Toksik Absorpsi Dan Resorbsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDAHULUAN Latar Belakang Secara umum, absorpsi adalah proses penyerapan ke dalam organ tertentu. Secara khusus absorpsi merupakan penyerapan zat yang memasuki tubuh melalui mata, kulit, perut, usus, atau paru-paru, sedangkan reabsorpsi merupakan proses penyerapan kembali filtrat glomerulus yang masih bisa digunakan oleh tubuh. Absorpsi melibatkan beberapa tahap. Pertama, obat perlu diperkenalkan melalui beberapa rute pemberian (oral, topikal-dermal, dll) dan dalam bentuk sediaan tertentu seperti tablet, kapsul, solusi dan sebagainya. Dalam situasi lain, seperti terapi intravena, injeksi intramuskular, nutrisi enteral dan lain-lain, penyerapan bahkan lebih mudah dan ada variabilitas kurang dalam penyerapan dan bioavailabilitas sering mendekati 100%. Hal ini dianggap bahwa intravaskular administrasi (misalnya IV) tidak melibatkan penyerapan, dan tidak ada kehilangan obat. (Kaplan pharmacology 2010 ; page 6) Efek toksik dapat terjadi local, akan tetapi racunnya terlarut dan diabsorpsi ke sejumlah sel. Solubility merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi absorpsi. Garam yang tidak terlarut dan campuran yang terionisasi memiliki nilai absorpsi yang rendah, namun substansi terlarut lemak sangat cepat diabsorpsi meskipun hanya mengenai kulit. Seperti; barium yang toksik, namun barium sulfat dapat digunakan sebagai bahan kontras radiografi saluran pencernaan karena daya absorpsinya rendah. Absorpsi zat di dalam tubuh mengambil bagian molekulnya, bukan dalam bentuk ion. Sediaan obat yang sebagian besar bersifat asam lemah atau basa lemah yang mudah berdisosiasi pada pH pelarut yang berlainan. Asam akan berdisosiasi dalam suasana basa membentuk ion dan anion, dan sebaliknya. Karena banyaknya anion yang mudah larut dalam lemak, maka pH pelarut akan menentukan kecepatan dan banyaknya obat yang diabsorpsi. Penguraian nutrisi makanan, termasuk obat terjadi di lambung yang melibatkan reaksi enzimatik. Selain itu lambung juga menjalankan fungsi absorpsi dengan jumlah terbatas dengan mekanisme difusi pasif, kovektif, berfasilitas, dan sebagian kecil transport aktif.



Perhitungan jumlah obat yang diabsorpsi menggunakan rumus: Jumlah obat yang diabsorpsi = konsentrasi pada t0- konsentrasi obat pada t1 x 100% Konsentrasi obat pada t0



Tujuan Mempelajari pengaruh pH terhadap banyaknya obat yang diabsorpsi di lambung. METODE 1.Tikus ditimbang untuk mengetahui bobot badan dan menentukan dosis pemberian anestesi. 2.Setelah ditimbang, tikus dianestesi dengan urethane dosis 1.25 g/kg BB secara intraperitoneal sebanyak 1.10 mL. 3.Tikus ditelentangakan di atas papan fikasasi kemudiaan keempat kakinya diikat. 4.Rambut tikus di sekitar abdomen dicukur. 5.Kulit tikus disayat di bagian linea alba dari bawah sampai ke bagian bawah tulang rusuk, hati-hati jangan sampai merusak diafragma. 6.Lambung tikus dikeluarkan dan bagian esophagus diikat dengan benang. 7.Duodenum pada lambung tikus dilubangi kira-kira 1 cm di bawah pylorus. 8.Pipa kaca yang telah dihubungkan dengan selang karet de stop cock dimasukkan ke lubang tersebut kemudian bagian pilorusnya diikat dengan kuat serta 0.5-1 cm di bawah tempat pipa dimasukkan juga diikat. 9.Lambung tikus kemudian dibilas dengan cairan NaCl fisiologis sampai bersih dan selanjutnya dikosongkan. 10.Asam salisilat dimasukkan dalam suasana basa sebanyak 4 cc lalu dikocok sampai homogen. Selanjutnya, 1.5 cc cairan tadi diambil dan disaring dengan kertas saring.



11.FeCl3 dimasukkan ke dalam bagian filtrat I yang diperoleh hingga menyerupai salah satu warna standar dan keduanya dibandingkan. Konsentrasi yang diperoleh merupakan konsentrasi sediaan (Ct0). 12.Sisa cairan yang ada dalam lambung tikus dibiarkan selama 1 jam. 13.Setelah 1 jam cairan tersebut diambil kemudian disaring. 14.FeCl3 dimasukkan ke dalam bagian filtrat II yang diperoleh hingga menyerupai salah satu warna standar dan keduanya dibandingkan. Konsentrasi yang diperoleh merupakan konsentrasi sediaan (Ct1). TINJAUAN PUSTAKA Iron Tricloride FeCl3 (IUPAC : Iron trichloride) atau yang lebih dikenal dengan Feric Chlorida, merupakan senyawa kimia dengan toksisitas yang cukup tinggi, senyawa ini dapat mempengaruhi tubuh jika tertelan, dan jika berkontak denga kulit atau mata. Ketika tertelan FeCl3 menjadi toksik dengan gejala muntah, iritasi gastro intestinal, serta mulut dan tenggorokan terbakar, oleh sebab itu jika terpapar oleh senyawa ini secara per oral, maka cara penanganannya adalah jangan dimuntahkan, melainkan dengan mengkonsumsi banyak air dengan antidota sodium bicarbonate. Jika senyawa in tertelan pada dosis sub letal, dapat menyebabkan deposisi yang berlebihan pada jaringan disertai dengan kerusakan hati dan pankreas, tetapi jika tertelan dalam dosis yang tinggi, dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dengan mual atau muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare, pulsus yang cepat tetapi lemah, hipertensi, asidosis, dan koma. Jika setelah terkena paparan pertama hewan tidak meninggal, maka gejala klinis akan hilang pada beberapa saat, tetapi akan kembali dengan cyanosis, pulmonary edema, shock, konvulsi, asidosis, demam, dan kematian. Kendati toksisitasnya tinggi,



senyawa



ini



tidak



membahayakan lingkungan.



Asam Salsilat



bersifat



karsinogenik



dan



residunya



tidak



Asam salisilat merupakan subtansia kimiawi yang sangat penting dalam pembuatan industri obat-obatan seperti antiseptik dan analgesic. Bahan dasar asam salisilat terbentuk dari sodium phenate atau phenol dan NaOH (Kristian dan Panji 2007). Salisilat memiliki potensi non steroidal anti inflammatory drug (NSAID). Penggunaan salisilat adalah secara per oral dan diabsorbsi di lambung dan usus halus. Setelah diabsorbsi, salisilat akan didistribusikan secara difusi pasif ke seluruh tubuh. Pada dosis kecil waktu paruh sediaan ini adalah 4 jam sedangkan pada penggunaan sebagai antiinflammasi (4-6 gr/hari) waktu paruh sediaan ini adalah 12-25 jam. Kemudian masuk ke dalam plasma 30 menit kemudian dan mencapai konsentrasi puncak 1-2 jam kemudian (Darsono 2002). Intoksikasi



terjadi ketika penggunaan salisilat dalam dosis besar dan



berulangkali. Gejala yang umum ditimbulkannya adalah gangguan pernapasan, terganggunya proses oksidasi, metabolism asam lemak dan glukosa, terganggu fungsi platelet dan perubahan integritas kapiler buluh darah. Hal ini terjadi karena kemampuannya melewati barrier otak dan ginjal



HASIL PENGAMATAN 1. Salisilat dalam suasana asam Kelompok 1 2 3 4 5 6



Ct0 15 25 15 30 40 10 Rata-rata



Ct1 5 5 5 10 5 3



Persentase absorpsi (%) 66,7 80 66,67 66,67 87,5 70 72,92



Ct1



Persentase absorpsi (%)



2. Salisilat dalam suasana basa Kelompok



Ct0



1 2 3 4 5 6



25 25 15 25 15 15 Rata-rata



20 20 5 10 12,5 5



20 20 66,7 60 16,7 66,7 41,68



PEMBAHASAN Percobaan ini menggunakan asam salisilat sebagai sediaan yang akan diabsorbsi lambung. Secara umum, hasil percobaan di atas menunjukkan persentase absorpsi asam salisilat dalam keadaan basa lebih rendah daripada absorpsi dalam keadaan asam. Asam asetil salisilat (aspirin) yang dimasukkan ke dalam lambung tikus (dalam suasana asam) akan diabsorpsi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan Neal (2006), yang menyatakan bahwa obat atau senyawa kimia yang tidak terionisasi akan lebih mudah diabsorpsi karena molekulnya lebih larut lemak dibandingkan molekul-molekul yang terionisasi. Dalam percobaan kali ini, asam asetil salisilat dimasukkan dalam suasana asam. Asam asetil salisilat atau aspirin merupakan obat yang termasuk NSAID (non steroidal anti inflammatory drug), yang merupakan obat yang larut dalam lemak dan memiliki pH yang rendah sehingga diabsorpsi dengan mekanisme difusi pasif dalam bentuk molekul tak terionkan melewati membran gastrointestinal. Ketika pH lingkungan dengan pH obat hampir sama, obat tersebut lebih mudah diabsorpsi karena obat tetap dalam keadaan utuhnya (tidak terionisasi) sehingga aspirin yang memiliki pH rendah lebih mudah diabsorpsi di lambung daripada usus (Buch 2010). Jika pH meningkat, asam asetil salisilat lebih banyak terionisasikan dan kecepatan absorpsi cenderung menurun. Meskipun demikian, absorpsi aspirin di usus halus lebih besar daripada di lambung. Berdasarkan hasil percobaan, persentase aspirin yang diabsorpsi oleh lambung adalah 72,92 %. Nilai ini menunjukkan efektifitas absorpsi dalam lambung cukup baik. Rentangan nilai yang optimum adalah 60-70 %. Aspirin cepat diabsorpsi di lambung dan usus halus bagian atas, serta kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam (Higgs et al 1987), sehingga untuk mengetahui sisa



aspirin yang tidak terabsorpsi di lambung harus ditunggu selama 1 jam. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yaitu senyawa aspirin yang dilarutkan dalam HCl 0,1 N menunjukkan hasil rata-rata persentase absorpsi yang lebih tinggi dari senyawa asam salisilat yang dilarutkan dalam suasana basa. Hasil ini menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk aspirin agar mudah diabsorpsi adalah dengan pelarut yang bersifat asam. Namun, bila aspirin dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat tersebut dapat merusak barier mukosa . Hal ini terjadi karena aspirin memblokade enzim cyclooxygenase-1 yang menyebabkan meningkatnya kerja enzin cyclooxygenase-2 (COX-2) yang merupakan bagian dari pertahanan lambung. Bertemunya enzim COX-2 inhibitor dengan aspirin meningkatkan erosi dari mukosa lambung (Fiorucci et al. 2003). Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk metal salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat memiliki sifat-sifat: terasa manis, membentuk kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, meleleh pada 158,5°C -161°C. Asam salisilat biasanya digunakan untuk memproduksi ester dan garam yang cukup penting. Tingkat kemurnian asam salisilat dapat diketahui melalui uji dengan menggunakan besi(III) klorida (FeCl3). Besi(III) klorida bereaksi dengan gugus fenol membentuk kompleks ungu. Asam salisilat akan berubah menjadi ungu jika FeCl3 ditambahkan, karena asam salisilat mempunyai gugus fenol. Pengujian konsentrasi awal (Ct0) dengan konsentrasi akhir (Ct1) menunjukkan derajat kepekatan warna yang menurun ketika dibandingkan dengan warna standar. Hal ini berarti konsentrasi awal lebih tinggi dari konsentrasi akhir yang mengindikasikan pula adanya mekanisme absorpsi (Syarif et al. 2007). Selain pH, absorpsi obat dalam lambung juga dipengaruhi oleh respon dan fisiologis individu antara lain luas lumen lambung, stabilitas terhadap asam dan enzim serta kelarutan dalam lemak (Neal 2006).



DAFTAR PUSTAKA Buch, J.G. 2010. Clinically Oriented Pharmacology. Rajkot : PDU Medical College Rajkot.



Fiorucci, S. et al. 2003. Interaction of a selective cyclooxygenase-2 inhibitor with aspirin and NO-releasing aspirin in the human gastric mucosa. Proceedings of the National Academy of Sciences 100 (19): 10937–10941. Higgs A. Gerald et al. 1987. Pharmacokinetics of aspirin and salicylate in relation to inhibition of arachidonate cyclooxygenase and antiinflammatory activity. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 84 : 1417-1420. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Syarif A et al. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. Tambahan buat Kesimpulan dan Saran: Kesimpulan Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pH berpengaruh terhadap jumlah yang diabsorpsi di lambung. Obat yang mempunyai pH rendah (bersifat asam) akan lebih cepat diabsorpsi dalam suasana yang memiliki tingkat pH yang rendah pula dibandingkan dalam suasana basa. Saran Sebaiknya sebelum percobaan ini dilakukan, tikus yang akan digunakan dipuasakan terlebih dahulu sehingga dapat mempercepat proses pencucian lambung, karena tikus yang digunakan saat percobaan belum dipuasakan terbukti dengan banyaknya bolus atau makanan yang terdapat lambung tikus.