Tesis: Universitas Sumatera Utara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TESIS



EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA OLEH: MAULIANA NIM 177014038



PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020



Universitas Sumatera Utara



TESIS



EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA OLEH: MAULIANA NIM 177014038



PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020



Universitas Sumatera Utara



EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA TESIS



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara



OLEH: MAULIANA NIM 177014038



PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020



Universitas Sumatera Utara



Universitas Sumatera Utara



PERSETUJUAN TESIS



Nama Mahasiswa



:



Mauliana



Nomor Induk Mahasiswa



:



177014038



Program Studi



:



Magister Ilmu Farmasi



Judul Tesis



:



Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa



Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada hari Jumat tanggal tiga puluh satu bulan Januari tahun dua ribu dua puluh. Menyetujui: Komisi Penguji Tesis Ketua



: Prof. Dr. Wiryanto, M. S., Apt.



Sekretaris



: Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.



Anggota



: Khairunnisa, M. Pharm., Ph. D., Apt. : Prof. Dra. Azizah Nasution, M. Sc., Ph. D



iv Universitas Sumatera Utara



PERNYATAAN ORISINALITAS



Saya yang betanda tangan di bawah ini: Nama Mahasiswa



: Mauliana



Nomor Induk Mahasiswa



: 177014038



Program Studi



: Magister Ilmu Farmasi



Judul Tesis



: Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa



Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian pada Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagist dan apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.



Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.



v Universitas Sumatera Utara



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Evaluasi Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Pengelolaan obat yang tidak efisien dan efektif dapat berdampak negatif secara medik, sosial maupun ekonomi pada rumah sakit. Atas dasar itulah maka dilakukan penelitian untuk mengevaluasi capaian pengelolaan obat di IFRSUD Langsa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan obat di IFRSUD Langsa belum sepenuhnya memenuhi standar yang ada. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan dalam hal pengelolaan obat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Wiryanto, M.S., Apt dan Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. atas waktu, arahan dan bimbingan yang diberikan selama penyelesaian Tesis ini. Peneliti juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Masfria, M. S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama menjalani pendidikan di Program Magister Ilmu Farmasi. Kepada kedua orang tua, alm. Ayahanda tercinta dan Ibunda tercinta saya, serta adik-adik saya, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas semua pengorbanan, doa dan dorongannya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan segala perjuangan yang telah dilakukan. Medan, 31 Januari 2020 Penulis,



Mauliana NIM 177014038



vi Universitas Sumatera Utara



EVALUASI CAPAIAN PENGELOLAAN OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA ABSTRAK Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Ketidakefisienan dalam pengelolaan obat dapat berdampak negatif secara medik, sosial maupun ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi capaian pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum Daerah Langsa. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2019. Penelitian menggunakan rancangan deskriptif untuk data tahun 2018 yang bersifat retrospektif dan prospektif. Data dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatif dari pengamatan dokumen serta wawancara dengan petugas instalasi farmasi terkait. Data dihitung menggunakan microsoft office excel tahun 2007 dan hasil perhitungan data yang didapatkan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan kemudian dianalisis secara deskriptif dan chi square pada program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan obat yang sesuai standar sebagai berikut yaitu kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional (88,37%); frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun; ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (100%); tingkat ketersediaan obat (13 bulan 14 hari); persentase peresepan obat antibiotika di rawat jalan (10,66%); persentase peresepan injeksi di rawat jalan (3,59%); rerata kecepatan pelayanan resep racikan (49 menit); persentase obat yang dapat diserahkan (99,87% di rawat inap dan 96,44% di rawat jalan) dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap (100%). Tahapan yang tidak sesuai standar yaitu persentase nilai obat kadaluwarsa dan atau rusak; persentase stok mati; jumlah item obat per lembar resep; persentase obat dengan nama generik; persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap; persentase peresepan injeksi di rawat inap; persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit dan rerata kecepatan pelayanan resep non-racikan. Persentase capaian pengelolaan obat yang telah memenuhi standar sebesar 52,2%. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Langsa belum sepenuhnya efektif dan efisien sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Peningkatan manajemen obat perlu dilakukan agar memenuhi nilai standar pada semua kategori. Kata kunci: pengelolaan obat, evaluasi, instalasi farmasi rumah sakit, Langsa



vii Universitas Sumatera Utara



EVALUATION OF DRUGS MANAGEMENT ACHIEVMENT IN THE PHARMACY INSTALLATION OF LANGSA REGIONAL GENERAL HOSPITAL ABSTRACT Drug management cycle consist of selection, procurement, distribution, and use. Its inefficiency can induce bad condition for medical, social and economical aspect. The purpose of this study was to evaluate drug management in pharmacy installation of Langsa regional general hospital. This study was conducted in JuliOktober 2019. The research using descriptive design to the data in 2018 which retrospectively and prospectively. Data collected were quantitative and qualitative data from document observation and interview with Pharmacy Department officials related. Data was calculated using microsoft office excel in 2007 and data calculation results obtained were compared with the established standards and then analyzed using descriptive analysis and chi square in the SPSS program. The results showed that drug management system according to standards as follows: percentage of drug conformity with National Formulary (88,37%); frequency of drug procurement; number of drug compatibility with card stock (100%); level of drug availability (13 months 14 days); percentage of the use of antibiotic in outpatient (10,66%); percentage of the use of injection in outpatient (3,59%); average prescription concoction service time (49 minutes); percentage of drug delivered (99,87% inpatient and 96,44% in outpatient) and percentage of drug labeled correctly (100%). Stage which are not standardized, i.e: percentage of expire or damage drug value; percentage of dead stock; total of drug item per prescription sheet; percentage of drugs prescribed by generic name; percentage of the use of antibiotic inpatient; percentage of the use of injection inpatient; percentage of drug conformity with hospital formulary; and average prescription non-concoction service time. The percentage of drug management achievement that has met the standard is 52,2%. Based on the description above it can be concluded that the management of drugs in Langsa Hospital Pharmacy Installation has not been fully effective and efficient in accordance with standards. Improvement on drug management is required in order to obtained standard values in all categories. Keywords: drug management, evaluation, hospital pharmacy installation, Langsa



viii Universitas Sumatera Utara



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................... i HALA MAN PENGESAHAN TESIS ................................................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ....................................................................iv HALA MAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................v KATA PENGANTAR ............................................................................................vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT ...................................................................................................... viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4 1.3 Hipotesis ................................................................................................... 4 1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 1.6 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8 2.1 Rumah Sakit ............................................................................................ 8 2.1.1 Definisi Rumah Sakit .............................................................................. 8 2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ................................................................ 8 2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit ........................................................................... 9 2.2 Tim Farmasi dan Terapi ........................................................................... 9 2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit................................................................ 10 2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ................................... 11 2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit................................. 13 2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit ........................... 14 2.4 Manajemen Logistik Obat Rumah Sakit ................................................. 15 2.4.1 Pemilihan ............................................................................................... 20 2.4.2 Perencanaan ........................................................................................... 22 2.4.3 Pengadaan .............................................................................................. 22 2.4.4 Penyimpanan .......................................................................................... 28 2.4.5 Distribusi ............................................................................................... 29 2.4.6 Penggunaan (Use) .................................................................................. 31 2.5 Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ....................................................... 34 2.5.1 Definisi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa .......................................... 34 2.5.2 Falsafah, Visi dan Misi ........................................................................... 34 2.5.3 Tujuan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ........................................... 35 2.5.4 Susunan Organisasi ................................................................................ 36 2.6 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ............................ 36 2.6.1 Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi ............................................. 36 2.6.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Langsa .............................. 37



ix



Universitas Sumatera Utara



2.6.3 Sumber Daya Instalasi Farmasi RSUD Langsa ....................................... 38 2.7 Kerangka Teori ...........................................................................................39 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 41 3.1 Desain Penelitian .................................................................................. 41 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 41 3.3 Populasi ................................................................................................. 41 3.4 Pengumpulan Data ................................................................................. 41 3.4.1 Data Primer .......................................................................................... 42 3.4.2 Data Sekunder ...................................................................................... 42 3.5 Langkah Kerja Penelitian ....................................................................... 42 3.6 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 43 3.7 Analisis Parameter ................................................................................. 44 3.8 Definisi Operasional............................................................................... 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 49 4.1 Gambaran Umum Penelitian................................................................... 49 4.2 Karakteristik Responden ........................................................................ 49 4.3 Pemilihan ............................................................................................... 50 4.4 Perencanaan dan Pengadaan ................................................................... 53 4.5 Distribusi ............................................................................................... 61 4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok ........................................ 63 4.5.2 Persentase Nilai Obat Kadaluarsa Dan/Rusak ......................................... 65 4.5.3 Persentase Stok Mati .............................................................................. 68 4.5.4 Tingkat Ketersediaan Obat ..................................................................... 70 4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan........................................................ 71 4.6.1 Jumlah Item Obat per Lembar Resep ...................................................... 74 4.6.2 Persentase Obat dengan Nama Generik .................................................. 77 4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika ................................................... 78 4.6.4 Persentase Peresepan Injeksi .................................................................. 83 4.6.5 Persentase Obat Yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit ..... 85 4.6.6 Rerata Kecepatan Pelayanan Resep ........................................................ 88 4.6.7 Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan ................................................ 93 4.6.8 Persentase Obat Yang Dilabeli dengan Lengkap ..................................... 94 4.7 Perbandingan Indikator Resep Rawat Inap dan Rawat Jalan ................... 94 4.8 Persentase Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa ............................................................................................................... 97 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 98 5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 98 5.2 Saran ........................................................................................................... 99 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 100 LAMPIRAN ................................................................................................... 107



x



Universitas Sumatera Utara



DAFTAR TABEL 2.1 2.2 3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15



Daftar Tenaga Kefarmasian Minimal Di Berbagai Klasifikasi Rumah Sakit Umum ..................................................................................................... 14 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit .................................. 18 Definisi operasional penelitian ................................................................. 48 Karakteristik informan ............................................................................. 49 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan Formularium Nasional .......... 52 Frekuensi pengadaan item obat per tahun ................................................. 58 Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok ............................................. 63 Persentase nilai obat kadaluarsa ............................................................... 65 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018 ............. 68 Tingkat ketersediaan obat ........................................................................ 71 Hasil indikator penggunaan obat yang diresepkan .................................... 73 Jumlah item obat per lembar resep ........................................................... 74 Persentase obat dengan nama generik ...................................................... 77 Persentase peresepan obat antibiotika ...................................................... 79 Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit .............................................................................................. 85 Rerata kecepatan pelayanan resep sediaan jadi (non racikan) dan racikan 89 Perbandingan indikator resep rawat inap dan rawat jalan ......................... 95 Hasil uji statistik capaian pengelolaan obat .............................................. 97



xi



Universitas Sumatera Utara



DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 2.2 2.3 3.1



Kerangka pikir penelitian ........................................................................... 7 Siklus pengelolaan obat ........................................................................... 17 Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa ................................. 38 Kerangka teori penelitian ......................................................................... 40 Langkah kerja penelitian .......................................................................... 43



xii



Universitas Sumatera Utara



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kondisi ruangan dan fasilitas penyimpanan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa berdasarkan Peraturan Mneteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit .........................................................................................................107 Lampiran 2. Prosedur penyimpanan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit ........................... 109 Lampiran 3. Surat izin penelitian ..................................................................... 110 Lampiran 4. Surat keterangan kelayakan etik (ethical clearance)..................... 111 Lampiran 5. Surat persetujuan responden (informed consent). ......................... 112 Lampiran 6. Data stok mati obat tahun 2018 ................................................... 116 Lampiran 7. Data obat kadaluarsa di instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018 .................................................................................................... 117 Lampiran 8. Data tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa .121 Lampiran 9. Data pengadaan item obat per tahun ............................................. 122 Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat ............................. 128 Lampiran 11. Hasil Uji Statistik Persentase Obat dengan Nama Generik ...........129 Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Persentase Obat Antibiotika ........................... 130 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Persentase Injeksi .......................................... 131 Lampiran 14. Persentase Obat yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit ........................................................................................................................ 132 Lampiran 15. Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan .................................... 133 Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Capaian Pengelolaan Obat ............................. 134



xiii



Universitas Sumatera Utara



DAFTAR SINGKATAN BPJS : Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial CAB : Cost Benefit Analysis CEA : Cost Effectiveness Analysis FIFO : First In First Out FEFO : First Expired First Out IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit JKN



: Jaminan Kesehatan Nasional



LIFO : Last in First Out PPAB : Pedoman Pengunaan Antibiotika PPI



: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi



PPRA : Program Pencegahan Resistensi Antimikroba RS



: Rumah Sakit



RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SP



: Surat Pesanan



SDM : Sumber Daya Manusia SIM



: Sistem Informasi Manajemen



TFT



: Tim Farmasi dan Terapi



TTK



: Tenaga Teknis Kefarmasian



UDD : Unit Dose Dispensing



xiv



Universitas Sumatera Utara



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, salah satu layanannya adalah pelayanan kefarmasian (Presiden RI, 2009). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Kemenkes RI, 2016). Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus merupakan salah satu revenue centre utama, mengingat lebih dari 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan gas medik) dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi, sehingga jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab maka dapat diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit akan mengalami penurunan (Suciati, dkk., 2006). Salah satu sumber penting dalam pelayanan pasien adalah obat. Obat merupakan suatu komponen esensial yang harus tersedia di sarana pelayanan kesehatan, obat merupakan bagian hubungan antara pasien dan sarana pelayanan kesehatan, karena tersedia atau tidaknya obat di sarana pelayanan kesehatan akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap mutu pelayanan (Quick et al., 1997).



1 Universitas Sumatera Utara



Manajemen obat yang baik merupakan salah satu aspek yang berpengaruh pada pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Depkes RI, 2005) dan merupakan aspek penting untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi rumah sakit (Depkes RI, 2002). Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik jumlah, jenis maupun kualitas (Depkes RI, 2005). Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat (Kemenkes RI, 2016). Manajemen obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan, yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar kegiatan berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat terjamin yang mendukung pelayanan kesehatan dan menjadi sumber pendapatan rumah sakit yang potensial (Quick et al., 2012). Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit (Quick et al., 1997). Analisis



terhadap



proses



manajemen



obat



harus



dilakukan,



karena



ketidakefisienan dan ketidaklancaran manajemen obat akan memberi dampak



2 Universitas Sumatera Utara



negatif, bagi kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, baik secara medik, sosial maupun secara ekonomi (Malinggas et al., 2015). Hasil penelitian Fakhriadi (2011) yang melakukan analisis efisiensi pengelolaan obat di salah satu instalasi farmasi rumah sakit di Indonesia diperoleh bahwa pengelolaan obat yang belum efisien.



Penelitian Wati (2013) juga



dilakukan di salah satu IFRS di Indonesia masih didapatkan sistem pengelolaan obat yang belum sesuai dengan standar. Ihsan, dkk., (2014) yang melakukan evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi suatu rumah sakit di Indonesia masih didapatkan sistem pengelolaan yang belum sesuai standar. Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit non pendidikan milik pemerintah kota Langsa yang merupakan rumah sakit kelas B. Rumah sakit umum daerah Langsa didukung oleh unit instalasi farmasi yang bertanggung jawab dalam mengelola dan menyelenggarakan kegiatan yang mendukung ketersediaan obat dan alat kesehatan di RSUD Langsa. Sebagai rumah sakit yang memiliki misi meningkatkan kualitas pelayanan individu yang prima secara berkesinambungan, RSUD Langsa harus mampu menjaga kualitas pelayanan kesehatannya termasuk kualitas pelayanan farmasi. Pengelolaan obat oleh instalasi farmasi rumah sakit mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, mengingat ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat tersebut dapat memberi dampak negatif terhadap rumah sakit dan berpengaruh terhadap peran rumah sakit secara keseluruhan. Menurut Permenkes nomor 72 tahun 2016 disebutkan bahwa pengelolaan sediaan farmasi terdiri dari pemilihan, perencanaan kebutuhan,



3 Universitas Sumatera Utara



pengadaan,



penerimaan,



penyimpanan,



pendistribusian,



pemusnahan



dan



penarikan, pengendalian dan administrasi. Dalam penelitian ini, parameter pengelolaan obat yang dievaluasi terdiri dari pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan merujuk pada parameter manajemen obat menurut Quick et al., (2012).



1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. apakah pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan standar? b. apakah perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan standar? c. apakah pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan standar? d. apakah penggunaan obat yang diresepkan di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah sesuai dengan standar?



1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hipotesis umum dalam penelitian ini adalah pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar. Adapun hipotesis khusus penelitian ini adalah: a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar.



4 Universitas Sumatera Utara



b. perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar. c. pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar. d. penggunaan obat yang diresepkan instalasi farmasi RSUD Langsa belum sesuai dengan standar.



1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan hipotesis penelitian, maka tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengevaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Langsa. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi: a. pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa. b. perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa. c. pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa. d. penggunaan obat yang diresepkan di instalasi farmasi RSUD Langsa.



1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah: a.



penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi RSUD Langsa dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan dalam hal manajemen pengelolaan obat.



5 Universitas Sumatera Utara



b.



bahan masukan bagi RSUD Langsa dalam pengelolaan obat secara efektif dan efisien.



c.



bagi program studi Magister Farmasi Universitas Sumatera Utara dapat menambah referensi tentang evaluasi pengelolaan obat di rumah sakit.



d.



bagi masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.



1.6 Kerangka Pikir Penelitian Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Siklus manajemen obat mencakup empat tahap yaitu selection (seleksi), perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Masing-masing tahap dalam siklus manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat dapat tercapai. Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu alat/tolok ukur yang hasil menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Makin sesuai yang diukur dengan indikatornya, makin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan standarnya. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.



6 Universitas Sumatera Utara



Variabel bebas



Variabel terikat



Parameter Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional = ≥ 80%



Pemilihan



Frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun = rendah < 12 kali/tahun, sedang = 12-24 kali/tahun, tinggi > 24 kali /tahun



Perencanaan dan Pengadaan



Distribusi



Capaian Pengelolaan Obat



− Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok = 100% − Persentase dan nilai obat yang kadaluwarsa dan atau rusak = ≤ 0,2% − Persentase stok mati = 0% − Tingkat ketersediaan obat = 1218 bulan



- Sesuai - Tidak Sesuai







Jumlah item obat per lembar resep = 1,8-2,2 − Persentase obat dengan nama generik = 82%-94% − Persentase peresepan obat antibiotika = < 22,70% − Persentase peresepan injeksi = 0,2-48% − Persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit = 100% − Rata-rata kecepatan pelayanan resep = ≤ 60 menit (racikan), ≤ 30 menit (sediaan jadi) − Persentase obat yang dapat diserahkan = 76-100% − Persentase obat yang dilabeli dengan lengkap = 100%



Penggunaan Obat



Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian



7 Universitas Sumatera Utara



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 pasal 1, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Presiden RI, 2009). 2.1.2



Tugas dan Fungsi Rumah Sakit



a. Tugas Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. b. Fungsi Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai beberapa fungsi yaitu: i. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. ii. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. iii. penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.



8 Universitas Sumatera Utara



iv. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit Menurut PerKemenkes RI Nomor 56 Tahun 2014, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus sebagai berikut: a. rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, rumah sakit umum kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D. b. rumah sakit khusus diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, rumah sakit khusus kelas A, kelas B, dan kelas C. Penetapan klasifikasi rumah sakit tersebut diatas didasarkan pada pelayanan, sumber daya manusia, peralatan serta bangunan dan prasarana.



2.2 Tim Farmasi dan Terapi Menurut Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, dalam pengorganisasian rumah sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di rumah sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. Tim farmasi dan terapi harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam rumah sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat.



9 Universitas Sumatera Utara



Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. Tim farmasi dan terapi harus mengadakan rapat secara teratur, minimal 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Tim farmasi dan terapi dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT (Kemenkes RI, 2016). Menurut Kemenkes RI (2016), TFT mempunyai tugas: a. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit. b. melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium rumah sakit. c. mengembangkan standar terapi. d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat. e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional. f. mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki. g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error. h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.



2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Permenkes RI Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, instalasi farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit.



10 Universitas Sumatera Utara



2.3.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit a. Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit Adapun tugas dari instalasi farmasi rumah sakit, yaitu: i. menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi. ii. melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien. iii. melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko. iv. melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien. v. berperan aktif dalam TFT. vi. melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian. vii. memfasilitasi



dan



mendorong



tersusunnya



standar



pengobatan



dan



formularium rumah sakit. b. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Fungsi instalasi farmasi rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinis. Adapun sub fungsi masing-masing yaitu: i. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, antara lain:



11 Universitas Sumatera Utara



a) memilih sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit. b) merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal. c) mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku. d) memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. e) menerima sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. f) menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian. g) mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit. h) melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu. i) melaksanakan pelayanan obat secara dosis sehari (unit dose). j) melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan). k) mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. l) melakukan pemusnahan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.



12 Universitas Sumatera Utara



m) mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. n) melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. ii. pelayanan farmasi klinis, antara lain: a) pengkajian dan pelayanan resep. b) penelusuran riwayat penggunaan obat. c) melaksanakan rekonsiliasi obat. d) pelayanan informasi obat. e) konseling. f) melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain. g) melaksanakan pemantauan terapi obat. h) memonitoring efek samping obat. i) evaluasi penggunaan obat. j) dispensing sediaan steril. k) pemantauan kadar obat dalam darah (Kemenkes RI, 2016). 2.3.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut



Peraturan



Menteri



Kesehatan



Nomor



72



tahun



2016,



pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinis dan manajemen mutu yang bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.



13 Universitas Sumatera Utara



2.3.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit Instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Kemenkes RI, 2016). Menurut



Kemenkes



RI



(2016),



perhitungan



kebutuhan



apoteker



berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinis dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien. Berdasarkan apoteker menurut beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan penggunaan obat dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga apoteker dengan rasio 1 apoteker untuk 50 pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, jumlah tenaga kefarmasian untuk masing-masing tipe rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Daftar tenaga kefarmasian minimal di berbagai klasifikasi rumah sakit umum Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum Kefarmasian A B C D Apoteker dan 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker TTK sebagai sebagai sebagai sebagai kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS kepala IFRS



14 Universitas Sumatera Utara



Tabel 2.1 (Sambungan) Tenaga Klasifikasi Kelas Rumah Sakit Umum Kefarmasian A B C D Apoteker dan 5 apoteker 4 apoteker 2 apoteker 1 apoteker TTK dirawat jalan dirawat jalan dirawat jalan dirawat inap dibantu 10 dibantu 8 dibantu 4 dan rawat TTK TTK TTK jalan dibantu 2 TTK 5 apoteker 4 apoteker 4 apoteker dirawat inap dirawat inap dirawat inap dibantu 10 dibantu 8 dibantu 8 TTK TTK TTK 1 apoteker di 1 apoteker di IGD dibantu IGD dibantu 2 TTK 2 TTK 1 apoteker di 1 apoteker di ICU dibantu ICU dibantu 2 TTK 2 TTK 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker 1 apoteker sebagai sebagai sebagai sebagai koordinator koordinator koordinator koordinator penerimaan penerimaan penerimaan penerimaan dan distribusi dan distribusi dan dan distribusi, distribusi, serta serta produksi produksi 1 apoteker 1 apoteker sebagai sebagai koordinator koordinator produksi produksi Total jumlah 15 apoteker 13 apoteker 8 apoteker 3 apoteker apoteker dan dan 24 TTK dan 20 TTK dan 12 TTK dan 2 TTK TTK minimum



2.4 Manajemen Logistik Obat Rumah Sakit Sistem manajemen obat merupakan serangkaian kegiatan kompleks yang merupakan suatu siklus yang saling terkait, pada dasarnya terdiri dari empat fungsi dasar yaitu seleksi, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan. Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan semua aspek



15 Universitas Sumatera Utara



yang berkaitan dengan obat atau perbekalan kesehatan yang digunakan dirumah sakit (Quick et al., 1997). Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, administrasi dan keuangan, sumber daya manusia, dan sistem informasi manajemen (Quick et al., 2012). Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu unsur penting dalam fungsi manajerial rumah sakit secara keseluruhan, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit baik secara medis maupun secara ekonomis. Tujuan manajemen obat di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung pelayanan yang bermutu (Quick et al., 1997). Siklus pengelolaan obat meliputi empat fungsi dasar yaitu seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi (distribution), dan penggunaan (use) yang memerlukan dukungan dari organisasi (organization), ketersediaan



pendanaan



(financing



sustainability),



pengelolaan



informasi



(information management) dan pengembangan sumber daya manusia (human resources management) yang ada di dalamnya (Quick et al., 1997). Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga



16 Universitas Sumatera Utara



pengelolaan obat dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus pengelolaan obat tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Quick et al., 1997).



Seleksi/Perencanaan



Penggunaan



Dukungan manajemen: - organisasi - ketersediaan pendanaan - pengelolaan informasi - pengembangan sumber daya manusia



Pengadaan



Distribusi Gambar 2.1 Siklus pengelolaan obat Pada dasarnya, manajemen obat di rumah sakit adalah bagaimana cara mengelola tahap-tahap dan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan baik dan saling mengisi sehingga dapat tercapai tujuan pengelolaan obat yang efektif dan efisien agar obat yang diperlukan oleh dokter selalu tersedia setiap saat dibutuhkan dalam jumlah cukup dan mutu terjamin untuk mendukung pelayanan yang bermutu (Quick et al., 1997). Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap seleksi, perencanaan dan pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap akan mengakibatkan tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada (Quick et al., 1997).



17 Universitas Sumatera Utara



Ketidakefisienan dan ketidaklancaran pengelolaan obat dapat memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap gambaran pengelolaan serta pendukung manajemennya agar dapat diketahui permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Lilihata, 2011). Departemen Kesehatan RI dalam pedoman pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit (2008), Kemenkes RI dalam standar pelayanan minimal di rumah sakit (2008), Pudjaningsih (1996), dan WHO (1993) menetapkan beberapa indikator pengelolaan obat. Sejumlah indikator pengelolaan obat yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 2.2. Rumah sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang berkelanjutan (Kemenkes RI, 2016). Tabel 2.2 Indikator efisiensi pengelolaan obat di rumah sakit Tahapan Indikator Tujuan Pemilihan



1. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan Formularium Nasional (Depkes RI, 2008)



Untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunan obat dalam Formularium Nasional



Nilai Pembanding ≥ 80% (Kemenkes RI, 2016)



18 Universitas Sumatera Utara



Tabel 2.2 (Sambungan) Tahapan Indikator Perencanaan dan Pengadaan



1. Frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun (Pudjaningsih, 1996)



Untuk mengetahui berapa kali obatobat tersebut dipesan dalam setahun



Distribusi



1.Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (Pudjaningsih, 1996) 2. Persentase dan nilai obat yang kadaluwarsa dan atau rusak (Pudjaningsih, 1996) 3. Persentase stok mati (Pudjaningsih, 1996)



Untuk mengetahui ketelitian petugas gudang



Nilai Pembanding Rendah < 12x/tahun, Sedang 12 24x/tahun Tinggi > 24x/tahun (Pudjaningsih, 1996) 100% (Pudjaningsih, 1996)



Untuk mengetahui besarnya kerugian rumah sakit



≤ 0,2% (Pudjaningsih, 1996)



Untuk mengetahui sediaan yang tidak mengalami pergerakan Untuk mengetahui kisaran kecukupan obat Untuk mengukur derajat polifarmasi



0% (Pudjaningsih, 1996)



Untuk mengukur kecendrungan untuk meresepkan obat generik Untuk mengukur penggunaan antibiotika Untuk mengukur penggunaan injeksi



82%-94% (WHO, 1993)



Penggunaan



Tujuan



4.Tingkat ketersediaan obat (Depkes RI, 2008) 1. Jumlah item obat per lembar resep (WHO,1993) 2. Persentase obat dengan nama generik (WHO,1993) 3. Persentase peresepan obat antibiotika (WHO, 1993) 4. Persentase peresepan injeksi (WHO, 1993) 5. Persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit (WHO, 1993)



Untuk mengukur tingkat kepatuhan dokter terhadap standar obat di rumah sakit



12-18 bulan (Depkes RI, 2008) 1,8-2,2 (WHO,1993)



< 22,70% (WHO, 1993)



0,2%-48% (WHO, 1993) 100% (Kemenkes RI, 2008)



19 Universitas Sumatera Utara



Tabel 2.2 (Sambungan) Penggunaan 6. Rerata kecepatan pelayanan resep (Kemenkes RI, 2008) 7. Persentase obat yang dapat diserahkan (Pudjaningsih, 1996) 8. Persentase obat yang dilabeli dengan lengkap (WHO, 1993)



Untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan farmasi rumah sakit



≤ 60 menit (racikan), ≤ 30 menit (sediaan jadi) (Menkes RI, 2008)



Untuk mengetahui cakupan pelayanan rumah sakit



76-100% (Pudjaningsih, 1996)



Untuk besarnya kelengkapan informasi pokok yang harus ditulis pada etiket



100% (WHO, 1993)



2.4.1 Pemilihan Seleksi atau pemilihan obat merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat (Kemenkes RI, 2016). Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam tim farmasi dan terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas. Pemilihan sediaan farmasi berdasarkan kepada: a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi. b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang telah ditetapkan. c. pola penyakit. d. efektivitas dan keamanan. e. pengobatan berbasis bukti.



20 Universitas Sumatera Utara



f. mutu. g. harga. h. ketersediaan di pasaran. Kriteria seleksi obat menurut formularium: a. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan pasien. b. memiliki rasio resiko manfaat yang paling menguntungkan. c. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan. d. obat mudah diperoleh. Seleksi obat bertujuan untuk menghindari obat yang tidak mempunyai nilai terapeutik, mengurangi jumlah jenis obat dan meningkatkan efisiensi obat yang tersedia (Quick et al., 2012). Formularium yang telah disusun digunakan sebagai sumber informasi obat yang digunakan untuk terapi di rumah sakit. Semua tahap tersebut bertujuan untuk mendapat ketersediaan dan penggunaan obat yang lebih rasional (Quick, et al., 1997). Berdasarkan studi pustaka, penelitian mengenai pengelolaan obat pada tahap pemilihan sudah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Saputera (2018) tentang evaluasi tingkat ketersediaan obat di RSUD BLUD H. Hasan Basry Kandangan menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada tahap pemilihan, yaitu persentase kesesuaian obat yang tersedia dengan formularium Nasional tingkat II masih berada di bawah nilai standar. Penelitian Fakhriadi, dkk., (2011) menunjukkan hasil bahwa pengelolaan obat belum efisien pada tahap selection. Penelitian Oktaviani, dkk., (2018) menunjukkan bahwa pada beberapa tahap pengelolaan obat ada yang belum sesuai standar salah satunya tahap seleksi, yaitu kesesuaian dengan formularium Nasional.



21 Universitas Sumatera Utara



2.4.2 Perencanaan Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jenis, jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Kemenkes RI, 2016). Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan: a. anggaran yang tersedia; b. penetapan prioritas; c. sisa persediaan; d. data pemakaian periode yang lalu; e. waktu tunggu pemesanan; dan f. rencana pengembangan (Kemenkes RI, 2016). Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa perencanaan kebutuhan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat karena perencanaan kebutuhan akan mempengaruhi pengadaan, pendistribusian, dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2004). 2.4.3 Pengadaan Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,



22 Universitas Sumatera Utara



jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan dan pembayaran (Kemenkes RI, 2016). Pengadaan dapat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain: a. pembelian Untuk rumah sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku (Kemenkes RI, 2016). Hal-hal yang diperhatikan dalam pembelian adalah kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; persyaratan pemasok; penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; dan pemantauan pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu. b. produksi sediaan farmasi Produksi sediaan farmasi merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Instalasi farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila sediaan farmasi tidak tersedia di pasaran; sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri; sediaan farmasi formula khusus; sediaan farmasi kemasan yang lebih kecil/repacking; sediaan farmasi untuk penelitian; dan sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (Kemenkes RI, 2016). c. sumbangan/dropping/hibah



23 Universitas Sumatera Utara



Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/hibah (Kemenkes RI, 2016). Tujuan pengadaan adalah memperoleh obat yang dibutuhkan dengan harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Quick et al., 1997). Pengadaan memegang peranan penting karena dengan pengadaan rumah sakit akan mendapatkan obat dengan harga, mutu, dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Rumah sakit tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien jika persediaan obat tidak ada, hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien dan akan mengurangi keuntungan yang seharusnya dapat diterima di rumah sakit (Indriawati, 2001). Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk menentukan sistem pengadaan perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa yang ada. Prinsip pengadaan barang/jasa yaitu: i. efisien:



berarti



pengadaan



barang/jasa



harus



diusahakan



dengan



menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan



dalam



waktu



sesingkat-singkatnya



dan



dapat



dipertanggungjawabkan. ii. efektif: berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. iii. terbuka dan bersaing: pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan



24 Universitas Sumatera Utara



yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. iv. transparan: berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya. v. adil/tidak diskriminatif: memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun. vi. akuntabel: harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan



tugas umum pemerintahan dan pelayanan



masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa. Metode pemilihan penyedia barang/jasa terbagi menjadi: a. pelelangan umum Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua pemilihan penyedia barang/jasa pada prinsipnya dilakukan dengan pelelangan umum.



25 Universitas Sumatera Utara



b. pelelangan terbatas Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metode pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. c. pemilihan langsung Pemilihan yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet, pemilihan langsung dapat dilakukan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp 100.000.000. d. penunjukan langsung Pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.



Penunjukan



langsung



dapat



dilaksanakan



untuk



pengadaan berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50.000.000. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar obat-obatan yang diadakan, menentukan jumlah item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang dan memeriksa, melakukan



26 Universitas Sumatera Utara



pembayaran serta menyimpan yang kemudian didistribusikan. Agar proses pengadaan berjalan lancar dan dengan manjemen yang baik memerlukan struktur komponen berupa personel yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, adanya prosedur yang jelas dan terdokumentasi didasarkan pada pedoman baku, sistem informasi yang baik, didukung oleh dana dan fasilitas yang memadai (Indriawati, 2001). Tiga elemen penting pada proses pengadaan yaitu : a. metode pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan biaya tinggi. b. penyusunan dan persyaratan kontrak kerja, sangat penting untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu, waktu dan kelancaran bagi semua pihak. c. order pemesanan, agar barang sesuai macam, waktu dan tempat (Utomo, 2006). Berdasarkan studi pustaka, penelitian mengenai pengelolaan obat tahap perencanaan dan pengadaan telah banyak dilakukan. Penelitian Wirdah, dkk., (2013) menunjukkan hasil bahwa frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun masih rendah (1 kali dalam setahun). Penelitian yang dilakukan oleh Mahdiyani, dkk., (2018) menunjukkan hasil bahwa perencanaan dan pengadaan di instalasi farmasi RSUD Muntilan belum sepenuhnya sesuai dengan indikator standar. Penelitian terkait lainnya oleh Ihsan, dkk., (2014) juga menunjukkan bahwa evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Kabupaten Muna Tahun 2014 pada tahap pengadaan belum memenuhi standar yang ada. Frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2014 di IFRSUD Kabupaten Muna adalah 4 (empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali.



27 Universitas Sumatera Utara



2.4.4 Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah untuk : a. memelihara mutu obat. b. menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab. c. menjaga kelangsungan persediaan. d. memudahkan pencarian dan pengawasan (Depkes RI, 2007). Penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan : a. dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya. b. dibedakan menurut suhunya, kestabilannya. c. mudah tidaknya meledak/terbakar. d. tahan/tidaknya terhadap cahaya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang, melindungi permintaan yang naik turun, melindungi pelayanan dari pengiriman yang terlambat, menambah keuntungan bila pembelian banyak, menghemat biaya pemesanan, dan mengurangi kerusakan dan kehilangan. Ada beberapa macam sistem penataan obat, antara lain yang pertama sistem First In First Out (FIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan dibelakang obat yang terdahulu, yang kedua Last in First Out (LIFO) yaitu obat yang datang kemudian diletakkan didepan obat yang datang dahulu, yang ketiga



28 Universitas Sumatera Utara



First Expired First Out (FEFO) yaitu obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa lebih dahulu diletakkan didepan obat yang mempunyai tanggal kadaluarsa kemudian. Ada beberapa cara penempatan obat yang dapat dilakukan yaitu menurut jenisnya, menurut abjad, menurut pabrik yang memproduksi dan menurut khasiat farmakoterapinya (Indriawati, 2001). 2.4.5 Distribusi Distribusi



merupakan



suatu



rangkaian



kegiatan



dalam



rangka



menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan (Kemenkes RI, 2016). Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara berikut: a. sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock). Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh instalasi farmasi. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan. Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola (diatas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan. Apoteker harus



29 Universitas Sumatera Utara



menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi obat pada setiap jenis obat yang disediakan di floor stock. b. sistem resep perorangan Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui instalasi farmasi. c. sistem unit dosis Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap. d. sistem kombinasi Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c. Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: a. efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada. b. metode sentralisasi atau desentralisasi (Kemenkes RI, 2016).



30 Universitas Sumatera Utara



Berdasarkan studi pustaka, pengelolaan obat pada tahap distribusi belum sepenuhnya memenuhi standar, diantaranya penelitian oleh Sasongko, dkk., (2014) tentang evaluasi distribusi dan penggunaan obat pasien rawat jalan di rumah sakit ortopedi menunjukkan hasil bahwa belum semua pengelolaan obat pada tahap distribusi dan penggunaan dikelola secara efisien, seperti kecocokan jumlah obat dengan kartu stok, masih terdapatnya stok mati dan lain sebagainya. Penelitian oleh Kasmawati, dkk., (2018) menunjukkan hasil bahwa ketersediaan obat di RSUD Kota Kendari pada era JKN-BPJS tahun 2015 belum efisien dengan hasil persentase nilai obat kadaluwarsa sebesar 0,47% dan persentase stok mati sebesar 2,27%. Penelitian oleh Oktaviani (2018) juga menunjukkan hasil bahwa pengelolaan obat pada tahap distribusi belum sepenuhnya memenuhi standar, yaitu ketepatan data jumlah obat pada kartu stok (73%), persentase obat yang rusak/kadaluarsa (2,8%), dan persentase stok mati (4%). 2.4.6 Penggunaan (Use) Penggunaan obat adalah proses yang meliputi peresepan oleh dokter, pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien. Seorang dokter diharapkan membuat peresepan yang rasional, dengan indikasi yang tepat, dosis yang tepat, memperhatikan efek samping dan kontra indikasinya serta mempertimbangkan harga dan kewajarannya. Obat yang ditulis dokter pada resep selanjutnya menjadi tugas farmasi untuk menyiapkan dan menyerahkan kepada pasien (Quick et al., 1997). Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional (Quick et al., 1997). Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi kriteria obat yang



31 Universitas Sumatera Utara



benar, indikasi yang tepat, obat yang manjur, aman, cocok untuk pasien dan biaya terjangkau, ketepatan dosis, cara pemakaian dan lama yang sesuai, sesuai dengan kondisi pasien, tepat pelayanan, serta ditaati oleh pasien. Manfaat penggunaan obat yang rasional adalah meningkatkan mutu pelayanan, mencegah pemborosan sumber dana, dan meningkatkan akses terhadap obat esensial. Sebaliknya penggunaan obat dikatakan tidak rasional yaitu jika (Seto, 2004): a. pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar. b. pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu. c. cara pemakaian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian tidak sesuai. d. pemakaian obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatan (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada. e. pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia. f. tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatan dan keamanannya (established efficacy and safety). g. memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatannya dan keamanannya masih diragukan. h. pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu pada sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasari pada sumber informasi yang diragukan kebenarannya.



32 Universitas Sumatera Utara



Parameter lain dipublikasikan oleh WHO (1993) yang menyebutkan bahwa penelitian tentang penggunaan obat pada fasilitas kesehatan, penilaian baik/rasional didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator tersebut mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/Nasional. Dampak peresepan yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak yang negatif yaitu diantaranya dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan baik secara langsung maupun tidak langsung, dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan yang akan sangat dirasakan oleh pasien, dampak terhadap kemungkinan efek samping obat, dan dampak psikososial (Quick et al., 1997). Berdasarkan studi pustaka, penelitian oleh Dianingati, dkk., (2018) mengenai analisis kesesuaian resep untuk pasien JKN dengan indikator peresepan WHO 1993 pada instalasi farmasi rawat jalan di RSUD Ungaran, menunjukkan hasil dari semua perhitungan terhadap indikator peresepan WHO 1993 belum ada yang sesuai dengan nilai estimasi terbaik dari WHO. Hal ini menandakan bahwa masih perlu adanya pengawasan, evaluasi serta koordinasi antar profesional kesehatan dan pemerintah untuk memperbaikinya sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang benar, aman dan efektif. Penelitian terkait lainnya oleh Yuliastuti, dkk., (2012) juga menunjukkan hasil bahwa penggunaan obat pada pasien rawat jalan di RSUD Sleman Yogyakarta belum sepenuhnya memenuhi indikator standar WHO. Penelitian Fakhriadi, dkk., (2011) menunjukkan bahwa untuk pengelolaan obat pada tahap penggunaan (use) belum sepenuhnya memenuhi standar yaitu belum efisien pada jumlah item per lembar resep rawat inap di tahun 2007 dan 2008, peresepan obat generik rawat inap dan jalan,



33 Universitas Sumatera Utara



peresepan antibiotika di rawat jalan, peresepan injeksi di rawat inap dan jalan, peresepan sesuai standar obat rumah sakit di rawat inap dan jalan serta persentase obat yang diserahkan di rawat inap.



2.5 Rumah Sakit Umum Daerah Langsa 2.5.1 Definisi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Rumah sakit umum daerah Langsa merupakan rumah sakit rujukan atas mata rantai sistem kesehatan di wilayah pemerintah Kota Langsa dan sekitar. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan status menjadi rumah sakit dalam klasifikasi tipe C, kemudian pada tahun 1997 ditingkatkan klasifikasinya menjadi rumah sakit tipe B non pendidikan berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 479/Men.Kes/SKV/1997 tanggal 20 Mei 1997. Berdasarkan keputusan Presiden No. 40 tahun 2001 berubah status menjadi RSUD Langsa dan telah juga ditetapkan dengan qanun pemerintah Kota Langsa No. 5 Tahun 2005 dan qanun pemerintah Kota Langsa No. 10 Tahun 2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan struktural dilingkungan RSUD Langsa. 2.5.2 Falsafah, Visi, danMisi Falsafah rumah sakit adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan yang berdasarkan keramah-tamahan. Visi RSUD Langsa adalah rumah sakit daerah Kota Langsa menjadi rumah sakit unggulan di wilayah Timur Aceh. Misi RSUD Langsa adalah:



34 Universitas Sumatera Utara



a. meningkatkan



kualitas



pelayanan



individu



yang



prima



secara



berkesinambungan. b. melakukan pengelolaan rumah sakit dengan menggunakan prinsip bisnis sehat. c. memberikan pelayanan unggulan, pengembangan dan penelitian traumatologi, kebidanan, anak dan penyakit dalam. d. sebagai pendukung utama dalam meningkatkan derajat kesehatan di wilayah Timur Aceh pada umumnya dan Kota Langsa pada khususnya. e. membentuk jaringan pelayanan kesehatan dengan seluruh fasilitas pelayanan primer di Kota Langsa melalui pelayanan dengan sistem rujukan yang terkoordinasi. 2.5.3 Tujuan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Tujuan didirikannya RSUD Langsa adalah: a. tersedianya dan meningkatnya jenis dan mutu pelayanan (medik, penunjang medik



dan penunjang



non medik)



yang sesuai



perkembangan ilmu



pengetahuan dan teknologikedokteran dan kebutuhan masyarakat. b. tersedianya pelayanan yang optimal untuk masyarakat miskin. c. berkembangnya sistem manajemen rumah sakit yang efektif dan efisien serta dapat menjamin pelaksanaan penerapan bisnis yang sehat dengan tetap menjalankan fungsi sosialnya. d. tersedianya



sumber



daya



manusia, sarana/prasarana



dan dana



yang



memadai baik kuantitas dan kualitasnya. e. terwujudnya pelayanan unggulan. f. terbentuknya jaringan pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan pusatpusat pelayanan primer di wilayah Kota Langsa.



35 Universitas Sumatera Utara



2.5.4 Susunan Organisasi Badan Pelayanan Kesehatan (BPK) RSUD Langsa terdiri dari : a. direktur. b. sekretariat. c. bidang pelayanan medis. d. bidang keperawatan. e. bidang penunjang medis. f. kelompok jabatan fungsional. g. instalasi. h. satuan pengawas intern. i. dewan penyantun.



2.6 Instalasi Farmasi RSUD Langsa Instalasi Farmasi merupakan instalasi di RSUD Langsa yang bertanggung jawab terhadap penyelengaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian meliputi pengelolaan perbekalan farmasi mulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada pasien sampai dengan pengendalian semua perbekalan farmasi yang beredar dan digunakan di dalam rumah sakit baik untuk pasien rawat inap, rawat jalan maupun untuk semua unit termasuk poliklinik rumah sakit. Instalasi farmasi RSUD Langsa terbagi menjadi tiga yaitu depo farmasi rawat inap, depo farmasi rawat jalan dan depo farmasi instalasi gawat darurat yang melayani selama 24 jam. 2.6.1 Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi Tugas pokok instalasi farmasi RSUD Langsa meliputi:



36 Universitas Sumatera Utara



a. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal. b. menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi professional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi. c. melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). d. memberi



pelayanan



bermutu



melalui



analisan



dan



evaluasi



untuk



meningkatkan mutu pelayanan farmasi. e. melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi. g. mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi. h. memfasilitasi



dan



mendorong



tersusunnya



standar



pengobatan



dan



formularium rumah sakit. Fungsi instalasi farmasi RSUD Langsa meliputi: a. pengelolaan perbekalan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. b. pelayananan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan 2.6.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Langsa Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa disajikan pada Gambar 2.2.



37 Universitas Sumatera Utara



Gambar 2.2 Struktur organisasi instalasi farmasi RSUD Langsa 2.6.3 Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi RSUD Langsa Instalasi farmasi RSUD Langsa memiliki jumlah tenaga kefarmasian yaitu 13 orang apoteker, 30 orang tenaga teknis kefarmasian, dan 13 orang tenaga teknis. Ketenagaan di RSUD Langsa terdiri dari a. 1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi. b. 1 orang apoteker sebagai koordinator gudang. c. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo rawat jalan. d. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo rawat inap. e. 1 orang apoteker sebagai koordinator depo instalasi gawat darurat. f. 8 orang apoteker sebagai apoteker masing-masing depo. g. 3 orang tenaga teknis kefarmasian di gudang. h. 8 orang tenaga teknis kefarmasian di depo rawat jalan. i. 16 orang tenaga teknis kefarmasian di depo rawat inap. j. 3 orang tenaga teknis kefarmasian di depo instalasi gawat darurat.



38 Universitas Sumatera Utara



2.7 Kerangka Teori Penelitian Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatanyang salah satu layanannya adalah pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Sistem pengelolaan obat harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan di rumah sakit dan diorganisasikan dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif dan ekonomis dalam penggunaan obat, sehingga dapat dicapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat. Pengelolaan obat di rumah sakit ini dibentuk di suatu instalasi farmasi rumah sakit. Pengelolaan tersebut meliputi seleksi, perencanaan dan pengadaan, penyimpanan, distribusi serta penggunaan, dimana saling terkait antara satu dengan yang lain. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan berakibat sistem suplai dan penggunaan obat tidak efisien, mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial, dan sekaligus mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Bagan kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.



39 Universitas Sumatera Utara



Pelayanan Farmasi Klinik Instalasi Farmasi Rumah Sakit



Sistem Pelayanan RS Pengelolaan Obat



Seleksi



Perencanaan dan Pengadaan



Distribusi



Ya Saling Keterkaitan



Use



Efektif dan Efisien



Tidak



Tidak efisien sistem suplai dan penggunaan obat yang ada



Mempengaruhi kinerja RS secara medik, sosial dan ekonomi



Mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan RS



Gambar 2.3 Kerangka teori penelitian



40 Universitas Sumatera Utara



BAB III METODE PENELITIAN



3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dan prospektif untuk mengevaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa.



3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Langsa di bagian instalasi farmasi rumah sakit. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2019 untuk data prospektif dan retrospektif.



3.3 Populasi Populasi target adalah seluruh data berupa dokumen-dokumen tahun 2018 serta data-data yang diamati dan diperoleh pada saat penelitian ini berlangsung di instalasi farmasi RSUD Langsa.



3.4 Pengumpulan Data Data diambil secara prospektif dan retrospektif. Pengambilan data retrospektif dilakukan pada indikator kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional, frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun, persentase dan nilai obat kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat, sedangkan pengambilan data prospektif dilakukan pada



41 Universitas Sumatera Utara



indikator ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, jumlah item obat per lembar resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika dan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit, rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap. 3.4.1 Data Primer a. Wawancara Penelitian melakukan wawancara mendalam yang dapat memberikan informasi yang sesuai dengan topik penelitian. Disajikan secara tekstual dalam kalimat deskriptif terutama evaluasi mengenai sistem pendukung yang terkait. Alat yang digunakan adalah tulis dan tape recorder. b. Pengamatan Penelitian melakukan pengamatan langsung dan pencatatan terhadap standar penyimpanan obat, ketepatan data kartu stok, waktu pelayanan resep dan lembar resep pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Langsa. 3.4.2 Data Sekunder Data



sekunder



didapat



dengan



telaah



dokumen-dokumen



tahun



sebelumnya yaitu 2018 antara lain laporan pemasukan dan pengeluaran obat, laporan pengadaan obat, laporan obat rusak dan atau kadaluarsa yang ada di instalasi farmasi RSUD Langsa.



3.5 Langkah Kerja Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah pada Gambar 3.1 seperti berikut:



42 Universitas Sumatera Utara



Mengurus surat permohonan izin dari Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSUD Langsa.



Mengurus surat persetujuan dari Komite Etik Penelitian bidang kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Mengurus surat persetujuan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Langsa untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data Pengumpulan dan pencatatan data yang termaksud dalam data yang akan diambil di instalasi farmasi RSUD Langsa dalam bulan Juli-Oktober 2019 di instalasi farmasi RSUD Langsa. Melakukan pengambilan data langsung pada saat pelayanan resep oleh peneliti di instalasi RSUD Langsa tersebut Melakukan analisis data yang diperoleh dan membuat laporan penelitian. Gambar 3.1 Langkah kerja penelitian



3.6 Pengolahan dan Analisis Data Data hasil observasi dokumen, pengamatan langsung dan wawancara diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kualitatif dianalisis dengan mengidentifikasi temuan yang ada dan hasilnya disajikan dalam bentuk tekstual berupa narasi. Data kuantitatif dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan yaitu indikator Depkes RI (2008), Kemenkes RI (2008), Pudjaningsih (1996) dan indikator WHO (1993) kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Data dihitung menggunakan microsoft office excel tahun 2007 dan hasil perhitungan data yang didapatkan kemudian dianalisis menggunakan descriptive statistics pada program SPSS versi 22.



43 Universitas Sumatera Utara



3.7 Analisis Parameter Langkah-langkah analisis setiap parameter dalam penelitian ini adalah: a. seleksi i. kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium Nasional Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Nasional Y : Total jumlah obat b. perencanaan dan pengadaan (procurement) i. frekuensi pengadaan tiap item obat pertahun Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun diperoleh melalui pengumpulan data secara retrospektif dari laporan pengadaan tahun 2018. Total item obat disampling secara acak sebesar 30% dari keseluruhan total obat yang diadakan (Ihsan, dkk., 2014). Rumus: Data diambil dari laporan pengadaan obat tahun 2018, berdasarkan laporan tersebut dapat diketahui berapa kali obat dipesan. c. distribusi i. ketepatan data jumlah obat pada kartu stok Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan yang tertera pada kartu stok dengan jumlah fisik obat yang sebenarnya. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total kartu stok obat yang ada, dicocokkan dengan barang yang ada (Satibi, 2014). Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X: Jumlah item obat yang sesuai dengan kartu stock Y: Jumlah kartu stock yang diambil



44 Universitas Sumatera Utara



ii. persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data obat kadaluarsa selama tahun 2018 (Djatmiko, 2008). Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Total nilai obat kadaluarsa dalam setahun Y : Nilai stok opname iii. persentase stok mati Data diambil secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran obat di gudang farmasi pada tahun 2018 (Djatmiko, 2008). Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah jenis obat yang tidak mengalami transaksi (selama 3 bulan) Y : Jumlah item obat yang ada stoknya iv. tingkat ketersediaan obat Data diambil secara retrospektif berupa data stok obat per Desember 2018 dan data pemakaian obat selama tahun 2018 (Satibi, 2014). Rumus: X+Y/Z x 1 bulan Keterangan: X: Jumlah stock obat Y: Jumlah pemakaian obat selama 1 tahun Z: Rerata pemakaian obat perbulan d. penggunaan (Use) Pengambilan data dilakukan secara prospektif dengan mengumpulkan data yang terdapat pada lembar pasien rawat jalan dan rawat inap selama 1 bulan di RSUD Langsa. Sampel yang digunakan dihitung menggunakan raosoft.com dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu didapatkan sampel sebanyak 344 resep



45 Universitas Sumatera Utara



rawat inap dari 3.280 populasi dan sebanyak 362 lembar resep rawat jalan dari 6.240 populasi (Yuliastuti, dkk., 2013). Adapun parameter yang dihitung pada tahap penggunaan adalah sebagai berikut: i. jumlah item obat perlembar resep Rumus: B/A Keterangan: A =Jumlah resep yang disurvey B = Jumlah total produk obat yang diresepkan ii. persentase obat dengan nama generik Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah obat dalam nama generik Y : Jumlah total obat yang diresepkan iii. persentase peresepan obat antibiotika Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika Y : Jumlah total resep iv. persentase peresepan injeksi Rumus = X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi Y : Jumlah total resep v. persentase obat yang masuk dalam formularium rumah sakit Rumus = X/Y x 100% Keterangan: X: Jumlah obat yang sesuai dengan formularium Y : Total jumlah obat yang diresepkan



46 Universitas Sumatera Utara



vi. rerata kecepatan pelayanan resep (racikan dan non racikan) Waktu pelayanan resep obat diperoleh dengan cara mengumpulkan data waktu pelayanan resep yang masuk selama satu bulan di apotek rawat jalan. Data dikumpulkan secara prospektif. Sampel resep non racikan diambil berdasarkan perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi sebanyak 7.360 didapatkan sampel sebanyak 366 resep sedangkan resep non racikan diambil berdasarkan perhitungan rumus raosoft dengan jumlah populasi 45 didapatkan sampel sebanyak 41 resep (Ihsan, dkk., 2014). Rumus: X-Y/Z x 100% Keterangan: X : Waktu selesai diterima pasien Y : Waktu resep masuk ke apotek Z : Total jumlah resep vii. persentase obat yang dapat diserahkan Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Total jumlah item obat yang diserahkan kepada pasien Y : Jumlah item obat yang diresepkan viii. persentase obat yang dilabeli dengan lengkap Rumus: X/Y x 100% Keterangan: X : Jumlah obat dengan etiket yang dilabeli dengan nama pasien dan aturan pakai Y : Jumlah total obat yang diberikan kepada pasien. 3.8 Definisi Operasional Definsi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.



47 Universitas Sumatera Utara



Tabel 3.1 Definisi operasional penelitian No



Variabel



Definisi



Alat Ukur



Cara Ukur



Hasil Ukur



Skala



1



Capaian pengelolaan obat



Parameterparameter dalam Depkes RI (2008), Pudjaningsih (1996) dan WHO (1993)



Membandingkan capaian pengelolaan obat dengan parameter dalam standar



Sesuai atau tidak sesuai



Nominal



2



Pemilihan



Pencapaian serangkaian kegiatan yang terdiri pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan menggunakan parameter yang tercantum dalam standar sebagai indikator Proses penentuan obat yang akan disediakan/diadakan



Parameter dalam Depkes RI (2008)



Sesuai atau tidak sesuai



Nominal



3



Perencanaan dan pengadaan



Proses perencanaan dan pengadaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa



Parameter dalam Pudjaningsih (1996)



Sesuai atau tidak sesuai



Nominal



4



Distribusi



Proses penyimpanan dan pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Langsa



Parameter dalam Depkes RI (2008) dan Pudjaningsih (1996)



Melihat kesesuaian variabel pemilihan terhadap parameter dalam standar pengelolaan obat Melihat kesesuaian variabel perencanaan dan pengadaan terhadap parameter dalam standar pengelolaan obat Melihat kesesuaian variabel distribusi terhadap parameter dalam standar pengelolaan obat



Sesuai atau tidak sesuai



Nominal



5



Penggunaan obat yang diresepkan



Proses yang meliputi peresepan oleh dokter, pelayanan obat oleh farmasi serta penggunaan obat oleh pasien



Parameter dalam WHO (1993) dan Menkes RI (2008)



Melihat kesesuaian variabel penggunaan obat yang diresepkan terhadap parameter dalam standar pengelolaan obat



Sesuai atau tidak sesuai



Nominal



48 Universitas Sumatera Utara



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Gambaran Umum Penelitian Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang bertanggung jawab atas pengelolaan obat pada RSUD Langsa yaitu mulai dari tahap pemilihan, perencanaan dan pengadaan, distribusi hingga penggunaan obat. Dalam menjalankan tugasnya, bagian instalasi farmasi bekerja sama dengan bagian gudang dimana penerimaan obat dan penyimpanan obat dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi capaian pengelolaan obat meliputi pemilihan, perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi dan penggunaan obat yang diresepkan di RSUD Langsa.



4.2 Karakteristik Responden Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap kepala instalasi farmasi, apoteker bagian perbekalan



dan



apoteker



bagian



pelayanan.



Seluruh



informan



telah



menandatangani lembar pernyataan kesediaan menjadi subjek penelitian setelah mendapat penjelasan maksud dan tujuan penelitian. Karakteristik informan wawancara mendalam disajikan dalam Tabel 4.1. Table 4.1 Karakteristik informan Jenis Informan Pendidikan Kelamin Spesialis Farmasi Rumah 1 Perempuan Sakit 2



Perempuan



Apoteker



Jabatan Kepala Instalasi Farmasi Koordinator Gudang Farmasi



49 Universitas Sumatera Utara



Table 4.1 (Sambungan) Jenis Informan Kelamin



Pendidikan



3



Perempuan



Apoteker



4



Laki-laki



Apoteker



Jabatan Koordinator Instalasi Farmasi Rawat Inap Koordinator Instalasi Farmasi Rawat Jalan



4.3 Pemilihan (Selection) Pemilihan atau selection adalah proses memilih sejumlah obat di rumah sakit dengan tujuan untuk menghasilkan penyediaan/pengadaan yang lebih baik, penggunaan obat yang lebih rasional, dan harga yang lebih rendah (Satibi, 2014). Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Tim Farmasi dan Terapi (TFT) untuk menetapkan kualitas dan efektifitas serta jaminan obat yang baik. Adapun salah satu fungsi TFT yaitu mengembangkan formularium rumah sakit dan merevisinya, juga membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan



terhadap



kebijakan-kebijakan



dan



peraturan-peraturan



mengenai



penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional (Wati, 2013). Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelaksanaan JKN. Dalam hal obat yang diperlukan tidak tercantum dalam formularium nasional maka dapat digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik atau direktur utama rumah sakit setempat. Formularium nasional disusun dengan tujuan untuk menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menjamin aksesibilitas obat yang berkhasiat, bermutu, aman, dan terjangkau dalam sistem JKN, sedangkan formularium RS adalah dokumen yang selalu diperbaharui secara terus-menerus yang berisi sediaan obat yang terpilih



50 Universitas Sumatera Utara



dan informasi tambahan lainnya yang merefleksikan pertimbangan klinik mutakhir staf medik rumah sakit. Formularium RS disusun bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemakaian obat di RS (Winda, 2018). Formularium RS disusun mengacu kepada formularium nasional dimana formularium ini merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis dan disusun oleh TFT yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit (Aritonang, 2017). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa sebagai berikut: Pemilihan obat di RSUD Langsa yaitu berdasarkan formularium nasional, RSUD Langsa mengikuti yang ada di formularium nasional. Namun dari formularium nasional tidak mencakupi semua obat yang dibutuhkan di RSUD Langsa, maka dibuatlah formulrium rumah sakit. Formularium rumah sakit dibuat berdasarkan formularium nasional dan usulan/permintaan dari dokter spesialis. Obat-obat seperti piracetam, mecobalamin dan sebagainya tidak ada didalam formularium nasional, namun dokter meminta untuk diadakan di rumah sakit sehingga dijadikan acuan juga untuk dimasukkan kedalam formularium rumah sakit (Informan 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi tersebut, diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh RSUD Langsa dalam hal pemilihan obat, yaitu pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan acuan formularium nasional, formularium rumah sakit dan permintaan atau usulan dari dokter spesialis. Jika ada obat-obat yang tidak termasuk dalam formularium nasional tetapi obat tersebut dibutuhkan dalam proses penyembuhan penyakit dan dipakai oleh dokter untuk pasien maka obat tersebut dipilih untuk diadakan seperti mecobalamin, piracetam, ambroksol dan lain-lain. Formularium RSUD Langsa disusun sebagai acuan penggunaan obat di RSUD Langsa dan melengkapi kebutuhan obat yang tidak tercantum di



51 Universitas Sumatera Utara



formularium nasional atas dasar usulan/permintaan dari dokter spesialis di RSUD Langsa. Formularium RSUD Langsa disusun oleh TFT yang diketuai oleh dokter spesialis dan kepala instalasi farmasi sebagai sekretaris. Indikator



yang



digunakan



dalam



tahap



pemilihan/seleksi



adalah



kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunan obat dalam formularium nasional. Data dikumpulkan secara retrospektif dengan membandingkan jumlah obat yang sesuai dengan formularium nasional dengan total jumlah obat dalam formularium rumah sakit, dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional Keterangan Nilai (item) Nilai Standar Jumlah item obat yang 585 sesuai dengan formularium Nasional Jumlah item obat 662 formularium RSUD Langsa Kesesuaian item obat yang 88,37% ≥ 80% tersedia dengan formularium nasional (%) Berdasarkan Tabel 4.2, terlihat bahwa kesesuaian obat yang tersedia di RSUD Langsa dengan formularium nasional telah memenuhi standar yaitu sebesar 88,37%. Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa obat-obat yang tercantum dalam formularium RSUD Langsa sebagian besar sudah sesuai dengan formularium nasional sehingga sebagian besar obat yang disediakan dan diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan obat-obat yang ada tertera dalam formularium Nasional.



52 Universitas Sumatera Utara



Formularium rumah sakit yang disusun mengacu pada formularium nasional merupakan salah satu upaya mendukung penggunaan obat rasional melalui peningkatan akses terhadap obat esensial (Mahdiyani, 2018). Namun dalam hal di rumah sakit, obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam formularium nasional dapat digunakan obat lain secara terbatas sepanjang mendapat persetujuan kepala atau direktur rumah sakit setempat (Menkes, 2018). Atas dasar dapat digunakannya obat di luar formularium Nasional tersebut maka kemudian rumah sakit menyusun formularium rumah sakit yang dapat dijadikan sebagai acuan pengobatan oleh dokter kepada pasien (Winda, 2018).



4.4 Perencanaan dan Pengadaan (Procurement) Pada tahap pengelolaan obat, proses perencanaan dan pengadaan sangat berpengaruh pada ketersediaan obat maupun segi ekonomi rumah sakit. Terjaminnya item dan jumlah obat yang mencukupi menjadi salah satu aspek terpenting dari rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Disamping itu, karena besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan, maka perlu diadakan evaluasi terhadap tahap tersebut (Mahdiyani, 2018). Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Perencanaan sediaan farmasi adalah salah satu fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan sediaan farmasi di rumah sakit. Tujuan perencanaan sediaan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah sediaan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah



53 Universitas Sumatera Utara



sakit. Perencanaan sediaan farmasi merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga sediaan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa terkait pengadaan sebagai berikut: Perencanaan dilakukan berdasarkan riwayat pemakaian obat tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan obat yang ada. Setelah dibuat perencanaan obat untuk satu tahun kedepan, setiap tiga bulan sekali dilakukan permintaan pengadaan obat kepada PPK jika terdapat obat yang tidak masuk kedalam perencanaan awal dikarenakan adanya permintaan/usulan dari dokter untuk kebutuhan penggunaan obat tersebut sesuai usulan pengobatan dari dokter spesialis yang bersangkutan (Informan 2). Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa metode perencanaan obat di RSUD Langsa dilakukan dengan pola pendekatan konsumsi yaitu perencanaan berdasarkan pemakaian obat tahun lalu/sebelumnya dengan mempertimbangkan sisa persediaan yang ada dan usulan permintaan obat dari dokter. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 bahwa perencanaan obat dilakukan untuk menghindari kekosongan dan atau kelebihan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan salah satunya metode konsumsi yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien (Nesi, 2018). Apabila terjadi kelemahan dalam sistem perencanaan tersebut, maka akan mengakibatkan kekacauan dalam



54 Universitas Sumatera Utara



sistem pengelolaan obat, misalnya terjadi pemborosan anggaran, banyaknya obat tidak terpakai/terbuang, membengkaknya anggaran pengadaan dan penyimpanan (Pramukantoro, 2018). Salah satu cara untuk menghindari pembengkakan biaya pengadaan dalam perencanaan dapat dilakukan melalui evaluasi farmakoekonomi. Farmakoekonomi dapat membantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan kesehatan dalam membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan serta akses pengunaan obat yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi dengan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin dengan sumber daya yang digunakan (Khoiriyah, 2018). Evaluasi ekonomi adalah salah satu cara untuk melakukan perbandingan terhadap tingkat efisiensi beberapa intervensi atau program kesehatan. Cost Effectiveness Analysis (CEA) adalah salah satu bentuk evaluasi ekonomi yang membandingkan



rasio



biaya



dan



efektivitas



dari



beberapa



alternatif



intervensi/program. Sebagai contoh, Cost Effectiveness Analysis dipakai sebagai metode penetepan intervensi oleh WHO dalam proyek WHO-CHOICE (Choosing Interventions that are Cost Effective). Hasil evaluasi ini diharapkan dapat dipakai dalam proses perencanaan dan penetapan prioritas pelayanan kesehatan di tingkat nasional. Evaluasi ekonomi lainnnya yang dapat digunakan adalah Cost Benefit Analysis (CBA). Cost Benefit Analysis merupakan evaluasi ekonomi yang paling kompleks karena mencoba mengukur biaya dan efektivitas dalam bentuk moneter, di mana besarnya biaya dibandingkan dengan besarnya efektifitas. Evaluasi ini juga dapat digunakan untuk penetapan perencanaan obat dengan melihat rasio biaya dan manfaat yang dihasilkan (Probandari, 2007). Namun kelemahan



55 Universitas Sumatera Utara



manajemen obat di RS saat ini adalah kurangnya penelitian dan kajian farmakoekonomi dalam proses perencanaan sehingga dapat berdampak terhadap pemborosan biaya dan resiko obat tidak terpakai atau kadaluarsa. Pengadaan adalah suatu usaha kegiatan untuk memenuhi kegiatan operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi perencanaan (Nesi, 2018). Pengadaan obat-obatan di rumah sakit dilakukan berdasarkan perencanaan yang dibuat oleh IFRS. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan 1, metode pengadaan obat yang selama ini dilakukan pada RSUD Langsa dilakukan secara e-catalog dan diluar e-catalog. Pengadaan secara e-catalog merupakan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang/jasa, karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses pelelangan, tetapi cukup melakukannya secara online pada website pelelangan elektronik (Menkes, 2014). Pengadaan dilakukan dengan sistem e-purchasing berdasarkan e-catalog secara online dengan aplikasi LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Untuk obat-obatan diluar e-catalog, pengadaan obat dilakukan langsung oleh kepala instalasi farmasi rumah sakit dengan menggunakan surat pesanan kepada distributor. Seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut: Pengadaan obat di RSUD Langsa dilakukan oleh PPK dan PPTK dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) RS. Pengadaannya sebisa mungkin secara e-catalog, tetapi ada juga yang diluar e-catalog karena tersangkut pembayaran atau stok barang kosong dari distributor, sehingga pengadaan



56 Universitas Sumatera Utara



dilakukan dengan SP biasa ke distributor. Pengadaan dilakukan setiap sebulan sekali, tetapi terkadang tidak bisa dipastikan juga karena menyesuaikan dengan keuangan RS juga, sehingga bisa frekuensinya tidak tetap karena kondisi pembayaran yang tidak stabil (Informan 1). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 tersebut, disimpulkan bahwa pengadaan obat-obatan di RSUD Langsa dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dibawah arahan dan petunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditetapkan dengan SK Direktur. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 72 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa. Dalam pengadaan obat-obatan dengan sistem e-catalog ditemukan hambatan saat di lapangan yaitu waktu tunggu pesanan membutuhkan waktu yang lama dari distributor menuju ke rumah sakit, terjadi kekosongan stok obat yang dari distributor atau tersangkut pembayaran (utang-piutang) oleh rumah sakit. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut: Pengadaan ada yang dilakukan menggunakan e-catalog, ada juga yang menggunakan SP biasa kepada distributor (diluar e-catalog) karena biasanya pemesanan melalui e-catalog lama sampainya atau stok kosong dari distributor atau tersangkut utang-piutang RS, sehingga untuk mencegah kekosongan obat, kita pesan menggunakan SP biasa ke distributor lain yang bisa menyediakan obat yang dibutuhkan dengan tetap mempertimbangkan harga yang sesuai (Informan 2). Oleh karena itu, berdasarkan alasan tersebut instalasi farmasi RSUD Langsa juga melakukan pemesanan dan pengadaan obat diluar e-catalog guna mencegah terjadinya kekosongan obat yang akan menganggu pelayanan obat kepada pasien. Indikator yang digunakan pada tahap pengadaan/procurement adalah frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat adalah banyaknya pengadaan tiap jenis obat selama satu tahun.



57 Universitas Sumatera Utara



Nilai frekuensi pengadaan tiap item obat diperoleh melalui pengumpulan data secara retrospektif dari dokumen pengadaan obat selama tahun 2018 yaitu menghitung berapa kali satu item obat diadakan/dipesan selama tahun 2018. Total 640 item obat disampling secara acak sebesar 30% dengan jumlah sampel sebanyak 192 item obat. Frekuensi pengadaan item obat per tahun dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 mempelihatkan frekuensi pengadaan obat tertinggi selama tahun 2018 di IFRSUD Langsa adalah 24 (dua puluh empat) kali dan terendah adalah 1 (satu) kali. Pengadaan obat dikatakan rendah jika dilakukan dibawah 12 kali dalam setahun, dikatakan sedang jika diadakan sebanyak 12 sampai 24 kali dalam setahun dan dikatakan tinggi jika pengadaan obat dilakukan diatas 24 kali dalam setahun. Berdasarkan nilai standar tersebut, maka frekuensi pengadaan obat di IFRSUD Langsa Tahun 2018 rerata masih rendah, dimana sebanyak 185 item obat yang tergolong frekuensi pengadaan rendah dan 7 item obat yang frekuensi pengadaannya tergolong sedang yaitu 2 item obat diadakan sebanyak 12 kali, 3 item obat diadakan sebanyak 14 kali, 1 item obat sebanyak 22 kali dan 1 item obat sebanyak 24 kali dalam setahun. Tabel 4.3 Frekuensi pengadaan item obat per tahun No Frekuensi Pengadaan Jumlah item Obat 1



Satu Kali



50



2



Dua Kali



36



3



Tiga Kali



29



4



Empat Kali



17



5



Lima Kali



19



58 Universitas Sumatera Utara



Tabel 4.3 (Sambungan) No Frekuensi Pengadaan



Jumlah item Obat



6



Enam Kali



13



7



Tujuh Kali



4



8



Delapan Kali



7



9



Sembilan Kali



3



10



Sepuluh Kali



3



11



Sebelas Kali



4



12



Dua Belas Kali



2



13



Empat Belas Kali



3



14



Dua Puluh Dua Kali



1



15



Dua Puluh Empat Kali



1



Frekuensi pengadaan yang masih tergolong rendah salah satunya dapat disesbabkan karena tersangkut pembayaran kepada distributor, seperti yang disampaikan oleh informan 1 sebagai berikut: “Pengadaan obat semestinya dilakukan sebulan sekali, namun karena adanya utang piutang RS sehingga tersangkut pembayaran, menyebabkan pengadaan yang dilakukan pun masih rendah karena sangat menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Jika anggaran sudah tersedia langsung dipesan dan diadakan tetapi jika belum ada, tidak bisa dipesan dan diadakan dahulu” (Informan 1). Tingginya frekuensi pengadaan obat berarti bahwa perputaran obat dalam rumah sakit lancar dan dapat menghindari penumpukan obat. Semakin banyak jumlah barang yang disimpan di gudang maka fasilitas yang digunakan pun semakin banyak, antara lain ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya penyimpanan yang lebih tinggi. Frekuensi pembelian semakin sering adalah



59 Universitas Sumatera Utara



semakin baik asal tidak mengganggu pelayanan. Oleh karena itu semakin sedikit barang yang ada di gudang, frekuensi pembelian akan semakin tinggi (Pudjaningsih, 1996). Frekuensi pengadaan obat di tiap rumah sakit berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya bervariasi. Frekuensi pengadaan obat yang relatif kecil di rumah sakit dapat disebabkan karena aturan penggunaan yang tidak bisa dipecah-pecah dan harus melakukan pembelian sekaligus (Istinganah, dkk., 2006). Pengadaan obat dengan kategori frekuensi sedang adalah metil prednisolon 4 mg sebanyak 24 kali dan clopidogrel 75 mg sebanyak 22 kali dalam setahun. Pengadaan kedua obat ini cenderung tinggi dibandingkan obat lainnya dikarenakan kebutuhan pemakaiannya yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil survey sepuluh besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa yang menunjukkan bahwa pneumonia dan Congestive Heart Failure (CHF) masing-masing termasuk peringkat kesatu dan keempat di rawat inap, penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya, bronkitis dan stroke masing-masing termasuk peringkat kedua, ketiga dan keempat di rawat jalan, sehingga pengadaan obat metil prednisolon dan clopidogrel cenderung tinggi karena pemakaiannya yang lebih banyak dibutuhkan bagi pasien dengan kategori lima besar penyakit tertinggi di RSUD Langsa. Obat dengan kategori frekuensi pengadaan rendah salah satunya adalah cendo xitrol SM, tetanus texoid dan meptin inhalation masing-masing diadakan sebanyak satu kali dan dua kali dalam setahun. Hal ini dikarenakan obat-obat tersebut cenderung rendah penggunaannya sehingga pengadaannya cukup dilakukan sekali sesuai kebutuhan penggunaannya dalam setahun.



60 Universitas Sumatera Utara



Frekuensi pengadaan obat juga pernah diteliti oleh Mahdiyani, dkk., (2018) di Muntilan dimana rerata frekuensi pengadaan item obat di RSUD Muntilan pada tahun 2015 sebesar 4,16 kali dan 3,54 kali pada tahun 2016. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian, frekuensi pengadaan item obat per tahun di RSUD Langsa tergolong lebih tinggi.



4.5 Distribusi Distribusi sediaan farmasi merupakan salah satu tugas utama pelayanan farmasi dirumah sakit. Distribusi memegang peranan penting dalam penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien (Satrianegara, 2018). Distribusi obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat dari perencanaan obat yang tidak sesuai serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak yang disebabkan sistem distribusi yang kurang baik sehingga akan berdampak kepada inefisiensi penggunaan anggaran/biaya obat (Pramukantoro, 2018). Hal ini juga sangat berkaitan erat dengan proses penyimpanan obat yang dilakukan. Proses penyimpanan merupakan proses yang sangat penting pada kegiatan manajemen obat. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin (Soerjono, dkk., 2004). Proses penyimpanan yang tidak sesuai, maka akan terjadi kerugian seperti mutu sediaan farmasi tidak dapat terpelihara (tidak dapat mempertahankan mutu obat dari kerusakan, rusaknya obat sebelum masa kadaluwarsanya tiba) (Palupiningtyas,



61 Universitas Sumatera Utara



2014), potensi terjadinya penggunaan yang tidak bertanggung jawab, tidak terjaganya ketersediaan dan mempersulit pengawasan terhadap inventoris (Aditama, 2003). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sistem penyimpanan sediaan farmasi di instalasi farmasi RSUD Langsa dilakukan berdasarkan alphabetis, bentuk sediaan obat, FIFO dan FEFO. Hal tersebut seperti salah satu poin yang dikemukakan oleh Sheina, dkk., (2010) bahwa salah satu indikator penyimpanan obat yaitu sistem penataan gudang farmasi menggunakan penataan gudang standar dengan sistem penyimpanan FIFO dan FEFO. Obat yang disimpan pada gudang farmasi diinspeksi secara berkala untuk menjaga kualitas obat dan diberikan label secara jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan obat. Gudang penyimpanan obat di RSUD Langsa tidak terpisah dengan ruang pelayanan atau apotek rumah sakit, karena RSUD Langsa menggunakan sistem satu pintu. Terdapat ruang penyimpanan obat yang terpisah dengan alat kesehatan, hal ini agar obat-obatan tidak tercampur dengan alat kesehatan. Gudang memiliki jendela bertalis yang berada di lantai 2 dan memungkinkan untuk mencegah terjadinya pencurian. Penerangan dalam gudang juga cukup terang untuk mendukung kegiatan dalam gudang. Kondisi ruangan dan fasilitas penyimpanan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Indikator yang digunakan pada tahap distribusi adalah ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat. Hasil penelitian terhadap indikator pada tahap distribusi adalah sebagai berikut:



62 Universitas Sumatera Utara



4.5.1 Ketepatan Data Jumlah Obat Pada Kartu Stok Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dilakukan pada instalasi farmasi rawat jalan dan rawat inap. Penilaian terhadap indikator ini bertujuan untuk menilai ketepatan proses pencatatan obat yang ada di tempat penyimpanan obat pada instalasi farmasi RSUD Langsa. Data diambil secara prospektif dengan cara mencocokkan jumlah sediaan obat yang tertera pada kartu stok obat dengan jumlah fisik obat yang ada. Kartu stok obat yang diambil sebagai sampel sebanyak 10% dari total 266 kartu stok rawat jalan dan 457 kartu stok rawat inap yaitu 27 kartu stok rawat jalan dan 46 kartu stok rawat inap. Hasil ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok Nilai (item) No Keterangan Rawat Jalan Rawat Inap 1 Jumlah sampel 27 46 2 Jumlah obat yang 27 46 sesuai dengan kartu stok Persentase ketepatan data 100% 100% jumlah obat dengan kartu stok Berdasarkan Tabel 4.4, diketahui bahwa item sampel obat yang diambil sudah sesuai 100% antara data jumlah obat di kartu stok terhadap jumlah fisik obat yang sebenarnya. Hasil ini sudah sesuai dengan standar



menurut



Pudjaningsih (1996) yaitu 100% ketepatan data jumlah obat pada kartu stok dengan kondisi fisik, ini menandakan bahwa administrasi di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah dikerjakan dengan baik dan optimal. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya mekanisme bagi setiap pegawai untuk melakukan kontrol kesesuaian obat dengan kartu stok setiap hari atau minimal melakukan kontrol



63 Universitas Sumatera Utara



setiap barang datang maupun keluar. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut: Untuk pengendalian kartu stok selalu dihimbau untuk para pegawai khususnya Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang ada untuk selalu mencatat penambahan atau pemotongan kartu stok setiap obat yang masuk dan keluar, sehingga tidak terjadi perbedaan antara data di kartu stok dengan jumlah fisik obat yang ada. Setiap petugas sudah dibagi jatah bagian rak obat sehingga semua dapat terhandle dengan baik. Evaluasi berkala juga dilakukan dengan adanya stock opname setiap bulannya sehingga dapat terdeteksi jika terjadi ketidaksesuaian data kartu stok obat dengan fisik obat yang ada dan diketahui sisa stok yang ada lengkap dengan data kadaluarsa masing-masing obat. Apotekernya juga setiap hari mengecek secara random beberapa kartu stok untuk melihat kinerja dari TTK (Informan 3). Penyimpanan dan pendistribusian berhubungan erat dengan pengendalian, yang merupakan inti dari manajemen logistik obat. Pengendalian didalamnya terdapat kegiatan memonitor/mengawasi dan mengamankan seluruh fungsi logistik obat (Fera, dkk., 2017). Pengawasan obat pada instalasi farmasi rumah sakit ada dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang bertujuan untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran obat yang dilakukan oleh instalasi farmasi yang guna untuk mengefesiensikan dan mengefektifkan pembelian dan pengeluaran obat. Pengawasan internal pada instalasi farmasi salah satunya dengan melakukan stock opname dan pengisian kartu stok obat. Pengawasan internal pada rumah sakit dilakukan oleh SPI (Satuan Pengawas Internal) rumah sakit sedangkan pengawasan eksternal pada rumah sakit dilakukan oleh inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan memeriksa pelaporan pembelian dan pengeluaran obat (Yunita, dkk., 2016). Pengisian kartu stok bertujuan untuk mengetahui banyaknya obat yang tersedia dan sesuai antara jumlah dalam pencatatan dengan jumlah obat secara fisik di instalasi farmasi (Susanto, dkk., 2017). Pencatatan stok yang tidak akurat



64 Universitas Sumatera Utara



akan menyebabkan kerancuan untuk melihat obat kurang atau berlebih. Permasalahan ini terjadi karena pengelola obat tidak langsung mencatat pada saat penerimaan dan pengeluaran obat (Chaira, dkk., 2016). Stock opname merupakan kegiatan mencocokkan kondisi fisik obat dengan kartu stok (Yunita, dkk., 2016). Stock opname dilakukan untuk mencari dan mengevaluasi stok yang akan atau kadaluarsa, kerusakan obat, obat dengan kategori fast moving dan slow moving (Fera, dkk., 2017). 4.5.2 Persentase dan Nilai Obat Yang Kadaluarsa dan atau Rusak Persentase nilai obat kadaluwarsa diperoleh dari perbandingan antara nilai obat kadaluwarsa dan atau rusak dengan nilai stock opname obat dikalikan dengan 100%. Obat kadaluwarsa dilihat dari stok obat yang tanggal kadaluwarsanya berakhir pada tahun 2018. Berdasarkan hasil pengamatan dokumen laporan obat kadaluwarsa instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018, diperoleh jumlah obat kadaluwarsa sebanyak 114 item obat dan tidak terdapat obat yang rusak. Hasil persentase nilai obat kadaluarsa dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Persentase nilai obat kadaluarsa No Keterangan 1 Total nilai obat kadaluarsa 2 Nilai stock opname per Desember 2018 Persentase nilai obat kadaluarsa



Jumlah (Rp) 83.793.366 3.172.427.510 2,64%



Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh persentase nilai obat kadaluarsa dari 114 item obat dengan total kerugian sebesar Rp. 83.793.366 adalah sebesar 2,64%. Terjadinya kadaluarsa obat di IFRSUD Langsa diakibatkan oleh penggunaan yang kurang maksimal pada item obat yang kadaluarsa. Salah satu cara penanganan terhadap kejadian tersebut perlu diperhatikan prinsip distribusi



65 Universitas Sumatera Utara



obat berdasarkan FIFO dan FEFO dimana obat-obat yang lebih duluan masuk dan memiliki tanggal kadaluarsa yang paling dekat dikeluarkan terlebih dahulu. Menurut standar yang ditetapkan, persentase obat kadaluwarsa adalah ≤ 0,2%, sehingga persentase nilai obat kadaluwarsa di RSUD Langsa belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan keterangan kepala gudang instalasi farmasi, hal ini disebabkan karena obat yang kadaluwarsa adalah obat yang sebagian besar berasal dari pembelian tahun sebelumnya yang stok obatnya sebagian tidak berjalan, obat tidak diresepkan lagi oleh dokter dan adanya human error pada saat pengadaan sehingga terjadi kelebihan stok menyebabkan obat kadaluwarsa karena banyak yang tidak digunakan. Seperti disampaikan oleh informan 2 sebagai berikut: Obat kadaluarsa dapat terjadi karena obatnya tidak berjalan, artinya tidak diresepkan lagi oleh dokter karena alasan-alasan tertentu dan berbanding lurus dengan stok mati, artinya karena obat tersebut tidak berjalan/tidak mengalami pergerakan akhirnya menumpuk sampai kadaluarsa. Selain itu, karena pada tahun 2017 sempat terjadi human error pada saat menginput pesanan (kelebihan mengetik angka 0) yaitu seharusnya yang dipesan adalah sebanyak 500 item menjadi 5000 item sehingga menyebabkan stoknya berlebih. Akhirnya hanya sebagian besar yang terpakai dan sisanya tidak terpakai sampai tanggal kadaluarsanya. Kemudian dari bagian gudang juga selalu mengkonfirmasi kepada kepala instalasi farmasi jika ada obat-obat yang mendekati masa kadaluarsa agar disampaikan kepada dokter untuk diresepkan atau diminta pengganti kepada distributornya dengan masa kadaluarsa baru, tetapi mungkin terkadang lupa disampaikan atau karena faktor lainnya (Informan 2). Penelitian terkait oleh Kasmawati, dkk., (2018) di RSUD Kota Kendari bahwa persentase nilai obat kadaluarsa adalah sebesar 0,47% dan di RSUD dr. R. Soedjono Selong Lombok Timur bahwa persentase obat kadaluwarsa yaitu sebesar 0,19% dengan total kerugian sebesar Rp. 2.109.293, serta di RS PKU Muhammadiyah Temanggung, persentase obat kadaluwarsa yaitu sebesar 1,79% dengan total kerugian sebesar Rp. 8.492.686.



Jika dibandingkan dengan



66 Universitas Sumatera Utara



penelitian terkait terdahulu, persentase nilai obat kadaluarsa di RSUD Langsa memiliki nilai lebih besar. Terdapatnya obat kadaluwarsa dan rusak menunjukkan bahwa sistem perencanaan dan penyimpanan yang dilakukan belum efisien. Adanya obat kadaluwarsa atau rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan atau kurang baiknya sistem distribusi terutama pada ketersediaan obat, atau perubahan pola penyakit (Depkes RI, 2007). Obat yang rusak atau kadaluarsa merupakan kerugian bagi rumah sakit. Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain dan sistem manajemen yang baik dengan cara menjaga supply obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang kadaluwarsa dan rusak, memiliki catatan penyimpanan yang akurat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat (Razak et al., 2012). Besarnya persentase nilai obat kadaluarsa mencerminkan kurangnya pengawasan dalam penyimpanan (Purwidyaningrum et al., 2012). Upaya yang dilakukan pihak rumah sakit dalam menangani obat yang hampir kadaluarsa dari pihak instalasi farmasi rumah sakit akan memberikan rekomendasi kepada para dokter untuk meresepkan daftar obat hampir kadaluarsa terlebih dahulu. Obat yang kadaluarsa dan rusak dapat disebabkan oleh penggunaannya cenderung lebih kecil sehingga obat menumpuk dan menjadi kadaluarsa. Terjadinya obat yang kadaluarsa dan rusak mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baiknya sistem distribusi dan kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat sehingga mencerminkan kurang baiknya pengelolaan obat (Razak et al., 2012).



67 Universitas Sumatera Utara



4.5.3 Persentase Stok Mati Persentase stok mati adalah perbandingan antara jumlah obat yang tidak mengalami transaksi dengan jumlah item obat yang ada stoknya dikalikan dengan 100%. Data dikumpul secara retrospektif berupa pengamatan data pengeluaran obat di gudang farmasi pada tahun 2018. Obat stok mati yaitu obat yang selama 3 bulan atau lebih tidak mengalami mutasi atau tidak digunakan. Terdapatnya stok mati ini menunjukkan bahwa sebagian ketersediaan obat masih belum benar-benar dibutuhkan atau tidak pernah diresepkan kepada pasien (Razak et al.,2012). Hasil persentase nilai stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Persentase stok mati instalasi farmasi RSUD Langsa tahun 2018 No Keterangan Jumlah (item) 1 Jumlah item obat stok mati 26 2 Jumlah item obat yang ada stoknya 803 Persentase stok mati (%) 3,24% Berdasarkan Tabel 4.6, persentase stok mati di RSUD Langsa sebesar 3,24%, sedangkan menurut standar stok mati sebesar 0%. Hasil ini mengindikasikan nilai tersebut belum memenuhi standar yang ada. Hasil penelitian terkait yang dilakukan Dyahariesti, dkk., (2019) menunjukkan peresentase stok mati sebesar 2,27%, sedangkan penelitian Oktaviani (2018) menunjukkan nilai persentase stok mati sebesar 4%. Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa persentase stok mati di RSUD Langsa menunjukkan hasil yang lebih besar, yang menandakan bahwa persentase stok mati di IFRSUD Langsa tergolong tinggi dan melebihi nilai standar yang ada.



68 Universitas Sumatera Utara



Stok mati merupakan kerugian bagi rumah sakit karena menyebabkan perputaran modal yang tidak lancar, jika ini berlangsung lama maka obat dapat rusak dan kadaluarsa. Pada saat perencanaan pengadaan obat seharusnya berdasarkan pada kebutuhan, pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia sehingga dapat meminimalisir obat menumpuk dan terjadinya stok mati obat. Selain itu, stok mati juga bisa disebabkan oleh tren penyakit yang sedang terjadi pada saat itu dan menyebabkan pemakaian terhadap obat tersebut menjadi berkurang atau dokter sudah mengganti jenis obat yang digunakan (Akbar, 2015). Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gudang farmasi RSUD Langsa, adanya stok mati di instalasi farmasi RSUD Langsa dikarenakan dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut atau penggunaannya rendah atau terbatas di RS, seperti disampaikan sebagai berikut: Stok mati disebut death stock. Death stock biasanya disebabkan karena dokter tidak meresepkan lagi obat tersebut karena berbagai alasan, salah satunya karena faktor distributor atau perubahan terapi obat dari dokter dan karena memang penggunaan obat tersebut rendah di rs seperti obat pro TB tab yang merupakan obat program pemerintah sehingga biasanya penggunaannya lebih banyak di puskesmas. Tetapi karena standarnya di rs juga harus tersedia obat tersebut sehingga pemakaiannya sedikit dan cenderung tidak berjalan. Instalasi farmasi juga ada membuat laporan obat-obat yang sudah 3 bulan tidak berjalan lalu diteruskan ke bagian pengadaan agar obat-obat tersebut diresepkan kembali oleh dokter agar pemakaiannya berjalan. Tetapi lebih lanjut dari bagian pengadaan yang menyampaikan informasi kepada dokter-dokter untuk meresepkan kembali obat yang tidak berjalan. Oleh karena itu harus ada komunikasi aktif dengan dokter agar pemakaian obat maksimal dan berjalan lancar (Informan 2). Upaya evaluasi yang dilakukan rumah sakit terhadap adanya stok mati menginformasikan kepada dokter agar obat-obat tersebut diresepkan terlebih dahulu dan juga selalu dievaluasi tanggal kadaluarsa dengan cara dicatat di kartu stok obat agar mempermudah pengecekan (Dyahariesti, 2019).



69 Universitas Sumatera Utara



Persentase stok mati yang tinggi menunjukkan perputaran obat yang tidak lancar karena banyak persediaan obat yang tertahan dan menumpuk di gudang. Banyaknya obat yang menumpuk di gudang tentunya akan menimbulkan kerugian karena meningkatnya resiko kerusakan obat kadaluwarsa serta perputaran persediaan yang tidak lancar. Terjadinya kerusakan obat dan perputaran sediaan yang tidak lancar akan mempengaruhi pendapatan rumah sakit itu sendiri. Selain itu kerugian yang disebabkan akibat stok mati adalah perputaran uang yang tidak lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat kadaluwarsa. Jika dibiarkan terus menerus terjadi, rumah sakit akan mengalami kerugian secara terus menerus (Kasmawati, 2018). 4.5.4 Tingkat Ketersediaan Obat Tingkat ketersediaan obat adalah tingkat persediaan obat baik jenis maupun jumlah obat, yang diperlukan oleh pelayanan pengobatan dalam periode waktu tertentu, diukur dengan cara menghitung jumlah stok obat Desember 2018 dengan jumlah pemakaian obat setahun dibagi pemakaian rerata per bulan dikali satu bulan. Indikator tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi digunakan untuk mengetahui kisaran kecukupan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit (Kasmawati, 2018). Tingkat ketersediaan obat menggambarkan berapa bulan persediaan obat yang ada di instalasi farmasi dalam memenuhi kecukupan pemakaian obat (Waluyo, dkk., 2015). Hasil tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.7. Berdasarkan Tabel 4.7, menunjukkan tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sebesar 13,42 bulan atau sekitar 13 bulan 12 hari, sesuai



70 Universitas Sumatera Utara



dengan standar tingkat ketersediaan obat yaitu 12-18 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat ketersediaan obat di RSUD Langsa telah mencukupi kebutuhan rumah sakit. Tabel 4.7 Tingkat ketersediaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa No Keterangan Jumlah (Rp) 1 2



Jumlah stok obat per Desember 2018 Rerata pemakaian obat per bulan



3



Pemakaian obat per Tahun



3.172.427.510 2.411.520.901 28.938.250.810



Tingkat Ketersediaan Obat



13,42 bulan ~ 13 bulan 12 hari



Ketersediaan obat sebagai unsur utama dalam pelayanan kesehatan selain keterjangkauan, keamanan, mutu dan manfaat, faktor ketersediaan obat sangat terkait dengan pendanaan. Salah satu persyaratan penting dari pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu adalah tersedianya obat yang cukup, baik jenis maupun jumlahnya setiap saat diperlukan oleh masyarakat dan mutu yang terjamin. Obat dengan tingkat kecukupan kurang akan berdampak pada pelayanan pasien karena kebutuhan obat pasien tidak terpenuhi atau terlayani dengan baik sehingga pengobatan obat yang rasional tidak akan tercapai. Solusinya adalah mengevaluasi dan melakukan sistem perencanaan dan pengadaan obat dengan selektif disesuaikan dengan kebutuhan RS serta mengacu pada prinsip efektif, aman, ekonomis dan rasional (Kasmawati, 2018).



4.6 Penggunaan Obat Yang Diresepkan Tahap penggunaan merupakan suatu proses yang dimulai dari kegiatan penulisan resep oleh dokter sampai kegiatan pemantauan khasiat dan keamanan obat. Efektivitas dan efisiensi pelayanan medik tercermin dari cara peresepan



71 Universitas Sumatera Utara



tenaga medik yaitu peresepan yang rasional maupun tidak rasional. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berpengaruh pada kualitas pengobatan, pelayanan dan biaya obat (Razak et al., 2012). Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian adalah pelayanan kefarmasian dimana seorang apoteker memiliki tanggung jawab secara langsung untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian adalah menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang rasional. Pengobatan yang rasional adalah pemberian obat berdasarkan diagnosa penyakit, bukan berdasarkan gejala yang dialami pasien, dimana diberikan hanya jenis obat yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit atau mengatasi masalah kesehatan secara efektif, aman dan dalam batas-batas kemampuan dana yang tersedia (Dianingati, 2015). Penggunaan obat secara rasional merupakan kunci dalam pembangunan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengobatan yang belum rasional selama ini telah memberikan dampak negatif berupa pemborosan dana masyarakat, efek samping yang berupa resistensi, interaksi obat yang berbahaya yang menurunkan mutu pengobatan dan mutu pelayanan kesehatan (Yuliastuti, dkk., 2013). Rumah sakit sebagai instansi penyedia layanan kesehatan dan JKN sebagai jaminan sosial untuk masyarakat Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2014 memerlukan suatu pantauan dan evaluasi yang berkelanjutan untuk menjaga rasionalitas pengobatan dan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat rasionalitaspengobatan adalah dengan menggunakan indikator yang dikembangkan oleh International Network for the Rational Use of Drug (INRUD) yang kemudian ditetapkan oleh WHO sebagai metode dasar untuk



72 Universitas Sumatera Utara



menilai penggunaan obat di unit-unit rawat jalan (WHO, 1993). Evaluasi mengenai penggunaan obat yang terarah sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh WHO tentunya dapat diketahui masalah yang ada dalam proses pengobatan dilihat dari kesesuaian data evaluasi tersebut dengan indikator yang ditetapkan (Pratiwi, 2014). Indikator penggunaan obat yang diresepkan menurut WHO (1993) dan Kemenkes RI (2008) terdiri dari jumlah item obat per lembar resep, persentase obat dengan nama generik, persentase peresepan obat antibiotika, persentase peresepan injeksi, persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit, rerata kecepatan pelayanan resep, persentase obat yang dapat diserahkan dan persentase obat yang dilabeli dengan lengkap. Hasil penelitian terhadap indikator penggunaan obat yang diresepkan dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil indikator penggunaan obat yang diresepkan No Indikator Nilai Pembanding 1 Jumlah item obat per lembar resep 1,8-2,2 2 3 4 5 6



7



Persentase obat dengan nama generik Persentase peresepan obat antibiotika Persentase peresepan injeksi



82%-94% < 22,70% 0,2-48%



Persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit Rerata kecepatan pelayanan resep



100% ≤ 60 menit (racikan); ≤ 30 menit (sediaan jadi)



Persentase obat yang dapat diserahkan



76-100%



Hasil 4,27 (rajal) 4,36 (ranap) 61,27% (rajal) 71,78% (ranap) 10,66% (rajal) 53,20% (ranap) 3,59% (rajal) 68,02% (ranap) 90,61% (rajal) 96,40% (ranap) 47 menit (racikan); 40 menit (sediaan jadi) 96,44% (rajal) 99,87% (ranap)



73 Universitas Sumatera Utara



Tabel 4.8 (Sambungan) No Indikator



Nilai Pembanding 100%



8



Persentase obat yang dilabeli dengan lengkap Keterangan: - Rajal : Rawat jalan - Ranap : Rawat inap



Hasil 100% (rajal) 100% (ranap)



4.6.1 Jumlah Item Obat Per Lembar Resep Perhitungan rerata jumlah item obat per lembar resep bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kecenderungan polifarmasi dalam peresepan (WHO, 1993). Perhitungan rerata jumlah obat per lembar resep didapat dari pembagian total obat yang diresepkan dengan total lembar sampel resep (WHO, 1993). Rerata jumlah item obat per lembar resep terbaik menurut estimasi WHO (1993) adalah 1,8-2,2 item per lembar resep. Hasil perhitungan jumlah item obat per lembar resep di RSUD Langsa dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Jumlah item obat per lembar resep No Keterangan 1 Total jumlah obat yang diresepkan 2 Total jumlah resep yang disurvey Hasil



Jumlah (item) Rajal Ranap 1544 1499 362 344 4,27 4,36



Berdasarkan Tabel 4.9, rerata jumlah item obat per lembar resep adalah 4,36 untuk rawat inap dan 4,27 untuk rawat jalan, melebihi estimasi terbaik menurut WHO. Nilai tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terjadi polifarmasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan masih ditemukan banyak resep yang memiliki jumlah obat lebih dari 2, bahkan hingga 11 item obat per lembar resep. Peresepan item obat melebihi 5 item bahkan sampai 11 item obat per lembar resep paling banyak ditemukan pada poli saraf dan penyakit dalam. Seperti yang disampaikan oleh informan sebagai berikut:



74 Universitas Sumatera Utara



Banyaknya jumlah obat yang diresepkan oleh dokter rerata tergolong banyak, tetapi ada juga yang masih 4-6 obat dalam satu resep tergantung dari penyakitnya. Biasanya resep yang banyak item obatnya itu dari poli saraf (neurologi). Sebenarnya waktu itu sudah pernah rapat dengan dokter untuk masalah ini, namun dokternya karena neurologi itu akumulasi dari beberapa penyakit sehingga mereka harus meresepkan banyak obat. Dan kita dari farmasi juga punya SPO tentang peresepan obat per lembar resep, dan sudah disosialisasikan juga ke dokter-dokter, hanya saja dokternya masih banyak polifrmasi juga (Informan 3). Kalau dirawat jalan biasanya memang kecenderungan polifarmasi pasti ada, terutama paling banyak di poli saraf dan penyakit dalam, biasanya lebih dari 5 item obat per resep, sangat jarang ditemukan hanya dua obat dalam satu resep pada poli tersebut. Kenapa bisa seperti itu, lebih lanjutnya hanya dokter yang mengetahui terutama mengenai diagnosa pasiennya. Untuk mencapai hanya 2 atau 3 item obat per lembar resep sangat ideal sekali untuk kasus-kasus pada poli saraf dan penyakit dalam, ini harus didukung oleh penunjang-penunjang terkait seperti hasil laboratorium dan radiologi. Karena terlalu idealis jika hanya dua obat per resep, kecuali mungkin jika diluar negeri dengan fasilitas penunjang medik yang memadai (Informan 4). Berdasarkan informasi dari informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingginya kecenderungan polifarmasi sulit dihindari pada kasus-kasus seperti pasien pada poli saraf dan penyakit dalam yang memang membutuhkan lebih banyak obat dalam pengobatannya. Nilai rerata jumlah obat yang lebih tinggi dari estimasi WHO belum dapat menunjukkan ada atau tidak penggunaan obat yang irrasional, karena dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang melihat dari diagnosa, efikasi, keamanan, kecocokan, dan harga. Jumlah obat rerata yang digunakan cukup banyak, peresepan masih bisa dikatakan rasional jika memang pasien memiliki indikasi yang membutuhkan beberapa macam obat (Dianingati, 2015). Peresepan obat dengan jumlah yang relatif banyak dapat disebabkan juga karena pasien mempunyai beberapa komplikasi penyakit (Oktaviani, 2018). Jumlah rerata tiap item obat per lembar resep lebih rendah di sebagian besar negara berkembang (kisaran = 1,3-3,0). Sebagai contoh, 3 di Sri Lanka; 2,1 di Nepal; 2,2 di Vietnam; 2,3 di Botswana; 2,3 di Burkina Faso; 1,8 di Malawi;



75 Universitas Sumatera Utara



1,4 di Sudan; dan 1,3 di Zimbabwe. Namun, jumlah rerata tiap item obat per resep lebih tinggi di Afghanistan (3,9), India (5,6), Ghana (4,8) dan Nigeria (5,2). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan jumlah obat yang lebih tinggi dalam resep, salah satunya kompetensi dari dokter, tidak tersedianya pedoman praktik klinis, insentif keuangan untuk resep, kurangnya pendidikan medis berkelanjutan dari penulis resep dan rendahnya obat yang benar secara terapeutik. Polifarmasi dapat mempengaruhi hasil pengobatan karena pasien lebih cenderung tidak patuh dan berisiko lebih tinggi mengalami efek samping. Selain itu, obat yang diresepkan yang tidak perlu dapat menyebabkan implikasi fiskal untuk sistem kesehatan nasional (Atif et al., 2016). Jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian terkait lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2018) menunjukkan hasil jumlah item obat perlembar resep sebesar 3,44 dan penelitian Yuliastuti (2013) menunjukkan hasil jumlah item obat per lembar resep sebesar 2,16. Berdasarkan hal tersebut, rerata jumlah obat per lembar resep pada instalasi farmasi RSUD Langsa lebih besar daripada rumah sakit lainnya. Hal ini menandakan bahwa profesional kesehatan di RSUD Langsa perlu meningkatkan pelayanannya melalui peresepan obat yang lebih akurat dan juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab, kemudian dapat dipilih strategi untuk mengurangi besarnya jumlah obat dalam peresepan. Penelitian lanjutan dapat berupa investigasi mendalam terhadap pengobatan penyakit tertentu, faktor-faktor penyebab perbedaan hasil dengan estimasi WHO, dan penelitian kualitatif sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Penelitian tersebut dapat berupa pertanyaan-pertanyaan lanjutan, misalnya dengan tingginya jumlah obat yang



76 Universitas Sumatera Utara



diresepkan oleh dokter, perlu diketahui apakah terjadi kekurangan obat yang sesuai terapi, atau memang terjadi kekurangan alat diagnostik, atau ada insentif yang mendorong terjadinya polifarmasi dan sebagainya (Dianingati, 2015). 4.6.2 Persentase Obat dengan Nama Generik Pengukuran persentase peresepan obat dengan nama generik dimaksudkan untuk mengetahui kecenderungan dokter untuk meresepkan obat dengan nama generik yang berarti tertulis sebagai zat aktif sediaan sehingga ada kesepemahaman antara dokter dan farmasis dimana secara tidak langsung turut mencegah prescribing error, yang merupakan awal terjadinya medication error (WHO, 1993). Hasil perhitungan persentase obat dengan nama generik dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Persentase obat dengan nama generik No Keterangan 1 Jumlah obat dalam nama generik 2 Total obat yang diresepkan Hasil



Jumlah (item) Rajal Ranap 946 1076 1544 1499 61,27% 71,78%



Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Langsa, persentase obat dengan nama generik masih kurang dari 82%-94%, yaitu hanya sebesar 71,78% untuk rawat inap dan 61,27% untuk pasien rawat jalan seperti yang terlihat pada Tabel 4.10. Hal ini mungkin dapat dikarenakan masih banyak dokter yang meresepkan obat dengan nama dagang, belum terbiasa untuk menuliskan nama generik untuk pasien JKN dan ada beberapa obat seperti Ventolin®, Pulmicort®, Levemir® dan obat-obat lainnya yang memang tidak mempunyai nama generik atau ada obat dengan nama dagang yang memang belum tersedia generiknya di pasaran. Seperti disampaikan oleh informan sebagai berikut:



77 Universitas Sumatera Utara



Biasanya memang kadang ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama generik karena dokternya sudah biasa meresepkan dengan nama dagang atau memang karena tidak ada sediaan generiknya seperti arixtra, atau dokternya memang meresepkan nama dagang seperti vicillin, tetapi kita berikan ampicilin. Alasan lainnya karena tidak ada nama generiknya sehingga diresepkan sesuai nama obatnya seperti RL, ventolin nebul, pulmicort, levemir, novorapid dan lain lain. Kemudian seperti vitamin-vitamin dalam satu sedian mengandung banyak komposisi sehingga tidak mungkin diresepkan satu-satu sesuai nama generiknya seperti neurodex, neurohax, sohobion dan sebagainya (Informan 3). Kalau di rawat jalan, jika ada obat yang diresepkan tidak sesuai nama generik biasanya karena memang belum ada sediaan generiknya dipasaran, misalnya oscal, nama generiknya kalsitriol tetapi tidak ada obatnya di pasaran. Kemudian seperti sinkronik, tramset dan lain-lain memang tidak ada sediaan generiknya di pasaran seperti parasetamol dan tramadol, karena tidak semua obat branded sudah ada generiknya, jadi diresepkan sesuai nama dagangnya (Informan 4). Dalam hal meningkatkan peresepan nama generik oleh dokter, apoteker diharapkan dapat bertindak dengan lebih aktif untuk mengingatkan dokter sebagai penulis resep untuk menuliskan resep dengan obat-obat generik (Dianingati, 2015). Penulisan resep sesuai nama generik diperlukan adanya kesadaran dokter untuk menulis resep generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Hal ini menandakan adanya kerjasama yang baik antara profesi lain agar bisa mendukung lancarnya pelayanan farmasi pada pasien (Oktaviani, 2018). 4.6.3 Persentase Peresepan Obat Antibiotika Menurut WHO (1993), pengukuran indikator persentase peresepan antibiotika bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotika, karena obat tersebut sering digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerugian, diantaranya terjadi resistensi dan pemborosan biaya terapi. WHO menyarankan persentase peresepan obat dengan antibiotika adalah < 22,70%. Persentase lembar resep yang mengandung antibiotika dihitung dengan cara membagi jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika dengan



78 Universitas Sumatera Utara



jumlah sampel lembar resep dikalikan 100%. Hasil perhitungan persentase peresepan obat antibiotika dapat dilihat pada Tabel 4.11. Tabel 4.11 Persentase peresepan obat antibiotika No Keterangan 1 2 Hasil



Jumlah resep yang mengandung satu atau lebih antibiotika Total jumlah resep yang disurvey



Jumlah Rajal Ranap 39 183 362 10,66%



344 53,20%



Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika di rawat jalan sudah memenuhi standar WHO yaitu sebesar 10,66%, sedangkan untuk pasien rawat inap melebihi dari rekomendasi WHO yaitu sebesar 53,20%. Hasil penelitian yang melebihi estimasi WHO menunjukkan adanya kecenderungan selektivitas yang kurang ketika meresepkan antibiotika, sehingga perlu adanya pengkajian ulang. Jumlah maksimal antibiotika per lembar resep yang ditemukan pada sampel adalah dua antibiotika, hal ini memiliki arti bahwa jumlah resep yang mengandung kombinasi antibiotika tidak banyak, dikarenakan pasien yang mengidap penyakit infeksi yang memerlukan kombinasi terapi juga tidak cukup banyak, sehingga masih dapat dianggap wajar. Penggunaan siprofloksasin, sefadroksil, dan amoksisilin banyak ditemukan di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa. Kemungkinan penggunaan antibiotika-antibotika tersebut cukup tinggi dikarenakan spektrumnya yang luas dan tidak banyak pasien yang alergi maupun resisten terhadap antibiotika tersebut (Dianingati, 2015). Pada instalasi farmasi rawat inap, antibiotika parenteral yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin generasi III seperti cefotaksim dan ceftriaxon. Sefalosporin merupakan antibiotika parenteral yang aman dan



79 Universitas Sumatera Utara



mempunyai potensi antibakteri yang tinggi. Sefalosporin generasi III merupakan antibiotika intravena yang paling banyak penggunaannya, karena aktivitasnya terhadap kuman gram-negatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas dan Bakteroides, selain itu resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat (Surahman, dkk., 2008). Selain itu juga tingginya pemberian antibiotika pada pasien rawat inap dimungkinkan untuk mencegah infeksi nosokomial yang mungkin terjadi di lingkungan rumah sakit selama pasien dirawat inapkan dan biasanya dokter juga masih meresepkan antibiotika secara empiris. Seperti disampaikan informan sebagai berikut: “Kalau antibiotika banyak digunakan sebenarnya kita harus melihat lebih dahulu diagnosa dokternya, apakah pasien memang benar-benar butuh antibiotika atau jika memang dibutuhkan harus diberikan. Oleh karena itu, kita tidak mengetahui secara pasti mengapa dokter meresepkan antibiotika tersebut” (Informan 3). “Kalau peresepan antibiotika di rawat jalan, dokter masih meresepkan antibiotika secara empiris, artinya berdasarkan pengalaman dokter, sehingga memang masih belum rasional penggunaannya, dan penyediaan antibiotika disini juga masih sangat terbatas, sehingga dokter memang sering meresepkan antibiotika saat pasien masuk RS. Selain itu juga pemberian antibiotika salah satunya bisa saja dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial selama di RS” (Informan 1). Menurut pedoman penerapan formularium nasional, antibiotika hanya diresepkan apabila kecurigaan infeksi disebabkan oleh bakteri, antibiotika lini pertama harus dipilih untuk mengatasi infeksi yang bersifat umum dan terapi antibiotika secara empirik harus didasarkan pada data surveilans bakteri patogen penyebab infeksi di rumah sakit setempat (Kemenkes RI, 2011). Pada terapi secara empiris, pemberian antibiotika diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui secara jelas jenis kumannya seperti pada kasus gawat karena sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotika pada kasus ini diberikan dengan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada (Negara, 2014).



80 Universitas Sumatera Utara



Data dari Negara lain menunjukkan penggunaan antibiotika yang tinggi yaitu 60,9% di India, 66,0% di Kamboja, 66,2% di Yemen dan di Malaysia lebih rendah dibandingkan negara lain yaitu 23,2% (Kardela, dkk., 2014). Jika dibandingkan dengan Negara tersebut, persentase peresepan antibiotika di IFRSUD Langsa masih berada dibawah nilai Negara yang disebutkan. Perbedaan nilai dari berbagai Negara ini dapat disebabkan karena variasi dalam kerentanan/resistensi bakteri, kebiasaan peresepandan perbedaan dalam prevalensi infeksi penyakit di negara-negara yang berbeda (Yimenu et al., 2019). Di Negara berkembang, antibiotika diresepkan 44% hingga 97% dari pasien rawat inap sering tidak diperlukan atau tidak tepat (Yimenu et al., 2019). Menurut WHO, peresepan antibiotika untuk Negara yang lazim dengan penyakit infeksi diharapkan antara 15%-20%. Namun nilai persentase tersebut sangat sulit dicapai karena angka penyakit infeksi yang tinggi di Negara berkembang dan kebijakan penggunaan antibiotika serta program pengendalian dan pencegahan infeksi dan pengendalian resistensi antimikroba; pemberdayaan TFT belum dapat berjalan dengan baik di rumah sakit (Negara, 2014). Di negara berkembang seperti Indonesia, jenis pemeriksaan diagnostik terbatas, jangkauan asuransi kesehatan juga terbatas, sehingga penegakan diagnosis-pasti bisa tertunda hingga beberapa hari. Panduan untuk mengenali indikasi terapi antibiotika empirik yang tergantung pada keadaan klinis (bukan pada diagnosis) akan mempermudah dokter mengambil keputusan yang tepat tentang perlu tidaknya memberikan antibiotika sebelum ditegakkan diagnosis-pasti. Hal ini juga menjadi salah satu pendorong tingginya pemberian antibiotika pada rumah sakit di Indonesia (Farida, dkk., 2008).



81 Universitas Sumatera Utara



Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang berkembang di seluruh dunia sehingga WHO mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut dan strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi. Salah satu cara untuk mengendalikan kejadian resistensi bakteri adalah dengan penggunaan antibiotika secara rasional. Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika menurut WHO adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya (Negara, 2014). Dampak negatif paling berbahaya akibat penggunaan antibiotika secara tidak rasional adalah muncul dan berkembangnya kuman-kuman kebal antibiotika atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika. Hal ini mengakibatkan pengobatan yang diberikan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien, serta meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan antibiotika secara berlebihan atau tidak rasional adalah pengetahuan dan pemahaman dokter tentang penyakit infeksi dan antibiotika yang masih kurang, ketersediaan jenis antibiotika tertentu yang belum memadai, pemeriksaan kultur yang lama dan kurangnya pengawasan Pedoman Pengunaan Antibiotika (PPAB) di rumah sakit (Negara, 2014). Untuk pencegahan terjadinya resistensi antibiotika di rumah sakit, maka kebijakan dan pedoman pengunaan antibiotika yang rasional mesti dilaksanakan. Skrining pasien dan petugas perlu dilakukan, peran tim Program Pencegahan Resistensi Antimikroba (PPRA) dioptimalkan, demikian juga kerjasama dan



82 Universitas Sumatera Utara



koordinasi dengan tim terkait seperti PPRA, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), TFT dan mikrobiologi klinis. 4.6.4 Persentase Peresepan Injeksi Tujuan perhitungan sediaan injeksi yang dipakai adalah untuk mengukur tingkat penggunaan injeksi yang biasanya berlebihan dan menambah biaya yang harus dibayarkan oleh pasien. Persentase peresepan injeksi dihitung dengan membagi jumlah pasien yang menerima suntikan injeksi dengan jumlah total resep yang disurvei dikalikan 100%. Data dikumpulkan secara prospektif pada instalasi rawat jalan dan rawat inap. Berdasarkan Tabel 4.8, persentase peresepan injeksi di rawat inap sebesar 68,02% dan 3,59% di rawat jalan. Hasil yang diperoleh melebihi nilai standar yang ditetapkan yaitu sebesar 0,2%-48% untuk pasien di rawat inap dan telah memenuhi standar yang ditetapkan untuk pasien rawat jalan. Nilai peresepan obat injeksi pada pasien rawat jalan memang relatif rendah karena kondisi emergensi maupun ketidaksadaran relatif rendah pada pasien rawat jalan dan obat injeksi yang diresepkan hanya berupa sediaan insulin, sedangkan persentase peresepan injeksi yang tinggi pada pasien rawat inap dikarenakan rerata pasien menerima cairan infus sehingga nilai yang diberikan tinggi dan penggunaan injeksi banyak digunakan oleh pasien Intensive Care Unit (ICU) dan pasien dokter spesialis saraf yang memang memerlukan sediaan injeksi. Seperti disampaikan informan sebagai berikut: Biasanya yang sering menggunakan injeksi adalah pasien ICU karena memang mereka butuh dan pasien-pasien saraf. Jika dokter-dokter lain mungkin ada satu dua. Namun itu juga tergantung dari kondisi pasiennya, jika memang tidak perlu diinjeksikan maka tidak diberikan. Kemudian kategori pasien masuk rumah sakit adalah pasien dengan sakit parah/tidak bisa ditangani dirumah yang hanya satu atau dua hari sembuh, sehingga agar efek obat cepat tercapai maka



83 Universitas Sumatera Utara



pemberian injeksi dibutuhkan untuk penanganan awal, terlebih lagi jika pasiennya dalam kondisi lemah atau sangat lemah. Setelah kondisi stabil, pasien akan diganti ke obat oral (Informan 3). Penggunaan injeksi yang relatif tinggi pada pasien rawat inap dapat dimengerti karena pasien rawat inap harus diberikan tindakan segera untuk meringankan penderitaan atau penyakit pasien. Sediaan injeksi merupakan pilihan utama, karena dapat sesegera mungkin mencegah infeksi, menyediakan kadar obat yang



adekuat



dalam



mikroorganisme dapat



darah



dalam



waktu



singkat,



sehingga



eradikasi



segera berlangsung. Selanjutnya diberikan kadar



pemeliharaan agar bakteri tidak berkembang dan sediaan yang dapat dipilih adalah tablet atau kapsul (Sudjaswadi, 2010). Penilaian persentase peresepan obat injeksi sangat penting dilakukan terkait potensi penularan penyakit melalui darah (Dianingati, 2015), seperti hepatitis dan HIV/AIDS yang ditransmisikan melalui penggunaan suntikan tidak steril (Mahallali, 2012). Penggunaan perlu diperhatikan karena harganya yang lebih mahal dan dapat menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman serta memerlukan keahlian khusus untuk penggunaannya (Dianingati, 2015). Selain memberikan respon ketidaknyamanan, pemberian terapi infus juga dapat menimbulkan komplikasi, baik komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi lokal terdiri dari plebitis, infiltrasi dan ekstravasasi; sementara komplikasi sistemik antara lain emboli udara, kelebihan cairan, reaksi alergi dan sepsis (Wayunah, dkk., 2013).



84 Universitas Sumatera Utara



4.6.5 Persentase Obat yang Diresepkan Sesuai Formularium Rumah Sakit Indikator ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kepatuhan dokter terhadap formularium rumah sakit dalam meresepkan obat kepada pasien (Sasongko, 2014). Persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit dihitung dengan membagi jumlah obat yang diresepkan sesuai dengan formularium RS dengan total jumlah obat yang diresepkan dikalikan 100%. Data dikumpulkan secara prospektif dengan jumlah sampel untuk pasien rawat inap sebanyak 344 lembar resep dan pasien rawat jalan sebanyak 362 lembar resep. Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan dapat dilihat pada Tabel 4.12. Tabel 4.12 Perhitungan hasil persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit No Keterangan Jumlah (item) Rajal Ranap 1 Jumlah obat yang diresepkan sesuai 1399 1445 formularium RS 2 Total jumlah obat yang diresepkan 1544 1499 Hasil 90,61% 96,40% Dari hasil penelitian diketahui persentase obat yang diresepkan sesuai dengan formularium rumah sakit adalah 96,40% untuk pasien rawat inap dan 90,61% untuk pasien rawat jalan. Bila dibandingkan dengan rekomendasi dari WHO (1993) dan Kemenkes RI (2008) adalah 100%, maka nilai yang dicapai masih belum sesuai dengan rekomendasi dan target yang ada. Hasil nilai persentase tersebut masih bisa dikatakan relatif tinggi bila dibandingkan hasil penelitian dari Fakhriadi, dkk., (2011) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung dan Sudarmono, dkk., (2011) di Rumah Sakit Panti Nugroho Sleman dimana masing-masing mempunyai nilai sebesar 85,3% dan 85,05%. Tingginya nilai ini mengindikasikan bahwa obat yang disediakan oleh rumah sakit



85 Universitas Sumatera Utara



merupakan obat yang memang diperlukan dalam pelayanan kesehatannya (Fakhriadi, dkk., 2011). Obat-obat yang diresepkan tidak sesuai dengan formularium RS salah satunya, yaitu multivitamin sirup, curcuma tablet, flunarizin, eprinoc, OBH sirup, bone-one dan beberapa obat lainnya. Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan bagian koordinator gudang farmasi di instalasi farmasi RSUD Langsa dikatakan bahwa peresepan obat di luar formularium RS dikarenakan banyak faktor diantaranya perubahan dalam hal peresepan dokter sehingga terdapat obatobat baru yang diresepkan belum tercantum dalam formularium RS, adanya utang-piutang RS sehingga dalam perjalanan pengadaan barang disesuaikan dengan distributor yang dapat memberikan pesanan obat sehingga obat yang datang dan diresepkan terkadang memiliki nama dagang yang beragam sesuai distributor pengirim barang, dimana obat-obat tersebut tidak tercantum dalam formularium RS. Selain itu, formularium RSUD Langsa juga belum direvisi sejak 2 tahun terakhir sehingga obat-obat yang tercantum didalamnya masih belum diupdate sesuai dengan kenyataan pakai saat ini sehingga nilai persentase peresepan obat sesuai formularium RS rendah. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut: Peresepan tidak sesuai formularium RS biasanya karena memang faktor dokternya yang sudah terbiasa menulis sediaan tersebut diluar formularium rumah sakit, tapi petugas farmasi tetap memberikan sediaan generiknya sesuai dengan yang ada di formulrium rumah sakit, contohnya osteor diberikannya glukosamin. Kemudian tim KFT juga belum berjalan sehingga formularium rumah sakit juga belum diupdate sejak 2017 sehingga masih banyak obat-obat yang diresepkan saat ini yang belum masuk kedalam formularium lama (Informan 2). Obat yang tidak termasuk dalam formularium rumah sakit tetapi tetap diresepkan untuk dipakai seperti multivitamin sirup, obat tersebut tidak ada di formularium rumah sakit atau formularium nasional tetapi memang tidak digunakan disini, tetapi jika obat generik atau kandungannya ada di formularium



86 Universitas Sumatera Utara



rumah sakit, hanya saja digunakan dalam merk dagang yang berbeda tetap dihitung masuk ke dalam formularium rumah sakit (Informan 4). Tiga faktor yang terkait dengan ketidaksesuaian penulisan resep dengan formularium, yaitu faktor dokter, pasien dan obat. Keputusan dokter untuk menuliskan resep dipengaruhi pendidikan, informasi yang diterima dari sejawat, lingkungan tempat kerja dan industri farmasi, serta interaksi dengan pasien. Pasien mempunyai keluhan dan keinginan, serta sebagai pihak yang membayar dapat mempengaruhi penulisan resep dokter. Obat merupakan produk industri farmasi, dimana pihak industri farmasi berperan mengiklankan produknya kepada dokter agar dokter mau menggunakannya (Hamsidi, dkk., 2015). Besarnya persentase obat yang diresepkan sesuai formularium RS berarti bahwa obat yang diresepkan tersedia (kepatuhan farmasis) dan obat yang disediakan diresepkan (kepatuhan dokter) (Yuliastuti, 2013). Dengan demikian, proses pelayanan obat kepada pasien dapat berjalan lancar sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya kesesuaian peresepan obat dengan obat-obat yang tersedia dalam formularium rumah sakit. Keharusan untuk sesuai dengan daftar obat yang tercantum dalam formularium RS dan formularium nasionaldisebabkan karena pasien merupakan pasien JKN yang sudah membayar sejumlah tertentu sesuai dengan yang dipilih pasien untuk mendapatkan akses kesehatan yang sesuai dengan premi yang dibayarkan. Jika tidak sesuai dengan formularium, maka pasien akan dibebankan biaya obat yang tidak tercantum dalam formularium. Akan menjadi kerugian bagi pasien jika obat harus dibayar karena tidak dicover oleh BPJS sebenarnya dapat diganti dengan obat lain yang ada dalam formularium rumah sakit. Seperti disampaikan informan sebagai berikut:



87 Universitas Sumatera Utara



Iya memang kalau dokter meresepkan obat diluar formularium rumah sakit tidak ditanggung oleh Rumah sakit,tetapi jika memang obat tersebut benar-benar dibutuhkan dan memang harus ada, nah itu harus ada persetujuan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) agar obat tersebut bisa dicover. Tetapi jika tidak ya pasien harus beli sendiri diluar tanggungan rumah sakit. Tetapi kalau memang masih bisa diganti dengan obat yang sesuai dengan formularium, maka apoteker dapat mengkonfirmasi dokter untuk mensubstitusi obat tersebut sesuai dengan yang dicover RS, kecuali obat-obat yangmemang sudah disetujui diadakan dan ditanggung BPJS hanya saja belum masuk forkit karena belum direvisi itu tetap rumah sakit yang tanggung (Informan 3). 4.6.6 Rerata Kecepatan Pelayanan Resep Pelayanan resep baik obat jadi maupun racikan merupakan salah satu bentuk pelayananfarmasi klinik di rumah sakit. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah lamanya waktu tunggu pelayanan resep di instalasi farmasi, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai dengan pasien menerima obat (Karuniawati, dkk., 2016). Indikator rerata kecepatan pelayanan resep ini bertujuan untuk tergambarnya kecepatan pelayanan farmasi sehingga dapat menghasilkan dimensi mutu berupa efektifitas, kesinambungan pelayanan dan efisiensi (Kemenkes RI, 2008). Jumlah sampel dalam yang digunakan adalah 344 resep rawat inap dan 362 resep rawat jalan, dihitung berdasarkan rumus raosoft dengan tingkat kepercayaan 95%. Data dikumpulkan secara prospektif selama satu bulan di instalasi farmasi RSUD Langsa. Hasil Rerata waktu tunggu resep secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.13.



88 Universitas Sumatera Utara



Berdasarkan hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa jumlah resep obat jadi yaitu sebanyak 377 resep lebih banyak daripada resep obat racikan yaitu sebanyak 41 resep. Seperti disampaikan oleh informan sebagai berikut: “Kalau resep racikan memang tidak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar 5-10% dari resep non racikan” (Informan 4). Tabel 4.13 Rerata kecepatan pelayanan resep sediaan jadi (non racikan) dan racikan Jenis Resep Rerata Standar Minimum Maksimum Jumlah waktu Deviasi (menit) (menit) tunggu (menit) (menit) Sediaan 40 0,0139 5 145 377 Jadi (Non Racikan) Racikan 47 0,0123 13 85 41 Berdasarkan Tabel 4.13, diketahui bahwa rerata waktu tunggu sediaan jadi (non racikan) adalah 40 menit, sedikit melebihi standar yang ditetapkan Depkes RI (2008) yaitu ≤ 30 menit (sediaan jadi), sedangkan rerata waktu tunggu obat racikan adalah 47 menit, sudah memenuhi standar Depkes RI (2008) yaitu ≤ 60 menit (racikan). Tabel 4.13 menunjukkan bahwa waktu tunggu tertinggi sediaan jadi (non racikan) adalah selama 145 menit dan terendah adalah 5 menit. Berdasarkan hasil pengamatan langsung selama penelitian, lamanya waktu tunggu sediaan jadi (non racikan) tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya terlambatnya resep yang masuk ke instalasi farmasi sehingga resep masuk diwaktu yang bersamaan, akibatnya terjadi penumpukan resep yang harus dikerjakan; kurangnya SDM yang memadai baik dari segi TTK dan apoteker sehingga dalam proses pelayanan resep membutuhkan waktu yang lebih lama terutama pada waktu jam sibuk (peak hour); setiap tahapan proses pelayanan resep mulai dari penerimaan resep (entry resep)



89 Universitas Sumatera Utara



hingga penyerahan resep kepada pasien masih dilakukan secara manual oleh petugas. Secara umum,alur proses penerimaan resep pasien di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa terdiri dari 5 proses yaitu penerimaan resep, pemberian nomor antrian resep, pengerjaan resep (pengambilan obat dan pembuatan etiket obat), verifikasi akhir oleh apoteker dan penyerahan obat kepada pasien. Sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap lamanya waktu tunggu pelayanan resep antara lain adalah jenis resep, jumlah dan kelengkapan resep, ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, ketersediaan obat yang sesuai, serta sarana dan fasilitas yang memadai (Wijaya, 2012). Jumlah resep yang diterima di depo farmasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pelayanan resep. Selain itu, jumlah item obat tiap resep serta jumlah racikan pada tiap resep juga mempengaruhi pada lamanya waktu tunggu pelayanan resep (Maftuhah, dkk., 2016). Berdasarkan jenis resep, sampel yang didapatkan menunjukkan bahwa resep obat jadi lebih banyak dibandingkan dengan resep racikan. Berdasarkan hasil observasi di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Langsa, resep racikan paling banyak ditemukan pada poli anak, poli kulit dan poli jiwa sedangkan resep obat jadi paling banyak ditemukan pada poli penyakit dalam, ortopedi dan jantung.Waktu tunggu pelayanan resep racikan lebih lama dibandingkan dengan pelayanan resep non racikan karena resep racikan memerlukan waktu yang lebih lama, tidak hanya mempersiapkan obat tetapi juga perlu perhitungan dosis obat, serta melakukan peracikan obat (Puspita, dkk., 2018). Selain itu, adanya kekosongan obat juga dapat memperlambat waktu tunggu pelayanan resep karena



90 Universitas Sumatera Utara



dibutuhkan waktu tambahan untuk mengkonfirmasi dokter atau menyediakan obat yang kosong. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut: “Kalau racikan dan faktor keterlambatan resep terjadi karena kekosongan obat, sehingga harus dicarikan dahulu obatnya atau dilakukan konfirmasi kepada dokter untuk pengganti obatnya sehingga memakan waktu tunggu juga” (Informan 4). Faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu tunggu pelayanan resep menurut Wijaya (2012) adalah : a) adanya komponen delay yang menyebabkan proses menjadi lebih lama. Delay disebabkan antara lain karena petugas belum mengerjakan resep karena mengerjakan kegiatan lain atau mengerjakan resep . Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya, dimana total waktu komponen delay lebih besar dari total waktu komponen tindakan baik pada resep non racikan maupun racikan. Komponen delay lebih besar daripada komponen tindakan menandakan proses pelayanan resep kurang efektif; b) resep racikan membutuhkan waktu pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan resep obat jadi. Hal ini disebabkan obat racikan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan obat jadi mengingat tahapan dan proses pengemasannya membutuhkan waktu yang lebih lama; c) ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dan terampil, lama kerja, beban kerja, pengetahuan dan keterampilan pegawai. Pengalaman kerja merupakan latar belakang individu sehingga dapat mempengaruhi perilaku kinerja individu dan menyebutkan bahwa makin lama pengalaman kerja seseorang maka dia akan semakin terampil dan makin lama masa kerja seseorang akan semakin bertambah wawasan dan kematangan dalam melakukan tugas. Peletakan obatobatan juga berpengaruh terhadap waktu pelayanan terutama pada proses pengambilan obat dimana pegawai farmasi harus menjelajahi ruangan untuk mencari obat sesuai dengan resep; d) kebijakan dan prosedur, salah satu hal yang



91 Universitas Sumatera Utara



berhubungan dengan kebijakan yang mempengaruhi waktu pelayanan resep adalah mengenai formularium. Adanya ketidaksesuaian resep dengan formularium memperlambat waktu layanan oleh karena dibutuhkan waktu tambahan untuk melakukan konfirmasi obat pengganti dengan dokter. Menurut survei yang dilakukan oleh Health Services and Outcomes Research, National Healthcare Group Singapore dalam Megawati (2015), selain akurasi resep dan keterjangkauan obat, waktu tunggu pelayanan obat sangat mempengaruhi kepuasan pasien yaitu kurang dari 30 menit. Pengalaman seorang pasien dalam menunggu pelayanan dapat mempengaruhi persepsinya tentang kualitas layanan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di University of Southerm California, Los Angeles, Amerika Serikat, dalam Megawati (2015) menunjukkan bahwa keseluruhan kepuasan pasien terhadap jasa farmasi berkaitan erat dengan kepuasan mereka mengenai waktu tunggu. Beban kerja mempengaruhi waktu tunggu pasien, salah satunya seperti kurangnya staff atau dokter (Pillay et al., 2011). Dokter sering terlambat praktek dan kurangnya pengawasan dari pihak manajemen mengakibatkan timbulnya penumpukan pasien. Hal yang sama juga dikemukakan oleh (Purwanto, dkk., 2015), yaitu resep datang bersamaan menambah waktu tunggu antrian. Intervensi sistem pelayanan dokter perlu dipertimbangkan yaitu pemeriksaan pelayanan pasien lebih awal. Resep yang diterima diatas pukul 11.00 WIB mempunyai waktu tunggu lebih lama dibandingkan resep yang diterima pada pukul 09.0011.00 WIB, karena mulai pukul 11.00 WIB semua poliklinik sudah lengkap dalam memberikan pelayanannya sehingga di depo farmasi juga terjadi penumpukan



92 Universitas Sumatera Utara



resep (Maftuhah, 2016). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan sebagai berikut: Waktu tunggu resep yang lama disebabkan karena masalah jadwal masuk resep ke apotek yang bersamaan hampir dari semua poli. Petugas farmasi sudah mulai kerja dari pukul 9 pagi, tetapi resep masuk sekitar jam 11 dan puncaknya di jam 12 sampai jam 1 atau 2, yang sebenarnya itu adalah waktu ishoma. Jadi secara otomatis banyak memakan waktu untuk menyelesaikannya, tetapi jika resep masuk jam 8 atau 9 pagi, maka jam 12 atau jam 1 sudah tuntas diselesaikan (Informan 4). Faktor lainnya adalah peralatan fasilitas atau sarana dan prasarana. Sebagai contoh dengan adanya peralatan seperti blender dan sealing equiptments (alat untuk merekatkan kertas puyer agar tertutup rapat dan kedap dari udara luar) maka proses penyiapan obat racikan akan semakin cepat dibandingkan dilakukan dengan cara manual (Puspita, dkk., 2018). Semakin cepat waktu pelayanan resep maka semakin baik proses pelayanan kefarmasian (Ihsan, dkk., 2014). 4.6.7 Persentase Obat Yang Dapat Diserahkan Indikator ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan farmasi dalam menyediakan obat-obat yang terdapat dalam formularium dan memenuhi permintaan resep dari dokter. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase obat yang dapat diserahkan oleh apotek rawat jalan dan rawat inap masing-masing adalah 96,44% dan 99,87%. Bila dibandingkan dengan penelitian Pudjaningsih (1996) dan WHO (1993) yang memberikan angka 76%-100%, maka jumlah obat yang dilayani oleh instalasi farmasi telah memenuhi standar yang ada sehingga bisa dikatakan efisien dalam pelayanan. Nilai persentase obat yang dapat diserahkan tidak mencapai 100% disebabkan karena terjadi kekosongan beberapa obat pada waktu penelitian



93 Universitas Sumatera Utara



dikarenakan adanya utang piutang rumah sakit dan pengiriman barang yang lama. Seperti yang disampaikan informan sebagai berikut: Adanya obat yang tidak dapat diserahkan dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor, diantaranya pertama, barang kosong barang karena belum bayar ke distributor. Kedua, mungkin karena pengiriman barang yang lama yaitu barang sudah dipesan tetapi belum sampai. Jika memang ada obat yang kosong seperti itu, biasanya apoteker bisa konfirm ke dokternya untuk substitusi obat dengan golongan atau kandungan obat yang sama, kecuali jika memang tidak ada penggantinya sehingga terpaksa tidak diberikan atau dibon untuk diambil ketika barang sudah datang dari distributor (Informan 3). 4.6.8 Persentase Obat Yang Dilabeli dengan Lengkap Indikator ini dijadikan petunjuk tentang seberapa besar perhatian dan tanggung jawab petugas farmasi terhadap hak pasien atas informasi yang memadahi serta penguasaan petugas farmasi terhadap obat-obatan (Sasongko, dkk., 2014). Perhitungan dilakukan dengan cara mencatat jumlah item obat yang dilabeli dengan benar, yaitu yang berisi paling tidak nama pasien, nomor resep, tanggal resep, tanggal penyerahan resep, serta aturan minum atau pakai obat (Razak, dkk., 2012). Dari hasil penelitian diketahui persentase obat yang dilabeli dengan benar adalah 100%. Hal ini menunjukkan bahwa petugas farmasi telah memberikan hak pasien yaitu informasi minimal yang harus diketahui oleh pasien atas obat yang diperolehnya. Besarnya nilai ini mengindikasikan adanya upaya instalasi farmasi dalam mewujudkan cara pengobatan yang baik dan benar sehingga dapat tercapai derajat kesehatan yang optimal dalamdiri pasien (Fakhriadi, dkk., 2011).



4.7 Perbandingan Indikator Resep Rawat Inap dan Rawat Jalan Analisis perbandingan indikator uji di rawat inap dan rawat jalan dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya perbedaan signifikan antara indikator



94 Universitas Sumatera Utara



uji di rawat inap dan rawat jalan. Data dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan bata nilai signifikansi p < 0,05. Data analisis perbedaan indikator rawat inap dan rawat jalan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.15. Tabel 4.14 Perbandingan indikator resep rawat inap dan rawat jalan No Indikator Nilai Rawat Jalan Rawat Inap 1 Jumlah item obat per 4,27 4,36 lembar resep 2 Persentase obat dengan 61,27% 71,78% nama generik 3 Persentase peresepan 3,59% 68,02% injeksi 4 Persentase peresepan 10,66% 53,20% obat antibiotika 5 Persentase obat yang 90,61% 96,40% diresepkan sesuai formularium rumah sakit 6 Persentase obat yang 96,44% 99,87% dapat diserahkan



p-Value 0,331 0,914 0,247 0,557 0,000



1,000



Pada analisis perbedaan jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan jumlah item obat per lembar resep rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbeedaan siginifikan antara jumlah item obat per lembar resep rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,331 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Faktor yang menyebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah item obat per lembar resep di rawat inap dan di rawat jalan karena terjadi kecenderungan polifarmasi terhadap pasien rawat inap dan rawat jalan. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara peresepan obat oleh dokter di rawat inap dan rawat jalan. Pada analisis perbedaan persentase obat dengan nama generik di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara persentase obat dengan nama generik di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,914 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal ini



95 Universitas Sumatera Utara



menandakan bahwa penulisan obat dengan nama generik tidak berbeda secara bermakna baik di rawat inap maupun rawat jalan. Pada analisis perbedaan persentase peresepan injeksi di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara persentase peresepan injeksi di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,247 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Pada analisis perbedaan persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,557 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Pada analisis perbedaan persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa terdapat perbedaan siginifikan antara persentase peresepan obat antibiotika di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal ini berarti bahwa adanya perbedaan yang bermakna antara obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit di rawat inap dan di rawat jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit di rawat jalan memiliki nilai persentase yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di rawat inap. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dokter, pasien dan obat. Pada analisis perbedaan persentase obat yang dapat diserahkan di rawat inap dan di rawat jalan diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan siginifikan antara persentase obat yang dapat diserahkan di rawat inap dan rawat jalan ditunjukkan dengan nilai p = 1,000 (p < 0,05) yang tertera pada Tabel 4.15. Hal



96 Universitas Sumatera Utara



ini menandakan bahwa tidak adanya perbedaan bermakna antara persentase obat yang diserahkan di rawat inap dan rawat jalan yang berarti bahwa ketersediaan obat di rawat inap dan rawat jalan cenderung merata. 4.8 Persentase Capaian Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi RSUD Langsa Hasil analisis uji statistik menggunakan metode descriptive analysis dengan program SPSS versi 22 dapat dilihat pada Tabel 4.15. Tabel 4.15 Hasil uji statistik capaian pengelolaan obat Frekuensi Persen Persen Valid Valid Tidak 11 47,8 47,8 sesuai Sesuai 12 52,2 52,2 Total 23 100,0 100,0



Persen Kumulatif 47,8 100,0



Tabel 4.15 menunjukkan bahwa evaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar yang ada dalam penelitian ini sebesar 52,2%, yang berarti bahwa nilai yang diperoleh cenderung masih rendah sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan dalam tahapan pengelolaan obat guna mencapai pengelolaan obat yang efektif dan efisien sesuai standar yang telah ditetapkan.



97 Universitas Sumatera Utara



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa capaian pengelolaan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar sebesar 52,2% dengan hasil parameter sebagai berikut: a.



pemilihan obat di instalasi farmasi RSUD Langsa sudah memenuhi standar terhadap kesesuaian item obat yang tersedia dengan formularium nasional yaitu sebesar 88, 37%.



b.



perencanaan dan pengadaan di instalasi farmasi RSUD Langsa yaitu indikator frekuensi pengadaan item obat per tahun rata-rata masih tergolong dalam kategori rendah (