Teori Hans Kalsen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI HANS KALSEN/HANS NAWIASKI DI KAITKAN DENGAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG 12 TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gagasan demokrasi dalam struktur ketatanegaraan suatu Negara hukum pada prinsipnya



merupakan suatu agenda



politik untuk



mewujudkan sistem



hukum



yang supreme dan established pada Negara itu yang teraktualisasi dalam teks dan semangat konstitusi. Gagasan Kalsen pada umumnya menjadi main stream pada Negara – Negara yang sedang berada pada periode transisi politik tertentu dalam bentuk trnsformasi politik dari Negara totalitas atau otoriterianis politik dari Negara. Kristalisasi gagasan tersebut adalah lahinya prinsip demokrasi konstitusional yang mempunyai karateristik bahwa pemerintah ditabasi kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Secara intrisik, prinsip ini pulah menghendaki pengakuan dan perlindungan hak asasi warga Negara serta penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tersentralisasi pada suatu organ atau situasi politik tertentu dalam Negara dan penegasannya harus tertuang dalam konstitusi. Jadi secara teoritik gagasan ini meniscayakan aktualisasi prinsip konstitusionalisme dalam suatu Negara dan ia akan dipandang sebagai proses hukum. Manakalah prinsip demokrasi kosntitusional atau konstitusionalesme dijadikan acuan untuk menakar isi suatu konstitusi atau Unadang-Undang dasar Negara maka didalamnya tidak hanya memuat pendistribusian kekuasaan di antara organ-organ Negara, tetapi juga harus memuat fungsi-fungsi organ Negara tersebut dengan batasan-batasan tertentu dengan menegaskan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi warga Negara, kemudian semua komponen Negara harus tunduk pada konstitusi/Undang-undang dasar, dengan memandangnya sebagai hukum tertinggi secara teoritis inilah di antara prinsipprinsip dasar ketatanegaraan yang bersifat sollen dalam merekonstruksi demokrasi dalam suatu Negara hukum. Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah 1. Norma fundamental negara 2. Aturan dasar negara



3. Undang-undang formal. dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom. Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari



suatu Staatsfundamentalnormadalah



sebagai



syarat



bagi



berlakunya



suatu



konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar(basic norm) dalam suatu



negara



sebaiknya



tidak



sebagai staatsgrundnorm melainkanStaatsfundamentalnorm,



atau



norma



disebut fundamental



negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, kita dapat membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: 1)



Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).



2)



Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.



3)



Formell gesetz: Undang-Undang.



4)



Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga KeputusanGubernur, Bupati atau Walikota. Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya



Pancasila



sebagai Staatsfundamentalnorm maka



pembentukan



hukum,



penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila. Namun,



dengan



penempatan



Pancasila



sebagai Staats-fundamentalnorm berarti



menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition. Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini. Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum. B. Maksud dan Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk memahami hirarki struktur hukum di indonesia menurut teori Hans Kalse dan Hans Nawiasky dari aspek hukum Indonesia yang dilihat dari sisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. C. Pokok Permasalahan Hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).Hukum tertulis di Indonesia, hukum yang hidup di Indonesia dan hukum yang di cita-citakan oleh bangsa indonesia. Oleh karena hukum di Indonesia harus mencerminkan pancasila. D. Pembatasan Masalah Penulisan makalah ini dibatasi pada teori Hans Kalsen dan Hans Nawiasky dalam bidang hukum di Indonesia. Serta azas atau prinsip hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber norma bagi pembentukanhukum dan hirarkinya seperti undang-undang



dasar Negara republik Indonesia tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daera Proponsi, dan Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan seterusnya. Hal demikian ini dapat kita simak dari rumusan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



BAB II PEMBAHSAN 2.1. Teori Hukum dan hirarki Tata Urutan Peraturan Perunda-Undangan Hans Kalse & Hans Nawiasky Sejaka seformasi bergulir tata urutan atau hirarki peraturan perundangundangn yang lazimnya menjadi obyek perkara judicial reviw. Tampa pengetahuan teori ini, khususnya bagi lembaga atau organ lembaga yang berkompoten dapat berkonskuensi buruk terhap pelaksanaannya. Dalam wacana ilmu hukum salah satu genre ilmu hukum yang eksponennya banyak memusatkan kajiannya tentang hirarki norma hukum adalah mazhab legal posivism. Hans Kalsen sebagai salah satu eksponen genre of legal positivism mengonstrusikan suatu model mengenai stufenbau des recht atauthe hierarchy of norms yang dijadikan referensi teoritis oleh banyak Negara dalam konstruksi tata urutan perundang-undangannya. Walaupun ada beberapa pemikir yang menngontruksi hirararki peraturan perundangundangan, tetapi dengan model atau anasir-anasir yang berbeda. Eksplorasi pemikiran Hans Kalsen mengenai hirarki peraturan perundangundangan yang ab initioharus didalam konteks nalar legal positivism atau the hierarchy of norms Hans Kalsen intheren dengan nalar hokum legal positivism. Hans Kalsen mengkualifikasikan hukum sebagai sesuatu yang murni formil. Jadi, tata hukum adalah suatu system norma, sistem norma merupakan suatu susunan berjenjang (hirarki) dan setiap norma bersumber pada norma yang berada di atasnya, yang membentuknya atau yang member dan menentukan validasinya dan menjadi sumber bagi norma yang ada dibawahnya. Puncak dari hirarki tersebut adalah suatu norma dasar yaitu konstitusi. Norma dasar tersebut merupakan menjadi dasar tertinggi validitas keseluruhan tata hukum. Konstitusi yang dimaksud disini adalah konstitusi dalam arti materil, bukan formil.



Karateristik korelasi antara satu norma dengan norma yang lain dalam tata hukum yang hirarkis tersebut dapat dipahami melalui deskripsi yang beri Hans Kalsen berikut : “The relation between the norm regulation the creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm determining the creation of another norm is the superior, the norm created according to this regulation, the inferior norm. the legal order, especially the legal order the personification of wich is State, is therefore not a system of norms coordinated to each other, stading, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of different levels of norms” Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang diintrodusir Hans Kalsen di atas dapat dimaknai sebagai beriikut : 1) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2) isi atau materi muatan peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh minyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan subtansi norma dasar, Hans Kalsen membedakan dua jenis norma atau sistem norma. Keduanya adalah sistem norma statis (the static system of norm) dan sistem norma dinamis (the dinamic system of norm). Sistem norma statis adalah sistem yang melihat suatu norma dari segi isi atau materi muatan norma itu sendiri. Isinya menunjukan kualitas yang terbukti secara lansung menjamin validitasnya. Sedangkan, sistem norma dinamis adalah sistem yang melihat suatu norma yang pembentukannya sesuai dengan prosedur oleh yang ditentukan konstitusi. Dengan perkataan lain norma dalam perspektif sistem norma dinamis adalah norma yang dilahirkan oleh pihak yang berwenang untuk membentuk norma tersebut yang tentu saja norma tersebut bersumber dari norma yang lebih tinggi. Kewenangan tersebut merupakan suatu delegasi. Norma yang membentuk kekuasaan didelegassikan dari suatu otoritas kepada otoritas yang lain. Otoritas yang pertama adalah otoritas yang lebih tinggi, otoritas yang kedua adalah otoritas yang lebih rendah. Nampaknya dari konsep system norma dinamis yang dikostruksi Hans Kalsen di atas menunjukan bahwa organ-organ Negara yang mempunyai kewenangan membentuk hukum dapat ditelusuri validitasnya melalui suatu hubungan kelembagaan yang hirarkis. Konsep ini dapat dipahami sebagai suatu konsekuensi dari karakter pembentukan norma hukum yang hirarki. Hirarki tersebut menurut perspektif system norma dinamis tentu saja disesuaikan dengan struktur kelembagaan atau ketetanegaraan yang dianut oleh suatu Negara yang diatur dalam konstitusinya.



Selain itu, dua konsep norma hukum tersebut dalam perspektif system norma statis dan norma dinamis dapat menjadi penuntun untuk memahami bahwa suatu norma selain dapat dilihat atau dipahami segi validitas materi muatannya, juga dapat dilihat atau dipahami segi validitas dasar dan prosedur pembentukannya serta jika ada validitas materi muatan dan organ pembentuk norma selanjutnya- lebih rendah atau yang didelegasikan. Lebih tegasnya, baik aspek materi muatan maupun aspek organ yang membentuk suatu norma tidak boleh bertentangan dengan norma diatasnya yang menentukannya. Terkait dengan atau ketidak sesuaian anatara suatu norma dengan norma yang lain dari tingkatan yang berbeda dapat dipahami dari pernyataan Hans Kalsen berikut : “There can, therefore, never exist any absolute guarantee that the lower norm corresponds to the higher norm. The possibility yhat the lower norm does not cprrespond to the higher norm which determines the former`s creation and content, especially that the lower norm has another content than the one prescribed by the higher norm, is not atau all excluded. But as soon as the case has become a res judicate, the opinion that the individual norm of the decision does not correspond to the general norm which has to be applied by it, is without juristic importance. The law-applting organ has either, authorized by the legal order, created new subtative law. Or it has, according to its own assertion, applied preexisting subtative law. In the latter case, the assertion of the court of last resort is decisive.” Pernyataan Hans Kalsen diatas menunjukan bahwa tidak ada jaminan norma yang lebih rendah selalu sesui dengan norma yang lebih tinggi yang menentukan dan materi muatan norma yang lebih rendah tersebut. Namun menurut kostruksi tata hukum – penentuan terhadap konflik norma tersebut diserahkan kepada lembaga yang berwenang--Hans Kalsen menyebut organ yang berwenang tersebut adalah pengadilan. Organ pengadilan tersebut diberi hak untuk memberikan keputusan akhir dari perkara tersebut dan keputusannya itu menjadikan perkara tersebut res judikata. Lebih lanjut, Hans Kalsen mempustulasikan bahwa sifat keputusan final yang dibuat otorita yang berkompeten tersebut adalah bersifat konstituif, bukan deklaratif. Jadi, keputusan yang membatalkan suatu norma dengan alasan tertentu pada norma hukum tersebut adalah batal (null) ab initio. Pembatalan tersebut adalah suatu pembatalan dengan kekuatan brlaku surut. Dari paradikma yang dikonstruksi Hans Kalsen di atas dalam hal terjadinya konflik norma menunjukkan pula bahwa ia mensyaratkan terbentuknya suatu organ yang menentukan konstitsionalitas atau legalitas suatu norma dengan perkataan lain, harus diadakan instituonalisasi judicial reviw. Mengenai pembatalan atau keterbatalan (nullity) suatu norma lebih jelasnya dapat dipahami dari postulasi Hans Kalsen sebagaimana ia nyatakan berikut :



“The general principle whichis at the basis of this this view may be formulated in the following may: a legal norm is always valid.It cannot be nul,but iot can be annulled.There are,however,different degres of annulability.The lagal order may authorizet a special organ to declare a norm nul,that means,to annul the norm with retroactive force,so that the legal effects,previously produced by the norm,may be absolished.This is usually- but not correctly-characterized by the statement that the norm was avoid ab initio or has been declared nul and avoid.The declaration in question has,however,not a declaratory but a constitutive character : Without this declaration of the competent organ the norm cannot be considered to be avoid.” Jadi pada prinsipnya setiap norma hukum selalu valid, tidak batal (null), tetapi ia dapat dibatalkan oleh suatu lembaga atau organ yang berkompeten dengan alasan tertentu menurut tata hukum. Konsekuensinya, suatu norma hukum harus selalu dianggap valid sampai ia dibatalkan manakala lembaga yang berkompoten memutuskan demikian melalui judicial reviw atau jika norma hukum tersebut adalah undang-undang, maka ia pula lazimnya dibatalkan oleh undang-undang lain menurut asas Lex posterior derogate priori atau dengan desuetude. Deskripsi di atas dapat menjadikan petunjuk memahami mosaik pemekiran hukum Hans Kalsen dengan teori Stufenbau des recht atau the hierarchy of norms dengan nalar legal positicism. 2.2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan Wajah Hierarki Perundangan di Indonesia Setelah lebih dari enam tahun menjadi payung hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh Undang-Undang Nonomor 12 Tahun 2011. Selain perubahan struktur kalimat dan sistematika, tidak banyak materi muatan baru dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 ini. Satu yang paling menarik perhatian adalah pencantuman kembali Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat memiliki hirarki satu tingkat di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas peraturan perundang-undangan lainnya, dengan susunan lengkapnya sebagai berikut: a.



Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945



b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c.



Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang



d. Peraturan Pemerintah e.



Peraturan Presiden



f.



Peraturan Daerah Provinsi



g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.



A. Eksistensi Kembalinya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Penghapusan TAP MPR dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2004, seperti diungkapkan oleh Prof. Sri Soemantri, merupakan konsekuensi dari hilangnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebabkan tidak ada lagi produk hukum Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat. Namun, jika melihat bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat masih memiliki eksistensi sebagai



lembaga



tinggi



negara,



maka



sudah



sewajarnya



Ketetapan



Majelis



Permusyawaratan Rakyat merupakan salah satu peraturan perundangan yang diakui di Indonesia. Permasalahannya adalah, seperti apakah materi muatan yang dapat diatur oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut Prof. Maria Farida, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat mengatur, tetapi sebatas yang bersifat beschikking. Jika disandingkan dengan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat timbul ke depannya adalah yang mengatur tentang pelantikan presiden dan wakil presiden serta perubahan dan penetapan Undang-Undang Dasar 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi berwenang untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Batasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdapat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 . Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR I/MPR/2003 yang mengatur tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mana saja yang tetap berlaku. Secara hierarkis, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat berada diatas UndangUndang. Namun, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengatur mengenai pengujian Undang-Undang yang bertentangan dengan adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya mengatur pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional



review) dan pengujian peraturan perundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang (judicial review). Sehingga, jika terdapat materi muatan Undang-Undang yang bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka belum ada mekanisme yang dapat ditempuh. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah dibatasi secara tegas, sehingga kewenangan pengujian tersebut tidak dapat diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan kata lain, permasalahan pengujian ini masih menjadi polemik dan belum terjawab oleh UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011. B. Beberapa Perubahan Lain dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Selain pencantuman kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki perundangan di Indonesia, terdapat beberapa poin penting lain yang perlu dicatat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Seperti catatan Boy Yendra Tamin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, terdapat pemisahan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dimana sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 1o Tahun 2004. keduanya hanya disebutkan sebagai peraturan daerah saja. Implikasinya adalah, secara hierarkis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Hal tersebut akan berdampak terhadap proses pembentukan peraturan daerah dalam rangka otonomi daerah, yang akan terkait dengan letak titik berat otonomi sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang ada. Lalu, terdapat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mencantumkan eksistensi peraturan-peraturan lain selain yang dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (1). Peraturan-peraturan tersebut yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Selain itu, beberapa materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terkait dengan perencanaan undang-undang dan penyusunan naskah akademik. C. Ekspektasi yang Masih Belum Terpenuhi



Dari berbagai perubahan tersebut, terdapat beberapa ekspektasi yang masih belum terpenuhi terkait perundang-undangan di Indonesia. Harapan dari kita misalnya, mengharapkan adanya penjelasan lebih mendalam tentang materi muatan, khususnya untuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, tidak terpenuhi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini. Padahal, pasca Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah terdapat beberapa kali kontroversi terkait penerbitan Perppu yang dianggap dapat membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi executive heavy ketika pemerintah juga memiliki fungsi membuat undang-undang seperti halnya lembaga legislatif. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang terlihat jelas dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini adalah wajah baru hierarki peraturan perundangan di Indonesia . D. Piramida atau Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: 1. UUD 1945, merupakan ''hukum dasar'' dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 2. Ketetapan MPR 3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah (PP) 5. Peraturan Presiden (Perpres) 6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula 'Qanun'' yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta 'Perdasus'' dan 'Perdasi' yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Undang Undang Dasar Negra Republok Indonesia Tahun 1945 Undang Undang Dasar Negra Republok Indonesia Tahun 1945 merupakan ''hukum dasar'' dalam Peraturan Perundang-undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah: 1. Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 1959 atau Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 2. Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002). Undang-Undang Dasar Negra Republok Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini



. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi). Dengan demikian Majelis Permusyawaratan Rakyat kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Undang Undang Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden Republik Indonesia/Presiden. Materi muatan Undang-Undang adalah: 1. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: Hak Asasi Manusia hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara. 2. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia|Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia|Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk ''menjalankan'' Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden Republik Indonesia|Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi



yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk ''melaksanakan'' Peraturan Pemerintah. Peraturan Daerah Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Bahasa dalam Peraturan Perundang-undangan Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum. Penyerapan kata atau frase “bahasa asing” yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.



BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Teori Hans Kalsen dan Hans Nawiasky telah banyak memberikan perubahan pada tata hukum Indonesia dan hirarki peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi sebagai sumber politik hukum Negara Republik Indonesia secarah demokratis 2. Dari berbagai perubahan tersebut, terdapat beberapa ekspektasi yang masih belum terpenuhi terkait perundang-undangan di Indonesia. Harapan kita, yang mengharapkan adanya penjelasan lebih mendalam tentang materi muatan, khususnya untuk Peraturan Pemerintah



Pengganti



Undang-Undang,



tidak



terpenuhi



dalam



Undang-



Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini. Padahal, pasca Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah terdapat beberapa kali kontroversi terkait penerbitan Perppu yang dianggap dapat membuat sistem pemerintahan Indonesia menjadi executive heavy ketika pemerintah juga memiliki fungsi membuat undang-undang seperti halnya lembaga legislatif. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang terlihat jelas dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini adalah wajah baru hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Buku Anan Jamal, Konfigurasi Politik dan Hukum Institusionalisasi Judisial Review di Indonesia, Pustaka Refleksi, Makasar, 2009. Hans Kalsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum EmpirikDeskriptif,diterjemahan oleh Somardi Ahli Bahasa , Rimdipress H. L. A. Hart, Konsep Hukum, Nusa Media, Bandung, 2011 Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kalsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkama Konstitusi RI, Jakarta, 2006. Soewoto Mulyosudarto, Pembaharuan Ketatanegaraan MelaluinPerubahan Konstitusi, Asosiasin Pengajar HTN dan HAN-In TRANS, Malang, 2004. Sri Soemantri, Presepsi Terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UndangUndang Dasar, 1945, Alumni:Bandung, 1987. Makalah/Undang-Undang Jimly Asshiddiqie, Sistem Ketatanegaraan Pasca Reformasi Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi www.mpr.wasantara.net.id. Diakses pada 28 Desember 2011



Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-Undangan