Syekh Siti Jenar Wali Kontroversial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukupmenarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dansosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yangmenerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkanoleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yangberkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawahpemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal inijuga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwawafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono.



Sedangkan



yangberkaitan



dengan



proses



kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikanpenjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapaasumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar.



VersiPertama Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh SultanDemak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo 1



yang dipimpin oleh SunanBonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yangdilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo.



VersiKedua Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati.Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yangpelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudiandimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke39 terbitan Emon Suryaatmana danT.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994).



Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), SyekhSiti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur dararberwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudianberkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah danMuhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surgaseiring dengan kata-kata: ”Jika adaseorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari 2



Allah Yang Mahakuasa, diaakan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”.



Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masihmemiliki kelanjutan yang hampir sama.



Sebagaimana



dikemukakan



dalam



Suluk



Syekh



Siti



Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenarmeninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentusaja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa keMasjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esokpaginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjagajenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketikawaktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tibatibatercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat parasantri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yangtetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.



Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajakulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti ituterbuka, jenazah Syekh Siti Jenar 3



memancarkan cahaya yang sangat indah, lalumuncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah petimemancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.



Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembahsujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudianjenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidakberkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.



Dalam



Suluk



Syekh



SitiJenar



dan



Suluk



Walisanga dikisahkanbahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti denganbangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yangdirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkankeesokan



harinya



kepada



masyarakat



untuk



mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh SitiJenar adalah sesat.



Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing initernyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datangke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara KiLuntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum diamengambil 4



kematiannya,



dia



menyindir



kelicikan



para



Wali



dengan



mengatakan(Sofwan, 2000: 221): “...luhta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmudadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upayasadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh rehtanah jawa tan ana...”



...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian.Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal,kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendakmengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidakada...”



Seperti



halnya



sang



guru,



Ki



Luntang



pun



mati



atas



kehendaknyasendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.



VersiKetiga Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman matioleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan GunungJati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa



5



vonis yang diberikan Sunan Giri atasusulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).



Dikisahkan



bahwa



pesantrenyang



Syekh



banyak



Siti



Jenar



muridnya.



mempunyai



Namun



sebuah



sayang,



ajaran-



ajarannya dipandang sesat dan keluardari ajaran Islam. Ia mengajarkan



tentang



keselarasan



antara



Tuhan,



manusia



danalam (Hariwijaya, 2006: 41-42).



Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubunganmanusia



dengan



alam



diungkapkan



dengan



“MengasahMingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu pembentukan



Hayuning “Jalma



Bawana”, Sulaksana”,



yang



bermuara



“Al-insan



pada



Al-kamil”,



“SariraBathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga,intelektual spiritual, dan kepala dadanya.



Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebutdengan “uninong aning unong”, saatsepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalahsatu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia. 6



Sunan



Giri



sebagai



ketua



persidangan,



setelah



mendengarpenjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskanbahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moralmasyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhihukuman mati.



Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untukmemperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secaraformal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widjisaksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubahpendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan.



Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup danmuridmuridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkanajaran wahdatul wujud meskipun secarasembunyisembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidakberbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakaneksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan dilingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya.



7



VersiKeempat Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhiSunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yangdikisahkan dalam Babad Demak. Menurutbabad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengankesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Kerisditusukkan hingga tembus



ke



punggung



dan



mengucurkan



darah



berwarna



kuning.Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut belakematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwadia bukan yang membunuh



Syekh



Siti



Jenar



tetapi



dia



mati



atas



kemauannyasendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. SunanGiri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada disurga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan(Sofwan, 2000: 218).



Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalamBabad Tanah Jawa yang disandur olehS. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad inidisebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali kemasjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, 8



namun kemudianmarah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Girikemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudiandibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuhSyekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah danmenuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa diarela mati.



Syekh Siti Jenar



menerima banyak



tikaman



dari Syekh



Maulana,tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidakberdarah”. Dari lukaluka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarnamerah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluarberwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarnaputih. Syekh Maulana berkata lagi. “Iniseperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gustitidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dandarahnya sirna.



9



Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekoranjing,



membungkusnya



dengan



kail



putih



dan



mengumumkan kepada masyarakat bahwamayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannyayang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar.



Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi olehseorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh



Siti



Jenar.



Diaberkata,



”Saya



dengar



para



Wali



telahmembunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik sayajuga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakankambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnyadengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar.Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).



VersiKelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati,sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versitentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disuntingoleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah 10



eksekusi terhadap Syekh Sitijenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisahini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan olehSunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” inidiawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebonsebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokohpengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemuikegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itumenyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dariPengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnyameluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, SultanCirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di PadepokanAmparan Jati.



Pangeran



Punjungan



bersedia



menjalankan



tugas



yang



diembankansultan kepadanya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orangtelah menjadi murid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima bala tentara Cirebonbernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti 11



Jenar.Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal diCirebon Girang.



Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh SultanDemak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700



orang



prajurit



keCirebon.



Sultan



Cirebon



menerima



permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkanmemberi bantuan untuk tujuan itu.



Langkah



pertama



yang



diambil



Sultan



Cirebon



adalah



mengumpulkanpara murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, paraKyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istanaPangkuangwati. Selanjutnya



bala



tentara



Cirebon



dan



Demak



menuju



padepokanSyekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjidAgung Cirebon, tempat para Wali telah berkumpul.



Dalam



persidangan



itu,



yang



bertindak



sebagai



hakim



ketuanadalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilanmemutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati.



Kemudian



Sunan



Kudusmelaksanakan



eksekusi



itu



12



menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwaitu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 (Sofwan, 2000: 222).



Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yangdilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah



Syekh



SitiJenar.



Dikisahkan,



setelah



eksekusi



dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenardimakamkan di suatu tempat



yang



kemudian



banyak



diziarahi



orang.



Untukmengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agarmayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburanyang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.



Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenardipindahkan ke Jawa Timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak didalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Parapeziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sultan Cirebonmemanfaatkan situasi



dengan



mengeluarkan



fatwa



agar



orang-orang



tidakmenziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaranajaran Syekh Siti Jenar(Sulendraningrat, 1983: 28).



13



VersiKeenam Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Padasaatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo mendatangi Syekh SitiJenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota WaliSongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justrumemilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkantanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para



Sanan,



sekaligus



Syekh



SitiJenar



menempuh



jalan



kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versiini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yangdigubah oleh Ki Sosrowidjojo,



yang



kemudian



disebarluaskan



kembali



ileh



AbdulMunir Mulkan (t.t).



Sofwan



(2000:



215-217)



mengutip



Suluk



Walingsanga (sebagaimana juga yang terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagaiversi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian SyekhSiti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengandua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagaiutusan Sultan Fatah dan Majelis Wali Songo. Dua orang utusan ini diperintahSultan atas persetujuan Majelis Wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran(lebih tepatnya menginvestigasi) 14



dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yangdia sampaikan kepada murid-muridnya.



Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh SitiJenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayahDemak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang



berbuat



kegaduhan,



merampok,



berkelahi,bahkan



membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenaryang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka merekabunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek



keterangan



dari



mereka,



dengan



angkuhmereka



mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyakmengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.



Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, olehkarena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran diatasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilihmeninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajarishalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidakpernah melihat Tuhan.



15



Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Dombadan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar.Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar.Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atasSyekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atasuraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujuikebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegaholeh Pangeran Bayat.



Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apayang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berundingdengan Majelis Wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang Wali untukmemanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelimautusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng,dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluhorang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenardatang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima Walitersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan



ancamanSunan



Kalijaga.



Sekalipun



mendapatkan 16



ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh SitiJenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya Wali dan rajatidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akanmenjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada,tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi,menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.



VersiKetujuh Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asliyang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar, San Ali. Tokoh yang satuadalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semulaberambisi menguasai Cirebon,



namun



kemudian



terusir



dari



Keraton,



karenakedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruhdendang kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utamadi Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahanidari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar diBaghdad. Namun ia menyinpan dendang pribadi kepada Syekh Siti Jenar karenakalah dalam hal ilmu dan kerohanian.



17



Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempattempat



yang penduduknya menyatakan diri sebagaipengikut



Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan SyekhSiti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh SitiJenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh SitiJenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunanyang menggeser ajaran tauhid Islam.



Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, dan San AliAnshar mengaku dirinya sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawabagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua orang inisebenarnya yang dihukum mati oleh anggota Wali Songo, karena sudah melancarkanberbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota WaliSongo. Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, makadalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenarmenjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikutmemberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya RadenFatah ke tampuk kekuasaan



Kesultanan



Demak,



diwarnai



dengan



intrik 18



perebutantahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisaterjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasiajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidakmenggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.



Jadi



dikaitkan



dengan



kekuasaan



Sultan



Trenggono,



sebagaimanatercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagaipenguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihatdan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalahPangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakaklaki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda IngLepen” artinya meninggal di sungai.



Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namundibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh,mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknyatersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, padamulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan



19



masyarakat, karenasifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.



Salah



satu



tokoh



penentang



utama



naiknya



Trenggono



sebagaiSultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh SitiJenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belummau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurangmenyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka SultanTrenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut SyekhSiti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum matioleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjingkudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yangsangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagaisebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam. Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, memenuhiambisi



duniawinya



bersedia



yang



untuk



mengadakan



fitnah



terhadap sesama ulama, dan untukselalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajarankebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak 20



kepentinganpenguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazalidalam kitab Ihya’ “Ulum alDin menyebutkansebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yangjelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku paraulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlakpenguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun bedapendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secarahalus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, SunanKalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memilikikarakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan PendetaDurna (ulama yang bermuka dua, munafik).



Kedua



tokoh



tersebut



dalam



serial



pewayangan



model



SunanKalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama;memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberiankarakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkansejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahatyang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai SangYamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengandirinya atau dengan penguasa di 21



mana sang ulama mengabdikan dirinya. Haltersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yangsudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut SangPencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karenadalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkushabis.



Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak SunanKalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkanaktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dankekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntunganpribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulamayang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulahyang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.



Berbagai



versi



tentang



kematian



Syekh



Siti



Jenar



menunjukkanbahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. memastikan



Berbagai tentang



literaturyang



asal-usul



ada



tidak



keberadaannya



dapat hingga



proseskematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yangmengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah 22



besar keterangan yang mengisahkantentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkandengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itusendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan“kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan



secara



eksplisit



karena



akanmengurangi



“keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat danbabad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar.



Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berabgai Seratdan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi denganusaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan olehpara ulama penjilat kekuasaan, oleh muridmurid generasi penerus para ulamayang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang jugamemiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan,dan ajaran keagamaan yang dianutnya.



Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yangberbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman



mereka



pemahaman



baru



yang dari



membacaakan bacaan



tersebut



memberikan sehingga



memperbanyakversi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu 23



versi mengenai asal-usul SyekhSiti Jenar yang dalam Serat Syekh SitiJenar, sebagaimana juga disadur dalam FalsafahSyekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”.



Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenarbukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yangdisumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan inidilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumberlain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenaryang tersimpan di musem Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud “elur”(cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyatjelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasilmenjadi Wali, atau seorang Wali yang menjelata



(menempatkan



dirinya



berada



ditengah-tengah



mansyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000: 87).



24



2. SEJARAH SYEH SITI JENAR Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.



Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula AshShaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah AzZahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.



25



Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal AlQur’an usia 12 tahun.



Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.



Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.



Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.



26



Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid AlThariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:



1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya 2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya, 3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara 4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.



Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, 27



Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab AtTajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.



Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.



Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah AlAhadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.



28



3. KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI



JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah: 1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…. 2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo 29



Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.



3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.



4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari 30



cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“



5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”



31



Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas: 1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali] 2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak] 3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]



Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.



32



4. Mengapa Syeik Siti Jenar harus Mati? Sejarah itu milik penguasa. Dia yang menentukan benar atau salah seseorang. Dialah yang menentukan benar tidaknya suatu cerita.Namun penguasa tidak bisa hidup selama-lamanya mereka dikalahkan oleh waktu dan waktulah yang akan membuktikanapa itu kebenaran dan cerita sesungguhnya yang terjadi. Adalah Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di Bukit Amparan Jati (Daerah Cirebon sekarang).Disana, beliau bertemu dengan Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan Jati. Ulama



ini guru dari Pangeran Walang



Sungsang dan Dewi Rara Santang, putra-putri dari Prabu Silih Wangi, Raja Pajajaran. Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA. Ajaran beliau yang bernuansa spiritual murni banyak menarik orang karena di pesantren ini tidak diajarkan politik sehingga keadaan adem tentram, cocok sekali untuk mereka yang mencari kedamaian. Saat itu agama islam sedang awal-awalnya masuk ke pulau Jawa. Di daerah Surabaya sudah ada dewan wali, biasa disebut wali sanga. Wali-wali ini membawahi wilayah kerja masing-masing. Kebetulan untuk wilayah Jawabagian barat kosong sehingga perlu seseorang untuk memimpin islam di daerah itu maka dipanggilah Syek bdul Jaliluntuk masuk menjadi anggota Dewan Wali. (saat itu Syarif 33



Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, belum masih di Mesir.) Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu danbersedia masuk menjadi anggota Dewan Wali Sanga. Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh ksiti Jenar ( Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning ). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah yangtanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, Tanah jawa barat saat itu berwarna seperti itu. Kata KSITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI. dan beliau akhirnya dikenal dengan sebutan Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang. Peritiwa diangkatnya sheik abdul jalil menjadi anggota dewan wali ini oleh babad tanah jawa dikiaskan dengan cacing tanah yang terambil oleh Sunan Bonang saat mengambil tanah untuk menambal lobang pada perahukala hendak berlayar ke tengah laut.Saat itu Sunan Bonang sedang memberi wejangan pada sunan Kali jaga. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh cacing itu berubah menjadi manusia. Disini jelas terlihat bagaimana rakyat jelata dianggap sebagai cacing. Apalagihubungan Sunan giri dengan Sheik abdul Jalil saling bersebrangan karena berbeda tujuan. Saat ituanggota wali semuanya keturunan ningrat atau bangsawan kecuali shek siti jenar. Sebut saja Sunan Ampel, dia berdarah



bangsawan



Champa.



Sunan



Bonang



,



Sunan



Drajat,Sunan Lamongan, ketiganya putra Sunan Ampel, berdarah 34



bangsawan Champa dan Tuban.Sunan Kalijaga ( berdarah Tuban), Sunan Giri ( berdarah Blambangan ), dll.Namun siti jenar tidak pernah memperdulikan hal itu. Ilmu dan fikiran dia hanya untuk Allah saja. Dia tidak pernah peduli dengan politik atau kekalifahan ataupun cari nama. Istilahnya ‘Lu sebut gue apa aja gue sih terima. Gue gada urusan ama yang begituan.” Hal ini berbeda sekali dengan jalan fikiran pawa wali yang ingin membentuk kekhalifan di bumi jawa saat itu. Dalam rangka mewujudkan kekhalifan di bumu Jawa dimana-mana dilakukan aksi sepihak oleh orang-orang Demak. Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai goncang. Syeh Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini merasa damai bersanding dengan penganut agama Islam ini, mulai terusik. Syeh Siti Jenarprotes ke Sunan Ampel. Namun Sunan Ampel meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Kebetulan Sunan Kali jaga jugaprotes tentang hal ini. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar dalam mengikutiAl-Qur'an dan Hadistdipimpin Sunan Giri, Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang tengah gencargencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid'ah. Kafir. Sunan Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), danyang tidak sepaham dengan golongannya, di 35



tuduh sebagai penganut bid'ah, golongan ABANGAN (Kaum Merah). Karena protestidak di indahkan oleh Sunan Ampel, Sheik Siti Jenar menyatakan keluar dari wali sanga. Tahun 1475 Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda'im, datang dari Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda'im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang. Oleh Sunan giri beliau diangkat menjadi wakil islam untuk daerah Jawa bagian Barat. Dengan gelar Sunan Gunung Jati. Maka daerah Jawa bagian barat ada 2 pimpinan besar yang saling berhadapan. 2 matahari kembar yang memimpin umat islam,



suasana menjadi tambah panas. 1478 Sunan



Ampelwafat.Dewan wali pun dipimpin oleh Sunan Giri. Sehingga dia punya kuasa mutlak untuk membawa arah islam di jawa saat itu.wali sanga bergabung dengan demak untuk mewujudkan kekalifahan islam pertama di pulau jawa dengan mendirikan Kesultanan Demak. Mereka mulai sibuk dengan operasi-operasi militer untuk mengambil wilayah-wilayah Majapahit.Praktis rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan,berada dalam ketidak pastian karena ekonomi terganggu dan stabilitas menjadi kacau. Banyak peperangan terjadi. Di jawa bagian barat, Cirebon bergabung dengan Banten mencoba menaklukan kerajaan Pajajaran yang hindu. Pajajaran dibantu oleh orang-orang 36



Majapahit yang sama agama Hindu. pesantrean



Sheik



Menghadapikeadaan



Siti ini



Jenar Sheik



siti



Sehingga daerah sekitar tidak



nyaman



lagi.



jenar



berminat



untuk



memindahkan pesantrennya. Maka beliau mencaridaerah untuk dibuat pesantren barunya. Yang dicari adalah daerah pedalaman. Jauh digunung. jauh darikekacauan perang di jawa barat. Dan yang dicari adalah Jawa tengah. Kebetulan pada tahun 1490 Masehi,Ki Ageng Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah), yang masih berusia 21 tahun, menawarkan daerah Pengging sebagai tempat barupesantren beliau.



Sunan



kalijaga



yang



dekat



dengan



Siti



jenar



memperingatkan hal ini, karena ki Ageng Pengging adalah keturunan Majapahit langsung dan sedang dalam pengawasan kesultanan Demak. Hal ini berbahaya bagi Sheik Siti Jenar. Karena dalam silsilah Majapahit,Pengging adalah pewaris sesungguhnya tahta Majapahit,bukanRaden Patah. Walau raden patah itu putra langsung dari raja Majapahit. Jadi jika sampaiDemak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan Pengging, maka pasti akan dicurigai sedang membangun kembali kerajaan Majapahit. Namun sheik siti jenar ternyata sudah terlalu dekat dengan ki Ageng Pengging. Dan kisahnya tercatat dalam Pupuh (Bait-Bait) Tembang Jawa seperti dibawah ini : Satedhaking Majalengka, Kalawan dharahing Pengging, Keh prapta apuruhita, 37



Mangalap kawruh sejati, Nenggih Ki Ageng Tingkir, Kalawan Pangeran Panggung, Buyut Ngerang Ing Betah, Lawan Ki Ageng Pengging, Samya tunggil paguron mring Siti Jenar. Seluruh keturunan Majalengka ( Majapahit ), Termasuk keturunan dari Pengging, Banyak yang terpikat oleh beliau, Datang menimba ilmu pengetahuan sejati, Seperti Ki Ageng Tingkir, Juga Pangeran Panggung, Buyut Ngerang dari daerah Butuh, serta Ki Ageng Pengging, Menjadi satu paham dengan beliau. Syeh Siti Jenar yang memang tidak peduli peta politik Jawa saat itu. Syeh Siti Jenar tak segan-segan mengajak Ki Ageng Pengging berdiskusi masalah 'spiritual'.



Walau mereka berbeda agama namun



keduanya sudah sama-sama yakin dengan agamanya masingmasing. Hubungan mereka sudah mirip ayah dan anak. Dan laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging pun masuk ke telinga Raden Patah danSunan Giri. Dan fatwa Sunan Giri, beda tipis dengan perintah Patah. Menjelang tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan Syah Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Cirebon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar. Pemerintahan Demak dan Cirebon, merespon perintah Dewan Wali tersebut. Sultan Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi ke Cirebon,



membawa



pasukan



sebanyak



700



orang



untuk 38



menangkap Syeh Siti Jenar. Pasukan Cirebon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak menuju Pesantren SyehSiti Jenar bermukim, perlawanan terjadi, namun tidak berapa lama. Dengan mudah pesantren ditaklukan. Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang sah dan telah menyebarkan ajaran yang menyimpang kepada ummat Islam. Syeh Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap. Beberapa hari kemudian Sunan Kalijaga datang. dan meminta izin bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin. Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan, mereka berdua berpelukan erat. Sunan kalijaga menganggap sheik siti jenar kakak kandungnya sendiri, Meteka berdua sepahamdan tahu situasi saat itu. Syeh Siti Jenar,berpesan kepada Sunan Kalijaga agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan Islam yang kolot, kaku dan dangkal. Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit Kristen. Mereka belum menemukan 'Puncak Kesadaran' yang seharusnya mereka cari. 39



Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat, sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini! Beberapa hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju ke Istana Pakungwati. Dibawah pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang di Masjid Agung Ciptarasa. Dan saat pengadilan dilaksanakan Sunan Kudus berperan sebagai Jaksa, dan Hakim dipegang oleh Sunan Giri. Hampir



seharian



penuh,



pengadilan



berlangsung.



situasi



mencekam. Menjelang malam tiba,Syeh Siti Jenar digiring ke halaman Masjid Ciptarasa.Dihalaman Masjid Ciptarasa Sunan Kudus



sendiri



yang



menjalankan



eksekusi



hukuman



mati,memenggal kepala Syeh Siti Jenar.Dan Syeh siti jenar wafat saat itu juga. Sunan Kalijaga menitikkan air mata. Dan segera, memerintahkan pasukan Demak, merawat jasadnya .Jenasah dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasahdipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati. Kejadian ini ditulis dalam Sêrat Cênthini Jilid I, Ki Ageng Pengging, menyusul kemudian hari dieksekusi oleh Sunan Kudus



di



rumahnya



di



pengging



Surakarta.



40



5. Benarkah syekh siti jenar itu dibunuh walisongo Sejarah Syekh Siti Jenar, salah satu dari generasi para Wali di tanah Jawa, memang berbeda dengan Husein bin Manshur alHallaj, walaupun tragedi historisnya hampir bermiripan, tetapi sebenarnya kasusnya juga berbeda. Jika al-Hallaj memang memiliki otentitas sejarah dengan data-data akurat, bahkan karyakaryanya yang bisa dibaca oleh generasi sufi, seperti Kitab AthThawasin dan yang lainnya, lain lagi dengan Syekh Siti Jenar. Data tentang Syekh Siti Jenar ini, lebih banyak menggunakan data sekunder. Sehingga para sejarawan Islam sendiri banyak yang tidak bisa menunjukkan orisinalitasnya, lebih banyak interpretasi dari para penulis sejarah itu sendiri. Film Walisongo yang sangat terkenal dengan eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar juga tidak sepenuhnya benar. Apalagi di kemudian hari banyak sekali sejarah dengan versi yang berbeda-beda. Ironisnya, sejarah yang tidak akurat itu dianut oleh sekelompok aliran kebatinan di Jawa yang mengklaim dirinya bermadzhab Syekh Siti Jenar, yang sangat ekstrem, yakni tidak perlu bersyari’at dalam menjalankan agamanya (Islam). Apakah benar bahwa sesungguhnya yang dibunuh itu adalah Syekh Siti Jenar? Itulah awal polemik sesungguhnya. Sebab versi lain juga mengatakan pada dasarnya Syekh Siti Jenar tidak 41



dibunuh, tetapi hidup sampai akhir hayat dalam ‘uzlahnya. Nama beliau adalah Abdul Jalil, dan kelak populer sebagai Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang. Apa yang diucapkan oleh Syekh Siti Jenar, kemudian dianggap kontroversial itu memang sama dengan pandangan al-Hallaj. Namun pandangannya tentang Manunggaling Kawulo Gusti, tidak bisa sama sekali diartikan sama dengan pantheisme atau Wahdatul Wujud. Terminologi “Ittihad” dalam pandangan al-Hallaj juga bukan berarti pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ittihad berarti menyatu. Apa yang menyatu? Yang menyatu adalah syuhudnya, bukan wujudnya. Sebagaimana ketika Anda sedang bercermin, hati Anda secara otomatis mengatakan: “Itulah aku”. Sebuah ungkapan reflektif di luar kesadaran. Anda sebenarnya menyatu dengan gambar yang memantul dalam cermin itu. Tetapi ketika Anda katakan kepada banyak orang bahwa cermin itu adalah Anda sendiri, tentu salah. Sebab cermin ya cermin, Anda ya Anda. Kalau ada interaksi antara Anda dengan cermin, itu semata karena adanya pantulan yang Anda saksikan, dan yang pertama kali menyaksikan adalah hati Anda. Kesaksian itulah yang disebut syuhud. Jadi yang menyatu bukan wujudnya tetapi syuhudnya. Karena itu, istilah Wahdatul Wujud adalah salah besar kalau dialamatkan kepada kedua belah pihak (baik Syekh al-Hallaj 42



maupun Syekh Siti Jenar). Kalimat Wahdatul Wujud, muncul pertama kali dari lisan seorang ulama yang anti terhadap gerakan tasawuf yang menuduh Ibnu ‘Arabi itu musyrik karena menganut pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ulama itu tidak lain adalah Ibnu Taimiyah. Dalam seluruh naskah ulama salaf sufi, ternyata tidak satu pun kata Wahdatul Wujud ada di sana. Bahkan kalangan pemikir Islam modern dan pakar filsafat Islam masih “terjerumus” dalam terminologi tersebut, dengan mengklaim tasawuf identik dengan Wahdatul Wujud. Suatu kesalahan yang sangat rancu dalam pandangan kefilsafatan Islam. Mengapa mereka demikian? Karena mereka tidak menyelami tasawuf secara ‘amaliyah, dan bahkan belum menghayati sampai pada tingkat ahwal yang hakiki. Apa yang mereka katakan tidak lebih dari pandangan ilmiah yang keliru belaka. Mengenai drama eksekusi Syekh Siti Jenar, kalau toh kita toleran terhadap tragedi itu, semata hanya untuk menjunjung syari’at agar tidak lepas dari hakikat. Atau dengan kata lain jangan sampai orang yang memasuki dunia hakikat terkena tipu daya dan mengklaim dirinya telah sampai kepada Allah, padahal masih di “pintu gerbang”-Nya belaka. Hal yang sama, jangan sampai orang-



43



orang syari’at sombong dengan fiqihnya, karena fiqih tanpa hakikat akan terjerumus dalam ke-zindik-an yang tragis. Jadi, lebih baik kita vakumkan dulu sebelum ada penelitian yang lebih konprehensif mengenai sejarah Syekh Siti Jenar. Dengan begitu kita tidak segera menjatuhkan vonis kepada Walisongo. Lebih dari itu, aliran kebatinan perlu juga merefleksi ulang terhadap ajaran yang tidak bersyari’at. Harus diingat bahwa syari’at itu bukanlah sarana mencapai hakikat. Karena ditinjau dari segi lain, syari’at itu juga hakikat dan hakikat adalah syari’at. Syari’at datangnya dari Allah, karena itu menjalankan syari’at itu merupakan perintah Allah, bukan sarana untuk mencapai Allah. Hakikat juga disebut syari’at, karena hakikat juga aturan-aturan Ilahi dalam jiwa manusia, karena itu posisinya sama, dan satu sama lain tidak boleh dipisahkan



44



6. Mengapa Syekh Siti Jenar dihukum mati ? Jawabannya buanyak, puanjang lengkap dari versi cerita masingmasing. Lengkap dengan versi sejarah menurut masing-masing pakar. Dan yang namanya sejarah itu juga tidak bebas kepentingan dan juga tidak bebas tafsir. Karena saya bukan pakar sejarah , oke deh saya sebutkan saja beberapa kemungkinan yang seingatku pernah dibahas dalam buku2 sejarah , dalam buku2 mengenai para wali dan sebagainya. Jangan Tanya bukunya apa karena yah tulisan ini bukan tulisan ilmiah sehingga aku mesti bolak-balik nyari dulu daftar pustakanya. Apalagi juga tulisan ini nggak ada honornya . He he he. Tetapi point-pointnya : ada berbagai perbedaan versi dan pendapat lengkap dengan pro kontranya, bahkan ada juga yang meragukan apakah Syekh SIti Jenar itu ada beneran sebagai manusia atau hanya mitos atau ceritaan saja. Saya sebutkan saja beberapa versi diantaranya : Mengapa Syekh Siti Jenar dihukum mati ?? ? Salah satu jawaban paling klasik : Karena Syekh SIti Jenar sebagai seorang ulama sebagai guru atau pengajar agama telah menyelewengkan ajaran Islam. Syekh SIti Jenar dianggap telah melanggar syariah, membuat aturan main sendiri, tata cara beribadah yang menyimpang misalnya Tidak Shalat, tidak perlu ke Mesjid dan sebagainya. Ada juga yang menganggap Syekh Situ 45



Jenar telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Jadi menurut versi ini : Syekh Siti Jenar telah melanggar hukum agama, dan efeknya tentu lebih besar karena dia juga merupakan salah seorang tokoh masyarakat, dan juga guru yang memiliki pengikut. Sebelum kekacauan ini berlanjut karena sudah diperingatkan tidak mau, diusir juga tidak mau, maka Syekh Situ Jenar kemudian dihukum mati. Mitosnya karena dosanya yang besar kemudian Syekh SIti Jenar berubah jadi anjing dan sejenisnya. Mitosnya demikian. Versi yang kedua : Kasus Syekh Siti Jenar dianggap terkait dengan perebutan hegemoni kekuasaan waktu itu. Ada penulis yang melihatnya dari sisi sisa-sisa kekuatan kerajaan Hindu versus Islam yang saat itu mulai berkembang. Jadi kerajaan Hindu mulai pudar saat itu sementara kerajaan Islam baru lahir. Syekh Situ Jenar dianggap dekat dengan Kerajaan Majapahit sedangkan Para Wali yang lain lebih dekat kepada kerajaan Demak Bintoro. Kasusnya dianggap lumayan mirip dengan kisah persaingan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dalam kasus Aryo Penangsang versus Hadiwijaya dan Sutawijaya dimana pada saat itu dua sunan tersebut memiliki pandangan yang berbeda dan punya tokoh masing-masing. Sunan Kudus konon adalah guru dari Aryo Penangsang sedangkan Sunan Kalijaga lebih berpihak pada Jaka Tingkir atau Hadiwijaya. 46



Ada juga yang berpendapat ajaran Syekh Siti Jenar itu ajaran Hindu Budha atau bukan Islam Murni , sehingga Syekh SIti Jenar berbenturan dengan para wali yang lain. Ada juga yang melihat ini dari sisi Wali yang berasal dari Arab versus wali yang berasal dari Jawa. Karena sebagian besar diantara wali songo bukan orang Jawa. Hanya Sunan Kalijaga kalo tidak salah yang orang Jawa termasuk juga konon Syekh Siti Jenar itu orang Jawa. Maka ada persaingan di antara mereka secara halus. Ada persaingan kultural ditambah perbedaan cara pandang maka endingnya karena Syekh siti jenar minoritas diantara pendapat yang lain maka dia yang kalah. Pihak yang menganggap Syekh Siti Jenar adalah seorang wali yang dipinggirkan , simbol sufi yang teraniaya juga punya mitos misalnya jasadnya mengeluarkan sinar, menghilang atau ada juga versi kepalanya tertawa sendiri (bagi yang versinya kepalanya dipenggal) atau ada juga versi Syekh Siti Jenar mampu membuat dirinya wafat atau moksa sehingga para wali sebenarnya belum melakukan apapun karena Syekh Siti Jenar dengan kesaktiannya melenyapkan hidupnyasendiri. Jadi menurut versi ini Syekh Siti Jenar belum sempat dihukum, tetapi sudah mengakhiri hidupnya sendiri. Keluar bau harum dan sebagainya.



47



Ada lagi pendapat model begini, kalo tidak salah ingat Gusdur salah seorang penganut pendapat model ini : Secara ilmu kewalian apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar tidak salah. Tetapi yang namanya ilmu ada yang boleh diajarkan kepada orang banyak dan ada yang tidak. Kesalahan Syekh SIti Jenar adalah mengajarkan ilmu/kebijaksanan yang belum saatnya diajarkan kepada masyarakat umum sehingga malah menimbulkan kekacauan. Jadi ilustrasi kasarnya : Untuk mencapai tahapan D harus melewati A, B, C baru D, lah Syekh Siti Jenar langsung mengajarkan D pada semua orang sehingga menimbulkan kesalahpahaman serius terhadap ajaran itu sendiri. Untuk mencapai tahap hakekat dan makrifat jalan masuknya harus syariat dulu tidak bisa langsung mak bedunduk semua orang diajari dengan melompati tahap-tahapan yang harus dilalui. Para Wali tidak menolak ajaran Syekh Siti Jenar sepanjang itu diajarkan kepada manusia2 yang tepat dan terbatas, karena punya konsekuensi besar bila diajarkan secara pasaran untuk semua orang. Selain pendapat-pendapat tersebut ada juga yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar itu sendiri Cuma mitos, Cuma sejenis cerita rakyat tetapi tidak berdasar sejarah,



48



Ada juga yang berpendapat Syekh Siti Jenar tidak pernah dihukum oleh Wali Songo karena Syekh SIti Jenar justru Wali Kesepuluh yang ajarannya secara substansial sama dengan para wali songo. Jadi tulisan yang menyebutkan Syekh Siti Jenar dihukum oleh Walisongo dianggap tidak berdasar dan dianggap dusta. Kalo anda tanya mengapa, demikianlah berbagai versi yang pernah ada, mungkin bahkan ada juga versi-versi yang lain.



OK, OM Dhammaduta. Sekian tulisan singkat dari saya. Karena saya jelas bukan pakar sejarah maka saya tentu tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Syekh Siti Jenar sendiri secara sejarah ada beneran atau tidak, juga biarlah menjadi perdebatan para pakar sejarah. Karena bahkan para pakarpun punya versi mereka sendiri-sendiri. Ibaratnya sepuluh orang penulis buku bisa punya sepuluh cerita yang berbeda mengenai hal ini. Tergantung sudut pandang, latar belakang, tinjauan masalah dan sebagainya. Anda sudah jelas, atau masih protes lagi seperti biasanya. Tetapi point intinya kalo anda simak sih : Anda salah melempar pertanyaan deh. HA HA HA.



49



Nggak ada hubungannya kematian Syekh SIti Jenar dengan konsep Tuhan itu tidak menyerupai apapun. Yang saya tulis di puisi itu intinya kan gicu : Apa yang kita katakan tentang Tuhan jelas bukan Tuhan karena semua bayangan tentang Tuhan pasti salah sebab Tuhan tidak menyerupai apapun. Lha konsep ini adalah konsep dasar dalam banyak agama termasuk yang diakomodasi dalam sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Lha Syekh Siti Jenar dihukum mati menurut versi yang manapun sama sekali tidak terkait dengan konsep : Tuhan tidak menyerupai apapun . Kalopun ada yang mempermasalahkan konsepnya Syekh Siti Jenar biasanya yang dipermasalahkan adalah konsep yang lain yaitu : Manunggaling Kawula Gusti yang oleh sebagian orang mungkin diartikan menyamakan diri dengan Tuhan. Jadi pro kontra mengenai Syekh SIti Jenar jelas sama sekali tidak terkait dengan konsep dasar dalam banyak agama : Apa yang kita bayangkan tentang Tuhan jelas bukan Tuhan yang sesungguhnya.



Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499) Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah 50



diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga 51



bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama HinduBudha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan 52



bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan



ajaran



Sunan



Giri.



Namun



menurut



Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan



di



Anggaraksa/Graksan/Cirebon.



Informasi



tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah 53



Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar. Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira: 1.Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya. 2.Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses 54



evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya. 3.Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah. 4.Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia.



55



5.Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera. 6.Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya. 7.Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru. Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa : Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah; Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan; Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat 56



tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi; Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa : Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata; Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan; Tuhan itu menurutnya adalah sebuah 57



nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi. Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian. Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal



dengan



Tuhan



dalam



keabadian.



Siti



Jenar



memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu 58



sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti). Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam 59



yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam). Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran. Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar



yang



diketahui,



tidak



ada



secara



eksplisit



yang



menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling KawulaGusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. 60



Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya,



Titik



Omeganya



Teilhard



de



Chardin



atau



Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara



konsisten



dalam



kehidupan



nyata



di



masyarakat.



Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga



61



dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci. Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya. Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar



sendiri”.



Sidang



para



Wali



Sunan



Giri



membuka



musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid 62



untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti 63



Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie sbb: Pedah punapa mbibingung, Ngangelaken ulah ngelmi, NJeng Sunan Giri ngandika, Bener kang kaya sireki, Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi. Telenge bae pinulung, Pulunge tanpa ling aling, Kurang waskitha ing cipta, Lunturing ngelmu sajati, Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong anampani. Artinya: Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang. 64



Ngrame tapa ing panggawe Iguh dhaya pratikele Nukulaken nanem bibit Ono saben galengane Mili banyu sumili Arerewang dewi sri Sumilir wangining pari Sêrat Niti Mani . . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah. Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamatlamat kapiyarsa, surasa paring wasita. Kinanti Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti. Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi. Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani. Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika, neng kaanan ênêng êning.



65



7. Raden Abdul Jalil Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang



dianggap



sebagai



sufi



dan



salah



seorang



penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.[1] Asal-usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya. Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti.[butuh rujukan] Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada 66



penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo Nama dan julukan Syaikh Siti Jenar (menurut KH. Shahibul Faraji Ar-Rabbani) beliau memiliki nama asli Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini (masih memiliki garis darah / keturunan Rasulullah SAW) dan setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Dan pada saat berdakwah di Caruban (sebelah tenggara Cirebon), beliau mendapat beberapa julukan Syaikh Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit dan lainnya yang belum kita ketahui. Adapun makna julukan itu adalah: 1. Syaikh Siti Jenar Ada beberapa asumsi mengenai julukan ini, yang diambil dari kata menurut beberapa bahasa, "Syaikh" berasal dari bahasa arab ‫ ش يخ‬bisa ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh adalah sebuah gelar bagi seorang ahli atau pemimpin atau tetua dalam lingkup muslim, "Siti" dalam bahasa jawa berarti tanah, namun ada yang berasumsi kata Siti



berasal



dari



kata



Sayyidi/Sidi



(yang



berarti



Tuanku/Junjunganku), dan "Jenar" dalam bahasa Indonesia berarti



merah,



dalam



bahasa



Jawa



berari



Kuning



Kemerahan, dan ada pula yang berasumsi dari bahasa arab 67



"Jinnar" dengan tafsiran ilmu yang dimilikinya selalu membara (semangat akan ilmu) seperti api. Namun ada juga yang memudahkan dengan menganggap hayalan yang terbakar dari kata Jin (ghaib) - Nar (api). Bahkan ada pula yang



mungkin setelah



melihat



film Walisongo



dan



menghubungkannya dengan kata Jenar (dalam kehidupan masyarakat jawa, kata Jenar disebutkan untuk sebuah binatang Cacing dengan ukuran sangat besar). 2. Sunan Jepara Gelar ini muncul karena kedudukan Syeh Siti Jenar sebagai seorang sunan yang tinggal di Kadipaten Jepara. 3. Syeh Lemah Abang / Lemah Brit Sebutan yang diberikan masyarakat Jepara karena ia tinggal di Dusun Lemah Abang, Kecamatan Keling. Lemah Brit dalam bahasa jawa berarti tanah yang berwarna merah (Brit = Abrit = Merah). Kontroversi ajaran Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan 68



manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya Manunggaling Kawula Gusti Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.[butuh rujukan] Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti



bermakna



bahwa



di



dalam



diri



manusia



terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:[2] Ketika



Tuhanmu



berfirman



kepada



malaikat:



"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh(ciptaan)-Ku, maka



69



hendaklah



kamu



tersungkur



dengan



bersujud



kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72 Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan. Kehidupan Serat Centhini[sunting | sunting sumber] Serat Centhini jilid 1 menuliskan kisah Syeh Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut asal mula Syeh Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan dirinya dihukum mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan Giri) memanggil delapan wali yang lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana Argapura. Kedelapan wali tersebut adalah



Sunan



Bonang,



Sunan



Kalijaga,



Sunan



Ngampeldenta, Sunan Kudus, Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran Palembang, dan Panembahan Madura.



Masing-masing



wali



menyampaikan



pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran Syeh Siti 70



Jenar yang berkata, "Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun yang disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai pengikut aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan Allah, serta keterangannya terlalu jauh. Syeh Siti Jenar membela diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar sementara yang dekat belum tentu benar''. Hal tersebut



membuat



Prabu



Satmata



hendak



menghukumnya mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan sampai tersebar.[3] Setelah



itu



diadakan



pertemuan



kedua



untuk



menghakimi tindakan Syeh Siti Jenar. Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan dihadiri Syekh Maulana Magribi. Saat Syekh Maulana menegaskan nama Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera berlari datang ke 71



pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar. Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.[3] Tiga hari kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti Jenar masih utuh. Ia mendengar suara Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan selamat tinggal, kemudian menghilang.[3] Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah[ Ahla



al



Musamarah



Fi



Hikayah



al-Auliya



al



Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.[4] Setelah Raden Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging alias Kebo 72



Kenanga merupakan salah satu santri dari Raden Abdul Jalil, ia berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul Jalil.[butuh rujukan] Berikut ini merupakam silsilah Raden Abdul Jalil menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah:[4] Syekh Jumadil Kubra, berketurunan: 1. Syekh Maulana Ishak dengan putri Pasa (istri pertama) a. Sayyid Abdul Qodir/ Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) murid Sunan Ampel b. Siti Sarah >< Sunan Kalijaga dengan Dewi Sekardadu a. Raden Paku (Sunan Giri) 2. Syekh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Condro Wulan (saudari Dewi Mathaningrum atau Putri Campa, istri Prabu Brawijaya) 73



a. Raja Pendita >< Maduretno b. Raja Rahmat (Sunan Ampel) >< Condrowati 1) Sayyidah Ibrahim (Sunan Bonang) 2) Sayyidah Qosim (Sunan Drajat) 3) Sayyidah Syarifah 4) Sayyidah Mutmainah 3) Sayyidah Hafshah c. Sayiddah Zaenah 3. Siti Afsah



Silsilah keluarga Silsilah Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi



(Hadramaut,



seterusnya



hingga



Yaman) Imam



dan



Husain,



cucu Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW, berputeri 74







Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera







Husain r.a, berputera







Ali Zainal Abidin, berputera







Muhammad al-Baqir, berputera







Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera







Ali al-Uraidhi, berputera







Muhammad al-Naqib, berputera







Isa al-Rumi, berputera







Ahmad al-Muhajir, berputera







Ubaidillah, berputera







Alawi, berputera







Muhammad, berputera







Alawi, berputera







Ali Khali' Qosam, berputera







Muhammad



Shahib



Mirbath,



berputera 



Sayid Alwi, berputera







Sayid Abdul Malik, berputera







Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera







Sayid Abdul Kadir, berputera 75







Maulana Isa, berputera







Syekh Datuk Soleh, berputera







Syekh Siti Jenar



Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang



berpengaruh



pada



zamannya.



Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra



Syekh



Datuk



Kahfi



yang



selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati.[5][6]



76



8. Syekh Siti Jenar: Sufi, Syiah, atau korban salah paham? Identitas asli Syekh Siti Jenar diungkap lewat pendekatan sejarah Surabaya – KoPi | Di antara Wali Songo, sosok Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang paling misterius dan penuh kontroversi. Ia disebut-sebut sebagai wali dengan ajaran sesat. Salah satunya adalah Manunggaling Kawula Gusti, yang menyatakan Tuhan berada di dalam diri manusia. Namun banyak juga yang mengaguminya karena kedalaman ilmu sufisme-nya. Siapa sebenarnya Syekh Siti Jenar? Ustadz Oky Rachmatullah mengakui sosok Syekh Siti Jenar sangat sulit dibuktikan secara ilmiah karena hanya ada satu sumber tertulis saja yang menyatakan keberadaannya. Karena itu muncul berbagai hipotesa atau pendapat mengenai identitas Syekh Siti Jenar. Hal itu dikatakan Ustadz Oky ketika menjadi pembicara dalam “Kajian Sejarah Islam: Melacak Jejak Syekh Siti Jenar” yang diadakan di Surabaya. Ada beberapa hipotesa mengenai identitas asli Hasan Ali, nama kecil Syekh Siti Jenar. Salah satu yang disoroti Ustadz adalah nama lain Syekh Siti Jenar, yaitu Syekh Lemah Abang atau tanah 77



merah. Konon nama itu didapat Hasan Ali karena selalu menjalankan sholat di atas tanah yang berwarna merah. “Tanah merah melambangkan tanah tempat cucu Nabi, Husein, tewas bersimbah darah, yaitu Karbala. Karena itu muncul dugaan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan penganut Syiah. Dan itu menjelaskan perseteruan antara Wali Songo dengan Syekh Siti Jenar, karena Wali Songo adalah Sunni,” tutur Ustadz Oky. Ustadz Oky mengatakan pendapat itu bisa menjelaskan mengapa ada cerita yang menyebut Syekh Siti Jenar punya anjing peliharaan yang diberi nama Umar dan Abu Bakar. Ada juga hipotesa lain yang mengatakan Syekh Siti Jenar adalah sebutan untuk Sunan Kalijaga ketika belum menjalankan Islam secara kaffah. Konon sebelum masuk Islam, Sunan Kalijaga adalah seorang perampok. “Pada awal ia memeluk Islam, ia belum menjalankan rukun Islam secara sempurna, tidak sholat, tidak zakat, dan tidak puasa. Baru setelah bertemu Sunan Kalijaga, ia bertobat dan menjalankan Islam secara kaffah. Ini menjelaskan mengapa Syekh Siti Jenar disebut tidak menjalankan sholat dan puasa,” ungkap Ustadz Oky.



78



Ustadz Oky menambahkan hipotesa ini diperkuat fakta sejarah penting yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Selama ini masyarakat mempercayai Wali Songo merupakan keturunan pedagang Timur Tengah, bangsawan Jawa, atau keturunan ulama asal Jawa. Namun tak banyak yang mengetahui bahwa ada versi yang menyebutkan Wali Songo kemungkinan berasal dari Turki. Berdasarkan catatan yang ditulis Ibnu Batutah, Sultan Turki Muhammad I mendengar sebuah tempat yang bernama Jawa. Sultan Muhammad kemudian mengutus 9 orang untuk berdakwah di tempat tersebut. Masing-masing memiliki keahlian sendiri, seperti ahli tata negara, ahli pengobatan, ahli fiqih, ahli rukyah, dan lain-lain.



Berdasarkan



tulisan



Ibnu



Batutah



itu,



sembilan



pendakwah tersebut dipimpin oleh Maulana Malik Israil. Dalam versi tersebut Sunan Kalijaga tidak termasuk dalam kelompok sembilan pendakwah itu. “Versi ini masih sedikit yang mengetahuinya, lantaran catatan Ibnu Batutah tersebut disimpan di Belanda. Catatan tersebut sengaja disembunyikan pihak Belanda agar umat Islam tetap tercerai berai dan tetap dapat dijajah,” ucap Ustadz Oky.



79



Ustadz asal Bandung ini juga menyebutkan ada hipotesa lain yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah tokoh fiktif. Konon tokoh karismatik ini diciptakan sebagai upaya perlawanan penganut Hindu, Buddha, dan animisme Jawa ketika Islam mengambil alih kekuasaan Majapahit. Mereka sadar tidak bisa melawan kekuasaan dan pengaruh Islam yang mulai masuk. “Mereka lalu menciptakan anekdot dan kisah-kisah mengenai para ulama dan wali. Dari situ muncullah berbagai kisah seperti Dharmogandul, Gatholoco, dan Sabdo Palon, termasuk di dalamnya ada kisah-kisah mengenai Syekh Siti Jenar,” tukas Ustadz Oky. Ustadz kelahiran Ponorogo ini mengatakan semua itu sementara masih berupa hipotesa. Ia mengatakan masih sulit melacak jejak Syekh Siti Jenar karena kurangnya bukti-bukti. Selama ini kisah mengenai Syekh Siti Jenar lebih banyak diungkapkan lewat mulut ke mulut, sehingga tidak dapat dipercaya keabsahannya. Karena itu Ustadz Oky mengingatkan umat Islam agar tidak begitu saja terjebak pada ilmu irasional dari kisah-kisah Wali Songo. Wali Songo memang orang-orang yang berilmu lebih pada jamannya, tapi bukan berarti ilmu mereka di luar akal. Media, terutama 80



sinetron, seringkali melebih-lebihkan sosok para Wali, terutama Syekh Siti Jenar, yang sering digambarkan menguasai ilmu sihirdan bisa berubah wujud. “Itu kan menghina para wali, terutama Syekh Siti Jenar sendiri. Mereka memang orang-orang yang punya karohmah, tapi jangan fokus di situ. Fokuslah pada dakwahnya. Para wali itu orang-orang yang masuk akal, semua yang mereka lakukan tidak lepas dari unsur realitas,” pungkasnya



81



9. Sejarah Syekh Siti Jenar Sejarah Syekh Siti Jenar atau disebut juga Imam Pramono atau Abimanyu nama kecilnya, lahir di daerah Jawa Timur masih di daerah kerajaan Majapahit, tepatnya di daerah Lemah Abang di wilayah Kediri waktu itu. Imam Pramono mempuyai guru bernama Begawan Condro Mukti yang merupakan salah satu guru kerajaan Majapahit. Ilmu yang dipelajari adalah ilmu Kasampurnan. Masa kecilnya Imam Pramono (SSJ) hidup seperti anak lainnya, lahir dan besar di lingkup kerajaan Majapahit, ayahnya adalah Sri Baginda Tirto Arum yang merupakan salah satu Raja Majapahit yang terakhir. Semasa kecilnya sudah mempelajari ilmu dari salah satu guru spriritual kerajaan. Guru dari Imam Pramono (SSJ) yang merupakan tokoh penting dalam hal menghilangnya (muksa) kerajaan Majapahit beserta penduduknya. Guru Imam Pramono (SSJ) muksa atau menghilang bersamaan dengan kerajaan Majapahit. (Makanya sampai sekarang tidak ada bekasnya sama sekali peninggalan dari kerajaan Majapahit). Setelah masa kerajaan Majapahit hancur Beliau berpetualang dan bertemu dengan Syekh Maulana Mahribi di Demak. Dalam pertemuan itu terjadi beda pendapat dimana terjadi perdebatan argumen yang alot soal kawruh ilmu dan akhirnya Syekh Maulana Mahribi mengaku kalah dan ingin belajar dari Imam Pramono (SSJ) tetapi ditolak, karena Imam Pramono (SSJ) tahu 82



Syekh Maulana Mahribi hanya ingin mencoba saja. Setelah itu Syekh Maulanan Mahribi mengajak Imam Pramono (SSJ) menjadi salah satu wali di Demak dengan sebutan nama Syekh Siti Jenar dan bermukim di daerah Kadilangu. Singkat cerita terjadi persaingan kekuasaan dan keserakahan wali songo, dimana jika ajaran wali songo bertentangan dengan ajaran yang dianut rakyat kerajaan Majapahit, sehingga dianggap menghalangi, pada saat itu ajaran Majapahit menyebar luas di Nusantara, dimana semasa Raden Patah memerintah mempuyai tujuan untuk menghabisi seluruh trah Majapahit yang didukung oleh para wali songo. Dan menjanjikan jika bisa menghancurkan semua leluhur trah Majapahit, setiap wali akan diberi kerajaan oleh Raden Patah. Syekh Siti Jenar menolak karena suatu kepercayaan atau keyakinan tidak boleh dipaksakan. Oleh para wali Syekh Siti Jenar dikucilkan dan dibuat strategi bahwa apa yang diajarkan Syekh Siti Jenar adalah salah atau dosa, dan Syekh Siti Jenar menjadi tumbal keserakahan para wali. Pada waktu Syekh Siti Jenar berada di Pengging dan bertemu dengan muridnya Kebo Kenongo yang juga merupakan turunan trah Majapahit terakhir sama dengan Syekh Siti Jenar, maka tersiar kabar sampai ditelinga para wali, dan oleh para wali disampaikan ke Raden Patah bahwa Syekh Siti Jenar akan



83



melakukan kudeta. Oleh sebab itu Raden Patah dan para wali memerintahkan agar Syekh Siti Jenar dibunuh. Oleh sebab itu diperintahlah, Sunan Kalijaga, Bonang dan Kudus untuk membunuh Syekh Siti Jenar, setelah bertemu Kalijaga, Bonang dan Kudus adu ilmu dan argumen dan kalah, kemudian Kalijaga menghunus keris dan ditancapkan ke tubuh Syekh Siti Jenar tetapi yang keluar bukan darah, tetapi harum bau wangi yang menyengat. Yang kedua Kudus menghunuskan mata tombak ketubuh Syekh Siti Jenar, yang keluar harum wangi yang menyengat. Yang ketiga Bonang menghunus pedang dan disabetkan dikepala Syekh Siti Jenar, yang keluar harum wangi yang menyengat. Oleh Syekh Siti Jenar ketiganya disuruh pulang dan memohon ampun atas dosanya kepada Allah SWT. Setelah kejadian itu ketiganya yaitu Kalijaga, Bonang dan Kudus pulang ke Demak untuk menceritakan dan melaporkan peristiwa itu kepada Raden Patah. (cuplikan dialog antara SSJ dan ketiga wali ada dibawah). Sesampai di Demak Raden Patah murka, dan ke sembilan wali, Raden Patah beserta 6000 pasukan kembali datang menyerbu ke Pengging. Sesampai di Pengging rombongan Raden Patah menemui Syekh Siti Jenar dan adu argumen dan kalah. Secara tiba tiba dan sudah direncanakan walisongo dan Raden Patah



menghunus



senjata



pusaka



masing



masing



dan 84



menancapkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar dan lagi-lagi keluar harum wangi yang menyengat beserta cahaya putih yang menyelimuti badan Syeh Siti Jenar. Karena putus asa tidak bisa membunuh Syekh Siti Jenar, maka Raden Patah dan walisongo beserta pasukan menyandera penduduk Pengging. Mereka mengancam jika Syekh Siti Jenar tidak mau mati maka penduduk Pengging yang disandera akan dibunuh semua. (cuplikan dialog antara SSJ dan Raden Patah ada dibawah). Singkat cerita Syekh Siti Jenar bersedia dibawa ke rumahnya di Demak dimana Syeh Siti Jenar pernah bermukim di daerah Kadilangu. Bertempat di daerah Kadilangu, Syekh Siti Jenar dibawa beserta 300 orang penduduk Pengging. Dalam pertemuan itu Syekh Siti Jenar mau mati asal 300 orang penduduk Pengging yang di sandera dilepaskan. Raden Patah dan walisongo berjanji asal Syekh Siti Jenar mati, maka semua penduduk Pengging yang disandera akan dibebaskan, maka Syekh Siti Jenar pun meninggal dengan cara, menutup nafas hidup yang sejati ( mati mukso sowan sejatine suci ). Sebelum Skyeh Siti Jenar meninggal dia berpesan agar Raden Patah dan walisongo memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang terlalu besar. Selain itu Skyeh Siti Jenar juga berpesan besok pengikut wali akan besar hanya berumur pendek dan semua pengikut wali tidak akan ada yang bisa diterima oleh Allah Swt, karena wali mempercayai Jin 85



bukan Allah. (seperti kita ketahui bahwa para nabi rasul sangat manusiawi, tidak ada yang sakti, mengapa para wali songo pada sakti ? karena mereka memakai kekuatan selain Allah yaitu kekuatan jin, khodam, siluman dsb untuk kesaktiannya, dan kekuatan itu semua mengatas namakan Allah!) Setelah menutup nafas hidup yang sejati atau meninggal secara muksa, Syekh Siti Jenar mengeluarkan bau wangi yang menyengat dan tidak lama kemudian jasad Syekh Siti Jenar diselimuti cahaya putih yang berkilau, setelah itu jasad Syekh Siti Jenar menghilang dan muncul cahaya putih berkilau berbentuk bundar melesat ke angkasa. Waktu itu tepat jam 12 siang hari Jum’at Wage. Sedangkan diluar alam bergemuruh dan tiba-tiba awan gelap menyelimuti, semua hewan berbunyi bersaut-sautan. Setelah menyaksikan peristiwa itu para wali dan Raden Patah beserta semua pasukan sujud menyembah Syekh Siti Jenar karena kalah perbawa. (cuplikan dialog SSJ sebelum muksa ada di bawah). Kemudian walisongo menyegel tempat muksa Syekh Siti Jenar dengan tasbih mereka. Jika dilihat secara mata batin, tempat muksa Syekh Siti Jenar, sekarang berada di tengah masjid Kadilangu, dan ditengah masjid berdiri 4 tonggak pilar, masingmasing pilar diatas dan dibawanya terdapat tasbih para walisongo, berbentuk sinar hitam pekat berbentuk kubus, ditengah-tengah 86



tempat muksa Syekh Siti Jenar terdapat sinar putih berkilau. (yang disegel adalah kitab Manunggaling Kawula Gusti, supaya tidak menyebar luas ke masyarakat, sekarang segelnya sudah dibersihkan, dan perubahan masjid kadilangu ada dibawah). Karena semua sudah terjadi Raden Patah dan walisongo merasa malu, dan untuk menutup kesalahannya agar tidak bocor atau tersiar maka ke 300 penduduk Pengging yang disandera dibunuh semua. Serta dikubur di selatan Masjid, sebelah barat laut. (sekarang untuk tempat wudhu pria). Untuk membohongi rakyat, dicarikanlah anjing yang kudisan lalu dibunuh dan diumumkan ke masyarakat umum bahwa Syekh Siti Jenar mati dan menjadi anjing. (padahal orang bodohpun tahu kalau manusia mati ya tetap jadi manusia, tidak mungkin manusia mati berubah menjadi hewan). Malamnya walisongo dan Raden Patah bermimpi disiksa dan ada suara yang sangat jelas bahwa besok akan ada Ratu Adil yang menghukum dan mengembalikan aturan yang seharusnya ada. Esok pagi harinya Demak diserang wabah penyakit atau disebut pagebluk yaitu penyakit yang tidak ada obatnya yaitu pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati, hinggga hancurnya pemerintahan Raden Patah di kerajaan Demak.



87



Silsilah Syekh Siti Jenar Lahir pada hari Jumat Pahing, tanggal 20, bulan Oktober, tahun 1450, dengan nama Imam Pramono atau Abimanyu (nama kecil) atau Siti Bang (nama remaja). SSJ mempunyai istri bernama Ratu Ayu Dyah Sari dan dimakamkan di Pengging, dan tidak mempunyai keturunan. (lokasi makamnya istri Syekh Siti Jenar ada dibawah). Nama ayahanda SSJ adalah Sri Baginda Tirto Arum atau Dwipayana1



keturunan



terakhir



kerajaan



Majapahit



yang



kerajaannya telah muksa. Ibunda SSJ adalah Ratu Alit Dewi Sekar Arum, dan kakek SSJ adalah Raja-raja di kerajaan Majapahit. Guru SSJ adalah Begawan Condro Mukti, beliau muksa di kerajaan Majapahit



bersamaan



dengan



kerajaan



Majapahit



dan



penduduknya. Syekh Siti Jenar wafat secara muksa di usia 60 tahun, pada hari Jumat Wage, tanggal 15 bulan September tahun 1510 di masdjid Kadilangu Demak.



88



10.



DIALOG YANG TERJADI ANTARA SYEKH



SITI JENAR, KALIJAGA, BONANG DAN KUDUS. Pada saat Kalijaga, Bonang dan Kudus bertemu terjadi adu argumen yang alot berikut ini kutipannya: 



Syekh Siti Jenar bertanya : Dimana tempatnya Tuhan ?







Kalijaga menjawab : Di Masjid,







Sedangkan Bonang menjawab : Di Ka’bah,







Kudus menjawab : Di Al Quran,



Mendengar jawaban tersebut Syekh Siti Jenar, berkata : Kamu itu wali tapi tidak tahu akan Tuhan, berkoar-koar tanpa ada batasnya bicara Tuhan tanpa mengenal sama sekali, sama juga dengan orang bodoh dan berlagak pintar. 



Kalijaga bertanya : Hai Jenar apakah kamu Allah ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Jika kamu melihat dengan



kesucian maka kamu akan melihat Allah dan aku. 



Bonang bertanya : Hai Allah apakah kamu Jenar ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Jika kamu bertanya dengan



kesucianmu, maka kamu akan melihat Allah dan aku. 



Kudus bertanya : Hai, dimana Allah dan Jenar ? 89







Syekh Siti Jenar menjawab : Jenar dan Allah tidak ada.



Maka, Bonang, Kalijaga dan Kudus terkejut dengan jawaban Syekh Siti Jenar. 



Kalijaga bertanya : Hai Jenar siapa kamu ini ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Kalijaga, janganlah melihat



wadah yang kotor ini, lihatlah dengan kesucianmu, maka kamu akan tahu siapa aku ini. 



Bonang bertanya : Hai Jenar dimana Allahmu ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Bonang, aku heran dengan



dirimu ini, mengaku sebagai utusan Allah, tidak tahu akan Allah, Bonang bertobatlah dan jangan menjadi seorang penipu ! 



Syekh Siti Jenar juga menjawab : Bonang lihat dan



dengarkan, Allahku ada dalam diriku, tidak jauh dari nadiku. 



Kudus bertanya : Jenar kamu Allah ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Kudus, sungguh bodoh kamu



ini, bertanya tidak tahu apa yang ditanyakan, hai kamu semua !! dengarkan, Allah ada dalam diriku, jika kamu melihat dengan kesucianmu, maka kamu akan melihat Allah. 



Kalijaga bertanya : Jenar kamu Allah ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Kalijaga, aku merasa kasihan



denganmu, berlagak menjadi orang yang suci, tapi tingkah polahmu melebihi binatang, memalukan kau Kalijaga! 90







Syekh Siti Jenar juga menjawab : Diriku ada didalam Allah,



dan kamu semua wali majenun sungguh membuat malu saja.



Maka Bonang, Kalijaga dan Kudus berdiri, Syekh Siti Jenar ditendang oleh Kudus dan terjungkal. 



Bonang berkata : Jenar kamu itu gila, lebih baik mati saja !



Bonang, Kalijaga dan Kudus menghunus senjatanya masingmasing. Kalijaga menghunuskan kerisnya dan ditancapkan ke tubuh Syekh Siti Jenar, tapi yang keluar bukan darah, akan tetapi bau harum yang sangat menyengat. 



Kalijaga bertanya : Hai Jenar kenapa tidak mati !







Syekh Siti Jenar menjawab : Jika kamu ingin aku mati maka



bertanyalah kepada Allah,



Kudus menghunuskan mata tombaknya, dan ditancapkan ke tubuh Skyeh Siti Jenar, tapi yang keluar bukan darah, akan tetapi bau harum yang menyengat. 



Kudus bertanya : Hai Allah kenapa tidak mati !







Syekh Siti Jenar menjawab : Jika kamu ingin aku mati, maka



bertanyalah kepada Jenar.



91



Mendengar jawaban itu, Bonang murka dan menghunuskan pedangnya dan dihantamkan ke kepala Syekh Siti Jenar, tapi lagilagi yang keluar bukan darah tetapi bau harum yang menyengat. 



Bonang bertanya : Hai Allah dan Jenar kenapa kamu tidak



mati ! 



Syekh Siti Jenar menjawab : Jika kamu ingin aku mati,



bawalah kesini Jenar dan Allah.



Melihat Syekh Siti Jenar tidak mati oleh hujaman senjata Bonang, Kalijaga dan Kudus, maka ketiga wali tersebut mundur beberapa langkah ke belakang, melihat itu Syekh Siti Jenar tersenyum. 



Bonang bertanya : Hai Jenar kenapa kamu tidak mati ? ilmu



sihir apa yang kau pakai ? 



Syekh Siti Jenar menjawab dengan tenang : Bonang, kamu



itu sudah bau tanah, tetapi masih percaya akan sihir, sungguh sangat memalukan, kamu diberi karunia mata tetapi malah kamu butakan sendiri ! 



Kalijaga bertanya : Hai Jenar apa kamu takut mati ?







Syekh Siti Jenar menjawab : Kalijaga dengarkan baik-baik,



aku tidak takut mati, mati buatku adalah karunia dan kenikmatan yang luar biasa, lebih nikmat dari senggama, lebih nikmat dari apapun di dunia ini. 92







Kudus bertanya : Jenar kenapa tidak mati !







Syekh Siti Jenar menjawab : Jika Allah menghendaki aku



mati, maka aku akan mati, jika Allah tidak menghendaki, maka aku tidak akan mati. Maka ketiga wali tersebut pulang dan melaporkan kejadian terebut ke Raden Patah.



DIALOG



ANTARA



SYEKH



SITI



JENAR,



PATAH



DAN



WALISONGO



Mendengar jawaban itu Kalijaga, Bonang dan Kudus kembali ke Demak dan melaporkan kejadian tersebut. Mendengar cerita tersebut Raden Patah murka dan berangkat ke Pengging ke tempat Syekh Siti Jenar berada, beserta walisongo dan 6000 pasukan kerajaan. Setelah sampai disana terjadi dialog seperti ini : Syekh Siti Jenar menyambut rombongan dengan tenang. Raden Patah dengan arogan menendang pintu rumah Kebo Kenongo, para wali segera mengepung Syekh Siti Jenar. 



Raden Patah berkata : Hai Jenar, seberapa kuat



kesaktianmu ? 



Syekh Siti Jenar menjawab : Setinggi Gunung dan sedalam



Lautan semua yang punya hanya Tuhan dengan ijinnya. 93







Syekh Siti Jenar bertanya : Hai Patah, seberapa besar



kekuasaanmu ? 



Dijawab Patah dengan sombongnya bahwa : kekuasaannya



sampai ribuan negeri seberang, karena kekuatannya. 



Maulana Mahribi ikut menjawab bahwa : kekuasaan Raden



Patah karena nama dan kesaktian para wali. 



Syekh Siti Jenar berkata : Kamu semua rombongan orang



bodoh yang hanya bisa menipu atas nama Tuhan, tapi tak mengenal Tuhan, 



Saya jawab (SSJ) : kekuasaan itu sebatas kelingking jari,



dan sebesar biji kacang yang mempuyai makna, manusia tiada kuasa atas apa yang ada didunia, semua hanya titipan bukan hak milik, manusia hanya mempuyai kuasa kecil atas dirinya sendiri. 



Syekh Siti Jenar juga berkata : Sungguh malang nasibmu



Patah dan walisongo, diberi kesempatan jadi manusia tapi tidak mengerti Tuhannya, lebih baik jangan menjadi manusia jadilah hewan saja!



Syekh Siti Jenar juga berkata dengan lantang : 



Hai kamu semua yang disebut walisongo, apa makna nama



wali ? 



Mahribi menjawab : Wali itu utusan Tuhan, 94







Kalijaga menjawab : Wali itu nabi,







Kudus dan Bonang menjawab : Wali itu ahli Tuhan,







Syekh Siti Jenar menjawab : Hai kamu semua adalah



penipu, lebih hina dari hewan karena kamu menipu dengan nama Tuhan, dosa kamu semua terlalu besar, sampai-sampai dunia tidak kuat menahan dosamu semua, wali itu orang bodoh yang tidak tahu apa-apa soal Tuhan, berkata lantang tanpa dosa sebagai utusan, wali itu majenun !



Mendengar jawaban tersebut Patah dan walisongo menghunuskan senjata pusaka masing-masing dan ditancapkan ke tubuh SSJ.



DIALOG SYEKH SITI JENAR SEBELUM WAFAT (MUKSA).



Sebelum wafat (muksa) terjadi dialog antara SSJ dengan Kalijaga, Kudus, Bonang, Muria 



Kalian ingin aku mati, silahkan kalau mau, coba kamu wali



majenun membunuhku !



Walau dihujam berbagai senjata bertubi-tubi Syekh Siti Jenar tetap tenang dan tidak merasakan sakit, malah mengeluarkan bau harum. Setelah Patah dan walisongo menyandera penduduk 95



Pengging yang yang berjumlah 300 orang, maka Syekh Siti Jenar berkata : 



Hai Patah !







Hai wali majenun ! kalian lihat cara aku mati,







Aku tidak takut mati, mati itu adalah kenikmatan yang luar



biasa, mati itu sebuah anugrah Tuhan yang istimewa, lebih nikmat dari senggama, lebih nikmat dari apapun di dunia.



Maka Syekh Siti Jenar menutup nafas yang sejati, dia menutup nafas hidung, menutup telinga, menutup mata dan terakhir menutup rasa, maka munculah sinar berkilauan berbentuk bundar menebar bau harum yang menyengat, jasad Syekh Siti Jenar menghilang, bumi bergetar, siang menjadi malam dan semua



hewan



bersuara



bersautan.



Setelah tahu Kudus secara licik mencium mulut Syekh Siti Jenar agar dia bisa ikut muksa, tetapi tidak bisa karena tidak mendapat ijin dari Tuhan. Dan Kudus setelah kejadian tersebut menjadi terganggu mentalnya, dan sengsara karena terkena wabah penyakit sampai ajalnya. Sedangkan para wali lainya menderita, saling curiga dan pamer kekuasaan berlagak seperti raja memerintah sesuka hati. Patah menerima karmanya dia sempat dicoba dibunuh oleh anaknya, senopatinya, dan terjadinya 96



pemberontakan



juga



perang



saudara



(alasan



terjadinya



pemberontakan para senopati Patah ada di bawah). Rakyatnya sudah tidak mempercayai kerajaan Demak, terjadi wabah peyakit dan kesengsaraan tersebar dimana-mana. Walisongo sudah tidak peduli karna sudah hidup enak. Patah merasa dikhianati dia makan hati sampai sakit dan menemui ajalnya.



PESAN SYEKH SITI JENAR KEPADA PATAH Sebelum Syekh Siti Jenar wafat sempat berujar kepada Raden Patah. 



Hei Patah ! disaat bulan purnama pertama, ya disitulah akan



dimulainya loh woh’ing pati, yang mempunyai arti apa yang sudah terjadi adalah dari hasil perbuatan sendiri. 



Hei Patah ! ingatlah akan Tuhanmu jangan pura-pura



mengenal, besar dosamu akan menjemput. 



Hei Patah ! bercerminlah di air yang bening, jangan hanya



meminum air yang beracun, memalukan leluhurmu.



KITAB KASAMPURNAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI SJ mempunyai kitab ilmu Kasampurnan yang diberi nama Manunggaling Kawula Gusti yang mempunyai arti, jika kita sedang beribadah atau sedang berdoa menghadap Allah harus bersih 97



secara jiwa raga, jika sudah bersih jiwa raga harus mempunyai perasaan yang pasrah, berserah diri dan memohon ampun, baru mendapatkan ijin untuk berdoa secara tulus dan iklas. Disaat kita sowan akan terpancar nur cuci sejati menyelimuti jiwa dan raga, yang tegak lurus tepat diatas kepala. Dan diri kita yang suci akan terlepas menuju nirwana, menghadap Tuhan. Dalam ajaran SSJ ada 9 tingkatan ilmu Kasampurnan yang terkenal dengan ajaran Manunggaling kawula Gusti atau secara umum disebut ajaran makrifat. Berikut ajarannya :



Ilmu Kasampurnan / Manunggaling Kawula Gusti TINGKAT



1.



NGESTI SEJATINE SUCI. Ada 9 pupuh suci TINGKAT



2.



PANCERING SUCI ada 5 pupuh kadang TINGKAT



3.



SOWAN SEJATINE SUCI ada 9 pupuh puputan TINGKAT



4.



JALMO SUCI ada 9 pupuh werdi TINGKAT



5.



CIPTO SUCI ada 7 pupuh cahyo suci TINGKAT



6.



NGESTI SUCI ada 5 pupuh werdi 98



TINGKAT



7.



PANGUASA SUCI ada 9 pupuh cipto tomo TINGKAT



8.



CAHYO SUCI ada 7 pupuh sowan suci TINGKAT



9.



KASAMPURNAN ada 9 pupuh sejati.



Setelah peristiwa tersebut Kadilangu ditempati oleh Kalijaga, dikarenakan: 1.



Kalijaga merasa berdosa besar setelah peristiwa



tersebut, maka dia memakai wulung hitam dan pakaian hitam, serta berpakaian mirip Syekh Siti Jenar, dan wulung yang dipakai adalah bekas wulung Syekh Siti Jenar. 2.



Semasa hidupnya dia belajar kutipan kutipan atau



sempalan dari ilmu Syekh Siti Jenar, tapi sampai ajal menjemput, dia tidak mendapatkan wahyu ilmu tersebut. 3.



Karena muksanya Syekh Siti Jenar di Kadilangu,



setelah peristiwa tersebut, Kalijaga ingin agar saat ajalnya tiba, dapat muksa atau hilang, tapi keyataannya sebaliknya. Sampai sekarang masyarakat tahunya bahwa Kadilangu hanya sebagai masjid dan makamnya Kalijaga saja.



99



MURID SYEKH SITI JENAR 1.



Kebo Kenongo meninggal di Pengging.



2.



Kebo Kertotomo meninggal bersama 300 penduduk



Pengging di Kadilangu. 3.



Pati Suryo meninggal bersama 300 penduduk



Pengging di Kadilangu. 4.



Jogonoyo atau Syekh Imam Maribi dimakamkan di



Pajang.



Kejadian yang menyebabkan para senopati berontak dan perang saudara Berikut kejadiannya : Brawijaya ke V pada saat itu dikejar oleh Patah dan pasukannya dan sampai di lereng gunung Lawu. Patah adalah salah satu anak dari Brawijaya V yang memaksa untuk masuk agama Islam, dengan harapan para wali dan Patah, kalau Brawijaya V masuk Islam maka seluruh pengikutnya akan masuk islam, tetapi Brawijaya V menolak dan mengalah menyingkir ke gunung Lawu. Sesampainya di kaki gunung Lawu Brawijaya V bersemedi nunggal Gusti untuk memohon kepada Allah SWT dan akhirnya muksa di Sendang Panguripan, yaitu salah satu sendang di gunung Lawu. Brawijaya V muksa masuk ke alam ghaib dan dipercaya sebagai penguwasa gunung Lawu. Itu semua terjadi 100



karena Brawijaya V dikejar Patah, wali songo dan pasukannya sampai di gunung Lawu dan membakarnya, agar Brawijaya dan 15 orang pengikutnya turun dari gunung Lawu. Api melalap seluruh pohon dan semak belukar, hingga akhirnya api sampai di tempat Brawijaya V. Brawijaya V dan pengikutnya berlari menghindar amukan api terjebak di Sendang Panguripan. Karena terjebak api di Sendang Panguripan, Brawijaya V memohon pertolongan kepada Allah dengan cara bersemedi nunggal Gusti, dan oleh yang maha Kuasa Brawijaya V dan pengikutnya muksa masuk ke alam ghaib, dan terhindar dari api yang melalap habis tempat tersebut. Patah, wali songo dan pasukan kerajaan menunggu di bawah dengan senjata lengkap menunggu munculnya Brawijaya V dan pengikutnya. Setelah api padam mereka naik dan mencari Brawijaya V serta pengikutnya sampai di Sendang Panguripan. Sesampainya di Sendang Panguripan tiba tiba muncul angin puting beliung yang sangat dahsyat, dan terdengar suara yang menggelegar : 



Hai Patah !! kamu anak yang durhaka ! Sungguh besar



dosamu kepadaku, ingatlah kamu, inilah salah satu dosamu yang paling besar! cepat atau lambat kamu akan menerima akibatnya, mulai hari ini kamu bukanlah anak turunku, Patah !! Setelah itu terdengar lagi suara yang menggelegar :



101







Setelah itu angin puting beliung menghilang dan suasana



kembali tenang. Mengalami peristiwa tersebut, Patah, walisongo dan prajurit kerajaan bergetar hatinya dan merasa ciut nyalinya, sebagian prajuritnya kocar kacir karena ketakutan. Kemudian patah dan rombongan segera bergegas turun dari gunung Lawu. Sesampainya di kaki gunung Lawu hanya tersisa pasukan 200 prajurit,yang 3000 orang hilang. Dalam perjalanan pulang ke Demak Patah dan walisongo menyebarkan berita bahwa Brawijaya V telah masuk Islam dan muksa di gunung Lawu dan ganti nama menjadi Sunan Lawu. Sesampainya di Demak di salah satu desa seluruh sisa prajurit yang tinggal 200 orang yang mengetahui peristiwa tersebut dibunuh semua, karena takut nantinya membocorkan kejadian itu. Dan peristiwa inilah yang memicu pemberontakan dan perang saudara di Demak. Hai wali songo !! Kamu adalah sekumpulan orang berdosa, kamu semua hanya sekumpulan tukang sihir ! menipu kesana kemari tanpa takut dosa ! Mulai hari ini, besok anak turunmu yang datang kemari, tidak akan kembali dalam keadaan hidup ! karena dosamulah mereka mati ! (sampai sekarang sudah banyak sekali para santri yang hilang di gunung Lawu).



102



Perubahan yang terjadi setelah segel masjid kadilangu dibersihkan. 



Tempat menjadi bersih lebih tenang untuk ibadah.







Jika dilihat dengan kasat mata tempatnya menjadi lebih



terang walaupun tanpa adanya penerangan lampu. 



Tercium harum wangi di dalam masjid kadilangu.







Air wudhu jika terasa di kulit terasa lebih segar.







Di sekitar tempat wudhu tercium bau harum yang berasal



dari air.



PESAN-PESAN SYEKH SITI JENAR. 1.



Percayalah kepada Allah yang ada di dalam dirimu,



karena akan membimbingmu sampai ke Nirwana. 2.



Hanya ada satu jalan menuju Nirwana yaitu dengan



mempelajari ilmu Kasampurnan. 3.



Jangan berkata soal Tuhan jika belum faham,



mengerti dan tahu soal Tuhan. 4.



Hanya dengan bersemedi/ meditasi/ nunggal Gusti



dapat menemukan ketenangan yang hakiki.



Ratu Dyah Ayu Sari istri Syekh Siti Jenar 103



Seperti yang sudah ditulis bahwa istri SSJ meninggal dibunuh pada saat hamil tua, sedangkan setelah lahir diberi nama Imam



Brehmani.



Kali ini penulis kembali menguak sejarah dari Ratu Dyah Ayu Sari istri dari SSJ. Dimulai dari makam Kebo Kenongo yang merupakan salah satu saksi kunci peristiwa di Pengging. Di dalam makam Kebo Kenongo di depan ada Gapura atau pintu masuk, jika dilihat dengan mata batin akan terlihat sinar putih yang membentuk segi empat. Di bawah sinar putih terdapat suatu benda yaitu tongkat yang dulunya dipakai oleh SSJ. Di dalam bangunan banyak dijumpai makam yang dulunya adalah rumah dari Kebo Kenongo.



Setelah itu penulis melanjutkan perjalanan ke sebelah selatan dari tempat Kebo Kenongo yang terdapat sebuah Sendang atau Mata Air, oleh masyarakat setempat disebut Sendang Planangan atau Mata Air Lelaki (karena lahirnya Imam Brehmani laki



laki).



Setelah sampai di tempat tersebut penulis disambut oleh Naga berwarna biru dan burung Garuda. Nama dari Naga tersebut adalah Naga Siniwit, sedangkan burung Garudanya bernama Dorma. Kedua mahluk ghaib tersebut adalah peliharaan Imam 104



Brehmani yang ternyata anak kandung Ratu Dyah Ayu Sari istri SSJ.



Kalau kita lihat dengan mata batin maka akan terlihat masa lampau sebelum ada perkampungan seperti sekarang ini. Dulunya tempat tersebut adalah Danau kecil yang dalam airnya. Di Danau tersebut tempat dibuangnya jasad dari Ratu Dyah Ayu Sari istri dari SSJ yang dibunuh oleh Wali Songo dalam keadaan hamil tua.



Di tempat tersebut ada sebuah Mata Air, dan tempat tersebut lokasi dimana jasad Ratu Dyah Ayu Sari dibuang dan ditinggal pergi oleh Wali Songo. Pada saat itu Naga Siniwit membawa jasad Ratu Dyah Ayu Sari ke terngah Sendang yang ada daratannya seperti pulau kecil, dan pulau kecil tersebut dijaga oleh burung Garuda Dorma. (pulau kecil tempat jasad istri SSJ ini sekarang berubah menjadi langgar atau surau atau masjid kecil).



Setelah dibuang, Kebo Kenongo berusaha mencari jasad istri SSJ, tretapi tidak ketemu karena jasad istri SSJ sudah masuk ke dimensi alam ghaib dibawa Garuda Dorma dan dijaga oleh Naga



Siniwit.



Kalau kita lihat dengan mata batin akan terlihat juga sosok 105



pemuda tampan gagah dengan pakaian kebesaran. Kalau kita lihat baju yang dipakai adalah baju Pangeran dari Kerajaan Majapahit. Dan lelaki gagah yang berpakaian Pangeran ini ternyata anak dari Ratu Dyah Ayu Sari dan Syekh Siti Jenar (Imam Pramono) yang diberi nama Imam Brehmani.



106



11.



SUNAN KALIJOGO DAN SYEH SITI JENAR



Raden. Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.



Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana.



Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta 107



disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur keIslam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.



Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebabsebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaranajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini.



Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. 108



sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.



Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak ceritacerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik keIslam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.



Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya 109



masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.



Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya).



Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.



Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang 110



tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.



Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.



Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, 111



seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.



Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.



Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli 112



- artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka - artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam. Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga kali masa pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.ujarnya pula : “Awit seh lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”



Artinya : Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh Siti Jenar pun menjawablah, katanya : 113



“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran bangsa Allah”



Artinya : jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaranajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata: “Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”



kemudian katanya pula : “wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.



Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan : 114



“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”



Dalam segala hal demikianlah pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan khalik Maha Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama, karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.



Kemudian kita dapati pula ucapan Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada syari’at, katanya : “Sahadat salat puwasa kawuri, apa dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar.”



Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar : 115



“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.



Demikianlah antara lain pandangan hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung, Ki Lontang.



Menengok konflik Masa Lalu



Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiaiulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal 116



berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan “Babad Meinsma”.



Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) 117



mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya. Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.



Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah 118



konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila telah mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.



Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.



Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama 119



ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.



120



12.



Tentang Syekh Siti Jenar dan Berbagai



Kontroversi Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asalusulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul



Syekh



Siti



Jenar.



Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar



adalah



budi



pekerti.



Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo. Konsep dan Ajaran 121



Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.



Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara,



tetapi tidak



termasuk



hukum syariat



peribadatan



sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia. 122



Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu: 



Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti



salat, zakat, dan lain-lain, 



Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid,



zikir dalam waktu dan hitungan tertentu, 



Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup



akan ditemukan, dan 



Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-



luasnya.



Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang 123



disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label



sesat.



Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam



agama



apa



pun,



setiap



pemeluknya



sebenarnya



menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah



dengan



menyebut



nama



yang



berbeda



dan



menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya



adalah



yang



paling



benar.



Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum



bisa



disebut



ikhlas.



Manunggaling Kawula Gusti Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenartidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah 124



tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya,



manusia



telah



bersatu



dengan



Tuhannya.



Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan



manusia:



"Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S.



Shaad:



71-72"



Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala



penyembahan



terhadap



Tuhan



terjadi.



Perbedaan



penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan



polemik



bahwa



di



dalam



tubuh



manusia



bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula



Gusti.



Pengertian Zadhab Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab atau kegilaan berlebihan 125



terhadap Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali hanya Allah yang berkehendak.



Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. Dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada Guru yang Mursyid yang berpedoman pada Al Quran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan



menjerumuskannya.



Hamamayu Hayuning Bawana



Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.



126



13.



Kontroversi Tentang Syekh Siti Jenar



Kontroversi yang lebih hebat



muncul mengenai hal-ihwal



kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di



antara



keduanya.



Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.



Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagiSyekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang 127



kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus,



dan



Sunan



Geseng.



Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar,



kelima wali tersebut



tidak



usah repot-repot



ingin



membunuhnya karena ia bisa meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya



menghendaki.



Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh



gurunya



di



hadapan



para



wali.



Kisah Saat Kematian Syekh Siti Jenar



Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenardisemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, 128



semerbak bunga dan cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di



Masjid



Mantingan,



Jepara,



dengan



nama



lain.



Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng



Tingkir.



Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti Jenaradalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang



diajarkan



Alquran.



Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu



melakukan



penghormatan



kepada



leluhur



dan



melestarikan nilai kebenaran yang diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar dapat diterima oleh 129



seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran bagi alam semesta. Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih kepada keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu yang mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah pandangan masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha dan Ramayana untuk membantu penyebaran agama Islam dengan melakukan



sisipan



sisipan



ke



dalamnya.



Namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi nilai yang terkandung yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada jaman keemasan Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini. Terbukti bahwa dairah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan eksistensi budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab sebagai hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.



"Tentang kematian Syekh Siti Jenar yang sangat kontoversial, karena ada yang mengatakan beliau wafat dibunuh oleh para wali yang di utus ada juga versi seperti yang di atas tapi ada juga beliau 130



mengalahkan para wali utusan itu karena beliau sangat sakti dalam hal ilmu kadigdayaan dan kesempurnaan hingga di katakan menghilang setelah mengalahkan para wali. Mungkin dikalangan masyarakat sangat terkenal bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh para wali yang di utus tapi mungkin dari segi pandangan orang kerohanian atau kesempurnaan mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah mati saat itu, beliau amat sakti dan dikatakan mampu menyaingi semua para walisongo dan pada saat wali utusan itu bertemu dengan Syekh Siti Jenar mereka kewalahan menghadapi beliau dan beliau menghilang dengan ajian yang dimilikinya, beliau juga dikatakan Moksa setelah bertahun-tahun kemudian. Sangat banyak misteri tentang Syekh Siti Jenar, mohon maaf tentang artikel yang saya tambahkan di paragraf terakhir ini karena seperti itu diceritakan oleh para orang tua saya. Masih sangat meragukan, jika ada salah mohon di maafkan dan jika ada yang ingin dikatakan atau ditambahkan mohon untuk memberikan komentar anda. Terimakasih semua."



131



14.



Siapa Syekh Siti Jenar?



Asal muasal Syekh Siti Jenar sebenarnya tidak jelas, apakah berasal dari Persia atau asli Jawa. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Dr. Munir Mulkhan, hlm. 61). Namun, ajarannya cukup memberi pengaruh besar kepada masyarakat Indonesia hingga sekarang terutama di Jawa. Syekh Siti Jenar termasuk anggota Walisongo yang hadir pada pertemuan pertama yang diselenggarakan oleh Sunan Giri, ketua Walisongo yang baru sebagai pengganti Sunan Ampel. Di dalam pertemuan itu, dibicarakan tentang permikiran Syekh Siti Jenar yang berkaitan dengan ma’rifat. Ternyata diketahui bahwa Siti Jenar punya pandangan menyimpang di dalam beragama. Akibatnya, tokoh ini dikeluarkan dari keanggotaan Walisongo, bahkan akhirnya dijatuhi hukuman mati. Hukuman ditetapkan setelah Sultan Demak dan Walisongo memberi peringatan berkali-kali tentang ajarannya yang merusak aqidah umat Islam, yang baru saja dengan susah payah ditegakkan Maulana Malik Ibrahim, di Jawa pada 1404 M. Namun, alasan ini belum dianggap kuat maka hukuman mati Siti Jenar baru diambil setelah Adipati Pengging, Ki Ageng Kebo Kenongo dihukum mati karena memberontak kepada kekuasaan Demak 132



Bintoro, ditambah murid-murid Syekh Siti Jenar yang berbuat onar karena putus asa dengan kegagalan Adipati Pengging tersebut. Kebo Kenongo Budha-Animisme



adalah harapan terakhir bagi pengikut Hindu untuk



mempertahankan



menghadapi pengaruh dakwah Islam.



ideologi



mereka



(Misteri Syekh SIti



Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427) SITI JENAR KIBLAT KAUM ZINDIQ INDONESIA Sikap frustasi para murid Syekh Siti Jenar dimanifestasikan ke dalam bentuk ajaran Syekh Siti Jenar yang aneh. Mereka berkeyakinan bahwa manusia hidup di dunia ini sebenarnya dalam keadaan mati. Maka manusia yang lalu lalang di muka bumi merupakan mayat-mayat yang gentayangan. Sosok Siti Jenar telah



menjadi



komoditas



kaum



Zindiq



Indonesia



untuk



mengekspresikan kesesatan mereka, maka warna ajaran Siti Jenar sangat tegantung pada pemikiran masing-masing orang yang menulis tentang Siti Jenar. Ambil contoh, Achmad Chodjim dalam bukunya Sykeh Siti Jenar menggambarkan Syekh Siti Jenar sebagai sosok liberal yang tidak percaya terhadap agama dan kitab suci. Pada halaman 34, penulis berkata,”Syekh Siti Jenar bukanlah seorang teolog. Dia seorang praktisi! Agama baginya bukan teori yang harus dihafal. 133



Agama adalah sebuah jalan yang harus dilalui. Dia tidak mengambil pusing dengan nama agama. Walaupun agama sedang disandangnya Islam. Tetapi, kenyataan hidup, keberadaan diri dan jiwa, itulah yang menjadi kesadaran Siti Jenar dalam hidupnya di dunia ini. Siti Jenar menyadari sepenuhnya, bahwa hidup di dunia ini ada di alam kematian. Karena kita sebagai bangkai kita tidak mampu berkomunikasi dengan Tuhan.” (Lihat buku Syekh Siti Jenar karya Achmad Chodjim, hlm.34) Dalam bahasa Jawa dikenal dengan keyakinan “Manunggal-ing kawulo Gusti” yang berarti dzat Allah menyatu dengan hamba-Nya, seperti keyakinan yang dikembangkan al-Hallaj dan Ibnu Arabi yang akhirnya dihukum pancung berdasarkan fatwa para ulama. Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kental dengan nuansa tasawuf wihdatul wujud (Manunggal-ing kawulo Gusti), wihdatul Adyan (penyatuan agama-agama) dan kebatinan kejawen serta sangat kental dengan ajaran zindiq. Demikian itu tampak di dalam beberapa ungkapan yang diturunkan Achamad Chodjim dalam bukunya, Syekh Siti Jenar (hlm. 34), yang antara lain: “Manusia yang hakiki adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat. Berdiri dengan sendirinya. Sukma menjelma sebagai hamba. 134



Hamba menjelma pada sukma. Napas Sirna menuju ketiadaan. Badan kembali sebagai tanah.”(Pupuh II:2) “Adanya Allah karena zikir. Zikir membuat lenyap Dzat, Sifat, Asma dan Af’al yang Mahatahu. Digulung menjadi ‘Anataya’ dan rasa dalam diri. Dia itu saya! Timbul pikiran menjadi dzat yang mulia.”(Pupuh II:3) “Dalam jagat besar dan kecil, di mana pun sama saja. Hanya manusia yang ada. Ki Pengging berani menghirkan tekad bahwa Allah yang dirasakan dalam zikir itu semu, keberadaan palsu. Keberadaan semacam ini karena nama.” (Pupuh II:4) “Manusia sejati itu, mempunyai sifat dua puluh. Dalam hal ini agama Budha dan Islam sudah campur. Satu wujud dua nama. Kesukaran tiada lagi. Ki Pengging sudah memahami (ajaran Siti Jenar).” (Pupuh II:5) SITI JENAR ANTI AGAMA Ajaran Siti Jenar menolak semua ajaran agama yang berbau Arab. Ajaran tersebut tidak menganggap kitab suci sebagai sumber ilmu agama, dan menghina segala bentuk ibadah praktis. Seperti yang ditegaskan Munir Mulkhan dalam bukunya, Ajaran dan jalan 135



Kematian Syekh Siti Jenar , “Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa ketika syahadat, shalat, dan puasa itu tidak diinginkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang perlu dilakukan. Demikian pula halnya dengan zakat dan haji, semuanya dipandang sebagai omong kosong, sebagai kedurjanaan budi dan penipuan terhadap sesama manusia.” (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Dr. Munir Mulkhan,hlm. 66) Siti Jenar juga membuat alasan yang sangat aneh, bahwa menurut pandangan Jawa, pelaksanaan shalat lima waktu itu bukan shalat yang sebenarnya. Dan kalu toh tetap disebut shalat, maka pelaksanaan shalat yang tampak lahiriyah ini hanyalah hiasan dari shalat yang Daim. Dalam pemahaman Jawa. Shalat Daim adalah shalat yang ditegakkan secara terus-menerus tidak pernah putus. Baik ketika berjaga maupun ketika tidur. (Syekh Siti Jenar, Achmad Chodjim, hlm. 203) Menurut Syekh Siti Jenar, hanya orang-orang yang dungu dan tidak tahu saja yang menuruti aulia atau wali, hanya karena mereka diberi harapan surga kelak di kemudian hari. Siti Jenar justru tak pernah



menuruti



perintah



budi,



bersujud-sujud



di



masjid



mengenakan jubah dengan harapan memperoleh sejumlah pahala yang akan diterima nanti. Ketaatan seseorang juga bukan karena 136



dahi dan kepalan tangannya sudah menjadi tebal. (Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, hlm. 66) Bahkan ajaran Syekh Siti Jenar menolak mentah-mentah kiab suci sebagai sumber ilmu, seperti kepercayaan yang menyebar di kalangan Sufi ekstrem. Sebab, menurut Siti Jenar, ilmu tidak dapat dicapai hanya dengan membaca buku-buku, membaca kitab suci. Mendengarkan petuah kyai atau wali. Orang yang berilmu berarti mampu



mengetahui



kahanan,kenyataan,



yang



bebas



dan



pancaindra, mampu melihat tanpa mata, mengengar tanpa telinga, membau tanpa hidung, merasa tanpa meraba, dan menikmati tanpa mengecap? Walaupun latar belakang kehidupan Syekh Siti Jenar tidak jelas, beberapa dokumen yang menjelaskan ajaran Syekh Siti Jenar sangat banyak menunjukkan sikap zindiq-nya. Di samping dengan Dzikir Ojrat Ripangi dan matra-matra Lebe Lonthang yang menimbulkan kesesatan, dia pernah menyuruh membakar masjid dan mengingkari syari’at Islam. Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa al-Qua’an merupakan pegangan hidupnya, tetapi secara kontras



dia



mengingkari



hukumanya



dan



menganalisa



kandungannya menurut pemahaman wihdatul wujud dan hawa nafsu zindiqnya. 137



AJARAN SITI JENAR DIDOMINASI KAUM ABANGAN Warna Islam pedalaman yang sinkretis hasil rekayasa Sunan Kalijogo, yang berbeda dengan warna Islam di daerah pesisir murni, dimanfaatkan kaum zindiq untuk merusak Islam. Mereka berpura-pura masuk Islam, namun banyak ajaran agama yang diselewengkan. Dan mereka terpecah menjadi tiga kelompok: Pertama:



Kelompok



yang



tidak



menerima



Islam



secara kaffah (menyeluruh) karena menurut mereka agama lama juga tidak kalah baiknya. Bahkan sebagian mereka membesarbesarkan peranan Sunan Kalijogo adalah guru mistik terbesar yang pernah ada di Jawa dan sebagai tokoh dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kelompok ini tidak ragu menggunakan do’a berbahasa Jawa seperti yang dicontohkan Sunan Kalijogo dengan Mantra Betuah dan Kidung Rumekso Ingweya yang sangat memikat hati. Dari sinilah tumbuhnya aliran kebatinan atau kejawen yang kemudian menjamur sejak akhri abad ke-19. Kedua : Kelompok yang tidak mau menerima Islam tetapi tidak berani menentang secara terang-terangan, lalu bersikap zindiq. Kelompok kedua ini masih melanjutkan upaya seperti yang 138



dilakukan Syekh Siti Jenar pada masa hidupnya. Namaun, sepnjang abad ke-17,mereka belum berani berbuat seperti gurunya karena khawatir akan mengalami nasib yang sama, karena pemerintah Islam Mataram masih sangat kuat. Ketiga: Kelompok yang tetap tidak mau menerima Islam dan tetap bertahan dengan agama apa saja selain Islam. (Misteri Syekh Siti Jenar, Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 427-428) Demikianlah gambaran sekilas tentang pemikiran Syekh Siti Jenar yang membawa paham berbahaya Wihdatul Wujud. Maka sungguh mengherenkan jika pada zaman sekarang pemikiran berbahaya tersebut dibela dan dibenarkan.



139



15.



Syekh Siti Jenar/Syekh Lemahbang



“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…. Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai kain yang didalamnya penuh akan keindahan corak dan warna, inilah yang diidamkan seluruh ahli sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman ilmu, penghayatan dan keluasan tentang segala kebesaran Allah SWT, perjalanan dan pengorbanan yang selalu dilakoninnya sejak kanak-kanak, membuat segala macam ilmu yang ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyullah kamil. Dalam pandangan para waliyullah, dimana badan telah tersirat asma’ Allah dan segala tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid,



dimana



setiap



detak



jantung



selalu



menyerukan



keagungan-Nya dan setiap pandangan matanya mengandung makna tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang waliyullah agung yang mana jasad dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan dzat Illahi. Inilah sanjungan yang dilontarkan oleh seluruh bangsa 140



wali kala itu pada sosok kanjeng Syeikh Siti Jenar. Rahmat Illahi yang tersiram didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap desiran nafasnya, pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam didalam akal dan hatinya, membuat kanjeng Syekh Siti Jenar menjadi seorang guru para wali. MORFOLOGI Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M dan wafat sekitar tahun 923 H/1439 C/1517 M. Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam saat itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Dalam sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,



141



“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…. Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yang saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yang berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yang setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia disebut manungsa sebagai bentuk “Manunggaling Rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).



142



Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yang menyatu-padu dengan Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dengan Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dengan Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yang disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yang diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yang nampak oleh mata; nama yang muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yang diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yang populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yang mengambarkan ajarannya tentang 143



sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama



yg



dilekatkan



oleh



Sunan



Bonang



ketika



memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; danSyekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang. Syekh Siti Jenar adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut-Yaman. Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari 144



al-‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi Mursyid Thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam disana. Adapun Syekh Maulana Isa atau Syekh Datuk Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh Abdul Jalil. 145



PADEPOKAN GIRI AMPARAN JATI Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, bersama-sama dengan ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syekh Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Posisi Syekh Datuk Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan ra. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Syekh Datuk Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu: 1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya. 2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya. 146



3. Syekh Datuk Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara. 4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh Datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antar lintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jati yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual. 147



Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab AtTajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy. Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu Ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun. Setelah diasuh oleh Ki Danusela sampai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yang berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda disebut sebagai musuh alit [musuh halus]. Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai



pelajaran



keagamaan,



terutama



nahwu,



sharaf,



balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yang akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah 148



sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dengan usia sekitar 17-an tahun. Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah AlAhadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain. Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya. Tujuan pertamanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama. [1] Nihaspraha, adalah suatu keadaan di mana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia. [2] Nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. 149



[3] Niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. [4] Nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yang bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”. Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran. Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. Bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yang dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yang kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi. Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. 150



Pergaulan di dunia bisnis tersebut dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yang oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil. Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yang menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).



PENCERAHAN ROHANI DI BAGHDAD Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar 151



semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah alTawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yang tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yang dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yang bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yang nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yang maujud.



152



Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitabkitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dengan paham Syi’ah Ja’fariyyah, yang di kenal sebagai madzhab Ahl Al-Bayt. Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dengan Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yang masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yang ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yang kebanyakkan 153



beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yang dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yang paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat alHaqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat alAwakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yang pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya.



Konsep-konsep



pamor,



jumbuh



dan



manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yang memiliki ujung 154



pemahaman yang mirip dengan secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dengan al-Jili dan Ibnu ‘Arabi. Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yang digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yang terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman rohani yang sudah dilewatkannya, serta yang akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam



berbagai



ungkapan



mistik,



ajaran



serta



khotbah-



khotbahnya, yang banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa. Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yang digelar di berbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yang terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd. Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yang menyelubunginya telah tersingkap. Dengan ini 155



seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yang membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitabkitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili. Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dengan sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasia-Nya). Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dengan ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), 156



Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tersebut mengalami nasib yang baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa. Seiring perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi segala aktifitas mengajarnya tatkala, Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati, telah tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya beliau yang menyudahi aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali Jawa yakni, Sunan Ampel dan Sunan Giri juga mengakhirinya pula. Mereka semua ta’dzim watahriman/menghormati derajat yang lebih diagungkan, atas datangnya seorang Quthbul Muthlak/Raja Wali Sedunia pada zaman tersebut, yaitu dengan adanya Syarif Hidayatullah, yang sudah menetap dibumi tanah Jawa. Sejak saat itu pula semua wali se-jawa dwipa, mulai berbondong ngalaf ilmu datang kekota Cirebon, mereka jauh jauh sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief Hidayatulloh, yang ditunjuk langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan semua mahluk ( Quthbul muthlak ) Nah, sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh Siti Jenar, tentunya kita agak merasa bingung tentang jati diri, Syarif 157



Hidayatullah, yang barusan dibedarkan tadi. "Mengapa Syarif Hidayatullah kala itu sangat disanjung oleh seluruh bangsa wali ?".



Dalam tarap kewaliyan, semua para waliyullah, tanpa terkecuali mereka semua sudah sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan dalam tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan segala derajat yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Allah SWT, jauh jauh telah memberi hawatif pada setiap diri para waliyullah, tentang segala hal yang menyangkut derajat kewaliyan seseorang. Nah, sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Allah SWT, menunjuk seseorang menjadikannya derajat waliyullah, maka pada waktu yang bersamaan, nabi Hidir as, yang diutus langsung oleh malaikat, Jibril as, akan mengabarkannya kepada seluruh para waliyullah lainnya tentang pengangkatan wali yang barusan ditunjuk tadi sekaligus dengan derajat yang diembannya. Disini akan dituliskan tingkatan derajat kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat yang paling atas. "Quthbul muthlak- AthmanArba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’ – Nujaba’ – Abdal- dan seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila saat itu seluruh wali Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon, karena tak lain didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, 158



Quthbul muthlak, yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.



Sejak adanya, Syarif Hidayatullah, yang telah memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala itu belajar arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah, syekh Siti Jenar sendiri. Empat tahun para wali ikut bersamanya dalam “Husnul ilmi AlKamil"/menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan setelah itu, Syarif Hidayullah, menyarankan pada seluruh para wali untuk kembali ketempat asalnya masing masing. Mereka diwajibkan untuk membuka kembali pengajian secara umum sebagai syiar islam secara menyeluruh. Tentunya empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi para wali kala itu, mereka telah menemukan jati diri ilmu yang sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh seorang derajat, Quthbul Mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka peroleh, tidak semua dari mereka membuka kembali pesanggrahannya. Banyak diantara mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarif Hidayatullah, segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbullah/hanya cinta dan ingat kepada Allah semata. Hal 159



seperti ini terjadi di beberapa pribadi para wali kala itu, diantaranya; syekh Siti Jenar, sunan Kali Jaga, sulthan Hasanuddin Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan dan Syekh Magelung Sakti. Mereka lebih memilih hidup menyendiri dalam kecintaannya terhadap Dzat Allah SWT, sehingga dengan cara yang mereka lakukan



menjadikan



hatinya



tertutup



untuk



manusia



lain.



Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah lahiriyah mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya. Seperti halnya, syekh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/kesaktian ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan sunan Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang terbuat dari bahan anyaman



bambu.



Sulthan



Hasanuddin,



lebih



banyak



mengeluarkan fatwa dan selalu menasehati pada binatang yang dia temui. Pangeran Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya selalu membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya menyanyikan berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh Magelung Sakti, lebih dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk bermain dengan anak anak. 160



Lewat perjalanan mereka para hubbulloh/zadabiyah/ingatannya hanya kepada Allah SWT, semata. Tiga tahun kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya dari sifat bangsa dzat Allah, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir. Namun diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Allah ini hanya syekh Siti Jenar, yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata (Allah SWT) Beliau lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa terbendung, sehingga dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau banyak dimanfaatkan kalangan umum yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu kewaliyan. Sebagai seorang waliyullah yang sedang menapaki derajat fana’, segala ucapan apapun yang dilontarkan oleh syekh Siti Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua ini selalu dimanfaatkan oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya tanpa harus terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya. Dengan dasar ini, orang-orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah banyak dan pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan para waliyullah. Dari kisah ini pula, syekh Siti Jenar, berkali-kali dipanggil dalam sidang kewalian untuk cepat-cepat merubah sifatnya yang banyak dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, namun beliau tetap dalam pendiriannya untuk selalu memegang sifat dzat Allah. 161



Bahkan dalam pandangan, syekh Siti Jenar sendiri mengenai perihal



orang-orang



yang



memanfaatkan



dirinya,



beliau



mengungkapkannya dalam sidang terhormat para waliyullah; “Bagaimana diriku bisa marah maupun menolak apa yang diinginkan oleh orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah mahluk Allah, yang mana setiap apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap diriku, semua adalah ketentuan-Nya juga" lanjutnya. “Diriku hanya sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak bukan hanya dialah Allah semata. Karena sesungguhnya adanya diriku adanya dia dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Allah adalah diriku dan diriku adalah Allah, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula Allah akan mengabulkannya. Jadi janganlah salah paham akan ilmu Allah sesungguhnya, karena pada kesempatannya nanti semua akan kembali lagi kepada-Nya." Dari pembedaran tadi sebenarnya semua para waliyullah, mengerti betul akan makna yang terkandung dari seorang yang sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua waliyullah yang ada dalam persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan yang diucapkan oleh syeikh Siti Jenar.



162



Hanya saja permasalahannya kala itu, seluruh para wali sedang menapaki pemahaman ilmu bersifat syar’i sebagai bahan dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Walhasil, semua para wali pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syekh Siti Jenar, yang sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh orang yang sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan bisa mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar. Sedangkan pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat



zadabiyah,



beliau tidak



bisa



mengerem



ucapannya yang bersifat ketauhidan, sehingga dengan cara yang dilakukannya ini membawa dampak kurang baik bagi masyarakat luas kala itu. Nah, untuk menanggulangi sifat syekh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya memohon petunjuk kepada Allah SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan hampir semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu : "Tiada jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan tuhannya, kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya". 163



Dari hasil hawatif para waliyullah, akhirnya syekh Siti Jenar dipertemukan dengan kekasihnya Allah SWT, lewat eksekusi pancung. Dan cara ini bagi syekh Siti Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena baginya, mati adalah kebahagiaan yang membawanya kesebuah kenikmatan untuk selama lamnya dalam naungan jannatun na’im.



164



16.



Syekh Siti Jenar



SYEKH SITI JENAR (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asalusulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.



165



1. Konsep dan ajaran Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syeh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syech Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan 166



hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang



harus



disampaikan



adalah



pada



tingkatan



‘syariat’.



Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’. Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing – masing menyembah dengan 167



menyebut nama yang berbeda – beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing – masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Syech Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas. 1. 1. Manunggaling Kawula Gusti Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya. Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti‘ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila



telah



Kusempurnakan



kejadiannya



dan



Kutiupkan 168



kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’. 2. Pengertian Zadhab Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah…. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini akan gampang 169



terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini, karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat Allah. 2. 1. Hamamayu Hayuning Bawana Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi. 3. Kontroversi Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada 170



pemberontakan mengingat salah satu murid Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya. Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada. Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi [b]Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja.[/b] Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng. (Walet: Ini adalah Noordin M Top Jaman Dulu) 171



Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki. Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.[rujukan?] 4. Kisah pada saat pasca kematian Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.



172



Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir. MENGENAL NAMA SYEKH SITI JENAR Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika 173



memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang. Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan). Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang 174



yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.



Asal Usul Syekh Siti Jenar Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah



Muladjadi



Keradjan



Tjirebon),



Ikatan



Karyawan



Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu



175



lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku. Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….. Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa 176



menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut. Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati,



yakni



Syekh



Abdullah



Khannuddin



dan



Syekh 177



Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar



Syah.



Sumber-sumber



Malaka



dan



Palembang



menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil. Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besamasama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.



178



Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual. Padepokan Giri Amparan Jati Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus] . 179



Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai



pelajaran



keagamaan,



terutama



nahwu,



sharaf,



balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun. Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya. Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama. Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan 180



melebur



(fana’)



dgn



Dia



Yang



Hampa,



Dia



Yang



Tak



Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”. Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran. Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi. Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk 181



mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil. Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani). Pencerahan Rohani di Baghdad Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. 182



Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah alTawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud. Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab183



kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt. Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam 184



catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya.



Konsep-konsep



pamor,



jumbuh



dan



manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena



proses



pencarian



spiritualnya



yg



memiliki



ujung



pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi. Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn 185



pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa. Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd. Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari 186



nafsu-nafsunya.



Disinilah



Syekh



Siti



Jenar



mendapatkan



kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili. Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya). Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa. 187



Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar) SATU “Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.” Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beraduadu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, 188



memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti. DUA “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal



189



adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin. Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.



Jebakan



nama



dalam



syari’at



justru



malah



merendahkan nama-NYA. TIGA “Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” 190



Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal. Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta. Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah. EMPAT 191



“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama



(Qs.Al-Anfal:17)”,



maksudnya



bukanlah



engkau



yg



melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan altawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.” 192



Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan. LIMA “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam 193



kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati. Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus…. Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin. Surga dan Negara Syekh Siti Jenar 194



“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini). Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatutunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa



195



tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir……… Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar “Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.” “Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali



adalah



“omong



kosong



belaka”,



atau



“wes



palson



kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak 196



adalah



reduksi



atas



syari’at



tersebut.



Syekh



Siti



Jenar



menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb. Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan



197



berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia. Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. MAKNA IHSAN SYEKH SITI JENAR “Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.” “Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas 198



kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”. Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran. Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi. Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal. 199



“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa



cahaya



atau



teja,



halus,



lurus



terus-menerus,



menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.” Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan



melahirkan



ketegasan



sikap



dan



menentang



ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia



dan



makhluk



saling



memiliki



kemerdekaan



dan



kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan KeIlahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”). Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan 200



orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam. Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta 201



perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi. TAFSIR KISAH MUSA DAN KHIDIR (SYEKH SITI JENAR) “Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).” “Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak



kasatmata. Kawanan udang perlambang para



penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”



202



“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr alajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).” “Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. 203



Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.” “Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.” “Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi



204



karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.” “Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.” “Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.” “Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah alkhashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan



205



Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (alAlim).” “Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ alhayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (alHayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (alHaqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).” “Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan



206



batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.” Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan



mengalami



pengalaman



rohani



yg



berbeda



sesuai



pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.” “Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna,



yaitu



alam



tidak



kasatmata.



Mereka



kemudian



digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.” 207



“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (alWujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud.



Penumpang



perahu



itu



mengalami



nasib



seperti



penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).” “Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.” “Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. 208



Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.” “Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenalNYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.” 209



“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.” “Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.” “Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekankkanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).” “Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh 210



manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).” “Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.” “Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn alwaqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”



211



“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).” “Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).” “Sehingga



tidak



akan



pernah



terjadi



perseteruan



dalam



memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh 212



‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan



pancaran



dari



Khazanah



Perbendaharaan.



Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidahkaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.” TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI JENAR Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawulaGusti. Yaitu bersatunya antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh. Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. 213



Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno. Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para muridmuridnya. Syeh Siti Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara



hakikat



dan



sebagainya.



Para



santri



mengajukan



pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut; M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?” S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini. Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu. Sifat tersebut pun



sudah



kumiliki.



Kalian



bisa



melakukannya



dengan



mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satusatunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. 214



Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia. M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !” S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu. M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ? S ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.



215



M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah akhirnya dapat disamakan dengan Allah ? S ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya. M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ? S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash. Orang awam hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka



216



jangan heran jika ada orang yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah. M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ? S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu. Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar.



Mereka shalat



tidak



mengharapkan pahala,



tetapi



merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan. M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini bagaimana ? S ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh



sama



sekali



kepada



akal



budinya.



Padahal



sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan 217



sehari-hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi buruburu meminta balasan,…..aneh! M ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal



hamba



yang



pertama



kali



diperhitungkan



adalah



sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap baik. Ini bagaimana ? S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sembahyang dengan sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu tidak berlaku bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor, tersimpan keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat



218



ujub dan sombong, serta budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang. M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ? S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai shalat, jubah atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya. Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri. Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti itu sibuk menghitung pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh, sedikit pun tak akan dapat dicapainya. M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ? S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat, semua timbul atas kehendakNya. Ia 219



mampu mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan, kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di segala tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya. Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya, kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh kepadaNya selama hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud maupun dalam pengertian. M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ? S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam. M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ? S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal, bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana tujuannya.



220



M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat sejati ? S ; Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika aku tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba sudah berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang



kuikuti,



kutaati



siang



malam,



yang



kuturut



segala



perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali setia terhadap suara hati nuraniku. Allah Mahasuci. M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci? S ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari luar sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang Agung, yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang.



221



Sifat-sifatNya berwujud samar-samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya. M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam di atas singgasana layaknya raja. S ; Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu salah besar, itu kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di singgasana atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa besar. Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa. M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ? S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemana-mana, tetapi ada di mana-mana. M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih gamblang ? S ; Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam tubuh kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya. 222



M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ? S ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan



tidak



memerlukan



bantuan



dari



sesuatu,



berkuasa,



berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah yang duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat duapuluh itu juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan sehat, punya budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat duapuluh itu, sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur Muhammad. M ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada kenabian lagi ? S ; Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah. Tentu saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad 223



Muhammad. Dari segi lahiriah Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan. Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah meminjam. Jika sudah diminta kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis, busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan kerisnya maka tiada guna. M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ? S ; Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati. Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan. Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku mengajarkan kepada kalian untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya. Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup sesudah itu. Engkau harus memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu hanya 224



kalian rasakan setelah nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan. M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng Syekh ? S ; Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah yang harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu. M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang sesungguhnya ? S ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah, sedangkan akal milik manusia. Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi memakmurkan kepentingan pribadi. 225



M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena manusia diberi akal oleh Allah ? S ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering bersifat dengki, suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya. M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ? S ; Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia. M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling kawula-Gusti ? S ; Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani penuh kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu, sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap manunggaling kawula-Gusti. M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ? 226



S ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian. M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ? S ; Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku menyesatkan karena terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa surga dan neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orang-orang awam menelan mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan badan wadag ketika di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki. M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ? S ; Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang tidak harus menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat merasakan surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada di dalam jiwa kalian. Berada di dalam jiwa setiap 227



manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang lemah, lalu hati menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka, perwujudannya adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa bersalah. Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka. M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ? S ; Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya. M ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah sudah merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti manusia agar tidak berbuat buruk ? S ; Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan, apakah kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini. Karena 228



meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun kalian tak perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari, toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah, namun akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa seperti Tuhan, maka surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan. M ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti sekarang ? S ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak ! M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat kaitannya dengan alam akhirat ? S ; Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta, yang semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa 229



merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu saat kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas jiwa artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika seseorang raganya mati, maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak akan bisa mati atau rusak. M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ? S ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah engkau mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan awal “kehidupan palsu” seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian sejati. M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ? S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah. 230



M ; Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga. S ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa mencegah hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk. M ; Maaf saya belum paham Syekh. S ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain akal dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti raganya didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka berbuat buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena



itu



bagaimanapun



juga



jiwalah



yang



akan



mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya. M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa mau mencegah dan kadang membiarkannya ? S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat menguasai, maka jiwa menjadi 231



terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan. Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya. Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa, maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada. Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga memberi materi yang ringan dan praktis saja. AJARAN



SYEKH



SITI



JENAR



MENURUT



PANGERAN



PANGGUNG “….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu.



Demi kesentausaan hati



menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”



232



“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2). “Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.” 233



“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” . ” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.” 234



“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima 235



taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.” . “Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya



Allah



Tuhan



Yang



Maha



Agung.



Adapun



asma



sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik 236



Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.” “Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.” “Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. . 237



WASIAT DAN AJARAN SYEKH AMONGRAGA ”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat Centini”. Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24): 1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral). 2. Mencegah dan berlebihnya makanan. 3. Sedikit tidur. 4. Sabar dan tawakal dalam hati. 5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan. 6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan. 7. Mengasihi fakir dan miskin. 8. Menolong orang yang kesusahan. 9. Memberi makan kepada orang yang lapar. 10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang. 11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan. 238



12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan. 13. Memberikan minum kepada orang yang haus. 14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta. 15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat. 16. Menyadarkan orang yang lupa. 17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah. 18. Mengasihi dan memuliakan tamu. 19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanakkandung, saudara, dan semua manusia. 20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula “Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di 239



alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.” “Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.” “Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” . JAWABAN KI BISONO TENTANG SEMESTA, TUHAN DAN ROH Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak: “Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan 240



keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.” “Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.” “Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta



pun



hamba



dapat



menyanyikan



juga



dengan



menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.” 241



“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.” “Adapun



pertanyaan



yang



keempat



:



paduka



bertanya



bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitubaytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, alinsanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.” “Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama,



yang



menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.” 242



“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan



apa



yang



dilakukan



para



guru



lainnya.



Mereka



mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolaholah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.” “Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawakrambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa



pada



bulan



Romadan,



yang



dilakukan



dengan



mencegah makan, tiada berharap apapun.” 243



“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan,



gunung-gunung



atau



tepi



samudera



dengan



mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”.



SYEKH SITI JENAR MENURUT KI LONTHANG SEMARANG “Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan,



jadi kalau kamu



shalat



masih



mengiaskan



kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.” “Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di 244



dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?” “Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.” “Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.” “Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”



245



“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!” “Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. . “Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan



zaman



dulu,



jangan



kamu



hancur-leburkan.



Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada 246



keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.” “…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” . KHOTBAH PERPISAHAN SUNAN PANGGUNG “Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.” “Walaupun



dituturkan



sampai



capai,



ditunjukkan



jalannya,



sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan. 247



Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara. Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletihletih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.” “Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram. Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok.



248



Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.” “Manusia,



sebelum



tahu



makna



Alif,



akan



menjadi



berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Duaduanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.” “Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.” “Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh 249



tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” . KEMATIAN DI MATA SUNAN GESENG “Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu



arahnya,



pancaindera



masih



tetap



siap,



segala



kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan anganangan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.” “Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke manamana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.” “Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benarbenar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan



jadi



cermin,



suri



tauladan



bagi



orang-orang



lain. 250



Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” Shalat (tarek dan Daim) Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman



spiritual.



Ketika



seseorang



belum



sanggup



melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi. Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul 251



(manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut



Syekh



Siti



Jenar,



shalat



yang



hanya



sekedar



melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi. Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66). Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini. (Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang



bertanda



kutip



hanyalah



arti



untuk



memudahkan



pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wantiwanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat252



tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempattempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyengunyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat). Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian. Bagi



yang



akan



membuktikan,



siapa



saja



yang



sudah



melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati. 253



Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar). Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya. TIGA PULUH SATU Shalat Subuh Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.” (Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam 254



kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri). Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.” (Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku). Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku alMulku). Seratus kali. Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. 255



Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH DUA Shalat Luhur Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari 256



Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku). Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku alMulku). Seratus kali. Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH TIGA 257



Shalat ‘Ashar Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.” (Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku). Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.” (Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku). 258



Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku alMulku). Seratus kali. Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH EMPAT Shalat Maghrib Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning



259



nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.” (Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku). Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.” (Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku). Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku alMulku). Seratus kali. Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali. 260



Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH LIMA Shalat ‘Isya’ Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.” (Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, 261



shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku). Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.” (Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku). Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali. Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku alMulku). Seratus kali. Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. 262



Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH ENAM “Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat : a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar). b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma). c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah). d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”. e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian). 263



f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”. g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”. h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma). I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian. j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati). k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]). Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil). Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.



264



Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab). TIGA PULUH TUJUH “Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33). Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi. Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang 265



tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendirisendiri. TIGA PULUH DELAPAN “Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang,



kadang-kadang



menginginkan



keduniaan



yang



banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37). Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataanpernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah. Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian. 266



Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyiasiakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan. Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya



adalah



eksperimen



manunggal



dengan



Gusti.



Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin 267



manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad. Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri. TAFSIR MISTIK SYEKH SITI JENAR Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. . Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun. Millah………………………kedudukannya….. ………rasa. Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).



268



Al-hamdu…………………kedudukannya…………



…hidupmu



(manusia). Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya. yawa



dan



al-Rahim…….kedudukannya……………leher



dan



Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n napas. Al-Rahman jakun.



Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada. Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati). Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung. Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut. Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu. Ihdinash………………….kedudukannya……..



……..sentil



(pita



suara). Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah. Mustaqim…………………kedudukannya………



……tulang



punggung (ula-ula). Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak. 269



An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia. ‘alaihim……………………kedudukannya……



………tiangnya



(pancering) hati. Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani. Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu. ‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis. Waladhdhallin……………kedudukannya……….



……mulut



dan



perut (panedha). Amin………………………kedudukannya……. ………penerima. Tafsir



mistik



Syekh



Siti



Jenar



tetap



mengacu



kepada



Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masingmasing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami. 270



Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis)



271



17.



Rasionalisasi, Kisah Syaikh Siti Jenar



Apabila kita membahas mengenai keberadaan, salah seorang wali di tanah Jawa, Syaikh Siti Jenar, seringkali kita menemukan berbagai cerita yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Di dalam salah satu tulisannya, Ustadz Shohibul Faroji Al-Robbani mencatat, setidaknya ada 5 Kesalahan Sejarah tentang Syaikh Siti Jenar, yaitu : 1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sepertinya



hanya



orang-orang



berpikiran



irrasional,



yang



mempercayai ada seorang manusia, yang berasal dari seekor cacing. Syaikh Siti Jenar adalah manusia biasa, beliau dilahirkan di Persia pada tahun 1404M, dengan nama Sayyid Hasan ’Ali AlHusaini.



Ayahnya bernama Sayyid Sholih, yang pernah menjadi Mufti Malaka di masa pemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah.



Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas : “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking 272



cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…. 2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy. Di dalam perjalanan hidupnya, pada tahun 1424M, terjadi perpindahan kekuasaan dari Sultan Muhammad Iskandar Syah, kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru 273



dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad. Maka pada sekitar akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.



Melalui Sayyid Kahfi, Siti Jenar memperlajari Kitab-Kitab seperti Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy. Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.



Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah AlAhadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.



274



3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Sejak kecil Syaikh Siti Jenar berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an di usia 12 tahun.



Dan berdasarkan kesaksian tokoh yang mengenal Syaikh Siti Jenar, beliau diceritakan sebagai Pengamal Syari’at Islam Sejati. 4. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa, di dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah.



275



5.



Beberapa



penulis



telah



menulis



bahwa



setelah



kematiannya, mayat Syaikh Siti Jenar, berubah menjadi anjing. Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, dimana seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh. Dan hal ini, tentu sangat bertentangan dengan teori Biologi Molekuler, dimana seseorang yang lahir dari manusia, maka akan wafat sebagai manusia.



276



18. Syekh Siti Jenar A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar Banyak versi tentang riwayat hidup Syekh Siti Jenar, dan tidak ada yang dapat memastikan tahun kelahirannya, meskipun sebagian dapat menyebut tahun kematiannya. Dari berbagai versi itu, sufi ini diperkirakan hidup di sekitar masa peralihan kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Riwayat hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar telah ditulis dalam beberapa serat/ buku, yaitu: l. Serat Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Ki Sasrawijaya dari Ngijon Yogyakarta. Sebelumnya ia bernama Raden Panji Natarata. Buku ini dijadikan bahan utama oleh Bratakesawa dalam menulis bukunya Falsafah Siti Djenar (1954). 2. Serat Siti Jenar berhuruf Jawa gubahan Mas Ngabehi Mangun Wijaya, terbit tahun 1917. 3. Serat/ buku Syekh Siti Jenar terbitan Tan Khoen Swie, Kediri. Buku ini ditulis dengan dua versi, yaitu versi Jawa dan latin. Versi yang beraksara Jawa terbit tahun 1922, sedang versi latinnya terbit tahun 1931. 277



Serat/ buku Syekh Siti Jenar terbitan Tan Khoen Swie merupakan salinan Harjawijaya atas karya Sunan Giri. Di sampul buku ini ditulis "Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen" (Buku Siti Jenar yang asli). Karena menurut penulisnya, serat/ buku Syekh Siti Jenar ini merupakan koreksi terhadap buku-buku Syekh Siti Jenar yang terbit sebelumnya. Selain itu kisah Syekh Siti Jenar juga terdapat dalam Babad Tanah Jawa, Babad Demak, Babad Cirebon, Suluk Walisongo dan Suluk Syekh Siti Jenar. Ini berarti bahwa telah banyak sumber dan bahan bacaan tentang Syekh Siti Jenar. Karena sumbernya beragam, maka kisah Syekh Siti Jenar juga bervariasi. Dalam kepustakaan Jawa, Syekh Siti Jenar sering juga disebut Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibang, Syekh Sitibrit, dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa nama-nama itu bukan nama-nama yang sebenarnya, tetapi nama-nama panggilan yang dilekatkan pada tempat tinggalnya. Ini juga berlaku bagi para wali yang tergabung dalam Walisongo. Misalnya Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan lain-lain, adalah nama-nama para wali yang bertempat tinggal di Giri, Bonang, Kudus, Gunung Jati, Kalijaga.



278



Juga nama-nama seperti Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, dan lain-lain adalah nama-nama Ki Ageng yang berasal dari tempat-tempat tinggal mereka. Kebiasaan semacam ini tampaknya juga berlaku bagi suku-suku lain, seperti Imam Bonjol adalah tokoh ulama dari Bonjol Sumatera Barat. Tetapi nama Syekh Siti Jenar belum pernah ditemukan tempat tinggal semacam kampung, desa, dan lain-lain tempat yang disebut Siti Jenar. Hanya saja tempat yang disebut Jenar atau Kajenar diduga pernah ada. Sedang daerah yang disebut Lemah Abang juga ada, yaitu terletak antara Bekasi dan Karawang Jawa Barat. Tetapi jelas bukan daerah itu tempat asal Syekh Siti Jenar. Lemah Abang yang merupakan nama lain Siti Jenar diduga terdapat di sekitar Cirebon, Jawa Barat. Tempat yang disebut Lemah Abang juga pernah ada di JawaTengah. Mengenai keberadaan Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang di sekitar Cirebon diperkuat oleh sebuah fakta, yaitu ada sebuah kuburan di Mlaten yang terletak di pinggiran kota Cirebon, yang diyakini sebagai makam Syekh Lemah Abang. Tetapi di daerah ini tidak dikenal nama Syekh Siti Jenar. Tak mustahil Syekh Siti Jenar berasal dari daerah sekitar Cirebon, karena pada masa pemerintahan Islam berpusat di Demak, 279



Cirebon sudah menjadi salah satu tempat atau pusat penyiaran Islam yang penting di Jawa, dengan Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utamanya. Dengan demikian, Syekh Siti Jenar kelihatannya bukan nama sebenarnya, tetapi panggilan sesuai dengan tempat tinggalnya. Ada pula yang mengatakan bahwa kata "Siti Jenar" merupakan salah ucap dari kata Sidi Jinnar. Dalam bahasa Persia (Iran) Sidi berarti tuan dan Jinnar berarti orang yang kekuatannya seperti api. Mengenai suku-bangsa Syekh Siti Jenar ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang Arab, ada yang menyatakan dia orang Persia, dan ada yang berpendapat bahwa dia orang Jawa asli. Menurut legenda atau dongeng yang beredar pada masyarakat Jawa yang biasanya sarat dengan simbolisme, asal-usul Syekh Siti Jenar diceritakan oleh beberapa sumber. Misalnya Bratakesawa yang merujuk kepada Serat Syekh Siti Jenar gubahan Ki Sasrawijaya menceritakan: "Ing serat babad naming kacariosaken nalika Sunan Benang mejang iktikad dhateng Sunan Kalijaga wonten satengahing baita, baitanipun rembes. Baita wau lajeng dipun popok mawi endhut, dilalah endhutipun katutan elur (cacing alit). Amila pun elur saged miring wejangan wau sadaya, lajeng nguwuh satataning jalma. Wusana dipun sabda dening Sunan Benang dados jalma sarta 280



kasukanan nama Seh Siti Jenar, tuwin sinengkakaken saking ngandhap in ngaluhur dados wali". Artinya: "Dalam buku babad hanya diceritakan: pada waktu Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu, perahu itu bocor. Kebocoran itu lantas ditambal dengan lumpur, kebetulan dalam lumpur itu terdapat seekor cacing lembut. Mendengar wejangan atau pelajaran itu si cacing lantas mampu berbicara seperti manusia. Maka cacing itu kemudian disabda oleh Sunan Bonang menjadi manusia, dan diberi nama Syekh Siti Jenar, dan diangkat derajatnya menjadi wali". Kemudian dalam naskah tulisan tangan beraksara Jawa yang tersimpan dalam museum Radyapustaka, yang oleh Sujamto disebut disebut Syekh Siti Jenar R diceritakan: "Nahen wonten wali ambeg luwih, nguni asal wrejid bangsa sudra, antuk wenganing tyas bolong, tarbukaning Hyang Weruh, Sunan Benang ingkang murwani, Tatkala mejang tekad, 281



Muruk mired kawruh, Ring Jeng Sunan Kalijaga, Neng madyaning rawa nitih giyotadi, Siti Bang antuk jarwa". Artinya: "Syahdan ada seorang wali yang hebat, semula berasal dari rakyat kecil, kemudian bisa mencapai diksa, atas tuntunan Yang Maha Tahu, Sunan Bonanglah penyebabnya, tatkala mengajar ilmu, menjelaskan ilmu wirid, pada Sunan Kalijaga, naik perahu di tengah rawa, Siti Jenar ikut mendengar". Syekh Siti Jenar R itu menjelaskan bahwa yang dimaksud Syekh Siti Jenar tercipta dari cacing, seperti cerita Bratakesawa, bukan 282



cacing sungguhan, tetapi Syekh Siti Jenar lahir dari kalangan rakyat jelata (wrejid bangsa sudra). Versi lain tentang asal-usul Syekh Siti Jenar diceritakan dalam Serat Syekh Siti Jenar gubahan Harjawijaya yang hendak mengoreksi serat-serat Syekh Siti Jenar yang ada sebelumnya. Diceritakan: "2. Mankya kang pinurweng ruwi, carita Seh Siti Jenar, jinarwa jinereng maneh, met carita kang sawantah, saking srat Walisana, sanadyan ta nguni uwus, keh sarjana kang ngrumpaka 3. Tataning reh Seh Siti Brit, lir yasan sang kasusreng rat, Ki Sasrawijaya Ngijon, dyan winangun malih marang, Kyai Mangunwijaya, 283



ing kitha Wanarga dunung, ananging sajatinira, 4. Punika maksih nalisir, saking talering ruwiya, dene ta ingkas sayektos mung kang kawrat Walisana, yasanira Jeng Sunan, ing Giri Gajah nunuhun, rikala candra sangkala 5. Ing warsa wawu winilis pandhita misik suceng tyas (- 1457). yeka ingkang salerese, nanging ta para sarjana, kang medhar caritanya, Seh Siti Bang wali luhung, kadya kang kawahyeng ngarsa". Artinya: 284



"2. Ini adalah kisah lama, cerita Syekh Siti Jenar, sekarang digelar kembali, untuk peroleh kisah yang benar, dari Serat Walisana, meskipun dulu sudah, banyak sarjana yang menulisnya 3. PerihaI Syekh Siti Brit, seperti karangan pujangga terkenal, Ki Sasrawijaya dari Ngijon, juga yang digubah kembali, oleh Kyai Mangunwijaya dari kota Wonogiri, tetapi sebenarnyalah. 4. 1tu semua masih menyimpang dari cerita aslinya, adapun yang sebenarnya, 285



hanya yang tercantum dalam Walisana, gubahan Kanjeng Sunan, di Giri Gajah dahulu, pada waktu dengan candra sangkala . 5. Pada tahun wawu dengan candra sangkala, pandhita misik suceng tyas (=1457), itulah naskah yang benar, tetapi para sarjana, menggubah ceritanya, Syekh Siti Bang terkenal, seperti tersebut di muka". Selanjutnya diceritakan: "11. Mangkya esthine kang mamrih, caritane Seh Siti Bang, met babon kang kacariyos, jroning laying Walisana, dadya kang winicara, 286



kacarita duk ing dangu, Kanjeng Sunan Giri Gajah. 12. Adarbe siswa sawiji, saking tanah Siti Jenar, wus kasub sugih kasekten, nama Kasan Ali Saksar, katelah Siti Jenar, iya Sang Seh Luhung, iya karan Seh Lemah Bang. 13. Ya Lemah Bang Lemah Kuning, tan ana prabedanira, Seh Lemah Bang salamine, anunuwun dudunungan, rahsane ngelmu rasa, uger-ugering tumuwuh, nJeng Suhunan Giri Gajah. 14. Dereng lega ing panggalih, 287



wrin semune Seh Lemah Bang, watek wus akeh sikire, marmane datan sinungan, mbok sak-sok mbuwang sasab, ngilangken ling-aling agung, tan anganggo masa kala 15. Tyasira dahat rudatin, sira wau Seh Lemah Bang, anuwun-nuwun tan poleh, rumasa tuna ing gesang, dadya sedya nempuh byat, namur amet momor sambu, atindak karti sampeka". Artinya: "11. Adapun maksud pengarang, cerita Syekh Siti Jenar, mengutip dari sumber asli, 288



yang tercantum dalam Walisana, menjadi cerita ini, tersebutlah di zaman dahulu, Kanjeng Sunan Giri Gajah. 12. Mempunyai seorang murid, dari negeri Siti Jenar, terkenal kaya kesaktian, nama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan Siti Jenar, ya Sang Seh Siti Luhung, ya terkenal Seh Lemah Bang. 13. Lemah Bang atau Lemah Kuning, itu tak ada bedanya, Syekh Lemah Bang telah lama, memohon penjelasan, tentang makna ilmu rasa , dan asal mula kehidupan, Kanjeng Sunan Giri Gajah. 289



14. Belum rela memberikannya, karena tahu gelagat Syekh Lemah Bang, yang suka pada ilmu sihir, mengapa belum diberi ilmu rasa, karena ia suka melanggar aturan, membuka tirai agung, tak mengingat waktu dan tempat. 15. Demikianlah Syekh Lemah Bang, hatinya menjadi amat sedih, karena permohonannya selalu ditolak, merasa hidupnya tanpa guna, akhirnya ia mencari akal, menyamar secara diam-diam, dengan berbagai cara (untuk ikut mendengarkan wejangan Sunan Giri)". Kisah Syekh Siti Jenar juga terdapat dalam Serat Walisana terbitan Tan Khoen Swie atas dasar naskah salinan Harjawijaya tahun 1918. Diceritakan: 290



"Ageng paguronireki, sinuyutan pra ngulama, pan wonten sabat sawiyos, saking tanah Siti Jenar, nama San Ngali Ansar, katelah dununganipun, winastanan Seh Lemah Bang". Artinya: "Besarlah perguruannya (Sunan Giri), dicintai para ulama, adalah seorang muridnya, dari negeri Siti Jenar, bernama San Ngali Ansar, terkenal dari tempat tinggalnya, disebutlah ia Syekh Siti Bang". Pada bait itu dijelaskan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar adalah San Ngali Ansar atau Hasan Ali Ansar. Nama ini adalah nama Arab. Karena itu, timbul dugaan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari negeri Arab dan bukan orang Jawa asli. Ada pula yang 291



mengatakan bahwa nama asli Syekh Siti Jenar adalah Raden Abdul Jalil. Sedang kata "Siti Jenar" diduga nama tempat tinggal atau tempat paguron murid Sunan Giri. Syekh Siti Jenar kadang-kadang juga disebut Syekh Lemah Abang. Kata "Lemah Abang" bukan tempat tinggal, tetapi asal-usul, yaitu lemah abang yang berarti tanah merah. Ada pula yang menyebut tempat tinggal Syekh Siti Jenar adalah Krendhasawa sekitar Jepara Jawa Tengah. R. Tanojo dalam Riwayat Wali Sanga (Babad Djati) menjelaskan: "Ganti kang kacaritakake ing mengko ana sawijining wali ambek luwih, aran Sech Sitijenar iya Sech Lemahbang, dedunung ing desa Krendhasawa, dhek biyen asli wrejid bangsa sudra, oleh wewenganing ber budi kabukaning kawruhe jalaran kawiwitan saka Jeng Susuhunan Benang, iya iku nalikane mejang tekad, muruk mired kawruh maring Jeng Susuhunan Kali Jaga, ana satengahing rawa padha nunggang prau". Artinya: "Berganti yang diceritakan, adalah seorang wali yang amat pandai, bernama Syekh Siti Jenar atau Lemahbang, tinggal di desa Krendhasawa, dulunya berasal dari rakyat biasa, memperoleh anugerah ilahi, dapat menguasai ilmu tertinggi dari Kanjeng 292



Susuhunan Bonang, yaitu pada waktu beliau mengajarkan ilmu wirid kepada Kanjeng Susuhunan Kalijaga di tengah rawa di atas perahu". Selain asal-usul dan tempat tinggal orang yang disebut Syekh Siti Jenar atau yang bernama Hasan Ali Ansar atau Raden Abdul Jalil, juga ada tidaknya tokoh ini masih diperdebatkan. Karena sejarahnya tidak jelas. Misalnya kapan dan di mana dia lahir dan meninggal, siapa ayah dan ibunya, juga siapa isteri dan anaknya kalau ada. Namun terlepas ada tidaknya orang atau sufi yang bernama Syekh Siti Jenar, yang pasti ialah bahwa ada paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa, yang disebut manunggaling kawula - Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Walau paham ini diduga berasal dari sufi Persia, Husein bin Mansur alHallaj, tetapi karena paham ini berkembang di Jawa dengan istilah Jawa, maka diperlukan seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai pembawa ajaran ini di Jawa. Mengenai hal ini seorang penulis tentang Islam di Jawa, Umar Hasyim menjelaskan: "Mereka mengatakan bahwa peristiwa Siti Jenar hanyalah khayalan dan Siti Jenar hanyalah tokoh yang diadakan saja untuk menyatakan pertentangan paham antara tashawuf yang berpaham 293



wihdatul wujud dengan paham tashawuf yang benar-benar menurut sunnah Rasul. Paham wihdatul wujud atau ittihad atau hulul yang dalam falsafah kejawen dinamakan manunggaling kawula - gusti adalah sesat. Tuhan (gusti) adalah manunggal dengan makhluk (kawula), dan tentunya falsafah ini adalah kufur. Maka cerita Siti Jenar diadakan untuk memperingatkan kepada masyarakat bahwa ajaran manunggaling kawula - gusti itu sesat dan membahayakan kepada ajaran tauhid". Sebagai bukti bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham manunggaling kawula- Gusti, Mark R. Woodward mengutip sebuah kisah sufi ini: "Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syekh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jamaah di mesjid. Hal ini bukanlah perilaku seorang yang normal. Syekh Maulana Magribi berpendapat, hal itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah Nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke goa tempat Syekh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke mesjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu bahwa hanya Allah yang ada dalam goa. Mereka kembali ke mesjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan 294



Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke goa dan menyuruh Allah untuk segera menghadap para wali. Kedua santrinya itu kemudian diberitahu bahwa Allah tidak ada dalam goa, yang ada hanya Syekh Siti Jenar. Mereka kembali ke Sunan Giri untuk kedua kalinya, Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang, baik Allah maupun Syekh Siti Jenar. Kali ini Siti Jenar keluar dari goa dan dibawa ke mesjid menghadap para wali. Ketika ia tiba Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa ia diundang ke sini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang doktrin sufi. Di dalam musyawarah ini Syekh Siti Jenar menjelaskan, doktrin kesatuan makhluk, yaitu dalam pengertian akhir hanya Allah yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa digambarkan antara Allah, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri mengatakan doktrin itu benar, tetapi ia meminta jangan diajarkan karena bisa membuat kosong mesjid dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir". Dari percakapan dengan Syekh Siti Jenar dengan Sunan Giri itu terlihat bahwa yang menjadi masalah bukan substansi ajaran Syekh Siti Jenar, tetapi penyampaiannya kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham Syekh Siti Jenar belum boleh 295



disampaikan kepada masyarakat luas, sebab mereka bisa salah paham atau bingung. Apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk Islam, karena seperti dikatakan di muka bahwa Syekh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke-15 M. Percakapan Syekh Siti Jenar dengan Sunan Giri juga diceritakan dalam Buku Siti Jenar terbitan Tan Khoen Swie: "17. Pedah punapa mbibingung, ngangelaken ulah ngelmi, nJeng Sunan Giri ngandika, bener kang kaya sireki, nanging luwih kaluputan, wong wadheh ambuka wadi. 18. Telenge bae pinulung, pulunge tanpa ling-aling, kurang waskitha cipta, lunturing ngelmu sajati, sayekti kanthi nugraha, 296



tan saben wong anampani". Artinya: "17.Syekh Siti Jenar berkata: Untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu?. Kata Sunan Giri: Benar apa yang Anda ucapkan, tetapi Anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya. 18. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup-tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tidak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang". Pada waktu Syekh Siti Jenar masih menjadi murid Sunan Giri, kelihatannya Sunan Giri enggan memberikan ilmu itu kepada Syekh Siti Jenar. Berkali-kali Syekh Siti Jenar memintanya, tetapi Sunan Giri tetap tidak memberikannya, sampai akhirnya Syekh Siti Jenar secara sembunyi-sembunyi mencari kesempatan untuk mendengarkan wejangan Sunan Giri kepada murid-muridnya yang lain. 297



Dengan cara itu Syekh Siti Jenar juga ikut mengetahui ilmu yang diajarkan oleh Sunan Giri dan kemudian Syekh Siti Jenar mendirikan perguruan sendiri dan mengajarkan ilmunya kepada masyarakat luas. Sementara umat Islam saat itu belum siap menerima ajaran semacam ajaran Syekh Siti Jenar, karena masih banyak yang imannya lemah, karena mereka baru pindah dari agama Hindu atau Budha. Karena itu, akhirnya ajaran Syekh Siti Jenar dianggap meresahkan masyarakat luas. Selain itu, Syekh Siti Jenar melawan pemerintah yang sah. Di Pengging ia menghasut Adipati Handayaningrat untuk melawan Sultan Demak. Rakyat Pengging membuat senjata sendiri sebagai persiapan untuk melawan raja dan mendirikan kerajaan baru yang akan menggantikan Demak. Pasukan Pengging kemudian ditumpas ketika gejala kekuatannya mulai muncul. Handayaningrat sendiri terbunuh dalam penyerbuan tentara Demak ke Pengging yang dipimpin oleh Sunan Kudus. Meskipun dengan tentara yang tidak begitu besar, namun taktik yang lihai Sunan Kudus dapat melumpuhkan kekuatan Pangging. Kejatuhan Pengging menyebabkan penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar menjadi terhenti.



298



Kemudian di Cirebon Syekh Siti Jenar menghasut Pangeran Carbon, panglima tentara Cirebon beserta penguasa wilayah untuk melawan dan merebut tahta Cirebon. Seperti halnya Pengging, upaya untuk merebut Cirebon juga gagal. Selain



itu



Syekh



mengembangkan



Siti



paham



Jenar



dianggap



keagamaan



yang



memiliki



dan



aneh,



yaitu



menganggap hidup di dunia ini sebagai siksa, sehingga tindakannya menunjukkan gejala sebagai orang yang tidak tahan hidup. Di tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, pertemuan, dan sebagainya para pengikut Syekh Siti Jenar membuat ulah supaya terjadi perkelahian agar segera menemui ajalnya. Bila mereka berjalan dan berpapasan dengan orang lain tidak mau menyisih agar orang lain marah, dan bila orang lain mengalah mereka menjegalnya agar terjadi perkelahian, dan tidak jarang mereka menggunakan senjata tajam agar cepat mati. Para pengikut Syekh Siti Jenar, pria dan wanita, memiliki tabiat yang sama, yaitu angkuh, suka membuat kegaduhan, merampok dan berkelahi. Bila terjadi kejahatan hampir selalu di situ ada pengikut Syekh Siti Jenar menjadi biangnya. Ketika aparat keamanan menangkap mereka biasanya mereka bunuh diri dalam tahanan. 299



Bila dikorek keterangan dari mereka dengan angkuh mereka menyatakan: "Kami ini adalah murid Syekh Siti Jenar yang sudah banyak mengunyah ilmu. Peduli kata orang lain, hidup di dunia ini hanya menjalani kematian. Kami telah bosan dan jenuh menyaksikan bangkai bernyawa yang bertebaran di sana-sini. Dunia ini hanya dipenuhi mayat”. Mereka mengejek, mengapa orang mati diajari shalat untuk menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan. Karena ulah para pengikut dan murid Syekh Siti Jenar itu, ketertiban Demak menjadi terganggu. Sultan Demak setelah berkonsultasi dengan para ulama kemudian mengutus dua santri yang terpilih, yaitu Syekh Domba dan Pangeran Bayat, untuk bertukar pikiran dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu Syekh Siti Jenar dapat mengatasi kemahiran utusan Sultan Demak, bahkan para ulama saat itu, kecuali Sunan Kalijaga tidak memahami ajaran Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu Syekh Domba justru sangat kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar dan bahkan menyetujui kebenarannya. Ia ingin menjadi muridnya secara tulus kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat. Kedua utusan itu kemudian kembali ke Demak, melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar serta 300



keangkuhan sikapnya. Sultan lalu berembug dengan para ulama untuk



memanggil



Syekh



Siti



Jenar



ke



istana



guna



mempertanggungjawabkan ajarannya. Lima orang diutus untuk menemui Syekh Siti Jenar, yaitu Sultan Ngudung, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pimpinan rombongan. Mereka diikuti oleh 40 santri bersenjata lengkap untuk memaksa Syekh Siti Jenar bersedia datang. Kelima utusan raja itu kemudian terlibat dalam perdebatan sengit dengan Syekh Siti Jenar. Perdebatan ditutup dengan ancaman yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Tetapi Syekh Siti Jenar tetap tidak sudi pergi ke Demak menuruti perintah, karena menurutnya, ulama dan raja tiada beda dengan dirinya yang samasama dibalut darah dan daging yang bakal jadi bangkai. Lalu ia memilih mati, itupun bukan karena ancaman Sunan Kalijaga, tetapi karena



kehendaknya



sendiri.



Syekh



Siti



Jenar kemudian



berkonsentrasi menutup jalan hidupnya dan kemudian ia meninggal. Ini menurut Suluk Walisongo. Kisah tentang peristiwa kematian Syekh Siti Jenar ini berbeda dengan cerita dalam Babad Demak. Menurut babad ini, Syekh Siti Jenar meninggal bukan atas kemauannya sendiri, tetapi karena dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan ke Syekh Siti Jenar hingga tembus punggungnya dan mengucurkan darah kuning. 301



Kemudian menurut Suluk Syekh Siti Jenar, setelah sufi Jawa ini meninggal di Krendhasawa pada tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M), jenazahnya lalu dibawa ke Mesjid Demak, kemudian diletakkan di mesjid, karena saat itu magrib tiba dan penguburan akan dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama kemudian sepakat menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil mengucapkan pujian kepada Tuhan. Kemudian waktu shalat tiba para santri mengerjakan shalat di mesjid. Pada saat itu secara tiba-tiba terciumlah bau yang sangat harum, seperti bau kesturi. Selesai shalat para ulama kemudian memerintahkan para santri untuk keluar dari mesjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada dalam mesjid untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Karena bau harum terus menyengat, maka Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Ketika peti jenazah terbuka jenazah Syekli Siti Jenar terlihat memancarkan sinar bagai rembulan yang indah, lalu muncullah pelangi yang indah memenuhi ruangan mesjid. Dari bawah peti memancar sinar yang sangat terang, seperti siang hari. Dengan cepat para ulama mendudukkan jenazah itu dengan gugup. Para ulama kemudian bersembah sujud sambil menciumi jenazah itu berganti-gantian sampai ujung jari, lalu dimasukkan



302



kembali ke dalam peti, tetapi Syekh Malaya tampak tidak berkenan atas tindakan ulama lainnya. Lalu dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan juga Suluk Walisongo, diceritakan bahwa para ulama telah berbuat licik, yaitu mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing kudisan. Mayat Syekh Siti Jenar sebenarnya dimakamkan oleh para ulama di tempat yang dirahasiakan, kemudian peti jenazah Syekh Siti diisi dengan



bangkai



anjing.



Bangkai



anjing



inilah



yang



lalu



dipertontonkan kepada masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah salah. Diceritakan bahwa kelicikan itu diketahui oleh seorang murid Syekh Siti Jenar yang bernama Ki Luntang, yang datang ke Demak untuk menuntut balas. Diawali dengan perdebatan dengan ulama lalu Ki Luntang datang menjemput kematian. Dengan bersikap seperti gurunya, yaitu berkonsentrasi, lalu meninggallah Ki Luntang di Mesjid Demak. Selain itu ada beberapa versi lain tentang kematian Syekh Siti Jenar. Menurut versi yang dikemukakan oleh S. Soebardi, Syekh Siti Jenar dipenggal lehemya oleh Sunan Kalijaga. Pertama-tama darahnya mengalir berwarna merah, tetapi kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: "Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusannya". 303



Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga dan terdengar kata-kata berikut ini: "Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan Yang Maha Kuasa, ia akan kecewa, karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan". Menurut Babad Tanah Jawa, sebagaimana yang disadur oleh S. Santoso, Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke mesjid. Para ulama takjub karena ia terbang ke surga, tetapi lalu marah, karena badannya kembali ke mesjid. Sunan Giri berkata: "Tubuhnya harus ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar". Syekh Maulana mengambil sebuah pedang dan kemudian menikamnya, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan berkata: "Siti Jenar, kamu berkata, kamu rela mati, tetapi ketika ditikam tidak mempan. Bukankah itu bohong?". Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman, tetapi ia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata: "Itu luka orang jahat, mengapa luka, tetapi tidak berdarah". Dari luka-luka pada tubuh Syekh Siti Jenar seketika keluar darah merah. Syekh Maulana berkata lagi: "Itu luka orang biasa, bukan kawula - gusti, karena darah yang keluar berwarna merah. Darah merah yang keluar mendadak berhenti dan digantikan oleh darah yang berwama putih. Syekh Maulana berkata lagi: "Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Sebetulnya kalau 304



insan kamil betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya berarti kawula -gusti tak terpisah". Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang raib dan darahnya sirna Syekh Maulana lalu membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, kemudian membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada khalayak bahwa karena menolak syariat, mayat Syekh Siti Jenar berubah menjadi seekor anjing. Anjing itu kemudian dibakar. Kemudian ada seorang penggembala kambing murid Syekh Siti Jenar datang menghadap ulama. Ia berkata: "Saya dengar tuantuan telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau hal itu benar lebih baik saya dibunuh juga, sebab saya ini juga Allah. Allah yang menggembala kambing". Syekh Maulana lalu membunuhnya dengan pedang yang sama untuk menikam Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat itu hilang gaib. Kemudian versi Serat Negara Kertabumi lain lagi. Dalam Serat Negara



Kertabumi,



sebagaimana



disunting



oleh



Rahman



Sulendraningrat, dikisahkan bahwa eksekusi Syekh Siti Jenar berbeda dengan versi lain. Seperti juga versi Jawa Tengahan sastra kacirebonan ini menyatakan bahwa para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan



305



kesultanan Cirebon. Beberapa tokoh pengikutnya pernah mencoba untuk menduduki tahta, tetapi semuanya gagal. Ketika Pengging dilumpuhkan Syekh Siti Jenar yang waktu itu menyebarkan ajarannya di sana, Syekh Siti Jenar kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Kekuatan Syekh Siti Jenar di sini menjadi kokoh, pengikutnya meluas ke desa-desa. Setelah Syekh Datuk Kahfi wafat, Sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia, tetapi dia tidak mendapat murid, karena orang-orang telah raenjadi murid Syekh Siti Jenar. Panglima bala tentara Cirebon, Pangeran Carbon adalah seorang pengikutnya. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar dengan aman tinggal di Cirebon Girang. Berita itu terdengar oleh Sultan Demak bahwa musuhnya berada di Cirebon. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus dengan disertai 700 prajurit menuju Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu. Langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, di antaranya ialah Pangeran Carbon, Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuan dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara 306



Cirebon dan Demak bergerak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian dibawa ke mesjid agung Cirebon. Di sana para ulama telah berkumpul. Sunan Gunung Jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang pengadilan memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksakusi itu dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi pada bulan Safar tahun 923 H atau 1506 M. Jenazah Syekh Siti Jenar kemudian dimakamkan pada suatu tempat, lalu banyak orang datang berziarah ke sana. Para peziarah itu datang dari Cirebon, Jakarta, Banten, Parahiyangan dan Jawa Titnur,



dan



bahkan



dari



Semenanjung



Malaya.



Untuk



mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat lain yang dirahasiakan. Sedang di kuburan yang dikunjungi oleh orang-orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam. Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Juwa Timur, kuburnya dibongkar, ternyata yang ada di sana bukan mayat Syekh Siti Jenar, melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan heran tidak mengerti. Ketika itu Sultan Cirebon kemudian mengeluarkan instruksi agar



307



orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan supaya meninggalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Tetapi mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing kalau itu memang fakta yang benar, tidak harus diartikan sebagai penghinaan terhadap Syekh Siti Jenar. Karena walaupun menurut fiqh Syafi'i anjing itu dianggap najis dan haram, tetapi bagi sebagian sufi anjing termasuk binatang yang dihormati. Husein bin Mansur al-Hallaj misalnya sebagai sufi yang dianggap menginspirir lahirnya Syekh Siti Jenar di Jawa, termasuk sufi yang menghormati anjing, sebagaimana yang diceritakan oleh Fariduddin 'Attar: "Suatu hari Syekh Abduliah Turugbadi dari kota Tus menggelar taplak dan makan roti bersama murid-muridnya, ketika Mansur alHallaj tiba dari kota Qasymir berpakaian qaba' hitam, dan menggenggam dua anjing hitam yang dirantai. Syekh berkata kepada murid-muridnya: Seorang lelaki muda yang berpakaian seperti ini akan segera datang, bangkitlah kalian semua, dan pergi temui, karena dia melakukan hal-hal yang besar. Dan mereka keluar untuk menemui lelaki ini dan membawanya masuk. Syekh segera setelah melihat dia memberikan tempatnya kepada dia, (al-Hallaj) mengambilnya, membawa anjing-anjingnya di meja dekat dengan dia. Syekh melihat dia. Dia makan roti dan memberi sedikit kepada anjingnya, yang mengejutkan murid-murid 308



itu. Ketika dia hendak pergi Syekh berdiri untuk mengucapkan salam berpisah kepadanya. Setelah kepulangan al-Hallaj, murid-murid itu bertanya: Mengapa engkau membiarkan orang semacam itu yang makan bersama anjing-anjingnya duduk di tempatnya, seorang pelewat yang kehadirannya membuat seluruh makanan kita tidak suci lagi? Anjing-anjing ini, jawab Syekh, adalah keakuan (nafs), mereka tinggal di luar dirinya dan berjalan di sampingnya, sementara anjing-anjing kita masih berada dalam diri kita dan kita mengikuti di belakang mereka. Inilah perbedaan antara seseorang yang mengikuti dan orang yang diikuti anjingnya. Anjing-anjingnya berada di luar, dan engkau dapat melihat mereka, anjing-anjing kalian tersembunyi. Kedudukannya seribu kali lebih tinggi dari kedudukan kalian. Dia berhasrat untuk berada dalam kehendak kreatif Tuhan, apakah ada seekor anjing atau tidak, dia ingin mengarahkan tindakannya kepada Tuhan". Pada kisah itu anjing digambarkan sebagai simbol karakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena menjadi simbol, maka anjing akrab dengan kehidupan sufi, termasuk al-Hallaj dan bisa jadi juga Syekh Siti Jenar. B. Ajaran Syekh Siti Jenar 309



Sebagian ajaran Syekh Siti Jenar telah dijelaskan di muka, tetapi pada bagian ini akan dijelaskan lagi secara lebih rinci. Ajaran Syekh Siti Jenar meliputi masalah ketuhanan, manusia dan alam. Mengenai Tuhan, tulis Ridin Sofwan, Wasit dan Mundiri, Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa Tuhan adalah roh yang tertinggi, roh maulana yang utama, yang mulia, yang sakti, yang suci tanpa kekurangan. Itulah Hyang Widdhi, roh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi diri manusia. Hyang Widdhi itu tidak di mana-mana, tidak di langit, tidak di utara atau di selatan. Manusia tidak akan menemui meski berkeliling jagad. Roh maulana ada pada diri manusia. Karena manusia merupakan penjelmaan dari roh maulana sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, tanah, busuk, hancur dan kotor. Bila manusia itu mati, maka kembalilah rohnya bersatu ke asalnya, yaitu roh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Ajaran tentang kesatuan roh Syekh Siti Jenar tampaknya ada kesamaannya dengan ajaran Hindu yang mengatakan bahwa manusia adalah diri dari roh universal yang menjadi dasar segala yang ada ini. Roh manusia adalah roh diri manusia yang tidak berubah, tidak bermula, tidak berawal, tidak berakhir, dia tidak lupa dan tidak tidur, yang selalu tanpa terikat dengan rangsangan indera 310



yang melingkupi jasmani manusia sebagaimana disebut oleh Radhakrisnan: "Kita meyakini bahwa pada diri kita ada sesuatu yang melebihi rasa senang dan sedih, melebihi kebajikan dan kejahatan, baik dan buruk, yaitu ada diri yang tidak pernah mati, tidak pernah dilahirkan, kekal dan abadi, maka yang sudah ada sejak sedia kala itu tidak akan ikut rusak dengan hancurnya jasmani. Bilamana si pembunuh mengira ia membunuh atau yang dibunuh mengira ia dibunuh, maka keduanya tidak mengetahui apakah kebenaran itu. Sebab diri itu tidak membunuh dan dibunuh". Dalam Babad Demak ada kesan yang sama tentang persatuan antara roh manusia dengan roh Tuhan. Tetapi bila dicermati ajaran Syekh Siti Jenar, sebagaimana dituturkan oleh babad ini berbeda dengan apa yang disebut dalam Suluk Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar mengaku dirinya adalah Tuhan, karena dia telah bersatu dengan-Nya. Hal itu dapat dilihat ketika Syekh Siti Jenar diundang oleh Sunan Giri untuk bertukar pikiran tentang ajarannya dia menolak dengan kata-kata: "Syekh Siti Jenar tidak bersedia datang bila tidak dengan Allahnya". Utusan Sunan Giri kembali dan menceritakan apa yang dialaminya kepada Sunan Giri. Lalu Sunan Giri memerintahkan utusannya agar mengundang Allah kepadanya, 311



Syekh Siti Jenar menjawab bahwa Allah tidak bisa berjalan tanpa Syekh Siti Jenar. Utusan itu kembali lagi kepada Sunan Giri. Kemudian Sunan Giri memerintahkan agar mengundang Allah dan Syekh Siti Jenar untuk datang memenuhi undangan. Karena panggilan itu bahwa Syekh Siti Jenar adalah Allah dan pada Allah terdapat Syekh Siti Jenar, maka berangkatlah Syekh Siti Jenar menemui Sunan Giri. Babad Demak berhenti sampai di sini mengisyaratkan adanya persamaan roh Tuhan dengan roh manusia. Persatuan antara roh Tuhan dan roh manusia terbatas pada persatuan manusia denganNya, karena Syekh Siti Jenar merasa bahwa dia bersatu denganNya Mengenai pandangan Syekh Siti Jenar tentang manusia, seperti ditulis Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Bagi Syekh Siti Jenar yang disebut jiwa adalah suara hati manusia yang merupakan ungkapan dari zat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Jiwa selain merupakan kehendak Tuhan juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widdhi (Tuhan) itu di dalam jiwa, sehingga badan raga dianggap wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat kekal atau langgeng sesudah manusia mati yang melepaskannya dari belenggu badannya. 312



Sementara itu akal adalah kehendak, angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena selalu berubah-ubah. Selanjutnya Syekh Siti Jenar sering menggunakan istilah “akal” untuk arti yang berbeda-beda Kata "akal” yang juga diartikan sebagai budi eling misalnya di satu pihak dikatakan sebagai pegangan hidup. Kata yang sama juga dipakai untuk maksud "kehendak", "angan-angan", dan "ingatan". Berbeda dengan akal dalam arti yang pertama, akal dalam arti yang kedua ini dipandang oleh Syekh Siti Jenar kebenarannya tidak dapat dipercaya. Syekh Siti Jenar menganggap akal selalu berubah dan dapat mendorong manusia untuk melakukan perbuatan jahat. Mengenai hal ini perlu dikemukakan bahwa terdapat tiga alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu panca indera, akal dan intuisi. Dengan akalnya manusia memikirkan sesuatu, dan dengan inderanya manusia menerima rangsangan yang datang dari luar dirinya. Sementara hanya dengan intuisi manusia melaksanakan shalat, haji, zikir, berdoa, bersemedi dan mawas diri. Syekh Siti Jenar percaya bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas pengetahuan mengenai wahyu bersifat intuitif. 313



Kemampuan intuitif ini adanya bersamaan dengan timbulnya kesadaran dalam diri seseorang. Karena itu, proses timbulnya pengetahuan itu datang bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Inilah sebabnya mengapa Syekh Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan



mengenai



kebenaran



Tuhan



akan



diperoleh



seseorang bersamaan dengan penyadaran diri orang itu. Kemudian Syekh Siti Jenar mempunyai pandangan yang unik mengenai kehidupan dunia. Dia berpendapat bahwa hidup di dunia ini adalah mati. Dikatakan demikian, karena dalam hidup ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga, maka ia senang. Bila manusia bingung, kalut, risih, muak, menderita itu artinya masuk neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup makan dan pakaian, maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan dunia ini hanya sekejap, karena betapapun juga manusia dan sarana kehidupannya akan hancur. Orang yang hidup di dunia ini adalah mayat yang berjalan kian kemari untuk mencari makan dan pakaian, intan permata, dan kekayaan yang menyenangkan jasmani mereka. Ia duduk di kursi yang empuk pada rumah yang bagus, tidak menyadari dirinya, 314



harta kekayaan yang ia miliki di dunia akhirnya akan hancur dan binasa. Namun



begitu



manusia



suka



sombong,



bangga



dengan



kekayaannya, tidak sadar bahwa dirinya adalah bangkai. Tetapi mengapa manusia merasa dirinya mulia dan bahagia? Harta benda memang merupakan sarana kenikmatan bagi panca indera, tetapi kebanyakan manusia tidak sadar bahwa harta benda merupakan penggoda manusia yang menyebabkan ia terikat pada dunia ini. Jadi hidup di dunia adalah derita. Syekh Siti Jenar menyesali kehidupan di dunia, karena ia harus mengalatm derita. Dia berkata: "Aku menyesal sekali dengan hidupku ini. Dahulu aku hidup suci dan tidak dicurigai, namun sekarang tanpa arah dan tujuan, seperti warna hitam, merah, putih, dan entah hijau, atau nila sampai kuning. Wahai kapan aku bisa hidup yang seperti dulu, yang lahir tanpa mati seperti sekarang ini". Dengan mati roh manusia akan kembali kepada asal mulanya, berkumpul dengan roh maulana. Maka susah dan gembira tidak ada lagi, kembali ke alam keabadian. Hidup di dunia ini adalah mati, yang di situ terdapat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan celaka, surga dan neraka. Bahagia dan 315



sempurna campur menjadi satu. Dengan adanya peraturan, maka manusia terbebani sejak lahir. Karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya manusia hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini. Syekh Siti Jenar selalu mengajarkan bagaimana cara mencari moksa. Hidup ini mati, karena mati adalah hidup yang sesungguhnya, maka manusia bebas dari segala derita. Hidup sesudah kematian adalah hidup yang sebenarnya yang bebas dari segala keributan, senang dan susah. Karena hidup nanti hidup yang hakiki, maka hidup sekarang adalah mati. Syekh Siti Jenar mengajarkan konsep surga dan neraka yang berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh para ulama. Surga dan neraka, menurut Syekh Siti Jenar, adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama mengajarkan bahwa surga dan neraka merupakan balasan manusia atas amalnya yang bakal diterima sesudah kematian. Menurut Syekh Siti Jenar orang mukmin telah keliru, karena telah mengerjakan shalat jungkir balik mengharapkan balasan surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak ada. Shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa? Minta rezeki? Tuhan toh tidak memberi lantaran shalat itu. 316



Santri yang menjual ilmu dengan siapapun mau menyembah Tuhan di mesjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi, sore, dan malam untuk memohon agar Tuhan memberi hadiah surga kelak, sehingga orang banyak tergiur oleh omong palsunya, dan orang menjadi gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang-orang telah terbius oleh kebohongan para ulama, sehingga mereka suka berzikir. Orang tidak menyadari bahwa ia adalah darah



dan



daging



yang



bakal



hancur.



Bagaimana



cara



menghindarinya? Meski orang mengerjakan shalat dan berzikir toh akhirnya mati juga. Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa dirinya juga dulu bersujud. Tetapi semakin lama ia menyesal tiada tara. Ada Tuhan dan ada hamba karena kita hidup dalam dunia yang mati. "Jika nanti aku hidup pastilah tidak ada lagi kawula - gusti, hanya akulah yang tinggal hidup kekal, tidak akan mati", demikian katanya Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka sebagai orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup



317



asal hidup, tidak mengerti hakikat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing. Seorang buruh yang membawa beban barang mengantar ke Demak bisa bernyanyi, ia bahagia meskipun tidur di balai keras, hatinya gembira dan lega, itulah surga. Meskipun naik kuda, cukup uang, tetapi hatinya sedih, maka itu neraka. Kehidupan ini telah memberi manusia mana surga dan mana neraka. Ajaran Syekh Siti Jenar yang anti duniawi itu lebih ditegaskan lagi oleh salah seorang muridnya yang bernama Pringgabawa, bahwa murid-murid Syekh Siti Jenar adalah orang-orang yang tidak tertarik sama sekali dengan kehidupan dunia. Mereka selalu mencari kekuatan untuk hidup kelak. Mereka merasa bahwa diri mereka terkurung oleh jasad yang menjijikkan. Karena badan itulah maka manusia merasa lapar dan haus, lalu manusia terpaksa menceri nafkah. Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa siang malam ia menangis, mengingat-ingat, menyesal mengapa lama betul ia terjerat di dunia yang mati ini, bertempalan daging, tulang, berkendaraan kereta, tetapi berpayung sakit. Di atas kasur yang ditiupi angin kipas pun dia merasa badannya kaku, apalagi jika merasakan sakit. Berpikir apapun serta kurang pas. Dunia ini adalah neraka. 318



Menurut Syekh Siti Jenar, para ulama semuanya adalah orang yang suka bangkai. Tubuhnya diberi baju bagus, dibersihkan dengan wudlu lima waktu sehari, padahal jasadnya adalah darah dan daging yang bakal busuk. Mereka juga senang jengkangjengking mengerjakan shalat meminta rezeki agar perut mereka terpenuhi. Tetapi Allah yang disembah tidak memberi apa-apa. Mereka toh harus bekerja keras demi tuntutan dagingnya. Konsep Syekh Siti Jenar tentang surga dan neraka serta pandangan terhadap dunia mirip sekali dengan ajaran Budha tentang dunia, bahwa kehidupan dunia ini adalah derita dan sengsara. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh Budha dan juga Hindu pada saat itu bagi masyarakat masih sangat kuat. Mengenai ajaran Syekh Siti Jenar tentang alam, Bratakesawa menjelaskan: "Dudu budi angen-angen ati, dudu eling pikir, dudu niat, hawa nafas paran dede, suwung lan wang-wung dudu, wandanengsun jisim kawandis, tan wan dadya gustika, bosok mawur lebu, nafasku mendraweng jagad, bumi, geni, banyu angin mulih asli, yeka anyar sadaya. Maksih dereng anyandongi, kekah ngrasa tan kabawah, jer bumi langit sarira, sadaya darbek manira, kula kang suka nama, pratandane duk pukulan, dereng tumutah tan ana". 319



Artinya, Syekh Siti Jenar berkata: "Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampiir debu, napasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusia lah (termasuk Syekh Siti Jenar dan bukan hanya raja) yang memberi nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada". Dengan demikian, Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikromosmos (manusia), sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan. Sedangkan raga adalah bentuk luar jiwa yang dilengkapi panca indra, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman 320



yang suatu saat setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini akan kembali berubah jadi tanah. Gagasan Syekh Siti Jenar yang mencakup masalah ketuhanan, manusia dan alam bersumber dari konsep bahwa manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga berakhir sesudah manusia menemui ajal atau kematian duniawi. Inilah yang menunit Syekh Siti Jenar sebagai terlepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia. Sesudah itu manusia bisa manimggal dengan Tuhan dalarn keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag atau ketubuhan jasmaiiiali ditinggal karena barang baru (hawadits) yang dikenai kerusakan dan semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya, yaitu Tuhan sendiri. Pandangan dan ajaran Syekh Siti Jenar itu sebenarnya tidak berbeda dengan paham yang dianut oleh umat Islam umumnya bahwa alam ini baru dan akan hancur. Tetapi yang berbeda ialah bagaimana menyikapi paham ini. Syekh Siti Jenar mengambil sikap bahwa kita sehanisnya segera meninggalkan dunia ini menuju hidup yang abadi. Sedang umat Islam umumnya berpendapat bahwa kita memang hidup di dunia hanya sementara, dan kita akan menuju hidup yang kekal, yaitu akhirat, tetapi tidak harus meninggalkan urusan dunia, 321



karena manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ini berarti bahwa manusia harus membangun kehidupan dunia ini dengan berpegang kepada ajaran Allah. Inilah perbedaan dasar ajaran Syekh Siti Jenar dengan paham yang dianut oleh umumnya umat Islam, dan ini pula yang membuat ajaran Syekh Siti Jenar senantiasa menarik untuk dikaji.



322



18.



Kisah Syech Siti Jenar



Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]… Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut. 323



Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.



Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan 324



Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil. Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, 325



San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual. Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin 1. Datuk Shaleh bin 2. Sayyid Abdul Malik bin 3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar AlKhan (Gujarat, India) bin 4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin 5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin 6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin 7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin 8. Muhammad



Sohib



Mirbath



(lahir



di



Hadhramaut,



Yaman



dimakamkan di Oman) bin 9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin 10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin 11.



Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin 12. Sayyid Alawi Awwal bin 13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin 14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin 15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin 16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin 17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin 18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin 19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin 20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti (35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin 326



21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin (22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti (23.b) Muhammad SAW (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History



of



Java,



2



vol,



1817),



Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenas, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang. Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi 327



Hikayah al Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai



seorang



ulama



yang



sesat



dan



menyesatkan.



Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau krayakarya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar 328



balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai. Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan



Majapahit.



Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi. Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi.



329



Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng. Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah



Zaenab.



Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati,



dari pernikahan dengan



Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan 330



Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat). Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya,



sedangkan



pamannya



Syeikh



Maulana



Ishak



meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat kerajaan



dan



beliau



berhasil



diketahui pihak



menyelamatkan



kerajaan



Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah. Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur



(Adipati



Wilatikta).



Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara 331



tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah) Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan.



Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo 332



gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda,



Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut,



sehingga secara



intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya



dan



dituduh



menyebarkan



ajaran



sesat.



Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah333



olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang. Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu ‘alaam Oleh: Husni Hidayat el-Jufri Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik.



334



Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asalusul dan sosol Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang



varian



versi



yang



menerangkan



tentang



proses



kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada



masa Sultan Trenggono.



Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar. Versi Pertama Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo. Versi Kedua Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang 335



pelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian



disebut



sebagai



Pasarean



Kemlaten.



Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D Sudjana (alin bahasa pada tahun 1994). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah Yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”. Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki



kelanjutan



yang



hampir



sama.



Sebagaimana



dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman 336



dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja.



Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tibatiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu. Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yang 337



dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan keesokanharinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang.



Dia



datang



ke



Demak



untuk



menuntut



balas.



Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para Wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya,



dia



menyindir



kelicikan



para



Wali



dengan



mengatakan (Sofwan, 2000: 221): “...luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana...” ...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. Tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada...” Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian. Versi Ketiga Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati 338



oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47). Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara Tuhan, manusia dan



alam



(Hariwijaya,



2006:



41-42).



Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula-gusti” dan “Curiga Manjing Warangka”. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al-insan Al-kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat Tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia. Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para Wali, memutuskan bahwa ajaran 339



Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati. Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji saksono,



1995:



61).



Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan. Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun



bubar,



menyembunyikan



diri



dan



sebagian



masih



mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyisembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya. Versi Keempat Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh 340



Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya



kini



berada



di



dalam



surga.



Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218). Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disandur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana kemudian mengambil pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah



dan



menuduh



Syekh



Siti



Jenar



berbohong



atas



pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati. Syekh Siti 341



Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka-luka Syekh Siti Jenar



itu



seketika



keluar



darah



berwarna



merah.



Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna. Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, ”Saya dengar para Wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar 342



penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. (Tebba, 2003: 43).



Versi Kelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon.



343



19.



Benarkah Syekh Siti Jenar anak dari



Sunan Ampel? Merdeka.com - Penyebaran agama Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran besar Walisongo. Namun selain Walisongo, juga



terkenal



sosok



Syekh



Siti



Jenar.



Dialah sosok tokoh Islam yang sangat fenomenal dan kontroversial di Nusantara yang dikenal memiliki ajaran dan kepercayaan 'Manunggaling Kawulo Gusti'. Bahkan kisah Syekh Siti Jenar juga pernah di filmkan. Namun film yang pernah mengulas tentang ajaran hingga matinya Syekh Siti Jenar tidak pernah dijelaskan asal-usulnya.



Dalam kegiatan Borobudur Writer & Cultural Festival 2012 yang digelar di Hotel Manohara, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Magelang, Jateng Selasa(30/10) terungkap bahwa tokoh Syekh Siti Jenar diduga adalah anak dari salah satu tokoh Walisongo



itu



sendiri,



yaitu



Sunan



Ampel.



KH Muhammad Sholikhin yang merupakan penulis buku salah satu di antaranya buku 'Trilogi Syekh Siti Djenar' dengan tegas berani menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang 344



adalah anak dari Sunan Ampel. Hal ini berdasarkan kitab Maktab Da'imi. Kitab tersebut berisi dan menjelaskan silsilah habib dan sayidh dan mengungkap fakta bahwa Syekh Siti Jenar masih sedarah



dengan



seorang



wali.



"Salah satu versi Maktab Da'imi keturunan habib dan sayidh salah satu mengatakan Siti Jenar anak Sunan Ampel Raden Abdul Jalil di Jepara. Abdul Jalil adalah anak dari Abdul Soleh. Beliau punya ajaran berbeda disuruh berjalan ke barat dengan pake nama samaran di Jepara pake nama Abdul Jalil bin Datuk Soleh," ungkapnya.



Secara silsilah atau kekerabatan, Datuk dari para Walisongo Syekh Siti Jenar merupakan keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad SAW.



"Kekerabatan antar Walisongo Datuk Walisongo Syeh Jumadil Kubro yang merupakan keturunan ke-20 rosulullah Muhammad. Siti Jenar, Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrohim keturunan yang ke 23 rosulullah. Selain Maulana Malik ada Raden Sahid alias Sunan Kalijaga ada Raden Paku yang kondang disapa Raden Pakuningrat,"



ungkapnya.



345



Versi lain di Jawa, Siti Jenar tinggal di Cirebon menyebarkan ajaran di Jawa. Maka dia sering dikenal sebagai Ulama Jawani. Beliau yang bisa lakukan Islam Jawani. Islam itu baginya adalah suatu ajaran hakekat digunakan sebagai cara pendekatan kepada rakyat. Prinsipnya, saiki neng kene aku gelem (sekarang di sini aku mau).



Fakta keberadaan sosok Syekh Siti Jenar juga ditemukan dalam beberapa kitab-kitab lain yaitu kitab Kropak Ferarra yang diterbitkan Yayasan Al Fikr di Surabaya kemudian dokumen lain seperti Serat Syeh Siti Jenar, Suluk Syeh Lemah Abang oleh Van Rokl. Kitab serat Syeh Siti Jenar karangan Mangunwijoyo. Serat Syeh Siti Jenar Anonim di Museum Budoyo Sono Surakarta. Kitab wali sepuluh Kraton Karjono,



Serat



Derajat,



di Cirebon.



Namun, bukti-bukti yang ditemukan secara arkeologi sampai saat ini asal-usul keberadaan Syekh Siti Jenar sama sekali belum bisa dibuktikan. Persoalan kontroversi harus bisa pahami sebagai pengalaman sejarah atau sajaroh seperti tumbuhan yang baik.



Kontroversi asal usul Siti Jenar adalah bagian kecil dari Walisongo. Lalu kenapa Syekh Siti Jenar dipandang kontroversi besar? Karena seolah dia seperti dipinggirkan. Yang jelas, keberadaan 346



Walisongo pun juga kontroversi. Syekh Maulana Maghribi sama seperti Siti Jenar diakui ada makamnya di banyak tempat. Di Klaten,



Tuban,



Kedung



Ombo,



Jepara.



Sama seperti Syekh Maulana Maghribi ada di Pantaran, Parangtritis, ada juga di Jatinom. Syekh Jumadil Kubro juga begitu, di Semarang Kaligawe ada, di Surabaya juga ada. Nama-nama beda tapi aliasnya Maghribi. Sebab Ghoib belum dijadikan pembenar dari sejarah. Perbedaan pendapat sejarah sangat memungkinkan.



"Soal Siti Jenar dalam perspektif arkeologipun juga sangat miskin data. Sejarah narasi Walisongo dalam Arkeologi sangat sedikit. Yang sering disebut tokoh wali hanya 9 wali di Jawa. Padahal di Kalimantan, Sumatera banyak ulama-ulama yang jadi misteri sejarah



dari



sekian



banyak



sunan



dan



wali,"



tuturnya.



Keanggotaan Walisongo, sembilan wali dipastikan tidak hidup sejaman. Tidak seperti yang ada di film-film. Film-film itu saat ini menurut Muhammad Sholikhin dianggap hanya sebagai ketoprak. Mereka (Walisongo) berlima hidup di tahun dan di jaman yang lain. Wali istilah dari tiga bahasa kemukaan auliya dalam Alquran 347



kekasih



Allah.



"Wali di Jawa diartikan sebagai pemimpin upacara. Wali juga ada dalam kontek politik atau nagari sebagai pemimpin. Sekian banyak sebut nama orang sangat dini jika kita menyebut sosok Siti Jenar itu tidak ada. Di Serat Gatoloco dan Serat Rebu Kenongo pernah ada orang kemukakan ajaran. Ada juga dugaan Siti Jenar adalah sosok perempuan. Siti di Jawa ada dua versi yang pertama bermakna tanah. Makna Siti yang kedua berasal dari kata arab Syaidati



yang



berarti



tuan



puteri,"



ungkapnya.



Kontroversi asal usul sosok Syekh Siti Jenar terjadi sampai sekarang karena tiga sebab. Pertama, kontroversi terjadi karena catatan sejarah terkait Siti Jenar sangat minim. Kedua, kontroversi terjadi karena berapa peneliti takut untuk masuk dan mendalami karena dibilang sesat. Dan yang ketiga, pengkaburan sosok Siti Jenar dalam cerita berasal dari cacing. Itu hal yang salah dalam film



Walisongo



itu.



"Dia manusia yang bertempat tinggal di Lemah Abang. Sesuai yang ada dalam Serat Abang. Persoalan kontroversi harus bisa pahami sebagai pengalaman sejarah atau sajaroh seperti tumbuhan yang dibiarkan berkembang dengan baik," pungkas 348



Sholikhin.



Sementara, Kyai Ngabei Agus Sunyoto penulis buku 'Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar (LKiS 2004) menyatakan bahwa kontroversi Siti Jenar dalam sejarah Walisongo muncul berbagai perspektif Kontroversi



pemahaman Syekh



Siti



dan Jenar



keyakinan dalam



di



masyarakat.



Walisongo



sering



dipertentangkan dan diperselisihkan. Ada yang menganggap Siti Jenar bagian dari walisongo secara utuh. Sebagian menyebutkan nama bahwa Siti Jenar bukan bagian Walisongo tetapi musuh.



"Ada yg menyebutkan bahwa Siti Jenar pernah jadi Walisongo lalu dipecat dan diganti Sunan Tembayat. Namun di sisi lain ada beberapa model hubungan Walisongo," ucap Agus Sunyoto pendek. [hhw]



349



21. KONTROVERSI BIOGRAFI SYEKH SITI JENAR DAN AJARANNYA Antara



I. A.



Sastra



Jawa



dan



Kutub



al-Shakhra’



PENDAHULUAN Serba-Serbi Kontroversi tentang Walisongo



Kontroversi dalam sejarah adalah sebuah keniscayaan. Ia adalah sesuatu yang bersifat lumrah. Justru sejarah itu akan terbangun secara kokoh dengan adanya kontroversi yang melingkupinya. Apalagi terbentuknya sejarah itu memang bisa berangkat dari fakta sejarah itu sendiri. Namun bisa jadi kemudian dari fakta yang ada masuk apa yang diebut sebagai legenda atau hikayat dan sebagainya, yang memperkaya fakta sejarah atau analisis sejarah. Terkadang sejarah pada awalnya berangkat dari legenda dan hikayat, baru setelah ditemukan dan didukung dengan fakta dan fdata yang ada, jadilah ia disebut sejarah. (Ini sejalan dengan kata “sejarah” yang dikembangkan dari bahasa Arab “Syajarah” [pohon]). Dari segi keagamaan sendiri kontroversi disebut oleh pepatah Arab (yang sering disebut sebagai hadits Nabi) sebagai “rahmat” dari Tuhan, yang membuat kita kaya akan informasi dan bukti. “al-Ikhtilafu ummati rahmatun”, kontroversi dikalangan ummatku 350



adalah rahmat. Dalam budaya bangsa kita kontroversi dan aneka perbedaan yang ada adalah simpul pembentuk kebhinekaan kita. Menurut al-Qur’an (Qs. Al-Hujurat/49: 13), kontroversi dan aneka perbedaan yang ada adalah agar masing-masing saling berta’aruf (saling mengenal dan memperkaya pengetahuan). Uniknya kata yang dipakai adalah “’arafa”, bukan “li-ta’alamu” (saling mengetahui). Perbedaan bukan sekjedar untuk diketahui, namun untuk dikenal sehingga akan semakin mempererat kerukunan dan poengetahuan, agar saling menghargai berbagai dimensi perbedaan yang ada. Inilah salah satu esensi ajaran agama, yang sangat harmonis dengan tradisi budaya kita sebagai bangsa Indonesia. Kontroversi yang melingkupi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari kontroversi sejarah Walisongo, dan sebuah noktah kecil kontroversi dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia, juga sebuah titik kecil kontroversi asimilasi budaya bangsa kita dengan berbagai agama, budaya yang berdatangan di negeri kita. Contohnya adalah kontroversi tentang asal mula kata Walisongo: Wali + songo, Wali-sana, wali-sangha dan sebagainya. Dari kontroversi nama ini, kemudian berkembang menjadi kontroversi jumlah Walisongo, posisinya dalam negara dan agama, namanama mereka, asal-usulnya dan sebagainya. Kontroversi sejarah 351



daqkwah Islam juga terjadi dalam banyak dimensi, seperti sejak kapan dakwah terjadi, siapa saja pelaku dakwah yang betrposisi sebagai perintis dakwah, pelanjut, pewaris dan generasi penerusnya kemudian, dan bagaimana hubungan antar generasi sehingga dakwah Islam menjadi betrkelanjutan. Bagaimana juga perkembangan pelaku syi’ar dakwah Islam yang semula dilakukan orang-orang Timur Tengah, Cina, dan India, lalu diteruskan oleh ulama-ulama pribumi, yang akhirnya dari Indonesia sendiri muncul ulama-ulama berkelas internasional. Masing-masing tokoh pelaku sejarah di Indonesia juga memiliki kontroversinya sendiri-sendiri. Termasuk semua ulama Walisongo, semuanya diliputi oleh kontroversi. Contoh: tokoh Sunan Kalijaga. Dari nama dan julukan saja sudah memunculkan banyak pertanyaan. Mengapa para ulama Islam zaman itu digelari Sunan atau Susuhunan, juga mengapa diberi gelar Wali? Maksudnya apakah wali dalam konteks keagamaan ataukah dalam kmonteks politik (auliya, atau wali-nagari)? Mengapa sebagian menggunakan istilah Sunan, dan sebagian lainnya Syekh? Lalu yang sezaman dengan Walisongo era Demak, mengapa yang terkenal dengan sebutan “Syaikh” lebih dilekatkan kepada Siti Jenar? Yang justru warisan ajarannya banyak diapresiasi orang Jawa (selain Sunan Kalijaga tentunya)? Nama Kalijaga itu istilah apa? Seseorang yang “menjaga kali/sungai” 352



dengan jalan bertapa, atau karena ia berasal atau juga pernah tinggal lama di Kalijaga Cirebon, atau dari istilah “Qadhi-Dzakka” atau yang lain? Apakah ia orang Jawa, Cina, Arab, atau Jawa keturunan Arab dan atau Cina? Tokoh walisongo lain, yang bukan termasuk obyek ziarah utama makam 9 wali, Syaikh Maulana Maghribi misalnya. Siapakah dia sebenarnya? Apakah maghribi berarti “arah kulon” yang di Arab, atau dari Maroko? Lalu bagaimana hubungan antara Syaikh Maulana Ibrahim al-Maghribi yang di Pantaran dengan Maulana Maghribi di Parangtritis dan juga dengan Maulana Maghribi “Sunan Gribik”? Adakah mereka itu sebenarnya satu orang, atau memang tiga sosok yang berbeda? Kalau mereka sosok bertiga, apa hubungan mereka dan kapan datangnya? Memang secara “ghaib” diketahui bahwa mereka adalah sosok yang berbeda. Sama halnya dengan Syakh Jumadil Kubro yang dimakamkan di Kaligawe-Semarang, di bukit gunung Turgo Sleman, di Trowulan Mojokerto, serta di Gowa Sulawesi, siapakah mereka? Secara ruhani mereka memang memiliki nama yang berbeda. Namun persoalanya, bahwa bukti “ghaib” belumlah diakui sebagai data sejarah yang valid secara akademis. Demikian juga bahwa hikayat, legenda, cerita rakyat dan sejenisnya belum banyak diakui sebagai pintu gerbang analisa sejarah. Kita sering terjebak bahwa sesuatu diakui sebagai fakta sejarah, jika salah seorang 353



ilmuwan Barat sudah menyebutkannya dalam buku-buku mereka. Kita kadang kurang atau tidak berani mengatakan sesuatu sebagai fakta sejarah secara independen. Inilah yang juga menjadi salah satu faktor adanya kontroversi dalam sejarah kita sendiri. Contoh kontroversi lain adalah sosok Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Bagaimana posisinya dengan kerajaan Majapahit? Bukankah ia menjadi seorang pemuka agama sekaligus sebagai pemuka politik Gresik karena “anugerah” Prabu Wikramawardhana? Apakah ia hanya sekedar pendakwah yang tidak memiliki hubungan dengan sang Raja Majapahit? Apakah tidak mungkin ia telah menjadi salah satu penasehat Raja Majapahit yang berlainan keyakinan itu? Lalu bagaimana kisah Pangeran Kertawijaya (Brawijaya) yang pernah menjadi murid Sunan Gresik itu menempatkan diri sebagai bangsawan Majapahit, sekaligus sebagai murid seorang Sunan? Demikian juga halnya dengan Prabu Kertabhumi Brawijaya V, bahwa ia adalah telah sedemikian “dekat” dengan Islam. Tentu ini menyediakan lahan kmontroversi yang demikian banyak. Belum lagi kenyataan bahwa salah satu mata uang Majapahit adalah koin emas bertuliskan syahadat. Juga adanya makam para wali Islam di tengah pusat kerajaan Majapahit yang salah satu angka nisannya adalah abad ke-9 M (makam Syaikh Zainuddin). 354



Kontroversi lagi di seputar Walisongo. Ada tokoh Ki Ageng Kebo Kenongo atau Ki Agewng Pengging Anem, dan Ki Ageng Kebo Kanigara. Mereka dicap kafir karena berseberangan dengan politik Demak. Namun bukankah terdapat kenyataan bahwa mereka berdua adalah pernah menjadi santri Sunan Ampel, dan dilanjuytkan nyantri kepada Sunan Bonang? Karena cap “pemberontak Demak” ini, maka tokoh Ki Ageng Pengging sampai saat ini tidak diakui sebagai salah satu pendiri dan pembangun wilayah Boyolali (bekas Kadipaten Pengging), walaupun memang kata Boyolali kisahnya diambil dari perjalanan Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Tembayat. Namun saat itu wilayah yang dilewati Sunan Tembayat adalah bagian dari wilayah Kadipaten Pengging. Penulisan sejarah dakwah Walisongo itu sendiri sebenarnya mengalami kemandegan, dengan 9 tokoh utama yang sekarang menjadi obyek ziarah. Namun kehadiran wali-wali yang lain kurang mendapat perhatian dari segi penulisan sejarah, yang tentu saja akan memperkaya dan menjadi gerbang rekonstruksi sebagian sejarah bangsa kita. Contoh tokoh Syaikh Subakir, Syaikh Maulana Syamsu Zain, Syaikh Isma’il Mbah Bangil, Syaikh Syamsuddin Pangeran Makkah (Syaikh Washil Kediri), Sunan Rahmat di Garut (Raden Walangsungsang), Syaikh Datuk Kahfi, Sunan Nyamplungan di Karimunjawa (Raden Amir Hasan), Syekh 355



Bentong, Syaikh Quro, Sunan Lawu (Raden Kertabhumi), Sunan Mojoagung (Sayid Sulaiman), Sunan Mbejagung, Sunan Kuning Semarang, Sunan Panggung (Syaikh Wali Jaka) Kendal, Mbah Panggung di Tegal, Sunan Katong Kaliwungu Kendal, Mbah Machdum Ali murid Sunan Giri di Banyumas, Sunan Ngerang Lasem, Raden Santri Pandeglang (Syaikh Maulana Muhammad Shalih), Maulana Malik Isra’il Gunung Santri, Raden Santri Ali Muretadhga Gresik, Raden Santri Gunung Pring Magelang, Kyai Babeluk (Belukan Laweyan Solo), Syaikh Saridin Jangkung dan sebagainya yang jumlahnya ratusan ulama dan wali, apalagi jika dihitung sejak abad ke-8 M sampai dengan abad ke-18 M. Di Komplek makam Troloyo terdapat nama-nama penyebar Islam, baik sebelum maupun semasa dengan Walisongo seperti: Sayid Utsman Haji Sunan Ngudung, Sayid Husein wa Imamuddin Shofari Tralaya, Syaikh Tan Kim Han Abdul Qadir Tsani Tralaya, Syaikh Maulana Syekhah, Syaikh Maulana Ibrahim Tralaya, dan Ahlu Maqbaratussabi’ah Tralaya, yang dalam nama-nama Jawa yang dipampang pada peta makam dikenal dengan sebutan Noto Suryo, Noto Kusumo, Gajah Permada, Sabdo Palon, Naya Genggong, Mban Kinasih. Padahal pada nisan mereka jelas terdapat ukiran-ukiran bertulis Arab, seperti nama-nama Syaikh Zainuddin dan sebagainya. Tentu usia pencantuman nama pada papan peta makam dengan ukiran nisan (sebagian hilang dicuri), 356



lebih tua yang di batu nisan yang berangka tahun abad ke-14 awal. Belum lagi ulama-ulama yang memakai gelar Ki Ageng dan Panembahan, misalnya Ki Ageng Henis, Ki Ageng Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Butuh, Penembahan Yusuf, Penembahan Juminah dan sebagainya. Juga gelar Kyai atau Ki, misalnya Ki Yosodipuro atau Ki Ronggowarsito dan sebagainya. Ada juga ulama-ulama atau wali-wali wanita seperti Nyai Fathimah binti Maimun, Nyi Ageng atau Gedhe Pinatih dan sebagainya. Maka tugas kita untuk membahas aneka kontroversi tentu tidak hanya berhenti pada kontroversi Syekh Siti Jenar yang sudah melegenda itu. Tugas kita masih sangat banyak. Yang harus dipahami juga, bahwa kontroversi tidak akan pernah terhenti dengan ditemukannya fakta sejarah sekalipun. Karena apa yang disebut fakta sejarah juga melibatkan aneka penafsiran, anggapan dan sejenisnya. B.



Tentang Keanggotaan Walisongo



Kita berangkat dari kisah tentang kasus pengadilan Syaikh Siti Jenar yang tersebut dalam literatur-literatur klasik, seperti Serat Negara Kertabumi, Babad Demak, Suluk Walisongo, maupun Suluk Syekh Siti Jenar, dimana Syaikh Siti Jenar berposisi sebagai ”terdakwa”, dan Walisongo berposisi sebagai hakim. Jika semua kisah memang terjadi, berarti ada tiga kali pengadilan atas 357



Syaikh Siti Jenar, yakni pengadilan oleh Sunan Giri, dan dua kali pengadilan dimana Walisongo diketuai oleh Sunan Bonang. Sayangnya dalam berbagai serat, suluk dan babad tersebut terdapat satu hal yang kurang tepat. Yakni bahwa dalam penuturan sumber-sumber tersebut Walisongo yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh besar Walisongo, yang digambarkan hidup dalam satu zaman. Padahal, tokoh-tokoh besar Walisongo tidaklah hidup dalam satu periode zaman saja. Maulana Malik Ibrahim misalnya, berdasarkan tulisan pada batu nisannya wafat tahun 1419 M, Sunan Ampel wafat tahun 1481 M, Sunan Drajat dan Sunan Bonang (wafat tahun 1525 M) adalah putera Sunan Ampel, Sunan Kudus wafat tahun 1550 M, dan Sunan Gunung Jati misalnya wafat tahun 1570 M. Justru dari sumber-sumber sejarah yang tidak tepat itulah sejarah Islam Indonesia kemudian dibuat. Termasuk juga dalam bukubuku pelajaran sekolah sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sejarah Islam di Indonesia hanya mengekspos tokoh 9 wali besar yang menjadi anggota dewan Walisongo. Padahal sampai pada masa runtuhnya kesultanan Demak saja, sudah terdapat lima kali periode Walisongo, dengan anggota utama 21 wali besar, di samping para wali-wali nukba (pembantu wali utama) yang bertugas di berbagai wilayah. Demikian juga pada sajian-sajian sinematografi dari kisah para 358



wali, sejak masa keemasan film-film Walisongo di tahun 19841987 sampai pada masa-masa memuncaknya sinetron laga bernuansa religius tahun 2005 hingga dewasa ini, penokohan para Walisongo masih mengacu pada sumber yang tidak tepat di atas. Sajian-sajian dalam berbagai literatur tersebut tidak pernah didasarkan pada hasil penelitian yang valid, namun hanya bersandarkan pada tradisi kisah yang sudah ada, di samping hanya dalam kerangka menuruti kemauan konsumen, yakni enak dibaca dan enak ditonton saja. Boleh jadi, semangat semacam itulah yang membuat, dalam film-film Indonesia, para wali yang berjumlah sembilan itu bisa-bisanya dipertemukan. Kesembilan wali Allah itu digambarkan hidup pada zaman yang sama, bercakap serta hadir dalam majelis yang sama. Padahal, ketika Sunan Bonang lahir, misalnya, Sunan Ampel sudah berusia 64 tahun. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ketika Sunan Gunung Jati lahir, Sunan Gresik –alias Maulana Malik Ibrahim– sudah wafat 29 tahun sebelumnya (lihat pula penuturan majalah Gatra, edisi khusus lebaran, No. 05-06, Kamis, 13 Desember 2001). Jadi, sebenarnya tidak benar jika disebutkan bahwa Walisongo hanya terdiri dari sembilan tokoh. Menurut data penulis, terdapat tidak kurang dari 33 tokoh yang pernah menjadi anggota dan 359



wakil dalam dewan Walisongo, sejak zaman akhir Majapahit, sampai masa awal berdirinya kesultanan Mataram, sebagai kelanjutan dari kesultanan Demak dan Pajang. Kalau kemudian dewan dan lembaga tersebut disebut sebagai “Walisongo”, bukan berarti bahwa jumlah Walisongo hanya sembilan. Akan tetapi, hal tersebut merujuk pada dua hal. Pertama, jumlah sembilan mengacu pada wali pokok atau wali utama yang berjumlah sembilan orang pada setiap periode penetapan, dan akan selalu mengalami perubahan pada periodeperiode berikutnya, baik karena wali yang digantikan meninggal dunia, atau berpindah kewarganegaraan (berpindah wilayah dakwah di luar nusantara), atau karena sebab lain. Kedua, bahwa jumlah sembilan pada dewan wali atau angka sembilan pada Walisongo erat kaitannya dengan dasar klasifikasi yang bersifat mistik, bahwa makna angka sembilan itu sendiri dianggap keramat, baik bagi orang Islam sendiri maupun masyarakat Jawa pra Islam. Sementara bagi masyarakat Jawa Hindu sembilan terdapat anggapan bahwa Walisongo merupakan pengganti dewa mata angina Hindu yang berjumlah sembilan. Dalam sistem kepercayaan Hindu yang berabad-abad telah menjadi agama besar di Jawa, setiap arah mata angin dijaga oleh seorang dewa. Arah utara (kuwera) dilindungi Dewa Wisnu, timur (indra) oleh Dewa Iswara, timur laut (icana) oleh oleh Dewa 360



Sambu, tenggara (agni) oleh Dewa Maheswara, selatan (kama) oleh Dewa Brahma, barat daya (surya) oleh Dewa Rudra, barat (varuna) oleh Dewa Mahadewa, barat laut (vayu) oleh Dewa Cangkara, dan sebagai pusat (ciwa) oleh Dewa Syiwa. Kesembilan arah mata angin dan dewa tersebut digantikan oleh kesembilan wali sebagai penjaga yang melindungi masyarakat serta agama Islam, sebagaimana dahulu sembilan dewa menjaga masyarakat Hindu. Dengan demikian jelas bahwa jumlah sembilan wali utama dalam dewan Wali di Demak adalah suatu strategi politik dan budaya, agar masyarakat Jawa dapat dengan mudah menerima ajaran kesembilan wali yang dibentuk oleh pemerintahan Demak. Hal ini wajar terjadi, karena sebagian anggota para wali adalah ahli politik dan ahli strategi budaya masyarakat. Apalagi jika kata walisanga dihubungkan dengan istilah murni bahasa Jawa kuna. Istilah ”wali” yang terkait dengan orang atau tokoh memiliki makna sebagai ”orang yang ditugasi memimpin upacara ritual” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1376). Sedangkan kata ”sanga” jika berasal dari tulisan ”saŋa” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1018) artinya sembilan (sering dikelirukan sebagai ”sana”). Namun jika kaitannya dengan ”pemimpin ritual keagamaan” tersebut, bisa juga kata ”sanga” terkait dengan kata ”saŋgha” (yang dibaca sangha), yang makna asalnya adalah 361



”persaudaraan para biku” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1020). Jika demikian halnya maka walisanga maknanya adalah ”perkumpulan persaudaraan para pemimpin keagamaan”, atau sejenis dengan dewan ulama dan dewan wali (auliya’). Jumlahnya bisa 8 atau 9 atau juga lebih, dalam setiap periodenya. II.



KONTROVERSI DALAM RANAH BIOGRAFIS



A.



Kontroversi Gelar: Sunan atau Syaikh?



Kisah para penyiar agama Islam awal di Indonesia, yang dikenal sebagai Walisongo, termasuk Syekh Siti Jenar, sampai saat ini masih banyak diselubungi oleh mitos dan misteri. Hal tersebut, bukan karena sulitnya sumber sejarah yang bisa digali, karena sumebr-sumber yang tersedia sebenarnya cukup melimpah. Namun lebih disebabkan karena “kemalasan” penelitian dan penggalian sejarah dari bahan yang tersedia tersebut. Kenyataannya karena memang lebih mudah merujuk pada karya asing, apalagi yang sudah diterjemahkan, daripada bersusah payah menggali dari sumber lokal yang masih berbahasa kuno. salah satu akibatnya adalah informasi tentang pelaku sejarah dakwah Islam di Indonesia dipenuhi oleh kesimpangsiuran dan kontroversi yang cukup banyak. Kesimpangsiuran informasi mengenai Syekh Siti Jenar 362



khususnya dan para anggota dewan Walisanga pada umumnya disebabkan oleh tradisi menulis dari bangsa Indonesia yang kurang. Utamanya pada masa kerajaan Demak, budaya tulis jarang didapatkan. Ajaran-ajaran para wali, termasuk Syekh Siti Jenar yang tertulis dalam berbagai babad, serat, dan suluk merupakan hasil serapan dan tuturan dari para pewaris ajarannya di kemudian hari. Sebagian memang murni ditulis secara independen. Sebagian lagi dibuat untuk memenuhi pesanan penjajah Belanda, yang kemudian dijadikan bahan penelitian para sarjana Eropa. Hasil penelitian mereka di”pasar”kan kembali kepada publik Indonesia. Pada zaman Demak (abad ke-16), baru ditemukan dua naskah yang ditulis dalam era tersebut. Naskah Jawa-Islam ini terdapat dalam pembahasan ahli Belanda yang di sebut sebagai Het Boek van Bonang (Kitab Suluk Sunan Bonang) dan Een Javaans Geschrift uit de 16e Eeuw (Primbon Jawa abad ke-16). Dalam karya sastra Jawa-Islam zaman Demak ini, istilah “Walisanga” belum atau tidak didapatkan sama sekali. Demikian juga gelar ”Sunan” belum ditemukan, justru yang sudah ada adalah gelar ”Syaikh” (Guru Besar agama). Menurut kajian Dr. Simuh (2003; 69), Buku Sunan Bonang masih bergaya pesantren, yakni mempertahankan ajaran ortodoksi Islam yang menentang “penyimpangan”. Inti ajarannya adalah 363



apa yang disebut sebagai “pituturnya Syaikh Bari.” Jadi istilah yang digunakan adalah “guru” atau “Syaikh”, bukan istilah “sunan” seperti yang muncul dalam sastra jawa baru produk Kartasura dan Surakarta. Jadi istilah “sunan” dan “walisanga” baru ditemukan dalam karya sastra jawa baru era Kartasura dan Surakarta akhir abad ke-17 dan abad ke-18. Sementara bahasan yang digunakan dalam berbagai babad, serat, dan suluk yang menceritakan Walisanga, bukan bahasa jawa zaman Majapahit dan Demak. Namun kebanyakan berbahasa Jawa baru versi Surakarta. Bahkan, menurut Dr. Rasyidi (1977), yang mengkaji serat Gatholoco dan Darmagandul yang mengisahkan zaman peralihan dari Majapahit ke Demak, ternyata sudah ada istilah polisi, kelah dan sebagainya, di mana istilah-istilah tersebut baru muncul pada abad akhir ke-17. Jadi –menurut Dr. Rasyidi- cerita yang terdapat dalam serat tersebut merupakan hasil rekaan zaman penjajahan Belanda di Surakarta. Memang salah satu efek dari “ketundukan” kerajaan Surakarta kepada Belanda adalah penetrasi besarbesaran di bidang karya sastra, hasil penelitian para sarjana Belanda yang disosialisasikan di kerajaan Surakarta, Kartasura, dan Yogyakarta. Sementara sampai saat itu, kerajaan masih memegang kendali kebudayaan atas masyarakat. Sementara itu, episode kisah Syekh Siti Jenar yang ditampilkan 364



dalam berbagai naskah kuno umumnya hanya terdiri dari bagianbagian: a.



Pertemuan para wali untuk membicarakan hakekat Tuhan.



b.



Perdebatan para wali dengan Syekh Siti Jenar tentang



hakekat Allah. c.



Pemanggilan Syekh Siti Jenar oleh para wali, dan



d.



Hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar, yang dijatuhkan



oleh para wali, atas idzin Sultan. Umumnya, bagian-bagian yang lain didapati tercecer dalam berbagai naskah, yang saling melengkapi. Atau juga hanya ditampilkan secara tersirat dan tersamar dalam naskah-naskah yang ada. Sehingga masih memerlukan kerja besar untuk merekonstruksi biografi dan skema ajaran menyeluruh dari Syekh Siti Jenar. Dari sedikit gambaran tersebut, nampak juga bahwa deiantara gelar Sunan dan Syaikh, walaupun sekarang dominan gelar ”Sunan”, akan tetapi sejak awal perkembangan Islam di Jawa, gelkar ”Syaikh” lebih lazim dan lebih dulu hadir dalam khazanah sejarah dakwah di Indonesia. Konon gelar ”Sunan” pertama kali diberikan kepada Syaikh Maulana Malik Ibrahim menjadi Sunan Gresik oleh Panglima Cheng Ho, serwaktu berkunjung ke Majapahit. Salah satu jasa besar Sunan Gresik adalah terbentuknya komunitas muslim di tengah Ibukota Praja 365



Majapahit. Sejarawan R. Soekmono memaparkan hasil penelitian Louis Damais, yang telah berhasil menemukan angka pasti tahun 1368 M, yakni pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bahwa pada tahun tersebut di pusat ibukota Majapahit sudah ada kelompok masyarakat beragama Islam, tepatnya di bagian selatan kota (sekarang di desa Tralaya). Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai unsur budaya telah meresap dan diterima dalam masyarakat yang masih bercorak Hindu. Kehadiran Islam tanpa mendatangkan gejolak sedikitpun. Corak dakwah yang demikian ini rupanya yang kembali dilakukan oleh Syaikh Siti Jenar. Akan tetapi sebelum kehadiran Sunan Gresik, di Indonesia sudah terlebih dahulu hadir para masyayikh seperti Syaikh Maulana Syamsu Zain dan sebagainya. Tokoh Siti Jenar ternyata lebih dikenal sebagai ”Syaikh” daripada sebagai ”Sunan”. Ini menunjukkan bahwa memang kehadiran Syaikh Siti Jenar sebagai salah seorang wali penyebar Islam di Jawa memiliki posisi yang penting dan dominan. Selain itu, gelar ”Syaikh” tersebut mengindikasikan tentang darimana asal-usul leluhur Syaikh Siti Jenar, atau paling tidak darimana beliau memperoleh ilmu keagamaannya, walaupun beliau sendiri kemudian telah menjadi orang Jawa yang ”Njawani”.



366



B.



Syaikh Siti Jenar: Mitos atau Realitas?



Kontroversi tentang sosok Syaikh Siti Jenar yang sangat urgen untuk dikemukakan adalah, apakah Syaikh Siti Jenar merupakan tokoh nyata atau hanya rekaan? Kelemahan paling pokok tentang masalah ini adalah, bahwa Syaikh Siti Jenar tidak meninggalkan naskah tertulis tentang beliau sendiri maupun tentang ajarannya. Namun sebenarnya para Wali penyebar islam di Indonesia kebanyakan juga tidak meninggalkan karya tertulis. Yang diketahui atau diduga meninggalkan karya tertulis baru Sunan Bonang (Het Boook van Bonang), Syaikh Ibrahim al-Samarqandi (Suluk Ngasmoro), Sunan Kalijaga (Serat Dewaruci, Suluk Linglung, Suluk Kakiwalaka). Dengan demikian maka alasan tersebut tidak bisa dijadikan alasan bahwa Syaikh Siti Jenar hanyalah tokoh mitos. Selain itu, jika tokoh-tokoh sekaliber R.Ng. Ranggawarsito menyebutkan tentang beberapa wali penyebar Islam, termasuk tokoh Sunan Kajenar, tentulah tokoh yang disebut tersebut memang pernah ada. Sebagaimana banyak disebutkan, bahwa sebagian penulis dan peneliti sejarah masih meragukan keberadaan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh historis. Bahkan sebagian malah meyakini secara pasti, bahwa tokoh ini hanyalah sebagai simbolisme yang dibuat 367



oleh para penyebar Islam awal, terkait dengan upaya dialogis antara para ulama Islam dengan masyarakat Indonesia yang kala itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Alasan tambahannya adalah, bahwa tidak ditemukan bukti sejarah yang valid mengenai tokoh Syekh Siti Jenar sebagai salah satu penyebar awal Islam di Indonesia. Tentu keberatan-kebaratan terhadap eksistensi Syekh Siti Jenar tersebut memang dapat saja kita tolerir. Akan tetapi, tentu juga dapat diajukan berbagai argumen yang menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan tokoh historis, sebagai eksistensi ajarannya tetap diakui hingga dewasa ini. Pertama. Cerita mistik tentang asal muasal Syekh Siti Jenar dari cacing, yang dengan kesaktian ilmu Sunan Bonang berubah menjadi manusia memang bisa dipastikan tidak ada. Sebab Allah sudah menetapkan sunnahnya sendiri terkait dengan keberadaan manusia di dunia. Syekh Siti Jenar sebagaimana umumnya manusia, memiliki alur nasab yang jelas, riwayat pendidikan dan karir yang nyata, dan meninggalkan ajaran-ajaran yang otentik. Memang dalam berbagai serat dan babad serta suluk kadang terdapat penambahan dan pengurangan, atau bahkan diubah, namun substansi peristiwanya tetap ada. Jadi fantasi kesejarahan dalam sejarah Walisanga memang ada, namun hal-hal yang menyangkut peristiwa penting dan gawat tentu bukanlah hanya 368



sekedar fantasi, seperti kasus pertentangan antara Syekh Siti Jenar dengan Raja Demak dan Walisanga, dan juga tentang peristiwa tragis vonis hukuman atas Syekh Siti Jenar, adalah peristiwa yang betul-betul terjadi. Persoalanya hanyalah apakah vonis tersebut jadi terlaksana ataukah tidak. Kedua. Peristiwa tragis yang dialami oleh Syekh Siti Jenar telah ada contoh peristiwa sebelumnya, yakni al-Hallaj (244 H/858 M – 309 H/923 M). Al-Hallaj yang dihukum mati pada masa khalifah al-Muqtadir Billah karena hasutan para fuqaha yang takut kehilangan kewibawaan, di samping pengaruh al-Hallaj yang luas berimbas pada kekhawatiran sultan Muqtadir Billah, kalau-kalau terjadi pemberontakan massal yang disulut oleh ajaran al-Hallaj. Jadi sebab utamanya adalah faktor politik. Sebab, berbeda dengan Syaikh Abu Yazid al-Bushthami, al-Hallaj termasuk tokoh yang berpolitik, sehingga kiprahnya banyak dicurigai oleh penguasa (Siroj, 2012: 39). Maka peristiwa Syekh Siti Jenar lebih memiliki alasan yang mendasar. Karena Syaikh Siti Jenar termasuk tokoh yang terlibat langsung dalam gejolak politik di Demak dan Cirebon, dimana Syaikh Siti Jenar adalah tokoh pembela dan penggerak rakyat menentang kedzaliman, berusaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Apalagi para pengikut Syekh Siti Jenar juga banyak yang berasal dari kalangan bangsawan atau mantan bangsawan, sehingga memiliki 369



pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Sebenarnya inspirasi hukum yang diberlakukan oleh penguasa kerajaan dan penguasa otoritas keagamaan di Demak terhadap Syekh Siti Jenar, mengacu kepada kebijakan dan pertimbangan politik Sultan al-Muqtadir Billah ketika menjatuhkan vonis mati kepada al-Hallaj dalam usia 64 tahun (26 Maret 922), Raja alMalik al-Dzahir bin Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang menghukum mati Syuhrawardi al-Maqtul dalam usia 36 tahun (1191), dan Sultan Mughitsuddin Mahmud dari Bani Saljuk atas ‘Ayn al-Quddat al-Hamadani dalam usia 33 tahun (525/1131). Sebab para wali anggota dewan walisanga memang memiliki pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Ditambah lagi oleh pertimbangan politis Patih Wonosalam, yang merupakan mantan pengatur strategi kebijakan sosial-politik dan kemasyarakat kerajaan Majapahit. Hanya saja mungkin, Syekh Siti Jenar lebih beruntung, sebab ia dijatuhi vonis hukum mati pada usia yang sudah cukup sepuh, 91 tahun. Mungkin marena faktor pertimbangan kesepuhan, atau karena terbukti bahwa ajarannya tidak sesat, maka beliau tidak mati dieksekusi, namun meninggal secara wajar. Di sinilah kaca bacaan sejarah kita harus obyektif dalam menempatkan para aktor sejarah, demi kepentingan gamblangnya sejarah umat Islam, dalam berinteraksi dengan aspek lokal, bagi aplikasi agamanya di bumi Indonesia 370



ini. Ketiga. Keraguan sejarah kadang didasarkan pada simbolisme cacing sebagai asal Syekh Siti Jenar, dan simbolisme anjing sebagai akhir hayat Syekh Siti Jenar. Sehingga banyak para ahli sejarah yang menafsirkan bahwa keberadaan tokoh Syekh Siti Jenar adalah hasil rekayasa para dewan Walisanga untuk membuat personalisasi ajaran sesat, sebagai penjelas bagi masyarakat. Hal ini disamakan dengan personalisasi dalam wayang lakon Dewaruci, yang menurut sejarah budaya pewayangan hasil gubahan dari Sunan Kalijaga. Namun ada perbedaan mendasar antara lakon Dewaruci dalam pewayangan dengan episode Syekh Siti Jenar. Dalam lakon wayang memang jelas antara karakter baik dan benar serta buruk dan salah, dengan cakupan pengikutnya, serta akhir ajarannya. Sementara, dalam kasus Syekh Siti Jenar sangat berbeda. Ajaran Syekh Siti Jenar terbukti banyak diikuti oleh masyarakat Jawa pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia. Ajaran Syekh Siti Jenar juga terbukti masih memiliki banyak pengikut hingga dewasa ini. Maka jika disinyalir bahwa Syekh Siti Jenar sebagai tokoh simbolis yang diciptakan oleh anggota dewan wali, terdapat pertanyaan yang sangat mendasar; Apakah mungkin para ulama dewan Walisanga di Demak sengaja menciptakan karakter Syekh 371



Siti Jenar dengan ajarannya yang dianggap sesat? Jika demikian berarti kesesatan yang divonis oleh para wali itu, adalah juga ajaran sesat yang diciptakan para wali juga? Jadi hampir tidak mungkin jika para wali sengaja menciptakan ajaran sesat yang dibiarkan diikuti oleh masyarakat banyak, dan kemudian hanya untuk ditumpas. Walisanga tidak mungkin begitu kejinya membuat rekayasa, demi politik, dengan mengorbankan masyarakat kebanyakan. Kempat. Suatu ajaran keagamaan yang dianut oleh banyak orang, apalagi diabadikan dalam berbagai bentuk karya tulis, tentu fondasinya telah ditetapkan oleh tokoh yang pernah hidup dalam kurun sejarah tertentu. Tidak mungkin ada ajaran yang sama sekali tidak ada pembawanya. Jadi dapat kita peroleh kesimpulan bahwa memang Syekh Siti Jenar merupakan tokoh histories. Tinggal persoalannya adalah menyangkut kapan, di mana, dan bagaimana Syekh Siti Jenar menjalani kehidupannya sebagai tokoh dan person sejarah. Dan juga, bagaimana ajaran otentiknya itu. Apalagi, eksistensi Syaikh Siti Jenar banyak dimuat dalam berbagai karya tertulis. Beberapa sumber yang dapat dijadikan pintu masuk untuk meneliti Syaikh Siti Jenar sebagai tokoh historis antara lain:



372



a.



Dokumen Kropak Ferrara



Dokumen ini menggambarkan diskusi atau sarasehan Walisanga bersama Syekh Siti Jenar di Giri Kedaton. Kropak adalah nama lain dari daun pohon siwalan atau daun tal yang biasa digunakan untuk menulis dokumen. Dalam istilah jawa, daun tal ini disebut ron-tal (daun dari pohon tal), yang sering terucap terbalik menjadi lontar. Ferrara adalah nama sebuah kota di Italia. Jadi ia merupakan dokumen yeng tertulis dalam daun lontar yang tersimpan di perpustakaan Ferrara, Italia. Dokumen tersebut ditemukan di perpustakaan umum Ariostea di kota Ferrara, Italia. Naskah tertulis dalam bahasa Jawa kuno serta Sansekerta, di atas lontar berjumlah 23 lembar, yang masing-masing berukuran 40 x 3,4 cm. Bersama itu terdapat pula lempengan tembaga yang di bagian bawahnya tertulis kalimat, “Sebuah naskah tidak dikenal dari sebuah buku yang terbuat dari rontal terdiri atas 23 lembar, dari museum Marquis Cristino Bevilacqua di Ferrara”. Pemilik asli naskah itu tidak jelas. Namun sebelum menjadi milik perpustakaan tersebut, nampak bahwa naskah itu semula menjadi koleksi pribadi seseorang. Naskah tersebut sampai di Italia, di duga semula dibawa oleh para pelayar Italia atau dibawa oleh rombongan misi Katholik Roma. Beberapa tahun sebelum masa VOC, yaitu antara tahun 1598-1599, misionaris Katholik Roma pernah berkunjung secara 373



teratur ke Pasuruan. Pada tahun 1962, copy naskah tersebut dikirim ke Leiden agar bahasa Sansekerta dan Jawa kuno didalamnya dapat dikaji oleh ahli bahasa, untuk mengidentifikasi dokumen berharga tersebut. Akhirnya pada tahun 1978, naskah Kropak Ferrara telah dapat diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Martinus Nijhoff, Den Haag, dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics oleh Prof. Dr. G.J.W. Drewes. Buku yang aslinya berbahasa Belanda, dan kemudian diterjemah ke dalam bahasa Inggris tersebut, oleh Wahyudi kemudian dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Al-Fikr Surabaya tahun 2002. Isi utama buku ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam berbagai naskah kuno yang lain, tentang perdebatan Walisanga dan Syekh Siti Jenar. Dalam naskah tersebut berisi berbagai ajaran tentang ma’rifat, hakekat manusia, Tuhan dan surga, serta rumusan panduan etika kehidupan dan beragama bagi orang Islam. Dari dokumen itu juga terungkap tentang konsistensi Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ilmu ma’rifat atau kerohanian kepada masyarakat umum, serta meminta pengertian kepada Walisanga agar jangan memiliki perasaan yang bukan-bukan (su’udzon) terhadapnya. Dengan diketemukannya dokumen ini, semakin menunjukkan 374



bukti bahwa Syekh Siti Jenar benar-benar “manusia sejarah” yang betul-betul sebagai pelaku sejarah Islam Indonesia, yang telah ikut memberikan andil dan jasa besar dalam pengembangan Islam di Indonesia pada abad ke-15 sampai abad ke-16. Jadi nampaknya, dokumen Kropak Ferrara semakin menambah perbendaharaan naskah klasik yang berhasil diselamatkan tentang sisi historis Syekh Siti Jenar. Dokumen lain diantaranya adalah kitab Walisana karya Sunan Giri II, yang kemudian digubah ulang oleh R. Tanoyo dalam Suluk Walisanga. Sayangnya bahwa dokumen Kropak Ferrara tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Kelemahan paling mencolok adalah ketidakjelasan penulis dan pemilik awal dari naskah tersebut. Kemudian dari segi isi dan susunan naskah, nampak bahwa yang menuliskan naskah tidak bertindak obyektif. Dalam hal ini nuansa pembelaan terhadap Walisanga dan penghujatan terhadap Syekh Siti Jenar sangat nampak. Belum lagi bahwa, berdasarkan informasi dari pengkaji naskah tersebut, yaitu Drewes, bahasa yang digunakan campur aduk antara Jawa kuno, Sansekerta, dan Jawa era abad ke-15. Sehingga otentisitas naskah sebagai sumber sejarah paling kuno tentang Walisanga dan Syekh Siti Jenar masih sangat diragukan. Terlepas dari beberapa sudut kelemahan yang ada, naskah tersebut



375



memberikan andil yang penting bagi upaya penelusuran sejarah Islam Indonesia masa-masa awal. b.



Riwayat hidup dan ajaran Syaikh Siti Jenar yang ditulis dalam



beberapa naskah lama atau klasik: 1)



Suluk Seh Lemahbang, karya sarjana Belanda Van Ronkel.



Naskah ini terbit pada tahun 1913. Jadi sejauh naskah yang ditemukan penulias, nampaknya naskah Inilah yang paling tua. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya sebelum naskah Van Ronkel ini, masih ada yang lebih tua, sebab tidak mungkin Van Ronkel membuat naskah suluk ini tanpa ada sumber rujukan lain yang dibuat oleh sarjana Indonesia sendiri. Dalam naskah Ini ditemukan adanya nuansa permusuhan antara Syekh Siti Jenar dengan Walisanga Demak, juga ditemukan berbagai mistik mengenai asal-usul dan kewafatan Syekh Siti Jenar. 2)



Serat Syaikh Siti Jenar yang ditulis oleh Ki Sasrawijaya, yang



sebelumnya bernama Raden Panji Natarata, dari Ngijon, Yogyakarta. Pertama kali terbit tahun 1900 sebagai suplemen kalender H. Buning. Buku ini menjadi bahan utama penulisan buku Falsafah Siti Djenar (1954) oleh Bratakesawa. 3)



Falsafah Sitidjenar, hasil karya Bratakesawa. Naskah ini



selesai ditulis oleh Bratakesawa dengan tahun sengkalan “margining basuki angesti tuduh” (1885 J atau 1954 M). Naskah 376



ini diterbitkan oleh yayasan Penerbitan Djoyoboyo, Surabaya, hingga enam kali cetak ulang. 4)



Serat Seh Siti Jenar, berhuruf Jawa karya Mas Ngabehi



Mangun Wijaya, terbitan Widya Poestaka, Weltevreden, 1917. Dalam karya ini, nuansa perdebatan teologis dan persidangan para wali, dengan tokoh sentral Syekh Siti Jenar ditampilkan secara tajam dan rinci. Obyektifitas penulisnya lebih dominan dibanding karya lain. 5)



Serat Siti Djenar, terbitan Tan Khoen Swie, Kediri. Buku ini



ditulis dengan dua versi, Jawa dan latin. Versi yang beraksara Jawa terbit tahun 1922, sedang yang versi latin terbit tahun 1931. Buku ini merupakan gubahan Harjawijaya atas buku yang disebut sebagai karya Sunan Giri II. Pada sampul buku ini ditulis Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen (buku Siti Jenar yang asli). Karena menurut penulisnya, serat ini merupakan koreksi terhadap bukubuku Syekh Siti Jenar yang telah terbit sebelumnya, termasuk serat gubahan Ki Sasrawijaya atau Panji Natarata yang banyak digunakan sebagai sumber berbagai penulisan buku Syekh Siti Jenar yang banyak beredar dewasa ini. 6)



Serat Siti Jenar. Buku ini penulis temukan tanpa nama



pengarangnya (anonim). Naskah ini tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo Surakarta, dengan nomor katalog SB.137. Isi dari naskah ini tidak berbeda jauh dengan Serat Siti Djenar, terbitan 377



Tan Khoen Swie, Kediri. 7)



Kitab Wali Sepuluh, karya Karto Soedjono, Tan Khoen Swie,



Kediri, tahun 1950. Kitab ini menekankan tentang peran besar Syekh Siti Jenar yang disebut penulisnya sebagai wali yang ke10, pada lembaga atau dewan Walisanga dalam proses islamisasi tanah Nusantara. Sebenarnya kitab ini agak lebih representatif dibandingkan dengan karya Ki Sasrawijaya atau Panji Natarata, sebab jika karya Sasrawidjaya sudah diawali dengan premis atau vonis bahwa Syekh Siti Jenar sebagai wali yang murtad, maka Kitab Wali Sepuluh ini menempatkan Syekh Siti Jenar dalam bingkai yang lebih halus, dan tidak menvonis kemurtadan atau kesesatan atas Syekh Siti Jenar beserta ajarannya. 8)



Serat Badu Wanar dan Serat Drajat. Kedua naskah ini telah



diteliti oleh Sjamsudduha (2006: 314). Ini dari kedua naskah ini mengemukakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah ulama dan wali yang tidak tergolong (berasal) dari Jawa. Ilmu yang dipelajarinya (dan diajarkannya) tergolong ilmu yang tinggi dan sulit. Dia tidak mengajarkan ilmu yang sesat dan menyesatkan. Dalam kedua serat ini tidak didapatkan adanya kisah yang menyatakan bahwa Syaikh Siti Jenar mengaku dirinya sebagai Tuhan sehingga beliau dihukum bunuh (sebagaimana terdapat dalam Serat Babad Demak dan beberapa serat serta babad jawa yang lain). 378



Disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar memperdalam ilmi wahdat, tauhid, junun, ma’rifat dan ilmu tasawuf (diantaranya) kepada Sunan Ampel. Ilmu-ilmu tersebut diuraikan maknanya dan tetap berada dalam kerangka ilmu-ilmu dalam madzhab sufi Ahl alSunnah wa al-Jama’ah (Sjamsudduha, 2006: 110-111). 9)



Berbagai penuturan naskah-naskah Cirebon. Ada tujuh



naskah utama mengenai Walisongo yang berasal dari Cirebon, yakni: Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), Babad Tanah Sunda (BTS), Sajarah Cirebon (SC), Babad Cerbon terbitan Brandes (BC-Br), Carub Kanda (CK), Babad Cirebon terbitan S.Z. Hadisutjipto (BC-Hs), dan Wawacan Sunan Gunung Jati (WSGJ). Dari tujuh naskah tersebut, yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran sesat dan kemudian dibunuh hanya tiga naskah, yaitu BTS, WSGJ, dan CPCN. Sementara dalam empat naskah yang lain: SC, BC-Br, CK, dan BC-Hs, Syekh Siti Jenar disebutkan secara mulia dan terpuji, tidak ada kesalahan dan pertentangan dalam ajarannya, dan tidak ada pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar baik oleh Sultan maupun para wali. 10)



Kisah Siti Jenar yang terdapat di Babad Tanah Jawi, Babad



Demak, Babad Jaka Tingkir, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, dan Babad Kendal. c.



Ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar yang bisa di lacak dalam



berbagai karya klasik atau buku lama. 379



1)



Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928



2)



Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931



3)



Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921



4)



Serat Soeloek Walisono, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931



5)



Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886



6)



Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en



Wetenschappen, 4 jl, Batavia, 1912-1915. 7)



Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang



dihimpun oleh Sang Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. Pada tahun 1979 sudah mengalami cetak ulang yang ke-12. 8)



Suluk Walisanga, karya R. Tanojo, yang didalamnya memuat



dialog-dialog antara Syekh Siti Jenar dengan anggota dewan wali. 9)



Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra,



diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar 1969. Dengan banyaknya naskah rujukan tersebut, tentu sangat dini jika disebutkan bahwa Syaikh Siti Jenar hanyalah tokoh mitos, apalagi dikatakan bahwa beliau hanyalah tokoh rekaan dari Walisongo. Perselisihan di kalangan para ahli tentang posisinya sebagai tokoh fiktif atau bukan, sebenarnya disebabkan oleh perbedaan antara yang termuat pada peninggalan yang ada, atau karena situs-situs yang ditinggalkan memang relatif sedikit. Khazanah 380



pustaka itu sendiri merupakan produk dari pandangan hidup suatu masa di mana factor subyektif dan kepentingan penulis sulit untuk tidak mewarnainya. Oleh karena itu sebagaimana sinyalemen beberapa penulis (Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, 2004:226), kesimpangsiuran informasi tentang Syekh Siti Jenar terkait dengan minimnya situs peninggalan yang ada, menjadi salah satu sebab utama munculnya pendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah tokoh fiktif. Tetapi, bukankah kebanyakan para wali juga minim situsnya? C.



Kontroversi tentang Nama



Sebagaimana para ulama penyebar Islam era pertengahan di Indonesia, Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama. Nama-nama tersebut ada yang karena pemberian orang tua, pemberian orang atau pihak lain, dan juga gelar dari masyarakat. Nama-nama beliau adalah: 1)



San ‘Ali (nama kecil pemberian orang tua angkatnya, Resi



Bungsu); 2)



Syekh ‘Abdul Jalil (nama yang diperoleh di Malaka, setelah



menjadi ulama penyebar Islam di sana); 3)



Syekh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang,



Sumatera dan daratan Malaka; Jabarantas, guru suci yan berpakaian compang-camping); 4)



Prabu Satmata (Gusti yang nampak oleh mata; nama yang 381



muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yang diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya. Nama ini juga dipakai oleh Sunan Giri); 5)



Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan



masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar); 6)



Syekh Siti Jenar (nama filosofis yang menggambarkan



ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah ruh Allah; juga nama yang dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada dewan wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama dalam Babad Cirebon); 7)



Syekh Nurjati atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita



(nama dalam Babad Cirebon S.Z. Hadisutjipto); 8)



Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung



(nama-nama yang diberikan masyarakat Jawa Tengahan); 9)



Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta, era



R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); 10)



Syekh Wali Lanang Sejati;



11)



Syekh Jati Mulya;



12)



Susuhunan Binang; dan



382



13)



Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang,



alias Sunan Lemah Abang. Sedangkan nama legendaris Syekh Siti Jenar, oleh Syekh Siti Jenar sendiri disebut sebagai nama filosofis dan mistik, di mana Siti berarti tanah, Jenar berarti merah atau kuning. Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar, yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, dan tempat ke mana manusia akan kembali. Bahwa manusia secara biologis diciptakan dari tanah merah saja, yang berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman ruh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal, akan membusuk kembali ke tanah. Selebihnya adalah ruh Allah, yang setelah kemusnahan raganya, akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling-rasa” (menyatunya rasa ke dalam Tuhan). Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajat fisik, maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer, bahwa: “dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan alam kebebasan bagi orang yang kafir”. Secara makrifat, hadits tersebut dapat dimaknai bahwa kehidupan surga dan neraka sudah dialami manusia sejak di 383



alam dunia ini. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yang menyatu-padu dengan Tuhan. Setelah meninggal, ia terbebas dari belenggu wadag-nya, dan bebas bersatu dengan Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dengan Tuhan sering terhalang oleh badan biologis, yang disertai nafsunafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar. Tentu saja kita juga tidak menafikan pendapat ahli syarti’at yang memberikan makna atas hadits tersebut secara agak berbeda, bahwa kesenangan kaum beriman di dunia ini sangat terbatasi oleh syari’at keagamaan. Sedang secara hakekat, kesenangan hamba di dunia ini adalah ketika berhasil mengendalikan nafsu dan menemukan kondisi kebersamaan dengan Allah, itulah puncak kebahagiaan. D.



Kontroversi tentang Asal-Usul dan Silsilah



Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 Ç/1426-1517 M. [berusia 91 tahun pada masa Sultan Fatah] atau 1530 [berusia 104 tahun pada masa Sultan Trenggono]) lahir sekitar tahun 829 H/1348 Ç/1426 M di lingkungan pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, di Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multibahasa, dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku bangsa. 384



Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Hal ini dikarenakan beberapa sebab pokok. Pertama, minimnya catatan sejarah di seputar kehidupan para wali penyebar Islam di Jawa, apalagi sumber historis Syekh Siti Jenar, yang sejak awal kehadirannya, sudah dicoba untuk dihilangkan jejaknya, karena faktor politis. Kedua, umumnya peneliti dan pencatat sejarah belum memandang kehadiran Syekh Siti Jenar sebagaimana pandangannya pada tokoh wali yang lain, dikarenakan image awal mengenai kesesatan Syekh Siti Jenar. Dan ketiga, pengkaburan tentang silsilah, keluarga, dan ajaran Syekh Siti Jenar yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Bahkan ada yang menyebut berasal dari cacing. Dalam sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika dede, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar –pen.) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemahbang].



385



Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah, hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan, setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yang saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di tanah Jawa. Hanya saja, dalam hal silsilah serta asal keluarganya, juga terdapat kontroversi yang cukup krusial. Paling tidak terdapat beberapa pendapat, yakni: (1) Bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia yang berasal dari jelmaan cacing; (2) Syekh Siti Jenar adalah putra dari Resi Bungsu, trah keluarga Kerajaan Pajajaran; (3) Syekh Siti Jenar adalah R. Abdul Jalil salah satu dari putra Sunan Ampel; dan (4) Syaikh Siti Jenar aslinya berdarah ArabMalaka yang kemudian lahir dan menetap di Cirebon. Dari sini kemudian juga memunculkan asumsi bahwa (5) Syekh Siti Jenar adalah orang yang asli Jawa. Teori yang pertama, bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari jelmaan cacing banyak terdapat dalam buku-buku kisah tentang Syaikh Siti Jenar. Secara biologis hal ini tidaklah mungkin terjadi. Jika secara simbolis memang dapat diterima, dengan makna: (1) Bahwa Syaikh Siti Jenar mengajarkan konsep teologi tanah tentang jiwa manusia, dan mengingatkan asal-usul manusia yang secara wadag hanyalah berasal dari anasir tanah coklat. Sehingga yang perlu mendapatkan prioritas penjagaan adalah 386



segmen ruhani dan jiwanya, yang pasti akan kembali kepada Allah; (2) Syaikh Siti Jenar dipandang sebagai salah seorang sufi malamatiyah, sebagaimana ajaran Syaikh Ibn ’Athaillah alSakandari untuk menguburkan wujudnya sedalam-dalamnya di kedalaman bumi, yakni agar selalu dapat bersama Allah, maka ia ikhlas serta tawakkal serta ridha menerima bentuk ujian fisik yang seperti apapun sebagai kehendak Allah bagi kekasihnya. Sehingga berbagai fitnah keji, penderitaan fisik dan sebagainya mesti dialami dengan hati yang sumarah. Selain itu, bahwa istilah berasal dari cacing, bisa difahami sebagai cacing penghuni tanah subur. Tanah yang subur akan mengandung materi cacing, dimana cacing pada gilirannya akan menyuburkan tanah. Hal ini bisa diibaratkan dengan Syaikh Siti Jenar dengan ajarannya. Syaikh Siti Jenar dalam dakwahnya berusaha untuk “membumikan al-Qur’an” yang difahami isinya, diamalkan sebagai perilaku, dan menyatupadu dengan kehidupan umat Islam. Syaikh Siti Jenar menjadikan al-Qur’an sebagai kitab suci yang elegan, yang selalu sesuai dengan zaman dan tempat dimana kitab itu berada, tidak terpaku darimana kitab itu turun dan berbahasa apa. Sehingga Islam kultural ini menjadi lebih ”njawani” dan “mbatini”. Menjadi ”Islam” dalam konteks Syaikh Siti Jenar bisa dalam dua bentuk: ”Islam” formal keagamaan, dan juga ”Islam” sebagai sikap batin, yakni ”orang yang berpasrah diri 387



kepada Tuhan” karena menyadari sangkan dan paran, serta dapat ”menyesuaikan diri” dengan kemauan, kehendak dan takdir Tuhan. Teori kedua, bahwa Syaikh Siti Jenar adalah putra dari Resi Bungsu dari Pakuwon Cirebon. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk kesimpang siuran nama dan pengasuh. Kebetulan masa kecil beliau adalah San Ali. Ini mirip dengan nama lain dari Pangeran Anggaraksa putra Resi Bungsu yakni Hasan Ali. Kebetulan Resi Bungsu pernah menjadi orang tua asuh atau orang tua angkat dari San Ali, karena sejak lahir, Syekh Siti Jenar memang sudah berada dalam keadaan yatim. Teori ketiga, bahwa Syekh Siti Jenar adalah R. Abdul Jalil salah satu dari putra Sunan Ampel. Sebagaimana diketahui, bahwa Sunan Ampel memiliki tiga orang istri dengan 21 orang anak. Salah satu dari anaknya adalah yang diberi nama dan julukan Syaikh Maulana R. Abdul Jalil Asmoro, yang dimakamkan di Jepara (komplek makam Kalinyamat). Ia terlahir dari istri Sunan Ampel Nyi Ageng Manila, putri dari Sayid ’Abdurrahman (Gan Eng Cu) atau Arya Teja, yang berdarah Campa atau Malaka. Di lingkungan para habaib serta sayid, R. Abdul Jalil dikisahkan semula menganut faham wujudiyah, sehingga oleh Sunan Ampel diperintahkan untuk pergi ke arah Barat, yang memiliki latar belakang tradisi dan teologi yang agak sejalan dengan paham 388



tasawufnya. Maka R. Abdul Jalil kemudian mengembara hingga sampai ke Timur Tengah, kembali ke Jawa dan keliling sebagai da’i kelana di tanah Jawa, yang akhirnya setelah wafat dimakamkan di Jepara. Karena keyakinannya yang sedikit berbeda dengan Sunan Ampel, maka kemudian dalam silsilahnya memakai nama-nama yang disamarkan, dimana nama Datuk Shalih tidak lain adalah nama alias dari Sunan Ampel, dengan mengacu pada muridnya yang terkasih, Mbah Sholeh (yang diriwayatkan meninggal hingga 9 kali). Kemudian Datuk Isa Tuwu adalah nama alias dari Maulana Ibrahim Asmoro, dimana dalam kisahnya memang Maulana Ibrahim Asmoro pernah menetap di Malaka, dan kemudian pergi ke Jawa. Sedangkan dalam silsilah para wali, antara Datuk Isa Tuwu dengan Maulana Ibrahim Asmoro adalah sama-sama keturunan Syaikh Ahmad Syah Jalaluddin, walaupun untuk Ibrahim Asmoro melalui satu generasi lagi, yakni Jamaluddin al-Husain Penembahan Juumadil Kubra. Dari galur inilah dapat dketahui bahwa Syaikh Siti Jenar atau R. Abdul Jalil masih keturunan dari pendakwah besar Syaikh Ahmad al-Muhajir yang menjadi moyang bagi para habaib dan sayid di Asia. Jika dirunut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasululah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya 389



yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah ’Azamat Khannuddin dan Syekh Ahmad Syah Jalaludin. Ahmad Syah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Teori keempat, Syaikh Siti Jenar aslinya berdarah Arab-Malaka yang kemudian lahir dan menetap di Cirebon. Sebagaimana sudah disinggung, bahwa Syaikh Siti Jenar adalah San Ali atau sewaktu berada di Malaka ia diberi nama Syaikh Abdul Jalil, adalah putra dari Syaikh Datuk Shalih bin Syaikh Datuk Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malik al-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannudin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Hadramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukin di Malaka. Karena adanya konflik keagamaan dan politik di Kesultanan Malaka yang tidak kondusif, akibat kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, yakni masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah, maka kemudian 390



Syaikh Datuk Shalih pergi ke Cirebon, dan Syaikh Siti Jenar lahir di Cirebon. Syaikh Datuk Shalih sampai di Cirebon sekitar tahun 1425 dan wafat pada tahun 1426, saat Syaikh Siti Jenar berusia 2 bulan. Sejak itu banyak pihak yang terkait dengan masa kecil hingga remaja Syaikh Siti Jenar, misalnya Pangeran Walangsungsang atau Kyai Samadullah dan Syaikh Datuk Kahfi sebaga gurunya sejak masa kecil. Saat itu memang di Cirebon terdapat sejenis pondok pesantren di Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi, yang telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Syaikh Siti Jenar nyantri di tempat tersebut sampai berusia 20 tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan pengembaraan ke berbagai tempat untuk memperdalam ilmu dan spiritualnya. Sampai pada sekitar tahun 1457 M, saat usianya mencapai 31 tahun, Syaikh Siti Jenar menempuh perjalanan dari Bashrah menuju Makkah, dan pada sekitar tahun 1463 M, beliau sudah mulai menetap di Jawa. Karena Syaikh Siti Jenar lahir dan besar di Cirebon, dan setelah terjun dalam dunia penyiaran Islam, beliau menfokuskan di pulau Jawa, maka hal ini memunculkan teori kelima, bahwa Syekh Siti Jenar adalah orang yang asli Jawa. E.



Kontroversi Posisi SSJ dalam Walisongo



Terdapat kontroversi lain yang juga penting, yakni terkait masalah 391



hubungan Syaikh Siti Jenar dengan Walisongo. Hubungan dalam hal ini bisa ditinjau dari tiga sudut pandang. Hubungan geneologis atau nasab, hubungan silsilah keilmuan, maupun hubungan dalam dakwah Islam. Sayang sekali bahwa masalah ini juga belum mendapatkan porsi perhatian yang seutuhnya dari para pengamat sejarah, peneliti maupun akademisi. Padahal persoalan ini dapat menjadi pintu masuk untuk membahas berbagai hal yang cukup krusial, seperti bagaimana mekanisme pengadilan pada waktu itu, dimana sebagian kisah meriwayatkan bahwa Syaikh Siti Jenar diadili dalam sidang Walisongo? Akan tetapi belum adanya porsi yang cukup tersebut dapat dimaklumi, karena memang penggambaran dalam berbagai serat, babad dan suluk tentang walisongo juga belum utuh, serta terkadang belum terlepas dari faktor subyektifisme. Hubungan Nasab Salah satu kelebihan ulama-ulama Walisongo adalah kekentalannya dalam kekerabatan dan kekeluargaan. Mereka berasal dari satu keluarga besar, dibawah garis keturunan Syaikh ’Ali al-Muhajir, baik itu dari keluarga yang masih tetap mempertahankan ciri ke-Timurtengahannya, maupun dari keluarga yang sudah menjadikan ciri dan budaya Jawa sebagai 392



corak kehidupan dan kesehariannya. Karena karakter budaya dari mereka memang mencirikan pola yang berbeda, sejak hanya sekedar sosialisasi, asosiasi, sampai dengan corak akulturasi. Jika analisis nasab dan silsilah yang dikemukakan para ahli benar, maka sebenarnya Syaikh Siti Jenar juga masih termasuk dalam keluarga besar rumpun Walisongo. Kekerabatan terdekat Syaikh Siti Jenar adalah dengan Syaikh Maulana Ishaq, Sunan Ampel, dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka sama-sama keturunan ketiga dari Ahmad Syah Jalaluddin. Syaikh Siti Jenar adalah putra dari Syaikh Shalih al-’Alawi bin Syaikh ’Isa al-’Alawi bin Ahmad Syah Jalaluddin. Syaikh Maulana Ishaq dan Sunan Ampel adalah putra dari Maulana Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin. Adapun Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah putra dari Syaikh Barakat Zainul ’Alam bin Jamaluddin Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin. Syaikh Siti Jenar memiliki anak yang salah satunya adalah Siti Zaenab atau Ratu ’Arofah yang menjadi salah seorang istri dari Sunan Kalijaga. dari pernikahan ini lahirlah Sunan Panggung dan Ratu Mendoko. Ratu Mendoko kemudian diambil istri oleh Pangeran Kebo Kenongo yang melahirkan Mas Karebet Joko Tingkir. Jadi Joko Tingkir itu tidak lain adalah cucu Sunan 393



Kalijaga dan buyut dari Syekh Siti Jenar. Sunan Kalijaga juga memiliki istri Siti Sarah binti Maulana Ishaq, dan lahirlah R. Umar Said Sunan Muria, yang kemudian menurunkan R. Amir Hasan Sunan Nyamplungan (Karimunjawa). Siti Saroh ini adalah adik dari R. Paku Sunan Giri. Jadi Raden Paku adalah kakak ipar Sunan Kalijaga, yang sama-sama masih keponakan jauh dari Syaikh Siti Jenar. Sunan Kalijaga juga memiliki istri Siti Sarokah binti Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah keturunan keempat dari Syaikh Ahmad Syah Jalaluddin melalui Syaikh Jamaluddin Husain, ’Ali Nurul ’Alam lalu Sayid Abdullah yang kemudian berkedudukan sebagai Sultan Mahmud (ayahanda Syarif Hidayatullah). Dari perkawinan ini lahirlah salah satu putri yakni Kj. Ratu Pambayun yang kemudian menjadi istri Sultan Trenggono. Sementara Sultan Trenggono sendiri adalah putra dari Raden Fatah dengan Dewi Murtasimah (Nyi Ageng Mendoko) putri dari Sunan Ampel. Istri Raden Fatah berarti juga masih keponakan jauh Syekh Siti Jenar. Silsilah ini kembali memutar, karena salah satu putri Sultan Trenggono, yakni Ratu Mas Panjang kemudian dinikahkan dengan Jaka Tingkir, dimana Ratu Mas Panjang sebenarnya sama-sama cucu Sunan Kalijaga dari istri yang berbeda. 394



Salah satu putri Sunan Ampel (kakak dari Dewi Murtasimah istri R. Fatah) yaitu Nyi Ageng Maloka diperistri oleh Sunan Ngudung, dan melahirkan Sunan Kudus. Sunan Ngudung sendiri adalah putra dari Raden Santri Ali Murtadha yang menikah dengan Syarifah Syarah, putri dari Maulana Maqfarah bin Maulana Malik Ibrahim yang masih satu kakek dengan Sunan Ampel sendiri. Jadi Sunan Kudus adalah keponakan dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang keduanya adalah putra dari Sunan Ampel. Maulana Malik Ibrahim juga memiliki putra bernama Maulana Makhdar Ibrahim (adik Maulana Maqfarah). Dari Maulana Makhdar Ibrahim ini, kemudian lahirlan tokoh terkenal lain, yaitu R. Fatahillah atau Fadhillah Khan. Sejauh ini, konsep hubungan nasab dengan silsilah yang memiliki rujukan kuat barulah hal-hal tersebut. Sementara memang ada versi-versi lain, yang untuk sementara waktu sumber rujukannya masih lebih lemah. Hubungan Keilmuan Selain memiliki hubungan kekerabatan yang kental, diantara para Walisongo juga sebagian memiliki hubungan dalam pertalian keilmuan. Contohnya adalah bahwa Syarif Hidayatullah pernah berguru kepada Syaikh Datuk Kahfi, dimana terlebih dahulu Syaikh Siti Jenar juga sudah berguru kepada ulama tersebut, 395



setelah generasi santri angkatan R. Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang. Setelah Datuk Kahfi wafat, Syarif Hidayatullah pernah menjadi murid dari Syaikh Siti Jenar, bersam-sama dengan Raden Syahid Sunan Kalijaga. Dalam beberapa sastra Jawa pernah disebutkan bahwa Syaikh Siti Jenar pernah datang ke pesantren Giri. hanya mungkin sudut pandang yang diberikan bisa berbeda, karena ada yang menyebutkannya bahwa di Giri ini terjaqdi praktek ilmu sihir dari Syaikh Siti Jenar, karena tidak diizinkan untuk mengaji maktrifat. Dalam kacamata penulis, sebenarnya kedatangan Syaikh Siti Jenar ke Giri nampaknya lebih pada konteks silaturrahim antar ulama dan kerabat, apalagi dalam kekerabatan Syaikh Siti Jenar lebih tua dari Sunan Giri. namun juga tetap dimungkinkan Syaikh Siti Jenar juga ”ngangsu kawruh” dari Sunan Giri yang lebih muda sedikit sebagaimana sahabat Abu Bakar pernah berguru kepada Sayidina ’Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi juga kisah sihir itu terkelirukan dengan santri lain, yakni Ali Anshar yang juga pernah berguru di Giri, namun ditolak oleh Sunan Giri. Juga terdapat kisah tentang kedatangan Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga ke Cirebon. Kedatangan Sunan Bonang sebenarnya mengantarkan Sunan Kalijaga ke pesantren Amparan Jati, yang semula diasuh oleh Syaikh Datuk Kahfi, dan 396



diteruskan oleh Syaikh Siti Jenar dan kemudian oleh Sunan Gunung Jati. Cuma pas kedatangan tersebut adalah pasca wafatnya Datuk Kahfi dan sebelum tempuk kepemimpinan pesantren dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Jadi bertemulkah mereka dengan Syaikh Siti Jenar. Sunan Kalijaga selain menjadi menantu juga pernah menjadi santri Syaikh Siti Jenar. Disini kemudian ada kisah tentang cacing yang menempel di perahu yang dinaiki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. yang disebutkan kemudian cacing itu disabda Sunan Bonang menjadi Syaikh Siti Jenar. Lalu ada kisah bahwa cacing itu dahulu adalah putra Resi Bungsu yang disebda ayahnya menjadi cacing. Ada juga kisah bahwa cacing itu memang praktek sihir Syaikh Siti Jenar agar dapat ikut mendengarkan wejangan makrifat Sunan Bonang. Jika kisah ini benar, kemungkinan tokoh yang disebut Syaikh Siti Jenar tersebut terkelirukan dengan Pangeran Anggaraksa atau Raden Hasan Ali, yang memang tidak lagi diakui sebagai anak oleh Resi Bungsu, akibat memeluk Islam. Jadi yang terjadi antara Sunan Bonang dengan Syaikh Siti Jenar nampaknya adalah juga jalinan hubungan antar ulama dan kekeluargaan. Cuma seperti layaknya keluarga jauh, maka semula ada yang kenal dan banyak juga yang tidak mengenal diantara keluarga besar. Hal ini nampaknya juga terjadi pada 397



Sunan Bonang dan Sunan Lemahabang itu. Karena sejak pertemuan itu lalu juga dikisahkan, bahwa Sunan Bonang merekomendasikan nama Syaikh Siti Jenar untuk menjadi tim dari Walisongo. Keanggotaan Walisongo dan Aktifitas Dakwah Apakah Syaikh Siti Jenar termasuk dalam kelompok Walisongo? Jawaban atas hal inipun menjadi kontroversi di kalangan para peneliti. Berikut ini penulis kemukakan daftar anggota Dewan Wali (Walisongo) menurut berbagai versi dan Posisi Syekh Siti Jenar dalam keanggotaan kewalian tersebut. 1.



Walisongo menurut pendapat umum (sumber Babad Demak



dan Babad Tanah Jawa): 1)



Syekh Maulana Malik Ibrahim



2)



Raden Rahmat (Sunan Ampel)



3)



Raden Paku (Sunan Giri)



4)



Syarih Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)



5)



Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)



6)



Raden Kasim (Sunan Drajat)



7)



Raden Syahid (Sunan Kalijaga)



8)



Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)



9)



Raden Prawata (Sunan Muria)



398



2.



Walisongo menurut Carita Purwaka Caruban Nagari terbitan



Atja Menurut CPCN yang diterbitkan oleh Atja (1986) bagian ke-29, para wali yang ada di tanah Jawa adalah (dalam Dadan Wildan, 2003; 36): 1)



Syekh Bentong.



2)



Sunan Ampel.



3)



Sunan Bonang.



4)



Sunan Gunung Jati.



5)



Sunan Giri.



6)



Sunan Kalijaga.



7)



Sunan Muria.



8)



Syekh Lemahabang.



9)



Sunan Kudus.



10) 3.



Sunan Drajat. Walisongo dalam Babad Tanah Sunda terbitan S.



Sulendraningrat Dalam Babad Tanah Sunda karangan Pangeran Sulaiman Sulendraningrat bagian ke-30 dan ke-34, Walisongo yang disebutkan (1982) adalah: 1)



Sunan Ampel.



2)



Sunan Gunungjati.



3)



Sunan Maulana Maghribi. 399



4)



Sunan Bonang.



5)



Sunan Undung.



6)



Sunan Kalijaga.



7)



Sunan Muria.



8)



Syekh Lemahabang.



9)



Syekh Bentong.



10)



Syekh Majagung.



11)



Sunan Kudus.



12)



Sunan Drajat.



4.



Walisongo dalam Babad Cerbon terbitan Brandes



Dalam Babad Cerbon terbitan Brandes (1911) ini, nama-nama Walisongo dicantumkan dalam Pupuh 14-15. Mereka adalah: 1)



Sunan Bonang.



2)



Sunan Ampel.



3)



Masyeh Munat Sunan Drajat.



4)



Sunan Giri Gajah.



5)



Sunan Kudus.



6)



Sunan Kalijaga.



7)



Syekh Majagung.



8)



Maulana Maghrib.



9)



Syekh Bentong.



10)



Syekh Lemahabang.



11)



Sunan Gunung Jati. 400



5.



Walisongo menurut Amaluddin Kasdi



1)



Maulana Maghribi



2)



Sunan Giri



3)



Sunan Gunung Jati



4)



Sunan Drajat



5)



Sunan Bentong



6)



Sunan Bonang



7)



Sunan Kudus



8)



Pangeran Majagung



9)



Syekh Siti jenar



6.



Walisongo menurut Sukmono



1)



Sunan Gunung Jati



2)



Sunan Ampel



3)



Sunan Bonang



4)



Sunan Drajat



5)



Sunan Kalijaga



6)



Sunan Giri



7)



Sunan Kudus



8)



Sunan Muria



9)



Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang)



7.



Walisongo menurut R. Sulendraningrat



1)



Sunan Ampel (diteruskan oleh Sunan Giri) 401



2)



Syekh Maulana Maghrib



3)



Sunan Bonang



4)



Sunan Undung/Ngudung (setelah wafat diteruskan oleh



putranya Sunan Kudus) 5)



Sunan Muria



6)



Sunan Kalijaga



7)



Syekh Lemah Abang



8)



Syekh Bentong



9)



Syekh Majagung



8.



Walisongo menurut Babad Cirebon terbitan S.Z. Hadisutjipto



(Naskah Klayan) Para wali tanah Jawa menurutn naskah ini –sebagaimana dikutip Dadan Wildan (2003; 126) adalah: 1)



Syarif Hidayat Kanjeng Sinuhun Cirebon.



2)



Syekh Sultan Giri Gajah.



3)



Syekh Kamarullah Kanjeng Sunan Bonang.



4)



Ki Cakrabuana Sunan Jelang.



5)



Syekh Bentong.



6)



Syekh Nusakambangan Sunan Kudus.



7)



Pangeran Kendal Sunan Kedaton.



8)



Pangeran Panjunan Sunan Sasmita.



402



9)



Pangeran Kajoran Sunan Kejamus.



10)



Suhunan Adi Suhunan Kalijaga.



9.



Walisongo menurut K. Muslim Malawi



1)



Sunan Ampel



2)



Sunan Bonang



3)



Sunan Undung (setelah wafat diteruskan oleh Sunan Kudus)



4)



Sunan Giri



5)



Sunan Kalijaga



6)



Sunan Muria



7)



Syekh Lemah Abang



8)



Syekh Bentong



9)



Syekh Majagung



10.



Walisongo menurut R. Tanoyo



1)



Syekh Siti Jenar



2)



Susuhunan Kalijaga



3)



Susuhunan Giri



4)



Susuhunan Geseng



5)



Pangeran Modang



6)



Susuhunan Ngampel



7)



Pangeran Ngudung



8)



Susuhunan Prawata



9)



Susuhunan Maulana Maghribi 403



11.



Ibnu Bathuthah dalam Kitab Kanzul ‘ulum Ibnu al-Bathuthah



Periode I (1404 M) 1)



Syekh Maulana Malik Ibrahim (ahli tata negara), wafat di



Gresik tahun 1419. 2)



Syekh maulana Ishaq dari Samarkand (tabib), dari Jawa



pindah ke Pasai. 3)



Maulana Jumadil Kubro dari Mesir, dimakamkan di Troloyo-



Mojokerto. 4)



Maulana Muhammad al-Maghribi, Maroko (Sunan Geseng),



makam di Jatinom-Klaten tahun 1465. 5)



Maulana Malik Isro’il, makam Gunung Santri antara Serang-



Merak (1435). 6)



Maulana Muhammad Ali Akbar, Persia, tabib, makam



Gunung Santri 1435. 7)



Maulana Hasanuddin. Makam Masjid Banten Lama, 1462.



8)



Maulana Aliyuddin, palestina, dakwah keliling, 1462, masjid



Banten lama. 9)



Syekh Subakir, Persia, ahli tumbal tanah angker, penakluk



Jin, beberapa waktu di Jawa, kembali dan wafat di Persia 1462. Dewan Walisongo II, 1436 10)



Raden Rahmat Ali Sunan Ampel, datang 1421 mengganti



Malik Ibrahim. 11)



Sayid Ja’far Shadiq Sunan Kudus, datang 1436 mengganti 404



Malik Israil. 12)



Syarif Hidayatullah, tahun 1436 mengganti Ali Akbar.



Dewan Wali III 1463 13)



Raden Paku Sunan Giri



14)



Raden Syahid Sunan Kalijaga mengganti Syekh Subakir



15)



Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang mengganti maulana



Hasanudin 16)



Raden Qasim Sunan Drajat mengganti Aliyuddin



Dewan Wali IV 1466 17)



Raden Fatah (1462 menjadi adipati Bintoro, 1465



membangun masjid Demak, dan 1478 menjadi raja) mengganti Ahmad Jumadil Kubro. 18)



Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, menmgganti Al-



Magharibi. Dewan Wali V mulai 1476 19)



Raden Umar Sahid Sunan Muria



20)



Syekh Siti Jenar/Syekh Lemah Abang, dikeluarkan dan



dihukum mati 21)



Sunan Tembayat menggantikan Syekh Siti Jenar



Catatan penulis: a.



Terhadap periodesasi serta segala hal yang tercantum dalam



apa yang disebut sebagai Kitab Kanzul Ulum Ibn Bathutah tersebut, perlu dikemukakan berbagai catatan kritis, tentang 405



otentisitas dan keakuratan data dalam kitab, yang sering dijadikan acuan dalam penulisan sejarah Walisongo di Indonesia tersebut. Karena Ibn Batutah hidup antara tahun 1304-1377 M (Ensiklopedi Islam, 3: 71). Bagaimana mungkin Ibn Batutah yang wafat tahun 1377 M memberitakan peristiwa antara tahun 1404 hingga 1476? Apalagi dalam buku-buku yang berisi kisah lengkap perjalanannya tidak pernah ada yang menyebutkan bahwa Ibn Batutah pernah singgah di pulau Jawa. Apa yang disebut sebagai ”Jawa” oleh Ibn Batutah adalah pulau Sumatra, karena memang pada zaman pertengahan keseluruhan kepulauan Nusantara, termasuk Filipina disebut sebagai ”Pulau Jawa yang menghijau”. Ibn Batutah yang ”menetap di Jawa” selama 15 hari tersebut disambut di pelabuhan Samudera Pasai, dan sempat mengikuti upacara bersama Sultan Mahmud al-Malikudz Dzahir (1326-1345 M). Dari Sumatera ia meneruskan perjalanan ke Cina dan menyempatkan diri mampir di ”Mul Jawa” (yakni pedalaman Sumatera), dan ketika perjalanan pulang ia kembali singgah sebentar di ”Pulau Jawa” yang menyaksikan Sultan Mahmud baru pulang dari perang dengan membawa harta rampasan yang cukup banyak. (Perhatikan: Talal Harb, Rihlah Ibn Batutah alMusammah Tuhfah an-Nadzdzar fi Ghara-ib al-Amsar wa ‘Aja-ib al-Asfar, 1987; I. Hrbek, The Chronology of Ibn Batuta’s Travels, 1962). 406



b.



Apa yang disebut sebagai Kitab Kanzul Ulum Ibn Bathutah



tersebut oleh buku-buku sejarah yang beredar di Indonesia, disebut-sebut tersimpan di salah satu meseum Turki. Para pakar sejarah memang menyebutkan bahwa Ibnu Bathutah pernah melakukan muhibbah sebagai utusan Sultan Delhi ke Nusantara (yakni Sumatera dan Filipina) dan Tiongkok. Namun muhibbah tersebut dilakukan pada tahun 1345 M (Soekmono,1981: 3/44). Ibn Batutah sendiri hidup pada 703 H/1304 M sampai 779 H/1377 M. Jika memang kitab tersebut ditulis berdasarkan pengamatan dalam pelayarannya, bagaimana mungkin bisa menjelaskan bahwa pada tahun 1404 M sampai tahun 1476, para ulama dari Maghrib datang di nusantara? Pada tahun 1476 itu sendiri, Ibnu Bathutah sudah wafat sejak 100 tahun sebelumnya. c.



Berita yang disandarkan kepada Ibnu Bathuthah tersebut,



dalam segi perhitungan angka tahun dan periodesasi sejarah para wali, tidak bisa dijadikan pedoman, karena informasi yang ada, banyak bertentangan dengan sejarah pada umumnya. Misalnya bahwa Maulana Makhdum Ibrahim Sunan Bonang, diberitakan menggantikan Maulana Hasanudin yang wafat tahun 1462. Padahal kelahiran Sunan Bonang, baru pada sekitar tahun 1465. Sementara itu, seperti di infornmasikan dalam Purwaka Caruban Nagari, maulana Hasanudin sekitar tahun 1525 masih melakukan penyerbuan ke Banten-Hindu. Juga berita bahwa 407



Raden Fatah mendirikan masjid tahun 1465 bertentangan dengan data sejarah yang masyhur, bahwa masjid Demak didirikan sekitar tahun 1399 C/1477 M, dan induk bangunan serta pengimaman didirikan bari pada tahun 1428 C/1506 M. Ibnu Bathuthah juga mengkabarkan bahwa Sunan Drajat menggantikan Maulana Israil yang wafat tahun 1462. Padahal Raden Qasim Sunan Drajat baru lahir tahun 1470, dan wafat tahun 1522. Syarif Hidayatullah juga dikabarkan menjadi anggota Dewan Wali tahun 1436 mengganti Ali Akbar. Sementara dalam berbagai catatan tarikh, ia baru lahir tahun 1448, dan wafat tahun 1570. Jadi keseluruhan angka tahun dalam catatan Kitab yang dinisbahkan kepada Ibnu Bathuthah itu, adalah tidak tepat. d.



Melihat perbandingan-perbandingan di atas, nampak bahwa



nama Syekh Siti Jenar, secara obyektif tetap termasuk auliya’ di Jawa. Jika pada anggapan umum, namanya tidak dimasukkan sebagai wali, hal ini dikarenakan dalam karya-karya sastra-Jawa sejak abad ke-17, terjadi reduksionisme besar-besaran dalam sejarah dewan wali Demak, yang berawal dari tindakan kerajaan Demak dalam memusuhi Syekh Siti Jenar dan ajarannya. Akibatnya adalah, bahwa nama Walisongo menjadi popular dengan sangat harumnya, sementara nama Syekh Siti Jenar dipinggirkan dan dituduh sebagai biang kerok “kesesatan”. 12.



Anggota Walisongo menurut para Sejarawan 408



Dalam hal keanggotaan Dewan Wali kerajaan Demak, menurut penelitian para sejarawan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar; yang sudah disepakati keanggotaannya dalam dewan Walisongo, dan yang digolongkan sebagai belum disepakati keanggotaannya. Perinciannya sebagai berikut; a.



Nama-nama yang disepakati sejarawan sebagai anggota



dewan Walisongo: 1)



Raden Rahmat Sunan Ampel (Ampel Surabaya)



2)



Raden Paku Sunan Giri (Gresik)



3)



Sayid Zen Raden Abdul Qodir Sunan Gunung Jati (Cirebon)



4)



Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang (Tuban)



5)



Maseih Munat Raden Qasim Sunan Drajat (antara Tuban-



Sedayu) 6)



Raden ‘Alim Abu Huraerah Sunan Majagung (Mojoagung)



7)



Raden Undung Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus)



8)



Raden Syahid Sunan Kalijaga (Indramayu/Kadilangu)



b.



Nama-nama yang belum disepakati sejarawan dalam



keanggotaan di dewan Walisongo 1)



San Ali Raden Abdul Jalil Syekh Siti Jenar (Cirebon, Jepara,



Kediri). 2)



Syekh Sabil Usman Haji Sunan Ngudung (Ngudung, Jipang



Panolan, Jepara) 3)



Raden Santri ‘Ali Sunan Gresik (Gresik) 409



4)



Raden Umar Said Sunan Muria (di Muris, Jepara)



5)



Raden Sayid Muhsin Sunan Wilis (Cirebon)



6)



Raden Haji Usman Sunan Manyuran (Mandalika)



7)



Raden Fatah Sunan Bintara (Demak)



8)



Raden Jakandar Sunan Bangkalan (Madura)



9)



Khalif Husein Sunan Kertosono



10)



Ki Ageng Pandanarang Sunan Tembayat (Tembayat,



Klaten) 11)



Ki Cakrajaya Sunan Geseng (Lowano-Purworwjo)



12)



Sunan Giri Perapen



13)



Sunan Padhusan



13.



Dewan Wali berdasarkan peringkat Kewalian yang



ditetapkan oleh dewan Walisongo Ada dua peringkat kewalian yang ditetapkan stratifikasinya oleh dewan Walisongo di Demak, yaitu wali-songo dan wali-nukba/wali nawbah; wali yang sebenarnya dan wali pengganti, atau wali magang (pada masa Walisongo masih lengkap). a.



Wali-Songo (wali sebenarnya, wali pokok) menurut



Sejarawan 1)



Raden Rahmat Sunan Ampel (Ampel Surabaya)



2)



San Ali Raden Abdul Jalil Syekh Siti Jenar (Cirebon, Jepara,



Kediri). 410



3)



Raden Paku Sunan Giri (Gresik)



4)



Sayid Zen Raden Abdul Qodir Sunan Gunung Jati (Cirebon)



5)



Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang (Tuban)



6)



Maseih Munat Raden Qasim Sunan Drajat (antara Tuban-



Sedayu) 7)



Raden ‘Alim Abu Huraerah Sunan Majagung (Mojoagung)



8)



Raden Undung Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus)



9)



Raden Syahid Sunan Kalijaga (Indramayu/Kadilangu)



10)



Raden Umar Said Sunan Muria (di Muris, Jepara)



b.



Wali Nukba/Wali Nawbah, atau wali penggantai



1)



Sunan Tembayat



2)



Sunan Giri Perapen



3)



Pangeran Wujil (Kadilangu)



4)



Pangeran Kewangga



5)



Ki Gedhe Kenanga atau Ki Ageng Pengging



6)



Pangeran Konang



7)



Pangeran Cirebon (murid Siti Jenar)



8)



Pangeran Karanggayam



9)



Ki Ageng Sela



10)



Pangeran Panggung



11)



Pangeran Surapringga



12)



Ki Ageng Juru Martani



13)



Ki Ageng pemanahan 411



14)



Ki Buyut Pangeran Sabrang Kulon



15)



Ki Gede Wonosobo



16)



Panembahan Palembang



17)



Ki Ageng Majasta



18)



Ki Ageng Geribig



19)



Ki Buyut Banyubiru



20)



Ki Ageng Karotangan



21)



Ki Ageng Toyajene



22)



Ki Ageng Tayreka



23)



Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo



Catatan penulis; 1)



Wali-wali yang tergolong wali naubah, umumnya adalah



murid dan santri dekat, atau penganut ajaran Syekh Siti Jenar. 16 dari daftar nama wali-nawbah tersebut (73%) tercatat sebagai murid dan penganut ajaran Syekh Siti Jenar. 2)



Dalam kepustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta,



secara umum, Syekh Siti Jenar ditempatkan sebagai wali quthub, dan wali yang memiliki pengaruh serta peranan paling menonjol diantara para wali yang ada. Sementara dalam naskah-naskah resmi dari Demak, Sunan Kalijagalah yang menempati posisi tersebut. Naskah dari Gresik (Giri) menempatkan Sunan Giri sebagai Prabu Satmata, dan naskah-naskah baru dari Cirebon menempatkan posisi Sunan Gunung Jati pada posisi terpenting. 412



3)



Berdasarkan hal-hal tersebut, nampaknya studi yang



komprehensif perlu dilakukan, dengan tujuan utama merekonstruksi sejarah para wali tanah Jawa, serta sejarah Islam Indonesia pada proporsi yang sebenarnya. F.



Guru dan Silsilah Keilmuan



Diantara masalah krusial hingga saat ini, yang terkait dengan sejarah para wali penyebar Islam di Indonesia adalah kebelumjelasan mata rantai atau silsilah keilmuan, yang ikut menopang otoritas para wali tersebut. Tidak terkecuali dengan Syaikh Siti Jenar. Yang baru agak jelas hanyalah bahwa sebagian para walisongo adalah murid-murid Sunan Ampel. Dalam hal ini pada konsepsi siapa guru dan siapa murid, sering terjadi kesemrawutan. Pada masa awal penyiaran Islam di Cirebon, terdapat dua santri unggulan yang dibina Syekh Siti Jenar, yaitu Raden Qasim bin Ali Rahmatullah, dan Raden Sahid bin Arya Shidiq bupati Tuban, sebagaimana diceritakan dalam beberapa naskah Cirebon. Menurut beberapa riwayat Jawa Tengah, yang membawa dan mengantar Raden Sahid dan Raden Qasim ke Cirebon tidak lain adalah Sunan Bonang. Pada saat itu, pesantren Cirebon tersebut berada pada tahapan “transisi” setelah wafatnya Syekh Datuk Kahfi, dan belum diasuh oleh Sunan Gunung Jati. Diduga pada 413



tahapan transisi inoilah pesantren tersebut diasuh oleh Syaikh Siti Jenar sebagai salah satu santri kinasih Syekh Datuk Kahfi. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (bagian XXXI) hanya disebutkan bahwa Sunan Kalijaga bersahabat dengan Syekh Lamahabang. Sedang gurunya hanya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Padahal antara Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati sebaya, dan menuntut ilmu pada masa yang sama, termasuk ketika nyantri di padepokan Syekh Datuk Kahfi (dan Syekh Siti Jenar). Sedangkan naskah yang menyatakan Sunan Gunung Jati sebagai santri Syekh Siti Jenar antara lain Wejangan Sunan Gunung Jati, Pupuh 15 Sinom, bait 1-20; Babad Cirebon S.Z. Hadisutjipto, Pupuh 16 Sinom, bait 1-26. Bahkan secara lebih tegas dinyatakan dalam Carub Kanda, pupuh ke-15 Kinanti, bait 15-23 dan Pupuh ke-16 Sinom, bait 1-20. Dalam konteks ini, membahas darimana Syekh Siti Jenar memperoleh ilmu keagamaannya menjadi penting. Jalur al-Junayd al-Baghdadi melalui al-Hallaj dan al-Syibli Syekh Siti Jenar pernah memiliki banyak guru keagamaan dan makrifat. Sebagian adalah guru-gurunya di Indonesia, seperti Syekh Datuk Kahfi, dan sebagainya. Ada yang menyebutkan sebagian guru-gurunya adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Sebenarnya kepada tiga tokoh Walisanga tersebut, 414



Syekh Siti Jenar bukan berguru, namun wujud dari jalinan silaturrahim antar keluarga dan ulama, selain memenuhi adab sopan santun sebagai salah satu anggota Walisanga. Dari segi ajaran, sufisme wujudiyah tidak lepas dari mata rantai Manshur al-Hallaj hingga Abu Yazid Thayfur bin ’Isa al-Busthami hingga Syaikh Imam Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad bin al-Junayd al-Baghdadi (w.910 M), yang menjadi titik temu dari berbagai mata rantai ilmu tasawuf, baik tarekat maupun filsafat. Junayd al-Baghdadi diantaranya memiliki dua orang murid yang sama-sama beraliran sufisme wujudiyah, walaupun berbeda dalam keberanian ekspresinya, yaitu Ibn Manshur al-Hallaj (w. 922 M), dan Abu Bakar bin Dulaf bin Jahdar al-Syibli (w. 945). Manshur al-Hallaj sendiri memiliki sikap berbeda dalam ekspresi mistik, karena selain kepada al-Junayd al Baghdadi, al-Hallaj juga berguru kepada Abu Muhammad bin Sahl bin ’Abdallah al-Tustari dan ’Amr bin ’Utsman al Makki, yang mewariskan keberanian ekspresif tentang mistik. Sementara al-Syibli hanya berguru kepada Junayd yang lebih bersifat tenang dan lunak. Umumnya, hampir sebagian besar silsilah sufi memakai jalur Abu Bakar al-Syibli, untuk menghindari resiko sebagaimana dialami oleh al-Hallaj. Secara kebetulan, sewaktu di Gujarat, Baghdad, Damaskus, Basyrah dan Makkah, Syekh Siti Jenar menjalin kontak keilmuan dengan para ulama yang memiliki jalur silsilah 415



spiritual dari Junayd al-Baghdadi, baik dari jalur Manshur alHallaj, maupun dari jalur Abu Bakar al-Syibli. Sebagaimana diketahui, Junaid al-Baghdadi memiliki dua orang murid, yakni Abu Manshur al-Hallaj (yang juga murid Sahl alTustari dan Abu ’Amr al-Makki) dan Abu Bakar al-Syibli. Al-Hallaj memiliki murid Ibn Khalaf al-Syirazi. Al-Syirazi dan al-Syibli bersama-sama memiliki murid Abu alQasim Ibrahim al-Nasrabadi (w. 979), kemudian berturut-turut kepada Abu ‘Ali al-Daqqaq (w. 1016), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 1074), Abu ‘Ali al-Farmadi al-Thusi (w. 477/1084), dan kepada mistikus besar Ahmad bun Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Sampai pada silsilah ini, tampak bahwa al-Nasrabadi mewarisi dua jalur sekaligus, yakni dari a-Shirazi murid al-Hallaj, dan dari al-Syibli. Sementara sampai pada ‘Ali al-Farmadzi, juga terdapat jalur lain, yang menyampaikan silsilah keilmuannya kepada Abu Yazid al-Busthami, yang menjadi salah satu murid Syekh Imam Ja’far al-Shadiq, melalui Abu al-Hasan ’Ali al-Kharaqani (w.425/1034). Ahmad al-Ghazali juga berguru kepada Abu Bakar al-Nassaj alThusi (w. 487/1094), yang murid dari Abu al-Qasim al-Jurjani (w.469/1076), murid dari Abu ’Utsman Sa’id al-Maghribi (w.984), murid dari Abu ’Amr Muhammad al-Zayyad (348/959). Jadi tiga jalur silsilah dari Junaid al-Baghdadi bertemu dan berkumpul 416



kembali dalam pribadi Ahmad al-Ghazali. Syekh Ahmad al-Ghazali, kemudian memiliki empat murid utama, yang kemudian menjadi sumber dari beberapa tarekat besar. Dua orang murid Ahmad al-Ghazali, yakni ‘Ain al-Quddat al-Hamadani (w. 525/1131), dan Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.563/1168) bersama-sama menjadi guru dari Abu Hafs al-Suhrawardi Syaikh al-Isyraq al-Maqtul (w. 632/1234). Murid ketiga Ahmad al-Ghazali, Abu Fadhl al-Baghdadi menjadi guru Abu al-Barakat, yang menurunkan silsilah kepada Yunus al-Shaibani (w. 1222) dan menjadi jalur silsilah dari Sa’d al-Din Jibawi (w. 1335). Adapun murid keempat, Ahmad al-Khatibi al-Nalkhi menurunkan silsilah berturut-turut kepada Husain Jalal al-Din , Baha’ al-Din M. Walad (w.1231), Burhan al-Din Muhaqqiq al-Tirmidzi, yang menurunkan silsilah kepada sufi besar Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273). Sebagaimana diketahui, dari Hafs al-Suhrawardi kemudian memunculkan tarekat Suhrawardiyyah. Sementara Abu al-Najib al-Suhrawardi, selain memiliki siswa dan anak Abu Hafs juga memiliki murid Isma’il al-Qasri, dan memiliki anak Najm al-Din Kubra (w.618/1221) yang memunculkan tarekat Kubrawiyyah. Sa’d al-Din al-Jibawi memunculkan tarekat Jibawiyyah-Sa’diyyah. Dari Abu al-Fadhl juga kemudian memunculkan tokoh Nur al-Din Muhammad Ni’matallah Wali (w.834/1431) yang memunculkan tarekat Ni’matallahiyyah. Dan Rumi memunculkan tarekat 417



Mawlawiyyah. Di kemudian hari, dari jalur Rumi dan alSuhrawardi inilah, Syekh Siti Jenar mendapakan silsilah ilmu makrifat atau ijazah dan khirqa’ sufiyahnya. Shihab al-Din Abu Hafs ‘Umar al-Suhrawardi (w. 632/1234) diantaranya memiliki dua murid utama Najib al-Din ‘Ali b. Buzghush (w. 678/1279) dan Najm al-Din Muhammad b. Isra’il (w. 1278). Najib al-Din ‘Ali menurunkan mata rantai silsilah kepada Nur alDin ‘Abd al-Shamad al-Natanzi, Husain Husam al-Din alShamshari, Jamal al-Din Yusuf al-Ghurani, Nur al-Din ‘Abd alRahman al-Mishri, dan lalu ke Zain al-Din Abu Bakar al-Tabrizi (1356-1435). Adapun Najm al-Din Muhammad menurunkan mata rantai silsilah kepada Jalal al-Din Shah al-Bukhari (1192-1291), Ahmad alKabir, Jalal al-Din Husain b. Ahmad Kabir (1308-1384), Syaikh AlMakhdumi, Abu Muhammad ‘Abdallah: Burhan al-Din Quthbi ‘Alam al-Gujarati (w. 1453), lalu kepada Muhammad Shah ‘Alam al-Gujarati (w. 1475). Ulama terakhir inilah yang pernah menjadi guru dan memberikan khirqa’ sufi kepada Syaikh ‘Abdul Jalil sewaktu singgah di Gujarat, pada sekitar tahun 1463, dalam perjalanan pulang dari Makkah, ketika tinggal beberapa minggu di Gujarat. Melalui sejarah sufisme juga dapat diketahui bahwa Ahmad Abu 418



Hamid al-Ghazali dan Yusuf ibn Ayub al-Hamdani (w. 535/1140) mendapatkan pendidikan dan ijazah sufistik dari Abu Bakar alNassaj dan Abu ‘Ali al-Farmadzi. Khusus untuk Yusuf ibn Ayub alHamdani, juga mendapakan pendidikan dari ‘Abdallah al-Anshari al-Harawi (w. 481/1089) yang bersama ‘Ali al-Farmadzi mendapakan pendidikan dari Abu al-Hasan ‘Ali al-Kharaqani. Dari jalur Yusuf ibn Ayub al-Hamadani ini, kemudian muncul tokoh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389), pencetus tarekat Naqsyabandiyah yang salah satu pengikutnya adalah Syekh ‘Abd al-Rahman al-Jami’ (1414-1492), yang sangat mungkin sempat bertemu serta mengajarkan sufisme kepada Syekh Siti Jenar di Baghdad (rincian silsilah terlampir). Terdapat jalur lain yang menghubungkan silsilah spiritual Syaikh Siti Jenar kepada Manshur al-Hallaj dan Abu Bakar al-Syibli yang bertemu pada Jalaluddin Rumi. Dari al-Syibli kepada Ruzbihan Baqli, ke al-Kalabadzi, kepada Abu Nu’aiym al-Isfahani, kepada Abu al-Majid Majdul al-Sana’i (w. 1131), …., kepada Yahya Suhrawardi al-Maqtul (Syaikh al-Isyraq, 1153-1191), …., kepada Syamsi Tabriz, kepada Maulana Jalaluddin Rumi. Juga Dari al-Syibli kepoada Abu al-Qasim al-Jurjani, kepada Abu Bakar al-Nassaj & ‘Ali al-Farmadzi, kepada Imam Ahmad alGhazali, kepada Abu al-Najib al-Suhrawardi, kepada ’Ammar al419



Bidlisi & Isma’il al-Qasri, kepada Najm al-Din Kubra (w. 618/1219) kepada Majd al-Din al-Baghdadi (w. 616/1219), kepada Selain silsilah spiritual yang dikemukakan di atas, transformasi spiritual juga diperoleh Syekh Siti Jenar yang menghubungkannya kepada Farid al-Din ’Aththar (w. 1220), dan kepada Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273). Dengan demikian tampak jelas bahwa hubungan Syekh Siti Jenar dengan Manshur al-Hallaj bukan pada model tiruan paham dan pengalaman keagamaannya, akan tetapi memang murni dalam konteks silsilah atau transformasi ilmu makrifat dan khirqa’ serta ijazah spiritual melalui para guru atau mursyid yang autentik. Dari silsilah di atas juga tampak bahwa pengalaman dan ilmu tasawuf Syekh Siti Jenar mengacu pada aliran al-Junayd alBaghdadi, yang menjadi rujukan umum hampir semua aliran tasawuf. Hanya saja bedanya dengan aliran-aliran tasawuf, Syekh Siti Jenar menggabungkan mazhab sufi Junayd alBaghdadi dengan mazhab sufi filosofis Ibn’ Arabi. Sementara tokoh Junayd al-Baghdadi sendiri, yang juga menjadi rujukan sufisme Muhammad al-Ghazali, memiliki jalur silsilah spiritual sampai kepada Nabi Muhammad, melalui beberapa jalur. Jalur Ibn’Arabi sampai Syekh Siti Jenar



420



Silsilah keilmuan Syekh Siti Jenar dalam jalur ini memang belum dapat penulis hadirkan secara detail. Akan tetapi, paling tidak sudah mampu menunjukkan pola keterkaitan jalur ilmiah dari ajaran, pemirikan dan aplikasi spiritual Syekh Siti Jenar yang mengarah kepada paham Ibn al-‘Arabi, melalui beberapa jalur para pengikutnya. Ibn al-‘Arabi yang memiliki nama lengkap Syaikh al-Akbar Muhy al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Tha’i alHaitimi adalah seorang sufi dari Andalusia, yang lahir pada 17 Ramadhan 560 atau 18 Juli 1165 di Murcia Spanyol bagian Tenggara. Ia wafat pada 22 Rabi’ al-Tsani 638 atau November 1240 di Damaskus. Ibn al-‘Arabi memiliki banyak guru spriritual, di antaranya Ibn Qasi (w. 546/1151), Abu Syaja’ Dzahir Ibn Rustam, Ibn al-‘As al-Baji, Yahya Ibn Abi ‘Ali al-Zawawi (w. 611/1214) dan guru perempuan Yasamin dan Fathimah. Akan tetapi yang paling banyak mempengaruhinya adalah Ibn Madyan (w. 1197) dari Tlencem melalui Yusuf Ibn Khalaf al-Qumi (w. 1180). Di antara teman diskusinya adalah Ibn Rusyd (w. 595/1199) dab Syihab al-Din ’Umar Suhrawardi, yang bertemu di Baghdad pada tahun 608/1211. Ibn al-‘Arabi memiliki tiga murid utama yang mendapatkan ijazah atau kewenangan langsung dari Ibn al-‘Arabi untuk mengajarkan 421



mazhab dan karya-karya pemikiran serta ajarannya. Mereka adalah Al-Malik al-Asyraf Mudzaffar al-Din Musa (ijazah th. 632/1234), Shadr al-Din al-Qunawi, dan Sa’ad al-Din bin Hamyya (w. 1252), yang juga murid al-Qunawi setelah wafatnya Ibn ’Arabi. Shadr al-Din al-Qunawi merupakan orang pertama yang memperkenalkan istilah wahdat al-wujud bagi ajaran Ibn al-‘Arabi, walaupun kemashyuran istilah tersebut baru menyebar cepat karena kecaman-kecaman Ibn Taimiyyah. Al-Qunawilah yang menjadi tokoh paling berjasa dalam proses penyebaran pengaruh ajaran Ibn al-‘Arabi, sehingga akhirnya menjadi dominan dalam sejarah perkembangan sufisme di seluruh dunia islam. Al-Qunawi menjadi murid terdekat dan penting dari Syaikh al-Akbar, sekaligus menjadi tokoh pemadu antara sufisme al-‘Arabi dengan sufisme Timur. Al-Qunawi memiliki dua murid yang berperan besar dalam penyebaran ajaran Ibn al-‘Arabi, yaitu Mu’ayyad al-Din Jandi (w. 690/1291) dan Sa’id al-Din al-Farghani (w. 700/1301). AlFarghani selain mengadopsi paham Ibn al-‘Arabi juga mempelajari secara seksama ajaran Ibn al-Farid. Selain itu, alQunawi juga memiliki seorang murid brilian, yang menyebarkan paham Ibn al-‘Arabi melalui karya-karya puisi mistiknya, yaitu Jalal al-Din Rumi, walaupun pertemuan antara keduanya hanya terjadi sebentar. 422



Sa’ad al-Din bin Hamuyya (w. 1252) merupakan salah satu murid Ibn al-‘Arabi, sekaligus murid al-Qunawi. Ia adalah seorang murid dari Najm al-Din Kubra, pendiri tarekat Kubrawiyyah. Ia pernah tinggal di Damaskus dan di sanalah ia bertemu serta berguru kepada Ibn al-‘Arabi dan al-Qunawi. Ia memiliki peranan penting dalam penyebaran paham Ibn al-‘Arabi melalui muridnya, ‘Aziz alDin al-Nasafi (w. 700/1300). Jalaluddin al-Rumi bersama Mu’ayyaduddin Jindi mempunyai murid Shabistari (w. 1311), yang mewariskan ijazah sufiyahnya kepada Sayid ‘Amir al-Kulaly (w. 1390), kepada Syarf al-Din Isma’il Ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806/1401). Guru terakhir inilah yang kemudian menjadi guru seorang sufi besar, Syaikh ‘Abd alKarim Ibn Ibrahim al-Jilli (w. 826/1422). Sampai pada Syaikh al-Jilli inilah konsep wujudiyah dalam prototipe al-insan al-Kamil mencapai puncak perumusan teoritis dan praktis. Pada silsilah al-Jilli ini juga dari dua jalur silsilah alQunawi dan al-Malik Mudzaffar bertemu, untuk selanjutnya sampai kepada Syekh Siti Jenar. Jalur pertama, dari ’Abdul Karim al-Jilli, kepada Badr al-Din alMaqtul (w. 1420), kepada ‘Ali Turka al-Isfahani (w. 1427), kepada Khwaja Ahar (w. 1490), dan kepada Ibn Abi Jumhur al-Ahsya’ (1433-1499). Ulama muda terakhir inilah yang kemudian memberikan ijazah sufi kepada Syaikh Siti Jenar. 423



Jalur yang kedua, dari Syaikh ’Abdul Karim al-Jilli, akhirnya sampai kepada Syaikh ‘Abd al-Rahman al-Jami’ (1414-1492). Memang dalam silsilah tersebut, masih ada sedikit rantai putus (missing link) dari al-Jlli dan al-Jami’, dengan jarak satu atau dua generasi silsilah, karena ketika al-Jlli wafat pada tahun 1422, alJami’ baru berusia 8 tahun. Akan tetapi bahwa dalam karyanya sangat jelas bahwa ajaran sufi al-Jami’ berinduk pada ajaran ‘Abd al-Karim al-Jilli. Sementara pada rantai silsilah Badr al-Din, juga didapatkan rantai silsilah yang berasal dari al-Malik Mudzaffar. Badr al-Din meninggal dihukum gantung oleh Sultan Muhammad I pada tahun 1420. Tokoh-tokoh wujudiyah dari jalur Ibn al-‘Arabi yang dihukum mati oleh penguasa sebagai akibat dari kekakuan ulama-ulama kalam dan fiqh, selain Badr al-Din adalah Ibn Qasi yang dibunuh pada tahun 546/1151, Ibnu Barajan dan Ibn al-‘Arif yang diracun oleh Gubernur Afrika Utara, ‘Ali Ibn Yusuf, setelah beberapa tahun dikurung di dalam penjara. Bahkan Ibn al-‘Arabi sendiri seandainya tidak meninggalkan Spanyol, kemungkinan besar juga mengalami nasib yang sama, yang pada waktu itu masih di bawah kekuasaan Bani al-Muwahhidun, dengan kontrol ketat ulama kalam dan fiqh, yang sangat mudah memberikan fatwa hukuman bagi orang dan pihak lain yang dianggap sesat, walaupun mungkin hanya karena faktor kepentingan politik. 424



Adapun al-Malik al-Asyraf Mudzaffar al-Din Musa memperoleh ijazah langsung dari Ibn al-‘Arabi pada tahun 632/1234 sebagai salah satu murid yang dianggap memenuhi syarat utk meriwayatkan karya-karya Ibn al-‘Arabi. Syaikh Mudzaffaruddin mempunyai dua murid utama: Ibn Sabi’in (w. 1270) dan Awhad al-Din Balyani (w. 1288), yang kemudian keduanya memiliki murid Ibn Hud (w. 1297). Dari Ibn Hud ini silsilah sampai kepada Syaikh al-Maghribi (w. 1406), walau terdapat jarak dua generasi yang belum terungkap. Syaikh al-Maghribi menurunkan silsilah sufi kepada Badr al-Din al-Maqtul, kepada ‘Ali Turka al-Isfahani, kepada Khwaja Ahar (w. 1490) yang menjadi guru dari ‘Abd al-Rahman al-Jami’ dan Ibn Abi Jumhur al-Ahsya’. Dari dua guru terakhir inilah nampaknya Syaikh Siti Jenar mendapatkan silsilah kesufian yang berjalur kepada Ibn ’Arabi. Dengan memperhatikan keseluruhan mata rantai silsilah keilmuan dan silsilah spiritual di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar bukan semata tiruan dari ajaran Ibn Manshur al-Hallaj. Akan tetapi ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar benar-benar ditegakkan di atas landasan teoritis, praktis, dan filisofis, yang dibangun melalui jalur silsilah keilmuan serta ijazah sufi yang dapat dipertanggungjawabkan, serta memenuhi standar baku dalam konteks perolehan ilmu-ilmu tasawuf, dan 425



mendapatkan mata rantai yang berujung pada ajaran makrifat Rasulullah Muhammad saw., melalui para tokoh besar tasawuf dari zaman ke zaman. G.



Kontroversi Kematian SSJ: 7 Teori Wafatnya Syaikh Siti



Jenar Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosok Syekh Siti Jenar, maka demikian pula halnya tentang varian versi yang menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Patah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu ini juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan Trenggono. Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai cara meninggalnya Syekh Siti Jenar. Pertama. Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati 426



oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Walisongo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar oleh Ki Sosrowidjojo. Kedua. Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaan hukuman dilaksanakan di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Giri, dan dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai pesarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39, terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darah berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: “Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan.” 427



Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama. Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba dan pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid untuk menjalankan shalat. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancar sinar yang amat terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu 428



bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti. Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu. Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga mengisahkan bahwa para ulama itu telah berbuat curang. Jena¬zah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu sendiri dimakamkan mereka di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai inilah yang kemudian dipertontonkan oleh para ulama keesokan harinya kepada masyarakat luas un¬tuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menun¬tut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221): ”.. .luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh 429



tanah jawa tan ana..” ”.. .nah silakan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau temukan untuk membuat tipuan sebab itu semua mudah kamu peroleh. Akan tetapi, jika hendak mengganti dengan gajah engkau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada…” Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian. Ketiga. Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri tersebut atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47). Dikisahkan bahwa (Hariwijaya, 2006: 41-42) Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang cukup banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya menyimpang dari ajaran agama Islam. Ajarannya dipandang sesat. Ajarannya tentang keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan manunggaling kawula gusti dan curiga manjing warangka. 430



Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan mengasah mingising budi, memasuh malaning bumi, dan hamemayu hayuning bawana, yang bermuara pada pembentukan jalma sulaksana, al-insan al-kamil, sarira bathara, manusia paripurna, adi-manusia yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan uninong aning unong, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya dzat Tuhan dan dzat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia. Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati. Namun Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama satu tahun untuk memperbaiki kesalahannya. Selain itu juga karena masih menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji Saksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak bisa mengubah pendiriannya, maka hukuman mati itu akan diiaksanakan oleh oleh Sunan Gunung Jati diawasi oleh Sunan 431



Kalijaga dan Sunan Kudus. Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan muridmuridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyisembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujanya. Keempat. Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sunan Giri, dan yang menjadi algojo adalah Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa bukan dia yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia 432



melihat suami¬nya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218). Kematian Syekh Siti Jenar dalam dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disadur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah ka¬rena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harus ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana lalu mengambil sebuah pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati. Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah.” Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, “Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah.” Darah merah yang me¬ngucur itu seketika berubah berwarna 433



putih. Syekh Mau¬lana berkata lagi, “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau insan kamil betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tak terpisah.” Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna. Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian dibakar. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, “Saya dengar para wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing.” Mendengar penuturannya itu, Syekh Maulana kemudian membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap (Tebba, 2003: 43). Kelima. Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian 434



Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Sulendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra kacirebonan ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengkut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kasultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengikutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, ke¬kuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikut¬nya meluas hingga ke desa-desa. Setelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan untuknya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi mu¬rid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima balatentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi 435



murid Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang. Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu. Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di Istana Pangkuangwati. Selanjutnya balatentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian dibawa ke Masjid Agung Cirebon, tempat para wali telah berkumpul. Yang bertindak sebagai hakim ketua dalam persidangan itu adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan ek¬sekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 M (Sofwan, 2000: 222). Pada peristiwa selanjutnya, dalam Serat Negara Ker¬tabumi ini mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama 436



di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedang di kuburan yang sering dikun-jungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam. Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kubur dibuka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sul¬tan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28). Keenam. Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Walisongo. Pada saat hukuman harus dilaksanakan, para anggota Dewa Walisongo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota dewan Walisongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar 437



diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sunan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali oleh Abdul Munir Mulkan (t.t.). Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walisanga (sebagaimana juga terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa ke¬matian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sul¬tan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majlis Walisongo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Walisongo untuk rnengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya. Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan oleh ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentulah murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, segera mereka bunuh diri di dalam 438



ruang tahanan. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan. Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini menjalani mati, oleh karena itu merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa yang bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih untuk meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan. Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sul¬tan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan de¬ngan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu terlihat bah¬wa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat. Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. 439



Setelah berunding dengan Majelis Walisanga, Sultan kemudian mengutus lima orang wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima orang utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng dan Sunan Bonang. Yang disebut terakhir ini ada¬lah pimpinan utusan itu. Mereka diikuti oleh empatpuluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa agar Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekali pun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia untuk datang ke istana karena menurutnya wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkon-sentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia. Ketujuh. Bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara wajar, bahkan mokswa. Adapun yang diberikan hukuman mati adalah dua orang tokoh musuh Syekh Siti Jenar, yang menyalahgunakan nama besar Syaikh Siti Jenar untuk menyebarkan berbagai ajaran yang “nyleneh”, dan musykil, yang sebenarnya tidak diajarkan oleh 440



Syekh Siti Jenar. Dua tokoh tersebut disebut-sebut sebagai Raden Hasan Ali Anggaraksa, dan Syaikh ‘Ali Anshar al-Isfahani. Aspek Politik dibalik Simpangsiurnya Kematian Syekh Siti Jenar Namun tentu saja aspek politik masa itu juga ikut mempengaruhi persoalan simpangsiurnya nama Syekh Siti Jenar. Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai serat dan babad di Jawa, berita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan bau perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisir ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. Jika dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebanarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran 441



Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Yunus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di Sungai. Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun di bunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati peisir dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut. Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Walisongo di Masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi alam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah 442



kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat ‘awam. Keberadaan para ulama penjilat penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam alGhazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din menyebutnya sebagai al‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disampiung fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki kartekater jelak sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik). Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah 443



satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa dimana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalildalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus diberangus habis.. gambaran Pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktifitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang tukang hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversial. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal444



usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyaknya faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang obyektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar. Maka kkita mendapatkan dalam berbagai serat dan babad tersebut, bahwa ending dari kisah Syekh Siti Jenar se¬lalu dihiasi dengan usaha-usaha licik para wali, bahkan sekali pun terhadap mayatnya. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau oleh para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.



445



Belajar dari Falsafah Cacing Pada segi yang lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang saling berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca dan kemudian memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut juga ikut memperbanyak versi kisah yang ada. Dalam kasus Syekh Siti Jenar, hal ini dapat kita ambil contoh tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut ”berasal dari cacing (elur)”. Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semua ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padahal, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di museum Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud ”elur” (cacing) tidak lain adalah ”wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi wali, atau seorang wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah masyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000:87). Terkait dengan berbagai hal buruk hal yang dialami oleh Syekh 446



Siti Jenar ini, sebenarnya bukanlah persoalan yang aneh dalam tasawuf. Karena Syekh Siti Jenar hanya sekedar melaksanakan salah satu nasehat sufi, yang pernah dikemukakan oleh Syaikh Ibn ’Athaillah al-Sakandari dalam kitab Al-Hikam:



“Tanamlah wujud dirimu di kedalaman bumi paling dalam. Karena benih mana pun yang tidak ditanam berselimut bumi, pertumbuhannya pasti tidak akan menjadi sempurna”. Dengan segala kerendahan, caci maki, fitnah dan berbagai tuduhan serta perendahan yang selalu diterima Syekh Siti Jenar, hal itu justru semakin menumbuhsuburkan kebaikannya di sisi Allah. Sunni atau Syi’i? Beberapa penulis di Indonesia menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama penganut madzhab Syi’ah, yang mendapatkan tantangan para Wali lain yang bermadzhab Sunni (Rahimsah, t.t., 121-124; Simon, 2004: 368-371). Hal ini perlu dikoreksi, karena persentuhan Syekh Siti Jenar dengan para ulama Syi’ah hanyalah dalam konteks silaturrahmi dan mudzakarah. Dia sendiri secara fiqih lebih dominan bermadzhab sunni, walaupun dalam konteks analisis ilmiah dan pemikirannya 447



sangat filosofis, sebagaimana juga pernah terjadi pada pribadi legendaris, Imam al-Ghazali. Faham Ahlussunnah Waljama’ah Syekh Siti Jenar ditunjukkan dalam pernyataan Babad Tanah Jawa Poerwaredja yang dikutip Rinkes (1910: VI/115), bahwa Syekh Siti Jenar termasuk Walisongo yang berlandaskan pada ”Ijma’, Qiyas, Dalil, Hadits”. Perbedaan pendapat antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama Walisongo adalah lebih dalam konteks perbedaan apresiasi politik, aplikasi fiqih dan filosofi ketuhanan, bukan dikhotomi Sunni-Syi’ah. Sehingga membawa perbedaan pandangan tersebut dengan menariknya pada dimensi dikhotomi SunniSyi’ah menjadi tidak tepat, apalagi petunjuk ke arah sana tidak mendapatkan landasan referensi yang jelas. Hal ini memunculkan banyak kesalahpahaman dalam penulisan sejarah dan kisah tentang para Walisongo, utamanya Syekh Siti Jenar. Lebih parah lagi, sebagian penulis memberikan tuduhan bahwa maraknya penulisan Syekh Siti Jenar terkait dengan gerakan politik PKI dan zending Kristenisasi (misalnya Hasanu Simon, 2004: 381-383, 428-429). Tentu tuduhan ini menjadi suatu tindakan fitnah keji atas sejarah, dan sangat jauh dari kenyataan yang ada. Di sebuah dukuh terpencil sebelah Selatan dukuh Lemah Abang di Cirebon itulah kemudian Syekh Siti Jenar wafat di sekitar tahun 448



1530 M, dan jasadnya dikuburkan secara terhormat oleh para wali di astana Kemlaten. Kesunyian makamnya yang sampai sekarang terjadi, tidak lain menunjukkan keinginannya agar selalu berada dalam kesunyian bersama Ilahi, yang pada masa lalu tempat tersebut dikenal sebagai “Suwung”, sebuah lokasi yang dikhususkan beruzlah taqarrub kepada Allah. Salah satu versi menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara mokswa, yakni wafat, dimana jasadnya ikut hilang terserap menjadi ruh, dan berada di sisi Ilahi. Tentu hal ini dapat dipahami, bahwa Syekh Siti Jenar yang sudah diliputi oleh Ruh al-Haqq, sudah melepaskan diri kemanusiaannya secara total. Ia sudah menjadi sesuatu yang tiak bisa dijabarkan dengan katakata. Ya, manusia sempurna, al-insan al-kamil, sang adi-manusia, atau sang manusia Ilahi, adalah sang suwung, hampa, dan tak bermakna apa-apa, karena dirinya sepenuhnya sudah terserap dalam Sang Ilahi. III.



PENUTUP: SIKAP KRITIS TERHADAP SUMBER SASTRA



Ada sebuah kisah yang perlu diperhatikan. Misalnya cerita bahwa Ki Ageng Pengging mati dibunuh Sunan Kudus di sekitar tahun 1530 (Atmodarminto, 2000: 162-163; Moentadhim, 2010: 72, 256) sebagaimana juga tertulis dalam Babad Demak dan Suluk Malang Sumirang adalah juga perlu diteliti ulang. 449



Apalagi diriwayatkan bahwa Sunan Kudus bahkan berguru ruhani kepada Ki Ageng Pengging. Tidaklah mungkin, begitu selesai berguru, lalu sang murid membunuh gurunya sendiri. Demikian pula kisah bahwa Sunan Kudus mendatangi Ki Ageng Pengging untuk membunuhnya atas titah Sultan Fatah (versi De Graff [1949: 96-99] menyebutkan atas titah Sultan Trenggono), dan kemudian Ki Ageng Pengging wafat dengan memilih caranya sendiri, sebagaimana dikemukakan alam Serat Syekh Siti Jenar (juga dalam Daryanto, 2009: 179). Yang jelas, penyerbuan Demak ke Pengging dengan senopati perangnya adalah Sunan Kudus memang terjadi, dan menurut sebagian cerita Ki Ageng Pengging Anom meninggal dalam perang. Akan tetapi bukan vonis kematian yang disebabkan perbedaan ajaran Islam, namun karena memang Pengging tidak mau tunduk kepada Demak (Daryanto, 2009: 160). Ketidaktundukan Pengging kepada Demak disebabkan karena menurut Ki Ageng Pengging Sepuh (Pangeran Adipati Handayaningrat), Kesultanan Demak tidak sah, karena didirikan di atas pembiaran keruntuhan Majapahit, padahal Sultan Fatah termasuk putra Raja Majapahit yang seharusnya ikut bertanggungjawab atas keberlangsungan Majapahit. Raden Fatah mengetahui secara persis, bahwa di samping Lasem, Pengging termasuk “tanah mahkota” dari Majapahit (tanah milik 450



keluarga Raja dalam arti yang sebenarnya), bahkan Raja Hayam Wuruk, paling tidak dua kali pernah melakukan perjalanan ke Pengging secara khusus (Daryanto, 2009: 172). Kekuatan posisi Pengging inilah, selain kedudukan dan ketokohan Ki Ageng Pengging, termasuk suatu hal yang sangat diperhitungkan Demak. Setelah Ki Ageng Pengging Anom wafat (dalam salah satu versi meninggalkan Pengging untuk menemani gurunya Syekh Siti Jenar menempuh perjalanan ruhani menuju Tuhan), maka Kadipaten Pengging dipimpin oleh Jaka Tingkir, yang kemudian memindahkan pusat kerajaan Demak di Pajang (Sudarno dalam Moentadhim, 2010: 256). Perlu penulis tekankan, berbagai tuduhan sesat atas ajaran Syekh Siti Jenar sebenarnya hampir semua mengacu pada serat dan babad Jawa, yang ditulis oleh mereka yang tidak sepenuhnya mengerti tentang Islam dan tasawuf. Misalnya tokoh Wirjapanitra (t.t.) yang menulis Babad Tanah Jawi yang mengemukakan ajaran Syekh Siti Jenar pada pupuh 21-22 misalnya. Namun yang paling banyak dikutip dan dijadikan dasar adalah Serat Seh Siti Jenar, yang menurut banyak pihak ditulis oleh Ki Sosrowidjojo atau Ki Panji Notoroto. Serat ini memuat tentang Syekh Siti Jenar, ajaran dan wafatnya sejak Pupuh III Dandanggula sampai Pupuh IX Sinom. Sementara para ulama Walisongo sendiri tidak ada 451



yang menyatakan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat, apalagi sebagai seorang kafir atau murtad. Adapun vonis hukum mati oleh para Wali kepada para pengikut yang dianggap salah jalan, adalah dengan pertimbangan konteks ushul fiqih, syadz aldzara’i, yang mengedepankan konsep dar-u al-mafasid tuqdamu min jalb-u al-mashalih (mencegah keburukan lebih lanjut, harus lebih di dahulukan aripada menciptakan kebaikan). Walisongo tidak memandang sesat ajaran Syekh Siti Jenar nampak dalam memberlakukan jasad Syekh Siti Jenar yang sudah meninggal, bahwa jenazah Syekh Siti Jenar diperlakukan secara baik sebagai jenazah Muslim, dirawat, disucikan, dikafani dan dishalatjenazahkan (Rinkes, 1910: VI/50). Akan tetapi isi dari Serat tersebut, yang memang mengandung banyak ajaran yang meragukan tauhid Islam, kemudian mendapatkan koreksi menyeluruh dari Ki Sosrowidjojo sendiri dalam karangan yang dibuatnya kemudian, yakni dalam Serat Bayanullah (1975). Dalam Serat Bayanullah nampak sekali bahwa ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar tidak bertentangan dengan makrifat Islam pada umumnya. Tentu ketika orang membaca Serat Seh Siti Jenar, seharusnya membaca pula Serat Bayanullah, yang dibuat oleh tokoh yang sama. Kesalahan para penulis Syekh Siti Jenar, hanya mengandalkan satu sumber naskah mengenai Syekh Siti Jenar, tidak dan kurang mencoba 452



untuk mempertimbangkan sumber referensi yang lain. Melihat perbedaan isi antara Serat Seh Siti Jenar dengan Serat Bayanullah yang ditulis oleh orang yang sama, terdapat dua kemungkinan yang muncul: (1) Serat Seh Siti Jenar dibuat oleh Ki Panji Notoroto sebelum ia mengenal Islam secara lebih baik, dan setelah ia mengenal ajaran Islam secara baik, kemudian ia menulis Serat Bayanullah. Atau (2) bahwa Serat Seh Siti Jenar tidak benar-benar ditulis oleh Ki Panji Notoroto atau Ki Sosrowidjojo, namun ditulis orang lain yang sengaja menjungkirbalikkan ajaran Syekh Siti Jenar. Agar mendapatkan keabsahan yang lebih, maka penulis tersebut mencomot nama Ki Sosrowidjojo sebagai penulisnya. Bahkan kesalahan penulisan sejarah dan ajaran Syekh Siti Jenar dalam berbagai serat dan babad Jawa, sudah dikoreksi oleh para pujangga kuno, misalnya oleh Hardjawidjaja dalam Serat Syekh Siti Jenar, pada bait ke-2 sampai bait ke-4 menyatakan bahwa perihal Syekh Siti Jenar sebagaimana termuat dalam karya Ki Sasrawidjaja dan digubah juga oleh Kyai Mangoenwidjaja semuanya masih menyimpang dari cerita aslinya (lihat juga Sudirman Tebba, 2003: 27-29). Sehingga ketika seseorang mengutip dari karya-karya tersebut, haruslah disertai dengan sikap yang kritis. Pada kesimpulannya dari penelitian atas naskah Badu Wanar dan 453



naskah Drajat, Sjamsudduha (2006: 314) mengemukakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah ulama dan wali yang tidak tergolong (berasal) dari Jawa. Ilmu yang dipelajarinya (dan diajarkannya) tergolong ilmu yang tinggi dan sulit (Jawa = lungit). Dia tidak mengajarkan ilmu yang sesat dan menyesatkan. Bahwa dia diberitakan dalam berbagai sumber tradisi mengajarkan ilmu wahdatul wujud dan pengakuannya ana al-haqq yakni bahwa dirinya adalah Allah sehingga dijatuhi hukuman pancung, harus dicari klarifikasinya dalam konteks sejarah konflik paham keagamaan pada saat Serat Babad Demak (dan berbagai serat serta babad jawa yang lain) ditulis. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat memberitahukan kepada kita bahwa Syekh Siti Jenar memperdalam ilmi wahbat, tauhid, junun, ma’rifat dan ilmu tasawuf (diantaranya) kepada Sunan Ampel. Ilmu-ilmu tersebut diuraikan maknanya dan tetap berada dalam kerangka ilmu-ilmu menurut faham Ahl al-Sunnah wa alJama’ah (Sjamsudduha, 2006: 110-111). Hal ini juga akan menemukan titik temu ketika kita perhatikan berbagai penuturan naskah-naskah Cirebon. Ada tujuh naskah utama mengenai Walisongo yang berasal dari Cirebon, yakni: Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), Babad Tanah Sunda (BTS), Sajarah Cirebon (SC), Babad Cerbon terbitan Brandes (BC-Br), Carub Kanda (CK), Babad Cirebon terbitan S.Z. Hadisutjipto (BC-Hs), 454



dan Wawacan Sunan Gunung Jati (WSGJ). Dari tujuh naskah tersebut, yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran sesat dan kemudian dibunuh hanya tiga naskah, yaitu BTS, WSGJ, dan CPCN. Sementara dalam empat naskah yang lain: SC, BC-Br, CK, dan BC-Hs, Syekh Siti Jenar disebutkan secara mulia dan terpuji, tidak ada kesalahan dan pertentangan dalam ajarannya, dan tidak ada pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar baik oleh Sultan maupun para wali. Kesimpulan dari hal tersebut: bahwa menyandarkan referensi ajaran Syekh Siti Jenar kepada Serat Seh Siti Jenar, dan berbagai serat serta babad Jawa tidak sepenuhnya benar dan baik. Karena berbagai distorsi sejarah dan ajaran sudah banyak terjadi dalam penulisan serat dan babad Jawa, apalagi ditulis ditengah kemelut politik serta permusuhan berbagai paham keagamaan, sebagaimana terjadi pada abad ke-17 dan 18, disusul oleh pertempuran ideologi abad ke-20, yakni pada masa banyak ditulis ulang tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Tindakan kritis, analitis dan korektif sangat diperlukan. Pada akhirnya perlu dikemukakan, bahwa walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat tentang sosok Syekh Siti Jenar, namun terdapat satu kesamaan simpulan yang menyatakan bahwa: tidak bisa dipungkiri, masyarakat pedalaman Jawa pada masa Walisongo, menjadi muslim karena jasa besar Syekh Siti 455



Jenar (termasuk Sunan Kalijaga dan para ulama di pedalaman lain) yang mengambil posisi dakwah di lingkungan pedesaan dan pedalaman, ketika para wali yang lain menfokuskan perhatiannya di lingkungan perkotaan, metropolitan dan pesisir. Tentu tindakan dan amal shalih dalam bentuk jihad seperti itu, di sisi Allah mendapatkan penilaian yang sangat mulia.



456



22. Syekh Siti Jenar (Tasawuf Nusantara) A.



MUQADDIMAH Dalam perjalannya,



Islam



mempunyai sejarah



yang



panjang. Dari sanalah lahir beragam cabang ilmu di bidang keagamaan. Masing-masing dari cabang ilmu tersebut mempunyai ranah pembahasannya masing-masing. Salah satu cabang ilmu tersebut adalah ilmu tasawuf.



Dalam Islam sendiri, ilmu tasawuf merupakan kajian ilmu yang



mempunyai



varian



yang



bermacam-macam.



Dalam



perkembangannya, definisi tasawuf muncul begitu banyak. Dari definisi-definisi tersebut belum didapati sebuah pengertian yang dapat menggambarkan tasawuf secara menyeluruh. Ibrahim Basyuni menyatakan hal ini terjadi karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan defenisi tentang ilmunya sebagaimana para filsuf.



Ahli tasawuf hanya menggambarkan



tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Menurutnya, beberapa definisi yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, pertama al-bidayah, kedua almujahadah, dan ketiga al-mazaqah.[1]



457



Tasawuf mempunyai peranan dan pengaruh besar pada perkembangan Islam di Indonesia. Tasawuf merupakan salah satu bagian dari metode penyebaran ajaran Islam. Dari sinilah kemudian mempermudah berkembangnya Islam di Indonesia. Seiring berkembangnya zaman, maka bermunculan tokohtokoh tasawuf di Indonesia. Dari merekalah lahir berbagai pemikiran ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh tersebut adalah Hamzah al-Fansury, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, Abdul Rawf as-Singkil, Abdus Samad al-Palimbani, Muhammad Nawawi al-Bantani, Muhammad Nafis al-Banjary, Syekh Siti Jenar, dan masih banyak lagi. Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas pemikiran dan ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar.



B.



MENGENAL SYEKH SITI JENAR Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh sufi di Indonesia. Namanya telah akrab di telinga umat Islam di Indonesia, khususnya masyarakat Islam Jawa. Beliau hidup pada abad ke-16 masehi (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban (Cirebon sekarang). Dalam sejarahnya, ia memiliki banyak nama. Terhitung ada 16 nama gelar yang ia miliki. Di antara beberapa nama yang terkenal adalah San Ali, Syekh Abdul Jalil, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Siti Jenar. Nama 458



terakhir



merupakan



nama



filosofis



yang



menggambarkan



ajarannya tentang “Sangkan-Paran” yakni bahwa manusia –secara biologis –hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah Zat Allah SWT. [2] Ada yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Konon dikatakan bahwa ia merupakan putra dari seorang raja Pendeta yang bernama Resi Bungsu.[3] Ada pula riwayat



yang



menyebutkan



Syekh



Siti



Jenar



merupakan



penjelmaan dari cacing.[4] Hanya saja banyak yang menyalahkan riwayat yang terakhir ini. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat Jati, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas.[5] Dari beberapa penelitian berbagai sumber, KH. Muhammad Sholikhin menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan salah satu keturunan ulama dari Malaka.[6] Dari sumber inilah dijelaskan bahwasanya pada akhir tahun 1424 M, di Kesultanan Malaka telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Mudzaffar Syah (1424-1458) kepada Sultan lama Muhammad Iskandar Syah (1414-1424). Beberapa saat setelah Mudzaffar Syah melakukan kudeta dan berhasil menaiki tahta, maka terjadilah “pembersihan” bekas orang-orang dekat Iskandar Syah.



459



Pada saat bersamaan, terjadi pula perselisihan antara bangsawan keturunan Tamil yang dipimpin Tun Ali dengan bangsawan Melayu. Ketika Tun Ali memenangkan perselisihan, maka banyak ulama dan pejabat Melayu yang dibunuh. Syekh Datuk Shaleh[7] adalah ayah kandung Syekh Siti Jenar sekaligus seorang ulama terkenal di Malaka. Ia memilih meninggalkan Malaka dan memutuskan untuk pergi ke Palembang. Ternyata di Palembang masih terdapat orang Malaka yang memusuhinya. Ia pun memutuskan untuk pergi ke Kota Cirebon. Ia tinggal di sana beberapa bulan lamanya sebelum akhirnya meninggal.Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, di bawah asuhan Syekh datuk Kahfi.[8] Setelah berumur lima tahun, Syekh Siti Jenar diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Padepokan Giri Amparan Jati. Pada tahun 1445 M, setelah 15 tahun menimba ilmu di Padepokan amparan Jati (kala itu ia berumur 19 tahun), ia berniat untuk keluar dari pondok dan mendalami kerohaniannya (sufi). Pengembaraan spritualnya pun dimulai. Beberapa tempat yang telah ia datangi, yaitu (kerajaan) Pajajaran, Palembang, Malaka, dan kemudian ke Timur Tengah. Ia singgah ke Baghdad dan kemudian ke kota suci Mekkah. Sekembalinya dari Timur Tengah (1463 M), Syekh Siti Jenar mulai menyebarkan ajaran dan 460



pandangannya. Pada saat itu ia telah berumur 37 tahun. Ia kembali ke Caruban Larang, Cirebon, tempat kelahirannya yang sempat ia tinggalkan kurang lebih 17 tahun lamanya.[9]



C.



KONSEP DAN AJARAN SYEKH SITI JENAR Pemikiran Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan kontroversial. Ia dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan Kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah dan agamawan yang terdiri dari Wali Songo.[10] Para wali kerajaan menganggap Syekh Siti Jenar telah menyebarkan menyiarkan



pemahaman dan



agama



mengajarkan



berdasar agama



hawa



Islam



nafsu, menurut



pandangannya sendiri.[11] Secara garis besar, dalam buku Falsafah Siti Jenar(Brotokesowo) terdapat gambaran ajaran yang secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.



Bahwa dalam diri manusia terdapat potensi kuat akan penerapan sifat-sifat Ilahi.



2.



Hyang Widi (Tuhan Yang Kuasa Penuh) sebagai suatu wujud dengan segala sifat-Nya (keilahian-Nya). Semuanya ada dalam diri 461



yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya. 3.



Bahwa dalam diri manusia yang luhur dan luhung terkandung unsur esensial dari Zat Yang Luhur.



4.



Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Zat Allah, Mahasuci.



5.



Sebagai akibat dari itu semua, maka wujud lahiriah manusia dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah “Muhammad”.



6.



Kehendak, angan-angan, dan ingatan insaniah merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, dan sifat-sifat buruk lainnya.



7.



Bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan manusia.[12] Dalam buku Suluk Wali Songo (R. Tanojo) disebutkan beberapa elemen dasar ajaran Syekh Siti Jenar.



1.



Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila dilihat dengan warna memancar yang sangat indah.



462



2.



Syekh Siti Jenar sebagai Sosok Yang Ilahi, mengetahui segalagalanya sebelum terucapkan, melebihi makhluk lain, karena ia telah “manunggal” di dalam Tuhan.



3.



Posisi Tuhan ada di dalam diri manusia dan keseluruhan semesta, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatNya.



4.



Hidup yang sesungguhnya adalah tidak mengalami mati, dan hidup itu adalah kekal. Dunia itu bukanlah kehidupan, tapi kehidupan dunia itu kematian.



5.



Jiwa yang bersifat kekal, atau langgeng setelah manusia mati adalah suara hati nurani yang merupakan ungkapan dari Zat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa, sedangkan raga adalah wajah Hyang Widi yang harus ditaati perintahnya.[13]



D.



AJARAN DAN JALAN KEMATIAN SYEKH SITI JENAR Pemikiran Syekh Siti Jenar dalam masalah hidup dan mati memiliki makna berbeda dari apa yang diajarkan para Wali Songo. Siti Jenar menerangkan tentang kematian, kehidupan, dan jalan menuju kebebasan serta bagaimana cara meraih dua hal itu, hidup dan mati. konsep ini dikenal dengan sebagai ‘Lima Langkah Kebebasan’.[14]Masing-masing langkah itu ialah sebagai berikut: 463



1. 2.



Ia mengajarkan tentang asal usul kehidupan. Ia mengajarkan tentang masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan.



3.



Ia menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal dan abadi.



4.



Ia menunjukkan tempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani manusia sekarang.



5.



Ia mengajarkan tentang adanya Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.[15] Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa dunia ini adalah alam kematian. Maka, manusia yang hidup di dunia bersifat mayat atau bangkai. Kehidupan di dunia sekarang ini bukanlah kehidupan yang sejati, karena masih akan dihampiri oleh kematian. Sedangkan kehidupan sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada badan wadak yang bisa rusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsunafsu badaniah.[16] KH. Muhammad Sholikhin lebih lanjut menjelaskan dalam bukunya: Dalam al-Qur’an terdapat pernyataan “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun” , yang artinya ‘Sesungguhnya kamu itu hanya 464



mayat, bangkai, dan mereka pun juga hanya mayat’ (QS. Al-Zumar 39: 30). Dalam al-Qur’an dibedakan antara kata mayat dengan maut. Maut bermakna kematian, sedang mayat adalah benda yang mengalami kematian alias bangkai. Kata mayat juga terdapat dalam QS. 23: 15 dan 37: 58. Intinya sama, penekatan sifat mati, atau



sebagai



mayat,



atau



bangkai.



Itu



semua



adalah



penyandangan sifat kehidupan dan kematian di dunia. Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa “Hayyun daaimun laa yamuut Abadan”, hidup itu bersifat daim, kekal selamanya, tidak pernah ada kematian. Inilah hakikat hidup. Allah sendiri menyandang nama al-Hayyu. Roh manusia berasal dari kehidupan yang hakiki dan akan kembali kepada kehidupan hakaki. Namun, di dunia ini, zat hidup memerlukan awak (ahlab: wadah) yang bersifat bangkai sesuai kondisi duniawi. Maka, begitu roh tergiring ke alam wujud, maka



ia



akan



menempati



bangkai



sebagai



sarana



persemayamannya. Syekh Siti Jenar menandaskan bahwa ”Kullu aalamin mawujuuduun”, setiap alam ada eksistansinya. Peragaan roh dalam “Bangkai” di dunia tidak lain agar sang roh yang azali itu bisa bereksistensi di alam kematian dunia.[17] Karena itu, Siti Jenar begitu merindukan hidupnya yang dulu sebelum ia lahir ke dunia, tatkala masih dalam keadaan suci. Baginya,kelahiran di dunia di dalam alam kematian, membuat 465



manusia begitu susah payah dan amat berat. Manusia terikat pancaindra, menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga manusia hampir tergila-gila di dalam alam kematian. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa seluruh alam ini adalah mayyitun. Kekuasaan dan semua harta benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah. Manusia juga sering merasa dirinya yang paling cukup dan pandai. Padahal sejatinya mereka hanyalah berupa mayat. Siti Jenar memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dunia di dalam neraka yang dahsyat. Kehidupan abadi yang sesungguhnya itu hanya bisa dijalani setelah



seorang



manusia



menemui



ajalnya.



Dalam



alam



kehidupan yang nyata itulah, ketentuan syariah baru bisa berlaku.[18] E.



MANUNGGALING KAWULA GUSTI ( WARONGKO MANJING CURIGO ) Manunggaling Kawula Gusti



sering diartikan bahwa



menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahwa tepat.



Gusti Gusti



sebagai



personifikasi



(Pangeran,Ingsun)



yang



Tuhan



kurang



dimaksud



adalah



466



personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), atau (emanasi, pancaran) Tuhan.[19] Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam



ajarannya



pula,



Manunggaling



Kawula



Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia: “Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka



hendaklah



kamu



tersungkur



dengan



bersujud



kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72). Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan



polemik



bahwa



di



dalam



tubuh



manusia



bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling 467



Kawula Gusti.[20] Padahal jika diamati, sebetulnya ajaran ini merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah. Sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain adalah bersatunya manusia dengan manusia (Manunggaling Kawula Gusti).[21] F.



KEMATIAN SYEKH SITI JENAR Ada dua pendapat umum mengenai tahun kematian Syekh Siti Jenar. Pertama, ia wafat pada tahun 1517 M. Ini mengacu pada asumsi vonis hukuman mati oleh Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh



Sunan



Giri



pada



masa



pemerintahan



Raden



Fatah.[22] Kedua, tahun wafat Syekh Siti Jenar 1530 M. Pada masa Kesultanan Demak diperintah oleh Sultan Trenggono.[23] Terkait proses kematiannya, berbagai sumber memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat tujuh versi mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar, ini dengan mengecualikan pendapat yang mengatakan ia wafat pada tahun 1530 M. 1.



Ia wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun Kesultanan 468



Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syekh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo. 2.



Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati yang juga sekaligus menjadi algojo. Hukuman dilaksanakan di Masjid Ciptarasa Cirebon. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994).



3.



Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksanan hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati.



4.



Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sunan Giri, dan yang menjadi algojo adalah Sunan Giri sendiri. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam Babad Demak.



5.



Vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi adalah Sunan Kudus. Versi ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi.



6.



Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali Songo. Akan tetapi hukuman tersebut tidak jadi dilaksanakan, karena ia memilih cara kematiannya sendiri. Ia memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar. 469



7.



Terdapat dua tokoh yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama Kecil Syekh Siti Jenar. Tokoh pertama adalah Hasan Ali[24], sedangkan tokoh kedua adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia[25]. Ketika usia Syekh Siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerjasama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa. Kedua tokoh ini memalsukan ajaran Syekh Siti Jenar. Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syekh Lemah Abang dan beroperasi di Jawa bagian barat, sementara San Ali Anshar mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dan beroperasi di Jawa bagian timur. Kedua orang ini dihukum mati oleh anggota Wali Songo. Kemungkinan karena silang silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan Babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur.[26]



G.



KESIMPULAN Syekh Siti Jenar merupakan sosok fenomenal dalam sejarah keislaman di Indonesia. Ia mempunyai ajaran yang sedikit berbeda dengan para tokoh Wali Songo yang pada saat itu menjadi basis Islam Indonesia. Atas dasar inilah, banyak yang mengklaim ajaran yang ia bawa adalah sesat. Terlepas dari itu semua, konsep dan ajaran Syekh Siti Jenar menjadi hal yang patut untuk dikaji. Ini



470



menjadi bukti betapa kayanya khazanah keilmuan yang dimiliki oleh Islam. Beragam pemikiran keagamaan lahir dari seorang Syekh Siti Jenar. Salah satu yang paling dikenal masyarakat adalah tentang ajaran dan jalan kematian. Dalam ajaran ini, konsep yang ia kenalkan kepada murid dan masyarakat setempat adalah ‘Lima Langkah Kebebasan. Selain itu terdapat satu istilah yang sangat akrab dengan Syekh Siti Jenar. Istilah itu adalah Manunggaling Kawula Gusti (Warongko Manjing Curigo). Ada sedikit perbedaan antara apa yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar dengan apa yang dipahami oleh murid-muridnya. Dari sinilah muncul polemik terhadap pemikiran Syekh Siti Jenar yang berujung pada klaim sesat terhadap ajarannya. Tidak sampai di situ saja. kematian Syekh Siti Jenar sampai saat ini masih menjadi misteri bagi masyarakat Muslim Indonesia. Setidaknya terdapat tujuh versi proses kematian yang didasari pada Babad dan Serat Syekh Siti Jenar. Semua sumber memiliki dasar dan alasan masing-masing. Terlepas dari itu semua, Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama besar yang telah memberikan warna dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia



471



23. Syekh Siti Jenar Tidak Wafat Dieksekusi



Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini.



"Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300



pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya, Sabtu. Ia mengungkapkan hal itu untuk meluruskan stigma jelek terhadap sosok Syekh Siti Jenar dalam bedah buku bertajuk "Susuk Malang Sungsang" yang berjumlah tujuh jilid di Toko Buku (TB) Togamas Surabaya. Bedah buku karya Agus Sunyoto itu menampilkan pembahas Mohammad Sobary (mantan PU LKBN ANTARA/LIPI), Prof DR Setyo Yuwono Sudikan (budayawan/guru besar Universitas Negeri Surabaya), dan KH Agus Ali Masyhuri (PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo). Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) dan tidak mengajarkan "sasahidan" atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini. 472



"Jadi, para pengikut beliau menganggap persepsi orang tentang Syekh Siti Jenar selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan," katanya. Ajaran



manunggaling



kawula-Gusti



(kesatuan



Tuhan



dan



manusia), katanya, merujuk pada Al-Qur’an (firman Allah SWT) bahwa Allah SWT ada dimana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu atau Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong. "Ketika Nabi Muhammad SAW membangun ka’bah bukan berarti Tuhan itu ada di ka’bah tapi di tengah-tengah ka’bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," katanya. Membedah buku karya Agus Sunyoto itu, budayawan Prof DR Setyo Yuwono Sudikan yang juga guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi sosok Syekh Siti Jenar melalui buku. "Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya," katanya. 473



Senada dengan itu, budayawan Mohammad Sobary yang juga mantan Pemimpin Umum (PU) LKBN ANTARA itu menyatakan karya Agus Sunyoto membuktikan bahwa sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final. "Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada, bahkan Agus Sunyoto juga berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar," katanya. Namun, katanya, karya Agus Sunyoto akan lebih hebat lagi jika tidak hanya berhenti pada penampilan sosok Syekh Siti Jenar secara lebih adil, melainkan juga mendorong pembaca tertarik meneladani Syekh Siti Jenar dan akhirnya sujud kepada Allah SWT yang menciptakan tokoh seperti Syekh Jenar. Catatan serupa juga dikatakan pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, KH Agus Ali Masyhuri. "Agus Sunyoto memang mampu menjebol stigma jelek tentang sosok Syekh Siti Jenar," katanya. Bahkan, katanya, pandangan bahwa Syekh Siti Jenar itu mampu mengubah diri seperti cacing atau anjing telah dibantah, karena pandangan seperti itu sama halnya dengan rekayasa untuk memojokkan seorang wali.(ant/mkf) 474



25. Versi Lain Kontroversialnya Syekh Siti Jenar



Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku. Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing. Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia 475



berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]… Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yang saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa. Disamping sebagai wali penyebar Islam di tanah Jawa. Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal­Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota arim di Hadramaut. Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al­Muhajir al­Bashari al­‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari arim ke India. 476



Jika diurut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzafar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil. Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di tanah Caruban ini, sambil 477



berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dengan ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat. Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu. Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual. Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin 478



1. Datuk Shaleh bin 2. Sayyid Abdul Malik bin 3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin 4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin 5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin 6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al­Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin 7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, aman) bin 8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, aman dimakamkan di Oman) bin 9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin 10. Sayyid Alawi Ats-sani bin 1. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin 12. Sayyid Alawi wwal bin 13. Sayyid Al­Imam ‘Ubaidillah bin 14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, aman ) bin 15. Sayyid ‘Isa Naqib A -Rumi (Basrah, Iraq) bin 479



16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin 17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin 18. Sayyidina Ja’far As­Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin 19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin 20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti (35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin 21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin (22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti (23.b) Muhammad SW (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon Syech Siti Jenar ali Kesepuluh Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenar Keberadaannya yang misterius membuat 480



pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang. Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa timur , tersohor dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al­Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Saya berusaha meraba untuk menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah, KH Abil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit. Bagi saya yang awam sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, saya hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistis, dalam sumber yang saya terima, beliau merupakan 481



keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi. Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah.walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun secara pribadi saya tetap yakin dengan Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng. Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak 482



aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanah, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya teja



yang



bernama



Condrowati,



dari



pernikahan



dengan



Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat). Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasai dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa timur Bagian timur) walaupun



tinggal



disebuah



bukit



di



Banyuwangi



namun



keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul akin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok 483



di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang ayah. Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu asawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu auhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. . Sebab ketika orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap uhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah). Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektualnya. Sehingga keberadaan Joko tingkir menjadi seorang politisi dan mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dan hingga dapat ditaklukkannya. Jaka tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. 484



Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik. Bila kita sediki saja mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir , andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tentu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang. Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tidak heran apabila banyak kalangan elit



Majapahit



yang



masuk



Islam.



Santri-santrinya



yang



dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya



485



Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat. Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi



tahun



dan



tempat



eksekusi



tersebut.



Sehingga



seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebab Raden Patah sebagai



pendiri



merupakan



anak



dari



Raden



Brawijaya,



seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan Majapahit Baru versi Islam. Tidak heran bila setelah Raden trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko tingkir memindahkannya ke Pajang. Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau 486



Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Mendiskusikan tentang wafatnya Syekh Siti Jenar memang cukup menarik. Sebagaimana banyaknya versi yang menjelaskan tentang asal-usul dan sosol Syekh Siti Jenar , maka demikian pula halnya tentang berbagai versi yang menerangkan tentang proses kematiannya. Secara umum kesamaan yang diperlihatkan oleh berbagai literatur seputar kematian Syekh Siti Jenar hanyalah yang berkaitan dengan masanya saja, yakni pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden Fatah sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Tentu hal ini juga masih mengecualikan sebagian kisah versi Cirebon, yang menyebutkan bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar terjadi pada masa Sultan trenggono. Sedangkan yang berkaitan dengan proses kematiannya, berbagai sumber yang ada memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Sampai saat ini, paling tidak terdapat beberapa asumsi (tujuh versi) mengenai proses meninggalnya Syekh Siti Jenar. Versi Pertama Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan wali 487



Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada “Serat Syeikh Siti Jenar” oleh Ki Sosrowidjojo. Versi Kedua Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaannya di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Giri, kemudian dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai Pasarean Kemlaten. Versi yang lain perihal kematiannya, Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darar berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata: “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan­Nya”. Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke suga seiring dengan kata­kata: ”Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Allah yang Mahakuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan”. Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama. Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa 488



setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur tunggal (1480 M. tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba, maka pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau bunga Kasturi.



Selesai



shalat



para



santri



diperintahkan



untuk



meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar. Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. . Ketika



peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar



memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancarkan sinar yang amat terang, bagaikan siang hari. Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari.



489



Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti, Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu. Dalam Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk walisanga dikisahkan bahwa para ulama telah berbuat curang. Jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu dimakamkan mereka di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai itu dipertontonkan keesokan harinya kepada masyarakat untuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat. Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menuntut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya,



dia



menyindir



kelicikan



para



wali



dengan



mengatakan: ...nah silahkan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau peroleh. tapi, jika hendak mengganti dengan gajah, kau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada...”



490



Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian. Versi Ketiga Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri atas usulan Sunan Kalijaga. Dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya dipandang sesat dan keluar dari ajaran Islam. Ia mengajarkan tentang keselarasan antara tuhan, manusia dan alam. Hubungan manusia dengan tuhannya diungkapkan dengan “Manunggaling kawula­gusti” dan “Curiga Manjing warangka”. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan “Mengasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi”, dan “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang bermuara pada pembentukan “Jalma Sulaksana”, “Al­insan Al­kamil”, “Sarira Bathara”, “Manusia Paripurna”, “Adi Manusia” yang imbang lahir batin, jiwa­raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya. Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan “uninong aning unong”, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya Zat 491



tuhan dan zat manusia adalah satu, manusia ada dalam tuhan dan tuhan ada dalam manusia. Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah



mendengar



penjelasan



dari



berbagai



pihak



dan



bermusyawarah dengan para wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati. Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kesalahannya sekaligus menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak Negara. Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak mengubah pendiriannya, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan. Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun



bubar



,



menyembunyikan



diri



dan



sebagian



masih



mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyisembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berbubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujinya. Versi Keempat Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhi Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti 492



Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia bukan yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suaminya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan. Kematian Syekh Siti Jenar dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad tanah Jawa. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah karena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harum ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar.. Syekh Maulana kemudian mengambil



493



pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati. Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah”. Dari luka­luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, ”Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah”. Dari merah yang mengucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Maulana berkata lagi. “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau ‘insan kamil’ betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tidak terpisah”. Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna. Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kail putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian di bakar. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar . Dia berkata, ”Saya dengar para 494



wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar . Kalau memang demikian, lebih baik saya juga tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing”. Mendengar penuturannya itu kemudian Syekh Maulana membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar . Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap. Versi Kelima Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra “kacirebonan” ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengikut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kesultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengkutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan. Ketika Pengging 495



dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, kekuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikutnya meluas hingga ke desa-desa. Serelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Padepokan Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang



diembankan



sultan



kepadanya,



namun



dia



tidak



mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi murid Syekh Siti Jenar . Bahkan panglima bala tentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi muridnya Syekh Siti Jenar Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang. Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai memberi bantuan untuk tujuan itu. Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di istana Pangkuangwati. Selanjutnya bala tentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang.



496



Syekh Siti Jenar kemudian di bawa ke masjid Agung Cirebon, tempat para wali telah berkumpul. Dalam persidangan itu, yang bertindak sebagai hakim ketuan adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan eksekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506. Pada peristiwa selanjutnya, mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. .Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan, jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedangk di kuburan yang sering dikunjungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam. Ketika para perziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa timur, kuburan di buka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu.Ketika itu Sultan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi 497



bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar.. Versi Keenam Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh wali Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo. Suluk



walingsanga (sebagaimana juga yang



terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa kematian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sultan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majelis wali Songo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis wali Songo untuk mengadakan tukar pikiran



498



(lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya. Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi, bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentu murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, maka mereka bunuh diri di dalam penjara. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu tuhan. Mereka beranggapan bahwa hidup sekedar menjalani mati, oleh karena itu mereka merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat tuhan. Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sultan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar . Dalam pertemuan itu 499



terjadi perdebatan antara utusan Sultan dengan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu, terlihat bahwa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat. Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis wali Songo, Sultan kemudian mengutus lima orang wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan Sunan Bonang sebagai pemimpin utusan itu. Mereka diikuti oleh empat puluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekalipun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia datang ke istana karena menurutnya wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang 500



ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkonsentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia. Versi Ketujuh Bahwa terdapat dua orang tokoh utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syekh Siti Jenar , San Ali. Tokoh yang satu adalah Hasan Ali, nama Islam Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang semula berambisi menguasai Cirebon, namun kemudian terusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi seorang guru suci utama di Giri Amparan Jati. Tokoh yang satunya lagi adalah San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, yang semua merupakan teman seperguruan dengan Syekh Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyimpan dendam pribadi kepada Syekh Siti Jenar karena kalah dalam hal ilmu dan kerohanian. Ketika usia Syekh siti Jenar sudah uzur, dua tokoh ini bekerja sama untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syekh Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syekh Siti Jenar.



501



. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam. Syekh Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian timur . Kedua orang ini sebenarnya yang dihukum mati oleh anggota wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar sebagai guru dan anggota wali Songo. Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di daerah Jawa, cerita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur . Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar . Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan



menjadi



“halal”



untuk



dilakukan,



termasuk



dengan



mempolitisasi ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. Jadi dikaitkan dengan kekuasaan Sultan 502



renggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya



Sultan



trenggono



sebagai



penguasa



tunggal



KesultananDemak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai. Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai. Kematian



kakaknya



tersebut



diduga



atas



strategi



Sultan



trenggono. Sultan trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut. Salah satu tokoh penentang utama naiknya trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar . Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan 503



trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. . Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat awam. Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak



kepentingan



penguasa



itu



sebenarnya



sudah



digambarkan oleh para ulama. Imam Al­Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al­Din menyebutkan sebagai al­‘ulama’ al­su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka 504



Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik). Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis. Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang 505



menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata- mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. Walaupun



demikian,



sejumlah



besar



keterangan



yang



mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan



secara



eksplisit



karena



akan



mengurangi



“keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar 506



.Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa dalam berbagai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syekh Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya. Pada sisi lain, disamping disebabkan banyaknya referensi yang berbeda dalam menjelaskan kisah Syekh Siti Jenar, pemahaman mereka yang membaca akan memberikan pemahaman baru dari bacaan tersebut sehingga memperbanyak versi. Misalnya, tentang pemahaman salah satu versi mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar yang dalam Serat Syekh Siti Jenar, sebagaimana juga disadur dalam Falsafah Syekh Siti Jenar disebut “berasal dari caing (elur)”. Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semula ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padalah, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar, bahwa yang dimaksud “elur” (cacing) tidak lain adalah “wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar wali yang menjelata 507



(menempatkan dirinya berada di tengah-tengah mansyarakat jelata). Akhir kata, semoga tulisan yang panjang dan tidak runut ini memberikan wawasan baru bagi kerabat akarasa. Semua berpulang pada kerabat akarasa sekalian dalam memandang sisi kontoversi yang saya tulis ini.



508