Tugas Korupsi Kolusi Nepostisme Makalah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)



Oleh : Aniftia Nur Ardiansyah | 1410502015



UNIVERSITAS NEGERI TIDAR MAGELANG FAKULTAS TEKNIK TEKNIK MESIN S-1 MAGELANG 2015



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI........................................................................................................ BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. BAB II : PEMBAHASAN 2.1 Pengertian KKN................................................................................... 2.1.1 Korupsi........................................................................................ 2.1.2 Kolusi.......................................................................................... 2.1.3 Nepotisme.................................................................................... 2.2 Faktor Penyebab Terjadinya KKN.................................................... 2.3 Bentuk-bentuk Korupsi....................................................................... 2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi................................................ BAB III : PENUTUP 3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 3.2 Saran.................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang



KKN sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. KKN sejatinya adalah persoalan klasik yang telah lama ada. sejak masa VOC, Hindia Belanda, dari rezim Orde Baru Soeharto, yang dipercaya telah meninggalkan banyak persoalan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang juga melibatkan diri dan keluarganya, Pembangunan Nasional yang digaungkan oleh pemerintah Orde Baru ternyata menyimpan penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh banyak oknum pada masa Orde Baru tersebut akhirnya memunculkan krisis moneter yang menerpa Indonesia tahun 1997. Krisis ini pula yang memunculkan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah Orde Baru yang puncaknya menghantarkan Soeharto dari kursi kepresidenan. Wacana reformasi menyeruak, Indonesia mulai menjajaki fase baru perubahan dalam sebuah masa yang dinamakan Orde Reformasi. Namun nyatanya hingga sekarang masa Orde Reformasi yang sudah dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih masa bakti 2009-2014 ternyata tidak luput pula dari kata KKN, Kita pun sebagai warga negara/rakyat seolah-olah sudah terbiasa dengan hadirnya penyakit sosial ini. Bahkan korupsi semakin terbuka dan menjadi-jadi dikala hukum di negara ini dalam keadaan lemah. Hukum yang berlaku dan dianggap keras dan tegas ternyata tidak mampu mengatasi masalah KKN. Bahkan Korupsi, Meskipun penjelasannya sudah tertera jelas di dalam Undang-Undang, bahkan dibantu dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang didirikan pada tahun 2004, tetap saja tidak bisa menghilangkan korupsi di tanah air. Kita semua tahu bahwa hukum tertinggi dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia adalah Pancasila, sebagaimana kedudukannya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi statement tersebut seolah-olah dijadikan pelengkap dalam penulisan hukum-hukum Indonesia, atau bahkan dianggap telah hilang keberadaannya di Indonesia. Padahal nilai-nilai yang tercantum di dalam Pancasila itu dijadikan pedoman dalam perumusan serta pembuatan hukum-hukum yang ada di Indonesia. Termasuk hukum pidana korupsi. Ternyata dalam pelaksanaannya, justru korupsi inilah yang semakin kuat dan merajalela, sedangkan hukum yang didasari oleh dan dari Pancasila semakin lemah dan pudar seiring berjalannya waktu, meskipun “dasar negara” ini telah lama berdiri.



1.2 Rumusan Masalah



1. Apa itu KKN? 2. Apa saja bentuk-bentuk dari korupsi? 3. Apa penyebab terjadinya KKN?



1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui defenisi dan pengertian dari KKN. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari korupsi. 3. Untuk mengetahui sebeb terjadinya KKN.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian KKN 2.1.1 Korupsi



Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:    



perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.



Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.



2.1.2 Kolusi Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.



Sedangkan pengertian kolusi berdasarkan UU No. 20 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara-negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, kolusi adalah pemufakatan kerjasama melawan hukum antar penyelenggara negara dan pihak lain, masyarakat dan/negara. Pemufakatan berarti suatu kesepakatan atau peersetujuan antara penyelenggara negara dengan penyelenggara negara lainnya atau pihak lainnya. Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. 2.1.3 Nepotisme Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri.



2.2 Faktor Penyebab Terjadinya KKN KKN dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi pelaku KKN itu sendiri. Adapun sebab-sebabnya, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Klasik



a.



Ketiadaan dan kelemahan pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang bodoh tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya. Kelemahan pemimpin ini juga termasuk ke leadershipan, artinya seorang pemimpin yang tidak memiliki karisma, akan mudah dipermainkan anak buahnya. Leadership dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa takut, ewuh poakewuh di kalangan staf



b.



untuk melakukan penyimpangan. Kelemahan pengajaran dan etika. Hal ini terkait dengan sistem pendidikan dan substansi pengajaran yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada



c.



pemahaman teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk pengimplementasiannya. Kolonialisme dan penjajahan. Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tergantung, lebih memilih pasrah daripada berusaha dan senantiasa menempatkan diri sebagai bawahan. Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih cenderung berlindung dibalik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusidan nepotisme. Sifat dan kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang



melakukan korupsi. d. Rendahnya pendidikan. Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi. Minimnya keterampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha adalah wujud rendahnya pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah mereka berupaya mencsri peluang dengan menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan yang besar. Yang dimaksud rendahnya pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki. Karena pada kenyataannya koruptor rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang e.



memadai, kemampuan, dan skill. Kemiskinan. Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diri atas kemampuan dan modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan apa saja yang dapat mengangkat derajatnya. Atas keinginannya yang berlebihan ini, orang akan



menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. f. Tidak adanya hukuman yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau dibuang ke Pulau Nusakambangan. Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan tindak korupsi. g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi. 2. Modern a. Rendahnya Sumber Daya Manusia. Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat rendahnya sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai berikut:



1. Bagian kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan sains dan knowledge. 2. Bagian hati, menyangkut komitmen moral masing-masing komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk kepentinganbangsa dan negara, kepentingan dunia usaha, dan kepentinganseluruh umat manusia.komitmen mengandung tanggung jawabuntuk melakukan sesuatu hanya yang terbaik dan menguntungkan semua pihak. 3. Aspek skill atau keterampilan, yakni kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. 4. Fisik atau kesehatan. Ini menyangkut kemanpuan seseorang mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa pun memiliki kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang dengan kesehatan yang prima, tidak mungkin standar dalam mencapai tujuan. b. Struktur Ekonomi. Pada masa lalu struktur ekonomi yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan pengembangannya dilakukan secara bertahap. Sekarang tidak ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada penggantinya, sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalu memporak-porandakan produk lama yang bagus. 2.3 Bentuk-bentuk Korupsi Dalam UU No 31 Tahun 1999 UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara Korupsi yang terkait dengan pemerasan Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang



Dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi yaitu: 1. Model korupsi lapis pertama: Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya. 2. Model korupsi lapis kedua: Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.



Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional. 3. Model korupsi lapis ketiga: Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut. 2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: 



Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up



politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.  Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.  Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.  Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu



memenuhi



kebutuhan



penyelenggara



Negara,



mampu



mendorong



penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.  Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.  Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.  Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.  Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.  Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi



emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk.



BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar KKN yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan di Indonesia. KKN yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan KKN seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor KKN di Indonesia. 3.2. Saran Supaya korupsi ini tidak semakin meraja, perlu adanya pengawasan langsung dari presiden kita. Pembentukan komisi anti korupsi saja tidak cukup untuk memantau para koruptor. Apabila pejabat/menteri yang ketahuan melakukan tindak korupsi, apapun bentuknya, maka presiden langsung menindaknya. Bahkan harus dipecat langsung.



Semua elemen hukum pun harus bekerja sama. Kepolisian, pengadilan, lembaga masyarakat seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) harus ikut serta dalam memantau perkembangan korupsi di Indonesia. Perlu juga hukuman yang diterima oleh para koruptor ditambah dengan seberat-beratnya. Kalau perlu hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Sehingga ada efek jera kepada koruptor lain yang masih berkeliaran.



DAFTAR PUSTAKA Subandi, Idy, & Iriantara, Yosal. 2003. Melawan Korupsi Di Sektor Publik. Bandung: Saresehan Warga Bandung. Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila, Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma. Winarno. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara. http://www.emakalah.com/2013/04/bentuk-bentuk-korupsi.html http://denyrizkykurniawan.wordpress.com/2012/11/25/faktorpenyebab-korupsi/ http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi