Telaah Jurnal Kel R2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TELAAH JURNAL Penurunan Intensitas Rasa Haus Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dengan Menghisap Es Batu



KELOMPOK R (2) :



Asra Dewita S.Kep



2141312009



Nurrezki Gustina Sari N S.Kep



2141312049



Ainul Fitri S.Kep



2141312046



Sri Hartinah S.Kep



2141312052



Kristina Wangguay S.Kep



2141312023



Agnesia Chelsea Adriani S.Kep



2141312078



PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS 2021



BAB 1 PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Cronik Kidney Disease (CKD) merupakan perkembangan dari gagal ginjal dan hasil akhir destruksi jaringan gradual yang progresif dan lambat berlangsung beberapa tahun (Nurarif & Kusuma, 2013; Buss & Labus, 2013). PGK tidak dapat disembuhkan dan fungsi ginjal tidak dapat kembali normal lagi, yang dapat dilakukan hanya mempertahankan fungsi ginjal yang masih ada. Pasien yang mengalami PGK akan mengalami penurunan fungsi ginjal terutama



Glomerolus



Filtrat



Rate



(GFR)



yang



mengakibatkan



penumpukan cairan dalam tubuh dan sisa metabolisme hingga komplikasi gagal ginjal yang serius. Salah satu cara untuk mengurangi penumpukan cairan dalam tubuh dan sisa metabolisme adalah dengan hemodialisis atau sering disebut dengan cuci darah (Muttaqin & Sari, 2011). Penatalaksanaan untuk pasien PGK antara lain hemodialisis, dialisis peritoneal, terapi pengganti ginjal berkesinambungan/continous renalreplacement therapy (CRRT) dan transplantasi ginjal (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, & Setiati, 2007). Penatalaksanaan yang sering dilakukan untuk pasien PGK adalah hemodialisis dan sebenarnya penatalaksanaan ini tidak dapat menyembuhkan PGK dan tidak dapat mengembalikan fungsi normal ginjal (Buss & Labus, 2013). Salah



satu



fungsi



dari



hemodialisis



untuk



mengobati



ketidakseimbangan cairan dan membantu mengontrol penyakit ginjal stadium akhir serta mencegah kematian pada pasien gagal ginjal kronik yang biasanya dilakukan 3 kali seminggu, lama durasi 3 sampai 5 jam, bergantung pada jenis dialisa dan kondisi kesehatan pasien, diantara dua waktu dialisis pasien akan mengalami masalah penumpukan cairan dialisis karena di Indonesia hemodialisis tidak dilakukan setiap hari (Buss & Labus, 2013; Price & Wilson, 2013; Ardiyanti, Armiyati, & Arif, 2015). Pasien tetap harus menjaga asupan cairan yang masuk kedalam



tubuh disela hari perawatan hemodialisis. Akibat dari pembatasan asupan cairan yang masuk dalam tubuh pasien akan merasa haus dan rasa haus adalah keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan cairan, rasa haus yang biasa muncul apabila osmolalitas plasma mencapai 295 mOsm/kgr (Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016; Mubarak & Chayatin, 2007 dalam Ardiyanti, Armiyati, & Arif, 2015). Hal ini yang mengakibatkan pasien tidak patuh pada diet pembatasan asupan cairan dan pasien akan mengalami kelebihan cairan dalam tubuhnya atau disebut overhidrasi. Overhidrasi akan mengakibatkan beban ginjal meningkat dan menimbulkan komplikasi serta menurunkan kualitas hidup pasien. Overhidrasi bisa terjadi karena intake cairan yang berlebihan. Intake cairan yang berlebihan dapat terjadi karena pasien tidak dapat menahan rasa haus. Maka rasa haus harus dapat dikurangi agar pasien patuh pada diet pembatasan asupan cairan (Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016). Rasa haus dapat dikurangi dengan berbagai cara, yaitu dengan menyikat gigi, menghisap es batu, berkumur, mengunyah permen karet atau permen mint dan menggunakan frozen grapes atau buah yang dibekukan (Solomon, 2006 dalam Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016). Tindakan untuk mengurangi rasa haus dan meminimalkan peningkatan berat badan yaitu dengan terapi ice cube’s untuk membantu menyegarkan tenggorokan, hasil penelitian menyimpulkan pasien hemodialisa yang mengalami haus setelah diberikan intervensi mengulum es batu mengalami penurunan tingkat haus 56% dari pada diberikan terapi mengunyah permen karet sebesar 20% (Arfany et al., 2014). Serta diperkuat oleh penelitian yang menyimpulkan bahwa menghisap slimber ice dapat menurunkan intensitas rasa haus menjadi haus ringan bahkan tidak merasa haus sehingga resiko kelebihan cairan dapat diminimalkan (Dasuki & Basok, 2019). Hasil penelitian lain mengatakan bahwa terjadi perbedaan bermakna skor haus sebelum dan setelah diberikan intervensi mengulum es batu, berkumur air matang, dan berkumur obat kumur, lama waktu dapat menahan rasa haus pada kelompok mengulum es rerata 93



menit, kelompok kumur air matang rerata 55 menit, dan pada kelompok berkumur dengan obat kumur rerata 67,5 menit (Armiyati dkk., 2019).



BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1



Ginjal



2.1.1 Anatomi Dan Struktur Ginjal Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekung menghadap ke medial. Sepasang ginjal ini, terletak di belakang perut atau abdomen dan berada di bawah hati dan limfa (Syaifuddin, 2006). Besar dan berat ginjal sangat bervariasi, tergantung jenis kelamin dan umur. Ginjal laki–laki relatif lebih besar ukurannya daripada perempuan. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram atau kurang lebih 0,4 % dari berat badan (Syaifuddin, 2006). Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrate glomeruler per menitnya. Laju glomeruler inilah yang sering dipakai untuk melakukan test terhadap fungsi ginjal (Guyton A.C & Hall J.E, 2006).



Gambar 1 : Anatomi Ginjal (Dikutip : Syaifuddin, 2006).



2.1.2 Fungsi Dan Mekanisme Kerja Ginjal



Ginjal mempunyai fungsi bermacam-macam termasuk menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, (reabsorbsi) yang kemudian dibuang melalui urine (sekresi). Fungsi ginjal yang lain diantaranya membuat serta mengatur hormon eritropoetin (yang berfungsi dalam pembentukan sel darah merah di sumsum tulang), enzim renin (pengatur tekanan darah), dan kalsitriol (pengatur keseimbangan kadar kalsium ), serta mengatur kadar mineral, air, dan zat kimia yang beredar di dalam darah (AlamS,Hadibroto I, 2008). Mekanisme kerja ginjal sesuai dengan fungsinya adalah sebagai berikut : Pertama, darah dan zat-zat lainnya di nefron masuk ke bagian Glomerulus dan Kapsula Bowman. Proses filtrasi ini menghasilkan urin primer yang mengandung glukosa, garam-garam, natrium, kalium, asam amino dan protein (Syaifuddin, 2006). Kedua, darah masuk kedalam Tubulus Kontortus Proksimal, yang selanjutnya pada Tubulus Kontortus Proksimal ini darah akan mengalami



reabsorpsi



atau



penyerapan



kembali



zat-zat



yang



dibutuhkan oleh tubuh. Proses reabsorpsi ini menghasilkan urin sekunder yang mengandung air, garam-garam, urea, dan pigmen (Syaifuddin, 2006). Ketiga, darah akan masuk ke dalam Tubulus Kontortus Distal untuk ditambahkan zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh. Proses ini disebut Augmentasi. Proses ketiga ini menghasilkan urin normal yang mengandung 95% air, urea, amoniak, asam urat, garam mineral (NaCl), zat warna empedu, dan zat- zat yang berlebih (vitamin,obat,dll) (Syaifuddin, 2006). Urin normal akan ditampung sementara di Pelvis Ginjal. Setelah itu urin akan melewati Ureter dan akan disimpan kembali di kantung kemih. setelah kantung kemih penuh, dinding kantung kemih akan tertekan dan menyebabkan rasa ingin buang air kecil, dan urin pun dibuang melalui Uretra (Syaifuddin, 2006).



Gambar 2 : Anatomi Ginjal dan Proses Pembentukan Urin (Syaifuddin, 2006). 2.1.3. Penyakit Ginjal Suatu keadaan dimana kemampuan fungsi ginjal mengalami penurunan, sehingga tidak dapat melakukan penyaringan, pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan, dan memproduksi urin (Price S.A, 2005) Tanda dan gejala penyakit ginjal antara lain : a. Kelelahan dan nyeri pinggang. b. Kram otot, sering terjadi pada otot betis. c. Mual dan muntah, biasanya karena ureum dan kreatinin darah tinggi. d. Mudah memar. e. Gatal, karena anemia dan asidosis. f. Sesak nafas, terjadi karena hiperkalemi dan overhidrasi. g. Gejala lainnya adalah perubahan frekuensi kencing, haus, nafsu makan turun, susah tidur, kurang konsentrasi, gelisah, mengantuk, diare, sembelit, sakit kepala, cegukan (hiccup), mulut bau ammonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur, gangguan memori, mati rasa dan kesemutan pada tangan dan kaki, anemia, kejang, penurunan libido, impotensi dan bengkak seputar mata pada waktu bangun tidur (Price. S.A., 2005, Erwinsyah., 2009). Penyakit gagal ginjal dibedakan menjadi dua yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik.



2.1.4. Gagal ginjal akut Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara akut, ditandai dengan berkurangnya volume urin dalam 24 jam. Penderita gagal ginjal akut dilakukan perbaikan aliran darah ke ginjal, dengan menghentikan penggunaan obat-obatan yang merusak ginjal dan memperberat kerja ginjal atau mengangkat sumbatan pada saluran kencing. Stadium ini, fungsi ginjal masih dapat dikembalikan seperti semula (Erwinsyah, 2009). Penyebab gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Gagal Ginjal Akut pre renal (gangguan diluar renal) disebabkan karena syok hypovolemik, misalnya: dehidrasi berat, diare, perdarahan, gagal jantung, sepsis. 2. Gagal Ginjal Akut renal (kerusakan dalam ginjal) disebabkan oleh kelainan vascular, misalnya myelonephritis, glomerulonephritis, intoksikasi,



penyakit



lupus,



vaskulitis,



hipertensi



maligna,



glomerulonefritis akut dan Nefritis interstitial akut. 3. Gagal Ginjal Akut post renal disebabkan oleh obstruksi intra renal dan ekstra renal, misalnya obstruksi saluran kemih, tumor, batu saluran kemih (Sudoyo, dkk., 2006).



2.1.5. Gagal ginjal kronik Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan suatu



proses



patofisiologi



dengan



etiologi



yang



beragam,



mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan kelainan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal (Suwitra.K, 2014). Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik adalah



1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi. 2. LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Tabel 1 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Kategori LFG Kategori Nilai LFG



LFG



(ml/menit/1,73 Interpretasi



Terapi



m2) G1



≥ 90



Kerusakan ginjal dengan LFG Diagnosis, normal



G2



terapi



komorbiditas, ginjal



penghambatan progresifitas dengan Pemeriksaan progresifitas



60-89



Kerusakan



G3a



40-59



penurunan LFG ringan Penurunan LFG ringan hingga Evaluasi



G3b



30-44



sedang penyakit penyerta Penurunan LFG sedang hingga



G4 G5



15-29 90ml/min/1.73m2. b.Tahap 2 : Kerusakan ginjal ringan dengan GFR 60-89ml/min/1.73m2 c.Tahap 3 : Kerusakan ginjal sedang dengan GFR 30-59ml/min/1.73m2. d.Tahap 4 : Kerusakan ginjal berat dengan GFR 15-29ml/min/1.73m2. e.Tahap 5 : Gagal ginjal, GFR