Ulama Dan Aulia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RISALAH ( BAB 2 ) Risalah berarti tugas kerosulan, yaitu ajaran Allah swt. atau apa yang dibawa oleh rosul yang harus disampaikan kepada manusia. Risalah Muhammad berarti ajaran ajaran / pesan yang dibawa oleh nabi. Oleh sebab itu risalah erat sekali hubungannya dengan kata rosul. A. Kerosulan 1) Pengertian Nabi, Rosul, Aulia dan Ulama a. Nabi dan Rosul Kata Nabi berasal dari kata naba’a yang berarti pemberitahuan yang besar faedahnya. Nabi dalam istilah Islam adalah manusia yang dipilih Allah untuk menerima wahyu-Nya. Nabi dalam pengertian ini sama dengan pengertian rosul. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan, bahwa antara nabi dan rosul itu berbeda, Nabi mendapatkan wahyu dan tidak wajib menyampaikannya, sedangkan rosul mendapatkan wahyu dan wajib menyampaikannya kepada umat. Pendapat lain ialah nabi tidak itu membawa syari’at baru sedang rosul membawa syari’at baru. Dalam Al-Qur’an menggunakan kata nabi dan rosul untuk orang yang sama dan kadang-kadang menggunakan kata nabi dan rosul itu sekaligus. Kata nabi digunakan hanya khusus ditujukan kepada manusia pilihan Allah swt. sedang rosul ditujukan Allah untuk utusan lainnya, seperti malaikat. b. Aulia dan Ulama Aulia menurut pengetian Al-Qur’an diartikan sebagai pemimpin, pelindung, dan penolong yang diambil dari kata “wali”. Dalam pengertiannya yang umum kata aulia sebagai bentuk jamak dari kata “wali’ diartikan dengan pengertian khusus, yaitu orang-orang yang dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan khusus di bidang agama dan perjuangan agama. Ulama merupakan bentuk jama’ dari kata “Alim”, artinya orang yang mengetahui, atau orang yang berilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini termasuk dalam perkataan “ulama” adalah para sarjana dan para cendekiawan muslim dan non-muslim, kata “ulama” dapat mencakup setiap ahli ilmu, bukan hanya yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu agama. B. Peranan Muhammad dan perilaku yang dicontohkannya sebagai Rosul 1. Tujuan Allah mengutus Rosul Seorang Rosul tidak hanya bertugas menyampaikan risalah, ilahi, tetapi juga kewajiban untuk menyampaikan bimbingan dan contoh teladan bagi umat manusia. Oleh karena itulah, mengapa rosul yang dipilih Allah adalah seorang manusia. Q.S A-Anbiya (21):7 “kami tiada mengutus rosul-rosul sebelum kamu (Muhammad),



melainkan beberapa orang laki-laki yang kamu beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” Fungsi malaikat hanya menyampaikan berita dari Allah kepada para rosul. Sedangkan penyampaian ajaran kepada manusia dan untuk melakukan pembangunan sistem nilai ilahi ditengah kehidupan manusia, mesti manusia juga. Dalam menyampaikan wahyu Allah, seorang menggunakan bahasa kaumnya sebagai media komunikasi agar mudah di pahami dan dipatuhi. 2. Muhammad sebagai rahmat untuk alam semesta Tugas nabi adalah menyampaikan cinta kasih untuk alam semesta. Wujud dari rahmat untuk alam semesta bahwa peraturan-peraturan yang diajarkan Nabi Muhammad tidak hanya diperuntukan untuk mengatur dan memberi kebahagiaan pada bangsanya saja (bangsa Arab) tapi untuk seluruh umat manusia. 3. Muhammad sebagai Suri Tauladan yang baik Sebelum menjadi Nabi, Muhammad sudah dikenal dengan julukan AlAmin (dipercaya). Setelah mendapat wahyu dari Allah, dia sendiri yang pertama melaksanakan ajaran itu, kemudian barulah disampaikan kepada orang lain. Kehidupan dan pribadi Muhammad yang baik itu dijadikan oleh Allah sebagai pola kehidupan yang baik dan patut ditiru oleh manusia. Berpola pada ibadah yang baik di contohkannya. Fakta sejarah menjadi bukti kebenarannya, antara lain: a) Dimalam hari ia bertaubat dan bertagarub kepada Allah padahal ia tidak pernah berbuat dosa, b) Sewaktu berdagang ia menjadi pedagang yang ulet dan jujur, c) Sewaktu berperang ia berada di barisan yang terdepan, d) Orang yang meminta tolong ditolongnya, e) Orang yang meminta nasihat dinasehatinya, f) Tetangga yang sakit dikunjunginya, g) Ia menjadi kepala rumah tangga yang baik sekaligus menjadi pemimpin masyarakat yang baik dan menjadi teman serta sahabat yang baik. C. Wahyu 1) Pengertian Wahyu secara kebahasaan berarti pembertitahuan secara tersembunyi dan cepat (termasuk bisikan di dalam hati), surat tulisan dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui. Didalam Al-Qur’an sendiri wahyu digunakan dalam beberapa pengertian, antara lain: a. Isyarat, sebagaimana firman Allah swt: QS Maryam:11



“Maka ia (zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia member isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih pagi dan petang” b. Pembertitahuan secara rahasia, Q.S Al-A’aam:112 c. Ilham yang diberikan kepada manusia (tercantum dala surat AlQashshash(28):7) d. Ilham yang diberikan kepada binatang (tecantum dalam surat An-Nahl (16):68) D. Arti Agama Islam bagi Manusia Yang dimaksud dengan arti Islam bagi manusia adalah fungsi agama islam bagi manusia dan masyarakat untuk kehidupan dunia sebagai persiapan kehidupan akherat. Agama Islam adalah suatu supra sistem yang mengandung, antara lain: 1) System Aqidah atau keimanan dan keyakinan, 2) System syariah, yaitu sistem nilai dan norma yang mengandung ketentuan-ketentuan, perundang-undangan, peraturan bimbingan ajaran dan informasi, 3) Akhlak, atau pola perilaku yang didasarkan pada suatu sistem nilai dan norma Islam serta proses pembentukan ide atau konsep berpikir yang dapat melahirkan pola kegiatan interaksi dan bentuk-bentuk pranata sosial tertentu maupun karya budaya yang bersifat material dan konseptual. Sebagai hamba Allah manusia mempunyai kewajiban / tanggungjawab untuk beribadah / mengabdi kepada Allah. Manusia sebagai halifah Allah bertanggungjawab terhadap diri sendiri, masyarakat, dan alam sekitarnya. Fungsi Islam untuk manusia antara lain: 1. Merupakan informasi tentang hakikat manusia dalam arti memahami kapasitas dirinya, baik fisik maupun psikologis, sebagai potensi dasar manusia dan makhluk lainnya, 2. Merupakan informasi tentang makhluk Allah dan masalah ghoib yang tidak mungkin terjangkau oleh potensi manusia (akal, rasa, dll) yang menentukan bagi ketentraman hidup manusia dalam menghadapi kehidupan nyata maupun ghoib. 3. Merupakan informasi tentang Allah maha Pencipta dan maha Menentukan, Pengatur, Pemelihara segala yang diciptakan-Nya, baik di bumi maupun alam lainnya. 4. Merupakan petunjuk dan pedoman hidup yang benar bagi manusia, yang sesuai dengan kemampuan dan fitrahnya, 5. Merupakan hukum Allah mengenai mekanisme, proses dan hasil dari interaksi komponen-komponen alam semesta yang kemudian oleh manusia dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan dan sains.



BAB III PENUTUP Al-Qur’an menjelaskan kepada manusia bahwa diantara makhluk Allah terdapat orang-orang yang mempunyai kedudukan, kemampuan, tugas, peranan, dan fungsi tertentu disamping tugas umum setiap manusia menjadi khalifah di muka bumi. Khusus bagi para rosul ditandai dengan wahyu/kitabullah yang detail serta ruang lingkup isi yang terkandung didalamnya petunjuk dan pedoman hidup manusia didalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Al-Qur’an menegaskan, bahwa pedoman, petunjuk dan tuntutan yang diberikan kepada manusia tidak hanya AlQur’an tetapi juga berupa hadist/sunnah nabi, yaitu perkataan, perbuatan dan taqriri nabi. Jadi hadist/sunnah itu mempunyai fungsi tertentu dalam kedudukannya sebagai pemberi sumber hokum kedua. Hadist/sunnah itu pada dasarnya tidak diperintahkan nabi untuk ditulis oleh para sahabat, oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai keabsahannya. Penelitian itu telah dimulai sejak abad kesatu Hijriyah, sehingga berkembanglah berbagai cabang ilmu pengetahuan dibidang ilmu hadist/sunnah seperti kita kenal sekarang ini. Proses kehidupan manusia diatas dunia ini tidak bisa terlepas dari tujuan tertentu dari yang menciptakan manusia. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemauan (iradah), dan mempunyai akal pikiran yang potensial dalam membudayakan kehidupan bermasyarakat sebagai makhluk sosial.



ULAMA DAN AULIA 1. ULAMA Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama, Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11) Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[oran yang berilmu]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28) Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi. Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih) Mungkin yang dimaskud pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut adalah dibidang Agama saja, dimana beliau menkiyaskan dengan hadist Nabi “Bahwa Ulama adalah warisan Nabi”. Padahal jika ditinjau lebih jauh bahwa Rasulullahpun memiliki ilmu politik, ekonomi, ilmu perang, dsb… begitujuga dengan Masa khalifah berikutnya. Hal ini yang mungkin saya dapati dari pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut bahwa Ulama harus bisa mengayomi semua ilmu. Namun kenyataannya sekarang tidak demikian ada ahli agama, ada ahli teknoloogi, ada ahli ekonomi dsb. Mungkin dalam benak KH Kholil bahwa kata ilmuwan hanya terbatas pada keahlian suatu bidang tertentu dan tidak mencakup semuanya seperti yang terjadi pada masa Rasulullah dan ke-empat khalifah setelahnya. Bagaimana dia disebut pewaris Nabi yang memiliki ilmu jika hanya memiliki satu keahlian saja. Ada satu artikel menarik berikut ini, ditulis oleh salah seorang mahasiswa bernama Abd. Halim Fathoni Sumber artikel : http://www.malangkab.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=156



Re-Definisi Istilah Ulama Oleh: Abd. Halim Fathoni ([email protected],[email protected]) Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ‘ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : ‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al ulama’ artinya : sesungguhnya yang paling taqwa kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama (Fathir 28). ‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para nabi – hadits. Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah. Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Jadi Islamolog yang tidak beriman kepada Allah tidak masuk dalam kategori ulama. Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu dan amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan hadis. Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai zuama. Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali. (lihat al-Baqi, alMu’jam, hlm. 603-604). Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan Al-Qur’an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka



lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan. Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari NU- membuat kategorisasi ulama atas dasar ilmu, secara garis besar sebagai berikut: 1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan ‘maksud’ Qur’an. 2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya hadits) dsb. 3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqlinya. 4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin serta metodologi pencapaiannya. 5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya, metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli lainnya. 6. Ahli-ahli yang lain, i.e., ahli pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah mengalami ‘kecelakaan pemahaman’. Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan sebagai ulama hanyalah orang-orang yang mumpuni di bidang agamadalam hal ini meliputi tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang menambahkan ulama dalaha orang ahli agama yang memilki pondok pesantren (sekaligus memiliki santri). Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik, ahli ekonomi- yang nota bene juga merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan Guru/Dosen. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita – seperti berbagai istilah lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan Islam agama Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia, halaman 985).



Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak dari alim) hanya mempunyai arti “orang yang berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam Suprayogo (2006)-dalam bukunyaParadigma Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan bahwasannya selama ini, pembidangan ilmu agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq, tasawuf, bahasa arab, dan sejenisnya) telah berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama, seperti ulama fiqh, ulama tafsir, ulama hadits, ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya. Tetapi, tidak pernah dijumpai ulama yang menyandang ilmu selain tersebut. Misalnya ulama matematika, ulama teknik, ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana matematika, sarjana teknik, sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di bidang ini dipandang tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini, definisi ulama yang dikonstruk masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadits, dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya ulama tidak sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang terkait dengan objek yang dikaji. Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains, teknik, dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal. Misalnya menggunakan istilah madrasah yangberbeda dengan sekolah, guru dengan ustadz, kitab dengan buku, asrama mahasiswa dengan pondok pesantren, perpisahan dengan akhirussanah, dan lain sebagainya. Di sini, penggunaan konstruk yang bernuansa ke Arab-araban dipandang sebagai bernuansa spiritual transcendental yang dirasakan terdapat nuansa agama Islam. Untuk memahami lebih dalam bagaimana masyarakat membedakan antara konstruk yang bernuansa agama dengan yang bukan agama, dapat mengikuti pembedaan yang sama antara guru dengan ustadz. Disebut guru jika seseorang mengajar matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf, bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut dengan ustadz. Pembedaan seperti ini menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan bukan inklusif (terbuka), seolah-olah Islam hadir ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang berkenaan dengan ke-akhirat-an saja. Padahal kalau kita mau mencermati secara seksama dalam al-Qurâan dan al-Hadits justru lebih banyak berbicara tentang keselamatan hidup di sini dan sekarang, karena memang yang di sini dan sekarang akan berdampak pada kehidupan di akhirat yang nanti dan di sana. —————-



Artikel diatas adalah tanggapan atas pernyataan Ketua MUI tentang Ulama. Berikut artikel tersebut : Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Kholil Ridwan menyatakan, semestinya tradisi keilmuan dalam Islam melahirkan ulama, bukannya ilmuan. Sebab, antara ulama dengan ilmuan itu tidak sama. Menurutnya, ulama itu mempunyai kepekaan terhadap kondisi akidah umat, berjuang dengan ikhlas, tidak ingin popularitas, tidak menghallakan segala cara demi kekuasaan, apalagi mau disetir oleh pemikiran asing atau yang lebih buruk meninggalkan Islam itu sendiri. ”Tradisi ilmu dalam Islam itu melahirkan ulama. Ulama berbeda dengan ilmuan, ” ujar KH. Kholil Ridwan di sela-sela acara Tasyakur 5 tahun Institute for Study the Study of Islamic Thougth and Civilization (INSISTS) di Depok. Dijelaskannya, sosok ulama punya tanggungjawab keilmuan, moral, dan agama kepada Allah Swt. Sedangkan ilmuan bisa bebas dari nilai-nilai agama, moral, ataupun tidak beriman kepada Allah sekalipun. “Ulama dalam menyampaikan ilmunya harus berangkat dari iman. Jadi ia punya tradisi keimanan dan keilmuan secara berbarengan. Bebeda dengan ilmuan. Ia bisa bicara dan berbohong tergantung kemauannya karena tidak terikat iman, ” papar pengasuh pesantren Husnayain itu. Ia mengungkapkan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw juga disebutkan, bahwa ulama itu pewaris para nabi. Jadi bukan ilmuan yang mewarisi kenabian. ”Al-’Ulama waratsah alAnbiya. Di situ jelas sekali ulama yang ditunjuk Nabi sebagai pewaris para nabi, bukan semua orang yang berilmu, tapi harus punya dan menjaga imannya, ” sambung dia. Karena itu, Kyai Kholil berharap ke depan lahir ulama-ulama yang betul-betul mewarisi tradisi keilmuan yang dijarakan para nabi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ulama-ulama kita, bukannya mengikuti cara berpikir Barat. (dina)



2. AULIA Aulia menurut pengetian Al-Qur’an diartikan sebagai pemimpin, pelindung, dan penolong yang diambil dari kata “wali”. Dalam pengertiannya yang umum kata aulia sebagai bentuk jamak dari kata “wali’ diartikan dengan pengertian khusus, yaitu orangorang yang dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan khusus di bidang agama dan perjuangan agama. Ulama merupakan bentuk jama’ dari kata “Alim”, artinya orang yang mengetahui, atau



orang yang berilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini termasuk dalam perkataan “ulama” adalah para sarjana dan para cendekiawan muslim dan non-muslim, kata “ulama” dapat mencakup setiap ahli ilmu, bukan hanya yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu agama.