Teori Bronfenbrenner & Teori Piaget [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Teori Ekologi Bronfenbrenner Teori ekologi dikembangkan oleh Urie Bronfebrenner (1917-2005). Teori ini berfokus pada konteks sosial dimana anak-anak ini hidup beserta pengaruh orang-orang sekitar terhadap perkembangan mereka (Santrock, 2011). Teori ekologi Bronfenbrenner berdasar pada landasan yang kuat tentang landasan perkembangan biologis. Teori ini mengajukan suatu pandangan bahwa lingkungan merupakan hal yang sangat kuat dalam mempengaruhi perkembangan individu. Dalam teorinya Bronfenbrenner mengklasifikasikan sistem lingkungan kedalam 5 klasifikasi sistem yaitu, mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Pengklasifikasian dari kelima sistem ini telah mencakup rentang interaksi intrapersonal sampai dengan rentang yang lebih luas yaitu kultur terhadap perkembangan anak. Sistem yang paling awal dari sistem lainnya dalam teori ekologi adalah mikrosistem. Sistem ini merupakan setting dimana individu tersebut hidup. Mikrosistem sendiri merupakan hal-hal yang paling dekat dengan pribadi anak yaitu meliputi keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak. Dalam mikrosistem inilah interaksi paling langsung dengan agen-agen sosial terjadi, seperti misalnya: interaksi dengan orangtua, interaksi dengan sebaya, ataupun dengan guru. Bronfebrenner sendiri dalam (Santrock, 2011) berpendapat bahwa anak bukanlah penerima pengalaman pasif tetapi seseorang yang secara timbal balik berinteraksi dengan orang lain dan membantu membangun mikrosistem. Lalu berikutnya setelah mikrosistem dalam teori ekologi terdapat mesosistem, sistem ini merupakan interaksi antar faktor-faktor yang terdapat dalam mikrosistem yang berkaitan dengan hubungan antar mikrosistem ataupun hubungan antar konteks. Seperti misalnya adalah hubungan antara guru dengan orangtua, ataupun hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah. Sistem selanjutnya yaitu eksosistem merupakan sistem dimana terdapat keterlibatan pengalaman individu yang individu tersebut tidak memiliki peran aktif di dalamnya. Seperti misalnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang suami dengan isteri dan anaknya. Maka yang dapat kita ketahui adalah eksosistem tidak menyentuh kepribadian anak secara langsung namun pengaruhnya masih akan terasa, seperti halnya, media sosial, media elektronik, tenaga kesehatan rujukan, keluarga besar, dll. Klasifikasi yang keempat dari sistem ekologi Bronfenbrenner adalah makrosistem. Sistem ini merupakan sistem yang melibatkan budaya yang lebih luas. Budaya yang dimaksud disini adalah istilah yang mencakup hal yang sangat luas yaitu berupa peran etnis, serta faktor sosial ekonomi dalam perkembangan anak-anak (Santrock, 2011). Dalam penjelasan yang lebih lanjut menurut (Shiraev & Levy, 2010) dalam (Santrock, 2011) dijelaskan bahwa sistem ini



merupakan konteks terluas yang mencakup hal-hal seperti dimana siswa dan guru tinggal, serta nilai-nilai dan kebiasaan oleh masyarakat. Contoh dari hal ini adalah terdapat beberapa kebudayaan yang menekankan tentang pentingnya peran gender tradisional, hal ini terjadi pada pedesaan di Cina dan Iran (Santrock, 2011). Kemudian sistem yang terakhir yaitu kronosistem. Merupakan sistem yang meliputi proses pemolaan dari berbagai peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar, transisi sepanjang rangkaian kehidupan, serta keadaan sosiohistorisnya. Sederhananya kronosistem merupakan suatu perubahan keadaan dalam suatu periode waktu. Misalnya adalah anak-anak pada era modern saat ini lebih terfokus perhatian serta kegiatannya pada teknologi. Sejalan dengan perubahan arus dan perkembangan negaranya seperti internet dan berbagai macam kemudahan lain yang ditawarkan oleh teknologi. Hal ini sangat jauh berbeda dibanding dengan anak-anak pada zaman dahulu yang lebih suka bermain dengan permainan tradisional (Santrock, 2011).



Evaluasi dari Teori Ekologi Bronfenbrenner Teori Ekologi Bronfenbrenner telah mendapatkan popularitasnya. Teori ini telah memberikan kerangka teoritis yang dapat digunanakn untuk mengkaji konteks sosial secara sistematis, baik di tingkat makro maupun mikro. Teori ini jugalah yang menjembatani kesenjangan antara teori behvioral yang berfokus pada setting kecil dan teori antropologi yang menganalisis setting yang lebih luas. Selain itu teori ekologi Bronfenbrenner ini juga turut memicu perhatian orang pada arti penting kehidupan anak dari berbagai setting. Seperti misalnya guru yang seharusnya tidak hanya mempertimbangkan dan memperhatikan hal yang terjadi di dalam kelas saja, namun guru juga harus bisa mempertimbangkan hal lain diluar kelas seperti faktor keluarga, lingkungan, dan teman sebaya dari siswanya. Lalu kemudian yang menjadi pokok evaluasi dari teori ini yakni para pengkritik teori ekologi Bronfenbrenner sendiri mengatakan bahwa teori ini tidak banyak memberi perhatian terhadap faktor biologis serta kognitif dalam perkembangan anak. Kemudian pengkritik juga menunjukkan bahwa teori ini juga tidak membahas perkembangan bertahap yang menjadi fokus pada teori-teori seperti teori Piaget dan Erikson (Santrock, 2011)



B. Teori Piaget 1. Skema Terdapat beberapa hal yang sering menjadi pertanyaan orang-orang awam, diantarnya adalah “siapa yang tahu tentang pikiran seorang anak lebih dari siapa pun?”, dan disini psikolog asal swiss Jean Piaget (1896-1980) mencoba memecahkan hal itu dengan teorinya tentang anak. Menurutnya anak-anak akan mengalami serangkaian proses kognitif yang akan membantu mereka membangun pengetahuan tentang dunia. Piaget dalam (Santrock, 2011) menjelaskan mengenai teorinya tentang skema yang terdapat dalam anak-anak. Dikatakan bahwa ketika anak berusaha membangun sesuatu pemahaman di dunia, maka otak yang sedang berkembang menciptakan skema. Hal ini merupakan tindakan atau mental representasi yang mengatur pengetahuan. Terdapat 2 macam skema yang jelaskan Piaget dalam Teorinya, yaitu skema perilaku (aktivitas fisik) yang merupakan ciri masa bayi, dan skema mental (kegiatan kognitif) yaitu skema yang akan berkembang di masa kecil. Skema bayi sendiri disusun oleh tindakan sederhana yang dapat dilakukan pada suatu objek, sepeti misalnya ketika bayi menghisap, melihat, dan menggenggam objek yang berada disekitarnya. Sementara itu, anakanak yang lebih tua memiliki skema yang mencakup strategi dan encana untuk memecahkan masalah. Sebagai contoh dalam hal ini adalah anak yang berusia 6 tahun, memiliki skema yang melibatkan strategi dalam mengklasifikasikan objek berdasarkan ukuran, bentuk, warna. Lalu kemudian pada saat dirinya telah mencapai usia dewasa, anak tersebut akan sejumlah besar skema yang beragam, mulai dari cara mengemudikan sebuah mobil, bagaimana mengatur anggaran keuangan pribadi, hingga membangun konsep keadilan. 2. Asimilasi dan Akomodasi Piaget mengembangkan sepasang konsep yang dia sebut sebagai tentang asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan tentang bagaimana anak-anak menggunakan dan beradaptasi dengan skema mereka. dimulai dari asimilasi, terjadi ketika seorang anak memasukkan informasi baru ke dalam skema mereka. sementara akomodasi, terjadi ketika anak-anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru. Contoh dalam hal ini adalah, ketika seorang gadis berusia 8 tahun diberi palu dan paku untuk menggantungkan gambarnya di dinding, sementara dia tidak pernah menggunakan palu. Maka yang terjadi adalah dia akan mengamati orang lain bahwa palu merupakan suatu objek yang akan dipegang. Lalu kemudian gadis kecil tadi terus mengamati dan dia menyadari cara menggunakan palu tersebut dengan mengayunkannnya lalu memukulkan benda itu kepada



paku, dan dia melakukannya dengan berayun berapa kali. Maka dari hal ini, dia telah menyesuaikan perilakunya kedalam skema yang sudah dia miliki (asimilasi). Namun gadis kecil ini menghadapi masalah lain, yaitu palunya terlalu berat untuk dia gunakan, sehingga dia menyesuaikan pegangannya dengan memegang dekat puncak dari palu tersebut. Dia mengayun dengan keras dan kuku yang menekuk, sehingga dia menyesuaikan tekananan pukulannya. Penyesuaian inilah kemudian yang mencerminkan kemampuannya untuk sedikit mengubah konsepsinya tentang dunia (akomodasi). Baik asimilasi maupun akomodasi sangat dibutuhkan dalam contoh ini, dua konsep ini juga digunakan dalam banyak tantangan berpikir anak (Santrock, 2011). 3.



Organization Menurut Piaget dalam (Santrock, 2011) anak anak secara kognitif mengatur



pengalaman mereka. Terdapat konsep organization dalam teori Piaget yang merupakan suatu pengelompokkan perilaku dan pemikiran yang terasosiasi menjadi sistem tingkat tinggi. Penyempurnaan terus menerus dari organization adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan. Sebagai contoh seorang anak laki-laki yang hanya memiliki gagasan yang tidak jelas tentang cara menggunakan palu juga mungkin memiliki gagasan yan tidak jelas tentang menggunakan alat lain. Setelah anak laki-laki ini mempelajari cara menggunakan masingmasing alat, maka ia bisa menghubungkan penggunaan alat-alat itu, lalu kemudian mengatur pengetahuannya. 4.



Equilibration dan Tahapan Perkembangan Equilibration Merupakan mekanisme yang diusulkan oleh Piaget sebagai penjelasan dari bagaimana



anak-anak bergeser dari satu tahap pemikiran ke tahap berikutnya (Santrock, 2011). Pergeseran ini terjadi ketika anak-anak mengalami konflik kognitif, atau disequilibrium ketika mereka mencoba untuk memahami dunia. Lalu kemudian mereka akhirnya dapat menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan, atau equilibrium terhadap pemikirannya. Piaget kemudian menunjukkan bahwa ada perpindahan yang cukup besar antara keadaan keseimbangan kognitif dan disequilibrium sebagai asimilasi serta pengelolaan akomodasi dalam persetujan untuk menghasilkan perubahan kognitif. Misalnya adalah ketika seorang anak percaya bahwa jumlah cairan berubah hanya karena cairan itu dituangkan ke dalam wadah yang tinggi dan sempit, maka dia mungkin akan dibingungkan oleh isu-isu seperti dimana cairan “tambahan” berasal, dan apakah sebenarnya ada benda lain yang lebih cair untuk diminum. Anak ini kemudian akan menyelesaikan teka-teki ini karena pemikirannya menjadi



lebih maju. Dalam dunia sehari-hari, anak terus dihadapkan dihadapkan dengan berbagai contoh dan inkonsistensi. Asimilasi dan Akomodasi akhirnya selalu membawa anak ke tempat yang lebih tinggi. Bagi Piaget, motivasi untuk perubahan adalah pencarian internal yang bertujuan untuk keseimbangan. Kemudian saat skema lama disesuaikan dan skema baru dikembangkan, anak mengatur dan mengorganisasi skema lama dan baru. Akhirnya organisasi itu pada dasarnya yang berbeda dari organisasi lama, dan ini merupakn cara berpikir yang baru (Santrock, 2011). Dengan demikian hasil dari proses ini menurut Piaget adalah , bahwa individu-individu pergi melalui empat tahap perkembangan. Cara memahami dunia yang berbeda membuat satu tahap lebih maju dari tahap lainnya. Kognisi secara kualitatifnya pun berbeda dalam satu tahap dibandingkan dengan yang lain. Dengan kata lain, cara anak-anak bernalar pada satu tahap berbeda dari cara mereka bernalar pada tahap lain. 5.



Piagetian Stages Pada setiap tahapan dalam Piagetian Stages memiliki keterkaitan dengan usia dan



terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Piaget sendiri mengusulkan empat tahap perkembangan kognitif, diantaranya adalah: Sensorimotorik, Praoperasional, Operasi Konkrit, serta Operasional Formal. a. Tahapan Sensorimotorik Piagetian Stages pertama ini berlangsung selama bayi baru lahir sampai berusia sekitar 2 tahun. Pada tahap ini bayi membangun pemahaman tentang dunia dan mengkoordinasikannya dengan pengalaman sensorik mereka (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan motorik mereka (meraih, dan menyentuh), pada awal tahap ini, bayi menunjukkan sedikit lebih pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia. Pada akhir tahapan nantinya mereka akan menampilkan pola sensorimotorik yang jauh lebih kompleks.



b. Tahapan Praoperasional Tahap Praoperasional adalah tahapan kedua dalam Piagetian Stages. Tahap ini berlangsung kira-kira pada usia sekitar 2 hingga 7 tahun. Pada tahap ini pemikiran lebih simbolis ketimbang pemikiran pada tahap sensorimotorik, tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Bagaimanapun juga hal ini lebih ke egosentris dan intuitif ketimbang logis.



Pemikiran praoperasional sendiri dapat dibagi menjadi dua substages yaitu fungsi simbolis dan pemikirian intuitif. Substansi fungsi simbolis terjadi kira-kira apad usia 2 sampai dengan 4 tahun. Dalam substages ini, anak muda memperoleh kemampuan untuk mempresentasikan secara mental suatu objek yang tidak ada. Hal ini membentang dari dunia mental anak samapi kepada dimen baru. Penggunan bahasa yang diperluas serta munculnya permainan pura-pura adalah contoh lain dari peningkatan pemikiran simbolis selama amsa anak-anak ini. Anak kecil mulai menggunakan desain coretan untuk mewakili orang, rumah, mobil, awan, dan banyak aspek lain di dunia. Kemudian sewaktu mereka menginjak usia pada tahun sekolah dasar, maka gambar anak-anak menjadi lebih realistis, rapi, dan juga tepat (Santrock, 2011). Kemudian selanjutnya adalah substansi pemikiran intuitif yang merupakan substansi kedua dari pemikiran praoperasioanl. Hal ini terjadi pada usia sekitar 4 tahun dan berlangsung sampai dengan usia 7 tahun. Di-substages ini, anakanak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban untuk semua jenis pertanyaan. Piaget menyebut substages ini intuitif karena anak-anak tampaknya begitu yakin tentang pengetahuan dan pemahaman mereka, namun tidak menyadari bagaimana mereka tahu apa yang mereka ketahui. Ini berrati mereka mengatakan bahwa mereka tahu sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional. c. Tahapan Operasional Konkrit Tahap ketiga dalam Piagetian Stages, yang berlangsung dari rentang usia sekitar 7 tahun sampai sekitar usia 11 tahun. Pemikiran operasional konkrit melibatkan penggunaan operasi. Logika penalaran dan menggantikan penalaran intuitif, namun hanya dalam situasi konkrit. Keterampilan klasifikasi sudah muncul, namun permasalahan abstrak belum dapat terpecahkan (Santrock, 2011). Operasional konkrit merupakan tindakan mental yang dapat dipertukarkan dengan yang berkaitan dengan benda nyata dan konkrit. Pengopreasian secara konkrit memungkinkan anak mengkoordinasikan beberapa karakteristik daripada fokus pada satu properti dari suatu objek. Pada tingkat operasional konkrit, anak-anak dapat melakukan secara mental apa yang sebelumnya mereka dapat lakukan hanya secara fisik, dan kemudian mereka dapat membalikkan pengoprasian konkrit.



Operasi konkrit adalah tindakan mental yang dapat dipertukarkan berkaitan dengan benda nyata dan konkrit. Operasi konkrit memungkinkan anak mengoordinasikan beberapa karakteristik daripada fokus pada satu properti dari suatu objek. Pada tingkat operasional konkrit, anak-anak dapat melakukan secara mental apa yang sebelumnya mereka dapat lakukan hanya secara fisik, dan mereka dapat membalikkan operasi konkrit. Hal penting yang perlu diperhatikan dari suatu operasional konkrit yaitu adalah mengklasifikasikan atau mebagi benda kedalam set atau himpunan bagian yang berbeda lalu kemudian mempertimbangkan hubungan timbal baliknya. Seorang pemikir operasional konkrit akan dapat memahami klasifikasi. Seperti misalnya mereka dapat menalar bahwa seseorang dapat sekaligus menjadi ayah, saudara laki-laki, dan cucu laki-laki, yang mana hal ini tidak bisa dilakukan oleh seorang pemikir praoperasional.



d. Tahapan Operasional Formal Tahapan Operasional Formal merupakan tahapan yang muncul pada usia sekitar 1115 tahun. Pada tahap ini, idividu bergerak melampaui penalaran hanya tentang pengalaman konkrit dan berpikir degan cara yang lebih abstrak, idealis, dan logis. Kaualitas abstrak dari pemikiran operasional formal terbukti dalam masalah pemecahan verbal. Pemikiran operasional konkrit perlu melihat unsur-unsur konkrit A,B, dan C untuk membuat inferensi logis bahwa jika A=B dan B=C, maka A=C. Lalu sebalikanya, pemikiran operasional formal dapat memecahkan masalah ini ketika hal itu disajikan secara lisan. Mendampingi sifat abstrak dari pemikiran operasional formal adalah ekmapuan untuk mengidealkan dan membayangkan berbagai kemungkinan. Pada atahap ini, remaja akan terlibat dalam spekulasi yang diperluas tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka sendiri dan orang lain. Pikiran-pikiran idealis ini nantinya bisa bergabung menjadi fantasi. Akhirnya banyak remaj amenjadi tidak sabar dengan cita-cita barunya dan masalah bagaimana menjalani hidup mereka. Evaluasi Teori Piaget Para ahli menyatakan bahwa teori Piaget sangat besar sumbangsihnya dalam bidang Psikologi Perkembangan. Para ahli juga mengatakan bahwa merek berutang kepadanya terkait dengan daftar panjang konsep-konsep ahli, termasuk didalamnya dalah asimilasi dan akomodasi, kemudian object permanence, egosentrisme, konservasi, serta hipotesis penalaran deduktif



yang telah digagaskan oleh Piaget. Lalu kemudian bersama dengan William James, dan John Dewey, Piaget juga turut andil berkontribusi terahadap visi anak-anak saat ini yang aktif, serta peimikir konstruktif (Miller, 2011) dalam (Santrock, 2011). Kritik Terdapat beberapa kritik yang diarahkan kepada Teori Piaget, diantaranya adalah sebagai berikut: 



Mengenai Piaget Stages, Piaget memahami bahw atahapan sebagai struktur pemikiran kesatuan. Namun beberapa konsep operasional konkrit tidak muncul pada saat yang bersamaan. Misalnya, anak-anak tidak belajar untuk menghemat pada saat yang sama ketika mereka belajar mengklasifikasikan silang.







Melatih anak-anak untuk bernalar pada tingkat yang lebih tinggi. Beberapa anak yang berada pada satu tahap kognitif (seperti praoperasional) dapat dilatih untuk berpikir pada tahap kognitif yang lebih tinggi (seperti operasional konkrit). Namun Piaget berpendapat bahwa pelatihan semacam itu hanya superfisial dan tidak efektif kecuali anak tersebut berada pada transisi yang matang di antara tahapan tertentu (Gelman & Opfer, 2004) dalam (Santrock, 2011)







Budaya dan pendidikan,. Dalam konteks ini pengaruhnya lebih kuat pada perkembangan anak dketimbang teori yang diungkapkan oleh Piaget. Misalnya saj adalah, usia dimana anak-anak memperoleh keterampilan konservasi terkait dengan sejauh mana budaya mereka memberikan praktik yang relevan (Cole, 2006) dalam (Santrock, 2011). Guru yang luar biasa dapat membimbing pengalaman belajar siswa yang akan membantu mereka pindah ke tahap kognitif yang lebih tinggi.



Implikasi teori Piaget dalam pendidikan (sumber dari wordpress, buat jembatan penghubung aja)



Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual. Dan perkembangan intelektual erat hubungannya dengan belajar, sehhingga perkembangan intelektual ini dapat dijadkan landasan untuk memahami belajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget



memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut pikiran. Tindakan kognitif menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan. Piaget menginterpretasikan perkembangan kognitif dengan menggunakan diagram berikut :



Berdasarkan diagram tersebut dimulai dengan meninjau anak yang sudah memiliki pengalaman yang khas, yang berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada suatu keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa benda, peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalalui memorinya. Dalam memori anak terdapat 2 kemungkuinan yang dapat terjadi yaitu : Ø Terdapat kesesuaian sempurna antara stimulus dengan skema yang sudah ada dalam pikiran anak Ø Terdapat kecocokan yang tidak sempurna, antara stimulus dengan skema yang ada dalam pikiran anak.



References Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology 5th edition. University of Texas at Dallas: Michael Sugarman.