Eksepsi Penasihat Hukum Miranda S Goeltom [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tim Penasihat Hukum Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D. (Perkara Pidana Nomor: 39/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST)



NOTA KEBERATAN (EKSEPSI) TERHADAP SURAT DAKWAAN PENUNTUT UMUM Nomor: DAK-14/24/07/2012 tanggal 9 Juli 2012



ATAS NAMA TERDAKWA Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Jakarta, 24 Juli 2012



Tim Penasihat Hukum MR&Partners Legal and Business Consulting Group AFS Lawyers Partnership



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Majelis Hakim Yang Kami Muliakan, Penuntut Umum Yth, Hadirin Sidang Yang Kami Hormati, Untuk dan atas nama serta kepentingan klien kami, Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D, kami Penasihat Hukum mengajukan Keberatan (Eksepsi) terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor: DAK-14/24/07/2012 tanggal 9 Juli 2012, yang telah dibacakan oleh Penuntut Umum pada persidangan hari ini sebagai satu kesatuan dari Keberatan (Eksepsi) pribadi yang diajukan secara tersendiri oleh klien kami, Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D. Bahwa Keberatan kami ajukan karena terdapat alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) yang berbunyi sebagai berikut: ”2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan di tandatangani serta berisi: b) uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”. 3) surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka Surat Dakwaan harus disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Bahwa yang dimaksud dengan cermat adalah ketelitian dalam merumuskan Surat Dakwaan, sehingga tidak terdapat adanya kekurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan tidak dapat dibuktikannya Dakwaan itu sendiri. Bahwa yang dimaksud dengan jelas adalah kejelasan mengenai rumusan unsur-unsur dari delik yang didakwakan, sekaligus dipadukan dengan uraian perbuatan materiel atau fakta perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan. Bahwa yang dimaksud dengan lengkap adalah uraian dari Surat Dakwaan yang mencakup semua unsur-unsur delik yang dimaksud yang dipadukan dengan uraian mengenai keadaan, serta peristiwa dalam hubungannya dengan perbuatan material yang didakwakan telah dilakukan oleh Terdakwa.



1



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Nomor 492 K/Kr/1981 tanggal 8 Januari 1983, syarat materiel Surat Dakwaan adalah adanya rumusan secara lengkap, jelas dan tepat, mengenai perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, sesuai dengan rumusan delik yang mengancam perbuatan-perbuatan itu dengan hukuman (pidana). Dengan demikian, maka dalam Surat Dakwaan, tidak boleh tidak, harus memuat uraian atau rumusan yang cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa, yang keseluruhannya dapat mengisi secara tepat dan benar, semua unsur dari semua delik yang ditentukan undang-undang yang didakwakan terhadap Terdakwa. Dakwaan Penuntut Umum yang tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, harus dinyatakan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Selain alasan-alasan tersebut, dalam praktek berkembang pula alasan-alasan keberatan yang dapat dibenarkan sebagaimana pendapat Lilik Mulyadi, SH., M.H., dalam bukunya: Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, Penerbit PT. Alumni, Bandung: 2007, hal. 148-149, yang menyatakan bahwa Keberatan (Eksepsi) dapat berupa: “Keberatan/eksepsi tidak berwenang mengadili (exceptie onbevoegheid van de rechten) yang mencakup keberatan tidak berwenang mengadili secara absolut (kompetensi absolut/absolute competentie), dan relatif (kompetensi relatif/relative competentie), keberatan dakwaan tidak dapat diterima, keberatan apa yang didakwakan bukan merupakan Tindak Pidana Kejahatan atau Pelanggaran, keberatan apa yang didakwakan kepada Terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, keberatan apa yang didakwakan kepada Terdakwa telah daluwarsa, keberatan apa yang yang dilakukan Terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.” Adapun hal-hal yang secara yuridis mengakibatkan Dakwaan harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan TIDAK DAPAT DITERIMA adalah sebagai berikut:



1. Pasal Yang Didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Ketiga dan Dakwaan Keempat Telah Daluwarsa. Bahwa sebagaimana dalam Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Ketiga dan Dakwaan Keempat, Terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan



2



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut “UU TIPIKOR” dalam perkara pemberian Travellers Cheque (“TC”) kepada anggota DPR-RI yang terjadi pada bulan Juni 2004.



Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tersebut adalah keliru dan bertentangan dengan Ketentuan Umum dalam KUHP sebagai berikut.



Ketentuan dalam Pasal 103 KUHP menyatakan bahwa: ”Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan Perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain” Oleh karenanya ketentuan dalam Buku I KUHP (Ketentuan Umum) berlaku juga terhadap UU TIPIKOR.



Ketentuan Umum KUHP mengatur mengenai daluwarsa (hilangnya hak untuk melakukan penuntutan) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP yang berbunyi: “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :



Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; Oleh karena UU TIPIKOR tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai daluwarsa, maka ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP tersebut secara mutatis mutandis berlaku terhadap UU TIPIKOR. Bahwa oleh karena Pasal 13 UU TIPIKOR memiliki ancaman hukuman paling lama 3 tahun, maka penerapan Pasal 13 UU TIPIKOR untuk perkara pemberian



TC kepada anggota DPR-RI yang terjadi pada bulan Juni 2004 telah daluwarsa pada Juni 2010 yang lalu. Oleh karena itu kewenangan penuntutan untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR-RI dengan menggunakan Pasal 13 UU TIPIKOR telah hapus sejak bulan Juni 2010.



3



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Mengingat Pasal 13 UU TIPIKOR tersebut sudah tidak dapat dilakukan penuntutan, maka dengan sendirinya Dakwaan atas Pasal 13 UU TIPIKOR tersebut menjadi daluwarsa sehingga Penuntut Umum tidak memiliki dasar hukum untuk mendakwa Terdakwa melakukan tindak pidana Pasal 13 UU TIPIKOR dalam perkara pemberian TC kepada anggota DPR-RI yang terjadi pada bulan Juni 2004.



Dakwaan terhadap Terdakwa dengan menggunakan Pasal 13 UU TIPIKOR yang telah daluwarsa masa penuntutannya dalam Dakwaan Ketiga dan Keempat, mengakibatkan Dakwaan BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan TIDAK DAPAT DITERIMA.



2. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua Tidak Cermat Dimana Pasal yang Didakwakan kepada Terdakwa yang Dianggap Sebagai Pemberi Suap Karena Bersama-sama/Menganjurkan Pemberian TC, Tidak Sesuai Dengan Putusan Pengadilan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap atas Penerima TC yang Dinyatakan Bersalah Karena Menerima Gratifikasi (Bukan Suap). Bahwa sehubungan dengan perkara a quo, para anggota DPR-RI yang menerima TC telah menjalani proses hukum dan telah dijatuhi putusan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 11 UU TIPIKOR yaitu menerima gratifikasi. Apabila Penerima TC dikenakan Pasal 11 UU TIPIKOR (menerima gratifikasi), maka Pemberi TC menurut hukum harus dikenakan Pasal 13 UU TIPIKOR (memberi gratifikasi) dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh undang-undang. Namun dalam perkara a quo, Penuntut Umum telah keliru menggunakan Pasal 5 UU TIPIKOR yang merupakan pasal memberi suap. Bagaimana mungkin ada yang memberi suap kalau tidak ada yang menerima suap?. Oleh karena itu, Dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa dimana Terdakwa melakukan tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU TIPIKOR adalah tidak cermat dan keliru, karena penerima TC yang didalam Dakwaan Penuntut Umum sebagai penerima suap oleh Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, telah dijatuhi hukuman dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagai penerima gratifikasi (bukan suap), sehingga berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Dakwaan Penuntut Umum harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM



4



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



atau setidak-tidaknya berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP Dakwaan TIDAK DAPAT DITERIMA.



3. Penuntut Umum Tidak Cermat Menjelaskan Kualifikasi (Kualitas) Terdakwa Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Dalam Dakwaan Kesatu Dan Dakwaan Ketiga. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga atas masing-masing perbuatan bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada anggota DPR-RI yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dan bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji yaitu TC kepada anggota DPR-RI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melakat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai berikut: Dakwaan Kesatu menyebutkan: “Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” (halaman 9 Surat Dakwaan). Dakwaan Ketiga menyebutkan: “perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” (halaman 23 Surat Dakwaan)



Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, bahwa Terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara memberikan TC kepada anggota DPR-RI yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dan bersama-sama Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji yaitu TC kepada anggota DPRRI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melakat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan, akan tetapi dalam Dakwaan tidak dijelaskan atau dirumuskan mengenai 5



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



kualifikasi kedudukan Terdakwa apakah pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta melakukan (medepleger).



Menurut Prof. Dr. JE Sahetapy, S.H. untuk memasukkan unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP harus dijelaskan peranan masing-masing dari peserta tindak pidana tersebut. Dengan dijelaskan peranan masing-masing peserta atau pelaku tindak pidana tersebut, maka akan dapat dilihat bobot, peranan dan kadar kejahatan yang dilakukan oleh masingmasing pelaku tindak pidana. Tanpa menguraikan peran masing-masing sebagaimana yang dimaksud akan mengakibatkan Dakwaan dan tuntutan kabur dan tidak jelas. M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan”, Penerbit: Sinar Grafika, 2002, halaman 396, menyatakan: “Demikian juga halnya dengan peristiwa pidana yang mengandung “pengambilan bagian” atau “penyertaan” (Deelneming atau take part in crime) yang diatur Pasal 55, harus jelas terumus kualitas keikutsertaan seorang Terdakwa dalam surat dakwaan. Ketidak cermatan penyusunan kualitas keikutsertaan seorang Terdakwa dalam surat dakwaan, mengakibatkan Terdakwa dibebaskan, karena apa yang didakwakan kepadanya tidak sesuai dengan kualitas penyertaan yang terbukti dalam persidangan”. Dalam laporan “Review Proses Persidangan dan Putusan Pengadilan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Widjanarko Puspoyo”, Bambang Widjayanto yang saat ini menjadi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dalam “Usulan Perbaikan” review tersebut pada halaman 22 butir c diusulkan bahwa “Surat Dakwaan harus menunjuk secara jelas dan spesifik bentuk penyertaan masingmasing pihak yang terkait dalam tindak pidana agar dapat dibedakan bentukbentuk keturutsertaan antara turut melakukan, menyuruh melakukan atau membujuk melakukan”.



Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Dakwaan Penuntut Umum yang tidak menentukan kualitas Terdakwa apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan mengakibatkan Dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak jelas (obscuur libellum), oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka Dakwaan Penuntut Umum adalah BATAL DEMI HUKUM.



6



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



4. Dakwaan Kedua Dan Keempat Penuntut Umum Tidak Cermat, Tidak Jelas, Tidak Lengkap Menguraikan Unsur “Menggerakkan/Menganjurkan” Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Bahwa sebagaimana uraian Dakwaan Penuntut Umum, dalam Dakwaan Kedua dan Dakwaan Keempat dimana atas masing-masing perbuatan yaitu sengaja menganjurkan Nunun Nurbaeti untuk memberikan TC kepada anggota DPR-RI yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya dan sengaja menganjurkan Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji yaitu TC kepada anggota DPRRI dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melakat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP sebagai berikut: Dakwaan Kedua menyatakan: “Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP” (halaman 17 Surat Dakwaan). Dakwaan Keempat menyatakan: “perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP” (halaman 30 Surat Dakwaan).



Pasal 55 ayat (1) Ke-2 KUHP mengatur: (1) Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu: 1. … 2. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, saranasarana atau keterangan-keterangan dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.(terjemahan oleh Drs. P.A.F. Lamintang, S.H.)



7



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



Berdasarkan ketentuan diatas dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, terlebih dahulu harus ditentukan hal yang digerakkan tersebut adalah untuk melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana. Uraian Dakwaan Penuntut Umum hanya menguraikan bahwa “Terdakwa kemudian meminta agar Nunun Nurbaeti memperkenalkan Terdakwa kepada teman-teman Nunun Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa”(halaman 11 dan 25 dakwaan).



Berdasarkan uraian dalam Dakwaan tersebut, permintaan Terdakwa hanyalah untuk diperkenalkan dengan anggota DPR-RI, yang mana tindakan Terdakwa tersebut bukanlah suatu permintaan untuk melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.



Bahwa dalam Dakwaan tidak terdapat uraian mengenai perbuatan Terdakwa untuk menganjurkan/menggerakan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada anggota DPR-RI baik sebagai hadiah atau janji maupun karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban anggota DPR-RI, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya sebagai anggota DPR-RI.



Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Dakwaan Penuntut Umum yang tidak menguraikan unsur menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, maka Dakwaan Penuntut Umum tidak jelas dan tidak cermat oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.



5. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua Penuntut Umum Disusun Berdasarkan Asumsi Penuntut Umum Sendiri sehingga Dakwaan Penuntut Umum Tidak Jelas. Dakwaan Penuntut Umum disusun berdasarkan asumsi atau anggapan sebagai berikut: 1. Halaman 3 dan 11 Surat Dakwaan menyebutkan: “Sebelum pelaksanaan DGS BI tersebut, agar Terdakwa tidak gagal dipilih seperti dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (Gubernur BI) Tahun 2003, Terdakwa



8



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



melakukan pertemuan dengan Nunun Nurbaeti, dimana dalam pertemuan itu Terdakwa meminta Nunun Nurbaeti untuk dikenalkan kepada teman-teman Nunun Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa” . 2. Halaman 4 dan 12 Surat Dakwaan menyebutkan: “… Terdakwa meminta agar dalam pelaksanaan fit and proper test pemilihan DGS BI 2004, para anggota dari fraksi TNI/Polri tidak menanyakan masalah pribadi Terdakwa yaitu keretakan keluarga Terdakwa, sebagaimana yang pernah terjadi dalam pelaksanaan pemilihan Gubernur BI Tahun 2003 yang juga diikuti oleh Terdakwa, sehingga Terdakwa tidak terpilih dalam proses pemilihan Gubernur BI Tahun 2003”. (halaman 4 dan 12 Surat Dakwaan). Bahwa uraian Dakwaan Penuntut Umum pada Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua disusun atas asumsi Penuntut Umum sendiri. Menurut Van Hammel seseorang yang dipandang sebagai seorang pelaku itu tidak boleh semata-mata didasarkan pada suatu anggapan, akan tetapi hal tersebut harus selalu dibuktikan. (P.A.F. Lamintang, DasarDasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 593).



Sedangkan mengenai materi Surat Dakwaan, menurut Yahya Harahap, Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (M.Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan”, 1993, halaman 414 - 415).



Dengan demikian, maka uraian dalam Dakwaan tidak dapat menggunakan asumsi atau anggapan Penuntut Umum sendiri, melainkan harus berdasarkan fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan dan alat bukti, oleh karena itu Dakwaan yang disusun berdasarkan asumsi atau anggapan menurut Penuntut Umum mengakibatkan Dakwaan tidak jelas oleh karenanya berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.



Mengenai hal-hal yang bersifat pribadi dan menyangkut masalah keluarga merupakan hak-hak sipil dan politik Terdakwa sebagai hak asasi individu yang secara universal dilindungi sebagaimana diatur dalam hak-hak sipil dan politik. Article 17 (1)



9



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang bersifat universal Tahun 1966 yang berbunyi “No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privasi, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation” (terjemahannya adalah “tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”) Selanjutnya disebutkan bahwa “everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks” terjemahannya adalah “setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut diatas”. Dengan demikian merupakan hak Terdakwa untuk mendapatkan suatu perlindungan dari tindakan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.



6. Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga Penuntut Umum Tidak Jelas dan Tidak Lengkap Karena Tidak Memuat Uraian Mengenai Tindakan Bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti. Penuntut Umum dalam dakwaannya menyatakan bahwa “Terdakwa bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti …” (halaman 2 dakwaan dan halaman 17 dakwaan), akan tetapi hubungan antara Terdakwa dengan Nunun Nurbaeti dalam Dakwaan hanya menyebutkan bahwa “Terdakwa meminta Nunun Nurbaeti untuk dikenalkan kepada teman-teman Nunun Nurbaeti yang menjadi anggota Komisi IX DPR-RI guna mencari dukungan atas pencalonan Terdakwa dalam pelaksanaan pemilihan DGS BI, yang mana Nunun Nurbaeti menyetujui permintaan Terdakwa” (halaman 3 dan 18 dakwaan).



Penuntut Umum tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bentuk perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dan Nunun Nurbaeti sehingga dapat dinyatakan sebagai tindakan secara bersama-sama dalam hal ini bersama-sama untuk memberikan TC kepada anggota DPR-RI. Bahkan Penuntut Umum tidak menguraikan fakta materiil mengenai locus dan tempus secara pasti mengenai pertemuan dengan Nunun Nurbaeti tersebut.



Penuntut Umum dalam dakwaannya juga sama sekali tidak menguraikan adanya suatu hubungan yang menunjukkan adanya komunikasi atau interaksi yang dilakukan secara



10



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



terus menerus dan atau berkelanjutan antara Nunun Nurbaeti dengan Terdakwa mengenai adanya rencana pembagian TC maupun tindakan pemberian TC yang dilakukan oleh Nunun Nurbaeti.



Dakwaan Penuntut Umum juga tidak menguraikan tindakan Terdakwa yang bersamasama dengan Nunun Nurbaeti memberikan TC kepada anggota DPR-RI sebagai suap atau hadiah atau memberikan janji karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban anggota DPR-RI, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya sebagai anggota DPR-RI sehingga Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Ketiga tidak jelas dan tidak lengkap, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.



KESIMPULAN Berdasarkan dari hal-hal yang telah dikemukakan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa Dakwaan Ketiga dan Dakwaan Keempat telah daluwarsa masa penuntutannya dan karenanya BATAL DEMI HUKUM. 2. Bahwa seluruh Dakwaan Kesatu, Dakwaan Kedua, Dakwaan Ketiga, dan Dakwaan Keempat tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.



PENUTUP Majelis Hakim Yang Kami Muliakan, Penuntut Umum Yth, Hadirin Sidang Yang Kami Hormati, Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan dalam Keberatan (Eksepsi) ini, maka kami, Tim Penasihat Hukum Terdakwa Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D., mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan memutus perkara a quo untuk memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima Keberatan (Eksepsi) dari Terdakwa Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D. dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa;



11



TIM PENASIHAT HUKUM Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE, MA, Ph.D.



2. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor: DAK-14/24/07/2012 tanggal 9 Juli 2012 BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya Dakwaan Tidak Dapat Diterima; 3. Membebaskan Terdakwa dari Rumah Tahanan KPK sebagai cabang Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur. 4. Mengembalikan harkat dan martabat serta nama baik Terdakwa; 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) Demikianlah Nota Keberatan (Eksepsi) kami sampaikan. Terima kasih.



Jakarta, 24 Juli 2012 Hormat Kami, Tim Penasihat Hukum Prof. Miranda Swaray Goeltom, SE., MA., Ph.D.



Dr. Dodi S. Abdulkadir, BSc., S.E., S.H., M.H.



Andi F. Simangunsong, S.H.



Dr. Benny B. Nurhadi, S.H., M.H.



Jonas M Sihaloho, S.H.



12