Ebook Pindah - Rawayan Award 2022 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

J A K A R TA , 2 0 2 2



Pindah



Antologi Pemenang Sayembara Naskah Teater Rawayan Award 2022 Hak cipta © keseluruhan buku pada Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 2022 Hak cipta © setiap naskah pada masing-masing penulis, 2022 Penulis: Mulyadi, Yessy Natalia, Rachmat Hidayat Mustamin, Taruna Perkasa Putra, N. Riantiarno, Ibed S. Yuga, Sri Kuncoro, Ahda Imran, Rizal Iwan Penerbit: Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta 10330 www.dkj.or.id Penaja utama: Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Penyunting: Arthur S. Nalan, Dede Pramayoza, Otty Widasari, Shinta Febriany, Zen Hae Cetakan pertama: Desember 2022 xvi + 328 hlm. 14 cm x 20,5 cm Key visual: Riosadja Desain sampul dan ilustrasi: Heru Firdaus Desain isi: Tim Desain Kalabuku Tipografi: Minion Pro, Barlow, BB Studio Round Pro Hak cipta © dilindungi undang-undang.



Daftar Isi vi Pengantar Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ix Pertanggungjawaban Dewan Juri 1



NASK AH TERBAIK



3 Bilai M U L Y A D I 35



Tuhan, Tolong Bunuh Emak



Y E S S Y N A T A L I A 61



Sketsa-Sketsa di Kebun Warisan



R A C H M A T H I D A Y A T M U S T A M I N 75



N A S K A H I S T I M E WA



77



The Death of the Activist



T A R U N A P E R K A S A P U T R A 125



Matahari Papua



N . R I A N T I A R N O 189



Beo Motinggo



I B E D S . Y U G A 225



NASK AH POTENSIAL



227



Semar Mencari Raga



S R I K U N C O R O 271



Mesin Jemaat



A H D A I M R A N 295 Pindah R I Z A L I W A N



v



Pengantar Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta



Jeda pertemuan yang diciptakan oleh situasi pandemi Covid-19 terisi oleh sekian banyak usaha untuk tetap terhubung. Pertemuan tetap digelar walau berbeda cara. Kita makin akrab dengan pertemuan di ruang privat untuk kepentingan umum. Begitu pula dengan sebuah proses. Yang personal menjadi bagian dari yang kolektif. Kita semua diajak pindah, dalam pengertian ruang maupun pemaknaan isi. Setidaknya, itulah catatan yang kami ambil ketika pertama kali merumuskan seperti apa Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta tahun ini harus memosisikan dirinya: menangkap proses tersebut serta membawanya ke ruang yang lebih besar untuk dipercakapkan. Kami merasa bahwa semangat yang telah dilakukan pada Rawayan Award oleh komite sebelumnya patut diteruskan, yaitu melihat naskah teater dalam spektrum yang lebih luas dari sekadar tegangan antara pelengkap pentas atau teks sastra. Naskah teater juga adalah sebuah dokumentasi gagasan dan dari proses yang dia tempuh menjelaskan situasi yang dialami penulis. Kami sepakat bahwa apa yang nantinya kami terima dalam sayembara harus juga mencerminkan pergulatan yang terjadi oleh teater di luar sana, baik secara bentuk maupun isu. Untuk itu, naskah-naskah yang nantinya menang tak bisa lagi dinilai dengan peringkat, tetapi ditempatkan dengan pertimbangan capaian dan potensi vi



yang ia bawa. Kami membagi apresiasi dalam sayembara ini ke dalam tiga kategori, yaitu naskah terbaik, naskah istimewa, dan naskah potensial. Kami mengapresiasi kerja para juri yang telah memberi banyak masukan dalam proses pelaksanaan ide-ide yang kami bawa di awal. Dengan kesadaran, sayembara ini bisa jadi lebih inklusif dan aktual, kami memilih juri dengan berbagai kapasitas. Mulai dari “alumni” program sayembara ini sendiri, kritikus sastra dan drama, pelaku teater, serta pelaku seni performans dan media baru. Masing-masing diharapkan memberi penajaman pada pembacaan naskah-naskah yang nantinya kami terima. Kami sebagai komite berada di luar arena percakapan para juri sebab tak ingin mengatur bagaimana penajaman itu bergulir. Yang kami lakukan hanya memastikan bahwa semangat inklusif dari sejumlah catatan penyelenggaraan sebelumnya serta pemaknaan perpindahan pandangan dan posisi naskah teater, baik sebagai teks maupun penawaran peristiwa pemanggungan, tetap menjadi pegangan para juri menimbang pilihannya. Kami bergembira dengan sejumlah pembacaan juri yang memberi ruang bagi isu-isu yang terpinggirkan dengan tetap secara kritis melihatnya sebagai kesatuan karya artistik. Misal, memberi nilai lebih pada naskah dengan perhatian pada isu sosial yang tak mengeksotiskan budaya lokal atau mengkomodifikasi kemiskinan. Pada isu gender dan seksualitas dipandang sebagai fenomena aktual dalam masyarakat kita tanpa melupakan kaidah dan keterampilan mewujudkannya sebagai peristiwa panggung melalui teks. Sembilan naskah teater yang menjadi pemenang dalam masing-masing kategori adalah tawaran kami mengintip sedikit bagian dari lanskap naskah teater mutakhir yang diciptakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kami pun bersuka cita karena tahun ini pemenang tak didominasi dari satu daerah, serta munculnya perempuan penulis naskah teater sebagai pemenang nasvii



kah terbaik. Ini memperlihatkan bahwa pindah adalah keniscayaan selain juga menjadi salah satu judul naskah teater yang memenangkan kategori naskah potensial. Kita musti pindah dari cara berpikir lama, cara menatap antara panggung dan teks yang usang serta dengan segera merapikan ruang baru yang tercipta di sebuah penanda zaman ini, pandemi dan segala pembatasnya. Selamat pindah, selamat membaca. Jakarta, 2 Desember 2022 Komite Teater – Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi Dendi Madiya Nurul Susantono Rebecca Kezia Suaeb Mahbub



viii



Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta 2022



PENGANTAR Perjalanan Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) cukup panjang. Pada 2022, pascapandemi, sayembara kembali diselenggarakan dan ternyata peminatnya cukup menggembirakan, sebanyak 212. Naskah yang masuk sangat beragam dan bervariasi, serta banyak yang menarik dari gagasan, isu-isu terkini, tema, pemanggungan, bahkan judul-judul yang provokatif, juga beberapa terpengaruh naskah-naskah luar, hanya dari sisi penguasaan dramaturgi sebagian besar peserta belum memahaminya secara baik. Meskipun demikian, berdasarkan kriteria dari DKJ, kami tim juri memilih 17 naskah terlebih dahulu. Kemudian, harus memilih 9 naskah yang dikategorikan terbaik, istimewa, dan potensial. Memilih naskah dari 212 untuk mendapatkan 17 naskah, kemudian 9 naskah, merupakan tugas juri yang paling menantang dan cukup panjang dalam membacanya, memahaminya, mempertimbangkannya, dan tentunya setiap juri memiliki pilihan-pilihannya sendiri. Namun, ada mekanisme yang disepakati bersama, ada persamaan penilaian mayoritas (3 juri memilih naskah yang sama dan 2 juri memilih naskah yang sama), dan “adu argumentasi” di antara juri terjadi pula. Selain itu, adanya catatan-catatan ix



dari setiap juri menjadi lebih kuat untuk alasan-alasan terpilihnya 9 naskah. Akhirnya, terpilih 9 naskah yang dapat dinyatakan sebagai pemenang Sayembara Naskah Teater DKJ 2022. 9 naskah terpilih dengan rincian 3 naskah terbaik, 3 naskah istimewa, dan 3 naskah potensial. Adapun rinciannya sebagai berikut. Naskah Terbaik Bilai Tuhan, Tolong Bunuh Emak Sketsa-Sketsa di Kebun Warisan Naskah Istimewa The Death of the Activist Matahari Papua Beo Motinggo Naskah Potensial Semar Mencari Raga Mesin Jemaat Pindah



Kategori Naskah Terbaik 3 naskah ini dianggap oleh tim juri memiliki “kekuatan” dalam dramaturgi, konteks budaya lokal, tema yang menarik, konflik yang dramatis, dan peluang besar untuk pemanggungan yang lengkap, terutama di dalam keaktoran dan artistik panggung.



Kategori Naskah Istimewa 3 naskah ini dianggap oleh tim juri memiliki “keistimewaan” dalam keunikan narasi, kontektualitas tema, dan jika dipanggungkan, dapat memberi kemungkinan perbedaan dalam kreativitasnya. x



Kategori Naskah Potensial 3 naskah ini dianggap oleh tim juri memiliki “potensi” di masa yang akan datang, terutama dalam peluang pertunjukannya dan variasi temanya.



CATATAN DAN RINCIAN DARI JURI Naskah Terbaik Bilai adalah naskah yang menggunakan bahasa Sasak Lombok Utara dalam porsi yang tebal dalam dialog-dialognya. Pembabakan dan penokohan jelas. Konflik terasa tajam. Budaya lokal menjadi kekuatan yang menarik karena diolah secara kreatif. Naskah lakon serupa ini dipandang penting sebagai bentuk ekspresi kultural khas sekaligus bentuk alternatif dari penulisan naskah drama di Indonesia. Ketimbang cara ungkap yang mengambil gaya pementasan konvensional, maka gaya khas serupa ini tentu terasa lebih dekat dengan pertunjukan-pertunjukan tradisional di Indonesia. Bilai mampu menunjukkan kemampuannya untuk tidak saja mengungkapkan perikehidupan etnik di Nusantara, tetapi juga pada saat yang sama mampu menghadirkan struktur lakon yang kuat dan cukup ketat dalam hal menarik perhatian pembaca maupun penonton. Penggambaran kemiskinan bukan disampaikan sebagai pesan moral sebagaimana kebanyakan naskah-naskah lainnya, melainkan dengan penggambaran lanskap tradisi dan sosial di sebuah lokasi tidak bernama. Lanskap tersebut hadir lewat imajinasi yang dilahirkan dari dialog yang kuat, merangkum dengan tidak berpanjang-panjang semua persoalan: kemiskinan struktural dan kultural, kekerasan seksual, lokasi-lokasi tradisi, identitas, dan konflik yang disebabkan oleh semua hal tersebut. Naskah ini sangat baik dalam perihal pembingkaian dan penyampaian sebagai sebuah konsep pertunjukan.



xi



Tuhan, Tolong Bunuh Emak adalah naskah yang sederhana, tetapi penuh kekacauan sehari-hari yang cukup alami. Ceritanya menampilkan konflik dan efek dramatik tertentu. Dialog-dialognya berlangsung alami. Potret manusia yang ditampilkan dalam naskah ini adalah manusia Indonesia, tetapi pada saat yang sama juga dapat memiliki hubungan dan sekaligus kesetaraan dengan manusia-manusia lain di berbagai tempat di belahan dunia. Kekuatan naskah ini terletak pada narasi dan objek-objek yang bersirkulasi dalam ruang yang terbatas. Yang menarik dari naskah ini adalah montase yang diterapkan terhadap objek, seperti uang, obat, cairan pembunuh serangga, dan motor, bermain membentuk alur cerita. Sketsa-Sketsa di Kebun Warisan adalah naskah yang mencoba eksperimentasi berbeda. Ada nuansa lokal yang dimasukkan dengan takaran yang tepat. Bagaimana, misalnya, pengadeganan disusun dan cerita yang berlapis-lapis di dalamnya, antara kemiskinan hari ini dengan sejarah DI/TII di masa lalu, antara dunia orang miskin dan dunia hantu-hantu orang yang dibunuh tentara DI/TII. Lapisan-lapisan itu sekilas terpisah satu sama lain, tetapi jika diikuti dengan cermat akan terlihat hubungannya yang kuat. Akhir cerita yang tiba-tiba selesai dengan perceraian, sebenarnya masih bisa dikembangkan sedemikan rupa. Bahasa Indonesia dengan logat setempat (Bugis dan sekitarnya) membuat kelisanan merasuk mulus dalam cakapan bahasa Indonesia, tanpa harus menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah jika hanya untuk mendapatkan suasana kedaerahan yang diinginkan. Alur plot yang kuat: definisi kemiskinan yang berpusat pada kebun warisan antara dua kakak beradik, mengantarkan kisah sejarah luka masa lalu melalui situasi kesurupan, dan berakhir di persidangan. Narasi monolog kuat sekali. Lewat kesurupan, mengalirlah kisah-kisah massa para hantu tentang peristiwa DI/ TII yang menjadi momok dan teror. Bagaimana kematian terjadi xii



sebelum mereka menjadi hantu. Demografi kematian. Posisi dan kematian politis seorang bissu tidak dihadirkan lewat hantunya, melainkan lewat hantu lain yang pernah menjadi tawanan bersama. Tujuh nasihat orang Bugis yang disampaikan oleh Ambo Tang tidak pernah diselesaikannya.



Naskah Istimewa The Death of the Activist adalah naskah yang berkisah tentang aktivisme konflik agraria, sebuah isu yang sangat jarang ditemui di teater Indonesia. Dialog-dialognya terasa seperti sebuah diskusi, meskipun adanya pengaruh Endgame karya Samuel Beckett. Agak kelam, mesti jangkar ceritanya adalah kehidupan para aktivis dan perjuangan warga melawan agresi kapitalisme tanah. Matahari Papua adalah naskah yang menceritakan Papua dengan cerita yang memiliki peluang untuk dikembangkan dan secara aspek bahasa cukup memadai. Matahari Papua membuka wawasan tentang dunia Papua yang sebenarnya memiliki keistimewaan. Yang paling spesifik dari naskah ini adalah penempatan posisi Mama Yakomina yang menggambarkan tradisi suku Kamoro (di Mimika) sebelum diinterupsi oleh konsep agama dan negara, yang pusat dari kehidupan sosial adalah sosok perempuan (ibu). Beo Motinggo adalah naskah yang mencoba menafsir lakon Malam Jahanam sebagai sumber cerita. Ia menarik semacam benang merah antara Macbeth karya Shakespeare, Malam Jahanam karya Motinggo Busye, dan peristiwa pembunuhan jenderal dalam Gerakan 30 September 1965. Yakni, dari motif pembunuhan yang dilakukan oleh para tokohnya. “Malam jahanam” juga digunakan untuk menyebut malam penculikan dan pembunuhan para jenderal pada malam 30 September 1965. Naskah ini menarik secara ide pemanggungan dan memberikan pentas teater daxiii



lam bentuk baru. Naskah tidak melulu petikan teks-teks dari sumber lain, tetapi ada adegan dramatis juga. Seni peran dalam naskah ini bertanding dengan interpretasi tekstual naskah yang menjadi sumber cerita.



Naskah Potensial Semar Mencari Raga adalah naskah teater tentang instruksi bermain teater dan berakhir dengan sebuah krisis. Naskah ini dimaksudkan sebagai pralakon. Secara konsep cukup tergambarkan. Naskah ini memiliki kelengkapan konsep pemanggungan. Konflik dihadirkan secara mengalir mulus. Filosofi sosok Semar yang bersifat pakem, tidak menitis, dan hadir sebagai kontradiksi kehidupan di dunia, ditarik dalam fragmen “sekarang” dengan relevan. Naskah ini memiliki potensi untuk menjadi ajang latihan dalam dunia keaktoran. Mesin Jemaat adalah naskah yang menggunakan metafora mesin cuci untuk membongkar wacana keagamaan yang suci dan tak berdosa. Tema dibicarakan relatif mulus meski masih ada jargon di sana-sini. Pendekatan menggunakan teknik dokumenter, yakni sebagai Youtuber, yang memungkinkan naskah ini relevan dengan generasi masa kini, generasi internet. Deskripsi latar visual juga menarik, semisal mesin cuci dan manekin yang semuanya bertema agama. Naskah Mesin Jemaat menyoroti perkara fundamentalisme dalam beragama. Menariknya, naskah ini mengingatkan penonton pada hal yang sebenarnya kita ketahui, tetapi jarang terpikirkan, bahwa candu agama membutuhkan banyak modal kain dan sabun. Pindah adalah naskah tentang pasangan gay yang hidup bersama di sebuah komplek perumahan, tetapi terpaksa pindah karena desakan warga. Cara penulisan lakon ini bagus. Meski konvensional dalam bayangan pemanggungan, realis pula, lakon ini xiv



mendesakkan sebuah konflik yang menarik di antara para tokohnya. Bukan hanya warga yang heteroseksual dengan pasangan homoseksual, melainkan di antara pasangan homoseksual itu pun ada konflik yang menyangkut eksistensi dan masa depan mereka. Sebuah lakon realis yang rapi dan memberikan ironi yang tajam bagi kita. Dialog-dialog di antara tokohnya tampak ringan sekaligus intim. Pasangan gay itu tidak tunduk pada desakan lingkungan kaum heteroseksual. Mereka melawan dengan cara mereka sendiri.



PENUTUP Demikian hasil penilaian tim juri, keputusan tim juri tidak bisa diganggu gugat. Ditetapkan di Jakarta, 22 November 2022. Dewan Juri



xv



NASKAH TERBAIK



Bilai



*



M U L YA D I



* Istilah bahasa Sasak Lombok Utara. Artinya: suatu keadaan yang dialami seseorang di mana ia berada dalam keadaan sangat miskin.



Mulyadi lahir pada 1 September 1988 di Dusun Kakong, Desa Selelos, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Ia mulai menulis naskah lakon semenjak tergabung di UKMF Teater Putih FKIP Unram. Mulyadi sempat beberapa kali meraih penghargaan, di antaranya menjadi juara pertama pada Lomba Penulisan Naskah Lakon Realis se-NTB yang diadakan Teater Putih FKIP Unram, terbaik kedua pada Lomba Penulisan Naskah Teater yang diadakan oleh Puskurbuk, dan pada 2017 menjadi pemenang harapan pada Lomba Penulisan Lakon Teater dalam rangka kegiatan Pekan Teater Nasional. Selain menulis lakon, ia juga aktif menyutradarai pentas teater sejak 2007 sampai hari ini. Beberapa lakon yang pernah disutradarinya adalah Orang Kasar (Anton Checkov), Istri Penambal Sepatu yang Luar Biasa (Federico García Lorca), RT Nol, RW Nol (Iwan Simatupang), Badai Sepanjang Malam (Max Arifin), dan beberapa judul lain. Selain itu, Mulyadi juga menyutradarai beberapa naskah teater dan naskah monolog karyanya sendiri. Saat ini, ia berpofesi sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu sekolah menengah di Lombok Utara. Di samping mengajar, Mulyadi juga aktif memasyarakatkan teater di Kabupaten Lombok Utara melalui Sanggar Anak Gunung yang didirikiannya pada 2017. Penulis dapat ditemui melalui surel [email protected].



BAGIAN 1 Kejadian ini terjadi di sebuah rumah yang terletak agak jauh dari perumahan warga lain di pinggir hutan. Sebuah rumah kayu yang sudah terlihat menua. Di beberapa bagian, sarang laba-laba dengan leluasa juga membangun rumahnya. Berdekat-dekatan ruang tengah, ada dapur dan ruang tempat menumpuk perkakas. Beberapa perkakas bertani, seperti cangkul, parang, kerowok1, menempel atau disandarkan sekenanya. Di pojok ruang tengah, sebuah tiang berdiri di tengah-tengah, memisahkan ruang tengah dan dapur. Sebuah lampu copok2 di dekat dapur, dan lampu gantung yang sudah tidak terlalu terang terpasang di tiang tengah. Bagian dapur dengan dinding terlihat menghitam. Ada tungku api dari kayu, dan pepa3 di atasnya, tempat menaruh peralatan dapur dan kayu bakar agar tetap kering. Di salah satu bagian dapur agak ke depan, ada tiang khusus yang memang sengaja ditambahkan untuk mengikat seorang gadis, putri dari pemilik rumah ini yang mengalami gangguan jiwa. Pemilik rumah ini adalah sepasang suami-istri dengan dua orang anak. Seorang putri yang tidak bisa melihat dan mengalami gangguan kejiwaan bernama Tinep, dan seorang anak laki-laki yang biasa dipanggil Kepaq karena terlahir dengan fisik yang tidak sempurna, dengan betis dan kaki yang membengkok ke arah dalam, begitu pun dengan tangan dan wajah yang juga lebih terlihat berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Anyaman dari ketak/paku hata atau dari karung bekas, salah satu peralatan memetik kopi.



1



2



Lampu yang terbuat dari bekas kaleng atau botol kecil yang diberi sumbu.



Anyaman dari bambu berbentuk persegi panjang, tempat menaruh kayu bakar dan peralatan dapur. 3



BILAI



5



Nak Kertinep memotong beberapa ranting kayu bakar, lalu berkali-kali meniup api di tungku, tetapi tetap tidak bisa menyala. Tinep: (Di pojok sebelah kanan, terlihat berkidung sendiri sambil memainkan buntalan kain dan ayunan bayi di depannya. Ia selalu mengkidung4.) O anakku sik buaq bulu siq paling tunakku Maraq permata intan ratna mutu Maih ku umbaq sambil ku melagu Tindoq anak, anakku sik bagus … Nak Kertinep: Bisa tidak satu hari saja kamu tidak mengkidung, Tinep? Apa kamu tidak kasihan melihat inaq5-mu ini? Setiap hari mendengar kidungmu. Kadang-kadang kamu tertawa sendiri, kadang-kadang kamu mengkidung sambil menangis sendiri. (Terdiam sejenak.) Sepertinya Tuhan memang terlalu memandang inaqmu ini sebagai manusia yang sangat kuat. (Sambil sesekali memasukkan kayu ke dalam tungku.) Tinggal di rumah kumuh pinggir hutan dengan atap bocor. Harus menghadapi amaq6-mu yang tidak karuan; membotoh7, mabuk-mabukan, hutang sana-sini. Membesarkan Kepaq adikmu yang lahir tidak sempurna. Demi Tuhan, itu tidak membuat Inaq mengeluh, tapi setiap kali pulang memburuh lalu mendapati kamu seperti ini, demi apa pun mungkin Tuhan salah jika memandang Inaq sebagai makhluk yang tahan uji. (Mendekati Tinep dan memeperbaiki ikat rambutnya yang sedikit terlepas, kemudian kembali lagi ke dekat tungku.) Tinep: (Kembali mengkidung, lalu tiba-tiba meronta, namun tidak bisa bergerak banyak karena badannya sudah dirantai di tiang 4



Berkidung atau bernyanyi dengan logat khas kedaerahan.



5



Ibu.



6



Bapak.



7



Main judi kampung, seperti boladil, sabung ayam.



6



M U LYA D I



rumah.) Huaah … lepas … lepas … lepaskan …. (Terus berteriak kemudian terkekeh-kekeh.) Hee … menjauh … menjauh kataku! Kamu sudah mengambil semua dalam hidupku. Sekarang kamu mau mengambil anakku. Jangan mengira aku tidak mengenalimu, haha …. Jangan sembunyi kamu … Kamu mau mencuri anakku, kan …! (Marah melihat badannya diikat.) Lepas … lepas …. Saya tidak gila. Lepas … biar saya bunuh bawi bakatan8 itu …. Lepas! Nak Kertinep: Tinep … Tinep … sudah …. Bisa terluka nanti tanganmu. (Mendekati anaknya.) Apa yang bisa Inaq lakukan, Tinep. Inaq juga tidak tega melihat kamu seperti ini. Tapi kalau rantai ini dilepas, kamu bisa mencelakai dirimu. Bisa mencelakai orang lain. Tinep: (Memandang tajam pada ibunya) Ndak gila saya, Inaq. Buka … buka …! Sakit di sini, Inaq. Hee …. Coba epe9 buka rentai ini, Inaq. Bisa saya bantu Inaq memasak, mencuci baju … dan (terdiam sejenak) memotong leher laki-laki itu. Haha … haha …. (Tiba-tiba berteriak, kemudian menangis ketakutan.) Jangan … jangan … jangan, kataku. Menjauh … bawi bakatan! Lepas … lepas … lepas! (Kemudian tiba-tiba seperti jijik pada dirinya sendiri, lalu menangis.) Nak Kertinep: (Mendekap anaknya) Tinep, sudah, Nak …. Ada Inaq di sini, sudah. (Menarik napas, terlihat sangat berat.) Tinep, Tinep, kenapa begini sekali nasibmu. Ndak … aku ndak boleh membuka lagi peristiwa itu. Tapi Inaq yakin, Tinep, laki-laki biadab itu akan menerima balasannya! (Mengusap rambut putrinya, kemudian begitu berat ia berusaha menguatkan dirinya. Bergegas mengambilkan nasi dan beberapa lauk 8



Babi liar yang sangat ganas.



9



Anda (nilai rasa lebih sopan daripada diq). BILAI



7



yang masih tersisa di salang10.) Pasti kamu sangat lapar. Hampir satu hari kamu tidak makan. Sudah, sekarang kamu makan, ya. Inaq mau nyalakan api di jengkiran11 itu dulu. Tinep tidak merespons, hanya mengambil piring, kemudian makan sambil menatap jauh entah ke mana dengan tatapan kosong. Nak Kertinep: (Mencari sesuatu) Tadi masih di sini korek api itu, sekarang sudah tidak ada. Ini pasti pekerjaan Jukalip. Benar-benar tidak ada yang bisa disimpan di rumah ini yang tidak akan diambilnya. Jangankan uang, korek api baru saya hutang kemarin di warung Nak Sahnip sekarang sudah tidak ada. (Melihat ke luar dari lubang-lubang yang sengaja dibuat di dinding di atas tungku dapur.) Di luar besar sekali hujan. Kepaq belum pulang juga. Bagaimana rupanya anak itu, kehujanan pasti dia basah dan kedinginan. (Terlihat sangat khawatir.) Keras sekali suara arus air di Lokok Daya itu. Mudahan saja airnya belum meluap agar Kepak bisa menyeberang. (Terdiam sejenak menarik napas agak dalam.) Jukalip: (Muncul di pintu. Terlihat memeras bagian kemeja lusuhnya yang terlihat basah karena hujan di luar. Masuk menggantung baju di salah satu bagain rumah. Ia mencari air minum dan cukup kesal karena menemukan kocor12 yang kosong. Melirik Tinep di pojokan yang menyembunyikan wajahnya.) Apa saja yang orang-orang rumah ini kerjakan seharian? Air kocor saja tidak bisa diisi! Tinep: (Kaget dan seperti ketakutan karena kocor yang jatuh hampir mengenainya.) Pergi … pergi … jangan mendekat kaAnyaman kecil dari bambu yang baisanya digantung di dapur untuk menaruh nasi dan lauk-pauk.



10



11



Tungku dari tanah liat atau batu yang disusun.



Tempat air minum dari plastik atau aluminium.



12



8



M U LYA D I



lian … manjauh, kataku …! Menajuh, kataku! Jangan sekalikali berani menyentuh kulitku lagi, bawi bakatan! Apa … kamu mau mencuri anakku? Saya bunuh kamu …! Jukalip: Bah … beberus au13 jamak. Kamu tidak tahu saya cepek ini. Pulang-pulang kamu teriak-teriak … setelah ini nangisnangis. Kenapa tidak mati saja sekalian kamu! Nak Kertinep: Jukalip! Jaga sedikit omongan epe! Kalau epe masih memandang aku ini istrimu, pandang juga Tinep, anakku itu, sebagai anak epe! Omongan epe tidak pantas keluar dari mulut seorang amaq …. Dia mati, epe juga mati. (Mendekat mengancam suaminya dengan parang di tangannya.) Jukalip: (Terkejut melihat parang di tangan Kertinep.) Iya … iya, aku salah bicara, Kertinep. Turunkan dulu parang itu! Aku cuman sedang kelelahan, Kerti …. Maafkan ucapanku tadi ndak sengaja keluar. Nak Kertinep: Epe kira saya dari pagi tidur di rumah? Saya juga baru pulang memburuh14! (Meletakkan parang.) Beberapa saat, semua terdiam, kecuali Tinep yang tiba-tiba menangis terisak- isak. Beberapa saat setelahnya, Jukalip memecah susana sepi. Jukalip: Kerti, buat kopi segelas. Dingin sekali ini. Nak Kertinep: (Mendekati Tinep dan menyuruhnya melanjutkan makan.) Itu air di kocor di atas tungku. Tinggal dimasak. Jukalip: (Nadanya sedikit naik) Kamu ndak bisa sekedar masak air, Kerti? Nak Kertinep: Bukan ndak bisa. Dari tadi saya mencari percek Umpatan kasar sekelas “anjing bulukan” (terkena penyakit kulit).



13



Bekerja menjadi buruh.



14



BILAI



9



di sini, tapi entah siapa yang mengambil. Memang tidak ada yang bisa ditinggal di rumah ini yang tidak diambil orang. Tinep: (Sambil sesekali memainkan sendok di piring di depannnya) Dia memang maling, Inaq! Dia seperti bawi bakatan. Tapi dia akan mati nanti! Jukalip: Bah … (melotot ke arah Tinep) hey, aku ini amaqmu. Panggil aku Amaq. Malah kamu samakan aku sama bawi bakatan. Kurang ajar! (Kepada Kertinep) Kamu … maksudmu tadi mau menyindir aku, Kerti? Nak Kertinep: Saya tanya epe. Besok apa lagi yang mau epe jadikan taruhan? Uang upah Kepaq angkut pisang dari kebun Mak Sadi epe ambil semua. Tidak kasihan melihat anak epe itu bekerja dari pagi sampai sore. Harusnya epe yang harus memberikan Kepaq uang belanja. Ini malah sebaliknya, tanpa sepengetahuan Kepaq, epe ambil ongkosnya lebih dulu. Kebun saja epe jual, uang di mana pun kami sembunyikan, epe temukan, epe ambil dan habiskan, apalagi hanya percek. Jukalip: Bisa kamu tidak membicarakan itu lagi, Kerti? Capek saya ini. Saya baru pulang mencari orang yang berminat membeli tanah di Pawang Daya15 itu. Kalau itu laku, saya ganti uang Kepaq juga uangmu yang saya ambil itu. Nak Kertinep: Berapa kali saya bilang. Jangan jual proyek itu! Itu satu-satunya yang masih tersisa. Kebun di Medjet epe jual. Terakhir tahun lalu diam-diam kebun beberapa petak warisan Bapuknya Tinap epe jual juga. Kalau tanaq gawah16 di Pawang Daya itu juga epe jual, mau makan apa kita nanti. Apa yang bisa digarap Kepaq nanti kalau dia sudah berkeluarga. Nama sebuah kawasan hutan.



15



Hutan.



16



10



M U LYA D I



Jukalip: Kamu, kan, ndak mengerti tentang kebun, Kartinep. Apalagi kebun gawah yang belum ada tanaman berhasil. Tanah di Gawah Daya itu baru di-punik17 belum ada isinya. Lagi pula jauh sekali tempatnya. Saya ndak yakin kamu sanggup ke sana jalan kaki, apalagi dengan membawa batang pisang. Nak Kertinep: Orang malas memang memiliki banyak sekali alasan. Epe tidak lihat bagaimana orang-orang Bali di Batu Ringgit itu bekerja? Mereka berangkat pagi pulang sore. Meraka dulu datang dari Bali ke Lombok tidak bawa apa-apa. Mereka cuman bawa semangat dan pengalaman mereka bertani. Tidak ada ilmunya. Ilmunya cuman satu. Rajin. Jukalip: Kamu kira suatu hari tanah itu bisa berhasil seperti kebun-kebun orang Bali itu? Yang penuh kopi, cengkeh, buahbuahan? Masih baron daik18, Kertinep, kamu terlalu cepat bermimpi. Tanah di Gawah Daya itu sangat jauh, Kertinep. Kamu juga tahu, kan, kalau di sana juga masih angker. Masih banyak bawi bakatan. Berani kamu? Tinep: Bawi bakatan … seperti kamu, Jukalip. Jukalip: (Spontan mengambil kayu hendak melempar Tinep) Batun mata19! Nak Kertinep: Lempar, Jukalip … lempar …! Kepaq: (Dari luar) Inaaq … Inaq …. Kak Tinep … Kak Tinep …. Kepaq masuk. Jukalip melepas kayu di tangannya dan mundur duduk di atas dipan. Kepaq: (Tampak begitu bergembira karena hari ini ia bisa membawa banyak makanan.) Inaq, ini ada Kepaq bawa makanan. Kegiatan membuka hutan dari butan belantara menjadi hutan garapan.



17



Hari baru mulai gelap.



18



Ungkapan kasar (biji mata).



19



BILAI



11



Cukup buat makan kita malam ini …. (Kepada Tinep) Kak Tinep, ini ada gegodoh20, pasti Kak Tinep lapar sekali. Maaf ya, Kepaq baru bisa pulang sekarang. Ayo, Inaq, Amaq, dimakan. Kepaq sudah tadi. (Melihat kedua orang tuanya yang terlihat baru habis bertengkar.) Ayo, Kak Tinep, makan. Tinep: (Sangat senang) Inaq, makan, ayo makan gegodoh itu … enak, Inaq. Kepaq: Ini, Amaq, ada gogodoh, ayo makan. Pasti Amaq belum makan juga. Tinep: Jangan kasi Jukalip! (Menyembunyikan nakanan.) Biar dia makan di tengah hutan sama bawi bakatan! Jukalip: Setan! Mau dirobek mulut kamu itu, Anak Gila! (Bangun, hendak menuju ke Tinep.) Kepaq: Jangan, Maq … jangan. Kak Tinep sedang sakit, makanya bicara seperti itu …. (Kepada kakaknya) Kak Tinep ndak boleh, ya, bilang begitu …. Bilang Amaq. Dia amaq kita, Kak Tinep. Jukalip: Bah …. Setan semua. Saya baru pulang capek, basah, sampai rumah bertemu manusia-manusia tidak waras! (Membuang piringan makan. Masuk.) Nak Kertinep: Kamu lebih tidak waras, Jukalip! Semua mau dijual untuk memuaskan diri beli minum, mabuk membotoh …. (Kepada Kepaq) Kamu dapat dari mana makan ini, Epaq? Bukan hasil kamu mencuri, kan? Bukannya tadi pagi kamu izin ke Inaq pergi membantu angkut pisang di kebun Mak Mardip? Kepaq: Iya, Inaq, tadi memang memengangkut pisang. Tapi selesai. Setelah itu Kepaq diajak membantu membuat jajan di rumah Inaq Sahnip. Ini katanya disuruh bawain Inaq dan Kak Tinep. Pisang goreng.



20



12



M U LYA D I



Nak Kertinep: Ya sudah, kalau begitu, ayo kamu makan sekarang …. Kepaq: Inaq saja makan, Kepaq sudah. Ini juga ada gecok daun koaq21. Ayo, Inaq makan. Saya panggil Amaq dulu, ya. (Masuk ke kamar begitu bersemangat.)



Makanan khas Lombok Utara dari olehan dedaunan kayu (koaq) dan sambal.



21



BILAI



13



BAGIAN 2 Di tempat yang sama, pagi hari sekali, Tinep terlihat kumat. Seisi rumah terlihat sepi, kecuali Jukalip yang belum juga bangun dari kamar sebelah. Tinep: (Berkidung, kemudian beberapa saat setelahnya, berbicara sendiri.) Sudah kukatakan pada kalian, dia yang gila, bukan aku. Tapi kalian selalu tidak percaya. Kalian semua tidak tahu, ya, bagaimana ketakutanku ketika menghadapi seekor bawi bakatan di tengah hutan sendirian, ketika hujan sedang lebatlebatnya. Babi itu datang dengan wajah yang ditutupi kain hitam dan begitu saja menerkam tubuhku. (Tiba-tiba menjadi sangat ketakutan) Jangan … jangan …! Lepas … lepas, kataaku! Jangan … jangan …! Bawi bakatan … lepas … lepas! (Berteriak, kemudian tiba-tiba menangis, kemudian beberapa saat berselang, meronta meminta rantai pengikat tangannya dibuka, lalu beberapa saat berikutnya, seperti teringat anaknya, kemudian berkidung.) Jukalip: (Dari dalam kamar) Bo … beberus au … pagi-pagi sudah ribut. Kamu tidak tahu saya masih tidur? Tinep ketakutan menyembunyikan anaknya. Jukalip: (Keluar) Hey, gila, setiap pagi kamu selalu ribut. Selalu teriak-teriak …! Tinep: Haha …. Kamu seharusnya di tengah hutan, Jukalip, bersama bawi bakatan di sana! (Merasa seperti didekati) Heh … heh … jangan macam-macam … jangan mendekat, kataku! Jangan sentuh … jangan sentuh …! 14



M U LYA D I



Jukalip: (Sangat kesal, mengambil air yang kebetulan ada di kocor dan dengan garang mengucurkannya di muka Tinep.) Biar kamu tahu rasa … biar kamu mati sekalian! Tinep: (Hanya tertawa.) Kamu juga akan mati, Jukalip, haha …. Kamu juga akan mati, haha …. Kamu akan mati seperti aku, haha …. Kamu harus mati lebih dulu, Jukalip. Kalaupun aku mati lebih dulu, aku akan gentayangan dan datang lagi untuk memotong-motong tubuhmu, haha …. Jukalip: (Sangat kesal, lalu mendekati Tinep, kembali menyemburnya dengan air di kocor.) Kamu benar-benar seperti setan! Beruntung sekali kamu gila. Seandainya kamu tidak gila, habis riwayatku. Kepaq: (Masuk) Apa yang Amaq lakukan pada Kak Tinep? Dia sedang sakit, Amaq. (Mengambil handuk, kemudian membersihkan kepala Tinep yang basah.) Apa Amaq tidak kasihan pada Kak Tinep? Jukalip: Buat apa kasihan pada orang gila! Tukang ribut! Setiap pagi tidur saya harus terganggu karena teriakannya! Kepaq: Ini sudah siang, Amaq. Orang-orang kampung sudah lalu lalang ke kebun. Kenapa Amaq masih tidur? Kenapa Amaq seperti ini sekarang? Kepaq ingat, dulu Amaq rajin sekali ke kebun ketika kita masih tinggal di kampung. Amaq sering mengajak Kepaq dan Kak Tinep kadang-kadang pergi ke warung beli lupis. Kenapa sekarang Amaq jadi seperti ini? Jukalip: Kamu masih kecil, Kepaq. Kamu tidak tahu apa-apa. (Tiba-tiba marah) Hah … sudah, sekarang kamu lebih baik pergi! Saya mau tidur lagi! Kepaq: Jangan tidur terus, Amaq. Bantu Inaq bekerja. Epe ndak kasihan sama Inaq setiap hari pergi memburuh? Masak Inaq BILAI



15



yang harus mencari uang untuk membeli beras. Seharusnya epe, Amaq. Jukalip: Lha … Kepaq, kenapa kamu malah ceramah, hah …? Kalau kamu mau memburuh, sana memburuh! Saya mau tidur! Saya sedang capek …. Saya sedang banyak pikiran. Tahu apa kamu tentang masalah orang tua! Tinep: Jukalip takut …. Jukalip sudah gila. Jukalip bawi bakatan! Jukalip: Setan! Diam kamu! Kepaq: Amaq, Kak Tinep sedang sakit, jangan kasar sama dia! Jukalip keluar. Kepaq: (Mendekati kakaknya, memberikan bungkusan makanan.) Kak Tinep, ini Kepaq bawakan epe kelaudan22. Pasti epe suka. Dulu, Kepaq ingat epe sama Inaq paling suka buat kelaudan pas epe masih sehat. Ayo, Kak Tinep, makan (Menyuapi kakaknya.) Tinep: (Memandang adiknya) Kelaudan ini enak sekali … (Seperti teringat sesuatu, kemudian menangis.) Inaq … mana Inaq …? Kepaq: (Mengusap air mata kakaknya.) Inaq sedang pergi memburuh, Kak Tinep. Biar kita bisa makan. Makanya, Kak Tinep cepat sehat, ya, biar bisa bantu Inaq di rumah. (Berdiri mengambilkan kakaknya air minum.) Kasihan Kak Tinep. (Memandang kakaknya dengan sedih) Sudah satu tahun dia dipasung di sini. Kalau boleh, saya yang menggantikan Kak Tinep, tidak apa-apa Kepaq yang dipasung. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti saya. Fisik Kepaq tidak sempurna. Tangan, kaki, mulut, mata saya tidak sempurna seperti Kak Ti22 Jajanan tradisonal khas suku Sasak yang terbuat dari tepung yang dibungkus daun pisang.



16



M U LYA D I



nep. Coba lihat Kak Tinep. Cantik sekali. Seharusnya ia bisa berbahagia seperti temannya-tamannya yang sekarang sudah semua menikah dan punya anak. Tapi Tuhan memang tidak menciptakan semua manusia menjadi baik di dunia ini. Dan laki-laki yang sudah membuat Kak Tinep menjadi tidak waras seperti ini pasti akan mendapatkan balasan dari Tuhan. Tinep: (Masih menangis) Aku mau peluk Inaq …. Inaq …. Kepaq: Iya, Kak Tinep, nanti siang Inaq pulang. Sekarang masih pergi memburuh. Kepaq juga harus pergi sekarang, Kak Tinep. Kepaq mau memburuh mengontas23 di kebun Mak Pasah. Kak Tinep tunggu, ya …. (Pergi.) Tinep: (Mengkidung sendiri) Ya o inaq ya o amaq mbe keno lain pe lalo Anak epe deraq kon nyembao, idik gamak Jukalip: (Masuk dengan sekopek beloq di tangannya.) Jadah! Jadaaaah …! Kapan-kapan saya ketemu kamu, Mardep. Saya gorok lehermu! Mentang-mentang saya tidak bisa baca, saya ditipu. Saya sudah bilang, kebon di Gawah Daya itu akan saya lepas jadi tidak jadi dengan harga sepuluh juta. Ternyata ditipu saya. Dia bilang di kertas ini ditulis perjanjian jual-beli dengan harga 10.000 juta. Ternyata di sini sudah ditulis hanya tiga juta. Bangke! Jadah! Baiklah, Mardep. Lawan polisi, Jukalip kalah. Saya tunggu kamu nanti di tengah gawah dan jangan menyesal kalau kamu pulang tinggal nama! (Beberapa kali menenggak brem24 di tangannya. Beberapa saat ia diam bersandar di dinding dekat dipan dan sama sekali tidak mempedulikan kidung Tinep di pojok kanannya. Lama-kelamaan, seperti tidak sadar, ia juga akhirnya mengkidung sendiri.) Memangkas semak-semak di kebun atau hutan.



23



Minuman sekelas tuak, tetapi terbuat dari beras ketan dengan beberapa campuran. Biasanya banyak di wilayah Bayan, KLU. 24



BILAI



17







E gamaq nenek kaji saq kuasa Peteng gati idap dunia Jaok gati bekas nae Laguk derak bae dait jalan uleq







Jadah Mardep! Kenapa begini sekali dunia ini! Tidak ada sama sekali jalan yang diberikan Nenek Kaji Sik Kuasa25! Saya bosan miskin-miskin terus! Saya bosan dihina orang. Lelah saya ee, Nenek Kaji! (Menuang lagi minumnya sampai beberapa saat, membaringkan badan beberapa saat. Setelahnya, ia terbangun dan melihat Tinep yang tertidur di pojokan. Matanya melotot dan beberapa kali menenggak gelas minumannya. Ia perlahanlahan mendekati Tinep dan memandangi lebih lekat. Ia awas, kemudian bergegas menutup pintu. Ketika akan menutup jendela, ia terkaget karena dari kejauhan muncul Kertinep.)



Nak Kertinep: (Masuk, langsung marah-marah) Mana, mana sisa uang hasil epe menjual kebun Gawah Daya itu? Mana, mana …? (Merampas kemeja yang tergantung di dinding dan menemukan beberapa uang lembaran seratus ribuan.) Laki-laki pemalas. Tidak ada lain yang epe bisa lakukan, hanya menjual kebun, menjual apa saja yang ada di rumah ini. Mungkin lama-kelamaan kami juga epe jual. Jukalip: Maksudmu apa, Kertinep, pulang-pulang marah-marah? Nak Kertinep: Epe menjual kebun Gawah Daya dari dua hari yang lalu dan saya tidak tahu. Dan sisa uang penjualannya hanya tinggal segini? Ke mana sisa uang ini, hah, Jukalip? Epe habiskan semua untuk membotoh? Epe habiskan semua untuk beli beloq26, brem? Tuhan Yang Maha Kuasa.



25



Tuak.



26



18



M U LYA D I



Jukalip: Kamu tidak tahu apa-apa tentang kebun, Kertinep! Nak Kertinep: Saya memang tidak tahu apa-apa tentang kebun. Tapi saya tahu epe ditipu orang setiap kali menjual kebun, dan tadi di kampung juga orang ramai membicarakan Maq Jukalip begitu bodo menjual tanah gawah di Pawang Daya dengan harga tiga juta. Coba epe ingat, bagaimana capeknya kita dulu pergi ke Pawang Daya harus menginap untuk memunik. Dan itu tidak akan cukup dibayar tiga juta. Dan epe tidak berpikir ke depan. Sekarang kebun itu jauh, tapi lima, sepuluh tahun ke depan, orang-orang tidak akan jalan kaki lagi ke sana. Orang-orang akan membuka jalan untuk motor, untuk mobil. Apa yang ada di pikiran epe? Jukalip: Saya tidak menjualnya tiga juta. Saya menjualnya sepuluh juta, tapi saya ditipu oleh jadah Mardep! Ini, coba kamu lihat. Mardep menipu saya karena saya tidak bisa membaca. Nak Kertinep: Sepuluh juta juga tidak akan saya jual. (Sangat marah) Apa yang ada di pikiranmu, Jukalip? Apa hanya botohan, hanya blok dan brem ini yang kamu pikirkan? Epe tidak memikirkan kami? Coba epe lihat itu Tinep begitu memperihatinkan keadaannya. Ada epe mau memikirkan untuk mengobatinya? Dulu epe tidak begini. Kenapa setelah Tinep seperti ini epe juga ikut tidak waras? (Membuang brem yang masih tersisa di botol.) Jukalip: Kertinep! (Sangat marah, menampar Kertinep, mendorongnya hingga terjatuh tepat di dekat Tinep. Kemudian ia bergegas mengambil minuman yang masih tersisa.) Beberus au kamu! Brem ini saya beli mahal, Kertinep. Saya pesen jauh-jauh hari. Malah kamu buang! Setan! Kalian semua tidak penting. Mau kalian mati, terserah, bukan urusan saya. Saya bosan hidup susah. Bosan hidup miskin. Saya mau hidup senang-senang! BILAI



19



Tinep: (Terbangun dan kaget) Inaaq …. (Ketakutan dan memeluk ibunya.) Nak Kertinep: (Kesakitan, memegang pipinya.) Jadi itu prinsip epe? Epe mau hidup senang-senang? Epe bosan hidup susah, bosan hidup miskin? Kalau begitu, sekarang juga berikan saya kunci rante pengikat Tinep. Saya mau pergi dari sini bersama anak-anak saya. Mungkin epe sangat stres menghidupi saya dan anak saya Tinep. Tapi ingat, Jukalip, bukan saya yang meminta untuk kita hidup berkeluarga dulu. Epe yang meminta saya kepada kedua orang tua saya. Dan pada saat itu, epe menerima saya dengan keadaan saya yang sudah memiliki anak. Setelah itu, kita menikah, kita cukup berbahagia sampai saya mengandung anak kita yang diberikan Tuhan fisik yang tidak sempurna. Epe juga menyayangi Kepaq. Kenapa sekarang epe benar-benar berubah, Jukalip? Jukalip: Panggil aku suamimu jangan panggil Jukalip! Kamu istriku. Hormati aku sebagai suamimu. Tinep: Inaq, Jukalip bawi bakatan. Jukalip: Bangke27! Nak Kertinep: Aku sudah begitu bersabar menjadi istri yang selalu menuruti kemauanmu. Tapi setiap hari tangan epe begitu ringan memukul saya, kaki epe menendang saya. Fisik saya sakit, tapi saya bisa tahan. Tapi cara epe semakin lama semakin tidak masuk akal. Tinep anak saya yang sedang sakit juga epe pukul. Sudah pantas saya panggil epe Jukalip. Nama yang benar-benar pas untuk laku-laki tidak memiliki hati nurani! Jukalip: Haha …. Sudah … sudah ribuuut …. Kertinep, kemarikan uang itu…. (Merebut uang dari tangan Kertinep.) Bangkai.



27



20



M U LYA D I



Kertinep memepertahankan uang sampai terjatuh. Beberapa lembar terlempar. Jukalip beberapa kali memukul Kertinep. Kertinep tidak terima dan membalas pukulan itu. Sampai pada akhirnya, Kepaq masuk dan melerai. Beberapa uang diambil Jukalip dan pergi.



BILAI



21



BAGIAN 3 Beberapa bulan setelah kejadian ribut-ribut antara Kertinep dan Jukalip, keadaan di rumah pinggir hutan ini seperti kembali membaik. Hal ini lebih karena Jukalip yang lebih banyak mendekam di rumah karena mengalami sakit di bagian kaki. Jukalip keluar dari kamarnya, mencari air minum. Beberapa saat ia mengintip dari bagian jendela, kemudian masuk kembali. Nak Kertinep terlihat bekerja sangat keras memperbaiki posisi kayu dan beberapa benda di bagian dapur. Tinep: (Seperti berbicara dengan buntilan di tangannya) Hari itu akan segera tiba. Jukalip benar-benar telah menjadi bawi bakatan. Hari itu kita sudah tidak bisa menangis lagi, tidak bisa tertawa lagi. Hari itu Tinep benar-benar ingin memeluk Inaq (Mengkidung.) Nak Kertinep: (Memandang lekat pada putrinya) Kadang-kadang aku sangat bingung dengan anak ini. Dia sering sekali menyebut kematian. Dan aku juga tidak bisa mengerti mengapa ia begitu membenci amaqnya. Mungkin karena sikapnya yang selalu kasar setelah terpengaruh minumnya. (Mendekati Tinep) Seberatnya saya sudah mengubur semua kejadian pahit yang dialami Tinep, tetapi lihatlah dia bahkan sampai hari ini menjadi terganggu kejiwaannya dan harus dipasung karena beberapa kali ia ditemukan warga sudah berdiri di bibir jurang hendak membuang diri. Dan Jukalip, amaqnya, beberapa kali sudah terancam karena Tinep hampir menebasnya dengan parang. 22



M U LYA D I



Jaukalip keluar, lalu duduk di dipan, mengobati kakinya yang terlihat membengkak. Nak Kertinep: Maq Sadi sedang mencari buruh angkut kopi. Epe tidak mau ikut? Jukalip: Nanti kalau kaki saya sudah sembuh, Kertinep. Kamu lihat sendiri kaki saya ini merah. Sepertinya ada orang jahat yang memasang sokeq api28 ke saya. Nak Kertinep: Tadi malam epe ke mana saja? Baru pulang setelah parak leat29? Membotoh lagi? Jukalip: Sudah tidak ada uang untuk membotoh, Kertinep. Kamu lihat sendiri sekarang saya sudah jadi dagang bateq30. Tadi malam saya ketiduran di pondok pinggir jalan karena kelelahan dan sakit kaki ini. (Melihat-lihat dari jendela) Hari ini saya tidak keluar, Kertinep. Saya mau istirahat. Kalau kamu pergi nanti dan ada yang menanyakan saya, bilang saya tidak di rumah. Kepaq: (Masuk setengah berlari sambil membawa kodong di punggungnya.) Inaq … Inaq …. (Terlihat terengah-engah karena kelelahan berlari.) Nak Kertinep: Ada apa, Kepaq? Kenapa kamu lari-lari? Tinep: Bawi bakatan itu makan orang lagi di tengah hutan. Kepaq: Di kampung orang sedang ribut, Inaq. Semua orang lakilaki sedang mencari Maq Mardi. Katanya dia sudah dua hari tidak pulang, Inaq. Sejenis ilmu hitam.



28



Mendekati waktu subuh.



29



Parang.



30



BILAI



23



Jukalip terlihat tegang, namun menyembunyikannya dengan berpura-pura mengobati kakinya. Nak Kertinep: Anaknya Maq Maredep itu? Kepaq: Iya, Inaq. Katanya terakhir dia ke Pawang Daya dua hari yang lalu, tapi sampai hari ini tidak balik-balik. Tinep: Bawi bakatan itu mengamuk di tengah hutan. Dia sedang kelaparan. Dia makan apa saja di dekatnya! Jukalip: (Melotot kepada Tinep, namun kembali berpura-pura tenang.) Kertinep, kalau kamu mau pergi memabantu mencari Mardi, pergilah. Tapi kasi dulu Tinep makan. Sepertinya dia sudah lapar, makanya banyak bicara macam-macam. Saya ndak bisa ikut karena sakit kaki. Kalau ada yang tanya, bilang saja saya sudah duluan pergi mencari. (Masuk kamar, tapi mengintip juga dari jendela.) Nak Kertinep: Kepaq … ayo kita ikut bantu mencari. Nanti Inaq ke kebun pas pulang. Sekalian Inaq angkut kopi itu. Kepaq: (Kepada kakaknya) Kak Tinep, Kepaq sama Inaq pergi dulu, ya. Nanti kami balik. (Memberikan makanan yang tadi dibelinya) Ini ada gegodoh, Kepaq beliin Kak Tinep tadi. Tinep: Hari itu akan segera tiba. Jukalip benar-benar telah menjadi bawi bakatan. Hari itu kita sudah tidak bisa menangis lagi, tidak bisa tertawa lagi. Hari itu Tinep benar-benar ingin memeluk Inaq. (Mengkidung.) Nak Kertinep: (Menyediakan makan untuk anaknya.) Sudah, tidak apa-apa. Inaq cuman pergi sebentar, Tinep. Ada amaqmu di sini. Dia sedang sakit kaki itu di dalam. Tinep: Jangan pergi, Inaq …. (Tiba-tiba menangis ketakutan.)



24



M U LYA D I



Hari itu akan segera tiba. Jukalip benar-benar telah menjadi bawi bakatan. Nak Kertinep pergi bersama Kepaq. Tinep terlihat sangat ketakuatan, mencoba mencari-cari suara di sekelilingnya. Beberapa saat tenang. Kemudian ia mengkidung. Jukalip perlahan-lahan keluar kamarnya sambil sesekali menengar-dengar jika ada suara orang yang mencarinya. Di luar, suara guruh sudah terdengar sesekali. Hujan sudah turun, dan tidak menunggu lama, hujan terdengar begitu lebat. Tinep: (Meringkuk di pojokan ketakutan karena petir dan guntur yang bersahut-sahutan.) Hari itu akan datang. Jukalip akan benar-benar menjadi bawi bakatan …. Jukalip mengambil kembali beloq yang semalam ia sembunyikan di salah satu bagian rumah, kemudian dengan santai meminumnya. Tinep: Jukalip benar-benar menjadi bawi bakatan! Jukalip: Bo … jadah! Sudah panas sekali telinga saya dengar kamu bilang saya bawi bakatan, Tinep! Tinep ketakutan. Jukalip: Iya, kamu memang benar. Saya memang bawi bakatan. Lebih dari itu, saya adalah iblis. Dan sekarang kamu akan benar-benar merasakan bawi bakatan itu akan menelanmu bukat-bulat. Seperti waktu itu, haha …. Tinep: (Ketakutan, menangis.) Jangan …jangan …. Menjauh, kataku … menjauh …! Jukalip: Aku mengira kedua matamu yang buta itu tidak akan mengenali saya dan kepalamu yang aku hantam batang kopi itu bisa membuatmu langsung mati. Ternyata tidak! Kamu



BILAI



25



masih hidup dan setiap hari kamu seperti menjadi setan yang menakutiku di rumah ini. Kamu meneriakiku bawi bakatan. (Mendekati Tinep.) Tinep: Jangan mendekat! Jukalip bawi bakatan! Jukalip: Iya, anakku sayang, ini dia Jukalip bawi bakatan itu, haha …. (Kemudian menyumpal mulut Tinep dengan selembar kain.) Ayo, sekarang berteriaklah sekencang-kencangnya! Haha …. Tinep meronta. Jukalip: (Kembali ke dipan, dengan santai menegak beloq, kemudian menutup rapat pintu, jendela.) Lihat … lihat … inilah bawi bakatan itu, inilah iblis itu, Tinep. Tapi malaikat juga ternyata tidak perah mau menolongmu, haha …. Begitu pun Tuhan. Tuhan sudah tidak punya jatah untuk membuat manusia seperti Jukalip tidak hidup dalam kemiskinan. Tuhan sudah kehabisan akal untuk menyuruh manusia-manusia itu menghinaku setiap hari karena aku miskin dan bodoh. Dan saya sangat lelah. Saya kira beloq brem dan menikmati kamu bisa membuat Tuhan dan orang-orang itu diam menghina saya. Ternyata tidak. Ternyata Tuhan selalu datang lewat matamu yang buta itu dan dia datang juga lewat bayimu yang menangis selalu menghakimi saya. (Mendekati Tinep dan berbicara sangat dekat ke wajah Tinep. Membuka sumpalan mulut Tinep.) Kamu pasti sangat lelah … haha …. (Memberi Tinep minum dengan kasar.) Tinep: (Menyemburkan air tepat ke wajah Jukalip.) Bawi bakatan! Lepas … lepas …! Saya bunuh kamu …! Saya potong lehermu …! Lepasss!



26



M U LYA D I



Jukalip: Setan! Saya kira kamu benar-benar tidak waras. Tapi saya tahu selalu ada satu waktu setiap hari di mana kamu benar-benar waras dan benar-benar ingin membunuhku! Tapi tidak! Karena hari ini Jukalip sudah benar-benar menjadi iblis. Ya, semenjak hari itu ketika aku menjadi bawi bakatan, katamu, haha …. (Membuka rantai pengikat Tinep, kemudian menariknya masuk ke dalam kamar.) Tinep meronta, namun tidak berdaya kerena Jukalip sangat kuat. Nak Kertinep: (Dari luar setengah berlari berteriak) Jukalip …! Jukalip …! Keluar kau! (Sangat kaget mendengar terikan Tinep dari dalam kamar.) Tinep …! (Berteriak) Jukalip, apa yang kamu lakukan! Setengah berlari, Nak Kertinep mendobrak pintu kamar, kemudian dengan sepotong kayu, memukul tepat punggung Jukalip. Jukalip geram. Ia terlihat sudah hampir melakukan kebiadabannya. Ia terlihat mengerang kesakitan. Ia benar-benar gelap mata. Direbutnya kayu dari tangan Kertinep, kemudian memukul balik Kertinep. Kertinep kesakitan, namun masih bisa ia tahan. Nak Kertinep: Iblis kamu, Jukalip! Apa yang kamu lakukan pada Tinep? Dia anakmu! Tapi demi Tuhan, hari ini kamu akan benar-benar menerima balasannya. Sebentar lagi akan datang berbondong-bondong orang sekampung akan membawamu. Berdoa saja agar kita dan seisi rumah ini tidak dibakar. Tinep: (Terdengar menangis di dalam kamar.) Hari itu benar-benar akan tiba …. (Di tengah tangisan, ia mengkidung, entah apa.) Jukalip: Tidak salah kamu, Kertinep. Aku memang iblis. Dan aku memang sedang menunggu orang-orang kampung yang selalu menghina Jukalip manusia bodoh dan miskin ini. Se-



BILAI



27



karang mereka tahu siapa sebenarnya Jukalip. (Berteriak) Jukalip bukan orang bodoh! (Kepada Kertinep) Lihat … kamu lihat sendiri bagaimana anaknya Mardep itu tubuhnya saya potong-potong. Lalu bagian tubuhnya saya gantung, saya serakkan di Gawah Daya. Haha …. Dan sekarang juga kamu harus tahu, Kertinep. Suatu malam, ketika kamu sedang tidak di rumah ini, seorang laki-laki datang dengan menutup kepalanya dengan sebuah kain kemudian menggotong putri kesayanganmu pergi ke pondok jauh di tengah hutan sana. Di sana putrimu dihabisi laki-laki itu. Di dalam kamar, sontak Tinep meronta-ronta berteriak histeris. Nak Kertinep: Jukalip! Jangan bilang! Jukalip: Suuutt … karena putrimu yang buta itu sangat peka. Ia tetap bisa mengenal laki-laki itu. Laki-laki itu ketakutan, kemudian memukul kepala putrimu dengan belombong31 kopi. Ternyata putrimu tidak mati juga, namun tidak waras. Dan bodohnya, putrimu ternyata melahirkan seorang bayi laki-laki yang selalu menangis setiap malam. Laki-laki itu seperti dihakimi tangisan itu. Kemudian kalian mengira si gila itu yang membunuh dan mengubur sendiri bayinya. Ternyata itu adalah pekerjaan laki-laki itu. Nak Kertinep: (Berteriak histeris) Jukalip! Laki-laki biadab kamu, Jukalip! Kamu sudah bukan manusia lagi! Tinep: (Dari dalam kamar berteriak) Jukalip bawi bakatan! Jukalip: Kalian tidak salah, haha …. Akulah yang melakukan semua itu. Aku, Jukalip … Jukalip, haha …. Nak Kertinep: (Sangat marah dan mengambil apa saja untuk memukul Jukalip.) Kamu harus mati, Jukalip! Batang.



31



28



M U LYA D I



Jukalip terjungkal dan mengerang kesakitan. Nak Kertinep: Kamu harus mati! Jukalip perlahan bangun dan membalas pukulan Kertinep. Jukalip sudah benar-benar seperti tidak waras. Diambilnya sebuah kayu besar dan memukul apa saja di dekatnya. Di dalam, Tinep histeris. Beberapa pukulan bisa dihindari Kertinep, namun tidak beruntung karena satu pukulan tepat mengenai kepala dan kakinya hingga ia jatuh dan tidak bisa bergerak. Ia masih sadar dan tetap berusaha ingin membunuh Jukalip. Jukalip: Haha …. Kertinep, kamu baru sadar sekarang siapa Jukalip sebenarnya … haha …. Nak Kertinep: Jukalip, kamu harus mati! Jukalip kembali masuk ke kamar dan mendekati Tinep. Nak Kertinep: Jukalip, jangan, Jukalip! (Berteriak) Jangan lakukan itu, Jukalip! Ayo, bunuh saya! Tapi jangan lakukan itu! Tinep berteriak histeris, sangat ketakutan. Kepaq: (Masuk setelah berlari.) Kak Tinep … Kak Tinep …. (Masuk dan sangat kaget karena melihat ibunya yang tidak berdaya, dan bergegas hendak menolong kakaknya karena mendengar teriakan dari dalam.) Kak Tinep …. Amaq! Amaq, sadar, Amaq! (Mengambil sebuah parang yang terlihat sangat tajam dan berlari masuk ke kamar.) Memang epe sudah jadi setan, Amaq! Mau epe apakan Kak Tinep? Seketika sepi. Hanya suara tangisan Kertinep dan Tinep yang terdengar. Beberapa saat berselang, Tinep keluar dari kamar mencari-cari suara ibunya. Ia memeluk ibunya kuat dan masih sangat ketakutan. Kertinep sangat lemah karena merasakan sakit di leher



BILAI



29



dan kakinya. Kemudian dari dalam kamar, Jukalip tiba-tiba keluar dengan menggendong Kepaq yang sudah tidak bernyawa. Jukalip tertawa sangat keras, namun lambat laun terdengar lebih seperti tangisan. Ia meletakkan mayat kepak di salah satu bagian tidak beberapa jauh dari tempat Tinep. Ia tertawa. Di peluknya Kepaq begitu erat tanpa kata-kata. Di ambilnya sisa beloq kemudian diminumnya. Lalu ia memandang Tinep yang masih ketakutan namun lebih memilih memeluk lekat ibunya yang juga lemah. Jukalip: (Menembang sambil terus memeluk tubuh Kepaq. Sekujur badannya ikut memerah karena darah dari perut Kepaq yang robek terkena parang.) Yao gamaq neneq kaji saq kuas Panas gati idap idup baon dunia Ilang rasa dek tao jalan ulek Oo gamaq Nenek Kaji Sik Kuasa Nak Kertinep memeluk Tinep dengan erat, namun beberapa saat seluruh tubuhnya lemas. Tinep mendekap ibunya dan masih sangat ketakuatan. Jukalip menutupi badan kepak dengan sebuah kain. Dikucupnya kening Kepaq, kemudian ia kemali masuk ke dalam kamar. Tinep: (Mencari posisi Kepaq yang ia tahu telah dibunuh oleh Jukalip. Di peluknya Kepaq. Sekuat tenaga, dibawanya ke dekat ibunya. Ia lemah memeluk keduanya. Ia menangis, namun tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa mencium lekat kening ibu dan adiknya. Dalam kesedihannya, ia hanya bisa mengkidung.) Yao inaq yao amaq mbe keno lain pe lalo Yao inaq yao amaq anak epe derak kon nyembao Jukalip telah sampai di titik akhir perjalanannya. Seperti juga Kertinep dan Kepaq yang juga sudah tertidur begitu pulas. Tinep hanya bisa memeluk, mencium, mengelus, dan mengsuap sisa air 30



M U LYA D I



mata di wajah ibunya dan darah segar yang masih terus keluar dari lambung adiknya. Sementara, di dalam kamar, Jukalip mengkidung, sesekali tertawa, kemudian beberapa saat setalahnya, terdengar sebuah kursi terjatuh. Dari jendela kamar, terihat samarsamar wajah Jukalip membiru dengan lidah terjulur keluar dan sebuah tali kencang mencekik lehernya sendiri. Di luar, Tinep masih mengkidung sangat pelan. Sementara, hujan belum juga reda. Kakong, 7–24 Januari 2022 Didedikasikan untuk para pemunik Gawah Daya puluhan tahun lalu.



BILAI



31



C ATATA N



Makna beberapa kidung atau tembang dalam naskah di atas.



Kidung 1 O anakku sik buaq bulu siq paling tunakku Maraq permata intan ratna mutu Maih ku umbaq sambil ku melagu Tindoq anak, anakku sik bagus Tembang ini adalah tembang yang biasa digunakan ibu-ibu dalam keseharian untuk menidurkan anak balita dalam gendongan atau ayunan kain. Makna dari tembang ini: Owh anakku yang paling ku sayangi Seperti permata intan yang sangat mahal Sini aku (ibu) gendong sambil berkidung Tidur anakku, anakku yang sangat baik (cantik)



Kidung 2 E gamaq Nenek Kaji Saq Kuasa Peteng gati idap dunia Jaok gati bekas nae Laguk derak bae dait jalan uleq Maknanya: Ya Tuhan Yang Maha Kuasa Sungguh sangat gelap aku rasakan dunia 32



M U LYA D I



Sudah sangat jauh kaki ini melangkah Namun, tetap saja belum bisa menemukan jalan pulang



Kidung 3 Yao inaq yao amaq mbe keno lain pe lalo Yao inaq yao amaq anak epe derak kon nyembao Maknanya: Owh Ibu Bapak, ke manakah Ibu Bapak pergi Owh Ibu Bapak, sekarang anakmu tidak ada tempat berteduh



BILAI



33



Tuhan, Tolong Bunuh Emak Y E S S Y N ATA L I A



Yessy Natalia lahir di Malang, 25 Desember 1972, dan sekarang menetap di Jakarta. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Arsitektur pada 1997, dan saat ini bekerja sebagai engineering head di salah satu perusahaan properti di Jakarta. Yessy bergabung di komuitas seni D’ArtBeat sejak 2007 dan terlibat secara aktif sebagai pemain drama/ teater, penata panggung, tim kreatif, dan penulis naskah. Sampai dengan saat ini, ia sudah menuliskan lima naskah drama musikal, tiga naskah teater, empat naskah film pendek, dan satu buku kumpulan cerita pendek. Naskah drama musikal yang sudah dipentasnya adalah Mutong Sahabatku, Semua Unik Semua Istimewa, Siapa Kaya Siapa Miskin, Putih Hitam Lasem, dan Rumah Oma—diproduksi oleh D’ArtBeat; sedangkan Nastar adalah naskah film pendek yang sudah ditayangkan dan juga diproduksi oleh D’ArtBeat.



C ATATA N P E N U L I S



Setiap orang yang lahir di Indonesia ini, seiring dengan bertambahnya umur, selalu dijejali dengan sebuah pernyataan, bahwa anak mempunyai kewajiban untuk menghormati, menyenangkan, dan berbakti kepada orang tua yang sering kali kesuksesannya diidentikkan dengan kemapanan ekonomi yang dimiliki si anak. Malangnya, banyak orang dengan keuangan yang pas-pasan, terjebak di posisi sandwich, menanggung orang tua tapi juga berkewajiban membesarkan anaknya yang menjadikannya semakin tidak bisa “berbakti” pada orang tua. Mungkin ada beberapa orang yang sadar dan paham benar bahwa anak tidak punya kewajiban apa pun pada orang tua, tetapi urusan yang sudah jadi tradisi mengikat ini, sangat susah dihapuskan. Di lain pihak, kata “bakti” sendiri juga masih dalam area ketertundukan dan hormat dilihat secara hitam dan putih saja, meskipun dalam dunia ini sangat susah melihat sesuatu hanya dengan dua warna itu saja. Naskah drama ini menyoroti kondisi seorang laki-laki yang merasa tak berbakti pada orang tua dan merasa tak berguna di depan istri dan anaknya.



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



37



SINOPSIS



Sebelum menerima gaji ke-13 dan bonus, Bekti mengalami berbagai masalah. 1. Obat kanker emaknya habis dan harus ditebus. Sedangkan emaknya terus menangis karena tidak tahan akan sakitnya. 2. Minah, istri Bekti, mengingatkan bahwa Wiyarti, anak satu-satunya yang pintarnya melebihi Bekti dan istrinya, harus mendaftar ulang untuk kuliah kedokteran 3. Penagih utang datang menagih utang. Utang dari biaya pengobatan emaknya terdahulu. Werdi, sahabat Bekti, datang dan memberikan beberapa pandangannya jika dia mengalami masalah seperti yang dialami Bekti. Pandangan itu malah membuat Bekti bingung. Setelah dihitung, gaji ke-13 dan bonus yang diterima Bekti ternyata tetap kurang. Bekti pusing dan bingung, dia berdoa agar Tuhan menolongnya, tapi Tuhan seperti tidak mendengar. Bekti akhirnya meminta Minah, istrinya untuk memutuskan bagaimana mengatur uang yang tidak cukup itu. Minah menolak. Emak yang mendengar pembicaraan Bekti dengan Minah minta pada Bekti agar dibuat mati saja, karena sudah tidak tahan sakit. Bekti yang bingung akhirnya mengambil obat serangga meletakkan di samping Emak dan kemudian pergi.



38



YESSY NATALIA



TO KO H



Bekti, laki-laki umur 40 tahun, cleaning service di sebuah kantor dan tukang ojek sebagai tambahan pendapatan. Minah, istri Bekti, 37 tahun, buruh cuci. Emak, perempuan umur 60 tahun, sakit kanker tulang sudah satu tahun. Werdi, laki-laki, umur 40-an tahun, tetangga. Jaul, penagih utang, laki-laki 40 tahun, sok flamboyan.



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



39



KOSTUM



Bekti: seragam cleaning service. Minah: daster lusuh, rambut di gelung cepol atas. Emak: atasan daster lusuh dan jarit lusuh yang dibebet asal (dibuat seperti sarung). Werdi: pakaian sehari-hari. Jaul: pakaian sehari-hari, seperti orang kantoran, perlente, berlengan panjang, berkerah.



40



YESSY NATALIA



SETTING



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



41



Panggung berbentuk rumah dengan teras, di sebuah perkampungan di kawasan urban di dekat rel kereta api di Jakarta. Sore hari, hari belum gelap, hawa panas. Di sebuah rumah sangat sederhana dengan teras kecil. Di teras ada dua kursi butut, yang satu sudah mulai jebol dan patah kakinya, dan seperti setengah diperbaiki. Jemuran baju dari rafia ada di belakang teras. Serta motor bebek terparkir tegak di pinggir. Teras kecil itu agak kotor dan tampak tak beraturan. Sedangkan di dalam rumah terdapat sofa yang juga butut, dengan beberapa tambalan, sebuah lemari tinggi tempat menaruh bantal dan selimut. Ada juga meja makan dari kayu dan kursi tanpa sandaran dari kayu juga dengan warna berbeda-beda. Kipas angin butut berputar pelan, suaranya “kriek” terdengar setiap kali kipas angin itu bergerak ke kanan, seakan ingin mengingatkan bahwa sebentar lagi semua sambungannya akan terlepas. Bekti, yang masih memakai seragam kerjanya, gelisah di teras. Hawa panas membuatnya mencari potongan trikplek bekas/kertas kardus di teras dan mulai mengipasi badannya. Tiba-tiba, (suara) kereta mendekat, kemudian terdengar bunyi peluit, dan tak lama dencitan rem kereta membuyarkan pikiran Bekti. Bekti memperhatikan di kejauhan. Suara beberapa orang berlarian sambil berteriak, “Ada lagi.” “Lakilaki apa perempuan?” “Mati?” “Ada yang kenal?” …. Perlahan, suara mulai mereda, hanya tinggal bisik-bisik samar. Bekti duduk di atas motor dan mulai memilin-milin rokoknya. Dari arah kiri, Minah masuk sambil membawa ember besar berisi baju basah siap dijemur, melintasi ruang tengah, membuka pintu dan ke teras. 42



YESSY NATALIA



Minah: (Melihat ke Bekti) Sudah pulang rupanya. Bekti tidak menjawab dan hanya melihat sekilas ke Minah. Merasa diabaikan, Minah mengembuskan napas dengan keras dan mulai menjemur. Tiba-tiba, dia menginjak sesuatu dengan keras. Minah: Huh … tidak pernah bisa habis, berapa pun yang kuinjak. Tadi kulihat sudah ada kecoak besar yang mulai masuk lemari. Obat kecoak yang kaubawa dari kantor tidak bisa kupakai. Aku tidak bisa menuangnya ke dalam wadah dan meminta kecoak-kecoak itu untuk meminumnya. Minah melayangkan pandang ke Bekti yang sepertinya tak acuh, dan kemudian meneruskan bicaranya dengan nada sedikit lebih tinggi. Minah: Mas, sepertinya, sudah waktunya membeli token listrik. Jangan sampai listrik mati sementara anakmu belajar. Obat Emak juga habis. Tadi pagi adalah obatnya yang terakhir. Siang tadi, tidak ada yang bisa kuberikan lagi untuknya. (Memandang Bekti.) Kenapa diam saja, Bang? Bekti menghela napas panjang dan menggosok saku kanannya. Bekti: Aku musti bilang apa? Minah: Ya, apalah. Secuil kalimat yang bisa menghilangkan pusing kepalaku mungkin? Bantu aku berpikir, Bang. Bekti: Kau pikir aku tidak pusing? Minah: (Dengan nada dalam dan tajam) Dua hari lagi seharusnya kamu sudah punya uang. Pikirkan untuk dua hari ini dulu. Jaul, dari arah kanan luar, berjalan masuk ke panggung. Jaul: Selamat sore, Pak Bekti …. Susah sekali, lo, nyari Pak Bekti ini. Sudah seminggu ini, saya nyari ke sini, kok, gak ada terus. Ke mana saja, Pak? TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



43



Bekti: (Gugup) Wah, Pak Jaul. Saya sering lembur akhir-akhir ini. Kan, buat kepentingan Pak Jaul juga. Jaul: Wah … saya tersanjung. (Sambil membenahi kerahnya) Eh, hari ini gak ngojek? Jaul memperhatikan motor Bekti. Minah yang selesai menjemur dan berjalan mendekati pintu dengan sedikit suara dan itu cukup mengalihkan perhatian Jaul dari motor Bekti. Jaul kemudian berjalan menghampiri Minah. Jaul: Bu Minaaahh, tumben juga ada di rumah. Gak nyuci, Bu? Minah tidak menjawab, tersenyum sekadarnya, menganggukkan kepala, mundur selangkah, kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Jaul mengamati Minah masuk, kemudiam berkata pada Bekti. Jaul: Kalian ini, sore-sore berduaan di rumah …. Hayo, ngapain? Mau bikin anak lagi, ya? Alih-alih menjawab pertanyaan Jaul, Bekti berkata: Bekti: Saya belum ada uangnya, Pak Jaul. Jaul: Wooo …. masak, sih? Tadi katanya lembur teroooss … jadi pasti duit lemburnya juga banyak, apalagi kantornya Pak Bekti kerja itu, kan, kantor yang bonafide. Bekti: Saya cuman cleaning service, Pak. Jaul: (Seolah tidak mendengar) Belum lagi hasil dari ngojek. Masak masih kurang …? Duit banyak begitu dikemanain? Bekti: Emak perlu obat, Wiyarti juga perlu uang untuk sekolah. Mendengar kata Wiyarti, Jaul langsung bereaksi. Jaul: Wiyarti? Anak Pak Bekti, kan? Wooo … saya lihat kemarin 44



YESSY NATALIA



lewat depan rumah. Byuh … cuaantiknya … Sudah kelas berapa dia? Bekti: (Merasa kecolongan) Sudah lulus SMA, tinggal nunggu ijasah. Jaul: Lah, kalau sudah lulus SMA, duit buat apa? Bekti: Buat kuliah. Jaul: Halah! Pak Bekti ini, kok, aneh-aneh. Anak perempuan itu kalau sudah lulus SMA, kawinkan saja. Yang penting bisa masak, bisa beres-beres rumah, cukup. Eh, ngomongin pekara utang, Pak Boss saya itu, kan, lagi nyari istri, loh. Bekti: (Gugup) Eh … bagaimana, Pak? Jaul: Apa bisa Wiyarti jadi istri beliau? Itu bisa, lo, mengurangi utang Pak Bekti. Bekti: (Makin gugup) Loh … istri Pak Boss, kan, sudah lima? Jaul: Yang dua sudah diceraikan. Bosen katanya. (Sambil mengebaskan tangan.) Bekti: (Kaget) Hah …. Hmm … (bicara dengan ragu-ragu) memangnya bisa berkurang berapa, ya? Bekti mencuri pandang ke pintu seakan takut ada yang mendengar. Jaul: Kalau Wiyarti jadi istri beliau, kira-kira bisalah mengurangi utang Pak Bekti sekitar tiga belas juta. Bekti: (Gugup) Aduh … eh … tapi, utang yang empat juta lagi bagaimana? Jaul: Halah … gampang itu … (sambil megelus-elus motor Bekti). Bagaimana? Oh ya, satu lagi. Pak Bekti jadi gak perlu lagi mengeluarkan uang untuk biaya kuliah Wiyarti.



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



45



Bekti: (Memegang kantong kanannya erat-erat.) Aduh … saya pikir dulu, ya, Pak. Jaul: Jangan lama-lama, ya, mikirnya. Nah, selama Pak Bekti mikir, saya bawa dulu, ya, motornya. Buat jaminan ke Pak Boss. Masak, saya ke sini gak dapat hasil apa-apa. Kalau oke dengan rencana kita tadi, Pak Bekti samperin saya di rumah besok pagi, saya kembalikan motornya. Tiga belas juta lunas, tinggal empat juta. Tinggal sedikittt …. Jaul memegang motor, sementara Bekti menahannya. Bekti: Jangan, Pak. Jangan dibawa. Ini, kan, buat kerja dan buat ngojek juga. Jaul: Untungnya, yang disuruh nagih ke sini itu saya, lo. Bukan Bang Lonjan. Saya sabar orangnya, gak kayak Abang satu itu. Bisa rusak semua perabot Pak Bekti kayak rumah Wakidi. Saya ini orang yang lebih suka memberi solusi daripada musti ngrusak sana, ngrusak sini, seperti Bang Lonjan. Terjadi tarik menarik antara Bekti dan Jaul. Jaul: Eh, iya …. (Berhenti menarik motor dan berjalan menuju pintu yang tertutup dan sedikit berteriak) Bu Minaah … saya pergi dulu, ya. (Menunggu jawaban. Karena tidak terdengar jawaban, Jaul meneruskan bicaranya.) Sampaikan salam saya buat Wiryati, ya, Bu. Minah yang sedang duduk dan menulis di meja makan, hanya menoleh sekadarnya, tetapi ketika nama Wiryati disebut, Minah berdiri menghadap pintu dengan nanar. Jaul menunggu sebentar, ketika tidak ada jawaban dari Minah, dia menghampiri motor dan bicara pada Bekti sambil menepuknepuk jok motor yang masih dipegang Bekti.



46



YESSY NATALIA



Jaul: Biasanya, kan, Wiyarti kalau pulang sekolah lewat depan rumah Pak Boss. Nanti saya bilang, ya, sama dia, kalau dia harus siap-siap jadi istri Pak Boss. Bekti: (Gugup) Jangan! Jaul tersenyum penuh arti sambil terus menepuk jok motor. Bekti melepas tangannya dari jok. Jaul kemudian menuntunnya keluar tanpa ada perlawanan lagi dari Bekti, sambil berkata: Jaul: Jangan lama-lama mikirnya! Jaul keluar panggung sambil menuntun motor, sementara Bekti hanya berdiri dengan napas memburu. Tiba-tiba kipas angin dalam rumah mati. Minah tersentak kaget. Minah: (Setengah berteriak) Bang, listrik mati! Bekti: (Setelah mengatur napas.) Ada yang konslet kali? Minah: Konslet bagaimana? Tokennya belum diisi! Kamu tidak dengar yang aku omongkan tadi? Tanpa menjawab, Bekti memeriksa meter listrik dan kemudian menggaruk kepalanya. Emak, dari dalam kamar, bertanya pada Minah. Emak: (Setengah berteriak) Nah … listrik mati, Nah? Minah: (Berkata lembut) Iya, Mak, sebentar, ya … Bekti masuk dari teras ke ruang tengah dengan rasa bersalah. Minah: (Bertanya dengan nada tajam) Bener, kan? Tokennya habis, kan? Bekti: Iya. Nanti aku …. Bicara Bekti terpotong panggilan Emak pada Minah dari dalam kamar. TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



47



Emak: (Dari kamar luar) Nah … aku mau ke WC. Minah: Iya, Mak. Minah masuk ke dalam kamar dan kemudian menuntun Emak yang kesakitan, keluar. Bekti: (Berkata lembut) Eek di pispot aja mestinya, Mak … Minah: Pecah. Minah berkata sambil berjalan keluar. Minah kemudian masuk kembali ke ruang tengah, sembari membereskan kertas-kertas yang menumpuk di meja yang dibuatnya menulis tadi. Minah: Aku tidak tega lihat Emak begitu. Kesakitan setiap saat. Sudah waktunya beli obat. Paling tidak, obat penghilang rasa sakit. Apalagi kalau sedang pingin ke WC begitu. Bekti: (Berkata lirih) Mungkin sebaiknya biarkan Emak pipis dan eek di kasur. Minah: Punggungnya sudah lecet gara-gara terpal bekas spanduk yang aku taruh sebagai alas kasurnya. Jadi Emak lebih memilih berjalan kesakitan daripada tidur beralas terpal yang penuh pipis dan eek. (Menghela napas panjang.) Minah berhenti membereskan kertas dan berkata dengan nada putus asa. Minah: Mustinya kita bisa berikan perlak yang lebih baik. Atau pampers. Tapi untuk membeli obat saja, tidak ada uang di tangan kita. Bagaimana mungkin aku membeli barang-barang itu? Bekti: Kalau kita punya uang dan harus memilih, akan kau apakan uang itu, Nah? Untuk kuliah Wiyarti, untuk beli obat Emak, atau untuk bayar utang ke Bang Jaul? 48



YESSY NATALIA



Minah: Jangan kau berikan aku harapan, lantas kemudian kau banting aku ke tanah, Bang. Bekti: Bukannya baik mempunyai harapan? Minah: Aku mau semua bisa diatasi! Bekti: Tidak bisa! Kita harus memilih. Minah diam tidak berkata-kata. Ketika dia hendak membuka mulutnya, Emak memanggil dari dalam. Emak: Nah …. Minah menghela napas dan masuk ke dalam. Bekti menarik kursi makan, memungungi kamar, kemudian merogoh kantong celana sisi kanannya dan mengeluarkan segepok uang. Menghitungnya dan kemudian menghela napas panjang. Mendengar kaki diseret masuk, Bekti memasukkan lagi uang ke kantongnya. Emak: Di kursi aja, Nah. Panas di dalam. Emak, dituntun Minah, berjalan tertatih menghampir sofa butut dan kemudian Minah menidurkan Emak di situ. Begitu melihat Emak memejamkan mata, Bekti menarik tangan Minah menjauh agar Emak tidak mendengar, dan mereka berdua bicara dengan berbisik. Bekti: Jadi bagaimana? Apa yang kau pilih? Minah: Jangan paksa aku untuk memilih, Bang! Minah merogoh dasternya dan mengeluarkan uang seratus ribu. Minah: Aku mau beli token 25 ribu di warung sebelah. Kalau aku pakai 75 ribu sisanya untuk beli obat penghilang rasa sakit buat Emak, bisa kau carikan uang untuk belanja besok?



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



49



Bekti diam saja, sementara tangannya memegang kantong yang berisi uang. Minah menghela napas dan berkata perih. Minah: Tinggal ini uangku, Bang, setelah itu, aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Werdi masuk dari luar kanan menuju teras dan kemudian berteriak, memecahkan pembicaraan Bekti dan Minah. Werdi: Permisi …. Bekti dan Minah menengok ke pintu. Sementara tangannya masih memegang kantong, Bekti memandang Minah dan berkata. Bekti: Bantu aku …. Minah: Memilih? Werdi: (Dari teras) Permisi …. Bekti: (Tetap dari dalam rumah) Yaa … sebentar. Minah: Temui Mas Werdi dulu. Aku ke warung. Minah berjalan ke pintu dan kemudian berhenti menghadap Bekti. Minah: Carikan cara untuk dapat alat semprot buat racun cair itu, ya. Aku tidak tahan dengan kecoa-kecoa yang sudah mulai masuk ke kamar. Minah menjalan keluar rumah dan Bekti mengikutinya di belakang. Di teras, Minah menyapa Werdi. Minah: Mas …. Minah kemudian berjalan keluar. Werdi bertanya pada Bekti sembari dagunya mengarah pada Minah. Werdi: Ke mana? 50



YESSY NATALIA



Bekti: Beli token. Werdi: Ooo. Ini palunya. Werdi memberikan palu pada Bekti, Bekti menerimanya. Werdi hendak duduk di kursi yang patah kakinya. Bekti: Jangan! Kakinya patah. Werdi berpindah tempat. Bunyi kereta lewat. Bekti seperti mendengarkannya dengan saksama. Werdi melihat jam tangannya. Werdi: Tiga puluh menit terlambat. Ada yang bunuh diri tadi. Setiap ada yang bunuh diri, sedikitnya 30 menit, kereta akan terlambat. Bekti: (Sambil lalu, dengan badan masih tegak) Siapa? Werdi: Wakidi. Bekti: (Kaget) Hah? Wakidi? Werdi: Wajarlah kalau dia bunuh diri. Bekti: Wajar bagaimana? Werdi: Wakidi itu utangnya banyak ke Pak Boss. Meski salah satu anak buah Pak Boss sudah ambil sertifikat rumahnya, belum lunas juga utangnya. Terakhir, anak perempuannya yang masih berumur 16 tahun diminta sama Pak Boss. Kan, gila. Bekti: Masih 16 tahun. Kenapa gak lapor polisi? Werdi: Mau lapor bagaimana? Ada tulisannya di atas materai, kalau Pak Boss berhak mengambil apa saja jika sampai dengan tenggang waktu, utangnya belum terbayar. Bekti: Apa saja? Werdi: (Mengucapkan dengan menegaskan) Apa saja!



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



51



Emak memanggil dari dalam rumah dengan lirih. Emak: Nah, ambilkan aku minum …. Bekti: (Pada Werdi) Sebentar. Jangan pulang dulu. Bekti berjalan menuju pintu, masuk ke dalam rumah, mengambil gelas di meja, meminumkannya ke Emak kemudian meletakkan kembali gelas di meja dan bergegas keluar. Sebelum sampai pintu, Bekti berhenti, berbalik ke lemari, mengambil map di atas lemari yang mulai berdebu, membukanya membaca dengan menelusur tangannya di map dan kemudian terhenti. Napasnya memburu. Bekti meletakkan kembali map di atas lemari dan kemudian keluar. Werdi: Semakin parah sakit Emak? Bekti: Katanya, seluruh tulangnya seperti ditusuk-tusuk. Emak tidak bisa lagi berjalan tanpa dituntun. Bahkan bergerak pun dia sudah kesakitan. Werdi: Semoga Emak cepat sembuh …. Bekti: Enam bulan yang lalu, ketika pertama kali tahu kalau Emak sakit kanker tulang, dokter sudah bilang kalau umur Emak mungkin tidak sampai setahun lagi. Sudah stadium empat, katanya. Dengan obat-obatan, umur Emak bisa diperpanjang. Werdi: Waduh, kasihan. Pasti mahal, ya, obat-obatnya? Bekti: Aku sudah tidak sanggup lagi membelikannya obat yang benar. Kemo pun hanya dua kali sanggup kulakukan. Mahal sekali. (Berkata seperti pada dirinya sendiri) Siang-malam kumintakan kesembuhan, tapi sepertinya Tuhan tuli. Dia tidak mendengar doaku.



52



YESSY NATALIA



Werdi: Mungkin memang bukan itu mau Tuhan. Bekti: (Lirih) Tuhan mau Emak mati? Kalau begitu, kenapa tidak dibuat mati saja segera? Daripada menyiksanya seperti itu. Sakitnya Emak, tidak hanya menyiksa Emak, tapi juga aku dan Minah. Dan mungkin nanti Wiyarti juga …. Suasana menjadi kikuk. Werdi: (Mengalihkan suasana) Kata Santi, anakku, Wiryanti diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lewat jalur raport? Bekti: Iya. Werdi: Pintar sekali anak itu. Dia pasti akan butuh biaya besar. Kedokteran bukan sekolah yang murah. Bekti tidak bereaksi dan hanya mendengar. Werdi: Kalau aku sakit parah, dan Santi sepintar Wiyarti, tidak akan kubeli obat buatku. Biar uangnya untuk bekal Santi kuliah. Biar saja aku mati pelan-pelan. Bekti: Apakah sembahyang bisa mengubah pikiranmu? Werdi: Sudah lama aku tidak melakukannya. Tuhan juga tidak mendengar doa-doaku. Aku hanya meminta supaya Tuhan tidak membuatku miskin, dan bertahun-tahun aku bekerja siang dan malam. Ada perubahan? Tidak! Bekti: Santi akan kehilangan bapak. Werdi: Tapi dia bisa sekolah. Bekti: Apa kau yakin, istrimu bisa membiayai sekolah Santi sampai lulus kuliah? Werdi: Kata orang; anak pintar, turun dari ibunya. Istriku lebih



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



53



pintar dari aku. Sekarang pun dia sudah mulai membuka toko kelontong kecil. Buat tabungan, katanya. Bekti: Tanpa obat, apa kau sanggup hidup dengan rasa sakitnya? Werdi: Jika tak tahan, mungkin aku akan mencontoh Wakidi … hahaha. Werdi tertawa tergelak. Namun, kalimat Werdi yang diucapkannya sambil tertawa itu malah membuat Bekti kaget. Dua laki-laki itu kemudian tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bunyi kereta lewat memecahkan suasana. Bekti tegak mendengarkan bunyi kereta. Minah datang dari luar, berjalan masuk. Ketika Werdi melihat Minah dari jauh, dia berdiri dan mengebas-ngebaskan bajunya sembari berkata pada Bekti. Werdi: Aku pulang dulu, ya. Terima kasih palunya. Minah masuk teras dan langsung bertanya pada Werdi. Minah: Santi jadi neruskan kuliah di mana, Mas? Werdi: Belum tahu. Paling ikut tes dulu nanti. Aku permisi, ya. Minah: Iya. Werdi keluar. Minah mengangsurkan kertas pada Bekti dan bertanya heran. Minah: Mana motor bebekmu? Bekti: Diambil Bang Jaul. Bekti menerima kertas dari Minah tanpa memandangnya dan kemudian mulai memasukkan nomor voucher token di meter listrik. Minah menghela napas dan masuk ke dalam rumah. Kipas angin



54



YESSY NATALIA



mulai menyala dan masih dengan bunyinya yang menandakan sebentar lagi kipas angin itu akan rusak. Minah kemudian membuat tiga gelas teh. Bekti masuk dan duduk di kursi makan. Minah mengangsurkan cangkir teh pada Bekti. Bekti menerimanya dan kemudian duduk. Minah juga duduk. Bekti: Sebentar lagi aku dapat gaji ketiga belas, dan kalau jadi, aku juga akan menerima bonus. Berapa uang untuk Wiyarti kuliah? Minah: Kira-kira dua puluh juta. Minah mengambil berkas/kertas-kertas yang ditulisnya tadi dan memberikannya pada Bekti. Bekti hanya melirik sekilas. Minah kemudian meletakkan lagi di atas meja. Minah: Untuk Emak kemoterapi sekitar dua belas juta. Utang ke Bang Jaul enam belas juta. Bekti: (Meralat omongan Minah) Tujuh belas juta. Ada bunga satu juta karena telat bayar dua bulan. Mereka berdua terdiam dalam pikiran masing-masing. Bekti: Nah, tadi, Bang Jaul meminta Wiyarti untuk jadi istri Pak Boss. Minah kaget, tertegun, tetapi berusaha menahan diri. Minah: Kamu masih ingat, untuk apa kau beri nama anakmu Wiyarti? Supaya pintar, tidak seperti emak dan bapaknya. Kita ini bodoh, dan hanya lulus SMA dengan nilai pas-pasan. Nama membawa doa, begitu katamu dulu. Setahun lalu, ketika Wiyarti ingin jadi dokter, kamu begitu gembira dan sekaligus pusing bagaimana mencari uang untuk biaya kuliahnya.



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



55



Setiap rupiah yang bisa kau sisihkan, kau tabung, demi sekolah Wiyarti. Bekti: Tapi sekarang beda, Nah. Minah: (Suaranya meninggi) Aku tahu! Bekti: Pelankan suaramu! Nanti Emak dengar! Bekti berdiri dan menyeret Minah minggir menjauh. Minah: Aku tidak bisa meminta anakmu itu untuk membunuh keinginannya jadi dokter karena tidak ada uang di tangan kita! Apalagi menyuruh dia kawin dengan Pak Boss. Kalau kamu mau, kamu saja yang bilang padanya! Bekti diam saja. Dan berkata lirih. Bekti: Hanya sepuluh juta yang akan kita dapat, Nah! Minah: Jika semua dipakai buat bayar utang, kita masih akan berutang. Jika semua dipakai untuk bayar kuliah anakmu itu, tetap masih kurang. Aku ndak mau milih. Kepala keluarga yang harusnya tentukan. Dan saat ini, yang jadi kepala keluarga adalah kamu! Bukan aku! Kamu yang harusnya tentukan! Bekti: Wiyarti itu anakku, Emak itu emak kandungku! Minah: Ketika kita kawin, Emak jadi emakku juga! Bekti menghela napas panjang, berjalan sedikit menjauh dari Minah dan berkata membelakangi Minah. Bekti: (Putus asa) Berdosakah kita jika tidak merawat Emak dengan baik, Nah? Minah: Mungkin kurang keras doa kita. Bekti: Seperti lepas rasanya dengkul ini meminta Tuhan untuk menyembuhkan Emak. Berkali kali bersimpuh meminta sam56



YESSY NATALIA



pai tak bisa lagi kuucapkan kalimat dari mulutku. Dimana Dia? Ketika kita terjepit begini, di mana Dia? Di mana Tuhan? Minah: Mungkin Tuhan meminta kita melakukan yang lain? Bekti: Apa? Mengurangi sakitnya Emak? Dengan apa? Tiba-tiba Emak terbatuk dan memegang dadanya. Bekti dan Minah kaget. Emak: Nah, ambilkan air. Minah: (Bicara dengan lembut) Mau teh, Mak? Emak: Air putih saja. Minah mengambil air putih di meja, memberikannya pada Emak dan meletakkan lagi di meja. Bekti duduk di kursi makan, memandang Emak dengan sedih, tetapi juga gelisah. Minah: Ada lagi, Mak? Emak: Gak. Minah: Aku buatkan bubur, ya, buat Mak makan malam. Emak mengangguk, Minah keluar. Emak: Le, aku mau duduk. Bekti menghampiri Emak, membantunya duduk. Emak mengeluh kesakitan ketika Bekti membantunya duduk. Emak: Tarik kursi, duduk di sebelah Emak. Bekti mengangkat kursi makan dan duduk di sebelah Emak. Emak: Tadi, Mak dengar pertengkaranmu dengan Minah. Bekti: (Dengan perasaan bersalah) Maaf, Mak. Emak: Sejak kecil, kamu sudah berusaha membuat Mak senang.



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



57



Mau membantu Mak berjualan, sampai lulus SMA, sampai kau diterima kerja. Bekti: Aku tidak bisa mengajak Emak jalan-jalan seperti janjiku dulu. Sekarang pun, aku tidak bisa membeli obat buat Emak. Emak: Tidak perlu, Le. Apa yang kau lakukan sampai dengan sekarang sudah sangat cukup buat Mak. Sekarang kamu punya anak dan istri yang jadi tanggung jawabmu. Aku, makmu ini, bukan kewajibanmu lagi. Bekti: (Dengan perasaan bersalah) Emak …. Emak: Saat ini, hanya satu yang Mak inginkan. Sakit ini sudah tidak bisa lagi Mak tanggung …. Bekti bangkit dari duduknya. Bekti: Aku ke warung sekarang, beli obat penghilang rasa sakit, ya. Emak: Sstt …. Emak menepuk-nepuk kursi, meminta Bekti duduk lagi. Bekti kembali duduk. Emak: Emak ingin mati. Bantu Emak, ya …. Bekti: Jangan ngomong begitu, Mak. Aku … lebih baik aku yang mati daripada membantu Emak mati. Emak: Jangan …. Ada cucuku yang perlu kamu …. Bekti: Anak macam apa aku ini, Mak? Tidak bisa membelikan obat malah membantu emaknya mati. Berdosa aku. Emak: Sudah kumintakan ampun pada Tuhan untuk itu. Suara kereta lewat. Bekti menegakkan kepalanya. Ketika bunyi kereta berlalu, Bekti berkata:



58



YESSY NATALIA



Bekti: Aku belikan obat saja, ya …. Bekti bangkit dari duduk dan tangan Mak memegang tangan Bekti. Menahannya. Kedua orang itu bertatapan tapi tidak berkatakata lagi. Waktu seperti berhenti. Emak menarik napas panjang dengan kesakitan. Emak: Tidurkan aku, Le. Punggungku sakit. Bekti menidurkan Emak. Sementara Emak mengaduh kesakitan. Setelah itu, Bekti mondar-mandir di ruangan dengan gelisah. Minah masuk membawa mangkuk berisi bubur, menghampiri Emak. Dilihatnya mata Emak terpejam. Minah kemudian meletakkan mangkuk berisi bubur itu di meja makan sambil melirik Bekti. Minah: Tadi, kata orang di warung, parasetamol bisa mengurangi rasa sakit. Dia menyarankan untuk memberikan dua buah pil saat makan. Aku mau ke perumahan di sebelah. Ada yang harus dicuci. Suapkan bubur ini ke Emak kalau Emak bangun, ya. Minumkan juga dua parasetamol itu. Aku taruh di meja. Bekti masih diam saja. Minah: Aku pergi, ya, Bang. Bekti hanya memandang Minah. Minah berjalan keluar. Bekti masih gelisah. Diambilnya uang di kantongnya. Dihitungnya lagi dengan muka kesal. Diletakkannya uang itu di meja. Kemudian diambil dan dimasukkan lagi dalam kantong dengan tergesa. Bekti kembali mondar-mandir, kemudian duduk dan berdiri lagi dengan gelisah. Bekti duduk di lantai di samping kasur, meman-



TUHAN, TOLONG BUNUH EMAK



59



dang Emak dengan diam dan mata kosong. Dan kemudian, mondar-mandir lagi. Setelah beberapa saat, diambilnya racun serangga di dekat lemari, dipandanginya dan kemudian ditaruhnya di meja. Bekti mengembuskan napas pelan, tetapi berat. Kemudian, diangkatnya mangkok bubur di meja dan diletakkannya di kursi di sebelah Emak, tempat dia duduk tadi. Bekti kembali ke meja, memandang racun serangga dan obat di meja itu, kemudian diambilnya dan diletakkan racun serangga dan parasetamol itu di kursi persis di sebelah mangkuk bubur. Bekti mengambil map di atas lemari, meletakkannya di meja. Menumpuknya dengan berkas-berkas yang ditulis Minah tadi. Kemudian meletakkan segepok uang yang diambil dari kantongnya dan meletakkannya di atas map. Sesaat kemudian, dia melangkah keluar. Sampai di teras, tidak sengaja dia menendang kursi teras yang kemudian patah kakinya, tetapi Bekti tidak peduli dan terus berjalan keluar. Suara kereta terdengar. Selesai. Jakarta, 23 Maret 2021



60



YESSY NATALIA



Sketsa-Sketsa di Kebun Warisan R A C H M AT H I D AYAT M U S TA M I N



Rachmat Hidayat Mustamin bekerja sebagai sutradara, penyair dan seniman performans, saat ini menetap di Makassar. Pada 2019, ia merilis buku kumpulan puisi Sisir-Sisir Bunga Eja, kemudian mengikuti Residensi Penulis Indonesia di Jerman dengan dukungan Komite Buku Nasional. Ketertarikannya pada trauma sejarah, kawasan, dan isu-isu sosial telah melahirkan karya-karya lintas-medium berupa puisi, film, dan performans; beberapa di antaranya telah ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (2018), Festival Sastra Banggai (2019), Salamindanaw Asian Film Festival (2019), Makassar International Writers Festival (2018-2019), Parade Pertunjukan Seni Media Baru (2020), Makassar Biennale (2020-2021), Helateater Salihara (2021), Imajitari Dance Film Festival (2021), OPENLAB Teater Garasi (2022), dan Temu Seni Performans—Indonesia Bertutur (2022). Ia pernah meraih hibah dari British Council melalui program Connections Through Culture (CTC) 2020, dan menginisiasi Lipa’ Project bersama seniman Indonesia dan Inggris. Bersama Miles Films, ia menjadi salah satu sutradara untuk memproduksi video art dalam merespons puisi-puisi penyair Chairil Anwar. Lakonnya yang berjudul Sketsa-Sketsa di Kebun Warisan menjadi salah satu naskah terbaik pada Sayembara Naskah Teater Rawayan Award 2022 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini, selain menjadi dosen film di Institut Seni dan Budaya (ISBI) Sulawesi Selatan dan Direktur Program & Kemitraan di Rumata’ ArtSpace, ia juga kerap terlibat dalam kerja-kerja seni budaya berbasis komunitas.



BABAK I—Orang-Orang yang Tumbuh di Kebun Seseorang lelaki berdiri di panggung. Luas panggungnya barangkali sekitar 7 x 6 meter. Dari sana, sampai sana. Aktor kita menunjuk salah satu sisi ruang. Aktor kita bernama Aman. Di depannya ada meja. Ia menggenggam golok dan satu potong ayam terbelah menjadi beberapa bagian. Meja di tengah panggung. Cahaya menyisirnya dengan tenang. Penonton berada di depan sedang mengunyah kesunyian di bawah kegelapan ruang. Aman: Saya sudah bilang, kalau nanti juga akan saya bayar! Dia berulang kali menghubungi isteriku.Kepalanya isteriku sudah hampir meledak, kasian, asal kautau.



Saya mengerti. Seharusnya sudah saya kembalikan sejak tiga bulan yang lalu, toh. Tapi, kan, saya juga tidak lari. Saya masih ada di sini. Di depan kamu, sedang menjelaskan.







25 juta memang tidak sedikit. Tapi beri saya waktu lagi.



(Suara mirip handphone berbunyi, bisa batu, bisa hujan.) Oke. Terus? (Bahasa Bugis) Apa yang kamu balaskan? Saya kasih tahu dia sekarang. (Suara mirip handphone terputus. Ketus.) Aktor kita kembali malanjutkan dialognya. Sambil menyaksikan penonton di depannya. Sesekali bertanya pada tembok. Kalian suka makan ayam? Paha atau dada? Saya pikir semua orang suka makan ayam, meskipun ada yang pilih ayam ras S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



63



atau kampung, biasanya karena alergi. Tapi tidak semua orang punya uang untuk beli. Isteriku menelfon. Katanya, fotoku sudah tersebar mi di grup-grup WhatsApp arisan dan Facebook. Dia malu karena beberapa orang sudah chat. Saya bilang, tenang saja. Kenapakah isteri selalu mau cepat? Ndak bisakah kita tenang saja dulu. Santai. Minum kopi sambil memikirkan masa depan dan langkah-langkah yang mungkin bisa dilakukan. Tapi, ada ji kah masa depan untuk orang-orang seperti saya? Aktor kita memenggal sesuatu di meja. Sesuatu itu mungkin angin. Atau kehampaan yang hanya dirinya yang bisa menyaksikannya.



Hidup semakin tidak bisa saya kontrol. Apakah saya bahagia? Itu pertanyaan yang tak mungkin saya jawab.







Enam tahun yang lalu, saya berangkat ke Palu sama isteri. Saya pikir merantau bisa jadi pintu untuk menemukan kebahagiaan. Nyatanya, sulitnya minta ampun. Dulu kami berangkat pakai Panther. Itu juga biayanya saya dikasi sama Mama Farida, setelah gabahnya ia jual. Mungkin ia kasihan dengan saya, setelah Bapak meninggal.



Mulanya saya juga tidak tahu mau buat apa di kampungnya orang. Isteriku pernah jadi buruh cuci di kompleks pengadilan di Palu. Bantu-bantu isteri hakim ke pasar, belanja, kadang juga masak. Biasanya digaji 20 ribu rupiah satu hari. Lumayan. Apalagi sebagian makanan pernah dia bawa pulang di kos. Saya senang sekali. Saya lihat di pasar banyak sekali ji pendatang. Saya dikasi tahu sama isteri kalau banyak orang Bugis menjual, ada tonji orang Jawa. Dari situ saya pikir, mungkin bisnis akan membuka jalan rezekiku merantau. Sambil saya jadi tukang ojek di sekitar perumahan kompleks hakim. Saya kenal Ancu dari teman ojek, Awaluddin. Ancu berasal dari Sidrap. Kerjanya passobis. Itu, yang halo-halo. Biasanya 64



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



telfon-telfon orang pakai logat Jakarta. Beh, kalau kau dengar dia bicara, mungkin kau juga ndak percaya kalau dia orang Baranti. Pernah waktu kudatang ke rumahnya, dia lagi sementara menelfon, mau kasih orang motor tapi harus bayar satu juta dulu. Saya di depannya itu ketawa-ketawa mami. Dia mi kasih tahu ka kalau bisa pinjam uang pakai online. Dia jelaskan panjang kali lebar, meskipun saya tidak mengerti, yang penting saya bisa dapat modal untuk menjual ayam. Saya pikir semua orang suka makan ayam. Meskipun ada yang pilih ayam ras atau kampung, biasanya karena alergi. Eh, itu sudah mi tadi itu deng. Aktor kita meninggalkan panggung dan cahaya. Tiga orang kru artistik mengambil properti aktor kita. Seorang aktor perempuan, dari kursi penonton, berdiri dan berjalan ke arah panggung. Aktor perempuan itu duduk bersila. Cahaya kebiruan berarak kepadanya. Namanya Hartati. Kalau dalam bahasa Arab artinya “hartaku”. Hartati memulai narasinya, sembari tiga kru mulai memasang kelambu di tengah panggung. Hartati: Ndak mau ka. Apa mi pale saya pakai massappa’1? Biar kau datang ke Lapri, saya ndak bisa jual itu kebun. Panen sudah mau tiba. Kenapa memang pinjam uang kalau kau tidakbisa kasih kembali? Tanggung jawab mi. Saya tidak bisa bantu.



Dia sudah saya kasih tahu. Kalian dengar sendiri, toh? Cuma itu harta satu-satunya yang keluargaku punya. Meninggal mi kasian Mama sama Atta22, bapakku. Baru itu Aman hampir mi ini dua minggu telfon teruska.



Aman: Makanya saya datang ke Bone. Bugis: mencari.



1



Bugis: bapak.



2



S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



65



Aktor kita, Aman,berjalan ke panggung sambil mengangkat kursi. Cahaya melebar. Hartati: Bikin tambah susah kodeng. Aman: Kau dari dulu selalu pikir susahnya. Hartati: Kau tidak tahu ini situasi di Solo’? Aktor kita, Aman, berbalik arah menghadap penonton. Solo’ itu nama dusun kecil di Lappariaja di Bone. Desanya orang tuaku. Waktu saya baru tiba, saya ketemu sama Om, Petta Rala. Dia bilang empat hari lalu ada orang curi panen. Lombok besar sekitar delapan karung di kebun. Setelah itu, para petani berjaga di kebun, menegakkan kelambu, menjaga lahan untuk memperpanjang napasnya. Hartati: Dua hari lalu waktu saya nginap di kebun dengan suamiku, kami dengar ada suara dari belakang. Sarung saya pasang di badanku. Dingin sekali. Gelap gulita. Tanah basah. Saya rasa-rasa melihat ada orang memangkas-mangkas lombok. Baru dia memasukkannya ke dalam karung. Argghh. Saya teriaki supaya dia berhenti. Pas saya bangun, suamiku sudah duduk di depanku. Mukanya pucat. Kamu mimpi, kata suamiku.



Tiba-tiba kami lebih banyak menghabiskan waktu di kebun.



Aman: Makanya saya ikut bantu berjaga, siapa tahu bisa sekalian saya bujuk menjual tanah. Waktu itu juga saya sempat dengar suara-suara asing. Saya pastikan ini bukan mimpi seperti anrikku3. Saya ambil air dari botol baru saya usap mataku. Gelap sekali. Ada senter di dekat sarungnya Hartati saya ambil saja. Mungkin sekitar jam tiga subuh mi itu. Saya pergi sendi Adikku.



3



66



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



rian ke kebun. Saya lihat ada orang pegang parang. Sudah ada dua karung di sana. Saya jalan pelan-pelan menuju punggungnya. Di tengah dingin dan kabut. Saya pegang lehernya. Baru dia hampir teriak. Saya tutup mulutnya. Sudah mau saya pukul. Saya sorot mukanya senter. Astagaaa. Itu Rundu. Teman SMP-ku dulu di Lapri. Ketika orang-orang datang, Rundu sudah tidak ada. Saya cuma bilang ada tikus sawah. Hartati keluar dari kelambu. Cahaya mengubah dirinya jadi terang, seperti terik pada kebun di tanah sengketa. Aman mengambil ponselnya di luar panggung. Aman mengukur area panggung menggunakan telapak kakinya seperti pemain sepak bola untuk tendangan bebas. Sesekali memotret panggung dan penonton. Di belakang para aktor, proyektor menyala. Sepotong Facebook terbuka. Ada wajah Aman di sana. Foto-foto kebun tertera. Tertulis di layar: “DIJUAL MURAH! HUBUNGI 08134782345615”. Aman bergerak ke area penonton. Aman: Datang mki dulu lihat. Sudah ada Indomaret di dekatnya. Lima belas menit saja dari Tanabatue. Dekat bank. Kita mau biarkan jadi kebun, bisa. Nanti saya carikan ki orang yang mau kerjakan kebunnya. Atau, kita mau tinggali juga bisa. Kalau memang pale ndak mau ki tinggali, pakai saja untuk investasi. Diproyektor, akun “Rabiah Darussalam” berkomentar: “area mana dan brp pak?” Hartati: Saya tendang drum yang dia kasih jadi pembatas di kebun. Ada juga kelapa. Saya tidak mau jual kebun. Kenapakah memang mau ki menjual tanah. Kan, saya sudah bilang, saya tidak mau jual. Harga jual lombok saja 2.500 mami satu kan-



S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



67



tong. Maghrib distributor sudah datang jemput lombok. Kadang saya ikut sama suamiku pulang balik PP ke Makassar, Sengkang, Soppeng, Pangkep, Sidrap, sampai Takalar untuk menjual kalau supirnya distributor sakit. Suamiku yang bawa mobil. Cuma ini kebun yang bisa kasih hidup saya sama suami. Aman: Saya sakit hati sama adikku ini. Saya pergi saja. Dua hari kemudian, saya liat Rundu di bengkel setelah saya pulang baw apapan dan cet. Saya tanya, “Kau kenapa mencuri?” Dia bilang kalau dia bekerja untuk Petta Dalle. Tak apa. Saya juga tahu orang itu. Lalu pelan saya bisiki kupingnya, “Saya mau kau curi saja kebunnya adikku. Mari kita atur rencana.” Rundu membawa tiga orang temannya di dekat sungai. Kami berkumpul membentuk lingkaran. Matahari terik sekali. Tapi angin sejuk sesekali menyambar sela-sela pakaian. Ada Ciwang, Haling, dan Sude. Setelah sekitar 25 menit bicara dan dua bungkus rokok tandas, kami pulang, dan menunggu besok malam. Aman: Saya lihat dari celah pohon, Rundu jongkok melihat abaaba. Tidak kentara, tapi saya tahu, itu sarung sama bajunya. Ciwang di mobil. Haling tidak kelihatan, tapi saya yakin malam ini semua rencana berhasil. Kami sudah rapatkan dan memikirkan segala kemungkinannya. Bagaimana kalau ketahuan, bagaimana kalau lomboknya tidak sempat dimasukkan ke dalam kantongan, bagaimana kalau ternyata adikku tahu ini rencana, bagaimana kalau semuanya mi.



Saya juga tidak perhatikan di mana adekku. O, saya ingat. Dia bilang tadi siang di rumah kalau akan terlambat datang di kebun karena harus pergi ke rumah Pung Besse, tante kami yang tinggal sendirian. Saya cuma lihat suaminya tiba di kebun. Saya duluan datang dan memasang kelambu.



Sudah pukul 10.45, saya mulai menggoyang-goyangkan kaki 68



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



dan tangan, seperti orang yang menggigil. Saya menggerakkan tangan tak menentu. Kaki yang tak pernah diam. Saya menutup mata dan ketika membukanya, saya tatap Ipar saya dengan tajam, lalu melihat sekeliling dengan aneh dan ganjil. Ipar saya bertanya, kenapa saya. Saya abaikan. Saya tidak pernah kerasukan, ya, sebetulnya. Referensi saya cuma dari video di Facebook. Sama dangdutan! Saya coba pura-pura kerasukan, tapi semakin saya pura-pura, kok, saya malah merasa seperti joget dangdutya.



Setelah itu, mata saya terus menutup. Lalu saya dengar suara keramaian para petani. Tubuh saya dibopong ke masjid. Sial, itu lantai masjid kayak es. Saya cuma sekilas dengar ada yang bilang kalau saya sakit, tapi yang paling saya ingat, ada yang bilang saya kerasukan setan DI/TII.



S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



69



Babak II—Cerita-Cerita yang Tumbuh di Kebun Orang-orang lebih banyak membicarakan setan. Hantu. Korban perang gorilla, sebutan untuk gerilya. Tentara DI/TII. Di manamana hanya cerita tentang keluarganya, kakeknya, neneknya yang dulu pernah dikejar-kejar DI/TII, ada ditangkap, dihilangkan, dibunuh. Saya juga baru tahu. Itu semua gara-gara saya pura-pura kerasukan. Di kebun di mana para petani menanam cabe dan harapannya untuk hidup, tersimpan sejarah pembantaian manusia. Narasi Hantu 1: Dingin sekali sampai saya rasa itu angin meraba tulang pinggulku. Saya lihat pohon mulai merendah. Di kejauhan sana, hanya ada gunung ditutupi kabut. Udara berwarna biru. Bukan gelap seperti arang di dapur. Di hutan ini tak ada perangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa. Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang. Mengatakan gerombolan saja, saya masih gemetar ini. Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak, selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga. Saya dengar kami akan dipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah Al Kautsar. Dan, syahadat.



70



Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang ke kebun, sembunyi di sana beberapa waktu, siapa tahu gerombolan itu sudah pergi dan kembali ke hutan. Daeng Amma, orang tua yang saya temui di hutan itu, bilang kalau ia melihat gerombolan itu sudah berarak pergi, dua



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



orang membawa barang yang terbungkus sarung. Satu lagi menggandeng senjata. Ketika kami mencoba keluar dari semak, seorang gerilyawan mengejar kami. Narasi Hantu 2: Saya terkencing-kencing itu ketika melafalkan surah Al Fil dan Al Kautsar. Saya sudah hafal-hafal sedikit. Ada senapan di pelipisku. Saya diminta membaca syahadat, tapi saya tidak tahu. Pantat senapan dihantam di kepalaku, saya pikir sudah pecah ini kepala. Saya diikat bersama empat orang lain di pohon. Di hari kelima, seorang Bissu dari Pangkep bergabung bersama kami. Wajahnya pucat lebam. Pakaiannya kumal, saya tidak tahu mengapa ia diminta berjalan jauh dan untuk apa. Dari pakaian dan logatnya, saya tahu ia dari Pangkep. Sebelum matahari terbenam, saya lihat Bissu itu lagi dibawa masuk ke hutan, dan menghilang. Saya tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Narasi Hantu 3: Saya dibuang di sungai. Sebelum itu, saya jadi tawanan gorilla di hutan. Sekitar dua minggu, saya tidak tahu kenapa dan apa salahku. Saya baru pulang dari mengajar di SD Lappariaja. Jalanan sepi, tiada yang lalu lalang. Sekitar 150 meter sebelum sampai di rumahku, kepalaku ditutupi kain. Dua orang menarik lenganku dan seorang lagi mengangkat kakiku. Saya rasa otot tangannya kuat betul. Kepala saya dihantam benda keras, setelah itu, saya tidak sadarkan diri. Ketika mataku terbuka, hidungku dimasuki air dingin. Kepala saya terbentuk batu. Nafas saya habis sudah. Narasi Hantu 4: Saya pulang dari lapangan di Bone, ada saya dengar pasukan pidato minta kalau semua orang harus bunuh babinya. Stres sekali karena saya punya tujuh babi. Saya cuma diberi satu minggu untuk bantai saya punya babi. Saya tidak tega, saya bawa babi-babi itu ke dalam hutan dan saya



S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



71



lepas di sana. Sebelum saya berpisah ke para babi, saya bisiki, “Semoga kalian bisa hidup sesuai dengan yang kalian inginkan. Terima kasih untuk semuanya. Semoga kita bisa saling melupakan dan memaafkan.” Saya percaya babi itu bisa mandiri dan mencari kehidupan yang lebih layak. Celakanya, para babi itu sempat ikuti saya meski sudah saya berjalan cukup cepat. Barangkali sekitar 40 menit kejar-kejaran, saya bisa, atau mungkin mereka bisa mengikhlaskannya.



Mereka, orang-orang DI/TII, punya tujuan buat negara Islam. Niatnya mungkin baik, tapi apakah hanya karena niatnya untuk kebaikan, lalu harus ditempuh dengan cara bunuh orang?







Kalimat itu terngiang di kepala saya sebelum mereka membobol rumah saya. Mengambil beras satu karung, mengikat saya dan dibawa ke hutan. Kalimat itu lebih kencang saya ucapkan di dalam kepala sebelum seorang pasukan dari belakang, menggorok leher saya.



Narasi Hantu 5: Saya juga tidak yakin berapa bulan sudah berada di hutan. Mungkin dua bulan. Saya bertemu dengan beberapa orang dan menjadi akrab di sana. Ada seorang lelaki yang kami jadikan pemimpin, namanya Ambo Tang. Dia dari Desa Lili Riattang, orang-orang mendengarkan dan ikut apa maunya. Di malam-malam hari, ia kerap bercerita bagaimana desa-desa di Bone bisa terbentuk. Saya bertanya padanya, kapan situasi ini bisa membaik. Dia malah mengatakan hal lain. Engka pitu pappasengna tau ogi e (Ada tujuh nasehat orang Bugis): 1. Lettu ni uluwa’ lotongna bulu lompo battang ko watattana e (Sudah sampai rambut hitamnya Gunung Lompo Battang ke jalanan); 72



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



2. Urane mancaji makkunrai, makkunrai mancaji urane (Lelaki jadi perempuan, perempuan jadi lelaki); 3. Luttuni pappasang e (Pesan-pesan beterbangan // manusia mengirim surat dengan menerbangkan suratnya). Sebelum menyelesaikan empat pesan lagi, seorang lain tiba ngos-ngosan mengabarkan kalau ia melihat gorilla tidak jauh dari tempat kami tinggal. Meninggalkan tempat kami sekarang adalah satu-satunya hal yang bisa kami lakukan. Tiga hari kemudian, Ambo Tang meninggal, mungkin karena kelelahan. Tiga hari juga saya tidak berhenti menangis. Aman: Semua orang bercerita tentang kematian dan kematian. Saya cuma berharap adik saya jera. Tapi itu sama sekali tidak dibahas beberapa hari kemudian. Orang lebih memilih cerita hantu ketimbang apa yang sebenarnya terjadi: saya, Rundu, dan teman-teman lain sudah mencuri lombok. Malam kejadian ketika saya kesurupan, saya pulang ke rumah dan mendapati adik saya tengah merenung di kamarnya.



S K E T S A - S K E T S A D I K E B U N WA R I S A N



73



Babak III—Di Ruang Persidangan Aman dan Hartati duduk bersebelahan. Pengadilan agama ialah panggung pertunjukan. Ada hakim di tengah. Meski penonton ialah hakim, dari tadi. Sejujurnya, saya, sebagai penulis, ingin melibatkan bapak saya sebagai hakim dalam pertunjukan ini. Tanggal 31 Desember 2021 lalu, bapak saya pensiun di pengadilan. Lucu juga rasanya bila bapak saya hadir sebagai hakim di pengadilan panggung seperti ini. Tapi anggaplah bapak saya duduk di tengahtengah penonton. Apakah ia akan melihat saya sebagai penulis? Pembaca? Anaknya? Aman: Saya mau lebih banyak, Pak Hakim. Hartati: Berapa? Aman: Mappus4 mki? (Bagaimana kalau kita suit saja?) Hartati: Tidak mau. Selesai—work in progress.



Suit.



4



74



R A C H M AT H I DAYAT M U STA M I N



NASKAH ISTIMEWA



The Death of the Activist TA R U N A P E R K A S A P U T R A



Taruna Perkasa Putra lahir di Jember, Jawa Timur, 8 Juli 1981. Ia adalah seorang guru, penulis, dan sutradara The Royal Actor Experimenthal Theatre, dan berteater mulai tahun 2000. Pada 2003, Taruna mendapat penghargaan Pemeran Pria Terbaik Kedua dan Nominasi Tata Artistik dalam Festival Alternatif Gedung Kesenian Award 2003 dengan pertunjukan Gus DJ Reloaded, sebagai sutradara dan penulis naskah. Pada 2008, ia mengikuti Program Magang Nusantara Yayasan Kelola di Teater Koma, dan magang di bidang stage manager. Pada 2009, Taruna mengikuti Lokakarya Stage Manager Yayasan Kelola, dengan pemateri Mr. Fred Frumberg dari German, di Teater Kecil, Institut Seni Indonesia Surakarta. Pada 2010, ia menerima Hibah Seni Karya Inovatif dari Hivos dan Yayasan Kelola Jakarta, melalui Akal Bulus Scapin yang disutradarainya sendiri. Taruna mendapatkan Penghargaan Komunitas dari Taman Budaya Jawa Timur dalam Parade Teater Taman Budaya Jawa Timur 2012. Pada 2012 ia mendapatkan penghargaan as winner of the best creation of vocational high school teachers of performing arts teacher creation contest and festival, melalui pertunjukan karyanya, MR. DJ Sang Modernitas, di Auditorium PPPPTK Jogjakarta, Festival Seni Internasional. Ia juga melakukan studi edukasi China, di Guangzhou–Shezhen, China, 2012. Taruna mendapat penghargaan dari Kemendikbudristek dalam ajang Lomba Kreatifitas Guru dan Penulisan Lakon, juga mendapat penghargaan Gubernur Jatim Video Tourism Wander in Jember dalam GCC GTK Award 2020 se-Jawa Timur 2020. Bersama The Royal Actor Experimenthal Theatre, Taruna menjadi sutradara, penulis, dan aktor dalam berbagai pertunjukan, di antaranya Tempat Istirahat (David Champton), Cuman Angsa Bernyanyi (saduran Nyanyian Angsa Chekhov), Mesin Hamlet (Heiner Muller), Rashomon (Ryunosuke Akutagawa), Ghostship (saduran Kapal Hantu Marquez) dan pertunjukan lainnya hingga samapai sekarang.



PAR A PEL AKU



Uma Kodrat Kubi Lubi



THE DEATH OF THE ACTIVIST



79



Interior seperti dinding air bawah tanah. Tampak dua tangga seperti untuk melihat keadaan di luar. Belakang samping atas tampak sebuah miniatur kawasan, gundukan pasir, truk mainan, sekop, timba, tong, dll. Cahaya dari atas menyorot keluar dari celahcelah langit-langit bersama turunnya debu dan pasir kecil. Tampak aneh di tembok, terlihat dua boks besi berwarna merah berkarat berjauhan, keduanya terlihat menyimpan sesuatu yang hidup. Terkadang, terdengar suara hilir mudik yang datang dari atas. Benar-benar sebuah ruang bawah tanah. Uma pemuda kurus kering yang terlihat seperti anjing kudisan. Sesekali ia menggaruk salah satu bagian tubuhnya, dia begitu gatal akibat jamur di tubuhnya. Pemuda ini bingung sekali dengan dirinya dan terkadang menoleh ke temannya yang sedang duduk terpaku di kursinya, semacam kursi roda tapi buatan. Tampak kaki temannya itu dicor dan dilabel bertuliskan FIXED PRICE berwarna merah. Uma: (Dengan suara datar) Masih seperti biasanya, hanya berita itu-itu saja. Kasus selesai, sudah selesai, selesai sudah. Sebentar lagi selesai. (Jeda.) Segenggam demi segenggam, perlahan sedikit demi sedikit, hingga pada saatnya nanti gundukan itu akan meledak. Puluhan tahun aku di tempat ini, dihukum pun tidak, tapi rasanya seperti tempat mustahil untuk hidup. Iya, aku dan dia hidup (melihat ke arah Kodrat), bagaimana kalau ternyata kita telah lama mati? (Tertawa kecil.) Sesaat Uma diam. Berdiri tegak dan menuju tangga, menaikinya cepat dan kembali turun. Dia naik kembali dan di tiga baris tang80



TARUNA PERK ASA PUTR A



ga tak bergerak. Jeda. Kodrat bergerak seperti anak yang tak bisa mengendalikan tubuhnya. Dia mengalami ketidakseimbangan tubuh. Puluhan tahun kakinya dicor sehingga dia mengalami kerusakan saraf kemiringan. Jika tubuhnya ke kiri, maka akan berat ke kiri. Begitu pula gerak yang lain. Menguap dari balik handuknya. Menarik sapu tangan itu dari wajahnya. Sebuah wajah yang sangat merah. Tampak jahitan di batok kepalanya sangat lebar. Kodrat mengenakan kacamata hitam. Kodrat: Tiba saatnya aa … (menguap) … ku main. (Mengalungkan handuknya di lehernya) Tua-tuanya kain ini, tak selama ketok palu hakim bergema di negeri ini. Kodrat mencopot kacamatanya. Menyeka kedua matanya dengan handuk, wajahnya dan kemudian kacamatanya. Lalu mengenakan kacamatanya lagi di dahinya. Tiba-tiba batuk berkepanjangan. Mempertemukan telapak kedua tangannya menutup mulutnya. Kodrat: Seandainya manusia di dunia atas sana (melihat ke arah tangga atas) tahu kesengsaraan ini, hingga membuat kita lemas. Ini bukan sekedar pedih. Ini semacam sengsara nasional atau nasionalisasi kesengsaraan. Kucingku juga sengsara. Dulu. Tapi sekarang? (Jeda.) Kucingku bisa jadi balik mencakarku, setelah ikan pindangku digantikan makanan kucing berbungkus almunium. Kucingku akan ikut kongkow-kongkow dengan para konglo-konglo. Teman-temanku ada yang nasibnya berubah seperti kucingku dan ada yang masih terus berjuang melawan nasionalisasi kesengsaraan. Tidak semua. Mutlak. Konsinyasi. Konspirasi. Semakin merasa besar dan semakin lupa kalau tubuhnya semakin penuh. Ya Tuhan … aku ingin berakhir … tapi aku tidak bisa memulainya … sudah waktunya ini berakhir tapi aku masih saja ra-



THE DEATH OF THE ACTIVIST



81



gu untuk … (menguap) … mengakhiri. Aduh … aku kencing lagi, kan …. Jika perasaanku hancur, aku selalu ditandai pingin pipis …. Kodrat membunyikan lonceng kecil yang tergantung di atas wajahnya. Uma turun dari tangga, berdiri diam di samping kursi kanan Kodrat. Kodrat: Huaaaa, kau mencemari udara di sini, Uma! Kau mengotori udaraku! Kodrat menutup hidungnya, Uma juga ikut menutup hidungnya. Kodrat: Aku ingin pipis. Uma: Aku baru saja melihat kau sudah pipis. Kodrat: Sejak kapan? Uma: Aku tidak bisa memberi tahumu, aku selalu memasangkan pispot tanpa sepengetahuanmu. Kau semakin payah. Kerjaanku tidak sedikit. (Jeda.) Kodrat: Pernahkah kau melihat tititku? Uma: Tidak. Kodrat: Aku masih lumayan waras, Uma, kau kira aku sudah tidak laki-laki lagi? Uma: Aku percaya? Tidak. Kodrat: Suatu saat akan kuperlihatkan padamu. Dia sudah tidak seperti dulu lagi. (Jeda.) Ada berita dari atas? Uma: Sama seperti biasanya. Kodrat: Sudah kau lihat? Kau masih separuh langkah menaikinya? Uma: Sudah. 82



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kodrat: Bagaimana? Uma: Hanya terdengar adzan. Kodrat: Seharusnya banyak orang baik. Uma: Tidak semuanya. (Jeda.) Kodrat: Kau lelah untuk terus berjuang? Uma: Aku tak pernah mengeluh padamu. Kodrat: Kau semakin kurus. (Jeda.) Uma! Uma: Ya. Kodrat: Apakah kau tidak merasa bosan berjuang? Uma: Ya! Jeda. Kodrat: Kau terkenal, Uma, menentang konglomerasi itu melakukan penganiayaan terhadap alam. Uma: Sejak dulu. Kau lebih gila lagi? Kodrat: (Marah) Maka tak ada alasan untuk merubahnya. Uma: Ini akan berakhir. (Jeda. Kepada dirinya sendiri) Berpuluh tahun selalu pertanyaan-pertanyaan yang sama, dan jawaban-jawaban yang sama. Kodrat: Aku dan kau tidak pernah makan lagi. Uma: Berarti tidak kenyang? Kodrat: Aku dan kau tidak pernah minum lagi, kecuali ada kesempatan menjilat tetesan air mata dan keringat. Uma: Berarti haus berkepanjangan kita? Tapi tidak mati? Kodrat: Sekedar menjagamu dari kematian, atau kita benar-be-



THE DEATH OF THE ACTIVIST



83



nar mati. Memperpanjang kematian kita untuk orang-orang yang rakus itu. Uma: Kalau begitu, kita tidak akan mati. (Jeda.) Aku ambilkan semen. (Ia berjalan ke arah pintu.) Kodrat: Tidak usah! (Uma berhenti.) Aku akan memberimu satu genggam pasir per hari. (Jeda.) Untuk itu. (Menunjuk ke arah miniatur kawasan proyek. Jeda.) Kenapa kau tetap berjuang bersamaku? Uma: Kenapa kau mengajakku? Kodrat: Tidak ada orang lain lagi. Uma: Tidak ada perkara lain lagi. Jeda. Kodrat: Aku tahu kau akan berbeda dariku. Uma: Aku merasakan perubahannya. Kodrat: Kau tak menginginkanku. Uma: Tidak. Kodrat: Dahulu kau menginginkanku. Uma: Dulu! Kodrat: Aku masih laki-laki, Uma. (Jeda.) Betul, kan? Uma: Tapi kau menderita. Kodrat: (Terkejut) Aku tidak banyak membuat keluargaku menderita? Uma: Ya! Kodrat: (Lega.) Ah, kau membuatku takut. (Jeda. Dingin) Maafkan aku. (Jeda. Lebih keras) Aku bilang, maafkan aku. 84



TARUNA PERK ASA PUTR A



Uma: Aku dengar. (Jeda.) Kau demam lagi? Kodrat: Menggigil. Uma: Sudah terbiasakan. Jeda. Kodrat: Bagaimana luka di sekujur tubuhmu? Uma: Parah. Kakimu? Kodrat: Parah? Pengeroyokanmu? Uma: Parah. Kodrat: Tapi kau dapat bergerak? Uma: Ya. Sebatas merasakan sakit. Kodrat: (Keras) Bergeraklah maka kau ada! Uma: Tak usah kau berteriak. Uma berjalan ke belakang ke tempat permainannya. Memegang truk. Melihat ke atas sinar atas sambil mengadahkan kedua tangannya menerima pasir dari atas. Kodrat: Di mana kau! Uma: Di sini. Kodrat: Kembali! (Uma kembali ke tempatnya semula, di samping kursi.) Di mana kau? Uma: Di sini. Kodrat: Kenapa kau tak membunuh dulu mereka? Uma: Aku tak tahu cara membunuh orang-orang jahat. (Jeda.) Kodrat: Ambilkan sekop! Uma: Tak ada sekop. THE DEATH OF THE ACTIVIST



85



Kodrat: Apa yang telah kau lakukan dengan pekerjaanmu? Uma: Aku tak pernah punya sekop. Kodrat: Tak mungkin. Uma: Satu sekop tidak bisa mengembalikan pasir itu, musuhnya adalah bego dan mesin dozer yang tak kenal lelah. Kodrat: Lalu bagaimana caranya kau melawan? Bergerilya dengan orang-orang miskin? Selalu berjalan kaki? Uma: Terkadang aku menaiki anak dan istriku demi pekerjaan itu …. Salah satu boks besi itu terbuka, terdengar suara plat besi menabrak tembok. Kemudian tampak wajah laki-laki berwajah pucat. Berambut putih. Kubi menguap, kemudian membersihkan tahi matanya. Uma: Ada yang harus kukerjakan. Aku harus melakukan penyidikan dengan simulasi sederhana Kodrat: Di tempatmu itu (melihat miniatur Uma)? Uma: Ya. Kodrat: Permainanmu itu adalah kematian. (Jeda.) Baiklah, pergilah. (Uma menuju tempatnya.) Hallo … bagian dari kutukan (melihat kearah boks merah di tembok). Kubi: Mana uangku! Kodrat: Terkutuk! Kubi: Uangku! Kodrat: Terkutuk, uang saja yang mereka pikirkan. Kodrat membunyikan lonceng kecil. Uma Masuk. Berhenti di samping kursi. 86



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kodrat: Kukira kau sudah jauh menelusuri perkara itu? Uma: Oh belum. Belum. Kubi: Uangku! Kodrat: Tidak ada uang, ini bukan di pengadilan! Uma: Tidak ada uang lagi. Kodrat: (Kepada Kubi) Kau dengar itu? Sudah tidak ada uang lagi. Kau tak akan pernah mendapatkan uang lagi. Kubi: Aku mau uangku! Untuk membeli hidup, membeli pakaian, membeli tubuh, membeli rumah, membeli apa saja yang aku lihat. Kodrat: Kasih dia, Uma, uang kecil apa uang besar! (Uma menuju tempatnya.) Hukum keparat, bagaimana rasanya berkumpul dengan kita? Kubi: Tak usah pikirkan perasaanku. Aku suka uang besar. Uma masuk membawa selebar uang kertas yang sangat besar. Uma: Aku kembali lagi, membawa uang besar. Kubi: (Uma menyerahkan uang itu di tangan Kubi yang kemudian meraba serta menciumi uang itu. Lalu dengan sedih) Apa ini? Uma: Uang besar sesuai permintaan Paduka Hakim Kepala. Kubi: (Seperti sebelumnya) Ini terlalu besar! Aku tak bisa membaginya! Kodrat: Tutup! Uma: (Uma mendorong tutup boks besi Kubi dan menutupnya. Kembali ke tempatnya semula, di samping kursi.) Andai waktu mengajarkan sesuatu yang bijak kepadanya. THE DEATH OF THE ACTIVIST



87



Kodrat: Sandari dengan punggungmu, Uma! Penegak seperti dia terus mewabah. Uma: Aku tak bisa bersandar, terlalu banyak lukaku di punggungku. Kodrat: Benar. Dan aku tak bisa bergerak untuk menghampirinya dan mencacinya. Uma: Begitulah. Hanya bisa mencaci. Satu putusannya menghancurkan harapan dan cita-cita negara dan rakyatnya. Kodrat: Setiap orang memiliki cara yang berbeda. (Jeda.) Sudah ada berita pasti dari perkaramu? Jeda. Uma: (Setelah berpikir) Belum. Kodrat: Dingin lagi. (Jeda.) Uma! Uma: Ya. Kau demam. Kodrat: Orang-orang telah melupakan kita. Siapa kita. Bagaimana kabar kawasan laut dan daratan kita? Uma: Sudah tidak ada lautan dan daratan lagi. Kodrat: Tidak ada lautan dan daratan? Kau berlebihan. Kita sekarang berada dimana? Uma: Mungkin ditengah-tengah antara lautan dan daratan. Dipastikan kita berada jauh dari keluarga kita. Kodrat: Berarti kita masih hidup, dan kita masih tetap dengan jalur yang sama. Berjuang. Uma: Semoga mereka tidak lupa pada kita. Kita tidak pernah lupa untuk pamit kepada mereka. Kodrat: Perkaraku dan perkaramu masih ada, kan? Masih uptodate, kan? 88



TARUNA PERK ASA PUTR A



Uma: (Sedih) Tak ada seorang pun yang pernah hidup berpikir seperti kita. Kodrat: Kita harus terus mengawal perkara ini. Uma: Seharusnya tidak cukup hanya mengawal. Penyidikan pun tidak cukup (Jeda.) Kodrat: Kau mulai kesakitan tiap lukamu? Kau harus dengan cermat melakukan reka adegan perkaramu? Atau kau terkubur seumur hidup dengan perkaramu di sini. Kau jangan ajak aku. Uma: Aku tidak pernah mengajak siapapun. Aku tidak pernah tahu siapa yang mengajakku untuk melakukan kegilaan ini. (Jeda.) Kodrat: Kau membuatku menggigil lagi. Semen di kakiku semakin keras. Semen ini terus merasuki darahku. Uma: Kau mulai kerasukan perkaramu. (Jeda.) Aku akan meninggalkanmu. Ada yang harus aku kerjakan. Aku harus mereka-reka adegan perkaraku lagi. Kodrat: Di tempatmu itu? Uma: Ya. Kodrat: Apa? Aku ingin tahu. Uma: Memandang pasir. Kodrat: Pasir? Apa yang kau dapat dari pasir itu? Tubuh perempuan pedalaman? Uma: Pasir itu hidup. Aku melihat wajah istriku, anak-anak yang menangis matanya berair karena debu jalanan digilas mesin dan tuannya yang kejam. Para lelaki yang mulai patuh karena butuh pekerjaan. Tinggal lobang-lobang hitam membesar.



THE DEATH OF THE ACTIVIST



89



Wajah-wajah orang-orang rakus itu tidak tampak jelas. Yang pasti mereka banyak dan berpengaruh. Kodrat: Semakin menggigil diriku. Semen ini berasal dari perkaramu, perkaramu juga bagian dari perkaraku. Aku ada karena kau masih bisa berpikir. Lihat aku, kemudian pergi ke tempatmu lakukan reka ulang perkaramu lalu kembali lagi dan katakan padaku apa yang kau pikirkan tentang perkaramu? (Jeda.) Uma: Kau membuatku dingin. (Jeda.) Kodrat: Kau mulai kerasukan perkaramu. (Jeda. Lebih keras) Kau harus berpikir! Uma: Kau tidak usah berteriak. Kembali boks milik Kubi terbuka. Wajahnya menyeringai. Mulutnya menggigit uang kertas besar, dan kedua tangannya memegang ujung-ujung uang kertas itu. Terdiam dalam suasana percakapan Kodrat dan Uma. Kodrat: Apakah kau berhasil meyakinkan warga? Uma: Tidak. Kodrat: Apakah kau sendirian? Mereka tidak bergerak? Mereka percaya kalau lautan mereka mulai menghitam? Uma: Mereka begerak, gerakan mereka terkadang melemah, terkadang cepat. Jantung mereka terganggu oleh sesaknya kepulan asap mesin penghancur itu. Kodrat: Jantung lemah. Mereka dibuat susah tumbuh pikirannya. Para konglo itu akan membonsai pikiran warga pesisir. Uma: Jika warga percaya diri untuk melawan, mereka kupastikan akan melawan. (Keras) Aku dibuat semakin ragu! Warga te90



TARUNA PERK ASA PUTR A



rus diumpani pikiran dan mimpi-mimpi indah setelah menikmati kesuraman Jeda. Kubi merobek kecil uang kertas itu dengan mulutnya dan memakan robekan uang kertas kecil itu. Kodrat: Ini kabar yang tidak menggembirakan. (Jeda.) Kau menikmati kejadian demi kejadian di setiap harinya. Iya, kan, Uma? Uma: Selalu. Aku harus terus melahirkan kata-kata perlawanan setiap harinya. Kodrat: Waktu itu kau lancar berbicara, sekarang kau terbatabata. Iya, kan, Uma? Uma: Sepertinya. (Jeda.) Kodrat: (Merana) Itu peristiwa yang memilukan, semua media menayangkan dan menyiarkan kehebatanmu melahirkan kata-kata. Kau pejuang handal, Uma? Uma: Kita sama-sama merana. Sama-sama berjalan satu rel yang sama. Lahir pun bersama-sama. Kodrat: Pergilah ke tempatmu. Lakukan yang terbaik. Gunakan otakmu untuk berpikir menemukan keganjilan perkaramu, secara tidak langsung itu mengarah kepada perkaraku pada akhirnya. (Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang kursinya unik bisa menopang ketidakseimbangan tubuh Kodrat yang seperti tertark gravitasi bumi. Diam tak bergerak. Uma tak melangkah, menarik napas dan mengembuskan napas berat hingga terdengar. Kodrat bangkit kembali dan tak seimbang merukuk.) Tadi aku menyuruhmu pergi, kan? Uma: Aku sudah memikirkannya. (Ia berjalan ke arah tempatnya, lalu berhenti.) Tatanannya masih sama. Tidak ada yang menTHE DEATH OF THE ACTIVIST



91



curigakan. Aroma kebusukan dan ketamakan kuat terasa. (Uma mulai sibuk dengan miniatur panambangannya.) Kodrat: (Mengempas ke belakang tubuh ke belakang.) Istirahatkanlah perkataamu. Kodrat bersandar setengah terbaring. Diam tak bergerak. Kubi membisik boks bergambar kunci. Jeda. Membisik lebih keras. Seperti bernyanyi. Boks bergambar kunci tersebut mulai terbuka, lalu muncul setengah badan Lubi. Wajahnya tidak karuan terkadang terlihat wanita terkadang terlihat laki-laki. Lubi: Suaramu masih seperti yang dulu …. (Jeda.) Kering dan warghh? (Menggonggong seperti anjing.) Kubi: Kau hapal suaraku? Lubi: Tidak. Semua penjahat suaranya sama. Kubi: Sama semua suara penjahat …. Lubi: Jangan keras-keras. Nanti terdengar mereka berdua. Kubi: Mereka pasti mendengar bagian yang konyol-konyol saja. Di bagian yang serius mereka tak akan mendengar yang kita seriuskan. Itu sudah hukum ketetapan. Lubi: Hampir setiap hari kita mendengar dan melihat lelucon kedua orang itu? (Jeda.) Kubi: Kau masih ingat aku, kan? Lubi: Kemarin masih. Kubi: Kemarin kau datang bersamaku, bercumbu dan merayu. Lubi: (Meratap) Jangan kau laknat hubungan kami, Tuhan …. Dengan bersusah payah, Lubi mengambil sesuatu di sempitnya ruang geraknya. Sebuah payung merah muda yang mungil. Dia bergincu. 92



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kubi: Kau cantik? Tak pantas kau bersandingan hidup dengan beliau. Lubi: Terima kasih telah membuatku tersanjung. Kubi: Beliau adalah atasanku yang malang. Lubi: Kau memang lebih matang. Kubi: Nasibku lebih baik, kelebihanku adalah tahu bagaimana caranya menggunakan tangannya. Lubi: Kau selalu mendapatkan stempel darinya dan juga aku. Kubi: Jangan berkata begitu. (Jeda.) Aku jadi bergairah. Lubi: Aku juga. Tidak di tempat ini, kan, kita melakukannya? Kubi mengambil sesuatu, ternyata di mengambil mainan gelembung dari sabun dan meniupnya berulang-ulang. Kubi: Kita melakukannya berulang-ulang, di kantor suamimu. Beliau sangat memakluminya. Lubi: Kau berpengaruh. Kubi: Ya. Kau yang mempengaruhi suamimu untuk terlibat dalam perkara besar ini. Lubi: Saling mempengaruhi. Bukan perkara … tapi ini adalah proyek bersama. Kubi: Kita lakukan sinkronisasi di berbagai pihak. Mulai dari soal batas wilayah, sertifikat, MOU, keamanan, maintenance, perkiraan cuaca, media komunikasi, jumpa pers dan bla … bla … bla … yang lainnya. Lubi: Adakah hal lain yang ingin kau katakan padaku? Kubi: Ingatkah kau … . Lubi: Tidak. THE DEATH OF THE ACTIVIST



93



Kubi: Ketika kita semua melakukan kesepakatan penambangan dengan acara meriah di pinggir pantai. Pesta di bawah senja yang terbenam. Penghormatan rasa syukur kita untuk memulai penambangan di daerah itu. Mereka tertawa keras. Lubi: Pesta itu mengutuk tempat itu. Tawa mereka melemah. Kubi: Semakin larut semakin kita kehabisan akal. (Tawa mereka semakin lemah.) Kau siapa? Apa tugasmu di proyek ini? Lubi menaruh payungnya, dia memakai sebuah dasi dan berubah menjadi laki-laki. Lubi: Aku atasanmu, aku turut andil dalam perijinan penambangan ini? Kau mabuk? Kubi: Aku mulai sadar. Kau sudah teken? Lubi: Ya. Kubi: Kita selesaikan berkas-berkas kita. (Kubi tak terdiam) Kenapa kau tidak menatapku? Lubi: Aku atasanmu tak perlu aku menatapmu. (Jeda.) Kubi: Daerah sudah teratasi masuk provinsi dan pusat. Para konglo-konglo sudah siap amunisi dan logistik. Mereka menjanjikan sebuah harapan. Lubi: Jangan terlalu serius … ini baru permulaan … nanti mereka curiga pada kita. Kubi: Lihat betapa konyolnya orang itu? (Menunjuk kearah Uma.) Dia menyelidiki perkaranya sendiri. Tempatnya mirip dengan proyek kita.



94



TARUNA PERK ASA PUTR A



Lubi: Itu bukan mirip. (Jeda. Dengan letih) Tak bisakah kau sedikit lebih tepat, Kubi? Sangat mirip sekali. Kubi: Kalau begitu mirip pasirmu. Lubi: Pasirmu. (Jeda.) Kubi: Pasir dari mana? Lubi: Dari atas turun ke bawah! Kubi: Dulu pasirnya dari pantai. (Tak sabar) Sampai sekarang pasir yang ia ambil dari pantai! Lubi: Jangan kau singgung masalah pasir itu. Kubi: Aku tidak pernah menyuruhmu menyinggung soal itu. Lubi: Kau sudah makan? Lubi: Belum. Kubi: Aku juga belum. (Jeda.) Kita harus protes! (Jeda. Menawarkan uang kertasnya) Kau mau? Lubi: Tidak. (Jeda.) Apa? Kubi: Uang. Kusisakan setengah buatmu. (Ia lihat uangnya dengan bangga.) Untukmu. Nih. (Menawarkan uangnnya. Jeda.) Tidak? Kau gemetar? Kodrat: (Letih) Jangan berisik. Kalian membuyarkan mimpiku. (Jeda.) Bicaralah lebih sopan. (Tubuhnya merunduk ke depan.) Aku hampir mendapatkan ilham. Aku terdampar di sebuah kota metropolitan. Semua bangunannya tinggi. Aku di tengahtengah jalanan aspal. Selebar sungai ibu kota. Ada patung petani. Ada air mancurnya. Ada obor emas raksasa. Ada gedung …. Akkhh, kalian membuyarkan semuanya. (Tubuhnya miring ke kiri.) Ada demonstran. Ada …. Ada …. Ada …. Ada …. Ada …. Ada … (Berucap berulang-ulang dan semakin lemah.) THE DEATH OF THE ACTIVIST



95



Kubi: (Lirih) Kau lihat itu? Tubuhnya semakin hari semakin tidak seimbang! (Ia tertawa kecil dengan hati-hati.) Lubi: Kau selalu tidak bisa menahan tawamu, Kubi. Kau menertawai dirimu yang juga tinggal setengah organmu? Kau tak lengkap. Kubi: Kau mau kuhibur? Lubi: Apa? Kubi: Menghiburmu. Lubi: Kisah kita? Kubi: Kisah kita. (Jeda.) Kupikir kau tidak akan lupa hal itu. Lubi: Kisah itu terjadi di sebuah universitas orang-orang pintar. (Jeda.) Percayakah kau? Kubi: Apa? Lubi: Kita dulu memiliki cita-cita mulia menuntut ilmu. (Jeda.) Manfaatnya untuk umat manusia. Kubi: Kita tak pernah absen. Lubi: Orang pintar! Kubi: Dulu. Sekarang? Lubi: Pintar membodohi orang (Tertawa.) Kubi: (Marah) Tidak. Bukan itu. Yang kumaksudkan adalah ceritaku. Bukan yang lain. Bahagia! Bukankah kau selalu tertawa setiap kali aku menceritakannya? Bahagia! Lubi: Nasib kita yang merubah. Jalan kita semakin buruk. Itulah pilihan kita. Kubi: Bagaimana jika dia tahu siapa kita sebenarnya?



96



TARUNA PERK ASA PUTR A



Lubi: Dia. (Melirik Uma.) Kubi: Takdir. Lubi: Kita ditakdirkan menjadi orang Jahat. Kubi: Lebih tepatnya biadap. Lubi: Kau sangat canggih merencanakan kebiadapan itu. Kubi: Aku mendapatkan tekenmu. Aku memperluas tujuanku. Aku menggunakan sisi kelemahan agraria. Lubi: Aku mengerti. Ini bukan perkara kematian Uma. Ini bagian dari konflik agraria yang terus-menerus terjadi di negara kita. Kubi: Kau mulai cerdas. Kau layak disebut pegiat lembaga Konsorsium Pembaruan yang terkenal itu. Aku memang terlampau jahat. Lubi: Orang jahat mengakui kemampuan kejahatannya. Kubi: Lebih tepatnya aku pandai mengemas konflik. Lubi: Konflik agraria. Kubi: Kugunakan konflik agraria pada 2014 mencapai 472 kasus dengan melibatkan hampir tiga juta hektare lahan sengketa sebagai lawan cara. Kasus kematian sang aktivis menjadi bagian perkara yang kecil. Lubi: Mari bersulang! (Tertawa keras, mengambil gelas masingmasing.) Kubi: Aku mabuk. Mabuk Aku. Aku mabuk …. Mereka berubah seperti orang yang lagi mabuk-mabukkan. Jeda. Kubi memandang Lubi yang tetap diam tanpa ekspresi dan terpe-



THE DEATH OF THE ACTIVIST



97



jam pusing. Kubi tertawa keras dipaksakan. Berhenti sebentar, menengok Lubi lagi, lalu melanjutkan tawanya. Kodrat: Diam! Kubi terkejut lalu menghentikan tawanya. Lubi: Kau mabuk berat, Kubi. Ada 12 macam lidah di tenggorokanmu. Kodrat: (Jengkel) Kalian seperti codot! Tak akan pernah selesaikah kalian? (Geram) selalu tidak serius! Mabuk terus. Dasar manusia tidak lengkap (Kubi menutup sedikit boks miliknya.) Apa yang mereka obrolkan selalu ngelantur dan tidak jelas. (Jeda.) Dasar manusia tanpa budi pekerti! (Membunyikan loncengnya. Uma masuk.) Siram boks-boks itu. (Uma berjalan boks Lubi. Berhenti.) Lubi: Semakin miring. Kodrat: Apa? Apa yang kau katakan? Uma membuka boks Lubi dan memegang tangan Lubi. Memeriksa nadinya. Lubi salah tingkah. Lubi: (Pada Uma) Dewa Pasir! Uma melepaskan tanganya. Mendorong Lubi masuk dan menutup boks Lubi dengan keras. Uma: (Kembali ke samping Kodrat) Nadinya tak berdenyut. Aku seperti mengenali model tangannya. Seperti pernah menyentuh tubuhku. Kodrat: Apa yang tadi ia katakan? Uma: Ia mengucapkan Dewa Pasir. Nadinya tak berdenyut mirip dengan kita. Kodrat: Cuma itu? 98



TARUNA PERK ASA PUTR A



Uma: Tidak. Pola garis tangannya. Kodrat: Apa lagi? Uma: Aku tak paham. Jamur-jamur di tangannya. Kodrat: Ia sudah kau bungkam dia? Uma: Sudah. Kulit tangannya. Kodrat: Gembok sudah kau pasang? (Uma bergerak ke boks.) Aku risau. (Uma berhenti.) Kau ulang kata-kata tentang tangannya. Sekarang aku ingin kencing lagi. Uma: (Dengan cekatan) Aku ambilkan kateter. Prostatmu semakin parah (Ia bergerak ke sebuah peti.) Kodrat: Sudah. Habis masamu. (Uma berhenti.) Berikan aspirinku. Mmmm antibiotik dan penurun panasku. Uma: Jangan terlalu tamak, obatmu tak akan bekerja. Kau kusarankan akupuntur kau tidak mau. Kau malah memilih klinik pengobatan kuat pria yang tak memiliki izin pengobatan resmi. Kodrat: Itu dulu, lain sekarang. Uma: Sekarang malah mati rasa. Kodrat: Punyaku masih hidup? Tapi malas untuk hidup. Uma: Terbekatilah bagi orang-orang yang malas (Jeda.) Kodrat: Kau sibuk? Uma: Ya. Baru mulai. Kodrat: Aku membutuhkan sebuah terapi. (Jeda.) Gerakkan tubuhku ini. Kau mulai dari mana saja. Aku percaya kau sekarang ahli terapisku. Kau harus yakin di setiap gerakan yang kau ciptakan. Itu akan membantuku menjadi rileks. Biar kau tidak kehilangan keahlianmu. THE DEATH OF THE ACTIVIST



99



Uma: (Mendorong tubuh Kodrat ke kiri) Begini. Setiap gerakan kau harus ambil napas dari mulut dan keluarkan perlahan melalui hidung dengan suara. Terserah kau nadanya seperti apa. Kodrat: Aku percaya. (Menarik napas dan mengeluarkan dari hidung.) Tak bernada? Uma: Berusahalah, dan rasakan akibatnya. Kodrat: Berhenti! (Kodrat merasakan sesuatu) Seperti ada aliran listrik! (Jeda.) Teruskan terapimu! Uma: (Mendorong tubuh Kodrat ke kanan) Nih! Kodrat: (Kodrat merasakan kembali) Yahh! Seperti listrik mengalir. Sudah cukup. Kembalikan aku di posisi duduk tegak! Uma: Kita belum menyelesaikan terapinya. Kodrat: Mulai lagi! Uma: (Mendorong tubuh Kodrat ke depan hingga membungkuk jauh) Bagaimana? Kodrat: Apakah aku sudah digerakkan? Uma mendorong tubuh Kodrat jauh ke belakang. Kodrat: Akhhh! Aku seperti tersengat listrik! Uma: (Gemetar) Aku tiba-tiba menggigil. Kodrat: Ini ada hubungannya dengan perkaramu? Uma: Aku kira begitu. Tubuhku menggigil. Kodrat: Kau sedikit mulai kerasukan perkaramu? Progres yang bagus! Uma: Di sebelah mana aliran itu? Kodrat: Aliran apa? 100



TARUNA PERK ASA PUTR A



Uma: Listrikmu tadi? Kodrat: Kalau kau mau raba tubuhku. Uma: (Mulai menyentuh tubuh Kodrat) Kau jangan besar kepala. Di sini? Kodrat: Terus … sedikit ke kiri… ke bawah… mmm tidak, tidak, ke atas lagi. Aduh ke bawah dikit … akhhh kelewat. Uma: Kau suruh aku mencari apa? Kodrat: Gatal aku. Uma: Aku tidak marah. Terserah kau! Kodrat: Ayo mulai lagi. Jangan ngambek. Uma: Kumulai dari mana? Kodrat: Bagian depan. Pakai perasaan saja. Pakai perasaanmu! (Uma meraba tubuh Kodrat dimulai dari dada ke arah bawah.) Tepat di tengah! Uma: Ini. (Jeda.) Kodrat: Aku merasa agak sedikit lebih ke kiri. (Uma menggeser tangan.) Aku merasa agak sedikit lebih ke kanan. (Uma menggeser tangan.) Aku merasa agak sedikit lebih menyamping turun. (Uma menggeser kanan.) Aku merasa agak sedikit menyamping kanan atas. (Uma menggeser tangan.) Jangan monoton! Kau kurang kreatif, pakai perasaanmu. (Uma kembali berdiri ke samping kursi.) Uma: Kurasa aku telah maksimal, jika benar aku telah merabamu seluruh tubuh, aku akan mati dengan bahagia (Jeda.) Kodrat: Di mana posisi tanganmu di akhir? Uma: Di sini.



THE DEATH OF THE ACTIVIST



101



Kodrat: Di situlah aliran listrik muncul dan menyegat di seluruh tubuhku. Coba kau gunakan perasaanmu. Uma: Arggghhh! Sakit sekali! (Bagai orang tersengat listrik, menjauh dan duduk jongkok) Huft, huf, huf …. Tubuhku menggigil lagi. Sedikit demi sedikit mulai mengingatkanku. Kodrat: Sebenarnya kita makhluk apa, ya? Uma: Manusia. Kodrat: Kulit kau yang berjamur kenapa aku yang merasa gatal. Uma: Kutukan. Kodrat: Bagaimana dengan keadaan di luar? Hujan? Uma: Seperti biasa. Kodrat: Coba lihat ke ke atas. Uma: Sudah. Kodrat: Kapan kau naik? Uma: Tak perlu aku memberitahumu. Aku ambilkan talipon. Kodrat: Tak usah menggunakan talipon! Kau berteriak saja! Uma masuk membawa sejenis kaleng bekas yang dihubungkan dengan tali keduanya. Uma: Aku kembali. Kubawa talipon. (Ia berjalan ke arah tangga kiri. Melihat ke atas) Aku perlu kacamata hitam. Kodrat: Kenapa? Matamu mulai rabun? (Uma exit di kegelapan dengan membawa talipon.) Aku tidak suka ini, aku tidak suka. Aku butuh handphone (Uma masuk dengan membawa kacamata dan talipon.) Uma: Di sini era digital tidak berlaku. Aku kembali lagi, membawa kacamata dan talipon. (Ia naik kemudian sadar tak mem102



TARUNA PERK ASA PUTR A



bawa teleskop ia turun lagi.) Aku membutuhkan teropong. (Ia bergerak ke pintu.) Kodrat: (Dengan keras) Kenapa kau mulai membantah! Uma: (Berhenti. Keras) Aku tidak membantah, ini persiapan kita, ketika dunia menjadi hidup manual dan pada akhirnya kita tidak ada digitalisasi diakhir dunia! (Mengambil teropong di peti.) Kodrat: Ini keterlaluan …! (Uma membawa teropong. Bergerak mendekati tangga.) Uma: Semua ini menggembirakan. (Naik ke atas tangga, mengeluarkan teropongnya. Ia turun, dan tertawa, mengarahkannya pada penonton.) Aku menyaksikan … banyak orang … dipenuhi … kebahagiaan. (Jeda.) Selamat berbahagia, Pak Kades, Pak Camat. Sukses buat para pengusaha. Selamat bertugas, Pak Polisi. Gagah sekali hari ini, Pak Tentara. Cttt, cttt, yang ini kesebelasan apa? Keren sekali seperti Tim Saberman (Satuan Bersih Manusia). Utusan dari mana? PT apa? Kalau yang ini tidak asing lagi di dunia kasus dan perkara. Kita sambut! hakim agung dan jaksa agung peradilan masa kini. (Tepuk tangan. Berhenti.) Hei, siswa sapa ini, di sini acara orang dewasa. Anak kecil dilarang masuk! Dengan hormat! Kepada Bapak-Ibu Guru, tolong segera anak didiknya keluar dari sini! (Ia merendahkan teropong, mengarahkannya ke Kodrat.) Kita tidak tertawa? Kodrat: (Berpikir sejenak.) Aku tak ingin tertawa. Uma: (Setelah berpikir.) Aku juga. (Ia naik ke tangga kembali.) Mari kita lihat. (Mengangkat tutup besi dan menggesernya.) Kosong (memutar rotary teropongnya) kosong … kosong … dan … kosong …. Kodrat: Apa yang terjadi. Sepi? Gelap? Semuanya? THE DEATH OF THE ACTIVIST



103



Uma: Mungkin karena kabut. Semacam Asap. Kodrat: (Keras) Tunggu sampai kuperintah baru kau bicara! (Dengan suara biasa) Ada kehidupan? Uma: Jangan berteriak kau pecahkan gendangku! Kau cukup bicara dengan talipon? Dalam satu kata? Itukah yang ingin kau ketahui? Tunggu sebentar. (Ia menggerakkan teropong berputar, kemudian direndahkan mengarah ke Kodrat.) Semua adalah ZOMBIE! (Jeda.) Bagaimana? Kodrat: Kau arahkan ke aku! Coba kau lihat di arah terbalik. Uma: Masih tetap. Di sini lebih terang. Rutinitasnya mulai cepat. Tak ada titik terang. Lautan semakin parah keadaannya dan daratan semakin berlobang hitam. Truk pengangkut semakin bertambah jumlahnya. Seluruh yang ada tertempel serbuk pasir. Kodrat: Lihat aktivitas orang-orang di gedung putih yang mentereng! Di situ kesepakatan antara kebajikan dan kebiadaban tidak bertemu kebenarannya. Uma: Mereka membuat lingkaran hitam berlubang. Dan di situlah iblis akan muncul. Kodrat: Sudah mulai muncul tanda-tandanya. Termasuk diri kita? Uma: Berarti kita iblis? Kodrat: Pemburu iblis. Uma turun mengambil sesuatu seperti kamera DSLR, jalan beberapa langkah ke arah tangga satunya, kemudian menaikinya, dan menggunakan kamera DSLR dengan tele yang sangat panjang. Uma: Dengan benda ini, aku bisa mendapatkan bukti-bukti otentik yang membuat kita seperti ini. 104



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kodrat: Kau dapat dari mana benda sebagus itu? Kau tak punya uang. Uma: Kemarin saat kau tertidur terjadi kericuhan di atas, aku menaiki melihat ke atas. Dan ternyata warga pesisir mulai gelisah mereka dibantu oleh para aktivis lingkungan. Ada juga wartawan-wartawan yang ikut andil mengabadikan berita. Tiba-tiba terjadi bentrok antara warga dengan aparat bayaran yang menjaga penambangan itu. Krak … krakkk bunyi benda jatuh tepat tepat di mataku. Sebuah kamera! Langsung kuambil. Kodrat: Bukan kau ambil. Kata yang lebih tepat kucuri. Itu lebih jujur. Uma: Gila! Lubang semakin banyak! Kodrat: (Gelisah) Apa? Mereka akan membayar semuanya. Akan tiba waktunya mereka akan terkubur bersama di lubang yang sama. Catat kawan. Itu akan menuju perkaramu. Kumpulkan semua bukti-buktinya maka ingatanmu semakin pulih. Uma: (Melihat) Suasananya seperti tidak ada siang, sinar matahari seakan tidak bisa masuk. Kelam. Hanya suara gemuruh tak ada musik lain. Ini kiamat kecil. Mungkin perkaraku akan terbongkar ketika kiamat besar akan terjadi. Kodrat: (Kaget) Bah! Kau lupa bagaimana mencetak bukti-bukti dengan kamera itu. Sekarang sudah serba manual. Tidak ada era digital? Kau yang bilang tadi? Uma: (Melihat) Ada sedikit yang tersisa. Tidak semua era digital lenyap. Ini masih kiamat kecil semacam perang bayangan. Kodrat: Kau semakin cerdas mengelak. Uma: (Melihat) Ya. Kodrat: Dan sekarang? THE DEATH OF THE ACTIVIST



105



Uma: (Melihat) Suara gemuruh berhenti. Kodrat: Tak ada aktivitas penambangan? Uma: (Melihat) Kompromi? Kodrat: Dan perundingan? Tak ada perundingan? Uma: (Merendahkan kamera, mengarahkan ke Kodrat. Jengkel) Konspirasi elit? (Jeda.) Ham: Bagaimana dengan daratan? Uma: Daratan? (Ia mengarahkan.) Mulai amblas ke bawah. Sumur-sumur warga amblas tertimbun tanah. Ini awal dari kekeringan yang sangat panjang nantinya. Semburan lumpur aneh semakin menggunung menciptakan gundukan tanah. Kodrat: Lautan? Uma: Debit airnya semakin menurun. Ikan besar mulai banyak yang terdampar. Muncul Laut Merah baru! Kodrat: Tapi seharusnya Laut Merah ada satu. Lihat lagi. Uma: (Melihat) Benar. Ada kobaran api di dasar laut sehingga lautnya memerah. Kodrat: Kalau begitu jangan tidur kita atau kalau ragu kau periksa apakah penyebab laut memerah, mungkin karena ganggang merah yang pesat tumbuhnya? Uma: (Melihat) Tidak. Aku jadi ragu. Kodrat: Tidak? Kalau begitu apa? Benar Kobaran api di dalam tanah? Uma: (Melihat) Merah. (Merendahkan kamera ke arah Kodrat. Lebih keras) Merah! (Jeda. Semakin keras) Merah! (Jeda. Ia turun, mendekati Kodrat dari belakang, lalu berbisik di telinganya.) 106



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kodrat: (Terkejut) Merah? Apakah kau mengatakan merah? Kau menemukan bukti perkaramu lagi? Semakin dekat. Uma: Dunia perlahan-lahan dipenuhi kegelapan. Kodrat: Kau jangan berlebihan. (Jeda.) Jangan berbalik badan, kau membuatku takut. (Uma berbalik badan mengawasi atas, turun dari tangga.) Uma: Semakin banyak bukti terkumpul. Hari demi hari. Aku menggigil. Kodrat: Kesurupan lagi. Aku bermimpi duduk di atas sejadah dengan melihat lautan dan daratan menyatu. Gunung api semuanya meledak. Dari atas aku melihat kehancuran itu seperti melihat kembang api yang sangat indah. Uma: Hahh! Kau bermimpi seperti itu? Kodrat: Mimpi. Tapi seperti nyata. (Jeda. Meratap) Uma! Uma: Ya. Kodrat: Kapan perkaramu digelar? Belum cukup buktikah? Uma: Aku tak tahu bagaimana memulainya. (Jeda.) Kodrat: Uma! Uma: (Tak sabar) Apa? Kodrat: Hanya Dzat yang mengetahui perkara-perkara batin dan yang tersembunyi. (Jeda.) Itu pun kalau percaya? Uma: Waktu yang akan menjawab? Kau dan aku sedang menerjemahkan hal yang muskil? (Tertawa.) Ah, itu adalah suatu hal terbaik. Kodrat: Jika waktu sebagai petunjuk. Aku bertanya, lebih cepat mana kebodohan daripada pengetahuan?



THE DEATH OF THE ACTIVIST



107



Uma: Yang pasti kita semua melewati masa pelupa. Uma terkejut. Menjatuhkan teropong, kemudian dia menaruh kamera tepat di tengah bawah boks merah Kubi dan Lubi. Uma menggaruk-garuk seluruh badannya dengan kedua tangannya. Kodrat: (Suara normal) Kau mulai gatal …. (Dengan semangat) Kau akan menemukan ujung pangkal masalahmu! (Berapiapi) Berpikir, bahwa mungkin tidak semuanya sia-sia! Uma: (Menggaruk tubuhnya sendiri) Bukan kau yang gatal. Aku mulai bisa merasakan gatal tubuhku. Kodrat: Seluruh Tubuh? Uma: Seluruh tubuh. Kodrat: (Sangat gelisah) Tapi perkara-perkara itu mungkin akan dimulai lagi dari sana! Demi kasih sayang Tuhan! Uma: Aku gak tahan! Jamur di tubuhku semakin meluas! Aku butuh pasir hangat. Dulu segala macam penyakit kulit bisa disembuhkan air laut dan pasirnya. (Exit.) Kodrat: Pejuang selalu lupa memanjakan tubuhnya! (Uma masuk membawa timba berisi pasir hitam.) Uma: Aku membawa pasir. Kodrat: Lawan, kawan! Lawan! Uma dengan cepat menggosok seluruh tubuhnya dengan pasir. Uma sangat menikmati rasa gatal yang tersentuh butiran pasir yang kasar. Dia menggeliat semacam mengalami kenikmatan birahi. Terus menggeliat dan terkadang melihat Kodrat. Uma menatap Kodrat. Kodrat: Bangsat! Kenapa kau menatapku? Uma: Bukan menatap … tapi ingin tahu kedalaman hatimu. 108



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kodrat: Jangan gila kau, Uma. Uma: Bukan gila tapi atas dasar suka sama suka. Kodrat: Pakai otakmu. Kau orgasme! Uma: (Jeda.) Suka sama suka. Kodrat: Kau mengerti? Uma: Ah, itu bagus. Itu bagus! kau beri aku bukti lagi. Aku menggigil. Kodrat: Semua akan terbongkar dengan bersamaan hancurnya peradaban. Air bah akan menerjang kita semua. Orang-orang terkutuk lebih cepat lajunya. (Membentak) Cepat kau selesaikan perkaramu, lalu kita selamatkan diri kita. Uma: Semua tidak akan selamat. Kodrat: (Bergairah) Mari kita pergi dari sini. Kita berdua ke selatan. Kau buat sebuah perahu untuk mencari peradaban baru. Uma: Tuhan tak mengijinkan. Kodrat: Akan kurayu, Tuhan Maha Pemberi. Akan kunaiki perahu itu sendirian! Jika kau tidak mau ikut, dan pada saat kehancuran datang aku akan pergi meninggalkanmu. Uma: Kau panik. Kau tetap bersamaku hingga perkara ini terbukti. Kau tak bisa menaiki perahu tanpa bantuanku. Kodrat: Maafkan aku. Aku khilaf. Jika laknat akan datang, manusia berusaha untuk hidup. Walau dengan segala cara. Uma: Sudah biasa. Kodrat: Aku menghianatimu …. Uma: Seperti orang lain saja.



THE DEATH OF THE ACTIVIST



109



Kodrat: Lanjutkan perkaramu. Kukira kau sudah cukup bukti. Temukan kata kuncinya! Uma: Aku tidak tuli. Kau tidak usah berteriak. Uma menuju ke tempatnya, sedangkan Kodrat bergerak tidak beraturan. Boks Lubi terbuka perlahan. Lubi: Semakin tidak waras. Hi hi hi …. Yang satunya miring. Miring sana, miring sini, hi hi hi … parah. Kubi: (Boks Kubi terbuka) Kau jangan keliru. Semakin tidak waras itu tandanya dia semakin mengerti dan pulih ingatannya. Lubi: Gawat. Mereka akan tahu kita? Kubi: Sudah ketetapan. Kita adalah sejarah mereka yang kelam. Lubi: Apa yang kan terjadi pada kita? Kubi: Bisa jadi mereka mereformasi kita, memutilasi kita dan mensasi lainnya. Lubi: Reformasi? Kita tidak seluruhnya bagian dari pemerintah? Kubi: Ya. Tapi tubuh kita terbalut sebagian besar dari pemberian korporasi. Lubi: Semua demi ilmu pengetahuan yang berbayar. Kubi: Kita sudah memilih jalur kita. Sudah terlanjur. Kita dipihak yang arogan. Lubi: Arogan. Kecerdasanmu memanipulasi hukum agraria warisan kolonial pemicu konflik. Kau bisa beradaptasi dengan baik. Bila biru kau menjadi biru, bila merah kau menjadi merah, dan jika pelangi kau menjadi pelangi pula. Kubi: Tapi aku memainkan itu semua tidak sendirian. Mereka atas dasar suka sama suka, tak ada paksaan. 110



TARUNA PERK ASA PUTR A



Lubi: Jangan keras-keras. Nanti terdengar mereka berdua. Kubi: Mereka pasti mendengar bagian yang konyol-konyol saja. Di bagian yang serius mereka tak akan mendengar yang kita seriuskan. Itu sudah hukum ketetapan. Lubi: Kasihan sekali anjing itu? (Melihat kearah Uma) Mencari bukti perkaranya. Perkara warga adalah di level bawah tapi kita kemas menjadi berita nasional. Perkara yang besar terus kita lemahkan secara ayat-ayat hukumnya. Kubi: Kita orang-orang cerdas! Mau apa …. Bicara hukum? Aku tempuh pendidikan master bidang hukum pidana dan perdata …. Lubi: Kau benar. Bicara tentang sgraria? Akulah masternya. Bicara tata negara teman kita yang lain sudah mempelajarinya. Kita tim yang solid dan sempurna. Tim sebelas dua belas kita. (Tertawa.) Kubi: Hus! Kita yang membangun konflik … (Berbisik.) Lubi: Dengarkan semua dengan seksama! Tidak mudah menyelesaikan sebuah konflik. Karena kemampuan konflik baru lebih cepat dibandingkan proses penyelesaian konflik yang sudah ada. Kubi: (Tepuk tangan) Perkataanmu bagaikan dewan pakar …. Salut aku sebagai temanmu. Lubi: Jangan berlebihan. Aku hanya bagian pembakar. Kubi: Mereka mudah terbakar. Lubi: Warga yang kita bakar. Itu pekerjaanmu, skenario perkara pesisir juga salah satu karya masterpiece-mu. Kubi: Waktu itu kau pejabat publik yang siap dengan ijin kelola



THE DEATH OF THE ACTIVIST



111



produksi. Bagian pengadaan aku yang melakukan. Aku lakukan cara kekerasan dalam pengadaan tanah. Belum lagi, aku yang membuat skenario agar akses masyarakat terhadap sumber daya alam semakin sempit. Petani dan nelayan yang tadinya berhubungan dekat dengan tanah dan laut akhirnya berakhir menjadi pekerja upahan. Lubi: Aku juga menyarankanmu agar punya jagoan kampung yang bisa disuruh dengan uang. Dengan uang mereka gampang kita kuasai pikirannya. Kubi: Kau menyerempet perkara. Lubi: Perkara kecil … segini … (menunjukkan jari kelingkingnya). Kubi: Perkara kecil yang dibesar-besarkan. Lubi: Perkara besar yang dikecil-kecilkan. (Tertawa bersama.) Kubi: Disamarkan …. Lubi: Wajahmu merah. Jika senang wajahmu merah seperti darah. Persis seperti waktu kau memperdaya warga. Kubi: Bahasamu terlalu vulgar …. Bukan memperdaya … tapi mendayagunakan warga. Hmmm, semerah itukah? Lubi: Merah. Menular. Siapa di dekatmu bisa memerah pula wajahnya. Hiburanmu adalah melakukan pembunuhan. Kubi: Jangan vulgar! Kau penodaan kata-kata. Bukan pembunuhan …. Aku hanya memberikan sentuhan kepada masyarakat, melawan berarti memilih ketidaknyamanan. Lubi: Sama saja. Bosan. Bosan hidup. Kubi: Kau yang memberi ide menggunakan listrik untuk melumpuhkan seseorang yang melawan. Lebih tepatnya memperlambat kematian dengan merasakan kesakitannya. 112



TARUNA PERK ASA PUTR A



Lubi: Aku spontan … tidak kurencanakan …. Kubi: Aku sempat menjambak rambutnya. Pejuang itu kuat sekali. Tubuhnya kecil, akan tetapi dia kebal. Lubi: Aku juga yang menyarankan untuk menumbuk kepalanya dengan batu besar. Robohlah dia …. Kubi: Kita ini seperti mafia. Lubi: Mafia kita. Kubi: Kita melakukan gerakan pembunuhan tingkat tinggi! Lubi: Kau ingin penghargaan? Kubi: Setidaknya disegani. Aku berani memerintah pembantaian manusia dan disaksikan dengan mata kepalaku sendiri tepat persis di hadapan siswa TK dan PAUD. Itu levelnya tingkat tinggi. Menanamkan karakter maut kepada anak. Lubi: Benar-benar sepadan, cara-cara membunuhnya sadis, hampir sama persis dengan cara membunuh gerakan tahun 1960an di negeri ini. Kubi: Kita warisan dari mereka, Lubi, biar orang lain saja yang menyebut kita generasi berkelanjutan. Lubi: Kau tidak pernah melupakan sejarah. Kubi: Jangan sekali-kali, Lubi. Inilah hasilnya, aku bisa mengeksplor, membuat skenario, dan menciptakan peristiwa dahsyat dengan cara-cara sejarah lampau negeri ini. Konflik. Konflik tanah dan pertambangan. Lubi: Ssssttt, kau jangan terlalu keras! Kubi: Kau sendiri yang teriak! Lubi: Kau maunya menang sendiri.



THE DEATH OF THE ACTIVIST



113



Kubi: Jika tidak ada aku, tak akan ada peristiwa ini. Kita samasama pelaku, cuma aku lebih cerdas tiga tingkat darimu. Lubi: Setidaknya aku bukan jongos, bongos, aku bisa melayani. Kubi: Ha ha, pelacur tepatnya. Melayani kegilaan tuanmu, hahahaha! Lubi: Kunikmati. Kubi: Nikmatilah kegilaan tuanmu! Hahahaha! Lubi: Kau menantangku! Kubi: Seharusnya aku yang bilang begitu! Kau menantangku? Lubi: Kau ingin kita benar-benar bertengkar? Kubi: Jika kebaikan datang dan pergi, kejahatan juga akan datang dan pergi! Lubi: Jika musuh saling bertengkar, maka noda akan muncul seiring kepekatan pertengkaran kita. Dan orang yang baik mampu mengenali diri kita yang sebenarnya, di situlah kebenaran melampaui pengetahuan. Lihat tubuh kita memerah. (Tampak tubuh Lubi dan Kubi perlahan memerah.) Memerah kita. Kau ingin menjadi manusia terkutuk dari segala yang terkutuk? Kubi: Maafkan aku, dan aku sangat bernafsu. Lubi: Itu tidak salah, bagi para kaum orang bersalah. Jangan ada kata maaf, mari kita sama-sama menjadi orang yang bernafsu saja. Bersama-sama. Peluk aku …. Kubi: Mana bisa, kita berjauhan. Lubi: Pakai imajinasimu, rasakan kita saling ketergantungan satu dengan yang lainnya.



114



TARUNA PERK ASA PUTR A



Kubi: Aku terharu …. Kubi dan Lubi menutup boksnya. Tiba-tiba perlahan suara gemuruh di kejauhan, suara itu seakan-akan merambat mendekati tempat itu. Uma berteriak tidak karuan dan berjingkrak-jingkrak. Uma terlihat senang seakan-akan mendapatkan sesuatu dari perkara yang dia reka-reka kebenarannya. Uma: Aku hampir menuntaskannya! Sebentar lagi aku tahu perkara yang menimpaku! Kodrat! Kodrat: Selamat, Uma! Tapi tak kau dengar suara gemuruh di kejauhan, seakan merambat ke tempat ini? Kau dengar, Uma? Uma: Iya aku dengar. Oh Tuhan! Jangan sekarang aku hampir menuntaskan perkaraku …. Kodrat: Sepertinya badai Uma di atas? Lihat sudut-sudut atas sana mulai berjatuhan pasir-pasir. Tempat ini akan terkubur! Uma: Tidak! perkaraku belum terbongkar! Aku, kan, mengajukan banding waktu kepada Tuhan, supaya Tuhan memperpanjang waktu sampai perkaraku membuktikan kejahatan. Kodrat: Kusarankan kita sebaiknya melakukannya? Sebelum tiba kehancuran. Uma: Melakukan apa? Harga diri kita sudah hancur. Kodrat: Kita berlutut, mengakui dosa-dosa yang sudah diperbuat, mendengarkan apa yang harus dilakukan sebagai hukuman. Membuat tanda keyakinan Tuhan, lalu pergi dengan perahu kita. Uma: Kau mau mencoba menghianati aku lagi? Kodrat: Aku tak kan menjawab.



THE DEATH OF THE ACTIVIST



115



Uma: Seharusnya kau pahami … di mana letak pengetahuan, keyakinan, kebenaran dan keindahan. Kodrat: Mulutku tertutup rapat. Suara gemuruh semakin mendekati tempat itu. Uma mendekati pelan-pelan dan penuh tatapan tajam. Matanya mengawasi sebuah benda yang tadinya ia tinggalkan di bawah tengah kedua boks merah Kubi dan Lubi. Kamera DSLR. Uma: (Tersenyum, dan tubuhnya sedikit goyah akibat gerakan gempa kecil ditempat itu.) Gempa. Akankah ada gempa susulan yang dahsyat? Tidak apa-apa, aku sudah banding waktu dengan Tuhan. Kau diam (melihat Kodrat). Dengarkan saja, aku akan menemukan bukti perkaraku dan mengakhiri semua ini. Aku sengaja mencari cara untuk bisa melihat hal sebenarnya dengan menggunakan alat digital di era yang manual ini. Mudah aku menjebak kedua orang tolol itu. Di balik keyakinan kalian di situlah letak kebodahan kalian. Alat digital ini adalah alat yang diciptakan dari pengetahuan yang mendahului kebenaran di atas sebuah keyakinan. Mari kita putar rekaman kamera ini! Suara menggelegar seperti benda jatuh dari langit dengan ukuran besar di kejauhan, lama kemudian di susul gempa sedikit lebih besar dari sebelumnya. Uma fokus terhadap rekaman kamera tersebut. Tubuhnya juga goyah akibat gempa semakin banyak pasir dari atas berjatuhan. Boks Kubi dan Lubi perlahan terbuka mereka sadar bahwa mereka dijebak Uma dengan rekaman kameranya. Kubi dan Lubi tanpa bersuara mereka terlihat kalut, takut, bingung, dan hancur. Tubuh mereka semakin terlihat memerah dan lebih merah dari sebelumnya. Tak ada kata-kata yang terucap hanya gerakan tubuh dan ekspresi wajah yang terlihat jelas. Mereka



116



TARUNA PERK ASA PUTR A



menyembunyikan tangan-tangan mereka, terlihat hanya kepala mereka menyembul dan berseru keduanya bergantian. Kubi: Tubuh kita akan dirajam! Lubi: Dirajam tubuh kita! Kubi: Kita akan dimutilasi dengan sadis! Lubi: Dengan sadis akan dimutilasi kita! Kubi: Telah tiba waktunya. Lubi: Kebenaran mendahului pengetahuan, di atas sebuah keindahan. Kubi: Kita tetap bertahan menjadi orang jahat, Lubi. Lubi: Ya. Jangan biarkan status kita tersangka utama. Lebih baik orang lain tetap menyebut kita orang jahat. Uma menuju ke peti dan membuka tutupnya. Uma mengambil sebuah benda. Yang pertama, kapak besar. Uma menaruhnya kembali. Yang kedua, senapan. Dia menaruhnya kembali. Yang ketiga, martil besar, menaruhnya kembali. Yang keempat, sekop, dia memilihnya. Uma bergegas menuju tepat di tengah-tengah boks Kubi dan Lubi dan menutup boks keduanya. Uma: Kejahatan pertama! (Menghantam boks Kubi.) Kubi: Aku memang terkenal sebagai orang yang pertama kali meneliti sumber daya alam di negeri ini yang memiliki potensi untuk digali kandungannya untuk dijadikan uang. Uma: Kejahatan kedua! (Menghantam boks Lubi.) Lubi: Aku orang yang mencarikan izin penelitian sumber daya alam dengan alibi kegiatan konservasi lingkungan. Uma: Kejahatan ketiga! (Menghantam boks Kubi.)



THE DEATH OF THE ACTIVIST



117



Kubi: Aku orang yang memprovokasi kelemahan Hukum agraria di negeri ini. Uma: Kejahatan keempat! (Menghantam boks Lubi.) Lubi: Aku orang lihai yang mencarikan izin operasional penambangan illegal. Uma: Kejahatan kelima! (Menghantam boks Kubi.) Kubi: Aku yang secara berani mengajak pihak asing dan pihak konglomerasi untuk membuka penambangan-penambangan di negeri ini. Uma: Kejahatan keenam! (Menghantam boks Lubi.) Lubi: Aku yang membuatkan MOU dengan pihak asing dan pihak konglomerasi tanpa sepengetahuan pejabat berwenang di negeri ini. Uma: Kejahatan ketujuh! (Menghantam boks Kubi.) Kubi: Aku juga yang mampu berkompromi dengan aparat hukum untuk menjaga kedaulatan proyek jahat ini. Uma: Kejahatan kedelapan! (Menghantam boks Lubi.) Lubi: Aku yang melakukan suap kepada aparat hukum untuk memuluskan proyek besar ini. Uma: Kejahatan sembilan! (Menghantam boks Kubi.) Kubi: Akulah yang membentuk tim saberman (Satuan Bersih Manusia) untuk mengancam, menganiaya, dan melenyapkan para warga, aktivis, dan orang-orang yang melakukan penolakan terhadap penambangan sebagai upaya menjadikan kasus negeri ini menjadi kasus individu. Uma: Kejahatan kesepuluh! (Menghantam boks Lubi.)



118



TARUNA PERK ASA PUTR A



Lubi: Aku orangnya yang membayarkan uang dari pihak asing dan para konglo untuk insentif tim saberman. Uma: Kejahatan sebelas! (Menghantam boks Kubi.) Kubi: Akulah orang terdekat dari otak dari segala pembunuhan karakter di negeri ini. Uma: Kejahatan kedua belas! (Menghantam boks Lubi.) Lubi: Akulah salah satu orang yang setia dalam proyek besar ini. Uma menghentikan pukulannya, dia perlahan turun ke bawah dan duduk memegangi sekopnya. Ia menangis kesal dan penuh amarah. Lama kemudian Uma bangkit dan segera membuka boks Kubi dan dengan beringas Uma menarik tangan Kubi hingga terputus. Uma membawa tangan itu menuju ke depan. Uma: Tangan ini. Tangan ini yang telah membunuhku. Aku dipukul, dibacok, dihantam, digebuki, digergaji, dan disetrum. Aku merasakan setiap menyentuh kulitku, tak sedikit pun aku terluka. Hingga pada akhirnya kepalaku dihantam dengan batu, aku pun rubuh tak berdaya dan terus-menerus dihantam kepalaku dengan batu bertubi-tubi. (Menuju kepada Kodrat) Kau dengar kawan … kau boleh berbicara … kau tak usah takut. (Melemparkan potongan tangan itu kepada Kodrat) Kau lihat dan amati dengan jelas. Kodrat: Ini mengerikan, Uma. Hiiii, apa ini? Semacam jamur kulit? Uma: Bukan. Itu adalah percikan darah yang mengering hingga menjadi bagian kulit dagingnya. Itu darahku! Darahku, Kodrat! Kodrat: Kau menakutiku. Uma: Takut. Hanya orang yang menyimpan kebohongan pasti ketakutan. Aku bisa melihat, mendengar, mengendalikan, tuTHE DEATH OF THE ACTIVIST



119



buhku untuk melihat kekacauan batiniahmu. Aku tahu kau mengalami kegaduhan. Tapi aku tidak tahu persis letak kekacauan dirimu. Tapi yang kuingat adalah perkataanmu, bahwa kau telah menghianatiku. Kodrat: Apa yang harus aku lakukan dengan tangan ini? Uma: Jadikan saja tangan ketigamu? Kau butuh organ yang lain? Aku akan ambilkan. Tubuhmu mengalami kerusakan, akibat cor kaki bertahun-tahun. Kuambilkan jantung juga untukmu? Uma bergegas menuju boks milik Kubi lagi, dia beringas dan pada akhirnya ia mencabut sebuah jantung Kubi. Uma bergegas menuju ke Kodrat dan melempar jantung itu ke Kodrat. Kodrat: Hei! Apa yang kau inginkan? Uma: Aku itu, kawanmu, aku peduli akan keadaanmu, kau pakai saja jantungnya agar kau merasa enakan …. Biar jantung itu memompa darahmu menjadi normal kembali …. Kodrat: Aku masih punya jantung. Dan jantungku masih berdegup bagus. Uma: Aku tahu. Aku bisa mendengarkan degup jantungmu ketika kau tidur. Aku tahu ritme degupnya. Tak beraturan. Kadang cepat dan kadang lambat. Kodrat: Kau tanpa sepengetahuanku memeriksaku? Jadi selama ini seperti itu kau memperlakukanku? Uma: Begini, kita ini sama-sama pejuang, aktivis, pemimpin, pelopor, dan kita sama-sama dikenal oleh rakyat di seluruh negeri ini. Atau lebih gampangnya aku presiden dan kau komandan pertahanan. Bisa kau pahami? Kodrat: Iya. Terus apa yang harus aku lakukan dengan jantung



120



TARUNA PERK ASA PUTR A



ini? Baiklah, akan aku pasang. Degupnya bergantian, seperti permainan musik. Uma: Syukurlah. Di situlah letak keindahannya. Kau harus mengawalku, mendampingi perjuanganku memimpin rakyat menyelamatkan negeri ini. Sumber daya alam kita ini harus dikelola oleh rakyat negeri ini bukan orang asing. Kodrat: Aku akan berusaha. Uma: Kau mulai semangat. Pada waktu itu aku telah membuatkan sebuah kebijakan untuk pemerintah negeri ini agar memprosentase keuntungan pengeloaan sumber daya alam dengan memberikan sedikit sekali terhadap pihak asing. Temanku di negara lain mendukung ideku tersebut dan akan membantu kita agar bisa mengelola dan mendapatkan keuntungan yang besar jatuh ketangan kita. Kodrat: Kau pejuang hebat, Uma. Kau disegani, inspiratif, penuh pesona, kharismatik, dan mampu menggerakkan hati rakyat. Uma: Kau juga hebat, kau memiliki strategi yang jitu dalam menghadapi konflik rakyat dengan penambang liar itu. Baiklah, tinggal satu lagi (melihat kearah boks Lubi). Akan kuambil otaknya! Kodrat: Akan kau apakan dia? Sudahlah … sudah selesai perkaramu, Uma. Uma: Belum. Aku bisa merasakan sesuatu yang tersimpan, ini adalah alur yang telah diatur Tuhan. Suara gemuruh kembali datang dan stabil menderu dengan tidak terlalu keras. Suara perbincangan masih bisa terdengar. Uma menghampiri boks Lubi dan dengan beringas memegang rambut Lubi dengan kekesalan. THE DEATH OF THE ACTIVIST



121



Uma: Kau terkutuk! Kau membuat istri, anak, dan cucuku melihat aku tergeletak tak berdaya. Kau berikan trauma-trauma hingga pemikiran mereka menjadi sempit. Kau ini apa! Kau ini banci, hah? Setan alas! Wajahmu membuat aku muak! Lubi: Kau boleh bangga memenangkan perkaramu. Tapi kau kalah dalam mengatur jalannya cerita. Aku masih berdaya. Uma: Kau ingin aku melepaskan kedua bola matamu? Lubi: Aku ingin kau mengembalikan hidup temanku, Kubi. Kau ambil kembali jantungnya dari dia. Maka kau kuberikan kenyataan dari sekian perjuanganmu. Kau telah ditelikung temanmu sendiri wahai pahlawan rakyat. Kita yang ada di sini sebenarnya dalam keadaan tidak berada, tetapi kita dibangkitkan kembali dari ketiadaan menjadi berada. Uma: Kau mau mengadu domba aku dan kawan seperjuanganku? Lubi: Bukan mengadu domba, cuman menyatakan di dalam kebenaran terdapat sesuatu yang menyakitkan. Cepat kau ambil jantung Kubi! Atau kau kehilangan kebenaran yang akan aku berikan. Uma: (Mengambil jantung di tubuh Kodrat dan mengembalikan kepada Kubi. Kubi kemudian mulai bergerak dan hanya bisa diam dengan pendengarannya.) Mana kebenaran yang kau janjikan? Katakan! Lubi: Dialah yang menelikung kau dari belakang. Kodrat sang pejuang yang akan menggeser kedudukanmu menjadi pejuang nomor satu di negeri ini. Kodrat lebih cerdas darimu, dia menggunakan dirimu untuk bertarung dengan pihak asing hingga kau melakukan gerakan yang ekstrim terhadap penolakan penambangan. Kau tahu lanjutannya? Dan kau sendiri



122



TARUNA PERK ASA PUTR A



yang melanjutkannya! Aku dan Kubi tetap sama sampai kapan pun. Sama-sama orang jahat! Tiba-tiba suara menderu menghilang, seakan badai berlalu. Suasana hening sekali. Semua terdiam. Uma turun di samping Kodrat dengan jarak empat langkah kaki. Keadaan ini sampai mencapai suatu keheningan yang dingin. Uma: Kematian semakin mendekat ketika manusia mengalami kecemasan. Aku yang mengalami kematian. Aku target terbunuh. Pihak asing dan para konglo mengatur jalannya kematianku. Setelah itu kau menggantikanku, kau menjadi tenar ketika perjuanganku memudar di mata rakyat. Dan kau disanjung sebagai penerus perjuangan dengan rasa aman. Kau berusaha aman ketika kau mengalami kecemasan. Lubi: Kau pinta handuknya di situlah sebagian darahmu digunakan untuk menukar kepercayaan dengan keberadaan dan kebendaan. Kodrat: Kau mau membunuhku? Uma: Percuma aku tidak bisa membunuh orang-orang jahat. Kodrat: Hanya orang-orang jahat yang bisa membunuh orang baik? Uma: Terserah kau. Sebentar lagi kiamat. Tidak ada yang bisa lari dari kematian. Tak ada perahu untukmu. Ternyata hanya sebuah handuk dan darah menghitam melekat bersama darahku. Pasir hitam. Sekali lagi tak ada perahu untuk dirimu. Suara yang membuat telinga benging pelan dan suasana hening kembali. Sepi. Hening. Beberapa saat kemudian tanpa disadari suara menggelegar sangat dekat seperti benda besar menghantam daratan. Lampu gelap. Pasir semakin berjatuhan dari atas. Lampu menyala, tampak pasir di atas Kodrat mengucur deras meTHE DEATH OF THE ACTIVIST



123



nerpa dan menumbuki Kodrat. Sedangkan Uma berada di pinggir panggung berdiri tegak. Uma: Setelah ini air bah akan datang. Aku punya perahu. Setelah ini yang kupikirkan hanya satu. KEHENINGAN. Lampu padam. Tamat. Jember, Maret 2022



124



TARUNA PERK ASA PUTR A



Matahari Papua Naga Itu Membebaskan Kami



N. RIANTIARNO



N. Riantiarno lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Ia berteater sejak 1965, menamatkan SMA pada 1967, lalu kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Ia berguru kepada Teguh Karya dan ikut mendirikan Teater Populer, 1968. Pada tahun 1975, N. Riantiarno berkeliling Indonesia, mempelajari teater rakyat dan kesenian tradisi. Pada 1978, ia mengikuti International Writing Program, di University of Iowa, USA. Ia mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977, serta menulis sebagian besar karya pentasnya, di samping juga menggelar sejumlah saduran dari karya Brecht, Shakespeare, dan Moliere. Beberapa karyanya, bersama Teater Koma, batal pentas akibat masalah perizinan (Maaf. Maaf. Maaf., 1978; Sampek Engtay, 1989; Suksesi dan Opera Kecoa, 1990). Opera Kecoa sendiri dipentaskan oleh Belvoir Theatre, di Sydney, Australia, Juli 1992. Pada 1998, N. Riantiarno meraih Penghargaan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, sekaligus meraih SEA WRITE (South East Asia) AWARD dari Raja Thailand, di Bangkok. Pada 1999, ia menerima Piagam Penghargaan dari Kementerian Pariwisata Seni & Budaya, sebagai “Seniman dan Budayawan Berprestasi”. Karyanya, Sampek Engtay, tercatat dalam MURI (Musium Rekor Indonesia) sebagai pentas yang telah digelar 80 kali selama 16 tahun dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama. Hingga 2022, ia sudah menggelar 225 produksi panggung dan televisi.



RINGK AS KISAH



Inilah kisah seekor Naga, Buaya, Burung Hitam, dan Tiga Biawak. Naga itu terbang dari luar angkasa dan tinggal di kawasan Papua. Dia ditemani anak buah Naga: Tiga Biawak, Buaya, dan Burung Hitam, para monster hutan. Kawasan Naga itu ada di daerah pedalaman Kamoro, di kawasan Papua Selatan, di darat pinggir sungai yang lebar, di kawasan bawah pegunungan Derabaro. Kamoro adalah suku yang luar biasa. Pada suatu masa, seorang ayah (Reu) hendak ke pedalaman pulau, untuk menyelidiki tumbuhnya sagu. Dia bersama tiga iparnya, menaiki perahu menuju ke hilir sungai. Mereka bernyanyi dengan gembira. Jika sagu ditemukan, mereka akan pulang ke kampung dan meminta seluruh penduduk desa memanen sagu itu. Istrinya yang setia, Mama (Yakomina), ikut bersamanya, bersama-sama mendayung perahu. Namun, mereka bertemu Naga yang melahap Reu dan tiga iparnya. Tak ada yang selamat. Yakomina berhasil lolos dan menetap di sebuah gua, dekat gua seorang dukun. Beberapa bulan kemudian, Yakomina melahirkan anak. Si Dukun itu menolongnya. Mama, tak mau pulang, dia mengurusi anaknya hingga besar. Pemuda itu diberi nama Biwar. Biwar ketemu seorang gadis (Nadiva) yang hendak dimakan Tiga Biawak, anak buah Sang Naga. Tiga Biawak lari. Keduanya berkenalan, dan saling jatuh cinta. Nadiva juga berasal dari kampung Kamoro. Tapi, penduduk desa itu tak setuju Nadiva menikahi Biwar. Akhirnya, keduanya, berhubungan lewat jalan belakang. Yakomina, berkisah tentang bagaimana Reu dilahap Sang



MATAH ARI PAPUA



127



Naga. Kemarahan muncul dan Biwar, pada waktunya, ketika waktunya dirasa tepat, akan segera ke kawasan Naga itu, untuk membunuh. Hubungan Biwar dan Nadiva diketahui penduduk desa. Mereka mendatangi Biwar dan meminta tanggung jawabnya. Nyaris terjadi perkelahian, tapi dilerai oleh sang dukun, Koreri, yang malah meminta agar penduduk membunuh Naga yang sangat berbahaya. Akhirnya penduduk ikut Biwar untuk membunuh Naga. Sang Naga dikepung. Berbagai cara digunakan, sehingga Naga dan juga Tiga Biawak berhasil dihajar. Sang Naga lenyap. Bisa jadi, pergi ke angkasa luar. Tiga Biawak lenyap jadi setan penghuni hutan. Burung Hitam dan Buaya sudah insaf. Yakomina akhirnya pulang ke kampung. Anak lelakinya dinikahkan. Pesta bagi Biwar dan Nadiva. Ini lakon, kisah nyanyian dan tarian kawasan timur, Papua. Kisah yang mengharukan. Kisah kemerdekaan dan kebebasan. Lakon hilangnya Sang Naga.



128



N. RIANTIARNO



PAR A PEL AKON



1. Biwar, putra Yakomina 2. Nadiva, gadis berbakat seni 3. Mama, Yakomina 4. Dukun, Koreri, berarti menang 5. Naga Jantan 6. Biawak-1, Jantan 7. Biawak-2, Betina 8. Biawak-3, Betina 9. Buaya Jantan 10. Burung Hitam, Betina 11. Niagara, putri Yali-Dorkas 12. Meyon, cenderawasih 13. Issy, membela kebenaran 14. Yonetje, mandiri 15. Helena, cahaya, terang 16. Syafilla, pesona, karisma 17. Merieta, berani, cerdas 18. Selina, rembulan 19. Yali, papa Niagara



MATAH ARI PAPUA



129



20. Dorkas, mama Niagara, pemberi kasih 21. Ukapoga, kakak Nadiva 22. Ardiffa, percaya diri, kakak Nadiva 23. Hirahela, papa Nadiva 24. Naomi, mama Nadiva 25. Reu, setia, papa Biwar 26. Yuvril, seseorang 27. Missael, dapat diandalkan 28. Liben, penuh enerji 29. Kiripi, prajurit perang 30, 31, 32. Tiga Paman Biwar Para Penyanyi Para Penari Para Pemuda dan Pemudi



130



N. RIANTIARNO



Pembuka—Lagu Kemerdekaan Sebuah lagu, yang memberi tahu tentang kemerdekaan dan kebebasan, berkumandang. Intinya memberi tahu suatu masa akan datang kemerdekaan dan kebebasan itu. Sebuah lagu masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. Sebuah lagu yang dirindukan oleh masyarakat Papua. Sesuatu yang selama ini senantiasa diimpikan. Musik dan lagu itu berkumandang, sungguh merasuki sukma. Liriknya hanya tiga kalimat. Dan diulang sebanyak tiga kali. Lirik itu masuk ke dalam musik, menjadi satu secara menyeluruh. Dinyanyikan hanya dua menit. Bunyinya begini:



Kemerdekaan dan kebebasan bagi kita Sejahtera bagi bangsa di mana pun mereka Masa damai bagi seluruh Rakyat Papua



Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



131



1. Sebuah Sungai yang Lebar Sebuah perahu, papa, Reu, dan tiga iparnya, mendayung. Mereka bernyanyi. Mereka akan meneliti pohon sagu di hutan dalam. Mama, Yakomina, istri setia, ikut, mendayung bersama. Empat Suku Komoro dan Yakomina: (Menyanyi) Y: Kami Kamoro, suku bangsa Mimika di Selatan



K: Kami adalah suku Umari, Nagramadu, Laikaha Kami juga disebut Kaokonau, Nefetipi, Maswena Sebagai suku bangsa Mimika, kami tinggal di Selatan Di laut yang teduh dan sejuk, di dekat Teluk Etna Yang lainnya menetap di muara Sungai Cemara Di pepohonan Sungai Otakwa dan Sungai Mimika







Y: Kami Kamoro, suku bangsa Mimika di Selatan







K: Inilah Kamoro, kesatuan bahasa bagi suku-suku Kami hidup di rawa-rawa, tapi kami bahagia Laut dan pegunungan, sungai dan pepohonan Kesejahteraan, kepandaian kami dalam memahat Warisan dari leluhur, jejak kami sejak masa lalu Kebahagiaan adalah berkah ajaib dari langit



Musik menggebu. Sang Naga memakan manusia. Dan pada saat itu, sesosok Naga yang sangat besar, muncul di tengah sungai. Dia berdiri dengan pongah, memandang manusia yang ketakutan. Dari mulutnya menyembur api. Namun, api itu menyembur ke atas. Sesudah itu, dia menengok lagi. Dilahapnya empat pria yang ada dalam satu perahu. 132



N. RIANTIARNO



Mama, yang bisa berenang, segera ke tepi sungai. Lari. Lepas. Mungkin karena Sang Naga tengah memakan empat pria itu. Mama kabur ke dalam hutan, semakin jauh dari kampungnya. Kini, Sang Naga hanya bisa melihat, tak ada lagi makanan. Maka dia pun menari-nari dengan gaya penuh kesombongan. Naga itu kemudian hilang lenyap ke dalam sungai. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



133



2. Sebuah Gua, di Puncak Bukit Dukun, Koreri, membahas peristiwa belasan tahun yang lalu. Dia seakan-akan mendendangkan peristiwa dirinya, dan Mama yang kini sudah bertambah tua sekian belas tahun. Dukun, Koreri: Beberapa belas tahun yang lalu, dia datang ke depan gua ini. Lelah, lemas, tak berdaya. Dia, perempuan muda dalam keadaan hamil. Yakomina, namanya. Mereka akan ke hutan dalam, meneliti pohon-pohon sagu yang kelak akan dipanen, untuk desanya. Mereka menggunakan perahu, berlima. Yakomina mengisahkan suaminya yang dimakan Naga. Juga tiga lelaki lain, kakak-kakaknya, dimakan Naga juga. Mereka tak mampu berenang karena Sang Naga sudah langsung mengurungnya. Mereka mati, masuk ke dalam perut Sang Naga. Hanya Yakomina yang lolos. Melarikan diri, hingga ke depan gua ini Anaknya, Biwar, kini sudah besar. Lihatlah mereka, Yakomina dan Biwar. Hari ini, Biwar akan menangkap ikan, di tempat Naga itu! Yakomina potong kayu, memasak. Biwar keluar dari honai menuju ke mamanya. Dia membawa jala cara Papua dan dia bersiap-siap hendak pergi. Dia pamit kepada ibunya. Biwar: Mama, aku pergi. Semoga mendapat banyak ikan hari ini. Yakomina: Ya, tapi hati-hati. Biwar: Mama lebih baik istirahat. Sepulangnya dari menangkap



134



N. RIANTIARNO



ikan, nanti aku yang akan memotong kayu-kayu itu. Tidurlah, Mama. Yakomina: Tidak apa. Ini sekedar olah badan. Untuk apa istirahat, kalau tidak lelah? Aku sehat. Pergilah Biwar, tapi hati-hati. Biwar: Baik, Mama. (Biwar pergi.) Yakomina: Ah, anakku. Seharusnya aku menceritakan apa yang dulu terjadi pada papanya. Sudah waktunya. Sudah waktunya aku mengisahkan lakon itu. (Memotong kayu. Sesudah itu, kayu dibawa ke dalam honai.) Dukun, Koreri: Dulu aku tinggal bersama mereka, sebagai dukun. Di Desa Komoro. Namaku, Koreri. Aku kenal Yakomina dan Reu, suaminya. Dulu, aku sering menyanyi dan menari. Doa-doa karyaku sudah kubikin menjadi nyanyian. Menjadi doa. Dinyanyikan oleh penduduk desa. Banyak yang mudamuda, ikut menari dan menyanyikan lagu. Lagu dan doa kami semua. Masa-masa yang sangat penting. Seseorang memakaikan pakaian adat bagi Dukun. Ada tongkat dan kalung-kalung. Dia menari. Musik yang luar biasa. Banyak pemuda dan pemudi datang dan semuanya menari, seakan ada gerak yang memang pantas untuk ditarikan. Tarian muda-mudi. Tarian menyambut datangnya kemerdekaan dan kebebasan. Sebuah Koor yang Padu: Akankah datang masa itu? Masa-masa kebahagiaan itu? Kemerdekaan yang mulia itu? Kebebasan yang didambakan Bila kemerdekaan datang Kami mampu tentukan nasib sendiri Papua bagi budaya kami semua



MATAH ARI PAPUA



135







Papua, leluhur dan seluruh rakyat Papua bagi seluruh bangsa kami Semua akan menikmati itu Kami adalah kebebasan itu Ooo, harapan masa depanku … Oo, Papua, Papua, Papua …



Dukun, Koreri: Tak ada lagi Naga, Tanah Papua yang merdeka dari Sang Naga dan para monster, anak buah Sang Naga. Tiga Biawak, Burung Hitam dan Buaya.



Kami berjuang agar mereka pergi dan tidak lagi mengganggu keamanan kami. Inilah Papua, inilah tanah kami, di sini kami tinggal. Hidup sejahtera dan kelak, kami akan mati. Di sini. Di sini!



Kapan kami merdeka? Kapan kami merdeka? Jangan diam saja. Bergerak! Tapi kini, Sang Naga, yang entah datang dari mana, sudah mulai memunguti apa yang berasal dari tanah kami, Papua. Pertanian, emas, ubi, babi, dan semua binatang hutan, pepohonan. Minyak kayu putih! Ada berapa banyak kekayaan yang dipungut Sang Naga? Sangat, sangat banyak. Kami sesungguhnya kaya, tapi sekarang ini kami tidak mendapatkan apa-apa. Kekayaan kami berlimpahan. Di barat pulau, kami memiliki minyak, gas, dan nikel. Di Mimika, ada banyak tembaga, emas, dan ikan. Hutan, ada di sini dan di sana. Di tengah pulau, emas di mana-mana, juga tembaga, minyak, gas, dan batubara. Minyak bumi, ada di banyak tempat. Tapi, Naga lewat bosnya itu, memunguti kekayaan kita. Kami hanya kebagian ampas. Naga itu, menjadi anjingnya orang Barat. Oo, bagaimana cara mematikan Naga? Senjata apa yang mampu membuatnya mati, tak hidup lagi? Jika Naga mati, dikalahkan Biwar, apa kekalahan itu akan jadi pen136



N. RIANTIARNO



dorong agar seluruh Tanah Papua menjadi lebih baik? Tidak. Kami akan kalah oleh mereka yang membikin kami saling berkelahi. Orang-orang Barat, menjajah kami. Tapi, nanti, jika kemerdekaan tiba, apakah kami juga ikut merdeka? Oo, tidak seperti itu. Sebagian kami, masih sangat sengsara, jiwa dan raga.



Jangan remehkan kami, Oo Tanah Papua Kami, Cahaya dari Timur, Sang Matahari Bukan kelam, cahaya Timur itu, Oo Papua Kami Matahari dari Timur itu, Oo Papua Cahaya yang membikin semua ikut bercahaya



Naga itu, dulu, sudah membunuhi keluarga Mama. Hanya Mama yang mampu membesarkan anaknya itu, Biwar. Hari ini, kini, sudah saatnya Biwar membalas dendam. Dia harus pergi ke liang Naga itu! Membunuhnya! Matikan saja Naga itu! Atau usir! Sekarang! Kemerdekaan! Jangan diam saja, Papua! Bergerak! Majulah! (Sang Dukun menari. Sesudah tarian selesai, dia pun pergi.) Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



137



3. Sekitar Pinggir Sungai Nadiva dan Niagara, dua pemudi, berteriak. Tiga Biawak, anak buah Sang Naga, monster, mengejarnya. Tak lama kemudian, datang Biwar. Dia segera berupaya mengusir Tiga Biawak itu. Nadiva: Tolong … tolong …. (Ketakutan.) Niagara: Pergi! Pergi! Aku tidak takut. Kalian, tidak boleh mengganggu Nadiva. Biwar: Aku datang. Jangan kuatir. Akan kuusir Tiga Biawak itu. Nadiva: Tolong, hanya kepadamu aku meminta tolong …. (Ketakutan.) Niagara: Saya ingin mengusir Tiga Biawak itu. Tapi, dia hanya mengganggu Nadiva. Heran. Kenapa? Aku sendiri, tidak diapa-apakan. Biwar: Ya, ya. Pergi kalian, Biawak! Pergi! Tiga Biawak: Setan. Kamu yang pergi! Pergi! Niagara: Ah, Tiga Biawak itu bisa bicara. (Teriak) Monster! Biwar: Ah, kamu bisa omong? Ya, kalian adalah monster. Biawak-1, Jantan: Monster apa? Kami anak buah Sang Naga. Biawak-2, Betina: Hah? Masih berani melawan? Biawak-3, Betina: Lihat! Kami anak buah Sang Naga. Minggatlah! Biwar: Siapa pun kalian, aku tak peduli. Pergi! Kalau tidak, aku lawan kalian!



138



N. RIANTIARNO



Tiga Biawak: Kurang ajar! Berani? Hajar! HAJAR! Terjadilah perkelahian. Biwar menghantam Tiga Biawak itu. Mereka didesak hingga ke pingir sungai. Tiga Biawak itu merasa akan kalah, mereka kewalahan, dan mulai ketakutan. Tiga Biawak: Sialan. Setan manusia. Lebih baik pergi. PERGI !!! Ketiganya pergi, masuk ke dalam sungai dan menyelam. Biwar: Kalau muncul lagi, akan kubunuh kalian! Akan kubunyikan gendang dalam hitungan ‘pembunuhan biawak’. Kalian pasti akan kubunuh! Ah, syukurlah. Ketiganya pergi. (Duduk. Istirahat.) Nadiva: Terima kasih. (Pause.) Saya Nadiva. Niagara: Saya Niagara. Teman Nadiva. Biwar: Mengapa kemari? Kawasan ini jauh dari dusun, di mana pun dusunmu itu. Kamu dari mana? Aku tinggal di honai, tidak jauh dari sini. Nadiva: (Menyanyi) Sungguh tak tahu kenapa aku pergi ke sini Ada suara yang memintaku datang ke sini Begitu saja, seakan disedot tarikan kuat itu Aku berjalan mengikuti sedotan itu, tak tahu Itulah kekuatan hebat, aku, kini, di sini Niagara: Aku teman Nadiva, selalu dekat dengannya. Apa saja yang dia lakukan, dia pikirkan, aku selalu di dekatnya. Aku harus ikut, meski dia bilang, katanya, tarikan itu sangat-sangat kuat. Itu yang membuat dia kemari. Biwar: Aku Biwar. Nadiva, tinggal di mana? Nadiva: Aku tinggal di Dusun Komoro. Kami, satu kampung.



MATAH ARI PAPUA



139



Niagara: Ya, begitu. Teman main sejak kecil. Ya, Dusun Komoro. Biwar: Ah, Komoro? Aku berguru kepada Dukun Mulia yang juga berasal dari Dusun Komoro. Tapi dia sudah di sini, mungkin sejak 25 tahun yang lalu. Namanya Koreri, itu artinya ‘kemenangan’. Dia orang Biak, tapi sudah merasa dirinya sebagai orang Komoro. Nanti akan kutanyakan kepadanya, mungkin dia tahu siapa ayah dan ibumu. Nadiva: Pasti dia tahu. Ayahku, Helihera; ibuku, Naomi. Aku punya dua kakak, Ukapoga dan Ardaffa. Kamu bisa kasih tahu siapa nama ayah dan ibuku. Aku sangat senang sudah kamu tolong. Kalau tidak, aku bisa mati. Niagara: Ayahku, bernama Yali, dan ibuku Dorkas. Kamu berasal dari mana? (Biwar menggelengkan kepala.) Ya, sudah, kalau tidak tahu. Rumah ibumu, di mana? Tidak jauh dari sini? Nadiva: Kita harus lebih dekat. Kami ingin ke rumah ibumu. Biwar: Kamu bisa ke rumahku. Nanti aku kenalkan kalian ke ibuku. Sekarang ini, aku hendak mencari ikan di sungai. Aku harus pulang membawa ikan. Aku sudah berjanji kepada ibuku, tadi. Nadiva: Apakah aku boleh mengikuti kamu? Maksudku, ikut menangkap ikan? Aku bisa membantu. Aku sering menangkap ikan dengan kedua kakakku. Niagara: Tidak apa, kan, kalau kami ikut? Rumah kami di pinggir sungai. Sungai yang besar. Kadang, kami menangkap ikanikan besar. Boleh? Biwar: O, sangat boleh. Boleh. Nadiva: Baiklah. Diam saja. Meski Biwar dan Nadiva saling memandang, meski 140



N. RIANTIARNO



keduanya agak menyembunyikan arah pandangan mereka. Dua muda-mudi. Keduanya seakan-akan sudah saling terpesona. Tapi keduanya, hanya diam saja. Sulit untuk saling bicara. Niagara hanya memperhatikan dan sangat memaklumi. Sebuah musik yang bagus dan indah. Mungkin hanya sejenak, tapi sangat asyik. Nadiva: Kalau nanti, aku kembali ke rumah, apa boleh kita ketemu lagi? Biwar: O, boleh. Sangat boleh. Niagara: Konon, tarikan dari sini sangat kuat. Hahaha … pasti itu tarikan cinta. Nadiva: Niagara … jangan main-main. Niagara: Tidak perlu disembunyikan. Itu tarikan cinta. Kalau Biwar dan Nadiva saling mencinta, kan, tidak apa? Bagus itu? Nadiva: Apa tarikan itu datang dari kamu, Biwar? Sungguh mati, aku tak kuasa menolaknya. Tarikan yang betul-betul sangat kuat. Biwar: Aku? Bagaimana bisa? Aku tidak kenal kalian. Sangat aneh, tapi asyik. Nadiva: Aku senang bisa ketemu, dan berkenalan denganmu. Biwar: Nadiva, kamu ingin ikut menangkap ikan, kan? Nadiva: (Merenungi diri sendiri, tak mendengar apa kata Biwar.) Aku ingin, kita ketemu lagi. Aku senang kamu bantu aku, tadi. Biwar: Kita bisa ketemu di sini. Tapi aku takut, Tiga Biawak itu muncul lagi. Aku tahu, ada sebuah pohon besar, pohon trembesi. Pohon itu besar sekali. Karena sangat besar, pohon itu MATAH ARI PAPUA



141



akan kelihatan, meski kita di luar hutan. Tidak jauh dari sini. Kita bisa ketemu di situ. Kalau kamu mau. Niagara: Aku lihat pohon itu, tadi. Dari jauh, memang sangat besar. Nadiva: Ya, aku tahu pohon itu. Aku juga melihatnya. Aku akan ke sana. Tujuh hari lagi? Aku pasti datang. Jangan sampai tidak datang. Kita ketemu siang hari? Atau pagi? Aku tak mau pulang kemalaman. Tapi, kali ini, Niagara tidak perlu ikut. Niagara: Kok? Kalau kamu diganggu biawak, bagaimana? Nadiva: Kan, ada Biwar? Aku sudah tahu jalan kemari. Niagara: Ya, sudah. Asal kamu tidak diganggu Biwar. Biwar: (Tertawa.) Aku tidak akan mengganggu Nadiva. Jangan kuatir. Kalau siang, bagaimana? Tepat matahari ada di tengah langit. Tujuh hari lagi. Aku datang. Nadiva: Bagaimana, Niagara, kalau kamu tidak ikut? Niagara: Ya, tidak apa. Kan, cuma ketemu. Cinta dimulai dari pertemuan. Nadiva: Ah, kamu, bisa saja. Baiklah, kita ketemu di sini. Biwar: Baiklah. Seminggu lagi. Nadiva: Sekarang, Biwar, kita menangkap ikan? Biwar: Ya, ya. Ayo, kita menangkap ikan! Di sungai dekat sini. Ukapoga dan Ardaffa mendatangi mereka, dengan wajah tegang. Mereka mendekat. Keduanya membawa parang. Mereka memandangi Biwar dengan rasa curiga. Kini, mereka melihat Biwar sebagai musuh. Niagara: Ah, Ukapoga, Ardaffa. Aku senang kalian datang. 142



N. RIANTIARNO



Ukapoga: Nadiva, apa yang kamu lakukan? Aku mencarimu ke mana-mana. Baru ketemu di sini. Kenapa ada di sini, berdua Niagara? Ardaffa: Mama-Papa mencarimu. Nadiva: Ah, kedua kakakku, Ukapoga dan Ardaffa. Barusan, tadi, aku diganggu Tiga Biawak. Biwar berkelahi dan berhasil mengusir Tiga Biawak itu. Berterimakasihlah kepadanya, kakak-kakakku. Ukapoga: Tiga Biawak? Ardaffa: Kamu diganggu Tiga Biawak? Apa omonganmu benar? Ukapoga: Nadiva, jangan main-main. Niagara: Wah, kalian bagaimana? Aku saksinya. Nadiva diganggu Tiga Biawak. Nadiva: Sumpah mati. Tentu saja benar. Tiga biawak itu mengaku sebagai anak buah Sang Naga. Dan karena kalah, mereka langsung menyelam ke dalam sungai. Mereka itu monster yang bisa bicara. Memang aneh. Tapi mereka bisa bicara. Ukapoga, Ardaffa, berterimakasihlah kepada Biwar. Kalau tidak ditolong dia, adikmu mati. Ukapoga: Tapi kamu tidak apa-apa, kan? Nadiva: Aku tidak apa-apa. Mereka belum sempat menggangguku. Ukapoga: Terima kasih, Biwar. Apa kamu mampu mengusir Tiga Biawak? Biwar: Ya. Mampu. Meski aku tak punya parang. Ardaffa: Kamu harus pulang. Papa-Mama menunggumu. Ayo. Nadiva: Ardaffa, bilang terima kasih kepada Biwar.



MATAH ARI PAPUA



143



Ardaffa: Terima kasih. Nadiva: Biwar, apa boleh buat, aku terpaksa pulang. Biwar: Ya, pulanglah. Nadiva: Maaf, aku tidak bisa menemanimu menangkap ikan. Biwar: Tidak apa. Nadiva: Aku senang bisa berkenalan denganmu. Biwar: Ya, aku juga. Ardaffa: Nadiva, kita pulang. Niagara: Ayo, Nadiva. Lebih baik kita pulang. Nadiva: Biwar, aku pergi. Biwar: Ya, Nadiva. Niagara menggandeng Nadiva. Nadiva menurut dan pergi. Cahaya berubah.



144



N. RIANTIARNO



4. Di Depan Honai Mama, Yakomina, duduk, mengenang masa lalunya. Sebuah Nyanyian (Koor) dan Musik: (Ada tarian dan nyanyian) Bilakah tanah harapan Yang telah dijanjikan Akan Kau berikan, Tuhan Tempat kami bertahan Berkeluarga, hidup dan merdeka Papua, tanah untuk masa depan … Papua, tanahku, di masa depan (Lirik diulang dua kali.) Yakomina: Reu, kamu sudah pergi. Suamiku. Saat itu, perahumu tenggelam. Mati, tenggelam di dasar sungai. Sang Naga memakanmu. Tapi kamu memberiku anak, Biwar, yang sekarang kubesarkan. Di hutan ini, dan sembunyi. Sejak kecil anak itu kuberi semua ilmu yang kupunya. Berburu di hutan, ilmu memanah, menangkap ikan, me-mangkur sagu, dan segala hal perkara agar dia bisa hidup dan bahagia. Dia berguru kepada Dukun Yang Mulia. Dukun yang selama ini menolongku. Kini anak itu sudah besar. Akankah dia berhasil mengalahkan musuh yang membikin kita sengsara? Ya, Naga. Sang Naga. Kaulah musuh itu, Sang Naga, yang menenggelamkan perahu suamiku dan paman-paman Biwar. Kami datang dari dusun kecil, tempat kami tinggal, dulu. Biwar: (Datang dengan ikan-ikan besar di tangan) Mama, Mama. Aku membawa banyak ikan. Besar-besar. Yakomina: Dari mana kamu dapatkan ikan-ikan itu? MATAH ARI PAPUA



145



Biwar: Aku tadi berperahu hingga ke hulu. Dari tempat itu, Gunung Derabaro nampak, sangat tinggi dan indah. Sungainya, lebih lebar dan dalam. Di situ ikan banyak sekali, dan besarbesar. Pemandangannya luar biasa. Kalau Mama mau, besok kita bisa ke sana. Melihat pemandangan bagus. Yakomina: (Sedih, menghapus air mata) Ah, Biwar. Mama tahu, kamu pasti pergi ke sana. Biwar: Mama, kenapa sedih? Aku memang pergi ke sana. Aku melakukan apa? Yakomina: Di tempat itulah, kehidupan kita dimulai. Kamu dan Mama. Biwar: Apa maksudnya, Mama? Kehidupan kita dimulai? Yakomina: Di tempat itulah ayahmu wafat. Di sungai itu. Biwar: Wafat? Mama tak pernah ceritakan hal itu kepadaku. Yakomina: Ayahmu, dan … juga paman-pamanmu. Wafat. (Sangat sedih) Perahu yang tenggelam di sungai itu. Biwar: Mama? Siapa membikin bapaku dan paman-pamanku wafat? Yakomina: Akan kuceritakan semuanya. Dengarlah! Biwar: Ya, Mama. Yakomina: Kampung kami, sebuah kampung kecil. Itu kampung di pinggir sungai. Di kampung itu kami tinggal. Berkeluarga. Kami hidup tenteram. Suatu hari sagu desa habis. Maka, papamu, paman-pamanmu, dan Mama berangkat ke hulu dengan perahu. Kami pergi. Untuk melihat pohon sagu, sehingga pada suatu hari kami, para lelaki dan wanita, akan memanennya. Mama, tengah hamil, kamu ada di perut Mama. Hanya dengan satu perahu kami berangkat. Kami mencari sagu 146



N. RIANTIARNO



hingga ke pedalaman. Di sanalah sagu-sagu itu tumbuh. Kami berperahu hingga satu hari. Akhirnya, kami mendapatkan sagu itu. Tempat itu kami tandai. Nanti, kami akan me-mangkur sagu. Seluruh lelaki dan perempuan dusun. Kami lalu pulang. Ooo … tapi, di sungai itu … kami celaka. Begitu kami mau pulang, Naga itu muncul. Naga itu muncul! Papa, Mama, dan Tiga Paman mendayung perahu menuju pulang. Pada saat itu, seekor Naga besar datang, menari-nari dengan pongah dan sombong, lalu memangsa Papa dan Paman Biwar. Musik. Animasi yang bagus muncul di latar belakang. Yakomina: Itulah yang terjadi, anakku. Di sungai itu. Di tengah sungai itu. Papa dan ketiga pamanmu. Mati. Tentu saja, kamu tidak tahu. Dan sejak itu, Mama tidak mau kembali ke dusun. Mama tetap tinggal di sini. Kami diselamatkan oleh Dukun Yang Mulia. Lalu, setelah besar, kamu menimba ilmu Dukun itu, segala tatacara hidup, ilmu dunia dan ilmu langit, kebijaksanaan suku-suku Papua. Oo, Papa dan paman-pamanmu …. Kalian semua pergi, meninggalkan aku dan Biwar …. Hanya kami di sini …. Ooo …. (Kesedihan melanda.)



(Mama menangis, dalam dendangan yang menyedihkan) Oo, papa dan pamanmu mati Di perut Naga itulah dia ada Papa dan Tiga Paman kamu Mereka pergi, tak akan kembali Naga itu sudah melahapnya Aah, lalu siapa musuhmu kini? Oo, Naga, Sang Naga, monster itu Sumber segala bencana kita



Biwar: Mama, aku harus membalas dendam! Yakomina: Mama tahu, kamu pasti akan membalas dendam …. MATAH ARI PAPUA



147



Biwar: Naga itu harus kubunuh. Yakomina: Naga itu, pasti sangat ganas dan sulit sekali mendekatinya. Biwar: Biarlah ganas. Aku pasti akan tahu cara membunuhnya. Yakomina: Dia malah bisa membunuhmu. Biwar: Aku akan mencari cara agar dia bisa segera kubunuh. Akan kudekati liang Naga itu. Mungkin tak akan ada yang berani membunuh Naga. Tapi aku akan datang, suatu saat, dan membunuhnya. Yakomina: Oo, Biwar, kamu pasti mampu membunuh Naga. Biwar: Mama dan Dukun sudah mengajariku berbagai ilmu. Aku bisa berburu di hutan. Berbagai binatang sudah kubunuh untuk makanan kita. Ikan-ikan makanan kita, mereka kutangkap dengan tangan atau lembing. Sagu-sagu di hutan berhasil kugarap. Ilmu yang mama dan Dukun berikan kepadaku adalah ilmu hidup. Aku bisa merasakannya. Dengan ilmu itu aku akan mendekati liang Naga. Kalau dia muncul, dia akan langsung kubunuh. Aku akan menemui guruku, Dukun Yang Mulia. Beliau pasti tahu, bagaimana cara membunuh Naga. Aku akan berhati-hati, Mama. Jangan kuatir. Yakomina: Ah, dia. Dukun kita yang Mulia. Dia juga pernah meramalmu, Biwar. Biwar: Ya, dia juga pernah membahas ramalan itu. Ramalan tentang aku. Yakomina: Hanya Biwar yang bisa mengalahkan Naga. Pasti kamu mampu. Pasti. Biwar: Tadi pagi, aku sudah mengalahkan Tiga Biawak. Monster itu mengaku sebagai anak buah Sang Naga. Dan dia bisa bicara. 148



N. RIANTIARNO



Yakomina: Kamu mengalahkan Tiga Biawak? Belasan tahun yang lalu, aku hanya ketemu satu Naga. Tidak ada Tiga Biawak atau anak buah yang lainnya. Biwar: Dia mengaku sebagai anak buah Naga. Dia bisa bicara. Dia memang monster. Mungkin, Naga itu juga mampu bicara dalam bahasa manusia. Yakomina: Yang akan kamu lawan adalah monster. Naga itu yang menjadi kepalanya. Memang, sebaiknya, kamu harus segera menemui Dukun Yang Mulia. Biwar: Ya, aku harus segera menemuinya. Dukun itu tahu tentang senjata. Dan aku akan meminta senjata kepadanya. Dengan senjata itu, aku akan mampu membunuh Naga. Semoga Naga itu takut melihat senjataku. Yakomina: Ya, Biwar. Liang Naga itu ada di tempat kamu menemukan ikan-ikan ini. Tapi kamu harus berhati-hati. Jangan sampai lengah. Biwar: Aku tidak akan lengah. Yakomina: Kemarilah, Nak. Mari kemari. Doaku untukmu. Kamulah masa depan kami. Masa depan Papua. (Mama menari dan menyanyi, mengelilingi Biwar. Dendangnya menjadi pengiring Biwar pergi.) Ooo …. Ooo …. Langit menyertaimu Bumi mengiringi langkahmu, pedoman itu Adalah tanda dari angit, jangan lupa Cahaya mengiringi ke mana pun kau pergi Pergilah, Mama akan selalu ada di hatimu Pergilah, nuranimu adalah jantung keluarga Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



149



5. Pinggir Sungai, Bebatuan Sesosok Buaya Jantan dan Burung Hitam, Betina, keduanya monster, tengah berdiskusi. Dan, beberapa saat kemudian, Sang Naga dan Tiga Biawak datang. Buaya Jantan: Aduh, Naga itu sudah sangat mengganggu, sangat mengganggu. Kita seharusnya jangan menjadi anak buah Naga. Tidak bagus buat kita. Burung Hitam, Betina: Ini apa? Kita bicara lagi tentang Sang Naga? Apa kita boleh membicarakan Naga? Nanti kalau dianggap salah, kita akan dia bunuh. Buaya Jantan: Tapi harus dicegah. Sudah sangat kelewatan. Semua diganggu olehnya. Yang paling celaka adalah, dia mulai bergaul dengan orang-orang dari Barat. Mereka yang selalu merugikan masyarakat manusia. Papua. Burung Hitam, Betina: Orang dari Barat? Yang mana? Kita ini monster. Yang kamu bicarakan itu nasib manusia. Masa kita bicara perihal manusia? Buaya Jantan: Ya, manusia, Papua. Mereka sudah membikin manusia pada celaka. Burung Hitam, Betina: Contohnya apa? Contohnya! Supaya aku bisa merasakannya. Buaya Jantan: (Menyanyi, kesedihan melandanya) Orang dari Barat, menjajah manusia Papua Sang Naga, Tiga Biawak yang kejam itu Masyarakat sudah sangat dirugikan 150



N. RIANTIARNO







Suku-suku dari Barat, Putih, Sawo Matang Para juragan! Para bos! Para Mafia Dan yang dijajah hanya mampu menangis Menjajah, menguasai seluruh tambang Minyak, gas, nikel, emas, batubara, Tembaga, mereka menguasai semua lahan Menggali bumi di sini! Bayangkan! Yang bisa menangis, masih bisa menangis Yang tak bisa, hanya mengeluh saja Di dalam hati, sedihnya luar biasa Mengapa kita di sini, di tempat konyol ini Kita, kan, bukan monster jahat?



Burung Hitam, Betina: (Menangis sedih) Ya, aku bisa merasakannya. Yang menangis, bagus, bisa menangis. Tapi mereka, sebagian besar, hanya boleh mengeluh dalam hati. Sakit di sini! Aduh, benar. Manusia. Ya. Memang celaka sekali manusia-manusia itu. Dijajah monster seperti kita. Dan Naga itu. Aduuh, kita memang celaka! Buaya Jantan: Kita harus berbuat sesuatu. Yang lebih baik. Kita ini monster-monster, tapi kita jauh lebih baik dibanding monster yang lain. Burung Hitam, Betina: Ya, kita harus berbuat sesuatu! (Menangis.) Buaya Jantan: (Menyanyi lagi) Seluruh pertambangan emas dan tembaga Pohon-pohon di hutan jadi hitam, meranggas Tak bisa tumbuh, kering kerontang, merana Sungai berair hitam, ikan-ikan tak hidup lagi Air hitam itu, sudah mengotori lautan



MATAH ARI PAPUA



151



Burung Hitam, Betina: (Menangis lagi, lebih sedih) Aduh, Naga dan Tiga Biawak, betul-betul sangat keterlaluan. Buaya Jantan: Ikan-ikan juga ditangkap di tempat lain. Dan dikalengkan. Bayangkan! Hutan sudah jadi milik mereka. Pepohonan. Mereka datang dari mana? Dan orang-orang itu, kok bisa mengendalikan Naga. Sungguh sangat aneh. Burung Hitam, Betina: Aduh, harus dicegah ini. Tapi bagaimana caranya? Buaya Jantan: Dia Naga yang entah datang dari mana. Apa dia dari Benua Barat atau dari Negeri Cina. Kita tidak tahu. Tapi ada yang bilang, dia datang dari luar angkasa. Dan orangorang Barat itu tahu, makanya dia diberi makan jenis makanan dari planet luar angkasa. Tapi, dia suka manusia juga. Burung Hitam, Betina: Wah, kalau tak ada makanan dari antariksa, dia bisa mati, kan? Buaya Jantan: Ya, mungkin. Kalau tak ada makanan, pasti Naga itu mati. Burung Hitam, Betina: Kalau begitu jangan dikasih makan saja. Kita cegah makanan yang datang dari orang-orang Barat itu, biar Naga itu cepat mati. Buaya Jantan: Ya, tapi bagaimana caranya? Burung Hitam, Betina: Ya, pokoknya dicegah saja. Kita harus mencegah makanan untuk dia. Buaya Jantan: Dan sekarang, Naga dibantu Tiga Biawak, yang kejamnya luar biasa. Maunya, kalau ada manusia salah, dibunuh saja. Kalau dia begitu terus, pulau ini akan dipenuhi bangkai-bangkai. Di mana-mana, bangkai. Sebagai monster, seharusnya kita membantu manusia. Kita monster. Bukankah 152



N. RIANTIARNO



kita monster yang baik? Kita boleh menguasai darat, laut, udara, gunung, hutan, laut, tapi semua hasil yang ada di bumi, apa pun itu, harus menjadi milik manusia, agar mereka hidup bahagia. Kita bukan monster yang jelek, bukan? Burung Hitam, Betina: Kita ini monster yang baik. Semua tahu, kita baik. Tapi, sulit ya, membuang makanan Naga itu? Buaya Jantan: Ya, susah. Kita pasti, harus, menyerang manusia. Supaya makanan antariksa itu tidak dikasih ke Naga. Dan, tindakan itu, kurang bagus. Burung Hitam, Betina: Tapi, dia monster yang jahat. Dan Naga itu, jahat sekali! Buaya Jantan: Aku sering digambar oleh manusia. Akulah monster yang sangat berguna, untuk kesenian. Aku ini punya unsur kebudayaan. Monyet, kadal, dan aku! Buaya! Aku ada di berbagai gambar. Aku buaya. Malah ada yang bilang, aku ini sumbersegala-sumber manusia! Maksudnya, aku ini asal muasalnya sebetulnya, manusia juga. Dan bukan monyet atau kadal. Burung Hitam, Betina: Aduh … jadi, kita harus bagaimana? Buaya Jantan: Kita harus minta bantuan semua monster baik yang ada di Papua. Agar mereka berupaya mencegah kejahatan Naga itu. Burung Hitam, Betina: Ya, betul. Aduh, dia datang … Sang Naga! Naga masuk, juga Tiga Biawak. Keempatnya menanggalkan kulitnya. Lalu Naga bicara kepada Buaya dan Burung Hitam. Naga: Aku tahu, tadi kalian membahas aku. Berdiskusi tentang aku. Bicara apa tadi? Sedang memperbincangkan aku, ya? Ya, kan? MATAH ARI PAPUA



153



Buaya Jantan & Burung Hitam, Betina: Ah, tidak. Naga: Yang bener. Aku yang dibahas tadi, kan? (Membentak) Kalian bicara tentang aku, kan? Burung Hitam, Betina: Kami bicara tentang monster yang selalu mengganggu manusia. Buaya Jantan: Lho? Kok itu yang dibahas? Burung Hitam, Betina: Eh … lho, kok, aduh. Ya. Monster yang mengganggu manusia. Naga: Hahaha … akulah itu. Tugasku memang mengganggu manusia. Manusia harus diganggu. Supaya hidupnya tidak tenang. Dengan adanya ketidaktenangan, mungkin mereka akan percaya kepada Yang Menciptakan. Dengan begitu mereka tahu, tak bisa hidup kacau. Harus mensyukuri hidup … wajib menyatu … senantiasa gotong royong. Buaya Jantan: Masa, kamu disuruh mengganggu manusia? Naga: Ya, memang begitu. Aku harus mengganggu manusia. Itu tugasku. Sekarang manusia malah berada di hutan, karena ketakutan. Seharusnya mereka bersatu-padu, melawanku. Dengan cara apa pun, mereka harus melawanku. Inilah waktunya. Kalau mereka diam saja, maka mereka akan menjadi budak. Kan, jadi budak mereka? Salah sendiri. Burung Hitam, Betina: Mereka tidak berani melawanmu. Siapa saja yang berani melawanmu pasti kamu bunuh. Kejahatanmu sudah sangat keterlaluan. Naga: Ya, harus dilawan. Salah kalau aku tidak dilawan. Aku datang dari planet Naga-Raksaja-Mahawana-Dupa-Dilaguna. Itu kerajaan bagi para naga. Pemimpinku seekor naga, bisa bicara bahasa manusia. Planet itu sangat jauh, ada di luar ga154



N. RIANTIARNO



laksi Bima Sakti. Tiga ratus miliar tahun cahaya dari Bima Sakti. Dan planet itu hancur akibat kekuasaan. Makananku adalah batu. Hanya orang-orang Barat itu yang tahu makananku. Maka, akhirnya mereka menjadi majikanku. Hanya mereka yang tahu apa makananku. Burung Hitam, Betina: Paling tidak, janganlah diganggu manusia itu. Biarlah kekayaan Papua menjadi rajahan orang-orang Barat, asal manusianya tidak diganggu. Kasihan. Lihat keluarga mereka, anak-anaknya, kesejahteraannya. Naga: Sudahlah. Manusia memang harus diganggu. Supaya kacau balau. Buaya Jantan: Jadi, sebagai monster, aku dan Burung Hitam ini, harus ngapain? Naga: Sebagai Buaya, kamu urus perkaramu. Makanlah kancil, banteng, atau babi. Apa saja bisa dimakan. Dan Burung Hitam, silakan urus apa yang seharusnya diurus. Perhatikan saja yang jelek-jelek. Jangan main politik, nanti malah berantakan. Politik itu hanya untuk orang serakah, orang korup. Burung Hitam senang yang jelek-jelek, bukan? Di Papua ini, dan di dunia mana pun, pasti ada yang jelek. Nah, perhatikan yang jelek saja. Buaya Jantan: (Teriak) Kamu membuka tambang di Papua …. Naga: Aku tidak membuka tambang, itu mereka! Orang-orang Barat dan semua begundalnya Aku hanya mengawasi kalian, wahai, Papua Mereka yang menambang, menggali apa saja Mereka, orang negeri asing itu, orang putih itu Mereka butuh hasil tambang untuk negerinya Mereka membangun, demi kejayaan negerinya MATAH ARI PAPUA



155



Kalau dunia rusak, jangan salahkan aku. Karena bukan aku yang bikin. Aku mengawasi kalian, kadang terbang. Kalau ada yang berbuat rusuh, awas! Mereka harus dibikin jadi lebih menurut. Burung Hitam, Betina: Mereka takut kepadamu. Orang-orang Barat itu menggali kekayaan Papua. Itu karena kamu. Kamulah penyebabnya! Kamu! Kamu! Naga: (Marah, langsung dia berdiri) Apa urusanku dengan segala pertambangan? Orang-orang itu yang sangat takut padaku Orang asing yang datang, menambang emas Tembaga, nikel, intan, minyak, batubara Tanah Papua, memang akan digali semua Danau, laut, gunung, hutan dan pepoponan Suatu saat, tanah ini akan jadi kerontang



Sialan. Aku marah ini. Sialan kalian. Setan. Kurang ajar. Kalian harus kuapakan, hah? Kumakan? Aku pergi dulu, nanti, aku datang lagi. Dan pasti akan kuhajar kalian. Kubikin kalian mampus. Setan. (Marah. Memakai pakaiannya, lalu pergi, mengangkasa.)



Burung Hitam, Betina: Aduh, dia betul-betul marah. Kita bisa dia bunuh. Buaya Jantan: Ayo pergi, pergi. Kalau dia datang, kita sudah tidak di sini. Buaya dan Burung Hitam hendak pergi. Biawak-1, Jantan: Tidak boleh pergi. Aku di sini, menjaga kalian. Biawak-2, Betina: Stop. Jangan pergi, jangan bergerak, jangan ke mana-mana!



156



N. RIANTIARNO



Biawak-3, Betina: Tugas kami, membunuh para pengkhianat. Burung Hitam, Betina: Aku bisa pergi. Terbang. Selamat tinggal, Tiga Biawak. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu, Buaya. Buaya Jantan: Kita memang sudah sehidup semati. Biawak-1, Jantan: Jadi, diam saja di situ. Kami menjagamu. Naga datang, mati kalian. Burung Hitam, Betina: Setan kamu, Tiga Biawak. Biawak-2 & 3, Betina: (Tertawa.) Kami hanya bisa tertawa. Hahahaha …. Terdengar tabuhan gendang, berirama. Tiga Biawak merasa, Biwar akan mendatanginya. Mereka, tadi, sudah kalah, dan kini mereka malah ketakutan. Tiga Biawak tak mau lagi dikalahkan. Biawak-1, Jantan: Waduh, kalau pemuda itu datang lagi kemari, kita dibunuh. Ampun …. Biawak-2 & 3, Betina: Kita pasti akan dia bunuh. PERGI SEKARANG! Seketika ketiganya pergi, menyelam di sungai. Burung Hitam, Betina: Mengapa mereka takut? Siapa pemuda yang datang kemari? Mereka sangat ketakutan. Buaya, lebih baik kita pergi! Sekarang. Ayo! (Burung Hitam mengangguk. Mereka pergi.) Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



157



6. Di Dalam Gua Dukun Dukun, Koreri, tengah dihadap oleh Biwar. Dukun, Koreri: Aku tahu, kamu pasti akan datang kepadaku. Biwar: Ya, Bapa Dukun. Aku merasa belum siap membunuh Naga, meskipun dari rumah aku sudah yakin mampu menyiapkan diri. Aku harus menemui Bapa Dukun untuk memohon petunjuk. Dukun, Koreri: (Menyanyi) Nanti, pada saatnya kamu pasti akan siap Sekarang berlatihlah, agar jiwamu tenang Kamu bisa bunuh Naga, kini belum waktunya Harus tenang, bunuhlah Naga itu pada saatnya Itu ketenangan nurani, ketenangan bagi jiwa Naga Mahluk Langit, sudah waktunya musnah Dan kemerdekaan akan menjadi anugerah kita Biwar: Ya, aku siap, Bapa Dukun. Dukun, Koreri: Ikuti caraku melatih nafas, agar hatimu senantiasa tenang. Pembunuhan ini bukan pembunuhan biasa. Ini cara kita menjaga alam. Manusia dipersiapkan untuk menjaga alam. Memelihara dunia akherat. Memang sudah waktunya Naga itu pergi. Mungkin dia mati, dan terkubur. Tapi, sebaiknya dia kembali ke Negeri Naga, dan tidak mengganggu Papua. Biwar: Baik, Bapa Dukun. Dukun, Koreri: Jika kamu sudah tenang, akan kuajarkan cara,



158



N. RIANTIARNO



agar hatimu waspada, biar niatmu itu adalah niat yang bersumber hanya dari langit semata. Biwar: Baik, Bapa Dukun. Dukun, Koreri: Tutup mata. Satukan pikiranmu, jiwamu, niatmu, tubuhmu. Badanmu. Biwar: Aku siap, Bapa Dukun. (Melakukan apa yang diperintah Dukun.) Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



159



7. Pertemuan di Bawah Trembesi Biwar datang dan berteduh di bawah trembesi. Matahari persis di tengah langit. Dia menunggu Nadiva datang. Biwar: Matahari sudah tepat di atas langit. Apakah Nadiva akan datang? Ah, mana mungkin datang. Kami baru ketemu sekali. Dan cuma sesaat saja. Dia tidak akan tertarik kepadaku. Tidak mungkin. Bisa saja Nadiva tidak datang. Ya, untuk apa dia datang? Kami berkenalan baru sekali itu. Dia pasti sudah lupa. Musik. Beberapa binatang mendekati. Mungkin rusa. Bermainmain dekat Biwar, yang tidak mengganggu. Biwar diam, hanya melihat. Para binatang itu tampak tenang-tenang saja. Biwar: Tidak. Aku harus menunggu Nadiva. Sampai kapan pun akan kutunggu. Aku harus tenang. Dan aku yakin, Nadiva pasti datang. Nadiva: (Menyibak dedaunan, lalu mendekati Biwar) Biwar. Biwar: (Berdiri, menyambut) Nadiva. Nadiva: (Mendatangi tergesa) Biwar, aku datang. Memang agak terlambat. Aku harus bersembunyi, agar kedua kakakku tidak mengikutiku. Mereka kuatir aku akan datang kemari. Kakakkakakku tahu, aku pasti ke sini. Tarikan yang kualami minggu lalu, sangat kuat. Sungguh sangat kuat. Dan mereka tidak ingin aku mengulangi lagi. Tapi mereka tak tahu, aku ke tempatmu. Hari ini, tarikan itu tak ada. Tapi tidak apa, aku tetap kemari, ke tempatmu. Biwar: Jadi, hari ini, tarikan itu tak ada lagi? 160



N. RIANTIARNO



Nadiva: Tidak apa. Biar tarikan tak ada, aku pasti datang. Dengan segala cara. Mungkin kakak-kakakku akan mencariku. Biarlah. Semoga mereka tidak tahu letak prohon trembesi ini. Biwar: Ya, semoga mereka tak tahu. Nadiva: Aku senang bisa datang. Biwar: Aku juga senang kamu datang. Nadiva: Sekarang, kita mencari ikan? Biwar: (Tertawa, kemudian menyanyi) Tidak. Aku ingin menyanyi.



Cahaya yang datang pada pagi dan senja Matahari di timur, kini menjadi cahayamu Kaulah sinar yang selalu muncul setiap pagi Muncul setiap senja, muncul ketika malam Kaulah itu cahaya bahagia di kehidupanku



Nadiva: (Menyanyi) Tarikan itu sangat kuat, aku tak menolaknya Tarikan itu membuat aku pergi ke arahmu Aku tak tahu, cahaya itu adalah kamu sendiri Aku tak peduli bahaya apa pun yang datang Aku di sini, dan tak akan mungkin pisah lagi Biwar: (Menyanyi) Ku tak tahu, kekuatan apa yang menarikmu Tapi itu adalah keangkeran yang luar biasa Hanya cinta yang mampu melakukan hal itu Dan pertemuan ini adalah pertemuan cinta Pertemuan yang membikin kita ini menyatu Nadiva: (Menyanyi) Apa pun menghalangi, hanya kita yang ada Cahaya dari timur, itulah Biwar dan Nadiva MATAH ARI PAPUA



161







Cahaya yang muncul menerangi pulau ini Cahaya yang membikin pulau ini benderang Kemerdekaan dan kebebasan bagi Papua



Nadiva & Biwar: (Berduet) Kemerdekaan dan kebebasan bagi Papua Adalah kebebasan yang memang ditakdirkan Itulah kebebasan dan berkah dari langit Itulah kemerdekaan utuh bagi manusia Kemerdekaan inti untuk rakyat Papua Biwar: Bagiku, kamu adalah nyawaku yang lain. Nyawaku dan nyawamu, menjadi satu, dalam bungkus yang tak mungkin bisa diobrak-abrik. Siapa pun dia, tak mungkin bisa masuk ke dalam dua nyawa itu. Nadiva: Tidak, kita bukan dua nyawa. Kita satu nyawa. Kamu dan aku, menjadi satu. Siapa pun dia, tak mungkin bisa memasuki nyawa kita. Itulah kamu dan aku. Aku sudah tahu ketika aku ditarik ke sini, supaya bisa menemui kamu. Mungkin ada yang membikin aku bergerak kemari, ketemu kamu di sini. Siapa pun dia, aku tak peduli. Aku memang takut, ketika Tiga Biawak itu menggangguku. Tapi rasa takutku mendadak hilang, saat kamu di sisiku. Kamu sudah menjadi penjagaku. Biwar: Memang aneh. Kita baru ketemu sekali, tapi rasanya kita sudah sering kali bertemu. Kamu adalah badanku yang lain. Badanku yang tak nampak, tapi kamu ada di depanku, badan yang kemudian menjadi satu. Nadiva: Sudahlah, Biwar. Niagara sudah menduga kita ini saling jatuh cinta. Aku akui itu. Tidak bisa dibantah. Aku memang jatuh cinta kepadamu. Apakah kamu juga jatuh cinta kepada Nadiva?



162



N. RIANTIARNO



Biwar: Apa tidak terlalu cepat kalau perkara cinta itu diucapkan? Nadiva: Jika bicara mengenai cinta, apa itu, selalu, butuh waktu yang lama? Biwar: Di zaman sebelumnya, kita harus saling berkenalan dulu. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, sebelum kita saling menyatakan cinta. Apakah kita akan mengikuti cara-cara yang seperti itu? Nadiva: Biwar, aku harus terus terang, aku mencintaimu. Biwar: Aku tidak tahu, apa aku mencintaimu. Tapi pertemuan pertama, membikin aku tak mampu melupakan kamu. Kamu ada di hatiku. Nadiva: Biwar, kamu mencintaiku. Tidak bisa dipungkiri lagi. Biwar: Itukah cinta? Ya, memang cinta. Nadiva, aku juga mencintaimu. Nadiva: Kita saling mencinta. Siapa pun tak mungkin bisa mengubahnya. Keduanya berpegangan tangan. Saling mengikat janji. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



163



8. Langit dan Sungai Naga itu muncul. Dia bergerak. Menari-nari dengan pongah. Muncul juga Tiga Biawak, menari-nari, tapi tidak sebagus tarian Sang Naga. Merera menari dengan sangat aneh dan lucu. Sebuah multimedia yang bagus serta musik bagi Naga dan Tiga Biawak. Setelah Naga pergi, muncul Buaya Jantan dan Burung Hitam. Mereka ingin mengumpulkan seluruh monster yang baik. Buaya Jantan: Kita bukan anak buah Naga lagi. Kita independen. Nah, sekarang, kita akan datangi semua monster yang baik. Kita akan minta supaya mereka membantu kita. Meminta supaya mereka mengusir Naga. Biar Naga itu pergi ke planet di luar Bima Sakti. Atau mampus. Burung Hitam, Betina: Ini pekerjaan susah. Mencari monster yang baik, artinya kita harus keliling Papua. Tidak semua monster baik. Sering kali mereka jahat dan kerjanya hanya mengganggu manusia. Kalau kita datang, pasti mereka anggap kita musuh. Kita bisa diserang. Kita harus bagaimana? Buaya Jantan: Pasti, kuyakin ada monster yang baik. Kan, kita sudah ketemu, kemarin. Burung Hitam, Betina: Mereka mengumpet di mana-mana. Jarang yang kumpul sama manusia. Mereka biasa ngumpet di dalam pohon, bebatuan, di sungai, di laut, di patung-patung bikinan suku Komoro atau Asmat. Di mana-mana. Ini pekerjaan susah. Mana kita sanggup kerja susah-susah macam begini? 164



N. RIANTIARNO



Buaya Jantan: Pekerjaan yang susah biasanya membawa berkah. Langit selalu tahu. Berkah bagi kita karena kerja susah, untuk kebaikan, dan musibah bagi yang selalu bikin susah manusia. Kita ini monster yang baik, berkah selalu datang untuk kita. Dari langit. Kita cari monster yang baik? Ayo? Burung Hitam, Betina: Kamu selalu memaksa. Tapi, ya sudah, oke deh. Ayo. Buaya Jantan: Inilah Burung Hitam yang sungguh perkasa. Aku bangga. Ayo! Keduanya pergi, berkeliling Pulau Papua. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



165



9. Perkampungan Komoro Tempat menumbuk sagu. Sari pati sagu. Beberapa perempuan membuat sari pati sagu, bercanda. Semuanya ditaruh di tumang, untuk makanan masyarakat. Nyanyian itu dinyanyikan oleh sembilan perempuan.



Oo, sagu itu ada di sini Tumang, pangkur, dan kami Sagu ditebang para lelaki Untuk kami, sari patinya Pohon sagu yang dikuliti Hati sagu, kini di dalamnya Ampas dipangkur, itulah sagu







Wadah bambu yang dibelah Air kemudian menyiraminya Kami, kini memeras sagu Dan itulah sari pati sagu Warna putih, endapan inti Sudah ada dalam tumang Dan inilah makanan kami



Meyon: Oh, aku sungguh tidak tahu, mengapa kamu bernama Niagara. Issy: Seharusnya namamu bukan Niagara, tapi sesuatu yang bersifat Papua. Niagara: Papaku, Yali, dan mamaku Dorkas. Aku tahu mereka punya nama yang mengartikan sesuatu yang bersifat Papua. Misalnya, Yali, itu orang Suku Pedalaman. Sedang mamaku, 166



N. RIANTIARNO



Dorkas, artinya pemberi kasih. Entahlah, pada suatu hari papaku melihat di televisi, air terjun yang bernama Niagara. Itulah namaku. Bukankah itu air terjun yang indah juga? Yonetje: Ya, tidak apa-apa. Keindahan adalah nama yang bagus juga. Helena: Ya, orang mencari nama bagus untuk nama anaknya. Untuk nama keponakannya, untuk nama-nama mereka yang dikasihi. Syafilla: Pasti ada banyak nama bagus, meskipun itu tidak mengartikan sesuatu yang mengartikan Papua. Nama bagus bisa kita cari di mana-mana. Selina: Ah, Niagara, nama yang bagus. Aku senang kamu diberi nama Niagara. Merieta: Kenapa keberatan dia bernama Niagara? Itu nama yang bagus juga. Helena: (Menyanyi) Aku Helena, terang, bercahaya. Itu nama luar biasa Selina: (Menyanyi) Namaku Selina, itu artinya rembulan yang benderang Syafilla: (Menyanyi) Namaku Syafilla, itu mengartikan pesona, kharisma Merieta: (Menyanyi) Aku pemberani yang bercahaya, maka namaku Merieta Meyon: (Menyanyi) Namaku Meyon, akulah cenderawasih, burung Papua Issy: (Menyanyi) Namaku Issy, akulah yang jadi pembuka kebenaran



MATAH ARI PAPUA



167



Yonetje: (Menyanyi) Ke mana pun aku pergi, selalu mandiri, aku Yonetje Tujuh Perawan: (Menyanyi) Siapa pun, nama apa pun, jika itu adalah warisan Maka nama apa pun itu harus selalu kita gunakan Nama adalah hak bagi orang-tua dan juga hak kita Itulah asal-usul kita, dari mana kita bersumber Kita tak seharusnya mengubah-ubah nama kita Nadiva: (Menyanyi) Namaku Nadiva, mungkin karena aku berbakat seni Karena papaku adalah pemahat hebat patung kayu Niagara: Setuju, setuju. Jadi, memang tidak ada yang keberatan aku bernama Niagara. Itu nama yang, sungguh-sungguh tak bisa dilupakan orang. Aku senang diberi nama Niagara, Air terjun indah di benua Amerika. Issy: Nadiva, aku dengar, kamu sering bepergian keluar dusun. Dan katanya lagi, ada yang bilang, kamu punya kekasih? Di sana. Betul tidak? Meyon: Tidak apa, kalau dia punya kekasih. Kita kenal semua lelaki di sini. Ya, mencari lelaki yang tak kita kenal, tidak apa toh? Asal lelaki itu baik. Selina: Benar itu Nadiva? Lelaki, jenis mana yang kamu cari? Helena: Benar, Nadiva? Tapi jangan cari lelaki yang tidak keruan. Kasihan kamu. Syafilla: Bagaimana rupa lelaki itu? Berjenggot? Berkumis? Klimis? Yonetje: Apakah dia seperti papamu, bisa memahat patung?



168



N. RIANTIARNO



Merieta: Siapa saja lelaki itu, mencintai kamu dan tidak suka memukul. Niagara: Kamu, Issy, apa sudah melihat Nadiva pergi? Issy: Eh, aku melihat kedua kakaknya mencari-cari hingga ke hulu sungai. Apalagi itu kalau bukan mencari Nadiva? Kemarin, kamu juga pergi, kan? Kakak-kakakmu mencari-cari, dan tidak ketemu. Coba, pergi ke mana? Meyon: Jangan sampai kami tidak diajak bicara. Kami setuju kamu cari kekasih. Ya, kalau bisa dari kampung ini. Kalau tidak, ya, cari dari dusun lain. Merieta: Kami ini pembelamu. Asal kamu betul-betul suka, ya, tidak apa. Niagara: Begini! Nadiva, aku boleh bicara? Nadiva: Boleh. Niagara: Nadiva punya pacar. Usianya masih muda. Dia baik dan mencintai. Wajahnya cakep. Bisa bersilat. Tiga Biawak, bisa dia kalahkan. Mudah-mudahan, lelaki itu akan menjadi suaminya, kelak. Semua: Setuju, setuju. Niagara: Itu hubungan yang sangat baik. Semua: Setuju. Setuju. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



169



10. Di Dalam Gua Dukun Dukun itu tengah dihadap Biwar. Dukun, Koreri: Apakah kamu sudah menghafalkan lagu yang sekarang ini sedang dinyanyikan oleh seluruh rakyat Papua? Biwar: Ya. Sudah. Lagu itu sudah ada di hatiku sejak lama. Dukun, Koreri: (Menyanyi)



Bilakah tanah harapan







Yang telah dijanjikan







Akan Kau berikan, Tuhan







Tempat kami bertahan







Berkeluarga, hidup dan merdeka







Papua, tanah untuk masa depanku







Papua, tanah masa depan … Papua



Biwar: (Ikut menyanyikan lagu itu, sekali lagi.) Lagu itu ada di dalam hatiku. Selalu ada di dalam hatiku, selalu. Naga itu, hanya salah satu yang mengganggu. Dukun, Koreri: Lakon ini terjadi ketika kita tidak tahu siapa yang kemudian berkuasa. Apakah orang-orang Cina, atau mereka yang berasal dari Negeri Barat.



Tapi orang-orang berkulit putih sudah ada di sini. Dan merekalah yang kemudian berkuasa. Pada suatu hari, pernah terjadi kemerdekaan, kemudian Tanah Papua direbut mereka yang merdeka. Tapi polisi dan tentara mereka yang berkuasa



170



N. RIANTIARNO



justru membikin rakyat menjadi sengsara. Kita malah justru tidak merdeka. Kita seolah dijajah oleh orang-orang putih itu, yang dulu pernah datang. Apakah kita sudah merdeka? Biwar: Naga itu harus mati. Yang lainnya kita pikirkan nanti. Dukun, Koreri: Ya, Naga. Dia harus mati. Tapi lihatlah, Biwar, apa yang sudah digali oleh orang-orang Barat dari tanah kita? Hampir seluruh Papua digali mereka! Pasir berterbangan, tanah di bawah gunung digali. Laut dikuras. Emas, nikel, batubara, minyak, gas, tembaga. Itulah hasilnya. Dan hasil itu dibawa ke negeri mereka, untuk menjadi istana megah. Mereka menggali pertambangan di mana-mana, di seluruh Tanah Papua. Biwar: Naga. Naga. Naga. Dia membunuhi keluargaku, dia memperkosa Papua. Dia harus dibunuh. Kasih tahu, kalau waktunya sudah tiba, Bapa Dukun. Dukun, Koreri: Pasti akan kuberi tahu. Tapi, sekarang ini, waktunya belum tiba. Ya, Naga! Biwar, dengar. Aku punya senjata. Tombak. Ujung tombak itu adalah ujung batu yang sumbernya dari planet Naga itu. Dia bisa mati. Inilah tombak itu. (Memberikan tombak kepada Biwar.) Biwar: Apakah senjata ini bisa kupakai untuk membunuh naga itu? Dukun, Koreri: Tombak ini akan mencipta orang yang kemudian akan membunuh naga. Bicaralah ini; Ap Endage Mbogot (Orang Yang Digelari Langit), Papua masa depan, ucapkan itu berkali-kali, sampai Naga itu muncul. Biwar: Hanya itu saja yang saya ucapkan? Dukun, Koreri: Ya, hanya itu; Ap Endage Mbogot, Papua masa depan. Dengan cara itu, kau akan menginspirasi agar orang-



MATAH ARI PAPUA



171



orang Papua belajar menjadi pintar. Sekolah-sekolah akan didirikan nanti, semuanya untuk masa depan. Biwar: Apakah tombak ini akan membikin Naga itu menjadi takut? Dukun, Koreri: Dia akan menjadi takut. Mungkin dia akan bertekuk lutut, memohon maaf. Tapi kau jangan lengah. Naga itu harus dibunuh. Jangan sampai kau malah menjadi majikannya. Itu tidak boleh terjadi. Biwar: Naga itu sumber segala bencana. Dia harus disingkirkan. Dukun, Koreri: Syukurlah kalau kamu sudah siap. Tapi, tunggu saatnya. Belum waktunya kamu pergi. Nanti, akan kuberi tahu, kapan kamu boleh pergi. Biwar: Jadi, aku belum boleh pergi? Aku sudah siap membunuh Naga. Dukun, Koreri: Kamu akan pergi, kalau sudah siap. Naga itu pasti menunggumu. Kamu harus mampu memainkan tombak itu. Berlatihlah. Biwar: Baik, Dukun Yang Mulia. Aku akan berlatih dengan tombak itu. Cahaya berubah.



172



N. RIANTIARNO



11. Honai Mama Mama menatap ke depan, mendoakan anaknya. Yakomina: Anakku, perjoanganmu adalah perjoangan yang didoakan oleh seluruh masyarakat Papua. Naga itu dulu yang harus disingkirkan. Perkara yang lain, nanti kita pikirkan. Kemerdekaan, itu perkara yang berikutnya. Meski kemerdekaan itulah yang utama.



Kemerdekaan adalah cinta Cinta bagi yang mendambakan Cinta agar yang di dalamnya Membagi cinta bagi sesama Dengan cinta kau menikmati Dengan cinta kau merdeka



Majulah Biwar. Kami mendoakan kamu. (Menari perlahan, kemudian pergi.) Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



173



12. Dusun Komoro Keluarga Nadiva, yakni papanya, Hirahela, dan mamanya, Naomi, merasa, Nadiva sudah bergerak terlalu jauh. Mereka ingin, Nadiva kembali seperti semula. Selain mereka, juga ada Ukapoga dan Ardaffa, juga Yali dan Dorkas. Niagara dan perempuan muda lain sedang menggali ubi di tempat yang lain. Yang lain, Yuvril, Liben, Missael, dan Kiripi. Semuanya tidak ingin Nadiva berkasih-kasihan dengan pemuda lain dusun. Ardaffa: Nadiva tidak seperti dirinya lagi. Dia sudah mendekati seorang lelaki yang baru dikenalnya, begitu saja. Dia mendatangi lelaki itu. Kami mencarinya hingga ke hulu. Kami menemukannya. Dia sudah bersama lelaki itu. Berkasih-kasihan, begitu saja. Pacaran! Lupa keluarga. Hirahela: Apa kamu berpacaran sama lelaki yang baru kamu kenal? Nadiva diam saja. Hirahela: Nadiva, jawab! Apa kamu berpacaran dengan lelaki yang baru kamu kenal. Dulu, kamu tidak seperti ini. Kamu gadis baik-baik. Aku tanya sekali lagi, apa kamu kenal lelaki itu, lalu berpacaran? Nadiva! Nadiva diam saja, dan tidak menangis. Naomi: Nadiva, jawab! Jawab! Aku masih ingat, kamu menangkap ikan dengan kakak-kakakmu. Apa kamu tidak ingin kembali lagi seperti masa lalu?



174



N. RIANTIARNO



Ukapoga: (Menyanyi) Kita selidiki tingkah Nadiva, mengapa pergi Kami datang, dia bilang diserang Tiga Biawak Sumpahnya sangat jelas, bukan hanya dia Niagara juga bersamanya, dia juga mengaku Nadiva diganggu Biawak, itu anak buah Naga Dan lelaki itu berhasil mengusir Tiga Biawak Lalu, kami pun berterima kasih kepadanya Ardaffa: Tapi, kita, kan, tidak melihat dia diganggu Tiga Biawak. Ukapoga: Adikmu sudah bersumpah, itu sumpah suci Apa kamu tak percaya sumpah adikmu sendiri? Sumpah Nadiva, tak mungkin dia main-main Lalu mengaku sudah diganggu Tiga Biawak Jika lelaki itu terlambat, Nadiva sudah mati Kita wajib terima kasih kepada lelaki itu Hanya itu saja yang bisa kami lakukan Naomi: Memang. Kita harus menyelidiki perkara ini. Mengapa, mendadak Nadiva pergi ke dalam hutan? Untuk apa? Kita harus mendatangi pemuda itu, kalau bisa lebih cepat lebih baik. Hirahela: Kamu tahu, tempat Nadiva ketemu sama pemuda itu? Ukapoga: Tahu. Kita bisa ke sana sekarang juga. Ardaffa: Kalau bisa, jangan sampai Nadiva ketemu sama lelaki itu. Sangat berbahaya. Siapa lelaki itu? Siapa dia? Kiripi: Sebaiknya tidak usah ketemu lelaki itu. Untuk apa, coba? Sebaiknya, Nadiva berhubungan dengan lelaki dari dusun ini. Liben: Betul. Nadiva tidak boleh berhubungan dengan lelaki dari luar dusun. Masih banyak lelaki perkasa, di sini, yang sudi menikahi Nadiva. MATAH ARI PAPUA



175



Yuvril: Jangan terlalu ngotot begitu, Kiripi, Liben. Sebaiknya, kita memang wajib mendatangi pemuda itu, supaya masalahnya menjadi lebih jelas. Naomi: Itu kataku, tadi. Setuju usul Yuvril. Bukan begitu Dorkas? Dorkas: Itu usul yang bagus. Sebaiknya kita ke sana, sekarang juga. Hirahela: Sebentar. Saya harus membawa parang. (Masuk ke dalam.) Nadiva: Niagara ke mana? Dorkas: Memetik ubi jalar, bersama perempuan-perempuan lain. Nadiva: Dia bisa bercerita, aku diganggu Tiga Biawak itu. Kiripi: Nadiva, apa para pemuda di dusun ini tidak ada yang menarik? Nadiva: Semuanya bisa menarik, kalau kita mau. Rasa cinta datang begitu saja. Dan kalau ada lelaki lain, siapa pun dia, dan aku jatuh cinta, apakah itu sebuah kesalahan? Cinta datang dari hati dan untuk hati. Naomi: Apa kamu mencintai lelaki itu? Nadiva: Ya, Mama. Kami sulit dipisahkan. Naomi: Meskipun kamu baru ketemu sekali? Nadiva: Aku sendiri tidak tahu mengapa aku mencintainya. Hirahela: (Keluar) Mari kita ke rumah lelaki itu. Nadiva harus ikut. Siapa mau ikut? Kiripi, Liben, Yali, Dorkas, Missael, Yuvril: Kami ikut. (Semua bergerak keluar dusun.) Cahaya berubah. 176



N. RIANTIARNO



13. Tanah Papua Mulanya Burung Hitam dan Buaya bicara soal kolaborasi tentang bagaimana melawan Sang Naga dan Tiga Biawak. Buaya Jantan: Siapa mau bergabung dan ikut kami? Kami sekarang tengah keliling Papua Sudah waktunya kita melawan Sang Naga Apa pun hasil Papua, itu untuk Papua Lawanlah Naga itu dan mereka yang jahat Kalau kita bersatu-padu, Naga bisa dilawan Dia pasti kalah, ayo Tuan, bergabunglah! Diam. Tak ada yang datang. Burung Hitam putus asa. Burung Hitam, Betina: Tidak ada yang datang. Kerja mereka memang hanya mengganggu manusia. Setiap hari. Kalau diminta menyerang monster lain, mana mau? Mana mungkin akan datang? Sudah berapa lama kita mengelilingi Papua? Buaya Jantan: Hehehe … baru tiga hari. Tapi, kan, dari sekian tempat, beberapa monster yang baik sedia bergabung. Yang penting, kita keliling Papua. Nanti kita hitung, berapa monster baik yang sudi bergabung dengan kita. Burung Hitam, Betina: Artinya, berapa lama lagi, kita harus mengelilingi Papua? Buaya Jantan: Lama juga tidak apa. Yang penting mereka sudi bergabung. Bicaralah! Burung Hitam, Betina: Bergabunglah kalian. Kami akan melaMATAH ARI PAPUA



177



wan Naga. Kami akan keliling Papua untuk mengumpulkan Para monster Baik, bergabunglah! Bergabunglah! Buaya Jantan: Bergabunglah! Bukan hanya daerah ini saja yang kami ajak bergabung, tapi juga daerah-daerah lain. Beberapa monster sudah sudi bergabung. Memang tidak semua monster ikut bergabung, tapi beberapa dari mereka, kami menyebut mereka ‘Monster yang Baik’, ikut bergabung. Kami akan keliling Papua. Ayo, bergabunglah. Kami akan catat, siapa pun yang ikut bergabung! Kalian tenaga yang luar biasa. Tenaga perjuangan. Burung Hitam, Betina: Kalau tak ada yang mau bergabung, kita bisa segera cari ke tempat lain. Semoga di daerah lain, ada yang mau bergabung. Ayo, Buaya, ayo! Cahaya berubah.



178



N. RIANTIARNO



14. Langit Sang Naga terbang di langit, kepongahan seekor naga. Kepongahan yang sebentar lagi, bisa saja musnah. Musik. Sebuah multimedia yang sangat bagus. Juga multimedia bagi Tiga Biawak yang menari, tapi tarian Biawak itu, kurang bagus. Mereka ingin segera memangsa manusia. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



179



15. Pinggir Sungai Kawasan itu didatangi oleh para penduduk Dusun Komoro. Hirahela: Mana, Ukapoga? Di mana lelaki itu? Ardaffa: Untuk apa ketemu lelaki itu? Tidak ada gunanya. Kita tidak tahu, di mana honai-nya. Mana mungkin kita bisa ketemu dia? Ukapoga: Dulu, kami ketemu di sini. Nadiva bisa cerita. Ardaffa: Dan mereka sedang bicara-bicara. Dengan mesra. Mana bisa, coba, masa Nadiva diganggu Tiga Biawak? Nadiva di darat, sedang biawak di air. Nadiva: Saya diganggu Tiga Biawak, dan mereka bisa bicara. Niagara malah menyebut, Tiga Biawak itu monster. Dan mereka mengaku sebagai anak buah Naga. Apa saya perlu bersumpah lagi? Hirahela: Ya, tapi lelaki itu tidak ada di sini. Nadiva: Honai mamanya ada di dekat sini, dia bilang begitu. Dan dia menimba ilmu pada seorang dukun. Mungkin kita bisa mendekati honai mamanya. Ukapoga: Tapi, bagaimana cara kita mendekati honai mamanya? Yuvril: Aku bisa. Aku tahu bagaimana cara membaca jejak. Aku adalah orang yang sering dipakai oleh kelompok tentara. Mereka tahu. Aku bisa membaca jejak yang tak jelas. Boleh, sekarang kubaca jejaknya? Hirahela: Boleh. Bacalah jejaknya. 180



N. RIANTIARNO



Yuvril: Baik. Ikuti aku! (Mulai membaca jejak.) Yuvril membaca jejak itu, semua mengikuti. Dan dalam beberapa saat, kini mereka sudah sampai di depan gua Dukun. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



181



16. Gua Dukun Mereka sampai di depan gua Dukun. Yuvril: Sebuah gua. Apakah itu gua guru lelaki itu? Hirahela: Mungkin. Kita masuki gua itu? Ardaffa: (Teriak) Biwar! Biwar! Kami ada di sini. Kami ingin ketemu kamu. Ukapoga: Tidak baik begitu, Ardaffa. Lebih baik kita masuk ke dalam. Kiripi: (Teriak) Biwar, kami di sini. Kami ingin ketemu! Liben: (Juga teriak) Kami di sini, Biwar. Kami mau ketemu kamu! Tak antara lama, Biwar keluar dari dalam gua dan menghadapi mereka yang baru saja datang dari Komoro. Biwar: Saya Biwar. Ada apa? Nadiva: Biwar. Biwar: Nadiva. Hirahela: Jadi, kamu yang bernama Biwar? Biwar: Saya Biwar. Yakomina: (Muncul dengan tiba-tiba) Dia anak saya. Dia, anaknya Reu. Saya Yakomina …. Hirahela: Anaknya Reu? Yang hilang, puluhan tahun lalu? Ini anakmu, Yakomina?



182



N. RIANTIARNO



Yakomina: Ya, dia anakku. Naomi: Yakomina! Dorkas: Yakomina! Yakomina: Naomi? Dorkas? Mereka saling mendekat, seperti sudah kenal lama. Mungkin, mereka teman-teman lama. Mereka saling bersalaman. Dorkas: Apa yang kamu lakukan selama ini? Kamu hilang, sekian belas tahun. Naomi: Mana Reu? Yakomina: (Menyanyi) Reu sudah wafat, dimakan Sang Naga Juga kakak-kakakku, dimakan Naga Kami diminta untuk memantau sagu Sagu kami temukan, saat kami pulang Naga datang dan memakan mereka Tak ada yang sisa, semuanya wafat Dorkas & Naomi: Kurang ajar. Dukun, Koreri: (Muncul) Ya, Naga itu memang kurang ajar. Naga itulah yang memakan ayah Biwar dan kakak-kakak Yakomina. Naga itu sangat jahat. Hirahela: (Kaget) Koreri. Semua: (Juga kaget) Koreri, Dukun Yang Mulia. Hirahela: Mengapa pergi dari Dusun Komoro? Kami sangat kehilangan. Dukun, Koreri: Aku memang hilang, kadang aku merasa bukan sebagai suku Komoro, meski aku tinggal di Komoro sejak ke-



MATAH ARI PAPUA



183



cil. Maka, aku harus pergi untuk menenteramkan hati. Mungkin itu cuma perasaan hati. Aku pergi ke sini dan menemukan sebuah gua. Di sini aku tinggal selama 25 tahun. Hirahela: Koreri adalah Dukun Yang Mulia. Kami akan menerima apa pun yang Tuan katakan. Kenapa harus pergi? Kami kehilangan Koreri, Dukun Yang Mulia. Dukun, Koreri: Pada saatnya, aku akan ceritakan mengapa. Yakomina: Dia menolong aku. Ketika aku lepas dari Naga. Aku hamil. Biwar selalu merasa, beliau adalah Dukun Yang Mulia, yang mengajarinya berbagai ilmu. Biwar juga merasa, dialah Bapa Yang Harus Dihormati. Hirahela: Itulah yang kami rasakan, hingga kini. Sampai sekarang kami belum menemukan gantinya. Dukun Yang Mulia, tak mungkin bisa digantikan. Dukun, Koreri: Tak perlu lagi kalian mengejar Biwar. Dialah yang akan mampu melawan Naga dan membunuhnya. Akulah yang meminta agar Nadiva kemari, karena dia adalah jodoh bagi Biwar. Hanya Biwar calon suaminya. Biwar paham. Nadiva kini tahu, mengapa dia datang kemari. Dukun, Koreri: Naga itu jahat. Ada Tiga Biawak, yang kemarin menyerang Nadiva. Merekalah yang harus diusir. Dua anakbuah yang lain, Buaya Jantan dan Burung Hitam, sudah insaf, dan mereka sekarang keliling Papua untuk meminta para monster baik bergabung. Mereka ingin mengusir Naga dan anak buahnya. Naga itu yang paling jahat. Biwar sanggup memimpin. Niagara: (Yang datang bersama tujuh wanita muda lainnya.) Aku datang, Nadiva. Kami tak mungkin melupakan kamu. Rasa cinta harus diperjuangkan dengan baik dan hati-hati. 184



N. RIANTIARNO



Dan jika rasa cinta itu suci, itulah perjuangan, yang kalau perlu, harus dilakukan sampai mati. Kami di sini. Kami akan membelamu, jika orang tuamu tidak setuju. Tujuh Gadis: Kami datang. Kami tidak melupakan kamu. Cinta harus diperjuangkan. Nadiva: Terima kasih. Terima kasih. Dukun, Koreri: Tidak ada lagi yang mengejar Biwar. Yang paling penting sekarang ini adalah mengusir Naga itu. Apa kalian sudi ikut Biwar? Semua: Kami akan ikut bersama Biwar. Dukun, Koreri: Bagus. Biwar, inilah saatnya kamu menyerang Naga. Biarkan Biwar menyerang Naga. Dia sudah tahu caranya. Kalian, seranglah Tiga Biawak itu. Usir mereka. Pergilah! Aku merestui. Semua: Kami paham. Cahaya berubah.



MATAH ARI PAPUA



185



17. Sungai Naga Biwar bergerak menyusuri sungai. Lalu ketika di liang Naga, biwar membaca mantra. Biwar: Ap Endage Mbogot, Papua masa depan …. (Diulangulang.) Naga, kini muncul. Dan heran. Tiga Biawak muncul juga. Muncul Tiga Lelaki membawa tombak. Mereka pun menari. Naga berputaran, juga menari. Tiga Lelaki berpencaran, lalu mengurung Naga. Kini Naga mulai merasa terjepit. Dia berlutut, minta maaf. Tiga tombak itu menusuk ke tubuh Naga. Terdengar jeritan. Naga jatuh terkulai. Dan hilang. Lalu Tiga Lelaki itu lenyap juga. Biwar: Sudah waktunya kamu pergi. Semoga keluargaku yang tenggelam di sungai, dan yang sudah kamu makan, melihat peristiwa ini. Bahagialah mereka yang kini sudah tiada. Pergilah kamu, Naga, ke planet asalmu! Penduduk Komoro mengepung Tiga Biawak. Mereka dikurung. Lalu, dengan sangat mudah, Tiga Biawak itu dilumpuhkan. Dan Tiga Biawak itu berubah menjadi monster hutan. Lenyap. Cahaya berubah.



186



N. RIANTIARNO



18. Sebuah Hutan Orang-orang berkumpul. Musik. Lalu mereka menari-nari. Yuvril: Kini Naga tiada. Apa yang harus kita bikin? Oo, ya, ya, menarilah. Tarian untuk musuh yang tak ada, meski musuh yang lain masih ada. Orang-orang dari belahan Barat juga dari Timur itu, masih di sini. Menggali tambang, emas, tembaga, intan, dan menangkap ikan. Tapi biar saja. Ayo menarilah, menarilah! Suka-cinta dan bahagia. Sebentar lagi orangorang itu, pasti akan hilang. Ayo, menarilah! Orang-Orang (Koor): Menarilah, kau menari, menari Segala musibah kini hilang sudah Menarilah, kau menari, menari Naga, penguasa langit kini lenyap Menarilah, kau menari, menari Tapi bagaimana mengusir bencana Musuh itu lenyap, kini ada musuh lagi Menarilah, kau menari, menari Orang-orang putih di mana-mana Menarilah, kau menari, menari Akankah kita memiliki negeri ini? Menarilah, kau menari, menari Musuh itu sungguh tak mau pergi Merdeka dari Naga, kapan kita merdeka? Yuvril: Biwar dan Mama, pergilah ke kampung kita, pulang! Semua orang di Dusun Komoro menunggu kalian. Kita sudah bebas dari Naga dan monster. Pulanglah ke Komoro! MATAH ARI PAPUA



187



Lalu semua menyanyi dan menari. Musik tetap terdengar. Semuanya bergegas, naik perahu, menuju ke Dusun Komoro. Cahaya benderang, berkilatan! Kini, Papua Sudah Dibebaskan, dan Semoga Tetap Merdeka Indonesia, Maret 2020 Ada 22 nyanyian dan liriknya, juga 5 kali bunyian musik. Orang Komoro mengisahkan, kemudian kuubah lagi, menjadi seperti ini.



188



N. RIANTIARNO



Beo Motinggo IBED S. YUGA



Ibed S. Yuga adalah penulis, editor, dan sutradara yang tertarik pada persilangan teks, wacana keruangan, dan relasi ketubuhan. Kerja teaternya dimulai di Bali Eksperimental Teater (2002), lalu mendirikan Seni Teku di Yogyakarta (2005), menjadi sutradara dan penulis lakon di sana hingga 2011, dan dianugerahi Penghargaan Umar Kayam dalam Festival Teater Jogja 2009. Ibed mendirikan Kalanari Theatre Movement (2012), sebuah gerakan budaya melalui kerja teater; juga menginisiasi Kalabuku (2011), sebuah gerakan literasi teater dan pertunjukan melalui penerbitan buku-buku bersubjek teater dan pertunjukan. Sebagai penulis lakon teater, ia pernah menerima penghargaan dari Federasi Teater Indonesia (2008 & 2011), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021). Dua buku kumpulan lakonnya adalah Kintir (Yogyakarta, 2011) dan Janger Merah (Yogyakarta, 2021)—yang diganjar Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021. Karya-karya lakonnya juga terkumpul dalam antologi bersama, dua di antaranya adalah New Indonesian Plays (London, 2019) dan States of Crisis (Yogyakarta, 2020). Ibed pernah berpartisipasi dan mempresentasikan karyanya dalam Asian Playwrights Meeting (Yogyakarta, 2019) dan Asian Performing Arts Festival (Tokyo, 2015). Ia juga telah menggelar karya-karyanya, memberikan workshop, dan berkolaborasi di beberapa negara: Irlandia, Singapura, Jepang, Malaysia, Inggris, dan Tiongkok. Kini, Ibed berumah ulang-alik Jogja–Jembrana.



Hikayat Pembunuhan, Erotisme, Nujum, Burung-Burung Aku ingin bercerita padamu. Harus kumulai dari mana? Sedangkan kini aku hanya bisa berdiri di sebuah sudut. Celingukan. Seorang pewarta berwajah dingin—seperti TV tabung yang telah lama ditinggalkan siaran-siaran—mewartakan hikayat pembunuhan dengan lagak seorang ahli sejarah. Di sisi lain, seorang lelaki berdiri. Wajahnya samar. Seekor beo bertengger di pundaknya. Pewarta: Pada tahun 429 sebelum Masehi, di Yunani, Oedipus membunuh Laius, sang Raja Thebes, yang adalah ayahnya sendiri; lalu mengawini Jocasta, Permaisuri Thebes, yang adalah ibunya sendiri. Oedipus pun menjadi Raja Thebes. Semua berjalan sebagaimana ramalan sang peramal dari Delfi. Pada tahun 1606, di Inggris, Macbeth—didorong oleh istrinya—membunuh Raja Duncan, dan merebut takhta Skotlandia; lalu membunuh Banquo—karibnya—untuk mengamankan suksesi. Semua dilakukan Macbeth atas nubuat dari tiga penyihir yang ditemuinya di padang rumput.



Pada tahun 1958, di Indonesia, Soleman membunuh beo milik Mat Kontan karena khawatir beo itu akan membocorkan rahasia perselingkuhannya dengan Paijah, istri Mat Kontan. Mat Kontan mencari tukang nujum untuk mengetahui siapa pembunuh beonya, tetapi si tukang nujum sudah mati.



BEO MOTINGGO



191



Lelaki dengan Beo di Pundaknya: Namaku Mantiko, lengkapnya Mantiko Bungo, tapi orang memanggilku Motinggo. Aku suka burung-burung. Aku menulis burung-burung. Aku mencipta burung-burung.



Aku suka Sophocles. Aku suka William Shakespeare. Aku suka Anton Chekhov. Aku suka John Steinbeck. Aku suka Ernest Hemingway. Aku suka Pramoedya Ananta Toer.



Aku suka erotisme. Aku menulis erotisme. Aku mencipta erotisme. Dan aku seorang Saidi Maharajo. Salam kenal, semuanya. Apakah kalian juga suka erotisme? Atau burung-burung? Aku masih celingukan. Aku mendengar kedua orang tadi bicara, tetapi kata-kata mereka tak berguna buatku. Aku tidak butuh kabar-kabar itu. Yang kubutuhkan adalah kabar tentang Mat Kontan. Aku sedang mencari Mat Kontan. Lalu membentanglah jalanan sebuah kota kecil di pesisir Lampung.



192



IBED S. YUGA



Mencari Mat Kontan di Jalanan Kalianda Aku pergi ke 5°43’55.8”S 105°35’36.8”E lewat Street View Google Maps. Jalanan cukup lengang. Tentu aku mendengar suara motor dan mobil berseliweran. Namun, sesekali saja. Ini bukan jalanan yang sibuk. Ada suara orang-orang bercakap di pinggir jalan dengan logat yang tak kukenal. Lalu suara burung berkicau. Cukup banyak, berbagai jenis. Ada kicauan beo di antara mereka. Aku mengenali betul kicau burung hitam dengan corak leher kuning itu. Di pinggir Jalan Raden Intan, aku menemukan sebuah kios burung mungil. Namanya Kios Burung Banun.1 Aku mengamatinya. Lekat. Namun, tak ada Mat Kontan di sana. 1



Dari Paijah, aku tahu Mat Kontan sedang di Kalianda. Membeli burung. Namun, pada 2019, aku hanya menemukan satu kios burung di Kalianda. Kios Burung Banun. Dan tak ada Mat Kon Berdasarkan citra oleh Google pada Maret 2019.



1



BEO MOTINGGO



193



tan di sana. Lalu, aku menyusuri jalanan Kalianda. Mencari-cari. Siapa tahu, ada kios burung lain, dan Mat Kontan sedang menawar burung di sana. Atau, siapa tahu aku kebetulan bertemu Mat Kontan di jalan. Aku sedang membawa kabar untuknya. Dia harus segera pulang. Anaknya sakit. Mau mati. Seorang perempuan berkebaya sempit melintas, kesal, seperti mengejar sesuatu, sambil mengumpat. Perempuan: Kurang ajar! Kurang ajar!*2 Suara burung-burung kian ramai di telingaku, bahkan lebih kerap dari suara mobil atau motor. Mereka seakan membuntutiku. Mereka seperti terbang berkerumun di belakang kepalaku. Aku berhenti sejenak. Memasang telinga. Aku mendengar tangis bayi di antara suara burung yang kian ramai mencipta orkestra. Ya, ada suara bayi yang turut dalam orkestra itu. Aku berjalan lagi. Jalanan di Kalianda kian ramai. Perempuan berkebaya sempit itu muncul lagi dari arah dia keluar tadi. Tergesa. Dia membawa setumpuk pakaian. Perempuan: Setan! Ayo, bawa pakaian si Kecil ini ke jemuran! Eh, edan! Eh, ke jemuran! Eh, bukan! Ke dalam!* Sebelum kata-kata terakhirnya, dia sudah menghilang. Semua dialog bertanda * dikutip dari Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, yang ditulis di Telukbetung pada Juni 1958. Pengutipan dilakukan dengan mengganti pronomina persona saya menjadi aku, serta pronomina posesif saya menjadi -ku. Dalam beberapa kasus kutipan, teks petunjuk pemanggungan yang menyertai dialog juga turut dikutip, baik secara utuh maupun tidak. Ada dua versi naskah Malam Jahanam yang digunakan sebagai sumber, yaitu versi terbitan Pustaka Jaya (1995) dan versi yang terdapat dalam Antologi Drama Indonesia, Jilid 3: 1946–1968 (Amanah Lontar, 2006), hlm. 349–374. Yang pertama bersumber dari sebuah terbitan pada 1961; sedangkan yang kedua bersumber dari majalah Budaya, 1959. Kedua versi tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal penyuntingan. 2



194



IBED S. YUGA



Kini, orkestra itu ditimpali oleh suara gamelan pengiring ubrug. Aku merasa ada serombongan ubrug yang membuntuti perjalananku. Mungkinkah ada pengamen ubrug di Kalianda? Perempuan: (Hanya suaranya terdengar, seperti muncul dari dalam sangkar) Sejak pagi belum pulang. Mestinya beli burung ke Kalianda. Enggak cukup satu-dua ekor. (Diam sebentar) Kalau tidak, mestinya pergi taruhan. Kalau tidak ….* Langkahku terhenti. Tercekat. Aku sadar bahwa kabar tentang Mat Kontan berada di Kalianda hanyalah asumsi Paijah. Mat Kontan mungkin tidak di Kalianda. Aku linglung. Sementara, orkestra jalanan Kalianda, suara burung, tangis bayi, dan gamelan ubrug kian membuncah di telingaku.



BEO MOTINGGO



195



Jahanam dan Mandul: To Be or Not to Be Seiring suara gamelan ubrug yang kian membuncah meriah, dekor pertunjukan ubrug hadir dengan cepat. Dua lelaki menari-nari. Mereka memakai celana katok, baju kaos, kopiah, sarung terselempang, dan golok yang terselip di pinggang. Satu lelaki membawa lampu senter, yang lain membawa sangkar burung. Setelah menyelesaikan satu tarian, mereka memainkan Adegan 4 lakon Malam Jahanam karya Motinggo Boesje. Belum rampung mereka memainkan adegan itu: Lelaki yang Membawa Lampu Senter: Aku ingin betul jadi Soleman. Dia benar-benar lelaki jahanam idaman. Bajingan tengik yang didambakan. Bangsat betul-betul dia itu. Lelaki yang Membawa Sangkar Burung: Pas banget. Aku sendiri ingin jadi Mat Kontan. Si mandul tajir yang sombong. Mulutnya besar, burungnya banyak, istrinya molek. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Ya, tapi dengan kejahanamanku, aku mengembat istrimu sampai bunting, menggorok leher burungmu sampai mati, dan— Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Bagaimanapun, anak itu tetap anakku. Dai tetap si Kontan Kecil. Calon raja burung yang akan mewarisi kesombongan dan ketajiranku.



196



IBED S. YUGA



Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Jangan sesumbar. Ingatlah pasir boblos. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Jangan kau— Tiba-tiba, seorang lelaki gondrong menyeruak, tergopoh-gopoh. Lelaki Gondrong: Maaf, saya mau merebut perhatian sebentar. Lelaki yang ingin menjadi Soleman dan lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan saling pandang, bertanya-tanya. Lelaki gondrong itu mengambil tempat di ketinggian, lalu mengeluarkan sebatang mikrofon dari sakunya. Dia memulai pidatonya, pidato yang membuat lelaki yang ingin menjadi Soleman dan lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan kadang ternganga, kadang bingung, kadang tertawa. Lelaki Gondrong: Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, sama halnya dengan dunia novel, ada pemahaman yang bisa dikatakan sebagai sebuah “penalaran tunggal” dari “posisi tunggal” antara naskah teater dan kenyataan. Pengarang tidak mengambil jarak tertentu dengan kenyataan atau peristiwa yang diangkatnya, sehingga karya berlaku mimesis terhadap kenyataan. Pembaca di sini tidak lagi semata-mata membaca sebuah karya rekaan dalam sastra, tetapi juga sebuah kejadian nyata yang ditulis kembali. Posisi dari penalaran tunggal sejenis ini berlangsung pula pada pertunjukan-pertunjukan fantasi dari model Komedie Stamboel atau teater Opera Bangsawan yang banyak menampilkan dunia dongeng penuh sensasi, impian, warna-warni, gemerlapan, penuh nyanyian dan tarian. Penonton datang tidak hanya karena daya tarik cerita penuh impian yang ditam-



BEO MOTINGGO



197



pilkan secara bersambung dari malam ke malam, tetapi juga karena lirikan langsung dari ketampanan atau kecantikan para pemainnya. Mereka pentas di panggung-panggung sederhana yang didirikan di pasar atau kampung-kampung. Cerita, aktor, set, permainan, hingga pilihan tempat pertunjukan masih berada pada “wilayah pertama” dari “penalaran tunggal” ini. Wilayah yang tidak berjarak berada secara linear dan paralel dengan tempat, impian, dan kenyataan di mana penonton berada. Teater masih dijelaskan lewat kenyataan yang pernah terjadi, atau lewat impian seribu satu malam yang bisa membawa penonton ke negeri-negeri jauh tanpa bisa meninggalkan kenyataan (kolonialisme) yang dihadapinya sendiri. Jauh setelah mereka, penalaran tunggal itu masih direproduksi. Pada tahun 1958, misalnya, Motinggo Boesje menulis naskah teater Malam Jahanam. Naskah ini sejak awal sudah memperlihatkan berlakunya penalaran tunggal itu. Pembuka naskah teater ini hampir tidak memiliki perbedaan pada cara-cara penyusunan novel atau cerita pendek. Naskah hanya menurunkan empat pemain yang berpusat pada satu orang tokoh. Sebagaimana dengan ceritanya yang sederhana, mengenai kesombongan seorang suami yang menutupi kemandulannya dengan memperlihatkan diri sebagai seorang jagoan kampung. Tokoh-tokoh dalam naskah ini lebih menampilkan diri melalui tipe-tipe: Mat Kontan sebagai tokoh protagonis; Soleman sebagai antagonis; Paijah, seorang istri yang menyeleweng; dan Utai, seorang badut kampung. Semua perwatakannya statis. Semua perwatakan telah dikunci melalui pakaian, vokal, dan bawaan yang tidak berubah dari awal hingga akhir.



Hal yang sama juga bisa dilihat pada naskah ….3 Semua ucapan Lelaki Gondrong bagian ini dikutip—dengan sedikit penya-



3



198



IBED S. YUGA



Tiba-tiba, seorang perempuan berkebaya sempit melintas sambil berseru, memecah pidato lelaki gondrong itu. Perempuan: Jangan cuil aku! Jangan cuil aku! Jangan cuil aku!* Seekor beo menguntit langkah dan seruan perempuan itu. Beo: Jangan cuil aku! Jangan cuil aku! Jangan cuil aku!* Lelaki gondrong itu jadi tergagap, lalu keluar dengan tergesa, tetapi masuk kembali dengan tergesa pula. Lelaki Gondrong: Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Afrizal Malna. Salam kenal. Ah, apa pentingnya? Gamelan ubrug membuncah. Lelaki yang mengaku Afrizal Malna itu tergesa lagi melangkah, hendak keluar. Mikrofonnya jatuh. Rusak. Lelaki yang Mengaku Afrizal Malna: (Memungut mikrofon rusak) Asu! Suaraku pecah. (Keluar.) Lelaki yang ingin menjadi Soleman dan lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan saling pandang, kebingungan. Lelaki yang mengaku Afrizal Malna masuk lagi. Lelaki yang Mengaku Afrizal Malna: Oh ya, kalian siapa? Punya nama? Kalau tidak, aku bisa kasih nama. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: (Menjabat tangan lelaki yang mengaku Afrizal Malna) Perkenalkan. Mat Kontan, si Raja Burung (sambil meletakkan sangkar burungnya di depan kemaluannya). Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: (Juga menjabat tangan) Soleman. Jahanam secara genetik. duran dan pengubahan struktur—dari tulisan Afrizal Malna, “Arkeologi Teater: Penalaran Tunggal dari Kenyataan”, dalam Afrizal Malna, Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata (Yogyakarta: Kalabuku, 2019), hlm. 110–113. BEO MOTINGGO



199



Lelaki yang Mengaku Afrizal Malna: (Ternganga) Oh, kalian Soleman dan Mat Kontan? Yang benar? Kenapa wajah kalian berubah? Dulu Motinggo tidak memberi kalian wajah seperti ini. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Selalu berubah. Tergantung siapa yang menjadi. Atau siapa yang gagal menjadi. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: To be or not to be. Lelaki yang Mengaku Afrizal Malna: Tapi “menjadi” sudah tidak dijual di supermaket. Teater gagal mengembangbiakkannya. “To be” tidak lolos bea cukai. Teater sekarang enggan—ah, maaf, saya lupa matikan kompor. (Melangkah keluar) Asu! Suaraku pecah. Lelaki yang ingin menjadi Soleman dan yang ingin menjadi Mat Kontan kembali saling pandang, kebingungan. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Siapa dia? Bapak tukang pijat? Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Entahlah. Tapi dia tidak buta. Mungkin dia Utai. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Terlalu tua untuk menjadi Utai. Perlu rekayasa makeup tebal yang ribet. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Atau Aji Asan? Suara gamelan ubrug membuncah tiba-tiba. Mereka terkejut. Seekor beo melintas dengan cepat. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Man! Beoku, Man! (Mengejar beo. Keluar.) Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Itu cuma rohnya! Beomu sudah mati! (Mengejar lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan) Tan! Kontan! Itu cuma arwah beo gentayangan! 200



IBED S. YUGA



Suara gamelan ubrug memuncak, lalu berhenti. Dekor pertunjukan ubrug silam dengan cepat. Aku berjalan gontai. Suara burung-burung masih di telingaku.



BEO MOTINGGO



201



Beo Banquo Suara burung-burung masih membuncah di telingaku, masuk ke dalam kepalaku, mengalir ke saraf-saraf otakku: perkutut, kepala haji, beo, kutilang …. Sangkar-sangkar burung, berbagai bentuk, semuanya kosong, turun dari langit-langit. Suara berbagai jenis burung seperti muncul dari dalam sangkar-sangkar itu. Seekor beo tiba-tiba menghampiriku. Seperti hantu. Tanpa babi-bu, dia langsung berbicara kepadaku. Beo: Aku sudah mati. Leherku digorok Soleman gara-gara aku menirukan kata-kata Paijah. Manusia memang makhluk paling jahanam di semesta ini. Manusia mengajariku bahasa. Tapi, begitu aku mulai fasih berbicara bahasa manusia, leherku malah digorok. Aku: Mungkin Motinggo bermimpi menjadikanmu Banquo. Beo: Siapa? Aku: Banquo. Seorang jenderal. Panglima perang yang dibunuh oleh sahabatnya sesama jenderal bernama Macbeth. Beo: Kenapa dia dibunuh? Aku: Macbeth baru saja membunuh Raja Duncan dan merebut takhtanya. Dia takut Banquo mengetahui hal itu dan memberi tahu pewaris asli takhta Skotlandia. Banquo sama sepertimu. Jika dibiarkan hidup, akan menjadi sumber tragedi. Tapi dibunuh pun, tragedi tetap saja terjadi.



202



IBED S. YUGA



Beo: Manusia, manusia …. Kenapa kalian gemar sekali saling bunuh? Binatang juga suka membunuh, tapi untuk cari makan, bukan cari takhta. Aku bukan manusia. Aku: Tapi Motinggo manusia. Beo: Aku di Lampung, bukan di Skotlandia. Aku bukan jenderal. Aku tak punya pedang, tak punya senapan. Leherku kutung oleh golok Cibatu. Manusia … kalian mengajari beo bahasa manusia sekaligus sifat jahanam. Begitu kami—kaum beo— mulai fasih berbicara bahasa manusia, kalian membuat kosakata baru, “membeo”, yang artinya berbuat seperti burung beo dengan meniru saja perkataan orang lain tanpa memahami maksudnya. Sekarang, setelah kami tahu kalian seutuhnya, kami menciptakan kata baru, “memanusia”. Kata baru ini ditujukan bagi para beo yang suka meniru sifat-sifat jahanam manusia. Aku: Mungkin itu sebabnya beo dan manusia masih berhubungan baik hingga kini. Di negara bagian Chhattisgarh, India, beo dijadikan burung kenegaraan; setara dengan garuda, burungnya Wisnu itu. Beo: Jangan membuatku cemburu. Itu di India, bukan di sini. Kecemburuan lagi-lagi hanya akan jadi pangkal pembunuhan. Beo itu pergi dengan raut muka penuh kesebalan. Setelah dia berlalu, aku baru sadar bahwa dia tidak terbang, tetapi melangkah seperti manusia.



BEO MOTINGGO



203



Babad Beo Sebuah spektakel media-media saling silang, mencipta narasi tentang beo. Aku membentang babad beo dengan berbagai media: video, foto, litografi, lukisan, grafik, audio, teks, atau apa pun yang sempat kuraih. Aku berusaha merengkuh berbagai cara untuk memberi tahumu perihal beo. 2



204



IBED S. YUGA



Aku: Beo atau mamiang atau tiong emas, atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai common hill myna atau hill myna atau myna bird, adalah sejenis burung anggota keluarga jalak, berasal dari kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Aves, ordo Passeriformes, famili Sturnidae, dan genus Gracula. Beo merupakan salah satu jenis burung bisa berbicara, atau talking bird, dan paling populer sebagai peliharaan. Religiosa adalah nama spesifik jenis beo biasa, yang kemungkinan mengacu pada kebiasaan beo menirukan suara orang berdoa. Suara beo mudah dikenali melalui ciri khas siulannya yang lantang, melengking, merendah, yang diikuti dengan berbagai macam kicauan. Baik beo jantan maupun betina dapat menghasilkan kicauan yang luar biasa dan beragam: siulan, ratapan, lengkingan, denguk, kadang merdu dan sering kali menyerupai suara manusia. Setiap individu beo bisa memiliki perbendaharaan mulai tiga hingga tiga belas jenis siulan. Tidak seperti burung peniru suara lainnya, beo tidak meniru suara jenis burung lain di alam. Jika berada dalam penangkaran atau pemeliharaan manusia, beo dapat belajar mereproduksi banyak suara sehari-hari, terutama suara manusia, dan bahkan nada siulan, dengan akurasi dan kejelasan yang menakjubkan.



Beo menyebar dari divisi Kumaon di India, lalu ke timur melalui Nepal, Sikkim, Bhutan, dan Arunachal Pradesh, lalu Himalaya bagian bawah. Jangkauannya berlanjut ke timur melalui Asia Tenggara, ke timur laut ke Cina bagian selatan, dan melalui Thailand ke tenggara melintasi Indonesia bagian utara, juga ke Palawan di Filipina. Beo hampir punah di Bangladesh karena perusakan habitat dan eksploitasi berlebihan melalui perdagangan hewan peliharaan. Populasi beo liar di Pulau Christmas juga telah menghilang. Populasi yang diga-



BEO MOTINGGO



205



lakkan ada di Saint Helena, Puerto Rico, dan kemungkinan juga di daratan Amerika Serikat.4 Kini, terpampang peta distribusi variasi spesies dan subspesies beo, yang masih juga bersilangan dengan spektakel media-media lain. 3



Aku menunjuk peta, mulai mengeja beo-beo. Aku: Di belahan bumi selatan, ada empat spesies beo, yaitu beo biasa atau Gracula religiosa, beo Pulau Enggano atau Gracula enganensis, beo Pulau Nias atau Gracula robusta, dan beo Sri Lanka atau Gracula ptilogenys. Spesies beo biasa atau Gracula religiosa, beo yang dinamai dari kebiasaannya menirukan suara doa-doa itu, terdiri dari sekitar delapan subspesies: 1. Gracula religiosa andamanensis, beo Kepulauan Andaman dan Kepulauan Nikobar, dicatat oleh Beavan pada tahun 1867; 4 Baca Salim Ali dan Sidney Dillon Ripley, Handbook of the Birds of India and Pakistan (New Delhi: Oxford University Press, 1983), hlm. 191–194.



206



IBED S. YUGA



2. Gracula religiosa batuensis, beo Kepulauan Batu dan Kepulauan Mentawai; 3. Gracula religiosa halibrecta, beo Kepulauan Nikobar Besar dan Kepulauan Nikobar, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya, dicatat oleh Oberholser pada tahun 1926; 4. Gracula religiosa intermedia, beo Indocina, yang tersebar dari Indocina bagian barat laut, India bagian timur laut, hingga Tiongkok bagian selatan; 5. Gracula religiosa palawanensis, beo Pulau Palawan, Filipina; 6. Gracula religiosa peninsularis, beo Bastar, India bagian tengah, menjadi burung kenegaraan dari negara bagian Chhattisgarh; 7. Gracula religiosa religiosa, beo Kepulauan Sunda Besar— kecuali Sulawesi—termasuk Semenanjung Malaysia, sering disebut sebagai beo Jawa; dan 8. Gracula religiosa venerata, beo Kepulauan Sunda Kecil.5



Selain itu, ada pula subspesies Gracula religiosa mertensii atau beo Pulau Flores. Sebuah penelitian terbaru pada tahun 2020 menemukan subspesies Gracula religiosa miotera atau beo Pulau Simeulue. Namun, penemuan ini belum masuk dalam pengaturan taksonomi terbaru.6



Spektakel media-media mulai silam satu per satu. Aku: Jika beo yang dipelihara Mat Kontan—yang kemudian lehernya digorok oleh Soleman—adalah beo endemik di seki5 Tentang subspesies Gracula religiosa, baca R. Sankaran, “An annotated list of the endemic avifauna of the Nicobar islands” dalam Forktail, vol. 13, 1998, hlm. 17–22; J.F. Clements, The Clements Checklist of the Birds of the World, edisi VI, (Christopher Helm, 2007); E.C. Dickinson, (ed.), The Howard and Moore Complete Checklist of the Birds of the World, edisi III (Christopher Helm, 2003).



Dominic Y.J. Ng, dkk. “Genomic and morphological data help uncover extinction-in-progress of an unsustainably traded hill myna radiation”, laporan penelitian (2021), hlm. 38–51. 6



BEO MOTINGGO



207



tar tempat tinggal mereka—yaitu kampung pesisir di sekitar Kalianda, Lampung—maka, kemungkinan beo itu adalah subspesies beo Kepulauan Sunda Besar atau Gracula religiosa religiosa, beo yang gemar menirukan suara doa-doa. Atau, kemungkinan lain yang paling dekat secara kewilayahan adalah spesies beo Pulau Enggano atau Gracula enganensis; spesies beo endemik di Pulau Enggano, sebuah pulau di sebelah barat laut Lampung. Beo begitu cerdas menirukan bahasa sehari-hari kita, mulai dari bahasa makian hingga bahasa doa. Beo telah mempelajari dengan baik bahasa kehidupan manusia, mulai dari yang paling jahanam hingga yang paling mulia. Entah mengapa, aku ingin berdoa. Aku berlalu sambil mencoba merapal doa-doa, seiring semua spektakel media yang kusilamkan. Lamat, aku mendengar siulan beo yang menirukan rapalan doaku. Hanya tertinggal siulan beo yang nyaring melengking, yang perlahan ditimpali suara gamelan ubrug.



208



IBED S. YUGA



Nujuman dari 1958 untuk 1965 Seiring suara gamelan ubrug yang kian meriah, dekor pertunjukan ubrug hadir kembali dengan cepat. Seorang lelaki menari-nari jenaka. Lelaki yang Menari-nari Jenaka: (Sambil terus menari) “Begini gelapnya malam,”* kata Soleman pada Paijah ketika Mat Kontan tak ada di rumah. Yeah …. “Ya, gelap. Hati saya juga ikut gelap,”* jawab Paijah. Uyeeehhh …. Begitulah rayuan Soleman dimulai, lalu disambut oleh Paijah yang butuh belaian. Malam yang gelap pun perlahan berubah jadi penuh gairah. Maka, menarilah mereka …. Mari menari … merayakan malam penuh gairah …! Lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan dan lelaki yang ingin menjadi Soleman muncul sambil ikut menari-nari. Kian lama kian bergairah. Lelaki yang Menari-nari Jenaka: Tapi, seperti kalian tahu, malam penuh gairah itu akan berubah menjadi malam jahanam. Nah, pada malam penuh gairah ini—



Woeee! Musiknya terlalu kenceng ini! Kendorin dikit!



Musik ubrug menurunkan ritmenya. Lelaki yang Menari-nari Jenaka: Nah … segitu, kan, asyik. Aman buat pinggang. Bersahabat dengan jantung …. Tahan segitu. Ya …. Aseeek! Oh ya, sebelum ngelantur ke sana-sini, perkenalkan … saya Asvi Warman Adam. Senang sekali bisa tampil di depan para penonton budiman. Pada malam penuh BEO MOTINGGO



209



gairah ini, saya akan membawakan sebuah lakon nujuman. Nubuat. Ramalan. Perihal apakah gerangan? Tak usah berpanjang-lebar ngalor-ngidul—lagian pinggang sama jantung ini sudah mau habis kuotanya—tariiik! Uyeeehhh …. Gamelan ubrug mengentak, ritmenya kian naik dengan rampak. Lelaki yang mengaku Asvi Warman Adam itu menari edan. Sesekali memegang pinggangnya yang encok, kadang memegang dada kirinya sambil terengah. Lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan dan yang ingin menjadi Soleman turut menari edan. Gamelan ubrug mengentak lagi, memuncak, berhenti sejenak, lalu mulai lagi dengan irama pelan mengalun-menyayat. Lelaki yang mengaku Asvi Warman Adam memulai monolog ubrugnya. Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam7: Peristiwa yang terjadi pada malam hari tanggal 30 September 1965 sampai pagi harinya sangat menentukan dalam sejarah Indonesia. Gerakan yang sering disebut sebagai percobaan kudeta yang abortif itu menimbulkan dampak yang tidak terbayangkan oleh siapa saja, termasuk oleh segelintir pelakunya. Malam itu, beberapa perwira militer diculik dan dibunuh. Dr. Taufik Abdullah dalam berbagai kesempatan menyebut malam itu sebagai “malam jahanam”. Tepatkah sebutan tersebut, apa konotasi yang terasa ketika mendengar ungkapan tersebut? Ada beberapa kesejajaran antara peristiwa yang terjadi pada Malam Jahanam dan malam 30 September 1965. Pembunuhan burung beo menyebabkan terbongkarnya kasus yang lebih 7 Semua ucapan Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam mulai bagian ini hingga seterusnya—kecuali ucapan “Musiiik! Tariiik!” di bagian akhir—dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam, “G30S/1965 dan Malam Jahanam”, dalam Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 177–181.



210



IBED S. YUGA



hebat, yaitu perselingkuhan antara Paijah dan Soleman. Pembunuhan para jenderal menyebabkan terbukanya “perselingkuhan antara elite PKI dengan perwira yang dibinanya”. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Tuh, kan! Aku sudah curiga dari dulu. Main serongmu dengan Paijah bukan cuma perselingkuhan kelamin, tapi juga perselingkuhan politik. Kau licik. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Siapa, sih, orang ini? Kok, bisa-bisanya dia menyejajarkan kayak gitu? Ahli sastra? Ahli politik? Atau ahli cocoklogi? Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Enggak penting siapa dia. Mau ahli sastra, politik, cocoklogi, atau ahli nuklir, terserah. Yang jelas, perselingkuhan antara Paijah dan Soleman sejajar dengan perselingkuhan antara elite PKI dengan perwira yang dibinanya. Analisisnya cespleng. Pertanyaannya sekarang, siapa yang elite PKI dan siapa yang perwira binaan di antara kau dan Paijah? Siapa yang komunis dan siapa yang militer di antara kalian berdua? Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Aku pernah punya citacita jadi tentara. Waktu kecil. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Nah, berarti kau yang militer. Kau yang perwira binaan itu. Walaupun kau tak jadi tentara. Tapi, cita-cita saja sudah lebih dari cukup untuk menanamkan militerisme ke dalam tubuh dan mentalmu. Jiwamu militeristik …! (Tersadar, merasa termakan kata-katanya sendiri) Loh … kalau begitu, Paijah …. Tidak! Aku tidak rela Paijah jadi komunis …. Dia terlalu molek … terlalu montok. Aku tidak rela. Aku tidak tega …. Dia terlalu bahenol untuk menjadi perempuan komunis. Kaulah yang komunis, Man. Kau komunis yang serong dengan istriku. Dasar komunis! BEO MOTINGGO



211



Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam: Tentara dan polisi tidak boleh berpolitik dan dilarang menjadi anggota partai, padahal ada di antara mereka yang bersimpati bahkan ingin masuk jadi anggota partai komunis. Biro Chusus PKI dibentuk langsung di bawah Ketua D.N. Aidit untuk mengatasi persoalan ini. Namun, ketika mereka meyakini isu Dewan Jenderal, maka yang terencana adalah sebuah aksi militer untuk mendahului tanpa perhitungan yang matang. Dalam drama Malam Jahanam, Soleman lolos dari maut, sungguhpun anak hasil hubungan gelapnya dengan Paijah meninggal. Dalam peristiwa G30S, Jenderal Nasution selamat dari penculikan sungguhpun putrinya yang masih kecil tewas tertembak. Muncul citra Ade Irma Nasution, disusul citra diorama dari Museum AH. Nasution yang memperlihatkan Ade Irma sedang berdarah-darah. 4



212



IBED S. YUGA



5



Seorang perempuan berkebaya sempit melintas sambil mengomel geram. Perempuan: Perkara beo saja ributnya sampai ke Gunung Krakatau. Anaknya enggak pernah dipikirkan.* Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Kau dengar itu, Tan? Anakku sejajar dengan anak Jenderal Nasution. Itu artinya, aku sebagai ayahnya setara dengan jenderal. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Itu anakku! Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Memang, aku sudah merelakannya sebagai anakmu, Tan. Tidak usah ngotot begitu.



BEO MOTINGGO



213



Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Lalu jangan akui lagi sebagai anakmu. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Bagaimanapun, aku ayah biologisnya. Benihnya muncrat dari burungku. Burung seorang lelaki yang setara jenderal. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Burung komunis! Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Terserah kau bilang apa. Kau boleh bicara apa saja untuk menyembunyikan burungmu yang mandul. Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam: Mengenai “burung”, seusai G30S, propaganda pers militer gencar mewartakan tentang kemaluan jenderal yang disayat-sayat oleh perempuan-perempuan anggota Gerwani. Dalam Malam Jahanam terdapat burung beo yang kepalanya dipotong oleh Soleman. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: (Merinding bercampur geli) Kau bisa bayangkan burung jenderal disayat-sayat Gerwani, Man? Hah? Bisa kaubayangkan itu? (Nyaris menggelinjang) Iiihhh …. Uurgghhh …. Burung yang kau sombongkan itu memang patut disayat-sayat, lalu dipotong dengan kejam seperti kau memotong leher beoku. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Setidaknya beomu itu kini naik derajatnya. Setara dengan kemaluan jenderal. Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam: Namun, di sisi lain, terdapat perbedaan besar antara skenario Malam Jahanam yang berlingkup individual dengan G30S yang memiliki dampak nasional jangka panjang. Pembaca bisa saja menyalahkan Paijah yang berselingkuh dengan pemuda tetangga-



214



IBED S. YUGA



nya, Soleman. Namun, di lain pihak, Mat Kontan juga tak bisa lepas tangan. Karena waktunya yang tersita untuk mengurus burung dan taruhannya, ia kurang memerhatikan istrinya. Ketika seorang anak kecil meninggal pada suatu malam karena orangtuanya tidak memedulikan, malam itu tentu dapat disebut malam jahanam. Pada malam itu sekaligus terungkap tentang perselingkuhan dan bahwa sang anak sebetulnya anak haram …. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Sialan! Dia menyalahkan aku. Menyalahkan Paijah. Kau yang salah, Man! Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Semua punya kesalahan, Kontan. Tapi semua mengaku benar. Tak ada yang menyadari bahwa ini semua berada di bawah kendali kuasa kemaluan. Kuasa burung! Burung politis yang bisa selingkuh dengan siapa saja. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: (Jadi melangut) Beoku malang …. (Cengeng) Man, kenapa kau bunuh beoku …? Lelaki yang Mengaku Asvi Warman Adam: Dalam kasus G30S, pada malam itu terbunuh beberapa perwira, bahkan juga putri seorang jenderal yang masih kecil. Kematian seorang bocah kecil menimbulkan dampak sangat mendalam di tengah masyarakat ketimbang semata-mata kasus penculikan akibat konflik intern militer. Apa pun alasannya, pembunuhan terhadap perwira tersebut jelas tidak dapat dibenarkan. Namun, apakah tepat malam 30 September 1965 itu disebut “malam jahanam”. Konotasinya adalah bahwa malam itu merupakan malam yang “terkutuk dan laknat”. Bukankah malam-malam sesudahnya dan berlangsung selama beberapa bulan tatkala terjadi pembunuhan sesama bangsa sendiri—



BEO MOTINGGO



215



minimal 500.000 jiwa jadi korban—itu yang secara keseluruhan jauh lebih “jahanam”? Musiiik! Tariiik! (Kembali menari-nari jenaka. Asyik sendiri.) Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Sebentar …. Malam Jahanam ditulis si Motinggo di Telukbetung pada 1 Juni 1958, diterbitkan pertama kali dalam majalah Budaya pada 1959. Kalau begitu, skenario G30S pada tahun 1965 membeo lakon Malam Jahanam …. Siapa kira-kira di antara para pelaku G30S yang pernah membaca Malam Jahanam sehingga menjadikannya inspirasi? Aku membayangkan naskah Malam Jahanam berada di atas meja para perencana G30S, berdampingan dengan peta pergerakan, catatan strategi, dan daftar tokoh bidikan. Dia menjadi kitab juklak dan juknis G30S. Wah, kalau ini benar, betapa agungnya sebuah naskah lakon sehingga bisa menjadi kitab suci sebuah pergerakan politik besar yang kemudian mengubah peta politik Indonesia sepenuhnya dan disertai dengan genosida gila. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Agung atau jahanam? Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Hmmm … untuk kasus satu ini kayaknya kita tidak bisa membedakan makna antara agung dan jahanam. Secara sosial, politis, dan semantis, keduanya sama saja. Seorang perempuan berkebaya sempit melintas sambil mengomel geram. Perempuan: Perkara beo saja ributnya sampai ke Gunung Krakatau. Anaknya enggak pernah dipikirkan.* Lelaki yang ingin menjadi Mat Kontan dan yang ingin menjadi



216



IBED S. YUGA



Soleman saling tatap, seperti tersadar sesuatu. Ini kali pertama mereka menyadari kehadiran perempuan itu. Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Sepertinya … kita sudah menjadi …. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman: Kita … menjadi …. Bersamaan, mereka menoleh ke arah perginya perempuan berkebaya sempit, lalu mengejarnya. Lelaki yang Ingin Menjadi Soleman & Lelaki yang Ingin Menjadi Mat Kontan: Jaaahhh …! Paijaaahhh …! Tunggu, Jaaah! Suara gamelan ubrug memuncak. Tarian lelaki yang mengaku Asvi Warman Adam kian menggila, nyaris kesurupan. Suara gamelan ubrug berhenti, seiring lelaki yang mengaku Asvi Warman Adam yang keluar dan dekor pertunjukan ubrug yang silam.



BEO MOTINGGO



217



Paijah dan Beo Pasca-Motinggo Seekor beo menempel di dinding belakang bagian atas. Dadanya membusung, kedua sayapnya membentang. Di sebuah sudut, terpancang sebatang tiang bambu dengan tali kerekan dan sangkar burung kosong. Seorang lelaki yang pernah memperkenalkan diri sebagai Mantiko Bungo berdiri di bawahnya sambil terus-menerus mengerek naik-turun sangkar burung kosong itu. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan suara burung-burung: perkutut, kepala haji, beo, kutilang …. Di bagian depan, seorang perempuan memakai baju rok Sanghai duduk di sebuah amben bambu. Di tangannya, sebilah golok Cibatu. Di dadanya, sepasang kaleng susu Cap Nona8. Perempuan: Aku kepingin punya anak, dan anak itu telah aku dapatkan.* Beo: Kenapa kau jadi perempuan? Perempuan: Motinggo memberiku baju kebaya yang sempit, sehingga tubuh padatku mencolok. Beo: Kenapa kau jadi perempuan? Perempuan: Motinggo memberiku bahasa yang pedas, penuh gairah, pahit, juga ketawa yang keras. Beo: Kenapa kau jadi perempuan? Keterangan spesifik “kaleng susu Cap Nona”—yang ada di tongkat Tukang Pijat—hanya terdapat dalam Malam Jahanam versi Antologi Drama Indonesia, Jilid 3: 1946–1968 (Amanah Lontar, 2006); sedangkan versi terbitan Pustaka Jaya (1995) hanya menyebut “kaleng susu”. 8



218



IBED S. YUGA



Perempuan: Motinggo memberi gincu dan senyum kurang ajar pada bibirku. Beo: Kenapa kau jadi perempuan? Perempuan: Motinggo memberiku nama Paijah. Perempuan yang mengaku bernama Paijah itu memukul-mukul kaleng susu Cap Nona di dadanya dengan golok Cibatu. Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: (Berbicara ke arah jauh di depan, seakan ada seorang lelaki di sana) Hai, Lelaki Pengecut! Bukankah kau bilang, berjanji akan melindungiku, ha? Kau diam saja sekarang persis tunggul!* Beo: Semua manusia lelaki memang pengecut. Karena itulah mereka dinamai lelaki, bukan beo. Beo memang suka menguntit—membeo dalam kamus besar bahasa kalian—tapi tidak pengecut. Kami menguntit dan meniru dengan gagah perkasa. Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: Perkara beo saja ributnya sampai ke Gunung Krakatau. Anaknya enggak pernah dipikirkan.* Beo: Itulah sebabnya lelaki tidak bisa punya anak. Dia lebih mencintai burungnya ketimbang anak yang dia titipkan di rahim perempuan. Lelaki yang pernah memperkenalkan diri sebagai Mantiko Bungo mengerek naik-turun sangkar burung dengan semakin kencang. Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: Lelakiku mau meriasku dengan baju belang-belang kuning mirip macan tutul, baju rok model Cina, baju rok Sanghai, juga potongan rambut pendek. Biar modern, istilah Belanda, katanya. Beo: Lelaki di mana-mana memang pesolek. Tapi mereka selalu menjadikan perempuan sebagai objek libido bersoleknya. BEO MOTINGGO



219



Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: Karena aku kasihan melihat dia begitu pengecut.* Makanya aku mau saja dipersolek seperti ini (sambil menunjukkan sepasang dada kalengnya). Lelaki yang pernah memperkenalkan diri sebagai Mantiko Bungo menambah kencang lagi gerakan mengereknya. Dia seperti mencapai ekstase bersama sangkar burung itu. Beo: Lelaki mempersolek perempuannya karena lelaki lebih mencintai burungnya ketimbang perempuannya. Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: Ah, lelaki edan betul-betulan dia. Lelaki edan betul-betulan. Tidak mengerti perasaan perempuan.* Beo: Libido bersolek lelaki mandul lebih parah lagi. Amit-amit. Lebai sepuncak langit. Perempuan yang Mengaku Bernama Paijah: Aku mau jadi lelaki saja. (Lalu berusaha memotong dada kalengnya dengan golok Cibatu.) Beo: Jangan! Nanti kau— Terlambat. Sepasang dada kaleng susu Cap Nona itu sudah jatuh berkelontangan di lantai; bersamaan dengan sangkar burung yang terlepas dan menggelepar di lantai karena si lelaki Mantiko Bungo terlalu kencang menariknya. Namun, si Mantiko Bungo tetap saja mengerek naik-turun tali kerekan, masih dengan suara burung dari mulutnya. Baju perempuan yang mengaku bernama Paijah sobek pada bagian dadanya, menganga. Dia meneruskan sobekan itu dengan sayatan golok Cibatu, hingga baju rok Sanghai itu enyah dari tubuh220



IBED S. YUGA



nya. Terlihatlah kini dia berkebaya sempit, sebagaimana kemunculannya sejak mula. Beo turun dari dinding, melangkah ke arah perempuan yang mengaku bernama Paijah, lalu mengarahnya lehernya ke depan perempuan yang sedang memegang golok Cibatu itu. Si lelaki Mantiko Bungo lelah menarik kerekan. Tubuhnya jatuh terduduk. Suara burung-burung dari mulutnya perlahan berubah menjadi teriakan, “Jaaat … pi …! Jaaat … pi …! Jaaat … pi …!” terus-menerus. Lalu ditingkahi suara sayu gamelan ubrug menikam-nikam. Pada kerekan burung yang ditinggalkan Mantiko Bungo, aku mengerek sesosok boneka memakai celana katok, baju kaos, kopiah, sarung terselempang, dan golok Cibatu yang terselip di pinggang. Suara gamelan ubrug silam perlahan seiring sosok boneka yang seakan berkibar di puncak kerekan sangkar burung. Jeblog, September 2022



BEO MOTINGGO



221



C ATATA N K A K I U N T U K M ATA M U



Sebagaimana telah dibaca oleh kedua matamu yang tajam itu, lakon teater ini merujuk pada Malam Jahanam karya Motinggo Boesje—yang mungkin juga sudah pernah dibaca atau ditonton oleh matamu. Beo Motinggo ini kutulis dengan menerapkan logika hipertaut (atau pranala; Inggris: hyperlink) pada teks Malam Jahanam. Hipertaut—sebagaimana kauketahui dan sering kaupraktikkan dalam dunia komputer dan internet—adalah hubungan elemen (kata, simbol, gambar, atau lainnya) dalam satu dokumen dengan dokumen yang sama atau berbeda. Hipertaut juga bisa disebut sebagai acuan dalam satu dokumen ke dokumen yang lain. Satu elemen dalam satu teks bisa bertaut dengan suatu teks di luarnya (hiperteks). Hubungan antara keduanya bisa sangat dekat, bisa sangat jauh—atau malah menurutmu tak berhubungan sama sekali. Jika kau mengeklik satu kata berhipertaut dalam suatu teks (narasi), kau akan terhubung dengan narasi lain yang bisa jadi jarak-narasinya terpaut jauh. Dengan logika yang demikian, Beo Motinggo ini kususun dari berbagai hiperteks yang muncul setelah aku mengeklik beberapa hipertaut yang melekat (tepatnya: kulekatkan) pada beberapa elemen teks Malam Jahanam. Kuharap matamu yang tajam itu legawa menyerap logika dan formula ini.



222



IBED S. YUGA



DA F TA R DA N S U M B E R G A M BA R



Hlm. 193



Kios Burung Banun (Google Maps, 2019)



Hlm. 204



Beo Pulau Nias atau Gracula robusta (Museo civico di storia naturale di Genova via wikimedia.org)



Hlm. 206



Peta distribusi variasi spesies dan subspesies beo (L. Shyamal via wikimedia.org)



Hlm. 212



Ade Irma Nasution (Museum AH. Nasution via kompas.com)



Hlm. 213



Diorama Museum AH. Nasution (Agung Pambudhy via news.detik.com)



BEO MOTINGGO



223



NASKAH POTENSIAL



Semar Mencari Raga Sebuah Naskah Pralakon



SRI KUNCORO



Lahir sebagai Sri Kuncoro pada 25 Desember 1966, belakangan ia lebih memilih menggunakan nama Ikun Sri Kuncoro sebagai identitas kreatif. Ia bekerja sebagai kurator sastra dan teater di Kedai Kebun Forum Yogyakarta, juga terlibat sebagai anggota tim materi dalam Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. Ikun pernah memenangi beberapa lomba penulisan, seperti juara II dalam Sayembara Penulisan Naskah Drama oleh Dewan Kesenian Riau (2007), dengan lakon Lagu Sungai Selempayan; juara II dalam Sayembara Kritik Teater oleh Dewan Kesenian Jakarta (2005); lomba penulisan cerita anak oleh Kementerian Agama RI, dengan cerita berjudul “Liburan Dhenok” (2001). serta penghargaan ketiga dalam Lomba Penulisan Cerpen Majalah Sastra Horison (1997). Saat ini, Ikun tinggal di Kweni, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY, dan aktif di beberapa ruang kegiatan, seperti di Indonesian Visual Art Archive, Yayasan Umar Kayam, Yayasan Bintang Kidul, Komunitas Sandiwara Radio Swarabawa, serta Festival Teater Rebon.



C ATATA N P E N U L I S



Sebagai pralakon, naskah ini bukan petunjuk pelaksanaan pentas. Naskah ini adalah teks yang ketika dibunyikan ke dalam pergelaran membutuhkan pelbagai penafsiran karena kode komunikasi pergelaran bukanlah kode komunikasi literer. Selamat menafsir. Selamat menciptakan pergelaran.



SEMAR MENCARI RAGA



229



SINOPSIS



Bersih desa sudah akan berlangsung, Pak Bekel yang meminta Pak Dalang menggelar lakon Semar Mencari Raga (Semar Nitis) membuat Pak Dalang bimbang. Pak Dalang belum pernah tahu ada lakon itu. Kasak-kusuk pun terjadi di antara para warga, dan juga para penabuh gamelan yang biasa mengiringi pergelaran Pak Dalang. Ada yang mencibir Pak Dalang karena tidak bisa membuat lakon. Ada yang setuju sebaiknya menggelar lakon lain. Slenthem, salah seorang pengiring Pak Dalang yang termasuk mencibir ketidakmampuan membuat lakon baru, terjebak dalam situasi harus menciptakan lakon baru. Ada yang setuju dan mendukung Slenthem. Ada yang tidak. Belum lagi proses pencitaan lakon baru berhasil anak Slenthem mengalami kecelakaan di Sendang Gabus dan mengalami patah tulang. Banyak yang menyatakan Slenthem terkena karma karena hendak mencipta lakon baru. Di luar dugaan, Pak Dalang justru mendukung Slenthem untuk membiayai sakit anaknya yang kecelakaan di sendang itu. Laras, sinden Pak Dalang, marah pada Slenthem. Laras hendak membuat lakon tandingan. Sialnya, Laras justru ditemukan mati di kebun kawasan desa. Pro-kontra penciptaan lakon baru terus terjadi. Pak Dalang, karena kematian Laras, hendak menziarahi hari ke-40 Laras dengan menggelar lakon yang sudah direncanakan Laras. Karena maksud Pak Dalang itu, Pak Bekel dan Slenthem setuju untuk membatalkan pementasan Slenthem. Namun, Pak Dalang justru melarang pembatalan pentas Slenthem. Warga jadi makin bingung dengan situasi desanya. 230



SRI KUNCORO



Di tengah kecamuk kebingungan itu, warga menemukan Pak Dalang mati tergantung di rumahnya. Ada yang mengira Pak Dalang gantung diri. Ada yang mengira Pak Dalang dibunuh dan kemudian digantung.



SEMAR MENCARI RAGA



231



PAR A PEL AKU



1. Pak Dalang (laki-laki 60-an tahun) 2. Slenthem (laki-laki 30–40 tahun) 3. Laras (perempuan 50-an tahun) 4. Demung (laki-laki 50 tahun) 5. Lamis (perempuan 25 tahun) 6. Panjak (laki-laki, 50-an tahun) 7. Batangan (laki-laki 50-an tahun) 8. Pak Bekel (laki-laki 50-an tahun) 9. Yu Tenong (perempuan 40-an tahun) 10. Warga/Orang 1 (35 tahun) 11. Warga/Orang 2 (40-an tahun) 12. Warga/Orang 3 (20-an tahun) 13. Thole (bocah laki-laki, 12 tahun) 14. Ismaya (ruh/spirit) 15. Para Penari



232



SRI KUNCORO



NOL Sandiwara ini dimulai oleh sebuah pertunjukan jathilan atau reog atau semacam seni tradisional yang lain sebagai prosesi pembukaan upacara bersih desa. Ketika lampu meremang nyala atau layar dibuka, para penari seni tradisional itu tengah marak dengan trance-nya.



SEMAR MENCARI RAGA



233



SATU Malam di pendapa rumah Pak Dalang. Di rumah Pak Dalang ini hanya ada beberapa anggota kelompok pengiring Ki Dalang yang berlatih. Mereka itu adalah Nyi Laras, Nyi Lamis, Demung, Batangan, Slenthem, Panjak. Demung: Bosan! Laras: Apanya yang bosan? Demung: Jadi kamu tidak bosan, menunggu kepastiannya nasib kita ini? Lamis: Kita ini sebenarnya jadi pentas tidak? Slenthem: Na, itu! Panjak: Kita pentas kalau Pak Dalang bilang kita pentas. Kita tidak pentas kalau Pak Dalang bilang kita tidak pentas. Lamis: Jadi kita itu sama dengan wayang? Tergantung dalangnya? Lalu Pak Dalang bilang apa? Demung: Tanya saja sendiri! Slenthem: Kalau sampai kita tidak jadi pentas, repot!



Celaka! Honor pentas ini sudah saya janjikan pada Mas Mendreng. Saya sudah terlanjur kredit kompor, wajan, sama kacamata. Kalau tidak jadi pentas, lantas utang saya harus saya cicil pakai apa? Harus saya bayar dengan apa? Apa saya bayar daun pisang?



Batangan: Kalau tukang kreditnya mau, bayar saja! 234



SRI KUNCORO



Slenthem: Mau endhasmu. Panjak: Makanya, jangan suka mendahului apa yang belum terjadi. Slenthem: Tapi kalau pentas bersih desa, kan, pasti. Sudah berapa tahun kita hidup di desa ini? Semenjak kita belum bisa memukul gamelan, kita sudah bisa memastikan bahwa akan ada pertunjukan wayang dalam rangka bersih desa. Sekarang tiba-tiba Pak Dalang berubah adat, upacara pembukaan sudah berlangsung, Pak Dalang belum memutuskan kita akan pentas atau tidak. Apa itu tidak berarti …. Lamis: Tidak bisa nyicil kompor? Slenthem: Kompor buat mbakar mulutmu itu. Lamis: Lho, jangan, kalau mulut saya dibakar, lalu saya harus nyinden pakai apa? Dan lagi siapa yang akan nyindeni wayang kita ini? Panjak: Sudah. Biarkan semua diurus Pak Dalang. Demung: Aneh, bisa-bisanya dalang kekurangan lakon. Diminta membuat cerita Semar Mencari Raga—Semar Nitis—saja bingung. Nggak bisa. Padahal, katanya dalang itu tidak pernah kehabisan cerita. Laras: Soalnya bukan tidak bisa atau kekurangan lakon. Tapi kalau Semar nitis, mencari raga, itu harus nitis pada siapa? Merasuki raga siapa? Kalau Rama merasuki raga Kresna, Wibhisana nitis pada Harjuna, lha kalau Semar? Dari jaman Ramayana sampai Baratayuda, Semar itu, ya, tetap Semar. Tidak nitis. Tidak mencari raga. Tidak berganti. Demung: Sudah tahu. Laras: Kalau sudah tahu, kenapa masih ribut? SEMAR MENCARI RAGA



235



Slenthem: Tapi apa ya tidak bisa dibuatkan wayang lain? Wayang baru? Kan, hanya wayang, ya tho? Laras: Terus akan dinamai siapa? Demung: Nama? Apa sulitnya nama? Slenthem: Namakan saja Simur, atau Samer. Laras: Them, nama Semar dan juga wujudnya itu punya makna. Bukan sekedar nama dan wujud. Slenthem: Wayang itu, ya, tetap wayang. Buto Cakil saja bisa diganti nama Gendir Penjalin, kok, Semar nggak bisa diganti Samer. Mesti bisa. Demung: Kalau begitu kamu jadi dalang saja, Them. Slenthem: Apa? Panjak: Sebaiknya kamu jadi dalang. Slenthem: Aku? Lamis: Iya, Them. Kalau kamu jadi dalang, kamu tidak hanya bisa kredit kompor dan wajan, atau kacamata. Tapi kamu bisa kredit rumah. Slenthem: Lantas bagaimana dengan kalian? Demung: Aku, kan, hanya tukang saron. Diajak main ke sana, ya, main, diajak main ke sini, ya, main. Laras: Tapi aku tidak setuju. Dan lagi, ya, Them, jadi dalang itu tidak mudah. Lamis: Memang. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa, Them. Kamu, kan, bisa berlatih mulai sekarang. Biar besok aku yang menemui Ki Bekel. Akan aku katakan bahwa kamu sanggup membuat cerita tentang Semar Mencari Raga. 236



SRI KUNCORO



Demung: Slenthem tidak akan pernah kekurangan lakon. Laras: Aku tidak setuju.



SEMAR MENCARI RAGA



237



DUA Sebuah tempat umum di pinggir jalan, di desa itu. Yu Tenong: Nong …. Tenong. Nong …. Tenong. Siapa mau beli? Ada konthol kejepit. Ada rondho royal. Ada nasi. Ada Ketan. Ada … (meletakkan gendongan). Huuh … hidup kok makin susah. Jualan apa-apa tidak laku. Muncul seseorang. Orang 1: Ya, tidak usah jualan, Yu. Yu Tenong: Kalau saya tidak jualan, terus anak saya dikasih makan apa? Orang 1: Ya, dikasih makan nasi. Masak mau disuruh makan beling. Nanti dikira jathilan. Tapi kalau mau, nggak apa-apa Yu. Malah ngirit. Yu Tenong: Ngirit cengelmu. Sini, mau beli apa tidak, kalau tidak, sana minggat. Orang 1: Kamu itu, Yu, jualan kok tidak ramah. Kalau kamu galak seperti itu, yang mau beli siapa? Senyum, Yu. Senyum. Kalau perlu, pakai bonus. Yu Tenong: Bonus dhengkulmu. Laba cuma dua puluh lima disuruh ngasih bonus. Bonusnya, ya, pegel-pegel di punggung ini. Eh, saya itu sekarang kok mudah sekali lelah, ya? Punggung ini cepat sekali merasa pegel. Apa karena sudah tua, ya? MBok tolong kamu pijit. Orang 1: Wow, ha umumnya orang jualan itu memberi bonus, 238



SRI KUNCORO



ini malah pembeli disuruh mijiti. Yu, kalau daganganmu pingin laris, bakulmu ini kamu tulisi: PEMBELI DAPAT BONUS PIJIT. Jangan pembeli malah disuruh mijit. Lha, kalau matamu itu yang pegel-pegel, sini saya injak-injak, saya pijiti. Kalau saya disuruh mijit punggung, ya, nggak mau. Yu Tenong: Yang nyuruh itu siapa? Saya itu cuma minta tolong. Itu kalau kamu mau. Kalau tidak mau, ya sudah. Orang 1: Sama saja, Yu. Nyuruh atau minta tolong. Hasilnya sama. Yu Tenong: Kamu itu mau beli apa ngajak ribut? Orang 1: Saya mau beli. Kamu ngajak ribut. Yu Tenong: Kalau beli, ya, cepat. Apa? Ini nasi. Ini ketan. Ini rondho royal. Ini konthol kejepit. Ini … Orang 1: Anu, Yu, kalau ada jepitan Yu Tenong: Jepitan cangkem? Beli apa tidak? Orang 1: Beli, Yu, beli. Nasi. Yu Tenong: Eh, ini jadinya pakai wayang tidak? Bersih desa ini? Betul apa dalangnya si Slenthem? Orang 1: Tanya itu mbok satu-satu. Tanya satu saja belum dijawab, kok sudah tanya lainnya. Yu Tenong: Lha, iya, bersih desa ini jadi pakai wayang tidak? Orang 1: Lha, gitu. Senyap sesaat. Yu Tenong: He, kamu itu ditanya kok diam saja. MBok njawab. Ngomong. Orang 1: Lha, kalau saya nggak tahu. Saya harus njawab apa?



SEMAR MENCARI RAGA



239



Yu Tenong: Tapi apa, ya, Slenthem itu bisa ndalang? Tapi kalau bersih desa tidak pakai pertunjukan wayang, ya sepi, ya? Cemplang. Kalau sayur kurang garam. Tapi kalau untuk saya, yang jelas tidak nambah pendapatan. Saya waktu bersih desa tahun kemarin, pas pertunjukan wayang, pendapatan saya meningkat dua kali lipat. Tapi ya itu, paginya saya tewas. Badan pegel-pegel. Lemas. Mata ngantuk. Loyo sampai tiga hari. Terpaksa, saya tidak jualan tiga hari. Orang 1: Pendapatan meningkat dua kali, apa tidak jualan tiga hari? Apa karena laba dua kali terus tidak jualan tiga hari? Yu Tenong: Laba dua kali tapi terpaksa tidak jualan tiga hari. Orang 1: Itu namanya rugi satu hari. Yu Tenong: Laba dua kali. Goblok. Muncul dua orang. Orang 2: Nasi, Yu. Yu Tenong: (Sambil melayani) Eh, apa Slenthem itu bisa ndalang? Orang 3: Kalau bisa, ya bisa, Yu. Tapi kalau baik, saya nggak tahu. Yu Tenong: Perkara baik atau tidak, itu bukan urusanku. Urusanku itu Slenthem jadi pentas atau tidak? Orang 1: Kalau itu urusan Pak Bekel, Yu. Yu Tenong: Ais, prek. Mau ada pentas wayang, ya syukur, tidak ada pentas, ya biyangane. Orang 2: Slenthem itu kelewatan. Yu Tenong: Slenthem lagi. MBok sudah, nggak usah dibicarain. Slenthem mau koprol, ya biar. Mau jungkir-njempalik, ya biar. Bukan urusan kalian. Kalau dia mau pentas, ya biar pentas.



240



SRI KUNCORO



Kalian mau nonton, ya nonton, tidak mau nonton, ya tidak usah nonton. Gitu saja dibicarakan. Orang 2: Yu, saya mau omong itu urusan cangkem saya. Bukan urusanmu. Orang 3: Pak Dalang yang sudah berpengalaman saja bingung, gara-gara lakon yang diminta Pak Bekel itu sulit, dan belum pernah ada. Kok, Slenthem berani-beraninya mau menggantikan. Yu Tenong: Ha, Pak Dalang itu yang goblok. Dalang kok kekurangan lakon. Atau …. Saya tahu sekarang. Kenapa Pak Dalang tidak segera memutuskan pementasannya. Lakon itu sulit, kan, katamu? Lakon itu juga belum pernah ada, kan? Pasti. Pasti Pak Dalang hanya menunda waktu. Besok kalau tinggal dua atau tiga hari, pasti Pak Dalang mengatakan sudah mendapatkan ceritanya. Lakonnya. Tapi, ya itu. Bayarannya harus tinggi. Ah … dasar dalang, tidak pernah kekurangan lakon. Orang 1: Yu, kamu itu ngerti wayang, tidak? Tahu lakon wayang, tidak? Semar itu dari jaman Ramayana sampai jaman Baratayuda, ya, tetap Semar. Lain dengan Wisnu. Kalau Batara Wisnu itu di jaman Ramayana menjadi Prabu Rama, kalau di jaman Baratayuda menjadi Prabu Kresna. Tapi kalau batara Ismaya, ya, tetap Semar. Semar itu bukan sembarang wayang. Yu Tenong: Wayang itu, ya, tetap wayang. Dalang itu, ya, tetap tidak kekurangan lakon. Muncul Pak Dalang. Yu Tenong: Wah, kayak drama, ya? Dibicarakan, terus datang. Mari Pak Dalang, silahkan. Mau nasi, ketan, apa rondho royal? Ini ketannya enak, lho, Pak Dalang. Impor. Rasanya lain. Orang 3: Pak Dalang, sebenarnya, kalau menurut Pak Dalang, SEMAR MENCARI RAGA



241



Semar itu kalau harus mencari raga, nitis, itu harus merasuk ke raga siapa? Pak Dalang: Sejujurnya aku tidak tahu. Semenjak aku pertama kali melihat pertunjukan wayang, lalu kemudian menjadi dalang, aku belum pernah mendengar lakon seperti itu. Mungkin pengalamanku yang kurang sehingga aku tidak mengerti bahwa pernah ada lakon seperti itu. Tapi mungkin juga memang tidak pernah ada lakon itu. Yu Tenong: Nyak. Dalang kok kekurangan lakon? Pak Dalang: Sejujurnya, Yu, aku tidak tahu, atau malah tidak bisa kalau harus melakonkan cerita itu. Orang 1: Jadi bagaimana menurut Pak Dalang? Pak Dalang: Aku sendiri bingung. Kalau memang lakon itu pernah ada, aku tidak tahu dalam kakawin apa lakon itu dituliskan. Kalau lakon itu belum ada, aku tidak tahu apakah lakon itu sebaiknya ada atau tetap tidak pernah ada. Orang 2: Maksud Pak Dalang? Pak Dalang: Semar itu wayang yang aneh …. Ia dewa, tapi ia juga rakyat jelata. Sebagai dewa, ia tak berada di kahyangan. Sebagai rakyat jelata, ia punya kekuasaan kedewataan. Tak ada seorang dewa pun yang sanggup mengalahkannya. Apalagi hanya seorang raja. Ia dikatakan laki-laki, tapi seperti perempuan. Ia dikatakan perempuan, tapi dipanggil sebagai Romo. Satu hal yang jelas bagiku hanyalah, Semar itu bijaksana. Mungkin karena itu, Semar diciptakan buruk rupa dan tak jelas jenisnya. Apakah ia laki-laki, ataukah sebenarnya ia perempuan. Dan bukankah kebijaksanaan tidak mengenal pangkat, derajat, jenis kelamin, dan ketampanan? Tapi hanya mengenal kejujuran dan ketulusan hati dalam bersikap? 242



SRI KUNCORO



Orang 3: Kalau begitu, lebih baik lakon ini tidak pernah ada! Sekonyong-konyong terdengar peluit membahana. Rampak. Yu Tenong tiba-tiba panik. Yu Tenong: Garukan …. Garukan. Sekarang tidak boleh jualan di tempat ini. Cepat. Cepat. Garukan. Kamu makan apa? Orang 3: Nasi, rondho royal. Yu Tenong: Tiga ratus. Sini. Kamu apa? Orang 1: Ketan, nasi. Yu Tenong: Empat ratus. Kamu apa? Cepat. Orang 2: Nasi dua. Yu Tenong: Lima ratus. Pak Dalang apa? Pak Dalang: Nasi, tapi belum saya makan. Yu Tenong: Dua ratus. Yu Tenong cepat-cepat pergi. Orang 1 & 3: Lho, Yu, uang kembaliannya? Yu Tenong: Saya utang dulu! Yu Tenong pergi. Orang 1: Edan. Biasanya yang utang itu pembeli, kok sekarang penjualnya. Suara peluit mendekat. Orang-orang pergi. Tinggal Pak Dalang. Lalu muncul serombongan orang buta (mengenakan seragam Korpri batik biru) berbaris melintas panggung. Orang buta hilang. Muncul Yu Tenong. Yu Tenong: Edan. Trembelane. Ternyata hanya pegawai latihan berbaris. Orang-orang tadi ke mana, Pak Dalang? SEMAR MENCARI RAGA



243



Pak Dalang: (Menunjuk ke arah perginya orang-orang) Ke sana. Yu Tenong pergi ke arah yang berlawanan dari yang ditunjuk Pak Dalang. Pak Dalang: Lho, Yu, ke sana. Yu Tenong: Nanti ditagih. Pak Dalang memandang kepergian Yu Tenong. Dari sudut yang lain, muncul Ki Buyut yang membopong Thole, anak si Slenthem yang agaknya pingsan. Pak Dalang: Ki Buyut! Siapa yang Ki Buyut bawa? Ki Buyut: Thole. Anaknya Slenthem. Pingsan. Jatuh di Sendang Gabus. Ki Buyut pergi. Pak Dalang membuntuti.



244



SRI KUNCORO



TIGA Malam di pendapa rumah Pak Dalang. Menunggu kedatangan para pengiringnya, Pak Dalang memainkan wayang. Datang Slenthem. Slenthem: Belum pada datang, Pak Dalang? Pak Dalang: Seperti yang kau lihat. Bagaimana anakmu? Slenthem: Kakinya patah. Tak bisa digerakkan. Pak Dalang: Sebaiknya kau bawa ke kota. Sebelum terlambat. Slenthem: Tapi … Pak Dalang: Itulah masalahnya. Tentu makan biaya. Datang Lamis diiringi Demung. Pak Dalang: Tapi apakah kau juga rela melihat anakmu seumur hidup seperti itu? Lamis: Seandainya kau terima mementaskan Slenthem: Tidak. Jangan kau ungkit itu. Pak Dalang: Mungkin Lamis benar. Slenthem: Tidak, Pak Dalang. Tidak. Pak Dalang: Kau jangan hanya diburu perasaanmu. Slenthem: Sehari tadi omongan orang telah membingungkan. Aku sudah tidak bisa menjelaskan. Lamis: Tapi tadi malam kau … Slenthem: Diam kamu, Lamis! Sedikit pun aku tak pernah berhasrat menggantikan kedudukan Pak Dalang! SEMAR MENCARI RAGA



245



Pak Dalang: Jangan kamu dikalahkan kebingunganmu. Anakmu kini membutuhkan tenagamu! Slenthem: Tapi tidak dengan ini. Masih ada sepetak tanah. Secuil sawah. Mungkin bisa dijadikan jalan keluarnya. Pak Dalang: Dan bila tidak? Sekonyong-konyong terdengar suara Laras. Kedatangannya diiringi Panjak dan Batangan. Laras: Nah, apa katamu sekarang? Belum lagi cerita kau karang, anakmu sudah menjdi korban. Itu yang namanya kuwalat. Sudah aku bilang, Semar itu wayang bukan sembarang wayang, tapi kamu nekad. Sekarang apa katamu, Them? Ayo katakan! Ini yang marah baru danyang penunggu Sendang Gabus. Belum Lurahe Badranaya sendiri. Pak Dalang: Laras. Laras. Laras: Semar dipakai mainan. Pak Dalang: Laras …. Laras: Pak Dalang itu, ya, lucu. Kalau tidak pentas, ya, diumumkan bahwa tidak pentas. Kalau pentas, ya, katakan. Pak Dalang: Diamlah. Aku ingin bicara. Kalian mestinya tahu, penduduk desa mendapatkan hiburannya hanya pada upacara bersih desa. Dan kalian juga tahu betapa sulitnya mengarang cerita itu. Betapa sedihnya bila tak memberikan kesempatan penduduk desa mendapatkan hiburannya. Tetapi betapa berat dan susahnya merangkai cerita Semar Mencari Raga. Ketika aku dengar dari omongan orang, Slenthem akan menggantikan mendalang, aku bisa sedikit menitipkan harapan. Paling tidak, orang desa bisa mendapatkan haknya mendapatkan hiburan. 246



SRI KUNCORO



Panjak: Tapi, Pak Dalang. Belum lagi cerita dikarang, anak Slenthem telah menjadi korban. Pak Dalang: Tak ada anak Slenthem yang menjadi korban. Tak ada hubungan antara wayang dan kehidupan. Wayang itu diciptakan oleh manusia, dia tak berkuasa atas kehidupan kita. Siapa pun bisa terpeleset, jatuh, di Sendang Gabus. Bukan karena Semar. Bukan karena danyang penunggu sendang. Tapi karena sendang licin dan tebingnya terjal. Aku minta sekarang kalian membantu Slenthem. Anaknya harus berobat ke kota. Itu butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya. Aku berharap Ki Bekel bersedia menebus semua biaya. Slenthem: Tidak, Pak Dalang. Tidak. Aku belum membuat ceritanya. Sebaiknya tetap Pak Dalang saja. Biarkan aku terima upah yang biasanya. Pak Dalang: Jangan kau sia-siakan waktu yang ada. Belajarlah dulu menarikan anak wayang. Slenthem dituntun Pak Dalang menuju jajaran wayang. Lalu kemudian ia tarikan anak-anak wayang. Para penabuh gamelan mengiringi dengan tabuhan.



SEMAR MENCARI RAGA



247



EMPAT Halaman rumah Pak Bekel. Suasana meriah. Ada sebuah tontonan—mungkin tayub—tengah berlangsung, sebagai bagian dari acara bersih desa. Pak Bekel bicara pada Slenthem. Barangkali juga sambil menayub, sambil sesekali mencubit, atau menjawil sesuatu yang lain pada bagian tertentu tledek. Pak Bekel: Prinsipnya saya setuju. Hanya kalau bisa dan mungkin, Semar-nya itu dirubah sedikit. Ya, tidak gemuk seperti itu. Wajahnya, ya, tidak usah njewewek seperti itu. Kalau perlu, nggak usah pakai kuncung. Atau malah begini, Semar itu, kan, dewa, ya tho? Bagaimana kalau dia itu dibuat sedikit mirip Arjuna. Ya setidaknya, Arjuna itu, kan, halus, tampan. Atau paling tidak, mirip Abimanyu atau Irawan. Tapi, itu kalau menurut saya. Kita mencoba menghargai dewa, begitu maksud saya. Masak kita melukiskan dewa kita sendiri, kok, gembrot, wajahnya pating plethot dan pakai kuncung. Kalau seperti itu, kan, hanya kayak badut, ya tho? Masak kita tega dewa, kok, disamakan badut. Tapi, itu kalau saya. Ya, semacam harapan saya saja. Lalu soal nama tokohnya, kamu katakan tetap seorang rakyat jelata, itu saya setuju. Semua kita ini toh rakyat biasa juga. Bupati itu asalnya rakyat biasa juga. Pemimpin lainnya itu tadinya juga rakyat biasa. Hanya kebetulan mereka terpilih menjadi pemimpin. Dan jangan lupa bahwa pemimpin itu sebenarnya abdi rakyat. Kelihatannya saja mereka memimpin, tapi sebenarnya mereka itu pelayan masyarakat. Jadi memang sudah sepantasnya kalau Semar yang baru itu tetap rakyat biasa. Hanya sebutannya saja bagaimana 248



SRI KUNCORO



kalau sedikit dirubah. Maksud saya begini, Semar itu, kan, dipanggil Lurah Semar. Kalau saya, lebih pas, lebih sreg, kalau dipanggil Ki Bekel. Ki Bekel Semar. Atau Semar-nya itu diganti sekalian. Diganti langsung nama kedewataannya. Itu, kalau saya. Soalnya menurut saya, lebih pantas begitu. Jadi Semar yang baru itu nantinya disebut Ki Bekel Ismayajati. Bukan lagi Ki Lurah Semar atau Ki Bekel Semar. Jadi sesuai antara nama dan wujud wayangnya. Tapi, itu semua kalau menurut saya. Mungkin kamu punya pertimbangan lain? Kau sampaikan lain kali saja.



SEMAR MENCARI RAGA



249



LIMA Senja di pendapa Pak Dalang. Di depan kelir Pak Dalang menarikan wayang. Sambil bersuluk. Pak Dalang: Surem, surem diwangkara kingkin, lir mangaswa kang layon …. (Baik juga bila dibacakan terjemahannya, soalnya pinjaman dari GM. Dan bila kurang panjang, demi durasi pengadegan, kutipkan saja dari buku Sejumlah Masalah Sastra, hal. 167.) Suram, suram matahari yang duka seakan mencium sang mayat. Menyentak suara Yu Tenong dari luar dan langsung menyorongkan dagangannya pada Pak Dalang. Yu Tenong: Pak Dalang, Pak Dalang. Dagangan ini harus Pak Dalang borong. Ada kabar untuk Pak Dalang dan belum saya edarkan. Kabar saya khususkan untuk Pak Dalang. Tapi diborong. Pak Dalang: Sekarang jualan kabar apa jualan panganan, Yu? Yu Tenong: Pokoknya diborong, ya, Pak Dalang. Untuk anak buah Pak Dalang. Nanti, kan, pada latihan. Daripada anak saya ndak bisa makan besok. Baru saja saya mampir rumah Pak Bekel. Pak Bekel sedang mempermainkan Semar anyar. Semar baru. Jauh. Jauh dari Semar-nya Pak Dalang. Ini lebih bagus. Gantheng. Persis Janaka. Nah, Semar yang anyar itu, menurut Pak Bekel, yang akan dipakai sebagai titisan Semar yang baru. Diborong, ya, Pak! Pak Dalang: Sudah tahu! 250



SRI KUNCORO



Yu Tenong: Ha? Pak Dalang: Sudah tahu. Yu Tenong: Sudah tahu? Pak Dalang: Ya. Yu Tenong: Wah. Pak Dalang: Sebelum ke rumah Pak Bekel, Kasidi yang mengerjakan pembuatan wayang itu, mampir ke sini dan menceritakan semuanya. Yu Tenong: Wow. Datang Laras dengan geram di dadanya. Laras: Apa tindakan Pak Dalang sekarang? Cerita belum dikarang, Semar baru sudah dibuatkan. Itu berarti Slenthem harus menyesuaikan lakonnya. Dan Semar harus bersalin rupa. Yu Tenong: Ketan, Nyi Laras. (Menawarkan bungkusan ketan.) Laras: Tidak butuh ketan. Yu Tenong: Semar Mendem … Semar Mendem (Menawarkan semar mendem.) Laras: Semar edan! Yu Tenong: Semar mendem tambah ketan, jadi Semar edan! (Menyerahkan bungkusan ketan dan semar mendem.) Gratis. Sudah diborong Pak Dalang! Laras: (Menerima bungkusan makanan dan diletakkan kembali ke tenongan, bakul yang dibawa Yu Tenong.) Keberadaan Semar harus diluruskan. Orang boleh menciptakan dongengan, tetapi tidak harus memalsukan hakekat keberadaan. Datang Panjak. Langsung disambut Yu Tenong. SEMAR MENCARI RAGA



251



Yu Tenong: (Menyerahkan bungkusan ketan dan semar mendem.) Semar mendem tambah ketan. Semar edan. Begitu saja Panjak menerima. Laras: Ini tidak bisa dibiarkan. Pak Dalang harus bertanggung jawab. Kalau perlu, Slenthem disuruh mengurungkan pertunjukan. Panjak: Laras betul, Dalange. Sebagai wayang, Semar memang hanya tontonan. Tetapi sebagai kebijaksanaan Semar adalah tauladan. Semua orang tahu itu. Dalam wajahnya yang jelata, ada kebijakan dewata. Dalam kesempurnaan kedewaannya, ada kesederhanaan manusia biasa. Itu yang harus dipertahankan. Bukan keberadaannya sebagai wayang. Kurasa kau lebih tahu dariku. Muncul Batangan, langsung disambut Yu Tenong dengan dagangan. Yu Tenong: (Memberikan semar mendem dan ketan.) Semar edan. Semar mendem tambah ketan! Begitu saja Batangan menerima. Batangan: Apa yang harus kami lakukan, Pak Dalang? Pak Dalang: Seperti biasa, menunggu Slenthem dan menemani mempersiapkan pertunjukan. Laras kesal. Panjak mencoba menanggungkan. Batangan pasrah dalam gelisah. Mereka mencari tempatnya sendiri mempersiapkan tugas yang harus dijalani, mengiringi Slenthem. Pak Dalang: Aku mengerti kegelisahan kalian. Dan aku hargai keberanian kalian menentukan pilihan. Semar yang harus tidak dipalsukan. Tetapi bagiku Semar itu tak ada. Semar hanya maya. Menghuni bagian pikiran kita. Yang nyata adalah



252



SRI KUNCORO



Thole. Anak Slenthem. Yang kakinya patah. Yang hidupnya bakalan susah bila kita tak mengusahakan kepulihannya. Terpaksa. Tidak. Bukan terpaksa, bila aku memilih Thole dan bukan Semar. Aku memilih yang nyata dan bukan yang maya. Tak ada yang lebih penting dari hidup ini sendiri. Datang berombongan, Slenthem, Demung, dan Lamis. Di tangan Slenthem tergenggam selembar anak wayang dengan bleger (wujud fisik) bambangan/ksatria, dengan praba cahaya dewa, dan upaya sia-sia untuk menunjukkan rakyat biasa dari kain kampuh (kain dengan motif kotak-kotak hitam-putih-merah) yang melilit di badannya. Yu Tenong buru-buru melayani ketiga orang yang datang. Yu Tenong: (Memberikan makanan pada ketiganya.) Semar edan. Semar mendem campur ketan. Yu Tenong memberesi bakulannya. Tenong tempat dagangan. Slenthem langsung mendekati Pak Dalang. Slenthem: (Menyerahkan anak wayang) Banyak orang yang tidak menyetujui pementasan. Belum lagi cerita yang mungkin bisa dikarang. Yu Tenong: Aku setuju. Pak Dalang: Ada saatnya hidup mengharuskan untuk tidak mengikuti suara banyak orang. (Sambil menimang dan mempermainkan anak wayang.) Yu Tenong: Pak Dalang juga setuju, kan? (Yu Tenong mendekati Pak Dalang, dengan sepuluh jari tangannya ia menunjukkan jumlah harga dagangannya.) Pak Dalang, hu! Pak Dalang mengangsurkan sejumlah uang. Yu Tenong lalu pergi meninggalkan latihan pementasan. SEMAR MENCARI RAGA



253



Slenthem: Tetapi bagaimana dengan Semar dalam wujudnya yang baru? Begitu berbeda dengan muasalnya. Pak Dalang: Dunia berubah. Hidup juga berubah. Semar yang dewata, bisa berubah menjadi jelata. Semar yang jenaka, bisa menjadi bahan tertawaan penontonnya. Tapi anakmu jangan jadikan cemoohan tetanggamu, lantaran kelumpuhannya. Berlatihlah. Mumpung masih ada waktu. Pak Dalang mengembalikan anak wayang. Slenthem menerima, lalu menuju tempat berlatihnya. Ditarikannya Semar yang baru, ditarikannya Semar yang lama. Dicobakan perkawinannya. Diupayakan keluluhannya. Langit dingin dan biru Malam berlumut kabut Hijau mungkin kelabu Berselendang sulam kabut Ismaya menari dalam pesta warna jagat raya Mungkin bagus seandainya struktur visual meminjam komposisi gerak Tari Semar karya almarhum Ben Suharto. Percakapan di bawah anggap saja percakapan batin. Ismaya bicara sambil menari. Ismaya: Tak ada yang perlu digelisahkan dari putaran kehidupan, bila kita telah berani menentukan sebuah pilihan. Pak Dalang: Apa yang aku lakukan hanyalah apa yang terbaik menurutku, ketika aku sampai pada kesimpulan. Ismaya: Itu yang diajarkan. Pak Dalang: Itu yang aku dapatkan. Tapi … Ismaya: Tapi …



254



SRI KUNCORO



Pak Dalang: Ada yang terus menguntitku dan menodongkan kecemasan. Ismaya: Pikiran-pikiran. Pak Dalang: Mulanya adalah tantangan. Ismaya: Hidup tak dihitung dengan kalah menang. Pak Dalang: Lalu penghinaan. Ismaya: Masih juga itu jadi perhitungan? Pak Dalang: Telah aku pasrahkan ke dalam penerimaan. Ismaya: Hidup adalah penghayatan penderitaan yang panjang. Pak Dalang: Dan sekarang kebenaran yang dipalsukan. Ismaya: Tak ada kebenaran sebelum hidup mencapai kesempurnaan. Pak Dalang: Itu tidak di sini! Ismaya: Itu tidak di sini. Pak Dalang: Itu tidak di sini. Ismaya: Itu tidak di sini. Ismaya moksa. Malam kembali sebagai sediakala. Demung menarikan anak-anak wayang. Dari bagian para pengiring, Laras sekonyong- konyong berdiri. Laras: Aku tak bisa melakukannya. (Lantang) Ini pengkhianatan kehidupan. Upaya menyingkirkan kebenaran. Aku akan pergelarkan ceritaku. Akan aku buka kedok Semar yang baru. Akan aku kembalikan Semar sebagaimana ada pada mulanya. (Laras pergi meninggalkan latihan.)



SEMAR MENCARI RAGA



255



Pak Dalang: Aku mengerti perasaan Laras. Aku bisa menerimanya. Kuharap kalian pun melakukannya. Slenthem: Sebaiknya ini diurungkan saja. Pak Dalang: Tak perlu. Niatan pergelaran Laras akan mengurungkan ceritamu. Yang aku mintakan kepada kalian, bantulah Slenthem dan Laras kemudian. Nah, pulanglah. Beristirahatlah. Malam telah larut. Dan kalian telah kerja keras. Masih ada waktu besok untuk berlatih lagi. Hanya kau, Slenthem, aku minta kau tinggal saja, aku ingin mendengar cerita yang kau reka. Juga tentang anakmu. Semua pergi, kecuali Slenthem. Pak Dalang: Di mana Semar-mu yang baru? Slenthem mengambil Semar yang baru, sekalian juga Semar yang lama. Pak Dalang: Sudah lincah kau menarikannya? Slenthem menarikan kedua Semar. Pak Dalang: Apakah kau juga akan memerangkan keduanya? Slenthem menarikan gerakan perang antara kedua Semar. Lalu panggung berubah menjadi pertunjukan wayang orang. Dalam pertunjukan, Laras memerankan tokoh Semar (tandai dengan atribusi kostum dan gerakan tari). Ia berperang melawan Pak Bekel yang juga memerankan tokoh yang sama, Semar. Sedang, Pak Dalang dan Slenthem tak merasa ada kejadian dahsyat di sekitarnya. Laras: Pak Bekel, apa yang kau mau dari kelahiran Semar yang baru?



256



SRI KUNCORO



Pak Bekel: Apa kau perlu tahu? Laras: Setiap orang tak menghendaki kebenaran yang palsu. Pak Bekel: Tetapi apabila yang ditiru telah ditiadakan, tak akan ada yang dipalsukan. Laras: Tak ada pilihan lagi. Pak Bekel: Ada! Kau diam dan membiarkan aku melangsungkan rencanaku. Laras: Aku diam bila jazadku menyuruhku diam. Pak Bekel: Apa boleh buat. Perang meningkat sengit. Laras tersudut. Laras terjengkang. Laras modar. Pak Bekel: Semar telah aku bunuh. Kini akulah yang sejati. Lalu panggung penuh teriakan dan orang-orang yang belingsatan. Pak Bekel hilang dari pandangan. Teriakan: Semar terbunuh. Semar mati. Laras terbunuh. Laras mati. Semar terbunuh. Semar mati. Laras terbunuh. Laras mati. Semar terbunuh. Semar mati. Laras terbunuh. Laras mati. Teriakan sejenak berkurang, menjauh bersama perginya orangorang yang belingsatan. Pak Dalang: Apa kau mendengar suara teriakan? Slenthem: Seperti orang kesurupan. Suara teriakan meninggi. Bersama belingsatan datangnya orangorang.



SEMAR MENCARI RAGA



257



Teriakan: Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati. Teriakan menghilang. Bersama perginya orang-orang. Pak Dalang: Laras terbunuh. Laras mati. (Mungkin semacam gumam.) Slenthem: Laras terbunuh. Laras mati. (Semacam gumam.) Pak Dalang: Ayo kita dekati. Sesuatu agaknya telah terjadi. Pak Dalang dan Slenthem pergi. Teriakan menjadi-jadi. Belingsatan orang mengimbangi. Belingsatan Teriakan: Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati.



258



SRI KUNCORO



ENAM Pagi berkabut. Pelataran rumah Pak Bekel menjadi tujuan teriakan dan orang-orang yang belingsatan. Di atas pendapa, Pak Bekel berdiri dengan gagahnya. Tentu, sudah tak mengenakan kostum Semar-nya. Orang-Orang: Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati. Laras terbunuh. Laras mati. Pak Bekel: Ya, Laras terbunuh. Laras mati. Tapi siapa telah melakukannya? Lamis: Slenthem! Pak Bekel: Slenthem? Bagaimana kamu bisa mengatakannya? Lamis: Nyi Laras menolak membantu pementasan Slenthem. Pak Bekel: Apakah itu alasanmu? Lamis: Slenthem … mungkin marah … tersinggung. Pak Bekel: Kalau begitu, cari Slenthem. Orang-orang siap bergerak. Datang Pak Dalang bersama Slenthem. Pak Dalang: Tak perlu! Dia bersamaku. Bahkan jauh sebelum terdengar teriakan kematian itu. Jadi bukan dia pembunuhnya. Orang-Orang: Lalu siapa? Pak Dalang: Tanyakan kepada kepala desamu. Bekelmu! Sekarang di mana jazad Laras berada? Orang 1: Mungkin … barangkali … masih di tempat kejadian. SEMAR MENCARI RAGA



259



Pak Dalang: Kita ke sana. Korban penganiayaan wajib kita beri penghormatan. Pak Dalang pergi. Diikuti Slenthem. Diikuti beberapa orang. Pak Bekel: (Setelah Pak Dalang jauh, teriak) Tapi Pak Dalang, persoalan ini perlu dijernihkan! Pak Dalang: (Membalas teriakan) Bukan perlu, tapi harus! Dan bukan warga yang mesti melakukannya. Mereka hanya membutuhkan jawaban! Bukan yang menanggungkan kewajiban. Sekarang orang-orang mengikuti, menyusul kepergian Pak Dalang. Tinggal Lamis menyuntuki Pak Bekel yang kaku berdiri. Pak Bekel: Gila! Lamis: Memang sudah jamannya. Lalu entah bagaimana memulainya. Lamis meraih tangan Pak Bekel. Mengelusnya. Menyeret. Menariknya, dalam gerakan tarian birahi yang sempurna. Cahaya susut. Meninggalkan warna dingin dan kabut.



260



SRI KUNCORO



TUJUH Malam tua. Dingin dan hijau. Pak Dalang menimang anak wayang. Semar. Pak Dalang: Apa yang sebenarnya dikehendaki lakon ini? Ismaya: (OS/off stage) Kehidupan. Pak Dalang: Perubahan. Ismaya: (OS) Kehidupan. Pak Dalang: Kematian. Ismaya: (OS) Kehidupan. Pak Dalang: Semua bertudung rahasia. Ismaya: (OS) Kehidupan. Pak Dalang: Waktu. Ismaya: (OS) Kehidupan. Pak Dalang: Menunggu. Ismaya: (OS) Kehidupan. Datang Batangan, Panjak, Lamis, Demung, dan Slenthem. Langkahnya dingin dan kelu. Panjak: Apakah Slenthem harus meneruskan pegelarannya? Pak Dalang: Ya. Batangan: Tapi …



SEMAR MENCARI RAGA



261



Pak Dalang: Tak sepatutnya kita bercuriga. Yang mati, cukup kita berdoa. Yang sakit, kita harus berupaya. Anak Slenthem! Slenthem: Mungkin ada jalan lain? Pak Dalang: Kita tak perlu menghentikan usaha hanya karena sebuah peristiwa yang muncul bersama. Jangan terlalu mengada-ada. Berlatihlah. (…) Kita juga harus mempersiapkan untuk kerja yang selanjutnya. Batangan: Maksud Pak Dalang? Pak Dalang: Kita harus melunasi janji Laras. Ia inginkan Semar yang lama sebagai Semar yang sesungguhnya. Aku ingin kita ziarahi dia tepat pada hari keempat puluh kematiannya. Aku yang akan menggantikan dia melakonkan cerita. Demung: Bagaimana seandainya Pak Dalang saja melakonkan kedua-duanya? Maksudku, lakon Slenthem dan lakon Laras? Pak Dalang menggeleng. Menyembunyikan muram. Pak Dalang: Itu tak bisa aku lakukan. Lalu anak buah Pak Dalang memulai latihan. Lalu Slenthem menarikan anak wayang. Lalu Pak Dalang menangkap kesunyian. Entah bagaimana caranya, datang Ismaya dan Pak Bekel. Pak Bekel: Berapa pun upah yang kau minta, aku inginkan Semar Mencari Raga. Ismaya: Tak pernah aku mintakan upah pada desa yang memberiku rumah. Pak Bekel: Tak ada hubungannya antara Semar Mencari Raga dan desa. Ismaya: Bagiku ada. Semar dan desa memiliki tujuan bersama.



262



SRI KUNCORO



Tapi bila Semar Mencari Raga, apakah kau bisa mengatakan itu sebagai tujuan bersama? Pak Bekel: Akan aku cari dalang yang lainnya. Ismaya: Kau harus menjawab pertanyaan warga desa. Pak Bekel: Aku katakan, kau tak bisa menceritakan kisahnya. Ismaya: Tak ada yang bisa percaya dalang kehabisan cerita. Pak Bekel: Aku punya cara mengatakannya. Ismaya: Kumiliki juga cara menangkisnya. Pak Bekel: Akan aku buktikan. (Pergi. Hilang dari pandangan.) Lalu datang Thole, anak Slenthem, meminta dengan cacat kakinya, Ismaya menyambut dan membopongnya. Hilang. Lalu muncul Laras menari dalam Semar-nya. Hilang dalam cahaya yang padam.



SEMAR MENCARI RAGA



263



DELAPAN Muncul Yu Tenong lengkap dengan dagangan, gerutuan, dan sapu di tangan. Yu Tenong: Mentang-mentang dipinjami kekuasaan. Mengusir orang sewenang-wenang. Minta iuran, diberi iuran. Minta dijaga kebersihan, sudah dijalankan. Tetap saja dikelirukan. Muncul seseorang dari arah yang berlawanan. Orang 1: Ada apa, Yu, menggerutu? Yu Tenong: Edan! Mendem! (Melanjutkan gerutuan.) Orang 1: Yang mendem itu Semar, Yu. Yu Tenong: Tidak ngurus Semar. Mau jualan saja sudah repot, disuruh ngurus Semar. (Menurunkan tenong/bakul yang digendong.) Orang 1: Kalau begitu, biar aku yang ngurus, Yu. (Mengambil semar mendem dari dalam tenong makanan.) Muncul seseorang lagi. Orang 2: Wah, calonnya cepat kaya, Yu! Yu Tenong: Kaya utang! Orang 2: Lho, dalam satu bulan ada dua pementasan wayang. Apa tidak berarti laba lipat berkali-kali? Yu Tenong: Pak Dalang itu yang kurang kerjaan. Coba kalau dulu-dulu menyanggupi, kan Thole anaknya Slenthem tidak perlu patah kaki. Nyi Laras tidak harus mati. 264



SRI KUNCORO



Orang 1: Kalau saya tahu hidup akan seperti ini, saya memilih tidak dilahirkan, Yu. Orang 2: Tapi apa, ya, kematian Nyi Laras itu ada hubungannya dengan pementasan? Yu Tenong: Banyak orang yang membicarakan. Orang 1: Apa kalau banyak orang membicarakan itu bisa berarti kebenaran? Orang 2: Kalau Slenthem membunuh itu tujuannya apa? Orang 1: Kalau Pak Dalang itu melarang, Slenthem bersedia mengurungkan pementasan. Yu Tenong: Terus anaknya akan dibiayai dengan apa? Duit dari mana? Tapi benar, ya, Pak Dalang akan menziarahi Nyi Laras dengan pentas? Muncul Pak Bekel yang berjalan tergesa. Orang 2: Mau ke mana, Pak Bekel? Pak Bekel: Re rumah Pak Dalang. Orang 1: Itu Pak Dalang! (Menunjuk ke arah dari mana Pak Bekel datang.) Muncul Pak Dalang. Pak Bekel: Saya baru mau ke rumah. Pak Dalang: Apa ada yang perlu dibicarakan? Pak Bekel: Sangat perlu. Ini menyangkut ketenangan kehidupan semua warga. Kematian Laras telah dikaitkan dengan pementasan yang telah direncanakan. Dan warga tetap mengira Slenthem pelakunya. Aku dengar juga Pak Dalang akan merencanakan pementasan untuk menziarahi kematian Laras.



SEMAR MENCARI RAGA



265



Pak Dalang: Kau takut aku jadi korban penganiayaan? Pak Bekel: Tidak. Bukan itu. Tapi aku ingin ketenangan kehidupan semua warga. Aku ingin pentas Slenthem dibatalkan. Dan aku pasrahkan kepada Pak Dalang, lakon yang hendak dimainkan dalam upacara penutupan bersih desa nantinya. Tidak harus Semar Mencari Raga. Pak Dalang: Soalnya sekarang sudah bukan sekedar Semar Mencari Raga. Pak Bekel: Maksud Pak Dalang? Pak Dalang: Tapi juga Thole, anak Slenthem, yang butuh biaya. Pak Bekel: Itu bisa menjadi tanggungan desa. Kalau perlu, biar aku sendiri nanti yang membiayai. Asal kehidupan warga desa tentram kembali. Yu Tenong: Ha, ya, saya yang tidak jadi tentram, Pak Bekel. Gimana Pak Bekel ini? Kalau sampai tidak jadi pentas dua kali, kesempatan saya mendapatkan laba hilang sama sekali. Orang 1: Kamu jangan hanya memikirkan kepentinganmu sendiri, Yu. Yu Tenong: Apa ada orang yang tidak memikirkan kepentingan diri sendiri? Coba kamu pikir. Pak Bekel menginginkan pentas satu kali, hanya karena tidak tentram melihat warganya yang tidak tenang. Jadi bukan karena warga yang tidak tenang, tapi Pak Bekel yang tidak tentram. Orang 2: Hush! Pak Bekel: Sebaiknya kita bicarakan di rumah saja, Pak Dalang. Terserah Pak Dalang, di rumah saya atau di rumah Pak Dalang. Pak Dalang dan Pak Bekel pergi. 266



SRI KUNCORO



Orang 1: Yu, kamu itu yang hormat pada Pak Bekel. Yu Tenong: Kehormatan kok diberikan. Kehornatan itu, ya, diciptakan. Kalau memang tidak pantas dihormati, ya, ndak usah dihormati. Apa artinya menghormat di depan, tapi mencela di belakang? Orang 2: Tapi setidaknya, orang hidup perlu menjaga jangan sampai menyinggung perasaan orang. Yu Tenong: Yang menyinggung itu juga siapa? Aku, kan, ngomong apa adanya. Kalau Pak Bekel merasa tersinggung, ya, salahnya sendiri. Orang kok perasa. Dan lagi, kalau jadi bekel itu cari pembantu yang bisa omong apa adanya. Jadi kalau ketemu orang yang biasa omong apa adanya, tidak tersinggung. Cahaya menyusut. Dalam gelap tersisa dialog.



SEMAR MENCARI RAGA



267



SEMBILAN Gaib malam di rumah Pak Dalang. Di sudut ruang, Ismaya tepekur menunggui Pak Dalang yang bersiap untuk tidur. Pak Dalang: Apakah aku tidak sedang menyinggung harga dirinya? (Pak Dalang tidur.) Muncul Thole, anak Slenthem, langkahnya pincang dan kesulitan. Thole: Telah kau perlakukan aku layaknya anjing yang menadah belas kasihan. Ismaya: Itu hanya perkiraan. Pak Dalang tidur dalam gelisah. Thole: Siapa bilang? Ismaya: Bayang-bayang. Thole: Bukan. Ismaya: Pikiran. Thole: Tapi salahkah orang yang berfikir? Ismaya: Kau tahu jawab pertanyaanmu. Thole: Kalau begitu, ijinkan aku menebus harga diriku. Thole mengeluarkan gada—semacam penthungan yang besar wujudnya. Terseret-seret langkahnya mendekati Pak Dalang. Dengan sangat kejam, dipukulnya Pak Dalang. Tepat ketika pukulan menghujam, gelap menyergap. Cahaya menyala. Thole dan Ismaya telah tak ada. Hanya Demung 268



SRI KUNCORO



yang bersusah-payah menyeret tubuh Pak Dalang dan menggantungkan dalam talian. Demung: Pak Dalang gantung diri! (Pergi.) Lalu ada suara kentongan, orang-orang bergerak serabutan, lalu bunyi sahut-sahutan, lalu teriakan orang-orang. Orang-Orang: Pak Dalang gantung diri. Pak Dalang gantung diri. Pak Dalang gantung diri. Panggung senyap. Bunyi dan teriakan meningkat. Dengan sigap, orang datang dari berbagai tempat. Cahaya sempurna. Panjak: Turunkan. Batangan: Turunkan. Orang-orang menurunkan tubuh Pak Dalang. Panjak dan Batangan memeriksa mayat Pak Dalang. Panjak: Ini bukan gantung diri. Ini pembunuhan! Batangan: Ini pembunuhan! Demung: Pasti Slenthem. Cari dan temukan. Demung beraksi memerintah. Orang-orang bergerak ke segenap arah. Panjak dan Batangan, bersama beberapa orang, mengangkat tubuh Pak Dalang. Demung terus beraksi memerintah. Cahaya berubah. Malam menyeret pelan orang-orang yang datang. Demung mengendorkan aksinya memerintah. Tepat ketika semuanya berhenti, Pak Bekel memberikan orasi. Pak Bekel: Kita memang patut berduka. Bersih desa terpaksa ditandai jatuhnya korban jiwa. Jiwa dua warga, warga-warga



SEMAR MENCARI RAGA



269



terbaik dalam keluarga besar desa kita. Tapi kita juga harus tidak berhenti untuk mengembangkan diri. Sebagai penghormatan kita kepada mereka, kita akan tundukkan kepala sesaat. Dan sebagai bukti kita mewarisi semangat mereka, kita akan mengembangkan diri. Malam ini, atas persetujuan bersama, Demung bersedia melakonkan cerita untuk menutup upacara bersih desa. Demung melangkah ke jajaran wayang diiringi para penabuh gamelan. Tepat ketika Demung memulai pementasan, dengan memukul kotak wayang, lampu menyusut. Di sudut lain, dalam nyala yang terang, dingin menyelimuti Slenthem dalam bilik sebuah tahanan. Lalu lampu merayap padam. Layar merayap menutup pementasan. Dalam sisa cahaya, dalam celah layar yang ada, muncul Yu Tenong melintas di atas pentas, menawarkan dagangan dengan selembar cahaya—mungkin lentera. Yu Tenong: Nong …. Tenong …. Siapa mau beli? Ada konthol kejepit, ada randha royal, ada nasi, ada ketan. Ada semar mendem, ada Semar edan ….



270



SRI KUNCORO



Mesin Jemaat Sebuah Lakon



AHDA IMR AN



Ahda Imran lahir pada 10 Agustus di Kanagarian Baruhgunung, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Ia menulis puisi, cerpen, novel, drama, dan biografi. Bukunya yang telah terbit berupa tiga kumpulan puisi: Dunia Perkawinan (1999), Penunggang Kuda Negeri Malam ( 2008), Rusa Berbulu Merah (2014), Ludah Orang Suci (2022). Ia juga menulis novel biografi, Jais Darga Namaku (2018), yang salah satu bagiannya diadaptasi menjadi film Before, Now & Then (Nana). Cerpennya, “Pembunuh Terbaik”, termuat dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019. Ia juga menulis buku seni rupa Wot Batu: Meniti Suara Batu Menuju Kekal (2021). Sejumlah karya dramanya yang telah dipentaskan di antaranya, Inggit; Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah; Sjahrir; Amir Hamzah: Nyanyi Sunyi Revolusi; The Sin Nio, Sepinya Sepi; Annelis Mallemma; dan Kacamata Sjafaruddin. Kumpulan puisinya, Rusa Berbulu Merah, terpilih sebagai 5 besar nomine Anugerah Khusala Sastra Khatuliswa 2014. Sementara, Ludah Orang Suci terpilih sebagai pemenang penghargaan Buku Puisi Terbaik Kemendikbud 2022. Bersama Kamila Andini, skenario dan adaptasinya untuk film Before, Now and Then (Nana) terpilih sebagai nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia 2022. Kini, ia bergiat di Selasar Bahasa dan Titimangsa.



PELAKU



1. Imam Agung: lelaki 50 tahunan, pemimpin sebuah jemaat keagamaan yang mengelola Mesin Cuci Jemaat 2. Nyonya Salamah: pengusaha besar, janda Tuan Moses 3. Ajudan Istana: birokrat, pegawai pemerintah, pengagum Imam Agung 4. Siti: perempuan hamil berusia 20 tahunan 5. Wati: aktivis/sineas film dokumenter yang dikendalikan Nyonya Salamah 6. Budi: aktivis/sineas film dokumenter yang dikendalikan Nyonya Salamah 7. Youtuber: remaja jemaat humas Mesin Cuci Jemaat 8. Host: lelaki klimis berkaca mata atau bisa juga perempuan 9. Panglima Lasykar: pengikut Imam Agung 10. Pakar: lawan debat Imam Agung 11. Narasumber 1: lelaki/perempuan dalam film dokumenter 12. Narasumber 2: lelaki/perempuan dalam film dokumenter 13. Imam 1: pengikut Imam Agung 14. Imam 2: pengikut Imam Agung 15. Beberapa Orang Yang Bekerja: pengikut Imam Agung 16. Beberapa Orang Warga/Jemaat 17. Beberapa Orang Lasykar: pengikut Imam Agung MESIN JEMAAT



273



SATU Panggung merupakan sebuah laundry yang dipenuhi mesin cuci— bisa juga sebuah mesin cuci yang dirancang dalam bentuknya yang masif. Mesin itu khusus mencuci busana keagamaan atau kain yang biasa dipakai beribadah. Sebuah atau beberapa rangkaian selang pembuangan berjuluran dari mesin cuci. Beberapa yang bekerja dan lasykar berjaga. Pelanggan mengantarkan dan mengambil pakaian yang sudah dicuci sambil memasukkan uang ke kotak derma. Satu dua orang warga berdiri memandang mesin cuci sambil menggaruk-garuk bagian tubuhnya yang penuh borok atau penyakit. Menadahkan tangan, lalu pergi setelah diberi uang.



Adegan 1 Latar panggung—bisa juga monitor LCD—menampilkan visual ruangan mesin cuci dari kamera yang bergerak mendekat. Youtuber masuk bersama kameraman. Youtuber: (Ke arah kamera) Teman-teman jemaat yang dikasihi Tuhan, inilah Mesin Cuci Jemaat. Tempat khusus mencuci busana keagamaan juga kain sembahyang. 24 jam mesin cuci ini mencuci semua pakaian yang dipakai umat, termasuk busana dan kain-kain yang dipakai peralatan beribadah.



Teman-teman jemaat yang diberkati Tuhan, terus apa istimewanya Mesin Cuci Jemaat ini dibanding laundry-laundry lainnya?







Ini! (Kamera mengarah ke sebuah selang berwarna putih.) Selain pakai deterjen dan pelembut pakaian, air cuciannya dicam-



274



AHDA IMRAN



pur dengan air suci yang didatangkan langsung dari kota suci. Memakai air suci, semua pakaian dan kain sembahyang bukan cuma dicuci, tapi juga diberkati. (Pada Yang Bekerja) Kawan jemaat, pakaian lelaki dan busana wanita rupanya dipisahkan, yah? Yang Bekerja: Iya, tidak boleh disatukan dalam mesin cuci. Kata Imam Agung, kita harus menghormati air suci. Semua pakaian ini, kan, bukan cuma kain, tapi juga tubuh dan aurat orang yang memakainya.



Karena itu adab dan ahlak harus dijaga.



Youtuber: Tidak cukup dicuci, rupanya pakaian ini juga dijaga adab dan kehormatannya. Memang betul, sih, pakaian yang kita pakai bukan cuma melindungi badan dan aurat, tapi juga siapa diri kita dan iman kita.



Teman-teman jemaat yang dikasihi Tuhan, selalu saja ada isuisu jahat di luaran sana. Katanya, Mesin Cuci Jemaat sudah menyebabkan penduduk terkena penyakit kulit. Waw! Isu yang jahat sekali.



Teman-teman jemaat, Tuhan memang memberi kita telinga dan mata untuk melihat. Tapi, Tuhan juga memberi kita kepala untuk memikirkan apa yang kita lihat dan dengar.



Yuk, kita, lihat-lihat lagi bagian yang lain. Tuhan memberkati!



Youtuber dan kameraman bergerak ke bagian yang lain. Kamera dimatikan.



Adegan 2 Di tengah suasana itu, Imam Agung duduk di meja menghadap laptop—bisa juga hanphone. Menjadi narasumber yang sedang MESIN JEMAAT



275



berdebat di sebuah talkshow stasiun TV. Ditayangkan ke latar panggung/monitor LCD. Imam Agung: Jangan dipotong dulu! Dari tadi Anda selalu memotong. Waktu Anda bicara saya mendengarkan, dan sekarang giliran Anda mendengarkan! Biarkan saya selesai bicara! Apakah hal yang sederhana ini saja Anda tidak paham? Anda ini katanya saintis, tapi adab berbicara saja tidak tahu. Prof. Darius: Bukan begitu, Tuanku Imam! Karena ada informasi yang harus saya luruskan. Secara ilmiah ini bisa menyesatkan! Imam Agung: Dari mana Anda tahu saya menyampaikan informasi yang bengkok, padahal Anda belum mendengar semua penjelasan saya! Apakah mendengarkan bukan termasuk kerja ilmiah? Seakan-akan Anda sendiri saja yang tahu kerja ilmiah dan paling berpengetahuan! Kalau Anda bilang informasi saya bisa menyesatkan, orang yang merasa paling pintar kayak Anda inilah yang justru bisa memberi informasi yang sesat dan menyesatkan. Prof. Darius: (Memotong) Masalahnya begini … Imam Agung: (Memotong) Dari tadi Anda selalu bilang “masalahnya begini, masalahnya begini …” Dengar, Saudara! Cara pandang suatu persoalan itu bukan hanya begini dan begana menurut Saudara! Cara Anda bicara seolah saya ini mahasiswa Anda! Prof. Darius: (Memotong) Maksud saya … Imam Agung: (Memotong) Dari tadi saya dan semua pemirsa sudah tahu maksud Anda! Bukankah dari tadi Anda yang selalu bicara, termasuk memotong pembicaraan narasumber lainnya!



276



AHDA IMRAN



Host: Profesor Darius, kita dengar dulu penjelasan Tuanku Imam. Silahkan, Tuanku Imam. Imam Agung: Kalau yang dipersoalkan pengolahan limbah, maka harus dilihat menyeluruh. Ada berapa banyak industri dan kawasan industri di hilir sungai. Kenapa yang disorot cuma air pembuangan Mesin Cuci Jemaat? Bahkan kami dituduh jadi sumber pencemaran dan sumber penyakit warga!



Tuduhan seperti itu sangat sensitif bagi jemaat dan umat. Busana dan kain-kain sembahyang itu dicuci memakai air suci dari kota suci. Setiap orang yang beragama dan mengerti agama, bukan orang sekuler yang memuja rasio dan pengetahuan, tahu apa arti air suci itu! Jadi, tolong hati-hati, jangan terlalu asyik dengan argumen-argumen ilmiah, tapi tidak menenggang perasaan umat. Di kalangan jemaat kini muncul kecurigaan, kalau isu pencemaran cuma dalih dari mereka yang memang tidak suka pada apa pun yang berbau agama!



Prof. Darius: Maaf, Tuanku Imam, tolong jangan menggiring ke persoalan yang sentitif. Yang dipersoalkan bukan air suci. Observasi lingkungan sudah dikerjakan secara ilmiah dan objektif, secara menyeluruh. Imam Agung: Jadi menurut Tuan Profesor menenggang perasaan umat bukan kerja ilmiah? Perdebatan berlangsung tanpa suara, tertelan oleh suara mesin cuci. Cahaya sedikit meredup. Siti masuk. Berjalan melintas. Memandang ke arah tayangan di latar/monitor LCD. Keluar. Blackout.



MESIN JEMAAT



277



DUA Ruang Mesin Cuci Jemaat. Suasana tenang. Imam Agung menerima kedatangan Nyonya Salamah dan Ajudan Istana. Imam Agung berada di antara keduanya. Dua ruang percakapan yang saling terpisah. Nyonya Salamah: Penyakit suami saya membuat semua dokter di Eropa mirip mahasiswa kedokteran tahun pertama. Sebenarnya saya ingin meneruskan pengobatan Moses ke John Hopkins di Baltimore. Tapi suami saya menolak. Merasa ajal sudah dekat, ia meminta pulang ke tanah air. Satu hal yang membuat saya kagum, ingatan suami saya pada Tuhan tak pernah lepas sedetik pun. Moses menyambut kematian dalam iman dan senyum yang ikhlas. Ah, sekarat yang indah …. Ajudan Istana: Mohon ijin, Tuanku Imam. Saya amati sekarang sudah banyak istri atau keluarga pembesar istana yang senang sekali berbusana sesuai dengan perintah Tuhan. Banyak istri pembesar berangkat ziarah, lalu membeli busana keagamaan model terbaru di luar negeri. Maha Suci Tuhan, mereka belum mau memakai busana mahal itu sebelum dicuci dan diberkati dengan air suci. Imam Agung: (Pada Nyonya Salamah) Kami sangat berduka, Nyonya. Tuan Moses yang baik. Kami kehilangan jemaat yang paling dermawan. Terang tempatnya di sana. Seluruh jemaat berdoa untuk Tuan Moses. Orang baik harus mendapat doa terbaik. (Pada Ajudan Istana) Hidayah dan kasih Tuhan bersama mereka. Tampaknya para pembesar istana mu278



AHDA IMRAN



lai menaruh perhatian pada umat. Semoga mereka terus mendapat hidayah, jalan menuju tegaknya hukum Tuhan. Nyonya Salamah: Tapi, Tuanku Imam, ada permintaan terakhir suami saya. Dia ingin dimakamkan memakai kain kafan yang telah dicuci dengan air suci dari kota suci. Karena permintaan itulah saya belum memakamkan jenasahnya. Atas nama semua kebaikan suami saya pada jemaat, saya harap Tuanku Imam bisa menolongnya. Imam Agung: Mencuci kain kafan? Kami hanya mencuci kain dan busana untuk ibadah, Nyonya. Nyonya Salamah: Moses meninggal dalam iman, dalam ingatannya pada Tuhan. Bukankah ia juga sedang beribadah, Tuanku Imam? Jika ada derma yang harus dibayar, saya sudah mengaturnya; pembangunan tiga tempat ibadah. Apakah itu tidak cukup sebagai derma mencuci kain kafan ini, Tuan Imam? (Menyerahkan atau merentangkan kain kafan.) Imam Agung: Semua derma untuk keperluan jemaat, Nyonya …. Nyonya Salamah: (Tersenyum sinis) Juga keperluan para imam, tentunya. Imam Agung: Berkah Tuhan bagi Tuan Moses. Rumah-rumah ibadah akan dikelola oleh jemaat. Nyonya Salamah: Saya mohon doa untuk suami saya, Tuanku Imam Agung. Ajudan Istana: Mohon ijin, Tuanku Imam, ini (mengeluarkan dan membuka handphone) Menteri Ekonomi dan Politik, (membaca pesan di handphone) “Setelah memakai baju sembahyang yang dicuci dengan air suci, saya merasakan sekali ketenangan dalam jiwa saya. Rasanya jiwa saya begitu khusuk, apalagi waktu saya pakai sembahyang. Alangkah baiknya jika MESIN JEMAAT



279



semua pakaian resmi pembesar istana dan pejabat negara juga dicuci dengan air suci. Karena itu, Saudara Ajudan, saya ingin bicara khusus tentang hal ini dengan Saudara.” Imam Agung: (Sinis dan tidak suka) Menteri Ekonomi dan Politik? Bukankah dia dari partai penguasa? Lalu apa yang dia bicarakan? Nyonya Salamah: Sebenarnya ada soal lain yang ingin saya bicarakan dengan Tuanku Imam. Tapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya saya pamit. Salam, Tuanku Imam. Imam Agung: Salam, Nyonya. Nyonya Salamah keluar. Ajudan Istana: Ijin, Tuanku Imam, Pak Menteri menyampaikan sebuah usulan. Beliau meminta saya membicarakannya dengan Tuanku Imam. Pak Menteri ingin sekali bertemu. Mohon ijin, Tuanku Imam, saya kira usulan Pak Menteri bagus sekali. Imam Agung: Bagus untuk siapa? Kalau hanya bagus untuk para pembesar istana, kami tidak akan pernah mau terlibat, bahkan kami akan melawannya. Ajudan Istana: Mohon ijin, Tuanku Imam. Bagus, bahkan sangat bagus. Semua demi kebaikan umat, juga kita semua. Ijin, maksud saya, kebaikan hubungan para imam dan istana. Imam Agung berjalan ke arah Mesin Cuci Jemaat. Menyalakannya. Ajudan Istana mendekat. Berlutut dan mencium tangan Imam Agung. Dari bagian panggung yang berkesan jauh, Siti memandang. Lalu keluar. Blackout.



280



AHDA IMRAN



TIGA Suara lonceng—St. Peter Basilica Roma atau Kuil Buddha (Jepang/Korea). Jas para pembesar istana terpasang di manekin torso beroda. Bergerak masuk panggung. Menuju Mesin Cuci Jemaat. Seakan memperlakukan tubuh pemiliknya para pekerja melepas busana-busana itu dengan hati-hati. Memasukannya ke dalam mesin cuci yang telah diberi air suci. Di bagian lain panggung, Budi dan Wati melakukan pengisian suara film dokumenter. Film yang ditampilkan di latar panggung/ monitor LCD. Pembuangan air limbah yang mencemari lingkungan. Dan warga yang kena penyakit kudis, tangan, kaki, bahkan kulit kepala.



Adegan 1 Wati: (Membacakan narasi) “Kandungan zat berbahaya pada limbah bukan hanya mencemari sumber air, lahan pertanian, dan sektor perikanan. Limbah air cucian juga menimbulkan penyakit kulit yang menakutkan. Selama 24 jam limbah dari Mesin Suci Jemaat ….” Ble … ble … anjing! Cut! Cut! Film pause. Budi: Susah amat, sih! “Mesin Cuci. Cuci, c-u-c-i!” Artikulasi, artikulasi! Wati: Mesin cuci, mesin cuci, mesin cuci! Biar gampang, bagaimana kalau ganti aja pakai sebutan yang umum, deh! “Laundry” gitu, yah?



MESIN JEMAAT



281



Budi: No, no, itu bahasa umum, enggak khas. “Mesin Cuci Jemaat” itu bahasa mereka, tetep pakai itu. Itu penting! Okay? Film dokumenter tanpa suara, juga Wati yang membaca narasi.



Adegan 2 Imam Agung masuk diiringi para imam. Pekerja berlutut. Imam Agung memegang kepala mereka satu per satu. Membiarkan mereka mencium tangannya. Imam 1: Maaf, Tuanku Imam Agung. Kita hanya mencuci busana dan kain sembahyang umat. Lalu tiba-tiba mencuci kain kafan orang kaya dan pakaian para pembesar. Mengapa sekarang kita malah jadi tukang cuci baju kaum yang selama ini menindas umat dan merendahkan para imam? Imam Agung: (Memandangi busana para pembesar) Untuk menegakkan hukum Tuhan kita membutuhkan kekuasaan. Dan kekuasaan tidak akan pernah bisa didapat jika kita tidak terampil bersiasat. Kita bersedia jadi tukang cuci baju penguasa, sebab kita akan mengambil keuntungan yang jauh lebih besar dari keuntungan yang kita berikan pada mereka. Kita gunakan kekuasaan yang ada di tangan mereka agar hukum Tuhan berlaku dan ditegakkan. Siapa menggenggam siapa! Cahaya redup.



Adegan 3 Tayangan film dokumenter. Warga 1: (Wajah dan suaranya dikaburkan) Saya mah tidak menghina agama. Kami sekeluarga kena borok gara-gara limbah air cucian. Masak gara-gara protes limbah aja saya langsung jadi komunis? 282



AHDA IMRAN



Warga 3: (Wajah dan suaranya dikaburkan) Sama Imam … siapaaa gitu, kami dibilang kafir. Begitu juga kata anggota lasykar, padahal dia sepupu saya. Gara-gara ikut demo protes air limbah, tiap hari kami didatangi lasykar dan polisi. Warga 4: (Wajah dan suaranya dikaburkan) Mau lapor sama siapa? Pak Kades sampai komandan polisi katanya anggota jemaat …. Warga 5: Wah, enggak mungkin, saya enggak percaya! Nih, saya sekeluarga juga kena kudis. Bisa kualat kalau menyalahkan air suci! Warga 6: Ini takdir saja, mungkin, yah? Ada yang emang katanya gara-gara limbah Mesin Cuci Jemaat. Ya, itu terserah, tapi saya enggak berani bilang begitu. Takut dosa! Warga 7: Enggak, enggak! Waaah, hidup sudah susah, ibadah kurang, kok, malah kualat ngehina agama. Lha, iya, toh? Menyalahkeun air suci itu dosa! Narasumber 1: Deterjen dan pelembut pakaian merupakan limbah laundri yang dominan. Apalagi digunakan dengan laundri besar seperti Mesin Cuci Jemaat, barangkali lebih dari satu ton pakaian setiap hari. Jadi itu yang sedang dipersoalkan. Narasumber 2: Tuduhan penghinaan agama datang dari pihak yang berpikir secara simbolik. Tapi saya justru sedang berpikir jangan-jangan mereka memang benar. Limbah air cucian dari busana keagamaan itu merupakan limbah dari jenis yang lain, yang harus dilihat secara simbolik juga. Tayangan film dokumenter tanpa suara. Juga Wati yang membacakan narasi dalam cahaya redup.



MESIN JEMAAT



283



Adegan 4 Imam 2: Para aktivis dan LSM terus menghasut warga. Kita memerlukan kekuasaan pemerintah agar bisa menghalau mereka. Imam Agung: Tuduhan tentang limbah itu tidaklah penting. Lebih penting dari semuanya; kita perlu menguji sampai di mana militansi perjuangan jemaat, warga, dan para lasykar. Lebih penting lagi, kita memerlukan cara agar semua pihak tahu, bahwa umat dan aparat pemerintah telah berada dalam genggaman kita. Mulailah merapatkan barisan. Semua: Kami mendengar dan kami taat! Para imam keluar.



Adegan 5 Tayangan film dokumenter pause. Budi: Gila! Ada banyak orang yang kepengen jadi suci, rame-rame mencuci baju ibadahnya pakai air suci, lalu membuang kotorannya ke tengah orang banyak! Wati: Lantas orang-orang yang kena kotoran itu juga enggak marah, enggak mau menyalahkan, takut menghina agama dan bakal masuk neraka, sampai-sampai limbah juga dianggap suci! Budi: Iya, mirip-mirip di Sungai Gangga jadinya! Mungkin setiap agama emang punya kelemahan, yah? Makanya gua pikirpikir mending gua bikin agama sendiri! (Tertawa.) Wati: Eh, tapi lo kepikiran enggak, sih, siapa di belakang para imam dan jemaat itu? Handphone Budi berbunyi. Budi: Ya, Tante? 284



AHDA IMRAN



Nyonya Salamah: (Suara) Budi, kalau editing dan mixing sudah beres, kamu kasih tahu Handoko. Nanti dia kirim orang untuk ambil film. Strategi penyebarannya mulai kamu konsep, yah, nanti ketemu Tante pengen lihat. Budi menutup hanphone. Budi: Ahh, Tanteee! Pantesan agama bilang suara perempuan itu aurat, yah? Wati: Itu sih aurat lo aja yang sangean! Keduanya tertawa. Blackout.



MESIN JEMAAT



285



EMPAT Panggung sepi. Mesin cuci tidak menyala. Pertemuan Nyonya Salamah dan Imam Agung di antara busana, kain-kain sembahyang, dan manekin torso pakaian para pembesar. Imam Agung: Lalu apa hubungan pabrik tekstil yang Nyonya ingin dirikan dengan kepentingan umat? Nyonya Salamah: Tentu, Tuanku Imam Agung, tentu ada dan sangat ada hubungannya. Maaf, Tuanku Imam, mari kita pikirkan, para imam mewajibkan perempuan memakai pakaian tertutup. Imam Agung: Bukan kami, tapi agama kita! Nyonya Salamah: Siapa pun. Tapi apakah para imam pernah memikirkan dari mana kain-kain penutup tubuh wanita itu didapat? Siapa yang selama ini memproduksi dan memasoknya? Siapa yang menguasai pasar industri tekstil kalau bukan orang-orang kafir? Tuanku Imam tidak perlu berpikir keras mengingat-ingat perusahaan tekstil yang dimiliki umat. Memang tidak ada! Imam Agung: Nyonya benar juga, tidak ada. Ya, semua kepunyaan mereka! Nyonya Salamah: Semua kepunyaan mereka, dan mereka juga importirnya! Merekalah yang paling senang kalau para imam bersuara keras mewajibkan kaum wanita memakai pakaian tertutup.



286



AHDA IMRAN



Imam Agung: Kami harus melakukannya, Nyonya, itu perintah agama! Nyonya Salamah: Ya, dan orang-orang kafir yang mengambil keuntungan dari perintah agama kita! Imam Agung: (Berpikir) Apakah menurut Nyonya mereka juga dapat keuntungan dari Mesin Cuci Jemaat? Nyonya Salamah: Sudah pasti, Tuanku Imam Muda. Imam Agung: Apakah Nyonya sedang berusaha meyakinkan saya, menggunakan pengaruh saya agar saya dan jemaat membantu Nyonya mendirikan perusahaan tekstil? Kalau benar, saya menganggap Nyonya sedang menawarkan sebuah kerja sama. Dan saya tertarik. Ide mendirikan perusahaan tekstil itu sangat masuk akal. Nyonya Salamah: Iya, benar sekali, Tuanku Imam. Saya ingin menggunakan pengaruh Tuanku Imam Agung untuk mewujudkannya. Bukan hanya untuk saya, tapi juga demi umat. Saya ingin membangun pabrik tekstil, mendampingi Mesin Cuci Jemaat. Umat dan para imam tidak hanya jadi tukang cuci baju, kita juga harus membuat kainnya. Imam Agung: Kerja sama yang bagus sekali. Tuhan memberkati …. Nyonya Salamah: Bayangkan, Tuanku Imam, alangkah sempurnanya, bukan, pabrik tekstil menyediakan busana dan kain sembahyang bagi umat, lalu dicuci di Mesin Cuci Jemaat. Semua demi umat.



Tapi, saya ragu, Tuanku Imam, rasanya mustahil.



Imam Muda: Tak ada yang mustahil dalam memperjuangkan agama. Saya dan jemaat juga seluruh lasykar berada di samping Nyonya! MESIN JEMAAT



287



Nyonya Salamah: Tuanku Imam, kita memerlukan lahan yang luas, malah sangat luas. Tampaknya kita memerlukan sedikit kegaduhan. Itu yang membuat saya ragu. Apalagi kalau kegaduhan itu terpaksa harus kita ciptakan. Imam Agung: Nyonya, Tuhan bersifat kasih, termasuk saat Ia mengancurkan. Kehancuran untuk membersihkan, agar dunia baru lahir dan terbit, seperti banyak terdapat dalam kisah Nuh dan banyak kisah lainnya dalam kitab suci. Bukankah Hari Kiamat juga kehancuran sekaligus pembersihan, agar manusia naik ke sorga untuk bertemu Tuhan? Nyonya Salamah: Ah, indah sekali, terutama cara Tuanku Imam menjelaskannya. Tuanku Imam membuat kitab suci begitu menyenangkan. Imam Agung: Tuhan memberkati pertemuan kita hari ini, Nyonya. Dalam kasih Tuhan, saya akan membantu mewujudkan keinginan Nyonya! Nyonya Salamah: Tuanku Imam, mari jadikan keinginan kita berdua …. (Menggoda.) Imam Agung: Seperti keinginan kita lainnya …. Nyonya Salamah: Yang harus kita wujudkan …. (Merangkul, melepas, dan melempar kain sorban Imam Agung.) Mesin cuci menyala. Suaranya menggeram dan bergetar. Juga suara napas orang senggama. Siti masuk. Berjalan dan memungut kain sorban Imam Agung. Memandang. Keluar. Blackout.



288



AHDA IMRAN



LIMA Warga, jemaat, lasykar berkumpul di ruang Mesin Cuci Jemaat. Pertemuan yang dipimpin Imam Agung dan Panglima Lasykar.



Adegan 1 Imam Agung: Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan. Sebagai orang beriman, manakah yang paling menakutkan; penyakit kulit atau penyakit hati? Semua: Penyakit hatiii …! Imam Agung: Semoga Tuhan menjadi saksi! Sebagai orang beriman, manakah yang hidup lebih mulia, mati mencintai dunia atau mati membela agama? Semua: Mati membela agamaaa …. Imam Agung: Semoga Tuhan menjadi saksi. Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan. Ada orang-orang berpenyakit hati! Mereka membuat sebuah film yang menyamakan air suci dari kota suci dengan sampah dan najis! Menyebut Mesin Cuci Jemaat menyebarkan wabah penyakit kulit! Film itu film pesanan! Pesanan mereka yang saban hari unjuk rasa menuntut Mesin Cuci Jemaat ditutup! Dengan alasan pencemaran lingkungan, mereka tidak suka kita memakai busana keagamaan kita! Mereka tidak senang melihat kita memakai busana yang diberkati air suci. Mereka tidak suka pada semua yang berbau agama! Mereka mengadu domba warga dan jemaat! Kita tidak ada urusan dengan cara MESIN JEMAAT



289



mengolah limbah! Kita berurusan dengan mereka yang tidak bisa mengolah hati dan perasaan! Orang-orang yang membenci agama kita! Menghina iman kita! Panglima Lasykar: Apakah saudara-saudara akan diam saja agama kita dihina? Semua: Tidaaak! Imam Agung: Tuhan menyuruh kita bersikap welas asih. Tapi Tuhan mengijinkan kita berperang demi mempertahankan iman kita. Sebagai umat yang beriman, kita harus bersikap tegas pada mereka! Rapatkan barisan! Warga 1: Saya ini tukang ngewe! Mengerjakan semua perbuatan yang dilarang Tuhan dan menjauhi semua yang diperintahkan Tuhan! Tapi, denger, kalau ada orang hina air suci, hina agama saya, saya iris dia tipis-tipis! Demi Tuhan, saya ini orangnya kejam, ya, saudara-saudara! Jemaat 1: Sweeping mereka, saya tahu siapa saja warga yang mendukung mereka! Warga 2: Seret dan usir mereka! Jemaat 2: Pasti orang komunis! Warga 3: Ikat di tiang, bakar hidup-hidup! Jemaat 3: Saya tahu siapa saja warga yang ikut mendukung mereka. Mereka nobar film itu! Saya tahu rumah mereka! Panglima Lasykar: Rapatkan barisan! Kaki-kaki dientak-entakkan. Mereka bergerak. Berderap. Keluar. Semua: Bunuh! Bunuh! Bunuh! Mereka bergerak. Berderap. Keluar.



290



AHDA IMRAN



Adegan 2 Latar panggung/monitor LCD menampilkan beberapa video dari kamera ponsel tanpa suara—bisa juga foto hitam putih. Batu-batu. Pecahan kaca. Gagang besi dan darah. Gagang kayu dan kaca yang dipecahkan. Pintu dan kaki yang menendangnya. Kepala dan darah yang menggenang. Close-up wajah orang-orang ketakutan. Kain perban berdarah yang berceceran. Tangan atau kaki korban yang menjulur dari brankar. Sedang cahaya panggung berwarna merah. Gema derap sepatu. Siti berbaring. Mengangkang di antara mesin cuci yang menyala dan bergetar. Melahirkan. Sebuah jeritan. Mesin cuci padam. Video pause. Panggung senyap. Kain putih melayang dari langit-langit panggung. Suara orang berbisik-bisik.



Adegan 3 Latar panggung/monitor LCD ganti menampilkan layar video call dari handphone Budi yang berada di bandara. Nyonya Salamah sedang menontonnya. Budi: (Wati juga muncul di kamera, melambai-lambai.) Kami boarding dulu, ya, Tante. Sukses selalu, ya, Taaan …. Nyonya Salamah: Byeee! Safe fliiight! Tayangan video call off. Lampu redup. Panggung, tempat duduk, dan gedung/tempat pertunjukan gelap. Suara percakapan di handphone menggunakan aplikasi suara. Suara I: Betul, Bu, semua berkas sudah beres ditandatangani Pak Menteri. Besok saya perintahkan staf menemui Ibu. Mohon, ijin, Bu, saya sudah komunikasi dengan Tuanku Imam



MESIN JEMAAT



291



Agung, sampai saat ini tidak ada persoalan dalam pembebasan lahan. Suara II: Lalu bagaimana progres yang kita bicarakan kemarin, sudah ada respon dari Pak Menteri? Suara I: Mohon ijin, Bu, dari komunikasi saya dengan orang kepercayaan beliau, saya mendapat angka 10 persen, Bu. Suara II: Begitu, yah? Baik, silahkan saja diatur saja, yah? Bye …. Blackout.



292



AHDA IMRAN



ENAM Panggung merupakan ruang pabrik tekstil—bisa juga sebuah mesin yang dirancang dalam bentuknya yang masif. Mesin itu memproduksi kain-kain putih atau kain untuk ibadah. Beberapa orang yang bekerja. Beberapa lasykar berjaga.



Adegan 1 Siti masuk. Menggendong bayinya dengan kain sorban Imam Agung. Berdiri memandang. Yang Bekerja: (Mendekat, memberi uang) Siapa nama anakmu? Lasykar: (Memperhatikan bayi) Ya, Tuhan, lihat, bayi ini tidak punya lidah! Siti cepat pergi. Keluar.



Adegan 2 Ruang pabrik tekstil. Nyonya Salamah dan Imam Agung masuk dengan seluruh keagungan dan kemuliaan. Lasykar dan yang bekerja berlutut. Imam Agung memegangi kepala mereka sambil membiarkan mereka mencium tangannya. Siti berdiri memandang dari sudut yang terkesan jauh. Blackout. Selesai. Ciampel, Agustus 2022



MESIN JEMAAT



293



Pindah



R I Z A L I WA N



Rizal Iwan lahir di Palembang pada 1977. Setelah menghabiskan lebih dari satu dekade sebagai pekerja iklan, kini Rizal menjadi penulis dan penerjemah lepas. Cerita pendek dan tulisannya pernah dimuat di berbagai media, antara lain The Jakarta Post, majalah Tempo, Magdalene, serta beberapa buku antologi bersama penulis lain. Pada 2018 hingga sekarang, Rizal menulis seri novel anak berjudul Creepy Case Club (Penerbit Kiddo-KPG). Ketertarikannya pada dunia teater dimulai saat bermain dalam produksi A Midsummer Night’s Dream di Universitas Indonesia. Sejak itu, Rizal sering terlibat sebagai aktor dalam pementasan beberapa kelompok teater, antara lain Jakarta Players, Jakarta Performing Arts Community, Mondiblanc Acting Lab, dan Kelas Akting Salihara. Pada 2017, Rizal mendapatkan kesempatan bermain dalam produksi teater di Washington, DC, Amerika Serikat, bersama Rorschach Theatre. Selain itu, ia juga terlibat dalam beberapa produksi film pendek dan serial web. Pindah adalah naskah lakon panggung pertamanya, ditulis sebagai bagian dari Kelas Menulis Lakon Salihara pada 2021.



KARAKTER



Adam: laki-laki, 30-an, pekerja kantoran, dewasa, kaku, serba teratur, memperhatikan penampilan. Lingga: laki-laki, 30-an, desainer grafis lepasan, berjiwa bebas, tidak peduli penampilan. Bu Ghalibah: perempuan tetangga Adam dan Lingga, 40-an, aktif di pengajian kompleks, selalu ingin tahu, ramah berlebihan. Jeri: laki-laki tetangga Adam dan Lingga, 30-an, bapak muda, tampan, maskulin berlebihan, suka melontarkan lelucon garing, punya gaya tertawa yang khas dan menyebalkan. Abigail: anak perempuan tetangga Adam dan Lingga, 10–11 tahun, polos dan ramah. Pak RT: laki-laki, 40-an, berpembawaan gugup, takut-takut, bersuara lembut. Satpam Kompleks: laki-laki, 40-an, gagah dan bersuara lantang.



PINDAH



297



Sore hari. Ruang tamu di sebuah rumah kecil di kluster kelas menengah di pinggiran Jakarta. Tipikal kluster untuk keluarga muda, di mana semua rumah tampak sama dengan model serupa, cetakan dari pengembang. Ruang tamu itu kosong, hampir tidak ada perabotan. Hanya kardus-kardus yang berserakan di lantai, sebagian masih terbuka, berisi barang-barang yang sebagian juga masih ada yang tercecer belum dikemas. Ada sebuah kanvas lukisan abstrak yang diletakkan di lantai, tersandar di dinding. Ruangan itu berjendela. Pintu depan rumah dalam keadaan terbuka. Jika memungkinkan, pencahayaan di luar rumah dibuat berangsur menggelap seiring dengan hari yang semakin sore. Perubahan cahaya di luar rumah ini juga mempengaruhi penerangan di dalam rumah. Lingga sedang duduk di lantai, di antara kardus-kardus, dan berkemas. Ia tampak gusar, berkutat dengan lakban yang sulit dikendalikan. Adam masuk, dan menghampiri Lingga. Tanpa sepatah kata pun, ia mengambil lakban dari tangan Lingga dan mengambil alih yang sedang Lingga kerjakan. Berbeda dari Lingga, Adam tampak mudah saja mengerjakan semuanya. Lingga berdiri dan membiarkan Adam mengambil alih, lalu berjalan ke jendela, memandang ke luar. Lingga: Akhirnya hujan berhenti juga. (menarik napas panjang) Percaya atau nggak, aku bakal kangen sama kompleks ini.



298



R I Z A L I WA N



Adam yang sedang berkemas menghentikan kegiatannya dan menoleh pada Lingga. Adam: Memangnya apa yang bakal kamu kangenin dari sini? Pemandangannya? Semua rumah di sini tampak sama. Lingga: Entahlah. Adam: Orang-orangnya? Lingga tertawa kecil. Adam tahu persis arti dari tawa Lingga itu. Lingga: Aku bakal kangen ritualku setiap pagi. Ngopi di teras sambil menunggu kamu bangun. Menyirami kebun depan dan mengajak tanaman-tanamanku ngobrol, lalu selesai tepat ketika tukang sayur keliling lewat di depan rumah ini. Lalu kamu bangun, dan siap-siap pergi ke kantor. Adam menarik napas. Ia lalu bangkit, berjalan menghampiri Lingga, dan memeluk Lingga dari belakang. Adam: Kamu, kan, bisa cari ritual baru nanti, Sayang. Ritual baru yang lebih baik, di tempat baru yang lebih baik. Ya, kan? Lingga: Tapi di tempat baru nggak ada kebun, toh? Adam: Ah, kamu dan tanaman-tanamanmu. Kayaknya mereka lebih sering kamu ajak ngobrol daripada aku. Lingga: Karena tanaman-tanamanku pendengar yang baik, nggak cuek kayak kamu. Mereka tertawa, Adam mengeratkan pelukannya. Lalu beberapa detik mereka memandang ke luar dalam diam. Adam: Kamu terlalu sentimental. (Adam melepaskan pelukannya) Kompleks ini juga nggak akan kehilangan kamu. Adam berjalan kembali ke tempatnya semula, bersama karduskardus. PINDAH



299



Adam: Mendingan kamu bantu aku packing. Masih banyak barang yang belum masuk nih. Kita harus berangkat sebelum magrib, loh. Perjalanan ke tengah kota jauh. Dan si ibu pemilik apartemen itu nggak bisa menunggu kita lama-lama. Lingga meninggalkan jendela dan berniat membantu berkemas. Ia mencari-cari sesuatu di sekitar kardus. Adam: Cari apa? Lingga: Tanamanku yang di sini tadi mana, ya? Yang di pot kecil-kecil. Adam: (Menunjuk ke pintu depan) Di luar. Lingga: (Kaget) Di luar? Maksud kamu, di kardus besar yang mau dibuang? Adam: He-eh. Lingga tambah gusar, lalu bergegas ke luar. Lingga: Kenapa kamu taruh di situ? Itu, kan, mau aku bawa. Adam: Buat apa, sih, begituan kamu bawa? Lingga masuk lagi, berdiri di ambang pintu dengan beberapa pot tanaman kecil. Lingga: Begituan? Kamu tahu, kan, gimana susahnya aku dapetin ini? Harganya juga nggak murah. Adam: Iya, tapi nanti, kan, kita tinggal di apartemen kecil. Kita nggak bisa bawa barang banyak-banyak. Yang penting-penting sajalah. Lingga menunjuk miniatur-miniatur pesawat terbang yang sedang dikemas Adam. Model miniatur pesawat yang dijual maskapai penerbangan untuk cinderamata.



300



R I Z A L I WA N



Lingga: Trus itu pesawat-pesawat, buat apa kamu bawa? Mau ditaruh di mana memangnya? Adam: Nanti aku cari tempat. Itu bukan cuma dekorasi, loh. Koleksi ini penting buat kesehatan mentalku. Buat aku meditasi. Lingga: Ya, aku meditasinya pakai tanaman! Lingga melangkah masuk, dan menutup pintu depan. Tapi pintu itu terbuka lagi. Lingga mencoba menutupnya lagi. Terbuka lagi. Lingga: Pintunya rusak lagi? Adam: Ya, karena belum dibenerin. Lingga: Jadi kamu belum panggil tukang? (Menunjuk genangan air kecil di lantai, lalu mendongak ke langit-langit) Itu plafon juga masih bocor. Dinding di kamar banyak yang keropos, lembap semua …. Lingga masuk dan menata pot tanamannya untuk dikemas. Adam: Aku lupa. Kan, sudah beberapa minggu ini aku pulang malam terus, lembur di kantor nonstop. Aku pikir kamu yang bakal inisiatif panggil tukang. Kamu kerja dari rumah, jadi lebih banyak waktu, dong? Lagian, urusan rumah, kan, seharusnya jadi bagian kamu. Lingga: Maksudnya? Karena aku yang lebih banyak di rumah jadi otomatis aku jadi ibu rumah tangga, begitu? Aku freelance, kan, bukan berarti aku nggak kerja, Sayang. Aku juga banyak deadline, banyak meeting …. Adam: Ya sudahlah, toh kita juga sudah mau pindah dari rumah ini. Mulai hari ini, kita, kan, sudah nggak tinggal di sini lagi. Lingga: Justru itu, kita setuju rumah ini mau dijual. Kalau banyak yang rusak begini, harganya jatuhlah. Siapa yang mau beli?



PINDAH



301



Tiba-tiba Pak RT muncul di ambang pintu. Di tangannya ada beberapa berkas. Pak RT: Permisi … Pak Adam, Pak Lingga. Adam bangun dari duduknya di lantai. Adam: Oh, Pak RT. Pak RT berdiri di ambang pintu dengan kikuk dan segan. Lingga: Masuk aja, Pak. Pak RT masuk dengan ragu-ragu. Sepanjang percakapan dengan Adam dan Lingga nanti, Pak RT banyak menghindari kontak mata dengan mereka berdua. Pak RT masih tampak canggung, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Akhirnya ia mengucapkan kalimat basa-basi pertama yang terlintas di kepalanya. Pak RT: Wah … sudah siap pindah sepertinya, ya, Pak. Adam dan Lingga tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Jelas mereka belum siap, karena barang-barang masih berantakan. Jadi mereka hanya tersenyum basa-basi. Pak RT: Uhm … Pak Adam, saya boleh minta tanda tangannya? Adam: Tanda tangan untuk apa lagi ini, Pak? Pak RT: Anu … cuma formalitas saja, kok, soal tanggal dan waktu kepindahan. Menyatakan kalau Pak Adam tidak tinggal di sini lagi, jadi nanti tidak perlu bayar iuran- iuran. Adam mengambil dokumen itu dari Pak RT, lalu membacanya. Tangannya yang satu lagi mencari-cari sesuatu di kantong baju dan celananya. Dengan sigap, Lingga menyodorkan ballpoint. Adam mengambil ballpoint dan menandatangani dokumen, lalu diserahkannya kembali pada Pak RT.



302



R I Z A L I WA N



Pak RT: Terima kasih …. Keheningan canggung lagi. Pak RT: Eh … mau berangkat jam berapa rencananya ini, Pak? Adam: Mungkin sebelum magrib, Pak. Masih banyak barang yang belum dikemas. Pak RT: Oh, baik. Kalau begitu, saya pamit dulu saja, ya. Supaya bisa dilanjutkan pindahannya. Maaf, saya mengganggu. Pak RT berjalan pergi, lalu berhenti di ambang pintu, dan berbalik. Lelaki itu meminta maaf sekali lagi, tapi terasa ada yang berbeda dalam permintaan maafnya kali ini. Pak RT: Maaf, ya. Lingga: Nggak apa-apa, Pak. Pak RT: Mari …. Pak RT keluar. Adam dan Lingga lanjut berkemas. Lingga tertawa kecil sambil menggeleng-geleng. Adam: Kenapa? Lingga: Nggak apa-apa. Adam: Sayang, aku hidup sama kamu bukan cuma setahun dua tahun. Ketawa kamu yang barusan itu jelas bukan karena ada yang ngelawak. Lingga: Lucu aja. Cuma kamu yang dimintai tanda tangan. Padahal aku juga tinggal di sini. Adam: Wajar, dong. Rumah ini, kan, atas namaku. Lingga: Padahal kita belinya berdua, kan? Aku ikut nyicil tiap bulan. Belum selesai lagi cicilannya.



PINDAH



303



Adam: Dulu waktu kita beli rumah ini, kan, kita sudah pernah bahas. Mana mungkin satu rumah bisa atas nama kita berdua, kecuali kita punya buku nikah … dan kamu nggak punya titit. Lingga tertawa dibuat-dibuat. Lingga: Kalau ketawaku yang ini, apa maksudnya? Adam mendekat dan menggenggam tangan Lingga. Adam: Sudah, ah, ngapain sih dibahas lagi? Toh, kita juga sudah mau pindah rumah. Nanti setelah kita jual, uangnya tinggal dibagi dua. Beres, kan? Lingga: (Kesal) Bukan itu poinnya, Dam …. Tiba-tiba Bu Ghalibah masuk lewat pintu yang terbuka. Santai saja, seperti masuk ke rumah sendiri. Ia membawa bingkisan makanan. Sikapnya ramah, tapi ramah berlebihan yang membuat tidak nyaman. Sepanjang percakapan, matanya tak henti jelalatan ke sekeliling rumah. Tak jarang juga ia melongok isi kardus-kardus yang ada di situ. Serba ingin tahu. Bu Ghalibah: Assalamu’alaikuuuuum. Adam dan Lingga langsung refleks melepaskan pegangan, dan agak menjauh dari satu sama lain. Mereka menyambut tamu yang nyelonong ini. Lingga terlihat jengah, sementara Adam sabar meladeni Bu Ghalibah. Adam: Wa’alaikumsalam. Bu Ghalibah: Waaah, yang mau pindahan. Kok, masih berantakan …? Sebetulnya saya mau mampirnya tadi pagi. Tapi hujan terus gak berhenti. Jadi sekalian saja saya tunggu bada ashar. Ini, loh, mau kasih ini. Bu Ghalibah menyerahkan bingkisan makanan pada Adam. 304



R I Z A L I WA N



Adam: Apa ini, Bu? Bu Ghalibah: Cuma sedikit makanan. Dari ibu-ibu pengajian kompleks sini. Eh, tapi saya, loh, yang punya ide. Makanya saya yang wakili. Buat oleh-oleh perpisahan, begitu. Kali aja di jalan lapar, lumayan, kan, buat ngemil. Adam: Repot-repot, Bu. Bu Ghalibah: Nggak apa-apa repot sedikit. Namanya kita hidup bertetangga, toh? Tetangga itu harus saling menghargai. Ada, loh, di Quran. Saya lupa ayatnya, tapi ada. Pokoknya, jangan sampai kita kenyang, tapi tetangga kita kelaparan. Lingga: (Bergumam pada diri sendiri) Siapa yang kelaparan …. Adam buru-buru menyikut Lingga. Bu Ghalibah: Makanya, Mas Lingga, kalau diundang pengajian bareng bapak-bapak kompleks itu datang, dong, sekali-sekali. Ini cuma Mas Adam saja yang suka nongol. Padahal, masmas berdua ini, kan, laki-laki. Biar kenal gitu, loh, Mas, sama kepala keluarga di kompleks sini. Lingga: Sudah kenal, kok, Bu. Kan, kalau kerja bakti, saya selalu ikut. Bu Ghalibah: Ya beda, dong, Mas. Ini, kan, sekalian siraman rohani, begitu. Lingga semakin belingsatan. Bu Ghalibah: Di masjid juga jarang kelihatan. Padahal Mas Lingga ini kalau siang, saya lihat sering di rumah. Tapi, kok, nggak pernah kelihatan kalau salat Jumat? Si Ando saja, anaknya Bu Ida tuh, yang rumahnya di pengkolan, biarpun penampilannya kayak begal begitu, tapi rajin, loh, ke masjidnya. Eh, tapi … Mas Lingga ini … salat, kan? PINDAH



305



Lingga: (Menantang mata Bu Ghalibah) Nggak, Bu. Saya nggak salat. Bu Ghalibah agak kaget dengan kelugasan Lingga. Adam berusaha mencairkan kecanggungan. Adam: Bu Ghalibah mau minum apa? Maaf nih, kita nggak ada suguhan. Semua sudah masuk kardus. Cuma ada minuman botolan. Mau? Bu Ghalibah: Nggak usah repot-repot, Mas Adam. Paham, kok, namanya juga orang pindahan. Bu Ghalibah berjalan celingukan dan melongok-longok mengecek isi kardus. Bu Ghalibah: Jadi nanti rumah ini kosong, dong, ya? Mau diapakan rumahnya, Mas? Adam: Belum tahu. Bu Ghalibah: Mendingan dikontrakkan saja, Mas. Sayang, kan, kalau nggak ada yang ninggalin. (Memperhatikan salah satu bagian dinding) Waduh, apalagi temboknya sudah ada yang retak-retak begini. Buruan, Mas, cari orang buat tinggal sini. Nanti rumahnya tambah rusak. Lingga: (Ketus) Satu-satu, ya, Bu. Ini urusan pindahan aja belum beres. Bu Ghalibah terus berjalan melihat-lihat, mengecek isi kardus demi kardus, lalu berhenti di kardus berisi miniatur pesawat milik Adam. Bu Ghalibah: Wah, kok, banyak mainan. Punya siapa ini? Lingga: Punya Adam, Bu. Bu Ghalibah: Hahaha … memangnya Mas Adam ini umur be306



R I Z A L I WA N



rapa, sih? Kok, masih mainan beginian? Adam: Itu bukan mainan, Bu. Itu koleksi saya. Bu Ghalibah: Koleksi mainan … buat apa, ya? Mbok, ya, saya dibagi satu. Anak saya demen, loh, mainan pesawat begini. Nih, yang ini bagus. Ya? Buat saya satu, ya? Yang kecil ini saja, deh. Ya? Boleh, ya? Lingga: Ya sudah, Bu, ambil saja yang itu. Adam melotot pada Lingga, tidak percaya. Ia baru saja mau protes, tapi Bu Ghalibah keburu menjerit kesenangan. Bu Ghalibah: Wah, benar, ya? Asiiik. Anak saya pasti senang banget. Saya pamit dulu kalau begitu, ya. Mau kasih ini ke si kecil. Makasih, ya, Mas Adam, Mas Lingga. Hati-hati di jalan. Bu Ghalibah keluar. Lingga: Akhirnya …. Lingga berbalik dan menemukan Adam berdiri tegak dan melotot ke arahnya. Lingga: Kenapa? Adam: (Sinis) Terima kasih, loh, sudah minta izin aku dulu. Lingga: Aku pikir kamu nggak akan keberatan. Adam: Aku ada di sini, kan? Tinggal tanya! Lingga: Kamu, kan, sudah banyak koleksi pesawatnya. Lagian … (membalas dendam) nanti, kan, kita tinggal di apartemen kecil. Kita nggak bisa bawa barang banyak-banyak. Adam: Kamu tahu, kan, berapa lama aku ngumpulin pesawatpesawat itu? Harganya juga nggak murah.



PINDAH



307



Lingga tersenyum penuh kemenangan. Adam menggerutu dan lanjut berkemas. Lingga: Yang penting Bu Ghalibah diam dan cepat pergi, kan? (Menggerutu) Pakai nanya-nanya aku salat apa nggak. Apa urusannya? Adam: Oh iya, aku jadi ingat. Adam bergegas ke arah kamar mandi di luar panggung. Lingga: Mau ke mana? Adam: Wudhu. Aku belum salat ashar. Lingga: Kerjaan kita masih banyak, loh, ini. Adam: Terus, aku nggak boleh salat? Lingga menghela napas. Ini bukan argumen yang bisa ia menangkan. Lingga: Bukan gitu. Adam: Terus apa? Ini pembicaraan yang sudah pernah mereka perdebatkan. Adam siap berdebat lagi, tapi Lingga tidak. Lingga: Ya udah, sana salat. Adam masuk ke kamar mandi yang berada di luar panggung. Lingga termenung sejenak, lalu mulai lanjut berkemas. Tapi ia tampaknya tidak bisa fokus. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiba-tiba ponsel Lingga berbunyi. Ia mengecek siapa yang menelepon, lalu menjawab. Lingga: (Berbicara di telepon) Halo, Kak. (Beat.) Iya. Jadi. Hari ini. Nih, lagi pindahan sekarang. (Beat.) Kami nggak apa-apa, baik-baik aja. (Beat.) Adam lagi salat. (Beat.) Memang rajin, kan, dia. Padahal, kata orang, toh, nanti kita bakal masuk ne308



R I Z A L I WA N



raka juga. (Tertawa kecil.) Macam aku percaya aja sama surga dan neraka. (Beat.) Ya, begitulah Adam, dia lebih percaya sama hal-hal yang nggak bisa dia lihat, daripada apa yang ada di hadapannya. (Beat.) Nggak mau, ah, Kak, bisa berantem lagi. Sambil berbicara, Lingga berjongkok dan menata tanaman-tanamannya. Lingga: Kadang aku mikir, kalau saja Adam itu nggak gay, pasti dia bakal jadi orang paling tradisional yang pernah ada di dunia. Punya istri cantik, dua anak yang lucu-lucu, rumah dan mobil bagus, selalu senyum ke kamera, macam bapak-bapak muda di billboard iklan. Ya, kan? (Beat.) Aku juga nggak habis pikir, kenapa kita bisa bareng begini lama. (Beat.) Oke, oke, nanti aku salamin. (Beat.) Kami berdua baik-baik aja, kok. (Beat.) Benar, kakakku sayang. (Beat.) Love you, bye. Tiba-tiba Jeri nyelonong masuk lewat pintu depan. Jeri: Woyyy, ngomong sama taneman lo, Bro? Ahahahah …. Lingga tersentak berdiri. Mendadak dia langsung salah tingkah. Lingga: Eh, nggak … ini … cuma, eh. Hai, Jer. Jeri: Adam mana? Lingga: Lagi salat. Jeri: Oh, lo gak salat? Lingga menarik napas dan melengos. Dia pikir dia sudah lepas dari perkara salat-salatan ini. Jeri: Eh, ngomong-ngomong, kalau kalian salat berdua, siapa yang jadi imamnya? Ahahaha …. Lingga: Gue nggak salat, Jer. Jeri menunjuk bagian lantai yang basah. PINDAH



309



Jeri: Lantai kenapa basah gini, Bro? Lingga: Plafonnya bocor. Hujan dikit, ya, gini deh. Jeri: Wah, kalau mau pindah rumah, mending dibenerin dulu, Bro, rumahnya. Ntar susah jualnya, harganya jatuh. Lingga: Itu juga yang gue bilang ke Adam. Jeri melihat ke sekeliling ruangan. Sepanjang percakapan ini, Jeri mendominasi percakapan, dan berlagak petantang-petenteng seperti di rumahnya sendiri. Suara tertawanya khas dan menyebalkan. Jeri: Weeesss … sudah siap pindah nih kayaknya! Mantaaaap! Lingga: Eh, iya … begitulah …. Adam sudah selesai salat dan masuk kembali ke ruangan. Air mukanya berubah mendapati Lingga sedang berdua saja dengan Jeri. Adam: Eh, ada Jeri. Jeri: Adam, my maaan! Adam: Ada apa nih, Jer? Jeri: Bini gue tadi bilang lo mau pindahan hari ini. Jadi gue datang buat say goodbye. Boleh, dong, Bro? Masa tetangga sebelah rumah mau pindahan, gue diem-diem aja? Ya, nggak? Adam: Oh, oke …. Adam mulai beres-beres lagi, seolah tidak mau terlalu terlibat pembicaraan dengan Jeri. Jeri berjalan ke sekeliling ruangan, melihat-lihat barang-barang di situ. Jeri: Gue pikir lo masih besok-besok pindahannya. Lingga: Iya, Adam sudah harus masuk kantor lagi besok lusa. Jadi pindahan hari ini ajalah, biar besok masih bisa istirahat.



310



R I Z A L I WA N



Jeri: Sedap! Biar masih sempet uhuk-uhuk di tempat baru, ya? Ahahaha …. Lingga: Bisa aja lo, Jer. Jeri: Lho, bener, kan? Tempat baru harus diperawanin, toh? Kalau nggak diperawanin, mana enak ditinggalin? (Sugestif) Sempiiit, Bro! Ahahaha …. BRAKKK! Adam membanting salah satu kardus yang sedang dipegangnya. Lingga menangkap Adam tidak nyaman dengan kehadiran Jeri. Sementara itu, Jeri masih melihat-lihat ruangan. Matanya terantuk pada kanvas lukisan yang tersandar di dinding. Ia menghampiri lukisan itu. Jeri: Weits, apaan nih, Bro? Lingga: Lukisan gue. Jeri: Baru? Kok, gue nggak pernah lihat? Adam: Selama ini digantung di kamar tidur. Jeri: Oh, pantes. Serius lo yang bikin, Ling? Wuidih …. Lingga: Iya, itu gue yang bikin. Lingga berjalan mendekati Jeri, dan berdiri di sebelahnya, ikut memandang lukisan. Sementara Adam berdiri agak jauh dari mereka. Lingga: Suka? Jeri memandang lukisan abstrak itu. Jeri: Tapi ini benda apaan sih maksudnya? Bentuknya aneh gini. Lingga: Bukan benda sih. Lebih ke emosi. Jeri: Emosi? Lingga: Iya. Jadi ini simbol dari …



PINDAH



311



Jeri: (Memotong) Ah, nggak paham gue, Bro. Gue bego kalo soal seni. Kayaknya cuma orang-orang kayak kalian yang bisa ngerti. Adam: Orang-orang kayak apa maksudnya? Jeri: Yah … orang-orang yang … ngerti seni. Ahahahaha …. Adam masih menyibukkan diri dengan perkara berkemas, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Jeri dengan tidak suka. Jeri kembali berjalan petantang-petenteng. Lingga merasakan energi Adam semakin tidak enak. Ia pun bergerak mendekati Adam, buat menenangkannya. Jeri: Ada yang bisa gue bantuin nggak nih? Angkut-angkut barang ke mobil gitu? Lingga: Gak usah repot-repot, Jer …. Jeri: Yaaah … kali aja lo berdua butuh tenaga laki-laki. Adam: Tenaga laki-laki? Memangnya kami berdua bukan laki-laki? Jeri: Ahahaha … bercanda! Santai, Brooooo, santai! Selow, selow! Baperan amat lo. Kayak cewek aja. Adam bergerak mau menghampiri Jeri, tapi ditahan oleh Lingga. Jeri: Okelah. Yakin nih nggak ada yang mau dibantuin? Lingga: Nggak, Jer. Makasih, ya. Jeri: Oke doke. Gue cabut kalau gitu. Bini gue suka mendadak PMS kalau ditinggal lama-lama. Alasannya anak gue nyariin. Padahal sih, minta dibelai dia. Ahahaha …. Adam tidak menghiraukan lelucon Jeri. Lingga masih berusaha tersenyum sopan. Jeri: Sampai ketemu lagi, Bro! Jeri keluar. 312



R I Z A L I WA N



Adam: Sinting, ya, tuh orang. Lingga: Dia itu baik sebenarnya. Cuma gesrek aja. Untung ganteng. Adam: Ganteng memang. Sampai kamu senyum-senyum terus. Lingga: Hah? Adam berjalan ke arah lukisan Lingga, menirukan cara jalan dan gaya bicara Lingga. Adam: “Iya, itu gue yang bikin. Suka?” Lingga: Apaan sih? Adam: Jangan-jangan, dia alasan sebenarnya kamu bakal kangen sama kompleks ini. Lingga: (Terkekeh geli) Kamu cemburu sama Jeri? Adam: Nggak. Cuma … biasanya kamu itu paling nggak tahan sama lelucon-lelucon garing dan seksis kayak tadi. Tapi kalau keluarnya dari mulut Jeri, kayaknya ada pemakluman, ya. Lingga: Leluconnya nggak garing-garing amat, kok. Lingga lanjut berkemas. Tapi Adam masih belum mau membebaskan Lingga. Adam: Dia menghina lukisan kamu. Adam mengambil lukisan Lingga, bermaksud untuk mengemasnya. Lingga: Dia nggak menghina. Kamu juga nggak ngerti lukisan aku …. Adam: Pemakluman lagi, kan …. Lingga: Buat apa sih cemburu sama cowok model mas bro kayak Jeri? Sudah jelas nggak suka kenti.



PINDAH



313



Adam: Oh, jadi kalau dia suka kenti, kamu mau sama dia? Belum putus harapan, kok. Berapa banyak teman cong kita yang sekarang nikah sama perempuan trus beranak kayak kelinci? Lingga menghampiri Adam dan mengambil lukisan dari tangan Adam. Lingga: Ya, itu masalah merekalah. Kamu jangan lantas menganggap kalau semua cowok ganteng itu cong yang belum meletek, atau cong yang balik masuk ke closet lagi. Apa bedanya kamu sama orang-orang yang beranggapan kalau semua gay itu sebenarnya cowok straight yang belum tahu enaknya sama perempuan? Adam: Ini bukan tentang mereka. Ini tentang kamu. Lingga: Dan aku ada di sini sama kamu, Sayang. Adam mengambil lagi lukisan dari tangan Lingga. Adam: Kebetulan aja sekarang aku lagi ada di sini. Apa yang terjadi kalau aku lagi nggak di sini? Lingga kaget. Lingga: Maksud kamu apa? Adam: Nggak ada yang tahu, kan, tiap hari, kamu ngapain aja kalau seharian di rumah sendirian? Lingga: Kamu nuduh aku selingkuh? Sama Jeri? Adam: Ini bukan tentang Jeri lagi. Tapi kalau di depanku aja kamu bisa bertingkah kayak tadi, di belakangku kamu bisa ngapain aja? Lingga: Kok, kamu bisa-bisanya nanya gitu? Adam: Aku bebas, dong, buat bertanya.



314



R I Z A L I WA N



Lingga mengambil lukisan dari tangan Adam. Lingga: Oke, kalau begitu, aku juga mau tanya sama kamu. Kapan terakhir kali kita ML? Adam terhenyak. Lingga: Lupa? Sama. Aku juga lupa. Selama itu! Adam: Kenapa jadi dibawa ke situ? Lingga: Kenapa nggak? Kalau aku bersikap ramah sama Jeri bikin kamu nanya aku di rumah ngapain aja, aku juga berhak nanya, dong, selama ini kamu gak pernah mau aku sentuh, di luar sana, kalau kamu pulang malam, kamu ngapain aja? DUSSS! Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi letupan keras dari arah kamar mandi (di luar panggung), seperti ada yang jebol. Adam bergegas memeriksa, antara panik dan lega karena saved by the bell. Ia kembali lagi dengan pakaian sedikit basah. Adam: Keran kamar mandi jebol! Matikan katup air di luar. Cepat! Suasana berikutnya menjadi kekacauan kecil. Adam kembali ke kamar mandi. Lingga berlari ke luar dari pintu. Lingga: (Dari luar) Yang mana sih katup air? Adam: Yang warna merah! Lingga: Ada tiga yang merah! Tiba-tiba, Satpam Kompleks masuk dari pintu depan, membawa HT, membuat suasana tambah kisruh. Satpam Kompleks: Ada apa ini? Ada apa ini? Lingga muncul di ambang pintu.



PINDAH



315



Lingga: Pak, bantu Adam di kamar mandi. Kerannya jebol. Satpam Kompleks bergegas ke arah kamar mandi. Lingga keluar lagi. Lingga: (Dari luar) Sudah mati belum airnya? Adam muncul kembali, disusul Satpam Kompleks. Adam: Sudah. Lingga pun muncul di ambang pintu. Satpam Kompleks: Saya pikir ada apa, kok, pada ribut-ribut. Adam: Terima kasih, ya, Pak. Satpam Kompleks: Tapi aman, kan? Aman? Adam: Aman, Pak. Satpam Kompleks: Saya tinggal, ya. (Ke HT) Laporan dari lokasi, aman! Satpam Kompleks berjalan keluar dari pintu. Di ambang pintu, ia berbalik lagi. Satpam Kompleks: Aman? Adam & Lingga: Aman! Satpam Kompleks keluar. Adam dan Lingga berdua lagi di ruangan. Mereka duduk berdua di lantai, kelelahan karena kekacauan kecil barusan. Lingga: Rumah ini benar-benar sudah mau runtuh. Hening beberapa saat. Lingga menatap Adam. Lingga: Kamu bahagia nggak sih, Dam? Adam tidak langsung menjawab. Adam: Kerjaanku di kantor banyak sekali belakangan ini. Begitu 316



R I Z A L I WA N



sampai rumah, aku sudah terlalu capek. Kalau sudah di tempat tidur, aku cuma pengin tidur. Lingga: Pertanyaanku bukan itu. Adam dan Lingga bertatapan dalam diam selama beberapa saat. Keheningan ini dipecahkan oleh Abigail, anak tetangga, yang masuk lewat pintu depan. Bocah itu menyapa dengan ceria. Abigail: Om Adam … Om Lingga …. Adam dan Lingga menyambut Abigail dengan senyum. Ini pertama kalinya kita lihat Adam dan Lingga menyambut tamu yang nyelonong masuk ke rumah mereka dengan senyum yang tulus. Adam: Abi …. Abigail: Om Adam sama Om Lingga sudah mau pergi, ya? Lingga: Belum, sebentar lagi. Abigail ikut duduk di lantai bersama Adam dan Lingga. Abigail: Kenapa sih Om Adam sama Om Lingga pindah rumah? Adam dan Lingga bertukar pandang. Tidak ada yang menjawab. Abigail: Nanti Abi main sama siapa, dong? Adam: Kan, di sini Abi juga banyak teman. Abigail: Ah, Abi lebih senang main di sini. Om Adam mainan pesawatnya bagus-bagus. Trus Om Lingga suka ajarin Abi gambar. Abigail melongok ke dalam kardus berisi miniatur pesawat Adam. Ia mengeluarkan sebuah miniatur pesawat yang tampak paling indah dan mewah. Abigail: Yang ini kesukaan Abi. Abi boleh mainin, gak? Buat terakhir kali. PINDAH



317



Adam yang biasanya sangat protektif terhadap pesawat-pesawatnya, kini sangat melunak di depan Abi. Adam: Boleh, dong, Abi. Abi bercakap-cakap sambil memainkan pesawatnya. Abigail: Nanti, di rumah baru, Om Adam sama Om Lingga main sama siapa? Kan, nggak punya anak. Adam: Om Lingga nggak mau punya anak, Abi. Abigail: (Menoleh ke Lingga) Kenapa? Lingga: Om Lingga bukannya nggak mau. Abigail: Terus? Lingga: Kasihan anaknya nanti. Bisa-bisa di-bully terus di sekolahnya. Abigail: Kenapa? Karena nggak punya ibu? Lingga tertawa canggung. Abigail: Kalau anaknya Om Lingga di-bully, biar Abi yang belain. Abi tabrak aja pakai pesawat. Kayak gini …. Ciaaatttt! (Memperagakan dengan pesawat.) Adam dan Lingga tertawa geli. Adam mengacak-acak rambut Abigail dengan gemas. Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari luar. Mama Abigail: Abiii …. Abigaiiil … di mana sih kamu? Abigail tersentak dan langsung berdiri. Wajahnya mendadak panik. Abigail: Aduh, Mama sudah pulang! Abigail buru-buru memasukkan miniatur pesawat ke kardus. Abigail: Abi pulang dulu, ya, Om. Jangan bilang-bilang kalau



318



R I Z A L I WA N



Abi main ke sini. Kata Mama, Abi nggak boleh main dekatdekat rumah Om, apalagi sampai masuk. Abigail tiba-tiba memeluk Adam dan Lingga bersamaan, seperti jadi penghubung di antara kedua orang itu. Abigail: Abi bakal kangen sama Om Adam dan Om Lingga. Abigail melepaskan pelukan dan bergegas menuju pintu. Adam: Abi! Abigail berhenti dan menoleh. Adam memandangi miniatur pesawat kesayangannya di tangan, lalu memberikannya pada Abigail. Adam: Bawa ini. Abigail: Balikinnya kapan? Adam: Nggak usah. Ini buat Abi. Abigail: (Kesenangan) Beneran, Om? Adam: Simpan baik-baik, ya. Abigail memeluk Adam sekali lagi. Lalu anak itu keluar. Lingga kembali berkemas, sementara Adam masih terus memandangi pintu. Adam: Sepertinya ada juga yang bakal aku kangenin dari kompleks ini. Lingga: Punya anak itu bukan cuma buat memuaskan paternal instinct. Ingat, kita nggak boleh egois. Jawab pertanyaan Abi aja kita nggak bisa. Adam: Pertanyaan apa? Lingga: Kenapa kita pindah rumah. Adam: Dia juga nggak akan ngerti.



PINDAH



319



Lingga menimbang sejenak sebelum memutuskan untuk mengatakannya. Lingga: Aku juga nggak ngerti, Dam. Hening. Memberat. Menegang. Adam menoleh dan menatap tajam ke Lingga. Adam: Kamu tahu persis kenapa kita harus pindah. Lingga: Aku tahu. Tapi aku nggak ngerti. Kita sudah berkali-kali ngomongin ini. Tapi masih belum ketemu jawabannya …. Adam: Jawaban apa lagi yang kamu cari? Adam dan Lingga terus bercakap-cakap. Tapi suara mereka berangsur hilang. Hanya bibir dan badan mereka saja yang terus bergerak. Dari gestur mereka berdua, kita mendapat kesan bahwa pembicaraan mereka semakin lama semakin intens dan tegang, lalu naik menjadi pertengkaran. Tapi kita tetap tidak mendengar suara mereka. Dari pintu yang terbuka, masuklah orang-orang yang tadi kita temui, satu per satu. Bu Ghalibah, Jeri, Pak RT, Satpam Kompleks, dan Abigail. Tapi kehadiran mereka tidak terlihat oleh Adam dan Lingga. Mereka seperti hantu saja. Satu per satu, mereka menjajah rumah itu, menyebar dan mengambil posisi di titik-titik yang berbeda di dalam ruangan. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Semuanya menghadap penonton. Sementara itu, Adam dan Lingga ada di tengah ruangan, dan masih terus bertengkar tanpa suara. Bergantian, orang-orang ini berbicara. Kalimat-kalimat mereka saling bersahutan. Suasana menjadi lebih suram dan mengancam. Orang-orang ini berbicara dengan karakteristik mereka masingmasing, tapi kali ini terasa lebih “sinister”. Jeri: Hedeh, berita makin rame, ya, sekarang, Bro …. Baca ko320



R I Z A L I WA N



ran … nonton TV … buka timeline … isinya LGBT lagi … LGBT lagi …. Bu Ghalibah: Eh, ibu-ibu, Mas Adam dan Mas Lingga itu sebenarnya hubungannya apa, ya? Saudara bukan, kakak adik bukan, kok … tinggalnya serumah? Jeri: Emang mereka ada di mana-mana, sih …. Lah, nggak usah jauh-jauh … noh, tetangga sebelah rumah gue … dua bencong. Bu Ghalibah: Bukan apa-apa, ibu-ibu, tapi kompleks kita ini, kan, perumahan baik-baik … ramah keluarga … banyak anak kecilnya lagi …. Abigail: Aku abis main di rumah Om Adam. Seru, Ma, di sana, banyak mainan. Om Lingga jago gambar lagi. Aku suka diajarin gambar …. Bu Ghalibah: Itu si Abigail anaknya Bu Marta, sering main ke rumah mereka, lho. Nggak serem apa? Jeri: Ya, gue sih terserah, ya, mereka mau ngapain … asal jangan pegang-pegang gue aja … hiiii … serem, Bro! Bu Ghalibah: Itu yang satunya lagi … nggak pernah salat Jumat, lho …. Jeri: Kira-kira, mana yang laki, mana yang bini, ya? Ahahahah …. Abigail: Memang kenapa sih, Ma, aku nggak boleh main ke rumah Om Adam lagi? Dia itu baik, tauk, Ma. Om Lingga juga. Bu Ghalibah: Saya setuju sama Bu Ida ini … LGBT, pedofil … apa bedanya? Jeri: Mana gue punya anak, kan …. Bu Ghalibah: Kita, kan, orang beragama. Kalau dibiarkan, bisabisa kita juga ikut kena azab. Masya’allah …. PINDAH



321



Jeri: (Dengan lagak yang dibanci-bancikan) “Emberan, ya, boook … Uuuuh cucok meong!” Ahahahah …. Abigail: Kok, aku dimarahin sih, Ma? Orang aku cuma main …. Bu Ghalibah: Suami-suami kita harus dikasih tahu, lho, ini. Biar mereka yang mendesak Pak RT. Jeri: Bu Ghalibah yang ngomong gitu, Babe? Terus, ibu-ibu pengajian yang lain setuju? Pak RT: Ada apa ini, ibu-ibu, bapak-bapak? Silakan masuk …. Bu Ghalibah: Pokoknya Pak RT harus tegas. Kita nggak mau kompleks kita tercinta ini jadi tempat maksiat. Betul, kan, ibu-ibu? Jeri: Kami sudah bikin petisi. Ini daftar kepala keluarga yang tanda tangan. Bu Ghalibah: Kami menolak kehadiran mereka di sini, Pak. Setuju, ya, ibu-ibu? Jeri: Kami juga minta satpam kompleks untuk memantau terus rumah mereka, siang malam. Bu Ghalibah: Kita tidak tahu, kan, ada tindak maksiat apa yang terjadi di rumah itu. Satpam Kompleks: (Ke HT) Laporan dari lokasi … aman! Bu Ghalibah: Pak RT harus ngomong sama mereka. Secepatnya! Jeri: Se-ce-pat-nya! Pak RT: (Terpaksa) Uhm … iya … iya … baik …. Fokus pada Pak RT, yang berdiri canggung. Pandangan Bu Ghalibah, Jeri, Abi, dan Satpam Kompleks juga tertuju padanya. Pak RT: Ehem … ehem …. Maaf, ya, Pak Adam, Pak Lingga …. 322



R I Z A L I WA N



Selanjutnya, Pak RT berbicara, bibirnya bergerak, tapi suaranya “diisi” oleh Bu Ghalibah dan Jeri. Pak RT hanya lip-sync saja. Ekspresi Pak RT saat berbicara sedih, segan, dan terpaksa, dan ini sangat kontras dengan suara Bu Ghalibah dan Jeri yang lantang dan yakin. Pak RT: (Suara Bu Ghalibah) Sehubungan dengan berita tentang LGBT yang ramai di media akhir-akhir ini … Pak RT: (Suara Jeri) Saya menyampaikan suara dari warga sini, bahwa kehadiran Pak Adam dan Pak Lingga ini, meresahkan warga. Pak RT: (Suara Bu Ghalibah) Warga sudah menandatangani petisi, yang isinya adalah, mendesak Pak Adam dan Pak Lingga untuk tidak lagi menjadi penghuni kompleks ini. Pak RT: (Suara Jeri) Atas permintaan warga, saya tidak bisa memberi tahu siapa saja yang menandatangani petisi tersebut. Tapi yang jelas, 90% kepala keluarga di kompleks ini setuju. Pak RT: (Suara Bu Ghalibah) Kalau Pak Adam dan Pak Lingga tidak memenuhi permintaan ini, maka warga terpaksa harus menempuh cara paksa. Pak RT: (Suara Pak RT sendiri) Saya … mohon maaf … Pak Adam … Pak Lingga. (Lalu, dengan intonasi yang persis sama seperti yang kita dengar di awal pemunculannya) Maaf, ya. Satpam Kompleks: (Ke HT) Laporan dari lokasi … oknum satu dan oknum dua, sedang persiapan untuk pindah. Untuk saat ini, keadaan … aman! Satu per satu, Satpam Kompleks, Pak RT, Jeri, dan Bu Ghalibah pergi meninggalkan ruangan. Abigail yang terakhir tinggal. Anak itu berdiri mematung dengan wajah sedih, marah, dan ingin menangis, tapi ia tidak berdaya melakukan apa-apa. Akhirnya, de-



PINDAH



323



ngan berat hati, Abigail mengentakkan kakinya dan menyeret langkahnya meninggalkan panggung. Adam dan Lingga masih di tengah pertengkaran mereka yang semakin intens, dan kini suara mereka berangsur terdengar lagi. Lingga: Kita nggak harus pindah. Kamu yang mau kita pindah! Adam: Kita sudah pernah omongin ini. Dan kamu akhirnya setuju buat pindah. Lingga: Karena aku sudah capek berantem sama kamu. Coba pikir, Dam, kalau kita pindah, itu sama saja dengan kita memilih lari. Adam: Kita nggak tahu orang-orang ini bisa bertindak apa. Lingga: Aku nggak takut, selama kita menghadapinya berdua! Adam: Kita bahkan nggak tahu apa yang kita hadapi! Yang mana kawan, yang mana lawan. Kita nggak tahu siapa saja yang sudah tanda tangani petisi itu. (Adam bergegas ke pintu dan berteriak ke luar) Pengecut semuanya! Adam membanting pintu dengan kesal. Kali ini pintu berhasil tertutup. Lingga: Dengan kita pindah, mereka menang. Kita yang jadi pengecut! Adam: Terus kamu lebih memilih mati pelan-pelan di sini? Adam lanjut berkemas, terburu-buru seperti kesetanan. Lingga: Kita sudah bekerja terlalu keras untuk punya rumah ini, Dam. Biarpun rumah ini atas nama kamu, tapi ini rumahku juga. Ini rumah kita. Adam: Lalu menurut kamu, kita harus ngapain?



324



R I Z A L I WA N



Lingga: Kita bertahan. Kita lawan. Kita bikin besar sekalian. Kita punya banyak teman. Kita bisa ke Komnas HAM. Adam: Aktivis-aktivis itu cuma bisa berkoar dan berantem di Twitter. Tapi pada akhirnya yang menghadapi ini cuma kita berdua. Aku nggak mau kita hancur karena ngurusin sirkus ini. Lingga: Ini masalah sikap, Dam. Pindah itu sama saja dengan kita mengaku salah. Adam: Ini bukan tentang salah dan benar, Lingga …. Lingga: Tapi ini rumah kita. Rumah kita! Adam: (Keras) Mana yang lebih penting? Rumah atau kita? Lingga terdiam. Adam: Kenapa sih kamu sulit sekali melepaskan rumah ini? Buat kamu, yang penting apa kata orang, apa kata teman-teman kita. Yang penting, semua orang lihat, Adam dan Lingga pasangan bahagia yang tinggal di rumah idaman. Yang penting, kita jadi martir yang disanjung-sanjung aktivis. Yang penting, apa yang kelihatan dari luar. Tapi kamu sama sekali nggak peduli sama apa yang terjadi di dalam. Lingga masih tidak bisa menjawab. Adam sudah menekan tombol yang tepat. Adam berkemas lagi. Adam: Pokoknya, aku nggak mau tinggal di tempat yang nggak mau menerima kita. Seketika, Lingga menemukan amunisi untuk menyerang balik. Lingga: (Sinis) Yakin itu alasannya? Perkataan Lingga membuat Adam berhenti, dan menatap Lingga dengan tajam. Adam: (Dingin) Kamu mau ngomong apa? PINDAH



325



Lingga: Dam … sudah berapa tahun kita bareng? Tapi sampai sekarang, orang-orang kantor kamu belum ada yang tahu tentang aku. (Beat.) Tentang kamu. (Beat.) Keluarga besar kamu juga tahunya aku teman kamu yang numpang di rumah ini. Kalau kasus ini jadi viral, semua orang akan tahu yang sebenarnya. Hidup kamu, keluarga kamu, karir kamu, semua akan jadi taruhan. Dan, kamu belum siap. Itu kan alasannya? Adam tercenung. Tertohok. Lingga: Mau ke mana pun kamu lari, jangan harap orang bisa menerima kamu, kalau kamu saja masih belum bisa menerima diri kamu sendiri. Adam masih diam. Kali ini Lingga yang menekan tombol yang tepat. Lingga duduk di lantai. Lelah. Lingga: Dan aku capek, Dam. Aku capek takut. Aku capek bertanya-tanya, setiap kali kita punya masalah di tempat tidur, apakah itu tandanya kamu lagi merasa bersalah, dan pada siapa kamu merasa bersalah. Aku capek ketar-ketir terus, setiap kali kamu salat, apakah artinya kamu lagi bertobat, atau apakah selesai salat, kamu akan tiba-tiba dapat hidayah dan pengin nikah sama perempuan. Adam terus mematung. Lingga: Dan aku nggak tahu apakah aku bisa terus ada di sini. (Pause.) Kita terlalu jauh. Adam mengumpulkan segenap tenaganya sebelum berkata. Adam: (Tercekat) Jadi … kamu yang mau lari? Lingga tidak menjawab. Adam tercenung dan mengangguk pelan. Sepertinya diamnya Lingga sudah merupakan jawaban. Perlahan-lahan, ia mulai ber326



R I Z A L I WA N



kemas lagi. Sepanjang percakapan berikut, Adam membereskan sisa barang, menyelotip kardus-kardus yang belum tertutup, dan mengumpulkan barang-barang ke dekat pintu. Adam: Dari kecil, aku selalu jadi anak yang baik. Aku selalu merasa kalau jalan hidupku akan lurus-lurus saja. Sekolah yang benar, masuk universitas favorit, lulus, dapat kerja, punya karir bagus, beli rumah sendiri, berumah tangga …. Biar orang tuaku bangga. Dan semuanya berjalan sesuai rencana. Rumah ini …. Ini hidup yang dari dulu aku idam-idamkan. Semua persis seperti yang kuinginkan. Hanya ada satu hal yang tidak kuperhitungkan. (Pause.) Kamu. Lingga menoleh, dan mereka bertatapan. Lingga: Aku yang menghancurkan rencana kamu? Adam: Atau justru yang membuatnya jadi lengkap. Tanpa melepas tatapannya dari Adam, Lingga berdiri. Lingga: Jawaban mana yang kamu pilih? Adam: Masih belum jelas juga? Adam kembali berkemas. Adam: Kamu tahu kenapa aku memilih untuk pindah? Karena buatku, ada hal lain yang lebih ingin kuperjuangkan. Mungkin rumah ini sudah mau runtuh, tapi kita belum. Aku memang belum siap, tapi aku juga belum menyerah. (Pause.) Aku memilih pindah, supaya kita bisa tetap tinggal. Lingga: Tapi … apakah kita layak buat diperjuangkan, Dam? Adam: Aku nggak tahu. Tapi aku masih mau cari tahu. Dan tempatnya bukan di sini. Lingga: Lalu di mana? PINDAH



327



Adam: Kita bisa terus mencari. Semua barang sudah tersusun rapi di dekat pintu, siap untuk dibawa. Dengan semua barang terkumpul, ruangan jadi terlihat lebih kosong. Adam menoleh ke Lingga dan menatapnya lekat-lekat, seolah ini mungkin terakhir kalinya ia melihat Lingga. Adam: Kalau kamu mau ikut, aku tunggu di luar. Lingga berdiri mematung. Di sebuah persimpangan. Adam berbalik dan membuka pintu depan, tapi pintu yang rusak itu kini macet dan tidak mau terbuka. Adam berusaha membukanya sekali lagi. Tapi tetap tidak mau terbuka. Adam terus mengguncang-guncang gagang pintu, semakin marah dan frustrasi. Lama-lama ia terisak, lalu terduduk lemas, menghadap pintu yang tidak mau terbuka. Lingga menoleh ke arah Adam. Setelah mematung beberapa saat, akhirnya Lingga berjalan pelan menghampiri Adam yang terisak. Ia berlutut dan memeluk Adam dari belakang. Persis seperti yang Adam lakukan pada Lingga di awal lakon. Mereka terdiam lama dalam posisi ini. Membelakangi penonton. Di luar, azan magrib mulai berkumandang. Selesai.



328



R I Z A L I WA N