Syariat, Tarikat, Hakikat Dan Makrifat.. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari'at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma. Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah. Tarekat (Bahasa Arab: ‫قرط‬, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh salik. Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yng berasal dari kata hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar) Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari'at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah. Lantas bagaimana jalannya Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari'at. Seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur'an, Hadis, Usul Fiqih, Balaghoh, 'Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat Ilahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari'at. Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada syariat. Makrifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan syariat adalah saat muhammad saw mendapat perintah untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim. Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syeh Imam Al-



Ghazaly Asy-Syafi'i yang menyendiri dari kajian ilmiyah (falsafah) setelah menulis Tahafut alFalasifah. Kemuadian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai Ibn Rusdi. Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakan ini Syari'ah, ini Tarekat, ini Hakekat, ini Makrifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik. Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga



tidak



boleh



dilupakan.



Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.” Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbolsimbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya. Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukumhukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.



Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT. Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajahwajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya. Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orangorang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.



Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana



kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani. Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul. Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.



Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU. Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!



SYARIAT TARIKAT HAKIKAT dan MAKRIFAT Ini hanyalah deskripsi yang hanya dapat di pahami secara konteks bukan dari apa yang tertulis.pemahaman secara teks akan menimbulkan perdebatan,hanya melalui



perasaanlah ini dapat di pahami. Bagi yang belum memahami semoga ini tidak menimbulkan pemahaman yang keliru karena ungkapan ungkapan ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah mempelajari serta memahami... Syariat itu Zahir Tarikat itu Batin Hakikat itu Akhir Makrifat itu Awal Syariat itu Fi'il Tarikat itu Asma Hakikat itu Sifat Makrifat itu zat Syariat itu dengan Lidah Tarikat itu dengan Hati Hakikat itu dengan Nyawa Makrifat itu dengan sir / rahasia Syariat itu Syuhud Tarikat itu Nur Hakikat itu Ilmu Makrifat itu Ujud Syariat itu Islam Tarikat itu Iman Hakikat itu Tauhid Makrifat itu Pengakuan Lahir dan batin Syariat itu Tubuh Tarikat itu Nyawa Hakikat itu Rahsia Makrifat itu Tuhan Syariat itu Ilmu Usuluddin Tarikat itu Ilmu Tasaawuf Hakikat itu Ilmu Tauhid Makrifat itu Ilmu Usul Muftahul Ghuyyub Syariat itu Kulit Daging Urat Tulang Tarikat itu Api Angin Air Tanah



Hakikat itu Ujud Ilmu Nur Syuhud Makrifat itu Zat Sifat Asma Fi'il Syariat itu Awam Tarikat itu Khas Hakikat itu Khas ul khas Makrifat itu Khawas Syariat itu Ilmu yakin Tarikat itu Ainul yakin Hakikat itu Haqqul yakin Makrifat itu Akmal yakin Syariat itu Alam Isal Tarikat itu Alam Roh Hakikat itu Alam malakut Makrifat itu Alam Kudus Syariat itu Buih Tarikat itu Ombak Hakikat itu Laut Makrifat itu Air Bagi yang pernah mempelajari tasawwuf mungkin dapat mengerti dan memahami,dan ini hanyalah sekedar pengertian yang sangat mendasar,dan dalam ilmu tasauf atau tarikat pemahaman akan lebih terperinci,yang ingin mempelajari lebih mendalam dapat menghubungi penulis atau dari guru-guru tarikat yang terpercaya.



Dalam SYARIAT ada hijab... Tidak akan tertembus kecuali oleh HAKIKAT.. Syariat jalannya umat.. untuk berkhidmat,pada Yang Maha Kuat...



Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh.. Ada yg bertanya tentang apakah yg dimaksudkan dengan Syariat.., apa itu Tarikat dan ada juga yang bertanya tentang Hakikat. Dengan segala keterbatasan, kami mencoba untuk menjelaskannya secara singkat, dengan harapan semoga dapat di pahami. ~ Mohon koreksi. Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah, SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan 'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya.. Sebagai PANDANGAN HIDUP.., seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah.



Firman Allah SWT: "Syara'a lakum mina alddiini maa washshaa bihi nuuhan waalladzii awhaynaa ilayka wamaa washshaynaa bihi ibraahiima wamuusaa wa'iisaa an aqiimuu alddiina walaa tatafarraquu fiihi kabura 'alaa almusyrikiina maatad'uuhum ilayhi allaahu yajtabii ilayhi man yasyaau wayahdii ilayhi man yuniibu..." " (Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama^1341 dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)". (QS Asy-Syura [42]:13) [^ 1341: Yang dimaksud : "agama" di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menta'ati segala perintah dan larangan-Nya.] Firman-Nya pula:







"Tsumma ja'alnaaka 'alaa syarii'atin mina al-amri faittabi'haa walaa tattabi' ahwaa-a alladziina laa ya'lamuuna..."



(Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS AlJatsiyah [45]:18)







"Wa-anzalnaa ilayka alkitaaba bialhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi mina alkitaabi wamuhayminan 'alayhi fauhkum baynahum bimaa anzala allaahu walaa tattabi' ahwaaahum 'ammaa jaa-aka mina alhaqqi likullin ja'alnaa minkum syir'atan waminhaajan walaw syaa-a allaahu laja'alakum ummatan waahidatan walaakin liyabluwakum fiimaa aataakum faistabiquu alkhayraati ilaa allaahi marji'ukum jamii'an fayunabbi-ukum bimaa kuntum fiihi takhtalifuuna..."



(Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian421 terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiaptiap umat diantara kamu422, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS Al-Maidah [5]:48). Dan utk mengetahui hakikat..makrifat.maka ada baiknya kita pahami dulu istilah2 yg sering dipakai oleh para sufi.. ~ Tak kenal maka tak sayang.~ HAKIKAT...berarti "kebenaran" atau "kenyataan", seakar dgn kata al-Haqq, "reality", "Absolut" adalah



kebenaran esoteris yg merupakan batas-batas dari transendensi dan teologis. Dalam pengertian seperti ini, hakikat merupakan unsur ketiga dlm ilmu tasawuf, yakni:







SYARI'AT (hukum yg mengatur);







TAREKAT (suatu jalan atau cara); ~ sebagai suatu tahapan dalam perjalanan spiritual menuju ALLAH Al-HAQQ;







HAKIKAT (Kebenaran yg essensial), dan...







MA'RIFAT (mengenal ALLAH dengan sebenar-benarnya, baik Asma, Sifat, maupun Af'al-Nya).



Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 



"Inna haadzaa lahuwa haqqu alyaqiini, fasabbih biismi rabbika al'azhiimi.."



"Sungguh, yg demikian itu adalah hakikat yg meyakinkan maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (QS Al-Waqiah [56]: 95-96)







"Fadzaalikumu allaahu rabbukumu alhaqqu famaatsaa ba'da alhaqqi illaa aldhdhalaalu faannaa tushrafuuna.."







"Maka ikutilah DIA Tuhanmu yang hakiki. Tidak ada sesudah kepastian itu melainkan kesesatan. Tetapi bagaimanakah kamu dapat dipalingkan dari kebenaran?" (QS Yunus [10]: 32)



Ilmu "HAKIKAT" ini termasuk ilmu Maknun (Ilmu yg tersimpan) yg tidak boleh disebarkan kecuali kepada ahlinya, karena mengandung unsur yg membahayakan bagi orang awam (kebanyakan),sebagaimana yg diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berikut ini:







"Saya meriwayatkan dari Rasulullah Saw. dua wadah ilmu: salah satunya telah saya sebarkan kepada kalian, adapun yg kedua seandainya saya sebarkan kepada kalian, niscaya kalian akan mengasah pisau utk memotong leherku ini (dua wadah itu ialah Syariat dan Hakikat)".



Al-Ghazali menegaskan bhw Ilmu HAKIKAT termasuk ilmu rahasia yg kelihatannya bertentangan dgn Ilmu yari'at, namun hakekatnya tidaklah bertentangan. Ilmu ini, yg tdk boleh ditulis dan tdk boleh disebar-luaskan secara umum, tetapi harus disembunyikan kecuali kpd org2 yg terpercaya (yg dpt menyimpan amanah), sebagaimana yg diungkapkan oleh Imam Ali



Zainuddin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib.







"Banyak Ilmu bagaikan mutu manikam. Seandainya aku sebar-luaskan,niscaya orang-orang menganggapku termasuk para penyembah berhala, dan banyak tokoh kaum Muslimin menganggap halal darahku hingga mereka menganggap membunuhku itu lebih baik."



HAKIKAT..juga disebut 'lubb' ("dalam", "saripati", "inti") kaitannya dgn sebuah frase Al-Qur'an (dlm surah Al-Qashash ayat 29, dan ayat2 lain). Ulul Albab (org yg memiliki pengetahuan yg mendalam), yakni mereka yg memiliki pandangan atau pengertian ttg HAKIKAT. Kaitannya dgn hal ini terdapat pada pepatah Sufi,







"Untuk mencapai Hakikat (inti), Anda harus mampu menghancurkan kulit",



yg mengandung pengertian bhw paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman eksoteris, karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yg mana ia tdk dpt direduksikan kpd bentuk luaran yang bersifat eksoterik. Lebih lanjut dpt dilihat dari uraian "SYARIAT". Secara sederhana kita ambil contoh ibadah Shalat....yg menjadi inti daripd hakekat hidup kita sekalian...yaitu " Hakekat hidup adalah ibadah kpd Allah Subhanahu wa Ta'ala(liya'buduni)..,sedangkan ibadah yg paling pokok dan utama adalah Shalat...! SHALAT:







SYARI'AT-nya adalah memenuhi kewajiban. Sesuai dgn firman-Nya;



" Inna alshshalaata kaanat 'alaa almu'miniina kitaaban mawquutaan.." "Bahwa sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang2 mukmin pd waktu-waktu yg sdh ditentukan." (QS An-Nisaa [4]:103).







TAREKAT-nya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan.







HAKIKAT-nya...adalah zikir kpd ALLAH Subhanahu wa Ta'ala.



Sebagaimana firman-Nya: 



"Innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau'budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii.."



"Sungguh, AKU inilah ALLAH, tiada Tuhan melainkan AKU. Maka sembahlah AKU dan tegakkanlah shalat ini utk zikir kepada-KU." (QS Thaha [20]:14)







MAKRIFAT-nya ..adalah mi'raj ruhani kehadirat Ilahi.



"Shalat adalah Mi'raj-nya orang2 yg beriman." (HR Baihaqi dan Muslim) Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, dimana diuraikan bahwa: SYARIAT..adalah 'Pandangan Hidup' (syara), 'Pegangan Hidup' (syariah), dan'Perjuangan Hidup' (manhaj) yg diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala utk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dlm hidup dan kehidupannya..







Sebagai PANDANGAN HIDUP.., seorang muslim yg ISLAM oriented akan slalu setia pd syariat dlm berbagai persoalan hdpnya dgn senantiasa berpedoman kpd Al-Qur'an dan As-Sunnah (QS Asy-Syura:13., Al-Jatsiyah:18, QS Al-Maidah:48).







Sebagai PEGANGAN HIDUP, SYARI'AT diturunkan ALLAH Subhanahu wa Ta'ala., ke dunia ini dgn Ilmu-Nya yg tak terbatas. Oleh krn itu, SYARIAT bersifat UNIVERSAL.



Kemudian, DIA mengutus Rasulullah SAW. sebagai RAHMATAN LIL ALAMIIN yang memberlakukan Syariat sampai akhir zaman. (Lihat QS Al-Furqan:1; dan QS Al-Anbiya:107).







Sebagai PERJUANGAN HIDUP, Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijtihad sebagai sumber syariat meliputi:



(1) Prinsip Dasar (Iman/Aqidah/Islam /Ibadah, dan Ikhsan/Akhlak) dan (2) Norma-norma Hukum Islam. Menurut Syaikh Athaillah As-Sakandary dan para sufi, bhw amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu:







Amal Syariat; ~ Amal Tarekat, dan ~ Amal Hakikat; atau...







Amal Islam, Amal Iman, dan Amal Ihsan; ATAU..







Amal Ibadah, Amal Ubudiyyah, dan Amal Ubudah; ATAU..







Amal Ahli Bidayah (tahap pemula); Amal ahli Wasat (tahap pertengahan), dan Amal Ahli Nihayah (tahap akhir).



SYARIAT untuk memperbaiki 'zawahir' atau 'zawarih' (anggota badan), TARIKAT utk memperbaiki 'dhamir' (hati); dan HAKIKAT untuk memperbaiki 'sarair' (ruh). Memperbaiki zahir (anggota badan) dgn tiga perkara pula yaitu:







Ikhlas







Sidq (jujur), dan







Tumaninah (ketenangan).



Dan, memperbaiki 'Ruh' juga dgn tiga perkara, yaitu;







Muraqabah (waspada/merasa di awasi/seolah-olah melihat ALLAH Subhanahu wa Ta'ala),







Musyahadah (menyaksikan Asma, Sifat, dan Afal Alllah Subhanahu wa Ta'ala.), dan,







Makrifat (mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala.)



ATAU..







Memperbaiki Zahir (anggota badan) yaitu dgn 'menjauhi larangan Allah Swt.dan mengikuti perintah-Nya.







Memperbaiki Hati yaitu dgn menjauhi sifat2 tercela dan menghiasinya dgn sifat2 utama..Dan,..







Memperbaiki Ruh yaitu dgn menghinakannya dan menundukkannya shgga menjadi terdidik adab,tawaduk, dan berbudi..







Ahli Syariat ialah org yg melaksanakan amal ibadah 'litalabil ujur' (krn mengharapkan upah atau pahala dari Allah Swt.).







Ahli Tarekat msh dlm perjalanan antara syariat dan hakikat..Sedangkan..







Ahli Hakikat ialah orang2 melaksanakan 'ibadah' (pengabdian kpd Allah Swt.) se mata2 krn mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. (ikhlas), disertai dgn rasa'khawf' (takut/gentar), 'raja' (harap), 'mahabbah' (cinta) dst..



Syaikh Athaillah As-Sakandariyah berkata;







"Orang yg telah sampai pada Hakikat Islam, maka ia tdk kuasa menghindari melaksanakan Syariat;







Orang yg telah sampai pada Hakikat Iman, maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Subhanahu wa Ta'ala (riya);







Dan, orang yg telah sampai pd Hakikat Ihsan, maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt."



Menurut Syaikh Ali bin al-Haitamy r.a.,







"Syariat ialah apa yg berkaitan dgn 'taklif' (pembebanan suatu ibadah), sdgkan Hakikat ialah apa yg dpt menghasilkan 'mengenal Allah'. Syariat dikuatkan oleh Hakikat.., dan hakikat terikat dgn syariat.







Syariat adalah sbg wujud perbuatan Allah Swt., dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para Rasul, sdgkan Hakikat ialah 'menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan".



Syaikh al-Arif Billah Sayyid Ibrahim ad-Dasuqi al-Quraisy r.a., berkata:







"Syariat adalah POKOK, sdgkan Hakikat adalah CABANG. Syariat mengandung segala ilmu yg disyariatkan, sdkan Hakikat mengandung segala ilmu yg tersembunyi, dan seluruh maqam (kedudukan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) bertingkat-tingkat di dlm keduanya".



"Syariat itu Pohon dan Hakikat itu Buahnya."







"Ahli Syariat akan batal shalatnya dgn bacaan yg buruk, sedangkan..







ahli Hakikat akan batal shalatnya dgn akhlak yg buruk.~ Jadi apabila di dlm bathinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kpd seseorang, mencintai dunia, shalatnya batal.



Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt. di dlm shalat. Dan org yg hatinya terhijab maka ia tidak shalat, krn sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan dgn Allah Swt.". Seorang Sufi bersyair..: Dalam Syariat Ada hijab.. Tidak akan tertembus kecuali oleh Hakikat.... Syariat jalannya umat.... untuk khidmat pada Yang Maha Kuat.. Sedang Hakikat ada syariat...yang samar bagi umat Hingga disangka sesat...Padahal jalan yg selamat.. Syariat adalah awalan... Hakikat bukan akhiran.. Karena pada hakikat terdapat syariat...



Yang berbeda dengan syariat... awalan, pada khidmat umat.... Padahal pada tiap ayat ada makna.. yang tersirat dan tersurat.. Adalah sabda Rasul berpendapat.. Maka apakah mereka tidak melihat..?... Pada tiap-tiap umat ada syariat... Begitulah ayat berpendapat... Apakah mereka tidk melihat..?... Maka Hakikat dalah Syariat... Yang berasal dari syariat umat... Sedangkan dia berpijak Maka bagaimanakah Hakikat dikatakan sesat?... Sedangkan dia berpijak pada syariat.. Yang dibawa oleh Rasul yang mulia.. sebagai amanat.. Tetapi Allah mempunyai pendapat.. Siapakah para hamba yang mendapat hidayah... Untuk dapatmengenal hakikat... Maka siapa yang menolaknya... berarti melepaskan hidayah.. Karena mencapai makrifat adalah...., dengan syariat Yang terususun dengan hakikat.. Maka syariat dan hakikat adalah syariat-Nya.. Apakah mereka tidak melihat? ====== Segala puji hanya bagi Allah 'Azza wa Jalla semata.., dan Shalawat dan Sallam semoga senantiasa tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam beserta ahlul baitnya, para sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.Wassalam



Apa Itu Tasawuf? Pengertian tasawuf yang jelas masih sangat jarang di mengerti oleh orang banyak. Istilah "tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih.



Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.



Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.



Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka. Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakanakan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.



Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi: • Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meningga1kan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:



Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."



• Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi. • Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk". Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaikbaiknya oleh Nabi Muhammad saw. Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke- baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batasbatas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe- ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar. Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku-fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik



Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat



dukungan para ulama besar Fiqih pendiri 4 mazhab besar dan juga pendapat ulama besar zaman sekarang seperti Syekh Yusuf Al-Qardawi dalam dua tulisan yaitu Kesaksian Ulama Fiqih Tentang Tasawuf dan khusus pendapat Syekh Yusuf Qardawi terhadap tasawuf bisa di baca di Fatwa Al- Qardawi Tentang Tasawuf. Berikut adalah tulisan yang saya kutip sebuah komentar dari blog MutiaraZuhud tentang kehidupan Rasulullah dan Para Sahabat yang menjadi sumber ajaran tasawuf untuk meyakinkan kita semua bahwa ajaran tasawuf adalah benar-benar ajaran Rasulullah SAW. Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.



Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim). “Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) . Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan



salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim). Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani). Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan. Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”. Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya. Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW



karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100). Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah alHilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.” Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb: Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.” Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir. Umar bin Khattab Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada



suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anakanak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang. Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT. Usman bin Affan Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara. Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin. Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta. Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya.



Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya. Ali bin Abi Talib Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65). Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek. Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”. Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertianpengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi. Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.



Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang



orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik. Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin. Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW. Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.



TASAWWUF DALAM PANDANGAN SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Syaikh Abdul Qadir al Jaelani berkata mengenai hakekat seorang sufi pada firman Allah Swt: Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (‘mengharapkan kepatuhan’) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (Al-Furqan: 57) Katakanlah: Kepada mereka dengan mengejek dan tegas. “Aku tidak meminta kepadamu Sama sekali tidak menuntut Dalam menyampaikan risalah itu,dalam menyampaikan tabligku padamu, atas wahyu yang diturunkan kepadaku, dan pemberianku pelajaran kepadamu, semata karena tuntutan Wahyu Ilahi.” Upah dan harta yang aku ambil dari kalian, lalu aku jadikan sebagai sarana untuk meraih tahta dan kekayaan serta berbagai kebanggaan. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para Syeikh yang bodoh di zaman ini yang tak lebih dari pembantu-pembantu syetan yang mengaitkan dirinya dengan kaum Sufi. Mereka inilah yang menggerakkan bentuk tipuan, tipudaya, dan mengeruk harta kaum awam yang lemah setelah merusak akidah mereka, dengan berbagai macam pemalsuan, penipuan, menghalalkan yang haram dan membolehkan hal yang dilarang serta memperkaya diri. Dengan tindakan itu mereka mengklaim semua sebagai pemilik kekuasaan sampai jangka panjang, dan



mereka memiliki banyak pengikut dan pendukung, mereka pun menyiapkan kontributor dan dukungan untuk tipuan mereka ini. Setelah itu mereka membangkang kepada penguasa dan memiliki niat untuk keluar dari kekuasaan pemerintahan, memberontak kepada mereka serta menyibukkan diri dengan menghancurkan negeri dan menekan orang yang beriman, merampas harta masyarakat dan harga diri mereka bahkan memenjarakan keturunan mereka. Pada saat yang sama mereka mengklaim diri sebagai orang yang benar, orang yang ma’rifat kepada Allah, mengklaim sebagai orang yang beriman, menjadi ahli hakikat dan yaqin. Ingatlah bahwa hal tersebut merupakan kerugian yang nyata dan kejahatan yang besar. Semoga Allah Swt melindungi kita dari kejahatan nafsu kita dari perbuatan buruk kita. Namun aku tidak menuntut dengan tablighku ini, melainkan sebagai hidayah bagi orang-orang yang mau mencari jalan kepada Tuhannya.” Yang mendidiknya dengan berbagai kemuliaan, jalan menuju Tuhannya yang bisa meraih ma’rifat dan peng-Esaan padaNya. Syaikh Abdul Qadir Jaelani berkata mengenai sifat-sifat perilaku ruhani kaum Sufi dan peringkat kaum Sufi, dengan firman Allah Swt: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” (Fathir: 27) “Tidakkah kamu melihat, Wahai orang yang melihat, yang mengambil pelajaran (dari penglihatannya) bahwasanya Allah Dzat Yang memiliki kemampuan sempurna, bagaimana menurunkan melimpahkan dari sisi langit yakni langit Asma’ dan Sifat Dzatiyah. Hujan yang menghidupkan bumi-bumi yang mati yang keras kerontang dalam terapan ketiadaannya lalu Kami hasilkan dari hujan-hujan itu yakni dengan air yang melimpah yang memancar dari Lautan Dzat pada bumi watak manusia. Buah-buahan berbagai hidangan yang beragam berupa ma’rifat-ma’rifat, hakikat-hakikat, kilatan cahaya dan limpahan anugerah yang melintas pada para pecinta dan para KekasihNya menurut kondisi ruhani dan maqom mereka.Yang beraneka macam jenisnya. Dengan segala metodenya baik secara ilmul yaqin, ainul yaqin maupun haqqul yaqin. Dan di antara gunung-gunung itu Yaitu para Wali Autad dan Wali Quthub yang siap menerima limpahan karomah dan ketersingkapan ruhani. Ada garis-garis yakni garis jalan yang memiliki arah jalan menuju Ka’bah Dzat dan Arafahnya Asma’ dan Sifat, Putih bersih sampai puncak kemurniannya tanpa ada campuran dan perpaduan dengan berbagai ragam kenyataan alam dan hawa nafsu sama sekali. Dan, sebagian, merah yang beraneka macam warnanya, sesuai dengan peringkat kedekatan mereka kepada Allah Ta’ala dan jaraknya dengan derajat utama. Dan, sebagian, ada (pula) yang hitam pekat.” Berakhir pada hitam dan kegelapan, yang tidak menyisakan sama sekali wujudnya dengan peringkat pertama, bahkan malah kontradiksi dan merusak martabat itu, yang sama sekali tidak memiliki hubungan antara keduanya. Dikatakan: Allah Swt menyinggung dengan istilah garis-garis putih kepada kelompok Sufi yaitu orangorang yang telah membersihkan bathin mereka dari sesuatu selain Allah Swt, bersih dari ciptaan bentuk semesta dan berbagai ragam relativitas. AlIah Swt juga menyinggung dengan istilah garis-garis merah yang beraneka macam warnanya kepada kelompok mutakallimin, yaitu orang-orang yang telah mengkaji Dzat dan Sifat Allah Swt yang dikuatkan dengan dalil aqli dan naqli yang tidak dkuatkan dengan mukasyafah dan musyahadah, yang menghasilkan asumsi dan kebingungan, kecuali langka jumlahnya. Allah Swt juga menyinggung dengan istilah “dan ada (pula) yang hitam pekat” untuk fuqaha, yaitu orang-



orang yang tebal hijabnya serta tebal pula kain penutup serta tabir mereka, sehingga tidak lagi tersisa di hati mereka suatu tempat sedikitpun yang layak untuk menerima pancaran sinar cahaya al Haq Allah Swt, bahkan mereka telah menghitamkan cahaya tersebut serta membentuknya lalu mengeluarkannya dari fitrah suci Allah, yang Allah Swt ciptakan untuk manusia. Syaikh Abdul Qadir Jaelani berkata mengenai sifat para ‘arif billah pada firman Allah Swt: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” DanKami keluarkan dari pengaruh pendidikan dibalik air dan menghidupkan bumi yang mati itu, Demikian (pula) di antara manusia yang tenggelam dalam kelalaian dan kealpaan. Dan binatang-binatang melata terlepas dari peringkat pemahaman dan perasaan yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan akhirat. Dan binatang-binatang ternak yang terlena oleh kenikmatan jasmani dan syahwat nafsu. Ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya),Yakni jenis-jenis, kelompok, bentuk dan gerakannya. Intinya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah Dan takut akan hantaman Allah di antara hamba-hambaNya yang dicipta dari ketiadaan tersembunyi, melalui percikan aliran Lautan WujudNya menurut terapan Sifat KedermawananNya. Hanyalah ulama Yang ma’rifat kepada Allah Swt dan sifat -sifatNya yang paripurna yang melimpah pada mereka, dan AsmaNya yang Agung, yang melebur dalam hakikat derajat Tauhid, yang tersingkap melalui rahasia Wahdatudz-Dzat pada seluruh manifestasiNya, karena yang paling takut kepada Allah Swt adalah yang paling mengenalNya. Karena itulah Rasulullah Saw bersabda, “Akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa padaNya.” (Hr. Bukhari) Bagaimana para arifun tidak takut kepada Allah Swt.? Sesungguhnya Allah Yang berselendang dengan selendang Keagungan dan Kebesaran. Maha Perkasa Mengalahkan hamba yang dikehendaki untuk mendapatkan siksaNya. Lagi Maha Pengampun Atas dosa-dosa orang yang bertaubat kepada Allah Swt, dan kembali kepadaNya https://sufimudaakhirzaman.wordpress.com/



Menguak Kembali Definisi Tasawuf Dalam sejarah perkembangan nya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terjebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba menyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelitian mereka harus diakui cukup berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam. Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para



aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Buddha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosofis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw, baik secara tekstual maupun historis. Dalam kajian soal Sanad Thariqat, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf Rasulullah Saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thariqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah. Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy anNaisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi. Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam risalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah Swt.: “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8) ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15) “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205) “Dan bertaqwalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282) Sabda Nabi Saw:



“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i) Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar: Muhammad al-Jurairy: “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”



Al-Junaid al-Baghdadi: “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.” “Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.” “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” “Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.” “Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” “Jika engkau melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.” Al-Husain bin Manshur al-Hallaj: “Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.” Abu Hamzah Al-Baghdady: “Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah



mengalami kehinaan,



menjadi masyhur setelah tersembunyi.” Amr bin Utsman Al-Makky: “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.” Mohammad bin Ali al-Qashshab: “Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”



Samnun: “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.” Ruwaim bin Ahmad: “Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.” “Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.” Ma’ruf Al-Karkhi: “Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”. Hamdun al-Qashshsar: “Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.” Al-Kharraz: “Mereka



adalah



mencampakkan



kelompok segala



milik



manusia



yang



mereka



sampai



mengalami mereka



kelapangan kehilangan



jiwa



yang



segala-galanya.



Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.” Sahl bin Abdullah: “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.” Ahmad an-Nuury: “Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.” Muhammad bin Ali Kattany: “Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”



Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary: “Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engkau diusir.” “Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan dengannya.”



Abu Bakr asy-Syibli: “Tasawuf adalah duduk bersama Allah Swt. tanpa hasrat.” “Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah Swt. sebagaimana difirmankan Allah Swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu.” (Thoha: 41)



dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah Swt. berfirman kepadanya, “Engkau tak



akan bisa melihatKu.”



“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.” “Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.” “Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.” Al-Jurairy: “Tasawuf berarti kesadaran atas keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.” Al-Muzayyin: “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” Askar an-Nakhsyaby: “Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.” Dzun Nuun Al-Mishry: “Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah Swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”



Muhammad al-Wasithy: “Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.” Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy: “Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjawab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.” Ahmad ibnul Jalla’: “Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah Swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah Swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.” Abu Ya’qub al-Madzabily: “Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.” Abul Hasan as-Sirwany: “Sufi itu yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang meyertainya.” Abu Ali Ad-Daqqaq: “Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah Swt, untuk menyapu kotoran “Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.” Abu Sahl ash-Sha’luki:



binatang.”



“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.” Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya. Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah Swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan. Terminologi Tasawuf Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu: Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, AlKhawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya. Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain: Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Thariqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya. Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri. (KHM Luqman Hakim)



Bab 1 : Pengertian Tasawwuf Pelbagai definisi Tasawwuf dari segi bahasa yang dikemukakan oleh ulama-ulama antaranya ialah sufah, suf, suffah , suffi, sof, sofwah, sof, sufanah,sufah al-qafa, sofa’ namun perkataan sofa’ yang bermaksud kebersihan jiwa daripada kekotoran dunia adalah pendapat yang sahih dan dipersetujui oleh kebanyakan ulama berdasarkan kekuatannya dari segi bahasa. Definisi Tasawwuf dari sudut istilah juga mempunyai pelbagai takrif bahkan mencapai sehingga dua ribu pentakrifan sebagaimana yang dinyatakan oleh Syeikh Zarruq r.a. iaitu wujudnya pelbagai definisi Tasawwuf di kalangan ulama-ulama adalah berdasarkan pengalaman rohani yang mereka alami dalam mujahadah mereka menuju kepada Allah. AlSya’rani mendefinisikan Tasawwuf sebagai “Ilmu yang terbit di dalam hati para wali apabila mereka mempraktikkan Al-Quran dan Al-Sunnah. Sebagaimana ilmu yang terbit daripada ulama-ulama fiqh, setiap amalan yang dilakukan dengan panduan kedua-duanya akan menerbitkan pelbagai ilmu, adab-adab, rahsia-rahsia dan hakikat yang tidak dapat diungkapkan secara lisan, dengan syarat jika amalan itu bebas daripada kecacatan dan kehendak-kehendak hawa nafsu.



Syeikh Ahmad Zarruq pula mendefinisikan Tasawwuf sekaligus mengklasifikasikan ilmu Tasawwuf, Feqah, Usuluddin yang menjadi kewajipan terhadap semua mukallaf mempelajari dan mengamalkan ketiga-tiga ilmu tersebut, “Tasawwuf ialah suatu ilmu bertujuan memperbaiki hati dan mentafridkannya hanya kepada Allah Ta’ala semata-mata tanpa yang lain. Ilmu Feqah bertujuan membetulkan amalan, menjaga peraturan dan menzahirkan hikmah terhadap hukum-hakam, Ilmu Usul (Ilmu Tauhid) untuk memantapkan muqaddimah keimanan dengan dalil-dalil serta menghiasi iman dengan keyakinan, ia seumpama ilmu perubatan yang bertujuan menjaga badan, ilmu nahu yang memperbetulkan lidah serta bermacam-macam lagi ilmu yang lain”. Bab 2 : Pengertian Ilmu Tasawwuf Ilmu tasawwuf ialah ilmu yang menyuluh perjalanan seseorang mukmin di dalam membersihkan hati dengan sifat-sifat mahmudah atau sifat-sifat yang mulia dan menghindari atau menjauhkan diri daripada sifat-sifat mazmumah iaitu yang keji dan tercela.



Ilmu tasawwuf bertujuan mendidik nafsu dan akal supaya sentiasa berada di dalam landasan dan peraturan hukum syariat Islam yang sebenar sehingga mencapai taraf nafsu mutmainnah. Syarat-syarat untuk mencapai taraf nafsu mutmainah: a) Banyak bersabar. b) Banyak menderita yang di alami oleh jiwa. Imam Al-Ghazali r.a. telah menggariskan sepuluh sifat Mahmudah / terpuji di dalam kitab Arbain Fi Usuluddin iaitu : 1) Taubat 2) Khauf ( Takut ) 3) Zuhud 4) Sabar 5) Syukur 6) Ikhlas 7) Tawakkal 8) Mahabbah ( Kasih Sayang ) 9) Redha 10) Zikrul Maut ( Mengingati Mati ) Dan Imam Al-Ghazali juga telah menggariskan sepuluh sifat Mazmumah / tercela / sifat keji di dalam kitab tersebut iaitu : 1) Banyak Makan 2) Banyak bercakap 3) Marah 4) Hasad 5) Bakhil 6) Cintakan kemegahan 7) Cintakan dunia 8) Bangga Diri 9) Ujub ( Hairan Diri ) 10) Riya' ( Menunjuk-nunjuk )



Bab 3 : Konsep Tasawwuf Tasawwuf selalu diberikan gambaran yang menyentuh sudut-sudut tertentu sahaja terutamanya ketinggian akhlak, kezuhudan, peribadatan dan kekeramatan lahiriah. Menggambarkan tasawwuf dengan gambaran-gambaran tersebut ternyata tidak tepat dan tidak menyentuh intipati sebenar dan menyeluruh tentang tasawwuf itu. Pengertian sebenar tasawwuf itu ialah pencapaian darjat ihsan yang digambarkan dalam hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang bermaksud : “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”. (Hadis Riwayat Muslim)



Hakikat ihsan itu tercapai dengan dua perkara iaitu ibadah yang sempurna lagi berterusan dan kehadiran hati, kesedaran jiwa, serta penyaksian batin terhadap makna-makna ketuhanan (hakikat-hakikat tauhid) dalam ibadah tersebut. Penyaksian batin ini diistilahkan oleh ulama tasawwuf sebagai muraqabah dan mushahadah dan ia mempunyai beberapa tingkatan tertentu. Pencapaian mushahadah ini akan membuahkan berbagai ahwal dan maqamat. Dari sinilah timbulnya berbagai persoalan tasawwuf yang dibicarakan secara panjang lebar oleh ahli sufi dalam karya-karya mereka. Dengan kata lain, hakikat sebenar tasawwuf itu ialah tercapainya kebersihan diri, zahir dan batin. Kebersihan zahir membawa maksud keterikatan anggota lahiriah manusia dengan peraturan atau hukum-hukum agama iaitu apa yang diistilahkan sebagai ibadah. Kebersihan batin pula bermaksud kebersihan hati daripada sifatsifat tercela (takhalli) dan terhiasnya ia dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) iaitu apa yang disebut sebagai `ubudiyyah. Manakala kemuncak kebersihan batin manusia itu ialah terbuangnya sesuatu yang lain daripada Allah dari lubuk hati dan zahir kebenaran Allah di hati itu (tajalli) sehingga ia dapat melihat dengan jelas tanda-tanda keagungan-Nya dan merasai kehebatan-Nya iaitu apa yang dinamakan `ubudah. Kebersihan batin inilah yang membawa kepada tercapainya darjat ihsan seperti yang digambarkan dalam hadis.



Pengertian tasawwuf seperti inilah yang dapat dilihat pada definisi yang diberikan oleh Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani. Menurut beliau, tasawwuf itu ialah penyucian hati (tasfiyah) daripada sesuatu yang lain dari Allah. Shaykh Ahmad Zaruq telah meneliti definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama tasawwuf dan membuat kesimpulan dengan menyatakan bahawa tasawwuf telah dihurai, ditafsir dan didefinisikan sejumlah hampir dua ribu. Semua itu terhimpun atau merujuk kepada satu pengertian sahaja iaitu “benarnya tawajjuh hati kepada Allah”. Permulaan tawajjuh hati itu ialah terhasilnya intibah (kesedaran jiwa) yang membawa kepada taubah yang benar. Pertengahannya ialah merasai ahwal dan mencapai maqamat. Kesudahannya pula ialah tertumpu pandangan hati hanya kepada Allah semata-mata, tidak kepada yang lain dari-Nya. Di sinilah terhasilnya mushahadah dan inilah kemuncak ihsan.



Bab 4 : Matlamat Tasawwuf Matlamat Tasawwuf adalah seperti berikut : 1. Mengenal Allah dengan cara beribadah kepada-Nya dengan cara bersungguh-sungguh dalam beribadah. 2. Penyucian, pembersihan dan peningkatan jiwa sehingga ia layak memperolehi ma’rifah Ilahi. 3. Membina masyarakat yang sejahtera dengan asas yang baik, akhlak yang mulia, berpegang dengan peraturan-peraturan agama dan jalan-jalan rahsia kesufian yang meningkatkan martabat pengamal.



Bab 5 : Beberapa Elemen Asasi Tasawwuf Terdapat beberapa elemen yang membentuk tasawwuf. Antara elemen utama yang membentuk tasawwuf itu ialah kesucian diri (safa’) dan penyaksian hati, peribadatan, ahklak dan kezuhudan. i-Kesucian Diri dan Penyaksian Hati Kesucian diri merupakan intipati bagi tasawwuf. Ia bermaksud sucinya diri daripada pelanggaran terhadap hukum syariat, sifat-sifat kecelaan, pegangan atau keyakinan yang batil dan juga tumpuan, tilikan serta pergantungan hati kepada sesuatu yang lain daripada Allah. Kesucian diri ini akan membawa kepada penyaksian hati terhadap kebenaran ketuhanan Allah, keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya. Pencapaian penyaksian hati ini akan membuahkan keyakinan yang mantap selain akhlak yang mulia dan ibadat yang murni. Elemen kesucian diri ini dapat dilihat dalam banyak takrifan yang diberikan oleh para ulama tasawwuf antaranya ialah takrifan yang dikemukakan oleh Shaykh Abu Bakr al-Kattani, Shaykh Abu Sa`id al-Kharraz dan Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani. Dalam mentakrifkan tasawwuf, al-Kattani menyebut bahawa tasawwuf itu ialah kesucian diri (safa’) dan penyaksian hati (mushahadah). al-Kharraz telah ditanya tentang sufi lalu menjawab bahawa “(sufi itu ialah) orang yang tuhannya telah membersihkan hatinya sehingga hatinya dipenuhi dengan cahaya hidayah dan orang yang berada dalam kelazatan dengan mengingati Allah. al-Jilani pula menjelaskan bahawa asal perkataan sufi itu ialah sufiya yang di ambil dari perkataan al-musafat. Kerana itu dikatakan bahawa sufi itu ialah orang yang bersih daripada penyakit-penyakit nafsu, bebas (bersih) daripada sifat-sifat kecelaannya, melalui jalan-jalan kesufian yang terpuji, berpegang dengan hakikathakikat kebenaran dan tidak tenteram (cenderung) hatinya kepada sesuatu makhluk.



ii-Peribadatan



Tasawwuf juga mengandungi elemen peribadatan iaitu kesungguhan, ketekunan, ketertiban dan keikhlasan dalam melaksanakan amal ibadah. Ini bererti sufi itu ialah orang yang menekuni amal ibadah dan bersungguh-sungguh melaksanakannya dalam bentuk yang lebih sempurna, teratur dan istiqamah. Elemen peribadatan dalam tasawwuf antara lain dapat dilihat pada definisi yang dikemukakan oleh Shaykh `Ali alMuzayyin. Tasawwuf menurut beliau ialah ketaatan atau kepatuhan kepada Allah. Begitu juga Imam al-Ghazali yang antara definisi beliau terhadap tasawwuf ialah mencampakkan diri dalam `ubudiyyah (perhambaan diri kepada Allah) dan bergantung hati dengan rububiyyah (ketuhanan Allah). iii-Akhlak Ketinggian akhlak juga merupakan antara elemen asasi tasawwuf. Ini bererti sufi itu ialah orang yang berakhlak mulia dan bersih daripada akhlak yang keji. Elemen akhlak dalam tasawwuf antara lain dapat dilihat dalam takrifan yang dikemukakan oleh Abu Bakr al-Kattani. Tasawwuf itu menurut beliau ialah akhlak, sesiapa yang melebihi engkau pada akhlak, maka sesungguhnya dia melebihi engkau pada kejernihan rohani. Begitu juga Ahmad al-Jariri di mana tasawwuf itu menurut beliau ialah bersifat dengan semua akhlak yang murni dan bersih daripada semua akhlak yang hina. iv-Kezuhudan Antara elemen asasi tasawwuf ialah kezuhudan dengan erti ketidakcenderungan hati kepada perkara keduniaan, bukan semata-mata meninggalkan perkara keduniaan. Elemen kezuhudan dalam tasawwuf dapat dilihat antara lain pada takrifan yang diberikan oleh Samnun. Tasawwuf menurut beliau ialah bahawa engkau tidak memiliki sesuatu dan tiada sesuatu yang memiliki engkau. Begitu juga yang terdapat pada takrifan Ma`ruf alKarakhi di mana tasawwuf menurut beliau ialah berpegang dengan hakikat dan berputus-asa (tidak berkeinginan) terhadap apa yang ada pada tangan (milik) makhluk. Elemen-elemen seperti peribadatan, berakhlak mulia dan kezuhudan lahiriah secara berasingan tidak menggambarkan hakikat sebenar tasawwuf, namun ia adalah sebahagian daripada elemen yang membentuk tasawwuf dan tidak dapat dipisahkan daripadanya. Ketekunan melakukan amal ibadah tidak semestinya menunjukkan kesufian. Demikian juga memiliki akhlak yang mulia dan kezuhudan. Namun seorang sufi itu pasti menekuni amal ibadah, berakhlak mulia dan bersifat zuhud dalam bentuk yang sesuai dengan keadaan mereka. Bab 6 : Sifat-Sifat Ahli Tasawwuf



Imam Al-Ghazali R.A. telah menggariskan 10 sifat Mahmudah/terpuji dan 10 sifat Mazmumah/tercela di dalam kitab Arbain Fi Usuluddin tentang menentukan “maqam” di dalam tasawwuf dan merupakan sifat-sifat yang perlu ada dan tidak perlu ada di dalam diri ahli tasawwuf iaitu : SIFAT MAHMUDAH 1. Taubat (‫)ةبوت‬ 2. Khauf (Takut) (‫)فوخ‬ 3. Zuhud (‫)دهز‬ 4. Sabar (‫)ربص‬ 5. Syukur (‫)ركش‬ 6. Ikhlas ((‫ص)لخإ‬ 7. Tawakkal (‫)لكوت‬ 8. Kasih kepada Allah (‫)ةبحمح‬ 9. Redha dengan qada’ Allah (‫)اضر‬ 10. Zikrul Maut (mengingati mati) SIFAT MAZMUMAH 1. Syarhut Tha’am (banyak makan) 2. Syarhul Kalam (banyak bercakap) 3. Ghadhab (pemarah) (‫) بضغ‬ 4. Hasad (dengki) (‫) دسح‬ 5. Bakhil (kedekut) (‫) ليخب‬ 6. Hubbul Jah (kasihkan kemegahan) 7. Hubbud Dunya (kasihkan dunia) 8. Takabbur (sombong) (‫)ربكت‬ 9. ‘Ujub (bangga diri) (‫) بجع‬ 10. Riya’(‫) ءاير‬



Salam dan trims pertanyaanya: 1- Syariat itu adalah ajaran Nabi saww. Hakikat itu adalah Perbuatan Nabi saww dan Hakikat itu adalah capaian Nabi saww.Sedang makrifat itu adalah capaian ilmu yang didapat dari takwa atau dalil-dalil. tetapi yang dimaksud di tulisan di atas adalah yang dicapai dengan takwa dan suluk. tetapi hadits yang ada, tanpa makrifat. Jadi, Nabi saww mengatakan: "Syari'at itu adalah ajaranku. Thariqat itu adalah perbuatanku/amalanku. Hakikat itu adalah capaianku/keadaanku." 2- Urutannya, kalau tanpa makrifat, maka sudah jelas. tetapi yang harus diperhatikan bahwa urutan2 itu tanpa pembatalan. Jadi, urutan pertama itu harus dipertahankan walaupun seseorang sudah sampai ke thariqat dan hakikat. Karena yang sebelumnya adalah sebab bagi tingkatan berikutnya dan, sebab, tidak bisa dilepaskan dari akibatnya. Contohnya, kalau ilmu-ilmu di SD dilupakan, maka sekalipun seseorang sudah menjadi Doktor, ia akan



kembali menjadi anak-anak kecil lagi dan tidak akan tahu apa-apa lagi. Kalau seseorang sudah lupa akan 1+1=2, maka sekalipun ia sudah menjadi Doktor tentang atom sekalipun, akan kembali menjadi bodoh kembali. Jadi, jangan seperti para sok shufi (mutashawwafiha) yang mengatakan bahwa kalau sudah sampai ke thariqat atau hakikat, tidak perlu lagi kepada syari'at. 3- Tashawwuf yang Sebenarnya adalah yang mengajarkan wahdatulwujud dan berusaha mencapainya dengan benar (lihatCatatan-Catatan tentang ini -wahdatulwujud- di Catatan- catatanku yang sudah 16 seri itu). Tidak seperti para sok shufi yang tidak paham wahdatulwujud (hingga meyakini ittihaad dan huluul) dan berusaha mencapainya dengan wirid-wirid ini dan itu, goyang kanan dan kiri dan semacamnya. Orang-orang seperti ini dijuluki oleh Mulla Shadra ra Sebagai Mutashawwifah atau sok shufi. 4- Ilmu Ladunni adalah ilmu yang diilhamkan kepada seseorang dari sisi Allah. Ladun artinya sisi/dekat. Jadi, ilmu ladunni adalah yang dikirim dari sisi Allah seperti yang dikatakan di ayat Sebagai "min ladunnaa", yakni "dari sisi Kami".



Syariat, Tarekat, Hakekat, dan Makrifat Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, Apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma. Syari’at adalah ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa A.s dari Nabi Khidir A.s. Allah Swt berfirman tentang Khidhir A.s:



“Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” ( Q.S Al-Kahfi: 65)Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi MusaA.s :



“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.”Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap Mukallaf (baligh dan Mukallaf) sampai datang ajal kematiannya. Tarekat (Bahasa Arab: ‫قرط‬, transliterasi: Tariqah) berarti “Jalan” atau “Metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, Tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan illahiyah dengan cara Suluk (Taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh Salik.



Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yang berasal dari kata Hak (Al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). Kata “Haq“, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah Swt, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut bathil (yang tidak benar). Ma’rifat yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan Kasyf (wahyu ilham/ terbukanya tabir ghaib) atau Ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah Swt kepada hamba- hamba-Nya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau di amalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah, atau mengurangi.Ma’rifat juga berarti pengetahuan yang hakiki tentang illahiyah. Dengan orang menjalankan Syari’at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah Swt. Lantas bagaimana jalannya Seharusnya orang yang mengaku ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari’at. seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadist, Ushul Fiqih, Balaghoh, ‘Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat illahiyah yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain Syari’at.



Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai dari Ma’rifat, Tarekat, Hakikat, dan akhirnya sampai pada Syari’at.



Ma’rifat adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat Nabi Muhammad Saw bertemu dengan Malaikat Jibril A.s, Hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan berbagai perintah untuk Iqra, Tarekat saat Muhammad Saw berjuang untuk menegakkan jalannya dan Syari’at adalah saat Muhammad Saw mendapat perintah untuk sholat saat Isra’ Mi’raj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.



Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syekh Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i yang menyendiri dari kajian ilmiah



(falsafah) setelah menulis Tahafut al- Falasifah. Kemudian Al-Ghazali menjadi Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai oleh Ibn Rusdi.



Tidak seharusnya seorang muslim sejati mengkotak-kotakkan ini Syari’at, ini Tarekat, ini Hakekat, ini Ma’rifat, karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui ke-ilmuan Islam secara holistik.



RAHASIA MA’RIFAT Sangat sulit menjelaskan hakikat dan ma’rifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syari’at saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al- Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah Saw memperoleh pengetahuan yang luar biasa langsung dari Allah Swt.



Hafalan tetaplah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah Swt, otak itu baru sedangkan Allah Swt itu adalah Qadim sudah pasti Baru tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah Swt dengan dalil yang anda miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.



Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orangorang yang sudah berma’rifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah Saw, dan melihat Allah Swt, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli ma’rifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadang kala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Ma’rifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebut “Khatamallahu ‘ala Qulubihim” (Tertutup mata hati mereka) itulah Hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan. Rasulullah Saw menggambarkan Ilmu hakikat dan ma’rifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”.



Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah R.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:



“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang- orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah Swt)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).



Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi Muhammad Saw bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu hanya berdzikir kepada Allah Swt dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalanamalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.



Masih ingat kita cerita Nabi Musa A.s dengan Nabi Khidir A.s yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan ma’rifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu Syari’at yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak. Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a sebagai berikut :



“Aku telah hafal dari Rasulullah Saw dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebar luaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku).” (HR. Thabrani).Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat?



Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat Rasulullah Saw saja tidak di izinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Rasulullah Saw, dari nabi izin tersebut diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini. Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait dzikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al -‘Ala, orang- orang yang cuma Ahli Syari’at semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat, dan Ma’rifat adalah Bid’ah Dlolalah.



Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas di ingkari oleh Syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan inti sari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu inti sari dari Ilmu Syari’at.



Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan Taslim dan Tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku- buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat. Dalam setiap peristiwa yang mewarnai kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat Allah Swt sangat terkait erat dengan ayat-ayat Kauniyah-Nya yang terhampar di atas muka bumi-Nya.



Betapa Allah Swt melalui ayat-ayat Kauniyah-Nya- memang ingin menunjukkan ke - Maha Kuasaan-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya agar hamba- hamba-Nya senantiasa mawas diri, waspada dan berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku agar tidak mengundang turunnya sifat Jalilah-Nya yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh siapa pun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa terkecuali, karena memang Allah Swt-lah satusatunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh makhluk-Nya.



Berdasarkan pembacaan terhadap ayat- ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak empat ayat yang menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah Swt secara berdampingan, yaitu: pertama, surah Al-Ma’idah [5]: 98, :



“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.



Kedua, akhir surah Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasapenguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.



Ketiga, surah Ar-Ra’d [13]: 6, “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zhalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksanya”. Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.



Pada masing-masing ayat di atas, Allah Swt menampilkan Diri-Nya dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang yang merupakan esensi dari sifat Jamilah-Nya, namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah Swt amat keras dan pedih siksaan-Nya yang merupakan cermin dari sifat Jalilah-Nya. Menurut Ibnu Abbas R.a, seorang tokoh terkemuka tafsir dari kalangan shahabat, ayat-ayat tersebut merupakan ayat Al Qur’an yang sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah Swt (Arja’ Ayatin fi Kitabillah).



Karena menurut Ibnu Katsir R.a – ayat-ayat ini akan melahirkan dua sikap yang benar secara seimbang dari hamba-hamba Allah Swt yang beriman, yaitu sikap harap terhadap sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas serta khawatir akan ditimpa sifat Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf).



Sementara Imam Al-Qurthubi memahami ayat tentang sifat-sifat Allah Swt semakna dengan hadits Rasulullah Saw yang menegaskan,



“Sekiranya seorang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari ancaman adzab-Nya, maka tidak ada seorangpun yang sangat berharap akan mendapat surgaNya. Dan sekiranya seorang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah Swt dari rahmat-Nya, maka tidak ada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”. ( HR. Muslim)



Dalam konteks ini, Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir mengelompokkan sifat-sifat Allah Swt yang banyak disebutkan oleh Al Qur’an kedalam dua kategori, yaitu Sifat-sifat Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat itu selalu disebutkan secara beriringan dan berdampingan. Tidak disebut sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat Jalilah-Nya. Begitupula sebaliknya.



Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada di tangan manusia, karena manusia telah dianugerahi oleh Allah Swt kemampuan untuk memilih, tentu dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing.



“Bukankah Kami telah memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. AlBalad: 8-10)



Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya perhitungan Allah Swt dan kerasnya ancaman serta adzab Allah Swt yang akan melahirkan sifat Al- Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hamba-Nya. Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun, Pemberi Rizki, dan sifat-sifat lainnya yang memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh setiap hamba Allah Swt tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara kedua sifat tersebut, maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat jalilah-Nya. Pada tataran Implementasinya, pemahaman yang benar terhadap kedua sifat Allah Swt tersebut bisa ditemukan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik R.a. Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw bertakziyah kepada seseorang yang akan meninggal dunia.



Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu mendapatkan dirimu sekarang?”,



Ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidaklah berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah Swt akan memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”. (HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).



Sahabat Abdullah bin Umar R.a seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan R.a. Kesaksian Ibnu Umar tersebut terbukti dari pribadi Utsman bin Affan R.a bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah R.a meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan R.a terkadang meng-khatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah Swt yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah Swt dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya. Disamping tetap mengharapkan rahmat Allah Swt melalui amal sholehnya.



Betapa peringatan dan cobaan Allah Swt justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaran-Nya, agar kita semakin menyadari akan keberadaan sifat- sifat Allah Swt yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan sehari -hari. Boleh jadi saat ini Allah Swt masih berkenan hadir dengan sifat Jamilah-Nya dalam kehidupan kita karena kasih sayang-Nya yang besar, namun tidak tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat Jalilah-Nya. Na’udzu Billah.



Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari sifat Jalilah Allah Swt dan senatiasa meraih sifat jamilah-Nya.



Dan itulah tipologi manusia yang dipuji oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang bermaksud,



“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan khawatir akan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”



Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)



Semoga kasih sayang Allah Swt yang merupakan cermin dari sifat Jamilah-Nya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan bathin. Dan pada masa yang sama, Allah Swt berkenan menjauhkan bangsa ini dari sifat Jalilah-Nya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari mereka.



APABILA TUHAN MEMBUKAKAN BAGIMU JALAN UNTUK MA’RIFAT, MAKA JANGAN HIRAUKAN TENTANG AMALMU YANG MASIH SEDIKIT KARENA ALLAH SWT TIDAK MEMBUKA JALAN TADI MELAINKAN DIA BERKEHENDAK MEMPERKENALKAN DIRI-NYA KEPADA KAMU.



Pengertian Amal, Qada dan Qadar, Tadbir dan Ikhtiar, Do’a, dan Janji Allah Swt, semuanya itu mendidik rohani agar melihat ke dalam diri betapa kecilnya apa yang datang dari seorang hamba dan sebaliknya betapa besar apa yang dikaruniakan oleh Allah Swt.



Rohani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amalan itu, tapi sebaliknya melihat amalan itu sebagai karunia dari Allah Swt yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah Swt tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima taufik dan hidayah dari Allah Swt.



Orang berpikiran jernih akan menuju kepada kesucian hati dan akan mudah menerima pancaran Nur Sirr. Mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah Swt, Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci, dan Maha Tinggi tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia sendiri yang ingin ditemui dan dikenali. Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah Swt.



Allah Swt hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat bahwa “tidak ada jalan yang terjulur kepada gerbang ma’rifat” merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Karena “pengertian” itu tidak ada dalam Ilmu apapun. Ilmu tidak mampu menelurkan pengertian itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahwa “tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah Swt” maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah Swt. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan do’anya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun, hingga akhirnya membawa kepada berputus asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah Swt bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan -Nya. Kuatlah dia beramal agar dia lebih layak untuk menerima karunia Allah Swt tersebut sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk pintu gerbang ma’rifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia akan berasa ragu-ragu.



Dalam perjalanan mencari ma’rifat, seseorang tidak terlepas dari kemungkinan menjadi raguragu, lemah semangat, dan berputus asa. Hal itu menandakan dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt. Hamba tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Allah Swt, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali Diri-Nya.



Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah Swt. Menyerahkan diri atau Aslim kepada Allah Swt itulah yang dapat membawa kehadapan pintu gerbang makrifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian Aslim ini yang berkemungkinan menerima karunia berupa makrifat. Allah Swt menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahwa si hamba tersebut dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah makam tertinggi untuk menghampiri Allah Swt. Seseorang yang sampai kepada makam ini haruslah terus membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Allah Swt kehendaki dari makam inilah hamba diangkat ke Hadirat-Nya.



Jalan Aslim menuju pintu gerbang makrifat pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu;



1. Jalan orang yang mencari, dan 2. Jalan orang yang dicari.



1. Orang yang mencari akan melalui jalan di mana dia kuat melakukan Mujahadah



(perjuangan/usaha), Berjuang melawan godaan hawa nafsu, kuat melakukan amal ibadah, dan gemar menuntut ilmu. Dzohirnya sibuk melaksanakan tuntutan Syari’at dan bathinnya memperteguhkan iman. Dipelajarinya tarekat tasawuf, mengenal sifat-sifat yang tercela, dan berusaha mengikiskannya dari dirinya. Kemudian di isikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Dipelajarinya perjalanan nafsu dan melatihkan dirinya agar semakin lepas dari nafsunya itu agar menjadi bertambah suci hingga meningkat ke tahap yang di ridhai oleh Allah Swt. Inilah orang yang dimaksudkan Allah Swt dalam firman-Nya :



“Dan orang-orang yang berusaha dengan bersungguh-sungguh karena memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang menjadikan mereka bergembira serta memperoleh keridhaan); dan sesungguhnya (pertolongan dan bantuan) Allah adalah beserta orang-orang yang berusaha membaiki amalannya.” ( Ayat 69 : Surah al-‘Ankabut ) “Wahai manusia ! Sesungguhnya engkau sentiasa bermalasan – (menjalankan keadaan hidupmu) dengan segala upayamu sehingga sampai (semasa engkau) kembali kepada Tuhanmu, dan engkau akan tetap menemui balasan apa yang telah engkau usahakan itu (tercatat semuanya).” (Ayat 6 : Surah al-Insyiqaaq )



Orang yang ber-Mujahadah pada jalan Allah Swt dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang dituntut, memperbanyakkan ibadat, berdzikir, menyucikan hati, maka Allah Swt menunjukkan jalan dengan memberikan taufik dan hidayat sehingga terbuka kepadanya suasana berserah diri kepada Allah Swt tanpa ragu-ragu dan ridha dengan aturan/perlakuan Allah Swt. Dia akan dibawa kedekat pintu gerbang ma’rifat dan hanya Allah Swt saja yang menentukan apakah orang tadi akan dibawa ke Hadirat-Nya ataupun tidak, dikaruniakan ma’rifat ataupun tidak.



2. Golongan orang yang dicari menempuh jalan yang berbeda daripada golongan yang mencari. Orang yang dicari tidak cenderung untuk menuntut ilmu atau



beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang awam tanpa kesungguhan ber-Mujahadah. Tetapi, Allah Swt telah menentukan satu kedudukan kerohanian kepadanya, maka takdir akan menyeretnya sampai ke kedudukan yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan sesuatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan kepada hidupnya. Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian yang menimpanya selalu berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan sesuatu yang menjadi penghalang antaranya dengan Allah Swt.



Semisalnya dia seorang raja yang beban kerajaannya menyebabkan dia tidak mampu mendekati Allah Swt, maka Allah Swt mencabut kerajaan itu darinya. Terlepaslah dia dari beban tersebut dan saat itu juga timbul satu ke-insyafan di dalam hatinya, yang membuatnya menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan sepenuh hatinya. Sekiranya dia seorang hartawan takdir akan memupuskan hartanya sehingga dia tidak ada tempat bergantung kecuali Tuhan sendiri. Sekiranya dia berkedudukan tinggi, takdir mencabut kedudukan tersebut dan ikut tercabut kemuliaan yang dimilikinya dan digantikan pula dengan kehinaan sehingga dia tidak ada tempat untuk dituju lagi kecuali kepada Allah Swt. Orang dalam golongan kedua ini dihalangi oleh takdir daripada menerima bantuan dari makhluk. Sehingga mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah Swt dan timbullah dalam hatinya suasana penyerahan atau Aslim yang benar-benar terhadap Allah Swt.



Penyerahan yang tidak mengharapkan apa-apa daripada makhluk menjadikan mereka ridha dengan apa saja takdir dan perlakuan Allah Swt. Suasana seperti ini membuat mereka sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu dan amal mereka masih sedikit. Orang yang berjalan dengan kendaraan bala bencana dan tetap dalam istiqamah (ridha dalam perlakuan Allah Swt) akan lebih cepat sampai ke pintu gerbang kema’rifat-an.



Abu Hurairah R.a menceritakan, yang beliau dengar Rasulullah Saw bersabda yang maksudnya : “Allah Swt berfirman: ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada pengunjung-pengunjungnya maka Aku lepaskan dia dari belengguKu dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu dan dia boleh memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua’.”Amal kebaikan dan ilmunya tidak mampu membawanya kepada kedudukan kerohanian yang telah ditentukan Allah Swt, lalu Allah Swt dengan rahmat-Nya mengenakan ujian bala bencana yang menariknya dengan cepat kepada kedudukan berhampiran dengan Allah Swt.



Jadi ternyata bukan sekedar “Ngelmu-ngelmuan dan atau berharap dari amal-amalan” tapi sesungguhnya memang seperti uraian-uraian pengertian diatas. Kalo boleh saya ringkaskan bahwa Jalan tertinggi dalam makam ber-Ma’rifatullah adalah “bersabar dalam perjuangan dengan segala Ujian-ujian (perlakuan-Nya)” – yang sering kita dengan sebutan RIDHA. Untuk mengerti makna dari tulisan ini hendaknya membacanya harus “lepas” dari nafsu dan dari segala ke“ILMU”an yang ada di diri. Harus dengan kehati-hatian dan setenang-tenangnya dalam rasa cinta kepada Allah Swt.



Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidir A.s berkata kepada Nabi Musa A.s: “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baligh dan mukallaf) sampai datang ajal kematiannya.



Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah siasia.” Imam Malik berkata, “Barang siapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik. Barang siapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”



Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah Saw sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah Swt memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi Muhammad Saw melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”.



Tata cara shalat Nabi Muhammad Saw yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak



diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah Swt. Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu Waj- Hiya Lillaa-dzii Fatharas-samaawaati Wal-ardho Haniifam-muslimaw- Wamaa Ana Minal-Musy-rikiin..”



Kuhadapkan wajahku kepada wajah- Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik.



Seharusnya seorang hamba sudah menemukan channel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.



Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi Muhammad Saw yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.



Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang- orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.a, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.



Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.



Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah?



Dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.



Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.



PERBEDAAN SYARIAT, THORIQOH, HAQIQAH DAN MA’RIFAT



Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah-istilah agama yang kadang-kadang pengertian masyarakat masih rancu, istilah tersebut antara lain : Syariat Thariqah Haqiqah Ma’rifah



1. Syariat : Adalah hukum Islam yaitu Al qur’an dan sunnah Nabawiyah / Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum dalam Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu Fiqih, Aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqh yang dinyatakanmu’tabar (Shahih dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu Tuhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya ummat Islam terpecah menjadi 73 golongan / firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep konsep, baik menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, kitab kitab Allah, para Nabi dan Rasul, Hari Qiamat dan Taqdir.



Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan Fiqih. Dalam Fiqh masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah, dan sudah teruji kebenarannya serta diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten / istiqamah berada dibawah panji Tauhidnya Rasulullah SWA dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jamaah. Sedangkan firqah / golongan lainnya dinyatakan sesat dan kafir. Jika tidak bertaubat maka mereka terancam masuk dalam neraka. Na’udzubillah.



2. Thariqah : Thariqah adalah jalan / cara / metode implementasi syariat. Yaitu cara / metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan Syariat Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Jadi orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum Syariat, lebih jelasnya Syariah itu hukum dan Thariqah itu prakteknya / pelaksanaan dari hukum itu sendiri. Istilah Thoriqah berasal dari kata At-Tarik yang berarti jalan, keadaan, kepada hakikat.



Thariqah ada 2(dua) macam :



Thariqah ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqaddam.



Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah / Thariqah al Auliya’.Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah. Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :



(30 / 1 : ‫)ينرعشل ماملل ىربكل نازيم‬. ‫اجن ل اهنم ةقيرط دحا كلس ام ةقيرط نيتسو ةئ امثملثم ىلع تئ اج يتعيرش نا‬



“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: 1 / 30 )



Dalam riwayat hadits yang lain dinyakan bahwa :



( ‫ينربطل هاور ( ةنجل لخد ل انبر اهب دبعل ىقلت ل ةقيرط ةرشع ث لثمو ةئامثملثم ىلع تئاج يتعيرش نا‬



“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)



Terlepas dari jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi SAW yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada Hadits Nabi yang shahiih?



Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan Thariqah Mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah / mitode pendekatan kepada Allah SWT dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabah (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah SWT dengan sedekat dekatnya. Sebagian besar thariqah yang ada adalah thariqah mujahadah.



Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah SWT seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlash tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala ahirat , kerinduan si hamba yang penuh cinta pada Al Khaliq akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. Habibullah adalah kedudukan Nabi kita Muhammad SAW. (Adam shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad SAW Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan mitode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.



“Zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenarbenarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguhsungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.



Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi. Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang. Akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.



https://bilbara.files.wordpress.com/2012/11/thoriqoh.jpg



Macam-macam Thoriqoh dan ajarannya 1) Thoriqah Naqsabandiyah Pendiri Thoriqoh Naqsabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan. Pendiri Thorikoh Naqsabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.



Thoriqah Naqsabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan. Pokok-pokok ajaran Thoriqah Naqsabandiyah:



• Berpegang teguh dengan akidah ahli Sunnah • Meninggalkan Rukhshah



• Memilih hukum yang azimah • Senantiasa dalam muraqabah • Tetap berhadapan dengan Tuhan • Senantiasa berpaling dari kemegahan dunia. • Menghasilkan makalah hudur (kemampuan menghadirkan Tuhan dalam hati) • Menyendiri di tengah-tengah ramai serta menghiasi diri dengan hal-hal yang memberi faedah • Berpakaian dengan pakaian orang mukmin biasa. • Zikir tanpa suara • Mengatur nafas tanpa lali dari Allah • Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW



Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Thoriqah ini, yaitu: a. Tobat b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya) c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja) d. Taqwa e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT) f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah) Hukum yang dijadikan pegangan dalam Thoriqoh Naqsabandiyah ini juga ada enam, yaitu: a. Zikir b. Meninggalkan hawa nafsu c. Meninggalkan kesenangan duniawi d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh



e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT f. Mengerjakan amal kebaikan



Syarat-syarat untuk menjadi pengikutnya : a. I’tiqad yang benar b. Menjalankan sunnah Rasulullah c. Menjauhkan diri dari nafsu dan sifat-sifat yang tercela d. Taubat yang benar e. Menolak kezaliman f. Menunaikan segala hak orang g. Mengerjakan amal dengan syariat yang benar



2. Thoriqah Qadariyah Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihanlatihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anakanaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Thoriqah Qodariyah berpengaruh luas di dunia timur. Pengaruh pendirinya ini sangat banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib. Tujuan dari bacaan manaqib adalah untuk mendapatkan barkah, karena abdul Qadir jailani terkwenal dengan keramatnya. Dasar pokok ajaran Thoriqah Qadariyah yaitu:



• Tinggi cita-cita • Menjaga kehormatan • Baik pelayanan • Kuat pendirian • Membesarkan nikmat Tuhan



3. Thoriqah Sadziliyah



Pendiri Tarekat Sadziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Pokok ajaran Thoriqoh Sadziliyah yaitu:



• Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai • Mengikutu sunnah dalam segala perbuatan dan perkataan • Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dan membelakang • Ridho dengan pemberian Allah sedikit atau banyak • Kembali kepada Allah baik senang maupun sedih. Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan: a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat. b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain. c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya. d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain. e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.



4. Thoriqah Rifaiyah Pendirinya Thoriqah Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah



dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.



Ciri khas Thoriqah Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.



5. Thoriqah Khalawatiyah Tarikat Khalawatiyah ialah suatu cabang dari tarikat Suhrawadiyah yang didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi, yang tiap kali menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar. Bidang usahanya yang terbesar terdapat di Afghanistan dan India. Memang keluarga Suhrawardi ini termasuk keluarga Sufi yang ternama. Abdul Futuh Suhrawardi terkenal dengan nama Syeikh Maqtul atau seorang tokoh sufi yang oleh kawan- kawannya diberi gelar ulama, dilahirkan di Zinjan, dekat Irak pada tahun 549 H. Suhrawardi yang lain bernama Abu Hafas Umar Suhrawardi, juga seorang tokoh sufi terbesar di Bagdad, pengarang kitab “Awariful Ma’arif”, sebuah karangan yang sangat mengagumkan dan sangat menarik perhatian Imam Ghazali, sehingga seluruh kitab itu di muat pada akhir karya “Ihya Ulumuddin” yang oleh Thoriqah Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya dijadikan pokok pegangan dalam suluknya, dan Suhrawardani ini meninggal pada tahun 638 H .



6. Thoriqah Khalidiyah Cabang Naqsabandiyah di Turkestan mengaku berasal dari Thoriqah Thaifuriyah dan cabangcabang yang lain terdapat di Cina, Kazan, Turki, India, dan Jawa. Disebutkan dalam sejarah, bahwa Thoriqah itu didirikan oleh Bahauddin 1334 M. Dalam pada itu ada suatu cabang Naqsabandiyah di Turki, yang berdiri dalam abad ke XIX, bernama Khalidiyah.



Menurut sebuah kitab dari Baharmawi Umar, dikatakan, bahwa pokok-pokok Thoriqah Khalidiyah Dhiya’iyah Majjiyah, diletakkan oleh Syeikh Sulaiman Zuhdi Al-Khalidi, yang lama bertempat tinggal di Mekkah. Kitab ini berisi silsilah dan beberapa pengertian yang digunakan dalam Thoriqah ini, setengahnya tertulis



dalam bentuk sajak dan setengahnya tertulis dalam bentuk biasa. Dalam silsilah dapat dibaca, bahwa tawassul Thoriqah ini dimulai dengan Dhiyauddin Khalid.



7. Thoriqah Sammaniyah Nama Thoriqah ini diambil daripada nama seorang guru tasawwuf yang masyhur, disebut Muhammad Samman, seorang guru terikat yang ternama di Madinah, pengajarannya banyak dikunjungi orang-orang Indonesia di antaranya berasal dari Aceh, dan oleh karena itu terikatnya itu banyak tersiar di Aceh, bisa disebut terekat sammaniyah. Ia meninggal di Madinah pada tahun 1720 M. Sejarah hidupnya dibukukan orang dengan nama Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Samman, ditulis bersama kisah Mi’raj Nabi Muhammad, dalam huruf arab, disiarkan dan dibaca dalam kalangan yang sangat luas di Indonesia sebagai bacaan amalan dalam kalangan rakyat.



8. Thoriqah Rifa’iyah Tidak banyak kita mengetahui tentang tarekat ini, meskipun namanya terkenal di Indonesia karena tabuhan rebana, yang namanya di Aceh rapa’i, perkataan yang terambil dari Rifa’i, pendiri dan penyiar Thoriqah ini, begitu juga dikenal orang Sumatera permainan debus, menikam diri dengan sepotong senjata tajam, yang diiringi zikir-zikir tertentu.



Akhmad ibn Ali Abul Abbas, yang dianggap pencipta daripada Thoriqah Rifa’iyah itu. Ia meninggal di Umm Abidah pada 22 Jumadil Awal 578 H, sedang tanggal lahirnya diperselisihkan orang. Dalam kitab -kitab tua tulisan tangan, yang masih terdapat di sana sini di seluruh Indonesia, kita masih mendapati ajaran-ajaran Ahmad Rifa’i ini, meskipun gerakan ini tidak begitu kelihatan lagi hidup dalam masyarakat.Thoriqah Rifa’iyah ini, yang mula-mula berdiri di Irak kemudian tersiar luas ke Basrah, sampai ke Damaskus dan Istanbul di Turki. Cabang-cabangnya yang terdapat di Syiria ialah Hariyah, Sa’diyah dan Sayyadiyah, dll. Terutama dalam abad yangke XIX Masehi. Cabang Sa’diyah di syiria didirikan oleh Sa’duddin Jibawi, yang bercabang pula, masing-masing didirikan oleh dan bernama Abdus Salamiyah dan Abdul wafaiyah.



9. Thoriqah ‘Aidrusiyah Salah satu daripada Thoriqah yang masyhur dalam kalangan Ba’alawi ialah Al’aidurusiyah, terutama dalam tasawuf aqidah.



Hampir tiap-tiap buku tasawuf menyebut nama Al- aidrus sebagai salah seorang sufi yang ternama. Keluarga Al’Ahidus banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh Sufi yang terkemuka, diantaranya, di antaranya S. Abdur Rahman Bin Mustafa Al’Aidus, yang pernah menjadi pembicaraan Al-Jabarti dalam sejarahnya. Al- Jabarti menerangkan, bahwa S.Abdur Rahman berlimpah-limpah ilmunya, ahli yang mempertemukan hakekat dan syariat sejak kecil ia telah menghafal Al’Quran 30 jus.



10. Thoriqah Al-Haddad Sayyid Abdullah bin Alwi Muhammad Al-Haddad dianggap salah seorang qutub dan arifin dalam ilmu Tasawuf. Banyak ia mengarang kitab-kitab mengenai ilmu tasawuf dalam segala bidang, dalam aqidah, tarekat, dsb. Bukan saja dalam ilmu tasawuf, tetapi juga dalam ilmu-ilmu yang lain banyak ia mengarang kitab. Kitabnya yang bernama : “Nasa’ihud Diniyah”, sampai sekarang merupakan kitab-kitab yang dianggap penting. Muraqabah termasuk wasiat AlHaddad yang penting. Muraqabah artinya selalu diawasi Tuhan, dan orang yang sedang melakukan suluk hendaknya selalu Muraqabah dalam gerak dan diamnya, dalam segala masa dan zaman, dalam segala perbuatan dan kehendak, dalam keadaan aman dan bahaya, di kala lahir dan di kala tersembunyi, selalu menganggap dirinya berdampingan dengan Tuhan dan diawasi oleh Tuhan. Jika beribadah itu seakan-akan dilihat Tuhan, jika ia tidak melihat Tuhan pun, niscaya Tuhan dapat melihat dia dan memperhatikan segala amal ibadahnya. Ak-Hadad mengatakan bahwa Muraqabah itu termasuk maqam dan manzal, ia termasuk maqam ihsan yang selalu dipuji-puji oleh nabi Muhammad.



11. Thoriqah Tijaniyah Salah satu Thoriqah yang terdapat di Indonesia di samping thoriqah-thoriqah yang lain ialah tarekat Tijaniyah. Dalam tahun beberapa rekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui orangorang secara pasti, tetapi sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini di Cirebon. Seorang Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama Ali bin Abdullah At-Tayib Al -Azhari, berasal dari Madinah, menulis sebuah kitab yang berjudul “Kitab Munayatul Murid” (Tasikmalaya, 1928 M), berisi beberapa petunjuk mengenai hakikat ini, dan kitab itu terdapat tersebar luas di Cirebon khususnya, dan di Jawa barat umumnya.



Pendirinya seorang ulama dari Algeria, bernama Abdul Abbas bin Muhammad bin Mukhtar AtTijani, lahir di ‘Ain Mahdi pada tahun 1150 H, (1737- 1738 M). Diceritakan bahwa dari bapaknya ia keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sedang nama Tijani adalah dari Tijanah dari keluarga ibunya. Thoriqah ini mempunyai wirid yang sangat sederhana, dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari istighfar



seratus kali, shalawat seratus kali, dan tahlil seratus kali. Boleh dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Di Cirebon tarekat Tijani ini pernah tersiar dengan suburnya di bawah pimpinan Kiyai Buntet dan saudaranya Kiyai Anas di desa Martapada, dekat kota Cirebon. Thoriqah adalah sebagai hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, yang dilakukan dengan aturan atau cara tertentu dan bertujuan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.



Dalam perkembangannya thoriqah itu kemudian digunakan sebagai nama sekelompok mereka yang menjadi pengikut bagi seorang syekh yang mempunyai pengalaman tertentu dalam cara mendekatkan diri kepada Allah dan cara memberikan tuntutan dan bimbingan pada muridnya. Dalam memberi nama suatu kelompok thoriqah dengan suatu ajaran tertentu dalam mendekatkan diri pada Tuhan itu dan dalam cara memberikan latihan-latihan selalu dinisbahkan kepada nama seorang syekh yang dianggap mempunyai metodhe dan pengalaman yang khusus.



Di Indonesia terdapat beberapa thoriqah yang telah tersebar ke beberapa daerah seperti: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyah, Khalawatiyah, Khalidiyah, Al- Hadad, Rifaiyah, dan Aidrusiyah, dll.. Nama-nama thoriqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’ tabar (benar – sanadnya sambung sampai pada Baginda Rasulullah SAW), antara lain :



1. Umariyah 2. Naqsyabandiyah 3. Qadiriyah 4. Syadziliyah 5. Rifaiyah 6. Ahmadiyah 7. Dasuqiyah 8. Akbariyah 9. Maulawiyah 10. Kubrawiyyah



11. Sahrowardiyah 12. Khalwatiyah 13. Jalwatiyah 14. Bakdasiyah 15. Ghazaliyah 16. Rumiyah 17. Sa’diyah



18. Jusfiyyah 19. Sa’baniyyah



20. Kalsaniyyah 21. Hamzaniyyah



23. Usysyaqiyyah 24. Bakriyah 25. Idrusiyah 26. Utsmaniyah 27. ‘Alawiyah 28. Abbasiyah 29. Zainiyah 30. Isawiyah 31. Buhuriyyah 32. Haddadiyah 33. Ghaibiyyah 34. Khodiriyah 35. Syathariyah 36. Bayumiyyah



37. Malamiyyah 38. Uwaisiyyah 39. Idrisiyah 40. Akabirul Auliya’



41. Subbuliyyah 42. Matbuliyyah 43. Tijaniyah 44. Sammaniyah.



https://thoriqohalfisbuqi.files.wordpress.com/2010/01/sufi-1.jpg



3. Haqiqah Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehigga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Kholiq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada lefel ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal. Sedangkan golongan Muhaqqiqqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan / tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji / pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan tersebut diatas.



4. Ma’rifah Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. (salik) Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. (wusul ilallah Swt). sehingga dia benar benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah SWT. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma’Nya, Sifat sifat,



Af’al serta DzatNya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk diseantero jagad raya ini. Para ‘Arifiin ini tujuan dan cita cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah SWT dengan Ampunan dan keridhaanNYa, tapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. (syariah dan Thariqah) kita bisa mempelajari teori dan praktek secara langsung, baik melalui membaca kitab-kitab / buku-buku maupun melalui pelajaran-pelajaran (ta’lim) dan pendidikan (Tarbiyah) bagi ilmu Thariqah. Sedangkan Haqiqah dan ma’rifah pada prinsipnya tidak bisa dipelajarisebagai mana Syariah dan Thariqah karena sudah menyangkut Dzauqiyah.



Haqiqah dan ma’rifah lebih tepatnya merupakan buah / hasil dari perjuangan panjang seorang hamba yang dengan konsisten (istiqamah) mempelajari dan menggali kandungan syariah dan mengamalkanya dengan ikhlash semata mata karena ingin mendapatkan ridha dan ampunan serta cinta Allah SWT. Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah : ibarat satu jenis makanan atau minuman (misalnya nasi rawon).



Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan bahan dan cara membuat nasi rawon itu sama dengan Syariah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon itu sama dengan Thoriqah . Resep dan praktek masak nasi rawon ini bisa melalui buku dan mempraktekkan sendiri (ini thariqah ‘am) sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli (itu namanya Thoriqah khusus). Makan nasi rawon dan menjelaskan rasa / enaknya ini sudah haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahui secara detail rasa, aroma, kelebihan dan kekurangannya itu namanya ma’rifah.



http://st303557.sitekno.com/images/art_73338.jpg



BERHATI-HATILAH TUJUAN THORIQOH ITU HANYA SEBAGAI JALAN WASHIL KEPADA ALLAH BUKAN PADA KAROMAH / MARTABAT / MAQOMAT / YANG MENYERUPAI KERAMAT SEPERTI BISA TERBANG , BERJALAN DI ATAS AIR, MENEMBUS DIMENSI MASA LALU, MELIHAT APA APA YANG AKAN TERJADI DI MASA DEPAN…. DEMI ALLAH ITU ADALAH HIJAB DARI KASYAF ,,, KARENA ITU ALLAH MENUTUPI KEADAANNYA DENGAN APA YANG TERLINTAS DARI HATIMU



Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya. Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.



Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.



Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah siasia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”



Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al- Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.



Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang.



Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.



Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.



Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah- Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.



Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.



Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemanamana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.



Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.



Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.



Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.



Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesanpesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat



agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!



TASAWWUF: SYARIAT, TAREKAT, HAKIKAT, MAKRIFAT Pertanyaan Saya : 1. apa itu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat? 2. apa yang dimaksud mempelajari islam secara lengkap? 2.1. Apa saja kategori2/bidang2 ilmu dalam ilmu islam? 3. apakah boleh seseorang mempelajari islam hanya syariat saja dan tidak mempelajari tarekat, hakikat, dan makrifat? 3.1. Dan apa hukumnya wajib mempelajari syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat secara terintegrasi dan menyeluruh? 4. apakah boleh seseorang beribadah tidak mengharap surga, tidak takut masuk neraka, rela masuk neraka jika ALLAH menghendakinya, dan beribadah atas dasar kecintaan terhadap ALLAH? 5. Lebih tinggi mana derajat orang yang beribadah karena ingin masuk surga saja atau orang yang beribadah karena kecintaannya kepada ALLAH tidak mengharap masuk syurga, tidak takut masuk neraka, dan murni hanya mengharap ridho ALLAH semata?



TOPIK SYARIAH ISLAM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



APA ITU TASAWUF? TAREKAT, SYARIAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT PENGERTIAN TAREKAT SECARA UMUM PENGERTIAN TAREKAT SECARA KHUSUS TAREKAT TERORGANISIR MENURUT IMAM NAWAWI SYARIAT, TAREKAT DAN HAKIKAT TINGKATAN MAKRIFAT CARA KONSULTASI AGAMA



JAWABAN APA ITU TASAWUF? 1. Ketika anda menanyakan definisi syariat lalu dikaitkan dengan tarekat, hakikat dan makrifat, maka sebenarnya anda bertanya tentang dunia tasawwuf. Karena dalam



ajaran Islam yang non-tasawwuf, hanya ada tiga prinsip Islam yang pokok yaitu Islam, Iman dan Ihsan berdasarkan pada hadis sahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab -- yang dikenal dengan hadits Jibril -- di mana terjadi percakapan antara malaikat Jibril dan Rasulullah yang ringkasannya sebagai berikut: Hai Muhammad. Beritahukan kepadaku apa itu Islam! Rasulullah Saw berkata : “Islam adalah Anda bersaksi tiada Ilaah yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasakan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana. Ia berkata : Anda benar. Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi : Beritahukan kepadaku apa itu Iman! Rasul menjawab : Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk. Ia menjawab : Anda benar. Ia berkata lagi : Beritahu aku apa itu Ihsan! Rasul berkata : "Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu."



TAREKAT, SYARIAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT Adapun agama Islam versi kalangan pengikut tasawwuf, maka ia terbagi menjadi tiga yaitu syariat, tarekat dan hakikat. Istilah arekat juga menjadi nama lain dari aliran tasawuf. Berikut pengertian syariat, tarekat dan haqiqat versi pengikut tasawwuf.



TAREKAT DAN TASAWWUF Pengertian tarekat atau tasawuf dapat dikategorikan ke dalam dua definisi. Definisi umum dan khusus. Definisi umum adalah pengertian tarekat yang diberikan oleh ulama kalangan sufi tak terorganisir atau sufi individual. Sementara tarikat dalam pengertian khusus adalah pengertian yang diberikan oleh kalangan sufi terorganisir yang bernaung di bawah suatu gerakan tarekat seperti tarekat naqshabandiyah, Syadziliyah, dst.



PENGERTIAN TAREKAT SECARA UMUM Imam Nawawi dalam kitab Al-Maqashid fi Al-Tauhid wal Ibadah wa Ushul AlTashawuf, hlm. 20, menjelaskan pokok-pokok tasawuf sbb:



‫ةسمخ فوصتل قيرط لوصأ‬: ‫ةينيلعلوا رسل يف ل ىوقت‬، ‫لواقول يف ةنسل عابتاوا‬ ‫ريثكلوا‬، ‫لعفلوا ءارضلوا ءارسل يف ل ىل عوجرلوا‬، ‫رابدبالاوا لبقولا يف قلخل نع ضارعلا‬، ‫ليلقل يف ل نع ىضرل‬



Artinya: Pokok tarekat tasawuf ada lima: takwa pada Allah dalam rahasia atau terang, mengikuti sunnah dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk dari depan dan belakang, rela pada pemberian Allah dalam sedikit atau banyak, kembali pada Allah kala senang dan susah. Zakariya Al-Anshari dalam Risalah Al-Qusyairiyah, hlm. 7, memberikan definisi tasawuf kurang lebih sama dengan Imam Nawawi: ‫سوفنل ةيكزت لواحأ هب فرعت ملع فوصتل ةيدبل ةدبااعسل لينل نطابلوا‬، ‫رهاظل ريمعتو قلخل ةيفصتو‬



Artinya: Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan penyucian hati dan pembersihan akhlak dan meramaikan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan abadi. Dalam pengertian yang diberikan oleh Imam Nawawi dan Al-Anshari ini, maka tarekat adalah penyucian diri dengan menaati segala perintah Allah secara ikhlas bukan karena takut atau ingin dipuji sesama manusia; menekankan pada nilai esoteris (hati) daripada eksoteris (lahiriyah). Tidak lebih dari itu. Apabila mengikuti definisi ini, maka semua muslim yang taat pada syariah dan menjauhi larangannya dapat disebut sebagai seorang Sufi atau pengikut tasawuf tanpa harus ada keterikatan dengan guru atau mursyid tarekat tertentu. Dalam pemahaman ini, maka Tarekat atau tasawuf merupakan salah satu aspek dari Islam yang serupa dengan hukum syariah (fiqih). Tasawuf itu tak terpisahkan dari Islam dan menjadi bagian dari keimanan Islam; menjadi pilar ketiga Islam yaitu ihsan sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Muslim dari Umar bin Khattab yang disebut di awal tulisan ini. Apabila tarekat dimaknai sebagai pembersihan diri saja, maka klaim mereka sebagai implementasi dari 'ihsan' adalah tepat.



PENGERTIAN TAREKAT SECARA KHUSUS Dalam terminologi kaum sufi yang terorganisir, tarekat adalah jalan menuju Allah yang dilakukan oleh pengikut kelompok ini untuk pembersihan diri (tazkiyah an-nafs) melalui pendidikan (tarbiyah), dzikir serta wirid (riyadhah ) secara intensif atas panduan seorang mursyid (guru spiritual) yang mencapai tingkat wali yang mahfudz (tak pernah salah) yang dengannya akan mencapai makrifat pada Allah. Dalam tarekat terorganisir .ini elemen terpenting adalah adanya murid dan mursyid (guru spiritual) Dalam pengertian kedua ini, maka muncullah beberapa organisasi atau aliran toriqot. Di Indonesia, ulama NU, membagi kelompok tarikat ini menjadi muktabaroh (yang dianggap) dan ghoiru muktabarah (yang tidak diakui). Organisasi toriqot yang .muktabaroh



antara lain Syadziliyah, Naqshabaniyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dll



TAREKAT TERORGANISIR MENURUT IMAM NAWAWI Ulama salaf tidak keberatan dengan keberadaan tasawuf/tarekat terorganisir dengan syarat tidak ada hal-hal yang berlawanan dengan 4 sumber syariah yaitu Quran, Sunnah, ijmak dan qiyas. Imam Nawawi dalam Al-Maqashid fi Bayan Al-Aqaid wa :Ushul Al-Ahkam,



hlm. 92, menjelaskan soal ini



‫ وامن‬. ‫ يتععينب اجتنابه وازجرهب‬, ‫ واما خالف هذه الربعة فهو بدعةب وامرتكبه مبتدع‬. ‫ الكتاب واالسنة واالجماع واالقياس المعتبران‬: ‫أصول الدين أربعة‬ ‫المطلوب اعتقاابد من‬ ‫ مع‬, ‫ فنسلم لهم واينفوضم إلى ال شأينهم‬, ‫ كالمجاذيب‬, ‫ واأما من كان مسلوبا عقلهب أوا مغلوبا عليه‬. ‫ واصحب الصالحينم‬, ‫علم واعمل والزم أابدب الشريعة‬ ‫واجوب إينكار ما يقع‬ ‫ حفظا لقواينين الشرعي‬, ‫منهم مخالفا لظاهر المر‬



Artinya: Pokok agama ada empat: Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas yang muktabar. Adapun sesuatu yang berlawanan dengan sumber yang empat ini maka bid'ah (yang sesat) dan pelakunya adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang harus dijauhi. Dituntut untuk meyakini ulama yang mengerti dan mengamalkan ilmunya dan komitmen pada aturan syariah dan bersama kalangan orang soleh. Adapun orang yang rusak akalnya atau gila, seperti orang yang jadzab, maka kami serahkan tingkah mereka pada Allah serta



wajib mengingkari pada yang terjadi pada mereka yang berlawanan dengan zhahirnya perkara guna menjaga aturan syariah.



SYARIAT, TAREKAT DAN HAKIKAT Berikut definisi syariat, tarekat dan hakikat menurut pemahaman khusus di kalangan ahli tasawuf: SYARIAH Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha (ahli fiqih). TAREKAT DAN HAKEKAT Tarekat adalah kesungguhan hati (mujahadah al-nafs) dan meningkatkan kualitas karakter hati yang kurang menuju kesempurnaan dan naik dalam posisi kesempurnaan dengan sebab ditemani oleh para mursyid. Tarikat adalah jembatan yang menjadi perantara dari syariah menuju hakikat (Lihat, As-Sayid, Takrifat, hlm. 94).



Untuk menjelaskan hubungan antara syariat dan hakikat, ulama Sufi memberi contoh shalat. Melaksanakan shalat dengan semua gerakan dan perilakunya yang bersifat lahiriyah dan memenuhi semua rukun dan syarat shalat sebagaimana disebut oleh ulama fiqih merepresentasikan sisi syariah yaitu fisik shalat. Sedangkan hadirnya hati bersama Allah dalam shalat mewakili sisi hakikat. Ia adalah ruh shalat. Perbuatan shalat secara fisikal adalah jasad dari shalat sedangkan khusyuk dalam shalat adalah ruhnya.



TINGKATAN MAKRIFAT Makrifat adalah maqam (posisi) tertinggi di kalangan panganut tarekat. Menurut kalangan Sufi, makrifat adalah anugerah Allah pada kalangan Al-Arif (orang yang mencapai makrifat) berupa ilmu, rahasia (asrar) dan lataif (kelembutan).



Makrifat bisa dicapai dengan lamanya "bermuamalah" dengan Allah. Makrifat merupakan hasil dari sikap zuhud dan penyucian diri dan ia tidak dapat dicapai kecuali dengan dzauq (rasa) dan wijdan (kekuatan batin) (Lihat, Kamal Ja'far dalam Al-Tashawwuf, hlm. 200). **** BELAJAR ILMU AGAMA ADA DUA KATEGORI Orang yang belajar ilmu agama ada dua kategori: orang awam dan calon ulama. Orang awam cukup mempelajari ilmu agama secukupnya saja tanpa perlu pendalaman dan itupun hanya terkait dengan ilmu-ilmu syariah keseharian seperti perihal shalat, puasa, zakat, dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Sedangkan calon ulama diharuskan untuk mempelajari berbagai ilmu agama termasuk juga bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Quran dan hadits. Baca detail: Hukum Belajar Ilmu Agama 2.



APA SAJA ILMU AGAMA ITU? 2.1. Al-Quran dan tafsirnya, hadis dan ilmu cabangnya, fiqih dan ushulnya, aqidah, ilmu bahasa Arab, tajwid, sejarah, dan lainnya. Baca detail: Hukum Belajar Ilmu Agama 3.



Boleh. Ilmu yang perlu dipelajari oleh kalangan awam adalah yang terkait



dengan kewajiban syariah saja. Baca detail: Hukum Belajar Ilmu Agama HUKUM BELAJAR ILMU TASAWUF DAN IKUT TAREKAT TERORGANISIR Adapun ilmu tasawuf seperti soal hakikat dan makrifat itu justru mendapat peringatan dari Imam Nawawi agar kita berhati-hati dengannya. Kami kutipkan lagi ucapan Imam Nawawi di atas: Pokok agama ada empat: Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas yang muktabar. Adapun sesuatu yang berlawanan dengan sumber yang empat ini maka bid'ah (yang sesat) dan pelakunya adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang harus dijauhi. Dituntut untuk meyakini ulama yang mengerti dan mengamalkan ilmunya dan komitmen pada aturan syariah dan bersama kalangan orang soleh. Adapun orang yang rusak akalnya atau gila, seperti orang yang jadzab, maka kami serahkan tingkah mereka pada Allah serta wajib mengingkari pada yang terjadi pada mereka yang berlawanan dengan zhahirnya perkara guna menjaga aturan syariah.



Tidak wajib. Yang wajib bagi kalangan awam adalah belajar ilmu syariah dasar agar .3.1 dapat melaksanakan kewajiban agama dan menjauhi larangannya dengan benar. Sedangkan ilmu agama secara mendalam hukumnya fardhu kifayah yakni wajib pada .sebagian



orang yang memang mengkhususkan diri untuk belajar ilmu agama



Abu Bakar Al -Rozi Al-Jashash dalam Ahkamul Qur'an, hlm. 4/374, dalam :menjelaskan



maksud QS At-Taubah 9:22, menyatakan



‫ واأمر الباواقين‬، ‫ لما تضمنت من المر بنفر الطائفة من الفرواقة للتفقه‬، ‫وافي هذه الية ابدللة على واجوب طلب العلم واأينه مع ذلك فرض على الكفاية‬ ‫بالقعوابد‬



Artinya : Ayat ini menunjukkan wajibnya mencari ilmu dan sifatnya fardhu kifayah karena dalam ayat ini terkandung perintah pada sebagian golongan untuk berangkat menuntut .ilmu



dan memerintahkan yang lain untuk tinggal di rumah



Boleh . Tidak ada larangan untuk itu . Yang prinsip adalah melaksanakan perintah Allah .4 dan menjauhi larangan-Nya. Terlepas dari itu, semua perbuatan di dunia yang dilakukan karena Allah, bukan karena manusia, itu disebut perbuatan yang ikhlas. Baik murni karena cinta pada Allah, atau ingin surga Allah, atau takut pada neraka Allah itu semua masuk dalam kategori ikhlas. Bukan riya. Dan karena itu semuanya baik. Pengkategorian ikhlas menjadi seperti di atas itu adalah ajaran kaum sufi. Bukan



berdasarkan pada dalil Quran dan hadits. Robiah Al-Adawiyah, salah :satu



tokoh sufi, membagi ikhlas menjadi tiga



،‫ أن تعبد ال طلبا للثواب واهربا من العقاب‬:‫الولى‬:‫ث‬:‫أن مراتب الخل ص ثل‬ ‫ لينها مرتبة الصديقين‬- ‫ واهي أعلها‬- ‫ أن تعبد ال لذاته ل لطمع في جنته وال لهرب من يناره‬:‫ واالثالثة‬،‫ أن تعبده لتتشرف بعباابدته واالنسبة إليه‬:‫الثاينية‬



Artinya: keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat: Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka . Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya .Ketiga, beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya. (Lihat, Al-Bakri dalam Ianah Al-Tholibin , hlm. 4/386)



Baca detail: Derajat Ikhlas Menurut Sufi dan Non-Sufi 5. Dalam kacamata syariah, itu sama saja. Orang yang mengharap ridha Allah akan mendapatkan ridhaNya dan orang yang mendapat ridho Allah akan mendapatkan surga. Dalam QS At-Taubah 9:100 Allah berfirman: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selamalamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. Seperti disebutkan di atas, pembagian ikhlas menjadi tiga adalah klasifikasi kalangan sufi. Bukan kalangan ulama mainstream. Ulama mainstream umumnya dalam soal akhirat berpegang penuh pada dalil Quran dan hadits karena itu masalah ghaib. Dan dalam Al-Quran maupun hadits, bertakwa karena mengharapkan surga dan takut neraka itu adalah sikap yang syar'i.