2008 2007 2006 56,30% 59,80% 61,36% 61,18% 61,49% 65,60% 63,85% 63,29% 63,98% 62,03%



Gross margin Operating profit 6,99% 9,17% 6,96% 8,41% 7,04% margin Net profit margin 6,85% 7,42% 6,19% 6,45% 5,40% ROE 24,90% 28,48% 25,96% 27,17% 23,92% Return on fixed 90,34% 97,01% 75,15% 73,21% 61,43% assets Inventory 24,76 25,78 23,55 29,31 27,54 turnover DER 0,54 0,63 0,63 0,67 0,68 Interest bearing 0,01 0,01 0,01 0,00 0,03 DER Debt to assets 0,35 0,39 0,39 0,40 0,40 ratio Capex/Fixed 27,82% 19,42% 31,75% 35,51% 33,92% Assets P/E ratio 16,99 11,16 10,69 10,66 11,33 P/BV ratio 4,23 3,18 2,77 2,90 2,71



9,39%



7,27%



6,62%



3,02% -2,26%



6,37% 4,83% 2,07% 0,10% -1,27% 43,29% 64,14% 89,11% 15,19% -2152% 29,54% 24,95% 10,03%



0,45% -5,12%



19,82



20,23



23,39



18,76



15,56



1,86



4,31



15,99



67,97



879,92



0,75



1,97



8,20



41,81



618



0,62



0,81



0,94



0,99



1,00



41,15% 33,46% 37,13% 28,22% 22,46% 3,29 1,43



5,65 3,63



18,54 540,54 16,54 82,39



-59,65 1.285



Sumber: Laporan Keuangan FAST & PTSP (2006 – 2010)



Terlihat bahwa tidak terlihat perbedaan yang cukup mencolok untuk margin kedua emiten (gross margin, operating profit margin, dan net profit margin). Gross margin PTSP sedikit lebih baik dari FAST (66% vs 56%). Yang cukup menarik perhatian saya, ROE dari PTSP cukup tinggi yaitu sekitar 43%. Hal ini diakibatkan karena kecilnya nilai ekuitasnya. Sebagai catatan, pada tahun 2006, ekuitas PTSP hanya bernilai 86 juta rupiah dan sampai dengan tahun 2010 akumulasi retained earning-nya masih negatif. Apa artinya? Akumulasi retained earnings negatif bisa ditafsirkan bahwa selama umur hidupnya, PTSP merugi sehingga menggerus nilai ekuitasnya. Untungnya, kondisi PTSP beberapa tahun terakhir mulai membaik dan membukukan ekuitas sebesar 36 miliar rupiah pada tahun 2010. Sementara itu, ROE FAST sendiri selama lima tahun 182



terakhir cukup stabil di kisaran 24% – 25%, sebuah angka yang cukup bagus. Hal lain yang cukup menarik dari PTSP adalah penurunan DER yang signifikan selama 5 tahun terakhir. Walaupun terbilang cukup tinggi (1,86), angka ini sudah jauh membaik dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Menyimak angka-angka di atas, ada satu kesimpulan yang bisa kita ambil. FAST terlihat cukup baik dan konsisten kinerjanya sementara PTSP sedang berjuang untuk melakukan perbaikan. Karena kinerjanya kurang stabil, tampak bahwa pasar hanya menghargai PTSP dengan P/E Ratio satu digit sementara FAST memiliki P/E Ratio 11x – 17x. Bisakah PTSP mengejar ketertinggalannya?



183



184



Lima Pedang, Musuh, dan Kompetensi



Pada bagian ini saya akan mencoba berdiskusi mengenai topik-topik khusus mengenai analisis fundamental perusahaan. Topik-topik berikut sangat penting dan harus kita perhatikan karena berpengaruh besar dalam keberhasilan kita berinvestasi saham.



Utang, Pedang Bermata Dua Andaikan Anda saat ini ingin membuka usaha. Setelah melakukan perhitungan, Anda mengestimasikan bahwa untuk memulai bisnis tersebut, modal yang diperlukan adalah Rp 150 juta sementara dana yang Anda miliki saat ini hanya Rp 100 juta. Bagaimana Anda dapat mewujudkan impian Anda untuk membuka bisnis tersebut? Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan berutang. Yah, memang ada cara lain yang bisa Anda pilih, misalnya 185



mengajak rekan atau saudara untuk patungan. Tidak ada salahnya. Akan tetapi yang akan kita diskusikan di sini adalah mengenai utang. Ketika kita memutuskan untuk berutang, suatu saat kita harus mengembalikannya dengan ditambah sejumlah bunga. Oleh karena itu kita harus memastikan bahwa cash flow dari bisnis kita mampu untuk membayar utang beserta bunganya. Pada umumnya, ketika memilih suatu saham sebaiknya kita memilih emiten yang utangnya tidak terlampau banyak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko investasi kita. Saat krisis ekonomi melanda, mungkin tidur kita akan sedikit terganggu karena menyadari bahwa karena penurunan penjualan, ada kemungkinan perusahaan yang sahamnya kita miliki akan kesulitan membayar utangnya yang cukup besar sehingga ada kemungkinan bangkrut. Dari hari ke hari, harga saham kita tersebut terus merosot karena para investor semakin pesimis dengan prospek bisnisnya. Akan tetapi, saat kondisi ekonomi sedang cerah di mana konsumsi masyarakat meningkat pesat, perusahaan yang sebagian ekspansinya dibiayai dengan utang mungkin akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang hanya memiliki utang sedikit. Kewajiban membayar utang 186



dengan mudah akan ditutupi oleh kenaikan pendapatan. Para pemegang saham akan tersenyum lebar karena dengan adanya utang tersebut, maka laba perusahaan semakin banyak mengalir ke kantong mereka. Lalu bagaimana sikap kita sebagai seorang investor? Mana yang kita pilih, perusahaan dengan utang sedikit atau segunung? Jawaban singkatnya, utang akan bermanfaat apabila bisa memberikan imbal hasil yang setimpal. Pada umumnya, saya lebih memilih perusahaan yang memiliki sedikit utang. Akan tetapi pada kondisi tertentu saya dapat berkompromi namun tentu saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama-tama, pastikan bahwa imbal hasil usaha itu sebanding dengan besarnya total modal (ekuitas + utang). Ada sebuah rasio yang akan sangat membantu kita untuk melihat hal tersebut yaitu ROC (Return on Capital). Mungkin sebelumnya ada mengenal ROE (Return on Equity) yang memberikan kita informasi seberapa besar imbal hasil terhadap para pemegang saham. Sayangnya ROE ini sering membuat keputusan investasi kita bias apabila perusahaan tersebut memiliki utang yang besar (rasio debt to equity besar). Dengan DER yang tinggi, ROE akan semakin sensitif terhadap perubahan pendapatan. Sedikit saja pendapatan 187



menurun akan membuat ROE yang pada tahun sebelumnya tinggi akan langsung merosot. Untuk menghindari hal tersebut, maka kita harus memastikan bahwa imbal hasil terhadap total modal cukup memadai. Yang dimaksud dengan total modal adalah ekuitas ditambah dengan utang. Untuk itu, rasio ROC akan sangat berguna. ROC = EBIT (1 – tax rate) / (BV of equity + BV of debt – cash) Mengapa yang digunakan EBIT? EBIT merupakan laba perusahaan sebelum dikurangi oleh beban bunga. Beban bunga merupakan hak kreditur dan yang dianggap sebagai laba. Untuk membuat perhitungan lebih akurat maka kita kurangkan pajaknya karena pajak bukan merupakan pendapatan bagi baik pemegang saham maupun pemberi utang. Kita juga menjadikan kas sebagai faktor pengurang modal. Biasanya untuk mempermudah perhitungan, EBIT dapat digantikan oleh operating profit. Sebagai contoh, mari kita menghitung ROC ASGR. DER ASGR relatif cukup tinggi (110%) sehingga kita harus memastikan bahwa utang tersebut adalah utang yang sehat. Angka-angka yang kita butuhkan untuk menghitung ROC ASGR adalah sebagai berikut:



188



Gambar 5.1 Data untuk Perhitungan ROC ASGR



Cash and Short Term Inv Operating Income Total Liabilities Total Equity Tax Rate



211,075 158,333 515,497 466,893 25.29%



Sumber: Laporan Keuangan ASGR 2010, diolah



Dengan demikian kita dapat menghitung ROC ASGR = 158.333(1 – 25,29%)/(515.497 + 466.983 – 211.075) = 15,34%. Dengan ROC sebesar itu, kita dapat menyimpulkan bahwa DER ASGR yang relatif tinggi dapat diimbangi dengan imbal hasil yang sepadan. Untuk lebih meyakinkan, kita selidiki juga apakah ASGR tidak mengalami kesulitan dalam membayar bunga utangnya. Pada laporan keuangan, terlihat bahwa beban bunga ASGR adalah sebesar Rp 3.380 juta atau Rp 3,4 miliar. Jika kita membagi operating income dengan beban bunga (158.333 / 3.380), kita mendapatkan angka 46,84. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ASGR tidak akan mengalami kesulitan membayar beban bunganya. Angka 46,84 disebut juga dengan interest coverage ratio. Mari kita mencoba membandingkannya dengan IPOL yang memiliki operating income sebesar Rp 105.109 juta dan beban bunga sebesar Rp 56.312 juta. Net interest gearing IPOL 1,87 atau dengan kata lain 54% dari operating income IPOL akan habis untuk membayar 189



beban bunga. Tentu hal ini akan sangat berbahaya apabila revenue IPOL menurun. Sebagai informasi, DER IPOL adalah 502% dengan ROC sebesar 4,96%. Tampak bahwa IPOL utangnya akan menjadi sinyal bahaya bagi investor. Perusahaan yang mampu mengontrol utangnya akan mampu untuk tumbuh lebih cepat dengan meminimalisasikan risiko. Walaupun terkadang kita dapat mentoleransi jumlah utang yang besar, saya cenderung menyukai perusahaan yang memanfaatkan sebagian keuntungannya untuk membayar utangnya sehingga paparan terhadap risiko semakin rendah. Utang bagaikan pedang yang mempunyai dua sisi mata pedang. Pastikan bahwa saham Anda berada pada sisi mata pedang yang benar.



Inflasi, Musuh Terbesar Investor Walaupun sebenarnya topik mengenai inflasi sudah dibahas pada awal buku ini, pada bagian ini saya akan mencoba membahasnya lebih mendalam. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inflasi adalah kenaikan harga. Mengapa inflasi ada? Mari kita mengikuti pembahasan berikutnya. Pada awalnya, untuk memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya, manusia melakukan barter. 190



Seiring dengan berkembangnya peradaban, manusia memproduksi barang yang lebih banyak dan bermacam-macam dan permasalahan pun mulai timbul. Akan sulit sekali untuk menemukan barang yang nilainya kira-kira sepadan dengan barang yang kita inginkan. Seandainya pun bisa, belum tentu pemilik barang yang kita butuhkan tersebut mau menerima barang yang kita tawarkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, manusia mempergunakan emas sebagai alat tukar. Nilai dari setiap barang dinyatakan dalam emas. Dengan demikian, proses transaksi berjalan dengan lebih mudah karena emas dapat diterima oleh semua pihak sebagai alat tukar. Seiring dengan meluasnya perdagangan antar negara, maka emas dirasakan tidak praktis untuk dibawa ke manamana. Dengan massa jenis yang jauh lebih besar daripada besi, Anda dapat membayangkan bagaimana susahnya untuk membawanya ke mana-mana. Manusia pun menciptakan sebuah alat pembayaran yang disebut dengan uang. Pada awalnya uang mewakili sejumlah emas. Karena jauh lebih praktis, maka alat pembayaran baru ini pun dapat diterima di manamana. Ketika ekonomi terus tumbuh, muncul lagi permasalahan baru. Jumlah emas yang ada tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan transaksi perdagangan. Perlahan-lahan gold backing system ini



191



mulai ditinggalkan dan pada tahun ’70-an, standar emas sudah tidak digunakan lagi. Walaupun praktis, ada kelemahan mendasar dari uang sebagai alat pembayaran. Ketika kebutuhan suatu negara tidak dapat dibiayai oleh pajak dan ekspor, maka pemerintah menerbitkan surat utang yang menyebabkan jumlah uang beredar bertambah. Pedagang yang menyadari bahwa masyarakat memiliki uang yang lebih banyak untuk dibelanjakan akan menaikkan harga barang dagangannya. Dengan segera harga akan naik dan terus naik. Kita pun mulai mengenal inflasi. Bagi seorang investor, inflasi merupakan musuh utama. Bagaimana bisa? Pada dasarnya, investasi merupakan kegiatan menunda pemenuhan kebutuhan saat ini dengan mengharapkan pertumbuhan kekayaaan di masa mendatang. Apabila investasi kita tumbuh namun dengan laju di bawah tingkat inflasi, maka usaha kita pun menjadi sia-sia. Oleh karena itulah kita tidak boleh memandang inflasi dengan sebelah mata. Secara historis memang ada masa-masa di mana terjadi deflasi, kebalikan dari inflasi. Meskipun begitu, tampaknya inflasi masih jauh lebih dominan. Oleh karena itu kita dapat mengasumsikan bahwa inflasi adalah sesuatu yang permanen dan menjadi perhatian kita sebagai investor. 192



Kembangkan Kompetensi Anda Saat melakukan analisis terhadap suatu perusahaan, kita harus memahami bagaimana perusahaan tersebut menjalankan bisnisnya. Langkah awal yang bagus adalah dengan memahami business model dari perusahaan tersebut. Business model merupakan cara suatu perusahaan memperoleh pendapatan beserta biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk kelangsungan operasionalnya. Dengan memahami business model suatu perusahaan, kita akan dapat mengetahui faktor-faktor yang menjadi kunci sukses bisnisnya. Setiap bisnis itu unik dan memiliki parameter-parameter khusus yang dapat dimanfaatkan untuk mengukur kinerjanya. Sebagai contoh, pada bisnis ritel dikenal angka Same Store Growth (SSG), yaitu pertumbuhan perusahaan seandainya tidak melakukan ekspansi. Dengan mengetahui nilai SSG, kita dapat mengetahui apakah suatu perusahaan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama. Sebelum mulai berinvestasi pada suatu saham, pastikan bahwa Anda memahami bagaimana bisnis dari perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Memahami karakteristik satu atau dua industri dan berinvestasi pada saham-saham di dalam industri tersebut akan jauh lebih baik daripada berinvestasi 193



pada berbagai macam saham yang tidak kita pahami bagaimana karakteristik bisnisnya. Jika kita memahami bisnis suatu perusahaan, kita akan dengan cepat dapat memutuskan apakah investasi kita masih layak dipertahankan atau tidak ketika kinerjanya menurun. Pemahaman kita terhadap suatu industri akan berguna untuk mengambil keputusan ketika pasar secara keseluruhan jatuh. Ketika indikator-indikator makroekonomi menunjukkan bahwa kondisi semakin memburuk, kinerja perusahaan pun umumnya mengikuti. Kita akan melihat pendapatan yang menurun, utang yang membengkak, dan ROE yang mengecil. Jika kita tidak memahami business model dari perusahaan tersebut, kita akan kesulitan untuk memilih perusahaan yang berpotensi untuk selamat. Momen yang sangat baik untuk membeli saham bagus di harga yang murah akan terlewat begitu saja. Terdapat sembilan industri di BEI dan terbagi menjadi lebih banyak lagi sektor di dalam industriindustri tersebut. Ada baiknya apabila Anda telah memahami karakteristik suatu industri, cobalah untuk mempelajari karakteristik industri lain. Jika sudah paham, pelajari industri yang lainnya. Dengan begitu Anda akan memiliki kompetensi yang terus berkembang dan memiliki lebih banyak saham yang dapat dipilih. 194



Enam Valuasi Saham, Antara Seni dan Sains



Valuasi merupakan salah satu topik dalam analisis fundamental saham yang terpenting sekaligus kontroversial. Bertanyalah kepada lima analis berapakah harga wajar suatu saham dan Anda akan mendapatkan tujuh jawaban yang berbeda-beda. Hal tersebut terlihat membingungkan namun sayangnya kita hanya dapat menentukan apakah suatu saham berharga murah atau mahal setelah melakukan valuasi. Suatu hari Anda bertemu dengan rekan Anda yang sukses membuka rumah makan bebek goreng. Dia mengatakan bahwa setiap bulannya dia bisa mendapatkan keuntungan bersih setelah dikurangi biaya bahan baku dan biaya operasional sebesar 30 juta rupiah. Artinya, dalam setahun keuntungan yang dia peroleh dari bisnis tersebut adalah sekitar 360 juta rupiah. Karena tergiur, Anda berpikir untuk membeli bisnis rekan Anda tersebut. Berapakah harga yang 195



wajar untuk membeli bisnis rumah makan tersebut? Jika Anda menawarkan harga 360 juta rupiah atau setara dengan labanya selama setahun, kemungkinan kecil rekan Anda akan setuju. Bisnisnya yang sedang berjalan dan tumbuh dengan pesat akan terasa sangat murah apabila dijual seharga itu. Lalu berapakah harga yang wajar? Apakah masuk akal apabila Anda membelinya dengan harga sepuluh kali lipat laba per tahunnya? Coba pikirkan baik-baik. Marilah kita mencoba berdiri di posisi rekan Anda. Jika katakanlah dia menyetujui harga yang Anda tawarkan untuk bisnisnya tersebut, persoalan lain akan muncul. Dengan uang tunai yang diterima sebagai hasil penjualan bisnisnya, ke mana dia bisa berinvestasi yang imbal hasilnya setidaknya sebanding dengan laba yang diperolehnya dari usaha rumah makannya tersebut? Semakin besar harga penawaran Anda, keadaan akan menjadi semakin mudah baginya karena hasil penjualan yang ia terima dapat diinvestasikan ke dalam instrumen dengan imbal hasil yang lebih rendah (dan biasanya memiliki risiko lebih rendah) untuk mendapatkan keuntungan yang setara apabila ia tetap mempertahankan bisnisnya. Karena Anda menjadi seakan-akan menjadi ‘lawan’ bagi rekan Anda tersebut, keuntungan baginya



196



berbanding terbalik dengan keuntungan yang Anda terima. Sekarang, mari kita kembali pada posisi Anda sebagai calon pembeli. Katakanlah rekan Anda berkeinganan untuk menjual rumah makannya seharga 3,6 miliar rupiah atau setara dengan sepuluh kali lipat dari laba per tahun. Sebelum Anda menyetujuinya, pikirkanlah hal berikut. Seandainya uang sebesar 3,6 miliar tersebut Anda depositokan, berapakah bunga per tahun yang akan Anda terima? Dengan suku bunga deposito per tahun saat ini sebesar 6,75%, Anda akan mendapatkan bunga sebesar 243 juta rupiah per tahun dan setelah dipotong pajak bunga 20%, bunga bersih yang Anda terima adalah 194 juta rupiah. Tampaknya penawaran rekan Anda tersebut cukup menarik karena dengan membeli bisnisnya, Anda akan mendapatkan imbal hasil yang lebih besar (360 juta rupiah) dibandingkan dengan apabila Anda mendepositokan uang Anda di bank. Tunggu dulu. Usaha rumah makan pasti memiliki risiko. Tidak ada yang menjamin bahwa tahun depan laba yang diperoleh akan tetap sebesar itu. Ada kemungkinan laba yang diperoleh hanya 150 juta rupiah. Pada kondisi tersebut, harga yang Anda bayar untuk memiliki bisnis tersebut terasa sangat mahal. Kemungkinan lain yang dapat terjadi, alih-alih merosot, ternyata labanya malahan naik tajam menjadi 500 juta rupiah. Dengan kondisi seperti itu, Anda akan 197



tersenyum lebar karena berhasil membuat keputusan yang tepat. Intinya, keuntungan dari bisnis rumah makan tersebut selalu dihinggapi ketidakpastian sementara imbal hasil dari deposito relatif pasti jumlahnya. Lalu bagaimana? Dengan ketidakpastian yang selalu membayangi bisnis rumah makan tersebut, akan terasa masuk akal apabila Anda meminta harga yang lebih murah. Anggap saja diskon yang Anda dapatkan tersebut sebagai kompensasi atas risiko yang akan Anda tanggung dengan membeli bisnis tersebut. Alasan tersebut sepertinya cukup masuk akal dan ada kemungkinan rekan Anda akan menyetujuinya. Jangan terlampau senang dahulu. Ternyata rekan Anda memiliki pertimbangan lain. Dia berargumen bahwa walaupun labanya turun naik, selama lima tahun terakhir ada kecenderungan meningkat. Apabila kecenderungannya tetap sama selama sepuluh tahun ke depan, maka Anda akan balik modal dengan lebih cepat dan harga 3,6 miliar tersebut terlihat cukup murah. Apa keputusan Anda? Dengan membaca ilustrasi sederhana di atas, terlihat bahwa nilai suatu bisnis dipengaruhi oleh banyak faktor. Problem yang sama akan kita temui ketika hendak membeli suatu saham. Oleh karena itulah valuasi menempati posisi yang penting di dalam analisis fundamental. Sebagus apa pun kondisi 198



keuangan suatu perusahaan, apabila kita membelinya dengan harga yang terlalu mahal maka semakin kecil imbal hasil yang akan kita peroleh.



Pentingnya Konsistensi Laba Tujuan utama dari suatu bisnis adalah menghasilkan laba. Sayangnya, seiring dengan waktu banyak sekali bisnis yang melenceng jauh dari tujuannya tersebut. Perusahaan yang berjalan sekian tahun tanpa menghasilkan laba atau bahkan terus merugi akan membuat kita bertanya-tanya apakah layak perusahaan itu tetap dipertahankan. Walaupun begitu, adalah hal yang wajar apabila sekali waktu laba perusahaan menurun. Apabila dilihat dalam jangka panjang, laba perusahaan terus meningkat, maka hal tersebut masih dapat diterima. Apabila Anda mendapatkan perusahaan yang labanya cukup tinggi jangan terlalu senang dahulu. Pastikan bahwa dalam jangka panjang labanya terus tumbuh dan yang terpenting adalah bahwa labanya tumbuh dengan stabil. Kestabilan pertumbuhan laba adalah hal yang sangat penting karena bisa menjadi acuan yang cukup baik kita untuk memperkirakan kinerja perusahaan di masa datang. Mari kita perhatikan contoh berikut.



199



Tabel 6.1 Perbandingan Pertumbuhan Laba Bersih Antara Dua Perusahaan



Tahun



Laba Bersih (dalam juta rupiah) Perusahaan A



Perusahaan B



2010



3.386.970



37.586



2009



3.044.107



53.811



2008



2.407.231



-263.387



2007



1.964.652



57.977



2006



1.721.595



-266.964



2005



1.440.485



41.937



2004



1.464.182



458.097



2003



1.296.711



811.167



2002



978.249



2.079.920



2001



887.000



-910.435



Perusahaan manakah yang pertumbuhan labanya lebih meyakinkan? Sepertinya adalah perusahaan A. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, perusahaan tersebut hanya sekali mencatatkan penurunan laba bersih, yaitu pada tahun 2005. Hal tersebut tidak menjadi masalah karena dalam jangka panjang labanya terus meningkat. Bagaimana dengan perusahaan B? Terlihat bahwa perusahaan B sangat tidak stabil pertumbuhan labanya bahkan beberapa kali laba bersihnya negatif. Hal ini akan mempersulit kita ketika melakukan valuasi. 200



Meskipun laba bersih bukanlah satu-satunya acuan kita dalam menilai kondisi keuangan perusahaan, perusahaan dengan pertumbuhan laba yang konsisten akan meminimalisasikan risiko kita dalam berinvestasi. Kestabilan pertumbuhan laba merupakan parameter umum untuk mengukur kinerja suatu bisnis dengan perkecualian perusahaan yang sedang dalam fase turnaround. Pada kondisi tersebut, data perusahaan masa lalu tidak bisa kita jadikan acuan untuk memperkirakan kinerjanya di masa mendatang karena struktur perusahaan secara mendasar telah berubah. Konsistensi laba akan mempermudah kita dalam melakukan valuasi.



Bagaimana Cara Menentukan Harga Wajar Saham? Melakukan penilaian (valuasi) saham adalah proses menentukan berapa harga yang wajar untuk suatu saham. Walaupun harga saham berubah setiap waktu, namun dengan mengetahui nilai wajarnya, kita akan lebih tenang dalam menghadapi gejolak pasar. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebelum melakukan valuasi, pastikan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang bagus. Pastikan juga bahwa labanya stabil dan tumbuh dengan mantap. 201



Akurasi valuasi kita akan sangat bergantung pada akurasi masukannya. Saya tidak mengatakan bahwa perusahaan dengan kinerja buruk tidak dapat dinilai melainkan bahwa perusahaan dengan kondisi tersebut akan membuat hasil valuasi kita menjadi kurang akurat. Dalam melakukan valuasi, mau tidak mau kita harus mengerti bagaimana cara membaca laporan keuangan sebab perhitungan valuasi melibatkan komponenkomponen di dalam laporan keuangan perusahaan. Warren Buffett mengatakan bahwa nilai intrinsik (nilai wajar) suatu saham didefinisikan sebagai nilai saat ini dari aliran kas masuk yang akan didapatkan sepanjang umur hidup perusahaan tersebut. Nilai saat ini dari uang yang akan kita dapatkan di masa depan merupakan konsep time value of money. Buffett mengatakan bahwa cara ini adalah satu-satunya cara yang masuk akal untuk mengevaluasi keatraktifan dari suatu investasi dan bisnis. Pemikiran Warren Buffett mengenai nilai intrinsik ini banyak dipengaruhi oleh John Burr Williams, yang merupakan orang yang pertama kali mengemukakan pemikiran mengenai nilai intrinsik ini. Charles S. Mizrahi dalam bukunya “Getting Started in Value Investing” menjelaskan sebuah cara sederhana dalam melakukan penilaian harga wajar saham. 202



Meskipun sederhana bukan berarti cara ini tidak efektif. Keindahan dari cara ini justru berasal dari kesederhanaannya. Agar lebih mudah dipahami, proses valuasi ini akan saya pecah menjadi beberapa langkah. Sebagai contoh saya akan menilai harga wajar saham PT. Unilever Indonesia. Laporan keuangannya dapat kita ambil di situs webnya di www.unilever.co.id. Saya memilih Unilever karena perusahaan ini merupakan perusahaan yang sangat solid dengan manajemen yang mumpuni. Perlu diingat, sebelum melakukan valuasi kita sebaiknya memilih perusahaan dengan pertumbuhan laba bersih 5 tahun ke belakang minimal 10%. Beruntung sekali ternyata kita dapat memperoleh data keuangan Unilever sampai dengan 10 tahun ke belakang. Selain itu, sebaiknya saham yang akan kita nilai memiliki return on equity (ROE) minimal 15%. Unilever dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Sebelum melakukan valuasi, mari kita coba terlebih dahulu membuat profil perusahaan tersebut berikut:



203



Tabel 6.2 Profil Keuangan UNVR



UNVR Harga EPS (est.) P/E (est.) Average P/E Dividend (est.) Dividend Payout ratio Long-term EPS Growth Deposito Risk Premium Required Return EPS Growth (proj.) P/E (proj.)



15.300 526 29,10 29,01 447 85,05% 18,43% 6,75% 7,88% 14,63% 15% 17,00



Sumber: Laporan Tahunan UNVR 2008, diolah



Pertama-tama kita harus menentukan dahulu pertumbuhan (growth) EPS (Earning per Share) selama paling tidak 5 tahun ke belakang. Untuk menentukan berapakah proyeksi pertumbuhan EPS selama 5 tahun ke depan, ikuti langkah berikut: ▪ Jika pertumbuhan rata-rata EPS perusahaan 5 tahun ke belakang lebih besar dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 15%. Mengapa saya menentukan proyeksi pertumbuhan EPS adalah 15%? Sangat sedikit perusahaan yang mampu mempertahankan pertumbuhan EPS di atas 15% per tahun secara kontinyu. Oleh karena itu sebaiknya kita proyeksikan pertumbuhan EPS selama 5 tahun ke depan adalah 15%. 204



▪ Jika pertumbuhan EPS perusahaan 5 tahun ke belakang lebih kecil dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 10%. Terlihat bahwa pertumbuhan EPS rata-rata Unilever adalah 18,43% per tahun. Oleh karena itu kita tentukan bahwa proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 15% per tahun. Setelah itu kita tentukan proyeksi rasio P/E (price to earning) untuk 5 tahun ke depan. Untuk memproyeksi rasio P/E Unilever 5 tahun ke depan, kita dapat menggunakan langkah mudah berikut: • •



Jika rasio P/E lebih dari 20, gunakan proyeksi rasio P/E 17 Jika rasio P/E kurang dari 20, gunakan proyeksi rasio P/E 12



Saat ini berdasarkan data kuartal III dapat diperkirakan bahwa rasio P/E Unilever adalah 21.9 (> 20). Dengan demikian kita tentukan proyeksi rasio P/E 5 tahun ke depan adalah sebesar 17. Setelah menentukan proyeksi pertumbuhan EPS dan rasio P/E, mari kita mulai proses valuasinya. LANGKAH 1: Menghitung EPS 5 tahun ke depan berdasarkan proyeksi pertumbuhan 15%.



205



Tentukan besar EPS 5 tahun ke depan berdasarkan proyeksi pertumbuhan EPS (15%). Mari kita perhatikan tabel perhitungan besar EPS 5 tahun ke depan di bawah ini: Gambar 6.1 Proyeksi EPS UNVR



Proyeksi 15% Akhir tahun 2012 Akhir tahun 2013 Akhir tahun 2014 Akhir tahun 2015 Akhir tahun 2016



526 x 1,15 605 x 1,15 695 x 1,15 800 x 1,15 919 x 1,15



Proyeksi EPS akhir tahun 605 695 800 919 1.057



Kita mendapatkan proyeksi EPS 5 tahun ke depan (akhir tahun 2016) adalah sebesar 1.057 rupiah. LANGKAH 2: Mengalikan proyeksi rasio P/E dengan proyeksi EPS pada tahun ke-5 (tahun 2013). Karena proyeksi rasio P/E yang kita gunakan adalah 17, maka dengan mengalikan EPS saham Unilever maka pada akhir tahun ke-5 (akhir tahun 2016) dengan proyeksi rasio P/E (17), saham Unilever akan diperdagangkan pada harga 17.976 rupiah per lembar. LANGKAH 3: Menghitung laba yang dibayarkan sebagai dividen. Berdasarkan laporan keuangan yang lalu, didapatkan bahwa secara historis, porsi keuntungan 206



yang diberikan Unilever sebagai dividen adalah 85,05%. Angka ini disebut juga dengan dividen payout ratio. Dengan menjumlahkan EPS selama 5 tahun ke depan kita mendapatkan bahwa jumlah EPS adalah 4.076 rupiah per lembar saham (605 + 695 + 800 + 919 + 1.057 = 4.076). Dengan mengalikan jumlah EPS tersebut dengan dividen payout ratio sebesar 85,05%, kita memproyeksikan total dividen yang akan kita terima selama 5 tahun ke depan adalah sebesar 3.467 rupiah per lembar saham (4.076 x 85,05% = 3.467). Sebagai catatan, nilai dividen payout ratio Unilever ini sangat tinggi. Hal tersebut wajar karena Unilever merupakan perusahaan yang sudah mature dan tidak terlalu agresif berekspansi. LANGKAH 4: Menghitung harga saham total. Dengan menambahkan proyeksi harga saham 5 tahun ke depan dengan jumlah dividen yang kita terima dalam kurun waktu tersebut, kita mendapatkan harga saham total Unilever 5 tahun ke depan adalah 21.443 per lembar (17.976 + 3.467 = 21.443(dengan pembulatan)). Apakah perhitungan kita sudah selesai? Belum. Harga yang kita dapatkan tersebut adalah harga 5 tahun ke depan. Kita harus mengetahui berapa harga wajar yang pantas kita bayarkan saat ini untuk mendapatkan imbal hasil yang bagus terhadap investasi kita. 207



LANGKAH 5: Menentukan berapa harga yang pantas dibayarkan untuk mendapatkan imbal hasil yang layak. Jika kita memasukkan uang kita dalam deposito, berapakah imbal hasil per tahun yang akan kita dapatkan? Saat ini kita akan memperoleh imbal hasil dari deposito sekitar 6.75% per tahun. Karena kita ingin berinvestasi di saham, tentu saja kita menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dari itu karena kita telah mengambil risiko yang lebih tinggi. Kelebihan imbal hasil tersebut dinamakan risk premium di mana untuk Indonesia adalah sebesar 7,88%. Jadi, total risk premium yang akan kita gunakan adalah 6,75% + 7,88% = 14,63%. Hal ini dapat diartikan bahwa imbal hasil yang layak untuk berinvestasi di saham adalah sebesar 14,63% per tahun. Kita telah mengetahui bahwa saham Unilever akan diperdagangkan di harga 21.443 untuk 5 tahun ke depan. Berapakah harga yang patut kita bayarkan untuk selembar saham Unilever saat ini untuk memperoleh return 14,63% per tahun? Untuk menentukan harga yang pantas, maka kita harus membagi harga pada akhir tahun ke-5 tersebut (21.443) dengan 1.1463 tiap tahunnya selama 5 tahun.



208



Gambar 6.2 Perhitungan harga wajar UNVR



Tahun 2015 Tahun 2014 Tahun 2013 Tahun 2012 Tahun 2011



Return 14,63% per tahun 21.443 / 1,1463 18.706 / 1,1463 16.319 / 1,1463 14.236 / 1,1463 12.419 / 1,1463



Harga wajar saham 18.706 16.319 14.236 12.419 10.834



Terlihat bahwa harga yang pantas kita bayarkan untuk selembar saham Unilever adalah 10.834. Saat ini saham Unilever diperdagangkan di harga 15.300 per lembar, agak terlalu mahal. Sepertinya kita harus menunggu harga sahamnya turun dulu baru kita mulai membelinya. Perhatikan bahwa jika kita menginginkan imbal hasil 14,63% per tahun, maka harga tertinggi yang pantas kita bayarkan adalah 10.834. Mari kita perhatikan berapa imbal hasil yang dapat kita harapkan apabila kita membeli UNVR pada harga saat ini. Annual return yang diinginkan 14,63% 7%



Harga tertinggi yang pantas untuk dibayarkan 10.834 15.300



Terlihat bahwa jika kita bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk suatu saham, semakin kecil imbal hasil yang akan kita terima. Jika kita membeli di 209



harga saat ini, imbal hasil yang kita terima hanyalah sekitar 7%, hampir sama dengan imbal hasil deposito yang memiliki risiko jauh lebih rendah. Oleh karena itulah, investor yang baik biasanya sangat sabar menunggu harga yang murah untuk mulai berinvestasi. Investor jenis ini tidak akan gegabah membeli saham tanpa memperhitungkan harga wajarnya.



Contoh Kasus Valuasi Agar lebih jelas, ada baiknya kita mencoba untuk melakukan valuasi terhadap beberapa saham.



ASGR: Looks Cheap Pada tahun 2010, di luar dugaan saya, ASGR membukukan kinerja yang cukup cemerlang. Revenue dan net earnings tumbuh masing-masing 17% dan 77% dengan didukung oleh pertumbuhan free cash flow yang meyakinkan.



210



Tabel 6.3 Kinerja keuangan ASGR 2006-2010



Sumber: Laporan keuangan ASGR 2006-2010, diolah



Tampak bahwa ROE ASGR semakin tinggi hingga mencapai 32% dan membuatnya menjadi sangat menarik untuk wahana investasi. Bagaimana dengan valuasinya?



211



Gambar 6.3 Valuasi ASGR



Dengan harga wajar 1.264, ASGR terlihat cukup menarik mengingat saat ini ASGR masih 212



diperdagangkan di level 660. Terdapat potensi kenaikan sebesar 92% untuk ASGR di tahun 2011 ini.



AUTO Update: Strong Performance Laporan keuangan AUTO tahun 2010 telah diterbitkan dan kita bisa melakukan update terhadap kinerja dan valuasinya. Tabel 6.4 Kinerja keuangan AUTO 2006-2010



Sumber: Laporan keuangan AUTO 2006-2010, diolah



Tampak bahwa revenue, operating profit, dan net profit masih tumbuh dengan cukup mengesankan. DER AUTO sendiri masih terjaga pada level aman, yaitu 45%. Level DER tersebut terbilang cukup aman dan konservatif. Yang menjadi perhatian saya adalah free cash flow (FCF). Setelah beberapa tahun sebelumnya tumbuh cukup konsisten, pada tahun 2010 FCF AUTO menjadi 213



minus 55 miliar rupiah. Apa yang menyebabkan FCF AUTO bernilai negatif? Setelah mempelajari laporan keuangannya lebih lanjut, saya menemukan bahwa pada tahun 2010 AUTO mengeluarkan capex yang cukup besar yaitu 430 miliar rupiah atau naik hampir 4x lipat dari tahun sebelumnya. Capex ini digunakan untuk membangun pabrik plastik baru di Citeureup, Bogor untuk menunjang produksi komponen otomotifnya. Jumlah ini jika dibandingkan dengan net earnings-nya masih bisa ditoleransi sehingga kondisi AUTO masih cukup aman. Rencananya, pada tahun 2011 AUTO akan membutuhkan capex sekitar 800 miliar rupiah untuk membangun pabrik komponen otomotif baru. Pada tahun 2011, AUTO akan menghadapi tantangan yang menghadang apabila subsidi BBM dicabut. Mau tidak mau ada potensi kinerja AUTO akan mengalami dampaknya dan kita harus lebih cermat lagi mengamati perkembangannya. Pertanyaannya, di harga 13.850 ini apakah AUTO masih cukup murah?



214



Gambar 6.4 Valuasi AUTO



215



Dengan margin of safety sebesar 41%, tampaknya AUTO masih terlihat cukup menarik walaupun risk premium-nya meningkat sebagai imbas dari kenaikan BI rate.



Memahami Valuasi Dengan Visualisasi Salah satu cara yang mudah untuk memahami konsep valuasi adalah dengan memperhatikan ilustrasi berikut: Gambar 6.5 Visualisasi Valuasi



Sumbu vertikal adalah harga saham sedangkan sumbu horisontal adalah waktu. Sejalan dengan growth, harga saham akan terus naik dari tahun ke tahun. Setelah itu, kita cari laju kenaikannya untuk mendapatkan harga saat ini. Laju kenaikan tersebutlah yang disebut dengan expected return. 216



Cara pandang lain terhadap hal tersebut adalah dengan mencari present value dari total price 5 tahun mendatang sehingga kita mendapatkan harga wajar untuk saat ini. Jika pada harga saham saat ini masih terdapat Margin of Safety (Mos) yang cukup, besar kemungkinan saham tersebut layak untuk dikoleksi. Jika dilihat lebih rinci, terlihat bahwa selama harga saat ini (actual price) masih di bawah target total price untuk lima tahun ke depan, maka kita masih akan mendapatkan keuntungan walaupun tentu saja dengan rate of return lebih rendah. Kesimpulannya, semakin rendah harga beli kita, semakin besar potensi keuntungannya. Gambar di atas menunjukkan skenario dari sebuah valuasi. Tingkat keberhasilannya sangat bergantung pada akurasi asumsi inputnya. Beberapa titik kritis dalam melakukan valuasi adalah: 1. Kestabilan pertumbuhan. Semakin stabil historical growth, semakin besar peluang sebuah saham akan berperilaku sama ke depannya. Perusahaan biasanya bisa mempertahankan growth sampai dengan 25% dalam jangka panjang namun untuk keperluan valuasi sebaiknya ditekan ke 15% saja.



217



2. Akurasi penentuan risk premium. Risk premium akan menentukan seberapa besar diskon kita atas nilai saham. 3. Harga pembelian. Untuk menghindari kesalahan perhitungan dan asumsi, sebaiknya kita menyediakan MoS yang cukup. 4. Historical P/E ratio. Usahakan untuk bersikap sekonservatif mungkin. Asumsi P/E ratio yang terlalu tinggi akan menyebabkan kita terjebak ketika pasar berperilaku esktrim (misalnya pada saat terjadi booming atau crash).



Ancaman Value Trap Fokus dari value investing adalah mencari sahamsaham yang dijual di bawah harga wajarnya. Biasanya sumber informasi utama saat melakukan perburuan tersebut adalah dengan melihat nilai P/E ratio (price to earning ratio) dan P/BV (price to book value). Anggapan umum yang sering digunakan adalah dengan membandingkan kedua rasio tersebut dengan sahamsaham lain dalam industri yang sama. Pada titik tersebutlah, investor terkadang menghadapi value trap. Saham yang dianggap murah ternyata tidak semurah yang diduga. Pada kondisi normal, harga saham akan secara efisien mengikuti nilai wajarnya. Dengan demikian, sangat mungkin saham yang dihargai 218



dengan P/E ratio atau PBV rendah karena ada alasan yang kuat yang mendasarinya. Lalu bagaimana cara menghindarinya? Pasar akan berubah menjadi tidak efisien saat terjadi bubble atau crash. Pada kedua kondisi tersebut, pelaku pasar akan bersifat over reaktif. Faktor dominan yang menentukan harga saham bukanlah kondisi fundamentalnya, melainkan kondisi psikologis para pelakunya. Secara alamiah, manusia akan melakukan apa pun yang mungkin ketika berhadapan dengan bahaya dan terkadang bertindak di luar akal sehat. Perilaku yang sama juga biasanya terlihat saat terjadi bubble. Para investor cenderung optimistik dan memburu saham-saham yang harganya diharapkan dapat naik lebih tinggi lagi. Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah bubble harga minyak tahun 2007 serta dotcom boom tahun 2000-an. Mahaguru value investing, Benjamin Graham sendiri sangat menyadari ancaman value trap ini. Oleh karena itu dia selalu mendiversifikasikan portfolionya. Dalam satu waktu, Ben Graham dapat memiliki ratusan saham untuk meminimalisasi efek dari value trap pada beberapa saham yang dimilikinya. Muridnya, Warren Buffett memperbaiki strategi investasi Benjamin Graham dengan mencoba menghindari saham-saham yang berpotensi menjadi value trap dan hanya berfokus pada beberapa saham saja yang dianggapnya berpotensi untuk tumbuh. 219



Beberapa contoh dari value trap adalah (sebagian telah dijelaskan oleh Investopedia): 1. P/E ratio atau PBV yang rendah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seringkali suatu saham memiliki P/E ratio atau PBV yang rendah karena alasan yang kuat. Kemungkinan sahamnya dihargai murah karena bisnisnya sudah tidak bisa tumbuh pesat lagi atau malahan terus-menerus merugi. Selalu curiga pada saham-saham dengan P/E ratio atau PBV yang rendah. Selidiki laporan keuangannya secara mendalam untuk mengetahui bahwa saham tersebut bukan merupakan value trap. 2. Saham-saham cyclical yang dihargai murah. Saham cyclical seperti saham otomotif ataupun retail umumnya akan melonjak labanya pada saat kondisi ekonomi membaik. Saat kondisi ekonomi memburuk, saham-saham tersebut akan menurun drastis kinerjanya dan dihargai sangat murah. Sebenarnya tidak masalah kita membeli sahamsaham cyclical yang dihargai dengan sangat murah asalkan kita mau bersabar menunggu sampai dengan ekonomi berekspansi dan mendongkrak labanya.



220



3. Tidak ada katalis. Perusahaan yang stuck bisnisnya dan tidak memiliki produk baru yang dapat diandalkan akan terjebak pada kondisi tersebut dan pasar akan menghukumnya dengan menghargai sahamnya dengan murah. Jika kita membeli saham perusahaan seperti ini, kemungkinan kita akan terjebak di dalamnya dan sulit untuk keluar. 4. Memandang kinerja hanya dalam jangka waktu yang pendek. Dalam 1-2 tahun, ada kemungkinan perusahaan akan mendapatkan durian runtuh dan sulit bertahan dalam jangka panjang. Jika kita menilai suatu perusahaan hanya berdasarkan kinerjanya dalam beberapa periode saja, kita akan menilai bisnisnya terlalu tinggi dan jatuh ke dalam value trap. Pastikan bahwa kita membeli saham-saham yang memiliki keunggulan kompetitif yang kuat untuk menghindari value trap. Pastikan bahwa kondisi fundamentalnya memang benar-benar bagus sebelum mulai membeli.



Pentingnya Katalis Bagi Seorang Investor Pada bagian sebelumnya, saya telah menyinggung mengenai tidak adanya katalis sebagai salah satu 221



contoh value trap. Pada bagian ini kita akan membahas lebih dalam tentang katalis. Ketika mempelajari ilmu kimia, kita mengenal istilah katalis (catalyst) yang mengacu pada suatu zat yang dapat mempercepat laju reaksi. Pada beberapa kasus, reaksi kimia terjadi sangat lambat dan memerlukan katalis untuk mempercepatnya. Ketika berinvestasi seringkali kita menemukan perusahaan yang memiliki bisnis yang bagus. Sayangnya, ada kalanya tidak ada katalis yang menyebabkan bisnisnya tumbuh dengan lebih cepat. Walaupun sebagai investor kita harus memiliki kesabaran agar investasi kita membuahkan hasil, mengetahui katalis dari suatu saham akan sangat memperbaiki kinerja portfolio kita. Berdasarkan sudut pandang investor, terdapat dua macam katalis. Yang pertama adalah “firm value catalyst” dan yang kedua adalah “stock catalyst”. Firm value catalyst berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai dari suatu bisnis. Yang termasuk ke dalam kategori ini antara lain adalah merger, akuisisi, dan pergantian manajemen. Hal-hal tersebut berpotensi untuk mengubah nilai dari suatu perusahaan. Kategori kedua adalah stock catalyst. Katalis jenis ini akan mendongkrak harga saham tanpa mengubah nilai dari perusahaan tersebut. Hal-hal yang 222



termasuk ke dalam antara lain adalah munculnya rumor tentang suatu saham, stock split, dan self-fulfilling myth seperti January Effect ataupun Santa Claus Rally. Adanya aktivitas rotasi sektor yang dilakukan oleh para pemain besar juga berpotensi menjadi stock catalyst. Perubahan harga saham yang diakibatkan oleh stock catalyst lebih merupakan perubahan persepsi pelaku pasar, bukan nilai dari bisnisnya sendiri. Ketika perusahaan melakukan stock split, nilai perusahaan tidak berubah. Harga saham yang lebih rendah sebagai akibat dari stock split akan lebih bisa menjangkau investor dengan dana yang terbatas. Jika sebelumnya untuk membeli satu lot suatu saham diperlukan uang 25 juta rupiah, dengan adanya stock split 1:5, investor dapat berinvetasi pada saham tersebut hanya dengan dana sebesar 5 juta rupiah. Karena fokus kita adalah nilai dari perusahan maka fokus kita adalah firm value catalyst. J. Dennis JeanJacques dalam bukunya “The 5 Keys to Value Investing” mengilustrasikan jenis-jenis firm value catalyst sebagai berikut:



223



Gambar 6.6 Jenis-jenis firm value catalyst



External



On going, a series of events; Longer-term duration



Industrywide;for example: Cyclical industry coming off M&A activity its through



Internal



One-time event; Short-term in duration



Assets sale, spin off, share repurchase



Effective organizational change: new operational and/or corporate strategies



Sumber: The 5 Keys to Value Investing, J. Dennis Jean-Jacques



Berdasarkan catalyst matrix tersebut, kita membagi firm value catalyst menjadi 2 kategori yaitu internal dan eksternal. Katalis internal berkaitan dengan apa yang terjadi di dalam suatu perusahaan seperti penjualan aset ataupun perubahan strategi. Katalis eksternal berkaitan dengan apa yang terjadi di nilai value bisnisnya. Contohnya adalah maraknya merger dan akuisisi serta bangkitnya perusahaan-perusahaan cyclical (misalnya otomotif dan pertambangan). Berdasarkan durasinya, masing-masing katalis tersebut dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu one-time event yang durasinya pendek dan series of events yang lebih panjang durasinya. Pada umumnya, one-time event akan mempengaruhi nilai perusahaan dan bisa juga harga sahamnya dalam jangka pendek. Sebagai contoh 224



adalah penjualan aset. Dalam laporan keuangan kita dapat melihatnya di dalam bagian extraordinary income di laporan laba rugi. Biasanya saya tidak memasukkan laba seperti ini di dalam proyeksi untuk valuasi karena hanya terjadi sekali dan tidak akan terulang kembali. Penjualan aset akan memberikan dampak yang bagus perusahaan apabila aset yang dijual memberikan imbal hasil yang lebih rendah daripada cost of capital. Hasil penjualan aset tersebut dapat dipergunakan untuk membeli aset lain yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Cost of Capital (CoC) adalah biaya yang harus kita keluarkan untuk memperoleh modal. Jika kita hendak berutang untuk memulai bisnis, maka bunga yang diminta oleh pemberi utang (kreditur) kita sebut cost of capital. Sama halnya apabila kita meminta investor untuk membeli saham perusahaan kita. Imbal hasil yang mereka inginkan juga disebut dengan cost of capital dan modal yang mereka tanam disebut dengan ekuitas. Jika modal suatu bisnis terdiri atas gabungan antara ekuitas dan utang, maka cost of capital-nya dihitung berdasarkan persentase masing-masing jenis modal.



Dengan mendeteksi adanya firm value catalyst, perusahaan yang sebelumnya mahal akan terlihat lebih murah karena nilainya bertambah. Perusahaanperusahaan seperti inilah yang sebaiknya kita cari karena akan memberikan imbal hasil yang memuaskan di masa depan. 225



Terkadang Tidak Ada Salahnya Untuk Tidak Berinvestasi Andaikan saat ini Anda telah melakukan analisis yang mendalam terhadap suatu perusahaan dan mengetahui bahwa bisnisnya sangat prospektif, kondisi keuangannya sangat kuat, dan laba terus tumbuh dari waktu ke waktu. Niat Anda sudah menggebu-gebu untuk membeli sahamnya. Sayang ketika Anda melakukan valuasi, ternyata harganya telah melambung tinggi. Jika Anda membelinya, kemungkinan besar imbal hasil yang akan Anda dapatkan tidak akan cukup memuaskan sementara saat ini Anda memiliki dana yang cukup besar untuk disalurkan. Permasalahan tersebut seringkali dialami oleh para investor. Pasar terkadang overreaktif sehingga membeli saham yang dianggap bagus tanpa memperdulikan berapa harga yang harus dibayar untuk memperolehnya. Kondisi tersebut akan semakin parah ketika pasar sedang bullish. Semua orang berebutan untuk membeli saham. Berita positif bertebaran di mana-mana dan mengaburkan fakta sebenarnya. Pada kondisi tersebut, kita harus mengingat sebuah idiom investasi, price is what you pay, value is what you get. Jika memang suatu saham sudah dijual terlalu mahal, sebagus apapun bisnisnya tidak akan memberikan kita 226



keuntungan kecuali kita berspekulasi bahwa akan ada orang lain yang mau membeli saham kita di harga yang lebih tinggi. Ketika kita mengharapkan hal tersebut, kita telah mengarah ke ranah spekulasi yang berada di luar pembahasan kita. Apabila terdapat cukup banyak orang yang berpikiran sama seperti itu, secara sistemis pasar akan cenderung membuat bubble. Anda pasti masih teringat dengan jelas hard landing harga komoditas ketika krisis global pada tahun 2008 silam terjadi. Harga minyak melambung tinggi tanpa justifikasi fundamental yang kuat. Harga komoditas lain ikut terdongkrak dan harga saham-saham berbasis komoditas dengan cepat menjulang tinggi. Ketika pasar menyadari bahwa kenaikan tersebut bersifat semu dan ditambah lagi dengan semakin meluasnya krisis kredit yang melanda Amerika Serikat, harga komoditas kontan jatuh dan meninggalkan para investor dalam kondisi merugi. Pesan yang hendak saya sampaikan di sini adalah bahwa tidak ada salahnya kita memegang uang kas dan menunda waktu untuk berinvestasi. Keuntungan yang kita dapatkan dalam berinvestasi saham berbanding terbalik dengan harga yang harus kita bayarkan. Tidak masuk akal apabila kita berinvestasi pada suatu saham yang kita tahu untuk saat ini tidak cukup potensial untum memberikan kita keuntungan yang memadai. Anda tidak akan merugi apabila memegang kas. Akan 227



tetapi permasalahan akan menjadi berbeda ketika Anda mengalami kerugian pada investasi Anda. Uang Anda akan hilang secara permanen dan Anda mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali lagi pada posisi Anda saat ini.



228



Tujuh Mengelola Portfolio



Salah satu bagian penting dalam berinvestasi adalah pengelolaan portfolio. Walaupun kita mampu memilih saham-saham yang bagus dan layak untuk dikoleksi, kecerobohan dalam pengelolaan portfolio berpotensi menyebabkan imbal hasil yang kita peroleh menjadi tidak optimum. Pada kesempatan lain, ada kemungkinan kita akan terpapar pada risiko yang seharusnya bisa diminimalisasikan.



Sebuah Pandangan Tentang Diversifikasi Salah satu cara untuk mengurangi risiko investasi adalah dengan melakukan diversifikasi. Dengan melakukan diversifikasi, kita akan mengurangi risiko kerugian apabila salah satu atau lebih perusahaan yang kita miliki bangkrut atau mengalami masalah fundamental yang tidak terduga. Secara matematis, semakin banyak saham yang kita miliki, semakin kecil risiko portfolio kita akan jatuh nilainya. 229



Bayangkan Anda saat ini memiliki 4 saham yang katakanlah masing-masing berpotensi untuk memberikan imbal hasil 40%. Tiga dari empat saham yang Anda miliki ternyata memang benar memberikan imbal hasil seperti yang diharapkan sementara saham keempat memberikan imbal hasil hanya 5%. Secara total, imbal hasil portfolio Anda adalah 31,25%. Anda telah berhasil memperkecil risiko jika hanya memiliki satu jenis saham yang imbal hasilnya hanya 5% tersebut. Pada kasus ini, diversifikasi yang dilakukan telah berhasil menyelamatkan portfolio Anda. Mari kita teruskan dongeng kita ini. Jika seandainya ada salah satu saham yang ternyata imbal hasil jauh dinatas perkiraan, katakanlah 80% sementara ketiga saham yang lain memberikan imbal hasil sesuai dengan harapan, yaitu 40%. Portfolio Anda akan memberikan imbal hasil 50%, yang tentu saja lebih tinggi dari ekspektasi. Pelajaran yang kita dapatkan adalah bahwa diversifikasi secara matematis memang benar akan mengurangi risiko. Di sisi lain, diversifikasi yang Anda lakukan akan mengurangi potensi imbal hasil apabila ada salah satu atau lebih saham yang performanya sangat bagus. Pada skenario kedua, Anda akan memperoleh imbal hasil 80% apabila hanya berinvestasi pada satu saham saja. 230



Contoh di atas tentu saja sangat sederhana karena hanya melibatkan empat jenis saham. Bagaimana seandainya Anda memiliki 10, 20, 30, atau bahkan 50 jenis saham? Anda akan mengurangi risiko tunggal akibat kejatuhan salah satu saham namun akan mengorbankan potensi keuntungan yang besar pada saham-saham yang kinerjanya cemerlang. Di BEI kita mengenal indeks LQ-45 yang berisikan 45 saham unggulan. Apabila kita memiliki seluruh saham yang terdaftar di indeks LQ-45, hampir pasti imbal hasil portfolio kita akan serupa dengan kinerja LQ-45. Jika hanya memiliki 30 saham, mungkin kinerja portfolio kita akan sedikit berbeda dengan kinerja indeks LQ-45. Jika kita memiliki hanya 20 jenis saham, kemungkinan imbal hasil portfolio kita berbeda dengan indeks LQ-45 menjadi semakin besar. Bagaimana jika kita hanya memiliki 10 jenis saham, atau malahan mungkin hanya lima jenis? Kinerja portfolio kita akan jauh berbeda dengan kinerja indeks LQ-45 dan lebih bergantung pada kemampuan stock picking kita. Sejauh apa kita harus mendiversifikasikan portfolio kita? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita mereview ulang apa yang telah kita lakukan sebelum menyusun portfolio. Seorang investor akan menganalisis saham-saham yang menarik secara 231



mendalam termasuk risiko-risiko yang mungkin . Dengan melakukannya berarti kita telah memahami risiko yang mungkin akan timbul. Akan sangat riskan apabila kita mengetahui sebuah perusahaan berpotensi bangkrut namun kita tetap memaksakan diri membeli sahamnya. Jika kita mengabaikan risiko tersebut dan berharap saham tersebut akan berkinerja bagus, artinya investasi kita telah mengarah ke spekulasi. Proses investasi dengan tingkat spekulasi yang tinggi akan lebih susah ditebak hasilnya. Saya pribadi akan berusaha menghindari gaya investasi seperti itu. Sebuah proses investasi yang dilakukan secara detil dan mendalam kemungkinan besar akan memberikan hasil yang setimpal. Tentu saja saya tidak akan mengesampingkan adanya faktor kebodohan atau 'bad luck'. Ada kemungkinan saya salah dalam menilai harga wajarnya ataupun gagal mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi. Oleh karenanya, saya akan memberikan margin of safety untuk mengantisipasi kebodohan ataupun 'bad luck' tersebut. Jadi, jika proses pemilihan saham telah dilakukan dengan benar dan telah ada penambahan margin of safety, sebenarnya kita telah mengurangi risiko secara signifikan. Pada kondisi tersebut, kita harus lebih kritis dalam menafsirkan makna diversifikasi. Lakukanlah diversifikasi secukupnya. Akan lebih bagus lagi apabila kesemua saham yang kita miliki memang 232



memiliki,prospek yang bagus. Dengan demikian kita tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan diversifikasi. Agak konyol menurut saya apabila kita melakukan diversifikasi semata-mata hanya untuk menyebar risiko sementara kita tahu bahwa ada sahamsaham yang masuk ke dalam portfolio kita yang tidak menjanjikan imbal hasil yang memuaskan. Keadaan memang akan berbeda apabila kita melihat dari sudut pandang seorang fund manager reksa dana misalnya. Mereka mengelola dana yang sangat besar jumlahnya namun dibatasi oleh berbagai macam aturan. Sebagai contoh, seorang manajer investasi hanya diperbolehkan memiliki maksimum 5% dari dari dana yang dikelola untuk satu jenis saham. Tidaklah mungkin bagi mereka untuk memiliki hanya 5 atau 10 jenis saham saja. Selain itu, apabila suatu reksa dana dalam prospektusnya hanya diperbolehkan memiliki saham-saham yang tergabung dalam indeks LQ-45, reksa dana tersebut akan melewatkan kesempatan untuk memiliki saham-saham prospektif yang tidak masuk ke dalam indeks LQ-45. Di sini lah keuntungan kita sebagai investor individual. Tidak ada aturan yang melarang kita untuk mengalokasikan 40% dana kita untuk satu saham saja. Kita pun bebas untuk memilih saham apa saja, bahkan yang kapitalisasi pasarnya sangat kecil sekalipun. Kita memiliki kemewahan233



kemewahan yang tidak dimiliki oleh para manajer investasi tersebut. Kesimpulannya, pertimbangkan masak-masak sebelum melakukan diversifikasi. Pastikan bahwa diversifikasi yang kita lakukan memang diperlukan dan bukan semata-mata hanya untuk menyebar risiko. Manfaatkan keunggulan kita sebagai investor individual yang memiliki kebebasan tak terbatas dalam memilih saham.



Review Portfolio Anda Secara Berkala Salah satu saran investasi yang bagus bagi investor adalah berinvestasilah dalam jangka panjang. Saham adalah instrumen investasi yang sangat fluktuatif pergerakannya. Dalam jangka pendek, harga saham bisa sangat jauh berbeda dari harga wajarnya. Oleh karena itulah jika kita berniat untuk berinvestasi akan tetapi setiap hari merasa 'gatal' untuk terus memantau pergerakan harga saham yang kita miliki bisa menyebabkan kebimbangan dan kehilangan keyakinan. Manusia itu pada dasarnya penuh rasa ingin tahu dan cenderung untuk menjadi 'control freak'. Ketika kita memutuskan untuk membeli suatu saham, pada detik itu juga kendali terhadap modal kita akan diambil oleh pasar. Perasaan kehilangan kontrol akan menyebabkan kita ingin terus-menerus mencoba mengendalikan dana 234



yang telah kita relakan tersebut. Nasihat dari saya: frekuensi pemantauan saham yang terlalu sering akan menyebabkan sakit kepala, rasa cemas berlebihan, dan kesulitan untuk tidur di malam hari. Oleh karena itu cobalah untuk lebih ikhlas hahaha. Pasar itu sangat kuat daya pikatnya. Pasar mampu mengombangambingkan kondisi psikologis kita dengan berbagai macam trik yang dimilikinya. Jika tidak percaya, cobalah untuk memantau harga saham terus menerus. Anda akan memahami makna dari mind trick yang saya maksudkan tersebut. Walaupun begitu, investor tetap harus memantau perkembangan portfolionya secara berkala. Frekuensinya tidak perlu terlalu sering, cukup 6 bulan sekali atau 3 bulan sekali untuk memantau perkembangan kuartalan. Mengapa kita perlu untuk melakukan review terhadap portfolio kita? ✓ Untuk memastikan bahwa asumsi dasar yang kita gunakan untuk berinvestasi masih sesuai dengan kondisi terkini. Tidak ada manusia yang sempurna. Walaupun sudah melalui pertimbangan yang masak, kondisi fundamental saham bisa saja berubah setiap waktu. ✓ Memeriksa apakah ada saham yang harganya sudah naik jauh melampaui harga wajarnya. Apabila kita merasa harga sudah tidak wajar, ada 235



baiknya kita memasukkan dana investasi kita ke saham lain yang masih prospektif. Apabila harga sahamnya sudah naik tajam sementara secara bisnis masih sangat menarik, kurangi porsi saham tersebut di dalam portfolio. ✓ Jangan lupa untuk memanfaatkan dividen yang telah kita terima untuk diinvestasikan kembali. Banyak investor yang sering melupakan hal ini dan melewatkan peluang untuk memanfaatkan efek compounding untuk meningkatkan nilai portfolio. ✓ Prinsip dasar seorang investor adalah mencari instrumen investasi yang paling prospektif dengan risiko yang terukur. Selama rentang waktu antar review, ada kemungkinan kita akan menemukan saham yang cukup prospektif untuk dibeli. Bandingkan saham yang baru kita temukan tersebut dengan saham yang telah dimiliki. Apabila memang benar saham tersebut lebih prospektif, jangan segan-segan untuk menukarnya. Tidak ada larangan untuk melakukannya. ✓ Ada kalanya kita membuat keputusan investasi yang salah. Saham yang kita pikir cukup menjanjikan ternyata kinerjanya mengecewakan. Fungsi dari portfolio review adalah untuk memeriksa apakah keputusan kita sebelumnya masih benar dan relevan. 236



Portfolio review ini merupakan bagian dari siklus investasi. Dengan melakukan review, kita akan tetap menjaga portfolio agar tetap berada di jalan yang benar dan sesuai dengan tujuan investasi kita.



Perlukah Melakukan Rebalancing Portfolio? Portfolio rebalancing merupakan tindak lanjut dari review yang telah dilakukan. Bentuk dari portfolio rebalancing ini tidak hanya terbatas pada mengatur proporsi masing-masing saham namun juga mengganti saham-saham yang ada dengan saham baru yang lebih prospektif. Dalam perjalanannya, kita akan melihat masingmasing saham yang kita miliki memiliki kinerja yang bervariasi. Ada saham yang kenaikan harganya tidak sesuai dengan ekspektasi, ada pula saham yang kinerjanya jauh melampaui ekspektasi kita. Variasi tersebut akan menyebabkan proporsi masing-masing saham berubah dari proporsi awal yang telah kita susun. Apabila kinerjanya memang sesuai dengan yang kita harapkan, biarkan saja seperti apa adanya. Namun jika kinerjanya berbeda dari yang kita harapkan, lakukan review dan analisis ulang untuk memeriksa apakah kondisi fundamentalnya telah berubah. Apabila memang kondisi aktual telah melenceng dari 237



ekspektasi kita karena berubahnya kondisi fundamental, lakukan rebalancing. Ubahlah komposisi portfolio dengan menambah proporsi investasi pada saham-saham yang lebih prospektif serta mengurangi atau bahkan membuang saham-saham yang secara bisnis sudah tidak menjanjikan. Dengan melakukan rebalancing secara berkala kita akan terhindar dari kepemilikan atas saham-saham yang secara bisnis tidak menarik dan berharga terlalu mahal. Tidak ada yang menjamin bisnis yang tampak menarik hari ini akan tetap menarik pada tahun-tahun berikutnya. Portfolio rebalancing secara berkala ini juga merupakan kesempatan bagi kita untuk menambahkan saham-saham baru yang menarik ke dalam portfolio. Apabila saham-saham lama yang kita miliki masih bagus prospeknya, kita bisa menambahkan saham baru yang sama menariknya. Dengan melakukannya, kita akan sekaligus juga melakukan diversifikasi.



Berinvestasilah Secara Rutin Jika Anda bukan orang yang tiba-tiba mendapatkan warisan atau menang lotere dalam jumlah besar, kemungkinan besar Anda harus mencicil dalam berinvestasi. Contoh paling mudah adalah karyawan yang setiap bulannya menerima gaji. Sebagian dari gaji 238



akan dapat dialokasikan untuk menambah jumlah investasinya. Seorang pengusaha pun juga bisa menerapkan hal yang sama walaupun pendapatan usahanya naik turun dari bulan ke bulan. Salah satu cara yang paling populer untuk berinvestasi secara rutin adalah dengan menggunakan strategi dollar cost averaging (DCA). Dengan DCA, kita akan berinvestasi secara berkala dengan nominal yang tetap tanpa memperdulikan berapa harga saham saat itu. Yang diharapkan adalah membeli saham dengan jumlah sedikit ketika harganya turun dan membeli lebih banyak ketika harganya naik. Walaupun DCA adalah salah satu cara termudah dalam berinvestasi, ada beberapa hal yang harus kita cermati. Yang pertama, ada baiknya jadwal DCA kita sesuaikan dengan jadwal portfolio review dan rebalancing. Dengan begitu kita akan lebih akurat dalam mengalokasikan dana yang kita miliki. Setelah selesai melakukan review kita akan mengetahui saham mana yang harus ditambah proporsinya ataupun bahkan mungkin menambahkan saham baru ke dalam portfolio. Yang kedua, apabila memang tidak ada keperluan untuk mengubah komposisi dan jumlah investasi kita, jangan memaksakan diri untuk top-up. Tidak ada salahnya sebagian dana yang kita miliki disimpan di 239



dalam tabungan atau deposito. Ada kalanya secara keseluruhan harga saham sudah terlalu mahal sehingga lebih bijak bagi kita untuk bersabar untuk menambah jumlah investasi. Ketika terjadi crash di pasar, Anda akan sangat bersyukur manakala masih memiliki dana cadangan yang dapat Anda investasikan pada sahamsaham yang telah jatuh harganya. Bayangkan betapa menyakitkannya melihat saham-saham bagus dijual dengan harga superdiskon ketika krisis global 2008 terjadi sementara kita tidak memiliki dana yang dapat digunakan untuk membelinya. Kesempatan sebagus seperti itu mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Keuntungan dari berinvestasi secara rutin adalah seakan-akan menabung dengan bunga yang jauh lebih tinggi daripada bunga deposito. Kata kuncinya adalah kesabaran dan kejelian dalam melihat peluang yang ada sehingga dana investasi kita akan dapat dialokasikan dengan tepat.



Kapan Kita Harus Menjual Saham? Jawaban dari pertanyaan ini seringkali jauh lebih sulit daripada jawaban untuk pertanyaan mengenai saham mana yang menarik untuk dibeli. Kenyataannya, ada kalanya kita harus dihadapkan pada pilihan untuk tetap memegang suatu saham ataukah menjualnya. 240



Ketika Anda memutuskan untuk menjual suatu saham, pastikan bahwa Anda memiliki alasan yang tepat. 1. Anda membuat keputusan yang salah. Investasi adalah tentang prospek di masa depan. Untuk itu, kita akan membuat asumsi sebagai hasil dari analisis yang mendalam terhadap suatu bisnis. Dalam perjalanannya ada kemungkinan ada faktor yang sebelumnya tidak kita perhatikan namun ternyata berpengaruh besar pada kinerjanya. Sebagai contoh, kita memutuskan untuk berinvestasi pada perusahaan yang bergerak di bisnis mini market. Setelah mengkalkulasi kondisi keuangan, prospek pangsa pasar dan berbagai macam risikonya, kita akhirnya membeli sahamnya. Setelah beberapa waktu, kinerjanya ternyata tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Setelah menggali informasi lebih mendalam, kita menemukan bahwa ternyata perusahaan tersebut terbentur pada masalah perijinan dan berpotensi memperlambat ekspansi yang telah direncanakannya. Apabila kita tidak terlalu yakin masalah tersebut tidak akan cepat terselesaikan, jangan ragu-ragu untuk melakukan cut-loss. 2. Kondisi fundamental telah berubah. Tidak ada yang menjamin sebuah bisnis akan langgeng selamanya. Mungkin saja saham yang telah kita miliki selama bertahun-tahun ternyata mulai melambat kinerjanya karena sudah tidak memiliki cukup ruang 241



untuk berekspansi lebih lanjut. Jika kita tetap bersikukuh untuk tetap memegang sahamnya, ada kemungkinan imbal hasil yang kita dapatkan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Keadaan akan menjadi lebih buruk apabila imbal hasil yang kita dapatkan ternyata lebih rendah dari kinerja indeks acuan, misalnya IHSG atau bahkan lebih rendah dari suku bunga deposito. Jika tetap ngotot untuk tetap mempertahankan saham tersebut di dalam portfolio, kita harus memiliki alasan yang kuat bahwa kondisi fundamental perusahaan tersebut akan membaik di masa mendatang. Seringkali pada kondisi tersebut akan lebih bijak bagi kita untuk mengganti saham tersebut dengan saham lain yang lebih prospektif. 3. Nilai saham tidak dapat menjustifikasi harga. Sebagai seorang investor, kita harus memahami bahwa Mr. Market mengidap manic-depressive. Mood-nya mudah berubah-ubah dari waktu ke waktu. Bagi seorang investor, perilaku tersebut akan memberikan keuntungan tersendiri. Ada kemungkinan tanpa disangka-sangka Mr. Market sedang riang gembira dan dengan senang hati bersedia membeli saham kita dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga wajarnya. Pada kondisi seperti itu, tidak ada salahnya kita mempertimbangkan untuk menjual sahamnya dan menunggu harganya kembali ke harga wajarnya untuk 242



kita beli kembali. Walaupun terlihat sederhana, pada beberapa kasus kita sebaiknya tidak melakukan hal tersebut. Jika kita yakin saham kita memiliki competitive advantage yang sangat kuat mungkin akan lebih baik bagi kita untuk tidak menjual sahamnya. Apabila saham tersebut tidak memiliki competitive advantage yang kuat, keputusan akan menjadi lebih mudah. 4. Proporsi saham di dalam portfolio terlalu besar. Ada kalanya suatu saham akan naik harganya karena bisnisnya terus membaik dari waktu ke waktu. Tanpa terasa saham tersebut telah memiliki proporsi yang besar di dalam portfolio kita. Apakah kita harus menjualnya? Jawaban dari pertanyaan ini harus kita pikirkan masak-masak. Apabila saham tersebut kita yakini masih akan memberikan kinerja yang cemerlang di masa mendatang, tidak ada cukup alasan bagi kita untuk menjualnya. Pilihan untuk menjual dapat kita ambil jika kita bisa menemukan saham lain dengan prospek bisnis minimal dengan saham tersebut. Untuk mengurangi risiko, kita dapat menukarkan sebagian saham dengan saham baru yang prospektif tersebut. Seperti halnya memilih saham, menjual saham adalah sebuah seni dan tidak 100% ilmiah. Pengalaman akan melatih kita untuk dapat membuat keputusan yang tepat saat menjual saham. 243



Sediakan Dana Cadangan Untuk Berinvestasi Ketika bursa saham mengalami crash, harga saham akan berjatuhan tidak perduli apakah saham tersebut berfundamental bagus atau tidak. Walaupun memang ada beberapa saham yang bertahan, kepanikan pelaku pasar seringkali pada umumnya tidak terbayangkan. Para investor yang panik akan membuang saham apa saja yang mereka miliki ketika harga saham berjatuhan. Naluri alamiah manusia adalah menghindar dari bahaya. Manakala bahaya menghadang, kita akan berusaha untuk menyelamatkan diri dan seringkali menggunakan cara yang kurang rasional. Uniknya, keberhasilan seorang investor seringkali terkait dengan kemampuannya untuk melawan naluri alamiahnya. Ketika harga saham berguguran, seorang investor harus tetap berkepala dingin dan berusaha untuk melihat peluang di balik kepanikan yang tengah terjadi. Hal tersebut memang lebih mudah dikatakan namun sulit untuk dilaksanakan, terlebih apabila portfolio kita terkena imbas kejatuhan bursa. Apabila saham kita memiliki fundamental yang kuat dan tidak banyak terpengaruh kinerjanya oleh kondisi ekonomi saat itu, secara rasional seharusnya kita tidak perlu menjualnya dan bahkan kondisi tersebut menjadi peluang bagi kita untuk membeli lebih banyak. Tentu 244



saja kita tidak bisa berharap saham yang kita beli saat itu akan langsung naik keesokan harinya. Krisis bisa terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tidak ada yang pernah tahu. Yang saya percaya, apabila kita membeli saham dengan fundamental bagus di harga yang murah, dengan sendirinya harganya akan mengikuti kinerja bisnisnya. Permasalahan akan muncul manakala harga sebagian besar saham sudah terlalu murah harganya namun kita tidak memiliki dana yang bisa kita investasikan. Kita akan melewatkan salah satu momen terbaik untuk berinvestasi. Oleh karena itu, jangan lupa untuk mempersiapkan dana dalam bentuk cash untuk mengantisipasi momen langka seperti itu.



Bagaimana Menghitung Imbal Hasil Investasi Jika Ada Penambahan / Pengurangan Dana? Pada sebuah kesempatan, ada sebuah pertanyaan bagaimana menghitung imbal hasil portfolio jika setiap bulannya kita aktif melakukan penambahan/ pengurangan modal. Jika tidak ada penambahan /pengurangan modal, menghitung imbal hasil portfolio akan terasa mudah karena kita tinggal menghitungnya



245



berdasarkan pertumbuhan dana investasi. Perhatikan tabel berikut: Tabel 7.1 Perhitungan imbal hasil portfolio



Bulan 0 1 2 3 4



Dana Kelolaan 50.000.000 51.000.000 51.910.714 51.546.429 51.462.065



Imbal Hasil



Akum. Imbal Hasil



2,00% 1,79% -0,70% -0,16%



2,00% 3,82% 3,09% 2,92%



Terlihat bahwa karena tidak ada penambahan /pengurangan dana, imbal hasil dihitung berdasarkan pertumbuhan dana investasi. Sayangnya, pada praktiknya tidak semudah itu. Terkadang kita akan melakukan penambahan dana investasi ataupun malahan menariknya karena ada kebutuhan pribadi. Hal tersebut mengakibatkan perhitungan return investasi tidaklah semudah contoh sebelumnya. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Kalau saya biasanya menggunakan sebuah indeks acuan, semacam NAB/unit di reksa dana. Dengan menggunakan cara tersebut, bias yang ditimbulkan pergerakan dana portfolio akan hilang. Mari kita perhatikan tabel berikut: 246



Tabel 7.2 Perhitungan imbal hasil portfolio dengan adanya penambahan/pengurangan dana Bulan 0 1 2 3 4



AKHIR BLN. SEBELUM SUBS/REDEEM Dana Jumlah NAB/ Kelolaan Unit Unit 50.000.000 50.000,00 1.000,00 51.000.000 50.000,00 1.020,00 51.910.714 54.901,96 1.038,21 51.546.429 54.901,96 1.030,93 51.462.065 59.266,96 1.029,24



SUBSC./ REDEEM 5.000.000 4.500.000 (3.000.000)



AKHIR BLN. SEBELUM SUBS/REDEEM Akum. Return Dana Jumlah NAB/ Return Kelolaan Unit Unit 50.000.000 50.000,00 1.000,00 56.000.000 54.901,96 1.020,00 2,00% 2,00% 57.000.000 54.901,96 1.038,21 1,79% 3,82% 61.100.000 59.266,96 1.030,93 -0,70% 3,09% 58.000.000 56.532,19 1.029,24 -0,16% 2,92%



Pada tabel tersebut, diasumsikan penambahan /pengambilan dana dilakukan pada akhir bulan. Penambahan/pengambilan dana di dunia reksa dana biasa disebut dengan subscription/redemption. Pada contoh tersebut, dana awal adalah Rp 50 juta. Agar sama dengan reksa dana, maka NAB/unit kita buat menjadi 1,000 sehingga jumlah unit = Rp 50 juta /1.000 = 50.000. Pada akhir bulan, dana kelolaan bertambah menjadi Rp 51 juta sehingga NAB/unit menjadi Rp 51 juta/50.000 = 1.020. Pada akhir bulan pertama, ada penambahan dana sebesar Rp 5 juta. Adanya penambahan ini akan menambah dana kelolaan namun tidak boleh menambah NAB/unit. Yang bertambah adalah jumlah unit, yaitu sebesar Rp 5 juta/1.020 = 4.901,96 unit. Terlihat bahwa setelah penambahan dana, nilai NAB/unit tetap 1.020 sehingga perhitungan imbal hasil



247



konsisten. Demikian seterusnya untuk bulan-bulan berikutnya. Untuk lebih jelasnya, spreadsheet bisa diunduh di: http://www.4shared.com/office/uthsLbjO/Simulasi_Perhitun gan_Investasi.html



248



Delapan Wrap-up: Studi Kasus PT Ace Harware Indonesia, Tbk (ACES)



Kinerja Operasional ACES Yang terlintas pertama kali di kepala saya ketika mendengar Ace Hardware adalah sebuah gerai yang menjual berbagai macam perkakas dan peralatan rumah tangga. Seperti yang dinyatakan sendiri oleh mereka, Ace Hardware (kode BEI: ACES) adalah peritel untuk produk home improvement dan gaya hidup. Walaupun mereka memiliki beberapa kompetitor namun tampaknya merekalah pemimpin pasar di bisnis ini. Kekuatan Ace Hardware ini tidak terlepas dari dukungan dari PT Kawan Lama Sejahtera sebagai pemegang saham mayoritas (59,97%) yang telah dikenal sebagai pemain lama untuk penyedia perkakas dan alat-alat rumah tangga. Pada tahun 2010, Ace Hardware membuka Toys Kingdom yang merupakan 249



ritel mainan yang menyasar segmen anak-anak, remaja, dan dewasa. Namun sepertinya karena masih baru, segmen usaha mainan ini belum mampu untuk menyumbang penjualan bagi Ace Hardware secara signifikan seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 8.1 Penjualan per segmen usaha ACES (dalam jutaan Rp)



Segmen Usaha Produk Perbaikan Rumah Produk Gaya Hidup Produk Permainan Jumlah



Penjualan 1.044.433 575.717 8.289 1.628.439



% 64,40% 35,35% 0,51%



Sumber: Laporan Tahunan ACES 2010, diolah



Segmen mainan hanya menyumbang 0,51% pendapatan total ACES. Penyumbang utama penjualan ACES adalah produk-produk perbaikan rumah (home improvement) (64,14%) sementara produk gaya hidup (life style) memberikan kontribusi 35,35% terhadap penjualan total. Hal menarik yang saya temui di laporan keuangan ACES adalah besarnya persentase opex/SGA expense (selling, general & administration expense) terhadap laba kotor yaitu 69%. Seperti yang diketahui laba operasi merupakan laba kotor setelah dikurangi opex. Dengan demikian tingginya opex akan membuat tergerusnya laba usaha dan laba bersih. Dari laporan keuangan ACES terlihat bahwa komponen gaji karyawan 250



menempati urutan teratas yang menyumbang 39,4% opex. Urutan kedua ditempati oleh biaya sewa yang menyumbang 14,8% opex. Apa kesimpulannya? Seperti umumnya bisnis ritel, karyawan memegang peranan sangat penting karena mereka akan langsung berhubungan dengan pelanggan. Gaji karyawan yang terlalu rendah akan menurunkan motivasi kerja dan pada akhirnya berakibat buruk bagi layanan mereka. Sebaliknya, gaji yang terlalu tinggi akan membuat laba kotor tergerus sehingga kinerja perusahaan akan menurun. Di sinilah letak peranan manajemen untuk mengelolanya sehingga komponen gaji karyawan persentasenya optimal. Mari kita menyelami kondisi operasionalnya lebih mendalam dengan memperhatikan grafik berikut:



251



Gambar 8.1 Kinerja operasional ACES



Sumber: Laporan Tahunan ACES 2010, diolah



SSG (Same Store Growth) ACES sempat mengalami penurunan -1,7% pada tahun 2009 karena krisis global dan kembali positif di tahun 2010 (+5,6%). SSG yang positif sangat penting untuk mengetahui apakah meningkatnya penjualan hanya disebabkan oleh penambahan jumlah gerai atau tidak. Yang jelas, store 252



area ACES terus meningkat dari tahun ke tahun, sebanding dengan bertambahnya jumlah gerainya. Nilai SSG yang positif dan pertumbuhan store area serta jumlah gerai merupakan kombinasi yang bagus untuk menopang pertumbuhan ACES. Hal ini terlihat pada laba bersih yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti terlihat pada grafik di bagian kanan bawah. Untuk kontrol saya menyertakan grafikoperating cash flow. Terlihat bahwa laba bersih naik beriringan dengan operating cash flow sehingga dapat dikatakan kinerja ACES cukup bagus. Secara operasional dapat dikatakan bahwa ACES cukup mengesankan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi membuat penjualan perusahaan-perusahaan ritel secara umum meningkat. Pada bagian kedua kita akan berdiskusi tentang kinerja keuangan dan valuasi ACES.



Kinerja Keuangan ACES Tabel 8.2 Kinerja keuangan ACES Ratios 2007 2008 2009 Gross profit margin 36,90% 41,13% 40,66% Operating margin 10,93% 13,46% 13,11% Net profit margin 6,77% 10,69% 11,37% ROE 10,24% 19,28% 17,80% ROA 8,53% 16,53% 15,91% Debt to equity ratio 0,00% 0,00% 0,00% Net profit growth 117,49% 18,22%



2010 43,18% 13,28% 10,84% 17,26% 14,93% 0,00% 15,16%



Sumber: Laporan Keuangan ACES 2007-2010, diolah



253



Terlihat bahwa dari tahun ke tahun, ACES berhasil memperbaiki gross profit margin sehingga naik cukup signifikan dari 36,90% pada tahun 2007 menjadi 43,18% pada tahun 2010. Hal ini membuat operating margin dan net profit margin pun meningkat. Pada tahun 2010, ROE ACES adalah 17,26% yang walaupun menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya namun masih cukup menarik dan yang jelas ada peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan ROE pada tahun 2007 yang hanya 10,42%. Hal yang sama pun terjadi pada ROA ACES yang cukup tinggi. Hal yang sangat menarik adalah bahwa ACES tidak mempunyai utang (berbunga). Hal ini sangat penting karena ACES akan mampu bertahan ketika masa krisis datang. Pertumbuhan laba bersih ACES dari tahun ke tahun pun cukup stabil di luar lonjakan yang terjadi pada tahun 2007. Karena ACES adalah perusahaan ritel, sangat penting bagi kita untuk menganalisis perputaran uangnya. Semakin cepat uangnya berputar semakin besar keuntungan yang diperoleh ACES. Bagaimana cara untuk mengetahuinya? Mari kita perhatikan tabel berikut:



254



Tabel 8.3 Kecepatan perputaran uang ACES Days payable outstanding Days in inventory Days sales outstanding Cash conversion cycle



2008 29,3 73,5 6,0 50,2



2009 18,5 66,4 4,7 52,7



2010 19,8 45,2 3,9 29,3



Sumber: Laporan Tahunan ACES 2010, diolah



Apa maksud dari angka-angka pada tabel tersebut? Tabel tersebut berbicara tentang bagaimana cepatnya uang kas ACES berputar. Sebelumnya, saya akan menjelaskan terlebih dahulu konsepnya ▪ Ketika ACES mengambil barang dari pemasok, biasanya tidak harus dibayar pada saat itu juga. Umumnya ada tenggang waktu yang diberikan oleh supplier bagi ACES untuk melunasinya. Lamanya waktu yang bisa didapatkan oleh ACES kita sebut dengan days payable outstanding. Semakin lama ACES bisa menangguhkan pembayaran piutang ke pemasok, semakin cepat uangnya berputar. ▪ Barang yang didapat dari pemasok akan disimpan di warehouse dan selanjutnya dipajang di gerai sampai dengan dibeli. Lamanya waktu dari penerimaan barang sampai dengan terjual kita sebut dengan days in inventory. Semakin cepat barang terjual, semakin bagus efeknya bagi ACES karena uangnya lebih cepat berputar.



255



▪ Barang yang telah terjual ada yang dibayar pada saat pembelian, ada pula yang dibayar kemudian. Terlebih pada masa kini di mana kartu kredit sudah umum digunakan sehingga ACES menerima uang hasil penjualan sedikit terlambat. Lamanya waktu mulai dari barang terjual hingga pembayaran diterima kita sebut dengan days sales outstanding. Semakin cepat pembayaran dilakukan, semakin cepat uang ACES berputar. Lamanya waktu mulai dari pembayaran barang ke pemasok sampai dengan uang hasil penjualan diterima oleh ACES disebut dengan cash conversion cycle. Semakin pendek cash conversion cycle, semakin cepat uang ACES berputar sehingga keuntungannya pun semakin meningkat. Cash conversion cycle dapat dihitung dengan rumus berikut: Cash conversion cycle = days in inventory + days sales outstanding – days payable outstanding Terlihat bahwa dari ke tahun ke tahun, days payable outstanding ACES terus menurun dari 29,3 hari menjadi hanya 19,8 hari. Dengan kata lain, tenggang waktu pembayaran ke pemasok semakin sempit. Hal ini kurang bagus. Oleh karena itu, kita harus memeriksa komponen yang lain. Cukup melegakan ketika saya mengetahui bahwa dari tahun ke tahun, barang yang disimpan oleh ACES semakin cepat terjual. Hal ini 256



terlihat dari days in inventory yang turun dari 73,5 hari menjadi hanya 45,2 hari. Satu hal lagi yang saya apresiasi adalah terus menurunnya jangka waktu pembayaran dari pelanggan. Hal ini terlihat dari days sales outstanding yang turun dari 6 hari menjadi hanya 3,9 hari. Secara keseluruhan, terlihat bahwa dari tahun ke tahun perputaran uang ACES semakin cepat dari 50,2 hari pada tahun 2007 menjadi hanya 29,3 hari pada tahun 2010.



Update Kinerja Kuartalan ACES Jika dari tahun ke tahun kinerja ACES terlihat menarik, mari kita mencoba melihat bagaimana perkembangan terakhirnya. Tabel 8.4 Update kinerja kuartalan ACES Revenue Gross profit Operating income Net income



Q3 2011 645.620 302.753 97.106 73.098



Q2 2011 537.795 260.150 71.293 54.780



Q1 2011 482.364 207.697 70.545 56.544



Q3 2010 421.431 187.812 51.072 42.613



Sumber: Laporan Keuangan ACES 2010-2011, diolah



Terlihat bahwa baik revenue, gross profit, operating income, dan net income ACES terus meningkat. Hal ini adalah pertanda baik. Sepertinya ACES terlihat menarik untuk dilirik. Langkah terakhir adalah mencari 257



berapa harga wajar ACES yang akan kita diskusikan pada artikel berikutnya.



Valuasi ACES Sampai sejauh ini, terlihat bahwa kinerja ACES cukup mengesankan. Adanya riak-riak kecil pada tahun 2009 saya anggap wajar karena seperti umumnya perusahaan retail, ACES pasti terpengaruh oleh krisis global. Yang penting, ACES berhasil bangkit dan kembali ke jalan yang benar. Bagaimana dengan valuasinya?



258



Gambar 8.2 Valuasi ACES



259



Seperti yang telah diduga, saat ini ACES dijual dengan harga premium. Dengan P/E ratio 28x, sepertinya pasar telah memfaktorkan potensi ACES di masa mendatang. Mengapa harga ACES overshoot? Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, pasar telah memfaktorkan penurunan risk premium sebagai akibat dari masuknya Indonesia ke level investment grade. Kemungkinan kedua adalah penggunaan proyeksi P/E ratio dan potential growth pada model valuasi secara konservatif (maksimum 17 untuk P/E ratio dan 15% untuk growth). Ada kemungkinan jika kita lebih moderat dalam pembatasan P/E ratio dan potential growth serta memfaktorkan penurunan risk premium, harga saat ini dapat terjustifikasi. Walaupun begitu, saya lebih suka bersikap konervatif dalam valuasi dan ACES ini akan masuk ke dalam daftar tunggu saya.



260



Sembilan Mind Juggling: Mengenal Behavioral Investing Manusia ditakdirkan untuk membuat kesalahan sampai ada satu pepatah yang mengatakan “sepandaipandainya tupai melompat akan jatuh juga”. Kita tidak bisa sempurna dalam segala hal, termasuk ketika membuat keputusan. Dalam membuat keputusan, selain dipengaruhi oleh rasio, sedikit banyak ada peranan intuisi di sana. Sayang sekali dalam banyak kasus, intuisi merupakan penyumbang kesalahan dalam pembuatan keputusan, termasuk juga keputusan investasi. Ketika berhadapan dengan suatu masalah yang cukup pelik, ada kalanya kita mempercayai perasaan untuk mengambil keputusan sehingga ada kemungkinan bias yang terjadi. Cobalah untuk memecahkan masalah berikut. Jumlah harga bola dan sepatu adalah 550 ribu rupiah. Harga sepatu lebih mahal 500 ribu rupiah dibandingkan dengan harga bola. Berapakah harga bolanya? 261



Secara intuitif mungkin banyak yang akan menjawab harga bolanya adalah 50 ribu rupiah dan harga sepatunya adalah 500 ribu rupiah. Coba pikir sekali lagi. Benarkah jawaban itu? Dengan menggunakan jawaban tersebut, maka memang benar bahwa jumlah harga bola dan sepatunya adalah 550 ribu rupiah. Namun intuisi kita mengarahkan kita untuk salah menjawab karena dengan begitu selisih harga sepatu dan bola adalah 450 ribu rupiah, bukan 500 ribu rupiah seperti yang dipersyaratkan. Jawaban yang benar adalah: harga bola 25 ribu rupiah sementara harga sepatu adalah 525 ribu rupiah. Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan bagaimana intuisi yang kita anggap benar ternyata dapat membawa kita untuk mengambil keputusan yang salah. Kondisi tersebut akan sering sekali kita hadapi ketika akan mengambil keputusan untuk berinvestasi. Untunglah manusia memiliki akal yang selalu dapat dipergunakan untuk belajar dari kesalahan. Dengan akal, kita dapat belajar untuk memperbaiki kesalahan kita dan dan membuat keputusan yang lebih baik di masa datang. Ups, ada yang lain lagi. Manusia ternyata juga pelupa. Jika manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan, mengapa bubble dan crash di 262



bursa saham masih sering terjadi? Mengapa pola-pola ponzi scheme tetap saja ada padahal sudah banyak kejadian di masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran? Kejadian yang sudah berlalu sekian tahun cenderung akan ‘hilang’ dari ingatan kita dan membuat kita kembali mengulangi kesalahan yang sama. Alasan yang sangat manusiawi. Jika begitu, bursa saham tidak akan sedinamis saat ini.



Apakah Anda Cukup Rasional? Saya memiliki satu ilustrasi yang cukup menarik. Pada suatu hari, muncul iklan di surat kabar mengenai biaya langganannya. Surat kabar tersebut menawarkan beberapa pilihan langganan: 1. Langganan online –> 250 ribu rupiah per tahun 2. Langganan cetak –> 900 ribu rupiah per tahun 3. Langganan online + cetak –> 900ribu rupiah per tahun Manakah yang kita pilih? Secara logika, sepertinya pilihan ketiga adalah pilihan terbaik. Lalu apa tujuan memberikan pilihan langganan cetak saja yang biayanya sama dengan langganan cetak + online? Bagaimana jika iklannya diubah menjadi seperti ini? 1. Langganan online –> 250 ribu rupiah per tahun 263



2. Langganan online + cetak –> 900 ribu rupiah per tahun Mana yang kita pilih? Jika diberikan pilihan seperti ini, pilihan no 1 menjadi yang terbaik karena paling ekonomis. Lho, padahal pilihan yang dihilangkan adalah pilihan yang pada iklan sebelumnya tidak kita pilih tetapi bisa membuat kita mengubah pilihan kita? Ilustrasi di atas saya ambil dari buku Dan Ariely yang berjudul “Predictably Irrational”. Buku yang sangat menarik yang mengupas bagaimana banyak sekali faktor yang membuat kita susah untuk selalu berpikir secara rasional. Lalu apa hubungannya dengan investasi? Pernahkah Anda membaca berita di koran yang isinya kira-kira seperti ini: “Bursa saham Indonesia masih cukup prospektif karena memiliki P/E ratio rata-rata yang lebih kecil daripada P/E ratio negara-negara sekawasan” Apa yang dapat disimpulkan dari berita tersebut? 1. Bahwa P/E ratio rata-rata BEI lebih rendah daripada P/E ratio bursa negara lain. 2. Investasi saham di BEI masih cukup prospektif.



264



Kesimpulan ke-2 harus dicek lagi kebenarannya. Apakah jika P/E ratio-nya lebih rendah secara otomatis Indonesia layak menjadi tempat investasi? Adakah kemungkinan meskipun lebih rendah akan tetapi P/E ratio-nya secara absolut sudah cukup tinggi? Bagi saya ini adalah masalah klasik dari relative valuation yang seringkali menjebak para investor. Semoga ke depannya kita bisa menjadi lebih kritis. Relative valuationadalah salah satu metode valuasi saham yang dilakukan dengan cara membandingkannya dengan saham perusahaan lain. Besaran yang paling sering digunakan untuk melakukan perbandingan adalah PER (price to earning ratio). Semakin kecil PER, harga sahamnya dianggap semakin murah. Besaran lain yang kerap kali digunakan antara lain PEG (price to earning growth ratio) dan PSR (price to sales ratio).



Manusia Yang Tidak Mau Rugi Peter L. Bernstein menjelaskan mengenai eksperimen mengenai perilaku manusia yang dilakukan oleh Kahneman dan Tversky. Keduanya mencoba membuktikan bahwa ada ketidakimbangan antara cara kita memutuskan sesuatu yang melibatkan keuntungan dengan keputusan kita yang menyangkut kerugian.



265



Dalam salah satu eksperimen mereka, mereka meminta responden memilih salah satu dari dua alternatif yaitu: 1. Pilihan memenangkan uang $4.000 dengan peluang 80%, dan 20% tidak memperoleh apa pun, atau 2. Peluang 100% memperoleh $3.000. Meskipun pilihan yang berisiko (nomor 1) memiliki harapan matematis yang lebih besar ($3.200), ternyata 80% orang memilih $3.000 yang sudah pasti. Orangorang tersebut termasuk kelompok risk-averse. Risk Averse adalah jenis investor yang cenderung untuk menghindari risiko. Investor ini lebih menyukai kepastian walaupun imbal hasilnya kecil. Risk averse merupakan lawan dari risk-taker. Investor jenis ini rela untuk mengambil risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi.



Setelah itu, Kahneman dan Tversky menawarkan pilihan lain: 1. Mengambil risiko dengan peluang 80% merugi $4.000 dan 20% impas, atau 2. Peluang 100% merugi $3.000. Sekarang, 92% dari responden memilih untuk ikut bertaruh, meskipun harapan matematis merugi $3.200 masih lebih besar daripada yang pasti merugi $3.200. 266



Apabila pilihan menyangkut kerugian, kita cenderung menjadi risk-taker, bukannya risk-averse. Kahneman dan Tversky menafsirkan bukti dari eksperimen ini sebagai petunjuk bahwa orang bukanlah risk-averse. Mereka bersedia bertaruh jika dianggap memang memadai. Pendorong utamanya adalah “ogah rugi”. Tidak banyak orang yang membenci ketidakpastian, mereka sekedar membenci rugi. Dibandingkan dengan keuntungan, kerugian akan selalu lebih mengancam. Hasil eksperimen tersebut kemudian melahirkan Teori Prospek yang mengantarkan kedua orang tersebut untuk meraih nobel.



Minsky Moment, Ketika Irasionalitas dapat Terprediksi Sebagian dari Anda mungkin tidak mengenal Hyman Minsky. Namanya sebagai seorang ekonom mencuat kembali ketika krisis global melanda dunia pada tahun 2008 lalu. Minsky sendiri meninggal pada tahun 1996, jauh sebelum publik berpaling pada teori yang pernah dikemukakannya pada tahun 1960-an. Teori Minsky mengenai “financial instability” menjadi makna yang penting. Untuk menjelaskan teorinya, Minsky memiliki sebuah kerangka kerja untuk 267



memahami financial bubble di mana ia membagi proses terjadinya bubble menjadi 5 tahapan. Minsky berpendapat bahwa masa ekspansi ekonomi di mana perusahaan tidak mengalami kesulitan berarti untuk membayar utang-utangnya, akan menjadi pemicu berbagai macam aksi spekulatif yang pada akhirnya membuat utang kembali membengkak dan menimbulkan krisis keuangan. Pada intinya, Minsky berpendapat bahwa masa-masa stabil akan memicu para investor untuk lebih berani mengambil risiko yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka akan cenderung mengambil utang secara berlebihan dan membayar aset-aset investasi dengan harga yang terlalu tinggi. Contoh yang bagus selain krisis global 2008 adalah depresi besar yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1929. Sebelum depresi, masa depan ekonomi AS terlihat sangat cerah dan membuat ratusan ribu orang menanamkan modal di bursa saham secara agresif. Investasi di bursa saham dirasakan sebagai sebuah kepastian untuk menjamin masa depan dan mereka meminjam uang cukup banyak untuk berinvestasi di bursa saham. Bahkan seorang ekonom terkenal pun, Irving Fisher membuat pernyataan yang akan selalu dikenang sampai saat ini: “Stock prices have reached what looks like a permanently high plateau.”. Dengan kata lain, Irving Fisher berpendapat bahwa harga saham akan naik terus dan tidak akan pernah turun. Pernyataan 268



tersebut dilontarkan Fisher hanya beberapa sebelum crash tahun 1929 terjadi. Teori Minsky ini juga mampu untuk menjelaskan Ponzi scheme (skema Ponzi) yang terkenal itu. Mari kita kembali pada teori Minsky mengenai “financial instability”. Apa yang membuat teorinya begitu istimewa? Bukankah penjelasan mengenai tahapan-tahapan bubble sudah sangat umum? Minsky mengemukakan teorinya tersebut pada tahun 1960-an di mana pada saat itu hubungan antara pasar keuangan dengan ekonomi belum terlalu dipahami. Oleh karenanya, teori Minsky ini bisa dibilang sangat radikal sehingga tidak mendapatkan perhatian yang berarti dari publik. Pandangan Minsky bertolak belakang dengan pandangan ekonomi umum bahwa ekonomi kapitalis bersifat stabil dan cenderung menuju pertumbuhan yang stabil. Teori Minsky menjadi sangat relevan ketika krisis perumahan tahun 2008 yang dipicu oleh rendahnya suku bunga pinjaman sehingga melesatkan harga properti di AS.



Tahapan Financial Bubble Menurut Minsky, secara umum bubble dapat dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu: 269



Tahap 1 – Displacement Setiap bubble memiliki pemicu. Misalnya adalah penemuan teknologi baru ataupun perubahan kebijakan ekonomi. Pemicu tersebut menyebabkan perubahan di salah satu sektor ekonomi. Pada tahap ini, belum banyak orang yang menyadari perubahan tersebut. Harga perlahan-lahan mulai naik. Tahap 2 – Boom Orang-orang mulai menyadari perubahan yang terjadi. Semakin banyak orang yang berpartisipasi sehingga harga naik semakin tinggi. Pada awalnya, kenaikan harga mungkin masih cukup rasional karena didukung oleh kondisi fundamentalnya. Fenomena yang terjadi mulai mendapatkan sorotan media. Orang-orang mulai takut ketinggalan kereta sehingga jumlah partisipan semakin bertambah banyak. Suku bunga semakin turun sehingga menjadi katalisator. Masih ingatkah Anda pada boom tanaman Anthurium yang melanda Indonesia beberapa tahun yang lalu? Apakah saat itu Anda merasakan hal yang sama dengan penjelasan di atas? Tahap 3 – Euforia Pada fase ini, nilai aset sudah membubung terlalu tinggi. Cerita-cerita mengenai orang yang kaya mendadak dari fenomena ini tersebar ke mana-mana. 270



Teori “greater fool” mulai menjadi kenyataan. Harga aset sudah terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kondisi fundamentalnya. Para partisipan hanya bisa mendapatkan keuntungan apabila ada pihak lain yang mau membeli di harga yang lebih tinggi. Jika ada yang mulai meragukan justifikasi dari kenaikan harga, akan muncul argumen “this time is different” untuk mengantisipasi keraguan tersebut. Para analis mulai mencari metode valuasi yang bisa menjustifikasi harga yang terlalu tinggi. Tahap 4 – Profit taking oleh insider Ketika harga sudah menjadi sangat tidak masuk akal, orang-orang yang sudah lama berkecimpung di bisnis tersebut sejak lama dan masih berpikiran jernih mulai melihat adanya alarm bahaya dan menarik investasinya. Jalannya proses bubble mulai tersandungsandung namun masih dianggap sebagai kerikil-kerikil kecil saja. Pada titik ini, bubble sebenarnya sudah mulai pecah karena dengan tidak ada dukungan dari para “old player”, maka bubble tidak akan bisa berkembang menjadi lebih besar lagi. Tahap 5 – Panic Pada tahapan ini, harga aset mulai terjun bebas dan menyapu bersih para partisipan di dalamnya. Contoh ekstrim yang pernah terjadi adalah ketika demam tulip yang terlampau irasional, diakhiri hanya dalam satu 271



malam. Para partisipan mulai panik dan bersedia menjual di harga berapapun. Harga ambrol dan kucuran kredit tiba-tiba mampet. Selanjutnya yang ada tinggallah cerita pilu para investor. Masihkah Anda ingat dengan cerita TMPI yang berakhir tragis hanya dalam 15 menit saja? Apa yang dikemukakan oleh Minsky sebenarnya dapat kita pahami sendiri. Minsky hanyalah mencoba menjelaskan dan membangunkan kita dari tidur. Gabungan antara kelonggaran kredit, overtrade, dan eforia hampir pasti akan berakhir pada kehancuran. Lucunya, setiap kali terjadi, selalu ada partisipan yang bersedia menjadi korban. Jadi, apakah benar manusia selalu bersikap rasional?



272



Penutup Tak terasa kita sudah sampai pada akhir buku ini. Bagaimana perasaan Anda setelah membaca buku ini? Kecewa, tidak puas, atau malahan semakin bertanyatanya apa maksud dari tulisan-tulisan yang ada di buku ini? Apapun perasaan Anda, saya berharap Anda dapat memperoleh manfaat dengan membaca buku ini. Terus terang saja buku ini lebih terfokus pada pemikiran-pemikiran praktis mengenai analisis fundamental saham. Buku ini bukan merupakan text book yang sarat dengan pemikiran ilmiah namun lebih merupakan pengembaraan pemikiran mengenai ide-ide dalam berinvestasi saham. Sangat mungkin ada kesalahan sudut pandang, kesalahan pendekatan matematis, atau bahkan kesalahan dari konsepnya sendiri. Anda sendiri yang dapat memutuskannya. Jadi, bagaimana selanjutnya? Semuanya bergantung pada Anda sendiri. Buku ini hanya bisa menunjukkan jalan namun pilihan tetap berada di tangan Anda.



273



274



Tentang Penulis Parahita adalah seorang pemerhati dan praktisi investasi saham yang memiliki sebuah blog untuk mencurahkan ide-idenya mengenai investasi saham. Sarana lain yang dipergunakan untuk menampung ideidenya adalah Kaskus yang merupakan komunitas online terbesar di Indonesia. Selain aktif menulis mengenai saham, penulis juga merupakan salah satu kontributor di PortalReksadana, sebuah komunitas di dunia maya yang memberikan edukasi mengenai investasi reksadana. Penulis juga beberapa kali menjadi pembicara pada KDR (Kursus Dasar Reksadana) yang diselenggarakan oleh PortalReksadana.



Penulis dapat dihubungi di: Instagram @investasijalanan Blog: http://parahita.wordpress.com Twitter: @parahitairawan



275