Dummy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Y



M M U D



Y



M M U D



5



Y



M M U D



6



D



FILSAFAT MODERN BARAT



M



M



U



Sebuah Kajian Tematik



Dr. Zaprulkhan, M.S.I



Y 7



Dalam episode panjang perjalanan sejarah umat manusia, kita telah menyaksikan sejauh mana monumen-monumen



D



kecerdasan dan pengetahuan jauh lebih lama bertahta daripada monumen-



monumen kekuasaan dan kekuatan tangan. Bukankah kalimat-kalimat sastra Homer masih mampu bertahan selama duapuluh lima abad bahkan lebih



U



tanpa kehilangan satu suku kata atau huruf pun tatkala istana-istana megah dan kuil-kuil



M



keagamaan, kastil-kastil mewah dan kota-kota besar



dalam sejarah telah mengalami kehancuran dan keruntuhan? (Francis Bacon)



Y



M 8



DAFTAR ISI



Halaman Judul



1



Daftar Isi



9



Kata Pengantar: Diskursus Epistemologi Filsafat Modern



12



Barat Bab 1



EPISTEMOLOGI RASIONALISME A. Pengantar



29



B. Pengertian Rasionalisme



30



C. Biografi Rene Descartes



32



D. Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650)



33



E. Penutup: Catatan Kritis Terhadap Rasionlieme



47



U



D Bab 2



EPISTEMOLOGI EMPIRISME



55



A. Pengantar



55



B. Pengertian Empirisme



56



C. Biogtafi John Locke (1632-1704 M)



58



D. Empirisme John Locke



60



M



M



E. Biografi David Hume (1711-1776 M)



65



F. Empirisme David Hume



67



G. Penutup: Catatan Kritis bagi Empirisme



73



Y



Bab 3



29



EPISTEMOLOGI FENOMENALISME



79



A. Pengantar



79



B. Pengertian Fenomenalisme



80



C. Biografi Immanuel Kant (1724-1804)



82



D. Epistemologi Fenomenalisme Immanuel Kant



84



E. Penutup: Antara Kontribusi dan Kritik



105



9



Bab 4



EPISTEMOLOGI POSITIVISME DAN



108



POSITIVISME LOGIS 108



B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Positivisme



109



C. Biografi Auguste Comte



114



D. Epistemologi Positivisme Auguste Comte



115



E. Biografi Alfred Jules Ayer



115



F. Epistemologi Positivisme Logis Alfred Jules Ayer



125



G. Penutup: Sebuah Catatan Kritis



134



EPISTEMOLOGI IDEALISME



139



A. Pengantar



139



B. Pengertian Idealisme dan Tipologinya



142



U



D



Bab 5



A. Pengantar



149



D. Idealisme Johann Gottlieb Fichte



151



E. Biografi Georg Wilhelm Friedrich Hegel



158



F. Idealisme Georg Wilhelm Friedrich Hegel



160



G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik



173



Bab 6



M



M



C. Biografi Johann Gottlieb Fichte



EPISTEMOLOGI MATERIALISME HISTORIS



177



A. Pengantar



177



B. Biografi Karl Marx



Bab 7



Y



C. Infrastruktur dan Suprastruktur



180 182



D. Perkembangan Sejarah dan Mode Produksi



189



E. Ideologi dan Kesadaran Semu



196



F. Kesadaran Kelas dan Revolusi



199



G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik



205



EPISTEMOLOGI INTUISIONISME



210



A. Pengantar



210 10



Bab 8



B. Pengertian Intuisionisme



211



C. Biografi Henri Bergson (1859-1941)



214



D. Intuisionisme Henri Bergson



217



E. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik



230



EPISTEMOLOGI EKSISTENSIALISME 233



B. Sejarah dan Pengertian Eksitensialisme



233



C. Biografi Soren Kierkegaard



235



D. Eksistensialisme Soren Kierkegaard



242



E. Biografi Jean Paul Sartre



268



F. Eksistensialisme Jean Paul Sartre



269



G. Penutup



287



Bab 9



U



D



A. Pengantar



294



A. Pengantar



294



B. Biografi Nietzsche dan Corak Filsafatnya



296



C. Nihilisme Nietzsche



303



M



EPISTEMOLOGI NIHILISME



1. Kebutuhan untuk Percaya



303



M



2. Manifesto Kematian Tuhan



307



3. Manusia Unggul



323



4. Moralitas Tuan



326



Y



D. Penutup: Antara Kritik dan Apresiasi DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS



330 345 351



11



D



Kata Pengantar



Diskursus Epistemologi Filsafat Modern Barat



U



Ketika Rene Descartes mengikrarkan Cogito ergo sum, I think, therefore I am, “Aku berpikir, maka aku ada”, ia menyuguhkan metode



M



kesangsian sebagai landasan metodis dalam filsafat pada awal fajar rasionalisme modern Barat. Lalu dilanjutkan David Hume yang menggulirkan wacana empirisme radikal dengan sebuah adagium



M



prinsipil: “No idea without antecedent impression; ideas are copies of impressions”, Tidak ada ide tanpa didahului kesan, sehingga ide-ide yang kita miliki merupakan salinan dari kesan-kesan yang kita tangkap



Y



dari dunia eksternal.



Kemudian muncul Immanuel Kant dengan mengusung epistemologi kritisisme atau fenomenalisme. Kant memulai proyek filsafat fenomenalisme-nya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat fundamental: What can we know? Apakah yang dapat kita ketahui? What are the limits of human knowledge? Apakah batas-batas pengetahuan manusia? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, 12



Kant hendak menyelidiki sejauh mana kekuatan sekaligus batas-batas kemampuan rasio manusia dalam mencandra ilmu pengetahuan. Dengan berpijak pada pertanyaan tersebut sebagai titik berangkat, Kant secara tegas menyatakan bahwa bangunan-bangunan filsafat sebelumnya bersifat dogmatisme: tidak pernah menguji lebih dahulu kapasitas akal manusia dalam memperoleh pengetahuan; kemampuan rasio manusia diterima dan dipercaya begitu saja dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan konsep-konsep filsafat. Dalam konteks inilah, konstruksi filosofis yang dibangun Immanuel Kant



D



disebut kritisisme atau fenomenalisme yang mengkritisi sekaligus sebuah upaya mendamaikan antara aliran filsafat rasionalisme dan empirisme.



U



Dalam perkembangan filsafat modern Barat selanjutnya, lahir pula idealisme melalui filsuf besar Jerman, Friedrich Hegel dengan



M



slogan tersohornya: “The real is the rational, and the rational is the real”, “Semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil”. Dengan berpijak pada rasio, Hegel ingin menjadikan



M



metode dialektika yang bersifat abstraksi-rasional dalam meneropong segala persoalan kehidupan.



Kemudian datanglah Karl Marx yang tidak puas dengan



Y



dialektika filosofis Hegel yang terlalu melangit. Marx menghendaki filsafat yang menjadi kekuatan emansipatoris dengan slogan yang menggugat wacana para filsuf sebelumnya: “Philosophers have only interpreted the world in different ways; the point is to change it”, “Para filsuf hanya sibuk menafsirkan dunia dengan beragam cara, padahal tujuan inti filsafat adalah merubah wajah dunia.” Selanjutnya muncul aliran filsafat eksistensialisme teistik yang percaya pada eksistensi Tuhan,



yang disuarakan oleh Soren 13



Kierkegaard. Kierkegaard menawarkan konsep The leap of faith, lompatan keimanan dalam puncak keberagamaan seseorang. Dengan lompatan imannya, keberagamaan seseorang menjadi benar-benar hidup dan eksistensi agama akan menemukan identitas hakikinya. Artinya, dengan mengakui statusnya sebagai yang tergantung pada Yang Ilahi atau Yang Mutlak, manusia sungguh-sungguh menghidupi agamanya sebagai pengakuan terhadap realitas tak terbatas yang berada di luar jangkauannya. Agama justru akan kehilangan identitas sejatinya ketika para



D



pemeluknya mendaku telah mengetahui segala-galanya. Agama sejati selalu mengakui keterbatasan manusia di hadapan Allah dan bahkan menganggap pengetahuan manusia sebagai sesuatu yang relatif di



U



hadapan yang Maha Tahu. “He ‘who makes the leap of faith, ‘recovers’ himself, his true self,” ‘Dia yang telah melakukan lompatan keimanan,



M



niscaya menemukan dirinya kembali, menemukan eksistensi dirinya yang sejati”, demikian deklarasi Kierkegaard. Namun wacana eksistensialisme yang berbeda juga digulirkan



M



oleh Jean Paul Sartre yakni eksistensialisme ateistik yang menolak eksistensi Tuhan. Dalam telaah Sartre, ketiadaan Tuhan diganti oleh kebebasan mutlak manusia itu sendiri. Sartre terkenal dengan sebuah



Y



adagiumnya: existence precedes essence, ekstensi mendahului esensi. Bagi Sartre, makna eksistensi mendahului esensi adalah pertama-tama manusia muncul dengan suatu adegan bebas dan baru setelah itu ia mulai mendefinisikan siapa dirinya. Manusia adalah sang penulis skenario hidupnya sendiri, tanpa dikendalikan siapapun, termasuk Tuhan. Bagi Sartre, eksistensi manusia adalah sebuah ruang keterbukaan tak bertepi. Dari sinilah, Sartre kemudian menegaskan sebuah asas pertama eksistensialisme: “Man is nothing else but what he 14



makes of himself”, “Manusia tidak lain hanyalah apa yang dia buat tentang dirinya sendiri”. Pada abad ke-19 timbul filsafat yang disebut positivisme, yang menitahkan prinsip: The only source of knowledge was observation and experience, satu-satunya sumber pengetahuan adalah observasi dan pengalaman. Dengan perspektif positivisme, kita tidak perlu mencari sesuatu yang berada di balik fenomena atau menemukan sebab-sebab yang bersifat teologis atau metafisis. Dengan kata lain, dalam sikap dasar ideologinya, positivisme memang bersifat duniawi, sekular, anti



D



teologis, dan anti metafisika. Namun pada penghujung abad ke-19 dan memasuki awal abad



ke-20 M, muncul aliran filsafat intuisionisme yang gelisah terhadap



U



perkembangan aliran-aliran filsafat rasionalme, empirisme, dan dalam tataran tertentu berpuncak pada positivisme yang telah menjadi amat



M



dominan saat itu di wilayah Barat dan Eropa. Aliran filsafat intuisionisme dicetuskan oleh filsuf tersohor Prancis Henri Bergson. Bergson mencurahkan pemikirannya secara luas dengan mengkaji



M



hakikat makna kehidupan dan struktur fundamental kehidupan yang mendasari gerak alam semesta, dan menjadikan intuisi sebagai kekuatan inti dalam diri manusia yang melampaui kehebatan fakultas



Y



panca indera dan akal.



Bagi Bergson, pengetahuan akal merupakan pengetahuan mengenai (knowledge about), yakni pengetahuan diskursif atau simbolis yang menggunakan perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan tentang (knowledge of), yaitu pengetahuan intuitif yang bersifat langsung. Hanya dengan menggunakan intuisi, kita dapat memperoleh pengetahuan sejati, pengetahuan langsung yang 15



bersifat mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi dan pengetahuan yang ada perantaranya. Tidak berhenti sampai di situ. Akhirnya di ambang modernitas, hadirlah Friedrich Nietzsche, sang filsuf nihilisme aktif yang membongkar semua pegangan pada suatu idea fixed dalam bentuk apapun yang menjadi rujukan makna dengan mewartakan kematian tuhan, “God is dead.” Nietzsche mengajak kita memasuki paradoksnya palung-palung kehidupan dan menyelami labirinnya yang tak berdasar. Ia membawa kita berlayar ke tengah-tengah ketakterbatasan samudera



D



kehidupan; Berenang secara seimbang antara permukaan gelombang dan kedalamannya tanpa harus berpuas diri dengan satu pegangan, sandaran, pujaan, atau kepercayaan; Sebab keyakinan adalah penjara.



U



Itulah sekilas perjalanan Filsafat Modern Barat. Akan tetapi, kapankah tepatnya hari kelahiran sebuah periode



M



yang disebut zaman modern? Istilah “modern” berasal dari kata latin moderna yang artinya sekarang, baru, atau saat kini. Atas dasar pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa



M



hidup di zaman modern, sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Banyak ahli sejarah menyepakati bahwa sekitar tahun 1500 adalah kelahiran zaman modern di Eropa. Sejak itu, kesadaran waktu akan



Y



kekinian muncul di mana-mana. Lalu, pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa sebelumnya orang tidak hidup di masa kini. Lebih tepat mengatakan bahwa sebelumnya orang kurang menyadari bahwa manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Oleh karena itu “modernitas” bukan hanya menunjuk pada periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan (newness). 16



Karena pertumbuhan



itu, adalah



istilah



perubahan,



istilah-istilah



kunci



kemajuan,



revolusi,



kesadaran



modern.



Pamahaman tentang modernitas sebagai suatu bentuk kesadaran itu lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis atau pun ekonomis. Dalam pemahaman-pemahaman terakhir ini orang menunjuk tumbuhnya sains, teknik dan ekonomi kapitalistis sebagai ciri-ciri masyarakat modern. Berbeda dengan pemahamanpemahaman sosiologis dan ekonomis, pemahaman kita di sini bersifat epistemologis: yang kita minati bukan perubahan institusional sebuah



D



masyarakat, melainkan perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau polapola berpikirnya.1



Modernitas juga merupakan sebutan bagi kondisi konkret



U



sosial, ekonomi, politik, dan budaya zaman modern yang berbeda dengan zaman pertengahan. Modernitas sendiri muncul karena



M



sekularisasi di segala bidang (politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya) karena semangat pemikiran bebas dan humanisme. Peristiwa-peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara



M



lain: (a) revolusi ilmu pengetahuan, (b) revolusi Prancis, dan (c) revolusi industri Inggris. Revolusi-revolusi tersebutlah yang kemudian melahirkan elemen-elemen modernisasi seperti sains dan teknologi,



Y



demokrasi dan kapitalisme.



Secara sosiologis, masyarakat Abad Pertengahan adalah masyarakat yang relatif kecil, homogen, tanpa pembagian kerja, di mana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Sebaliknya, masyarakat modern adalah masyarakat yang heterogen, industrial, dan sekuler, di mana sains dan teknologi memainkan peran



1



Budi. F Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 2-3.



17



kunci menggantikan tradisi dan agama. Secara umum modernitas berarti tumbuhnya industri, kota-kota, kapitalisme besar, keluarga borjuis, dan demokratisasi, 2 Sedangkan Anthony Giddens, mendefinisikan modernitas dilihat dari sudut empat institusi dasar. Pertama, kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti (propertyless), dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri tersebut. Kedua, adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang.



D



Industrialisme tak terbebas pada tempat kerja saja dan industrialisme memengaruhi



sederetan



lingkungan



lain



seperti



transfortasi,



komunikasi, dan bahkan kehidupan rumah tangga. 3 Ketiga, kemampuan



U



mengawasi yang mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga negara dalam lingkungan politis. Keempat, kekuasaan militer atau



perang.



M



pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan



Fenomena modernitas mendapat tanggapan baik positif



M



maupun negatif. Mereka yang menanggapi modernitas secara negatif biasanya adalah mereka yang menganggap masa sebelum peradaban modern muncul adalah masa indah di mana manusia tidak diatur-atur



Y



secara mekanis seperti mesin. Sedang mereka yang menanggapi secara positif adalah mereka yang optimis bahwa modernisasi akan membawa masyarakat keluar dari tempurung Abad Pertengahan dan menjadi lebih sadar, cerdas, dan bebas.4



2 Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 68. 3 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, op.cit, hlm. 555. 4 Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran, op.cit, hlm. 69.



18



Dalam perspektif Budi Hardiman, sebagai bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektivitas dimaksudkan agar manusia menyadari dirinya sebagai spectrum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Ilustrasi berikut mungkin dapat memperjelas konteks lahirnya subjetivitas modern. Dalam karya yang termasyhur Die Culture de Renaisance in Italien sejarawan Swiss, Jacob Burckhardt, menjelaskan bagaimana manusia dalam masyarakat abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai keluarga



D



atau kolektif. Lewat modernisasi yang dimulai dari Italia di zaman Renaisans manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. “Menjelang akhir abad ke-13” tulisnya, “sekonyong-konyong Italia



U



dipenuhi oleh pribadi-pribadi; penghalang individualisme telah dibobol; ribuan wajah individual menspesialisasikan dirinya tanpa



M



batas”.



Kemajuan ekonomi dan terutama seni di Italia besar andilnya dalam peningkatan kesadaran akan subjektivitas ini. Di dalam filsafat



M



kita telah mendengar pernyataan Descartes yang sangat masyhur, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada).5 Pernyataan ini adalah formasi padat kesadaran zaman modern yang terus dipertahankan



Y



bahkan sampai abad ke-20 ini bahwa manusia (individu) bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri. Di abad ke-19 Marx,6 dengan ilham dari Hegel,7 menegaskan bahwa manusia adalah subjek sejarah, yaitu bahwa manusia tidak hanyut dipermainkan waktu, 5



Mengenai Rene Descartes & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 1997), h. 111-127. 6 Mengenai Karl Marx & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Wright Mills, kaum Marxis, terj. Imam Muttaqien (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). 7 Mengenai Hegel & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 71-128.



19



melainkan



perancang



sejarahnya



sendiri.



Dengan



demikian



subjektivitas dipahami dalam matra historisnya. Elemen selanjutnya adalah kritik. Kritik sudah implisit dalam pengertian subjetivitas itu, sejuah dihadapkan dengan otoritas. Dengan kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengatahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan



individu



dari



wewenang



tradisi



atau



untuk



menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Di zaman Pencerahan, Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir



D



sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. 8 Dia sendiri mengatakan “terbangun dari tidur dogmatis” yaitu kemampuan kritis rasio membuatnya bebas dari prasangka-prasangka pemikiran tradisional.



U



Subjektivitas dan kririk pada gilirannya mengandaikan keyakinan akan kemajuan. Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari



M



waktu sebagai sumber langka yang tak terulangi. Waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu.



M



Sebagai suatu “periode” atau zaman, ketiga bentuk kesadaran di atas mulai muncul di abad ke-16, lalu memuncak di abad ke-18. Dewasa ini kita cukup gampang menerima perbedaan antara cara



Y



berpikir abad ke-16 dan seterusnya dengan abad-abad sebelumnya. Perbedaan yang terang itu adalah hasil dari perdebatan yang lama. Karena begitu kabur dan kompleksnya soal periodisasi ini, tidak mengherankan kalau baru abad ke-19 para sejarawan sepakat menentukan tanggal lahir modernitas pada abad ke-16, sambil



8



Mengenai Kant & perkembangan pemikirannya, lihat dalam Hector hawton, Filsafat yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Ikon, 2003), hlm. 105-126.



20



membedakan zaman sebelumnya sebagai “abad pertengahan”. Istilah medium aevum (Zaman Tengah) sudah muncul di awal modernitas. Istilah itu berasal dari Flavio Biondo (1392-1463). Yang dirujuk sebagai peristiwa-peristiwa terpenting yang menjadi awal modernitas itu adalah gerakan Renaisans, reformasi, tapi juga penemuan-penemuan benua-benua baru, penemuan mesin cetak dan mesiu. Pemikiran filsuf yang hidup mulai dari abadi ke-16 ini kemudian dicirikan sebagai “modern” karena bukan kebetulan gerakan-gerakan sosial dan penemuan-penemuan itu juga melahirkan pemikiran-pemikiran yang



D



berpusat pada manusia sebagai subjektivitas, rasio sebagai kemampuan kritis, dan sejarah sebagai kemajuan. 9 Apa yang membedakan pemikiran modern dengan pemikiran



U



zaman sebelumnya yang disebut “tradisional” itu? Pemikiran abad pertengahan ditandai oleh kesatuan, keutuhan, dan totalitas yang



M



koheren dan sistematis yang tampil dalam bentuk metafisika atau ontologi. Oleh pemikir abad pertengahan kenyataan dilukiskan sebagai sebuah tatanan sistematis yang hierarkial: mulai dari kenyataan yang



M



tertinggi sampai terendah, dari yang abstrak sampai yang paling konkret, dst. Filsafat Thomas Aquinas adalah puncak dari pemikiran abad pertengahan ini. Pemikiran modern lalu dapat dipahami sebagai



Y



suatu pemberontakan terhadap alam pikir abad pertengahan itu. Sejarah filsafat modern, lalu, bisa dilukiskan sebagai pemberontakan intelektual terus-menerus terhadap metafisika tradisional. Dari pemberontakan ini, cara berpikir filosofis yang mendasarkan diri pada rasio menjadi otonom dari pemikiran atas dasar iman yang dikenal sebagai “teologi”. Pemisahan filsafat dan teologi berlanjut pada abad ke-18. 9



Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 3-5.



21



Pemberontakan intelektual itu bisa dilihat dari dua sudut yang berbeda. Di satu sisi, kita bisa menganggap modernitas sebagi disintegrasi intelektual. Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarkhi dan kekacauan daripada ketuhanan dan ketertiban. Filsafat modern, dalam wawasan ini, adalah sebuah kemerosotan intelektual. Mereka yang ingin mempertahankan metafisika tradisonal berada pada posisi ini. Di sisi lain, kita bisa menganggap filsafat modern sebagai sebuah emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegkan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung



D



system kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka yang berbeda pada posisi kedua ini akan mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dan filsafat. Kita tidak bisa memihak salah satu



U



posisi secara ekstrem. Dalam kenyataan, hancurnya metafisikan tradisional disambut gembira oleh filsuf-filsuf, seperti: Nietzsche, Kant,



M



Comte, dst, di pihak lain, Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.10 Pertanyaan kita selanjutnya adalah, sejak kapan filsafat



M



mendapat tenaga intelektualnya untuk memberontak terhadap cara berpikir Abad Pertengahan? Jawabannya adalah sejak Renaisans, dan kemudian dilanjutkan dengan Reformasi Protestan. Oleh karena itu,



Y



penting dibahas di sini pentingnya zaman ini dalam pembentukan pemikiran-pemikiran yang sekarang kita sebut “modern”.



Istilah Renaisans (Prancis: Renaissance) secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Istilah yang mendahului istilah Prancia itu adalah kata Italia rinascita (Latin: renasci). Yang lahir kembali adalah kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, setelah berabad-abad dikubur



10



Ibid., hlm. 5-6.



22



oleh masyarakat abad pertengahan di bawah pimpinan gereja. Di sini kita perlu hati-hati agar tidak terjebak ke dalam simplikasi: Kata “kelahiran kembali” atau “kembali ke” kultur antik lebih merupakan slogan. Memang warisan-warisan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno dipelajari lagi oleh para cendikiawan yang pada zaman itu disebut “kaum humanis”. Namun hasil pengolahan kembali warisan antik itu adalah sesuatu yang baru, sehingga Renaisans itu bukanlah produksi kultur antik, melainkan reinterpretasi baru atasnya. Para humanis tersebut



D



memandang kebudayaan klasik sebagai puncak peradaban Barat. Dalam hal ini mereka tidak sekedar bernostalgia tentang masa silam, melainkan memanfaatkan minat-minat kebudayaan klasik itu demi



U



kepentingan masa depan kebudayaan Barat. Usaha mereka bersifat progresif justru karena lewat minat penelitian filosofis zaman



M



Renaisans, mereka menemukan nilai-nilai klasik yang harus dihidupan kembali dalam kebudayaan Barat demi masa depannya, yaitu: penghargaan atas dunia-sini, penghargaan atas martabat manusia, dan



M



pengakuan atas kemampuan rasio.11



Jika kita mendiskusikan spektrum epistemologi Filsafat Modern Barat, maka cakupannya sangat empirisme



positivisme,



materialisme,



fenomenalisme



Y



rasionalisme,



luas yaitu meliputi



intuisionisme,



(kritisisme),



idealisme,



eksistensialisme



dan



nihilisme. Belum lagi dengan varian-varian kecil dari berbagai aliran filsafat modern Barat tersebut dengan beragam filsufnya masingmasing yang



memiliki karakteristik filosofis tersendiri. Namun



menurut Frederick Copleston, kajian filsafat modern Barat bisa dimulai



11



Ibid., hlm. 8-9.



23



dari filsuf Rene Descartes yang mendapat gelar sebagai Bapak Filsafat Modern.12 Karena itulah, tulisan ini tetap berupaya membahas sebagian besar dari aliran-aliran epistemologi filsafat modern Barat yang mencakup rasionalisme,



empirisme,



fenomenalisme (kritisisme),



positivisme dan positivisme logis, idealisme, materialisme historis, intuisionisme, eksistensialisme, dan nihilisme dengan menghadirkan sejumlah filsuf avant-garda yang mewakili alirannya masing-masing. Marilah kita memasuki tema-tema dalam karya ini secara



D



sekilas. Dalam bab pertama kita akan mendiskusikan epistemologi dalam filsafat rasionalisme. Di sini kita akan melihat bagaimana makna rasionalisme secara cukup detil; kemudian kita akan menelaah



U



epistemologi rasionalisme melalui salah seorang filsuf dipermulaan abad modern yang paling representatif bagi filsafat rasionalisme yaitu



M



Rene Descartes yang dijuluki sebagai Bapak filsafat modern Barat. Secara garis besar, kita akan menyelami secara mendalam tahapantahapan cara kerja metode keraguan yang diciptakan Descartes, ide-ide



M



bawaan dan eksistensi Tuhan. Kemudian tulisan ini diakhiri dengan penutup yang berisi beberapa noktah catatan kritis terhadap doktrin rasionalisme yang dibangun Rene Descartes.



Y



Bab dua kita akan mengkaji epistemologi empirisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertiannya secara sekilas; Kemudian untuk merasakan langsung warna pemikiran filosofis aliran empirisme, kita akan melihat secara langsung epistemologi aliran empirisme melalui dua filsufnya yang sangat tersohor yaitu John Locke dan David



12



Frederick Copleston, A History of Philosophy (London: Burns Oates & Washbourne, 1958), hlm. 1.



24



Hume; Dan bab ini akan diakhiri dengan secercah catatan kritis terhadap beberapa noktah kelemahan epistemologi empirisme. Dalam bab tiga akan menelisik epistemologi fenomenalisme. Disini kita akan menelusuri bagaimana pengertian fenomenalisme secara



filosofis;



mengeksplorasi



pijakan-pijakan



argumentatif



epistemologi fenomenalisme melalui perspektif Immanuel Kant, dan diakhiri dengan catatan penutup untuk melihat kontribusi sekaligus tilikan kritis terhadap fenomenalisme Kant. Di sini perlu ditegaskan, bahwa epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant yang kita bahas ini



D



hanya dibatasi pada ranah filsafat murni yang berhubungan dengan akal murni (pure reason) dan tidak membahas wilayah filsafat moralnya yang mencakup practical reason (akal praktis).



U



Selanjutnya memasuki bab empat kita akan mengeksplorasi epistemologi positivisme dan positivisme logis. Fokus kajian dalam bab



M



ini: kita akan melihat bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan aliran-aliran positivisme hingga dewasa ini; menjelajahi secara spesifik epistemologi positivisme Auguste Comte dan aliran positivisme logis;



M



serta dipungkasi dengan konklusi yang berisi setitik apresiasi dan catatan kritis terhadap epistemologi positivisme.



Sedangkan dalam bab lima kita akan membahas epistemologi



Y



idealisme. Dalam bab ini, kit akan mendiskusikan epistemologi idealisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian idealisme secara umum dan tipologinya. Selanjutnya ditayangkan konstruksi idealisme melalui dua filsuf besar Jerman: Ficthe dan Hegel. Dalam bagian penutup, akan disoroti sekilas keistimewaan sekaligus catatan kritis terhadap konstruksi idealisme kedua filsuf tersebut. Selanjutnya memasuki bab enam, kita akan membahas pemikiran materialisme historis Karl Marx, sang filsuf perubahan 25



revolusioner. Di sini kita akan menelusuri wacana materialisme historis yang meliputi wacana-wacana tentang infrastruktur dan suprastruktur, perkembangan sejarah dan mode-mode produksi, ideologi dan kesadaran semu, kesadaran kelas dan revolusi sosial, serta diakhiri dengan kesimpulan yang berisi apresiasi dana catatan kritis terhadap materialisme historis yang diusung oleh filsuf revolusioner tersebut. Memasuki



bab tujuh,



kita



memperbincangkan



tentang



epistemologi intuisionisme. Dalam bab ini, kita akan melihat bagaimana makna intuisi secara agak detil dan pengertian singkat Kemudian



kita



D



intuisionisme;



akan



mengikuti



epistemologi



intuisionisme Bergson yang lebih memprioritaskan keunggulan intuisi ketimbang akal; Dan akhirnya dipungkasi dengan refleksi kritis sebagai



U



catatan penutup.



Sedangkan dalam bab delapan, kita menelisik wacana



M



epistemologi eksistensialisme. Di sini akan dibahas dua aliran besar eksistensialisme yaitu eksistensialisme teistik atau eksistensialis yang percaya dan tidak menolak Tuhan, dan eksistensialisme ateistik atau



M



eksistensialis



yang tidak percaya



eksistensialisme



teistik



diwakili



atau menolak Tuhan.



oleh



filsuf



semacam



Jika Soren



Kierkegaard, Gabriel Marcel, dan Martin Buber, eksistensialisme



Y



ateistik direpresentasikan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Friedrich Nietzsche. Karena itu, bab ini hanya menelaah kedua aliran besar eksistensialisme tersebut dengan menghadirkan gagasan sentral salah satu filsuf aliran tersebut masingmasing yaitu Soren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre. Sementara itu, bab sembilan akan mengeksplorasi wacana epistemologi nihilisme. Dalam bab ini kita akan mengeksplorasi epistemologi nihilisme yang disuarakan oleh Nietzsche. Namun dalam 26



membicarakan nihilisme Nietzsche, kita harus berangkat dari beberapa konsep dan wacana Nietzsche yang mengkonstruksi bangunan epistemologi nihilismenya yaitu kebutuhan untuk percaya, manifesto kematian Tuhan, menusia unggul, dan moralitas tuan. Di bagian akhir wacana, kita akan menorehkan sedikit catatan apresiasi sekaligus kritis terhadap wacana epistemologi nihilisme Nietzsche. Sebagaimana judulnya, Filsafat Modern Barat: Sebuah Kajian Tematik, buku ini dapat di gunakan para mahasiswa di semua Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama Islam seperti



D



UIN, IAIN, STAIN atau perguruan tinggi lainnya yang bernafaskan studi Islam yang mengkaji materi epistemologi filsafat modern Barat. Dalam konteks ini, saya mesti menghaturkan ungkapan terima



U



kasih yang tak terhingga kepada belahan jiwaku, Nuran Hasanah. Sebab dialah yang mengetik seluruh naskah dalam buku ini sekaligus



M



melakukan pengeditan ulang. Bahkan dia pula yang mendesain cover awal buku ini secara kreatif dan artistik! Sehingga tampilan buku ini semakin terlihat kompatibel dengan judul dan isinya. Seperti biasa,



M



saya hanya mengkonstruksi wacana-wacana tersebut secara manual, setelah selesai dialah yang mengetiknya ke dalam laptop. Setelah rampung semuanya, baru tugas saya memberikan finishing touch



Y



secukupnya. Karena itulah, dialah yang menjadi the real editor terhadap karya ini.



Akhirnya, sebagai tahap awal, apa yang tertuang dalam buku filsafat ilmu ini tentu saja masih terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan, sehingga kritik konstruktif dari para ahli sangat diharapkan demi perbaikan ke arah yang lebih sempurna. Semoga karya yang cukup bersahaja ini mudah dipahami oleh para mahasiswa yang 27



mengkajinya, serta menorehkan secercah manfaat bagi kita semua, amin.



Pangkalpinang, Akhir Desember 2017



Zaprulkhan



Y



M



M



U



D 28



BAB 1 EPISTEMOLOGI RASIONALISME A. Pengantar “No fact can be real and no statement true unless it has a sufficient reason why it should be thus and not otherwise”.13 Frase tersebut dilontarkan oleh Wilhelm Leibnitz, salah seorang filsuf abad modern aliran rasionalisme. Doktrin filsafat rasionalisme meyakini bahwa sejumlah ide atau konsep adalah dapat terlepas dari pengalaman dan bahwa kebenaran itu juga dapat diketahui hanya dengan kekuatan penalaran.



D



Doktrin filsafat rasionalisme memandang bahwa rasio manusia memiliki kekuatan dalam mengkonstruksi ilmu pengatahuan tanpa dilengkapi dengan pengalaman empiris. 14



U



Bahkan pengalaman-pengalaman empirisme pun dalam berbagai



bentuknya jika tidak dapat dijustifikasi melalui penalaran akal, dianggap tidak dapat diterima oleh filsuf aliran rasionalis. Sebagaimana dalam statemen



M



Leibnitz di atas, bahwa fakta-fakta empiris bisa saja menjadi tidak nyata, dan ungkapan-ungkapan apa pun tidak bisa dinilai benar jika tidak memiliki sebuah alasan yang memadai mengapa harus nyata dan benar, dan bukan



M



sebaliknya.



Dalam bab ini, kita akan mendiskusikan epistemologi dalam filsafat rasionalisme. Di sini kita akan melihat bagaimana makna rasionalisme secara



Y



cukup detil; kemudian kita akan menelaah epistemologi rasionalisme melalui salah seorang filsuf dipermulaan abad modern yang paling representatif bagi filsafat rasionalisme yaitu Rene Descartes. Secara garis besar, kita akan menyelami secara mendalam tahapan-tahapan cara kerja metode keraguan yang diciptakan Descartes, ide-ide bawaan dan eksistensi Tuhan. Kemudian 13



Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 354. 14 Milton D. Hunnex, Peta Filsafat ,Terj. Zubair (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 8 dan 11. 29



tulisan ini diakhiri dengan penutup yang berisi beberapa noktah catatan kritis terhadap doktrin rasionalisme yang dibangun Rene Descartes. B. Pengertian Rasionalisme Istilah rasionalisme yang berasal dari bahasa Inggris, rasionalism, memiliki akar dari bahasa Latin yaitu ratio yang berarti akal. Dalam makna sempit, rasionalisme menegaskan bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan indrawi. 15 Secara lebih rinci, terdapat ajaran-ajaran pokok rasionalisme antara



D lain:



1. Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental, yang tidak dapat disangkal a) tentang apa yang ada dan



U



mengenai strukturnya, b) tentang alam semesta pada umumnya. 2. Realitas dapat diketahui—atau beberapa kebenaran tentang realitas diketahui—secara



tidak



M



dapat



tergantung



dari



pengamatan,



pengalaman, dan penggunaan metode empiris. 3. Pikiran mampu mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang



M



mendahului pengalaman apa pun juga (tetapi yang bukan kebenaran analitis). Kebenaran-kebenaran ini adalah gagasan bawaan dan secara isomorfis cocok dengan realitas.



4. Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan



Y



pada dasarnya adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional yang hanya secara tidak langsung berhubungan dengan pengalaman indrawi ini.



5. Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-indrawi, tetapi dengan kriteria seperti: konsistensi logis.



15



Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 929. 30



6. Terdapat metode (cara) rasional (deduktif, logis, matematis, inferensial) yang dapat diterapkan pada materi soal pokok apa saja dan yang dapat memberikan kita penjelasan yang memadai. 7. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat dicapai dengan pikiran murni. Kepastian (dan keniscayaan) mutlak adalah ciri pokok baik dari realitas maupun dari semua pengetahuan yang benar. 8. Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri, yang timbul dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar, nyata, dan pasti; semua yang lain tunduk kepada kekeliruan, kesesatan, ilusi,



D



dan ketidakpastian.



9. Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas (bentuk) logika. Ia adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional



U



(logis) yang aturannya cocok dengan logika. 10. Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat



M



dianggap dideduksi dari prinsip-prinsip atau hukum-hukumnya. Berbeda dari aliran pemikiran seperti: Empirisme, Positivisme-logis, Intuisionisme, Relasionisme. 16



M



Meskipun demikian, sebagian kaum rasionalis tidak meyakini secara total bahwa seluruh pengetahuan yang kita miliki diraih hanya melalui akal semata. Sebagian besar filsuf aliran rasionalis juga sepakat bahwa sebagian pengetahuan kita, seperti matahari yang sedang bersinar, jerapah yang



Y



mempunyai bintik-bintik di sekujur tubuhnya, keberadaan hewan yang bernama



dinosaurus,



bisa



kita



dapatkan melalui



observasi



dengan



menggunakan panca indera kita. Namun para filsuf aliran rasionalis secara spesifik berpegang pada keyakinan bahwa sebagian dari pengetahuan kita tentang realitas, terutama pengetahuan-pengetahuan kita yang paling fundamental, dapat dicapai tanpa melalui pengamatan indrawi. Sebagaimana kita dapat menangkap kebenaran-kebenaran matematis dengan menggunakan 16



Ibid., hlm. 929-930. 31



penalaran dalam pikiran kita, maka kita juga dapat memahami prinsip-prinsip hukum alam semesta tanpa harus mengadakan observasi empirikal terhadap alam semesta.17 C. Biografi Rene Descartes Masyarakat



tempat



Descartes



hidup



berciri aristokrat, yakni memberi tempat utama kepada elite bangsawan. Minat elit ini adalah pada masalah metafisika Skolastik. Sementara itu, dari kalangan yang sama mulai tumbuh minat baru terhadap matematika, geometri, dan fisika



situasi macam ini, seperti juga yang dihadapi Bacon,



Bruno,



dan Machiavelli,



filsuf ini



U



D



yang mulai giat dipelajari pada zaman itu. Dalam



menghasilkan refleksinya. Descartes lahir dari



kalangan borjuis yang sedang mekar saat itu, di kota La Haye di wilayah



M



Touraine. Ayahnya adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik, sedangkan ibunya meninggal sejak kelahirannya. Kesehatan Descartes pun buruk. Seumur hidupnya, dia kerap diganggu sakit batuk yang tak kunjung sembuh,



M



sementara dia sendiri enggan berurusan dengan dokter. Namun, otaknya encer. “Sejak kecil aku diasuh lewat ilmu pengetahuan” tulisnya. Di usia 8 tahun, dia disekolahkan di La Fleche, sekolah berikut asrama yang dikelola pater-pater Yesuit. Para Yesuit ini sangat mengagumi kecerdasan Descartes,



Y



sampai ia mendapat hak istimewa untuk bangun terlambat. Agaknya mereka maklum bahwa Descartes sering menemukan gagasan briliannya selagi di atas ranjang. Tentu privilegi itu menimbulkan rasa iri pada teman-temannya. Sampai usia tua Descartes masih meneruskan kebiasaannya untuk terlambat bangun pagi. Selesai di La Fleche, Descartes ke Paris. Sejak itu dia menikmati masa mudanya dengan melancong sampai ke Belanda, Jerman,



17



Manuel Velasquez, Philosophy, op. cit, hlm. 355. 32



Hungaria, Swiss, Italia, Swedia.18 Sebagai pemikir modern yang yang pertama mempelajari persoalan metode berfilsafat, dia diberi gelar Father of modern philosophy.19 Ia menetap di Belanda selama 20 tahun dan meninggal di Swedia. Karya utamanya di bidang filsafat ialah Discourse on Mtehod; Meditions dan Principles.20 D. Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650) 1.



Metode Kesangsian Metodis Rene Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut



Bertrand Russell, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada Zaman Modern itu yang



D



membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir Abad Pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan



U



bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya.21 Meskipun muara pijakan akal itu sendiri, menurut



M



Descartes harus bergantung secara mutlak kepada Tuhan yang Maka Absolut. Descartes mengarang beberapa karya penting dalam bidang matematika. Namun karya terpentingnya dalam filsafat murni adalah



M



Discourse on Method dan Meditations. Dalam kedua karya besar inilah, Descartes menciptakan metode keraguan justru untuk menghilangkan keraguan itu sendiri. Dalam temuan Descartes, salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat



Y



seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Bila kita secara sistematis mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, akhirnya kita akan mencapai



18



F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 34-35 19 John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 77. 20 Ibid. 21 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004 ), hlm. 112. 33



titik yang tidak bisa diragukan, sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di atas dasar kepastian absolut. Keraguan yang diteruskan sejauh-jauhnya, akhirnya akan membuka tabir sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi, kalau hal itu memang ada. Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut “keraguan metodis universal”. Keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan tersebut akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan ini disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran.



D



Akhirnya keraguan yang digunakan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi sebagai usaha mempertanyakan yang dilakukan akal budi atau jiwa manusia.22



U



Mari kita eksplorasi cara kerja epistemologi methodological doubt Descartes yang melalui beberapa tahapan. Pertama-tama, Descartes mencoba



M



menggunakan semua yang dapat dilihat oleh panca indra dan sekaligus meragukan kemampuan panca indra itu sendiri. Dapatkah kita mempercayai ketepatan panca indra kita dalam menangkap suatu objek dengan tepat dan



M



akurat? Kita menyadari bahwa panca indra kita tidak bebas dari beberapa kelemahan. Kita melihat secara langsung bahwa matahari dan rembulan terlihat kecil; Padahal kita sadar bahwa kedua planet itu sangat besar, bahkan ukuran matahari ribuan kali lebih besar daripada bumi tempat kita tinggal.



Y



Ketika kita mendengar guntur atau melihat kilat, panca indra kita mengatakan semua yang kita lihat dan dengar itu terjadi saat kita melihat dan mendengar. Namun penelitian saintifik telah menemukan bahwa kedua fenomena tersebut telah terjadi beberapa menit sebelum sampai di kedua mata dan telinga kita. Di pagi hari, waktu kita keluar rumah, kita merasakan kehangatan sentuhan cayaha matahari di tubuh kita. Boleh jadi perasaan kita mengatakan 22



P. Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 28-29. 34



bahwa cahaya itu adalah cahaya yang langsung berasal dari matahari saat kita merasakan kehangatan cahayanya. Padahal para saintis telah mengukur bahwa waktu cahaya matahari untuk sampai ke bumi, untuk menyentuh tubuh kita membutuhkan waktu kurang lebih delapan menit. Jadi tatkala kita merasakan hangatnya sentuhan sinar matahari, itu adalah sinar cahaya yang dikirimkan oleh matahari sekitar delapan menit yang lalu. Begitu juga, tongkat yang lurus terlihat bengkok di dalam air; Kedua rel kereta api yang terpisah terlihat menyatu dari kejauhan; Dan di saat terkena demam, seringkali makananmakanan yang manis justru terasa pahit di lidah kita. Semua panca indra ini menjadi tidak dapat diandalkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. 23



D



Dari keraguan terhadap panca indra, Descartes mulai meragukan



keadaannya sendiri, meragukan tubuhnya, meragukan eksistensinya sendiri. Tidak ada yang bisa memastikan eksistensi seseorang secara mutlak, sebab



U



dalam ilusi, halusinasi, dan mimpi ia juga menemukan eksistensi yang sama namun tidak riil. Descartes mengakui bahwa tampaknya tidak masuk akal



M



untuk meragukan banyak hal, “misalnya, de facto saya ada di sini, duduk dekat api, mengenakan baju panjang, memegang kertas ini di tangan dan beberapa hal yang serupa”. Tetapi ia melanjutkan:



M



“Pada waktu yang sama saya harus ingat bahwa saya adalah seorang manusia, dan bahwa dengan itu saya mempunyai kebiasaan tidur, dan di dalam mimpi tampak bagi saya hal-hal yang sama atau kadang-kadang bahkan hal-hal yang lebih



Y



meyakinkan, daripada mereka yang kurang waras di dalam saatsaat mereka terjaga. Barang kali telah terjadi pada diri saya bahwa di malam saya bermimpi saya menemukan diri di tempat khusus ini, bahwa saya berpakaian seperti ini dan duduk dekat api, sedang di dalam kenyataannya saya tidur di bed! Pada saat ini memang tampaknya saya terjaga sewaktu memandangi kertas 23



Bertrand Russell, Berpikir Ala Filsuf Terj. Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hlm. 28. 35



ini; bahwa kepala yang saya gerakkan ini tidak tertidur, bahwa dengan



sengaja



saya



merentangkan



tangan



dan



memperhatikannya; apa yang terjadi di dalam tidur kelihatan tidak sejelas dan serinci ini. Tetapi di dalam memikirkan kembali hal ini mengingatkan diri saya bahwa pada banyak kesempatan saya telah tertipu di dalam tidur oleh ilusi-ilusi yang serupa, dan di dalam merenung dengan teliti ini saya melihat dengan begitu jelas



bahwa



tidak



ada



petunjuk-petunjuk



pasti



yang



memungkinkan kita membedakan dengan jelas antara keadaan terjaga dan keadaan tidur sehingga saya terseret di dalam



D



kekaguman”.



Ini adalah”keraguan mimpi”-nya Descartes yang sangat terkenal itu. Intinya



U



mudah ditangkap. Ketika saya bermimpi saya sepertinya menemukan diri di antara objek-objek yang nyata, lepas dari saya, dan di luar kontrol saya. Namun kenyataannya mereka tidaklah nyata dan tidak lepas dari saya.



M



Bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu bermimpi? Bagaimana saya tahu bahwa dunia yang saya lihat berada di luar saya, de facto bukan merupakan bagian dari imajinasi saya? Sebagaimana badan saya yang



M



tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan saya.



Y



Jangan-jangan semua hal yang sampai saat ini saya yakini begitu jelas berada di luar imajinasi saya, kenyataannya hanyalah hasil ulah pikiran saya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi! Kalau halnya demikian, suatu nada sendu terdengar sayup-sayup di sini. Sebab bersamaan dengan itu, yang runtuh di dalam hancurnya duniaku ke dalam mimpi bukan hanya menaramenara yang tertutup awan dan istana-istana megah, tetapi juga sesamaku: sahabat, orang-orang tercinta, orang-orang yang menyebabkan hidupku terasa begitu bahagia. Kalau kesadaran baruku ini benar, terbukti bahwa semuanya yang semula saya kira berbeda dari saya tidak lain hanyalah bayang-bayang



36



yang saya temui di dalam mimpi, yang tidak berbeda dari saya dan proyeksi diriku sendiri.24 Dengan menyuguhkan beberapa pengalaman tertipunya indra kita dalam sejumlah kasus riil, Descartes hendak menunjukkan bahwa panca indra kita memang pantas untuk diragukan dalam mewartakan informasi yang valid. Karena panca indra dapat dengan mudah keliru dalam mengkonstruksi realitas, konsekuensinya keadaan kita juga yang selalu melakukan observasi eksternal belum tentu eksis. Kalau indra kita dan eksistensi kita tidak dapat dijadikan sumber kepastian pengetahuan, lalu bagaimana dengan ide-ide kita yang dikatakan Plato sebagai sumber eksistensi hakiki?.



D



Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan



pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide-ide yang



U



bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak



M



cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang melanggar hukum-hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika



M



dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari-hari bukan mimpi belaka, bahwa sewaktu-waktu kita akan bangun dari mimpi ini?



Y



Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme



24



Ibid., hlm. 30-32. 37



Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita akan sesuatu yang pasti mutlak. 25 Sampai pada titik ini, penjelajahan keraguan metodis Descartes belumlah menemukan titik perhentian dan kepuasan. Sebab masih ada kebenaran-kebenaran yang selama ini sudah lazim dianggap sebagai kebenaran pasti dan tidak pernah salah; serta bersifat universal di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi seperti apa pun yaitu kebenaran-kebenaran dalam bidang geometri, aritmatika, logika, maupun matematika. Kebenaran lima kali lima berjumlah dua puluh lima adalah kebenaran universal kapan pun dan dimana pun. Kebenaran setiap segi empat pasti mempunyai bagian



D



empat sisi merupakan kebenaran abadi kapan pun dan dimana pun. Begitu pun kebenaran logika universal bahwa tidak ada yang bisa muncul dari ketiadaan (nothing) menjadi kebenaran logis yang benar sepanjang waktu.



U



Akan tetapi terhadap kebenaran-kebenaran pasti yang oleh kebanyakan orang sudah dianggap mutlak kebenarannya ini pun masih



mungkin saya



M



membuka peluang keraguan bagi Descartes. Sebab, kata Descartes sangat salah menghitung jumlah angka-angka,



baik dalam



penjumlahan maupun perkalian (apalagi dalam jumlah yang sangat besar).



M



Bisa jadi juga saya keliru dalam mengukur atau menghitung sisi yang terdapat dalam sebuah segi empat dan lainnya. 26 Lebih-lebih dalam logika, tidak menutup kemungkinan kita keliru dalam meletakkan penilaian-penilaian logis. Petikan singkat argumentasi Descartes tentang kemungkinan keliru dalam



Y



dunia matematika atau aritmatika berjalan begini:



“Sebagaimana saya sering membayangkan bahwa banyak orang menipu diri sendiri di dalam hal-hal yang mereka pikir mereka ketahui benar-benar, bagaimana saya tahu bahwa saya tidak menipu diri setiap saat saya menambahkan dua dan tiga, atau 25



Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007), hlm. 76-77. 26 Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin LTD, 1975), hlm. 547. 38



menghitung sisi



dari



sebuah sebuah segi



empat,



atau



mempertimbangkan benda-benda yang masih lebih sederhana, jika sesuatu yang lebih sederhana masih bisa dipikirkan?”. 27



Sampai di sini, setelah semua pijakan-pijakan common sense dunia eksternal dan diri sendiri diragukan eksistensinya; konsep-konsep dunia idea Plato dan wacana pengetahuan dalam prinsip-prinsip aritmatika, geometri, dan matematika juga disangsikan, lalu apa yang bisa dijadikan landasan kepastian dengan metode kesangsian Descartes tersebut? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Descartes menjawab bahwa masih ada satu hal yang tidak mungkin



D



diragukan; bahkan tidak satu setan yang licik pun yang dapat mengganggu aku yang sedang ragu; tidak ada seorang skeptis pun juga yang mampu meragukan kenyataan ini yakni fakta bahwa aku sedang ragu. Fakta ini



U



menjadi sangat pasti, sangat nyata, dan sangat jelas sekali bahwa aku sedang ragu.



M



Tidak dapat diragukan bahwa aku saat ini sedang ragu. Aku merasa dengan sangat jelas dan distinct bahwa aku tengah ragu. Sangat mungkin saya meragukan keakuratan panca indra saya dan dunia luar yang ditangkap oleh



M



panca indraku-saya. Sangat mungkin saya meragukan kepastian eksistensi diri saya sendiri. Amat mungkin pula saya meragukan semua kepastian dunia idea-idea dalam konsep Plato dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan bidang aritmatika, geometri, dan matematika. Namun mengenai “diriku yang sedang



Y



ragu” benar-benar tidak dapat diragukan lagi eksistensinya.



Aku yang sedang ragu itu benar-benar ada disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, I think,



27



Hardono Hadi, Epistemologi, op. cit, hlm. 32. 39



therefore I am, aku berpikir, maka aku ada28; sebab meragukan keraguan orang yang sedang ragu adalah mustahil. 29 Dalam kata-kata Descartes secara langsung demikian: “There remains, however, something that I cannot doubt: no demon, however cunning, could deceive me if I did not exist. I may have no body: this might be an illusion. But thought is different. ‘While I wanted to think everything false, it must necessarily be that I who thought was something; and remarking that this truth, I think, therefore I am, was so solid and so certain that all the most extravagant supposition of the sceptics were incapable of upsetting it, I judged that I could receive it without scruple as the first principle of the



D



philosophy that I sought’.30 Terjemahnya secara longgar kira-kira demikian: “Akan tetapi, tetap saja ada sesuatu yang tidak bisa saya ragukan:



tidak ada setan betapa pun liciknya, yang dapat menipu saya jika saya tidak



U



ada. Saya mungkin tidak memiliki tubuh: tubuh ini bisa jadi sebuah ilusi. Namun tidak demikian halnya dengan pikiran. Ketika saya ingin menganggap



M



sesuatu itu salah, pastilah ada diri saya yang berpikir. Karena itu, ungkapan kebenaran: Aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum), begitu nyata dan begitu pasti; Dan semua perkiraan berlebihan dari orang-orang yang skeptis



M



tidak dapat mengganggunya; sehingga saya yakin bahwa saya dapat menerima kebenaran prinsip ini tanpa keberatan sebagai prinsip pertama dari filsafat yang saya cari”.



Tahapan-tahapan metode berpikir keraguan metodologis hingga



Y



sebuah titik keyakinan atau kepastian dari Descartes dapat kita formulasikan dalam bentuk bagan berikut:



28



Ahmad Tafsir, Filsafat, op. cit, hlm. 115. Zaine Ridling, Philosophy Than and Now, (New York: Access Foundation, 2001), hlm. 521. 30 Bertrand Russell, History, op. cit, hlm. 547. 40 29



TAHAPAN KERAGUAN METODIS DESCARTES



Panca indera dan benda-benda eksternal tidak eksis Dunia idea-idea Platonis tidak eksis



Logika, Aritmatika, dan Matematika juga tidak eksis



Saya meragukan semua eksistensi karena saya berpikir



U



D



Namun saya tidak bisa menyangkal ekistensi saya yang sedang ragu



M



Dengan demikian, karena saya berpikir, maka eksistensi saya eksis Coqito ergo sum; I think, therefore I am



M



Dalam perspektif Bertrand Russell, kesangsian metodis merupakan inti dari teori pengetahuan Descartes dan memuat hal terpenting dalam



Y



filsafatnya. Kebanyakan filosof sejak Descartes memandang penting teori pengetahuan ini, dan sikap mereka ini terutama disebabkan oleh Descartes. “Aku berpikir maka aku ada” membuat pikiran menjadi pasti daripada materi, dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih pasti daripada pikiran-pikiran orang lain.31 “Aku” yang terbukti ada disimpulkan dari fakta yang aku pikirkan, maka aku ada ketika aku berpikir, dan hanya saat itu. Jika aku berhenti berpikir, tidak ada bukti tentang eksistensinku. Aku adalah sesuatu yang 31



Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Terj. Sigit Jatmiko, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 740. 41



berpikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran. Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dari tubuh dan lebih mudah mengetahui daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh.32 Melalui kesangsian metodis tersebut, Descartes telah menemukan pijakan bagi filsafatnya. Pijakan itu bukan konsep-konsep para filsuf sebelumnya, bukan agama, atau keyakinan-keyakinan lainnya. Fondasi itu adalah aku yang berpikir. Pemikiran itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan lagi eksistensinya. Jadi metode keraguan yang dibangun oleh Descartes tidak berhenti



D



pada keraguan itu sendiri. Keraguan itu laksana jembatan yang harus dilalui untuk menuju wilayah kepastian. Kita tidak boleh berhenti di tengah-tengah jembatan kesangsian, karena kita tidak mungkin dapat hidup bersamanya.



U



Kesangsian metodis Descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan antara sesuatu yang dapat diragukan dari sesuatu yang tidak dapat diragukan.



M



Ia sendiri tidak pernah meragukan bahwa ia mampu menemukan keyakinan yang berada di balik keraguan itu, dan menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian di balik sesuatu. Keyakinan itu begitu jelas dan pasti, clear



M



and distinct, dan menghasilkan keyakinan yang sempurna. 33 Dalam metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila Descartes telah menemukan suatu idea yang ditinct, maka ia dapat menggunakannya sebagai premise yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga



Y



distinct. Seluruh penyimpulan itu terlepas dari data empiris; keseluruhannya merupakan proses rasional. Setelah fondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bagungan filsafat di atasnya. Akal itulah basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat.34



32



Ibid., hlm. 740-741. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004 ), hlm. 116. 34 Ibid. 42 33



Akan tetapi, di sini segera kita harus tambahkan bahwa konsep “berpikir” yang digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Bagi Descartes, berpikir adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, mengingkari, menghendaki, menolak, serta termasuk pula sesuatu yang membayangkan dan merasakan. Kegiatan berpikir itu bukan hanya dalam makna eksklusif perenungan intelektual semata, melainkan mencakup semua aktivitas yang melibatkan kesadaran.35 Dengan makna inilah, bagi Descartes, esensi dari pikiran manusia bukan intelegensi atau kecerdasan intelektual semata,



melainkan kesadaran (consciousness),



kesadaran seseorang mengenai pikirannya sendiri sekaligus terhadap objek-



D



objeknya.36



Makna berpikir dalam perspektif Descartes, tampaknya mendekati



pengetahuan metakognisi (metacognition) sekaligus metamood (metamood)



U



atau yang lebih populer dengan istilah kesadaran diri (self-awareness) dalam kajian psikologi. Kesadaran diri mencerminkan kesadaran kita tentang proses



M



berpikir sekaligus menyadari pula emosi-emosi yang menyertainya. Ketika saya sedang marah kepada seseorang, pikiran saya benar-benar menyadari bahwa saya sedang marah; sehingga kalau saya harus melampiaskan



M



kemarahan ini, saya akan mengungkapkannya secara argumentatif, bukan secara destruktif. Tatkala saya sedang sedih, benak saya menyadari kalau saya sedang bersedih; sehingga saya tidak akan menunjukkan kedukaan saya secara vulgar di tempat-tempat yang tidak pantas. Dan sewaktu saya sedang



Y



merasa gembira, perasaan saya sepenuhnya sadar akan kegembiraan yang sedang berlangsung dalam diri saya, sehingga saya akan mengungkapkannya secara proposional, bukan secara liar tak terkendali. 37 35



Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 212. 36 Ibid., hlm. 208. 37 Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence (New York: A Bantam Books, 1999), hlm. 57-153. Dan Emotional Intelligence (New York: A Bantam Books, 1999), hlm. 50-61. 43



Dalam cakupan makna yang sangat luas inilah, cukup wajar bila salah seorang pemikir (filsuf) kontemporer, Anthony Kenny dengan tegas menyatakan bahwa: “No previous author had used the word with such a wide extension”.38 ‘Tidak ada seorang pun pengarang (filsuf) yang telah menggunakan kata tersebut (berpikir) dengan sebuah keluasan makna seperti itu’. 2. Ide Bawaan dan Tuhan Dengan metode keraguan metodis, Descartes sudah menemukan pijakan fundamental bagi filsafatnya yakni Cogito: sebuah kesadaran diri secara penuh terhadap eksistensi diri dan eksistensi objek-objek eksternal.



D



Namun Descartes mengakui bahwa pikiran sendiri (atau jiwa) dapat menggapai pengetahuan tanpa melalui panca indra. Pengetahuan itu memang



U



sudah diperolehnya melalui ide-ide bawaan yang melekat dalam jiwa manusia. Konsep-konsep tentang ide bawaan itu memang bersifat abstrak, seperti prinsip-prinsip dasar dalam logika, geometri, aritmatika, dan



M



matematika. Dalam geometri, seperti ungkapan bahwa jarak terdekat antara dua titik adalah sebuah garis lurus. Dalam aritmatika, seperti proposisi bahwa jika jumlah yang sama (misal genap) dijumlahkan dengan jumlah yang sama,



M



maka hasilnya sama (genap). Bahkan beberapa filsuf rasionalis pun percaya bahwa prinsip dasar yang berkerja dalam sains juga berpijak pada ide bawaan, seperti peraturan universal dalam sains bahwa setiap kejadian pasti memiliki dari ketiadaan.39



Y



sebuah sebab; termasuk pula prinsip eksistensi: tidak ada yang dapat muncul



Dengan konsep ini juga, Descartes mengakui keterkaitan antara eksistensi pikiran yang berpikir dan eksistensi tubuh jasmani sekaligus bendabenda eksternal yang ia pikirkan. Namun pertanyaanya adalah kalau begitu realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Serta bagaimana hubungan antara pikiran dan tubuh itu bekerja? Pertanyaan pertama ini dijawab 38 39



Anthony Kenny, Western op. cit, hlm. 212. Manuel Velaquez, Philosophi, op. cit, hlm. 360-361. 44



Descartes dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang kini disebut “argumen ontologis” tentang eksistensi Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat mengenai konsep ‘Tuhan’). Bukti yang ia ajukan itu semaca ini: kita semua di dalam diri kita mempunyai idea “kesempurnaan”; setiap orang tahu bahwa “ego” yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah YangBerada sempurna; sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna. Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya



D



tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada sempurna yang benar-benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna



U



(“Tuhan”) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan



M



menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan



M



gagasan tentang “idea bawaan” (idea-idea yang hadir di benak kita pada waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa “Tuhan” merupakan idea bawaan seperti halnya idea “ego” saya sendiri. 40 Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang



Y



alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh rekan-rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar otak, yang disebut “kelenjar kerucut” bertanggung jawab untuk memastikan 40



Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007), hlm. 78-79. 45



hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Atau disebut juga dengan glandula pinealis yang menjadi semacam jembatan penghubung antara pikiran dan tubuh kita.41 Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain “bergeser” ke dalamnya sebagaimana adanya. Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak badan melakukan sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga mulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang



D



dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar-putar di benak saya sampai mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu



U



gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai



M



akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini!.42 Dengan penjelasan distingtif antara pikiran dan badan, Descartes menolak pandangan Plato misalnya yang memperlakukan tubuh jasmani



M



sebagai ilusi. Descartes mengambil sudut pandang berbeda: baik tubuh jasmani maupun pikiran adalah sama-sama nyata, benar-benar riil bukan ilusi. Tubuh jasmani memiliki realitas nyata sendiri dan begitu pula dengan pikiran mempunyai realitas nyata tersendiri. Di sini, Descartes menganut pandangan



Y



antropologis yang disebut sebagai dualisme, yaitu pandangan yang menganggap bahwa jiwa dan badan adalah dualitas yang sama-sama nyata dan terpisah eksistensinya satu sama lain. Yang pertama (jiwa) merupakan substansi pikir yang disebut res cogitans. Sedangkan yang kedua merupakan substansi eksistensi atau badan jasmani yang dinamakan res extensa. Meskipun demikian, Descartes tetap meyakini bahwa pengetahuan kita 41 42



Hariman, Filsafat Modern, hlm. 41. Ibid., hlm. 79-80. 46



tentang tubuh jasmani berserta keseluruhan alam eksistensi, tidak pernah bisa sepasti pengetahuan kita tentang alam pikiran kita.43 Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan dualisme Descartes ini di satu sisi memang bisa menyebabkan kemajuan di bidang sains, namun pada sisi lain menimbulkan problem yang serius. Ini karena kemudian Descartes memandang alam semesta sebagai sebuah mesin dan tidak lebih dari sekedar mesin. Tidak ada tujuan, kehidupan, atau spiritualitas dalam materi. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan



dan



gerakan dari bagian-bagiannya. Gambaran alam mekanik ini telah menjadi



D



paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Gambaran itu telah menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga fisika abad kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh



U



penjelasa tentang ilmu mekanistik pada abad ketujuh belas, delapan belas dan sembilan belas,



termasuk



teori



agung Newton,



tidak lain adalah



M



perkembangan dari pemikiran Descartes. Descartes memberikan pemikiran ilmiah pada kerangka umumnya—pandangan alam sebagai sebuah mesin sempurna, yang diatur hukum-hukum matematis yang pasti.44 Inilah yang



M



disebut paradigma cartesian dalam dunia sains yang sangat mempengaruhi perkembangan sains yang bercorak mekanistik sampai abad dua puluh.45 E. Penutup: Catatan Kritis Terhadap Rasionlieme



Tidak bisa dipungkiri lagi bila Rene Descartes telah mampu



Y



melakukan konstruksi landasan filsafat yang amat kokoh dan tak tergoyahkan dalam rangka menyingkirkan pandangan skpetisme dengan menggunakan kemustahilan untuk bisa meragukan keraguan sebagai daftar fundamental 43



F. Budi Hardiman, Filsafat, op. cit, hlm. 41 dan Stephen Palmquis, Pohon, op. cit, hlm. 78. 44 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban. Terj. Thoyibi (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 62. 45 Lihat dalam Husain Heriyanto,Paradigma Holistik (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 25-71 47



filsafatnya. Descartes membangun epistemologi pemikirannya secara tekun dengan membentuk tahapan-tahapan metodis untuk sampai pada kepastian yang memiliki kriteria secara jelas (clear) dan pasti (distinct), sehingga sangat sulit pula disangsikan validitasnya. Namun terlepas dari keistimewaankeistimewaan epistemologi filosofis yang telah dibangun Descartes, proses dan konstruksi epistemologinya tidak luput dari sejumlah kritik. Pertama, melaui temuan cogito, sebagai landasan utama setiap pemikiran, Descartes mendeklarasikan bahwa kemampuan berpikir pada sosok manusia mendahului eksistensi tubuh jasmaninya. Ketika aku memiliki kesadaran aku yang berpikir, maka eksistensiku ada. Kalau aku tidak memiliki



D



kesadaran aku yang berpikir, maka eksistensi tubuh jasmaniku tidak ada. Dengan logika ini, aku berpikir mendahului eksistensiku. Filsuf besar Jerman, Martin Heidegger mempersoalkan temuan



U



filosofis Descartes. Menurut Heidegger, daripada mendahulukan pembicaraan mengenai pengetahuan, kita harus berbicara lebih dulu mengenai kenyataan



M



manusiawi yang memberi dasar bagi kemungkinan pengetahuan kita. Dalam pembagian Heidegger, manusia otentik adalah Dasein, yakni manusia yang selalu memiliki kesadaran kritis untuk mempersoalkan semua realitas



M



kehidupan, termasuk eksistensinya yang hadir di pentas kehidupan duniawi ini. Namun sikap kritis Desein ini, tetap tidak bisa keluar dari kesadaran bahwa eksistensinya, kehadiran dirinya di atas panggung dunia ini mendahului sikap kritis pikirannya. 46



Y



Manusia sebagai Desein sudah menemukan dirinya eksis; ia menemukan dirinya sebagai pengada yang sadar; pengada yang sadar yang sudah terlempar ke dunia dengan tanpa persetujuannya. Di sini, sebelum manusia berpikir, bernalar, dan menggunakan kesadaran kritisnya, eksistensi jasad empirisnya telah lebih dulu mengada di atas jagad raya. Kalau 46



Mengenai wacana eksistensi manusia yang mendahui proses berpikirnya secara luas, dapat dilihat dalam Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State University of New York Press, 1996). 48



dirumuskan dengan menggunakan gaya konstruksi Descartes, slogan prinsipil Heidegger kira-kira berbunyi begini: “I exist, therefore I thinhk”, ‘Saya ada, karena itu saya berpikir’. Bukan I think, therefore I exist, ‘Saya berpikit, karena itu saya ada.’ Sebab “saya ada” mendahului “saya berpikir”. Eksistensi fisikal saya yang juga memiliki kesadaran pemikiran di dalamnya, jelas mendahului prose pemikiran yang saya lakukan. Karena itu, lebih absah untuk berkata, “I exist, therefore I think” ketimbang “I think, therefore I am”. Kedua, subjektivisme hasil dari epistemologi yang dikonstruksi Descartes bahwa kesadaran berpikir bisa berdiri sendiri independen dan



D



terlepas dari semua objek, ternyata mempunyai cacat tersendiri. Di sini kritik dari Edmund Husserl dengan pemikiran filosofis fenomenologi menemukan gemanya. Dari sudut pandang fenomenologi, proses kesadaran dan analisis



U



kritis pikiran kita tidak pernah bisa terlepas dari objek-objek yang kita pikirkan.



M



Dalam tilikan Husserl, kesadaran kita atau proses pikiran kritis kita tidak pernah bisa terpisah dari objek dan tidak dapat mempunyai status lebih istimewa di dalam adanya daripada objek. Istilah “intensionalitas”-nya



M



Edmund Husserl pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan kenyataan ini: kodrat dari tindakan sadar adalah sedemikian rupa sehingga tindakan itu sekaligus menunjuk yang lain. Tindakan sadar ini diarahkan kepada yang lain; inteligibilitas kesadaran adalah intensionalitasnya. Husserl mengatakan bahwa



Y



semua kesadaran adalah “kesadaran akan”.



Sadar adalah sadar akan sesuatu, dan apa yang saya sadari mempunyai status yang tidak dapat direduksikan kepada kesadaran, sehingga objek



tersebut



mempunyai



kenyataan



yang



sama



tak-teragukannya



sebagaimana kesadaran saya. Kesadaran yang melulu subjektif tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Kita tidak perlu menemukan jalan keluar dari subjektivitas untuk mencapai objectivitas, karena kita tidak pernah menemukan diri kita di dalam subjektivitas murni.



49



Kesadaran selalu bersifat bi-polar, kesadaran secara esensial selalu bersifat relasional. Kesadaran terutama berarti kesadaran-diri-akan-yang-lain. Kedua kutub secara empiris nyata. Kesadaran selalu diterima sebagai hubungan bi-polar ini. Maka kita tidak bisa menghilangkan salah satu di dalam hubungan itu tanpa menghilangkan hubungan sendiri. 47 Dengan demikian, subjektivisme Descartes yang bisa berdiri sendiri tanpa hubungan dengan objek-objek lain tidak dapat dipertanggungjawabkan secara utuh.48 Ketiga, dengan kekuatan berpikir secara independen, Descartes juga mengklaim bahwa cogito mempunyai kemampuan dalam mencandra pengetahuan secara jelas dan pasti kebenarannya. Pengetahuan yang



D



ditangkap dengan kekuatan kesadaran cogito akan mempunyai nilai kebenaran yang pasti dan utuh. Namun yang belum disadari oleh Descartes adalah setiap konstruksi pengetahuan yang kita bangun selalu diperantarai oleh bahasa.



U



Tidak seorang pun di antara kita yang bisa membangun konsep-konsep yang paling sederhana pun tanpa melibatkan bahasa, tanpa melibatkan kata-kata.



M



Entah kita menggunakan bahasa itu secara verbalistik atau pun kita hanya menggunakannya secara imajinatif dalam proses berpikir dalam benak pikiran kita.



M



Satu hal yang mesti kita sadari ketika kita menggunakan bahasa, baik dalam bentuk imajinatif maupun secara verbalistik, kita sudah berjarak dengan objek-objek yang kita pikirkan. Ketika kita sudah berjarak dengan objek-objek yang kita pikirkan melalui jarak bahasa, sebenarnya pengetahuan



Y



kita menjadi tidak lagi utuh terhadap objek-objek yang kita pikirkan. Kita tidak lagi menyapa dan membaca objek-objek yang kita renungkan secara apa adanya, melainkan secara bahasa dan kata-kata yang kita gunakan. Dengan keberjarakan melalui bahasa tersebut, setiap pengetahuan yang kita bangun melalui pikiran kita meniscayakan lubang-lubang kelemahan. 47



P. Hardono Hadi, Epistemologi, op. cit, hlm. 46-47. Lihat juga makna ketergantungan manusia terhadap segala fenomena kehidupan dalam Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 18-37. 50 48



Selanjutnya, setiap kata-kata, frase, atau bahasa yang kita gunakan selalu mencerminkan kultur tempat bahasa tersebut tumbuh berkembang. Itulah alasannya mengapa ada begitu banyak tipe bahasa manusia yang kesemuanya berbeda-besa, meskipun secara garis besar digunakan dalam halhal kehidupan yang dialami oleh semua umat manusia. Itu juga alasannya mengapa sebuah objek yang bernama anggur dalam bahasa Indonesia, diekspresikan dengan grape dalam bahasa Inggris, Uzum dalam bahasa Turki, inab dalam bahasa Arab, dan stafil dalam bahasa Yunani.49 Karena setiap bahasa mengekspresikan corak kultur setiap masyatakat yang berbahasa, maka setiap bahasa tentu memiliki kekurangan



D dalam dirinya



sendiri untuk melukiskan objek-objek yang hendak



dilukiskannya. Ketika saya menggambarkan lezatnya sebutir buah durian yang baru saja saya nikmati dengan kata-kata “nikmat sekali”, maka



U



ungkapan “nikmat sekali” belum cukup untuk benar-benar mewakili rasa nikmat buah durian yang telah saya rasakan itu. Ungkapan “nikmat sekali” itu



M



hanya mewakili sebagian kecil dari kelezatan yang saya rasakan dan untuk memudahkan orang lain memahaminya.



Begitu juga ketika saya mengidentifikasi seseorang dengan nama



M



Imam Ghazali atau Imam Syafi’i, misalnya, nama-nama itu hanya mewakili sebagian kecil sosok mulia kedua ulama besar tersebut sekaligus memudahkan orang lain memahami maksud saya. Tapi kompleksitas tentang kecerdasan, kealiman, kemuliaan, kreativitas, kesalehan, dan belum lagi



Y



perasaan-perasaan sakral yang mereka miliki, tentu saja tidak akan pernah bisa ditampung dengan sebuah nama “Imam Ghazali dan Imam Syafi’i”. Makanya ada ungkapan ‘al-ism ghoiru musamma, yakni sebuah nama tidak bisa melukiskan secara penuh sosok yang dinamai; sebuah nama bukanlah



49



Idries Shah, Mahkota Sufi, terj. Hidayatullah & Roudlon (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 26. 51



yang dinamai. 50 Pada titik inilah, apa pun yang dilukiskan dengan Cogito kritis Descartes, mengharuskan bahasa yang memiliki kelemahan internal dalam menggambarkan objek-objek ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan tidak bisa bersifat mutlak. 51 Keempat, pandangan antropologis Descartes yang menganut paham dualisme, yang memisahkan akal dari badan, akal dari materi, ternyata membawa pengaruh yang amat dalam bagi pengetahuan secara saintifik di dunia Barat. Dalam kajian kritis yang dilakukan Fritjof Capra, pemisahan itu telah menyebabkan kita menetapkan nilai yang lebih tinggi pada kerja mental daripada kerja manual; pemisahan itu juga telah memungkinkan industri-



D industri raksasa



menjual produknya—terutama



kepada



wanita—yang



memungkinkan menjadi pemilik “tubuh ideal”; pemisahan itu telah menghalangi para dokter memikirkan secara serius tentang dimensi-dimensi



U



psikologis suatu penyakit, menghalangi para psikoterapis memikirkan tentang tubuh pasien. Dalam ilmu-ilmu kehidupan, pemisahan Descartes telah



M



membawa arah kebingungan yang tiada akhir tentang hubungan antara akal dan otak, dan dalam fisika telah menyulitkan para perintis teori kuantum menafsirkan



observasi



mereka



terhadap



fenomena-fenomena



atom.



M



Heisenberg yang bergelut dengan masalah itu selama bertahun-tahun menyatakan: Pemisahan ini telah jauh menembus ke dalam pikiran manusia selama tiga abad sesudah Descartes dan diperlukan waktu yang sangat lama untuk menggantinya dengan sikap yang benar-benar berbeda terhadap



Y



realitas.52



Fisika abad kedua puluh telah menunjukkan dengan begitu kuat bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu, bahwa semua konsep dan teori kita bersifat terbatas dan hanya berupa perkiraan. Kepercayaan ala Descartes 50



Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 78-83. 51 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 33-76. 52 Capra, Titik Balik, op.cit., hlm. 61. 52



pada kebenaran ilmiah masih tersebar luas saat ini dan tercermin dalam “scientism” yang telah menjadi ciri kebudayaan Barat. Banyak orang dalam masyarakat kita, baik ilmuwan maupun orang awam, merasa yakin bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya cara yang sahih dalam memahami alam semesta. Metode pemikiran Descartes dan pandangannya tentang alam telah mempengaruhi semua cabang ilmu modern dan mungkin masih sangat berguna saat ini. 53 Namun demikian menurut Capra, metode dan pandangan itu akan bermanfaat hanya jika keterbatasan-keterbatasannya diketahui. Penerimaan pandangan Cartesian sebagai kebenaran mutlak dan metode Cartesian sebagai



D



satu-satunya cara yang sahih bagi pengetahuan telah memainkan peran yang sangat penting dalam menghasilkan ketidakseimbangan budaya kita pada saat ini. 54



U



Terakhir, efek paradigma cartesian yang bersifat dualisme, tidak lagi mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai persoalan kontemporer.



M



Menurut Capra, kegagalan zaman modern ini ditandai dengan runtuhnya kebudayaan indrawi yang diagung-agungkan dalam saintisme modern. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya perubahan paradigma di dalam ilmu,



M



khususnya dalam fisika yang menjadi lokomotif dalam kebangkitan saintisme modern. Capra menunjukkan bahwa penerapan “rasionalisme” Descartes dan fisika Newton yang berparadigma tunggal dalam ilmu-ilmu alam maupun fisika sosial telah melahirkan berbagai macam ancaman patologis (penyakit)



Y



dalam struktur kehidupan alam, maupun secara khusus dalam bidang kehidupan sosial manusia.



Akibatnya, para ahli tidak sanggup lagi memecahkan masalahmasalah dalam bidang keahliannya. Ia menggambarkan bahwa setelah mencapai puncak validitasnya, peradaban indrawi ini terasa kehilangan tenaga



53



Ibid., hlm. 58. Ibid. dan Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan. Terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002), hlm. 32-34. 53 54



budayanya serta daua fleksibilitasnya akibat ditelan sediri oleh budaya indrawi yang berparadigma tunggal itu. Peradaban itu tidak mampu melanjutkan proses kreativitas budayanya. Akhirnya, muncul bahasa disintegrasi pada hampir seluruh aspek kehidupan yang secara langsung mengancam hakikat hidup manusia secara total. 55 Karena kelemahankelemahan paradigma cartesian dan juga newtonion yang bersifat mekanis, Capra menawarkan pandangan yang holistik-integratif untuk memecahkan pelbagai problematika masyaraat kontemporer. 56



Y



M



M



U



D 55



Aholiab Watloly, Sosio Epistemologi (Yogyakarta: Kanisius, 2013) , hlm. 376. 56 Fritjof Capra, The Hidden Connections. Terj. Andya Primanda (Yogyakarta: Jalasutra, 2007). 54



BAB 2 EPISTEMOLOGI EMPIRISME A. Pengantar “No idea without antecedent impression;



D



ideas are copies of impressions” (David Hume). 57



Kalimat tersebut keluar dari lisan filsuf aliran empiris yang paling



U



radikal: David Hume. Meskipun frase ini amat singkat, namun makna frase tersebut justru menjadi motto sekaligus pijakan fundamental yang melandasi hampir seluruh argumentasi yang dibangun para filsuf aliran empirisme:



M



Tidak ada ide tanpa didahului kesan, sehingga ide-ide yang kita miliki merupakan salinan dari kesan-kesan yang kita tangkap dari dunia eksternal. Para filsuf aliran empirisme memang sangat menekankan fakta-fakta



M



empiris yang bisa diobservasi secara objektif melalui kapasitas inderawi kita. Secara sederhana, semua pengetahuan yang hadir ke dalam kehidupan kita harus dapat dibuktikan melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan fisikal,



Y



penciuman, atau pun cita rasa lidah kita. Tanpa bisa diverifikasi secara faktual,



validitas



sebuah



pengetahuan



masih



bisa



diragukan



nilai



kebenarannya. Dengan kata lain, pengetahuan yang kita peroleh dalam kehidupan ini adalah hasil dari pengalaman faktual kita dalam bersentuhan dengan semua fakta kehidupan empiris.



57



Anthony Kenny, A Brief History of Western Philosophy (United Kingdom: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 256 & 257. 55



Karena itu, dalam bab ini kita akan mengkaji epistemologi empirisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertiannya secara sekilas; Kemudian untuk merasakan langsung warna pemikiran filosofis aliran empirisme, kita akan melihat secara langsung epistemologi aliran empirisme melalui dua filsufnya yang sangat tersohor yaitu John Locke dan David Hume; Dan tulisan ini akan diakhiri dengan secercah catatan kritis terhadap beberapa noktah kelemahan epistemologi empirisme. B. Pengertian Empirisme Secara etimologis, empirisme berasal dari bahasa Yunani, empeiria atau empeiros yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan



D



terampil untuk. 58 Sedangkan secara terminologis, empirisme merupakan paham yang berpandangan bahwa seluruh pengetahuan manusia tentang dunia berpijak pada pengalaman panca indra. Empirisme berkeyakinan bahwa



U



pengetahuan yang sesungguhnya adalah pengetahuan yang berdasarkan pengalaman atau pengetahuan jika bisa diverifikasi secara empiris. 59 Ada



M



beberapa pengertian secara lebih detil tentang empirisme yaitu: 1) Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal



M



pengetahuan. Biasanya bertolak belakang dengan rasionalisme. Yang disebut terakhir ini beranggapan bahwa akal merupakan sumber



pengetahuan



satu-satunya,



setidaknya



yang



primer.



Kebanyakan filsuf mengakui pentingnya pengalaman maupun akal.



Y



Maka, filsuf-filsuf empiris adalah mereka yang memberikan tekanan lebih besar pada pengalaman dibandingkan filsuf-filsuf lain. 2) Pandangan bahwa semua ide (gagasan) merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.



58



Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 197. 59 Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 365. 56



3) Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal/rasio. 4) Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi. Semua pengetahuan turun secara langsung dari, atau disimpulkan secara tidak langsung dari, data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematik). 5) Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Informasi yang disediakan oleh indera kita, berguna sebagai fundamen bagi semua ilmu pengetahuan. Akal budi



D



mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan ialah induktif.



6) Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui pengalaman



U



sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. 60 Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih holistik, kita



M



perlu memahami terlebih dahulu dua ciri fundamental empirisme yaitu teori tentang makna (theory of meaning), dan teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Dalam perspektif Ahmaf Tafsir, teori makna pada aliran



M



empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).



Y



Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; Yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman 60



Lorens Bagus, Kamus , op.cit, hlm. 197-198. 57



inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (penginderaan dalam). 61 Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, yang dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut filsuf rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah



D



kebenaran yang diperoleh lewat observasi; jadi ia kebenaran a posteriori.62 Paham empirisme dapat ditelusuri akar-akar historisnya dari sejak



zaman Yunani kuno. Elemen-elemen empirisme bisa kita temukan dalam



U



tulisan-tulisan Aristoteles, Thomas Aquinas, Francis Bacon, dan Thomas Hobbes misalnya. Sedangkan dalam awal era modern, doktrin empirisme



M



secara lebih lengkap dapat kita lihat tiga orang filsuf tersohor dari Inggris yaitu John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Dalam tulisan ini, kita hanya membatasi pada dua filsuf empirisme era modern yaitu John Locke dan



M



David Hume. Sebab, analisis epistemologi empirisme yang disajikan oleh kedua filsuf ini tampaknya paling memadai.



C. Biografi John Locke (1632-1704 M)



John



Locke



lahir



di



Y



Wrington, Somerset, dan belajar di Oxford, tempatnya diproyeksikan



61



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004 ), hlm. 136. 62 Ibid., hlm. 137. Bandingkan dengan Zaine Ridling, Philosophy Then and Now (New York: Access Foundation, 2001), hlm. 357. 58



untuk menjalani karier di kedokteran. 63 Sejak 1675 sampai 1679, Locke tinggal di Prancis, tempatnya mempelajari Descrtes dan Gaseendi. 64 Tiga karya utama Locke terbit berturut, yaitu Essay Concering Human Understanding, Two Treatises of Government, dan Letter on Toleration, dua yang terakhir tersebut terbit anonim. 65 Meski Locke terkenal sebagai tokoh senior empirisme Inggris, namun filsafatnya jauh lebih kompleks dari istilah tersebut. Essay-nya menolak “ide-ide bawaan” untuk ditempatkan sebagai fondasi pengetahuan, dan secara keseluruhan, terkesan anti-rasionalistik. Essay meletakkan pengalaman, atau ide tentang sensasi dan refleksi, sebagai basis terkuat



D



pemahaman manusia. Namun demikian, Locke masih mempertahankan kemungkinan dari pengetahuan yang diberikan ide-ide kita (yaitu kualitaskualitas primer) suatu perepresentasian yang tepat tentang dunia di sekitar



U



kita.66



Tugas sebuah epistemologi yang ilmiah adalah menampilkan apa



M



yang sungguh kita ketahui, beragam sumber pengetahuan, penggunaan yang tepat, dan di atas semuanya, batas-batas dan kapasitas yang meragukan, dari pikiran kita. Melalui tema ini, Locke mengaitkan epistemologinya dengan



M



pembelaannya atas toleransi beragama. Doktrin radikal ini, bersama dengan karyanya tentang properti dan hubungan pemerintahan dan persetujuan rakyat, merupakan warisannya yang kekal bagi filsafat politik. 67 Tulisan-tulisannya dan filsafatnya mempengaruhii Thomas Jefferson dan Declaration of



63



Y



Independence dari Amerika Setikat.68



Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 508. 64 Ibid., hlm. 508. 65 Ibid. 66 Ibid. 67 Ibid., hlm. 509. 68 John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 174. 59



D. Empirisme John Locke Sebagaimana telah kita diskusikan dalam bab sebelumnya, dalam pemikiran filsuf aliran rasionalisme, ada sejumlah ide-ide bawaan dalam (innate ideas) setiap diri manusia. Filsuf rasionalis Rene Descrates dan Leibniz, misalnya meyakini bahwa ada ide-ide intuitif dalam diri manusia sebagai prinsip untuk menjelaskan eksistensi kehidupan menusia dalam interaksinya dengan dunia, seperti konsep-konsep tentang angka, jiwa, ataupun ide bahwa dari ketiadaan (non-eksistensi) tidak akan pernah bisa menciptakan keberadaan (eksistensi). 69 John Locke menolak semua argumentasi filosofis filsuf rasionalis di



D



atas. Secara metaforis-analogis, bagi Locke, kapasitas manusia itu bagaikan kertas putih kosong (blank sheet of paper) yang belum terwarnai apa pun. Kalau ditanya: apa yang bsia mengisi kertas kosong itu? Jawabnya tidak lain



U



adalah tulisan. Kalau disuguhkan kertas kosong ke hadapan saya, maka saya bisa menuliskan apa saja di permukaannya sesuka hati saya. Saya bisa



M



menulikannya dengan kisah-kisah sufistik yang dilakukan oleh kaum sufi, analisis-analisis filosofis tentang pelbagai teori filsafat dari para filsuf, atau bisa juga hanya mengisinya dengan coretan-coretan kata tanpa makna.



M



Tatkala lembaran-lembaran kertas kosong itu diserahkan kepada seorang pujangga, kemungkinan ia akan menuliskan kisah-kisah cinta yang menyentuh perasaan dan menaburinya dengan berbagai prosa atau puisi cinta yang dapat menghangatkan jiwa kita. Namun ketika lembaran-lembaran



Y



kertas polos itu diserahkan kepada seorang seniman yang ahli melukis, barangkali ia akan melukis berbagai lukisan yang indah; bisa panorama hutan belantara yang dihiasi pohon dan gunung-gunung yang tinggi menjulang, pemandangan samudera yang membentang luas dengan dipayungi cakrawala biru yang tak bertepi, lukisan kota-kota metropolitan dengan beragam gedunggedung pencakar langit yang membelah angkasa, atau bisa juga berisi gambar



69



Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm.878-879. 60



tokoh-tokoh besar dalam sejarah; ilmuwan, presiden, sejarawan, pengarang, budayawan, dan aktor atau artis ternama. Demikianlah seterusnya, lembaran-lembaran kertas kosong itu bisa ditulis dengan tulisan apa pun tergantung apa pun yang ingin dituliskan oleh penulisnya. Kira-kira begitulah metaforanya. Mengenai teori kertas putih kosong ini, kita bisa menyimak penuturan Locke dalam salah satu karya terkenalnya, An Essay Concerning Human Understanding: ”Let us then suppose the mind to be, as we say, white paper, void of all characters, without any ideas; how comes it by that vast store, which the busy and boundless fancy of man has



D



painted on it with an almost endless variety? Whence has it all the materials of reason and knowledge? To this I answer, in one word, from experience: in that all our knowledge is



U



founded”.70



Secara longgar, terjemahannya kira-kira demikian:



M



“Selanjutnya mari kita memandang pikiran, seperti kita tahu, sebagai kertas putih, yang bebas dari semua sifat, tanpa ide apapun; lantas, bagaimana pikiran dilengkapi? Dari mana



M



datangnya simpanan yang banyak sekali, khayalan manusia yang amat banyak dan tak terbatas telah mengecatnya dengan aneka ragam yang hampir tiada akhir? Atas pertanyaan ini,



pengetahuan



kita



dibangun,



Y



saya menjawab dalam satu kata: di dalam pengalaman semua dan



dari



pengalaman,



pengetahuan pada puncaknya menurunkan dirinya”. 71



Itulah inti petikkan konsep epsitemologis tabula rasa atau kertas putih kosong sebagai keadaan jiwa manusia yang hanya akan diwarnai dengan 70



Louis P. Pojman, Philosophy The Pursuit of Wisdom (Amerika: Wadsworth Publishing Company, 1998), hlm. 136. 71 Bertrand Russell, History of Western Philosophy. Terj. Sigit Jatmiko, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 799. 61



pengalaman. Dari sinilah, teori epistemologi empirisme Locke mengalir. Mati kita eksplorasi beberapa noktah pemikiran filosofisnya. Pertama, penolakan terhadap ide-ide bawaan dalam diri manusia dengan mengajukan beberapa argumentasi, antara lain:



1) Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan,



D



dan kita sampai pada keyakian tanpa suatu pengertian asli.



2) Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tida ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu



U



sebagai sumber daya yang inhern. Argumen ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita akan mengatakan innate idea itu



M



ada padahal umum tidak mengakuinya.



3) Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea. 4) Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin



diakui dan



M



sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan bahwa innate idea jusru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.



Y



5) Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.



Argumentasi ini secara lurus menolak adanya innate idea, sekalipun itu ada, tidak dapat dibuktikan adanya. Kedua, ide-ide simpleks dan ide-ide kompleks. Ide-ide simpleks merupakan ide-ide yang kita terima secara langsung melalui pengalaman nyata dengan penalaran panca indra: penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa (taste), seperti ide tentang terang, ide tentang manis, ide



62



tentang jelas, dan lain-lain. Perjumpaan langsung antara panca indra kita dengan pengalaman eksternal dunia disebut oleh Locke sebagai sensasi. Ideide simpleks yang dihasilkannya dinamakan dengan ideas of sensation, ideide sensasi. Kemudian semua ide-ide simpleks yang telah ditangkap panca indra itu diproses kembali secara internal dalam diri kita dengan lebih rumit sehingga menghasilkan ide-ide kompleks, seperti keraguan, kepercayaan, penalaran, pengetahuan, cinta, benci, kesenangan, keinginan, dan lain-lain. Proses internal terhadap ide-ide simpleks yang berlangsung dalam pemikiran ini dinamakan oleh Locke sebagai refleksi dan ide-ide kompleks yang



D



dihasilkannya disebut juga dengan ideas of reflection, ide-ide refleksi. 72 Ketiga, kualitas primer (primary qualities) dan kualitas sekunder



(secondary qualities). Locke menguraikan bahwa ada daya atau kekuatan



U



dalam diri objek atau benda-benda yang bisa menghasilkan ide-ide dalam pikiran kita. Daya inilah yang disebutnya dengan kualitas. Katakanlah, bola



M



salju bisa memiliki daya dalam menghasilkan ide dalam pemikiran kita tentang putih, bulat, dan dingin.73



Selanjutnya, ada kualitas-kualitas yang terdapat dalam objek yang



M



bersifat intrinsik, menyatu dengan sebuah objek dan berbeda dengan persepsi kita mengenainya. Kualitas yang akan tetap eksis, walaupun tanpa dipikirkan, dikonsepsikan, dan dikonstruksikan. Locke menamakan kualitas ini dengan kualitas primer. Secara umum, kualitas-kualitas primer dalam objek ini dapat



Y



diukur, seperti ukuran, bentuk, bobot dan beratnya. Kualitas-kualitas tersebut tetap berada dalam benda-benda, baik kita mengetahuinya maupun tidak; baik kita merasakannya ataupun tidak; baik kita mempersepsikannya maupun tidak.



72



Pojman, Philosophy , op.cit, hlm. 136, dan Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 879. 73 Tafsir, Filsafat , op.cit, hlm. 140. 63



Akan tetapi, ada pula kualitas-kualitas yang tidak berada di dalam objek itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah pohon memiliki warna, bau, tekstur, dan mungkin pula sebuah nuansa tertentu. Dalam musim gugur, pohon itu mungkin mempunyai sebuah warna yang berbeda dengan warnanya ketika musim; sebagaimana pohon tersebut memiliki satu warna pada waktu fajar, dan warna lain pada siang hari. Tanpa daun-daunnya, pohon itu menebarkan bau tak sedap; bersama daun-daun yang rindang, pohon itu menebarkan aroma yang semerbak mewangi. Kalau begitu, apa warna yang sesungguhnya dari pohon tersebut? Apa bau yang sejati yang dimiliki pohon tersebut? Sesuatu yang kita sebut dengan istilah warna dan bau pada pohon itu adalah



D



daya-daya pohon tersebut dalam menciptakan sensasi dalam diri kita. Jadi, warna dan bau bukanlah kualitas yang berada dalam tubuh pohon itu sendiri (not qualities in the tree it self), melainkan ide-ide kita sendiri. Dalam pohon



U



itu sendiri, sejatinya tidak ada warna dan tidak ada bau; pohon itu hanya memiliki daya untuk



memproduksi dalam diri kita suatu pengalaman



M



inderawi yang kita sebut dengan warna dan bau.74 Berdasarkan pada argumentasi di atas, konsep ide atau pengetahuan dalam pemikiran filosofis Locke adalah merupakan hasil interaksi antara



M



sebuah objek yang dipersepsi dan subjek yang mempersepsinya. Kita mempunyai pengetahuan mengenai suatu benda, gedung, hutan, kapal, dan lautan, misalnya, karena hasil interaksi kita sebagai subjek yang memiliki pengalaman bersentuhan dengan objek-objek tersebut. Tanpa adanya



Y



pengalaman berinteraksi dengan benda-benda tersebut, kita tidak akan memiliki pengetahuan tentang semua benda-benda itu.



Pada titik inilah, Locke juga menegaskan bahwa bukan hanya substansi objek tidak akan pernah bisa ketahui secara utuh, melainkan hakikat sang subjek juga misteri yang tak terungkap. Mengapa demikian? Kita tahu bagaimana objek-objek mempengaruhi kita karena kita memiliki pengalaman visual, aural, sentuhan (tactile), dan efek-efek lain yang bersifat langsung dan 74



Velasquez, Philosophi A Text With Reading, op.cit, hlm. 369. 64



tak teragukan. Namun, hakikat sebenarnya dari suatu yang menerima efekefek pengalaman itu—hakikat independen dari subjek yang memiliki pengalaman-pengalaman—adalah sesuatu yang tidak bisa kita ketahui dalam pengalaman. Oleh karena itu, tampaknya logis bahwa jika yang kita ketahui secara langsung adalah pengalaman, maka ketika pengalaman tidak ada, kita tak akan bisa mengetahui secara langsung subjek yang memiliki pengalaman tersebut. Jadi, kita hidup dalam dunia yang hanya terdiri dari efek-efek (effects) dan pengaruh-pengaruh (affects). Itulah yang bisa kita alami secara langsung. Namun, hakikat dari yang memiliki efek-efek akan selalu berada di



D



luar segenap kemungkinan pengalaman kita, sebagaimana halnya dengan hakikat dari yang-dipengaruhi (affected). Hal ini menghasilkan sebuah cara pandang yang menganggap realitas terdiri atas dua jenis entitas, yaitu pikiran



U



dan objek-objek materiil. Menurut pandangan ini, keduanya dalam hakikatnya tak bisa diketahui. Hanya interaksi antara keduanyalah yang bisa kita



M



ketahui.75



E. Biografi David Hume (1711-1776 M) Lahir sebagai putra kedua dari



M



seorang tuan tanah kecil Skotlandia, Hume masuk Universitas Edinburgh. Pada 1734 ia pindah ke kota kecil La Fleche di Anjou untuk menulis dan belajar (kemungkinan



Y



karena



terdapat



akademi



Yesuit



yang



mengajarkan Descartes dan Mersenne yang sudah mempengaruhi keputusannya itu). Pada tahun 1739 ia kembali ke Edinburgh



75



Bryan Magee, Memorar Seorang Filosof Terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 162. 65



untuk memastikan format akhir Treatise of Human Nature sebelum dicetak ke publik, karya filsafat pertamanya sekaligus yang terbesar.76 Pada 1742 Hume menulis Essay Moral and Political, berisi banyak kajian dari yang paling ringan bergaya Joseph Addison sampai yang berat dan penting saat menyoroti fondasi-fondasi etika, politik, dan ekonomi. Karya ini segera disusul An Enquiry Concering Human Understanding (1748) dan An Enquiry Concering the Principles of Moral (1751). Dua buku ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menggambarkan pandangan filosofis di Treatise dengan cara yang lebih mudah dipahami, meski Enquiry yang kedua mengandung perbedaan mencolok dalam penitikberatannya. Pada dekade berikutnya, Hume



D



menerbitkan buku yang segera melambungkan namanya pada zaman itu, History of England (sebanyak enam jilid, 1754-1762, karya yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Smellet). Selama periode inilah reputasinya



U



naik terus sampai kemudian diakui sebagai salah satu penulis, esais, sejarawan, dan sastrawan utama Inggris. Pada 1763, ia pun dipercaya menjadi



M



sekretaris kedutaan dan kemudian charge d’affaires di Paris, dan dalam periode inilah Hume menikmati ketenaran dan pemujaan luar biasa sebagai salah satu arsitek utama Pencerahan. 77



M



Hume adalah empiris modern pertama yang menolak bantuan apa pun entah dari prinsip aprioris penalaran, maupun dari ideologi lain yang memastikan sebuah harmoni antara persepsi kita dan dunia. Kejeniusannya terletak dalam keketatan yang dengannya ia merekonstuksi pelapisan



Y



pemikiran sehari-hari di atas dasar yang ramping ini. Kalau begitu, hubungan kausal di antara peristiwa merupakan suatu yang tidak mempunyai impresi apa pun terhadap kita, sehingga tidak mungkin ada ide yang muncul. Dengan demikian teori Humean tentang penyebab lebih melihat kita sebagai agen yang memproyeksikan peritiwa itu untuk cenderung kita sendiri yang menyimpulkan peristiwa yang satu daripada peristiwa lainnya. Pikiran yang 76 77



Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 415. Ibid., hlm. 415. 66



merupakan pemilik persepsi saya itu merupakan sesuatu yang dari dirinya tidak pernah diberikan kepada saya dalam perspesi, sehingga sebuah teori Humean tentang diri melihat sekedar sebagai fiksi yang muncul dari imajinasi.78 Menurut Simon Blackburn, kecerdasan Hume yang sangat menakjubkan telah memberinya kemampuan memengaruhi hampir tidak bisa dihitung lagi: hampir semua studi antropologi, sosiologi, dan komparatif menemukan benih mereka dalam karya-karyanya ini, sedangkan upaya untuk lepas dari empirisme radikalnya telah memotivasikan para filsuf dari Kant sampai hari ini. 79



D



F. Empirisme David Hume David Hume merupakan salah seorang filsuf aliran empirisme yang



U



paling radikal. Hal ini disebabkan ia bukan hanya mampu mengembangkan filsafat empirisme para filsuf sebelumnya, tetapi lebih dari semuanya, ia



M



memberikan pijakan filsafat empirisme secara amat konsisten. Meskipun ada cukup banyak dan sangat luas prinsip-prinsip pemikiran filosofisnya, kita hanya akan mendiskusikan tiga doktrin pemikirannya tentang filsafat



M



empirisme.



Pertama, tentang kesan (impressions) dan ide (ideas). Hume memulainya



dengan sebuah adagium



prinsipil:



impressions’, yakni tidak ada ide tanpa melalui kesan.



‘No



80



ideas



without



Hume membedakan



Y



antara kesan dan ide. Kesan adalah bagaimana dunia eksternal memberi pengaruh secara langsung kepada kita melalui kelima panca indera kita. Sementara ide merujuk kepada citra atau konsep yang kita tarik dari kesankesan yang telah kita dapatkan sebelumnya.



78



Ibid., hlm. 417. Ibid., hlm. 417-418. 80 Pojman, Philosophy , op.cit, hlm. 137. 79



67



Katakanlah, kita melihat sebuah objek berwarna merah. Kemudian warna kemerahan menorehkan kesan kemerahan tersebut melalui pikiran kita; sehingga



ketika



kita



menutup



mata



kita,



maka



kita



masih bisa



menggambarkan warna kemerahan itu dalam pikiran kita. Atau ketika kita mendengar seekor anjing yang menggonggong dan memberikan kesan suara gonggongan pada telinga kita; Sehingga kemudian, walaupun kita sudah tidak mendengar gonggongan anjing tersebut, namun pikiran kita tetap mampu menangkap sebuah ide tentang “gonggongan”. Akan tetapi, semua ide-ide ini walaupun terlihat sederhana, bagi Hume, kita tidak akan bisa mempunyai ide-ide tentang apa pun kalau kita



D



tidak mempunyai pengalaman melalui panca indera kita terhadap dunia eksternal terlebih dahulu. Jika kita tidak pernah melihat sebuah objek berwarna merah, kita tidak akan bisa mempunyai ide tentang merah; Karena



U



itu, orang buta tidak memiliki ide mengenai warna merah. Jika kita tidak pernah mendengar suara anjing yang menyalak, maka kita tidak akan dapat



M



memiliki ide mengenai nyalakan suara anjing. Itulah alasannya mengapa orang yang sejak lahir tuli, tidak mempunyai ide tentang suara nyalakan anjing.



M



Selanjutnya, kata Hume, dari ide-ide yang sederhana (simple ideas) yang berpijak pada kesan-kesan sederhana (simple impressions), kita dapat membangun ide-ide yang kompleks (complex ideas) sehingga kita bisa membuat citra tentang hal-hal yang tidak eksis. Kita memiliki ide yang



Y



kompleks tentang kisah legenda kuno tentang kuda yang bertanduk (unicorn) yang kita ciptakan dari gabungan ide sederhana tentang seekor kuda dan sebuah tanduk. Kita juga bisa memiliki ide yang kompleks mengenai legenda Yunani klasik tentang kisah kuda yang berkepala manusia yang kita ciptakan dari kombinasi ide tentang belalai, lengan, dan kepala seorang manusia yang menyatu dengan tubuh dan kaki seekor kuda. Kita memang tidak bisa menciptakan ide-ide sederhana tanpa memiliki kesan. Tapi sekali kita mengalami ide-ide sederhana melalui kesan



68



yang telah kita terima, imajinasi kita dapat mengkonstruksi berbagai kombinasi ide-ide tersebut, sehingga menghasilkan ide-ide yang kompleks. 81 Itulah makna gambaran umum dari adagium yang diteriakkan oleh Hume di atas: ‘No ideas without impressions’, yakni semua ide-ide yang kita bangun, dari ide-ide sederhana, sampai ide-ide kompleks, harus bersumber dari kesankesan yang kita dapatkan melalui pengalaman kita bersentuhan langsung dengan dunia eksternal. Kedua, penolakan terhadap substansi dan kesadaran diri. Salah satu landasan filsafat sejak Plato hingga Berkeley adalah adanya substansi yang eksistensinya berada dalam dirinya sendiri, bukan bergantung pada eksistensi



D



yang lain. Substansi berbeda dengan aksiden yang justru eksis dan bergantung kepada substansi. Seekor kucing adalah sebuah substansi; sementara warna, bentuk, berat, dan erangannya hanya bisa eksis bersama dan bergantung pada



U



eksistensi seekor kucing. Hume menolak keberadaan hakikat substansi sebab seluruh pengetahuan manusia dapat dilacak pada pengalaman bersentuhan



M



dengan kesan-kesan terhadap dunia eksternal. Ide tentang substansi pun berasal dari kesan-kesan yang disaksikan manusia sehingga menjadi ide kompleks yang disebut dengan substansi. Dari



M



semua objek eksternal apa pun, menurut Hume, yang dapat kita tangkap hanyalah kesan-kesan atau efek-efek dari objek tersebut, bukan hakikatnya. Kita tidak dapat mengetahui secara penuh objek-objek eksternal yang kita alami dengan panca indera. Namun ini bukan berarti dunia eksternal yang kita



Y



saksikan tidak eksis. Hume ingin menegaskan bahwa hakikat eksistensi dunia eksternal atau substansinya tidak akan pernah bisa divalidasi dengan pembuktian atau argumentasi rasional.



Meminjam contoh langsung dari Hume: “Gold is nothing but the collection of the ideas of yellow, malleable, fusible, an so on”; ‘Emas tidak lain kecuali kumpulan ide-ide tentang kuning, sesuatu yang dapat ditempa, 81



Ibid., hlm. 137-138; Bandingkan dengan Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 886-888. 69



dapat dilebur, dan sebagainya’.82 Dengan alasan tersebut, dalam tilikan Hume, sejatinya we have therefore no idea of substances, kita tidak mempunyai ide mengenai substansi.83 Dalam pengertian tertentu, menurut Bryan Magee, tampaknya Hume sedang melontarkan kritik atas keterbatasan-keterbatasan manusia, dan secara khusus kritik atas pengetahuan manusia, yakni sebuah kritik atas akal budi yang mendahului kritik Immanuel Kant terhadap akal budi. 84 Berkenaan dengan kesadaran diri pun, Hume bersikap skeptis bahwa kita tidak memiliki kesadaran diri secara solid. Mengenai kesadaran diri, Hume beragumen bahwa jika kita berintrospeksi, kita hanya bisa menyadari



D



kandungan (content) pengalaman batin kita seperti persepsi-persepsi indriawi, imaji-imaji, pemikiran-pemikiran, kenangan-kenangan, suasana-suasana hati, perasaan-perasaan, dan lainnya. Kita tak memiliki kognisi atas sebuah entitas



U



lain, yaitu diri, yang memiliki semua pengalaman tersebut. Sebagaimana dia katakan, “rasa sakit dan senang, rasa sedih dan gembira, suasana hati dan



M



sensasi bergantian datang dan pergi, dan tidak pernah hadir pada saat yang sama. Oleh karena itu, kita tidak bisa menderivasikan ide tentang diri (self) dari kesan-kesan ini atau dari kesan-kesan yang lain; dan sebagai



Dalam



perspektif



M



konsekuensinya, sesungguhnya ide diri itu tak ada”.85 Bryan



Magee,



pandangan



Hume



yang



beranggapan eksistensi diri itu tidak ada adalah keliru. Manusia sebenarnya bukan hanya makhluk (adaan) yang mengetahui (knowing being); hanya



Y



seorang penonton panggung dunia, melainkan juga seorang agen yang memiliki ide agensi. Yakni manusia memang sebagai makhluk yang mengetahui tapi juga sekaligus makhluk yang berkehendak dan makhluk yang bertindak. Kita bukan hanya para penonton dunia, melainkan juga partisipan dunia yang turut menggerakkan dunia (baik dalam arti harfiah maupun 82



Zaine Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 891. Ibid., hlm 890. 84 Bryan Magee, Memorar, op.cit, hlm. 169. 85 Ibid., hlm. 170-171. 83



70



metaforis). Manakala kita melakukan aktivitas yang kita sengaja, kita memiliki sebuah pengalaman sadar bahwa kita sedang melakukan sesuatu¸dan bahwa pengalaman itu tidak secara niscaya harus memiliki sebuah objek epistemologis. Sebagai contoh, saat kita mengunggu sebuah keputusan penting, kita mungkin menderita sekali akibat situasi itu selama berhari-hari atau berminggu-minggu, terbangun pada tengah malam karena khawatir, mendiskusikannya dengan teman, dan sebagainya. Sepanjang periode tersebut, kita sangat sadar bahwa kita sedang melakukan sesuatu, bahwa kita tengah terlibat, berada dalam situasi itu; tetapi mungkin saja kita sama sekali



D



tidak bisa menduga-duga hasil keputusannya (mungkin saja keputusan itu tidak akan pernah diwujudkan dan dirumuskan sama sekali) sebelum proses itu berakhir. Dengan kata lain, terdapat kesadaran yang langsung dan bersifat



U



serta-merta akan aktivitas sebuah subjek, dan kesadaran-langsung ini berlangsung kontinu dan tetap.



M



Kita lalu mempercayainya sebagai sebuah kesadaran yang diinsafi dan bersifat langsung tentang aktivitas-aktivitas yang dilakukan diri. Ini bukan berarti kita menyatakan bahwa diri (self) sepenuhnya diketahui—justru



M



sebaliknya, dengan mudah ditunjukkan bahwa itu tidak benar dan karena itu kita tak perlu repot-repot membahasnya. Namun, kita memang menganggap itu menggambarkan bahwa kita memahami secara langsung diri kita sebagai diri yang berkesinambungan (continuing self). Tentu saja, tidak berarti



Y



mengatakan bahwa diri merupakan semacam entitas eksistensial: pada hakikatnya, diri lebih merupakan sebuah proses. 86



Ketiga, hukum kausalitas. Ketika mendiskusikan hukum kausalitas, kita dapat memulainya dengan cara kerja pikiran yang diuraikan Hume. Hume menyatakan



bahwa



pikiran



bekerja



melalui



tiga



prinsip



yaitu



keserupaan/kemiripan, relasi, hubungan, atau kontak serta sebab dan akibat. Ketika kita memiliki sebuah ide tentang sesuatu misalnya, lazimnya kita 86



Ibid., hlm. 171-172. 71



mulai memikirkan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki kemiripan dengan ide yang sedang kita pikirkan. Kemudian kita mulai menghubungkan ide yang sedang kita pikirkan dengan pengalaman-pengalaman kita sebelumnya yang kita anggap relevan. Dari



pemikiran yang bersifat



asosiatif



ini,



kita



akhirnya



menisbahkan berbagai peristiwa sebagai hubungan sebab-akibat, sebagai hukum kausalitas.87 Dengan argumentasi ini, Hume ingin menunjukkan bahwa hukum kausalitas: bahwa A menyebabkan B; bahwa satu peristiwa ini menyebabkan peristiwa kedua itu, tidaklah valid. Sejatinya kita tidak mengetahui substansi hukum kausalitas; yang kita ketahui hanya hubungan



D



antara beberapa kejadian yang bersifat asosiatif, bukan bersifat substantif. Ketika kita mempertimbangkan bahwa kejadian A menyebabkan



kejadian B, apa yang sebenarnya terjadi pada kejadian A dan B hanyalah



U



bahwa keduanya seringkali kita saksikan secara berurutan: kejadian A segera disusul dengan kejadian B. Di sini, sebenarnya kita tidak berhak mengatakan



M



bahwa kejadian A mesti diikuti kejadian B, atau akan diikuti kejadian B pada kesempatan mendatang. Kita juga tidak memiliki landasan untuk menduga, seberapa pun seringnya kejadian A diikuti dengan kejadian B, adanya



M



hubungan di luar hubungan urutan, yang kita sebut dengan hukum kausalitas. Sebab secara faktual, hukum sebab-akibat dapat diuraikan sebagai rentetan yang berurutan, bukan sebagai gagasan kausalitas tersendiri. Sebagaimana kita sudah singgung di awal, bahwa Hume meyakini



Y



semua gagasan kita berasal dari kesan yang kita dapatkan melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman kita yang berulang-ulang membentuk kebiasaan dan akhirnya kebiasaan-kebiasaan yang selalu kita temukan menumbuhkan semacam harapan bahwa itu pasti terulang serupa dalam diri kita, meskipun tidak kita sadari. Kejadian A yang menyebabkan kejadian B yang telah kita saksikan berulang-ulang di masa silam dan telah membentuk



87



Ridling, Philosophy , op.cit, hlm. 888-889. 72



kebiasaan dalam perspektif kita, maka kita meyakini bahwa kejadian A yang menyebabkan kejadian B itu pasti akan terjadi juga di masa depan. Gambaran karikaturalnya seperti ini. Setiap pagi hari saya melihat tetangga saya mengeluarkan beberapa ekor ayamnya dan langsung diberi makan. Saya menyaksikan peristiwa yang sama ini setiap hari, setiap minggu, dan setiap bulan-bulan yang terus berlalu. Pengalaman tentang kejadian ini kemudian membentuk kebiasaan dalam benak saya, sehingga ada ekspektasi samar dalam diri saya yang membisikkan begini: Ketika pagi hari saya melihat tetangga saya mengeluarkan beberapa ekor ayamnya dari kandang, benak saya langsung berbisik (berharap/harapan saya yang tak terucap):



D



“Ayam-ayam itu akan mendapatkan makanan dari yang empunya”. Boleh jadi beberapa hari, minggu, atau bulan ke depan apa yang



saya yakini benar-benar terjadi sama persis seperti hari-hari sebelumnya:



U



ayam-ayam itu langsung mendapatkan makanan gratis dari tetangga saya. Namun satu waktu, dua hari atau sehari sebelum hari raya Idul Fitri, tetangga



M



saya mengeluarkan kembali ayam-ayamnya dari kandang seperti kebiasaan sebelumnya. Namun yang mengejutkan, ketika ayam-ayam tersebut keluar, ayam-ayam itu bukannya mendapatkan makanan gratis seperti biasanya, tetapi



M



langsung dipotong oleh empunya (untuk makanan di Hari Raya Lebaran). Di sini, semua perspektif yang berdasarkan pengalaman dan kebiasaan saya tentang sebab akibat: bahwa kalau setiap pagi ayam-ayam itu dikeluarkan, maka ayam-ayam tersebut akan mendapatkan makanan, menjadi



Y



gugur seketika. Harapan saya yang samar dan mungkin tidak saya sadari, seketika itu juga menjadi jelas: hari ini saya menyaksikan ayam-ayam yang dikeluarkan itu bukan untuk diberi makanan, tapi dipotong. Harapan saya pun gugur. Hukum kausalitas yang barangkali saya yakini selama ini, sebenarnya tidak lain hanya kesan-kesan tentang relasi secara berurutan yang saya dapatkan melalui pengalaman yang telah menjadi kebiasaan. Jadi, bagi Hume, yang kita sebut sebagai hukum kausalitas itu hanya perspektif kita belaka tentang berbagai kejadian, bukan hakikat hukum kausalitas itu sendiri.



73



Dengan alasan inilah: ‘We can therefore’, tulis Hume, only know cause and effect from experience, not from reasoning or reflection¸’Karena itulah, kita hanya mengetahui sebab dan akibat dari pengalaman, bukan dari penalaran atau hasil refleksi’. 88 Begitu juga, dari pengandaian kita bahwa masa depan menyerupai masa silam tidak dilandaskan pada jenis argumen rasional apa pun, tetapi sepenuhnya berasal dari kebiasaan-kebiasaan saja.89 Kiranya kita bisa melihat secara langsung sikap skeptis Hume dari kesimpulan yang disuguhkannya ke hadapan kita berikut ini: “Semua alasan yang mungkin tidak lain merupakan satu jenis sensasi. Kita mesti mengikuti selera dan sentimen kita, bukan



D



hanya di dalam puisi dan musik, namun juga dalam filsafat. Sebuah prinsip yang saya alami, tidak lain hanyalah sebuah gagasan yang sangat mempengaruhi saya. Ketika saya lebih



U



memilih sekumpulan argumen ketimbang argumen lain, apa yang saya lakukan itu tidak lain adalah memutuskan berdasarkan



M



perasaan saya tentang keunggulan pengaruh argumen-argumen itu. Obyek tidak memiliki hubungan teramati satu sama lain; tidak dari prinsip mana pun, tetapi dari kebiasaan yang berlaku



M



dalam imajinasi, sehingga kita dapat menarik kesimpulan apa pun dari penampakan yang satu hingga keberadaan yang lain”. 90 Pada titik ini, menjadi transparan tentang sikap skeptis Hume: ia



Y



bukan hanya meragukan ide-ide kita, substansi objek dan kesadaran diri, tapi juga meragukan pengetahuan kita tentang hakikat hukum kausalitas. Hume menurunkan sebuah keraguan radikal kepada kita. Tapi benarkah bahwa pengetahuan pasti tidak dapat kita ketahui atau kita dapatkan melalui fakultas panca indera dan penalaran kita terhadap realitas eksternal? Benarkah semua



88



Bertrand Russell, History of Western , op.cit, hlm. 639. Ibid., hlm. 644. 90 Ibid., hlm. 877. 89



74



pengetahuan kita hanya bersifat relatif, tidak utuh, dan karenanya mesti disisipi sikap keraguan seperti yang diikrarkan oleh Hume? Sebenarnya, bila seseorang mengklaim bahwa pengetahuan pasti mustahil tercapai, pertanyaan yang perlu kita ajukan kepadanya ialah apakah dia mengetahui klaimnya itu secara pasti atau dia juga meragukannya. Jika dia menjawab bahwa dia mengetahui kemustahilan pengetahuan pasti secara pasti, setidaknya suatu pengetahuan pasti telah diperoleh—seperti yang diakuinya—dan



dengan



demikian



klaimnya



mengenai



kemustahilan



pengetahuan pasti dia langgar sendiri. Sebaliknya, jika dia tidak mengetahui secara pasti tentang kemustahilan pengetahuan pasti, setidaknya dia telah



D



mengakui kemungkinan adanya pengetahuan pasti. Dan dengan demikian, klaimnya tentang kemustahilan pengetahuan pasti telah, dari sisi lain, dikelirukannya sendiri.



U



Akan tetapi,



jika



seorang berkata



bahwa



dia



meragukan



kemungkinan pengetahuan pasti dan klaim-klaim tentang pengetahuan pasti,



M



kita perlu menanyakannya apakah dia telah mengetahui dengan pasti bahwa dia punya keraguan semacam itu atau tidak. Jika dia menjawab bahwa dia mengetahui secara pasti adanya keraguan tersebut, itu berarti bahwa ia tidak



M



hanya telah mengakui kemungkinan pengetahuan pasti, tetapi juga mengetahui keaktualan pengetahuan pasti itu (dalam dirinya). Akan tetapi, jika dia menyatakan bahwa dia meragukan apakah dia benar-benar punya keraguan atas keberadaan pengetahuan pasti (yang terdapat dalam dirinya),



Y



jawaban seperti ini tidak bisa tidak diakibatkan oleh suatu penyakit atau niat yang memerlukan tanggapan non-teoretis.



Sebagai tanggapan untuk kalangan yang membela relativitas semua pengetahuan, yakni kalangan yang mengklaim ketiadaan proposisi yang benar secara mutlak, universal, dan abadi, kita perlu bertanya apakah klaim relativitas semua pengetahuan itu sendiri benar secara mutlak, universal, dan abadi atau klaim itu cuma benar secara relatif, partikular, dan temporer. Apabila klaim relativitas itu dianggap senantiasa benar dalam semua kasus



75



tanpa syarat dan penyifatan (qualification), gugurlah relativitas pada semua pengetahuan, lantaran satu proposisi telah terbukti benar secara mutlak, universal, dan abadi—yakni proposisi relativitas semua pengetahuan. Jika proposisi relativitas semua pengetahuan ini pun bersifat relatif, itu berarti bahwa pada kasus-kasus tertentu relativitas tidak berlaku. Dan pada kasuskasus yang tidak menerima relativitas, terdapat proposisi-propoisi yang benar secara mutlak, universal, dan abadi. 91 Terlepas dari kelemahan sikap skeptis Hume, dalam kajian Bryan Magee, sebenarnya Hume sendiri mengakui bahwa tidak mungkin bagi siapa pun untuk benar-benar hidup sebagai seorang yang skeptis karena, untuk bisa



D



hidup, kita harus terus-menerus melakukan tindakan-tindakan, dan ini melibatkan penetapan pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan, dan semua ini tak bisa dilakukan kecuali atas dasar keyakinan-keyakinan kita mengenai



U



situasi kita. Lebih dari itu, proses pemilihan dan keputusan tersebut melibatkan risiko-risiko, dan sering kali risiko-risiko itu begitu besar karena



M



perilaku kita memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis: setiap hari kita harus sering mengambil keputusan yang membuat kita terbunuh seperti melangkah di depan kendaraan-kendaraan yang sedang melaju sehingga kita tertabrak,



tertusuk oleh benda-benda tajam.



M



tersengat aliran listrik, menghirup gas beracun, overdosis obat-obatan, atau



Jadi, sepanjang waktu kita semua harus menjalani kehidupan atas dasar keyakinan-keyakinan mendasar mengenai realitas, meski kita memang



Y



tak pernah bisa yakin seratus persen apakah keyakinan-keyakinan kita benar. Ini membuat Hume menyerukan sikap yang disebutnya sebagai “skeptisisme ringan” (mitigated scepticism). Proses pemikiran yang bijaksana, menurut Hume, ialah pemikiran yang menjauhkan kita dari segala bentuk dogmatis dan proses pemikiran yang terus-menerus bersedia untuk berdasarkan pengalaman



91



Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 8889. 76



merevisi ekspektasi-ekspektasi, dan pada saat yang sama bertindak secara berani dan penuh keyakinan sebagaimana yang dituntut oleh kehidupan. Sudah pasti, akan ada saat-saat ketika kita terjatuh, dan satu-satunya hal yang bisa kita lakukan pada saat-saat itu ialah bangkit dan mencoba lagi—dan mencoba untuk belajar dari pengalaman. Dalam praktiknya, pengadopsian cara hidup seperti ini memiliki implikasi-impliasi tertentu yang sangat luas. Salah satunya ialah sikap toleransi yang massif dan manusiawi. 92 G. Penutup: Catatan Kritis bagi Empirisme Persoalan khusus aliran filsafat empirisme ialah menerangkan konsep dan keputusan universal hanya lewat pengalaman saja. Tidak



D



diragukan bahwa “seluruh pengetahuan kita mulai dengan pengalaman” dan secara tertentu dikondisikan oleh pengalaman. Pembatasan pengetahuan kita pada bidang pengalaman belaka tidak dapat dipertahankan oleh dirinya



U



sendiri. Bahkan pernyataan, “seluruh pengetahuan berdasarkan pengalaman adalah benar” tidak dapat direduksi dari pengalaman. Dan malahan prinsip



M



fundamental empirisme yang mengatakan bahwa pengalaman sajalah yang menjamin pengetahuan yang sejati lebih sulit dibangun berdasarkan pengalaman saja.



M



Empirisme cenderung gagal ketika menjelaskan konsep universal atau umum. Representasi inderawi biasa atau schemata inderawi tidak cukup menjelaskan konsep universal, karena re-presentasi atau schemata itu tidak dapat diafirmasikan secara identik dengan afirmasi beberapa aspek objek real.



Y



Konsep logis “manusia” adalah satu, tetapi schemata inderawi untuk “manusia” mendapat bentuk berbeda-beda. Akibatnya shemata tidak dapat dipakai sebagai subjek atau predikat dalam suatu keputusan universal. Schemata itu sendiri membutuhkan satu norma agar dapat dihasilkan dan dikenal sebagai schemata, yakni konsep logis.



92



Bryan Magee, Memorar, op.cit, hlm. 168. Perbandingan dengan Zaine Ridling, Philosophy, op.cit, hlm. 894. 77



Berpegang kepada yang tidak sadar, atau yang inderawi atau imajinasi yang dibawa serta oleh yang tak sadar dan yang inderawi tidak cukup. Sebab, konsep universal adalah representasi yang sungguh sadar dan jelas. Bahwa bisa terjadi konsep universal itu diselimuti dengan schema inderawi dan disertai representasi inderawi tidak dapat ditolak. Tetapi proses ini mengandaikan konsep logis. Selanjutnya, empirisme mengacaukan hubungan subjek-predikat yang dipahami secara intuitif dalam keputusan asosiasi non-intuitif. Ia mencoba membangun kesahihan keputusan universal berdasarkan induksi. Tetapi induksi sendiri mempunyai pengandaianpengandaian tertentu yang tidak dapat dibangun dari pengalaman saja.



D



Penolakan metafisika oleh empirisme sebagai pengetahuan yang



melampaui pengalaman, gagal untuk melihat bahwa pengalaman itu sendiri dikondisikan oleh dasar-dasar yang melampaui pengalaman. Jadi, di dalam



U



semua pengetahuan yang benar pengalaman selalu dilampaui.93 Demikian pula, sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada



M



persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Panca indera kita sering menyesatkan di mana hal ini tidak disadari oleh kaum empiris sendiri.



khayalan dan fakta.



M



Empirisme tidak mempunyai kelengkapan untuk membedakan antara



Akhirnya, empirisme tidak dapat memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian di atas,



Y



sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Secara karikatural, tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin bahwa mobil yang kita masukkan ke dalam garasi pada malam hari adalah juga mobil yang sama yang kita kendarai pada pagi harinya. 94



93



Lorens Bagus, Kamus, op.cit, hlm. 200. Jujun S. Suriasumantri ed., Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Obor Indonesia, 2009), hlm. 104. 94



78



BAB 3 EPISTEMOLOGI FENOMENALISME A. Pengantar “Kant’s views are a serious attempt to analyze the nature of knowledge. Kant not only shows the limitations of knowledge but also validates knowledge within its proper field”.95



Setelah menelusuri argumentasi-argumentasi filosofis dari filsafat



D



rasionalisme dan empirisme, kini kita akan menjelajahi salah satu doktrin filsafat besar abad-18 yaitu fenomenalisme. Epistemologi fenomenalisme bukan hanya mengkritisi sejumlah kelemahan masing-masing pijakan filosofis



U



paham rasionalisme dan empirisme, tapi juga berupaya mendamaikan keduanya dengan sebuah formula filosofis yang benar-benar orisinil. Sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh Manuel Velasquez di



M



atas, perspektif-perspektif yang dikonstruksi oleh Immanuel Kant merupakan sebuah upaya yang sangat serius dalam menganalisa basis pengetahuan. Menariknya, Kant bukan hanya mampu menunjukkan batasan-batasan



M



pengetahuan kita, ia juga mampu memvalidasi pengetahuan kita dalam ranahnya yang tepat. Baik rasionalisme maupun empirisme hanya mampu menangkap setengah kebenaran pengetahuan. Padahal terdapat struktur-



Y



struktur internal dalam fakultas indrawi dan akal kita yang menjadi penentu kita dalam membingkai realitas. Struktur-struktur internal inilah yang menjadi basis pengetahuan manusia, sehingga fenomenalisme hendak menunjukkan sejauh mana kapasitas indrawi dan akal kita dalam mencandra realitas. Karena itu, tulisan ini akan menelusuri bagaimana pengertian fenomenalisme secara filosofis; mengeksplorasi pijakan-pijakan argumentatif epistemologi fenomenalisme menalui perspektif Immanuel Kant, dan diakhiri 95



Manuel Velasquez, Philosophy A Text With Reading (New York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 389. 79



dengan catatan penutup untuk melihat kontribusi sekaligus tilikan kritis terhadap fenomenalisme Kant. Di sini perlu ditegaskan, bahwa epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant yang kita bahas ini hanya dibatasi pada ranah filsafat murni yang berhubungan dengan akal murni (pure reason) dan tidak membahas wilayah filsafat moralnya yang mencakup practical reason (akal praktis). B. Pengertian Fenomenalisme Istilah fenomenalisme berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata phainomenon yang berarti apa yang tampak dari penampakan atau memperlihatkan. Ada beberapa arti fenomen antara lain: objek persepsi; apa



D



yang diamati; apa yang tampak pada kesadaran kita; objek pengalaman indrawi atau apa yang tampak pada panca indra kita; dan suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati.



96



Sedangkan fenomenalisme adalah sebuah



U



doktrin filosofis yang berpandangan bahwa kita hanya mengetahui sesuatu berdasarkan apa yang tampak. 97



sebagai berikut:



M



Doktrin fenomenalisme dapat dirinci dalam sejumlah detil-detil



1. Hanya fenomena (data inderawi) dapat diketahui sebagaimana



M



fenomena tersebut tampak kepada kesadaran kita. 2. Kita tidak dapat mengetahui hakikat terdalam dari suatu kenyataan yang berada di dalam dirinya sendiri.



3. Apa yang kita ketahui tergantung pada kegiatan kesadaran. Realitas



Y



obyek lahiriah, fisis berdasarkan pengamatan, pencerapan seseorang. 4. Pengetahuan dibatasi pada apa yang dapat dicerap (diamati) secara sadar terhadap dunia luar dan dibatasi pada apa yang dapat dicerap dengan introspeksi tentang kegiatan dan keadaan mental kita.



96



Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 230-231. 97 Milton D. Hunnex, Peta Filsafat Terj. Zubair (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 29 dan 156. 80



5. Realitas merupakan totalitas pengalaman-pengalaman sadar yang mungkin ada. 6. Materi merupakan kemungkinan permanen bagi pencerapan (sensasi). Obyek-obyek material merupakan rangkaian atau gugusan kelompok cerapan inderawi yang aktual atau yang mungkin. Dunia fisik tidak dapat dikatakan terpisah dari data inderawi seorang pengamat, baik yang aktual maupun yang bersifat potensial. 7. Obyek fisik (material) merupakan konstruksi logis berdasarkan persepsi (data indrawi). Arti tentang pernyataan tentang obyek fisik seluruhnya dapat dianalisis dalam kaitan dengan pernyataan tentang



D



pola-pola data inderawi, atau seluruhnya dapat dikembalikan kepada pernyataan tentang pola-pola data inderawi (fenomena).



8. Berbeda dengan idealisme epistemologis, fenomenalisme dalam arti



U



yang tepat menegaskan dan menandaskan eksistensi segala sesuatu yang terlepas dari pikiran. Tetapi hakikat segala sesuatu yang berada



M



di dalam dirinya sendiri tetap tidak dapat kita ketahui. Di sini pula letak perbedaan antara realisme dan fenomenalisme. Kaum fenomenalis menegaskan bahwa segala sesuatu memberikan kesan-



M



kesan kepada kita. Dalam kesan-kesan ini, segala sesuatu yang tampak kepada kita sesuai dengan ciri khas subyek bersangkutan. Dan gejala (kesan) yang kita terima secara pasif ini merupakan obyek pengetahuan kita. Oleh karena itu, fenomenalisme berbeda



Y



baik dari realisme maupun idealisme. 98



Seorang filsuf yang membuat demarkasi secara distingtif antara realitas objektif sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri (noumena) dan realitas subjektif sebagai sesuatu yang tampak pada kesadaran kita (fenomena) adalah Immanuel Kant. Berikut ini kita akan memfokuskan epistemologi fenomenalisme yang digulirkan oleh filsuf besar dari Jerman abad ke-18 M tersebut. 98



Lorens Bagus, Kamus, op. cit, hlm. 231-232. 81



C. Biografi Immanuel Kant (1724-1804) Tidak boleh disangsikan, Immanuel



Kant



(1724-1804)



termasuk filsuf yang terbesar dalam sejarah filsafat riwayat



modern.



hidupnya



tidak



Tentang dapat



dikisahkan hal-hal yang mencolok mata. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Di universitas



di



kota



asalnya



ia



D



menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya menjadi profesor di sana. Di bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang pada waktu itu menonjol di universitas-universitas Jerman.99



U



Sewaktu studi di universitas kota Konigsberg, Kant mempelajari hampir semua mata kuliah waktu itu, dan dia mendapat pengaruh rasionalisme



M



Wolff melalui dosen yang sangat dikaguminya, Martin Knutzen. Dengan hak istimewa untuk meminjam buku-buku dosennya ini, Kant dapat mempelajari fisika Newton dan sistem-sistem metafisis dan logika yang dicapai sampat



M



saat itu. Karena kekurangan uang, dia juga bekerja sebagai Privatdozent (dosen lepas) untuk beberapa keluarga kaya. Masa kerja sebagai Privatdozent ini berlangsung dari tahun 1755-1770 dan dikenal sebagai “periode prakritis”-nya yang sangat dipengaruhi oleh Leibniz dan Wolff. Juga pada



Y



periode ini Kant adalah seorang dosen yang sangat luar biasa dalam penguasaannya atas hampir semua ilmu waktu itu. 100



Episode kehidupan Kant secara pribadi berjalan sangat ketat, teratur, penuh kedisiplinan, dan bahkan terkesan mekanisme. Penyair Heine melukiskan rutinitas kehidupan sang filsuf dengan sangat indah: ”Sejarah 99



K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 63. 100 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 131. 82



hidup Immanuel Kant, sulit ditulis karena dia tak punya kehidupan maupun sejarah, dan karena dia menjalani kehidupan sebagai bujangan tua yang abstrak dan tertib secara mekanis, di sebuah jalan yang tentram dan sepi di Keonigsberg, kota kuno diperbatasan Timur-laut Jerman. Saya tak yakin bahwa jam besar katedral di kota itu mampu melaksanakan tugasnya seharihari secara lebih tertib dan teratur ketimbang rekannya, Immanuel Kant. Bangun tidur, minum kopi, menulis, membaca bahan-bahan kuliah, makan, dan berjalan, semuanya memiliki waktu tersendiri, dan para tetangganya tahu bahwa tentu tepat pukul setengah empat, Immanuel Kant lengkap dengan mantel abu-abu dan tongkat bambu di tangannya, meninggalkan pintu



D



rumahnya menuju jalan raya yang dinaungi pohon-pohon limau—suatu kebiasaan yang untuk mengenang dia lantas disebut Langkah sang Filsuf”. 101 Secara fisik ia lelah, memerlukan perawatan dokter, tetapi ia hidup



U



sampai usia delapan puluh tahun. Ia memang filosof tulen. Ia berpikir lebih dahulu sebelum berbuat. Barangkali karena inilah maka ia membujang seumur Dua



kali



ia



mencoba



mendekati



M



hidup.



perempuan.



Pertama



ia



merenungkannya terlalu lama. Karena tidak sabar menunggu, perempuan itu kawin dengan pemuda lain yang berani. Yang kedua dengan perempuan yang



M



juga tidak sabar menunggu Kant mengambil keputusan kawin atau tidak. Akhirnya perempuan itu pindah dari kota Konigsberg. Mungkin ia berpikiran seperti Nietzsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran, atau seperti Talleyrand yang berpendapat bahwa orang



Y



yang kawin akan melakukan apa saja demi duit. Dan Kant pada umur dua puluh tahun telah menyatakan, “Saya sudah menetapkan jalan yang pasti. Saya ingin belajar, tidak satu pun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan hidup”.102



101



Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010),



hlm. 32. 102



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosda Karya, 2004), hlm. 152. 83



Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi atas dua periode: zaman praktis dan zaman kritis. Dalam zaman praktis ia menganut pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Tetapi karena dipengaruhi oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume-lah yang membangunkan dia dari tidur dogmatisnya. Sedangkan dalam periode kedua, Kant mengubah wajah filsafat yang radikal. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan ia mempertentangkan kritisisme dengan dogmatisme. Menurut dia, kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan telebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf yang



D



pertama mengusahakan penyelidikan ini. Semua filsuf yang mendahuluinya tergolong dalam dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu. 103



U



Kant menggunakan sebagian besar dari umurnya mempelahari proses “logical process of thought”, “the external world” dan “the reality of



M



things”. Mulai zamannya Kant, para filosof harus mengindahkan dan memikirkan argumen-argumennya. Tulisan-tulisan Kant yang kurang penting banyak dan mengenai bermacam-macan topik. Tetapi karya yang besar adalah



M



tiga kritik: Critique of Pure Reason, membicaran tentang “reason” dan “knowing process”, ia menghabiskan waktu 15 tahun untuk menulis buku tersebut, yaitu buku yang mengherankan dunia filsafat; Critique of Pure Reason, yang menjelaskan filsafat moralnya; dan Critique of Pure Reason



Y



yang menyempurnakan kedua karangan sebelumnya dan terlihat “nature as purposive” dalam hukum-hukumnya.104 Kant meninggal dunia pada tanggal 12 Februari 1804 dalam usia delapan puluh tahun.



D. Epistemologi Fenomenalisme Immanuel Kant 1. Kritik Terhadap Akal Murni 103



Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 64. Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 151. 104



84



Immanuel Kant memulai proyek filsafat fenomenalisme-nya dengan mengajukan pertanyaan filosofis yang bersifat fundamental: What can we know? Apakah yang dapat kita ketahui? What are the limits of human knowledge? Apakah batas-batas pengetahuan manusia? Meskipun pertanyaan ini amat singkat tapi justru dengan pertanyaan inilah Kant hendak menyelidiki sejauh mana kekuatan akal manusia dalam mencandra ilmu pengetahuan; Meskipun pertanyaan ini tampak sederhana, tapi dengan pertanyaan inilah Kant mulai menelisik tentang batas-batas kemampuan rasio manusia dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan; Meskipun pertanyaan ini seperti pertanyaan common sense, tapi pertanyaan inilah yang tidak pernah



D



dipertanyakan oleh filusf-filsuf sebelumnya; Dengan pertanyaan inilah, Kant memisahkan diri dengan filsuf-filsuf sebelumnya sekaligus membangun garis batas yang jelas antara bangunan filsafatnya dengan bangunan filsafat



U



sebelumnya.



Dengan berpijak pada pertanyaan tersebut sebagai titik berangkat,



M



Kant tegas menyatakan bahwa bangunan-bangunan filsafat sebelumnya bersifat dogmatisme, sedangkan bangunan filsafatnya bersifat kritisisme. Filsuf-filsuf Barat sejak zaman Yunani kuno sampai zaman pencerahan, entah



M



sejak Thales, Pythagoras, dan Heraklitus, entah sejak Socrates, Plato, dan Aritoteles, entah sejak era Francis Bacon, Thomas Hobbes, dan Isaac Newton, maupun sampai era Rene Descartes, John Locke, dan David Hume, semuanya tidak pernah mempertanyakan batas-batas kemampuan akal manusia. Semua



Y



filsuf sebelum Kant itu tidak pernah menguji lebih dahulu kapasitas akal manusia dalam memperoleh pengetahuan, kemampuan rasio manusia diterima dan dipercaya begitu saja dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan konsep-konsep filsafat.105 Sikap penerimaan mereka itulah yang disebut Immanuel Kant dengan dogmatisme. Padahal dalam perspektif Kant, sebelum melakukan 105



Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 64. 85



penjelajahan filosofis untuk menurunkan wacana-wacana filsafat, seorang filsuf semestinya menguji terlebih dulu sejauh mana kemampuan dan batasbatas yang dimiliki oleh alat yang digunakannya yaitu akal. Dengan kata lain, metode kritis Kant merupakan sebuah proses dimana akal kita bertanya kepada akal itu sendiri mengenai jangkauan dan batas-batas kekuatannya sendiri. Tujuan pemeriksaan diri tersebut adalah untuk menemukan semua tapal batas antara apa yang bisa dan yang tidak busa dicapai oleh akal. 106 Sikap inilah yang oleh Kant disebut kritisisme. 107 Namun sampai di sini, pertanyaan yang tersisa adalah dimanakah batas-batas aparatus yang dimiliki manusia, baik akal maupun panca indera dalam melakukan konstruksi ilmu



D pengetahuan?



Dalam perspektif Kant, pengetahuan manusia merupakan hasil kerja



sama antara panca indera dan pemahaman akal. Melalui panca indera, objek-



U



objek menampakkan diri ke hadapan kita dan melalui pemahaman akal, objek-objek tersebut dapat dipahami. Bagi Kant, filsuf mesti mengkaji cara



M



kerja panca indera dan akal pikiran dalam membentuk pengetahuan; Sebab ada dua level pengetahuan: pengetahuan pada level panca indera yang dinamakan oleh Kant sebagai estetika transendental (the transcendental



M



aesthetic) dan pengetahuan pada level akal yang dinamakannya dengan logika transendental (the transcendental logic).108



Pertama, estetika transendental. Sebagaimana para filsuf abad ke-17 dan 18 sebelumnya, Kant menilai fakultas panca indera sebagai kekuatan



Y



pasif dalam menerima penampakan objek-objek eksternal. Namun Kant membuat perbedaan antara materi dan bentuk dari pengalaman panca indera kita. Materi adalah sesuatu yang berasal dari sensasi secara langsung. 106



Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007), hlm. 87-88. 107 Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997 ), hlm. 138. 108 Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell Publishing), hlm. 278. 86



Sedangkan bentuk merupakan pengaturan yang berasal dari pemahaman kita yang belum teratur. Aspek materi dari sensasi misalnya mencakup perbedaan antara sekilas warna biru dan warna hijau atau semerbak mewangi bunga mawar dan sepotong keju. Namun yang lebih menarik dan lebih dominan dalam pemikiran filosofis Kant, adalah mengenai unsur bentuk pada level estetika transendental. Dalam pengetahuan manusia, setiap objek panca indera secara tidak langsung menjadi objek pikiran, yakni apa pun yang kita alami selalu kita klasifikasikan dan kodifikasi dengan pemahaman dalam satu atau beberapa konsep. Kant hendak mengisolasi semua perangkat pemahaman



D



tersebut dengan menyuguhkan dua bentuk yang menjadi kesadaran panca indera yaitu ruang dan waktu (space and time). Bagi Kant, forma ruang dan waktu merupakan struktur intrinsik panca indera yang bersifat apriori (tanpa



U



pengalaman empiris).



Kemudian Kant membedakan pula antara panca indera internal dan



M



panca indera eksternal. Ruang merupakan bentuk panca indera eksternal kita di mana objek-objek eksternal dapat kita persepsi. Semuanya hanya dapat terjadi dalam lingkaran ruang. Sedangkan waktu merupakan bentuk panca



M



indera internal kita di mana pikiran kita mengalami keadaan-keadaan internal pikiran kita: semua kondisi-kondisi internal dalam pikiran dan jiwa kita itu hanya bisa berlangsung dalam putaran sang waktu. 109 Jadi panca indera kita selalu menangkap objek, baik objek eksternal maupun objek internal, dalam



Y



kerangka ruang dan waktu. Tidak ada satu pun objek, kejadian, atau pun keadaan yang bisa kita tangkap secara inderawi tanpa berada dalam batasan ruang dan waktu.



Sampai pada poin ini, muncul pertanyaan yang menggoda benak kita: lalu apakah ruang dan waktu dalam pandangan Kant tidak riil? Jawaban Kant: secara empiris, ruang dan waktu riil, tetapi secara transendental ruang dan waktu bersifat ideal, menyatu dalam diri manusia. “If we take away the 109



Ibid., hlm. 278-279. 87



subject”, tulis Kant menyuguhkan argumentasi, “space and time disappear”, “Kalau kita hilangkan sang subjek, maka ruang dan waktu akan lenyap. Karena itulah; “These as phenomena cannot exist in them selves but only in us”; Fenomena ruang dan waktu tidak dapat eksis dalam diri mereka sendiri, tapi hanya eksis dalam diri kita.110 Di sinilah, Kant mengidentifikasi ruang dan waktu yang bersifat inheren dalam diri kita sebagai bentuk-bentuk intuisi inderawi yang mendahului setiap pengalaman persepsi inderawi yang kita lakukan (forms of intuition).111 Karena pencandraan inderawi kita terhadap objek-objek senantiasa ditentukan oleh forma ruang dan waktu, maka konstruksi persepsi



D



kita terhadap setiap objek tidak pernah sempurna. Setiap pengetahuan kita terhadap objek-objek yang kita candra melalui indera kita hanyalah tentang penampakannya saja bukan hakikat objek itu sendiri. Dalam bahasa Kant,



U



secara langsung, Das ding an sich, benda-dalam-dirinya-sendiri (thing in itself), tidak dapat kita ketahui.



M



Analoginya, ini laksana kita menggunakan kaca mata berwana dalam melihat dunia. Ketika kita memakai kaca mata berwarna hitam dalam melihat mobil berwarna putih, maka warna mobil itu berubah menjadi hitam.



M



Bentuk mobil yang kita lihat sama dengan sebelumnya; hanya saja warnanya berubah menjadi hitam. Tatkala kita menggunakan kaca mata berwarna kuning untuk memandang seekor kucing hitam, maka kucing hitam itu pun berwarna kuning. Pose kucing hitam dengan empat kakinya tidak berbeda



Y



dengan sebelumnya; Namun warna kucing itu sekarang bukan lagi hitam, tapi menjadi kuning dalam penglihatan kita. Ini karena kaca mata yang kita kenakan membatasi kita dalam melihat objek-objek inderawi.



Dalam konteks ini pula, Kant mengatakan bahwa yang dapat kita ketahui dari objek-objek tersebut hanya fenomena atau hanya penampakan



110



Ibid., hlm. 279. Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York: Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 97. 88 111



(gejala) nya saja, sementara noumena, atau substansi dari objek itu sendiri tidak dapat kita ketahui. Hakikat objek-objek yang kita pandang melalui fakultas inderawi bersidat transenden, melampaui kemampuan kapasitas panca indera kita. Kesan-kesan inderawi atau sensasi penampakan dari objek yang kita tangkap adalah phenomenal world, dunia fenomena dan sedangkan esensi objek itu sendiri adalah noumenal world dunia noumena yang tidak dapat ditembus oleh kemampuan panca indera kita.112 Dengan demikian, Kant sudah



menunjukkan bahwa



aparatus



inderawi



kita



terbatas



dalam



mengkonstruksi pengetahuan. Kedua, logika transendental. Apakah kemampuan panca inderawi



D



sendiri mencukupi dalam memotret realitas? Dalam perspektif Kant, sensasi panca indera harus dilengkapi oleh pemahaman (understanding) akal, sebab pemahaman akal itulah yang mengatur data-data yang telah ditangkap oleh



U



panca indera. Jadi proses kerja panca indera mesti diikuti dengan proses kerja intelek agar bisa menjadi konsep-konsep atau gagasan-gagasan ilmu



M



pengetahuan; Estetika transendental mesti diikuti dengan logika transendental. Namun dalam epistemologi fenomenalisme Kant, antara fakultas panca indera dan akal mempunyai peran seimbang dan saling bergantung satu



M



sama lain; tidak ada posisi yang istimewa di antara keduanya. “Without the sense” tulis Kant, no object would given to us, without understanding no object would be thought. Thought without content are empty, awareness withouth concepts is blind. The understanding is aware of nothing, the sense



Y



can think nothing. Only through their union can knowledge arise”,113 ‘Tanpa panca indera tidak ada objek yang bisa sampai pada kita dan tanpa proses pemahaman tidak ada objek yang dapat dipikirkan. Pikiran kita tanpa isi datadata sensasi inderawi menjadi kosong dan kesadaran kita tanpa konsepkonsep menjadi buta. Karena itu, tanpa keterkaitan keduanya, pemahaman



112



S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers, (New York: Anchor Books, 1989), hlm. 41. 89



tidak akan menyadari apa pun dan panca indera tidak akan dapat memikirkan apapun. Dengan demikian, hanya dengan melalui kerjasama di antara keduanyalah pengetahuan dapat hadir’. Di sini, kita bisa melihat posisi Kant di antara doktrin rasionalisme dan empirisme. Dengan statemen tersebut, Kant hendak menunjukkan peran panca indera dan akal pikiran dalam proses konstruksi ilmu pengetahaun. Keduanya tidak bisa saling mendominasi salah satu fakultas secara mutlak, melainkan meniscayakan kolaborasi di antara keduanya. Dengan jalan pemikiran ini pula, tidak keliru kalau epistemologi fenomenalisme hendak mendamaikan paham rasionalisme dan empirisme yang saling bertolak



D



belakang satu sama lain. Lalu bagaimana cara kerja akal dalam memproses data-data inderawi yang telah masuk melalui panca indera? Senada dengan panca indera yang mempunyai struktur formal



U



berupa ruang dan waktu yang bersifat a priori dalam menghasilkan data-data inderawi, begitu pula dengan akal yang memiliki struktur formal yang bersifat



M



a priori dalam setiap diri manusia dalam mengolah data-data inderawi menjelma pengetahuan. Kant menamakan struktur formal akal tersebut dengan istilag kategori. Ketika kita memikirkan suatu objek fisik, kita dan



menempatkan



dalam



pelbagai



M



menggolongkan



hubungan.



Kita



mempredikasikan (menyematkan predikat) konsep-konsep universal pada objek-objek itu dalam pelbagai bentuk pernyataan putusan. Dalam paradigma Kant, konsep-konsep itu tidak didasarkan atas



Y



objek-objek fisik dan juga tidak diabstraksikan dari objek-objek tersebut. Sebaliknya, alasan mengapa kita dapat memikirkan objek-objek fisik itu menampakkan diri kita sebagai bisa disebut dengan predikat ini atau itu, adalah karena akal telah mengstrukturkan intuisi inderawi dengan kategorikategori inderawi. Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syaratsyarat bagi dimungkinkannya konsep-konsep yang dapat dipredikasikan pada benda-benda atau objek fisik. Sebagaimana intuisi inderawi, melalui bentuk ruang dan waktu menyediakan data-data inderawi bagi pikiran, begitu juga



90



konsep melalui kategori-kategori a priori menyediakan bentuk atau struktur formal bagi objek yang dipikirkan. 114 Kant kemudian menurunkan dua belas kategori akal yang berhubungan dengan dua belas jenis putusan. Berikut ini tabel dua belas kategori akal sejajar dengan dua belas jenis putusan.115 Jenis Putusan



Kategori



A. Kuantitas



A. Kuantitas



1. Putusan Universal



1. Kesatuan/Unitas



2. Putusan Partikular



2. Kemajemukan/Pluralitas



3. Putusan Singular



3. Keseluruhan/Totalitas



D



B. Kualitas



4. Putusan Afirmatif



4. Realitas



5. Putusan Negatif



5. Negasi



6. Putusan Ketakberhinggaan



6. Limitasi



C. Relasi



C. Relasi



7. Putusan Kategoris dan Aksidensi



7. Substansi



8. Putusan Hipotesis



8. Kausalitas



M



U



B. Kualitas



9. Komunitas



D. Modalitas



D. Modalitas



10. Putusan Problematis 11. Putusan Penegasan



10. Kemungkinan-Kemustahilan 11. Eksistensi-Non-Eksistensi 12. Keniscayaan-Kontigensi



Y



12. Putusan Apodiktis



M



9. Putusan Disjunktif



Sebagaimana struktur formal inderawi, ruang dan waktu lebih menentukan dalam memotret realitas, begitu pula dengan struktur formal akal, kategori lebih berperan dalam menyusun konsep-konsep terhadap objekobjeknya. Supaya setiap objek dapat dipahami oleh akal kita, maka objek 114



J. Sudarminta, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 111-112. 115 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 141 91



tersebut harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori tersebut; bukan akal kita dengan struktur formal kategori-kategori itu yang harus menyesuaikan diri dengan objeknya. Berhubungan dengan ini, Kant menyatakan demikian: “Instead of asking how our knowledge can conform to its objects, we must start from the supposition that objects must conform to our knowledge”,116 “Dari pada bertanya bagaimana pengetahuan kita dapat menyesuaikan diri dengan objek-objeknya, kita harus mulai dari pengandaian bahwa objek-objek itulah yang harus menyesuaikan diri dengan pengetahuan kita.” Ilustrasinya begini: ketika kita memasukkan air ke dalam sebuah



D



gelas, bentuk air akan mengikuti bentuk gelas tersebut; Tatkala kita menuangkan air ke dalam sebuah cangkir yang besar, bentuk air akan menyesuaikan dirinya dengan bentuk cangkir besar tersebut; Dan sewaktu kita



U



mencurahkan air ke dalam sebuah teko yang meliuk-liuk bentuknya dengan bentuk corong kecil tempat ke luar air di depannya, lagi-lagi bentuk air akan



M



mengikuti bentuk teko tersebut dengan segala liuk-liuknya. Jadi setiap air yang dituangkan ke dalam gelas, cangkir, dan teko itu, harus menyesuaikan bentuknya dengan wadah-wadah tersebut.



M



Dengan demikian, dalam epistemologi fenomenalisme proses pengetahuan manusia berpusat pada subjek manusia itu sendiri bukan pada objek. Inilah salah satu terobosan paling signifikan dalam bidang filsafat. Dalam penjelasan Kant sendiri, dengan konstruksi epistemologi ini, bahwa



Y



subjek sebagai pusat konstruksi ilmu pengetahuan, bukan objek sebagai pusat ilmu pengetahuan, ia telah melakukan revolusi copernican dalam dunia filsafat.



Dialah Nicolas Copernicus (1473-1543) seorang astronom Polandia yang berani mempersoalkan asumsi yang telah lama dianut bahwa bumi adalah piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Ia yakin, anggapan itu menjauhkan kita dari penjelasan mengapa sebagian planet 116



Anthony Kenny, Western, op. cit, hlm. 276. 92



bergerak memutar tatkala berjalan melewati langit dari malam ke malam, dan kemudian memutar lagi untuk melanjutkan perjalanan searah dengan bintangbintang. Maka ia memutuskan untuk mencoba asumsi bahwa matahari pada aktualnya berada di tengah-tengah alam semesta, sedangkan bumi dan planetplanet lain semuanya adalah bola bundar yang berputar mengelilingi matahari.117 Pihak gereja menyatakan pernyataan Copernicus sebagai sebuah dosa dengan alasan bahwa pernyataan itu bertentangan dengan kitab suci sehingga jika pernyataan itu dianggap benar, berarti kitab Injil pastilah salah. Meskipun berhadapan dengan semua rintangan tersebut, termasuk penyiksaan,



D



ide tersebut lambat laun terbentuk dengan sendirinya sehingga orang menjadi paham bahwa bumi dengan planet-planet lainya yang berputar mengelilingi matahari. Dan begitu sistem tata surya dipahami secara demikian, kesulitan-



U



kesulitan itu pun lenyap. Segala kesulitan menjadi terselesaikan dan menjadi sangat masuk aka: sehingga gerakan-gerakan dari planet-planet menjadi



M



mudah untuk dibayangkan dan menjadi sederhana untuk dihitung Namun, pada level pengalaman nyata, hal ini memang terasa sangat kontraintuitif. Manusia masih dan selalu memandang seolah-olah mataharilah



M



yang mengelilingi bumi, dan sampai hari ini terasa tak masuk akal bagi kita untuk merasakan diri kita bergerak mengelilingi ruang angkasa sepanjang waktu dengan kecepatan ribuan mil perjam di atas permukaan sebuah bola yang berputar (meski kita tahu bahwa kenyataannya memang begitu).



Y



Pengetahaun ini terasa abstrak bagi kita dan sama sekali tidak cocok dengan setiap pengalaman konkret yang kita miliki secara aktual. Bahkan, orangorang yang pertama kali menyatakan hal itu dicap oleh publik sebagai orang sinting. Nah, Kant mengklaim bahwa semua hal itu berlaku mutatis mutandis (perubahan-perubahan yang perlu dilakukan) bagi pendekatan revolusioner mengenai pengetahuan manusia yang diajukannya. Selama ribuan tahun, 117



Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007), hlm. 91-92. 93



umumnya manusia percaya begitu saja bahwa objek-objek materiil memiliki sebuah eksitensi yang bersifat independen dalam sebuah ruang dan waktu yang eksistensinya juga independen. Namun, dari titik awal yang kelihatannya terbukti dengan sendirinya ini, manusia terus-menerus merasa tak mungkin baginya untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan mengenai objek-objek tersebut, atau andaikata pun kita memiliki pengetahuan mengenai objek-objek itu secara langsung, bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan mengenai objek-objek itulah yang memang kita miliki. Dan alihalih mengasumsikan bahwa pengetahuan itu harus selaras dengan objekobjek, Kant menegaskan bahwa andai saja kita melihat situasi tersebut dari



D



sisi yang berbeda dan berpikir dalam kerangka objek-objek pengetahuan, maka kemustahilan dan kontradiksi-kontradiksi tersebut akan lenyap. Segala sesuatu akan berada pada tempatnya dan menjadi masuk akal. Meskipun



U



demikian, hal ini akan terasa kontraintuitif. Kita mendapati bahwa tak mungkin untuk merasakan seolah-olah objek-objek itu menyelaraskan diri



M



dengan pengetahuan kita dan bukan yang sebaliknya. 118 Jadi sebagaimana Copernikus membalikkan pendapat yang telah bertahan ribuan tahun: bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi justru



M



bumi yang mengelilingi matahari; Kant juga membalikkan pandangan filosofis selama ini: bukan subjek yang tergantung pada objek, tapi objek yang bergantung pada subjek. Subjek menjadi pusat ilmu pengetahuan. Itulah revolusi dalam bidang filsafat.



Y



Namun bersamaan dengan struktur-struktur formal inderawi dan akal itu juga, Kant lagi-lagi hendak menegaskan bahwa apa pun yang dikonstruksikan oleh panca indera dan akal kita bersifat terbatas. Karena setiap kita membawa struktur formal a priori yang menjadikan semua bendabenda menyesuaikan diri dengan perangkat-perangkat struktur formal tersebut, maka benda-benda yang tampak dihadapan kita tidak sama dengan 118



Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, Terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 246-247. 94



benda-benda itu dalam-dirinya-sendiri. Kant membuat distingsi secara tegas antara penampakan dan realitas; antara ‘benda itu di dalam dirinya sendiri (thing in itself)’ dan ‘benda itu bagi kita (thing for us)’. Kant menamakan dunia yang dikonstruksi oleh semua fakultas mental kita dengan fenomena (the phenomenal world); sedangkan dunia itu sendiri yang terlepas dari perangkat mental kita, dinamakan oleh Kant dengan noumena, the noumenal world.119 Jika kita mencoba membayangkan konsep-konsep itu (strukturstruktur formal yang kita miliki) dalam metafora, konsep-konsep itu merupakan tali-tali jala pengalaman kita. Hanya yang tertangkap oleh tali-tali



D



hala itulah yang bisa kita miliki. Apa pun yang lolos dan berada di luar jala pengalaman kita, tak akan bisa kita miliki. Hanya apa yang tertangkap oleh jala pengalaman kitalah yang bisa kita miliki, dan hanya yang bisa ditangkap



U



sajalah yang bisa menjadi milik kita. Dan apa yang sesungguhnya tertangkap oleh jala pengalaman kita ialah materi yang bersifat kontingen yang



M



tertangkap oleh kita, dan apa yang bisa kita tangkap ditentukan oleh hakikat dari jala pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu, sepanjang hidup, kita terperangkap dalam kapasitas-kapasitas dan batasan dari jala pengalaman kita.



M



Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah investigasi yang sangat saksama terhadap bentuk-bentuk dari semua pengalaman, kita akan bisa menemukan adanya batas-batas kemungkinan pengalaman atau pengetahuan kita, dan apa pun yang berada di luar batas-batas tersebut tak mungkin bisa



Y



kita ketahui atau kita alami. Argumen ini tidak berarti bahwa tak ada sesuatu di luar batas-batas tersebut. Argumen itu hanya berarti bahwa jika ada sesuatu di luar batas-batas tersebut, kita tak memiliki cara apa pun untuk menangkapnya.120 Dalam konteks ini pula, kita menemukan salah satu sumbangan terbesar yang diberikan epistemologi fenomenalisme Kant pada ranah filsafat 119 120



Manuel Velasquez, Philosophi, op. cit, hlm. 383. Bryan Magee, Memoar, op. cit, hlm. 240-241. 95



yakni adanya garis pembatas yang ditariknya antara benda-benda dalam dirinya sendiri, das ding an sich, dan benda-benda sebagaimana tampak dalam penglihatan kita.121 Proses konstruksi pengetahuan antara subjek dengan objek dalam epistemologi fenomenalisme dapat diilustrasikan dalam bagan berikut ini:122



Y



M



M



U



D 121



Jostein Gaarder, Dunia Sophie Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Jakarta, 1997), hlm. 356. 122 Milton D. Hunnex, Peta Filsafat Terj. Zubair (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 29. 96



FENOMENALISME Data Indrawi Yang Ada



Knower



Benda yang dalam dirinya sendiri



Fenomena



D



“Benda sebagaimana yang tampak”



U



Kendati demikian, bukan berarti dalam perpektif Kant tidak ada satu



pun yang pasti dalam pengetahuan kita. Menurut Kant, ada sejumlah pengetahuan a priori yang bersumber dari interen dalam jiwa kita yang



M



memiliki nilai kebenaran pasti dan mutlak, seperti matematika, geometri, dan logika. Kalau kebenaran-kebenaran lain yang bersifat pengalaman masih mungkin untuk kita sangsikan nilai kepastiannya. Tapi kebenaran matematika,



M



geometri, dan logika, tidak seorang pun yang bisa menolak kebenarannya yang bersifat niscaya. Kita dapat saja membayangkan bahwa 100 tahun atau 1000 tahun lagi matahari tidak terbit lagi dari arah Timur: sesuatu yang tidak



Y



mustahil terjadi. Tapi kita tidak mungkin membayangkan bahwa 100 tahun atau 1000 tahun dari sekarang, jumlah sudut segi tiga bukan 180 derajat.123 Sangat mungkin bagi nalar kita untuk berasumsi bahwa satu saat nanti panas api tidak lagi membakar dan dinginnya es tidak lagi membuat kita kedinginan. Namun tidak mungkin bagi nalar kita untuk mengatakan dan juga tidak mungkin dalam kenyataannya suatu saat kelak 3+5 menjadi berjumlah 12. Nilai kebenaran-kebenaran tersebut bersifat tetap dan stabil sampai 123



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosda Karya, 1997), hlm. 150. 97



kapanpun dan dimana pun juga. Itulah beberapa kebenaran pasti yang bersifat bawaan internal dalam setiap diri manusia. 2. Kritik Terhadap Rasionalisme dan Empirisme Epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant berupaya melakukan rekonsiliasi terhadap epistemologi rasionalisme dan empirisme dengan terlebih dulu mengkritisi kelemahan-kelemahan keduanya. Sebagaimana telah kita ketahui, kebanyakan filsuf aliran rasionalisme memiliki keyakinan bahwa pijakan fundamental dari seluruh pengetahuan yang kita peroleh terdapat dalam pikiran kita sendiri. Kita bisa melakukan refleksi filosofis terhadap objek-objek empiris dan hasil refleksi akal pikiran kita terhadap objek-objek



D



tersebut benar-benar akurat sebagaimana adanya objek-objek tersebut. Ketika kita melakukan refleksi filosofis tentang fenomena alam semesta dengan benar-benar mengamati objek-objek semesta, maka hasil refleksi kita terhadap



U



alam semesta beserta hukum-hukumnya akan benar-benar akurat sebagaimana eksistensi hukum-hukum dalam alam semesta itu sendiri.



M



Di sini, walaupun kontemplasi filosofis yang kita lakukan berangkat dari fakta-fakta empirikal, namun proses kerja dan hasil refleksi tersebut lebih ditentukan oleh kekuatan kapasitas akal kita, bukan oleh fakta-fakta empirikal



M



kita. Akal yang melakukan kontemplasi filosofis menghegemoni fakta-fakta inderawi. Dapat dikatakan bahwa fakta-fakta inderawi bersifat sekunder belaka; penalaran yang dilakukan akal-lah yang bersifat primer. Selanjutnya pada titik ekstrem doktrin rasionalisme, bagi filsuf rasionalis, akal kita



Y



memiliki kemampuan refleksi yang amat mengagumkan tanpa harus merujuk kepada fakta-fakta empiris. Dengan melakukan abstraksi filosofis, akal kita dapat membuahkan berbagai konsep-konsep yang independen dari objekobjek aktual. Dengan kata lain, sebagian filsuf rasionalis mengenggam paradigma bahwa objek-objek ideal, bukan objek-objek aktual yang menjadi bidikan utama renungan filosofis akal kita, sehingga melahirkan berbagai konsep-konsep ilmu pengetahuan.



98



Menariknya, hasil refleksi filosofis akal terhadap objek-objek ideal ini pun benar-benar akurat atau pasti nilai kebenarannya. Artinya hasil konstruksi filosofis akal mereka bersifat tepat seperti objek-objek yang mereka refleksikan. Ketika kita melakukan refleksi filosofis terhadap makna manusia yang bersifat abstrak, bukan manusia kongkret secara orang perorang, maka buah refleksi filosofis kita benar-benar akurat seperti konsep manusia itu sendiri. Di sini, akal memiliki kapasitas holistik dalam memotret objek-objek abstrak; sehingga hasil konstruksi akal terhadap objek-objek abstrak tersebut memiliki nilai kebenaran pasti.124 Berbeda dengan paham rasionalisme, doktrin empirisme justru



D



menyuguhkan pandangan yang sebaliknya. Bagi sebagian besar filsuf empiris, semua pengetahuan kita ditentukan oleh pengalaman bersentuhan langsung dengan objek-objek faktual. Pikiran manusia laksana kertas putih yang kosong



U



yang bisa diukur dengan tulisan dan lukisan apapun saja, tergantung sang penulisnya. Tulisan dan lukisan-lukisan yang hadir dalam kertas putih pikiran



M



kita berasal dari pengalaman-pengalaman kita saat berinteraksi langsung dengan pengalaman-pengalaman empiris. Meskipun dalam hal ini akal pikiran kita bisa juga melakukan refleksi terhadap objek-objek empiris, namun



M



refleksi kita tidak bisa independen: setiap kita melakukan refleksi, kita harus berangkat dari pengalaman inderawi yang telah kita alami sebelumnya. Jika paham rasionalisme mengklaim akal kita bersifat primer dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan, paham empirisme justru menyatakan



Y



bahwa pengalaman empirislah yang bersifat primer dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Lebih jauh, mereka meyakini kemampuan independen pengalaman empiris. Bagi mereka, karena tidak ada realitas lain di belakang objek-objek fisikal, maka hasil pengetahuan yang mereka konstruksi memang sesuai dengan objek-objek fisikal tersebut. Apa pun yang mereka konsepsikan



124



Zaine Ridling, Philosophy Then and Now (New York: Access Foundation, 2001), hlm. 513-533. 99



mengenai fakta-fakta eksternal, begitulah kenyataannya fakta-fakta eksternal itu sendiri.125 Tepat pada titik inilah, epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant memainkan peran kritiknya terhadap kedua doktrin di atas. Jika dilihat dari perspektif fenomenalisme, baik rasionalisme maupun empirisme telah membuat kekeliruan dengan mengambil satu posisi ekstrem dan mengabaikan sudut pandang lainnya. Jika rasionalisme mengambil posisi ekstrem akan kemampuan rasio manusia dengan mengabaikan peran pengalaman, empirisme mengambil sebuah posisi ekstrem akan validitas pengalaman iderawi dengan mengabaikan peran akal manusia. Dengan perspektif ini,



D



kedua doktrin tersebut hanya menangkap setengah kebenaran.126 Dalam pandangan Bryan Magee, jika kita memahami bahwa analisis



Kant mengajari kita sebuah pemahaman mengenai dunia dan bukannya



U



pemahaman mengenai proposisi-proposisi, yang menjadi poin-poin penting ialah bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang bertubuh dan bahwa



M



tubuh kita diperlengkapi dengan aparatus mental dan indrawi tertentu sehingga semua pengalaman mestilah sampai kepada kita lewat aparatus tersebut. Oleh karena itu, hanya hal yang bisa dimediasi oleh aparatus



M



tersebutlah yang bisa hadir sebagai pengalaman dalam diri kita. Karena itu pula, batas-batas dunia pengalaman yang tak bisa dilampaui ditentukan oleh sifat aparatus yang kita miliki, dan hal itu akan tetap berlaku, apa pun aparatus yang kita miliki. Meski aparatus yang kita miliki bersifat kontingen, fakta



Y



bahwa aparatus itu menetapkan batas-batas pengalaman kita bukanlah fakta yang bersifat kontingen, melainkan bersifat niscaya. Apa yang tak bisa dimediasi oleh aparatus tersebut adalah juga apa yang tak bisa dialami. Sekali lagi, hal ini tidak berarti bahwa tak ada sesuatu yang eksis di luar hal-hal yang bisa dimediasi oleh aparatus tersebut. Anggapan inilah yang merupakan



125 126



Ibid., hlm. 356-374. Stephen Palmquis, Pohon Filafat, op. cit, hlm. 90-91. 100



kekeliruan paling umum yang dilakukan oleh pemikiran awam dan pemikiran saintifik, dan juga oleh para filosof empirisme dan realisme. 127 Kant percaya dengan seteguh mungkin bahwa terdapat sebuah realitas yang bersifat independen, berada di luar dunia pengalaman manusia. Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena, yaitu dunia benda dalamdirinya-sendiri, dan dunia realitas dalam-dirinya-sendiri. Sedangkan dunia yang tampak di hadapan kita—yaitu dunia yang kita ketahui secara langsung dalam pengalaman aktual kita dengan segenap isinya, dunia yang kita postulasikan sebagai pengalaman yang mungkin—disebutnya sebagai dunia fenomena. Dan yang tak boleh dilupakan oleh para pemikir dalam tradisi



D



Anglo-Saxon ialah ketika Kant dan para penerusnya membicarakan dunia fenomena, sesungguhnya apa yang sedang Kant bicarakan adalah dunia yang sebagaimana kita pikirkan, dunia yang aktual, dunia objek-objek materiil yang



U



berada dalam objek ruang dan waktu, dunia pemahaman umum (common sense) dan sains: dunia yang biasa kita sebut sebagai dunia empiris.



M



Kant telah mengajari kita bahwa terdapat tiga—bukannya dua— komponen pengetahuan kita atas dunia: yaitu observasi empiris, derivasi logis, dan forma-forma yang di dalamnya semua ini dimediasi oleh aparatus



M



mental dan indrawi kita. Di antara forma-forma itu adalah waktu, ruang, gagasan tentang sebuah objek, hubungan sebab-akibat, dan semua asumsi empiris yang bersifat umum. Forma-forma itu mengarakteristikkan, dan hanya bisa mengarakteristikkan, dunia pengalaman atau dunia empiris yang juga



Y



merupakan sebuah dunia yang hadir dalam pengalaman kita, bukan dunia benda dalam-dirinya-sendiri. Apa yang sedang kita bicarakan adalah ciri-ciri struktural dari pengalaman dan ciri-ciri tersebut tak bisa eksis secara independen dari pengalaman, sebagaimana juga tubuh manusia tak bisa eksis secara independen dari badannya.128



127 128



Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, op. cit, hlm. 242. Ibid., hlm. 243. 101



Bercermin dari sini, bagi Kant jika kita mengingat fakta bahwa kita hanya bisa mengalami objek-objek melalui aparatus mental, aparatus indriawi, dan yang lainnya, dan dalam kerangka forma-forma, modus-modus, kategorikategori yang dimediasi oleh aparatus itu, niscaya ini berarti bahwa apa yang kita alami bisa hadir di hadapan kita sepenuhnya dan semata-mata dalam kerangka tersebut. Ketika seorang penulis bisa melukiskan sebuah pemandangan dalam wujud kata-kata, maka representasi dari pemandangan itu yang tiba di tangan Anda merupakan sebuah lukisan yang bersifat verbal. Sementara satu-satunya representasi yang bisa diciptakan oleh sebuah kamera dari pemandangan yang sama adalah wujud foto atau sekumpulan foto.



D



Meskipun pada prinsipnya terdapat banyak jenis representasi yang sangat beragam dan jumlahnya tak terbatas yang bisa dibuat dari pemandangan yang sama, tetapi kamera tak bisa menciptakan representasi lain selain dalam



U



bentuk foto.



Sementara, satu-satunya representasi dari pemandangan yang sama



M



bisa dibuat oleh sebuah alat perekam suara ialah sebuah rekaman suara: perlengkapan itu tak akan bisa menciptakan representasi dalam bentuk foto dan bentuk lain selain suara. Dan ini berlaku pula pada otak, sistem saraf,



M



serta indra-indra kita: sarana-sarana kita ini merepresentasikan realitas sesuai dengan kerangka hakikatnya, dan inilah satu-satunya yang bisa dilakukannya, dan hal ini pula yang membentuk pengalaman dan pengetahuan yang bisa kita miliki. Jika kita mulai dari pertimbangan ini, kita bisa menjelaskan apa yang



Y



tak bisa dijelaskan oleh empirisme, yaitu bagaimana pengetahuan kita bisa cocok dengan objek-objeknya.



Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa apa yang tampak di hadapan kita sebagai objek-objek dari pengalaman kita, dibentuk oleh aparatus pembentuk pengalaman dalam diri kita persis dengan cara yang sama sebagaimana foto yang dihasilkan oleh sebuah kamera dan sebagaimana sebuah rekaman suara yang dihasilkan oleh sebuah perekam suara. Itulah mengapa objek-objek itu lalu tampak seperti itu dalam pengetahuan manusia.



102



Sementara,



benda-benda



dalam-dirinya-sendiri



tidaklah



seperti



itu,



sebagaimana suatu objek dalam-dirinya-sendiri tidaklah sama dengan foto atau rekaman suara dari objek tersebut. Jadi, representasi benda-benda yang kita tangkap semata-mata adalah cara representasi yang kita miliki, bukan benda-benda dalam-dirinya-sendiri. Menghadapi teori epistemolosgis seperti itu, para filosof empirisme cenderung untuk melakukan dan terus saja melakuakn kekeliruan besar yang khas. Mereka mengatakan seolah-olah Kant berkata bahwa kita sendirilah yang menyintesiskan realitas, bahwa kitalah yang menciptakan benda-benda itu dalam benak kita, bahwa kitalah yang menciptakan semua itu. Padahal,



D



Kant tidak pernah mengatakan demikian. Justru sebaliknya, dia selalu menegaskan bahwa realitas eksis secara independen dari diri kita. Apa yang sebenarnya dia katakan sangat berbeda dari yang mereka sangka. Yang



U



sebenarnya dia katakan ialah bahwa pengalaman harus dimediasi oleh aparatus yang dalam-dirinya-sendiri bukan merupakan objek dari pengalaman



M



itu.



Lebih dari itu, objek-objek itu secara niscaya tampak dalam formaforma sebagaimana ditentukan oleh kodrat aparatus kita, dan sebagai hasilnya



M



ialah bahwa representasi-representasi itu berbeda secara kategori dari objekobjek aslinya. Jelasnya, objek-objek pengalaman itu “seperti” pengalaman, tapi itu karena objek-objek pengalaman itu memang adalah pengalaman, dan itulah sebenarnya pemaknaan kita atas kata “pengalaman”. Objek-objek



Y



pengalaman bukanlah objek-objek yang eksis secara independen, membentuk realitas-dalam-dirinya-sendiri, persis bagaimana foto bukanlah objek-objek yang ditangkap oleh foto atau persis seperti rekaman suara bukanlah objek yang suaranya direkam. Dalam kasus pengalaman kita, objek-objek dalam-dirinya-sendiri, yang harus dibedakan dari pengalaman, adalah sesuatu yang tak pernah bisa kita tangkap atau kita konsepsikan. Kita tak pernah bisa menangkap objekobjek itu tanpa perantaraan aparatus indrawi dan mental kita; dan karena



103



adanya perantaraan itulah, isi dari pengalaman kita tak lain dari hasil perantaraan aparatus indrawi dan mental kita yang dihadirkan ke hadapan kesadaran kita. Meskipun kita mengetahui bahwa objek-objek dalam-dirinyasendiri itu ada, demikian kata Kant, tetapi itu berada di luar kemungkinan pemahaman kita. Jadi, yang menjadi gagasan sentral dari filsafat Kantian ialah doktrin yang mengatakan bahwa karena realitas itu eksis secara independen dari pengalaman, maka realitas itu senantiasa bersifat gaib.129 Dalam tilikan Magee, alasan utama mengapa banyak filsuf emprisme salah paham terhadap ide Kant ialah karena identifikasi objek-objek yang eksis secara independen (yang berarti adalah realitas) dengan objek-



D



objek pengalaman merupakan pendirian yang sangat mendasar dalam filsafat yang mereka anut dan praktekkan. Para filsuf empirisme mungkin akan menyanggah: “Namun tidakkah absurd jika kita mengatakan bahwa segenap



U



pengalaman langsung kita, dan semua yang kita ketahui secara aktual itu sama sekali tidak riil, dan yang sesungguhnya riil itu tidak akan pernah kita



M



ketahui?”



Menurut Magee, sama sekali tidak, dan itu karena sebuah alasan yang sederhana, yaitu bahwa semua yang pernah kita tangkap dalam



M



pengalaman kita tak lain adalah pengalaman, dan pengalaman itu sendiri bergantung pada subjek. Dalam logika ini, jelas bahwa pengalaman tidak bersifat objektif. Oleh karena alasan-alasan yang luar biasa mendalamnya sebagaimana dijelaskan oleh Kant, kita menjadi tahu bahwa tidak mungkin



Y



pengalaman merupakan realitas independen itu sendiri. Bahkan, justru karena pengalaman itu adalah pengalaman, dia tak mungkin merupakan realitas yang independen. Pengalaman tak pernah merupakan realitas independen itu sendiri. Kekeliruan mendasar dari segenap tradisi filosof empirisme terletak pada apa yang bisa disebut sebagai reifikasi terhadap pengalaman, yang keliru



129



Ibid., hlm. 247-249. 104



memahami pengalaman sebagai realitas, dan memahami secara salah epsitemologi sebagai ontologi.130 Melalui argumentasi-argumentasi cerdas di atas, fenomenalisme mematahkan klaim validitas niscaya atas realitas yang dibangun oleh rasionalisme dan empirisme. Kekeliruan prinsipil keduanya adalah karena kedua dokrtin tersebut mengabaikan keterbatasan perangkat-perangkat inderawi sekaligus perangkat akal dalam mencandara realitas, baik realitas eksternal maupun realitas internal; Bahkan kontribusi kedua perangkatperangkat inderawi dan rasio pun masih tetap belum mampu membingkai realitas secara holistik; Sehingga bagi fenomenalisme, sebenarnya masih ada



D



realitas-realitas transendental lain yang memang tidak mungkin terdeteksi oleh aparatus inderawi dan akal kita. E. Penutup: Antara Kontribusi dan Kritik



U



“Kant’s ultimate mistake was of giving a name (noumenon) to that which he’s trying to tell us cannot even be named.131



M



Kita baru saja mengikuti uraian epistemologi fenomenalisme dari seorang filsuf pencetus utamanya: Immanuel Kant. Dalam butir-butir



M



argumentasi di atas, kita melihat bagaimana piawainya Kant membangun fondasi baru sekaligus menghasilkan temuan konstruksi filosofis baru bagi dunia pemikiran filsafat. Secara garis besar, paling tidak ada tiga bentuk kontribusi filosofis yang ditawarkan epistemologi fenomenalisme Kant.



Y



Pertama, Kant mengawali proyek filosofisnya dengan membangun prosedur dalam proses memperoleh pengetahuan. Kalau para filsuf sebelum Kant langsung memulai proyek filosofis mereka dengan menggunakan perangkat rasio dan indrawi dalam diri manusia, Kant justru hendak mengkaji lebih dulu sejuah mana kemampuan rasio dan indrawi untuk memperoleh pengetahuan. Melalui prosedur tersebut, Kant merumuskan batasan-batasan 130 131



Ibid., hlm. 250. Manuel Velasquez, Philosophi, op. cit, hlm. 384. 105



wilayah yang dapat dan sekaligus tidak dapat ditangkap oleh perangkat mental kita itu. Di sini kontribusi pertama Kant: meletakkan pondasi filosofis bagi syarat-syarat kemungkinannya meraih ilmu pengetahuan. Kedua, sebagai konsekuensi kontribusi tersebut, epistemologi fenomenalisme membangun pijakan baru dalam ranah filsafat: pengetahuan berpusat pada subjek, bukan pada objek. Jika dalam wacana-wacana filsafat sebelumnya memegang prinsip bahwa subjek harus mengarahkan diri pada objek dalam memahami realitas, Kant membalik prinsip tersebut bahwa objek yang mesti mengarahkan diri atau menyesuaikan diri kepada subjek. Ketiga, karena konstruksi kita terhadap realitas bergantung pada



D



atribut akal dan indrawi kita yang mengalaminya, konsekuensinya realitas yang kita konstruksi tidaklah sama dengan realitas itu dalam-dirinya-sendiri. Bersama semua atribut-atribut mental dan indrawi itu, kita hanya mampu



U



membingkai fenomena, dunia dalam perspektif kita, sedangkan tentang noumena, dunia dalam-dirinya-sendiri tetap menjadi misteri yang tidak bisa



M



kita ketahui.



Namun terlepas dari semua keistimewaan yang disumbangkan oleh epistemologi fenomenalisme kepada perkembangan dunia filsafat, ada



M



beberapa kritik terhadap epistemologi tersebut. Pertama, Kant menyatakan bahwa hanya ranah fenomena yang bisa diketahui dalam kajian filsafat sedangkan ranah noumena tidak dapat kita ketahui. Dalam perspektif Muhammad Iqbal, ranah noumena itu tetap bisa dijelajahi oleh manusia



Y



dengan menggunakan perangkat intuisi. Bagi Iqbal, eksistensi dan hakikat dari realitas bisa diketahui melalui pengalaman intuisi yang unik dan bertujuan untuk mengerti seluruh realitas. Manusia yang tidak puas dengan pengetahuan relatif yang diperoleh akal dan persepsi indrawi cenderung mencari pengalaman langsung yang berhubungan dengan realitas mutlak melalui intuisi. 132 132



Alim Roswantoro, Muhammad Iqbal (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm. 112. 106



Kedua, sebagaimana statemen kritis yang dilontarkan oleh Stephen Toulmin di atas, yakni kekeliruan puncak Immanuel Kant adalah memberi sebuah nama yaitu noumena terhadap realitas yang sedang ia jelaskan kepada kita yang tidak bisa dinamakan. Dalam hal ini, kritik Toulmin terhadap Immanuel Kant adalah adanya semacam kontradiksi dalam pemikiran filosofis yang dibangun oleh Kant. Kant sudah tegas-tegas menyatakan bahwa kita hanya mampu mengetahui fenomena yang ditangkap dengan aparatus akal dan indrawi kita. Kemudian Kant juga menegaskan bahwa ada juga ranah hakikat yang tidak dapat kita ketahui yang berada di balik tabir fenomena. Tapi problemnya, ia justru mengidentifikasi bahwa realitas yang berada di



D



belakang fenomena itu adalah noumena. Walaupun secara filosofis, Kant menyatakan secara argumentatif



bahwa wilayah noumena itu tidak dapat kita ketahui; wilayah noumena itu



U



adalah wilayah gaib bagi perangkat indrawi dan akal kita; Namun tatkala ia sudah mengidentifikasi wilayah gaib itu dengan sebuah nama: noumena, maka



M



dalam perspektif Toulmin secara tidak langsung dengan penamaan itu Kant seolah-olah sudah mengetahui wilayah neomena tersebut. Itulah kontradiksi filosofis argumentasi yang dibangun filsuf besar Jerman tersebut, meskipun



pemikiran filsafat.



Y



M



tetap tidak mengurangi kebesaran sumbangan filosofisnya dalam ranah



107



BAB 4 EPISTEMOLOGI POSITIVISME DAN POSITIVISME LOGIS



D A. Pengantar



“In its basic ideological posture, positivisme is thus worldly,



U



secular, antitheological, dan antimetaphysical”.133



Pada abad ke-19 timbulah filsafat yang disebut Positivisme, yang



M



diturunkan dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang



M



tampak, segala gejala.134 Kaum positivis menitahkan prinsip: The only source of knowledge was observation and experience, satu-satunya sumber pengatahuan adalah observasi dan pengalaman.135



Y



Kaum positivis hanya membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan ialah: segala fakta, yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita



133



Zaine Ridling, Philosophy Then and Now (New York: Access Foundation, 2001), hlm. 467. 134 Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 109. 135 S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New York: Anchor Books, 1989), hlm. 74. 108



terima seperti apa adanya. Sesudah itu kita berusaha untuk mengatur faktafakta tadi menurut hukum tertentu; akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, ke apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Arti segala ilmu pengetahuan ialah: mengetahui untuk mendapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain. 136 Dengan demikian, dalam perspektif positivisme, kita tidak perlu mencari sesuatu yang berada di balik fenomena atau menemukan sebab-sebab



D



yang bersifat teologis atau metafisis. Jadi sebagaimana tersimpulkan dalam ungkapan di awal wacana kita di atas, dalam sikap dasar ideologinya, positivismememang bersifat duniawi, sekular, anti teologis, dan anti



U



metafisika.



Dalam konteks inilah, fokus kajian dalam bab ini: kita akan melihat



M



bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan aliran-aliran positivisme hingga dewasa ini; menjelajahi secara spesifik epistemologi positivisme Auguste Comte dan aliran positivisme logis; serta dipungkasi dengan konklusi



positivisme.



M



yang berisi setitik apresiasi dan catatan kritis terhadap epistemologi



B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Positivisme



Y



Secara etimologis, positivisme berasal dari bahasa Latin yaitu positivas atau ponere yang berarti meletakkan.137 Positivisme membatasi pengetahuan kepada pernyataan-pernyataan tentang fakta yang dapat diamati serta hubungan-hubungan antara fakta-fakta tersebut.138 Positivisme sekarang merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek 136



Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah, op.cit, hlm. 109-110. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 858. 138 Harold H Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat Terj. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 198), hlm. 363. 109 137



faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau, dengan kata lain, positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satusatunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.139 Meskipun demikian, positivisme juga diartikan sebagai campuran dari berbagai sikap seperti saintisme (asumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang berharga), naturalisme (praanggapan bahwa ada satu kesatuan metode ilmiah yang berlaku untuk



D



ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam), suatu pandangan umum tentang kausalitas atau hubungan sebab akibat (asumsi bahwa hubungan antara x dan y secara umum adalah keduanya perlu dan cukup untuk membicarakan



U



tentang kausalitas), suatu asumsi bahwa penjelasan menurut rangkaian kebutuhan untuk prediksi (dan sebaliknya), suatu penolakan terhadap



M



penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mental atau subjektif (seperti niat atau motif-motif tindakan), suatu kecenderungan untuk lebih menyukai kuantifikasi dan analisis statistik yang canggih dan rumit, dan



M



terakhir, pembedaan yang tajam antara fakta-fakta dan nilai-nilai. 140 Secara historis-sosiologis, sedikitnya ada tiga tahapan kunci dalam sejarah perkembangan positivisme. Pertama, mengacu pada positivismenya Saint Simont, Auguste Comte dan para pengikutnya pada abad kesembilan



Y



belas; kedua, mengacu pada positivisme logis seperti yang dikembangkan di Vienna (Wina) dan Cambridge selama awal abad kedua puluh, dan terakhir mengacu pada model deduktif-nomologisnya Ernest Nagel dan Carl Hempel pada pertengahan abad kedua puluh. Positivisme abad kesembilan belas berkait sangat erat dengan kemunculan dan kemapanan sosiologi sebagai satu 139



Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 858. Bryan S. Tuner (ed), Teori Sosial Dari Klasik sampai Postmodern Terj.E. setiyawati A dan Roh Shufiyati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 76-77. 110 140



disiplin ilmiah yang otonom dan seperti yang diindikasikan dengan menyerap berbagai pertanyaan tentang sifat metode ilmiahnya dan kekhasan upaya kajian sosiologis. J. S. Mill, Herbert Spencer, dan Durkheim adalah beberapa di antara intelektual abad kesembilan belas yang bersimpati terhadap proposal artikel-artikel utama Comte meski tetap mempertahankan jarak kritis terhadap cara Comte menghasilkan proposal itu. Sebagian besar tokoh positivis abad kesembilan belas percaya bahwa penjelasan yang non-spekulatif dan ilmiah mengenai dunia sosial akan membantu mewujudkan suatu masyarakat yang lebih teratur dan adil. Seperti positivisme awal, salah satu perhatian utamnya mengenai positivisme yang



D



muncul di Vienna dan Cambridge pada awal abad kedua puluh adalah untuk membebaskan filsafat dari metafisika, tetapi, tidak seperti para pendahulunya, positivisme berusaha melakukannya dengan bantuan analisis logis yang rumit



U



dan canggih. Sebagian besar positivis logis mengikuti teori pengetahuan fenomenalis, yang menyatakan bahwa basis dari ilmu pengetahuan terletak



M



pada pengamatan-pengamatan indrawi.



Sementara positivisme abad kesembilan belas terkait sangat erat dengan sosiologi, positivisme logis yang muncul pada bada kedua puluh di



M



Vienna dan Cambridge hampir-hampir tidak mempunyai kaitan semacam itu. Di antara kalangan Vienna, hanya Otto Neurath yang memberi perhatian khusus kepada ilmu-ilmu pengetahuan sosial, komitmennya terhadap “fisikalisme” (yang menyatakan bahwa berbagai fenomena sosial atau



Y



psikologis pada akhirnya harus dijelaskan kembali dalam bahasa fisika) melahirkan satu pandangan yang aneh tentang sosiologi (karena hanya mempelajari mengenai perilaku) dan mengenai penjelasan-penjelasan sosial (karena mengenyampingkan beberapa acuan-acuan keadaan-keadaan mental atau subjektif) sehingga, dengan demikian, pengaruh Neurath terhadap ilmuilmu sosial tetap terbatas.141



141



Ibid, hlm. 77-78. 111



Positivismelogis dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen: bahasa teoritis, bahasa observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivitik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informas faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidahkaidah korespondensi. Kendati positivismelogis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan pertalian alami dalam behaviorisme dan



D



operasionalisme. Dalam etika (Ayer, Stevenson), ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang mengatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-



U



ketentuan dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh suatu komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan Kant.142 Sedangkan



M



hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris



positivismemodel



deduktif-nomologis



Negel



dan



M



Hampel, memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan sosial, menyajikan suatu pandangan yang rapi dan langsung tentang pembentukan dan pengujian teori ilmiah, yang bisa diterapkan baik untuk ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu-ilmu pengetahuan alam.



Y



Seperti rekan sezamannya Karl Popper (tetapi tak seperti positivismeawal), mereka memandang teori-teori ilmiah sebagai upaya-upaya deduktif, yang dengannya hipotesis-hipotesis empiris disimpulkan dari hukum-hukum dan kondisi-kondisi awal. 143 Sejak Renaisance, gagasan dunia yang mekanis dan matematis telah mulai dikemukakan oleh para ilmuwan aliran awal positivisme. Ilmu 142 143



Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 861-862. Bryan S. Tuner (ed), Teori Sosial, op.cit, hlm. 78. 112



pengetahuan atau sains memiliki posisi otonom, lepas dari pengaruh filsafat dan agama. Dari sini, ilmu pengetahuan didirikan positivismeatas dasar beberapa pengandaian yang dirumuskan sebagai prinsip atau metode. Pertama, logika ilmiah menyatakan bahwa proposisi hanya berarti bila dapat diverifikasi dengan pengalaman indrawi. Seorang ilmuwan dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi tersebut dengan pembuktian empiris. Jika sebuah propoisisi tidak bisa dibuktikan secara empiris, maka proposis itu tidak berarti, not make sense, atau nonsense.144 Kedua, pengetahuan ilmiah harus bersifat objektif. Ini berarti bahwa



D



seorang ilmuwan sama sekali tidak boleh dipengaruhi oleh faktor subyektifitasnya seperti, perasaan, kepercayaan, nilai-nilai, moral/etis, dalam melakukan penelitian. Di sini asumsi bebas nilai menyatakan bahwa karena



U



peneliti terpisah, maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif. 145



M



Ketiga, sains tidak berurusan dengan fenomena yang unik (idiografis), karena gejala yang unik tidak memungkinkan untuk memastikan hal yang akan terjadi (prediksi) dan kontrol. Padahal prediksi dan kontrol



M



merupakan tujuan sains yang terpenting. Seluruh teknologi modern, di bidang kedokteran, pertanian, metereologi, komunikasi, transportasi dan lainnya didasarkan atas pengetahuan tentang reaksi-reaksi yang berulang kali terjadi, sehingga dapat ditentukan, dikendalikan, atau dimanipulasi. 146



Y



Keempat, reduksionisme yakni dunia dapat diketahui dengan memecah dunia tersebut kepada satuan-satuan kecil. Panas adalah gabungan 144



Holmes Rolston III, Science and Religion A Critical Survey (New York: Random House, 1987), hlm. 4-6. 145 Ibid., hlm. 21. Dalam hal ini, Rolston meminjam teori Martin Buber bahwa hubungan pengamat dengan yang diamati bagaikan hubungan ‘I dengan it’, aku dengan objek yang tanpa perasaan dan nilai. 146 Ibid., hlm. 28. Bandingkan juga dengan Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 58. 113



dampak dari partikel gas dan cair. Bunyi adalah gerakan gelombang yang dibawa oleh medium yang bergetar. Bau-bauan muncul ketika molekulmolekul terbang memamsuki hidung dan bereaksi dengan reseptor di dalamnya. Rasa adalah molekul-molekul yang mempengaruhi lidah. Dan warna tidak lebih dari radiasi elektromagnetik. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur yang kecil. 147 Kelima, determinisme, menyatakan bahwa dunia diatur hukum sebab akibat yang bersifat linier. Baik sebab maupun akibat terjadi pada tataran dunia empiris. Apapun yang terjadi sekarang terjadi karena sebab-sebab yang mendahuluinya, sebab-sebab yang bersifat empiris atau imanen. Dengan



D



determinisme yang menggunakan proposisi ‘jika-maka’, ilmu pengetahuan dapat meramalkan dan juga mengendalikan pelbagai peristiwa di alam semesta.148



Selanjutnya,



kita



hanya



akan



menjelajahi



epistemologi



U



positivismeAuguste Comte dan PositivismeLogis.



M



C. Biografi Auguste Comte



Aguste Comte adalah figur



yang paling representattif



untuk



M



positivisme sehingga dia dijuluki Bapak



Positivisme.



terjadinya



Revolusi,



Pada filsuf



tahun ini



Y



dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Dalam usia 25 tahun,



dia



studi



di



Ecole



Polytechnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga 147



Ibid., hlm. 38. Secara global bandingkan juga dengan Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 190-194. 114 148



Hume dan Condorcet. Sain-Simon menerimanya sebagai seketarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Sain-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi.149 Simon Blackburn mendokumentasikan bahwa pada tahun-tahun akhir hidupnya, Comte mendevosikan tenaganya untuk membangun sebuah agama kemanusiaan, yang kalendar orang-orang kudusnya meliputi nama-



D



nama seperti Ada Smith, Frederich Agung, dan dirinya sendiri, sebagai Paus.150



Adikarya Comte yang paling termasyhur adalah Cours de



U



Philosophie



Positive



dalam



6



jilid.



Dalam



tulisan-tulisannya



dia



mengusahakan sebuah sintesis segalai ilmu pengetahuan dengan semangat



M



positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus



M



positivisme, yakni imam agung kemanusiaan. 151 D. Epistemologi Positivisme Auguste Comte



Meskipun istilah positivismediperkenalkan oleh Saint Simon, namun Auguste Comte-lah sebagai mahasiswa dan rekan kerja Saint Simon



Y



yang mempopulerkan dan mensistematisir penggunaan Positivismedan filsafat positif. 152



149



F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 203. 150 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 169. 151 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 203-204. 152 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 859. 115



Dalam prakata karyanya, Cours de Philosophie Positive, Comte mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “positif” diartikan sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘menyusun fakta-fakta yang teramati”. Dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika di sini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Kant masih menerima adanya



D



“Das ding an sich”, objek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika,



teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah



U



yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan. Fakta dimengerti sebagai “fenomena



M



yang dapat diobservasi”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolak sama sekali.



M



Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam pencerahan Prancis.153



Y



Menurut D. Aiken, cara terbaik untuk memahami filsafat positif Comte adalah dengan membandingkannya dengan filsafat kritis Kant. Seperti Comte, Kant juga menentang metafisika spekulatif dan teologi. Namun, Kant tidak pernah menyangkal bahwa dalam pengertian tertentu masih ada perlunya kita berbicara tentang sesuatu dalam dirinya yang berada di luar jangakuan pemahaman ilmiah. Ia juga tak membantah adanya bentuk-bentuk aktivitas rasional yang berbeda dari aktivitas rasional yang sejalan dengan 153



Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 204-205. 116



prosedur-prosedur ilmu empiris. Kritiknya terhadap rasio, singkatnya, tidak menentang secara fundamental pandangan tradisional bahwa kehidupan rasio tidak sepenuhnya terpakai untuk upaya ilmiah. Baginya, etika, agama, dan seni juga memiliki dasar-dasarnya masing-masing meskipun memang tak mungkin lagi untuk menyebut berbagai pencapaian dalam bidang-bidang itu sebagai pengetahuan. Comte, di pihak lain, menolak untuk keluar dari wilayah ilmu dengan tujuan untuk memberi ilmu. Penolakan itu merupakan suatu pembenaran kritis sebagai satu-satunya bentuk pengetahuan manusia. Satusatunya standar rasionalitas yang dia pakai sejak semua adalah standar ilmu



D



dan penolakannya untuk menganggap teologi atau metafisika sebagai domaindomain pengetahuan semata-mata didasarkan pada fakta bahwa klaim-klaim kognitif



mereka



tidak



bisa



dibenarkan



berdasarkan



metode-metode



U



penyelidikan ilmiah. Ringkasnya, Comte tidak menerima sikap kritis, melainkan sikap positif terhadap ilmu. Dunia yang ia gambarkan adalah dunia



M



ini dan metodenya adalah metode pengetahuan. Seperti akan kita lihat, ini bukan berarti Comte sepenuhnya bermusuhan dengan etika atau agama, namun ini berarti bahwa keduanya tidak boleh lagi dianggap bersaing dangan



M



ilmu di dalam wilayahnya dan keduanya harus berpindah ke wilayah ilmu untuk mengeluarkan klaim-klaim kognitif apa pun yang mungkin harus mereka lakukan.



Kerap dikatakan oleh para pengkritik Comte bahwa filsafat Comte



Y



sepenuhnya bersifat derivatif. Ini merupakan kekeliruan yang akan menjadi jelas jika orang membandingkannya dengan para pendahulunya, seperti Locke dan Hume. Kaum empiris Inggris semuanya berusaha membenarkan empirisme mereka dengan menunjukkan bahwa asal usul semua ide kita bisa ditelusuri kembali pada kesan-kesan indriawi dan refleksi atau perasaan. Comte menolak justifikasi psikologistis seperti itu dan cukup menyatakan ketegasannya untuk tidak menerima pernyataan apa pun sebagai sesuatu yang layak dipercaya jika tidak bisa diverifikasi berdasarkan metode-metode ilmu



117



empiris. Empirisme Comte, singkatnya, bersifat positivis. Ia menerapkannya secara tegas dan eksplisit sebagai perangkat ideologis untuk meruntuhkan semua mode pemikiran yang tidak ilmiah. Sebagai filsuf, tujuannya adalah menanamkan mentalitas yang sama sekali tidak akan berpikir dalam kerangka yang tidak ilmiah dan yang akan menolak proposisi-proposisi teologi dan metafisika tradisional cukup dengan alasan bahwa keduanya tidak ilmiah. 154 Titik berangkat dari epistemologi positivisme Comte bisa kita lihat dari analisisnya mengenai hukum tiga tahapan perkembangan intelektual umat manusia (law of the three phases of intellectual development) yaitu tahap teologis, metafisis, dan tahap positif. Pertama, tahap teologis. Pada tahap



D



teologis dicirikan oleh mentalitas yang memandang sebagian besar hal-hal lain berdasarkan analogi-analoginya dengan pikiran manusia, dan yang oleh sebab itu akan mengembalikan kepada fenomena alam segala penyebab



U



perasaan-perasaan dan berbagai kemauan yang merupakan ciri khas tanggapan kita terhadap mereka. Pada tahap ini semua pemikiran cenderung



M



animistis dan antropomorfis, memandang segala sesuatu dengan kategorikategori tujuan, kehendak, dan roh, dan mengonsepsikannya penjelasan tentang eksistensi segala hal sepenuhnya berdasarkan tujuan terdalam atau ruh



M



yang dianggap terdapat pada segala sesuatu itu.



Dengan demikian, memang merupakan ciri khas kesadaran teologis bahwa ia tak sadar dengan adanya perbedaan tajam antara pertanyaan “Bagaimana?” dan “Mengapa?”, dan karenanya tidak bisa membuat



Y



perbedaan yang jelas antara apa yag kita sebut penjelasan dan pembenaran. Dari sudut pandang ini, dunia dikonsepsikan secara mistis sebagai tatanan spiritual tempat tujuan-tujuan yang menggerakkan pada segala sesuatu juga dianggap



sebagai



pelaku-pelaku



efektif



yang menyebabkan



mereka



berperilaku sebagaimana adanya. Dinyatakan dengan cara lain, pada tahap ini semua fenomena cenderung dipersonifikasikan dan setiap proses dianggap 154



Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010), hlm. 136-137. 118



sebagai tindakan. Apa yang terjadi bukan hanya terjadi, ia adalah sesuatu yang dilakukan, sesuatu yang menderita, atau sesuatu yang dicapai. Tahap teologis, sebagaimana yang digambarkan Comte, memiliki subdivisi-subdivisinya masing-masing yang penting. Tahap pertamanya adalah tahap yang fetisistis, yaitu objek-objek fisik itu diperlakukan seolaholah mereka hidup serta memiliki perasaan dan tujuan mereka. Pada tahap kedua atau tahap politeistis, terjadilah simplikasi secara gradual terhadap animisme pluralistis yang radikal itu. Sekarang dewa-dewa dikonsepsikan sebagai kekuatan yang gaib atau setengah gaib yang mengendalikan seluruh golongan fenomena. Namun, akhirnya tercapailah tahap ketiga atau tahap



D



monoteistis tempat terjadinya konsolidasi kekuatan-kekuatan secara lebih lanjut dalam bentuk dewa tunggal yang tertinggi, yang dianggap menciptakan seluruh alam semesta dan mengendalikannya secara langsung maupun melalui



U



pelaku-pelaku yang lebih rendah yang melaksanakan perintahnya. 155 Tahap teologis ini merupakan karakteristik kehidupan umat manusia sebelum era



M



1.300 Masehi. 156



Kedua, tahap metafisis. Dalam tahap metafisis, kecenderungan berpikir secara animistis untuk pertama kalinya mulai lenyap. Para



M



metafisikawan tak lagi mengkonsepsikan alam sebagai ciptaan suci dari dewa penyelenggara, namun sebagai prinsip pertama atau penyebab yang memang perlu diandaikan adanya bagi berlangsungnya ketertiban dunia. Jejak-jejak animisme tentu saja masih tersisa, namun kini ide tentang tujuan atau



Y



kehendak, menurut peristilahan Arnold Toynbee, ter-etherialisasikan sampai ia menjadi tak lebih dari abstraksi intelek. Ia pun tak lagi merupakan roh penggerak dari sesuatu yang partikular, melainkan lebih merupakan kekuatan impersonal yang efektivitasnya tak bisa lagi ditempatkan di mana pun di dunia



alami.



Kecenderungan



khas



pikiran



metafisis



bukan



lagi



menganimasikan alam, melainkan mereifikasikan ide-ide, bukan lagi 155 156



Ibid., hlm. 138-139. George Ritzer, Modern Sociological Theory (



hlm. 119



mengaitkan perasaan-perasaan pada angin atau mengaitkan tujuan dengan lautan, melainkan memberikan kepada konsep-konsep suatu realitas subsisten yang sebanding dengan dunia batu-batuan, kuri, dan binatang-binatang kecil. Esensi, tendensi, potensialitas, dan sifat kini mulai memenuhi semesta sebagai entitas-entitas yang berdiri sendiri dan memiliki kemampuan kausal yang sebelumnya hanya dianggap dimiliki oleh ruh. Untuk menggantikan dewa-dewa gaib dari para teolog, para metafisikawan mengonsepsikan suatu logos atau rasio sebagai penentu tatanan dunia alamiah. Yang lebih khas di antara semuanya, para metafisikawan mengidentikkan rasio dengan penyebab, dan karenanya beranggapan bahwa



D



dengan penalaran itu saja ia bisa menjelaskan berbagai penyebab dari segala sesuatu. Ia mengajukan bukti-bukti yang dicapai melalui deduksi dari kebenaran rasional yang jelas dengan sendirinya, tentang eksistensi dari suatu



U



ada yang bersifat niscaya dan biasanya ia disebut Tuhan dan mengembalikan keniscayaan yang ia klaim demi kesimpulannya itu pada segala sesuatu yang



M



ia anggap telah ia simpulkan sendiri.



Awal dari berakhirnya tahap metafisis dicapai ketika kontroversikontroversi besar terjadi di antara mereka yang disebut kaum realis dan kaum



M



nominalis mengenai status konsep-konsep universal. Kontroversi tersebut masih bersifat metafisis karena kedua belah pihak masih beranggapan bahwa dengan analisis logika murni semata-mata sudah dimungkinkan untuk mengajukan persoalan-persoalan tentang eksistensi. Namun, fakta bahwa



Y



realitas dari universal-universal itu, terlepas dari partikular-partikular yang dicirikan olehnya, kini dianggap sebagai persoalan dengan sendirinya menjadi pertanda mulai melonggarnya cengkraman metafisis itu sendiri secara berangsur.157 Tahap metafisis berlangsung kira-kira antara tahun 1.300-1.800 Masehi.158



157 158



Henry D. Aiken, Abad Ideologi, op.cit, hlm. 139-141. Ritzer, Sosiological Theory, op.cit., hlm. 120



Ketiga, tahap positif. Tahap positif tercapai ketika semua problem tersebut terlampaui secara permanen sebagai sesuatu yang tak berguna dan ilmu positif diterima sebagai gudang pengetahuan manusia. Pada tahap ini, penjelasan dikonsepsikan semata-mata berdasarkan hipotesis-hipotesis atau hukum-hukum empiris yang menggambarkan hubungan konstan yang terjadi di antara kelompok-kelompok fenomena yang bisa diobservasi. Kini satusatunya hubungan kausal yang bisa diterima adalah korelasi yang bisa diverifikasi di antara kelompok-kelompok fenomena dan peran rasio dibatasi secara eksklusif untuk melacak hubungan logis yang terdapat di antara hipotesis-hipotesis ilmiah.



D



Dalam mencirikan tahap ketiga, sebenarnya Comte memberi kita



teori pengetahuannya yang bersifat empiris meski hanya dalam pengertian yang paling umum dari istilah itu. Semua pemikiran ilmiah, menurut Comte,



U



harus menerima pengujian observasional sebagai sesuatu yang penting untuk menentukan validitas sembarang hipotesis. Namun, ilmu lebih dari sekedar



M



laporan observasional dan ilmu seperti fisika menonjol bukan karena terkumpulnya sejumlah besar fakta-fakta partikular, melainkan karena dirumuskannya hipotesis-hipotesis dan teori-teori umum yang mengaitkan



M



fakta-fakta itu dengan fakta-fakta lain dengan cara yang sistematis. Ilmu yang sejati hanya tercipta jika fakta-fakta dibawa menuju korelasinya satu sama lain dan, lebih dari itu, jika fenomena individual dikonsepsikan sebagai anggota dari seluruh kelompok fenomena yang serupa, yang memiliki



Y



hubungan koeksistensi atau suksesi mirip hukum dengan anggota-anggota kelompok lainnya. Jika hubungan-hubungan yang digambarkan oleh teori ilmiah tertentu adalah hubungan koeksistensi, Comte menyebut teori itu hukum statis. Jika mereka berupa hubungan-hubungan suksesi atau kontinuitas, hukum itu adalah hukum dinamis. Kedua jenis hukum itu



121



menurut Comte adalah sesuatu yang esensial bagi ilmu—tak ada salah satunya yang akhirnya lebih dipilih ketimbang yang lain. 159 Mengenai tahap positif ini, Comte menggarisbawahi penjelasannya: “Mankind reached full maturity of thought only after abandoning the pseudo explanations of the theological and metaphysical phases and substituting an unrestricted adherence to scientific method”,160 “Umat manusia hanya mencapai kedewasaan pemikirannya setelah meninggalkan penjelasan semu dari tahapan teologis dan metafisis, serta menggantinya dengan kesetiaan tak terbatas terhadap metode ilmiah”. Hukum tiga tahap perkembangan pemikiran manusia



tersebut,



oleh



Comte



juga



diidentifikasi



dengan



ilustrasi



D



perkembangan kepribadian manusia. Sebagai anak-anak, manusia adalah seorang teolog; sebagai pemuda atau masa remaja, manusia adalah seorang metafisikus; dan pada masa dewasa, manusia adalah seorang fisikus. 161



U



Dengan kata lain, menurut Comte, masing-masing di antara kita jika meninjau masa silam sejarah kita, maka kita bagaikan seorang teolog dimasa



M



kecil kita, seorang metafisiskawan di masa remaja kita, dan seorang filsuf alam dimasa dewasa kita. Tahap positif ini terjadi mulai tahun 1.800 Masehi yang ditandai dengan kepercayaan terhadap pengetahuan saintifik atau



Selanjutnya,



Comte



M



ilmiah. 162



juga



menguraikan



bahwa



tahap-tahap



perkembangan permikiran manusia itu berpijak pada perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena itu, Comte juga berusaha mengklasifikasikan



Y



ilmu-ilmu yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan faktual, dan karena kenyataan faktual itu berbeda-beda, harus ada perbedaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu 159



Ibid., hlm. 141. Zaine Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm. 469. 161 Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah, op.cit, hlm. 111. 162 George Ritzer, Modern Sociological Theory (Amerika: Mc Graw-Hill, 2000), hlm. 17. 122 160



khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental, artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Dalam karyanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental, yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (sosiologi). Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai dari yang paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih kemudian tergantung pada yang terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya



D



tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tapi juga lebih abstrak daripada sosiologi dan diandaikan oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain



U



menjadi matang. Sebaliknya sebagai pangkal, matematika bagi Comte adalah model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi baru dalam



M



sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni: secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konret, yakin: perilaku sosial manusia. Dalam hal ini, dia mengklaim dirinya sebagai sosiologi.163 Dengan



hadirnya



M



orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam



filsafat



positif



tersebut,



Comte



sangat



mendambakan perubahan besar, dan dua diantaranya adalah mengembangkan



Y



pendidikan yang bercorak saintifik dan penataan ulang kehidupan masyarakat positif saintifik. Wacana-wacana pendidikan di Eropa hingga memasuki abad ke-18, bagi Comte masih bercorak teologis dan metafisis. Semua corak pendidikan tersebut harus diganti dengan warna pendidikan positivisme atau



163



Budi. F Hardiman, Filsafat Modern, op.cit, hlm. 209-210. Bandingkan juga dengan Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat &Etika (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 135-136. 123



filsafat positif agar sesuai dengan perkembangan zaman dan mencapai manfaat secara maksimal. Begitu pula dengan tahapan kehidupan masyarakat luas yang masih berada dalam lingkaran chaos: mekanisme sosial berlandaskan opini serta krisis politik dan moral besar muncul karena anarki intelektual. Berbagai kekacauan sosial yang terjadi disebabkan adanya tiga aliran filsafat sekaligus yang tidak bersesuaian: teologis, metafisis, dan positif. Karena ketiganya tidak bisa eksis secara bersamaan, maka harus ada satu konsep filsafat yang dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai problematika tersebut. Pada titik inilah, Comte percaya bahwa hanya filsafat positif yang mampu



D



mengatasi puspa ragam masalah tersebut dan melakukan penataan ulang kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. 164



Y



M



M



U 164



Henry D. Aiken, Abad Ideologi, op.cit, hlm. 157-160. 124



E. Biografi Alfred Jules Ayer Alfred Jules Ayer, filsuf Inggris dan cendikia sayap kiri. Lahir dari ayah Swiss dan ibu Belgia, Ayer menjalani pendidikan di Inggris. Setelah lulus dari Oxford pada 1932, ia belajar di di



Wina



setahun sebalum



kembali



untuk



mengajar di Oxford. Minatnya pada positivisme logis



menghasilkan



karyanya



yang



paling



cemerlang dan banyak dirujuk, Language, Truth and



Logic



(1936),



dimaksudkan



untuk



D



memperkenalkan positivisme logis kepada publik berbahasa Inggris seluas mungkin. Karya ini diikuti Foundations of Empirical Knowledge (1940), namun gemanya kalah oleh deru perang. Setelah Perang Dunia II berakhir,



U



Ayer dipercaya memimpin University College London dari tahun 1946, lalu di Oxford dari tahun 1959. Di antara periode inilah The Problem of



M



Knowledge (1956) lahir dan menjadi tulisan yang sangat berpengaruh untuk topik ini. Pada tahun-tahun berikutnya dia semakin banyak menulis tentang sejarah filsafat, menghasilkan sejumlah buku tentang Moore dan Russell,



M



pragmatisme, Hume dan Voltaire. Filsafatnya banyak dipengaruhi empirisme Hume dan logika Russell, mewarisi dari keduanya kekuatan serta kelemahan mereka. Ayer juga memainkan peran intelektual cukup menonjol di kehidupan politik Inggris, menulis untuk publik luas, dan mendukung sikap liberal



Y



dengan cara yang sangat santun dan cerdas.165



F. Epistemologi Positivisme Logis Alfred Jules Ayer



Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut positivisme logis,



165



Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 77-78. 125



filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu. Fungsi analisis ini, di satu pihak, mengurangi “metafisika” (yaitu, filsafat dalam arti tradisional), dan di lain pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini bertujuan menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. 166 Positivisme logis pertama kali muncul bukan di Oxford, melainkan di Wina, selama periode antara dua perang dunia. Alfred J. Ayer, yang kemudian menjadi seorang junior research fellow, yang saat berusia dua puluh tiga tahun menulis bukunya yang paling terkenal itu, bukanlah orang yang melahirkan positivisme logis, melainkan hanya memperkenalkannya ke



D



negeri-negeri berbahasa Inggris. Di Oxford-lah untuk pertama kalinya positivisme logis



tumbuh marak; dan, setidaknya dalam lingkup Inggris,



untuk seterusnya Universitas Oxford menjadi sentra dari positivisme logis .



U



Pengaruh positivisme logis itu, yang tidak terbatas pada filsafat, mencapai puncaknya dalam tahun-tahun sesudah Perang Dunia Kedua, dan metode



M



intelektual itulah yang membuat Oxford menjadi barisan depan dalam filsafat. Perhatian utama para penganut positivisme logis ialah menemukan kriteria demarkasi (garis batas) antara kalimat yang bermakna (sense) dan yang tidak



M



bermakna (non-sense).167



Bagi filsuf aliran positivis, pertanyaan fundamentalnya adalah: bagaimana dapat ditentukan suatu norma yang dapat membedakan ucapanucapan yang bermakna dari ucapan-ucapan yang tidak bermakna? Mereka



Y



merumuskan sebuah prinsip demarkasi yang disebut verifiabilitas atau prinsip verifikasi untuk membedakan antara kalimat-kalimat yang bermakna dan kalimat-kalimat yang tidak bermakna. Alfred Ayer menegaskan verifiabilitas tersebut dalam karya terkenalnya, Language, Truth, and Logic; ‘The criterion which we (will) use to test the genuiness of apparent statements of fact is the



166



Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 862. Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, Terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 58. 126 167



criterion of verifiability’168, “Suatu kriteria yang akan kita gunakan untuk menguji kebenaran pernyataan-pernyataan yang nyata tentang kenyataan (fakta) adalah kriteria verifiabilitas atau kriteria dapat diverifikasi”. Menurut Ayer, ada dua macam ungkapan, pernyataan, atau kalimat yang dapat diidentifikasi sebagai kalimat bermakna atau tidak bermakna, yaitu kalimat-kalimat analitis dan kalimat-kalimat sintesis. Selain dua macam kalimat atau pernyataan tersebut tidak dapat diidentifikasi sebagai pernyataan yang bermakna atau tidak bermakna. Kalimat analitis adalah kalimat dimana makna atau arti predikat sebagai bagian dari subjeknya. Kalimat-kalimat analitis bisa kita lihat pada ungkapan, seperti: ‘Semua pemuda belum



D



menikah’, ‘Saudara perempuan Budi adalah seorang ‘wanita’, dan ‘Segitiga mempunyai tiga sisi’. 169 Kita bisa melakukan verifikasi terhadap kalimat-kalimat tersebut



U



langsung secara konseptual mengenai maknanya yakni bermakna atau tidak bermakna. Semua kalimat-kalimat di atas dapat kita ketahui mempunyai



M



makna atau benar, sebab kita sudah mengetahui secara apriori bahwa seorang pemuda memang belum menikah, saudara perempuan Budi jelas seorang wanita, dan memang benar segitiga terdiri dari tiga sisi. Untuk melihat



M



kalimat analitis yang tidak memiliki makna, mari kita perhatikan contoh berikut ini. Jika saya mengatakan, “Laki-laki yang tinggal di sebelah rumah saya adalah seorang bujangan dengan seorang istri dan dua anak”, Anda tahu bahwa kalimat ini tidak mungkin benar (kecuali jika nama laki-laki itu adalah



Y



“Bujangan” dan aku sedang bermain kata-kata). “Bujangan” berarti “laki-laki yang belum menikah”, dan karena itu tetanggaku tersebut tidak mungkin seorang bujangan sekaligus beristri. Jadi, Anda tidak perlu menyelidiki perkataan tersebut hanya untuk mengetahui apakah pernyataannya itu benar atau salah; istilah-istilah yang dipakai dalam kalimat itu sendiri sudah 168



Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic (New York: Dover, 1952), hlm. 34. 169 Manuel Velaquez, Philosophi A Text With Reading (New York: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 203. 127



menunjukkan bahwa kalimat tersebut salah. Anda bisa dengan yakin mendakwanya sebagai pernyataan yang salah tanpa harus repot-repot pergi mengecek ke rumah tetanggaku.170 Itulah yang disebut pernyataan analitis (analytic statement) yang kebenaran dan kesalahannya bisa langsung dianalisis pada pernyataan tersebut. Kaum positivis logis beranggapan bahwa semua definisi dan semua pernyataan dalam logika dan matematika, termasuk ke dalam jenis pernyataan ini, termasuk juga semua pernyataan yang validitasnya didasarkan pada konvensi-konvensi



(kesepakatan-kesepakatan),



seperti



aturan-aturan



permainan atau pernyataan-pernyataan dalam sebuah bidang tertentu,



D



misalnya ilmu lambang (heraldry).171 Sedangkan kalimat atau pernyataan sintesis adalah pernyataan yang



menyatakan sesuatu secara faktual. Dengan kata lain, kalimat sintesis adalah



U



pernyataan-pernyataan yang kebenaran atau kesalahannya tidak bisa ditetapkan hanya dengan menganalisis pernyataan-pernyataan tersebut,



M



melainkan hanya bisa dilakukan dengan melakukan verifikasi terhadap faktafakta secara faktual atau empiris. Jika saya mengatakan, “Terdapat sepuluh partai politik di negara Indonesia”. Pernyataan ini bisa jadi benar atau salah,



M



namun tidak bisa diverifikasi berdasarkan hanya pada susunan kalimat tersebut secara langsung. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya ialah dengan melakukan observasi terhadap semua partai politik yang ada di negara Indonesia.



Y



Berdasarkan paparan dua macam kalimat tersebut, kita menemukan distingsi yang transparan antara kedua kalimat tersebut: jika penyebab tidak sahnya sebuah pernyataan analisis ialah adanya kontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradiction), maka penyebab tidak sahnya sebuah pernyataan sintesis ialah sebuah pernyataan yang mungkin benar, tetapi dalam



170 171



Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, op.cit, hlm. 59. Ibid., hlm. 59-60. 128



kenyataannya tidak demikian.172 Pernyataan saya, “Terdapat sepuluh partai politik di negara Indonesia”, memang secara intrinsik tidak ada sesuatu yang salah dalam kalimat itu sendiri. Kalimat itu benar secara struktur analisis bahasa. Tapi jika kita melakukan verifikasi secara empiris, boleh jadi pernyataan tersebut keliru; sebab partai politik di negara Indonesia ternyata sekarang berjumlah sembilan bukan sepuluh. Meskipun demikian, Ayer tetap harus memakai adanya batas-batas yang berlaku untuk prinsip-prinsip verifikasi. Tidak perlu bahwa suatu ucapan dapat diverifikasi secara langsung, tetapi cukuplah kalau verifikasinya dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya, melalui kesaksian orang yang



D



dapat dipercaya. Ayer menerima pembatasan ini, sebab—kalau tidak—semua ucapan tentang masa lampau menjadi tak bermakna. Dengan perkataan lain, pembatasan ini perlu, supaya ilmu sejarah mungkin. Ucapan seperti



U



“Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945” selalu dapat diverifikasikan, juga jika nanti sesudah seratus tahun tidak ada



M



orang lagi yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu dengan mata dan kepala sendiri.



Supaya suatu ucapan bermakna, tidak perlu ucapan itu dapat



M



diverifikasi secara faktual, sudah cukuplah kalau verifikasi itu mungkin secara prinsipial saja. Ucapan seperti “Ada kehidupan di atas planet Saturnus” tidak atau belum dapat diverifikasi. Tetapi walaupun ucapan itu mungkin tidak pernah dapat diverifikasi, tetap benar bahwa ucapan itu bermakna, sebab kita



Y



tahu apa yang harus dibuat untuk memverifikasinya, biarpun barangkali kita tidak mampu melaksanakannya. Akhirnya tidak perlu juga suatu ucapan dapat diverifikasi secara lengkap, cukuplah jika ucapan itu dapat diverifikasi untuk sebagian saja. Kalau tidak, maka suatu hukum umum seperti “Logam yang dipanaskan akan memuai” tidak akan bermakna. Karena pembatasanpembatasan semacam itu Ayer hati-hati dalam merumuskan prinsip verifikasi



172



Ibid., hlm. 60. 129



dan hanya berkata: If he knows what observations would lead him, under certain conditions.173 Dengan demikian, pandangan para filsuf aliran positivis logis dapat diringkas bahwa hanya kalimat-kalimat logika, matematika, dan kalimatkalimat mengenai pengamatan inderawi yang mempunyai makna; sedangkan kalimat-kalimat lain dianggap tidak absah dan hanya bersadarkan kekacauan dalam



pemakaian



bahasa.174



Selanjutnya



prinsip



verifikasi



empiris



epistemologi positivisme logis ini mempunyai implikasi radikal bahwa semua kalimat-kalimat metafisika, teologi, etika, dan estetika harus dianggap tidak bermakna dan karena itu tidak sah. 175



D



Pernyataan-pernyataan metafisika, justru karena bersifat metafisika,



melampaui alam inderawi dan karena itu memang tidak pernah dapat dipastikan secara empiris. Istilah seperti “substansi”, “hakikat”, “sebab-



U



akibat”, “roh”, “akal budi”, tetapi juga “Tuhan” memang tidak menunjuk pada alam inderawi, maka tidak dapat diverifikasi secara empiris dan oleh karena



M



itu oleh positivisme logis dianggap tidak bermakna atau kosong. Bukannya seakan-akan positivisme logis menyatakan kalimat seperti “Allah ada” salah, melainkan kalimat itu dianggap kosong, tanpa arti. Kalimat ini tidak salah dan



M



juga tidak benar, melainkan tanpa makna. Begitu pula kalimat “Allah tidak ada” sama saja tidak terbuka pada verifikasi dan karena itu tidak bermakna. Hal yang sama berlaku bagi semua pernyataan etika normatif. Apakah sebuah perbuatan “baik atau buruk”, “dapat dibenarkan atau tidak



Y



dapat dibenarkan”, “secara moral wajib atau terlarang” tidak dapat diverifikasi secara empiris dan karena itu tidak merupakan pernyataan bermakna. Misalnya pernyataan “membunuh itu jelek”: yang dapat dicek dengan amatan inderawi hanyalah pelbagai sudut faktual: Apakah pembunuhan itu terjadi, 173



K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 37. 174 Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 55. 175 Ibid. 130



dengan cara mana, apakah secara kejam, apakah yang terbunuh tampak kesakitan, apakah akibatnya bagi pihak ketiga dsb. Tetapi apakah perbuatan yang kejadiannya dipastikan secara inderawi itu harus dinilai baik atau buruk, tidak dapat diamati, dan karena itu tidak lolos dari prinsip verifikasi. Begitu semua pernyataan etikan normatif tidak bermakna karena tidak terbuka terhadap verifikasi empiris. 176 Namun bila dalam kenyataannya ada begitu banyak orang yang meyakini bahwa pernyataan-pernyataan metafisika, etika, atau teologi memang benar-benar bermakna, lalu muncul pertanyaan kritis: Bagaimana pernyataan-pernyataan metafisika ditolak oleh positivisme logis sebagai



D



pernyataan yang tidak bermakna ketika banyak orang percaya bahwa pernyataan-pernyataan tersebut memang dipenuhi makna? Salah seorang filsuf aliran positivisme logis, Rudolph Carnap menyatakan bahwa meskipun



U



pernyataan metafisika secara tekstual tidak bermakna, namun pernyataan tersebut membawa makna non-literal yakni pernyataan-pernyataan metafisika



M



mengekspresikan perasaan. Meminjam bahasa Carnap secara langsung: The metaphysical statements have only expressive function, but no representatif function.177 “Pernyataan-pernyataan metafisika hanya memiliki fungsi



M



ekspresif (mengungkapkan perasaan), tetapi tidak fungsi representatif (benarbenar mewakili secara empiris terhadap pernyataan tersebut)”. Jadi sampai d isini, menjadi cukup jelas bahwa bagi filsuf positivis logis, tugas pokok filsafat adalah mengklarifikasi makna terhadap konsep-



Y



konsep dasar dan pernyataan-pernyataan, dan bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tentang semacam realitas puncak atau realitas absolut.178 Sebagaimana namanya, prinip positivisme logis menolak membicarakan sesuatu yang di luar bahasa dan di luar atau 176



Ibid., hlm. 55-56. Dikutip dari Morris Weitz (ed.), Twentieth-Century Philosophy: The Analytic Tradition (New York: Free Press, 1966), hlm. 215. 178 Zaine Ridling, Philosophy Then and Now, op.cit, hlm. 478. 131 177



melampaui tilikan panca indera kita yang tidak bisa diverifikasi secara objektif-empiris. 179 Secara umum, beberapa ajaran pokok positivisme logis dapat dirinci sebagai berikut: 1. Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti kognitif suatu pernyataan (sebagaimana dipertentangkan dengan aspek emotif atau aspek lain dari arti) tergantung pada apakah pernyataan itu dapat diverifikasi atau tidak. Suatu pernyataan berarti/bermakna kalau dan hanya kalau, paling sedikit pada



D



prinsipnya, secara empiris dapat diverifikasi. Suatu pengalaman inderawi dasariah (pengetahuan positif) harus dicapai sebelum suatu pernyataan dapat memiliki arti kognitif.



U



2. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis (tautologi) dan benar per-definisi. Pernyataan-pernyataan itu secara merupakan pernyataan benar



M



niscaya



menyelenggarakan



pernyataan



yang



yang berguna



dalam



berarti/bermakna



secara



kognitif. Konsep-konsep matematika dan logika tidak diverifikasi



realitas.



M



tetapi merupakan kesepakatan definisional yang diterapkan dalam



3. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas. (Ada upaya untuk menyusun suatu sistem



Y



yang menyeluruh dari semua ilmu pengetahuan dibawah suatu metodologi logika-matematik-eksperiensial).



4. Filsafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan metode ilmiah. (Beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun sebagaimana ilmu-ilmu logiko-matematik). 179



Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York: Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 173. 132



5. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan formalisasi bahasa dapat ditangani sebagai suatu kalkulus a) dalam memecahkan masalah-masalah filosofis (atau memperlihatkan yang mana dari masalah-masalah itu merupakan hal semu), b) dalam menjelaskan dasar-dasar ilmu. Kaum positivis dan empiris logis telah melakukan usaha untuk menyusun bahasa artifisial, serta secara formal sempurna bagi filsafat agar memperoleh dayaguna, ketepatan, dan kelengkapan ilmu-ilmu fisika. 6. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataanpernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan



D



tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya (atau kesalahannya) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang



U



pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti: “Yang tiada itu sendiri tiada”, (The Nothing itself nothings—Das



M



Nichts selbst nichtet), “Yang Mutlak mengatasi Waktu”, “Allah adalah sempurna”, “Ada Murni tidak mempunyai ciri”. Pernyataanpernyataan metafisik adalah pernyataan semu. Metafisika berisi



M



ucapan-ucapan yang tak bermakna.



7. Dalam bentuk positivisme ekstrem: Pernyataan-pernyataan tentang eksistensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita sendiri, dianggap tidak bermakna karena tidak ada cara empiris



Y



untuk mengadakan verifikasi terhadapnya.



8. Penerimaan terhadap suatu teori emotif dalam aksiologi. Nilai-nilai tidak ada secara tergantung pada kemampuan manusia untuk menetapkan nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia, tidak dapat ditemukan dengan percobaan, tidak dapat diperiksa,



atau



dialami



sebagaimana



kita



mengalami



atau



mengadakan verifikasi terhadap eksistensi objek-objek. Nilai-nilai tidak absolut. Pernyataan mengenainya bukan pernyataan empiris.



133



“Pembunuhan jahat”, “Aborsi salah, “Kau jangan mencuri”, “Arca itu indah”, semuanya merupakan pernyataan yang sama sekali tidak mengandung isi empiris atau deskriptif. Pernyataan-pernyataan jenis itu hanya menyatakan sikap, pilihan, perasaan, keyakinan, persyaratan tentang pembunuhan, aborsi, pencurian, keindahan. Pernyataan itu tidak secara langsung mengkomunikasikan faktafakta atau informasi atau pengetahuan kognitif, dan hanya menunjukkan hal-hal seperti: persetujuan kita, ketidaksetujuan kita, penerimaan,



tidak



adanya



penerimaan,



keterikatan



atau



ketidakterikatan kita untuk hal-hal tertentu.180



D



G. Penutup: Sebuah Catatan Kritis Meskipun sejak awal abad ke-20 hingga kini cukup banyak orang



U



yang mengikuti prinsip-prinsip positivisme dalam dunia sains dan pandanganpandangan



positivisme



logis,



namun



kedua



epistemologi



tersebut



mengundang banyak kritik tajam. Berhubungan dengan prinsip-prinsip



M



positivisme yang diterapkan dalam dunia sains yang mengklaim bahwa metode saintifik berpijak pada patokan-patokan yang terukur secara empirik, bersifat objektif, serta tanpa keterlibatan asumsi, praduga si pengamat atau



M



ilmuwan dipatahkan oleh Holmes Rolston III. Dalam perspektif Rolston tidak ada penelitian ilmiah yang benar-benar objektif tanpa keterlibatan pengamat. Siapapun ilmuwannya, mereka pasti membawa kepercayaan, atau unsur



Y



subjektivitas mereka dalam menafsirkan fakta-fakta di jagad raya.



Meskipun teori dan fakta masing-masing dalam beberapa tingkat merupakan pengetahuan objektif dan mewakili dunia nyata, namun tidak dapat dielakkan keduanya adalah pengetahuan subjektif pula secara mutlak. Hal ini disebabkan, karena informasi yang diperoleh tersebut diproses oleh subjek-subjek yang bernama manusia. Orang-orang yang mengetahui tidak



180



Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op.cit, hlm. 862-864. 134



pernah sedikit lebih mengetahui daripada yang diketahui karena mengetahui adalah sebuah hubungan. 181 Sebagai ilustrasi, seorang ilmuwan memilih apa yang dikaji dan bagaimana cara mengkajinya. Kapanpun dia membangun laboratorium, mempersiapkan beberapa eksperimen, memilah-milah fenomena-fenomena, atau menggunakan teori ke dalam observasi, maka dia sedang membuat jaring untuk mengail, dan apa yang ditangkapnya adalah fungsi dari jaringnya sendiri.182 Pada titik ekstremnya, seseorang tidak dapat melihat apa yang tidak dicarinya, meskipun bukti yang ada lebih dari cukup. Seringkali apakah



D



seseorang menjumpai dirinya sedang mencari tergantung pada apa yang tengah ia cari dan dengan apa ia mencarinya. Di sini, Rolston menggarisbawahi: we interpret what we see in order to see it, setiap orang



U



menafsirkan apa yang ia lihat agar ia dapat melihatnya. Ada sebuah prinsip subjektivitas atau presuposisi yang berperan dalam diri seorang ilmuwan



M



dalam melihat (menafsirkan) fakta, sehingga implikasi lebih jauhnya: if I hadn’t believed it, I wouldn’t have seen it, jika seseorang sudah tidak mempercayai sesuatu, maka ia tidak akan dapat melihatnya. 183



M



Bahkan lebih jauh, terkadang dan seringkali sebuah teori lahir dari sebuah trial and error yang tidak terduga sama sekali. Ketika sedang tidur, August Kekule memimpikan sebuah angan-angan tentang permainan atomatom dan ular, ular yang menggigit ekornya sendiri. Sejak malam itu, ahli



Y



kimia yang terkenal tersebut mengembangkan struktur cincin rantai tertutup benzene. Fred Hoyle mencetuskan teori kekonstanan alam karena terinspirasi kejadian aneh saat ia meghilangkan sekrup dan paku. Dan Albert Einstein melaporkan bahwa ia mengawali teori relativitasnya, setidaknya sebagian



181



Rolston, Science, op.cit,, hlm. 16. Ibid., hlm. 19. 183 Ibid., hlm. 8 & 10. 182



135



dalam mimpi dan dengan menekankan kebebasan imajinasi, untuk kemudian baru diuji secara observasional. 184 Dengan eksposisi di atas, bukan berarti menyangkal validitas teoriteori ilmiah atau metode-metode penyelidikan ilmiah. Yang ingin disangkal dalam hal ini adalah klaim objektivitas, bebas nilai, dan tanpa keterlibatan unsur subjektivitas sang peneliti itu sendiri. Padahal lazimnya, fakta-fakta atau peristiwa alam disaring oleh konsep-konsep yang telah diciptakan terlebih dulu. Sehingga dalam tilikan kritis, fakta-fakta ilmiah tidak lebih merupakan bagian dari entitas subjektivitas sang pengamat. Fakta menjelma kebenaran kontekstual, bukan kebenaran faktual an sich.185



D



Begitu pula dengan prinsip verifikasi dalam aliran positivisme logis



yang dirumuskan Alfred J. Ayer tidak bebas dari kritik. Ada dua argumen utama yang membantah positivisme logis. Yang pertama: empirisme logis



U



menyangkal keabsahan intuisi bukan inderawi; mereka hanya mengakui intuisi



inderawi,



artinya



penangkapan



langsung



terhadap



realitas



M



inderawi/alami melalui mata, telinga dsb. Akan tetapi, kalau itu benar, bagaimana empirisme logis dapat membenarkan kelompok kalimat kedua yang menurut mereka sah: kalimat analitis? Bahwa “2 tambah 2 adalah 4”



M



hanya dapat “dilihat” lewat intuisi bukan inderawi. Begitu pula halnya segenap pengertian analitis dan tautologis. Kebenaran kalimat analitis hanya dapat diketahui secara intuitif, padahal tidak berdasarkan pengalaman inderawi. Kelihatan bahwa positivisme logis sendiri tidak dapat menghindar



Y



dari pengakuan adanya intuisi yang bukan empiris. Dan karena itu penolakan apriori terhadap intuisionisme etis bersifat sewenang-wenang. 186



Argumen kedua mempertanyakan dasar prinsip verifikasi. Kalau prinsip itu betul, jadi kalau “hanya pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada pengamatan iderawi mempunyai makna rasional” bagaimana prinsip



184



Ibid., hlm. 3-4. Ibid., hlm. 2-3. 186 Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, po.cit, hlm. 62. 185



136



verifikasi itu sendiri mau dibenarkan? Pernyataan ini jelas tidak dapat dicek pada pengalaman empiris, melainkan berstatus logis dan kebenarannya hanya dapat dipastikan secara intuitif. 187 Penjelasannya begini, bahwa pernyataan “hanya pernyataan yang dapat dicek kebenarnnya pada pengamatan inderawi mempunyai makna rasional” sendiri tidak empiris dapat diperlihatkan demikian: pernyataan ini juga dirumuskan sbb: “Semua pernyataan yang dapat dicek kebenarnnya pada pengamatan inderawi mempunyai makna rasional”. Tetapi pernyataan ini tidak mungkin dicek secara inderawi. Mengapa? Karena dua unsur (dimana masing-masing sudah cukup untuk menjatuhkan prinsip itu). Pertama kata “semua”: kata ini, kecuali kalau



D



dimaksud ”semua dalam lingkup empiris terbatas” (“semua ekor ayam dalam kandang ini”), tidak bersifat inderawi, tidak pernah dapat dilihat; yang dapat dilihat hanyalah sejumlah tertentu; “semua” di sini dimaksud sebagai “semua



U



yang mungkin” dan “semua yang mungkin” yang prinsipil tidak dapat diamati secara empiris. Kedua, sebuah pernyataan—lain daripada bunyi-bunyi yang



M



keluar dari mulut, atau titik-titik hitam tinta hurup di atas kertas—tidak merupakan realitas empiris. Atau, dengan kata lain, prinsip verifikasi merupakan sejumlah prinsip universal (“semua...”) dan yang universal tidak sendiri”. 188



M



dapat diamati secara empiris. Maka prinsip itu bertentangan dengan dirinya



Dengan demikian, menurut pengandaian positivisme logis sendiri, prinsip verifikasi tidak mempunyai makna alias tidak berguna untuk



Y



membuktikan sesuatu apa pun. Dengan kata lain, prinsip verifikasi tidak berlaku, karena kalau berlaku, prinsip verifikasi tidak berlaku. 189 Demikian juga, dapat dipertanyakan mengapa prinsip verifikasi, dalam positivisme logis harus disamakan dan hanya dibatasi pada pengalaman-pengalaman empiris semata? Padahal pengalaman-pengalaman sebenarnya dapat diperluas



187



Ibid., hlm. 63. Ibid. 189 Ibid. 188



137



sehingga mencakup berbagai pengalaman-pengalaman lain, bukan hanya pengalaman-pengalaman empiris. Karena itulah, epistemologi positivisme memiliki



sejumlah



kelemahan



fundamental,



sebab



konsep-konsep



pemikirannya hanya terbatas pada wilayah konsep-konsep bahasa filosofis dan frase-frase yang berhubungan dengan fakta empirikal semata.



Y



M



M



U



D 138



BAB 5 EPISTEMOLOGI IDEALISME A. Pengantar



D



“Esensi idealisme adalah bahwa yang-ada selalu



memerlukan yang ada untuk kesadaran. Tanpa subjek



U



yang mengetahui, tidak akan ada objek yang diketahui.



Jika tidak ada isi dalam kesadaran, jika yang ada hanya kekosongan, bagaimana kita dapat berbicara tentang



M



subjek yang sadar? Tidak menyadari sesuatu berarti bukan sesuatu”.190



Kita sudah mengikuti bahwa pencerahan membawa sikap kritis atas



M



metafisika pada puncaknya. Juga sudah kita lihat bagaimana Kant, setelah menguji kesahihan metafisika, membuktikan kemustahilannya sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Rasionalisme, empirisme, dan kritisisme, berada dalam



Y



barisan yang sama untuk menggempur metafisika tradisional pada pertengahan. Kita bisa menduga kelanjutannya: penghancuran ini menjadi radikal. Dalam masa-masa pasca pencerahan di Jerman, pada paruh pertama abad ke-19, kita justru akan menemukan sesuatu yang di luar dugaan terjadi dalam bidang intelektual.



190



Hector Hawton, Filsafat yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm. 139. 139



Dalam sejarah filsafat, awal-awal abad ini justru merupakan masa berkembang-suburnya



spekulasi-spekulasi



metafisis



gaya



baru



yang



menggantikan metafisika abad Pertengahan itu. Berbagai metafisika itu disebut “gaya baru” karena berbeda dari metafisika tradisional yang menekankan peranan iman dan rasio, metafisika abad ke-19 ini meyakini kemampuan rasio manusia, dan rasio di sini tidak dipahami sebagai rasio tertentu yang dimiliki orang tertentu, melainkan sesuatu yang menguasai realitas sebagai keseluruhan. Istilah yang khas untuk ini: rasio tidak dipahami sebagai “subjek tertentu” (diriku), melainkan sebagai suatu “intelegensi yang mengatasi



D



indivudu”, suatu “Subjek Absolut”. Rasio macam ini mengatasi pikiran individu-individu dan menjadi inti hakiki kenyataan itu sendiri. Kenyataan lalu dimengerti sebagai “perwujudan diri dari Subjek Absolut atau rasio” itu.



U



Karena pandangan ini mengklaim sesuatu tentang kenyataan akhir sebagai keseluruhan, pandangan ini adalah sebuah metafisika, dan karena klaim itu



M



menegaskan bahwa kenyataan akhir itu adalah subjek absolut atau rasio, metafisika ini disebut idealisme. 191



Di Jerman, abad ke-19 menghasilkan sistem-sistem filsafat



M



idealisme yang digulirkan oleh Schelling, Fichte, dan Hegel. Filsafat idealisme Jerman awalnya sebagai respons kritis terhadap filsafat Kritisisme Immanuel Kant. Kritisisme Kant merupakan titik tolak yang paling jelas bagi idealisme. Yang dimaksud di sini adalah pandangan Kant mengenai das Ding



Y



an sich. Pandangan ini meninggalkan sebuah problem inkonsistensi dalam filsafat Kant. Problemnya dapat dijelaskan begini. Menurut Kant, adanya das Ding an sich ini menjadi “sebab” unsur materi dari pengindraan. Das Ding an sich itu tidak bisa kita diketahui karena melampaui pengetahuan kita. Lalu bagaimana kita bisa mengatakan bahwa ia menjadi “sebab” sesuatu? Konsep “sebab” di sini dipakai untuk sesuatu yang melampaui 191



F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 154-155. 140



pengetahuan, padahal Kant sendiri menegaskan bahwa kausalitas tidak bisa dipakai untuk sesuatu yang melampaui pengetahuan. Di samping itu, ada kelemahan kedua yang juga jelas, yaitu bahwa dengan menetapkan das Ding an sich sebagai sesuatu yang “tak mungkin diketahui” (tinggal diterima saja), Kant berada dalam bahaya sikap dogmatisme yang sebenarnya ingin dikritiknya. Atas dasar alasan-alasan ini, idealisme menghapus das Ding an sich. Artinya, filsafat Kant mereka radikalkan sampai mengetahui das Ding an sich itu. Dan karena Kant, dengan “Revolusi Kopernikan”-nya, menekankan peranan subjek pengetahuan, secara konsisten radikalisasi itu akan menghasilkan idealisme: kenyataan adalah produk pengetahuan. 192



D



Dengan demikian, konsekuensi radikal idealisme Hegel ada pada



kemampuan nalar manusia (tidak seperti Kant yang berhenti pada fenomena dan tidak bisa ke realitas mutlak pada dirinya sendiri), untuk mampu



U



mencapai Yang Absolut yang tampil dalam alam. Kesadaran nalar manusia bisa menangkapnya karena ia berada dalam nalar yang menghubungkan alam,



M



Yang Absolut dan nalar si manusia. Nalar manusia sebagaimana ia berpikir, berkesadaran itu bekerja seturut konstruksi alam, seturut apa-apa yang di alam ini berlaku. Kejadian, proses alam bergerak seturut dinamika gerak yang



M



Absolut sebab Yang Absolut mengungkapkan dirinya seturut konstruksi alam. Jadi manusia menalar alam seturut cara Yang Mutlak mengungkap dirinya di alam. Sama seperti Yang Mutlak maupun dalam berproses dinamis, begitu pula nalar manusia juga berproses menyadar. Proses logis dinamis ini



Y



merupakan proses dialektika.193



Karena itu dalam bab ini, kita akan mendiskusikan epistemologi idealisme dengan menguraikan terlebih dahulu pengertian idealisme secara umum dan tipologinya. Selanjutnya ditayangkan konstruksi idealisme melalui dua filsuf besar Jerman: Ficthe dan Hegel. Dalam bagian penutup, akan



192



Ibid., hlm. 156. Mudji Sutrisno, Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan (Yogyakarta: Galangpress, 2010), hlm. 26. 141 193



disoroti sekilas keistimewaan sekaligus catatan kritis terhadap konstruksi idealisme kedua filsuf tersebut. B. Pengertian Idealisme dan Tipologinya Secara historis-sosiologis, istilah idealisme pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz awal abad ke-18. Ia menerapkkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankannya dengan materialisme Epikuros. Istilah ini, dengan demikian, menunjukkan filsafat-filsafat yang memandang yang mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Dari abad ke-17 sampai permulaan abad ke-20, istilah ini sudah banyak dipakai dalam pengklasifikasian filsafat.194



D



Sedangkan secara etimologi, istilah idealisme lebih banyak



ditentukan dari kata ide daripada kata ideal. W. E. Hocking, seorang idealis



U



yang mengatakan bahwa kata-kata idea-ism adalah lebih tepat daripada idealism. Dengan ringkas, idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda



M



material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal (mind) adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme



M



mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan. Dengan begitu maka idealisme mengandung pengingkaran bahwa dunia ini pada dasarnya adalah sebuah mesin besar dan harus ditafsirkan sebagai



Y



materi, mekanisme atau kekuatan saja.



Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran, atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa yang nampak pada permukaannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu obyektif semata-mata. 194



Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 300. 142



Oleh karena alam mempunyai arti dan maksud, yang di antara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia, maka seorang idealis berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang dalam antara manusia dan alam.



Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam



dalam alam”. Manusia merasa berada di rumahnya dalam alam; ia bukan orang asing atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini adalah suatu sistem yang logis dan spiritual, dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang terasing atau tidak riil, ia adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivitas,



D



akal, jiwa atau perorangan. Manusia sebagai suatu bagian dari alam menunjukkan struktur dalam kehidupannya sendiri. Natur atau alam yang obyektif adalah riil dalam arti bahwa ia ada



U



dan menuntut perhatian dari dan penyesuaian diri dari kita. Meskipun begitu alam tidak dapat berdiri sendiri, karena alam yang obyektif bergantung,



M



sampai batas tertentu, kepada mind (jiwa, akal). Kaum idealis percaya bahwa manifestasi alam yang lebih kemudian dan lebih tinggi adalah lebih penting dalam menunjukkan sifat-sifat prosesnya daripada manifestasi yang lebih



M



dahulu dan lebih rendah. Kaum idealis dapat mengizinkan ahli-ahli sains fisika untuk mengatakan apakah materi itu, dengan syarat bahwa mereka tidak berusaha untuk menciutkan segala yang ada dalam alam ini kepada kategori tersebut. Mereka juga bersedia mendengarkan ahli-ahli biologi untuk



Y



melukiskan kehidupan dan proses-prosesnya, dengan syarat bahwa mereka tidak menciutkan tingkat-tingkat (level) lainnya kepada tingkat biologi atau sosiologi.



Kaum idealis menekankan kesatuan organik dari proses dunia. Keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak dapat dipisahkan kecuali dengan menggunakan abstraksi yang membahayakan, yakni yang memusatkan perhatian terhadap aspek-aspek tertentu dari benda dengan mengesampingkan aspek-aspek lain yang sama pentingnya. Menurut sebagian dari kelompok



143



idealis, terdapat kesatuan yang dalam, suatu rangkaian tingkatan yang mengungkapkan, dari materi, melalui bentuk tumbuh-tumbuhan kemudian melalui bentuk binatang hingga sampai kepada manusia, akal dan jiwa. Dengan begitu maka prinsip idealisme yang pokok adalah kesatuan organik.195 Sementara itu, secara umum idelalisme dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipologi. Pertama, idealisme subyektif. Jenis idealisme ini kadang-kadang dinamakan mentalisme atau fenomenalisme. Jenis ini sangat tidak dapat dipertahankan, paling sedikit tersiarnya, dan paling banyak mendapat tantangan. Seorang idealis sunyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan



D



persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. “Obyek” pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti bangunan-bangunan dan pohon-pohon itu ada, tetapi



U



hanya dalam akal yang mempersepsikannya. Seorang idealis subyektif tidak mengingkari adanya apa yang kita namakan alam yang “riil”. Yang menjadi



M



permasalahan bukan adanya benda-benda itu akan tetapi bagaimana alam itu diinterpretasikan. Alam tidak berdiri sendiri, bebas dari orang yang mengetahuinya. “Bahwa dunia luar itu ada” menurut seorang idealis



M



subyektif, mempunyai arti yang sangat khusus, yakni bahwa kata “ada” itu dipakai dalam arti yang sangat berlainan dari arti yang biasa kita pakai. Bagi seorang idealis subyektif apa yang ada (dalam arti biasa) adalah akal dan ideidenya.



Y



Idealisme subyektif diwakili oleh George Berkeley (1685-1753) seorang filosof dari Irlandia; ia lebih suka menamakan filsafatnya: immaterialisme. Bagi Berkeley, hanya akal dan ide-idenya yang ada. Ia mengatakan bahwa ide itu ada dan ia dipersepsikan oleh suatu akal. Baginya, ide adalah, Esse est percipi (Ada, berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang 195



Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 316-317. 144



melakukan persepsi. Untuk menjelaskan pandangan Berkeley sepenuhnya kita karus berkata “Ada berarti dipersepsikan (bagi ide) atau berarti yang mempersepsikan (bagi akal). Segala yang riil adalah akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut”. Berkeley bertanya, “Dapatkah kita membicarakan tentang sesuatu selain dari ide atau akal?” Jika kita mengatakan bahwa benda-benda itu ada ketika bendabenda itu tidak terlihat dan bahwa kita percaya wujud yang berdiri sendiri dari dunia luar, Berkeley menjawab bahwa ketertiban dan kosistensi alam adalah riil dan disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan. Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Dan kehendak Tuhan adalah



D



hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide kita. Inilah sebabnya maka kita tidak dapat hanya menentukan apa yang akan kita lihat jika kita membuka mata kita.



U



Kaum idealis subyektif mengatakan bahwa tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi tersebut,



M



subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang kita namakan materi atau benda-benda yang diketahui), bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.



M



Mengatakan bahwa suatu benda ada berarti mengatakan bahwa benda itu dipersepsikan oleh akal. Apakah benda yang tidak diketahui, tak ada orang yang dapat memikirkan atau mengatakan. Apa yang kita lihat atau kita pikir, bersandar kepada akal, dan alam ini bersifat mental. 196



Y



Kedua, idealisme obyektif. Banyak filosof idealis, dari Plato, melalui Hegel sampai filsafat masa kini menolak subyektivisme yang ekstrim atau mentalisme, dan menolak juga pandangan bahwa dunia luar itu adalah buatan manusia. Mereka berpendapat bahwa peraturan dan bentuk dunia, begitu juga pengetahuan, adalah ditentukan oleh watak dunia itu sendiri. Akal menemukan peraturan alam. Mereka itu idealis dalam memberi interpretasi kepada alam sebagai suatu bidang yang dapat dipahami, yang bentuk 196



Ibid., hlm. 318-319. 145



sistematiknya menunjukkan susunan yang rasional dan nilai. Jika mereka mengatakan bahwa watak yang sebenarnya dari alam adalah bersifat mental, maka artinya adalah bahwa alam itu suatu susunan yang meliputi segalagalanya, dan wataknya yang pokok adalah akal; selain itu alam merupakan kesatuan organik. Walaupun istilah idealisme baru dipakai pada waktu yang belum lama untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, akan tetapi permulaan pemikiran idealis dalam peradaban Barat biasanya dinisbahkan kepada Plato (427-347 SM). Plato menamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu,



D



untuk berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan. Plato percaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat alam ideal,



U



yaitu alam esensi, form atau ide. Bagi Plato, dunia dibagi dalam dua bagian. Pertama dunia persepsi, dunia penglihatan, suatu dan benda-benda individual.



M



Dunia seperti itu, yakni yang konkret, temporal dan rusak bukannya dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakana saja. Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu dalam konsep, ide, universal atau esensi yang



M



abadi.



Konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada yang dimiliki orang perorang. Kita mengenal benda-benda individual karena kita mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi. Bidang yang



Y



kedua ini mencakup contoh, bentuk (forms) atau jenis (type) yang berguna sebagai ukuran untuk benda-benda yang kita persepsikan dengan indra kita. Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut. Walaupun realitas itu bersifat immaterial, Plato tidak mengatakan bahwa tak ada orang yang riil kecuali akan dan pengalaman-pengalamannya. Ide-ide yang tidak berubah atau esensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah esensi yang immaterial, dikurung



146



dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Kelompok idealis obyektivis modern berpendat bahwa semua bagian alam mencakup dalam suatu tata tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menisbahkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (Absolut mind). Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dari idealisme monistik atau mutlak (absolut). Pikiran adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah proses pikiran yang memudar. Alam adalah



D



Akal yang Mutlak (Absolute Reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk luar.



Oleh karena itu, maka hukum-hukum pikiran merupakan hukum-



U



hukum realitas. Sejarah adalah cara zat yang Mutlak (Absolute) itu menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu Satu, dan



M



bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak pikiran. Jika kita memikirkan tentang keseluruhan tata tertib dunia, yakni tata tertib yang mencakup in-organik, organik, tahap-tahap keberadaan yang



M



spiritual, dalam suatu tata tertib yang mencakup segala-galanya, pada waktu itulah kita membicarakan tentang yang Mutlak. Jiwa yang Mutlak atau Tuhan. Sebagai ganti realitas yang statis atau tertentu serta jiwa yang sempurna dan terpisah, seperti yang kita dapatkan dalam filsafat tradisional,



Y



Hegel membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan lingkungan; jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga kita tak dapat mengadakan pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu. Yang “universal” selalu ada dalam pengalamanpengalaman khusus dari proses yang dinamis. Dalam filsafat semacam itu, pembedaan dan perbedaan termasuk dalam dunia fenomena dan bersifat relatif bagi si pengamat. Keadaanya tidak mempengaruhi kesatuan dari akal yang positif (mempunyai maksud).



147



Kelompok idealis obyektif tidak mengingkari adanya realitas luar atau realitas obyektif. Mereka percaya bahwa sikap mereka adalah satusatunya sifat yang bersifat adil kepada segi obyektif dari pengalaman, oleh karena mereka menemukan dalam alam prinsip: tata tertib, akal dan maksud yang sama seperti yang ditemukan manusia dalam dirinya sendiri. Terdapat suatu akal yang memiliki maksud di dalam alam. Mereka percaya bahwa hal ini ditemukan bukan sekedar dipahami dalam alam. Alam telah ada sebelum saya (jiwa individual) dan akan tetap ada sesudah saya; alam juga sudah ada sebelum kelompok manusia ada. Tetapi adanya arti dalam dunia, mengandung arti bahwa ada sesuatu seperti akal atau pikiran di tengah-tengah idealitas.



D



Tata tertib realitas yang sangat berarti itu diberikan kepada manusia agar ia memikirkan dan beradaptasi di dalamnya. Keyakinan terhadap arti dan pemikiran dalam struktur dunia adalah institusi dasar yang menjadi asas



U



idealisme. 197



Ketiga, idealisme personal atau personalisme. Personalisme muncul



M



sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang



M



pemikir. Realitas itu termasuk dalam personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu. Kelompok personalis berpendaat bahwa perkembangan terakhir dalam sains modern, termasuk di dalamnya



Y



formulasi teori relativitas dan pengakuan yang selalu bertambah terhadap “tempat berpijaknya si pengamat” telah memperkuat sikap mereka. Realitas adalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral dan kemerdakaan manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah suatu tata tertib yang obyektif; walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam 197



Ibid., hlm. 319-322. 148



jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam tersebut. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir. 198 Alam itu diciptakan oleh Tuhan, Aku yang Maha Tinggi dalam masyarakat individu. Yang tertinggi telah mengekspresikan dirinya dalam dunia material dari atom dan dalam jiwa-jiwa yang sadar yang timbul pada tahap-tahap tertentu dari proses alam. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-aku yang ada hubungannya dengan personalitas tertinggi. Nilai-nilai moral dan spiritual diperkuat oleh jiwa kreatif personal, dan jiwa mempunyai hubungan dengan segala sesuatu. Personalisme bersifat



D



theistik (percaya kepada adanya Tuhan); ia memberi dasar metafisik kepada agama dan etika. Tuhan mungkin digambarkan sebagai zat yang terbatas, sebagai pahlawan yang berjuang dan bekerja untuk tujuan-tujuan moral dan



U



agama yang tinggi. Ide tentang kebaikan Tuhan dipertahankan walaupun kekuasaannya terbatas. Tujuan hidup adalah masyarakat yang sempurna,



M



yakni masyarakat jiwa (selves) yang telah mencapai personalitas sempurna dengan jalan berjuang.199



C. Biografi Johann Gottlieb Fichte



M



Fichte lahir



lahir



dari



keluarga



melarat di kota Rammenau pada tahun 1762. Ia adalah seorang anak perajut pita. Meski demikian, seorang bangsawan kota itu—Baron



Y



von Miltitz—menyekolahkannya. Dia belajar teologi di Universitas Jena, dan juga sempat studi di Leipzig dan Wina. Dalam masa studinya,



Fichte



sudah



dipengaruhi



oleh



gerakan Romantis, dan dalam filsafat dia dipengaruhi 198 199



oleh



determinisme



Spinoza,



sebelum



pada



gilirannya



Ibid., hlm. 322-324. Ibid., hlm. 324. 149



menolaknya. Suatu ketika, dalam kariernya sebagai seorang dosen di Zurich, seorang mahasiswa memintanya untuk menjelaskan kritisime Kant. Sejak saat itu, dia belajar Kant untuk pertama kalinya, bahkan sempat mengunjungi Kant di Konigsberg.200 Dididik dalam teologi kemudian filsafat di Jena, Fichte menjadi terkenal, sebagian karena buku pertamanya, yang diterbitkan secara anonim di Konigsberg, sehingga sempat keliru diyakini sebagai tulisan Kant. Karya ini, Versuch einer Kritik aller Offenbarung (1792: Critique of All Revelation), merupakan perayaan atas kedaulatan hukum moral, dan kekuatan argumennya di buku itu telah mengantarkannya ke sebuah posisi di Universitas Jena.



D



Kombinasinya atas moralisme yang ketat, dukungan terhadap Revoli Prancis, dan kritik Spinozistik terhadapa agama wahyu mengarah ke sejenis kontroversi yang sepertinya menjadikan Fichte daya tarik banyak orang:



U



contoh, kuliahnya dirancang untuk merepresi para mahasiswa teologi dan disiplin tersebut, selain juga mengadakan sesi kuliah di hari Minggu sebagai



M



ganti ibadah rutin gereja.



Keyakinan Fichte bahwa Tuhan identik dengan tatanan dunia moral, bahkan meski pada gilirannya ini menjadi dasar bagi semua kognisi dan “satu-



M



satunya realitas objektif yang absolut sahih”, kelihatannya tidak lebih dari sebuah pandangan ateisme, dan pada 1799 Atheismustreit, atau sidang besar akademik terkait isu ini yang melibatkan banyak pemikir Jerman kala itu, membuatnya didepak dari Jena.



Y



Secara metafisik, Fichte adalah yang pertama melucuti elemen transendental dari Kant, berpendapat kalau kesadaran adalah basis satusatunya bagi penjelasan tentang pengalaman, dan bawah semua kesadaran yang diarahkan ke apa pun yang lain memiliki kesadaran yang diarahkan kepada diriya sebagai asal muasalnya. Konsep ini dikombinasikan dengan konsep Kant tentang kehidupan moral sebagai pengejaran tanpa batas terhadap tujuan yang tidak dapat diraih, sehingga semua eksistensi menjadi 200



Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 157-158. 150



perjuangan ego yang tidak pernah bisa terpuaskan, membuat dunia eksternal dilihat sebagai penghalang bagi pemenuhannya. Idealisme yang dinamis dan aktif ini, yang dipasangkan dengan pengangkatan kesadaran diri, menjadi karya utama yang menggerakan Hegel, dan bisa dilihat sebagai transisi dari filsafat Kant menuju idealisme absolut. Seluruh dimensi pemikiran Fichte ini bisa dilihat dalam karya-karyanya sepert: Bestimmung des Menschen (1800: The Vocation of Man, 1848), dan Reiden an die Deutsche Nation (1807-1808: Addresses to the German Nation, 1922).201 Fichte juga dikenal sebagai orator yang ulung sejak ia mengucapkan



D



pidatonya di depan bangsa Jerman tahun 1808. Dia dinggap sebagai salah seorang perintis nasionalisme Jerman. Tahun 1810 dia dikukuhkan sebagai profesor di Universitas Berlin, dan empat tahun kemudian dia meninggal



U



karena sakit tifus yang ditularkan oleh istrinya yang kebetulan bekerja sebagai perawat.202



M



D. Idealisme Johann Gottlieb Fichte



Idealisme Fichte dibangun dari tilikan kritisnya terhadap pemikiran filosofis Immanuel Kant. Dalam hal ini, saya ingin menurunkan uraian Budi



M



Hardiman yang sangat representatif. Menurut Hardiman, seperti Kant, Fichte berpendapat bahwa filsafat harus bertolak dari pengalaman, tetapi pengalaman di sini mendapat arti khusus, yakni presentasi. Kata yang dipakai Fichte adalah Vorstellung (bayangan; gambaran). Kalau kita merefleksikan isi



Y



kesadaran kita, kita akan menemukan dua macam presentasi, yakni: presentasi yang disertai rasa kebebasan dan presentasi yang disertai rasa keniscayaan. Kita, misalnya, bisa membayangkan sebuah kertas emas, berpergian ke Venesia atau apa saja, dalam imajinasi kita, dan kemampuan inilah yang disebutnya presentasi yang disertai rasa kebebasan. Lain halnya, kalau kita



201



Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 324. 202 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 159. 151



benar-benar berada di jalan-jalan air di Venesia, segala yang kita dengar dan lihat tak tergantung dari subjek, maka ini disebut presentasi yang disertai rasa keniscayaan. Kalau kita perhatikan lebih lanjut, kita akan menemukan bahwa presentasi pertama tergantung pada subjek, sedang yang kedua tergantung pada objek. Kedua macam presentasi inilah yang disebut Fichte “pengalaman” (Erfahrung). Ficthe lalu mengabstraksi lebih lanjut. Karena pengalaman selalu merupakan kesadaran akan sesuatu objek, kita dapat mengatakan bahwa dalam setiap pengalaman aktual selalu ada dua unsur yang saling menjalin, yaitu subjek dan objek. Kalau dipandang sendiri-sendiri, kita bisa



D



mengabstraksi sebjek sebagai “intelejensi pada dirinya sendiri” dan objek sebagai “benda pada dirinya sendiri”. Sekarang pertanyaannya, Manakah dari keduanya yang menghasilkan pengalaman aktual? Menurut Fichte, kalau kita



U



memilih yang kedua sebagai titik tolak pengalaman, kita justru memilih “dogmatisme”, yaitu kepercayaan bahwa objek menentukan intelejensi atau



materalisme.



M



kesadaran. Jika diradikalkan pilihan ini menjadi determinisme dan



Kalau kita memilih yang pertama, kita memilih apa yang disebut



M



Fichte “idealisme”. Menurut Fichte, Immanuel Kant telah memilih yang kedua sebagai titik tolak pengalaman, meskipun kemudian ia mengutamakan unsur-unsur a priori kesadaran. Sikap Kant ini dinilainya kompromistis, dan kompromi



semacam



itu



malah



kembali



pada



dogmatisme,



sebab



Y



bagaimanapun titik tolaknya adalah pengalaman empiris akan das Ding an sich. Kalau kita serius mau menolak dogmatisme, menurut Fichte, kita harus menghapus das Ding an sich itu tanpa sikap kompromis. Artinya, Fichte memilih “intelejensi pada dirinya” sebagai pencipta kenyataan—inilah idealisme. Pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa seorang filsuf memilih yang satu dan menolak yang lain? Menurut Fichte pilihan itu tergantung pada macam orang yang memilihnya; jadi tergantung pada kepentingan dan



152



kecenderungan. Ficthe berkata: “Was fur eine Philosophie man wahle, hangt ab, was man fur ein Mensch ist” (Macam filsafat mana yang dipilih orang tergantung dari manusia macam apa orang itu). Akan tetapi, Fichte lalu menunjukkan keunggulan idealisme. Menurutnya, seorang filsuf yang makin matang kesadaran moralnya akan kebebasan cenderung memilih idealisme, sedangkan yang kurang matang justru akan memilih dogmatisme. Atas dasar ini lalu Fichte mengutamakan rasio praktis yang sudah dirumuskan Kant atas rasio murni. Kesadaran moral dalam arti tindakan moral inilah yang membimbing orang pada idealisme murni. Di sini Fichte mau menjembatani jurang yang menganga sejak Kant, antara rasio murni dan rasio praktis. 203



D



Selanjutnya menurut K. Bertens, Fichte kerapkali menunjukkan



filsafatnya sebagai Wissenschaftslehre. Yang dimaksudkannya dengan nama ini ialah suatu refleksi tentang pengetahuan. Fichte sepakat dengan Kant



U



bahwa semua ilmu membahas salah satu objek tertentu, sedangkan filsafat bertugas memandang pengetahuan sendiri. Oleh karenanya filsafat merupakan



Wissenschaftslehre pengetahuan”.



M



ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain dan akibatnya dinamai sebagai yang



sebetulnya



berarti



“ajaran



tentang



ilmu



M



Menurut pendapat Fichte, filsafat harus berpangkal bukan dari suatu substansi melainkan dari suatu perbuatan (Tathandlung), yaitu Aku Absolut mengiyakan dirinya sendiri dan dengan itu mengatakan dirinya sendiri. Dengan kata lain, realitas seluruhnya harus dianggap menciptakan dirinya (self-creating).



Dengan cara



Y



sendiri



inilah Fichte bermaksud



juag



memperdamaikan pertentangan antara rasio teoritis dan rasio praktis yang terdapat dalam filsafat Kant. Rasio teoritis tidak dapat ditempatkan pada awal mula, tetapi didahului dan dirangkum oleh suatu perbuatan. Oleh karena itu memang pada tempatnyalah jika filsafat Fichte disebut idealisme praktis. Lalu aktivitas tak terhingga dari Aku Absolut itu mengadakan lapangan tempat ia dapat menjalankan aktivitas. Dengan kata lain, Aku 203



Ibid., hlm. 160-162. 153



Absolut menghasilkan suatu non-aku. Tetapi dengan berbuat demikian Aku Absolut itu serentak juga mengadakan diri sebagai aku sehingga yang dibatasi oleh non-aku. Dengan cara inilah Fichte dapat menerangkan kemungkinan pengalaman kita. Saya mempunyai kesan bahwa pohon yang saya lihat di situ memang terdapat di tempat itu sebagai sesuat yang “asing” bagi saya, sebagai yang lain dari saya. Saya mengalami hubungan subjek-obyek. Tetapi menurut prinsip idealisme sama sekali tidak mungkinlah adanya obyek belaka. Karena alasan itulah Fichte mengatakan bahwa “non-aku” (alam semesta) merupakan buah hasil aktivitas Aku Absolut dan juga aku terhingga merupakan buah hasil aktivitas itu. Tetapi harus ditambah bahwa hasil ini diperoleh dengan



D



cara tidak sadar (dan karena itu menjadi mungkin bahwa pohon itu misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang “asing” bagi saya). 204 Dengan ungkapan lain, melalui metode deduktif Fichte mencoba



U



menurunkan dari Ego atau “Aku” adanya benda-benda. Karena Ego berpikir, berefleksi, meng-ia-kan diri, maka benda-benda ada. Meng-ia-kan diri dan



M



berada ini, jikalau diterapkan kepada Ego, dipandang sebagai identik. Setelah Ego meng-ia-kan diri, maka “bukan-Ego” dinyatakan. Jadi hukum berpikir dipandang sebagai sama dengan hukum alam. Dengan secara dialetis (yaitu



menjelaskan adanya benda-benda.



M



berpikir dengan menggunakan tesis, antitesis dan sintesis) ia mencoba Ia mengemukakan tiga dalil: (1) Ego atau “Aku” meng-ia-kan diri sendiri, atau Ego yang meneguhkan adanya diri sendiri ini baru mungkin



Y



jikalau Ego juga membedakan diri daripada yang “Bukan Ego” atau obyek atau benda, yang membatasi Ego tadi. Demikianlah (2) Ego meneguhkan adanya yang “Bukan Ego”. Inilah antitesisnya. Oleh karena Ego sekarang benar-benar tidak lagi tunggal (karena ada “Ego” yang dapat dibagi-bagi dan “Bukan Ego” yang dapat dibagi-bagi), maka (3) Ego di dalam kesadarannya berhadapan muka dengan suatu dunia. Perbedaan dan kesatuan telah 204



K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 70-71. 154



memasuki pengalamannya. Inilah sintesisnya. Demikianlah pengenalan yang konkrit mengandung di dalamnya Ego atau Aku dan dunia, yang keduanya saling membatasi. Keduanya, Ego dan dunia, bukanlah dualisme yang mutlak, sebab keduanya dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu aktivitas atau perbuatan Ego yang “menciptakan” itu. 205 Reese membuat ringkasan filsafat idealisme Fichte sebagai berikut ini: 1. Fichte amat banyak dipengaruhi oleh Kant. Ia dikenal sebagai pendiri idealisme Jerman dan mengembangkan filsafatnya bertolak dari pemikiran Kant dengan cara menjadikan akal praktis Kant menjadi lebih



D



penting daripada akal murni, yang Kant sendiri kelihatannya tidak berkehendak seperti itu. Hasilnya ialah idealisme itu menjadi idealisme yang berangkat dari kemauan moral. Langkah yang ditempuh oleh Fichte untuk



U



menjelaskan hal itu ditulis dalam bukunya, The Vocation of Man, yang ditulis untuk pembaca bukan filosof. Argumen yang diajukannya untuk itu ialah



M



bahwa bila setiap sesuatu terjadi oleh suatu keharusan kausalitas, maka kita akan bertanggung jawab atas tindakan kita karena sumber tindakan kita itu adalah hukum alam, bukan kita.



M



2. Kurang tepat bila kita mengatakan bahwa seseorang memahami karena ia memiliki obyek. Yang tepat ialah seseorang memahami karena ia melihat obyek; dan ini, sebagaimana kita saksikan, adalah cara manusia memahami. Jadi, memahami dengan melihat. Bila seseorang ditanya mengapa



Y



ia mempercayai dunia eksternal, ia akan mengajukan hukum kausalitas. Apa yang dipahami tentu memerlukan penjelasan kausalitas. Akan tetapi, dengan mengatakan bahwa ia memerlukan kausalitas, ia juga dapat mengatakan bahwa ia melihat kausalitas itu bekerja di daerah obyek. Kita mengatakan bahwa kausalitas itu ada hanyalah karena kita berada di dunia.



205



Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 89. 155



3. Akan tetapi, karena kesadaran kita adalah penjelmaan persepsi kita, maka kita tidak begitu memahami kedasaran “kita” dibandingkan dengan kesadaran kita tentang dunia. Kita menempatkan Ego sama dengan kita menempatkan non-Ego. Oleh karena itu, kita menyadari bahwa Ego itu lebih tinggi daripada Ego-absolut. Fichte menyatakan bahwa keharusan terlibatnya segala sesuatu dalam menempatkan diri dalam Ego-absolut adalah suatu keharusan teologis dan keharusan dialektis. Jadi bukanlah Hegel, melainkan Fichte yang mula-mula mengetengahkan proses dialektis yang terdiri atas tesis, antitesis, dan sintesis, dan juga ia meletakkan tahap-tahapnya. 4. Karena keharusan yang dilihatnya mula-mula dalam alam



D



hanyalah keharusan dalam pikiran, maka ia tidak begitu memperhatikannya. Sebenarnya, kesadaran moral mengatakan kepada kita bahwa kita ini bebas, dan kita bertanggung jawab sendiri atas perbuatan kita. Itu tidak akan sama



U



seandainya kita ini berada di dalam penguasaan hukum kausalitas, yang telah diberikan kepada kita sebelum kita menyadarinya.



M



5. Keunggulan kesadaran moral ialah tidak memerlukan contoh. Ia memerlukan dunia yang di sana kita bebas berbuat dan bertanggung jawab serta memenuhi tugas kita satu dengan yang lainnya. Itu adalah dunia spiritual



M



yang tidak ditentukan oleh ruang dan waktu.



6. Akan tetapi, mengapa kita mempercayai penginderaan? Kita berbuat demikian agar kita mampu meningkatkan kebijakan kita dalam mengenali berbagai kesulitan di dalam hidup ini.



Y



7. Membiasakan melakukan tugas terhadap satu sama lainnya adalah suatu tugas kemanusiaan, yang sebaiknya menjadi etika budaya dunia yang akan dapat menjaga kebebasan dan hak setiap orang. Negara tempat kita hidup seharusnya bertanggung jawab menyediakan dan menjaga kebebasan dan hak kita itu. 8. Di belakang tugas dan kesadaran moral itu ada roh (spirit) dan moral, yang dapat dikenali pada diri Tuhan, Tuhan sebagai Dunia, logos, bukan sebagai Pencipta atau Penyebab. Tuhan Fichte itu disebutnya juga



156



“Ada” (Being) atau Absolut. Tuhan itu kekal (eternal), maka ia mesti sempurna. Karena saya dan Anda adalah bagian dari susunan moral yang menjadi satu dengan Tuhan, maka kita sekarang ini sebenarnya bersatu (satu) dengan Tuhan. Kemauan kita bersatu dengan kemauan Tuhan (kemauan kita bagian dari kemauan Tuhan). Tuhan dan kita menyatu. Tuhan tidak sendirian. Kita pun tidak sendirian. Akan tetapi, pendapat ini berujung pada bahwa saya juga akan kekal, tidak berubah, tetap. Saya kekal secara sempurna. Dengan demikian, terdapat paradoks di dalam pemikiran Fichte: di satu pihak fokus pemikirannya pada kehidupan manusia (manusia bebas dan karena itu bertanggung jawab), tetapi di pihak lain manusia bersatu dengan Tuhan (tentu



Y



M



M



U



D



tidak dapat bebas dan bertanggung jawab). 206



206



Ahmad Tafsir, Filsafat Rosdakarya, 1997), hlm. 130-131.



Umum



(Bandung:



Remaja 157



E. Biografi Georg Wilhelm Friedrich Hegel Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart tahun 1770 dan hidup selama era Jerman yang bersinar emas peradabannya. Tahun yang sama, lahir pula musikus Beethoven dan kala itu penyair budayawan Geothe berusia 20 tahun sementara Immanuel Kant berumur 46 tahun. Puisi Wordsworth, penyair Inggris, ikut menyentuh nuansa romantisme pada aliran filsafat idealisme Jerman saat itu. Awalnya,



D



Hegel tertarik pada penulis-penulis Yunani Plato, Aristoteles. Di awal usia sekolah Tubingen usia 18 tahun, ia menekuni sekolah teknologi di kota itu, di mana pertemuan dan pertemanan dengan penyair Holderlin dan filsuf



U



Schelling ketika sama-sama digairahkan oleh api Revolusi Perancis 1789 menentukan beberapa jejak pikirannya di kemudian hari yang menyangkut



M



cara membaca sejarah dalam nalar sebagai kesadaran manusia. Di Tubingen pula, Hegel mulai menaruh perhatian pada hubungan antara filsafat dan teologi yang lagi-lagi nantinya akan menunjuk jejak satu



M



lagi pada pemikiran Hegel di kemudian hari. Namun ketika tamat universitaslah, filsafat menjadi minat utama Hegel. Hegel tamat universitas, Hegel menjadi guru tutor keluarga selama 6 tahun di Berne dan Frankfurk. Saat ini embrio karangan-karangan pendek filsafat mulai ia tulis. Periode ini pula



Y



idealisme Jerman menemukan 2 corong berpengaruh yaitu Fichte dan Schelling yang jejak kontak dialog pikirannya muncul dalam tulisan Hegel tahun 1801 berjudul Beda Antara Sistem Filsafat Fichte dan Schelling. Tahun 1801 ini pula Hegel menjadi dosen fakultas Universitas Jena. Menjelang pecah perang Jena 1807, ia menyelesaikan tulisan The Phenomenology of Mind (Fenomenologi Nalar). Ketika perang Jena memaksa tutup universitas, Hegel menikah 1811 lalu menjadi rektor sekolah lanjutan atas di Nurnberg sampai tahun 1816 di



158



mana tulisan pentinyanya yaitu Science of Logic (Pengetahuan mengenai logika) dibuat dan menjadi pemantik undangan-undangan untuk memberi prasaran di beberapa universitas. Tahun 1816 Hegel bergabung di universitas Heidelberg yang tahun berikutnya ia menerbitkan Encyclopedia of the Philosophical Sciences in Outline, sebuah karya menyeluruh yang membahas struktur filsafat dalam 3 mantranya yaitu: Filsafat Nalar. Tahun 1819 Hegel diangkat menjadi dosen di Universitas Berlin fakultas filsafat sampai meninggalnya di usia 61 tahun pada tahun 1831 karena penyakit kolera. Di Universitas Berlin inilah pemikiran Hegel mematang dan mencerah dalam karya-karyanya: Philosophy



D



of Right dan kuliah-kuliahnya yang diterbitkan setelah wafatnya meliputi: Philosophy of History (Filsafat Sejarah), Philosophy o f Religion dan Sejarah Filsafat (history of philosophy).207



U



Salah satu pokok konstruksi filosofis Hegel adalah dialektika. Menurut Hegel, setiap gerakan menciptakan sebuah pertentangan atau



M



gerakan, seriap aksi memunculkan reaksi, dan setiap pertarungan di antara kekuatan-kekuatan yang bertentangan menemukan penyelesainnya dalam sebuah unsur baru ketiga yang akan menggerakkan proses baru sehingga



M



karenanya jelas akan memunculkan sebuah reaksi baru. Jadi, dengan menggunakan istilah-istilah teknis bagi tahapan-tahapan suksesif ini, dia mengajarkan bahwa setiap tesis niscaya memunculan antitesis-nya sendiri dan ketidakselarasan di antara kedua hal itu menciptakan konflik, dan konflik itu



Y



bisa diselesaikan oleh sebuah sintesis, yang kemudian memunculkan antitesisnya sendiri: dan sintesis tersebut menjadi tesis dari sebuah triad baru. Ada dua poin penting dari dialetika ini. Yang pertama, dialektika menunjukkan bahwa proses perubahan, meski berlangsung terus-menerus, tidak berlangsung dalam bentuk yang semau-maunya, tetapi dalam bentuk



207



Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 23-24. 159



yang bisa dipahami secara rasional; yang kedua, dialektika menunjukkan bahwa proses perubahan itu secara inheren melibatkan konflik. 208 Menurut Hardiman, idealisme Jerman menemukan raksasanya yang paling akbar, yakni dalam diri Hegel. Tidak berlebihan juga jika dia dipandang sebagai tokoh puncak segala bentuk spekulasi filosofis dalam sejarah filsafat Barat modern. Sejarah filsafat sesudahnya bahkan bisa dipandang sebagai sebuah usaha sepenuh tenaga untuk merobohkan bangunan raksasa yang didirikan oleh filsuf ini. 209 F. Idealisme Georg Wilhelm Friedrich Hegel 1. Rasio, Ide, dan Roh



D



Secara general, rasio merupakan kemampuan untuk melakukan



abstraksi,



memahami, menghubungkan,



merefleksikan,



memperhatikan



kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan.210 Bila dipikirkan sebagai



U



kemampuan, rasio berbeda dengan kemampuan kehendak, kemampuan cita rasa, kemampuan perasaan, kempuan intuisi, dan sebagainya. Dan biasanya



M



rasio dianggap sebagai ciri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lebih rendah. Rasio juga dibedakan dari iman, wahyu, intuisi, emosi atau perasaan, pencerapan, persepsi, pengalaman. 211



M



Jika merujuk kepada para filsuf, ternyata mereka mengungkap pengertian rasio yang cukup kaya. Aristoteles membuat perbedaan antara rasio aktif dan pasif. Rasio aktif adalah bentuk penalaran “murni”, sedangkan rasio pasif adalah bentuk penalaran yang berkaitan dengan panca indra. 212



Y



Pascal membuat perbedaan antara “rasio pikiran” dan “rasio hati” yang tidak diketahui oleh pikiran. Kant, sama seperti Panaetius, membedakan antara rasio teoritis dan praktis. Ia membeberkan panjang lebar kajian yang cocok 208



Bryan Magee, Memorar Seorang Filosof, terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 606-607. 209 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 172. 210 Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 925. 211 Ibid., hlm. 925-926. 212 Ibid., hlm. 926. 160



untuk keduanya, termasuk pembedaan antara pengertian dan rasio. 213 Sedangkan Hegel



mengangkat



perbedaan Kant,



sambil



perkembangan rasio sebagai basis deduksi kategori-kategorinya.



menjadikan 214



Akan tetapi, Hegel melakukan kritik terhadap epistemologi kritisisme Kant sehingga rasio yang dieksplorasi oleh Hegel juga rasio kritis. Kritik Kant bersifat transendental dan dengan cara ini ia ingin meletakkan rasio yang kritis itu di atas suatu dasar yang pasti dan tak tergoyahkan. Rasio semacam ini tak mengenal waktu, netral dan ahistoris. Hegel yang kritis terhadap kritisisme Kant ini menempatkan kegiatan pengetahuan kita atau rasio di dalam rangka proses pembentukan diri (bildungsprozess) dari rasio.



D



Apakah maksud dari ungkapan terakhir ini? Dalam pandangan Hegel rasio bersifat kritis tidak dengan cara



transenden dan ahistoris seakan-akan rasio itu sudah sempurna pada dirinya.



U



Rasio menjadi kritis justru kalau ia menyadari asal-usul pembentukannya sendiri. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari rintangan-



M



rintangan dalam sejarah umat manusia dan alam, melainkan merupakan proses menjadi semakin sadar justru di dalam rintangan-rintangan itu. Jika rasio menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya untuk menjadi



yang lebih tinggi.



M



semakin rasional dan semakin sadar, rasio melangkah ke kualitas rasionalitas



Menyadari adanya rintangan-rintangan itu, dalam pandangan Hegel, sama dengan menyadari asal-usul kesadaran. Dengan kata lain, kesadaran



Y



rasional kita akan sesuatu muncul justru setelah kita mereflesikan rintanganrintangan itu dan karena munculnya kesadaran itu kita dapat membebaskan diri dari rintangan-rintangan itu untuk menjadi semakin rasional. Proses rasio menjadi semakin rasional di dalam sejarah ini oleh Hegel digambarkan dalam suatu model yang termasyur, yaitu “dialektika Tuan dan Budak”.



213 214



Ibid. Ibid. 161



Untuk melukiskan maksudnya, Hegel menunjuk beberapa contoh di dalam sejarah bagaimana rasio dan proses kesadaran manusia menjadi semakin rasional. Bagi Hegel sejarah tak lain dari pergumulan rasio merefleksikan dan membebaskan diri dari rintangan-rintangan untuk menjadi semakin sadar. Dalam sejarah, zaman yang satu berperan melawan zaman yang lain, bangsa melawan bangsa dan kebudayaan melawan kebudayaan. Di dalam konflik dan kontradiksi-kontradiksi serta rintangan-rintangan yang menuntut korban-korban ini manusia berusaha memahami siapa dirinya yang sebenarnya atau dengan kata lain rasio berjuang gigih untuk menyadari dirinya dan menjadi semakin bebas.



D



Salah satu contoh adalah proses penyadaran rasio yang diperoleh



dalam Revolusi Prancis. Meskipun revolusi ini menghasilkan korban-korban, berkat rintangan-rintangan inilah warga negara memperoleh kebebasannya



U



dari kekuasaan monarkhi absolut. Kesadaran demokratis yang diperoleh dalam revolusi Prancis tak lain dari hasil refleksi dan perjuangan rasio sendiri



M



untuk menyadari adanya rintangan-rintangan untuk menjadi semakin bebas dan sadar. Proses sejarah manusia memahami siapa dirinya, apa itu masyarakat, kebudayaan, dan alam semesta adalah proses pembentukan diri



M



rasio. 215



Konsep rasio memang mempunyai kedudukan sentral dalam filsafat Hegel. Ia berpendapat bahwa pemikiran filsafat tidak mensyaratkan sesuatu di luar jangkauannya, bahwa sejarah berhubungan dengan rasio dan hanya



Y



dengan rasio, dan bahwa negara adalah perwujudan dari rasio. Namun demikian, pernyataan ini tidak bisa dipahami jika rasio ditafsirkan sebagai konsep metafisik murni karena ide Hegel tentang rasio, meskipun dalam bentuk idealistiknya, mencakup berbagai upaya material untuk membangun



215



Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hlm. 43-45. 162



tatanan kehidupan yang bebas dan rasional. 216 Inti filsafat Hegel adalah struktur di mana konsep-konsep—kebeasan, subjek, pikiran, gagasan— diturunkan dari ide rasio. Sebagaimana telah kita ungkapkan di awal, bagi Hegel, Revolusi Prancis menggemakan kekuasaan rasio di atas realitas. Ia meringkaskan masalah ini dengan mengatakan bahwa prinsip Revolusi Prancis menegaskan bahwa pemikiran seharusnya mengarahkan realitas. Implikasi yang terdapat dalam pernyataan ini menjadi inti pokok dari filsafatnya. Pemikiran harus mengarahkan realitas. Apa yang dianggap manusia sebagai betul, benar, dan baik harus direalisasikan dalam organisasi kehidupan sosial dan individu



D



mereka yang nyata. Namun demikian, pemikiran berbeda di antara individuindividu, dan perbedaan tajam yang terdapat pada opini individu tidak bisa menjadi prinsip pembimbing bagi organisasi kehidupan bersama. Jika



U



manusia tidak mempunyai konsep dan prinsip pemikiran yang secara universal menunjuk pada kondisi dan norma yang valid, pemikirannya tidak



M



bisa mengklaim untuk mengarahkan realitas. Sebagaimana dengan tradisi filsafat Barat, Hegel yakin bahwa konsep dan prinsip obyektif semacam ini ada. Totalitasnya ia sebut dengan rasio. 217



M



Jadi ada idealisme konkret di sini, yaki realitas harus dikonstruksi sesuai dengan kualifikasi rasio. Selama terdapat gap antara yang riil dan yang potensial, yang riil harus diubah sampai ia sejalan dengan rasio. Sepanjang realitas tidak dibentuk oleh rasio, ia—dalam makna katanya yang empatik—



Y



bukanlah realitas. Jadi, realitas dalam struktur konseptual sistem Hegel berubah maknanya. “Yang riil” berarti tidak hanya sesuatu yang secara aktual ada (ini lebih tepat disebut dengan penampakan), tetapi sesuatu yang ada dalam bentuk yang sesuai dengan standar rasio. 218



216



Herbert Marcuse, Rasio & Revolus, terj. Imam Bauhaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4. 217 Ibid., hlm. 6. 218 Ibid., hlm. 9. 163



Namun dalam perjalanannya, rasio dalam filsafat idealisme Hegel tidak hanya berhenti pada tataran orang per orang secara individual, melainkan diangkat pada tataran universal yang meliputi semesta dimensi kehidupan. Bagi Hegel, yang dimaksud bukan saja rasio pada manusia perorangan, tetapi juga pada dan terurama pada Subyek Absolut, karena Hegel pun menerima prinsip idealistis bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subyek. Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal berbunyi, “The Real is the Rational, and the Rational is the Real”219, “Semua yang riil bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat riil”. Maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas



D



seluruhnya adalah proses pemikiran (atau “Ide” menurut istilah yang dipakai Hegel) yang memikirkannya dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel lain lagi, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan



U



dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi atas kecondongan intelektual pada waktu itu yang mencurigai rasio sambil



M



mengutamakan perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat dalam kalangan “filsafat kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman yang disebut “Romantik”220;



M



2. Metode Dialektika



Secara historis-filosofis, dialektika merupakan dobrakan Hegel terhadap hegemoni logika tradisional aristotelian selama berabad-abad lamanya. Dua hal yang ditolak Hegel adalah sebagai berikut:



Y



(a) Logika dipahami sebagai studi tentang pikiran, semata-mata kebenaran formal yang tidak memiliki signifikansi ontologis; (b) Prinsip identitas yang menyatakan bahwa satu entitas dengan oposisinya saling mengecualikan, berdiri sendiri-sendiri, dan kontradiksi secara logis: A adalah A dan bukan non-A.



219



S. E. Frost, Basic Teaching of The Great Philosophers (New York: Anchor Books, 1989), hlm. 198. 220 K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 73. 164



Hegel



dalam



bukunya



Phenomenology



of



Mind



(1807)



mengemukakan bahwa tidak ada realitas objektif terpisah dari pikiran. Pikiran adalah realitas objektif, dan realitas objektif adalah pikiran. Logika, menurut Hegel, bukan sekedar kebenaran formal, melainkan memiliki signifikansi ontologis dimana benak membentuk realitas, sehingga kajian tentang pikiran akan mengungkap prinsp-prinsip yang menata realitas. Hegel menolak prinsip identitas yang mengecualikan oposisi dengan mengatakan bahwa setiap fase “ada” mengandung di dalamnya kontradiksi diri dan hal ini berfungsi sebagai generator bagi pergerakannya ke fase yang lebih tinggi dan kompleks. Bagi Hegel, berlawanan dengan Aristoteles, oposisi merupakan keniscayaan logis.



D



Dialektika memandang apa pun yang ada sebagai kesatuan dari apa



yang berlawanan, yaitu sebagai perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan. Apa pun dilihat sebagai hasil sebuah proses yang maju



U



lewat penyangkalan/negasi, dimana negasi bukan berarti bahwa apa yang dinegasi dihancurkan/ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah hal yang



M



salah, sedang kebenarannya tetap dipertahankan. Semuanya bergerak dari suatu tesis-antitesis-sintesis dimana sintesis pun kemudian bisa menjadi suatu tesis baru.221



M



Jadi proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Ada suatu fase pertama (tesis) yang menampilkan lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Akhirnya timbullah fase ketiga yang memperdamaikan fase pertama dan kedua (sintesis). Dalam sistesis itu tesis dan antitesis menjadi aufgehoben,



Y



kata Hegel. Kata Jerman ini mempunyai lebih dari satu arti dan Hegel memaksudkan semua arti itu (dalam bahasa Inggris umumnya diterjemahkan dengan sublated). Di pihak aufgehoben berarti: dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Dan itu memang yang dimaksudkan: karena adanya sintesis, maka tesis dan antitesis sudah tidak ada lagi; sudah lewat.



221



Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 125-126. 165



Tetapi di lain pihak kata tersebut berarti juga: diangkat, dibawa kepada taraf yang lebih tinggi. Dan itu juga yang dimaskudkan Hegel: dalam sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat kepada tingkatan baru. Dengan kata lain, dalam sintesis baik tesis maupaun antitesis mendapat eksistensi baru. Atau dengan kata lagi, kebenaran yang terkadung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk lebih sempurna. Dan proses ini akan berlangsung terus. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya dapat diperdamaikan menjadi sintesis baru. Maka dari itu proses dialektika sebaiknya dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan gerak



D



garis lurus.222



Di dalam kehidupan sehari-hari ada banyak contoh tentang apa yang



dimaksud oleh Hegel ini: suatu pandangan yang ekstrim ke kanan



U



menimbulkan suatu reaksi yang ekstrim ke kiri, yang kemudian menelorkan suatu kompromi yang menyelaraskan keduanya itu. Umpamanya: golongan



M



yang satu menghendaki supaya negara menguasai agama. Pandangan ini mengandung di dalamnya hal yang positif baik, yaitu bahwa ada kesatuan di antara kekuatan dan kekuasaan politik, sehingga tata tertib nasional terjamin.



M



Segi yang negatif yang tidak baik ialah, bahwa kebebasan agama ditiadakan. Agama harus tunduk kepada pemerintah. Pandangan yang demikian itu membangkitkan reaksi, yang menghendaki supaya agama menguasai negara. Keuntungan pandangan ini, yang mewujudukan segi yang positif,



Y



ialah bahwa kebebasan agama terjamin, artinya: agama dapat mengatur diri sesuai dengan hakikat dan sifat-sifatnya. Akan tetapi segi yang negatif ialah adanya kemungkinan kebebasan agama itu hanya berlaku bagi satu agama saja. Selain daripada itu kekuasaan di negara tidak sama dengan kekuatan yang riil, sehinga tata tertib nasional dapat goyah. Jikalau pandangan yang pertama tadi mewujudkan tesisnya, maka pandangan yang kedua adalah antitesisnya. Sintesis bagi kedua pendapat itu ialah pandangan yang 222



K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 73-74. 166



menghendaki perpisahan di antara agama dan negara, keduanya baik agama maupun negara, harus diberi tugasnya sendiri-sendiri di bidangnya sendirisendiri. Segi yang positif, yang baik dari pandangan ini ialah, bahwa tata tertib nasional terjamin, sedang kebebasan agama terjamin bagi semua agama. Baik kekuasaan maupun kekuatan politik berada di tangan yang sama. Sekalipun demikian hak agama dihormati, sedang kepentingan agama tidak dicampur dengan kepentingan politik. Dari contoh di atas kita dapat lihat, bahwa tesis mengandung di dalamnya unsur-unsur yang positif dan yang negatif, akan tetapi unsur positifnya lebih banyak. Sebaliknya, antitesisnya mengandung di dalamnya



D



lebih banyak unsur yang negatif daripada yang positif, jikalau dibanding dengan tesisnya. Di dalam sintesisnya segala unsur positif dari tesis dan antitesis disintesiskan menjadi suatu kesatuan yang lebih tinggi. Sudah barang



U



tentu segi negatifnya masih ada juga, yaitu kemungkinan bahwa agama hanya menjadi “perkara pribadi” saja, sehingga mudah kehilangan rasa tanggung



M



jawab sosial, atau kurang ikut menjaga nilai moral politik, dan lain sebagainya. Mungkin melalui perkembangan yang lebih lanjut orang dapat sampai kepada suatu struktur, di mana timbul suatu hubungan dialogis di



M



antara negara dan agama, jadi bukan hanya suatu perpisahan saja.223 Sekarang marilah kita memandang beberapa contoh konkret sebagiannya berasal dari Hegel sendiri sebagiannya disadur untuk menerangkan maksudnya. Contoh pertama menyangkut tiga bentuk negara.



Y



Bentuk negara yang pertama ialah diktator: di sini hidup kemasyarakatan diatur dengan baik, tetapi para warga negara tidak mempunyai kebebasan apapun jua (tesis). Keadaan ini menampilkan lawannya: anarki (antitesis). Dalam bentuk negara ini para warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Tesis dan antitesis diperdamaikan dalam suatu sintesis, yaitu demokrasi konstitusional.



223



Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 100. 167



Dalam bentuk negara yang ketiga ini kebebasan para warga negara dijamin dan dibatasi oleh undang-undang dasar dan hidup kemasyarakatan berjalan dengan memuaskan (=sintesis). Dalam demokrasi konstitusional baik diktator maupun anarki menjadikan aufgehoben. Ini berarti bahwa dengan timbulnya demokrasi konstitusional kedua bentuk lain sudah lewat atau sudah tidak ada lagi. Tetapi itu berarti juga bahwa apa yang dinilai diktator dan anarki masih disimpan pada taraf lebih tinggi dalam demokrasi konstitusional. Yang bernilai dalam diktator ialah hidup kemasyarakatan yang teratur dan yang bernilai dalam anarki ialah kebebasan. Nah, kedua-duanya disimpan dalam demokrasi konstitusional tetapi demikian rupa sehingga sudah



D



diperdamaikan satu sama lain. Contoh kedua adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan



anak. Bagi suami, sang istri adalah yang lain dan bagi istri sang suami adalah



U



yang lain. Suami dan istri merupakan dua kutub yang bertentangan (tesis dan antitesis). Nah, anak dapat dianggap sebagai sintesis yang memperdamaikan



M



tesis dan antitesis tadi. Bagi suami, anak tidak merupakan yang lain begitu saja, sebab dalam anaknya ia mendapati sebagian dirinya sendiri. Bagi istri juga, anak tidak merupakan yang lain begitu saja, sebab dalam anaknya ia



M



menemui sebagian dirinya sendiri. Pertentangan antara suami dan istri sudah menjadi aufgehoben dalam si anak.



Contoh ketiga adalah tiga konsep yang sering dipakai dalam filsafat: “ada”, “ketiadaan”, “menjadi”. “Ada” merupakan tesis. Lawannya adalah



Y



“ketiadaan” yang merupakan antitesis. Tetapi pertentangan ini diperdamaikan dalam sintesisnya, yaitu “menjadi”. Apa sebabnya? Karena “menjadi” berarti sebagian ada sebagian tidak ada. Hal yang menjadi memang sudah ada tetapi belum sepenuh-penuhnya.224 “Jika



aku



merenungkan



konsep



“ada”,



aku



terpaksa



memperkenalkan konsep sebaliknya, “tiada”. Kamu tidak dapat merenungkan keberadaanmu tanpa segera menyadari bahwa kamu tidak akan selalu ada. 224



K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 74-75. 168



Ketegangan antara “ada” dan “tiada” menjadi cair dalam konsep “menjadi”. Sebab jika sesuatu itu sedang dalam proses menjadi, ia sekaligus ada dan tiada”, demikian contoh dialektika antara ada, tiada, dan menjadi secara artikulatif dari Jostein Gaarder dalam novel filsafat populernya, Dunia Sophie.225 Hegel secara konsekuen menggunakan metode dialektika, sehingga pembagian atas tiga hal tersebut berulang kali muncul dalam karya-karyanya. Secara general, Hegel membagikan sistemnya dalam tiga aspek: (1) Bagian pertama sistem Hegel adalah “logika”. Istilah ini dibuat Hegel mempunyai arti lain daripada yang biasa dimaksud dengannya. Logika adalah bagian filsafat



D



yang memandang Roh dalam dirinya; (2) “Filsafat alam” adalah bagian filsafat yang memandang roh yang sudah di luar dirinya sendiri atau yang sudah terasing dari dirinya sendiri; (3) Akhirnya bagian terakhir sistemnya



U



disebut “filsafat roh”. Di sini diuraikan bagaimana Roh kembali pada dirinya.226 Dari ketiga sistem filsafat Hegel tersebut, selanjutnya kita hanya



M



akan membahas tentang filsafat roh. 3. Filsafat Roh



Filsafat roh mempelajari bagaimana Yang Absolut mengenali



M



dirinya kembali, menjadi sesuatu yang ada “pada dan bagi dirinya”, atau ada yang berpikir tentang dirinya. Hegel menyebutnya “Roh”. Filsafat roh ini tentu saja dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama yang disebutnya Roh Subjektif, dia juga membagi menjadi tiga tahap. Tahap terendah adalah



Y



suatu peralihan dari Alam ke Roh. Peralihan itu terjadi dalam “jiwa” manusia. Tapi jiwa dimengerti sebagai subjek yang mengindrai. Tahap kedua yang lebih tinggi adalah “kesadaran diri”. Pokok-pokok Phanomenologie des Geistes diulang di sini. Pada tahap ketiga, dia bicara mengenai “pikiran” subjektif.



225



Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Jakarta, 1997), hlm. 400. 226 K. Bertens, Ringkasan Sejarah, hlm. 75. 169



Bagian kedua disebut “Roh Objektif”: Roh mengobjektifikasi diri dalam kehidupan sosial. Filsafat politik atau filsafat hukum dalam Grundlinien der Philosophie des Rechtes (Garis Besar Filsafat Hukum) tercakup di dalam tahap ini. Di sini pun Hegel membagi tiga tahap. Pada tahap pertama, Hegel bicara tentang “hak” (die Rechte). Dalam hak, kesadaran subjektif atau roh subjektif menyatakan diri dalam hal-hal material, misalnya: harta milik. Tahap ini dilanjutkan dengan sebuah alienasi dari hak itu dalam “kontrak” (Vertrag). Dalam kontrak, pernyataan kesadaran masingmasing pihak dipersatukan dengan sesuatu yang berasal dari luar keduanya, yaitu kontrak.



D



Kedua tahap itu disintesiskan dalam tahap ketiga, yaitu moralitas



(Moralitat). Di sini moralitas bukanlah kesadaran akan kewajiban konkret belaka, melainkan Hegel sudah mengabstraksinya menjadi kehendak bebas



U



yang sadar akan dirinya sendiri, suatu keseluruhan dari kehidupan etis manusia yang tidak hanya bersifat subjektif, tapi juga objektif. Terjadi



M



kesatuan antara subjektivitas dan objektivitas di dalamnya. Istilah yang dipakai Hegel “die Sittlichkeit” dan istilah ini mungkin bisa diterjemahkan dengan “kesusilaan”.



M



Hegel lalu menjelaskan bahwa kehidupan moral tampil dalam apa yang disebutnya “substansi etis”, yakni: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Pada tahap uraiannya mengenai Roh Objektif ini, filsafat hak berubah menjadi filsafat politik. Ketiga substansi etis ini, menurut Hegel, merupakan



Y



sintesis antara subjektivitas dan objektivitas yang sudah dicapai dalam moralitas. Juga substansi etis berkembang dalam tiga tahap institusional. Keluarga, sebagai tahap pertama, adalah sifat sosial roh manusia yang mengobjetifikasi diri. Tahap institusional ini paling rendah karena para anggotanya diikat dengan emosi. Kesatuan ini terancam hancur kalau anakanak menjadi dewasa dan rasional, dalam arti menjadi individu dan person. Karena itu muncul tahap berikut yang mengatasi kehancuran itu, yakni masyarakat sipil yang tersusun dari individu-individu yang mencapai



170



tujuan sendiri-sendiri. Karena itu dalamnya ada pembagian kerja, spesialisasi, dan seterusnya, serta keanekaan ini tidak menyebabkan kehancuran masyarakat karena masyarakat sendiri mengadakan institusionalisasi hukum. Dalam arti terakhir ini, negara menjadi tahap sintesis. Bagi Hegel sendiri sebenarnya masyarakat sipil tak pernah ada secara otonom. Yang ada adalah negara yang tersusun dari keluarga-keluarga dan masyarakat sipil. Ketiga substansi dipahami sebagai tiga aspek atau momen kehidupan sosial. Tahaptahap tidak dimengerti secara eksklusif (keluarga ada lebih dulu, lalu masyarakat sipil, dan sesudahnya negara), melainkan sebagai momen-momen dalam negara. Negara itulah “substansi etis yang sadar diri”. 227



D



Akhirnya kita memasuki bagian terakhir dari filsafat Roh yang juga



menjadi puncak tertinggi sistem Hegelian, yaitu Roh Absolut. Yang Absolut adalah Yang Ada, dan Yang Ada itu adalah Roh. Jika dalam bagian Roh



U



Subjektif, Roh dipandang “pada dirinya”, yaitu sebagai subjektivitas, dan dalam bagian Roh Objektif, Roh dipandang sebagai sesuatu yang



M



mengasingkan diri atau mengobjektikan diri dalam negara dengan segala insitusi sosialnya, dalam bagian terakhir ini Roh dipandang sebagai sebuah totalitas yang menyadari dirinya sendiri. Dari segi epistemologis, Roh Absolut



M



adalah Roh pada taraf pengetahuan absolut yang dijelaskan Hegel dalam Phanamenologie des Giestes. Tetapi dalam segi metafisis, Dia adalah Yang Absolut sendiri. Jadi, bagi Hegel Yang Absolut adalah pengetahuan absolut. Kemudian, karena pengetahuan disadari oleh manusia, kita juga bisa



Y



mengatakan bahwa pengetahuan manusia mengenai Yang Absolut identik dengan pengetahuan Yang Absolut mengenai dirinya. Dengan ini tidak dimaksudkan bahwa manusia adalah Yang Absolut, melainkan bahwa Yang Absolut itu menyadari dirinya sebagai Roh yang memikirkan dirinya melalui roh manusia. Bahwa Yang Absolut mengenali dirinya melalui roh manusia dapat dijelaskan sebagai berikut. Individu memiliki kesadaran diri yang berbeda dari 227



Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 190-191. 171



kesadaran individu lain. Kesadaran diri subjektif ini, menurut Hegel, bukanlah Yang Absolut, melainkan yang berada dalam Yang Absolut. Selama individu hanya menyadari dirinya dan menghadapi benda-benda dan kesadarankesadaran lain dalam oposisi dengan dirinya, dia belum memiliki pengetahuan absolut. Baru sesudah ia menyadari realitas sebagai suatu totalitas yang mencakup segala sesuatu, dia memiliki pengetahuan absolut itu. Akan tetapi, menurut Hegel pengetahuan absolut itu dicapai melalui sejarah pemikiran manusia. Sejarah pemikiran lantas adalah proses Roh menjadi sadar diri. Tetapi sejarah dilalui lewat kontradiksi-kontradiksi. Ada konflik antara negara-negara lebih dulu sebelum Volkgeist diatasi oleh Weltgeist. Dalam roh



D



dunia, Roh Absolut, atau Pengetahuan Absolut itu, terjadi apa yang sejak Schelling disebut “Identitas Absolut” antara subjetivitas dan obejektivitas pada tarap yang paling luhur.



U



Hegel lalu memperlihatkan bahwa Yang Absolut itu dapat dipahami dalam tiga bentuk pengetahuan, yakni: dalam pengetahuan tentang keindahan



M



(filsafat seni), dalam pengetahuan tentang Yang Kudus sejauh terungkap dalam bahasa religius (filsafat agama) dan dalam filsafat spekulatif (filsafat tentang filsafat). Tidak perlu dikatakan lagi bahwa ketiganya berhubungan



M



secara dialektis. Seni meningkat pada Agama, dan akhirnya meningkat pada Filsafat. Filsafat spekulatif dipahami sebagai filsafat tentang sejarah filsafat. Di sini Hegel merefleksikan secara spekulatif bagaimana pemikiranpemikiran yang muncul dalam sejarah filsafat berkembang secara dialektis



Y



dan tak lain daripada proses Roh yang sadar diri. Satu hal yang paling mengesankan dari seluruh sistem Hegel ini adalah akhir perjalanan sejarah itu, karena tidak jarang Hegel sendiri melukiskan sistem filsafatnya sebagai akhir dari perjalanan filsafat. Dengan demikian Hegel berpretensi bahwa dalam sistem terakhir itu pengetahuan absolut dicapai secara final, dan Roh Absolut pun menyadari diri dalam sistemnya.228



228



Ibid., hlm. 192-194. 172



G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik Sebagaimana setiap konstruksi epistemologi filosofis, idealisme pun memiliki keistimewaan sekaligus kekurangan. Berhubungan dengan Fichte, tidak dapat disangkal, bahwa Fichte adalah seorang pemikir yang penting. Ia memiliki daya pikir spekulatif yang kuat, sekalipun ia tidak setaraf dengan Kant. Ia membangun terus atas dasar yang telah diletakkan oleh Kant, dan ia menarik kesimpulan-kesimpulan dari dasar-dasar pikiran Kant. Filsafatnya menunjukkan suatu tahap-terusan, yang di satu pihak membawa kita kepada Schelling dan Schopenhauer, dan di pihak lain membawa kita kepada Hegel. 229



D



Sedangkan



Hegel



memberikan



kontribusi



terkenal



dengan



dialektikanya: sebagai upaya mengatasi kontradiksi antara tesis dan antitesis melalui sintesis, untuk kemudian sintesis juga mengalami kontradiksi baru



U



sehingga mesti dicari sintesis berikutnya, dan demikian seterusnya proses ini mengulangi dirinya sampai kesempurnaan terakhir tercapai.230 Bagi Hegel,



M



dialektika merupakan suatu proses yang dibutuhkan untuk membentuk kemajuan entah dalam pemikiran secara konseptual maupun dalam tataran dunia secara faktual. Yang juga khas bagi bagi proses ini adalah struktur



M



negativitasnya.



Kemajuan tercapai melalui penyangkalan. Setiap momen dalam positivitasnya adalah terbatas, berat sebelah, dan itu berarti, tidak adekuat, tidak sesuai dengan dirinya sendiri. Maka, momen itu merangsang



Y



penyangkalannya sendiri. Penyangkalan meskipun total (dalam arti: seluruh momen A disangkal oleh non-A), namun tidak memusnahkannya karena peyangkalan hanya dapat berada berdasarkan apa yang disangkal (pemenang tanpa yang kalah tidak ada). Maka, penyangkalan itu sendiri juga tidak benar karena, di satu pihak, penyangkalan itu menyangkal; dan di pihak lain, justru mengandaikan apa yang disangkal, maka perlu disangkal sendiri, dalam 229 230



Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 93. Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 241. 173



negasi terhadap negasi, dan hasilnya adalah A’, A, tetapi di tingkat lebih tinggi karena sudah dimurnikan dan dibenarkan oleh penyangkalnya. Dengan model dialektika ini, Hegel menjelaskan kemajuan dalam sejarah dan dalam pengertian kita tentang sejarah dan tentang apa saja. Kerangka ini membuka kemungkinan untuk mengerti negativitas secara positif dan itu berarti, kita dapat mengerti rasionalitas realitas.231 Itulah prinsip negativitas. Negativitas bagi Hegel bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Penyangkalan terhadap penyangkalan adalah positivitas. Akan tetapi, positivitas hanya dapat terjadi dalam proses negativitas. Kehebatan Hegel adalah bahwa ia, lebih tajam dari semua filosof sebelumnya (dimana Socrates



D



dan Nicolaus Cusanus disebut) menemukan nilai hakiki unsur negativitas bagi manusia.232



Sampai di sini, kita bisa memahami mengapa para filosof kritis dari



U



mulai Karl Marx, Marcuse, Adorno, sampai ke Habermas begitu memuja Hegel. Kiranya karena dalam dialektikanya, dalam prinsip negativitas, mereka



M



menemukan prinsip yang memungkinkan segala gerak kritis, bahkan yang memperlihatkan kritik sebagai unsur mutlak kemajuan, sebagai prasyarat kepositifan. Jadi, Hegel mendobrak secara prinsipil pendekatan filsafat yang



M



mau menjaga ketenangan, sebuah ketenangan yang sekarang diketahui palsu, yang hanya menahan kemajuan kepada rasionalitas dan kebebasan yang lebih besar, karena mengidentikkan kepositifan dengan kemapanan beberapa unsur beruntun dalam keseluruhan.



Y



Hegel yang secara mendalam melihat bahwa hanya keterbukaan, kritik, dan kritik terhadap kritik dapat membuka perspektif terhadap manusia. Ditempatkan ke dalam kerangka pengalaman penindasan dan ketidakadilan— yang oleh filsafat kritis lebih diberi fokus daripada oleh Hegel—prinsip dialektika menunjukkan bagaimana keadaan itu dapat disangkal, tidak dengan



231



Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat Kanisius, 2005), hlm. 79. 232 Ibid., hlm. 84.



(Yogyakarta:



174



meniadakan segala yang telah tercapai, melainkan dengan justru mengakatnya kepada tingkat kebenaran yang lebih tinggi. Bahwa Hegel sendiri kadangkadang inkonsisten tidak berarti apa-apa terhadap ketajamannya yang satu itu: Menemukan bahwa positivitas budaya manusia hanya dapat dibangun melalui gerak negativitas, jadi bahwa negativitas pada hakikatnya adalah positif. 233 Kendati demikian di samping memuja, sebagian besar filosof kritis juga mengkritik idealisme Hegel. Salah satu kritik fundamental dilontarkan oleh Karl Marx. Kritik Marx diawali dengan pertanyaan kritis: Apakah sesudah Hegel orang masih mungkin berfilsafat secara kreatif dan orisinal? Apakah “sesudah filsafat yang total manusia masih dapat hidup?” Bukankah



D



Hegel sudah memikirkan segala-galanya? Apakah filsafat pasca-Hegel harus membatasi diri pada beberapa catatan kaki atas karya Hegel serta tambahan dan perbaikan sana-sini?



U



Jawaban atas pertanyaan itu tidak lepas dari pertanyaan kedua: Bagaimana filsafat pengetahuan absolut dapat disesuaikan dengan kenyataan



M



bahwa dunai sendiri kelihatan sama sekali tidak filosofis? Artinya, situasi politik dan sosial di Prussia pada waktu itu semakin menjadi reaksioner, kebebasan-kebebasan yang diberikan pada waktu perang melawan Napoleon



M



satu demi satu dicabut kembali. Realitas kelihatan kebalikan dari apa yang digambarkan oleh Hegel. “Jadi dunia terpecah setelah berhadapan dengan sebuah filsafat total”. Lantas apa hubungan negara rasional Hegel itu dengan realitas?



Y



Cara Marx mendeteksi dua pertanyaan itu merangkum dan mempertajam apa yang sudah menjadi arah pemikiran kaum Hegelian Muda lainnya: sudah tiba saatnya agar filsafat menjadi praktis. Tuntutan itu dijelaskan Marx dengan dua cara yang saling melengkapi. Pertama, filsafat yang telah mencapai tingkat universalitas tinggi, filsafat Hegel, perlu menjadi api yang memakan habis dunia. “Apa yang merupakan cahaya batin menjadi api panas yang berpaling keluar. Kesimpulannya bahwa kalau dunia menjadi 233



Ibid., hlm. 85. 175



filosofis, filsafat sekaligus menduniai”. Sedangkan bahwa Hegel tidak melihat keterbatasan filsafatnya (keterbatasan pada alam teoritis), menurut Marx harus dimengerti atas dasar filsafat Hegel sendiri. Filsafat Hegel sendiri baru merupakan salah satu tahap dalam perkembangan Roh, yaitu tahap teoritis. Maka tahap itu berarti: filsafat Hegel perlu disangkal secara dialektis. Tesis Hegel bahwa filsafatnya adalah pengetahuan absolut harus disangkal oleh tindakan praktis. Filsafat Hegel belum absolut karena keabsolutannya hanya dalam teori, sedangkan realitas sosial-politik masih belum tersentuh filsafat. Pengetahuan absolut baru absolut kalau realitas sendiri menjadi kerajaan kebebasan.



D



Dengan demikian, Marx dapat membuka tugas baru bagi si filosof:



ia harus menjadi sarana perealisasian filsafat. Sang filosof harus mengambil api kontemplasi di gunung Olympus filsafat dan melemparkannya kepada



U



umat manusia sebagaimana Promethues dalam mitos Yunano mencuri api dari Olympus para dewa. Jadi filsafat Hegel sudah total, tetapi hanya secara



M



teoritis. Totalitas sungguh-sungguh baru tercapai kalau filsafat menjadi kekuatan praktis, kekuatan yang nyata-nyata mengubah dunia.234



Y



M 234



Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 63-64. 176



BAB 6



D



EPISTEMOLOGI MATERIALISME HISTORIS



A. Pengantar



U



“Philosophers have only interpreted the world in different ways; the point is to change it”.235



Diktum yang keluar dari lisan Karl Marx ini dan sampai kini masih



M



terpahat abadi di pusaranya, menjadikan filsafat yang diusung oleh Karl Marx memiliki karakteristik berbeda dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya. Jika wacana



filsafat-filsafat



sebelumnya



menguraikan



kecanggihan



dan



M



kompleksitas pemikiran dalam tataran filosofis, maka Marx hendak membawa wacana filsafat ke dalam tataran praktis. Bagi Marx, setiap konsepsi filosofis harus membawa misi emansipatoris praktis yang membebaskan manusia dari



Y



dominasi terselubung yang dilakukan oleh kalangan elit kapitalis. Para filsuf tidak boleh hanya sibuk dengan kenikmatan intelektual dalam menafsirkan dunia secara filosofis, padahal tujuan filsafat yang hakiki adalah merubah wajah dunia yang eksplotatif menjelma keadilan yang bersifat distributif. Dengan alasan inilah, wacana filsafat tidak boleh melangit tapi harus turun ke bumi untuk kepentingan orang-orang yang tertindas.



235



Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus: 2007), hlm. 221. 177



Dalam konteks Eropa pada zaman Karl Marx hidup, industrialisasi sedang meningkat. Orang dipaksa meninggalkan pertanian dan keterampilan tangan dan bekerja di pabrik-pabrik dengan konsdisi-kondisinya yang sering akli sangat keras. Pada 1840-an, ketika Marx sedang memasuki periode yang paling produktifnya, Eropa sedang mengalami perasaan kritis sosial yang tersebar luas. Pada tahun 1848 serangkaian pemberontakan melanda seluruh Eropa (segera sesudah penerbiatan karya Marx dan Engels Communis Manifesto).



Efek-efek



industrialisasi



dan



implikasi-implikasi



politis



industrialisasi secara khsusu tampak di sebagian besar negara pedesaan yang secara kolektif disebut Jerman.



D



Pada permulaan abad ke sembilanbelas, barang-barang hasil pabrik



yang murah dari Inggris dan Prancis mulai memaksa para pengusaha pabrik yang kurang efisien di Jerman keluar dari dunia bisnis. Sebagai jawabannya,



U



para pemimpin politis negara-negara Jerman memaksakann kapitalisme kepada masyarakat yang sebagian benar masih feodal. Timbullah kemiskinan,



M



dislokasi, dan alienasi yang sangat nyata akibat kecepatan perubahan itu. Analisis Marx atas alienasi adalah respons terhadap perubahanperubahan ekonomis, sosial, dan perubahan-perubahan politis yang disaksikan



masalah filosofis.



Dia



ingin



M



Marx terjadi di sekitarnya. Dia tidak memandang alienasi sebagai suatu memahami



perubahan-perubahan yang



dibutuhkan untuk menciptakan suatu masyarakat yang dapat mengungkapkan potensi manusia secara memadai. Wawasan Marx yang penting ialah bahwa



Y



sistem ekonomi kapitalis adalah penyebab utama alienasi. Karya Marx mengenai hakikat manusia dan alienasi menyebabkan dia mengkritik masyarakat kapitalis dan membuat program politis yang berorientasi mengatasi struktur-struktur kapitalisme agar manusia dapat mengungkapkan kemanusiaanya yang hakiki. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja yang menghasilkan sedikit komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki segala hal berikut ini: komoditi, alat-alat produksi



178



komoditi, dan waktu kerja kaum pekerja, yang dibeli melalui upah. Salah satu dari wawasan sentral Marx ialah bahwa kapitalisme jauh lebih dari sekedar sistem ekonomi. Kapitalisme juga adalah sistem kekuasaan. Rahasia kapitalisme ialah bahwa kekuasaan politis telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Kaum kapitalis jarang membutuhkan penggunaan paksaan kasar. Kaum kapitalis mampu memaksa para pekerja melalui kekuasaan mereka untuk memecat para pekerja dan menutup pabrik. Oleh karena itu, kapitalisme bukan hanya suatu sistem ekonomi; ia juga adalah suatu sistem politis, suatu cara melaksanakan kekuasaan, dan suatu proses untuk mengeksploitasi para pekerja.



D



Di dalam suatu sistem kapitalis, ekonomi tampak sebagai suatu



kekuatan alamiah. Orang-orang diberhentikan, upah dikurangi, dan pabrikpabrik ditutup karena “ekonomi”. Kita tidak melihat peristiwa-peristiwa itu



U



sebagai hasil keputusan-keputusan sosial atau politis. Keterkaitan antara penderitaan manusia dan struktur ekonomi dianggap tidak relevan atau sepele.



M



Contohnya, Anda mungkin membaca di koran bahwa Dewan Cadangan Federal Amerika Serikat telah menaikkan suku bunga. Alasan yang sering diberikan untuk tindakan tersebut ialah bahwa ekonomi “terlalu panas”, yang



M



berarti ada kemungkinan inflasi. Apakah kenaikan suku bunga benar-benar “menyejukkan” ekonomi? Bagaimana cara penaikan itu melakukannya? Ia membuat sejumlah orang kehilangan pekerjaan. Hasilnya, para pekerja menjadi takut meminta upah yang lebih tinggi, yang dapat



Y



memunculkan harga-harga yang lebih tinggi, yang menyebabkan pertambahan suku bunga tambahan dan membuat lebih banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, inflasi dihindarkan. Dengan kenaikan suku bunga, Dewan Cadangan Federal menyetujui kebijakan yang membantu kaum kapitalis dan merugikan para pekerja. Akan tetapi, keputusan itu biasanya digambarkan sebagai keputusam ekonomi semata. Marx akan mengatakan bahwa itu adalah suatu keputusan politis yang menguntungkan kaum kapitalis dengan mengorbankan kaum pekerja.



179



Tujuan Marx membuat struktur-struktur sosial dan politis ekonomi lebih jelas dengan menyingkapkan “hukum pergerakan ekonimi masyrakat modern”.



Selanjutnya



Marx



bermaksud



menyingkapkan



kontradiksi-



kontradiksi internal yang diharapkam akan mentransformasi kapitalisme secara tidak terhindarkan.236 Karena itu, dalam bab ini kita akan membahas pemikiran materialisme historis Karl Marx yang meliputi wacana-wacana tentang infrastruktur dan suprastruktur, mode-mode produksi, ideologi dan revolusi sosial, serta diakhiri dengan kesimpulan yang berisi apresiasi dana catatam kritis terhadap materialisme historis yang diusung oleh filsuf revolusioner tersebut.



D



B. Biografi Karl Marx Karl Marx lahir di Trier dan belajar



filsafat di Berlin. Sejak 1841 ia bekerja di jurnal kaum radikal, Rheinische Zeitung. Pada



M



U



hukum di Universitas Bonn, lalu sejarah dan



1842 Marx menikah dan pindah ke Paris, tempatnya bertemu Engels. Karya utamanya



M



pada masa ini adalah teks yang sekarang dikenal



sebagai



The



Economic



and



Philosophical Manuscripts of 1844. Selama periode ini ia menjauhhan diri dari para Hegelian muda, dan mempelajari



Y



karya ekonom politik Inggris Adam Smith, David Ricardo (1772-1823), dan James Mill. Dalam Manuscripts, Marx memperkenalkan konsep utamanya, alienasi,



dan



menyoroti



tradisi



ekonomi



politik



yang



menjadikan



ketidaksetaraan sebagai fakta alaminya, gagal memahami kreasi sosialnya. Theses on Feuerbach (1845) dan German Ideology (1846) memulai fokus Marx terhadap bentuk-bentuk yang berbeda dari masyarakat manusia, dan 236



George Ritzer, Teori Sosiologi, terj. Saut Pasaribu, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 92-94. 180



suksesi revolusioner mereka sebagai resposn terhadap “kotradiksi” atau tegangan yang tidak terselesaikan di antara kelas yang berbeda, atau kekuatan produktif di masyarakat. Pada 1848, Marx menetap di London, tempatnya menulis semua karyanya yang paling terkenal, dimulai dari The Commnunist Manifesto, lalu pemahaman teoritis Marx tentang masyarakat manusia dan ekonominya dalam monumen terakhirnya, Capital.237 Dalam The German Ideology Marx meninggalkan gaya bicara humanistik. Ia menegaskan bahwa sosialisme, penghapusan hak milik pribadi, bukan sekedar tuntutan etis, melainkan keniscayaan objektif. Marx mengklaim bahwa ia menemukan hukum yang mengatur perkembangan



D



masyarakat dan sejarah, dan hukum itu adalah prioritas bidang ekonomi. Karena itu, Marx menyebut anggapannya “pandangan sejarah yang materialistik”. Mulai saat itu Marx menanggap dirinya sebagai penemu



U



“sosialisme ilmiah”, artinya sosialisme yang tidak berdasarkan harapan dan tuntutan belaka, melainkan berdasarkan analisis ilmiah terhadap hukum



M



perkembangan masyarakat. Dalam buku ini Marx merumuskan premis dasar bahwa bidang ekonomi menentukan bidang politik dan pemikiran manusia, bahwa bidang ekonomi ditentukan oleh pertentangan antara kelas-kelas



M



pekerja dan kelas-kelas pemilik, bahwa pertentangan itu dipertajam oleh kemajuan teknis produksi, dan bahwa pertentangan itu akhirnya meledak dalam sebuah revolusi yang mengunah struktur kekuasaan di bidang ekonomi serta mengubah struktur kenegaraan dan gaya manusia berpikir.



Y



Ia menyatakan bahwa kapitalisme pun akan berakhir dalam sebuah revolusi, tetapi revolusi itu, berbeda dari semua revolusi sebelumnya, akan menghapus perpecahan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, dan dengan demikian memghapus hak milik pribadi dan menghasilkan masyarakat yang sosialis. Buku The German Ideology memuat



237



Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm.535. 181



rumusan pertama “Materialisme Historis”, pandangan inti Marxisme. 238 Ketika Karl Marx meninggal di London pada tanggal 14 Maret 1883, hanya delapan orang yang berdiri di sisi makamnya. 239 C. Infrastruktur dan Suprastruktur Materialisme historis adalah pendekatan teoritis terhadap kehidupan sosial yang dikembangkan sebagai perlawanan langsung terhadap idealisme yang saat itu banyak berkembang dalam filsafat Jerman. Walaupun materialisme historis dibangun terutama sebagai alat untuk memahami masyarakat kapitalis modern, Marx dan Engels menganggapnya dapat diterapkan juga terhadap seluruh kehidupan masyarakat manusia, baik masa



D



lalu maupun masa kini. Marx dan Engels membagi masyarakat manusia ke dalam dua



komponen pokok. Salah satu diantaranya disebut sebagai infrastruktur,



U



kadang-kadang disebut juga pola produksi. Selanjutnya infrastruktur dibagi ke dalam dua kategori: kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan



M



produksi. Kekuatan-kekuatan produksi terdiri dari bahan-bahan mentah yang diperlukan masyarakat dalam produksi ekonomi: tingkat teknologi yang tersedia dan sifat khusus dari berbagai sumber daya alam, seperti kualitas



M



tanah. Hubungan-hubungan produksi merujuk kepada pemilikan atas kekuatan-kekuatan produksi. Marx dan Engels menyatakan bahwa pada sebagian masyarakat, kekuatan-kekuatan produksi dimiliki secara komunal oleh seluruh masyarakat, tetapi dalam masyarakat lain pemilikan pribadi atas



Y



kekuatan produksi telah terjadi. Kelompok yang memegang kekuatankekuatan produksi dapat memaksa kelompok-kelompok lain bekerja untuk mereka. Marx dan Engels menyatakan bahwa beberapa bentuk hubungan pribadi dalam produksi yang berbeda terjadi dalam berbagai masyarakat yang berbeda.



238



Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 51-52. 239 Ibid., hlm. 55. 182



Komponen penting lain dalam masyarakat yang diidentifikasi oleh Marx dan Engels adalah suprastruktur. Komponen ini terdiri dari semua aspek kehidupan masyarakat yang tidak termasuk dalam infrastruktur, seperti politik, hukum, kehidupan keluarga, agama serta gagasan dan cita-cita. Marx dan Engels berpendapat bahwa infrastruktur dan suprastruktur masyarakat saling berkaitan. Walaupun dinyatakan bahwa suprastruktur terkadang dapat mempengaruhi infrastruktur, mereka menegaskan bahwa arus utama hubungan kausal itu bergerak dari infrastruktur ke suprastruktur. Dengan kata lain, mereka percaya, pola-pola pikiran dan tindakan manusia yang terdapat dalam suprastruktur masyarakat pada umumnya dibentuk oleh ciri-ciri



D



infrastruktur masyarakat tersebut. Mereka juga memandang bahwa perubahan sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan yang terjadi di dalam infrastruktur masyarakat.240



U



Dengan demikian, prinsip dasar pandangan materialis sejarah dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bukan kesadaran manusia yang menentukan



M



keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”.



Menurut Karl Marx, yang menentukan perkembangan masyarakat



M



bukan kesadaran, jadi bukan apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya sendiri, melainkan keadaan masyarakat yang nyata: “Berlawanan dengan filsafat Jerman yang turun dari surga ke bumi, di sini kami naik dari bumi ke surga. Artinya, kami tidak menolak dari apa yang dikatakan orang, dari



Y



bayangan dan cita-cita orang, juga tidak dari orang diperkatakan, dipikirkan, dibayangkan, dicita-citakan untuk sampai kepada manusia nyata; (melainkan) kami bertolak dari manusia yang nyata dan aktif, dan dari proses hidup nyata merekalah perkembangan refleks-refleks serta gema-gema ideologis proses hidup itu dijelaskan. Anggapan Marx itu memuat dua pernyataan: pertama



240



Stephen K Sanderson, Makro Sosiologi, terj. Farid Wajidi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 7-8. 183



sebuah pernyataan tentang keadaan masyarakat; kedua, penyataan bahwa keadaan itulah yang menentukan kesadaran manusia dan bukan sebaliknya”. Apa “keadaan masyarakat” atau “keadaan sosial” itu? Keadaan sosial manusia adalah produksinya, pekerjaannya. “Manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan, mau pun cara mereka berproduksi. Jadi individu-individu tergantung pada syarat-syarat material produksi mereka”. Di lain tempat Marx menjelaskan: “Penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat kaum kapitalis industrial”. Pandangan ini disebut materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi Marx memakai kata materialisme bukan dalam arti



D



filosofis, sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjuk pada faktor yang menentukan sejarah. Dan itu bukan pikiran, melainkan “keadaan material” manusia, dan keadaan material



U



itu bukan, sebagaimana yang mungkin akan kita duga, unsur seperti ras, iklim, cara makan, dan sebagainya, melainkan produksi kebutuhan material manusia.



M



Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup itulah yang disebut keadaan manusia.



Nah, cara itulah yang juga menentukan kesadaran manusia. Menurut



M



Marx, cara manusia berpikir ditentukan oleh cara ia bekerja. “Kesadaran (Bewuβtsein) tidak mungkin lain dari keadaan yang disadari (das bewuβte Sein), dan keadaan manusia adalah proses manusia yang sungguh-sungguh”. Jadi untuk memahami sejarah dan arah perubahannya, kita tidak perlu



Y



memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, melainkan bagaimana bekerja, bagaimana ia berproduksi. 241



Maka bagi Marx, hidup rohani masyarakat, kesadarannya, agamanya, moralitasnya, nilai-nilai budaya, dan seterusnya bersifat sekunder, karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyarakat, dan



241



Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 138-140. Bandingkan dengan Andy Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. 133. 184



pola produksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia, melainkan oleh cara ia menjalankan produksinya. Karena itu, perubahan masyarakat tidak dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran, melainkan oleh perubahan dalam cara produksi. 242 Selanjutnya, mari sekarang kita melihat “kerangka klasik” pengertian Marx tentang masyarakat yang merupakan inti pandagan materialis sejarah. Kerangka itu dirumuskan oleh Marx dalam teks yang paling termasyhur dari segala tulisannya, yang ditemukan dalam prakata bukunya Contribution to the Critique of Political Economic (Zur Kritik der politischen Okonomie) dari tahun 1859. Marx menulis:



D



“Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki



hubungan-hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu



U



tenaga-tenaga produktif materialnya. Jumlah seluruh hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomis masyarakat, dasar nyata di mana di



M



atasnya timbul suatu bangunan atas yuridis dan politis dan dengannya bentukbentuk kesadaran sosial tertentu bersesuaian. Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politi, dan spiritual pada



M



umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”.



Dalam konteks ini Marx membagikan lingkup kehidupan manusia



Y



dalam dua bagian besar, yang satu adalah “dasar nyata” atau “basis” dan yang lain adalah “bangunan atas”. Dasar atau basis itu dalah bidang “produksi kehidupan material”, sedangkan bangunan atas adalah “proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual”. Kehidupan bangunan atas ditentukan oleh kehidupan dalam basis. a. Basis



242



Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 141-142. 185



Mari kita melihat basis terlebih dulu. Basis ditentukan oleh dua faktor: tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Apa yang dimaksud dengan dua istilah yang amat penting itu? Tenaga-tenaga produktif (Produktikrafte) adalah kekuata-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam. Ada tiga unsur yang termasuk tenaga-tenaga produktif: alat-alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi (teknologi). Hubungan-hubungan produksi (Produktionsverbaltnisse) adalah hubungan kerja sama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga



D



memakai istilah “lalu lintas” (Verkebr). Yang dimaksud bukan hubungan antara orang yang kebetulan berkerja berdampingan, melainkan struktur pengorganisasian sosial produksi. Misalnya, pemilik modal dan pekerja.



U



Setelah zaman purba, hubungan-hubungan produksi selalu berupa hubungan kelas, tepatnya struktur kelas yang konkret dan terperinci dari sebuah



M



masyarakat. Ciri khas basis adalah pertentangan antara kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Dan karena struktur kelas pada hakikatnya ditentukan oleh sistem hak milik, hubungan-hubungan produksi itu sama juga dengan



M



hubungan hak milik.



Yang penting adalah bahwa menurut Marx, hubungan-hubungan produksi ditentukan oleh tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif: “Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan-



Y



hubungan tertentu yang mutlak dan tidak tergantung pada kemauan mereka; hubungan-hubungan ini sesuai dengan tingkat perkembangan tertentu tenagatenaga produktif materialnya”. Struktur kelas masyarakat bukan sesuatu yang kebetulan, melainkan ditentukan oleh tuntunan efisiensi produksi, jadi oleh tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif. Bochenski menjelaskan maksud Marx sebagai berikut: “Kalau misalnya



sekelompok orang



mengangkap ikan dari sebuah perahu, dengan sarana-sarana tertentu, misalnya dengan jala, satu orang harus memberi komando, yang lain memegang



186



kemudi dan seterusnya. Apabila pola alat kerja dan cara produksi sudah ada, hubungan-hubungan produksi tertentu terbentuk dengan niscaya dan tidak tergantung dari kemauan orang”. Maka yang pertama menentukan hubungan-hubungan produksi atau struktur kelas sebuah masyarakat adalah tenaga-tenaga produktif. Dalam teks di atas, Marx menegaskan bahwa hubungan-hubungan itu tidak tergantung pada kemauan orang, melainkan pada tuntunan objektif produksi. Dengan demikian Marx merasa dapat menganalisis perkembangan masyarakat secara ilmiah. Tetapi apakah alat-alat kerja sendiri bukan ciptaan manusia? Kita



D



akan segera membahas pertanyaan ini. Untuk sementara cukuo dicatat bahwa alat-alat kerja dikembangkan bukan menurut selera manusia, melainkan di bawah tekanan untuk berproduksi dengan semakin efisien. Jadi ada faktor



U



objektif juga. Tingkat perkembangan alat-alat kerja tidak tergantung pada kesewenangan manusia, melainkan mengikuti logika internal insting manusia



M



untuk mempertahankan diri. Dalam arti itu, perkembangan alat-alat kerja dan tenaga-tenaga produktif pada umumnya memang mutlak. b. Bangunan Atas



M



Mari kita sekarang masuk ke dalam bangunan atas. Bangunan atas terdiri dari dua unsur: tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif atau, dalam bahasa Marxisme, “bangunan atas ideologis”. Yang dimaksud dengan tatanan institusional adalah segala macam



Y



lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar bidang produksi, jadi organisasi sebuah pasar, sistem pendidikan, sistem kesehatan masyarakat, sistem lalu lintas, dan terutama sistem hukum dan negara. Kita akan berfokus pada negara, termasuk hukum. Sedangkan tatanan kesadaran kolektif memuat segala sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai yang memberikan kerangkan pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia. Di sini termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas masyarakat, nilai-nilai budaya, seni, dan sebagainya.



187



Pembagian keseluruhan bidang kehidupan manusia ke dalam bidang produksi (di mana manusia memiliki kesibukan secara nyata dan individual), bidang institusi-institusi (yang memastikan peran masing-masing dan memberi kerangka organisatoris kepada kesibukan itu), dan bidang kepercayaan serta nilai-nilai (yang memberikan makna kepadanya) cukup masuk akal. Tetapi, mengapa yang satu, bidang produksi, dianggap basis yang menentukan, sedangkan dua bidang lain, institusi-institusi dan kepercayaan dan nilai-nilai dianggap bangunan atas? Sebagian jawabannya telah kita lihat dalam bab sebelumnya. Marx bertolak dari pengandaian bahwa institusi-institusi, agama, moralitas, dan



D



sebagainya ditentukan oleh struktur kelas dalam masyarakat. Menurut Marx negara selalu mendukung kelas-kelas atas, dan agama serta sistem nilai lainnya memberikan legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas itu.



U



Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Marx, kita perlu memperhatikan bahwa hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu



M



berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis. Hubungan-hubungan produksi ditandai oleh kenyataan bahwa bidang produksi dikuasi oleh para pemilik. Teori tentang basis dan bangunan atas



M



berarti bahwa struktur-struktur kekuasan politis dan ideologis ditentukan oleh struktur hubungan hak milik, jadi oleh struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Itulah inti konsepsi Marx tentang basis dan bangunan atas. Kita sudah melihat arti kaitan ini. Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik,



Y



juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas. Dalam arti ini struktur kekuasaan politis dan spiritual dalam masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi.243



243



Ibid., hlm. 142-147. 188



D. Perkembangan Sejarah dan Mode Produksi Semua perkembangan sejarah umat manusia, sejark era klasik hingga kini mengorganisasi cara-cara memproduksi benda-benda material yang disebut Karl Marx sebagai mode produksi. Menurut Marx, dalam perkembangan sejarah ada lima macam mode produksi yaitu komunis primitif, kuno (perbudakan), feodal, kapitalis, dan komunis. Berbeda dengan mode komunis primitif dan komunis, ketiga mode lainnya memiliki ciri khas, yaitu produksi benda material itu berbasis kelas. Meskipun istilah “kelas” memiliki kegunaan yang berbeda di mana saja dalam sosiologi (dan dalam segala macam penggunaan dalam pembicaraannya) penggunaan Marxis cukup



D



spesifik. Menurut Marx, pada semua masyarakat non-komunis—pada mode kuno, feodal, dan kapitalis—hanya ada dua kelas yang penting. Ada kelas yang memiliki sarana produksi—ini menjadi harta kekayaan mereka—dan ada



U



kelas yang tidak memiliki.



Dalam sistem produksi yang berbasis kelas, barang-barang



M



diproduksi dengan cara yang cukup pasti. Mayoritas orang yang tidak memiliki sarana produksi, melalukan pekerjaan produktif untuk kepentingan pihak minoritas yang memiliki sarana produksi. Dalam teori Marxis, ini



M



adalah ciri kunci masyarakat non-komunis setiap masa dalam sejarah. Produksi barang material (aktivitas manusia yang paling penting), selalu terjadi dengan melakukan eksploitasi tenaga kerja mayoritas, yakni kelas yang tidak memiliki sarana produksi oleh kelas minoritas, yang memiliki sarana



Y



produksi dan tidak mengerjakan sendiri. Jadi, hubungan antar kelas adalah hubungan konflik.



Tidak ada kelas pada mode komunis, baik komunis primitif maupun komunis. Pada masyarakat komunis primitif, masyarakat tidak memproduksi surplus. Ini biasanya karena lingkungan yang tidak bersahabat, atau karena kekurangan teknologi know how atau kombinasi keduanya. Karena warga masyarakat hanya mungkin memproduksi kebutuhan secukup hidup, setiap orang harus bekerja. Tidak ada kekayaan yang surplus, karena itu tidak



189



memungkinkan munculnya kelas untuk mengeksploitasi orang lain. Pada mode komunis tidak ada kelas karena kekayaan pribadi dihapuskan—orang tidak bisa memilih sendiri sarana produksi. Karena pada mode produksi berbasis kelas barang-barang dihasilkan dalam cara eksploitatif ini, dalam tulisan-tulisan Marxis pemilik sarana produksi biasanya disebut kelas dominan, sedangkan kelas yang memiliki, namun dieksploitasi untuk melakukan pekerjaan produktif, disebut kelas subordinat. Menurut Marx, sejarah masyarakat manusia adalah sejarah berbagai macam sistem produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Dikatakanya bahwa kita dapat membagi sejarah setiap masyarakat ke dalam episode (epoch) atau



D



masa, yang setiap masa itu didominasi oleh mode produksi tertentu, dengan hubungan kelas khas tersendiri. Semua masyarakat sebenarnya akan melalui semua tahap ini dalam sejarah, dan tidak semuanya akan menjadi komunis.



U



Namun, tidak semua masyarakat berevolusi dengan kecepatan yang sama. Itulah sebabnya mengapa pada suatu masa tertentu dalam sejarah berbagai



M



masyarakat menunjukkan mode produksi yang berbeda-beda—berbagai masyarakat tersebut berbeda pada tahap perkembangan sejarah yang berbedabeda.



M



Apa yang membedakan mode-mode produksi satu sama lain? Semua mode non-komunis mempunyai kesamaan produksi barang-barang dengan menerapkan dominasi dan eksploitasi suatu kelas terhadap kelas yang lain. Yang membedakan dalam setiap kasus adalah siapa anggota kelas dominan,



Y



yang memiliki kekayaan, yang berbeda; demikian pula kelas subordinat, yang dieksploitasi, yang tidak memiliki kekayaan, yang berbeda pula. Selanjutnya, setiap mode tumbuh untuk menyebabkan kematian mode yang lain. 244 Mari kita lihat tahap-tahap perkembangan sejarah umat manusia bersama dengan mode produksi yang mengiringinya. Pertama, masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang 244



Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, terj. Achmad Fedyani Saifudin (Jakarta: Obor, 2009), hlm. 78-80. 190



sifatnya sangat sederhana. Alat produksi itu bukan milik pribadi (perseorangan), tetapi menjadi milik komunal. Patut dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi di atas tingat konsumsi, karena setiap orang masih mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi—periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan alat produksi pada saat yang sama menimbulkan perubahan-perubahan sosial, pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meski mekanisme pasar yang



D



diciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan mengasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat, diperlukan kemudian kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti mulai tercipta hubungan produksi



U



(relation of production) dalam masyarakat komunal itu.245 Kedua, masyarakat perbudakan. Masyarakat ini muncul dari mode



M



komunis primitif yang subsistem terutama karena perbaikan teknologi. Sebagai contoh, pada zaman Besi manusia mengembangkan teknik-teknik produktif yang memungkinkan untuk pemiaraan hewan secara khsusus dan



M



produksi pertanian menetap. Hal ini kemudian mendorong produksi surplus, dan mendorong pembagian kerja yang lebih kompleks, lebih memungkinkan daripada ekonomi subsitensi. Akibatnya, suatu kelas dominan yang bukan produsen dapat muncul.



Y



Ciri menonjol dari mode produksi ini adalah bahwa manusia dimiliki sebagai kekayaan oleh sebagian orang yang lebih berkuasa. Jadi, inilah produksi yang berbasis perbudakan. Pada masa ini terdapat kelas dominan majikan dan kelas subordiant yaitu budak. Produksi terjadi dengan menggunakan tenaga manusia secara paksa, karena mereka dimiliki sebagai kekayaan oleh sebagian orang. Yunani Kuno dan Romawi adalah contoh klasik perbudakan sebagai mode produksi. Pada kerajaan Yunani dan Romawi 245



Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 134-135. 191



sepertiga penduduk adalah budak. Sebagian besar budak pada mulanya sebagai tahanan perang, sebagai akibat dari imperialisme kedua kerajaan ini pada masa itu. Salah satu alasan utama mengapa mode produksi kuno akhirnya ambruk karena kekuasaan negara mengalami kemerosotan. Semakin lama semakin sukar bagi negara untuk mengontrol penduduk yang tinggal di bagian-bagian jajahan yang jauh. Sehingga perbudakan sebagai mode produksi lambat laun menghilang karena tidak relevan lagi. 246 Marx menilai bahwa pada tingkat perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budah sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang



D



dimilikinay. Namun pada saat itu pula budak makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul ketidakpuasan atas kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini menjadi awal



U



perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi. Ketiga, tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah



M



runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilik alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang berasal dari



M



kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang



Y



layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat—puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis—yaitu kelas feodal tuan tanah yang menguasai perhubungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanag dimaksud. Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar 246



Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 80-81. 192



sektor (bidang usaha) penghasilannua lewat pendirian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki hapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh segala cara untuk terbentuknya pasar bebas—yang menyangkut di dalamnya baik sektor buruh—sistem kerja dan penggajian—maupun ketentuan tarip pertukaran barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses dialektika sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat



D



feodal yang memang tidak mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis. 247



Keempat, masyarakat kapitalis yang memiliki karakter kelas yang



U



baru. Tenaga kerja dari suatu kelas pekerja yang tak memiliki tanah—kaum proletar, demikian istilah Marx—dapat dibeli oleh kelas majikan yang



M



memiliki segalanya, yang oleh Marx disebut kaum borjuis. Oleh sebab



itu



kapitalis



di



Inggris



berkembang



sebelum



industrialisasi, hasil pertanian produksi untuk pertama kali dalam cara



M



kapitalisma. Barulah kemudian, ketika pabrik-pabrik dibangun dan mesinmesin industri dikembangkan, maka kapitalisme industri menjadi mantap dan proletar perkotaan pun muncul. Pada masyarakat kapitalis, karakter kepemilikan di mana kaum kapitalis menanamkan kekayaannya, tentu saja



Y



berubah. Pada masa permulaan kapitalisme, sebagaimana yang kita catat, kepemilikan produktif terutama dalam bentuk tanah, di mana kaum proletar bekerja dengan upah rendah mengolah tanah tersebut. Kemudian produksi industrial mendorong munculnya investasi kapitalis pada pabrik-pabrik dan mesin-mesin, sedangkan proletar dengan upah rendah tertinggal sebagai tenaga kerja industri manual saja. Barulah kemudian pula, kapitalisme memperoleh bentuk khas kapitalisme industri kontemporer. Pada masa kini, 247



Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 136-137. 193



kepemilikan sarana produktif biasanya mengambil bentuk investasi modal simpanan (stocks) dan saham (shares), tidak lagi memiliki dan mengontrol secara aktual produksi industri itu sendiri. (Tentu saja, kapitalis pemilik tanah, dan pemilik dan pengontrol perusahaan mereka sendiri—khususnya yang berskala kecil—masih ada cukup banyak di masa kini). Meski terjadi perubahan-perubahan sifat dan ciri kepemilikan produktif dalam masyarakat kapitalis, bagi Marxis karakter hubungan kelas antara pemilik dan bukan pemilik kekayaan pada dasarnya sama dengan sebelumnya, mode produksi berbasis kelas. Walaupun kaum borjuis tidak membuat sendiri barang-barang produksi, mereka tetap memiliki sarana



D



produksi itu. Untuk alasan ini, mereka akan selalu mengambil keuntungan dari perbedaan biaya untuk membayar pekerja proletar dengan nilai barang yang dihasilkan pekerja upah rendah itu. Fakta yang penting adalah bahwa



U



pekerja selalu dibayar lebih rendah daripada nilai barang yang diproduksi. Jika tidak, maka sistem ini tidak akan bekerja; tanpa keuntungan, investasi



M



kembali surplus ini ke dalam kekuatan produktif kapitalisme tidak akan terjadi, dan perusahaan akan merosot dan akhirnya mati. Nilai surplus tidak membebani apa pun bagi kapitalis, dan



M



merupakan simbol nyata dari eksploitasi terhadap pekerja upah oleh majikan mereka. Meski tidak senyata pajak atau upeti pada mode produksi feodal oleh tuan rumah, atau kepemilikan atas tenaga jerja oleh pemilik budak, hubungan antara kapitalis dan pekerja upah sebenarnya sama saja.248 “The history of all



Y



hitherta existing society, tulis Marx, is the history of class struggles”, “Sejarah semua masyarakat yang kini ada adalah sejarah perjuangan kelas.”249 Sebab para para kaum borjuis dalam sistem kapitalis menguasai sirkulasi modal dengan meminjam bahasa Marx: buying in order to sell, yakni mereka



248



Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 82-83. Anthony Kenny, Western Philosophy (USA: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 306; Zaine Ridling, Philosophy Than and Now (New York: Access Foundation, 2001), hlm. 110. 194 249



membeli berbagai komoditi untuk dijual kembali dengan meraih keuntungan yang jauh lebih besar lagi.250 Kelima, masyarakat sosialis—yang dipahami sebagai formulasi terakhir dari lima tahap perkembangan sejarah Marx adalah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerja sama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem



D



sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia mencapai harkatnya tanpa penindasan. Dengan ini, kata sebuah sistem yang mengingkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.



U



Upaya menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat ini menjadi usaha yang tidak mudah, namun penuh dengan tawaran “hukum besi” sejarah



M



yang menggembirakan kaum proletar. Seperti diketahui, sistem kapitalis sebagai penyebab utama penderitaan kaum proletar sudah terlanjur kuat. Dengan demikian beberapa cara dan taktik untuk merubuhkannya haruslah mekanisme perjuangan kelas.251



M



dimulai dari dalam sistem itu sendiri, di samping cara revolusioner dalam



Dengan demikian, hadirnya masyarakat sosialisme merupakan konsekuensi natural dari sistem kapitalisme yang eksplotatif. 252 Namun



Y



sebelum memasuki puncak perkembangan masyarakat komunis melalui jalan revolusi sosial, mari kita telaah terlebih dahulu konsep ideologi dan kesadaran kelas kaum proletariat sebagai jalan menuju revolusi sosial.



250



George Ritzer, Classical Sociological Theory (America: McGraw Hill, 2000), hlm. 507. 251 Andy, Peta Pemikiran, op.ct, hlm. 138-139. 252 Philip Stokes, Philosophy 100 Essential Thinker (New York: Enchanted Lion Books, 2003), hlm. 133. 195



E. Ideologi dan Kesadaran Semu Mengajukan sesuatu sebagai kepentingan umum yang sebenarnya merupakan kepentingan egois pihak yang berpamrih itulah inti dari apa yang oleh Marx disebut sebagai ideologis. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi. Kritik ideologi adalah salah satu sumbangan terpenting dari teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.



D



Marx memberikan beberapa contoh pendekatan ideologis. Yang



telah disebutkan di atas adalah klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas berkuasa. Begitu



U



pula tuntutan untuk taat kepada hukum dianggap ideologis, karena tuntutan itu dibenarkan dengan keadilan hukum, padahal hukum melayani kepentingan



M



golongan atas, sedangkan orang kecil sulit untuk memanfaatkan hukum. Kapitalisme membenarkan diri dengan dua pertimbangan yang khas ideologis



karena



sekaligus



menutup-nutupi



bahwa



sistem



kapitalis



M



menguntungkan para pemilik modal. Pertama, kapitalisme mengklaim bahwa ia adalah sistem sosial-ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese, yang memperlakukan setiap orang secara sama, yang menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju dan yang memberi imbalan atas prestasi. kapitalisme



mengabaikan



Y



Tetapi



kenyataan



bahwa,



karena



anggota



masyarakat tidak sama kekuatannya, kesamaan formal tidak dapat digunakan oleh mereka yang lemah. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh, ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan, tetapi karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan. Argumen kedua



196



dijelaskan secara panjang lebar oleh Marx dalam karta utamanya Das Kapital: secara formal, kapitalisme menjaga keadilan karena ia membayar upah yang cukup agar tenaga kerja yang dihabiskan dalam pekerjaan bagi sang kapitalis dapat dikembalikan. Menurut Marx, prinsip kapitalisme adalah pertukaran nilai yang sama (exchane of equivalents). Tetapi keadilan itu ideologis atau miring, karena menutupi nilai lebih pekerjaan buruh yang dicaplok oleh kapitalis. Tetapi kritik ideologi Marx lebih luas jangkauannya.253 Menurut Marx semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia bersifat ideologis. Yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. menurut



D



Marx, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi butuk si pecandu. Seperti candu, agama memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk



U



orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang dengan tabah menerima “nasib” atau “salibnya”. Maka, rakyat kecil bukannya



penghisapan



dan



M



memperjuangkan perbaikan nasih mereka, tetapi malah bersedia menerima penindasan



yang



dideritanya,



hal



yang



justru



menguntungkan kelas-kelas yang menindas.



M



Begitu pula pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat dan seni menunjang kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok; ia bersedia menerima kompromi, bukan



Y



memperjuangkan keadilan. Begitu pula tuntutan moral agar kita bersikap sepi



253



Mengenai kritik ideologi Karl Marx secara luas, lihat dalam Jon Elster, Karl Marx, terj. Sudarmaji (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hlm. 231-253. 197



ing pamrih, tidak mau menang sendiri, secara efektif dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya. 254 Salah satu kesimpulan tentatif yang dapat kita ambil dari kritik ideologi Karl Marx adalah bahwa kita sebaiknya curiga kalau penguasa mengkhotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka. Sering tanpa disadari, khotbah-khotbah semacam itu sarat dengan pamrih, alias ideologis.255 Namun banyak masyarakat proletar yang memiliki kesadaran semu yakni tidak menyadari ideologi terselubung dari para borjuis. Dalam konteks kontemporer, kapitalisme tergantung pada ketidaksetaraan yang melekat, apabila diakui, akan diterima sebagai hal yang



D



adil. Di dalam kelaslah kita pertama kali berhadapan dengan ketidaksetaraan yang tak terhindarkan. Di dalam kelas kita belajar bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan yang berbeda.



U



Manusia bahkan juga memiliki kemampuan yang lebih baik atau lebih buruk. Anak “pintar” sukses dan diberikan ganjaran berupa nilai dan



M



hasil ujian yang baik. Anak yang “kurang mampu” memperoleh ganjaran yang lebih rendah. Pendidikan apa yang lebih baik untuk hidup dalam suatu masyarakat di mana perbedaan kemampuan juga dinilai sebagai unggul dan



M



terbelakang, dan diberi ganjaran sesuai dengan penilaian itu? Pengalaman di sekolah hanya dapat mendorong orang untuk yakin bahwa ketidaksetaraan ganjaran itu adalah adil. Keyakinan demikian itu diekspresikan dalam pernyataan seperti: “Tentu saja gaji dokter lebih besar daripada tukang sapu.



Y



Dokter melakukan pekerjaan yang lebih penting”. Distribusi ganjaran yang tidak setara itu mencerminkan arti penting pekerjaan yang bersangkutan. Perhatikan pernyataan yang lain seperti: “Setiap orang dapat menjadi tukang sapu. Tetapi hanya orang yang ahli/cerdas/mampu yang dapat menjadi dokter”. Pencapaian dalam dunia yang tidak setara mencerminkan 254



Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 121-124. Bandingkan dengan Louise A. Hitchcock, Theory for Classics (USA: Routledge, 2008), hlm. 17. 255 Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 125. 198



penghargaan. Secara mendasar, maka pendidikan dengan penekanan intrinsik pada persaingan dan seleksi, atas dasar sukses dan gagal, pada penghargaan dan tanpa penghargaan, mengajarkan kepada warga masyarakat kapitalis tentang ketidaksetaraan sebagai keadilan. Secara khusus, pendidikan pula yang mengajarkan bahwa orang-orang yang “kurang mampu”—berarti “gagal”—harus mau menerima ganjaran yang rendah (atau dalam pengertian ini, gaji yang rendah untuk hidup mereka). Marxis berpendapat bahwa analisis hubungan antara infrastruktur dan suprastruktur menunjukkan kepada kita banyak hal tentang kekuasaan dalam masyarakat berkelas. Kelas dominan menguasi dan mengendalikan,



D



tetapi tak berarti harus menjadi penguasa pada institusi secara resmi yang mengambil keputusan. Kelas dominan menguasi dan mengendalikan karena mereka dipandang superior oleh orang-orang yang tidak memiliki kekayaan—



U



yakni orang-orang yang selama ini sudah disosialisasikan ke dalam gagasan dominan oleh agensi-agensi suprastruktural. Dalam kata-kata Marx: “Gagasan



M



tentang kelas penguasa, pada setiap masa, adalah gagasan penguasa”.256 F. Kesadaran Kelas dan Revolusi



Karena kelas subordinat tunduk kepada ideologi dominan, yang



M



menyembunyikan hakikat yang riil dari masyarakat kelas, gambarannya tentang dunia dan tempatnya di dunia adalah keliru. Kesadaran kelas subordinat mengenai realitas adalah semu atau salah. Hanya apabila mode produksi berbasis kelas merosost barulah para anggota kelas subordinat mulai



Y



menyingkirkan citra yang keliru tentang dunia itu, dan mulai menyadari realitas eksploitasi yang sesungguhnya. Kemudian, mereka akan menyadari bahwa diri mereka sesungguhnya adalah satu kelas. Dalam kata-kata Marx, mereka mengembangkan kesadaran kelas. Pandangan subjektif mereka terhadap diri mereka sendiri dan kondisi mereka bertemu dan sesuai dengan realitas objektif. Munculnya kesadaran kelas pada kelas subordinat itulah yang menjadi kunci pembuka revolusi yang meruntuhkan mode produksi dan 256



Pip Jones, Pengantar, op.cit, hlm. 90-91. 199



kelas dominannya. Lalu, bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana kesadaran semu kemudian menjadi kesadaran kelas? Sebegaimana halnya eksistensi kesadaran semu, kesadaran yang sesungguhnya tidak akan muncul bebas dari kondisi ekonomi. Menurut Marx, embryo revolusi tidak akan muncul secara acak, atau secara kebetulan. Secara khusus, tatkala tataran institusional (yang muncul untuk mendukung mode produksi tertentu) tidak lagi cocok dengan hubungan produktif, karena perubahan-perubahan keadaan ini terjadi sepanjang waktu, tekanan bagi terjadinya perubahan pun muncul. Kelas yang diekploitasi pun mulai melancarkan perjuangan politik, yang dirancang untuk menggantikan tataran



D



sosial yang lama dengan yang lebih sesuai dengan tataran ekonomi yang baru.257



Marx memprediksi bahwa perubahan sosial akan terjadi tatkala



U



transformasi mode produksi kapitalis secara revolusioner menjadi komunis terjadi. Sekali lagi, gagasan dan tindakan manusia adalah motor perubahan.



M



Namun, gagasan revolusioner ini hanya akan muncul sebagai hasil dari munculnya kesadaran kelas. Kondisi ini hanya akan terjadi apabila kapitalisme berkembang sebagai mode produksi. Menurut Marx, evolusi



M



kapitalisme hanya akan terjadi apabila ada eksploitasi terus-menerus terhadap kelas pekerja. Jadi, meskipun kapitalisme hanya tetap hidup jika terusmenerus mengeksploitasi pekerja upah semakin lama semakin besar, sehingga eksploitasi yang terus meningkat itu tak urung akan mengubah kesadaran



Y



semu menjadi kesadaran kelas. Sebagai akibatnya, langkah-langkah yang diambil untuk meyakinkan adanya “kemajuan” kapitalisme sebagai sistem produktif, pada saat yang sama, akan menjamin tumbuhnya benih-benih keruntuhannya sendiri. Demikianlah yang akan terjadi menurut Marx.258 Sebagaimana kita sudah bicarakan, kapitalisme dibangun sebelum perkembangan industri. Tetapi barulah dengan Ravolusi Industri, yang 257 258



Ibid., hlm. 91-92. Philip Stokes, 200



merepresentasikan kemajuan bagi kapital, bahwa realitas masyarakat kapitalis dapat mulai nampak jelas. Produksi industrial melahirkan pemukimanpemukiman dalam jumlah besar di perkotaan, dengan posisi yang sama untuk pertama kalinya. Hidup dalam kondisi yang sama, pemukiman yang sangat padat dan buruk ditambah dengan kemiskinan, dan bekerja di pabrik-pabrik yang sama, kaum proletar perkotaan mulai menyadari keadaan mereka yang dieksploitasi. Selanjutnya, tatkala kapitalisme berkembang sebagai mode produksi, eksploitasi pun meningkat pula. Ketika ini terjadi, kesadaran kelas mulai menggantikan kesadaran semu. Produksi kapitalis tergantung pada akumulasi modal. Kapitalis



D



mengakumulasikan modal dengan meningkatkan hasil penjualan barangbarang yang diproduksi sementara pada saat yang sama menurunkan biaya produksi mereka. Satu cara penting untuk menurunkan biaya produksi itu



U



adalah dengan mengurangi tenaga kerja dengan cara melakukan mekanisasi pekerjaan. Akibatnya ada dua hal. Pertama, kapitalis yang lebih kecil, yang



M



kekurangan modal untuk membeli mesin-mesin baru, tidak akan berhasil bersaing. Mereka bergabung dengan kelas proletar. Kedua, pengangguran meningkat di kalang proletar. Oleh karena pekerja upahan juga adalah



berkurangnya



maka



meningkatnya



kebutuhan



akan



kemiskinan



mereka



M



konsumen,



barang-barang.



mengakibatkan



Berhadapan



dengan



berkurangnya tuntutan kebutuhan, para kapitalis harus memotong biaya untuk mempertahankan tingkat keuntungan. Hal ini dilakukan baik dengan



Y



mengurangi tenaga kerja lebih jauh atau dengan mengurangi tingkat upah. Hal ini dilakukan dengan dua cara. Upah secara aktual dapat dikurangi. Atau, yang lebih aman, kenaikan upah diatur lebih lambat daripada tingkat inflasi. Sebagai akibat dari kedua metode ini, tuntutan kebutuhan berkurang lebih jauh dan keadaan ini selanjutnya memengaruhi suplai. Ketika proses ini berlangsung, jurang perbedaan antara kaum borjuis dan kaum proletar yang makin banyak jumlahnya meningkat. Ketika kaum proletar semakin miskin, kondisi ini mendorong mereka untuk mengembangkan kesadaran kelas di



201



kalangan mereka. Jadi, kaum proletar ditransformasi dari kelas yang sematamaya objektif, yakni kelas dalam fakta, menjadi kelas subjektif—suatu kelas pemikiran. Terjadi perubahan dari kelas dalam dirinya sendiri menjadi kelas untuk dirinya sendiri, a class in itself must become a class for itself.259 Ketika kesadaran kelas ini mencapai puncaknya, kaum proletar bangkit dan meruntuhkan kapitalisme, mengambil alih sarana produksi dan aparatus negara, seperti yang diperbuat kaum kapitalis sebelumnya. Menurut Marx, inilah revolusi final dalam suatu masyarakat. Berbeda dari revolusi sebelumnya, tidak akan ada kelas pengeksploitasi yang baru. Kekuasaan oleh proletar berarti pemerintahan sendiri oleh kaum pekerja.



D



Masyarakat kelas dihapuskan, dengan segala kejahatannya, dan masa baru di mana terwujud kebebasan manusia dimulai dalam masyarakat komunis. Di sinilah, akhirnya, terwujud suatu masyarakat yang berlimpah di mana semua



U



orang secara kreatif, jauh lebih bebas dari sebelumnya. Manusia menentukan nasibnya sendiri dan “membangun sejarahnya sendiri”. Kesetaraan membawa



M



emansipasi. Menurut Marx setiap orang “mungkin mengerjakan sesuatu hari ini, lalu mengerjakan yang berbeda besok, berburu pagi hari, memancing sore, memelihara ternak pada malam hari, lalu berdebat setelah makan malam;



M



Itulah yang tergambar dalam pikiranku, tanpa pernah aku menjadi pemburu, nelayan, peternak, atau tukang berdebat”. 260 Maka,



hanya



pada



masyarakat



komunis



manusia



dapat



mengembangkan potensinya untuk kreatif dan berbuat kebaikan. Dalam



Y



semua bentuk masyarakat yang lain, produksi kekayaan materi oleh kelompok dominan



dalam suatu



kelas



menguasai



warga



masyarakat



lainnya



menyingkirkan kemungkinan itu. Menurut Marx orang yang hidup dalam masyarakat berkelas mengalami alienasi—mereka mengalami dehumanisasi dan tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka. Bagi



259 260



Ritzer, Classical Theory, h. 174-175. Pip Jones, Pengantar, hlm. 94-96. 202



Marx, dalam masyarakat kelas manusia dicegah untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Sampai disini, ada beberapa unsur dalam teori kesadaran kelas Marx yang mengakibatkan revolusi. Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara buruh dan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Maka seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau memecahkan secara musyawarh konflik-konflik yang mungkin timbul, agar kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan golongan dan



D



sebagainya, tidak mempan. Masalahnya, bukan di situ. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya ada pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan



U



perubahan sikap yang mengakhiri konflik kelas, melainkan perubahan struktur kekuasaan ekonomis.



M



Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik dan kelas-kelas atas pada umumnya,



M



mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang



Y



segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu.



Sebaliknya kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka setiap perubahan mesti berupa kebebasan. Seperti ditulis oleh Marx dalam Manifesto Komunis, proletariat paling-paling dapat kehilangan belenggubelenggunya. Kepentingan objektif terakhir kelas-kelas bawah adalah revolusi, pembongkaran kekuasaan kelas atas. Maka meskipun dalam proses



203



pekerjaan kaum buruh dan kaum majikan tergantung satu sama lain: majikan memerlukan pekerjaan buruh dan buruh tidak dapat bekerja kecuali disediakan tempat kerja, tetapi kepentingan bersama itu tidak menarik ke arah yang sama: “Hak milik pribadi (=para pemilik) sebagai hak milik pribadi....terpaksa



mempertahankan



dirinya



sendiri



dan



lawannya,



proletariat.....Sebaliknya proletariat sebagai proletariat terpaksa meniadakan diri dan lawannya yang menjadi syaratnya, yang menjadikannya proletariat, yaitu hak milik pribadi”. Ketiga, dengan demikian menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi.



D



Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama tertindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingn kelas



U



atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari para pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas. Sebaliknya, kelas atas, karena ia kelas



M



atas, berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka kelas atas tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem kekuasaan, karena perubahan itu niscaya mengakhiri perannya sebagai kelas atas. Karena itu,



melalui revolusi.



M



sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan kekerasan,



Itulah sebabnya mengapa Marxisme menentang semua usaha untuk memperdamaikan kelas-kelas yang saling bertentangan, mengapa mereka



Y



bersitegang bahwa reformasi, yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas bawah di dalam sistem sosial yang sudah ada, tidak mungkin. Marxisme yakin bahwa semua reformasi dan usaha perdamaian antara kelas atas dan bawah hanya menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri. 261



261



Magis Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 117-119. 204



G. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik “As philosophy finds its material weapons in the proletariat, the proletariat finds its intellectual weapons in philosophy”.262 Sebagaimana telah kita bahas dalam pengantar, ungkapan Karl Marx ini pun meniupkan spirit senada bahwa filsafat harus mampu membawa perubahan riil melalui kekuatan kaum proletar.263 Sehingga bagi Marx, kaum filsuf mengemban tugas profetis yakni mengembalikan kesadaran kaum proletar yang dilenyapkan oleh kaum kapitalis. Pandangan profetis kaum filsuf, yaitu kekuatan yang membebaskan secara teoritis, hanya dapat dijalankan jika ia mempunyai kekuatan material; kaum proletar adalah



D



kekuatan material yang dinamis dalam merespons panggilan sejarah untuk membebaskan dirinya dari belenggu kelas-kelas yang menindasnya.264 Dan tugas-tugas profetis ini ternyata mampu bertahan dan masih bergema sampai



U



hari ini.



Faktanya, ketika Karl Marx wafat pada tahun 1883, sebelas orang



M



yang melayat pada pemakamannya tampak memungkiri apa yang dikatakan Engels di dalam eulogi (pujian untuk orang mati)nya: “Nama dan karyanya akan langgeng sepanjang masa”. Namu demikian, Engels tampak benar. Ide-



M



idenya sedemikian berpengaruh sehingga bahkan salah seorang dari pengkritiknya mengakui bahwa dalam arti tertentu, “kita semua ini adalah Marxis”. Seperti yang ditulis Hanna Arendt, jika Marx tampak dilupakan, bukan “karena pemikiran Marx dan metode-metode yang telah dia



Y



perkenalkan telah ditinggalkan, tetapi lebih tepatnya karena telah menjasi begitu aksiomatik sehingga asal usulnya tidak dapat lagi diingat. 265



262



A. Kenny, hlm. 305 263 Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Unwin University Books, 1955), h. 749.. 264



Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 23-24. 265 Ritzer, Teori Sosiologi,op.cit,hlm. 71. 205



Manurut Magnis Suseno, konsep-konsep materialisme sejarah Marx sudah lama dipertanyakan keabsahannya. Ada beberapa tanggapan kritis terhadapnya. Pertama, pendapat tradisional sebagaimana tercermin dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah biasanya memberikan kesan bahwa nasib bangsa-bangsa ditentukan oleh keputusan-keputusan para penguasan. Mengapa keputusan ini dan bukan itu yang diambil, biasanya tidak dibicarakan. Di sinilah letak jasa Marx. Ia membuka mata kita terhadap kenyataan bahwa kebijakan politik sebuah negara dalam jangka panjang amat sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi. Tidak dapat disangkal bahwa struktur kekuasaan bidang



D



ekonomi mempengaruhi struktur kekuasaan politis. Begitu pula sulit di sangkal bahwa gaya berpikir orang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir dan nilai-nilai golongan sosialnya dan cara berpikir dan nilai-nilai itu sendiri



U



ditentukan oleh kepentingan-kepentingan vital golongan sosial masingmasing. Demikian pula halnya nilai-nilai budaya, moralitas, dan kepercayaan-



M



kepercayaan dalam masyarakat yang tidak mungkin tidak mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomis yang dominan. Tetapi apakah pengaruh hanya itu searah? Apakah hanya bidang ekonomi yang menentukan?



M



Bukankah kepentingan politik dan cita-cita juga mempunyai dampak terhadap bidang ekonomi? Apakah perubahan politis dan ekonomis besar yang dialami dunia Arab sesudah kedatangan agama Islam tidak membuktikan bahwa agama juga dapat berdampak politis dan ekonomis? Berdasarkan apa Marx



Y



menyatakan bahwa, secara primer, kepentingan ekonomis menentukan kepentingan politis dan ideologis dan bukan sebaliknya?



Marx tidak menjawab pertanyaan itu. Justru itulah masalah dalam teori Marx. Masalahnya bukan ia menegaskan pengaruh kekuasan ekonomis atas kekuasaan politis serta cara berpikir masyarakat yang bersangkutan, melainkan bahw ia tidak memperhatikan bahwa bidang kenegaraan juga mempunyai dampak pada bidang ekonomi dan ideologis dan bahwa cara manusia berpikir, beragama, apa yang dinilainya sebagai baik dan buruk, juga



206



mempengaruhi bidang politik dan bahkan cara manusia berekonomi. Analisis Marx menjadi miring karena ia tanpa pendasaran apapun mengesampingkan kemungkinan dampat timbal balik



antara bidang-bidang itu (Marx



sebenarnya mengakui bahwa bidang politis dan ideologis mempunyai dampak terhadap basis ekonomis, tetapi mengaruh itu hanya sekunder). Bukan hanya ekonomi yang mempengaruhi politik dan kepercayaan manusia, tetapi politik dan kepercayaan manusia juga mempengaruhi bidang ekonomi. 266 Kedua, pembagian lingkup kehidupan ke dalamg bidang kesibukan langsung masing-masing orang (“basis”), susunan-susunan institusional (“bangunan atas politis”) serta kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai



D



(“bangunan atas ideologis”) tampak cukup masuk akal. Tetapi mengapa dalam lingkup kesibukan langsung hanya produksi yang diperhatikan. 267 Bidang produksi adalah penting, tetapi tidak begitu saja merupakan



U



basis seluruh kehidupan masyaralat. Model determinasi searah, di mana ada unsur primer, basis, dan unsur sekunder, bangunan atas, menyesatkan, model



M



yang tepat adalah model pengauh timbal balik. Tidak ada yang apriori primer dan apriori sekunder. Itu tidak berarti bahwa pengarih tiga faktor itu—di mana unsur komunikasi juga harus dimasukkan—seimbang. Bisa saja bahwa pada



M



tahap sejarah tertentu unsur yang satu lebih dominan, lalu pada tahap sejarah tertentu unsur lain yang dominan. Yang pokok ialaha bahwa bidang mana yang dominan tidak dapat ditentukan secara apriori—hal ini justru tidak ilmiah—melainkan harus ditemukan berdasarkan analisis aposteriori terhadap



Y



proses-proses yang nyata-nyata berjalan. Mengetahui faktor maan yang menentukan sejarah, adalah pekerjaan aposteriori. Maka sejarah tidak dapat diperhitungkan dan adalah tidak masuk akal untuk membicarakan tentang suatu tujuan objektif sejatah. Sejarah tetap terbuka. 268



266



Magis Suseno, Pemikiran Karl Marx, op.cit, hlm. 152-153. Ibid., hlm. 154. 268 Ibid., hlm. 154-155. 267



207



Ketiga, perubahan sosial tidak harus lewat revolusi. Sejak zaman modern hingga kontemporer, perbaikan kedudukan kelas buruh (proletar) dalam negara-negara kapitalis Barat terjadi dengan cara reformasi, bukan revolusi. Marx tidak memperhatikan bahwa kepentingan kelas-kelas atas untuk mempertahankan kedudukan mereka juga dapat mendesak mereka untuk berkompromi dengan kelas-kelas bawah. Justru dengan meningkatkan perasaan puas kelas-kelas pekerja, para pemilik dapat mempertahankan kedudukan mereka. Jadi tidak benar bahwa keadilan sosial hanya dapat tercapai melalui revolusi struktur-struktur sosial yang ada. Yang benar ialah bahwa tanpa



D tekanan dari



bawah, keadilan sosal memang tidak dapat tercipta. Jadi



perjuangan kelas-kelas bawah untuk memperoleh hak-hak mereka memang diperlukan. Mengharapkan keadilan sosial semata-mata dari kebaikan kelas-



U



kelas atas tidak beralasan, karena mereka tidak dapat diharapkan menggergaji dahan di mana mereka duduk. Hanya perjuangan golonga-golongan bawah



M



itulah yang menghasilkan cukup tekanan untuk membuat kelas-kelas atas mau berkompromi. Maka di satu pihak ajaran Marx tentang revolusi yang tak terelakkan harus dilepaskan, tetapi kelas-kelas bawah memang harus



M



memperjuangkan sendiri kemajuan mereka. 269



Meskipun ada penafsiran-penafsiran yang berbeda, ada kesepakatan umum



bahwa



perhatian



utama



Marx



terletaj



pada



dasar



historis



ketidaksetaraan, khususnya bentuk unik yang diambilnua di bahwa



Y



kapitalisme. Akan tetapi, pendekatan Marx berbeda dari banyak teori yang akan kita kaji. Bagi Marx, suatu teori tentang cara kerja masyarakat akan bersifat parsial, karena yang dia cari terutama ialah suatu teori tentang bagaimana mengubah masyarakat. Oleh karena itu, teori Marx adalah suatu analisis



atas ketidaksetaraan di bawah kapitalisme dan bagaimana



mengubahnya.



269



Ibid., hlm. 157-158. 208



Ketika kapitalisme telah mendominasi dunia dan sebagian besar alternatif komunis yang paling signifikan telah lenyap, sebagian orang mungkin menyatakan bahwa teori-teori Marx telah kehilangan relevansinya. Akan tetapi, bila kita menyadari bahwa Marx memberikan analisis atas kapitalisme, kita dapat melihat bahwa teori-teorinya lebih relevan sekarang daripada yang dahulu. Marx memberikan suatu diagnosis mengenai kapitalisme yang mampu menyingkapkan kecenderungan untuk mengalami krisis, menunjukkan ketidaksetaraanya yang langgeng, dan, menuntut agar kapitalisme bertindak memenuhi janji-janjinya. Contoh yang kita dapat dari kasus Marx membuat poin yang penting



D



tentang teori. Meskipun prediksi-prediksi yang khusus tidak terbukti— meskipun revolusi kaum proletariat yang dipercaya Marx segera terjadi juga tidak terjadi—teori-teorinya masih bernilai sebagai suatu alternative bagi



U



masyarakat kita dewasa ini. Teori-teori mungkin tidak mengatakan kepada kita apa yang akan terjadi, tetapi dapat mengargumenkan apa yang seharusnya



M



terjadi dan membantu kita mengembakan rencana untuk melaksanakan perubahan yang diimpikan teori itu atau untuk melawan perubahan yang diprediksi oleh teori-teori itu. 270



M



Akhirnya seperti disinyalir oleh Bryan Magee, Marx menawarkan wawasan-wawasan yang bernilai abadi. Karena pemikiran Marx-lah dunia ini menjadi sebuah dunia yang berbeda, tidak hanya serba objektif, tetapi juga dalam cara kita memandang dunia ini. 271



Y 270



Ritzer, Teori Sosiologi,op.cit,hlm. 72. Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof. terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 42-43. 271



209



BAB 7 EPISTEMOLOGI INTUISIONISME A. Pengantar



D



“Philosophy lives in words, but truth and fact well up into our lives in ways that exceed verbal formulation”.272



U



Filsuf besar Amerika, William James mengungkapkan statemen tersebut dalam karya monumentalnya, The Varieties of Religious Experience.



M



Dengan statemen itu, James hendak menunjukkan bahwa dalam pentas kehidupan kita sebagai manusia, tidak semua aspek pengalaman kita bisa dipotret secara lengkap oleh filsafat yang lebih menekankan pendekatan



M



rasional. Ada begitu banyak kebenaran-kebenaran dan fakta-fakta kehidupan yang tak terjangkau oleh analisis filosofis semata. Sebab sebagaimana dilukiskan James: filsafat hidup di dalam kata demi kata, tetapi kebenaran dan fakta menyelubungi kehidupan kita dengan cara-cara yang melampaui semua



Y



rumusan verbalistik (lisan) kita.



Bukan hanya dengan menggunakan akal dalam mencandra realitas kehidupan, tapi mengharuskan juga penggunaan hati atau intuisi manusia agar pemahaman kita terhadap realitas kehidupan menjadi komprehensif. Barangkali itulah alasannya mengapa dalam karya yang sama, James juga menganjurkan bahwa: every philosophy should be touched with emotion to be



272



William James, The Varieties of Religious Experience ( New York: Touchstone Rockefeller, 1997), hlm. 588.



210



rightly understood, “Setiap kajian filsafat harus mendapatkan sentuhan emosi agar dapat dimengerti dengan tepat”.273 Sentuhan emosi inilah, barangkali yang menjadi proyek filosofis Henri Bergson dengan menggunakan istilah intuisi. Bergson tak puas dengan kajian sains yang lebih cenderung bersifat mekanistik-materialistik sekaligus kecewa dengan prioritas penggunaan akal dalam kajian filsafat. Kedua kajian tersebut melupakan salah satu fakultas intrinsik manusia yakni intuisi atau dalam bahasa praktis kita disebut hati. Ketidakpuasan inilah, yang akhirnya menginspirasi



Bergson



mengkonstruksi



filsafatnya



dengan



lebih



mengutamakan fakultas intuisi, sehingga konstruksi filosofisnya dinamakan



D



dengan intuisionisme. Dalam tulisan ini, kita akan melihat bagaimana makna intuisi secara agak detil dan pengertian singkat intuisionisme; Kemudian kita akan



mengikuti



epistemologi



intuisionisme



Bergson



yang



lebih



U



memprioritaskan keunggulan intuisi ketimbang akal; Dan akhirnya dipungkasi dengan refleksi kritis sebagai catatan penutup.



M



B. Pengertian Intuisionisme



Dalam mendiskusikan tentang pengertian intuisionisme, kita akan mulai dengan pengertian intuisi secara lebih detil untuk kemudian



M



disimpulkan dengan intuisionisme. Sebab intuisi merupakan akar dari kata yang menjadi substansi pembahasan intuisionisme. Secara etimologi, intuisi berasal dari bahasa Latin, intueri yang berarti melihat, menonton, atau memandang.274 Secara garis besar, ada beberapa pengertian intuisi, antara



Y



lain:



1. Pemahaman atau pengenalan terhadap sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan). Penglihatan langsung atau penangkapan (aprehensi) kebenaran. Kontras dengan empirisme dan rasionalisme sebagai sumber pengetahuan.



273



Ibid., hlm. 572. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 363. 211 274



2. Daya (kemampuan) untuk memiliki pengetahuan



segera dan



langsung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio. 3. Pengetahuan atau insight (pemahaman) bawaan, naluriah tanpa menggunakan panca indera, pengalaman biasa, atau akal budi kita. Intuisi berpangkal pada konsep ide-bawaan, paling tidak bila kebawaan dimengerti sebagai tendensi (kecenderungan). 275



Meskipun demikian, terdapat beberapa pandangan terhadap makna intuisi. Pertama, terdapat unsur intuisi dalam segala pengetahuan. George Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran kita tentang data-data



D



yang langsung kita rasakan. W. E. Hocking berkata bahwa mengetahui diri sendiri (self-knowledge) adalah “kasus intuisi yang terbaik”. Mengetahui diri sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda-benda lain. Pada waktu



U



saya mendengar siul, di samping mendengar saya juga sadar tentang pendengaran saya dan sadar tentang diri saya sebagai yang mendengar. Intuisi



M



terdapat dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam aksioma matematik. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang hubungan antara kata-kata (proposition) yang membentuk bermacam-macam



M



langkah dari argumen. Pemikiran juga bergantung kepada hubungan yang kita rasakan atau tidak kita rasakan. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita terhadap keindahan, ukuran moral yang kita terima dan nilai-nilai agama. Kedua, intuisi hanya merupakan hasil tumpukan pengalaman dan



Y



pemikiran seseorang pada masa lalu. Intuisi yang benar adalah pemendekan terhadap pengetahuan yang seharusnya diungkapkan oleh indra dan pemikiran reflektif. Intuisi adalah hasil dari induksi dan deduksi di bawah sadar. Mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam berfikir dan bekerja di lapangan lebih mudah mempunyai intuisi yang baik dalam bidangnya. Dalam bacaanbacaan ilmiah zaman sekarang, kata intuisi sering diganti dengan persepsi yang tepat, imajinasi, pemikiran yang ringkas dan pertimbangan yang sehat. 275



Ibid., hlm. 364. 212



Pandangan ilmiah yang tajam akan muncul kepada mereka yang bergelimang terus menerus dengan problem ilmiah; inspirasi syair datang kepada mereka yang biasa menyusun syair; inspirasi musik datang kepada mereka yang mengetahui dan mempraktekkan musik; intuisi filsafat atau keagamaan timbul kepada mereka yanga mengkhususkan waktu dan perhatiannya dalam bidang tersebut. Ketiga, intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indra atau akal. Tokoh yang menonjol tentang pendapat ini adalah Henri Bergson (18591941), filosof Prancis. Bagi Bergson, intuisi dan akal mempunyai arah yang



D



bertentangan. Kecerdasan atau intelek adalah alat yang dipakai oleh sains untuk menghadapi materi. Ia menghadapi benda-benda dan hubungan kuantitatif. Ia membekukan apa yang ia sentuh dan tidak dapat menghadapi



U



watak kehidupan atau zaman (duration). Intuisi yang sesungguhnya adalah naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun kita



M



kepada kehidupan dalam. Jika intuisi dapat meluas, ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Kita menemukan elen vital, dorongan yang vital dari dunia, dengan intuisi, yang ada di dalam dan langsung; bukan



yang statis.



M



dengan intelek yang dari luar dan yang melukiskan benda hidup dalam term



Keempat, intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaranpenjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang



Y



langsung yang mengatasi (transcend) pengetahuan yang kita peroleh dengan akal dan indra. Mistisisme atau pengetahuan mistik telah diberi definisi sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha riil (the condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately real). Intuisi mistik mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dengan



213



realitas spiritual, hubungan antara aku dengan Tuhan pribadi, atau kecerdasan kosmis (rasa bersatu dengan totalitas alam). 276 Sedangkan intuisionisme merupakan doktrin filsafat yang lebih menekankan pemahaman langsung mengenai pengetahuan yang bukan hasil dari pemikiran yang sadar atau persepsi rasa atau intuisi yang langsung. Intuisionisme



dipandang



juga



sebagai



pengetahuan



tanpa



perantara



(immediate knowledge); Intuisionisme menekankan tidak terperantaranya pengetahuan atau bukti-diri dari karakter ide-ide tertentu. Jadi intuisionisme merupakan



aliran



filsafat



yang



menunjukkan



kecenderungan



untuk



mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.



D



Dengan demikian, intuisionisme dalam konteks pembahasan ini



adalah intuisi yang diformulasikan oleh filsuf besar Prancis Henri Bergson. Dalam pemetaan kronologis filsafat, pemikiran intuisionisme Bergson



U



termasuk salah satu bentuk intuisionisme kontemporer. Bergson memandang intusi sebagai sumber pengetahuan tertinggi karena ia menempatkan sang



M



knower (subjek yang mengetahui) dalam sebuah hubungan identifikasi dan simpati cerdas dengan known, objek yang diketahui.277 Doktirn filsafat intuisionisme Henri Bergon inilah yang akan kita eksplorasi di bawah ini.



M



C. Biografi Henri Bergson (1859-1941)



Filsuf Prancis yang paling banyak



menarik perhatian pada awal abad ke-20



Y



adalah Henri Bergson (1859-1941). Ia lahir di Paris. Anehnya, filsuf yang dikenal sebagai khas Prancis ini lahir dari orang tua yang berkebangsaan asing. Ayahnya adalah pemusik dan komponis ternama yang



276



Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 204-205. 277 Milton D. Hunnex, Peta Filsafat, Terj. Zubair (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 27. 214



mengungsi dari Polandia (nama aslinya: Berekson) dan ibunya orang Inggris. Menurut kesaksiannya sendiri, dengan ibunya ia selalu berbicara dalam bahasa Inggris. Hubungan keluarganya dengan kebudayaan Inggris itu dalam jiwanya memancarkan suatu keterbukaan terhadap alam pikiran Inggris yang jarang ditemukan di antara filsuf-filsuf Prancis. Baik ayah maupun ibunya menganut agama Yahudi dan Henri pun dibesarkan dalam suasana Yudaisme yang tradisional. Ia masuk Lycee Condrocet, salah satu sekolah menengah yang terkemuka di Paris. Sebagai pelajar yang amat berbakat ia merebut tempat pertama untuk mata pelajaran matematika maupun filsafat. Konon gurunya



D



dalam bidang matematika sangat kecewa ketika mendengar bahwa ia telah memutuskan akan belajar terus dalam filsafat. Ia diterima di Ecole normale superieure, dimana ia belajar antara lain bersama Emile Durkheim, yang akan



U



menjadi seorang ahli besar dalam sosiologi, dan Jean Jaures yang di kemudian hari memimpin sosialisme di Prancis. Setelah menerima agregation de



M



philosophie (1881) ia menjadi guru filsafat dan sastra Prancis di Angers, Clermont-Ferrand dan Prancis. Pada tahun 1889 ia meraih gelar docteur es letters berdasarkan tesis besar Essai sur les donnees immediates de la



M



conscience (Esai tentang Data yang Langsung Disajikan kepada Kesadaran) dan tesis kecil ini yang pada waktu itu masih ditulis dalam bahasa Latin berjudul Quid Aristoteles de loco senserit (Apa yang Dipikirkan Aristoteles tentang Tempat).



Y



Pada tahun 1897 ia menjadi dosen di Ecole normale superieure dan sejak tahun 1900 ia mengajar sebagai professor di College de France, mulamula tentang sejarah filsafat Yunani, lalu dari tahun 1904 juga tentang filsafat modern dan pada saat itulah kuliah-kuliahnya mulai mengembangkan suatu daya tarik luar biasa, bukan saja atas para mahasiswa, melainkan juga peminat-peminat dari kalangan non-akademis. Tidak banyak dosen filsafat di zaman modern yang pernah mengalami sukses begitu besar seperti Bergson



215



dalam kira-kira sepuluh tahun sebelum Perang Dunia I. Pada tahun 1921 ia berhenti mengajar karena alasan kesehatan. Bukan saja sebagai dosen, sebagai pengarang pun Bergson mengenal sukses luar biasa. Buku-bukunya sering kali dicetak ulang, sebagaimana jarang terjadi dengan karya-karya filsafat. Ketika diangkat di College de France ia sudah menerbitkan bukunya Matiere et Memoire (1896) (Materi dan Ingatan). 1900, terbit suatu buku kecil berjudul Le rire (Tertawa). Suatu buku yang disambut dengan hangat—juga di luar negeri—adalah L’evolution Creatrice (1907) (Evolusi Kreatif). Tahun 1922 terbit Duree et Simultaneite (Lamanya dan Keserentakan), suatu refleksi filosofis relativitas



D



dari Albert Einstein; tetapi sejak tahun 1926 Bergson tidak mengizinkan karya ini dicetak ulang, suatu tanda bahwa ia tidak lagi menyetujui isinya. Karya besar terakhir yang diterbitkannya ialah Les deux Sources de la Morale et de



U



la Religion (1932) (Kedua Sumber dari Moral dan Agama). Artikel-artikelnya dikumpulkan dalam L’energie Spirituelle (1919) (Energi Rohani), dan La



M



pensee et le Mouvant (1934) (Pemikiran dan Yang Bergerak). Sesudah meninggalnya terbit lagi Ecrits et Paroles (3 jilid, 1957-1959) (Karangankarangan dan Perkataan-perkataan).



M



Waktu Perang Dunia I beberapa kali ia mengabdi kepada negaranya sebagai utusan pemerintah Prancis. Dan sesudah perang untuk beberapa waktu ia mengetuai komisi untuk kerjasama internasional dan Persatuan BangsaBangsa (The League of Nations). Selain itu, ia juga aktif dalam persiapan-



Y



persiapan untuk melakukan pembaruan sistem pendidikan di Prancis. Ia mendapat pelbagai penghargaan, antara lain pada tahun 1914 ia dipilih sebagai anggota Academie Francaise dan pada tahun 1982 ia dianugerahi Hadiah Novel untuk kesusastraan.278 Bergson meninggal di Paris pada tanggal



278



K. Bertens, Filsafat Kontemporer Perancis (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 9-12. 216



13 Januari 1941, ketika tentara Jerman sudah menduduki ibu kota Prancis itu.279 D. Intuisionisme Henri Bergson Pada penghujung abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20 M, wacana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mulai berkembang dengan pesat di wilayah Barat dan Eropa. Prinsip-prinsip pemikiran filsafat rasionalme, empirisme, dan dalam tataran tertentu berpuncak pada positivisme telah menjadi amat dominan saat itu. Akal digunakan secara maksimal tapi dengan tujuan hanya untuk menyingkap struktur alam semesta yang bersumber pada materi belaka. Bahkan manusia dengan segala kompleksitas



D



yang melingkupinya akan ditelaah secara utuh dari perspektif saintifik. Konsekuensinya, manusia,—sama dengan fenomena alam semesta, —dengan



U



kapasitas akal dan semua aktivitas-aktivitasnya—merupakan bentuk-bentuk behavior belaka.280 Bahkan dimensi kesadaran manusia yang bersifat psikologis, dianggap tidak lebih dari sebuah fenomena fisika yang bisa



M



dijelaskan dengan memakai prinsip yang sama dengan fisika. 281 Dalam atmosfer filsafat yang cenderung materialisme inilah, Henri Bergson hidup. Bahkan Bergson awalnya sempat terpesona dan mengagumi



M



Herbert Spencer, salah seorang filsuf aliaran positivisme. Ia terpukau dengan argumentasi Spencer yang menyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda atau materi yang tanpa ruh kehidupan. Namun dengan kontemplasi



Y



filosofisnya yang mendalam, akhirnya ia justru menolak dan menentang keras pandangan filsafat materialisme dan positivisme, termasuk mengkritik secara tajam aliran filsafat rasionalisme. Dengan alasan inilah, Bergson mencurahkan pemikirannya secara luas dengan mengkaji hakikat makna kehidupan dan struktur fundamental kehidupan yang mendasari gerak alam semesta, dan 279



Ibid., hlm. 13. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat &Etika (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 146-147. 281 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama. Terj, Fransiskus Borgias (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 126. 217 280



menjadikan intuisi sebagai kekuatan inti dalam diri manusia yang melampaui kehebatan fakultas panca indera dan akal. Melalui pembahasan filosofis mengenai intusi, Bergson bukan hanya mengkritik pandangan materialisme, melainkan juga mengkritisi kelemahan-kelemahan intrinsik yang terdapat pada akal yang menjadi kekuatan pokok filsafat rasionalisme. Melalui kritik-kritik yang diajukan Bergson, terutama terhadap rasionalisme, ia membuktikan secara filosofis kekuatan dan keistimewaan intuisi yang tidak dimiliki oleh akal yang menjadi basis rasionalisme. Karena begitu luas spektrum pemikiran filosofis Bergson, kita hanya membatasi pembahasan kita mengenai epitemologi intuisionisme



D



dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Untuk memudahkan wacana kajian kita, saya akan mengklasifikasi pembahasan ini dalam dua tipologi: kritik Bergson terhadap fakultas akal dan epistemologi intuisionisme Bergson.



U



1. Kritik Bergson Terhadap Fakultas Akal Selama ini dalam kajian filosofis yang dikonstruksi oleh para filsuf,



M



kebanyakan mereka menggunakan akal sebagai alat penalaran dalam mengkontruksi ilmu pengetahuan. Fakultas akan begitu dominan seakan-akan akal mampu memotret realitas ecara utuh. Namun dalam perspektif Bergson,



M



justru akal mempunyai sejumlah kelemahan pundamental. Pertama, akal memiliki kecenderungan dalam meruang-ruangkan (spatilize) apa pun yang menjadi objeknya dan melakukan pengukuran dengan ukuran-ukuran matematis statistik yang bersifat homogen: kilometer, hektometer, dekameter,



Y



sentimeter, milimeter, atau dalam bentuk mil, yard, kaki, dan inci. 282



Dalam persoalan ruang dan tempat, akal selalu melakukan identifikasi terhadap setiap tempat secara homogen untuk kemudian melakukan generalisasi dengan tempat-tempat lain di manapun. Ukuran kilometer di Jakarta akan sama dengan ukuran satu kilometer di Surabaya. Ukuran luas sepuluh meter persegi di Indonesia akan serupa bagi penilaian 282



Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 14-15. 218



akal dengan ukuran luas sepuluh meter persegi di Amerika. Tanah yang berada di Mekkah dalam tilikan akal tidak ada yang berbeda dengan tanah yang berada di Yordania; Semuanya sama-sama tanah sebagai bagian dari bumi. Begitu pula dengan tempat-tempat yang lain: sebuah halte bus, stasiun kereta api, pantai, alun-alun ataupun sebuah rumah dalam perspektif akal tidak lebih dari tempat-tempat netral sebagai benda-benda mati yang dinamakan sebagai halte bus, stasiun, pantai, alun-alun, atau rumah yang mempunyai fungsi serupa dengan tempat-tempat tersebut di tempat lain mana pun. Bagi akal, setiap orang akan mempunyai sikap yang sama dengan



D



tempat-tempat tersebut sebagaimana kesamaan fungsi tempat-tempat itu dimana pun. Di sini, dengan melakukan generalisasi terhadap setiap tempat di mana pun, akal justru mengabaikan partikularitas sebuah tempat. Walaupun



U



sebuah halte bus mempunyai fungsi sebagai tempat penungguan penumpang bus yang sama di mana pun, namun boleh jadi halte bus yang sama akan



M



mempunyai makna yang berbeda dengan setiap orang yang berbeda. Sebuah taman kota atau alun-alun yang memiliki fungsi sama sebagai tempat penghias dan pemanis, yang membuat sebuah kota semakin



M



indah. Namun sangat mungkin akan memiliki arti yang tidak sama bagi setiap orang yang pernah mengunjungi taman kota yang sama. Meskipun sebuah rumah secara umum mempunyai komponen-komponen yang sama di mana pun: ada fondasi dan dinding-dindingnya, ada pintu, jendela, dan ventilasi-



Y



ventilasinya, ada plafon dan atap di atasnya. Tapi rumah-rumah yang secara umum sama itu, amat mungkin akan memiliki kesan spesifik bagi setiap orang yang berbeda dengan orang lain. Makna yang berbeda, arti yang tidak sama, dan kesan spesifik bagi setiap ruang, tempat, dan benda-benda itulah yang ditangkap oleh intuisi setiap orang yang tidak mampu di candra oleh nalar. Sebuah ilusi praktis berikut ini barangkali bisa lebih memudahkan pemahaman kita. Katakanlah seorang istri belum lama, kira-kira tujuh bulan ditinggal mati oleh suaminya tercinta. Ketika akan memasuki hari raya Idul



219



Fitri, malam harinya ia mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan oleh dirinya dan anak-anaknya esok hari. Sewaktu mengeluarkan pakaian-pakaian itu, tiba-tiba sehelai sapu tangan almarhum suaminya terjatuh ke lantai menyentuh ujung jari-jemarinya kakinya. Seketika itu juga, ia memungut sapu tangan tersebut dan menciumnya sembil menangis sejadi-jadinya. Ia membasahi sapu tangan itu dengan tetesan-tetesan air matanya. Kalau dilihat sekilas dengan perspektif akal, yang dilakukan si istri itu tidak rasional: kenapa sehelai benda mati ia ciumi dengan begitu syahdu bahkan sambil menangis terisak-isak? Bagi akal, peristiwa itu tidak logis, sebab tidak masuk akal seseorang menciumi benda mati (sapu tangan) sambil



D



menangis lagi. Tapi dalam penglihatan intuisi, kejadian itu justru sangat berbeda: sang istri bukan menciumi sehelai benda mati yang bernama sapu tangan, melainkan ia tengah menciumi kebaikan dan kepedulian suaminya; ia



U



sedang menciumi cinta dan kasih sayang suaminya; ia sedang mendekap perhatian tulus dan tanggungjawab suami tercinta. Dalam pengalaman



M



langsung yang dirasakan intuisi saat itu, wanita itu bukan sedang mencumbui sapu tangan: ia sedang mencumbui kepribadian suaminya; ia sedang mencumbui sang suami tercinta. Itulah sebabnya mengapa ia bisa langsung



M



menangis terisak-isak; ia bisa langsung terkoyak perasaannya dan terguncang jiwanya. Jadi bukan sapu tangan itu sendiri yang membuatnya menangis, tapi kesan, pengalaman, dan makna unik yang ia rasakan bersama almarhum suaminya.



Y



Contoh lain begini. Dalam legenda percintaan klasik dari kawasan Timur Tengah, kita mengenal kisah cinta abadi yang sangat indah tentang sepasang kekasih: Laila dan Majnun. Dalam legenda yang sangat mempesona itu, dilukiskan bahwa Majun terpisah dengan Laila untuk waktu beberapa lama.



Majnun



menjadi



sangat



dimabuk cinta,



sehingga



ia



selalu



mendendangkan nama Laila dalam setiap desahan nafasnya. Satu waktu, karena sudah tidak tahan lagi menahan gejolak kerinduan dan pahitnya perpisahan, Majnun mengunjungi rumah Laila. Begitu sampai di depan rumah



220



Laila, ia langsung menyentuh dinding-dinding rumah kekasihnya itu dan menciuminya dengan penuh rasa haru. Sebagian orang-orang yang menyaksikan tingkah laku Majnun yang menciumi dinding rumah Laila, mulai mengolok-ngolok Majnun: Majnun sudah tidak waras; Majnun sudah kehilangan akal sehatnya; sebab dinding tak bernyawa itu dia dekap dan ciumi dengan penuh mesra. Mendengar cemooh orang-orang di sekitarnya, lalu Majnun menanggapinya dengan bait-baik syair berikut: Tatkala kulewati rumah Laila,. Kuciumi dinding itu berulang kali



D



Bukan rumah itu yang memabukkanku, tetapi penghuninyalah (Laila) yang memabukkanku.283 Dalam penglihatan mata kepala secara empirikal dan penilaian akal



U



secara rasional, Majnun memang benar-benar menciumi dinding rumah Laila; tidak lebih. Tapi dalam penglihatan intuisi, bukan dinding-dinding rumah itu



M



yang diciumi oleh Majnun. Dia sedang menciumi kekasih pujaan hatinya: Laila. Jadi bukan rumah itu yang membuat mabuk cinta, melainkan sang kekasih yang berada di dalam rumah. Secara metaforis, orang-orang yang



M



mencemooh perilaku Majnun, mewakili fakultas indera dan akal. Sedangkan sosok Manjun sendiri, mewakili fakultas intuisi yang melampaui penglihatan inderawi dan akal.



Ilustrasi di atas ingin menjelaskan bahwa intuisi memiliki kapasitas



Y



untuk menangkap tempat-tempat dan benda-benda biasa secara unik-spesifik yag tidak bisa dilakukan oleh akal. Dengan kesadaran intuitif ini, kita menjadi mengerti mengapa ada tempat-tempat sakral, makam-makam mulia, dan wilayah-wilayah suci. Melalui kesadaran intuitif ini pula, kita menjadi mengerti mengapa banyak kaum Muslim yang ketika pertama kali 283



Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma, Terj. Wasmukan & Samson Rahman, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), hlm. 763; Lihat juga kisahnya langsung dalam Nizami, Layla Majnun , terj. Sholeh Gisymar (Yogayakarta: Navila, 2006). 221



menginjakkan kedua kakinya di Mekah, mereka langsung menangis tersedusedu; Ketika mereka pertama kali hanya melihat makam Rasulullah Saw tangis mereka segera pecah. Tatkala pertama kali memandang Ka’bah serta merta mereka kehilangan kata-kata, hanya linangan air mata yang membasahi wajah mereka. Saat itu, intuisi menangkap makna sakral yang berada di balik Mekah, Ka’bah, dan makam Rasulullah Saw; namun makna sakral inilah yang luput dari penglihatan akal. Kemudian akal juga sangat piawai untuk memilah-milah waktu ke dalam satuan-satuan homogen seperti yang dilakukannya terhadap ruang. Dari sini, kita dapati satuan-satuan ukuran waktu yang homogen, seperti milenium,



D



abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, dan detik. 284 Dengan pembagian secara homogen ini, akal melalukan generalisasi pula terhadap waktu secara statistik-matematis: Di mana pun dan kapan pun, ukuran waktu



U



tetap sama.



Ukuran satu milenium di wilayah Indonesia akan sama ukurannya



M



dengan satu milenium di Amerika yang berisi seribu tahun; Hitungan satu tahun antara negara Afrika dengan Malaysia akan tetap sama yang berisi dua belas bulan; Hitungan sehari semalam antara Jerman dan Iran sama-sama



M



berisi dua puluh empat jam; Dan tidak ada perbedaan antara mayoritas negara-negara di dunia ini tentang jumlah menit yang terdapat dalam satu jam yakni berjumlah enam puluh menit. Begitulah seterusnya, hitungan waktu menjadi bersifat general dan universal. Tapi apakah waktu hanya mempunyai



Y



satu-satunya makna statis yang bersifat general?



Di sinilah, Bergson membedakan dua macam waktu. Waktu pertama adalah waktu kuantitatif yang berhubungan dengan ruang, waktu yang dapat diukur dan dibagi-bagi. Dalam konsep ini, waktu diklasifikasi ke dalam satuan-satuan yang homogen, seperti milenium, abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, hari jam, menit, dan detik. Inilah waktu yang berada pada 284



Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 15. 222



tataran



dimensi



objektif-fisis.



Dalam



istilah



Perancisnya,



Bergson



menyebutnya sebagai temps, waktu yang digunakan secara umum dalam rutinitas kehidupan kita sehari-hari. Nah, pengalaman kita saat bersentuhan dengan waktu kuantitatif ini dinamakan pengalaman fenomenal, yakni pengalaman kita yang banal dalam kebiasaan hidup sehari-hari. Pengalaman jenis ini nyaris dilakoni oleh kebanyakan manusia umumnya. Kedua, waktu kualitatif yang tidak berhubungan dengan ruang (tempat), bersifat kontinuitas dan mengalir terusmenerus tak terbagi. Waktu jenis ini terkait dengan perasaan dan kesadaran, aspek psikologis manusia.



D



Inilah waktu yang berada pada wilayah subjektif-psikologis. Bergson



menamakan waktu ini dengan duree, yang berarti lamanya, yang digunakan untuk manusia secara pribadi-pribadi. Pengalaman kita tatkala bersentuhan



U



dengan waktu kualitataif tersebut dinamakan pengalaman eksistensial, yakni pengalaman yang dirasakan oleh aspek mental, emosional, bahkan ranah



M



sukma spisitual kita yang terdalam.



Untuk memperkaya penjelasan Bergson, kita bisa meminjam analisis Martin Heidegger yang juga membagi waktu ke dalam dua tipologi:



M



waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif merupakan waktu yang digunakan oleh kronometer, alat pengukur waktu, seperti arloji, kalender dan berbagai petunjuk waktu secara umum. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dialami oleh orang perorang secara



individual. Jika waktu



Y



objektif berada di luar sana yang dirasakan sama oleh manusia secara umum, maka waktu secara subjektif berada di dalam sini, yang dirasakan secara unik oleh setiap pribadi dan berbeda antara seorang dengan orang yang lain. Waktu sehari semalam dalam pendangan mayoritas orang secara objektif berisi dua puluh empat jam, namun durasi waktu itu terasa bagaikan dua puluh empat menit bagi sepasang kekasih yang sedang berkencan di bawah payung asmara. Bagi orang-orang yang berada di tengah-tengah pesta waktu dua belas jam terasa begitu cepatnya. Tapi bagi orang yang sedang



223



sekarat diserang penyakit kronis waktu itu sungguh-sungguh terasa sangat lama. Fakta yang mungkin sering kita alami adalah waktu lima jam sangat berbeda antara Anda yang menunggu dengan saya yang sedang ditunggu. Waktu lima jam itu terasa sangat lama bagi Anda namun terasa biasa saja bagi saya. Padahal ukuran waktu sehari semalam, dua belas jam, atau pun lima jam itu, secara matematis tidak ada bedanya, waktu itu bergulir secara objektif di mana pun. Albert Einstein melukiskan pengalaman eksistensial ini secara kontradiktif: “Jika dua jam bersama gadis yang baik, orang merasa dua menit; namun jika dua menit duduk di atas open panas, orang merasa dua jam.”285



D



Kembali kepada Bergson, di sini waktu yang bersifat kualitatif dalam



bentuk durese tidak bisa diartikan berdasarkan waktu yang bersifat kuantitatif; “Lamanya tidak dapat ditafsirkan berdasarkan ruang; peristiwa kesadaran



U



tidak bisa diperlakukan sebagai peristiwa fisis dan realitas psikis tidak mungkin diterangkan secara mekanistis; eksistensi duree tidak boleh



M



dijelaskan melalui fenomena temps.286



Karena itu, akal tidak dapat membedakan antara tempat dan waktu yang sakral dan profan, semuanya sama. Namun intuisi mampu mengerti



M



mengapa ada tempat-tempat yang sakral dan profan, sebagaimana juga ada waktu-waktu yang suci dan biasa.287 Bahkan menurut Bergson, hati secara intuitif bisa menembus batas waktu; antara masa lalu, masa kini dan masa depan seakan lebur dalam kesatuan. Dalam istilah Bergson, inilah yang



Y



dimaksud dengan peleburan murni (pure duration)”.288



Bersama dengan ingatan murni yang berada di dalam manusia, bagi Bergson eksistensi duree bukan serangkaian momen-momen yang terpisah 285



Zaprulkhan, Sakit Yang Menyembuhkan (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 13-16. 286 Bertens, Filsafat Kontemporer, hlm. 13-14. 287 Kartanegara, Menyibak, op.cit, hlm. 28-29, 62. 288 Zaprulkhan, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 137. 224



satu sama lain antara masa silam, masa kini, dan masa depan; melainkan sebagai kesatuan organis di mana masa silam tidak tertinggal di belakang, tetapi bersama dan menyatu dalam masa kini. Begitu pula dengan masa depan, bukanlah momen-momen yang belum datang, melainkan masa depan itu benar-benar bisa hadir pada saat ini dalam kesadaran manusia yang intens sebagai ingatan murni. Dengan kata lain, melalui ingatan murni, masa silam bukan sekuensi waktu yang terlepas dari masa kini, sebagaimana masa depan bukan pula sekuensi waktu yang berbeda jauh dari masa kini. Baik masa silam maupun masa depan, keduanya bisa benar-benar menyatu dengan masa kini yang dirasakan seutuhnya oleh ingatan murni dalam diri manusia yang



D



mengalir bersama duree.289 Itulah alasannya mengapa kita bisa larut dalam kesedihan dan



menangis terisak-isak tatkala terkenang momen-momen masa silam yang



U



sangat menyedihkan hati. Kita juga bisa merasa senang dan bangga ketika mengenang kemenangan-kemenangan kita di masa silam. Namun bukan



M



hanya itu. Dengan membayangkan kemenangan-kemenangan yang lebih besar dalam perasaan kita saat ini di masa depan, kita akan langsung merasakan semangat dan gairah yang menyala-nyala dalam diri kita seakan-akan



M



kemenangan-kemenangan besar itu sudah kita raih saat ini juga; Dengan mengimajinasikan tindakan-tindakan kebajikan voluntir kepada orang banyak di masa depan, kita bisa langsung merasakan kebahagiaan dan kehidupan yang bermakna saat ini juga, kini dan di sini. 290 Itulah keunikan intuisi: ia



Y



mampu menyatukan momen masa silam dan masa depan ke dalam momen sekarang. 289



K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 17-19. Bandingkan dengan Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Terj. Ali Audah dkk (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hlm 95-97. 290 Dalam kajian psikologi di sebut visualisasi. Lihat dalam Napoleon Hill, Think and Grow Rich (New York: Ballantine Books, 1983), hlm. 70-80; Bandingkan dengan Norman Vincent Peale, Change Now, Terj. Teguh W. Utomo (Yogyakarta: Baca, 2007). 225



Kedua, akal selalu memahami objeknya melalui simbol-simbol, sedangkan intuisi justru melampaui segala bentuk simbol dan menembus langsung sampai ke jantung objeknya. Wacana akal atau pengetahuan rasional diperoleh dari pengalaman yang kita alami dengan berbagai objek dan peristiwa dalam lingkungan kita sehari-hari. Pengetahuan ini termasuk ke dalam wilayah penalaran, yang berfungsi membedakan, memisahkan, membandingkan, mengukur dan menggolongkan. Dengan cara ini, tercipta suatu dunia distingsi nalar; dari hal-hal berkebalikan yang hanya bisa eksis dalam relasinya dengan yang lain, juga merupakan alasan mengapa orang Buddhis menyebut sejenis pengetahuan ini ‘relatif’.



D



Abstraksi adalah ciri penting pengetahuan ini, karena untuk



membandingkan dan mengklasifikasikan berbagai macam bentuk, struktur, dan fenomena yang amat banyak di sekitar kita, kita tidak bisa menyertakan



U



seluruh cirinya, tetapi harus memilih beberapa ciri signifikan. Maka kita membangun semacam peta menalaran realitas di mana segala sesuatu



M



direduksi menjadi garis besarnya secara umum. Pengetahuan rasional karena itu merupakan sistem konsep dan simbol abstrak, dengan ciri struktur sekuensial linier yang khas sebagaimana cara kita berpikir dan berbicara.



M



Dalam nyaris setiap bahasa, struktur linier ini dibuat eksplisit dengan penggunaan abjad yang befungsi mengkomunikasikan pengalaman dan pikiran dalam deretan panjang huruf.



Di sisi lain, dunia alamiah adalah dunia dengan keragaman dan



Y



kompleksitas tak terhingga, dunia multidimensional tanpa garis lurus ataupun bentuk-bentuk yang sepenuhnya beraturan, dimana segala sesuatu tak berlangsung secara sekuensi namun serentak bersama-sama; dunia di mana— seperti dikatakan fisika modern kepada kita—ruang kosong pun melengkung. Jelas bahwa sistem abstrak pemikiran konseptual kita tak akan pernah bisa mendeskripsikan atau memahami realitas ini selengkapnya. Ketika berpikir tentang realitas ini kita dihadapkan pada persoalan yang sama seperti ketika seorang pembuat peta berupaya melingkupi permukaan bumi yang



226



melengkung dengan serangkaian peta bidang datar. Kita hanya bisa mengharapkan representasi hampiran (aproksimasi) atas realitas dari prosedur semacam itu, dan karena itu seluruh pengetahuan rasional niscaya terbatas. Tentu saja, dunia pengetahuan rasional, adalah dunia sains yang aktivitasnya memang mengukur dan mengkuantifikasi, mengklasifikasi dan menganalisis. Berbagai keterbatasan dari setiap pengetahuan yang diperoleh dengan metode ini menjadi semakin tampak jelas dalam sains modern, khususnya dalam fisika modern yang telah mengajari kita, meminjam ungkapan Werner Heisenberg, ‘bahwa setiap kata atau konsep, sejelas apa pun kelihatannya, hanya memiliki jangkauan penerapan yang terbatas.291 Dalam



D



bahasa Bergson, cara kerja akal bersifat sinematografik yakni menganalisis rangkaian peristiwa dalam serpihan-serpihan keadaan yang statis.292 Dalam konteks ini, cukup penting kiranya kita melihat pembagian



U



pengetahuan menurut Bergson. Dalam perspektif Bergson, pengetahuan akal merupakan pengetahuan mengenai (knowledge about), yakni pengetahuan



M



diskursif atau simbolis yang menggunakan perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan tentang (knowledge of), yaitu pengetahuan intuitif yang bersifat langsung. 293



kita



M



Dalam Frase Bergson: melalui analisa dan saran pelukisan lainnya, tidak pernah memperoleh pengetahuan tentang kejadian yang



sebenarnya…hanya dengan menggunakan intuisi kita dapat memperoleh



Y 291



Fritjof Capra, The Tao of Physics. Terj. Aufiya Ilhamal Hafizh (Yogyakarta: Jalasutra, 2000), hlm. 17-18. 292 Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin Ltd, 1974), hlm 763; Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius,2005), hlm 137-138. 293 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj, Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 141. 227



pengetahuan tentang kejadian itu, suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantaranya. 294 Mendekati konsepsi Bergson, Alfred North Whitehead menyuarakan pula dua tipologi pengetahuan. Pertama, pengetahuan dengan lukisan (knowledge by description) atau knowledge about thing, yakni pengetahuan tentang fakta yang didapatkan dari benda-benda atau kejadian-kejadian yang mengelilingi manusia. Kedua, pengetahuan dengan perkenalan (knowledge by acquaintance), yakni pengetahuan yang akrab. Ilustrasi konkretnya, ada perbedaan antara uraian ilmiah tentang cinta, baik dari segi kimia atau segi psikologi, dengan pengalaman yang betul-betul tentang cinta. Begitu juga



D



terdapat perbedaan antara uraian tentang simponi dengan respons emosional dan estetik yang mendalam yang ditumbuhkan oleh orang yang memainkan simponi tersebut.295



U



Ketiga, akal tidak bisa memasuki wilayah pengalaman eksistensial



yang berhubungan dengan perasaan, emosional, mental, dan spiritual



M



kehidupan manusia. Berbeda dengan akal, intuisi mampu menyelami langsung pengalaman-pengalaman eksistensial, pengalaman nyata manusia yang berhubungan dengan segala dimensi kehidupan yang ditangkap oleh fakultas



M



hati, emosinal, mental, dan spiritual secara langsung. 296



Menurut Capra, salah satu metode menggunakan intuisi dalam memperoleh pengetahuan langsung adalah meditasi. Ketika pikiran rasional diheningkan, modus intuitif menghasilkan kesadaran luar biasa; lingkungan



Y



yang dialami secara langsung tanpa saringan pikiran konseptual. Dalam ungkapan Chuang Tzu, ‘Pikiran hening seorang bijak adalah cermin langit dan bumi—cermin segala sesuatu’. Pengalaman menyatu dengan lingkungan



294



Ibid., hlm. 83. Bandingkan dengan Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 13. 295 Titus, Persoalan Filsafat, op.cit., hlm. 249-250. 296



Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu (Bandung: Mizan, 2005),



hlm. 14-15.



228



di sekelilingnya adalah karakteristik utama kondisi meditatif ini. Kondisi ini adalah suatu keadaan kesadaran ketika setiap bentuk fragmentasi mereda, memudar dalam kesatuan yang tak terdiferensiasi. Pada meditasi yang mendalam, pikiran terjaga sepenuhnya. Selain pemahaman nirinderawi atas realitas, kondisi ini juga menangkap setiap suara, penglihatan, dan kesan-kesan lain dari lingkungan sekitarnya, namun gambaran inderawi itu tidak dipegang untuk dianalisis atau ditafsirkan. 297 Semua pengalaman intuitif itu bukan untuk diuraikan dengan kata-kata dan dilukiskan secara lisan, tapi untuk dialami dan dirasakan oleh siapa pun yang mengalaminya.



D



Dalam konteks ini, kita bisa kembali meminjam kasus tentang cinta,



siapa pun tidak akan memahami hakikat cinta semata-mata, dengan membaca literatur tentang cinta, tetapi dengan mengalaminya; Sebab cinta tidak dapat



U



dipahami lewat akal, tetapi lewat hati. Itulah mengapa perasaan cinta tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata atau secara diskursif sebab ia bukan



M



wilayah akal. Pujangga besar sufi Maulana Jalaluddin Rumi yang terkenal dengan ajaran cintanya kepada Tuhan, menyatakan ketidakmampuannya mengekspresikan hakikat makna cinta: “Telah kuberikan seribu satu macam



M



penjelasan tentang cinta, tetapi ketika cinta itu sendiri datang, aku malu dengan semua penjelasan tersebut.”298 Secara agak ekstrem Jalaluddin Rumi mengemukakan prinsip ini:



If the intellect were to try and explain love, it would fall



Y



down in the mud like an ass. Love and loving can only be explained by love. The sun is the proof of the sun; if you need proof of its existence, stare at it.299



297



Fritjof Capra, The Tao, po. cit, hlm. 31. Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 119. 299 Robert Van De Weyer, 366 Reading from Islam (Mumbai: Jaico Publishing, 2003), hlm. 9-30. 229 298



Sebagian



ulama



sufi



mengekspresikan



ketidakmampuannya



melukiskan hakikat cinta dengan sangat indah: Hakikat cinta tidak mungkin didefinisikan dengan lebih jelas kecuali dengan cinta itu sendiri; pengertian cinta adalah eksistensi cinta itu sendiri; Sehingga makna cinta tidak bisa dilukiskan dengan lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Dengan kata lain, kembali meminjam bahasa Bergson, intuisi mencandra kehidupan dengan seluruh pernak-pernik yang mengiringinya sebagai pengalaman hidup yang bersifat dinamis (dynamic) bukan bersifat statis (static).300 E. Penutup: Antara Apresiasi dan Kritik Kita baru menelusuri epistemologi intuisionisme Henri Bergson



D



yang berpijak pada fakultas intuisi. Serpihan-serpihan argumentasi yang dikonstruksi



oleh



Bergson



memang



sangat



menakjubkan.



Bergson



U



menunjukkan secara demonstratif bagaimana keistimewaan intuisi yang melampaui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh akal dan panca indera. Intusi



dapat



bersentuhan



langsung



dengan



pengalaman-pengalaman



M



eksistensial kehidupan kita: tentang kebahagiaan dan penderitaan; tentang cinta dan kebencian; tentang sakralitas ruang dan waktu; tentang meleburnya pusaran masa silam, masa kini, dan masa depan dalam perasaan kita; tentang



M



senyuman dan tangisan. Di sini mesti kita akui secara jujur, momen-momen eksistensial inilah yang tak bisa ditangkap oleh fakultas akal dan panca indera secara penuh.



Y



Meskipun demikian, dalam perspektif para filsuf, kehebatan intuisi tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri: sebab tidak ada satu pun fakultas manusia, termasuk intusi yang bisa steril dari kekurangan dan kelemahan. Dalam konteks ini, kita bisa mengajukan dua catatan kritis. Pertama, intuisi kita bersifat sangat subjektif ketika bersentuhan dengan pengalamanpengalaman eksistensial. Apalagi ketika seseorang bersentuhan dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman ketuhanan, dikhawatirkan intuisi



300



Russell, Western Philosophy, op.cit., hlm 763. 230



justru menjadi alat yang digunakan untuk mendukung kepentingan egoistiknya semata.301 Pengalaman-pengalaman ketuhanannya malah menjadi pengakuan-pengakuan yang tak masuk akal dan bisa menyesatkan orang banyak. Di sini, pengalaman-pengalaman eksistensial melalui intuisi idealnya tetap disoroti di bawah terang akal. Kedua, karena sifat subjektivitasnya, intuisi mengungkapkan temuan-temuan penglihatannya secara subjektif pula. Setiap orang memiliki pengalaman unik yang pasti berbeda dengan orang lain. Sehingga seolah-olah menjadi paradoks: intuisi membiarkan pengalamannya menjadi misteri dalam diri setiap orang yang kesemuanya tidak sama, meskipun mengalami objek



D



yang sama (tentang cinta, kebahagiaan, kesedihan). Filsafat, dengan penggunaan akalnya secara maksimal, justru



bertolak belakang dengan sikap tersebut. Salah satu tujuan akal adalah



U



menyingkap semua ranah yang dikajinya dari bayang-bayang misteri dan paradoks. Idealisme yang paling dihargai oleh intelek kita adalah menemukan



M



kebebasan diri dari bujukan pribadi yang samar dan memberontak dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran objektif bagi setiap manusia yang berpikir. Tugas penalaran berupaya membebaskan semua pengalaman-



M



pengalaman eksistensial yang bersifat subjektif menjadi bersifat objektif, sehingga bisa dimengerti oleh semua orang (sebagian besar orang). Meskipun pengalaman ketuhanan yang dicandra oleh intuisi seseorang tidak dapat dituangkan ke dalam kata-kata secara lengkap, tapi akal



Y



tetap menuntut untuk mengekspresikannya secara analogis agar dapat dipahami oleh lawan bicaranya. Walaupun baris kalimat demi kalimat terlalu miskin untuk bisa menampung pengalaman cinta yang kita rasakan, namun akal tetap menuntut kita menguraikannya secara objektif agar orang lain setidaknya bisa mengerti sebagian pengalaman cinta kita yang subjektif.



301



Karen Armstrong, A History of God (London: Vintage Books, 2001), hlm. 244-246. 231



Demikianlah



seterusnya,



untuk



kepentingan



agar



dapat



dikomunikasikan secara universal dan dapat dipahami oleh mitra bicara dalam berinteraksi,



pengalaman-pengalaman intuitif seyogyanya



tetap harus



diekspresikan ke dalam bahasa yang logis-rasional. Tugas akal-lah yang membungkus pengalaman-pengalaman intuitif dengan bahasa yang rasional dan universal.302 Akhirnya, karena tidak ada kebenaran intuitif yang bersifat mutlak dan steril dari kesalahan, cukup beralasan jika epistemologi intuisi dalam memperoleh pengetahuan mesti dilengkapi dengan epistemologi pengalaman inderawi sekaligus intelegensi. 303



Y



M



M



U



D 302



Kritik ini juga, saya pinjam dari kritik filsafat terhadap pengalaman keagamaan yang dilakukan William James dalam bab filsafat. Lihat James, The Varieties of Religious Experience, op.cit., hlm. 337-356. 303



Titus, Persoalan Filsafat,op.cit. hlm. 208. 232



BAB 8 EPISTEMOLOGI EKSISTENSIALISME



D A. Pengantar



“Existentialism is an attempt to philosophize from the



standpoint of the actor rather than from the standpoint of



U



the spectator”304



Eksistensialisme merupakan satu bentuk filsafat yang berusaha



M



keras untuk menganalisa struktur-struktur dasar dari eksistensi manusia serta untuk mengundang setiap orang pada kesadaran akan eksistensi mereka dalam kebebasan yang hakiki.305 Para filsuf eksistensialis memiliki concern atau



M



minat yang sama, yaitu problem tentang kehidupan konkret sebagai manusia (human being). Kata human yang mengacu kepada manusia menunjuk kepada keseluruhan situasi dan kondisi yang istimewa dan eksklusif “dimiliki” hanya oleh manusia dan keseluruhan totalitas kemanusiaan. Manusia adalah



Y



eksistensi. Kata eksistensi itu sendiri sudah menunjuk kepada cara berada manusia yang khas, yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk hidup lainnya. Apa yang bersifat human dalam dirinya sendiri juga menunjuk kepada keseharian konkret hidup manusia eksistensial yang disebut dengan 304



Frederick Copleston, A History of Philosophy: Logical Positivism and Existentialism (London: Cobtinuum, 2003), hlm. 127129. 305 Emanuel Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme (Surabaya: Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014), hlm. 29. 233



human existence. Dikatakan bahwa human existence (eksistensi manusia) memiliki minat atau ketertarikan (concern) bagi (terhadap) dirinya sendiri. Human existence mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan-jalan reflektif, laksana cermin yang menyampaikan pesan tentang dirinya, eksistensinya, keseharian hidupnya, relasi dan komunikasinya, dan lain sebagainya. Dasar dari permahaman tentang human existence adalah kenyataan ontologis bahwa manusia adalah sosok yang “menjadi”, sebagaimana dikatakan oleh Kierkegaard: “Individu bukan hanya eksis (ada), tetapi dia juga bereksistensi (mengada)”. Sebagai sosok yang menjadi, yang bereksistensi, kita tidak akan



D



pernah secara tuntas mengatakan manusia sebagai ini atau itu. Manusia adalah sosok yang tidak pernah tuntas, dan dengan demikian selalu ada sisi atau dimensi yang bersifat misteri baginya. Para pemikir eksistensialis dengan



U



tekun dan serius akan selalu mencoba melongok “cahaya yang keluar” dari kedalaman misteri eksistensi manusia ini. Oleh karena itu, dalam konteks ini,



M



eksistensialisme dipahami sebagai jalan hidup yang melibatkan totalitas diri seseorang dalam hal keseriusan sikap yang sungguh-sungguh tentang dirinya sendiri.306



M



Dengan demikian sebagaimana statemen di awal, eksistensialisme merupakan sebuah upaya filosofis yang berangkat dari pengalaman atau sudut pandang konkret sang pemain secara langsung dengan seluruh problematika aktual



yang



dihadapinya



daripada



sudut



sang



penonton.



Dalam



Y



perkembangannya, eksistensialisme terbagi dalam dua aliran besar, yaitu eksistensialisme teis atau eksistensialis yang percaya dan tidak menolak Tuhan, dan eksistensialisme ateis atau eksistensialis yang tidak percaya atau menolak Tuhan.307



306



Ibid., hlm. 25-27. Alim Roswantoro, Menjadi Diri Sendiri Dalam Ekstensialisme religius Soren Kiekegaard (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hlm. 45. 234 307



Jika eksistensialisme teistik diwakili oleh filsuf semacam Soren Kierkegaard, Gabriel Marcel, dan Martin Buber, eksistensialisme ateistik direpresentasikan oleh filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, dan Friedrich Nietzsche. Karena itu, dalam bab ini kita akan menelaah kedua aliran besar eksistensialisme tersebut dengan menghadirkan gagasan sentral salah satu filsuf aliran tersebut masing-masing yaitu Soren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre. B. Sejarah dan Pengertian Eksitensialisme Suatu filsafat muncul tidak pernah bisa dilepaskan dari bangunan filsafat yang sudah ada sebelumnya. Idealisme Platonik menginspirasi



D



realisme Aristotelian, idealisme dan realisme mendapatkan kritik-kritik dan lahirlah filsafat aliran empirisme. Empirisme, yang dipandang melebih-



U



lebihkan persepsi inderawi dan memandang kurang begitu penting rasio, melahirkan filsafat baru, rasionalisme, yang berkebalikan melebih-lebihkan rasio sebagai alat pengetahuan yang menjamin kepastian. Rasionalisme dalam



M



sejarah filsafat Barat mendorong menguatkan kesadaran sebagai pusat filosofisasi dan lahirlah aliran idealisme. Semua filsafat aliran ini bertumpu pada keyakinan adanya kebenaran objektif-universal tentang sesuatu baik



dan sosialitasnya.



M



sebagai gejala-gejala fisikal maupun non fisikal, bahkan termasuk manusia



Filsafat seperti ini membangunkan filosof-filosof yang menentang



Y



pengejaran kebenaran objektif-universal, apalagi kalau menyangkut eksistensi manusia, dan sebagai gantinya mereka memusatkan pada sisi individualitas dan keunikan setiap individu manusia. Tidak pernah ada konsep manusia dan kemanusiaan objektif-universal yang timelessness dan spacelessness, manusia selalu unik, dan konsep kemanusiaan merupakan suatu gagasan yang terus bergerak maknanya, karena gagasan atau ide atau pemikiran hanyalah bagian dari ekspresi manusia memahami keadaan sekitarnya. Manusia yang menentukan ide, bukan ide yang menentukan manusia. Gerakan filosofis ini kemudian melahirkan suatu filsafat aliran baru yang disebut eksistensialisme.



235



Jadi, eksistensialisme merupakan suatu filsafat baru yang merespons filsafat-filsafat aliran sebelumnya. Seperti filsafat-filsafat sebelumnya, eksistensialisme tidak lahir begitu saja, tanpa didahului paradigma filosofis yang ada sebelumnya. Secara etimologis, eksistensialisme berasal dari kata eksistensi (existence) dan isme (ism) yang berarti paham atau aliran. Kata existence, jika dilacak ke bahasa lain, berasal dari bahasa Latin, existere. Kata existere sebenarnya dalam bahasa Latin masih terurai lagi ke dalam dua kata, yaitu ex dan sistere. Ex dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan kata out yang berarti keluar, sedangkan padanan untuk kata sistere dalam bahas Inggris adalah stand yang berarti berdiri.



D



Dengan demikian, existere atau existence berdiri keluar, yang secara



terminologis dalam paham eksistensialisme adalah keluar untuk menyadari bahwa dirinya berdiri sendiri; dirinya ada; memiliki aktualitas; dan menilai



U



apa saja yang dialami. Eksistensialisme, dari kata eksistensi yang dibubuhi kata yang berarti paham atau aliran, secara sederhana bisa diartikan paham yang



mementingkan



eksistensi



M



filsafat



daripada



sebaliknya,



esensi.



Eksistensialisme adalah suatu paham filsafat yang dalam memahami sesuatu, apalagi menyangkut manusia, menekankan pentingnya eksistensi daripada



konseptual.



M



spekulasi-spekulasi abstrak yang wujudnya berupa konstruksi-konstruksi



Eksistensi dalam perbendaharaan istilah filsafat selalu dilawankan dengan istilah esensi. Esensi dimengerti sebagai sesuatu yang dipandang



Y



penting, ideal, objektif, dan universal melalui aktivitas berpikir. Pengertiannya sepenting, seideal, seobjektif, dan seuniversal benda mati. Dalam tradisi ilmuilmu alam, benda mati sebagai sasaran eksperimentasi penelitian ilmiah memiliki kepenuhan dan kefinalan pengertian. Berbeda dengan manusia, benda bisa diteliti dan dieksperimentasi berulang-ulang, kapanpun ia tidak akan berubah. Benda tidak memiliki inisiatif dan keaktifan di dalam dirinya sendiri, dan karenanya jelas tidak memiliki personalitas. Ia mempunyai



236



pengertian yang tertutup, akan selalu sama di manapun dan kapanpun. Ia ada tetapi tidak pernah bisa mengada, dan oleh karenanya ia bisa dengan pasti diobjektivikasi. Ia tidak pernah bereksistensi. Esensi adalah yang menjadikan sesuatu benda apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan esensi dapat dibicarakan secara berarti walaupun tak ada contoh bendanya pada suatu waktu. Berbeda dengan benda, manusia sama sekali objek yang lain. Manusia ada dan selalu terbuka untuk mengada. Manusia bereksistensi, sementara benda tidak bereksistensi. Kata eksistensi dalam eksistensialisme



D



ditujukan secara khusus untuk keunikan eksistensi manusia dibandingkan dengan benda. Eksistensi menunjukkan bahwa keberadaan dan proses mengadanya manusia selalu terbuka dan dinamis dan menggambarkan



U



keunikan masing-masing individu. Manusia tidak bisa dibatasi pengertiannya pada konsep-konsep ideal, objektif, dan universal tentang dirinya. Manusia



M



tidak bisa dipahami dalam pengertian tertutup dan final, karena setiap individu memiliki inisiatif, prakarsa, kehendak bebas, dan kreativitas. Oleh karena



itu,



eksistensinya



tak tergantikan oleh hasil



M



konseptualisasi pikiran manusia. Eksistensi adalah keadaan aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, yang berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab dan transformatif diri. Kebalikan dari eksistensi adalah esensi. Jika spekulasi-spekulasi abstrak berharap melahirkan konsep ideal



Y



yang memandang segala sesuatu pada umumnya, maka eksistensi memandang setiap individu memiliki keunikan masing-masing. Apabila spekulasispekulasi abstrak melihat setiap individu manusia secara umum dan sama, maka eksistensi memandang setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan dan



tidak



begitu



saja



disamakan.



Menyangkut



masalah



manusia,



eksistensialisme merupakan suatu pandangan filosofis tentang interpretasi eksistensi manusia di dunia ini yang menekankan kekonkretannya dan karakter problematiknya yang dihadapi langsung oleh setiap individu



237



manusia. Eksistensi oleh karenanya dianggap sebagai yang partikular dan yang individual, yang mengonotasikan suatu jalan menuju makna mengada sebagai diri.308 Dalam perkembangannya, eksistensialisme terbagi dalam dua aliran besar, yaitu eksistensialisme teis atau eksistensialis yang percaya dan tidak menolak Tuhan, dan eksistensialisme ateis atau eksistensialis yang tidak percaya atau menolak Tuhan. Filosof-filosof eksistensialis aliran yang pertama antara lain Soren Keirkegaard, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel; Sedangkan di antara eksistensialis ateis adalah Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Camus, yang menurut pengelompokkan Sartre, mereka adalah



D



Martin Heidegger, para eksistensialis Perancis, dan dia sendiri. Keduanya, baik yang bertuhan maupun yang tidak bertuhan, sepakat



bahwa seluruh agama dan filsafat itu untuk manusia, dan harus berupaya



U



mengembangkan



suatu



teori



tentang



manusia



yang



sesuai.



Dari



pengembangan teori tentang manusia ini akhirnya terlihat perbedaan



M



menyolok antara keduanya. Eksistensialisme ateis menganggap manusia sebagai suatu wujud yang sama sekali bergantung pada dirinya sendiri, sedangkan eksistensialisme teis menganggap manusia sebagai wujud yang



M



bergantung pada yang lain, pada Tuhan.309



Ciri yang menonjol untuk membedakan keduanya adalah bahwa yang non-religius atau ateistik menolak Tuhan demi kebebasan manusia, sedangkan



yang



religius



justru



dengan



menerima



Tuhan



manusia



Y



mendapatkan kebebasannya. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya individualitas dan kebebasan dan sama-sama memandang manusia sebagai realitas terbuka dan tak pernah selesai. Argumen eksistensialis non-religius, apabila eksistensi Tuhan diterima berarti eksistensi manusia menjadi semu, 308



Ibid.,hlm. 37-40. Sebagai kompararsi, lihat juga Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 183-188. 309 Alim Roswantoro, Tuhan dan Kebebasan Manusia Dalam Eksistensialisme Ateistik (Yogyakarta: Idea Press, 2008), hlm. 48-49. 238



karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan. Eksistensialis religius berpendapat, manusia mengatasi temporalitas yang menjadi ciri eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai sumber kebebasan dan aktualisasi diri ke masa depannya.310 Kierkegaard berpendapat bahwa jiwa manusia berada dalam pengasingan permanen dari Tuhan. Manusia mendapatkan dirinya di dunia yang bukan buatannya. Dia menemukan dirinya terpisah dari kekuasaan atau prinsip yang melahirkan dunia dan oleh karena itu, merasa, merasa diasingkan. Menurutnya, pengasingan ini tidak bisa disembuhkan dengan jalan perubahan sosial—bukan berarti dia menentang perubahan sosial—



D



karena pengasingan manusia berakar dalam dirinya sendiri. Jika melihat dunia, manusia merasa cemas, suatu rasa putus asa yang mendalam atau Angst, sehingga tidak mungkin disembuhkan dengan analisan apapun, apakah



U



dengan analisa logis, seperti dianjurkan para pemikir Inggris dan Amerika, atau dengan analisa psikoanalisis.



M



Melalui tiga stadia eksistensi, akhirnya manusia menemukan kembali kebebasannya hanya dengan suatu lompatan ke dalam iman, kembali kepada



Tuhan.



Bila



dia



kembali



kepada



Tuhan,



dia



tidak



bisa



M



membenarkannya atas dasar logika atau intelegensi. Kata Kiekegaard, kebenaran akan terdapat pada keputusan terakhir. Tidak ada orang yang dapat memberi arahan untuk keputusan ini. Atas dasar hal ini, dia merumuskan suatu dalil yang diterima semua penganut eksistensialisme, termasuk



Y



Heidegger dan Sartre, yaitu bahwak kebenaran bersifat subjektif, tidak ada kebenaran yang objektif, bahwa kebenaran bergantung pada keputusankeputusan yang diambil secara subjektif, sehingga kebenaran itu memang menggambarkan subjektivitas. Sebaliknya,



Heidegger



dan



Sartre



serta



para



penganut



eksistensialisme ateistik lainnya tidak menerima bahwa pengasingan itu dapat disembuhkan dengan meloncat ke alam kemutlakan atau Tuhan. Mereka 310



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 46. 239



menerima pernyataan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Pernyataan ini sangat terkenal dalam sejarah pemikiran Barat. Nietzsche menyatakan bahwa semua agama tradisional telah menjadi tidak mungkin, karena kritik-kritik yang tajam dalam Injil, dan bahwa Tuhan sudah mati, kembali kepada Tuhan adalah suatu pelarian. Meskipun para penganut eksistensialisme ateistik mengatakan Tuhan telah mati, namun mereka menganggap bahwa pengasingan manusia dan kesepiannya terdapat di dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat dihilangkan.311 Ketiadaan Tuhan oleh para filsuf eksistensialis ateis diganti dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dalam telaah Sartre, ketiadaan Tuhan diganti oleh kebebasan mutlak manusia itu sendiri. Sartre



D



terkenal dengan sebuah adagiumnya: existence precedes essence, ekstensi mendahului esensi.312 Slogan tersebut mengindikasikan bahwa seseorang tidak punya sifat



U



atau jangkauan pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya, namun selalu bebas untuk memilih yang baru dan sesuai, karenanya menjadikan dirinya



M



sebuah pribadi yang berbeda.313 Sartre menerangkan pengertian ini dimulai dengan analogi bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan sebuah pisau kertas. Hal ini karena pisau kertas ini dibuat oleh seseorang yang mempunyai



M



konsep tentang pisau itu. Tampak bahwa sebelum jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Ini berarti esensi pisau itu telah ada sebelum pisau itu ada. Mengenai manusia, dia ada tanpa didahului oleh esensi,



Y



tetapi dia ada dan kemudian bereksistensi membentuk esensinya.



Maksud eksistensi mendahului esensi menurut Sartre bisa disimak dalam kata-kata berikut: It means that, first of all, man exists, turns up, appears on the scene, and, only afterwards, defines himself. If man, as the 311



Roswantoro, Tuhan Dan Kebebasan, hlm. 49-50. Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus, 2007), hlm. 317. 313 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 302. 240 312



existentialist conceives him, is indefinable, it is because at first he is nothing (Ini berarti bahwa, pertama-tama, manusia ada, muncul, tampak pada suatu adegan, dan baru setelah itu, mendefinisikan dirinya sendiri. Jika manusia, seperti eksistensialis memahaminya, tak dapat didefinisikan, itu karena pada awalnya dia tidak ada). Dari pengertian ini, Sartre menyimpulkan, ‘Thus there is no human nature, since there is no God to conceive it’(Jadi tidak ada hakikat manusia, karena tidak ada Tuhan untuk mengkonstruksinya). Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan. Berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti hakikatnya. Hanya manusia saja yang memahami dan membentuk dirinya sendiri. Manusia



D



mendefinisikan dirinya dengan tindakan-tindakannya. Dari sinilah, Sartre kemudian menegaskan bahwa asas pertama eksistensialisme adalah man is nothing else but what he makes of himself (Manusia tidak lain hanyalah apa



U



yang dia buat tentang dirinya sendiri). 314 Dalam eksistensinya, manusia berjumpa dengan dirinya sendiri dan



M



muncul di dunia sebelum segala sesuatu didefinisikan dan dipahami. Perjalanan hidup bagi manusia tidak lain adalah dalam proses aktualisasinya, kebebasannya,



pilihan-pilihannya,



dan



tanggung



jawabnya.



Seluruh



M



eksistensinya merupakan kebebasan dan tanggung jawab manusia yang terutama nampak pilihan-pilihannya. Itulah yang disebut sebagai kemanusiaan eksistensial.



Lebih lanjut, menurut Sartre, eksistensi manusia secara fundamental



Y



bukanlah by design. Seandainya eksistensi manusia itu by design, maka eksistensinya kehilangan sama sekali kebebasan dan otentisitas dirinya. Hidupnya menjadi determinatif dan sudah berada dalam kerangka ‘takdir’nya. Menurut Sartre, ‘takdir’ manusia justru ada dalam kebebasannya. Cara ada manusia yang paling unik dan tak tergantikan ada dalam kebebasannya. Manusia adalah kebebasannya. Kebebasan itu nampak dalam pilihan-pilihan yang dibuatnya di sepanjang sejarah hidupnya. Melalui pilihan-pilihan yang 314



Roswantoro, Tuhan Dan Kebebasan, hlm. 43-44. 241



dibuatnya, manusia “mengisi” hidupnya. Pilihan-pilihan itulah yang menetapkan kebebasan dalam hidup manusia sebagai yang bukan by design melainkan by choice.315 C. Biografi Soren Kierkegaard Soren Kierkegaar dilahirkan pada tahun 1813 di kota Kopenhagen, Denmark, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Saat ia dilahirkan, ayahnya, Mikhael Kierkegaard, sudah berusia 51 tahun. Ayahnya menanggung perasaan berdosa dan melankolia sepanjang Watak



diwarikskan



kepada



melankolis si



bungsu,



itupun Soren



Kierkegaard, sebab hubungan ayah dan anak ini



U



D



hidupnya.316



sangat dekat. Pada tahun 1830, Kierkegaard



masuk ke fakultas teologi Universitas Kopenhagen. Motif masuk teologi



M



adalah untuk menyenangkan ayahnya. Karena itu dia sebenarnya kurang meminati ilmu ini, dan sebagai mahasiswa dia malah mempelajari filsafat, kesusastraan, dan sejarah. Dalam masa ini dia mengambil sikap sebagai



M



seorang “penonton kehidupan” yang sinis. Keyakinan yang diwarisi dari ayahnya masih dianut, yakni bahwa kehidupannya adalah untuk menjalani hukuman Allah yang ditimpakan kepada keluarganya.



Y



Sementara itu, perlahan-lahan dia mulai mengambil jarak terhadap keyakinan itu dan melancarkan kritik-kritiknya atas agama Kristen. Sikap kritis ini membawanya ke sikap tidak percaya, lalu dia kehilangan kepercayaannya ada patokan-patokan moral, sampai pada tahun 1836, dia sempat mencoba bunuh diri. Keadaan ini dapat diatasinya, dan pada tahun



315



Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme, hlm. 79-81. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 244. 316



242



1838, setelah ayahnya meninggal, dia mengalami sebuah pertobatan religius. Dia berhasil menyelesaikan studi teologinya. Salah satu peristiwa penting dalam hidupnya adalah pertunangannya dengan Regina Olsen. Sekiranya tidak bertemu dengan gadis ini, mungkin kita tidak akan mendapat tilikan-tilikan filosofis Kierkegaard. Dia sudah jatuh cinta kepada gadis ini ketika gadis ini berusia 14 tahun, dan empat tahun kemudian Kierkegaard yang sudah berusia 27 tahun melamarnya. Semua orang menilai keduanya sebagai pasangan ideal, begitu juga perasaan keduanya. Akan tetapi, sebelas bulan sesudah pertunangan itu, Kierkegaard mengubah pendiriannya dan memutuskan ikatan pertunangan itu. Setelah



D



pergumulan yang lama, ia menjadi yakin bahwa dirinya tidak cocok untuk kehidupan rumah tangga dan menyadari dirinya sebagai seorang manusia dengan misi khusus.



U



Dalam perkawinan orang harus terbuka satu sama lain, padahal menurut Kierkegaard ada hal-hal yang sangat intim yang tak bisa



M



diungkapkan kepada pasangan, maka ia membatalkan rencana perkawaninan itu. Regina sangat kecewa tentu saja, tapi kemudian dia bisa mengatasinya dan hidup bahagia dengan laki-laki lain. Judul karyanya Either Or,



M



sebenarnya menyatakan sikap hidupnya (atau…atau…). Dia juga menulis The Concept of Dread, Philosophical Fragments, Stage on Life’s Way, dan Concluding Unscientific Postcript, Attack upon Cristendom, dan lain-lain. Pada mulanya dia memakai nama samaran Constantin Constantius untuk



Y



buku-buku ini. Dalam sisa hidupnya, dia tetap mengambil sikap kritis dan bahkan melancarkan serangan frontal terhadap agama Kristen di Denmark yang baginya tidak autentik menampilkan iman kristiani. Dia meninggal tahun 1885.317 D. Eksistensialisme Soren Kierkegaard 1. Kebenaran sebagai Subjektivitas: Kritik atas Hegelianisme



317



Ibid., hlm. 245-246. 243



Pada abad ke-19 di Eropa, filsafat berkembang di bawah dominasi ontologi objektivisme. Pada masa ini, Eropa memasuki era yang disebut zaman modern yang jiwanya ada dalam filsafat modern. Dalam dunia modern dibedakan antara pemikiran objektif dan pemikiran subjektif. Pemikiran objektif



adalah



suatu



pemikiran



yang



berusaha



dan



cenderung



mengidentifikasi kebenaran dengan objek yang dikaji. Tendensi dan prasangka



subjektif



disingkirkan



dalam proses



pemahaman,



karena



subjektivitas adalah kesalahan. Pemahaman sepenuhnya tertuju pada objek, karena yang subjektif disingkirkan, kebenaran objektif yang diyakini sebagai kebenaran sebagaimana objek itu sendiri atau thing in itself diperoleh dari



D



tindakan pikiran mengabstraksikan objek yang dipikirkan ke dalam rumusan objektif yang bernilai universal. Hal ini bisa diistilahkan dengan kebenaran berbasis objek (object based truth). Eliminasi yang subjektif ini sangat jelas



U



dalam prinsip kerja ilmu alam yang memang dominan dalam dunia modern. Berbeda dengan pemikiran objektif, pemikiran subjektif berusaha



M



dan cenderung mengidentifikasi kebenaran dengan subjek yang mengkaji. Kebenaran bergantung pada kepasitas subjeknya berdasarkan prasangkaprasangka miliu dan tradisinya. Mengaitkan kebenaran dengan objektivitas



M



adalah suatu kesalahan. Kebenaran dengan demikian sepenuhnya tertuju pada subjek. Kebenaran sesuatu itu sendiri atau thing in itself terekspresikan sejauh subjek mampu memahami dan menghayatinya. Istilah untuk hal ini bisa dirumuskan sebagai kebenaran berbasis subjek (subject based truth).



Y



Ontologi pemikiran objektif secara ringkas biasa diungkapkan dalam pernyataan being is objectivity. Dalam ontologi ini, tindakan manusia, siapapun tanpa kecuali, dikontrol oleh objek, tepatnya konsep-konsep abstrakobjektif tentang sesuatu. Kebenaran objektif mengindikasikan suatu kecenderungan kepada kebenaran yang final dan stagnan. Dengan prinsip ini, tindakan manusia menjadi tindakan kolektif-uniformitif. Sementara ontologi pemikiran subjektif bisa dikatakan dengan pernyataan being is subjectivity. Dalam ontologi ini, tindakan manusia tidak dikontrol oleh objek, melainkan



244



sebaliknya dikontrol oleh subjek, yakni cara dan sikap subjektif dalam memahami sesuatu. Dengan prinsip ini, tindakan manusia selalu berupa tindakan individual, yakni tindakan seseorang tidak bisa dipaksakan mengikuti tindakan orang lain. Ontologi pemikiran objektif, sebagaimana ia menjadi salah satu karakter dasar dari filsafat modern, mendominasi cara berpikir orang zaman modern di Eropa. Kierkegaard adalah seorang filosof yang hidup pada masamasa dominan filsafat modern, namun meskipun demikian, dia lebih mengambil sikap kritis terhadapnya dan tidak tenggelam di dalamnya. Dia menolak cara berpikir objektif filsafat Hegelian. Secara khusus dia



D



mengkritisi Hegelianisme, karena pada waktu itu, Hegelianisme merupakan filsafat yang dominan di Eropa, sehingga filsafat sering diidentikkan dengan Hegelianisme.



U



Kierkegaard memasukkan Hegelianisme ke dalam objective thought atau sering juga disebutnya abstract thought. Jenis pemikiran ini, menurutnya,



M



bekerja dengan mengabstraksikan atau mengobjektivikasi segala sesuatu, dengan cenderung mengabaikan subjek yang perpikir dan eksistensinya. Dimensi konkret individu dalam berkehendak bebas dan berkomitmen



M



dieliminasi.318



Yang mengesankan Kierkegaard adalah fakta yang menjadi ciri pendekatan Hegel sebenarnya juga merupakan ciri dari pendekatan para ilmuwan dari semua jenis ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan,



Y



“objektivitas” merupakan salah satu kriteria paling penting untuk mencapai “kebenaran ilmiah”. Suatu proposisi atau teori ilmiah mempunyai nilai kebenaran, sejauh proposisi atau teori itu mengacu pada realitas “objektif”. Adapun syarat paling utama untuk mencapai hal itu adalah: Kita (observer) harus bersikap objektif, hanya mendeskripsikan dan menjelaskan setiap kejadian “apa adanya”. Setiap bentuk pertimbangan dan/atau penilaian subjektif dari pihak pengamat (observer), dianggap bisa merusak objektivitas 318



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 78-80. 245



(kebenaran yang objektif). Kalau begitu, sikap kita sebetulnya tidak jauh berbeda dari sikap Hegel, yang mengira jadi penonton pentas dunia. Dengan sinis, Kierkegaard menulis: “…kecenderungan yang menyarankan kita agar menjadi pengamat objektif pada dasarnya sama dengan menyarankan kita untuk menjadi seorang hantu!”. Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada penggunaan abstraksi atau generalisasi. Abstraksi adalah suatu proses dan/atau produk pemikiran manusia yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari kenyataan konkret dan individual, untuk melihat ciri-ciri umumnya saja. Dengan cara itu, kita diharapkan mampu memperoleh hukum-hukum umum



D



di balik kenyataan yang konkret individual. Ada perhubungan erat antara objektivitas, generalisasi, dan kebenaran ilmiah. Semakin objektif suatu hukum atau teori, maka semakin berlaku umum hukum atau teori itu (jadi,



U



berlakunya hukum atau teori itu tidak terbatas pada satu atau dua gejala individual saja), dan dengan demikian kebenaran dari hukum itu pun bisa



M



dipertahankan.



Menurut Kierkegaard, sangatlah berbahaya jika objektivitas seperti itu diterapkan pada ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau hukum-hukum yang



M



umum itu kita gunakan untuk menerangkan gejala-gejala manusiawi yang konkret dan individual, maka segala kekonkretan dan individualitas manusia akan lenyap tanpa bekas. Pengalaman unik dari setiap individu akan terabaikan. Maka ia menolak segala bentuk ilmu-ilmu tentang manusia, kalau



Y



ilmu-ilmu justru mengorbankan keunikan dan individualitas subjek kajiannya (manusianya). Ilmu-ilmu seperti sosiologi dan psikologi misalnya, ditentang keras, karena kedua ilmu tersebut dianggap telah menerapkan pola seperti itu.319 Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel dilandasi oleh keyakinan ontologisnya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah individual, 319



Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Rosdakarya: 2003), hlm. 130-131. 246



personal, dan subjektif. Manusia, dengan demikian, tidak dapat dijelaskan dalam kerangka abstraksi ide, teori-teori umum, ataupun objektivitas pendekatan ilmiah. Skema ideal dan objektif dari idealisme dan ilmu hanya cocok untuk menjelaskan esensi dan struktur dasariah gejala-gejala infrahuman (realitas di luar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik, tetapi tidak dapat diberlakukan begitu saja pada eksistensi manusia. Peristiwa dan pengalaman eksistensial manusia yang konkret, individual, subjektif, dan faktual memerlukan pendekatan yang khas, spesifik, dan bersifat human (manusiawi). Pendekatan itu haruslah bersifat individual dan subjektif, dari subjek ke subjek, dari pribadi ke pribadi!.



D



Adapun kritik Kierkegaard atas sikap ideal Hegelian dan sikap



objektif ilmu pengatahuan, yang menganjurkan kita untuk menjadi pengamat bisu atau penonton objektif, dilandasi oleh keyakinannya bahwa manusia pada



U



prinsipnya bukan makhluk yang melulu rasional, atau “hantu” tanpa kehendak dan perasaan, melainkan makhluk yang merasa dan menghendaki secara



M



bebas. Sikap ‘ideal’ dan ‘objektif’, menurut penilaian Keirkegaard, mengandaikan dominasi intelek (rasio) manusia atas kehendak bebas dan afeksi manusia.



M



Pada kenyataannya, segenap tindakan dan peristiwa manusia tidak melulu didasarkan pada rasio (intelek), tapi juga pada pilihan bebas dan emosi spontannya. Bahkan, kita sering menyaksikan bahwa tindak-tanduk manusia itu didasari oleh pilihan-pilihan dan pertimbangan-pertimbangan



Y



yang tidak rasional! Dengan perkataan lain, manusia bukan makhluk yang murni rasional, atau yang mampu menjadi pengamat objektif, atau sanggup mengambil jarak dari segala kejadian, tetapi makhluk yang mempunyai pertimbangan emosional dan praktis (in action). Adanya keterlibatan dan komitmen pada manusia, yang memungkinkan manusia menjadi aktor dalam



247



panggung kehidupan yang maha luas ini, terutama disebabkan oleh afeksi dan kehendak bebasnya.320 Menurut Alim Roswantoro, yang berbahaya dari abstraksionisme Hegelian adalah tidak menyadari telah mengembangkan pemikiran abstrak atau objektif menjadi pemikiran murni. Pemikiran murni adalah suatu pemikiran yang bersumber pada abstraksi-abstraksi rasional tentang realitas yang berakhir dengan hasil identifikasi sistematik antara pemikiran dan yang dipikirkan, atau pemikiran tentang realitas identik dengan realitas itu sendiri. Ketika mengabstraksikan manusia ke dalam ide tentang manusia universal sebagai subjek, atau humanitas, filsafat Hegelian melebur manusia individual



D



dan konkret ke dalam suatu sistem kemanusiaan. Semua



pemikiran



logis



mempergunakan



bahasa



abstraksi.



Memikirkan eksistensi manusa secara logis dengan demikian harus



U



mengabaikan kesulitan, yaitu kesulitan pemikiran tentang yang abadi seperti dalam proses menjadi. Kesulitan ini adalah sesuatu yang tidak bisa



M



dihindarkan, karena pemikir sendiri adalah proses menjadi juga. Memikirkan eksistensi manusia dengan abstraksi berarti menghapus eksistensi manusia itu sendiri, karena mengandaikannya sebagai sesuatu tanpa gerak. Berkaitan pemahaman



tentang



eksistensi



manusia,



M



dengan



tidaklah



mungkin



memahaminya tanpa gerakan, karena ia sendiri adalah suatu gerak yang hidup di dalam faktisitas eksistensial yang merupakan konteksnya. Konteks-konteks eksistensial ini juga selalu bergerak, dan pergerakan konteks ini terjadi karena



Y



eksistensi manusia adalah sesuatu yang bergerak.



Inilah mengapa, filsafat Hegelian dan juga pemikiran-pemikiran abstrak pada umumnya, terjerembab ke dalam cara pemikiran murni bekerja, yang dalam hal ini menyamakan pemikiran tentang manusia identik dengan eksistensi manusia. Hal ini terjadi karena dalam pemikiran objektif cenderung mengabaikan kesulitan eksistensial pemikir sendiri yang dalam kenyataannya juga dalam proses menjadi. Seorang pemikir yang juga dalam proses menjadi 320



Ibid., hlm. 132. 248



mengklaim abstraksinya atas sesuatu sebagai objektivitas, padahal dalam proses menjadi, pengetahuannya dimungkinkan berkembang karena proses pengalamannya. Namun demikian, pemikir objektif tetap mengabaikan kesulitan seperti ini demi objektivitas. 321 Dalam Concluding Unscientific Postcript Climacus, nama samaran Kierkegaard,



mengulas



tema



penting



mengenai



kebenaran



sebagai



subjektivitas. Baginya, kebenaran adalah masalah batin (inwardness), dan bukan pertama-tama masalah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Kebenaran selalu berkaitan dengan subjek, yakni dengan diri yang memeluk dan meyakini kebenaran itu secara pribadi. Yang ditekankan di sini adalah



D



relasi manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakikat kebenaran itu sendiri.



Hal itu berarti bahwa Climacus menolak adanya kebenaran objektif,



U



yakni fakta-fakta yang bersifat independen dari cara manusia menggambarkan dan mengenal dunia. Kebenaran sebagai subjektivitas berarti bahwa ketika mengenai



makna



dan



kepenuhan



M



isu-isu



hidup



seseorang



sedang



dipertaruhkan, sikap orang tersebut terhadap obyek keprihatinannya atau apa yang dipandangnya sebagai kebenaran mendahului atau lebih penting



M



daripada isu mengenai kebenaran fakta yang dimilikinya. Misalnya, Lia sudah berpacaran selama empat tahun dengan Bram dan berharap agar pernikahannya dengan Bram segera berlangsung. Ini adalah masalah makna dan kepenuhan hidup Lia, dan secara subjektif ia yakin bahwa Bram sungguh



Y



mencintainya dan akan melamarnya (keyakinan ini dapat disebut ‘kebenaran subyektif’). Kebenaran sebagai subjektifitas berarti bahwa relasi Lia terhadap keyakinannya ini (atau kebenaran tersebut), yang terwujud dalam sikap dan tindakannya terhadap Bram, jauh lebih penting daripada fakta bahwa apakah Bram sungguh-sungguh mencintai Lia (fakta ini dapat disebut ‘kebenaran obyektif’).



321



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 83-84. 249



Di sini kita perlu mempertajam pemahaman mengenai kebenaran obyektif. Bagi Kierkegaard, ada dua macam kebenaran obyektif: pertama, bersifat manusiawi (human objective knowledge) dan yang kedua berifat Ilahi (divine objective knowledge). Kebenaran obyektif Ilahi jelas tidak tersedia (unavailable) bagi manusia; kita tidak punya akses pada pengetahuan Ilahi dan tidak dapat mengetahuinya. Sebaliknya, kebenaran obyektif manusiawi sebetulnya tersedia (available) bagi manusia. Akan tetapi, pengetahuan manusia mengenai kebenaran obyektif ini hanya bersifat mendekati (approximate). Penafsiran manusia terhadap realitas, menurut Keierkigaard, tidak pernah bersifat final atau definitif, seperti pendakuan Hegel. 322



D Oleh



karena



itu,



tidaklah



mengherankan



bahwa



Climacus



mendefinisikan kebenaran sebagai “ketidakpastian obyektif yang dipeluk eraterat dalam proses apropriasi oleh batin yang berhasrat”. Ia menyebut



U



kebenaran sebagai “ketidakpastian” karena baginya manusia hanya dapat mendekati kebenaran dan tidak akan pernah memiliki atau menguasai pengetahuan obyektif.



Kalau kebenaran obyektif selalu



M



sepenuhnya



merupakan aproksimasi atau hanya dapat didekati tanpa pernah dikuasai sepenuhnya, maka kita juga akan selalu memiliki ketidakpastian obyektif.



M



Pengetahuan manusia dilihat sebagai yang hanya bersifat mendekati terhadap kebenaran obyektif, sedangkan kebenaran obyektif sendiri berada di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Hal ini tidak berarti bahwa kita akan selalu ragu dengan kebenaran itu. Sama sekali tidak. Kita dapat



Y



merasa sangat yakin tentangnya. Akan tetapi, secara obyektif, hal itu tidak pasti; dengan kata lain, bisa jadi kita keliru.323



Karena itulah, kebenaran juga perlu dipeluk erat-erat karena memang merupakan masalah relasi dengan orang lain maupun dengan yang Ilahi. Relasi yang terbentuk antara suami dan istri, antara seorang beriman



322



Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), hlm. 112-114. 323 Ibid., hlm. 114-115. 250



dengan yang Ilahi, bukanlah relasi yang dingin (detached) antara mengamat (spectator) dan yang diamati, melainkan relasi yang penuh hasrat (passionate).324 Inilah makna kebenaran sebagai subyektivitas, yang selalu menuntut orang menjadikan kebenaran sebagai milik pribadi (apropriasi). Tugas apropriasi ini menuntut kerja batin yang luar biasa, dan bagaimanapun juga, tidak dapat digantikan oleh pencarian pengetahuan obyektif. Perbedaan antara obyektivitas dan subyektivitas dapat juga dipahami dalam kerangka distingsi antara isi (content) dan bentuk (form). Dalam The Present Age, Kierkegaard membahas berbagai ciri masyarakat zamannya, antara lain ‘ketiadaan bentuk’



D



(formlessness). Ketiadaan bentuk terjadi ketika beda antara bentuk dan isi dihapus.



Suatu entitas, baik masyarakat atau individu, dapat memiliki isi



U



(content) yang benar (yakni kebenaran), namun kebenaran yang dimilikinya tidak pernah sungguh-sungguh benar karena tidak memiliki bentuk (form),



M



atau dengan kata lain, tidak dipeluk secara subyektif dan penuh hasrat. Indonesia dapat memiliki Pancasila yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat lahur dan dikagumi banyak orang asing; dalam hal isi (content)-



M



nya sudah benar. Akan tetapi, ketika nilai-nilai luhur ini diinjak-injak bagitu saja dan tidak dihayati secara subyektif oleh warga negaranya, kebenaran ini tidak akan banyak berguna; dengan kata lain, kebenaran ini tidak memiliki bentuk (form) yang menampung ekspresi dan perwujudan nilai-nilai tersebut.



Y



Ketiadaan bentuk (formlessness) terjadi ketika orang mengira bahwa berbicara menggebu-gebu mengenai nilai-nilai Pancasila (content) sama dengan mempraktekkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari (form), termasuk dalam kehidupan berpolitik. Ketika distingsi antara bentuk dan isi ditiadakan, orang pun mudah berucap-ucap saja tanpa memeluk nilai-nilai kebenaran yang dibahas secara intelektual itu dengan penuh hasrat.325 324 325



Ibid., hlm. 116. Ibid., hlm. 116-118. 251



Dengan kata lain, tekanan obyektivitas jatuh pada apa yang dikatakan, sendangkan tekanan subyektivitas jatuh pada bagaimana hal itu dikatakan: The objective accent falls on WHAT is said, the subjective accent on HOW it is said. Bagi Climacus, yang penting bukanlah isi pengetahuan rasional, melainkan cara mengungkapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Kalau dunia ini sungguh adalah panggung sandiwara, maka yang dibutuhkan adalah kepiawaian menentukan peran yang akan dimainkan, bukan pengetahuan mengapa dunia harus merupakan panggung sandiwara atau apakah sandiwara yang dimainkan itu rasional atau tidak. Dunia eksistensi terlalu rumit dan terfragmentasi untuk diberi kerangka rasionalitas.



D



Di sini menjadi jelas perbedaan antara Hegel dan Kierkegaard. Bagi



Hegel, seperti halnya Aristoteles, manusia pada hakikatnya rasional. Manusia baru mencapai tujuan hidup dan kebahagiaannya kalau ia mengembangkan



U



dimensinya yang hakiki, yang, dalam pendangan Hegel, mencapai puncaknya ketika akal-budi manusia dapat menghasilkan pengetahuan absolut.



M



Sebaliknya, bagi Kierkegaard, manusia pada dasarnya adalah penentu nilai (value chooser) dan pengambil keputusan (decider). Ketika pilihan yang harus dibuat sudah menyangkut kepenuhan hidup dan identitas



M



diri, tantangan yang dihadapi manusia menjadi sangat besar. Tentu saja ia akan menggunakan akal-budinya dalam mengambil keputusan, namun penalaran rasional ini bukan untuk mencari kebenaran obyektif demi kebenaran itu sendiri, melainkan untuk membantunya memilih dan



Y



memutuskan.



Hegel melihat bahwa landasan realitas adalah rasionalitas, obyektivitas, dan pemahaman yang reflektif. Seluruh realitas dilihatnya sebagai yang secara hakiki memuat rasionalitas. Demikian juga perjalanan sejarah yang memuat ‘logika’, yang akhirnya akan membawa manusia pada pengetahuan absolut. Sebaliknya, Kierkegaard melihat segala sesuatu terletak dalam tindakan memilih, dalam menjadi subyektif dengan penuh hasrat dan komitmen. Realitas eksistensi manusia bersifat ‘mentah’ dan sulit dicari



252



logikanya.326 Dengan tegas Kierkegaard menolak untuk menyetujui bahwa: logic could be the key to reality, logika dapat menjadi kunci bagi realitas.327 Oleh karena itu, manusia harus terus-menerus memilih agar yang ‘mentah’ itu terdeterminasi dan konkret. Kebebasan untuk memilih itu sendiri merupakan nilai paling dasar yang membuat manusia menjadi seorang manusia atau seorang individu eksistensial. Bagi Kierkegaard, pengenalan dan penggunaan kebebasan ini jauh lebih penting daripada pemahaman sepenuhnya mengenai objek pilihan tersebut. Di sini kita perlu menyadari bahwa subyektivitas berbeda dengan subyektivisme. Menurut subyektivisme, apa yang kita pikirkan atau



D



ungkapkan adalah sekedar masalah rasa (a matter of taste), seperti apakah orang suka makan durian atau petai, sehingga paham ini mengandung semacam relativisme. Dalam subyektivisme seringkali orang tidak memiliki



U



relasi dengan dunia di luar dirinya, sehingga konsep tanggung jawab tidak ada dalam paham ini.



M



Sebaliknya, subyektivitas adalah relasi manusia dengan sesuatu yang melampaui dirinya (ada referensi terhadap dunia luar). ‘Dunia luar’ di sini dapat berupa manusia maupun yang Ilahi. Relasi dengan sesuatu yang



M



berada di luar dirinya itulah ciri hakiki subyektivitas manusia, yang menjadi konkret ketika manusia menggunakan kebebasan dan memeluk kebenaran secara pribadi. Maka masalahnya di sini adalah tugas (task) dan tanggung jawab (responsibility), bukan soal rasa (taste).



Y



Perlu ditekankan kembali di sini bahwa pandangan Kierkegaard mengenai kebenaran sebagai subyektivitas hanya berlaku bagi tipe kebenaran tertentu, yakni kebenaran yang bersifat ‘esensial’ bagi eksistensi manusia, atau konkretnya kebenaran moral dan religius. Kierkegaard tidak berbicara mengenai



kebenaran



ilmu



pengetahuan,



misalnya



bahwa



banyak



mengonsumsi minuman berakohol membuat badan tidak sehat. Ia percaya 326 327



Ibid., hlm. 120-121. Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 36. 253



akan adanya realitas obyektif yang berusaha didekati oleh ilmu pengetahuan. Tetapi, yang ia bicarakan adalah kebenaran moral dan religius, yakni hal-hal yang menyangkut cara manusia menghayati kehidupannya, nilai-nilai yang dipeluknya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, dan sebagainya. Dalam pandangannya kebenaran-kebenaran ini harus didekati secara subyektif: penuh gairah, hasrat dan komitmen. 328 Sampai disini, kebenaran sebagai subjektivitas yang harus digumuli seorang manusia dengan sepenuh jiwa dan perasaannya merupakan aktualisasi dari kehendak bebasnya. Dari sini, pandangan Kierkegaard tentang kehendak bebas berhubungan erat dengan masalah kebebasan manusia. Ia mempunyai



D



pandangan yang khas eksistensialis, bahwa manusia pada prinsipnya adalah individu. Individu adalah identik dengan kebebasan. Setiap manusia—setiap individu—mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui suatu



U



pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan sendiri oleh manusia—individu— itu sendiri.



M



Terlepas, misalnya, dari tuntutan keluarga yang otoriter, dari sistem politik yang refresif ataupun dari sistem sosial budaya yang ketat dan kaku, eksistensial aktual seorang individu adalah eksistensi yang bersumber dari



M



satu inti, yakni eksistensi dirinya. Realitas dari luar dirinya boleh mempunyai kekuatan yang memaksa individu atau mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu itu sendiri. Individu itulah



Y



yang menjadi kata kunci atau penentu dalam mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk suatu perbuatan tertentu.



Satu aspek yang melekat pada kebebasan adalah tanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Tidak bisa dibenarkan seseorang yang mengaku dirinya bebas, tapi tidak mau bertanggung jawab atas kebebasannya itu. Konsekuensi apapun dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu adalah tanggung jawab 328



Tjaya, Kierkegaard, hlm. 121-123. 254



individu itu. Orang lain bisa saja misalnya mengambil alih tanggung jawab itu, tetapi hati nurani si pelaku tidak bisa dibohongi bahwa tanggung jawab yang berifat pribadi itu tidak bisa digantikan oleh siapapun. Ia, sejauh jujur terhadap dirinya, akan menyadari bahwa seharusnya ia sendirilah yang bertanggung jawab atas segenap perbuatannya itu. Masalah kebebasan dan tanggung jawab adalah masalah yang fundamental dan krusial. Sumber permasalahan utama eksistensi manusia sesungguhnya terletak pada masalah kebebasan dan tanggung jawab itu. Kebebasan itu—tanggung jawab itu—yang selalu diinginkan dan bahkan diperjuangkan oleh hampir setiap manusia, ternyata bukanlah sesuatu yang



D



menyenangkan. Sebaliknya, kebebasan justru sering mendatangkan persoalan, yakni menimbulkan rasa cemas dan gelisah. Manusia cemas, jangan-jangan dalam menentukan pilihannya itu akan dihadapkan pada akibat-akibat yang



U



tidak menyenangkan, menyakitkan, atau membahayakan. Maka dibutuhkan suatu kebijaksanaan tertentu agar kita bisa



M



mengurangi atau meminimalkan resiko seperti itu. Kierkegaard sebetulnya tidak mengajarkan kebijaksanaan. Akan tetapi, belajar dari pengalaman hidupnya yang tragis, dan dari filsafatnya yang cenderung gelap dan tidak



M



cukup transparan (meski sebetulnya cukup meyakinkan), kita masih bisa menangkap pesan kebijaksanaan itu. Menurut pendapatnya, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat dan keyakinan pribadi, yang ditandai oleh kehendak bebas dan



Y



afeksi (emosi). Dibutuhkan suatu greget tertentu dalam setiap sikap dan perbuatan kita.329



Dengan kehendak bebasnya pula, menurut Kierkegaard, manusia pasti melakukan pilihan-pilihan hidup sebagai dialektika-eksistensial dalam perjalanan hidupnya. Dialektika eksistensial inilah yang dinamakan juga oleh Kierkegaard sebagai tahap-tahap eksistensi manusia yang menggambarkan kehidupan manusia yang autentik atau inautentik. 329



Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 132-134. 255



2. Tiga Tahap Eksistensial Dalam berbagai buku yang ditulisnya dengan nama samaran, Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksitensi (spheres of existence) atau tahapan-tahapan jalan hidup (stages on life’s way), yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical), dan religius (the religious). Penggolongan ini didasarkan pada wilayah eksistensi karena, menurut Kierkegaard, itulah cara-cara manusia berada di dunia (modes of being-in-theworld), dalam arti bahwa dalam setiap wilayah eksistensi ada pandangan dan pengandaian tertentu, yang bagi orang-orang di dalamnya memberikan kepuasan dan kepenuhan hidup.330



D



Pertama, tahap estetis. Tahap estetis dapat digambarkan sebagai



usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia



U



tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan.331



M



Istilah ‘estetis’ berasal dari kata Yunani yang artinya “mengindrai”, “mencecap”. Lalu kalau Keirkegaard menyebut tahap pertama sebagai tahap estetis, yang dimaksudkan adalah bahwa individu yang berada pada tahap ini



M



diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Semboyan hidupnya adalah “kenikmatan segera”, sedangkan hari esok pikir besok. Oleh karena itu, patokan-patokan moral tidak cocok untuk tahap ini, sebab akan menghambat pemuasan hasrat individu. 332



Y



Tahap estetis merupakan tingkatan awal manusia mengikuti apa yang disenanginya secara egoistik. Dia menghindari membuat keputusankeputusan dalam hidup, dan karenanya tidak pernah menjadi suatu diri yang sebenarnya. Dalam pikirannya, jika dia harus menjadi suatu diri berarti dia harus membuat komitmen-komitmen dalam hidup. Dia menginginkan hidup 330



Tjaya, Kierkegaard, hlm. 87. Ibid., hlm. 88. 332 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 252. 256 331



secara terus-menerus dalam keadaan langsung tanpa ikatan-ikatan kewajiban moral. Satu-satunya pilihan sadarnya pada tahap ini adalah memilih yang indah dan menyenangkan bagi dirinya sendiri. Tahap estetik bisa disebut “tidak autentik”, karena manusia belum sampai pada kesadaran diri. Ia menaruh minat besar terhadap hal-hal yang ada di luar dirinya yang poros penggeraknya adalah kesenangan material dan hedonistik (pleasure). Individu memandang dunia luar sebagai kenyataan yang serba indah dan menjanjikan kesenangan yang memuaskan. Tetapi kenyataannya, estetisisme gagal memberi kepuasan, karena kesenangan itu tidak dapat dijamin, sering diimbangi dengan kebosanan-kebosanan,



D



kesedihan-kesedihan, dan akhirnya tak dapat memuaskan jiwanya yang mulai bangkit dalam dirinya.333 Pada tahap estetis, Kierkegaard mengambil tiga sosok dari



U



kebudayaan Barat yang mewakilinya yaitu, Don Juan, Faust, dan Ahasuerus. Don Juan hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan



M



keterlibatan apapun dalam hidupnya. Ia tidak mempunyai passion dalam menyikap dan menindaklanjuti suatu persoalan. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, selain keinginan



M



untuk berpetualang dengan wanita. Cinta dan perkawinan adalah hambatan untuk pertualangan dan untuk “kebebasan”, oleh karena itu bisa dianggap mengurangi kesenangan. 334



Sedangkan Faust adalah tokoh ciptaan Goethe yang bagi



Y



Keirkegaard mewakili kebosanan itu sendiri. Tokoh ini menghadapi aneka tantangan, dan setiap kali tantangan itu diatasi, dia ragu apakah dia akan mencapai kebahagiaan. Akhirnya, Ahasuerus, seorang Yahudi pengembara yang tidak percaya kepada manusia ataupun Allah. Bagi Kierkegaard, dialah



333 334



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 103-104. Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 134. 257



personifikasi dari keputusasaan, sebab dia hidup tanpa arah, tanpa harapan, dan akhirnya juga tanpa kedamaian. 335 Manusia etetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepentingan pribadinya. Manusia estetis pun adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan isi dalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara seksama. Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun, selain keinginan untuk sekedar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat



D



kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidup dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya. Manusia estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia



U



estetis bisa mewujud pada siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan, sejauh mereka tidak mempunyai passioan, tidak mempunyai antusiasme,



M



komitmen, dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Jiwa estetis mereka tampak dari pretensi mereka untuk menjadi “penonton objektif” kehidupan. Mereka hanya mengamati dan mendeskripsikan setiap kejadian yang mereka



M



amati dan alami dalam kehidupan, tanpa berusaha untuk melibatkan diri ke dalamnya. Jadi, mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh hidup, karena mereka tidak merasa perlu menceburkan diri ke dalam realitas hidup yang sesungguhnya.



Y



Kalau manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme dan keterlibatan, lalu apa yang sebetulnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan! Manusia estetis tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai akar atau tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Manusia estetis tidak tahu lagi apa yang sebetulnya diinginkannya, karena hidupnya tergantung pada mood dan pada trend dalam masyarakat dan zamannya. Manusia estetis adalah manusia yang 335



Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 252. 258



pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. 336 Dari uraian di atas, eksistensialisme religius Kierkegaard berakar pada upaya menjawab pertanyaan filosofis: bagaimana menjadi suatu diri (how to be a self). Dia ingin menjawab persoalan apa yang membuat saya adalah saya dan kamu adalah kamu. Menjadi diri, menurut Kierkegaard, ditentukan dari keharusan pembuatan pilihan. Dalam pemikirannya, saya ada karena saya memilih; kamu ada karena kamu memilih; dan kita ada, karena kita memilih.337 Jika bagi Descartes cara mengada manusia dapat diekspresikan dengan slogan: I think, therefore I’am (saya berpikir, maka saya



D



ada). Bagi Kierkegaard eksistensi manusia dapat dirumuskan dalam sebuah adagium: I chose, therefore, I exist (saya memilih, karena itu saya eksis). Orang yang sungguh mengada tidak akan lari dari pilihan-pilihan



U



yang harus dibuatnya dan dari keputusan-keputusan yang harus diambilnya. Entah Anda itu manajer, guru, ibu rumah tangga, atau supir kendaraan umum,



M



Anda tidak dapat lari dari tugas subyektivitas. Tugas ini ada pada setiap manusia sebagai manusia (qua human being) dan berlangsung dalam ruang yang tersembunyi, dalam pergulatan batin dan proses pengambilan keputusan. manusia yang autentik. 338



M



Hanya dengan memilih dan mengambil keputusan orang akan menjadi



Akan tetapi ketika manusia menolak untuk melakukan pilihan, ia akan kehilangan dirinya; kehilangan eksistensi autentiknya. Menurut Alim



Y



Roswantoro, ada dua cara yang membuat orang kehilangan eksistensi autentiknya. Pertama, dengan membiarkan orang lain membuat pilihan (by letting others make choice). Orang kehilangan eksistensi autentiknya ketika dia membiarkan orang lain menentukan pilihan dan dirinya kemudian mengikuti pilihan orang lain tersebut. Orang yang sekedar mengikuti begitu



336



Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 134-135. Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 123. 338 Tjaya, Kierkegaard, hlm. 156. 337



259



saja apa yang orang lain katakan, apa yang orang tuanya katakan, apa yang tradisinya katakan, apa yang masyarakatnya katakan, dan seterusnya adalah orang yang telah kehilangan diri. Dalam hal beragama, orang seperti ini tidak memiliki pilihannya sendiri, dia hanya mengikuti keumuman orang lain atau masyarakatnya beragama.339 Kedua, dengan membuat pilihan-pilihan yang salah (by making wrong choices). Ketika orang membuat kesalahan pilihan, yaitu membuat pilihan yang salah atau buruk, maka dia kehilangan dirinya. Ketika orang memilih perbuatan bohong, maka dia telah melakukan hal yang sebenarnya tidak dia inginkan, karena kebohongan adalah keburukan atau kesalahan yang



D



tidak bisa diterima hanya oleh orang tertentu atau kultur tertentu, melainkan oleh semua orang atau semua kultur. Dengan memilih bohong, berarti orang telah membuat pilihan yang salah, dan ini juga menandakan kehilangan suatu



U



diri. Memilih selalu memilih yang baik, karena memang tidak ada orang yang memilih yang buruk.340



M



Keputusasaan menjadi tahap akhir pergulatan eksistensi manusia estetis. Namun menurut Kierkegaard, kalau dengan bebas dipilih oleh manusa estetis, rasa putus asa itu akan membawanya ke sebuah pembebasan. Dengan



M



kata lain, dia akan menghadapi tawaran untuk hidup menurut cara eksistensi yang baru, yaitu tahap etis. Untuk mencapai tahap ini, individu itu harus membuat pilihan bebas, sebuah ‘lompatan eksistensial’. 341 Dalam wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis, orang mulai



Y



memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat (evil) dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah membuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan refleksi tentu saja, mulai memainkan peranan penting dalam tahap ini. Dengan



339



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 124. Ibid, hlm. 124. 341 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 252-253. 340



260



meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat integrasi apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima tanggung jawab dan memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya kepada dunia. Perlu dicatat di sini bahwa pilihan antara hidup estetis dan hidup etis bukanlah pilihan antara yang buruk/jahat (bad/evel) dan yang baik (good). Orang tidak memasuki wilayah etis karena memilih yang baik (misalnya, karena menganggap wilayah estetis itu buruk atau jahat), melainkan karena telah memilih hendak menjadikan yang baik dan yang jahat sebagai kategori utama yang mendefinisikan eksistensinya.342 Ketika seseorang memilih hidup dalam tahap etis, berarti ia juga



D



mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Ada semacam “pertobatan” di sini, dimana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan



U



(hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Sudah mulai ada passion



M



dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam kaitannya dengan perkawinan, manusia etis sudah bisa menerimanya. Perkawinan merupakan langkah awal perpindahan



M



dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Prinsip kesenangan dan naluri seksual tidak diproyeksikan langsung dalam petualangannya dengan wanita, melainkan disublimasikan untuk tugas-tugas kemanusiaan. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-nilai



Y



kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.



Selain itu, jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada di dalam dirinya sendiri, dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, dengan berani dan percaya diri, ia akan mampu mengatakan “tidak” pada setiap trend yang tumbuh berkembang dalam 342



Tjaya, Kierkegaard, hlm. 89-90. 261



masyarakat dan zamannya, sejauh trend itu tidak sesuai dengan “suara hati” dan kepribadiannya. Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa dari luar, baik yang bersifat represif maupun nonrepresif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap kuasa yang menginkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras. Oleh sebab itu, sosok yang dipilih Kierkegaard sebagai model dari hidup etis adalah Socrates. Socrates adalah manusia yang sudi mengorbankan dirinya dengan minum racun, untuk mempertahankan keyakinannya mengenai nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi individu, subjek atau “aku” dalam



D



menerima kebenaran. Berdasarkan keyakinan pribadinya, ia menolak setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.



U



Namun sosok Socrates belum sampai pada tahapan eksistensi yang sesungguhnya. Realitas tempat ia menceburkan dirinya baru realitas mundane,



M



realitas fana. Jadi, ia baru akan “merasa bersalah” seandainya, karena keterbatasannya, ia tidak (berhasil) memenuhi panggilan kemanusiaannya. Ia belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religius, di mana ‘dosa’.343



M



manusia mulai dihadapkan dengan Tuhan, dan kegagalan diterima sebagai



Ketiga, tahap relgius. Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap religius, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak



Y



memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukanlah miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasi dengan Yang Ilahi, kepuasan diri dalam mencapai sesuatu, termasuk hidup bermoral dan bahkan pencapaian kebahagiaan abadi, tidak mendapat tempat. Dalam tahap religius ini orang tidak memberi sedekah, misalnya, supaya mendapat pahala dan masuk surga karena tindakan seperti ini didorong oleh 343



Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 135-136. 262



keingingan pribadi tertentu dan terbatas. Dalam pemberian diri dan komitmen kepada



Yang Ilahi orang harus



terus-menerus



menyingkirkan dan



membersihkan segala bentuk perhatian pada diri sendiri (self regard) dari motivasinya bertindak, termasuk keinginan memperoleh kebahagiaan abadi bersama Yang Ilahi Pada tahap religius, titik sentral perbincangan Kierkegaard adalah relasi autentik seorang manusia dengan tuhannya; sebuah relasi eksistensial yang bersifat nir pamrih antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Keautentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam



D



realitas Tuhan. Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit dan sublim daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etis. Karena, seandainya kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional



U



kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa rasional.



Tidak



M



pertimbangan-pertimbangan



dibutuhkan



alasan



atau



pertimbangan rasional dan ilmiah di sini. Yang diperlukan hanyalah keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman.



M



Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai. Nilai-nilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara common sense. Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif,



Y



sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius sering dicap “tidak masuk akal”, nyentrik, atau bahkan “gila”.



Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Individu yang hendak memilih jalan religius tidak bisa lain kecuali berani menerima subjektivitas transendennya itu—subjektivitas yang hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan



263



yang bersifat universal (eksistensi etis) maupun pada tuntutan pribadi dan masyarakat atau zaman (tahap estetis). 344 Di sini dengan melakukan lompatan iman (leap of faith), manusia memasuki wilayah transendensi Ilahi. Manusia seolah-olah kehilangan eksistensinya dengan menenggelamkan dirinya dalam subjektivitas transenden Ilahi. Namun bagi Kierkegaard, dalam lompatan iman itulah manusia justru benar-benar menemukan jati dirinya yang autentik, jadi diri yang terbatas sekaligus tak terbatas. ‘If a man risks all and leaps, he finds him self; he chooses his true self, which is both finite and infinite’,345 ‘Jika seorang manusia mengambil risiko atas seluruh hidupnya dan melakukan lompatan



D



keimanan, niscaya dia akan menemukan dirinya sendiri; Saat itulah dia telah memilih dirinya yang hakiki, dirinya yang terbatas sekaligus tak terbatas’ tulis Kierkegaard.



U



Akan tetapi menurut Zainal Abidin, terdapat kesulitan atau hambatan dalam melakukan lompatan keimanan dengan memasuki wilayahn



M



transenden Ilahi. Kesulitan atau hambatan yang pertama-tama dijumpai oleh individu saat memutuskan untuk lebur dalam Kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintah-



M



perintah-Nya) adalah sesuatu yang paradoks. Persoalan tentang ada atau tidak adanya Tuhan, dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan misalnya, (“kalau Tuhan itu ada atau Mahabaik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?”) merupakan salah satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan.



Y



Tidak mungkin ada penjelasan rasional untuk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman saja individu bisa menerima paradoks itu.346



344



Ibid., hlm. 136-137. Copleston, A History of Philosophy, hlm. 153. 346 Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 137. 345



264



Pada titik inilah, dalam analisis Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard mendefinisikan kebenaran (religius/Ilahi) sama dengan iman yakni sebagai ketidakpastian objektif yang dipeluk erat-erat dalam proses apropriasi oleh batin yang paling berhasrat, atau kontradiksi antara hasrat tak terbatas batin sang individu dan ketidakpastian objektif (the contradiction between the infinite passion of inwardness and the objective uncertainty). Maksudnya demikian. Secara obyektif, manusia selalu mengalami ketidakpastian karena tidak dapat sepenuhnya mengetahui pengetahuan obyektif, dan hanya bisa mendekatinya.



Namun



ketidakpastian



itu



justru



membuat



manusia



mengintensifkan hasrat batinnya yang tak terbatas (suatu kontradiksi). Ia



D



berani memeluk ketidakpastian obyektif dengan hasrat yang tak terbatas. Bagi Kierkegaard, itulah iman. Manusia beriman tidak memeluk



kebenaran sesuai dengan apa yang diketahuinya, melainkan melampauinya.



U



Meskipun tidak memiliki pengetahuan obyektif atau tidak mengenal Allah seutuhnya, ia toh berani menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Kalau



M



manusia mendaku dapat mengenal Allah secara obyektif, pendakuan seperti ini justru harus dipertanyakan karena bagaimanapun juga Yang Tak Terbatas tidak dapat dikenali sepenuhnya oleh yang terbatas. Sebaliknya, justru karena



M



manusia tidak dapat melakukannya, iman sungguh diperlukan: “If I am capable of grasping God objectively, I do not believe, but precisely because I cannot do I must believe”.



Yang ditentang di sini bukanlah akal-budi itu sendiri, melainkan



Y



cara bertindak akal-budi yang telah melupakan batas-batasnya sebagai manusia dan terlanjur mengilahikan dirinya (self-deification). Dengan kata lain, dengan lompatan imannya manusia justru menjadikan agama sungguhsungguh agama. Artinya, dengan mengakui statusnya sebagai yang tergantung pada Yang Ilahi atau Yang Mutlak, manusia sungguh-sungguh menghidupi agamanya sebagai pengakuan terhadap realitas tak terbatas yang berada di luar jangkauannya. Agama justru kehilangan identitasnya ketika para pemeluknya mendaku tahu segala-galanya. Agama sejati selalu mengakui



265



keterbatasan manusia di hadapan Allah dan bahkan menganggap pengetahuan manusia sebagai sesuatu yang relatif di hadapan yang Maha Tahu. 347 Sehingga he ‘who makes the leap of faith, ‘recovers’ himself, his true self348, ‘Dia yang telah melakukan lompatan keimanan, niscaya menemukan dirinya kembali, menemukan eksistensi dirinya yang sejati, demikian deklarasi Kierkegaard. Pada tahapan eksistensial religius ini, Kierkegaard menampilkan figur Ibrahim. Sosok Ibrahim, yang oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai manusia religius ideal, dapat membantu kita memahami apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya, atas dasar keyakinan



D



pribadinya, bahwa Tuhanlah yang memerintahkan untuk mengorbankan anaknya itu. Meskipun masyarakat dan moralitas kemanusiaanya menilai perbuatan itu “salah” dan tidak manusiawi, tetapi ia yakin bahwa justru ia



U



akan “berdosa” kalau tidak mengikuti perintah Tuhan itu. Apa yang mundane harus dikorbankan untuk sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang transenden,



M



yakni perintah Tuhan.



Tantangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang mencekam dan menggetarkan



M



(Angst). Berbeda dengan ketakutan, kecemasan bersifat metafisik. Kecemasan terarah pada sesuatu yang tidak nyata, tidak pasti, tidak berketentuan, tidak berujung-pangkal. Memutuskan untuk masuk dalam paradoks Tuhan ibarat memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah hutan perawan raya, yang tidak



Y



bertuan dan tidak pernah terjamah tangan manusia. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk memasukinya, akan timbul rasa was-was, rasa cemas yang mencekam: jangan-jangan masuk ke dalam wilayah itu hanya merupakan keputusan yang sia-sia, atau hanya akan mendatangkan marabahaya. Hanya dengan keyakinan pribadi yang kuat dan teguh saja, yang sering tidak rasional, kita baru berani memasukinya. Demikian pula, hanya dengan 347 348



Tjaya, Kierkegaard, hlm. 126-128. Copleston, A History of Philosophy, hlm. 153. 266



keyakinan pribadi yang berlandaskan iman, kita berani menceburkan diri dalam Tuhan, dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.349 Tiga tahap eksistensi manusia Kierkegaard di atas bisa dipahami secara lebih sederhana, yang menggambarkan suatu proses penemuan diri yang sesungguhnya. Tahap pertama adalah ketiadaan diri (no self). Dirinya hilang dalam dunia (lost in-the world). Kehilangan diri karena orang hanya tertarik dan peduli hanya pada apa yang orang lain pikirkan. Eksistensi dirinya hanyalah apa yang orang-orang lain pikirkan dan putuskan. Tahap kedua



D



adalah tahap diri dalam pemberontakan (self in rebellion). Pada tahap ini, orang mengatakan “saya tidak ingin seperti yang teman-temanku katakan, aku tidak ingin menjadi seperti yang umumnya masyarakat saya inginkan, aku



U



tidak ingin berpendirian yang sama dengan apa yang sekelompok keyakinan agama saya pegangi, dan seterusnya”.



M



Pada tahap ini, orang dalam tahap mengatakan tidak pada apapun yang di luar saya katakan dan kehendaki. Orang ingin melakukan hal yang berbeda dengan orang lain. Tahap ketiga adalah tahap suatu diri didasarkan



M



pada sesuatu yang lebih besar (self according to something greater). Pada tahap ini, orang menghajatkan suatu standar ukuran yang lebih tinggi yang padanya dirinya mengukur dirinya dengan standar yang paling tinggi, dan menurutnya, standar dengan level paling tinggi adalah Tuhan yang dipahami



Y



sebagai Yang Tak Terbatas (the Infinite). Jika saya membiarkan Tuhan menjadi pemandu saya, maka saya akan menjadi suatu diri atau a person. Hanya Tuhan yang bisa memberi saya ukuran mutlak tentang apa yang benar untuk saya pilih dan lakukan. Saya tidak didefinisikan atau ditentukan oleh teman-teman saya, oleh orang tua saya, oleh kultur saya, oleh kelompok saya,



349



Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 137-138. 267



oleh partai saya, melainkan didefinisikan dan ditentukan oleh yang benar dan yang baik dalam arti yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. 350 E. Biografi Jean Paul Sartre Filsuf, novelis, dan cendekia Prancis yang dominan pada masanya. Sartre lahir di Paris dan dididik di Ecole Normale Superiure. Pada 1933, ia belajar di Jerman dibawah bimbingan Husserl



dan



Heidegger.



Novel



pertamanya, La Nausee (1938: Nausea,



D



1949),



disusul



karyanya



tentang



psikologi, tentang fenomena, L’Imaginaire (1940: The Pscychology of Imagination, 1948). Setelah ditangkap sebentar oleh Nazi Jerman, Sartre pun



U



menghabiskan tahun-tahun perangnya di Paris, menghasilkan L’Etre et le neant (1943: Being and Nothingness, 1956), karya filosofisnya yang utama. L’Existentialisme



M



Kuliahnya,



est



un



humanisme



(1946:



Existentialism is a Humanism, 1947) mengonsolidasikan posisi Sartre sebagai filsuf eksitensialis terdepan di Prancis. Sartre sangat berminat pada politik,



M



menjadikannya simbol bagi semua yang ketat dan kompleks dari pemikiran sayap-kiri Prancis masa itu. Meski dia seorang Marxis, namun hubungan dengan partai komunis sengaja dibatasinya. Bersama-sama Beauvoir dan Merleau-Ponty, Sartre mendirikan jurnal Les Temps Modernes yang di



Y



dalamnya isu politik dan ideologis kental mewarnai, mendorongnya pada 1951 untuk membuat partai politik sendiri.



Filsafat Sartre sepenuhnya menyoroti hakikat kehiidupan manusia dan struktur kesadarannya. Akibatnya, filsafat ini bisa diekspresikan lewat novel dan risalah akademis yang lebih ortodoks sifatnya. Moyang langsungnya adalah tradisi fenomenalogis gurunya, dan Sartre dapat dilihat sebagai penyangkal aktif tuduhan idealisme yang ditaruh di pintu 350



Roswantoro, Menjadi Diri, hlm. 125. 268



fenomenologi. Agen bukanlah penonton dunia, namun seperti segala hal yang lain di dunia, dibentuk oleh tindakan-tindakan yang penuh intensionalitas dan kesadaran. Diri yang dibentuk kalau begitu disituasikan secara historis, dan sebagai agen yang melokasikan modenya sendiri di dunia, ini menghasilkan tanggung jawab dan emosi. Namun demikian, tanggung jawab itu sendiri adalah sebuah beban yang sering kali tidak bisa kita tanggung, dan iman buruk pun muncul saat kita menyangkal kepengarangan kita sendiri atas tindakan kita tersebut, melihat lebih sebagai respons yang dipaksakan terhadap situasi tertentu yang bukan buatan kita. Sartre kalau begitu menempatkan hakikat esensial eksistensi



D



manusia dalam kapasitas akan pilihan, meskipun pilihan itu, yang tidak bisa disamakan dengan determinisme dan eksistensi hukum moral Kantian, mengimplikasikan sebuah sintesis antara kesadaran (mengada-untuk-dirinya-



U



sendiri) dan objektivitas (mengada-dalam-dirinya-sendiri) yang selamanya tidak stabil. Ketidakstabilan dan terus terpecah-belahnya hakikat dari



M



kehendak bebas ini akan membangkitkan kecemasan. Karya-karya ontologis Sartre, seperti L’Etree et le neant, berusaha menganalisis implikasi dari pandangannya tetang hakikat kesadaran dan penilaian. 351



M



F. Eksistensialisme Jean Paul Sartre



Wacana eksistensialisme ateistik yang digulirkan oleh Sartre meliputi subjek kajian yang sangat luas. Di sini, kita hanya akan memfokuskan kajian kita terhadap gagasan pokok Satre yakni mengenai dua



Y



cara bereksistensi serta wacana kekebasan dan tanggung jawab. 1. Dua Cara Bereksistensi



Dalam perspektif Sartre, ada dua cara bereksistensi atau cara berada yaitu être en-soi yakni berada-pada-dirinya-sendiri, dan être-pour-soi yakni berada-bagi-dirinya-sendiri. Yang pertama, adalah realitas objek-objek, benda-benda yang kita hadapi yang, sejauh berhubungan dengan kita sebagai 351



Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 777-778. 269



manusia, merupakan realitas mati, tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna. Sedangkan yang kedua, berada-bagi-dirinya-sendiri, adalah kesadaran manusia, subjek sebagai pengada yang mengada “bagi dirinya sendiri, yang menyadari diri sendiri”. Yang khas bagi pengalaman kesadaran manusia, atau berada-bagi-dirinya-sendiri adalah bahwa dia menyadari diri sebagai yang lain daripada objek-objeknya, yakni lain daripada berada-pada-dirinya-sendiri. 352 Mari kita telisik lebih dalam dua cara berada yang menentukan eksistensi seorang manusia. Pertama, être en soi yaitu ada yang tidak berkesadaran, being in itself atau non-conscious being. Ketika kita menyebut kursi, meja, kayu, batu, dan benda-benda material lainnya, semuanya



D



merupakan ada yang tidak berkesadaran. Seluruh benda-benda tersebut telah ditentukan esensinya dan beradanya, dan itulah “in-itself”, ada dalam dirinya sendiri. In-itself adalah ada diri yang konsisten, sebagaimana Sartre



U



menyebutnya: “The self-consistency of being is beyond the active as it is beyond the passive”. Begitu sempurna dan padatnya sehingga ketiadaan



M



(nothingness) tidak bisa masuk ke dalamnya. Sehingga adanya memang tanpa dasar atau alasan apapun.



“In-itself” adalah suatu imanensi yang tidak dapat merealisasikan



M



dirinya sendiri, dia tidak pernah dipisahkan dengan dirinya sendiri baik dalam refleksi maupun temporalitas, oleh karena itu disebut dengan “ada dalam dirinya sendiri” (in-itself). Di samping ada dalam dirinya sendiri, dia adalah gelap bagi dirinya sendiri dan penuh dengan dirinya sendiri. Secara sederhana,



Y



“in-itself” adalah ada atau masih, artinya tidak ada hubungan keluar; bagaimana dia akan mengadakan hubungan keluar sedangkan dia tidak berkesadaran; dia bukanlah afirmatif maupun negatif. “In-itself” bukanlah suatu kemungkinan atau keharusan. Karena itu Sartre bertakata: “We can say of it that it is contingent, merely accidental, just there”.



352



Franz Maginis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 74-75. 270



Sartre, dalam menerangkan “in-itself” menunjukkan bahwa dia tidak menanyakan mengapa “Ada” yang tidak sadar itu ada? Kecuali hanya adanya secara kontingent (serta merta), kebetulan, dan hanya ada. Sartre, memberikan rumusan khusus terhadap arti “is” dengan tanda petik di antara keduanya. Jadi “is” adalah ”… being is what it is”. Yang berarti bahwa prinsip identitas yang ada padanya sebagai yang tidak berkesadaran, bahwa dia adalah “dia”. Ini berlainan dengan “for-itself” sebagai “Ada” yang berkesadaran, yaitu “is not” atau “what it is not”. Kalau dikatakan bahwa “in-itself” adalah “is”, yang berarti dia adalah dia, apapun yang terjadi dia tidak akan menjadi bukan dia. Sebuah batu



D



adalah batu, itu esensinya telah ada, tidak bisa merubah apapun juga. “Initself” tidak pernah dan tidak akan bisa menempatkan dirinya sendiri sebagai “other-than-an-other-being”. Dia tidak pernah terpengaruh dengan masalah



U



keberadaannya, dia tidak terbatas dan dirinya telah mapan di dalam adanya. Ini berarti dia bukanlah subyek yang temporal.



M



Bila dikatakan bahwa “in-itself” adalah kontingensi, yaitu ada dalam dirinya sendiri, maka dia tidak dapat diasalkan dari lainnya kecuali ada itu sendiri. Dia bukanlah mungkin atau tidak mungkin, karena yang mungkin



M



adalah “for-itself” yang merupakan struktur yang mempunyai pilihan-pilihan berdasarkan kebebasannya. Dia adalah “…. uncreated, wuthout reason for being, without any connection with another being, being in-itself is de-trip for eternity”. Yaitu, tanpa mencipta, tanpa alasan bagi adanya, tanpa hubungan



Y



dengan lainnya, ada di dalam dirinya adalah padat keseluruhannya.353



Being in self itu sama sekali identik dengan dirinya. Ia tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif: kategori-kategori semacam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.



353



Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 122-124. 271



Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. 354 Dari urainan tersebut, dapat dilihat bahwa apa yang dimaksud dengan “in-itself” adalah “ada itu sendiri”; benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan kenyataan di sekeliling “for-itself” yang dikonfrontir dengannya. Dan dapat dilihat juga dalam pandangan Sartre, bahwa “in-itself” dipandang sebagai hal yang ada sebagai kontingensi, yang berhubungan erat dengan sikap atheis Sartre. Dia tidak meyakini bahwa benda-benda itu ada karena ada yang mengadakan (Tuhan). Sartre tidak akan sejauh itu. Dia tidak dapat mempercayai Tuhan sebagai pencipta dalam arti dari tiada menjadi ada,



D



bahkan dia beralasan: jika “in-itself” telah diciptakan maka adanya “in-itself” tidak dapat diterangkan, karena mengatasi penciptaan. 355 Dengan demikian, being in itself merupakan ada yang sudah



U



memiliki kodrat atau esensi sesuai dengan keberadaannya, sesuai dengan eksistensinya dan akan tetap sesuai dengan esensinya. Sebuah batu yang



M



memiliki esensi keras, maka akan tetap keras selamanya dan tidak berubah. Esensi air yang membasahi dan esensi api yang membakar, maka keduanya akan senantiasa membasahi dan membakar sesuai dengan esensinya dan tidak



M



berubah. Jadi cara berada being in itself senantiasa identik dengan esensi dirinya sendiri dan selalu sesuai dengan esensi tersebut selamanya, tidak mengalami perubahan. Mengenai being in itself, Sartre memang tidak banyak membahasnya dan ia lebih banyak memfokuskan tentang eksistensi manusia



Y



sebaagai being for it self.



Kedua, être-pour-soi, yaitu ada yang berkesadaran, being for itself. Dalam ontologi Sartre, being for itself bukan hanya ada pada atau berada dalam dunia ini, akan tetapi sadar akan eksistensinya di dunia ini, conscious-



354



K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 101-102. 355 Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 124. 272



being-in-the-world.356 Yang dimaksud dengan cara berada yang sadar akan eksistensinya di dunia adalah cara berada manusia. Eksistensi manusia sebagai being for itself yang aktif berbeda dengan being in itself yang bersifat pasif dan konstan. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya; ia bertanggung jawab atas fakta bahwa dirinya eksis sebagai manusia yang selalu bertindak. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pegawai, seorang pedagang, seorang guru, seorang petani, atau bahkan seorang pencuri. Jika being in itself sebagai benda yang tidak pernah menyadari akan keberadaanya, maka manusianya Sartre, sebagai being for itself menyadari akan eksistensinya.357 Sekaligus keberadaan benda-benda yang berada di



D sekitarnya.



Di sini, eksistensi seorang manusia yang berkesadaran dengan



kesadarannya ia mampu menguasai, atau mengendalikan keberadaan benda-



U



benda tersebut. Karena being for it self selalu mengatasi being in it self, maka sebagai kesadaran, manusia dapat mengatur dan memilih serta memberikan



M



makna alam kepadatan, serta memberikan bentuk tertentu sebagai dunia yang cocok bagi dirinya. For itself sebagai manusia adalah seribu satu kemungkinan walaupun dia sendiri tidak pernah identik dengan kemungkinan-



M



kemungkinan itu. Dia selalu mendahului dirinya, karena dia sadar, dan sadar itu tidak pernah identik dengan dirinya. Kesadaran bukanlah suatu ragam pengetahuan khusus yang mungkin dinamakan dengan suatu pengertian batin atau pengetahuan diri; ia adalah suatu dimensi yang mengatasi phenomena



Y



ada dalam subyek; to be conscious of something is to be confornted with a concrete and full presence which is not consciousness.



Oleh karena itu, kesadaran tidak akan muncul tanpa sesuatu, dan inilah yang dikatakan bahwa for itself atau manusia yang sadar selalu menyadari yang disadari itu sebagai yang bukan dirinya. Dan kesadaran selalu



356



Ibid., hlm. 122. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 159. 273 357



terbuka, for itself selalu merencanakan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan datang, karena harus mengatasi, “Ada”nya dan inilah yang menyebabkan for-itself temporal. Yang maksudnya, selama for-itself mengkonstitusikan diri sendiri dan memisahkan dari diri sendiri, dihadirkan dalam kesejarahkan. Dia mempunyai masa lalu sebagai faktisitas, dia mempunyai kekinian dan merencanakan masa depan yang terbuka. Oleh karena itu, dikatakan bahwa rencana yang dibawa oleh for-itself membawanya kepada temporalitas.358 Berhubungan dengan manusia sebagai pengada yang berkesadaran, Sartre membedakan dua macam kesadaran yakni kesadaran pra-reflektif dan



D



kesadaran reflektif. Kesadaran pra-refleketif adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian kita (baik objek dalam kehidupan sehari-hari kita maupun objek dalam pemikiran atau penelitian kita), tanpa kita sendiri



U



berusaha untuk merefleksikannya. Misalnya, ketika kita membaca sebuah buku, kesadaran saya tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang



M



membaca, melainkan pada bahan (isi buku) yang sedang saya baca. 359 Atau ketika saya menghitung uang, kesadaran saya tidak tertuju pada tindakan saya yang sedang menghitung, melainkan hanya terfokus pada jumlah uang yang



M



sedang saya hitung.



Oleh sebab itu, Sartre menyebut kesadaran pra-reflektif itu sebagai “kesadaran yang tidak-disadari” (on-conscious consiousness). Adapun kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-reflektif



Y



menjadi tematik, atau dengan perkataan lain: kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak-disadari menjadi “kesadaran yang disadari”. Dalam refleksi (kesadaran reflektif) kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang tadi saya baca, melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku (kesadaran yang tidak-disadari).360 Dan dalam refleksi terhadap kegiatan



358



Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 113-114. Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 184. 360 Ibid. 359



274



menghitung uang, kesadaran saya tidak lagi terfokus pada uang yang saya hitung, tetapi pada perbuatan saya yang sedang menghitung uang. Menurut Sartre, biasanya kesadaran kita bukanlah kesadaran akan dirinya (conscience de soi), melainkan kesadaran-diri (conscience (de) soi). Baru jikalau kita secara reflektif menginsafi cara kita mengarahkan diri kepada obyek (melihat, mendengar, merusak, dll), kesadaran kita diberi bentuk conscience de soi (kesadaran akan diri). Di dalam kesadaran akan diri ini selalu ada jarak antara kesadaran (conscience) dan diri (soi). Tetapi jarak ini sebenarnya terdapat juga pada kesadaran yang prareflektif. Jadi di dalam kesadaran diri selalu ada jarak. Jarak yang senantiasa ada ini oleh Sartre



D



disebut le neant (ketiadaan). Di dalam kesadaran kita senantiasa ada ketiadaan (le neant), yang membuat kita dari en-soi (dalam diri-sendiri) menjadi poursoi (untuk-diri-sendiri).



U



Sekalipun di dalam kesadaran prareflektif telah ada jarak namun hal itu belum berarti, bahwa di dalam kesadaran ini telah ada hubungan subjek-



M



objek dalam arti yang sebenarnya. Baru kesadaran refleksiflah yang dapat mempunyai bentuk hubungan subyek-obyek, dan sering kali memang menjadi berbentuk subyek-obyek. Jadi di dalam kesadaran diri yang reflektif itu



M



manusia sadar bahwa ia ada. Manusia menyadari dirinya sebagai ada. Yang menyadari (subyek) tidak sama dengan yang disadari (obyeknya). Obyek adalah sesuatu di luar subyek. Di satu pihak kesadaran menghubungkan subyek dengan yang bukan subyek, yaitu obyeknya, akan



Y



tetapi di lain pihak kesadaran memecah-belah. Apa yang semula satu dijadikan dua. Kata “aku sadar akan aku (diriku)” berarti “aku” yang pertama adalah subyek, sedang “aku” yang kedua (diriku) adalah obyek, sehingga “aku” yang pertama lain dengan “aku” yang kedua, seperti halnya dengan subyek lain daripada obyek. Kesadaran menjadikan retak apa yang semula utuh, menjadikan dua apa yang semula satu, menjadikan tidak padat lagi apa



275



yang semula padat, menjadikan tidak sendirian lagi apa yang semula sendirian.361 Dalam perspektif Herbert Spiegelberg, pemahaman kita tentang kedua jenis kesadaran eksistensial manusia ini sangat penting untuk memahami fenemenologi Sartre. Titik tolak fenemenologi Sartre, dan sekaligus tema utama penyelidikan Sartre, tidak lain dan tidak bukan adalah kesadaran.



Adapun kesadaran yang menjadi titik tolak dan tema



fenomenologinya itu, pada prinsipnya adalah kesadaran pra-reflektif. Hidup keseharian kita, eksistensi kita sehari-hari, adalah hidup dan eksistensi melalui kesadaran pra-reflektif.



D



Dalam kesadaran pra-reflektif, ego (subjek) bukanlah ego yang



mengarahkan kesadarannya pada perbuatan-perbuatannya sendiri, melainkan pada sesuatu (objek) yang sedang diperbuatnya. Bersamaan dengan itu,



U



kesadaran pra-reflektif pun menopang kesadaran reflektif. Kesadaran reflektif tercapai berkat keterarahan kesadaran kita pada perbuatan-perbuatan kita



M



sendiri, dalam hubungannya dengan objek (jadi, pada kesadaran pra-reflektif kita).



Kalau begitu, apakah tugas fenomenologi dalam hubungannya



M



dengan kesadaran pra-reflektif? Tugas fenomenologi adalah merefleksikan kesadaran pra-reflektif, atau: membuat tematik kesadaran “yang tidakdisadari”. Di dalam, (atau, dengan) fenomenologi, kesadaran pra-reflektif kita akan objek, kita refleksikan atau kita buat menjadi tematik, sehingga kita



Y



menjadi paham apa makna sesungguhnya dari perbuatan-perbuatan kita itu dan bagaimana obejek-objek dari perbuatan kita itu kita maknakan. 362 Jadi cara berada atau esksistensi seorang manusia berpusat pada kesadarannya. Dengan kesadarannya, seorang manusia bukan hanya mampu mencandra semesta objek-objek yang dihadapinya, tapi juga ia mampu mencandra kegiatannya dalam mencandra semesta objek-objek dalam 361 362



Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 160. Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 184-185. 276



kehidupannya. Itulah keunikan eksistensi seorang manusia sebagai being for it self sebagai être-pour-soi. 2. Kebebasan dan Tanggung Jawab Dalam tilikan Sartre, manusia adalah kebebasan. Mengenai kebebasan yang menjadi tema sentral filsafat Sartre dan menjadikan kebebasan yang otonom bagi manusia, ia mendeklarasikan sebuah ungkapan yang terkenal: man is free, or rather man is freedom: manusia adalah kebebasan, bahkan manusia adalah kebebasan itu sendiri. 363 Statemen ini ekstrem sekali. Tidak cukup, kalau dikatakan bahwa kebebasan merupakan salah satu ciri atau sifat manusia. Tidak cukup pula, kalau dikatakan bahwa



D



kebebasan merupakan ciri khas atau sifat hakiki manusia. Tidak! Harus dikatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Manusia itu tidak lain daripada



U



kebebasan. Karena alasan itu, Sartre menyimpulkan juga bahwa manusia tidak mempunyai kodrat atau esensi. Seandainya terdapat kodrat atau esensi manusia, maka manusia itu tidak bebas. Menerima kodrat manusia tidak eksistensi manusia.364



M



mungkin diperdamaikan dengan menganggap kebebasan sebagai inti



Prinsip kebebasan inipun berhubungan erat dengan dua cara berada



M



yang telah dilukiskan Sartre sebelumnya yaitu being in itself, apa yang ada begitu saja dan being for itself, kesadaran manusia. Kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Manusia selalu dapat mengatakan “tidak”.



Y



Selalu ia dapat meniadakan apa saja yang mau menentukan dia. Jadi, manusia sebagai etre-pour-soi adalah bebas sama sekali. Kalau seandainya saya mempunyai kodrat, itu berarti bahwa saya bersifat begini atau begitu. Kalau seandainya saya mempunyai kodrat, itu berarti bahwa sudah ditentukanlah apa saya ini atau siapa saya ini. Nah, hal itu tidak mungkin. Karena saya bebas, maka tidak pernah dapat dikatakan bahwa saya adalah begini atau begitu. 363



Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 133. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 214. 277 364



Karena saya bebas, saya selalu sanggup untuk mengatakan “tidak”, untuk meniadakan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang tentang diri saya. Dengan tingkah laku, dengan apa yang saya perbuat dapat saya ingkari kodrat yang ditentukan orang tentang saya. Sartre mengatakan juga bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk yang tidak mempunyai kodrat tertentu, karena manusia adalah satusatunya makhluk yang bebas. Benda-benda alam mempunyai kodrat. Dan benda-benda alam itu ditentukan pula oleh kodrat. Tidak bisa lain. Sebongkah batu granit misalnya adalah keras menurut kodratnya, mau tidak mau. Atau contoh lain: biji mangga karena kodratnya akan tumbuh menjadi pohon



D



mangga (tentu saja, jika syarat-syarat tertentu sudah terpenuhi) dan pohon mangga itu akan menghasilkan buah-buah mangga, bukan buah durian. Itu sudah ditentukan oleh kodratnya.



U



Juga benda-benda kultur mempunyai kodrat. Yang dimaksudkan dengan benda-benda kultur ialah benda-benda buatan manusia atau artefak



M



rumah, meja, lukisan, buku, dan lain sebagainya. Sebagai salah satu benda kultur marilah kita memandang sepasang sepatu misalnya. Sepatu tentu mempunyai kodrat. Dan sudah nyata, kodrat itu telah diketahui oleh tukang



M



yang membuat sepatu tersebut. Sebelum sepatu itu dibuat, kodratnya tidak boleh harus ada dalam pikiran tukang sepatu. Itu berarti pula bahwa lebih dahulu ia mesti mengetahui untuk apa sepatu akan dipakai. Sepatu prajurit misalnya mempunyai kodrat lain daripada sepatu penari balet. Pantaslah



Y



kodrat yang berlainan itu diketahui oleh tukang sepatu. Jangan-jangan terjadi ia membuat sepasang sepatu prajurit untuk seorang prima ballerina!.



Dengan demikian kiranya sudah jelas bahwa benda-benda alam dan benda-benda kultur mempunyai kodrat tertentu. Tetapi manusia tidak mungkin memiliki kodrat. Apakah manusia itu? Apakah kodratnya? Apakah esensinya? Sartre menjawab: itu tergantung dari manusia sendiri. Itu



278



tergantung dari kebebasannya. Kata Sartre: I’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait (Manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri). 365 Dengan ungkapan lain, Sartre menegaskan: Man becomes nothing other than what is actually done: Manusia tidak bisa menjadi apapun selain menjelma sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. 366 “Manusia”, tulis Sartre dalam Eksistensialisme dan Humanisme, “adalah apa yang ia citacitakan, manusia ada sejauh ia merealisasikan dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia adalah keseluruhan tindakan-tindakannya. Manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang dinyatakan oleh hidupnya”. 367 Dengan kata lain, manusia mempunyai kebebasan penuh untuk



D



merancang masa depan kehidupan sendiri. Dengan demikian, kodrat dan esensi seorang manusia, bagi Sartre, ditentukan oleh kebebasan manusia itu sendiri untuk menjadi siapa dirinya. Sebab kalau terdapat kodrat manusiawi,



U



maka kodrat itu akan menentukan manusia dan akibatnya manusia itu tidak lain daripada buah hasil perkembangan kodrat itu, kira-kira seperti pohon



M



mangga dihasilkan oleh biji mangga. Kalau begitu, manusia dijadikan dan tidak menjadikan dirinya sendiri. 368



Akan tetapi menurut Sartre, kodrat atau esensi seorang manusia



M



dapat saja ditentukan oleh penilaian orang lain ketika manusia menjalin relasi sosial dengan orang lain. Karena saya hidup bersama orang lain, maka mereka akan berusaha untuk membuat saya menjadi obyek dengan kodrat begini atau begitu. Itulah yang dinamakan Sartre sebagai etre-pour-autrui (Inggris: being-



Y



for-other). Misalnya saja, oleh Pak Guru saya dinilai sebagai seorang murid yang malas atau sebagai murid yang rajin. Orang bilang, saya seorang yang



365



Ibid., hlm. 214-216. http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartreexistentialism-squashed.pdf,hlm 2. Diakses pada Mei 2017. 367 Jean Paul Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 73. 368 Bertens, Panorama , hlm. 216. 279 366



lekas tersinggung atau saya seorang pencuri. Dengan demikian saya mendapat kodrat tertentu. Saya diberi kodrat oleh orang lain. Akan tetapi saya tidak terikat pada kodrat itu. Selalu saya dapat melepaskan diri dari “kodrat” yang dibentuk orang tentang saya. Saya dapat mengatakan: tidak. Saya dapat membuktikan bahwa saya bukan seorang yang lekas tersinggung, bukan seorang pencuri dan lain sebagainya. Apalagi, saya dapat membuat orang lain menjadi obyek bagi saya. Saya dapat menyifatkan kodrat kepadanya. Saya dapat mengatakan umpamanya bahwa Pak Guru tadi tidak pernah puas, atau bahwa dia seorang yang senantiasa mengeluh, dan lain sebagainya. Dengan cara itulah dapat saya selamatkan kebebasan saya. Baru



D



jika saya mati—demikian kata Sartre—saya kehilangan kebebasan saya. Sejak saat itu orang dapat melukiskan biografi tentang saya. Orang dapat menegaskan bahwa saya begini atau begitu. Dan saya tidak sanggup



U



menghindarinya, sebab kebebasan saya sudah tidak ada lagi. Je suis condamne a etre libre: saya dihukum untuk hidup bebas.



M



Saya bebas, mau tidak mau. Terpkasa saya hidup sebagai makhluk bebas. Kebebasan merupakan nasib saya sebagai manusia. Dan Sartre menganggap kebebasan itu absolut atau mutlak. Kebebasan tidak terbatas pada aspek



M



tertentu saja. Kebebasan mencakup seluruh eksistensi manusia. Tidak ada batas untuk kebebasan. Atau lebih tepat lagi: kebebasan tidak mempunyai batas lain daripada dirinya sendiri. Kebebasan sendiri menentukan batasbatasnya.



Y



Memang benar, harus diakui bahwa saya lahir dalam situasi historis, geografis, dan sosial yang tidak saya pilih. Misalnya, saya seorang Prancis yang hidup dalam abad ke-20 dan berasal dari lingkungan borjuis. Akan tetapi, buat Sartre saya tidak ditentukan oleh situasi itu. Saya dapat menerima situasi macam itu, tetapi saya juga dapat menyangkalnya dengan mengatakan: tidak. Menurut Sartre hanya ada dua kemungkinan saja: atau manusia ditentukan sama sekali sehingga kebebasan tidak ada, atau manusia adalah



280



bebas sehingga ia tidak ditentukan oleh apa pun juga. Selain kedua kemungkinan ini tidak terdapat kemungkinan yang ketiga. 369 Kebebasan manusia betul-betul absolut. Tidak ada batas-batas bagi kebebasan, kata Sartre, selain batas-batas yang ditentukan oleh kebebasan sendiri. Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas. Allah itu Mahatahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya melakukan dan Allah pulalah yang akan menentukan humum moral. Kalau begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas kebebasan. Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.370 Karena



D



itu. Salah satu cara untuk merumuskan ateisme Sartre adalah: karena manusia itu bebas, maka Allah tidak ada.371 Sampai di sini, kita melihat bahwa kebebasan manusia dalam



U



pandangan Sartre, bersifat otonom, bersandar pada diri manusia itu sendiri dan tidak bersumber dari luar dirinya sekalipun atas nama Tuhan atau Allah.



M



Dari sini pula, kebebasan seorang manusia selalu dikaitkan dengan tanggung jawab yang menyertainya. Kebebasan dan tanggung jawab tidak boleh dipandang terpisah dan terlepas dengan seorang subyek. Oleh karena itu,



M



mengandaikan kebebasan dan tanggung jawab, terpisah satu sama lain dan masing-masing berdiri sendiri adalah merupakan suatu abstrasi yang tak dapat dibenarkan.



Justru kebebasan itu akan bermakna dengan tampilnya tanggung



Y



jawab yang menyertainya dalam setiap tindakan manusia dan pilihannya yang diputuskan. Dengan demikian, kebebasan seseorang dalam bertindak maupun dalam memilih apa yang diputuskan, selalu melibatkan tanggung jawab. Karena tiadanya tanggung jawab dalam suatu tindakan manusia yang bebas,



369



Ibid., hlm. 216-217. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 110-111. 371 Bertens, Panorama , hlm. 216. 370



281



akan mengakibatkan dihilangkannya akibat sebagai aspek penting dari kondisi manusia.372 Jika pada awal formulasi filsafat eksistensialismenya, Sartre selalu menghubungkan kebebasan manusia dan tanggung jawabnya terhadap dirinya sendiri, maka dalam perkembangan teori selanjutnya ia mengaitkan tanggung jawab seseorang kepada seluruh umat manusia. Tanggung jawab seseorang tidak lagi bersifat individual tapi selalu sosial, bahkan universal mencakup seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, Sartre menulis: when we say that man takes responsibility for himself, we say more than that—he is in hischoices responsible for all men. All our acts of creating ourselves create at



D



the same time an image of man such as we believe he must be. Thus, our personal responsibility is vast, because it engages all humanity.373 Jadi ketika kita mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas



U



hidupnya sendiri, kita tidak bermaksud mengatakan bahwa tanggung jawabnya hanya meliputi individualitasnya sendiri melainkan mencakup



M



tanggung jawab atas semua manusia.374 Apa yang kita pilih selalu pilihan yang paling baik; dan tidak ada satu pilihan pun yang lebih baik bagi kita kecuali pilihan-pilihan yang lebih baik bagi sesama manusia. 375 Dengan



M



demikian, ternyata tanggung jawab kita jauh lebih besar daripa apa yang kita bayangkan, karena tanggung jawab kita meliputi seluruh umat manusia. 376 Mengenai tanggung jawab universal ini, Sartre memberi contoh konkret. Misalnya saya adalah seorang pekerja dan kebetulan saya lebih



Y



memilih untuk bergabung dengan serikat pekerja Kristen daripada serikat pekerja komunis. Keputusan saya untuk memilih keputusan tersebut, pertamatama adalah sikap yang terbaik dalam menjadi manusia, bahwa kerajaan 372



Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 181. http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartreexistentialism-squashed.pdf, hlm 2. Diakses pada Mei 2017. 374 Sartre, Eksistensi dan Humanisme, hlm. 46. 375 Ibid., hlm. 47. 376 Ibid., hlm. 48. 282 373



manusia tidak di dunia ini. Saya tidak mengikat diri pada pandangan ini sendirian. Keputusan ini adalah keputusan saya bagi semua orang, dan tindakan saya adalah, akibatnya. Sebuah komitmen atas nama semua umat manusia. Atau, jika mengambil kasus yang lebih personal, saya memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak, meskipun keputusan ini bermula dari situasi saya, dari keinginan atau hasrat saya sendiri, di sini saya mengikatkan tidak hanya diri saya sendiri, tetapi seluruh kemanusiaan pada praktek monogami. Dengan demikian, saya bertanggung jawab pada diri sendiri dan semua manusia, dan saya menciptakan citra manusia seperti yang ingin saya wujudkan. Dalam mewujudkan diri saya, saya mewujudkan manusia. 377



D



Dengan alasan inilah, Sartre menamakan eksistensialismenya



sebagai eksistensialisme humanis. Menariknya, sikap humanis yang terlaksana dalam tanggung jawab total manusia terhadap semua manusia pada



U



Sartre bukan sebuah semboyan kosong, melainkan menjadi kenyataan. Sartre selalu memberi komitmen nyata. Ia menentang antisemitisme dan penyiksaan.



M



Selama pendudukan Jerman ia mengorganisasikan kelompok perlawanan dan kemudian memperjuangkan sebuah sosialisme netral. 1952, di puncak perang dingin, ia menyatakan diri ikut dalam Gerakan Perdamaiana Dunia dan solider



M



dengan partai komunis Prancis dan Uni Soviet. Karena itu Merleau-Ponty and Albert Camus memutuskan hubungan dengannya. 1956 ia mengutuk penumpasan pemberontakan Hongaria oleh tentara Soviet. Ia melibatkan diri melawan perang Prancis di Aljazair sehingga OAS (organisasi ekstrem kanan



Y



Prancis) meledakkan dua bom di depan rumahnya. Ia aktif menentang perang Amerika Serikat di Vietnam dan membenarkan hak bangsa-bangsa terjajah untuk memakai kekerasan untuk membebaskan diri. 378



Akan tetapi, menurut Sartre, dalam kebebasannya yang otonom dan sikap tanggung jawabnya, manusia akan berjumpa dengan kecemasan.



377



Ibid., hlm. 48-49. Jean Paul Sartre, Filsafat Eksistensialisme (R. Sani Wibowo, dkk (ed.) (Yogyakarya: Kanisius, 2011), hlm. 10. 283 378



Sebagaimana menjadi kebiasaan di kalangan paara eksistensialis sejak Kierkegaard, Sartre pun membedakan katakutan (fear) dan kecemasan (anxiety). Ketakutan mempunyai salah satu obyek, yaitu benda-benda dalam dunia. Kecemasan menyangkut diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya.379 Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya bergantung pada saya.380 Kalau manusia identik dengan kebebasan maka jaminan keberadaan dan keberlangsungan hidup diri dan eksistensinya sepenuhnya tergantung pada kebebasannya itu. Kebebasan dan tanggung jawab, dengan demikian, bukan sesuatu yang menggembirakan atau menyenangkan, melainkan justru



D



menimbulkan kecemasan: “Aku tidak punya jalan lain menuju nilai yang melindungiku dari fakta bahwa aku sendiri yang menjamin keberadaanku; tak ada apapun dan siapapun yang bisa memberikan jaminan atas diriku, atas



U



esensiku …. Aku mengambil keputusan sendiri tanpa pembenaran dan bahkan tanpa restu dari siapapun ….”



M



Kecemasan adalah gejala universal dan menyergap siapa saja, saat ia menyadari bahwa ia hidup sendirian dan harus memikul dipundaknya sendiri, seluruh tanggung jawab yang bersumber dari kebebasannya itu. Akan tetapi,



M



baik kebebasan maupun tanggung jawab itu sebetulnya “terlalu berlebihan”, “terlampau berat untuk dipikul”, karena konsekuensi apapun yang mungkin timbul akibat kebebasan itu, bukan saja harus dipikul sendirian, tetapi juga bisa menggoyahkan segenap eksistensi saya. Keputusan saya untuk



Y



mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan atau untuk melibatkan diri dalam suatu organisasi politik yang radikal, misalnya (paling tidak pada mulanya) sungguh membuat saya merasa cemas. Salah memilih pasangan hidup atau mendapat tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan dari pihak penguasa seperti pada zaman Orde Baru, tidak mustahil bisa menghancurkan



379 380



Bertens, Filsafat Barat, hlm. 107. Ibid., hlm. 108. 284



masa depan (eksistensi) saya, yang telah lama saya jalani dan saya rencanakan dengan penuh pengharapan.381 Sartre mengakui bahwa kecemasan ini jarang terjadi. Ini disebabkan karena



biasanya



manusia



terhanyut



oleh



urusan-urusan



sehari-hari.



Kemungkinan-kemungkinannya tidak menjadi obyek refleksi, tetapi ia merealisasikannya secara pra-reflektif. Tetapi sedari ia insaf bahwa tingkah lakunya seluruhnya bergantung pada dirinya, bahwa ia sendirilah satu-satunya sumber segala nilai dan makna, maka kecemasan timbul dalam hidupnya. Walaupun demikian, manusia bisa menutup matanya bagi kebebasan dan melarikan diri dari kecemasan dan sering kali terjadi begitu.



D



Untuk dapat menyembunyikan kecemasannya dan melarikan diri



dari kebebasannya, manusia tentu saja harus mengetahui baik-baik apa yang disembunyikan dan dijauhkan. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan



U



diri dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan, kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian manusia mengakui kebebasannya



M



dan serentak menyangkal kebebasan itu.382



Sikap menyangkal kebebasannya dan menghindari dari tanggung jawab in, oleh Sartre disebut sebagai mauvaise foi, bad faith, atau self



M



deception yakni sikap penipuan diri. Mauvaise foi atau sikap malafide inilah yang dinilai oleh Sartre sebagai sikap hidup yang tidak autentik, sebab manusia melarikan diri dari kebebasan dan tanggung jawabnya sebagai seorang manusia. “Through bad faith” tulis Sartre, “a person seeks to escape



Y



the resposible freedom of Being-for-itself”, “Melalui penipuan diri, seseorang mencoba menghindarkan diri dari kebebasan yang bertanggung jawab sebagai seorang yang berkesadaran”.383



Dalam sikap malafide, manusia menipu dirinya sendiri dengan cara menyangkal



kebebasannya



dan



menutupi



kecemasannya.



Manusia



381



Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 187-188. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 108-109. 383 Muzairi, Eksistensialisme, hlm. 138. 382



285



mengidentifikasikan diri dengan objek (Benda atau Ada) dan tidak mengakui dirinya sebagai subjek (“kesadaran bebas”). Contoh konkret misalnya terjadi pada banyak individu, yang mengasalkan segala kegiatannya dari “takdir” atau “nasib”, atau kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang menurutnya tidak bisa ditentang atau dihindari. Pernyataan-pernyataan seperti “sifat saya memang begitu, mau apa lagi?” atau “kehendak para penguasa kita memang demikian, bagaimana kita bisa menentangnya?” atau “itu sudah menjadi ketentuan para pemimpin kita, sehingga adil atau tidak adil harus kita lakukan”—adalah pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulut-mulut manusia malafide.



D



Apa yang sebenarnya hendak dikatakan oleh manusia malafide



dalam pernyataan-pernyataan tersebut adalah, “semuanya itu bukanlah kehendak saya, atau tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan saya, jadi



U



apapun yang terjadi, bukanlah tanggung jawab saya”. Manusia malafide pun bisa tampil dalam bentuk yang lain. Misalnya saja pada orang-orang, yang



M



segenap tindak-tanduknya bukan hanya ditentukan oleh pendapat atau kehendak umum, tapi juga dimaksudkan untuk menyesuaiakan diri dengan citra yang dibentuk oleh orang lain terhadap dirinya.384 Katakanlah seorang



ditentukan oleh majikannya.



M



pelayan yang over-acting dimana semua sikap, gerakan dan perilakunya



Dalam bentuk yang lain lagi, manusia malafide bisa saja tampil pada ilmuwan atau psikolog yang meyakini teori-teori deterministik, dan



Y



menjadikan teori-teori tersebut sebagai alasan untuk menyangkal kebebasan dan tanggung jawabnya. Teori yang menyatakan bahwa “watak manusia terbentuk oleh pengalaman-pengalamannya pada masa kanak-kanak awal”, atau “faktor-faktor biologis sangat menentukan perilaku agresif”, oleh manusia malafide bisa dijadikan sebagai alasan untuk dimakluminya



384



Abdin, Filsafat Manusia, hlm. 188-189. 286



perbuatan-perbuatan amoral tertentu—atau agar dibebaskannya dari tanggung jawab moral, yang seharusnya dipikul oleh dirinya.385 Karena itu, Sartre menegaskan bahwa kita sebagai manusia yang memiliki kebebasan otonom harus menyambut semua tantangan kehidupan dengan suatu sikap autentik. Dengan sikap autentik, kita justru menggunakan kebebasam kita secara tanggung jawab, bukan malah menggunakan kebebasan kita untuk menghindari tanggung jawab. Sebab bersama sikap autentiknya yang penuh kebebasan dan tanggung jawab, seorang manusia akan benar-benar dapat mengaktualisasikan eksistensi dirinya secara autentik pula. “Manusia adalah apa yang ia cita-citakan, manusia ada sejauh ia



D



merealisasikan dirinya sendiri, dan oleh karena itu ia adalah keseluruhan tindakan-tindakannya.



Manusia



bukanlah apa-apa



kecuali



apa



yang



dinyatakan oleh hidupnya”, demikian pungkas Sartre. 386



U



G. Penutup



Kita telah melihat gagasan sentral dua aliran besar filsuf



M



eksistensialisme teistik dan ateistik yang diwakili Soren Kierkeggard dan Jean-Paul Sartre. Seperti telah kita dibahas sebelumnya, dalam pandangan Kierkegaard manusia juga adalah sintesis antara yang mewaktu dan yang



M



abadi. Manusia adalah pengada (being) yang hidup dalam waktu, tetapi sekaligus melampaui waktu. Secara abstrak itu berarti bahwa meskipun hidup kita dibentuk oleh rangkaian momen-momen yang terpisah karena dimensi



Y



kemewaktuan hidup manusia, kita juga adalah pengada yang eksistensinya melampaui keterpisahan ini. Secara eksistensial itu juga berarti bahwa kita bukan saja merupakan pengada yang dituntun oleh hasrat-hasrat dan keinginan besar, yang bertujuan mencapai kepuasan sementara dan sering mendikte kehidupan kita, melainkan juga pengada yang mendambakan hidup yang koheren dan utuh. Meskipun kita suka berbelanja, menyantap makanan enak, mendapatkan banyak uang, atau menduduki jabatan tinggi, kita juga 385 386



Ibid., hlm. 189-190. Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, hlm. 73. 287



merindukan makna dan kepenuhan hidup, yang membuat hati kita damai dan yang melampaui segala bentuk kesenangan di atas.387 Dalam pandangan Kierkegaard, manusia bukan hanya dituntut untuk mengungkapkan sebagian kodratnya, melainkan seluruh kodratnya, yakni seluruh eksistensinya sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi. Mengungkapkan aspek mewaktu memang jauh lebih mudah karena hasrat manusia untuk meraih kenikmatan dan memuaskan hasrat itu relatif selalu ada setiap saat. Yang lebih sulit adalah mengungkapkan sisi Ilahi atau abadi, yang memberikan keutuhan, tujuan, atau tema yang menyeluruh bagi diri dan hidup kita. Tetapi merealisasikan struktur yang mempersatukan kehidupan manusia



D



inilah tugas setiap manusia: mengalami masa muda, kemudian menjadi tua, dan akhirnya meninggal, adalah bentuk suam-suam kuku (atau sikap setengah-setengah) eksistensi manusia; pengalaman ini ada pada semua



U



hewan. Akan tetapi, mempersatukan tahap-tahap hidup yang berbeda adalah tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia.



M



Kesatuan menyaluruh ini, menurut Kierkegaard, dapat dicapai hanya melalui pilihan yang mantap dan yang terus-menerus diperbarui. Dengan kata lain, diperlukan komitmen yang akan menyatukan hidup seseorang.



M



Komitmen itu misalnya, dapat diberikan kepada pasangan hidup dalam perkawinan atau kepada Tuhan dalam hidup religius. Di sini Kierkegaard berbicara mengenai salah satu tema paling fundamental dalam aliran eksistensialime, yakni bahwa manusia dapat memperoleh makna hidupnya



Y



hanya melalui komitmen yang tegas dan yang menentukan hidup. Orang disebut sungguh mengada (really exist) kalau berusaha mencapai kesatuan yang menyeluruh dengan cara memperhatikan dimensi abadi hidupnya. Eksistensi, dalam hal ini, bukanlah keadaan akhir atau produk yang sudah selesai, melainkan perjuangan yang terus-menerus. Menjadi pribadi yang sungguh mengada berarti melibatkan diri dalam proses sulit yang bertujuan untuk mengungkapkan kedirian seseorang. Ini adalah proyek yang tidak 387



Tjaya, Kierkegaard, hlm. 98-99. 288



pernah selesai selama orang masih bernafas, tetapi harus terus menerus dijalani dan dikejar. Menurut Kiekegaard, memberikan komitmen, baik kepada manusia maupun yang Ilahi, merupakan “lompatan” (leap). Dasarnya adalah bahwa komitmen selalu memuat janji untuk memusatkan diri pada pihak tertentu di masa depan, padahal masa depan secara hakiki dicirikan oleh kemungkinan (uncertainty). Tak seorang manusia pun memiliki kendali atas masa depan; berbagai kemungkinan dapat terjadi. Dengan membuat komitmen, manusia “melompat”, membuat masa depan yang bersifat tidak pasti (uncertain) menjadi sesuatu yang pasti (certain), sekurang-kurangnya dalam subyektivitas



D



manusia, dengan memusatkan diri pada pihak yang menerima komitmen. 388 Kendati demikian, wacana eksistensialisme Kierkegaard, seperti



sebagian besar wacana filsafat, dibentuk oleh reaksinya terhadap teori-teori



U



sebelumnya. Karenanya,



tidak ada reaksi pada masa lalu yang dapat



memenuhi semua kebutuhan di masa depan. Kita tidak boleh puas dengan



M



rasionalisme zaman sebelumnya ataupun dengan paradoks absolut dari Kierkegaard. Kita perlu berada di tempat di antara keduanya. Jika kita cukup berani untuk mencari intelijibilitas teologis dan metafisik dibandingkan yang



M



diberikan oleh Kierkegaard, tanpa di saat yang sama membuat klaim eksesif akan kekuatan rasional kita, kita mungkin merasakan bahwa kita telah melakukan semua hal yang semanusiawi mungkin dan bahwa usaha kita cukup memuaskan keinginan akan makna dan harapan di dalam kehidupan



Y



kita.389



Kierkegaard dapat bermain dengan paradoks dan irasionalitas karena ia menganggap zamannya sendiri didominasi oleh rasionalisme yang mencekik. Bagaimanapun, situasi kita jauh lebih mudah berubah dan dipenuhi dengan irasionalitas. Maka, kabutuhan kita adalah sebuah perspektif metafisik



388



Ibid., hlm. 101-103. John K. Roth, Persoalan-persoalan Filsafat Agama, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 291. 289 389



yang dapat memberi makna dan harapan, namun dapat dimengerti dan rasional. Paradoks absolut dari Kiekegaard mungkin memenuhi persyaratan yang pertama, tetapi gagal memenuhi persyaratan yang kedua. 390 Sedangkan Sartre, memiliki pandangan filosofis yang berbeda dengan Kierkegaard. Namun terlepas dari betapa ekstremnya pandangan Sartre tentang kebebasan, kita bisa melihat adanya unsur positif dari pandangannya itu. Unsur positif itu berkaitan dengan pilihan dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sendiri. Eksistensi kita, keberadaan kita yang sejati, tidak lain adalah produk dari perbuatan-perbuatan bebas kita sendiri. “Menjadi diri kita sendiri hanya mungkin kalau kita memilih sendiri



D



dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita”. Kendati kebebasan pada prinsipnya, dan pada awal mulanya, “dibebankan” pada manusia dalam suatu situasi yang sudah tertentu dan yang bukan merupakan pilihannya, tetapi



U



manusia bebas sebebas-bebasnya untuk mengubah makna situasinya itu, yakni melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan ditentukan



M



oleh dirinya sendiri.



Situasi yang dibebankan kepada manusia (misalnya berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau peperangan yang banyak



M



meminta korban), justru merupakan prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia, tanpa situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.391 Dengan kebebasannya, Sartre mengajak manusia untuk menjalani hidup secara autentik. Menurut Franz



Y



Magnis Suseno, komitmen autentik Sartre terhadap kebebasan dan tanggung jawab menembus klise-klise filsofis atau keagamaan yang suka kita pasang untuk melindungi diri dari komitmen yang sungguh-sungguh.392



Penegasan bahwa autentisitas adalah syarat harkat kemanusiaan dalam segala sikap yang kita ambil, bagi Magnis, merupakan jasa Sartre yang



390



Ibid., hlm. 289. Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 187. 392 Sartre, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 10. 391



290



terbesar. Manusia hanya mencapai eksistensi yang bermutu apabila ia tetap setia pada dirinya sendiri, apabila ia bertindak berdasarkan keyakinannya, apabila ia, sebagaimana ditekankan Sartre, bertanggung jawab terhadap segala-galanya. Manusia menyangkal diri apabila ia melemparkan tanggung jawab terhadap peranannya dalam dunia dan masyarakat pada faktor-faktor objektif di luarnya. Faktor-faktor objektif, dunia para ada-en-soi, memang tidak dapat diubah orang, tetapi ia dapat mengambil sikap terhadapnya. Dan hanya dialah yang dapat melakukannya. Dalam arti ini manusia bebas, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan ia diharapkan (oleh Sartre pun) tidak melarikan diri darinya. 393



D



Kendati demikian, filsafat eksistensialisme Sartre dengan konsep



kebebasan otonomnya dan ateistiknya tetap mengundang sejumlah respons kritis-konstruktif. Tidak betul bahwa kita, dalam mengambil sikap terhadap



U



dunia objektif, sama sekali bebas. Kebebasan semacam itu abstrak sematamata. Secara konkret, lingkungan, pendidikan, tekanan dari luar, dan struktur-



M



struktur dari dalam selalu sudah mengarahkan kita. Juga tidak betul bahwa kita bertanggung jawab atas segala-galanya. Apa dasar tuntutan berlebihan semacam itu? Kiranya kita hanya bertanggung jawab terhadap apa yang



M



memang langsung terjadi dalam lingkup kemungkinan tindakan kita dan dalam struktur-struktur di mana kitalah yang diharapkan. 394 Gabriel Marcel, sang filsuf eksistensialis teistik, juga mengkritisi pandang Sartre. Manusia dalam pemahaman Gabriel Marcel tidak terkutuk



Y



dalam kebebasan tanpa dasar sebagaimana dalam Sartre. Manusia juga tidak hidup dalam dunia tanpa makna—tanpa tujuan. Menurut Gabriel Marcel, relasi “aku-engkau” masih memberi kita kemungkinan untuk berharap akan dunia yang memberi ruang bagi communio yang sejati. Dan communio atau persaudaraan yang sejati hanya mungkin dibangun ketika didasarkan atas



393 394



Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika, hlm. 81 Ibid., hlm. 82. 291



keyakinan bahwa manusia juga memiliki peluang relasi transendental dengan Engkau-Absolut (Allah). Tentu Gabriel Marcel juga mengakui bahwa di dunia ini juga ada banyak ketidaksempurnaan dan ketidakadilan. Tetapi itu tidak otomatis membuat manusia hidup dalam kegelapan yang absurd dan nihil. Marcel mempercayai adanya iman, keyakinan, kasih, dan harapan sebagai jalan bagi manusia untuk memasuki relasi intersubjektif (interpersonal). Relasi dalam communion, persaudaraan sejati, hanya mungkin kalau didasarkan di atas keterbukaan spiritual dalam relasi dengan Engkau-Absolut (Allah), I-Absolute Thou. Relasi ini tidak berada dalam level having tetapi being. Bila demikian,



D



lantas mengapa masih ada perang dan konflik yang membuat manusia saling mengasingkan, saling mencabut dari realitas perdamaian dan persaudaraan sejati? Menurut Marcel, manusia di abad ini mengalami keterasingan,



U



ketercerabutan, dan keterlemparan dalam absurditas eksistensi hidupnya karena kehidupan di zaman ini secara masif dan dalam intensitas yang



M



semakin kuat telah berubah di bawah hegemoni teknologi dan pasar global yang impersonal, melulu fungsional, dan mekanistik. Sebagaimana eksistensialisme ateistik, eksistensialisme teistik juga



M



memandang bahwa kehidupan di muka bumi ini bukan surga. Tetapi, (ini yang membedakan eksistensialisme teistik dari yang ateistik) kehidupan sekarang ini dipandang sebagai semacam “persiapan” dari “yang akan datang”. Di sinilah eksistensialisme teistik menemukan suatu kebahagiaan



Y



yang sulit dibayangkan (yang membedakannya dari kegelapan dan absurditas eksistensial dari pandangan eksistensialisme ateistik terhadap “dunia”). Menurut Gabriel Marcel, hidup manusia di dunia ini bagaikan homo viator, manusia pejalan atau peziarah yang mencari permanent home, yaitu “tempat tinggal” yang tetap. Dia bagaikan seorang pejalan kaki dari satu “rumah” ke “rumah” yang lain untuk menemukan tempat tinggal yang membuatnya merasa at home. Gambaran kehidupan manusia eksistensial semacam ini tentu



292



sangat berbeda dengan gambaran manusia yang disajikan oleh Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre. Seorang manusia peziarah percaya akan Allah sebagai Bapa surgawi. Dia adalah manusia yang pernuh iman dan cinta. Inilah yang digambarkan oleh Santo Agustinus dari Hippo. Bagi Agustinus, manusia tidak akan pernah merasakan suatu kepenuhan atau kesempurnaan yang memberinya damai dan kepuasan di muka bumi, karena dia diciptakan untuk Kebaikan yang Tak Terbtas dan Abadi dalam kehidupan di masa depan. Kehidupannya saat ini adalah persiapan yang penuh harapan dan cinta bagi eksistensi yang abadi di mana “di sana” ditemukan kegembiraan dan



D



kebahagiaan yang tak bisa digambarkan. Kata Agustinus: “Jiwa kami tak akan pernah beristirahat (gelisah) sampai saat kami beristirahat dalam Engkau, ya Tuhan”.395



Y



M



M



U 395



Prasetyo, Tema-Tema Eksistensialisme, hlm. 107-110. 293



BAB 9 EPISTEMOLOGI NIHILISME A. Pengantar “Nihilism can take more than one form. There is, for instance,



D



passive nihilism, a pessimistic acquiescence in the absence of values and in the purposelessness of existence. But there is



also active nihilism which seeks to destroy that in which it no



U



longer believes. And Nietzsche prophesies the advent of an active nihilism”.396



M



Secara konseptual, nihilisme merupakan teori yang mempromosikan kondisi meyakini ketiadaan, atau tidak memiliki pertolongan dan tanpa arah tujuan.397 Nihilisme juga merupakan paham pemikiran yang menyatakan



M



bahwa makna hidup manusia berakhir dalam ketanpa-artian. Dalam pemikiran Nietzsche, paham ini dipuncakkan dengan menunjukkan nihilisme nilai-nilai yang ada dan ia mewartakan nilai-nilai baru yang harus dihayati secara baru



Y



dengan moral baru yang bertolak pada manusia eksitensial secara baru pula. Secara sepintas nihilismenya mempunyai arti yang sama dengan usaha



melenyapkan/memusuhi



nilai-nilai.



Baginya



nihilisme



berarti



melenyapkan nilai-nilai imanen, fisik, marerial dengan cara menegaskan



396



Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII (London: Burns Oates & Washbourne, 1958 ), hlm. 405. 397 Simon Blackburn, Kamus Filsafat, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 604. 294



berlakunya nilai-nilai absolut, langgeng. Dengan demikian nilai-nilai yang kita pandang absolut, langgeng itu berlaku sebaliknya bagi Nietzsche. Dalam kerangka nilainya, Nietzsche bertitik tolak dari suatu pandangan revolusioner, yaitu bahwa nilai-nilai absolut (nilai-nilai rohani), transenden dan seterusnya itu benar-benar memalukan, melemahkan manusia sejati yang merupakan kumpulan nilai remeh dan lemah yang diajarkan kaum imam dan penguasa yang mengajak umat manusia untuk baik, tunduk, rendah hati sehingga membuat manusia seperti unta yang mesti membawa beban kehidupan di punggungnya. Bagi Nietzsche sebenarnya hanya ada nilai-nilai autentik yang sejati,



D



nilai-nilai material, nilai-nilai tubuh, nilai-nilai hidup, nilai-nilai dari bumi ini di dunia ini. Nietzsche sendiri sebelum meninggal berkata bahwa dalam seluruh hidupnya ia mempunyai satu tujuan, yaitu melenyapkan nilai-nilai



U



transenden, rohani yang menjadi dasar kebudayaan Barat dan mau melaksanakan penggantian nilai-nilai. Dengan itu ia mau memulai suatu



M



kebudayaan baru.398



Jika ditelusuri, ada dua bentuk pemikiran dalam jalan pemikiran nihilisme Nietzsche. Di satu pihak, pemikirannya bersifat merombak,



M



mendobrak, dan menghancurkan (una pars destruens). Di sini yang menonjol adalah pola pemikiran untuk memusnahkan nilai-nilai kekal, absolut, agama, dan filsafat yang mendukung sistem nilai absolut tersebut. Ia menyerangnya dengan sistematis dan garang. Di lain pihak, pemikirannya mempunyai pola



Y



membangun (una pars constuens) yang meliputi uraian teori baru tentang nilai-nilai lalu disusul konsep baru mengenai realitas. 399



Dengan kata lain, berhubungan dengan nihilisme, sebagaimana diungkapkan oleh Frederick Copleston di atas, ada dua macam nihilisme: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Nihilisme pasif mengambil sebuah sikap



398



Mudji Sutrisno, Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan (Yogyakarta: Galangpress, 2010), hlm. 30-31. 399 Ibid., hlm. 31. 295



pesimistik terhadap absennya nilai-nilai dan kehampaan eksistensi kehidupan. Sedangkan nihilisme aktif justru berupaya menghancurkan apa pun yang tidak lagi dapat dipercaya. Dalam hal ini, Nietzsche sebenarnya menubuatkan datangnya suatu nihilisme aktif. Karena itu, dalam bab ini kita akan mengeksplorasi epistemologi nihilisme yang disuarakan oleh Nietzsche. Namun dalam membicarakan nihilisme Nietzsche, kita harus berangkat dari beberapa konsep dan wacana Nietzsche yang mengkonstruksi bangunan epistemologi nihilismenya yaitu kebutuhan untuk percaya, manifesto kematian Tuhan, menusia unggul, dan moralitas tuan. Di bagian akhir wacana, kita akan menorehkan sedikit catatan apresiasi sekaligus kritis terhadap



D



wacana epistemologi nihilisme Nietzsche. B. Biografi Nietzsche dan Corak Filsafatnya



Seorang mempunyai



filsuf



kedudukan



Jerman



yang



tersendiri



dalam



sejarah filsafat abad 19 adalah Friedrich



M



U



1. Biografi Nietzsche



Nietzsche



(1844-1900).



Ia



tidak



dapat



digolongkan dalam salah satu aliran yang



M



memainkan peranan pada waktu itu. Ia dilahirkan di Rocken, dekat kota Leipzig. Karena ia lahir sebagai anak seorang pendeta



Y



Protestan, dapat dimengerti bahwa ia dididik secara sangat religius. Pada tahun 1864 ia masuk Universitas Bonn dengan maksud mempelajari teologi dan kesusastraan klasik (Yunani dan Romawi). Tidak lama kemudian ia pindah ke Leipzig untuk meneruskan studinya tentang filologi klasik. Ketika itu ia sudah meninggalkan iman kristiani. Suatu peristiwa yang amat penting sewaktu ia mahasiswa adalah perkenalan dengan karya-karya Schopenhauer, yang kebetulan ditemui pada suatu tempat penjualan buku bekas. Nietzsche juga sangat mengagumi komponis Jerman yang bernama Richard Wagner (1813-1883) dan beberapa waktu lamanya ia



296



bersahabat akrab dengan dia. Tidak dapat disangkal bahwa ia sendiri juga mempunyai bakat besar di bidang musik. Pada waktu Nietzsche baru berumur 24 tahun, ia sudah diangkat menjadi profesor dalam filologi klasik pada universitas di Basel (Swiss). Karena ia dianggap amat pandai, Universitas Leipzing menyerahkan gelar doktor kepadanya, tanpa ia dituntut menempuh ujian. Pada tahun 1879 ia meletakkan jabatannya sebagai profesor, karena kesehatannya semakin terganggu. Dalam sepuluh tahun berikutnya ia berkeliling di Italia Utara, Perancis Selatan, dan Swiss, mencari tempat yang cocok untuk kesehatannya. Dalam periode ini ia mengarang banyak buku. Pada awal tahun 1889 ia



D



ditimpa serangan penyakit jiwa. Dengan peristiwa itu berakhirlah kegiatan Nietzsche sebagai filsuf dan sastrawan. Untuk beberapa lamanya ia diopname dalam klinik psikiatris. Sampai akhir hidupnya ia dirawat oleh ibunya dan



U



saudarinya. Justru pada tahun-tahun itu Nietzsche mulai diakui sebagai filsuf dan sastrawan Jerman yang besar. Tetapi ia sendiri sudah tidak sanggup lagi



M



untuk menyadari kemasyhurannya.



Sulit sekali untuk menyingkatkan permikiran Nietzsche. Ia tidak pernah menguraikan filsafatnya secara sistematis. Satu-satunya karya yang



M



direncanakan Nietzsche untuk membentangkan filsafatnya dalam bentuk sistematis, tidak pernah diselesaikan. Menurut rencana Nietzsche sendiri, karya itu akan terdiri dari empat jilid dan berjudul Die Wille zur Macht. Eine Umwertung aller Werte (Kehendak untuk berkuasa. Suatu transvaluasi semua



Y



nilai). Tetapi yang ditemukan sesudah Nietzsche meninggal hanyalah catatancatatan yang tidak gampang disusun menjadi uraian sistematis. Di antara banyak buku yang dikarang Nietzsche ada yang berbentuk puitis dan ada yang terdiri dari banyak teks pendek yang berupa pepatah. Di sini kami mengikuti pembagian karya-karya Nietzsche atas tiga periode, seperti sudah beberapa kali diusulkan. Tetapi pembagian ini tidak boleh dianggap mutlak dan hanya diberikan karena alasan praktis. 1. Periode Pertama



297



Pada waktu ini Nietzsche memeluk suatu pandangan dunia yang pesimistis. Pengaruh Schopenhauer dan Richard Wagner besar sekali dalam periode ini. Ia berpendirian bahwa hanya kesenian (khususnya musik) dapat memberikan arti kepada hidup manusia. Buku pertama yang dikarang Nietzsche berjudul Die Geburt der Tragodie aus den Geiste der Musik (1872) (Lahirnya tragedi dari musik). Dalam buku ini ia mengemukakan suatu teori tentang asal-usul sandiwara tragedi Yunani dan memperlihatkan bahwa operaopera Wagner mempunyai arti yang sama untuk masyarakat Jerman seperti dulu tragedi untuk masyarakat Yunani. Yang menjadi tekenal ialah pembedaan yang dibuat Nietzsche



D



dalam buku tersebut tentang dua tendensi dalam kebudayaan Yunani. Yang satu disebutnya tendensi Apollinian dan yang lain tendensi Dionysian, masing-masing karena dewa-dewa Yunani Apollo dan Dionysos. Tendensi



U



Apollinian tidak lain daripada



kecenderungan untuk keseimbangan,



keselarasan, dan ukuran yang telah diwujudkan dalam arsitektur serta seni



M



pahat Yunani. Tendensi Dionysian adalah daya pendorong hidup yang ingin melebihi semua norma. Tendensi kedua ini diwujudkan dalam pesta ria riuh yang setiap tahun diadakan untuk menghormati Dionysos dan dalam musik



M



serta tarian-tarian yang meramaikan perayaan pesta itu. Menurut Nietzsche, dalam kultur Yunani tendensi Apollinian bertugas untuk mengendalikan tendensi Dionysian. Dan tragedi Yunani diterangkannya sebagai semacam sintesa antara musik dan tarian Dionysian dengan bentuk Apollinian.



Y



2. Periode Kedua



Pada tahun 1876 Nietzsche memutuskan hubungan dengan Wagner. Kejadian itu dapat dipandang sebagai permulaan periode baru. Dalam periode ini ia menerbitkan beberapa buku yang sebagian besar terdiri dari pepatahpepatah atau teks-teks pendek yang umumnya tidak melebihi setengah atau satu halaman saja. Buku yang khas untuk periode kedua adalah Menschliches, Allzumenschliches (1878-1880) (Manusiawi, terlalu manusiawi). Selama periode ini Nietzsche bersikap kritis terhadap metafisika serta kesenian dan ia



298



menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Oleh karenanya pendirian Nietzsche pada waktu itu pernah dicap sebagai positivisme, tetapi istilah itu harus dianggap di sini tidak tepat. 3. Periode Ketiga Dengan buku Also sprach Zarathustra (1883-1885) (Demikian sabda Zarathustra) mulai suatu periode baru dalam aktivitas Nietzsche sebagai filsuf. Buku ini merumuskan pemikirannya dengan bentuk puitis. Pada tahuntahun ini Nietzsche semakin mengalami kesepian. Buku-bukunya hampir tidak mengakibatkan gema apa pun. Dan ia tidak lagi dimengerti oleh para sahabatnya dari dulu. Gaya bahasa Nietzsche pada waktu itu menampakkan



D



keadaan hatinya yang semakin pahit dan panas. Kritik tajam atas agama Kristen yang sudah dikemukakan dalam karya-karya lain, sekarang memuncak dalam dua buku kecil, Gotzen-Dammerung (Pudarnya dewa-dewa)



U



dan Der Antichrist (Antikristus), yang bersama dengan dua karangan lain selesai ditulis tidak lama sebelum Nietzsche ditimpa serangan penyakit



M



jiwa.400



2. Corak Filsafat Nietzsche



“Siapa percaya begitu saja padanya, dan mengangkap kata-



M



katanya secara harfiah, ia akan kehilangan apa yang ingin dicarinya. Maklum, karya Nietzsche adalah seni. Karena itu orang harus membacanya sebagai seni, di mana permainan,



Y



paradoks, ironi, dan kontradiksi di dalamnya, hanya bisa dinikmati, bila orang tidak membacanya secara wantah dan apa adanya”. 401 Berbeda



dengan



sebagian



besar



filsuf



sebelumnya



yang



menguraikan ide-idenya secara sistematis dan terstruktur, Nietzsche justru 400



K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 91-93. 401 A. Setya Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm. xii. 299



mengemas traktat-traktat filsafatnya dengan menggunakan metafora, ironi, dan aforisme. Tidak berlebihan bila Sindhunata dalam kutipan di atas menyatakan bahwa karya filsafat Nietzsche adalah seni, tapi bukan sembarang seni. Karena itu, menurut Setyo Wibowo, bagi Nietzsche, filsafat merupakan seni transfigurasi, kunst der Transfiguration, seni mengubah bentuk. Apa bahannya? Sebagaimana seni selalu menggunakan bahan mentah untuk menciptakan sesuatu yang indah (Michelangelo menggunakan bahan marmer, para pemusik menggunakan nada-nada suara), maka filsuf menggunakan bahan mentah yang ada adalah apa saja yang mengenai dirinya sendiri. Bila seniman besar menggunakan bahan yang semula tanpa bentuk



D



dan kaotik menjadi sebuah adikarya (mamer diubah menjadi cita rasa keagungan dalam patung Pieta), maka filsuf memberi figur (bentuk) yang indah bagi segala pengalaman yang dimilikinya. Transfigurasi kiranya harus



U



dipahami sebagai upaya pemberian bentuk yang lebih-luhur, lebih indah, lebih bercahaya, “ke dalam horizon yang lebih spiritual” (in die geistigste Form und



M



Ferne umzuzetsen); dan bukan proses sebaliknya yang justru akan menyebabkan de-figurasi (perusakan bentuk, penjelekan bentuk). 402 Bagi Nietzsche, ada dua macam seni: ascenden dan dekaden. Yang



M



satu adalah ungkapan kekuatan diri yang mampu menguasai dirinya sendiri, sehingga bahan mentah pun bisa dia “paksa” dengan sebuah gaya, cita rasa menonjol. Yang lainnya adalah ungkapan gregarisme (keterserakan) insting, anarkisme yang dilabeli dengan kata bersayap “kebebasan”. Filsafat bagi



Y



Nietzsche mirip dengan aktivitas seniman ascenden yang mau memeteraikan karakternya, gayanya pada bahan mentah yang dia sentuh. Ketidakberaturan bentuk, bahan yang saling kontradiktif, campur aduk, singkatnya kaotik, tidak membuat seorang seniman marah dan dendam. Justru sebaliknya, dunia kaotik semacam itu dia sambut dengan tangan terbuka, dia atur, dia susun, dia cipta, dia jadikan kosmos sesuai dengan gaya dan cita rasa hasil latihan kerja kerasnya. 402



Ibid., hlm. 70. 300



Seniman adalah dia yang mampu memberi bentuk lebih luhur (transfigurasi) pada apa-apa yang tanpa-bentuk (kaotik). Dia bermain di level penampakan, bentuk-bentuk itu sendiri. Tanpa berpretensi telah menyentuh kedalaman akhir, seorang seniman akan terus bermain-main di level permukaan bentuk ini. Itu bukan karena seniman itu dangkal, tetapi justru karena seniman ascenden tidak pernah beranggapan bahwa dia telah mampu menuntaskan seluruh inspirasi terdalamnya yang dia miliki. Dia rendah hati dan tahu diri, dia tahu bahwa realitas itu sangat dalam, tak akan pernah habis untuk diungkapkan dalam proyek artistik. Dan untuk itulah setiap kali realitas itu harus dikatakan, diungkapkan ulang dalam berbagai bentuk-bentuknya.



D



Inilah ciri lain lagi dari seni yang ascenden; ia tidak berhenti di satu adikarya.403



Lebih jauh, untuk Nietzsche, hidup itu sendiri menjadi kesempatan



U



berfilsafat, diubah terus menerus, ditransfigurasikan. Hidup yang kuat adalah kehidupan yang menerima adanya perubahan terus menerus, menjadikan



M



cahaya indah apa saja yang diberikan oleh kehidupan itu sendiri. Sang filsuf seniman ascenden memasukkan dirinya dalam tegangan di antara dua tebing, ketegangan akan hal-hal kontradiktif yang mengenai dirinya sendiri tanpa rasa



M



takut. Kontradiksi dalam realitas, kaos yang meraja di luar maupun di dalam diri kita dihadapi dengan berani, didominasi, dikuasai berkat latihan dan kerja keras untuk dikosmoskan dan diberi bentuk yang luhur secara terus menerus tanpa pernah berhenti di satu titik. Semua ini muncul berkat pengalamannya



Y



masuk dengan waspada dalam kedalaman. Seniman ascenden menjadi sadar bahwa akan adanya jurang kedalam realitas yang abyssal, yang tak akan pernah habis terkuras karena tak berdasar.404



Ketegangan inilah yang pada gilirannya justru memungkinkan subjek menerima ambiguitas dan kontradiksi apa saja yang datang menghantamnya. Apa yang datang selalu bersifat sekaligus positif dan 403 404



Ibid., hlm. 74. Ibid., hlm. 79. 301



negatif. Hanya subjek yang ada dalam ketegangan mampu melihat ketegangan yang ada dalam realitas di hadapannya. Dan kekuatannya untuk menyatukan dirinya itu pada gilirannya akan memampukan dia untuk memberikan gaya, style, karakter (artinya keutuhan ciri) pada apa saja yang datang tersebut. Bagi Nietzsche, kodrat internal subjek yang kuat seperti itulah yang mampu menerima kehidupan apa adanya, menerima yang datang dengan tangan terbuka,



mengubah



dan



memberinya



bentuk



yang



lebih



spiritual,



mentransformasi diri dan bermetamorfosis. Subek ini kuat karena ia mampu mengutuhkan ketegangan dalam dirinya dan ketegangan di luar dirinya menjadi sebuah proyek artistik.405



D



Selain itu, gagasan-gagasan Nietzsche yang dituangkan dalam



bentuk aforisme erat kaitannya dengan penolakan Nietzsche terhadap sistem. Nietzsche memiliki dasar filsafat yang kuat untuk menolak sistem.



U



Menurutnya sistem dapat direduksi menjadi serangkaian premis yang tidak dapat dipertanyakan dalam kerangka berpikir sistem itu sendiri: “Keinginan



M



pada sistem merepresentasikan kurangnya integritas”. Semua asumsi harus dipertanyakan. Tidak ada sistem yang dapat mengungkapkan seluruh kebenaran; suatu sistem paling banter hanya mengadopsi satu sudut pandang



M



atau perspektif. Kita harus mempertimbangkan pelbagai sudut pandang dan tidak membatasi pikiran kita hanya dalam satu sistem saja. Nietzsche mengatakan koherensi suatu sistem yang terbatas tidak dapat menjamin kebenarannya. Keseluruhan serangannya pada sistem didasarkan pada pada



irasionalitas



yang



ia



Y



penolakan



temukan



dalam



kegagalan



mempertanyakan premis. Baginya, ilmu bukanlah sistem yang telah selesai dan impersonal. Ilmu adalah pencarian pengetahuan yang penuh gairah, rangkaian eksperimen kecil, berani yang terus-menerus. Menurutnya, ilmu harus menjadi gay science, ilmu yang merangkum eksperimen-eksperimen



405



Ibid., hlm. 81. 302



yang tidak kenal takut dan kehendak baik untuk menerima bukti-bukti baru dan bila perlu meninggalkan posisi-posisi yang lama.406 C. Nihilisme Nietzschean Ketika kita memperbincangkan wacana nihilisme Nietzschean, kita tidak bisa langsung memasuki isi pemikiran nihilistik itu sendiri. Hal ini tidak akan memadai. Kita harus membahas beberapa unsur filsafat Nietzsche yang merenda secara utuh wacana nihilisme Nietzschean. Unsur-unsur filosofis ini meliputi kebutuhan untuk percaya, manifesto kematian Tuhan, serta manusia unggul dan moralitas tuan. Karena itu, kita akan menelisik lebih dalam unsurunsur filosofis tersebut satu persatu.



D



1. Kebutuhan untuk Percaya Menurut Nietzsche, salah satu hal yang amat fundamental bagi



kehidupan manusia adalah kebutuhan untuk percaya. Ketika kita percaya pada



U



sesuatu, baik itu berupa ideologi, wacana keilmuan, konsep-konsep metafisika, keyakinan maupun agama, semua itu karena kita digerakkan oleh



M



rasa kebutuhan untuk percaya yang berada di dalam diri kita masing-masing. Berbagai bentuk kepercayaan harus ada untuk melabuhkan sekaligus menjadi pegangan bagi kebutuhan untuk percaya yang bergejolak dalam diri kita. Di



M



sini kebutuhan kita untuk percaya dalam diri kita membutuhkan acuan, pegangan, atau sandaran agar kita menemukan ketenangan, kedamaian, dan kestabilan hidup. “Dalam diri seseorang, yang dibutuhkan kepercayaan untuk berkembang, keinginan akan elemen ‘stabil’ yang tak tergoyahkan supaya



Y



dengan demikian orang bisa menyandarkan dirinya”.407 Demikian tulis Nietzsche.



Persoalan yang menggoda adalah menandakan apa kebutuhan untuk percaya selalu mencari suatu kepercayaan untuk dijadikan pegangan? Apakah hanya berhenti pada relasi psikologis antara kebutuhan untuk percaya



406



Madan Sarup, Postrukturalisme (Bandung: Jalasutra, 2008) 407 Wibowo, Gaya Filsafat, hlm. 172.



&



Posmodernisme



303



terhadap suatu kepercayaan an sich? Dalam perspektif Setyo Wibowo, dengan analisis genealogisnya, Nietzsche hendak menunjukkan bahwa kebutuhan untuk percaya pada sebuah kepercayaan tidak berhenti pada relasi psikologis semata. Nietzsche berupaya melampaui hubungan psikologis tersebut. Nietzsche justru hendak menyingkap selubung kelemahan yang hendak ditutupi oleh setiap orang. Tatkala kita melabuhkan kebutuhan untuk percaya dalam diri kita pada suatu bentuk kepercayaan, baik itu berupa ideologi, ilmu pengetahuan, keyakinan, maupun agama, bagi Nietzsche kepercayaan itu sebagai tanda kelemahan diri kita. Kutipan Nietzsche yang agak panjang berikut ini cukup



D



representatif mengilustrasikan hubungan antara kebutuhan untuk percaya dengan kelemahan kehendak orang yang percaya: “Kepercayaan selalu dibutuhkan dengan sangat urgen saat kehendak itu



U



cacat: karena kehendak sejauh affek-memerintah (Affekt des Befehls, affect of the command) adalah tanda paling distingtif sebuah kedaulatan



M



dan kekuatan. Maksudnya, semakin seseorang tidak bisa memerintah diri sendiri semakin dia merasakan dengan urgen kebutuhan akan suatu realitas, akan sesuatu, atau akan sebuah otoritas untuk memerintahnya,



M



yang memerintahnya dengan rigor, entah itu dalam wujud sebuah tuhan, seorang pangeran, suatu sistem sosial, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, suatu kesadaran partai. Dari hal di atas, bisa disimpulkan mengapa dua agama paling universal, yaitu



Y



Budhisme dan Kristianisme, memiliki alasan-alasan untuk lahir, menyebar dengan mendadak dan cepat. Alasan tersebut ditemukan dalam kesakitan kehendak. Dan memang demikian: kedua agama itu memperlihatkan adanya kebutuhan akan sebuah “kamu harus” yang diluhurkan sedemikian rupa oleh kehendak yang cacat sampai ke nonsens. Dengan mengajarkan fanatisme pada saat kehendak sedang mengendur, agama-agama itu menawarkan sebuah gagasan bagi jiwajiwa yang tidak terbilang jumlahnya. Agama-agama itu menawarkan



304



sebuah kemungkinan baru untuk menghendaki, sebuah kenikmatan untuk menghendaki. Sesungguhnya, fantisme adalah satu-satunya bentuk “kekuatan kehendak” yang padanya orang-orang lemah dan bingung bisa dibawa. Fanatisme, secara entah bagaimana, menghipnotis totalitas sistem intelektual yang biasanya disandarkan pada persepsi atas dunia indrawi. Hipnosis itu akan mengakibatkan hipertrofi (pembengkakan) sudut pandang konseptual dan hipertrofi afektif partikular yang sekarang ini memang sedang mewabah—orang Kristiani akan menamai hal itu imannya (faith). Begitu seseorang sampai ke keyakinan mendalam bahwa dia butuh menerima sebuah



D



perintah, maka dia pun menjadi ”orang yang percaya”. 408



Menurut telaah Setyo Wibowo, kutipan di atas menunjukkan



U



analisis tajam Nietzsche: sebuah kepercayaan—pada apa pun—secara sangat urgen dibutuhkan manakala individu lemah. Saat ia tidak mampu memerintah



M



dirinya sendiri, tidak mampu menyatukan dirinya sendiri, merasa terserakserak dan bingung: di situlah ada sesuatu dalam dirinya yang butuh untuk bersandar. Secara urgen ia akan mencari apa pun, di luar dirinya, untuk bisa



M



dipegangi. Sebuah “kamu harus” dari luar akan sangat ia perlukan supaya untuk sejenak ia bisa merasa diri tersatukan, memiliki sebuah orientasi dan akhirnya tahu harus berbuat apa. Di sinilah pisau genealogis Nietzsche membelah-belah bagaimana derajat fiksasi kepercayaan pada sesuatu



Y



menunjukkan keutuhan atau kecacatan kehendak individu yang bersangkutan. Kehendak, dalam definisi Nietzsche di sini, adalah sebuah affek-memerintah, afek-menyatukan diri. Sejauh ia tersatukan, bersatu padu kehendak semacam itu akan memunculkan individu yang berdaulat, yang bisa memimpin dirinya sendiri. Affek memerintah yang keropos adalah kehendak yang sakit, lumpuh. Contoh adanya kehendak yang cacat semacam itu dilihat Nietzsche dalam simtom maraknya Kristianisme dan Budhisme di Eropa pada 408



Ibid.,hlm. 177-178. 305



zamannya.409 Di matanya, Kristianisme adalah agama budak; oleh karenanya kaum budak (lemah) sajalah yang akan menjadi tanah subur berkembangnya agama itu. Bukan hanya karena itu Kristianisme diterima luas, ada unsur lainnya. Agama Kristiani mengajarkan pegangan, pegangan yang bahkan membuat pengikutnya merasa menjadi penguasa dunia. Orang lemah, yang membutuhkan pegangan, akan merasa kuat berkat pegangan yang dimiliki. Dan kekuatan ini akan bertambah manakala pegangan tersebut diajarkan sebagai satu-satunya yang valid di dunia ini. Itulah yang disebut iman: sebuah pembengkakan sudut pandang intelektual dan afektif hasil sebuah hipnosis. Hipnosis membuat orang tidak sadar, sistem intelektualnya yang bekerja atas



D



dasar persepsi indrawi tidak lagi berfungsi secara normal. Sesuai rancangan pemberi hipnosis, pembengkakan sudut pandang intelektual dan afektif akan membuat mereka sangat peka dan membesar-besarkan hal-hal tertentu dan



U



sama sekali tidak peka terhadap hal-hal yang tertutup oleh kaca mata kuda hipnosis.410



M



Singkatnya, di balik kritik tajam Nietzsche atas konsep-konsep metafisis, agama, politik ataupun poin yang diajukan oleh Nietzsche adalah bahwa di sana ada idee fixe (dari bahasa Prancis idee: idea, ide, dan fixe yang



M



dalam bahasa latin fixus artinya titik yang tidak bergerak; dengan demikian istilah idee fixe mau menunjukkan keterikatan subjek secara obsesif pada sebuah ide sedemikian rupa sehingga ia selalu berotasi di sekitarnya). Kebutuhan manusia akan topangan menunjukkan dirinya dalam fiksasi atas



Y



sebuah ide. “Isi ide” memang bisa macam-macam, bisa diargumentasikan dan dirasionalisasikan secara hipercanggih, tetapi di mata Nietzsche, inti dasarnya adalah kebutuhan akan topangan itu. Kebutuhan itulah yang menyetir dan menentukan cara beragumentasi. 411 409



Mengenai kritik Nietzsche terhadap Kristianisme, lihat dalam Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Bentang, 2002). 410 Ibid., hlm. 178-179. 411 Ibid., hlm. 202-203. 306



Sehingga kepercayaan secara fiksatif pada sesuatu menyingkapkan derajat kebutuhan untuk percaya seseorang, dan dengan demikian, derajat kelemahan atau kecacatan kehendaknya. Hal kebutuhan untuk percaya ini bersangkutan dengan kualitas kehendak, yaitu kemampuan kehendak untuk mengutuhkan dirinya atau membiarkan dirinya terserak-serak. Kualitas kehendak yang terserak (atau sakit) membutuhkan obat yang bisa membantunya tersatukan. Obat itulah yang sebenarnya diupayakan ketika kehendak yang lemah menghendaki sebuah kepercayaan secara fiksatif. Dengan demikian, kepercayaan metafisis, agamis, ideologis atau ateis merupakan obat bagi kehendak yang lemah, bagi orang-orang yang tidak



D



mampu mengutuhkan dirinya. Karena keterserakan internal, orang seperti itu butuh agen luar untuk membantunya memfokuskan diri. Sama seperti seorang anak yang tidak tahu apa yang dia maui, ia akan bertopang pada perintah-



U



perintah “kamu harus” dari orang tuanya atau siapa pun yang dia anggap lebih superior darinya. Pada orang dewasa, “kamu harus” itu bisa ditemukan secara



M



lebih variatif entah dalam doktrin agama, filsafat, politik atau apapun. 412 2. Manifesto Kematian Tuhan



Manifesto warta tentang kematian tuhan merupakan jantung filsafat



M



nihilisme yang disuarakan Nietzsche. Renungan tentang nihilisme pada intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan, khususnya kebudayaan Eropa sebagaimana disaksikan oleh Nietzsche yang hidup pada akhir abad lalu. Nietzsche melukiskan bahwa gerak kebudayaan Eropa pada



Y



waktu itu bagaikan aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir samudera. Metafor ini ditunjukan pada orang-orang Eropa yang “tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung”. Inilah satu dari ratusan tanda datangnya nihilisme. Jadi, apa yang dikatakan Nietzsche tentang nihilisme adalah semacam insight tentang apa yang hendak terjadi pada zaman sesudahnya sebagaimana termaktub dalam eforismenya yang pertama: 412



Ibid., hlm. 203-204. 307



“Apa yang aku kisahkan adalah sejarah dua abad yang akan datang. Aku melukiskan apa yang akan terjadi, apa yang tak mungkin datang secara lain: kedatangan nihilisme. Sejarah nihilisme ini bahkan dapat dikisahkan dari saat sekarang karena kepastiannya sudah terlihat saat ini. Masa depan dari nihilisme sudah berbicara pada saat sekarang ini dengan ratusan tanda-tanda; tanda-tanda akan datangnya nihilisme ini mencuat di mana-mana. Semua gendang telinga sekarang ini sudah digetarkan oleh musik masa depan itu … Kebudayaan Eropa kita sedang bergerak menuju suatu melapetaka, dengan



D



tekanan yang tercabik yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan gerakan-gerakan penuh kegelisahan, kekerasan dan … bagaikan aliran sungai yang sedang hendak mencapai lautan,



U



yang tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenungkan. 413



M



Secara historis-sosiologis, wacana nihilisme sudah ada sejak era filsuf klasik Yunani hingga abad ke-19, zaman dimana Nietzsche hidup. Salah seorang yang mempengaruhi warna nihilisme Nietzsche adalah Paul Bourget.



M



Jadi bagi Nietzsche, nihilisme bukanlah sebuah kepercayaan baru. Oleh Nietzsche, nihilisme dipakai untuk menggambarkan karakter peradaban Eropa itu sendiri, yang pada zamannya ditandai oleh kamatian Tuhan dan mulai



Y



pudarnya nilai-nilai lama, yaitu nilai-nilai platonico-kristiani. Dengan demikian, Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah ada pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilisme bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat.414



413 414



St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LkiS, 1996), hlm. 32-33. Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 324. 308



Lalu apa makna nihilisme bagi Nietzsche? Dalam tilikan Nietzsche, nihilisme berakar pada kebutuhan manusia untuk percaya, kebutuhan manusia untuk memuja terhadap sesuatu yang akhirnya menjelma fixed idea yang dijadikan sandaran utama. Penyakit utama manusia, bagi Nietzsche adalah kebutuhannya untuk memuja. Dunia akhirnya ditafsirkan manusia sesuai kebutuhannya, diberi bentuk manusiawi sesuai ideal kemanusiaannya sendiri. Manusia mengidealkan dunia dan realitas sesuai kebutuhannya sendiri. Dengan idealisasi tersebut, manusia melupakan wajah non-manusiawi, nonilahi dari realitas. Menurut Nietzsche, di situlah manusia mengamputasi dunia, manusia tidak mau menerima dunia secara apa adanya, lewat sains, agama,



D



ideologi ataupun filsafat manusia menjalankan pemujaan tersebut. Dunia lalu ditafsirkan sebagai entah Ilahi entah manusiawi. Padahal,



bagi Nietzsche realitas pada dirinya sendiri tidak begitu, ia adalah campur



U



aduk segalanya, ia adalah abyssal. Ketidakberanian menghadapi yang senyatanya—yang adalah kekuatan menyadari dirinya sendiri yang tidak



M



pantas—membuat manusia lari dalam pemujaan. Dalam yang ideal, dalam tokoh pujaan, dalam imajinasi-imajinasinya, manusia pemuja menemukan obat bagi dirinya yang sakit. Kebutuhan untuk memuja inilah yang membuat



M



manusia “menciptakan” dunia sebagai a, b, atau c. Bagi Nietzsche, tafsiran seperti itu tidak pernah mengatakan tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan hanya mengatakan tentang siapakah si pemberi tafsir seperti itu. Dan kebutuhan untuk memuja itu selain berbahaya karena mengamputasi



Y



dunia, juga berbahaya karena manusia adalah sekaligus binatang pencuriga. Selain butuh memuja, manusia juga siap mencurigai pujaannya sendiri. Risiko sebuah pemujaan adalah bahwa ia akan berujung pada sebaliknya: kekecewaan. Manakala pujaan yang ia ciptakan tidak sesuai dengan kebutuhannya untuk memuja, ia menjadi kecewa. Valuasi (pemberian nilai) yang berlebihan kepada dunia memiliki risiko besar berakhir dengan devaluasi besar-besaran. Manusia yang meletakkan harapannya terlalu besar kepada dunia memiliki risiko untuk kecewa terhadap dunia—yang sebenarnya



309



adalah kekecewaan pada dirinya sendiri—dan akhirnya mendevaluasi segalanya.415 Dengan penjelasan inilah, menurut Setyo Wibowo, hipotesa Nietzsche tentang nihilisme sangat menarik: nihilisme adalah normalitas! Nihilisme selalu ada, ia adalah keadaan normal manusia, ia bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat sebuah normalitas “tersembunyi”, yang ada secara taken for granted, banyak dibicarakan, tetapi belum diungkapkan makna sesungguhnya. Nietzsche membuka apa yang selama berabad-abad—sejak fixed Idea dari Plato diberikan—dianggap sebagai normal-normal belaka. Ia menunjukkan dalam “pengandaian hipotesa



D



nihilisme” bahwa fixed idea seperti itu sebetulnya ketiadaan (neant, nihil. nothingness) belaka. Nihilisme berarti penyingkapan bahwa di balik ide indah tentang idea, Tuhan atau apapun ternyata hanyalah kekosongan belaka.



U



Parahnya, ideal kekosongan ini ternyata sepanjang segala abad dikehendaki dengan mati-matian. Inilah ironi zaman, menurut Nietzsche, kehendak akan secara



M



Kebenaran-Kebaikan-Keadilan



mati-matian



ternyata



hanyalah



kehendak akan kekosongan. Tersingkapnya sekarang bahwa



valuasi



berlebihan atas nilai tersebut memiliki sisi mematikan lainnya, yaitu devaluasi



M



atas realitas senyatanya. Apa akar dari simtom ini? Mata fisio-genealogis Nietzsche langsung melihat: ini simtom untuk otang yang sakit, kehendakcacat orang-orang lemah, orang yang butuh pegangan. 416 Dalam



kajian



St.



Sunardi,



di



samping



merupakan



hasil



Y



perkembangan sejarah sebelumnya, nihilisme juga dapat dikatakan merupakan akibat timbulnya pemikiran-pemikiran Nietzsche yang menghantam sisa-sisa pemikiran dan kepercayaan sebelumnya. Dalam arti yang kedua ini, Nietzsche harus dipandang sebagai tokoh yang mempercepat proses nihilisme secara radikal. Namun, dia pulalah yang akhirnya datang membawa pelita bagi



415 416



Ibid., hlm. 326-327. Ibid., hlm. 332. 310



semua orang. Dialah yang berani mengatakan “Ya” pada nihilisme dan sekaligus mengatasinya. Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu keagamaan (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia dan hidupnya, termasuk aku-nya. Singkatnya, nihilisme mengantarkan manusia pada situasi kritis atau kepada hari yang menjadi “malam terus menerus” karena seluruh kepastian hidupnya runtuh. Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan



D



sudah mati! Kita telah membunuhnya” (Gott ist tot! gott bleibt tot! und wir haben ihn getotet!). Ucapan yang kemudian menjadi termasyhur ini dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian



U



yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yang perama adalah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Dan jaminan-jaminan kepastian



M



lainnya, menurut Nietzsche, adalah model-model Tuhan seperti ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan (progress). Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu, Nietzsche



M



cukup mengatakannya dengan kalimat “Tuhan sudah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh krisis adalah “Tuhan sudah mati”. 417



Mari kita simak teks tentang warta kematian Tuhan yag dideklarasikan oleh Nietzsche secara utuh:



Y



“Si orang sinting. Pernakah kalian mendengar kisah tentang orang sinting, yang menyalakan lentera pada siang hari bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak tanpa henti “Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan!”—Dan karena persis di sana terkumpul banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang meriah. Apakah kita kehilangan Tuhan? Kata yang satu. 417



St. Sunardi, Nietzsche, hlm. 33-34. 311



Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil? Kata yang lainnya lagi. Atau mungkin dia bersembunyi entah di mana? Apa dia takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia suda beremigrasi?,



demikianlah



mereka



berteriak-teriak



dan



tertawa-tawa sekaligus. Orang sinting itu segera mendatangi orang-orang tersebut dan memandang tajam mereka “di mana Tuhan?” teriaknya. Aku akan mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya—kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. Tetapi bagaimana mungkin kita telah



melakukannya?



Bagaimana



mungkin



kita



D



mengosongkan lautan? Siapa yang telah memberikan kepada kita spon untuk menghapus seluruh horizon? Apa yang telah kita perbuat dengan melepaskan bumi ini dari matahari?



U



Kemana bumi ini sekarang berputar? Kemana gerak bumi ini membawa kita sekarang? Jauh dari segala matahari-matahari?



M



Tidakkah kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti? Terperosok ke belakang, ke samping, ke depan, ke berbagai arah mana pun? Apakah masih ada yang namanya atas atau



M



bawah? Tidakkah kita sekarang menyasar-nyasar melewati kekosongan tanpa batas? Tidakkah kita rasakan hembusan kekosongan? Bukankah rasanya lebih dingin? Tidakkah rasanya menjadi malam, dan semakin lama semakin malam?



Y



Tidak perlukah menyalakan lentera-lentera sejak pagi hari? Apakah kita sama sekali tidak mendengar suara para penggali kubur yang telah menguburkan Tuhan? Apakah kita sama sekali tidak menghirup bau pembusukan Ilahi?—tuhan-tuhan pun membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang telah membunuhnya!. Bagaimana kita menghibur diri kita, pembunuh dari para pembunuh? Apa yang paling kudus dan paling berkuasa yang dimiliki oleh dunia telah



312



kehilangan darahnya di bilah pisau kita—siapa yang akan membersihkan darah itu dari tangan kita? Air macam apakah yang akan bisa membersihkan kita? Penebusan agung macam apa, lomba suci macam apa yang harus diciptakan untuk menebusnya? Tidakkah kedahsyatan tindakan ini terlalu besar bagi kita? Tidak haruskah kita sendiri menjadi tuhan-tuhan untuk bisa layak atas tindakan tersebut! Tidak pernah ada tindakan lebih besar dari itu—dan siapa pun yang lahir setelah kita, berkat tindakan kita itu akan masuk dalam sebuah sejarah yang superior, lebih superior dari segala sejarah yang



D



sudah ada sampai saat itu! Sampai di sini orang sinting diam, menimbang-nimbang lagi para pendengarnya: mereka juga diam dan memandangnya tanpa mengerti. Akhirnya si orang



U



sinting itu melempar lenteranya ke tanah sehingga pecah dan padam. “Saya datang terlalu awal, katanya kemudian,



M



waktuku belum tiba. Kejadian dahsyat itu sedang berjalan, dan dalam perjalanan. Ia belum sampai ke telinga manusiamanusia. Sambaran geledek dan suara guruh membutuhkan cahaya



bintang-bintang



tindakan-tindakan—pun



membutuhkan



M



waktu,



kalau



sudah



waktu,



dilakukan—



membutuhkan waktu untuk terlihat dan terdengar. Tindakan itu masih jauh dari mereka, lebih jauh daripada bintang-



Y



bintang yang paling jauh—dan meskipun begitu, merekalah yang telah melakukannya! Masih diceritakan lagi bahwa pada hari yang sama si orang sinting itu masuk ke dalam gereja yang berbeda-beda di mana dia mulai menyanyi-nyanyikan lagu Requiem aeternam Deo (istirahat kekal Tuhan). Ketika dilemparkan keluar dan harus menjelaskan, tanpa henti-



313



hentinya dia mulai lagi: “Gereja-geraja itu apa sih, kalau bukan rongga-rongga dan kuburan-kuburan Tuhan”.418 Narasi di atas berbentuk metafora atau perumpamaan yang mengambarkan



kematian



Tuhan.



Sebagaimana



layaknya



model



perumpamaan, ia menghentak telinga pendengarnya! Tanpa argumentasi yang bertele-tele, perumpamaan ini membeberkan sebuah kisah yang membuat pendengarnya terhenyak. Perumpamaan tidak pernah menyingkapkan “isi atau maksud” secara eksplisit. Ia hanya menawarkan, mengajak pendengarnya untuk merenung. 419



D



Yang menarik, perumpamaan ini dibawakan oleh orang sinting atau



orang yang tidak ingat akan dirinya sendiri. Menurut Setyo Wibowo, istilah ‘orang gila’ bisa digunakan untuknya, asal diketahui bahwa kegilaan di situ



U



adalah abnormalitas yang disengaja guna menghentak normalitas taken for granted yang mau dibangunkan. 420 Jadi kegilaan atau kesintingan yang diprovokasi Nietzsche bukanlah kegilaan dalam arti split personality,



M



melainkan kesintingan metodologis. 421



Mari kita lihat uraian yang sangat dari menarik Setyo Wibowo. Kesintingnan ditampakkan dalam tindakannya membawa lentera di siang hari



M



bolong. Selain mengikuti contoh Diogenes, Nietzsche sendiri mengatakan bahwa kematian Tuhan akan diikuti bayang-bayang gelap. Tuhan sebagai matahari hilang, tetapi bayang-bayangnya masih hadir dalam wujud



Y



metafisika. Mengetahui bahwa Tuhan sudah mati, orang sinting pergi dengan menyalakan lentera untuk mengantisipasi kegelapan—sementara bagi orang di pasar hari justru masih siang. Kesintingan juga ditampakkan dalam bagaimana si orang sinting yang tahu Tuhan sudah dibunuh toh ia berteriakteriak mencarinya di tengah pasar. 418



Wibowo, Gaya Filafat Nietzsche, hlm. 284. Ibid., hlm. 285-286. 420 Ibid., hlm. 288. 421 Ibid., hlm, 293. 419



314



Ia berbicara kepada khalayak ramai di pasar, orang-orang yang tidak mengerti tindakan mereka sendiri. Nietzsche mengatakan bahwa orang-orang di pasar itu adalah mereka-mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Jadi, dari diri mereka sendiri mereka sudah ateis sebelum si orang sinting mengumumkan makna ateisme mereka. Ia datang untuk mengabarkan bahwa mereka-mereka adalah para pembunuh Tuhan. Dan kabar inilah yang membuat mereka tertawa keras, dan dengan penuh canda mengajak si orang sinting berkelakar. Pembawa warta ini menjadi sinting di mata orang-orang yang merasa bahwa kematian Tuhan adalah sesuatu yang tidak perlu dibahas atau diratapi.



D



Di tengah tawa canda dan indifferentisme orang-orang di pasar



inilah si orang sinting melanjutkan warta mengerikannya tentang pembunuhan Tuhan. Ia menunjukkan bahwa tangan mereka dan dirinya bersimbah darah.



U



Pertanyaan-pertanyaan memilukan tanpa jawaban ia ajukan atas tindakan yang tak terbayangkan tersebut: bagaimana mungkin lautan, horizon dan



M



matahari bisa dihilangkan, mungkinkah kita hidup tanpa itu semua, kemanakah kehidupan sekarang bergerak? Sekali lagi ia meneriakkan warta buruk tentang kematian Tuhan dan tanggung jawab atas pembunuh, yaitu kita



M



sendiri. Siapakah yang akan membersihkan kita dari pembunuhan ini? Bagaimana kita akan berdamai dengan tindakan dahsyat itu sendiri? Nada ironis, penuh keresahan dari teks ini mencuat sekali lagi ketika dikisahkan dari situ bahwa mereka-mereka tidak mengerti apa isi warta yang dibawa



Y



orang sinting. Meski kisah dan konsekuensi kematian Tuhan sudah diumumkan, rupanya orang-orang di pasar tersebut tetap tidak mengerti dengan apa yang sudah mereka lakukan.



Saat Tuhan sudah mati, saat matahari sudah hilang, apakah orangorang di pasar ini mewakili matahari-matahari baru, kaum cerah independen yang bisa memberi sinar dan pegangan baru? Tampaknya kisah ini menyatakan tidak. Manusia tidak mengerti atas tindakan mereka sendiri, yang tidak sadar bahwa matahari sudah hilang sehingga datang di pasar tanpa



315



mempersiapkan lentera bukanlah figur orang yang siap menjadi matahari baru. Ketidakmengertian orang di pasar ini bukan lalu mengatakan bahwa mereka orang bodoh. Tidak. Orang-orang di pasar adalah kaum cerah saintis dan kaum agamis yang begitu percaya dengan “tuhan-tuhan” mereka sendiri. Sedemikian yakinnya dengan doktrin mereka sendiri sehingga mereka tidak menyadari adanya sesuatu yang lain di situ. Bagi kaum saintis, kematian Tuhan adalah sesuatu yang memang harus terjadi demi Pencerahan dan independensi manusia. Bagi kaum agamis—kelompok kedua yang dikunjungi si orang sinting dalam gerejageraja—moral berdarah yang menghabisi Tuhan justru mereka kira



D



menghidupkan-Nya. Untuk itulah nyanyian requiem si orang sinting membuat mereka melemparkannya keluar. Tetapi bagi si orang sinting, pembunuhan Tuhan bukanlah sesuatu yang beres begitu saja. Tindakan itu adalah tindakan



U



yang belum disadari konsekuensinya. Di satu sisi masih ada yang menganggapnya hidup, di sisi lain masih ada orang yang justru menganggap



M



kejadian itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dibahas lagi. Bagi orang sinting, pembunuhan Tuhan bukanlah hal banal. Ini peristiwa serius: Tuhan mati artinya manusia kehilangan pegangan dan



M



orientasi yang selama ini menjadi pedoman hidupnya. Seperti horizon yang menjadi latar belakang pandangan, hilangnya horizon membuat kita tidak mampu melihat, membuat kita jatuh dalan kegelapan total. Horizon pula yang menggabungkan bumi dengan langit. Hilangnya horizon adalah hilangnya



Y



perekat antara bumi dan langit tempat ia bergantung. Tuhan yang hilang akan membuat dunia ini berputar tanpa arah, bergerak tanpa gravitasi, dan melayang dalam disorientasi total. Tuhan, bagi orang sinting, bukanlah sesuatu yang tanpa konsistensi. Ia bukan sesuatu yang tidak serius. Justru sebaliknya, Tuhan adalah patokan dan pegangan maha penting bagi hidup. Kematian-Nya akan membuat dunia kehidupan masuk dalam kaos kegelapan



316



total. Sadarkah manusia bahwa mereka kini berada dalam situasi seperti itu?.422 Secara umum, makna kematian Tuhan dalam teks metafota di atas menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan, yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, ia sebenarnya mengartikan kata “Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang yang termasuk zaman-teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuk setiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan manusia. Karena itu, sekalipun orang sudah membunuh Tuhan, orang belum



D



tentu tidak menghidupkan tuhan-tuhan lainnya.423 Menurut Sunardi, semangat menciptakan model-model Tuhan



merupakan warisan dari kebiasaan zaman sebelumnya. Orang sudah begitu



U



terbiasa hidup dalam suasana di mana “tujuan hidup dipasang, diberikan, dan dituntut dari luar oleh suatu kekuasaan adikodrati”. Sekalipun orang sudah



M



melepaskan kekuasaan adikodrati itu, masih saja orang melanjutkan kebiasaan lama. Orang masih mencari ototitas lain yang dapat berbicara tanpa syarat dan mendiktekan sejumlah tujuan dan tugas-tugas. Orang tidak tahan berada di



M



tengah-tengah samudera yang tak ada satu pulau pun juga! Orang menuhankan suara hati, rasio, naluri sosial, dan sejarah.



Ketidakberdayaan orang melepaskan kebiasaan di atas disebabkan oleh gerak sejarah yang sudah dibelenggu oleh polusi moral Kristen. Hal ini



Y



dapat dilihat pada empat hal yang dihasilkan moral Kristen selama ini. Pertama, moral Kristen memberikan nilai absolut bagi manusia sebagai jaminan bagi dirinya yang merasa kecil dan tidak berarti. Kedua, moral Kristen berlaku sebagai perintah-perintah Tuhan di dunia. Ketiga, moral Kristen menanamkan pengetahuan akan nilai-nilai absolut untuk memahami apa yang dinggap paling penting. Keempat, moral Kristen berperan sebagai 422 423



Ibid., hlm. 288-290. Sunardi, Nietzsche, hlm. 42. 317



sarana pemeliharaan bagi manusia. Keempat hal ini membuat manusia menjadi sedemikian pasti dan aman akan hidupnya sehingga sulit melepaskannya.424 Sifat kritis Nietzsche bukan hanya pada agama Kristen, tapi juga terhadap berbagai bentuk filsafat dan moralitas. Tuduhan pokok Nietzsche terhadap filsafat, moral, dan agama Kristen yang mendukung nilai-nilai absolut adalah karena ketiga-tiganya membentuk dan membina dusta kolosal yang membelenggu umat manusia dan menghalanginya untuk meneguk cawan kehidupan secara bebas. Ia mengatakan, dustalah kalau ada nilai-nilai mutlak lain di luar hidup ini, dustalah nilai-nilai transenden di seberang hidup



D



sekarang ini, dustalah bila dikatakan bahwa ada jiwa/roh abadi dalam diri manusia, dalam tubuhnya, dustalah bila dikatakan ada dunia akhirat yang spiritual di seberang dunia material yang ada di depan mata ini, dan terutama



U



dustalah bila ditegaskan bahwa manusia tidak mampu menjadi yang tertinggi lantaran di atas manusia hanya ada Tuhan.425



M



Dalam perspektif Setyo Wibowo, ilustrasi orang sinting dalam perumpamaan di atas adalah Nietzsche sendiri yang masih resah dengan ketidakmengertian yang begitu meluas di zamannya. Untuk menggambarkan



M



keresahannya, ia memperlihatkan dirinya sebagai orang sinting yang masih mau mereaksi bayang-bayang Tuhan dengan membawa lentera. Nietzsche mengambil jarak dari dirinya sendiri dengan membuat figur sinting baginya untuk bertanya-tanya tentang situasi di zamannya. Tidak ada kegembiraan



Y



euforik atau nada triumfalis dalam konstatasi Nietzsche tentang kematian Tuhan. Ia mengajak orang sezamannya untuk menyadari konsekuensi dramatis dari hilangnya Tuhan dari horizon hidup.



Tetapi kita tidak menyadari dan tidak mengertinya. Siapakah “kita” yang diungkapkan Nietzsche ini? Kita yang dimaksud adalah seluruh peradaban Eropa yang dibangun di atas pondasi tradisi Platonico-Kristiani. 424 425



Ibid., hlm. 44-45. Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 38. 318



Tradisi yang mewujudkan dirinya dalam bentuk pemikiran filosofis, metafisikus, maupun rigoritas sains. Tradisi yang telah membesarkan Eropa itu sendiri yang membuat Tuhan terbunuh. Rigoritas sains dan pencerahan yang muncul berkat asahan tradisi filosofis dan religius milener berujung pada penyingkiran



Tuhan



darinya.



Tuhan



yang



digambarkan



terlalu



antropomorfistik, bukannya memelihara keilahian-Nya, justru akhirnya membuat manusia cerah zaman Nietzsche tidak mempercayainya lagi karena Ia terlalu berwajah manusiawi, terlalu mirip dengan kita.426 Jadi teks kematian Tuhan, menurut Setyo Wibowo, menunjukkan bahwa kematian-Nya masih diikuti kehadiran bayang-bayang yang adalah



D



metafisika. Pun setelah nilai paling ilahi kehilangan credit-nya, manusia masih berhasrat mencari kebenaran tertinggi metafisis. Kebutuhan akan pegangan masih merajalela. Itu menunjukkan bahwa manusia lemah selalu



U



ada, bahwa manusia selalu ingin memuja dirinya sendiri



lewat proyeksi



antropomorfis “dunia idea” yang melupakan dunia senyatanya. Dunia



M



senyatanya digelapkan karena manusia tidak bisa menerima realitas apa adanya, tidak berani menatap dirinya sendiri apa adanya. Model penghendakan atas “dunia ideal” yang adalah kekosongan hanyalah simtom



cacat



membutuhkan pegangan.



M



untuk kelemahan mereka yang butuh pengutuhan kehendak diri. Kehendak Apapun—termasuk



yang nihil—akan



dikehendaki secara mati-matian bila ia membantunya untuk hidup. 427 Akan tetapi analisis genealogi Nietzsche tidak hanya berhenti di



Y



sini. Nietzsche mengimbau manusia agar bisa membebaskan diri dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Nilai itu bukan datang dari ideologi, moralitas, keyakinan, dan agama, tapi manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai yang ia kehendaki. Karena itu, Nietzsche menolak sikap diam menghadapi nihilisme. Sikap diam bukanlah netral. Dalam hal ini memang tidak ada sikap netral. Sikap diam berarti membiarkan diri didikte 426 427



Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 290-291. Ibid., hlm, 332-333. 319



oleh keadaan nihilistik atau krisis terus menerus. Sikap ini akan mengantar manusia ke dalam situasi dekaden yang tak tertahankan. Dekaden adalah sikap tidak berani berkata “Ya” pada hidup. Kalau situasi ini dibiarkan terjadi terus menerus, maka nihilisme kita adalah nihilisme pasif. Nihilisme ini diwarnai dengan lembeknya dan pesimisnya manusia yang seolah-olah terus menerus menghirup parfum wanita. Manusia tahu bahwa tuhan dan para dewa sudah mati, tetapi manusia tak dapat berbuat lain kecuali menyembah mayatmayat yang disemprot wewangian terus menerus. 428 Nihilisme pasif juga merupakan penemuan bahwa ‘dunia ideal’ yang selama ini dipuja ternyata hanya kekosongan belaka, dan tinggal tetap dalam



D



shock tersebut. Ia tahu bahwa dirinya hanya memuja kekosongan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa lagi di tengah penemuan shocking tersebut. Ia tahu bahwa dunia ternyata kosong makna, dan kehendaknya yang cacat tidak



U



sanggup mengutuhkan diri untuk segera mengomando sebuah keutuhan nilai. Ia tinggal dalam keterserakan kehendak, dan berpuas diri dalam aliran



M



menjadi kaotis realitas. Ia bergelimang dalam ketanpamaknaan dan pelanpelan membusukkan dirinya.429



Alternatif yang diajukan Nietzsche adalah sikap tidak tinggal diam,



M



yaitu mengatasi nihilisme tanpa harus menolak nihilisme. Usaha ini dilakukan dengan mengadakan pembalikan nilai-nilai. Cara ini akan menghasilkan nihilisme atif. Dilihat dari sudut ini, filsafat Nietzsche dapat disebut sebagai filsafat nihilisme, dan Nietzsche adalah seorang nihilis sejati.



Y



Apa yang dimaksud dengan “tanpa harus menolak nilisme?” Kalau nihilisme berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi, tidak menolak nilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap bentuk model tuhan, yang melaluinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apa pun. 428 429



Sunardi, Nietzsche, hlm. 46-47. Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 333. 320



Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu khaos. Tidak ada suatu pun yang benar, maka segalanya diperbolehkan (Nichts ist wahr, allest is erlaubt). Apa yang dimaksud dengan “mengadakan pembalikan nilai-nilai?” Nietzsche bermaksud mengadakan penilaian kembali seluruh “nilai-nilai” yang sudah ada sampai sekarang, yang cenderung memfosil menjadi karang. Dengan cara ini, Nietzsche pertama-tama tidak mau mencari nilai-nilai itu sendiri. Semangat mau mencari nilai-nilai adalah kebiasaan kuno, warisan agama Kristen yang harus ditinggalkan. Nietzsche lebih suka mencari cara untuk dapat berkata “Ya” pada dunia yang adalah khaos dan nihil, yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral. Nietzsche tidak mau



D



mencari pulau atau daratan yang dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang aman. Dia mau mencari sampan kecil untuk mengarungi samudra raya supaya dapat menikmati ketakterbatasan dan geloranya. Hanya dengan sampan kecil



U



ini orang dapat mengamini samudra. Dalam usaha merevaluasi seluruh nilai, Nietzsche memandang nilai



M



tak lebih daripada titik berangkat dari suatu pengembaraan. Kita kadangkadang memerlukan nilai-nilai baru, namun kadang-kadang pula kita harus melepaskan nilai-nilai yang sudah kita punyai. Demikian pula sikap Nietzsche



M



pada kebenaran. Tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran adalah semacam kekeliruan yang tanpanya kita tak dapat hidup. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus meninggalkannya. Kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat digunakan berlayar lagi, sampan



Y



itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan baru. Menurut Nietzsche, hanya dengan semangat inilah kita dapat menikmati nihilisme. 430



Dengan kata lain, nihilisme aktif atau nihilisme yang tuntas, adalah dia yang menyadari kekosongan di balik “dunia ideal”, menerima kekosongan tersebut, dan dari kekosongan masih mampu mengafirmasi sesuatu, memproduksi tujuan-tujuan sementara, makna-makna sementara. Ia tahu bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan itu semua adalah ilusi. Ia tahu bahwa ilusi 430



Sunardi, Nietzsche, hlm. 47-49. 321



tersebut berguna bagi hidup. Sekaligus ia tahu bahwa hidupnya bukan sematamata berhenti di situ. Ilusi ia pakai, ia terima, sekaligus ia sadari sebagai sementara. Dalam gerak meng-iyai permukaan (ilusi) dan meng-iyai wujud baru dalam kedalaman seperti itu si nihilis akan menari. Ia hidup di permukaan, di bibir jurang kedalaman. Dunia adalah campur aduk permukaan dan kedalaman, dan dua-duanya ia terima.431 Di sini, nihilisme aktif yang ditawarkan Nietzsche mengajak kita melakukan peziarahan eksistensial tanpa titik fixed terhadap apapun; sebuah peziarahan



eksistensial



di



tengah-tengah



ketidakterbatasan



samudera



kehidupan. Sikap nihilisme aktif Inilah yang dilukiskan dengan indah secara



D



metaforis oleh Nietzsche: “Tentang ketakterbatasan sebagai horizon. Kita telah meninggalkan daratan, kita semua sudah berangkat! Kita telah menghancurkan



U



jembatan-jembatan—terlebih lagi, daratan di belakang telah kita tinggalkan! Oleh karena itu, sejak sekarang, hai kapal kecil,



M



waspadalah! Di kanan kirimu terbentang luas samudera. Memang, samudera tidak selalu bergelombang ganas, kadang-kadang ia membentang bak sutera dan emas, seperti impian akan kebaikan.



M



Tetapi akan tiba waktunya saat-saat kamu mengakui bahwa samudera itu tanpa batas dan bahwa tak ada sesuatu pun yang lebih menakutkan daripada ketakterbatasan. Oh burung malang yang merasa diri bebas, yang akhirnya menabrak kisi-kisi sangkar yang



Y



sama juga! Sial-lah kau, jika kerinduan kampung halaman menjeratmu, seakan-akan di sana dulu ada lebih kebebasan— padahal “daratan” itu sudah tidak ada lagi!”.432



431 432



Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 333. Ibid., hlm. 334. 322



3. Manusia Unggul “Manusia adalah lambang, dibuhul antara binatang dan Manusia Unggul—seutas tambang di atas jurang. Berbahaya menyeberang, berbahaya dalam perjalanan, berbahaya melihat ke belakang, berbahaya gemetar dan berdiri di tempat. Yang hebat pada manusia adalah ia sebuah jembatan bukannya tujuan”.433 Konsep Nietzsche tentang manusia unggul, Ubermensch disuarakan lewat lisan tokoh Zarathustra dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra.



D



Dikisahkan Zarathustra meninggalkan rumahnya pada usia tiga puluh tahun, pergi menuju perbukitan. Kehijauan hutan, binatang-binatang pada siang hari, dan bintang-bintang pada malam hari telah menjadi temannya, dan kesunyian



U



adalah rumahnya. Setelah sepuluh tahun “menikmati roh dan kesunyian”, Zarathustra memutuskan meninggalkan bukit-bukit dan turun ke kota. Selama sepuluh tahun ia bagaikan lebah yang mengumpulkan madu, yang akhirnya untuk



M



rindu



membagikan



membutuhkannya.



madu



itu



kepada



orang-orang



yang



Madu yang dihasilkan Zarathustra tidak lain adalah ajarannya



M



tentang Ubermensch dan ajaran bahwa “Tuhan sudah mati”. “Aku ingin melepaskan dan membagikan (ajaran itu) sampai orang-orang bijak menikmati kebahagaiaan yang dalam...dan orang-orang miskin menikmati



Y



kebahagiaan dalam kekayaan mereka”. 434 Melalui tokoh Zarathustra, Nietzsche mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Nilai ini tidak lain adalah Ubermensch. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke



433



Friedrich Nietzsche, Zarathustra, (Yogyakarta: Jejak, 2001), hlm. 43. 434 Sunardi, Nietzsche, hlm. 141-142.



terj.



H.B.



Jassin



323



seberang dunia. Dengan cara penilaian ini, Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia.435 Berserulah Zarathustra yang sudah lama merindukan orang-orang yang akan menerima ajarannya: “Lihatlah, aku ajarkan kepada kalian Manusia Unggul. Manusia Unggul adalah makna bumi. Biarlah kehendakmu berkata: Manusia unggul hendaklah jadi makna bumi! Aku meminta kepadamu, saudara-saudaraku, tetap setia kepada bumi dan janganlah percaya kepada mereka yang bicara padamu tentang harapan-harapan di luar bumi!



D



Mereka itulah pencampur racun, sengaja atau tidak sengaja”.436



U



Zarathustra mau mengajar umat manusia mengenai makna dari keberanian mereka yang tidak lain adalah manusia unggul. Hidup, kehendak



M



berkuasa, mengekspresikan diri paling puncak pada manusia unggul. Di sana nilai seluruhnya mewujudkan diri, menemukan realisasinya yaitu menjadikan kehendak kuasa mengada dan diadakan dalam ketegangan-ketegangan yang



M



agresif dan meledak-ledak dalam jantung hati manusia. Super manusia/manusia unggul



adalah manusia yang tahu



mengikuti dan langsung sambung pada irama tari hidup. Dialah yang menerima seluruhnya, dialah yang menghargai seluruhnya, dialah yang



Y



mengagungkan seluruhnya, dialah yang tidak pernah menolak apa-apa yang dianugerahkan oleh hidup yaitu baik maupun buruk, indah maupun buruk, suka maupun duka.437 Manusia unggul merupakan teladan yang ditampilkan



435



Ibid., hlm. 143-144. Nietzsche, Zarathustra, hlm. 41. 437 Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 35. 436



324



Nietzsche dalam keberaniannya meneriakkan Ja-Sagen, berkata “Ya” terhadap kehidupan dengan semesta suka-dukanya.438 Untuk dapat mencapai manusia unggul, manusia mesti melewati metamorfosis ganda, yaitu:  Metamorfosis pertama, akan mengubah eksistensi unta berbeban dan mudah taat (yaitu manusia baik, rendah hati, tunduk, religius, moralis) menjadi singa agresif (yaitu roh kebebasan, otonom, tuan pada diri sendiri, penentu mutlak tindak-tanduk dan perbuatannya sendiri).  Metamorfosis kedua, akan mengubah manusia dari singa yang ganas



D



tadi menjadi kanak-kanak murni yang selalu mengagumi dan mencintai realitas dalam semua ungkapannya dan sisinya. Ia akan berseru gembira dan menyatu dengan hidup.439



U



Manusia unggul juga oleh Nietzsche disimbolkan dengan Dionysos sebagai dewa Yunani kuno sekaligus mentalis Dionysian. Dionysos adalah



M



dewa anggur dan kemabukan. Buat Nietzsche, dia menjadi lambang pengakuan terhadap kehidupan sekarang dan di sini (Diesseitigkeit) yang selalu mengalir. Dia adalah simbol pendobrakan dari segala batas-batas dan



M



kekangan-kekangan. 440 Mentalistas Dionysian adalah mentalitas kebudayaan Yunani yang cenderung melampaui segala aturan atau norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal batas.441 Dionisius juga adalah simbol waktu dari hidup yang penuh dan dari



Y



penerimaannya yang riang terhadap hidup. Dionisius melambangkan becoming (menjadi) hal-hal yang dalam kebutuhan serta kemendesakannya menyatakan seluruhnya menjadi satu baik duka nestapa maupun suka cita, ketakutan maupun keberanian, cinta maupun dengki. Di samping itu,



438



Hardiman, Filsamat Modern, hlm. 276. Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 35-36. 440 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 263. 441 Ibid. 439



325



Dionisius melambangkan pula kondisi manusia unggul yang menerima semua ekspresi saling bertentangan dari eksistensi dengan penuh syukur.442 Dari uraian di atas, dapat



diringkaskan bahwa bagi Nietzsche,



Ubermensch adalah semacam pengganti Tuhan yang sudah dibunuhnya. Ubermensch adalah tujuan manusia di dunia ini yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menggantikan setiap tujuan yang ditentukan dari luar. Melalui Ubermensch, orang tidak perlu lagi memberi makna pada dunia dan hidup dengan berpaling kepada suatu yang ada di seberang dunia. Sebab, Ubermensch pada dasarnya adalah ajakan untuk mengafirmasikan hidup tanpa membiarkan sedikit sisa pun untuk ditolak. Afirmasi hidup ini secara konkrit



D



terwujud dalam pengakuan akan segala macam dorongan—baik yang menakutkan maupun yang mempesonakan—yang oleh orang-orang dekaden dipersonifikasikan sebagai Tuhan. 443



U



4. Moralitas Tuan



Tampilnya Manusia Unggul yang diusung Nietzsche harus



M



membawa unsur-unsur moralitas yang disebut oleh Nietzsche sebagai moralitas tuan. Dalam analisis genealogis Nietzsche, ada dua macam moral yaitu herren-moral, moralitas tuan dan heerden-moral, moralitas budak.



M



Moralitas tuan adalah standard yang diterima pada zaman Antik, khususnya di antara orang-orang Romawi; Bagi orang-orang Romawi biasa pun, kebajikan adalah virtus—kejantanan, keberanian, kerja keras. Akan tetapi dari Asia,



datanglah



standard



lain:



penaklukan



Y



khususnya dari bangsa Yahudi pada zaman penaklukan politis mereka, melahirkan



kerendahan



hati,



ketidakberdayaan melahirkan altruisme—yang merupakan upaya untuk meminta pertolongan. Di bawah moralitas budak, cinta pada bahaya dan kekuasaan membuka jalan untuk cinta pada keamanan dan kedamaian; keberanian digantikan oleh kelicikan, balas dendam secara terbuka oleh balas



442 443



Sutrisno, Ranah Filsafat, hlm. 37. Sunardi, Nietzsche, hlm.146-147. 326



dendam diam-diam, kekerasan oleh perasaan kasihan, inisiatif oleh peniruan, kebanggaan pada penghormatan oleh cemeti suara hati.444 Bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sungguh yakin, bahwa segala tindakannya adalah baik. Meski demikian, mereka tidak mengklaim, bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana seharusnya orang bertindak, melainkan bagaimana tuan itu nyatanya bertindak. Jadi, dari tindakan-tindakannya sendiri lahir nilai-nilai autentik. Baik dan buruk sama nilanya dengan “ningrat” dan “rendah”, dan soal baik dan buruk itu bukan ditujukan pada tindakan, melainkan pada pribadi yang



D



melakukannya.445 Tentang moralitas tuan yang harus dimiliki oleh manusia unggul, Nietzsche menulis: “Jenis manusia luhur merasa bahwa dirinya menentukan apa



U



yang bernilai, mereka tidak memerlukan pembenaran, mereka menilai



bahwa



“apa



yang



merugikanku



itulah



yang



M



merugikan”, mereka mengetahui diri sebagai sumber segala kemuliaan yang ada, mereka menciptakan nilai. Apapun yang mereka lihat pada diri mereka sendiri menjadi alasan



M



kemuliaan mereka: moralitas semacam itu merupakan pemuliaan diri. Yang mencolok adalah perasaan keutuhan, kekuasaan yang mau meluap, kebahagiaan bertegangan tinggi, kesadaran



kekayaan



yang



ingin



memberikan



dan



Y



melepaskan—manusia luhur mebantu orang yang celaka, tetapi tidak atau hampir tidak karena perasaan belas kasih,



444



Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Rosdakarya: 2003), hlm. 97-98. Lihat juga Will Durant, The Story of Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1961), hlm. 315 445 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 269. 327



melainkan karena kekuasaan yang melimpah menciptakan suatu dorongan (untuk membagi dari kekayaan itu)”. 446 Berbeda sama sekali dari manusia tuan, para budak tidak pernah bertindak dari diri mereka sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya. Bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya. Yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta rendah mereka. Karena itu, kaum budak memandang para indivisu yang independen, unggul, kuat dan jenius, sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya. Di sini sebenarnya, moralitas budak membalikkan moralitas



D



tuan. Apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai buruk oleh budak. Moralitas budak ini bersifat reaktif, yakni: bersumber dari kekuatan pada



U



tuannya, lalu mencoba menguasi tuannya, tidak dalam kenyataan, melainkan dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilainya sebaga ’jahat’ (bose). 447 Mengenai moralitas budak, Nietzsche bertutur:



M



“Lirikan budak membenci keutamaan-keutamaan kaum berkuasa: ia skeptik dan curiga, ia peka dan curiga terhadap segala ‘kebaikan’ yang dimuliakan di sana,—ia ingin



M



meyakinkan diri bahwa kebahagiaan di situ pun tidak benar. Sebaliknya sifat-sifat yang membantu untuk meringankan eksistensi orang yang menderita ditarik ke depan dan disinari



Y



cahaya: di sini dihormati rasa berbelas kasihan, tangan yang cepat membantu hati yang hangat, kesabaran, kerajinan, kerendahan hati, keramahan—karena inilah sifat-sifat yang di sini paling berguna dan yang merupakan alat hampir satu-



446



Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 202. 447 Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 269. 328



satunya untuk bertahan terhadap tekanan eksistensi. Moralitas budak secara hakiki berupa moralitas kegunaan”. 448 Dengan demikian, Nietzsche membedakan dua macam moralitas— yang dalam kenyataan, menurut Nietzsche sendiri, tidak muncul secara murni, melainkan masih bergelut satu sama lain—yaitu moralitas budak dang moralitas tuan. Moralitas budak adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas yang tidak mampu untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan oleh karena itu lalu merasa sentimen atau iri terhadap mereka yang mampu, yang kuat. Karena itu, ia mau mengebiri mereka dengan aturan-



D



aturan moral yang menjegal sikap-sikap keras dan berani serta menjunjung tinggi keseimbangan, yang menggagalkan individualitas dan memenangkan massa. Ia membenci excellency dan memuji yang pukul rata. Suara hati



U



diartikan sebagai kebengisan dan agresi orang yang telah dikebiri, yang terlalu lemah untuk langsung melampiaskannya, maka diarahkan kepada dirinya sendiri dan menjadi suara dalam dirinya sendiri yang menggagalkan segala



M



usaha yang luhur dan berani.449



Menurut Nietzsche, moralitas budak itu itu meresapi seluruh kebudayaan. “Hampir segala apa yang kita sebut ‘kebudayaan tinggi’



M



berdasarkan perohanian dan penginteralisasian kebengisan … dan ‘hewan ganas’ itu belum jadi dibunuh, masih hidup, berkembang, hanya diilahkan” (sebagai suara hati). Jadi, yang baik bagi orang kuat: kekuatan, keberanian,



Y



kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah hiidupnya, dalam moralitas budak dianggap buruk, egois, dan sebagainya, sedangkan yang dijunjung tinggi adalah yang dianggap hina oleh orang kuat: cinta kepada yang biasa, kesederhanaan, ketenteraman, belas kasih. Moral budak adalah moralitas



448



Suseno, 13 Model, hlm. 203. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 201. 329 449



kawanan (Herdenmoral), sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang perlu dipuji dan takut ditegur.450 Sedangkan moralitas tuan, ‘baik’ adalah sama dengan ‘luhur’ dan ‘buruk’ sama dengan ‘hina’. “Yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si sempit, si pencuri untung; begitu pula si pencuriga yang tidak berani menatap mata lawan bicara, yang merendahakan diri, si manusia macam anjing yang suka disiksa, si penjilat yang mengemis-ngemis, terutama si pembohong…”. Moralitas tuan membenarkan kekuatan dan kekuasaan cirinya adalah orang seluruhnya membenarkan dirinya sendiri. Moralitas tuan adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa”.451 Moralitas tuan inilah yang



D



akan melahirkan manusia unggul. D. Penutup: Antara Kritik dan Apresiasi



U



“A philosopher is a person who constantly experiences, sees, hears, suspects, hopes, and dreams extra ordinary things; a being who is frequently running away from himself, frequently himself”.452



M



afraid of himself,—but too curious not to always come back to



Definisi seorang filsuf yang diungkapkan Nietzsche dalam



M



pernyataan di atas, paling tidak sedikti banyak mewakili sosok Nietzsche sendiri. Bagi Nietzsche, berfilsafat bukan hanya refleksi filosofis pada tataran rasio an sich, melainkan sebuah keterlibatan seorang anak manusia dengan



Y



seluruh eksistensi dirinya: pengalaman, penglihatan, pendengaran, harapan, impian, sekaligus kecurigaan dan keingintahuan dalam mencandra realitas kehidupan dengan semesta pernak-perniknya. Tatkala sebuah enigma kehidupan mulai tersingkap rahasianya, sang filusuf tidak akan berpuas diri dan berhenti: 450



ia



kembali



menghadirkan



gairah keingintahuan dan



Ibid., hlm. 202. Ibid. 452 Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil (New York: Cambridge University Press, 2002), 174. 330 451



kecurigaannya untuk menyibak makna-makna yang lebih sublim. Setiap jawaban-jawaban baru yang muncul akan selalu diinterogasi kembali dengan pertanyaan-pertanyaan baru shingga membuahkan new insights yang kian memperkaya petualangan hidup seorang filsuf; memperkaya wajah kehidupan itu sendiri. Bagi Nietzsche, berfilsafat adalah proses menjalani kehidupan secara utuh; sebuah proses pencarian, perubahan, dan perbaikan dengan segala



keterbatasan



manusiawi



seorang



manusia



di



tengah-tengah



ketidakterbatasan semesta kehidupan. Itulah mungkin alasannya mengapa Nietzsche menorehkan wacana-wacana filosofisnya dengan penuh metafora,



D



ironi dan paradoks yag seringkali mengejutkan sekaligus membingungkan nalar kita. Ia begitu piawai menyuguhkan kejutan-kejutan reflektif yang justru mampu membangunkan kesadaran subtil dalam diri orang-orang yang tekun



U



menyimaknya. “He who knows how to breathe in the air of my writings is conscious that it is the air of the heights, that it is bracing. A man must be



M



built for it; otherwise the chances are that it will kill him”.453 Tulis Nietzsche. “Dia yang tahu bagaimana bernafas dalam atmosfer tulisantulisanku, tentu sadar bahwa tuliskanku adalah udara level tinggi yang



M



menyehatkan. Manusai harus di bangunkan dengannya; sebab jika tidak, udara yang keruh akan membunuhnya”. Dengan memahami Nietzsche, pertanyaan itu bukanlah sebuah kepongahan, sebagaimana diakui sendiri oleh seorang sejarawan filsafat tersohor, Will Durant dengan penuh ketakjuban:



Y



Nietzsche does not prove, he announces and reveals; he wins us with his imagination rather than with his logic; he offters us not a philosophy merely, nor yet only a poem, but a new faith, a new hope, a new religion.454



Singkatnya, wacana filosofis yang diusung Nietzsche mengajak setiap orang yang membacanya untuk memiliki open-minded (sikap terbuka) dalam menyikapi segala sesuatu. Dengan prolog diakhir tulisan ini, mari kita 453 454



Durant, The Story of Philosophy, hlm. 329. Ibid., hlm. 329. 331



menyikapi secara apresiatif-kritis unsur-unsur yang membentuk nihilisme Nietzsche. Pertama, kebutuhan untuk percaya. Kebutuhan untuk percaya menjadi salah satu akar wacana nihilisme Nietzsche. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, segala bentuk kepercayaan yang dimiliki oleh setiap orang bersumber dari kebutuhan untuk percaya yang bersemayam dalam diri orang tersebut. Beragam bentuk kepercayaan yang dimiliki manusia, baik ideologi, ilmu pengetahuan, keyakinan maupun agama dan Tuhan adalah bersumber dari kebutuhan untuk percaya dalam setiap manusia. Kebutuhan untuk percaya harus dilabuhkan pada suatu bentuk kepercayaan agar setiap orang



D



yang membutuhkan tersebut mendapatkan pegangan, sandaran, dan stabil dalam menghadapi beragam problematika kehidupan yang tidak pasti. Ketika berhubungan dengan agama, keyakinan, atau Tuhan,



U



Nietzsche mengklaim tidak jarang sebenarnya kita hanya melakukan proyeksi antropomorfistik terhadap Tuhan yang transenden sesuai dengan proyeksi kita



M



sendiri. Dengan demikian, ketika kita melabuhkan kepercayaan kita kepada Tuhan sebagai pegangan dan sandaran hidup, sebenarnya kita hanya melabuhkan kepercayaan kita pada proyeksi antropomorfisktik kita sendiri.



M



Proyeksi antropomorfistik inilah yang hendak dibongkar oleh Nietzsche. Tentu saja setiap orang membutuhkan pegangan untuk dijadikan orientasi dan patokan dalam hidup. Pegangan menjadi berguna karena membantu



manusia



memaknai



kehidupan,



dan



dengan



demikian



Y



membantunya hidup. Masalahnya, apakah hidup itu sendiri sesuai dengan parameter pegangan yang ia cengkram? Inilah pertanyaan yang membongkar si manusia itu sendiri. Posisi Nietzsche jelas mengatakan tidak: hidup, dunia, realitas tidak bisa dikotakkan dalam kesempitan pegangan antropomorfistik manusia.455 Oleh sebab itu, ketika seseorang menggenggam suatu pegangan dan memuja suau pujaan, pertanyaan genealogis Nietzsche sangat menyentak 455



Wibowo, dkk, Para Pembunuh Tuhan, hlm. 25. 332



kesadaran: apa yang diingini kehendak saat menghendaki sesuatu? Saat kita memuja satu ideologi, kepercayaan, agama, dan Tuhan, misalnya, apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh kepercayaan kita tersebut? Jika kita melabuhkan kepercayaan pada sebuah keyakinan, mengapa keyakinan tersebut yang kita percayai dan bukan yang lainnya? Dan tatkala hanya satu Tuhan yang selalu kita puja, kenapa kita hanya memuja satu Tuhan tersebut dan bukan Tuhan yang lain? Pertanyaan-pertanyaan subtil tersebut bisa kita jadikan sebagai kritik konstruktif dalam menyibak selubung-selubung kepalsuan kita dalam beragama dan ber-Tuhan. Lazimnya kita menjalani keyakinan, keberagamaan,



D



dan pengabdian kepada Tuhan sebagai “warisan” dari orang tua kita, dari leluhur kita sebelumnya. Kita menerima semua bentuk keyakinan tersebut sebagai taken for granted yang sudah pasti benar tanpa dibarengi dengan



U



proses pemahaman, penghayatan, pencarian, dan pendalaman secara utuh terhadap keyakinan yang telah kita warisi tersebut. Pertanyaan kritis-



M



genealogi Nietzschean itu membuka ruang kearifan dalam diri kita untuk menjadi rendah hati bahwa masih ada semesta rahasia yang mungkin belum kita ketahui dan pahami, belum kita hayati dan alami pada keyakinan, agama,



M



dan Tuhan yang kita puja.



Kita menjadi sadar bahwa agama merupakan wilayah tak terbatas yang bisa kita gumuli secara terus menerus. Keberagamaan juga merupakan sebentuk pengabdian yang selalu membuka ruang perbaikan, pengkayaan,



Y



penghayatan sekaligus pendalaman yang tak pernah menyentuh garis finis; sebuah perlombaan dalam aneka ragam kebajikan yang tak pernah tuntas. Dan kepercayaan kita terhadap Tuhan pun hendaknya selalu terbuka untuk menghayatan yang lebih intensif yang hanya ditutup dengan layar kematian. Pada titik inilah, analisis genealogis Nietzsche menjelma otokritik radikal bagi kita. Sehingga kehidupan kita menjadi autentik: kita merengkuh satu keyakinan, menjalani ritual keagamaan, dan pengabdian kepada satu Tuhan



333



sebagai proses pergulatan eksistensial melalui seluruh eksistensi pengetahuan, kesadaran, dan penghayatan intensif yang tak berkesudahan. Kedua, manifesto kematian Tuhan. Menurut Trisno Susanto, ketika berbicara tentang maklumat Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati, orang sering terjebak untuk memperlakukan frase itu sebagai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri, lalu berdebat sengit apakah benar Tuhan sudah mati atau belum, dengan seluruh argumennya. Padahal, kalau mau direnungkan lebih jauh, jika Tuhan ada dan benar-benar dapat mati (bahkan dapat dibunuh oleh kita!), maka jelas itu bukan Tuhan. Atau kalau toh Nietzsche memakai frase itu sebagai metafor; agak aneh jika metafor benar-benar dapat mati, bahkan



D dibunuh!



Jadi kita harus masuk lebih dalam, seperti sang genealog ala



Nietzsche sendiri, menelisik apa yang sesungguhnya mau dikatakan di balik



U



topeng kata-kata itu. Dalam aforisme lain, dengan nada yang sama sekali berbeda, Nietzsche memberi petunjuk ke arah mana seyogianya kita



M



melangkah. Sebagai strategi literer, ungkapan Tuhan sudah mati mau merujuk pada suasana dan semangat zaman di masa “kepercayaan kepada Tuhan Kristiani tidak lagi dapat dipercaya.456



M



Sikap Nietzsche justu ingin melampaui nihilisme pasif dengan kewaspadaan sudut pandang yang berjarak dalam aforisme yang ditulis beberapa tahun kemudian setelah teks awal tentang kematian Tuhan berikut ini:



Y



“Sungguh, kita para filsuf dan ‘pemikir bebas’ (free spirit, harfiah: roh yang bebas) merasa saat kita mendengar kabar bahwa ‘Tuhan yang tua sudah mati’, seakan-akan fajar baru menyinari kita; hati kita dilimpahi rasa syukur, ketakjuban, isyarat, penantian. Pada akhirnya, horizon tampak terbuka lagi bagi kita meski belum terang menderang; pada akhirnya kapal-kapal kita dapat berlayar lagi, berlayar menempuh 456



Ibid., hlm. 132. 334



segala bahaya; semua keberanian pencinta pengetahuan diizinkan lagi; lautan, lautan kita, terbuka lagi; mungkin belum pernah ada ‘lautan terbuka’ seperti itu. Itulah yang mau ditawarkan Nietzsche. Kabar kematian Tuhan memang dapat menjebak orang ke dalam nihilisme radikal, meng-iya-kan secara naif, dan menjadi dasar bagi tindakan yang membolehkan segalanya; atau sebaliknya, membuat orang menolak secara naif dengan mendirikan benteng-benteng kenyamanan dogmatis agama. Kedua posisi itu seperti dikatakan di atas, hanya akan jatuh ke dalam ilusi yang menyelubungi



D



kehendak untuk percaya pada suatu idee fixee. Dalam pisau bedah genealogis Nietzsche, ini adalah simptom dari lemahnya kehendak. Nietzsche menawarkan posisi lain yang melampaui keduanya, suatu posisi iya-



U



sekaligus-tidak terhadap nihilisme. Maksudnya, nihilisme memang harus diterima, bahkan dihidupi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi, sekaligus juga orang seyogianya tidak larut di dalam nihilsme, melainkan mengarunginya,



M



memasuki horisonnya. Karena itu, bagi Nietzsche dan mereka yang memiliki “roh yang bebas”, kematian Tuhan membuka horizon-horizon baru, “lautan terbuka” sehingga “kapal-kapal kita dapat berlayar lagi, berlayar menempuh



M



segala bahaya”.457



Demikian pula, warta kematian Tuhan yang dideklarasikan Nietzsche acap kali dibaca sebagai doktrin ateisme yang menihilkan eksistensi



Y



Tuhan dan peran-Nya dalam kehidupan umat beragama. Tidak sedikit teolog yang melindungi ajaran mereka dengan berbagai dalih apologetik-retorik. Namun, para apologetik biasanya terjebak pada kesalahan epistemologis berupa argumentum ad hominem. Mereka menyalahkan gagasan pemikir tertentu berdasarkan ‘kekurangan’ yang dimiliki sang pemikir. Mereka tidak sadar bahwa relasi antara gagasan dan si penggagas retas tatkala gagasannya menjadi teks dan otonom. Makna tidak sama dengan maksud pengarang. 457



Ibid., hlm. 132-133. 335



Analisis kepribadian pengarang hanya membuang-buang waktu dan tidak membangun sebuah diskursus yang sehat.458 Dalam perspektif Donny Gahral Adian, kita bisa meminjam konsep filsafat Prancis kontemporer, Paul Ricoeur tentang konsep distansiasi dan apropriasi sebagai momen metodis pemahaman suatu wacana. Dalam bingkai pemikiran Ricoeur, tanggapan terbaik terhadap wacana ateisme bukan apologia, melainkan memakai kritik tersebut untuk mengambil jarak (distansiasi) dari lingkaran prasangka yang menyelimuti kita (dalam hal ini agama). Artinya, kita melakukan refleksi terhadap religiositas kita sendiri berdasarkan kritik-kritik tersebut. Setelah distansiasi, kritik-kritik tersebut



D



kemudian kita apropriasi, yaitu kita maknai secara baru sebagai obat pemurnian keimanan kita dengan membersihkan keimanan kita dari apa-apa yang dituduhkan kaum ateis.459



U



Dalam



konteks



Nietzsche,



ia



mengkritik



religiositas



yang



mengasingkan manusia dari potensi-potensi kemanusiaannya. Sesuai konsep



M



Ricoeur, kritik tersebut sebaiknya dijadikan momentum distansiasi dari religiositas praktis yang membuai kita selama ini. Kritik para pemikir tersebut,



pada



umumnya,



menyebutkan



bahwa



kebertuhanan



telah



M



mengasingkan manusia dari kemanusiannya. Kritik tersebut harus membuat kita masuk pada kesadaran bahwa selama ini manusia cenderung menggambarkan Tuhan berdasarkan citra manusia (Tuhan digambarkan layaknya akuntan yang menghitung-hitung baik dan buruk untuk diganjar



Y



surga dan neraka, Tuhan digambarkan layaknya majikan yang berkuasa penuh atas manusia yang berperan sebagai budak belian skenario agung-Nya). Kecenderungan



antropomorfisme



tersebut



telah



menghambat



realisasi potensi manusia. Salah satu contoh, penggambaran Tuhan sebagai akuntan penghitung perbuatan baik dan buruk telah menghambat potensi



458



Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm.18. 459 Ibid. 336



afektif maupun kognitif manusia. Manusia berbuat baik semata-mata karena takut hukuman dan ingin pahala, bukan karena dilandasi raca cinta kasih maupun pemahaman mengapa hukum moral tersebut dipasang. Misi pewahyuan adalah mengembalikan kodrat manusia ke posisi primordialnya, yaitu sebagai makhluk yang menempati posisi khusus dalam struktur kosmos. Pemberhalaan menjadi musuh utama setiap nabi pengemban wahyu karena merupakan tindak irasional dan dehuman sebab manusia menyembah alam (batu, matahari, pepohonan) yang seharusnya berada di bawah kendalinya. Namun demikian, sesungguhnya masih ada bentuk pemberhalaan



yang



mendehumanisasi



manusia,



yaitu



kecenderungan



D



antropomorfisme. Antropomorfisme sebagai kecenderungan manusia untuk mengkonstruksi Tuhan berdasarkan citranya wajib didekonstruksi demi berkembangnya kemanusiaan.460



U



Di sini kita bisa mengambil teladan pada sosok filsuf muslim termashur, Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa manusia jangan



M



mengosongkan dirinya ke dalam Tuhan; Manusia ideal, menurut Iqbal, justru harus menyerap sifat-sifat Tuhan untuk dijadikan kekuatan kreatif, elan vital untuk mengubah dunia menjadi yang lebih baik untuk dihuni. Seperti telah



M



disebutkan di atas, wacana ateisme jangan buru-buru dinafikan, melainkan digunakan sebagai instrumen refleksi dan pengayaan eksistensi. 461 Ketiga, eksistensi manusia unggul. Eksistensi manusia unggul yang ditawarkan Nietzsche pun tidak jarang dipahami secara keliru sebagai figur



Y



kuat yang menghalalkan segala cara untuk meraih hasrat-hasratnya. Untuk melampiaskan segala bentuk hasratnya, manusia unggul bebas melakukan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah. Penilaian tersebut sebenarnya terlalu simplifikatif terhadap hakikat



makna



manusia unggul yang



dikonstruksi oleh Nietzsche. Manusia unggul tetap mampu membagikan spirit belas kasih, tapi dengan alasan yang tepat: “If we are compassionate, we are 460 461



Ibid., hlm. 19-20. Ibid., hlm. 20. 337



compassionate for the right reasons.462 Barangkali kita perlu menengok kembali sejenak makna aforisme yang disuarakan melalui lisan Zarathustra tentang tiga macam transformasi roh: unta, singa, dan bayi. Makna sikap unta adalah sikap “iya” secara naif terhadap apa saja yang datang. Unta akan selalu membutuhkan beban eskternal agar dia memiliki pegangan hidup. Sedangkan singa adalah roh menidak naif yang tahunya bilang “tidak” karena dia takut apapun yang menyentuhnya akan menundukkannya, akan merebut wilayah kekuasaanya. Apa saja yang datang sebagai ancaman, harus ditendang jauh-jauh. Reaktif, itulah kata yang pas untuk memperlihatkan paranoia roh singa yang menggelegak penuh curiga



D



dan melawan apa saja yang datang.463 Peng-iya-an secara naif atas apa saja yang datang hanyalah



menyingkapkan jadi diri si penerima realitas: ialah unta, roh penurut yang



U



lemah, yang takut berhadapan dengan realitas sehingga realitas ia tanggung (bahkan lalu ia nikmati) sampai ia sendiri hancur.464 Begitu juga, penidakan



M



secara naif hanyalah wujud sok kuat dari roh yang sebenarnya juga takut terhadap apa saja yang datang. Di balik kegarangan raungan singa adalah ketakutan akan realitas, sedemikian rupa sehingga apa pun dia tolak dengan



M



akibat dia berkubang menutup hidungnya dalam kesempitan gurunnya sendiri dan mati dalam kepahitan menidak. Roh reaktif singa hanyalah gelembung besar tenggorokan katak yang mau menakut-nakuti ular yang akan menelannya. Di balik raungannya tersembunyi roh yang lemah. 465 di



mana



roh



kuat,



yang



Y



Lalu



nantinya



oleh



Nietzsche



dikumandangan sebagai Ubermensch? Secara paradoksal, roh yang mampu menciptakan nilai-nilai baru adalah roh bayi, yang polos, yang dengan kemurniannya memberikan afirmasi kudus pada apa saja yang datang. 462



Stephen Law, The Great Philosophers (London: Quercus, 2013), hlm. 241. 463 Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 63. 464 Ibid., hlm. 64. 465 Ibid. 338



Afirmasi ini bukan lagi topeng kelemahan unta dan singa untuk menutupi ketakutan mereka akan realitas, melainkan sebuah iya dan tidak sekaligus kepada realitas yang dari dirinya sendiri tidak perlu ditakuti atau pun dipuja.466 Menurut Setyo Wibowo, puncak makna manusia unggul sebagai bayi menunjukkan kelicinan sekaligus subtilitas pemikiran Nietzsche: Bahwa yang kita imajinasikan kuat, justru di mata Nietzsche adalah apa yang dalam imajinasi kita paling lemah. Dalam yang kelihatan lemah dan tak berdaya, ada kekuatan afirmasi agung yang diberi klaim oleh Nietzsche setara dengan Sang Pencipta Tertinggi. Ambisi sang manusia super, peziarah resah tanpa henti,



D



seniman agung yang tak pernah puas mencipta dan mencipta, sang Dionysos dengan energi vital kreatif yang meledak-ledak, itu semua difigurkan dalam puisi indah Zarathustra dengan bayi yang bermain. 467



U



Oleh sebab itu, dalam telaah Henry D. Aiken, sebenarnya ajaran Nietzsche tentang manusia unggul hanya permukaan saja yang tampak



M



sebagai teori evolusi atau darwinis sosial. Yang sebenarnya ia kemukakan bukanlah spesies baru, melainkan jenis manusia baru yang menggunakan kemampuannya untuk melakukan transendensi diri dan yang menuntut dirinya



dan pemenuhan diri.



M



dan semua manusia unggul lainnya hak untuk melakukan transendensi diri



Pada dasarnya, ajarannya adalah suatu seruan religius atau etis untuk melakukan suatu tindakan. Tuntutan agar manusia yang memiliki kemampuan



Y



yang unggul, dengan upaya yang penuh disiplin dan pengorbanan, bisa mengatasi warisan reflektif kebinatangannya, tanggapan instingtual dan warisan sosialnya berupa keseragaman yang rutin dan bersifat gerombolan. Singkatnya, Nietzsche tidak pernah benar-benar tertarik pada persoalan ilmiah



466 467



Ibid., hlm. 64-65. Ibid., hlm. 68. 339



tentang kemungkinan evolusi dari suatu spesies baru selain homo sepiens, melainkan lebih pada kemungkinan spiritual dari homo sapiens. 468 Melampaui semua kategori, konsep tentang ubermensch, kepolosan seorang bayi, manusia unggul ataupun manusia yang melampaui, bagi Setyo Wibowo bukanlah konsep yang fixed dan menjadi final. Nietzsche tidak pernah berpretensi mem-fixed-kan sebuah telos atau finalitas apapun untuk realitas atau manusia. Dalam konteks ini, konsep ubermensch idealnya dibaca sebagai strategi literer Nietzsche, yakni “sekadar kata—sebuah upaya tertatihtatih dan terlambat untuk mengatakan apa yang sebenarnya tidak bisa dikatakan namun toh berguna untuk dipakai demi komunikasi terbatas—



D



ubermensch pun hanyalah kata. Pada dirinya sendiri Ubermensch tidak merepresentasikan apa-apa, tidak menghadirkan apa-apa, ia hanyalah upaya Nietzsche untuk mengajak kita paham akan sebuah kemanusiaan yang mampu



U



melampai manusia zamannya”.469 Keempat, moralitas Tuan. Moralitas tuan tawaran Nietzsche, bagi



M



para filsuf eksistensialis, seperti Heidegger, Jaspers, Sartre, dan Camus, mampu mendobrak klise-klise budaya borjuis abda ke-19, menempatkan kembali manusia yang asli ke pusat perhatian serta meramalkan kedatangan



M



nihilisme. Jadi, yang amat kuat pengaruhnya dalam banyak aliran filsafat kemudian adalah kritik Nietzsche terhadap pelbagai kebohongan dan kepalsuan dalam budaya masyarakat borjuis, termasuk budaya berpikir dan berfilsafat.470 Begitu pula, kritik Nietzsche terhadap moralitas umum sebagai



Y



moralitas budak dalam tataran tertentu mengenai sasarannya.



Setiap moralitas dan setiap sistem nilai budaya akan mempunyai kelemahan-kelemahan serta segi-segi yang ambivalen. Mungkin juga bahwa justru moralitas resmi Eropa abad ke-19, moralitas “borjuis” dengan tekanan pada hak milik, kemapanan, kesopanan yang mau meniru-niru budaya para 468



Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Relief, 2010), hlm. 249-250. 469 Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 335-336. 470 Suseno, 13 Tokoh Etika, hlm. 203-204. 340



bangsawan, dengan moralitas seksual yang sempit, dan dengan tekanan pada unsuru-unsur seperti kerajinan, ketepatan waktu, dan sikap hemat, mengandung unsur-unsur kemunafikan. Adalah jasa Nietzsche bahwa ia membuka ambivalensi yang inheren dalam moralitas itu. Bahwa budaya hati lebih daripada kemampuan untuk mengambil sikap-sikap tata krama tepat dalam situasi, bahwa manusia hendaknya berani menjadi autentik, berani menjadi diri sangatlah penting dan menjadi inti utama dalam etika Eksitensialisme. Sebuah etika yang hanya menekankan penyesuain diri dan sikap menerima, yang memutlakan kerukunan dan menutup-nutupi konflik, yang



D



menuntut agar orang selalu membawa diri secara seimbang serta jangan sampai menonjol dapat menjadi kerangkeng dan kebohongan eksistensial. Kebaikan moral dapat merosot menjadi rasionalisasi kelemahan dan ketakutan



U



terhadap



segala



konfrontasi.



Altruisme,



sikap



orang



yang



selalu



mendahulukan orang lain dan seakan melupakan diri serta senang melayani,



M



secara psikologis pun meragukan. Kepribadian yang kuat dan seimbang dalam arti baik juga harus dapat menjadi marah, dapat menolak melayani, mampu memperhatikan kebutuhan sendiri, berani bertindak melawan arus, serta



M



mengajukan tuntutan yang keras kepada orang.



Analisis Nietzsche dapat membuat kita menjadi lebih kritis terhadap mutu moralitas kita sendiri. Petunjuk pada peran sentimen sebagai salah satu daya motivatif kuat yang dapat meracuni seluruh sikap seseorang merupakan



Y



salah satu penemuan Nietzsche yang paling penting. 471



Akan tetapi, Franz Magnis juga memberi respons kritis terhadap moralitas tuan Nietzsche: Apakah dari kemungkinan adanya distorsi-distorsi dalam kesadaran moral dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran moral itu sendiri sesuatu yang negatif? Ambil saja tuntutan etika Jawa agar orang bersedia untuk menerima. Bisa saja menerima menjadi kedok yang lemah, takut konflik, dan tidak berani bertanggung jawab. Bisa saja orang itu 471



Ibid., hlm. 204-205. 341



“menerima” apa saja, menelan apa saja, membiarkan diri dihina dan diinjak dan hanya malu-malu senyum saja. Namun, bukan itulah yang dimaksud dengan sikap menerima. Nerima berarti mampu menerima hal-hal yang berat tanpa patah, tidak memberontak seperti anak kecil apabila mengalami peristiwa yang tidak disenangi, tahu bahwa banyak pengalaman dalam hidup memang harus diterima, tetapi kuat untuk tetap bangkit kembali, untuk terus bertanggung jawab dan tetap berani bertindak. Orang yang dapat menerima kejadian apa pun dari luar tidak dapat dihancurkan dan mampu untuk mulai lagi. Sikap Nerima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan kesulitan pun



D



bereaksi dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga dengan tidak menentang secara percuma. Nerima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap



U



nerima memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib yang buruk. Bagi yang memiliki sikap itu suatu malapetaka kehilangan sengsaranya. Ia tetap



M



gembira dalam penderitaan dan prihatin dalam kegembiraan.472 Begitu pula, apakah perhatian kepada orang kecil, solidaritas aktif, kesediaan untuk menunda pemuasan keinginan sendiri demi saudara



M



merupakan tanda kelemahan atau kekuatan? Bukankah amat aneh bahwa Nietzsche menjelek-jelekkan baik kapitalisme maupun sosialisme? Siapa yang lebih benar: Nietzsche yang mengatakan bahwa orang kuat mengikuti nafssnafsunya, atau para ahli kerohanian hampir segala agama dan kebudayaan



Y



yang, sebaliknya, mengatakan bahwa orang baru kuat kalau ia dapat menguasai nafsu-nafsunya? Apa bedanya antara mengikuti segala kehendak, insting, dan nafsu serta diperbudak olehnya? Tekanan agama Kristiani, dan juga agama Islam serta Kejawen agar manusia menguasai diri, merupakan tanda kekuatan, bukan kelemahan. Bukankah orang yang kuat adalah orang



472



Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 143. 342



yang tenang, yang tidak ditentukan oleh apapun yag tidak disetujuinya? Barangkali maksud Nietzsche begitu pula. Namun, tekanannya pada nilai-nilai vital, pada kebinatangan dalam manusia serta pada nafsu dan insting, disertai cemoohannya terhadap mereka yang menguasai diri, memberikan kesan bahwa ia justru tidak tahu apa arti kepribadian yang kuat. Siapa yang lebih kuat: orang yang langsung mau membalas dendam, yang cepat mata gelap, yang begitu kena senggol menarik clurit, atau orang yang hanya tersenyum atau bahkan tertawa serta bersedia berjabat tangan? Lagi, yang kuat itu siapa? Orang yang begitu kena pukul tak bisa pukul kembali, atau orang yang, sebagaimana dituntut Yesus, kalau



D



dipukul pipi kanannya dengan tenang menawarkan pipi kirinya? Begitu pula, kebebasan untuk mengakui manusia yang lemah merupakan tanda kekuatan kepribadian dan bukan tanda kelemahan. 473



U



Akhirnya terlepas dari kekurangan epistemologi nihilisme yang disuarakan Nietzsche, ia tetap mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam



M



berbagai aspek pemikiran. Secara spesifik, ia sudah mengantisipasi nada posmodernisme: sebuah sikap estetik terhadap dunia yang melihatnya sebagai sebuah “teks”, penyangkalan atas fakta, penyangkalan atas esensi, merayakan



M



pluralitas interpretasi dan diri yang terfragmentasi, selain itu juga perendahan rasio dan politisasi diskursus—semua gagasan ini menunggu penemuannya kembali pada akhir abad ke-20.



Nietzsche juga sudah diakui para pengikutnya sebagai penulis paling



Y



bergaya yang sulit ditandingi dan perspektivismenya telah bergema kuat pada perubahan peranti kesusastraan—dalam humor, ironi, pelebih-lebihan, aforisma, penghayatan, dialog, parodi—untuk mengeksplorasi kehidupan dan sejarah manusia secara lebih kuat, tajam, mendalam dan kritis. 474 Warna pengaruh filsafatnya bukan hanya berpengaruh pada filsuf-filsuf besar seperti Karl Jaspers, Martin Heidegger, Michel Foucault, dan Jacques Derrida dari 473 474



Ibid., hlm. 205-206. Blackburn, Kamus Filsafat, hlm. 603. 343



wilayah Barat, tapi juga bergema pada sosok pujangga sekaligus filsuf besar muslim asal Pakistan: Muhammad Iqbal. 475



Y



M



M



U



D 475



Lihat dalam St. Sunardi, Nietzsche, hlm. 177-258. 344



DAFTAR PUSTAKA Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2006. Aiken, Henry D. Abad Ideologi. Yogyakarta: Relief, 2010. Armstrong, Karen. A History of God. London: Vintage Books, 2001. As-Sarraj, Abu Nashr. Al-Luma. Terj. Wasmukan & Samson Rahman. Surabaya: Risalah Gusti, 2002. Ayer, Alfred J. Language, Truth, and Logic. New York: Dover, 1952. Abidin, Zainal Filsafat Manusia. Bandung: Rosdakarya: 2003. Blackburn, Simon. Kamus Filsafat. Terj. Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka



D



Pelajar, 2013.



Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.



U



Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.



________. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.



M



________. Filsafat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia, 2001. ________. Panorama Filsafat Modern . Jakarta: Teraju, 2005. Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban. Terj. Thoyibi. Yogyakarta: Bentang,



M



2000.



________. Jaring-Jaring Kehidupan. Terj. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002.



Jalasutra, 2007.



Y



________. The Hidden Connections. Terj. Andya Primanda. Yogyakarta:



________. The Tao of Physics. Terj. Aufiya Ilhamal Hafizh. Yogyakarta: Jalasutra, 2000. Copleston, Frederick. A History of Philosophy. Volume 1. London: Burns Oates & Washbourne, 1958. __________. A History of Philosophy. Volume 7. Logical Positivism and Existentialism. London: Burns and Oates Limited, 2003. Durant, Will. The Story of Philosophy. New York: Simon and Schuster, 1961.



345



Elster, John. Karl Marx. Terj. Sudarmaji. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000. Frost, S. E. Basic Teaching of The Great Philosophers. New York: Anchor Books, 1989. Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Jakarta, 1997. Goleman, Daniel. Working With Emotional Intelligence. New York: A Bantam Books, 1999. ________. Emotional Intelligence. New York: A Bantam Books, 1999. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.



D



Hadi, P. Hardono. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.



Hadiwijoyo, Harun Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius,2005.



U



________. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.



M



________. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Buku Baik, 2004. Hawton, Hector. Filsafat yang Menghibur. Terj. Supriyanto Abdullah. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.



Bandung: Mizan, 2004.



M



Haught, John F. Perjumpaan Sains dan Agama. Terj. Fransiskus Borgias.



Heidegger, Martin. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. New York: State University of New York Press, 1996.



Y



Heriyanto, Husain. Paradigma Holistik. Jakarta: Teraju, 2003.



Hitchcock, Louise A. Theory for Classics. USA: Routledge, 2008. Hidayat, Komaruddin. Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008



________. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2003. Hidayat Komaruddin dan Muhamad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Hill, Napoleon. Think and Grow Rich. New York: Ballantine Books, 1983. Hunnex, Milton D. Peta Filsafat. Terj. Zubair. Jakarta: Teraju, 2004.



346



Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Terj. Ali Audah dkk. Yogyakarta: Jalasutra, 2002. James, William. The Varieties of Religious Experience.



New York:



Touchstone Rockefeller, 1997. Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial. Terj. Achmad Fedyani Saifudin. Jakarta: Obor, 2009. Kaelan.



Metode



Penelitian



Kualitatif



Bidang



Filsafat.



Yogyakarta:



Paradigma, 2005. Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu. Bandung: Mizan, 2005. ________. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.



D



Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Terj, Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.



Kenny, Anthony. A Brief History of Western Philosophy. United Kingdom:



U



Blackwell Publishing, 2006. ________. Western Philosophy. USA: Blackwell Publishing, 2006.



M



Law,Stephen. The Great Philosophers. London: Quercus: 2007. Levine, Peter. Beyond Good and Evil. New York: Cambridge University Press, 2002.



Pustaka Pelajar, 2004.



M



Marcuse, Herbert. Rasio & Revolus. Terj. Imam Bauhaqie. Yogyakarta:



Magee, Bryan. Memorar Seorang Filosof. Terj. Eko Prasetyo. Bandung: Mizan, 2005.



Y



________. The Great Philosophers. New Yor: Oxford University Press, 1987. Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997.



________. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000. ________. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 2001.



Misbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Terj. Musa Kazhim dan Saleh Bagir. Bandung: Mizan, 2003. Mills, Wright. Kaum Marxis. Terj. Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.



347



Morris Weitz (ed.). Twentieth-Century Philosophy: The Analytic Tradition. New York: Free Press, 1966. Muzairi. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Nizami. Layla Majnun. Terj. Sholeh Gisymar. Yogayakarta: Navila, 2006. Nietzsche, Friedrich. Senjakala Berhala dan Anti-Kris. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002. ________. Ecco Homo. Terj. Omi Intan Naomi. Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2005. ________. Zarathustra. Terj. H.B. Jassin. Yogyakarta: Jejak, 2001.



D



__________. Beyond Good and Evil. New York: Cambridge University Press, 2002.



Palmquis, Stephen. Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007.



U



Pojman, Louis P. Philosophy The Pursuit of Wisdom. Amerika: Wadsworth Publishing Company, 1998.



M



Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat &Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003. Prasetyo, Emanuel. Tema-Tema Eksistensialisme. Surabaya: Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2014.



M



Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Serambi, 2006. Ramly, Andy Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LkiS, 2000.



Roswantoro, Alim. Menjadi Diri Sendiri Dalam Ekstensialisme religius Soren



Y



Kierkegaard. Yogyakarta: Idea Press, 2008. ___________.



Tuhan Dan Kebebasan Manusia Dalam Eksistensialisme



Ateistik. Yogyakarta: Idea Press, 2008.



___________. Muhammad Iqbal. Yogyakarta: Idea Press, 2009. Roth, John K. Persoalan-persoalan Filsafat Agama. Terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Ridling, Zaine. Philosophy Than and Now. New York: Access Foundation, 2001



348



Ritzer, George. Modern Sociological Theory. Amerika: Mc Graw-Hill, 2000. ________. Classical Sociological Theory. America: McGraw Hill, 2000. ________. Teori Sosiologi. Terj. Saut Pasaribu, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Rolston III, Holmes. Science and Religion A Critical Survey. New York: Random House, 1987. Russell, Bertrand. Berpikir Ala Filsuf.



Terj. Basuki Heri Winarno.



Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002. ________. History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin LTD, 1975.



D



________. Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.



Sarup, Madan. Postrukturalisme & Posmodernisme. Bandung: Jalasutra,



U



2008.



Sartre, Jean Paul. Eksistensialime dan Humanisme. Terj. Yudhi Murtanto.



M



Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.



________. Filsafat Eksistensialisme. R. Sani Wibowo, dkk (ed.). Yogyakarya: Kanisius, 2011.



Gusti, 2000.



M



Shah, Idries. Mahkota Sufi. Terj. Hidayatullah & Roudlon. Surabaya: Risalah



Stokes, Philip. Philosophy 100 Essential Thinker. New York: Enchanted Lion Books, 2003.



Y



Sudarminta, J. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 2002.



Suriasumantri, Jujun S. (ed). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Obor Indonesia, 2009.



Sutrisno, Mudji. Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan. Yogyakarta: Galangpress, 2010. ________.



dan Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:



Kanisius, 2005. Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 1996.



349



Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. ________. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005. ________. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 2001. ________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: Rosda Karya, 2004. Tjaya, Thomas Hidya. Kierkegaard. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004. Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terj. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Tuner, Bryan S. (ed). Teori Sosial Dari Klasik sampai Postmodern. Terj.E.



D



setiyawati A dan Roh Shufiyati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009



Van De Weyer, Robert. 366 Reading from Islam. Mumbai: Jaico Publishing, 2003.



U



Velasquez, Manuel. Philosophy A Text With Reading. New York: Wadsworth Publishing Company, 1999.



Baca, 2007.



M



Vincent Peale, Norman. Change Now. Terj. Teguh W. Utomo. Yogyakarta:



Watloly, Aholiab. Sosio Epistemologi. Yogyakarta: Kanisius, 2013.



M



Wibowo, A. Setyo, dkk. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2009. ______. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Yusuf Lubis, Akhyar. Paul Feyerabend. Jakarta: Teraju, 2003. Zaprulkhan, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.



Y



________. Sakit Yang Menyembuhkan. Bandung: Mizan, 2008. Sumber internet:



http://www.public.asu.edu/~jmlynch/273/documents/sartre-existentialismsquashed.pdf,hlm 2. Diakses pada Mei 2017.



350



BIOGRAFI PENULIS Dr. Zaprulkhan, S.Sos.I, M.S.I adalah putra keempat di antara enam bersaudara dari pasangan Khan Muhammad dan Zahra. Ia lahir di Gisting, Lampung pada 27 Mei 1976. Ia merupakan santri alumni pesantren Mahir Arriyadl Ringin Agung, Kepung, Pare Kediri, Jawa Timur selama tujuh tahun dari tahun 1992-1999. Dalam pesantren yang sangat menanamkan kemandirian dan kesahajaan ini, ia mendalami wacana-wacana tasawuf di bawah bimbingan seorang kyai yang sangat berkompeten dalam bidang tasawuf, Kyai Zaed Abdul Hamid. Selama tahun 2000, kira-kira selama sepuluh bulan, ia mengikuti pula pelajaran Bahasa Inggris di Mahesa Institute,



D



Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia menyelesaikan Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam



U



(SI) Fak Dakwah IAIN Raden Fatah pada tahun 2005 dengan Yudisium Cumlaude. Pada tahun yang sama, ia langsung melanjutkan Studi Program Magister (S2) pada Program Studi Agama dan Filsafat dengan Jurusan



M



Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan tamat pada awal Maret tahun 2007 sebagai wisudawan teladan Terbaik Tercepat yang ditempuh tepat delapan belas bulan atau setahun setengah. Dan pada tahun yang sama



M



pula langsung menempuh Program Doktor (S3) di almamater yang sama dan selesai pada bulan Juli 2011. Sejak awal Januari tahun 2009, ia menjadi dosen di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.



Y



Ada sejumlah seminar dan pelatihan yang telah penulis ikuti sewaktu masih menjadi mahasiswa, baik ketika SI, S2 atau pun setelah rampung S3 hingga sekarang. Setelah menjadi Dosen, ia pernah menjadi Nara Sumber/Pembicara dalam beberapa seminar internasional seperti: 



Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium: "Peace in Islam: Said Nursi's Thought on Social Harmony, Education, and Revivalism" di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia, 2009.



351







Sebagai Nara Sumber dalam International Conference: "Rethinking Islamic Education and Islamic (Their Contribution to Social Harmony)” di Bangka-Indonesia, 2009.







Sebagai Nara Sumber dalam The International Symposium: “Character Building in Achieving National Education Goal” di Bangka-Indonesia, 2013.







Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium: “The Role and Place of Prophethood in Humanity’s Journey to the Truth: The Perspective of the RISALE-I NUR” di Istambul-Turki. 2013.







Sebagai Nara Sumber dalam International Symposium “The Attainment



D



of Justice, Prosperity, And Peace In Pluralism For Revitalization of Civilization: The The Risale-I Nur Perspective” di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-Indonesia, 2014.



U







Sebagai Nara Sumber dalam Annual International Conference on Islamic



Studies



(AICIS):



“Harmony



in



Diversity:



Promating



M



Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religioys Life” ke-15 di Manado, Sulawesi Utara-Indonesia, 2015. 



Sebagai Nara Sumber dalam The16th Annual International Conference



M



on Islamic Studies (AICIS): “The Contribution Of Indonesian Islam To The World Civilization” State Institute of Islamic Studies (IAIN) Raden Intan Lampung-Indonesia, 2016. 



Sebagai Nara Sumber dalam International Conference on Apocalyptical



Y



Theology and Being Relogious in Changing World, State University of Islamic Studies (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017.



Selain itu ada beberapa artikelnya yang telah dipublikasikan dalam beberapa jurnal seperti Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin (Fak Ushuluddin UIN Yogyakarta), Jurnal Mawa’izh Prodi Dakwah STAIN SAS Babel, Jurnal Tawsiah STAIN Syaikh Abdurrhaman Siddik Bangka-Belitung, Jurnal Asy-Syar’iyah STAIN SAS Babel, Jurnal Noura STAIN SAS Babel, Jurnal Scientia STAIN SAS Babel, Jurnal Edugma STAIN SAS Babel, Jurnal



352



Tarbawy STAIN SAS Babel, Jurnal Review Politik (JRP) Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel-Surabaya (2014), Jurnal Episteme Pasca Sarjana, IAIN Tulungagung (2014), Jurnal Wali Songo, IAIN Wali SongoSemarang (Mei, 2014 & Desember, 2015) Jurnal Teologia, IAIN Wali SongoSemarang (Juli-Desember 2013), Jurnal Kalam, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung (Agustus-September 2013), Jurnal Analisis, IAIN Raden Intan Lampung (Juni 2014), Jurnal Farabi, IAIN Gorontalo (Juni 2015), Jurnal al-Tahrir, STAIN Ponorogo (Desember 2015), dan juga surat kabar, Harian Sumatera Ekspres (Palembang), Harian Bangka Pos dan Babel Pos (Bangka-Belitung).



D



Sementara itu, ia juga telah menulis kurang lebih dua puluh lima karya



dalam bentuk Buku yang di antaranya adalah: 1. Renungan-Renungan Ramadhan



(Global Pustaka Utama tahun



U



2003),



2. Kisah-Kisah Penuh Hikmah Yang Sanggup Menumbuhkan IQ, SQ,



M



dan EQ (Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2006), 3. Puasa Ramadhan Sebagai Terapi Pencerahan Spiritual (Jakarta: Hikmah, 2007),



M



4. Kado Pernikahan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), 5. Sakit Yang Menyembuhkan (Bandung: Mizania, 2008), 6. Misteri Rakusnya Nabi Sulaiman (Jakarta: Sejuk, 2009), 7. Mewarisi Kearifan Pujangga Sufi (Yogyakarta: Idea Press, 2011).



Y



8. Spirit of Success And Meaningful Life (Yogyakarta: Idea Press, 2012).



9. Filsafat Umum: Sebuah Pendekatan Tematis, cet-2, (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2013). 10. Kisah-Kisah Sufistik: Membingkai Makna Hidup Melalui KisahKisah Sufistik (Yogyakarta: Idea Press, 2013). 11. Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematis (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2014)



353



12. Merenda Wajah Islam Humanis (Yogyakarta: Idea Press, 2014) 13. Pernikahan Sakral (Yogyakarta: Idea Press, 2015) 14. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2015) 15. Mukjizat Puasa (Jakarta: Quanta EMK, 2015) 16. Pencerahan Sufistik (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2015) 17. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: Rajawali Grafindo, Januari, 2016) 18. Hikmah Sakit: Mereguk Kasih Sayang Ilahi Badiuzzaman Said Nursi (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2016)



D



19. Belajar Kearifan Hidup Bersama Jalaluddin Rumi dan Sa’di Syirazi (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2016)



20. Kesuksesan Autentik (PT. Elex Media Komputindo, Gramedia, 2016)



U



21. Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan (Jakarta: Quanta EMK, Gramedia, 2017)



M



22. Signifikansi Epistemologi Pembacaan Hermeneutis Ali Harb (Yogyakarta: Idea Press, 2017)



23. Rekonstruksi Paradigma Fiqih Moderat Dalam Perspektif Jamal al-



Antology books:



M



Banna (Yogyakarta: Idea Press, 2017)



1. Arah Baru Studi Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2008),



Y



2. Pernak Pernik Wacana Baru Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2010), 3. Panorama Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2010)



4. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2011) 5. Merawat Nusantara (Malang: Genius Media, 2017) 6. Pendidikan Karakter: Strategi dan Aksi (Malang: Genius Media, 2017). e-mail: [email protected] / HP: 0813-6737-1535.



354