EDUKASI PASIEN KRITIS Made [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONSEP DASAR KEPERAWATAN KRITIS



EDUKASI PADA PASIEN DAN KELUARGA DALAM AREA KEPERAWATAN KRITIS



    DISUSUN OLEH:  MADE OKA ARI KAMAYANI NPM. 220120120051 



ANGKATAN VI



PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2013 0   



EDUKASI PADA PASIEN DAN KELUARGA DALAM AREA KEPERAWATAN KRITIS A. KONSEP DASAR EDUKASI KLIEN Pendahuluan Salah satunya tantangan terbesar yang dihadapi keperawatan dewasa ini adalah memenuhi kebutuhan kesehatan bagi masyarakat. Menanggapi hal ini, keperawatan telah memberikan penekanan lebih pada peran perawat sebagai pendidik. Pengajaran, sebagai fungsi dari keperawatan, telah dimasukkan dalam undang-undang praktik perawat dan dalam American Nurses Association Standards of Nursing Practice. Dengan demikian pendidikan kesehatan dianggap sebagai fungsi mandiri dari praktik keperawatan dan merupakan tanggung jawab utama dari profesi keperawatan (Smeltzer & Bare, 2002). Pendidikan kesehatan merupakan komponen esensial dalam asuhan keperawatan dan diarahkan pada kegiatan meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan status kesehatan; mencegah penyakit; dan membantu individu untuk mengatasi efek sisa penyakit. Aktivitas pengajaran yang dilakukan oleh perawat terjadi di berbagai lingkungan termasuk klinik prenatal, klinik bayi sehat, pusat kesehtan masyarakat, tempat praktik dokter, sekolah-sekolah, rumah sakit, perawatan di rumah-rumah dan di komunitas setempat lainnya (Smeltzer & Bare, 2002). Setiap kontak yang dilakukan perawat dengan konsumen perawatan kesehatan, apakah individu tersebut sakit atau tidak, harus dianggap sebagai suatu kesempatan untuk melakukan pendidikan kesehatan. Sementara individu mempunyai hak untuk memutuskan apakah akan belajar atau tidak, perawat memiliki tanggung jawab untukmmenyampaikan informasi yang akan memotivasi individu untuk menyadarimkebutuhan akan pembelajaran (Smeltzer & Bare, 2002).



Tujuan Edukasi Pasien Penekanan pada pendidikan kesehatan sebagian berasal dari keyakinan banyak pemimpin perawatan kesehatan bahwa publik mempunyai hak untuk untuk berharap dan menerima perawatan kesehatan menyeluruh, termasuk pendidikan kesehatan. Hal ini juga mencerminkan timbulnya publik yang “lebih pandai” yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang lebih signifikan tentang kesehatan dan pelayanan perawatan kesehatan yang mereka dapatkan. Karena 1   



penekanan yang masyarakat berikan pada kesehatan dan tanggung jawab dari setiap kita untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan kita sendiri, maka ini adalah kewajiban dari anggota sistem perawatan kesehatan dan terutamanya perawat untuk membuat pendidikan kesehatan tersedia bagi masyarakat (Smeltzer & Bare, 2002). Salah satu kelompok terbesar yang memerlukan pendidikan kesehatan dewasa ini adalah merekan yang menderita penyakit kronik. Seiring dengan teus meningkatnya rentang kehidupan masyarakat kita, maka jumlah orang-orang yang menderita penyakit kronik tersebut juga meningkat. Banyak ahli kesehatan berkeyakinan bahwa orang-orang yang menderita penyekit kronik tersebut berhak atas informasi pelayanan kesehatan untuk memampukan mereka berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab terhadap perawatan mereka sendiri. Pendidikan kesehatan dapat membantu individu-individu tersebut untuk beradaptasi dengan penyakitnya, mencegah komplikasi dan mematuhi program terapi dan belajar untuk memecahkan masalah ketika menghadapisituasi baru. Hal ini juga akan mencegah rehospitalisasi pasien; individu dengan kondisi kronik sering harus kembali dirawat di rumah sakit, karena mereka tidak mengetahui cara merawat diri sendiri (Smeltzer & Bare, 2002). Tujuan pendidikan kesehatan adalah mengajarkan orang untuk hidup dalam kondisi yang terbaik-yaitu berusaha keras untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimum. Perubahanperubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan sebagai akibat penurunan anggaran dan penundaan anggaran memberi signifikansi yang lebih besar pada pendidikan kesehatan pasien. Pendidikan kesehatan ini dipandang sebagai strategi untuk penurunan biaya melalui pencegahan penyakit dan menghindari pengobatan medis yang mahal dengan menurunkan lamanya hari perawatan dan memfasilitasi pemulangan lebih dini. Bagi rumah sakit hal ini juga dipandang sebagai alat hubungan masyarakat untuk meningkatkan kepuasaan pasien. Pendidikana kesehatan juga dipandang sebagai strategi pencegahan penggunaan biaya bagi mereka yang meyakini bahwa hubungan yang positif antar pasien dan stafperawatan mencegah gugatan malpraktik (Smeltzer & Bare, 2002).



Ranah Pembelajaran Tiga ranah perilaku manusia atau pembelajaran yang perlu dipertimbangkan saat menyusun sebauah rencana pendidikan adalah ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Mengingat ketiga ranah tersebut saat melakukan pengkajian dan menyusun suatu 2   



rencana penyuluhan dapat membantu perawat memilih metode penyuluhan yang sesuai (Morton P.G., dkk, 2011). Ranah kognitif pembelajaran meliputi pembentukan pemahaman yang menyediakan landasan atau panduan perilaku. Dalam ranah ini, pengetahuan meluas dan materi belajar mengajar disusun dari yang sederhana sampai yang kompleks. Pembelajaran meningkat saat informasi didasarkan pada pengetahuan sebelumnya. Oleh karena itu, gagasan dasar harus diperkenalkan dengan baik sebelum berupaya mengajarkan fakta yang sulit diingat. Sebagai contoh, pembelajaran kognitif terjadi saat anggota keluarga belajar mengkaji penyembuhan luka (Morton P.G., dkk, 2011). Domain afektif meliputi semua area pembelajaran karena mencakup nilai, sikap, dan perasaan pasien. Upaya memodifikasi sikap atau respon emosi membutuhkan suatu hubungan yang aman dan saling percaya antara pasien dan perawat. Ketika menyusun rencana penyuluhan, perawat harus mengambil langkah yang tidak mengancam guna mengkaji topik yang menurut pasien cukup penting untuk dipelajari. Apabila pengalaman belajar memaskan dan pasien menghubungkan dengan perasaan positif dengan pengalaman tersebut, hal ini dapat membantu mempengaruhi perubahan perilaku (Morton P.G., dkk, 2011). Ranah psikomotor mencakup ketrampilan motorik yang terdiri atas urutan rangkaian gerakan yang harus dipelajari. Agar dapat mempelajari ketrampilan tertentu, pasien harus mempunyai sistem neuromuskular yang dapat melakukan ketrampilan dan kemampuan untuk membentuk suatu citra mental tindakan tersebut. Suatu citra mental tercipta saat peserta didik memperhatikan suatu peragaan sementara pengajar menunjukkan langkah-langkah relevan yang dibutuhkan agar dapat berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Perawat dapat memakai panduan tahap demi tahap tertulis sebagai sebuah acuan sementara memperagakan ketrampilan dan membiarkan pasien mengajukan pertanyaan. Pasien atau anggota keluarga membutuhkan tugas tersebut. Banyak orang dewasa diintimidasi oleh pembelajaran ketrampilan baru, oleh karena itu, penting untuk perawat memberikan pujian dan dorongan pada tiap sesi penyuluhan. Belajar menginjeksikan insulin adalah contoh pembelajaran psikomotor (Morton P.G., dkk, 2011). Metode penyuluhan yang didasarkan pada tiga ranah pembelajaran diperlihatkan dalam gambar berikut:



3   



Kognitif: • Penyusunan informasi dari informasi sederhana sampai informasi komples • Klarifikasi konsep atau istilah dasar • Presentasi kuliah • Belajar mandiri dari pamflet, materi tertulis, modul belajar dibantu komputer • Kaset video • Pertanyaan dan jawaban



Psikomotor: • Demonstrasi ketrampilan • Bicara kepada peserta didik melalui ketrampilan • Demonstrasi ulang dan latihan ulang • Materi tertulis dengan petunjuk tahap demi tahap • Kaset video dengan petunjuk ketrampilan tahap demi tahap



Afektif: • Diskusi dan klarifikasi nilai • Bermain peran • Pertanyaan dan jawaban • Kelompok pendukung



Faktor yang Mempengaruhi Edukasi Banyak faktor yang dapat mendukung atau menghambat proses pembelajaran yang dilakukan klien. Perawat harus tanggap terhadap faktor-faktor ini, terutama jika waktu penyuluhan terbatas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran antara lain (Kozier, dkk., 2011): 1. Motivasi Motivasi untuk belajar adalah hasrat untuk belajar. Hal ini sangat mempengaruhi seberapa cepat dan seberapa banyak individu belajar. Motivasi terbesar umumnya dicapai saat 4   



seseorang menyadari kebutuhan yang ada, serta meyakini bahwa kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan belajar. Kebutuhan tersebut tidak diidentifikasi dan dinyatakan oleh perawat, kebutuhan tersebut harus dinyatakan sendiri oleh klien. Seringkali, tugas perawat adalah membantu klien secara pribadi dalam mengatasi masalah dan mengidentifikasi kebutuhan tersebut. Terkadang klien atau individu pendukung klien memerlukan bantuan dalam mengidentifikasi informasi yang relevan dengan situasdi mereka sebelum mereka dapat melihat adanya kebutuhan. 2. Kesiapan Kesiapan untuk belajar adalah demonstrasi perilaku atau isyarat yang mencerminkan motivasi untuk belajar pada waktu-waktu tertentu. Kesiapan tidak hanya merefleksikan hasrat atau kesungguhan untuk belajar, tetapi juga kemampuan untuk belajar pada waktu-waktu tertentu. Peran perawat seringkali untuk mendukung menumbuhkan kesiapan. 3. Keterlibatan aktif Jika peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran, pembelajaran menjadi l;ebih bermakna. Jika peserta didik berpartisapi aktif dalam perencanaan dan diskusi, pembelajaran akan berlangsung lebih cepat, dan retensi juga akan lebih baik. Metode belajar aktif meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memungkinkan peserta didik untuk menyelesaiakan masalah dengan lebih efektif. Klien yang terlibat aktif dalam pembelajaran tentang perawatan kesehatan mereka akan lebih mampu menerapkan hal tersebut pada situasi mereka sendiri. 4. Relevansi Pengetahuan atau keterampilan yang akan dipelajari harus relevan dengan peserta didik. Klien dapar belajar dengan lebih mudah jika mereka dapat mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah mereka miliki atau pernah mereka alami sebelumnya. Perawat perlu memvalidasi relevansi pembelajaran dengan klien yang bersangkutan selam proses belajar. 5. Umpan balik Umpan balik adalah informasi yang berkaitan dengan performa klien terhadap tujuan yang diharapkan. Umpan balik harus bermakna bagi peserta didik. Umpan balik terhadap praktik ketrampilan psikomotorik membantu individu untuk mempelajari ketrampilan tersebut. Dukungan terhadap perilaku yang diharapkan melalui pujian, koreksi dengan perkataan yang positif, serta saran tentang metode alternatif merupakan cara-cara dalam memberikan umpan balik positif. Umpan balik negatif, seperti ejekan, kemarahan, atau sindiran yang tajam dapat 5   



menyebabkan orang menarik diri dari proses belajar. Umpan balik, yang dipandang sebagai hukuman, dapat menyebabkan klien menjauhi pengajar dengan maksud nenghindari hukuman. 6. Dukungan yang tidak Mengakimi Orang belajar paling baik jika mereka yakin bahwa mereka diterima dan tidak akan dihakimi. Individu yang merasa dirinya dicap sebagai klien yang “buruk” atau “baik” tidak akan dapat belajar semaksimal pembelajaran individu yang tidak mendapatkan perlakukan tersebut. Begitu peserta didik berhasil menyelesaikan sebuah tugas atau memahami sebuah konsep, mereka akan memperoleh kepercayaan diri dengan kemampuan mereka untuk belajar. Hal tersebut mengurangi kecemasan mereka terhadap kegagalan dan dapat memotivasi mereka untuk mempelajari hal yang lebih besar lagi. 7. Sederhana hingga Kompleks Pembelajaran difasilitasi oleh materi yang terorganisasi dan terproses secara logis, dari yang bersifat sederhana hingga kompleks. Organisasi semacam itu memungkinkan peserta didik untuk memahami informasi yang baru, melakukan asimilasi terhadap informasi tersebut dengan pembelajaran sebelumnya, dan membentuk pemahaman yang baru. Tentu saja, sederhana dan kompleks adalah istilah relatif, bergantung pada tingkat pembelajaran individu. Apa yang dianggap sederhana oleh seseorang mungkin dianggap kompleks oleh orang lain. 8. Pengulangan Pengulangan berbagai konsep kunci dan fakta membantu proses retensi materi yang baru dipelajari. Praktik ketrampilan psikomotor, terutama yang disertai umpan balik perawat, meningkatkan perfoma ketrampilan tersebut dan membantu proses transfer ketrampilan itu ke dalam tatanan yang lain 9. Waktu Individu meretensi informasi dan ketrampilan psikomotor dengan sangat baik apabila jarak waktu antara pembelajaran dan praktik aktif pembelajaran secara aktif pendek; semakin panjang interval waktu, semakin banyak pembelajaran yang terlupakan. 10. Lingkungan Lingkungan belajar yang optimal membantu proses pembelajaran dengan mengurangi distraksi dan memberikan kenyamanan fisik serta psikologis. Lingkungan tersebut memiliki pencahayaan yang cukup dan tidak menyilaukan, suhu ruangan yang nyaman, serta ventilasi



6   



yang baik. Untuk membantu proses belajar di tatanan rumah sakit, perawat harus memilih waktu di saat tidak ada pengunjung dan kemungkinan munculnya gangguan tidak ada. 11. Emosi Emosi, seperti perasaan takut, marah, dan depresi dapat menganggu proses belajar. Ansietas tingkat tinggi dapat menyebabkan agitasi, dan ketidakmampuan untuk fokus dan berkonsentrasi juga dapat menghambat pembelajaran. Klien atau keluarga yang tengah mengalami masalah emosi ekstrim mungkin tidak akan mendengar kata-kata yang disampaikan atau hanya akan menyimpan sebagian dari komunikasi yang dilakukan. 12. Aspek Budaya Ada pula kendala budaya dalam proses belajar, seperti bahas dan nilai-nilai. Klien ynag tidak memahami bahasa dan nilai-nilai. Klien yang tidak memahami bahasa perawat akan belajar sedikit. Pengobatan ala barat mungkin akan bertentangan dengan keyakinan dan praktik penyembuhan pada budaya klien. Agar efektif, perawat harus menangani langsung konflik tersebut, jika tidak, klien mungkin hanya akan mematuhi sebagian dari pengobatan yang dianjurkan atau malah tidak mematuhinya sama sekali. Hambatan lain dalam pembelajaran adalah perbedaan nilai yang dianut oleh klien dan tim kesehatan. 13. Kemampuan Psikomotorik Penting bagi perawat menyadari ketrampilan psikomotorik klien sebelum merencanakan penyuluhan. Ketrampilan psikomotor dapat dipengaruhi oleh kesehatan.



Proses Keperawatan dalam Edukasi Klien 1.



Pengkajian: Dalam proses pengajaran-pembelajaran diarahkan pada pengumpulan data secara



sistematik tentang kebutuhan pembelajaran dan kesiapan untuk belajar seseorang dan tentang kebutuhan pembelajaran keluarga. Semua variabel internal dan eksternal yang mempengaruhi kesiapan belajar pasien dikaji. Pedoman pengkajian pembelajaran dapat digunakan untuk tujuan ini. Beberapa pedoman pengkajian pembelajaran yang tersedia sangat umum dan diarahkan kepada pengkajian informasi kesehatan umum. Yang lainnya spesifik untuk regiment medikasi atau proses penyakit yang umum. Pedoman ini berfungsi untuk memudahkan pengkajian tetapi harus diadaptasi dengan kebutuhan, masalah, dan respon individu (Smeltzer & Bare, 2002).



7   



Segera setelah menyelesaikan pengkajian, perawat mengorganisasi, menganalisis, mensintesis merangkum data yang dikumpulkan dan menentukan kebutuhan pengajaran pasien (Smeltzer & Bare, 2002). 2.



Diagnosa Keperawatan



Diagnosa keperawatan yang secara khusus berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran pasien dan keluarga, selanjutnya dinyatakan secara ringkas dan menjadi petunjuk saat mengembangkan rencana pembelajaran . 3.



Perencanaan



Setelah diagnosa keperawatan ditentukan, perencanaan komponen proses pengajaranpembelajaran ditetapkan sesuai dengan kriteria umum yang berlaku pada proses keperawatan: -



Menetapkan prioritas diagnosa



-



Menetapkan tujuan pembelajaran jangka pendek, menengah, jangka panjang



-



Mengidentifikasi strategi pengajaran spesifik yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai



-



Menentukan secara khusus hasil yang diharapkan



-



Mendokumentasikan diagnosa, tujuan, strategi pengajaran dan hasil yang ingin dicapai dalam rencana pengajaran. Selama fase perencanaan perawat mempertimbangkan urutan bagaimana subjek akan disajikan dalam setiap strategi pengajaran. Informasi kritis (seperti kemampuan bertahan bagi individu dengan diabetes) dan informasi yang diidentifikasi oleh individu atau keluarga sangat penting atau menarik bagi mereka biasanya mendapat prioritas utama dalam urutan materi yang akan disajikan (Smeltzer & Bare, 2002)..



4.



Implementasi Pada fase implementasi proses pengajaran-pembelajaran pasien, keluarga dan anggota tim keperawatan serta tim kesehatan yang lain, menjalankan aktivitas yang telah dibuat dalam rencana pengajaran. Semua aktivitas dari semua individu ini dikoordinasikan oleh perawat. Penting artinya untuk tetap fleksibel selama fase implementasi proses pengajaranpembelajaran dan untuk mengkaji respon individu terhadap strategi pengajaran secara kontinyu, membuat perubahan dalam rencana pengajaran sesuai yang diperlukan. Kreativitas dalam meningkatkan dan mempertahankan motivasi peserta didik untuk belajar adalah penting, dan penting artinya untuk mengantisipasi kebutuhan pembelajaran baru yang mungkin timbul setelah pemulangan dari rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2002).. 8 



 



Fase implementasi akan selesai jika strategi-strategi pengajaran telah diselesaikan dan jika respon peserta didik terhadap tindakan. Catatan ini berfungsi sebagai dasar untuk mengevaluasi sejauh mana tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan hasil yang diperkirakan telah tercapai (Smeltzer & Bare, 2002).. 5.



Evaluasi Evaluasi dalam proses pengajaran-pembelajaran diarahkan pada penentuan seberapa efektifnya individu telah berespon terhadap strategi pengajaran dan sejauh mana tujuan yang telah dicapai. Bagian penting dari proses evaluasi mengacu pada pertanyaan: “Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengajaran?” Jawaban untuk pertanyaan ini akan menentukan perubahan-perubahan yang harus dibuat dalam rencana pengajaran (Smeltzer & Bare, 2002).



B. KONSEP DASAR EDUKASI KLIEN EMERGENCY Konseling dan edukasi pasien merupakan komponen kunci untuk keefektifan manajemen diri dan kebutuhan monitoring pada beberapa kondisi akut dan kronis. Panduan evidence based yang terkini untuk kondisi kompleks seperti astma dan diabetes, meliputi edukasi pasien sebagai suatu aspek yang diharapkan dari perawatan. Edukasi pasien disediakan dalam berbagai keadaan membentuk satu kesatuan perawaran. Pada setting ambulatory care dan outpatient, pendidikan kesehatan pendidikan kesehatan diberikan untuk meningkatkan outcome pasien. Walaupun tidak selalu disadari, bagaian emergency menawarkan suatu kesempatan yang penting untuk intervensi edukasi. Walaupun, pada studi dasar dengan menggunakan audit catatan dan recall pasien, menunjukkan kurang bermanfaatnya bagian emergency sebagai tempat pemberian pendidikan kesehatan (Margaret, dkk, 2008). Bagian emergency menjadi tempat akses utama untuk perawatan kesehatan dalam beberapa yurisdiksi (secara hukum), dimana suatu proporsi besar dari kunjungan ke bagian emergency merupakan kasus nonurgent. Keadaan ini berhubungan dengan kurangnya akses ke bagainperawatan primer dan untuk beberapa orang, ini hanya merupakan tempat bertemu dengan sistem pelayanan kesehatan. Karena perubahan dalam penggunaan pelayan kesehatan ini, menunjukkan suatu peningkatan kebutuhan pemberian pendidikan kesehatan dan konseling pasien di bagian emergency. Walaupun, ada beberapa hambatan untuk menyediakan edukasi pasien yang adekuat pada setting ini. Kondisi yang sangat ramai dan panjangnya waktu yang 9   



diperlukan untuk memberikan infrmasi yang penting bisa mempengaruhi kemampuan staf bagian emergency untuk melakukan edukasi. Sedangkan beberapa orang percaya bahwa di bagain emergency bukan merupakan tempat yang tepat untuk melakukan edukasi, yang lain percaya bahwa hal ini menawarkan suatu moment pembelajaran yang unik, dimana pasien mungkin termotivasi untuk belajar dari pemberi pelayanan kesehatan. Pada beberapa kasus, stres sedang meningkatkan kemampuan seseorang untuk belajar, terutama jika informasi yang disediakan tidak terlalu kompleks. Mempertimbangkan semua peluang untuk memberikan konseling dan management diri, mendukung bagian emergency untuk dilihat secara bijaksana dalam lingkungan pelayanan kesehatan saat ini (Margaret, dkk, 2008). Taksonomi Bloom’s tentang domain pembelajaran secara luas digunakan sebagai konsep dasar dalam edukasi dimana mengidentifikasi tujuan dan domain pembelajaran. Berdasarkan teori Bloom’s, belajar bisa dibagi menjadi tiga domain: kognitif, afektif, psikomotorik. Masingmasing domain memasukkan level dari peningkatan penguasaan. Belajar kognitif melibatkan kemahiran kognitif. Tujuan kognitif yang sederhana dapat diukur dengan melakukan evaluasi secara recall, pemahaman, atau pengertian, sedangkan tujuan yang lebih kompleks bisa diukur dari aplikasi pengetahuan atau pengembangan ke dalam model atau framework. Belajar afektif melibatkan internalisasi nilai-nilai, perilaku dan kepercayaan. Dalam bentuk sederhana, tujuan belajar afektif bisa meliputi menjadi rela untuk mendengar informasi atau berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang kompleks dalam domain afektif memerlukan partisipan untuk mengadopsi suatu sistem nilai dan kepercayaan yang baru. Domain psikomotor merupakan proses belajar yang melibatkan penguasaan ketrampilan. Tujuan dari pembelajaran ini bisa memiliki rentang dari mencontoh suatu demonstrasi yang sederhana sampai penguasaan tehnik secara otomatis (Margaret, dkk, 2008). Tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana secara efektif menyediakan edukasi yang optimal menggunakan waktu dan sumber-sumber yang tersedia pada suatu kondisi misalnya di bagian emergency. Saat ini, kita mengetahui sedikit hal tentang keefektifan memberikan edukasi di bagian emergency. Wei dan Camargo (2000), mengumpulkan penelitian tentang edukasi pasien di bagian emergency, mengidentifikasi penelitian yang berhubungan dengan astma, infark miokardium, kondisi psikiatrik, injuri dan trauma. Penulis menyimpulkan bahwa tindakan edukasi pada setting tersebut meningkatkan outcome pasien. Walaupun mungkin ada kesamaan antara bagian emergency dan setting perawatan akut yang lain, 10   



perbedaan kunci yang bisa berpengaruh terhadap faktor penting berhubungan dengan keefektifan edukasi, seperti waktu yang tersdia untuk pembelajaran dan kecemasan pasien. Sebagai tambahan, walaupun konseling dan edukasi ongoing adalah hal yang ideal, menganjurkan pasien untuk mendatangi sesi edukasi mungkin merupakan tantangan. Dalam suatu penelitian yang mengevaluasi suatu program edukasi astma, hanya 31% dari 164 responden yang direkrut dari bagian emergency mendatangi program tersebut. Jika individu tidak memanfaatkan perawatan primer untuk follow up, hal ini penting kita pahami bahwa sangat beralasan jika dikirim ke bagian emergency dan menentukan keefektifan intervensi yang disediakan hanya selama kunjungan di bagian emergency (Margaret, dkk, 2008).



Edukasi pada Keluarga Selama resusitasi Edukasi tentang kehadiran keluarga selama resusitasi harus diberikan oleh semua tenaga kesehatan yang memiliki potensi untuk dilibatkan dalam usaha resusitasi. Tingkat pendidikan yang diberikan akan tergantung pada disiplin ilmu, bidang pekerjaan, dan tingkat keterlibatan dalam resusitasi dan tingkat penerimaan. Edukasi harus meliputi hal-hal berikut (Sheehy's, 2003): - Panduan institusi - Peran dari support person - Evaluasi pengalaman - Advokasi untuk kehadiran keluarga selama resusitasi Advokasi untuk konsep kehadiran keluarga mungkin merupakan suatu tugas yang mudah atau suatu tugas yang berat, tergantung pada perilaku staff. Penerimaan awal mudah, maka edukasi harus ditargetkan pada penerimaan akhir atau staf yang membutuhkan bukti konsep akan bekerja. Promosi konsep harus meliputi literatur tentang keuntungan kehadiran keluarga selama proses resusitasi, meliputi perilaku keluarga, perilaku staff sebelum dan setelah tindakan menghadirkan keluarga; dan pengaruhnya terhadap proses berduka. Jangan takut untuk mengungkapkan halangan yang potensial terhadap kehadiran keluarga. Beberapa pemberi pelayanan kesehatan berpusat pada peningkatan proses pengadilan, jenis-jenis trauma pada keluarga dan gangguan dalam perawatan pasien. Gunakan literatur yang ditujukkan pada kepalsuan dari hambatan-hambatan tersebut. Mengilustrasikan makna dimana panduan institusi



11   



akan menjamin bahwa outcome yang negatif tidak akan terjadi. Contoh-contoh statistik yang memiliki efek sangat kuat pada keterlibatan staf, meliputi (Sheehy's, 2003): - Pada keluarga-keluarga yang dilakukan survey, 98% akan memilih untuk hadir selama resusitasi - Lebih dari 75% dokter yang terlatih dalam kehadiran keluarga memberikan support - Lebih dari 90% perawat yang terlatih dalam kehadiran keluarga memberikan support - Keluarga yang hadir selama resusitasi, 94% akan memilih untuk melakukan lagi hal tersebut - Kurang dari 4% keluarga bertanya untuk meninggalkan ruang resusitasi - Tidak ada peningkatan litigation (proses pengadilan) yang terlihat Edukasi sesuai petunjuk akan bervariasi sesuai dengan petunjuk yang digunakan oleh institusi seseorang. Semua staf yang berperan dalam resusitasi harus belajar tentang elementelement dari petujuk dan pengaruh petunjuk tersebut sesuai dengan peran mereka. Hal ini peting sekali untuk kesuksesan program menghadirkan keluarga dimana semua disiplin (dokter emergency, dokter bedah dan dokter anastesi; perawat dan staf pendukung yang lain) memahami petunjuk untuk menghadirkan keluarga selama resusitasi. Beberapa anggota staf harus mampu memverbalisasikan metode dimana keluarga akan ditawarkan tentang kehadiran keluarga. Semua staf harus menyadari peran dan tanggung jawab Family Presence Fasilitator (FPF), meliputi pengkajian awal dan terus menerus pada keluarga dan mempersiapkan serta memberikan support kepada keluarga pada tindakan resusitasi. Identifikasi tanda-tanda perilaku dan gejala fisik tentang kebutuhan edukasi anggota keluarga. Tingkah laku yang penting, seperti histeris dan/atau tingkah laku combative yang menghalangi FPF untuk menawarkan kehadiran keluarga. Beberapa budaya mengharapkan untuk melakukan tindakan berbeda dari yang lain, hal ini sering diinterpretasikan sebagai kemarahan. Memasukkan tehnik peredaan kemarahan mungkin akan berguna, karena anggota keluarga mungkin menunjukkan emosi yang tidak terkontrol pada awalnya, tetapi seiring proses interaksi dengan FPF, anggota keluarga akan secepatnya memperoleh ketenangan ketika ada permintaan masuk ke ruang resusitasi. Hal ini harus disadari, bahwa staf yang memiliki keahlian yang berbeda pada area tersebut dan harus dikonsultasikan untuk memberikan edukasi (Sheehy's, 2003). Sebagai tambahan untuk menyiapkan keluarga untuk pengalaman kehadiran keluarga, FPF harus memiliki pengetahuan jargon-jargon (istilah-istilah) medis yang mungkin sulit di ruang resusitasi, prosedur yang mungkin akan dilakukan dan ruang yang tersedia untuk keluarga 12   



untuk berdiri. Perawat yang menyiapkan diri untuk berperan menjadi FPF akan membutuhkan sedikit pendidikan tentang istilah-istilah resusitasi. Untuk menentukan kebutuhan edukasi, minta berbagai pekerja sosial dan pendeta di ruang resusitasi untuk mengaudit kejadian tersebut, mencatat prosedur-prosedur, kata-kata dan peralatan yang mungkin tidak familiar. Edukasi bisa disesuaikan dengan penemuan selama audit. Institusi juga dapat menyediakan pocked card atau sumber-sumber lain untuk FPF yang bisa digunakan sebagai referensi yang cepat (Sheehy's, 2003).



C. KONSEP DASAR EDUKASI KLIEN KRITIS Pendahuluan Pendidikan pasien dan keluarga adalah komponen penting dari asuhan keperawatan. Pada tatanan keperawatann kritis, memenuhi kebutuhan pendidikan pasien dan keluarga selalu menjadi tantangan karena sifat sakit kritis yang mengancam jiwa. Perawat harus berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan yang terkait dengan diagnosisnsakit kritis, sembari mencoba mengajarkan konsep yang sulit di lingkungan yang sangat tidak mendukung untuk belajar. Di luar hubungan perawat-pasien yang dekat, terdapat banyak kekuatan besar yang memengaruhi perawatan kesehatan yang membentuk ulang setiap dimensi asuhan keperawatan, termasuk pendidikan pasien (Morton P.G., dkk., 2011). Dewasa ini, pasien biasa dipulangkan ke rumah dari unit perawatan intensif (ICU), yang membebankan tanggung jawab yang lebih besar pada pasein dan keluarga untuk memberikan perawatan dengan intensitas tinggi di rumah. Perawat perawatan kritis tidak hanya menangani ketidakstabilan hemdinamik yang sering menyertai sakit kritis, namun juga mempersiapkan pasien dan keluarga terhadap kemungkinan pemulangan dini dari rumah sakit (Morton P.G., dkk, 2011). Memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien adalah suatu bagian yang penting dari tanggung jawab dari dokter dan perawat di Intensive Care Unit (ICU), dimana berperan dalam menenangkan nyeri dan penderitaan pasien yang memiliki sakit kritis. Tugas utama dokter dan perawat ICU adalah memberikan informasi kepada anggota keluarga secara tepat dan jelas yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan mengenai pasien dimana mereka tidak dapat mengambil keputusan untuk diri mereka. Evaluasi tentang kebutuhan keluarga menyediakan informasi yang berharga untuk meningkatkan pemahaman, kepuasan dan 13   



kemampuan pengambilan keputusan dari keluarga. Selain itu, kepuasan dari keluarga dianggap sebagai suatu kriteria mayor dalam pengkajian kualitas perawatan dan pemenuhan suatu kebutuhan akreditasi. Menyediakan informasi yang lebih baik berhubungan dengan hasil yang lebih baik dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dan meningkatkan tingkat kepuasan pada anggota keluarga.



Kesiapan Belajar Klien di Keperawatan Kritis Tahap kesiapan belajar terdiri dari (Hudak & Gallo, 2010): 1. Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit Pada saat pasien memerankan peran sakit, mereka menjadi lebih menerima untuk belajar tentang penyakitnya. Karena makin meningkatnya ansietas, pendidikan selalu lebih efektif selama periode penerimaan emosional daripada selama waktu pasien mulai keluar dari peran sakitnya. Kapanpun pasien bergerak baik maju atau mundur-dalam rentang sehat sakit, akan selalu terjadi respon ansietas, kuatir atau depresi yang akan mempengaruhi konsentrasi belajar. Selain itu penerimaan, pemindahan, penerimaan ulang di unit keperawatan kritis dan proses pemulangan dari rumah sakit adalah waktu yang buruk untuk proses belajar mengajar. Selama periode ansietas merupakan waktu yang dapat digunakan perawat untuk memperjelas persepsi pasien terhadap apa yang terjadi sehingga kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kekhawatiran dapat diperbaiki (Hudak & Gallo, 2010). 2. Tingkat ansietas pasien Penyuluhan informal dan ketentuan informasi yang menciptakan keseimbangan adalah susunan terbaik dalam prosedur keperawatan yang terjadi pada pasien selama berada di unit perawatan kritis. Untuk belajar yang efektif, maka tingkat ansietas yang tinggi yang umum terjadi pada pasien di unit perawatan kritis harus diturunkan sampai tidak ada atau pada ansietas sedang dan ditunjukkan oleh pasien dengan adanya kewaspadaan tanpa rasa takut, ada motivasi belajar, serta perhatian. Kenyataan selanjutnya, adanya penyerapan dan perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pemberian informasi, dan yang paling mungkin pasien berespon terhadap peningkatantingkat ansietas. Meskipun demikian, ada kebutuhan untuk penyuluhan selama waktu ansietas menurun atau menjadi sedang.



14   



Tingkat ansietas, fungsi fisiologi dan prioritas pasien sendiri harus dikaji selam evaluasi kesiapan belajar. Khawatir, nyeri dan beberapa pengobatan juga mempengaruhi kemampuan pasien untuk belajar. 3. Tingkat perkembangan pasien Tahap perkembangan pasien harus dipertimbangkan dalam perencanaan. Sebagai contoh, remaja tidak akan mau menerima isu filosofi yang berhubungan dengan perawatan meraka dan pilihan hidup pada remaja yang lebih tua dan orang dewasa. Tingkat berpikir abstrak mereka tidak mirip sama sekali dengan remaja yang lebih tua dan orang dewasa. 4. Kesempatan untuk mempraktikkan pengetahuan dan ketrampilan baru Karena ansietas mungkin berhubungan dengan penyakit pasien yang mungkin mengalami kesulitan mengingat secara detail. Yang terpenting bahwa mereka perlu diberi bahan-bahan bacaan sehingga mereka dapat mengingat kebutuhan mereka untuk belajar. Pamflet, buklet dan daftar bacaan dan petunjuk dapat digunakan pada tiap orang. Cara pendidikan ini dapat secara pribadi dibuat dengan tambahan catatan dan penjelasan saat di tempat tidur. Catatan ini juga harus menjawab pertanyaan dan masalah pasien. Hal yang penting juga adalah kesempatan penyuluh untuk mencoba ketrampilan dan perilaku baru. Kesuksesan penerapan yang terdahulu dari pengetahuan baru adalah sebagai penguatan yang tak dapat digantikan oleh apapun. Seringkali antisipasi pemulangan dari rumah sakit dan kembali ke rumah dapat menjadi motivator besar dan meningkatkan kesiapan untuk belajar dan melakukan ketrampilan baru. 5. Lingkungan belajar yang secara interpersonal aman dan memungkinkan trial and error tanpa saling menuduh Pemberian lingkungan yang aman pendukung belajar termasuk dalam fase ini. Belajar menjadi lebih mudah bila keamanan, rasa memiliki, dan harga diri yang tinggi. Seringkali, belajar tentang penyakit berarti bahwa pasien dan keluarga tidak saja harus belajar kenyataan dan tehnik, tetapi juga harus melakukan dan mengadaptasi hidup yang mereka pikirkan. Hal ini sulit bila ada ansietas tinggi, depresi, atau disfungsi fisik akut. Hal ini tidak mungkin pada pasien untuk berespon secara efektif bila mereka sedang berupaya mempertahankan stabilitas fisiologisnya. Selain itu kebanyakan penyuluhan ditujukan pada keluarga. Konsep kunci untuk penyuluhan keluarga adalah bagaimana dukungan dan dorongan satu sama lain selama proses perubahan (Hudak & Gallo, 2010). 15   



Hambatan Pembelajaran Klien Kritis 1. Sakit kritis dan stres Biasanya pasien dan keluarga yang masuk ke ICU tanpa diharapkan akibat kejadian yang mengancam jiwa. Awaitan penyekit menandakan mulainya krisis fisik dan emosional untuk semua yang terlibat. Perubahan proses metabolik, terpajan anastesia umum, penggunaan pintas kardiopulmonari, episode hipoksia, dan gangguan tidur yang nyata adalah kejadian yang biasa terjadi pada orang yang sakit kritis. Tiap faktor tersebut dapat mengganggu ketajaman mental dan menurunkan kemampuan pembelajaran dan mengingat seseorang. Selain itu, melawan penyakit berat menghabiskan sebagian energi pasien, yang menyebabkan pasien memiliki kemampuan terbatas untuk belajar (Morton P.G., dkk, 2011). Pasien tidak hanya mengalami pengaruh fisik yang terkait dengan pproses penyakit, tetapi juga distres emosional dan spiritual. Pasien mengungkapkan perasaan putus asa, kehilangan kendali, dan takut mati saat menghadapi penyakit serius. Perawat perawatan kritis yang waspada dapat mengenali ketakutan dan kecemasan pasien dan membimbingnya melewati proses penyakit yang tidak familier, pengbatan dan pemulihan. Ini adalah kesempatan istimewa untuk memberikan pendidikan pada pasien meskipun terdapat stres hebat karena sakit kritis. Akan tetapi di tatanan perawatan kritis, fokus pendidikan biasa dengan mudah beralih dari pasien dan diarahkan kembali untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran anggota keluarga (Morton P.G., dkk, 2011). Pengorbanan emosional dan fisik dituntut dari anggota keluarga pasien yang sakit kritis, dengan tingkat stres memuncak dalam 72 jam sejak masuk ke unit tersebut. Studi deskriptif yang dilakukan oleh Halm dan kolega menunjukkan perubahan pola tidur dan makan anggota keluarga, serta peningkatan pemakaian rokok, obat bebas, dan alkohl serta obat dengan resep sambil mengatasi krisis pasien yang sakit kritis. Tanda-tanda lain dari ketakutan dan kecemasan meliputi terlalu waspada, sering berkunjung, menghubungi lewat telepon, pertanyaan berulang, dan ketidakmampuan untuk mengingat informasi. Kecemasan dan ketakutan yang intens akan kematian akibat sakit kritis dapat menyebabkan keluarga melupakan kebanyakan informasi yangb telah diberikan pada mereka. Seringkali perawat perawat perawatan kritis harus mengulang informasi yang sama dan menjawab pertanyaan yang sama secara berulang (Morton P.G., dkk, 2011). 16   



2. Sakit dan Stres yang Berkepanjangan Kerap kali, masa sakit memanjang melebihi fase kritis awal dan menimbulkan beban tambahan bagi pasien dan keluarga. Keluarga dipaksa untuk menyeimbangkan jadwal di rumah dan jadwal kerjanya dengan waktu yang dihabiskan di rumah sakit. Sejalan waktu, keluarga semakin sulit untuk mendapatkan informasi dan laporan keadaan pasien dari tim perawatan kesehatan. Jadwal dokter sering tidak dapat diduga dan tidak bertepatan dengan kunjungan keluarga. Hal ini semakin menekankan peran penting perawat perawatan kritis sebagai penghubung keluarga. Dengan sakit kritis yang memanjang, banyak keluarga sering berjuang memelihara jalur komunikasi tetap terbuka untuk keluarga besar, yang menciptakan kesempatan munculnya konflik dan informasi yang salah (Morton P.G., dkk, 2011). Sebagai advokat pasien dan keluarga, perawat memberikan informasi akurat dan berbagi rencana asuhan dengan keluarga. Intervensi tambahan seperti perawatan pasien atau pertemuan etik dapat diselenggarakan oleh perawat perawatan kritis guna memberikan kesempatan pada keluarga untuk mendiskusikan kasus tersebut dengan seluruh tim perawatan kesehatan. Pertemuan mengenai perawatan pasien memungkinkan komunikasi terbuka dengan keluarga dan dapat menjadi metode terapeutik untuk menghilangkan kesalahn informasi dan kesalahan tentang kemajuan pasien (Morton P.G., dkk, 2011). Jelasnya, perawat perawatan kritis berperan penting dalam membantu pasien dan keluarga mengatasi krisis akibat sakit kritis dengan memberikan pendidikan dari saat masuk sampai pulang (Morton P.G., dkk, 2011). 3. Stres lingkungan Dering telepon, bunyi lampu panggil dan penyeranta, pengumuman overhead, alarm peralatan, percakapan staf, pintu otomatis dan slang pneumatik hanyalah sdikit contoh bunyi yang memenuhimruang ICU konvensional. Sangat mudah bagi perawat untuk tidak peka terhadap kebisingan yang biasa ini karena merupaka bagian integral dari lingkungan kerja. Namun, sesaat mendengarkan suara latar belakang dari dari samping tempat tidur pasien akan segera mengingatkan bagaimana kebisingan dapat menimbulkan stres. Pasein dan keluarga tidak terbiasa dengan suara normal ICU. Akan tetapi, meskipun sulit dilakukan, kita meminta pasein dan keluarga belajar dalam lingkungan seperti itu (Morton P.G., dkk, 2011). Lingkungan belajar yang optimal adalah masa tenang bersama pasien dan keluarga duduk di kursi yang nyaman yang diatur untuk mengoptimalkan diskusi disertai pemakai alat 17   



bantu audiovisual, jika mungkin. Kondisi itu hampir tidak menggambarkan tatanan ICU konvensional. Akan tetapi. Terdapat beberapa tindakan umum yang dapat membantu mengurangi stres lingkungan dan meningkatkan keberhasilan belajar. Tindakan sederhana dengan menutup pintu kamarpasien atau menaruh sebuah kursi yang nyaman di samping tempat tidur dapat cukup mengurangi suara latar belakang dan dapat meningkatkan rentang perhatian peserta didik. Mengecilkan vlume alarm peralatan di samping tempat tidur saat perawat berbicara dengan pasien atau keluarga membantu meminimalkan jumlah interupsi, dan dapat meningkatkan kemmapuan peserta didik memfokuskan perhatian terhadap topik pada sesi pengajaran tersebut (Morton P.G., dkk, 2011). Perhatian kepada pasien juga diterapkan pada saat ronde penyuluhan atau ronde perawatan pasien yang diadakan di ruangan ICU. Pasien harus diperlakukan dengan hormat, dan mereka seringkali ingin dilibatkan dalam presentasi di samping tempat tidur.



Penelitian



menunjukkan bahwa pasien lebih suka diperkenalkan kepada anggota tim perawatan kesehatan dan mengharapkan penjelasan istilah medis yang digunakan dalam diskusi tersebut, privasi, dan presentasi di tempat (Morton P.G., dkk, 2011). 4. Hambatan Budaya dan Bahasa Kepercayaan mengenai sehat dan sakit sangat berakar dalam budaya. Cara pasien atau anggota keluarga berespon terhadap diagnosis atau anjuran terapi dan pendidikan bisa sangat dipengaruhi oleh nilai budayanya. Asuhan keperawatan yang kompeten budaya didefinisikan sebagai bersikap peka terhadap isu terkait dengan budaya, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kelas sosial dan situasi ekonomi (Morton P.G., dkk, 2011). Keberhasilan pendidikan pada pasien dan keluarga yang berbeda budaya membutuhkan lebih banyak dari sekedar pengetahuan dasar mengenai kelompok etnik. Perawat perawatan kritis harus mengenali bias pribadi mereka dan mengkaji nilai dan kepercayaan pribadi mereka tentang kesehatan dan asuhan keperawatan (Morton P.G., dkk, 2011).



Discharge Planning Klien Kritis Pemindahan tanggungjawab untuk perawatan (transisi perawatan) merupakna suatu hal yang umum terjadi dalam perawatan akut di rumah sakit. Selama proses pemindahan, informasi yang penting tentang kondisi pasien, pemeriksaan yang dilakukan dan treatment yang diterima akan dilakukan transfer antar tenaga kesehatan, jadi rencana perawatan yang dilakukan oleh 18   



tenaga kesehatan selanjutnya bisa menjadi efektif. Operan antara pemberi pelayanan kesehatan bukan hanya proses untuk menyediakan informasi yang akurat dan vital mengenai perawatan pasien, tetapi juga sebuah pemindahan tanggung gugat dan tanggung jawab untuk perawatan pasien. Organisasi pelayanan kesehatan mengenali pentingnya transisi perawatan dan memiliki tujuan untuk meningkatkan keefektifan dan koordinasi komunikasi diantara pemberi pelayanan kesehatan dan penerima perawatan untuk kontinuitas perawatan (Stelfox, H., dkk, 2013). Praktik operan pemberi pelayanan kesehatan sering suboptimal karena hambatanhambatan komunikasi dan ini memberikan kontribusi yang utama terhadap kejadian medical error dan hal-hal yang tidak diinginkan (Stelfox, H., dkk, 2013). Menurut penelitian Kleinpell R.M. (2004) yang berjudul: Randomized Trial of An Intensive Care Unit-Based Early Discharge Planning Intervention for Critically Ill Elderly Patients, yang melibatkan 100 orang responden yang berusia 65-90 tahun didapatkan hasil bahwa ICU sebagai dasar awal pemberian discharge planning bisa berefek terhadap kesiapan pasien lanjut usia untuk keluar dari ruang ICU.



Pengkajian Kebutuhan Pembelajaran pada Masa Krisis Perawat perawatan kritis harus sangat peka terhadap peningkatan kecemasan yang terjadi pada saat masuk ke ICU. Kecemasan dengan nyata mengurangi kemampuan pasien dan keluarga untuk berkonsentrasi. Oleh karena itu, perawat harus menghindari penjelasan panjang atau pertanyaan membosankan. Langkah pertama dalam proses pengkajian adalah mengenal pasien dan keluarga. Hal ini sering dimulai dengan perkenalan sederhana. Meluangkan waktu beberapa menit untuk mencari tahu nama keluarga dan hubungannya pasien menunjukkan rasa hormat dan mulai membina sebuah hubungan terapeutik saling percaya. Tindakan ini memberikan kesempatan pada perawat untuk mengorientasikan pasien dan keluarga terhadap ICU, serta mengajarkan pada mereka tentang beberapa peralatan yang digunakan dalam perawatan tersebut (Morton P.G., dkk, 2011). Memahami kebutuhan belajar pasien dan keluarga tidak perlu melakukan wawancara yang lama atau menggunakan instrumen pengkajian formal dangan pertanyaan yang terlalu umum tentang kepercayaan kesehatan dan gaya belajar. Akan lebih baik untuk menggunakan dialog informal dan dialog terbuka antara perawat dan keluarga untuk menentukan “kebutuhan untuk tahu”. Penggunaan pertanyaan terbuka seperti “Apa yang Anda ketahui tentang kondisi 19   



Ibu Anda?” atau “Apa yang dokter katakan kepada Anda tentang Operasi?” akan memberikan perawat langkah awal untuk memberi penyuluhan pada keluarga. Selain itu memvalidasi apakah pasien atau anggota keluarga memehami dengan jelas penjelasan sebelumnya yang diberikan oleh anggota tim perawatan kesehatan lain (Morton P.G., dkk, 2011). Pengkajian informal sering kali memberikan perawat evaluasi dasar mengenai buta huruf dan tingkat pendidikan. Pertanyaan yang tidak menydutkan seperti, “Anda lebih suka belajar informasi baru dengan membaca atau menonton sebuah acara di televisi?” dapat memberikan perawat petunjuk mengenai tingkat buta huruf pasien atau anggota keluarga (Morton P.G., dkk, 2011). Pengkajian adalah proses yang dinamik dan kontinyu, yang memberi banyak kesempatan pada perawat keperawatan kritis untuk membantu pasien dan keluarga mengatasi stres dan ansietas yang terkait dengan penyakit kritis, sambil memenuhi kebutuhan pembelajaran mereka. Pengkajian juga memungkinkan perawat untuk mengetahui kapan pasien/keluarga tidak mampu belajar. Contohnya pasien yang mengalami nyeri tidak akan mampu berfokus pada mempelajari ketrampilan baru seperti pemberian insulin tanpa sebelumnya mengendalikan diri secara adekuat. Anggota keluarga yang baru mengetahui bahwa orang yang dicintainya megalami henti jantung tidak akan menerima detail yang sulit tentang iskemia miokardium (Morton P.G., dkk, 2011).



Intervensi: Strategi Penyuluhan yang Efektif pada Perawatan Kritis 1. Waktu penyuluhan Waktu penyuluhan adalah waktu saat perawat dan peserta didik bersama-sama mengenali kebutuhan pendidikan dan peserta didik terbuka untuk mendengarkan informasi. Sakit yang membahayakan jiwa sering menstimulasi perubahan pola perilaku yang tidak sehat, baru kemudian membangkitkan minat belajar pasien. Sebagian besar pembelajaran yang dibutuhakan pasien yang pulih dari sakit kritis melibatkan perubahan perilaku yang akan membutuhkan perubahan gaya hidup. Berhenti merokok, batasan diet, dan batasan aktivitas adalah tipe perubahan gaya hidup yang harus berusaha dicapai dan dipelihara oleh pasien. Waktu penyuluhan seringkali berlangsung pada saat pemberian perawatan pasien rutin. Oleh karena itu perawat harus siap menggabungkan penyuluhan sambil memberikan perawatan. Perawat harus berfokus pada suatu konsep tunggal, khusunya mempertimbangkan rentang 20   



perhatian terbatas yang khas terjadi pada pasien yang tengah pulih dari sakit kritis. Pembelajaran dapat dicapai dengan baik saat pesan tersebut konsisten dan pengetahuan diberikan mulai dari konsep sederhana sampai konsep yang kompleks (Morton P.G., dkk, 2011). 2. Hubungan keluarga Seringkali perawat perawatan kritis mengeanali keterbatasan kemapuan pasien untuk memahami informasi dan kemudian berpaling ke keluarga untuk memberikan instruksi. Telah diketahui dengan baik bahwa pasien hanya dapat mengingat sekitar 50% informasi yang mereka peroleh. Kemungkinan retensi informasi pada pasien yang sakit kritis jauh lebih buruk. Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam sesi penyuluhan membantu memastikan keberhasilan rencana penuluhan. Selain itu memberikan materi tertulis yang dapt dibaca ulang oleh pasien setelah keluar dari rumah sakit membantu menjembatani celah ingatan (Morton P.G., dkk, 2011). Strategi penyuluhan efektif lainnya untuk peserta didik dewasa adalah belajar kelompok. Sebagai contoh pasien pasca perasi jantung dapat memperoleh manfaat dari kelas perawatan pasca-perawatan di rumah sakit. Sesi penyuluhan kelompok memberikan kesempatan pada pasein untuk saling berbagi pengalaman dan kekhawatiran yang sama mengenai pemulihan. Melibatkan keluarga dalam kelompok dapat menstimulasi pertanyaan dan memungkinkan mereka mengungkapkan kekhawatiran mengenai potensi komplikasi dan ketakutan merawat orang yang mereka sayangi di rumah (Morton P.G., dkk, 2011). 3. Pasien sadar dan tidak sadar Edukasi pasien harus tidak hanya disediakan untuk pasien yang sadar, tetapi juga disediakan untuk pasien yang tidak sadar atau tersedasi. Memenuhi kebutuhan belajar klien dengan



penyakit



kritis



merupakan



suatu



tantangan.



Pasien



tersebut



tidak



bisa



mengkomunikasikan kebutuhan belajarnya, juga tidak bisa berinterkasi dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Walaupun belum diketahui secara jelas apakah pasien yang tidak sadar atau tersedasi mendengar atau mengingat, hal ini diketahui bahwa beberapa pasien yang tersedasi selama pembedahan mengingat percakapan yang dilakukan oleh dokter dan staf selama pembedahan. Perawat terus-menerus memberitahu keluarga untuk berbicara dengan dengan psien yang tidak sadar walaupun pasien tidak memberikan respon. Oleh karena itu, satu hal yang tidak bleh diabaikan adalah pasien tidak sadar atau tersedasi selama proses pengajaran. Pasien tersebut mungkin tidak dapat berespon atau berpartisipasi, dan keefektifan proses pembelajaran 21   



tidak dapat dievaluasi, tetapi menyediakan informasi mengenai lingkungan, prosedur, sensasi, dan waktu adalah suatu hal yang baik dan mungkin membantu untuk menurunkan stres fisiologis awal (Urden, L.D., 2010)



Evaluasi Proses Pembelajaran Evaluasi adalah pengukuran elemen pembelajaran yang penting yang ditetapkan dalam rencana penyuluhan. Evaluasi yang sebenarnya didasarkan pada respon peserta didik, yang menandakan apakah dibutuhkan penguatan tambahan pada konsep utama atau tidak. Peserta didik harus berhasil menjawab atau melakukan 94% dari semua elemen penting yang diuraikan dalam rencana penyuluhan. Kerapkali keberhasilan atau kegagalan pendidikan pasien dan keluarga mempengaruhi rencana pemulangan. Pasien yang tidak dapat diandalkan untuk melakukan tugas baru akan membutuhkan pengawasan dan latihan lanjutan untuk mempelajari ketrampilan baru tersebut. Oleh karena itu, evaluasi proses pembelajaran yang adekuat adalah komponen penting pada kontinum perawatan kesehatan (Morton P.G., dkk, 2011).



D. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERKAITAN DENGAN EDUKASI KLIEN Berdasarkan NANDA (2012), diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan edukasi klien adalah sebagai berikut: Domain 1: Health Promotion 1. Pemeliharaan kesehatan tidak efektif: ketidakmampuan untuk



mengidentifikasi,



memanajement, dan/atau mencari bantuan untuk mempertahankan kesehatan Batasan karakteristik: - Menunjukkan kurangnya perilaku adaptif terhadap perubahan lingkungan - Menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang praktek dasar kesehatan - Riwayat kurangnya perilaku mencari pelayanan kesehatan Faktor-faktor yang berhubungan: - Gangguan konnitif - Berduka yang sulit/rumit - Kekurangan atau menurunnya ketrampilan komunikasi - Berkurangnya atau menurunnya ketrampilan motorik halus - Berkurangnya ketrampilan motorik kasar 22   



- Ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang tepat - Koping keluarga tidak efektif - Koping individu tidak efektif - Kekurangan sumber-sumber (misalnya: peralatan, biaya) - Gangguan persepsi - Distres spiritual - Tidak tercapainya tugas-tugas perkembangan 2. Proteksi yang tidak efektif: penurunan kemampuan untuk menjaga diri dari ancaman internal atau eksternal seperti penyakit atau injuri Batasan karakteristik: - Gangguan pembekuan darah



- Gangguan penyembuhan



- Anoreksia



- Insomnia



- Menggigil



- Gatal



- Batuk



- Respon stres maladaptif



- Penurunan imunitas



- Gangguan neurosensory



- Disorientasi



- Berkeringat



- Dispnea



- Pressure ulcer



- Fatigue



- Gelisah



- Imobilitas



- Lemah



Faktor-faktor yang berhubungan: - Profil darah yang abnormal (misalnya: leukopenia, trombositopenia, anemia, koagulasi) - Kanker - Usia yang ekstrem - Gangguan imun - Nutrisi yang tidak adekuat - Agen



farmasi



(misalnya:



antineoplasma,



kortikosteroid,



immune,



antikoagulan,



trombolitik) - Penyalahgunaan obat - Treatment berhubungan dengan efek samping (misalnya: pembedahan, radiasi)



23   



3. Manajement kesehatan diri yang tidak efektif: pola yang teratur dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari suatu regimen terapeutik untuk treatment penyakit dan gejala sisanya yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan yang spesifik Batasan karakteristik: - Kegagalan untuk memasukkan regiment treatment ke dalam kehidupan sehari-hari - Kegagalan untuk melakukan tindakan untuk mengurangi faktor risiko - Pilihan yang tidak efektif dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi tujuan kesehatan - Melaporkan keinginan untuk memanajemen penyakit - Melaporkan kesulitan dengan regiment yang sudah ditentukan Faktor-faktor yang berhubungan: - Kompleksitas



sistem



- Tidak adekuat jumlah isyarat untuk



pelayanan



kesehatan



mengambil tindakan



- Kompleksitas regimen terapeutik



- Persepsi tentang hambatan



- Konflik pengambilan keputusan



- Persepsi tentang keuntungan



- Kurang pengetahuan



- Persepsi tentang keseriusan



- Kesulitan ekonomi



- Persepsi tentang penerimaan



- Terlalu banyak tuntutan yang dibuat



- Powerlessness - Regimen



(misalnya: individu, keluarga) - Konflik keluarga



- Kekurangan dukungan sosial



- Pola keluarga dalam pemeliharaan kesehatan 4. Kesiapan untuk meningkatkan manajement kesehatan diri: suatu pola yang teratur dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari suatu regimen terapeutik untuk treatment penyakit dan gejala sisanya yang cukup untuk memenuhi tujuan sesuai dengan kesehatan dan bisa ditingkatkan. Batasan karakteristik: - Pilihan hidup sehari-hari yang tepat untuk memenuhi tujuan (misalnya: treatment, pencegahan) - Menggambarkan pengurangan faktor risiko - Mengekspresikan keinginan untuk memanajement penyakit (misalnya: treatment, pencegahan gejala sisa) 1   



- Mengekspresikan sedikit kesulitan dengan regimen yang ditentukan - Tidak ada kemajuan yang tidak diharapkan dari gejala-gejala penyakit Domain 5: Perception/Cognition 1. Kurang pengetahuan (spesifik): tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif berhubungan dengan suatu topik yang spesifik Batasan karakteristik: - Tingkah laku yang berlebihan - Terus-terusan tidak mengikuti instruksi secara akurat - Menunjukkan hasil tes yang tidak akurat - Tingkah laku yang tidak tepat (misal: histeris, gelisah, sikap bermusuhan, apatis) - Melaporkan masalah Faktor yang berhubungan: - Hambatan kognitif - Salah menginterpretasikan infomasi - Kurangnya paparan informasi - Kurangnya ketertarikan untuk belajar - Kurangnya recall - Tidak familiar dengan sumber-sumber informasi 2. Kesiapan untuk meningkatkan pengetahuan: suatu pola informasi kognitif berhubungan dengan suatu topik yang spesifik, atau tambahn-tambahannya, yang cukup untuk memenuhi tujuan sesuai dengan kesehatan dan bisa ditingkatkan Batasan karakteriktik: - Tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang ditunjukkan - Menggambarkan pengalaman sebelumnya yang berhubungan dengan topik - Menjelaskan pengetahuan tentang topik - Mengekspresikan suatu ketertarikan dalam belajar



E. APLIKASI EDUKASI KLIEN KRITIS Kasus: Tn. Ali (50 tahun), menikah, masuk ke rumah sakit setelah mengalami nyeri dada saat berada di tempat kerja dan dibawa ke ruang kateterisasi jantung dalam beberapa jam awitan 1   



nyeri dada tersebut. Tn. Ali pernah mengalami peningkatan enzim jantung ringan. Ahli jantung yang menangani menemukan dua arteri megalami sumbatan sebesar 50%. Tn. Ali dilakukan tindakan angioplasti, memasang stent dalam kedua arteri tersebut dan berhasil memulihkan aliran darah ke miokardium yang sakit. Tn. Ali berbicara pada perawat rehabilitasi jantung pada pagi hari setelah operasinya dan mengatakan bahwa dia lupa tentang cara pencegahan kekambuhan dan sebelumnya menganggap penyakitnya bukan penyakit yang serius. Perawat berencana akan mengingatkan kembali faktor risiko jantung yang dimiliki Tn. Ali. Ia tercatat mengalami kelebihan berat badan 15 kg, kolesterolnya 250mg/dL, dan merokok dua bungkus rokok kretek per hari. Setelah prosedur ini, Tn. Ali cemas dalam mempelajari cara untuk mengurangi risiko infark miokardium. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan No 1



Data



Kemungkinan Masalah penyebab Kurang Manajement DS: kesehatan diri - Tn. Ali mengatakan bahwa dia lupa tentang pengetahuan cara pencegahan kekambuhan dan Persepsi yang salah yang tidak efektif sebelumnya menganggap penyakitnya bukan tentang keseriusan penyakit penyakit yang serius - Tn. Ali merokok dua bungkus rokok kretek per hari DO: - Tn. Ali pernah mengalami peningkatan enzim jantung ringan - Tn. Ali. tercatat mengalami kelebihan berat badan 15 kg, kolesterolnya 250mg/dL



Diagnosa Keperawatan: Manajement kesehatan diri yang tidak efektif b/d kurang pengetahuan dan persepsi yang salah tentang keseriusan penyakit Rencana Asuhan Keperawatan No. 1.



Diagnosa Keperawatan Manajement kesehatan diri yang tidak efektif b/d kurang pengetahuan dan persepsi yang salah tentang



Tujuan



Intervensi



Knowledge : Coronary Artery Disease Management (1-5) Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien memiliki pengetahuan tentang manajement 2 



 



Learning Facilitation - Mulai instruksi hanya jika pasien sudah menunjukkkan kesiapan - Susun tujuan pembelajaran yang realistik dengan klien - Sediakan lingkungan yang yang kondusif untuk pembelajaran - Jelaskan istilah-istilah yang tidak



keseriusan penyakit



penyakit arteri koroner dengan kriteria hasil: - Penyebab dan faktor yang berkontribusi (level 4) - Tanda dan gejala awal penyakit (level 5) - Tanda dan gejala yang memperburuk penyakit (level4) - Strategi untuk mengurangi faktor risiko (level 5) - Pentingnya tidak mengkonsumsi tembakau (rokok) (level 4) - Keuntungan menjalani diet rendah lemak-rendah kolesterol (level 4) - Keuntungan mempertahankan berat badan optimal (level 5) - Peran keluarga dalam rencana perawatan (level 4)



Keterangan skor: 1: No knowledge 2: Limited knowledge 3: Moderate knowledge 4: Substantial knowledge 5: Extensive knowledge



3   



familiar - Ulangi informasi-informasi yang penting - Sediakan waktu untuk bertanya dan mendiskusikan masalah - Jawab pertanyaan secara jelas dan ringkas Teaching: Disease Process - Kaji pengetahuan klien tentang proses penyakit arteri koroner - Jelaskan patofisilogi penyakit arteri koroner - Jelaskan tentang tanda dan gejala penyakit arteri koroner - Jelaskan penyebab penyakit arteri koroner - Jelaskan tentang faktor risiko dan mengurangi risiko penyakit arteri koroner Teaching: Prescribed Diet - Kaji pengetahuan klien tentang diet yang ditentukan untuk klien - Jelaskan tentang tujuan mematuhi diet untuk kesehatan - Ajarkan klien tentang bagaimana cara merencanakan makan yang tepat Family Support: - Kaji reaksi emosional keluarga terhadap kondisi pasien - Orientasikan keluarga terhadap setting pelayanan kesehatan (rumah sakit) - Libatkan anggota keluarga dan pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan



DAFTAR PUSTAKA



Docthterman, J. M., dkk. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). United States of Amerika, Mosby. Hudak & Gallo. (2010). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, volume 2. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kleinpell R.M., (2004). Randomized Trial of an Intensive Care Unit-Based Early Discharge Planning Intervention for Critically Ill Elderly Patients. Am J Crit Care., volume: 13(4):335-45. Kozier, dkk. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, volume 1. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Margaret, dkk. (2008). Patient Education in the Emergency Department: A Systematic Review of Interventions and Outcomes. Advanced Emergency Nursing Journal, Volume 30. Moorhead, S., dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification. USA, Mosby Elsevier. Moorton P.G., dkk. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik, edisi 8. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sheehy's. (2003), Emergency Nursing Principles and Practice.. Philadelphia, Mosby Elsevier. Smeltzer and Bare (2002). Keperawatan Medikal Bedah, volume 1. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Stelfox, H., dkk. (2013). Identifying Intensive Care Unit Discharge Planning Tools: Protocol for A Scoping Review. BMJ.



Urden, L.D., dkk. (2010). Critical Care Nursing: Diagnoses and Management, Canada, Mosby Elsevier. Willey, J. (2013). NANDA International Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2013-2014. USA, Blackwell Publishing.



4