8 0 118 KB
TERAPI DOA
A. LATAR BELAKANG Pada tahun 1984 WHO memasukkan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu, terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan fisik dan psikologis, psikososial dan spiritual (Ariyanto, 2006). The American Psychiatric Association (APA) mengadopsi gabungan dari empat dimensi di atas dengan istilah paradigma pendekatan biopsikososiospiritual (Hawari, 2002). Lokakarya yang diselenggarakan APA pada tahun 1993 dengan judul Religion and Psychiatry Model of Partnership memberikan suatu anjuran untuk menambahkan terapi keagamaan disamping terapi psikis dan medis (Hawari, 2002). Terapi psikoreligius merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang mengkombinasikan pendekatan kesehatan jiwa modern dan pendekatan aspek religius/keagamaan. Terapi ini bertujuan meningkatkan mekanisme koping (mengatasi masalah) individu terhadap gangguan ansietas klien. Kegiatan-kegiatan terapi psikoreligius dalam agama islam meliputi sholat, doa, dzikir, dan membaca
kitap
psikiatrik setingkat lebih tinggi dikarenakan
terapi
suci. Terapi ini merupakan terapi
dari pada psikoterapi biasa. Hal ini
psikoreligius
mengandung
unsur
spiritual
(kerohaniaan/ keagamaan) yang dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) dan keimanan (faith) pada diri seseorang (Yosep, 2010 dalam Hawari, 2007). Salah satunya adalah penggunaan doa sebagai terapi. Terapi doa merupakan suatu bentuk aplikasi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk memberikan pengobatan untuk kesembuhan seseorang.
Doa merupakan suatu media komunikasi antara seseorang dengan sang Khalik (tuhan) dalam rangka memohon dan meminta hajat hidup di dunia maupun di akhirat, mengeluh, dan mengadu atas permasalahan hidup yang dihadapi, atau bentuk ketergantungan seseorang hamba yang lemah dan hina kepada Allah SWT (Tuhan yang Mahaperkasa dan Mahamulia). Dalam doa terkandung juga unsur dzikir dan memiliki pengaruh terapi terhadap jiwa seperti yang diuraikan oleh DR. Hanna. Di San Francisco, AS studi untuk mengetahui efektivitas doa dan zikir dilakukan terhadap 393 pasien jantung. Responden dibagi dalam dua kelompok secara acak. Kelompok pertama memperoleh terapi doa dan zikir,
lainnya
tidak.
Hasilnya
menunjukkan
bahwa
mereka
yang
mendapatkan terapi doa hanya sedikit yang mengalami komplikasi. Sementara pada kelompok yang tidak diberi terapi doa timbul berbagai komplikasi. Prof Dr. Zakiah Daradjat, pakar dan praktisi konseling dan psikoterapi Islam, berpendapat bahwa doa dapat memberikan rasa optimis, semangat hidup dan menghilangkan perasaan putus asa ketika seorang menghadapi keadaan atau masalah-masalah yang kurang menyenangkan baginya. Di samping itu doa juga menimbulkan rasa percaya diri (selfconfident) dan optimis (harapan kesembuhan). Ini merupakan dua hal yang amat essensial bagi penyembuhan. Oleh karena itu, doa digunakan sebagai salah satu terapi komplementer dalam fase penyembuhan. B. PENGERTIAN DOA Definisi doa secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab (da’ayad’uu – du’aa-an) yang berarti memohon atau meminta. Kata doa juga mempunyai beberapa makna atau arti lain yang merujuk kepada ayat-ayat Al Quran dan Al Hadist. Menurut Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Bada’I’ul Fawa’id menerangkan bahwa doa merupakan permohonan untuk segala sesuatu yang bermanfaat dan tuntutan untuk menjauhkan segala sesuatu yang mendatangkan kemudharatan.
Kata du’a
atau doa adalah bentuk mashdar dari fi’il
sedangkan menurut Ibnu Haja, kata doa sebenarnya bentuk qashr (singkat) dari kata al-da’wâ
seperti dalam firman Allah Swt.:
Tentang artinya, menurut Ibnu Hajar doa memiliki beragam arti, antara lain: al-thalab (permintaan), dan berdoa untuk mendapat sesuatu berarti dorongan untuk melaksanakan sesuatu tersebut. Da’awtu fulânan berarti aku telah meminta kepada seseorang, namun bisa pula berarti memohon pertolongan dari orang tersebut. Doa juga bisa berarti menghilangkan
ketentuan,
seperti
firman
Allah
Swt.:
(Tidak dapat memperkenankan seruan apa pun baik di dunia maupun di akhirat). Selain itu, doa juga dimutlakkan pada arti ibadah (Sambas&Sukayat, 2003:11). Doa merupakan suatu media komunikasi antara seseorang dengan sang Khalik (tuhan) dalam rangka memohon dan meminta hajat hidup di dunia maupun di akhirat, mengeluh, dan mengadu atas permasalahan hidup yang dihadapi, atau bentuk ketergantungan seseorang hamba yang lemah dan hina kepada Allah SWT (Tuhan yang Mahaperkasa dan Mahamulia).
Imam
Al
Khathabi
dalam
kitabnya,
Sya;nud
Du’a
menjelaskan bahwa doa adalah permohonan bantuan dari seorang hamba kepada tuhannya dengan menampakkan kefakiran kepada-Nya dan membebaskan diri dari keyakinan akan adanya kekuatan selain Allah SWT. Doa dalam pengertian pendekatan diri kepada Allah dengan sepenuh hati, banyak juga dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an banyak menyebutkan pula bahwa tadharu’ (berdoa dengan sepenuh hati) hanya akan muncul bila disertai keikhlasan. Hal tesebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang shalih. Dengan tadharu’ dapat menambah kemantapan jiwa, sehingga doa kepada Allah
akan senantiasa dipanjatkan, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, dalam penderitaan maupun dalam kebahagiaan, dalam kesulitan maupun dalam kelapangan. Dalam Al-Qur’an Allah telah menegaskan: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). C. MEKANISME BIOLOGIS TERHADAP TUBUH Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual
terhadap sesuatu yang berbahaya. Kecemasan
merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut. Respon psikologi karena pembedahan dapat berkisar dari cemas ringan, sedang, berat, sampai panik tergantung dari masing-masing individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon fisiologi dan psikologi sepanjang pengalaman pembedahan antara lain adalah usia, status fisik, dan mental, tingkat keparahan penyakit, besar kecilnya operasi, sumber sosial ekonomi serta ketidaksiapan fisik dan psikologi dari pasien untuk menjalani operasi (Budianto, 2010). Kecemasan yang berat akan mempengaruhi hipotalamus dan menimbulkan dua mekanisme yang berbeda. Impuls pertama didukung oleh sistem saraf
simpatis yang akan mempengaruhi medula adrenal
dalam memproduksi epinephrin dan nor epinephrin. Dalam keadaan normal, kedua substansi ini akan
memberikan sirkulasi darah yang
adekuat sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit terjaga, suhu tubuh stabil sehingga energi terpenuhi. Tetapi jika produksinya patologis akan
meningkatkan rate dan kontraksi jantung, dilatasi pupil, penurunan motilitas GI tract hingga terjadi glikogenolisis dan gluko-neogenesis di hepar. Sedangkan mekanisme kedua akan hipofise
anterior
adrenokortikosteroid
sehingga
mempengaruhi kelenjar
merangsang
produksi
hormon
yaitu aldosteron dan glukokortikoid. Aldosteron
berperan dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit,
reabsorbsi air dan natrium. Glukokortikoid
menyediakan energi pada
kondisi emergensi dan penyembuhan jaringan. Kecemasan dapat timbul karena
kesiapan
psikologis
terhadap
pembedahan
belum
terjadi
(Budianto, 2010). Doa adalah pernyataan segala hal keinginan kita kepada Tuhan (surat Filipi 4:6), doa merupakan autosugesti yang dapat mendorong seorang berbuat sesuai dengan yang didoakan dan bila dipanjatkan dengan sungguh-sungguh berpengaruh pada perubahan jiwa dan badan. Doa kesembuhan adalah pernyataan sikap ketika berbicara kepada Tuhan dengan bersuara ataupun mengucapkannya
dalam hati meminta
kesembuhan. Ketika berdoa akan menimbulkan rasa percaya diri, rasa optimisme (harapan kesembuhan), mendatangkan ketenangan, damai, dan
merasakan
kehadiran
Tuhan
Yang
Maha
Esa
sehingga
mengakibatkan rangsangan ke hipotalamus untuk menurunkan produksi CRF
(Cortictropin
Releasing
Factor).
CRF
ini
selanjutnya
akan
merangsang kelenjar pituitary anterior untuk menurunkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk menurunkan sekresi kortisol. Kortisol ini yang akan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi tingkat kecemasan (Budianto, 2010). Pemberian terapi doa sebagai salah satu terapi psikoreligius merupakan tambahan
terapi modalitas yang dapat dilakukan sebagai terapi atau
komplementer.
Menurut
Hawari
(2008),
terapi
psikoreligius dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self
confidence) dan keimanan (faith) pada diri seseorang. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan senada (2012) mengenai terapi psikoreligius untuk menurunkan tingkat stres pada pasien halusinasi mendapatkan data objektif tentang perasaan lebih tenang, emosi lebih terkendali, dan tidak gelisah. Aspek religiusitas mengandung unsur meditasi dan relaksasi sehingga sebagai mekanisme koping yang dapat membangkitkan
ketahanan tubuh seseorang secara alami. Secara
biologis orang dengan tingkat religiusitas tinggi memliki kadar CD-4 (limfosit T helper) yang tinggi, ini menunjukkan tingginya daya tahan imunologi seseorang (Hawari, 2007 dalam Subandi dkk, 2012). Selain mempengaruhi tingkat imunologi, tingkat religiustitas yang tinggi
dapat juga meningkatakan mood dan menurunkan kadar
katekolamin seseorang
(norepeniferin dan epinefrin) serta menyehatkan diri (Dalmida, 2006: Cummings, 2010). Gangguan ansietas
dihubungkan dengan peningkatan kadar norepeniferin dalam darah (Towsend, 2009:Videbeck, 2011). Sehingga dengan pemberian terapi psikoreligius kadar norepeniferin dalam darah dapat menurun dan gangguan ansietas dapat diatasi (Subandi dkk, 2012). D. INDIKASI Tidak ada indikasi yang ditentukan untuk melakukan terapi doa. Namun ada literatur menyebutkan bahwa indikasi terapi doa, yaitu pada kasus penyakit terminal (White et al, 200 : 345). Selain itu dapat juga digunakan
pada
kasus-kasus psikoneuroimunologi, seperti
kanker,
penyakit koroner dan penyakit autoimun (Lorentz, 2006). Indikator dalam terapi doa, yaitu ansietas dan stres. Kondisi-kondisi yang menimbulkan ansietas tinggi dapat diterapi dengan menggunakan terapi doa, khususnya pada kasus-kasus penyakit kronis dan terminal di mana tingkat stres yang tinggi dialami oleh klien. Dengan menggunakan terapi doa dapat menghasilkan hipnosis diri untuk relaksasi di mana timbul kesadaran dan
kepercayaan terhadap Tuhan sehingga dapat meningkatkan mekanisme koping dan menurunkab tingkat stres. Berdasarkan hasil penelitian psikoimunologi, tingkat stres dan emosi memiliki peranan penting dalam kemudahan mendatangkan penyakit (Daruna, 2004 dalam Lorentz, 2006). Menurut Lorentz (2006), stres mengatur aktivitas sistem tubuh yang menyebabkan kekacauan dalam mempertahankan kesehatan. Kemampuan menghadapi stresor yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan pertahanan homeostasis tubuh yang menyebabkan penurunan sistem imun. Stres menstimulasi dan melepas enzyme dalam kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone stres, yaitu epinefrin, norepinefrin, dan kortikoid adrenal. Hormone tersebut menyebabkan aktivasi perubahan biokimia dalam sistem saraf, endokrin, dan sistem imun yang mempengaruhi semua sistem organ (Blauer-Wu, 2002 dalam Lorentz, 2006). Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara pikiran dan tubuh terhadap kondisi sakit ketika pikiran dan tubuh berkomunikasi melalui sistem endokrin, saraf, dan sistem imun (Song & Leonard, 2000 dalam Lorentz, 2006). Terapi doa merupakan salah satu teknik pikiran-tubuh yang berfokus pada Yang Maha Kuasa. Teknik ini menghasilkan emosi positif dan strategi koping afektif yang dapat membantu mengubah cara pikir individu dalam menghadapi masalah, melalui pengontrolan respon terhadap stres karena mereka harus memaksakan kontrol reaksi dan perilakunya terhadap stres (Lorentz, 2006). Terapi ini menggunakan aktivitas mental berulang dan menolak dengan sadar terhadap pikiranpikiran negatif dan menghasilkan stimuli kognitif menjadi positif. Ketika stimuli kognitif positif diterima sistem saraf pusat, kemudian informasi tersebut disampaikan melalui sistem hormonal kepada reseptor sel imun. Sel imum memiliki reseptor molekul anti-ansietas. Jika reseptor ini menerima stimuli kognitif positif, maka terjadi pengaturan aksi sistem imun di mana sistem imun ini mempertahankan homesotasis tubuh yang dapat
mempengaruhi limpa, kelenjar limpa, dan limfoid sehingga meningkatkan autoimun. Selain itu, stimuli kognitif yang merupakan hasil perbaikan pikiran menyebabkan respon relaksasi melalui produksi gelombang alfa otak yang memicu kondisi sejahtera dan relaksasi. Hal ini menyebabkan peningkatan denyut jantung dan darah laktat yang sesuai dengan level rendah ansietas. Selain itu, terjadi peningkatan aktivitas di sistem saraf simpatis yang menyebabkan ketenangan dan ansietas rendah.. E. KONTRAINDIKASI Kontraindikasi untuk terapi doa, yaitu penyakit psikiatri (Ernst et al, 2007: 163). Penyakit psikiatri merupakan penyakit di mana keadaan mental
pasien
mengalami
gangguan
sehingga
kesadaran
dan
kepercayaan terhadap Tuhan menjadi tidak efektif. Selain itu, penyakit psikiatri menyebabkan gangguan kognitif sehingga tidak dapat dihasilkan stimuli kognitif positif yang dapat mempengaruhi emosi positif. F. TAHAP-TAHAP PSIKOTERAPI DOA Berikut tahap-tahap psikoterapi doa (Kuswardani, 2009). 1. Tahap kesadaran sebagai hamba Inti dari terapi ini adalah pembangkitan kesadaran, kesadaran terhadap kehambaan dan kesadaran akan kelemahan sebagai manusia. Bentuk kesadaran ini akan menghantarkan seseorang yang berdoa berada pada keadaan lemah. Tanpa adanya kesadaran akan kelemahan diri ini maka kesungguhan dalam berdoa sulit dicapai. Hakikat berdoa adalah meminta, yang meminta derajatnya harus lebih rendah dari pada yang dimintai. Untuk
itu
sebelum
seseorang
berdoa
diharuskan
untuk
merendahkan diri dihadapan Allah. Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan jantung
bahwa
melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung
itu
bergerak
bukan
kita
yang
menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau
juga
dapat
melihat
masalah
yang
sedang
dihadapi,
ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan nantinya dapat menimbulkan sikap menerima dan sikap pasrah. Pada tahap ini seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami. Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian dimintakan sembuh kepada Allah. 2. Tahap penyadaran akan kekuasaan kepada Allah Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri maka pengisian dilakukan
yaitu
dengan
menyadari kebesaran Allah kasih sayang dan terutama adalah maha
penyembuhnya.
Allah.
Tahap
ini
pemahaman tentang hakikat sakit yang
juga
menimbulkan
dialami bahwa sakit
berasal dari Allah dan yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat dilakukan melihat
bagaimana
Allah
menggerakkan
segala
dengan sesuatu,
menghidupkan segala sesuatu. Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimana seseorang dapat berdoa kalau dirinya tidak
mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh tidak
dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah atas doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan “dikabulkan tidak ya” atau mengatakan “mudahmudahan
dikabulkan”,
kalimat
ini
maksudnya
tidak
ingin
mendahului Allah tapi sebenarnya adalah meragukan Allah dalam
mengabulkan doa kita. Ada perbedaan
antara mendahului
kehendak Allah dengan keyakinan yang ditujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah dan tidak masuk pada kehendak Allah. Sebagai contoh bila kita berdoa “Ya Allah hilangkan kesedihan hati saya”, maka kita yakin kepada Allah
bahwa Allah memberikan kesembuhan. Hal yang
penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari pada apa yang kita baca dalam doa kita. 3. Tahap Komunikasi Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar
akan
kebesaran
Allah
maka
selanjutnya
adalah
berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting dari proses terapi. 4. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami Permohonan doa bukanlah permintaan yang memaksa Allah untuk mengabulkan. Untuk itu doa yang dipanjatkan harus disertai dengan
kerendahan hati, dengan segenap sikap butuh kepada
Allah. Posisi hamba yang berdoa adalah meminta dia tidak berhak untuk memaksa, hamba tadi hanya diberi wewenang untuk meyakini bahwa doanya dikabulkan bukan memaksa Allah untuk mengabulkan, dan 5. Tahap
menunggu
diam
namun
hati tetap mengadakan
permohonan kepada Allah Doa merupakan bentuk komunikasi antara yang meminta dan yang memberi. Ketika proses permintaan sudah disampaikan maka proses pemberian (dijawabnya doa) harus ditunggu karena pemberian atau dijawabnya bersifat langsung. Syarat untuk dapat menerima jawaban ini adalah dengan sikap rendah diri, terbuka,
dan tenang (tidak tergesa-gesa). Sikap ini akan dapat menangkap kalam Allah (jawaban doa) yang tidak berbentuk
ucapan
tidak
berbentuk
huruf
tapi
berbentuk
pemahaman pencerahan, ilham (enlightment), atau berbentuk perubahan perubahan emosi dari tidak tenang menjadi tenang, dari sedih menjadi hilang kesedihannya.Tahap ini merupakan tahap respon yang diberikan oleh Allah kepada kita sebagai jawaban doa yang kita panjatkan. Tahap ini juga disertai dengan sikap pasrah total kepada Allah mengikuti apa maunya Allah dan apa kehendak Allah, sikap ini akan dapat menangkap jawaban Allah (Purwanto, 2007). G. PROSEDUR : 1. Persiapan a) Persiapan perawat 1) Lakukan pengkajian: baca catatan keperawatan dan medis 2) Rumuskan diagnosa terkait 3) Buat perencanaan tindakan 4) Kaji
kebutuhan
tenaga
perawat,
minta
perawat
lain
membantu jika perlu 5) Cuci tangan dan siapkan alat b) Persiapan klien 1) Pastikan identitas klien 2) Kaji kondisi klien 3) Jelaskan maksud dan tujuan 4) Jaga privasi klien 5) Pasien dipersilahkan duduk 2. Cara kerja a) Tumbuhkan niat dalam diri untuk minta disembuhkan oleh Tuhan b) Rilekskan tubuh, kendorkan dari mulai kaki hingga kepala, jangan ada ketegangan otot
c) Lakukan tahap kesadaran sebagai hamba: sadari keluhan yang dirasakan, amati keluhan itu, ikuti dengan kesadaran bahwa kita lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan apa-apa d) Lakukan tahap penyadaran akan kekuasaan Tuhan: sadari kebesaran Tuhan, lihat alam semesta, bagaimana Tuhan menggerakkan alam ini, menghidupkan alam ini, Tuhan yang memberi hidup dan memberi mati, Tuhan yang memberi sembuh dan memberi sakit e) Lakukan tahap komunikasi sebagai bagian penting dari proses terapi, tahap ini dapat berbentuk: 1) Ungkapkan seluruh keluhan yang dirasakan kepada Tuhan 2) Ungkapkan segala yang dipikirkan dan apa yang menjadi kekhawatiran kepada Tuhan 3) Memohon kesembuhan kepada Tuhan 4) Tetap relaks dan masih pada posisi memohon kepada Tuhan 5) Pasrah kepada Tuhan disertai dengan keyakinan bahwa Tuhan menjawab doa yang dipanjatkan 6) (Menunggu jawaban doa, diam namun tetap ingat memohon kepada Tuhan) 3. Evaluasi a) Evaluasi respon pasien b) Simpulkan hasil kegiatan c) Berikan reinforcement positif d) Lakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya e) Akhiri kegiatan dengan cara yang baik H. IMPLIKASI KEPERAWATAN Terapi keagamaan (intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikutinya (Chudan Klien,
1985
dalam
Yosep,
2007).
Kegiatan
keagamaan/ibadah/shalat
menurunkan gejala psikiatrik. Riset yaang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA. Kesimpulan dari berbagai riset bahwa religiusitas mampuh mencegah
dan
melindungi
dari
penyakit
kejiwaan,
mengurangi
penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan (Mahoney et.all, 1985 dalam Yosep, 2007 dalam Fanada&Muda, 2012). Menurut Darajat (1983 dalam Yosep, 2007 dalam Fanada&Muda, 2012), perasaan berdosa merupakan faktor-faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini di akibatkan karena seseorang merasa dosa yang tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik tersebut dapat berupa matanya menjadi tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh. Kekosongan spritual, kerohanian, dan rasa keagamaan yang sering menimbulkan permasalahan masalah psikososial dibidang kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatannya
tidak lagi
memandang
manusia
sebagai
mahkluk
biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospritual. Pada beberapa penderita penyakit jantung, terdapat beberapa perilaku psikologis yang muncul seperti gangguan stres akut, kecemasan, depresi, dan pesimisme. Suatu penelitian menunjukkan bahwa perilaku berdoa pada pasien pembedahan jantung terbukti meningkatkan rasa optimis, serta mengurangi kecemasan dan stres akut (Al dkk, 2007). Penelitian serupa juga membuktikan bahwa agama dan spiritualitas dalam menghadapi rasa sakit akan mempercepat proses penyembuhan. Ketika seseorang menghadapi suatu penyakit berat seperti kanker, jantung, dan HIV/AIDS, mereka mengaku menjadi lebih religius dan spiritual. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku seperti: waktu untuk berdoa lebih banyak, mencari petunjuk mengenai kebenaran, dan mendekatkan diri pada Tuhan menjadi lebih intensif dibandingkan sebelum mereka sakit. Hal ini
menunjukkan bahwa subjek penelitian ini mempercayai Tuhan dan kegiatan spiritual dilakukan untuk mendapatkan kesembuhan penyakit fisik (Woods & Ironson, 1999 dalam Kuswardani, 2009). Penelitian lain yang dilakukan pada 268 pasien di Amerika pada tahun 1996-1997 (Pargament, 2004) menunjukkan bahwa pasien yang melakukan religious coping seperti mencari dukungan religius dan lebih banyak melakukan ibadah religi berasosiasi dengan kesembuhan penyakitnya dan merubah kesehatan fisik maupun psikisnya. Sedangkan pasien yang bersikap negatif terhadap
religious coping seperti
menyalahkan Tuhan, tidak melakukan ibadah sama sekali menunjukkan kesembuhan yang lebih lama, bahkan tidak kunjung membaik. Dengan demikian, religiusitas seseorang merupakan prediktor terhadap kondisi kesehatannya (Kuswardani, 2009). Selain itu telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa agama mempunyai peranan sebagai psikoterapi terhadap kesembuhan pasien. Matthews dan Larson (1995) telah mengumpulkan sebanyak 212 penelitian yang menguji efek dari komitmen religius terhadap hasil perawatan kesehatan. 75% dari penelitian-penelitian itu menunjukkan adanya pengaruh yang positif agama terhadap kesehatan, 17% menunjukkan efek campuran atau tanpa efek dan hanya 7% menunjukkan efek negatif. Misalnya penelitian Byrd (1988) menunjukkan bahwa pasienpasien yang menerima doa, ternyata mempunyai komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak menerima doa, ketika mereka dirawat di Unit Gawat Darurat. Koenig (1997) mengumpulkan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa orang yang mempunyai agama kuat, akan memiliki tekanan darah yang rendah, sedikit mengalami stroke, tingkat kematian yang rendah karena serangan jantung dan dapat tahan hidup lebih lama secara umum, serta sedikit penggunaan pelayanan medis (Subandi, 2003). Agama juga dapat membantu proses koping dalam menghadapi penyakit. Dalam penelitian Saudia et.al (1991) ditemukan bahwa 96%
pasien menggunakan doa untuk mengatasi stres ketika menghadapi operasi bedah jantung. 97% mengatakan bahwa doa sangat membantu menghadapi situasi itu. Pada pasien yang mempunyai kanker kandungan ternyata 91% mengatakan bahwa agama membantu mereka mempunyai harapan Robert et.al (1997). Demikian juga bagi pasien kanker payudara, ditemukan bahwa 88% menganggap bahwa agama merupakan faktor yang sangat penting dalam hidup mereka (Subandi, 2003). Selain penelitian-penelitian yang berkaitan dengan spiritualitas secara umum, secara khusus penelitian tentang pengaruh doa terhadap kesembuhan banyak dilakukan para ahli. Benson (2000) adalah salah seorang pelopor penelitian tentang efektivitas doa. Selama 25 tahun dia memelopori penelitian tentang manfaat interaksi jiwa dan badan di Harvard Medical School. Disimpulkan bahwa ketika seseorang terlibat secara mendalam dengan doa yang diulang-ulang (repetitive prayer), ternyata akan membawa berbagai perubahan fisiologis, antara lain berkurangnya kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan napas, menurunnya
tekanan
darah,
melambatnya
gelombang
otak
dan
pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi ini disebut oleh Benson (2000) disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response) (Subandi, 2003). Doa bagi pasien ternyata tidak terikat oleh dimensi ruang. Dossey (1996) adalah profil dokter lain yang banyak mengungkapkan penelitian tentang pengaruh doa. Dari berbagai penelitian yang dikumpulkannya disimpulkan bahwa doa secara positif berpengaruh terhadap berbagai macam penyakit. Misalnya tekanan darah tinggi, luka, serangan jantung, sakit kepala dan kecemasan. Proses-proses fisiologis yang dapat dipengaruhi doa antara lain adalah proses kegiatan enzim, laju pertumbuhan
sel
darah
putih
leukimia,
laju
mutasi
bakteri,
pengecambahan dan laju pertumbuhan berbagai macam benih, laju penyumbatan sel pemacu, laju penyembuhan luka, besarnya gondok dan tumor waktu yang dibutuhkan untuk bangun dari pembiusan total, efek
otonomi seperti kegiatan elektrodermal kulit, laju hemolisis sel-sel darah merah dan kadar hemoglobin. Dengan adanya bukti-bukti ilmiah seperti itu, maka dokter Dossey (1996) sendiri selanjutnya menulis: “...setelah mempertimbangkan faktor-faktor ini selama beberapa bulan, saya menyimpulkan bahwa saya akan berdoa bagi pasien-pasien saya” (Subandi, 2003). Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh agama umumnya dan doa pada khususnya ternyata juga berpengaruh pada sebagian besar masyarakat pengguna jasa. Menurut majalah Time (1996) 82% pasien percaya kekuatan
doa
untuk
penyembuhan;
77%
percaya
Tuhan
dapat
mengintervensi untuk menyembuhkan orang-orang yang mempunyai penyakit serius; 73% percaya bahwa doa dapat membantu orang lain mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya. Kondisi tersebut selanjutnya menumbuhkan keinginan pasien untuk mendapatkan doa khususnya dan pelayanan spiritual pada umumnya. Survey dari National Institute for Health Care Research di Amerika (1997) menunjukkan bahwa 70% dari populasi yang diteliti menginginkan kebutuhan spiritual mereka dilayani sebagai bagian dari pelayanan medis. Survei lain menunjukan bahwa 91% dokter melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanan untuk membantu menyembuhkan penyakit (Subandi, 2003). Di San Fransisco, pada tahun 1996 dilakukan studi terhadap 393 pasien jantung untuk mengetahui sejauh mana efektifitas doa dan dzikir. Kelompok pasien jantung dibagi dalam 2 kelompok secara acak, yaitu mereka yang memperoleh terapi doa dan dzikir dan kelompok yang tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok mereka yang memperoleh terapi doa dan dzikir
hanya sedikit yang mengalami komplikasi, sedangkan
kelompok yang lain
banyak mengalami komplikasi dari penyakit
jantungnya (Snyderman, 1996 dalam Kuswardani, 2009). Penelitian-penelitian
tersebut
menunjukkan
bahwa
perilaku
seseorang akibat munculnya penyakit-penyakit berat menjadi lebih religius dan berdampak terhadap kesembuhan. Sebaliknya, pasien yang
justru menjadi kurang religius
ketika mendapatkan suatu penyakit,
kesembuhannya lebih lama. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan spiritual membawa dampak positif yang signifikan terhadap kondisi kesehatan seseorang (Kuswardani, 2009). I.
REFERENSI
Ariyanto D. 2006. Psikoterapi dengan Doa. Jurnal Suhuf vol XVIII no 1. Budianto, Mesah. 2010. Pengaruh Terapi Religius Doa Kesembuhan Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Preoperasi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Semarang: Universitas Diponegoro. Fanada, Mery dan Muda, Widyaiswara. 2012. Perawat dalam Penerapan Terapi Psikoreligius untuk Menurunkan Tingkat Stres pada Pasien Halusinasi Pendengaran di Rawat Inap Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang 2012. Sumateran Selatan: Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan. Hawari, D. 1997. Al-Quran Ilmu Kedokteran jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bakti Primayasa. Kuswardani, Istiana. 2009. Terapi Kultural dan Spiritual Penyakit Jantung Koroner. Psikohumanika: Jurnal Ilmiah Psikologi. Lorentz, Madeline M. 2006. Stress And Psychoneuroimunology Revisited: Using Mind-Body Intervention To Reduce Stress. Alternative Journal Of Nursing, Issue 11. Sambas, Syukriadi dan Sukayat, Tata. 2003. QUANTUM DOA: Membangun Keyakinan Agar Doa Tak Terhijab dan Mudah Dikabulkan. Jakarta: Mizan Publika. Subandi, M.A. 2003. Integrasi Psikoterapi dalam Dunia Medis. Makalah. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Subandi, Lestari, Retno dan Suprianto, Teguh. 2012. Pengaruh Terapi Religius Terhadap Penurunan Tingkat Ansietas pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Sejahtera Pandaan Pasuruan. [diakses tanggal 13 Oktober 2013]. White, Duncan, Baumle. Foundation Of Basic Nursing. 3 rd Edition.