E. Pendekatan Dan Metodologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

USULAN TEKNIS – E



E



PENDEKATAN DAN METODOLOGI E.1



PENDEKATAN



E.1.1 Pemahaman RDTR Pemahaman terhadap pekerjaan membahas pemahaman terhadap Kerangka Acuan Kerja (KAK) terutama terkait dengan tujuan pekerjaan, lingkup dan jasa konsultasi yang diperlukan, pemahaman terhadap substansi pekerjaan, dan pemahaman terhadap wilayah studi. 1)



Pemahaman terhadap Penataan Ruang



Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan: 1.



Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan;



2.



Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan



3.



Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.



Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama.



E-1



USULAN TEKNIS – E Hal itu berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan sub-blok peruntukan.



Penyusunan



rencana



rinci



tersebut



dimaksudkan



sebagai



operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.



Gambar E.1 Hirarki Produk Perencanaan Tata Ruang



E-2



USULAN TEKNIS – E Pelaksanaan penataan ruang mencakup: 1.



Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.



2.



Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.



3.



Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.



PEMANFAATAN RUANG MENJADI MASUKAN DALAM SINKRONISASI DAN HARMONISASI PROGRAM PRIORITAS



MENJADI MASUKAN DALAM EVALUASI & REVISI RENCANA TATA RUANG



PERENCANAAN TATA RUANG



PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG



Gambar E.2 Proses Penataan Ruang



Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Keluaran dari penyusunan rencana tata ruang adalah Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang. Proses penyusunan rencana tata ruang dilakukan melalui tahapan: 1.



Persiapan penyusunan rencana tata ruang; E-3



USULAN TEKNIS – E 2.



Pengumpulan data;



3.



Pengolahan dan analisis data;



4.



Perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan



5.



Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang.



Dalam merumuskan konsepsi rencana dalam penyusunan rencana tata ruang, harus diperhatikan: 1.



Perkembangan permasalahan regional/ global/ nasional/ provinsi serta hasil pengkajian implikasinya terhadap penataan ruang;



2.



Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;



3.



Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;



4.



Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;



5.



Rencana Tata Ruang yang sudah ada.



Hal-hal yang dijadikan sebagai acuan merumuskan konsepsi rencana dalam penyusunan rencana tata ruang adalah: 1.



Kebijakan Penataan Ruang yang sudah ada dalam berbagai tingkatan, seperti RTRWN / RTR Pulau/Kepulauan / RTRWP / RTRW Kab/Kota;



2.



Kebijakan Pembangunan Nasional/Daerah, seperti RPJPN / RPJMN / RPJPD Prov./ RPJPMD Prov. / RPJPD Kab/Kota, RPJMD Kab/Kota;



3.



NSPK Penataan Ruang.



Lebih jelasnya hal-hal yang harus diperhatikan dan harus dijaikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel E.1 Hal-Hal yang harus Diperhatikan dan Dijadikan Acuan Perumusan Konsepsi Rencana dalam Penyusunan RTR JENIS RENCANA RTRW Nasional



MENGACU PADA



MEMPERHATIKAN a) Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; b) Perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; c) Upaya pemerataan pembangunan dan



E-4



USULAN TEKNIS – E JENIS RENCANA



MENGACU PADA



MEMPERHATIKAN pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; d) Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; e) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; f) RPJP Nasional; g) RPJM Nasional; h) RTR Pulau/Kepulauan; i) RTR KS-Nasional; j) RTRW Provinsi dan RTRW Kab/Kota.



RTR Pulau/



a) RTRW Nasional;



Kepulauan



b) NSPK Penataan Ruang.



a) RTRW Provinsi yang menjadi bagian dari pulau/kepulauan; b) RPJP Nasional; c) RPJM Nasional; d) RPJPD Provinsi; e) RPJMD Provinsi yang menjadi bagian pulau/kepulauan.



RTR KS-Nasional a) RTRW Nasional; b) NSPK Penataan Ruang.



a) RTRW Provinsi yang menjadi bagian dari pulau/kepulauan; b) RPJP Nasional; c) RPJM Nasional; d) RPJPD Provinsi; e) RPJMD Provinsi yang menjadi bagian pulau/kepulauan.



RTRW Provinsi



a) RTRW Nasional;



a) Perkembangan permasalahan nasional



b) NSPK Penataan Ruang;



dan hasil pengkajian implikasi



c) RPJPD Provinsi yang



penataan ruang provinsi;



bersangkutan.



b) Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi; c) Keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota; d) Daya dukung dan daya tampung



E-5



USULAN TEKNIS – E JENIS RENCANA



MENGACU PADA



MEMPERHATIKAN lingkungan hidup; e) RTRW Provinsi yang berbatasan; f) RTR KS-Provinsi; g) RTRW Kab/Kota.



RTR KS-Provinsi



a) RTRW Provinsi; b) NSPK Penataan Ruang



a) RTRW Kab/Kota yang menjadi bagian dari KS-Provinsi atau dimana KSProvinsi terletak; b) RPJP Nasional; c) RPJM Nasional; d) RPJPD Provinsi; e) RPJMD Provinsi.



RTRW Kabupaten a) RTRW Nasional dan RTRW Provinsi; b) NSPK Penataan Ruang;



a) Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;



c) RPJPD Kabupaten yang b) Upaya pemerataan pembangunan dan bersangkutan.



pertumbuhan ekonomi kabupaten; c) Keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten; d) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; e) RTRW Kabupaten yang berbatasan; f) RTR KS-Kabupaten.



RTRW Kota



a) RTRW Nasional dan RTRW Provinsi; b) NSPK Penataan Ruang; c) RPJPD Kota yang bersangkutan.



a) Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota; b) Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kota; c) Keselarasan aspirasi pembangunan kota; d) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; e) RTRW Kabupaten/Kota yang berbatasan;



E-6



USULAN TEKNIS – E JENIS RENCANA



MENGACU PADA



MEMPERHATIKAN f) RTR KS-Kota.



RTR KS-Kab/Kota a) RTRW Kab/Kota;



a) RTRW Kab/Kota yang menjadi bagian



b) NSPK Penataan Ruang.



dari KS-Kabupaten atau dimana KSKabupaten terletak; b) RPJPD Provinsi; c) RPJMD Provinsi; d) RPJPD Kab/Kota; e) RPJMD Kab/Kota.



RDTR Kab/Kota



a) RTRW Kab/Kota;



a) RPJPD Kab/Kota;



b) NSPK Penataan Ruang. b) RPJMD Kab/Kota. Sumber: PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang



Proses selanjutnya setelah rencana tata ruang disusun adalah menetapkan produk perencanaan tersebut menjadi produk hukum dalam bentuk: 1.



Peraturan Pemerintah (untuk RTRWN)



2.



Peraturan Presiden (untuk RTR Pulau dan Kepulauan, dan RTR KSN)



3.



Peraturan Daerah Provinsi (untuk RTRW Provinsi dan KSP)



4.



Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (untuk RTRW Kab/Kota, RDTR Kab/ Kota, dan KS Kab/Kota).



E-7



USULAN TEKNIS – E MEMPERHATIKAN: • Perkembangan permasalahan regional/ global/nasional/provinsi serta hasil pengkajian implikasinya terhadap penataan ruang; • Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; • Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; • Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; • Rencana Tata Ruang yg sudah ada.



MENGACU PADA: • Kebijakan Penataan Ruang (RTRWN / RTR Pulau/Kepulauan / RTRWP / RTRW Kab/Kota); • Kebijakan Pembangunan Nasion/Daerah (RPJPN / RPJMN / RPJPD Prov./ RPJPMD Prov. / RPJPD Kab/Kota, RPJMD Kab/ Kota); • NSPK Penataan Ruang.



PENETAPAN Rencana Tata Ruang



PENYUSUNAN Rencana Tata Ruang



PERENCANAAN TATA RUANG



• Struktur Ruang • Pola Ruang



• • • • • • • •



RTRWN RTR KSN RTR Pulau/Kep RTRWP RTR KSP RTRW Kab/Kota RDTR Kab/Kota RTR KSK



• • • •



PP Perpres Perda Provinsi Perda Kab/Kota



PEMANFAATAN RUANG



Gambar E.3 Proses Pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang



2)



Pemahaman terhadap Perencanaan Tata Ruang



Hal-hal terkait dengan perencanaan tata ruang dibahas sebagai berikut. 1.



Pengertian Perencanaan Pada awalnya istilah "plan" atau rencana selalu diasosiasikan dengan segala sesuatu yang merupakan produk arsitek atau insinyur. Wujudnya dalam bentuk gambar atau peta. Rencana pada masa ini merupakan suatu hasil yang sifatnya statis. Walaupun produk akhirnya merupakan sesuatu yang dinamis, mobil misalnya, sekali mobil itu dibuat merupakan suatu produk yang tetap seperti itu. Dalam perkembangan selanjutnya, planning atau perencanaan kemudian dikaitkan



dengan upaya merumuskan keinginan dan cita-cita manusia dalam arti yang lebih luas. Sebagai makhluk yang dinamis, pengertian perencanaan terus berkembang. Pada masa kini, perencanaan mengandung pengertian adanya suatu rangkaian yang terus menerus secara berkesinambungan. Hal ini karena berkaitan dengan upaya



E-8



USULAN TEKNIS – E merumuskan keinginan dan cita-cita di masa mendatang bagi manusia yang mempunyai ciri tersebut. Perencanaan merupakan suatu hasil rangkaian kerja untuk merumuskan sesuatu yang didasari oleh suatu pola tindakan yang defenitif, yang menurut pertimbangan secara sistematis akan membawa keuntungan, tetapi dengan anggapan bahwa akan ada tindakan-tindakan selanjutnya yang akan merupakan rangkaian kegiatan sistematis lainnya (Prof. Djoko Sujarto, 1995). Dengan kata lain, tindakan yang semula dirumuskan, masih bersifat terbuka bagi kemungkinan adanya pilihan cara tindakan lain dan bahkan tindakan yang telah dirumuskan semula, masih mungkin disesuaikan apabila dianggap kurang menguntungkan pada saat tertentu lainnya. Terminologi perencanaan (planning) selalu dikaitkan dengan peran-cangan (design). Perencanaan berlingkup luas-makro, sedangkan perancangan merupakan bagian dari perencanaan; berlingkup mikro. Lingkup pengertian ini (walaupun belum baku) berkaitan dengan pengertian semantik dan bahasanya. Perancangan merupakan produk perumusan keinginan atau cita-cita masa mendatang yang lebih terbatas - mikro. Rencana adalah produk dari suatu kegiatan perencanaan yang merupakan pedoman dan arahan untuk mencapai keinginan atau cita-cita yang sasaran dan jangkauannya telah didefiniskan terlebih dahulu. Rencana merupakan rumusan-rumusan keinginan atau cita-cita yang lingkupnya menyeluruh dan luas. Rancangan merupakan produk dari kegiatan perancangan (designing) yaitu berupa upaya tindak lanjut, penjabaran, dan rincian dari produk perencanaan terdahulu. Rancangan A PROSES PERENCANA



RENCANA



PROSES PERANCANGA N



Rancangan B Rancangan C



Gambar E.4 Proses Perencanaan dan Perancangan



2.



Unsur-unsur Perencanaan Berdasarkan



paparan



sebelumnya,



spektrum



pengertian



dan



makna



perencanaan atau planning mempunyai sangat luas. Perencanaan mempunyai arti dan makna mulai dari kehidupan individu, kehidupan keluarga, kehidupan kelompok masyarakat sampai kepada lingkup masyarakat yang lebih luas seperti kota, wilayah, negara dan bahkan antar negara.



E-9



USULAN TEKNIS – E Arti dan makna planning tergantung pada sudut pandang dan masalah yang bersangkutan. Tetapi dari sudut pandang manapun perencanaan (planning) didefinisikan, terdapat unsur-unsur yang memberikan arti dan makna yang sama yaitu merumuskan cita-cita dan keinginan yang lebih baik atau lebih berkembang di masa mendatang. Unsur-unsur yang terkandung dalam perencanaan adalah (Prof. Djoko Sujarto, 1995): a.



Unsur keinginan, cita-cita;



b.



Unsur tujuan dan motivasi;



c.



Unsur sumber daya (alam, manusia, modal dan informasi);



d.



Unsur upaya hasil guna dan daya guna;



e.



Unsur ruang dan waktu.



Faktor waktu di dalam perencanaan dikenal masa lampau, masa kini dan masa mendatang. Upaya mencapai cita-cita di masa mendatang yang lebih baik, selain mempertimbangkan apa yang dibutuhkan di masa mendatang juga melihat pengalaman dan kecenderungan yang berkembang sejak lalu. Hal ini tidak lain karena adanya dinamika masyarakat yang rangkaiannya bersifat bersinambungan.



Dalam



mempetimbangkan



upaya



peningkatan



masa



mendatang, maka pengalaman masa lalu akan menjadi bahan pertimbangan pula untuk menghindari kesalahan. Perencanaan sebagai upaya mencapai cita-cita masa depan yang lebih baik, terkandung pula upaya yang didasari suatu peramalan atau ekspektasi. Perencanaan merupakan proyeksi ke masa depan. Dalam proyeksi ini terkandung pengertian meningkapkan, memperbesar, memperbaiki atau bahkan memperkecil, menurunkan dan mengurangi demi tercapainya keadaan yang lebih baik. Upaya pembesar atau perkecilan ini perlu dilandasi oleh pertimbangan yang obyektif, efisiensi dan efektif.



E-10



USULAN TEKNIS – E



Jalur



Keinginan, Cita-cita



KEADAAN MASA LALU



KEADAAN MASA KINI



KEDAAN MASA



DIMENSI WAKTU



Gambar E.5 Unsur-Unsur Perencanaan



3.



Konsep Dasar Tata Ruang Tata ruang mempunyai kaitan pengertian dengan kata spatial, yang berarti sebagai segala sesuatu yang mempunyai kaitan dengan keruangan. Pandangan para pakar mengenai wawasan pengertian tata ruang terkait dengan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah menyelenggarakan kehidupan. Annos Raporport misalnya, menekankan bahwa tata ruang merupakan lingkungan fisik, yang terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu. Pakar lain, Larry Witzling sudah lebih jauh memberikan arti tata ruang, sebagai sesuatu yang berupa hasil perencanaan fisik. Ia menekankan bahwa di dalam tata ruang terdapat suatu distribusi dari tindakan manusia dan kegiatannya



untuk



mencapai



tujuan



sebagaimana



yang



dirumuskan



sebelumnya. Tata ruang dalam hal ini merupakan jabaran dari suatu produk perencanaan fisik. Dalam pandangan yang berbeda, I Made Sandy mengatakan penataan ruang baru bisa ada, setelah tanah peruntukan dikuasai oleh calon yang akan menggunakan tanah itu untuk proyek. Jadi ruang sama artinya dengan tanah. Dengan menganggap ruang sebagai genus dan tanah sebagai species, maka yang bisa di tata adalah "tanah" bukan "ruang". Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang tidak selalu berkonotasi sesuatu yang sudah berencana. Tata ruang diartikan sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Pengertian wujud struktural dan pemanfaatan ruang ini menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Adapun rencana tata ruang itu E-11



USULAN TEKNIS – E sendiri, diartikan sebagai hasil perencanaan tata ruang, berupa strategi dan arahan kebijaksanaan dan memperuntukan (alokasi) pemanfaatan ruang yang secara struktural menggambarkan ikatan fungsi lokasi yang terpadu bagi berbagai kegiatan. Berdasarkan hal-hal di atas, menurut Prof. Djoko Sujarto, ruang dalam artian segala sesuatu yang berkaitan dengan wawasan ruang di bumi (jagad raya) ini adalah semua bagian bumi yang dimulai dari titik pusat bumi, yang mengandung berbagai potensi sumber daya alam, air, dan lain-lain. Permukaan bumi dengan berbagai cara pemanfaatan dan penggunaan lahan, pemanfaatan kemampuan berproduksinya lahan, kemungkinan pemanfaatan nilai strategis lahan dan air serta manfaatnya serta bagian di atas bumi, yaitu angkasa dengan berbagai potensi cara pemanfaatannya dan masalahnya. Kesemua ini dalam upaya penataan ruang (spatial planning) perlu diatur demi menjaga agar segala pemanfaatannya dapat efisien dan efektif.



4.



Perencanaan Tata Ruang Ruang sebagai salah-satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas wilayah, akan tetapi apabila ruang dikaitkan dengan kegiatan pengaturan, maka batasbatas, fungsi dan sistem ruang dalam satu kesatuan haruslah jelas. Disadari bahwa ketersediaan ruang tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat ruang yang akan berakibat pada penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Tata ruang dan lingkungan hidup mengandung arti yang sangat luas, tetapi sekaligus seringkali mempunyai konotasi yang sempit, yang terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata. Pada dasarnya lingkungan memang mencerminkan serangkaian hubungan antara unsur-unsur pembentuknya dengan



manusia



sebagai



penghuninya.



Hubungan-hubungan



tersebut



menunjukkan keteraturan, memiliki suatu pola, berstruktur dan tidak hanya sekedar rakitan dari unsur-unsurnya secara acak. Suatu lingkungan kehidupan



E-12



USULAN TEKNIS – E merupakan wadah keterkaitan serta wadah bagi interaksi kegiatan manusia dan unsur fisik alam. Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya, serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan sub sistem, yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya. Pengelolaan sub sistem yang satu akan berpengaruh terhadap sub sistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Cara penataan ruang dapat mencerminkan watak, pola kehidupan dan tujuan kehidupan



pada



suatu



lingkungan,



nilai-nilai



kehidupannya,



bahkan



kebudayaan masyarakatnya. Penataan ruang dalam suatu lingkungan dapat memberikan kesan adanya pengorganisasian waktu (bersifat temporal). Penataan ruang juga dapat mencerminkan pola pengaturan komunikasi. Pola tersebut menunjukkan siapa yang saling berhubungan; dalam lingkup apa hubungan itu terjadi; dan dalam hal yang bagaimana. Dengan pola semacam itu tampak pula penataan sosial diterapkan, dan dengan apa/bagaimana kelompok sosial dihubungkan. Dapat dikatakan bahwa fungsi penataan ruang suatu lingkungan, baik dalam skala kecil, kota maupun wilayah, sangatlah penting. Jika hal tersebut tidak dipertimbangkan dengan baik untuk masa mendatang, maka hal itu dapat menimbulkan kerugian atau dampak negatif terhadap lingkungan. Kota/kabupaten pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari budaya (yang diistilahkan oleh Rapoport dengan cultural landscape) dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan dan kepribadian. Oleh karena itu, hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat yang ada (dalam suatu kota/ kabupaten) dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang dianut terhadap penataan dan bentuk kota/daerah. Kondisi paling rumit dan kompleks ditemui dalam lingkup wilayah perkotaan (metropolitan). Penataan ruang merupakan suatu kegiatan yang cukup rumit dan pelik, karena menyangkut benturan antara pendekatan-pendekatan teknokratik, komersial dan humanis. Pertanyaannya adalah untuk melayani siapakah sebetulnya tata E-13



USULAN TEKNIS – E ruang dan lingkungan hidup itu, dan bagaimana cara yang paling optimal untuk pengelolaannya.



Kerumitan



lainnya



adalah



berkaitan



dengan



proses



perkembangan kota yang tidak statis, melainkan selalu dinamis dari waktu ke waktu. Penduduk selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah untuk diprediksikan. Oleh karena itu pola tata ruang yang terlalu ketat dan kaku tidak mungkin dapat merespon dengan baik perubahan-perubahan yang terjadi tersebut.



5.



Prinsip Dasar Perencanaan Tata Ruang Prinsip dasar dalam perencanaan meliputi hal-hal sebagai berikut: a.



Pengumpulan dan penggunaan informasi untuk menggambarkan keadaan kota dan wilayah (misal : fungsi kota yang ditunjukkan oleh hubungan antarelemen primer dalam kota yang bersangkutan) serta kecenderungan yang dapat diproyeksikan ke masa depan sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindakan;



b.



Pengalokasian sumber daya yang tersedia bagi kebutuhan yang beragam;



c.



Kesadaran terhadap keterkaitan antara perubahan alamiah, perubahan manusiawi dan perubahan artifisial (sengaja dibuat). Kesadaran demikian seyogyanya melandasi setiap langkah dan pengambilan setiap keputusan dalam proses perencanaan;



d.



Perencanaan merupakan proses yang terus menerus, karena tujuan perencanaan merupakan variabel yang berkembang secara kondisi-onal. Dengan demikian rencana dan perencanaan merupakan suatu proses yang berkelanjutan;



e.



Rencana membutuhkan umpan balik, yaitu mengkaitkan rencana dengan hasil pelaksanaannya;



f.



Dalam perencanaan, ketidakpastian (uncertainty), resiko dan ketidakjelasan merupakan kondisi yang selalu dihadapi;



g.



Rencana harus bersifat lentur (flexible) untuk menampung setiap perubahan yang terjadi;



h.



Perencanaan dihadapkan pula pada keadaan pasang surut, sehingga harus dapat mengantisipasi kebutuhan pada periode puncak (peak period) maupun periode surut (off-peak period); E-14



USULAN TEKNIS – E i.



Dalam perencanaan diperlukan pemikiran tentang urutan waktu dan prioritas;



j.



Wilayah cakupan (scope), kewenangan dan areal merupakan faktor utama dalam perencanaan.



6.



Pendekatan Perencanaan Tata Ruang Berdasarkan paparan sebelumnya, spektrum makna dan arti perencanaan amat luas karena kedinamisan masyarakat. Karena variabilitas yang tinggi dalam mencapai tujuan perencanaan, ada beberapa pendekatan yang berbeda-beda dalam perencanaan. Tidak ada satupun pendekatan ini lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Setiap pendekatan dapat dikatakan lebih tepat (jauh lebih memadai) hanya dalam suatu keadaan tertentu. Jika sasaran dan tujuan akhir sudah digariskan dengan jelas dan dipahami dengan baik, perencanaan dapat menggunakan satu model yang benar-benar rasional. Di dalamnya terdapat empat langkah pengambilan keputusan, yaitu: a.



Menganalisis sistem dan masalahnya;



b.



Mendefinisikan alternatif penyelesaian utama terhadap masalah tersebut;



c.



Mengevaluasi konsekunsi-konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap penyelesaian yang dibuat;



d.



Memberikan alternatif terbaik berdasarkan kaitan dengan tujuan yang hendak dicapai.



Secara khusus, bentuk perencanaan ini memberikan penekanan kuat pada teknik pengumpulan data, pengukuran dan analisis. Diasumsikan semua informasi yang relevan mengenai situasi, dapat ditemukan dan dianalisis untuk pengambilan keputusan. Pendekatan seperti ini sangat bermanfaat dalam perencanaan jika: a.



Semua kondisi diketahui;



b.



Sebagian tujuan telah ditetapkan;



c.



Alat-alat untuk mencapai tujuan telah ditetapkan dan dipahami;



d.



Tersedia cukup waktu untuk menganalisis dalam mencapai/untuk pengambilan keputusan.



E-15



USULAN TEKNIS – E a) Pendekatan



Perencanaan



Rasional



Menyeluruh



(Rational



Comprehensive Approach) Pendekatan perencanaan rasional menyeluruh (rational comprehensive approach) secara konseptual adalah: 1) Pertimbangan perencanaan yang luas; 2) Mencakup berbagai unsur atau subsistem yang membentuk suatu organisme atau sistem secara menyeluruh; 3) Mencakup keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh rangkaian tindakan pelaksanaan serta berbagai pengaruhnya terhadap usaha pengembangan; 4) Produk perencanaan rasional menyeluruh mencakup suatu totalitas dari seluruh aspek tujuan pembangunan; 5) Pendekatan perencanaan rasional menyeluruh ini juga menempat-kan permasalahan



sebagai



suatu



kesatuan



secara



internal



dalam



hubungannya dengan hal-hal eksternal yaitu unsur-unsur dari organisma atau sistem yang berada di luar atau di sekitarnya. Jadi ciri-ciri utama dari suatu pendekatan perencanaan rasional menyeluruh adalah sebagai berikut (Banfield, Meyerson): 1) Dilandasi oleh suatu kebijakan umum yang merumuskan tujuan yang igin dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh; 2) Didasari oleh seperangkat spesifikasi tujuan yang lengkap menyeluruh dan terpadu; 3) Peramalan yang tepat serta ditunjang oleh sistem informasi (masukan data) yang lengkap, andal dan terinci; 4) Peramalan yang diarahkan pada tujuan jangka panjang. Produk perencanaan yang berlandaskan pada pendekatan kompre-hensif seperti



Rencana



Tata



Ruang



Wilayah,



Rencana



Pengembangan



(Development Plan). Di samping itu, tidak berarti bahwa rencana-rencana berskala kecil tidak ada yang berlandaskan pendekatan komprehensif. Rencana berskala kecil yang dilandasi oleh pertimbangan menyeluruh, misalnya perencanaan listrik masuk desa dilandasi pertimbangan sektoral lainnya yang berwawasan menyeluruh.



E-16



USULAN TEKNIS – E b) Pendekatan Perencanaan Terpilah (Incremental Planning Approach) Situasi yang jauh lebih umum adalah bahwa tujuan akhir yang sedang dicari dan alat untuk mencapainya amat tidak pasti. Semua orang setuju menghendaki kota menjadi suatu tempat jauh lebih baik untuk dihuni. Tetapi



sangat



sedikit



yang



dapat



mengatakan



bagaimana



cara



membuatnya. Penghindaran atau pengurangan masalah tertentu anggota masyarakat yang dapat memberikan spesifikasi yang jelas mengenai bagaimana kota yang baik dan amat sedikit mungkin dapat diterima, tetapi bagaimana bentuk tujuan akhir dari sistem sangat tidak jelas. Charles Lindbloom menyatakan bahwa pengambilan keputusan dapat dilakukan dalam keadaan berupa langkah-langkah inkremental yang kecil (pertambahan sedikit demi sedikit), menuju ke masa yang akan datang dan ke arah yang tidak diketahui secara pasti. Lindbloom menyatakan pendekatan ini sebagai inkrementalisme yang terpilah-pilah (disjoint incrementalism). Pernyataan ini didasari bahwa para pengambil keputusan dan perencana secara terus menerus berhadapan dengan berbagai informasi, permintaan, krisis, masalah-masalah jangka pendek dengan dana, waktu dan keahlian yang tidak cukup untuk mengatasinya. Hasilnya merupakan



suatu



antitesis



dari



perencanaan



rasional.



Disjointed



incremental planning approach ini merupakan: 1) Pendekatan ini mengutamakan unsur atau subsistem tertentu sebagai yang perlu diprioritaskan; 2) Jadi, ciri utama suatu produk perencanaan ini adalah: 3) Rencana terpilah tidak perlu ditunjang oleh penelahaan serta evaluasi alternatif rencana secara menyeluruh; 4) Hanya mempertimbangkan bagian-bagian dari kebijakan umum (kalau sudah ada) yang berkaitan langsung dengan unsur atau subsistem yang diprioritaskan; 5) Dengan terbatasnya lingkup perencanaan yaitu pada unsur atau susbsistem tertentu saja maka ada anggapan bahwa pelaksanaannya lebih mudah dan realistik. Produk perencanaan yang berlandaskan pendekatan inkremental seperti suatu rencana khusus, rancangan bangunan dan sekitarnya, rencana E-17



USULAN TEKNIS – E struktur khusus. c) Pendekatan Terpilah yang Menyeluruh (Mix Scanning Planning Approach) Pendekatan perencanaan terpilah berdasarkan pertimbangan menyeluruh (Mix Scanning Planning Approach) ini, melihat potensi yang terkandung pada kedua pendekatan perencanaan terdahulu. Jadi pada hakekatnya, pendekatan ini mengkombinasikan pendekatan rasional menyeluruh dan pendekatan



terpilah



masih



dalam



kadar



lingkup



tertentu,



yaitu



menyederhanakan tinjauan menyeluruh dalam lingkup wawasan sekilas (scan) dan memperdalam tinjauan atas unsur atau subsistem yang strategis dalam kedudukan sistem terhadap permasalahan menyeluruh. Ciri-ciri utama Mix Scanning Planning Approach ini antara lain adalah: 1) Perencanaan mengacu kepada garis kebijakan umum yang ditentukan pada tingkat tinggi; 2) Perencanaan dilatarbelakangi oleh suatu wawasan menyeluruh serta memfokuskan



pendalaman



penelahaan pada



unsur-unsur



atau



subsistem yang diutamakan; 3) Ramalan mendalam tentang unsur-unsur atau subsistem-subsistem yang diprioritaskan dilandasi oleh ramalan sekilas tentang lingkup menyeluruh serta didasarkan kepada wawasan sistem; 4) Perumusan rencana dengan pendekatan ini dinilai sebagai usaha penghematan waktu dan dana dalam lingkup penelahaan, analisis dan proses teknis penyusunan rencana karena adanya penyederhanaan dalam penelahaan dan analisis makronya; 5) Untuk menunjang hasil ramalan dan analisis sekilas maka proses pemantauan, pengumpulan pendapat, komukikasi serta konsultasi dengan masyarakat yang berkepentingan serta dengan pengelola (pemerintah) telah dilakukan secara terus menerus sejak penyusunan perumusan sasaran dan tujuan pembangunan; 6) Masalah



yang



sering



dirisaukan



tentang



produk



pendekatan



perencanaan ini adalah adanya kemungkinan terjadi kemelesetan dari ramalan-ramalan, khususnya yang menyangkut tujuan-tujuan jangka panjang karena hanya ditunjang oleh sistem informasi yang E-18



USULAN TEKNIS – E didasarkan kepada hasil penelahaan sekilas (scanning). Produk perencanaan yang dilandasi oleh pendekatan inkremental yang berkerangka fikir menyeluruh seperti rencana struktur kota, yang dikembangkan di Inggris sejak tahun 1968, Action Plan (rencana tindakan), development plan yaitu rencana lingkup makro yang dilandasi oleh pendekatan strategis. d) Utopianisme Pandangan ini berusaha untuk menghidupkan imajinasi masyarakat dan berusaha memecahkan setiap masalah dengan cara mengusulkan penghapusan pendekatan-pendakatan baru ke dalam sistem organisasi dan operasi. Dalam pendekatan utopian, tujuan biasanya telah dinyatakan dengan pasti dan jelas, meskipun jalan untuk mencapainya tidak terlalu jelas. Slogan Daniel Burnham (perencana dari Chicago); sering digunakan oleh perencana; adalah "jangan sekali-kali membuat perencanaan yang kecil, perencanaan seperti ini sama sekali tidak mempunyai kekuatan gaib untuk memacu hasrat seseorang”. Contoh paling populer dari utopian ini adalah janji Presiden John F. Kennedy untuk mendaratkan seorang Amerika Serikat di bulan pada akhir tahun 60-an. Pernyataan ini memberikan inspirasi berjuta-juta orang untuk menemukan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Beberapa variasi teori perencanaan lainnya sering dikaitkan dengan utopianisme. Teori ini jauh lebih mudah untuk dijelaskan melalui tujuan akhir dari pada penggunaan metode atau perspektif tersebut. Termasuk di dalamnya



adalah



program



perencanaan



yang



berusaha



untuk



mempromosikan lingkungan perumahan yang lebih baik, kota baru, jalur hijau,



pemberantasan



kemiskinan,



redistribusi



penghasilan,



dan



sebagainya.



7.



Ruang Lingkup Perencanaan Tata Ruang Ruang lingkup perencanaan tata ruang terdiri dari lingkup teritorial dan ruang lingkup substantif. Ruang lingkup teritorial akan mencakup luas wilayah/ kawasan perencanaan dari segi perwilayahan, sedangkan ruang lingkup substantif akan mencakup materi yang menjadi sasaran perencanaan. E-19



USULAN TEKNIS – E a.



Ruang Lingkup Teritoral Teritorial pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan batasan wilayah. Beberapa pengertian terminologi mengenai ‘teritori’ dalam perencanaan tata ruang adalah: 1) Wilayah adalah suatu bagian dari permukaan bumi yang teritorialnya ditentukan atas dasar pengertian, batasan dan perwatakan geografis, seperti wilayah aliran sungai, wilayah hutan, wilayah pantai, wilayah negara yang secara geografis ditentukan oleh suatu batasan geografis tertentu; 2) Daerah adalah suatu wilayah yang diartikan sebagai suatu teritorial dengan batasan dan perwatakannya didasarkan pada wewenang administrasi



pemerintahan



yang



ditentukan



dengan



peraturan



perundangan tertentu seperti provinsi, kabupaten dan kota; 3) Kawasan adalah suatu wilayah yang teritorialnya didasarkan pada pengertian dan batasan fungsional yaitu memiliki perwatakan tersendiri, misalnya kawasan industri, kawasan pusat kota, kawasan perdagangan, dan lain-lain. b.



Ruang Lingkup Substantif Dari segi substantif, perencanaan tata ruang menyangkut tiga lingkup perencanaan, yaitu perencanaan sosial, perencanaan ekonomi, dan perencanaan fisik. Perencanaan fisik selalu dikaitkan dengan pengertian aspek keruangan dan perencanaan tata ruang. 1) Perencanaan



Sosial



(Social



Planning)



adalah



segala



usaha



perencanaan pembangunan yang berorientasi dan bermotivasi kepada segi



kehidupan



kemasyarakatan.



Produk



perencanaan



sosial



merupakan arahan dan pedoman pengembangan dan pembangunan sosial, misalnya rencana pengembangan pendidikan, kependudukan, kelembagaan, dan lain-lain; 2) Perencanaan Ekonomi (Economic Planning) adalah segala upaya perencanaan pembangunan yang berorientasi dan bermotivasi ke pengembangan ekonomi. Produk perencanaan ekonomi termasuk rencana pengembangan produksi, pengembangan pendapatan per kapita, regional, nasional, dan lain-lain; E-20



USULAN TEKNIS – E 3) Perencanaan



Fisik



(Physical



Planning)



adalah



segala



upaya



perencanaan yang berorientasi dan bermotivasi pada aspek fisik. Untuk perencanaan tata ruang, perencanaan fisik dilakukan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pemanfaatan ruang dan sumber daya. Perencanaan fisik merupakan upaya untuk mewujudkan wadah dan struktur nyata dalam rangka menjabarkan kebutuhan sosial ekonomis masyarakat. Produk perencanaan fisik meliputi perencanaan tata ruang, tata guna lahan, perencanaan prasarana dan sarana fisik. Ketiga ruang lingkup substansi tersebut tidak terlepas satu sama lain dalam suatu proses perencanaan.



8.



Perencanaan Tata Ruang di Indonesia Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Berikut ini klasifikasi penataan ruang: a.



berdasarkan sistem, terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan;



b.



berdasarkan fungsi utama kawasan, terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya;



c.



berdasarkan wilayah administratif, terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;



d.



Berdasarkan kegiatan kawasan, terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan;



e.



berdasarkan nilai strategis kawasan, terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.



Produk perencanaan pada tingkat administrasi terdiri dari rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang yang dilengkapi dengan pengaturan zonasi sebagai pedoman perijinan. Rencana umum tata ruang secara berhierarki terdiri atas: 1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, 2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan 3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan E-21



USULAN TEKNIS – E Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Adapun rencana rinci tata ruang, terdiri atas: 1) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, 2) rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan 3) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut. KEWENANGAN PENATAAN RUANG



PENATAAN RUANG BERDASARKAN ADMINISTRASI



PENATAAN RUANG BERDASARKAN NILAI STRATEGIS KAWASAN



PEMERINTAH PUSAT



PENATAAN RUANG WILAYAH NASIONAL



PENATAAN RUANG KAWASAN STRATEGIS NASIONAL



PEMERINTAH PROVINSI



PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI



PENATAAN RUANG KAWASAN STRATEGIS PROVINSI



PEMERINTAH KABUPATEN



PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN



PENATAAN RUANG KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN



PEMERINTAH KOTA



PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA



PENATAAN RUANG KAWASAN STRATEGIS KOTA



PENATAAN RUANG BERDASARKAN FUNGSI UTAMA



PENATAAN RUANG BERDASARKAN KEGIATAN KAWASAN



PENATAAN RUANG BERDASARKAN SISTEM



KAWASAN LINDUNG



KAWASAN PERKOTAAN



SISTEM WILAYAH



KAWASAN BUDIDAYA



KAWASAN PERDESAAN



SISTEM INTERNAL PERKOTAAN



Gambar E.6 Klasifikasi Penataan Ruang Berdasarkan Sistem, Fungsi, Administrasi, dan Nilai Strategis



Gambar E.7 Hirarki Produk Perencanaan Tata Ruang



E-22



USULAN TEKNIS – E RDTR merupakan perencanaan mikro kabupaten/kota berupa rencana rinci tata ruang sebagai penjabaran RTRW kabupaten/kota yang menjadi rujukan bagi penyusunan rencana teknis sektor dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. Pada tataran operasional, RDTR merupakan operasionalisasi dari dari RTRW kabupaten/kota. Untuk dapat memahami lagi tentang penyusunan RDTR, perlu dilakukan tinjauan terhadap Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.



3) Pemahaman Terhadap Muatan RDTR Pasal 6 Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan muatan RDTR meliputi: 1.



Tujuan penataan BWP;



2.



Rencana struktur ruang;



3.



Rencana pola ruang;



4.



Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya;



5.



Ketentuan pemanfaatan ruang.



Pasal 7 ayat (1) Permen ATR/KaBPN 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan tujuan penataan BWP merupakan nilai dan/atau kualitas terukur yang akan dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota dan merupakan alasan disusunnya RDTR yang apabila diperlukan dapat dilengkapi konsep pencapaian. Tujuan penataan BWP berisi tema yang akan direncanakan di BWP. Tujuan penataan BWP berfungsi: 1.



sebagai acuan untuk penyusunan rencana pola ruang, penyusunan rencana struktur ruang, penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya, penyusunan ketentuan pemanfaatan ruang, penyusunan peraturan zonasi; dan



2.



untuk menjaga konsistensi dan keserasian pengembangan kawasan perkotaan dengan RTRW kabupaten/kota. E-23



USULAN TEKNIS – E Perumusan tujuan penataan BWP didasarkan pada: 1.



Arahan pencapaian sebagaimana ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;



2.



Isu strategis BWP, yang antara lain dapat berupa potensi, masalah, dan urgensi penanganan; dan



3.



Karakteristik BWP.



Tujuan penataan BWP dirumuskan dengan mempertimbangkan: 1.



Keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah kabupaten/kota;



2.



Fungsi dan peran BWP;



3.



Potensi investasi;



4.



Keunggulan dan daya saing BWP;



5.



Kondisi sosial dan lingkungan BWP;



6.



Peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan



7.



Prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.



Rencana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem jaringan prasarana di BWP yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan dalam melayani kegiatan skala BWP. Rencana struktur ruang berfungsi sebagai: 1.



Pembentuk sistem pusat pelayanan di dalam BWP;



2.



Dasar perletakan jaringan serta rencana pembangunan prasarana dan utilitas dalam BWP sesuai dengan fungsi pelayanannya; dan



3.



Dasar rencana sistem pergerakan dan aksesibilitas lingkungan dalam RTBL dan rencana teknis sektoral.



Rencana struktur ruang dirumuskan berdasarkan: 1.



Rencana struktur ruang wilayah kabupaten/kota yang termuat dalam RTRW;



2.



Kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi BWP; dan



3.



Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.



Rencana struktur ruang dirumuskan dengan kriteria: 1.



Memperhatikan rencana struktur ruang BWP lainnya dalam wilayah kabupaten/kota;



2.



Memperhatikan rencana struktur ruang kabupaten/kota sekitarnya yang berbatasan langsung dengan BWP;



3.



Menjamin keterpaduan dan prioritas pelaksanaan pembangunan prasarana dan utilitas pada BWP;



E-24



USULAN TEKNIS – E 4.



Mengakomodasi kebutuhan pelayanan prasarana dan utilitas BWP termasuk kebutuhan pergerakan manusia dan barang; dan



5.



Mempertimbangkan inovasi dan/atau rekayasa teknologi.



Pasal 7 ayat (2) Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan rencana struktur ruang meliputi: 1.



Rencana pengembangan pusat pelayanan;



2.



Rencana jaringan transportasi; dan



3.



Rencana jaringan prasarana.



Materi rencana struktur ruang meliputi: 1.



Rencana Pengembangan Pusat Pelayanan Rencana pengembangan pusat pelayanan merupakan distribusi pusat-pusat pelayanan di dalam BWP yang akan melayani sub BWP, dapat meliputi: a.



Pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan;



b.



Sub pusat pelayanan kota/kawasan perkotaan; dan



c.



Pusat lingkungan, berupa: 1) Pusat lingkungan kecamatan; 2) Pusat lingkungan kelurahan; dan/atau 3) Pusat rukun warga.



2.



Rencana Jaringan Transportasi Untuk RDTR kawasan perkotaan di kabupaten, terdiri atas: a.



Jaringan jalan dan jaringan kereta api sesuai dengan yang termuat dalam RTRW kabupaten;



b.



Jaringan jalan sistem sekunder di kawasan perkotaan meliputi jalan arteri sekunder, kolektor sekunder, dan lokal sekunder;



c.



Jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder;



d.



Jalur pejalan kaki;



e.



Jalur sepeda (jika ada); dan



f.



Jaringan jalan lainnya yang meliputi: 1) Jalan



masuk



dan



keluar



terminal



barang



serta



terminal



orang/penumpang sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe A, terminal tipe B, terminal tipe C, dan/atau pangkalan angkutan umum);



E-25



USULAN TEKNIS – E 2) Jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan keluarnya terminal barang/orang hingga pangkalan angkutan umum dan halte); dan 3) Jalan masuk dan keluar parkir.



Untuk RDTR kota, terdiri atas: a.



Jaringan jalan dan jaringan kereta api sesuai dengan yang termuat dalam RTRW kota;



b.



Jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder;



c.



Jalur pejalan kaki;



d.



Jalur sepeda (jika ada); dan



e.



Jaringan jalan lainnya yang meliputi: 1) Jalan



masuk



dan



keluar



terminal



barang



serta



terminal



orang/penumpang sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe A, terminal tipe B, terminal tipe C, dan/atau pangkalan angkutan umum); 2) Jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan keluarnya terminal barang/orang hingga pangkalan angkutan umum dan halte); dan 3) Jalan masuk dan keluar parkir. Jaringan transportasi dapat berada di permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, atau di atas permukaan tanah. 3.



Rencana Jaringan Prasarana a.



Rencana Jaringan Energi/Kelistrikan, meliputi: 1) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi, terdiri atas: a) Jaringan yang menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat penyimpanan; dan/atau b) Jaringan yang menyalurkan gas bumi dari kilang pengolahan ke konsumen. 2) Jaringan penyaluran ketenagalistrikan, terdiri atas: a)



Jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem sesuai dengan RTRW kabupaten/kota, dapat berupa: E-26



USULAN TEKNIS – E •



Saluran udara tegangan ultra tinggi (SUTUT);







Saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET);







Saluran udara tegangan tinggi (SUTT);







Saluran udara tegangan tinggi arus searah (SUTTAS);







Saluran udara tegangan menengah (SUTM);







Saluran udara tegangan rendah (SUTR);







Saluran kabel tegangan menengah (SKTM); dan/atau







Saluran transmisi/distribusi lainnya.



b) Gardu listrik, meliputi: •



Gardu induk yang berfungsi untuk menurunkan tegangan dari jaringan subtransmisi menjadi tegangan menengah;







Gardu hubung yang berfungsi untuk membagi daya listrik dari gardu induk menuju gardu distribusi; dan







Gardu distribusi yang berfungsi untuk menurunkan tegangan primer menjadi tegangan sekunder.



b.



Rencana Jaringan Telekomunikasi (tetap dan bergerak), terdiri atas: 1) Infrastruktur dasar telekomunikasi yang berupa lokasi pusat automatisasi sambungan telepon; 2) Jaringan telekomunikasi telepon kabel yang berupa lokasi stasiun telepon otomat, rumah kabel, dan kotak pembagi; 3) Sistem televisi kabel termasuk lokasi stasiun transmisi; 4) Jaringan telekomunikasi telepon nirkabel yang berupa lokasi menara telekomunikasi termasuk menara Base Transceiver Station (BTS); 5) Jaringan serat optik; dan 6) Peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi.



c.



Rencana Jaringan Air Minum, meliputi: 1) Jaringan perpipaan: a)



Unit air baku;



b) Unit produksi yang berupa bangunan pengambil air baku, dan instalasi produksi; c)



Unit distribusi berupa pipa transmisi air baku;



E-27



USULAN TEKNIS – E d) Unit pelayanan yang berupa pipa unit distribusi hingga persil/bidang; dan/atau e) Bangunan penunjang dan bangunan pelengkap; 2) Jaringan non-perpipaan, yang terdiri atas: a)



Sumur dangkal;



b) Sumur pompa; c)



Bak penampungan air hujan; dan



d) Terminal air. d.



Rencana Jaringan Drainase, meliputi: 1) saluran primer; 2) saluran sekunder; 3) saluran tersier; 4) saluran lokal; 5) bangunan peresapan (kolam retensi); dan 6) bangunan tampungan (polder) beserta sarana pelengkapnya (sistem pemompaan dan pintu air).



e.



Rencana Pengelolaan Air Limbah, meliputi: 1) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) setempat, meliputi: a) subsistem pengangkutan; dan b) subsistem pengolahan setempat; a)



subsistem pengolahan lumpur tinja.



2) Sistem pengelolaan air limbah (SPAL) terpusat, meliputi: a) Subsistem pelayanan yang terdiri atas pipa tinja, pipa non tinja bak perangkap lemak dan minyak dari dapur, pipa persil, bak kontrol, dan lubang inspeksi; b) Subsistem pengumpulan yang terdiri atas pipa retikulasi, pipa induk, serta sarana dan prasarana pelengkap; dan c)



Subsistem pengolahan terpusat yang terdiri atas instalasi pengelolaan air Limbah (IPAL) kota dan IPAL skala kawasan tertentu/permukiman.



Untuk industri rumah tangga harus menyediakan instalasi pengolahan air limbah komunal tersendiri. E-28



USULAN TEKNIS – E f.



Rencana Jaringan Prasarana Lainnya Penyediaan



prasarana



lainnya



direncanakan



sesuai



kebutuhan



pengembangan BWP, misalnya BWP yang berada pada kawasan rawan bencana wajib menyediakan jalur evakuasi bencana yang meliputi jalur evakuasi dan tempat evakuasi sementara yang terintegrasi baik untuk skala kabupaten/kota, kawasan, maupun lingkungan. Jalur evakuasi bencana dapat memanfaatkan jaringan prasarana dan sarana yang sudah ada.



Peta rencana struktur ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1.



Peta rencana struktur ruang terdiri dari: a.



Peta pusat pelayanan yang memuat pusat-pusat pelayanan;



b.



Peta jaringan transportasi yang memuat jaringan jalan dan kereta api; dan



c.



Peta jaringan prasarana yang terdiri dari jaringan energi/kelistrikan, telekomunikasi, air minum, drainase, air limbah, dan prasarana lainnya yang digambarkan secara tersendiri untuk masing-masing rencana jaringan prasarana;



2.



Apabila terdapat jaringan transportasi dan jaringan prasarana yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maupun di atas permukaan tanah maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar potongan/penampang;



3.



Rencana struktur ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi minimal 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga yang berwenang;



4.



Rencana struktur ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan standar yang akan diatur lebih lanjut melalui pedoman tersendiri; dan



5.



Rencana struktur ruang dapat digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi.



E-29



USULAN TEKNIS – E



Gambar E.8 Komponen Rencana Struktur Ruang



Gambar E.9 Contoh Peta Rencana Struktur Ruang



E-30



USULAN TEKNIS – E Rencana pola ruang merupakan rencana distribusi zona pada BWP yang akan diatur sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Rencana pola ruang berfungsi sebagai: 1.



Alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial budaya, ekonomi, serta kegiatan pelestarian fungsi lingkungan dalam BWP;



2.



Dasar penerbitan izin pemanfaatan ruang;



3.



Dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis lainnya; dan



4.



Dasar penyusunan rencana jaringan prasarana.



Rencana pola ruang dirumuskan dengan kriteria: 1.



Mengacu pada rencana pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota;



2.



Mengacu pada konsep ruang (khusus untuk RDTR kawasan perkotaan di kabupaten);



3.



Mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan infrastruktur dalam BWP;



4.



Memperkirakan kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan pelestarian fungsi lingkungan, khususnya untuk kawasan perkotaan yang memiliki kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan yang cukup besar;;



5.



Mempertimbangkan ketersediaan ruang yang ada;



6.



Memperhatikan rencana pola ruang bagian wilayah yang berbatasan;



7.



Memperhatikan mitigasi dan adaptasi bencana pada BWP, termasuk dampak perubahan iklim; dan



8.



Menyediakan RTH dan RTNH untuk menampung kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.



Pasal 7 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan rencana pola ruang meliputi zona lindung dan zona budi daya. 1.



Zona Lindung a.



Zona Hutan Lindung (HL);



b.



Zona yang memberikan perlindungan terhadap zona dibawahnya (PB) yang meliputi: E-31



USULAN TEKNIS – E 1) zona lindung gambut (LG); dan/atau 2) zona resapan air (RA). c.



Zona Perlindungan Setempat (PS) yang meliputi: 1) zona sempadan pantai (SP); 2) zona sempadan sungai (SS); 3) zona sekitar danau atau waduk (DW) termasuk situ dan embung; dan/atau 4) zona sekitar mata air (MA).



d.



Zona RTH kota (RTH) yang meliputi: 1) hutan kota (RTH-1); 2) taman kota (RTH-2); 3) taman kecamatan (RTH-3); 4) taman kelurahan (RTH-4); 5) taman RW (RTH-5); 6) taman RT (RTH-6); dan/atau 7) pemakaman (RTH-7).



e.



Zona Konservasi (KS) yang meliputi: • cagar alam (KS-1); • suaka margasatwa (KS-2); • taman nasional (KS-3); • taman hutan raya (KS-4); dan/atau • taman wisata alam (KS-5).



f.



Zona Lindung lainnya. Pengkodean zona dan subzona lainnya diatur sendiri oleh masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhan.



2.



Zona Budidaya a.



Zona Perumahan (R), yang dapat dirinci kedalam zona perumahan berdasarkan



tingkat



kepadatan



bangunan



dan/atau



tingkat



kemampuan/keterjangkauan kepemilikan rumah, contoh: • berdasarkan tingkat kepadatan bangunan: kepadatan sangat tinggi (R-1), tinggi (R-2), sedang (R-3), rendah (R-4), dan sangat rendah (R-5); atau



E-32



USULAN TEKNIS – E • berdasarkan tingkat kemampuan/keterjangkauan kepemilikan rumah: rumah mewah (Rm), rumah menengah (Rh), rumah sederhana (Rs), dan rumah sangat sederhana (Ra). b.



zona perdagangan dan jasa (K), yang meliputi: 1) Perdagangan dan jasa skala kota (K-1); 2) Perdagangan dan jasa skala BWP (K-2); dan/atau 3) Perdagangan dan jasa skala sub BWP (K-3).



c.



zona perkantoran (KT);



d.



zona sarana pelayanan umum (SPU), yang meliputi: 1) Sarana pelayanan umum skala kota (SPU-1); 2) Sarana pelayanan umum skala kecamatan (SPU-2); 3) Sarana pelayanan umum skala kelurahan (SPU-3); dan/atau 4) Sarana pelayanan umum skala RW (SPU-4).



e.



zona industri (I), yang meliputi: 1) Kawasan industri (KI); dan/atau 2) Sentra industri kecil menengah (SIKM).



f.



zona lainnya, yang dapat berupa pertanian, pertambangan, ruang terbuka non hijau, sektor informal, pergudangan, pertahanan dan keamanan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), pengembangan nuklir, pembangkit listrik, dan/atau pariwisata. Pengkodean zona dan subzona lainnya diatur sendiri oleh masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhan. Khusus zona pertanian, di dalamnya dapat ditetapkan luasan dan sebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dengan mengacu pada kawasan pertanian pangan berkelajutan (KP2B) yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota. LP2B memiliki pengaturan tersendiri sebagai tambahan dari aturan dasar zona pertanian dan dituangkan ke dalam peta rencana pola ruang yang memuat kode pengaturan zonasi.



g.



zona campuran (C), yang meliputi perumahan dan perdagangan/jasa, perumahan dan perkantoran, perdagangan/jasa dan perkantoran. Penggunaan kategori zona campuran di dalam rencana zonasi bertujuan untuk mendorong pertumbuhan suatu bagian kawasan perkotaan agar E-33



USULAN TEKNIS – E menjadi satu fungsi ruang tertentu. Kategori zona campuran juga dapat digunakan untuk mengakomodasi adanya suatu bagian kawasan perkotaan yang memiliki lebih dari satu fungsi ruang, yang harmonis namun tidak dapat secara utuh dikategorikan ke dalam salah satu zona. Penggunaan kategori zona campuran harus didukung oleh: 1) Adanya batas zona yang jelas yang dapat membatasi perluasan fungsi campuran lebih lanjut; dan 2) Harus ada upaya untuk mendorong perkembangan fungsi campuran menuju ke satu zona peruntukan tertentu. Dalam menentukan klasifikasi zona/subzona lindung dan budi daya dalam RDTR, perlu dibuat kriteria pengklasifikasian zona/subzona yang memuat sekurangkurangnya: 1.



Nama zona/subzona;



2.



Kode zona/subzona;



3.



Definisi zona/subzone memuat pengertian lebih lanjut tentang zona/subzona;



4.



Tujuan penetapan zona memuat tujuan yang ingin dicapai untuk setiap zona/subzona lindung dan budidaya dalam RDTR;



5.



Kriteria performazona/subzonamerupakan kualitas atau kinerja yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan penetapan masing-masing zona/subzona; dan



6.



Kriteria perencanaan zona merupakan kriteria dan standar untuk merencanakan ruang suatu zona agar tercapai tujuan penetapan zona/subzona. Khusus untuk zona perumahan harus mencantumkan luas persil minimum dan luas persil maksimum tiap zona/subzona.



Penjabaran zona menjadi sub zona harus memperhatikan dua hal yaitu: 1.



Perbedaan dasar pengertian antara zona peruntukan ruang dengan kegiatan; dan



2.



Hakekat zona adalah fungsi ruang, dan penjabarannya pun sebaiknya mengikuti perbedaan fungsi ruang.



Apabila pada BWP hanya terdapat satu jenis subzone dari zona tertentu, subzone tersebut dapat dijadikan zona tersendiri. Subzona juga dapat dijadikan zona tersendiri apabila subzona tersebut memiliki luas yang signifikan atau memiliki persentase yang besar terhadap luas BWP. Setiap Sub BWP terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan batasan fisik antara lain seperti jalan, sungai, dan sebagainya. Pengilustrasian overlay peta yang didelineasi berdasarkan fisik (BWP, Sub BWP, E-34



USULAN TEKNIS – E dan blok) hingga peta yang didelineasi berdasarkan fungsi (zona dan subzona). Dalam hal luas BWP relatif kecil, rencana pola ruang dapat digambarkan secara langsung ke dalam blok Kegiatan dapat ditetapkan menjadi suatu zona apabila memiliki kriteria sebagai berikut: 1.



Memiliki dampak dan tingkat gangguan yang signifikan terhadap lingkungan di sekelilingnya sehingga perlu diatur dan dikendalikan; dan/atau



2.



Memiliki keragaman kegiatan yang memerlukan pengaturan.



Apabila diperlukan, zona dapat dibagi lagi menjadi beberapa subzona atau sub subzona, sedangkan apabila tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka tidak diklasifikasikan sebagai zona dimasukkan kedaftar kegiatan didalam matriks ITBX. Apabila BWP terlalu luas untuk digambarkan ke dalam satu peta berskala 1:5.000, maka peta rencana pola tersebut dapat digambarkan ke dalam beberapa lembar peta berdasarkan Sub BWP. Adapun untuk zona rawan bencana, peta digambarkan secara terpisah dari peta rencana pola. Peta rencana pola ruang digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1.



Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian informasi minimal 1:5.000, serta mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga yang berwenang;



2.



Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat dan laut dengan batasan mengacu pada peraturan perundangundangan;



3.



Apabila terdapat rencana pemanfaatan ruang yang berada di bawah permukaan tanah (ruang dalam bumi) maka digambarkan dalam peta tersendiri dan dilengkapi dengan gambar potongan/penampang;



4.



Rencana pola ruang dapat digambarkan kedalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku;



5.



Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan bidang tanah/persil untuk wilayah yang sudah terbangun;



6.



Rencana pola ruang disajikan dalam format digital sesuai dengan standar yang akan diatur lebih lanjut melalui pedoman tersendiri; dan



7.



Rencana pola ruang dapat digambarkan juga dalam model 3 (tiga) dimensi. E-35



USULAN TEKNIS – E



Ketentuan teknis mengenai penyusunan peta RDTR (peta rencana struktur ruang dan peta rencana pola ruang) akan diatur lebih lanjut melalui pedoman tersendiri.



Gambar E.10 Komponen Rencana Pola Ruang



Gambar E.11 Contoh Peta Rencana Pola Ruang E-36



USULAN TEKNIS – E Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya merupakan upaya dalam rangka operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan ke dalam rencana penanganan Sub BWP yang diprioritaskan. Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya bertujuan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, memperbaiki, mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan, dan/atau melaksanakan revitalisasi di kawasan yang bersangkutan, yang dianggap memiliki prioritas tinggi dibandingkan Sub BWP lainnya. Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya merupakan lokasi pelaksanaan salah satu program prioritas dari RDTR. Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya berfungsi sebagai: 1.



Dasar penyusunan RTBL dan rencana teknis pembangunan sektoral; dan



2.



Dasar pertimbangan dalam penyusunan indikasi program prioritas RDTR.



Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan berdasarkan: 1.



Tujuan penataan BWP;



2.



Nilai penting Sub BWP yang akan ditetapkan;



3.



Kondisi ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan Sub BWP yang akan ditetapkan;



4.



Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup BWP; dan



5.



Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.



Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan dengan kriteria: 1.



Merupakan faktor kunci yang mendukung perwujudan rencana pola ruang dan rencana jaringan prasarana, serta pelaksanaan peraturan zonasi di BWP;



2.



Mendukung tercapainya agenda pembangunan dan pengembangan kawasan;



3.



Merupakan Sub BWP yang memiliki nilai pentingdari sudutkepentingan ekonomi, sosial-budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, dan/atau memiliki nilai penting lainnya yang sesuai dengan kepentingan pembangunan BWP; dan/atau



4.



Merupakan Sub BWP yang dinilai perlu dikembangkan, diperbaiki, dilestarikan, dan/atau direvitalisasi agar dapat mencapai standar tertentu berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial-budaya, dan/atau lingkungan.



E-37



USULAN TEKNIS – E Pasal 7 ayat (4) Permen ATR/KaBPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya memuat: 1.



Lokasi Lokasi Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya digambarkan dalam peta. Lokasi tersebut dapat meliputi seluruh wilayah Sub BWP yang ditentukan, atau dapat juga meliputi sebagian saja dari wilayah Sub BWP tersebut. Batas delineasi lokasi Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya ditetapkan dengan mempertimbangkan: a.



Batas fisik, seperti blok dan subblok;



b.



Fungsi kawasan, seperti zona dan subzona;



c.



Wilayah administratif, seperti rt, rw, desa/kelurahan, dan kecamatan;



d.



Penentuan secara kultural tradisional, seperti kampung, desa adat, gampong, dan nagari;



e.



Kesatuan karakteristik tematik, seperti kawasan kota lama, lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan, kawasan perkampungan tertentu, dan kawasan permukiman tradisional; dan



f.



Jenis kawasan, seperti kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan terbangun yang memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, dan kawasan gabungan atau campuran.



2.



Tema Penanganan Tema penanganan adalah program utama untuk setiap lokasi. Tema penanganan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya terdiri atas: a.



Perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan, contohnya melalui penataan lingkungan permukiman kumuh(perbaikan kampung), dan penataan lingkungan permukiman nelayan;



b.



Pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan, contohnya melalui peremajaan kawasan, pengembangan kawasan terpadu, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan pascabencana;



c.



Pembangunan baru prasarana, sarana, dan blok/kawasan, contohnya melalui pembangunan kawasan perumahan umum (public housing) yang dibangun oleh pemerintah dan swasta (kawasan siap bangun/lingkungan



E-38



USULAN TEKNIS – E siap bangun-berdiri sendiri),pembangunan kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan kawasan perbatasan; dan/atau d.



Pelestarian/pelindungan blok/kawasan, contohnya melalui pelestarian kawasan, konservasi kawasan, dan revitalisasi kawasan.



Pasal 7 ayat (5) Permen ATR/KaBPN 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan ketentuan pemanfaatan ruang merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan. Ketentuan pemanfaatan ruang dalam RDTR merupakan upaya mewujudkan RDTR dalam bentuk program pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun masa perencanaan sebagaimana diatur dalam pedoman ini. Ketentuan pemanfaatan ruang berfungsi sebagai: 1.



Dasar



pemerintah



dan



masyarakat



dalam



pemrograman



investasi



pengembangan BWP; 2.



Arahan untuk sektor dalam penyusunan program;



3.



Dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan untuk setiap jangka 5 (lima) tahun; dan



4.



Acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi.



Ketentuan pemanfaatan ruang disusun berdasarkan: 1.



Rencana pola ruang dan rencana struktur ruang;



2.



Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan;



3.



Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan;



4.



Masukan dan kesepakatan dengan para investor; dan



5.



Prioritas pengembangan bwp dan pentahapan rencana pelaksanaan program yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah, serta rencana terpadu dan program investasi infrastruktur jangka menengah (RPI2JM).



Ketentuan pemanfaatan ruang disusun dengan kriteria: 1.



Mendukung perwujudan rencana pola ruang dan rencana penyediaan prasarana perkotaan di BWP serta perwujudan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya;



2.



Mendukung program penataan ruang wilayah kabupaten/kota; E-39



USULAN TEKNIS – E 3.



Realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan;



4.



Konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik dalam jangka waktu tahunan maupun lima tahunan; dan



5.



Terjaganya sinkronisasi antar program dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah kabupaten/kota.



Program dalam Ketentuan pemanfaatan ruang meliputi: 1.



Program Pemanfaatan Ruang Prioritas Program



pemanfaatan



ruang



prioritas



merupakan



program-program



pengembangan BWP yang diindikasikan memiliki bobot tinggi berdasarkan tingkat kepentingan atau diprioritaskan dan memiliki nilai strategis untuk mewujudkan rencana sruktur ruang dan rencana pola ruang di BWP sesuai tujuan penataan BWP. Program pemanfaatan ruang dapat memuat kelompok program sebagai berikut: a.



Program perwujudan rencana struktur ruang yang meliputi: 1) Perwujudan pusat pelayanan kegiatan di BWP; 2) Perwujudan jaringan transportasi di BWP;dan 3) Perwujudan jaringan prasarana untuk BWP, yang mencakup pula prasarana nasional dan wilayah/regional di dalam BWP yang terdiri atas: • perwujudan jaringan energi/kelistrikan; • perwujudan jaringan telekomunikasi; • perwujudan jaringan air minum; • perwujudan jaringan drainase; • perwujudan jaringan air limbah; dan/atau • perwujudan jaringan prasarana lainnya.



b.



Program perwujudan rencana pola ruang di BWP yang meliputi: 1) Perwujudan zona lindung pada BWP termasuk di dalam pemenuhan kebutuhan RTH; dan 2) Perwujudan zona budi daya pada BWP yang terdiri atas: • Perwujudan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum di bwp;



E-40



USULAN TEKNIS – E • Perwujudan ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap jenis pola ruang; • Perwujudan intensitas pemanfaatan ruang blok; dan/atau • Perwujudan tata bangunan. c.



Program



perwujudan



penetapan



Sub



BWP



yang



diprioritaskan



penanganannya yang terdiri atas: 1) Program penyusunan RTBL; 2) Perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan; 3) Pembangunan baru prasarana, sarana, dan blok/kawasan; 4) Pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan; dan/atau 5) Pelestarian/pelindungan blok/kawasan. 6) Program perwujudan ketahanan terhadap perubahan iklim, dapat sebagai kelompok program tersendiri atau menjadi bagian dari kelompok program lainnya, disesuaikan berdasarkan kebutuhannya. 2.



Lokasi Lokasi merupakan tempat dimana usulan program akan dilaksanakan.



3.



Besaran dan Biaya Besaran merupakan perkiraan jumlah satuan dan biaya masing-masing usulan program prioritas pengembangan wilayah yang akan dilaksanakan.



4.



Sumber Pendanaan Sumber pendanaan dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, APBD provinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), swasta, dan/atau masyarakat. Sumber pendanaan dapat dilengkapi dengan perkiraan kebutuhan biaya bagi masing-masing program.



4)



Pemahaman Terhadap Muatan Peraturan Zonasi



Pasal 8 ayat (1) Permen ATR/KaBPN 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan bahwa Peraturan Zonasi (PZ) meliputi aturan dasar dan/atau teknik pengaturan zonasi. PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengartikan Pengaturan Zonasi sebagai ketentuan tentang persyaratan pemanfaatan ruang E-41



USULAN TEKNIS – E sektoral dan ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Adapun pengertian Peraturan Zonasi (PZ) adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. PZ merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang. PEMANFAATAN RUANG



MENGACU PADA: ● RTRWN ● RTR KSN ● RTR Pulau/Kep ● RTRWP ● RTR KSP ● RTRW Kab/Kota ● RDTR Kab/ Kota ● RTR KSKab/Kota



PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG



PENGATURAN ZONASI



Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang



• Jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan; • Intensitas pemanfaatan ruang; • Prasarana dan sarana minimum; Ketentuan lain yang dibutuhkan.



SANKSI



PERIZINAN



INSENTIFDISINSENTIF



• Meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang; • Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; • Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.



• • • •



Insentif Fiskal Insentif Non Fiskal Disinsentif Fiskal Disinsentif Non Fiskal



• Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang; • Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan • Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas



• Sanksi Administratif § peringatan tertulis; § penghentian sementara kegiatan; § penghentian sementara pelayanan umum; § penutupan lokasi; § pencabutan izin; § pembatalan izin; § pembongkaran bangunan; § pemulihan fungsi ruang; dan/ atau § denda administratif.



• Sanksi Pidana Penjara dan Denda • Sanksi Pidana tambahan • Izin Prinsip • Izin Lokasi • Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah • Izin Mendirikan Bangunan • Izin lainnya



TERTIB TATA RUANG



Gambar E.12 Proses Pengendalian Pemanfaatan Ruang



PZ disusun untuk setiap zona peruntukan baik zona budi daya maupun zona lindung dengan memperhatikan esensi fungsinya yang ditetapkan dalam rencana rinci tata E-42



USULAN TEKNIS – E ruang dan bersifat mengikat/regulatory. Dalam sistem regulatory, seluruh kawasan perkotaan terbagi habis ke dalam zona peruntukan ruang yang tergambarkan dalam peta rencana pola ruang. Pada setiap zona peruntukan akan berlaku satu aturan dasar tertentu yang mengatur perpetakan, kegiatan, intensitas ruang dan tata bangunan. Peraturan zonasi merupakan ketentuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RDTR Peraturan zonasi dan berfungsi sebagai: 1.



Perangkat operasional pengendalian pemanfaatan ruang;



2.



Acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, termasuk di dalamnya air right development dan pemanfaatan ruang di bawah tanah;



3.



Acuan dalam pemberian insentif dan disinsentif;



4.



Acuan dalam pengenaan sanksi; dan



5.



Rujukan teknis dalam pengembangan atau pemanfaatan lahan dan penetapan lokasi investasi.



Peraturan zonasi bermanfaat untuk: 1.



Menjamin dan menjaga kualitas ruang BWP minimal yang ditetapkan;



2.



Menjaga kualitas dan karakteristik zona dengan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik zona; dan



3.



Meminimalkan gangguan atau dampak negatif terhadap zona.



Peraturan zonasi memuat aturan dasar dan teknik pengaturan zonasi. Aturan dasar merupakan persyaratan pemanfaatan ruang meliputi, ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, ketentuan tata bangunan, ketentuan prasarana dan sarana minimal, ketentuan khusus, dan standar teknis, dan/atau ketentuan pelaksanaan. Teknik pengaturan zonasi adalah ketentuan lain dari zonasi konvensional yang dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan zonasi dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan peraturan zonasi dasar, mempertimbangkan kondisi kontekstual kawasan dan arah penataan ruang. Teknik pengaturan zonasi dapat berupa a) transfer development right; b) bonus zoning; dan c) conditional uses. Pasal 8 ayat (2) Permen ATR/KaBPN 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan aturan dasar meliputi:



E-43



USULAN TEKNIS – E 1.



Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan adalah ketentuan yang berisi kegiatan dan penggunaan lahan yang diperbolehkan, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat secara terbatas, kegiatan dan penggunaan lahan yang bersyarat tertentu, dan kegiatan dan penggunaan lahan yang tidak diperbolehkan pada zona lindung maupun zona budi daya. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan dirumuskan berdasarkan ketentuan maupun standar yang terkait dengan pemanfaatan ruang, ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan. Ketentuan teknis zonasi terdiri atas: a.



Klasifikasi I = pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan. Pemerintah kota tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I.



b.



Klasifikasi T = pemanfaatan bersyarat secara terbatas Pemanfaatan bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan sebagai berikut: •



pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam sub-zona maupun pemba-tasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;







pembatasan intensitas ruang, baik KDB, KLB, KDH, jarak bebas, maupun ketinggian bangunan. Pembatasan ini dilakukan dengan menurunkan nilai maksimal dan meninggikan nilai minimal dari intensitas ruang dalam peraturan zonasi;







pembatasan jumlah pemanfaatan, jika peman-faatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.



E-44



USULAN TEKNIS – E Contoh: dalam sebuah zona perumahan yang berdasarkan standar teknis telah cukup jumlah fasilitas peribadatannya, maka aktivitas rumah ibadah termasuk dalam klasifikasi T. c.



Klasifikasi B = pemanfaatan bersyarat tertentu Pemanfaatan bersyarat tertentu bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan dimaksud diperlukan mengingat pemanfaatan ruang tersebut memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitarnya. Contoh persyaratan umum antara lain: •



dokumen AMDAL;







dokumen UKL dan UPL;







dokumen Analisis Dampak Lalu-lintas; dan







pengenaan



disinsentif



misalnya



biaya



dampak



pembangunan



(development impact fee). Contoh persyaratan khusus misalnya diwajibkan menambah tempat parkir, menambah luas RTH, dan memperlebar pedestrian. d.



Klasifikasi X = pemanfaatan yang tidak diperbolehkan Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan.



Penentuan I, T, B dan X untuk kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu zonasi didasarkan pada: a.



Pertimbangan Umum Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis penggunaan lahan, antara lain kesesuaian dengan arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya dalam suatu wilayah, kelestarian lingkungan (perlindungan dan pengawasan terhadap pemanfaatan air, udara, dan ruang bawah tanah), perbedaan sifat kegiatan bersangkutan terhadap fungsi zona terkait, definisi zona, kualitas lokal minimum, toleransi terhadap tingkat gangguan E-45



USULAN TEKNIS – E dan dampak terhadap peruntukan yang ditetapkan (misalnya penurunan estetika lingkungan, penurunan kapasitas jalan/lalu-lintas, kebisingan, polusi limbah, dan restriksi sosial), serta kesesuaian dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. b.



Pertimbangan Khusus Pertimbangan khusus berlaku untuk masing-masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan dibangun. Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan mengenai ketentuan atau standar yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam peraturan bangunan setempat, dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau komponen yang dikembangkan. Selain itu perlu dipertimbangkan kondisi yang harus dipenuhi agar kegiatan dapat berlangsung pada zona terkait yang antara lain meliputi: 1) prosedur administrasi yang harus diikuti; 2) kajian kelayakan lingkungan yang harus dipenuhi; 3) prasarana dan/atau sarana tambahan yang harus diadakan untuk menunjang jegiatan tersebut; 4) pembatasan yang harus diberlakukan, terkait: •



luas fisik pemanfaatan ruang;







kaian dengan kegiatan lain di sekitar







jumlah tenaga kerja;







waktu operasional;







masa usaha;







arahan lokasi spesifik;







jumlah kegiatan serupa;







pengembangan usaha kegiatan lebih lanjut; dan







penggunaan utilitas untuk kegiatan tersebut harus terukur dan tidak menimbulkan gangguan pada zona tersebut.



5) persyaratan terkait estetika lingkungan; dan 6) persyaratan lain yag perlu ditambahkan.



E-46



USULAN TEKNIS – E Tabel E.2 Contoh Matriks ITBX



2.



Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang Intensitas pemanfaatan ruang adalah ketentuan teknis tentang kepadatan zona terbangun yang dipersyaratkan pada zona tersebut dan diukur melalui Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang adalah ketentuan mengenai intensitas pemanfaatan ruang yang diperbolehkan pada suatu zona, yang meliputi: a.



Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Maksimum KDB adalah koefisien perbandingan antara luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas persil/kavling. KDB maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air, kapasitas drainase, dan jenis penggunaan lahan. KDB maksimum dinyatakan dalam satuan persentase, misalnya di sebuah zona dengan KDB 60%, maka properti yang dapat dibangun luasnya tak lebih dari 60% dari luas lahan.



b.



Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Minimum dan Maksimum KLB adalah koefisien perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas persil/kavling. KLB minimum dan maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan harga lahan, ketersediaan dan tingkat pelayanan prasarana, dampak atau kebutuhan terhadap prasarana tambahan, serta ekonomi, sosial dan pembiayaan.



c.



Koefisien Dasar Hijau Minimal KDH adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka



di



luar



bangunan



gedung



yang



diperuntukkan



bagi



pertamanan/penghijauan dengan luas persil/kavling. KDH minimal



E-47



USULAN TEKNIS – E digunakan untuk mewujudkan RTH dan diberlakukan secara umum pada suatu zona. KDH minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pengisian atau peresapan air dan kapasitas drainase. KDH minimal dinyatakan dinyatakan dalam satuan persentase, misalnya di sebuah zona dengan KDH 20%. Beberapa ketentuan lain dapat ditambahkan dalam intensitas pemanfaatan ruang, antara lain meliputi: a.



Koefisien Tapak Basement (KTB) Maksimum KTB maksimum ditetapkan dengan mempertimbangkan KDH minimal. KTB adalah angka prosentasi luas tapak bangunan yang dihitung dari proyeksi dinding terluar bangunan di bawah permukaan tanah terhadap luas perpetakan atau lahan perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW, RDTR dan PZ.



b.



Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) Maksimum KWT adalah perbandingan antara luas wilayah terbangun dengan luas seluruh wilayah. KWT ditetapkan dengan mempertimbangkan: 1) Tingkat pengisian peresapan air/water recharge; 2) Jenis penggunaan lahan; dan 3) Kebutuhan akan buffer zone.



c.



Kepadatan Bangunan/Unit Maksimum Kepadatan



bangunan



atau



unit



maksimum



ditetap-kan



dengan



mempertimbangkan faktor kesehatan (ketersediaan air bersih, sanitasi, sampah, cahaya matahari, aliran udara, dan ruang antar bangunan), faktor sosial (ruang terbuka privat, privasi, serta perlindungan dan jarak tempuh terhadap fasilitas lingkungan), faktor teknis (resiko kebakaran dan keterbatasan lahan untuk bangunan atau rumah), dan faktor ekonomi (biaya lahan, ketersediaan, dan ongkos penyediaan pelayanan dasar). d.



Kepadatan Penduduk Maksimal. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang mendetail-kan lebih lanjut intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kota, atau juga bisa berisi sama dengan intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kota. Intensitas pemanfaatan ruang yang terdapat dalam E-48



USULAN TEKNIS – E ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dapat didetailkan kembali lebih lanjut dalam RTBL. Perumusan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dilakukan berdasarkan pada: a.



ketentuan kegiatan dalam zona; dan



b.



peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.



Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang mendetailkan lebih lanjut intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota, atau juga bisa berisi sama dengan intensitas pemanfaatan ruang yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Intensitas pemanfaatan ruang yang terdapat dalam ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dapat didetailkan kembali lebih lanjut dalam RTBL.



3.



Ketentuan Tata Bangunan Ketentuan tata bangunan adalah ketentuan yang mengatur bentuk, besaran, peletakan, dan tampilan bangunan pada suatu zona. Komponen ketentuan tata bangunan minimal terdiri atas: a.



Ketinggian bangunan (TB) maksimum Ketinggian bangunan adalah tinggi maksimum bangunan gedung yang diizinkan pada lokasi tertentu dan diukur dari jarak maksimum puncak atap bangunan terhadap (permukaan) tanah yang dinyatakan dalam satuan meter.



b.



Garis sempadan bangunan (GSB) minimum GSB adalah jarak minimum antara garis pagar terhadap dinding bangunan terdepan. GSB ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, resiko kebakaran, kesehatan, kenyamanan, dan estetika.



c.



Jarak bebas antar bangunan minimal yang harus memenuhi ketentuan tentang jarak bebas yang ditentukan oleh jenis peruntukan dan ketinggian bangunan.



d.



Jarak bebas samping (JBS) dan jarak bebas belakang (JBB) JBB adalah jarak minimum antara garis batas petak belakang terhadap dinding bangunan terbelakang. Jarak Bebas Samping (JBS) merupakan E-49



USULAN TEKNIS – E jarak minimum antara batas petak samping terhadap dinding bangunan terdekat. Selain itu, ketentuan tata bangunan dapat memuat tampilan bangunan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan warna bangunan, bahan bangunan, tekstur bangunan, muka bangunan, gaya bangunan, keindahan bangunan, serta keserasian bangunan dengan lingkungan sekitarnya. Ketentuan tata bangunan mendetailkan lebih lanjut tata bangunan yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota, atau juga dapat berisi sama dengan tata bangunan yang diatur dalam ketentuan umum peraturan zonasi pada RTRW kabupaten/kota. Tata bangunan yang terdapat dalam ketentuan tata bangunan ruang dapat didetailkan kembali lebih lanjut dalam RTBL. 4.



Ketentuan Prasarana dan Sarana Minimal Ketentuan prasarana dan sarana pendukung minimal mengatur jenis prasarana dan sarana pendukung minimal apa saja yang harus ada pada setiap zona peruntukan. Jenis prasarana dan sarana minimal ditentukan berdasarkan sifat dan tuntutan kegiatan utama pada zona peruntukannya. Volume atau kapasitasnya ditentukan berdasarkan pada perkiraan jumlah orang yang menghuni zona peruntukan tersebut. Ketentuan prasarana dan sarana minimal berfungsi sebagai kelengkapan dasar fisik lingkungan dalam rangka menciptakan lingkungan yang nyaman melalui penyediaan prasarana dan sarana yang sesuai agar zona berfungsi secara optimal. Ketentuan prasarana dan sarana minimum sekurangnya harus mengatur jenis prasarana dan sarana pendukung untuk lima zona budi daya utama, perumahan, komersial, PSU, industri dan zona hijau budi daya. Prasarana dan sarana minimum pada Zona Lainnya diatur mengikuti aturan pada kelima zona di atas. Prasarana yang diatur dalam peraturan zonasi dapat berupa prasarana parkir, aksesibilitas untuk difabel, jalur pedestrian, jalur sepeda, bongkar muat, dimensi jaringan jalan, kelengkapan jalan, dan kelengkapan prasarana lainnya yang diperlukan. Ketentuan prasarana dan sarana minimal ditetapkan sesuai dengan ketentuan mengenai prasarana dan sarana yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. E-50



USULAN TEKNIS – E 5.



Ketentuan Khusus Ketentuan khusus adalah ketentuan yang mengatur pemanfaatan zona yang memiliki fungsi khusus dan diberlakukan ketentuan khusus sesuai dengan karakteristik zona dan kegiatannya. Selain itu, ketentuan pada zona-zona yang digambarkan di peta khusus yang memiliki pertampalan (overlay) dengan zona lainnya dapat pula dijelaskan disini. Ketentuan khusus merupakan aturan tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar karena adanya halhal khusus yang memerlukan aturan tersendiri karena belum diatur di dalam aturan dasar. Komponen ketentuan khusus antara lain meliputi: a.



bandar udara, antara lain meliputi kawasan keselamatan operasi penerbangannya (KKOP), batas kawasan kebisingan, dan kawasan di sekitar bandar udara yang penting untuk diperhatikan;



b.



cagar budaya atau adat;



c.



rawan bencana;



d.



tempat evakuasi bencana (TES dan TEA);



e.



pertahanan keamanan (hankam);



f.



pusat penelitian (observatorium, peluncuran roket, dan lain-lain);



g.



kawasan berorientasi transit (TOD); dan



h.



lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).



Ketentuan mengenai penerapan aturan khusus pada zona-zona khusus di atas ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. Ketentuan khusus dapat menganulir aturan yang ada pada aturan dasar sesuai dengan tuntutan kekhususannya. 6.



Standar Teknis Standar teknis adalah aturan-aturan teknis pembangunan sarana dan prasarana permukiman perkotaan yang ditetapkan berdasarkan peraturan/standar/ ketentuan teknis yang berlaku serta berisi panduan yang terukur dan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan. Standar teknis ini berfungsi sebagai panduan pelaksanaan pembangunan dan sekaligus juga berfungsi sebagai instrumen pemeriksaan dan pengawasan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara garis besar, standar teknis pemanfaatan ruang meliputi:



E-51



USULAN TEKNIS – E a.



standar kebutuhan utilitas, mengatur besarnya kebutuhan/kapasitas utilitas (air bersih, persampahan, air limbah, drainase, listrik, telpon, gas masak, tv kabel, dst) untuk setiap jenis peruntukan ruang;



b.



standar sarana pendukung (fas. peribadatan, fas. pendidikan, fas. perdagangan, fas. sosial, fas. olahraga, fas. keamanan, RTH/Taman, SPBU, SPBE, dst) yang sesuai dengan jumlah penduduk atau orang yang harus dilayaninya;



c.



standar prasarana pendukung (parkir, pedestrian, jalur sepeda, TPS, dsb) yang sesuai dengan jumlah penduduk atau orang yang harus dilayaninya; dan



d.



standar prasarana lain (media luar ruang) yang sesuai dengan desain estetika lingkungan yang diinginkan.



Standar teknis yang digunakan dalam penyusunan RDTR mengikuti peraturan perundang-undangan, termasuk Standar Nasional Indonesia (SNI). 7.



Ketentuan Pelaksanaan Ketentuan pelaksanaan adalah aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan peraturan daerah RDTR dan PZ yang terdiri atas: a.



Ketentuan variansi pemanfaatan ruang yang merupakan ketentuan yang memberikan kelonggaran untuk menyesuaikan dengan kondisi tertentu dengan tetap mengikuti ketentuan massa ruang yang ditetapkan dalam peraturan zonasi. Hal ini dimaksudkan untuk menampung dinamika pemanfaatan ruang mikro dan sebagai dasar antara lain transfer of development rights (TDR) dan air right development yang dapat diatur lebih lanjut dalam RTBL.



b.



Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif yang merupakan ketentuan yang memberikan insentif bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak positif bagi masyarakat, serta yang memberikan disinsentif bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Insentif dapat berbentuk kemudahan perizinan, keringanan pajak, kompensasi, imbalan, subsidi prasarana, pengalihan hak membangun, dan ketentuan teknis lainnya. Disinsentif dapat berbentuk antara lain pengetatan persyaratan, pengenaan pajak dan E-52



USULAN TEKNIS – E retribusi yang tinggi, pengenaan denda, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, atau kewajiban untuk penyediaan prasarana dan sarana kawasan. c.



Ketentuan untuk penggunaan lahan yang sudah ada dan tidak sesuai dengan peraturan zonasi. Ketentuan ini berlaku untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan RDTR/peraturan zonasi, dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar.



d.



Aturan peralihan yang mengatur status pemanfaatan ruang yang berbeda dengan fungsi ruang zona peruntukannya. Sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007, untuk pemanfaatan ruang yang berbeda dapat diberikan tenggang waktu selama 36 bulan untuk menyesuaikan terhadap fungsi zona peruntukannya atau pindah ke zona yang sesuai. Untuk pemanfaatan ruang tertentu yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan persetujuan “legal non-conforming use” atau persetujuan “conditional use.”



Pasal 8 ayat (3) Permen ATR/KaBPN 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota menyebutkan teknik pengaturan zonasi merupakan ketentuan lain dari aturan dasar yang disediakan atau dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan aturan dasar dan ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan dengan mempertimbangkan karakteristik blok/zona. Teknik pengaturan zonasi berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan peraturan zonasi dasar serta memberikan pilihan penanganan pada lokasi tertentu sesuai dengan karakteristik, tujuan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi pada zona tertentu, sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat dicapai secara lebih efektif. Teknik pengaturan zonasi adalah aturan yang disediakan untuk mengatasi kekakuan aturan dasar di dalam pelaksanaan pembangunan kota. Penerapan teknik pengaturan zonasi tidak dapat dilakukan secara serta-merta, melainkan harus direncanakan sejak awal mengenai teknik apa saja yang akan diaplikasikan dan didukung oleh perangkat dan kelembagaan yang auditable. Teknik pengaturan zonasi yang dikenal antara lain: E-53



USULAN TEKNIS – E 1.



Transfer Development Right (TDR) TDR adalah teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan pemilik tanah untuk menjual haknya untuk membangun kepada pihak lain, sehingga si pembeli dapat membangun propertinya dengan intensitas lebih tinggi. Umumnya, TDR digunakan untuk melindungi penggunaan lahan pertanian atau penggunaan lahan hijau lainnya dari konversi penggunaan lahan, dimana pemilik lahan pertanian/hijau dapat mempertahankan kegiatan pertaniannya dan memperoleh uang sebagai ganti rugi atas haknya untuk membangun. Di Indonesia TDR tidak dapat digunakan untuk melindungi lahan pertanian ataupun lahan hijau karena pada lahan pertanian dan lahan hijau budi daya sudah tidak diperkenankan ada kegiatan lain (bangunan) dan intensitas pemanfaatan ruang nol. TDR digunakan untuk menambah intensitas pemanfaatan ruang pada kawasan terbangun dengan kriteria sebagai berikut: a.



hanya dapat diaplikasikan sebagai upaya terakhir setelah tidak ada lagi teknik pengaturan zonasi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang;



b.



diaplikasikan



pada



satu



blok



peruntukan



yang



sama.



Bila



diaplikasikan pada zona yang sama namun antara blok peruntukan berbeda, harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung terkait dengan perubahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan yang menerima tambahan intensitas ruang; dan c.



hanya dapat diaplikasikan pada zona komersial dan zona perkantoran.



Contoh: Dalam hal penerapan LP2B di kawasan perkotaan. Misalnya sebidang sawah milik Tuan A hendak dialihfungsikan untuk membangun rumah. Dikarenakan bidang sawah tersebut masuk dalam delineasi LP2B maka Tuan A tidak dapat mengalihfungsikan sawah tersebut. Sebagai gantinya Pemerintah wajib memberikan insentif bisa berupa lahan pengganti, keringanan PBB, dan insentif lainnya sesuai dengan mekanisme pasar.



E-54



USULAN TEKNIS – E 2.



Bonus Zoning Bonus zoning adalah teknik pengaturan zonasi yang memberikan izin kepada pengembang untuk meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang melebihi aturan dasar, dengan imbalan (kompensasi) pengembang tersebut harus menyediakan sarana publik tertentu, misalnya RTH, terowongan penyeberangan dsb. Penerapan bonus zoning harus memenuhi kriteria berikut: a.



diberikan pada pengembang yang belum atau tidak pernah menambah intensitas pemanfaatan ruangnya;



b.



hanya dapat diberlakukan pada zona komersial, zona perkantoran, dan zona perumahan, khususnya untuk rumah susun; dan



c.



harus didahului dengan analisis daya dukung daya tampung



d.



lingkungan untuk mengetahui: • penambahan intensitas pemanfaatan ruang pada blok peruntukan agar masih dalam daya dukung lingkungannya; • dampak negatif



yang mungkin



ditimbulkan beserta



besar



kerugiannya; dan • kompensasi pembangunan sarana publik. Kompensasi pembangunan sarana publik diutamakan untuk dilaksanakan pada sub kawasan dimana bonus zoning diterapkan, namun dapat juga dilaksanakan



pada



kawasan



lainnya



dengan



persyaratan



tertentu



berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah. Contoh: Pembangunan Jalan Simpang Susun Semanggi yang didanai oleh kompensasi dari perhitungan penambahan ketinggian bangunan beberapa gedung di sekitar Simpang Semanggi. 3.



Conditional uses Conditional uses adalah teknik pengaturan zonasi yang memungkinkan suatu pemanfaatan ruang yang dianggap penting atau diperlukan keberadaannya, untuk dimasukkan ke dalam satu zona peruntukan tertentu sekalipun karakteristiknya tidak memenuhi kriteria zona peruntukan tersebut. Pemerintah daerah dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang



E-55



USULAN TEKNIS – E bersyarat atau Conditional Use Permit (CUP) setelah melalui pembahasan dan pertimbangan TKPRD. CUP diberikan dengan kriteria: a.



Pemanfaatan ruang yang akan diberi izin memiliki tingkat kepentingan yang nyata bagi kepentingan orang banyak atau kawasan perkotaan secara keseluruhan;



b.



Pemanfaatan ruang yang akan diberi izin tidak mengganggu fungsi ruang di sekitarnya; dan



c.



Pemberian izin harus melalui pertimbangan TKPRD.



Contoh: Keberadaan mini market, bengkel, dan salon di zona perumahan diperbolehkan apabila aktivitas tersebut tidak menimbulkan gangguan yang signifikan. Selain ketiga teknik pengaturan zonasi di atas, dapat juga diterapkan teknik-teknik pengaturan zonasi lain sesuai dengan kebutuhan. E.1.2 Apresiasi dan Inovasi terhadap Pekerjaan A. Tata Guna Lahan Tata guna tanah akan dilihat berdasarkan fungsinya. Suatu kota mempunyai berbagai konsentrasi masa dengan fungsi yang bermacam-macam, terdiri dari fungsi hunian/residential, komersial, perkantoran, industri dan rekreasi. Tentu saja dalam pembagiannya, terdiri dari berbagai fungsi, seperti gedung komersial, yang didalamnya tercakup banyak fungsi seperti pasar, toko-toko, area rekreasi bahkan hotel. Namun demikian, sesuatu yang telah ditentukan land use-nya sebagai fungsi tertentu tidak berarti seluruh area tersebut harus diperuntukan sebagai fungsi tersebut. Perlu fungsi-fungsi penunjang untuk pendukung berjalannya kehidupan area tersebut meski tetap perlu ada yang mendominasi fungsinya. Ada pula kawasan yang peran fungsi-fungsi didalamnya tidak saling mendominasi sehingga kerap disebut sebagai kawasan mixed use. B. Bentuk Massa dan Bangunan Kota sebagai konsentrasi massa bangunan yang disertai berbagai elemen penunjang memerlukan penataan. Penataan ini penting sebagai pengatur dan pengendali perkembangan kota, karena manusia dalam kegiatannya selalu membutuhkan ruang, maka akan dibutuhkan berbagai prasarana sebagai wadah penunjangnya. E-56



USULAN TEKNIS – E Salah satu contoh prasarana penunjang adalah pohon, perkerasan bangunan, lisrik atau air sebagai pelengkapnya. Agar penataan kota dapat terwujud dengan baik, diperlukan perangkat peraturan/yuridiksi (dalam hal ini peraturan penataan bangunan). Penentuan pola penataan massa bangunan merupakan perangkat yang dibuat untuk menata dan mengendalikan perkembangan kota agar tetap pada garis batas yang telah direncanakan. a.



Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Building Coverage Ratio (BCR) atau KDB adalah angka perbandingan luas lantai bangunan terhadap luas tapak yang biasanya dinyatakan dalam persentase (%). Dengan demikian KDB berfungsi sebagai penentu batas maksimum luas lantai dasar bangunan yang boleh menutupi tapak/ site. Walaupun demikian, KDB tidak bisa mengatur posisi bangunan dalam tapak. KDB ini gunanya membuat keserasian dimensi (besar bangunan) pada suatu wilayah kota sesuai dengan peruntukannya, sehingga kota tertata dalam sebuah kerangka perencanaan yang matang secara lateral. Selain itu berfungsi juga untuk menjamin tersedianya ruang terbuka pada skala kapling agar tercipta bangunan dan lingkungan yang sehat, nyaman dan tidak merusak lingkungan. Dengan cukupnya ruang terbuka, maka dapat digunakan untuk penyerapan air, penghijauan, sirkulasi udara, penetrasi sinar matahari, prasarana dan kemudahan pemadaman jika terjadi kebakaran dan wadah aktivitas publik. Besarnya KDB bergantung pada fungsi bangunan, lokasinya, tipologi bangunannya dan tingkat komersialitas dari kawasan, seperti pada area residential besar KDB tergantung pada varian bentuk yang dipakai pada kawasan tersebut. Pada area komersial seperti mall, biasanya dibangun dengan pertimbangan dari komersialitas tanah yang cukup tinggi. Koefisien Dasar Bangunan merupakan salah satu kriteria yang penting berhubungan dengan pengendalian lingkungan, karena KDB akan berpengaruh dalam membentuk estetika yang berbentuk dari keseragaman persen lahan yang tertutup oleh bangunan dan ketinggian bangunan, dan dasar pertimbangan untuk menetapkan daya tampung optimal suatu wilayah/kawasan/blok peruntukkan. Dalam KDB aspek kelestarian lingkungan perlu untuk diperhatikan, untuk itu dalam salah satu penentuan KDB, aspek infiltrasi air perlu dipertimbangkan. E-57



USULAN TEKNIS – E Penghitungan koefisien dasar bangunan didasarkan pada penghitungan infiltrasi air tanah. Padan prinsipnya penghitungan infiltrasi adalah mempertahankan kelestarian muka air tanah, sehingga lingkungan binaan yang diciptakan oleh manusia tidak sampai mengganggu kelestarian alam. Oleh karena itu, dalam penghitungan KDB perlu diketahui berapa besar volume air tanah yang dikonsumsi dan berapa besar penurunan air tanah yang diakibatkannya. Untuk mengimbangi adanya penurunan muka air tanah ini, maka harus diketahui besarnya resapan dan waktu minimum air tanah kembali stabil agar dapat dihitung berapa persen luas lahan yang harus terbuka untuk menyerapkan air hujan. Input data yang diperlukan untuk menghitung luas bangunan maksimal adalah koefisien infiltrasi, intesitas infiltrasi maksimum, waktu yang dibutuhkan air tanah untuk kembali stabil, kecepatan turun air rata-rata dan tinggi muka air normal. Cara menghitung intesitas infiltrasi air pada lahan A menurut F.J Mock 1) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:



Keterangan :



𝑄𝑄𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝐶𝐶 ∗ 𝐼𝐼 ∗ 𝐴𝐴



Qinf : debit infiltrasi (liter/detik) C



: koefisien infiltrasi



I



: intensitas infiltrasi maksimum (meter/detik)



A



: luas lahan (ha)



Adapun debit infilitrasi per hektar adalah : 𝑄𝑄1ℎ𝑎𝑎 =



1ℎ𝑎𝑎 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖



Keseimbangan terjadi apabila infiltrasi per meter persegi tersebut sebanding dengan penurunan 0,00 meter muka air tanah yang diambil yaitu :



Keterangan :



𝐼𝐼𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑆𝑆𝑆𝑆



Iinf : pengambilan air tanah (liter/detik) S



1)



: koefisien kandungan



Suwandono,1988;30.



E-58



USULAN TEKNIS – E S=



Keterangan : tmin



𝑡𝑡min 𝑉𝑉𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟−𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 37,4ℎ0



: Waktu yang dibutuhkan oleh muka air tanah untuk kembali semula (stabil) (menit)



Vrata-rata : Kecepatan yang dibutuhkan (cm/menit) h0



: Tinggi muka air normal (cm)



Jadi wilayah yang harus terbuka adalah : 𝑂𝑂𝑂𝑂 =



𝐼𝐼𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑄𝑄1ℎ𝑎𝑎



Sehingga koefisien dasar bangunan maksimum dapat dihitung, yaitu: 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 =



Nilai Koefisien Infiltrasi (C) N0. 1



WILAYAH TANGKAPAN Sedikit tanah terbuka, sedikit



(𝐴𝐴 − 𝑂𝑂𝑠𝑠 ) × 100% 𝐴𝐴 KEMIRINGAN LAHAN 0% - 5%



5% - 10%



10% - 30%



1,8



1,9



2,2



1,2



1,4



1,7



0,8



1.0



1,2



penghijauan, infiltrasi sedikit 2



Cukup tanah terbuka, 50% penghijauan, infiltrasinya sedang



3



Daerah terbuka, penghijauan banyak/padat, infiltrasinya tinggi



b. Ketinggian Bangunan Berdasarkan Kamus Tata Ruang, ketinggian bangunan adalah per-bandingan antara luas lantai bangunan dengan luas persil tanah, atau perbandingan seluruh luas lantai dengan luas lahan. Ketinggian bangunan adalah angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai bangunan terhadap luas lantai (Koefisien Dasar Bangunan), berguna untuk mengatur rasio/persyaratan tinggi bangunan pada suatu kawasan. Dalam ketinggian bangunan, bangunan diatur sedemikian rupa untuk memperoleh tatanan yang baik, sehingga pembedaan ketinggian massa pada suatu deretan bangunan menjadi suatu pola garis langit (sky-line) untuk menunjukkan karakteristik dari suatu kota/kawasan. Ketinggian bangunan E-59



USULAN TEKNIS – E dapat saja dimungkinkan untuk menjadi lebih dari hasil perhitungan yang ada. Hal ini dikarenakan untuk alasan-alasan tertentu seperti untuk memperlihatkan karakteristik yang kuat dari suatu CBD, maka boleh saja ketinggian bangunan dilebihkan untuk menonjolkan karakter dari kawasan. Adapun faktor-faktor yang menentukan ketinggian bangunan adalah : a. Kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas pembangunan; b. Kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan; c. Kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada umumnya; d. Untuk suatu kawasan, seperti kawasan wisata, pelestarian, dan lain-lain, dengan mempertimbangkan kepentingan umum dan dengan persetujuan Kepala Daerah, dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan ketinggian bangunan; e. Ketinggian bangunan tidak diperkenankan mengganggu lalu-lintas udara; f. Pada area komersial, rasio lantai dapat dimaksimalkan dengan beberapa pemecahan, yaitu salah satunya dengan pembuatan void. Pada area industri biasanya digunakan satu lantai dengan lantai sebagai lingkup kerja mereka, maka jarang didapati area industri dengan jumlah lantai lebih banyak, untuk itu semua dimaksimalkan dengan KDB yang besar. Salah-satu



cara



untuk



mendapatkan



ketinggian



bangunan



digunakan



perhitungan berdasarkan Jatuhnya Cahaya Sinar Matahari ke Jalan dan GSB. Penghitungan ketinggian bangunan dengan cara ini dilakukan, karena mengingat kelembaban yang tinggi di Indonesia, sehingga jangan sampai bangunan yang ada menghalangi jatuhnya sinar matahari ke bangunan yang ada di sebelahnya. Adapun faktor lain yang dijadikan bahan pertimbangan dalam perhitungan adalah garis sempadan bangunan yang ada dan lebar jalan. Secara matematis perhitungan ketinggian bangunan adalah sebagai berikut: 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡0 =



(𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 ) × (𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 ) (𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝑎𝑎) + (2𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺)



E-60



USULAN TEKNIS – E c.



Jarak Antarbangunan Hal yang dipertimbangkan dalam menentukan jarak antarbangunan dalam suatu kota adalah dengan mempertimbangkan jatuhnya sinar matahari ke bangunan yang ada di sekitarnya. Jangan sampai sinar matahari terhalang oleh bangunan sehingga menimbulkan bayangan yang menutupi bangunan di sekitarnya yang akhirnya dapat menimbulkan berbagai penyakit, apalagi mengingat iklim Indonesia yang memiliki kelembaban tinggi. Adapun rumus matematisnya adalah:



BANGUNAN



GSB



DAMIJA



GSB



BANGUNAN



GSB-BLK



JARAK BANGUNAN



JARAK BANGUNAN



GSB-BLK



GSB-BLK



JARAK BANGUNAN



𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡



GSB-BLK



𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 =



Jarak Antarbangunan



Pada gambar di atas diasumsikan sudut cahaya matahari yang jatuh kepermukaan sebesar 450 sampai 600, maka dengan demikian tg ALO sebesar 1 sampai 1,73, atau dapat diasumsikan bahwa Ketinggian Bangunan = Jarak Antar Bangunan.



d. Sky Exposure Ratio (SER) SER merupakan intensitas langit yang terlihat dari permukaan bumi yang ditunjukan untuk mendapatkan ruang terbuka kota yang tertata rapi, sehat dan terjamin keamanannya, karena itu SER penataan bangunan dan skalanya adalah untuk mengatur jumlah sinar dan bayangan yang jatuh pada bangunan. SER akan berhubungan dengan skala vertikal bangunan.



E-61



USULAN TEKNIS – E Sky Exposure Ratio



e.



Garis Sempadan Bangunan (GSB) GSB merupakan penentu batas-batas tapak yang bisa dibangun dalam suatu area. Bila tidak ditentukan, GSB panjangnya bisa setengah dari ROW jalan. GSB mengatur batas besaran terbangun, baik pada muka, samping dan belakang bangunan juga keserasian bangunan pada suatu kawasan. Wilayah dalam tapak yang terbatasi GSB bisa dimungkinkan dihijaukan untuk mengurangi glare (panas pantulan sinar matahari) dan dapat dipakai sebagai serapan air. GSB bisa memiliki 2 (dua) fungsi, yakni sebagai : a. Building line, dengan pengertian bahwa semua bangunan wajib berada dalam satu garis yang teratur; b. Building setback, bangunan boleh berada pada garis batas sempadan tetapi tidak boleh melebihi garis tersebut. Pada area residental, pemberlakuan GSB bisa jadi sangat menarik karena sifatnya yang informal. Setback suatu kawasan sering kali menjadi penentu besarnya nilai GSB dalam sebuah lingkungan. Pada area komersial pemberlakuan GSB biasanya memiliki tipe-tipe yang tergantung pada kondisi tapak setempat, pada area padat bisa diberlakukan GSB nol (0) dengan arcade atau dengan pedestrian besar yang memberikan kemungkinan aktivitas jalan dan side-seeing bagi pengunjung kawasan komersial.



E-62



USULAN TEKNIS – E Pada kawasan industri dan komersial, GSB biasanya sangat besar dengan tujuan untuk mendapatkan keleluasaan gerak dan mobilitas, karena biasa dimanfaatkan kendaraan besar untuk perputarannya. Pada dasarnya, kawasan industri berada pada wilayah landai yang memiliki land value kecil, sehingga besarnya lahan yang digunakan untuk garis sempadan tidak terlalu menjadi masalah. Perencanaan garis sempadan bangunan dengan ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku untuk wilayah terbangun di tepi jalan, dengan ketentuan utama yaitu : a. Pertimbangan terhadap keselamatan transportasi; b. Jaringan Jalan; c. Koefisien Dasar Bangunan; d. Ketinggian Bangunan. Dengan memakai metode National Safety Council (NSC Method), maka akan dapat dihitung jarak kendaraan terhadap bangunan yang akhirnya dapat dihitung jarak antara bangunan melalui kecepatan kendaraan, jarak pandang, atau garis pandang. Untuk lebih jelasnya lihat rumus dan ilustrasi seperti berikut: 2) 𝐷𝐷𝑎𝑎 = 0,063𝑉𝑉𝑎𝑎2 + 1,47𝑡𝑡𝑉𝑉𝑎𝑎 + 16 𝑎𝑎𝐷𝐷𝑎𝑎



Keterangan : Da



𝐷𝐷𝑏𝑏 = 𝐷𝐷



𝑎𝑎 −𝑏𝑏



dan 𝑉𝑉𝑏𝑏 =



(𝐷𝐷𝑏𝑏− 16)𝑉𝑉𝑎𝑎 𝑉𝑉𝑎𝑎



= Jarak untuk mengerem secara aman kendaraan terhadap kendaraan B.



Db



= Jarak untuk mengerem secara aman kendaraan terhadap kendaraan A.



2)



a dan b



= Jarak kendaraan terhadap bangunan



Va dan Vb



= Kecepatan kendaraan A dan B



T



= Waktu reaksi untuk mengerem kendaraan.



National Safety Council (NSC Method), (Pignataro 1979:388)



E-63



USULAN TEKNIS – E E.1.3 Pendekatan Teknis A. Pendekatan Teknis Subtansi Pada dasarnya dalam pelaksanaan pekerjaan ini menggunakan pendekatan Mixed Scanning Planning Approach, dengan kajian sistem yang lebih makro tetap menjadi bagian dari kajian sistem yang lebih mikro, walaupun tidak secara menyeluruh. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kajian yang dilakukan akan menjadi lebih lengkap, karena mempertimbangkan keseluruhan sistem yang mempengaruhi, baik sistem eksternal maupun internal. Selain Mixed Scanning Planning Approach sebagai pendekatan utama, pendekatan pendukung yang digunakan dalam pekerjaan ini meliputi: 1.



Pendekatan Eksternal Penyusunan tata ruang akan mempertimbangkan faktor-faktor determinan yang dianggap mempengaruhi dalam penentuan arah pengembangan, seperti kebijakan-kebijakan yang mengikat atau harus diacu, kondisi dinamika global, kondisi ekonomi, kondisi sosial budaya, dan lain-lain. Dari pendekatan ini nantinya akan teridentifikasi gambaran tentang peluang yang tercipta dan tantangan yang harus dijawab dalam penataan ruang suatu wilayah atau kawasan.



2.



Pendekatan Internal Penyusunan tata ruang akan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan strategis di dalam wilayah studi yang berpengaruh, seperti kondisi fisik dan lingkungan, kependudukan, perekonomian, kelembagaan, dan sebagainya. Pendekatan ini terkait dengan potensi yang dimiliki dan permasalahan yang akan dihadapi dalam penataan ruang suatu wilayah.



3.



Pendekatan Sosial Budaya Pendekatan sosial budaya masyarakat ini dapat diidentifikasi dari struktur sosial budaya masyarakat, seperti jumlah dan perkembangan penduduk, tingkat pendidikan, struktur mata pencaharian, kelompok umur, dan sebagainya. Pendekatan ini pada dasarnya memandang wilayah atau kawasan studi sebagai ruang sosial (social space), dengan masyarakatnya yang beragam serta mempunyai tata nilai budaya tersendiri, baik tata nilai budaya modern maupun budaya tradisional yang ada. Diharapkan melalui pendekatan ini akan dapat dihindari kemungkinan terjadinya banturan sosial, keterasingan dari kegiatan E-64



USULAN TEKNIS – E pembangunan, dan terjadinya segregasi keruangan (spatial segregation) yang dapat berdampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan kawasan dan komunitas yang ada di dalamnya. Khusus untuk kawasan perbatasan, yang penting dikaji adalah hubungan sosial budaya antara masyarakat di perbatasan kedua negara. 4.



Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Kata sustainability sangat penting dalam sebuah kerangka pengembangan dan pembangunan. Kata tersebut merujuk pada abilility of something to be sustained. Pendekatan Sustainability Development saat ini umum digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan lingkungan atau etika bisnis, terutama sejak dipublikasikannya istilah ini dalam dokumen Bruntland Report oleh World Commission on Environtment and Development (WCED), tahun 1987. Dalam dokumen tersebut, sustainability development diartikan sebagai "development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. In a way that "promote[s] harmony among human beings and between humanity and nature". Dalam



ekonomi,



pengembangan



seperti



ini



mempertahankan



atau



meningkatkan modal saat ini untuk menghasilkan pendapatan dan kualitas hidup yang lebih baik. Modal yang dimaksud disini tidak hanya berupa modal fisik yang bersifat privat, namun juga dapat berupa infrastruktur publik, sumber daya alam (SDA), dan sumber daya manusia (SDM). Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan ini muncul dari pemikiran untuk menanggapi tantangan global di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan, melalui pengembangan ketiga komponen tersebut secara sinergi. Konsep ini memperhatikan kualitas pertumbuhan, bukan hanya kuantitasnya saja. Dengan demikian, secara singkat pembangunan berkelanjutan ini dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkan perekonomian dan pembangunan sosial tanpa mengganggu kelangsungan lingkungan hidup yang sangat penting artinya bagi generasi saat ini dan masa mendatang. Oleh karena itu, pembangunan keberlanjutan menempatkan 3 pilar utama yang satu sama lainnya saling terkait dan mendukung, yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi, 2) pemerataan sosial, dan 3) pelestarian lingkungan hidup.



E-65



USULAN TEKNIS – E 5.



Pendekatan Keamanan terhadap Bencana Wilayah Kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana, seperti gempa bumi dan gelombang tsunami. Oleh karena itu, diperlukan penanganan terhadap kondisi fisik kawasan untuk meminimalkan korban dan kerugian akibat adanya bencana tersebut.



6.



Pendekatan Partisipatif kepada Pemangku Kepentingan



Proses penyusunan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan perencanaan wilayah/kawasan. Pendekatan ini dilakukan untuk menghimpun data dan informasi yang terkait dengan pengembangan ruang dan mendapatkan masukan terhadap konsep rencana tata ruang yang telah disusun agar hasil penyusunannya dapat dirasakan dan dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan terkait.



Oleh karena itu, dalam penyusunan RDTR dan PZ perlu mempertimbangkan hubungan pendekatan di atas dengan berlandaskan kepada ekosistem dan ekonomi wilayah di kawasan perbatasan. Hubungan dari pendekatan tersebut dengan ekosistem, dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Untuk memperbesar nilai positif dalam aliran sumber daya alam, energi dan zat/materi yang akan mendukung proses produksi, serta meminimalisasi dampak negatif yang terjadi dari kegiatan di kawasan perbatasan, maka diperlukan instrumen pengatur berikut: 1.



Aspek Regulasi dan Legalisasi menyangkut ketegasan dan payung terkait dengan peraturan/hukum/



perundang-undangan



yang



memberi



kemudahan



dan



perlindungan bagi seluruh aktifitas yang terdapat di kawasan ini; 2.



Aspek Sistem Mekanisme Pasar (supply and demand) dengan kecenderungan kebutuhan produksi yang tidak terbatas, tetapi daya dukung sumber daya memiliki faktor keterbatasan;



3.



Aspek Kelembagaan/Institusional yang melakukan perencanaan, penggagasan, pelaksanaan, pengendalian/ pengawasan, evaluasi, dan peninjauan kembali terhadap seluruh kegiatan di kawasan perbatasan;



4.



Aspek Tatanan Norma dan Nilai Sosial Budaya yang berkembang di tengahtengah kehidupan masyarakat yang berada di kawasan perbatasan dengan interaksi yang akan terjadi antara penduduk asli dan pendatang dalam berbagai sekitar kegiatan yang akan dikembangkan. E-66



USULAN TEKNIS – E



Gambar E.13 Keseimbangan Ekosistem dan Ekonomi dalam Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan



B.



Pendekatan Teknis Pelaksanaan



Penerapan pendekatan yang digunakan dalam pekerjaan ini perlu didukung oleh pendekatan pelaksanaan yang runtun, jelas, efektif, dan efisien. Secara garis besar, pendekatan pelaksanaan pekerjaan terdiri atas: 1.



hipotesis isu dan permasalahan, sebagai bentuk pemahaman terhadap wilayah kajian dan akan menjadi dasar dalam pelaksanaan survei lapangan dan pengumpulan data;



2.



survei lapangan dan pengumpulan data;



3.



deskripsi dan analisis, yang dilakukan terhadap data dan informasi yang telah diperoleh selama survei dan pengumpulan data;



4.



penyusunan rencana tata ruang, guna menghasilkan keluaran yang diharapkan;



5.



media diskusi terarah, pembahasan, konsinyasi, yang digunakan untuk menjembatani kepentingan stakeholders, dalam hal ini Pemerintah Daerah sebagai penyusun rencana induk tata ruang dengan kepentingan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten serta masyarakat sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari penerapan tata ruang yang dihasilkan.



Melalui metode ini, seluruh stakeholders dapat saling mengeksplorasi aspirasi masing-masing, selain terbuka pula kesempatan untuk terjadinya dialog dan



E-67



USULAN TEKNIS – E mengemukakan pendapat teknis (scientific opinion) terhadap persoalan yang ada, serta mendapatkan feed back atas hasil yang telah dikerjakan dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Dengan demikian, tata ruang yang dihasilkan pada akhirnya dapat lebih diterima dan menjadi solusi yang komprehensif bagi semua pihak, sehingga perkembangan kawasan berlangsung lebih maksimal. INPUT ISU & PERMASALAHAN



PROSES



SURVEI & PENGUMPULAN DATA KOMPILASI & ANALISIS DATA



PERUMUSAN KONSEP RENCANA OUTPUT PERUMUSAN RENCANA TATA RUANG



RENCANA TATA RUANG



DISKUSI, PEMBAHASAN, KONSINYASI, SEMINAR



Gambar E.14 Pendekatan Pelaksanaan Pekerjaan



E.2



METODOLOGI



E.2.1 Metode Pelaksanaan Kegiatan Pekerjaan ini dilaksanakan dengan metode sebagai berikut: 1.



Metode literature study diawali dengan melakukan pengumpulan data terkait peraturan perundang-undangan terkait beserta materi teknis dari peraturan daerah yang telah diterbitkan serta bahan-bahan referensi terkait RDTR dan PZ;



2.



Metode stakeholders approach yaitu dengan melakukan pendekatan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), baik di pusat maupun di daerah. Pendekatan stakeholders dilakukan antara lain dengan melakukan FGD, konsinyasi dan diskusi, dalam rangka penyusunan RDTR dan PZ.



3.



Survei atau pengumpulan data, dilakukan untuk mendapatkan pemahaman kondisi fisik, lingkungan dan sosial budaya; melakukan identifikasi zona/guna lahan; melakukan identifikasi kegiatan pemanfaatan ruang (kegiatan utama dan kegiatan pelengkap); melakukan identifikasi persoalan pengendalian pemanfaatan ruang pada setiap guna lahan; mengidentifikasi intensitas pemanfaatan ruang dan tata



E-68



USULAN TEKNIS – E bangunan; serta melakukan validasi terhadap hasil yang telah didapat melalui studi literatur. 4.



Metode Analisis a.



Pendekatan penginderaan jauh (remote sensing) Melakukan analisis klasifikasi citra satelit baik yang dilakukan secara terselia (supervised) atau yang tidak terselia (unsupervised) untuk mendapatkan peta tutupan lahan eksisting;



b.



Analisis komparatif dengan mengacu kepada Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Nasional, Arahan Peraturan Zonasi Sistem Nasional, dan kondisi kontekstual lapangan; dan



c.



Analisis lainnya untuk menyusun ketentuan teknis peraturan zonasi (kegiatan penggunaan lahan, intensitas pemanfaatan ruang, tata massa bangunan, dan sarana prasarana minimum) dan ketentuan lainnya.



E.2.2 Kerangka Pikir Pekerjaan ini berdasarkan dari amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamatkan penataan ruang kawasan perkotaan. Kemudian, Pasal 14 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamatkan penyusunan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana rinci tata ruang (RRTR). Salah satu bentuk RRTR adalah RDTR Kawasan Perkotaan. RDTR merupakan perangkat operasionalisasi RUTR. Dalam hal ini, RUTR merupakan RTRW Kabupaten Tapanuli Selatan. Kawasan perkotaan yang akan disusun RDTR dan PZ adalah Kawasan Perkotaan Sipirok atau Batangtoru, yang merupakan PKL sebagaimana diamanatkan di dalam Perda RTRW Provinsi Sumatera Utara dan Perda No. 5 Tahun 2017 tentang RTRW Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2017-2037. Fungsi PKL sebagai 1) pusat industri pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit, karet, hasil hutan, tanaman pangan, perikanan, 2) pusat ekowisata, 3) pusat perdagangan dan jasa, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, isu strategis di Kawasan Perkotaan, diantaranya penggunaan lahan belum sesuai dengan RTR, RTH belum sesuai kebutuhan penduduk, kondisi prasarana sarana perumahan yang menurun, potensi bencana banjir, dan sebagainya. Halhal tersebut dapat diatasi dengan memberlakukan Perda RDTR. Oleh karena itu, perlu sekali dirumuskan materi Perda RDTR Kawasan Perkotaan. E-69



USULAN TEKNIS – E Secara jelas, Kerangka Berpikir Pelaksanaan Pekerjaan ini dapat dilihat pada Gambar E.15



Gambar E.15 Kerangka Berpikir Pelaksanaan Pekerjaan



E-70



USULAN TEKNIS – E E.2.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi dan kecenderungan perkembangan wilayah, melalui data/informasi yang dikumpulkan. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan survei yang terdiri dari survei primer dan survei sekunder. Metode yang akan dilakukan dalam survei lapangan terdiri dari: 1.



Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara. Observasi lapangan dilakukan melalui pengamatan untuk mengidentifikasi fakta kondisi lapangan. Bahan yang digunakan adalah peta dasar dan peta tematik tertentu (sebagai bahan recheck dan revisi di lapangan). Wawancara dapat dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur (open ended interview) dengan stakeholders yang berkompeten, untuk mendapatkan masukan pengembangan kawasan, persepsi, kebutuhan, permasalahan, potensi serta aspirasi masyarakat. Bahan yang digunakan dapat berupa daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, untuk membantu responden agar memberikan masukan secara terarah.



2.



Pengumpulan Data Sekunder Kunjungan ke instansi-instansi terkait untuk mengumpulkan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud adalah data yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan, fisik dan lingkungan, ekonomi dan sosial serta peta-peta tematik yang diperlukan dalam perencanaan. Bahan yang digunakan adalah check list data dengan sumbernya yang sudah dipersiapkan pada tahap persiapan pelaksanaan pekerjaan.



Dalam pengumpulan data dan informasi ini, secara garis besar diidentifikasi kebutuhan data dalam pekerjaan ini meliputi: 1.



klasifikasi data menurut kelompok subyek datanya, yang kemudian dirinci lebih lanjut dengan jenis-jenis data yang dibutuhkan;



2.



series data, yaitu cakupan seri waktu dari data tersebut berdasarkan periode waktu data tersebut, yang dapat dikelompokkan paling tidak adalah, data mutakhir, 5 tahun, dan 10 tahun ke belakang;



3.



jenis survei yang dilakukan untuk memperoleh data tersebut, yaitu meliputi survei data primer dan pengumpulan data sekunder. Data primer dapat diperoleh dengan melakukan observasi lapangan, dan pada subjek-subjek tertentu dapat dilakukan dengan interview atau wawancana kepada pihak-pihak yang relevan dan terkait. E-71



USULAN TEKNIS – E Data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan data-data yang ada di lembagalembaga tertentu di daerah; 4.



skala data yang meliputi skala kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Mengingat ada sejumlah daerah baru, maka untuk data kependudukan terutama, perlu dicapai sampai data menurut masing-masing desa. Wawancara : Persepsi dan Preferensi Masyarakat



Data Primer : Diperoleh melalui Wawancara/ Konsultasi dengan Stakeholder, Observasi Lapangan



Wawancara/ Konsultasi dengan Instansi, Tokoh Masyarakat, LSM : Isu Penting Pengembangan, Kondisi Sosial Budaya Masyarakat, dan Informasi Penting



Observasi Lapangan : Pengamatan dan Pencatatan Jaringan Jalan, Moda Transportasi, Prasarana Sarana Wilayah, Foto Wilayah



Kebijakan dan Peraturan Terkait dengan Perencanaan : Undangundang, RTRWN, RTRWP, RPJP, RPJM, Renstra, Sektoral, Perda, NSPM



Peta Tematik Wilayah : Peta Administrasi, Jenis Tanah, Tata Guna Lahan, Paduserasi, Sebaran Iklim, Prasarana Sarana Wilayah, Jaringan Transpotasi, dll



Data Sekunder : Bersumber dari instansional terkait



Data-data Statistik : Demografi, Ekonomi, Fisik, Transportasi, Prasarana Sarana, Kelembagaan, Pembiayaan Pembangunan, dll



Gambar E.16 Metode Pengumpulan Data



Tabel E.3 Daftar Kebutuhan Data N O



DATA / INFORMASI



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



Sekunder



Dokumen



STATUS ADA



A PUSAT 1. UU 17 Thn 2007: RPJPN



website



(softcopy) 2. Perpres 2 Thn 2015: RPJMN



website



Sekunder



Dokumen (softcopy)



3. PP 13 Thn 2017 jo PP 28 Thn



website



Sekunder



2008: RTRWN 4. Perpres .... RTR Pulau .....



Dokumen (softcopy)



website



Sekunder



• Dokumen • Peta



E-72



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



STATUS ADA



(softcopy) 5. Perpres .... RTR KSN (bila



website



Sekunder



• Dokumen • Peta



ada)



(softcopy) 6. PP No. 50 Tahun 2011



website



Sekunder



tentang Rencana Induk



Dokumen (softcopy)



Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 7. PP No. 68 Tahun 2014



website



Sekunder



tentang Penataan Wilayah



Dokumen (softcopy)



Pertahanan Negara 8. PP No. 14 Tahun 2015



website



Sekunder



tentang Rencana Induk



Dokumen (softcopy)



Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 9. Perpres No. 22 Tahun 2017



website



Sekunder



tentang Rencana Umum



Dokumen (softcopy)



Energi Nasional 10. Perpres No. 59 Tahun 2017



website



Sekunder



tentang Pelaksanaan



Dokumen (softcopy)



Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 11. Permen PU No.



website



Sekunder



• Dokumen



04/PRT/M/2015 tentang



• Peta



Kriteria dan Penetapan



(softcopy)



Wilayah Sungai 12. Permen PU No.



website



Sekunder



• Dokumen



14/PRT/M/2015 tentang



• Peta



Kriteria Penetapan Status



(softcopy)



Daerah Irigasi 13. Kepmen PUPR No. 248/KPTS/M/2015 tentang



Website. Peta



Sekunder



• Dokumen • Peta



E-73



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



Penetapan Ruas Jalan Dalam



perlu



Jaringan Jalan Primer



diminta



Menurut Fungsinya Sebagai



ke P2JN



Jalan Arteri (JAP) dan Jalan



di



Kolektor-1 (JKP-1)



provinsi



14. Permenhub No. 69 Tahun



website



STATUS ADA



(softcopy)



Sekunder



2013 ttg Tatanan



Dokumen (softcopy)



Kebandarudaraan Nasional atau yg terbaru 15. Kepmenhub No. KP 901



website



Sekunder



Tahun 2016 tentang Rencana



Dokumen (softcopy)



Induk Pelabuhan Nasional 16. Kepmen KP No. 6/KEPMEN-



website



Sekunder



KP/2018 tentang Rencana



Dokumen (softcopy)



Induk Pelabuhan Perikanan Nasional 17. Kepmendesa PDTT No. 91



website



Sekunder



Tahun 2016 tentang



Dokumen (softcopy)



Penetapan Kawasan Transmigrasi 18. Permen ESDM No. .. Tahun



website



Sekunder



201.. tentang Aturan Jaringan



Dokumen (softcopy)



Sistem Tenaga Listrik Kalimantan Permen ESDM No. ... Tahun 201.. tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik 19. Permen ESDM No. 2 Tahun



website



Sekunder



2017 tentang Cekungan Air



Dokumen (softcopy)



Tanah di Indonesia 20. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN 2018-



website



Sekunder



Dokumen (softcopy)



E-74



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



Sekunder



Dokumen



STATUS ADA



2027 atau yg terbaru 21. Permentan No.



website



56/Permentan/RC.040/11/201



(softcopy)



6 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian 22. Kepmentan No.



website



Sekunder



830/Kpts/RC.040/12/2016



Dokumen (softcopy)



tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian 23. Peta RBI skala 1:50.000



BIG



Sekunder



Peta (softcopy)



24. Peta Lingkungan Pantai



BIG



Sekunder



Peta (softcopy)



25. Peta ekoregion



BIG



Sekunder



Peta (softcopy)



26. Peta batas administrasi sesuai



BIG



Sekunder



Peta (softcopy)



27. DEMNAS



website



Sekunder



Radar (softcopy)



28. Citra satelit



LAPAN



Sekunder



Peta (softcopy)



29. Peta kawasan hutan skala



KLHK/



Sekunder



Peta (softcopy)



Sekunder



Peta (softcopy)



Sekunder



• Dokumen



Indonesia skala 1:50.000



Permendagri



1:250.000 atau 1:50.000



Dinas



terbaru



Kehutana n Prov



30. Peta kawasan konservasi



KKP/



perairan nasional atau daerah



Dinas



skala 1:250.000 atau 1:50.000



Kelautan



terbaru (bila ada)



Prov



31. Peta Geologi Wilayah skala 1:50.000



32. Peta Bencana Geologi (gunung api, gerakan tanah,



Badan Geologi,



• Peta



KESDM



(softcopy)



Badan Geologi,



Sekunder



• Dokumen • Peta



E-75



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N



DATA / INFORMASI



O



patahan aktif) skala 1:50.000



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



KESDM



STATUS ADA



(softcopy)



atau yang ada 33. Peta potensi sumber daya mineral, batubara, dan migas



34. Peta Air Tanah/ CAT/ mata air



35. Peta Wilayah Usaha



Badan



• Dokumen



Geologi,



• Peta



KESDM



(softcopy)



Badan



Sekunder



• Dokumen



Geologi,



• Peta



KESDM



(softcopy)



Badan



Pertambangan/ Wilayah Izin



Geologi,



Usaha Pertambangan



KESDM



36. Peta jenis tanah dan peta



Sekunder



Pusat



Sekunder



Peta (softcopy)



Sekunder



• Dokumen



kesesuaian lahan pertanian



Penelitian



• Peta



skala 1:50.000 atau yang ada



Tanah



(softcopy)



Bogor 37. Peta Atlas Komoditas Padi, Jagung, dan Ubi skala



Kementa



Sekunder



• Peta



n



1:50.000 38. Peta Kawasan Pertanian/ LB2P



• Dokumen



(softcopy) Kementa



Sekunder



• Dokumen • Peta



n



(softcopy) 39. Peta Daya Dukung dan Daya



Pusat



Sekunder



• Dokumen



Tampung Lingkungan



Pengenda



• Peta



Berbasis Jasa Ekosistem skala



lian



(softcopy)



1:250.000 atau 1:50.000



Pembang unan Ekoregio n (P3E), KLHK Makassar



40. Trace rencana jaringan rel kereta api



Kemhub/ Dinas



Sekunder



• Dokumen • Peta



E-76



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBE



JENIS



KETERANGA



R



DATA



N



Perhubun



STATUS ADA



TIDA K



(softcopy)



gan Prov 41. Rencana sektoral lainnya



Sekunder



terkait kawasan perbatasan



Peraturan/keput usan



menteri



(website)



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



STATUS AD



TIDA



A



K



B PROVINSI 1. Perda RPJPD Provinsi



Bappeda



Sekunder



Prov



Dokumen dan perda (soft copy)



2. Perda RPJMD Provinsi terbaru



Bappeda



Sekunder



Prov



Dokumen dan perda (soft copy)



3. Perda RTRW Provinsi



DPUPR Prov



Sekunder



• Peraturan Daerah; • Materi teknis; • Peta jpg/pdf; (soft copy)



4. Perda/ Raperda RTR



DPUPR Prov



Sekunder



KSP di wilayah



• Peraturan Daerah; • Materi teknis;



kabupaten



• Peta jpg/pdf; (soft copy) 5. SK Gubernur ttg Penetapan Fungsi dan Status Jalan



DPUPR Prov



Sekunder



• Batang tubuh; • Lampiran; • Peta GIS/CAD. (soft copy)



E-77



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



6. Data Dasar 1 (data jalan)



SUMBER



DPUPR Prov



JENIS



KETERANG



DATA



AN



Sekunder



dan DD2 (data jembatan) 7. Rencana pengembangan



AD



TIDA



A



K



Time series 5 thn (soft copy)



DPUPR Prov



Sekunder



jalan dan jembatan 8. Kondisi sungai, Daerah



STATUS



Tahun terakhir (soft copy)



DPUPR Prov



Sekunder



Irigasi, jaringan irigasi,



Tahun terakhir (soft copy)



danau, bendungan, embung, mata air, pengaman sungai dan pantai 9. Rencana pengembangan



DPUPR Prov



Sekunder



sungai, Daerah Irigasi,



Tahun terakhir (soft copy)



jaringan irigasi, danau, bendungan, embung, mata air, pengaman sungai dan pantai 10. Perda/ Raperda Rencana



Dinas



Zonasi Wilayah Pesisir



Kelautan



dan Pulau-Pulau Kecil



Perikan Prov



Sekunder



• Peraturan Daerah; • Materi teknis; • Peta jpg/pdf;



(RZWP3K)



(soft copy) 11. Kondisi dan rencana



Dinas



Sekunder



Laporan dan



pengembangan kawasan



Kelautan



peta



perikanan provinsi



Perikanan



(soft copy)



Prov 12. Perda/ Raperda Rencana



Dinas



Sekunder



• Peraturan



Pengembangan dan



Perumahan



Pembangunan



dan Kawasan



• Materi teknis;



Perumahan dan Kawasan



Permukiman



• Peta jpg/pdf;



Daerah;



Permukiman (RP3KP)



(soft copy)



Prov 13. Kepmen PUPR No.



BBWS/



Sekunder



Dokumen dan



E-78



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



.../KPTS/M/201.. tentang



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



BWS



STATUS AD



TIDA



A



K



perda (soft



Pola Pengelolaan Sumber



copy)



Daya Air Wilayah Sungai ... 14. Kepmen PUPR No. .../KPTS/M/201.. tentang



BBWS/



Sekunder



BWS



Dokumen dan perda (soft



Pola Pengelolaan Sumber



copy)



Daya Air Wilayah Sungai .... 15. Kepmen PUPR No. .../KPTS/M/201.. tentang



BBWS/



Sekunder



BWS



Dokumen dan perda (soft copy)



Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai ... 16. Kepmen PUPR No. .../KPTS/M/201.. tentang



BBWS/



Sekunder



BWS



Dokumen dan perda (soft copy)



Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai .... 17. Rencana Pengelolaan DAS ...



18. Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan



Badan



Sekunder



Pengelolaan



perda (soft



DAS, KLHK



copy)



KPH



Sekunder



Provinsi



Dokumen dan perda (soft



(KPH) 19. Provinsi dalam angka



Dokumen dan



copy) Website BPS



Sekunder



Tahun terakhir







(soft copy) 20. PDRB Provinsi



Website BPS



Sekunder



Tahun terakhir







(soft copy) 21. IPM Provinsi



Website BPS



Sekunder



Tahun terakhir







(soft copy) 22. Input Output Provinsi



BPS



Sekunder



Tahun terakhir



E-79



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



STATUS AD



TIDA



A



K



(soft copy) 23. Indeks Regi Provinsi



BPS



Sekunder



Tahun terakhir (soft copy)



24. Kondisi dan rencana



Dinas



Sekunder



Laporan dan



pengembangan



Perhubungan



peta



infrastruktur



Prov



(soft copy)



perhubungan (terminal, rel kereta api, pelabuhan, bandara) 25. Angkutan barang lintas kabupaten/kota



26. Trace rencana jaringan rel kereta api



27. Kondisi dan rencana



Dinas



Sekunder



Laporan dan



Perhubungan



peta



Prov



(soft copy)



Dinas



Sekunder



• Dokumen



Perhubungan



• Peta



Prov



(softcopy)



Dinas



Sekunder



Laporan dan



pengembangan kawasan



Pertanian



peta



pertanian provinsi



Prov



(soft copy)



28. Satuan Lingkungan



DLH



Sekunder



Hidup Daerah Provinsi 29. Kondisi ESDM dan rencana pengembangan



copy). Dinas ESDM



Sekunder



Prov



(depo BBM, migas, dll)



Laporan dan peta



ESDM provinsi 30. Peta jaringan energi



Dokumen (Soft



(soft copy) Dinas ESDM



Sekunder



Prov



Laporan dan peta (soft copy)



31. Peta kawasan hutan skala



Dinas



1:250.000 atau 1:50.000



Kehutanan



terbaru



Prov



32. Neraca Penggunaan Tanah 33. Peta status tanah



Kanwil/Kant



Sekunder



Peta (softcopy)



Sekunder



Tahun terakhir



a BPN Kanwil/Kant



(soft copy) Sekunder



Tahun terakhir



E-80



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



masyarakat/negara



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



a BPN



SUMBER



STATUS AD



TIDA



A



K



(soft copy)



JENIS



KETERANG



DATA



AN



Sekunder



Dokumen dan



STATUS ADA



C KABUPATEN 1. Perda RPJPD Kabupaten



Bappeda Kab



perda (soft copy) 2. Perda RPJMD



Bappeda Kab



Sekunder



Kabupaten terbaru



Dokumen dan perda (soft copy)



3. Perda/ Raperda Perda



Bappeda Kab



Sekunder



Komoditas Unggulan



Dokumen dan perda (soft copy)



4. SK Bupati ttg Tim



Bappeda



Sekunder



• Laporan;



Koordinasi Penataan



Kab/ DPUPR



• Peta.



Ruang Daerah



Kab



(soft copy)



5. Perda RTRW Kabupaten



DPUPR Kab



Sekunder



• Peraturan Daerah; • Materi teknis; • Peta jpg/pdf; • Peta shp skala 1:50.000. (soft copy)



6. Perda/ Raperda RDTR yang sudah ada



DPUPR Kab



Sekunder



• Perda/Raper da; • Materi teknis; • Peta jpg/pdf;



E-81



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



STATUS ADA



• Peta shp skala 1:5.000. (soft copy) 7. Laporan Peninjauan



DPUPR Kab



Sekunder



• Lap Akhir;



Kembali RTRW



• Peta jpg/pdf;



kabupaten



• Peta shp. (soft copy)



8. SK Bupati ttg Penetapan



DPUPR Kab



Sekunder



• Laporan; • Peta.



Fungsi dan Status Jalan



(soft copy) 9. Data Dasar 1 (data jalan)



DPUPR Kab



Sekunder



dan DD2 (data jembatan) 10. Rencana pengembangan



thn (soft copy) DPUPR Kab



Sekunder



jalan dan jembatan 11. Kondisi sungai, Daerah



Time series 5



Tahun terakhir (soft copy)



DPUPR Kab



Sekunder



Irigasi, jaringan irigasi,



Tahun terakhir (soft copy)



danau, bendungan, embung, mata air, pengaman sungai dan pantai 12. Rencana pengembangan



DPUPR Kab



Sekunder



sungai, Daerah Irigasi,



Tahun terakhir (soft copy)



jaringan irigasi, danau, bendungan, embung, mata air, pengaman sungai dan pantai 13. Rencana Induk SPAM



Bappeda/ DPUPR Kab/



Sekunder



• Laporan Akhir;



Dinas



• Peta.



Perumahan



(soft copy)



dan Kawasan



E-82



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



STATUS ADA



Permukiman 14. Rencana Induk Drainase/ Outline Plan



Bappeda/



Sekunder



DPUPR Kab/



• Laporan Akhir;



Dinas



• Peta.



Perumahan



(soft copy)



dan Kawasan Permukiman 15. Rencana Induk Air Limbah/Outline Plan



Bappeda/



Sekunder



DPUPR Kab/



• Laporan Akhir;



Dinas



• Peta.



Perumahan



(soft copy)



dan Kawasan Permukiman 16. Rencana Induk Pengelolaan Sampah



Bappeda/



Sekunder



DPUPR Kab/



• Laporan Akhir;



Dinas



• Peta.



Perumahan



(soft copy)



dan Kawasan Permukiman 17. Strategi Sanitasi Kabupaten



Bappeda/



Sekunder



DPUPR Kab/



Dokumen (Soft copy).



Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman 18. Buku Putih Sanitasi



Bappeda/



Sekunder



DPUPR Kab/



Dokumen (Soft copy).



Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman 19. Perda/ Raperda Rencana



Dinas



Sekunder



• Peraturan



E-83



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



Pengembangan dan



Perumahan



Pembangunan



dan



Perumahan dan Kawasan



Permukiman



JENIS



KETERANG



DATA



AN



• Materi teknis; • Peta jpg/pdf;



Kab



(soft copy) Dinas



ADA



Daerah;



Permukiman (RP3KP)



20. Kondisi perumahan dan



STATUS



Sekunder



• Laporan;



kawasan permukiman,



Perumahan



• Wawancara;



termasuk data rumah



dan Kawasan



• Peta



tidak layah huni (RTLH)



Permukiman



CAD/Jpg. (soft copy)



21. Kondisi SPAM dan



Dinas



Sekunder



• Laporan;



rencana pengembangan



Perumahan



• Wawancara;



SPAM



dan Kawasan



• Peta.



Permukiman



(soft copy)



/ PDAM 22. Kondisi jaringan drainase



Dinas



Sekunder



• Laporan;



dan rencana



Perumahan



• Wawancara;



pengembangan



dan Kawasan



• Peta.



Permukiman



(soft copy)



23. Kondisi pengelolaan



Dinas



Sekunder



• Laporan;



persampahan



Perumahan



• Wawancara;



(ketersediaan TPS, TPST



dan Kawasan



• Peta.



3R, TPA) dan rencana



Permukiman



(soft copy)



pengembangan



/ DLH



24. Kondisi pengelolaan air



Dinas



Sekunder



• Laporan;



limbah dan rencana



Perumahan



• Wawancara;



pengembangan



dan Kawasan



• Peta.



Permukiman



(soft copy)



25. Satuan Lingkungan



DLH



Sekunder



Hidup Daerah Kabupaten 26. Perda/ Raperda Rencana Induk Pengembangan



Dokumen (Soft copy).



Dinas Pariwisata



Sekunder



• Peraturan Daerah;



E-84



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



STATUS ADA



• Materi



Pariwisata Daerah (RIPARDA) Kab



teknis; • Peta jpg/pdf; (soft copy)



27. Kondisi dan rencana pengembangan



Dinas



Sekunder



• Peta jpg/pdf;



Pariwisata



pariwisata 28. Indeks Risiko Bencana



• Laporan;



(soft copy) BPBD



Sekunder



Indonesia (terbaru)



• Laporan Akhir;



Jalur evakuasi bencana



• Peta.



dan tempat evakuasi



(soft copy)



bencana 29. Kondisi infrastruktur



Dinas



Sekunder



Laporan dan



perhubungan (terminal,



Perhubungan



peta



rel kereta api, pelabuhan,



Kab



(soft copy)



bandara) 30. Rencana pengembangan



Dinas



Sekunder



Laporan dan



infrastruktur



Perhubungan



peta



perhubungan (terminal,



Kab



(soft copy)



rel kereta api, pelabuhan, bandara) 31. Angkutan barang lintas



Dinas



Sekunder



Laporan dan



kabupaten/kota/



Perhubungan



peta



kecamatan



Kab



(soft copy)



32. Kondisi dan rencana



Dinas



Sekunder



Laporan dan



pengembangan kawasan



Pertanian



peta



pertanian (tanaman



Kab



(soft copy)



pangan, hortikultura, perkebuna, peternakan) kabupaten 33. Kondisi dan rencana pengembangan kawasan



Dinas Kelautan



Sekunder



Laporan dan peta



E-85



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



kelautan perikanan



Perikanan



kabupaten



Kab



34. Neraca Penggunaan



Kanta BPN



JENIS



KETERANG



DATA



AN



Sekunder



Tahun terakhir (soft copy)



Kanta BPN



Sekunder



masyarakat/negara 36. Kabupaten dalam angka



ADA



(soft copy)



Tanah 35. Peta status tanah



STATUS



Tahun terakhir (soft copy)



Website BPS



Sekunder



Time series 10 thn (soft copy)



37. PDRB Kabupaten



BPS



Sekunder



Tahun terakhir (soft copy)



38. IPM Kabupaten



BPS



Sekunder



Tahun terakhir (soft copy)



39. Input Output Kabupaten



BPS



Sekunder



Tahun terakhir (soft copy)



40. Indeks Regional Input



BPS



Sekunder



Output (IRIO)



Tahun terakhir (soft copy)



Kabupaten 41. Peta curah hujan



BMKG



Sekunder



• Laporan Akhir; • Peta. (soft copy) •



42. Peta jaringan energi (depo BBM, migas, dll) 43. Kondisi jaringan listrik



PT. PLN



Sekunder



• Laporan;



dan rencana



• Wawancara;



pengembangan



• Peta. (soft copy)



44. Kondisi jaringan



Dinas



Sekunder



• Laporan;



telekomunikasi dan



Komunikasi



• Wawancara;



rencana pengembangan



dan PT.



• Peta.



Telkom



(soft copy)



45. Izin pemanfaatan ruang



DPM PTSP



Sekunder



Laporan dan



E-86



TIDA K



USULAN TEKNIS – E



N O



DATA / INFORMASI



SUMBER



JENIS



KETERANG



DATA



AN



terbaru (kehutanan,



peta



kelautan, pertanahan,



(soft copy)



STATUS ADA



TIDA K



pertambangan 46. Pembiayaan pembangunan daerah (bantuan APBN, APBD prov, APBD Kab) dan pengeluaran 47. Penggunaan lahan terbaru



-



Pembarua n peta RBI



E.2.4 Metode Analisis Upaya perencanaan merupakan proses kegiatan yang sangat kompleks, oleh karena itu, untuk memudahkan dalam proses/ kegiatan perencanaan, maka perlu adanya bentuk penyederhanaan objek perencanaan, atau dengan kata lain perlu dilakukan pemodelan. Beberapa pemodelan yang sering digunakan dalam proses penyusunan rencana tata ruang, antara lain model kependudukan, model perekonomian, model pengadaan dan pemanfaatan fasilitas, model transportasi dan sebagainya. Dalam prakteknya, terdapat dua bentuk pemodelan yang dapat digunakan dalam kegiatan perencanaan tata ruang meliputi: 1.



Model matematis, yang menyatakan hubungan aspek perencanaan seperti hubungan matematis. Hal ini dilakukan apabila masalah yang akan dianalisis memiliki hubungan yang dapat diibaratkan dengan hubungan fungsi matematis. Kasus yang sering dijumpai adalah dalam analisis perkembangan penduduk dan analisis ekonomi.



2.



Model miniatur, yang menyederhanakan masalah dalam skala miniatur yang tetap proporsional, misalnya maket, peta, sistem nilai. Melalui cara ini, pemahaman terhadap kondisi dan permasalahan yang dihadapi akan lebih menyeluruh,



E-87



USULAN TEKNIS – E menghindari dan tidak terpaku pada hal-hal kecil atau rinci, sehingga permasalahan pokok dapat dianalisis.



Namun demikian, mengingat perencanaan memiliki dimensi waktu yang cukup panjang dan menyangkut kondisi pada masa yang akan datang dengan pertimbangan kondisi yang ada saat ini dan masa yang telah lalu, maka fleksibilitas analisisnya sangat tergantung pada: 1.



ketersediaan data, makin lengkap dan rinci data yang tersedia, maka analisis pun akan memiliki tingkat keakuratan yang makin tinggi pula;



2.



tujuan analisis, tidak setiap aspek/ objek memerlukan analisis yang terinci sampai kepada hal-hal yang kecil, namun tetap tidak mengurangi faktor nilai kelengkapan data;



3.



teknik analisis, penggunaan model dan teknik analisis yang tepat akan membantu kehalusan analisis sehingga peramalan atau perkiraan yang diperoleh akan dapat mendekati kondisi yang sesungguhnya. Pemilihan teknik dan model analisis ini juga akan terkait dengan kedua aspek sebelumnya, yaitu ketersediaan data dan tujuan analisis.



Dalam melaksanakan pekerjaan ini, beberapa model analisis yang akan digunakan meliputi: 1.



Model Proyeksi Keadaan masa sekarang yang terjadi adalah sebagai akibat dari perkembangan dan kecenderungan yang terjadi pada masa lalu, dengan demikian perlu diketahui bagaimana kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecenderungan-kecenderungan keadaan di masa yang akan datang, berdasarkan pengalaman-pengalaman di masa lalu. Hasil-hasil yang terjadi pada masa lalu itulah yang dijadikan input utama pendekatan dalam memproyeksikan perkembangan di masa mendatang seperti pendekatan ekstrapolatif, normatif dan pendekatan campuran. Teknik proyeksi dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, dengan mendasarkan pada data-data yang ada (statistik maupun penelitian). Metode proyeksi yang lazim dipergunakan adalah: 1) Metode Garis Trend; 2) Metode Garis Regresi 3) Metode Ekonometris, sedangkan teknik proyeksi terhadap hal-hal yang bersifat kualitatif dilakukan dengan menggunakan: 1) Metode Induksi; 2) Metode Generalisasi dan 3) Metode Deduksi. E-88



USULAN TEKNIS – E 2.



Model Analisis Fisik Metode ini diarahkan untuk menginventarisasi jumlah, kualitas sumber dan distribusi geografis dari sumber daya utama, termasuk potensi dampak lingkungan yang ada, dihubungkan dengan jenis dan intensitas kegiatan sosial ekonomi yang dapat didukung oleh sumber daya tersebut. Karakteristik utama dari setiap sumber daya dicatat, demikian pula penggunaan atau potensi penggunaannya di masa mendatang. Langkah dasar untuk melakukan inventarisasi sumber daya alam dan potensi dampak lingkungan tergantung pada jenis, sifat dan, distribusi sumber daya dan potensi dampak pada kawasan yang ditinjau. Salah satu analisis fisik yang digunakan adalah metoda superimpose.



3.



Model Analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan deskriptif analitis. Studi ini menggunakan software Arc Gis/MapInfo untuk penentuan kesesuaian lahan melalui metoda overlay peta fisik dasar, menampilkan hasil perhitungan ketersediaan sumber daya air, menampilkan hasil perhitungan kualitas iingkungan dan menampilkan hasil analisis daya dukung lingkungan dalam bentuk peta arahan pemanfaatan ruang.



4.



Model Analisis Zona Pengembangan Analsisis ini merupakan hasil penggabungan dari aspek kajian sebelumnya, yaitu analisis ketersediaan lahan (analisis fisik) dan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Metode pendekatan penentuan zona pengembangan menggunakan deskripsi analisis, yaitu dengan menggabungkan kedua aspek kajian tersebut. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan zona yang masih dapat dikembangkan untuk kegiatan di dalam kawasan. Dalam konsep daya dukung lingkungan, unsur-unsur spesifik yang dimiliki wilayah/kawasan sebagai masukan untuk analisis terdiri dari faktor penunjang dan faktor pembatas. Faktor penunjang merupakan masukan utama untuk kegiatan meliputi sumber daya lahan dan sumber daya air. Faktor pembatas terdiri dari kendala dan limitasi, seperti kemiringan.



5.



Analisis Potensi Ekonomi Wilayah: Potensi ekonomi saat ini dan dampak pengembangan wilayah kawasan perbatasan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah perlu dikaji. Pengembang-an wilayah E-89



USULAN TEKNIS – E diharapkan dapat meningkatkan kesejehteraan masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung melalui 1) penciptaan lapangan kerja baru, 2) meningkatkan perdagangan interregional, dan 3) mendorong kegiatan pariwisata. Secara jelas lihat gambar berikut. Untuk itu perlu kajian dan analisis mendalam tentang: a.



Pertumbuhan ekonomi daerah;



b.



PDRB per kapita dan tipologi daerah;



c.



Hubungan investasi dan PDRB (icor);



d.



Potensi pertumbuhan (shift-share);



e.



Sektor basis (LQ);



f.



Spesialisasi regional (indeks krugman);



g.



Daya saing produk (RCA).



Pembangunan Infrastruktur Pendukung Wilayah Pengembangan Wilayah Kawasan Sei Mangkei



6.



Pertumbuhan Kawasan Sei Mangkei



Metode Identifikasi Komoditas Unggulan Sektor unggulan merupakan suatu sektor kegiatan ekonomis wilayah yang dianggap menjadi unggulan atau andalan yang dapat meningkatkan perkembangan wilayah/kawasan yang bersangkutan. Identifikasi komoditas unggulan ini diarahkan untuk mengetahui komoditas atau kegiatan yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan di suatu wilayah, baik dilihat dari potensi, penciptaan pendapatan dan lapangan kerja, maupun interaksinya dengan sektor-sektor lain di wilayah itu sendiri maupun di luar wilayah/ kawasan. Untuk mengetahui omoditas E-90



USULAN TEKNIS – E unggulantersebut dapat ditempuh dengan menggunakan model analisis Location Quotient (LQ), dan analisis shift share. 7.



Model Kependudukan dan Sosial Budaya Penduduk merupakan faktor utama perencanaan, sehingga pemahaman akan kegiatan dan perkembangan penduduk merupakan bagian pokok dalam penyusunan rencana. Analisis kependudukan merupakan faktor utama untuk mengetahui ciri perkembangan suatu wilayah, karena itu data penduduk pada masa lampau hingga tahun terkini sangat diperlukan untuk dapat memproyeksikan keadaan pada masa mendatang.



Salah



satu



yang



penting



dalam



analisis



penduduk



yaitu



memproyeksikan jumlah penduduk di masa yang akan datang. Beberapa metode atau model analisis yang dapat digunakan diantaranya kurva polinomial garis lurus, kurva polinomial regresi, dan metode bunga berganda. 8.



Pemodelan Interaksi AntarWilayah Asumsi dasar yang digunakan adalah melihat suatu wilayah sebagai suatu massa, sehingga hubungan antar daerah diasumsikan dengan hubungan antar massa yang memiliki daya tarik, sehingga terjadi saling pengaruhi antar daerah. Pemodelan yang dapat digunakan dalam melakukan analisis terhadap pola interaksi atau keterkaitan antar wilayah atau antar bagian wilayah dengan wilayah lainnya, adalah Model Gravitasi. Penerapan model ini dalam analisis perencanaan kota dan wilayah adalah dengan anggapan dasar bahwa faktor aglomerasi penduduk atau pemusatan kegiatan dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki, mempunyai daya tarik menarik.



9.



Analisis Perkiraan Sektor/Subsektor/Kegiatan Baru Identifikasi dan analisis sektor/subsektor/kegiatan baru yang timbul sebagai akibat dari pengembangan wilayah dimaksudkan sebagai masukan dan pertimbangan dalam penataan ruang kawasan. Disamping itu, penataan ruang tersebut harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat, sehingga sedini mungkin konflik yang akan timbul dapat diantisipasi. Pada prinsipnya pengembangan wilayah harus memberikan nilai tambah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan bukan malah sebaliknya.



10. Analisis Kebutuhan Ruang dan Infrastruktur



E-91



USULAN TEKNIS – E Dari analisis kegiatan ikutan akibat pengembangan wilayah dapat dihitung besaran kebutuhan ruang dan infrastruktur yang dibutuhkan sesuai standar baku yang berlaku. Kebutuhan ruang meliputi kawsan permukiman, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, dll sedangkan kebutuhan infrastruktur meliputi: jalan, pelabuhan, air, listrik, dll. 11. Metode Tingkat Kemampuan Pelayanan Fasilitas Tingkat pelayanan fasilitas umum diukur dengan cara mengkaji kemampuan suatu jenis fasilitas dalam melayani kebutuhan penduduk. Dalam hal ini, fasilitas umum yang memiliki tingkat pelayanan 100% mengandung arti bahwa fasilitas tersebut memiliki kemampuan pelayanan yang sama dengan kebutuhan penduduk. 12. Analisis Kebutuhan Ruang dan Infrastruktur Dari analisis kegiatan ikutan akibat pengembangan wilayah dapat dihitung besaran kebutuhan ruang dan infrastruktur yang dibutuhkan sesuai standar baku yang berlaku. Kebutuhan ruang meliputi kawsan permukiman, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, dll sedangkan kebutuhan infrastruktur meliputi: jalan, pelabuhan, air, listrik, dll.



E-92