Terjemahan Sabilul Abid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2-1 Nafsiyyah dan Salbiyyah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TENTANG KETUHANAN (ILĀHIYYAT)   “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah engkau untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 56)   Sifat Wajib Allah (Nafsiyyah dan Salbiyyah)   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat yang wajib dimiliki oleh Allah s.w.t. Beliau berkata: ِ ِ ‫اب بِالْ َع َد ْم‬ ُ ‫ َك َذا َب َقاءٌ اَل يُ َش‬                ‫ب لَهُ الْ ُو ُج ْو ُد َو الْق َد ْم‬ ٌ ‫َف َواج‬ “Maka wajb bagi Allah sifat wujud (ada) dan qidam (dahulu), begitu juga baqa’ (kekal) yang tidak dicampuri oleh ‘adam (ketiadaan).” Allah wajib bersifat wujud. Maksudnya, Dzāt yang pasti ada, tanpa didahului ketiadaan. Ketika Allah bersifat wujud, maka Allah pasti bersifat qidam (tidak ada awal bagi wujudnya) dan wajudnya abadi. Ketika Allah bersifat wujūd dan qidam, maka Allah pasti bersifat baqā’ (kekal wujudnya, tidak akan tiada dan tidak diawali oleh ketiadaan).   Penjelasan Sifat wajib Allah yang wajib diketahui oleh seorang mukallaf adalah sifat wujūd. Menganggap bahwa wujūd merupakan sifat adalah bentuk kemoderatan (sikap longgar) para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Sebab, menurut Imām al-Asy‘arī, wujud itu ‘ainu maujūd, dzātu maujūd. Wujūd itu ‘Ainu Dzāt, bukan sifat. Sedangkan menurut Imām alMāturīdī, wujud adalah sifat, bukan ‘Ainu Dzāt. Sebab, definisi wujud adalah ḥāl (keadaan) yang menetap pada dzāt, selagi dzāt itu ada, maka sifat wujud juga ada. Wujūd merupakan batas antara ada dan tidak ada, karenanya wujūd tidak bisa naik ke derajat maujūd (sesuatu yang ada) seperti warna putih, juga tidak bisa turun ke derajat ‘adam (sesuatu yang tidak ada), karena ḥāl  (keadaan) bukan sesuatu yang ada, bukan pula sesuatu yang tidak ada. Pahamilah masalah ini! Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah sifat qidam, yang berarti dahulu, tanpa didahului oleh ketiadaan. Tidak didahului ketiadaan dinamakan qidam (dahulu), sedangkan tidak ada akhir atau tidak menemui ketiadaan dinamakan baqā’ (kekal). Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:



ِ ‫ف بُْر َها ُن ه َذا الْ ِق َد ُم‬ ُ َ‫َو أَنَّهُ لِ َما َين‬ ٌ ‫ خُمَال‬                      ‫ال الْ َع َد ُم‬ ِ ِ ‫الن ْف‬ ‫صافُهُ َسنِيَّ ْة‬ َّ ِ‫قِيَ ُامهُ ب‬ َ ‫ ُمَنَّز ًها أ َْو‬                     ‫س َو ْح َدانيَّ ْة‬ ٍ ٍِ ِ ٍ ‫َص ِدقَا‬ ْ ‫ َو َوالَد َك َذا الْ َولَ ْد َو اأْل‬            ‫َع ْن ض ٍّد أ َْو شْبه َش ِريْك ُمطْلَ َقا‬ “Dan bahwasanya Allah menyalahi segala yang baru yang berhubungan dengan ‘adam (ketiadaan) menjadi dalil sifat qidam (dahulu) ini.” “(Wajib juga bagi Allah) memiliki sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) dan waḥdāniyyah (esa) seraya disucikan dan ditinggalkan sifat-sifatNya.” “(Allah itu) disucikan dari yang berlawanan, dari yang menyerupai, dari sekutu secara mutlak, serta dari wālid (ayah atau ibu), begitu juga dari anak dan teman.” Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah mukhālafatu lil-ḥawādits yang berarti berbeda dengan sesuatu yang baru dan menerima ketiadaan (‘adam). Adapun tanda bahwa Allah bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya) adalah Allah bersifat qidam (dahulu). Tidak ada satu pun makhluk yang bersifat qidam. Sebab, arti qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujudnya, sedangkan wujud semua makhluk pasti didahului ketiadaan dan akan berakhir dengan ketiadaan lagi. Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi  (berdiri sendiri), yakni Allah berdiri dengan Dzāt-Nya sendiri, tidak butuh pada dzāt lain. Tidak seperti sifat warna putih yang membutuhkan tempat untuk bertempat. Allah adalah Dzāt, bukan sifat yang menempati dzātnya sendiri. Sifat wajib bagi Allah yang keenam adalah Waḥdāniyyah (esa), yakni Esa dalam dzāt, sifat, dan pekerjaan-Nya. Allah wajib memiliki sifat-sifat tersebut. Allah bersifat Maha Agung, terhindar dari kebalikan sifat-sifat tersebut, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada sekutu bagi Allah secara mutlak, baik dalam dzāt, sifat maupun pekerjaan, tidak ada satu pun yang menyamai Allah. Allah tidak memiliki ayah, anak, ataupun saudara.   Penjelasan Allah wajib memiliki sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk), artinya berbeda dengan dzāt dan sifat makhluk, Allah bukan jirm, jauhar, ‘aradh, (51) bukan pula juz’ (partikular), kull (menyeluruh atau umum), tidak memiliki arah, baik atas, bawah, depan, belakang, kanan, maupun kiri, tidak berhubungan dengan posisi makhluk, tidak di atasnya, di bawahnya, di depannya, di belakangnya, di kanan ataupun di kirinya. Adapun yang tebersit dalam hatimu tentang Allah, maka Allah tidak seperti itu. Jika syaithan berbisik di hatimu: “Wahai manusia, jika Allah bukan jirm, ‘aradh, juz’, kull, maka seperti apa hakikat Allah?” Maka jawablah: “Hai mal‘ūn (syaithan yang dilaknat), tidakkah kau belum tahu.” ُ‫اَل َي ْعلَ ُم اهللَ إِاَّل اهلل‬.



“Tidak ada yang mengetahui Allah selain Allah sendiri.” ِِ ِ ِ ‫الس ِميع الْب‬ ‫صْي ُر‬ َ ُ ْ َّ ‫س َكمثْله َش ْيءٌ َو ُه َو‬ َ ‫لَْي‬. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. asy-Syūrā [42]: 11). “Wahai syaithan penggoda manusia, tidakkah kau tahu dan mengambil pelajaran dari ruh yang ada dalam dirimu? Engkau tidak tahu seperti apa bentuknya, apa warnanya, di mana tempatnya, menghadap ke mana, ke atas atau ke bawah, itu saja engkau tidak tahu, padahal ruhmu adalah sesuatu yang baru, bagaimana engkau bisa tahu hakikat Dzāt yang qadīm (dahulu)? Pastinya engkau juga tidak bisa mengetahuinya.” Kewajibanmu hanya meyakini dengan pasti bahwa Allah wajib wujudnya, tidak perlu terlalu banyak berpikir. Sepertihalnya engkau meyakini bahwa ruhmu itu ada, tapi tidak tahu seperti apa, cukup meyakini keberadaannya saja, tidak harus mengetahui bentuknya, sama sekali tidak. Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah qiyāmuhu binafsihi  (berdiri sendiri) artinya Allah berdiri dengan Dzat-Nya sendiri, tidak butuh pada yang lain dan tidak butuh pada yang menciptakan. Sebab, jika Allah butuh pada yang lain, berarti Allah adalah sifat, jika Allah adalah sifat, Allah tidak bisa memiliki sifat ma‘ānī (52) dan ma‘nawiyyah (53). Jika Allah butuh pada yang menciptakan, berarti Allah adalah Dzāt yang baru, sifat baru Allah ini mustahil karena Allah telah bersifat qidam (dahulu) dan baqā’ (kekal). Sifat yang juga wajib bagi Allah adalah Waḥdāniyyah (Esa), artinya, Allah Esa di dalam dzāt, sifat dan pekerjaan-Nya. Waḥdāniyyah tidak boleh diartikan waḥdatu dzāt seperti madzhab kāfir ḥulūliyyah, yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan makhluknya, keyakinan seperti itu hukumnya kafir. Na‘ūdzu billāh. Arti waḥdāniyyah dalam ilmu tauhid adalah menafikan al-kumūm-ul-khamsah (bilangan lima): Waḥdāniyyah dzāt, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fidz-dzāt dan al-kamm-ulmunfashilu fidz-dzāt, maksudnya Dzāt Allah tidak tersusun dan tidak ada makhluk lain yang menyerupai Allah. Waḥdāniyyah shifat, berarti meniadakan al-kamm-ul-muttashilu fish-shifat dan al-kamm-ulmunfashilu fish-shifat. Maksudnya, tidak ada sifat Allah yang berbilangan (seperti dua qudrah) dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang menyamai Allah. Waḥdāniyyah af‘āl, berarti menafikan al-kamm-ul-munfashilu fidz-dzāt. Maksudnya, tidak ada makhluk yang mampu menciptakan sesuatu. Kesimpulannya, tidak ada satu pun makhluk yang memiliki sifat dan pekerjaan seperti Allah. Adapun jika kita melihat ada seseorang, misalnya saja Zaid bisa melakukan atau berbuat sesuatu, maka itu hanya kasbu ‘abdi yang bersamaan dengan qudrah Allah, hamba yang kasb, Allah yang menciptakan. Allah s.w.t. berfirman:



‫اهللُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬. “Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS. Shāffāt [37]: 96). Sifat Allah yang telah disebutkan berjumlah 6 sifat. Pertama Shifat Wujūd, ini disebut sifat nafsiyyah. Adapun yang lima sifat setelahnya (qidam, baqā’, mukhālafatu lil-ḥawādits, qiyāmuhu binafsihi, dan waḥdāniyyah) disebut sifat salbiyyah. Shifat Nafsiyyah adalah sifat yang menetap pada dzāt selama dzāt itu ada. Sebagaimana jirm yang membutuhkan tempat atau ruang secukupnya untuk bertempat, hal itu harus ada selama jirm masih ada. Shifat Salbiyyah adalah sifat yang menolak segala hal yang tidak patut bagi Allah s.w.t. Maka madlūl (yang ditunjuk atau yang diterangkan) dari lima Shifat Salbiyyah itu tidak ada, tidak seperti madlūl-nya sifat qudrah  (berkuasa) dan irādah (berkehendak) yang tampak. Makna sifat qidam adalah menolak adanya ketiadaan di awal, maka jadilah qidam (dahulu, tidak ada awalnya). Makna sifat baqā’ adalah menolak ketiadaan di akhir, maka jadilah baqā’ (kekal, tidak musnah). Sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk-Nya) adalah menolak adanya persamaan Allah dengan makhluk-Nya, baik dari segi dzāt, sifat maupun af‘āl (perbuatan). Makna sifat qiyāmuhu binafsihi (berdiri sendiri) adalah menolak sifat butuh kepada yang lain atau kepada yang menciptakan. Sifat waḥdāniyyah menolak bilangan dalam dzāt, sifat, dan af‘āl. Dari penjelasan ini menjadi jelas bahwa sifat salbiyyah memang tidak ada madlūl-nya, tidak seperti sifat ma‘ānī.   Catatan: 51). Keterangan: 1. Jirm adalah setiap sesuatu yang membutuhkan ruang kosong secukupnya untuk bertempa. 2. Jauhar ada 2 macam: jauhar fard dan jauhar murakkab. 1). Jauhar fard adalah jirm yang sangat kecil sehingga tak bisa dipecah atau dibagi lagi. 2). Jauhar murakkab adalah jirm kecil untuk menyempurnakan susunan jism. 1. Jism adalah jirm yang besar. 2. ‘Aradh adalah sifat yang menempel pada jirm. 52). Sifat ma‘ānī adalah sifat yang wujūd (ada) sehingga jika dibukakan hijab maka sifat-sifat tersebut akan bisa dilihat ataupun didengar seperti ilmu, sifat itu benar-benar wujūd (ada). (Lihat Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37. Lihat juga al-Imām Sayyid Muḥammad as-Sanusī, Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Ḥaramain, tth. Hal. 97) 53). Sifat ma‘nawiyyah adalah amrun i‘tibārī, yakni sesuatu yang tidak ada dalam kenyataannya, hanya dianggap ada oleh akal (Lihat: Syaikh Nawawī bin ‘Umar alJāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidāyah, tt. Hal. 37). Halaman:



2-2 Sifat Wajib Allah (Ma’ani) – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Sifat Wajib Allah (Ma‘ānī) Setelah selesai membahas sifat nafsiyyah dan salbiyyah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan pada sifat ma‘ānī. Beliau berkata: .‫ت‬ ِّ ‫أ َْمًرا َو ِعْل ًما َو‬ َ ‫الر‬ ْ َ‫ضا َك َما ثَب‬



“Dan (wajib bagi Allah itu) sifat Qudrah dan Irādah. Dan (Irādah ini) berbeda dengan ‘Amr (perintah), ilmu, dan Ridhā sebagaimana yang telah tetap.” Allah wajib bersifat qudrah (berkuasa), berkuasa dalam menciptakan ataupun meniadakan, juga wajib bersifat irādah (berkehendak) yang mana kehendak Allah ini berbeda dengan amr  (perintah), ‘ilmu, dan ridhā, sebagaimana pendapat ulama Ahl-us-Sunnah walJamā‘ah. Penjelasan.



Allah s.w.t. bersifat qudrah (berkuasa). Makna qudrah secara bahasa (bagi makhluk) adalah kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan makna qudrah (bagi Allah) adalah sifat yang memudahkan untuk menciptakan dan meniadakan sesuatu yang ada. Orang mu’min wajib mengetahui wilayah sifat qudrah Allah dalam menciptakan dan meniadakan, karena Allah bersifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhluk). Allah juga wajib bersifat irādah (berkehendak). Makna irādah bagi makhluk adalah menyengaja, berkeinginan, atau berkehendak. Sedangkan makna irādah bagi Allah adalah sifat yang menetap pada Dzāt-Nya yang memudahkan-Nya memastikan hal yang boleh bagi mumkināt  (sesuatu yang mungkin ada atau mungkin tidak ada). Hal-hal yang boleh bagi mumkināt ada enam, biasa disebut al-Mumkināt-ul-mutaqabbilat (perkara-perkara mungkin yang saling berlawanan). (541). 1. 2. 3.



Wujud, lawannya adalah tiada. Sifat, seperti warna putih lawannya adalah warna hitam. Masa, seperti masa terjadi angin topan pada masa Nabi Nūḥ a.s., lawannya adalah masa Nabi ‘Īsā a.s. 4. Tempat, seperti ada di Mesir, lawannya adalah ada di selain Mesir. 5. Arah, seperti ada di barat, lawannya adalah ada di timur. 6. Ukuran, seperti panjang, lawannya adalah pendek.



Keberadaan enam hal tersebut adalah wazhīfah (fungsi)nya irādah, sedangkan perwujudannya adalah wazhīfah qudrah. Contoh, Wujudnya Zaid adalah wazhīfah sifat qudrah, adapun Zaid hidup pada zaman Nabi Muḥammad s.a.w., warna kulitnya putih, badannya tinggi, bertempat tinggal di Negara Makkah, maka ini semua adalah wazhīfah sifat irādah. Adapun bagaimana caranya, kita tidak tahu hakikat



sifat qudrah dan sifat irādah, kita hanya wajib mengetahui atsar (bekas atau hasil) dari sifat qudrah dan irādah Allah s.w.t. Haram mengatakan: “Sifat qudrah telah melakukan ini”, “Lihatlah apa yang telah dilakukan oleh sifat qudrah”, kata-kata seperti ini menimbulkan pemahaman bahwa sifat qudrah yang menciptakan, jika berkeyakinan seperti ini maka dihukumi kafir. Na‘ūdzu billāh. Allah s.w.t. berfirman: ‫ال لِ َما يُِريْ ُد‬ ٌ َّ‫ك َفع‬ َ َّ‫إِ َّن َرب‬. “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hūd [11]: 107). ‫و اهللُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْيٌر‬. َ “Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 40). Orang awam tidak wajib mengetahui secara detail ta‘alluq (hubungan) sifat qudrah dan irādah, karena hal itu sulit bagi pemahaman mereka. Di bagian belakang nanti in syā’ Allāh akan dijelaskan ta‘alluq tersebut, sekedarnya saja, agar bisa dijangkau oleh pemahaman orang awam. Seorang mukallaf harus mengetahui dan meyakini bahwa ta‘alluq sifat irādah Allah itu tidak selaras dengan amr (perintah) Allah. Maksudnya, tidak semua hal yang dikehendaki Allah adalah hal yang diperintahkan-Nya. Misalnya, sejak zaman azali Allah menghendaki kufurnya Fir‘aun dan Abū Jahal, tapi Allah tidak memerintahkan keduanya untuk kufur, karenanya Allah mengutus Nabi Mūsā a.s. dan Nabi Hārūn a.s. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: ‫ َف ُق ْواَل لَهُ َق ْواًل لَِّينًا لَ َعلَّهُ َيتَ َذ َّك ُر أ َْو خَيْ َشى‬. “Maka berbicaralah engkau berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemahlembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thāhā [20]: 44). Terkadang sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, semisal imannya Fir‘aun dan Abū Jahal, hal itu diperintahkan oleh Allah, tapi tidak dikehendaki oleh-Nya. Hanya Allah yang mengetahui hikmah dalam masalah ini. Allah s.w.t. berfirman: ‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Terkadang Allah menghendaki sesuatu sekaligus memerintahkannya, seperti imannya Sayyidinā Abū Bakar. Terkadang Allah tidak menghendaki sekaligus tidak memerintahkan, seperti kufurnya orang-orang yang beriman.



Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat irādah bukan sifat ‘ilmu, karena ta‘alluq sifat ilmu mencakup hal yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz, sedangkan ta‘alluq sifat irādah hanya pada hal yang jā’iz saja. Wajib pula meyakini bahwa sifat irādah bukanlah ridha. Sebab, tidak selalu apa yang dikehendaki Allah itu diridhai oleh-Nya, seperti kufur. Kufur merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Allah, tapi tidak diridhai-Nya. Hal ini sesuai dengan ketetapan para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Maka, Fahamilah masalah ini! Berhukum kafir seseorang yang menisbatkan 20 sifat Allah ini pada dirinya, maksudnya dia berkeyakinan bahwa 20 sifat ini ada dan melekat pada dirinya, misal: “Sifat qudrah Allah itu ya sifat qudrah-ku ini.” Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di awal, orang yang berkata: “Sifat qudrah telah melakukan ini” maka dia dihukumi kafir. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: .‫ب‬ ِّ ‫فَا ْتبَ ْع َسبِْي َل احْلَ ِّق َو اطَْر ِح‬ ْ َ‫الري‬



“Wajib pula bagi Allah sifat ilmu dan tidaklah dikatakan bahwa ilmu Allah itu muktasab (diusahakan), maka ikutilah jalan yang ḥaqq dan campakkan segala keraguan!” Allah wajib bersifat ‘ilmu, artinya Allah mengetahui segala hal, baik sesuatu yang wājib, mustaḥīl maupun jā’iz. Secara syara‘ dan akal, tidak bisa dibenarkan apabila ilmu Allah diperoleh dengan cara nazhar atau dengan dalil. Ketika engkau sudah mengetahui wajibnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu bagi Allah, maka pegangi dan ikutilah jalan yang benar, buanglah keragu-raguan dan kebingunganmu, ikutilah yang benar dan buanglah yang batil. Penjelasan



Allah wajib bersifat ‘ilmu. ‘Ilmu adalah sifat yang tetap pada Dzāt Allah, yang dapat meliputi dan mengetahui segala hal yang wujud, baik yang wājib, mustaḥīl, maupun jā’iz dengan ta‘alluq tanjizi qadīm (552) dan tanpa didahului ketidaktahuan. Pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu adalah secara ijmālī (global) dan tafshīlī (terperinci, detail), juz’ī  (bagian-bagian), kullī (keseluruhan), semuanya terang dan jelas dalam ‘ilmu Allah. ‘Ilmu Allah tidak ada batasnya. Tidak sah secara syara‘ mengatakan bahwa ‘ilmu Allah diperoleh dengan proses kasb (adanya usaha). Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: .‫الس ْم ُع‬ َّ ‫ص ْر بِ ِذ ْي أَتَانَا‬ َ َ‫مُثَّ الْب‬



“(Wajib bagi Allah) sifat Ḥayāt (Maha Hidup), begitu juga Kalām (Maha Berfirman), Sam‘ (Maha Mendengar) dan Bashar (Maha Melihat). Dengan (yang tiga) ini (yakni Kalām, Sam‘ dan Bashar) telah datang pada kita dalil sam‘ī.” Allah wajib bersifat ḥayāt (hidup). Sifat ḥayāt Allah tidak sama dengan ḥayāt makhluk yang membutuhkan rūḥ dan nafas. Kita hanya wajib meyakini bahwa Allah bersifat ḥayāt, jangan engkau berpikir seperti apa ḥayāt Allah.



Allah juga wajib bersifat kalām (berfirman) yang tanpa huruf, tanpa suara, dan tanpa apapun. Allah juga wajib bersifat sam‘ (mendengar) yang tanpa membutuhkan telinga atau apapun. Allah juga wajib bersifat bashar (melihat) yang tanpa membutuhkan perangkat mata atau apapun. Sebab, semua sifat Allah itu mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan makhlukNya). Telah sampai kepada kita dalil al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa Allah bersifat kalām, sam‘ dan bashar. Penjelasan



Sifat ḥayāt adalah sifat yang menjadikan tetapnya sifat qudrah, irādah, dan ‘ilmu. Contoh, wujudnya Zaid adalah wazhīfah-nya sifat qudrah. Sedangkan apakah Zaid tinggi, pendek, pandai, bodoh, awal, akhir, adalah wazhīfah-nya sifat irādah. Kekuatan yang dimiliki Zaid yang asalnya hanya air mani kemudian bisa menjadi manusia yang punya kekuatan adalah wazhīfah-nya sifat ‘ilmu. Dzāt yang memiliki tiga sifat tersebut (qudrah, irādah dan ‘ilmu) harus memiliki sifat ḥayāt (hidup). Makna sifat kalām adalah kalām Allah yang tanpa huruf dan tanpa suara. Ta‘alluq sifat kalām pada sesuatu yang wājib, jā’iz dan mustaḥīl. Adapun bentuk ta‘alluq sifat kalām Allah adalah sebagai berikut. (563). 1. 2. 3.



Berupa perintah, seperti perintah shalat, maka dinamakan kalām amr. Berupa larangan, seperti larangan berzina, maka dinamakan kalām nahi. Berupa khabar (memberi informasi pada hambanya), seperti cerita Fir‘aun, maka dinamakan kalām khabar. 4. Berupa informasi bahwa nanti orang mu’min akan masuk surga dan orang kafir akan masuk neraka, maka dinamakan kalām wa‘du wal-wa‘īd (janji dan ancaman). 5. Firman Allah:



‫إِ َّن اهللَ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْيٌر‬. “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 20). Maka ta‘alluq-nya adalah wājib ‘aqlī. 6.



Firman Allah:



‫مَلْ يَلِ ْد َو مَلْ يُ ْولَ ْد‬. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3). Maka ta‘alluq-nya adalah mustaḥil ‘aqlī. 7.



Firman Allah:



ِ ‫السم ِاء ماء فَأَخرج بِِه ِمن الثَّمر‬ ِ ‫ات ِر ْزقًا لَ ُك ْم‬ َ َ َ َ َ َ ْ ً َ َ َّ ‫و أَْنَز َل م َن‬. “Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu.” (QS. al-Baqarah [2]: 22).



Maka ta‘alluq-nya adalah ja’iz ‘aqlī. Dari sini dapat diketahui bahwa ta‘alluq kalām ada bermacam-macam, semuanya dinamakan kalām ibārah, yaitu kalām Allah yang telah tertulis dalam al-Qur’ān. Tidak boleh mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah jadīd (baru), kecuali dalam rangka belajar, maka boleh menganggap bahwa al-Qur’ān itu baru, maksudnya meyakini bahwa huruf dan suara al-Qur’ān itu baru, tetapi dalam ucapan, harus tetap mengatakan bahwa al-Qur’ān itu qadīm (dahulu) sebagai bentuk tatakrama kepada Allah s.w.t. Adapun madlūl dari kalām ‘ibārah itu qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara. Allah wajib bersifat sam‘ dan bashar, artinya mendengar dan melihat, di mana keduanya mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan pendengaran dan penglihatan makhluk). Dalil bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām, sam‘ dan bashar, telah disebutkan dalam alQur’ān: Allah s.w.t. berfirman: ‫و َكلَّ َم اهللُ ُم ْو َسى تَكْلِْي ًما‬. َ “Dan Allah telah berbicara kepada Mūsā dengan langsung.” (QS. an-Nisā’ [4]: 164). Allah s.w.t. telah menghilangkan ḥijāb (574) dengan Nabi Mūsā a.s. maka beliau bisa mendengar langsung kalām Allah tanpa huruf dan tanpa suara, semua rūḥāniyyah dan jasmaniyyah beliau mendengar kalām Allah s.w.t. Allah s.w.t. berfirman: ِ ‫إِ َّن اهلل مَسِ يع ب‬. ‫صْيٌر‬ َ ٌْ َ “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Luqmān [31]: 28). Para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat bahwa Allah wajib memiliki sifat kalām, sam‘ dan bashar karena telah jelas disebutkan dalam al-Qur’ān dan hadits. Catatan: 1. 54). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 122. 2. 55). Terbukanya segala sesuatu yang wajib, mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah (Lihat Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥ-ul-Majīd, Surabaya, al-hidayah, tt. Hal. 27). 3. 56). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 130. 4. 57). Maksud ḥijāb di sini adalah penghalang. Dunia adalah ḥijāb, demikian pula akhirat juga merupakan ḥijāb terhadap Allah s.w.t. Tegasnya, semua makhluk adalah ḥijāb penghalang yang menghalangi seorang hamba untuk sampai kepada al-Ḥaqq ‘azza wa jalla. (lihat: Rafiqul-‘Ajm, Mausū‘ātu Mushthalaḥāt-it-Tashawwuf-il-Islām, Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun. 1999 M. hal. 223-224).



Halaman:



2-3&4 Sifat Idrak & Asma’ Allah yang Diambil dari Sifat-Nya – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Sifat Idrāk



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan dengan membahas tentang perselisihan ulama dalam masalah sifat idrāk. Beliau berkata: ٍ ِ ِِ .‫ف‬ ُ ْ‫ص َّح فْيه ال َْوق‬ َ ‫َو عْن َد ُق ْوم‬



“Apakah Allah memiliki (sifat) idrāk atau tidak, diperselisihkan oleh ulama. Dan menurut sebagian ulama: “Telah sah padanya tawaqquf”.” Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah Allah memiliki sifat idrāk atau tidak. Para ulama muta’akhirin berbeda pendapat dalam masalah ini, pendapat yang dianggap lebih benar adalah mauqif, yakni tidak menetapkan dan juga tidak meniadakan sifat idrāk pada Allah. Wallāhu a‘lam. Lebih utama tidak membahas masalah ini dengan orang awam, karena bisa menimbulkan prasangka yang tidak patut bagi Allah. Cukuplah mereka meyakini bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Adapun tentang idrāk dan takwīn, mereka tidak wajib mengetahui, karena keduanya sudah masuk dalam ta‘alluq shifat qudrah yaitu shifat af‘āl. Semua penjelasan di atas adalah pendapat Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī.   Asmā’ Allah yang Diambil dari Sifat-Nya



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang penetapan asmā’ (nama) untuk menjelaskan sifat wajib bertempat pada maushūf (yang disifati). Beliau berkata: ِ ‫مَسِ ع ب‬ .‫صْيٌر َما يَ َشا يُِريْ ُد ُمتَ َكلِّ ٌم‬ ٌَ



“(Allah adalah) Dzāt yang Hidup, Ber‘ilmu, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, dan Melihat. Apa saja yang Dia inginkan maka Dia kehendaki” “Dan wajib bagi Allah memiliki sifat Kalām, maka Dia adalah) Mutakallim (Dzāt yang berfirman).” Ketika Allah wajib bersifat ḥayāt (hidup) maka Allah menjadi Ḥayyun (Dzāt Yang Maha Hidup). Ketika Allah wajib bersifat ‘ilmu (mengetahui) maka Allah menjadi ‘Ālimun (Dzāt



Yang Maha Mengetahui). Ketika Allah wajib bersifat qudrah (berkuasa) dan irādah (berkehendak) maka Allah menjadi Qādirun (Dzāt Yang Maha Kuasa) dan Murīdun (Dzāt Yang Maha Berkehendak). Ketika Allah wajib bersifat sam‘ (mendengar) dan bashar (melihat) maka Allah menjadi Sāmi‘un (Dzāt Yang Maha Mendengar) dan Bāshirun (Dzāt Yang Maha Melihat). Hal-hal yang dikehendaki dengan masyī’ah juga dikehendaki dengan irādah, ini menunjukkan bahwa masyī’ah dan irādah adalah murādif (beda lafazh tapi maknanya sama). Ketika Allah wajib bersifat kalām (berfirman) maka Allah menjadi Mutakallimun (Dzāt Yang Maha Berfirman). Telah cukup tujuh asmā’  (nama) untuk tujuh sifat ma‘ānī. Penjelasan



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī mengikuti Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī yang berpendapat bahwa Allah tidak memiliki ḥāl, maksudnya tidak memiliki shifat ma‘nawiyyah. Oleh karena itu, beliau tidak berkata: “Kaunuhū Ḥayyan”, tapi beliau mengatakan “Ḥayyan” untuk menetapkan asmā’ (nama) yang diambil dari tujuh shifat ma‘ānī yang telah disebutkan. Harusnya qudrah adalah qādirun, harusnya Dzāt yang bersifat irādah adalah murīdun. Menurut pendapat yang dipilih, Allah tidak memiliki ḥāl (581). Ḥāl itu mustaḥīl bagi Allah s.w.t. Sebab, ḥāl bukanlah sesuatu yang wujūd (ada) juga bukan sesuatu yang ‘adam (tidak ada), tapi di antara keduanya. Perkara yang ditolak oleh Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī adalah tetapnya ḥāl, bukan meniadakan asmā’ (nama), seperti Qādirun, Murīdun, dan seterusnya. Ketika Dzāt Allah telah bersifat qudrah dan irādah, maka secara otomatis wajib memiliki asmā’ Qādirun, Murīdun. Sedangkan menurut Imām as-Sanusī, mengikuti pendapat Imām Abū Manshūr al-Māturīdī, berpendapat bahwa Allah memiliki ḥāl ma‘nawiyyah. Ketika Dzāt telah bersifat qudrah dan irādah misalnya, maka menjadi tetaplah Dzāt tersebut “kaunuhū qādirun, kaunuhū murīdun” sebagai konsekuensi dari sifat qudrah dan irādah. Kesimpulannya, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah telah sepakat bahwa Allah itu Qādiran, Murīdan, dan seterusnya, perbedaan hanya dalam masalah ḥāl. Menurut Imām as-Sanusī, tetapnya Qudrah menetapkan ḥāl yang dinamakan ma‘nawiyyah, maka qudrah adalah shifat ma‘ānī, kaunuhū qādiran itu shifat ma‘nawiyyah, Qādiran itu mulāzim (menetap) pada qudrah. Sedangkan menurut ulama yang meniadakan ḥāl, maka Qādiran itu hanya ‘ibārah (ungkapan) dari adanya sifat qudrah yang menetap pada Dzāt, maka qādiran itu amrun i‘tibārī. (592). Kedua pendapat ini sama-sama dari ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Pendapat yang mengingkari adanya ḥāl ma‘nawiyyah bukan berarti mengingkari bahwa Allah Qādiran dan Murīdan, sama sekali tidak.  Sebab, orang yang mengingkari Qādiran dan Murīdan Allah dihukumi kafir. Na‘ūdzubillāh. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memahami dua pendapat ini. Madzhab Mu‘tazilah meniadakan sifat-sifat ma‘ānī yang ada tujuh. Menurut mereka, yang dinamakan qudrah adalah kiasan dari qādirun, mereka bertaka: “Allāhu qādirun bi dzātihī, Murīdun bi dzātihī” (Allah Maha Kuasa dengan Dzāt-Nya, Maha berkehendak dengan DzātNya) tanpa mempertimbangkan sifat qudrah dan irādah. Ini madzhab sesat yang tidak boleh diikuti.



Catatan: 1. 58). Ḥāl, yaitu sesuatu yang ada tetapi tidak sampai tingkatan maujūd sehingga bisa dilihat dan juga tidak sampai tingkatan ma‘dūm sehingga benar-benar tidak ada. (Syaikh Ibrāhīm alBajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi ‘alā Jauharat-it-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Ali Jum‘ah. Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 137). 2. 59). Menurut ‘Ulamā’ yang menetapkan adanya ḥāl, sesuatu itu ada empat macam: 1. 2. 3.



Maujūd, yaitu sesuatu yang bisa ditemukan dalam kenyataannya, seperti: bisa dilihat. Ma‘dūm, yaitu sesuatu yang benar-benar tidak ada. Ḥāl, yaitu sesuatu yang ada tetapi tidak sampai tingkatan maujūd sehingga bisa dilihat dan juga tidak sampai tingkatan ma‘dūm sehingga benar-benar tidak ada. 4. Amrun i‘tibārī, yakni sesuatu yang tidak ada pada kenyataannya tapi dianggap ada oleh akal. Contoh. Pakaian, ketika awalnya ditaruh didalam kotak, kemudian dikeluarkan maka pakaian tersebut menjadi “tampak jelas”, “tampak jelas” ini bukanlah sifat tambahan bagi pakaian, hanya saja akal menganggap bahwa “tampak” adalah sifat yang baru bagi pakaian (yang awalnya tidak tampak). Sebagian ‘ulamā’ yang lain menyatakan bahwa “ḥāl” tidak ada. (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi ‘alā Jauharat-it-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Ali Jum‘ah. Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 137), lihat juga Syaikh Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī, Fatḥul-Majīd, Surabaya, al-hidayah, tth., hal. 37).



Halaman:



2-5 Definisi Sifat – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Definisi Sifat



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫الذ‬ َّ ِ ‫ت بِغَرْيٍ أ َْو بِ َعنْي‬ ‫ات‬ ْ ‫لَْي َس‬



“……. Kemudian sifat-sifat dzāt itu bukan lain dari dzāt atau ‘ain-udz-dzāt.” Sesungguhnya sifat dzāt bukanlah selain dzāt. Maksudnya, sifat tidak lepas dari dzāt, tapi bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri). Ringkasnya, sifat dan dzāt bukanlah sesuatu yang tunggal. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan bahwa sifat dari suatu dzāt, seperti sifat wujūd atau sifat qudrah, itu tidak terpisah dari dzāt tapi bukan ‘ain-udz-dzāt. Pada hakikatnya, dzāt bukanlah sifat atau dzāt tidak sama dengan sifat. Seperti halnya warna putih bukanlah kertas, dan kertas bukanlah warna putih, tetapi warna putih tidak terlepas dari kertas. Pahamilah ini!. Jadi, sifat suatu dzāt tidak terpisah dari dzāt, tapi bukan ‘ain-udz-dzāt (dzāt itu sendiri), karenanya sifat bukanlah dzāt dan dzāt bukanlah sifat, tapi sifat tidak terpisah dari dzāt. Karena sifat tidak terpisah dari dzāt, untuk menjelaskan hal ini para ‘ulamā’ berkata: ‫َتواضع ُك ِّل َشي ٍء لِ ُق ْدرتِِه أ ِ ِِ أِل‬. ‫َج ِل قُ ْد َرتِِه‬ ْ ‫َي ل َذاته‬ ْ َ ُُ َ ْ “Segala sesuatu menjadi tawādhu‘ karena Dzāt Allah, maksudnya sebab sifat qudrah Allah.” Karena setiap sifat tidak terpisahkan dari dzāt, maka para ‘ulamā’ mengatakan “li qudratihī” bukan “li dzātihī”. Seseorang yang beribadah, menyembah sifat Allah saja, tanpa Dzāt-Nya, maka hukumnya kufur, sedangkan orang yang menyembah Dzāt Allah saja, tanpa sifat-Nya maka hukumnya fasik. Inilah makna ucapan sebagian ‘ulamā’: ِ ‫الذ‬ ِ ‫ات الْمت‬ َّ ُ‫ فَالْ ُم ْستَ ِقْيم ِعبَ َادة‬،‫ َو َم ْن َعبِ َدمُهَا َف َق ْد أَ ْشر َك‬،‫ َو َم ْن َعبِ َد الْ َمعْىَن ُد ْو َن اأْل َمْسَ ِاء َف ُهو ِزنْ ِديْ ٌق‬،‫َم ْن َعبِ َد اأْل َمْسَاء ُد ْو َن الْ َمعْىَن َف َق ْد َك َفر‬ ‫َّص َف ِة‬ ُ َ َ ُ َ َ ‫الص َف ِة‬ َّ ِ‫ب‬. “Barang siapa menyembah sifat, terpisah dari dzāt (tidak menyembah dzāt) maka dia benarbenar telah kufur. Barang siapa menyembah dzāt, tanpa sifat, maka dia berhukum kafir zindiq (sebagian ‘ulamā’ mengatakan fasik). Dan, barang siapa menyembah keduanya (dzāt dan sifat secara terpisah) maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Maka orang yang berada di jalan yang lurus adalah orang yang menyembah Dzāt yang memiliki sifat.” Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī dalam hal bait ini menolak pandangan orang-orang Mu‘tazilah yang mengingkari adanya sifat-sifat ma‘ānī. Mereka meniadakan sifatsifat ma‘ānī agar tidak ada dua hal qidām (dahulu) yang sama, semisal qudrah dan qādirun maka akan bertumpuk dua hal yang sama. Pendapat Mu‘tazilah ini ditolak dengan bait di atas. Pahamilah ini! Halaman:



2-6 Ta’alluq Sifat Ma’ani – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Ta‘alluq Sifat Ma‘ānī



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫مِب‬ ‫ت‬ ْ ‫َف ُق ْد َرةٌ ُ ْمك ٍن َت َعلَّ َق‬



“Maka sifat Qudrah yang berta‘alluq dengan segala yang mungkin tidak akan berakhir oleh sesuatu yang dita‘alluq olehnya.” Ta‘alluq sifat qudrah pada sesuatu yang mungkin itu secara terus-menerus, tidak ada putusnya sampai ke surga. Penjelasan



Ta‘alluq adalah hubungan atau tuntutan sifat pada perkara yang lain. Misalnya, Ta‘alluq sifat qudrah terhadap mumkināt (segala sesuatu yang mungkin) maksudnya adalah tuntutan sifat qudrah pada maqdūr (sesuatu yang dikuasai). Demikian halnya sifat sam‘, bashar, dan kalām. Ketahuilah, tujuh sifat ma‘ānī tersebut jika dilihat dari segi memiliki ta‘alluq atau tidaknya dibagi menjadi empat: (60). 1. 2. 3. 4.



Ta‘alluq pada mumkināt (sesuatu yang mungkin) saja, yaitu sifat qudrah dan irādah. Ta‘alluq pada Wājibāt, Jā’izāt, dan Mustaḥilāt, yaitu sifat ‘ilmu dan kalām. Ta‘alluq pada maujūdāt (sesuatu yang ada) saja, yaitu sifat sam‘ dan bashar. Tidak memiliki ta‘alluq, yaitu sifat ḥayāt.



Ta‘alluq-nya sifat qudrah pada mumkināt (sesuatu yang mungkin) tidak ada putusnya, mulai dari tidak ada menjadi ada, kemudian dari ada menjadi tidak ada lagi, lalu diwujudkan lagi, kemudian adakalanya dimasukkan ke surga atau ke neraka. Hal itu tidak ada putusnya sampai merasakan kenikmatan surga.   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫ب هَلَا َو ِمثْ ُل ِذ ْي‬ ْ ‫َو َو ْح َدةً أ َْوج‬



“Dan wajibkan esa bagi-Nya. Dan seperti qudrah ini adalah Irādah dan ‘Ilmu, tetapi sifat ‘Ilmu merata (ta‘alluq-nya) kepada segala yang mungkin.” Yakinlah bahwa sifat qudrah Allah tunggal. Maksudnya, wajib meyakini bahwa sifat qudrah Allah tunggal, tidak berbilangan. Sifat irādah juga seperti sifat qudrah, yaitu



tunggal, tidak berbilangan. Keduanya ber-ta‘alluq pada mumkināt (segala sesuatu yang mungkin) secara terus-menerus tanpa terputus, bedanya, sifat qudrah mewujudkan atau meniadakan, sedangkan sifat irādah hanya menentukan saja. Sifat ‘Ilmu juga seperti sifat qudrah dalam segi ta‘alluq-nya, sama-sama pada mumkināt dan secara terus-menerus. Bedanya, sifat qudrah itu Ījād (mewujudkan) sedangkan ta‘alluq sifat ‘ilmu inkisyāf; bedanya lagi, ta‘alluq sifat ‘ilmu pada mumkināt adalah secara umum, baik sebelum atau setelah wujudnya. Sebab, Allah berfirman: ‫و اهللُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ٌم‬. َ “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 16).   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ‫ضا َو ِاجبًا َو ال ُْم ْمتَنِ ْع‬ ً ْ‫َو َع َّم أَي‬



“Dan merata pula kepada yang wajib dan mumtani‘ (dicegah). Seperti ‘ilmu adalah kalāmullāh maka hendaklah kita mengikuti.” Ta‘alluq sifat ‘ilmu juga mencakup wājib ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui Dzāt dan sifat-Nya, dan juga mencakup muḥāl ‘aqlī, sebagaimana Allah mengetahui mustaḥīlnya sekutu dan anak bagi-Nya. Sifat yang menyerupai sifat ‘ilmu dalam hal ta‘alluq-nya pada tiga hal (jā’iz, wājib, dan mustaḥīl) adalah sifat kalām. Maka, selayaknya kita mengikuti pendapat para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah dalam hal ta‘alluq sifat-sifat Allah. Penjelasan



Maksud perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī adalah bahwa ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah pada wājib ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas Dzāt, sifat, dan wājib wujūd-Nya; juga pada mustaḥīl ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas mustaḥīlnya Allah memiliki sekutu dan anak; juga pada Jā’iz ‘aqlī, sebagaimana ‘ilmu Allah atas kebolehan wujudnya sesuatu yang mungkin. Ta‘alluq sifat kalām Allah juga pada sesuatu yang wājib, mustaḥīl, dan jā’iz. Ini sama dengan sifat ‘ilmu, tetapi ada sedikit perbedaan. Ta‘alluq sifat ‘ilmu adalah inkisyāf, sedangkan ta‘alluq sifat kalām adalah dilālah (petunjuk). Maksudnya, firman Allah ada beberapa macam: 1. Menunjukkan pada wājib ‘aqlī, seperti firman Allah: ‫الص َم ُد‬ َّ ُ‫ اهلل‬.‫َح ٌد‬ َ ‫قُ ْل ُه َو اهللُ أ‬. “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 1-2).



2. Menunjukkan pada mustaḥīl ‘aqlī, seperti firman Allah: ِ ‫َح ٌد‬ َ ‫ َو مَلْ يَ ُك ْن لَهُ ُك ُف ًوا أ‬،‫مَلْ يَل ْد َو مَلْ يُ ْولَ ْد‬. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlāsh [112]: 3-4). 3. Menunjukkan pada jā’iz ‘aqlī, seperti firman Allah: ‫الس َم ِاء َماءً طَ ُه ْو ًرا‬ َّ ‫و أَْنَزلْنَا ِم َن‬. َ “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. al-Furqān [25]: 48). ‫اج نَْبتَلِْي ِه‬ ٍ ‫إِنَّا َخلَ ْقنَا اإْلِ نْ َسا َن ِم ْن نُطْ َف ٍة أ َْم َش‬. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan).” (QS. al-Insān [76]: 2). ‫ َو اجْلِبَ َال أ َْوتَ ًادا‬،‫ض ِم َه ًادا‬ َ ‫أَمَلْ جَنْ َع ِل اأْل َْر‬. “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. an-Naba’ [78]: 6-7). Adapun jika dilihat dari sisi hukum syarī‘at, firman Allah adakalanya menunjukkan wājib, ḥarām, wa‘du (janji), wa‘īd (ancaman), khabar (memberi informasi), basyīrah (kabar gembira), nidzārah (peringatan), qishshah (cerita), juga ḥukum dan ḥikmah lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jangan terlalu banyak membahas sifat kalām Allah dengan orang awam.   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ‫لس ْم ِع بِِه‬ َّ ِ‫َو ُك ُّل َم ْو ُج ْو ٍد أَنِ ْط ل‬



“Dan setiap yang wujūd, ta‘alluq-kanlah sifat sam‘ dengannya, Begitu juga sifat bashar dan idrāk jika dikatakan dengannya.” Yakinilah bahwa segala sesuatu yang wujūd (sesuatu yang ada) itu di-ta‘alluq-i oleh sifat sam‘, artinya ta‘alluq sifat sam‘ adalah pada sesuatu yang wujūd, begitu juga sifat bashar dan sifat idrāk. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat idrāk.



Penjelasan



Sifat sam‘ dan bashar itu ta‘alluq-nya ada sesuatu yang wujūd, maksudnya sesuatu yang bisa dilihat dan didengar. Adapun seperti apa ta‘alluq sifat sam‘ dan bashar pada sesuatu yang wujūd itu tidak diketahui, hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa sifatt sam‘ yang azali berta‘alluq pada masmū‘āt (segala sesuatu yang didengar) dan sifat bashar yang azali pada mubsharāt (segala sesuatu yang dilihat). Wallāhu a‘lam. Adapun sifat idrāk, sebaiknya jangan dibahas lagi, karena malah akan membuat bingung orang-orang awam. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِِ ِ ‫ت‬ ْ َ‫و َغْي ُر عْل ٍم هذه َك َما َثب‬



“Dan (sifat-sifat) ini adalah selain sifat ‘Ilmu sebagaimana yang telah tetap. Kemudian Ḥayāt adalah satu sifat yang tidak ta‘alluq dengan sesuatu.” Adapun empat sifat ini, yakni, kalām, sam‘, bashar, dan idrāk, menurut pendapat para ‘ulamā’ berbeda dengan sifat ‘ilmu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān. Sifat ḥayāt tidak punya ta‘alluq pada sesuatu yang wujūd. Penjelasan



Sifat kalām, sam‘, dan bashar berbeda dengan sifat ‘ilmu. Sebab, keempat sifat tersebut memiliki madlūl sendiri-sendiri. Misal, jika diterapkan pada makhluq, maka madlūl-nya sifat kalām adalah perkataan, madlūl-nya sifat sam‘ adalah telinga karena sifat sam‘ adalah indera pendengar, madlūl-nya sifat bashar adalah mata, karena sifat bashar adalah indera penglihat, sedangkan madlūl-nya sifat ‘ilmu adalah mengetahui. Dengan perumpamaan seperti ini, menjadi jelas bahwa keempat sifat tersebut tidak sama. Wallāhu a‘lam. Halaman:



2-7 Asma’ dan Sifat-sifat Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Asmā’ dan Sifat-sifat Allah



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang asmā’ (nama-nama) dan sifatsifat Allah. Beliau berkata: ‫َو ِعْن َدنَا أَمْسَ ُاؤهُ ال َْع ِظْي َم ْه‬



“Dan menurut kami (Ahl-us-Sunnah) nama-nama Allah yang agung, begitu juga sifatsifat Dzāt-Nya adalah qadīm (dahulu).” Menurut kami, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, sesungguhnya asmā’ (nama-nama Allah) yang agung dan sifat-sifat Dzāt Allah adalah qadīm (dahulu). Penjelasan



Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, seorang mukallaf wajib meyakini bahwa nama-nama dan sifat-sifat Dzāt Allah wajib adanya dan bersifat qadīm (dahulu). Maksudnya, madlūl-nya nama (yang dinamai) adalah yang qadīm, bukan lafazh “Allah”-nya. Sifat-sifat Dzāt, seperti sifat ma‘ānī yang ada tujuh, adalah qadīm, bukan maqdūr-nya. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dihukumi qadīm adalah kalāmullāh azali yang menunjukkan pada nama-nama, seperti “ar-Raḥmān, ar-Raḥīm, Allāhu Lathīfun” itu dihukumi qadīm, bukan lafazhnya.   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: َّ ‫اختِْيَر أ‬ ‫َن امْسَاهُ َت ْوقِْي ِفيَّ ْة‬ ْ ‫َو‬



Jumhur ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah mengatakan bahwa penetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t. berdasarkan keterangan dari al-Qur’ān, Hadits, dan Ijmā‘ para ‘ulamā’. Maka, janganlah engkau menetapkan nama atau sifat pada Allah tanpa ada dasar dari alQur’ān dan Hadits. Penjelasan



Kesimpulannya, tidak diperolehkan menetapkan nama atau sifat bagi Allah kecuali dengan adanya idzin dari syara‘ (disebutkan dalam al-Qur’ān dan Hadits). Hanya nama dan sifat yang diidzini oleh syara‘ saja yang boleh ditetapkan pada Allah. Seperti shabūr, syakūr, ḥalīm. Shabūr berarti kesabaran Allah, maksudnya tidak langsung menimpakan siksa pada orang yang maksiat, syakūr berarti Allah memberi pahala pada ‘amal-‘amal kecil, sedangkan arti kata ḥalīm sama dengan shabūr. Halaman:



2-8 Ta’wil dan Tafwidh – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Ta’wīl dan Tafwīdh Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ‫ص أ َْو َه َم التَّ ْشبِْي َها‬ ٍّ َ‫فَ ُك ِّل ن‬



“Dan tiap-tiap nash yang membimbulkan prasangka adanya keserupaan maka ta’wīlkanlah ia atau serahkan kepada Allah dan bermaksudlah untuk menyucikan.” Setiap nash al-Qur’ān dan Hadits yang menggambarkan, menunjukkan, atau memberi pemahaman pada makna yang mustaḥīl bagi Allah maka harus engkau ta’wīl. Maksudnya, ditangguhkan pada makna yang patut atau layak bagi Allah. Hal ini menurut pendapat ‘ulamā’ Khalaf, yaitu para ‘ulamā’ yang hidup setelah tahun 500 H. Atau, pasrahkan saja pada zhāhirnya nash dan yakinilah mustaḥīl-nya makna zhāhir nash al-Qur’ān tersebut, ini menurut pendapat para ‘ulamā’ Salaf, yaitu ‘ulamā’ yang hidup pada masa sahabat, tābi‘īn dan tābi‘it tābi‘īn, yakni sebelum tahun 500 H. (611). Penjelasan



Dalam menghukumi nash al-Qur’ān dan Hadits yang menunjukkan pada sesuatu yang mustaḥīl bagi Allah, para ‘ulamā’ Salaf dan Khalaf berbeda pendapat. Misalnya dalam menafsirkan firman Allah: ‫ك ذُو اجْلَاَل ِل َو اإْلِ ْكَر ِام‬ َ ِّ‫و َيْب َقى َو ْجهُ ِرب‬. َ “Dan tetap kekal Dzāt Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. arRaḥmān [55]: 27). ِ ‫ي ُد‬. ‫اهلل َف ْو َق أَيْ ِديْ ِه ْم‬ َ “Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka.” (QS. al-Fatḥ [48]: 10). ‘Ulamā’ Salaf pasrah atas makna kata “wajhu” (wajah) dan “yadun” (tangan). Mustaḥīl bagi Allah memiliki wajah dan tangan yang sama dengan makhluk, Allah yang lebih tahu makna kedua lafazh tersebut, kita hanya meyakini bahwa itu adalah firman Allah s.w.t. ‘Ulamā’ Khalaf mena’wil kedua lafazh tersebut, makna kata “wajhu rabbika” adalah “dzātu rabbika” (Dzāt Tuhanmu). Ini termasuk dalam bab tasmiyat-ul-juz wa irādat-ulkull  (menyebutkan sebagian, tapi menghendaki keseluruhan). Sedangkan makna “yadullāh” adalah “qudrah dan irādah”, yaitu Allah menguasai semua makhluk. Contoh lain seperti sabda Nabi Muḥammad s.a.w.: ُّ ‫الس َم ِاء‬ ‫ث اللَّْي ِل اآْل ِخ ِر‬ َّ ‫يْن ِز ُل َربُّنَا َتبَ َار َك َو َت َعاىَل ُك َّل لَْيلَ ٍة إِىَل‬. ُ ُ‫الد ْنيَا ِحنْي َ َيْب َقى ثُل‬ َ “Rabb kita tabāraka wa ta‘ālā turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” ‘Ulamā’ Salaf berpendapat: “wallāhu a‘lam atas makna lafazh rabbunā. Yang pasti, mustaḥīl bagi Allah turun seperti turunnya makhluk”. ‘Ulamā’ Khalaf berpendapat, lafazh “rabbunā” bermakna “malā’ikatu rabbinā” (malaikat tuhan kita). Jadi, yang turun adalah Malaikat, bukan Allah. Contoh lain adalah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:



‫ص ْو َرتِِه‬ َ ‫إِ َّن اهللَ َخلَ َق‬. ُ ‫آد َم َعلَى‬ “Sesungguhnya Allah menciptakan Nabi Ādam a.s. dalam bentuk rupanya.” Maksudnya, Allah menciptakan Nabi Ādam a.s. dengan memiliki sifat mendengar, melihat, berkata, dan hidup. Ini menurut ‘ulamā’ Khalaf. Seperti halnya firman Allah s.w.t.: ‫اسَت َوى‬ ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬. ‘Ulamā’ Salaf menyatakan: “Wallāhu a‘lam atas makna istiwā’, mustaḥil bila Allah istiwā’ di atas ‘arsy”. ‘Ulamā’ Khalaf menyatakan, Lafazh “istiwā’” bermakna “istaulā”, artinya “yang memerintah dan berkuasa di atas ‘arsy.” Ada seseorang yang datang menghadap Imām Mālik, dia bertanya: “Wahai Imam, seperti apakah makna ayat: ‫اسَت َوى‬ ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْر ِش‬. Imām Mālik menunduk sejenak, kemudian berkata: “Makna istiwā’ itu tidak diketahui, kaifiyyah-nya ghairu ma‘qūl (seperti apa istiwā’ itu tidak bisa dinalar). Beriman dan memperlihatkan ayat ini hukumnya wājib, orang yang bertanya masalah ini berarti telah membuat bid‘ah”. (aku menyangka engkau adalah orang yang sesat, kemudian aku menyuruhnya pergi dan dia pun pergi). (622). Imām Zamakhsyarī pernah bertanya kepada Imām al-Ghazālī tentang makna ayat tersebut, Imām al-Ghazālī berkata: “Jika untuk mengetahui bentuk dan tempat rūḥ yang ada di dirimu saja engkau tidak mampu, maka buat apa yang engkau ingin mengetahui keadaan Tuhanmu? Sungguh engkau orang yang bodoh dan sama sekali tak punya tatakrama.” (633). Ketika engkau tidak bisa mengetahui secara yakin wujūd rūḥ yang ada di dirimu, tak tahu letak, warna, menghadap ke mana, ke atas atau ke bawah, maka buat apa engkau ingin mengetahui sifat atau kondisi Tuhanmu? Sungguh bodoh dan sesat dirimu. Allah s.w.t. berfirman: ِ ِ َ ِ‫ َكذل‬. ُ‫ك يُض ُّل اهللُ َم ْن يَ َشاءُ َو َي ْهد ْي َم ْن يَ َشاء‬ “Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. al-Muddatstsir [74]: 31). Catatan: 1. 61). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 156. 2. 62). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 157. 3. 63). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 157.



Halaman:



2-9 Kalamullah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



Kalāmullāh   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ‫َي كَاَل َم ْه‬ ْ ‫َو َنِّز ِه الْ ُقْرآ َن أ‬



“Sucikanlah al-Qur’ān yakni kalāmullāh dari sifat baru dan takutlah terhadap siksaNya.” Wahai mukallaf, yakinilah kesucian al-Qur’ān, yakni kalāmullāh yang azali dan suci dari sifat baru. Sebab, al-Qur’ān bukanlah makhluk. Takutlah pada siksa Allah jika engkau meyakini bahwa kalāmullāh adalah sesuatu yang baru.   Penjelasan Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa sifat kalām Allah, yakni kalām nafsi, bukanlah sesuatu yang baru dan bukan pula makhluk, tapi qadīm (dahulu) tanpa huruf dan tanpa suara. Adapun al-Qur’ān yang kita baca, yang ada hurufnya, adalah makhluk dan bersifat baru. Namun, tidak boleh dikatakan bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. Oleh karena itu, tetap wajib mengatakan bahwa al-Qur’ān itu qadīm (dahulu), agar tidak menimbulkan pemahaman bahwa al-Qur’ān adalah makhluk dan bersifat baru. (641). Perbedaan pendapat dalam masalah sifat kalām mengakibatkan banyak ‘ulamā’ Ahl-usSunnah wal-Jamā‘ah mendapat ujian berupa fitnah seperti Imām-ul-Bukhārī yang sampai lari dari negaranya, beliau pun berdoa memohon kepada Allah: (652). ‫ك َغْيَر َم ْفُت ْو َن‬ ْ ِ‫الله َّم اقْب‬. َ ‫ضيِن ْ إِلَْي‬ ُ “Ya Allah, ambillah nyawaku menghadap-Mu dalam keadaan tidak difitnah.” Hanya berselang empat hari, Imām al-Ghazālī pun wafat. ‘Īsā bin Dīnār dipenjara selama 20 tahun karena menolak mengatakan bahwa al-Qur’ān adalah baru. Imām Aḥmad bin Ḥanbal juga dipenjara karena tidak mau mengakui sifat barunya al-Qur’ān. Imām asy-Sya‘bī ditanya perihal sifat kalām Allah, dia menjawab: “Adapun Taurāt, Injīl, Zabūr dan al-Furqān (alQur’ūn), empat hal ini adalah sesuatu yang baru”. Beliau mengatakan hal itu sambil memberi isyarat pada jari-jarinya, akhirnya beliau selamat dari fitnah. Maksud perkataan beliau adalah: “keempat jari-jariku ini adalah sesuatu yang baru.” (663).   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫ص لِْلح ُدو‬ ‫ث َداًّل‬ ْ ُ ٍّ َ‫فَ ُك ُّل ن‬



“Maka setiap nash yang menunjukkan kebaruan al-Qur’ān, bawalah maknanya kepada lafazh al-Qur’ān yang menunjuk kepada (sifat yang qadīm).” Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān itu baru, tangguhkanlah pada lafazh al-Qur’ān yang bisa dibaca yang menunjukkan pada kalām Allah yang qadīm. Penjelasan



Setiap nash al-Qur’ān yang menunjukkan bahwa al-Qur’ān adalah baru, seperti firman Allah s.w.t.: ‫إِنَّا أَْنَزلْنَاهُ يِف ْ لَْيلَ ِة الْ َق ْد ِر‬. “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ān) pada malam kemuliaan.” (QS. al-Qadr [97]: 1). Maka, tetapkanlah pada lafazh al-Qur’ān yang biasa kita baca dengan huruf dan suara, yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. dengan lafazh dan makna. Ada pula yang berpendapat al-Qur’ān diturunkan dengan makna saja, kemudian malaikat Jibrīl a.s. membuat ibarat lafazhnya. Pendapat yang lain mengatakan yang membuat ibarat lafazh adalah Nabi Muḥammad s.a.w. Pendapat yang mu‘tamad (bisa dibuat pegangan) adalah yang pertama, yakni lafazh dan makna karena Allah telah menuliskan al-Qur’ān di lauḥ-ul-maḥfūzh dengan susunan yang sama dengan mushḥaf yang kita temui saat ini. Kemudian Allah menurunkan shaḥīfah (lembaran-lembaran) dari lauḥ-ul-maḥfūzh ke langit dunia, lalu berhenti di suatu tempat yang bernama Bait-ul-‘Izzah. Selanjutnya secara bertahap diturunkan ke dunia selama 23 tahun, sesuai dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia, bukan berdasar susunan al-Qur’ān yang ada saat ini. (674). Setelah al-Qur’ān diturunkan semua, Nabi Muḥammad s.a.w. dan malaikat Jibrīl a.s. melakukan tadarrus, membaca al-Qur’ān dengan susunan sebagaimana yang kita ketahui saat ini, mulai ayat yang pertama kali turun, yakni: ِ ‫ك الَّ ِذ ْي َخلَ َق‬ َ ِّ‫اس ِم َرب‬ ْ ِ‫ا ْقَرأْ ب‬. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. al-‘Alaq [96]: 1). Sampai ayat yang terakhir turun, yaitu: ِ ِ ِ ‫ت لَ ُك ُم اإْلِ ْساَل َم ِد ْينًا‬ ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َميِت ْ َو َرضْي‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم د ْينَ ُك ْم َو أَمْتَ ْم‬ ُ ‫الَْي ْو َم أَ ْك َمْل‬. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk engkau agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islami itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 3). Ada juga yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah:



ِ ‫و َّات ُقوا يوما تُرجعو َن فِي ِه إِىَل‬. ‫اهلل‬ ْ ُْ َ ْ ً َْ ْ َ “Dan peliharalah dirimu dari (‘adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu engkau semua dikembalikan kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 281). Dua puluh satu hari kemudian, Rasūlullāh s.a.w. wafat, dan al-Qur’ān telah tersusun rapi seperti yang ada saat ini, sebagaimana yang telah dibuat tadarrus dengan malaikat Jibrīl a.s. setiap bulan Ramadhān. Catatan: 1. 64). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 160. 2. 65). Ibid. hal. 160. 3. 66). Ibid, hal. 160. 4. 67). Ibid., hal. 162.



Halaman:



2-10 Sifat Mustahil dan Sifat Ja’iz bagi Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Sifat Mustaḥil dan Sifat Jā’iz bagi Allah



Setelah selesai membahas hal-hal yang wājib bagi Allah Yang Maha Agung dan Mulia, yaitu 20 sifat wājib bagi Allah, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang halhal yang mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah s.w.t.  



Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫ِّه َكالْ ُكو ِن يِف اجْلِه‬ ِ ‫يِف حق‬ .‫ات‬ َ َ ْ ْ



“Dan mustaḥīl pada hak Allah s.w.t. lawan dari sifat-sifat ini seperti keberadaan-Nya di berbagai arah.” Secara akal, semua kebalikan dari 20 sifat wajib itu mustaḥīl bagi Allah, misalnya Allah bertempat di salah satu dari enam arah. Penjelasan



Seorang mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang secara akal mustaḥīl bagi Allah s.w.t., yakni kebalikan dari 20 sifat wajib. Allah mustahil bersifat ‘adam (tidak ada) kebalikan dari sifat wujūd (ada), mustaḥīl bersifat ḥudūts (baru) kebalikan dari sifat qidam (dahulu), mustaḥīl bersifat fanā’ (rusak) kebalikan dari sifat baqā’ (kekal), mustaḥīl bersifat mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makahluk) kebalikan dari sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk). Mumātsalatu lil-ḥawādits (sama dengan makhluk) memiliki 10 bentuk: (681). 1. 2. 3. 4. 5. 6.



7.



Allah mustaḥīl berupa jirm, baik yang tersusun (jisim) atau tidak tersusun (jauhar fard). Allah mustaḥīl berupa ‘aradh (sifat) yang menempati jirm. Allah mustaḥīl bertempat di salah satu arah jirm. Karenanya mustaḥīl bagi Allah berada di atas atau di bawah ‘arsy, dan di sebelah kanan atau di kiri ‘arsy. Allah mustaḥīl memiliki arah, maka mustaḥīl bagi Allah berada di atas, di bawah, di sebelah kanan, atau di sebelah kiri. Allah mustaḥīl masuk dan menempati ruang kosong untuk menempatkan Dzāt-Nya. Allah mustaḥīl masuk pada ruang dan waktu. Maksudnya, masuk pada cakrawala tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, baik masuk ke dalam langit atau bumi, berada di atas atau di bawah keduanya, semua mustaḥīl bagi Allah. Allah mustaḥīl masuk pada waktu malam maupun siang. Allah tidak masuk pada waktu malam maupun siang. Sebab, waktu malam maupun siang adalah sesuatu yang baru, mustaḥīl sesuatu yang baru dimasuki Dzāt yang Qadīm. Inilah maksud dari:



ِ ِ ‫اهلل بكْرةً و أ‬ ‫َصْياًل‬ ُ َ َ ُ ‫سْب َحا َن‬. “Maha Suci Allah, di waktu pagi dan petang.” 8.



Allah mustaḥīl memilik sifat-sifat makhluk. Seperti qudrah dan irādah makhluk, bergerak, diam, berwarna mereka, putih, hitam. Semuanya mustaḥīl bagi Allah. 9. Mustaḥīl bagi Allah bersifat atau memiliki ukuran kecil atau besar. Adapun arti “Allah Akbar” adalah “Keagungan Allah dalam martabat, kerajaan, dan kekuasaan-Nya”. Allah berfirman:



‫ال‬ ُ ‫الْ َكبِْي ُر الْ ُمَت َع‬. “Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 9).



10.



Mustaḥīl bagi Allah mengambil manfaat dari ketetapan hukum-Nya atau af‘āl-Nya. Allah menciptakan manusia bukan untuk mengambil manfaat dari mereka, yakni bukan agar manusia memberi kemaslahatan bagi Allah, sama sekali bukan. Begitu juga ketetapan Allah tentang wajibnya shalat atau kewajiban lain bagi manusia, itu bukan untuk memberikan manfaat dan maslaḥat kepada Allah, sehingga Allah menciptakan manusia dan mewajibkannya shalat, sama sekali tidak.



Sepuluh hal tersebut adalah kebalikan dari sifat mukhālafatu lil-ḥawādits (berbeda dengan semua makhluk). Mustaḥīl jika Allah tidak berdiri sendiri atau iḥtiyāju li-ghairihī (butuh kepada yang lain), seperti jika Allah adalah sifat yang bertempat pada dzāt atau butuh kepada yang menciptakan, hal itu mustaḥīl karena bertentangan dengan sifat qiyāmuhu bi nafsihī (berdiri sendiri). Mustaḥīl jika Allah tidak esa. Maksudnya, Dzāt Allah tersusun, ada makhluk yang dzātnya sama dengan Allah, sifat Allah berbilangan, ada makhluk yang sifatnya sama dengan Allah, atau ada makhluk yang mampu memberi efek pada yang lain. Inilah lima hal yang disebut alkumum-ul-khamsah, kebalikan dari sifat waḥdāniyyah (esa). Tidak ada sesuatu atau siapapun yang bisa memberi efek pada yang lain. Api, makanan, dan minuman tidak bisa memberi efek terbakar, kenyang, segar, baik dengan watak atau kekuatannya. Allah-lah yang membakar, menjadikan kenyang, dan menjadikan segar bersamaan dengan adanya api, makanan, dan air, berdasarkan hukum adat (kebiasaan) yang sah jika tidak seperti itu. Maksudnya, Allah membuat kekhususan pada api untuk membakar kayu, makanan untuk mengenyangkan, dan air untuk menyegarkan dengan syarat adanya kebersamaan dan pertemuan. Namun, bukan berarti api, makanan, dan air memiliki kekuatan membakar, mengenyangkan, dan menyegarkan. Qiyaskanlah semua hal pada adat kebiasaan yang ada. Mustaḥīl Allah bersifat ‘ajzun (lemah), yaitu tidak mampu menciptakan sesuatu yang mungkin. Ini adalah kebalikan dari sifat qudrah (kuasa). Mustaḥīl bagi Allah menciptakan sesuatu karena terpaksa, bukan atas kehendak-Nya sendiri, tanpa sadar, karena lupa, karena suatu alasan atau ikut-ikutan, bukan murni karena kehendak Allah, seperti bergeraknya jari-jari akan menggerakkan cincin, semua hal tersebut mustaḥīl. Allah-lah yang menggerakkan jari-jari manusia dan menggerakkan cincin berdasarkan kehendak-Nya, bukan karena ikut-ikutan. Mustaḥīl Allah menciptakan sesuatu berdasarkan watak sesuatu tersebut, seperti membakar yang menjadi watak api. Maksudnya, watak api adalah membakar sesuatu, dengan syarat saling bertemu dan tidak ada sesuatu yang mencegah. Pada hakikatnya Allah-lah yang menciptakan api dan menciptakan kebakaran, api sama sekali tidak punya kekuasaan, tak punya watak dan tak punya kekuatan yang bisa membakar sesuatu. Allah-lah Dzāt yang melakukan, bukan selain-Nya. Semua hal tersebut adalah kebalikan dari sifat irādah (berkehendak). Mustaḥīl bagi Allah bersifat jahl  (bodoh), zhann (berprasangka), dan syakk (ragu-ragu) yang merupakan kebalikan sifat ‘ilmu. Mustaḥīl bagi Allah bersifat maut (mati) yang merupakan kebalikan dari sifat ḥayāt (hidup), atau bersifat summ (bisu) kebalikan dari sifat kalām (berfirman), bersifat ‘amā (buta),



kebalikan sifat bashar (melihat), bersifat bukm (tuli), kebalikan dari sifat sam‘ (mendengar). Qiyaskanlah sendiri kebalikan dari sifat-sifat ma‘nawiyyah, seperti kaunuhū ‘ajīzan, dan seterusnya. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan tentang sifat jā’iz Allah s.w.t. Beliau berkata: .‫إِجْيَ ًادا إِ ْع َد ًاما ك ِر ْزقِ ِه الْغِنَا‬



“Dan jā’iz pada hak Allah sesuatu yang mungkin menjadikan dan meniadakan, seperti memberi rezeki dengan kekayaan.” Kata (‫)جائٌِز‬ َ menjadi khabar muqaddam, dan lafazh (‫)ما أ َْم َكنَا‬ َ menjadi mubtada’ mu’akhkhar. Adapun sifat jā’iz Allah adalah menciptakan sesuatu yang mungkin atau meniadakannya setelah menciptakannya, seperti memberi rezeki atau tidak kepada hambanya, keduanya boleh bagi Allah. Maksudnya, Allah boleh menjadikan hambanya kaya atau miskin, menjadikan hambanya hidup atau mati, sehat atau sakit, dan juga boleh mengadakan atau meniadakan hal-hal yang mungkin. Catatan: 1. 68). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 163-164.



Halaman:



Keesaan Allah dalam Penciptaan – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Keesaan Allah dalam Penciptaan   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan tentang keesaan Allah dalam penciptaan, tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan apapun. Beliau berkata:



ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬ .‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ



“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendaki untuk sampai (kepada ridhaNya).” Allah s.w.t. adalah Dzāt yang menciptakan semua hambanya sekaligus perbuatan mereka, perbuatan baik maupun buruk. Allah jugalah Dzāt yang memberi pertolongan dalam melakukan ketaatan pada hamba yang dikehendaki mendapat kasih-sayangNya. Penjelasan



Allah s.w.t. telah menciptakan semua makhluk sekaligus perbuatan mereka. Menurut para ‘ārifīn, hal ini disebut “waḥdat-ul-af‘āl”. Inilah maka firman Allah: ‫و اهللُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬. َ “Padahal Allah-lah yang menciptakan engkau dan apa yang engkau perbuat itu.” (QS. ash-Shāffāt [37]: 95). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun makhluk, baik jinn, manusia, malaikat, hewan maupun benda mati seperti batu yang punya kemampuan melakukan sesuatu, sama sekali tidak bisa. Karenanya, barang siapa yang meyakini bahwa api mampu membakar, jinn dan syaithan bisa memberi madarat atau memberi keni‘matan berupa kesehatan dan kekayaan, maka orang tersebut dihukumi kafir secara ijma‘. Jika muncul pemikiran di otak orang awam atau otak orang yang akan tersesat karena ingin menggugat Allah dengan ucapan: “Ya Allah, Tuhanku, mengapa Engkau menyiksaku karena melakukan maksiat? padahal semua perbuatanku adalah ciptaan-Mu”. Ucapan seperti ini tidak akan pernah ada di akhirat kelak, karena tidak ada satu pun makhluk yang bisa membuat aturan seperti itu. Allah s.w.t. telah berfirman: ‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Dan juga bagaimana bisa ada manusia menuntut Allah, sedangkan Allah s.w.t. telah berfirman: ُ‫قُ ْل فَلِلَّ ِه احْلُ َّجةُ الْبَالِغَة‬. “Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat”.” (QS. al-An‘ām [6]: 149). Maksudnya, Allah memiliki hujjah yang jelas dan kuat sehingga mampu mengalahkan hujjah makhluk-Nya. Kesimpulannya, Allah tidak menghendaki jika manusia mengajukan hujjah. Sebab, Allah s.w.t. telah berfirman:



‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Karenanya, jika Allah menghendaki mengasihi hamba-Nya, maka Allah akan memberinya taufiq, yakni memberi kekuatan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, dengan anugerah Allah. Manusia tidak boleh pasrah kepada Allah dalam hal taufiq, dengan berkata: “Aku tidak melakukan ketaatan karena belum dikehendaki oleh Allah, aku pasrah kepada Allah. Jika aku ditaqdirkan menjadi orang yang bahagia, aku akan mendapat taufiq dan mau beramal baik. Jika aku ditaqdirkan menjadi orang yang celaka, aku tidak akan bisa melakukan amal shalih, juga tidak ada gunanya amal shalih jika aku telah ditaqdirkan menjadi orang yang celaka.” Orang yang mengatakan hal ini dihukumi kafir karena mengingkari Allah, kitab-Nya, dan rasūl-Nya. Ucapannya tersebut lebih besar dosanya dibanding meninggalkan melakukan amal shalih. Sebab, kitab-kitab Allah dan rasūl-rasūlNya menjelaskan dan memerintahkan untuk melakukan amal baik dan menjauhi kekufuran dan maksiat, bukan perintah untuk berpegang pada taqdir. Sedangkan dalam hal rezeki dan musibah, kita wajib tawakkal dan berpegang pada qadhā’ dan qadar, bukan dalam hal amal. Karenanya, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: ‫إِ َذا ذُكَِر الْ َق َد ُر فَأ َْم ِس ُك ْوا‬. “Ketika disebut-sebut perihal qadar, maka berhentilah, jangan kau lanjutkan.” Kewajiban kita adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, bukan pasrah pada qadhā’ dan qadar.   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: .ُ‫َو ُمْن ِجٌز لِ َم ْن أ ََر َاد َو ْع َده‬



“Dan Allah meninggalkan orang yang ingin menjauh dari-Nya dan meluluskan apa-apa yang telah Dia janjikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.” Allah adalah Dzāt yang menyesatkan hamba-Nya yang dikehendaki untuk dimurkai-Nya. Makna Khādzil adalah dimampukan dan dimudahkan dalam melakukan maksiat, ini kebalikan taufiq. Allah adalah Dzāt yang menepati janji-Nya dengan memberi pahala pada hamba-Nya yang dikehendaki baik. Maksudnya, Allah menepati janji-Nya dengan memasukkan ke surga hamba-Nya yang telah ditaqdirkan meninggal dalam keadaan iman.



Penjelasan



Allah tidak menghendaki memberi pertolongan dan memberi kekuatan melakukan ketaatan kepada orang yang dikehendaki jauh dan tidak dikasihi oleh Allah. Makna Khādzil adalah tidak berkehendaki memberi pertolongan untuk mampu melakukan ketaatan dan dimampukan melakukan kemaksiatan. Kesimpulannya, semua tindakan orang itu adalah maksiat karena dia tidak diberi kekuatan melakukan ketaatan, sedangkan orang yang diberi taufiq senantiasa melakukan ketaatan karena tidak diberi kekuatan melakukan maksiat, kalaupun dia melakukan maksiat, tidak akan terus-menerus dan segera bertaubat, berbeda dengan orang yang dikehendaki bermaksiat, jika dia melakukan maksiat, dia akan terusmenerus melakukannya dan tidak segera bertaubat. Seseorang pernah bertanya pada Syaikh Junaid: “Apakah para waliyullāh (kekasih Allah) pernah melakukan maksiat?” Syaikh Junaid menundukkan kepalanya sejenak, kemudian membaca firman Allah: ِ ‫و َكا َن أَمر‬. ‫اهلل قَ َد ًرا َم ْق ُد ْو ًرا‬ َ ُْ “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 38). Maksudnya, sah-sah saja para waliyullāh terpeleset melakukan dosa, tetapi mereka tidak melanjutkannya dan tidak ada kesengajaan melakukannya, itu bisa terjadi karena sifat Qahhār Allah (Maha Memaksa). Status mu’min tidak hilang karena melakuan maksiat. Oleh karena itu, jika engkau melakukan maksiat, segeralah bertaubat. Status sebagai orang yang bertaqwa juga tidak rusak karena melakukan maksiat, dengan syarat tidak dilanjutkan. Syaikh Ibnu Faridh r.a. berkata: .‫َو َم ْن لَهُ احْلُسْىَن َف َق ْط‬



“Siapakah yang tidak pernah melakukan maksiat sama sekali? Dan siapakah orang yang hanya memiliki kebaikan?.” Kemudian ada ḥātif (suara tanpa rupa) menjawab: .‫َعلَْي ِه ِجرْبِ يْ ُل َهبَ ْط‬



“Yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. yang memberi petunjuk kepada makhluk dan malaikat Jibrīl a.s. turun kepadanya.” Allah menepati janji-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yakni dengan memberi taufiq untuk melakukan amal shalih dan mati dalam keadaan ḥusn-ul-khātimah. Orang tersebut bisa masuk surga sesuai janji Allah: ِ ‫ف الْ ِمْي َع َاد‬ ُ ‫إِ َّن اهللَ اَل خُيْل‬.



“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 9). Rasūlullāh s.a.w. bersabda: ِ ِ ِ ُ‫ َف ُه َو بِاخْل يَا ِر إِ ْن َشاءَ َع َّذبَهُ َو إِ ْن َشاءَ َغ َفَر لَه‬،‫م ْن َو َع َدهُ اهللُ َعلَى َع َم ٍل َث َوابًا َف ُه َو ُمْنجٌز لَهُ َو َم ْن أ َْو َع َدهُ َعلَى َع َم ٍل ع َقابًا‬. َ “Siapa saja yang dijanjikan pahala oleh Allah atas amal yang dia lakukan, pasti Allah akan menepatinya, dan siapapun yang diancam siksaan oleh Allah atas amal yang dia lakukan, Allah berhak memilih sesuai kehendak-Nya, menyiksanya atau mengampuninya.” Kesimpulannya, janji tidak boleh berubah. Para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat dalam hal ini. Sedangkan ancaman boleh berubah, kecuali ancaman siksa yang kekal bagi orang kafir musyrik. Ini menurut Imām Abū Ḥasan al-Asy‘arī, sedangkan menurut Abū Manshūr al-Māturīdī, janji dan ancaman tidak boleh berubah. Halaman:



Bahagia dan Celaka – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Bahagia dan Celaka   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ‫َك َذا الش‬ .‫َّق ُّي مُثَّ مَلْ َيْنتَ ِق ِل‬



“Keberuntungan orang yang bahagia itu ditaqdirkan pada zaman azali di sisi Allah s.w.t. Begitu juga orang yang celaka, kemudian tidaklah dia berpindah-pindah.” Keberuntungan orang yang bahagia telah ditetapkan sejak zaman azali, ilmu Allah telah mengetahuinya sebelum manusia diciptakan. Begitupula celakanya orang yang celaka, juga telah ditetapkan sejak zaman azali sebagaimana keberuntungan orang yang bahagia. Kedua ketetapan ini tidak akan berubah-ubah lagi. Penjelasan



Sa‘ādah (bahagia) dan syaqāwah (celaka) telah ditetapkan sejak zaman azali dalam sifat ilmu Allah, jauh sebelum manusia diciptakan. Makna sa‘ādah dalah orang yang mati dengan membawa iman, walaupun sebelumnya kafir dan ahli maksiat, matinya dinamakan ḥusn-ulkhātimah. Akhir yang baik menunjukkan adanya awal yang baik. Orang-orang awam merasa khawatir perihal akhir hidupnya, sedangkan orang-orang khawwāsh (691) khawatir perihal kehidupannya. Makna syaqāwah adalah orang yang mati tanpa membawa iman, atau mati dalam keadaan kufur, walaupun sebelumnya dia beriman dan taat, maka dinamakan sū’-ul-khātimah. Akhir yang buruk menunjukkan awal yang buruk. (702). Kedua ketetapan ini (bahagia dan celaka) tidak dapat berubah atau tertukar, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka, sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan neraka kecuali satu hasta (maksudnya kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman azali orang tersebut ditetapkan bahagia, maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli surga, sehingga dia bisa masuk surga, (maksudnya dia mati secara ḥusn-ul-khātimah). Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga, sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan surga kecuali satu hasta (maksudnya kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman azali orang tersebut ditetapkan celaka, maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli neraka, sehingga dia masuk neraka (maksudnya dia mati secara sū’-ul-khātimah).” Pengertian sa‘ādah dan syaqāwah di atas menurut pendapat Madzhab Abū Ḥasan al-Asy‘arī. Sedangkan menurut madzhab Abū Manshūr al-Māturidī, sa‘ādah adalah orang yang saat ini beriman, dan syaqāwah adalah orang yang saat ini kufur. Oleh karena itu, orang yang bahagia adalah orang mu’min dan orang yang celaka adalah orang kafir. Ketika ada orang mu’min dalam keadaan kufur, dia tidak lagi orang yang bahagia, tapi dia orang yang celaka, begitu pula ketika ada orang yang awalnya kafir kemudian mati dalam keadaan iman, maka dia tidak lagi orang yang celaka, tapi dia orang yang bahagia. (713). Dari perbedaan pendapat antara madzhab Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah tersebut, maka menurut Asy‘ariyyah seseorang boleh berkata: “Saya mu’min, in syā’ Allāh”, sedangkan menurut Māturīdiyyah tidak boleh, orang tersebut harus berkata dengan mantap: “Saya mu’min”. Sebab, menurut Asy‘ariyyah, kita tidak tahu awal dan akhir, maka ucapan “in syā’ Allāh” sebagai doa, semoga tetap mu’min sampai akhir hayat. Sedangkan menurut



Māturīdiyyah, tidak boleh mengatakan “in syā’ Allāh,” karena kata-kata itu menunjukkan keragu-raguan, tidak ada kemantapan hati. (724). Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya dari segi lafazh saja, adapun hakikatnya sama saja. Maksudnya, perbedaan hanya dalam mengartikan sa‘ādah dan syaqāwah saja, sedangkan maksud hukumnya sama. (735). Catatan: 1. 69). Adalah orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Allah s.w.t. dengan hakikat, ḥāl, dan maqām. (Lihat: Mausū‘ah Musthalaḥāt at-Tashawwuf al-Islāmi, hal. 324). 2. 70). Tuḥfah al-Murīd, hal. 173. 3. 71). Ibid., hal. 174. 4. 72). Tuḥfah al-Murīd, hal. 174. 5. 73). Ibid.,



Halaman:



Kasb – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Kasb (741)   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: .‫َو مَلْ يَ ُك ْن ُم َؤثًِّرا َفْلَت ْع ِرفَا‬



“Dan menurut kami (Ahl-us-Sunnah) hamba itu mempunyai kasab yang (dengannya) dia terkena taklif dan tidaklah (kasab itu) sebagai yang memberi bekas maka hendaklah engkau mengetahui.” ِ Kata (‫ب‬ ٌ ‫ ) َك ْس‬berkedudukan menjadi mubtada’, sedangkan lafazh (‫ )عْن َدنَا‬menjadi khabar. Adapun makna dari bait ini adalah: “Menurut kami, ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, semua makhluk memiliki kasb yang dituntut oleh Allah s.w.t., tetapi kasb tersebut tidak bisa memberi efek atau pengaruh pada apapun, maka ketahuilah batasan ini.” Penjelasan



Dalam masalah kasb (752) ini, terdapat tiga madzhab: 1.



Madzhab Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah.



Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk tidak bisa menciptakan apapun, hanya kasb pada perbuatan yang bersifat ikhtiyārī (pilihan), bukan majbūr (terpaksa) dan tidak bisa memberi efek apapun. Artinya, kasb adalah ta‘alluq-nya sifat qudrah dan irādah seorang hamba pada sesuatu bersamaan dengan sifat qudrah dan irādah yang qadīm, seorang hamba hanya menjadi pengguna zhahirnya qudrah yang qadīm, tidak bisa memberi efek apa-apa. 2.



Madzhab Jabbāriyyah



Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk tidak memiliki kasb sama sekali, semua majbūr (terpaksa), tidak punya perbuatan yang bersifat ikhtiyārī sama sekali, seperti bulu yang terbang tertiup angin, semuanya Allah yang menciptakan, hamba tidak ikut ikhtiyār sama sekali. 3.



Madzhab Qadariyyah



Madzhab ini berpendapat bahwa semua makhluk memiliki perbuatan yang dia ciptakan sendiri dengan sifat qudrah yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Madzhab Jabbāriyyah dan Qadariyyah ini sesat, adapun madzhab Ahl-us-Sunnah walJamā‘ah itu penengah antara keduanya, seperti air susu yang keluar di antara kotoran hewan dan darah, sebagaimana perumpamaan Allah: ‫ِ مِم‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ٍ َ ‫صا َسائغًا للشَّا ِربِنْي‬ ً ‫و إِ َّن لَ ُك ْم يِف اأْل َْن َعام لَعْبَر ًة نُ ْسقْي ُك ْم َّا يِف ْ بُطُْونه م ْن َبنْي ِ َف ْرث َو َدم لََبنًا َخال‬. َ “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi engkau. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. an-Naḥl [16]: 66).



Air susu tidak terpengaruh oleh tahi dan darah. Pahamilah masalah ini. Setelah jelas bahwa semua makhluk memiliki kasb yang tidak bisa memberi pengaruh apapun, maka Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī melanjutkan pembahasan dengan menjelaskan arti kasb, beliau berkata: .‫اختِيَ َارا‬ ْ ‫س ُكاًّل َي ْف َع ُل‬ َ ‫َو لَْي‬



“Maka tidaklah hamba terpaksa dalam arti tidak mempunyai pilihan, dan bukanlah dia menciptakan tiap-tiap perbuatan yang bersifat ikhtiyārī.” Ketika engkau telah mengetahui bahwa semua hamba memiliki kasb dalam setiap perbuatan yang bersifat ikhtiyārī, maka tidak ada pekerjaan seorang hamba yang majbūr (terpaksa), maksudnya tidak memiliki ikhtiyār sama sekali, walaupun begitu, seorang hamba juga tidak bisa menciptakan sendiri perbuatan yang bersifat ikhtiyārī. Penjelasan



Lafazh (‫اختِيَ َارا‬ ْ ‫)و اَل‬ َ merupakan ‘athaf, penjelasan lafazh (‫س جَمُْب ْو ًرا‬ َ ‫) َفلَْي‬. Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa makhluk memiliki ikhtiyār dalam perbuatannya, bukan terpaksa (tidak memiliki ikhtiyār sama sekali). Makhluk memiliki ikhtiyār, tapi dia tidak bisa menciptakan sendiri perbuatan yang bersifat ikhtiyārī, artinya tidak ada satu makhluk pun yang mampu menciptakan perbuatannya sendiri, perbuatannya merupakan ciptaan Allah s.w.t. Bait ini menolak pendapat golongan Jabbāriyyah yang meyakini bahwa seorang hamba majbūr (terpaksa), seperti bulu yang berterbangan karena hembusan angin. Juga menolak paham golongan Qadariyyah yang meyakini bahwa seorang hamba bisa menciptakan perbuatannya sendiri. Kedua madzhab ini sesat. Bait ini juga menolak pendapat madzhab Filsafat yang meyakini bahwa angkasa raya yang berisi planet dan bintang-bintang memiliki kekuatan yang bisa memengaruhi kondisi makhluk. Juga menolak pendapat madzhab Thabā‘ī yang meyakini bahwa watak bisa memberi efek secara tetap dan pasti. Seperti makan yang menyebabkan kenyang, air membuat segar, api yang bisa membakar, dan lain sebagainya. Orang yang meyakini hal tersebut dihukumi kafir. Namun, apabila meyakini bahwa makan dan minum tidak memberi efek karena wataknya, tapi karena Allah telah memberi kekuatan pada makanan dan minuman sehingga membuat kenyang dan segar maka ia termasuk orang fasiq dan ahli bid‘ah, sebagaimana penjelasan sebelumnya. Catatan: 1. 74). Kasb adalah ta‘alluq-nya sifat qudrah yang baru, ada juga yang menyatakan sifat irādah yang baru (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat al-Murīd ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, tahqiq: Dr. ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 175). 2. 75). Tuḥfat al-Murīd, hal. 175.



Halaman:



Sumber Kekufuran – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Sumber Kekufuran   ‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah menyatakan bahwa akar dan pohon kekufuran ada 6 (enam) perkara. Seorang muslim wajib mengetahui, menjauhi, dan mencegahnya agar tidak ada orang yang terjerumus ke dalam kekufuran. Adapun 6 hal tersebut adalah: (761), (772). 1.



Ijāb dzāt (783).



Ini adalah penyebab kufurnya ahli filsafat yang berkeyakinan bahwa Allah s.w.t. menciptakan sesuatu karena tuntutan pasti dari dzāt. Wujudnya alam raya ini merupakan efek dari wujudnya Allah, bukan diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa alam raya ini qadīm (dahului) dan mengingkari sifat qudrah, irādah, dan semua sifat-sifat Allah. ِ ‫ك ُعلًُّوا َكبِْيًرا‬ َ ‫َت َعاىَل َع ْن ذل‬. “Allah Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.” 2.



Taḥsīn al-‘aqlī (794).



Ini penyebab kufurnya golongan Barāhimah (nama Barāhimah  berasal dari salah satu nama berhala yang disembah di Negara Yaman, yang bernama buhram). Kafir Barāhimah termasuk golongan ahli filsafat. Mereka meyakini mustahil jika ada manusia yang mengaku menjadi utusan Allah. Sebab, bagaimana bisa dia bertemu dengan Allah? selain itu, apa gunanya ada utusan Allah? Sebab, urusan kebaikan dan keburukan cukup menggunakan akal. Sebagaimana telah dijelaskan di Bab Kufur. 3.



At-Taqlīd ar-rādī (805).



Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang penyembah patung dan berhala, mereka hanya mengikuti tradisi leluhurnya. Allah berfirman: ‫إِنَّا َو َج ْدنَا آبَاءَنَا َعلَى أ َُّم ٍة َو إِنَّا َعلَى آثَا ِر ِه ْم ُم ْقتَ ُد ْو َن‬. “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. az-Zukhruf [43]: 23). Dalam masalah akidah, tidak diperbolehkan taqlīd. Orang-orang ‘Arab membuat sebuah peribahasa: ٍ ٍ ِ ‫اد‬ ُ ‫اد َو هَب ْي َمة ُت َق‬ ُ ‫اَل َف ْر َق َبنْي َ ُم َقلِّد يُْن َق‬. “Tak ada bedanya antara seorang yang bertaqlid yang tunduk dengan hewan peliharaan yang dituntun.”



4.



Ar-ribthu al-‘adi (816).



Ini merupakan penyebab kufurnya golongan Thabā‘ī dan para pengikutnya, termasuk juga orang-orang mu’min yang bodoh. Mereka meyakini adanya hubungan antara makan dengan rasa kenyang, minum dengan rasa segar, kain dengan tertutupnya aurat, matahari dengan sinar yang terang, dan hal-hal lainnya. 5.



Al-Jahl al-murakkab (827).



Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang karena kebodohannya, mereka meyakini sesuatu tanpa mengerti dan memahami kebenarannya. Tak cukup di situ, mereka juga mengajarkan keselahan yang mereka yakini pada orang lain. Karenanya dinamakan jahl murakkab. Seperti keyakinan para ahli filsafat bahwa cakrawala memiliki kekuatan untuk memengaruhi yang lain dan mereka juga meyakini bahwa alam ini qadīm (dahulu). 6.



Berpegang pada dalil akidah hanya pada zhahirnya teks al-Qur’ān dan Hadits, tanpa mau melihat tafsir dari para ‘ulamā’. Ini merupakan penyebab kekufuran madzhab Hasywiyah (madzhab antromorfis) yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim, tempat, dan arah, karena disebutkan dalam al-Qur’ān:



‫اسَت َوى‬ ْ ‫الرَّمْح ُن َعلَى الْ َع ْرش‬. “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thāhā [20]: 5). ِ َّ ‫أَأ َِمْنتم من يِف‬. ِ ‫ض فَِإذَا ِه َي مَتُْو ُر‬ َ ‫الس َماء أَ ْن خَيْس‬ َ ‫ف بِ ُك ُم اأْل َْر‬ ْ َ ُْ “Apakah engkau merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama engkau, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. al-Mulk [67]: 16). ِ ِ ِِ ِ ‫ي أَستَكْبرت أَم ُكْن‬ َ ‫س َما َمَن َع‬ َ ‫ت م َن الْ َعالنْي‬ َ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫ت بِيَ َد‬ ُ ‫ك أَ ْن تَ ْس ُج َد ل َما َخلَ ْق‬ ُ ‫ يَا إبْلْي‬:‫قَ َال‬. “Allah berfirman: “Hai Iblīs, apakah yang menghalangi engkau sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah engkau menyombongkan diri ataukah engkau (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shād [38]: 75). Orang awam diharamkan menafsirkan al-Qur’ān sendiri tanpa mengikuti penafsiran para ‘ulamā’, juga diharamkan memberi makna lafazh al-Qur’ān dengan makna yang berbeda dari makna yang diberikan oleh para ‘ulamā’ tafsir. Sebab, dalam al-Qur’ān ada ayatayat muḥkam dan ada ayat-ayat mutasyābih. Ayat muḥkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya dan tidak membingungkan, seperti firman Allah: ِ َّ ِ ِ ‫ب َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُق ْو َن‬ ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذيْ َن َآمُن ْوا ُكت‬. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas engkau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum engkau agar engkau bertaqwā.” (QS. al-Baqarah [1]: 183).



‫و َّات ُقوا اهللَ إِ َّن اهللَ َغ ُف ْو ٌر َر ِحْي ٌم‬. َ “Dan bertaqwālah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Anfāl [8]: 69). ٍ ‫ان فَِإمس ٌ مِب‬ ٍ ‫ف أَو تَس ِريح بِِإحس‬ ِ َّ ‫ان‬ َ ْ ٌ ْ ْ ْ ‫اك َْع ُر ْو‬ َ ْ َ‫الطاَل ُق َمَّرت‬. “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘rūf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 229). Adapun ayat mutasyābih adalah ayat-ayat yang jika dilihat dari segi zhahirnya akan menimbulkan arti yang membingungkan, dan baru akan menemukan kejelasan setelah melihat penafsiran para ‘ulamā’ Salaf. Contoh ayat-ayat mutasyābih telah disebutkan. Karena adanya ayat-ayat mutasyābih tersebut, orang yang tidak mengerti tata bahasa ‘Arab diharamkan belajar, apalagi mengajarkan tafsir al-Qur’ān. Begitu pula menafsiri al-Qur’ān dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti penafsiran para ‘ulamā’ salaf, karena hal ini termasuk dosa besar yang dapat menyebabkan kekufuran. Karenanya berhati-hatilah dalam mempelajari al-Qur’ān. Orang yang berpegang pada zhahirnya teks tanpa mempelajari penafsiran para ‘ulamā’ salaf akan tersesat. Sesatnya orang-orang bodoh karena mereka hanya mendengarkan dan membaca zhahirnya teks al-Qur’ān dan hadits, begitu pula orang selain orang ‘Arab yang tidak mengerti tata bahasa ‘Arab, seperti hadits: ِ ِ ُ‫اإْلِ نْ َسا ُن سِّر ْي َو أَنَا سُّره‬. “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.” Lafazh-lafazh al-Qur’ān dan hadits yang mutasyabih tidak boleh diartikan dengan hanya melihat pada zhahirnya lafazh, bahkan para ‘ulamā’ menyatakan: “Orang awam tidak boleh membaca kitab-kitab orang khāsh, apalagi khawāsh-ul-khawāsh (838), karena dikhawatirkan akan salah paham dan bisa menjadikannya kufur”. Wallāhu a‘lam. ِِ ِ َ ‫اج َعْلنَا م َن النَّاجحنْي‬ ْ ‫الله َّم‬. ُ “Ya Allah, jadikanlah kami sebagai golongan orang-orang yang selamat.” Adapun kewajiban orang Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah adalah meyakini bahwa sebagian perbuatan seorang hamba ada yang bersifat ikhtiyārī, tapi dia tidak kuasa menciptakan sendiri melainkan dengan sifat qudrah Allah yang bersifat qadīm, sebagian yang lain bersifat idhthirārī (keharusan), seperti orang yang gemetar. Terdapat perbedaan yang jelas antara gerakan orang yang memukul dengan orang yang gemetar, orang yang memukul bergerak dengan pilihannya sendiri sedangkan orang yang gemetar bergerak secara idhthirārī  (keharusan). Catatan:



1. 76). Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsīr, 1999, hal. 249-252. 2. 77). Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, hal. 249-252. 3. 78). Menjadikan Allah sebagai ‘illat dari wujudnya segala sesuatu, tanpa ada ikhtiyār (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1999, hal. 249). 4. 79). Menetapkan af‘āl Allah sesuai dengan akal manusia, yakni menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1999, hal. 249). 5. 80). Mengikuti orang lain sebab fanatik tanpa mau mencari kebenaran (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1999, hal. 250). 6. 81). Adanya hubungan antara sesuatu dengan yang lain, baik ada atau tiadanya berdasarkan kejadian yang berulangkali (Syaikh Aḥmad bin Muḥammad al-Mālikī ash-Shāwī, Syarḥ Shāwī ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, Beirut, Dar Ibnu Katsīr, 1999, hal. 250). 7. 82). Al-Jahl al-Murakkab adalah ungkapan dari suatu keyakinan yang mantap namun tidak sesuai dengan kenyataan. (Lihat: Syarīf al-Jurjānī, at-Ta‘rīfāt, Beirut, Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 2009, hal. 85).Jahl ada dua macam: Jahl Basīth dan Jahl Murakkab. 1. 2.



Jahl Basīth adalah tidak mengetahui sesuatu yang seharusnya diketahui. Jahl Murakkab adalah mengetahui sesuati tidak sesuai dengan kenyataannya. Dinamakan murakkab karena ada dua jahl, tidak mengerti akan sesuatu dan tida mengerti bahwa dirinya tidak mengerti. (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfah al-Murīd ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, taḥqīq: Dr. ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 54.)



8. 83). Khawāsh adalah orang yang diberi keistimewaan oleh Allah ta‘ālā dengan hakikat, ḥāl dan maqām. Adapun khawāsh-ul-khawāsh adalah orang yang mentauhidkan Allah dengan sebenarbenarnya melalui ḥāl dan maqām yang dijejakinya (lihat: Rafīq al-‘Ajm, Mausū‘ah Musthalaḥāt at-Tashawwuf al-Islāmi, Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1999 M., hal. 324).



Halaman:



Anugerah dan Keadilan Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Anugerah dan Keadilan Allah   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan memerinci bait sebelumnya. Beliau berkata:



ِ ‫ب فَبِ َم ْح‬ .‫الع ْد ِل‬ ْ ‫َو إِ ْن يُ َع ِّذ‬ َ ‫ض‬



“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata dengan karunia-Nya, dan jika Dia meng‘adzab (menyiksa) kita, itu adalah semata-mata dengan keadilan-Nya.” Jika aku diberi pahala atas amal ibadah yang aku lakukan, itu murni karena anugerah Allah. Sebab, aku tidak bisa menciptakan sendiri amal baikku, semua perbuatanku berdasarkan kekuasaan Allah. Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah. Sebab, seorang tuan berhak melakukan apapun pada hamba atau makhluk-Nya, tidak akan ada yang melarang atau menentang-Nya, karena hamba tersebut adalah milik-Nya sendiri. Penjelasan



Setelah diketahui bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan hamba-Nya dan seorang hamba hanya memiliki kasb, maka jika aku diberi pahala atas amal baikku, itu murni karena anugerah Allah, bukan suatu keharusan bagi Allah karena aku tidak bisa menciptakan amal baikku sendiri. Allah berfirman: ِ ‫قُل ُكلٌّ ِمن ِعْن ِد‬. ‫اهلل‬ ْ ْ “Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. an-Nisā’ [4]: 78). Anugerah adalah memberikan sesuatu bukan sebagai imbalan dari suatu pekerjaan. Bait ini menolak pendapat madzhab Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa Allah wajib memberi pahala bagi orang yang taat, karena manusia bisa menciptakan perbuatannya sendiri, maka dia harus diberi pahala atas amal baiknya. Manusia juga wajib disiksa jika melakukan maksiat, ini merupakan keyakinan madzhab Mu‘tazilah dan Qadariyyah. Sedangkan menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah tidak wajib memberi pahala kepada orang yang melakukan amal kebaikan. Sebab, sebanyak apapun ketaatan seorang hamba, tidak akan sebanding dengan besarnya ni‘mat yang telah Allah berikan. Jika demikian, bagaimana bisa seorang hamba punya hak untuk meminta upah atas amalnya? Kemauan, kemampuan melakukan ketaatan, sampai keimanan yang dimiliki seorang hamba, semuanya atas pertolongan Allah, maka bagaimana seorang hamba bisa meminta upah? Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, tanpa ada orang yang menentang. Tujuh alam raya, tujuh lapis langit, bumi seisinya, malaikat, jin, syaithan, manusia, hewan dan semua yang ada adalah milik Allah, makhluk Allah dan hamba Allah. Mālik (pemilik) dan Khāliq (pencipta) boleh melakukan apa saja pada sesuatu yang dimiliki atau diciptakannya, tidak akan ada siapapun yang menentang atau melarang, juga tidak akan ada yang mengatakan zhalim. Dalam al-Qur’ān disebutkan: ِ ُ‫إ َّن اهللَ َي ْف َع ُل َما يَ َشاء‬. “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”, (QS. al-Ḥajj [22]: 18).



‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”. (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Kesimpulannya, ketaatan hamba tidak memberi manfaat sama sekali kepada Allah, begitu pula kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba, sama sekali tidak memberi mudarat apapun pada Allah. Ketaatan dan kemaksiatan adalah sama-sama ciptaan Allah. Oleh karena itu, ketaatan tidak mengharuskan diberi pahala dan kemaksiatan tidak mengaruskan diberi siksa. Ketaatan dan kemaksiatan hanya sebagai tanda orang yang akan beruntung atau orang yang akan celaka di akhirat kelak, atau tanda orang yang akan mendapat pahala atau mendapat siksa. Pahamilah masalah ini. (841) Adapun dalam hukum syara‘, menurut suatu pendapat, tidak boleh mengingkari janji, tapi boleh, mengingkari ancaman. (852). Catatan: 1. 84). Tuḥfat al-Murīd, hal. 180. 2. 85). Ibid. hal. 181.



Halaman:



Tidak ada Suatu Kewajiban bagi Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Tidak ada Suatu Kewajiban bagi Allah   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan menjelaskan pendapat madzhab Mu‘tazilah yang sesat.



Beliau berkata: ِ ِ ِ .‫ب‬ ُ ‫َعلَْيه ُز ْوٌر َما َعلَْيه َواج‬



“Pendapat Mu‘tazilah: “Sesungguhnya berbuat baik wajib bagi Allah” adalah bohong. Tidak ada sesuatu yang wajib bagi Allah.” Madzhab Mu‘tazilah berpendapat: “Berbuat baik wajib bagi Allah, seperti menciptakan iman.” Ucapan ini adalah sebuah kebohongan dan kebatilan. Tidak ada kewajiban apapun bagi Allah untuk melakukan sesuatu. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī kemudian menyusun hujjah dengan berkata: . ‫َو ِشْب َه َها فَ َح ِاذ ِر ال ِْم َحااَل‬



“Tidakkah mereka melihat bahwa Allah mendatangkan sakit kepada anak-anak kecil dan hal-hal lain yang serupa, maka takutlah engkau terhadap siksa.” Apakah orang Mu‘tazilah tidak melihat dan merenungkan, Allah telah menimpakan sakit kepada anak-anak kecil yang belum baligh dan tidak berdosa. Allah juga menimpakan rasa sakit pada kerbau dan sapi, yang juga tidak memiliki dosa. Apabila Allah wajib berbuat baik (shalāḥ), tidak akan ada anak kecil yang sakit, tidak ada orang kafir, tidak ada orang miskin yang sengsara dan terhina. Takutlah engkau pada siksa Allah apabila engkau meyakini Allah wajib berbuat baik. Penjelasan



Kesimpulan dari dua bait tersebut adalah orang Mu‘tazilah meyakini Allah wajib shalāḥ (berbuat baik) dan ashlaḥ (berbuat lebih baik/memperbaiki). Ada perbedaan pendapat dalam masalah shalāḥ dan ashlaḥ antara Mu‘tazilah di Baghdād dan di Bashrah. Mu‘tazilah di Baghdad berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya, baik dalam masalah agama maupun masalah dunia, sedangkan Mu‘tazilah di Bashrah berpendapat bahwa Allah wajib melakukan shalāḥ dan ashlaḥ pada hamba-Nya dalam masalah agama saja. (861) Keduanya juga berbeda pendapat mengenai pengertian ashlaḥ. Menurut Mu‘tazilah di Baghdād, ashlaḥ adalah kesesuaian dalam hikmah dan pengaturan, sedangkan menurut Mu‘tazilah di Bashrah, ashlaḥ adalah sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hamba. (872) Permasalahn shalāḥ dan ashlaḥ inilah yang menyebabkan Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī memisahkan diri dari gurunya, yakni Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī al-Mu‘tazilī (883). Pada saat Syaikh Abū Ḥāsyim al-Juba’ī sedang mengajar di hadapan banyak orang. Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana pendapatmu apabila ada tiga orang bersaudara, saudara pertama meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia taat. Saudara kedua meninggal ketika sudah tua dan selama hidupnya dia selalu bermaksiat. Saudara ketiga meninggal ketika masih kecil dan belum baligh.”



Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Saudara yang pertama masuk surga, saudara kedua disiksa di neraka, saudara ketiga tidak mendapat pahala dan tidak pula mendapat siksa.” Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Wahai Syaikh, bagaimana jika saudara yang ketiga berkata: “Wahai Tuhanku, kenapa engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Mengapa Engkau tidak memanjangkan umurku sampai aku dewasa agar aku bisa melakukan ketaatan kepada-Mu sehingga aku berhak untuk masuk surga?” Kira-kira seperti apa jawaban Allah Yang Maha Suci?” Syaikh al-Juba’ī menjawab: “Allah akan berkata: “Wahai hambaku, aku mengetahui bahwa jika engkau tetap hidup sampai dewasa, engkau akan bermaksiat dan nantinya malah akan masuk neraka, maka yang ashlaḥ bagimu adalah mati saat masih kecil.” Syaikh al-Asy‘arī kembali bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu jika saudara yang kedua berkata: “Wahai Tuhanku, mengapa engkau tidak mencabut nyawaku saat aku masih kecil agar aku tidak masuk neraka?” kira-kira bagaimana jawaban Tuhan, wahai Syaikh?” Syaikh al-Juba’ī terdiam, bingung tak bisa menjawab. Sejak saat itu Syaikh al-Asy‘arī meninggalkan gurunya terebut, beliau menyibukkan diri dengan menggali akidah Islam dari hadits-hadits Nabi dan perilaku para ‘ulamā’ salaf dari golongan para sahabat. Akhirnya beliau mendirikan madzhab tauhid sendiri yang diberi nama Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Keyakinan kaum mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib berbuat shalāḥ dan ashlaḥ adalah sebuah kebohongan dan kerusakan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Apabila Allah wajib berbuat shalāḥ dan ashlaḥ pada hambaNya, tidak akan ada orang kafir ataupun orang miskin yang sengsara dan terhina, yang disiksa di dunia dengan kekafirannya dan di akhirat disiksa di neraka. Karena yang ashlaḥ seharusnya orang tersebut dicabut nyawanya saat masih kecil atau dijadikan gila agar tidak masuk neraka. Selain itu, apabila wajib bagi Allah bertindak shalāḥ dan ashlaḥ, tidak akan ada anak kecil, sapi, atau kerbau yang diberi rasa sakit karena semuanya tidak memiliki dosa. Dengan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak wajib shalāḥ dan ashlaḥ. Allah boleh menjadikan seseorang kufur atau beriman, taat atau bermaksiat. Allah s.w.t. berfirman: ‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”. (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Catatan: 1. 86). Tuḥfat al-Murīd, hal. 182. 2. 87). Ibid. 3. 88). Ibid.



Halaman:



Menciptakan Kebaikan dan Kejelekan adalah Ja’iz bagi Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Menciptakan Kebaikan dan Kejelekan adalah Jā’iz bagi Allah



  Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: .‫َو اخْلَرْيِ كاإْلِ ْساَل ْم َو َج ْهل ِالْ ُك ْف ِر‬



“Dan jā’iz bagi Allah s.w.t. menciptakan kejelekan dan kebaikan seperti Islam dan kejahilan yakni kekafiran.” Lafazh (‫)جائٌِز‬ َ menjadi mubtada’ َ merupakan khabar muqaddam, sedang lafazh (‫)خْل ُق الشَِّّر‬ mu’akhkhar. Arti bait ini adalah Allah boleh menjadikan seseorang kufur ataupun beriman, taat ataupun bermaksiat. Ini adalah pendapat ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah. Penjelasan



Menurut ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah boleh menjadikan seseorang kufur ataupun beriman, taat ataupun bermaksiat. Ini merupakan penjabaran dari nazham sebelumnya, yakni: ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬ .‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ



“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendai untuk sampai (kepada ridhaNya).” Hal ini berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak mungkin berbuat jelek. Dalam pandangan mereka, baik adalah sesuatu yang baik menurut akal dan jelek adalah sesuatu yang jelek menurut akal manusia. Menyiksa sesuatu yang diciptakan adalah zhalim menurut mereka, sedangkan Allah mustahil berbuat zhalim. Oleh karena itu, mustahil bagi Allah berbuat jelek pada hamba-Nya. Inilah pokok keyakinan madzhab Mu‘tazilah yang sesat dan melenceng dari ajaran yang benar. Dalam kepercayaan orang Mu‘tazilah, baik adalah hal yang baik menurut akal, dan jelek adalah hal yang jelek menurut akal. Bagi mereka, menyiksa sesuatu yang diciptakan sendiri itu zhalim, sedangkan mustahil Allah melakukan hal yang zhalim. Maka, mustahil bagi Allah berbuat kejelekan. Sebagaimana kepercayaan orang Mu‘tazilah yang sesat dari jalan kebenaran.



Hikayat (891)



Suatu ketika Iblīs mendatangi Imām asy-Syāfi‘ī r.a. Iblīs berkata: “Wahai Imām, seseorang menciptakan aku atas kehendaknya sendiri, mengarahkan dan menjalankan aku sesuai dengan apa yang dia kehendaki, setelah itu, dia akan memasukkan aku ke surga atau neraka sesuai kehendaknya. Tindakan seperti ini dinamakan ‘ādil, zhālim, atau jā’iz?” Imām asy-Syāfi‘ī berpikir sejenak, beliau mendapat ilham untuk menjawab pertanyaan Iblīs. Beliau berkata: “Wahai Iblīs, apabila wujud dan keberadaanmu atas kehendakmu sendiri, maka orang yang melakukan hal tersebut padamu dihukumi zhalim, tapi jika wujud dan keberadaanmu atas kehendak orang yang melakukan itu padamu, maka: ‫اَل يُ ْسأ َُل َع َّما َي ْف َع ُل َو ُه ْم يُ ْسأَلُْو َن‬. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23). Iblīs terdiam, tak bisa berargumentasi lagi, kemudian dia berkata: “Demi Allah, wahai Imām, dengan pertanyaan ini, aku telah menyesatkan 70.000 ahli ibadah, mereka keluar dari ritual ibadah dan menjadi kafir zindiq.” Catatan: 1. 89). Tuḥfat al-Murīd, hal. 185.



Halaman:



Iman pada Qadha’ dan Qadar – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Iman pada Qadhā’ dan Qadar   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan penjelasan penolakannya pada pendapat madzhab Qadariyyah.



Beliau berkata: . ِ‫ضا َك َما أَتَى يِف اخْلَرَب‬ َ ‫َو بِالْ َق‬



“Dan wajib kita beriman dengan qadhā’ dan qadar karena ada keterangannya di dalam hadits.” ِ merupakan khabar muqaddam, sedang lafazh (‫ )إِمْي انُنا‬adalah mubtada’ Lafazh (‫ب‬ ََ ٌ ‫)واج‬ َ mu’akhkhar. Makna bait ini adalah kita wajib beriman pada kepastian Allah yang ada sejak zama azali, sebagaimana penjelasan dalam hadits. Penjelasan



Bait ini menolak keyakinan golongan Qadariyyah yang tidak mempercayai qadhā’ dan qadar sejak zaman azali. Mereka berkeyakinan bahwa segala sesuatu saat ini tidak ada hubungannya dengan ketetapan di zaman azali. Madzhab Qadariyyah terbagi menjadi dua golongan, yaitu: (901) 1. 2.



Golongan Qadariyyah yang tidak mengakui adanya qadhā’  dan qadar  sejak zaman azali. Golongan Qadariyyah yang menyatakan bahwa seorang hamba mempunyai qudrah dan mampu menciptakan perbuatannya sendiri.



Pendapat golongan Qadariyyah ini dibantah oleh bait: ِ ‫موفِّق لِمن أَراد أَ ْن ي‬ .‫ص ْل‬ َ َ َ ْ َ ٌ َُ



“Maka Allah-lah yang menciptakan hamba-Nya dan apa-apa yang dia perbuat, serta memberikan taufiq kepada siapapun yang Dia kehendaki untuk sampai (kepada ridhaNya).” Orang yang beriman kepada qadhā’  dan qadar pasti akan ridhā dan rela pada ketetapan qadhā’ dan qadar  Allah. Pertanyaan: (912)



Jika ada yang bertanya kepadamu: “Kenapa kita wajib ridha pada qadhā’ dan qadar? Bukankah itu berarti mewajibkan kita ridha pada kekufuran berarti kufur, dan ridha pada kemaksiatan berarti maksiat?” Jawaban:



Salah satu pendapat menyatakan: “Kekufuran dan kemaksiatan adalah muqdhā (sesuatu yang di-qadhā’) dan maqdūr (sesuatu yang di-taqdīr-kan), bukan qadhā’  dan qadar, yang wajib adalah ridha pada qadhā’  dan qadar, bukan pada muqdhā dan maqdūr”.



Pendapat lain menyatakan: “Kekufuran dan kemaksiatan memiliki dua sisi. Pertama, kekufuran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang dikehendaki, dikuasai, dan dimengerti oleh Allah. Kedua, kekufuran dan kemaksiatan yang muncul dari kasb manusia. Karenanya, kita wajib membenci dan menolak kasb manusia berupa kufur dan maksiat, bukan malah membenci qadhā’  dan qadar Allah.” Imām al-Asy‘arī dan Imām al-Māturīdī berbeda pendapat dalam mendefinisikan qadhā’  dan qadar Allah. Menurut Imām al-Asy‘arī, qadar adalah penciptaan Allah pada sesuatu disertai irādah-Nya. Dari sini bisa dipahami bahwa qadar adalah sifat dari pekerjaan, maka qadar adalah sesuatu yang baru. Sedangkan qadhā’ adalah irādah Allah. qadhā’ merupakan sifat Dzāt, maka qadhā’  adalah qadīm (dahulu). ‫اأْل َ ْشيَاءُ يِف اأْل ََز ِل َعلَى َما ِه َي َعلَْي ِه فِْي َما اَل َيَز ُال‬. “Kondisi sesuatu di zaman azali, sesuai dengan kondisi saat ini.” Sedangkan menurut Imām al-Māturīdī, qadhā’ adalah penciptaan Allah pada sesuatu. Dari sini bisa difahami bahwa qadar adalah sifat pekerjaan, maka qadar adalah sesuatu yang baru. (923). Kesimpulannya, menurut Imām al-Asy‘arī, qadar adalah ḥadīs (baru), sedangkan qadhā’ adalah qadīm (dahulu), sedangkan menurut Imām alMāturīdī, qadhā’ adalah ḥadīts (baru). Setelah seorang mukallaf mengetahui bahwa iman pada qadhā’ dan qadar wajib, maka tidak diperbolehkan beralasan dengan menggunakan qadhā’ dan qadar yang belum terjadi. Misal, seseorang yang akan berbuat zina berkata: “Sudah menjadi qadar dan kehendak Allah bahwa aku akan melakukan zina.” Ucapan seperti ini haram, bahkan dosanya lebih besar dibandingkan melakukan zina, atau setelah melakukan zina seseorang berkata: “Sudah menjadi qadar dan kehendak Allah aku berzina”, ucapan tersebut sebagai dalih agar tidak terkena had zina, hukumnya tetap haram. (934). Adapun jika beralasan dengan qadhā’ dan qadar yang telah terjadi untuk menolak orangorang yang mencelanya, maka diperbolehkan. (945) Misal, ada seseorang yang mencela atau menghina pengemis atau orang yang bermaksiat, kemudian orang yang dihina berkata: “Wahai fulan, adakah orang yang suka jika dia menjadi orang miskin? Dan siapa yang suka jika kelak akan masuk neraka? Aku juga ingin menjadi orang kaya, bukan pengemis, aku ingin menjadi orang yang taat beribadah, bukan ahli maksiat, tapi qadar dan kehendak Allah menjadikan aku seperti ini.” Ucapan seperti itu diperbolehkan, sebagaimana penjelasan hadits yang menceritakan bahwa rūḥ Nabi Ādam a.s. bertemu dengan rūḥ Nabi Mūsā kalīmullāh. Nabi Mūsā a.s. bertanya kepada Nabi Ādam a.s.: “Wahai ayahanda, Nabi Ādam, engkau adalah ayah semua manusia, mengapa engkau menjadi penyebab keluarnya anak cucumu dari surga dengan memakan buah dari pohon yang terlarang?” Nabi Ādam a.s. menjawab: “Wahai Mūsā, engkau adalah orang yang telah dipilih oleh Allah untuk diberi firman secara langsung, Allah juga memberimu kitab Taurāt, bagaimana bisa



engkau mencelaku dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah terhadapku? 40 tahun sebelum penciptaanku, Allah telah menetapkan bahwa aku akan makan buah pohon itu.” Jawaban Nabi Ādam tak terbantahkan, dan Nabi Mūsā pun terdiam. (956) Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī ( ِ‫ َك َما أَتَى يِف اخْلَرَب‬.) maksudnya adalah sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Seseorang belum beriman (secara sempurna) sebelum meyakini empat hal: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, beriman bahwa aku adalah utusan Allah, beriman adanya hari kebangkitan setelah mati, dan beriman pada qadar Allah, baik-buruknya, manis-pahitnya, semua dari Allah”. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam rukun iman. (967). Catatan: 1. 90). Tuḥfat al-Murīd, hal. 187. 2. 91). Ibid., hal. 187. 3. 92). Ibid., hal. 188. 4. 93). Ibid. 5. 94). Ibid. 6. 95). Ibid., hal. 188. 7. 96). Ibid., hal. 189.



Halaman:



Melihat Allah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat



TERJEMAH TAUHID ‫َسبِْي ُل الْ َعبِْي ِد َعلَى َج ْو َهَر ِة الت َّْو ِحْي ِد‬ Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara (1820-1903 M.) Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah Penerbit: Sahifa Publishing



Rangkaian Pos: 002 Tentang Ketuhanan (Ilahiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat Melihat Allah   Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ ِ ٍ .‫صا ِر‬ َ ‫لك ْن بِاَل َكْيف َو اَل احْن‬



“Di antara perkara yang jā’iz bagi Allah s.w.t. adalah Dia dapat dilihat dengan mata, tetapi tanpa diketahui caranya dan tidak terbatas.” Di antara hal yang jā’iz bagi Allah menurut akal adalah Allah bisa dilihat dengan mata, tetapi tanpa diketahui caranya, tanpa daya lihat mata, tidak seperti melihat makhluk, tanpa ada perbandingan, tanpa berhadap-hadapan, tidak terbatas pada kemampunan melihat yang dimiliki oleh mata, tidak terbatas pada apa-apa yang bisa dilihat oleh mata. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata: ِ .‫ت‬ ْ َ‫ه َذا َو لْل ُم ْختَا ِر ُد ْنيَا ثَبَت‬



“Bagi orang-orang mu’min, (sebabnya jā’iz adalah) karena melihat Allah dihubungkan dengan perkara yang jā’iz. Pahamilah ini! Dan bagi Nabi yang terpilih tetap juga melihat di dunia.” Allah boleh dilihat oleh orang-orang mu’min atau bolehnya melihat Allah hanya berlaku bagi orang-orang mu’min. Hal ini karena dihubungkan dengan kebolehan melihat sesuatu yang jā’iz wujudnya menurut akal, yaitu tegaknya gunung. Maka pahamilah masalah kebolehan “melihat” ini! Melihat Allah di dunia hanya khusus bagi Nabi yang terpilih, yaitu Rasūlullāh s.a.w. adapun bagi selainnya, tidak boleh melihat Allah di dunia. Para Nabi, wali Allah, dan orang-orang mu’min hanya bisa melihat Allah kelak di akhirat, yaitu setelah berada di surga, tidak boleh selain di akhirat. Penjelasan



Boleh melihat Allah hanya khusus bagi orang-orang mu’min di akhirat kelak, bukan di dunia ini. Boleh melihat Allah dihubungkan dengan dibolehkannya melihat sesuatu yang jā’iz menurut akal, yakni tegaknya gunung, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’ān saat Nabi Mūsā memohon kepada Allah: ِ ِ ‫ف َترايِن‬ ِّ ‫قَ َال َر‬ َ ‫ب أَرِيِن ْ أَنْظُْر إِلَْي‬ ْ ‫ك قَ َال لَ ْن َتَرايِن ْ َو لك ِن انْظُْر إِىَل اجْلَبَ ِل فَِإن‬ َ َ ‫اسَت َقَّر َم َكانَهُ فَ َس ْو‬ “Berkatalah Mūsā: “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Engkau sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku (di akhirat kelak).” (QS. al-A‘rāf [7]: 143). Dua bait di atas menyanggah keyakinan orang-orang Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa mustahil bagi makhluk bisa melihat Allah, karena setiap sesuatu yang bisa dilihat pasti berupa jism, padahal mustahil Allah berupa jism. Keyakinan ini adalah sesat dan sangat bodoh.



Tidak boleh melihat Allah saat masih di dunia bagi selain Rasūlullāh hanya berlaku dalam keadaan sadar, adapun saat tidur, boleh melihat Allah dalam mimpi. Seperti cerita yang terjadi pada Imām Aḥmad al-Ḥanbalī r.a., beliau bermimpi melihat Allah sampai 99 kali, beliau kemudian berkata: “Jika aku bisa melihat Allah genap 100 kali, maka aku akan bertanya kepada Allah.” Beliau pun kembali bisa melihat Allah dalam mimpinya, dalam mimpi tersebut beliau bertanya kepada Allah: “Ya Allah, apa amal ibadah yang engkau sukai?” Allah berfirman: “Orang yang membaca kalam-Ku (al-Qur’ān)”. Imām Aḥmad kembali bertanya: “Dengan memahami maknanya atau cukup hanya membaca saja (tanpa memahami maknanya)?” Allah berfirman: “Baik disertai pemahaman atau tanpa pemahaman, itu merupakan ibadah yang utama.” (971). Kesimpulannya, kita wajib meyakini bahwa boleh melihat Allah di akhirat kelak, bukan di dunia ini, kecuali melalui mimpi. Ini bagi selain Nabi Muḥammad s.a.w. Wallāhu a‘lam. Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.(QS. al-Muddatstsir [74]: 31)



Catatan: 1. 97). Tuḥfat al-Murīd, hal. 197.



Halaman: